Anda di halaman 1dari 30

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Proses Pengelasan 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Pengelasan Berdasarkan American Welding Society (AWS), pengelasan adalah proses penyambungan material dengan menggunakan kampuh las, sedangkan kampuh las didefinisikan sebagai logam yang membeku dari logam yang sebelumnya berada dalam keadaan cair akibat pemanasan pada temperatur tertentu dengan atau tanpa penekanan, dengan atau tanpa menggunakan logam pengisi. Berdasarkan definisi dari DIN (Deutche Indurtrie Normen), Las merupakan ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Dari definisi tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa las adalah sambungan setempat dari beberapa batang logam dengan menggunakan energi panas. Energi panas yang digunakan untuk mencairkan logam pada proses pengelasan tersebut dapat berasal dari pembakaran gas, sinar elektron, gesekan gelombang elektronik, tahanan listrik, ataupun busur listrik. Sehingga terjadi ikatan antara atom-atom atau molekul-molekul dari logam yang disambungkan. Berdasarkan cara kerja, proses pengelasan dapat dibagi dalam 3 kelas utama yaitu pengelasan cair, pengelasan tekan, dan pematrian. a. Pengelasan cair adalah cara pengelasan dimana sambungan dipanaskan sampai mencair dengan sumber panas dari busur listrik atau semburan api gas yang terbakar.

7 b. Pengelasan tekan adalah cara pengelasan dimana sambungan dipanaskan dan kemudian ditekan hingga menjadi satu. c. Pematrian adalah cara pengelasan dimana sambungan diikat dan disatukan dengan menggunakan paduan logam yang memiliki titik lebur rendah. Dalam cara ini logam induk tidak ikut mencair. Adapun perincian lebih lanjut mengenai klasifikasi proses pengelasan dapat digambarkan dalam gambar 2.1 berikut:

Gambar 2.1 Klasifikasi proses pengelasan Sumber: Wiryosumarto, 2000: 8

2.1.2 Parameter Pengelasan a. Tegangan busur las Tegangan busur adalah tegangan yang diukur antara elektrode tungsten dengan bahan induk. Tegangan busur sangat tergantung pada arus busur, bentuk ujung elektrode tungsten, jarak antara elektrode tungsten dengan bahan induk,

8 jenis gas lindung. Tegangan busur digunakan untuk mengendalikan panjang busur walaupun tegangan busur merupakan variabel yang sulit dipantau (Widharto, 2007: 111). Busur nyala terjadi karena arus listrik mengalir melalui udara dari elektroda ke benda kerja. Ini disebabkan karena adanya selisih tegangan antara elektroda dan benda kerja, tegangan ini disebut tegangan busur nyala. Tinggi tegangan busur nyala ini antara 25 36 Volt (Suroso, 1980: 111). Tingginya tegangan busur tergantung pada panjang busur yang dikehendaki dan jenis dari elektroda yang digunakan. Pada dasarnya busur listrik yang terlalu panjang tidak dikehendaki karena stabilitasnya mudah terganggu sehingga hasil pengelasannya tidak rata. Panjang busur yang dianggap baik kirakira sama dengan garis tengah elektroda (Wiryosumarto, 2000: 224). b. Besar arus las Besarnya arus las yang diperlukan tergantung dari bahan dan ukuran dari lasan, geometri sambungan, posisi pengelasan, macam elektroda dan diameter inti elektroda. Dalam pengelasan logam paduan, untuk menghindari terbakarnya unsur-unsur paduan sebaiknya menggunakan arus las yang kecil. Bila ada kemungkinan terjadi retak panas seperti pada pengelasan baja tahan karat austenit maka dengan sendirinya harus diusahakan menggunakan arus yang kecil saja. Dalam hal mengelas baja paduan, dimana daerah HAZ dapat mengeras dengan mudah, maka harus diusahakan pendinginan yang pelan dan untuk ini diperlukan arus yang besar dan mungkin masih memerlukan pemanasan kemudian (Wiryosumarto, 2000: 224).

9 Masukan panas yang semakin besar dimana temperatur pengelasannya semakin tinggi pula, sehingga daerah pengaruh panas semakin luas. Bila daerah ini semakin luas maka daerah yang mengalami pengendapan khrom karbida semakin luas juga (Sindo, 2002: 439). Sebaliknya jika arus yang kita gunakan terlampau kecil, maka akan menyebabkan kurang encernya cairan logam las, sehingga adukan cairan logam antara lapisan yang semula dengan lapisan yang sedang dilas kurang baik (Saroso, 1980: 21). Tabel 2.1
Tebal Plat (mm) 1,59

Pengelasan Stainless Steel dengan Arus DCEN


Bentuk Sambungan Tumpul Tumpang Sudut Fillet Tumpul Tumpang Sudut Fillet Tumpul Tumpang Sudut Fillet Tumpul Tumpang Sudut Fillet Diameter Tungsten (mm) 1,59 1,59 1,59 1,59 2,38 2,38 2,38 2,38 2,38 2,38 2,38 2,38 3,18 3,18 3,18 3,18 Diameter Kawat las (mm) 1,59 1,59 1,59 1,59 2,38 2,38 2,38 2,38 3,18 3,18 3,18 3,18 4,0 4,0 4,0 4,0 Arus (A) 40-60 50-70 40-60 50-70 65-85 90-110 65-85 90-110 100-125 125-150 100-125 125-150 135-160 160-180 135-160 160-180 Type Argon Argon Argon Argon Argon Argon Argon Argon Argon Argon Argon Argon Argon Argon Argon Argon Gas Aliran CFH 15 15 15 15 15 15 15 15 20 20 20 20 20 20 20 20 L/menit 7,08

3,18

7,08

4,76

9,44

6,35

9,44

Sumber : Daryanto, 2012: 116

c.

Kecepatan pengelasan (Travel Speed) Kecepatan pengelasan tergantung pada jenis elektroda, diameter inti

elektroda, bahan yang dilas, geometri sambungan, dan ketelitian sambungan. Kecepatan las hampir tidak ada hubungannya dengan tegangan las tetapi berbanding lurus dengan arus las. Karena itu pengelasan yang cepat memerlukan arus las yang tinggi (Wiryosumarto, 2000: 224).

10 Kecepatan pengelasan mempengaruhi lebar lajur las dan kedalaman penetrasi GTAW. Travel speed merupakan variabel yang tidak bebas yang dipilih dengan variabel lain untuk mendapatkan mutu dan keseragaman las yang diperlukan. Pada jenis mekanisasi las, travel speed biasanya tetap untuk segala jenis objek pengelasan, sedang variabel lainnya seperti arus dan tegangan dapat diatur (Widharto, 2007: 112). Kecepatan diperoleh dari hasil bagi jarak dengan waktu.

(Supiyanto, 2004: 34) d. Polaritas listrik Polaritas listrik mempengaruhi hasil dari busur listrik. Sifat busur listrik pada arus searah (DC) akan lebih stabil daripada arus bolak-balik (AC). Pada arus DC elektroda tungsten dapat dihubungkan dengan terminal positif (DCEP) atau negatif (DCEN) (Widharto, 2007: 126). e. Besarnya penembusan atau penetrasi Untuk mendapatkan kekuatan sambungan yang tinggi diperlukan penetrasi yang cukup. Sedangkan besarnya penembusan tergantung pada polaritas, besarnya arus, kecepatan las dan tegangan yang digunakan. Pada dasarnya makin besar arus las makin besar pula daya tembusnya. Sedangkan tegangan memberikan pengaruh yang sebaliknya yaitu makin besar tegangan makin panjang busur yang terjadi dan makin tidak terpusat, sehingga panasnya melebar dan menghasilkan penetrasi yang lebar dan dangkal (Wiryosumarto, 2000: 225).

11 2.2 Pengelasan TIG (Tungsten Inert Gas) 2.2.1 Definisi Tungsten Inert Gas (TIG) TIG (Tungsten Inert Gas) adalah jenis las listrik yang menggunakan bahan tungsten sebagai elektroda tidak terkonsumsi. Elektroda ini digunakan hanya untuk menghasilkan busur nyala listrik. Bahan penambah berupa batang las (rod), yang dicairkan oleh busur nyala berfungsi untuk mengisi kampuh bahan induk. Untuk mencegah oksidasi digunakan gas mulia (seperti Argon, Helium, Freon) dan CO2 sebagai gas lindung (Widharto, 2003: 195). Penggunaan las TIG mempunyai dua keuntungan, yaitu pertama kecepatan pengumpanan logam pengisi dapat diatur sehingga penetrasi ke dalam logam induk dapat diatur semaunya. Cara pengaturan ini memungkinkan las TIG dapat digunakan dengan memuaskan baik untuk pelat baja tipis maupun pelat baja tebal. Kedua adalah kualitas yang lebih baik dari daerah las. Oleh karena itu, las TIG biasanya digunakan untuk mengelas baja-baja kualitas tinggi seperti baja tahan karat dan baja tahan panas (Wiryosumarto, 2000: 17). Sumber listrik yang digunakan untuk pegelasan TIG dapat berupa listrik DC (Direct Current) atau listrik AC (Alternating Current). Jika arus DC yang digunakan, maka elektroda tungsten dapat dihubungkan dengan terminal positif atau negatif. Namun pada umumnya yang digunakan adalah sistem elektroda negatif (DCEN). Dengan polaritas DCEN, elektron mengalir dari elektroda ke benda kerja dan ion positif mengalir dari benda kerja ke elektroda. Polaritas ini disebut juga polaritas lurus (straight polarity). Jika elektroda pada posisi positif (DCEP), maka aliran elektronnya merupakan kebalikan dari DCEN. Polaritas ini disebut polaritas terbalik (reserve polarity) (Widharto, 2007: 126).

12 Skema dari kedua rangkaian ini dapat dilihat dalam gambar 2.2 berikut:

Gambar 2.2 Diagram rangkaian listrik dari mesin las listrik DC Sumber: Okumura, 2000: 17

Dalam polaritas lurus, elektron bergerak dari elektroda dan menumbuk logam induk dengan kecepatan yang tinggi sehingga dapat terjadi penetrasi yang dalam. Karena pada elektroda tidak terjadi tumbukan elektron maka suhu elektroda tidak terlalu tinggi yaitu sekitar 70% dari jumlah panas disalurkan ke anoda dan 30% ke katoda (Widharto, 2007: 127). Oleh karena itu dengan polaritas ini dapat digunakan arus yang besar. Sebaliknya dalam polaritas balik, elektroda menjadi panas sekali sehingga arus listrik yang dapat dialirkan menjadi rendah. Untuk ukuran elektroda yang sama dalam polaritas balik kira-kira hanya 1/10 arus pada polaritas lurus yang dialirkan. Bila arus yang dialirkan terlalu besar, maka ujung elektroda akan mencair dan merubah komposisi logam cair yang dihasilkan, dengan polaritas balik penetrasi kedalam logam induk menjadi dangkal dan lebar (Wiryosumarto, 2000: 18). Pengaruh polaritas terhadap proses pengelasan TIG dapat dilihat dalam gambar 2.3 berikut:

13

Gambar 2.3 Pengaruh polaritas pada pengelasan TIG Sumber: Widharto, 2007: 128

Bila dipergunakan listrik AC maka proses yang terjadi akan sama dengan menggunakan arus searah (DC) dengan polaritas lurus dan polaritas balik yang digunakan secara bergantian. Sehingga hasil pengelasan akan terletak antara hasil pengelasan dengan arus DC dengan polaritas lurus dan polaritas balik. Berdasarkan keterangan di atas, maka biasanya arus DC dengan polaritas lurus (DCEN) dipakai untuk pengelasan stainless steel (Wiryosumarto, 2000: 18). Tabel 2.2
Logam Baja Baja tahan karat Besi cor Aluminium dan paduannya Magnesiun dan paduannya Tembaga dan paduannya Aluminium brons

Penggunaan Mesin Las TIG untuk Beberapa Logam


Listrik AC frekwensi tinggi terbatas terbatas terbatas sesuai sesuai terbatas sesuai Listrik DC polaritas lurus Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Terbatas Listrik DC polaritas balik dapat untuk pelat tipis dapat untuk pelat tipis -

Sumber : Wiryosumarto, 2000: 19

Las TIG dapat dilakukan dengan pengelasan manual dan pengelasan otomatis. Elektroda yang digunakan dalam las TIG biasanya dibuat dari wolfram murni atau paduan (tungsten) antara wolfram-torium yang berbentuk batang

14 dengan garis tengah antara 1,0 mm sampai 4,8 mm. Penggunaan logam pengisi tidak ada batasnya, biasanya logam pengisi diambil logam yang mempunyai komposisi yang sama dengan logam induk (Wiryosumarto, 2000: 18).

Gambar 2.4 Instalasi Tungsten Inert Gas Sumber: Bowditch, 1984: 288

2.2.2 Elektroda Bahan elektroda adalah tungsten murni dan paduan tungsten. Bahan ini tidak terkonsumsi dalam pengelasan apabila diperlakukan secara benar dan hatihati. Adapun fungsinya sebagai salah satu terminal busur nyala listrik yang menghasilkan panas untuk pencairan bahan kawat las dan bahan induk. Titik lebur metal tungsten adalah 6170 0F (3410 0C). pada saat tungsten mendekati suhu ini, sifatnya menjadi thermionic (sumber pemasok elektron). Suhu tersebut di atas dihasilkan melalui tahanan listrik, jika saja bukan karena pengaruh pendinginan dari penguapan elektron yang keluar dari ujung elektroda, elektroda tersebut akan mencair oleh panas yang dihasilkan dari tahanan listrik tersebut. Pada kenyataannya suhu pada ujung elektroda jauh lebih dingin daripada bagian lain dari elektroda diantara ujungnya (Widharto, 2007: 115).

15 Tabel 2.3
Garis Tengah Elektroda Inci Mm

Daftar Elektrode Tungsten dan Tutup Gas


Garis Tengah Cup Gas yang Digunakan (inci) 1/4 1/4 3/8 3/8 1/2 1/2 1/2 5/8 3/4 Arus Searah (a) Polaritas Polaritas Lurus Terbalik (DCEN) (DCEP) (b) (b) Hingga 15 5 ~ 20 15 ~ 80 70 ~ 150 10 20 150 ~ 250 15 30 250 ~ 400 25 40 400 ~ 500 40 55 500 ~ 750 55 80 750 ~ 1100 80 125 Arus Bolak-Balik (a) Gelombang Gelombang Tidak Balans Balans (c) (c) Hingga 15 5 ~ 15 10 ~ 60 50 ~ 100 100 ~ 160 150 ~ 210 200 ~ 275 250 ~ 350 325 ~ 450 Hingga 15 10 ~ 20 20 ~ 30 30 ~ 80 60 ~ 130 100 ~ 180 160 ~ 240 190 ~ 300 325 ~ 450

0,010 0,020 0,040 1/16 3/32 1/8 5/32 3/16 1/4

0,25 0,50 1,00 1,6 2,4 3,2 4,0 4,8 6,4

(a) Semua harga didasarkan pada penggunaan argon sebagai gas lindung (b) Gunakan elektrode E W Th-2 (c) Gunakan E W P Sumber : Widharto, 2007: 116

Elektrode tungsten diklasifikasikan berdasarkan komposisi kimiawinya. Persyaratan terkini tentang elektrode tertera dalam standard ANSIAWS A5.12 (Specification for Tungsten and Tungsten Alloy Electrodes for Arc Welding & cutting). Tabel 2.4
Klasifikasi AWS EWP E W Ce - 2 E W La - 1 E W Th - 1 E W Th - 2 E W Zr - 1 EWG

Kode Identifikasi Warna dan Elemen Paduan


Warna HIJAU JINGGA HITAM KUNING MERAH COKLAT ABU-ABU Elemen Pemadu . CERIUM LANTHANIUM THORIUM THORIUM ZIRCONIUM TIDAK DISPESIFIKASI Oksida Pemadu . CaCO2 La2 O3 Th O2 Th O2 Zr O2 . Berat Nominal dari Oksida Pemadu (%) . 2 1 1 2 0,25 .

Sumber : Widharto, 2007: 117

a.

Elektrode Kelas E. W. P. Elektrode tungsten murni (99,5%) atau lazim disebut EWP hampir tidak

mengandung elemen lain yang dicampurkan secara sengaja. Kapasitas menanggung arus dari elektrode tungsten murni lebih rendah dibanding dengan elektode paduan tungsten. Elektrode tungsten murni digunakan khusus untuk

16 pengelasan paduan aluminium dan paduan magnesium. Ujung elektrode EWP yang tetap dalam kondisi bentuk bundar memproduksi busur yang stabil. Elektrode ini juga menggunakan DC, namun tidak memiliki sifat elektrode thoriated, ceriated, dan lanthanated yang dapat mengawali nyala dan busur yang stabil (Widharto, 2007: 118). b. Elektrode Kelas E. W. Th. Sifat thermionic emission dari bahan tungsten dapat ditingkatkan dengan memadukannya dengan oksida yang memiliki fungsi kerja sangat rendah. Akibatnya elektrode mampu menanggung kuat arus las yang lebih tinggi. Sebagai contoh bahan pemadu adalah oksida thorium. Thorium adalah metal yang memeliki tingkat radioaktif sangat rendah sehingga tidak membahayakan kesehatan. Terdapat dua jenis elektrode tungsten thoriated, yakni: EWTh-l dan EWTh-2, yang masing-masing mengandung oksida thorium (ThO2= thoria) l% dan 2%. Jenis elektrode ini lebih baik daripada elektrode tungsten murni jika ditinjau dari beberapa aspek. Elektrode thoria mampu menampung arus las 20% lebih banyak, usianya lebih panjang, dan lebih tahan terhadap kontaminasi las. Dengan menggunakan elektrode jenis ini, penyalaan awal busur lebih mudah serta nyala busur lebih stabil. EWTh-1 dan EWTh-2 didesain untuk menggunakan listrik DCEN. Ujung elektrode dipertahankan tetap runcing selama pengelasan, yang umumnya lebih cocok pada bahan baja. Elektroda ini jarang digunakan dengan arus AC karena persyaratan pengelasan dengan AC yang mempersyaratkan ujung elektrode berbentuk bundar (Widharto, 2007: 118).

17 c. Elektrode Kelas E. W. Ce. Elektrode ini disebut ceriated tungsten electrode yang dikembangkan sebagai pengganti elektrode thoriated, karena cerium bukan merupakan metal yang radioaktif. EWCe-2 adalah elektrode tungsten yang mengandung 2% oksida cerium (CeO2) yang lazim disebut ceria. Jenis elektrode ini memperkecil laju evaporasi ataupun burnt off. Keunggulan ini meningkat apabila persentase kandungan cerium meningkat pula. EWCe-2 dapat dipakai dengan menggunakan arus AC maupun DC (Widharto, 2007: 119). d. Elektrode Kelas E. W. La. Elektrode lanthanum diciptakan bersamaan dengan elektrode cerium. Lanthanum tidak radioaktif. Elektrode ini mengandung oksida lanthanum (La2O3) sebanyak 1% dan dikenal sebagai lanthana. Sifat dan keuntungan penggunaan elektrode ini sama dengan elektrode ceria (Widharto, 2007: 119). e. Elektrode Kelas E. W. Zr Elektrode zirconated tungsten mengandung sedikit zirconium oxide (ZrO2) dan memiliki sifat di antara tungsten murni dan tungsten thoriated. Elektrode ini merupakan pilihan untuk pengelasan dengan AC karena dapat menggabungkan sifat stabilitas busur dan bentuk ujung elektrode yang bulat serta kemampuan seperti elektrode thoriated, misalnya kemudahan nyala dan kapasitas kuat arusnya. Memiliki sifat lebih tahan terhadap kontaminasi daripada elektrode tungsten murni (Widharto, 2007: 119). f. Elektrode Kelas E. W. G. Elektrode ini didesain untuk mengisi kekurangan dari elektrode lainnya. Elektrode kelas EWG mengandung oksida yang tidak terspesifikasi atau gabungan

18 oksidanya. Maksud pencampuran dengan oksida adalah mempengaruhi sifat busur sebagaimana ditentukan oleh pabrik pembuat. Pihak manufaktur harus mencantumkan jenis campuran dan jumlahnya kepada pihak pembeli. Elektrode yang terdapat di pasaran mengandung unsur oksida natrium atau oksida magnesium. Kelas ini juga mencakup elektrode ceriated dan lanthanated dengan jumlah kandungan yang tidak terdaftar serta elektrode yang mengandung kombinasi beberapa jenis elektrode (Widharto, 2007: 119). 2.2.3 Kampuh Las Proses penyambungan logam dengan jalan dilas hendaknya menghasilkan sambungan las yang berkualitas baik, sebaiknya pada kedua ujung benda yang akan dilas diberikan suatu bentuk kampuh las tertentu. Pengerjaan bentuk kampuh las yang akan dibuat tergantung dari bentuk sambungan. Pemilihan tipe sambungan las sangat penting dalam pengelasan, maka dalam pemilihan bentuk alur diperlukan kemampuan dan pengalaman yang luas. Bentuk-bentuk yang telah distandarkan pada umumnya hanya meliputi pelaksanaan pengelasan yang sering dilakukan, sehingga dalam pengelasan khusus bentuk alur harus ditentukan sendiri berdasarkan pengalaman yang dapat dipercaya (Wiryosumarto, 2000: 159). Kampuh V tunggal dapat dirancang tertutup atau terbuka. Sambungan ini lebih kuat dibanding sambungan tumpul lurus, penggunaannya untuk penyambungan logam dengan pembebanan tekanan yang besar. Penggunaan sambungan dengan kampuh V tunggal banyak digunakan berdasarkan pada kehidupan nyata dunia perbengkelan. Hal ini didasarkan pada pengelasan pipa, pelat, kerangka kendaraan serta pada pengelasan lainnya yang

19 berskala kecil. Selain itu kampuh V tunggal memiliki keunggulan, diantaranya: praktis, simple, dan lebih kuat. Bahan dengan ketebalan 0,140 atau lebih biasanya dipotong serong dan disambung dengan sistem kampuh V dan besar sudut tiap-tiap serongan sebesar 300, sehingga membentuk kampuh V dengan sudut sebesar 600, dan pada bagian bawah sambungan V ini disisakan tebal sebesar 1/32 (Marihot, 1984: 81). 2.2.4 Gas Lindung Kegunaan gas lindung adalah mencegah jangan sampai elektrode dan cairan bahan induk teracuni oleh udara (Widharto , 2007: 134). Kebutuhan gas lindung yang memerlukan penyetelan jumlah aliran gas pelindung dipengaruhi oleh tebal benda kerja dan bahan dasar benda kerja. Disamping itu, kebutuhan gas pelindung juga tergantung dari macam gas, jarak nosel dari benda kerja, posisi las, luas daerah panas, kecepatan pengelasan dan gerakan pembakaran las. Gas argon merupakan pilihan yang terbaik untuk pengelasan TIG secara manual, baik dengan menggunakan arus searah maupun arus bolak-balik (Widharto, 2007: 111). Tabel 2.5
ALUMINIUM

Skema Bahan, Elektrode, dan Gas Lindung TIG


TEBAL
SEMUA > 1/8 < 1/8 SEMUA < 1/8 SEMUA < 1/8

BAHAN

ARUS
AC DCSP DCRP DCSP AC AC DCRP

ELEKTRODE
TUNGSTEN/ ZIRCON THORIATED THORIATED / ZIRCON THORIATED TUNGSTEN/ ZIRCON TUNGSTEN/ ZIRCON ZIRCON / THORIATED

GAS LINDUNG
ARGON/ ARGON HELIUM ARGON/ ARGON HELIUM ARGON HELIUM ARGON ARGON ARGON

TEMBAGA/ PADUAN TEMBAGA MAGNESIUM PADUAN MAGNESIUM

NIKEL PADUAN NIKEL BAJA KARBON BAJA PADUAN RENDAH

SEMUA SEMUA SEMUA < 1/8

DCSP DCSP DCSP AC

THORIATED THORIATED THORIATED TUNGSTEN/ ZIRCON

ARGON ARGON ARGON/ ARGON HELIUM ARGON

20
STAINLESS STEEL SEMUA < 1/8 SEMUA DCSP AC DCSP THORIATED TUNGSTEN/ ZIRCON THORIATED ARGON/ ARGON HELIUM ARGON ARGON

TITANIUM

Sumber : Widharto, 2007: 132

a. Argon (Ar) Argon adalah gas inert yang monoatomik dengan berat molekul 40 yang didapat dengan mencairkan udara. Digunakan untuk pengelasan, merupakan gas argon murni (minimum 99,95%) untuk metal yang tidak reaktif, namun untuk metal reaktif dan metal tahan panas (refractory) tingkat kemurnian lebih tinggi (99,997%) (Widharto, 2007: 134). Argon lebih disukai daripada helium karena: 1. 2. 3. Nyala lebih halus dan tidak bersuara keras Lebih murah dan lebih mudah didapat Berguna untuk perlindungan yang efektif tidak diperlukan laju pengaliran (flow rate) terlalu tinggi 4. 5. Lebih tahan terhadap hembusan angin Lebih mudah untuk menyalakan busur listrik

b. Helium (He) Helium adalah gas inert yang monoatomik dan sangat ringan, memiliki berat atom 4, didapat dari separasi gas alam. Jika digunakan untuk pengelasan harus dimurnikan menjadi 99,99%. Lebih banyak menghantarkan panas daripada argon. Dengan tenaga pemanasan yang tinggi tersebut, helium banyak digunakan untuk pengelasan menggunakan tenaga mekanis (Widharto, 2007: 135). c. Campuran Argon dan Helium Argon mempunyai berat sekitar 10 kali helium. Karena berat, begitu meninggalkan moncong obor, argon akan menyelimuti jalur las panas, sedangkan

21 helium dikarenakan ringan akan naik ke atas menghalangi penetrasi udara ke dalam lingkungan nyala las. Dengan demikian, dikombinasikan kedua jenis gas ini akan menghasilkan campuran yang fungsi lindungannya sangat optimal. Perbandingan antara argon dan helium = 1 : 3 (Widharto, 2007: 135). Persyaratan aliran gas tergantung pada ukuran moncong obor (nozzle), ukuran kolam las, dan pergerakan udara. Dapat dikatakan kebutuhan aliran gas proporsional dengan bertambahnya luas penampang nozzle. Jumlah aliran yang umum digunakan adalah 7-16 liter/menit untuk gas argon dan 12-24 liter/menit untuk gas helium. Aliran gas yang berlebihan akan menimbulkan turbulensi pada aliran gas dan akan mengacaukan lindungan gas dan menyebabkan intrusi udara ke dalam kolam las. Angin kencang 5 mil per jam dapat meniup pergi gas lindung. Oleh karena itu, pengelasan TIG sebaiknya dilindungi dengan pelindung angin (wind shield) (Widharto, 2007: 135). 2.3 Siklus termal daerah lasan Pengelasan adalah proses penyambungan antara dua bagian logam atau lebih dengan menggunakan energi panas. Karena proses menggunakan energi panas maka logam di sekitar lasan mengalami siklus termal cepat yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan metalurgi yang rumit, deformasi dan tegangan-tegangan termal. Hal-hal ini sangat erat hubungannya dengan sifat mekanik bahan. Daerah lasan terdiri dari 3 bagian yaitu logam lasan, daerah pengaruh panas dan logam induk yang tak terpengaruhi. Logam lasan adalah bagian logam yang pada waktu pengelasan mencair dan kemudian membeku. Daerah pengaruh panas adalah logam dasar yang bersebelahan dengan logam las

22 yang selama proses pengelasan mengalami siklus termal pemanasan dan pendinginan cepat. Logam induk yang tak terpengaruhi adalah bagian logam dasar dimana panas dan suhu pengelasan tidak menyebabkan terjadinya perubahanperubahan struktur dan sifat. Di samping ketiga bagian utama tersebut masih ada satu daerah khusus yang membatasi antara logam las dan daerah pengaruh panas, yang disebut batas las (Wiryosumarto, 2000: 56). 2.3.1 Pembekuan dan struktur logam las Proses pertumbuhan dari kristal-kristal logam las yang berbentuk pilar. Titik A dari gambar tersebut adalah titik mula dari struktur pilar yang selalu terletak dalam logam induk. Titik ini tumbuh menjadi garis lebur dengan arah yang sama dengan gerakan sumber panas. Pada garis lebur sebagian dari logam dasar turut mencair dan selama proses pembekuan logam las tumbuh pada butirbutir logam induk dengan sumbu kristal yang sama. Gambar 2.5 berikut ini akan menunjukkan arah pembekuan dari logam las.

Gambar 2.5 Arah pembekuan dari logam las Sumber: Wiryosumarto, 2000: 57

2.3.2 Reaksi metalurgi yang terjadi dalam pembekuan a. Pemisahan Di dalam logam las terdapat tiga jenis pemisahan, yaitu pemisahan makro, pemisahan gelombang dan pemisahan mikro. Pemisahan makro adalah perubahan

23 komponen secara perlahan-lahan yang terjadi mulai dari sekitar garis lebur menuju ke garis sumbu las, sedangkan pemisahan gelombang adalah perubahan komponen karena pembekuan yang terputus yang terjadi pada proses terbentuknya gelombang manik las. Pemisahan mikro adalah perubahan komponen yang terjadi dalam satu pilar atau dalam bagian dari satu pilar (Wiryosumarto, 2000: 57). b. Lubang-lubang halus Lubang-lubang halus terjadi karena adanya gas yang tidak larut dalam logam padat. Sedangkan yang terjadi karena reaksi adalah terbentuknya gas CO dalam logam cair dan yang menyusup adalah gas-gas pelindung atau udara yang terkurung dalam akar kampuh las (Wiryosumarto, 2000: 57). c. Proses Dioksidasi Oksigen yang larut sangat kecil, tetapi karena tekanan disosiasi dari kebanyakan oksida sangat rendah, maka pada umumnya akan terbentuk oksidaoksida yang stabil. Untuk melepaskan oksigen dari larutan biasanya dilakukan usaha-usaha seperti menghilangkan oksida. Proses menghilangkan oksida disebut proses deoksidasi. Kadar oksigen dalam las TIG adalah 0,01 sampai 0,02% (Wiryosumarto, 2000: 58). 2.3.3 Siklus termal las Siklus termal las adalah proses pemanasan dan pendinginan di daerah lasan. Lamanya pendinginan dalam suatu daerah temperatur tertentu dari siklus termal las sangat mempengaruhi kualitas sambungan. Struktur mikro dan sifat mekanik dari daerah HAZ sebagian besar tergantung pada lamanya pendinginan

24 dari temperatur 8000C sampai 500 0C. Siklus termal las dapat dilihat pada gambar 2.6 berikut:

Gambar 2.6 Siklus termal las Sumber: Wiryosumarto, 2000: 59

2.4 Struktur daerah pengaruh panas Struktur logam pada daerah pengaruh panas atau HAZ berubah secara berangsur dari struktur logam induk ke struktur logam las, pada daerah HAZ yang dekat dengan garis lebur, kristalnya tumbuh dengan cepat dan membentuk butirbutir kasar disebut daerah batas las. Di dalam daerah pengaruh panas, besar butir dan struktur berubah sesuai dengan siklus termal yang terjadi pada waktu pengelasan. Pada daerah batas las dimana butir-butirnya sangat kasar. Perubahan struktur tersebut disebabkan oleh perbedaan sifat mampu keras baja yang disebabkan karena adanya perbedaan komposisi kimia dan perbedaan kecepatan pendinginan karena panas pengelasan, pemanasan mula, tebal pelat dan sebagainya. Adapun skema struktur mikro pada daerah pengaruh panas atau HAZ dapat dilihat pada gambar 2.7 berikut:

25

Gambar 2.7 Skema struktur mikro pada daerah pengaruh panas atau HAZ Sumber: Wiryosumarto, 2000: 66

2.5 Pengaruh arus pengelasan pada proses pengelasan Berdasarkan definisi dari Deustche Industrie Normen (DIN), las adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam panduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Dari definisi ini dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa las adalah sambungan setempat dari beberapa batang logam dengan menggunakan enengi panas. Energi panas ini berupa masukan panas (heat input) yang timbul akibat ujung elektroda, yang polaritasnya berlawanan dengan logam induk, didekatkan dengan logam induk sehingga membentuk busur listrik, lalu dengan adanya panas dari busur ini, logam pengisi pengelasan mencair. Besar kecilnya arus las akan mempengaruhi masukan panas yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap distribusi suhu, tegangan sisa dan distorsi. Hal ini jelas akan mempengaruhi struktur yang terbentuk pada HAZ maupun logam las sehingga berpengaruh pula pada ketangguhan las. Heat input didefinisikan sebagai kalor total yang dihasilkan dari proses pengelasan yang dipakai untuk mencairkan logam yang dilas (Cary, 1989: 470). Heat input yang tinggi pada stainless steel akan terbentuk Cr23C6 atau kromium karbida yang mengendap diantara butir.

26 Karena adanya endapan ini akan menyebabkan penurunan sifat tahan karat dan sifat mekaniknya. Heat input dapat mengakibatkan perubahan struktur mikro daerah pengaruh panas berubah berangsur-angsur dari struktur logam induk ke struktur logam las, ukuran butir daerah pengaruh panas cenderung besar dan kasar sehingga menurunkan kekuatan tariknya. Heat input berdasarkan (Sindo, 2002: 44). H=
.E.I Joule V mm

di mana :

E = Tegangan, (volt) I = Besar arus, (ampere) V = Kecepatan pengelasan, (mm/menit) = Efisiensi mesin (%)

2.6 Baja tahan karat (Stainless Steel) Telah diketahui bahwa kandungan besi dari benda-benda logam besi dan baja semakin menipis dikarenakan terjadi proses oksidasi dengan udara pada logam-logam tersebut. Oksidasi begitu hebatnya terjadi sehingga membuat benda menjadi jelek bentuknya. Dalam menjaga agar benda logam tidak berkarat, maka dapat digunakan pelapis yang dapat menahan karat atau memakai bahan tahan karat (stainless steel) sebagai benda kerja (Marihot, 1984: 62). 2.6.1 Klasifikasi Stainless Steel Stainless steel termasuk dalam baja paduan tinggi yang tahan terhadap korosi, suhu tinggi dan suhu rendah. Disamping itu juga mempunyai ketangguhan dan sifat mampu potong yang cukup. Karena sifatnya, maka baja ini banyak digunakan dalam reaktor atom, turbin, mesin jet, pesawat terbang, dan alat rumah

27 tangga. Stainless steel dikelompokkan dalam tiga jenis yaitu jenis feritis, jenis martensitis, dan jenis austenitis. Untuk lebih jelas dapat dilihat dalam tabel 2.6 Klasifikasi stainless steel dibawah ini. Tabel 2.6
Klasifikasi Baja tahan karat martensit Baja tahan karat ferit Baja tahan karat austenit

Klasifikasi stainless steel


Komposisi Utama (%) Cr Ni C 1,20 0,35 0,25 Sifat mampu keras Mengeras sendiri Tidak dapat dikeraskan Tidak dapat dikeraskan Sifat tahan korosi Kurang baik Baik Sifat mampu tempa Kurang baik Baik Sifat mampu las Tidak baik Kurang baik Baik sekali Kemagnitan

11-15

Magnit

16-27 16

Magnit

Baik sekali

Baik sekali

Bukan magnit

Sumber: Wiryosumarto, 2000: 109

Stainless steel mempunyai sifat yang berbeda baik dengan baja karbon maupun dengan baja paduan rendah, dimana sangat mempengaruhi sifat mampu lasnya. Paduan utama dari stainless steel adalah Cr dan Ni dengan sedikit tambahan unsur lain, seperti Mo, Cu, dan Mn. Marihot (1984: 72) mengemukakan bahwa baja tahan karat dapat dibagi dalam empat kelas utama atau seri dan tiap jenisnya mempunyai ciri tersendiri sesuai komposisi kimianya. a. Seri 200 (Baja Chrome Nickel Manganese) Seri 200 adalah grup baja tahan karat dan grup ini terdiri dari seri 201, 202, 204, 204L. Standard grup ini mengandung komposisi 18% Cr, 5% Ni, dan 8% Mn. Paduan kromium-nikel-mangan termasuk kelompok baja austenitic. b. Seri 300 (Baja Chrome Nickel Austenitic) Seri 300 termasuk grup baja tahan karat yang dikenal dengan nama baja stainless chromium nickel austenitic. Jenis baja tahan karat ini meliputi: 301, 302, 302B, 303, 304, 304L, 305, 308, 309, 309C, 309S, 310, 314, 316, 316L, 317, 318,

28 321, 347, 347Se, dan 348. Standard grup ini ialah jenis 302 yang mengandung 18% Cr - 8% Ni atau dalam istilah populernya disebut baja stainless l8-8. Semua jenis baja ini tidak bersifat magnetik. Umumnya baja tahan karat yang populer selalu mengandung nikel dan berkombinasi dengan kromium. Paduan ini lebih baik dan enak dipakai dalam bidang pengelasan. Hasil lasnya amat kuat dan teraknya dapat dengan mudah dibersihkan setelah pengelasan. Baja seri AISI 301, 302, 304, 305, dan 308 dapat dilas dengan menggunakan kawat las baja (filler metal) tahan karat AWS E.308. Baja stainless austenitic tidak akan mengeras karena pendinginan oleh udara dan juga tidak berubah kerena pemanasan. Akan tetapi, apabila benda mengalami pemanasan yang tinggi sekali, membuat butiran-butirannya akan membesar dan hal ini tidak baik (getas). c. Seri 400 (Baja Chrome Nickel Ferritic) Baja tahan karat seri 400 termasuk kelompok baja tahan karat yang tidak mengandung nikel. Grup baja tahan karat ini biasanya disebut paduan krom dan dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu: martensitic (mengandung kromium dibawah l5%) dan ferritic (mengandung kromium di atas l8%). d. Seri 500 (Baja Chrome Moly) Seri 500 termasuk kelompok baja yang lebih tahan terhadap korosi daripada jenis baja tahan karat lainnya. Biasanya sering disebut baja chrom moly dan nomor spesifikasinya adalah 501 dan 502. Standard tipe ini mengandung 4-6 % kromium dan sedikit molibdenum. Baja ini juga termasuk martensitic.

29 2.6.2 Struktur Stainless Steel Unsur Cr yang menjadi komponen utama pada stainless steel. Cr dapat larut dalam besi memperluas daerah (ferit). Dalam baja dengan 12% Cr pada temperatur diatas 9000C terjadi fasa (austenit), jadi fasa diperluas ke daerah yang mempunyai konsentrasi Cr yang lebih tinggi. Stainless steel l2% Cr biasa dipakai, diaustenitkan dari 9000C sampai 10000C tergantung kadar C nya, dan dicelup dingin pada minyak sehingga mempunyai struktur martensit. Baja l8% Cr seharusnya mempunyai fasa dimulai dari temperatur pembekuan sampai temperatur kamar, tetapi karena sebenarnya mengandung 0,03-0,l0% C dan 0,10-0,20 N, maka kira-kira di atas 9300C terbentuk fasa . Oleh karena itu perlakuan panas untuk mendapat fasa dilakukan dibawah 8500C disebut stainless steel ferit. Struktur baja 18% Cr - 8% Ni adalah struktur dua fasa dari + dalam kesetimbangan, tetapi kenyataannya pada kira-kira 10500C seluruhnya menjadi austenit dan setelah pendinginan dalam air atau dalam udara fasa terbentuk pada temperatur kamar sukar bertransformasi ke fasa disebut stainless steel austenit (Surdia, 2005: 102). 2.6.3 Pengelasan Austenitic Stainless Steel Pengelasan dengan las elektroda terbungkus, las MIG dan las TIG adalah cara yang banyak digunakan dalam pengelasan stainless steel pada waktu ini. Austenitic stainless steel merupakan material non magnetik dan tidak dapat dikeraskan pada proses perlakuan panas. Seperti pada stainless steel ferit, austenitic stainless steel hanya mampu keras pada pengerjaan dingin. Austenitic stainless steel lebih baik pada ketahanan korosinya, mampu bentuk dan mampu

30 lasnya, karena itu dipakai pada berbagai industri kimia. Selain itu dipakai antara lain untuk bahan konstruksi, peralatan dapur, sudu turbin uap dan tangki penyimpanan susu. Austenitic stainless steel mempunyai sifat mampu bentuk las yang baik bila dibandingkan dengan kedua jenis stainless steel yang dipaparkan diatas. Tetapi walaupun demikian pada pendinginan lambat dari 6800C ke 4800C akan terbentuk Cr23C6 atau kromium karbida yang mengendap diantara butir. Karena adanya endapan ini akan menyebabkan penurunan sifat tahan karat dan sifat mekaniknya (Wiryosumarto, 2000: 112). 2.6.4 Penurunan Kadar Khrom Austenitic stainless steel adalah baja tahan karat yang memiliki kadar karbon sebesar 0,1% yang biasanya akan menyebabkan terjadinya korosi pada batas butir (Intraganular corrosion) pada HAZ yang lebih dikenal dengan weld decay. Adapun daerah weld decay terlihat pada gambar 2.8

Gambar 2.8 Weld decay dan Thermal Cycles pada Stainless Steel Sumber: Sindo, 2002: 438

Weld decay adalah kerusakan daerah las yang disebabkan oleh terjadinya endapan karbid khrom pada batas butir (sensitasi). Di dalam temperatur sensitasi (6000C 8500C) karbon akan dengan cepat berdifusi pada batas butir yang mana

31 karbon tersebut akan bersenyawa dengan khrom guna membentuk karbid khrom. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.9 dan 2.10

Gambar 2.9 Sensitasi pada batas butir Sumber: Sindo, 2002: 436

Gambar 2.10 Endapan antar butir karbid khrom dari baja 18 Cr 8 Ni Sumber: Wiryosumarto, 2000: 112

Dengan masukan panas yang semakin besar dimana temperatur pengelasannya semakin tinggi pula, sehingga daerah pengaruh panas semakin luas. Bila daerah ini semakin luas maka daerah yang mengalami pengendapan khrom karbida semakin luas juga (Sindo, 2002: 439). Terjadinya weld decay pada stainless steel dapat dicegah dengan melakukan: a. Post weld heat treatment yaitu dengan memanaskan material pada suhu 10000C 11000C lalu diikuti dengan pendinginan cepat. Proses heat

32 treatment pada suhu tinggi akan memecahkan khrom karbida yang mengendap selama pengelasan sedangkan pendinginan cepat akan mencegah pembentukan khrom karbida b. Mengurangi kadar karbon, dengan kadar karbon yang lebih rendah maka pembentukan khrom karbida akan lebih sedikit. c. Penambahan unsur pembentuk karbida yang lebih kuat, dengan menambahkan unsur seperti titanium ataupun niobium yang lebih cepat membentuk karbida dibanding dengan khrom akan mencegah terbentuknya weld decay karena unsur-unsur tersebut bersifat stabil. 2.7 Kekuatan tarik Proses pengujian tarik bertujuan untuk mengetahui kekuatan tarik benda uji. Pengujian tarik untuk kekuatan tarik daerah las dimaksudkan untuk mengetahui apakah kekuatan las mempunyai nilai yang sama, lebih rendah atau lebih tinggi dari kelompok non treatment material. Pengujian tarik untuk kualitas kekuatan tarik dimaksudkan untuk mengetahui berapa nilai kekuatannya dan dimanakah letak putusnya suatu sambungan las. Pembebanan tarik adalah pembebanan yang diberikan pada benda dengan memberikan gaya tarik berlawanan arah pada salah satu ujung benda. Penarikan gaya terhadap beban akan mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk (deformasi) bahan tersebut. Proses terjadinya deformasi pada bahan uji adalah proses pergeseran butiran kristal logam yang mengakibatkan melemahnya gaya elektromagnetik setiap atom logam hingga terlepas ikatan tersebut oleh penarikan gaya maksimum.

33 Pada pengujian tarik beban diberikan secara terus-menerus dan pelanpelan bertambah besar, bersamaan dengan itu dilakukan pengamatan mengenai perpanjangan yang dialami benda uji dan dihasilkan kurva tegangan-regangan.

Gambar 2.11 Kurva tegangan-regangan Sumber: Wiryosumarto, 2000: 182

Tegangan dapat diperoleh dengan membagi beban dengan luas penampang mula benda uji. (
(Supardi, 1994: 15)

dimana: u

= Kekuatan tarik (N/mm2)

Fmaks = Beban tarik maksimum (N) A0 = Luas penampang mula-mula (mm2)

Regangan (persentase pertambahan panjang) yang diperoleh dengan membagi perpanjangan panjang ukur (L) dengan panjang ukur mula-mula benda uji.

(Supardi, 1994: 15)

34 dimana: L0 Lf = Regangan (%) = Panjang mula-mula (mm) = Panjang akhir (mm)

Pembebanan tarik dilakukan terus-menerus dengan menambahkan beban sehingga akan mengakibatkan perubahan bentuk pada benda berupa pertambahan panjang dan pengecilan luas permukaan dan akan mengakibatkan kepatahan pada beban. Persentase pengecilan yang terjadi dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:

dimana: A0 Af

= Reduksi penampang (%) = Luas penampang mula-mula (mm2) = Luas penampang akhir (mm2)

Gambar 2.12 Batas elastik dan tegangan luluh 0,2 % Sumber: Wiryosumarto, 2000: 182

35 2.8 Bending Pengujian bending sering dipergunakan untuk menentukan mampu bentuk dari pelat tipis atau kekuatan sambungan las (Surdia, 2005: 21). Pada pengujian bending, bagian atas spesimen akan mengalami tekanan dan bagian bawah akan mengalami tegangan tarik. Kegagalan yang terjadi akibat pengujian bending material akan mengalami patah pada bagian bawah yang disebabkan karena tidak mampu menahan tegangan tarik yang diterima.

Gambar 2.13 Pengujian bending Sumber: Surdia, 2005: 183

Batang uji ditumpu pada R1 dan R2, beban tekuk (P) diberikan ditengah. Tegangan tekuk maksimum () pada titik nol di tengah adalah: ( )

(Surdia, 2005: 183)

dimana : P b d L

= Beban maksimum (N) = Lebar batang uji (mm) = Tebal batang uji (mm) = Jarak antara titik tumpu (mm)

Anda mungkin juga menyukai

  • Hard Hat
    Hard Hat
    Dokumen7 halaman
    Hard Hat
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • LLL
    LLL
    Dokumen1 halaman
    LLL
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • K 3
    K 3
    Dokumen4 halaman
    K 3
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • Keling PW
    Keling PW
    Dokumen21 halaman
    Keling PW
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • Hard Hat
    Hard Hat
    Dokumen21 halaman
    Hard Hat
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • Daya Idikator
    Daya Idikator
    Dokumen22 halaman
    Daya Idikator
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • Jadwal Mengajar Di SMK 1 Muhhammadiyah
    Jadwal Mengajar Di SMK 1 Muhhammadiyah
    Dokumen1 halaman
    Jadwal Mengajar Di SMK 1 Muhhammadiyah
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • Surat Resign
    Surat Resign
    Dokumen2 halaman
    Surat Resign
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • Pemba Has An
    Pemba Has An
    Dokumen2 halaman
    Pemba Has An
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen10 halaman
    Bab Iii
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • Bab Iiisuhu
    Bab Iiisuhu
    Dokumen10 halaman
    Bab Iiisuhu
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • RPP Bubut Kelas XI
    RPP Bubut Kelas XI
    Dokumen3 halaman
    RPP Bubut Kelas XI
    Fadhil Muhammad Idris
    100% (1)
  • LAporan Heat Treatmant3
    LAporan Heat Treatmant3
    Dokumen20 halaman
    LAporan Heat Treatmant3
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen10 halaman
    Bab Iii
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen20 halaman
    Bab Iv
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • RPP Kelas 2 1. Baturai
    RPP Kelas 2 1. Baturai
    Dokumen45 halaman
    RPP Kelas 2 1. Baturai
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • Soal Teknik Pemsinan Paket B
    Soal Teknik Pemsinan Paket B
    Dokumen11 halaman
    Soal Teknik Pemsinan Paket B
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen9 halaman
    Bab I
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • RPP Rantai, Roda Gigi Dan Kopling
    RPP Rantai, Roda Gigi Dan Kopling
    Dokumen16 halaman
    RPP Rantai, Roda Gigi Dan Kopling
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • RPP Kopling 20-22
    RPP Kopling 20-22
    Dokumen9 halaman
    RPP Kopling 20-22
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • BAB I Rev 2 Judul Baru
    BAB I Rev 2 Judul Baru
    Dokumen5 halaman
    BAB I Rev 2 Judul Baru
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • Bab III-metode Penelitian
    Bab III-metode Penelitian
    Dokumen11 halaman
    Bab III-metode Penelitian
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen8 halaman
    Bab V
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • RPP DL de 13 Pertemuan Ke 1-2
    RPP DL de 13 Pertemuan Ke 1-2
    Dokumen12 halaman
    RPP DL de 13 Pertemuan Ke 1-2
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 3 RPP Memproses Buku Besar
    3 RPP Memproses Buku Besar
    Dokumen7 halaman
    3 RPP Memproses Buku Besar
    indra_hk
    Belum ada peringkat
  • Skrip Si
    Skrip Si
    Dokumen2 halaman
    Skrip Si
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • Skrip Si
    Skrip Si
    Dokumen2 halaman
    Skrip Si
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 91 50 1 PB
    91 50 1 PB
    Dokumen6 halaman
    91 50 1 PB
    ميرزا تشودري
    Belum ada peringkat
  • Bab I 1
    Bab I 1
    Dokumen1 halaman
    Bab I 1
    Ruli Adi Nugroho
    Belum ada peringkat