Anda di halaman 1dari 24

TANGGUNG JAWAB HUKUM RUMAH SAKIT

DAN
ASAS MANFAAT

Naskah Publikasi

oleh :
Vita Rahmawati
NIM 09.93.0014

PROGRAM PASCA SARJANA


MAGISTER HUKUM KESEHATAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG
BANDUNG
2010
1

ABSTRAK
Undang-Undang Rumah Sakit, Undang-Undang No. 44/09 melalui Pasal 46,
menentukan adanya tanggung jawab hukum terpusat, di mana Rumah Sakit
bertanggung jawab hukum atas kelalaian yang dilakukan Tenaga Kesehatan di
Rumah Sakit. Pasien yang menderita kerugian akibat kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan, cukup menggugat Rumah Sakit, tanpa perlu tahu hubungan hukum
tenaga kesehatan dengan Rumah Sakit, ini sangat berguna bagi pasien, karena efisien
dan efektif, sehingga timbul pertanyaan: apakah ketentuan tentang tanggung jawab
hukum terpusat Rumah Sakit menyebabkan dipenuhinya asas manfaat bagi pasien?
Penelitian hukum ini menggunakan Metode Penelitian Deskriptif dengan
pendekatan Metode Penelitian Yuridis Normatif, sehingga jenis penelitian yang
digunakan adalah Studi Kepustakaan. Data yang dikumpulkan adalah data kualitatif
dalam bentuk bahan pustaka, yakni bahan hukum primer, sekunder dan tertier.
Rumah Sakit adalah salah satu sarana pelayanan kesehatan, di mana di
dalamnya diselenggarakan pelayanan kesehatan paripurna, yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit terdiri dari
bermacam-macam keahlian dan hubungan hukum antara rumah sakit dengan tenaga
kesehatan pun bermacam-macam pula, ada yang berdasarkan pada hubungan
ketenagakerjaan, dan ada pula yang hanya berdasarkan hubungan kemitraan (dokter
spesialis). Sehingga tanggung jawab hukum Rumah Sakit terhadap kelalaian yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan beragam pula. Pasien selalu mendapatkan kesulitan
tentang siapa yang akan digugat dan kelalaiannya apa? Kini dengan ketentuan
tentang tanggung jawab hukum Rumah Sakit atas seluruh kelalaian tenaga
kesehatan, pasien hanya perlu menggugat Rumah Sakit saja.
Menurut ajaran Utilitarianisme dan Teori Utility, Kemanfaatan merupakan
satusatunya tujuan dari hukum, sehingga hukum yang baik adalah hukum yang
penerapan dan pelaksanaannya mengakibatkan pemanfaatan yang sebesar
besarnya bagi sebanyakbanyaknya manusia, yang disebut sebagai asas manfaat.
Asas manfaat sebagai salah satu asas hukum dinyatakan secara eksplisit di dalam
Pasal 2 UU Praktik kedokteran. Asas Manfaat ini terdiri dari : unsur akibat dari
suatu tindakan ; unsur pemuasan kepentingan umum; dan unsur bagi perlindungan
bagi para pihak melalui kepastian hukum.
Ketentuan tentang tanggung jawab hukum terpusat memudahkan pasien
dalam mengajukan gugatan ganti rugi atas kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan di Rumah Sakit, sehingga dapat dirumuskan jawaban sementara: jika
tanggung jawah hukum Rumah Sakit ditentukan secara terpusat, yakni Rumah Sakit
bertanggung jawab hukum atas seluruh kelalaian tenaga kesehatan di Rumah sakit,
maka dipenuhi asas kemanfaatan bagi pasien.
Kata kunci: Rumah Sakit; Tenaga Kesehatan, Kelalaian di Rumah Sakit; Tanggung
Jawab Hukum Rumah Sakit secara Terpusat; Asas Kemanfaatan

TANGGUNG JAWAB HUKUM RUMAH SAKIT


DAN
2

ASAS MANFAAT
LATAR BELAKANG PENELITIAN
Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang harus
diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya.
Sejalan dengan amanat Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 beserta Perubahannya, telah ditegaskan bahwa
setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan, kemudian dalam Pasal 34
ayat (3) dinyatakan Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Oleh karena itu diperlukan adanya suatu undangundang yang mengatur
dalam bidang kesehatan yang terkait dengan pelayanan kesehatan. UndangUndang
yang dimaksud adalah undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
yang selanjutnya disebut undang-undang Kesehatan dan undang-undang Nomor 44
Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang
Rumah Sakit.
Rumah Sakit mempunyai tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan.
Penyelenggaraan kesehatan oleh Rumah Sakit memerlukan dukungan berbagai
sarana dan prasarana, baik berupa perangkat keras, perangkat lunak serta perangkat
pendukung lainnya.
Rumah Sakit adalah salah satu penyelenggara kesehatan yang berfungsi
sebagai tempat penyembuhan penyakit dan pemulihan penyakit dan memberikan
pelayanan yang paripurna, dan fungsi tersebut memiliki makna bahwa pemerintah
turut bertanggungjawab dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan alasan tersebut pemerintah perlu mengintensifkan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan kesehatan yang dilakukan oleh rumah sakit,
baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah, maupun yang diselenggarakan oleh
swasta sehingga terwujud derajat kesehatan yang setinggitingginya sebagaimana
yang dicitacitakan Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Rumah Sakit
dan dilandasi oleh asas manfaat untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang
optimal yang bersumber pada Pancasila dan UUD45, antara lain asas kemanusian
3

yang adil dan beradab dan keadilan sosial sehingga terwujud masyarakat yang adil,
sehat dan sejahtera.
Rumah sakit merupakan institusi padat modal, padat teknologi dan padat
tenaga kerja, sehingga pengelolaan Rumah Sakit tidak bisa semata-mata sebagai unit
social. Rumah Sakit mulai dijadikan sebagai subyek hukum dan sebagai target
gugatan atas seluruh kelalaian tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit, yang
dinilai merugikan orang lain (pasien). Hal ini menjadikan rumah sakit tidak sebagai
unit sosial semata-mata tetapi menjadi unit sosio ekonomi.
Perubahan

paragdima

ini

jelas

tidak

menguntungkan

bagi

dunia

perumahsakitan, sehingga perlu diwaspadai dan disikapi secara benar. Hubungan


tenaga kesehatan di Rumah Sakit dalam hal ini dokter, dokter gigi dan tenaga
kesehatan lainnya dilihat dari aspek hukum, adalah hubungan antara subyek hukum
dan subyek hukum. Hubungan tersebut adalah hubungan yang obyeknya pelayanan
kesehatan khususnya kuratif. Hubungan hukum ini dikenal dengan istilah transaksi
terapeutik, dari hubungan tenaga kesehatan tersebut terbentuklah apa yang dikenal
sebagai perikatan (verbintenis). Sebagai suatu perikatan, di dalam transaksi
terapeutik terdapat dua pihak, yaitu tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa pelayanan
medik dan pasien sebagai penerima jasa pelayanan medik
Obyek atau prestasi dari hubungan hukum antara tenaga kesehatan dan pasien
dalam perjanjian atau transaksi terapeutik ini adalah berbuat sesuatu yakni berupa
upaya kesehatan ( kuratif ) atau terapi untuk penyembuhan pasien, atau yang dikenal
juga dengan perikatan ikhtiar (inspaning verbintenis).
Rumah Sakit dapat dimintakan tanggung jawab hukumnya (liablity),
tanggung jawab tersebut timbul akibat dari kelalaian yang dibuat bawahannya
(subordinate). Dalam kaitannya dengan pelayanan medik, maka Rumah Sakit dapat
bertanggung jawab atas kelalaian yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang bekerja
dalam kedudukan sebagai subordinate (Vicarious liability), hal ini sesuai dengan
Undang-Undang Rumah Sakit Nomor 44 Pasal 46 tahun 2009 yaitu: Rumah Sakit
bertanggungjawab secara hukum terhadap seluruh kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan di Rumah Sakit .
Pasien dapat menggugat Rumah Sakit dan tenaga kesehatan yang melakukan
suatu kelalaian yang diatur dalam Pasal 1365, Pasal 1366, Pasal 1367 KUHPerdata,
4

dan Pasal 56 UndangUndang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009. Ini berarti hukum
positif di Indonesia telah mengatur, mengenai tanggung jawab perdata bagi
hubungan hukum antara tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit dan pasien,
apabila salah satu pihak merasa dirugikan sebagai akibat dari kelalaiannya.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dirasakan perlu untuk meneliti mengenai
ketentuan tentang tanggung jawab hukum Rumah Sakit terhadap seluruh kelalaian
tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit yang dihubungkan dengan asas
manfaat bagi pasien.
Dalam penulisan tesis ini, hanya dituliskan tentang salah satu tenaga kesehatan
yang bekerja di rumah sakit yaitu Dokter dan Dokter Gigi. Besar harapan hasil
analisis yang dihasilkan dalam penelitian tesis ini, hasil analisisnya yang berupa
hipotesis atau jawaban sementara, dapat digunakan bagi berbagai pihak untuk
memecahkan permasalahan yang diuraikan tersebut.
Penelitian ini diberi judul: TANGGUNG JAWAB HUKUM RUMAH SAKIT
DAN ASAS MANFAAT (Penelitian Yuridis Normatif Terhadap UU Tentang
Kesehatan No. 36/09, UU Praktik Kedokteran No. 29/04, UU rumah Sakit No.
44/09).
PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian mengenai latar belakang penelitian tersebut diatas, dalam
penelitian tesis ini dapat dirumuskan, rumusan masalah, yaitu :
Apakah Ketentuan Tentang Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap
Seluruh Kelalaian Tenaga Kesehatan Menyebabkan Dipenuhinya Asas Manfaat
Bagi Pasien?
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah Metode Penelitian Deskriptif, di
mana penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan deskripsi yang seteliti mungkin
tentang suatu gejala atau objek yang diteliti. Tujuan dari penelitian ini adalah
membuat deskripsi, atau gambaran, secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
unsur unsur, sifat- sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.1
Spesifikasi penelitian deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan secara
1

Lihat Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta, Granit, 2004, hlm. 58.

menyeluruh permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu tanggung
jawab hukum Rumah Sakit dan asas manfaat berdasarkan kerangka pemikiran atau
tinjauan pustaka yang teruji keabsahannya.
Selanjutnya, spesifikasi penelitian deskriptif ini digunakan pula untuk
menganalisis, yaitu mencari sebab akibat dari permasalahan yang terdapat pada
perumusan masalah dan menguraikannya secara konsisten, sistematis dan logis
sesuai dengan perumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu
tanggung jawab hukum Rumah Sakit terhadap seluruh Kelalaian tenaga Kesehatan
dalam hal ini Dokter dan Dokter Gigi yang bekerja di rumah sakit dan asas
kemanfaatan bagi pasien.
TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT DIKAITKAN DENGAN ASAS
KEMANFAATAN
Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit
Dalam Undang undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit pada pasal 46, mengatur tentang Tanggung Jawab Hukum Rumah
Sakit, yaitu :
Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian
yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di
rumah sakit
Hubungan hukum antara pasien dengan rumah sakit termasuk dalam
perjanjian pada umumnya yang terdapat dalam pasal 1234 BW ditentukan
bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu Dalam perjanjian ini kewajiban
rumah sakit adalah untuk melakukan sesuatu sehingga pasien mendapat
kesembuhan, tindakan utamanya memberikan pelayanan kesehatan.
Sebagai suatu perjanjian, maka hubungan antara pasien dengan Rumah Sakit
harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yang ditentukan dalam pasal 1320 BW,
yaitu :
1.

Kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirinya

2.

Kecakapan para pihak untuk membuat perikatan/ melakukan kesepakatan

3.

Suatu hal tertentu

4.

Suatu sebab yang halal

Syarat tersebut bersifat kumulatif sehingga tidak dipenuhinya salah


satu diantara keempat syarat tersebut dapat menyebabkan perjanjian tersebut menjadi
batal.
Tercapainya kesepakatan oleh para pihak yang mempunyai kecakapan
untuk melakukan transaksi terapeutik yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kesusilaan dan kesopanan menimbulkan konsekuensi pada
para

pihak

untuk

memenuhi

kewajibannya

masing

masing.

Dalam

hal

pasien/keluarganya menyetujui advis dokter untuk menjalani perawatan di Rumah


Sakit dan Rumah Sakit bersedia untuk memberikan pelayanan kesehatan yang
diperlukan pasien, maka hak dan kewajiban pasien dan Rumah Sakit timbul sejak
pasien masuk ke Rumah Sakit.
Rumah Sakit melalui tenaga kesehatan yang bekerja didalamnya melakukan
upaya kesehatan sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam rangka mencapai
kesembuhan pasien. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak senantiasa pasien
mendapatkan kesembuhan setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit. Terhadap
segala kegagalan upaya kesehatan ini maka pasien atau atau keluarganya berhak atas
ganti rugi.
Kelalaian adalah sikap kurang hatihati menurut ukuran wajar karena tidak
melakukan apa yang seorang dengan sikap hati hati yang wajar akan melakukan
atau sebaliknya melakukan apa yang seorang dengan sikap hati hati yang wajar
tidak akan melakukan di dalam situasi tersebut.
Seseorang yang karena kelalaiannya sampai merugikan orang lain, dapat
dianggap telah berbuat kesalahan. Jika seorang dokter tidak mencapai normanya
bertanggungjawab untuk kerugian yang ditimbulkan karena tindakannya.
Dalam literatur hukum kedokteran negara anglo saxon, antara lain, pendapat
Taylor, dikatakan bahwa seorang dokter baru dapat dipersalahkan dan digugat
menurut hukum apabila ia sudah memenuhi 4D, yaitu :
a.

Duty ( kewajiban );

b.

Dereliction of that duty ( penyimpangan kewajiban )

c.

Damage ( kerugian ); dan

d.

Direct causal relationship (berkaitan langsung)

Untuk dapat menuntut penggantian karena kelalaian, maka penggugat harus


dapat membuktikan adanya unsur unsur tersebut adalah :
-

Adanya suatu kewajiban pada dokter terhadap pasien,

Dokter itu telah melanggar standar pengobatan yang biasa dipakai,

Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti rugi,dan

Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan yang dibawah standar
umum.

Pertanggungjawaban Kesalahan atau Resiko dibagi menjadi 2:


1. Pertanggung jawaban Kesalahan
Yang dalam pengertian perbuatan melanggar hukum, perbuatan itu dpat
dipersalahkan dan perbuatan yang tidak hati hati itu seyogyanya dapat dihindari
oleh tenaga kesehatan. Pertanggungjawaban kesalahan adalah salah satu bentuk
klasik pertanggungjawaban yang didasarkan atas tiga prinsip:
a) Setiap tindakan yang mengakibatkan kerugian atas diri orang lain berarti
orang

yang

melakukannya

harus

membayar

kompensasi

sebagai

pertanggungjawaban kerugian.
b) Seseorang harus bertanggung jawab tidak hanya karena kerugian yang
dilakukannya dengan sengaja tetapi juga karena kelalaiannya atau kurang
hatihati.
c)

Seseorang harus memberikan pertanggungjawabannya tidak hanya atas


kerugian yang dilakukannya sendiri, tetapi juga karena tindakan orang lain
yang berada dibawah pengawasannya.
Aspek negative dari bentuk pertanggungjawaban ini secara umum

pasien harus mempunyai buktibukti kerugian yang dideritanya. Kadangkadang


sulit bagi pasien untuk membuktikan adanya suatu kegagalan pemenuhan standar
perawatan dan pembuktian atas kerugian yang ditimbulkannya. Lagipula apabila
perikatan itu tidak meliputi perikatan hasil (resultaats) tetapi hanya perikatan usaha
(inspannings), maka sulit untuk membuktikan kesalahan atau kelalaian karena usaha
yang tak sepenuhnya.biasanya pasien tidak mempunyai cukup informasi untuk
pembuktian itu.
2. Pertanggungjawaban Karena Resiko
8

Merupakan kebalikan daripada pertanggungjawaban karena kesalahan.


Dalam pertanggungjawaban karena resiko, pasien hanya perlu menunjukan
hubungan antara orang yang mengakibatkan kerugian dan kerugian yang di
deritanya. Dalam pertanggungjawaban ini biasanya juga dihubungkan dengan
produk produk tertentu (misalnya obat, peralatan medis, atau alat alat lainnya).
Pertanggung jawaban karena resiko harus didasarkan pada suatu ketentuan undang
undang.
Seseorang dapat dimintakan tanggungjawab hukumnya (liable), kalau dia
melakukan kelalaian/kesalahan dan kesalahan/kelalaian itu menimbulkan kerugian.
Orang yang menderita kerugian akibat kelalaian/kesalahan orang itu, berhak untuk
menggugat ganti rugi.
Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah sakit pada pasal 44, mengatur tentang Perlindungan Hukum Rumah Sakit.
Perlindungan hukum bagi Rumah Sakit merupakan hak bagi Rumah Sakit
dalam kedudukan hukumnya sebagai subyek hukum (recht person), yang melakukan
hubungan hukum dengan pihak lain, yaitu pasien. Sebagai salah satu fasilitas
pelayanan kesehatan yang tugas pokoknya melayani masyarakat dalam lingkungan
hukum publik, yang artinya pula membantu pemerintah dalam pelayanan publik,
maka sudah selayaknya Rumah Sakit mendapatkan perlindungan hukum.
Perlindungan hukum yang dirumuskan dalam UndangUndang Rumah Sakit
sebagaimana tersebut diatas, menitik beratkan pada persoalan persetujuan tindakan
kedokteran dan rahasia kedokteran, yang sering kali menjadi pemicu persoalan
hukum antara pasien dengan Rumah Sakit (dokter). Hal penting yang harus dipahami
oleh Rumah Sakit khususnya dokter, bahwa dengan rumusan pasal tadi berarti jika
terjadi malpraktik di Rumah Sakit, maka Rumah Sakit (dokter) bebas dari
pertanggungjawaban hukum. Kedudukan Rumah Sakit sebagai subyek hukum publik
(Rumah Sakit Pemerintah) dan sebagai subyek hukum privat (Rumah sakit swasta).
Hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit dapat terjalin
antara : Rumah Sakit dengan pasien, Rumah Sakit dengan tenaga kesehatan dibawah
tanggung jawabnya, dan Rumah Sakit dengan pihak ketiga yang ada hubungannya
dengan pasien.Hubungan hukum ini berimplikasi pada penetapan hak dan kewajiban
masing masing.
9

Seseorang dapat dimintakan tanggung jawab hukumnya (liable), kalau dia


melakukan kelalaian/kesalahan dan kesalahan/kelalaian itu menimbulkan kerugian.
Orang yang menderita kerugian akibat kelalaian/kesalahan orang itu, berhak untuk
menggugat ganti rugi. Pasien dapat menggugat tanggungjawab hukum kedokteran
(medical liability), dalam hal tenaga kesehatan berbuat kesalahan/kelalaian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 dan Pasal 1366, 1367 KUHPerdata.
Menurut Pasal 1365, disebutkan bahwa :
setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.
Jika seorang dokter tidak memenuhi syarat syarat yang ditentukan diatas,
maka ia dapat dianggap telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
Melanggar ketentuan yang ditentukan yang ditentukan oleh undangundang karena
tindakannya bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hatihati yang
seharusnya dapat diharapkan daripadanya dalam pergaulan sesama warga
masyarakat.
Namun tidak saja terhadap suatu perbuatan yang dilakukan, tetapi juga
terhadap suatu kelalaian yang menyebabkan kerugian kepada orang lain dapat pula
dimintakan penggantian kerugian. Hal ini dirumuskan di dalam pasal 1366
KUHPerdata.
Adapun Pasal 1366 KUHPerdata berbunyi :
Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang ditimbulkan
karena suatu tindakan, tetapi juga diakibatkan oleh kerugian yang disebabkan
kelalaian atau kurang hati-hatinya.
Selain itu seseorang juga bertanggungjawab terhadap tindakan atau kelalaian/
kurang hati hati dari orang orang yang berada di bawah perintahnya. Hal ini
dirumuskan di dalam pasal 1367 yang berbunyi :
Seseorang tidak saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang ditimbulkan
oleh dirinya sendiri, tetapi juga bertanggungjawab terhadap tindakan dari
orang orang yang berada dibawah tanggungjawabnya atau disebabkan
barang barang yang berada dalam pengawasannya

10

Pasal 1365 KUHPerdata tersebut mengatur mengenai kerugian yang


ditimbulkan karena kesalahan. Sedangkan Pasal 1366 KUHPerdata mengatur
mengenai kerugian yang ditimbulkan karena kelalaian atau kealpaan.
UndangUndang Kesehatan Nomor 36

Tahun 2009 Pasal 58 ayat 1

membahas tentang kerugian yang disebabkan kelalaian dari tenaga kesehatan


Pasal 58 ayat 1 :
Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang tenaga
kesehatan dan atau penyelenggaraan kesehatan yang menimbulkan kerugian
akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya.
Subyek hukum yang terkait dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit. Oleh
karenanya di samping tunduk pada ketentuan hukum, Rumah Sakit harus pula
tunduk pada ketentuan etik organisasi.
Di dalam melaksanakan pekerjaan di Rumah Sakit tenaga kesehatan
berkewajiban melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar kompetensi dan
standar operasional prosedur. Namun dalam melakukan pekerjaan tersebut, tenaga
kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit sering di hadapkan dengan tindakan dari
tenaga kesehatan yang berbuat kelalaian atau kurang hatihati yang pada akhirnya
menyebabkan tuntutan hukum pada tenaga kesehatan tersebut yang tidak bisa
menjaga keselamatan pasien. Tuntutan hukum dari pasien tersebut bukan hanya
kepada tenaga kesehatan saja tetapi pada institusi tempat tenaga kesehatan tersebut
bekerja dalam hal ini Rumah Sakit. Hal ini sesuai dengan UU Rumah Sakit No. 44
pasal 46: Rumah Sakit Bertanggung Jawab secara hukum terhadap kerugian yang
ditimbulkan atas Kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di Rumah Sakit .
Tanggung jawab kesehatan di dalam Rumah Sakit menurut doktrin
kesehatan, yaitu:
1. Personal Liability adalah tanggung jawab yang melekat pada individu seseorang.
Artinya, siapa yang berbuat dialah yang bertanggung jawab.
2. Strict Liability adalah tanggung jawab yang sering disebut sebagai tanggung
jawab tanpa kesalahan (liability without fault). Mengingat seseorang harus
bertanggung jawab meskipun tidak melakukan kesalahan apa-apa, bersifat sengaja
(intentional), kecanggungan (tactlessness), atau pun kelalaian (negligence). Pada
tanggung jawab ini biasanya berlaku product gold atau article of commerce, yang
11

mana produsen harus membayar ganti rugi atas terjadinya malapetaka akibat
produk yang dihasilkan, kecuali produsen telah memberikan peringatan akan
kemungkinan terjadinya resiko tersebut.
3. Vicarious Liability adalah tanggung jawab yang timbul akibat kesalahan yang
dibuat oleh bawahanya (subordinate). Dalam kaitannya dengan pelayanan medis,
maka Rumah Sakit (employer) dapat bertanggung jawab atas kesalahan yang
dibuat oleh tenaga kesehatan yang bekerja dalam kedudukan sebagai subordinate.
4. Responden Liability adalah tanggung jawab tanggung renteng, subjek tanggung
renteng tergantung dari pola hubungan kerja antar tenaga kesehatan dan Rumah
Sakit, yang mana pola hubungan tersebut juga akan menentukan hubungan
terapeutik dengan pihak pasien yang berobat di Rumah Sakit. Pola hubungan
antara health care provider and health care receiver dapat dirinci sebagai berikut:
a) Hubungan Pasien dan Rumah sakit
b) Hubungan Penanggung pasien dan Rumah sakit
c) Hubungan pasien dan dokter.
5. Corporate Liability adalah Tangung jawab yang berada pada pemerintah dalam
hal ini kesehatan menjadi tanggung jawab menteri kesehatan. Misalnya.
Lambatnya penanganan kasus flu burung disuatu daerah Karena tidak tersedianya
vaksin. Obat.
6. Rep ipso Liquitor Liability tanggung jawab ini hampir sama dengan strict liability
akan tetapi tanggung jawab rep ipso liquitor ini akibat tanggung jawab yang
diakibatkan perbuatan melebihi wewenang atau dengan kata lain perbuatan
lancang.
Pengaturan hukum Rumah Sakit, ditujukan untuk mewujudkan pelayanan
kesehatan yang bermutu dan terstandar, sehingga perlindungan terhadap hak pasien
maupun Sumber daya yang ada di Rumah Sakit dapat di jamin dalam rangka
menyelenggarakan pelayanan kesehatan untuk dapat mewujudkan derajat kesehatan
yang setinggitingginya bagi masyarakat, dengan tujuan akhir kesejahteraan
masyarakat.

ASAS KEMANFAATAN
12

Kesejahteraan sosial yang berdasarkan UUD45 mempunyai fungsi yang


sangat penting dan mendasar. Kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat merupakan
perangkat, mekanisme dan penjamin bagi terwujudnya keadilan sosial/Keadilan
sosial yang dimaksudkan adalah terlindunginya hak rakyat baik di bidang bidang
sosial,ekonomi, politik, serta terjamin dan terciptanya keamanan dan perdamaian
serta integritas dan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia.
Konsep keadilan sosial di Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari sudut
falsafah pancasila.Keadilan sosial dalam sudut pandang pancasila, dapat dipahami
dari kedudukan Pancasila sebagai sumber tertib hukum yang tertinggi.
Berdasarkan beberapa teori sosial yang diintroduksi dapat dipahami, bahwa
pengaturan hukum dalam pelayanan kesehatan merupakan salah satu bentuk
pelayanan sosial yang tidak lepas dari pengaruh ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Asas manfaat dalam hukum ini adalah bahwa hukum bertujuan
menjamin kebahagiaan sebanyak banyaknya dalam hal ini adalah manfaat yang
diperoleh pasien atas pelayanan medik yang dilakukan tenaga kesehatan yang
bekerja di Rumah Sakit, Hukum bertujuan untuk mencapai kemanfaatan, karena itu
hukum yang baik adalah hukum yang membawa kemanfaatan bagi manusia.
Kemanfaatan menurut teori utilitas di sini dapat diartikan juga dengan kebahagiaan
(happiness). Jadi, baik buruknya suatu hukum bergantung pada apakah hukum itu
memberikan sebesarbesarnya kebahagiaan atau tidak bagi sebanyakbanyaknya
manusia.Oleh karena itu, agar suatu aturan hukum itu dapat bermanfaat, harus
memenuhi unsur - unsur dari asas manfaat :
1. Akibat Dari Suatu Tindakan
Bentham mendefinisikan utilitas sebagai prinsif yang menyetujui atau tidak
menyetujui tindakan apapun juga.Tindakan yang benar adalah tindakan yang
meningkatkan kebahagiaan, sedangkan tindakan yang salah adalah tindakan yang
menghilangkan kebahagiaan.
2. Pemuasan Kepentingan Umum
Sesuatu dikatakan meningkatkan kepentingan ketika ia cenderung menambah
jumlah total kesenangannya, atau bisa juga dikatakan mengurangi jumlah total
penderitaannya.
3. Perlindungan bagi para pihak melalui kepastian hukum
13

Aturan hukum memang penting dalam usaha memperoleh manfaat, namun aturan
hukum harus membatasi dirinya, yakni untuk memastikan bahwa orang dapat
mengejar manfaat bagi diri mereka sendiri.Menurut teori utilitas, tujuan hukum
yang paling penting dan utama adalah untuk mencapai kemanfaatan.Karena itu,
kemanfaatan merupakan satu satunya tujuan dari hukum.
ANALISIS HUBUNGAN TANGGUNG JAWAB HUKUM RUMAH SAKIT
DAN ASAS KEMANFAATAN
Rumah Sakit adalah salah satu penyelenggara kesehatan yang berfungsi
sebagai tempat penyembuhan penyakit dan pemulihan penyakit, dan fungsi tersebut
memiliki makna bahwa pemerintah turut bertanggungjawab dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Rumah Sakit merupakan institusi padat
modal, padat teknologi dan padat tenaga kerja sehingga pengelolaan Rumah Sakit
tidak bisa semata-mata sebagai unit sosial, sehingga Rumah Sakit mulai dijadikan
sebagai subyek hukum dan sebagai target gugatan atas seluruh kelalaian tenaga
kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit,yang dinilai merugikan orang lain (pasien),
hal ini menjadikan Rumah Sakit tidak sebagai unit sosial sematamata tetapi menjadi
unit sosio ekonomi.
Perubahan

paragdima

ini

jelas

tidak

menguntungkan

bagi

dunia

perumahsakitan sehingga perlu diwaspadai dan disikapi secara benar. Hubungan


Tenaga kesehatan di Rumah Sakit dalam hal ini dokter dan pasien dilihat dari
aspek hukum, adalah hubungan antara subyek hukum dan subyek hukum. Hubungan
tersebut adalah hubungan yang obyeknya pelayanan kesehatan khususnya kuratif.
Hubungan hukum ini dikenal dengan istilah Transaksi Terapeutik.Dari hubungan
tenaga kesehatan tersebut

terbentuklah apa yang dikenal sebagai perikatan

(verbintenis). Sebagai suatu perikatan, didalam transaksi terapeutik terdapat dua


pihak, yaitu tenaga kesehatan sebagai pemberi pelayanan medik dan pasien sebagai
penerima pelayanan medik
Obyek atau prestasi dari hubungan hukum antara tenaga kesehatan dan pasien
dalam perjanjian atau transaksi terapeutik ini adalah berbuat sesuatu yakni berupa
upaya kesehatan (kuratif) atau terapi untuk penyembuhan pasien, atau yang dikenal
juga dengan perikatan ikhtiar (inspaning verbintenis).
14

Adakalanya dalam hubungan tenaga kesehatan dan pasien tersebut,


prestasi yang berupa pelayanan medis terhadap pasien tersebut menimbulkan suatu
kerugian yang diderita oleh pasien.Apabila dalam hubungan ini pasien merasa
dirugikan, maka pasien dapat menggugat ganti kerugian bukan hanya pada tenaga
kesehatan tetapi juga kepada rumah sakit tempat tenaga kesehatan tersebut bekerja.
Rumah Sakit dapat dimintakan tanggung jawab hukumnya (liable),
tanggung jawab tersebut timbul akibat dari kesalahan yang dibuat bawahannya
(subordinate). Dalam kaitannya dengan pelayanan medis, maka Rumah Sakit dapat
bertanggungjawab atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang bekerja
dalam kedudukan sebagai subordinate (Vicarious liability). Sesuai dengan Undang
Undang Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009 Pasal 46 :
Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian
yang ditimbulkan atas kelalaian oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit .
Selain Rumah Sakit dapat bertanggung jawab hukum terhadap
kesalahannya, Rumah Sakit juga dalam tanggung jawab hukumnya melakukan
tanggung renteng (Respon Liability), subjek tanggung renteng tergantung dari pola
hubungan kerja antar tenaga kesehatan dalam hal ini dokter dan Rumah Sakit.
Dikenallah di Rumah Sakit swasta ada tenaga dokter spesialis tetap
atau purna waktu yang merupakan karyawan dari rumah sakit itu sendiri dan dokter
spesialis tamu atau paruh waktu yang berasal dari luar Rumah Sakit bersangkutan.
Kedua golongan dokter ahli ini memiliki hak, kewajiban termasuk sistem keuangan
yang berbeda, di mana di dalamnya ada suatu perjanjian kerja yang ditandatangani
para pihak, yang mengatur segala sesuatunya, dokter sebagai tenaga fungsional,
selain merupakan bagian dari karyawan suatu institusi Rumah sakit, aktifitas klinis
dan mekanisme berinteraksi antar teman sejawat
kesepakatan

kelompok

akan diatur oleh aturan

seprofesi atau disebut dengan SMF (Staf Medis

Fungsional).
Secara individu, seorang dokter terikat dengan etika dan standar profesi
masing-masing ketika ia harus menangani pasien. Namun kedudukannya jika
dikaitkan institusi Rumah Sakit, seorang dokter fungsional diwajibkan berjalan di
bawah rambu-rambu. Aturan Tenaga Medis Rumah Sakit (Medical Staff by Law).

15

Penghargaan terhadap kesembuhan pasien akan lebih ditujukan kepada


dokter yang merawatnya dibandingkan dengan jasa fasilitas Rumah Sakit yang
diterima. Sedangkan di sisi lain untuk pelampiasan ketidakpuaasan seorang pasien,
lebih banyak tertuju kepada institusi Rumah Sakit dibanding dokternya. Dan
memang dalam hal keluhan pasien terhadap pelayanan medis, undang-undang
menyebutkan bahwa keluhan ini akan menjadi tanggungjawab pihak rumah sakit,
walaupun sengketa medis yang terjadi bersumber dari dokter yang merawat pasien
tersebut.
Hubungan kerja dokter dan Rumah Sakit yang dituangkan dalam perjanjian
kerja yang ditanda tangani para pihak, dimana akan menentukan hubungan
terapeutik dengan pihak pasien yang berobat di Rumah Sakit
Asas manfaat dalam hukum ini adalah bahwa hukum bertujuan
menjamin kebahagiaan sebanyak banyaknya dalam hal ini adalah manfaat yang
diperoleh pasien atas pelayanan medik yang dilakukan tenaga kesehatan yang
bekerja di Rumah Sakit dalam hal ini pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh
dokter. Hukum bertujuan untuk mencapai kemanfaatan, karena itu hukum yang baik
adalah hukum yang membawa kemanfaatan bagi manusia. Berdasarkan ajaran
Utilitarianisme dan teori utility serta pengertian asas manfaat tersebut, maka dapat
ditemukan beberapa unsur - unsur dari asas manfaat, yaitu :
Akibat Dari Suatu Tindakan, Pemuasan Kepentingan Umum,Perlindungan
para pihak melalui kepastian hukum. Asas manfaat sebagai asas hukum dinyatakan
secara eksplisit di dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor.29 Tentang Praktik
Kedokteran .Disebutkan bahwa praktik kedokteran harus memberikan manfaat yang
sebesarbesarnya

bagi

kemanusiaan

dalam

rangka

mempertahankan

dan

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.


Pelayanan medik oleh dokter di Rumah Sakit telah memenuhi unsur ini,
karena kebahagiaan dari masingmasing pihak yang terlibat dalam pelayanan
tersebut tidak ada yang berkurang.
Memang suatu dilema jika keadaan ini terjadi, di satu sisi dokter
berkewajiban menolong orang yang membutuhkan pertolongan sesuai apa yang
sudah diucapkan dalam sumpah dokter serta kode etik yang menyebutkan harus
selalu memberi bantuan pada orang yang membutuhkan pertolongan medis. Tapi
16

disisi lain bilamana dokter melakukan pelanggaran atau kelalaian berarti melakukan
perbuatan melawan hukum dan akan diberi sanksi sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.Kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan dalam hal ini
adalah dokter, yang menyebabkan kerugian pada pasiennya, tidak hanya
menyebabkan tuntutan kepada dokter tersebut tetapi juga pada institusi tempat
dimana dokter tersebut bekerja.
Pola Pasien dapat menggugat Rumah Sakit dan tenaga kesehatan yang
melakukan suatu kelalaian / kesalahan yang diatur dalam pasal 1365, pasal 1366,
dan pasal 1367 KUHPerdata, UndangUndang Kesehatan nomor 36 tahun 2009
pasal 58 ayat 1 membahas tentang kerugian yang disebabkan kelalaian oleh tenaga
kesehatan.
Ini berarti hukum positif di Indonesia telah mengatur, mengenai tanggung
jawab perdata bagi hubungan hukum antara tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah
Sakit dan pasien, apabila salah satu pihak merasa dirugikan sebagai akibat dari
kesalahan atau kelalaiannya.
Pengaturan hukum Rumah Sakit, ditujukan untuk mewujudkan pelayanan
kesehatan yang bermutu dan terstandar, sehingga perlindungan terhadap hak pasien
maupun Sumber daya yang ada di Rumah Sakit dapat di jamin dalam rangka
menyelenggarakan pelayanan kesehatan untuk dapat memenuhi asas manfaat dalam
mewujudkan derajat kesehatan yang setinggitingginya bagi masyarakat, dengan
tujuan akhir kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan sosial.Sehingga terwujud
pula tujuan negara yakni tercapainya masyarakat sejahtera lahir dan bathin, sosial
dan ekonomi.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit
a. Rumah Sakit merupakan Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna, meliputi upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif.
b. Rumah Sakit pada mulanya didirikan dengan misi keagamaan dan sosial. Sebagai
suatu lembaga karitas, maka dikenal istilah doktrin of charitable community ,
dimana Rumah Sakit tidak untuk mencari keuntungan melainkan untuk tujuan
kemanusiaan.Rumah Sakit sebagai lembaga yang komplek dituntut untuk
17

mengikuti perkembangan dengan segala konsekuensinya. Perubahan berbagai


faktor disekelilingnya, mempengaruhi tugas dan peran Rumah Sakit, sehingga
Rumah Sakit tidak semata mata misi sosial saja tapi sebagai unit sosio ekonomi
juga.
c. Rumah Sakit sebenarnya bukanlah suatu badan hukum, sebab Rumah Sakit
merupakan suatu kegiatan yang dipimpin oleh direktur, sedangkan yang
merupakan badan hukum adalah pemilik Rumah Sakit yang bersangkutan
(pemerintah, yayasan, perkumpulan).Dalam hal pelayanan Rumah Sakit,
Perawatan Pengobatan terhadap pasien, Rumah Sakit bertanggung jawab atas
segala yang terjadi di dalamnya ( doktrin corporate liability ).
d. Hubungan antara dokter dan pasien dapat berupa hubungan medis dan hubungan
yang memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang ilmu kedokteran kepada
orang awam yang dalam keadaan sakit.
e. Sedangkan hubungan hukum antara dokter dan pasien adalah berbentuk
perikatan ikhtiar yang bersumber dari perjanjian, yang di dalamnya masing
masing pihak memiliki hak dan kewajiban. Pasien adalah pihak penerima jasa
pelayanan kesehatan dan dokter adalah pemberi jasa pelayanan kesehatan dengan
prestasi untuk berbuat sesuatu yakni mengupayakan kesembuhan pasien.
f. Kesembuhan pasien akan lebih banyak ditujukan pada dokter yang merawatnya
dibandingkan dengan jasa fasilitas Rumah Sakit yang diterima, sedangkan
pelampiasan ketidakpuasan apabila dokter melakukan wanprestasi banyak tertuju
pada institusi Rumah Sakit sebagai sub-ordinat. dibanding dengan dokternya
sendiri. Hal ini sesuai dengan Pasal 46 Undang-Undang No.44 Tentang Rumah
Sakit.Sehingga hubungan hukum ini berimplikasi pada penetapan hak dan
kewajiban masing masing dalam hal ini dokter dan Rumah Sakit.
g. Kelalaian adalah sikap kurang hatihati menurut ukuran wajar untuk tidak
melakukan apa yang seorang dengan sikap hatihati yang wajar akan melakukan
atau sebaliknya melakukan apa yang seorang dengan sikap hatihati yang wajar
tidak akan melakukan dalam situasi tersebut
h. Terhadap segala kegagalan upaya kesehatan yang diakibatkan kelalaian atau
kesalahan tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya memberikan pelayanan
kesehatan, maka pasien atau keluarganya berhak atas ganti rugi berdasarkan
18

ketentuan Pasal 58 Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan


pasal 1365, 1366, 1367 KUHPerdata..
2. Asas Kemanfaatan
a. Nilai dasar keadilan sosial yang terkandung pada Pancasila merupakan dasar
yang terkait dalam pelayanan kesehatan yang paripurna. Asas Pancasila
merupakan landasan atau asas umum, hal ini dapat diketahui dari pengaturan
pelayanan kesehatan adalah terwujudnya derajat kesehatan yang setinggitingginya, bersumber dari hak dasar manusia yaitu hak atas kesehatan.
b.

Menurut ajaran utilitarianisme dan teori utility, kemanfaatan merupakan satusatunya tujuan dari hukum, sehingga hukum yang baik adalah hukum yang
penerapan dan pelaksanaannya mengakibatkan kemanfaatan sebesar-besarnya
bagi sebanyakbanyaknya manusia.Jadi hukum yang bermanfaat adalah hukum
yang selalu ditaati oleh para anggota masyarakat dengan penuh kerelaan tanpa
perlu dipaksakan dengan sanksi,karena memang masyarakat merasakan manfaat
dari kepatuhan tersebut.

c.

Asas hukum ini dimengerti sebagai pikiran pikiran dasar yang terdapat di
dalam dan di belakang sistem ( tata ) hukum, masing masing dirumuskan
dalam aturan aturan perundang undangan dan putusan putusan hakim,
yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan putusan putusan individual
tersebut dipandang sebagai penjabarannya.Karena itu asas hukum adalah dasar
yang merupakan dasar pikiran atau ratio legis dari kaidah hukum.

d.

Asas manfaat sebagai asas hukum dinyatakan secara eksplisit di dalam Pasal 2
Undang-Undang No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Asas manfaat
ini menurut penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Praktik Kedokteran harus
memberikan manfaat yang sebesar besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka
mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

e.

Berdasarkan ajaran Utilitarianisme dan teori utility serta pengertian asas


kemanfaatan tersebut, maka dapat ditemukan beberapa unsurunsur dari asas
manfaat ini,yang terdiri dari : unsur akibat dari suatu tindakan;unsur pemuasan
kepentingan umum; dan unsur perlindungan bagi para pihak melalui kepastian
hukum.sehingga upaya pelayanan kesehatan tersebut dapat menyebabkan
terpenuhinya asas manfaat bagi pasien.
19

3. Tanggung

Jawab

Hukum

Rumah

Sakit

Dikaitkan

Dengan

Asas

Kemanfaatan
a. Tujuan dari penyelenggaraan Rumah Sakit adalah untuk menciptakan pelayanan
kesehatan yang optimal bagi masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan, di
mana fungsi sosial Rumah Sakit menjadi fungsi yang harus diemban oleh semua
Rumah Sakit dan mementingkan keselamatan pasien.
b. Hukum melalui Pasal 46 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009, menetapkan
adanya tanggung jawab hukum Rumah Sakit atas kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan di Rumah Sakit, sehingga pihak penerima jasa pelayanan
kesehatan yang menderita kerugian akibat kelalaian dalam pelayanan kesehatan
mempunyai kepastian hukum dengan hanya perlu menggugat Rumah Sakit, tanpa
perlu tahu siapa yang berbuat kelalaian, konstruksi pertanggungjawaban hukum
ini dikenal sebagai vicarious liability.
c. Asas Kemanfaatan adalah konstruksi abstrak dari keadilan yang juga
memperhatikan kepastian hukum, di mana tujuan dari hukum adalah memberikan
kebahagiaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak dengan unsur-unsur
akibat dari suatu tindakan; unsur pemuasan kepentingan umum; dan unsur
perlindungan bagi para pihak melalui kepastian hukum.
d. Sehingga dapat dirumuskan jawaban sementara dari penelitian ini: juga
ditentukan tanggung jawab hukum Rumah Sakit, maka dipenuhi asas
kemanfaatan bagi pasien
B. SARAN
1.

Agar Rumah Sakit yang kini menjadi majikan dari seluruh tenaga kesehatan
yang bekerja di rumah sakit membuat Hospital By Laws dan Medical Staf By
Law yang merupakan suatu regulasi internal yang berupa ramburambu aturan
tenaga medis di Rumah Sakit , karena seluruh tenaga kesehatan yang berkerja di
rumah sakit perlu mempunyai pedoman yang baku sehingga kejadian kejadian
yang tidak diharapkan dapat diminimalisir.

2.

Agar Rumah Sakit secara berkala melakukan pemantauan dan pengawasan


terhadap kinerja dari tenaga kesehatan dan berani untuk memberikan sanksi
teguran sampai dengan pemberhentian bagi tenaga kesehatan yang bekerja di
bawah standar profesi, karena membiarkan kemungkinan terjadi kelalaian yang
20

dilakukan tenaga kesehatan yang di bawah standar profesi bukan hanya


merugikan pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan juga Rumah Sakit
sendiri akan mendapatkan citra yang buruk di mata masyarakat .
3.

Agar Rumah Sakit selalu memberikan informasi kepada pasien/keluarga pasien


sehingga pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan dapat membedakan
antara kelalaian medik dan resiko medik, karena gugatan dari pasien yang tidak
mendasar dari pasien karena ketidaktahuannya, dapat merugikan Rumah Sakit
bukan saja dari segi materi juga imateriil, antara lain berupa pencemaran nama
baik Rumah Sakit, ketidakpercayaan masyarakat, terkuras energi menghadapi
gugatan pasien.

4.

Agar Rumah Sakit melakukan Informed Consent dan Rekam Medik yang baik.

5.

Agar Pasien mengerti mengenai haknya untuk menggugat Rumah Sakit dimana
gugatan pasien tersebut bertujuan untuk perbaikan kearah yang lebih baik bagi
Rumah Sakit tersebut, karena posisi pasien yang lemah dan tidak tahu siapa
yang digugat sehingga mendapatkan kemanfaatan yang besar dari pasien.

6.

Adanya beban insurance liability bagi Rumah Sakit agar tidak terjadi
kegoncangan bila terjadi tuntutan pada Rumah Sakit.

DAFTAR PUSTAKA

21

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu Kajian Filosofis dan Dosiologis),
Jakarta, Tahun 1996
Anny Asfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, buku ke II
Soerjono Soekanto, Mengenal sosiologi Hukum, Bandung, Tahun 1986
Azrul Azwar, Pengantar Administrasi Kesehatan, edisi III, Jakarta, Tahun 1996
B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung, Tahun 2000.
Benyamin Lumenta, Hospital (Citra,Peran, dan Fungsi), Kanisius, Yogyakarta,
Tahun 1989.
C.F.G. Sunaryati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Bandung, Tahun
1991.
Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis di
Rumah sakit, Bandung, Tahun 2006.
Fred N.Kerlinger, Asas Asas Penelitian Behavioral diterjemahkan oleh : Landung
R. Simatupamg, Yogyakarta, Tahun 1992.
Hilman Hadi Kusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja dan Skripsi Ilmu
Hukum, Bandung, Tahun 1995.
H. Hadari Nawawi & H.M.Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial,
Yogyakarta, Tahun 1995.
Henry J.Scmandt, Filsafat politik, (Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno
Sampai Zaman Modern) Diterjemahkan oleh : Ahmad Baidlowi & Imam
Bahehaqi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Tahun 2002.
Ian Shapiro, Asas Moral Dalam politik diterjemahkan oleh : Theresia Wuryantari &
Trisno Sutanto, Jakarta, Tahun 2006.
Iping Suripto Widjaja, Hospital by Law dan Asas Kepastian Hukum, Tesis
Program Studi Magister Hukum Kesehatan,Program Pascasarjana Unika
Soegijapranata, Semarang, Tahun 2008.
James Rachel, Filsafat Moral diterjemahkan oleh : A. Sudiarja, Kanisius,
Yogyakarta, Tahun 2004.
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya,
Tahun 2006.
Jeremy Bentham, Teori Perundang Undangan diterjemahkan oleh : Nurhadi,
Nusamedia & Nuansa, Bandung, Tahun 2006.
22

J.J.J.M.Wuisman, Penelitian Ilmu Ilmu Sosial Jilid I, Jakarta, Tahun 1993.


Sedarmayanti dan Syarifuddin Hidayat, Metodologi Penelitian, Bandung, Tahun
2002.
Koentjaraningrat, Metode Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, Tahun Tahun
1977.
Konsil Kedokteran Indonesia, Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien, KKI,
Jakarta, Tahun 2006.
Laksono, Aspek Strategis Manajemen Rumah Sakit, FK UGM, Yogyakarta,
Tahun 2005.
Mahkamah Agung RI Jilid I, Februari, Uraian Teoritis Tentang Medical
Malpractice, Jakarta, Tahun 1992.
Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Bandung,
Tahun 2001.
Moh. Nazir, Metode Penelitian, , Ghalia Indonesia, Jakarta, Tahun 1985.
Nusye Ki Jayanti, Penyelesaian Hukum DalamMalpraktik Kedokteran,
Yogjakarta, Tahun 2009.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Jakarta, Tahun 2005.
Purwanto, Makalah ilmiah Manajemen Rumah Sakit UGM, Yogyakarta, Tahun
1996.
Rianto Adi, Metodelogi PenelitianSosial dan Hukum, Granit, Jakarta, Tahun 2004.
Roeslan saleh, Pembinaan Cita Hukum dan penerapan Asas asas Hukum
Nasional dalam Majalah Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 1995
BPHN Departemen Kehakiman, hlm 54
Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagad Ketertiban, Jakarta, Tahun 2006.
Shapiro, Asas Moral Dalam Politik diterjemahkan oleh : Theresia Wuryantari &
Trisno sutanto, Jakarta, Tahun 2006.
SoetandyoWignjosoebroto, Hukum (Paradigma Metode dan Dinamika), Jakarta,
Tahun 2002.
Soekidjo Notoatmodjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Edisi I, Jakarta, Tahun 2010.
Sonny keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan (Sebuah Tinjauan Filosofis),
Kanisius, Yogyakarta, Tahun 2001.
23

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar), Liberty


Yogyakarta, Tahun 2000.
Talizidhuhu Ndraha, Research (Teori Metodologi Administrasi), Jakarta, Tahun
1985.
Universitas Indonesia, Perencanaan Sdm Rumah Sakit, Teori Metoda dan
Formula. Jakarta, Tahun 2000.
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, Bandung, Tahun 2001.
Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.

24

Anda mungkin juga menyukai