Kalau roboh kota melaka papan di jawa kami tegakkan tapi hutan hutan yang segera melebat di dalam dongeng tak buat teduh cinta kami kepadanya bahkan kayu-kayan yang membesar di tengah cerita menutup kisah untuk bersama
Kalau roboh kota melaka Papan di jawa kami tegakkan tapi hutan-hutan yang segera membuncah di dalam ingatan tak bentangkan sayang kami kepadanya bahkan lahan lahan yang meluas di tengah kenangan menolak impian untuk bersama
Kini kami tegakkan papan itu di awan pada gerak yang tak lagi dianggap berkhianat setidak tidaknya kami selalu waspada bahwa perubahanlah yang paling abadi menghantar semesta ke batas batas langit bergumpal dengan kesejukan meninggi menderukan hujan di tengah panas
Kaki kami akan terpacak ke lembah-lembah dengan langkah membesar ke bukit-bukit mata kami melautkan gelora sukma melantunkan doa doa sayap pada setiap jasad yang mengucap ungkap
Rupanya kita hanya bisa saling memandang itu pun kami ragukan mata kalian yang membayang usia telah mengaburkan penglihatan jauh dan dekat kehilangan sasaran
JEMBATAN Karya : Sutardji Calzoum Bachri
Sedalam dalam sajak takkan mampu menampung air mata bangsa Kata kata telah lama terperangkap dalam basa basi dalam ewuh pakewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna. Maka aku pergi menghadap pada wajah berjuta. Wajah orang jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota. Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam para pemulung yang memungut remah remah pembangunan. Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase Indah di berbagai plaza. Wajah yang diam diam menjerit melenging melolong dan mengucap tanah air kita satu, bangsa kita satu bahasa kita satu! bendera kita satu! Tapi wahai saudara satu bendera kenapa kini ada sesuatu yang terasa beda di antara kita sementara jalan jalan mekar dimana mana menghubungkan kota-kota, jembatan jembatan tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang di antara kita? Di lembah lembah kusam pada puncak tulang gersang dan otot linu mengerang mereka pancangkan koyak moyak bendera hati dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu mengucapkan kibarannya. Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri air mata kami.
LAGU PUTIH PULAU HIJAU 1 Karya : Willy Siswanto
Pulau ini masihlah rahim ibu kita, saudara, meskipun air matanya tanpa suara, dan wajahnya lunglai pupus warna
Tetapi di dekapannya, anak anak akan tetap berlarian menangkap ikan ikan hiasan, dan memecah bayang matahari di pendaran lingkaran riak laut menari pagi.
Di luas samuderanya, nelayan akan tetap sederhana, mendayung perahu kayu kembali ke huma, dan membelah redup senja jingga hingga purna, mengantar hati terbuka di meja keluarga.