Anda di halaman 1dari 38

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Perawatan ortodontik merupakan salah satu bentuk perawatan dalam
bidang kedokteran gigi yang berperan penting untuk memperbaiki susunan
gigi sehingga dapat meningkatkan kemampuan mastikasi, fonetik, serta
estetik.
1
Pada dasarnya perawatan ortodontik adalah suatu upaya yang
diberikan untuk mengadakan koreksi terhadap struktur dentofasial yang
sedang tumbuh atau sudah dewasa. Upaya yang diberikan antara lain
menggerakkan gigi atau mengoreksi malrelasi dan malformasi struktur
dentokraniofasial. Tujuannya adalah untuk memperoleh oklusi yang optimal
dan harmonis, baik letak maupun fungsinya.
2

Perawatan ortodontik terutama didasari oleh pertumbuhan dan
perkembangan oklusi serta tulang kraniofasial. Pada masa pertumbuhan dan
perkembangan terjadi perubahan palatum pada arah sagital, lateral dan
vertikal, mulai dari prenatal hingga gigi geligi erupsi.
2
Adanya
ketidakseimbangan arah pertumbuhan akan menyebabkan perubahan yang
berakibat ketidaksesuaian antara ukuran palatum dan relasi gigi yang dapat
menyebabkan terjadinya maloklusi.
3
2

Tulang maksila terhubung dengan tulang palatum melalui sutura yang
memberi kesempatan pada tulang untuk berkembang dan berkontak dengan
tulang disekitarnya. Sistim sutura membuat maksila dan palatum bergerak ke
depan dan ke bawah terhadap basis kranium anterior selama masa
pertumbuhan. Lengkung maksila menjadi lebih tinggi dan lebih lebar akibat
pertumbuhan, sementara itu lengkung palatum akan bertambah besar secara
tranversal (tinggi) dan sagital (panjang) sepanjang masa kanak-kanak sampai
dewasa.
4
Penelitian Budiman dkk

menemukan bahwa lebar lengkung gigi
berbanding terbalik dengan panjang lengkung gigi. Basis apikal lengkung
gigi maksila dan konfigurasi fosa kranial anterior berkaitan dengan palatum.
Bentuk palatum merupakan proyeksi dari keduanya.
5
Pertumbuhan palatum yang aktif terjadi pada usia 12 tahun sampai
usia 15 tahun. Selanjutnya pertumbuhan palatum terhenti yang disertai
dengan berakhirnya penutupan sutura palatinus.
3
Pertumbuhan maksila
berhenti pada usia sekitar 15 tahun untuk perempuan dan sekitar usia 17
tahun untuk laki-laki.
6

Agustini TF dkk menyatakan bahwa pencegahan maloklusi yang
memanfaatkan pertumbuhan dan perkembangan palatum sering dikaitkan
dengan bentuk palatum, lebar intermolar serta panjang lengkung gigi
posterior. Pada bentuk palatum yang dalam atau tinggi secara klinis dapat
menyebabkan adanya gigitan silang posterior, lebar intermolar sempit serta
panjang lengkung gigi yang pendek.
3
3

Banyak ditemukan berbagai macam kasus maloklusi pada klinik
bagian Ortodonsia di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Hasanuddin (RSGM FKG UNHAS) Perawatan maloklusi
dilakukan dengan alat ortodontik lepasan. Sebelum melakukan perawatan
ortodontik operator melakukan analisis ruang untuk mengetahui ruang yang
dibutuhkan pada saat perawatan.
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dijelaskan di atas, maka peneliti
merasa tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul ukuran lebar,
panjang lengkung gigi dan tinggi palatum dengan tipe maloklusi pada pasien
ortodontik di RSGM FKG UNHAS.

1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bagaimana ukuran lebar, panjang lengkung gigi dan tinggi palatum
dengan tipe maloklusi pada pasien ortodontik di RSGM FKG UNHAS?

1.3 TUJUAN PENELITIAN
1.3.1 Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ukuran lebar, panjang
lengkung gigi dan tinggi palatum dengan tipe maloklusi pada pasien
ortodontik di RSGM FKG UNHAS.
4

1.3.2 Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui ukuran lebar gigi laki-laki dibandingkan dengan
ukuran lebar gigi pada perempuan.
2. Untuk mengetahui ukuran panjang lengkung gigi laki-laki dibandingkan
dengan ukuran panjang lengkung gigi pada perempuan.
3. Untuk mengetahui ukuran tinggi palatum laki-laki dibandingkan dengan
ukuran tinggi palatum pada perempuan.
4. Untuk mengetahui kategori panjang lengkung gigi dan tinggi palatum
yang paling banyak dari pasien yang dirawat di RSGM FKG UNHAS.
5. Untuk mengetahui ukuran lebar gigi berdasarkan dari tipe maloklusi
pada pasien yang dirawat di RSGM FKG UNHAS.
6. Untuk mengetahui ukuran panjang lengkung gigi dan tinggi palatum
berdasarkan dari tipe maloklusi pada pasien yang dirawat di RSGM
FKG UNHAS.

1.4 MANFAAT PENELITIAN
Setelah pelaksanaan penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat
antara lain :
1. Menambah wawasan keilmuan dan memperluas pengetahuan peneliti
yang berkaitan dengan ukuran lebar, panjang lengkung gigi dan tinggi
5

palatum dengan tipe maloklusi pada pasien ortodontik di RSGM FKG
UNHAS.
2. Sebagai sumbangan pustaka dan bahan tambahan pengetahuan
mengenai ukuran lebar, panjang lengkung gigi dan tinggi palatum
dengan tipe maloklusi pada pasien ortodontik di RSGM FKG UNHAS.
3. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi instansi
yang terkait dalam hal ini RSGM FKG UNHAS khususnya mengenai
ukuran lebar, panjang lengkung gigi dan tinggi palatum dengan tipe
maloklusi pada pasien ortodontik di RSGM FKG UNHAS.
















6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PERCEPATAN PERTUMBUHAN
Salah satu faktor terpenting dalam perencanaan perawatan ortodontik adalah
potensi pertumbuhan pasien. Pertumbuhan dan perkembangan manusia tidak
seragam, dimana dapat terjadi percepatan atau perlambatan velositas pertumbuhan
komponen tulang pada berbagai tahap perkembangan. Puncak pubertas bergantung
pada jenis kelamin, populasi dan lingkungan.
7
Jaringan yang berbeda tumbuh pada besaran yang berbeda, misalnya
besarnya pertumbuhan tulang berbeda dengan jaringan lunak. Ada percepatan
pertumbuhan awal sesudah lahir, kemudian menurun dan terdapat growth spurt lagi
pada usia 6-7 tahun. Percepatan petumbuhan ini berlangsung kurang lebih 3-4 bulan
dan perempuan mengalami lebih dahulu daripada laki-laki. Percepatan pertumbuhan
akan terjadi lagi pada usia kurang lebih 12 tahun pada perempuan dan 14 tahun pada
laki-laki yang disebut prepubertal growth spurt. Beberapa pustaka yang lain
menyebutkan bahwa percepatan pertumbuhan terjadi 6-12 bulan sebelum menstruasi
pertama. Hal ini berarti bahwa bila seorang anak perempuan telah menstruasi dia
telah melewati masa percepatan pertumbuhan. Percepatan pertumbuhan memiliki arti
yang penting bagi ilmu ortodontik dalam merencanakan perawatan untuk pasien
7

karena dengan memanfaatkan percepatan pertumbuhan perawatan ortodontik
akan mempunyai hasil yang lebih baik.
6


2.2 PERTUMBUHAN MAKSILA DAN MANDIBULA
2.2.1 Maksila
Maksila merupakan bagian dari tulang kranium.
9
Dapat dikatakan bahwa
pertumbuhan basis kraium mempengaruhi perkembangan maksila.Tulang maksila
terhubung dengan beberapa tulang diantaranya tulang frontalis, zigomatik dan
sfenoid melalui sutura yang berisi jaringan ikat. Arah sutura ini menyerong sehingga
adanya pertumbuhan pada daerah sutura menyebabkan maksila terdorong maju
secara menyerong ke depan dan ke bawah. Maksila tumbuh ke segala dimensi karena
adanya hal-hal sebagai berikut:
6
1. Aposisi tulang pada sutura sekitar maksila
2. Remodelling permukaan tulang
3. Pergeseran secara pasif karena perubahan pada basis kranial
Panjang maksila dalam jurusan vertikal bertambah karena terbentuknya
tulang alveolar yang menyangga gigi. Maksila yang bertambah besar ukurannya
menyebabkan rongga hidung juga bertambah besar mencapai setengah ukuran
dewasa pada usia kurang lebih 7 tahun. Palatum ikut turun sesuai dengan
pertumbuhan maksila ke bawah yang diikuti oleh aposisi pada permukaan yang
menghadap ke rongga mulut dan resorpsi pada permukaan yang menghadap kedasar
8

rongga hidung. Lengkung palatal bertambah dalam dengan adanya prosesus
alveolaris. Pertumbuhan septum nasal bersamaan tumbuhnya dengan pertumbuhan
maksila secara keseluruhan. Pertumbuhan ke posterior terjadi pada regio tuberositas
sehingga maksila menjadi lebih panjang.
6
Palatum merupakan salah satu bagian dari kraniofasial yang juga merupakan
pembentuk dari sepertiga tengah wajah. Palatum dibentuk sekitar 5-6 minggu intra
uterine, pertumbuhan palatum terdiri dari tiga bagian yaitu: satu bagian anterior
medial dan dua bagian lateral prosesus palatina. Bagian medial palatum disebut
palatum primer dan terus tumbuh ke arah dasar dari nasal pits, sedangkan prosesus
palatina tumbuh ke arah lateral luar dari maksila dan tumbuh ke arah garis tengah
atau midline.
3
Palatum dibentuk dengan kontribusi dari prosesus maksilaris dan prosesus
fronto nasalis. Prosesus maksilaris membentuk palatum keras atau palatum durum
pada tiga perempat bagian anterior sedangkan bagian posterior palatum tidak terjadi
penulangan dan membentuk palatum molle atau palatum lunak.
4
Pertambahan
panjang palatum setelah kelahiran berhubungan dengan tepi posterior maksila yang
merupakan daerah tuberositas yang mengalami aposisi sehingga menambah ruangan
untuk tempat erupsi gigi molar. Pada periode gigi sulung, pertumbuhan palatum ada
hubungannya dengan pertumbuhan prosesus alveolaris dan remodeling dari tulang
palatum itu sendiri. Pada periode ini pertumbuhan palatum lebih pesat ke arah sagital
terutama arah posterior dibandingkan anterior.
3
9

Palatum memperlihatkan hubungan antara kranium dan fasial. Bentuk
palatum akan berpengaruh jika terjadi asimetri pada basis kranium. Palatum ikut
turun sesuai pertumbuhan maksila kebawah yang diikuti oleh aposisi pada
permukaan yang menghadap ke dasar rongga hidung.
4
Menurut Ciusa dkk
menyatakan bahwa pertumbuhan palatum dapat dipengaruhi oleh kebiasaan buruk,
dan parafungsi oral. Disamping itu ditemukan pula adanya variasi pertumbuhan
tinggi palatum antara laki-laki dan perempuan, dapat dikatakan bahwa jenis kelamin
mempengaruhi tinggi palatum.
3

2.2.2 Mandibula
Pada saat bayi dilahirkan, mandibula sangat kecil dan terdiri dari dua bagian
yang sama dan dihubungkan oleh jaringan fibrosa. Saat bayi baru lahir prosesus
koronalis, prosesus koronoideus, prosesus alveolaris, dan angulus mandibula belum
berkembang dengan baik sehingga mandibula tersebut hanya terlihat sebagai tulang
yang berbentuk lengkung.
9

Sebagian peneliti berpendapat bahwa mandibula dapat dipandang sebagai
tulang panjang dengan dua prosesus untuk perlekatan otot dan prosesus alveolaris
untuk tempat gigi. Mandibula bertambah melalui pertumbuhan kartilago dan
periosteal serta endosteal. Pertumbuhan periosteal dan endosteal mempunyai peranan
penting dalam pertumbuhan mandibula. Osifikasi endokondral pada kondili
menyumbang pertumbuhan mandibula ke arah posterior. Aposisi dan remodeling di
tempat-tempat lain menyebabkan mandibula bertambah besar sesuai dengan
10

bentuknya.
9
Arah pertumbuhan mandibula ke bawah dan ke depan. Pertambahan
panjang mandibula disebabkan adanya aposisi di sisi posterior ramus dan terjadi
resorpsi di sisi anterior ramus. Pertambahan tinggi korpus mandibula sebagian besar
disebabkan adanya pertumbuhan tulang alveolaris.
6
Pertumbuhan mandibula ke arah
anterior sangat cepat, posisi dagu menjadi lebih menonjol karena mandibula
memanjang dan terdapat sedikit penambahan tulang pada dagu. Tetapi dengan
bertambahnya usia maka hubungannya menjadi harmonis, lebar mandibula
mengikuti kondilaris mandibula dan berhubungan dengan tulang kranial.
9
Menurut Hagg dan Pencherz menyatakan bahwa ada hubungan yang kuat
antara pertumbuhan maksimal pada masa pubertas dalam hal tinggi badan dan
pertumbuhan maksimal pada kondilar.
10
Lewis dan Roche menemukan bahwa
pertumbuhan mandibula akan berlanjut kira-kira dua tahun lebih lama daripada
maksila. Perbedaan pertumbuhan antara kedua rahang ini sangat mempunyai peranan
penting untuk rencana perawatan ortodontik.
9


2.3 LEBAR LENGKUNG GIGI, PANJANG LENGKUNG GIGI DAN
TINGGI PALATUM

2.3.1 Lebar lengkung gigi
Lengkung gigi adalah lengkung yang dibentuk oleh mahkota gigi geligi.
Menurut Moyers, lengkung gigi merupakan refleksi gabungan dari ukuran mahkota
gigi, posisi dan inklinasi gigi, bibir, pipi dan lidah.
4
Variasi bentuk lengkung gigi
11

anterior secara kualitatif adalah oval, tapered, atau square sedangkan secara
kuantitatif bentuk lengkung gigi dipengaruhi oleh interkaninus, tinggi kaninus,
intermolar dan tinggi molar.
5
Rakosi membagi lebar lengkung gigi ke dalam dua
bagian yaitu lebar anterior dan posterior. Lebar lengkung anterior adalah jarak yang
diukur dari titik kontak premolar pertama dan kedua kiri dan kanan. Sementara, lebar
lengkung posterior adalah jarak yang diukur dari tonjol distobukal molar pertama kiri
dan kanan
4
Analisis pont adalah salah satu analisis yang banyak digunakan untuk
manganalisis model studi. Analisis Pont dapat membantu untuk menentukan
golongan lengkung gigi, apakah tergolong sempit, lebar atau normal. Pengukuran
dengan menggunakan indeks Pont hanya di lakukan pada lengkung gigi maksila.
Pengukuran lebar lengkung gigi dengan menggunakan indeks Pont dapat dilihat pada
rumus di bawah ini:
4

LLM = jumlah mesiodistal keempat insisivus RA 100
80

LLB = jumlah mesiodistal keempat insisivus RA 100
64

Poosti dan Jalali berpendapat bahwa lebar lengkung gigi dibagi menjadi lebar
antarkaninus dan lebar antarmolar. Pengukuran lebar antarkaninus dilakukan pada
daerah bukal dan palatal. Pada daerah bukal, lebar antarkaninus diukur 5 mm apikal
dari pertengahan mesiodistal margin gingiva gigi kaninus di satu sisi ke titik yang
sama pada sisi yang berlainan. Pada daerah lingual, lebar antarkaninus diukur dari
titik tengah servikal gigi kaninus di satu sisi ke titik yang sama pada sisi yang
berlainan. Kedua prosedur tersebut sama untuk mengukur lebar antarmolar.
8
12

Titik pengukuran lebar lengkung gigi dapat dilihat pada Gambar 2.1 di
bawah ini.







Gambar 2.1 Pengukuran lebar lengkung gigi daerah bukal dan lingual
intermolar.
Sumber: Poosti M, Jalali T. Tooth size and arch dimension in uncrowded
versus crowded class I maloclussion. The Journal of Contemporary Dental
Practice [serial online] 2007 Mar;8(1):[internet]. Available
from:URL:http://orthofree.com/resources/1/218.pdf. Accessed December 3,
2011.



2.3.2 Panjang lengkung gigi
Menurut Korkhaus yang dikutip oleh Paramesthi pengukuran panjang
lengkung gigi dapat dilakukan dengan mengukur jarak dari titik paling anterior
permukaan labial gigi insisivus pertama maksila tegak lurus dengan garis yang
menghubungkan titik refrensi lebar interpremolar Pont.
4
Rumus indeks panjang
lengkung gigi menurut Korkhaus adalah sebagai berikut:
Indeks panjang lengkung gigi = jumlah mesiodistal keempat insisivus maksila 100
Panjang lengkung gigi

Indeks panjang lengkung gigi Korkhaus adalah 160.
4

13

Menurut Poosti dan Jalali

panjang lengkung gigi diukur dari garis tegak lurus
titik kontak antara gigi insisivus sentral permanen ke garis yang menghubungkan
permukaan distal dari gigi molar pertama permanen.
8

Titik pengukuran panjang lengkung gigi dapat dilihat pada Gambar 2.2 di bawah ini.










Gambar 2.2 Pengukuran panjang lengkung gigi
Sumber: Poosti M, Jalali T. Tooth size and arch dimension in uncrowded
versus crowded class I maloclussion. The Journal of Contemporary Dental
Practice [serial online] 2007 Mar;8(1):[internet]. Available
from:URL:http://orthofree.com/resources/1/218.pdf. Accessed December 3,
2011.


2.3.3 Tinggi palatum
Korkhaus dan Rakosi menilai bentuk palatum berdasarkan indeks tinggi
palatum. Palatum yang tinggi merupakan gambaran dari penyempitan bagian apikal
prosesus alveolaris maksila yang biasanya terjadi pada kasus dengan kebiasaan
menghisap jari atau bernafas melalui mulut. Tinggi palatum berdasarkan Korkhaus
didefinisikan sebagai garis vertikal yang tegak lurus terhadap raphe palatina yang
14

berjalan dari permukaan palatum ke permukaan oklusal pada garis intermolar
menurut Pont. Jarak intermolar menurut Pont adalah 64 mm.
4
Rumus indeks tinggi
palatum menurut Korkhaus sebagai berikut :
Indeks tinggi palatum = tinggi palatum 100
Jarak intermolar

2.4 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BENTUK
LENGKUNG GIGI DAN TINGGI PALATUM

Variasi bentuk palatum selain dipengaruhi pertumbuhan herediter dari tulang
palatum, lengkung prosesus alveolaris, juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
3

Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi bentuk palatum antara lain:
1. Kebiasaan menghisap ibu jari
Kebiasaan menghisap ibu jari biasanya dimulai pada usia 3-4 tahun. Tetapi
dapat juga terjadi pada minggu pertama setelah kelahiran, hal ini biasanya dikaitkan
dengan masalah feeding. Anak-anak melakukan kebiasaan ini biasanya dikarenakan
untuk melepaskan ketegangan emosinya. Kebiasaan menghisap ibu jari dapat
menyebabkan maloklusi. Jenis maloklusi yang akan terjadi tergantung dari posisi ibu
jari, kontraksi otot orofasial yang terkait, posisi mandibula selama menghisap,
morfologi skeletal wajah, serta lamanya menghisap. Selama menghisap ibu jari,
terjadi kontraksi dinding bukal, sehingga lengkung maksila menjadi sempit, dasar
hidung sempit, dan palatum tinggi.
9


15

2. Anak dengan kebiasaan bernafas melalui mulut
Anak-anak yang sering bernafas melalui mulut biasanya tidak semuanya
memiliki hambatan pada saluran pernafasannya. Hal ini biasanya terjadi karena
hanya merupakan suatu kebiasaan. Anak-anak yang mempunyai kebiasaan bernafas
melalui mulut biasanya tidak sadar akan kebiasaanya, kebiasaan ini biasanya terjadi
pada malam hari pada saat tidur. Kebiasaan bernafas melalui mulut bisa total atau
hanya sebagian dan terus-menerus atau intermiten. Bernafas melalui mulut total
terjadi jika jalan pernafasan benar-benar tersumbat. Bila jalan pernafasan hanya
tersumbat sebagian saja, maka bernafas melalui hidung akan disertai bernafas
melalui mulut.
11

3. Anak dengan kelainan hambatan pernafasan
Sassaouni dan Forest menyatakan bahwa penyebab hambatan saluran
pernafasan yang paling sering pada anak-anak adalah pembesaran jaringan limfoid
yang terletak pada daerah faring yaitu pembesaran adenoid dan tonsil. Faktor
penyebab lainnya adalah pembengkakan kelenjar mukosa pada hidung.
11
Akibat
hambatan saluran pernafasan akan menyebabkan ketidakaktifan fungsi saluran
pernafasan, oleh sebab itu akan terjadi kurangnya perkembangan dari rongga hidung
dan rahang atas sehingga akan terlihat lengkung rahang atas yang sempit atau
terjadinya perubahan lengkung rahang, palatum yang dalam atau terjadinya
deformitas bentuk palatum serta adanya overbite posterior.
3

Faktor utama dalam menentukan keadaan lengkung gigi adalah ukuran gigi
dan pertumbuhan tulang alveolar. Pada rahang atas bila ada gangguan baik bersifat
keturunan, penyakit atau adanya kebiasaan buruk yang menetap sering
16

mengakibatkan bentuk palatum dalam atau tinggi, terjadi gigitan silang posterior,
lebar intermolar pendek serta panjang lengkung gigi posterior pendek.
3

2.5 MALOKLUSI
Maloklusi adalah bentuk hubungan rahang atas dan rahang bawah yang
menyimpang dari bentuk standar yang diterima sebagai bentuk yang normal,
maloklusi dapat disebabkan karena tidak ada keseimbangan dentofasial.
Keseimbangan dentofasial ini tidak disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi beberapa
faktor saling mempengaruhi.
11


2.5.1 Etiologi maloklusi
Etiologi dari maloklusi terbagi menjdi dua yaitu faktor lingkungan dan faktor
lokal. Faktor lokal yang mempengaruhi terjadinya maloklusi antara lain yaitu:
1. Faktor keturunan (herediter), antara lain sebagai berikut:
Pengaruh herediter dapat bermanisfestasi dalam dua hal yaitu disproporsi
ukuran gigi dan ukuran rahang yang dapat menjadi penyebab maloklusi
berupa gigi berdesakan atau berupa maloklusi berupa diastema multipel.
6

2. Kelainan gigi
Kelainan gigi yang dapat menyebabkan maloklusi adalah kekurangan jumlah
gigi, kelebihan jumlah gigi, dan kelainan bentuk atau ukuran gigi.
6

17

3. Jenis kelamin
Jenis kelamin mempengaruhi ukuran gigi, dan ukuran gigi mempengaruhi
panjang lengkung gigi. Laki-laki menunjukkan pertumbuhan yang meningkat
dalam hal lengkung gigi. Rata-rata lebar mesio distal gigi insisif anterior
rahang atas dan rahang bawah laki-laki lebih besar daripada perempuan.
Ukuran gigi laki-laki lebih besar daripada ukuran gigi perempuan.
13

Faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya maloklusi antara lain adalah
sebagai berikut:
1. Trauma
Terbagi menjadi trauma sebelum lahir, trauma saat dilahirkan, dan trauma
sesudah lahir.
11

2. Gigi sulung tanggal prematur
Gigi sulung yang tanggal prematur dapat menyebabkan perubahan susunan
pada gigi permanen yang nantinya akan tumbuh.
6

3. Persistensi gigi sulung
Persistensi gigi sulung adalah apabila gigi permanen penggati gigi sulung
sudah tumbuh sedangkan gigi sulung belum tanggal padahal sudah waktunya
gigi sulung untuk tanggal karena gigi penggantinya sudah tumbuh.
6

4. Kebiasaan buruk
Kebiasaan buruk yang dapat menyebabkan terjadinya maloklusi adalah
kebiasaan menghisap ibu jari, menjulurkan lidah, menghisap bibir, menggigit
kuku, bernafas melalui mulut serta kebiasaan lainnya.
11

18

5. Malnutrisi
Nutrisi yang baik adalah penting untuk memperoleh pertumbuhan oral yang
baik. Pengambilan nutrisi atau energi yang kurang dapat mempengaruhi
pertumbuhan sehingga membatasi potensi pertumbuhan seseorang. Malnutrisi
dapat mempengaruhi ukuran bagian badan, sehingga terjadi perbandingan
bagian yang berbeda-beda dan kualitas jaringan yang berbeda-beda seperti
kualitas gigi dan tulang. Adanya malnutrisi dapat berakibat langsung pada
organ-organ tubuh.
2

2.5.2 Klasifikasi maloklusi
Cara sederhana untuk mengelompokkan maloklusi ialah dengan
klasifikasi Angle. Angle mengelompokkan maloklusi menjadi tiga klas yaitu
klas I, klas II dan klas III. Tiap-tiap kelompok maloklusi tersebut memiliki
keparahan yang berbeda-beda.
6
1. Maloklusi klas I : terdapat relasi lengkung antero-posterior yang normal
dilihat dari relasi molar pertama permanen (netrooklusi).
6
Kelainan yang
menyertai maloklusi klas I yakni: gigi berjejal, rotasi dan protrusi.
12

2. Maloklusi klas II
3. : relasi molar pertama rahang bawah lebih ke distal daripada molar pertama
rahang atas.
6

Divisi 1 : insisivus atas maju (protrusi) sehingga didapatkan jarak
gigit besar (overjet), tumpang gigit besar (overbite), dan curve of spee
positif.
5
19

Divisi 2 : insisivus sentral atas retroklinasi, insisivus lateral atas
proklinasi, tumpang gigit besar (gigitan dalam). Jarak gigit bisa normal atau
sedikit bertambah.
5
4. Maloklusi klas III : relasi molar pertama rahang bawah lebih ke mesial
daripada molar pertama rahang atas dan terdapat anterior crossbite (gigitan
silang anterior).
12
20

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 KERANGKA KONSEP










Keterangan:



Tinggi Palatum Lebar dan Panjang
Lengkung Gigi
Faktor Lokal Faktor Lingkungan
Lebar mesio distal
Panjang lengkung
gigi
Tinggi palatum
Jenis kelamin
Nutrisi
Trauma
Kebiasaan buruk
Menghisap ibu jari
Kebiasaan bernafas lewat
mulut
Kelainan hambatan
pernafasan

Herediter
Kelainan gigi

Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak diteliti
Tipe Maloklusi
Klasifikasi Angle
Klas I
Klas II
Klas III
21

3.2 RANCANGAN PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah observasional deskriptif dengan rancangan
penelitian cross-sectional yaitu suatu penelitian dimana variabel-variabelnya
diobservasi sekaligus dalam waktu yang sama.
3.3 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di klinik Ortodonsia di RSGM FKG UNHAS.
Waktu penelitian dimulai pada bulan Februari hingga bulan April tahun 2012.

3.4 SUBJEK PENELITIAN
Subjek penelitian ini adalah semua model cetakan awal rahang atas
dan rahang bawah dari pasien yang dirawat di klinik Ortodonsia di RSGM
FKG UNHAS tahun 2009-2011 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
sebagai berikut:
1. Kriteria inklusi
1) Model cetakan awal rahang atas dan rahang bawah dari pasien yang
dirawat di klinik ortodonsia di RSGM FKG UNHAS.
2) Memiliki gigi yang lengkap hingga molar kedua pada RA dan RB

3) Tidak memiliki torus palatina



22

2. Kriteria eksklusi
1) Model cetakan gigi yang sudah rusak
2) Terdapat gigi yang sudah hilang

3.5 DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL
1. Lebar lengkung gigi adalah lebar lengkung anterior dan lebar lengkung
posterior. Lebar lengkung anterior adalah jarak interpremolar dan lebar
lengkung posterior adalah jarak intermolar pertama permanen menurut indeks
Pont.
2. Panjang lengkung gigi adalah suatu garis tegak lurus dari titik kontak antara
gigi insisivus sentral permanen ke garis yang menghubungkan permukaan
distal dari gigi premolar pertama permanen menurut indeks Korkhaus.
3. Tinggi palatum adalah garis tegak lurus terhadap raphe palatina yang
berjalan dari permukaan palatum ke permukaan oklusal pada garis intermolar
menurut indeks Korkhaus.
4. Tipe maloklusi adalah maloklusi menurut klasifikasi Angel yang terdiri dari
klas I, klas II, dan klas III.

3.6 KRITERIA PENILAIAN
1. Pengukuran lebar lengkung gigi
Untuk mengukur lebar lengkung gigi adalah dengan menggunakan indeks
Pont. Pengukuran lebar interpremolar dilakukan dengan menghintung jarak
23

antara fossa distal M1 kanan ke M1 kiri. Pengukuran lebar interpremolar di
ukur dengan menghitung jarak antara fossa mesial M1 kanan ke fossa mesial
M1 kiri. Pengukuran lebar lengkung gigi dengan menggunakan indeks Pont
dapat dilihat pada rumus di bawah ini.
LLM = jumlah mesiodistal keempat insisivus RA 100
80

LLB = jumlah mesiodistal keempat insisivus RA 100
64



2. Pengukuran panjang lengkung gigi
Untuk mengukur panjang lengkung gigi adalah dengan menggunakan indeks
panjang lengkung gigi Korkhaus. Indeks panjang lengkung gigi adalah 160.
Pengukuran panjang lengkung gigi dengan menggunakan indeks Korkhaus
dapat dilihat pada rumus di bawah ini.
Panjang lengkung gigi = jumlah mesiodistal keempat insisivus maksila x 100
Panjang lengkung gigi

3. Pengukuran tinggi palatum
Untuk mengukur tinggi palatum adalah dengan mengunakan indeks tinggi
palatum Korkhaus. Jarak intermolar menurut Pont adalah jarak antara fossa
mesial M1 kanan ke M1 kiri. Indeks tinggi palatum adalah 42.
Pengukuran tinggi palatum dapat dilihat pada rumus di bawah ini.
Indeks tinggi palatum = tinggi palatum 100
Jarak intermolar

24

4. Penilaian tipe maloklusi
Penilaian tipe maloklusi adalah menurut klasifikasi Angle yang terdiri dari
klas I, klas II dan klas III.

3.7 ALAT DAN BAHAN PENELITIAN
1. Model cetakan awal rahang atas dan rahang bawah
2. Jangka sorong
3. Penggaris
4. Alat tulis

3.8 DATA
1. Jenis data : data sekunder
2. Pengolahan data : dengan SPSS 16.0
3. Penyajian data : data disajikan dalam bentuk table

3.9 PROSEDUR PENELITIAN
1. Dilakukan pengambilan sampel yaitu model cetakan awal dari pasien yang
rawat di klinik Ortodonsia RSGM FKG UNHAS sesuai dengan kriteria
eksklusi dan inklusi.
2. Dilakukan pengelompokan model sesuai dengan tipe maloklusi menurut
Klasifikasi Angel.
25

3. Dilakukan perhitungan lebar lengkung gigi dengan menggunakan indeks
Pont, yaitu dengan menghitung lebar lengkung muka dan lebar lengkung
belakang dengan menggunakan jangka sorong.
4. Dilakukan perhitungan panjang lengkung gigi dengan menggunakan indeks
panjang lengkung gigi Korkhaus dengan menggunakan penggaris.
5. Dilakukan perhitungan tinggi palatum dengan menggunakan indeks tinggi
palatum Korkhaus dengan menggunakan penggaris dan jangka sorong.

3.10 ALUR PENELITIAN








PENENTUAN LOKASI PENELITIAN

PENGAMBILAN SAMPEL SESUAI
KRITERIA PENELITIAN

PENGUKURAN SAMPEL
HASIL DAN SIMPULAN
PENGOLAHAN DATA
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Telah dilakukan penelitian mengenai ukuran lebar, panjang lengkung gigi,
dan tinggi palatum berdasarkan tipe maloklusi pada pasien ortodontik di RSGM FKG
UNHAS. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara distributif menggunakan
program SPSS (versi 16). Hasilnya sebagaimana tampak pada tabel 5.1 di bawah ini:
Tabel 5.1 Distribusi karakteristik subjek
Karakteristik sampel Frekuensi (n) Persen (%) Mean SD
Jenis kelamin
Laki-laki 37 29,6
Perempuan 88 70,4
Usia 19,68 4,43
Lebar mesiodistal 30,73 3,40
LLM Indeks Pont 38,64 2,93
LLB Indeks Pont 48,06 5,45
LLM Hasil Ukur 37,14 3,11
LLB Hasil Ukur 50,33 35,84
Panjang lengkung gigi 20,19 2,30
Tinggi palatum 18,01 2,21
Klas Maloklusi
Klas 1 tipe 1 34 27,2
Klas 1 tipe 2 14 11,2
Klas 1 tipe 3 1 0,8
Klas 1 tipe 6 56 44,8
Klas 2 divisi 1 18 14,4
Klas 3 2 1,6
Kategori panjang lengkung gigi
Sempit 84 67,2
Sedang 3 2,4
Lebar 38 30,4
Kategori tinggi palatum
Rendah 95 76
Sedang 7 5,6
Dalam 23 18,4
Total 125 100

Tabel 5.1 memperlihatkan distribusi karakteristik sampel penelitian dengan jumlah
model studi sebanyak 125 model. Terlihat pada tabel 5.1 sebanyak 37 model studi
laki-laki (29,6%) dan 88 perempuan (70,4%) menjadi sampel dalam penelitian ini.
Secara keseluruhan, rata-rata usia sampel dalam penelitian ini adalah 19 tahun,
dengan rata-rata lebar mesiodistal gigi sebesar 30,73 mm, LLM indeks pont sebesar
38,44 LLB indeks Pont sebesar 48,06 LLM hasil ukur sebesar 37,14 mm, LLB hasil
ukur sebesar 50,33 mm, panjang lengkung gigi sebesar 20,19 mm, dan tinggi
palatum sebesar 18 mm.
Tabel 5.2 Distribusi karakteristik sampel berdasarkan panjang lengkung gigi
Karakteristik sampel
Kategori panjang lengkung gigi
Total
Sempit Sedang Lebar
Jenis Kelamin
Laki-laki 25
(67,6%)
1 (2,7%)
11
(29,7%)
37 (100%)
Perempuan
59 (67%) 2 (2,3%)
27
(30,7%)
88 (100%)
Klas Maloklusi
Klas 1 tipe 1 8 (23,5%) 3 (8,8%)
23
(67,6%)
34 (100%)
Klas 1 tipe 2
12
(14,3%)
0 (0)
2 (14,3%) 14 (100%)
Klas 1 tipe 3 1 (100%) 0 (0) 0 (0) 1 (100%
Klas 1 tipe 6
50
(89,3%)
0 (0)
6 (10,7%) 56 (100%)
Klas 2 divisi 1
12
(66,7%)
0 (0)
6 (33,3%) 18 (100%)
Klas 3 1 (50%) 0 (0) 1 (50%) 2 (100%)
Kategori tinggi palatum
Rendah
66
(69,5%)
2 (2,1%)
27
(28,4%)
95 (100%)
Sedang 4 (57,1%) 0 (0) 3 (42,9%) 7 (100%)
Dalam
14
(16,7%)
1 (4,3%)
8 (30,4%) 23 (100%)
Total
84 (100%) 3 (100%)
38
(30,4%)
125 (100%)

28

Pada tabel 5.2 terlihat distribusi jenis kelamin, klas maloklusi dan kategori
tinggi palatum berdasarkan kategori panjang lengkung gigi. Terlihat baik jenis
kelamin laki-laki, maupun perempuan paling banyak memiliki kategori panjang
lengkung gigi sempit, yaitu sebanyak 25 model (67,6%) untuk laki-laki dan 59 model
(67%) untuk perempuan. Adapun dari segi maloklusi, hampir tidak ada klas
maloklusi dengan kategori panjang lengkung gigi sedang, kecuali klas 1 tipe 1
(sebanyak 3 model, 8,8%).
Tabel 5.3 Distribusi karakteristik sampel berdasarkan kategori tinggi palatum
Karakteristik sampel
Kategori tinggi palatum
Total
Rendah Sedang Dalam
Jenis Kelamin
Laki-laki 28
(75,7%)
2 (5,4%)
7 (18,9%) 37 (100%)
Perempuan 67
(70,5%)
5 (5,7%)
16
(18,2%)
88 (100%)
Klas Maloklusi
Klas 1 tipe 1
27
(79,4%)
2 (5,9%)
5 (14,7%) 25 (100%)
Klas 1 tipe 2
11
(78,6%)
1 (3,3%)
2 (14,3%) 24 (100%)
Klas 1 tipe 3 0 (0) 0 (0) 1 (100%) 1 (100%
Klas 1 tipe 6
47
(83,9%)
4 (7,1%)
5 (8,9%) 56 (100%)
Klas 2 divisi 1
10
(55,6%)
0 (0)
8 (44,4%) 18 (100%)
Klas 3 0 (0) 0 (0) 2 (100%) 2 (100%)
Kategori panjang lengkung gigi
Sempit
66
(78,6%)
4 (4,8%)
14
(16,7%)
84 (100%)
Sedang 2 (66,7%) 0 (0) 1 (33,3%) 3 (100%)
Lebar
27
(71,1%)
3 (42,9%)
8 (21,1%) 38 (100%)
Total
95 (100%) 7 (100%)
23
(100%)
125 (100%)

Tabel 5.3 memperlihatkan distribusi jenis kelamin, klas maloklusi, dan
panjang lengkung gigi berdasarkan tinggi palatum. Pada tabel 5.3 terlihat bahwa baik
29

laki-laki maupun perempuan memiliki tinggi palatum rendah yang paling banyak,
yaitu 28 model (75,7%) laki-laki dan 67 model (70,5%) perempuan. Pada tabel 5.2
klas maloklusi paling sedikit memiliki kategori tinggi palatum sedang. Klas 1 tipe 1,
tipe 2, tipe 6 dan klas 2 divisi 1 paling banyak memiliki kategori tinggi palatum
rendah. Klas 1 tipe 3 dan klas 3 memiliki kategori tinggi palatum dalam yang paling
banyak. Distribusi panjang lengkung gigi dan tinggi palatum memiliki nilai yang
sama, seperti yang telah disebutkan pada tabel 5.2.
Tabel 5.4 Distribusi rata-rata lebar mesiodistal gigi, LLM, LLB Pont dan hasil ukur
Karakteristik
sampel
Lebar
mesiodistal
gigi (mm)
LLM
Pont(mm)
LLB
Pont(mm)
LLM Hasil
Ukur(mm)
LLB Hasil
Ukur(mm)
Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD
Jenis kelamin
Laki-laki 31,582,51 39,453,13 49,313,92 38,813,53 48,523,81
Perempuan 30,443,67 38,2952,79 47,525,93 37,252,83 51,0942,69
Klas Maloklusi
Klas 1 tipe 1 31,731,98 39,642,46 49,523,09 36,742,73 45,573,13
Klas 1 tipe 2 29,898,17 39,653,23 49,564,04 37,353,67 48,344,78
Klas 1 tipe 3 33,8 42,2 52,8 36,5 46,5
Klas 1 tipe 6 29,961,99 37,262,58 45,886,55 39,032,68 55,3953,2
Klas 2 divisi 1 31,962,42 39,923,02 50,434,17 36,063,25 46,014,23
Klas 3 30,782,62 39,53,25 49,44,1 35,74,24 43,953,61
Kategori panjang
lengkung gigi

Sempit 29,913,51 37,722,3 46,815,64 37,92,55 52,2643,53
Sedang 30,671,88 38,262,34 47,832,95 34,962,87 44,42,45
Lebar 32,732,30 40,683,23 50,834,06 37,524,09 46,55,13
Kategori tinggi
palatum

Rendah 30,683,72 38,662,93 48,015,91 38,202,86 51,9040,98
Sedang 31,462,54 39,273,18 49,13,97 39,244,23 47,715,32
Dalam 30,972,07 38,332,97 47,913,72 35,22,54 44,632,94
Total 30,783,40 39,642,93 48,055,45 37,713,11 50,3335,84

Tabel 5.4 memperlihatkan distribusi rata-rata lebar mesiodistal gigi, LLM dan
LLB indeks pont, LLM dan LLB hasil ukur berdasarkan jenis kelamin, klas
30

maloklusi, panjang lengkung gigi dan tinggi palatum. Terlihat pada tabel 5.4, hampir
seluruh nilai rata-rata laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Klas maloklusi 2
divisi 1 memiliki lebar mesio distal gigi yang paling besar, yaitu 31,96 mm, dan
diikuti dengan klas 1 tipe 1 dengan 31,73 mm. Klas 1 tipe 2 memiliki lebar
mesiodistal gigi yang paling kecil, yaitu 29,89 mm. LLM dan LLB indeks Pont yang
paling besar adalah klas 2 divisi 1 dengan nilai rata-rata 39,92 mm (LLM) dan 50,43
mm (LLB), serta yang paling sedikit adalah klas 1 tipe 6 dengan nilai rata-rata 37,26
mm (LLM) dan 45,88 mm (LLB). Sebaliknya, dari segi hasil ukur, LLM dan LLB
klas 1 tipe 6 yang paling besar, yaitu 39,03 mm (LLM) dan 55,39 mm (LLB), serta
yang paling kecil nilainya adalah klas 2 divisi 1. Hal ini menunjukkan bahwa klas 1
tipe 6 mengalami pelebaran ruang, sedangkan klas 2 divisi 1 mengalami
penyempitan ruang.
Tabel 5.5 Distribusi rata-rata panjang lengkung gigi dan tinggi palatum
Karakteristik sampel
Panjang lengkung
gigi(mm)
Tinggi palatum(mm)
Mean SD Mean SD
Jenis kelamin
Laki-laki 20,162,48 18,402,07
Perempuan 20,202,24 17,832,25
Klas Maloklusi
Klas 1 tipe 1 18,791,90 17,071,95
Klas 1 tipe 2 21,442,43 18,402,21
Klas 1 tipe 3 22,5 20,1
Klas 1 tipe 6 20,341,79 18,162,15
Klas 2 divisi 1 21,353,11 18,632,52
Klas 3 19,50,71 19,900,14
Total 20,192,30 18,012,20

Tabel 5.5 memperlihatkan distribusi rata-rata panjang lengkung gigi dan
tinggi palatum berdasarkan jenis kelamin dan klas maloklusi. Terlihat pada tabel 5.5,
laki-laki dan perempuan memiliki rata-rata panjang lengkung gigi yang hampir sama,
31

yaitu 20,16 mm untuk laki-laki dan 20,20 mm untuk perempuan. Adapun tinggi
palatum laki-laki sebesar 18,40 mm dan untuk perempuan sebesar 17,83 mm. Dari
segi klas maloklusi, klas 1 tipe 2 memiliki rata-rata panjang lengkung gigi yang
paling besar, yaitu sebanyak 21,44 mm diikuti dengan klas 2 divisi 1, yaitu sebesar
21,35. Rata-rata tinggi palatum yang paling besar adalah klas 3, yaitu 19,9 mm,
diikuti dengan klas 2 divisi 1, yaitu 18,63 mm.

















BAB V
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui ukuran lebar, panjang lengkung
gigi dan tinggi palatum dengan tipe maloklusi pada pasien ortodontik di RSGM FKG
UNHAS. Pada penelitian ini, didapatkan 125 model gigi yang sesuai dengan kriteria
seleksi sampel penelitian, yang terdiri dari 37 model studi laki-laki (29,6%) dan 88
model studi perempuan (70,4%).
Dari hasil penelitian yang ditunjukkan bahwa distribusi tipe maloklusi dalam
penelitian ini, tipe maloklusi yang paling banyak adalah klas 1 tipe 6, sebanyak 56
model studi (44,8%) dan yang paling sedikit adalah klas 1 tipe 3, sebanyak 1 model
studi (0,8%). Pada penelitian ini, tidak ditemukan klas 1 tipe 4, klas 2 divisi 2, dan
pembagian klas 3, hal ini dimungkinkan karena tipe maloklusi ini bukan menjadi
prasyarat tipe maloklusi yang harus ditangani atau dilakukan perawatan oleh
mahasiswa kepaniteraan di kinik bagian ortodonsia RSGM FKG UNHAS. Secara
keseluruhan, kategori panjang lengkung gigi yang paling banyak adalah kategori
panjang lengkung sempit, yaitu sebanyak 84 model studi (67,2%) dan kategori tinggi
palatum yang paling banyak adalah kategori palatum rendah, yaitu sebanyak 95
model studi (76%).
Pada penelitian yang dilakukan dari jumlah sampel model yang di teliti paling
banyak adalah model studi dengan kasus maloklusi klas 1 tipe 6. Kasus maloklusi
klas 1 tipe 6 merupakan kasus maloklusi yang lebih mudah untuk ditangani
dengan perawatan menggunakan alat ortodontik lepasan jika dibandingkan dengan
kasus maloklusi klas 3. Menurut Ramara yang dikutip oleh Susanti crossbite
merupakan salah satu kasus yang kompleks dan sulit untuk dilakukan perawatan.
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa cossbite (maloklusi klas 3) sebaiknya
dirawat dengan kombinasi ortodontik dan bedah ortognatik setelah selesainya
pertumbuhan rahang agar didapatkan hasil perawatan yang maksimal dan stabil.
14

Oleh karena itu untuk pasien crossbite di RSGM FKG UNHAS sangat kurang
dengan mengingat alat yang dipergunakan hanya alat ortodontik lepasan sehingga
crossbite yang berat sangat sulit ditangani.
Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa klas 1 tipe 1 paling banyak
memiliki kategori panjang lengkung gigi lebar, yaitu sebanyak 23 model (67,6%).
Klas 1 tipe 2, tipe 3, tipe 6, klas 2 divisi 1, dan klas 3 memiliki kategori panjang
lengkung gigi sempit yang paling banyak. Hasil ini ditunjukkan pada tabel 5.2 yang
memperlihatkan bahwa seluruh kategori tinggi palatum memiliki kategori panjang
lengkung gigi sempit yang paling banyak. Menurut Pont yang dikutip oleh
Paramesthi menyatakan bahwa terdapat hubungan antara keempat mesio distal
insisivus permanen dengan panjang lengkung gigi maksila, hal ini dapat diartikan
bahwa semakin besar jumlah mesiodistal insisivus permanen akan menyebabkan
panjang lengkung maksila semakin besar pula, perbedaan ras juga dikaitkan dengan
adanya perbedaan bentuk lengkung gigi.
4

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebar mesio distal laki-laki lebih
besar jika dibandingkan dengan lebar mesio distal perempuan, hal ini sesuai dengan
34

penelitian yang dilakukan oleh Desi pada tahun 2000 di Universitas Airlangga. Rata-
rata ukuran mesio distal gigi insisif rahang atas laki-laki lebih besar dari perempuan.
Ukuran gigi pria lebih besar dari ukuran gigi wanita. Menurut Desi hal ini dapat
dipengaruhi oleh faktor kekuatan fungsional, kebiasaan makan, sikap tubuh dan
trauma.
13

Dari penelitian ini juga didapatkan bahwa rata-rata panjang lengkung gigi
antara laki-laki dan perempuan didapatkan hasil yang hampir sama. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Paramesthi didapatkan hasil bahwa rata-rata panjang
lengkung gigi antara laki-laki dan perempuan tidak berbeda bermakna. Menurut
pernyataan Burris dan Harris yang dikutip dari Paramesthi bahwa perbedaan panjang
lengkung gigi lebih cenderung disebabkan oleh karena faktor ras dari pada jenis
kelamin.
4
Pada penelitian ini juga didapatkan rata-rata tinggi palatum laki-laki lebih
besar dari pada tinggi palatum perempuan. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Agustini menemukan bahwa meskipun rata-rata tinggi palatum laki-
laki lebih besar dari pada perempuan namun menunjukkan perbedaan yang tidak
bermakna, hal ini juga dinyatakan oleh Paramesthi bahwa rata-rata tinggi palatum
laki-laki lebih besar daripada perempuan pada suku jawa , namun setelah dilakukan
uji t tidak berpasangan ternyata tiak berbeda bermakna. Menurut Agustini hasil
penelitian ini juga sama dengan hasil penelitian Lebret yang menunjukkan adanya
perbedaan tinggi palatum antara laki-laki dan perempuan tetapi tidak bermakna.
3,4

35

BAB VI
PENUTUP

6.1 SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti pada model studi pasien
ortodontik di RSGM FKG UNHAS , maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Lebar mesio distal gigi laki-laki lebih besar dibandingkan dengan lebar
mesio distal gigi pada perempuan.
2. Laki-laki memiliki ukuran panjang lengkung gigi yang hampir sama dengan
perempuan.
3. Tinggi palatum laki-laki lebih besar dibandingkan dengan tinggi palatum
perempuan.
4. Kategori panjang lengkung gigi yang paling banyak adalah panjang lengkung
gigi yang sempit sedangkan kategori tinggi palatum yang paling banyak
adalah tinggi palatum yang rendah.
5. Tipe maloklusi klas 1 tipe 1 paling banyak memiliki panjang lengkung gigi
yang lebih lebar dan tipe maloklusi klas 1 divisi 6 memiliki panjang lengkung
gigi yang sempit serta tipe maloklusi klas 1 tipe 1, tipe 2, tipe 6 dan klas 2
divisi 1 paling banyak memiliki kategori tinggi palatum yang rendah.
6. Tipe maloklusi klas 2 divisi 1 memiliki lebar mesio distal gigi yang paling
besar dibandingkan dengan tipe maloklusi yang lain.
36

6.2 SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut lagi dalam menilai ukuran lebar dan
panjang lengkung gigi serta tinggi palatum dengan tipe maloklusi karena pada
penelitian ini tipe maloklusi yang diteliti masih terbatas dan belum mencakup
keseluruhan dari tipe maloklusi yang ada dikarenakan evaluasi atau data yang
diambil juga terbatas tiga tahun terakhir, diharapkan selanjutnya tipe maloklusi
yang diteliti lebih kompleks lagi dengan rentan waktu yang lebih lama.















37

DAFTAR PUSTAKA

1. Lau PYW, Wong RWK. Risk and complications in orthodontic treatment.
Hong Kong Dental Journal [serial online] 2006 Jun;3(1):[internet]. Available
from: URL: http://orthofree.com/cms/assets/22.pdf. Accessed November 30,
2011

2. Mokhtar M. Dasar-dasar ortodonti pertumbuhan dan perkembangan
kraniodentofasial. Medan: Bina Insani Pustaka; 2002, p. 1-2



3. Agustini TF, Sutadi H, Soenawan H. Hubungan antara tinggi palatum dengan
lebar intermolar dan panjang lengkung gigi posterior pada anak usia 12-14
tahun. Jurnal PDGI 2003;53(2):16-24


4. Paramesthi GAMDH, Farmasyanti CA, Karunia D. Besar indeks Pont dan
Korhaus serta hubungan antara lebar dan panjang lengkung gigi terhadap
tinggi palatum pada suku Jawa. [internet]. Available from:
URL:http://cendrawasih.a.f.staff.ugm.ac.id/wp-content/besar-indeks-pont-
korkhaus-serta-hubungan-antara-lebar-dan-panjang-lengkung-gigi-terhadap-
tinggi-palatum-pada-suku-jawa.pdf. Diakses Desember 2, 2011

5. Budiman JA, Hayati R, Sutrisna B, Soemantri ES. Identifikasi bentuk
lengkung gigi secara kuantitatif. Dentika Dent J 2009;14(2):120-4

6. Rahardjo P. Ortodonti dasar. Surabaya: Airlangga University Press; 2009, p.
8-16

7. Michalska MK, Bacceti T. Duration of the pubertal peak in skeletal class 1
and III subjects. Angle Orthod.[serial online]
2010;80(1):[internet].Availablefrom:URL:http://www.angle.org/doi/pdf/10.2
319/020309-69.1. Accesed December 2, 2011.



38

8. Poosti M, Jalali T. Tooth size and arch dimension in uncrowded versus
crowded class I maloclussion. The Journal of Contemporary Dental Practice
[serial online] 2007 Mar;8(1):[internet]. Available from:URL:
http://orthofree.com/resources/1/218.pdf. Accessed December 3, 2011.

9. Koesoemohardja HD, Indrawati A, Jenie I. Tumbuh kembang dentofasial
manusia. Edisi ke-2. Jakarta: Universitas Trisakti; 2008, p. 38-59


10. Foster TD. Buku ajar Ortodonsia. Penerjemah: Yuwono L. Edisi ke-3.
Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 1999, p. 1-20

11. Suminy D, Zen Y. Hubungan antara maloklusi dengan hambatan saluran
pernafasan. Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi FKG Trisakti 2007;22(1): 32-9


12. Proffit WR. Fields HW. Contemporary orthodontics 3
rd
ed. St. Louis (MO):
Mosby; 2000. p.2-4


13. Desi FK, Sylvia M, Kristiani S. Hubungan lebar mesio distal gigi insisif
dengan lengkung geligi pada kasus bedesakan anterior. Jurnal PDGI
2007;57(2): 52-5


14. Susanti R, Idris W. Perawatan maloklusi klas III disertai crowding berat.
Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi FKG Trisakti 2005;20(59):19-25

Anda mungkin juga menyukai