Anda di halaman 1dari 10

Latar Belakang

Insiden asma dalam kehamilan adalah sekitar 0,5-1 % dari seluruh kehamilan.
Serangan asma biasanya timbul pada usia kehamilan 24-36 minggu, jarang pada akhir
kehamilan. Frekuensi dan beratnya serangan akan mempengaruhi hipoksia pada ibu
dan janin. Penegakan diagnosis serupa dengan asma diluar kehamilan.
Asma bronkiale merupakan penyakit obstruksi saluran nafas yang sering
dijumpai pada kehamilan dan persalinan, diperkirakan 1%-4% wanita hamil
menderita asma. Efek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi. Sekitar 60%
wanita hamil yang mendapat serangan asma dapat menyelesaikan kehamilannya
dengan baik. Sekitar 10% akan mengalami eksaserbasi pada persalinan. Mabie dkk
(1992) melaporkan peningkatan 18 kali lipat resiko eksaserbasi pada persalinan
dengan seksio sesarea dibandingkan dengan pervaginam.
Asma bronkiale merupakan penyakit obstruksi saluran nafas yang sering
dijumpai pada kehamilan dan persalinan, diperkirakan 1%-4% wanita hamil
menderita asma. Efek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi.
Asma bronkiale merupakan penyakit yang ditandai dengan meningkatnya kepekaan
saluran trakeobronkial terhadap berbagai rangsangan. Pada serangan asma terjadi
bronkospasme, pembengkakan mukosa dan peningkatan sekresi saluran nafas, yang
dapat hilang secara spontan atau dengan pengobatan. Gejala klinik yang klasik berupa
batuk, sesak nafas, dan mengi (wheezing), serta bisa juga disertai nyeri dada.
Serangan asma umumnya berlangsung singkat dan akan berakhir dalam beberapa
menit sampai jam, dan setelah itu penderita kelihatan sembuh secara klinis. Pada
sebagian kecil kasus terjadi keadaan yang berat, yang mana penderita tidak
memberikan respon terhadap terapi (obat agonis beta dan teofilin), hal ini disebut
status asmatikus.
Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma pada setiap penderita
tidaklah sama, bahkan pada seorang penderita asma serangannya tidak sama pada
kehamilan pertama dan kehamilan berikutnya. Biasanya serangan akan timbul mulai
usai kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu, dan akan berkurang pada akhir
kehamilan. Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat bergantung dari frekuensi dan
beratnya serangan asma, karena ibu dan janin akan mengalami hipoksia. Keadaan
hipoksia jika tidak segera diatasi tentu akan memberikan pengaruh buruk pada janin,
berupa abortus, persalinan prematur, dan berat janin yang tidak sesuai dengan umur
kehamilan.

Patofisilogi
Gangguan penyakit asma pada ibu hamil disebabkan oleh adanya beberapa
faktor, antara lain:
1. Perubahan hormonal
Volume tidal meningkat dari 450 cc menjadi 600 cc sehingga terjadi
peningkatan ventilasi per menit. Peningkatan volume tidal ini diduga disebabkan oleh
efek progesteron terhadap resistensi saluran nafas dan dengan meningkatkan
sensitifitas pusat pernafasan terhadap karbondioksida. Menyebabkan ligamen pada
kerangka iga berelaksasi sehingga ekspansi rongga dada meningkat.
2. Kehamilan membesar mengakibatkan peningkatan diafragma sehingga turunnya
kapasitas residu fungsional dan pola pernapasan berubah dari pernapasan abdomen
menjadi torakal sehingga kebutuhan O2 maternal meningkat (Arief, 2000).
Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma pada setiap penderita
tidaklah sama, bahkan pada seorang penderita asma serangannya tidak sama pada
kehamilan pertama dan kehamilan berikutnya. Biasanya serangan akan timbul mulai
usai kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu, dan akan berkurang pada akhir
kehamilan (Ida Bagus, 1998).
Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat bergantung dari frekuensi dan
beratnya serangan asma, karena ibu dan janin akan mengalami hipoksia. Keadaan
hipoksia jika tidak segera diatasi tentu akan memberikan pengaruh buruk pada janin,
berupa abortus, persalinan prematur, dan berat janin yang tidak sesuai dengan umur
kehamilan (Ida Bagus, 1998).
Perubahan-perubahan ini diperlukan untuk mencukupi peningkatan kebutuhan
metabolik dan sirkulasi untuk pertumbuhan janin, plasenta dan uterus. Adanya
perubahan-perubahan ini juga menyebabkan perubahan pola pernapasan dari
pernapasan abdominal menjadi torakal yang juga memberikan pengaruh untuk
memenuhi peningkatan konsumsi oksigen maternal selama kehamilan. Perubahan
hormonal pembesaran mukosa saluran respirasi. Pernafasan melalui hidung akan
semakin sulit, sehingga wanita hamil cenderung bernafas dengan mulut, terutama
pada malam hari. Hal ini akan menyebabkan terjadinya xerostomia. Insidensi
xerostomia pada wanita hamil adalah sekitar 44%. Xerostomia ini akan meningkatkan
frekuensi karies gigi. Selain itu, peningkatan progesteron menyebabkan
hiperventilasi. Hiperventilasi pada kehamilan adalah hiperventilasi relatif, artinya
kenaikan ventilasi alveolar diluar pengaruh CO2 sehingga PaCO2 menurun (Ida
Bagus, 1998).

Patofisologi asma adalah sebagai berikut:
ALERGI











(Arief, 2000)
Reaksi antigen
antibodi pada
permukaan sel mast
paru
Pelepasan
mediator
radang
Spasme otot polos
saluran napas
Edema mukosa
Hipersekresi kental
Bronkokontriksi
Kongesti vaskuler
Terganggunya
mekanisme transport
mukosa
Penyempitan
Gangguan hipoventilasi
Distribusi ventilasi tidak
merata dalam sirkulasi darah
pulmonal
Gangguan difusi gas di tingkat
alveoli

Hipoksemia
Hiperkapnea
asidosis
Asma merupakan obstruksi saluran nafas yang reversible dari kontraksi otot
polos bronkus, hipersekresi mukus dan edem mukosa. Terjadi peradangan di saluran
nafas dan menjadi responsive terhadap beberapa rangsangan termasuk zat iritan,
infeksi virus, aspirin, air dingin dan olahraga. Aktifitas sel mast oleh sitokin menjadi
media konstriksi bronkus dengan lepasnya histamine, prostalgladine D
2
dan
leukotrienes. Karena prostagladin seri F dan ergonovine dapat menjadikan asma,
maka penggunaanya sebagai obat-obat dibidang obstetric sebaiknya dapat dihindari
jika memungkinkan (Taufan, 2010).

Gejala Klinis
Asma merupakan keadaan klinik yang ditandai adanya kepekaan yang tinggi
dari percabangan saluran pernafasan terhadap berbagai rangsangan yang ditandai
dengan obtruksi spasme bronkus yang reversibel, kesembaban (edema), dan
peradangan (inflamasi) dinding bronkus. Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya
serangan asma tidaklah sama pada setiap penderita, bahkan pada seorang penderita
asma, serangannya tak sama pada kehamilan pertama dan berikutnya.
Perjalanan asma pada ibu hamil dipengaruhi oleh hormon estrogen dan
progesteron yang terus meningkat. Padahal berbagai teori justru menunjukkan kedua
hormon tersebut mestinya dapat memperbaiki kondisi asma, karena mempunyai efek
melemaskan otot polos dan merilekskan bronkus. Selain itu meningkatnya kadar
hormon prostasiklin (PGI
2
)ditambah prostaglandin (PGE) juga dapat memperbaiki
asma. Namun di sisi lain, bertambahnya hormon lain seperti PGF
2
saat kehamilan
bisa memperburuk asma. Faktor peningkatan histamin selama kehamilan yang berasal
dari jaringan janin pun mempunyai efek asmogenik. Demikian juga protein dasar
mayor (MBP= mayor basic protein) yang banyak ditemukan dalam plasenta, bila
sampai masuk ke paru-paru. Yang penting mengoptimalkan kesehatan ibu dan janin
sehingga dokter perlu mengetahui pengaruh kehamilan pada asma, asma terhadap
kehamilan serta pengaruh obat asma terhadap kehamilan terhadap individu. Resiko
terbesar yang ditakutkan bila sampai terjadi hipoksia (kekurangan oksigen) lantaran
asma berat yang tidak terkontrol. Frekuensi dan beratnya serangan akan
mempengaruhi hipoksia pada ibu dan janin. (2,4)
Factor pencetus timbulnya asma antara lain zat-zat alergi, infeksi saluran
nafas, pengaruh udara dan factor psikis. Penderita selama kehamilan perlu mendapat
pengawasan yang baik, biasanya penderita mengeluh nafas pendek, berbunyi, sesak,
dan batuk-batuk. Diagnosis dapat ditegakkan seperti asma diluar kehamilan.

Anamnesa
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat
hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair
(konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai
mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya
hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering
terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya
dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat
bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah,
tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak
barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray
pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokokdi rumah atau
lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau
steroid. Gejala-gejala kunci untuk menegakkan diagnosis asma dirangkum dalam
table berikut:
Gejala kunci Batuk, mengi dan sesak atau frekuensi napas cepat, produksi
sputum, sering waktu malam, respons terhadap bronkodilator.
Gambaran gejala Perenial, musiman atau keduanya; terus-menerus, episodik,
atau keduanya; awitan, lama, frekuensi (jumlah
hari/malam/minggu/bulan), variasi diurnal terutama nokturnal
dan waktu bangun pagi hari.
Faktor presipitasi Infeksi virus. Alergen lingkungan, dalam rumah (jamur, tungau
debu rumah, kecoa, serpih hewan atau produk sekretorinya) dan
outdoor (serbuk sari/pollen)
Ciri-ciri rumah (usia, lokasi, sistem pendingin/pemanas,
membakar kayu, pelembab, karpet, jamur, hewan piaraan, mebel
dibungkus kain)
Latihan jasmani, kimiawi/alergen lingkungan kerja
Perubahan lingkungan
Iritan (asap rokok, bau menyengat, polutan udara, debu,
partikulat, uap, gas)
Stres
Obat (aspirin, antiinflamasi, -bloker termasuk tetes mata)
Makanan, aditif, pengawet
Perubahan udara, udara dingin
Faktor endokrin (haid, hamil, penyakit tiroid)
Perkembangan
penyakit
Usia awitan dan diagnosis
Riwayat cedera saluran napas
Progres penyakit
Penanganan sekarang dan respons, antara lain rencana
penanganan eksaserbasi
Frekuensi menggunakan SABA
Keperluan oral steroid dan frekuensi penggunaannya
Riwayat keluarga Riwayat asma, alergi, sinusitis, rinitis, eksim atau polip nasal
pada anggota keluarga dekat
Riwayat sosial Perawatan/daycare, tempat kerja, sekolah
Faktor sosial yang berpengaruh
Derajat pendidikan
Pekerjaan
Riwayat
eksaserbasi
Tanda prodromal dan gejala
Cepatnya awitan, lama, frekuensi, derajat berat Jumlah
eksaserbasi dan beratnya/tahun
Penanganan biasanya
Efek asma
terhadap
penderita
dan keluarga
Episode perawatan di luar jadwal (gawat darurat, dirawat di RS)
Keterbatasan aktivitas terutama latihan jasmani Riwayat
bangun malam
Efek terhadap perilaku, sekolah, pekerjaan, pola hidup dan efek
ekonomi
Persepsi
penderita dan
keluarga
terhadap penyakit
Pengetahuan mengenai asma: penderita, orang tua, istri/suami
atau teman dan mengetahui kronisitas asma
Persepsi penderita mengenai penggunaan obat pengontrol
jangka lama
Kemampuan penderita, orang tua, istri/suami/teman untuk
menolong penderita
Sumber ekonomi dan sosiokultural

Manajemen Asma Selama Kehamilan Dan Persalinan
Dasar-dasar Penanganan
Penanganan penderita asma selama kehamilan bertujuan untuk menjaga ibu
hamil sedapat mungkin bebas dari gejala asma, walauoun demikian eksaserbasi akut
selalu tak dapat dihindari.
Pengobatan yang harus diusahakan adalah :
1. Menghindari terjadinya gangguan pernapasan melalui pendidikan terhadap
penderita, menghindari pemaparan terhadap alergen, dan mengobati gejala awal
secara tepat.
2. Menghindari terjadinya perawatan di unit gawat darurat karena kesulitan
pernapasan atau status asmatikus, dengan melakukan intervensi secara awal dan
intensif.
3. Mencapai suatu persalinan aterm dengan bayi yang sehat, di samping melindungi
keselamatan ibu.
4. Dalam penanganan penderita asma diperlukan individualisasi penanganan,
karena penanganan suatu kasus mungkin berbeda dengan kasus asma yang lain,
dalam memulai suatu perawatan obstetri terhadap wanita hamil dengan asma
perlu diperhatikan beberapa prinsip tertentu yaitu :
5. Mendeteksi dan mengeliminasi faktor pemicu timbulnya serangan asma pada
penderita tertentu.
6. Menghentikan merokok, baik untuk alasan obstetrik maupun pulmonal
7. Mendeteksi dan mengatasi secara awal jika diduga adanya infeksi pada saluran
nafas, seperti bronkitis, sinusitis.
8. Pembahasan antara ahli kebidanan dan ahli paru, untuk mengetahui masalah-
masalah yang potensial dapat timbul, rencana penanganan umum termasuk
penggunaan obat-obatan.
9. Pertimbangan untuk mengurangi dosis pengobatan, tetapi masih dalam kerangka
respon pengobatan yang baik.
10. Melakukan penelitian fungsi paru dasar, juga penentuan gas darah khususnya
pada penderita asma berat.

Penanganan asma kronik pada kehamilan
Dalam penanganan penderita asma dengan kehamilan, dan tidak dalam
serangan akut, diperlukan adanya kerja sama yang baik antara ahli kebidanan dan ahli
paru. Usaha-usaha melalui edukasi terhadap penderita dan intervensi melalui
pengobatan dilakukan untuk menghindari timbulnya serangan asma yang berat.
Adapun usaha penanganan penderita asma kronik meliputi :
1. Bantuan psikologik menenangkan penderita bahwa kehamilannya tidak akan
memperburuk perjalanan klinis penyakit, karena keadaan gelisah dan stres dapat
memacu timbulnya serangan asma.
2. Menghindari alergen yang telah diketahui dapat menimbulkan serangan asma
3. Desensitisasi atau imunoterapi, aman dilakukan selama kehamilan tanpa adanya
peningkatan resiko terjadinya prematuritas, toksemia, abortus, kematian
neonatus, dan malformasi kongenital, akan tetapi efek terapinya terhadap
penderita asma belum diketahui jelas.
4. Diberikan dosis teofilin per oral sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma
antara 10-22 mikrogram/ml, biasa dosis oral berkisar antara 200-600 mg tiap 8-
12 jam.
5. Dosis oral teofilin ini sangat bervariasi antara penderita yang satu dengan yang
lainnya.
6. Jika diperlukan dapat diberikan terbulatin sulfat 2,5-5 mh per oral 3 kali sehari,
atau beta agonis lainnya.
7. Tambahkan kortikosteroid oral, jika pengobatan masih belum adekuat gunakan
prednison dengan dosis sekecil mungkin.
8. Pertimbangan antibiotika profilaksis pada kemungkinan adanya infeksi saluran
nafas atas.
9. Cromolyn sodium dapat dipergunakan untuk mencegah terjadinya serangan
asma, dengan dosis 20-40 mg, 4 kali sehari secara inhalasi.
Penanganan asma dalam persalinan
Pada kehamilan dengan asma yang terkontrol baik, tidak diperlukan suatu
intervensi obstetri awal. Pertumbuhan janin harus dimonitor dengan ultrasonografi
dan parameter-parameter klinik, khususnya pada penderita-penderita dengan asma
berat atau yang steroid dependen, karena mereka mempunyai resiko yang lebih besar
untuk mengalami masalah pertumbuhan janin. Onset spontan persalinan harus
diperbolehkan, intervensi preterm hanya dibenarkan untuk alasan obstetrik.
Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 I/menit, maka
persalinan harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk menangani
komplikasi pernapasan yang berat; peneliti menunjukkan bahwa 10% wanita
memberat gejala asmanya pada waktu persalinan.
Selama persalinan kala I pengobatan asma selama masa prenatal harus
diteruskan, ibu yang sebelum persalinan mendapat pengobatan kortikosteroid harus
hidrokortison 100 mg intravena, dan diulangi tiap 8 jam sampai persalinan. Bila
mendapat serangan akut selama persalinan, penanganannya sama dengan penanganan
serangan akut dalam kehamilan seperti telah diuraikan di atas.
Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan terbaik
untuk penderita asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya
seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih
dipilih anestesi regional daripada anestesi umum karena intubasi trakea dapat
memacu terjadinya bronkospasme yang berat.
Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan pervaginam,
memperpendek, kala II dengan menggunakan ekstraksi vakum atau forceps akan
bermanfaat.
Bila terjadi pendarahan post partum yang berat, prostaglandin E2 dan
uterotonika lainnya harus digunakan sebagai pengganti prostaglandin F2(x) yang
dapat menimbulkan terjadinya bronkospapasme yang berat.
Dalam memilih anestesi dalam persalinan, golongan narkotik yang tidak melepaskan
histamin seperti fentanyl lebih baik digunakan daripada meperidine atau morfin yang
melepas histamin.
Bila persalinan dengan seksio sesarea atas indikasi medik obstetrik yang lain,
maka sebaiknya anestesi cara spinal.

Penanganan asma post partum
Penanganan asma post partum dimulai jika secara klinik diperlukan.
Perjalanan dan penanganan klinis asma umumnya tidak berubah secara dramatis
setelah post partum. Pada wanita yang menyusui tidak terdapat kontra indikasi yang
berkaitan dengan penyakitnya ini.
Teofilin bisa dijumpai dalam air susu ibu, tetapi jumlahnya kurang dari 10%
dari jumlah yang diterima ibu. Kadar maksimal dalam air susu ibu tercapai 2 jam
setelah pemberian, seperti halnya prednison, keberadaan kedua obat ini dalam air
susu ibu masih dalam konsentrasi yang belum mencukupi untuk menimbulkan
pengaruh pada janin.

Anda mungkin juga menyukai