Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan salah satu dari beberapa penyakit yang sering menjadi
penyulit dalam kehamilan. Beberapa penelitian terakhir menyebutkan bahwa asma
bronkiale menjadi penyulit pada sekitar 4% kehamilan. Prevalensi yang
sebenarnya bisa lebih tinggi karena sekitar 10% populasi memiliki
hiperreaktivitas saluran nafas nonspesifik yang merupakan stigma asma. Lebih
lanjut, dalam dekade 80-an, prevalensi, morbiditas, dan mortalitas asma
meningkat sampai 60%.
Asma yang tidak terkontrol dapat menyebabkan komplikasi ibu dan janin
yang serius. Asma yang tidak terkontrol meningkatkan risiko kematian perinatal,
prematuritas, dan atau bayi berat badan lahir rendah serta preeklamsi. Asma dapat
terjadi pertama kali atau tereksaserbasi selama kehamilan, dan kehamilan dapat
memberikan efek samping untuk perjalanan penyakit asma sendiri pada sekitar
sepertiga wanita hamil dengan penyulit asma.
Di lain pihak, sebagian besar wanita hamil dengan asma dapat mengontrol
asmanya dengan baik dan memiliki bayi yang sehat. Kontrol asma yang baik
memberi kesempatan bagi seorang wanita dengan asma untuk mempertahankan
kehamilan normal dengan sedikit atau tanpa adanya risiko untuk wanita tersebut
atau janinnya.
Pasien-pasien dengan asma yang hamil memerlukan penanganan terhadap
asmanya. Oleh sebab itu, wanita hamil dan wanita yang ingin hamil seharusnya
mendapatkan penanganan farmakologik dan non-farmakologik untuk menangani
asmanya dan menyejahterakan wanita-wanita tersebut dan bayinya.
Penderita selama kehamilan perlu mendapat pengawasaan yang baik.
Penatalaksanaan dari asma pada kehamilan yaitu menghindari faktor pencetus
seperti zat-zat alergan, infeksi saluran napas, udara dingin dan factor psikis.
Untuk pengobatan yang diberikan secara maintenance tetap diberikan sampai
kelahiran(2).

1
BAB II
ASMA BRONKIALE

2.1. Definisi

Meskipun sindrom klinis khas asma yaitu batuk-batuk episodik, wheezing,


dan dispneu dengan obstruksi jalan nafas reversibel tidak sulit dikenali, asma
dapat timbul dengan gejala-gejala tidak khas seperti batuk kadang-kadang, rasa
tertekan pada dada, atau dispneu yang dipicu oleh aktivitas. Banyak definisi asma
yang diterima secara luas, salah satunya menurut American Thoracic Society
(1987)6. Definisi asma mungkin tumpang tindih dengan penyakit lain seperti
bronkitis asmatis dan bronkitis infeksi. Definisi asma yang sudah disetujui sebagai
definisi kerja adalah sebagai berikut:
“Asma adalah penyakit paru dengan karakteristik berikut: (1) obstruksi
jalan nafas reversibel partial atau komplit baik secara spontan atau
setelah pengobatan; (2) inflamasi jalan nafas; (3) respon jalan nafas yang
meningkat terhadap berbagai stimulan.”

2.2. Prevalensi

Secara umum asma merupakan penyakit yang seing ditemukan, yaitu


sekitar 4-5% dari seluruh populasi di Amerika. Gambaran yang hampir sama juga
didapatkan di beberapa negara lainnya (5) .
Pada penelitian yang terbaru dari 366 kehamilan yang diikuti terhadap 330
wanita penderita asma dimana 35% asamnya bertambah buruk, 28% sembuh dan
33% tidak berubah, sedangkan 4% nya tidak jelas perubahannya. Analisis dari
penelitian-penelitian ini memberikan kesimpulan(6) :
1. Secara umum asma berkurang frekuensi dan keparahannya menjelang 4
minggu terakhir kehamilan dibandingkan periode lain dari kehamilan.
2. Ketika asma meningkat selama kehamilan, dimana peningkatan terjadi
secara gradual sesuai dengan bertambahnya usia kehamilan.

2
3. Ketika asma bertambah buruk, gejala bertambah pada umur kehamilan 29-
36 minggu.
4. Kejadian asma selama kehamilan yang berturut-turut cenderung sama
5. Persalinan tidak berhubungan dengan perburukan asma.

Pada penelitian lain dari 47 pasien yang sedang hamil, dimana 43% tidak
berubah dan 14% mengalami perbaikan. Secara umum pasien tersebut dengan
asma berat lebih seing menjadi buruk, dimana asma ringan cenderung tidak
berubah. Data awal dari penelitian ini menunjukan pasien dengan peningkatan
jumlah Ig E yang tidak berubah selama kehamilan cenderung mengalami
eksaserbasi, sedangkan jumlah Ig E yang menurun akan membaik(6) .

2.3. Patogenesis

Asma dikarakterisasi oleh respon berlebihan jalan nafas dengan


bronkokonstriksi berlebihan sebagai respon terhadap bahan-bahan farmakologik,
kimia, dan fisikal. Obstruksi jalan nafas dengan wheezing dapat timbul setelah
terpapar alergen, iritan lingkungan, infeksi virus pada saluran pernafasan, udara
dingin, ataupun latihan fisik. Semua orang dengan asma memiliki
hiperresponsivitas saluran nafas yang seringnya berhubungan dengan beratnya
gejala klinis. Banyak individual tanpa gejala asma yang nyata menunjukkan
hiperresponsivitas jalan nafas namun umumnya kurang berespon terhadap bahan-
bahan yang provokatif 6,7.
Beberapa mekanisme diajukan untuk menjelaskan hiperresponsivitas jalan
nafas pada asma, termasuk inflamasi saluran nafas, kelainan integritas epitel
bronkus, perubahan kontrol saraf otonom saluran nafas, perubahan pada fungsi
otot polos intrinsik bronkus, perubahan volume dan komposisi lapisan lendir
saluran nafas, defek kontrol aliran darah bronkus, dan geometri saluran nafas yang
abnormal 6,7.

3
2.4. Patofisiologi

Tanda dari fisiologi asma adalah penurunanan diameter saluran napas yang
diakibatkan oleh kontraksi otot polos, oedem dari dinding bronchial, juga karena
adanya hipersekresi, sehingga terjadi peningkatan resistensi saluran napas,
penurunan FEV (Force Expiratory Volume) dan kecepatan aliran, hiperinflasi dari
paru dan thorax, peningkatan usaha untuk bernapas, peningkatan kerja dari otot-
otot pernapasan, berkurangnya elastisistas, distribusi yang abnormal dari aliran
darah fentilasi dan aliran darah paru dengan perubahan rationya, dan perubahan
konsentrasi gas darah. Jadi walaupun asma merupakan penyakit saluran napas
tetapi semua aspek paru mengalami kerusakan selama serangan akut. (7)

2.5. Gejala dan Pemicu Asma

Pemicu terjadinya serangan asma diantaranya (5,8,9) :


- Infeksi saluran napas baik bacterial maupun infeksi virus.
- Merokok
- Asap dari masakan atau pembakaran kayu
- Emosi
- Alergi makanan
- Rhinitis alergi
- Perubahan cuaca, terutama dingin, udara kering
- Olahraga
- Reaksi akergi pada zat kimia terttentu
- Reaksi alergi terhadap kosmetik, sabun, sampo
- Reaksi alergi terhadap zat iritan seperti debu, kutu, bulu, dan lain-lain.

Serangan asma biasanya bersifat episodic dan dapat berakhir dalam beberapa
menit sampai hari. Diantara serangan pasien biasanya sehat. Serangan akut dapat
dimulai beberapa menit setelah paparan. Pasien akan merasakan sesak napas,
diikuti dengan batuk dan wheezing. Ketika obstruksi pada saluran napas menjadi

4
parah, rhonchi dan wheezing akan hilang. Kebingungan, letih, sianosis merupakan
tanda dari serangan asma berat dan merupakan indikasi untuk diberikan terapi
segera(9) .

2.6. Diagnosis

Asma dapat timbul pertama kali selama kehamilan sehingga penegakan


diagnosisnya mungkin dikacaukan dengan dispneu fisiologis kehamilan.
Diagnosis asma berdasarkan pada riwayat kesehatan yang cocok, pemeriksaan
fisik, dan tes laboratorium. Diagnosis asma terpusat pada adanya obstruksi jalan
nafas episodik dan reversibilitas obstruksi tersebut. Reversibilitas dinyatakan dari
peningkatan 15% FEV1 atau lebih setelah 2 kali menghirup preparat agonis B-
adrenergik. Jika pemerikasaan spirometri memperlihatkan hasil yang normal,
diagnosis dapat dibuat berdasarkan peningkatan respon saluran napas terhadap
tantangan dengan histamine, methacholine atau isocapnic hiperventilasi udara
dingin(10) .
Penderita asma biasanya memiliki riwayat episode batuk, dada terasa
tertekan, wheezing, dan dispneu. Asma mungkin timbul dengan gejala-gejala yang
tidak khas seperti batuk terisolasi, nyeri dada, bronkitis berulang, atau dispneu
yang timbul karena aktivitas(10).
Selama eksaserbasi akut, pada pemeriksaan fisik didapatkan hiperinflasi,
ekspirasi memanjang, wheezing, dan penggunaan otot-otot pernafasan tambahan.
Pemeriksaan fisik dapat kembali normal pada interval eksaserbasi(10).
Tes fungsi paru dapat ditemukan adanya obstruksi aliran udara yang reversibel
pada spirometri. Kegagalan respon langsung terhadap bronkodilator inhalasi tidak
menyingkirkan diagnosis. Spirometri ulang setelah beberapa minggu perawatan
dapat menunjukkan kemajuan. Pengukuran udara ekspiratoar puncak mungkin
menunjukkan peningkatan variabilitas atau penurunan aliran puncak seiring
timbulnya gejala-gejala. Metacholine challenge test dapat menunjukkan adanya
hiperreaktivitas jalan nafas namun tes ini jarang diperlukan untuk menegakkan

5
diagnosis asma. Tes ini tidak menimbulkan efek samping berlebihan pada wanita
hamil jika dilakukan dengan pemantauan yang baik(10) .
Setelah diagnosis dipastikan, perjalanan penyakit dan efektifitas dari terapi
dapat diikuti dengan pengukuran Peak Expiratori Flow Rate (PEFR) atau FEV1.
Untuk mengetahui jenis elergi yang dimiliki dapat dilakukan test dengan
bermacm-macam allergen.(10)
Secara labolatoris dapat ditemukan sel-sel eosinofil dari darah dan sputum
dan juga dapat diukur serum IgE, walupun penemuan tersebut tidak hanya terjadi
pada asma. (10)

6
BAB III
FISIOLOGI KEHAMILAN DAN INTERAKSINYA DENGAN ASMA

3.1. Fisiologi Maternal dan Pengaruhnya Terhadap Oksigenisasi Janin

Perubahan-perubahan pada sistem pernafasan, kardiovaskular, dan


sirkulasi ibu selama kehamilan mempengaruhi oksigenisasi janin dan status asam
basa. Bagian ini akan membahas perubahan-perubahan fisiologis dan implikasi
klinisnya 5.

3.1.1. Perubahan Sistem Pernafasan


Hiperventilasi relatif selama kehamilan mulai terlihat pada trimester
pertama. Perubahan ini dikarenakan adanya peningkatan volume tidal sedangkan
frekuensi pernafasan relatif tidak mengalami perubahan selama kehamilan. Maka
dari itu, takipneu pada kehamilan (frekuensi > 20x/menit) merupakan
abnormalitas yang harus dicari penyebabnya. Peningkatan volume tidal prinsipnya
disebabkan oleh peningkatan produksi progesteron plasenta yang juga
menyebabkan sensasi nafas pendek (“dispneu kehamilan”) yang biasa terjadi pada
kehamilan. Hiperventilasi kehamilan berhubungan dengan perubahan penting
pada gas darah arteri dengan tekanan karbon dioksida arteri istirahat (PCO 2) di
bawah 35 mmHg. Alkalosis respiratoar kronis ini sebagian dikompensasi oleh
peningkatan ekskresi bikarbonat ginjal. Konsumsi oksigen total dan rasio
metabolik basal juga meningkat sampai 20% dan 15% sesuai dengan peningkatan
tekanan oksigen ibu yang juga biasa terjadi pada kehamilan normal. Nilai normal
PO2 bervariasi dari 106 sampai 108 mmHg selama trimester pertama dan sedikit
menurun pada trimester ketiga. Oksigenisasi banyak dipengaruhi oleh posisi
tubuh. 25% wanita hamil memiliki tekanan oksigen arteri kurang dari 90 mmHg
pada posisi berbaring dan ada kecenderungan mengalami peningkatan gradien
oksigen arterial-alveolar pada posisi berbaring daripada posisi berdiri 5.
Parameter-parameter yang dilihat pada tes fungsi paru adalah sebagai
berikut: penurunan volume residu, kapasitas residu fungsional, volume cadangan

7
ekspiratoar, dan kapasitas total paru, adanya peningkatan kapasitas inspiratoar,
dan tidak ada perubahan pada kapasitas vital atau forced expiratory volume in 1
second (FEV1). Semua perubahan yang telah dibicarakan berpotensi
mempengaruhi interpretasi klinis tes fungsi paru dan pengukuran gas darah pada
wanita hamil dengan asma dan harus diingat saat interpretasi klinis data-data
tersebut. Namun secara umum, parameter fungsi paru pada penggunaan klinis
umum seperti frekuensi pernafasan atau FEV1 tidak berubah dengan adanya
kehamilan sehingga setiap perubahan pada parameter ini harus dianggap dan
diperlakukan sebagai abnormalitas 5.
Informasi terakhir meyebutkan bahwa selama persalinan yang
menyakitkan didapatkan hipoventilasi relatif di antara kontraksi dan berakibat
pada penurunan PO2 ibu. Dengan fungsi paru normal, janin terhindar dari efek
fenomena ini. Namun informasi ini berguna sebagai dasar pemakaian oksigen
secara bebas pada pasien-pasien yang sedang bersalin dengan berbagai tingkatan
gangguan pernafasan. Saturasi oksigen ibu harus tetap lebih tinggi dari 95% untuk
menjamin oksigenisasi janin yang cukup 5.

3.1.2. Perubahan Sistem Kardiovaskular


Selama kehamilan normal, curah jantung istirahat meningkat tajam sejak
usia kehamilan 6 minggu dan mencapai puncaknya pada awal trimester ketiga
sampai 30-50% di atas nilai curah jantung wanita yang tidak hamil 2. Peningkatan
ini sebagai akibat dari meningkatnya denyut jantung dan volume sekuncup yang
dipertahankan selama kehamilan. Pada trimester ketiga, curah jantung menurun
tajam baik pada posisi berbaring atau berdiri. Lebih dari 10% wanita mungkin
mengalami “sindroma hipotensif berbaring”/supine hypotensive syndrome yaitu
penurunan tajam tekanan darah akibat dari sumbatan vena cava pada posisi
berbaring3,4. Hipotensi berbaring dapat mempengaruhi hemodinamik ibu dan
menyebabkan hipoksia janin dan bradikardi karena penurunan perfusi uterus.
Maka dari itu, wanita hamil seharusnya menghindari posisi berbaring dan lebih
memilih posisi berbaring miring 4.

8
Peningkatan tajam curah jantung lebih lanjut terlihat pada periode
peripartum. Persalinan mengakibatkan peningkatan 1 sampai 2 liter per menit
sejak kala II 3,4. Peningkatan ini dapat diminimalkan dengan posisi miring kiri dan
kanan disertai anestesi epidural. Pada periode postpartum dini, curah jantung juga
meningkat sampai 40-50% sebagai akibat fenomena “autotransfusi” yaitu
pelepasan obstruksi vena cava dan kembalinya darah dari uteroplasental ke dalam
sirkulasi sentral. Maka dari itu, waktu risiko maksimum untuk pasien dengan
gangguan fungsi kardiovaskular adalah selama periode peripartum. Tindakan
seksio sesaria tidak mengurangi risiko ini.

3.1.3. Perubahan Sistem Sirkulasi


Volume darah meningkat tajam selama kehamilan dengan peningkatan
volume plasma 40-50% diatas nilai wanita yang tidak hamil 1,2. Peningkatan ini
diakibatkan oleh rangsangan estrogen terhadap aldosteron yang dimulai pada usia
kehamilan 4-6 minggu, stabil pada usia kehamilan sekitar 32-34 minggu dan tidak
mengalami perubahan sampai persalinan. Perubahan yang didapatkan adalah
peningkatan massa sel darah merah, eritropoiesis dirangsang oleh chorionic
somatomammotrophin, progesteron, dan kemungkinan prolaktin. “Anemia
fisiologis” kehamilan bisa terjadi karena peningkatan massa sel darah merah 20-
25% yang berlawanan dengan peningkatan volume plasma yang lebih besar.
Volume darah diperkirakan meningkat 1600 cc pada kehamilan tunggal dan 2000
cc pada kehamilan kembar 1,2.
Tekanan darah arteri sistolik dan diastolik menurun sampai tengah
kehamilan dan kembali normal secara bertahap dengan bertambahnya usia
kehamilan. Perubahan ini tampaknya dihasilkan dari efek sekunder penurunan
resistensi pembuluh darah sistemik yang diperantarai secara hormonal. Maka dari
itu, tekanan darah yang disebut hipotensif pada seorang laki-laki dewasa dapat
disebut normal pada seorang wanita hamil khususnya selama kehamilan trimester
kedua. Sangatlah penting membandingkan catatan tekanan darah prenatal dalam
mengevaluasi tekanan darah pasien hamil dengan asma yang menderita sakit yang
serius 1,2.

9
Resistensi pembuluh darah sistemik menurun pada trimester kedua dan
kembali normal pada akhir trimester ketiga. Namun, dari suatu penelitian
didapatkan bahwa resistensi pembuluh darah sistemik menurun sampai 20%
dibandingkan kontrol wanita yang tidak hamil, bahkan pada akhir trimester ketiga.
Resistensi pembuluh darah paru juga menurun sampai 35% pada akhir kehamilan
dibandingkan dengan nilai kontrol. Indeks kerja sekuncup ventrikel kiri, tekanan
kapiler paru, dan tekanan vena sentral tidak mengalami perubahan. Namun,
gradien tekanan kapiler paru dan tekanan onkotik koloid menurun pada kehamilan
trimester ketiga. Hal ini menjadi predisposisi wanita hamil mengalami edema paru
baik karena peningkatan tekanan intravaskular atau peningkatan permeabilitas
kapiler paru 1,2.

3.2. Respon Janin Terhadap Penyakit Kritis Ibu

Dengan adanya penyakit kritis ibu seperti asma eksaserbasi akut, PO2
arteri ibu dapat turun sampai 106 mmHg. Penurunan PaO 2 ibu dan janin terutama
dibawah 60 mmHg dapat mengakibatkan penurunan saturasi oksigen janin dan
hipoksia janin. Pemberian oksigen kepada ibu hanya menghasilkan sedikit
peningkatan PaO2 janin. Sebagai contoh, jika PaO2 ibu meningkat dari 91 menjadi
583 mmHg, PaO2 janin hanya naik dari 11 menjadi 16 mmHg. Namun, sedikit
perubahan PaO2 janin akan menghasilkan peningkatan tajam saturasi oksigen
janin dan dapat memberikan manfaat untuk janin hipoksik. Hal ini tampak jika
ada masalah pada fungsi janin-plasenta seperti pada pertumbuhan janin terhambat.
Karena itu, pemantauan kesejahteraan janin yang agresif sangat penting selama
penyakit kritis ibu 5.
Kelayakan aliran darah uterus merupakan pertimbangan penting lain pada
janin dari ibu yang sedang sakit serius. Saat usia kehamilan mendekati aterm,
aliran darah uterus mencapai 500 cc per menit yaitu sekitar 10% dari curah
jantung total ibu. Sirkulasi ke kotiledon plasenta sekitar 85-90% dari aliran darah
uterus tersebut. Arteri-arteri uterus hanya memiliki kapasitas kecil autoregulasi.
Karena itu, jika tekanan arteri sistemik turun, aliran darah uterus dan plasenta juga

10
turun. Sebagai tambahan, hiperventilasi dan hipokarbia ibu dapat menyebabkan
vasospasme sehingga menurunkan aliran darah uterus. Pada ibu hipotensif atau
hipoksik, vasodilatasi kompensatoar yang bertujuan untuk mempertahankan
sirkulasi ke organ-organ vital seperti jantung dan otak akan lebih menurunkan
aliran darah uterus. Maka tidak mengherankan jika hipotensi atau hipoksia ibu
dengan penyebab apapun menjadi perhatian utama dokter karena denyut jantung
janin abnormal yang mengindikasikan gawat janin. Gawat janin dapat timbul
bahkan saat tidak ada hipotensi atau hipoksia ibu karena mekanisme kompensasi
ibu cenderung untuk mempertahankan tekanan arteri sistemik dan oksigenisasi
organ-organ vital ibu yang mengurangi aliran darah uterus. Karena itu janin
berfungsi sebagai oksimeter dalam tubuh ibu, jika tidak ada kelainan denyut
jantung janin, hampir tidak mungkin didapatkan hipoksia dan hipotensi ibu 5.
Pemantauan kesejahteraan janin yang agresif penting dilakukan selama
penyakit kritis ibu. Meskipun dekompensasi kardiopulmonar ibu yang
bermanifestasi sebagai bradikardi janin seharusnya sudah tampak nyata, variasi
manifestasi kondisi ibu dapat berupa hanya variabilitas beat-to-beat denyut
jantung janin menghilang dan atau deselerasi hipoksik yang samar. Maka dari itu,
pemantauan elektronik denyut jantung janin yang kontinyu bersama interpretasi
yang baik penting dilakukan pada trimester ketiga 5.
Pertumbuhan janin terhambat dan keluaran perinatal yang jelek telah
dikaitkan dengan asma selama kehamilan. Karena alasan inilah, semua pasien
dengan asma sedang atau berat atau asma tidak terkontrol selama kehamilan
seharusnya mendapatkan penilaian pertumbuhan janin serial dengan ultrasound,
juga penilaian denyut jantung janin antepartum selama akhir kehamilan trimester
ketiga 5.

3.3. Efek Asma Terhadap Kehamilan

Asma khususnya jika berat pada kenyataannya dapat berpengaruh pada


kehamilan. Menurut Clark, dkk (1993) dua penelitian besar epidemiologi
mengatakan bahwa asma berpotensi memberikan efek yang merugikan, diikuti

11
dengan peningkatan insidensi lahir premature, BBLR, kematian perinatal, dan
preeklamsi, gangguan tekanan darah ini disertai dengan bocornya protein pada
urine ibu dan sangat potensial untuk terjadinya kerusakan ginjal, otak, hepar, dan
mata. Lehrer, dkk (1993) melaporkan bahwa wanita asma memiliki insidensi dua
koma lima kali lipat dari kehamilan menimbulkan hipertensi. (12)
Komplikasi yang dapat mengancam hidup yaitu pnemothorax,
pnemomediatinum, akut cor pulmonale, cardiac aritmia, kelelahan otot dengan
respiratory arest(12).

3.4. Efek Kehamilan Terhadap Asma

Pengaruh kehamilan terhadap perjalanan klinis asma, bervariasi dan tidak


dapat diduga. Dispnea simtomatik yang terjadi selama kehamilan, yang mengenai
60%-70% wanita hamil, bisa memberi kesan memperberat keadaan asma(1).
Wanita yang memulai kehamilan dengan asma yang berat, tampaknya
akan mengalami asma yang lebih berat selama masa kehamilannya dibandingkan
dengan mereka yang dengan asma yang lebih ringan. Sekitar 60% wanita hamil
dengan asma akan mengalami perjalanan asma yang sama pada kehamilan-
kehamilan berikutnya(1).
Gluck& Gluck menyimpulkan bahwa peningkatan kadar IgE diperkirakan
akan memperburuk keadaan asma selama kehamilan, sebaliknya penderita dengan
kadar IgE yang menurun akan membaik keadaannya selama kehamilan(1).
Eksaserbasi serangan asma tampaknya sering terjadi pada trimester III atau
pada saat persalinan, hal ini menimbulkan pendapat adanya pengaruh perubahan
faktor hormonal, yaitu penurunan progesteron dan peningkatan prostaglandin,
sebagai faktor yang memberikan pengaruh(1).
Pada persalinan dengan seksio sesarea resiko timbulnya eksaserbasi
serangan asma mencapai 18 kali lipat dibandingkan jika persalinan berlangsung
pervaginam(1).

12
BAB IV
OBAT-OBAT ASMA DALAM KEHAMILAN DAN LAKTASI

Idealnya semua obat-obatan dihindari selama kehamilan, tetapi yang lebih


penting adalah meyakinkan bahwa janin dalam kandungan mendapat suplai
oksigen yang cukup dan menurunkan resiko yang akan terjadi pada ibu. Dengan
kata lain kita harus mempertimbangkan manfaat dan resiko dari suatu obat (9).
Sumber lain menyebutkan bahwa obat-obatan anti asma dapat digunakan
dengan aman selama kehamilan, walaupun demikian penggunaannya selama
trimester pertama kehamilan harus dengan hati-hati(11).
Obat yang tersedia untuk terapi asma dapat dibagi menjadi dua bagian
besar, yaitu obat-obat bronkodilator dan obat-obat anti inflamasi(9).

4.1. Golongan broncodilator:


4.1.1. B-agonis
Agonis β yang mengaktivasi baik reseptor β1 dan β2 misalnya epinefrin
(adrenalin) dan analog isopropilnya yaitu isoproterenol. Dapat dipertimbangkan
pemberian epinefrin subkutan pada eksaserbasi akut berat meskipun terapi awal
lain sudah diberikan. Epinefrin juga didapatkan pada beberapa inhaler asma.
Perhatian timbul pada vasokonstriksi uterus akibat dari efek adrenergik α dari
epinefrin.
β agonis mempunyai keunggulan karena bekerja cepat dan obat yang masuk ke
peredaran darah janin sangan minimal. Obat ini juga sangat efektif untuk
mencegah asma yang disebabkan karena olahraga jika digunakan 15 menit
sebelum aktifitas.
Perinhalasi (Albuterol, Pirbuterol, Terbutaline, Metaproterenol, Biltlterol)
Tablet (Albuterol, Terbutaline, Metaproterenol)

4.1.2. Antikolinergik
Antikolinergik inhalasi menyebabkan bronkodilatasi dengan cara mengurangi
tonus vagal intrinsik pada saluran pernafasan. Beberapa bahan juga menutup
refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan inhalasi. Alkaloid beladona

13
seperti atropin merupakan antikolinergik prototip namun mempunyai efek
samping lokal dan sistemik untuk pasien dengan asma. Ipratropium yang
merupakan derivat keempat bentuk inhalan memiliki sedikit efek samping atropin.
Bahan ini telah terbukti efektif untuk mengobati eksaserbasi akut pada
penggunaan dalam bentuk nebulisasi. Efektivitas ipratropium untuk
penatalaksanaan asma sehari-hari belum teruji 6,7.
Merupakan bronchodilator yang bekerja lebih lambat dari B-agonis inhalasi
(Atrovent).
Satu-satunya bronchodilator yang digunakan parenteral adalah Aminophylline.
Bahan-bahan antikolinergik sudah banyak digunakan selama kehamilan tanpa
efek samping. Ipratropium memiliki efek sistemik yang lebih sedikit daripada
atropin dan tidak dikontraindikasikan pada kehamilan meskipun umumnya tidak
digunakan kecuali pada pasien dengan asma berat 6,7.

4.1.3. Agonis β2 adrenergik (Agonis β2)


Agonis β2 merelaksasi otot polos saluran pernafasan dan menjadi
perantara pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Agonis β2 inhalasi
merupakan obat pilihan untuk pengobatan awal asma eksaserbasi akut dan
pencegahan asma yang diinduksi aktivitas. Agonis β2 juga digunakan secara
kronis untuk membantu kontrol pengecilan saluran pernafasan persisten meskipun
laporan terakhir menunjukkan penggunaan agonis β2 yang terjadwal dengan
teratur (berlawanan dengan penggunaan ‘jika diperlukan/prn’) berhubungan
dengan menurunnya kontrol asma. Karena asma yang terkontrol baik
membutuhkan penggunaan minimal agonis β2 inhalasi, penggunaan yang
meningkat menunjukkan kegagalan kontrol asma. Metaproterenol (orsiprenalin),
albuterol (salbutamol), pirbuterol, bitolterol, dan terbutalin adalah agonis β2
selektif yang sering digunakan.
Hasil penelitian agonis β2 pada binatang umumnya negatif meskipun beberapa
bahan menyebabkan kelainan pada dosis tinggi. Pengalaman penggunaan pada
manusia sudah cukup banyak namun umumnya tidak dilakukan pada akhir
kehamilan. Tidak ada bukti adanya jejas pada janin dari penggunaan obat-obat ini

14
secara sistemik atau inhalasi, dan tidak ada kontraindikasi penggunaannya selama
menyusui 6,7.

4.1.4. Teofilin
Teofilin merupakan penggunaan utama metilsantin dalam terapi asma. Meskipun
mekanisme tepatnya belum diketahui, teofilin berlaku sebagai bronkodilator
ringan-sedang, tergantung dari konsentrasi serumnya. Jika diberikan dalam bentuk
preparat lepas lambat, teofilin memiliki durasi yang panjang dan karena itu
berguna untuk kontrol asma nokturnal. Jika digunakan bersama dosis umum
agonis β2 inhalasi, teofilin dapat menyebabkan bronkodilatasi. Lebih
lanjut,teofilin juga dapat mengurangi kelelahan otot pernafasan dan memiliki
beberapa tingkat aktivitas anti inflamasi 6,7.
Penggunaan teofilin selama kehamilan sudah sangat luas dan tanpa adanya
bukti efek samping terhadap neonatus jika dosis dipandu oleh kadar serum yang
cukup (tidak melebihi 12 g/mL) 6,7.

4.2. Anti inflamasi:


4.2.1. Cromolyn sodium
Obat ini merupakan bahan anti inflamasi nonsteroid yang digunakan untuk
penatalaksanaan sebagai profilaksis asma kronis, tersedia dalam bentuk inhaler
dan nebulizer. Sodium kromolin yang diberikan sebagai profilaksis menghambat
fase awal dan lebih lanjut pengecilan saluran nafas yang diinduksi alergen seperti
juga pengecilan saluran nafas akut setelah aktivitas dan setelah terpapar udara
dingin kering dan sulfurdioksida. Mekanismenya belum seluruhnya dimengerti
namun diperkirakan sodium kromolin menstabilkan dan mencegah pelepasan
mediator dari sel mast. Penelitian pada binatang dan pengalaman manusia hanya
menunjukkan sedikit ancaman terhadap janin 6,7.

4.2.2. Corticosteroid

15
Obat anti inflamasi paling efektif untuk pengobatan asma adalah kortikosteroid.
Dapat diberikan peroral ataupun inhaler.(beclomethasone, betamethasone,
prednisone).
Mekanisme utama adalah interferensi dengan metabolisme asam arakidonat dan
sintesis leukotrien dan prostaglandin, pencegahan migrasi langsung dan aktivasi
sel-sel radang, dan peningkatan responsivitas reseptor beta otot polos saluran
pernafasan. Kortikosteroid dapat diberikan secara parenteral (metilprednisolon,
hidrokortison), secara oral (prednison, prednisolon, metilprednisolon), atau dalam
bentuk aerosol (beklometason, flunisolid, dan triamsinolon) 6,7.
Pemberian kronis kortikosteroid secara oral atau parenteral berkaitan dengan
penurunan berat badan lahir. Penelitian pada binatang menunjukkan adanya celah
palatum pada spesies yang sangat sensitif terhadap kelainan ini tetapi tidak ada
peningkatan cacat bawaan pada manusia. Ada tiga jenis bahan yang tersedia untuk
inhalasi: beklometason, triamsinolon, dan flunisolid. Yang banyak dipakai dalam
kehamilan adalah beklometason sehingga menjadi kortikosteroid inhalasi pilihan
selama kehamilan karena pengalaman klinisnya yang meyakinkan. Meskipun
dapat timbul absorbsi sistemik dari kortikosteroid inhalasi, kadar plasma yang
rendah dari inhalasi ini menyebabkan kecil kemungkinan efek terhadap janin.
Penggunaan kortikosteroid inhalasi atau sistemik merupakan kontraindikasi saat
menyusui 6,7.

4.3. Antihistamin
Antihistamin digunakan untuk menahan aksi pelepasan histamin selama aktivasi
sel mast sebagai respon terhadap alergen atau stimulan lain. Antihistamin banyak
didapatkan dalam obat-obat flu dan anti alergi yang dijual bebas. H1 bloker yang
lebih baru seperti terfenadin dan astemizol memiliki efek sedatif yang lebih kecil
daripada obat-obat generasi pertama yang lebih tua 6,7.
Antihistamin belum terbukti berbahaya bila digunakan selama awal kehamilan.
Dari penelitian dengan binatang dan manusia didapatkan sangat sedikit potensi
teratogenisitas terhadap manusia. Sangat beralasan memilih antihistamin yang
lebih tua karena sudah ada data percobaan terhadap manusia yang meyakinkan

16
untuk penggunaan selama kehamilan. Meskipun ada perhatian tentang efek
antihistamin terhadap anak-anak, tidak ada data meyakinkan tentang efek samping
karena penggunaan obat ini selama akhir kehamilan atau menyusui. Menurut
American Academy of Pediatrics Committee on Drugs, antihistamin disebut-sebut
kompatibel dengan masa menyusui 6,7.

4.4. Dekongestan
Dekongestan merupakan obat adrenergik α yang digunakan untuk konstriksi
pembuluh darah di mukosa hidung. Bahan-bahan yang termasuk dalam golongan
ini misalnya oksimetazolin, fenilefrin, fenilpropanolamin, efedrin, dan
pseudoefedrin. Karena jenis ini memiliki aktivitas adrenergik α, ada perdebatan
tentang potensinya dalam konstriksi suplai pembuluh darah yang terkait dalam
pertukaran udara dan makanan ibu-janin. Akan tetapi, pseudoefedrin tampaknya
tidak menghasilkan efek ini pada dosis terapeutik. Pengalaman pada manusia
tidak menghasilkan gambaran pasti adanya cacat bawaan meskipun the National
Collaborative Perinatal Project mempertanyakan tentang fenilefrin dan
fenilpropanolamin 6,7.

17
BAB V
PENATALAKSANAAN ASMA SELAMA KEHAMILAN

5.1. Prinsip Terapi Pada Wanita Hamil

Tujuan penatalaksanaan asma pada wanita hamil yang juga berlaku untuk semua
pasien asma adalah6,7:
 Mempertahankan fungsi paru normal atau mendekati normal
 Mengontrol gejala, termasuk gejala-gejala malam
 Mempertahankan tingkat aktivitas normal, termasuk olahraga
 Mencegah asma eksaserbasi akut
 Menghindari efek samping pengobatan asma
Selain itu ada tujuan lebih lanjut penatalaksanaan asma pada wanita hamil yaitu:
 Melahirkan bayi yang sehat
Walaupun terapi farmakologi merupakan komponen yang vital dari managemen
yang baik, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan penerangan
pada pasien tentang penyakitnya dan bagaimana cara menghindari serangan asma,
sehingga pasien akan taat terhadap terapi yang dianjurkan dan tujuan untuk
mengarah ke kehidupan yang relative normal dan kehamilan yang normal dapat
diharapkan. Tujuan lainnya adalah agar pasien dapat mengidentifikasi serangan,
mengenali dan mengobati exacerbasi pada tingkat awal. Juga agar pasien
mengetahui bahwa terapi asma hanya mempunyai resiko rendah atau dapat
dikatakan sama sekali tidak beresiko(11).
Secara umum langkah yang harus diperhatikan pada managemen asma yaitu(8,11):
1. Sedapat mungkin menghindari serangan.
2. Terapi awal merupakan hal yang sangat penting. Gunkananlah obat saat
tanda-tanda awal dari asma mulai muncul.
3. Penting pada wanita hamil untuk tidak menunda pengobatan lebih lanjut
jika ditemukan hal-hal dibawah ini:
o Obat-obatan tidak menghasilkan perbaikan yang cepat

18
o Perbaikan tidak terjadi terus-menerus
o Penyakit semakin lama semakin berat
o Terdapat kemunduran dari pergerakan fetus
4. yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengobatan yang teratur.
Penatalaksanaan efektif asma untuk wanita hamil berpedoman pada empat
komponen yaitu6,7:
1. Pengukuran obyektif untuk menilai dan memantau fungsi paru ibu dan
kesejahteraan janin dengan tujuan membuat rekomendasi terapeutik
yang tepat.
2. Pengukuran untuk menghindari atau mengontrol pemicu asma di
lingkungan pasien.
3. Terapi farmakologis
4. Edukasi pasien

5.2. Komponen 1: Pengukuran Obyektif Untuk Penilaian dan Pemantauan


5.2.1. Fungsi Paru Ibu
Tes fungsi paru penting untuk menilai beratnya asma dengan tujuan
memberikan rekomendasi terapeutik yang baik. Asma memiliki karakter obstruksi
aliran udara variabel yang seringnya paling berat saat malam atau pagi hari.
Fungsi paru biasa dinilai dengan spirometri. FEV1 merupakan ukuran
tunggal terbaik fungsi paru untuk menilai beratnya asma. Karena itu, spirometri di
tempat praktek direkomendasikan dalam penilaian awal pasien hamil yang
dievaluasi asmanya dan kemudian dinilai secara periodik sebagaimana
dibutuhkan.
Rasio udara ekspiratoar puncak (peak expiratory flow rate/PEFR)
merupakan kapasitas udara terbesar yang didapat selama ekspirasi paksa yang
dimulai dengan paru mengembang penuh, dan berhubungan erat dengan FEV1.
PEFR dapat diukur dengan peak flow meter yang terpercaya, murah, dan portabel.
Karena PEFR hanya mengukur fungsi saluran pernafasan besar, PEFR bukan
pengukuran obstruksi aliran udara paling sensitif. Maka dari itu, PEFR mungkin
tidak cukup untuk menegakkan diagnosis atau evaluasi penuh gangguan fisiologis

19
yang berhubungan dengan asma. Namun tidak dapat disangkal bahwa pemantauan
PEFR di rumah sangat berguna dalam menilai variasi sirkadia pada fungsi paru
(sebuah indikasi hiperresponsivitas saluran pernafasan) dan selanjutnya baik
perjalanan asma dan respon terhadap terapi. Pengukuran PEFR juga dapat
membedakan asma dengan penyebab lain dispneu selama kehamilan, menilai
gejala dan meramalkan eksaserbasi asma. Penggunaan PEFR direkomendasikan
sebagai parameter obyektif untuk follow up gejala dan membuat rekomendasi
terapeutik saat rekomendasi semacam itu tergantung pada beratnya obstruksi
aliran udara. Pemantauan PEFR terutama bermakna untuk mendeteksi deteriorasi
asma, meramalkan eksaserbasi akut, dan menilai respon terhadap terapi.
Mempertahankan fungsi paru sampai sebisa mungkin mendekati normal sangat
diharapkan selama kehamilan. Pasien-pasien yang memerlukan keberhasilan
tujuan ini sebaiknya disuplai dengan peak flow meter rumah. Secara umum hal ini
termasuk wanita dengan asma sedang sampai berat. Pasien-pasien ini seharusnya
mencatat PEFR pagi hari, siang hari, dan kira-kira 12 jam kemudian lalu
membawa catatan ini setiap kunjungan prenatal.

5.2.2. Pemantauan Janin


Tujuan penatalaksanaan wanita hamil dengan asma adalah mengoptimalkan
fungsi paru ibu dan mengidentifikasi janin-janin yang berisiko mengalami
hambatan pertumbuhan dan keluaran buruk.
Yang penting ibu hamil penderita asma sebaiknya rajin memeriksakan
janinnya sejak awal. Pemeriksaan dengan USG dapat dilakukan sejak usia
kehamilan 12 - 20 minggu untuk mengetahui pertumbuhan janin. USG dapat
diulang pada trisemester ke-2 dan ke-3 terutama bila derajat asmanya berada pada
tingkat sedang - berat. Pemeriksaan janin juga dapat dilakukan dengan electronic
fetal heart rate monitoring untuk memeriksa detak jantung janin.
Pada trimester ketiga, pemantauan janin kadang terlupa selama eksaserbasi
asma. Pada trimester ketiga, jika diperlukan dapat dilakukan pemantauan denyut
jantung janin (nonstress test atau contraction stress test) dan penentuan tingkah
laku janin secara elektronik (biophysical assessment) untuk meyakinkan

20
kesejahteraan janin. Indikasi penilaian antepartum janin meliputi hambatan
pertumbuhan, asma sedang-berat, eksaserbasi asma, dan penurunan pergerakan
janin.
Saat wanita dengan asma berada dalam persalinan maka diperlukan
pemantauan janin ketat. Pada pasien risiko rendah, mungkin tidak diperlukan
pemantauan janin elektronik kontinyu. Penilaian janin dapat dicapai dengan
pemantauan elektronik selama 20 menit yang disebut tes masuk rumah sakit
(admission test). Namun pasien-pasien dengan asma ringan atau sedang yang
terkontrol dan tes masuk rumah sakit yang meyakinkan, auskultasi intermiten,
pengukuran PEFR, atau pemantauan denyut jantung janin elektronik mungkin
cukup. Pemantauan janin intensif direkomendasikan untuk pasien yang memasuki
persalinan dengan asma tidak terkontrol atau berat dan memiliki tes masuk rumah
sakit yang tidak meyakinkan atau faktor risiko lain. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara pemantauan denyut jantung janin elektronik atau auskultasi
intermiten (setiap 15 menit pada kala 1, setiap 5 menit pada kala 2). Selama masa
persalinan, pemantauan janin intensif dapat dipikirkan untuk menjadi pedoman
obstetris dan penatalaksanaan asma.

5.3. Komponen 2: Pengukuran Untuk Mencegah atau Mengontrol Pemicu


Asma
5.3.1. Kontrol Lingkungan
Menghapuskan paparan lingkungan yang buruk sangat penting dalam
mengontrol asma selama kehamilan. Iritan dan alergen yang merangsang gejala
akut juga meningkatkan hiperresponsivitas saluran nafas. Iritan nonspesifik
meliputi asap rokok, debu, bau-bauan kuat, dan polutan udara lingkungan.
Khususnya jika pasien sendiri merokok, dia harus dipaksa berhenti dan dirujuk ke
sebuah program berhenti merokok yang baik.
Kutu-kutu rumah tampak memegang peran utama sebagai penyebab asma
alergi. Alergen kutu dapat ditemukan di seluruh rumah, di kasur, bantal, karpet,
furnitur, selimut, pakaian, dan mainan lunak. Kelangsungan hidup binatang ini

21
tergantung pada kelembaban udara, mereka muncul pada lingkungan dimana
kelembaban relatifnya lebih tinggi dari 50%.
Pencetus lain bisa berasal dari latihan olahraga yang terlalu dipaksakan,
infeksi saluran pernapasan (batuk-pilek), perubahan cuaca, dan emosi.

5.3.2. Terapi Imun


Terapi imun dapat mencegah inflamasi alergi dan terbukti mengurangi
gejala asma yang dirangsang alergen seperti kutu rumah, kotoran kucing, serbuk
sari rumput, dan alternaria. Terapi imun dapat dipertimbangkan untuk pasien yang
tidak mungkin menghindari alergen dan iritan dan jika pengobatan medis gagal
mengontrol gejala asma.
Masalah utama penggunaan terapi imun selama kehamilan adalah
timbulnya reaksi sistemik (anafilaksis). Induksi kontraksi uterus yang timbul
setelah anafilaksis dan menyebabkan abortus disebutkan dalam beberapa laporan
meskipun hal ini jarang sekali terjadi.

5.3.3. Vaksin
Sudah umum direkomendasikan pemberian vaksin influenza setiap tahun
kepada pasien asma sedang dan berat. Influenza adalah vaksin mati dan tidak ada
bukti menunjukkan adanya hubungan dengan risiko ibu atau janin meskipun
direkomendasikan pemberiannya setelah trimester pertama.

5.4. Komponen 3: Terapi Farmakologis

Prinsip Utama Penatalaksanaan Farmakologis yaitu penyesuaian pedoman


terapi umum sesuai kebutuhan individu pasien. Mengingat asma merupakan
penyakit yang bervariasi diantara penderitanya. Tingkat beratnya asma pada setiap
wanita dapat berubah dari satu bulan atau musim ke bulan lainnya atau selama
kehamilan. Karena itu, regimen farmakologik spesifik harus disesuaikan sesuai
keperluan individu dan keadaan serta diintegrasikan dengan rekomendasi strategi
penatalaksanaan nonfarmakologis.

22
Salah satu tujuan terapi adalah penggunaan obat minimum yang
diperlukan untuk mempertahankan kontrol dengan risiko efek samping terkecil.
Pendekatan bertahap dimana jumlah obat dan frekuensi pemberian ditingkatkan
sesuai keperluan untuk menetapkan kontrol (step up) dan diturunkan jika mungkin
untuk mempertahankan kontrol (step down) digunakan untuk mencapai tujuan ini.
Secara umum, setiap pasien asma harus memiliki agonis β2 inhalan yang tersedia
untuk penanganan penyelamatan gejala akut. Perawatan penyelamatan ini juga
memiliki pola bertahap. Obat-obatan ditambahkan jika perlu untuk mengontrol
gejala. Peningkatan sering hanya bersifat sementara dan tergantung pada berat dan
durasi eksaserbasi asma juga respon pasien sendiri.
Asma merupakan penyakit yang heterogen berdasarkan pada beratnya,
riwayat alamiah dan respon terhadap terapi. Selain itu beratnya gejala pada
seorang pasien tidak selalu sama setiap waktu, sehingga pendekatan managemen
tunggal tidak selalu dapat diterapkan. Dengan kata lain dibutuhkan terapi yang
tepat untuk tingkat beratnya penyakit yang terjadi pada saaat itu(9).

a. Asma Intermiten
Menurut pengalaman, banyak asma yang terjadi hanya ringan saja, gejala
yang kadang kala muncul dapat hilang dengan bronchodilator perinhalasi, tanpa
menimbulkan efek samping yang besar. Jika asma terjadi karena keadaan yang
dapat diperkirakan seperti latihan berat pada olah raga, terapi pencegahan dengan
B-agonis inhaler dianjurkan untuk pasien dengan fungsi paru yang normal atau
mendekati normal (FEV1 lebih besar dari 80%) dan sedikit variasi peak flow
(kurang dari 20%) (7,8,11)

b. Asma Ringan
Penambahan dari preparat control dianjurkan pada gejala ringan yang
terjadi dengan selang waktu yang tidak lama. Walaupun tidak ada konsensus yang
menetapkan berapa frekuensi yang disebutkan sebagai selang waktu yang tidak
lama tersebut. Tetapi sebagai patokan penambahan preparat kontrol diberikan jika
gejala terjadi 1 kali perminggu atau jika gejala pada malam hari terjadi lebih dari
2 kali perbulan. Sebagai pilihan terapi kontrol digunakan kortikosteroid. Tujuan

23
dari penggunaan kortikosteroid awal tidak hanya meringankan gejala yang terjadi
saat ini tetapi juga mencegah komplikasi jangka panjang dari asma. Walaupun
belum terbukti tetapi pemikiran tersebut timbul karena inflamasi saluran napas
yang tidak diterapi dapat menimbulkan perubahan saluran napas dan obstruksi
saluran napas kronik persisten(7,8,11).
Kromolin sebagai anti inflamasi non steroid dapat digunakan jika asma
ringan dengan peningkatan gejala dengan frekuensi kurang dari 1 kali perhari.
Pada gejala yang lebih berat dan seing tetap digukana kortikosteroid inhalasi
karena hasilnya lebih baik(7,8,11).

c. Asma Sedang
Asma sedang ditandai dengan gejala yang hilang dengan menghirup B-
agonis beberapa kali perhari. Asma sedang ini paling baik diobati dengan
kortikosteroid inhalasi untuk mengontrol inflamasi dan B-agonis diberikan jika
perlu untuk menghilangkan gejala(7,8,11)
Pemilihan dosis initial lebih mengarah ke empiris. Terapi dimulai dengan
dosis yang besar 600-1000 mikrogram per hari lalu diturunkan setelah didapatkan
keadaanyang terkontrol. Kebanyakan pasien mencapai control asma yang adekuat
pada dosis dibawah 1000 mikrogram perhari. Pada sebagian kecil pasien
kortikosteroid inhalasi kurang dari 1000 mikrogram perhari tidak cukup untuk
mengontrol gejala. Pada beberapa kasus terapi ditingkatkan dengan menaikan
dosis kortikosteroid inhalasi atau dengan penambahan obat lain, seperti B-agonis
dan theophyllin. Dan menurut penelitian penambahaan B-agonis lebih bermanfaat
daripada meningkatkan dosis kortikosteroid(8,11)

d. Asma Berat
Asma yang ditandai dengan gejala yang menetap walaupun diterapi
dengan kortikosteroid inhalasi dan penambahan terapi dengan B-agonis atau
theophyllin. Asma berat biasanya timbul karena ketidaktaatan terhadap terapi atau
karena terpapar faktor lingkungan yang memicu atau dapat pula karena mendapat
obat yang memicu asma seperti aspirin dan B-bloker(8,11).

24
Pada asma yang berat pilihan terbatas, termasuk penambahan dosis
kortikosteroid inhalasi, penambahan theopillin dan B-agonis. Pasien yang tidak
terkontrol walaupun diterapi dengan kortikosteroid inhalasi sampai dengan 2000
mikrogram perhari dan satu atau lebih long acting bronchodilator,
dipertimbangkan untuk mendapat steroid oral(8,11)

e. Terapi Exacerbasi Akut


Dalam menghadapi ibu hamil dengan serangan asma akut, harus secara
cepat dinilai beratnya serangan, jika berat perlu dipertimbangkan perawat diruang
unit perawatan intensif dengan tetap memonitor keadaan janin dalam kandungan.

Penanganan serangan asma akut pada kehamilan adalah sebagai berikut(1):

1. Pemberian oksigen yang telah dilembabkan, 2-4/menit, pertahankan pO2 70-


80 mmHg. Janin sangat rentan terhadap keadaan hipoksia.
2. Hindari obat-obat penekan batuk, sedatif dan antihistamin. Tenangkan
penderita Berikan cairan intravena, biasanya penderita mengalami kekurangan
cairan, cairan yang digunakan biasanya ringer laktat atau normal saline.
3. Berikan aminofilin dengan loading dose 4-6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan
dosis 0,8-1 mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma
sebesar 10-20 mikrogram/ml.
4. Jika diperlukan pertimbangan penggunaan terbulatin subkutan dengan dosis
0,25 mg
5. Berikan steroid : hidrokortison secara intravena 2 mm/kgBB loading dose,
tiap 4 jam atau setelah loading dose dilanjutkan dengan infus 0,5
mg/kgBB/jam
6. Pertimbangan penggunaan antibiotika jika ada kecurigaan infeksi yang
menyertai
7. Intubasi dan ventilasi bantuan, jarang dibutuhkan kecuali pada kasus-kasus
yang mengancam kehidupan.

25
8. Serangan asma berat yang tidak memberikan respons setelah 30-60 menit
dengan terapi infeksi (obat agonis beta & teofilin) disebut status asmatikus,
pada keadaan ini penderita ini harus ditangani di unit perawatan intensif
Selama kehamilan pertimbangan untuk intubasi lebih awal diperlukan jika
fungsi pernapasan ibu terus menurun, meskipun dilakukan penanganan yang
intensif. Melakukan intubasi dan ventilasi mekanis.

f. Penatalaksanaan Asma Yang Diinduksi Latihan


Asma yang diinduksi latihan (Exercise-induced asthma/EIA) jika tidak
diterapi dapat membatasi dan mengganggu kehidupan normal. Definisi EIA
adalah istilah untuk pengecilan saluran nafas yang timbul beberapa menit setelah
melakukan aktivitas berat. EIA harus diantisipasi pada semua pasien asma
dimana sebagian besar pasien memiliki hiperiritabilitas saluran nafas yang
mengarah pada kondisi ini.
EIA banyak disebabkan oleh kontraksi otot polos. EIA biasanya mencapai
puncaknya 5-10 menit setelah menghentikan aktivitas berat dan kembali normal
dalam 20-30 menit kemudian.
Tujuan penatalaksanaan adalah agar pasien bisa melakukan aktivitas
apapun yang mereka pilih tanpa mengalami gejala asma. Pasien yang mendapat
terapi anti inflamasi dengan jadwal teratur mungkin memiliki kontrol asma yang
cukup dimana asmanya tidak dirangsang oleh latihan. EIA dapat dicegah dengan
inhalasi agonis β2 5-60 menit sebelum latihan. Terapi awal ini berguna untuk
beberapa jam ke depan. Jika pasien masih mengalami gejala dengan adanya
latihan, 2 ‘puffs’ agonis β2 inhalasi dapat melegakan gejala dan dosisnya harus
dinaikkan untuk terapi awal latihan berikutnya. Kombinasi terapi awal agonis β2
dan kromolin dapat efektif saat tidak ada salah satu obat ini yang mencukupi.

5.5. Penanganan Asma Dalam Persalinan

Untuk merawat pasien dengan asma selama persalinan dan kelahiran,


direkomendasikan untuk melanjutkan pengobatan asma yang terjadwal dengan

26
teratur (kromolin inhalasi, beklometason, dan atau teofilin oral) selama persalinan
dan kelahiran. PEFR harus diukur saat akan bersalin atau melahirkan dan
kemudian tiap 12 jam. Jika timbul gejala asma, PEFR diukur setelah pengobatan
asma. Pasien harus dijaga baik hidrasinya dan disiapkan analgesik yang cukup
untuk membatasi risiko bronkospasme. Pasien yang sudah memerlukan
kortikosteroid sistemik kronis atau beberapa kortikosteroid sistemik jangka
pendek selama kehamilan harus diberi hidrokortison 100 mg setiap 8 jam sampai
24 jam postpartum untuk mengobati kemungkinan supresi adrenal.
Saat wanita dengan asma berada dalam persalinan, diperlukan pemantauan
janin ketat. Pada pasien risiko rendah, mungkin tidak diperlukan pemantauan ini.
Penilaian janin dapat diselesaikan dengan pemantauan elektronik selama 20 menit
yang disebut tes masuk rumah sakit. Kemudian untuk pasien dengan asma ringan
atau sedang yang terkontrol baik dan tes masuk masuk rumah sakit yang
meyakinkan, perlu dilakukan auskultasi intermiten, pengukuran PEFR, atau
pemantauan denyut jantung janin elektronik. Pemantauan janin secara intensif
direkomendasikan untuk pasien-pasien yang memasuki persalinan dengan asma
tidak terkontrol atau asma berat dan tidak memiliki tes masuk rumah sakit yang
meyakinkan atau faktor risiko lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan
pemantauan denyut jantung janin elektronik kontinyu atau auskultasi intermiten
(setiap 15 menit pada kala 1, setiap 5 menit pada kala 2). Selama persalinan,
pemantauan janin intensif ini dapat djiadikan pedoman untuk mengambil
keputusan dalam pengelolaan asma dan obstetris yang baik.
Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 I/menit,
maka persalinan harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk menangani
komplikasi pernapasan yang berat; peneliti menunjukkan bahwa 10% wanita
memberat gejala asmanya pada waktu persalinan(1).
Selama persalinan kala I, pengobatan asma selama masa prenatal harus
diteruskan, ibu yang sebelum persalinan mendapat pengobatan kortikosteroid
harus hidrokortison 100 mg intravena, dan diulangi tiap 8 jam sampai persalinan.
Bila mendapat serangan akut selama persalinan, penanganannya sama dengan
penanganan serangan akut dalam kehamilan seperti telah diuraikan di atas(1).

27
Untuk induksi persalinan, oksitosin merupakan obat terpilih. Penggunaan 15-metil
prostaglandin F2-alfa harus dihindari karena merupakan analog prostaglandin F2-
alfa sintetik yang dilaporkan menyebabkan bronkospasme pada pasien asma.
Penggunaan prostaglandin E2 dilaporkan juga dapat menyebabkan bronkospasme.
Namun, sebuah penelitian terakhir menyebutkan bahwa bahan ini aman untuk
abortus terapeutik atau induksi persalinan janin mati pada pasien dengan asma.
Penggunaan jel prostaglandin E2 intravaginal atau intracervical untuk pematangan
serviks sebelum induksi persalinan tidak dilaporkan menyebabkan bronkospasme.
Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan terbaik
untuk penderita asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya
seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipilih anestesi regional
daripada anestesi umum karena intubasi trakea dapat memacu terjadinya
bronkospasme yang berat(1).
Saat memilih analgesik narkotik untuk pasien dengan asma, harus
dipertimbangkan bahan tersebut menyebabkan pelepasan histamin yang
mempercepat bronkospasme. Harus dihindarkan morfin dan meperidin sehingga
bahan terpilih adalah fentanil. Analgesik narkotik menyebabkan depresi
pernafasan dan tidak boleh digunakan pada eksaserbasi asma akut.
Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan
pervaginam, memperpendek kala II dengan menggunakan ekstraksi vakum atau
forceps akan bermanfaat(1).
Jika diperlukan anestesi umum, penggunaan atropin dan glikopirolat dapat
memberikan efek bronkodilator. Untuk induksi anestesi, ketamin merupakan obat
terpilih karena menurunkan resistensi jalan nafas dan dapat mencegah
bronkospasme. Anestesi halogen konsentrasi rendah dapat memberikan efek
bronkodilatasi, memberikan jalan untuk oksigen konsentrasi tinggi dan mencegah
kecemasan ibu terhadap pembedahan serta tidak menimbulkan pendarahan pasca
salin. Bila persalinan dengan seksio sesarea atas indikasi medik obstetrik yang
lain, maka sebaiknya anestesi cara spinal(1).

28
Dalam memilih anestesi dalam persalinan, golongan narkotik yang tidak
melepaskan histamin seperti fentanyl lebih baik digunakan daripada meperidine
atau morfin yang melepas histamine(1).

5.6. Penanganan Asma Post Partum

Penanganan asma post partum dimulai jika secara klinik diperlukan.


Perjalanan dan penanganan klinis asma umumnya tidak berubah secara dramatis
setelah post partum. Pada wanita yang menyusui tidak terdapat kontra indikasi
yang berkaitan dengan penyakitnya ini. Teofilin bisa dijumpai dalam air susu ibu,
tetapi jumlahnya kurang dari 10% dari jumlah yang diterima ibu. Kadar maksimal
dalam air susu ibu tercapai 2 jam setelah pemberian, seperti halnya prednison,
keberadaan kedua obat ini dalam air susu ibu masih dalam konsentrasi yang
belum mencukupi untuk menimbulkan pengaruh pada janin(1).
Pengobatan farmakologis untuk pendarahan pasca salin pada pasien
dengan asma berbeda karena sebagian besar obat oksitosik untuk atonia uteri
dapat memperburuk bronkospasme. Oksitosin adalah obat terpilih untuk
pendarahan pasca salin. Namun jika diperlukan obat tambahan, metilergonovin
dan ergonovin harus dihindari karena menyebabkan bronkospasme. Jika
penggunaannya tidak dapat dihindarkan, sangat disarankan pengobatan awal
dengan metilprednisolon. Penggunaan 15-metil prostaglandin F2-alfa harus
dihindari karena merupakan bronkokonstriktor dan dapat memperburuk asma.
Jika diperlukan pengobatan dengan prostaglandin, analog teraman adalah E2 yang
kurang menyebabkan bronkospasme. Jika ada pendarahan uterus berat,
prostaglandin E2 20 mg supositoria dapat diberikan untuk menghindari efek
washout yang disebabkan pendarahan vagina terus-menerus.
Bila terjadi pendarahan post partum yang berat, prostaglandin E2 dan
uterotonika lainnya harus digunakan sebagai pengganti prostaglandin F2(x) yang
dapat menimbulkan terjadinya bronkospapasme yang berat(1).

29
5.7. Edukasi Pasien

Edukasi pasien merupakan senjata ampuh untuk menolong pasien


mendapatkan motivasi, keahlian, dan kepercayaan diri untuk mengontrol
asmanya. Edukasi pasien harusnya dimulai pada saat diagnosis ditegakkan dan
diintegrasikan dengan perawatan kontinyu.
Sebagian besar tanggung jawab penanganan asma sehari-hari ada pada
pasien dan keluarganya. Partisipasi aktif oleh klinisi, pasien, dan keluarga dalam
sebuah kerjasama dapat meningkatkan pendekatan pada rencana perawatan dan
merangsang kemajuan dalam penatalaksanaan asma. Konsep kerjasama ini
termasuk komunikasi terbuka, pengembangan rencana terapi bersama oleh klinisi
dan pasien, peningkatan usaha keluarga untuk dalam pencegahan dan perawatan
gejala pasien.
Edukasi pasien termasuk membantu pasien memahami asma, membantu
pasien mempelajari dan mempraktekkan keahlian yang diperlukan untuk
mengelola asma, dan mendukung pasien saat mereka meniru tingkah laku
penatalaksanaan asma yang baik dan menambahkannya ke dalam rencana terapi
mereka. Meningkatkan keahlian pasien dalam penatalaksanaan asma dan
meyakinkan bahwa mereka dapat mengontrol asmanya.

4.8. Dukungan Psikologis

Kehamilan merupakan saat stres psikologis karena perubahan-perubahan


dalam bentuk tubuh, gejala-gejala fisik yang menyertai kehamilan, dan ketakutan
tentang kehamilan, persalinan, kelahiran, dan perkembangan janin. Banyak wanita
hamil mengalami labilitas emosi selama kehamilan. Pada pasien yang memiliki
asma, ada masalah tambahan. Stres yang berhubungan dengan kehamilan normal
dapat merangsang asma pada beberapa wanita dengan predisposisi itu. Lebih jauh,
morbiditas asma dapat memperburuk stres kehamilan. Bisa juga didapatkan
ketakutan tambahan tentang efek asma atau pengobatan asma terhadap janin yang
sedang berkembang.

30
BAB VI
KESIMPULAN

Asma merupakan penyakit obstruktif paru yang sering terjadi yang ada
pada wanita hamil. Sehingga jika pasien menderita asma kita sebagai dokter harus
memberitahu apa saja yang harus dihindari selama hamil dan pengobatan harus
teratur untuk mencegah terserangnya asma, yang dapat menyebabkan janin
kekurangan oksigen.
Pengaruh asma terhadap kehamilan misalnya peningkatan kelahiran
preterm dan berat badan lahir bayi rendah, peningkatan mortalitas neonatal, dan
peningkatan hipoksia neonatal, hiperemesis gravidarum, pendarahan vagina, dan
toksemia. Pengaruh kehamilan terhadap asma bisa meningkat (36%), memburuk
(23%), dan tidak mengalami perubahan (41%).
Obat-obat asma yang bisa digunakan adalah anti inflamasi seperti
kortikosteroid, sodium kromolin, sodium nedokromil, bronkodilator seperti agonis
β2 adrenergik, agonis β nonselektif, teofilin, dan anti kolinergik, antihistamin,
dekongestan, dan terapi imun.
Penatalaksanaan efektif asma dalam kehamilan berpedoman pada empat
komponen yaitu:
1. Pengukuran obyektif untuk menilai dan memantau fungsi paru ibu dan
kesejahteraan janin dengan tujuan membuat rekomendasi terapeutik
yang tepat.
2. Pengukuran untuk menghindari atau mengontrol pemicu asma di
lingkungan pasien.
3. Terapi farmakologis
4. Edukasi pasien
Pada saat pasien akan melahirkan baiknya persalinan pervaginam, kecuali
atas indikasi obstetric persalinan dilakukan perabdominal. Jika persalinan
perabdominal lebih baik menggunakan anestesi epidural, karena jika
menggunakan anestesi umum resiko terjadinya bronchospasme lebih besar.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham,F.Gary, dkk. 2005. Maternal Physiology dalam Williams


Obstetrics. Edisi ke-22. McGraw-Hills Companies
2. Cunningham,F.Gary, dkk. 2005. Pulmonary Disorders dalam Williams
Obstetrics. Edisi ke-22. McGraw-Hills Companies
3. Burrow,Gerard N. dan Duffy,Thomas P. 1999. Medical Complications During
Pregnancy. Edisi ke-5. W.B.Saunders Company
4. Perlow,Jordan H. 2000. Asthma Management During Pregnancy dalam
Current Therapy In Obstetrics And Gynecology. Edisi ke-5.
W.B.Saunders Company
5. Kazzi,Amin Antoine dan Marachelian,Araz. 2004. Pregnancy, Asthma.
www.emedicine.com/emerg/topic476.htm
6. Busse,William W. dkk. 2004. Managing Asthma During Pregnancy:
Recommendations for Pharmacologic Treatment.
www.nhlbi.nih.gov/health/prof/lung/asthma/astpreg.htm
7. Lenfant,Claude. dkk. 1993. Management of Asthma During Pregnancy.
http://www.nhlbi.nih.gov/health/prof/lung/asthma/astpreg.txt
8. Setiawati,Arini. 1995. Adrenergik dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-2.
Jakarta:FKUI
9. Sunaryo. 1995. Perangsang Susunan Saraf Pusat dalam Farmakologi dan
Terapi. Edisi ke-2. Jakarta:FKUI
10. Sjamsudin,Udin. 1995. Autakoid dan Antagonis dalam Farmakologi dan
Terapi. Edisi ke-2. Jakarta:FKUI
11. Suherman,Suharti K. 1995. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, dan
Kortikosteroid Sintetik dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-2.
Jakarta:FKUI
12. Sundaru,Heru. 2001. Asma Bronkial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. Edisi ke-3. Jakarta:FKUI

32

Anda mungkin juga menyukai