Disusun Oleh :
PENDAHULUAN
Asma terdapat 3,4 – 8,4 % pada wanita hamil dan gangguan nafas sangat sering
terjadi pada wanita hamil. Perjalanan asma selama kehamilan sangatlah bervariasi bisa
tidak ada perubahan, bertambah buruk atau malah membaik dan akan kembali ke kondisi
seperti sebelum hamil setelah tiga bulan melahirkan(2)(9). Pengaruh kehamilan terhadap
timbulnya serangan asma pada setiap penderita tidaklah sama, bahkan pada seseorang
penderita asma serangannya tidak sama pada kehamilan pertama dan kehamilan
berikutnya. Biasanya serangan muncul pada usia kehamilan 24 – 36 minggu, dan akan
berkurang pada akhir kehamilan.
Pada asma yang tidak terkontrol selama kehamilan akan mempunyai efek yang serius
baik bagi ibu maupun bagi janin. Komplikasi untuk ibu pada asma yang tidak terkontrol
adalah kemungkinan pre-eklampsia, eklampsia, perdarahan vagina dan persalinan
premature, sedangkan komplikasi terhadap bayi adalah intra uterine growth retardation,
bayi premature dan meningkatkan kemungkinan resiko kematian perinatal. Oleh
karenanya pasien hamil dengan asma harus dianggap sebagai pasien dengan kehamilan
resiko tinggi. Tujuan penatalaksanaan pasien asma dalam kehamilan harus meliputi :
pencegahan eksaserbasi akut, mengontrol symptoms, mengurangi inflamasi saluran nafas,
memelihara fungsi paru rata – rata mendekati normal.
Asma bronkiale merupakan penyakit obstruksi saluran nafas yang sering dijumpai
pada kehamilan dan persalinan, diperkirakan 1%-4% wanita hamil menderita asma. Efek
kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi. Turner et al dalam suatu penelitian yang
melibatkan 1054 wanita hamil yang menderita asma menemukan bahwa 29% kasus
membaik dengan terjadinya kehamilan, 49% kasus tetap seperti sebelum terjadinya
kehamilan, dan 22% kasus memburuk dengan bertambahnya umur kehamilan. Sekitar
60% wanita hamil yang mendapat serangan asma dapat menyelesaikan kehamilannya
dengan baik. Sekitar 10% akan mengalami eksaserbasi pada persalinan. Mabie dkk
(1992) melaporkan peningkatan 18 kali lipat resiko eksaserbasi pada persalinan dengan
seksio sesarea dibandingkan dengan pervaginam.
Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologi sistem pernafasan yang disebabkan oleh
perubahan hormonal dan faktor mekanik. Perubahan-perubahan ini diperlukan untuk
mencukupi peningkatan kebutuhan metabolik dan sirkulasi untuk pertumbuhan janin,
plasenta dan uterus.
Selama kehamilan kapasitas vital pernapasan tetap sama dengan kapasitas sebelum hamil
yaitu 3200 cc, akan tetapi terjadi peningkatan volume tidal dari 450 cc menjadi 600 cc,
yang menyebabkan terjadinya peningkatan ventilasi permenit selama kehamilan antara
19-50 %. Peningkatan volume tidal ini diduga disebabkan oleh efek progesteron terhadap
resistensi saluran nafas dan dengan meningkatkan sensitifitas pusat pernapasan terhadap
karbondioksida.
Dari faktor mekanis, terjadinya peningkatan diafragma terutama setelah pertengahan
kedua kehamilan akibat membesarnya janin, menyebabkan turunnya kapasitas residu
fungsional, yang merupakan volume udara yang tidak digunakan dalam paru, sebesar
20%. Selama kehamilan normal terjadi penurunan resistensi saluran napas sebesar 50%.
Perubahan-perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan pada kimia dan gas darah.
Karena meningkatnya ventilasi maka terjadi penurunan pCO2 menjadi 30 mm Hg,
sedangkan pO2 tetap berkisar dari 90-106 mmHg, sebagai penurunan pCO2 akan terjadi
mekanisme sekunder ginjal untuk mengurangi plasma bikarbonat menjadi 18-22 mEq/L,
sehingga pH darah tidak mengalami perubahan.
Secara anatomi terjadi peningkatan sudut subkostal dari 68,5 – 103,5 selama kehamilan.
Perubahan fisik ini disebabkan karena elevasi diafragma sekitar 4 cm dan peningkatan
diameter tranversal dada maksimal sebesar 2 cm. Adanya perubahan-perubahan ini
menyebabkan perubahan pola pernapasan dari pernapasan abdominal menjadi torakal
yang juga memberikan pengaruh untuk memenuhi peningkatan konsumsi oksigen
maternal selama kehamilan.
Laju basal metabolisme meningkat selama kehamilan seperti terbukti oleh peningkatan
konsumsi oksigen. Selama melahirkan, konsumsi O2 dapat meningkat 20-25 %. Bila
fungsi paru terganggu karena penyakit paru, kemampuan untuk meningkatkan konsumsi
oksigen terbatas dan mungkin tidak cukup untuk mendukung partus normal, sebagai
konsekuensi fetal distress dapat terjadi.
PATOFISIOLOGI
Pada asma terdapat penyempitan saluran pernafasan yang disebabkan oleh spasme otot
polos saluran nafas, edema mukosa dan adanya hipersekresi yang kental. Penyempitan ini
akan menyebabkan gangguan ventilasi (hipoventilasi), distribusi ventilasi tidak merata
dalam sirkulasi darah pulmonal dan gangguan difusi gas di tingkat alveoli. Akhirnya akan
berkembang menjadi hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis pada tingkat lanjut. Meskipun
asma secara primer dianggap sebagai penyakit saluran pernapasan, sebenarnya semua
aspek fungsi pernapasan terpengaruh pada suatu serangan akut, sebagai tambahan pada
beberapa penderita juga dijumpai adanya hipertensi pulmonal dan hipertrofi ventrikel
kanan pada elektrokardiografi.
Timbulnya serangan asma disebabkan terjadinya reaksi antigen antibodi pada permukaan
sel mast paru, yang akan diikuti dengan pelepasan berbagai mediator kimia untuk reaksi
hipersentifitas cepat. Terlepasnya mediator-mediator ini menimbulkan efek langsung
cepat pada otot polos saluran nafas dan permiabilitas kapiler bronkus. Mediator yang
dilepaskan meliputi bradikinin, leukotrien C,D,E, prostaglandin PGG2, PGD2a, PGD2,
dan tromboksan A2. Mediator-mediator ini menimbulkan reaksi peradangan dengan
bronkokonstriksi, kongesti vaskuler dan timbulnya edema, di samping kemampuan
mediator-mediator ini untuk menimbulkan bronkokontriksi, leukotrien juga
meningkatkan sekresi mukus dan menyebabkan terganggunya mekanisme transpor
mukosilia.
GAMBARAN KLINIS
Gejala asma yang klasik terdiri atas batuk, sesak dan mengi (wheezing) dan pada
sebagian penderita disertai rasa nyeri di dada. Tetapi ada yang hanya disertai batuk tanpa
sesak.
Dengan demikian ada derajat asma :
1. Tingkat pertama : secara klinis normal, tetapi asma timbul jika ada faktor pencetus.
2. Tingkat kedua : penderita asma tidak mengeluh dan pada pemeriksaan fisik tanpa
kelainan tetapi fungsi parunya menunjukkan obstruksi jalan nafas. Disini banyak
ditemukan pada penderita yang baru sembuh dari serangan asma
3. Tingkat ketiga : penderita tidak ada keluhan tetapi pada pemeriksaan fisik maupun
maupun fungsi paru menunjukkan tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
4. Tingkat keempat : penderita mengeluh sesak nafas, batuk dan nafas berbunyi.Pada
pemeriksaan fisik maupun spirometri akan dijumpai tanda-tanda obstruksi jalan napas.
5. Tingkat kelima : adalah status asmatikus, yaitu suatu keadaan darurat medik berupa
serangan akut asma yang berat, bersifat refrakter terhadap pengobatan yang biasa dipakai.
Adanya riwayat asma sebelumnya, riwayat penyakit alergik seperti rinitis alergik, dan
keluarga yang menderita penyakit alergik, dapat memperkuat dugaan penyakit asma.
Selain hal-hal di atas, pada anamnesa perlu ditanyakan mengenai faktor pencetus
serangan.
Penemuan pada pemerikasaan fisik penderita asma tergantung dari derajat obstruksi jalan
nafas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, takikardi, pernapasan cepat sampai
sianosis dapat dijumpai pada penderita asma dalam serangan. Dalam praktek tidak sering
ditemukan kesulitan dalam menegakkan diagnosis asma, tetapi banyak pula penderita
yang bukan asma menimbulkan mengi sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang.
PEMERIKSAAN
1. Riwayat
Pasien dengan riwayat asma yang telah berlangsung sejak lama ditanya sejak kapan,
derajat serangan-serangan sebelumnya. Penggunaan kortikosteroid yang telah lalu,
riwayat sering dirawat di rumah sakit, riwayat ventilasi mekanik yang pernah dialami,
atau perawatan di ruang rawat darurat yang baru dialami dapat memberikan petunjuk bagi
adanya serangan lebih parah atau membandel yang membutuhkan perawatan di rumah
sakit.
2. Pemeriksaan Fisik
Serangan yang parah dicurigai dari adanya sesak nafas pada waktu istirahat, kesulitan
mengucapkan kalimat, diaforesis atau penggunaan otot-otot pernafasan tambahan.
Kecepatan respirasi lebih besar dari 30 kali/menit, nadi berdenyut lebih cepat dari 120
kali/menit dan pulsus paradoksus yang lebih besar dari 18 mmHg menunjukkan serangan
berat yang berbahaya.
Gejala yang ditemui : wheezing sedang sampai bronkokonstriksi berat. Bronkospasme
akut dapat bergejala obstruksi saluran nafas dan menurunnya aliran udara. Kerja system
pernafasan menjadi meningkat drastis dan pada pasien dapat dilihat gerakan dada yang
tertinggal, wheezing atau kesukaran bernafas. Peristiwa berikutnya pada refleks oksigen
primer terjadi reflek ventilasi perfusi yang tidak sepadan karena distribusi dari saluran
udara (bronchus) secara merata tidak terjadi.
Adapun tingkatan klinik asma dapat dilihat pada table berikut dibawah ini
Tingkatan PO2 PCO2 pH FEV1
(% predicted)
Alkalosis respiratori sedang Normal ↓ ↑ 65 – 80
Alkalosis respiratori ↓ ↓ ↑ 50 – 64
Tingkat waspada ↓ Normal Normal 35 – 49
Asidosis respiratori ↓ ↑ ↓ < 35
Pada kasus asma sedang, hipoksia pada awalnya dapat dikompensasi oleh hiperventilasi,
sebagai refleksi dari PO2 arteri normal, menurunnya PCO2 dan alkalosis respiratori.
Akibat penyempitan saluran udara yang bertambah berat gangguan ventilasi perfusi
menjadi bertambah berat juga dan arterial hipoksemi terjadi. Pada obstruksi berat,
ventilasi menjadi berat karena fatigue menjadikan retensi CO2.Pada hiperventilasi,
keadaan ini hanya dapat dilihat sebagai PCO2 arteri yang berubah menjadi normal.
Akhirnya pada obstruksi berat yang terjadikegagalan pernafasan dengan karakteristik
hiperkapnia dan asidemia.
Walaupun perubahan ini bersifat reversibel dan dapat ditoleransi pada wanita tidak hamil
namun, setiapa awal derajat tingkatan asma sangat berbahaya untuk wanita hamil dan
bayinya. Penurunan kapasitas fungsi residu dan peningkatan efektif shunt menyebabkan
wanita hamil lebih rentan terhadap hipoksia dan hipoksemia.
4. Pemeriksaan-pemeriksaan Laboratorium
a. Spirometri
Pengukuran yang objektif terhadap aliran udara sangat penting dalam evaluasi dan terapi
terhadap serangan. Perawatan di rumah sakit dianjurkan bila FEV1 inisial kurang dari
30% dari harga normal atau tidak meningkat hingga paling sedikit 40% dari harga normal
setelah diberikan terapi kuat selama 1 jam.
c. Foto Thorax
d. Pemeriksaan tes kulit.Tujuan tes kulit yaitu menunjukkan adanya antibodi IgE yang
spesifik dalam tubuh. Tes ini hanya menyokong anamnesa, karena alergen yang
menunjukkann tes kulit yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma; sebaliknya
tes kulit yang negatif tidak selalu berarti tidak ada faktor kerentanan kulit.
e. Pemerikasaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam serum.
f. Kegunaan pemeriksaan IgE total tidak banyak dan hanya untuk menyokong adanya
penyakit atopi.
g. Pemerikasaan radiology
h. Pada umumnya pemeriksaan foto dada penderita asma adalah normal. Pemeriksaan
tersebut dilakukan bila ada kecurigaan proses patalogik di paru atau komplikasi asma
seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis dll.
j. Pada penderita asma jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat. Selain dapat
dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis kortkosteroid yang
diperlukan penderita asma, jumlah eosinofil total dalam darah dapat membantu untuk
membedakan asma dari bronkitis kronik.
k. Pemeriksaan sputum: disamping untuk melihat adanya eosinofil, kristal Charcot, spiral
Churschmann.
Terhadap ibu didapatkan juga beberapa keadaan seperti preeklampsia 3,3%, hipertensi
selama kehamilan 8%, solusio plasenta 2,5%, korioamnionitis 10,4% dan persalinan
dengan seksio sesar 26,4%. Oleh karena itu diperlukan perhatian ekstra terhadap ibu dan
janin pada wanita hamil dengan asma.
Endocrine
Terjadi perubahan pada level estrogen, progesterone dan kortisol. Dimana hormone
estrogen meningkat tinggi pada trimester pertama, peningkatan estrogen merangsang
pembentukan sel darah merah terjadi kenaikan volume darah untuk memperdarahi uterus
dan janin.
Progesteron meningkat pada trimester pertama, peningkatan ini menstimulasi pusat
pernafasan dan relaksasi otot polos vascular. Namun progesterone tidak menyebabkan
relaksasi otot polos bronchus.
Kardiovaskular
Volume darah meningkat sebagai respon dari peningkatan plasma volume dan sel darah
merah. Peningkatan sel darah merah tidak sebanyak volume plasma yang mengakibatkan
anemia.
Kardiak Output meningkat dan denyut jantung bertambah 10 -20 denyut per menit.
Range perubahan kardiak output ini berkisar 30-60% yang artinya perubahan kardiak
output ini juga dipengaruhi posisi.
Sistem Pernafasan
Sistem pernafasan juga mengalami perubahan selama kehamilan baik anatomi dan
fisiologi. Perubahan ini meliputi penyesuaian dinding dada, kenaikan diafragma,
progesterone menginduksi pusat pernafasan. Perubahan ini menyebabkan perubahan
ukuran fungsi dari paru – paru(3). Peningkatan nilai Pa O2 (100 – 105 mmHg) dan
penurunan Pa CO2 (32 – 34 mmHg) adalah akibat dari peningkatan ventilasi semenit
selama kehamilan. Peningkatan ini karena efek dari peningkatan progesteron yang
menstimulasi kontrol pusat pernafasan. Untuk mempertahankan pH oleh karena
respiratori alkalosis dilakukan kompensasi ginjal dengan peningkatan ekskresi
bikarbonat. Perubahan ini mempunyai arti klinis yang penting. Nilai Pa O2 70 mmHg dan
nilai Pa CO2 35 mmHg atau lebih menandakan asma yang lebih berat pada wanita hamil
dibandingkan penderita asma yang tidak hamil dan menandakan adanya gagal nafas
selama kehamilan. Nilai abnormal spirometri selama kahamilan harus dihubungkan
dengan kelainan paru bukan karena kehamilan. Sesak nafas atau rasa berat bernafas pada
saat istirahat atau bekerja terjadi pada 80 – 90% wanita hamil dengan umur kehamilan 30
minggu. Mekanisme ini belum jelas tapi kemungkinan karena peningkatan terhadap pusat
pernafasan. Adalah sangat penting untuk membedakan antara proses fisiologis sesak
nafas pada kehamilan dan sesak nafas patologis.
TERAPI
Kesuksesan manajemen asma selama kehamilan membutuhkan kerjasama antara ahli
obstetri, bidan, dokter dan perawat khusus asma dan pasien sendiri. Terapi farmakologi
asma selama kehamilan tidak mempunyai perbedaan dengan terapi asma pada wanita
yang tidak hamil.
Idealnya, selama kehamilan adalah tidak menggunakan terapi obat-obatan terutama
selama trimester pertama karena dapat menyebabkan terjadinya kelainan kongenital.
Edukasi dan pencegahan lebih diutamakan untuk pasien asma dalam kehamilan. Kelainan
genetik dan kromosom terdapat pada 25% dari kelainan kongenital. Sekitar 1% dari
seluruh kelainan kongenital berhubungan dengan pemakaian obat-obatan. Penyebab 65%
kelainan kongenital belum diketahui.
a. Pengobatan Profilaksis
Beklometason dianjurkan sebagai pilihan kortikosteroid inhalasi selama kehamilan
karena pengalaman yang lebih banyak dalam penggunaannya yang telah dipublikasikan.
Ini disebabkan karena tidak ditemukannya kelainan teratogenik pada bayi dari ibu hamil
yang menggunakannya, walaupun efek teratogenik pada hewan ditemukan. Selain itu,
buesonid juga dapat diberikan sebagai pilihan untuk wanita hamil.
b. Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid sistemik dapat diberikan kepada pasien asma untuk pengobatan asma berat
selama kehamilan. Walaupun demikian kemungkinan terjadinya efek yang merugikan
harus tetap diperhatikan. Pada penelitian hewan ditemukan adanya efek teratogenik
berupa oral cleft. Pada suatu penelitian case controle 20.830 bayi dengan kelainan
kongenital didapatkan tidak adanya perbedaan yang signifikan terhadap pemberian
kortikosteroid pada wanita hamil yang mendapat bayi dengan kelainan dan yang tidak
mendapat kelainan.
Jika membutuhkan kortikosteroid sistemik, dianjurkan pemberian prednison atau
metilprednisolon karena preparat ini dimetabolisme di plasenta dan hanya 10% obat aktif
yang dapat mencapai janin. Pada penelitian lain dinyatakan bahwa prednison dengan
dosis 10 mg selama kehamilan berhubungan dengan berat badan lahir rendah (BBLR),
tetapi prednison 5 – 10 mg untuk waktu singkat pada kehamilan kurang dari 24 minggu
tidak. Disimpulkan kortikosteroid sistemik hendaklah dipergunakan secara selektif, hanya
untuk kasus asma berat dan tidak digunakan secara kontiniu, disebabkan efek samping
dari pemberian kortikosteroid sistemik yaitu preeklampsi, prematur, berat badan lahir
rendah dan kelainan kongenital berupa oral cleft selama trimester pertama kehamilan.
c. Bronkodilator :
1. β2 Agonis
Tidak terbukti adanya resiko teratogenik pada penggunaan secara sering inhalasi β2
agonis. Meta-proteronol, terbutalin dan albuterol dilaporkan obat-obat yang paling sering
digunakan.
β2 agonis oral secara umum tidak dianjurkan selama kehamilan, karena terbatasnya data
selama kehamilan dini, dapat menghambat persalinan pada masa aterm karena efek
relaksasi otot rahim dan efek samping dibandingkan penggunaan secara inhalasi.
Walaupun demikian jika diperlukan terbutalin direkomendasikan.
Penggunaan salbutamol intra vena dapat menghambat persalinan, keadaan ini tidak
terjadi pada pemberian secara MDI atau nebulasi.
Salmeterol termasuk β2 agonis long acting dan belum diteliti secara intensif pada wanita
hamil. Walaupun demikian salmeterol dapat dipakai sebagai alternatif pengganti teofilin
pada pasien hamil yang tidak dapat dikontrol dengan dosis sedang kortikosteroid inhalasi.
2. Antikolinergik
Contoh dari obat ini adalah ipratropium bromide. Walaupun sedikit pengalaman dengan
obat ini, kelihatannya obat ini aman digunakan selama kehamilan. Ipratropium bromide
dapat digunakan pada wanita hamil dengan asma yang tidak memberikan respon terhadap
terapi dengan β2 agonis. Ini karena obat ini diabsorbsi dengan buruk dengan penggunaan
inhalasi dan tidak pernah diketahui menyebabkan terjadinya kelainan kongenital.
3. Teofilin
Penggunaan teofilin tidak berhubungan dengan adanya malformasi kongenital atau
kematian janin walaupun dilaporkan 3 kematian bayi dari ibu yang diterapi dengan
teofilin menunjukkan kelainan kongenital jantung. Beberapa penelitian mengindikasikan
adanya hubungan antara penggunaan teofilin dengan resiko terjadinya kelahiran preterm,
kelainan kongenital dan preeklampsi, sementara penelitian-penelitian lain tidak
mendapatkan adanya hubungan.
Kerugian teofilin yaitu :
• Dapat menimbulkan nausea pada awal kehamilan dan gastroesofageal refluks pada
akhir kehamilan.
4. Antibiotik
Antibiotik kemungkinan diperlukan untuk pengobatan infeksi oleh bakteri pada penderita
asma selama kehamilan. Penisilin, eritromisin dan sefalosporin aman digunakan selama
kehamilan
b. Mild Persistent Ø Gejala > 2 kali perminggu tetapi tidak setiap hari
- Gejala malam > 2 kali per bulan
- Eksaserbasi dapat pengaruhi aktifitas ≥ 80%
Inhalasi β2 agonis jika diperlukan
Inhalasi kromolin
Penambahan inhalasi kortikosteroid jika tidak adekuat
Serangan asma akut sangat berbahaya dan harus ditangani dengan serius untuk mencegah
jatuhnya penderita ke dalam status asmatikus. Data yang diperoleh dari kematian ibu di
United Kingdom, tercatat tiga kematian akibat asma dari tahun 1994 – 1996. Status
asmatikus dalam kehamilan dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan janin yang
terhambat, mortalitas ibu dan janin, juga morbiditas janin.
Sangat penting untuk wanita hamil penderita asma untuk tidak terlambat mendapat
pengobatan selanjutnya jika terdapat tanda-tanda berikut :
2. Terapi Emergensi
Diberikan terapi oksigen 3 – 4 liter/menit dengan nasal cannula untuk mempertahankan
Pa O2 > 70 mmHg. Pemberian cairan intra vena yang mengandung glukosa jika pasien
tidak hiperglikemi dapat diberikan. Inhalasi β2 agonis (terbutalin 2 mg) adalah pilihan
bronkodilator untuk asma akut pada wanita hamil seperti terhadap pasien yang tidak
hamil. Pemberian inhalasi dapat diulang sampai 3 kali, dengan jarak 20 – 30 menit. β2
agonis subkutan (terbutalin 0,25 mg) dapat diberikan jika pemberian inhalasi tidak
menunjukkan perbaikan. Kortikosteroid parenteral yaitu metilprednisolon harus diberi
pada pasien yang sebelumnya diterapi dengan kortikosteroid. Juga diberi pada penderita
yang tidak respon terhadap β2 agonis setelah 1 jam pemberian dan menunjukkan
obstruksi yang berat (PEFR < 200 liter/menit atau FEV1 <40% nilai prediksi). Dosis
yang dianjurkan adalah 1 mg/kg BB metilprednisolon setiap 6 – 8 jam.
Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 I/menit, maka persalinan
harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk menangani komplikasi pernapasan
yang berat; peneliti menunjukkan bahwa 10% wanita memberat gejala asmanya pada
waktu persalinan.
Selama persalinan kala I pengobatan asma selama masa prenatal harus diteruskan, ibu
yang sebelum persalinan mendapat pengobatan kortikosteroid harus hidrokortison 100
mg intravena, dan diulangi tiap 8 jam sampai persalinan. Bila mendapat serangan akut
selama persalinan, penanganannya sama dengan penanganan serangan akut dalam
kehamilan seperti telah diuraikan di atas.
Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan terbaik untuk penderita
asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya seksio sesarea. Jika
dilakukan seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipilih anestesi regional
daripada anestesi umum karena intubasi trakea dapat memacu terjadinya bronkospasme
yang berat.
Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan pervaginam,
memperpendek, kala II dengan menggunakan ekstraksi vakum atau forceps akan
bermanfaat.
Bila terjadi pendarahan post partum yang berat, prostaglandin E2 dan uterotonika lainnya
harus digunakan sebagai pengganti prostaglandin F2(x) yang dapat menimbulkan
terjadinya bronkospapasme yang berat.
Dalam memilih anestesi dalam persalinan, golongan narkotik yang tidak melepaskan
histamin seperti fentanyl lebih baik digunakan daripada meperidine atau morfin yang
melepas histamin.
Bila persalinan dengan seksio sesarea atas indikasi medik obstetrik yang lain, maka
sebaiknya anestesi cara spinal.
Teofilin bisa dijumpai dalam air susu ibu, tetapi jumlahnya kurang dari 10% dari jumlah
yang diterima ibu. Kadar maksimal dalam air susu ibu tercapai 2 jam setelah pemberian,
seperti halnya prednison, keberadaan kedua obat ini dalam air susu ibu masih dalam
konsentrasi yang belum mencukupi untuk menimbulkan pengaruh pada janin.