Anda di halaman 1dari 16

KASUS HIPOTETIK MALPRAKTIK

Dosen: H. Misan,SH.M.Kes

Disusun oleh kelas IIA


kelompok 4 semester III :
1. Disi Febriani (2009060 )
2. Fitriah Hariyani (200906041)
3. Lia Nur Azizah (200906002)
4. Nurul Liameta Permata Putri (200906061)

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEBIDANAN


UNIVERSITAS MAYJEN SUNGKONO
MOJOKERTO
2010
KATA PENGANTAR

Puji sykur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah berkenan memberi
petunjuk dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul “Kasus Hipotetik Malpraktik”..
Dalam menyelesaikan makalah ini penulis banyak sekali mendapat bantuan,
dukungan moril maupun materi dari berbagai pihak dan pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak H. Misan,SH.M.Kes selaku
dosen pembimbing dan kepada teman-teman yang sudah memberikan bantuan dan
masukan sehinnga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini, penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk
menyajikan yang terbaik, namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan saran dan
kritikan yang bersifat membangun dari pembaca untuk kesempurnaan makalah
ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan dapat dipergunakan
dengan sebaik-baiknya.

Mojokerto, November 2010

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Standar dan Mutu Pelayanan Kesehatan
2.2 Malpraktik
2.3 Osteomeilitis
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Kasa tertinggal berakibat Osteomielitis
3.2 Gas Medik Yang Tertukar
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mencegah lebih baik daripada mengobati. Itulah kalimat yang pantas untuk
dunia kesehatan saat ini. Malpraktik masih menjadi topic utama dalam dunia
kesehatan terutama di Indonesia akhir-akhir ini. Berbagai praktik kesehatan
termasuk kedokteran, keperawatan dan kebidanan kini diarahkan untuk mencegah
terjadinya malpraktik.
Malpraktik merupakan suatu tindakan tenaga professional yang bertentangan
dengan standard operating procedure (SOP), kode etik profesi, serta undang –
undang yang berlaku (baik disengaja maupun akibat kelalaian) yang
mengakibatkan kerugian dan kematian terhadap orang lain.
Standar Pelayanan Kesehatan adalah suatu pernyataan tentang mutu yang
diharapkan, yaitu yang menyangkut masukan, proses, dan luaran dari system
pelayanan kesehatan.
Kasus tindak pidana malpraktik merupakan kasus yang sangat sering terjadi
di Indonesia. Dalam beberapa decade terakhir ini istilah malpraktik cukup terkenal
dan banyak dibicarakan masyarakat umum khusunya malpraktik bidang
kedokteran dalam transaksi terapeutik antara dokter dan pasien.
Jika kita flashback beberapa decade ke belakang khususnya di Indonesia
anggapan banyak orang, dokter adalah professional yang kurang biasa disentuh
dengan hukum atas profesi yang dia lakukan. Hal ini berbeda seratus delapan
puluh derajat saat sekarang banyak tuntutan hukum baik perdata, pidana maupun
administrative yang diajukan pasien atau keluarga pasien kepada dokter karena
kurang puas atas hasil pelayanan, perawatan atau pengobatan.
Salah satu contoh tindakan malpraktik yang dilakukan oeh dokter adalah
kasus tertinggalnya kassa di ruang antar tulang dan otot pasien, sehingga
menyebabkan pasien mengalami osteomielitis. Bekas luka operasi mengeluarkan
nanah, akibatnya terpaksa pasien menjalani operasi kedua pada tulang femurnya.
Hal ini disebabkan oleh kelalaian dokter pada saat melakukan operasi yang
pertama karena fraktur pada tulang femur. Sehingga menyebabkan keluarga
korban melakukan somasi dan melayangkan surat dugaan malpraktik kepada
dokter yang terkait dan pihak Rumah Sakit melalui kuasa hukumnya. Mereka
menuntut ganti rugi senilai 1 milyar rupiah atas kerugian materil dan imateri yang
dialami.
Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran
hukum hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan. Jika
terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan
pertanggungjawabannya. Baik secara perdata maupun pidana.
Melihat masih tingginya angka kejadian malpraktik, maka penulis tertarik
untuk mengangkat masalah ini. Untuk pembahasan lebih lanjut penulis tuangkan
kedalam Bab II.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa pengertian osteomeilitis?
1.2.2 Apa penyebab kasus malpratik Remen Waras?
1.2.3 Bagaimana analisa pada kasus malpraktik osteomeilitis?
1.2.4 Apa penyebab kasus malpraktik gas medik yang tertukar?

1.3 Tujuan
1.3.1 Menjelaskan tentang pengertian standar pelayanan kesehatan
1.3.2 Menjelaskan tentang pengertian malpraktik
1.3.3 Menjelaskan tentang sanksi hukun malpraktik
1.3.4 Menjelaskan tentang penanganan kasus malpraktik.
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi penulis
Dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam upaya
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
1.4.2 Bagi pembaca
Sebagai bahan bacaan dan menambah pengetahuan tentang
pelayanan kesehatan yang bermutu dan sesuai dengan standard.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 STANDAR DAN MUTU PELAYANAN KESEHATAN


2.1.1 Standar Pelayanan Kesehatan
Standar adalah:
 Keadaan ideal atau tingkat pencapaian tertinggi dan sempurna yang digunakan
sebagai batas penerimaan minimal.
 Kisaran variasi yang masih dapat diterima.
 Rumusan tentang penampilan atau nilai diinginkan yang mampu dicapai,
berkaitan dengan parameter yang telah ditetapkan.
 Spesifikasi dari fungsi atau tujuan yang harus dipenuhi oleh suatu sarana
pelayanan agar pemakai jasa pelayanan dapat memperoleh keuntungan yang
maksimal dari pelayanan yang diselenggarakan.
Standar Pelayanan Kesehatan adalah suatu pernyataan tentang mutu yang
diharapkan, yaitu yang menyangkut masukan, proses, dan luaran dari system
pelayanan kesehatan.

2.1.2 Manfaat Standard:


 Standard adalah hasil consensus semua pihak yang terkait dengan suatu produk,
termasuk konsumen.
 Standard menjamin keseragaman spesifikasi teknis minimal yang harus dipenuhi.
 Penerapan standard secara wajib akan melindungi konsumen dari produk bermutu
rendah yangdapar berakibat fatal.
 Mempermudah produsen untuk memenuhi persyaratan karena terdeskripsi secara
jelas.
 Aspek kualitas lingkungan dan keselamatan adalah acuan utama penerapan
standard.
Suatu standard yang baik harus memenuhi persyaratan yaitu:
 Bersifat jelas
 Masuk akal
 Mudah dimengerti
 Dapat dicapai
 Absah
 Meyakinkan
 Mantap, spesifik, dan eksplisit.
2.1.3 Macam-macam standard:
1. Standard Persyaratan Minimal
Yang menunjuk pada keadaan minimal untuk menjamin terselenggaranya
pelayanan kesehatan yag bermutu. Terdiri dari 3 yaitu:
a. Standard masukan
Ditetapkan persyaratan minimal unsure masukan untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu.
b. Standard lingkungan
Ditetapkan persyaratan minimal unsure lingkungan untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu.
c. Standard proses
Ditetapkan standard proses untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan yang bermutu.
2. Standar Penampilan Minimal
Menunjuk pada penampilan pelayanan kesehatan yang masih dapat
diteima.
2.1.4 Mutu Pelayanan Kesehatan
 Pengertian Mutu
 Mutu berada pada orang yag melihatnya
 Excellent
 Produk yang paling ekonomis, paling berguna, dan selalu memuaskan
pelanggan.
 Zero defect, defect free
 Pelanggan yang gembira
 Produk barang dan jasa inovatif yang sepenuhnya memenuhi
persyaratannya.
 Kecocokan penggunaan produk untuk memenuhi kebutuhan dan
kepuasan pelanggan.
 Sesuai dengan yag diisyaratkan atau distandarkan.
 Kesesuaian dengan kebutuhan pasar.
 Kepuasan pelanggan sepenuhnya
 Kepatuhan terhadap standard yang telah ditetapkan
 Tingkat kesempurnaan dari penampilan sesuatu yang sedang diamati.
 Mutu Pelayanan Kesehatan
 Pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan
kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta
penyelenggaraannya sesuai dengan standard dank ode etik profesi yang telah
ditetapkan (Azrul Azwar).
 Memenuhi dan melebihi kebutuhan dan harapan pelanggan melelui
peningkatan yang berkelanjutan atas seluruh proses (Mary Z Zimmerman).
 Tingkatan dimana layanan kesehatan untuk individu atau penduduk mampu
meningkatkan hasil kesehatan yang diinginkan dan konsisten dengan
pengetahuan profesioanl saat ini (Institute of Medicine, USA)
 Tingkatan dimana layanan yang diberikan sesuai dengan persyaratan bagi
layanan yang baik (Avedis Donabedian)
 Alasan Pentingnya Mutu Dalam Pelayanan Kesehatan:
 Perubahan global misalnya perdagangan bebas
 Mutu adalah masalah hak dan etis
 Mutu membantu pasien mencapai hasil yang optimal
 Komitmen terhadap mutu akan mengurangi biaya pengeluaran
 Kebanggaan staf terhadap organisasi
 Menghindari rasa frustasi baik dari staf maupun dari pelanggan
 Lebih mudah memenuhi standar-standar yang ditetapkan.
 Perbedaan Definisi Mutu
1. Bagi health consumer
Mutu layanan terkait pada ketanggapan, keranahan petugas serta
kesembuhan atas penyakit yang diderita.
2. Bagi health provider
Mutu pelayanan sesuai dengan kemajuan ilmu kesehatan yang mutakhir.
3. Bagi health financing
Mutu pelayanan terkait pada efisiensi sumber daya; kewajaran atas
pembiayaan, dan mampu memberikan keuntungan.
 Dimensi Mutu
 Kompetensi teknis (Technical Competence)
 Akses terhadap pelayanan (Accessibility)
 Efektivitas (effectiveness)
 Hubungan Antar Manusia (Interpersonal relation)
 Efisiensi (efficiency)
 Kelangsungan pelayanan (Continuity)
 Keamanan (safety)
 Kenyamanan (amnieties)

2.2 MALPRAKTIK
2.2.1 Pengertian Malpraktik
 Berasal dari kata “mal” yang berarti buruk dan “practice” yang berarti suatu
tindakan atau praktik. Malpraktik adalah suatu tindakan medis buruk yang
dilakukan dokter dalam hubungannya dengan pasien.
 Menurut Black’s Law Dictionary, malpraktik adalah “professional misconduct
or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional services
to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the
circumstances in the community by the average prudent reputable member of the
profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those
services or to those entitled to rely upon them”. Pengertian malpraktik diatas
bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan juga berlaku bagi profesi
hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan, perbankan, dan lain-lain.
 Menurut World Medical Association (1992) adalah : “medical malpractice
involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of
the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the
patient, which is the direct cause of an injury to the patient.
 Malpraktik adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter pada
waktu melakukan pekerjaan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak
berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau
dilakukan oleh dokter pada umumnya didalam situasi dan kondisi yang sama
(Berkhouwer & Vorsman, 1950).
 Menurut Hoekema, 1981, malpraktik adalah setiap kesalahan yang diperbuat
oleh dokter karena melakukan pekerjan kedokteran dibawah standar yang
sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap dokter
dalam situasi atau tempat yang sama.
 Pada undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan disebut sebagai
kesalahan atau kelalaian dokter sedangkan dalam undang-undang No. 29 tahun
2004 tentang praktek kedokteran dikatakan sebagai pelanggaran disiplin dokter.
 Pegangan pokok untuk membuktikan malpraktik adalah dengan adanya
kesalahan tindakan profesional yang dilakukan oleh seorang dokter ketika
melakukan perawatan medik dan ada pihak lain yang dirugikan atas tindakan
tersebut.
 Malpraktik adalah suatu tindakan tenaga profesional (profesi) yang bertentangan
dengan standard operating procedure (SOP), kode etik profesi, serta undang-
undang yang berlaku (baik disengaja maupun akibat kelalaian) yang
mengakibatkan kerugian dan kematian terhadap orang lain.
Menurut Gunadi, J dapat dibedakan antara resiko pasien dengan kelalaian
dokter (negligence) yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pada dokter.

2.2.2 Resiko yang ditanggung pasien ada tiga macam yaitu :


 Kecelakaan
 Resiko tindakan meik (risk of treatment)
 Kesalahan penilaian (error of judgement).
Masih menurut Gunadi, J masalah hukum sekitar 80% berkisar pada
penilaian atau penafsiran. Resiko dalam tindakan medik selalu ada dan jika dokter
atau penyedia layanan kesehatan telah melakukan tindakan sesuai dengan standar
profesi medik dalam arti bekerja dengan teliti, hati-hati, penuh keseriusan dan
juga ada informed consent (persetujuan) dari pasien maka resiko tersebut menjadi
tanggungjawab pasien. Dalam undang-undang hukum perdata disana disebutkan
dalam hal tuntutan melanggar hukum harus terpenuhi syarat sebagai berikut :
 Adanya perbuatan (berbuat atau tidak berbuat)
 Perbuatan itu melanggar hukum
Ada kerugian yang diatanggung pasien
 Ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan
 Adanya unsur kesalahan atau kelalaian.
Ada tidaknya Mal Praktik harus dibuktikan dengan empat kriteria hukum berikut
ini :
 Ada duty of care
Artinya dokter atau RS mengaku berkewajiban memberi asuhan kepada
pasien.
 Ada breach of duty
Artinya dokter atau RS tidak melakukan kewajiban sebagaimana seharusnya.
Wujud breach atau pelanggaran ini adalah:
a. Kesalahan dalam tindakan medis, seperti kekliruan diagnosa,
interpretasi hasil pemeriksaan penunjang, indikasi tindakan,
tindakan tidak sesuai dengan standar pelayanan, kesalahan
pemberian obat, kekeliruan transfuse, dll
b. Kelalaian berat. Tidak melakukan hal-hal yang seharusnya
dilakukan menurut asas-asas dan standar praktik kedokteran yang
baik.

 Ada cedera pada psien, berupa cedera fisik, psikologis, mental, sampai yang
terberat jika pasien cacat tetap atau meninggal.
 Ada hubungan sebab akibat langsung antara butir 2 dan 3, artinya cedera pada
pasien memenag akibat breach of duty pada pemberi asuhan kesehatan. Ini
yang paling sukar dibuktikan.

2) Sanksi Hukum
Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter sebagaimana contoh
kasus yang terjadi yaitu tentang kelalaian, maka adalah hal yang sangat pantas jika
dokter yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur
kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu
menghilangkan nyawa seseorang .
Serta tidak menutup kemungkinan juga dapat mengancam dan membahayakan
keselamatan jiwa pasien. Perbuatan tersebut telah nyata-nyata mencoreng
kehormatan dokter sebagai suatu profesi yang mulia.
Jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik yang tidak
memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia
(Kodeki), serta Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka
dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi pidana.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kelalaian yang
mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain ditur dalam pasal
359 yang berbunyi: “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya
orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun".
Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa
seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:
 Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orag lain mendapat luka-
luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun.
 Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembian bulan atau kurungan paling
lama enam bulan atau denda paling tinngi tiga ratus juta rupiah.

Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang


terbukti melakukan malpraktik, sebagaimana pasal 361 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Jika kejahatan yang diterangkan dalam
bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana
ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat
memerintahkan supaya putusannya diumumkan."
Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oeh seseorang
(pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja telah menimbulkan kerugian kepada
pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter)
untuk mengganti kerugian yang dialami korban, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “Tiap
perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut”.
Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian diatur oleh Pasal
1366 yang berbunyi: "Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian
yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
kelalaian atau kurang hati-hatinya."
3). Kepastian Hukum
Melihat berbagai saksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut diatas
dapat dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan, tetapi
juga para dokter akan dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena telah
melakukan malpraktik dan bahkan juga tidak tertutup kemungkinan hilangnya
profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik.
Dalam situasi seperti ini azas kepastian hukum sangatlah penting untuk
dikedepankan dalam kasus malpraktik demi terciptanya supremasi hukum. Azas
kepastian hukum merupakan hak setiap warga untuk diperlakukan sama didepan
hukum (equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah (presumptions
of innocence) sehingga jamina kepastian hukum dapat terlaksana dengan baik
tanpa memihak siapa pun.
Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang dapat dikategorikan seorang
dokter telah melakukan malpraktik apabila:
 Bahwa dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter telah melanggar standar
pelayanan medik yang lazim dipakai.
 Pelanggaran terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan
pelanggaran terhadap kode etik kedokteran Indonesia (kodeki)
 Melanggar UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (kodeki) sangatlah
perlu ditingkatkan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang
mungkin sering terjadi yang dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi
lainnya seperti halnya advokat/pengacara, notaries, akuntan, dll. Pengawasan
biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan memutus
sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik. Daam hal ini Majelis
Kode Etik Kedokteran (MKEK).
Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka dokter yang bersangkutan
akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Kodeki. Namun, jika
kesalahan tersebut
Ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi dapat juga dikategorikan
malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenagan oleh undang-undang untuk
memeriksa dan memutus kasus tersebut.
Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran
hukum hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan. Jika
ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat
dimintakan pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata.
4). Langkah-langkah Penanganan Kasus
 Dimulai dari langkah pencegahan. Dilakukan perspektif safety disetiap langkah
prosedur atau tindakan medis dengan melibatkan proses manajemen resiko.
 Bila telah terjadi peristiwa yang potensial menjadi kasus tuntutan hukum, maka
profesioanl wajib menganalisis peristiwa tersebut untuk meemukan apakah
kesalahan yang telah terjadi dan kemudian melakukan koreksi. Untuk melakukan
hal itu, ia harus membuat kronologi peristiwa dan menjelaskan alasan masing-
masing tindakannya, dan menandatanganinya.
 Bila tingkat potesial menjadi kasus medikoleganya cukup tinggi, maka kasus
tersebut dilaporkanke atasan (ketua KSMF atau Komite Medik) untuk dibahas
bersama pakar dari organisasi profesi atau perhimpunan spesialis terkait. Dalam
audit klinis tersebut dilakukan pembahasan tentang keadaan pasien, situasi kondisi
yang merupakan “tekanan”, diagnosis kerja dan diagnosis banding, indikasi medis
dan kontra indikasi, alternative tindakan, informed consent, komunikasi, prosedur
tindakan dibandingkan dengan standar, penyebab peristiwa yang menuju ke
peristiwa medikolegal, penanganan peristiwa tersebut, diagnosis akhir, dan
kesimpulan apakah prosedur medis dan alas an lainnya telah dilakukan sesuai
dengan standar profesi atau SOP yang cocok dengan situasi kondisi kasus.
Keseluruhan yang dilakukan di atas juga merupakan langkah-langkah persiapan
menghadapi komplain pasien, atau bahkan menghadapi somasi dan gugatan di
kemudian hari. Di samping itu profesional terkait kasus tersebut harus melihat
kembali dokumen kompetensi (keahlian) dan kewenangan medis (perijinan), serta
kompetensi / kewenangan medis khusus (dokumen pelatihan/workshop,
pengakuan kompetensi, pengalaman, dll) yang berkaitan dengan kasus.
Pertimbangan apakah kasus akan diselesaikan di pengadilan ataukah
dengan cara perdamaian perlu dibahas pada waktu tersebut. Kasus yang secara
nyata merupakan kesalahan pihak medis dan dinilai "undefensable" sebaiknya
diselesaikan dengan cara non litigasi. Sebaliknya, kasus yang secara nyata tidak
memiliki titik lemah di pihak medis dapat dipertimbangkan untuk diselesaikan
melalui sidang pengadilan. Kadang-kadang terdapat kasus "abu-abu" atau "kasus
ringan" yang penyelesaian cara non litigasi mungkin akan lebih "menguntungkan"
dari segi finansial daripada memilih cara penyelesaian litigasi.
Guna menghadapi hal itu, organisasi profesi (PDSp) membentuk semacam
"dewan pakar" atau "dewan kehormatan pembina", yang akan menilai kasus dari
sisi profesi dan kemudian akan menjadi saksi ahli - menyampaikan hasil
pembahasan peer-group tersebut kepada penyidik.

Anda mungkin juga menyukai