Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH 2

ISU MANAJEMEN MUTU DI PELAYANAN KESEHATAN


(Kajian Keselamatan Pasien dan Medication Error)

OLEH:

LIA PERTIWI
(1921313036)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan limpahan
rahmat dan karunia-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Manajemen
Mutu Keperawatan dan Patient Safety tentang “Isu Utama Manajemen Mutu di
Pelayanan Kesehatan ”.
Penulis menyadari dalam penyelesaian tugas makalah ini sangat banyak
memperoleh bimbingan dan dorongan baik secara moril maupun material dari berbagai
pihak. Namun secara khusus penulis ingin mengungkapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing Ibu DR. Yulastri Arif, M.Kep yang telah memberikan masukan atau
arahan untuk penyelesaian tugas makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, karena itu saran
dan kritik yang sifatnya membangun dari pembaca sangat diperlukan untuk perbaikan
tugas ini.

Padang, Februari 2020


Hormat Saya,

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................…………………………ii

Daftar Isi .......................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ........................................................................................................................1

1.2 . Tujuan ....................................................................................................................................2

BAB II TINJAUN TEORITIS

2.1 . Indikator Mutu Pelayanan Kesehatan..………. .....................................................................3

2.2 Keselamatan Pasien……………………………………........................................................5

2.3 Medication Error..……………………………......................................................................7

BAB III KESIMPULAN

3.1 . Kesimpulan..........................................................................................................................13

3.2 Saran……………………………………………………………………………………….13

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keselamatan Pasien adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien lebih
aman, meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya, serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan
suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (Kemenkes,
2017). Program keselamatan pasien dapat meningkatkan kepercayaan dan kepuasan
masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit. Selain itu keselamatan pasien juga
dapat mengurangi Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang mungkin terjadi terkait
pelayanan kesehatan yang dilakukan.
Kejadian Tidak Diharapkan terkait pelayanan kesehatan yang terjadi sangat
bedampak terhadap mutu RS. Selain berdampak terhadap peningkatan biaya
pelayanan juga dapat membawa rumah sakit ke arena blamming, Insiden tidak
diharapak yang terjadi dapat menimbulkan konflik antara dokter/petugas kesehatan
dan pasien, menimbulkan sengketa medis, tuntutan dan proses hukum, tuduhan
malpraktek, blow-up ke mass media yang akhirnya menimbulkan opini negatif
terhadap pelayanan rumah sakit.
Kurangnya penerapan patient safety di rumah sakit dapat meningkatkan risiko
Kejadian Tidak Terduga (KTD). KTD sebagian besar terjadi karena kesalahan
dalam proses pelayanan yang sebetulnya dapat dicegah melalui rencana pelayanan
yang komprehensif dengan melibatkan pasien berdasarkan hak-nya. Institusi rumah
sakit diharapkan dapat menerapkan patient safety demi meningkatkan mutu
pelayanan rumah sakit baik pada aspek struktur, proses maupun output dan
outcome(Depkes RI, 2008).
Upaya dalam mencegah penurunan mutu pelayanan diperlukan pengelolaan
keselamatan pasien. Setiap Rumah Sakit wajib mengupayakan pemenuhan Sasaran
Keselamatan Pasien. Sasaran Keselamatan Pasien meliputi tercapainya hal-hal
sebagai berikut: ketepatan identifikasi pasien, peningkatan komunikasi yang efektif;
peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai; kepastian tepat-lokasi, tepat-
prosedur, tepat-pasien operasi; pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan
kesehatan; dan pengurangan risiko pasien jatuh (Permenkes RI, 2011)

1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini agar kelompok dapat memahami tentang isu – isu
dalam manajemen keselamatan pasien.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Indikator Mutu Pelayanan Kesehatan


Pelayanan kesehatan sebagai provider peyelenggara jasa pelayanan kesehatan wajib
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu dan mengutamakan keselamatan
pasien dalam penyelenggaraanya. Setiap pelayanan kesehatan yang bermutu memiliki
indikator dan standar dari capaian mutu yang diharapkan. Indikator, standar, dan mutu
adalah tiga hal yang berbeda. Suatu pelayanan dikatakan bermutu dalam dimensi
tertentu apabila indikator pelayanan mencapai atau melampaui suatu standar tertentu.
Mutu tidak akan tercapai tanpa suatu perencanaan dan wawasan yang terkait dengan
mutu tersebut. Dengan kata lain, bila kita menginginkan pelayanan yang bermutu di
rumah sakit, maka manajemen rumah sakit perlu memperluas wawasan mengenai mutu
pelayanan tersebut dan merencanakan serangkaian aksi dan kegiatan untuk mencapai
suatu tingkat/standar tertentu. Pencapaian atas aksi-aksi tersebut diukur dengan
indikator.

Setiap indicator mutu memiliki standar pencapaian yang harus dicapai melalui
serangkaian proses pelayanan kesehatan yang dilakukan dilapangan. Untuk mencapai
standar mutu yang ditetapkan, harus ada indicator pencapian mutu yang diukur melalui
dimensi mutu, Dimensi mutu pelayanan kesehatan yang dimaksud antara lain: (World
Health Organization 2006).

Dimensi Mutu Maksud Dimensi Mutu

Efektif / Effective Pelayanan kesehatan yang erat pada basis bukti dan berhasil
dalam meningkatkan luaran kesehatan individu atau komunitas
berdasarkan kebutuhan.

Efisiensi / Efficient Pelayanan kesehatan yang memaksimalkan sumber daya dan


menghindari pemborosan.

Mudah Pelayanan kesehatan yang tepat waktu, wajar secara geografis,


diakses / Accessible dan disediakan dalam kerangka yang tepat dari sisi keterampilan
dan sumber daya untuk memeuhi kebutuhan.

Diterima / Accepted Pelayanan kesehatan yang mempertimbangkan pilihan dan


(Patient-centred) aspirasi individu pengguna layanan dan budaya komunitasnya.

Tidak Pelayanan kesehatan yang tidak berbeda dalam kualitas karena


berpihak / Equity karakteristik personal seperti gender, ras, etnis, lokasi geografis,
dan status sosio ekonomi.

Aman / Safe Pelayanan kesehatan yang meminimalisasi resiko dan harm.

Di Indonesia, mutu pelayananan kesehatan memiliki 12 standar mutu wajib yang


harus dilakukan oleh setiap penyelenggara pelayanan kesehatan di Indonesia. Ini adalah
indicator Standar Pelayanan minimal yang menjadi acuan dan indicator keberhasilan
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan. 12 standar mutu tersebut terdiri atas
(Kemenkes, 2017):

Jenis Indikator Judul Indikator Mutu


Mutu
ISKP Kepatuhan identifikasi pasien

IAK Emergency respon Time

IAM Waktu Tunggu Rawat Jalan

IAM Penundaan Operasi Elektif

ISKP Waktu Lapor Hasil tes kritis laboratorium

IAM Kepatuhan Penggunaan Fornas

ISKP Kepatuhan Upaya Pencegahan resiko cedera akibat pasien jatuh

IAK Kepatuhan terhadap Clinial Pathway

IAM Kepuasan Pasien dan Keluarga

IAM Kecepatan respon terhadap Komplain


2.2 Keselamatan Pasien

2.2.1 Konsep Teori


a. Pengertian Keselamatan Pasien
Keselamatan Pasien adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien lebih
aman, meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya, serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya
diambil (Kemenkes, 2017).
Pengaturan Keselamatan Pasien bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan
fasilitas pelayanan kesehatan melalui penerapan manajemen risiko dalam
seluruh aspek pelayanan yang disediakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 11 tahun 2017 standar keselamatan


pasien adalah :

a) Hak pasien;

b) Pendidikan bagi pasien dan keluarga;

c) Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan;

d) Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan


peningkatan keselamatan pasien;

e) Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien;

f) Pendidikan bagi staf tentang keselamatan pasien; dan

g) Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.

Sasaran keselamatan pasien menurut permenkes no 11 tahun 2007 adalah :


a) Mengidentifikasi pasien dengan benar;
b) Meningkatkan komunikasi yang efektif;
c) Meningkatkan keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai;

d) Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar,


pembedahan pada pasienyang benar;

e) Mengurangi risiko infeksi akibat perawatan kesehatan; dan

f) Mengurangi risiko cedera pasien akibat terjatuh.

Tujuh langkah menuju keselamatan pasien terdiri atas:

a) Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien;

b) Memimpin dan mendukung staf;

c) Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko;

d) Mengembangkan sistem pelaporan;

e) Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien;

f) Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien; dan

g) Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien.

2.2.2 Isu Terkait Keselamatan Pasien


Laporan Insiden Keselamatan Pasien ( IKP ) di Indonesia tahun 2007
berdasarkan provinsi di Indonesia menyatakan bahwa ada 145 insiden yang
dilaporkan, kasus tersebut terjadi di wilayah Jakarta sebesar 37,9%, Jawa
Tengah 15,9%, DI Yogyakarta 13,8%, Jawa timur 11,7%, Sumatra Selatan
6,9%, Jawa Barat 2,8%, Bali 1,4%, Sulawesi Selatan 0,69% dan Aceh 0,68%.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melakukan revitalisasi
Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (Program PPI) di Rumah Sakit
yang merupakan salah satu pilar menuju Patient safety dengan harapan
kejadian infeksi di Rumah Sakit dapat diminimalkan serendah mungkin. Studi
dari tahun 1995-2008 menunjukkan prevalensi HCAIs di negara maju berkisar
antara 5.1% dan 11.6%. Di negara-negara Eropa dilaporkan rata-rata prevalensi
HCAIs 7.1%. Penelitian yang dilakukan di negara sedang berkembang
menunjukkan tingkat infeksi di Rumah Sakit yang tinggi (5-19%) dan rata-rata
di atas 10%.
Sementara itu, berdasarkan data WHO khusus wilayah Amerika yang
dirilis oleh Health and Human Service (HHS) menunjukkan bahwa
sepanjang 2010-2014 di Amerika telah terjadi penurunan kejadian
terkait patient safety di RS sebesar 17%. Hal ini telah memberi kontribusi
utama terhadap menurunnya kematian pasien (akibat kejadian tidak diinginkan)
sebanyak 87 ribu kasus. Ini merupakan langkah yang baik menuju zero patient
harm bagi pelayanan kesehatan di Amerika. Namun sepanjang tahun 2015 ada
beberapa situasi yang menunjukkan adanya tantangan lain bagi patient safety
dalam pelaksanaannya dilapangan yaitu :
1. Medical errors,
Merupaan satu dari berbagai error yang paling banyak terjadi, dimana setiap
tahun setidaknya ada 5% pasien rawat inap yang mengalami kejadian tak
diinginkan terkait dengan pemberian obat.
2. Diagnostic errors 
Terungkap dengan adanya laporan penelitian “Improving Diagnosis in Health
Care” yang dibuat oleh Institute of Medicine. Laporan ini menyebutkan bahwa 6
dari 17 persen kejadian tak diinginkan di RS merupakan diagnostic error dan
merupakan penyebab dari 10% kematian pasien..
3. Merumahkan pasien (home-care)
Pasca akut, dimana memulangkan pasien merupaan momen kritis dalam
perawatan pasien. Studi pada awal tahun 2000-an menemukan bahwa hampir
20% pasien mengalami adverse event tiga minggu setelah dipulangkan dari RS,
dan banyak diantaranya yang sebenarnya bisa dicegah.
4. Keselamatan di tempat kerja.
Tanggung jawab RS adalah memastikan keselamatan pasien, sementara itu para
ahli lain berargumentasi bahwa pasien tidak bisa selamat jika petugas kesehatan
tidak merasa aman pada dirinya sendiri. Dengan kata lain, jika RS aman, maka
pasien juga akan lebih aman.
5. Keselamatan di fasilitas RS yang seringkali menempatkan keselamatan pasien
pada risiko tinggi.
6. Pemrosesan ulang.
ECRI Institute memasukkan “pembersihan endoskop fleksibel yang tidak
adekuat sebelum diberi desinfektan” dalam daftar 10 Bahaya Teknologi
Kesehatan terbanyak. .
7. Sepsis
Terjadi lebih dari 1 juta kasus per tahun menurut CDC, dan setengah dari
jumlah tersebut meninggal yang menyebabkan sepsis menjadi penyebab
kematian nomer 9. Meskipun sepsis bukan isu baru dalam keselamatan pasien,
namun di tahun 2016 ini menjadi pusat perhatian baru dengan
ditambahkannya Severe Sepsis and Septic Shock Early Management Bundle ke
dalam aturan final sistem pembayaran prospektif rawat inap di tahun anggaran
2016.
8. Bakteri MRSA
Didefinisikan oleh Brian K. Coombes, PhD (2004) sebagai bakteri yang tidak
dapat ditanggulangi dengan menggunakan dua atau lebih antibiotik, berlanjut
menyerang pasien dan tampak menjadi lebih kuat..
9. Ketidakamanan maya perangkat medis. Pada Bulan Juli lalu Administrasi Obat
dan Makanan AS mengeluarkan peringatan agar RS meninjau
penggunaan Hospira Sybiq Infusion System, yaitu sebuah pompa
terkomputerisasi yang digunakan secara luas pada terapi infus umum, setelah
didapati bahwa ternyata hacker dapat secara jarak jauh mengakses alat tersebut
dan mengubah dosis..
10. Transparansi data medis.

2.1.1 Pemecahan Masalah


Pemecahan masalah patient safety didasarkan pada 6 sasaran keselamatan pasien,
yaitu:
1) Identifikasi pasien
a) Rumah sakit membuat kebijakan tentang identifikasi pasien.
b) Rumah sakit membuat pedoman/ panduan identifikasi pasien yang dijadikan
acuan seluruh unit.
c) Rumah sakit merancang SPO identifikasi pasien melalui pemasangan gelang
identitas
d) Rumah sakit mengemangkan SPO pemasangan dan pelepasan tanda
identitas risiko bagi pasien yang datang ke rumah sakit.
e) Rumah sakit merancang SPO tentang Pemasangan dan pelepasan gelang
identitas
2) Peningkatan Komunikasi yang efektif
a) Rumah sakit mengembangkan Kebijakan tentang Keakuratan dan penerapan
Komunikasi (lisan, telepon) secara konsisten di rumah sakit.
b) Rumah sakit mengembangkan Pedoman/ Panduan Komunikasi Efektif yang
akan dijadikan acuan bagi seluruh unit di rumah sakit.
c) Rumah sakit merancang SPO tentang Komunikasi Efektif (lisan, telepon)
d) Rumah sakit merancang SPO tentang Komunikasi Efektif SBAR
e) Rumah sakit membuat Daftar Singkatan resmi yang digunakan oleh seluruh
unit.
f) Rumah sakit membuat SPO Serah Terima pasien
g) Rumah sakit merancang SPO tentang Penyampaian Hasil Nilai Kritis
3) Peningkatan Keamanan Obat yang perlu diwaspadai
a) Rumah sakit mengembangkan Kebijakan tentang Pengelolaan Obat di
rumah sakit.
b) Rumah sakit membuat Pedoman/ Panduan Pengelolaan Obat (high alert &
norum) yang akan dijadikan acuan bagi seluruh unit
c) Rumah sakit merancang SPO Identifikasi, Pelabelan dan Penyimpanan obat
High Alert
d) Rumah sakit merancang SPO Penyiapan dan Penyerahan obat Hight Alert
e) Rumah sakit mmbuat SPO Pencampuran Obat IV Hight Alert
f) Rumah sakit membuat SPO tentang Pemberian Obat dengan Benar
g) Rumah sakit membuat Daftar Obat Yang Perlu diwaspadai
4) Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi
a) Rumah sakit mengembangkan Kebijakan tentang Prosedur Operasi (tepat
lokasi-tepat prosedur, tepat pasien)
b) Rumah sakit merancang SPO tentang Penandaan Identifikasi Lokasi Operasi
c) Rumah sakit merancang SPO tentang Surgical Patient Safety Check List
d) Rumah sakit mengembangkan Form Surgical Patient Safety Check List
e) Rumah sakit merancang SPO tentang Pengecekan Intrumen, Kasa
f) Rumah sakit mengembangkan Form Pengecekan Instrumen, Kasa
5) Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
a) Rumah sakit mengembangkan Kebijakan RS Pencegahan Infeksi
b) Rumah sakit membuat Pedoman Pencegahan Infeksi di RS yang dijadikan
acuan diseluruh unit
c) Rumah sakit merancang SPO tentang Cuci Tangan
d) Rumah sakit menyediakan Fasilitas Cuci Tangan
e) Rumah sakit melakukan sosialisasi dengan alat bantu :
– Sosialisasi ; brosur, flyer, standing banner
– Edukasi ; Pedoman Hand Hyangiene (WHO)
6) Pengurangan risiko jatuh.
a) Rumah sakit mengembangkan Kebijakan RS tentang pencegahan pasien
jatuh
b) Rumah sakit merancang SPO tentang Penilaian Awal Risiko Jatuh
c) Rumah sakit menggunakan Form Penilaian : Morse Fall, Humpty Dumpty
d) Rumah sakit menggunakan Form Monitoring Risiko Jatuh
e) Rumah sakit membuat fasilitas seperti ; Signage/ Alat bantu

2.1.2 Indikator keberhasilan


Berikut ini merupakan enam sasaran patient safety sebagai indikator
keberhasilan adalah tercapainya hal-hal sebagai berikut:
1) mengidentifikasi pasien
2) Peningkatan Komunikasi yang efektif
3) Peningkatan Keamanan Obat yang perlu diwaspadai
4) Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi
5) Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
6) Pengurangan risiko jatuh.

2.2 Medication Error

2.2.1 Konsep Medication Error


Medication Error adalah kegagalan dalam proses pengobatan yang
memiliki potensi yang membahayakan pada pasien dalam proses pengobatan
ataupun perawatannya (Aronson, 2006). Penyebab terjadinya medication Error ini
menurut Aronson 2009 adalah kesalahan pada tahap prescribing (seperti : resep
yang tidak rasional, tidak tepat dan tidak efektif, serta kelebihan dosis), kesalahan
pada trancribing meliputi kesalahan dalam mengartikan resep, kesalahan
berikutnya terdapat pada manufacturing meliputi salah dosis, adanya kontaminan,
salah formula, salah kemasan dan salah label, kesalahan juga terdapat pada tahap
dispensing yaitu salah dosis, salah rute, salah frekuensi, dan salah durasi.

Penyebab medical error sebagai berikut (Roy, Gupta, & Srivastava, 2005) :

a) Informasi pasien tidak lengkap (tidak tahu tentang alergi pasien, obat-obatan
lain mereka menggunakan, diagnosis sebelumnya, dan lab hasil misalnya).
b) Informasi obat yang tidak tersedia (seperti kekurangan peringatan terkini)
c) Miskomunikasi pesanan obat, yang bisa melibatkan tulisan tangan yang buruk,
kebingungan antara obat-obatan dengan nama yang mirip, penyalahgunaan
angka nol dan titik desimal, kebingungan metrik dan unit dosis lain, dan tidak
sesuai singkatan
d) Kurangnya pelabelan yang tepat sebagai obat disiapkan dan dikemas ulang
menjadi unit yang lebih kecil
e) Faktor lingkungan, seperti penerangan, panas, kebisingan, dan gangguan yang
dapat mengganggu kesehatan profesional dari tugas medis mereka.
Penyebab medical error paling umum terkait dengan faktor manusia,
komunikasi, dan kepemimpinan (Shepard, 2011) dalam (Muray, 2017):
a) Faktor manusia termasuk tingkat kepegawaian, pendidikan dan
kompetensi staf, dan kekurangan staf. Ketika staf tidak memadai atau
perawat kurang pengalaman, bersabarlah keamanan terancam.
b) Komunikasi mencakup komunikasi intraprofesional dan
interprofesional serta interaksi dengan pasien dan keluarga mereka.
Hasil pasien yang optimal mengandalkan komunikasi yang efektif.
c) Kepemimpinan meliputi kepemimpinan dan manajemen di semua
tingkatan, struktur organisasi, kebijakan dan prosedur, dan pedoman
praktik. Ketika faktor kepemimpinan tidak memadai, perawat dapat
membuat keputusan yang dapat mengakibatkan efek samping atau
nyaris celaka.

2.2.2 Isu Terkait Medication Error


Laporan Peta Nasional Insiden Keselamatan Pasien pada tahun 2007
menyatakan bahwa tingkat medication error di Indonesia cukup tinggi (Depkes
RI, 2008). Studi yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada pada tahun 2001-2003 menunjukkan kejadian medication error
mencapai 5,07%, yang mana 0,25% dari jumlah itu berakhir fatal hingga dapat
menyebabkan kematian.
Kejadian medication error kerap terjadi di rumah sakit dengan angka
kejadian yang bervariasi, berkisar antara 3-6,9% untuk pasien rawat inap
(Mutmainah, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Bayang et al. (2012) di
Instalasi Farmasi RSUD Prof. DR. H. M. Anwar Makkatutu Kabupaten
Bantaeng melaporkan angka kejadian medication error sebesar 0,027% dari
total 77.571 lembar resep yang dilayani. Penelitian serupa juga dilakukan oleh
Kung et al. (2013) di Rumah Sakit Universitas Bern, Switzerland selama kurun
waktu satu bulan yang melaporkan sebanyak 288 kejadian medication errors
dari total 24.617 dosis pengobatan yang diberikan pada pasien kardiovaskular,
di mana sebanyak 29% dari medication errors berupa presribing error, 13%
transcription error, dan 58% berupa administration error. Selain itu,
berdasarkan hasil studi pada tahun 2001-2003 yang dilakukan oleh Bagian
Farmakologi Universitas Gajah Mada diperoleh bahwa medication error terjadi
pada 97% pasien ICU (Depkes RI, 2008).

2.2.3 Pemecahan Masalah


Pencegah medication errors dapat dilakukan dengan mendidik tenaga
kesehatan tentang faktor risiko kesalahan pengobatan dan dampaknya pada hasil
terapeutik, mempersiapkan sistem pengobatan terstruktur untuk pengaturan pasien
rawat jalan, mendidik apoteker untuk meningkatkan perannya dalam pengaturan
komunitas (Perwitasari & Al, 2010).
Pemimpin dan manajer perawat harus mampu untuk menindaklanjuti dengan
kegiatan berikut untuk memastikan keselamatan pasien (Galt, Paschal, & Gleason,
2011, hlm. 8–9):
a) Kembangkan budaya yang didasarkan pada konsep keselamatan untuk
kedua belah pihak yaitu pasien dan staf.
b) Menstandarkan sebanyak mungkin proses sambil memungkinkan staf secara
bersamaan otoritas independen untuk menyelesaikan masalah secara kreatif
juga menghindari tindakan otomatis.
c) Melaksanakan inisiatif yang dibuat oleh organisasi layanan kesehatan untuk
meningkatkan keselamatan dan kualitas.
Lima hak untuk korban medical error menggunakan akronim TRUST: 1)
Perawatan yang adil, 2) Rasa Hormat, 3) Pemahaman dan kasih sayang, 4)
Perawatan suportif, dan 5) Transparansi dan kesempatan untuk
berkontribusi. Para pemimpin layanan kesehatan harus memperhatikan hak-
hak semua layanan kesehatan profesional yang terlibat dalam kerusakan
yang tidak disengaja kepada pasien melalui kegagalan sistem dan kesalahan
manusia. Perawat pemimpin dan manajer harus mempromosikan
penghormatan terhadap hak dan tanggung jawab perawat, mempertahankan
empati dan hubungan peduli, dan membangun lingkungan kerja yang
mendukung dan sehat (ANA, 2015).
2.2.4 Indikator keberhasilan
Indikator untuk mengukur tingkat medication error dalam menjamin mutu
pelayanan keperawatan yang dikembangkan dari OECD The Health Care Quality
Indicator:

1. Tahap ”Diagnosing”
Potensi kejadian medication error pada aspek prescribing diteliti dengan
melakukan kajian DRP (Drug Related Problem).
2. Tahap ” Planning Action”
Penetapan indikator dimulai dengan penentuan kerangka kerja indikator yang
terkait kebijakan penggunaan obat di rumah sakit.
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Setiap pelayanan keperawatan yang ada dirumah sakit harus meminimalisasi
terjadinya kasus keselamatan pasien. Karena kasus tersebut merupakan sebagai
indikator mutu dari rumah sakit tersebut. Jika mutu rumah sakit ingin yang exelent
harus memnuhi indikator yang telah ditetapkan.

3.2 Saran
Memberikan saran bagi pembuat kebijakan agar dapat menggunakan strategi
pemecahan yang sesuai untuk mengatasi isu – isu keselamatan pasien tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, S. (2017). Manajemen Nyeri Pada Lansia dengan Pendekatan Non
Farmakologis. Jurnal Keperawatan Muhammadiyah, 2(1).

Aronson, J. K. (2006). Medication Errors: Definitions and Classification. British


Journal of Clinical Pharmacology, 67, 559–604.

Gillies, D. A. (1996). Manajemen Keperawatan : pendekatan sistem. (Y. Sudiryono,


Ed.) (2nd ed.). Philadelphia: W. B Saunders Company.

Hidayat, B. (2017). Membangun Kerjasama Tim. Pekanbaru.

Kemenkes, R. (2017). PERMENKES No 27 tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan


dan Pengendalian Infeksi di Peleyanan Kesehatan.

Muray, E. (2017). Nursing Leadership and Management for Patient Safety and
Quality Care. Philadelphia: F.A Davis Company.

Perwitasari, & Al, D. A. et. (2010). Medication Errors in Outpatients of a Government


Hospital in Yogyakarta Indonesia. International Journal of Pharmaceutical
Sciences Review and Research, 1(1), 8.

Rosita, T., & Maria, R. (2014). Mobilisasi dan Timbulnya Luka Tekan Pada Pasien
Tirang Baring. University Indonesia.

Roy, V., Gupta, P., & Srivastava, S. (2005). Medication Errors : Cause and Prevention.
Health Administrator, (1), 60–64.

Rukmana, J. G., Komalasari, R., & Hasibuan, S. Y. (2017). Kajian Literatur :


Penggunaan Virgin Coconut Oil Dalam Pencegahan Luka Dekubitus Pada Pasien
Imobilitas. Nursing Current, 5(1).

Wike Diah, A. (2009). Kepuasan pasien rawat inap terhadap pelayanan perawat di
rsud tugurejo semarang. Universitas Diponegoro.
Rahmawati, Y., Utomo, C., & Anwar, N. (2012). Exploring Socio-Technical Factors
to Successful Collaborative Design in Product Development : A Review. paper
seminar ICOI.

Rahmawati, Y., Utomo, C., & Anwar, N. (2013). Pengembangan Konfigurasi Spasial
dan Nilai Ekonomi Infrastruktur Berkelanjutan yang Adaptif dan Kolaboratif.
Seminar Nasional Strategi Pengelolaan Infrastruktur Bidang Ke-PU-an
Berkelanjutan Mendukung Percepatan Pencapaian MDGs. Jakarta: Puslitbang
Sosekling.
Chiu, M. (2002). An organizational view of design communication in design
collaboration. Design Studies, 23, 187-210.

Anda mungkin juga menyukai