Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTEK MANAJEMEN PELAYANAN KEBIDANAN

KESEHATAN IBU DAN ANAK DI PUSKESMAS BANTAR


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Praktik Klinik (Stase 11)
Program Studi Profesi Bidan

Disusun Oleh:
Rahayu Rosmayanti Hakim
NIM: P2.06.24.8.21.073

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN DAN PROFESI BIDAN


POLTEKKES KEMENKES TASIKMALAYA
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah
memberikan rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat membuat dan
menyelesaikan Laporan Pendahuluan Stase 11. Penyusunan laporan ini bertujuan
untuk memenuhi tugas praktik kebidanan asuhan pada keluarga berencana dan
kesehatan reproduksi berpusat pada perempuan dalam program studi Profesi Bidan.
Laporan Pendahuluan ini bisa diselesaikan tidak terlepas dari bantuan banyak pihak
yang telah memberikan masukan-masukan kepada penulis. Untuk itu saya
mengucapkan banyak terimakasih kepada :
1. Hj Ani Radiati R,S.Pd, M.Kes, selaku direktur Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya
2. Nunung Mulyani,APP,M.Kes selaku Ketua Jurusan Kebidanan
3. Dr. Meti Widiya Lestari, SST,M.Keb selaku ketua Program Studi Profesi Bidan
4. Helmi Diana SST,M.Keb. selaku pembimbing akademik yang telah memberikan
arahan, memotivasi serta membimbing dengan penuh kesabaran dan dedikasi
selama praktik stase 11.
5. Seluruh Pembimbing lahan/CI serta mahasiswa anggota kelompok Puskesmas
Bantar.
6. Keluarga dan teman-teman yang selalu memberi doa dan dukungan baik moril
ataupun materil.
7. Serta semua pihak yang telah membantu, yang tidak bisa kami sebutkan satu
persatu.
Penyusun menyadari bahwa banyak kekurangan dari laporan ini, baik dari materi
maupun teknik penyajiannya, mengingat masih kurangnya pengetahuan dan
pengalaman. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan.Terimakasih.
Tasikmalaya, Mei 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberhasilan upaya kesehatan ibu, di antaranya dapat dilihat dari indikator
Angka Kematian Ibu (AKI). Indikator ini tidak hanya mampu menilai program
kesehatan ibu, tetapi juga mampu menilai derajat kesehatan masyarakat, karena
sensitifitasnya terhadap perbaikan pelayanan kesehatan, baik dari sisi
aksesibilitas maupun kualitas. AKI adalah jumlah kematian ibu selama masa
kehamilan, persalinan dan nifas yang disebabkan oleh kehamilan, persalinan, dan
nifas atau pengelolaannya, tetapi bukan karena penyebab lain seperti kecelakaan
atau terjatuh di setiap 100.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2017)
Sasaran yang ingin dicapai sesuai tujuan Sustainable Development Goals
(SDGs) yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi
semua orang di segala usia, yaitu pada 2030 dengan mengurangi AKI hingga di
bawah 70 per 100.000 kelahiran hidup. Dalam rangka upaya percepatan
penurunan AKI maka pada tahun 2012 Kementerian Kesehatan meluncurkan
program Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS) yang diharapkan
dapat menurunkan angka kematian ibu dan neonatal sebesar 25%. Program ini
dilaksanakan di provinsi dan kabupaten dengan jumlah kematian ibu dan
neonatal yang besar. Salah satu program EMAS dalam upaya menurunkan angka
kematian ibu dan neonatal adalah dengan meningkatkan kualitas pelayanan
emergensi obstetri dan bayi baru lahir minimal di 150 Rumah Sakit PONEK dan
300 Puskesmas PONED (Kemenkes RI, 2017).
Puskesmas mampu PONED adalah Puskesmas rawat inap yang mampu
menyelenggarakan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi/komplikasi tingkat
dasar dalam 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Agar Puskesmas mampu
PONED sebagai salah satu simpul dari sistem penyelenggaraan pelayanan
kesehatan maternal neonatal emergensi dapat memberikan kontribusi pada upaya
penurunan AKI dan AKN maka perlu dilaksanakan dengan baik agar dapat
diopmalkan fungsinya (Kemenkes, 2017).
Monitoring dan evaluasi layanan PONED peting dilaksanakan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan. Evaluasi pelayanan kesehatan dapat diukur
dari variabel input, proces, output, serta outcome (Triwibowo, 2013). Masukan
(input) meliputi pengelolaan sarana prasarana, sumberdaya manusia, adanya
kebijakan dan SOP yang mengatur pelayanan di Puskesmas PONED. Proces
Puskesmas PONED meliputi pelayanan antenatal, asuhan persalinan normal,
asuhan pascasalin dan pengenalan rujukan dan kasus komplikasi. Output meliputi
cakupan pelayanan ANC, persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan,
kunjungan nifas, rujukan kasus komplikasi yang ditangani. Outcome merupakan
sasaran dari pelayanan PONED yaitu AKI.
Hasil penelitian (Desita, 2017) tentang evaluasi Puskesmas PONED,
menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan program PONED belum berjalan efektif
yang dipengaruhi oleh belum memadahinya kuantitas tenaga khusus PONED,
tidak adanya alokasi dana khusus PONED dan pemberian dana insentif, fasilitas
obat yang belum memenuhi standar, salah satunya belum adanya SOP untuk
setiap kasus kegawatdaruratan yang terpasang di dalam puskesmas, berdasarkan
kasus yang banyak terjadi di Puskesmas Bantar yaitu Anemia pada ibu hamil
belum ada SOP untuk tuntunan pemberian asuhan anemia secara khusus, maka
hal ini menjadi latar belakang dibuatnya penulisan ini.
B. Tujuan
Tujuan penyusuan laporan ini adalah sebagai bahan referensi melakukan asuhan
kebidanan manajemen serta acuan dalam penggunaan SOP sebagai tuntunan
pemberian asuhan di pelayanan KIA.
C. Manfaat
a. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat meningkatkan pemahaman mengenai manajemen asuhan
dengan penggunaan SOP.
b. Bagi Klien
Diharapan dengan adanya penulisan ini mendapatkan asuhan yang baik
sesuai SOP yang berlaku.
c. Bagi Lahan Praktik
Diharapkan dapat menjadi bahan masukan lahan praktik agar lebih
meningkatkan pelayanan dengan tuntunan SOP.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Mutu Pelayanan
a. Pengertian Mutu
Pelayanan Mutu pelayanan kesehatan merupakan tingkat
kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan sesuai dengan
kode etik dan standar pelayanan yang ditetapkan, sehingga menimbulkan
kepuasan bagi setiap pasien. Pelayanan yang bermutu sangat diperlukan
karena merupakan hak setiap pelanggan, dan dapat memberi peluang untuk
memenangkan persaingan dengan pemberi layanan kesehatan lainnya.
Kualitas pelayanan dan nilai berdampak langsung terhadap pelanggan.
Kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh kualitas pelayanan yang dirasakan.
Pelanggan insitusi pelayanan kesehatan dibedakan menjadi dua yaitu : 1)
Pelanggan internal (internal customer) yaitu mereka yang bekerja di dalam
institusi kesehatan seperti staf medis, paramedis, teknisi, administrasi,
pengelola dan lain sebagainya. 2) Pelanggan eksternal (external customer)
yaitu pasien, keluarga pasien, pengunjung, pemerintah, perusahaan 3)
Asuransi kesehatan, masyarakat umum, rekanan, lembaga swadaya
masyarakat dan lain sebagainya.
Mutu pelayanan kesehatan dapat dilihat dari sudut pandang pengguna
layanan, penyandang dana pelayanan, dan penyelenggara pelayanan. Secara
umum pengertian mutu pelayanan kesehatan adalah derajat kesempurnaan
pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar profesi dan standar
pelayanan dengan menggunakan potensi sumber daya yang tersedia di rumah
sakit atau puskesmas secara wajar, efisien, dan efektif serta diberikan secara
aman dan memuaskan sesuai norma, etika, hukum, dan sosial budaya dengan
memperhatikan keterbatasan dan kemampuan pemerintah, serta masyarakat
konsumen. Selain itu, mutu pelayanan kesehatan diartikan berbeda sebagai
berikut:
1) Menurut pasien/masyarakat adalah empati, menghargai, tanggap, sesuai
kebutuhan, dan ramah.
2) Menurut petugas kesehatan adalah bebas melakukan segala sesuatu secara
professional sesuai dengan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan peralatan
yang memenuhi standar.
3) Menurut manajer/anministrator adalah mendorong manajer untuk
mengatur staf dan pasien/masyarakat dengan baik.
4) Menurut yayasan/pemilik adalah menuntut pemilik agar memiliki tenaga
profesional yang bermutu dan cukup. Dari batasan ini dapat dipahami
bahwa mutu pelayanan dapat diketahui apabila sebelumnya telah
dilakukan penilaian, baik terhadap tingkat kesempurnaan, sifat, wujud,
serta ciri-ciri pelayanan kesehatan, ataupun kepatuhan terhadap standar
pelayanan.
Dalam praktik sehari-hari melakukan penilaian ini tidaklah mudah.
Penyebab utamanya ialah karena mutu pelayanan tersebut bersifat
multidimensional. Tiap orang tergantung dari latar belakang kepentingan
masing-masing dapat melakukan penilaian dari dimensi berbeda. Untuk
mengatasi adanya perbedaan dimensi tentang masalah mutu pelayanan
kesehatan seharusnya pedoman yang dipakai adalah hakekat dasar dari
diselenggarakannya pelayanan kesehatan tersebut. Yang dimaksud
dengan hakekat dasar tersebut adalah memenuhi kebutuhan dan tuntutan
para pemakai jasa pelayanan yang apabila berhasil dipenuhi akan
menimbulkan rasa puas (client satisfaction) terhadap pelayanan kesehatan
yang diselenggarakan
b. Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan
Parasuraman, Zeithaml, dan Berry dalam Muninjaya (2014)
menganalisis dimensi mutu jasa berdasarkan lima aspek komponen mutu.
Lima aspek komponen mutu pelayanan dikenal dengan nama Servqual
(Service Quality). Servqual mempunyai kontribusi dalam mengidentifikasi
masalah dan menentukan langkah awal pemberi layanan untuk mengevaluasi
kualitas pelayanan. Dimensi mutu terdiri dari lima dimensi yaitu
1) Bukti fisik (tangibles), mutu pelayanan dapat dirasakan langsung terhadap
penampilan fasilitas fisik serta pendukung pendukung dalam pelayanan.
2) Kehandalan (reliability), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan
tepat waktu dan akurat sesuai dengan yang ditetapkan.
3) Daya tanggap (responsiveness), yaitu kesediaan petugas untuk memberikan
pelayanan yang cepat sesuai prosedur dan mampu memenuhi harapan
pelanggan.
4) Jaminan (assurance), yaitu berhubungan dengan rasa aman dan kenyamanan
pasien karena adanya kepercayaan terhadap petugas yang memiliki
kompetensi, kredibilitas dan ketrampilan yang tepat dalam memberikan
pelayanan dan pasien memperoleh jaminan pelayanan yang aman dan
nyaman.
5) Empati (emphaty), yaitu berhubungan dengan kepedulian dan perhatian
petugas kepada setiap pelanggan dengan mendengarkan keluhan dan
memahami kebutuhan serta memberikan kemudahan bagi seluruh pelanggan
dalam menghubungi petugas.
Terkait dengan dimensi mutu pelayanan, terdapat beberapa pendapat
dari hasil penelitian. Melinda (2011) menyatakan bahwa kunci keberhasilan
dari pelayanan kesehatan adalah kecepatan pelayanan, keramahan, efektifitas
tindakan serta kenyamanan bagi pasien dan pengunjung lainya. Dukungan dan
komitmen petugas menjadi faktor pendorong yang sangat efektif dalam tahap-
tahap menuju kemajuan puskesmas.
Menurut Noor, A. (2013) menyatakan bahwa mutu pelayanan
kesehatan lebih terfokus pada dimensi daya tanggap petugas. Pasien lebih
membutuhkan keramahan petugas dan komunikasi petugas dengan pasien.13
Sedangkan pendapat Rosita dkk. (2011) adalah dalam meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan, empati atau perhatian tenaga kesehatan sangat
diharapkan oleh pemakai jasa atau pasien. 13
c. Pengembangan Mutu Pelayanan Kesehatan
Langkah-langkah pengembangan mutu pelayanan harus dimulai dari
perencanaan, pengembangan jaminan mutu, penentuan standar hingga
monitoring dan evaluasi hasil. Menurut Amchan dalam Muninjaya (2018)
langkah-langkah pengembangan jaminan mutu terdiri dari tiga tahap:
1) Tahap pengembangan strategi dimulai dengan membangkitkan kesadaran
(awareness) akan perlunya pengembangan jaminan mutu pelayanan yang
diikuti dengan berbagai upaya pelaksanaan, peningkatan, komitmen dan
pimpinan, merumuskan visi dan misi institusi diikuti dengan penyusunan
rencana strategis, kebijakan dan rencana operasional, perbaikan
infrastruktur agar kondusif dengan upaya pengembangan mutu.
2) Tahap tranformasi yaitu membuat model-model percontohan di dalam
institusi untuk peningkatan mutu secara berkesinambungan yang
mencakup perbaikan proses perbaikan standar prosedur, dan pengukuran
tingkat kepatuhan terhadap standar prosedur tersebut, pembentukan
kelompok kerja (pokja) mutu yang trampil melakukan perbaikan mutu,
pelatihan pemantauan, pemecahan masalah untuk selanjutnya dipakai
sebagai dasar peningkatan mutu, monitoring dan evaluasinya. Rangkaian
ini disingkat PDCA (Plan, Do, Check and Action).
3) Tahap integrasi yaitu pengembangan pelaksanaan jaminan mutu
diterapkan di seluruh jaringan (unit) institusi, tetapi tetap
memperthanakan komitmen yang sudah tumbuh, optimalisasi proses
pengembangan jaminan mutu secara berkesinambungan.
B. SOP (Standar Operasional Prosedur)
a. Pengertian Standar Operasional Prosedur
SOP (Standard Operating Procedure) pada dasarnya adalah pedoman
yang berisi prosedur-prosedur operasional standar yang ada di dalam suatu
instansi yang digunakan untuk memastikan bahwa semua keputusan dan
tindakan, serta penggunaan fasilitas-fasilitas proses yang dilakukan oleh
orang orang di dalam instansi yang merupakan anggota agar berjalan efektif
dan efisien, konsisten, standar dan sistematis (Tambunan, 2013: 86).
SOP juga menjadi jalan untuk mencapai tujuan. SOP adalah jalan atau
jembatan yang menghubungkan satu titik dengan titik lainnya. Karena itu,
SOP akan menentukan apakah tujuan dapat dicapai secara efektif, efisien dan
ekonomis (Tambunan, 2011: 5). SOP atau yang diterjemahkan menjadi PSO
(Prosedur Standar Operasi) adalah sistem yang disusun untuk memudahkan,
merapikan, dan menertibkan pekerjaan kita. sistem ini merupakan suatu
proses yang berurutan untuk melakukan pekerjaan dari awal sampai akhir
(Ekotama, 2011: 19). SOP juga lahir dari pengelolaan usaha sehari-hari.
Pengelolaan usaha sehari-hari yang belum tentu professional kemudian
distandarisasi agar professional atau mendekati professional. Oleh karena itu,
SOP disusun untuk mempersingkat proses kerja, meningkatkan kapasitas
kerja, dan menertibkan kinerja supaya tetap dalam bingkai visi serta misi.
b. Unsur-unsur Standar Operasional Prosedur (SOP)
Unsur-unsur dalam standar operasional Prosedur sangat menentukan
dalam efektifitas penyusunan dan penerapan SOP itu sendiri. Ketika unsur-
unsur SOP diabaikan dalam suatu instansi , maka pelaksanaan SOP itu
sendiri tidak bermanfaat bagi organisasi. Unsur-unsur SOP tidak hanya
bermanfaat untuk menjadi rujukan penyusunan, akan tetapi juga berguna
sebagai senjata kontrol pelaksanaan penyusunan SOP, yaitu untuk melihat
apakah SOP yang disusun telah lengkap atau tidak. Dalam SOP itu sendiri,
unsur-unsur tersebut tidak selalu merupakan urutan-urutan yang harus
dipenuhi secara lengkap, karena setiap penyusunan SOP mempunyai
kebutuhan yang berbeda dalam setiap instansi (Tambunan, 2018: 140)
c. Manfaat Standar Operasional Prosedur (SOP)
Sebagai sebuah pedoman, SOP berperan dalam memberikan acuan terkait
dengan kegiatan-kegiatan yang dijalankan dalam organisasi agar berjalan
efektif, sehingga membantu organisasi untuk mencapai tujuannya, baik yang
bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Secara terperinci, peran dan
manfaat SOP sebagai pedoman didalam suatu organisasi adalah:
1. Menjadi pedoman kebijakan Sebagai suatu pedoman kebijakan
merupakan peran dan manfaat pertama SOP bagi organisasi. SOP yang
efektif pastilah disusun dengan berdasarkan kebijakan yang ada dalam
instansi. Kebijakan-kebijakan ini menjadi sumber prosedur operasional
standar. Jadi, boleh dikatakan bahwa, SOP adalah bentuk praktis
kebijakan-kebijakan instansi. Dan SOP menjadi sangat penting bagi
instansi untuk membuat kebijakan-kebijakan organisasi menjadi aplikatif
atau layak terap dan mencapai manfaat yang optimal bagi instansi.
2. Menjadi pedoman kegiatan Dengan memiliki SOP, instansi berharap bisa
mengatur kegiatankegiatannya dengan lebih efektif . SOP yang efektif
harus mampu menyederhanakan setiap pekerjaan agar tidak mempersulit
orang yang berhubungan dengan kegiatan tersebut atau orang yang
membutuhkan hasil dari kegiatan tersebut. Sebagai pedoman kegiatan,
SOP harus berperan mengulangi pengulangan kerja yang tidak perlu.
Karena pengulangan kerja adalah bentuk lain dari ketidak efektifan. Jadi,
sebagai pedoman kegiatan, SOP harus berjalan efektif dan efisien sesuai
dengan kebutuhan instansi, dan dalam kondisi apapun.
3. Menjadi pedoman birokrasi Dengan penerapan SOP, seharusnya birokrasi
kegiatan menjadi lebih jelas dan tidak berbelit-berbelit. Dalam hal ini,
peran dan manfaat ini, terkait dengan anggota-anggota instansi pada
tingkatan jabatan yang mempunyai wewenang birokrasi. SOP, diharuskan
menggambarkan setiap titik pengesahan birokrasi sebagai kontrol
keabsahan langkah-langkah kegiatan
4. Menjadi pedoman administrasi Dengan diterapkannya SOP, maka sudah
seharusnya instansi mampu menyelenggarakan administrasi kegiatan
secara baik. Sangat penting bagi instansi untuk menyelenggarakan
administrasi secara baik, sebab banyak bukti praktis yang menunjukkan
bahwa kemampuan operasional yang baik, tidak ada gunanya tanpa
administrasi yang baik
5. Menjadi pedoman evaluasi kinerja. Dengan penerapan SOP, organisasi
akan mempunyai ukuran kinerja yang lebih baik. Evaluasi kinerja yang
dilaksanakan dengan penerapan SOP, merupakan ukuran ketaatan
(compliance) kepada prosedur. Ukuran ketaatan ini, apabila berjalan
secara optimal dapat membantu instansi untuk mengurangi terjadinya
penggelapan dan penyelewengan dalam kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakannya Evaluasi kinerja yang dilakukan intensif dan teratur,
dapat membantu menilai efektifitas dan efisiensi SOP, dan meningkatkan
kinerja instansi yang bersangkutan..
6. Menjadi pedoman integrasi Melalui penerapan SOP, diharapkan instansi
memiliki rangkaian aluralur kinerja yang terpadu satu dengan yang
lainnya. Tidak ada gunanya memiliki dan menerapkan SOP apabila
prosedur-prosedur yang terdapat dalam instansi berdiri sendiri, dimana
terdapat kegiatan-kegiatan yang tumpang tindih atau ada banyak
penggunaan dokumen dan formulir yang berulang, terdapat banyak
laporan-laporan yang tidak termanfaatkan secara optimal, terjadi
distribusi laporan-laporan yang tidak tepat atau malah tidak ada standar
dalam penerapan prosedur ( Tambunan, 2018: 115).
C. Anemia Pada Ibu Hamil
Anemia adalah kondisi dimana berkurangnya sel darah merah (eritrosit)
dalam sirkulasi darah atau masa hemoglobin yang rendah sehingga tidak mampu
memenuhi fungsinya sebagai pembawa oksigen keseluruh jaringan (Tarwoto dan
Warsidar, 2007). Anemia pada ibu hamil didefinisikan sebagai konsentrasi
hemoglobin yang kurang dari 12 g/dl dan kurang dari 10 g/dl selama kehamilan
atau masa nifas. Konsentrasi hemoglobin lebih rendah pada pertengahan
kehamilan, pada awal kehamilan dan kembali menjelang persalinan, kadar
hemoglobin pada sebagian besar wanita sehat memiliki cadangan zat besi yaitu
11g/dl atau lebih. Atas alasan tersebut, Centers for disease control (1990)
mendefinisikan anemia sebagai kadar hemoglobin kurang dari 11g/dl pada
trimester pertama dan ketiga dan kurang dari 10,5 g/dl pada trimester kedua.
(Irianto, K. 2014). Menurut Arief (2008) dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat
tahun (2019) mengatakan bahwa proses kekurangan zat besi sampai menjadi
anemia melalui beberapa tahap. Awalnya, terjadi penurunan simpanan cadangan
zat besi. Bila belum juga dipenuhi dengan masukan zat besi, lama kelamaan
timbul gejala anemia disertai penurunan Hb.
Nilai ambang batas yang digunakan untuk menentukan status anemia ibu
hamil didasarkan pada kriteria WHO yang ditetapkan dalam 3 kategori yaitu
normal, anemia ringan, dan anemia berat. Berdasarkan hasil pemeriksaan darah
ternyata rata-rata kadar hemoglobin ibu hamil sebesar 11,28 mg/dl, kadar
hemoglobin terendah 7,63 mg/dl dan tertinggi 14,00 mg/dl.
Klasifikasi Anemia pada Ibu Hamil
Status Anemia Kadar Hb (gr/dL)
Tidak Anemia >11
Anemia Ringan 9-10
Anemia Sedang 7-8
Anemia Berat <7
(sumber : Irianto K, 2014)
Pemeriksaan darah minimal dilakukan dua kali selama kehamilan yaitu pada
Trimester I dan III dengan pertimbangan bahwa sebagian besar ibu hamil
mengalami anemia maka dilakukan pemberian preparat Fe sebanyak 90 tablet
pada ibu-ibu hamil di puskesmas (Manuaba, 2010).
BAB III
METODE PELAKSANAAN
A. Pengkajian Data
Pengkajian merupakan suatu cara awal dari proses sistematis dalam
pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk dievaluasi dan
mengidentifikasi status/ kondisi masyarakat. Pengkajian yang lengkap, akurat,
sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat penting untuk merumuskan
suatu analisa data dan memberikan solusi sesuai dengan respon masyarakat.
Tujuan pengkajian yaitu mengorganisasikan, mengumpulkan, dan mencatat
data-data yang menjelaskan respon dari setiap individu akibat dari suatu masalah.
Dalam pengkajian ada beberapa tahap yang harus di lakukan mulai dari
pengumpulan data, pengelompokkan data, dan analisis data guna perumusan
masalahnya.
Pengkajian data yang dilakukan dengan 2 cara yakni, pengkajian data
primer dan pengkajian data sekunder. Pengkajian primer dengan melihat data
kesehata yang ada di Puskesmas Banatr yaitu Profil Kesehatan dan tenaga
kesehatan yang ada. Sedangkan pengkajian data sekunder dilakukan dengan
melakukan wawancara dan observasi langsung kepada ibu hamil dan masyarakat
yang datang langsung ke Puskemas Bantar mengenai masalah kesehatan ibu dan
anak.
B. Penetapan Prioritas Masalah
Beberapa metode penetapan prioritas masalah. Salah satu cara yang paling
banyak digunakan adalah dengan menghitung bobot masalah berdasarkan
urgensi,seriousness dan growth.
3.1 Tabel Analisa USG
Masalah U S G Total Prioritas

Masih tinggi
angka kejadian
bumil resti
dengan anemia
Belum adanya
adanya tuntunan
asuhan pada ibu
hamil yang
mengalami
anemia
Belum adanya
persiapan
pertolongan
donor darah
Kurangnya
pemahaman ibu
dan keluarga
mengenai
Anemia

C. Analisa SWOT
Analisa SWOT adalah evaluasi terhadap semua kekuatan, kelemahan
peluang, dan ancaman, yang terdapat pada individu atau organisasi. Instrumen
internal dan eksternal perusahaan yang bertumbu pada basis data tahunan dengan
pola 3-1-5. Penjelasan mengenai pola ini adalah data yang ada diupayakan
mencakup data perkembangan perusahaan pada 3 tahun sebelum analisis, apa
yang diinginkan pada tahun saat dilakukan analisis, dan kecenderungan
perusahaan pada 5 tahun pasca analisis.
3.2 Tabel Analisa SWOT
Kekuatan (Strenght) Peluang (Opportunity)
1. Adanya sumber daya manusia/tenaga 1. Masyarakat bersedia diberi pelayanan
kesehatan yang berkompeten dalam kesehatan
memberikan pelayanana kesehatan. 2. Merupakan Puskemas Induk di
2. Adanya sarana dan prasana dalam Kecamatan Bantar
memberikan pelayanan kesehatan. 3. Dengan tenaga SDM yang ada
3. Adanya sumber dana kontinyu dalam mengoptimalkan program
upaya peningkatan kesehatan
masyarakat.
4. Adanya kebijakan dalam upaya
peningkatan kesehatan masyarakat.
Kelemahan (Weakness) Ancaman (Threats)
1. Belum adanya bidan/tenaga kesehatan 1. Terjadinya anemia pada ibu hamil bisa
yang khusus dalam pelayanan karena hal yang tidak terduga
persiapan pencegahan dan penanganan sebelumnya.
anemia 2. Kurangnya partisipasi keluarga dan
2. Belum adanya kebijakan/SOP untuk masyarakat untuk program persiapan
tuntunan bidan/tenaga kesehatan dalam donor darah untuk pelayanan kesehatan
memberikan pelayan di KIA. KIA
3. Belum adanya informasi khusus bagi
masyarakat dalam pelayanan KIA pada
ibu hamil yang mengalami anemia.
BAB IV
HASIL
SOP PENANGANAN ANEMIA PADA IBU HAMIL
PENANGANAN ANEMIA PADA IBU
HAMIL
SOP No dokumen :
No revisi :
Tanggal terbit :
Halaman :
UPTD H. Teddy Setyadi, SKM., M.Si
PUSKESMAS NIP. 19740523 199503 1 001
BANTAR
1. Pengertian 1.1.1. Anemia Ibu Hamil adalah suatu kondisi ibu hamil di mana
terdapat kekurangan sel darah merah atau haemoglobin dengan
standart hasil pemeriksaan Kadar Hb < 11 gr/dl pada trimester I
dan III atau Kadar Hb < 10,5 gr/dl pada trimester II
2. Tujuan 1.1.2. Sebagai acuan dalam penatalaksanaan penanganan anemia
pada ibu hamil
3. Kebijakan 1.1.3. SK Kepala Puskesmas Bantar tentang Standar dan
Kebijakan Pelayanan Ruang KIA – KB
4. Referensi 1.1.4. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas Kesehatan
Dasar Dan Rujukan, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
5. Alat dan bahan 1. ATK
2. Tensimeter
3. Stetoskup
4. Set pemeriksaan HB
5. RM Ibu Hamil
6. Langkah-langkah 1. Petugas melihat tanda kepucatan pada telapak tangan, bibir dan
prosedur sklera mata apakah sangat pucat atau agak pucat.
2. Petugas melakukan kolaborasi dengan petugas laboratorium
untuk melakukan pemeriksaan kadar Hb.
3. Petugas mengklasifikasikan anemia berat, anemia, dan tidak
anemia.
4. Petugas memberikan suplementasi besi dan asam folat. Tablet
yang saat ini banyak tersedia di Puskesmas adalah tablet
tambah darah yang berisi Ferro Sulfat Eksikatus 200 mg (
setara dengan 60 mg besi elemental) dan 250µg asam folat
5. Petugas memberikan suplementasi TTD 2 kali sehari selama
90 hari
6. Petugas mengevaluasi setelah 90 hari pemberian, apabila ada
perbaikan lanjutkan pemberian tablet sampai 42 hari pasca
salin.
7. Petugas melakukan rujukan ke pusat pelayanan yang lebih
tinggi apabila setelah 90 hari pemberian TTD kadar
haemoglobin tidak meningkat untuk mencari penyebab anemia
8. Petugas memberikan KIE pada pasien tentang anemia pada ibu
hamil.
Catatan :
Penanganan disesuaikan dengan klasifikasi anemia :
Anemia Ringan : Diberikan asuhan tambeh tambah darah 30 tablet
dikonsumsi 1 tablet perhari.
Anemia Sedang : Diberikan asuhan tambeh tambah darah 30 tablet
dikonsumsi 2-3 tablet perhari.
Anemia Berat : Melakukan rujukan
7. Bagan alir
Memanggil Menulis identitas pasien Melakukan
pasien anamnesa

Menerima hasil Rujuk ke lab bila Pemeriksaan vital


laboratorium dari diperlukan sign dan
pasien pemeriksaan fisik

Menegakkan diagnosa Mengedukasi pasien dan Menyerahkan resep


menulis resep kepada pasien
Menulis hasil pemeriksaan Merujuk pasin ke
Menulis fisik, laboratorium,diagnose IGD bila ditemukan
diagnose kebuku dan terapi kedalam rekam tanda kegawatan
register rawat medic pasien
jalan.

8. Hal-hal yang perlu Perhatikan indikasi rawat inap atau rawat jalan
diperhatikan

9. Unit terkait  Poli Umum


 Poli Gigi
 Poli KIA
 UGD
 Apotek
 Laboratorium
10. Dokumen terkait Rekam medis
Form laboratorium
Register rawat jalan/rawat inap
Resep
Rujukan internal
11. Rekaman historis
No Yang dirubah Isi Perubahan Tgl mulai diberlakukan
perubahan
DAFTAR PUSTAKA
Hasibuan, Malayu. (2017). Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi.
Surabaya: CV. T.A. De Rozarie.
Herman. (2008). Evaluasi Kebijakan Penempatan Tenaga Kesehatan Di Puskesmas
Sangat Terpencil Di Kabupaten Button, dalam Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan Vol. 11, No. 3 September 2008. Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada.
Kementerian Kesehatan. (2015). Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun
2015-2019. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Kurniati Anna & Ferry Efendi. (2012). Kajian SDM Kesehatan Indonesia. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika.
Meliala Andreasta. (2014). Human Resources For Health. Jakarta: Bappenas
Pohan Imbalo S, (2007). Jaminan Mutu Layanan Kesehatan: Dasar-dasar Pengertian
dan Penerapan. Jakarta EGC
Kuswanti, Ina .2014. Asuhan Kebidanan . Jakarta : Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai