Anda di halaman 1dari 44

Laporan Kasus

Asma Bronkiale pada Kehamilan

Oleh:
Muhammad Riza Maulidan, S.Ked

1830912310041

Pembimbing:
dr. Setyo Teguh Waluyo, Sp.OG

BAGIAN/SMF ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
2020
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman judul……………………………………………………………… i

Daftar isi…………………………………………………………………… ii

BAB I Pendahuluan………………………………………………………….. 1

BAB II Tinjauan Pustaka…………………………………………………… .3

BAB III Laporan Kasus………………………………………………………19

BAB IV Pembahasan…………………………………………………………34

BAB V Penutup……….……………………………………………………...41

Daftar Pustaka………………………………………………………………...42

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Wanita dengan kehamilan akan mengalami perubahan secara anatomi,

fisiologis, dan biokimiawi yang penting untuk menunjang perkembangan janin

yang dikandungnya. Perubahan tersebut akan mempengaruhi sistem organ yang

berbeda secara bervariasi. Perubahan dimulai paska konsepsi terjadi dan berlanjut

sepanjang kehamilan. Banyak dari proses adaptasi ini terjadi sebagai respons

terhadap rangsangan hormonal atau mekanik, dan dapat disalahartikan sebagai

penyakit, membuat gejala klinis penyakt tertentu tidak jelas, atau menyebabkan

peningkatan risiko terhadap penyakit penyakit tertentu.1

Sesak nafas adalah keluhan umum yang cukup sering dalam kehamilan,

lebih dari dua pertiga wanita hamil mengalami sesak nafas selama periode

kehamilan. Ketika seorang wanita hamil mengeluh dispnea, membedakan antara

penyakit yang mendasarinya dan dispnea yang berhubungan dengan kehamilan

normal bisa menjadi masalah diagnostik yang sulit. Seringkali penyakit pada

sistem respirasi menjadikan kehamilan beresiko. Asma adalah penyakit medis

kronis paling umum yang mempersulit kehamilan, mempengaruhi antara 6% dan

12% dari semua kehamilan. Asma sering tidak terdiagnosis dan bahkan ketika

dapat terdiagnosis seringkali sulit diatasi. Perjalanan asma biasanya tidak dapat

diprediksi saat kehamilan, dan penelitian menunjukkan bahwa sepertiga pasien

penderita asma membaik, sepertiga tetap sama, dan sepertiga memburuk. Hal ini

memiliki kaitan dengan peningkatan jumlah hormon kortisol dan progesterone

1
dalam tubuh. Perubahan fisiologis lainnya juga membuat terapi asma dalam

kehamilan memiliki tantangan tersendiri.2

Tujuan dari tatalaksana terapi asma adalah untuk menghilangkan gejala akut

asma, mengurangi faktor risiko kekambuhan asma, meningkatkan kualitas hidup

serta tentu saja mempertahankan kehamilan dan mengurangi komplikasi janin

akibat asma dalam kehamilan dalam jangka panjang.3

Berikut ini akan disajikan sebuah kasus wanita berusia 3 tahun dengan

diagnosis G3P1A1 H 34-35 minggu + Asma Bronkiale Eksaserbasi Akut serangan

berat + TBJ 1660 gram yang dirawat di RSUD Ulin Banjarmasin.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Asma Bronkiale

Asma bronkiale didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronis saluran

pernafasan bagian bawah yang melibatkan banyak komponen sel terutama sel

mast, eosinophil, limfosit T, makrofag, neutrophil, dan sel epitel. Pada penderita

asma, inflamasi ini menyebabkan episode berulang wheezing, sesak nafas, batuk,

dan dada terasa berat terutama di pagi hari dan malam hari. Episode tersebut

biasanya berhubungan dengan obstruksi penyempitan saluran nafas yang

bervariasi dan bersifat reversible komplit atau inkomplit baik secara spontan

ataupun dengan terapi. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan peningkatan

hiperresponsifitas bronkial terhadap berbagai stimuli. 4

2.2. Perubahan Fisiologis pada Kehamilan

Pada kehamilan terdapat perubahan anatomi, fisiologi, dan biokimia yang

mempengaruhi sistem organ secara bervariasi. Terkait dengan bahasan laporan

kasus ini perubahan pada sistem organ respirasi terjadi juga secara anatomi,

fisologi, dan biokimiawi. Pada gambar 1, perubahan anatomi ditunjukan

diafragma naik sekitar 4 cm selama kehamilan. Sudut subkostal melebar karena

diameter transversal cavum toraks memanjang sekitar 2 cm.

Lingkar dada bertambah sekitar 6 cm, tetapi tidak cukup untuk mencegah

berkurangnya volume paru-paru residual yang disebabkan oleh naiknya

diafragma.

3
Gambar 1. Pengukuran cavum thorax pada (A) wanita tidak hamil dan (B) wanita
hamil. Perubahan ditunjukan dengan peningkatan diameter transversa, diameter
anteroposterior, dan lingkar dada. Perubahan ini mengkompensasi peninggian 4
cm diafragma sehingga kapasitas total paru tidak berkurang signifikan1

Perubahan fisiologis pada fungsi paru selama kehamilan ditunjukkan pada

Gambar 2. Kapasitas residual fungsional (FRC) berkurang sekitar 20 hingga 30

persen atau sekitar 400 hingga 700 mL selama masa kehamilan. Kapasitas ini

terdiri dari volume cadangan ekspirasi(ERV) yang berkurang 15 sampai 20 persen

atau 200 hingga 300 mL dan volume residu(RV) yang berkurang 20 sampai 125

4
persen atau 200 sampai 400 ml. FRC dan penurunan volume residual(RV) terjadi

karena peninggian diafragma dan pengurangan volume yang signifikan terjadi

pada bulan keenam dengan penurunan progresif selama kehamilan. Kapasitas

inspirasi(IC) yaitu yang volume maksimum yang dapat dihirup dari batas FRC,

meningkat 5 hingga 10 persen atau 200 hingga 250 mL selama kehamilan.

Kapasitas paru total yaitu kombinasi FRC dan kapasitas inspirasi tidak berubah

atau berkurang kurang dari 5 persen pada saat aterm.1,5

Gambar 2. Perubahan fisiologis volume paru selama kehamilan. Perubahan


signifikan yaitu reduksi FRC, ERV, dan RV. Peningkatan IC dan VT.1

Laju pernapasan pada dasarnya tidak berubah, tetapi volume tidal dan

ventilasi saat istirahat meningkat secara signifikan seiring meningkatnya usia

kehamilan. Penelitian terhadap 51 wanita hamil yang sehat, Kolarzyk et al.

melaporkan volume tidal rata-rata yang jauh lebih besar sekitar 0,66 hingga 0,8

L / mnt dan ventilasi menit istirahat sekitar 10,7 hingga 14,1 L / mnt

dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Peningkatan volume ventilasi per

5
menit disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya peningkatan impuls dorongan

nafas karena stimulasi progesteron, volume cadangan ekspirasi rendah, dan

alkalosis pernapasan kompensasi. Compliance paru-paru tidak terpengaruh oleh

kehamilan. Konduktansi jalan napas meningkat dan resistensi paru total

berkurang, mungkin disebabkan oleh progesteron. Kapasitas pernapasan

maksimum dan kapasitas vital yang dipaksakan atau diatur waktunya tidak

berubah secara berarti. Tidak jelas closing volume(volume paru-paru di mana

saluran udara di bagian dependen paru mulai menutup selama ekspirasi) lebih

tinggi pada kehamilan. Peningkatan kebutuhan oksigen dan peningkatan closing

volume yang terjadi kehamilan membuat penyakit pernapasan lebih serius.1,5

Jumlah oksigen yang ada pada paru-paru oleh peningkatan volume tidal

jelas melebihi kebutuhan oksigen yang dibutuhkan selama kehamilan. Selain itu

peningkatan massa total hemoglobin menyebabkan kapasitas total oksigen

meningkat secara bermakna selama kehamilan normal, seperti halnya curah

jantung. Akibatnya, perbedaan oksigen arteriovenous ibu menurun. Konsumsi

oksigen meningkat sekitar 20 persen selama kehamilan, dan sekitar 10 persen

lebih tinggi pada kehamilan multi fetus. Selama persalinan, konsumsi oksigen

meningkat 40 hingga 60 persen.1,5

Peningkatan rangsang dorongan bernafs terjadi di awal kehamilan. Hal ini

dapat ditafsirkan sebagai dispnea, yang mungkin tidak menunjukkan kelainan

paru-paru atau jantung. Dispnea fisiologis ini, yang seharusnya tidak mengganggu

aktivitas fisik normal, diperkirakan merupakan hasil dari peningkatan volume

tidal yang menurunkan sedikit PCO2 darah dan secara paradoks menyebabkan

6
dispnea. Upaya peningkatan pernapasan selama kehamilan, sehingga terjadi

pengurangan Pco2, kemungkinan disebabkan sebagian besar oleh progesteron dan

pada tingkat yang sisanya oleh estrogen. Progesteron seperti bekerja pada sistem

saraf pusat yang menurunkan ambang batas dan meningkatkan sensitivitas

respons chemoreflex terhadap CO2. Respon homeostasis untuk mengimbangi

alkalosis pernapasan yang dihasilkan, kadar bikarbonat plasma normal berkurang

dari 26 menjadi sekitar 22 mmol / L. Meskipun pH darah hanya sedikit

meningkat, hal ini menggeser kurva disosiasi oksigen ke kiri. Pergeseran ini

meningkatkan afinitas hemoglobin ibu untuk oksigen (efek Bohr) sehingga

mengurangi kapasitas pelepasan oksigen dari darah ibu. Keseimbangan asam basa

tetap terjaga karena sedikit peningkatan pH juga menstimulasi peningkatan 2,3-

difosfogliserat dalam eritrosit ibu. Ini menggeser kurva kembali ke kanan. Dengan

demikian, pengurangan PCO2 dari hiperventilasi ibu membantu transfer karbon

dioksida (limbah) dari janin ke ibu dan juga membantu pelepasan oksigen ke

janin.1

2.3. Epidemiologi dan Faktor Risiko

Sulit untuk menentukan prevalensi asma global secara pasti karena asma

adalah penyakit yang sering tidak dilaporkan. Ahli epidemiologi telah lama

berupaya untuk mengurangi berbagai faktor perancu yang ada antar negara

dengan tetap mempertimbangkan perbedaan protokol diagnostik, pengawasan,

dan akses ke layanan kesehatan. Pada tahun 2002 dan 2003, World Health Survey

(WHS) yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) mensurvei

sekitar 200.000 orang dewasa berusia di atas 18 tahun dengan topik diagnosis

7
asma dan gejala asma. Prevalensi global asma yang didiagnosis dokter adalah

4,3%, tetapi angka tersebut bervariasi di antara 70 negara yang termasuk dalam

survei. Sebagai contoh,

Australia melaporkan tingkat diagnosis dokter sebesar 21,0%

asma, jauh lebih tinggi dari rata-rata 4,3%. Angka prevalensi Asma sebelumnya

lebih tinggi di negara-negara yang lebih maju seperti Australia, tetapi baru baru

ini hal itu telah berubah dengan peningkatan prevalensi asma di negara kelas

rendah dan kelas menengah masyarakat. Estimasi terbaik melaporkan sekitar 300

juta orang di seluruh dunia menderita asma, atau sekitar 4,3% dari populasi.

Berdasarkan statistik saat ini, WHO memperkirakan peningkatan 100 juta orang

dalam prevalensi global asma pada dekade berikutnya.6

Prevalensi asma pada wanita hamil telah dilaporkan pada 3,7% -8,4% atau

200.000-376.000 wanita setiap tahun di AS. Sekitar 10% pasien mengalami

serangan selama persalinan, dan status asma telah mempengaruhi 0,2%

kehamilan.4

Beban ekonomi asma sangat besar, dengan biaya asma diperkirakan $ 56

miliar di Amerika Serikat pada tahun 2007, yang merupakan peningkatan 6% dari

$ 53 miliar yang dihabiskan pada tahun 2002.17 Setiap tahun dari tahun 2002

hingga 2007, setiap orang dengan asma di Amerika Amerika Serikat

menghabiskan biaya medis sekitar $ 3300, kehilangan produktivitas, dan kematian

dini.6

Morbiditas dan penurunan kualitas hidup bagi orang yang menderita asma

cukup signifikan. Lebih dari setengah dari orang dengan asma mengalami

8
serangan asma pada tahun 2008, dengan lebih banyak anak (57%) daripada orang

dewasa (53%) yang terkena. Pada tahun 2007, ada 1,75 juta kunjungan gawat

darurat untuk eksaserbasi asma dan 456.000 rawat inap terkait asma. Rata-rata

lama menginap di rumah sakit asma adalah 4,3 hari. Pada tahun 2008, 10,5 juta

hari sekolah dan 14,2 juta hari kerja dilewatkan karena asma, dengan rata-rata 4

hari sekolah yang terlewatkan untuk anak-anak dan 5 hari kerja yang terlewatkan

untuk orang dewasa. Eksaserbasi asma mengkonsumsi sumber daya yang besar

dan mengakibatkan sejumlah besar kunjungan departemen darurat. Pasien dengan

asma yang tidak terkontrol ditemukan memiliki peningkatan 1,8 kali lipat dalam

kunjungan gawat darurat dibandingkan pasien tanpa asma. Selain itu, orang

dengan asma yang tidak terkontrol lebih cenderung menjadi tidak memiliki

pekerjaan, kehillangan lebih banyak hari kerja, dan memiliki lebih banyak

keterbatasan dalam jenis pekerjaan dan kegiatan yang dapat mereka lakukan.6

2.4. Patofisiologi

Jalan napas dapat dikonseptualisasikan sebagai 'tabung' elastis sederhana

yang tertanam di dalam parenkim paru elastis. Saluran udara elastis meregang

(melebar) ketika paru-paru mengembang, karena penambatan parenkim ke

adventitia saluran napas. Dalam kesehatan, sifat elastis (compliance) parenkim

paru dan saluran udara yang baik, yang mendasari hubungan antara volume paru

dan kaliber saluran napas. Oleh karena itu, perubahan sifat mekanik parenkim

paru dan perlekatannya pada dinding saluran napas dapat berkontribusi pada

airway hyperressponsiveness (AHR) dan obstruksi aliran udara tetap. Dinding

jalan nafas jelas menebal pada asma, seperti yang ditunjukkan dalam banyak studi

9
pencitraan dan patologis. Peningkatan ketebalan dinding jalan napas berkontribusi

terhadap penyempitan jalan napas selama kontraksi airway smooth muscle (ASM)

melalui efek geometris.Penebalan lapisan mukosa dan ASM mempotensiasi

peningkatan resistensi jalan napas untuk jumlah pemendekan ASM tertentu,

karena radius saluran napas merupakan 4 kali fungsi dari resistensi jalan nafas.7

Penebalan dinding jalan napas di luar ASM mengurangi gaya elastis paru-

paru (mata air mengendur), sehingga mengurangi gaya yang harus dilawan dengan

ASM. Hipertrofi dan hiperplasia sel ASM berpotensi meningkatkan pembentukan

kekuatan walaupun sifat kontraktilnya tetap normal.7

Segmen jalan nafas bukan merupakan struktur tersendiri tetapi terintegrasi

ke dalam sistem percabangan, saluran udara yang bekerja secara paralel.

Pemodelan ulang dan peradangan saluran udara kemungkinan tidak merata pada

sistem percabangan ini pada pasien dengan asma berat.7

Pada tingkat selular, peradangan di jalan napas bawah kemungkinan besar

muncul dari kombinasi kecenderungan genetik, paparan lingkungan, dan

kemungkinan perubahan mikrobioma dan metabolit (molekul dengan berat

molekul rendah dalam sistem biologis). Kebanyakan penderita asma mengalami

inflamasi tipe 2, dikarakterisasi dengan limfosit T-helper tipe 2 (Th-2). Inflamasi

tipe 2 dikaitkan dengan profil sitokin tertentu (interleukin [IL] -4, IL-5, dan IL-14)

dan sel-sel inflamasi (eosinofil, sel mast, basofil, limfosit penolong T tipe 2, dan

imunoglobulin E [IgE] - memproduksi sel plasma). Inflamasi tipe 2 umumnya

terlihat pada penyakit alergi, gangguan eosinofilik, dan infeksi parasit. Sel-sel

epitel saluran napas juga telah diidentifikasi memainkan peran besar yang

10
mengatur inflamasi tipe 2 melalui sitokin (IL-25, IL-33, dan limfopoietin stroma

timus). Penderita asma tanpa bias yang kuat terhadap peradangan tipe 2 sering

menunjukkan respons yang buruk terhadap kortikosteroid dan mungkin sulit

dikelola.4

2.5. Diagnosis

Asma merupakan penyakit dengan variasi klinis yang beragam (bersifat

heterogen), biasanya dikarakterisasi dengan inflamasi saluran nafas kronis. Asma

memiliki ciri khas :8

1. Riwayat gejala pernafasan seperti mengi (wheezing), nafas tersenggal

senggal, nafas cepat, sesak nafas, dan batuk yang bervariasi dalam waktu dan

intensitasnya.

 Pasien dengan asma pada umumnya pernah mengalami eksaserbasi akut

dengan gejala pernafasan lebih dari satu gejala

 Gejala yang terjadi bervariasi waktu dan intensitasnya

 Gejala yang terjadi memburuk pada malam hari atau saat terbangun pagi

hari

 Gejala yang terjadi sering dicetuskan dengan olahraga, allergen, atau

udara dingin

 Gejala yang terjadi dapat terjadi saat atau memburuk dengan adanya

infeksi virus

2. Bukti variasi limitasi aliran udara ekspirasi

11
Minimal dilakukan 1 kali selama proses diagnostic. Hasil dari pemeriksaan

menggunakan spirometri menunjukan fungsi paru memiliki variai yang lebih

besar dibandingkan dengan individu sehat. Hal ini ditunjukkan dengan :

 Peningkatan FEV1 >200 ml dan >12 dari nilai ambang dasar (atau pada

anak anak), peningkatan >12% dari nilai terprediksi) setelah

menggunakan inhalasi bronkodilator. Hal ini dinamakan reversibilitas

bronkodilator

 Rata-rata variabilitas diurnal harian sebanyak >10% (pada anak anak

>13%)

 Peningkatan FEV1 dan >12 dari nilai ambang dasar (atau pada anak

anak), peningkatan >12% dari nilai terprediksi) setelah 4 minggu terapi

anti inflamasi (pasien tidak sedang infeksi pernafasan)

3. Semakin besar variasi, atau semakin banyak waktu variasi terlihat, arah

diagnosis semakin jelas

4. Uji mungkin perlu diulang selama gejala, pada pagi hari, atau setelah

menunda obat bronkodilator

5. Reversibilitas bronkodilator mungkin tidak muncul saat eksaserbasi berat atau

infeksi virus. Jika reversibilitas bronkodilator tidak muncul saat uju pertama

kali, langkah berikutnya tergantung urgensi klinis dan ketersediaan tes lain.

12
Berikut merupakan algoritma penegakan diagnosis asma pada praktik klinis

menurut GINA 2019 :

Gambar 3. Algoritma penegakkan diagnosis asma8

Pada kebanyakan pasien (25-35%) dengan diagnosis asma pada layanan

primer, diagnosis seringkali sulit ditegakkan. Jika dasar diagnosis belum

ditegakkan, konfirmasi dengan pemeriksaan penunjang dapat dilakukan. Jika

standar kriteria diagnosis di atas tidak dapat dipenuhi, pertimbangkan

13
menggunakan uji reversibilitas saat pasien mengalami gejala, atau seteleh

menunda obt bronkodilator selama >12 jam (24 jam jika long acting). Pada wanita

hamil penegakkan diagnosis asma pada umumnya sama dengan wanita yang tidak

hamil. Penting untuk melakukan konseling dengan wanita penderita asma yang

hamil atau merencanakan untuk hamil untuk memberi penjelasan pentingnya

terapi controller asma untuk luaran ibu dan bayi yang baik dan terhindar dari

komplikasi.2,8

2.6 Tatalaksana

Tujuan jangka panjang tatalaksana asma adalah untuk mengurangi risiko

dan mengendalikan gejala. Hal ini dilakukan untuk mengurangi beban pasien,

mengurangi risiko kematian terakait asma, eksaserbasi, kerusakan jalan nafas, dan

efek samping obat. Identifikasi preferensi pribadi pasien terkait asma dan rencana

terapi juga perlu dievaluasi.

Tatalaksana asma perlu mempertimbangkan 2 hal yaitu rekomendasi pada

tingkat populasi dan rekomendasi pada tingkat pasien. Pada tingkat populasi

pilihan terapi harus berdasarkan evidence-based medicine yang memberikan

keuntungan yang banyak dengan biaya atau efek sampaing minimal di suatu

populasi. Pilihan terapi tersebut kemudian perlu diturunkan ke tingkat pasien

dimana dokter dan pasien perlu mendiskusikan terkait rencana terapi yang akan

diberikan. Preferensi terkait karakteristik, faktor rsiko, komorbiditas, fenotip yang

dapat memprediksi respon terapi terhadap gejala dan risiko eksaserbasi. Hal ini

juga perlu dievaluasi bersamaan dengan tujuan pribadi pasien terhadap terapinya,

masalah regimen terapi seperti teknik inhaler, kepatuhan, dan biaya obat.

14
Gambar 4. Siklus tatalaksana terapi asma meliputi evaluasi, pengaturan ulang,
dan melihat respon terapi

Manajemen asma merupakan siklus kontinyu untuk mengevaluasi, mengatur

ulang terapi, dan melihat respon terapi. Evaluasi pasien dengan asma bukan hanya

mengevaluasi kontrol gejala tetapi juga faktor risiko dan komorbiditas yang akan

berkontribusi terhadap beban penyakit dan luaran yang lebih buruk.

Tatalaksana pencegahan eksaserbasi dan kontrol gejala asma diantaranya :

 Medikasi : GINA merekomendasikan setiap pasien dewasa dan remaja

dengan asma diberikan obat kontroler inhalasi kortikosteroid untuk

mengurangi risiko eksaserbasi serius, meskipun jarang terjadi gejala

eksaserbasi. Semua pasien dengan asma diberikan inhalasi reliever.

 Identifikasi dan terapi faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan komorbiditas

15
 Gunakan strategy non farmakologi sesuai indikasi dan kebutuhan pasien.

Setiap pasien juga harus dilakukan konseling terkait dengan pengetahuan

dan kemampuan dasar terkait manajemen asma mandiri terpadu diantarnya

informasi asma, teknik penggunaan inhaler dengan benar, kepatuhan, rencana

kerja asma secara tertulis, pengawasan pribadi terkait gejala dan atau aliran

puncak, ulasan pengobatan rutin.

Pada tahun 2019, GINA tidak lagi merekomendasikan penggunaan terapi

yang dimulai dengan hanya pemberian short acting beta agonist (SABA). GINA

merekomendasikan semua pasien dewasa dan remaja dengan asma harus

mendapatkan terapi controller kortikosteroid, untuk mengurangi risiko

eksaserbasi serius dan mengontrol gejala. Rekomendasi GINA terbaru merupakan

representasi dari bukti terbaru bahwa meskipun SABA memberikan pelega gejala

yang cepat, terapi hanya menggunakan SABA terkait dengan peningkatan risiko

eksaserbasi dan penurunan fungsi paru. Penggunaan rutin meningkatkan respon

alergi dan inflamasi jalan nafas. Penggunaan SABA berlebihan (≥3 tabung per

tahun) terkait dengan peningkatan risiko eksaserbasi berat, dan penggunaan ≥12

tabung per tahun terkait dengan peningkatan risiko kematian terkait asma. GINA

mengeluarkan rekomendasi terbaru 2019 dengan pemberian terapi inisiasi pada

seluruh pasien asma yang sudah tegak diagnosisnya dengan pemberian inhalasi

kortikosteroid. Hal ini disebabkan karena pasien dengan asma ringan dapat terjadi

eksaserbasi berat, inhalasi kotikosteroid rendah mengurangi frekuensi rawat inap

16
karena asma dan kematian terkait asma, efektif dalam mencegah eksaserbasi

akut, dan memiliki luaran fungsi paru yang lebih baik.

Gambar 5. Strategi regimen terapi pada asma

Pertimbangkan untuk menaikkan regimen dosis terapi pada asma jika gejala

tidak terkontrol atau hanya terkontrol sebagian. Jika pada presentasi awal

merupakan asma berat tidak terkontrol atau dengan eksaserbasi akut, berikan

kortikosteroid oral jangka pendek dan mulai terapi controller secara rutin.

Pertimbangkan untuk menurunkan regimen terapi setelah asma telah terkontrol

dengan baik selama 3 bulan. Pada dewasa dan remaja, inhalasi kortikosteroid

lebih baik tidak sepenuhnya dihentikan.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum dan sesudah memulai

terapi controller. Sebelum memulai terapi controller catat bukti diagnosis asma,

gejala dan faktor risiko, lakukan tes fungsi paru, latih pasien mengenai

penggunaan inhaler dengan benar, dan jadwalkan rencana kontrol untuk evaluasi

17
terapi. Setelah memulai terapi controller lakukan evaluasi respon terapi setelah 2-

3 bulan atau sesuai urgensi klinis, evaluasi paska 3 bulan terapi untuk menentukan

menurunkan atau menaikkan regimen terapi.

Risiko eksaserbasi dapat diminimalkan dengan mengoptimalkan obat—

obatan asma dan mengidentifikasi serta memodifikasi faktor risiko. Beberapa

contoh modifikasi risiko yang konsisten dengan bukti penelitian diantaranya

manajemen diri terpadu (monitor mandiri gejala), penggunaan regimen dengan

eksaserbasi paling minimal, menghindari paparan asap rokok, mengkonfirmasi

alergi makanan, merujuk pasien asma berat ke spesialis.

Selain itu terapi non farmakologi juga terbukti dapat mengurangi risiko dan

mengontrol eksaserbasi asma. Beberapa tatalaksana non farmakologi yang dapat

diberikan diantaranya adalah konseling menghentikan kebiasaan merokok,

aktivitas fisik, evaluasi mengenai asma okupasional dan menghindari asma

terinduksi aspirin.

Pada pasien asma dengan kehamilan kontrol asma seringkali mengalami

perubahan. Untuk ibu dan bayi, keuntungan mengobati asma secara aktif melebihi

risiko potensial yang dapat terjadi akibat pemberian obat reliever dan controller.

Penurunan titrasi regimen merupakan prioritas renda dan eksaserbasi harus

dilakukan terapi secara agresif dengan pilihan risiko paling rendah untuk ibu dan

bayi.

18
BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas

Nama pasien : Ny. M

Umur : 37 tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Suku : Banjar

Alamat : Jl. Kelayan B Timur, Haur Kuning, RT. 18, N0. 16, Kota

Banjarmasin

No. MR : 1.45.54.25

Tanggal MRS : 01 Maret 2020 pukul 10.45 WITA

B. Anamnesis

Anamnesa dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 01 Maret 2020

pukul 10.45 WITA

1. Keluhan Utama : Sesak napas

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien kiriman RSUD Sultan Suriansyah dengan diagnosis G3P1A1 Hamil 34-35

Minggu + Letak Lintang + Asma Bronkiale + Fetal Distress. Di rujuk untuk

alasan NICU. Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 7 jam sebelum

19
masuk kamar bersalin. Kencang-kencang (-), keluar air-air (-), keluar lendir darah

(-), gerak janin (+). Terapi yang didapatkan: Infus RL ~ aminofilin 1 amp 20 tpm,

Inj Ceftriaxone 2x1 gr, Inj Dexamethasone 2x6 mg, Inj Metilprednisolon 2x62,5

mg, PO NAC 3x200 mg, PO Salbutamol 3x4 mg, dan nebul ventolin : NaCl :

pumicort 1:1:2 dan injeksi dexamethasone.

PAN : Puskesmas/ Bidan Praktek Mandiri (+) 6 kali -> KRT ec Riwayat Asma

Sp OG 2 kali -> KRT ec Riwayat Asma

Riwayat Penyakit Dahulu:

Asma Bronkiale (+) sejak usia 11 tahun dan rutin menggunakan salbutamol

inhaler jika serangan asma, Hipertensi (-), DM (-), Alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :

Asma (-), Hipertensi (-), DM (-), Alergi (-) PEB (-)

Riwayat Haid :

Menarche usia 12 tahun, selama 7 hari, siklus 28 hari, teratur, 2-3 kali ganti

pembalut per hari.

HPHT : 26 Juli 2019

TP : 02 Mei 2020

UK : 31 minggu

Riwayat Perkawinan :

Menikah 1 kali, 5 tahun yang lalu

Riwayat KB :

Pil KB, stop 1 tahun yang lalu

20
Riwayat Obstetri :

Tempat
Anak
Jenis
No. bersalin/ Tahun Kehamilan
Persalinan Sex Berat Keadaan
penolong
1. Bidan 2016 Aterm Spt-BK LK 3100 gr Hidup (4 th)
Dukun Abortus
2. 2018 9 minggu - -
Kampung (Kuret +)
3. Hamil ini

C. Status Generalis

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Kompos mentis / GCS 4-5-6

Bentuk badan : Normal

Tanda Vital : Tekanan darah : 103/65 mmHg

Nadi : 102 x/menit

Respirasi : 24 x/menit

Suhu : 36,7o C

BB : 63 kg

TB : 158 cm

IMT : 25,24 kg/m2 (Overweight)

Kepala dan leher

- Kepala : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, palpebra

tidak edem, pupil isokor, reflex cahaya +/+

21
- Telinga : Bentuk normal, tidak ada cairan yang keluar dari telinga,

tidak ada gangguan pendengaran

- Hidung : Bentuk normal, tidak tampak deviasi septum, tidak ada

sekret, tidak ada epistaksis, tidak ada pernapasan cuping

hidung

- Leher : Tidak ada kaku kuduk, tidak tampak pembesaran kelenjar

getah bening dan tiroid, tidak ada peningkatan JVP.

Thorax

- Paru : Inspeksi : bentuk normal, gerak napas simetris dan ICS

tidak melebar

Palpasi : fremitus raba simetris, tidak ada nyeri tekan

Perkusi : sonor +/+, tidak ada nyeri ketuk

Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), whezing

(-/-)

- Jantung : Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : tidak teraba thrill

Perkusi : sulit dilakukan terhalang payudara

Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, bising jantung tidak ada

Abdomen

Status obstetrik

Ekstremitas atas dan bawah

Atas : Edema (-), gerak normal, parese (-), nyeri gerak (-)

Bawah : Edema (-), gerak normal, parese (-), nyeri gerak (-)

22
Refleks patella : (+)

D. STATUS OBSTETRIK

Inspeksi : Perut tampak massa gestasi

Palpasi: Leopold I : teraba lunak

TFU = 25 cm

Leopold II : memanjang punggung kanan

Leopold III : Presentasi lintang

Leopold IV : belum masuk PAP

Auskultasi : DJJ 155 x/m

His : (-)

Pemeriksaan Dalam : pembukaan -/ konsistensi lunak; arah: anterior;

affecement: 0%; ketuban (+), bagian terendah

janin masih tinggi

Taksiran Berat Janin : 1660 gram

E. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium 01 Maret 2020 (11:40:44)

23
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hemoglobin 11,1 12,00-16,00 g/dl
Lekosit 14,9 4,0-10,5/ul
Eritrosit 3,44 3,50-5,50 juta/ul
Hematokrit 32,0 37,00-47,00 vol%
Pemeriksaan
Trombosit Hasil 278 Nilai Normal
150-450 ribu/ul
GAS
RDW-CVDARAH 14,6 11,5-14,7 %
Kesimpulan: Dalam Batas Normal
Suhu
MCV,MCH, MCHC 36,5 Celcius
pH 7.409 7.350-7.450
2. MCV 93,0 80,00-97,00
PCO2
MCH 32,2
32,3 35-45 mmHg
27,0-32,0
TCO2
MCHC 21,0
34,7 22-29 mEq/L
32,0-38,0
PO2
HITUNG JENIS 112,0 80-100 mmHg
HCO3
Neu% 20,4
88,6 22-26 mmHg
50,0-70,0%
O2 Saturasi
Limfosit% 99,0
7,8 75-99%
25,0-40,0%
Base
MID% Excess (BE) -4,0
3,4 -2,0-3,0 mEq/L
2,0-8,0%
%FIO2
Neu# 33
13,22 %
2,50-7,00 ribu/ul
Limfosit# 1,17 1,25-4,0 ribu/ul
PROTHROMBIN TIME
Hasil PT 10,8 9,9-13,5
INR 1,00 -
Control Normal PT 10,8 -
Hasil APTT 31,8 22,2-37,0
Control Normal APTT 24,8 -
HATI
SGOT 27 0-46 U/I
SGPT 24 0-45 U/I
GINJAL
Ureum 6 10-50 mg/dl
Kreatinin 0,56 0,6-1,2 mg/dl
DIABETES
GDS 136 <200 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 139 136-145 Meq/L
Kalium 2,8 3,5-5,1 Meq/L
Chlorida 104 98-107 Meq/L
IMUNO-SEROLOGI
HBsAg Non Reaktif Non Reaktif
Anti HIV Rapid Non Reaktif Non Reaktif

Pemeriksaan USG

USG di VK:

24
- Janin: tunggal, hidup, letak oblique

- Placenta: implantasi di fundus grade I

- Amnion: SDP: 8,5 (kesan cukup)

- Biomarker:

o BPD: 79,3 mm ~ 31 minggu + 2 hari

o HC: 300 mm ~ 33 minggu + 2 hari

o AC: 268 mm ~ 31 minggu + 0 hari

o FL: 57,6 mm ~ 30 minggu + 0 hari

o EFW: 1660 gram

- Jantung: FHR: 149x/menit, 4 cardiac valve (+) tampak normal

- Anomaly: saat ini tidak tampak kelainan kongenital mayor

- Lain-lain: (-)

25
- Kesimpulan: Janin tunggal, hidup, letak oblique, UK 31-32 minggu, TBJ

1660 mg, AFI 8,5 cm.

USG dari FM:

26
• Janin Tunggal Presentasi Kepala

• Biometri : BPD : 7,9 cm. AC : 26cm FL: 6,0 cm

27
• Air ketuban : AFI 5,4 cm

• Placenta di fundus grade I-II

• Kelainan kongenital Mayor (-)

• Dopler A. Umbilicalis Normal

• Kehamilan sesuai 31 minggu

3. CTG

Baseline :150 dpm

Variabilitas : 5-20dpm

Akselerasi : (+)

Deselerasi : (-)

Gerak Janin : (-)

His : (-)

Kesimpulan : Kategori I

F. Diagnosis

G3P1A1 + H 31-32 Minggu + JTHIU + Presentasi Oblique + Asma Bronkiale

Respons Terapi + TBJ 1660

G. Penatalaksanaan

Infus RL ~ aminofilin 1 amp 20 tpm

28
Inj Ceftriaxone 2x1 gr

Inj Dexamethasone 2x6 mg (tunda, tunggu Co FM)

Co FM

Co Paru

TS Paru:

O2 NC 3 lpm

Nebul Combivent per 6 jam

Nebul Pulmicort per 12 jam

NAC 3x200 mg

H. Follow up

02/03/20

S) Sesak (<), gerak janin (+), kencang-kencang (-)

O) Status Umum:

Kesadaran: Compos Mentis

Anemis Ikterik Cyanosis Dispneu (-/-/-/-)

Tekanan darah: 110/70 milimeter air raksa

Nadi: 84 kali/menit

Laju napas: 22 kali/menit

Suhu: 36,0 derajat Celcius

Cardiac/Pulmo: dalam batas normal

Status Obstetri

His (-)

Denyut jantung janin 144 kali per menit

29
A) G3P1A0 + H 31-32 Minggu + JTHIU + Presentasi Oblique + Asma Bronkiale

Respons Terapi + TBJ 1660

P) Infus RL ~ aminofilin 1 amp 20 tpm

Inj Ceftriaxone 2x1 gr

Inj Dexamethasone 2x6 mg (tunda, tunggu Co FM)

TS Paru:

O2 NC 3 lpm

Nebul Combivent per 6 jam

Nebul Pulmicort per 12 jam

NAC 3x200 mg

Mo KU/Kel/VS/Djj

03/03/20

S) Sesak (-), gerak janin (+), kencang-kencang (-)

O) Status Umum:

Kesadaran: Compos Mentis

Anemis Ikterik Cyanosis Dispneu (-/-/-/-)

Tekanan darah: 120/70 milimeter air raksa

Nadi: 84 kali/menit

Laju napas: 22 kali/menit

Suhu: 36,5 derajat Celcius

Cardiac/Pulmo: dalam batas normal

Status Obstetri

His (-)

30
Denyut jantung janin 144 kali per menit

B) G3P1A0 + H 31-32 Minggu + JTHIU + Presentasi Oblique + Asma Bronkiale

Respons Terapi + TBJ 1660

P) Infus RL 20 tpm

Inj Ceftriaxone 2x1 gr

Inj Dexamethasone 2x6 mg selama 2x24 jam

TS Paru:

O2 NC 3 lpm

Nebul Combivent per 6 jam

Nebul Pulmicort per 12 jam

NAC 3x200 mg

Mo KU/Kel/VS/Djj

Pro pindah ruangan

04/03/20

S) Sesak (-), gerak janin (+), kencang-kencang (-)

O) Status Umum:

Kesadaran: Compos Mentis

Anemis Ikterik Cyanosis Dispneu (-/-/-/-)

Tekanan darah: 110/70 milimeter air raksa

Nadi: 78 kali/menit

Laju napas: 21 kali/menit

Suhu: 36,5 derajat Celcius

Cardiac/Pulmo: dalam batas normal

31
Status Obstetri

His (-)

Denyut jantung janin 140 kali per menit

C) G3P1A1 + H 31-32 Minggu + JTHIU + Presentasi Oblique + Asma Bronkiale

Respons Terapi + TBJ 1660

P) Infus RL 20 tpm

Inj Ceftriaxone 2x1 gr

Inj Dexamethasone 2x6 mg selama 2x24 jam

TS Paru:

Nebul Combivent per 6 jam (k/p)

Nebul Pulmicort per 12 jam (k/p)

NAC 3x200 mg

Mo KU/Kel/VS/Djj

Pro KRS

KRS  diizinkan

G3P1A0 + H 31-32 Minggu + JTHIU + Presentasi Oblique + Asma Bronkiale

Respons Terapi + TBJ 1660

Obat pulang:

NAC 3x200 mg

32
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada makalah ini dibahas sebuah kasus Ny. M berusia 37 tahun dengan

diagnosis G3P1A1 + H 31-32 minggu + JTHIU + Presentasi Oblique + Asma

bronkiale eksaserbasi akut + TBJ 1660 gram. Pasien kiriman RSUD Sultan

Suriansyah dengan diagnosis G3P1A1 H 34-35 minggu + letak lintang + asma

bronkiale + fetal distress. Pasien dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi

dengan alasan ketersediaan NICU untuk perawatan risiko komplikasi persalinan

untuk ibu dan bayi. Dari hasil anamnesis pasien datang dengan keluhan sesak

nafas sejak 7 jam sebelum masuk kamar bersalin, kencang-kencang (-), keluar air-

air (-), keluar lendir darah (-), gerak janin (+). Batuk (-), mual/muntah (-/-).

demam (-). Pasien memiliki riwayat asma bronkiale (+) sejak usia 11 tahun dan

rutin menggunakan salbutamol inhaler jika serangan asma. Dari hasil pemeriksaan

ANC sebnyak 6 kali di bidan praktek mandiri dan di dokter spesialis obsgyn

obsgyn dan dinyatakan kehamilan risiko tinggi karena riwayat asma. Riwayat

penyakit DM, hipertensi, dan alergi disangkal. Riwayat persalinan sebelumnya

lahir spontan tanpa komplikasi dengan BBL 3100 gram. Pasien memiliki riwayat

abortus pada kehamilan kedua.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital Tekanan darah 103/65

mmHg, Nadi 102 x/menit, Respirasi 24 x/menit, Suhu 36,7o C. Status gizi pasien

didapatkan berat badan 63 kg dengan tinggi badan 158 cm sehingga didapatkan

IMT 25,24 kg/m2. Pemeriksaan fisik obstetri pada inspeksi didapat Perut tampak

33
massa gestasi, palpasi Leopold I teraba fundus teraba lunak, pada leopold II

didapatkan letak janin memanjang punggung kanan, pada leopold III janin

presentasi lintang, dan pada leopold IV kepala janin belum masuk PAP. Pada

auskultasi Detak Jantung Janin 155 kali per menit. Kontraksi his (-). Pemeriksaan

dalam didapatkan pembukaan tidak ada, serviks teraba lunak, anterior, affecement

0% bagian terbawah janin masih tinggi, ketuban (+). Taksiran Berat Janin 1660

gram. Pemeriksaan penunjang didapatkan CTG kategori I dan hasil laboratorium

dalam batas normal. Hasil pemeriksaan USG menunjukkan janin tunggal, hidup,

letak oblique, UK 31-32 minggu, TBJ 1660 minggu, AFI 8,5 cm, plancenta di

fundus grade I-II, kelainan kongenital mayor (-). Pada pasien tersebut diagnosis

asma ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Perjalanan asma dapat memburuk, meningkat, atau tetap tidak berubah

selama kehamilan, dan data keseluruhan menunjukkan bahwa perjalanan ini

terjadi kira-kira dengan frekuensi sama. Dalam sebuah penelitian prospektif pada

1.739 wanita asma dalam kehamilan, klasifikasi keparahan (berdasarkan gejala,

fungsi paru, dan penggunaan obat) memburuk pada 30% dan meningkat pada 23%

pasien selama kehamilan. Asma juga tampaknya lebih cenderung menjadi lebih

parah atau memburuk selama kehamilan, wanita dengan asma berat sebelum

hamil. Perjalanan asma dapat bervariasi berdasarkan tahap kehamilan. Trimester

pertama ditoleransi dengan baik pada wanita penderita asma, dengan episode akut

yang jarang terjadi. Gejala yang meningkat dan eksaserbasi yang lebih sering

dilaporkan terjadi antara minggu ke 17 dan 36 kehamilan. Sebaliknya, wanita

asma, secara umum, cenderung mengalami lebih sedikit gejala dan eksaserbasi

34
asma yang lebih jarang selama minggu 37 hingga 40 kehamilan dibandingkan

selama periode kehamilan sebelumnya. Hal ini berbeda dengan penelitian terbaru

yang menggunakan data dari klaim Korean National Health Insurance yang

menunjukkan bahwa tingkat rawat inap untuk asma pada pasien hamil meningkat

sepanjang kehamilan (trimester pertama: 0,2%, trimester kedua: 0,5%, dan

trimester ketiga: 0,7%, p ¼ 0,018).9

Mekanisme yang bertanggung jawab untuk perubahan perjalanan asma

selama kehamilan tidak diketahui. Banyak perubahan terkait kehamilan dalam

kadar hormon seks, kortisol, dan prostaglandin dapat berkontribusi terhadap

perubahan dalam perjalanan asma selama kehamilan. Selain itu, paparan antigen

janin, yang menyebabkan perubahan pada fungsi kekebalan tubuh dapat

mempengaruhi wanita asma dalam hamil untuk terjadinya asma yang memburuk.

Seks janin mungkin berperan, dengan beberapa data menunjukkan peningkatan

keparahan gejala pada kehamilan dengan janin perempuan.9

Asma sangat terkait dengan preeklampsia, solusio plasenta dan plasenta

previa, dan perdarahan persalinan. Beberapa dekade penelitian telah mengaitkan

asma dengan peningkatan angka kelahiran sesar. Keparahan asma dikaitkan

dengan beberapa hasil kebidanan yang merugikan; risiko kelahiran sesar lebih

tinggi untuk pasien dengan asma berat dibandingkan asma ringan. Sebuah studi

kohort besar terhadap >15.000 wanita Kanada dengan asma menemukan

peningkatan risiko aborsi spontan. Penelitian meta-analisis oleh Murphy et al

menunjukkan bahwa risiko relatif (RR) dari kelahiran prematur dan persalinan

prematur berkurang oleh manajemen asma aktif. Dalam sebuah studi kohort

35
retrospektif dari> 220.000 kehamilan, pasien dengan asma memiliki kemungkinan

11% peningkatan diabetes gestasional. Penelitian ini juga yang pertama

melaporkan peningkatan risiko emboli paru di antara pasien dengan asma (OR,

1,71 [95% CI, 1,05-2,79]). Tingkat rendahnya keseluruhan emboli paru

(mempengaruhi 0,06% kehamilan non-asma dan 0,12% dari kehamilan asma)

dapat mempersulit upaya untuk mendeteksi tingkat kejadian yang berbeda secara

signifikan dalam penelitian lain.10,11

Banyak komplikasi luaran pediatric yang dikaitkan dengan kontrol asma

yang buruk pada ibu diantaranya bayi berat lahir rendah dan kecil masa kehamilan

yang risiko meningkat dengan tingkat keparahan asma ibu. Studi kohort besar

36.587 wanita dengan asma juga telah menunjukkan peningkatan prevalensi

bawaan

malformasi pada mereka yang mengalami asma eksaserbasi berat selama trimester

pertama. Sebuah meta analisis studi dari 1975 hingga 2012 dilaporkan

hubungan yang signifikan antara asma ibu dan kematian neonatal (RR, 1,49),

rawat inap neonatal (RR, 1,50), bibir sumbing / palatum (RR, 1,30), dan

malformasi minor (RR, 1.11) tetapi bukan malformasi mayor atau lahir mati.

Selain itu, bayi yang lahir dari ibu hamil dengan asma lebih cenderung juga

menderita asma.10,11

Pada pasien tersebut belum diketahui riwayat perjalanan asma dan derajat

kontrol asma dengan pengobatan inhalasi yang sudah dipakai oleh pasien bertahun

tahun. Hal ini menyebabkan sulit untuk mengetahui perubahan perjalanan atau

intensitas penyakit asma yang diderita pasien saat masa kehamilan. Banyaknya

36
komplikasi maternal dan pediatric yang dikaitkan dengan derajat keparahan asma

membuat kehamilan pasien tersebut termasuk kehamilan risiko tinggi. Hal

tersebut mengindikasikan perlunya penanganan kehamilan dan persalinan di

fasilitas kesehatan lanjut untuk mengantisipasi potensi komplaski dari kehamilan

dan persalinan ibu hamil dengan asma.

Pada pasien tersebut dilakukan pemeriksaan USG untuk memastikan

kondisi janin dalam kandungan didapatkan hasil janin tunggal, hidup, presesntasi

oblique, berat janin 1660 gram, AFI 8.5, serta tidak ditemukan kelainan

kongenital mayor. Berdasarakan kurva lubschenco untuk menilai berat janin

intrauterine terhadap masa kehamilan, berat janin pada pasien tersebut masih

sesuai masa kehamilannya yaitu 31-32 minggu. Indeks AFI yang digunakan untuk

menilai keadaan cairan amnion intrautrein juga masih dalam batas normal. DJJ

bayi 155 x/menit masih dalam batas normal. Hasil pemeriksaan CTG dan hasil

laboratorium juga masih menunjukkan dalam batas normal. Meskipun begitu,

penanganan eksaserbasi asma perlu dilakukan secara aktif untuk mencegah risiko

peningkatan luaran yang buruk terhadap ibu dan janin.

Pada pasien dilakukan tatalaksana terapi dengan infus ringer laktat-

aminofilin 1 ampul 20 tpm, inj. ceftriaxone 1 gram/12 jam, nebu combivent per 6

jam, nebu pulmicort per 12 jam, N-acetyl cysteine 200 mg/8 jam. Pasien

kemudian dilakukan perawatan di bangsal selama 4 hari. Keadaan pasien selama

di bangsal membaik dan diizinkan pulang.

Data keamanan mengenai obat yang digunakan selama kehamilan berasal

dari penelitian pada hewan dan manusia. Standar baku untuk menguji hal tersebut

37
yaitu randomized clinical trial tetapi karena alasan etis, penelitian jarang

dilakukan pada populasi hamil. Jenis studi yang paling sering dilakukan adalah

studi kohort. Jenis studi ini dapat dirancang dengan cara retrospektif atau

prospektif. Keuntungan dari studi prospektif adalah bahwa subjek dapat diikuti

selama kehamilan mereka dan diawasi dengan ketat. Keuntungan dari studi

retrospektif adalah bahwa mereka cenderung data yang dikumpulkan jauh lebih

besar dari database yang dapat dihubungkan dan dianalisis secara statistik untuk

memberikan informasi kehamilan dan penggunaan obat.12,13

Tabel 1. Profil data keamanan pilihan obat asma untuk ibu hamil13

Tabel 1 menunjukan profil data keamanan pilihan obat asma untuk ibu

hamil. Penatalaksanaan asma eksaserbasi akut harus dilakukan secara aktif untuk

menghindari komplikasi pada kehamilan pada ibu dan janin. Hal ini membuat

juga harus mempertimbangkan risiko efek samping pada kehamilan. Pilihan obat

yang diberikan pada pasien berdasarkan profil data pada umumnya aman.

Berdasarkan data penelitian saat ini pemberian inhalasi SABA dan kortikosteriod

cukup aman meskipun beberapa penelitian mengaitkan dengan malformasi

38
tertentu tetapi ada faktor perancu yang membuat hal ini sulit disimpulkan.

Pemberian theophyln juga tidak menimbulkan malformasi congenital tetapi perlu

diperhatikan toksisitasnya dalam darah. Pemberian terapi asma pada pasien harus

mencakup terapi reliever dan controller. Hal ini diberikan untuk menghilangkan

gejala eksaserbasi dan mengontrol frekuensi kekambuhan asma. Pasien juga perlu

diedukasi terkait tatalaksana non farmakologi seperti tatalaksana mandiri terpadu,

identifikasi alergi dan penghindaran paparan, serta rencana terapi asma dan

kehamilannya.12,13

39
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus Ny. M dengan diagnosis awal G3P1A1 + H

31-32 minggu + JTHIU + Presentasi Oblique + PPI + Asma bronkiale + TBJ 1660

gram. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Pada pasien dilakukan tatalaksana terapi dengan infus

ringer laktat-aminofilin 1 ampul 20 tpm, inj. ceftriaxone 1 gram/12 jam, nebulizer

combivent per 6 jam, nebulizer pulmicort per 12 jam, N-acetyl cysteine 200 mg/8

jam. Pasien kemudian dilakukan perawatan di bangsal selama 4 hari. Keadaan

pasien selama di bangsal membaik dan diizinkan pulang.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, F., Leveno, K., Bloom, S., Spong, C. Y., & Dashe, J. (2014).
Williams obstetrics, 24e. Mcgraw-hill.

2. Mehta, N., Chen, K., Hardy, E., & Powrie, R. (2015). Respiratory disease in
pregnancy. Best practice & research Clinical obstetrics & gynaecology, 29(5),
598-611.

3. Boulet, L. P., Reddel, H. K., Bateman, E., Pedersen, S., FitzGerald, J. M., &
O'Byrne, P. M. (2019). The global initiative for asthma (GINA): 25 years
later. European Respiratory Journal, 54(2), 1900598

4. Mims, J. W. (2015, September). Asthma: definitions and pathophysiology. In


International forum of allergy & rhinology (Vol. 5, No. S1, pp. S2-S6).

5. Kelly, W., Massoumi, A., & Lazarus, A. (2015). Asthma in pregnancy:


Physiology, diagnosis, and management. Postgraduate medicine, 127(4), 349-
358.

6. Loftus, P. A., & Wise, S. K. (2015, September). Epidemiology and economic


burden of asthma. In International forum of allergy & rhinology (Vol. 5, No.
S1, pp. S7-S10).

7. King, G. G., James, A., Harkness, L., & Wark, P. A. (2018). Pathophysiology
of severe asthma: We’ve only just started. Respirology, 23(3), 262-271.

8. Global Initiative for Asthma Updated 2019, National Heart, Lung, & Blood
Institute. (2019). Pocket Guide for Asthma Management and Prevention: A
Pocket Guide for Physicians and Nurses. National Institutes of Health,
National Heart, Lung, and Blood Institute.

9. Namazy, J. A., & Schatz, M. (2018, February). Management of Asthma during


Pregnancy: Optimizing Outcomes and Minimizing Risk. In Seminars in
respiratory and critical care medicine (Vol. 39, No. 01, pp. 029-035). Thieme
Medical Publishers.

10. Bonham, C. A., Patterson, K. C., & Strek, M. E. (2018). Asthma outcomes and
management during pregnancy. Chest, 153(2), 515-527

11. Murphy, V. E., Jensen, M. E., & Gibson, P. G. (2017, April). Asthma during
pregnancy: exacerbations, management, and health outcomes for mother and
infant. In Seminars in respiratory and critical care medicine (Vol. 38, No. 02,
pp. 160-173). Thieme Medical Publishers.

42
12. Namazy, J. A., & Schatz, M. (2017). Pharmacological difficulties in the
treatment of asthma in pregnant women. Expert review of clinical
pharmacology, 10(3), 285-292.

13. Namazy, J. A., Chambers, C., & Schatz, M. (2014). Safety of therapeutic
options for treating asthma in pregnancy. Expert opinion on drug safety,
13(12), 1613-1621.

43

Anda mungkin juga menyukai