Anda di halaman 1dari 10

Asma pada Kehamilan

Pembimbing :
dr.Intan Renata S Sp.OG, M-kes

Penyusun :
Sugiharto Saputra

Pendahuluan
Asma merupakan gangguan penyumbatan saluran napas (bronkus) reversibel. Asma umum
terjadi pada wanita muda dan dengan demikian sering ditemukan selama kehamilan. Studi
berdasarkan Kwon dkk memperkirakan prevalensi asma pada kehamilan berkisar antara 4
dan 8 persen. Wanita yang memiliki asma, pada saat kehamilan akan lebih sering
mengalami eksaserbasi dan bahkan dapat mencetuskan penyulit kehamilan yang lain,
termasuk gangguan bagi janin.
Perubahan Fisiologi Saluran Napas pada Kehamilan
Diafragma terangkat sekitar 4 cm selama kehamilan. Sudut subkosta melebar secara
bermakna karena diameter melintang sangkar toraks meningkat sekitar 2 cm. Lingkar toraks
meningkat sekitar 6 cm, tetapi tidak cukup untuk mencegah pegurangan volume paru
residual yang terjadi akibat naiknya diafragma. Pergerakan diafragma pada wanita hamil
sebenarnya lebih besar daripada wanita tak hamil.1
Kecepatan napas pada hakikatnya tidak berubah, tetapi volume tidal (tidal volume)
dan resting minute ventilation meningkat secara bermakna seiring dengan perkembangan
kehamilan. Meningkatnya minute ventilation ini disebabkan oleh beberapa faktor termasuk
meningkatnya dorongan respirasi terutama karena efek stimulatorik progesteron, volume
cadangan ekspirasi yang rendah, dan alkalosis respiratorik terkompensasi. Hal-hal ini akan
dibahas secara lebih rinci.1
Kapasitas residual fungsional dan volume residual berkurang akibat terangkatnya
diafragma. Laju aliran/arus ekspirasi puncak menurun secara progresif seiring dengan
perkembangan gestasi. Compliance paru tidak dipengaruhi oleh kehamilan; tetapi airway
conductance meningkat dan resistensi paru total berkurang, mungkin akibat pengaruh
progesteron. Kapasitas bernapas maksimal (maximum breathing capacity) dan kapasitas
vital paksa atau serwaktu tidak banyak berubah. Masih belum jelas apakah closing
volumeparu saat saluran-saluran napas di bagian dependen paru mulai menutup sewaktu
ekspirasi-berubah. Selama ini volume tersebut dianggap lebih tinggi pada kehamilan
meskipun sekarang dipertanyakan. Meningkatnya kebutuhan oksigen dan mungkin

bertambahnya critical closing volume yang ditimbulkan oleh kehamilan cenderung


menyebabkan penyakit pernapasan menjadi lebih serius selama gestasi.1,2
Jumlah oksigen yang disampaikan ke paru oleh volume tidal yang meningkat jelas
melebihi kebutuhan oksigen yang ditimbulkan oleh kehamilan. Selain itu, massa
hemoglobin total, dan pada gilirannya kapasitas darah mengangkut oksigen total, meningkat
secara bermakna selama kehamilan, demikian juga curah jantung. Karena itu, perbedaam
oksigen arteriovena ibu berkurang.1
Meningkatnya perasaan keinginan bernapas merupakan hal yang umum dijumpai
bahkan pada awal kehamilan. Hal ini dapat dianggap adanya dispnea yang seolah
menunjukkan adanya kelainan paru atau jantung meskipun sebenarnya tidak. Dispneu
fisiologis ini diperkirakan disebabkan oleh meningkatnya volume tidal yang sedikit
menurunkan PCO2 darah, yang secara paradoks menyebabkan dispnea. Meningkatnya
upaya respirasi, dan pada gilirannya berkurangnya PCO2, selama kehamilan kemungkinan
besar dipengaruhi terutama oleh progesteron dan, dengan derajat yang lebih rendah, oleh
estrogen. Progesteron tampaknya bekerja di sentral, yaitu menurunkan ambang dan
meningkatkan sensitivitas respon hemorefleks terhadap CO2. Untuk mengkompensasi
alkalosis respiratorik yang terjadi, kadar bikarbonat plasma berkurang dari 26 menjadi
sekitar 22 mmol/L. Meskipun hanya meningkat minimal namun pH darah sudah dapat
menggeser kurva disosiasi oksigen ke kiri. Pergeseran ini meningkatkan afinitas hemoglobin
ibu terhadap oksigen-efek Bohr-sehingga terjadi penurunan kapasitas darah ibu dalam
membebaskan oksigen. Hal ini mengompensasi karena peningkatan ringan pH juga
merangksang peningkatan 2,3-difosfogliserat di eritrosit ibu. Hal ini menggeser balik kurva
ke kanan. Karena itu, berkurangnya PCO2 akibat hiperventilasi ibu membantu pemindahan
karbondioksida dari janin ke ibu sembari juga mempermudah pelepasan oksigen ke janin.1

Epidemiologi
Asma umumnya terjadi pada wnaita muda dan dengan demikian sering ditemukan selama
kehamilan. Prevalensi asma meningkat secara stabil di berbagai negara dimulai pada
pertengahan 1970, tapi mendatar di Amerika serikat selama dekade terakhir. Menurut
National Center for Health Statistics hampir 8 persen populasi umum mengalami asma,
memperkirakan prevalensi asma pada kehamilan berkisar antara 4 dan 8 persen.
Patofisiologi
Asma ialah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan dengan komponen herediter
mayor, terkait pada kromosom 5,6,11,12,14,16 dan reseptor IgE dengan affinitas tinggi,
sitokin, reseptor T-sel antigen. Peningkatan reseptor inflamasi menyebabkan obstruksi
reversibel akibat kontraksi otot polos bronkus, hipersekresi mukus, dan edema mukosa pada
saluran pernapasan. Adanya iritan, infeksi virus, aspirin, udara dingin, dan olahraga dapat
menstimulasi respons inflamasi ini. Terjadi aktivasi sel mast oleh sitokin yang memediasi
bronkokonstriksi akibat pelepasan histamin, prostaglandin D, dan leukotriens. Karena
prostaglandin seri F dan ergonocin mengeksaserbasi asma, obat obstetrik yang sering
digunakan ini sebisa mungkin dihindari.2,3
Manifestasi Klinis
Asma mewakili penyakit klinis spekrum luas yang berkisar dari mengi ringan hingga
bronkokonstriksi berat. Akibat fungsional bronkospasme akut adalah obstruksi jalan napas
dan penurunan aliran udara. Aktivitas pernapasan meningkat secara progresif, dan pasien
menunjukkan rasa sesak pada dada, mengi atau umumnya menunjukkan ketidakcocokan
ventilasi-perfusi karena distribusi penyempitan jalan napas tidak sama. Variasi menifestasi
asma menimbulkan klasifikasi sederhana yang mempertimbangkan keparahan serta awitan
dan durasi gejala. Hipoksia awalnya terkompensasi dengan baikoleh hiperventilasi, pO2
arterial normal, pCO2 menurun, dan hasilnya adalah alkalosis respiratorik. Ketika
penyempitan jalan napas memburuk, terjadi peningkatan defek ventilasi perfusi, dan terjadi
hipoksemia arterial. Pada obstruksi berat, ventilasi menjadi terganggu karena kelelahan
menyebabkan retensi CO2 dini. Akibat hiperventilasi, hal ini awalnya hanya dapat dilihat

sebagai kembalinya pCO2 ke kisaran normal. Dengan berlanjutnya obstruksi, gagal napas
terjadi akibat kelelahan.

Meskipun perubahan ini biasanya reversibel dan dapat ditoleransi dengan baik oleh individu
sehat yang tidak hamil, bahkan stadium awal asma dapat berbahaya pada wanita hamil dan
janinnya. Hal ini karena kapasitas residu fungsional yang lebih kecil dan peningkatan pintas
efektif yang menyebabkan wanita lebih rentan terhadap hipoksia dan hipoksemia.

Intermiten
Komponen

Persisten
Ringan

Sedang

Berat

Gejala

< 2 hari/minggu

>2 hari/minggu,
tidak setiap hari

Setiap hari

Sepanjang hari

Bangun pada
malam hari

< 2 x/bulan

3-4 x / bulan

>1/minggu, tidak
setiap malam

Sering >7x/minggu

Gangguan
terjadap aktivitas
normal

Tidak ada

Keterbatasan
ringan

Beberapa
keterbatasan

Sangat terbatas

Fungsi Paru
FEV1

Prediksi >80%

Prediksi >80%

Prediksi 60-80%

Prediksi <60%

Efek kehamilan pada asma


Tidak ada bukti klinik pengaruh kehamilan terhadap asma ataupun pengaruh asma terhadap
kehamilan. Studi perspektif terhadap ibu hamil dengan asma tidak didapatkan perbedaan
kelompok yang mengalami perbaikan, menetap, atau memburuk. Namun, ada hubungan
antara keadaan asma sebelum hamil dan morbiditasnya pada kehamilan. Pada asma ringan,
13% mengalami serangan pada kehamilan, pada asma moderat 26%, dan asma berat 50%.
Sebanyak 20% dari ibu dengan asma ringan dan moderat mengalami serangan intrapartum,
serta peningkatan resiko serangan 18 kali lipat setelah persalinan dengan seksio sesarea jika
dibandingkan dengan persalinan pervaginam.2,3
Hasil akhir Kehamilan
Hasil akhir kehamilan pada penderita asma membaik selama 20 tahun terakhir. Dari tinjauan
ilmiah beberapa studi terkini, Dombrowski menyimpulkan bahwa kecuali bila terdapat

penyakit berat, hasil kehamilan secara umum sangat baik. Pada beberapa penelitian terdapat
peningkatan insiden preeklamsia, persalinan kurang bulan, bayi dengan berat lahir rendah,
atau mortalitas perinatal. Tetapi pada laporan eropa terkini 37,585 kehamilan pada wanita
dengan asma dibandingkan dengan bukan penderita asma. Risiko sebagian besar komplikasi
obstetrik tidak lebih besar pada wanita penderita asma, kecuali depresi, keguguran dan
pelahiran caesar.
Pada penelitian oleh Maternal-Fetal Medicine Units pelahiran sebelum 37 minggu tidak
meningkat di antara 1687 kehamilan pada

penderita asma dibandingkan dengan 881

kontrol. Tetapi untuk wanita dengan asma berat, angka ini meningkat dua kali lipat. Triche
dkk menemukan bahwa wanita dengan asma sedang hingga berat, tanpa mempertimbangkan
terapi, berisiko preeklamisa.
Efek Janin
Respons janin rerhadap hipoksia maternal adalah penurunan aliran darah umbilikalis,
peningkatan resistensi sistemik, dan pulmonal, dan penurunan keluaran jantung. Observasi
oleh Bracken mengkonfirmasi bahwa insiden gangguan perkembangan janin meningkat
dengan keparahan asma. Kenyataan bahwa fetus dapat mengalami gangguan serius akibat
keparahan asma meningkat menekankan perlunya tatalaksana agresif.
Komplikasi
Terdapat komplikasi preeklamsia 11%, IUGR 12% dan prematuritas 12% pada kehamilan
dengan asma. Komplikasi ini bergantung pada derajat penyakit asma. Status asmatikus
dapat menyebabkan gagal napas, pneumotoraks, pneumomediastinum, kor pulmonale akut,
dan aritmia jantung. Mortalitas meningkat pada penggunaan ventilasi mekanin. Pada asma
berat hipoksia janin dapat terjadi sebelum hipoksia pada ibu terjadi. Gawat janin terjadi
akibat penurunan sirkulasi uteroplasenter dan venous return maternal. Peningkatan pH
(alkali) menyebabkan pergeseran ke kiri kurva disosiasi oksihemoglobin. Hipoksemia
maternal menyebabkan penurunan aliran darah pada tali pusat, peningkatan resistensi
vaskular pulmoner dan sistemik, dan penurunan cardiac output. Obat-obatan antiasma yang
biasa digunakan tidak memiliki efek samping teratogenik. Risiko pada anak terkena asma

bervariasi antara 6-30%, bergantung pada faktor herediter dari ibu dan ayah atopik atau
penderita asma.2,3
Penatalaksanaan
Penanganan asma kronis. Menurut National Asthma Education and Prevention Program
Expert Panel, 1997, penanganan yang efektif asma kronis pada kehamilan harus mencakup
hal-hal berikut:2,3

Penilaian objektif fungsi paru dan kesejahteraan janin

Menghindari/menghilangkan faktor presipitasi lingkungan

Terapi farmakologik

Edukasi pasien

Pasien harus mengukur PEFR (peak expiratory flow rate) sebanyak 2 kali sehari dengan
target 380 550 l/menit. Kromolin disodium atau ipratropium inhalasi menghambat
degranulasi sel mast. Jadi, hanya efektif sebagai pencegahan pada asma kronis. Teofilin
merupakan bronkodilator antiinflamasi pilihan.
Pada asma intermiten ringan dapat diberikan inhalasi B agonis jika diperlukan, obat pilihan
nya adalah albuterol dikarenakan lebih banyak data pada manusia mengenai keamanan pada
kehamilan. Pada asma persisten ringan dapat doiberikan inhalasi kortikosteroid dosis
rendah, dapat diberikan budesonide. Alternatifnya cromolyn, antagonis leukotrien, atau
teofilin. Pada persisten sedang dapat diberikan inhalasi kortikosteroid dosis rendah dan B
agonis kerja lama ( salmaterol) atau inhalasi steroid dosis sedang dan B agonis kerja lama,
untuk alternatifnya dapatdiberikan inhalasi steroid dosis rendah dan teofilin atau antagonis
leukotrien. Pada asma persisten berat dapat diberikan inhalasi kortikosteroid dosis tinggi
dan B agonis kerja lama dan steroid oral jika perlu, untuk alternatifnya diberikan inhalasi
kortikosteroid dosis tinggi dan teofilin dan steroid oral.

Managemen Asma Akut


Terapi asma akut pada kehamilan serupa dengan terapi pada penderita asma yang tidak
hamil.Pengecualiannya adalah penurunan ambang batas perawatan inap secara bermakna.
Hidrasi intravena dapat membantu membersihkan sekresi pulmonal dan suplementasi
oksigenasi untuk mempertahankan pO2 lebih dari 60mmHg, dan sedapat mungkin normal
bersamaan dengan saturasi oksigen 95 persen.
Terapi lini pertama untuk asma aut meliputi agonis B-adregenik, seperti terbutaline,
albuterol, isoetharine, epinephrine, isoproterenol, atau metaproterenol, yang diberikan
secara subkutan, oral ataupun inhalasi. Obat-obatan ini berikatan dengan reseptor
permukaan sel spesifik dan mengaktivasi adenilil siklase untuk meningkatkan siklik AMP
intraselular dan memodulasi relaksasi otot polos bronkus. Sediaan long acting digunakan
untuk terapi pasien rawat jalan.
Jika sebelumnya tidak diberikan sebagai rumatan, kortikosteroid inhalasi diberikan
bersamaan dengan terapi B agonis yang intensif. Untuk eksaserbasi berat, diberikan inhalasi
ipapropium bromida. Kortikosteroid harus diberikan secara dini pada semua pasien dengan
asma akut berat. Metilprednisolone intravena 40-60mg, setiap 6 jam sering digunakan.
Dosis ekuipoten hidrokotisone melalui infus atau prednisolon oral juga dapat diberikan.
Karena awitan kerjanya beberapa jam, kortikosteroid diberikan awalnya dengan B agonis
untuk asma akut.
Status asmatikus dan gagal napas
Asma berat dengan jenis apapun yag tidak respons setelah 30 sampai 60 enit dengan terapi
intensif disebut status asmatikus. Braman dan Kaemmerlen telah menunjukkan bahwa
tatalaksana pasien yang tidak hamil dengan status asmatikus di perawatan intensif
memberikan hasil yang baik pada sebagian besar kasus. Pertimbangan harus diberikan
intubasi secara dini bila status respirasi maternal memburuk. Kelelahan, retensi karbon
dioksida dan hipoksemia merupakan indikasi untuk ventilasi mekanik.3

Persalinan dan Pelahiran


Medikasi rumatan dilanjutkan selama persalinan. Kortikosteroid dosis stress diberikan
setiap wanita yang diberikan terapi steroid sistemik dalam 4 minggu sebelumnya. Dosis
umumnya adalah hidrokotison 100mg yang diberikan intravena setiap 8 jam selama
persalinan dan untuk 24 jam setelah persalinan
Oksitoksin atau prostaglandin E1 atau E2 digunakan untuk pematangan serviks dan induksi.
Narkotika pelepas nonhistamin seperti fentanil dapat menjadi pilihan untuk membantu
peralinan dan analgesik epidural merupakan pilihan ideal. Untuk pelahiran dengan
pembedahan, analgesia konduksi dipilih karena intubasi trakea dapat memicu bronkospasme
berat. Pendarahan pascapartum diterapi dengan oksitosin atau prostaglandin E2.
Prostaglandin F 2 alfa atau derivat ergotamin dikontraindikasikan karena dapat
menyebabkan bronkospasme yang signifikan.

Daftar Pustaka
1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Obstetri
Williams volume 1. Edisi ke-23. Jakarta: EGC; 2013.
2. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H. Ilmu kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: Tridasa printer;
2009.
3. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Obstetri
Williams volume 2. Edisi ke-23. Jakarta: EGC; 2013.

Anda mungkin juga menyukai