Anda di halaman 1dari 23

Minyak Zaitun Selama Kehamilan Berhubungan Dengan Berkurang

Asma Selama Tahun Pertama Kehidupan Anak

Annisa Agung Suciati

1910104201

PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA TERAPAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ‘AISYIYAH

YOGYAKARTA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang
Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang banyak ditemukan
di masyakarat Indonesia. Rendahnya kesadaran masyarakat akan kesehatan dan
sulitnya akses kesehatan di beberapa daerah di Indonesia menyebabkan rendahnya
tingkat kontrol asma. Asma yang tidak terkontrol akan meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas, termasuk menyulitkan penderita dalam beraktivitas dan
pada beberapa kasus dapat menjadi fatal.
Asma didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang
dihubungkan dengan hiperresponsif saluran napas, keterbatasan aliran udara yang
reversible, dan gejala pernapasan1. World Health Organization (WHO) mengestimasi
terdapat 15 juta jiwa setiap tahunnya yang mengalami keterbatasan fisik dan mental
(disabilitas) akibat asma atau sama dengan 1% dari seluruh penyakit lain yang mampu
menimbulkan disabilitas2.
Laporan setiap tahunnya terkait kematian akibat asma telah mencapai angka
250.000 jiwa. Selain dilihat dari angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi,
asma akan menjadi permasalahan masyarakat karena mampu memberikan beban yang
signifikan dalam konteks biaya perawatan kesehatan dan juga hilangnya produktivitas
dan rendahnya partisipasi individu yang bersangkutan dalam kehidupan keluarga
maupun sosial ekonominya sehingga diperlukan diagnosis dini dan implementasi
terapi yang tepat dan akurat2,3.
Pada kehamilan, asma dapat menimbulkan komplikasi baik pada ibu maupun
pada janin. Penting bagi ibu dengan asma untuk melakukan konsultasi terkait asma
sebelum kehamilan, saat kehamilan, dan setelah persalinan untuk mencegah dan
mengurangi komplikasi yang mungkin terjadi. Kontrol penyakit asma kerap berubah
dalam kehamilan. Terapi asma dengan menggunakan obatobatan asma perlu
disesuaikan dengan kehamilan dan serangan asma yang terjadi pada ibu hamil harus
ditangani secara agresif1,2.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asma

2.1.1 Definisi Asma

Asma didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan


yang dihubungkan dengan hiperresponsif saluran napas, keterbatasan aliran udara
yang reversible, dan gejala pernapasan1. Gejala pernapasan yang timbul dapat
berupa mengi, sesak napas, dada seperti terikat, dan batuk yang bervariasi dalam
frekuensi dan intensitas. Gejala ini berhubungan dengan variasi aliran udara
ekspirasi karena konstriksi bronkus yang menyebabkan kesulitan dalam
mengeluarkan udara dari paru-paru2.

2.1.2 Epidemiologi Asma

Sekitar 300 juta orang di dunia menderita asma dan diperkirakan akan terus
meningat hingga 400 juta orang pada tahun 2025. Angka morbiditas dan mortalitas
asma masih cukup tinggi, mencapai 1 dari 250 orang yang meninggal setiap
harinya3. Di Amerika, National Health Survey pada tahun 2001 hingga 2009
mendapatkan prevalensi asma yang meningkat dari 7,3% (20,3 juta orang) di tahun
2001 menjadi 8,2% (24,6 juta orang) di tahun 20093. Berdasarkan data dari
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi asma di Indonesia juga
mengalami peningkatan dari 3,5% pada tahun 2007 menjadi 4,5% pada tahun
20134.

2.1.3 Patogenesis dan Patofisiologi Asma

Asma merupakan penyakit inflamasi pada saluran pernapasan yang


melibatkan peranan sel-sel inflamasi dan mediator lainnya yang akan menghasilkan
karakteristik perubahan patofisiologi tertentu5. Berbagai penelitian menunjukan
bahwa dasar munculnya gejala asma adalah inflamasi dan respons saluran napas
yang berlebihan, meskipun mekanisme terjadinya asma secara pasti belum
diketahui1.
Inflamasi saluran napas kronis pada pasien asma tergolong persisten atau
menetap, ditemukan pada pasien yang baru terkena serangan asma maupun pada
pasien asma yang jarang mengalami serangan. Pola inflamasi pada saluran napas
akan tampak sama pada kasus asma baik yang alergi maupun tidak alergi pada
semua kelompok umur5.

Walaupun terdapat tipe alergi dan non-alergi, pada pasien akan tetap
dijumpai adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Oleh karena itu,
paling tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut, yaitu jalur
imunulogis yang terutama di dominasi oleh immunoglobulin E (IgE) dan jalur saraf
otonom1.

Pada jalur imunologis, masuknya alergen dalam tubuh akan diolah oleh
antigen presenting cells (APC) untuk selanjutnya dikomunikasikan dengan sel T
helper (Th). Sel Th akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar
sel-sel plasma membentuk IgE serta sel radang lain seperti makrofag, epitel,
eosinofil, neutrofil, trombosit, serta limfosit untuk mengeluarkan mediator-
mediator inflamasi. Mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin, leukotrin,
platelet activating factors, bradikinin, dan mediator inflamasi lainnya akan
mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan kontrasi otot polos pada
bronkus, peningkatan permeabilitas dinding vaskular, infiltrasi sel-sel radang,
edema saluran napas, sekresi mukus, dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan
hipereaktivitas saluran napas. Jalur non imunologis juga merangsang sistem saraf
otonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas1,2.

Karakteristik inflamasi yang ditemukan pada asma adalah peningkatan sel


mast teraktivasi, peningkatan jumlah eosinofil aktif, dan peningkatan reseptor sel T
termasuk sel T natural killer dan T helper 2 yang akan melepas mediator seperti
dijelaskan diatas. Sel struktural dari saluran napas juga akan memproduksi
mediator inflamasi yang menyebabkan inflamasi menjadi persisten5.

Selain respon inflamasi, terdapat juga karakteristik perubahan seluler


yang terjadi dan biasanya dijelaskan sebagai remodeling saluran napas. Beberapa
perubahan tersebut akan mengakitbatkan penyempitan lumen saluran napas yang
irreversible dan berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit1,7.
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi dari inflamasi
dinding bronkus, spasme otot bronkus, sumbatan mukus, dan edema. Obstruksi
akan bertambah berat pada fase ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas
akan menyempit pada fase tersebut. Penyempitan saluran napas terjadi tidak merata
di seluruh bagian paru. Ada daerahdaerah yang kurang mendapatkan ventilasi
sehingga darah kapiler yang melewati daerah tersebut akan mengalami hipoksemia
sehingga untuk menangani kondisi ini, tubuh akan melakukan hiperventilasi.
Hiperventilasi menyebabkan keluarnya karbondioksida secara berlebihan, sehingga
tekanan karbondioksida akan menurun yang kemudian menimbulkan alkalosis
respiratorik. Pada serangan asma yang lebih berat, banyak alveolus yang tertutup
oleh mukus sehingga tidak memungkinkan terjadinya pertukaran gas. Hal ini
menyebabkan hipoksemia dan kerja otot pernapasan bertambah berat serta terjadi
peningkatan produksi karbondioksida. Peningkatan produksi karbondioksida
disertai dengan tertutupnya alveolus oleh mukus akan menyebabkan retensi
karbondioksida (hiperkapnia) yang kemudian menyebabkan terjadinya asidosis
respiratorik atau gagal napas. Dengan demikian, penyempitan saluran napas pada
asma akan menimbulkan 1) gangguan ventilasi berupa hiperventilasi, 2)
ketidakseimbangan ventilasi perfusi, dan 3) gangguan difusi gas tingkat alveoli.
Ketiga faktor tersebut akan menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, dan asidosis
respiratorik pada tahap lanjut6. Jika obstruksi saluran napas semakin berat dan tidak
berkurang, mungkin akan berkembang cepat menjadi hiperkapnea dan asidosis
metabolik. Apabila hal ini terjadi, awalnya akan timbul kelelahan otot dan
ketidakmampuan untuk mempertahankan ventilasi alveolar secara adekuat,
akhirnya akan terjadi pembentukan laktat1.

2.1.4 Gambaran Klinis Asma

Asma memiliki gambaran klinis klasik berupa serangan episodik batuk,


mengi, dan sesak napas. Gambaran klinis asma dapat berbeda-beda tergantung
faktor pencetus seperti olahraga, alergen atau paparan terhadap faktor iritasi,
perubahan cuaca, atau infeksi virus pada saluran pernapasan. Pada asma alergi,
serangan dapat disertai dengan pilek atau bersin5. Awal serangan juga bisa
menunjukan gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada. Pada awalnya gambaran
klinis batuk tidak disertai dengan sekret, namun pada perkembangannya batuk
dapat disertai dengan sekret baik yang mukoid, putih, terkadang purulen1,2.

2.1.5 Diagnosis Asma

Diagnosis asma dapat ditegakkan dengan identifikasi karakteristik gejala


pernapasan yang dapat ditemukan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
selanjutnya apabila mengarah ke asma maka dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk
menunjang diagnosis5.

Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak, mengi, atau rasa
berat di dada. Terkadang pasien mengeluh hanya batuk saja yang dialami pada
malam hari atau pada saat berolahraga. Dapat ditemukan riwayat gangguan
pernapasan pada saat pasien masih anak-anak. Riwayat alergi pada pasien ataupun
pada keluarga seperti rhinitis alergi, eczema, dan dermatitis atopi juga dapat
membantu dalam penegakkan diagnosis1,5.

Temuan klinis yang bisa ditemukan pada pasien dengan asma adalah (1)
lebih dari satu keluhan berupa mengi, sesak napas, batuk, dada seperti terikat, (2)
gejala memburuk saat malam atau pagi hari, (3) durasi dan intensitas gejala
bervariasi, (4) gejala dipicu oleh infeksi virus, olahraga, paparan alergen,
perubahan cuaca, tertawa, dan bahan iritan seperti asap knalpot, asap rokok,
maupun bebauan kuat5.

Pemeriksaan fisik pada pasien dengan asma seringkali normal. Temuan


yang paling sering pada pasien asma adalah adanya mengi (wheezing) saat
auskultasi yang akan mengkonfirmasi adanya obstruksi jalan napas. Namun pada
beberapa pasien dengan asma, wheezing bisa saja tidak ada atau hanya terdengar
apabila pasien diinstruksikan untuk melakukan ekspirasi paksa. Biasanya pada
eksaserbasi asma berat, wheezing tidak terdengar karena penurunan laju udara pada
saluran napas dan ventilasinya, namun muncul tanda eksaserbasi berat lainnya
berupa sianosis, penurunan kesadaran, kesulitan berbicara, takikardia, dada
hiperinflasi, dan napas menggunakan otot aksesoris dan resesi intercostal5.
Dalam praktiknya, diagnosis asma tidak sulit ditegakkan. Namun
pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang objektif.
Pemeriksaan yang dilakukan merupakan pengukuran faal paru yang memiliki
kegunaan sebagai konfirmasi diagnosis, membantu menilai gradasi penyakit, dan
monitoring perjalanan penyakit5,6. Beberapa metode dapat dilakukan untuk menilai
hambatan udara yang terjadi pada paruparu, namun terdapat dua metode yang
secara luas dipergunakan yaitu (1) sprirometri, untuk mengukur volume ekspirasi
paksa detik pertama (VEP1) (forced expiratory flow in 1 second FEV1) dan
kapasitas vital paksa (KVP) (forced vital capacity/ FEC), dan (2) arus puncak
ekspirasi (APE) (peak expiratory flow/ PEF)2,5.

Pengukuran faal paru akan menampilkan derajat dari obstruksi jalan napas,
reversibilitas, variabilitas, dan menyediakan data untuk konfirmasi diagnosis asma.
Reversibilitas secara umum dijelaskan sebagai perbaikan cepat pada VEP1 atau
APE yang diukur dalam beberapa menit setelah inhalasi bronkodilator aksi cepat,
sebagai contoh pemberian 200 – 400 mcg salbutamol, atau perbaikan dalam kurun
waktu hari hingga minggu setelah pemberian terapi kontrol berupa inhalasi
glukokortikosteroid. Sedangkan istilah variabilitas berarti perbaikan pada gejala
atau fungsi paru yang terjadi sepanjang waktu. Variabilitas dapat terjadi sepanjang
satu hari penuh (diurnal variability) atau bisa juga dari hari ke hari, bulan ke bulan,
ataupun per musim. Mengetahui riwayat variabilitas merupakan komponen esensial
dalam diagnosis asma5,6.

Spirometri merupakan metode yang direkomendasikan untuk mengukur


gangguan jalur napas dan reversibilitasnya untuk menegakkan diagnosis asma.
Pengukuran VEP1 dan KVP dilakukan saat pasien berekspirasi maksimal atau
ekspirasi paksa menggunakan spirometri. Derajat reversibilitas VEP1 yang
mengindikasikan diagnosis asma adalah sebesar 12% dan perbaikan 200ml dari
nilai VEP1 sebelum pemberian bronkodilator. Namun, tidak semua pasien
menunjukkan reversibilitas pada setiap pemeriksaan, sehingga pemeriksaan
berulang disarankan untuk dilakukan7,8.

Spirometri termasuk alat yang mampu mencerminkan kondisi saluran napas


dengan baik namun dalam penggunaannya sangat bergantung pada usaha dan
teknik pasien. Oleh karena itu diperlukan instruksi yang tepat dan menyeluruh
bagaimana untuk melakukan manuver ekspirasi paksa pada pasien dan mencatat 3
nilai tertinggi yang mampu dilakukan oleh pasien. Rentang nilai VEP1 juga bisa
sangat berbeda sesuai dengan umur pasien. Berkaitan dengan banyak penyakit paru
lain yang menyebabkan penurunan VEP1, penilaian yang lebih tepat kondisi
saluran napas adalah dengan melihat rasio antara VEP1 terhadap KVP. Rasio
VEP1 terhadap KVP normalnya lebih besar daripada 0,75-0,80 dan mungkin akan
lebih besar dari 0,90 pada anak-anak. Nilai yang didapatkan lebih kecil
dibandingkan nilai diatas maka akan menandakan adanya penyempitan saluran
napas5,7.

Pengukuran APE dilakukan dengan menggunakan alat bernama peak flow


meter yang menjadi alat penting didalam diagnosis dan monitoring asma. APE
meter termasuk alat yang tidak mahal, mudah dibawa, dan ideal untuk digunakan
oleh pasien di rumah untuk penilaian objektif penyempitan jalur napas. APE
mampu untuk menilai derajat penyempitan lumen saluran napas terutama apabila
terjadi perburukan. Namun karena nilai APE yang didapatkan akan bervariasi dan
nilai prediksi orang normal sangatlah lebar maka penilaian APE juga sebaiknya
dibandingkan dengan nilai APE terbaik masing-masing pasien. Pada kondisi ini
nilai yang dianggap paling baik adalah saat pasien berada dalam fase asimptomatis
atau pada kondisi dengan terapi penuh dan nantinya akan mampu memberikan data
tentang efek perbaikan kondisi saluran napas oleh pemberian terapi saat terjadinya
eksaserbasi atau setelah maintenance-nya5,7,8. Diagnosis asma ditegakkan jika
didapatkan hasil peningkatan 60cc/menit setelah inhalasi bronkodilator atau ≥20%
dibandingkan APE sebelum diberikan bronkodilator atau variasi diurnal

APE ≥20% (dengan 2 kali pembacaan setiap paginya)1,2.

2.1.6 Klasifikasi Asma

Klasifikasi asma dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu berdasarkan


gambaran klinis (Tabel 1) dan derajat serangan (Tabel 2). Pasien yang pertama kali
datang dengan serangan asma akan dinilai derajat eksaserbasi akut dan beratnya
asma. Klasifikasi kendali asma dapat dikelompokkan berdasarkan level of asthma
control (GINA, 2016) (Tabel 3) dengan aspek yang dinilai berupa pengendalian
gejala klinis dan kemungkinan risiko eksaserbasi, penurunan fungsi paru, atau efek
samping obat1,2.

Derajat keparahan asma ditentukan secara retrospektif dari tingkat terapi


yang dibutuhkan untuk mengontrol gejala dan eksaserbasi. Hal ini dapat ditentukan
ketika pasien sudah mendapatkan terapi menggunakan controller selama beberapa
bulan dan setelah penurunan (step down) terapi telah dilakukan untuk mencari
tingkat pengobatan minimum yang efektif. Derajat keparahan asma dapat berubah
dalam beberapa bulan maupun

tahun2,5.

Derajat keparahan asma dapat ditentukan setelah pasien sedang dalam


terapi controller rutin selama beberapa bulan. Asma ringan adalah asma yang dapat
terkontrol dengan baik dengan terapi langkah 1 atau 2, yaitu menggunakan
pengobatan reliever jika dibutuhkan, atau terapi dengan controller intensitas rendah
seperti ICS dosis rendah. Asma sedang adalah asma yang dapat terkontrol dengan
baik dengan terapi langkah 3, yaitu menggunakan ICS dosis rendah/LABA. Asma
berat adalah asma yang membutuhkan terapi langkah 4 atau 5, yaitu ICS dosis
tinggi/LABA, untuk mencegah asmanya “tidak terkontrol”, atau asma yang masih
tetap

“tidak terkontrol” meskipun telah mendapat terapi ini.

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada
orang dewasa1.

Derajat Asma Gejala Gejala Malam Fungsi Faal Paru

Intermiten Gejala <1x/minggu ≤2x/bulan KVP atau APE >80%

Gejala selain eksaserbasi prediksi


tidak ada
Variabilitas KVP atau
Eksaserbasi ringan APE <20%

Persisten Gejala 1x/bulan hingga >2x/bulan KVP atau APE ≥80%


ringan
1x/minggu prediksi

Eksaserbasi mengganggu Variabilitas KVP atau


aktivitas
APE 20-30%
Persisten Gejala setiap hari >1x/minggu KVP atau APE 60-80%
sedang prediksi
Eksaserbasi mengganggu
Variabilitas KVP atau
aktivitas
APE >20%
Butuh reliever setiap hari
Persisten Gejala setiap hari Sering KVP atau APE ≤60%
berat Eksaserbasi sering dan
prediksi
mengganggu aktivitas
Variabilitas KVP atau
Aktivitas fisik terbatas
APE >30%

2.1.7 Penatalaksanaan Asma

Penatalaksaan asma memiliki tujuan utama meningkatkan dan


mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan aktivitas sehari-hari. Tujuan lain penatalaksanaan asma adalah
menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, mencegah eksaserbasi akut,
meningkatkan dan mempertahankan fungsi paru secara seoptimal mungkin,
mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise, menghindari efek samping
obat, mencegah keterbatasan aliran udara irreversible, dan mencegah kematian
karena asma9.

Tabel 2. Klasifikasi asma berdasarkan derajat serangan1.


Ringan Sedang Berat
Aktivitas Dapat berjalan Jalan terbatas Sukar berjalan
Dapat berbaring
Lebih suka Duduk
duduk bungkuk ke
depan
Bicara Beberapa Kalimat Kata demi kata
kalimat terbatas
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya
terganggu terganggu terganggu
Frekuensi napas Takipneu Takipneu Takipneu
Retraksi otot bantu napas Umumnya tidak Biasanya ada Ada
ada
Mengi Lemah sampai Keras Keras
sedang
Frekuensi nadi <100 100-120 >120
Pulsus paradoksus Tidak ada Mungkin ada Ada
(>25mmHg)
(<10mmHg) (10-25

mmHg)
APE pascabronkodilator >80% 60-80% <60%
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg <45 mmHg
SaO2 >95% 91-95% <90%

Tabel 3. Klasifikasi Kontrol Asma (GINA, 2016)


Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan
terkontrol apabila gejala minimal atau tidak ada, gejala malam minimal, tidak ada
keterbatasan aktivitas fisik termasuk exercise, kebutuhan bronkodilator kerja cepat
minimal, variasi harian APE <20%, nilai APE normal atau mendekati normal, efek
samping obat minimal, dan tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat9.

Pengobatan asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah obstruksi jalan


napas, terdiri atas pengontrol dan pelega. Pengontrol adalah medikasi asma jangka
panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Yang termasuk
obat pengontrol adalah kortikosteroid inhalasi kortikosteroid sistemik, sodium
kromoglikat, nedokromil sodium, metilsantin, agonis beta-2 kerja lama inhalasi dan
oral, leukotrien modifiers, dan antihistamin generasi ke dua (antagonis H1). Pelega
adalah obat untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki
dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti
mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau
menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega adalah agonis beta-2 kerja
singkat, kortikosteroid sistemik, antikolinergik, aminofillin, dan adrenalin9.

Pengobatan jangka panjang dimulai melalui pemberian terapi maksimum


pada awal pengobatan sesuai derajat asma (Tabel 4), termasuk glukokortikosteroid
oral dan atau glukokortikosteroid inhalasi dosis penuh ditambah dengan agonis
beta-2 kerja lama untuk segera mengontrol asma. Setelah asma terkontrol, dosis
diturunkan bertahap sampai seminimal mungkin dengan tetap mempertahankan
kondisi asma terkontrol. Cara itu disebut stepdown therapy. Pendekatan lain adalah
step-up therapy dengan memulai terapi sesuai berat asma dan meningkatkan terapi
secara bertahap jika dibutuhkan untuk mencapai asma terkontrol. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan stepdown therapy untuk penanganan
asma. Pengobatan dimulai dengan upaya menekan inflamasi jalan napas dan
mencapai keadaan asma terkontrol sesegera mungkin, dan menurunkan terapi
sampai seminimal mungkin dengan tetap mengontrol asma. Bila terdapat keadaan
asma yang tetap tidak terkontrol dengan terapi awal/maksimal tersebut (misalnya
setelah 1 bulan terapi), maka pertimbangkan untuk evaluasi kembali diagnosis
sambil tetap memberikan pengobatan asma sesuai beratnya gejala1,2,9.
Pada pengobatan serangan asma akut, penilaian berat serangan merupakan
kunci utama. Langkah berikutnya adalah memberikan pengobatan tepat,
selanjutnya menilai respons pengobatan, dan berikutnya memahami tindakan apa
yang sebaiknya dilakukan pada penderita2,9.
Tabel 4. Pengobatan jangka panjang asma sesuai derajat berdasarkan gambaran klinis9.

Penanganan serangan yang tidak tepat akan berakhir pada pengobatan yang
tidak adekuat. Untuk itu, penderita asma perlu memahami bagaimana penanganan
awal saat terjadi serangan, apakah penderita perlu ke rumah sakit atau cukup
dengan penanganan di rumah, dan obat apa yang digunakan untuk menangani
serangan (Tabel 5).

Tabel 5. Pengobatan asma berdasarkan derajat serangan dan tempat pengobatan9.


2.2 Asma Dalam Kehamilan

Asma adalah penyakit yang sering memberikan komplikasi medis yang


berarti pada kehamilan. Sekitar 4-8% kehamilan memiliki komplikasi berupa asma.
Prevalensi morbiditas asma pada kehamilan terus meningkat dari tahun ke tahun,
meskipun angka mortalitasnya menurun10. Berat penyakit asma pada penderita
selama kehamilan seringkali berubah sehingga penderita memerlukan pengaturan
jenis dan dosis obat asma yang dipakai. Penelitian retrospektif menunjukkan bahwa
selama kehamilan 1/3 penderita mengalami perburukan penyakit, 1/3 lagi
mengalami perbaikan, dan 1/3 sisanya tidak mengalami perubahan9.

2.2.1 Efek Kehamilan Terhadap Asma

Tidak terdapat bukti klinis adanya pengaruh kehamilan terhadap asma.


Penelitian perspektif terhadap ibu hamil dengan asma memberikan hasil 12,6%
pasien dengan asma ringan mengalami eksaserbasi dan 2,3% menjalani perawatan
di rumah sakit, 25,7% pasien dengan asma sedang mengalami eksaserbasi dan
6,8% menjalani perawatan di rumah sakit, dan pasien dengan asma berat sebanyak
51,9% mengalami eksaserbasi dengan jumlah pasien rawat di rumah sakit sebanyak
26,9%. Efek kehamilan terhadap asma bervariasi, didapatkan 23% pasien
mengalami perbaikan gejala selama kehamilan dan 30% pasien mengalami
perburukan gejala selama kehamilan. Karena banyaknya pasien yang mengalami
perburukan, ibu hamil dengan asma harus dimonitor dengan tes APE dan KVP1
dan diobservasi gejalanya selama kehamilan. Selain itu, terdapat peningkatan risiko
serangan hingga 18 kali lipat setelah persalinan dengan seksio sesarea
dibandingkan dengan persalinan pervaginam10,11.

2.2.2 Efek Asma pada Kehamilan

Asma yang tidak terkontrol dalam kehamilan dapat menimbulkan


komplikasi pada janin dan ibu berupa kematian perinatal, pertumbuhan janin
terhambat, lahir premature, berat badan lahir rendah, preeklamsia, perdarahan post
partum, dan peningkatan insidensi seksio sesarea, tergantung pada derajat beratnya
penyakit asma9,11. Prognosis bayi yang lahir dari ibu dengan asma terkontrol
sebanding dengan prognosis bayi yang lahir dari ibu tanpa asma. Suatu studi
perspektif menunjukkan ibu hamil dengan asma ringan ataupun sedang yang
terkontrol dapat memiliki luaran ibu dan janin yang baik10.

Pada asma berat, hipoksia janin dapat terjadi mendahului hipoksia pada ibu.
Hipoksia janin akan menyebabkan gawat janin sebagai akibat penurunan sirkulasi
uteroplasenter dan aliran darah balik maternal. Peningkatan pH (alkali) akan
menggeser ke kiri kurva disosiasi oksihemoglobin. Hipoksemia maternal
menyebabkan penurunan aliran darah pada tali pusat, peningkatan resistensi
vaskular pulmonar dan sistemik, dan penurunan curah jantung11.
2.2.3 Manajemen dan Terapi Asma Selama Kehamilan

Menurut National Asthma Education and Prevention Program Expert


Panel, penanganan efektif asma pada kehamilan harus mencakup penilaian objektif
fungsi paru dan kesejahteraan janin, menghindari/ menghilangkan faktor presipitasi
lingkungan, terapi farmakologi, dan edukasi pasien11. Terapi farmakologi lini
pertama yang diberikan pada serangan asma adalah agonis beta-2 kerja cepat
inhalasi. Terapi farmakologi untuk mengontrol asma intermiten tidak dibutuhkan,
untuk asma persisten ringan dapat digunakan agonis beta-2 kerja lambat inhalasi
dan kortikosteroid inhalasi dosis rendah. Untuk asma persisten sedang dapat
digunakan agonis beta-2 kerja lambat inhalasi, kortikosteroid inhalasi dosis sedang,
dan teofilin oral. Dan untuk asma persisten berat dapat digunakan agonis beta-2
kerja lambat inhalasi, kortikosteroid inhalasi dosis tinggi, teofilin oral, dan
kortikosteroid oral apabila dibutuhkan11.

Edukasi pasien untuk menghindari faktor pencetus asma harus dilakukan


untuk mengurangi angka kejadian serangan asma selama kehamilan. Selain itu,
pasien juga harus diedukasi mengenai monitoring diri dan penanganan awal
serangan asma untuk menghindari terjadinya perburukan pada ibu dan juga janin10.
BAB III

ANALISIS JURNAL

Minyak Zaitun Selama Kehamilan Berhubungan Dengan Berkurang

Asma Selama Tahun Pertama Kehidupan Anak

Jose A. Castro-Rodriguez, MD, PhD, 1 * Luis Garcia-Marcos, MD, 2,3 Manuel Sanchez-Solis,
MD, 2 Virginia Pe´rez-Ferna´ndez, BSc, 4 Antonela Martinez-Torres, RN, 2 and Javier Mallol, MD

P: Penelitian ini adalah bagian dari ‘‘ Estudio Internacional de Sibilancias en Lactantes


’(EISL) (Studi Internasional of Wheezing in Infants) di mana Cartagena, Spanyol, adalah satu
dari pusat yang terlibat.18 Semua pusat kesehatan perawatan primer memantau anak-anak
untuk nutrisi, pertumbuhan, dan perkembangan, dan / atau untuk pemberian vaksin — sesuai
dengan program kesehatan anak di Wilayah Murcia, milik distrik kesehatan Cartagena —
dimasukkan sebagai pusat rekrutmen. Semua ibu dari anak-anak itu lahir dari Januari 2006
hingga April 2007 diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian kelompok kelahiran ini.
Ketika anak datang untuk menerima vaksinasi pada 15 atau 18 bulan usia, orang tua atau wali
diminta untuk menyelesaikan kuesioner, hanya menekankan pada gejala yang terkait untuk
peristiwa terjadi selama 12 bulan pertama mereka kehidupan anak-anak. Sesuai dengan
strategi studi EISL, 18 ukuran sampel untuk Cartagena setidaknya sudah lengkap kuesioner.

I : The analysis of the differences between the wheezing and non-wheezing children
was performed by means of the chi-square test for categorical variables, the Student’s t-
test for continuous variables, and the Mann–Whitney U-test for ordinal variables. Odds
ratios (OR) and 95% confidence intervals (95% CI) were also calculated. A
multivariate logistic regression analysis model was built using the presence of
wheezing as the dependent variable and those factors which were statistically
significant (P 0.05) in the univariate analysis as independent variables. Adjusted OR
(aOR) and 95% CI were calculated from the logistic regression model. A second
logistic regression was similarly performed, but excluding olive oil consumption from
the list of variables. All analyses were performed by means of the STATA 7.0
statistical software (Stata Corp., College Station, TX).

C : mothers from the non-wheezing group used olive oil as the main source of oil for
cooking or dressing salads

O : : Temuan kami menunjukkan efek perlindungan (pencegahan primer) dari


penggunaan minyak zaitun selama

kehamilan saat mengi selama tahun pertama kehidupan anak.

T : district of Cartagena in Spain


BAB IV

REKOMENDASI

Meskipun buah zaitun yang dikonsumsi langsung dari tanaman sangat bergizi, mereka biasanya
tidak dimakan karena ada rasa metaliknya. Sementara versi acar banyak dikonsumsi di Eropa.
Zaitun diawetkan dalam cuka dan diimpor dari Spanyol, Italia, Prancis, Turki dan Yunani, serta
disukai di Eropa dan negara-negara Arab. Minyak zaitun adalah pengawet yang baik untuk
makanan lain seperti ikan sarden dan ikan lainnya.

Zaitun sudah digunakan dengan berbagai cara di zaman kuno. Kapal-kapal yang penuh
dengan minyak zaitun telah ditemukan di antara barang-barang lainnya, saat penggalian
kuburan Mesir kuno. Menurut para ahli Hadits, ketika Banjir Besar mereda, hal pertama yang
terlihat di bumi adalah pohon zaitun.

Rasulullah SAW pun banyak menggunakan zaitun dalam berbagai pengobatan.


Terlebih manfaat zaitun dijelaskan dalam Alquran Surat At-Tin.

Menurut Tirmidzi dan Ibnu Majah, Sayyid Al-Ansari meriwayatkan bahwa Nabi (saw) berkata,
"Makanlah minyak zaitun dan pijatlah di atas tubuh Anda karena ini adalah pohon suci
(mubarak)".

Menurut Ibn Al-Juzi, Zanbi, Alqama Ibn Amir meriwayatkan bahwa Nabi (saw) mengatakan,
"Ada minyak zaitun untuk Anda; makanlah, pijat di atas tubuh Anda, karena ini efektif untuk
wasir".

Basoor melaporkan bahwa Aqba Ibn Amir meriwayatkan bahwa Nabi (saw) menyatakan,
"Anda memiliki minyak zaitun dari pohon suci ini (mubarak); manjakan diri Anda dengan ini,
karena ini menyembuhkan penyakit anus".

Abu Na'im melaporkan bahwa Abu Hurairah menceritakan bahwa Nabi (saw) menyatakan,
"Makanlah minyak zaitun dan aplikasikan (secara lokal), karena ada obat untuk tujuh puluh
penyakit di dalamnya, [dan] salah satunya adalah kusta".
DAFTAR PUSTAKA

ntoro, B. 2015. Pengaruh senam asma terstruktur terhadap peningkatan arus


puncak ekspirasi (APE) pada pasien asma, Volume VI, Nomor 1 hal 69-
74.
Azhar, K.,Dharmayanti,I dan Hapsari, D,.2015.Asma pada Anak di Indonesia:
Penyebab dan Pencetus.Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol 9,
No.4, Mei 2015.Jakarta Pusat.
Amin,G.M., Elsamman, G. A., & Hussein, H. A. 2014. Knowledge of Mothers
of Children with Bronchiale Asthma.Med.J.Cairo Univ., Vol 82, No.2,
March 63-70.
Bagus,I & Rai, N. 2016. Asthma Meeting:Comprehensive Approach of
Asthma.
Divisi Paru Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP
Sanglah.
Berkowitz, A. (2013). Lecture Notes Patofisiologi Klinik. Tangerang:
Binapura
Aksara Publishing.
Caia,P. (2012). Perawatan Respirasi. Jakarta: Erlangga
Departemen Kesehatan RI Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2013.
Pedoman Pewawancara Petugas Pengumpulan Data.Jakarta:Litbangkes.
Diakses 18 Febuari 2017.
Djojodibroto, R. Darmanto. (2009). Respirologi (Respirologi Medicine).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, Arthur.C & Hall.John.,E.(2012).Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
(11th
Ed).(Terjemahan oleh Petra Adrianto, 2001). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
15
Guyton, A.C & Hall.J.,E. (2014). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (13 th Ed).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Geiger, M & Wilson,B.D.J. (2008). Respiratory Nursing (Acore curriculum).
New York: Springer Publishing Company.
Gloria, M.C., Cheryl, M.W., Howard, K.B., Joanne, M.D. (2013). Nursing
Interventions Classification (NIC) Edisi Keenam.Dialih Bahasa Oleh
Nurjanah,I dan Tumanggor,R,D. Kidlington: Oxford.
Hari, A., E., Naning, R., Wibowo, T., A. (2010). Papapran Asap Dalam
Rumah, Hewam Peliharaan, Lingkungan Tempat Tinggal dan Sosiak
Ekonomi dengan Kejadian Asma Bronkial pada Anak. Yogyakarta:
Berita Kedokteran Masyarakat, Vol 26 No.3, 125-131.
Husna, C. (2014). Upaya Pencegahan Kekambuhan Asma Bronkial Ditinjau
Dari Teori Helath Belief Model Di RSUDZA Banda Aceh. Universitas
Syiah Banda Aceh: Idea Nursing Jurnal. Vol V No.3 ISSN: 2087-2879.
Kusuma, A & Hardi, K., (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NIC-NOC NANDA. Yogyakarta:Mediaction
Publishing.
Kemenkes RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta :
Kemenkes.
Manjoer, A., Kuspuji, T., Rachmi, S., Wahyu, I.,W., Wiwik, S. (2008). Kapita
Selekta Kedokterana. Jakarta: Media Aesculapius.
Mumpuni,Y & Wulandari,A. (2013). Cara Jitu Mengatasi Asma.
Yogyakarta:Rapha Publishing.
Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Penapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Nurtiyastuti, N.A. (2016). Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Dengan
Kejadian Kekambuhan Asma Pada Anak Di Puskesmas Sibela Kota
Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Fakultas Ilmu
Kesehatan.
Nelson. (2014). Ilmu Kesehatan Anak Esensial: Edisi Keenam. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
Ponggalunggu, W.,F., Victor, D., Greta, J.,P. 2015. Jenis dan Kepadatan
Tungau Debu Rumah pada Beberapa Habitat Dirumah Penderita
16
Penyakit Alergi. Universitas Sam Ratulango Manado: Fakultas
Kedokteran. Vol 1 No.3 Hal 254-260.
Prasetyo, B. (2010). Seputar Masalah Asma: Mengenal, Sebab-sebab,
Resikoresiko, dan Cara Mengatasinya. Ygyakarta. Diva Press.
Rudolph. (2008). Buku Ajar Pediatri Volume 1. Jakarta: EGC.
Sari, N.P.W.P. (2013). Asma: Berhubungan Antara Faktor Resiko, Perilaku
Pencegahan, Dan Tingkat Pengendalian Penyakit. Jurnal Ners Lentera,
Vol 1, Hal 30-41.
Satyanto,D. (2012). Kumpulan Tips Pediatri. UKK: Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
Sunarto, Prof.Dr. (2014). Diagnosis Klinis Awal dari Masalah Menuju
Diagnosis. Jakarta: ECG.
Szefler, S., James, C., Anne, F., Thomas, G., Daniel, J., Hebel, N., Wanda, P.,
Hengameh, R. 2014. Asthma Across the Ages: Knowledge Gaps in
Chilhood Asthma. J allergy clin immunol. Vol 133, No 1.
Herdman, T.,H., Shigemi, K. (2015). NANDA International Inc. Diagnosis
Keperawatan: defiinisi & klasifikasi 2015-2017 (Edisi 10). Jakarta: EGC.
Wilkinson, J, M., & Ahern, N.,R. (2012). Buku Saku Diagnosa Keperawatan.

Anda mungkin juga menyukai