Ada dua contoh pemasaran target (target marketing), yang pertama berdasarkan riset pasar yang diberikan oleh perusahaan manufaktur, sebuah dealer mobil mempelajari bahwa ciri-ciri pelanggannya adalah perempuan lajang, berusia antara 30 dan 40 tahun dengan penghasilan tahunan sebesar US$30.000, yang menikmati olahraga dan rekreasi luar ruang. Dengan mengetahui informasi ini, dealer itu menargetkan iklan dan surat langsung kepada audiens ini. Iklan memperlihatkan orang muda yang menarik dan aktif menggunakan produk mereka dan menikmati kegiatan luar ruang. Kampanye yang ditargetkan kedua ditujukan untuk menjual alat panggil darurat bagi janda berusia lanjut yang tinggal sendiri. Kampanye pemasaran ini memperlihatkan seorang perempuan tua di bawah tangga berteriak lantang aku terjatuh dan tak bisa berdiri!. Iklan ini dipasang di media yang kemungkinan besar dilihat atau didengar oleh perempuan berusia lanjut. Strategi pemasaran yang pertama mendukung pertimbangan yang matang dimana konsumen, diperkirakan, telah dilakukan selama hidup mereka. Orang dengan latar belakang yang serupa cenderung memiliki kepercayaan, hasrat dan nilai yang serupa dan sering membuat pertimbangan yang serupa mengenai pembelian konsumsi. Pemasaran target dalam pengertian ini hanya sekedar alat untuk mengenali pelanggan yang mungkin berdasarkan kepercayaan dan nilai yang sama. Di lain pihak, sepertinya ada sesuatu yang secara etis menyinggung pada kasus kedua. Kampanye ini bertujuan untuk menjual produk dengan mngeksploitasi ketakutan dan kecemasan nyata yang banyak dialami oleh orang berusia lanjut. Strategi pemasaran ini berusaha untuk memanipulasi orang dengan menunjukkan faktor yang tidak rasional seperti ketakutan dan kecemasan daripada bergantung pada iklan yang langsung pada sasaran dan informatif. Dalam satu arti, seseorang rentan sebagai seorang konsumen karena dalam sebagian cara tidak mampu untuk berpartisipasi sebagai partisipan yang berpengetahuan dan sukarela dalam pertukaran pasar. Pertukaran pasar yang valid memuat beberapa asumsi mengenai para partisipannya. Mereka mengerti apa yang mereka lakukan, mereka telah mempertimbangkan pilihan mereka, mereka bebas untuk memutuskan, dan seterusnya. Kerentanan konsumen (customer vulnerability) terjadi ketika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk membuat persetujuan dengan pengetahuan terhadap pertukaran pasar. Konsumen yang rentan kekurangan kapasitas intelektual, kemampuan psikologis, atau kedewasaan untuk melakukan pertimbangan konsumen yang matang dan dengan pengetahuan. Anak-anak menjadi contoh paradigmatis dari kerentanan konsumen. Bahaya yang mungkin menimpa orang-orang seperti itu adalah bahaya dari tidak memuaskan hasrat seorang konsumen dan/atau menghilangkan uang seorang konsumen. Ada pengertian kedua dari kerentanan di mana bahayanya bukan merupakan kerugian finansial dari sebuah pertukaran pasar yang tidak memuaskan. Orang berusia lanjut yang tinggal sendiri mudah mengalami cedera akibat jatuh, keadaan darurat secara medis, tagihan perawatan kesehatan yang mahal, dan dari kesepian. Para pecandu minuman keras mudah mengalami penyalahgunaan alkohol, orang miskin mudah mengalami kebangkrutan, perempuan lajang yang berjalan sendirian di malam hari mudah mengalami pelecehan seksual, korban kecelakaan mudah mengalami biaya perawatan yang mahal dan kehilangan penghasilan, dan seterusnya. Kerentanan yang umum (general vulnerability) terjadi ketika seseorang mudah mengalami bahaya fisik, psikologis, dan finansial tertentu. Dari sini dapat dilihat bahwa ada dua jenis pemasaran yang menargetkan populasi yang rentan. Beberapa praktik pemasaran mungkin menargetkan konsumen yang kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan rentan sebagai pelanggan. Sebagai contoh, pemasaran yang ditujukan kepada anak-anak bertujuan untuk menjual produk kepada pelanggan yang tidak mampu untuk mengambil keputusan dengan pengetahuan dan pertimbangan. Praktik pemasaran lainnya mungkin menargetkan populasi yang rentan dalam pengertian umum ketika, sebagai contoh, perusahaan asuransi memasarkan asuransi perlindungan banjir kepada pemilik rumah yang tinggal di pinggir sungai. Sebagai pertimbangan awal, kita harus mengatakan bahwa pemasaran yang ditargetkan kepada individu-individu yang rentan sebagai konsumen tidak etis. Ini merupakan kasus pengambil keuntungan atas kelemahan seseorang dan memanipulasinya untuk keuntungan sendiri. Jelas, sebagian penjualan dan pemasaran menargetkan orang-orang yang rentan sebagai konsumen dan sudah tentu praktik itu salah. Satu cara bahwa isu ini dibahas melibatkan kelompok orang yang rentan dalam dua pengertian. Sering kali orang orang menjadi rentan sebagai seorang konsumen karena mereka rentan dalam pengertian yang umum. Kerentanan yang dimiliki oleh kebanyakan orang lanjut usia terhadap cedera dan penyakit mungkin menyebabkan mereka mengambil pilihan sebagai konsumen berdasarkan rasa takut atau rasa bersalah. Anggota keluarga yang berduka karena kematian orang yang dicintai mungkin memilih untuk membeli jasa pemakaman berdasarkan rasa bersalah atau kesedihan alih- alih berdasarkan pertimbangan yang matang. Seseorang dengan kondisi medis atau mengidap penyakit tertentu itu rentan, dan kecemasan atau rasa takut yang berkaitan dengan kerentanan ini dapat mengarah pada pilihan konsumen yang dilakukan tanpa pengetahuan. Seorang warga di pusat kota yang miskin, tidak terpelajar, dan benar-benar menganggur tampaknya tidak akan mempertimbangkan konsekuensi penuh atas pilihan untuk minuman beralkohol. Sejumlah kampanye pemasaran sepertinya sesuai dengan model ini. Contoh yang paling dibenci (dan menjadi stereotipe) adalah pengacara yang mencari ambulans guna mendapatkan klien untuk tuntutan hukum secara personal. Korban kecelakaan rentan terhadap banyak bahaya dan saat menghadapi tekanan dari situasi yang menimpa mereka cenderung tidak dapat membuat pilihan yang penuh pengetahuan mengenai perwakilan hukum. Kampanye pemasaran yang menargetkan orang yang berusia lanjut untuk berbagai produk seperti asuransi kesehatan tambahan, asuransi jiwa, alat panggil darurat, jasa pemakaman, dan asuransi lainnya sering bermain dengan rasa takut, cemas, dan rasa bersalah yang mungkin dialami oleh orang yang berusia lanjut. Akan tetapi sebagaimana orang dapat dibuat menjadi konsumen yang rentan karena mereka rentan terhadap bahaya lainnya, maka ada juga kasus dimana orang-orang menjadi rentan terhadap bahaya lain karena mereka rentan sebagai konsumen. Mungkin strategi ini adalah kasus yang paling dibenci dalam pemasaran yang tidak etis. Produk tertentu-tembakau dan alkohol adalah contoh yang paling jelas yang dapat membuat seorang individu rentan terhadap berbagai risiko kesehatan. Kampanye pemasaran untuk produk yang menargetkan orang yang rentan sebagai konsumen sepertinya secara etis sangat tidak disukai. Ini menjelaskan kemarahan publik yang diarahkan pada perusahaan tembakau dan alkohol yang menargetkan anak muda. Perusahaan yang memasarkan minuman beralkohol di dalam lingkungan pusat kota yang miskin harus memperhatikan panduan etis ini. Memasarkan minuman fermentasi malt, anggur dengan tambahan alkohol, dan minuman beralkohol lainnya kepada warga miskin di pusat kota harus mengakui bahwa banyak orang dalam situasi seperti bukanlah konsumen yang memiliki otonomi penuh. Banyak orang dalam situasi seperti ini minum untuk mabuk, mereka minum untuk melarikan diri, mereka minum karena mereka pecandu minuman keras. Sebuah bentuk akhir pemasaran kepada masyarakat yang rentan secara potensial melibatkan kita semua sebagai tarhet konsumen. Masing-masing dari kita rentan ketika kita tidak menyadari bahwa kita menjadi subjek dari sebuah kampanye pemasaran. Jenis kampanye seperti ini disebut pemasaran terselubung atau tersembunyi (stealthl undercover marketing) dan mengacu kepada situasi di mana kita menjadi subjek dari kegiatan komersial terarah tanpa sepengetahuan kita. Tentu saja kita menjadi subjek dari sejumlah komunikasi secara reguler tanpa kita perhatikan, seperti papan iklan/reklame yang mungkin kita lihat sekilas di pinggir jalan ketika kita melaju di jalan tol. Namun itu bukanlah pemasaran tersembunyi. Alih-alih, pemasaran tersembunyi adalah usaha dengan sengaja untuk menutupi unsur pemasaran yang utama dari sebuah interaksi. Dengan munculnya blog, pemasaran terselubung juga melanda internet. Pengguna internet yang membaca ulasan produk tidak dapat mengetahui jika individu yang mem-posting adalah seorang pengguna, atau perusahaan manufaktur produk atau bahkan mungkin pesaing yang mem-posting ulasan negatif hanya untuk mempengaruhi pelanggan agar meninggalkan produk tersebut. Pemasaran Buzz (buzz marketing), di mana orang-orang dibayar untuk membuat sebuah buzz (gosip/perbincangan) di seputar produk baru dengan cara menggunakannya atau mendiskusikannya dengan cara yang dapat menarik perhatian media atau perhatian lainnya, juga menciptakan potensi konflik kepentingan yang tidak kentara. Alih pemasaran mempertimbangkan bahwa pemasaran yang terselubung itu sangat efektif karena pertahanan konsumen rendah, konsumen tidak mempertanyakan pesan iklan seperti yang dapat ia lakukan ketika menantang kampanye iklan tradisional. Konsumen tidak mencari tahu kepentingan komunikator yang tersembunyi. Mereka melihat komunikasi itu lebih bersifat personal dan sering kali cenderung untuk lebih mempercayai komunikator dibandingkan mereka mempercayai iklan atau materi pemasaran lainnya. Ketika praktik-praktik itu hanya melibatkan penggunaan sebuah produk dan respons yang jujur atas penggunaannya, dapat dipastikan bahwa tidak ada penipuan. Namun, ketika praktik-praktik itu melibatkan subversi dan penipuan untuk mendorong penggunaan produk, atau penipuan di seputar fakta bahwa praktik itu adalah bagian dari kampanye pemasaran, sangat menantang untuk berargumentasi bahwa praktik seperti itu tetap etis. Dari perspektif penganut universalisme, ada pelanggaran kepercayaan dalam komunikasi, yang dapat mengarah pada rasa dikhianati sehingga konsumen tidak lagi percaya kepada perusahaan itu sendiri. Selain itu, konsumen tidak lagi diperlakukan sebagai tujuan melainkan hanya sebagai alat bagi tujuan dari perusahaan manufaktur. Lebih jauh, jika pemasaran terselubung menjadi praktik yang bersifat universal, maka hilangnya kepercayaan menjadi sangat signifikan sehingga interaksi komersial akan hancur menurut beban pengungkapan yang semestinya menjadi suatu keharusan. Analisis utilitarianisme juga tidak mendukung etika dari praktik jenis ini. Ketika seorang konsumen tidak dapat mempercayai komunikasi perusahaan, konsumen mungkin juga kehilangan kepercayaan kepada perusahaan secara keseluruhan dan akan memilih membeli produk dan jasa di tempat lain. Sebagai hasilnya, baik perusahaan maupun konsumen tidak mendapatkan keuntungan, dan sebuah produk atau jasa yang seharusnya menjadi solusi yang paling efektif atau efisien dapat berhenti diproduksi karena kampanye pemasaran yang tidak benar.