Anda di halaman 1dari 20

ETIKA BISNIS

PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN ETIKA PERIKLANAN

KELOMPOK 1

NAMA ANGGOTA :

1. Made Krisna Purna Nugraha 1903531235


2. Ni Komang Yuli Trirahayu 1907531239
3. Annisa kania alstaluna 1907531240

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS UDAYANA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di dunia usaha khususnya perusahaan perikanan, secara kondisi iklan di
maksudkan untuk memperkenalkan suatu produk kepada konsumen. Karena iklan itu
harus dibuat semenarik mungkin dan sedramatis mungkin sehingga mau tidak mau
konsumen akan tertarik untuk memperhatikannya.
Iklan merupakan satu kekuatan kekuatan yang dapat digunakan untuk menarik
konsumen sebanyak-banyaknya. Penekanan utama iklan adalah akses informasi dan
produsi dari pihak produsen kepada konsumen. Sebagai media, baik yang berupa visual
atau oral, iklan jenis punya tendensi untuk mempengaruhi khalayak umum untuk
mencapai target keuntungan.
Iklan pada hakikatnya merupakan salah satu strategi pemasaran yang
dimaksudkan untuk mendekatkan barang yang hendak dijual kepada konsumen, dengan
kata lain mendekatkan konsumen dengan produsen. Sasaran akhir seluruh kegiatan bisnis
adalah agar barang yang telah dihasilkan bisa dijual kepada konsumen. Secara positif
iklan adalah suatu metode yang digunakan untuk memungkinkan barang dapat dijual
kepada konsumen.
Hampir setiap hari kita dibanjiri oleh iklan yang disajikan media-media massa,
baik cetak maupun elektronik. Akibatnya seakan-akan upaya pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari untuk sebagian besarnya dikondiskan oleh iklan. Memang, inilah
sebenarnya peran yang diemban oleh iklan, yakni sebagai kekuatan ekonomi dan sosial
yang menginformasikan konsumen perihal produk-produk barang dan jasa yang bisa
dijadikan sebagai pemuas kebutuhan. Masalah moral dalam iklan muncul ketika iklan
kehilangan nilai-nilai normatifnya dan menjadi semata-mata bersifat propaganda barang
dan jasa demi profit yang semakin tinggi dari para produsen barang dan jasa maupun
penyedia jasa iklan.
Berbagai macam cara dapat dilakukan dalam memasarkan suatu produk hingga
sampai ditangan konsumen. Aneka ragam iklan mulai dari yang dinyatakan secara
tradisional melalui media-media cetak maupun media yang lebih modern seperti radio,
televisi, dan internet. Keseluruhan itu sedikit banyak telah meningkatkan penjualan daro
produk yang telah ditawarkan oleh suatu unit usaha. Dibalik keberhasilan iklan dalam
mendongkrak penjualan produk dalam bisnis, terselip beberapa permasalahan yang
bermuara pada persoalan etika. Etika yang dimaksud disini adalah dari content serta
visualisasi iklan tersebut yang dianggap sebagai penipu terhadap konsumen.
Hal ini yang menjadi sorotan masalah iklan adalah sejauh mana komitmen moral
atau etika bisnis yang dimiliki perusahaan atau mempertanggujawabkan materi atau isi
pesan yang disampaikan kepada masyarakat. Hal ini sangat peting mengingat produk
dipasaran banyak jumlahnya, dan pengetahuan konsumen tentang produk lebih banyak
didapat dan informasi prosuden. Etika bisnis dalam mengkampanyekan produk kepada
khalayak sasaran memang penting dipahami oleh pihak produsen. Hal ini agar
masyarakat tidak merasa tertipu oleh sajian-sajian iklan yang “bombastis” yaitu khalayak
mendapat informasi yang sebenarnya dari produk yang diiklankan.

1.2 Tujuan Menyusun Paper ini


Tujuan menyusun paper ini untuk mengetahui :
1. Pasar dan perlindungan konsumen.
2. Hubungan produsen dan konsumen.
3. Gerakan konsumen.
4. Fungsi iklan
5. Beberapa persoalan etis dalam iklan.
6. Makna etis menipu dalam iklan.
7. Kebebasan konsumen.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pasar dan Perlindungan konsumen


Dengan adanya pasar bebas dan kompetitif, banyak orang meyakini bahwa
konsumen secara otomatis terlindungi dari kerugian, sehingga pemerintah dan
pelaku bisnis tidak perlu mengambil langkah-langkah untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen. Pasar bebas mendukung alokasi, penggunaan,
dan distribusi barang-barang yang dalam artian tertentu, adil, menghargai hak,
dan memiliki nilai kegunanaan maksimum bagi orang-orang yang berpartisipasi
dalam pasar. Lebih jauh lagi, di paar seperti ini, konsumen dikatakan "berdaulat
penuh". Saat konsumen menginginkan dan bersedia membayar untuk suatu
produk, para penjual memperoleh insentif untuk memenuhi keinginan mereka.
Jika penjual tidak menyediakan apa yang diinginkan konsumen, berarti mereka
rugi. Sebaliknya, jika menyediakan apa yang dlinginkan konsumen, maka mereka
untung. 
Dalam pendekatan "pasar" terhadap perlindungan konsumen, keamanan
konsumen dilihat sebagai produk yang paling efisien bila disediakan melalui
mekanisme pasar bebas, di mana penjual memberikan tanggapan terhadap
permintaan konsumen. Jika konsumen menginginkan produk yang lebih aman,
mereka akan bersedia membayar lebih mahal serta mengabaikan produsen dari
produk-produk Iain yang tidak aman. Pihak produsen harus menanggapi
permintaan itu dengan meningkatkan keamanan produk mereka. Jika tidak,
mereka akan kehilangan konsumen karena diambil alih oleh pesaing yang
memenuhi keinginan konsumen. Jadi, pasar menjamin bahwa produsen
memberikan tanggapan secara memadai terhadap keinginan konsumen untuk
memperoleh keamanan. Akan tetapi, jika konsumen tidak mempedulikan masalah
keamanan dan tidak bersedia membayar lebih mahal untuk produk yang lebih
aman, maka tidaklah tepat bila keamanan produk dinaikkan sedemikian tinggi
melalui peraturan pemerintah yang mewajibkan produsen meningkatkan
keamanan produk-produk mereka lebih tinggi dibandingkan permintaan
konsumen. Intervensi pemerintah seperti ini, akan mengganggu pasar,
membuatnya tidak adil, tidak menghargai hak, dan tidak efisien. 
Demikian juga, salah bila pelaku bisnis memutuskan bahwa konsumen
harus memperoleh lebih banyak perlindungan dengan memaksa mereka membeli
dengan harga lebih tinggi. Hanya konsumen yang bisa mengatakan berapa besar
nilai yang mereka berikan pada masalah keamanan. Konsumen harus
diperbolehkan menunjukkan preferensi tersebut melalui pilihan-pilihan bebas dan
tidak melalui pemaksaan dari para pelaku. bisnis atau pemerintah untuk
membayar sesuatu yang tidak mereka inginkan.
Keuntungan yang diperoleh pasar bebas hanya terjadi bila pasar memiliki tujuh
karakteristik sebagai berikut: 
1. Banyak pembeli dan penjual 
2. Semua orang bebas keluar masuk pasar
3. Semua orang memiliki informasi lengkap
4. Semua barang di pasar sama 
5. Tidak ada biaya eksternal, 
6. Semua para pembeli dan penjual merupakan pemaksimal utilitas yang
rasional, dan 
7. Pasar tidak diatur. 
Pasar dikatakan efisien jika konsumen memiliki informasi lengkap dan
sempurna tentang barang-barang yang mereka beli. Pada kenyataannya konsumen
jarang memiliki informasi lengkap, karena memang produk-produk yang ada di
pasar sangat beragam dan hanya para ahli yang memiliki informasi lengkap.
Konsumen tidak memiliki sumber daya untuk memperoleh informasi tersebut,
misalnya, dengan menguji beberapa merek yang saling bersaing untuk
menentukan mana yang memberikan tingkat keamanan paling sesuai dengan
harganya. 
Konsumen diasumsikan sebagai "individu yang selalu berpegang pada
anggaran, rasional, tanpa kenal lelah terus berusaha memaksimalkan kepuasan
mereka". Konsumen dalam konteks ini didefinisikan sebagai orang yang selalu
menjaga pengeluaran dengan sangat hati-hati. Namun, sayangnya hampir semua
pilihan konsumen didasarkan pada perkiraan yang cenderung kurang tepat dan
tidak konsisten saat menentukan pilihan. Hanya sedikit dari konsumen yang
mampu membuat perkiraan dengan baik. Konsumen biasanya mengabaikan
risiko-risiko dari aktivitas yang berbahaya bagi kehidupan, misalnya, mengemudi,
merokok, atau makan makanan berlemak, dan mengalami kecelakaan saat
memakai sebuah produk, serta selalu membesar-besarkan kemungkinan terjadinya
peristiwa yang sangat jarang seperti bencana angin topan atau diserang beruang
buas di cagar alam. 
Riset menunjukkan bahwa kernampuan untuk membuat perkiraan menjadi kacau
karena beberapa alasan, yaitu: 
1. Perkiraan sebelumnya diabaikan saat informasi tersedia, sekalipun inforrnasi
itu tidak relevan. 
2. Penekanan pada "penyebab" mengakibatkan konsumen mengabaikan bukti
yang relevan dengan probabilitas, namun tidak dianggap sebagai "penyebab".
3. Generalisasi dibentuk dengan berkisaran jumlah sampel yang kecil. 
4. Keyakinan ditempatkan pada "hukum rata-rata" yang selalu diperbaharui,
namun sebenarnya tidak ada. 
5. Orang-orang percaya bahwa mereka memilild kendali atas peristiwa-peristiwa
yang sesungguhnya hanya kebetulan. 
Orang-orang cenderung bersikap tidak rasional dan tidak konsisten dalam
menimbang pilihan dengan didasarkan pada perkiraan probabilitas atas biaya atau
keuntungan pada masa mendatang. Sebagai contoh, konsumen sering secara tidak
konsisten menilai keuntungan yang satu lebih baik atau lebih buruk dari yang lain,
sering mengatakan bersedia membayar banyak untuk keuntungan yang kurang
disukai, dan mayoritas individu lebih memilih salah satu keuntungan
dibandingkan yang lain dalam satu konteks yang berbeda, meskipun
kenyataannya sama persis dalam dua konteks tersebut.
Meskipun pembeli atau konsumen di pasar memang banyak, namun sebagian
besar pasar masih merupakan pasar monopoli atau oligopoli atau dengan kata lain,
semuanya didominasi oleh satu atau beberapa penjual besar. Para penjual di pasar
monopoli dan oligopoli bisa menarik keuntungan sebanyak-banyaknya dari
konsumen dengan memastikan bahwa jumlah permintaan lebih besar dari
persediaan sehingga terjadi kekurangan dan selanjutnya diatasi dengan menaikkan
harga.
Jadi, secara keseluruhan tidak terlihat bahwa keuntungan-keuntungan pasar
mampu menghadapi semua pertimbangan konsumen tentang keamanan, bebas
risiko, dan nilai. Adanya kenyataan yang ditunj oleh kurangnya informasi yang
dimiliki konsumen sikap konsumen yang tidak rasional ketika memilih, telah
menolak argumen yang berusaha menunjukkan bahwa pasar saja sudah mampu
memberikan perlindungan yang memadai bagi konsumen. 
Kecelakaan juga terjadi akibat adanya cacat dal desain produk, dalam bahan-
bahannya, dan atau proses pembuatannya. Sejauh kerusakan dari pabrik
merupakan sumber terjadinya kecelakaan, para pelindung hak konsumen
menyatakan bahwa kewajiban mengurangi kemungkinan kecelakaan ada di
tangan produsen. Produsen adalah pihak yang paling mengetahui kemungkinan
bahaya yang muncul dari produk tertentu dan berkewajiban menekan bahaya
tersebut saat produk dibuat. Sebagai tambahan, keahlian yang dimiliki produsen
membuat ia menjadi pihak yang mengetahui bahan-bahan dan metode yang paling
aman dan memungkinkan dia memberi perlindungan yang memadai dalam desain
produk. Terakhir, karena produsen mengetahui dengan pasti cara kerja produk,
maka dia selayaknya memberikan informasi tentang cara paling arnan u.ntuk
menggunakan dan melakukan tindakan pencegahan yang perlu dilakukan. 

2.2 Hubungan Produsen dan Konsumen


Produsen ialah orang yang menghasilkan barang atau jasa untuk keperluan
konsumen. Barang atau jasa yang dihasilkan produsen disebut produksi,
sedangkan yang memakai barang dan jasa disebut konsumen. Dalam ilmu
ekonomi dapat dikelompokkan pada golongan besar suatu rumah tangga yaitu
golongan Rumah Tangga Konsumsi (RTK), dan golongan Rumah Tangga
Produksi (RTP).
Rumah Tangga Konsumsi ialah kelompok masyarakat yang memakai
barang dan jasa, baik secara perorangan, atau keluarga atau organisasi
masyarakat. Tetapi kelompok rumah tangga konsumsi ini juga merupakan
kelompok yang memberikan beberapa faktor produksi:
1. Orang yang menyewakan tanah untuk keperluan perusahaan, pabrik, dan
tempat kedudukan perusahaan.
2. Orang yang menyerahkan tenaga kerja untuk bekerja pada suatu
perusahaan atau pabrik.
3. Orang yang menyertakan modal usaha untuk diusahakan.
4. Tenaga ahli dari masyarakat untuk perusahaan.

Sedangkan Rumah Tangga Produksi yang menerima faktor produksi


(tanah, tenaga kerja, modal, keahlian) dari masyarakat kemudian diolah dan
diorganisir agar menghasilkan barang dan jasa. Produksi (barang dan jasa) itu
dijual pada masyarakat sehingga memperoleh uang yang banyak dari hasil
penjualan itu.
Akibatnya, antara konsumen dan produsen tidak bisa dipisahkan, artinya
saling mempengaruhi dan saling membutuhkan. Jika perusahaan menghasilkan
suatu barang dan jasa harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kalau tidak,
maka produksinya tidak akan laku dijual. Namun, jika produsennya cukup pintar,
mereka bahkan bisa menciptakan kebutuhan konsumen tersebut dengan cara
promosi dan iklan yang gencar. Sehingga kebutuhan konsumen yang sebelumnya
tidak ada menjadi ada. Cara tersebut disebut dengan inovasi, yaitu menciptakan
sesuatu yang belum ada atau menyempurnakan yang sudah ada sehingga
mempunyai fungsi yang lebih hebat lagi.
2.3 Gerakan Konsumen
Gerakan konsumen merupakan hal sangat penting dalam upaya riil
mewujudkan perlindungan konsumen dan keadilan dalam pasar. Pada prinsipnya
sebuah gerakan konsumen diawali dari kesadaran akan hak dan kewajiban
konsumen. Pelanggaran dan tidak terpenuhinya hak konsumen menjadi sumber
utama bagi terjadinya permasalahan/sengketa konsumen. Ketidakadilan bagi
konsumen muncul dalam sengketa konsumen. Kesadaran akan kondisi
ketidakadilan tersebut menjadi salah satu penggerak bagi sebuah gerakan
konsumen guna mewujudkan keadilan pasar. Gerakan konsumen sendiri akan
terwujud jika terbangun solidaritas diantara konsumen. Untuk menuju sebuah
kesadaran kritis dan tumbuhnya rasa solidaritas tersebut memerlukan proses
pendidikan yang terus menerus.
Untuk memperkenalkan gerakan konsumen tersebut, peserta diharapkan
mampu memahami makna dan tujuan dari gerakan konsumen. Beberapa cara
untuk mengetahui dan memahami gerakan konsumen antara lain dengan
memahami istilah-istilah yang seringkali rancu dan salah kaprah dalam
penggunaannya (konsumerisme dengan konsumtivisme) dan mengetahui sejarah
gerakan konsumen di berbagai belahan dunia. Bahwa perlu dipahami juga
bagaimana gerakan konsumen telah pula dilakukan di negara lain mulai beberapa
ratus tahun yang lalu. Peserta diajak untuk semakin memiliki solidaritas dengan
memahami pentingnya sebuah pengorganisasian masyarakat.
2.4 Fungsi Iklan
Iklan sebagai Pemberi Informasi
Iklan berfungsi untuk membeberkan dan menggambarkan seluruh
kenyataan yang rinci tentang suatu produk. Sasaran iklan adalah agar konsumen
dapat mengetahui dengan baik keberadaan produk itu, kegunaannya,
kelemahannya, dan kemudahan-kemudahannya. Iklan dalam hal ini, hanyalah
media informasi yang netral (tanpa manipulasi dan bujuk rayu) dan menyerahkan
keputusan untuk membeli kepada konsumen itu sendiri. Pandangan ini sangat
ditekankan oleh David Ogilvy, seorang raja iklan Amerika, menurutnya untuk
bisa berhasil dalam mengiklankan dan menjual sebuah produk, berilah fakta
kepada konsumen. Keliru kalau agen iklan beranggapan bahwa konsumen tidak
membutuhkan fakta, orang tolol, dan mudah ditipu, dan itu berbahaya.
Apabila iklan memberikan informasi yang palsu tentang sebuah produk,
maka sebenarnya bukan hanya kegiatan iklan saja yang akan dibenci masyarakat,
produk yang diiklankan juga akan dibenci dan dijauhi. Karena itu, iklan yang
tidak benar akan membawa dampak yang bertentangan dengan tujuan iklan dan
pada akhirnya akan merugikan tidak hanya bagi perusahaan iklan, tetapi juga
produsen. Dengan kata lain, perlunya memberikan informasi yang benar kepada
konsumen tidak hanya merupakan tuntunan moralitas demi moralitas, melainkan
juga demi kepentingan periklanan dan produsen.
Sehubungan dengan iklan sebagai pemberi informasi yang benar kepada
konsumen, maka pihak yang terlibat dan bertanggungjawab secara moral atas
informasi yang disampaikan sebuah iklan adalah:
1. Produsen yang memiliki produk tersebut.
Dalam hal ini, tanggung moral atas informasiyang benar tentang sebuah
produk pertama-tama dipikul oleh pihak produsen. Oleh karena itu, Pihak
produsen harus memberikan semua data dan informasi yang akurat dan benar
tentang produk yang akan diiklankan. Produsen harus menyetujui iklan yang
dibuat biro iklan untuk memastikan apakah isi iklan menggambarkan
kenyataan sebenarnya dan tidak ada unsur pemalsuan informasi yang
disengaja untuk menyesatkan konsumen. Persetujuan isi iklan ini penting
untuk mengetahui tanggungjawab produsen dan biro iklan kalau sampai
terjadi ketidaksesuaian informasi, pelanggaran etis atas nilai-nilai moral
tertentu dalam masyarakat, serta kemungkinan kerugian yang dialami pihak
tertentu (konsumen khususnya atau pihak ketiga lainnya). Jadi, kalau iklan
tertentu mendapat sambutan negatif karena informasinya yang palsu,
tanggungjawab tidak bisa dilemparkan kepada biro iklan karena toh produsen
telah menyetujuinya. Demikian pula sebaliknya, kalau ternyata iklan yang
sampai pada publik melenceng dari yang disepakati bersama dan ternyata
menyulut protes masyarakat, biro iklan dapat dituntut.
2. Biro iklan yang mengemas iklan dalam segala dimensinya: etis, estetik,
informatif, dan sebagainya.
Pihak biro iklan harus mendapat kepastian dari pihak produsen bahwa apa
yang dikatakannya dalam iklan bukan hal yang palsu atau menipu. Ini
terutama demi citra biro iklan itu sendiri dan untuk menghindarkan biro iklan
itu dari kecaman dan tuntutan hukum dari pemerintah atau masyarakat.
3. Bintang iklan.
Yang menarik adalah sejauh ini bintang iklan hampir tidak pernah digugat
dalam kaitan dengan etika periklanan. Padahal, bintang iklan, yang dibayar
mahal, harus juga punya tanggungjawab moral atas isi dan bentuk iklan yang
di tampilkannya. Artinya, dia tidak bisa seenaknya mengelak dengan
mengatakan, bahwa isi iklan adalah tanggungjawab biro iklan produsen, dan
bukan tanggungjawabnya. Ketika seorang bintang iklan mengatakan bahwa
produk yang diiklankannya lebih tahan lama, mencuci paling bersih, dan
seterusnya, dan setuju mengatakan itu, ia ikut bertanggungjawab atas klaim
konsumen ketika apa yang dikatakannya itu ternyata tidak sesuai dengan
kenyataan. Karena itu, ia sendiri harus benar-benar berhati-hati dalam
menyampaikan pesan iklan tertentu. Ini terutama berlaku bagi bintang iklan
yang mengatakan kesaksiannya sebagaimana menjadi kecenderungan akhir-
akhir ini. Apakah benar apa yang dikatakannya itu? Kalau ternyata pihak
tertentu Lembaga Konsumen misalnya memperoleh bukti penelitian yang
sebaliknya, mereka ikut bertanggungjawab atas apa yang tidak sesuai itu
dengan yang dikatakannya itu.
Demikian pula, bintang iklan ikut bertanggungjawab secara moral atas iklan-
iklan yang bertentangan dengan perasaan dan nilai masyarakat. Kalau iklan
dituduh melecehkan wanita secara seksual, misalnya, bintang iklan yang
wanita itu harus ikut pula bertanggungjawab. Mengapa ia mau menampilkan
tubuhnya dalam format yang merangsang? Mengapa ia mau mengiklankan
produk tertentu yang dapat menimbulkan pelecehan seksual, dan seterusnya?
Mengapa mereka mau dieksploitasi oleh produsen dan iklan sambil seakan
menikmati perannya sebagal bintang iklan yang seksi dan sensual? Sering
dikatakan karena itu tuntutan masyarakat yang maskulin. Namun, seandainya
semua bintang iklan wanita bersatu dengan sesama wanita lainnya yang
berjuang membela hak dan harkat wanita lalu menolak semua bentuk iklan
yang melecekan wanita, apakah masih ada ikian yang melecehkan wanita?
Rasanya tidak, karena toh tidak ada lagi bintang iklan yang mau tampil dalam
posisi yang menggiurkan.
4. Media massa yang menayangkan iklan.
Sangat sulit bagi produsen untuk dapat menjangkau konsumen yang heterogen
dan tersebar di wilayah yang luas tanpa melalui penayangan iklan di berbagai
media massa. Penjualan space iklan merupakan komponen utama pendapatan
media massa. Tanpa iklan suatu media massa tidak akan memperoleh
pendapatan yang digunakan untuk menutup biaya operasionalnya. Sebagai
media penghubung antara produsen dan konsumen, media massa juga
mempunyai tanggungjawab moral atas ikian yang ditayangkan. ikian yang
ditayangkan dapat mempengaruhi citra sebuah media massa. Media massa
dituntut selektif dalam menayangkan iklan agar tidak bertentangan dengan
nilai-nilai moral masyarakat. Sebagai penyebar informasi, media massa akan
dikecam karena menayangkan iklan yang dapat merusak moral masyarakat.
5. Masyarakat
Masyarakat mempunyai tanggungjawab moral terhadap penayangan suatu
iklan. Sikap kritis masyarakat merupakan kontrol atas hal-hal yang dapat
merusak moral masyarakat termasuk iklan yang tidak benar.

Prinsip bahwa iklan harus memberikan fakta dan mengatakan yang benar
tentang sebuah produk, tidak berarti bahwa iklan perlu mengatakan semua hal
tentang sebuah produk, termasuk segala sesuatu yang negatif tentang produk itu.
Dalam hal ini, yang menjadi Pegangan biro iklan adalah jangan sampai merugikan
pihak mana pun. Biro iklan mempunyai kewajiban moral untuk mencegah
konsumen membeli produk tertentu yang diketahuinya merugikan atau berbahaya.
Tindakan maksimal yang dapat dilakukan biro iklan dalam mencegah kerugian
bagi konsumen adalah menolak membuat produk itu. Dengan demikian, pihak
produsen bisa mempertimbangkan apakah akan terus memproduksi dan menjual
barang itu atau tidak. Dalam hal ini, organisasi biro iklan perlu difungsikan untuk
menindak biro iklan yang nekat membuat iklan dengan maksud untuk
memperdaya konsumen.
Persoalannya menjadi lain kalau produk itu berguna bagi masyarakat, namun
mempunyai efek samping atau kondisi tertentu yang merugikan. Dalam hal ini,
biro iklan boleh mengiklankannya dengan kewajiban tambahan membeberkan
informasi mengenai efek samping atau kondisi yang merugikan itu. Dengan
demikian, konsumen akan tahu mengenai kondisi yang sebenarnya dari produk
itu.
Sehubungan dengan fungsi iklan di atas, pihak konsumen diharapkan mencari
informasi yang memadai terlebih dahulu tentang sebuah produk sebelum
membelinya. Dalam hal ini, pihak produsen (dan biro iklan sejauh terkait)
berkewajiban untuk memberi informasi yang diperlukan oleh konsumen itu.
Untuk itu, Lembaga Konsumen, yang berada dalam posisi yang netral, bahkan
lebih memihak konsumen dapat sangat diandalkan. Informasi yang
disebarkanbaik secara cuma-cuma maupun dengan imbalan ala kadarnya kiranya
sangat bermanfaat bagi konsumen dalam menentukan pilihannya.
Sejauh iklan berfungsi semata-mata sebagai pemberi informasi, iklan tetap
menghargai kebebasan para konsumen untuk memutuskan dalam membeli suatu
produk. Sejauh iklan memberi informasi yang benar, kesalahan atau kekeliruan
dalam membeli sebuah produk tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada ikan.
Sejauh konsumennya bebas dalam menentukan pilihannya, akibat apa pun yang
terjadi dalam membeli produk itu menjadi tanggungjawab pembeli.
Pada kenyataannya tidak semua mempunyai standar kemampuan menyerap
informasi secara sama. Memang agak sulit untuk mencari iklan yang sesuai
dengan masyarakat yang heterogen. Karena itu, yang ideal adalah bahwa iklan
sedapat mungkin memberi informasi sedemikian rupa sehingga tidak sampai
memperdaya konsumen. juga, lklan perlu peka dan tanggap terhadap nilai moral
dan budaya dalam masyarakat tersebut serta aspirasi dan keluhan masyarakat
tentang iklan-iklan yang muncul dalam masyarakat.
Pada masa mendatang Ikian informatif dan lebih digemari, karena:
1) Masyarakat semakin kritis, sehingga mudah dibohongi atau ditipu oleh iklan-
iklan yang tidak mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Pengalaman
Juga mengajarkan konsumen untuk tidak terlalu percaya dan peduli dengan
bunyi Iklan.
2) Masyarakat sudah bosan bahkan muak berbagai iklan yang hanya melebih-
lebihkan suatu produk. Oleh karena itu, masyarakat jauh lebih suk iklan yang
tampil sederhana tetapi menyentuh dan menarik. IkIan yang hanya merupakan
isapan jempol tidak lagi disukai. Iklan yang bombastis justru punya efek yang
negatif.
3) Peran Lembaga Konsumen yang semakin gencar memberi informasi yang
benar dan akurat kepada konsumen menjadi tantangan serius bagi Iklan.
Aplagi dalam sitem sosial yang semakin terbuka dan kritis, konsumen akan
dengan mudah dan berani menuntut adil iklan-iklan yang dianggap
manipulatif dan tidak baik.

Iklan sebagai Pembentuk Pendapat Umum


Dalam hal ini, fungsi iklan mirip dengan fungsi propaganda politik yang
berusaha mempengaruhi massa pemilih. Dengan kata lain, fungsi iklan adalah
untuk menarik masa konsumen untuk membeli produk dengan cara menampilkan
model iklan yang persuatif, dan tendensius dengan maksud mengguring
konsumen untuk membeli produk tersebut. Oleh karena itu, iklan seperti ini juga
disebut manipulatif.
Secara etis, iklan manipulatif jelas dilarang karena iklan semacam itu
benar-benar memanipulasi manusia dan segala aspek kehidupannya, sebagai alat
demi tujuan tertentu di luar diri manusia Iklan persuasif sangat beragan sifatnya
sehingga kadang-kadang sulit untuk dinilai etis atau tidaknya. Bahkan batas
antara manipulasi terang dan persuasif kadang-kadang sulit ditentukan.
Untuk bisa membuat penilaian yang lebih memadai mengenai iklan persuasif, ada
baiknya kita bedakan 2 macam persuasi, yaitu:
1) Persuasi rasional.
Persuasi rational tetap menghargai otonomi atau kebebasan individu dalam
membeli sebuah produk. Suatu persuasi dianggap rational sejauh persuasinya
terletak pada isi argumennya dan pada cara penyajian dan penyampaian
argumen itu. Persuasi rational bersifat impersonal. la tidak menghiraukan
siapa sasaran dan argumen itu. Yang penting adalah isi argumen tersebut
tepat. Iklan mengandalkan persuasi rational lebih menekankqn isi iklan yang
mau disampaikan. Jadi, iklan itulah yang ditonjolkan dan dengan demikian,
konsumen terdorong untuk membeli produk tersebut iklan semacam ini
memang berisi informasi yang benar hanya saja kebenaran informasi tersebut
ditampilkan dalam wujud yang sedemikian menojol dan kuat sehingga
konsumen terdorong untuk membelinya. Dengan kata lain, persuasinya
didasarjan pada fakta yang bisa dipertanggungjawabkan.
2) Persuasi non-rasional.
Persuasi non-rasional tidak menghiraukan otonomi atau kebebasan individu.
Persuasi non-rasional umumnya hanya memanfaatkan kelemahan psikologis
manusia untuk membuat konsumen bisa terpukau, tertarik, dan terdorong
untuk membell produk yang diiklankan itu. Daya persuasinya tidak terletak
pada isi argumen yang bersifat rasional, melainkan pada cara penampilan. Hal
yang dipentingkan adalah kesan yang ditampilkan dengan memanfaatkan efek
suara (desahan), mimik, lampu, gerakan tubuh, dan semacamnya. Juga logika
iklan tidak diperhatikan dengan baik. Misalnya, dengan menggunakan
kosmetik merk tertentu, seorang suami akan betah di rumah. Seolah-olah
kosmetik merk tersebut adalah solusi satu-satunya atas hubungan harmonis
suami dan istri. Padahal, keharmonisan itu tidak hanya bisa diselesaikan hanya
dengan penggunaan kosmetik tersebut. Ini persuasi yang tidak rasional dan
menipu.
Iklan yang menggunakan cara persuasi dianggap tidak etis kalau persuasi itu
bersifat non-rasional karena:
1) Iklan semacam itu tidak mengatakan mengenai apa yang sebenarnya,
melainkan manipulasi aspek psikologis manusia melalui penampilan iklan
yang menggiurkan dan penuh bujuk rayu.
2) Iklan semacam itu merongrong kebebasan memilih pada konsumen.
Konsumen dipaksa dan didorong secara halus untuk mengikuti kemauan
pengiklan, bukan atas dasar pertimbangan yang rasional dan terbukti
kebenarannya.
Dari segi etika teleologi, jawaban terhadap persoalan itu menjadi agak
berbeda. Suatu persuasi dianggap baik dan tidak hanya bisa dinilai berdasarkan
akibat dari persuasi itu. Jadi, iklan hanya bisa dinilai baik atau tidak dari segi
akibat yang ditimbulkannya. Kalau iklan persuasif itu berakibat baik bagi
konsumen, misalnya, dengan itu konsumen bisa punya pertimbangan dalam
membeli sebuah produk dan akhirnya puas dengan itu, iklan tersebut dinilai baik.
Jadi, sejauh sebuah iklan berakibat baik menolong konsumen memilih produk
secara tepat, iklan persuasif itu akan dinilai baik dari segi etika. Sebaliknya,
sejauh iklan persuasif itu mengakibatkan konsumen tertipu dan juga menimbulkan
efek yang merugikan baik secara fisikologis maupun moral pada masyarakat,
iklan semacam itu tidak etis dan karena itu perlu dilarang. Dengan kata lain,
akibat iklan perlu dipertimbangkan dalam menilai baik buruknya sebuah iklan,
termasuk iklan penuh bujuk rayu. Atas dasar dari segi etika teleologi dapat
dikatakan bahwa iklan yang persuasif dapat dibenarkan dan diterima secara moral
individu kalau iklan tersebut tidak menganggu kebebasan individu konsumen, dan
sejauh iklan tersebut tidak merugikan kepentingan konsumen atau masyarakat
pada umumnya.

2.5 Beberapa Persoalan Etis dalam Iklan


Ada beberapa persoalan etis dalam iklan yang ditimbulkan oleh iklan, khususnya
iklan yang manipulatif dan persuasive non-rasional, yaitu :
1. Mendorong ekonomi dan kebebasan manusia.
Dalam banyak kasus ini jelas terlihat. Iklan membuat tidak lagi dihargai
kebebasab dalam menentukan pilihannya untuk membeli produk tertentu.
Banyak pilihan dan pola konsumsi manusia modern sesungguhnya adalah
pilihan iklan. Manusia didikte olah iklan dan tunduk kepada kemauan iklan,
khususnya iklan manipulatif dan persuatif yang tidak rasional. Ini justru
sangat bertentangan dengan imperatif moral kant bahwa manusia tidak boleh
diperlakukan hanya sebagai alat demi kepentingan di luar dirinya. Manusia
harus dihargai sebagai mahkluk yang mampu menentukan pilihanya sendiri,
termasuk dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pada penomena
iklan manipulatif, manusia benar-benarmenjadi objek untuk mengeruk
keuntungan sebesar-besarnya dan tidak sekedar diberi informasi untuk
membantunya memilih produk tertentu.
2. Menciptakan kebutuhan manusia dengan akibat manusia modern menjadi
konsumtif. Secara ekonomis hal ini baik karena demikian, akan menciptakan
permintaan dan ikut menaikkan daya beli masyarakat. Bahkan, dapat mengacu
produktivitas kerja manusia hanya demi memenuhi kebutuhan hidupnya yang
terus bertambah dan meluas itu. Namun, dipihak lain muncul masyarakat
konsumtif, di mana banyak dari apa yang dianggap manusia sebagai
kebutuhannya sebenarnya bukan benar-benar kebutuhannya.
3. Membentuk dan menentukan identitas atau citra dari manusia modern.
Manusia modern merasa belum menjadi dirinya kalau belum memiliki
barang sebagaimana ditawarkan iklan. Seseorang merasa tidak percaya diri
kalau belum memakai minyak rambut seperti diiklankan bintang film terkenal
misalnya. Identitas manusia modern lalu hanyalah rancangan pihak tertentu, di
fabricated. Yang dipuja pun lebih banyak kali adalah kesan luar, polesan, dan
kepura-puraan.
4. Merongrong rasa keadilan social masyarakat.
Iklan yang menampilkan serba mewah sangat ironis dengan kenyataan
social di mana banyak anggota masyarakat masih berjuang hanya untuk
sekadar hidup. Iklan yang mewah tampil seakan tanpa punya rasa solidaritas
dengan sesamanya yang miskin.
Dari uraian diatas, beberapa prinsip yang kiranya perlu diperhatikan dalam iklan
adalah:
 Iklan tidak boleh menyampaikan informasi yang palsu dengan maksud
memperdaya konsumen;
 Iklan wajib menyampaikan semua informasi tentang produk tertentu,
khususnya menyangkut keamanan dan keselamatan manusia;
 Iklan tidak boleh mengarah pada pemaksaan, khususnya secara kasar dan
terang-terangan;dan
 Iklan tidak boleh mengarah pada tindakan yang bertentangan dengan
moralitas: tindakan kekerasan, penipuan, pelecehan seksual, diskriminasi,
perendahan martabat manusai dan sebagainya.

2.6 Makna Etis Menipu dalam Iklan


Entah sebagai pemberi informasi atau sebagai pembentuk pendapat umum,
ilkan pada akhirnya membentuk citra sebuah produk, bahkan sebuah perusahaan
di mata masyarakat. Citra ini terbentuk bukan terutama karena bunyi atau
penampilan iklan itu sendiri, melainkan terutama terbentuk oleh kesesuaian antara
kenyataan sebuah produk yang iiklankan dengan apa yang disampaikan dalam
iklan itu, baik secara tersurat ataupun tersirat. Karena itu, iklan sering
dimaksudkan sebagai media untuk mengungkapkan hakikat dan misi sebuah
perusahaan produk.
Prinsip etika bisnis yang paling relevan disini adalah prinsip kejujuran,
yakni mengatakan hal yang benar dan tidak menipu. Prinsip ini tidak hanya
menyangkut kepentingan banyak orang, namun juga menyangkut kepentingan
perusahaan atau bisnis seluruhnya sebagai sebuah profesi yang baik. Namun,
persoalanya adalah apa makna etis menipu? Sejauh mana sebuah iklan
dikategorikan menipu dan dikutuk secara moral?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu dirumuskan arti
menipu secara moral. Pertama-tama, kita harus melihat perbedaan menipu dan
berbohong. Dalam pemakaian sehari-hari keduanya serng disamakan atau
dicampuradukan pengertiannya. Namun, sesungguhnya ada perbedaan besar
antara keduanya dalam implikasi moral mendalam.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), kata tipu mengandung
pengertian perbuatan dan perkataan yang tidak jujur (bohong, palsi, dan
sebagainya). Dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali atau mencari untung
(penekanan ditambahkan). Dengan kata lain, menipu adalah menggunakan tipu
muslihat, mengecoh, mengakali, memperdaya, atau juga perbuatan curang yang
dilakukan dengan niat yang telah direncanakan. Dalam tindakan menipu ada niat
sadar dari pelaku untuk memperdaya dan mengecoh orang lain. Dari sudut
pandang moral, menipu dilihat sebagai tindakan yang tidak jujur dengan maksud
memperdaya orang lain. Larena bertentangan dengan prinsip kejujuran, maka
secara moral menipu dinilai sebagai tindakan tidak baik. Menurut Kant (dalam
Keraf,1998: menipu adalah memberi pernyataan yang salah secara sengaja dengan
maksud memperdaya orang lain dan/atau kalau orang yang memberi pernyataan
itu telah berjanji untuk mengatakan apa yang sebenarnya atau kalau pernyataan
itu disampaikan kepada orang yang berhak mengetahui kebenarannya.
Jadi, paling tidak ada tiga kondisi yang bias dikategorikan sebagai menipu:
1. Pernyataan yang salah secara sengaja dengan maksud memperdaya orang
lain;
2. Pernyataan yang salah itu berkaitan dengan janji kepada pihak yang dituju
untuk mengatakan apa adanya;
3. Pernyataan salah itu diberikan kepada orang yang berhak mengetahui
kebenarannya.

Sebaliknya, berbohong diartikan sebagai perkataan atau pernyataan yang


tidak sesuai dengan hal atau keadaan yang sebenarnya. Bohong adalah perkataan
yang tidak benar dan tidak sesuai dengan kenyataan. Bohong hanya terbatas pada
tidak sesuainya apa yang dikatakan dengan kenyataan, bukan menyangkut
tindakan atau perbuatan. Yang pokok di sini adalah bahwa bohong tidak
melibatkan maksud dan niat si subjek untuk mengecoh orang lain, sedangkan
menipu justru sebaliknya melibatkan maksud atau niat si subjek. Karena itu,
secara moral berbohong bersifat netral. Bohong tidak punya kualitas moral apa
pun, karena bohong hanya soal salah atau tidak benarnya suatu ucapan. Ia hanya
menyangkut benar atau tidaknya suatu pernyataan dari segi factual. Dari
pengertian menipu dan berbohong diatas , dapat disimpulkan bahwa berbohong
itu menipu. Berbohong dapat jadi menipu kalau ucapan atau pernyataan yang
tidak benar itu disertai dengan niat untuk memperdaya orang lain. Karena itu,
tidak semua pernyataan atau ucapan yang tidak benar berarti menipu.
Dalam kenyataan praktis tidak gampang menilai sejauh mana sebuah iklan
masih terbatas sebagai iklan yang bohong atau sudah mengarah pada menipu.
Pihak biro iklan dan produsen bias saja berkelit bahwa mereka tidak punya
maksud untuk memperdaya konsumen. Jadi, iklan mereka hanya sekedar bohong
dan bukan menipu. Juga ada iklan yang tidak memberi pernyatana yang salah;
jadi apa yang dilakukan dalam iklan memang benar, tetapi ternyata punya akibat
menyesatkan dan memperdaya konsumen.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa iklan yang menipu, karena itu
secara moral dikutuk adalah iklan yang secara sengaja menyampaikan pernyataan
yang tidak sesuai dengan kenyataan dengan maksud menipu. Dengan kata lain,
berdasarkan prinsip kejujuran, iklan yang baik dan diterima secara moral adalah
iklan yang memberi pernyataan atau informasi yang benar sebagaimana adanya.

2.7 Kebebasan Konsumen


Dalam bukunya The Affulent Society,John K.Galbraith (Bertens,
2000:271), mengatakan bahwa prouksilah yang menciptakan permintaan, yang
kemudian dipuaskannya. Dengan kata lain, bukan permintaan yang melahirkan
produksi, melainkan sebaliknya. Artinya, apa yang dianggap sebagai permintaan
masyarakat sesungguhnya disebabkan, ditimbulkan, diciptakan oleh adanya
produksi barang tertentu yang ditawarkan dalam pasar. Demi menciptakan dan
membangkitkan permintaan inilah, iklan memainkan peranan yang sangat penting
dan strategis.
Persoalan moral dan etis yang timbul disni adalah hanya kebebasan
individu dalam menentukan kebutuhannya dalam masyarakat modern sekarang ini
hamper tidak ada sama sekali. Permintaan atau permintaan yang sudah dianggap
sebagai kebutuhan, tidak timbul secara bebas, melainkan dipengaruhi dan
dirangsang oleh pasar, oleh iklan, Dalam mekanisme semacam ini, iklan tidak
sejalan dengan konsep mengenai kebutuhan atau keinginan yang ditentukan bebas
oleh konsumen sendiri karena fungsi iklan disini adalah menciptakan permintaan
atau kebutuhan, termasuk kebutuhan sebelumya yang tidak dirasakan. Keinginan
atau kebutuhan konsumen tidak lagi merupakan sesautu yang mandiri melainkan
tergantung sepenuhnya apda produsen dan iklan.
Dengan demikian, dalam mekanisme semacam itu mustahil konsumen
bias memutuskan atau memilih secara bebas apa yang menjadi kebutuhannya.
Sebagian terbesar dari kebutuhan konsumen merupakan kebutuhan yang
diciptakan oleh produsen dan iklan. Itulah yang disebut Galbraith sebagai “Efek
Ketergantungan”.
Ditinjau dari segi fungsi atau model iklan, kita langsung bsia
menyimpulkan bahwa iklan yang disajikan dalam bentuk persuasi non-rasional
bertentangan dengan prinsip kebebasan konsumen. Namun, kita juga bias
mempertanyakan, apakah iklan yang menggunakan bentuk persuasi rasional
masih tetap netral dan menghargai kebebasan individu? Betapa pun rasionalnya
persuasi itu, sulit sekali mempertahankan bahwa iklan akan tetap netral dan tetap
menghargai kebebasan konsumen.
Iklan informatif pun belum tentu netral dan tidak merongrong kebebasan
konsumen dalam menentukan pilihan brang dan jasa tertentu. Ditinjau dari sudut
pandang Galbraith di atas, iklan yang informatif tidak lagi netral dikarenakan
informasi yang disampaikan telah menciptakan kebutuhan atau paling kurang
keinginan dalam diri konsumen.
Pandangan Galbraith itu tidak begitu disetujui oleh Frederick A. von
Hayek (Bertens, 2000:271). Menurut von Hhayek, sedikit sekali kebutuhan kita
benar-benar bersifat “Absolut”, dalam pengertian tidak tergantung pada
lingkungan social atau tidak dipengaruhi oleh contoh dari orang lain. Kebanyakan
kebutuhan kita sebenarnya adalah kebutuhan yang dipengaruhi oleh peradaban
kita Bersama. Dengan ini von Hayek mau mengatakan bahwa kebutuhan-
kebutuhahn kita yang bersifat kultural, mau tidak mau, dipengaruhi oleh
lingkungan kita. Bahkan sebagai mahluk social, selera, pikiran serta kepercayaan
kita dibentuk oleh lingkungan budaya kita. Karena itu, walaupun dalam situasi
tertentu benar bahwa “Produksi menciptakan kebutuhan”, tidak dengan sendirinya
produksi menentukan kebutuhan kita sebagai konsumen.
Dapat dikatakan bahwa sebagai mahluk social kita memang tidak bias
lepas dari pengaruh dan informasi orang lain. Tetapi, ini tidak berarti bahwa
pengaruh tersebut membelenggu dan meniadakan kebebasan setiap individu.
Kendati ada benarnya bahwa iklan dapat punya dampak negative terhadap
manusia, iklan juga mempunyai peran positif dalam mewujudkan hakikat social
manusia. Walaupun ada benarnya produsen bekerja kearah “Menciptakan
kebutuhan”, timbulnya kebutuhan tidak semata-mata ditentukan oleh operasi
produsen. Timbulnya kebutuhan ditentukan oleh banyak factor sebab produsen
tidak hanya satu dan iklan pun tidak hanya satu. Itu berarti konsumen masih tetap
mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihannya.
Betapa pun benarnya apa yang dikatakan von Hayek, abad informasi dan
industry dewasa ini menampilkan permasalahan yang sangat pelik mengenai
kebebasan manusai. Pilihan-pilihan konsumsi pribadi semakin mendalam
dipengaruhi dari luar oleh berbagai iklan, entah yang informatif belaka atau pun
yang terang-terangan bersifat manipulative. Oleh karena itu, iklan perlu
dipertimbangkan secara matang, terutama menyangkut dampak pada kehidupan
manusia. Kalau ternyata iklim periklanan sudah mengarah pada merugikan
kepentingan masyarakat, maka sudah saatnya diambil tindakan legal politis
tertentu untuk membatasinya.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perlindungan konsumen sangat di butuhkan untuk masyarakat luas karna
dengan adanya perlindungan konsumen membuat masyarakat akan terjamin
kepastian dan hak-haknya. Dan juga harus ada peran aktif dari Pemerintah
sebagai perancang,pelaksana serta pengawas atas jalannya hukum dan
Undang-Undang tentang perlindungan konsumen harus benar-benar
memperhatikan fenomena-fenomena yang terjadi pada kegiatan produksi dan
konsumsi saat ini agar tujuan para produsen untuk mencari laba berjalan
dengan lancar tanpa ada pihak yang dirugikan, demikian juga dengan
konsumen yang memiliki tujuan untuk memaksimalkan kepuasan jangan
sampai mereka dirugikan karena kesalahan yang diakibatkan dari proses
produksi yang tidak sesuai dengan setandar berproduksi yang sudah tertera
dalam hukum dan UU yang telah dibuat oleh pemerintah. Kesadaran produsen
akan hak-hak konsumen juga sangat dibutuhkan agar tercipta harmonisasi
tujuan antara produsen dan konsumen.

3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini mungkin masih banyak kekurangan, baik di
segi penulisan ataupun dari penyusunan kalimat dan kata-katanya, oleh sebab
itu kami selaku penulis minta maaf sebesar-besarnya kepada dosen dan
mahasiswa semua, sebagai penyempurnaan kami mengharap kritik dan saran
yang positif dari teman-teman semua.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dewi, sutrisna. 2010. Etika Bisnis. Denpasar: Udayana University Press


2. Manuel, G. Velasquez. 2005. Etika Bisnis,Konsep dan Kasus. Yogyakarta:
ANDI

Anda mungkin juga menyukai