Anda di halaman 1dari 61

ISSN 1410 9565

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010


SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010
Tanggal : 6 Mei 2010


JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH



Volume 13 Nomor 2 Desember 2010












Pusat Teknologi Limbah Radioaktif
Badan Tenaga Nuklir Nasional


J. Tek. Peng. Lim. Vol. 13 No. 2 Hal. 1-54
Jakarta
Desember 2010
ISSN 1410-9565

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010


SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH


Volume 13 Nomor 2 Desember 2010


Jurnal enam bulanan
Pertama terbit Juni 1998

Penanggung Jawab / Pengarah

Drs. R. Heru Umbara
(Ka. PTLR BATAN)


Pemimpin Redaksi merangkap Ketua Editor

Dr. Ir. Budi Setiawan M.Eng. (PTLR BATAN)


Editor

Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc. (PTLR BATAN)
Dr. Pratomo Budiman Sastrowardoyo (PTLR BATAN)
Dr. Sri Harjanto (Universitas Indonesia)
Dr. Thamzil Las (Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah)
Heny Suseno, S.Si., M.Si. (PTLR BATAN)
Ir. Sucipta, M. Si. (PTLR BATAN)


Mitra Bestari

Dr. Sahat M. Panggabean (Kementerian Negara Riset dan Teknologi)
Dr. Muhammad Nurdin (Universitas Haluoleo)


Tim Redaksi

Endang Nuraeni, S.T.
Yanni Andriani, S.T.
Adi Wijayanto, A.Md.


Penerbit

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif
Badan Tenaga Nuklir Nasional
Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15310, Indonesia
Tel. +62 21 7563142, Fax. +62 21 7560927
e-mail : ptlr@batan.go.id

i

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010


SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH


Volume 13 Nomor 2 Desember 2010


Jurnal enam bulanan
Pertama terbit Juni 1998

Penanggung Jawab / Pengarah

Drs. R. Heru Umbara
(Ka. PTLR BATAN)


Pemimpin Redaksi merangkap Ketua Editor

Dr. Ir. Budi Setiawan M.Eng. (PTLR BATAN)


Editor

Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc. (PTLR BATAN)
Dr. Pratomo Budiman Sastrowardoyo (PTLR BATAN)
Dr. Sri Harjanto (Universitas Indonesia)
Dr. Thamzil Las (Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah)
Heny Suseno, S.Si., M.Si. (PTLR BATAN)
Ir. Sucipta, M. Si. (PTLR BATAN)


Mitra Bestari

Dr. Sahat M. Panggabean (Kementerian Negara Riset dan Teknologi)
Dr. Muhammad Nurdin (Universitas Haluoleo)


Tim Redaksi

Endang Nuraeni, S.T.
Yanni Andriani, S.T.
Adi Wijayanto, A.Md.


Penerbit

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif
Badan Tenaga Nuklir Nasional
Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15310, Indonesia
Tel. +62 21 7563142, Fax. +62 21 7560927
e-mail : ptlr@batan.go.id

ii
Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010
SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH


Volume 13 Nomor 2 Desember 2010


Pengantar Redaksi

Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah, Volume 13
Nomor 1, Juni 2010. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah memuat karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian dan
pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah,
dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan.
Pada volume ini Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah kembali memuat karya-karya tulis yang berkaitan dengan
Strategi Pengelolaan Limbah Radioaktif, Pengolahan Limbah Resin, Karakterisasi Limbah Gelas, Kajian Penggunaan Mineral
Alam Sebagai Penghambat Sebaran Radionuklida, Radioekologi Kelautan serta aspek-aspek lainnya yang berkaitan dengan
misi Jurnal ini.
Harapan kami, semoga penerbitan jurnal ini dapat meningkatkatkan profesionalitas dan mampu memberikan
informasi yang bermanfaat untuk dijadikan acuan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan pengelolaan
limbah secara umum.

Jakarta, Desember 2010

iii
Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010
SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH


Volume 13 Nomor 2 Desember 2010


Daftar Isi

Mokhamad Alfiyan, Yus Rusdian Akhmad ; Strategi Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia Ditinjau dari Konsep
Cradle to Grave ( 1-7 )

Aisyah, Herlan Martono : Pengaruh Perlakuan Panas dan Kandungan Limbah Terhadap Perubahan Struktur Gelas Limbah
( 8-17 )

Sutrisno Salomo Hutagalung, Anto Tri Sugiarto, Veny Luvita ; Aplikasi Metode Advanced Oxidation Processes (AOP)
untuk Mengolah Limbah Resin Cair ( 18-25 )

Budi Setiawan ; Pengaruh Ion Logam Ko-eksistensi terhadap Sorpsi Cesium dan Stronsium oleh Bentonit ( 26-31 )

Erwansyah Lubis ; Keselamatan Lingkungan dan Kecelakaan Dalam Produksi Energi Listrik ( 32-38 )

Nirwan Syarif ; Karakterisasi Sifat Kimia Fisika Terak Pengolahan Bijih Besi Sebagai Pencampur Mortar/ Bahan Keramik
( 39-44 )

Muh. Nurdin, Muh.Natsir, Maulidiyah, Jarnuzigunlazuardi

; Pengembangan Metode Analisis Chemical Oxygen Demand
Model Baru ( 45-54 )




iv
Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010
SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH




Pedoman Penulisan Naskah

Redaksi Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah menerima naskah/makalah karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian
dan pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah,
dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan untuk penerbitan pada bulan Juni dan
Desember setiap tahun.
Ketentuan penulisan naskah :
1. Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan berupa karya tulis ilmiah dari hasil penelitian, survei, pengkajian atau
studi literatur.
2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan format: menggunakan kertas A4, 1 kolom dengan
margin atas, bawah, kiri dan kanan masing-masing 3 cm (1,18). Gunakan jenis huruf Arial ukuran 9. Jumlah halaman
naskah termasuk gambar dan tabel maksimal 20 halaman,
3. Sistematika penulisan meliputi JUDUL, ABSTRAK, KATA KUNCI, PENDAHULUAN, TATA KERJA, HASIL DAN
PEMBAHASAN, KESIMPULAN, UCAPAN TERIMA KASIH (bila ada), DAFTAR PUSTAKA. Untuk makalah pengkajian
dan perancangan dapat menyesuaikan.
4. Judul tulisan menggunakan huruf Kapital, bold, font 14. Nama penulis dicantumkan tanpa gelar, bold, font 11,
sedangkan alamat penulis berupa Nama Unit Kerja, Instansi dan alamat Instansi.
5. Abstrak tidak melebihi 250 kata, dengan spasi 1, font 9 dan Judul tulisan dicantumkan kembali di dalam abstrak sebagai
kalimat pertama. Abstrak berbahasa Inggris ditulis dalam format Italic.
6. Bab dan Sub-bab dalam tulisan tidak bernomor tapi dibedakan dengan huruf besar dan huruf kecil, bold, font 9
7. Penulisan Tabel dan Gambar dibelakangnya diserta dengan angka Arab dan penjelasannya. Contohnya:
i) . Tabel 1. Hasil Analisis X-RF (ditulis di atas Tabel)
ii) . Gambar 2. Kurva Kesetimbangan . (ditulis di bawah Gambar)
8. Pustaka yang dikutip dalam teks diberi nomor angka Arab di belakangnya sesuai dengan urutan pemunculan dalam
Daftar Pustaka. Contoh: Standar IAEA memberi arahan bahwa kegiatan siting umumnya dilaksanakan melalui 4
tahapan utama [3],...
9. Penulisan Daftar Pustaka menggunakan format sebagai berikut:

Buku referensi :
[1] Akhmediev, M. and Ankiewicz, Y.: A Solution, Nonlinear Pulses and Beams, Chapman & Hall, London (1997).

Artikel yang terdapat dalam buku referensi:
[2] Dean, R.G.: Freak waves: A Possible Explanation, in Water Wave Kinetics, Editor: Torum, A and Gudmestad, O.T.,
Kluwer, Amsterdam, 609 612, (1990).

Artikel dari jurnal :
[3] Choppin, G.R.: The Role of Natural Organics in Radionuclide Migration in Natural Aquifer Systems, Radiochim.
Acta 58/59, 113, (1992)

Artikel dalam proceeding
[4] Chung, F., Erds, P., Graham , R.: On Sparse Sets Hitting Linear Forms, Proc. of the Number Theory for the
Millennium, I, Urbana, IL, USA, 57 72, (2000).

10. Dewan Redaksi berhak untuk menolak suatu tulisan yang dianggap tidak memenuhi syarat.
11. Dewan Redaksi dapat mengedit naskah tanpa mengurangi makna.
12. Isi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
13. Naskah diserahkan dalam bentuk cetakan 2 rangkap disertai compact disk (CD) berisi file naskah dalam format MS
Word.

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565
Volume 13 Nomor 2 Desember 2010 (Volume 13, Number 2, December, 2010)
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

1
STRATEGI PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DI
INDONESIA DITINJAU DARI KONSEP CRADLE TO GRAVE
Mokhamad Alfiyan, Yus Rusdian Akhmad

Pusat Pengkajian Sistem dan Teknologi Pengawasan Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif-
BAPETEN, Jakarta
ABSTRAK
STRATEGI PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DI INDONESIA DITINJAU DARI
KONSEP CRADLE TO GRAVE. Pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia terutama di bidang Industri,
kesehatan, dan penelitian telah memberikan kontribusi terhadap timbulan limbah radioaktif di Indonesia.
Pengelolaan limbah radioaktif diatur secara terpisah dari pengelolaan limbah B3 atau limbah lainnya,
akan tetapi konsep pengelolaan limbah B3 dengan Cradle to Grave yaitu pengawasan terhadap limbah
sejak ditimbulkan sampai dengan dikubur dapat dipraktekkan dalam pengelolaan limbah radioaktif.
Metode penyusunan makalah ini melalui studi literatur, dengan tahapan inventarisasi literatur,
pemahaman literatur dan analisis terhadap literatur. Implementasi konsep Cradle to Grave dilakukan
melalui pengawasan terhadap dokumen pengiriman limbah radioaktif yang dibuat rangkap 6, penghasil
limbah radioaktif menyimpan lembar ke-6 dan menyerahkan lembar ke-5 ke Badan Pengawas serta
memberikan lembar ke 1, 2, 3, dan 4 ke pengangkut, pengangkut menyimpan lembar ke 4 dan
menyerahkan lembar ke 1,2, dan 3 ke pengola/penyimpan limbah radioaktif/negara asal sumber
radioaktif, pengelola limbah radioaktif/negara asal sumber radioaktif mengirimkan lembar ke 1 ke
penghasil limbah radioaktif, lembar ke 2 ke Badan Pengawas Tenaga Nuklir dan menyimpan lembar ke
3. Dengan pendekatan Cradle to Grave maka perjalanan dan tanggungjawab terhadap limbah radioaktif
dapat tertelusur sehingga kegiatan pengelolaan limbah radioaktif memberikan jaminan terhadap
lingkungan hidup. Keberhasilan pelaksanaan konsep Cradle to Grave sangat ditentukan oleh pihak-
pihak yang berkepentingan untuk dapat mentaati semua ketentuan selama pengelolaan limbah
radioaktif.
Kata kunci : limbah radioaktif, cradle to grave, dokumen
ABSTRACT
STRATEGY OF RADIOACTIVE WASTE MANAGEMENT IN INDONESIA; CRADLE TO
GRAVE CONCEPT. The use of nuclear energy especially in industry, medicine, and research has given
contribution to radioactive waste generation in Indonesia. Radioactive waste management should be
regulated separately from hazardous waste management or other wastes. However, hazardous waste
management concept stated by cradle to grave is monitoring to waste since generation until disposal.
The concept can be applied for radioactive waste. Methode of this paper throught literature study,
literature understanding and analysis. The cradle to grave concept can be appied by monitoring to
radioactive waste transportation document. Amount of the document is six copies, generator save the
6
th
copy and give the 5
th
copy to regulatory body and the rest to transporter and waste organizer or
origin country of radioactive source. Radioactive waste organizer or origin country of radioactive source
send the 1
st
copy to generator, the 2
nd
to regulatory body and save the 3
rd
copy. The approach of cradle
to grave concept provides information regarding the responsible parties and the transportation process
of radioactive waste in order to ensure the environment quality. The success of cradle to grave concept
implementation depends on stakeholders compliance to all regulations during radioactive waste
management.
Keywords : Radioactive Waste, Cradle to Grave, Document
PENDAHULUAN
Pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia di bidang industri, kesehatan dan penelitian semakin
berkembang sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk, teknologi, pengetahuan, budaya, dll dan
telah terbukti secara nyata memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat Indonesia. Di bidang
kesehatan, tenaga nuklir berperan dalam meningkatkan mutu layanan kesehatan masyarakat antara
lain untuk tujuan diagnostik, terapi dan penelitian. Pemanfaatan tenaga nukir pada sektor industri

Mokhamad Alfi yan, Yus Rusdian Akhmad : Strategi Pengelolaan Limbah Radioaktif di Indonesia ditinjau dari Konsep Cradle To
Grave


2
secara langsung berperan dalam meningkatkan mutu dan laju produksi termasuk industri
pertambangan yang merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Efisiensi proses produksi yang tidak akan pernah mencapai 100 % berdampak dihasilkannya
limbah padat, cair, gas yang harus dikelola dengan bijaksana, artinya bahwa pengelolaan limbah
tersebut mampu mengoptimalkan tuntutan kepentingan dari berbagai pihak terkait, terutama
kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup. Mengingat kompleksnya permasalahan limbah maka
sebelum terbentuknya limbah hendaknya dilakukan tindakan-tindakan yang berorientasi pada upaya
meminimalkan terjadinya limbah yang dapat dilakukan melalui seleksi bahan baku, rekayasa proses
dan penerapan prinsip reuse, recycle serta recovery.
Bidang radioekologi saat ini banyak menarik perhatian para pecinta lingkungan, terutama berkaitan
dengan masalah limbah radioaktif. Limbah radioaktif selama ini tidak pernah dibuang ke lingkungan
secara sembarangan karena telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara
nasional dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku secara internasional [1].
Pengaturan limbah radioaktif dan paparan radiasi secara internasional ditetapkan oleh
International Atomic Energy Agency (IAEA) dan juga oleh International Commission on Radiological
Protection (ICRP) [1]. Sedangkan di Indonesia diawasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir
(BAPETEN). Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran Pasal 14 ayat 2 dilaksanakan melalui peraturan, perizinan dan inspeksi. Peraturan
dan perizinan yang diberikan oleh BAPETEN juga memperhatikan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan dan Undang-Undang lainnya yang terkait beserta produk hukum dibawahnya [2].
Pada dasarnya tingkat bahaya limbah radioaktif tidak berbeda dengan limbah berbahaya lainnya,
yang membedakan adalah penyebab dan mekanisme terjadinya interaksi dengan target. Karakteristik
bahaya dari limbah radioaktif adalah memancarkan radiasi yang dapat mengionisasi atau merusak
target sehingga menjadi tidak stabil/disfungsi, sedangkan karakteristik bahaya dari limbah B3 antara
lain: mudah meledak, mudak terbakar, beracun, reaktif, menyebabkan infeksi dan bersifat korosif [3].
Dalam pengelolaan limbah B3 dikenal konsep Cradle to Grave yaitu pengawasan terhadap limbah
B3 dari sejak dihasilkan hingga penanganan akhir. Makalah ini akan membahas implementasi dari
sistem pengelolaan limbah dengan konsep Cradle to Grave untuk limbah radioaktif dengan treatment
dari setiap fase akan menyesuaikan dengan karakteristik limbah radioaktif.

BAHAN DAN METODE
Penyusunan makalah ini dilakukan melalui studi literatur dengan tahapan inventarisasi safety
standard mengenai pengelolaan limbah radioaktif yang dipublikasikan oleh IAEA, peraturan perundang-
undangan nasional dan pustaka ilmiah lainnya untuk dipahami dan dianalisis guna merumuskan konsep
ilmiah yang dituangkan dalam bentuk makalah.

HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Jenis Limbah Radioaktif
Limbah radioaktif adalah zat radioaktif dan bahan serta peralatan yang telah terkena zat radioaktif
atau menjadi radioaktif karena pengoperasian instalasi nuklir dan fasilitas pemanfaatan zat radioaktif,
yang tidak dapat digunakan lagi. Limbah radioaktif berdasarkan bentuk fisiknya terdiri dari limbah
radioaktif padat, cair dan gas. Limbah cair dibedakan menjadi aqueous dan organik, sedangkan limbah
padat dibedakan menjadi tekompaksi - tidak terkompaksi dan terbakar tidak terbakar.

1. Limbah Radioaktif Cair
Pada fasilitas produksi radioisotop, limbah radioaktif cair dihasilkan dari proses pelindihan atau
pendinginan material, dalam jumlah kecil akan mengandung pengotor yang bersifat radioaktif sehingga
bersifat aktif. Di bidang kesehatan, limbah radioaktif cair antara lain hasil ekskresi pasien yang
mendapat terapi atau diagnostik kedokteran nuklir. Zat radioaktif yang digunakan pada umumnya
berumur paro pendek (100 < hari), misalnya
125
I,
131
I,
99m
Tc,
32
P, dll sehingga cepat mencapai kondisi
stabil. Fasilitas penelitian di bidang kesehatan juga memberikan kontribusi limbah radioaktif cair
melalui hasil ekskresi binatang percobaan. Dengan umur paro sangat pendek, maka penanganan
limbah radioaktif tersebut dilakukan dengan menampung sementara sebelum dilepas ke badan air.
Limbah radioaktif cair untuk jenis organik kebanyakan diproduksi oleh fasilitas penelitian, yang
dapat terdiri dari: minyak pompa vakum, pelumas, dan larutan sintilasi. Zat radioaktif yang terkandung
pada umumnya
3
H dan sebagian kecil
14
C,
125
I dan
35
S.
Dalam pengelolaan limbah cair tersebut harus diperhitungkan pula aktivitas konsentrasi zat
radioaktif yang digunakan, terutama jika zat radioaktif yang digunakan untuk tujuan penandaan
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565




3
umumnya mempunyai konsentrasi aktivitas sangat tinggi sehingga harus dipisahkan dengan zat
radioaktif yang mempunyai konsentrasi aktivitas rendah.

2. Limbah Radioaktif Padat
Kebanyakan limbah radioaktif padat yang dihasilkan dari fasilitas kesehatan dan laboratorium
penelitian mempunyai sifat dapat terbakar, misalnya: tissue, kertas, kain, karton, sarung tangan,
pakaian pelindung, masker, bangkai binatang dan material biologi lain. Sedangkan limbah radioaktif
tidak dapat bakar antara lain: barang pecah belah, serpihan logam, peralatan dekontaminasi dan
limbah dari fasilitas yang mengalami dekomisioning. Untuk limbah padat radioaktif sebagai akibat
kontaminasi dan limbah sumber radioaktif selanjutnya dikirimkan ke PTLR-BATAN sebagai badan yang
berwenang melakukan pengolahan limbah radioaktif. Sumber radioaktif yang diimpor dari negara lain
dapat dikirimkan kembali ke negara tersebut sesuai dengan perjanjian.

3. Limbah Radioaktif Gas
Limbah radioaktif gas dapat dihasilkan pada aplikasi zat radioaktif terutama bidang kesehatan.
Aplikasi khusus dibidang kesehatan menggunakan zat radioaktif berbentuk gas, misalnya
133
Xe,
81m
Kr,
99m
Tc dan pemancar positron berumur paro pendek seperti
18
F dan
11
C untuk investigasi terhadap
ventilasi paru-paru. Limbah radioaktif berupa hasil respirasi pasien dikendalikan dengan menempatkan
pada tempat khusus untuk membatasi dispersi radioaktif ke lingkungan. Jenis zat radioaktif yang
digunakan relatif tidak berbahaya karena berumur paro pendek sehingga mudah mencapai kondisi
stabil [4].

4. Sumber Radioaktif Bekas
Sumber radioaktif yang sudah tidak digunakan lagi memerlukan pengkondisian dan disposal yang
sesuai. Sumber radioaktif bekas dibedakan menjadi:
1) Sumber dengan umur paro 100 hari dengan aktivitas sangat tinggi.
2) Sumber dengan aktivitas rendah, misalnya untuk tujuan kalibrasi.
3) Sumber yang berpotensi memberikan bahaya kontaminasi dan kebocoran.
4) Sumber dengan umur paro >100 hari yang memiliki aktivitas tinggi maupun rendah [5].

B. Kebijakan Nasional Pengelolaan Limbah Radioaktif
Pengelololaan limbah radioaktif terdiri dari rangkaian kegiatan yang meliputi tahapan
pengumpulan, pengelompokkan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan/atau pembuangan
limbah radioaktif. Pengelolaan limbah radioaktif dapat dilakukan dengan sistem sentralisasi atau
desentralisasi, bergantung dengan kebijakan setiap negara.
Pengelolaan limbah radioaktif di Indonesia menganut sistem sentralisasi dengan Pusat Teknologi
Limbah Radioaktif-Badan Tenaga Nuklir Nasional (PTLR-BATAN) sebagai pihak pengelola sesuai
dengan amanat UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Dalam menjalankan tugasnya,
PTLR-BATAN dapat bekerja sama atau mendelegasikan BUMN, Koperasi dan swasta yang ditunjuk
oleh PTLR-BATAN.
Sistem sentralisasi bukan berarti membebaskan penghasil limbah radioaktif dari kewajiban
mengelola limbah radioaktif yang dihasilkannya. Penghasil limbah radioaktif berkewajiban
mengumpulkan, mengelompokkan atau mengolah dan menyimpan sementara limbah radioaktif tingkat
rendah dan sedang sebelum dikirimkan ke PTLR-BATAN.
Terhadap sumber radioaktif bekas terdapat dua alternatif pengelolaan limbah yang boleh
dilakukan oleh pemilik sumber radioaktif bekas yaitu sumber radioaktif bekas diprioritaskan untuk dapat
dikirimkan kembali ke negara asal dan alternatif kedua adalah dikirimkan ke PTLR-BATAN. Prioritas
yang pertama adalah upaya pemenuhan salah satu prinsp-prinsip pengelolaan limbah radioaktif yaitu
tidak menjadi beban bagi generasi yang akan datang.
Dengan sistem pengelolaan tersebut maka ada kegiatan pemindahan atau pengangkutan limbah
radioaktif dari penghasil ke PTLR-BATAN atau ke negara asal sumber radioaktif bekas. Prosedur
pengiriman limbah radioaktif ke PTLR-BATAN yang sudah berlangsung hingga sekarang sebagai
berikut:
1. Penghasil limbah radioaktif mengajukan persetujuan pengiriman limbah radioaktif ke Badan
Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN).
2. Setelah memperoleh persetujuan dari BAPETEN, penghasil limbah radioaktif mengirimkan surat
permohonan pengelolaan limbah radioaktif ke PTLR-BATAN dengan melampirkan salinan
persetujuan pengiriman dari BAPETEN tersebut. Di dalam permohonan dapat dirinci jenis
pelayanan apa saja yang dikehendaki oleh penghasil limbah radioaktif (contohnya: dalam hal

Mokhamad Alfi yan, Yus Rusdian Akhmad : Strategi Pengelolaan Limbah Radioaktif di Indonesia ditinjau dari Konsep Cradle To
Grave


4
pengangkutan penghasil limbah radioaktif dapat saja mengangkut sendiri limbahnya ke PTLR-
BATAN, atau menggunakan jasa ekspedisi, atau menggunakan kendaraan angkut limbah PTLR-
BATAN). Penghasil limbah radioaktif akan mendapatkan jawaban dari PTLR-BATAN tentang biaya
pengelolaan sesuai dengan PP No. 77 tahun 2005 tentang Tarif Pengelolaan Limbah Radioaktif.
3. Penghasil limbah radioaktif mengirimkan limbahnya ke PTLR-BATAN, dokumen yang harus
ditandatangani ke dua belah pihak adalah berita acara serah terima limbah radioaktif.
4. Penghasil limbah radioaktif menyerahkan salinan berita acara serah terima limbah radioaktif ke
BAPETEN.
5. PTLR-BATAN melaporkan kegiatan pengelolaan limbahnya secara berkala (tiap semester) kepada
BAPETEN sesuai dengan izin operasi yang diberikan oleh BAPETEN.

Secara skematik prosedur pengiriman limbah radioaktif tersebut disajikan dalam Gambar 1 di bawah.













Gambar 1. Skenario Pengiriman Limbah Radioaktif

Prosedur pengiriman limbah radioaktif sebagaimana dijelaskan di atas berpeluang memberikan
resiko terhadap keselamatan masyarakat dan lingkungan apabila tidak ada pengawasan selama
pelaksanaan pengiriman. Dengan pengawasan harus dipastikan jenis dan mode transportasinya tidak
menggunakan jasa transportasi umum atau jasa transportasi yang tidak secara khusus digunakan
untuk mengangkut limbah radioaktif sehingga memunginkan limbah radioaktif tidak sampai tujuan atau
sampai tujuan tetapi dengan kondisi limbah radioaktif tidak seperti kondisi pada saat berada di
penghasil limbah radioaktif. Dengan hanya mengandalkan pada sistem audit limbah radioaktif melalui
pelaporan berkala yang dibuat oleh PTLR-BATAN maka setiap kesalahan atau pelanggaran selama
pelaksanaan pengiriman limbah radioaktif tidak dapat diketahui dengan segera.

C. Implementasi Konsep Cradle to Grave dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif
Pengawasan limbah dengan pendekatan Cradle to Grave yaitu pengawasan limbah dari sejak
ditimbulkan sampai dengan di tempat pengolahan/penyimpanan/negara asal sumber radioaktif dan
pada setiap fase terdapat kegiatan dengan tujuan mencegah terjadi pencemaran ke lingkungan.
Implementasi dari konsep ini melalui pengawasan terhadap jalur perjalanan limbah dari penghasil
limbah sampai dengan pihak pengolah atau penyimpan sehingga keberadaan dan tanggungjawab
terhadap limbah dapat diketahui. Karena kegiatan tersebut melibatkan beberapa pihak maka
memerlukan pengawasan dan dokumen perjalanan yang sesuai sebagai indikator keberadaan limbah.
Salah satu tujuan pengawasan limbah radioaktif dengan pendekatan cradle to grave untuk
menunjukkan perjalanan limbah radioaktif dari penghasil (industri, rumah sakit, laboratorium penelitian)
sampai lokasi tujuan pengiriman limbah radioaktif melalui rangkaian perjalanan dokumen. Dalam setiap
tahapan dari rangkaian perjalanan limbah radioaktif disertai dengan tindakan keselamatan terhadap
pekerja, masyarakat dan lingkungan.

D. Perjalanan Limbah Radioaktif
Dokumen perjalanan pengiriman limbah radioaktif dibuat rangkap 6, dengan mekanisme sebagai
berikut: penghasil limbah radioaktif menyimpan lembar ke 6 dan menyerahkan lembar ke-5 ke Badan
Pengawas serta memberikan lembar ke 1, 2, 3, dan 4 ke pengangkut, pengangkut menyimpan lembar
ke- 4 dan menyerahkan lembar ke 1,2, dan 3 ke pengelola/penyimpan limbah radioaktif/negara asal
sumber radioaktif, pengelola limbah radioaktif/negara asal sumber radioaktif mengirimkan lembar ke 1
ke penghasil limbah radioaktif, lembar ke 2 ke Badan Pengawas Tenaga Nuklir dan menyimpan lembar
ke 3. Diagram alir dari proses perjalanan limbah radioaktif dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini:
5
PTLR-BATAN
1/4
2
Penghasil
Limbah
Radioaktif
BAPETEN
3
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565




5











Gambar 2 .Pengelolaan Limbah Radioaktif dengan Pendekatan Cradle to Grave

Dengan demikian, Badan Pengawas dan penghasil limbah dapat melacak perjalanan limbah
radioaktif dari penghasil (cradle) ke lokasi tujuan (grave), yaitu pihak pengolah limbah
radioaktif/penyimpan limbah radioaktif/negara asal sumber radioaktif untuk kegiatan reexport sumber
radioaktif bekas. Pada setiap fase perjalanan limbah, setiap pihak mempunyai kewajiban dan peran
penting dalam mendukung sistem pengelolaan limbah radioaktif yang dijelaskan berikut:

6. Penghasil Limbah Radioaktif
Sebelum limbah radioaktif dikirimkan, penghasil limbah berkewajiban melakukan pengelolaan
limbah yang dihasilkannya dengan tujuan meminimalisasi volume, kompleksitas, biaya dan resiko.
Pengelolaan yang dilakukan meliputi mengumpulkan, mengelompokkan, atau mengolah dan
menyimpan sementara. Pengumpulan dan pengelompokkan limbah berdasarkan aktivitas, waktu paro,
jenis radiasi, bentuk fisik-dan kimia, sifat racun dan asal limbah radioaktif atau mengolah limbahnya
apabila memiliki fasilitas pengolahan
Limbah padat dipisahkan menjadi dapat terbakar - tidak dapat terbakar, terkompaksi tidak
terkompaksi, aktivitas rendah dan tinggi, umur paro panjang dan pendek, serta jenis radiasi. Limbah
tersebut ditempatkan pada lokasi khusus yang diberi tanda bahaya radiasi sehingga hanya petugas
tertentu yang dapat masuk ke ruangan.
Limbah cair yang berupa sisa zat radioaktif dan limbah cair hasil samping kegiatan dekontaminasi
yang memiliki aktivitas tinggi atau umur paro panjang ditempatkan secara terpisah dengan limbah
aktivitas rendah atau umur paro pendek. Untuk limbah cair hasil ekskresi atau hasil kegiatan mandi dan
cuci disalurkan secara terpisah dengan saluran grey water dan disalurkan ke tempat penampungan
sementara untuk mengetahui dosis paparan radiasi yang ditimbulkan, limbah radioaktif tersebut dapat
di lepaskan ke badan air apabila memenuhi persyaratan pelepasan.
Limbah berbentuk gas sangat jarang terjadi. Seperti yang telah disampaikan di muka untuk
mengendalikan limbah radioaktif
berbentuk gas, maka sumber penghasil limbah ditempatkan pada tempat khusus sehingga gas tidak
mudah keluar ke lingkungan. Gas dapat di lepaskan ke lingkungan setelah memenuhi persyaratan
pelepasan.
Penghasil limbah wajib memberikan informasi dengan lengkap dan benar secara tertulis (dalam
manifes dokumen) kepada pengangkut tentang identitas limbah, bahaya radiasi, dan sifat bahaya lain
yang mungkin terjadi dan cara penanggulangannya. Penghasil limbah juga berkewajiban memberikan
tanda, label, atau plakat pada kendaraan angkutan.

2. Pengangkut
Pengangkut merupakan mata rantai yang sangat penting dalam sistem ini dan bertanggungjawab
atas keselamatan pengangkutan limbah sejak menerima dari penghasil sampai kepada penerima.
Apabila terjadi kerusakan/kecelakaan selama pengangkutan, pengangkut harus memberitahukan
kepada Badan Pengawas dan Penghasil. Saat ini pengangkutan limbah radioaktif hanya boleh
copy-1
Penghasil
(copy-6)
Pengangkut
(copy-4)
Pengolah
/Penyimpan
/negara asal sumber
(reexport) (copy-3)
Badan
Pengawas
copy-5
copy-2

Mokhamad Alfi yan, Yus Rusdian Akhmad : Strategi Pengelolaan Limbah Radioaktif di Indonesia ditinjau dari Konsep Cradle To
Grave


6
dilakukan oleh pihak-pihak yang telah mempunyai izin pemanfaatan dari BAPETEN dalam bentuk
persetujuan pengangkutan.

3. Pengolah/Penyimpan/negara asal sumber radioaktif (reexport)
Pengolahan dan penyimpanan limbah radioaktif saat ini dilakukan secara terpadu di PTLR-
BATAN meskipun dalam menjalankan tugasnya, Badan Pelaksana sebetulnya dapat menunjuk
dan/atau bekerja sama dengan BUMN, swasta dan Koperasi. Sehingga sampai saat ini pihak pengolah
atau penyimpan limbah radioaktif hanya PTLR-BATAN. Pihak pengolah/penyimpan /negara asal
sumber radioaktif berkewajiban memeriksa kesesuaian limbah yang diserahkan oleh pengangkut
dengan kualifikasi limbah sebagaimana tercantum dalam dokumen pengiriman limbah. Apabila terdapat
ketidaksesuaian maka pihak pengolah/penyimpan/negara asal sumber radioaktif wajib memberitahukan
ke Badan Pengawas dan penghasil limbah guna investigasi lebih lanjut. Namun apabila limbah
radioaktif yang diterima oleh pengolah sudah sesuai dengan dokumen pengiriman limbah maka pihak
pengolah/penyimpan dapat melakukan pengolahan/penyimpanan limbah radioaktif dengan teknologi
yang sesuai. Sedangkan negara asal sumber radioaktif dapat melakukan penanganan sumber
radioaktif bekas yang diterimanya sesuai dengan kebijakan pengelolaan limbah radioaktif negara
tersebut.
Pengolahan limbah radioaktif yang dilakukan oleh pihak pengolah dimaksudkan untuk mereduksi
volume limbah dan mengurangi paparan radiasi dari limbah radioaktif agar tidak membahayakan
manusia dan lingkungan sehingga dosis radiasi yang diterima oleh pekerja akibat adanya limbah
tersebut tidak akan melebihi ketentuan dosis tahunan yang telah ditetapkan.
Jenis pengolahan limbah radioaktif berbentuk padat yang telah dipraktekkan, antara lain:
kompaksi, insenerasi dan imobilisasi tetapi tidak berlaku untuk sumber radioaktif bekas.

a. Kompaksi:
Limbah padat yang akan dikompaksi harus memenuhi persyaratan:
1. Tidak mengandung limbah yang bersifat destruktif terhadap bungkusan limbah
2. Tidak mengandung limbah bersifat infektan
3. Tidak mengakibatkan tekanan pada kointainer yang menyebabkan pelepas gas atau
kontaminan
4. Tidak mengandung cairan untuk menghindari kebocoran pada bungkusan limbah
5. Tidak mengandung bubuk aktif yang dapat mengkontaminasi
6. Tidak mengandung bahan kimia reaktif

b. Insenerasi:
Limbah radioaktif padat yang diolah dengan insenerator harus memperhatikan hal-hal berikut:
a) Tidak menimbulkan tekanan yang dapat menyebabkan pelepasan tak terkendali
b) Tidak mengandung bahan beracun yang mudah menguap
c) Kadar air diatur untuk menghasilkan pembakaran sempurna
d) Dilakukan pengolahan lanjutan terhadap residu
e) Bahan yang bersifat lembab dikendalikan
f) Dilengkapi dengan pengendali debu

c. Imobilisasi:
Imobilisasi terhadap limbah padat bertujuan mencegah pergerakan/sebaran limbah padat ke
lingkungan. Limbah padat yang diimobilisasi adalah konsentrat evaporasi, abu insenerator, limbah
padat hasil pengkompaksian. Imobilisasi menggunakan bahan pengikat seperti semen, zeolit, bentonit,
dll.
Terdapat beberapa jenis pengolahan limbah cair, pemilihan jenis pengolahan bergantung pada
pertimbangan keselamatan, teknis dan keuangan. Selain itu juga bergantung pH dan kandungan
partikel padat, garam, dan asam. Pengolahan limbah cair antara lain: presipitasi, evaporasi, ion
exchange, insenerasi (limbah cair organik), pengolahan tersebut akan menghasilkan limbah cair
sekunder yang harus dikendalikan.
Pengolahan limbah radioaktif berbentuk gas dilakukan dengan cara pengkondisian sampai
memenuhi persyaratan pelepasasan setempat sehingga gas tersebut dapat langsung dilepaskan ke
atmosfer. Namun untuk gas yang mengandung partikulat radioaktif perlu dikendalikan dengan alat
penyaring udara sebelum dilepaskan ke atmosfer.
Penanganan yang dapat dilakukan terhadap sumber radioaktif bekas bergantung umur paro dari
sumber radioaktif tersebut. Sumber radioaktif yang memiliki umur paro pendek cukup dengan
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565




7
menyimpan sampai aktivitasnya mencapai nilai yang sangat rendah sehingga dapat dianggap sebagai
limbah non radioaktif. Untuk sumber radioaktif dengan umur paro panjang terdapat dua pilihan
penanganan, yaitu dilakukan imobilisasi dalam drum logam atau tabung beton atau langsung disimpan
pada tempat khusus untuk tujuan penyimpanan sementara atau penyimpanan akhir.
Penyimpanan limbah radioaktif dibedakan menjadi penyimpanan sementara dan penyimpanan
lestari. Penyimpanan sementara adalah penempatan limbah radioaktif sebelum penempatan tahap
akhir dan penyimpanan lestari adalah penempatan akhir limbah radioaktif tingkat tinggi. Jenis limbah
yang akan ditempatkan pada penempatan akhir/dibuang hanya limbah berbentuk padat. Penempatan
akhir/pembuangan limbah radioaktif dengan aktivitas rendah dan umur paro pendek yang memenuhi
tingkat klierens dapat diperlakukan sebagaimana pembuangan limbah non radioaktif, sedangkan limbah
radioaktif dengan aktivitas tinggi dan umur paro panjang pembuangan dilakukan dalam bentuk disposal
yang dibedakan menjadi disposal dekat permukaan untuk waktu paro 30 tahun dan disposal dalam
formasi geologi untuk limbah radioaktif dengan waktu paro > 30 tahun.
Untuk sumber radioaktif yang diimpor dari luar negeri, sumber radioaktif bekasnya disarankan
untuk dikirimkan kembali ke negara penghasil. Kebijakan ini untuk mengurangi peredaran jumlah
limbah sumber radioaktif di Indonesia yang dapat menjadi beban bagi generasi yang akan datang dan
jika ditinjau dari aspek finansial biaya untuk mengolah limbah tersebut lebih mahal dibandingkan
mengirimkan kembali ke negara asal.



KESIMPULAN
1. Implementasi konsep cradle to grave dalam pengelolaan limbah radioaktif dilakukan dengan
menggunakan dokumen pengiriman limbah radioaktif dari penghasil ke pengolah/penyimpan/atau
negara asal sumber radioaktif.
2. Dokumen pengiriman dibuat rangkap 6 dengan pola distribusi dokumen tersebut dirancang
sedemikan rupa sehingga terbentuk komunikasi yang simultan antara badan pengawas, penghasil
limbah radioaktif, pengangkut, dan pengolah/penyimpan/negara asal sumber radioaktif, distribusi
dokumen tersebut sebagai berikut: badan pengawas menyimpan copy 2 dan 5, penghasil
menyimpan copy 1 dan 6, pengangkut menyimpan copy 4, pengolah/penyimpan/negara asal
sumber menyimpan copy 3.

DAFTAR PUSTAKA
[1] WARDHANA, WA , Radioekologi, Andi Offset, Yogyakarta, (1996).
[2] LUBIS, E, Keselamatan Lingkungan Pengelolaan Limbah Radioaktif, Jurnal Teknologi Pengelolaan
Limbah' Volume 6 No. 2 (ISSN:1410-9565), BATAN, Jakarta, (2003).
[3] HARUKI, A, Pengelolaan Limbah B3, Materi Pelatihan Audit Lingkungan diselenggarkan oleh
Departmen Biologi FIMPA IPB dan Bagian PKSDM Dijten DEKDINAS, (2006),
[4] IAEA, Management of Waste from the Use of Radioactive Material in Medicine, Industry,
Agriculture, Research and Education, Safety Guide No. WS-G-2.7, Vienna, (2005).
[5] IAEA, Management of Radioactive Waste from the Use of Radioactive Material in Medicine,
Industry, Agriculture, Research and Education, TECDOC 1183, Vienna, (2000).
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565
Volume 13 Nomor 2 Desember 2010 (Volume 13, Number 2, December, 2010)
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

8

PENGARUH PERLAKUAN PANAS
DAN KANDUNGAN LIMBAH TERHADAP PERUBAHAN
STRUKTUR GELAS LIMBAH
Aisyah, Herlan Martono
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN
Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310
ABSTRAK
PENGARUH PERLAKUAN PANAS DAN KANDUNGAN LIMBAH TERHADAP PERUBAHAN
STRUKTUR GELAS LIMBAH. Solidifikasi limbah cair aktivitas tinggi (LCAT) simulasi dari ekstraksi
siklus I proses olah ulang dilakukan dengan gelas borosilikat. Komposisi limbah ditentukan dengan
ORIGEN 2 berdasarkan atas PWR-UD 50 MWD, fraksi bakar 50.000 MWD/MTIHM, pengkayaan
uranium 3 % dan pendinginan selama 4 tahun. Kandungan LCAT dalam gelas limbah 20 dan 30%
berat. Pembentukan gelas limbah dilakukan pada suhu 1150
0
C selama 2,5 jam, kemudian didinginkan
sampai suhu kamar. Untuk mempelajari pengaruh suhu terhadap perubahan struktur gelas limbah,
maka gelas limbah dipanaskan pada variasi suhu antara 7501000
0
C dengan waktu pemanasan 18
jam. Untuk mempelajari pengaruh waktu pemanasan terhadap perubahan struktur gelas limbah, maka
gelas limbah dipanaskan dengan variasi waktu pemanasan antara 8 50 jam pada suhu 850
0
C.
Perubahan struktur gelas limbah ditandai dengan terbentuknya kristal dalam gelas limbah yang dapat
diamati dengan mikroskop optik. Sedangkan analisis kristal secara kualitatif dan kuantitatif dilakukan
dengan difraktometer sinar-X. Dari hasil percobaan diperoleh daerah kristalisasi dalam diagram TTT
(Time-Temperature-Transformation) dari kristal Si yang terjadi. Untuk kandungan limbah 20 dan 30 %
berat, kristal yang terjadi sampai waktu pemanasan 50 jam pada suhu 850
0
C adalah 8,5 dan 9 %
berat, sedangkan kristal yang terjadi mencapai maksimum pada suhu 950
0
C pada waktu pemanasan
selama 18 jam adalah 4 dan 5 % berat.
Kata kunci: Gelas limbah, limbah aktivitas tinggi, vitrifikasi, devitrifikasi
ABSTRACT
THE EFFECT Of HEAT TREATMENT AND WASTE LOADING ON STRUCTURAL
DEFORMATION OF WASTE GLASS. Solidification of simulated high level liquid waste (HLLW) from
the first cycle of the reprocessing plant was represented by borosilicate glass. Waste composition was
calculated by ORIGEN 2, with inputs: PWR-UD 50 MWD, burn up 50,000 MWD/MTIHM, uranium
enriched 3 % and cooling for 4 years. The simulated waste composition in the waste glass are 20 and
30 weight %. Formation of waste glass was conducted by heating the waste glass at temperature of
1150
0
C for 2.5 hours followed by cooling to room temperature. The observation of the temperature
effect on the deformation of waste glass structure was carried out by heating the waste glass at various
temperature between 7501000
0
C for heating time of 18 hours. The effect of heating time on the
deformation of waste glass structure was observed by heating of waste glass at 850
0
C in various
heating time between 8 to 50 hours. The deformation waste glass structure is indicated by presence of
crystal within the body of the waste glass that can obseved by optical microscope. While the Qualitative
and quantitative analysis of crystal were conducted by X-ray diffractometer. The experiments showed
that the crystallization area of Si crystal was observed at the TTT (Time-Temperature-Transformation)
diagram. It was concluded from the experiment that waste loading of 20 and 30 weight %, the crystal
has taken place under heating time up to 50 hours at temperature 850
0
C was 8,5 and 9 weight %
respectively. The highest crystal formation has taken place at temperature 950
0
C under heating time
18 hours was 4 and 5 weight % respectively.
Keywords: Waste glass, high level waste, vitrification, devitrification
PENDAHULUAN
Solidifikasi limbah cair aktivitas tinggi (LCAT) yang dilakukan dengan bahan gelas disebut
dengan proses vitrifikasi. Gelas yang digunakan adalah gelas borosilikat yang lebih tahan korosi dan
mengalami perubahan struktur dari amorf menjadi kristalin pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan
dengan gelas fosfat. Perubahan struktur amorf menjadi kristalin dikenal dengan devitrifikasi. Gelas
Aisyah, Herlan Martono : Pengaruh Perlakuan Panas dan Kandungan Limbah terhadap Perubahan Struktur Gelas Limbah

9
aluminosilikat sudah tidak dikembangkan lagi karena kandungan limbahnya rendah sekitar 10 % berat
dan suhu pembentukan yang tinggi sekitar 1350
0
C [1]. Pada pengolahan secara industri, suhu
pembentukan yang tinggi mengakibatkan korosi melter lebih cepat, sehingga umur melter lebih pendek
dan lebih banyak menghasilkan limbah radioaktif padat. Oleh karena itu dipilih gelas borosilikat yang
suhu pembentukannya lebih rendah yaitu 1150
0
C. Gelas merupakan bahan amorf yang dibentuk dari
pendinginan lelehan yang berubah menjadi gelas setelah melewati suhu transisinya (Tg) [1,2,3].
Komposisi LCAT sebagian besar hasil belah dan sedikit aktinida. Hal-hal yang perlu
diperhatikan pada solidifikasi LCAT dengan bahan gelas adalah kandungan limbah (waste loading),
ketahanan kimia, kestabilan terhadap radiasi dan kestabilan terhadap panas. Pada proses vitrifikasi
skala industri, LCAT dan bahan pembentuk gelas dilelehkan pada suhu sekitar 1150
0
C dalam melter.
Setelah terbentuk lelehan gelas limbah, maka lelehan dimasukkan ke dalam canister (wadah dari baja
tahan karat yang berbentuk silinder) dan selanjutnya disimpan di tempat penyimpanan sementara [4,5].
Sebagai contoh di JAEA (Japan Atomic Energy Agency) Jepang digunakan canister berdiameter luar
430 mm, tinggi 1040 mm dan tebal dinding 6 mm mempunyai volume 118 liter. Volume gelas limbah
dalam canister 110 liter (93% volume canister) berisi 300 kg gelas limbah. Banyaknya limbah dalam
gelas limbah adalah 75 kg yang aktivitasnya sekitar 4x10
5
Ci dan melepaskan panas 1,4 kW/jam.
Sampai pereode 30 50 tahun, radionuklida hasil belah memancarkan radiasi gamma yang
menimbulkan panas besar sehingga suhunya mencapai jauh di atas 500
0
C. Adanya panas yang
diterima gelas limbah pada suhu tinggi dan dalam waktu yang lama akan terjadi perubahan struktur
gelas limbah yaitu dari amorf menjadi kristalin yang disebut devitrifikasi. Dalam gelas-limbah
devitrifikasi terjadi antara suhu 500 950
0
C [6,7]. Demikian juga adanya perbedaan kandungan limbah
dan komposisi gelas limbah yang sangat kompleks maka memungkinkan terjadinya devitrifikasi. Jadi
radiasi gamma yang dipancarkan oleh radionuklida dalam gelas limbah tidak mengakibatkan reaksi inti
yang menimbulkan perubahan komposisi, tetapi menimbulkan panas yang tinggi yang mengakibatkan
perubahan struktur. Perubahan struktur mengakibatkan perubahan karakteristik gelas limbah seperti
kenaikan laju pelindihan radionuklida. Laju pelindihan gelas limbah yang mengalami devitrifikasi bisa
mencapai 10 kali lebih besar dari laju pelindihan gelas-limbah yang tidak mengalami devitrifikasi [8,9].
Laju pelindihan merupakan salah satu karakteristik gelas limbah yang penting karena tujuan
pengelolaan limbah radioaktif adalah mengisolasi radionuklida dalam limbah sedemikian rupa agar
tidak mudah terlindih ke lingkungan sehingga aman bagi manusia dan lingkungan. Oeh karena itu
adanya panas yang diterima gelas limbah harus dihindari dengan jalan menggunakan sistem pendingin
pada penyimpanan sementara. Adanya kegagalan dalam sistem pendingin akan menyebabkan
kenaikan suhu gelas limbah dan dalam waktu tertentu akan menyebabkan terjadinya devitrifikasi.
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari sejauh mana perubahan struktur yang terjadi pada
gelas limbah akibat perbedaan kandungan limbah, besarnya suhu dan waktu pemanasan yang dialami
oleh gelas limbah. Dalam penelitian, panas yang diterima oleh gelas limbah dilakukan secara simulasi
dengan memberikan perlakuan panas pada gelas limbah yang telah dibuat. Perlakuan panas dilakukan
dengan cara memanaskan gelas limbah pada suhu dan waktu yang bervariasi. Perubahan struktur
yang terjadi ditandai dengan terbentuknya kristal pada gelas limbah yang diamati dengan mikroskop
optik, sedangkan analisis kristal dalam gelas limbah dilakukan dengan difraktometer sinar-X (XRD).
Jika teramati adanya kristal, maka mengindikasikan bahwa telah terjadi devitrifikasi yang
mengakibatkan perubahan struktur pada dan gelas limbah.

TATA KERJA
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bidang Teknologi Pengolahan Limbah Radioaktif
Dekontaminasi dan Dekomisioning di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif , Badan Tenaga Nuklir
Nasional (BATAN), Kawasan Puspiptek Serpong pada Tahun 2008

Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah oksida oksida SiO
2
, B
2
O
3
, Na
2
O,
CaO,Al
2
O
3
, Fe
2
O
3
, NiO, Cr
2
O
3
, SrO, Cs
2
O, BaO, La
2
O
3
dan CeO
2
buatan Merck dengan kemurnian
yang tinggi.

Peralatan
Dalam penelitian ini digunakan beberapa peralatan seperti timbangan analitis, tungku
pemanas (Muffle Furnace) merek Labtech dengan maksimum suhu 1300
0
C, cawan platina untuk
pembuatan gelas limbah, cetakan karbon untuk annealing gelas limbah, pemanas bunsen, lempengan
Pt dengan lebar 1,5 cm dan panjang 13,40 cm untuk memberi perlakuan panas pada gelas limbah,


Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565


10
mikroskop optik untuk pengamatan struktur mikro gelas limbah, difratometer Sinar X (XRD) Xpert
(Philips) untuk pengukuran pola difraksi sinar X dan software ORIGEN 2.

Metode
1. Penentuan Komposisi Limbah
Komposisi LCAT simulasi ditentukan dengan menggunakan software ORIGEN 2 berdasarkan
atas sejarah elemen bahan bakarnya, yaitu jenis reaktor PWR-UD 50 MWD, fraksi bakar 50.000
MWD/MTIHM, pengkayaan uranium 3 % dan pendinginan selama 4 tahun. Dalam penentuan LCAT
simulasi dan berdasarkan pertimbangan analisis kristal dengan difraktometer sinar-X, maka
penggantian unsur-unsur dilaksanakan dengan unsur lain yang terdapat dalam 1 golongan pada tabel
periodik unsur-unsur dan berdasarkan pengalaman dari negara-negara maju. Dalam hal ini, Tc diganti
Mn dan aktinida (U, Np, Pu, Am, Cm) diganti Ce [10,11]. Komposisi LCAT yang digunakan dalam
percobaan adalah Na
2
O: 24,87; Fe
2
O
3
: 16,47; NiO: 3,47; Cr
2
O
3
: 7,90; SrO:1,13; Cs
2
O: 3,30; BaO:
1,83; La
2
O
3
: 2,20; dan CeO
2
: 38,83 % berat.

2. Penentuan Komposisi Gelas-Limbah
Bahan pembentuk gelas ditentukan dengan komposisi : SiO
2
: 58 ; B
2
O
3
: 21,80; Na
2
O: 9,67;
CaO 7,8; dan Al
2
O
3
:

2,7 % berat [5,7]. Ketahanan terhadap panas atau kestabilan fisik hasil vitrifikasi
adalah sifat yang penting untuk disain kondisi penyimpanan, oleh karena itu kandungan limbah harus
ditentukan. Dalam percobaan ini kandungan limbah ditentukan 20% dan 30% berat sehingga diperoleh
komposisi gelas limbah seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi gelas limbah dengan kandungan limbah 20% dan 30% berat.

Oksida Kandungan Limbah (% berat)
20% 30%
SiO
2

B
2
O
3

Na
2
O
CaO
Al
2
O
3


Fe
2
O
3

NiO
Cr
2
O
3

SrO
Cs
2
O
BaO
La
2
O
3

CeO
2


46,40
17,44
10,00
8,96
2,18

3,28
0,69
1,59
0,23
0,65
0,37
0,44
7,77
40,60
15,26
10,00
9,69
1,91

4,94
1,04
2,37
0,34
0,99
0,55
0,66
11,65

3. Pembentukan Gelas Limbah
Berat bahan gelas limbah yang komposisinya seperti pada Tabel 1, ditentukan dengan
menimbang senyawa-senyawa tersebut. Campuran bahan-bahan tersebut digerus hingga homogen
dan dilebur pada suhu 1150
0
C selama 1 jam, kemudian dilakukan pengadukan setiap 15 menit sekali
berturut-turut sampai 3 kali. Pemanasan dipertahankan lagi selama 1 jam . Lelehan gelas limbah
dituang ke dalam cetakan karbon berdiameter 5 cm sampai suhu kamar (annealing) sehingga
terbentuk gelas limbah [2,3].

4. Pengamatan Kristal Dalam Gelas Limbah Dengan Mikroskop Optik
Gelas limbah yang telah terbentuk diletakkan pada lubang yang berdiameter 0,3 cm dari
lempeng Pt yang lebarnya 1,5 cm dan panjang 13,40 cm dan memiliki 25 lubang. Jarak antar lubang
kearah panjang adalah 2 cm. Contoh gelas limbah kemudian dibakar dengan api bunsen pada suhu
dan waktu tertentu (650 1100
0
C dan 130 jam), selanjutnya dilakukan pengamatan struktur mikronya
dengan mikroskop optik. Dalam pengamatan tersebut akan tampak apakah terbentuk kristal ataupun
tidak.[ 12,13,14]

Aisyah, Herlan Martono : Pengaruh Perlakuan Panas dan Kandungan Limbah terhadap Perubahan Struktur Gelas Limbah

11
5. Pembuatan Diagram Time Temperature Transformation (TTT)
Gelas limbah yang telah terbentuk, dipecah menjadi bagian-bagian kecil, kemudian digerus
sampai menjadi serbuk dalam cawan porselin. Serbuk gelas limbah dianalisis menggunakan
difraktometer sinar-X. Pola difraksi sinar-X amorf menunjukkan struktur gelas. Bagian-bagian kecil
gelas limbah yang lain dipanaskan pada berbagai suhu dan waktu (650 1100
0
C dan 130 jam),
kemudian digerus sampai menjadi serbuk halus. Serbuk halus dianalisis menggunakan difraktometer
sinar-X. Dari pola difraksi dapat dilihat terjadi kristal atau tidak. Dari hasil diatas dapat dibuat diagram
TTT [13,15].

6. Penentuan Prosen Berat Kristal Dalam Gelas Limbah
Gelas yang telah dipanaskan pada berbagai suhu dan waktu digerus dalam cawan porselin
sampai menjadi serbuk halus. Serbuk gelas dicampur dengan standar Si sehingga diperoleh campuran
dengan fraksi berat Si 0,25; 0,50; dan 0,75. Contoh gelas limbah, standar Si dan campuran dengan
fraksi berat Si 0,25; 0,50; dan 0,75 masing-masing ditentukan intensitas terkuatnya (untuk 2 sekitar 28
0
C) dengan difraktometer sinar-X. Setelah masing-masing intensitas dihitung, maka dibuat grafik I/I
standar (I/I
ST
) versus fraksi berat Si, dan prosen berat kristal Si dalam gelas limbah dapat ditentukan
[13,15].

HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengamatan Kristal yang Terjadi pada Gelas Limbah Secara Mikroskopik
Hasil pengamatan struktur mikro gelas limbah dengan mikroskop optik seperti ditunjukkan
pada Gambar 1A dan B. Pada gambar tersebut tampak terbentuknya kristal pada gelas limbah, yang
mengindikasikan bahwa terjadi perubahan stuktur pada gelas limbah dengan kandungan limbah 20
%berat yang mengalami pemanasan pada suhu 950
0
C selama 3 jam (Gambar 1A), sebaliknya pada
Gambar 1B tidak tampak terbentunya kristal pada gelas limbah, yang mengindikasikan bahwa tidak
terjadi perubahan struktur pada gelas limbah dengan kandungan limbah 30% yang mengalami
pemanasan pada suhu 650
0
C selama 4 jam. Pengamatan adanya kristal dengan mikroskop optik ini
belum dapat mengidentifikasi jenis dan struktur kristal yang terjadi. Jenis dan struktur kristal dapat
ditentukan dengan menggunakan difraktometer sinar X. Pada pengamatan dengan mikroskop ini yang
tampak adalah kumpulan kristal yang disebut grain (butir) yang masih terdiri dari 10
12
kristal elementer.
Walaupun demikian metode ini dapat untuk menentukan daerah dimana terjadi perubahan struktur
pada gelas limbah, sehingga terjadinya devitrifikasi dapat dihindarkan karena adanya devitrifikasi ini
akan menaikkan laju pelindihan gelas limbah.

Gambar 1. Struktur mikro gelas limbah hasil pengamatan dengan mikroskop optik (perbesaran
260 kali)
A. Terbentuk kristal pada gelas limbah dengan kandungan limbah 20 %berat yang
mengalami pemanasan pada suhu 950
0
C selama 3 jam
B. Tidak terbentuk kristal pada gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % yang
mengalami pemanasan pada suhu 650
0
C selama 4 jam

B. Penentuan Amorf, Kristal dan Pembuatan Diagram TTT
Hasil analisis dengan difraktometer sinar-X terhadap gelas limbah menunjukkan struktur
bahan adalah amorf dengan pola difraksi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Pemanasan
gelas limbah dengan variasi suhu dan waktu dapat mengakibatkan terbentuknya kristal ataupun tidak.


Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565


12
Sebagai contoh struktur kristal yang terbentuk pada gelas limbah dengan kandungan limbah 30 %berat
yang mengalami pemanasan pada suhu 850
0
C selama 4 jam dengan pola difraksi seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3. Dari pola difraksi tersebut dapat dilihat posisi 2 dan d pada Tabel 2.


Gambar 2. Struktur gelas-limbah amorf

Gambar 3. Struktur kristal dalam gelas-limbah

Tabel 2. Posisi 2 dan d dalam pola difraksi kristal dalam gelas limbah dengan kandungan limbah 30
%berat pada pemanasan 850
0
C selama 4 jam







Dari data tersebut menunjukkan bahwa kristal yang terjadi adalah Si. Pada pemanasan contoh gelas
limbah yang lain pada suhu dan waktu yang berbeda menunjukkan bahwa kristal yang terjadi adalah Si.
Jadi tidak ada jenis kristal lain yang terjadi dalam gelas limbah. Dari data berbagai suhu dan waktu
pemanasan serta pengujian dengan difraktometer sinar-X dapat dibuat diagram TTT yang ditunjukkan
pada pada Gambar 4A dan 4B. Dari Gambar 4A terlihat bahwa pada suhu 850
0
C dan waktu
pemanasan selama 3 jam, kristalisasi gelas limbah dengan kandungan limbah 20% berat belum terjadi.
Pada Gambar 4B tampak bahwa gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat yang dipanaskan
pada suhu 850
0
C selama 1 jam sudah terjadi kristalisasi. Hal ini menunjukkan bahwa gelas limbah
dengan kandungan limbah 30 % berat lebih mudah terjadi kristalisasi daripada gelas limbah dengan
kandungan limbah 20 % berat. Hal ini karena kandungan unsur-unsurnya lebih banyak, sehingga akan
mendorong lebih mudah terjadinya kristal. Dapat diterangkan juga bahwa gelas limbah dengan
kandungan limbah 30 % berat, kadar Si nya lebih rendah, sehingga titik lelehnya lebih rendah.
Akibatnya gelas dengan kandungan limbah 30 % berat viskositasnya lebih rendah sehingga lebih
mudah terjadi kristalisasi. Pada gelas limbah yang sesungguhnya (radioaktif) panas yang ditimbulkan
No. 2 d = /2sin d dari data
1 28,40 14,20 3,14 3,14
2 47,30 23,65 1,92 1,92
3 55,20 28,10 1,64 1,64
Aisyah, Herlan Martono : Pengaruh Perlakuan Panas dan Kandungan Limbah terhadap Perubahan Struktur Gelas Limbah

13
oleh radiasi gamma lebih besar untuk gelas dengan kandungan limbah 30 % berat, sehingga jika
ditinjau dari segi inipun terjadinya kristalisasi lebih mudah. Pada suhu di atas 1050
0
C baik untuk gelas
limbah dengan kandungan limbah 20 dan 30 %, maka kristalisasi tidak terjadi. Hal ini disebabkan
bahwa karena suhu tersebut telah mendekati titik lelehnya sehingga gerakan atom-atomnya terlalu
cepat dan atom-atomnya tidak dapat mengatur diri untuk membentuk kristal.


Gambar 4A. Diagram TTT dari gelas limbah dengan kandungan limbah 20% berat
( : terbentuk kristal; : tidak terbentuk kristal)



Gambar 4.B. Diagram TTT dari gelas limbah dengan kandungan limbah 30 %berat.
( : terbentuk kristal; O : tidak terbentuk krikstal)

C. Pengaruh Waktu Pemanasan Terhadap Prosen Berat Kristal dalam Gelas Limbah

Perhitungan berat kristal dalam gelas limbah dilakukan dengan metode garis tunggal [13,15].
Prosen berat kristal dalam gelas limbah sebagai fungsi kandungan limbah dan waktu pemanasan
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.



Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565


14
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0 10 20 30 40 50 60
Waktu (Jam)
%

B
e
r
a
t

K
r
i
s
t
a
l
WL 20%
WL 30%


Gambar 5. Pengaruh waktu pemanasan terhadap prosen berat kristal dalam gelas limbah dengan
kandungan limbah 20% dan 30% berat pada suhu 850
0
C .

Pada gambar tersebut, dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan kristal dalam gelas limbah
dengan kandungan limbah 30 % berat lebih besar dari pada laju pertumbuhan kristal gelas limbah
dengan kandungan limbah 20 % berat. Pertumbuhan kristal dipengaruhi oleh suhu dan waktu
pemanasan. Dari Gambar 5 tersebut tampak bahwa laju pertumbuhan kristal semakin besar dengan
lamanya waktu pemanasan baik untuk gelas limbah dengan kandungan limbah 20 dan 30 % berat.
Transformasi fase terjadi karena proses nukleasi dan pertumbuhan kristal. Kinetika proses ini
tergantung pada gaya dorong termodinamik, mobilitas atom dan heteroginitas dalam gelas-limbah.
Kristalisasi melalui nukleasi dan pertumbuhan kristal ditunjukkan pada Gambar 6. Untuk proses
nukleasi dan pertumbuhan kristal yang dilakukan pada suhu yang sama maka tampak bahwa
perumbuhan kristal akan meningkat dengan semakin bertambahnya waktu pemanasan yaitu dengan
bergeraknya atom-atom mengatur diri dan terus tumbuh menjadi kristal. Pertumbuhan kristal mencapai
maksimum dalam waktu 50 jam, sehingga pada waktu pemanasan lebih dari 50 jam maka laju
pertumbuhan kristal akan menurun.
Pada gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat dengan waktu pemanasan 5 jam
sudah mulai terbentuk kristal dan untuk waktu pemanasan lebih lanjut maka jumlah kristal lebih besar
dari gelas limbah dengan kandungan limbah 20 % berat. Hal ini karena kandungan unsur-unsur dalam
gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat lebih banyak, sehingga akan mendorong lebih
mudah terjadinya kristal. Demikian juga bahwa dalam gelas limbah ini kandungan Si lebih rendah dari
gelas dengan kandungan limbah 20 % berat, sehingga titik lelehnya menjadi lebih rendah. Gelas
limbah dengan titik leleh yang lebih rendah memiliki viskositas yang lebih rendah sehingga lebih
mudah terjadi devitrifikasi.

Aisyah, Herlan Martono : Pengaruh Perlakuan Panas dan Kandungan Limbah terhadap Perubahan Struktur Gelas Limbah

15


Gambar 6. Tahap Nukleasi dan Pertumbuhan Kristal [8,9]

D. Pengaruh Suhu Pemanasan Terhadap Prosen Berat Kristal pada Gelas Limbah.

Dari hasil percobaan dan perhitungan diperoleh prosen berat kristal dalam gelas limbah
sebagai fungsi suhu, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. Dari gambar tersebut tampak bahwa
pada gelas limbah dengan kandungan limbah 20 dan 30 % berat memiliki pola yang mirip satu dengan
yang lainnya yaitu semakin tinggi suhu pemanasan maka jumlah kristal yang terjadi akan semakin
meningkat sampai pada batas suhu pertumbuhan kristal maksimum yaitu suhu 950
0
C. Hal ini terjadi
karena pada suhu dibawah laju pertumbuhan kristal maksimum, kristalisasi dipengaruhi oleh tenaga
aktivasi difusi [9]. Pada suhu 750
0
C yaitu suhu di bawah laju pertumbuhan kristal maksimum, baik
untuk gelas limbah dengan kandungan limbah 20 dan 30 % berat, maka gelas limbah mempunyai
viskositas yang sangat tinggi, sehingga pada suhu tersebut tenaga aktivasi difusi yang diperlukan
sangat tinggi sehingga sulit terjadi kristalisasi dalam gelas limbah. Makin tinggi suhu, viskositas gelas
limbah makin turun sehingga tenaga aktivasi difusi yang diperlukan makin rendah dan kristalisasi dalam
gelas limbah makin mudah terjadi. Pada suhu tinggi, viskositas menurun sehingga gerakan atom-
atomnya makin cepat dan akibatnya atom-atom sukar untuk mengatur diri membentuk kristal [9]. Hal ini
terjadi pada suhu diatas 950
0
C untuk gelas limbah dengan kandungan limbah 20 dan 30 % berat
dimana kristalisasi tidak terjadi, karena pada kondisi ini gerakan atom-atom sangat cepat sehingga
tidak dapat mengatur diri membentuk kristal.
Dari Gambar 7 juga tampak bahwa pemanasan pada suhu 950
0
C dengan waktu pemanasan
18 jam untuk gelas limbah dengan kandungan limbah 20 % berat jumlah kristal yang terjadi adalah 4
%, sedangkan untuk kandungan limbah 30 % berat, jumlah kristal yang terjadi adalah 5 % berat. Hal
ini karena kandungan unsur-unsur dalam gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat lebih
banyak, sehingga akan mendorong lebih mudah terjadinya kristal. Demikian juga bahwa dalam gelas
limbah ini kandungan Si lebih rendah dari gelas limbah dengan kandungan limbah 20 % berat,
sehingga titik lelehnya menjadi lebih rendah. Gelas limbah dengan titik leleh yang lebih rendah memiliki
viskositas yang lebih rendah sehingga lebih mudah terjadi devitrifikasi.


Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565


16
0
1
2
3
4
5
6
750 850 950 1050
Suhu (
0
C)
%

B
e
r
a
t

K
r
i
s
t
a
l
WL 20 %
WL 30 %


Gambar 7. Pengaruh suhu terhadap prosen berat kristal dalam gelas limbah dengan kandungan
limbah 20% dan 30% berat yang dipanaskan selama 18 jam.

KESIMPULAN
Struktur gelas limbah adalah amorf, dapat terjadi perubahan struktur menjadi kristalin pada
suhu dan waktu pemanasan tertentu. Kristal yang terjadi adalah Si, sedangkan unsur-unsur lain dalam
gelas limbah tidak membentuk kristal.
Diagram TTT untuk gelas limbah yang diperoleh dari percobaan dapat untuk menentukan
daerah terjadinya perubahan struktur gelas limbah yaitu dengan indikasi terjadinya kristalisasi. Pada
suhu di atas 1050
0
C

tidak terjadi perubahan struktur karena tidak terjadi kristalisasi pada gelas limbah.
Pada suhu 750
0
C sampai pemanasan 25 jam tidak terjadi perubahan struktur karena tidak terjadi
kristalisasi pada gelas limbah. Kristalisasi mudah terjadi pada gelas limbah dengan kandungan limbah
30 % berat.
Pemanasan sampai dengan 50 jam, prosen berat kristal yang terjadi pada gelas limbah
dengan kandungan limbah 20 dan 30 % berat yang dipanaskan pada suhu 850
0
C adalah 8,5 dan 9 %
berat.
Kristal dalam gelas limbah yang terjadi maksimum pada suhu 950
0
C, adalah 4 % berat untuk
gelas limbah dengan kandungan limbah 20 % berat dan 5.% berat untuk gelas limbah dengan
kandungan limbah 30 % berat yang dipanaskan selama 18 jam.

PUSTAKA
[1] Kobelev, A.P.: Vitrification of a surrogate for high-level wastes from the Savannah River facility
(USA) in a commercial cold-crucible facility, Journal Atomic Energy, 102: 369-374, (2006).
[2] Sangeeta Deokattey, et.al.,: Borosilicate glass and synroc R&D for radioactive waste
immobilization, Journal of the Minerals, Metals and Materials Society, 55: 48-51, (2003).
[3] Roth, G., and Weisenburger, S.: Vitrification of high-level liquid waste: glass chemistry, process
chemistry and process technology, Nuclear Engineering and Design, 202: 197-207, (2000).
[4] IAEA: Spent Fuel and High Level Waste:Chemical Durability and Performance under Simulated
Repository Conditions, TECDOC-1563, IAEA, Vienna (2006).
[5] Yalmal, V.S., et.al.: Preparation and characterization of vitrified glass matrix for high level waste
from MOX fuel processing, Journal of Non-Crystalline Solids, 353: 4647-4653, (2005).
[6] Luo Shanggeng, Jiang Yaozhong and Liu Delu: Devitrification behaviour of GC-12/9B HLW-glass,
Waste Management, 10: 23-27, (2000).
[7] IAEA: Characterization of Radioactive Waste Form and Packages, Technical Report Series No.
383, IAEA,Vienna, (1997).
[8] Spilman L.L, Hench and D.E. Clark: Devitrification and subsequent effects on the leach behavior
of a simulated borosilicate nuclear waste glass, Nuclear and Chemical Waste Management 6: 107-
119, (1996)..
[9] Alton, J., Plaisted, T. J. and Herma, P.: Kinetics of growth of spinel crystals in a borosilicate glass,
J. Chemical engineering science, 57: 2503-2509, (2002).
Aisyah, Herlan Martono : Pengaruh Perlakuan Panas dan Kandungan Limbah terhadap Perubahan Struktur Gelas Limbah

17
[10] Oak Ridge National Laboratory, RSICC: Computer Code Collection Origen 2.1, ORNL, USA
(1996).
[11] Kanwar Raj and Kaushik, C.P.: Glass Matrices for Vitrification of Radioactive Waste: an Update on
R & D Efforts, Materials Science and Engineering, 2: 1-6, (2006).
[12] Crankovic , G.M.: Materials Characterization, ASM International, USA, (1986).
[13] Czichos, Horst, et al.: Handbook of Materials Measurement Methods, Springer, Berlin (2006).
[14] Yang Leng: Materials Characterization: Introduction to Microscopic and Spectroscopic Methods,
John Wiley & Sons, New York (2006).
[15] Cullity, B.D. Stock, S.R: Elements of X-Ray Diffraction 3rd ed., Prentice Hall, London (2001).




Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565
Volume 13 Nomor 2 Desember 2010 (Volume 13, Number 2, December, 2010)
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

18

APLIKASI METODE ADVANCED OXIDATION PROCESSES
(AOP) UNTUK MENGOLAH LIMBAH RESIN CAIR
Sutrisno Salomo Hutagalung, Anto Tri Sugiarto, Veny Luvita
Pusat Penelitian Kimia-LIPI
Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310
ABSTRAK
METODE ADVANCED OXIDATION PROCESSES (AOP) UNTUK MENGOLAH LIMBAH
RESIN CAIR. Pada umumnya polutan utama yang terkandung dalam limbah cair bahan resin adalah
senyawa-senyawa organik yang biasanya dapat merupakan racun yang dapat mencemari lingkungan
air dan udara apabila dibuang langsung ke lingkungan dalam jumlah yang banyak. Untuk mengatasi
polutan yang terkandung dalam limbah cair bahan resin, penelitian merekomendasikan instalasi air
limbah (IPAL) dengan menggunakan instrumentasi metode Advanced Oxidation Processes (AOP).
Untuk dapat meningkatkan efektifitas dan standar baku mutu buang limbah cair dari bahan resin, maka
diusulkan adanya perubahan cara pengolahan air limbah dengan metode AOP yaitu dengan
mengkombinasikan ozon dan ultraviolet.
Kata kunci: Instrumentasi, Ozon, ultraviolet, AOP, polutan, resin, baku mutu
ABSRACT
APPLICATION OF ADVANCED OXIDATION PROCESSES (AOP) METHOD FOR LIQUID
RESIN WASTE TREATMENT. Ingeneral main polutan that contain in liquid waste resin materials is
organic compounds that usually as a poisoned that can contaminate water environment and air when it
thrown away directly to environment in the large number. To overcome polutan that implied in liquid
waste resin materials, research recommends waste treatment facility (WTF) by using instrumentation of
Advanced Oxidation Processes (AOP) method. To improve efectivity and quality standard of liquid
waste from resin materials, for that reason proposed the changing of waste water treatment with AOP
method combine ozone and ultraviolet treatment.
Keyword: Instrumentation, Ozone, ultraviolet, AOP, polutan, resin, standard quality
PENDAHULUAN
Sejak tahun 1981, para peneliti mulai menguji penggunaan ozon sebagai bagian dari proses
reklamasi air. Penelitian awal menunjukan bahwa dosis ozon tertentu diperlukan untuk mencapai
tingkat spesifik penyuci-hamaan [1]. Literatur menunjukan bahwa faktor-faktor yang paling signifikan
dimana mempengaruhi persyaratan dosis ozon adalah effluent chemical oxygen demand (COD),
influent kepadatan bakteri, dan target effluent kepadatan bakteri.
Plasma adalah zat keempat disamping zat klasik, padat , cair dan gas. Zat plasma ni
diketemukan oleh ilmuan Amerika , Irving Langmuir 1881-19570 dalam percobaanya melalui filamen
tungsten dengan prinsip mengalirnya arus listrik akan menunjukan adanya ionisasi yang
mengakibatkan terbentuknya ion serta elektron pada udara diantara dua elektroda yang diberi tegangan
listrik yang cukup tinggi (< 10 kV) [2]. Semakin besar tegangan listrik yang diberikan, semakin banyak
jumlah ion dan electron yang terbentuk. Aksireaksi yang terjadi antara ion dan electron dalam jumlah
banyak akan menimbulkan kondisi udara dua elektroda menjadi netral, peristiwa inilah yang disebut
plasma.
Dewasa ini teknologi plasma banyak digunakan dalam berbagai bidang industri, seperti industri
elektronik, material, kimia dan obat-obatan. Selain dari pada itu teknologi plasma dimanfaatkan juga
untuk mengolah limbah cair dan gas.
Sistem pengolah limbah cair yang ada umumnya mempergunakan cara kombinasi antara
pemakaian clorine, sistem kondensasi, sedimentasi dan filtrasi. Sedangkan untuk mengolah limbah cair
organik banyak mempergunakan mikrobiologi, karbon aktif atau membran filtrasi tidaklah cukup untuk
limbah organik yang semakin banyak. Untuk masalah limbah organik ini, teknologi ozon mulai
dipergunakan.
Sesuai dengan fungsinya, instalasi pengolahan air limbah ini dapat dipakai untuk pengolahan air
limbah domestik yang didalamnya banyak terkandung berbagai jenis senyawa kimia dan
Sutrisno Salomo Hutagalung, Anto Tri Sugiarto, Veny Luvita : Aplikasi Metode Advanced Oxidation Processes (Aop) untuk
Mengolah Limbah Resin Cair

19

mikroorganisma yang dapat merusak lingkungan dan dapat membahayakan kesehatan masyarakat
disekitarnya.
Pada umumnya polutan utama yang terkandung dalam limbah cair mengandung bahan peroxide
adalah senyawa-senyawa organik beracun yang dapat mencemari lingkungan air dan udara apabila
dibuang langsung ke lingkungan dalam jumlah yang banyak. Untuk mengatasi polutan yang terkandung
dalam limbah cair bahan peroxide, penggunaan cara oksidasi merupakan proses utama dalam proses
pengolahan air limbah dengan teknologi ozon ini. Oksidasi sangat diperlukan dalam proses penguraian
senyawa-senyawa kimia organik dan sebagian anorganik.
Sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh kementrian negara lingkungan hidup dimana
setiap perusahaan wajib untuk dapat mengatasi dan mengurangi jumlah bahan pencemar dalam limbah
cair yang dihasilkan. Untuk itu perusahaan yang menggunakan bahan peroxide memerlukan adanya
suatu teknologi yang dapat dipergunakan untuk mengatasi permasalahan limbah cair tersebut.

PERMASALAHAN
Pengembangan instalasi instrumentasi pengolahan limbah cair bahan peroxide menggunakan
metode AOP dengan kombinasi ozon dan ultraviolet dimaksudkan agar limbah cair yang diolah dapat
dibuang dengan aman dan memenuhi baku mutu lingkungan sesuai dengan Keputusan Mentri Negara
Lingkungan Hidup [3].
Dari proses produksi perusahaan berbahan peroxide setiap harinya menghasilkan kurang
lebih 10 m
3
/day limbah cair dengan kadar kandungan COD 116208 ppm di sampel A3-2 yang dinilai
sangat tinggi, sehingga limbah cair ini tidak dapat langsung dibuang ke lingkungan air.
Konsep dasar sistem yang akan dibangun adalah sistem AOP dengan menggunakan ozon
dan ultraviolet [4,5]. sebagai komponen utama sistem yang dikombinasikan dengan karbon aktif
sebagai filtrasi pada tahapan terakhir.
Fungsi dari kombinasi ozon dan ultraviolet adalah untuk menghasilkan hydroxyl radikal (OH)
ditunjukkan pada persamaan (1) dan (2), dimana sebuah radikal bebas yang memiliki potential oksidasi
yang sangat tinggi (2.8 V), jauh melebihi ozon (1.7 V) dan chlorine (1.36 V)

[3,6]. Sedangkan lampu
ultraviolet pada panjang gelombang tertentu ( = 254 m) akan efektif dalam proses membunuh bakteri.
Hal ini menjadikan kombinasi ozon dan ultraviolet sangat potensial untuk mengoksidasi berbagai
senyawa organik, minyak, dan bakteri yang terkandung didalam air.

O
3
+ UV O
2
+ O(
1
D) (1)
O(
1
D) + H
2
O 2 OH (2)

Rangkaian dasar sistem yang diajukan adalah sebagai berikut, Gambar 1,

wastewater AOP filtration clearwater


Gambar 1. Konsep dasar pengolahan limbah bahan peroxide dengan teknologi AOP




Gambar 2. Laju alir pengolahan limbah dengan AOP dan CA

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565



20



Gambar 3. Skema Sistem Instalasi AOP dan Laboratorium




Gambar 4. Rangkaian unit AOP dan Gambar 5. Alat ozone generator

TATA KERJA
Sistem instrumentasi yang digunakan adalah metode Advanced Oxidation Processes (AOP).
Sistem AOP yang dipergunakan adalah kombinasi antara Ozon-UV-H
2
O
2
dan karbon aktif (Gambar 2).
Sistem AOP bekerja memanfaatkan hydroxyl radical (OH) yang dihasilkan dari reaksi antara kombinasi
Ozon-UV-H
2
O
2
dalam air. Karbon aktif bekerja dalam membantu proses absorpsi mikro polutan hasil
oksidasi dari sistem AOP.
Sistem instalasi AOP ditunjukkan dengan skema seperti pada Gambar 3. Dari skema percobaan
ini dapat dijelaskan tahapan-tahapan proses pengolahan air limbah sebagai berikut:
Air limbah dilewatkan ke unit AOP untuk direaksikan dengan O3-UV- H
2
O
2
. Proses oksidasi
terjadi di unit AOP. Air limbah yang sudah teroksidasi dilewatkan unit karbon (CA), selanjutnya air
limbah yang sudah melewati tahapan-tahapan tersebut kemudian di analisa kadar COD-nya.
Sutrisno Salomo Hutagalung, Anto Tri Sugiarto, Veny Luvita : Aplikasi Metode Advanced Oxidation Processes (Aop) untuk
Mengolah Limbah Resin Cair


21






Gambar 6 Lokasi Pengambilan Air Limbah Cair untuk diproses dengan alat AOP

Peralatan instrumentasi yang digunakan dalam uji laboratorium adalah:
a) Unit AOPs skala Laboratorium dengan kapasitas olah 1 ltr. (Gambar 4)
b) Unit filter CA skala laboratorium dengan kapasitas olah 1 ltr.
c) Ozone generator kapasitas maks 6 gr/hr (Gambar 5)
d) Oxygen (tabung) kapasitas 7m
3

e) H
2
O
2
konsentrasi 50% 1 ltr
Sampel limbah yang akan diuji cobakan diambil dari 7 titik tempat pengumpulan limbah
berdasarkan jenis limbah dan pengolahannya (Gambar 6)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji lapangan dilakukan dengan peralatan instrumentasi pengolah limbah cair AOP berjalan
(mobile), dengan spesifikasi :
Metoda : Ozone UV (AOP)
Kapasitas: Maksimum 1 m
3
/jam
Daya: 750 watt
Hasil pengolahan menggunakan AOP
Tabel 1. Data hasil pengolahan menggunakan Instrumentasi AOP
No
Sampel
Result Sampel Result Persentase
Before AOP
COD [ppm] After AOP COD [ppm] [%]
1 A1-2 8842 B1-2 3763 57.44
2 A2-2 1521 B2-2 117 92.33
3 A3-2 116208 B3-2 43580 62.50
4 A4-2 597 B4-2 53 91.17
5 A5-2 36800 B5-2 19400 47.28
6 A6-2 1097 B6-2 36 96.76
7 A7-2 141 B7-2 45 67.90

Lokasi Pengolahan : Titik 1 s/d Titik 7
Pengambilan Sampel : Tahap Pertama

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565

22


Gambar 7. Penurunan kandungan COD Before dan After AOP

Tabel 2. Data hasil pengolahan menggunakan Instrumentasi AOP
No
Sampel
Result Sampel Result Persentase
Before AOP
COD [ppm] After AOP COD [ppm] [%]
1 A1-3 6888 B1-3 2952 57.14
2 A2-3 1005 B2-3 64 93.63
3 A3-3 131750 B3-3 32860 75.06
4 A4-3 57 B4-3 10 82.46
5 A5-3 31842 B5-3 15670 50.79
6 A6-3 1033 B6-3 69 93.30
7 A7-3 248 B7-3 22 91.33
Lokasi Pengolahan : Titik 1 s/d Titik 7
Pengambilan Sampel : Tahap kedua




Gambar 8. Penurunan kandungan COD sebelum dan sesudah AOP


Sutrisno Salomo Hutagalung, Anto Tri Sugiarto, Veny Luvita : Aplikasi Metode Advanced Oxidation Processes (Aop) untuk
Mengolah Limbah Resin Cair


23

Tabel 3. Data hasil pengolahan menggunakan Instrumentasi AOP P
No
Sampel
Result Sampel Result Persentase
Before AOP
COD [ppm] After AOP COD [ppm] [%]
1 A1-4 43042 B1-4 2364 94.51
2 A2-4 2082 B2-4 165 92.10
3 A3-4 123333 B3-4 8567 93.05
4 A4-4 0 B4-4 0 0.00
5 A5-4 33992 B5-4 13217 61.12
6 A6-4 1278 B6-4 229 82.10
7 A7-4 293 B7-4 33 88.61
Lokasi Pengolahan : Titik 1 s/d Titik 7
Pengambilan Sampel : Tahap ketiga



Gambar 9. Penurunan kandungan COD sebelum dan sesudah AOP

Tabel 4. Data hasil pengolahan menggunakan Instrumentasi AOP
No
Sampel
Result Sampel Result Persentase
Before AOP
COD [ppm] After AOP COD [ppm] [%]
1 A1-10 5500 B1-10 1454 73.56
2 A2-10 1175 B2-10 389 66.89
3 A3-10 143833 B3-10 16520 88.51
4 A4-10 0 B4-10 0 0.00
5 A5-10 39517 B5-10 10217 74.15
6 A6-10 1363 B6-10 310 77.26
7 A7-10 214 B7-10 50 76.58

Lokasi Pengolahan : Titik 1 s/d Titik 7
Pengambilan Sampel : Tahap keempat

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565

24



Gambar 10. Penurunan kandungan COD sebelum dan sesudah AOP

Tabel 1 sampai dengan Tabel 4 menunjukkan hasil penurunan COD dari 7 titik sampel pengambilan
setelah 4 hari proses pengolahan.
Dari data hasil pengujian didapati bahwa hasil pengolahan dengan metode AOP menunjukkan
perbedaan penurunan COD untuk masing-masing sampel. Hal ini terjadi terutama dikarenakan
perbedaan kandungan COD yang sangat signifikan. Dimana sampel 3 memiliki kandungan COD rata-
rata >100.000 ppm, sedangkan sampel 7 memiliki kandungan COD rata-rata < 300 ppm.
Berdasarkan data tersebut maka pengujian dilakukan dengan menggunakan 2 metode
berbeda yaitu Metode 1, sampel di proses dengan menggunakan kombinasi metode AOP dan Carbon
filter. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Sedangkan data pada Tabel 3 dan Tabel 4
merupakan hasil dari pengolahan Metode 2 yaitu dengan menggunakan kombinasi antara AOP, Carbon
Filter dan Hydrogen Peroxide (H
2
O
2
) [7]. Dimana penambahan H2O2 dilakukan sebagai simulasi untuk
membedakan kandungan radikal bebas dari kedua metode.
Hasil pengolahan menunjukkan bahwa secara visual terjadi penurunan warna dan bau. Hal ini
menunjukkan adanya penurunan COD. Dimana warna dan bau biasanya menunjukkan adanya
kandungan senyawa organik aromatik. Khusus untuk limbah dari industri resin biasanya mengalami
kesulitan dalam menghilangkan senyawa aromatik yang menimbulkan bau yang menyengat [8]. Oleh
karena itu data yang dikumpulkan cenderung menunjukkan bahwa pengujian menggunakan
instrumentasi AOP + UV adalah teknologi yang dimungkinkan untuk menghilangkan bau yang
menyengat dan menurunkan COD sehingga dapat dibuktikan bahwa metode AOP + UV cocok untuk
diaplikasikan pada limbah dari industri resin.
Hasil pengolahan pada Tabel 1 dan Tabel 2 (AOP+CA) untuk sampel dengan COD awal <
10.000 ppm menunjukkan hasil penurunan COD yang sangat baik diatas 90%. Sedangkan untuk COD
awal >10.000 ppm menunjukkan penurunan dibawah 60%. Hal ini menunjukkan bahwa untuk COD
>10.000 ppm memerlukan jumlah radikal bebas yang lebih banyak untuk dapat dipergunakan pada
proses penguraian COD.
Hal di atas dapat dijelaskan dengan melihat hasil pada Tabel 3 dan Tabel 4, dimana data yang
didapatkan menunjukkan bahwa baik hampir semua sampel baik yang memiliki kandungan COD
<10.000 maupun dengan kandungan COD >10.000, dapat diturunkan dengan baik dengan penurunan
COD berkisar antara 70% hingga 90%. Walaupun terjadi penurunan persentase pada sampel 6 dan 7
dikarenakan penambahan hydrogen peroxide justru menaikkan COD awal limbah yang memang sudah
rendah <300 ppm. Untuk itu penambahan hydrogen peroxide sebagai penghasil radikal bebas pada
COD rendah dapat dikatagorikan tidak efektif pada limbah yang mengandung COD rendah.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian dan pengamatan pengolahan limbah cair dari bahan kimia dapat
disimpulkan beberapa hal:
1. Limbah cair dari bahan kimia dapat diolah dengan menggunakan metode AOP dan filtrasi.
Kombinasi AOP dan filtrasi dapat menurunkan kandungan COD
Sutrisno Salomo Hutagalung, Anto Tri Sugiarto, Veny Luvita : Aplikasi Metode Advanced Oxidation Processes (Aop) untuk
Mengolah Limbah Resin Cair


25

2. Penurunan COD yang didapat rata-rata berkisar antara 47.28% hingga 94.51%.
3. Untuk sumber air limbah dengan kandugann COD < 10.000 ppm metode AOP dapat bekerja sangat
efektif.
4. Hasil menunjukkan bahwa teknologi instrumentasi pengolah limbah cair metode AOP + UV
memungkinkan untuk untuk diaplikasikan pada limbah dari industri resin.

DAFTAR PUSTAKA
[1] ROTH, J. R.: Industrial Plasma Engineering. Volume II -- Applications to Non-Thermal Plasma
Processing. Institute of Physics Publishing, Bristol and Philadelphia, ISBN 0-7503- 0545-2, (2001)
See Section 18.6.
[2] PIGNATELLO, J. J., OLIVEROS, E., MACKAY, A., Advanced Oxidation Processes for Organic
Contaminant Destruction Based on the Fenton Reaction and Related Chemistry, Critical Rev.
Environ. Sci. Technol., 36, 1-84 (2006).
[3] ANTO, T.S., Mengatasi Limbah tanpa masalah: Penerapan Teknologi Plasma untuk Lingkungan.
PT. ECO-Plasma Indonesia,Perpustakaan Nasonal, April 2007.
[4] RIED, A.; MIELCKE, J.; KAMPMANN, M.; TERNES T.A.; TEISER, B. Ozone and UV processes
for additional wastewater treatment to remove pharmaceuticals and EDCs. Proc. IWA Leading
Edge Technologies Conf. (2004).
[5] WINTGENTS, T.; LYKO, S.; MELIN, T.; SCHFER, A.I.; KHAN, S.; SHERMAN, P.; RIED, A.
Removal of estrogenic trace contaminants from wastewater and landfill leachate with advanced
treatment processes. Proc. IWA Leading Edge Technologies Conf. (2004).
[6] TRAPIDO, M., KALLAS, J., Advanced oxidation processses for the degradation and detoxification
of 4-nitrophenol, Environ, Technol., 21, 799-808 (2000).
[7] GUINEA, E., ARIAS, C., CABOT, P. L., GARRIDO, J. A., RODRIGUEZ, R. M., CENTELLAS, F.,
BRILLAS, E., Mineralization of salicylic acid in acidic aqueous medium by electrochemical
advanced oxidation processes using platinum and boron-doped diamond as anode and
cathodically generated hydrogen peroxide, Water Research, 42, 499-511 (2008).
[8] MUHAMMAD, A., SHAFEEQ, A., BUTT, M. A., RIZKI, Z. H., CHUGHTAI, M. A., REHMAN.S.,
Decolorization and removal of cod and bodfrom raw and biotreated textile dye bath effluent
through advanced oxidation processes, (AOPS). Braz. J. Chem. Eng., 25, 453-459 (2008).


Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565
Volume 13 Nomor 2 Desember 2010 (Volume 13, Number 2, December, 2010)
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)


26

PENGARUH ION LOGAM KO-EKSISTENSI
TERHADAP SORPSI CESIUM DAN STRONSIUM
OLEH BENTONIT
Budi Setiawan
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif BATAN
Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310
ABSTRAK
PENGARUH ION LOGAM KO-EKSISTENSI TERHADAP SORPSI CESIUM DAN
STRONSIUM OLEH BENTONIT. Studi tentang pengaruh ion logam yang ada di larutan sebagai ion
ko-eksistensi terhadap reaksi sorpsi radiocesium dan stronsium oleh bentonit telah dipelajari.
Bermacam jenis ion logam yang terlarut di air tanah diperkirakan akan berpengaruh terhadap sorpsi
radiocesium dan stronsium oleh bentonit. Mineral bentonit ini pada fasilitas penyimpanan akhir limbah
radioaktif akan berperan sebagai bahan penyangga yang diletakkan antara paket limbah dan host rock.
Sedangkan radiocesium dan stronsium merupakan radionuklida acuan untuk penelitian tentang limbah
radioaktif aktivitas rendah-sedang. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendapatkan informasi
mengenai proses perpindahan radiocesium dan stronsium secara sorpsi dari larutan ke dalam mineral
bentonit, dimana untuk itu bahan kajian ini menggunakan informasi sekunder/studi literatur yang ada.
Dari hasil kajian yang ada diharapkan dapat memberikan gambaran proses perpindahan radiocesium
dan stronsium dari larutan ke bentonit saat ion logam lain juga ada bersama di larutan. Material yang
sama sebagai mineral lokal asal Indonesia dilain waktu perlu juga dipelajari kemampuannya bila
digunakan sebagai bahan penyangga.
Kata kunci: sorpsi, ion-koeksistensi, cesium, stronsium, bentonit
ABSTRACT
EFFECT OF CO-EXISTENCE METAL IONS TO SORPTION OF CESIUM AND STRONTIUM
ONTO BENTONITE. Study of metal ions effect exists in solution as co-existence ions to radiocesium
and strontium sorption reaction onto bentonite has been done. Various soluble metal ions in
groundwater were predicted to give an effect to radiocesium and strontium sorption onto bentonite.
Bentonite mineral on a radwaste disposal facility has role as a buffer material, which is put in between
waste packages and host rock. However radiocesium and strontium are a reference radionuclide for
the study of low and intermediate-level wastes. Objective of the study was to collect the information
about transfer process of radiocesium and strontium by sorption method from solution onto bentonite
mineral, where the material of study used secondary information/ available literatures. From the study
hoped that it would give some information of transfer processes of radiocesium and strontium from
solution onto bentonite when other metal ions also existed in solution. For next investigation it would be
valuable if the similar materials such as a local mineral from Indonesia also to be studied their capacity
for applying as buffer material.

Keywords: sorption, co-existence ion, cesium, strontium, bentonite
PENDAHULUAN
Masalah utama dari kegiatan nuklir adalah timbulnya limbah radioaktif yang harus dikelola
dengan baik dan benar agar kontaminannya tidak tersebar dan membahayakan lingkungan hidup. [1]
Radioaktivitas yang ada juga harus dikelola agar turun ke aktivitas yang tidak lagi dapat
membahayakan lingkungan hidup. Sistem penyimpanan akhir limbah radioaktif (PA-LRA) dibuat
dengan sistem yang berlapis seperti ditunjukkan pada Gambar 1, sehingga material yang digunakan
sebagai pelapis pada sistem tersebut perlu diuji dan dipelajari kemampuannya [2,3]. Salah satunya
adalah bahan penyangga (buffer materials) yang diletakkan antara paket limbah dan dinding
batuan/tanah alami. Batuan bentonit umumnya digunakan untuk keperluan ini. Batuan bentonit
mempunyai sifat fisik yang dapat melakukan penggelembungan (swelling) dengan cara menyerap
larutan/air. Jarak antar lapisan yang semakin menjauh akibat serapan air menyebabkan batuan
bentonit dapat menggelembung. Sifat ini kemudian dimanfaatkan sebagai bahan penyangga untuk
Budi Setiawan : Pengaruh Ion Logam Ko-eksistensi terhadap Sorpsi Cesium dan Stronsium oleh Bentonit

27

menghambat laju adanya rembesan air/air tanah menuju ke paket limbah yang ada di fasilitas PA-LRA.
Adanya lepasan radionuklida yang ikut merembes bersama aliran air dari fasilitas PA-LRA juga akan
dihambat oleh lapisan bentonit dengan cara diserap (sorption process) agar kontaminan tidak
menyebar lebih jauh dari fasilitas PA-LRA. Terlihat bahwa peran bentonit sebagai penghambat
kemungkinan adanya penyebaran radionuklida dari fasilitas PA-LRA sangat penting untuk dipelajari.
Radiocesium (Cs-137) dan stronsium (Sr-90) adalah salah satu radionuklida acuan untuk
limbah radioaktif beraktivitas rendah-sedang karena umur paro kedua radionuklida relatif panjang
(~30 dan 28 tahun) dan sifat cesium yang mudah terlarut di air tanah, sedangkan stronsium bersifat
mudah tinggal di dalam tubuh manusia dengan melakukan substitusi dengan ion kalsium yang ada di
tulang belakang. Interaksi antara radiocesium dan stronsium dengan bahan/mineral alami seperti
bentonit menjadi objek penelitian yang menarik dan penting dilakukan karena perhatian terhadap
masalah kontaminasi radionuklida ke lingkungan. Studi sorpsi elemen radioaktif yang dihasilkan dari
proses fisi seperti radiocesium dan stronsium dengan bahan alami menjadi suatu subjek kegiatan yang
perlu diperhatikan.
Di air tanah telah eksis bermacam ion logam yang diperkirakan turut berinteraksi dengan
sistem penghalang [4], sehingga keberadaan ion logam koeksistensi di air tanah merupakan salah satu
parameter penting yang ikut dipertimbangkan pada proses sorpsi radionuklida dari larutan ke bahan
alami seperti bentonit. Proses kinetikanya akan memberikan gambaran kemampuan bahan tersebut
untuk mengambil (removal) radionuklida dari larutan. Proses pengambilan radionuklida dari larutan
dapat diketahui dari koefisien distribusi radionuklida di sampel dan tersisa di larutan atau dikenal
sebagai nilai koefisien distribusi/Kd (ml/g) dimana [5],

Gambar 1. Sistem penghalang berlapis pada salah satu fasilitas PA-LRA jenis dekat permukaan.

larutan di tersisa banyaknya
padatan di terserap banyaknya
RN
RN
= K
d
(1)
atau
K
d
=
C
0
C
t
C
t
V
m
(2)
C
0
dan C
t
masing-masing adalah konsentrasi awal dan akhir radionuklida (RN) di larutan, V adalah
volume total larutan (ml), m adalah massa lempung (g) dan K
d
adalah koefisien distribusi radionuklida di
sampel dan di larutan.
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565


28

Pada kajian ini akan dipelajari pengaruh adanya ion-ion logam koeksistensi (seperti Na
+
, K
+
,
Ca
2+
, Mg
2+
)yang bersama-sama ada di larutan terhadap interaksi antara radiocesium/Cs-137 dan
stronsium/ Sr-90 dengan bentonit. Hasil kajian ini akan membantu kita mempelajari salah satu
parameter penting yang berhubungan dengan karakter sorpsi radionuklida yang berguna memahami
perilaku radionuklida pada suatu sistem penghalang pada suatu fasilitas PA-LRA jenis aktivitas rendah-
sedang. Tujuan pengkajian ini adalah mempelajari salah satu parameter penting yang berpengaruh
pada proses perpindahan radiocesium dan stronsium secara sorpsi dari larutan ke bentonit sebagai
bahan penyangga.

TATA KERJA
Pengkajian tentang pengaruh ion logam ko-eksistensi terhadap sorpsi cesium dan stronsium
oleh bentonit dilaksanakan melalui studi pustaka terhadap beberapa hasil penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya [6-10]. Pengukuran sorpsi dilakukan secara catu/batch, dimana bentonit sebagai
sampel dikontakkan dengan larutan yang mengandung radionuklida (Cs-137, Sr-90). Waktu yang
digunakan untuk pengontakkan antara radionuklida dengan sampel sengaja dilakukan sebelum waktu
jenuh atau kesetimbangan tercapai. Hal ini dimaksudkan agar reaksi pertukaran antara radionuklida
dengan ion-ion ko-eksistensi yang akan dipelajari terlihat dengan jelas tidak terpengaruh dengan
adanya radionuklida yang terikat tak dapat balik oleh sampel bentonit.
Beberapa peralatan yang umum digunakan pada studi seperti ini adalah roller atau shaker
sebagai pengocok campuran larutan yang mengandung radionuklida dan sampel bentonit yang dapat
dikontrol kecepatan pencampurannya, alat pemisah fase air dan padatan seperti alat pemusing
(centrifuge) atau alat penyaring, alat analisis radiometrik seperti liquid scintillation counter (LSC) atau
multichannel analyzer.(MCA). Kegiatan pengkajian ini seluruhnya dilaksanakan pada tahun fiskal 2009
di Bidang Teknologi Penyimpanan Lestari, PTLR-BATAN, Serpong-Tangerang, Banten.

PEMBAHASAN
Nilai optimal Kd dari suatu radionuklida yang terserap ke padatan dapat diperoleh dengan cara
menambahkan konsentrasi penyerapnya terhadap larutan berisi radionuklida dengan konsentrasi
tertentu. Setelah waktu pengontakkan tertentu sebagian radionuklida akan terserap ke penyerap seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2 dan 3, masing-masing untuk radiocesium dan radiostronsium.
Nilai Kd dari masing-masing radionuklida terlihat meningkat bersama dengan bertambahnya
konsentrasi penyerap. Pada konsentrasi / berat penyerap yang tertentu nilai Kd radionuklida telah
menjadi maksimal, hal ini disebabkan karena site pertukaran dari penyerap (dalam kasus ini adalah
bentonit) untuk melakukan sorpsi telah mencapai kondisi optimal. Nilai optimal Kd yang diperoleh untuk
sorpsi radiocesium dan stronsium terserap ke sampel bentonit masing-masing dapat mencapai 1025
dan 410 ml/g. Disini terlihat bahwa site pertukaran untuk ion cesium pada sampel bentonit tersedia
lebih banyak dibandingkan dengan yang tersedia untuk stronsium, sehingga menyebabkan nilai Kd
cesium > stronsium.

Gambar 2. Pengaruh penambahan penyerap terhadap nilai Kd radiocesium.
Budi Setiawan : Pengaruh Ion Logam Ko-eksistensi terhadap Sorpsi Cesium dan Stronsium oleh Bentonit

29


Gambar 3. Pengaruh penambahan penyerap terhadap nilai Kd radiostronsium.

Kemampuan ion-ion koeksistensi mempengaruhi nilai Kd radionuklida ke bentonit ditunjukkan
pada Gambar 4 dan 5, masing-masing untuk radiocesium dan stronsium. Terlihat bahwa keberadaan
sejumlah konsentrasi ion koeksistensi di larutan dapat menyebabkan berkurangnya nilai Kd
radionuklida di bentonit. Nilai Kd radiocesium akan menurun secara nyata dari nilai awal sekitar 1000
ml/g menjadi sekitar 500 ml/g, sedangkan untuk stronsium juga berkurang dari nilai Kd 400 turun
menjadi sekitar 130 ml/g.
Pengaruh ion-ion koeksistensi terhadap nilai Kd radiocesium yang dihasilkan mengikuti urutan
sebagai berikut: K
+
> Ca
2+
> Mg
2+
> Na
+
. Urutan ini agak berbeda dengan pertukaran ion yang umum
terjadi, dimana biasanya proses pertukaran ion untuk ion-ion divalent akan lebih kuat berkompetisi
terhadap ion-ion monovalen pada sorpsi radionuklida berkonsentrasi sangat kecil [11].
Pada Gambar 4 terlihat bahwa radiocesium yang terserap oleh bentonit menjadi lebih
sedikit/lebih rendah nilai Kdnya akibat keberadaan ion K dibandingkan dengan pengaruh keberadaan
ion Ca di larutan. Kuatnya pengaruh ion K terhadap sorpsi Cs dapat diterangkan sebagai berikut. Ion
K yang sama-sama berada di golongan I pada daftar unsur susunan berkala mempunyai radius ion
(ionic radii) yang mirip dengan yang dimiliki oleh ion Cs sehingga akan menyebabkan kompetisi yang
lebih efektif dengan ion Cs untuk melakukan pertukaran posisi antara ion K dengan radiocesium
dengan lebih optimum dibandingkan dengan ion Ca. Kemiripan ukuran, muatan dan hidrasi antara ion
Cs dengan ion koeksistensi akan menentukan pengaruh sorpsi radionuklida oleh bentonit. Sehingga
untuk meningkatkan efisiensi pengambilan Cs dari larutan, konsentrasi yang tinggi dari ion-ion
koeksistensi di larutan sejauh mungkin perlu dihindari.
Sedangkan pengaruh ion koeksistensi di larutan terhadap nilai Kd stronsium ditunjukkan pada
Gambar 5, dimana efektifitas ion koeksistensi di larutan dalam mereduksi sorpsi Sr oleh bentonit
mengikuti urutan sebagai berikut: Ca
2+
> Mg
2+
> K
+
> Na
+
. Hal ini dapat diterangkan bahwa semakin
lebarnya radius ion koeksistensi membuat reduksi sorpsi radiostronsium menjadi lebih efektif.
Kemudahan untuk melakukan pertukaran ion antara ion koeksistensi dengan ion Sr dapat
terjadi karena ion-ion yang saling dipertukarkan mempunyai golongan yang sama pada daftar susunan
berkala [11]. Dengan kata lain semakin tinggi konsentrasi ion koeksistensi terdapat di larutan akan
menyebabkan rendahnya nilai Kd stronsium atau menyebabkan migrasi radiostronsium di larutan
menjadi meningkat.
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565



30


Gambar 4. Pengaruh ion koeksistensi di larutan terhadap nilai Kd radiocesium.

Gambar 5. Pengaruh ion koeksistensi di larutan terhadap nilai Kd radiostronsium.

Hasil diatas memperlihatkan bahwa pada pertukaran ion Sr dengan ion-ion koeksistensi yang
diteliti (K
+
, Na
+
, Ca
2+
, Mg
2+
) mengikuti urutan Hofmeister, dimana suatu ion yang mempunyai radius
ionik lebih kecil berkecenderungan untuk meng gantikan ion-ion yang mempunyai radius ionik yang
lebih besar [12,13,14]. Dengan mengikuti aturan seperti di atas maka selektivitas sorpsi ion logam oleh
tanah/lempung akan menurun mengikuti urutan Cs > K > Na > Li untuk ion-ion monovalen dan urutan
Ba > Sr > Ca > Mg untuk ion-ion yang berstatus divalent ketika ion logam tersebut berinteraksi dengan
tanah/lempung. Data tersebut telah mengindikasikan bahwa kecenderungan ini akan berlaku hanya
untuk ion-ion logam yang mempunyai status oksidasi yang sama atau segolongan dalam tabel susunan
berkala.
Indonesia kaya akan mineral alami seperti bentonit yang dapat ditemukan dalam jumlah yang
cukup banyak di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi [15,16]. Kekayaan ini merupakan
asset pokok bagi persiapan pengadaan fasilitas PA-LRA di Indonesia, utamanya sebagai bahan
penyangga fasilitas. Sehingga material alami ini perlu pula kiranya bila di lain kesempatan untuk dapat
dilakukan penelitian sejenis guna dipelajari kemampuan menghambat sebaran radioaktif/logam berat
berbahaya ke lingkungan. Hal ini dimaksud sebagai antisipasi bila nantinya digunakan sebagai bahan
penyangga pada fasilitas PA-LRA di masa yang akan datang.
Budi Setiawan : Pengaruh Ion Logam Ko-eksistensi terhadap Sorpsi Cesium dan Stronsium oleh Bentonit


31

KESIMPULAN
Dari kajian diatas dapat diperoleh gambaran proses perpindahan radionuklida (cesium dan
stronsium) dari larutan ke bentonit dengan kondisi yang dipengaruhi keberadaan ion logam koeksistensi
di larutan.
Keberadaan ion logam koeksistensi di larutan telah memberikan pengaruh terhadap sorpsi
radionuklida ke bentonit dengan ditandai dengan menurunnya nilai Kd radionuklida ke bentonit. Untuk
sorpsi radiocesium telah memberikan pengaruh dengan urutan sebagai K
+
> Ca
2+
> Mg
2+
> Na
+
,
sedangkan sorpsi stronsium memberikan pengaruh dengan urutan Ca
2+
> Mg
2+
> K
+
> Na
+
.
Indonesia yang kaya dengan mineral alami seperti bentonit, perlu untuk diperoleh data
kemampuan bentonit sebagai salah satu material pendukung (bahan penyangga) pada fasilitas PA-LRA
di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Managing Radioactive Waste Safely, Dept. of Environment, Food and Rural Affair, Dept. of
Environment, National Assembly for Wales, Scottish Executive, Sept. 2001.
[2] Chapman, N. and Mc Kinley, I.G.: The Geological Disposal of Nuclear Waste, John Wiley &
Sons, Chichester (1985)
[3] Brookin, D.G.: Geochem. Aspect of Radioactive Waste Disposal, Springer-Verlag, N.Y (1984).
[4] Howard, A.G.:Aquatic Envi ronmental Chemistry, Oxford Sci. Publs, NY (1998).
[5] Erten, H.N., et.al.: Sorption of Cesium and Strontium on Montmorillonite and Kaolinite,
Radiochim. Acta 44/45,147 (1988).
[6] Weber, W.J.: Physicochem. Process for Water Quality Control, Willey-Interscie., NY (1972).
[7] Mattson, J.S. and Mark, H.B.: Activated Carbon: Surface Chem. & Adsorption From Solution,
Mercel-Dekker Inc., NY. (1971).
[8] Van Vliet, B.M. and Weber, W.J.: Comparative Perform ance of Synthetic Adsorbents and
Activated Charcoal for Specific Compound Removal From Waste Water, J. Water Poll. Control
Fed 53, 1585 (1981).
[9] Sabodina, M.N., et.al.: Sorption Properties of Bentonite Clays Toward Several Radionuclides,
Herald of Dept. of The Earth Scie., RAS (2004).
[10] Staunton, S., M., Roubaud, M.: Adsorption
137
Cs on Montmorillonite and Illite, Clay & Clay
Minerals 45 No.2, 251-260 (1997).
[11] Bell, J. and Bates, T.H.: Distr. Coeff. of Radionuclides between Soils and Groundwaters and
Their Dependence on Various Test Parameters, Sci. Total Env., 69, 297-317 (1988).
[12] Dolcates, D.L.,et.al.: Cation Exch. Selectivity of Some Clay Sized Minerals and Soil Materials,
Soil Sci. Soc. Am. Proc., 32, 795-798 (1968).
[13] Sullivan, P.J.: The Principle of Hard and Soft Acids and Bases as Applied to Exchange able
Cation Selectivity in Soils, Soil Sci., 124, 117 (1977).
[14] Stumm, W. and Morgan, J.: Aquatic Chemistry, Wiley, NY (1996).
[15] Riyanto,A.: Bahan Galian Industri Bentonit, PPTM, Bandung (1994).
[16] Simatupang, M. dan Sigit, S.: Pengantar Pertambangan Indonesia, Asosiasi Pertambangan
Indonesia, Jakarta (1992).

J urnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565
Volume 13 Nomor 2 Desember 2010 (Volume 13, Number 2, December, 2010)
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

32

KESELAMATAN LINGKUNGAN DAN KECELAKAAN
DALAM PRODUKSI ENERGI LISTRIK
Erwansyah Lubis
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN
Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang-15310.
ABSTRAK
KESELAMATAN LINGKUNGAN DAN KECELAKAAN DALAM PRODUKSI ENERGI LISTRIK.
Keselamatan lingkungan dan kecelakaan dalam daur produksi energi listrik yang menggunakan
berbagai energi primer telah dipelajari. Dalam produksi 1kWh listrik, tenaga angin dan nuklir
mengemisikan CO
2
yang terkecil, dibandingkan dengan menggunakan energi primer batu-bara (BB)
dan gas alam. Sementara tenaga air dan sinar matahari berada di antara tenaga nuklir dan BB.
Kecelakaan nuklir terbesar yang pernah terjadi adalah kecelakaan Chernobyl yang terjadi pada
tahun1986 dengan korban sebanyak 31 orang meninggal. Pada daur PLTB, kecelakaan banyak terjadi
dalam penambangan BB yang menimbulkan kematian, di China rata-rata 5000 kematian per tahun dan
di Ukraina rata-rata 200 kematian per tahun. Hingga saat ini, penggunaan teknologi PLTN dalam
produksi energi listrik telah terbukti (proven) mengurangi penumpukan CO
2
di atmosfir dalam skala
besar. Tiap 22 ton Uranium (26 ton U
3
O
8
) yang digunakan dalam satu PLTN mengurangi emisi 1 juta
ton CO
2
dari pengoperasian PLTB.
Kata kunci: Keselamatan lingkungan, energy listrik, kecelakaan
ABSTRACT
ENVIRONMENTAL SAFETY AND ACCIDENT IN ELECTRICITY GENERATION. The
environmental safety and accident in electricity generation cycle using varying of primary energy was
studied. In 1 kWh electricity generation with using wind and nuclear power were

emitted CO
2
smallest
if compared to coal and natural gas, while hydro-power and solar energy were between nuclear power
and coal. In nuclear power plant (NPP) operation, the Chernobyl accident happen in 1986 with caused
31 deaths. In coal power plant (CPP) cycle, lot of accidents happen in coal mining which rise to death.
The total deaths average in coal mining in China is 5000 per year and in Ukraina is 200 per year. Until
now, NPP in electricity generation has proven to decrease the accumulation of CO
2
in the atmosphere
in high scale. Each 22 Tons of Uranium (26 Ton U
3
O
8
) using in 1 NPP decreasing 1 million tons CO
2

from the operation of CPP.
Keywords : Environmental safety, electricity generation, accidents
PENDAHULUAN
Dengan disadarinya efek pemanasan global yang terjadi saat ini, kebutuhan akan pembangkit
energi listrik (PEL) yang bersih dan memenuhi keselamatan lingkungan adalah merupakan suatu
tuntutan. Konsekuensi PEL terhadap lingkungan dan kesehatan merupakan isu penting, khususnya di
lokasi dimana listrik tersebut diproduksi. Dampak terhadap lingkungan hidup ini merupakan biaya
eksternal yang seharusnya dapat dihitung, namun tidak dimasukan ke dalam biaya utilitas (utility's
account), karena itu tidak dibebankan pada konsumen. Dampak terhadap lingkungan hidup digugat
secara luas oleh masyarakat. Khususnya dampak polusi udara terhadap kesehatan manusia, hasil
pertanian dan kerusakan gedung karena korosif, termasuk juga penyakit karena pekerjaan serta bila
terjadi kecelakaan. Biaya eksternalitas ini, termasuk dampak terhadap ekosistem dan pemanasan
global, merupakan hal yang seharusnya dapat dikuantifikasi dan dievaluasi.
Produksi energi listrik dari sumber energi primer mempunyai dampak terhadap lingkungan
hidup adalah nyata. Penilaian yang seimbang terhadap pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN)
diperlukan untuk mengetahui dan membandingkan dampak yang ditimbulkannya terhadap pembangkit
listrik tenaga batubara (PLTB) ataupun pilihan-pilihan PEL lainnya. Dalam makalah ini akan diuraian
keselamatan lingkungan dan kecelakaan dalam daur produksi energi listrik yang menggunakan
berbagai energi primer.


Erwansyah Lubis : Keselamatan Lingkungan dan Kecelakaan dalam Produksi Energi Listrik


33


GAS RUMAH KACA
Gas rumah kaca (GRK) yang dimaksud disini adalah berbagai jenis gas yang ada di atmosfer
bumi (CO
2
, NO
x
, SO
x
, CH
4
, CF
x
C
x
), yang menyebabkan radiasi gelombang panjang yang dipancarkan
terperangkap di permukaan bumi. Penumpukan GRK di atmosfer, seperti halnya CO
2
, menyebabkan
terjadinya pemanasan iklim di berbagai tempat di permukaan bumi yang dampaknya semangkin nyata
[1].
Sementara pemahaman terhadap proses pemanasan global terus meningkat, namun kita
tidak mengetahui berapa banyak CO
2
yang dapat diserap oleh lingkungan dan berapa lama
keseimbangan CO
2
global dapat dijaga. Perhatian ilmuwan meningkat tentang penumpukan CO
2
yang
terjadi di atmosfer, dan melakukan inisiatif politis yang menggambarkan keprihatinan. Penumpukan ini
terjadi karena bahan bakar fosil yang diambil dari perut bumi banyak dibakar dan dikonversi secara
cepat menjadi CO
2
yang terlepas ke atmosfer oleh kendaraan bermotor, tungku industri dan rumah
tangga serta PEL. Penebangan hutan juga berkontribusi terhadap efek rumah kaca (ERK) melalui
pengurangan kemampuan penyerapan konsentrasi CO
2
dari atmosfer melalui proses fotosintesa [1,2].
Emisi CO
2
dari pembakaran bahan bakar fosil (BBF) di dunia mencapai 25 milyar ton per
tahun, 38 % berasal dari pembakaran batu-bara (BB) dan 43 % berasal dari pembakaran bahan bakar
minyak (BBM). Tiap 1000 MWe yang dihasilkan dari pembangkit listrik batu bara (PLTB) yang
menggunakan BB hitam mengemisikan 7 ton CO
2
per tahun, menggunakan BB coklat mengemisikan 9
ton CO
2
per tahun. Dalam pengoperasian PLTN, pembelahan inti tidak menghasilkan CO
2
, emisi CO
2
terjadi pada bagian daur bahan bakar nuklir (BBN), yaitu pada saat penambangan dan pengayaan
uranium, inipun terjadi karena berbagai jenis peralatan penunjang proses yang digunakan [3].

Tabel 1. Tingkat Emisi CO
2
Dari Produksi 1kWh Listrik [3].
Produksi
Energi Listrik
gram setara CO
2
/ kWh
Emisi Langsung Dari
Pembakaran
Emisi Tidak Langsung (dari
life-cycle)
Batu-bara 790-1017 176 - 289
Gas Alam 362-575 77-113
Tenaga-Air - 4-236
Solar-PV - 100 - 280
Angin - 10 - 18
nuklir - 9 - 21

Terdapat kesepakatan yang luas bahwa dibutuhkan kebijakan energi di tiap negara untuk
menurunkan penumpukan CO
2
di atmosfer. Peningkatan pemanfaatan Uranium sebagai bahan bakar
merupakan strategi yang lebih nyata untuk pengurangan penumpukan CO
2
di atmosfer. Hingga saat ini
penggunaan teknologi PLTN dalam produksi energi listrik telah terbukti (proven) mengurangi
penumpukan CO
2
dalam skala yang besar. Tiap 22 ton Uranium (26 ton U
3
O
8
) yang digunakan dalam
satu PLTN mengurangi emisi 1 juta ton CO
2
dari pengoperasian PLTB [3].

DAMPAK LINGKUNGAN LAINNYA DARI PRODUKSI ENERGI LISTRIK
Dampak terhadap lingkungan hidup lainnya dari PEL terjadi pada saat penambangan bahan
bakar. Pada penambangan Uranium dengan teknologi yang ada saat ini tidak terjadi polusi terhadap air
dan udara. Dampak lingkungan dalam penambangan BB juga relatif kecil, kecuali penambangan yang
ektensif dan luas membutuhkan rehabilitasi lahan. Pada daerah penambangan BB tertentu potensi
terjadinya drainase asam karena oksidasi belerang dapat menimbulkan kerusakan ekosistem,
khususnya terhadap hasil pertanian, perikanan dan sumber air tawar untuk keperluan lain.
Dalam pengoperasian PLTN maupun PLTB sejumlah kecil zat radioaktif alami dilepaskan ke
atmosfer. Dalam kasus PLTB, kandungan Uranium, Radium dan Thorium alami dalam BB
menyebabkan abu layang (fly ash) mengandung zat radioaktif, konsentrasinya sangat beragam. PLTN
dan instalasi olah-ulang (reprocessing plant) melepaskan sejumlah kecil gas radioaktif, sepertihalnya
85
Kr,
133
Xe dan
131
I, yang dapat dideteksi di lingkungan dengan alat analisis ataupun monitoring yang
canggih namun tidak berada dalam tingkat yang membahayakan. Tahapan pengembangan teknlogi
J urnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565
34

terus diupayakan untuk mengurangi emisi abu layang dari PLTB dan radionuklida hasil fisi dari PLTN.
Pada saat ini tidak satupun merupakan sumber dampak lingkungan yang nyata dari pelepasan abu
layang dan radionuklida buatan [3].
Limbah padat aktivitas tinggi (LAT) dari PLTN mengeluarkan panas dan radioaktif, sehingga
disimpan dalam kolam penyimpanan-sementara untuk 40-50 tahun sampai radioaktifnya meluruh
hingga tinggal 1 % dari saat awal. Akhirnya LAT akan di olah-ulang atau langsung di disposal dalam
formasi geologi tanah dalam dan dijauhkan dari lingkungan hidup dengan baik. Penanganan dengan
tingkat teknologi yang ada pada saat ini, tidak terjadi polusi ataupun dampak yang signifikan dari bahan
radioaktif tersebut, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang [3,4].
Limbah aktivitas menengah (LAM) setelah diolah (pemekatan dan imobilisasi) ditempatkan
dalam repositori di bawah permukaan tanah, sehingga dampak radiologik terhadap lingkungan hidup
sangat rendah di bawah batasan yang direkomendasikan secara internasional. Abu terbang radioaktif
dari pengoperasian PLTB mempunyai dampak ligkungan yang lebih luas karena tidak dilihat sebagai
sumber pencemaran lingkungan, sehingga tidak ada tindakan khusus yang diambil. Saat ini
kebanyakan limbah abu layang dipisahkan dari gas yang dibuang melalui cerobong dan ditimbun pada
daerah yang terbuka. Hal in dapat menyebabkan terjadinya pelindian abu layang, dan run-off yang
terjadi dapat menyebabkan pencemaran lingkungan yang serius.
Limbah panas yang dihasilkan dikarenakan kurang efisiensinya konversi energi dalam
pembangkitan energi listrik oleh PLTB dan PLTN, hampir sama untuk Uranium ataupun BB sebagai
sumber energi primer. Efisiensi panas dari PLTB adalah antara 20 40 %, PEL dengan teknologi
terbaru saat ini mencapai 33 %. Efisieni panas dari PLTN antara 29 37 %, sementara saat ini PLTN
jenis air ringan mencapai 34 %. Terlihat tidak ada alasan untuk lebih menyukai salah satu jenis PEL
tersebut dengan memperhatikan limbah panasnya. Dalam kasus ini pendinginan PLTB dan PLTN
adalah dengan air dari sungai, danau ataupun laut atau dengan menggunakan menara pendingin. Akan
tetapi, melihat kemasa lampau, kenyataannya yang menentukan bobot dampak adalah lokasi instalasi
pembangkit. PLTB sering di bangun di pulau dimana terdapat tambang BB, dan tersedia air yang
banyak untuk pendinginan. Beberapa PLTN umumnya dibangun di pinggir pantai, sehingga
menggunakan air laut untuk pendinginan. Hal ini menghemat pemanfaatan sumber air tawar, dalam
kasus pembuangan panas ke badan-air tidak dilihat sebagai pembuangan limbah. Padahal
peningkatan suhu air mencapai 1,5
o
C dari suhu normalnya akan mempunyai dampak yang nyata
terhadap kehidupan biota di dalamnya, dan akan menurunkan produktivitas [5].
Emisi SO
2
muncul dari pembakaran BBF yang mengandung belerang. Emisi SO
2
ke atmosfer
dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan terjadinya hujan asam di daerah hilir/ arah angin
(downwind). Hujan asam dapat menyebabkan keasaman air hujan mencapai Ph.4, di negara Amerika
Serikat bagian utara (north eastern) dan Scandanavia menyebakan terjadinya perubahan ekologi dan
kerugian secara ekonomi. Di Inggeris dan Amerika Serikat, pertama-tama untuk mengurangi dampak ini
yaitu dengan menggunakan gas alam untuk PEL, namun saat ini biaya masih relatif mahal [3].
Mengurangi emisi CO
2
dari PLTB adalah dengan menggunakan peralatan gas
desulphurization, tetapi biayanya masih relatif mahal. Di lain pihak, antara tahun 1980-1986 emisi SO
2

telah dikurangi dengan menggantikan pembangkit listrik BBF dengan PLTN. Pada saat yang sama
produksi listrik meningkat sebanyak 40 % dan Perancis menjadi negara pengekspor energi listrik yang
signifikan di Eropah.
Nitrogen Oksida (NO
x
) dari pembangkit listrik BBF yang dioperasikan pada suhu tinggi juga
menimbulkan persoalan terhadap lingkungan hidup. Bila konsentasi hidrokarbon di dalam udara tinggi,
NO
2
bereaksi dengannya membentuk kabut photokimia (photochemical smog). NO
2
mempunyai efek
terhadap lapisan ozon sehinga meningkatkan intensitas sinar ultraviolet yang mencapai permukaan
bumi [3].

DAMPAK TERHADAP KESEHATAN DAN LINGKUNGAN
Secara tradisional risiko kesehatan karena pekerjaan (occupational) diukur dalam pengertian
terjadinya kecelakaan, khususnya terjadinya kematian. Namun, saat ini kaitannya dengan PLTN,
perhatian terhadap efek tertunda dari paparan radiasi yang berpotensi menyebabkan terjadinya kanker
merupakan prioritas utama. Efek tertunda yang dikenal dengan efek deterministik dan stokastik ini di
cegah melalui pembatasan dosis radiasi yang ditolerir yang dapat diterima oleh masyarakat umum,
probabilitas terjadinya kanker adalah 1 x 10
-5
[6,7].
Beberapa statistik kecelakaan karena pekerjaan telah dikembangkan dalam 50 tahun terakhir
untuk pengoperasian PLTN, di Amerika Serikat dan negara-negara Eropah. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa PLTN dengan jelas lebih selamat dalam PEL, seperti tersirat dalam Tabel 2 dan
3.
Erwansyah Lubis : Keselamatan Lingkungan dan Kecelakaan dalam Produksi Energi Listrik


35


Tabel 2. Perbandingan Statistik Kecelakaan Dalam Produksi Energi Primer [3].
Korban Meninggal Normalisasi
Bahan Bakar 1970 -1992 Korban Per TWy* Listrik
Batu-bara 6400 Pekerja 342
Gas alam 1200 Pekerja, Masyarakat 85
Tenaga Air 4000 Masyarakat 883
Nuklir 31 Pekerja 8
*) TWy =Tera Watt Tahun

Risiko dari pertambangan uranium sangatlah kecil karena perkembangan teknologi keamanan
dan keselamatan personil. Pada 1950 paparan gas radon terhadap penambang menyebabkan risiko
kanker paru-paru yang tinggi. Setelah lebih 40 tahun kemudian, paparan yang tinggi dari Radon bukan
merupakan problem yang besar dalam penambangan uranium. Saat ini keberadaan radon di sekitar
dan dalam tambang uranium dan debu radioaktif serta anak luruhnya, seperti bahaya dalam
penambangan BB telah dengan baik diketahui, sehingga potensi risiko yang ditimbulkannya dapat
diminimalkan. Dalam penambangan uranium dan BB bahaya terhadap kesehatan terhadap penambang
sangatlah kecil, lebih kecil dari risiko yang ditimbulkan dari kecelakaan industri konvensional lainnya [3].
Sebenarnya PLTN tidaklah bebas dari bahaya akibat kerja, namun terlihat lebih aman
dibandingkan konversi energi lainnya. Tabel 3 menginformasikan kecelakaan yang pernah terjadi
dalam produksi energi selama kurun waktu 30 tahun lebih .

Tabel 3. Bahaya dari Produksi energi: Energi Dikaitkan Dengan Kecelakaan Semenjak
Pemanfaatannya Dari Tahun 1977 [3].
Tempat Tahun Korban Meninggal Keterangan
Machhu II, Hirakud,
Bhatdih, (India).
1979, 1980, 2006 2500,1000,
54
Kegagalan PLTA,
Tambang BB
Donbass,

Chernobyl,
Zasyadko, (Ukraina)
1980,1998,1999,2000,
2004
1986
2007
68,63,50,80,
36
31
101
Ledakan gas metan

Kecelakaan Nuklir
Ledakan gas metan
Guavio, (Kolombia) 1983 160 Kegagalan PLTA
Nile, Durunkha,
(Mesir)
1983,1994 317,580 Ledakan LPG, kebakaran
depo minyak.
Cubato, Brazil 1984 508 Kebakaran Minyak
Mexico City 1984 498 Ledakan LPG
Tbilisi, Spitsbergen,
Kuzbass, Rusia
1984, 1996,2007 100, 141,108 Ledakan gas
Taiwan 1984 314 Kecelakan Tambang BB
Piper Alpha, (North
Sea)
1988 167 Ledakan di lepas pantai
Asha-Ufa,
Kuzbas,(Siberia)
1989, 1997 600, 67 Kebakaran pipa gas
Ledakan gas methan
Dobrnja, (Yugoslavia) 1990 178 Kecelakan Tambang BB



J urnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565
36

Hongton,Datong,
Fushun, , Huanian,
Liaoning, Muchonggou,
J ixi, Gaogiao, Henan,
Chenjiasshan,
Sunjiawan, Shenlong,
Xingning, Dongfeng,
Zhangzhuang,(China).
1991,1996,1997,
1997,1998, 2000,
2002,2003,2004,
2004,2005,2005,
2005,2005, 2007.
147,114,68,
89,71,162,
124,234,148,166,21
5,83,
123, 171,181
Kecelakan Tambang BB
Belci (Romania) 1991 116 Kegagalan PLTA
Kozlu (Turki) 1992 272 Ledakan gas methan
Cuenca (Equador) 1993 200 Kecelakaan tambang BB
Seoul, Taegu, (Korea
Selatan)
1994, 1995 500, 100 Ledakan pipa minyak
Warri (Nigeria) 1998 500 Ledakan pipa minyak

Probabilitas terjadinya kematian pada penambangan BB di Australia adalah 0,009/ juta
ton, di Amerika Serikat 0,034/ juta ton, di China 4/ juta ton dan di Ukraina 7/ juta ton. Kematian total
dari penambangan BB di China rata-rata 5000 per tahun dan di Ukraina rata-rata 200 kematian per
tahun. Data resmi di China adalah 5300 kematian pada tahun 2000, 5670 kematian pada tahun 2001,
7200 kematian pada tahun 2003, 6400 kematian di tahun 2003, 6027 kematian pada tahun 2004,
6000 kematian pada tahun 2005 dan 476 kematian pada tahun 2006 [3].

RADIASI ALAMI
Tabel 4 menampilkan tingkat dan paparan radiasi alami yang beragam dari tanah dan
bangunan dari satu lokasi dengan lokasi lainnya. Paparan radiasi dinyatakan dalam millisievert (mSv),
di hampir seluruh bagian dunia tingkat paparan radiasi latar (background) rata-rata mencapai hingga
2,5 mSv per tahun, 1 Sievert (Sv) =1 joule/kg).
Penduduk Cornwall di Inggris menerima rata-rata 7 mSv per tahun. Ratusan ribu penduduk di
India, Brasil dan Sudan menerima paparan radiasi latar mencapai hingga 40 mSv per tahun. Beberapa
tempat di Iran, India dan Eropah memberikan dosis radiasi latar tahunan lebih dari 50 mSv dan di
Ramsar (Iran) mencapai 260 mSv per tahun. Walaupun dosis seumur hidup dari paparan radiasi latar
ini mencapai ratusan mSv per tahun, akan tetapi tidak menunjukkan adanya peningkatan kangker atau
problem kesehatan lainnya yang timbul dari paparan radiasi alami ini [8].
Dosis radiasi dari sinar kosmik beragam terhadap ketinggian (altitude) dan garis-lintang
(latitude). Kru pesawat terbang dapat menerima dosis radiasi mencapai 5 mSv per tahun dari kegiatan
perjalanan di udara. Komisi Internasional untuk perlindungan radiologik merekomendasikan batas dosis
radiasi untuk masyarakat umum sebesar 1000 uSv (1 mSv) per tahun dan untuk petugas radiasi
sebesar 20 mSv per tahun, yang merupakan rata-rata untuk 5 tahun berurutan. Tingkat paparan radiasi
untuk masyarakat dan pekerja radiasi dibatasi untuk mencegah terjadinya kerusakan jaringan dan
meminimalkan terjadinya risiko kanker hingga probabilitas 1x 10
-5
[5,6]. Penduduk di Inggris menerima
dosis radiasi dari pengoperasian PLTN hanya sekitar 0,03 mSv per tahun [3]. Data penerimaan dosis
dari pengoperasian PLTN di negara-negara industri relatif beragam, namun hal ini menunjukkan bahwa
pengopersaian PLTN tidak memberikan dampak radiologi yang signifikan.

Tabel 4. Radiasi Pengion
Sumber Rata-rata
Sv/ tahun
Rentang
Sv/ tahun
Alami:
- Teresterial +Gedung: radon
- Teresterial +Gedung : gamma
- Sinar kosmik di atas permukaan
laut tiap ketinggian 100 m
- Bahan makanan +K-40 dlm tubuh

200
600

300 +20
400

200 100.000
100 1000

0 500
100 - 1000
Total 1500 -
Erwansyah Lubis : Keselamatan Lingkungan dan Kecelakaan dalam Produksi Energi Listrik


37


Buatan:
- Dari percobaan bom nuklir
- Medis, sinar-x, CT scan, dll.
- PLTN
- PLTB
- Peralatan rumah

3
370
0,3
0,1
0,4

-
hingga 75000
-
-
-
Total 375 -
Kegiatan Hobi:
- Bermain ski tiap hari minggu
- Bepergian dengan pesawat

8,0 per minggu
1,5 5 per jam

-
-

KESELAMATAN REAKTOR
Dalam analisis keselamatan reaktor umumnya skenario kecelakaan yang dipostulasikan
adalah kehilangan air pendingin. Dalam kasus ini bahan bakar di teras reaktor mempunyai suhu yang
tinggi, meleleh dan melepaskan hasil fisi. Karena itu emergency core colling system (ECCS) selalu
siap (standby), bila sistem ini gagal, selanjutnya dinding pelindung (protective barrier) berfungsi, teras
reaktor akan tertutup untuk mencegah terlepasnya zat radioaktif ke lingkungan. Tuntutan regulasi saat
ini, bahwa efek dari kecelakaan melelehnya bahan bakar harus terkungkung dalam reaktor itu sendiri,
sehingga bila terjadi kecelakaan tidak diperlukan mengevakuasi peduduk sekitar PLTN. Oleh karena itu
1/3 biaya pembangunan reaktor umumnya untuk desain teknik dalam upaya meningkatkan
keselamatan, baik untuk operator maupun penduduk sekitar kawasan nuklir.
Pada saat ini reaktor negara-negara barat, dengan pemahaman yang baik mengenai fisika-
kimiawi dari material teras reaktor, kejadian melelehnya teras reaktor bersamaan dengan rusaknya/
patahnya kontainmen tidak akan menyebabkan terjadi malapetaka radiologik. Studi kondisi akhir dari
kecelakaan Three Mile Island (TMI) pada 1979, dimana tidak terjadi kerusakan kontainmen
(containment), mendukung hal ini. Total release radioaktivitas dari kecelakaan ini adalah kecil, dan
dosis maksimal terhadap perorangan yang tinggal di sekitar PLTN di bawah batasan dosis. Namun
demikian kecelakaan ini telah menyebabkan dampak psychologis terhadap industri nuklir Amerika
Serikat dan mempengaruhi pertumbuhan kapasitas energi listrik. Kejadian ini telah membawa
perubahan yang positif dalam menyusun rancangan detail dan cara reaktor dioperasikan serta telah
memberikan stimulus yang bernilai untuk kemajuan keselamatan reaktor.
Kecelakaan Chernobyl pada tahun 1986 di Ukraina sangat serius dikarenakan disain reaktor
dan grafit yang terbakar menyebarkan kontaminasi radioaktif jauh dan luas. Hal ini telah menewaskan
31 orang staf dan pemadam kebakaran, 28 diantaranya menerima paparan radiasi yang akut. J uga
telah menyebabkan 1800 kasus anak-anak terkena kanker tiroid, kebanyakan dari mereka dapat
disembuhkan, sebanyak 10 orang meninggal. Tidak terjadi peningkatan leukimia dan kanker lain yang
ditunjukkan dalam dekade awal, tetapi tenaga ahli Wolrd Health Organization (WHO) menyatakan
akan terjadi peningkatan penderita kangker dikemudian hari, dan kematian dari efek tertunda akan
meningkat di atas 10 korban yang telah terjadi. Kira-kira 130,000 orang menerima dosis yang signifikan
di atas batasan dosis yang direkomendasikan, korban ini terus dimonitor oleh WHO. Polusi radioaktif
melintas batas ke Eropah dan Skandanavia menyebabkan kekacauan terhadap hasil pertanian dan
paparan rendah ke penduduk yang banyak [3].
Kecelakaan Chernobyl dengan cepat menarik perhatian para ahli nuklir, khususnya terhadap
tidak adanya struktur kontainmen seperti yang disyaratkan pada reaktor negara barat. Dalam desain
reaktor Rusia (RMBK), bahwa kesalahan pendinginan akan menyebabkan peningkatan tenaga
keluaran dari proses fisi. Seluruh jenis reaktor negara barat dalam kondisi abnormal , peningkatan daya
dikontrol dengan sistem shutdown reaktor. Reaktor air ringan (Light Water Reactor, LWR), pendingin
juga berfungsi sebagai moderator, secara otomatis menurunkan daya bila pendingin/ moderator hilang,
dan kemudian dapat di shut down menggunakan batang kendali.
Kecelakaan Chernobyl terjadi disebabkan kombinasi dari kekurangan desain dan pelanggaran
prosedur operasi yang ditimbulkan oleh tidak adanya budaya keselamatan (safety culture). Dengan
asistensi dari barat, perbaikan keselamatan yang signifikan telah dilakukan terhadap 12 reaktor RMBK
yang beroperasi di Rusia dan Lithuania serta satu yang dalam konstruksi. Saat ini desain reaktor Rusia
telah distandariasi ke jenis Pressurized Water Reactor (PWR) [3].
Ahli dari negara-negara industri maju (Organization for Economic Co-operation Development,
OECD) melaporkan bahwa kecelakaan Chernobyl tidak membawa sesuatu yang baru. Sebelumnya
J urnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565
38

diperkirakan terdapat phenomena yang belum diketahui dan isu keselamatan yang belum diselesaikan
atau tidak dikover dalam pogram keselamatan reaktor daya komersial di negara anggota OECD. Hasil
yang positif dari kecelakaan adalah terbentuknya World Association of Nuclear Operator (WANO) yang
dapat berbagi pengalaman dan keahlian di seluruh dunia.

ANCAMAN
Semenjak World Trade Center (WTC) di New York mendapat serangan pada bulan September
tahun 2001, ancaman pesawat besar digunakan untuk menyerang fasilitas nuklir dengan tujuan
terjadinya release bahan radioaktif ke lingkungan telah menjadi perhatian yang serius. Berbagai studi
telah dipelajari untuk serangan yang sama terhadap PLTN. Hasil kajian menunjukkan bahwa reaktor
nuklir lebih tahan terhadap serangan sejenis dibandingkan dengan instalasi sipil lainnya karena beton
yang digunakan dalam struktur cukup tebal dan masif. Studi yang cermat telah dilakukan oleh Electric
Power Research Institute pada 2002 dengan menggunakan konsultan khusus dan dibiayai oleh US
Departement Of Energy. Menyimpulkan bahwa struktur reaktor USA cukup kuat dan dapat melindungi
bahan bakar dari tumbukan pesawat komersial yang besar. Dalam analisis digunakan data Boeing
767-400 dengan bahan bakar penuh dan bobot lebih dari 200 ton serta kecepatan maksimum 560
km/jam di permukaan tanah. Panjang sayap pesawat lebih besar dari diameter gedung pengungkung
reaktor, berat mesin 4,3 ton dengan panjang 15 m. Analisis difokuskan pada tumbukan mesin tunggal
pada titik pusat tumbukan bagian dalam pesawat. Dalam setiap kasus tidak ada bagian pesawat atau
bahan bakar menembus gedung reaktor. Analisis yang sama dilakukan pada kolam penyimpanan
bahan bakar, hasil yang diperoleh menunjukan tidak ada kerusakan. Penyimpanan dingin dan transport
casks integritasnya tetap bertahan baik, tidak terjadi release radionuklida ke lingkungan [3].

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal berikut,
1. PEL dengan bahan bakar uranium telah terbukti (proven) mengurangi penumpukan CO
2
di atmosfir
dalam skala yang besar. Tiap 22 ton Uranium (26 ton U
3
O
8
) yang digunakan dalam satu PLTN
mengurangi emisi 1 juta ton CO
2
dari pengopersaian PLTB. Pemanasan global yang terjadi oleh
adanya GRK yang terus meningkat dapat dikurangi melalui pemanfaatan PLTN dalam PEL.
2. Berdasarkan data kecelakaan yang pernah terjadi dalam kegiatan pembangkitan energi listrik dari
hulu-hilir, terlihat PLTN lebih selamat dibandingkan dengan PLTB. Pada daur PLTB, kecelakaan
dalam penambangan batu-bara banyak yang menimbulkan kematian. Probabilitas terjadinya
kematian pada penambangan BB di Australia adalah 0,009/ juta ton, di Amerika Serikat 0,034/
juta ton, di China 4/ juta ton dan di Ukraina 7/ juta ton.
3. Penerimaan dosis radiasi dari pengoperasian PLTN di tiap negara industri beragam, saat ini di
Inggris hanyalah 0,0003 mSv per tahun, setara dengan 0,012 % dari yang diterima manusia dari
alam atau hanyalah 0,03 % dari batasan dosis yang direkomendasikan secara internasional.

DAFTAR PUSTAKA
[1] J osef V. S., Lucill L., Bruce H.: Greenhouse Gas Emissions of Electricity Generation Chain,
IAEA Buletin, 42/2/2000.
[2] http://www.greenhouse effect.html
[3] -. Environment, Health and Safety in Electricity Generation, World Nuclear Association,
Updated in February, 2008.
[4] Lubis E.,:Pengkajian dan Mengkomunikasikan Risiko Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif.
ISBN 979-8769-13-9, (2007).
[5] http://www.dkp.go.id/
[6] ICRP., Recommendations of the International Commission on Radiological Protection,
Publication-60. Pergamon Press, Oxford New York, (1991).
[7] IAEA, Safety Standards, International Basic Safety Standard for Protection against Ionizing
Radiation and for the Safety of Radiation Sources, IAEA, Vienna, (1996).
[8] Bennet B.G.,: Exposure from Worldwide Release of Radionuclides. Proceedings of a
Symposium on Environmental Impact of Radioactive Release, Vienna, (1995).
[9] IAEA, The Radiological Accident in Goiania, IAEA-Vienna, (1988).
[10] IAEA, The Radiological Accident in San Salvador, IAEA-Vienna, (1990).
[11] IAEA, The Radiological Accident in Soreq, IAEA-Vienna, (1993).

J urnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565
Volume 13 Nomor 2 Desember 2010 (Volume 13, Number 2, December, 2010)
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

39

KARAKTERISASI SIFAT KIMIA FISIKA
TERAK PENGOLAHAN BIJIH BESI SEBAGAI PENCAMPUR
MORTAR/ BAHAN KERAMIK
Nirwan Syarif
J urusan Kimia, FMIPA Universitas Sriwijaya
J l. Raya Palembang Prabumulih Km 32 Inderalaya Ogan Ilir Sumsel
ABSTRAK
KARAKTERISASI SIFAT KIMIA FISIKA TERAK PENGOLAHAN BIJ IH BESI SEBAGAI PENCAMPUR
MORTAR/ BAHAN KERAMIK. Tulisan ini melaporkan sifat kimia dan fisika dari terak yang dihasilkan
dari hasil pengolahan bijih besi. Secara kimia, terak dipelajari dari komposisi oksida yang menyusun
terak. Dari persentase masing-masing oksida ditentukan nilai kebasaannya dengan menggunakan
rumusan (CaO +MgO +Al
2
O
3
)/SiO
2
. Nilai kebasaan ini terkait makrostruktur dan sifat fisika terak. Hasil
pengumpulan sampel terak menunjukan bahwa makrostruktur terak terbagi menjadi dua, yaitu yang
bersifat gelas dan pori. Sifat ini dipengaruhi oleh kandungan oksida dalam terak dan metoda
pendinginan yang diterapkan pada terak saat lelehan terak dikeluarkan dari tanur. Oksida yang
dominan terkandung dalam terak adalah CaO dan SiO
2
. Nilai kebasaan terak dapat digunakan untuk
menilai aktivitas dari oksida-oksida dalam terak dimana porositas, absorpsi air, persentase uap air dan
densitas terak memiliki keterkaitan dengan kebasaan terak. Selain itu, makrostruktural terak memiliki
keterkaitan dengan kebasaan terak.
Katakunci: terak, tanur, kebasaan, makrostruktur, porositas, oksida
ABSTRACT
CHARACTERIZATION OF CHEMICAL AND PHYSICAL PROPERTIES OF SLAG FROM IRON ORE
PROCESSING FOR MORTAR/ CERAMIC MATERIAL MIXTURES. This paper reported the chemical
and physical properties of slag that generated from iron ore processing. The chemistry composition of
slag oxides have been studied From the percentage of each oxide, base value was determined using
the formula (CaO + MgO + Al2O3) / SiO2. This value is linked macrostructure and slag physical
properties. The results showed that the slag macrostructure divided into glass character and pores
character. This properties was influenced by the content of oxide in slag and cooling method molten
slag removed from the furnace. The dominant oxide contained in the slag are CaO and SiO2. Slag
basicity values can be used to assess the activity of oxides in the slag where the porosity, water
absorption, percentage of moisture and density are related to the basicity slag. In addition,
macrostructure of slag have relationship with slag basicity
Keywords : slag, furnace, basicity, macrostructure, porosity, oxides
PENDAHULUAN
Terak adalah lelehan campuran oksida logam dan silikat, kadang-kadang terdapat juga fosfat
dan borat, sulfit, karbida dan halida. Terak didapatkan dari peleburan mineral, yang mengandung
mineral, yang mengandung unsur-unsur yang tidak dapat direduksi oleh proses reduksi dalam
peleburan mineral. Terak sistem SiO
2
-CaO-Al
2
O
3
[1-3] dapat dikatakan sebagai limbah padat tanur
pengolahan bijih besi. Untuk itu perlu dicari jalan untuk mengatasi limbah tersebut. Salah satu cara
mengatasinya adalah dengan memanfaatkan terak sebagai campuran bahan mortar atau bahan
keramik. Namun sebelumnya perlu untuk mengetahui sifat fisika dan kimia dari terak. Tulisan ini
melaporkan sifat kimia dan fisika terak yang dihasilkan dari hasil pengolahan bijih besi Lampung.
Dalam terak yang kaya akan silika, afinitas alumina, magnesia dan kalsia tidak begitu tampak,
tetapi dalam terak yang miskin akan silika; afinitas ini akan begitu nyata dengan adanya penurunan
temperatur pelelehan terak. Adanya penurunan titik leleh ini akan mempengaruhi sifat fisika terak [4],
seperti penilaian makrostruktur, absorbsi air, porositas dan densitass [5-7]. Terak yang memiliki nilai
porositas air tinggi, dapat mengabsorbsi air lebih tinggi. Sebaliknya, keramik dengan porositas yang
rendah akan mengabsorbsi air lebih sedikit. Bertambahnya porositas, maka permukaan yang akan
mengabsorbsi air bertambah luas. Bertambahnya permukaan menyebabkan jumlah yang diabsorbsi
pun meningkat. Porositas terak terjadi akibat ruangan yang ditinggal oleh partikel air yang terlepas
akibat pemanasan, tetapi tidak terdapat partikel halus yang menggantikan kedudukan partikel air. Rapat
Nirwan Syarif : Karakterisasi Sifat Kimia Fisika Terak Pengolahan Bijih Besi sebagai Pencampur Mortar/ Bahan Keramik


40
tataan terak yang lebih besar dapat diperoleh dengan mencampurkan butiran kasar dan halus.
Porositas dikurangi karena yang halus mengisi rongga-rongga butiran kasarnya [8]. Bila rongga tidak
terisikan merupakan tempat mengabsorpsi air. Terak yang dimiliki absorbsi air lebih besar dari 2%
diklasifikasikan sebagai terak berpori (porous) [9]. Berat jenis terak ditentukan oleh jenis dan jumlah
penyusunnya. Berat jenis terak berasal dari peleburan bijih besi. Berat jenis tersebut meningkat dengan
meningkatnya kandungan kapur. Tetapi bila kandungan oksida besi cukup banyak, maka berat jenis
terak dipengaruhi oleh kandungan besi oksida [10].
Selain itu, oksida-oksida yang berada dalam terak juga mempengaruhi sifat kimia terak [11].
Sifat kimia yang dengan mudah dapat diverifikasi dari perbedaan oksida terak seperti pH dan kebasaan
terak [12, 13]. Terak yang kaya akan kapur disebut sebagai basa, sedangkan yang kaya akan silika
disebut dengan asam [14, 15]. Hal tersebut merupakan analogi dari istilah yang biasa digunakan pada
larutan yang berpelarut air; jika padatan terak dilarutkan dengan air, larutan yang kaya akan kapur akan
menunjukan pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan larutan yang akan silika. Berbeda dengan
pengukuran pH larutan, dimana pH adalah ukuran aktifitas ion hidrogen, pada pengukuran pH terak, pH
adalah ukuran aktifitas ion oksigen larutan terak. Besaran ini digunakan untuk menentukan kebasaan
terak, dengan mengukur aktifitas oksida, CaO, SiO
2
dan Al
2
O
3
. Kebasaan terak, secara umum
ditunjukan dengan bilangan kebasaan, B =(CaO +MgO +Al
2
O
3
)/SiO
2
[6, 10, 16]. Metoda analisis yang
dilakukan dalam penelitian ini mengaju pada standar industri. Penentuan kandungan oksida logam
terak merupakan modifikasi prosedur yang dikembangkan oleh Vogel [17].

METODOLOGI PENELITIAN
Penentuan kandungan oksida.
Sampel serbuk terak dicampurkan dengan 30 mL air raja dan dipanaskan selama 30 menit. Air
suling kemudian ditambahkan, didinginkan dan disaring dengan kertas saring ashless no.41. Residu
adalah SiO
2
dan ditimbang. Filtrat diencerkan sampai 250 mL (larutan A). Larutan A kemudian dibagi
menjadi 3 bagian: 1) dipipetir 50 mL larutan A ditambah indikator metil merah, dipanaskan sampai
mendidih; setelah mendidih ditambahkan NH
4
OH, didinginkan dan disaring dengan kertas saring
ashless no.41; saring residu (R
2
O
3
) dan ditimbang. 2) pipetir 10 mL HNO
3
2 N, beberapa tetes KMnO
4

0,1N, KCNS 1,5M 25 mL, air suling hingga 100 mL; absorbansi Fe
2
O
3
dibaca pada panjang gelombang
420 nm dan ditentukan konsentrasinya dari kurva kalibrasi 3) pipetir 50 mL larutan A ditambahkan 0,5 g
ammonium oksalat. Larutan dipanaskan hingga mendidih dan ditambahkan NH
4
OH, dinginkan dan
saring; residu adalah CaO dan filtrat (larutan B). Larutan B kemudian diencerkan hingga 250 mL. Pipetir
50 mL dan ditambahkan 10 mL larutan buffer 10, dititrasi dengan EDTA 0,01 N dengan indikator
eriochrom black T. Konsentrasi MgO ditentukan dari EDTA yang dipakai.

Penentuan porositas dan absorbsi (JIS R 2205-1974).
Benda uji dikeringkan di oven pengering pada temperatur 100-110 C sampai mencapai berat
konstan dan ditimbang dengan berat W1 (g). Benda uji direndam dalam air dan direbus di hot plate
selama lebih dari 3 jam. Setelah dingin, benda uji ditimbang dalam ember terbuat dari kawat
berdiameter kurang dari 1 mm. Berat yang ditimbang adalah W2 (g). Benda uji dikeluarkan dari air, dan
dibersihkan permukaannya dengan kain yang mudah menyerap air. Benda uji ditimbang dengan berat
W3 (g). Adsorbsi dan porositas ditentukan dengan perhitungan.

Angka Adsopsi =(W3-W1)/W1 x 100%
(1)
Angka Porositas =(W3-W1)/(W3-W2) x 100%
(2)

Penentuan Densitas.
Beaker glass kosong ditimbang (berat A, g) kemudian di-isi dengan air sampai batas (berat
B, g). Beaker glass kemudian dikosongkan dan keringkan kembali. Dilanjutkan dengan dimasukan ke
dalam beaker bahan uji yang telah dihaluskan sebanyak setengah isinya dan diamkan beberapa saat
dan timbang (berat C, g). Air suling ditambahkan ke dalam beaker glass yang berisi setengah bagian
bahan uji sampai penuh dan didiamkan satu jam pada temperatur 25 C dan timbang (berat D, g).
Densitas dihitung dengan rumus.

J urnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565


41
Densitas =(C A) /((B+C)-(A+D))
(3)

Penentuan pH rendaman.
pH air suling diukur terlebih dahulu. Sebanyak 2 g sampel dimasukan ke dalam beaker glass
dan ditambahkan air suling sampai 100 mL. Setelah didiamkan beberapa saat, pH rendaman diukur.
Sampel kemudian direndam selama beberapa hari, pH rendaman diukur kembali.
Semua pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan. Pengukuran kandungan
oksida, %uap air, pH rendaman, adsorpsi, porositas dan densitas dilakukan terhadap beberapa sampel
terak. Dari hasil pengukuran kandungan oksida kemudian dapat dihitung nilai kebasaan dari sampel
terak.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Besi diproduksi dengan cara menambahkan besi, bijih besi, besi bekas, bahan tambahan
(batu kapur dan atau dolomite) ke dalam tanur bersama-sama dengan batubara, arang dan atau
biomassa yang digunakan sebagai bahan bakar. Bahan bakar ini kemudian terbakar membentuk CO,
yang kemudian mereduksi bijih besi menjadi lelehan besi yang merupakan hasil utama proses ini.
Selain itu dihasilkan juga lelehan oksida-oksida selain besi yang disebut terak. Karena bahan dasar
proses ini adalah bahan alami dan bahan bakar yang digunakan beragam, maka baik besi maupun
terak yang dihasilkan menjadi beragam. Terak dikeringkan dengan cara membiarkan lelehan
mengering di lapangan terbuka atau dengan dibantu oleh siraman air atau ditiupkan udara tambahan
dan uap air.
Terak yang dipakai dalam penelitian ini dibedakan menjadi tujuh jenis, seperti yang disajikan
pada tabel 1. Ketujuh jenis terak tersebut merupakan jenis yang paling banyak dihasilkan oleh tanur
peleburan bijih besi. Semua jenis terak tersebut kemudian dikarakterisasi kandungan kimianya. Secara
makrostruktur, terak dapat dibedakan lagi menjadi dua jenis, yaitu yang bersifat gelas (glassy) dan yang
berpori, seperti sponge (porous). Sifat ini terkait dengan keberadaan oksida-oksida logam yang
terkandung dalam terak [18] dan metoda pendinginan yang diterapkan [19]. J ika lelehan terak
dituangkan pada lapangan terbuka dan secara perlahan didinginkan pada kondisi ambang, suatu
struktur kristalin terbentuk dan terak yang terbentuk menjadi keras dan memadat. Terak yang
selanjutnya dapat dikeraskan dengan penambahan air atau uap air sehingga laju pendinginan dan
solidifikasi dipercepat dan meningkatkan pembentukan gelembung/pori dalam terak sehingga terak
menjadi lebih ringan dan membentuk busa. Pada keadaan lain dimana pendinginan yang dilakukan
berlangsung sangat cepat, terak yang dihasilkan menjadi lebih menjadi bersifat gelas dan kristal
mineral yang terbentuk menjadi lebih sedikit. Proses ini dihasilkan dari pembentukan potongan-
potongan kecil berukuran pasir atau frit, yang biasanya merupakan material yang sangat rapuh. Selain
itu, sifat fisika terak sangat bergantung kepada komposisi oksida yang terkandung dalam terak. Hasil
pengukuran menunjukan kandungan silika berkisar antara 37.93 45.97%, kalsia 24,80 38,95%,
magnesia 1,64 2,91%, alumina 4,59 5,51%, dan oksida sisa 9,69 26,67. Hasil menunjukan
bahwa kandungan silika dan kalsia bervariasi dan terdapat dalam jumlah yang relatif besar. Hal ini
normal, karena dalam prosesnya, kedua komponen ini berasal dari bahan dasar yang dipakai.
Keduanya secara alami memang mendominasi bahan dasar yang diumpankan ke dalam tanur. CaO
berasal dari kandungan utama batu kapur atau dolomit dan SiO
2
berasal dari bijih besi. Batu kapur
adalah kalsium karbonat, CaCO
3
yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam proses untuk
menghilangkan pengotor dalam bijih besi. Kalsium karbonat diuraikan oleh panas tanur menghasilkan
CaO dan karbon dioksida. Sebagai pengotor utama dari bijih adalah silika, silikon dioksida. SiO
2
tetap
berwujud padat pada temperatur tanur. Bila keadaan ini dibiarkan terjadi, saluran dalam tanur menjadi
terhalang. Adalah tugas CaO untuk mencairkan SiO
2
dengan membentuk kalsium silikat.

Tabel 1. Hasil pengukuran kandungan oksida, pH rendaman sampel terak
I II III IV V VI VII
Warna hitam coklat hitam
gelap
hijau
muda
hijau
lumut
hijau
gelap
abu-
abu
Makrostruktur Glassy Porous Porous Porous Glassy Glassy
Glass
Kandungan Oksida
Nirwan Syarif : Karakterisasi Sifat Kimia Fisika Terak Pengolahan Bijih Besi sebagai Pencampur Mortar/ Bahan Keramik


42
SiO2 45.97 43.24 39.28 37.02 43.35 43.97 37.93
CaO 27.09 38.95 32.82 33.68 24.8 26.82 26.88
MgO 2.38 2.46 2.91 1.64 2.67 1.97 2.44
Al2O3 4.95 5.32 5.32 5.51 4.84 4.59 5.41
Fe total 0.25 0.33 1.51 0.27 0.34 1.16 0.68
Oksida Sisa 19.36 9.69 18.17 21.87 24 21.5 26.67
Nilai Kebasaan 0.58 0.85 0.8 0.83 0.57 0.59 0.68
pH rendaman
0 hari 9.04 9.89 10.02 9.22 8.99 9.48 9.49
1 hari 8.14 8.32 8.81 8.21 8.06 8.49 8.17

Terak dari tanur bijih besi secara kimia dan mineralogi merupakan kumpulan aggregat dari silikat dan
aluminosilikat dari kalsium dan magnesium dan senyawa lainnya termasuk sulfida, sisa besi, mangan
dan bahan runut lainnya [20]. Secara mineralogi, terak bijih besi mengandung mellite, yang merupakan
larutan padat dari gehlenite, 2CaO.Al
2
O
3
.SiO
2
dan akermanite, 2CaO.MgO.2SiO
2
dengan sejumlah
kecil kalsium sulfit (oldhamite) < 1%. Dalam beberapa sampel juga terdapat merwinite
(3CaO.MgO.2SiO
2
) atau dikalsium silikat 2CaO.SiO
2
[21]. Tabel 1 memperlihatkan kandungan oksida
sisa, yang tidak dilakukan pengukuran, dalam jumlah yang cukup besar. Secara kimia kandungan ini
dapat berasal dari beberapa spesi kimia berupa arang dan beberapa hidroksida dari Ca, Mg, Zn dan
Pb. Besi total yang diukur merupakan gabungan dari berat magnetite, Fe
3
O
4
, hematite, Fe
2
O
3
, wuestite,
FeO dan -Fe, Fe
0
[22].
Perbandingan oksida yang menyusun terak dapat diwakili oleh nilai kebasaan terak. Ini
dilakukan untuk memberikan penilaian bagi aktivitas oksida sehingga kemudian dapat dikaitkan dengan
aplikasi terak, misalnya sebagai bahan dasar semen atau sebagai bahan tambahan aggregat jalan [23].
Selain itu nilai kebasaan terak juga berhubungan dengan sifat makroskopis terak [10]. Hasil
perhitungan menunjukan bahwa terak dari jenis II, III dan IV merupakan terak yang porous dengan nilai
basa yang tinggi, sedangkan terak glassy memiliki nilai basa yang lebih rendah. Secara spesifik, pori
terak akan meningkat dengan bertambahnya kandungan oksida basa seperti CaO atau MgO.
Sebaliknya akan lebih cenderung menjadi gelas dengan penambahan oksida amfoter seperti Al
2
O
3
atau
TiO
2
. Keberadaan oksida-oksida ini terkait dengan perubahan jarak antar atom unsur-unsrut yang
menyusun struktur kristal mineral yang terkandung dalam terak.

Tabel 2. Hasil pengukuran nilai absorptivitas, porositas dan densitas sampel terak
I II III IV V VI VII
% Uap Air 0.10 0.18 0.15 0.17 0.12 0.17 0.12
Absorbsi Air 0.16 0.61 0.25 0.25 0.12 0.17 0.18
Porositas 0.39 1.28 0.62 0.56 0.24 0.38 0.42
Densitas 2.04 1.94 2.48 2.15 2.39 2.16 2.29

Variasi pada kandungan oksida menyebabkan adanya variasi pada sifat fisika terak seperti
densitas, porositas dan absorbsi air (harus didukung dengan statistika korelasi antar parameter). Terak
berfase gelas memiliki porositas yang lebih kecil dibandingkan dengan terak yang tidak berfase gelas.
Secara kimia, densitas, porositas dan absorbsi air terak ini juga dapat dijelaskan dengan jarak antar
atom unsur-unsur yang menyusun struktur kristal. Densitas terak berhubungan dengan angka
kebasaan secara langsung.




J urnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565


43





















Gambar 1. Kecenderungan nilai porositas, densitas, %uap air dan absorbsi air terhadap kenaikan nilai
kebasaan terak.

Pada tabel 1 ditampilkan nilai pH dari rendaman terak. Hasil pengukuran menunjukan bahwa
nilai pH rendaman terak berkisar antara 8-10. Rendaman pada hari pertama cenderung lebih basa dari
pada rendaman pada hari kedua. Nilai pH ini berhubungan dengan lepasnya Ca
2+
, Mg
2+
dan HO
-

setelah berada dalam air [24]. Dimana hidroksida dari Ca dan Mg berada dalam keadaan bebas dalam
matriks terak. Keberadaan ion hidroksida menyebabkan rendaman terak bersifat basa. Pada hari kedua
pH terak mulai dinetralkan oleh H
+
karena sulfida dalam terak mulai terlepas dalam matriks terak [25].
Bila data dari tabel 1 dan tabel 2 disusun kembali, maka didapatkan grafik kecenderungan nilai
porositas, densitas, %uap air dan absorbsi terhadap kenaikan nilai kebasaan terak. Dari grafik tersebut
dapat dilihat bahwa nilai porositas, %uap air dan absorbsi air meningkat dengan meningkatnya nilai
kebasaan, sebaliknya nilai densitas mengalami penurunan. Hal ini sejalan dengan penjelasan terdahulu
dimana pori terak akan meningkat dengan bertambahnya kandungan oksida basa (nilai kebasaan).
Karena nilai %uap air merupakan proses absorbsi air, maka kecenderungan keduanya akan sama.
Berdasarkan Tabel 2, maka karakter sampel nomor 6 paling baik digunakan sebagai campuran bahan
mortar atau keramik.

KESIMPULAN
Makrostruktur terak terbagi menjadi dua, yaitu yang bersifat gelas dan pori. Sifat ini dipengaruhi oleh
kandungan oksida dalam terak dan metoda pendinginan yang diterapkan pada terak saat lelehan terak
dikeluarkan dari tanur. Oksida yang dominan terkandung dalam terak adalah CaO dan SiO
2
. Nilai
kebasaan terak dapat digunakan untuk menilai aktivitas dari oksida-oksida dalam terak dimana
porositas, absorpsi air, %uap air dan densitas terak memiliki keterkaitan dengan kebasaan terak. Selain
itu, makrostruktural terak memiliki keterkaitan dengan kebasaan terak.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Itoh, T., Rapid Discrimination of the Character of the Water-cooled Blast Furnace Slag Used for
Portland Slag Cement. J ournal of Material Science, 39(6), 2191-2193 (2004).
[2] Masaki, I. and M. Kazuki, Chlorine-containing Phases in CaO-SiO2-Al2O3 Slags and Their
Dissolution Behavior into Aqueous Solution. Tetsu to Hagane, 91(4), 421-427 (2005).
[3] Barbieri, L., A.M. Ferrari, I. Lancellotti, C. Leonelli, J .M. Rincon, and M. Romero, Crystallization of
(Na2O-MgO)-CaO-Al2O3-SiO2 Glassy Systems Formulated from Waste Products. J ournal of the
American Ceramic Society, 83(10), 2515-2520 (2004).
[4] Yaroshevskii, S.L., V.V. Stepanov, E.N. Skladanovskii, V.K. Katsman, S.V. Nesterenko, and V.N.
Murav'ev, Improving Blast Furnace Slag Practice. Metallurgist, 27(10), 321-325 (1983).
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
V I VI VII III IV II
Nilai Basa % Uap Air Absorbsi Air Porositas Densitas
Nirwan Syarif : Karakterisasi Sifat Kimia Fisika Terak Pengolahan Bijih Besi sebagai Pencampur Mortar/ Bahan Keramik


44
[5] Brus, E., M. Ohman, A. Nordin, and D. Bostrom, Bed Agglomeration Characteristics of Biomass
Fuels Using Blast-Furnace Slags as Bed Material. Energy Fuels, 18(4), 1187-1193 (2004).
[6] Ghosh, S., M. Das, S. Chakrabarti, and S. Ghatak, Development of Ceramic Tiles from Common
Clay and Blast Furnace Slag. Ceramics International, 28(4), 393-400 (2002).
[7] Lopez, F.A., E. Sainz, A. Lopez-Delgado, L. Pascual, and J .M.F. Navarro, The Use of Blast
Furnace Slag and Derived Materials in the Vitrification of Electric Arc Furnace Dust. Metallurgical
and Materials Transactions B, 27B(3), 379-384 (1996).
[8] Kasami, H., T. Ikeda, S. Numata, and H. Harada, Pumpability of Blast-Furnace Slag Aggregate
Concrete. Advancing Concrete Knowledge, 79, 1143-1164 (1983).
[9] Takano, Y., M. Sanazawa, S. Takeda, Y. Akashi, K. Katagiri, and A. Matsui, State of the Art in the
Technology of Using Blast Furnace Slag Gravel for Concrete Members, in Nippon Steel Technical
Report No. 86, T.D.B. I, Editor. Taiheiyo Cement Corporation, 40-47 (2002).
[10] Lee, Y.S., D.J . Min, S.M. J ung, and S.H. Yi, Influence of Basicity and FeO Content on Viscosity of
Blast Furnace Type Slags Containing FeO. ISIJ International, 44(8), 1283-1290 (2004).
[11] Proctor, D.M., K.A. Fehling, E.C. Shay, J .L. Wittenborn, J .J . Green, C. Avent, R.D. Bigham, B. Lee,
T.O. Shepker, and M.A. Zak, Physical and Chemical Characteristic of Blast Furnace, Basic Oxygen
Furnace and Electric Arc Furnace Steel Industry Slags. Environmental Science and Technology,
34(8), 1576-1582 (2000).
[12] Li, Y.-S., The use of waste basic oxygen furnace slag and hydrogen peroxide to degrade 4-
chlorophenol. Waste Management, 19(7-8), 495-502 (1999).
[13] Bowden, L.I., A.P. J arvis, P.L. Younger, and K.L. J ohnson, Phosphorus Removal from Waste
Waters using Basic Oxygen Steel Slag. Environmental Science and Technology, 43(7), 2476-2481
(2009).
[14] Krizan, D. and M. Komljenovic, Mortar based alkali-activated blast furnace slag, in Measuring,
Monitoring and Modeling Concrete Properties, M.S. Konsta-Gdoutos, Editor, Springer Netherlands:
Northwestern, 361-366 (2006).
[15] Yazici, H., H. Yugiter, A.S. Karabalut, and B. Baradan, Utilization of fly ash and ground granulated
blasf furnace slag as an alternative silica source in reactive powder concrete. Fuel, 87(12), 2401-
2407 (2008).
[16] Amatatsu, M., V. Stuts, and H.W. Gudenau, Evaporation and Adsorption rate of Potassium through
Blast Furnace Slag. Transactions of the Iron and Steel Institute of J apan, 1995. 25(9), 949-952
(1995).
[17] Vogel, A.I. and G.H. J effery, Vogel's Textbook of quantitative chemical analysis. 5 ed., Harlow,
Essex: Longman Scientific and Technical, Wiley (1989)..
[18] Rutman, D.S., I.L. Shchetnikova, E.I. Kelareva, L.S. Zholobova, and V.A. Perepelitsyn, Effect of
metallurgical slag on ceramic processed from pure oxide, spinels and forsterite. Refractories and
Industrial Ceramics, 14(11-12), 701-705 (1973).
[19] Romanenko, A.G., Production of slag fumace from disintegrated blast furnace slag. Metallurgist,
16(5), 320-322 (1972).
[20] Roy, A., Sulfur specification in granulated blast furnace slag: An X-ray absorption spectroscopic
investigation. Cement and Concrete Research, 39(8), 659-663 (2009).
[21] Puertas, F. and A. Fernandez-J imenez, Mineralogical and microstructural characterisation of alkali
activated fly ash/slag pastes. Cement and Concrete Research, 25(3), 287-292 (2002).
[22] Mansfeldt, T. and R. Dohrmann, Chemical and Mineralogical Characterization of Blast Furnace
Sludge from an Abandoned Landfill. Environmental Science and Technology, 38(22), 5977-5984
(2004).
[23] Georgescu, M., D. Voinitchi, M. Gheorghe, and A. Iovan, Correlation between Composition and
Properties for Alkali Activated Blastfurnace Slag Binders. Ovidius University Annals of
Constructions, 1(3-4), 553-558 (2002).
[24] Grneberg, B. and J . Kern, Phosphorus retention capacity of iron-ore and blast furnace slag in
subsurface flow constructed wetlands. Water Science and Technology, 44(11), 69-75 (2001).
[25] Schwab, A.P., J . Hickey, J . Hunter, and M.K. Banks, Characteristic of blast furnace slag leachate
produced under reduced and oxidized conditions. J ournal of Environmental Science and Health,
Part A, 41(3), 381-395 (2006).


Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565
Volume 13 Nomor 2 Desember 2010 (Volume 13, Number 2, December, 2010)
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

45

PENGEMBANGAN METODE ANALISIS
CHEMICAL OXYGEN DEMAND MODEL BARU
Muh Nurdin
*
, Muh.Natsir
*
,Maulidiyah
*
, Jarnuzi Gunlazuardi**

*
) Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Haluoleo, Kendari
**
) Departemen Kimia FMIPA, Universitas Indonesia, Depok
ABSTRAK
PENGEMBANGAN METODE ANALISIS CHEMICAL OXYGEN DEMAND MODEL BARU.
Telah dilakukan penelitian pengembangan film titanium dioksida berukuran nano, yang dilekatkan pada
substrat gelas berlapis ITO (Indium Tin Oxide). Film titanium dioksida berukuran nano ini digunakan
untuk mengembangkan sistem sensor Chemical Oxygen Demand (COD) model baru, yang berbasis
fotoelektrokatalisis. Dengan menggunakan film TiO
2
berukuran nano yang dilekatkan di atas gelas
berpenghantar listrik telah sukses dibuat dan diuji suatu sensor COD. Sensor COD model baru yang
dikembangkan ini berbasis fenomena fotoelektrokatalis, sedangkan konstruksi perangkatnya adalah sel
elektrokimia dengan tiga elektroda. Lapisan tipis titanium dioksida di atas gelas-ITO difungsikan
sebagai elektroda kerja yang dipasangkan dengan kawat Pt sebagai elektroda bantu, dan Ag/AgCl
sebagai elektroda pembanding. Rangkaian sel elektrokimia dengan elektroda kerja film TiO
2
ini pada
saat permukaan TiO
2
dikenai sinar ultra violet (~ 400 nm) memberikan respon initial photocurrent (arus-
cahaya awal) yang unik dan merespon kondisi kimiawi tertentu dalam larutan contoh yang kontak
dengan elektroda. Evaluasi lebih lanjut menunjukkan bahwa arus-cahaya awal (dapat diamati dalam
rentang waktu 10 detik) besarnya proporsional dengan kandungan zat organik dalam larutan contoh
yang diuji. Integrasi evolusi arus-cahaya awal ini versus waktu memberikan nilai muatan (Q = idt; Q=
muatan; i= arus; t= waktu) yang proporsional dengan konsentrasi mengikuti formulasi Faraday (Q =
nFCV; n=jumlah elektron yang terlibat; F=konstanta Faraday; C=konsentrasi analit; dan V=volume).
Arus-cahaya awal yang diamati ini pada dasarnya adalah akibat aliran elektron dari anoda ke katoda
dalam sirkuit sel elektrokimia yang dirangkai, ketika elektronnya akan didisperse ke dalam larutan
contoh melalui katoda dan akan ditangkap oleh akseptor elektron dalam air contoh (dominannya adalah
oksigen). Pada prinsipnya integrasi arus-cahaya, terlepas apa jenis zat organiknya, akan proporsional
dengan kandungan zat organik dalam air contoh, yang selanjutnya memberikan gambaran nyata
kebutuhan oksigen kimiawi (COD) dalam air contoh.
Kata kunci: initial photocurrent, fotoelektrokatalisis, TiO
2
, chemical oxygen demand, COD
ABSTRACT
DEVELOPMENT OF NEW MODEL OF CHEMICAL OXYGEN DEMAND ANALYSIS
METHOD. The development of nanoparticles TiO
2
film coated onto ITO (Indium Tin Oxide) conducting
glass slides has been carried out. This nanoparticles film was used for developing a new Chemical
Oxygen Demand (COD) sensor based on photoelectrocatalytic system. The nanoparticles TiO
2

immobilized onto ITO conducting glass slides was succesfully fabricated and applied to the COD
sensor. The new COD sensor is based on photoelectrocatalytic principle, while the electrochemical cell
is constructed by three electrodes: working electrode (thin film TiO
2
), counter electrode (Pt wire),
reference electrode (Ag/AgCl). When the surface of working electrode TiO
2
film in electrochemical cell
is illuminated with ultra violet (~ 400 nm), a unique initial photocurrent respon was obtained for a certain
chemical behavior in sample solution that contact with electrode. Furthermore, the evaluation showed
that initial photocurrent (it can be observed in 10 seconds) proportional with organic concentration in
the sample. The integration of initial photocurrent versus time gives charge value (Q = idt; Q=charge;
i=photocurrent; t=time elapsed upon illumination) proportional with concentrations follows Faradays
Law (Q = nFCV; n=number of electron transferred; F=Faraday constant; C=concentration of the
compound; and V=volume). Initial photocurrent observed is a flow electron from anode to cathode in
electrochemical cell circuit, when electron is dispersed into sample solution through cathode and
catched by electron acceptor in the water sample (dominated by oxygen). The integration of initial
photocurrent will be proportional to the organic concentration with a real COD value in the water
samples.
Keywords: initial photocurrent,photoelectrocatalysis, TiO
2
, chemical oxygen demand, COD.
Muh Nurdin
*
, Muh.Natsir
*
,Maulidiyah
*
, Jarnuzi Gunlazuardi** : Pengembangan Metode Analisis Chemical Oxygen Demand Model
Baru



46
PENDAHULUAN
Keterbatasan metode analisis COD standar konvensional, memunculkan banyak usaha yang
dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang ada. Pengembangan metode penentuan COD dapat
diklasifikasikan menjadi dua kategori. Pertama, didasarkan pada prinsip metode oksidasi kimia secara
konvensional dan sederhana pada proses analisis [1]. Kedua, didasarkan pada oksidasi elektrokatalitik
pada bahan organik, dilakukan pengukuran COD secara elektrokimia [2].
Pendekatan secara elektrokimia rupanya mengundang banyak perhatian karena lebih
sederhana, cepat, pengukuran langsung dan mudah diautomatisasi. LAR GmBH, perusahaan pembuat
instrumen Jerman, telah mengembangkan instrumen COD secara elektrokimia menggunakan
elektroda PbO
2
sebagai anoda, yang telah sukses diinplementasikan pada sistem monitoring on-line
secara automatis [3]. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan metode konvensional, dengan mudah
dilihat adanya perbedaan pengukuran yang memerlukan faktor konversi untuk menyesuaikan dengan
hasil pengukuran COD standar konvensional. Metode ini mengantarkan pada pendefinisian suatu
tehnologi baru, yaitu EOD (Electrochemical Oxygen Demand). Walaupun metode seperti ini dapat
diterima sebagai metode on site monitoring, kemampuannya sebagai metode pengukuran kualitas air
masih dipertanyakan.
Karube dan tim kerjanya juga telah mempublikasi sejumlah paper penelitian yang
menggunakan komposit material oksida sebagai anoda elektrokatalitik. Pada pekerjaan mereka, CuO
yang dilapiskan pada elektroda tembaga telah digunakan sebagai anoda elektrokatalitik [2]. Pada studi
ini elektroda hanya teruji pada beberapa senyawa organik yang dapat dioksidasi dengan mudah.
Namun dalam pengukuran senyawa organik seperti karbohidrat dan asam amino, diperoleh hubungan
yang jelek antara metode COD yang mereka kembangkan dan metode COD standar. Pekerjaan
lainnya telah dilakukan menggunakan elektroda karbon pasta komposit AgO dan CuO [3]. Sayangnya
jumlah senyawa organik yang dapat dioksidasi pada elektroda ini terbatas.
Ada beberapa masalah yang ditemukan ketika menggunakan pendekatan elektrokimia
konvensional pada pengukuran COD sebagaimana dijelaskan di atas. Pertama, kemampuan oksidasi
dari elektroda secara teoritik yang diatur secara kontinyu memberikan kelebihan potensial yang tinggi
dari oksidasi elektrokimia kebanyakan senyawa organik pada elektroda membuat kecepatan oksidasi
air lebih cepat dari pada kecepatan dari oksidasi senyawa organik. Hasil menunjukkan bahwa sinyal
elektrokimia untuk oksidasi senyawa organik biasanya tertutup sinyal yang diakibatkan oleh oksidasi
air. Hal ini sangat berpengaruh besar terhadap sensitifitas, resolusi, reprodusibilitas dan akurasi dari
hasil pengukuran COD. Kedua, hampir tidak mungkin menggunakan elektroda inert yang normal untuk
memperoleh nilai COD yang berarti. Para peneliti sepertinya melihat kembali elektroda elektrokatalitik
yang mempunyai kepekaan tinggi untuk oksidasi senyawa organik. Namun elektroda katalitik yang
diteliti sampai sejauh ini semuanya hanya aktif secara elektrokimia untuk senyawa yang diteliti tersebut.
Sebagai konsekuensinya, reprodusibilitas dari pengujian tidak bisa diharapkan banyak. Ketiga,
kemampuan oksidasi dari elektroda dibatasi oleh kemampuan oksidasi dari elektrokatalis. Pada saat ini,
tidak ada elektrokatalis yang dilaporkan mempunyai kemampuan oksidasi dengan spektrum yang luas
dari polutan organik. Hal ini menjadi masalah yang serius dalam pendekatan ini.
Pada saat ini, semua metode COD yang didasarkan pada prinsip oksidasi elektrokimia,
termasuk yang digunakan dalam instrumen komersial hanya mampu mengoksidasi sangat kecil fraksi
senyawa organik dalam sampel. Dengan kata lain, metode ini memperoleh sinyal analisis dari fraksi
analit yang sangat kecil dalam sampel dan kemudian digunakan untuk memprediksi nilai keseluruhan
COD dalam sampel. Hasil analisis ini dapat bermakna hanya ketika persentase dari komponen yang
terdeteksi terhadap sisa matriks sampel dapat dengan baik ditentukan proporsionalitasnya. Hal ini
kelihatannya hampir tidak mungkin untuk dicapai secara praktis karena matriks sampel berubah dari
satu sisi ke sisi lainnya dan walaupun pada sisi yang sama, akan berubah dari waktu ke waktu. Untuk
meminimasi efek matriks ini dengan menggunakan standar kalibrasi masih belum memberikan hasil
yang teliti untuk membawa hasil analisis yang diperoleh dari metode ini in-line dengan metode standar
COD. Persoalan ini disebabkan oleh karena tidak ada standar umum dapat didefinisikan untuk COD
sebagai parameter organik. Sebagai hasil, nilai COD yang diperoleh dengan menggunakan metode ini
rupanya masih dipertanyakan. Sebagai tambahan, metode elektrokimia untuk analisis COD yang
mengalami pengaruh elektroda oleh penyerapan senyawa organik yang tak dapat dioksidasi atau
dipolimerisasi dari intermediate oksidasi.
Beberapa tahun terahir ini, Karube telah melaporkan suatu metodologi baru untuk pengujian
COD yang didasarkan pada prinsip fotokatalitik [2,3]. Pendekatan ini menggunakan partikel TiO
2

sebagai fotokatalis untuk mengganti bahan pengoksidasi kuat (misalnya: Cr(VI). Pada proses ini,
konsentrasi oksigen berubah selama degradasi fotokatalitik diukur sebagai sinyal analisis
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565


47
menggunakan sepasang elektroda oksigen. Pengurangan O
2
ini selanjutnya dikorelasikan dengan
metode standar COD.
Pendekatan degradasi fotokatalitik rupanya lebih menjanjikan bila dibandingkan dengan
metode degradasi elektrokatalitik, karena kemampuan oksidasi yang tinggi dari partikel TiO
2
yang
terilluminasi. Dilain pihak, pendekatan tersebut mengalami beberapa masalah: (i) kurangnya fraksi yang
terdegradasi, yang merupakan permasalahan untuk analisis sampel, (ii)kurangnya sensitifitas yang
disebabkan oleh perubahan yang kecil pada konsentrasi oksigen selama degradasi, (iii) terbatasnya
daerah kerja dinamik yang umumnya disebabkan oleh rendahnya kelarutan oksigen dalam air dan (iv)
perlunya mengontrol suhu eksperimen selama pengukuran konsentrasi oksigen oleh elektroda oksigen
yang sangat tergantung pada tingginya temperatur, (v) rendahnya efisiensi degradasi membuat metode
tersebut juga tergantung pada matriks, selanjutnya mempersyaratkan sistem harus dikalibrasi untuk
mengoreksi pengaruh tersebut. Hal ini tidak saja kurang menyenangkan untuk operasi sistem tetapi
juga mempengaruhi akurasi dan reprodusibilitas dari metode, dengan kata lain metodenya tidak sensitif
dan tidak reprodusibel [2]. Pada penelitian yang dilakukan oleh Zhao, dkk [4]

yang telah melakukan
pengembangan metode alternatif pengukuran COD, juga masih mengalami kendala yang serius
dengan permasalahan pokok adalah rendahnya daerah kerja linier yang hanya mencapai kemampuan
mengukur COD sekitar 60mg/L O
2
.
Ringkasnya pada saat ini, masih belum ada metodologi yang sederhana, cepat, akurat dan
reprodusibel untuk menggantikan metode COD konvensional. Peluang ini memberikan kesempatan
untuk mengkaji metodologi baru yang dapat memberi kontribusi penanganan masalah pada sejumlah
kekurangan peneliti sebelumnya.

TATA KERJA
Penanganan Masalah
Pengembangan sistem sensor COD model baru berbasis fotoelektrokatalitik ini dilakukan
dengan fabrikasi sensor COD: konstruksi yang dikembangkan adalah sel elektrokimia dengan tiga
elektroda. Lapisan tipis TiO
2
di atas gelas ITO difungsikan sebagai elektroda kerja yang dipasangkan
dengan kawat Pt sebagai elektroda bantu dan Ag/AgCl sebagai elektroda pembanding.
Bila elektroda kerja film TiO
2
dikenai sinar ultra violet (~ 400 nm) akan memberikan respon
arus-cahaya awal yang unik. Arus-cahaya ini besarnya proporsional dengan kandungan zat organik
dalam larutan contoh yang diuji. Integrasi evolusi arus-cahaya awal ini terhadap waktu memberikan nilai
muatan (Q = idt; Q= muatan; i= arus; t= waktu) yang proporsional dengan konsentrasi mengikuti
formulasi Faraday (Q = nFCV; n=jumlah elektron yang terlibat; F=konstanta Faraday; C=konsentrasi
analit; dan V=volume). Nilai muatan yang diperoleh, selanjutnya memberikan gambaran nyata
kebutuhan oksigen kimiawi (COD) dalam air contoh.

Material dan Bahan Kimia
Gelas ITO (Indium tin oxide) yang terlapiskan dengan TiO
2
nanopartikel digunakan sebagai sel
fotoelektrokimia. Titanium tetra isopropoksida (97%), Aldrich), HNO
3.pa
. Semua larutan dipreparasi
dengan air yang dideionisasi berkemurnian tinggi (aquabides).

Sintesis Koloid TiO
2
dan Prosedur Imobilisasi
Tipe prosedur sintesis TiO
2
koloid adalah sama dengan yang digunakan oleh peneliti
sebelumnya dengan modifikasi[4]. Prosedur sintesis secara sol-gel ini yakni sintesis TiO
2
nanosize
secara refluks hidrotermal, untuk lapisan tipis yang transparan.
Sebanyak 15 mL larutan titanium isopropoksida dalam isopropanol ditambahkan secara
perlahan ke dalam 150 mL aquades yang mengandung 1mL asam nitrat pada temperatur kamar dan
disertai pengadukan rata. Hidrolisis ion titanium terjadi secara cepat, membentuk nonstoichiometric
titanium oksida dan hidroksida serbuk. Setelah hidrolisis serbuk dipanaskan hingga 80
o
C dan diaduk
selama 3 x 24jam untuk destruksi dari aglomerat dan redispersi ke dalam partikel primer. Selanjutnya
dilakukan imobilisasi dengan metode dip-coating.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendekatan Konseptual Pengukuran COD yang Dikembangkan
Sensor COD yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sistem sel elektrokimia berisi
tiga elektroda, yaitu: elektroda kerja film TiO
2
(dilapiskan pada ITO glass); elektroda bantu berupa
anyaman kawat platina; dan Ag/AgCl sebagai elektroda pembanding. Ketika elektroda dicelupkan ke
dalam larutan analit maka akan terjadi adsorpsi spesi kimia oleh permukaan TiO
2
dan diikuti reaksi
Muh Nurdin
*
, Muh.Natsir
*
,Maulidiyah
*
, Jarnuzi Gunlazuardi** : Pengembangan Metode Analisis Chemical Oxygen Demand Model
Baru



48
redoks, jika pada saat bersamaan permukaan TiO
2
dikenai sinar UV yang sesuai dan sistem
elektrokimia dijalankan.
Pertama-tama analit dalam larutan akan teradsorpsi oleh permukaan aktif TiO
2
sehingga
konsentrasi analit di sekitar permukaan TiO
2
lebih pekat (C
1
) dibandingkan konsentrasi analit di dalam
larutan bulknya (C
1
). Selanjutnya pada saat permukaan TiO
2
diilluminasi dengan sinar UV maka akan
berlangsung proses fotokatalisis yang diawali dari pembentukan pasangan elektron dan hole positif.
Dalam sistem fotoelektrokimia, elektron yang dihasilkan akan dibawa dari material bulk TiO
2
melalui
ITO menuju ke elektroda bantu. Sebaliknya hole yang dihasilkan akan dibawa ke permukaan TiO
2

membentuk radikal OH untuk mengoksidasi senyawa organik pada larutan, sehingga analit pada film
TiO
2
didegradasi menjadi molekul kecil dan akan terdesorpsi dari permukaan katalis.
Pemisahan elektron-hole ini akan meningkat dengan pemberian potensial bias positif pada TiO
2

yang tercelup di dalam larutan, sebagai akibat terbentuknya medan listrik di dekat antarmuka, sehingga
permukaan TiO
2
bersifat anodik. Dalam situasi ini rekombinasi elektron dan hole dapat dihindari karena
elektron akan dijauhkan dari hole dengan cara memindahkannya ke larutan melalui elektroda bantu
yang bersifat katodik. Dengan cara demikian potensial bias meningkatkan pemisahan muatan sehingga
efisiensi pembentukan radikal OH makin tinggi. Fenomena ini disebut efek pengayaan medan listrik (
electric field enhancement)[5].
Pada proses oksidasi oleh hole maupun radikal OH pada permukaan TiO
2
akan
menghasilkan arus-cahaya awal (initial photocurrent). Selanjutnya arus-cahaya tersebut akan turun
ketika senyawa organik yang berada dipermukaan telah habis dioksidasi, sehingga terjadilah proses
difusi pada batas imaginer C
1
dengan C
1
. Arus-cahaya akan terus menurun sampai akhirnya laju
oksidasi setara dengan laju difusi sehingga tercapai nilai arus-cahaya yang mendatar (steady state
photocurrent). Gradien konsentrasi yang terjadi ini bersifat dinamis, yakni apabila salah satu daerah
mendapat gangguan maka akan disetimbangkan oleh daerah disebelahnya, dan terjadi korelasi
proporsional antara permukaan anoda dan badan larutan.
Dalam kasus susunan sel, dimana film TiO
2
nya dibuat anodik peristiwa ini akan berbarengan
dan proporsional dengan aliran elektron dari analit ke film TiO
2
(hole positif), yang dapat diindikasikan
dari munculnya arus-cahaya awal. Terdesorpsinya hasil degradasi analit akan menyisakan tempat
kosong yang akan menggerakkan difusi analit dari badan larutan ke permukaan anoda, yang











CB
VB
H
2
O
o
OH
(3)
(4)
(2)
(e
-
)
(h
+
)
(1)
POTENTIOSTAT
(e
-
) (e
-
)
UV Light
~400 nm
UV Light
~400 nm
Counter
electrode
Working
electrode
ITO TiO
2

o
O
2
-
O
2

(5)
a.
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565


49


Gambar 1 ; [a] Diagram pendekatan konseptual proses fotoelektrokatalitik yang dilibatkan dalam
pembangkitan signal analisis pada sensor COD: (1). Eksitasi elektron dari VB (pita valensi) ke CB
(pita konduksi);(2) pembangkitan elektron-hole oleh bias potensial;(3) pembentukan
o
OH; (4)
photocurrent dan elektron ke eksternal sirkuit; (5) pembentukan
o
O
2
-
. [b]. Konseptual pengukuran dan
bagian yang bertanggungjawab terhadap timbulnya intial photocurrent serta steady state
photocurrent. [c]. Hasil linier scan NaNO
3
0,1M dengan elektroda kerja TiO
2
, elektroda bantu Pt dan
elektroda referens Ag/AgCl, scan rate 0,5 V/jam,potensial 0,10 0,11V.

segera juga akan terdegradasi kembali selama asupan foton masih ada, dan proses ini akan berulang
dan menghasilkan arus listrik (steady state photocurrent). Jika lampu dimatikan maka tidak terjadi
proses fotokatalisis sehingga tidak akan ada arus listrik sebagai akibat fenomena yang disebutkan di
atas. Arus-cahaya awal akan bisa diamati lagi bila setelah terjadi akumulasi analit kembali, kemudian
permukaan TiO
2
diilluminasi dengan sinar UV lagi.
Fenomena di atas terjadi berulang selama analit masih ada di badan larutan, karenanya
pengukuran arus-cahaya awal dapat dilakukan berulang ulang. Oleh karena ruang virtual tempat
akumulasi analit pada permukaan anoda sangat kecil jika dibandingkan dengan ruang bulk larutan,
maka kehilangan analit setiap kali pengukuran relatif sangat kecil. Observasi evolusi arus-cahaya yang
ditampilkan pada Gambar 1 mencerminkan keberadaan fenomena yang berlangsung pada permukaan
elektroda kerja.
Gambar 1.c. di atas representasi observasi evolusi arus dalam sensor COD yang
dikembangkan. Pada detik ke-10, lampu UV dihidupkan, terjadi kenaikan arus yang cukup tinggi,
hingga ke kondisi steady state photocurrent, kemudian pada detik ke-60 lampu UV dimatikan, terjadi
penurunan arus yang drastis menuju ke kondisi awal. Fenomena ini menunjukan adanya evolusi arus-
cahaya yang muncul karena adanya fotokatalisis dan proses yang terjadi pada permukaan. Konsep ini
merupakan dasar perhitungan nilai muatan (Q) untuk penentuan COD.

Pengukuran Secara Fotoelektrokimia
Fundamental dari fotoelektrokimia dan fotokatalis heterogen pada semikonduktor telah
didokumentasikan dengan baik[6-9]. Studi ekstensif dari proses-proses oksidasi fotokatalitik pada
permukaan TiO
2
untuk aplikasi yang bervariasi juga telah dilaporkan[4-8]. Pada studi ini, dilakukan
pendekatan yang unik, dimana arus-cahaya awal dari sampel dapat diukur pada elektroda TiO
2

semikonduktor nanopartikel melalui proses degradasi oksidasi fotoelektrokimia. Dengan metode baru
ini, secara sederhana degradasi bahan organik diukur dengan mengkuantifikasi langsung dari transfer
elektron pada elektroda lapisan TiO
2
nanopartikel selama proses oksidasi fotoelektrokatalitik.
Selanjutnya secara rinci dijelaskan proses terjadinya arus-cahaya awal dan arus-cahaya pada sel
fotoelektrokatalitik yang dikembangkan untuk sensor COD.
c
Bulk solution
C
1
C
1


Diffusion

Steady state photocurrent
Initial photocurrent
Virtual space for adsorbed analyte
responsible for initial photocurrent
TiO
2
film ITO film
b.
Muh Nurdin
*
, Muh.Natsir
*
,Maulidiyah
*
, Jarnuzi Gunlazuardi** : Pengembangan Metode Analisis Chemical Oxygen Demand Model
Baru



50
Pembangkitan Arus-Cahaya
Ketika TiO
2
menyerap sinar, elektron semikonduktor dipromosikan ke pita konduksi (e
cb
-), dan
hole ditinggalkan pada pita valensi (h
vb
+). Ditinjau dari posisinya mereka sangat dekat satu dengan
lainnya sebagaimana disebut pasangan elektron-hole, dan mereka dengan mudah mengalami
rekombinasi. Pada antarmuka bulk semikonduktor/elektrolit, medan listrik yang diberikan memisahkan
posisi pasangan elektron/hole.
Pada permukaan TiO
2
nanopartikel sistem serbuk, elektron tersebut terperangkap oleh gugus
permukaan tetapi dari segi posisinya masih sangat dekat satu dengan yang lainnya[10]. Dalam sistem
seperti ini, efisiensi reaksi fotokatalisis tergantung pada kinetika reaksi permukaan, khususnya transfer
elektron ke badan larutan. Untuk degradasi senyawa organik secara fotokatalitik dalam air pada sistem
serbuk, akseptor elektron, seperti oksigen, diperlukan untuk menghilangkan fotoelektron dari
permukaan katalis. Reaksi oksidasi dari senyawa organik oleh fotohole yang ditangkap permukaan dan
reaksi reduksi dari akseptor elektron terjadi pada partikel yang sama. Pelambatan dari salah satu
proses akan memfasilitasi rekombinasi dari fotoelektron dan fotohole [11], menyebabkan reaksi
fotokatalisis tidak dapat berlangsung.
Pada pendekatan penelitian ini, TiO
2
nanopartikel diimmobilisasi ke dalam substrat yang
menghantar, membentuk elektroda berlapis TiO
2
nanoporous. Elektroda tersebut memiliki luas
permukaan yang besar dan TiO
2
fotokatalis nanopartikel mampu memfasilitasi oksidasi fotokatalitik dari
senyawa organik yang melebihi oksidasi air. Elektroda berlapis TiO
2
nanopartikel ini digunakan sebagai
elektroda kerja dalam sel fotoelektrokimia dengan sistem tiga elektroda. Dengan memberikan potensial
bias positif (+0.1Volt) pada elektroda kerja dan iluminasi sinar UV maka oksidasi fotokatalitik dari
senyawa organik akan berlangsung pada elektroda kerja.
Dalam sistem fotoelektrokimia ini fotoelektron yang terbentuk, melewati sirkuit eksternal,
dipaksa mengalir ke elektroda bantu, dimana akan terjadi reduksi dari air atau oksigen (Gambar 1).
Arus-cahaya ini dimonitor dan memberi pengukuran langsung dari oksidasi senyawa organik pada
permukaan elektroda kerja, dan digunakan sebagai sinyal analitik.

Respon antara Arus-Cahaya dan Potensial
Profil intensitas siklik voltametri pada Gambar 2, dimana pada kondisi gelap, arus yang
dihasilkan berada pada daerah nol, namun setelah diberikan sinar UV maka terjadi kenaikan arus yang
disebut arus-cahaya.
Photocurrent (arus-cahaya), yaitu perbedaan antara arus yang diamati selama irradiasi
dengan sinar UV dan yang diamati dalam keadaan gelap, yaitu dengan mengukur kecepatan dari
muatan yang melintasi antara muka semikonduktor/elektrolit dan selanjutnya dapat diambil sebagai
pengukuran dari kecepatan pembentukan OH
o
pada antarmuka. Arus-cahaya dari elektroda sol-gel
TiO
2
sebagai fungsi dari applied potensial yang diukur ditunjukkan pada Gambar 2.

-0.0012
-0.001
-0.0008
-0.0006
-0.0004
-0.0002
0
0.0002
0.0004
-1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2
Potensial (Volt)
A
r
u
s

(
A
m
p
e
r
e
)
Gelap
UV

Gambar 2. Respon antara arus dan potensial dari lapisan tipis TiO
2
Sol-gel: Siklik voltametri NaNO
3

0,1M dengan scan rate 100 mV/s dan potensial 0,5 sampai 1,5 V.

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565


51
Dari hasil siklik voltamogram tersebut di atas terlihat bahwa fotokatalitik pada sistem yang
dibuat sudah berjalan dengan baik (sudah aktif)

Pengukuran Arus-Cahaya dan Muatan (Q)
Gambar 3 menunjukkan satu set tipe profil arus-cahaya terhadap waktu yang diperoleh
selama degradasi senyawa organik pada lapis tipis sel fotoelektrokimia. Kronologi terbentuknya initial
photocurrent (arus-cahaya awal) dan steady state photocurrent dapat dilihat pada gambar tersebut
yang sejalan dengan penjelasan pendekatan konseptual di atas Dimana pada detik ke-0 lampu UV
masih mati sehingga yang terjadi hanyalah proses adsorbsi dan tidak terlihat adanya arus listrik. Pada
detik ke 10, lampu UV dihidupkan sehingga terjadi oksidasi senyawa organik pada lapisan permukaan
TiO
2
, maka timbullah arus-cahaya awal yang tinggi. Selanjutnya terjadi difusi dari larutan bulknya (C
1
)
ke larutan pada lapisan C
1
yang telah habis teroksidasi sehingga konsentrasi pada lapisan C
1
akan
naik kembali (lihat Gambar 1 untuk ilustrasi). Lapisan ini akan terus mengalami oksidasi sampai
diperoleh arus yang mendatar (steady state) pada detik ke 25. Peristiwa ini berlangsung pada potensial
konstan yang diberikan yaitu +0.1V. Untuk blanko (kurva a) arus-cahaya yang dihasilkan murni dari
oksidasi air, sementara arus-cahaya yang diamati dari larutan sampel mengandung senyawa organik
(kurva b) terdiri dari dua komponen arus, satu dari oksidasi fotoelektrokatalitik dari zat organik dan yang
lain dari oksidasi elektrolit lain dalam air. Ketika semua bahan organik dalam sampel dikonsumsi, arus-
cahaya dari larutan sampel drop ke tingkat yang sama dengan blanko.
Untuk periode waktu yang diberikan, muatan yang lewat untuk kedua blanko dan larutan
sampel dapat diperoleh dengan integrasi dari arus-cahaya dengan waktu. Muatan Q berasal dari
oksidasi organik dapat diperoleh dengan memperkurangkan muatan blanko dari muatan sampel, yang
ditunjukkan sebagai area yang kosong (perbedaan kurva a dan kurva b) pada Gambar 3.

Gambar 3. Profile respon arus dan waktu dari lapisan tipis TiO
2
Sol-gel.( a= NaNO
3
0,1M; b= NaNO
3

0,1M yang mengandung senyawa organik).

Oleh karena kemampuan oksidasi yang kuat dari fotohole, oksidasi fotokatalitik dari senyawa
organik pada elektroda TiO
2
akan menghasilkan stoikiometri reaksi oksidasi dari senyawa organik
seperti berikut:

C
y
H
m
O
j
N
k
X
q
+ (2y-j)H
2
O yCO
2
+ qX
-
+kNH
3
+ (4y-2j+m-3k)H
+
+(4y-2j+m-3k-q)e
-
(1)

Dimana N dan X masing-masing sebagai atom Nitrogen dan atom Halogen. Jumlah dari atom karbon,
hidrogen, oksigen, nitrogen, dan halogen pada senyawa organik di representasikan sebagai y,m,j,k,
dan q. Jumlah elektron dapat dihitung sbb:

n =4y-2j+m-3k-q (2)
Muh Nurdin
*
, Muh.Natsir
*
,Maulidiyah
*
, Jarnuzi Gunlazuardi** : Pengembangan Metode Analisis Chemical Oxygen Demand Model
Baru



52

Untuk mengurangi waktu degradasi dan untuk memaksimumkan efisiensi degradasi,
degradasi katalitik fotoelektrokimia dari bahan organik telah dilakukan dalam lapisan tipis sel
fotoelektrokimia. Proses ini analog dengan reaksi elektrolisis, dimana semua analit dielektrolisis, dan
hukum Faraday dapat digunakan untuk mengkuantifikasi konsentrasi dengan mengukur muatan (Q).
Jika muatan/arus yang dihasilkan adalah hasil dari degradasi fotoelektrokimia dari bahan organik maka:

Q= Idt =Nfvc
(3)
Dimana n adalah jumlah elektron yang ditransfer selama degradasi fotoelektrokatalitik, yang setara 4y-
2j + m-3k-q (lihat persamaan 1); I adalah arus-cahaya dari oksidasi senyawa organik; F adalah
konstanta Faraday; V dan C adalah masing-masing volume sampel dan konsentrasi dari senyawa
organik.
Muatan Q yang diukur adalah pengukuran langsung dari jumlah total elektron yang ditransfer
yang dihasilkan dari degradasi sempurna dari semua senyawa dalam sampel. Jika 1 molekul oksigen
ekuivalen dengan 4 elektron yang ditransfer, maka nilai Q yang diukur dengan mudah dapat dikonversi
ke dalam ekuivalen konsentrasi O
2
(atau kebutuhan oksigen).
Secara teknis pengukuran dan perolehan nilai Q dari Gambar 3 di atas dapat di jelaskan
seperti berikut ini. Dalam larutan blanko dihasilkan arus-cahaya yang kecil, yang merupakan hasil
oksidasi fotoelektrokatalitik elektrolit yang ada dalam air, dan arus-cahaya turun dengan cepat ke arus
steady state. Dalam oksidasi senyawa organik, dihasilkan arus-cahaya yang besar yang merupakan
hasil oksidasi fotokatalitik senyawa organik dan oksidasi fotokatalitik elektrolit lain didalam air.
Penurunan arus-cahaya terus terjadi karena semakin habisnya senyawa organik dalam larutan akibat
degradasi fotokatalitik. Ketika seluruh senyawa organik habis, arus-cahaya turun ke posisi steady state
, yang sama dengan arus oksidasi elektrolit lain dalam air.
Untuk menentukan degradasi fotokatalitik dari senyawa organik perlu pengukuran muatan
bersih (Q
net
) karena degradasi fotokatalitik senyawa organik. Muatan bersih diperoleh dengan
mengurangkan muatan dari oksidasi fotokatalitik elektrolit lain dalam air terhadap muatan total karena
oksidasi fotokatalitik senyawa organik dan elektrolit lain dalam air.
Jika senyawa organik mengalami mineralisasi sempurna, maka oksidasi senyawa organik
tersebut memenuhi persamaan (1) seperti dijelaskan di atas
Jumlah elektron yang ditransfer pada mineralisasi sempurna:

n = 4y-2j+m-3k-q (4)

jumlah elektron transfer untuk beberapa senyawa organik dapat dilihat pada
Hubungan kuantitatif antara muatan bersih dengan konsentrasi substrat mengikuti hukum Faraday.

Q = nFVC = (4y-2j+m-3k-q)FVC = kC (5)

Untuk mendapatkan hubungan bahwa muatan bersih yang diperoleh dari mineralisasi
fotokatalitik senyawa organik benar-benar mencerminkan tingkat degradasi maka diperlukan
konsentrasi equivalent.

C
eq
= nC = (4y-2j+m-3k-q)C (6)
Q = FVC
eq
= kC
eq
(7)

Plot Q terhadap C
eq
diperoleh slope = k yang secara teoritis hanya dipengaruhi oleh volume sel

k = FV (8)

Pada degradasi sempurna, Q merupakan ukuran jumlah total elektron yang dihasilkan dari mineralisasi
sempurna seluruh senyawa di sampel
Karena 1 molekul oksigen equivalen dengan elektron (e) yang ditransfer ( O
2
+ 4H
+
+ 4e
-
2H
2
O )
maka Q dapat dengan mudah dikonversi menjadi konsentrasi oksigen sehingga nilai COD menjadi;

COD (mg/L O
2
) = Q/4FV x 32000 (9)
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010 ISSN 1410-9565


53

Persamaan ini dapat digunakan untuk mengkuantifikasi nilai COD dari sample selama muatan (Q)
dapat diperoleh secara eksperimen sesuai dengan sel fotoelektrokimia yang digunakan, volume (V)
adalah konstanta yang diketahui. Untuk larutan atau standard yang diketahui konsentrasinya maka
dapat dihitung Q teoritis

Q
theo
= nFVC (10)

Sehingga teoritis COD dapat dihitung dengan Q teoritis.

COD
theo

= Q
theo
/ 4FV x 32000 = 8000 nC (11)


KESIMPULAN
Metodologi yang dikembangkan telah memberikan kejelasan pada banyak aspek dari proses
fotokatalitik pada permukaan TiO
2
. Teknik fotoelektrokatalitik lapis tipis telah dikembangkan untuk
mengkuantifikasi degradasi fotokatalitik senyawa organik, yang selanjutnya dapat digunakan untuk
menentukan nilai COD dari sampel yang diukur.
Sebagai aplikasi dari studi sistematik proses fotoelektrokatalitik, telah sukses dikembangkan
sebagai metode analisis COD yang dicapai pada degradasi bahan organik dan perolehan sinyal
analisis atau arus-cahaya (photocurrent) pada waktu yang bersamaan.
Prinsip analisis COD secara fotoelektrokimia yang baru telah diusulkan dan terbukti secara
eksperimental. Pengembangan metode pengukuran COD ini juga telah sukses diterapkan untuk
menentukan secara kuantitatif yang didasarkan pada jumlah transfer elektron yang diukur dan dihitung
masing-masing dengan arus yang diperoleh dan selanjutnya dikonversi dalam rumus Faraday sebagai
nilai muatan Q (Q= Idt = nFVC)
Nilai Q yang diperoleh dari data arus-cahaya versus waktu pada sistem fotolektrokatalisis yang
dikembangkan memberikan nilai COD teoritik. Secara empiris nilai Q ini proporsional dengan
konsentrasi zat organik dalam larutan dan berkesesuaian dengan nilai COD yang diukur. Metode ini
pada penerapannya hanya memerlukan waktu pengukuran sekitar 1 menit dan penggunaan reagen
yang sangat sedikit (hanya elektrolit).
Secara rinci kesimpulan dari penelitian yang dilakukan adalah sensor COD untuk analisis
kebutuhan oksigen kimiawi (Chemical Oxygen Demand) secara fotoelektrokatalisis telah berhasil
dikembangkan, dimana nilai muatan (Q) sebagai hasil integrasi arus-cahaya dalam rentang waktu
beberapa detik sebanding dengan kandungan zat organik dalam air dan dapat dikonversikan menjadi
nilai COD. Metode analisis COD yang baru, cepat, langsung, ramah lingkungan dan absolut ini
didasarkan pada prinsip degradasi fotoelektrokatalitik dari bahan organik pada sel lapis tipis.



UCAPAN TERIMA KASIH
DP2M-DIKTI, atas Hibah Riset Unggulan Strategis Nasional 2009-2010.

DAFTAR PUSTAKA
[1] APHA: Standard Methods for the Examination of Water & Wastewater 18
th
Ed. Washington,
(1992).
[2] Kim, Y.C., Sasaki, S., Yano, K., Ikebukuro, K., Hashimoto, K and Karube, I: Relationship
between Theoretical Oxygen Demand and Photocatalytic Chemical Oxygen Demand for
Specific Classes of Organic Chemicals. Analyst (2000) 125, 1915-1918.
[3] Kim, Y.C., Sasaki,S., Yano, K., Ikebukuro, K., Hashimoto, K., and Karube, I: A Flow Method
with Photocatalytic Oxidation of Dissolved Organic Matter Using a Solid-Phase (TiO
2
) Reactor
Followed by Amperometric Detection of Consumed Oxygen. Anal. Chem .(2002) 74, 3858-
3864.
[4] Zhao, H., Jiang, D., Zhang, S., Catterall Kylie, and John, R: Development of Direct
Photoelectrochemical Method for Determination of Chemical Oxygen Demand. Anal. Chem.
(2004) 76: 155-160.
Muh Nurdin
*
, Muh.Natsir
*
,Maulidiyah
*
, Jarnuzi Gunlazuardi** : Pengembangan Metode Analisis Chemical Oxygen Demand Model
Baru



54
[5] Harper, J.C., Christensen,P.A., Egerton, T.A, Curtis,T.P., and Gunlazuardi,J:Effect of
Catalyst Type on the Kinetics of the Photoelectrochemical Disinfection of Water Inoculated
with E.coli Journal of Applied Electrochemistry. (2001) 31, 623-628.
[6] Fujisima, A., and Honda, K: Electrochemical Photolysis of Water at A Semiconductor
Electrode. Nature. (1972) 238, 3738.
[7] Zanoni, M., Sene, J., Selcuk, H. and Anderson, M.A: Photoelectrocatalytic Production of
Active Chlorine on Nanocrystalline Titanium Dioxide Thin-Film Electrodes. Environ. Sci.
Technol. (2004) 38, 3203-3208.
[8] Blount, M.C., Kim, D.H., and Falconer, J.L:Transparent Thin-Film TiO
2
Photocatalyst with
High Activity. Environ. Sci. Technol. (2001) 35, 2988-2994.
[9] Elangovan.E., and Ramamurthi, K., Effect of Substrate Temperatur on Electrical and Optical
Properties of Spray Deposited SnO
2
:Sb Thin Films. Journal of Optoelectronics and Advanced
Materials. (2003). Vol. 5, No. 2. June: 415-420.
[10]

Harper, J.C., Christensen, P.A., Egerton, T.A., and Scott, K: Mass Transport Characterization
of a Novel Gas Sparged Photoelectrochemical Reactor. J. App. Electrochem. (2001) 31, 267-
273.
[11]

Jorge, S.M.A., Sene, J.J, and Florentino. A.O: Photoelectrocatalytic Treatment of p-
nitrophenol using Ti/TiO
2
Thin-film Electrode. Journal of Photochemistry and Photobiology A:
Chemistry (2005)174:7175.

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010


SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH




Pedoman Penulisan Naskah

Redaksi Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah menerima naskah/makalah karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian
dan pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah,
dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan untuk penerbitan pada bulan Juni dan
Desember setiap tahun.
Ketentuan penulisan naskah :
1. Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan berupa karya tulis ilmiah dari hasil penelitian, survei, pengkajian atau
studi literatur.
2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan format: menggunakan kertas A4, 1 kolom dengan
margin atas, bawah, kiri dan kanan masing-masing 3 cm (1,18). Gunakan jenis huruf Arial ukuran 9. Jumlah halaman
naskah termasuk gambar dan tabel maksimal 20 halaman,
3. Sistematika penulisan meliputi JUDUL, ABSTRAK, KATA KUNCI, PENDAHULUAN, TATA KERJA, HASIL DAN
PEMBAHASAN, KESIMPULAN, UCAPAN TERIMA KASIH (bila ada), DAFTAR PUSTAKA. Untuk makalah pengkajian
dan perancangan dapat menyesuaikan.
4. Judul tulisan menggunakan huruf Kapital, bold, font 14. Nama penulis dicantumkan tanpa gelar, bold, font 11,
sedangkan alamat penulis berupa Nama Unit Kerja, Instansi dan alamat Instansi.
5. Abstrak tidak melebihi 250 kata, dengan spasi 1, font 9 dan Judul tulisan dicantumkan kembali di dalam abstrak sebagai
kalimat pertama. Abstrak berbahasa Inggris ditulis dalam format Italic.
6. Bab dan Sub-bab dalam tulisan tidak bernomor tapi dibedakan dengan huruf besar dan huruf kecil, bold, font 9
7. Penulisan Tabel dan Gambar dibelakangnya diserta dengan angka Arab dan penjelasannya. Contohnya:
i) . Tabel 1. Hasil Analisis X-RF (ditulis di atas Tabel)
ii) . Gambar 2. Kurva Kesetimbangan . (ditulis di bawah Gambar)
8. Pustaka yang dikutip dalam teks diberi nomor angka Arab di belakangnya sesuai dengan urutan pemunculan dalam
Daftar Pustaka. Contoh: Standar IAEA memberi arahan bahwa kegiatan siting umumnya dilaksanakan melalui 4
tahapan utama [3],...
9. Penulisan Daftar Pustaka menggunakan format sebagai berikut:

Buku referensi :
[1] Akhmediev, M. and Ankiewicz, Y.: A Solution, Nonlinear Pulses and Beams, Chapman & Hall, London (1997).

Artikel yang terdapat dalam buku referensi:
[2] Dean, R.G.: Freak waves: A Possible Explanation, in Water Wave Kinetics, Editor: Torum, A and Gudmestad, O.T.,
Kluwer, Amsterdam, 609 612, (1990).

Artikel dari jurnal :
[3] Choppin, G.R.: The Role of Natural Organics in Radionuclide Migration in Natural Aquifer Systems, Radiochim.
Acta 58/59, 113, (1992)

Artikel dalam proceeding
[4] Chung, F., Erds, P., Graham , R.: On Sparse Sets Hitting Linear Forms, Proc. of the Number Theory for the
Millennium, I, Urbana, IL, USA, 57 72, (2000).

10. Dewan Redaksi berhak untuk menolak suatu tulisan yang dianggap tidak memenuhi syarat.
11. Dewan Redaksi dapat mengedit naskah tanpa mengurangi makna.
12. Isi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
13. Naskah diserahkan dalam bentuk cetakan 2 rangkap disertai compact disk (CD) berisi file naskah dalam format MS
Word.

Anda mungkin juga menyukai