Anda di halaman 1dari 86

ISSN 1410 9565

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010


SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010
Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH

Volume 13 Nomor 1 Juni 2010

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif


Badan Tenaga Nuklir Nasional

Jakarta
J. Tek. Peng. Lim. Vol. 13 No. 1 Hal. 1-79 Juni 2010 ISSN 1410-9565

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010


SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH


Volume 13 Nomor 1 Juni 2010

Jurnal enam bulanan


Pertama terbit Juni 1998

Penanggung Jawab / Pengarah

Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc.


(Ka. PTLR BATAN)

Pemimpin Redaksi merangkap Ketua Editor

Dr. Ir. Budi Setiawan M.Eng. (PTLR BATAN)

Editor

Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc. (PTLR BATAN)


Dr. Pratomo Budiman Sastrowardoyo (PTLR BATAN)
Dr. Sri Harjanto (Universitas Indonesia)
Dr. Thamzil Las (Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah)
Heny Suseno, S.Si., M.Si. (PTLR BATAN)
Ir. Sucipta, M. Si. (PTLR BATAN)

Mitra Bestari

Dr. Sahat M. Panggabean (Kementerian Negara Riset dan Teknologi)


Dr. Muhammad Nurdin (Universitas Haluoleo)

Tim Redaksi

Endang Nuraeni, S.T.


Yanni Andriani, S.T.
Adi Wijayanto, A.Md.

Penerbit

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif


Badan Tenaga Nuklir Nasional
Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15310, Indonesia
Tel. +62 21 7563142, Fax. +62 21 7560927
e-mail : ptlr@batan.go.id


Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010
SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH


Volume 13 Nomor 1 Juni 2010

Jurnal enam bulanan


Pertama terbit Juni 1998

Penanggung Jawab / Pengarah

Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc.


(Ka. PTLR BATAN)

Pemimpin Redaksi merangkap Ketua Editor

Dr. Ir. Budi Setiawan M.Eng. (PTLR BATAN)

Editor

Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc. (PTLR BATAN)


Dr. Pratomo Budiman Sastrowardoyo (PTLR BATAN)
Dr. Sri Harjanto (Universitas Indonesia)
Dr. Thamzil Las (Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah)
Heny Suseno, S.Si., M.Si. (PTLR BATAN)
Ir. Sucipta, M. Si. (PTLR BATAN)

Mitra Bestari

Dr. Sahat M. Panggabean (Kementerian Negara Riset dan Teknologi)


Dr. Muhammad Nurdin (Universitas Haluoleo)

Tim Redaksi

Endang Nuraeni, S.T.


Yanni Andriani, S.T.
Adi Wijayanto, A.Md.

Penerbit

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif


Badan Tenaga Nuklir Nasional
Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15310, Indonesia
Tel. +62 21 7563142, Fax. +62 21 7560927
e-mail : ptlr@batan.go.id

i

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010
SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010


JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH
Volume 13 Nomor 1 Juni 2010

Pengantar Redaksi

Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah, Volume 13
Nomor 1, Juni 2010. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah memuat karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian dan
pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah,
dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan.
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah pada tahun ini melakukan proses Re-akreditasi dan telah mendapatkan
kembali Sertifikat Akreditasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) No. 284/AU1/P2MBI/05/2010, SK Kepala LIPI Nomor :
452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010 dengan Akreditasi B. Harapan dari Dewan Redaksi semoga akreditasi ini akan memberikan
gairah baru serta dapat memacu kreativitas bagi para fungsional untuk menulis dan memasukkan karya tulis ilmiah di masa
yang akan datang.
Semoga penerbitan jurnal ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk dijadikan acuan dalam
pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan pengelolaan limbah.

Jakarta, Juni 2010

ii
Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010
SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010


JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH
Volume 13 Nomor 1 Juni 2010

Daftar Isi

Aisyah : Pengelolaan Sumber Radiasi Bekas Radioterapi ( 1-13 )

Heru Sriwahyuni, Suryantoro : Pengaruh Kandungan Limbah Resin dan Bahan Aditif Bentonix Terhadap Karakterisasi Hasil
Sementasi ( 14-21 )

Wati : Tahanan Jenis Gelas-limbah dan Kapasitas Panas Untuk Operasi Melter Pada Vitrifikasi Limbah Cair Aktivitas Tinggi
( 22-29 )

Sucipta, B.Setiawan, Pratomo B.S., D.Suganda : Pemilihan Wilayah Potensial Untuk Disposal Limbah Radioaktif di Pulau
Jawa dan Sekitarnya ( 30-42 )

Budi Setiawan : Interaksi Radiocesium Dengan Host Rock Dibawah Pengaruh pH dan Kekuatan Ion Larutan ( 43-48 )

Heny Suseno, Sumi Hudiyono PWS., Budiawan, Djarot S Wisnubroto ; Bioakumulasi Merkuria Anorganik dan Metil
Merkuri Oleh Oreochromis Mossambicus: Pengaruh Konsentrasi Merkuri Anorganik dan Metil Merkuri Dalam Air ( 49-62 )

Muh. Nurdin, Maulidiyah ; Particle Size Analysis of Titanium Dioxide By Atomic Force Microscopy ( 63-71 )

Heni Susiati, Eko Kusratmoko, Aris Poniman : Pola Sebaran Sedimen Tersuspensi Melalui Pendekatan Penginderaan Jauh
di Perairan Pesisir Semenanjung Muria ( 72-79 )

iii
Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010
SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010


JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH

Pedoman Penulisan Naskah

Redaksi Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah menerima naskah/makalah karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian
dan pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah,
dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan untuk penerbitan pada bulan Juni dan
Desember setiap tahun.
Ketentuan penulisan naskah :
1. Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan berupa karya tulis ilmiah dari hasil penelitian, survei, pengkajian atau
studi literatur.
2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan format: menggunakan kertas A4, 1 kolom dengan
margin atas, bawah, kiri dan kanan masing-masing 3 cm (1,18). Gunakan jenis huruf Arial ukuran 9. Jumlah halaman
naskah termasuk gambar dan tabel maksimal 20 halaman,
3. Sistematika penulisan meliputi JUDUL, ABSTRAK, KATA KUNCI, PENDAHULUAN, TATA KERJA, HASIL DAN
PEMBAHASAN, KESIMPULAN, UCAPAN TERIMA KASIH (bila ada), DAFTAR PUSTAKA. Untuk makalah pengkajian
dan perancangan dapat menyesuaikan.
4. Judul tulisan menggunakan huruf Kapital, bold, font 14. Nama penulis dicantumkan tanpa gelar, bold, font 11,
sedangkan alamat penulis berupa Nama Unit Kerja, Instansi dan alamat Instansi.
5. Abstrak tidak melebihi 250 kata, dengan spasi 1, font 9 dan Judul tulisan dicantumkan kembali di dalam abstrak sebagai
kalimat pertama. Abstrak berbahasa Inggris ditulis dalam format Italic.
6. Bab dan Sub-bab dalam tulisan tidak bernomor tapi dibedakan dengan huruf besar dan huruf kecil, bold, font 9
7. Penulisan Tabel dan Gambar dibelakangnya diserta dengan angka Arab dan penjelasannya. Contohnya:
i) . Tabel 1. Hasil Analisis X-RF (ditulis di atas Tabel)
ii) . Gambar 2. Kurva Kesetimbangan . (ditulis di bawah Gambar)
8. Pustaka yang dikutip dalam teks diberi nomor angka Arab di belakangnya sesuai dengan urutan pemunculan dalam
Daftar Pustaka. Contoh: Standar IAEA memberi arahan bahwa kegiatan siting umumnya dilaksanakan melalui 4
tahapan utama [3],...
9. Penulisan Daftar Pustaka menggunakan format sebagai berikut:

Buku referensi :
[1] Akhmediev, M. and Ankiewicz, Y.: A Solution, Nonlinear Pulses and Beams, Chapman & Hall, London (1997).

Artikel yang terdapat dalam buku referensi:


[2] Dean, R.G.: Freak waves: A Possible Explanation, in Water Wave Kinetics, Editor: Torum, A and Gudmestad, O.T.,
Kluwer, Amsterdam, 609 612, (1990).

Artikel dari jurnal :


[3] Choppin, G.R.: The Role of Natural Organics in Radionuclide Migration in Natural Aquifer Systems, Radiochim.
Acta 58/59, 113, (1992)

Artikel dalam proceeding


[4] Chung, F., Erds, P., Graham , R.: On Sparse Sets Hitting Linear Forms, Proc. of the Number Theory for the
Millennium, I, Urbana, IL, USA, 57 72, (2000).

10. Dewan Redaksi berhak untuk menolak suatu tulisan yang dianggap tidak memenuhi syarat.
11. Dewan Redaksi dapat mengedit naskah tanpa mengurangi makna.
12. Isi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
13. Naskah diserahkan dalam bentuk cetakan 2 rangkap disertai compact disk (CD) berisi file naskah dalam format MS
Word.

iv
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565
Volume 13 Nomor 1 Juni 2010 (Volume 13, Number 1, June, 2010)
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

PENGELOLAAN SUMBER RADIASI BEKAS RADIOTERAPI


Aisyah
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif BATAN
Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310

ABSTRAK
PENGELOLAAN SUMBER RADIASI BEKAS RADIOTERAPI. Saat ini beberapa rumah sakit di
Indonesia telah memanfaatkan sumber radiasi dalam bidang radioterapi baik untuk diagnostik maupun
untuk terapi. Pemanfaatan sumber radiasi tertutup dalam radioterapi antara lain dalam brachyterapy,
teleterapy, bone densitometry, whole blood irradiation ataupun pada gamma radiosurgery knife. Sejalan
dengan ini tentu saja akan ditimbulkan limbah radioaktif yang berupa sumber radiasi bekas. Sumber
radiasi bekas ini harus dikelola dengan benar agar terjamin keselamatan manusia dan lingkungan
hidup. Sesuai dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1997, Pusat Teknologi Limbah Radioaktif
merupakan pusat pengelolaan limbah radioaktif secara nasional. Pada umumnya limbah radioterapi
yang diterima Pusat Teknologi Limbah Radioaktif dari rumah sakit berupa sumber radiasi tertutup 60Co,
137
Cs, dan 226Ra. Perlu dikembangkan beberapa opsi dalam strategi pengelolaan sumber radiasi bekas,
yaitu pengembalian ke pemasok, pengiriman ke pemasok yang lain, pengiriman ke pengguna lain
ataupun pengiriman ke Pusat Teknologi Limbah Radioaktif. Pengelolaan sumber radiasi bekas yang
dilakukan di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif melalui beberapa tahapan proses, yaitu kondisioning,
penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari sumber radiasi bekas yang telah terkondisioning.
Kondisioning sumber radiasi bekas non 226Ra. dilakukan dalam shell drum 200 liter, shell beton 950
ataupun 350 liter tergantung dari aktivitas dan dimensi sumber radiasi bekas. Sumber radiasi bekas
226
Ra dikondisioning dalam tabung baja tahan karat, Long Term Storage Shield dan kemudian
dimasukkan dalam drum 200 liter. Penyimpanan sementara sumber radiasi bekas yang telah
terkondisioning dilakukan di Tempat Penyimpanan Sementara Limbah Radioaktif Aktivitas Rendah dan
Sedang. Tahapan paling akhir dari pengelolaan sumber radiasi bekas radioterapi adalah penyimpanan
lestari sumber radiasi bekas yang telah terkondisioning. Untuk sumber radiasi bekas dengan waktu
paro menengah, penyimpanan lestari dilakukan pada penyimpanan tanah dangkal, sedangkan untuk
sumber radiasi bekas dengan waktu paro panjang penyimpanan lestari dilakukan pada penyimpanan
tanah dalam.
Kata kunci: Sumber radiasi, radioterapi, limbah radioaktif.

ABSTRACT
MANAGEMENT OF SPENT RADIATION SOURCE FROM RADIOTHERAPY. Nowadays the
use of radioactive source for both radiodiagnostic and radiotherapy in Indonesian hospital increases
rapidly. Sealed source used in radiotherapy such as for brachytherapy, teletherapy, bone densitometry,
whole blood irradiation and gamma knife (radiosurgery). Caused the waste of spent radiation sources
were generated. These spent radiation sources must be treated correctly in order to maintain the safety
of both the public and the environment. According to the Act No.10/1997, Radioactive Waste
Management Center is the national appointed agency for the management of radioactive waste. The
option for waste management by hospitals needs to be expound, either by re-exporting to the supplier
of origin, re-exporting to other supplier, re-use by other licensee or sending to the Radioactive Waste
Management Center. Usually the waste sent by the hospitals to the center comprises of sealed
radiation source of 60Co, 137Cs or 226Ra. The management of spent radiation source in the center is
carried out in several steps i.e. conditioning, temporary storage, and long-term storage (final disposal).
The conditioning of non 226Ra is carried out by placing the waste in a 200 litter drum shell, 950 or 350
litter concrete shells, depends on the activity and dimension of the spent radiation source. The
conditioning of 226Ra is carried out by encapsulating the waste in a stainless steel container for long-
term storage shield which then placed in a 200 litter drum shell. The temporary storage of the
conditioned spent radiation source is carried out by storing it in the centers temporary storages, either
low or medium activity waste. Finally, the conditioned spent radiation source is buried in a disposal
facility. For medium half-life spent radiation source , the final disposal is burial it in a shallow-land
disposal; mean while, for long half-life spent radiation source, the final disposal is burial it in a deep
geological disposal .
Keywords: Radiation source,radiotheraphy, radioactive waste.

1
Aisyah : Pengelolaan Sumber Radiasi Bekas Radioterapi

PENDAHULUAN
Aplikasi teknik nuklir dalam bidang kedokteran untuk tujuan diagnostik maupun terapi
dirasakan sangat bermanfaat, baik dengan menggunakan sumber radiasi terbuka maupun sumber
radiasi tertutup (sealed radiation sources). Pemanfaatan radiasi pengion dalam bidang radioterapi
sudah berjalan cukup lama di beberapa rumah sakit di Indonesia. Radioterapi merupakan salah satu
cara yang efektif untuk mengobati penyakit dengan memanfaatkan kemampuan radiasi pengion yang
dapat membunuh sel-sel yang tumbuh abnormal seperti tumor atau kanker. Pada umumnya
radionuklida berumur paro pendek dimanfaatkan sebagai sumber radiasi terbuka, sedangkan dalam
sumber radiasi tertutup memanfaatkan radionuklida berumur paro pendek, menengah maupun panjang
tergantung dari maksud penggunaannya.
Berbeda dengan sumber radiasi terbuka, sumber radiasi tertutup dikemas dalam kapsul
dengan integritas yang tinggi dimana didalam kapsul mengandung radionuklida spesifik dengan
derajad kemurnian yang tinggi. Untuk setiap penggunaan, dipilih jenis radioisotop dengan tingkat
aktivitas yang sesuai dengan tujuan yang dimaksud. Untuk sumber dengan aktivitas tinggi, biasanya
dikemas menggunakan dua buah kapsul baja tahan karat. Radioisotop yang digunakan pada
umumnya berupa sumber pemancar gamma tetapi dapat juga sumber beta untuk keperluan kalibrasi
ataupun sumber alfa untuk penandaan anatomi.
Setiap tahun pemanfaatan sumber radiasi tertutup dalam bidang radioterapi terus meningkat,
sehingga akan menimbulkan sumber radiasi bekas sebagai limbah radioaktif. Sumber radiasi bekas ini
harus dikelola dengan benar agar terjamin keselamatan masyarakat dan lingkungan hidup baik untuk
generasi saat ini yang sedang menikmati pemanfaatan iptek nuklir maupun untuk generasi mendatang.
Dimasa lampau Indonesia banyak menggunakan 226Ra sebagai sumber radiasi yang dipakai
226
dalam brakhiterapi. Sumber radiasi Ra merupakan radionuklida yang berumur panjang, sehingga
akan menyulitkan dalam pengelolaan sumber bekasnya. Oleh karena itu beberapa negara maju telah
menghentikan pemakaian sumber radiasi 226Ra sejak sekitar tahun 1960. Atas rekomendasi
International Atomic Energy Agency (IAEA), Indonesia juga telah menghentikan pemakaian sumber
radiasi 226Ra, sehingga beberapa saat yang lalu terdapat sumber radiasi bekas 226Ra yang masih
tersebar di beberapa rumah sakit. Namun demikian saat ini Departemen Kesehatan (DEPKES) telah
berupaya menarik sumber radiasi bekas tersebut dan dikirim ke Pusat Teknologi Limbah Radioaktif
(PTLR) untuk dikelola, sehingga hanya tinggal sebagian saja sumber radiasi bekas 226Ra yang masih
tersimpan di rumah sakit.
Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1997 pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa
pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan oleh Badan Pelaksana, dalam hal ini Badan Tenaga Nuklir
Nasional (BATAN) sedangkan dalam pasal 24 ayat (1) menyebutkan bahwa penghasil limbah radioaktif
tingkat rendah dan tingkat sedang wajib mengumpulkan, mengelompokkan atau menyimpan sementara
limbah tersebut sebelum diserahkan kepada Badan Pelaksana [1]. Dari kedua pasal ini jelas bahwa
pihak penimbul limbah (dalam bidang radioterapi adalah rumah sakit) yang mempunyai sumber radiasi
bekas wajib menyimpan sementara limbah yang dihasilkannya dengan memenuhi standar keselamatan
sebelum dikirim ke PTLR- BATAN. Adanya kendala dalam pengiriman sumber radiasi bekas ke PTLR,
maka dengan seizin Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) maka pihak pengguna dapat
memperpanjang waktu penyimpanan sementara sumber radiasi bekasnya.
Sampai dengan saat ini banyak rumah sakit di Indonesia telah mengirimkan sumber radiasi
bekas radioterapi ke PTLR untuk dilakukan pengelolaan. Sumber radiasi bekas radioterapi yang
60 137
diterima PTLR berupa sumber tertutup dengan radionuklida Co, Cs, dan 226Ra [2]. Selain
melakukan pengiriman sumber radiasi bekas ke PTLR, terdapat beberapa opsi yang dapat dilakukan
oleh pihak pengguna dalam pengelolaan sumber radiasi bekas radioterapi. Perlu diterapkan strategi
pengelolaan sumber radiasi bekas yang efisien dan efektif agar pengelolaan limbah dapat berjalan
dengan baik. Pengelolaan sumber radiasi bekas meliputi proses kondisioning, penyimpanan sementara
dan penyimpanan akhir.
Tulisan ini menjelaskan tentang pengelolaan sumber radiasi bekas radioterapi yang telah
dilakukan oleh PTLR dan juga hal-hal yang patut dipertimbangkan dalam pengelolaan sumber radiasi
bekas terkait dengan kemajuan pemanfaatan iptek nuklir saat ini. Tulisan ini dibuat pada Tahun 2009
yang merupakan perpaduaan antara kajian dan pengalaman PTLR selama ini dalam menangani
sumber radiasi bekas radioterapi .

PEMANFAATAN SUMBER RADIASI DALAM RADIOTERAPI


Radioterapi merupakan pemanfaatan teknik nuklir dalam bidang kedokteran dengan
menggunakan radionuklida dalam bentuk sumber radiasi terbuka maupun tertutup. Sumber radiasi

2
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

terbuka biasanya digunakan dalam aktivitas rendah, sedangkan sumber radiasi tertutup digunakan
dalam radiologi dengan aktivitas rendah sampai sedang. Tabel 1 dan 2 menyajikan pemanfaatan
sumber radiasi terbuka dan tertutup dalam radioterapi [3].
Sumber radiasi terbuka biasanya digunakan melalui metode in vitro dan in vivo. Pada in vitro
biasanya digunakan cairan radionuklida seperti 25I, 57Co, 58Co dan 14C untuk mempelajari dinamika
fungsi tubuh manusia dengan sampel berada diluar tubuh manusia, sedangkan pada metode in vivo
digunakan untuk mengamati fungsi tubuh menggunakan gamma kamera. Dalam metode in vivo
digunakan radionuklida sebagai tracer dalam memonitor fungsi-fungsi tubuh. Sebagai contoh dosis
untuk 99mTc adalah 40 800 MBq, sedangkan untuk pemakaian radionuklida 67Ga,111In, 201Tl dosis
diatur antara 40 400 MBq. Yodium -131 telah dipakai secara luas dalam pengobatan thyrotoxicosis
dan ablasi jaringan thyroid atau dalam pengobatan penyakit kanker dengan dosis individu 200 MBq -11
GBq [3,4]. againya
Sumber radiasi tebungkus telah digunakan secara luas dalam beberapa terapi dan diagnosis,
seperti dalam brachyterapy secara manual, remote after-loading brachyterapy, teleterapy, blood
irradiation dan untuk maksud lainnya. Dalam penggunaannya, ada beberapa sumber radiasi tertutup
seperti 192I, 137Cs dan 198Au yang ditempelkan langsung pada pasien seperti pada terapi eye plaques.
Brachyiterapy dilakukan dengan cara penyinaran pada jarak sangat dekat bahkan pada kondisi tertentu
sumber radiasi tertutup dimasukkan kedalam tubuh pasien. Sumber radiasi yang digunakan adalah
226
Ra, 137Cs, 60Co dan 192Ir. Sebelum ada rekomendasi IAEA, penggunaan sumber radiasi 226Ra dalam
brachyterapy cukup popular. Saat itu sumber 226Ra yang digunakan mempunyai aktivitas maksimum
4 GBq (100 mg) dengan aktivitas rata-rata sumber sekitar 200 MBq (5,6 mg) untuk yang berbentuk
jarum dan sekitar 260 MBq (7mg) untuk yang berbentuk kapsul. Saat ini penggunaan sumber radiasi
226
Ra dalam brachyterapy telah dihentikan dan diganti dengan sumber radiasi 60Co, 137Cs. Sumber
radiasi tertutup 60Co juga digunakan dalam teleterapi, dalam pisau pembedahan (gamma radiosurgery
knife) dimana kira-kira 200 buah sumber 60Co diarahkan pada bagian yang sangat kecil dari tubuh
pasien. Selain untuk terapi, beberapa sumber radiasi tertutup seperti 137Cs dan 60Co juga digunakan
dalam iradiator sel darah (whole blood irradiation). Saat ini sumber radiasi tertutup juga digunakan
dalam stenosis untuk pelengkap pada angioplasty selama kateterisasi [3,4].

STRATEGI PENGELOLAAN SUMBER RADIASI BEKAS RADIOTERAPI


Dalam setiap pemanfaatan iptek nuklir yang menggunakan bahan radioaktif termasuk
pemanfaatan dalam bidang radioterapi, akan ditimbulkan limbah radioaktif. Limbah radioaktif akan
muncul tatkala sumber radiasi yang digunakan dalam radioterapi menjadi tidak efektif, yaitu ketika:
a) Aktivitas sumber telah meluruh sampai pada aktivitas yang tidak lagi dapat digunakan seperti
tujuan yang dimaksud
b) Prosedur klinis atau program eksperimen menggunakan sumber radiasi ini dihentikan
c) Sumber radiasi bocor ataupun peralatan pendukung operasional untuk sumber radiasi menjadi
kadaluarsa atau sulit dioperasikan.

Sumber radiasi yang sudah tidak efektif dalam pemakainnya, biasanya dikategorikan sebagai
sumber radiasi bekas dan diperlakukan layaknya seperti limbah radioaktif. Limbah radioaktif ini harus
dikelola dengan benar sesuai dengan standar yang berlaku agar terjamin keselamatan masyarakat dan
lingkungan hidup.

Tabel 1. Pemanfaatan Sumber Radiasi Terbuka dalam Radioterapi [3]


Radionuklida Waktu Paro Penggunaan Dosis setiap penggunaan
22
Na 2,605 tahun Diagnosis medis Sampai 1MBq
32
P 14,3 jam Terapi klinis Sampai 200MBq
42
K dan 43K 12,4 dan 22,2 jam Pengukuran klinis Sampai 5MBq
45
Ca 4,54 hari Diagnosis medis Sampai 100 MBq
51
Cr 27,7 hari Pengukuran klinis Sampai 5 MBq
57
Co 271,7 hari Pengukuran klinis Sampai 50 MBq
59
Fe 45,5 hari Pengukuran klinis Sampai 50 MBq
67
Ga 3,3 hari Pengukuran klinis Sampai 200 MBq
67
Cu 2,6 hari Terapi klinis Sampai 1 GBq

3
Aisyah : Pengelolaan Sumber Radiasi Bekas Radioterapi

75
Se 119,78 hari Pengukuran klinis Sampai 10 MBq
75
Br, 76Br 98 menit, 16,2 jam Diagnosis medis -
77
Br 57 jam Pengukuran klinis Sampai 5 MBq
85
Sr 64,8 hari Diagnosis medis Sampai 50 MBq
89
Sr 50,5 hari Terapi klinis Sampai 300 MBq
90
Y 2,7 hari Terapi klinis Sampai 300 MBq
99m
Tc 6,0 jam Pengukuran klinis Sampai 100 MBq
111
In 2,8 hari Pengukuran klinis Sampai 50 MBq
124
I 4,2 hari Diagnosis medis Sampai 500 MBq
125
I 60,1 hari Pengukuran klinis Sampai 500 MBq
131
I 8,0 hari Terapi klinis Sampai 11,1 GBq
127
Xe 36,4 hari Diagnosis medis Sampai 200 MBq
133
Xe 5,3 hari Pengukuran klinis Sampai 400 MBq
153
Sm 47 jam Terapi klinis Sampai 8 GBq
169
Er 9,3 hari Terapi klinis Sampai 500 MBq
186
Re, 188Re 3,8 hari, 17 jam Terapi klinis Sampai 500 MBq
198
Au 2,7 hari Pengukuran klinis Sampai 500 MBq
201
Tl 3,0 hari Pengukuran klinis Sampai 200 MBq

Tabel.2. Pemanfaatan Sumber Radiasi Tertutup dalam Radioterapi [3]


Radionuklida Waktu Paro Penggunaan Dosis Setiap Penggunaan
241
Am 433 tahun Bone densitometry 1 10 GBq
153
Gd 244 hari 1 40 GBq
125
I 60.1 hari 1 10 GBq
198
Au 2.7 hari Manual brachyterapy 50-500 MBq
137
Cs 30 tahun 30-300 MBq
226
Ra 1600 tahun 50-500 MBq
60
Co 5.3 tahun 50-1500 MBq
90
Sr 29.1 tahun 50-1500 MBq
103
Pd 17 tahun 50-1500 MBq
125
I 60.1 hari 200-1500 MBq
192
Ir 74 hari 5-100 MBq
106
Ru 1.01 tahun 10-20 MBq
90
Y 2.7 hari 50-500 MBq
32
P 14.3 hari Vaskular brachyterapy 200 MBq
89
Sr 50.5 hari 150 MBq
192
Ir 74 hari 0.1-1 TBq
137
Cs 30 tahun Remote after loading 0.03-10 MBq
192
Ir 74 hari brachyterapy 0.1-200 TBq
60
Co 5.3 tahun Teletherapy 0.1-200 TBq
137
Cs 30 tahun 500 TBq
137
Cs 30 hari Whole blood irradiation 2-100 TBq
60
Co 5.3 tahun 50-1000 TBq
60
Co 5.3 tahun Gamma radiosurgery knife Sampai 220 TBq

4
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

Tiap Negara di dunia dapat mempunyai strategi pengelolaan limbah radioaktif termasuk
sumber radiasi bekas yang berbeda-beda tergantung dari tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi nuklir yang dimilikinya. Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1997 pasal 23 ayat (1)
menyebutkan bahwa pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan oleh BATAN. Pusat Teknologi Limbah
Radioaktif yang merupakan salah satu institusi di BATAN memiliki tugas pokok mengelola limbah
radioaktif yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Dengan kemajuan iptek nuklir saat ini, khususnya
dalam bidang radioterapi akan ditimbulkan limbah radioaktif yang berupa sumber radiasi bekas yang
beragam. Oleh karena itu PTLR perlu menerapkan strategi pengelolaan sumber radiasi bekas
radioterapi. Strategi pengelolaan sumber radiasi bekas yang diterapkan seperti yang disajikan pada
Gambar 1. Strategi ini diterapkan sebagai acuan bagi pengelola sumber radiasi bekas baik di tempat
pengguna maupun di pusat pengelolaan limbah radioaktif, agar pengelolaan sumber radiasi bekas
dapat terlaksana dengan efektif dan efisien [3,5]. Seperti yang tertera pada Gambar 1, strategi
pengelolaan sumber radiasi bekas radioterapi dilakukan sebagai berikut:
1. Sumber radiasi bekas dengan waktu paro pendek (< 100 hari). Pengelolaan dilakukan dengan
memasukan sumber radiasi bekas dalam wadah guna peluruhan sampai aktivitasnya mencapai
tingkat kliren, untuk selanjutnya sumber radiasi bekas dapat dilepas dari pengawasan sebagai
limbah non radioaktif. Dalam hal ini pengelolaan sumber radiasi bekas dilakukan di tempat
pengguna (rumah sakit) dengan pengawasan BAPETEN
2. Sumber radiasi bekas dengan waktu paro menengah (< 30 Tahun). Pengelolaan dilakukan dengan
kondisioning sumber radiasi bekas dalam wadah, penyimpanan sementara dan penyimpanan
lestari dekat permukaan (Near Surface Disposal). Pengelolaan sumber radiasi bekas ini dilakukan
di PTLR dibawah pengawasan BAPETEN
3. Sumber radiasi bekas dengan waktu paro panjang (>30 tahun). Pengelolaan dilakukan dengan
kondisioning sumber radiasi bekas dalam Long Term Storage Shield (LTSS), penyimpanan
sementara dan penyimpanan lestari pada tanah dalam (Deep Geological Disposal). Pengelolaan
sumber radiasi bekas ini dilakukan di PTLR dibawah pengawasan BAPETEN.
Pemanfaatan sumber radiasi dalam radioterapi berada dalam perijinan dan pengawasan
BAPETEN, dimana BAPETEN selalu mendorong agar sumber radiasi yang berasal dari luar negeri
maka tatkala menjadi sumber radiasi bekas sebaiknya dikembalikan ke negara asalnya (pemasok).

Gambar 1 Strategi Pengelolaan Sumber Radiasi Bekas Radioterapi di PTLR [3,5]

5
Aisyah : Pengelolaan Sumber Radiasi Bekas Radioterapi

KONDISIONING SUMBER RADIASI TERTUTUP BEKAS RADIOTERAPI


Sampai dengan saat ini banyak rumah sakit di Indonesia telah mengirimkan sumber radiasi
tertutup bekas radioterapi ke PTLR untuk dilakukan pengelolaan seperti yang disajikan pada Tabel 3.
Pada umumnya sumber radiasi bekas radioterapi yang berasal dari rumah sakit adalah sumber radiasi
tertutup yaitu 60Co, 137Cs dan 226Ra. Pengelolaan sumber radiasi bekas meliputi kondisioning,
penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari hasil kondisioning.
Kondisioning sumber radiasi bekas radioterapi dilakukan dengan mempertimbangkan fakta bahwa
sampai dengan saat ini belum ada kriteria yang spesifik dalam pengelolaan sumber radiasi tertutup
bekas. Oleh karena itu, sebaiknya mempertimbangkan ide retrievability dan reversibility, sehingga
teknik kondisioning diupayakan tidak menyulitkan penanganan suatu saat nanti. Misalnya harus
dihindari kesulitan atau biaya yang tinggi untuk rekondisioning sumber radiasi bekas tersebut. Perlu
dihindari juga pengolahan sumber radiasi bekas dengan imobilisasi langsung dalam matriks tertentu
(semen) karena hal ini dirasa belum tentu kompatibel dengan langkah pengolahan dimasa mendatang.
Oleh karena itu kondisioning harus dilakukan dengan prinsip kemudahan membongkar kembali sumber
radiasi bekas terkondisioning tersebut di masa mendatang. Kondisioning limbah sumber radiasi bekas
ini diperlukan sebelum penyimpanan jangka panjang. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah lepasnya
bahan radioaktif ke lingkungan dan untuk meminimalkan paparan radiasi.
Ada beberapa metode kondisioning sumber radiasi bekas radioterapi yang telah dilakukan PTLR
[5,6,7]:
1. Sebelum proses kondisioning, dilakukan proses prekondisioning yaitu melakukan dismantling
secukupnya dengan sumber radiasi tetap berada dalam kontainernya. Hal ini untuk mencegah
paparan radiasi yang terlampau tinggi.
2. Untuk limbah sumber radiasi bekas dengan waktu paro pendek, kondisioning dilakukan dengan
menempatkan sumber radiasi bekas dalam wadah shell drum 200 liter, shell beton 350 atau 950
liter tergantung dimensi dan aktivitas sumber radiasi bekas tersebut. Kemudian wadah yang telah
berisi sumber radiasi bekas tersebut disimpan dalam tempat penyimpanan sementara limbah
aktivitas rendah dan sedang sampai aktivitasnya meluruh dan memenuhi tingkat kliren. Selanjutnya
sumber radiasi bekas tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai limbah non radioaktif.
3. Sumber radiasi bekas non 226Ra yang mempunyai waktu paro panjang dan aktivitasnya cukup
tinggi, kondisioning dilakukan dengan menempatkan sumber radiasi bekas dalam wadah yang
berupa kotak baja tahan karat yang berukuran 120x80x60 cm atau drum baja tahan karat 60 liter
atau drum baja 100 liter untuk kemudian dilakukan penyimpanan di tempat Penyimpanan
Sementara Limbah Aktivitas Tinggi (PSLAT) dengan maksud untuk proses peluruhan sampai
aktivitasnya terkategorikan sebagai limbah aktivitas rendah/sedang. Selanjutnya dilakukan
kondisioning sumber radiasi bekas ini dalam shell beton 950 atau 350 liter tergantung dari dimensi
dan aktivitas sumber radiasi bekas tersebut. Hasil kondisioning kemudian disimpan dalam tempat
Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Rendah dan Sedang.
4. Khusus untuk sumber radiasi bekas 226Ra yang merupakan radionuklida dengan waktu paro
panjang yaitu 1600 tahun, sumber radiasi bekas ini harus dikelola dengan tingkat keselamatan
yang tinggi (strong safe), karena sumber radiasi bekas ini dalam masa peluruhannya senantiasa
memproduksi gas radon yang berbahaya bagi kesehatan.
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif telah melakukan kondisioning sumber radiasi bekas 226Ra sesuai
dengan standar IAEA dengan proses sebagai berikut [8,9]:
z Sejumlah tertentu sumber 226Ra yang berupa jarum atau kapsul dimasukkan kedalam tabung baja
tahan karat dengan dimensi tabung 110 x 20x 0,8 mm.
z Sumber 226Ra merupakan radionuklida yang dalam masa peluruhannya mengeluarkan gas radon
yang cukup berbahaya bagi kesehatan manusia, sehingga tabung baja tahan karat yang telah
berisi sumber radiasi bekas 226Ra dilas rapat, agar gas radon tidak lepas ke lingkungan.
z Pengelasan tabung baja tahan karat dilakukan dengan tungsten inert gas (TIG) dan dilakukan
pengujian kebocoran hasil lasan dengan metode Vacum buble test
z Tabung baja tahan karat yang telah terisi sumber bekas 226Ra dan telah lolos uji pengelasan ,
kemudian dimasukkan dalam Long Term Storage Shield (LTSS) yang terbuat dari Pb dengan
maksud sebagai perisai radiasi untuk membatasi paparan radiasi yang cukup tinggi
z Long Term Storage Shield kemudian dimasukkan dalam shell drum 200 liter untuk kemudian
disimpan sementara di tempat penyimpanan sementara limbah aktivitas rendah dan sedang.

6
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

Tabel 3. Sumber Radiasi Bekas Radioterapi yang Telah Dikelola PTLR (2004-2007) [5]

No. Asal Limbah Jenis Radionuklida Jumlah


(buah)
60
1 RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta Co 2
137
Cs 13
226
Ra 30
60
2 RSUD Dr Soetomo, Surabaya Co 1
137
Cs 1
226
Ra 62
60
3 RS Elizabet, Medan Co 1
137
Cs 1
226
Ra 39
60
4 RS Syaiful Anwar, Malang Co 1
226
Ra 2
60
5 RS Karyadi, Semarang Co 1
226
Ra 40
60
6 RS DR Wahidin SH, Makasar Co 1
137
Cs 1
60
7 RS Dr Mohamad Hoesin,.Palembang Co 1
137
Cs 8
226
Ra 12
60
8 RS Hasan Sadikin, Bandung Co 1
137
Cs 1
60
9 RS Dr Sarjito, Yogjakarta Co 1
137
Cs 1
60
10 RS Sanglah, Denpasar Co 1
60
11 RS Telogo Rejo, Semarang Co 1
60
12 RSU Pringadi, Medan Co 1
137
Cs 3
226
Ra 1
137
13 Depkes Cs 15
226
Ra 21

Gambar 2 menyajikan kondisioning sumber radiasi bekas dalam tabung baja tahan karat tempat
wadah sumber radiasi bekas 226Ra, pengelasan tutup tabung yang telah berisi sumber radiasi bekas
226
Ra dalam wadah Pb, LTSS dan penempatan LTSS dalam drum 200 liter. Sedangkan Gambar 3A
menyajikan kondisioning sumber radiasi bekas tertutup non 226Ra dalam shell drum 200 liter dan
Gambar 3B menyajikan kondisioning sumber radiasi bekas tertutup non 226Ra dalam shell beton 950
atau 350 liter.

PENYIMPANAN SUMBER RADIASI TERTUTUP BEKAS RADIOTERAPI


Terdapat dua tahapan dalam penyimpanan sumber radiasi bekas radioterapi yang telah
terkondisioning, yaitu penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari. Tempat penyimpanan
sementara dimaksudkan sebagai fasilitas untuk menempatkan sumber radiasi bekas dalam suatu
sistem yang memungkinkan suatu saat untuk diambil kembali baik untuk maksud pemanfaatan lain
maupun untuk penanganan lebih lanjut. Penyimpanan sementara ini termasuk didalamnya menyimpan
sumber radiasi bekas yang telah terkondisioning, dimana suatu saat sumber tersebut masih dapat
diambil kembali secara utuh.

7
Aisyah : Pengelolaan Sumber Radiasi Bekas Radioterapi

A B

C D

Gambar 2 Kondisioning Sumber Radiasi Bekas 226Ra [8,9]


A. Tabung Baja Tahan Karat Wadah Sumber Radiasi Bekas 226Ra
B. Pengelasan Tabung Baja Tahan Karat
C. LTSS Untuk Memuat Tabung Baja Tahan Karat
D. Pemuatan LTSS dalam Drum 200 Liter

Hasil kondisioning sumber radiasi bekas non 226Ra baik dalam wadah shell drum 200 liter, shell
beton 350 atau 950 liter yang telah dilakukan PTLR disimpan sementara ditempat penyimpanan
sementara limbah aktivitas rendah dan sedang, sedangkan untuk hasil kondisioning sumber radiasi
bekas 226Ra terdapat dua opsi penyimpanan sementara, yaitu:
- Long Term Storage Shield dimasukkan dalam shell drum 200 liter untuk kemudian disimpan di
Tempat Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Rendah dan Sedang.
- Long Term Storage Shield dimasukkan dalam drum baja tahan karat 60 liter untuk kemudian
dimasukkan dalam lubang PSLAT.
Sesuai dengan rekomendasi IAEA, PTLR memilih menyimpan sumber radiasi bekas 226Ra dalam shell
drum 200 liter dan kemudian disimpan di tempat penyimpanan sementara limbah aktivitas rendah dan
sedang [9,10].
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif memiliki dua tipe tempat penyimpanan sementara, yaitu [6]:
1. Tempat penyimpanan sementara limbah aktivitas rendah dan sedang. Tempat penyimpanan
sementara ini diperuntukkan sebagai tempat penyimpanan limbah radioaktif dengan aktivitas
rendah dan sedang yang berupa sumber radiasi bekas radioterapi yang telah terkondisioning,
limbah radioaktif non sumber bekas baik limbah sebelum diolah maupun limbah hasil kondisioning.
Tempat penyimpanan ini memiliki kapasitas tampung 520 shell beton 950 atau 350 liter dan 1700
drum 200 liter atau drum 100 liter. Mengingat adanya peningkatan dalam pemanfaatan Iptek Nuklir
di bidang radioterapi, maka jumlah limbah radioaktif juga meningkat. Sementara itu kondisi fasilitas
penyimpanan sementara untuk limbah aktivitas rendah /sedang yang ada saat ini telah penuh.

8
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

Oleh karena itu PTLR telah membangun Fasilitas Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas
rendah/sedang yang baru.

A Lubang
Lubang B shell beton
pemuatan
pemuata 950 atau
sumber
n 350 liter
radiasi
sumberbekas

Sumberradiasi
Sumber Sumber
radiasi bekas
tertutup radiasi
tertutup tertutup

Drum baja
Drumlapisan
dengan
baja
dinding
dengan
dalam semen

Gambar 3. Kondisioning Sumber Radiasi Tertutup Bekas Non 226Ra dalam [5,6,7]
Shell Drum 200 liter
Shell Beton 950 atau 350 liter

2. Tempat Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Tinggi. Tempat ini diperuntukkan sebagai
tempat peluruhan limbah radioaktif yang berumur paro panjang ataupun limbah berumur paro
pendek namun mempunyai paparan radiasi yang cukup tinggi. Fasilitas ini merupakan sistem
penyimpanan kering yang memiliki 2 bentuk yaitu bentuk persegi dan sumuran. Ada 20 buah
sumuran dengan kapasitas total 120 drum 100 liter atau drum 60 liter.
Gambar 4A menunjukkan Tempat Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Rendah/Sedang
di PTLR dan Gambar 4B menunjukkan PSLAT di PTLR [6]. Selama sumber radiasi bekas berada
dalam tempat penyimpanan sementara, harus selalu dipertimbangkan ketahanan paket kondisioning
termasuk tanda identititas yang harus tetap jelas selama periode penyimpanan atau lebih lama lagi. Hal
lain yang harus diperhatikan adalah bahwa penyimpanan harus aman, khususnya yang berkaitan
dengan radiasi, kontaminasi, resiko kebakaran dan keselamatan fisik lainnya dengan secara kontinyu
dilakukan pengontrolan.
Penyimpanan akhir merupakan bagian ujung akhir dari tahapan pengelolaan sumber radiasi
bekas radioterapi. Banyak faktor yang berpengaruh dalam pemilihan tipe penyimpanan lestari,
diantaranya adalah jenis radionuklida dalam sumber radiasi bekas, aktivitas dan waktu paronya. Untuk
sumber radiasi bekas dengan waktu paro pendek (<100 hari), maka sumber radiasi bekas ini hanya
memerlukan penyimpanan sementara guna proses peluruhan sampai tingkat kliren, untuk selanjutnya
dapat dilepaskan dari kontrol regulasi sehingga tidak memerlukan penyimpanan akhir. Untuk sumber
radiasi bekas dengan waktu paro menengah (<30 tahun), maka penyimpanan sementara untuk proses
peluruhan sampai tingkat aman memerlukan waktu kurang lebih 10 kali waktu paro. Selanjutnya
penyimpanan akhir sumber radiasi bekas ini dilakukan pada penyimpanan dekat permukaan dengan
kedalaman beberapa meter sampai puluhan meter. Untuk sumber radiasi bekas dengan waktu paro
panjang (>30 tahun), penyimpanan lestari dilakukan pada penyimpanan tanah dalam dengan
kedalaman antara 500-1000 meter, sehingga dapat memproteksi dan mengisolasi sumber radiasi
bekas dari lingkungan hidup selama ribuan tahun [11].

PEMBAHASAN
Pemanfaatan sumber radiasi dalam bidang radioterapi disamping bermanfaat bagi manusia, juga
terdapat resiko dan bahaya yang timbul. Tingkat bahaya yang timbul tergantung pada jenis sumber
radiasi, bentuk, jenis pemakaian, kondisi sumber yang ada, karakteristik fisik, radionuklida, aktivitas
dan jumlah. Pengontrolan jumlah sumber radiasi bekas yang dimiliki harus senantiasa dilakukan agar
tidak terjadi bahaya akibat adanya insiden jumlah. Sebagai contoh adanya insiden jumlah sumber
radiasi bekas, dimana akhirnya sumber radiasi bekas tersebut ditemukan berada di pedagang logam

9
Aisyah : Pengelolaan Sumber Radiasi Bekas Radioterapi

bekas, sehingga terjadi kontaminasi pada publik. Pengamanan dan proteksi fisik dari sumber radiasi
bekas menjadi masalah yang sangat serius terutama di fasilitas pengguna seperti rumah sakit, dimana
pengamanan fasilitas rumah sakit pada umumnya tidak seketat seperti lazimnya pengamanan di
fasilitas nuklir. Oleh karena itu pengelolaan sumber radiasi bekas harus mendapat perhatian yang
serius terutama di tempat pengguna.

A B

Gambar 4. A). Tempat Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Rendah danSedang [10]
B). Tempat Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Tinggi [10]

Sesuai dengan strategi pengelolaan sumber radiasi bekas yang disajikan pada Gambar 1
tampak bahwa hanya terdapat dua opsi dalam pengelolaan sumber radiasi bekas yaitu dikembalikan ke
pemasok ataupun di kelola oleh PTLR. Pemilihan salah satu opsi untuk suatu jenis sumber radiasi
bekas tergantung dari beberapa faktor seperti aktivitas, kandungan radioisotop, kontrak pembelian dan
kondisi fisik dari sumber radiasi bekas. Perlu dipertimbangkan bahwa biaya penyimpanan lestari dari
beberapa sumber radiasi bekas yang memiliki aktivitas yang rendah bisa lebih besar dari harga
pengadaan sumber radiasi awal. Sedangkan pengembalian sumber radiasi bekas pada pemasok tidak
selalu menjadi pilihan, karena pengembalian ke pemasok kadang terhambat akibat persoalan dalam
mendapatkan persetujuan yang tepat atau problem kontainer pengangkutan. Pada umumnya dalam
situasi tertentu lebih disukai untuk mengembalikan sumber radiasi bekas pada pemasok, apalagi jika
hal ini sudah termasuk dalam perjanjian saat pembelian sumber radiasi tersebut. Namun demikian,
terkadang timbul kendala tatkala pemasok tidak lagi mampu untuk menerima sumber radiasi bekas
tersebut, atau kendala dalam pengangkutan sumber radiasi bekas tersebut ke tempat asal pemasok .
Dalam kasus seperti ini akan lebih baik jika sumber dikirim ke pusat pengelolaan limbah radioaktif.
Sumber radiasi bekas yang dikembalikan ke pemasok dimungkinkan oleh pemasok untuk didaur ulang
dan dijadikan sumber radiasi baru untuk keperluan tertentu. Pengiriman sumber radiasi bekas ke
pemasok yang lain merupakan salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan. Banyak institusi diluar
negeri (pemasok lain) yang secara rutin memperbaharui sumber radiasi bekas ini dengan alasan agar
lebih ekonomis. Sumber bekas yang akan dikirim ke pemasok atau ke pusat pengolahan limbah
radioaktif harus dikemas dan diangkut dengan kontainer khusus seperti kontainer timbal yang
dilengkapi dengan overpack. Pengangkutan harus memenuhi standar peraturan yang telah ditetapkan
standar internasional (IAEA`transport regulation). Sebelum pengangkutan, harus dipastikan bahwa
sumber tidak bocor dan integritas penahan radiasi harus kuat selama pengangkutan. Pengangkutan
harus disertai dengan dokumen sumber radiasi tersebut termasuk hasil tes usap untuk mengetahui
apakah ada kebocoran kemasan. Jika didapati adanya kebocoran kemasan, maka harus dilakukan
pengepakan kembali untuk menghindari terjadinya kontaminasi pada kontainer pengangkutan.
Dilakukan tes usap kembali pada kemasan sumber untuk memastikan bahwa sudah tidak terjadi
kebocoran kemasan.
Opsi pemindahan sumber radiasi bekas ke pengguna lain sangat dimungkinkan, yaitu ketika
aktivitas sumber tidak lagi cocok untuk pemakaian semula namun sumber masih tetap memiliki aktivitas
yang dapat digunakan untuk pemakaian yang lain. Hal ini khusus terdapat pada sumber radiasi dengan
aktivitas yang tinggi sepert 137Cs dan 60Co. Sumber radiasi yang tidak dapat digunakan lagi sebagai

10
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

terapi klinis mungkin masih dapat digunakan untuk pemakaian yang lain dengan persyaratan tingkat
aktivitas yang lebih rendah. Pemindahan sumber ke pengguna lain yang disetujui baik didalam maupun
diluat negeri merupakan opsi yang menguntungkan secara ekonomi baik dari sisi cara mendapatkan
sumber maupun pengelolaan sumber radiasi bekas tersebut. Dalam kasus ini terdapat dua pengguna
yang pada saat yang sama mempunyai status pemanfaatan sumber radiasi yang berbeda. Pengguna
pertama menganggap sumber tersebut sebagai sumber radiasi bekas sedang pengguna ke dua
menganggap bahwa sumber radiasi tersebut masih dipakai.
Kejelasan status sumber radiasi menjadi sangat penting, apalagi tatkala menyangkut status
sumber radiasi yang masih potensiil namun pemanfaatannya dihentikan. Sebagai contoh sumber 226Ra
yang berumur paro panjang yang telah digunakan dalam dunia kedokteran pada waktu lampau, dan
saat ini pemakaiannya diganti dengan radionuklida yang berumur paro pendek dan mempunyai
kestabilan kimia yang lebih baik seperti 137Cs. Pihak pengguna tidak mengangap bahwa sumber radiasi
226
Ra sebagai sumber radiasi bekas dengan alasan pasien tidak mau melepaskan terapi dengan
sumber 226Ra yang telah lama dilakukannya dan juga pasien ingin backup terapi dengan sumber 226Ra
terhadap penggantian terapi dengan 137Cs, sehingga beberapa sumber 226Ra oleh rumah sakit tidak
dianggap sebagai sumber radiasi bekas atau limbah radioaktif. Sumber radiasi ini disimpan selama
beberapa dekade dalam kontainer dan beberapa diantaranya dalam kondisi yang buruk. Tingginya
biaya penyimpanan sementara/akhir atau tidak adanya opsi yang cocok terhadap sumber radiasi
tersebut menjadi penghalang untuk penanganan sumber radiasi tersebut sepantasnya, sehingga
sumber radiasi tersebut tetap disimpan walaupun sampai waktu yang belum dapat dipastikan. Sumber
radiasi tersebut disimpan di gudang sehingga akuntabilitas dari sumber radiasi tersebut bisa buruk atau
sumber radiasi bekas tersebut menjadi tak bertuan atau dapat terjadi pencurian. Untuk memperjelas
status, maka sumber radiasi tersebut dikategorikan sebagai sumber bekas yang tidak terpakai lagi
(disused sealed radioactive sources), sehingga segala dokumen dari sumber ini dikategorikan sebagai
sumber radiasi yang tidak terpakai atau sumber radiasi bekas dan sebagai limbah radioaktif
Pengiriman sumber radiasi bekas ke PTLR pada umumnya menjadi pilihan bagi pengguna
karena hal ini dianggap cukup efisien dan ekonomis. Seperti yang disajikan pada Tabel 3 terlihat bahwa
banyak rumah sakit yang telah mengirimkan sumber radiasi bekasnya ke PTLR yang berupa 60Co,
137
Cs dan 226Ra. Diantara ke tiga sumber radiasi bekas tersebut yang perlu mendapat perhatian lebih
penting adalah sumber radiasi 226Ra yang memiliki waktu paro 1600 tahun dan dalam masa
peluruhannya mengeluarkan gas radon yang sangat berbahaya bagi manusia. Oleh karena itu
kondisioning sumber radiasi 226Ra.dilakukan dengan konsep strong safe conditioning.
Direkomendasikan oleh IAEA bahwa kondisioning sumber radiasi bekas tersebut dilakukan dengan
enkapsulasi yang mempunyai tingkat integritas yang tinggi sehingga dapat mengatasi masalah
emanasi gas radon yang timbul dari peluruhan Ra-226 tersebut. Oleh karena itu digunakan tabung baja
tahan karat yang dilas rapat sebagai wadah sumber radiasi bekas 226Ra. Disamping pengujian
kebocoran hasil lasan, maka perlu memperhitungkan kekuatan tabung baja tahan karat wadah sumber
radiasi bekas 226Ra dengan cara menghitung jumlah gas radon 222Rn yang selalu terbentuk setiap saat
peluruhan. Setiap peluruhan 226Ra menghasilkan 1 atom gas Rn-222 dan juga 5 atom gas helium.
Pembentukan gas-gas ini akan mengakibatkan tekanan berlebih pada rongga jarum atau kapsul 226Ra,
sehingga memungkinkan terjadinya deformasi plastis pada sumber radiasi 226Ra dan bahkan dapat
terjadi penekanan pada tabung baja tahan karat wadah sumber radiasi bekas 226Ra tersebut. Tekanan
dalam tabung ini tergantung dari aktivitas sumber radiasi bekas 226Ra yang terkungkung didalamnya
dan juga volume bebas dalam tabung. Tekanan yang diakibatkan oleh gas 222Rn hasil peluruhan 226Ra
sekitar 0,2 atmosfir per tahun untuk 1 gram 226Ra.. Berdasarkan pada hasil perhitungan untuk tabung
wadah 226Ra dengan dimensi tabung 110x20x0,8 mm, volume bebas dalam tabung 10 cm3, aktivitas
sumber bekas 226Ra dalam tabung 4 GBq ( 1Ci), tegangan belah sebesar 1,084x102 kN/cm2 dan
tegangan putus 1,1 x 103 kN/cm2, maka tabung baja tahan karat wadah sumber radiasi bekas 226Ra
dapat bertahan sampai 5,42x106 tahun [12]. Oleh karena itu harus selalu dipertimbangkan ketahanan
paket kondisioning termasuk tanda identititas yang harus tetap jelas selama periode penyimpanan atau
lebih lama lagi. Disamping itu perlu pengontrolan terhadap paparan dosis yang diterima personil selama
tahapan proses kondisioning sumber radiasi bekas 226Ra. Dalam tahapan proses tersebut penerimaan
dosis paparan dominan terjadi pada tahap pewadahan sumber radiasi bekas 226Ra ke dalam tabung
baja tahan karat, pengelasan dan pada saat uji kebocoran tabung akibat pengelasan. Aktivitas total
dalam satu tabung yang direkomendasikan IAEA adalah 4 GBq atau setara dengan 100 mg226Ra.
Namun dengan memperhatikan aspek keselamatan radiasi dan kondisi fasilitas kerja di IPLR maka
setiap tabung hanya mempunyai aktivitas total 2 GBq atau setara dengan 50 mg 226Ra sehingga setiap
tabung rata-rata berisi 10 buah sumber 226Ra. Berdasarkan hasil pemantauan penerimaan dosis pada
pekerja pada saat kondisioning sumber radiasi bekas 226Ra di PTLR, memang terjadi kenaikan
11
Aisyah : Pengelolaan Sumber Radiasi Bekas Radioterapi

penerimaan dosis pekerja pada saat kondisioning sumber bekas226Ra, namun kenaikan ini masih
dibawah nilai batas dosis (NBD) yang diijinkan [13]. Dengan demikian peningkatan penerimaan dosis
tersebut tidak akan memberikan dampak radiologis terhadap pekerja dan program proteksi radiasi yang
dilakukan selama proses kondisioning sumber radiasi bekas 226Ra dapat berjalan sesuai dengan
prosedur yang direncanakan.
Tahap berikutnya setelah kondisioning sumber radiasi bekas adalah penyimpanan sementara yang
kemudian dapat diikuti dengan penyimpanan akhir. Tempat Penyimpanan sementara untuk maksud
peluruhan dari sumber radiasi bekas dengan waktu paro yang pendek harus ditetapkan waktu yang
cukup untuk meluruhkan aktivitas sumber sampai batas dimana sumber sudah dapat dikategorikan
sebagai bahan tidak aktif dan dapat dibuang sebagai limbah non radioaktif. Dalam hal ini harus
dipastikan bahwa sisa aktivitas sumber radiasi dibawah tingkat kliren dan semua label yang ada dalam
sumber harus dihilangkan. Penentuan waktu penyimpanan sementara yang tepat akan mengurangi
biaya pengamanan sumber radiasi bekas tersebut. Adanya masalah biaya dan kesulitan pengiriman
sumber radiasi bekas PTLR, dapat mengakibatkan sejumlah sumber radiasi bekas tertahan di fasilitas
pengguna, sehingga memerlukan pengawasan, pengamanan dan dokumentasi terhadap seluruh
sumber radiasi bekas yang disimpan. Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1997, pihak pengguna
dapat menyimpan sendiri limbah radioaktif termasuk sumber radiasi bekasnya untuk sementara waktu
ataupun dapat diperpanjang dengan ijin BAPETEN. Untuk itu pihak pengguna harus menjaga integritas
kemasan sumber, proteksi fisik dan dibutuhkan pencatatan yang teliti selama penyimpanan sumber
radiasi bekasnya. Selama sumber radiasi bekas disimpan di tempat penyimpanan sementara, maka
perlu memperhatikan hal-hal berikut [10]:
1. Seluruh informasi teknik terkait dengan sumber seperti jenis sumber, aktivitas sumber, tanggal
produksi dan sebagainya harus akurat .
2. Harus dilakukan inspeksi dan pengamanan fisik seperti kunci pengaman, sistem alarm, kemasan
yang berat dan sebagainya
3. Jadwal perawatan gedung, kunci dan peralatan penanganan perlu dilakukan
4. Program pelatihan operator harus dilakukan dengan memperbaharui pelatihan secara berkala
5. Untuk antisipasi perpanjangan penyimpanan, maka harus dilakukan tes usap secara berkala
sesuai dengan persyaratan pengawasan.
Untuk sumber radiasi bekas yang berumur paro menengah dan panjang setelah penyimpanan
sementara suatu saat nanti perlu dilakukan penyimpanan akhir . Penyimpanan akhir sumber radiasi
bekas ini masih perlu penelitian yang lebih jauh lagi, diantaranya perlunya dikembangkan sistem
penyimpanan lestari terhadap sumber radiasi bekas yang memenuhi standar keselamatan terutama
dengan kondisi host rock yang memenuhi persyaratan untuk digunakan sebagai fasilitas penyimpanan
akhir. Selain itu aspek ekonomi, serta aspek keamanan untuk mencegah kemungkinan intrusi oleh
pihak yang tidak dikehendaki (terorisme atau kejahatan lainnya), baik untuk penyimpanan dekat
permukaan (near surface disposal) maupun penyimpanan tanah dalam (geological disposal) juga perlu
dipertimbangkan dengan seksama [11].

KESIMPULAN
Pemanfaatan sumber radiasi terbuka dan tertutup dalam radioterapi telah berjalan cukup lama
di beberapa rumah sakit baik untuk maksud diagnostik maupun terapi. Sumber radiasi tertutup yang
digunakan dalam radioterapi yang digunakan pada umumnya 60Co, 137Cs dan 226Ra. Sejalan dengan
hal ini tentu akan ditimbulkan limbah radioaktif yang berupa sumber radiasi bekas. Menurut UU No.10
Tahun 1997, PTLR merupakan badan pengelola limbah radioaktif tingkat nasional termasuk mengelola
sumber radiasi bekas radioterapi. Untuk itu maka dalam strategi pengelolaan sumber radiasi bekas
terdapat dua opsi bagi penimbul sumber radiasi bekas, yaitu mengembalikan sumber radiasi bekasnya
ke pemasok atau mengirimkan sumber radiasi bekasnya ke PTLR untuk dilakukan pengelolaan.
Adanya kendala dalam pengiriman sumber radiasi bekas ke pemasok ataupun pengiriman ke PTLR,
maka perlu dipertimbangkan opsi lain yaitu pemanfaatan kembali sumber radiasi bekas tersebut
dengan mengirimkan sumber radiasi bekas ke pemasok lain untuk diperbaharui ataupun dikirim ke
pengguna lain untuk dapat dimanfaatkan kembali sesuai dengan kondisi sumber radiasi bekas
tersebut..
Pengelolaan sumber radiasi bekas meliputi kondisioning, penyimpanan sementara dan
penyimpanan lestari. Sumber radiasi bekas non 226Ra, kondisioning dilakukan dalam shell drum 200
liter, shell beton 950 liter ataupun shell beton 350 liter tergantung dari aktivitas dan dimensi sumber
radiasi bekas tersebut. Sedangkan untuk sumber bekas 226Ra kondisioning dilakukan dalam LTSS dan
kemudian LTSS dimasukkan dalam drum 200 liter. Sumber radiasi bekas yang telah terkondisioning

12
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

selanjutnya disimpan dalam tempat penyimpanan sementara dan selanjutnya dilakukan penyimpanan
akhir.
Dalam rangka mempertimbangkan penyimpanan akhir yang ekonomis dengan tetap
memenuhi standar keselamatan dan keamanan sumber radiasi bekas dari intrusi pihak yang tidak
dikehendaki maka perlu dikembangkan sistem penyimpanan akhir baik untuk penyimpanan dekat
permukaan maupun untuk penyimpanan tanah dalam. Untuk sumber radiasi bekas yang berumur
paro menengah seperti sumber radiasi bekas 60Co dan 137Cs, penyimpanan akhir dilakukan pada
penyimpanan dekat permukaan sedangkan untuk sumber radiasi bekas yang berumur paro panjang
seperti226Ra, penyimpanan akhir akan dilakukan pada penyimpanan tanah dalam.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Republik Indonesia: Undang- Undang No.10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran (1997).
[2] Pusat Teknologi Limbah Radioaktif, Data Penerimaan Limbah Radioaktif dari BATAN, Industri
dan Rumah Sakit.dari Tahun 2004 2006, PTLR-BATAN, Serpong (2007).
[3] IAEA: Management of Waste from The Use of Radioactive Material in Medicine, Industry,
Agriculture, Research and Education, Safety Guide No.WS-G-2.7, IAEA-Vienna (2005).
[4] IAEA: Handling and Processing of Radioactive Waste From Nuclear Applications, Technical
Series Report No. 402 A, IAEA-Vienna (2001).
[5] Pusat Teknologi Limbah Radioaktif: Pengelolaan Llimbah dari Industri di BATAN, P2PLR-BATAN,
Serpong (2002).
[6] Pusat Teknologi Limbah Radioaktif: Laporan analisis Keselamatan Rev.5, PTLR-BATAN, Serpong
(2006).
[7] IAEA: Handling,Conditioning and Storage of Spent Sealed Radioactive Sources , IAEA-
TECDOC-1145, IAEA-Vienna (2000).
[8] IAEA: Conditioning and Interim Storage of Spent Radium Sources, IAEA-TECDOC-886, IAEA-
Vienna (1996).
[9] Al-Mughrabi,M.: Technical Manual for Conditioning of Spent Radium Sources, IAEA-Vienna
(1998).
[10] IAEA: Interim Storage of Radioactive Waste Packages, Technical Reports Series No. 390, IAEA-
Vienna (1999).
[11] IAEA: Disposal of Radioactive Waste, DS 354 draft 1, 2006-02-07, Vienna.
[12] Suryantoro, Nurokhim: Pengaruh Pembentukan Gas Terhadap Ketahanan Kapsul Stainless
Steel Penampung Sumber Tertutup Bekas Radium, Prosiding Hasil Penelitian Dan Kegiatan Pusat
Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif Tahun 2004, P2PLR-BATAN, Serpong, 113-118
(2005)
[13] Untara, dkk.: Evaluasi Penerimaan Dosis Radiasi Eksterna Terhadap Pekerja Dalam Pengolahan
Limbah Radium, Prosiding Hasil Penelitian Dan Kegiatan Pusat Pengembangan Pengelolaan
Limbah Radioaktif Tahun 2004, P2PLR-BATAN, Serpong, 137-141 (2005).
[14] IAEA: Borehole Facilities for Disposal of Radioactive Waste, Safety Standar Series DS 335,
Vienna (2005).
[15] IAEA: Safety Consideration in The Disposal of Disused Sealed Radioactive Sources in Borehole
Facilities, IAEA-TECDOC 1368, IAEA-Vienna (2003).

13
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565
Volume 13 Nomor 1 Juni 2010 (Volume 13, Number 1, June, 2010)
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

PENGARUH KANDUNGAN LIMBAH RESIN


DAN BAHAN ADITIF (BETONMIX)
TERHADAP KARAKTERISTIK HASIL SEMENTASI
Heru Sriwahyuni, Suryantoro
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif BATAN
Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310

ABSTRAK
PENGARUH KANDUNGAN LIMBAH RESIN DAN BAHAN ADITIF (BETONMIX) TERHADAP
KARAKTERISTIK HASIL SEMENTASI. Telah dilakukan penelitian pengaruh kandungan limbah resin
dan bahan aditif terhadap karakteristik hasil sementasi. Limbah resin yang berasal dari RSG-GAS
disementasi dengan penambahan bahan aditif untuk meningkatkan ketahanan fisika kimia hasil
sementasi. Dibuat sampel dengan variasi kandungan limbah antara 10 60 % berat dengan
penambahan bahan aditif sebanyak 2 %, diameter sampel adalah 45 mm dan tinggi 50 mm. Kemudian
hasil sementasi dengan penambahan bahan aditif dibandingkan dengan hasil sementasi tanpa
penambahan bahan aditif. Uji kualitas blok semen meliputi uji pelindihan, uji kuat tekan dengan
menggunakan alat Paul Weber dan pengukuran densitas hasil sementasi ditentukan dengan cara
menimbang dan mengukur volume sampel. Hasil percobaan menunjukkan bahwa hasil optimal
diperoleh pada sampel dengan penambahan bahan aditif aditif betonmix 2 % dan kandungan limbah
30% berat. Hasil pengukuran densitas optimal adalah 1,493 g/cm3 dengan kuat tekan 10,69 N/mm2.
Hasil dari percobaan ternyata lebih kecil dibandingkan dengan standar IAEA untuk hasil sementasi.
Kata kunci : Limbah resin, bahan aditif, karakteristik sementasi
ABSTRACT
THE EFFECT OF SPENT RESIN LOADING AND ADDITIVE MATERIAL MIXTURE TO
CHARACTERISTIC OF CEMENTATION RESULT. Experiment of the effect of spent resin-additive
material mixture to the characteristic of cementation result has been done. Resin wastes originated from
RSG facility were immobilized with cementation method by adding additive material to increase
chemico-physical durability of cementation results. Samples were varied from 10 60 % weight of
waste loading with 2% addition of additive material. Sample dimension was 46 mm dia and 50 mm
height. Cementation result and then were compared among without added and with added additive
material. Qualities of samples were tested with leaching test, compression strength test by using paul
weber apparatus and density measurement was determined by weighting and measuring of samples
volume. The experiment results showed that optimal result of sample with 2% adding additive material
was in 30% of waste loading with density of sample was 1,493 g/cm3 and compression strenght was
10,69 N/mm2. Experiment results were less than IAEA standard for cementation result testing.
Keywords : Resin waste, additive, characteristics of cementation

PENDAHULUAN
Kegiatan operasi Reaktor Serba Guna G. A. Siwabessy telah menyebabkan air pendingin
primer reaktor menjadi radioaktif. Unsur radioaktif tersebut berasal dari hasil reaksi fisi bahan bakar
nuklir dengan netron yang sebagian besar tertahan oleh kelongsong dan sebagian lagi terlepas secara
difusi menembus dinding kelongsong kemudian masuk ke dalam sistem sirkulasi air pendingin primer.
Unsur radioaktif dapat pula terjadi akibat reaksi aktivasi air pendingin primer. Untuk menurunkan
aktivitas air pendingin tersebut digunakan resin penukar ion. Akibat penangkapan radionuklida yang
terus menerus, resin menjadi jenuh dan tidak dapat digunakan lagi sehingga diperlakukan sebagai
limbah radioaktif. Pada bulan Mei tahun 2008 PRSG mengirimkan limbah resin sebanyak 7000 liter
dengan aktivitas total sebesar 345076199.9 Bq atau sebesar 49296,59998 Bq/7000 liter (1,331008 .10-
3 Ci/m3 ) ke Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) [1].
Secara umum resin adalah senyawa hidrokarbon terpolimerisasi sampai tingkat yang tinggi
yang mengandung ikatan-ikatan hubung silang (cross-linking) serta gugusan yang mengandung ion-ion
yang dapat dipertukarkan [2,3]. Berdasarkan gugus fungsionalnya, resin penukar ion terbagi menjadi
dua yaitu resin penukar kation dan resin penukar anion. Resin penukar kation mengandung kation yang

14
Heru Sriwahyuni, Suryantoro : Pengaruh Kandungan Limbah Resin dan Bahan Aditif (Betonmix) Terhadap Karakteristik Hasil
Sementasi

dapat dipertukarkan, sedang resin penukar anion mengandung anion yang dapat dipertukarkan. Secara
umum rumus struktur resin penukar kation dapat dilihat pada Gambar 1 dan resin penukar anion
Gambar 2 [2].
Limbah resin ini kemudian diolah melalui pemadatan (solidifikasi) menggunakan matriks
semen sehingga diperoleh hasil pemadatan sebagai blok beton. Matriks semen yang merupakan
campuran dari material semen, pasir dan air akan bereaksi secara kimia dan mengeras, memberikan
hasil pemadatan berupa beton [4]. Untuk meningkatkan kekuatan hasil sementasi maka ditambahkan
bahan aditif. Bahan aditif yang digunakan dalam penelitian ini adalah betonmix (Merk dagang).
Betonmix merupakan cairan yang tidak berwarna dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas blok
beton, sehingga kualitas pengungkungan imobilisasi unsur radioaktifnya meningkat.

CH CH2 CH CH2 CH

SO3-H+ SO3-H+
CH2 CH CH2

CH2 CH CH CH2

SO3-H+ SO3-H+

Gambar 1. Resin Penukar Kation

CH CH2 CH CH2 CH CH2

CH2NMe3+Cl- CH2NMe3+Cl-

CH2 CH2

CH2 CH CH CH2

CH2NMe3+Cl- CH2NMe3+Cl-
Gambar 2. Resin Penukar Anion

15
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

TATA KERJA
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah resin berasal dari Pusat Reaktor
Serba Guna, bahan aditif (betonmix), semen portland tipe I, aquades, pot polietilen diameter 45 mm
dan tinggi 50 mm. Peralatan yang digunakan antara lain mixer, neraca analitik, gelas arloji, spatula,
gelas ukur, wadah plastik 1800 ml, alat uji tekan Paul Weber, alat cacah Multi Channel Analyzer (MCA).
Kegiatan ini seluruhnya dilakukan di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif pada tahun 2009.

METODE
Pembuatan blok semen dengan kandungan limbah 10 sampai dengan 60 %, dimana
dicampurkan air/semen dengan perbandingan 35% berat, dan kandungan limbah divariasi antara 10%
sampai 60 %, ditambahkan bahan aditif sebanyak 2% berat. Adonan diaduk dengan menggunakan
mixer elektrik sampai campuran terlihat homogen. Adonan yang sudah homogen dimasukkan ke dalam
cetakan pot polietilen berdiameter 45 mm dan tinggi 50 mm dan didiamkan selama 28 hari (curing
time).
Penentuan densitas dan kuat tekan dilakukan setelah sampel didiamkan selama 28 hari.
Sampel ditimbang dan diukur dimensinya untuk memperoleh densitas sampel, densitas sampel dapat
ditentukan dengan menggunakan persamaan (1). Selanjutnya sample diuji tekan dengan menggunakan
alat buatan Paul Weber dan kekuatan tekan ditentukan dengan persamaan (2).
m
=
V (1)
F
P= (2)
A
3 2 3
dimana : = densitas (g/cm ), P = kuat tekan (N/cm ), m = massa (g), V = volume (cm ), dan
A = luas area (cm2).

Pengukuran laju pelindihan dilaksanakan setelah didapat hasil sementasi berupa blok semen
dengan kandungan limbah yang optimum. Uji pelindihan dilakukan dengan cara merendam sampel ke
dalam gelas beker berisi air demin sebanyak 1000 ml yang berperan sebagai media pelindih. Pada hari
ke-2, 3, 5, 7, 9 sampai hari ke-60 air pelindih diambil sebanyak 500 ml dan dicacah menggunakan alat
cacah MCA.
Pengukuran konduktivitas larutan pelindih di ukur dengan menggunakan alat ukur
konduktivitimeter. Pengukuran konduktivitas dilakukan pada minggu ke 1 sampai minggu ke 13.
Dan yang terakhir adalah pengukuran langsung aktivitas radionuklida pada blok beton hasil
imobilisasi yang dilakukan dengan menggunakan alat cacah MCA, dengan jarak antara MCA dan
sampel adalah 5 cm.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Limbah resin yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Pusat Reaktor Serba Guna
yang disimpan di Interm Storage 1 dalam drum no. 50 dengan paparan radiasi dalam jarak 1 m adalah
0,7 Sv/jam. Limbah resin yang belum diolah, dicacah menggunakan MCA untuk mengetahui
kandungan dan aktivitas radionuklida dalam limbah tersebut. Dari hasil pencacahan terlihat ada
-5
beberapa radionuklida yang terdeteksi yaitu : Mn-54 dengan aktivitas 9,74. 10 (Ci/ml), Co-60
-3 -5
dengan aktivias 2,57. 10 (Ci/ml) dan Cs-137 dengan aktivitas 6,99. 10 (Ci/ml).

Penentuan densitas dan kuat tekan blok semen


Penentuan densitas dilakukan untuk mengetahui karakteristik campuran semen dengan
penambahan bahan aditif dan limbah resin. Hasil pengukuran densitas dari penelitian ini ditampilkan
pada Tabel 1. Berdasarkan data pada Tabel 1, dibuat grafik densitas versus kandungan limbah yang
dapat dilihat pada Gambar 3.
Secara umum dari Gambar 3. dapat dilihat bahwa penambahan kandungan resin telah
mengakibatkan terjadinya penurunan densitas beton limbah secara linier. Hal ini menunjukkan bahwa
interaksi ikatan antara resin dan semen merupakan interaksi ikatan fisika. Dengan pendekatan
persamaan regresi linier maka penurunan densitas terhadap persen berat kandungan limbah pada blok
semen tanpa penambahan bahan aditif adalah f(x)=-0,02x + 1,82 dan pada blok semen dengan
penambahan bahan aditif adalah f(x) = -0,02x + 1,97.

16
Heru Sriwahyuni, Suryantoro : Pengaruh Kandungan Limbah Resin dan Bahan Aditif (Betonmix) Terhadap Karakteristik Hasil
Sementasi

Tabel 1. Pengukuran Densitas Blok Semen


3
Densitas (g/cm )
No Kandungan
Limbah (%) Tanpa Aditif Ditambah aditif

1 0 1,838 2,035

2 10 1,670 1,776

3 20 1,592 1,515

4 30 1,159 1,493

5 40 1,079 1,380

6 50 0,956 1,122

7 60 0,943 0,931

2.5

2
f(x) = -0.02x + 1.97
D e n s ita s ( g /c m 3 )

1.5 Tanpa bahan aditif


Linear Regression for Tanpa
f(x) = -0.02x + 1.82 bahan aditif
Ditambah bahan aditif
1 Linear Regression for Dita-
mbah bahan aditif

0.5

0
0 10 20 30 40 50 60 70
Kandungan Limbah (%)

Gambar 3. Pengaruh kandungan resin bekas terhadap densitas beton-limbah

Penambahan bahan aditif betonmix pada hasil sementasi telah mampu menurunkan viskositas
campuran beton, resin dan air sehingga campuran menjadi lebih keras. Dari data yang diperoleh,
penambahan bahan aditif mampu meningkatkan densitas blok semen limbah sebesar 8,24%. Densitas
yang diperoleh pada kondisi optimal dengan kandungan limbah 30% adalah 1,493 g/cm3 dan ternyata
nilai tersebut belum memenuhi standar yang ditetapkan olehIAEA (International Atomic Energy
3
Agency), dimana untuk standar IAEA mempunyai nilai antara 1,70 2,50 g/cm [5].
Dari percobaan pengaruh perbandingan kandungan limbah resin dengan semen terhadap kuat
tekan didapat data yang ditampilkan pada Tabel 2.

17
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

Tabel 2. Pengukuran Kuat Tekan Blok Semen


3
Kuat Tekan (N/mm )
No Kandungan Limbah (%)
Tanpa Aditif Dengan aditif

1 0 12,58 14,47

2 10 10,69 13,21

3 20 6,29 12,58

4 30 1,26 10,69

5 40 0,63 4,40

6 50 0,63 1,26

7 60 0,32 0,63

Berdasarkan data dari Tabel 2, dibuat grafik hubungan kuat tekan versus kandungan limbah
resin yang dapat dilihat pada Gambar 4.

16
Kuat Tekan (N/mm2)

14

12
10

8
Tanpa bahan aditif
6 Ditambah bahan aditif

2
0
0 10 20 30 40 50 60 70

Kandungan Limbah (%)


Gambar 4. Pengaruh kandungan resin bekas terhadap kuat tekan beton-limbah

Dari Gambar 4, dapat dilihat bahwa semakin tinggi kandungan resin mengakibatkan
penurunan kuat tekan baik untuk blok semen tanpa penambahan bahan aditif maupun dengan blok
semen dengan penambahan bahan aditif. Pada blok semen tanpa penambahan bahan aditif pada
kandungan limbah 10% sampai 20 % penurunan kuat tekan belum signifikan, selanjutnya pada
kandungan limbah 30% sampai 40% terjadi penurunan kuat tekan secara signifikan. Penurunan kuat
tekan cenderung linier pada blok semen antara 50% sampai 60%. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada
blok semen tanpa penambahan bahan aditif dengan kandungan limbah antara 10% sampai 20 %
menunjukkan bahwa ikatan semen masih mampu mengungkung limbah resin dengan baik, sehingga
tekanan swelling dari limbah resin masih dapat ditahan oleh kekuatan ikatan semen. Pada kandungan
limbah resin 30% sampai 40% porsi kekuatan swelling menjadi meningkat seiring peningkatan
kandungan limbah, sehingga kemampuan kekuatan semen untuk mengimbangi kekuatan swelling

18
Heru Sriwahyuni, Suryantoro : Pengaruh Kandungan Limbah Resin dan Bahan Aditif (Betonmix) Terhadap Karakteristik Hasil
Sementasi

menurun. Pada kandungan limbah 50% sampai 60 % kekuatan semen hanya berfungsi sebagai
pengikat antar butiran resin sehingga kuat tekan sampelnya menjadi rendah.
Pada sampel blok semen dengan penambahan bahan aditif, kuat tekan yang diperoleh lebih
besar besar dibandingkan dengan kuat tekan tanpa aditif. Penurunan kuat tekan tidak begitu signifikan
antara kandungan limbah 10% sampai 30%, dan menjadi signifikan setelah kandungan limbah 30%.
Penambahan bahan aditif meningkatkan kuat tekan blok semen limbah dikarenakan aditif mampu
meningkatkan kekerasan dari blok semen limbah sehingga ikatan blok semen limbah menjadi lebih
kuat.
Dari data yang diperoleh, blok semen dengan kandungan limbah 30 % dengan penambahan
2
bahan aditif 20% mempunyai kuat tekan yang paling tinggi yaitu 10,69 N/mm tetapi harga tersebut
belum memenuhi kriteria standar IAEA, dimana standar IAEA untuk kuat tekan adalah 20 50 N/mm2
[5].

Pengukuran laju pelindihan


Pada percobaan uji pelindihan blok semen selama hampir 2 bulan, seluruh larutan pelindih
setelah dicacah dengan MCA tidak terdeteksi adanya lepasan radionuklida. Hal ini dikarenakan
radionuklida Co-60, Cs-137 dan Mn-54 terikat oleh resin penukar kation, dan resin telah terimobilisasi
dalam matriks semen. Pada keadaan tersebut sangat sukar terjadi pelindihan radionuklida yang telah
terikat oleh resin yang telah terimobilisasi dalam matriks semen.

Pengukuran konduktivitas dan kerapuhan blok semen


Untuk mengetahui bahwa blok semen limbah mengalami pelindihan juga digunakan metode
lainnya yaitu dengan cara mengukur konduktivitas cairan penlindih dengan alat konduktivitimeter yaitu
mengukur secara total ion-ion yang terlarut kedalam larutan pelindih. Dari Gambar 5, dapat diketahui
bahwa semakin lama waktu pelindihan, pelepasan ion-ion terlarut ke larutan pelindih akan mengalami
kejenuhan.
Dari hasil penelitian, blok semen tanpa penambahan bahan aditif mempunyai kelarutan lebih
tinggi dibandingkan blok semen dengan penambahan bahan aditif. Hal ini menunjukkan penambahan
bahan aditif dapat menurunkan pelepasan unsur-unsur semen-limbah ke dalam larutan pelindih.
Pada sampel tanpa aditif dan dengan penambahan bahan aditif, semakin tinggi kandungan
limbah resin kelarutannya semakin tinggi. Hal ini disebabkan semakin tinggi limbah resin kemampuan
kekuatan swelling yang melawan kekuatan ikatan semen semakin besar sehingga blok semen hasil
imobilisasi menjadi lebih rapuh.

8000
konduktivitas (mikrosiemen/cm)

7000

6000 TA-0%
5000 TA-10%
A-0%
4000
A-10%
3000 A-20%
2000 A-30%

1000

0
10/7/2009

10/14/2009

10/21/2009

10/28/2009

11/4/2009

11/11/2009

11/18/2009

11/25/2009

12/2/2009

12/9/2009

12/16/2009

12/23/2009

12/30/2009

1/6/2010

Tanggal

Gambar 5. Pengaruh bahan aditif dan waktu pelindihan


terhadap konduktivitas larutan pelindih blok semen

Hasil pengamatan secara visual disajikan pada Gambar 6, dimana blok semen hasil sementasi
mulai dari kandungan limbah 30% sampel hasil imobilisasi terlihat merekah pecah dari atas sampai

19
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

bawah. Dan rekahan semakin melebar dengan meningkatnya kandungan limbah 40 % sampai 50%,
dikhawatirkan kondisi seperti ini pada hasil sementasi yang sebenarnya dapat menyebabkan ion-ion
logam dan radionuklida yang ada di blok semen akan mudah terlepas ke lingkungan. Tentunya hal
seperti ini sangat penting untuk dihindari.

Gambar 6. Blok Semen dengan variasi kandungan limbah 30% - 50%

Pengaruh aditif terhadap atenuasi beton-limbah


Pengukuran langsung aktivitas radionuklida dalam blok semen dengan hasil seperti yang
tercantum dalam Tabel 3.

Tabel 3. Pengukuran Blok Semen Dengan alat MCA (Multy Channel Analyzer)
Aktivitas Radionuklida Dalam Blok Semen (Ci/ml)
No Kandungan
Limbah Tanpa Bahan Aditif Ditambah Bahan Aditif
(%)
Mn-54 Co-60 Cs-137 Mn-54 Co-60 Cs-137
----- ------- ------ ----- ------- ------
1. 0
------
5,04.10-4 ------- -----
4,78 .10-4 ------
2. 10
------
9,14 .10-4 ------- -----
8,19 .10-4 ------
3. 20

4. 30 5,30.10-5 1,38 .10-3 ------ -----


5,77 .10-4 ------

5. 40 7,46 .10-5 1,79 .10-3 4,66 .10-5 2,42 .10-5 5,39 .10-4 ------

6. 50 7,52 .10-5 1,83 .10-3 4,90 .10-5 1,93 .10-5 4,72 .10-4 ------

7. 60 8,30 .10-5 1,96 .10-3 3,96 .10-5 8,98 .10-5 1,97 .10-3 5,99 .10-5

Dari Tabel 3. dapat dilihat bahwa penambahan bahan aditif meningkatkan atenuasi dari blok
semen, hal ini disebabkan karena penambahan bahan aditif mampu meningkatkan densitas blok semen
limbah. Semakin tinggi densitas blok semen, maka kemampuan atenuasi terhadap paparan radiasinya
semakin tinggi pula.

KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Semakin tinggi kandungan limbah menyebabkan penurunan densitas dan kuat tekan blok semen
2. Penambahan aditif betonmix sebanyak 2 % mampu meningkatkan densitas dan kuat tekan blok
semen
3. Hasil optimal diperoleh pada sampel dengan penambahan aditif 2 % dan kandungan limbah 30 %
3 2
dengan densitas 1,493 g/cm , kuat tekan 10,69 N/mm , dan hasil ini ternyata lebih kecil dari
standard yang diterapkan oleh IAEA untuk hasil sementasi.
4. Dilihat dari hasil yang diperoleh disarankan agar imobilisasi limbah resin perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut dengan metode lainnya yang lebih efektif dibandingkan imobilisasi secara sementasi.

20
Heru Sriwahyuni, Suryantoro : Pengaruh Kandungan Limbah Resin dan Bahan Aditif (Betonmix) Terhadap Karakteristik Hasil
Sementasi

DAFTAR PUSTAKA
[1] Nugraha, H., Unggul, H., Y. Sumarno, Tri Anggono dan A. Fahmi Muslimu: Analisis Limbah Resin
Di Reaktor Serba Guna GA. Siwabessy Tahun 2008, Prosiding Seminar Nasional IV SDM
Teknologi Nuklir. STTN Yogyakarta. 545-553 (2008).
[2] Gokhle,A.S., Mathor, P.K., and Venkateswarhu, K.S.: Ion Exchange Resin for Water Purification:
Properties and Characterization, Water Chemistry Division Bhabha Atomic. Research Centre.
Bombay, India (1987).
[3] International Atomic Energy Agency: Management of Spent Resin Ion-Exchange Resin From
Nuclear Power Plants, TECDOC-238, IAEA-Vienna (1981).
[4] BATAN-Technicatome: System Note : Solid, Semi Solid, Liquid Waste Treatment, WSPG 330
NSN 9001, Paris (1986).
[5] International Atomic Energy Agency: Chemical Durability and Related Properties of Solidified High
Level Waste Form, Technical Report Series No. 257, IAEA-Vienna (1985).

21
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565
Volume 13 Nomor 1 Juni 2010 (Volume 13, Number 1, June, 2010)
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

TAHANAN JENIS GELAS-LIMBAH DAN KAPASITAS PANAS


UNTUK OPERASI MELTER PADA VITRIFIKASI
LIMBAH CAIR AKTIVITAS TINGGI
Wati
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN
Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310

ABSTRAK
TAHANAN JENIS GELAS-LIMBAH DAN KAPASITAS PANAS UNTUK OPERASI
MELTER PADA VITRIFIKASI LIMBAH CAIR AKTIVITAS TINGGI. Pengaruh suhu dan frekuensi
terhadap tahanan jenis gelas-limbah dan perhitungan kapasitas panas untuk operasi melter pada
vitrifikasi limbah cair aktivitas tinggi telah dipelajari. Komposisi limbah ditentukan dengan computer
code ORIGEN 2 berdasarkan atas bahan bakar bekas dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
(PLTN) jenis PWR (Pressurized Water Reactor) 1.000 MWe, fraksi bakar 45.000 MWD/MTU,
pengkayaan uranium 4,5 %, tenaga spesifik 38 MW/MTU dan pendinginan selama 4 tahun.
Kandungan produk fisi dalam gelas limbah ditentukan sebesar 9,20 % berat dan kandungan limbah
25 % berat. Pembentukan gelas-limbah dilakukan pada suhu 1150 C selama 2,5 jam, annealing
dilakukan pada 510 C selama 2 jam dalam crucible grafit dan selanjutnya dilakukan pendinginan
dengan laju 16,7 C/jam sampai suhu kamar. Tahanan jenis gelas-limbah ditentukan dengan
elektrode platina yang telah diketahui tetapan selnya. Tahanan jenis gelas-limbah pada frekuensi
tertentu, jika suhu bertambah maka tahanan jenisnya berkurang. Sedangkan pada suhu tertentu,
jika frekuensi bertambah maka tahanan jenisnya bertambah. Pada suhu 1150 C dan frekuensi 100
kHz, tahanan jenis gelas-limbah adalah 5,20 ohm cm. Data tahanan jenis ini diperlukan untuk
sistem pemanas Joule dalam melter. Peleburan gelas-limbah sebanyak 300 kg, dengan densitas
3
2,74 g/cm , sehingga volumenya 110 liter. Untuk volume melter yang ditempati 110 liter gelas-
limbah diperoleh kedalaman, lebar, dan panjang melter masing-masing adalah 24, 48, dan 96 cm.
Dari perhitungan panas, maka diperoleh tenaga panas sebesar 116,45 kW. Panas ini belum cukup
untuk melebur 300 kg gelas-limbah dan perlu ditambahkan panas dari heater atau microwave.

Kata kunci : tahanan jenis, kapasitas panas, gelas-limbah, vitrifikasi, limbah cair aktivitas tinggi

ABSTRACT
SPECIFIC RESISTANCE OF WASTE-GLASS AND HEAT CAPACITY FOR MELTER
OPERATION IN VITRIFICATION OF HIGH LEVEL LIQUID WASTE. The effect of temperature and
frequency on the specific resistance of waste-glass and calculation of heat capacity for melter
operation in vitrification of high level liquid waste have been studied. The composition of waste was
determined by computer code ORIGEN 2 based on spent fuels from NPP-PWR 1.000 MWe, burn
up 45.000 MWD/MTU, 4,5 % uranium enrichment, specific power 38 MW/MTU and cooling time for
4 years. The contents of fission products in waste-glass were determined 9,20 % of weight and
waste loading 25 % of weight. The waste-glass formation were conducted at temperature 1150 C
for 2,5 hours, annealing at 510 C for 2 hours in grafit crucible and cooling with rate 16,7 C/hour
until room temperature. Specific resistance of waste-glass is determined by platina electrode
knowing its cell constant. The specific resistance of waste-glass at certain frequency as the
temperature increases so the specific resistance decreases. At certain temperature, as the
frequency increases so the specific resistance increases. Specific resistance of waste-glass at the
temperature of 1150 C and the frequency of 100 KHz is 5,20 ohm cm. The specific resistance
data is used for Joule heating system in the melter. The amount of melted waste-glass is 300 kg,
with density of 2,74 g/cm3, so its volume is 110 liters. Volume of melter contains 110 liters of waste-
glass, can be determined on depth, width, and length of melter are 24, 48, and 96 cm respectively.
From the calculation of energy, Joule heat is 116,45 kW. This heat capacity was not enough for
melting 300 kg and must be added of heat from heater or microwave.
Keywords : specific resistance, heat capacity, waste-glass, vitrification, high level liquid waste.

PENDAHULUAN
Limbah Cair Aktivitas Tinggi (LCAT) dihasilkan dari ekstraksi siklus I proses olah-ulang
bahan bakar nuklir bekas. Pada ekstraksi siklus I proses olah-ulang dilakukan pemisahan U, Pu,
dan unsur aktinida yang lain dari hasil belah. Larutan yang mengandung U, Pu, unsur aktinida , dan
sedikit hasil belah diproses lebih lanjut untuk mengambil U dan Pu, sedangkan larutan yang banyak
mengandung hasil belah dan sedikit aktinida serta mempunyai keasaman yang tinggi antara 6 8
M sebagai LCAT.

22
Wati : Tahanan Jenis Gelas-limbah dan Kapasitas Panas Untuk Operasi Melter pada Vitrifikasi Limbah Cair Aktivitas Tinggi

Negara yang melakukan proses olah ulang dapat memanfaatkan U sisa dan Pu yang
terjadi dalam bahan bakar untuk bahan bakar reaktor pembiak cepat (fast breader reactor).
Imobilisasi limbah cair aktivitas tinggi dari ekstraksi siklus I proses olah ulang dapat dilakukan
dengan synroc, vitromet dan gelas. Gelas dipilih karena relatif lebih mudah membuatnya dari pada
synroc dan vitromet serta gelas mempunyai stabilitas dalam jangka panjang. Pada saat ini gelas
borosilikat secara luas telah digunakan oleh negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Inggris,
India, Pakistan dan teknik pembuatannya telah digunakan dalam skala industri. Di Korea gelas
digunakan untuk imobilisasi limbah aktivitas rendah dengan tujuan untuk meningkatkan aspek
keselamatan dan ekonomi.
Komposisi limbah dapat ditentukan dengan analisis atau dengan computer code ORIGEN-
2 berdasarkan atas sejarah elemen bahan bakar nuklir bekas seperti pengkayaan uranium, fraksi
bakar (burnup), tenaga spesifik dan lama pendinginan. Hasil perhitungan LCAT simulasi sangat
penting untuk aplikasi penelitian proses imobilisasi LCAT skala laboratorium. Untuk mempelajari
proses vitrifikasi skala laboratorium, disamping harus ditentukan komposisi LCAT simulasi juga
harus ditentukan komposisi bahan pembentuk gelas (glass frit) sehingga diperoleh komposisi
gelas-limbah yang memenuhi persyaratan standar. Pada makalah ini komposisi limbah ditentukan
dengan computer code ORIGEN-2 [1] berdasarkan atas bahan bakar bekas dari Pembangkit Listrik
Tenaga Nuklir (PLTN) jenis PWR (Pressurized Water Reactor) 1.000 MWe, fraksi bakar 45.000
MWD/MTU, pengkayaan uranium 4,5 %, tenaga spesifik 38 MW/MTU dan pendinginan selama 4
tahun yang ditunjukkan pada Tabel 1[1].
Komposisi gelas-limbah dalam percobaan di laboratorium dirancang mempunyai titik lebur
1150 C karena pertimbangan korosi bata tahan api dari melter pada penerapan dalam skala
industri. Makin tinggi titik lebur makin cepat laju korosi bata tahan api, yang berarti umur melter
lebih pendek dan lebih banyak menimbulkan limbah radioaktif padat sekunder. Titik lebur gelas
yang mempunyai struktrur amorf adalah suhu dimana viskositas lelehan gelas-limbah 100 poise.
Sebagai contoh gelas-limbah dengan titik lebur 1150 C ditunjukkan pada Tabel 2. Dimana
penentuan komposisi gelas-limbah dilakukan dengan cara penetapan kandungan hasil belah dalam
gelas-limbah 9,20 %, kandungan limbah 25 % dan Na2O sekitar 10 % berat. Bahan pembentuk
gelas (glass frit) yang digunakan adalah SiO2 62,3; B2O3 19,0; Al2O3 6,7; Li2O 4,0; CaO 4,0;
dan ZnO 4,0 % berat.

Tabel 1. Komposisi LCAT dari bahan bakar bekas PWR 1.000 MWe, fraksi bakar 45.000
235
MWD/MTU, pengkayaan U 4,5 %, tenaga spesifik 38 MW/MTU dan pendinginan
selama 4 tahun[1].
Oksida Rasio dalam limbah Oksida Rasio dalam limbah
Na2O 0,16480 TeO2 0,00843
Fe2O3 0,09047 Cs2O 0,03905
NiO 0,01473 BaO 0,02575
Cr2O3 0,01683 La2O3 0,02051
P2O5 0,00947 CeO2 0,04192
SeO2 0,00114 Pr6O11 0,01936
Rb2O 0,00557 Nd2O3 0,06766
SrO 0,01446 Pm2O3 0,00068
Y2O3 0,00852 Sm2O3 0,01218
ZrO2 0,06991 Eu2O3 0,00248
MoO3 0,07192 Gd2O3 0,00192
Tc2O7 0,01672 ZrO2 0,02557
RuO2 0,04121 Gd2O3 0,12129
Rh2O3 0,00736 UO3 0,03806
PdO 0,02204 NpO2 0,00809
Ag2O 0,00104 PuO2 0,00146
CdO 0,00176 Am2O3 0,00525
SnO2 0,00153 Cm2O3 0,00047
Sb2O3 0,00037

23
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

Pada pembuatan gelas-limbah secara simulasi, unsur Tc diganti oleh Mn, aktinida (U, Np,
Am, Cm) diganti oleh Ce dan Pm diganti oleh Nd. Hasil perhitungan komposisi gelas-limbah
ditunjukkan pada Tabel 2. Beberapa unsur yang menentukan sifat gelas-limbah, yaitu :
1. Unsur Mo, Zr, dan Cr dapat membentuk fase pemisah dan mempengaruhi kekentalan gelas-
limbah.
2. Unsur Fe, Si, dan Al akan menaikkan suhu pembentukan gelas-limbah. Pada umumnya gelas
borosilikat dengan kandungan SiO2 lebih besar dari 40 % mempunyai sifat yang baik [2].
3. Adanya unsur boron (kandungan B2O3 15%) dapat menstabilkan gelas-limbah serta dapat
menurunkan suhu pembentukan dan kekentalan gelas-limbah.
4. Unsur Na menurunkan suhu pembentukan dan kekentalan gelas-limbah, tetapi menaikkan laju
pelindihan.
5. Unsur Pu lebih sukar disatukan dengan gelas dari pada unsur U. Fase pemisah akan terjadi jika
konsentrasi PuO lebih dari 4 % di dalam gelas-limbah [2].
6. Unsur-unsur grup platina (Ru, Rh, Pd) adalah tidak larut di dalam gelas-limbah, dan akan
mengganggu aliran listrik yang timbul pada melter dengan pemanas joule.
Pembentukan gelas-limbah dilakukan pada suhu 1150 C selama 2,5 jam, annealing
dilakukan pada 510 C selama 2 jam dalam crucible grafit dan selanjutnya dilakukan pendinginan
dengan laju 16,7 C/jam sampai suhu kamar.
Solidifikasi LCAT dengan gelas borosilikat yang dikenal dengan proses vitrifikasi dilakukan
di dalam melter. Melter dengan pemanas Joule, tenaga panas lebih efisien dan umur melter lebih
lama dibanding melter dengan pemanas induksi.
Salah satu karakteristik gelas-limbah hasil vitrifikasi adalah tahanan listrik (electrical
resistivity) atau tahanan jenis (specific resistance). Tahanan listrik gelas-limbah ditentukan dengan
alat pengukur tahanan listrik dengan memasukkan elektrode platina yang telah ditentukan tetapan
selnya dan dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut [3] :
R
K= (1)

-1
K = tetapan sel (ditentukan menggunakan gelas standar = 0,766 cm ),
R = tahanan listrik (ohm) dan
= tahanan jenis (ohm cm).

Berdasarkan persamaan 1 tersebut di atas, apabila tahanan listrik gelas-limbah pada


berbagai suhu dan frekuensi dapat diukur, maka tahanan jenisnya (specific resistance) dapat
dihitung.

Tabel 2. Komposisi gelas-limbah simulasi dalam prosen berat dengan kandungan produk fisi
dalam gelas-limbah sebesar 9,20 % berat dan kandungan limbah 25 % berat.

Oksida Prosen Berat (% Berat) Oksida Prosen Berat (% Berat)


SiO2 46,55 MoO3 1,31
B2O3 14,20 MnO2 0,31
Al2O3 5,01 RuO2 0,75
Li2O 2,99 Rh2O3 0,13
CaO 2,99 PdO 0,40
ZnO 2,99 Ag2O 0,02
Na2O 9,99 CdO 0,03
P2O5 0,17 SnO2 0,03
Fe2O3 1,65 SeO2 0,02
Cr2O3 0,31 TeO3 0,15
NiO 0,27 Y2O3 0,16
Gd2O3 2,26 La2O3 0,38
Sb2O3 0,01 CeO2 1,76
Rb2O 0,10 Pr6O11 0,35
Cs2O 0,71 Nd2O3 1,25
SrO 0,26 Sm2O3 0,22
BaO 0,47 Eu2O3 0,05
ZrO2 1,75

24
Wati : Tahanan Jenis Gelas-limbah dan Kapasitas Panas Untuk Operasi Melter pada Vitrifikasi Limbah Cair Aktivitas Tinggi

Tahanan jenis gelas-limbah ini diperlukan untuk operasi melter yang menggunakan sistem
pemanas Joule. Pada suhu tinggi gelas merupakan penghantar listrik yang dapat menimbulkan
panas. Pada pengukuran tahanan listrik, grup platina karena mengganggu dalam pengukuran maka
diganti dengan unsur-unsur yaitu Ru diganti oleh Fe, Rh oleh Co dan Pd oleh Ni.

Melter dengan pemanas joule


Melter dengan pemanas Joule, yaitu melter keramik pada suhu tinggi dengan pemanasan
menggunakan arus listrik yang melewati lelehan gelas-limbah. Lelehan gelas pada suhu di atas 600
C dapat menjadi penghantar listrik yang menimbulkan panas. Elektrode yang digunakan adalah
paduan nikel-krom yang dikenal dengan inconel 690. Melter dengan pemanas Joule mengharuskan
adanya gelas-limbah dalam melter, sampai sekitar 10 mm di atas elektrode, walaupun melter tidak
dalam keadaan operasi. Adanya gelas-limbah dalam melter ini digunakan untuk operasi berikutnya.
Untuk operasi melter, ada beberapa tahap yang dilakukan yaitu [1,4] :
9 Pemanas awal, yang dilakukan dengan heater (pemanas) dan microwave yang frekuensinya
915 MHz dan kapasitas maksimumnya 50 kW. Pemanasan awal ini dilakukan sampai pada
suhu 600 C.
9 Pemanasan dengan elektrode yang menimbulkan aliran listrik. Pada suhu 600 C atau lebih,
lelehan gelas-limbah dapat menghantarkan arus listrik. Aliran arus listrik melalui lelehan gelas-
limbah antara 2 elektrode yang tercelup dapat menimbulkan panas sampai 1150 C.
9 Pembentukan gelas-limbah, dilakukan pada 1150 C. Setelah pengumpanan selesai dan
permukaan lelehan gelas-limbah dalam keadaan puncak panas, maka lelehan gelas-limbah
siap untuk dikeluarkan dari melter ke canister dari baja tahan karat 304.
9 Selanjutnya canister yang berisi gelas-limbah ditutup, kemudian tutup dilas, permukaan
canister didekontaminasi, dan selanjutnya disimpan di tempat penyimpanan sementara dengan
pendingin udara selama 30-50 tahun.
Skema melter dengan sistem pemanas Joule ditunjukkan pada Gambar 1 [1], dimana : h = tinggi
gelas-limbah yang akan dikeluarkan, l1 = panjang melter antara dua elektrode, l2 = kedalaman
melter pada bagian berbentuk kerucut dan 10 mm adalah batas gelas-limbah yang harus ada di
dalam melter walaupun melter tidak dioperasikan.

Gambar 1. Skema melter dengan sistem pemanas Joule [1].


Panas Joule adalah energi yang dilengkapi dengan supply tenaga listrik. Untuk melter,
panas Joule dinyatakan sebagai berikut [5] :
2 2
P = i R = z (CD) L (W) D (2)

dimana : z = specific resistance (tahanan jenis) gelas-limbah (ohm cm), CD = electrode current
density (densitas arus elektrode), L = panjang melter (4 kali kedalaman), W = lebar melter (2 kali
kedalaman) dan D = kedalaman melter.
Pada makalah ini disajikan pengaruh suhu dan frekuensi terhadap tahanan jenis gelas-
limbah dan perhitungan kapasitas panas Joule untuk operasi melter pada vitrifikasi limbah cair
aktivitas tinggi.

25
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

Tahanan jenis gelas-limbah dan kapasitas panas untuk operasi melter pada vitreifikasi
limbah cair aktivitas tinggi
Hasil pengukuran tahanan listrik lelehan gelas-limbah pada berbagai suhu dan frekuensi
dapat dilihat pada Tabel 3 [1].
Tahanan listrik gelas-limbah pada suhu 1205 C dan frekuensi 100 kHz adalah 3,195 ohm,
maka berdasarkan persamaan 1 tersebut di atas, tahanan jenisnya (specific resistance) adalah
3,195 ohm/0,776 cm-1 = 4,17 ohm cm. Dengan cara yang sama, apabila tahanan listrik gelas-
limbah pada berbagai suhu dan frekuensi dapat diukur, maka tahanan jenisnya (specific resistance)
dapat dihitung. Hubungan antara tahanan jenis, frekuensi dan suhu ditunjukkan oleh Tabel 4 dan
dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.

Tabel 3. Tahanan listrik gelas-limbah pada berbagai suhu dan frekuensi [1].
FREKUENSI TAHANAN LISTRIK GELAS-LIMBAH (ohm)
(kHz) Suhu gelas-limbah (C)
1205 1100 1001 900 801 701
1 3,422 5,084 8,210 16,186 40,56 139,02
2 3,358 4,996 8,085 15,930 39,68 135,46
5 3,297 4,714 7,958 15,662 38,80 131,72
10 3,260 4,865 7,880 15,490 38,22 129,50
20 3,232 4,823 7,812 15,328 37,72 127,61
50 3,205 4,780 7,739 15,157 37,21 125,40
100 3,195 4,780 7,701 15,064 36,90 124,04

Tabel 4. Tahanan jenis gelas-limbah pada berbagai temperatur dan frekuensi.


Tahanan Jenis (ohm.cm)
Frekuensi (kHz) Temperatur Gelas-Limbah (C)
1205 1100 1001 900 801 701
1 4,47 6,64 10,72 21,13 52,95 181,49
2 4,38 6,52 10,55 20,80 51,80 176,84
5 4,30 6,15 10,39 20,45 50,65 171,96
10 4,25 6,35 10,29 20,22 49,89 169,06
20 4,22 6,30 10,20 20,018 49,24 166,59
50 4,18 6,24 10,10 19,797 48,58 163,70
100 4,17 6,21 10,05 19,66 48,17 161,93

Gambar 2. Hubungan antara tahanan jenis, suhu dan frekuensi dari gelas-limbah.

26
Wati : Tahanan Jenis Gelas-limbah dan Kapasitas Panas Untuk Operasi Melter pada Vitrifikasi Limbah Cair Aktivitas Tinggi

Tabel 5. Karakteristik gelas-limbah dibanding standar PNC[1].

Karakteristik gelas-limbah Standar PNC Gelas-limbah


Densitas 2,74 g/cm3 2,75 g/cm3
83 x 10-7 C-1 88 x 10-7 C-1
Koefisien muai panjang
(pada 30-300 C) (pada 30-300 C)
Titik transformasi 501 C 502 C
2 2
0,87 kkal/m .jam C 1,025 1,099 kkal/m .jam C
Daya Hantar Panas
(pada 100 C) (pada 100 C)
Titik pelunakan 604 C 616 C
4,8 ohm.cm 5,20 ohm cm
Tahananan jenis
(pada 1150 C) (pada 1150 C)
40 poise 43 poise
Kekentalan
(pada 1150 C) (pada 1150 C)
Laju pelindihan
2,3 x 10-5 g/cm2hari 2,1 x 10-5 g/cm2hari
(statik, 100 C, 24 jam)
0,21 kal/g C
Panas jenis -
(pada 100 C)

Pada frekuensi tertentu, jika suhu bertambah maka tahanan jenisnya berkurang. Pada
suhu tertentu, jika frekuensi bertambah maka tahanan jenisnya bertambah. Pada suhu tinggi
tahanan jenisnya rendah sehingga tenaga listrik yang diberikan elektrode juga rendah. Tahanan
jenis pada suhu 1150 C dan frekuensi 100 kHz adalah 5,20 ohm cm, dimana nilai ini sedikit lebih
besar dibandingkan dengan standar Power Reactor and Nuclear Fuel Development Corporation
(PNC) yaitu 4,80 ohm cm pada suhu dan frekuensi yang sama, seperti ditunjukkan pada Tabel 5
[1]. Oleh karena itu tenaga listrik yang diberikan elektrode sedikit lebih tinggi. Untuk sistem
pemanas Joule perlu dipilih gelas dengan tahanan jenis rendah sehingga gelas merupakan
konduktor listrik yang baik dan menimbulkan panas yang besar.
14 18
Tahanan jenis gelas pada suhu kamar sangat tinggi yaitu 10 10 ohm cm. Oleh
karena itu gelas-limbah pada suhu rendah sebagai isolator, dan pada suhu tinggi di atas 600 C
dapat menghantarkan arus listrik yang menimbulkan panas. Panas yang timbul tersebut dapat
dimanfaatkan untuk proses vitrifikasi limbah cair aktivitas tinggi skala industri. Tahanan listrik gelas-
limbah dipengaruhi oleh unsur Na. Makin tinggi kandungan Na dalam gelas-limbah, maka makin
tinggi hantaran listriknya, ini berarti makin rendah tahanan listriknya [1]. Walaupun Na berperan
dalam hantaran listrik, namun keberadaannya dalam gelas-limbah dibatasi karena menurunkan
ketahanan kimia dan kandungan Na2O melebihi 10 % berat akan menimbulkan pemisahan fase [1].
Tahanan listrik gelas-limbah dipengaruhi juga oleh suhu, karena pada suhu yang lebih tinggi
mobilitas atom dan ion akan lebih cepat. Dari Tabel 3 dan 4 dapat dilihat bahwa makin tinggi suhu,
maka tahanan listrik maupun tahanan jenis gelas-limbah makin kecil.
Electrode current density (densitas arus elektrode) dibatasi disebabkan korosi elektrode,
karena biasanya gelas-limbah radioaktif sebagai pengoksidasi. Elektrode yang biasanya digunakan
dalam industri gelas komersial (yaitu molibdenum), tidak sesuai untuk digunakan dalam vitrifikasi
limbah cair aktivitas tinggi. Paling sedikit umur elektrode sesuai dengan umur refractory (bata tahan
api). Kelebihan ketahanan oksidasi paduan nikel-krom telah diuji dan digunakan lebih 3 tahun
operasi, tanpa adanya korosi yang berarti. Pengujian tersebut dilakukan dengan pendinginan
2
elektrode dan densitas arus dipertahankan pada harga rendah (0,30-0,45 A/cm ).
Joule Heated Ceramic Melter milik JNC-Jepang menggunakan elektrode dari paduan
nikel-krom yang disebut inconel 690. Inconel 690 mempunyai ketahanan korosi yang tinggi dalam
lelehan gelas-limbah. Laju korosi inconel 690 yaitu 0,024 mm/hari, lebih rendah dibanding logam
yang lain.
Fenomena fisika yang terjadi dalam Joule Heated Ceramic Melter saling berkaitan dan
sangat kompleks. Dimensi rongga peleburan selalu dianggap : panjang sebanding dengan 4 kali
kedalaman dan lebar sebanding 2 kali kedalaman (persamaan 2). Pada proses vitrifikasi skala
industri, kandungan limbah dalam gelas-limbah adalah 25 % berat. Densitas gelas-limbah 2,7-3,0
g/cm3. Elektrode yang digunakan adalah paduan nikel-krom yang disebut inconel 690, yang tahan
korosi. Electrode current density (densitas arus elektrode) yang digunakan agar inconel 690 tahan
2
korosi adalah 0,30-0,45 A/cm . Densitas arus elektrode ini merupakan fungsi volume melter,
kedalaman melter, dan bentuk umpan yaitu cair atau padat. Umpan bentuk cair, densitas arus
elektrodenya lebih besar daripada umpan bentuk padat. Volume melter yang makin besar akan
menghasilkan densitas arus elektrode yang makin kecil. Electrode current density sebagai fungsi
ukuran melter untuk umpan cair ditunjukkan pada Tabel 6 [5].
Melter dengan sistem pemanas Joule berisi 750 kg gelas-limbah, dengan 450 kg gelas-
limbah harus selalu ada dalam melter untuk pembangkit panas pada operasi berikutnya.

27
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

Pemanasan awal digunakan heater atau microwave dengan frekuensi 915 MHz sampai suhu 600
C. Selanjutnya elektrode dihidupkan, sehingga terjadi aliran listrik dalam gelas-limbah. Heater dan
microwave juga berfungsi untuk menambah panas jika pemanas Joule kurang. Selanjutnya umpan
dimulai untuk membuat 300 kg gelas-limbah, dengan komposisi 25 % berat limbah cair aktivitas
tinggi dan 75 % berat bahan pembentuk gelas (glass frit). Lelehan gelas-limbah 300 kg tersebut
selanjutnya dituang dari melter ke canister. Densitas gelas-limbah tersebut 2,74 g/cm3 (2740
kg/m3), maka volume melter yang ditempati gelas-limbah adalah 300 kg/2740 kg/m3 = 110 liter. Dari
Tabel 4, suhu gelas-limbah yang dioperasikan pada 1150 C maka tahanan jenis (specific
resistance) gelas-limbah adalah 5,20 ohm cm. Dari Tabel 6, untuk volume melter 110 liter diperoleh
kedalaman melter (D) adalah 24 cm dan electrode current density (CD) untuk umpan limbah cair
adalah 0,45 A/cm2. Dengan diketahui kedalaman melter, maka panjang dan lebar melter dapat
ditentukan. Panjang melter = 4 X kedalaman melter = 4 X 24,00 cm = 96 cm, sedangkan lebar
melter = 2 X kedalaman melter = 2 X 24,00 cm = 48 cm. Skema melter dengan sistem pemanas
Joule berdasarkan perhitungan tersebut ditunjukkan pada Gambar 3.
dimana : D = kedalaman melter, W = lebar melter dan L = panjang melter.
Berdasarkan persamaan (2) besarnya panas Joule adalah :
2
P = z (CD) L (W) D
2 2
= 5,20 ohm.cm (0,45 A/cm )
(96 cm) (48 cm) (24 cm)
= 116,45 kW.

Pada melter dengan kapasitas 300 kg, besarnya kebutuhan panas adalah [1,6] :
Panas untuk penguapan air = 9,74 kW
Panas untuk kalsinasi = 25,00 kW
Panas untuk peleburan = 42,86 kW
Panas yang hilang untuk pendingin elektrode, hilang bersama gas buang, dan melalui
dinding melter = 40,66 kW
Panas total yang digunakan = 118,26 kW

Panas Joule tersebut ternyata masih belum cukup untuk melebur 300 kg gelas-limbah. Jika panas
Joule tidak cukup, maka ditambahkan panas dari heater atau microwave.

KESIMPULAN
Tahanan listrik gelas-limbah pada frekuensi tertentu, jika suhu bertambah maka tahanan
jenisnya berkurang. Sedangkan pada suhu tertentu, jika frekuensi bertambah maka tahanan
jenisnya bertambah. Pada suhu 1150 C dan frekuensi 100 KHz, tahanan jenis gelas-limbah adalah
5,20 ohm cm, sedikit lebih tinggi dari pada gelas-limbah standar Power Reactor and Nuclear Fuel
Development Corporation (PNC) Jepang yaitu 4,8 ohm cm pada suhu dan frekuensi yang sama.
Data tahanan jenis ini diperlukan untuk sistem pemanas Joule dalam melter. Untuk 300 kg gelas-
limbah ukuran melter yang digunakan yaitu dalam, lebar dan panjang masing-masing 24, 48, dan
96 cm. Peleburan gelas-limbah dilakukan pada 1150 C, maka tahanan jenis gelas-limbah 5,20
ohm cm. Untuk 300 kg (110 liter) gelas-limbah dan untuk umpan cair diperoleh densitas arus
2
elektrode 0,45 A/cm . Panas Joule yang diperoleh sebesar 116,45 kW. Panas ini belum cukup
untuk melebur 300 kg gelas-limbah dan perlu ditambahkan panas dari heater atau microwave.

Tabel 6. Densitas arus elektrode fungsi ukuran melter untuk umpan cair [5].
Densitas arus elektrode
Volume melter (liter) Kedalaman melter (cm) 2
(A/cm )
30 16 0,64
60 20 0,56
100 24 0,50
200 29 0,42
400 37 0,40
700 44 0,37

28
Wati : Tahanan Jenis Gelas-limbah dan Kapasitas Panas Untuk Operasi Melter pada Vitrifikasi Limbah Cair Aktivitas Tinggi

Gambar 3. Skema melter dengan sistem pemanas Joule dengan ukuran


D = 24 cm, W = 48 cm dan L = 96 cm.

DAFTAR PUSTAKA
[1] MARTONO H., Characterization of Waste-Glass and Treatment of High Level Liquid Waste,
Report at Tokai Work, JNC-Japan, Juli 1988.
[2] IAEA, Characteristics of Solidified High Level Waste Products, Technical Report Series No.
187, IAEA, Vienna, (1979).
[3] IAEA, Chemical Durability and Related Properties of Solidified High Level Waste Forms,
Technical Report Series No. 257, IAEA, Vienna, (1985).
[4] SASAKI N., Solidification of The High Level Liquid Waste From The Tokai Reprocessing
Plant, Power Reactor and Nuclear Fuel Development Corporation (PNC)-Japan, (1994).
[5] CHRIS C. C, Nuclear Waste Glass Melter Design Including The Power and Control System,
IEEE Transactions on Industry Applications, (1992).
[6] MARTONO H., dkk, Rotary Calciner Metallic Melter dan Slurry-Feed Ceramic Melter Untuk
Pengolahan Limbah Cair Aktivitas Tinggi, Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah
Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir, Pusat Teknologi Akselerator dan
Proses Bahan, Yogyakarta, (2007).

29
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

PEMILIHAN WILAYAH POTENSIAL UNTUK DISPOSAL


LIMBAH RADIOAKTIF DI PULAU JAWA DAN SEKITARNYA
Sucipta, Budi Setiawan, Pratomo B. Sastrowardoyo, Dadang Suganda
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN
Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310

ABSTRAK
PEMILIHAN WILAYAH POTENSIAL UNTUK DISPOSAL LIMBAH RADIOAKTIF DI PULAU
JAWA DAN SEKITARNYA. Telah dilakukan kegiatan kajian, survey literatur dan checking lapangan
dalam rangka pemilihan wilayah potensial untuk disposal limbah radioaktif. Studi wilayah mencakup
aspek-aspek geomorfologi, litostratigrafi, seismotektonik, vulkanologi, hidrologi, hidrogeologi, cebakan
tambang, demografi, kawasan penting dan situs bersejarah. Penelitian dilakukan dengan metode
evaluasi deskriptif dari hasil pengkajian data sekunder (literatur dan hasil penelitian terdahulu) dan
interpretasi data primer dari checking lapangan. Wilayah yang menjadi obyek kegiatan berada dalam
wilayah Serang, Bogor, Karawang, Subang, Majalengka, Rembang, Tuban dan Madura. Dari evaluasi
yang telah dilakukan berhasil diperoleh beberapa wilayah di daerah kabupaten Serang, Subang,
Sumedang, Rembang dan Tuban memiliki kesesuaian sebagai wilayah potensial untuk disposal limbah
radioaktif.

Kata kunci : pemilihan, wilayah potensial, disposal, limbah radioaktif.

ABSTRACT
SELECTION OF POTENSIAL REGION FOR RADIOACTIVE WASTE DISPOSAL IN JAVA
ISLAND AND THE SURROUNDING.. Research activity, literature survey and field checking to select
the potential region for radioactive waste disposal have been done. Regional study includes
geomorphology, lithostratigraphy, seismotectonic, volcanology, hydrology, hydrogeology, mineral
resources, demography, important place and hystorical situs. Research was conducted by descriptive
evaluation method based on the results of secondary data assessment and the interpretation of primary
data obtained from field survey. The covering area of the study are Serang, Bogor, Karawang, Subang,
Majalengka, Rembang, Tuban and Madura. Based on the evaluation, some part of the study area have
suitability as potential region for radioactive waste disposal, such as Serang, Subang, Sumedang,
Rembang and Tuban.

Keywords : selection, potential region, radioactive waste, disposal

PENDAHULUAN
Penyiapan tapak disposal limbah radioaktif di Pulau Jawa dan sekitarnya dilatarbelakangi oleh
kebutuhan akan tersedianya disposal untuk limbah radioaktif dari kegiatan aplikasi iptek nuklir di bidang
industri, kesehatan dan riset, serta bidang energi yang masih dalam tahap perencanaan. Wilayah studi
difokuskan di Pulau Jawa dan sekitarnya, dengan pertimbangan bahwa sebagian besar kegiatan yang
berpotensi menimbulkan limbah radioaktif ada di Pulau Jawa. Hal tersebut sekaligus juga
mempertimbangkan masalah transportasi dan keselamatan.
Pemilihan wilayah potensial ini merupakan lanjutan dari tahap sebelumnya yang berupa
pengembangan konsep dan rencana penyiapan tapak, yang kemudian akan dilanjutkan dengan
pemilihan tapak potensial dan terpilih pada tahapan-tahapan berikutnya. Tahapan-tahapan tersebut
mengacu pada sistematika pemilihan tapak disposal yang direkomendasikan oleh International Atomic
Energy Agency (IAEA) [1].
Tujuan disposal limbah radioaktif ialah untuk mengisolasi limbah sehingga tidak ada akibat
paparan radiasi terhadap manusia dan lingkungan. Tingkat pengisolasian yang diperlukan dapat
diperoleh dengan mengimplementasikan berbagai metode penyimpanan, di antaranya dengan model
near surface disposal (NSD) dan deep geological disposal (DGD) sebagai pilihan yang umum dan
digunakan di beberapa negara[1].
Opsi near surface disposal telah diterapkan selama beberapa dekade dengan variasi yang
luas dalam hal tapak, tipe dan kuantitas limbah, serta desain fasilitasnya. Pengalaman telah
menunjukkan bahwa isolasi limbah yang efektif dan aman tergantung pada unjuk kerja sistem disposal
secara keseluruhan, yaitu terbentuk dari tiga komponen atau penghalang (barrier) : tapak, fasilitas

30
Sucipta, Budi Setiawan, Pratomo B. Sastrowardoyo, Dadang Suganda : Pemilihan Wilayah Potensial untuk Disposal Limbah
Radioaktif di Pulau Jawa dan Sekitarnya

disposal dan kemasan limbah. NSD perlu juga dilengkapi dengan kontrol institusional aktif secara
kontinyu, seperti pemantauan dan pemeliharaan.
Kesesuaian tapak terutama tergantung pada kapasitasnya untuk mengungkung limbah
radioaktif dalam periode waktu yang dibutuhkan, dan untuk membatasi laju pelepasan radionuklida, dan
kemampuannya untuk membatasi potensi penyebaran dampak dari sistem disposal terhadap manusia
dan lingkungan [1].
Tujuan dari pemilihan tapak ialah untuk mencari suatu tapak, yang apabila dilengkapi dengan
desain, bentuk limbah, tipe dan kuantitas kemasan limbah, penghalang rekayasa dan kontrol
institusional yang memadai, akan menjamin proteksi radiasi terhadap persyaratan yang telah
ditentukan oleh badan pengawas. Standard IAEA [2], dan rekomendasi serta petunjuk internasional
yang telah ada dapat dipertimbangkan.
Seperti pada umumnya kegiatan di dunia, seleksi tapak diawali dengan studi wilayah yang
mempertimbangkan banyak aspek. Pada tahun 2008 dan 2009 telah dilaksanakan kegiatan seleksi
wilayah berdasarkan aspek-aspek geomorfologi, litostratigrafi, seismotektonik, volkanologi, hidrologi,
hidrogeologi, cebakan tambang, demografi, kawasan penting dan situs bersejarah. Berdasarkan tipe
batuan (lempung dan batuan beku) wilayah-wilayah potensial telah dipilih untuk dilakukan studi lebih
lanjut, yang meliputi Serang, Bogor, Krawang, Subang, Majalengka, Rembang, Tuban dan Madura.

TATA KERJA
Waktu dan Tempat
Kegiatan penelitian ini dilakukan di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR), Badan Tenaga
Nuklir Nasional (BATAN) pada tahun 2009, sebagai bagian dari kegiatan penelitian yang berjudul
Penyiapan Tapak Penyimpanan Lestari Limbah Radioaktif di Pulau Jawa dan Sekitarnya.

Bahan
Daerah penelitian untuk pemilihan wilayah potensial disposal limbah radioaktif meliputi wilayah
Serang, Bogor, Karawang, Subang, Majalengka, Rembang, Tuban dan Madura. Bahan penelitian
berupa peta topografi, peta rupa bumi, peta geologi, peta hidrogeologi, peta seismotektonik, peta
gunungapi, peta penggunaan lahan dan data terkait lainnya.

Metode
Dalam pemilihan tapak, idealnya perlu menerapkan prosedur sistematis yaitu dengan sistem
penapisan dari wilayah yang luas ke tapak spesifik. Pemilihan tapak sistematis untuk fasilitas NSD
meliputi empat tahapan yaitu : 1) tahap konsep dan perencanaan; 2) tahap survey daerah; 3) tahap
karakterisasi tapak; dan 4) tahap konfirmasi tapak [3].
Pemilihan wilayah potensial dilakukan dengan metode deskriptif, pengharkatan (scoring) dan
atau tumpang-susun (overlay), untuk mendapatkan wilayah potensial dari beberapa wilayah studi.
Pemilihan wilayah potensial didasarkan pada kriteria tapak yang telah ditetapkan pada tahap
penyusunan konsep dan rencana.
Berbagai faktor penting yang wajib dipertimbangkan dalam pemilihan tapak disposal limbah
radioaktif adalah sebagai berikut :

- Geologi
Tata geologi dari tapak harus mampu mengisolasi limbah dan membatasi lepasnya
radionuklida ke biosfer. Tata geologi juga harus menunjang stabilitas sistem disposal, dan menjamin
volume yang cukup serta sifat-sifat teknis yang memadai untuk implementasi disposal.

- Hidrogeologi
Tata hidrogeologi dari tapak harus dengan aliran air tanah yang rendah dan memiliki jalur
pengaliran yang panjang untuk menghambat transportasi radionuklida.

- Geokimia
Aspek kimia air tanah dan media geologi menunjang pembatasan lepasnya radionuklida dari
fasilitas disposal dan tidak mengurangi keawetan penghalang rekayasa (engineered barrier) secara
nyata.

31
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

- Tektonik dan kegempaan


Tapak seharusnya ditempatkan dalam suatu daerah dengan aktivitas tektonik dan kegempaan
yang rendah sehingga kemampuan mengisolasi sistem disposal tidak akan terancam bahaya.

- Proses-proses permukaan
Proses-proses permukaan seperti banjir, tanah longsor atau erosi pada daerah tapak
seharusnya tidak terdapat dengan frekuensi dan intensitas yang dapat mempengaruhi kemampuan
sistem disposal memenuhi standar/persyaratan keselamatan.

- Meteorologi
Meteorologi daerah tapak harus dikarakterisasi secara cukup memadai sehingga adanya
pengaruh kondisi meteorologi ekstrim yang tidak diharapkan dapat dipertimbangkan secara seksama
dalam desain dan perijinan fasilitas disposal.

- Man-induced events
Tapak harus terletak pada daerah dimana aktivitas generasi saat ini maupun yang akan
datang, pada atau dekat dengan tapak, tidak akan mempengaruhi kemampuan isolasi sistem disposal.

- Transportasi limbah
Tapak seyogyanya terletak sedemikian rupa sehingga jalur akses akan memudahkan
transportasi limbah dengan resiko minimal terhadap masyarakat.

-Penggunaan lahan
Penggunaan lahan dan kepemilikan lahan harus dipertimbangkan terhadap pengembangan
masa depan dan perencanaan wilayah.

- Distribusi penduduk
Tapak seharusnya terletak pada lokasi tertentu sehingga potensi bahaya dari sistem disposal
terhadap penduduk saat ini dan proyeksi masa depan masih dalam batas yang dapat diterima.

- Proteksi lingkungan
Tapak seyogyanya ditempatkan sedemikian rupa sehingga lingkungan akan terlindungi
secara cukup memadai sepanjang umur fasilitas disposal, dan dampak penyebaran secara potensial
dapat ditanggulangi ke dalam tingkat yang aman, dengan memperhitungkan aspek teknis, ekonomi dan
lingkungan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Geomorfologi
Secara regional, menurut PANEKOEK, 1949 [6], daerah penelitian Serang termasuk dalam
wilayah Karang-Merak yang merupakan bekas tubuh gunungapi Karang dan Gede. Daerah Bogor,
Karawang, Subang dan Majalengka merupakan bagian dari wilayah Lipatan Utara Jawa Barat, yang
memanjang dari selatan Rangkasbitung hingga Kuningan. Daerah Rembang merupakan bagian dari
wilayah Pegunungan Kapur Pantai Utara, sedangkan daerah Tuban termasuk ke dalam wilayah Lipatan
Utara dan sebagian merupakan dataran rendah Tuban. Daerah Madura termasuk dalam wilayah
Lipatan Madura. Menurut Van BEMMELEN, 1949 [7], daerah penelitian Bogor, Karawang, Subang dan
Majalengka berada pada jalur zona Antiklinorium Bogor yang termasuk zona utara dari Jawa Barat.
Zona Bogor merupakan suatu antiklinorium akibat intensitas perlipatan yang sangat kuat dari
perlapisan-perlapisan yang terbentuk pada subzaman Neogen, dengan beberapa intrusi hypabyssal
volcanic necks, stocks dan bosses. Daerah Rembang dan Tuban termasuk dalam Antiklinorium
Rembang.
Selain daerah Serang (Bojonegara) yang merupakan daerah berbukit, secara umum daerah
penelitian merupakan daerah dataran bergelombang dengan kemiringan lereng antara 0 13% dengan
beda tinggi antara 0 50 m, yang dapat dikategorikan sebagai satuan dataran bergelombang
(ZUIDAM, R.A., et al., 1979) [8].

32
Sucipta, Budi Setiawan, Pratomo B. Sastrowardoyo, Dadang Suganda : Pemilihan Wilayah Potensial untuk Disposal Limbah
Radioaktif di Pulau Jawa dan Sekitarnya

Kondisi proses geomorfologi permukaan seperti erosi dan gerakan tanah relatif tidak intensif,
karena kondisi topografi yang berupa dataran bergelombang. Secara morfogenesa daerah penelitian
merupakan daerah yang dipengaruhi oleh struktur geologi berupa lipatan dan patahan. Oleh karena itu
daerah penelitian (selain Serang) dapat diklasifikasikan sebagai satuan dataran bergelombang
struktural berbatuan lempung/napal.
Berdasarkan aspek geomorfologi, daerah penelitian memiliki kesesuaian sebagai wilayah
potensial untuk fasilitas disposal limbah radioaktif. Untuk memperkuat kesimpulan maka diperlukan
penelitian lebih lanjut dan wajib diintegrasikan dengan aspek-aspek lain seperti litostratigrafi,
seismotektonik, hidrogeologi, hidrologi, volkanologi, cebakan tambang, kawasan penting, situs
bersejarah, demografi, tata ruang dan penggunaan lahan.

B. Litostratigrafi
1. Serang
Batuan yang tersingkap di daerah penelitian meliputi (urut dari tua ke muda) hasil gunungapi
Gede, tufa Banten, batugamping koral dan endapan aluvium (Gambar 1). Hasil gunungapi Gede berupa
lava, lahar dan breksi termampatkan, yang berumur Plistosen. Penyebaran hasil gunungapi Gede
paling luas di daerah penelitian meliputi luas lebih kurang 70%. Tufa Banten terdiri dari tufa, tufa
batuapung dan batupasir tufaan, yang berumur sedikit lebih muda daripada hasil gunungapi Gede.
Penyebaran tufa Banten mencakup luas kurang lebih 20% dari daerah penelitian.
Batugamping koral terdiri dari koloni koral, pecahan cangkang dan moluska; dengan umur
Holosen Awal, yang tersebar di P. Panjang dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, yang mencakup luas
sekitar 5%. Endapan aluvium berupa kerakal, pasir, lanau dan lumpur, yang tersebar di sepanjang
pantai daerah penelitian dengan luas sebaran mencapai 5%. Stratigrafi daerah penelitian yang hanya
terdiri dari dua satuan batuan dapat disimpulkan relatif sederhana. Batuan yang dapat dipilih sebagai
batuan potensial adalah batuan beku andesit dari hasil gunungapi Gede. Ketebalan batuan tersebut
2
diduga mencapai lebih dari 500 m, dengan luas pelamparan mencapai 10x10 km .

2. Bogor
Batuan yang tersingkap di daerah penelitian meliputi (urut dari tua ke muda) Formasi Jatiluhur,
Formasi Klapanunggal, batuan terobosan andesit, breksi dan lava gunung Kancana dan gunung Limo
(kelompok batuan gunungapi Gede), kipas aluvium dan endapan aluvium. Formasi Jatiluhur tersusun
oleh napal dan serpih lempungan, dan sisipan batupasir kuarsa, bertambah pasiran ke arah timur.
Bagian atas dari formasi ini menjemari dengan Formasi Klapanunggal.

Hasil Gunungapi Gede U


Hasil Gunungapi Gede

Tufa Banten
Hasil Gunungapi Gede

0 10 km

Gambar 1. Peta geologi daerah gunung Gede, Serang, Banten [9]

33
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

Penyebaran formasi ini di daerah penelitian meliputi luas sekitar 50%. Formasi Klapanunggal
terutama tersusun oleh batugamping terumbu padat dengan foraminifera besar dan fosil-fosil lainnya.
Penyebaran formasi ini di daerah penelitian meliputi luas sekitar 10%.
Batuan terobosan andesit yang dijumpai di G. Pancar dan bukit kecil di timurlautnya,
mengandung oligoklas-andesin, augit, hipersten dan hornblenda, membentuk sumbat dan retas. Breksi
dan lava gunung Kancana dan gunung Limo tersusun dari bongkahan andesit dan breksi andesit
dengan banyak sekali fenokris piroksen dan lava basal. Satuan batuan ini tersebar terutama di bagian
selatan daerah penelitian seluas lebih kurang 20%.
Kipas aluvium tersusun oleh lanau, batupasir, kerikil dan kerakal dari batuan gunungapi
kuarter yang terendapkan kembali sebagai kipas aluvium. Endapan aluvium terdiri dari lempung, lanau,
pasir, kerikil dan kerakal endapan sungai.
Stratigrafi daerah penelitian dapat dikatakan relatif sederhana. Batuan potensial yang bisa
dipilih sebagai hostrocks untuk pengungkung limbah radioaktif adalah napal dan serpih lempungan dari
Formasi Jatiluhur. Berdasarkan penampang geologi regional, ketebalan formasi tersebut diperkirakan
2
mencapai > 2000 m, dengan luas singkapan di daerah penelitian sekitar 6x15 km .

3.Karawang
Batuan yang tersingkap di daerah penelitian meliputi (urut dari tua ke muda) Formasi Jatiluhur,
anggota Pasirgombong, Formasi Parigi, Formasi Subang dan anggota Tanjakan Pacol, Formasi
Kaliwungu dan Formasi Cihoe. Endapan permukaan yang dijumpai berupa satuan batupasir
konglomeratan dan batulanau, satuan batupasir tufan dan konglomeratan, endapan dataran banjir dan
endapan sungai muda.
Penyebaran Formasi Jatiluhur di daerah penelitian meliputi luas lebih kurang 5%. Anggota
Pasirgombong mencakup luas kurang lebih 2% dari daerah penelitian. Formasi Parigi memiliki
pelamparan hingga 5%, sedangkan anggota Tanjakan Pacol meliputi luas kurang lebih 5%. Formasi
Subang tersingkap dalam luasan sekitar 40%, Formasi Kaliwungu dan Formasi Cihoe masing-masing
1% dan 10%. Endapan permukaan secara keseluruhan menutup area seluas 33% dari daerah
penelitian.
Stratigrafi daerah penelitian yang hanya terdiri dari 5 formasi dan endapan permukaan dapat
disimpulkan relatif sederhana. Batuan yang dapat dipilih sebagai batuan potensial untuk hostrocks
disposal limbah radioaktif adalah batulempung Formasi Subang. Ketebalan batuan tersebut diduga
2 2
mencapai lebih dari 1000 m, dengan luas pelamparan mencapai 9x13 km dan 6x6 km .

4.Subang
Batuan yang tersingkap di daerah penelitian meliputi (urut dari tua ke muda) anggota
batulempung Formasi Subang, anggota batupasir Formasi Subang, Formasi Kaliwungu, Formasi
Citalang, batupasir tufan-lempung dan konglomerat, dan endapan sedimen dalam.
Batuan gunungapi daerah Subang yang terbentuk pada jaman Kuarter meliputi hasil
gunungapi lebih tua, dan hasil gunungapi lebih muda tak teruraikan. Sedangkan endapan permukaan
terdiri dari aluvium. Dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.
Anggota batulempung Formasi Subang tersusun oleh batulempung, beberapa mengandung
batugamping napalan yang keras, napal dan batugamping abu-abu tua. Kadang-kadang juga dijumpai
sisipan batupasir glaukonit hijau. Mengandung fosil foraminifera. Penyebaran formasi ini di daerah
penelitian meliputi luas sekitar 40%. Anggota batupasir Formasi Subang terutama tersusun oleh
batupasir andesit, batupasir konglomerat, breksi, lapisan batugamping dan batulempung. Ketebalan
satuan ini 0-300 m. Penyebaran formasi ini di daerah penelitian meliputi luas sekitar 5%.
Formasi Kaliwungu tersusun oleh batupasir tufan, konglomerat, batulempung dan kadang-
kadang lapisan-lapisan batupasir gampingan dan batugamping. Selain itu terdapat lapisan-lapisan tipis
gambut dan lignit. Pada batupasir dan konglomerat banyak dijumpai fosil moluska. Ketebalan formasi
ini sekitar 600 m, dengan pelamparan mencapai sekitar 10%. Formasi Citalang tersusun oleh lapisan-
lapisan napal tufan, diselingi batupasir tufan dan konglomerat. Ketebalan formasi ini berkisar antara
500-600 m, dengan pelamparan mencapai sekitar 5%.
Batupasir tufan-lempung dan konglomerat secara rinci berupa batupasir tufan, kadang-kadang
mengandung batuapung, lempung mengandung sisa-sisa tumbuhan, konglomerat, breksi dan pasir
halus. Satuan batuan ini berlapis-lapis mendatar dan membentuk dataran (hampir datar) di bagian utara
daerah penelitian seluas 40%. Endapan sedimen dalam tersusun oleh lempung tufan, batupasir,
konglomerat dan breksi, dengan ketebalan 0-100 m.

34
Sucipta, Budi Setiawan, Pratomo B. Sastrowardoyo, Dadang Suganda : Pemilihan Wilayah Potensial untuk Disposal Limbah
Radioaktif di Pulau Jawa dan Sekitarnya

Hasil gunungapi lebih tua (600 m) tersusun oleh breksi, lahar dan pasir tuff berlapis-lapis
dengan kemiringan yang kecil. Sedangkan hasil gunungapi muda tak teruraikan tersusun oleh pasir
tufan, lapili, breksi, lava, dan aglomerat. Sebagian berasal dari G. Tangkubanperahu dan sebagaian
berasal dari G. Tampomas. Endapan aluvium terdiri dari lempung, lanau, pasir, kerikil dan kerakal
endapan sungai sekarang.
Stratigrafi daerah penelitian dapat dikatakan relatif sederhana. Batuan potensial yang bisa
dipilih sebagai hostrocks untuk pengungkung limbah radioaktif adalah batulempung dari anggota
batulempung Formasi Subang. Menurut TJIA (1963) [13] tebal dari anggota batulempung ini 2900 m.,
dengan luas singkapan di daerah hulu sungai Cilamaya sekitar 6x13 km2, di daerah selatan Jalupang
2 2
sekitar 6x3,5 km dan di daerah Wanareja-Nagrak lebih kurang 6x24 km .

U
Formasi Citalang

Batulempung Formasi
Subang
Formasi Kaliwungu

0 10 km

Gambar 2. Geologi daerah Jelupang dan sekitarnya, Subang, Jawa Barat [12]

Formasi Citalang U

Batulempung Formasi Subang

Formasi Kaliwungu

0 10 km

Gambar 3. Peta geologi daerah Buahdua dan sekitarnya, Sumedang, Jawa Barat [12]

35
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

5.Majalengka
Batuan yang tersingkap di daerah penelitian meliputi (urut dari tua ke muda) anggota
batulempung Formasi Subang, Formasi Kaliwungu, lensa batugamping Formasi Citalang, Formasi
Citalang, batupasir tufan-lempung-konglomerat dan breksi terlipat. Batuan gunungapi yang tersingkap
adalah hasil gunungapi muda tak teruraikan. Batuan terobosan yang tersingkap adalah andesit
hornblenda. Endapan permukaan berupa aluvium.
Anggota batulempung Formasi Subang tersusun oleh batulempung mengandung lapisan
batugamping napalan abu-abu tua dan batugamping. Setempat juga dijumpai sisipan batupasir
glaukonit hijau. Penyebaran formasi ini di daerah penelitian meliputi luas sekitar 30%.
Formasi Kaliwungu tersusun oleh batulempung dengan sisipan batupasir tufan, konglomerat,
setempat ditemukan lapisan-lapisan batupasir gampingan dan batugamping. Ketebalan formasi ini
sekitar 600 m, dengan pelamparan mencapai sekitar 5%. Formasi Citalang tersusun oleh batupasir
tufan, lempung tufan, konglomerat dan setempat-setempat ditemukan lensa-lensa batupasir gampingan
yang keras. Ketebalan formasi ini berkisar antara 500-600 m, dengan pelamparan mencapai sekitar
10%.
Batupasir tufan-lempung dan konglomerat secara rinci berupa batupasir tufan, pasir, lanau
tufan, lempung, konglomerat, breksi tufan mengandung batuapung. Satuan batuan ini tersingkap
sangat luas membentuk dataran bergelombang lemah di bagian utara daerah penelitian seluas 30%.
Breksi terlipat tersusun oleh breksi gunungapi bersifat andesit, breksi tufan, batupasir kasar, lempung
tufan, dan graywacke. Penyebaran breksi terlipat hanya meliputi luas 1% dari daerah penelitian.
Hasil gunungapi muda tak teruraikan tersusun oleh breksi, lava bersifat andesit dan basal,
pasir tufan dan lapili. Sebagian berasal dari G. Cerme dan sebagaian berasal dari G. Tampomas.
Endapan aluvium terdiri dari lempung, lanau, pasir, kerikil dan kerakal endapan sungai Holosen.
Stratigrafi daerah penelitian dapat dikatakan relatif sederhana. Batuan potensial yang bisa
dipilih sebagai hostrocks untuk pengungkung limbah radioaktif adalah batulempung dari anggota
batulempung Formasi Subang.
Menurut TJIA (1963) [13] tebal dari anggota batulempung ini 2900 m., dengan luas singkapan
di daerah hulu sungai Majalengka 2x4,5 km2, dan di daerah Sumedang lebih kurang 6-10x21 km2.

6.Rembang
Batuan yang tersingkap di daerah penelitian meliputi (urut dari tua ke muda) Formasi
Ngrayong, Formasi Bulu, Formasi Wonocolo, Formasi Ledok dan Formasi Mundu. Di atas formasi-
formasi tersebut ditumpangi secara takselaras oleh anggota Selorejo dan Formasi Lidah pada jaman
Plistosen. Formasi-formasi tersebut diterobos dan ditumpangi oleh andesit dan breksi hasil dari
gunungapi Lasem. Di atas formasi-formasi tersebut diendapkan aluvium (Gambar 4).
Formasi Ngrayong tersusun oleh batupasir, serpih, batulempung, batulanau dengan sisipan
batugamping, batubara dan lignit. Formasi Bulu tersusun oleh batugamping putih abu-abu, pasiran,
kadang-kadang berlapis tipis, di bagian tengah terdapat sisipan tipis napal. Formasi Wonocolo tersusun
oleh batu lempung dengan sisipan tipis batugamping, bagian bawah dicirikan oleh batupasir
glaukonitan.

U
Aluvium

Formasi Mundu
Formasi
Lidah

0 10 km

Gambar 4. Peta geologi daerah selatan Rembang, Jawa Tengah [15]

36
Sucipta, Budi Setiawan, Pratomo B. Sastrowardoyo, Dadang Suganda : Pemilihan Wilayah Potensial untuk Disposal Limbah
Radioaktif di Pulau Jawa dan Sekitarnya

Formasi Ledok secara rinci berupa batulempung abu-abu, napal dan batugamping (kalkarenit)
berlapis tipis, kadang-kadang mengandung batupasir glaukonit. Formasi Mundu tersusun oleh napal
masif, abu-abu keputihan, kaya akan foraminifera plankton. Anggota Selorejo terdiri dari perselingan
batugamping dan batupasir, kaya akan fosil rombakan foraminifera plankton. Fosil berfungsi sebagai
butiran pasir (kalkarenit).

Breksi Gunungapi
U

Formasi Mundu

Aluvium
Formasi Wonocolo

Anggota Tawun

Anggota Ngrayong

Formasi Bulu

Formasi Ledok
0 8 km

Gambar 5. Peta geologi daerah Sedan-Sale Rembang, Jawa Tengah [16]

Formasi Lidah tersusun oleh batulempung abu-abu kehitaman bersisispan batupasir


bermoluska. Batuan ini kadang-kadang mengandung horizon yang kaya akan moluska (Ostrea) dan
lapisan tipis batubara. Andesit dari gunungapi Lasem berupa lava andesit, dan breksi hasil aktivitas
Lasem berupa breksi, konglomerat dan batupasir tufan. Endapan aluvium terdiri dari lempung, lanau,
pasir, kerikil dan kerakal endapan Holosen.
Stratigrafi daerah penelitian dapat dikatakan relatif sederhana. Batuan potensial yang bisa
dipilih sebagai hostrocks untuk pengungkung limbah radioaktif di wilayah Selatan Rembang adalah
napal masif dari Formasi Mundu yang memiliki ketebalan 250-1500 m, dan batulempung dari Formasi
Lidah dengan ketebalan > 200 m. Luas singkapan di daerah penelitian Selatan Rembang masing-
2 2
masing 12x24 km dan 6x15 km .
Di sebelah utara dan timur Sedan, batuan potensial dari Formasi Mundu dan Formasi
Wonocolo tersingkap secara blok-blok dengan tebal sekitar 200 m dan luas 2x5 km2. Di sebelah
selatan Sale tersingkap Formasi Mundu dengan ketebalan 200 m luas sekitar 2,5x9 km2, sedangkan
di sebelah utaranya tersingkap Formasi Wonocolo setebal 250 m dan luas pelamparan sekitar 5x10
km2.

7.Tuban
Batuan yang tersingkap di daerah penelitian meliputi (urut dari tua ke muda) anggota Tawun
Formasi Tuban, anggota Ngrayong Formasi Tuban, Formasi Bulu, Formasi Wonocolo, Formasi Ledok,
Formasi Mundu dan Formasi Paciran. Di atas formasi-formasi tersebut ditumpangi secara takselaras
oleh Formasi Lidah pada jaman Plistosen. Formasi-formasi tersebut diterobos dan ditumpangi oleh

37
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

andesit dan breksi hasil dari gunungapi Lasem. Di atas formasi-formasi tersebut diendapkan aluvium
(Gambar 5).
Anggota Tawun Formasi Tuban tersusun oleh napal pasiran berselingan dengan batugamping
bioklastik. Anggota Ngrayong tersusun oleh batupasir kuarsa berselingan dengan batugamping dan
batulempung. Formasi Bulu tersusun oleh batugamping pasiran dan batunapal pasiran. Formasi
Wonocolo tersusun oleh napal pasiran berselingan dengan batugamping pasiran.
Formasi Ledok secara rinci berupa batupasir glaukonitan dengan sisipan batugamping
pasiran. Formasi Mundu tersusun oleh batunapal, batulempung lanauan U dan batugamping napalan.
Formasi Paciran tersusun oleh batugamping pejal dan batugamping dolomitan. Formasi Lidah tersusun
oleh batulempung, lempung hitam dan batupasir. Andesit dari gunungapi Lasem berupa lava andesit,
dan breksi hasil aktivitas Lasem berupa breksi, konglomerat dan batupasir tufan. Endapan aluvium
terdiri dari lempung, lanau, pasir, dan kerikil.

Anggota Ngrayong

Anggota Tawun

Formasi Wonocolo

Formasi Mundu

Formasi Ledok
0 15 km

Gambar 6. Peta geologi daerah Jatirogo Tuban, Jawa Timur [16]

Stratigrafi daerah penelitian dapat dikatakan relatif sederhana. Batuan potensial yang bisa
dipilih sebagai hostrocks untuk pengungkung limbah radioaktif di wilayah Tuban sebelah selatan
Bancar adalah napal pasiran dari Formasi Wonocolo yang memiliki ketebalan sekitar 250 m luas sekitar
2
3x5 km . Batuan potensial lainnya adalah batunapal dan batulempung dari Formasi Mundu di daerah
sebelah utara Jatirogo dengan ketebalan > 200 m dan luas singkapan kurang lebih 3x21 km2.

8.Madura
a. Madura Barat
Menurut SUKARDI (1992) [17], secara geologi regional daerah Madura Barat terdiri dari
formasi-formasi yang secara urut dari tua ke muda adalah Formasi Tawun (umur Miosen Awal),
Formasi Watukoceng (umur Miosen Tengah), Formasi Madura (umur Miosen-Pliosen), Formasi
Pamekasan (umur Plistosen) dan aluvium.
Formasi Tawun tersusun oleh batulempung gampingan di bagian bawah, dan napal pasiran
bersisipan batugamping dan batupasir gampingan. Formasi Watukoceng tersusun oleh batupasir
kuarsa berselingan dengan batugamping orbitoid dan batupasir berlapis tipis (di bagian bawah), serta
selang-seling napal pasiran dengan batugamping (di bagian atas).
Formasi Madura tersusun oleh batugamping kapuran dan batugamping terumbu. Formasi
Pamekasan tersusun oleh batupasir, batulempung dan konglomerat berfragmen utama batugamping.
Endapan aluvium terdiri dari lempung, lanau, pasir, kerikil dan kerakal, secara setempat dijumpai
fragmen fosil.
Stratigrafi daerah penelitian relatif sederhana. Batuan potensial yang bisa dipilih sebagai
hostrocks untuk pengungkung limbah radioaktif di wilayah Madura Barat adalah selang-seling napal
pasiran dengan batugamping dan batupasir kuarsa dari Formasi Watukoceng.
Batuan potensial lainnya adalah dari Formasi Tawun yang berupa batulempung gampingan
dan napal pasiran bersisipan batugamping dan batupasir gampingan.

38
Sucipta, Budi Setiawan, Pratomo B. Sastrowardoyo, Dadang Suganda : Pemilihan Wilayah Potensial untuk Disposal Limbah
Radioaktif di Pulau Jawa dan Sekitarnya

Formasi Tawun dan Formasi Watukoceng bertumpangan secara selaras dan memiliki
2
ketebalan sekitar 200 m dan luas sekitar 15x18 km .

b. Madura Tengah
Menurut AZIS dkk (1992) [18], secara geologi regional daerah Madura Tengah terdiri dari
formasi-formasi yang secara urut dari tua ke muda adalah Formasi Tawun (umur Miosen Awal),
Formasi Ngrayong (umur Miosen Tengah), Formasi Bulu (umur Miosen Tengah), Formasi Pasean
(umur Miosen Akhir), Formasi Madura (umur Mio-Pliosen), Formasi Pamekasan (umur Plistosen) dan
aluvium.
Formasi Tawun tersusun oleh batulempung bersisipan batupasir, batugamping dan
konglomerat. Formasi Ngrayong tersusun oleh batupasir bersisipan batulempung, napal dan
batugamping. Formasi Bulu merupakan perselingan antara batugamping dan napal, sedangkan
Formasi Pasean merupakan perselingan antara napal pasiran dengan batugamping lempungan dan
batugamping pasiran.
Formasi Madura tersusun oleh batugamping pasiran dan batugamping terumbu pejal. Formasi
Pamekasan tersusun oleh batulempung, batupasir kuarsa dan konglomerat. Endapan aluvium terdiri
dari lempung, lanau, pasir, kerikil dan kerakal.
Stratigrafi daerah penelitian relatif sederhana. Batuan potensial yang bisa dipilih sebagai
hostrocks untuk pengungkung limbah radioaktif di wilayah Madura Tengah adalah batulempung
bersisipan batupasir, batugamping dan konglomerat dari Formasi Tawun yang memiliki ketebalan
2
sekitar 500 m dan luas sekitar 4-11x43 km .

c. Madura Timur
Menurut SITUMORANG dkk (1992) [19], secara geologi regional daerah Madura Timur terdiri
dari formasi-formasi yang secara urut dari tua ke muda adalah Formasi Tawun (umur Miosen Awal),
Formasi Ngrayong (umur Miosen Tengah), Formasi Bulu (umur Miosen Tengah), Formasi Pasean
(umur Miosen Akhir), Formasi Madura (umur Mio-Pliosen), Formasi Pamekasan (umur Plistosen) dan
aluvium.
Formasi Tawun tersusun oleh batulempung, napal, batugamping lempungan dengan sisipan
batugamping orbitoid. Formasi Ngrayong tersusun oleh perselingan batupasir kuarsa dengan
batugamping orbitoid dan batulempung. Formasi Bulu tersusun oleh batugamping pelat dengan sisipan
napal pasiran, sedangkan Formasi Pasean merupakan perselingan antara napal pasiran dengan
batugamping lempungan, batugamping pasiran dan batugamping oolitan.
Formasi Madura tersusun oleh batugamping terumbu dan batugamping dolomitan. Formasi
Pamekasan tersusun oleh konglomerat, batupasir, batulempung dan batugamping. Endapan aluvium
terdiri dari pasir kuarsa, lempung, lumpur, kerikil dan kerakal.
Stratigrafi daerah penelitian relatif sederhana. Batuan potensial yang bisa dipilih sebagai
hostrocks untuk pengungkung limbah radioaktif di wilayah Madura Timur adalah batulempung, napal,
batugamping lempungan dengan sisipan batugamping orbitoid dari Formasi Tawun, serta perselingan
antara napal pasiran dengan batugamping lempungan, batugamping pasiran dan batugamping oolitan
dari Formasi Pasean. Tebal formasi-formasi tersebut sekitar 200-250 m dan luas sekitar 2-4x35 km2.

C. Seismotektonik
Daerah penelitian Serang berada pada daerah dengan percepatan batuan dasar yang relatif
rendah, yaitu sekitar 0,2 g [20]. Daerah penelitian Bogor, Karawang, Subang dan Majalengka berada
pada daerah dengan percepatan batuan dasar relatif rendah, yaitu sekitar 0,15 g. Wilayah Rembang,
Tuban dan Madura berada pada daerah dengan percepatan batuan dasar yang rendah, yaitu sekitar
0,1 g. Percepatan ini sangat dipengaruhi oleh kemasifan/kerapatan jenis batuan di daerah tersebut,
selain dipengaruhi oleh struktur pelapisan dan ketebalannya. Kondisi-kondisi yang seperti ini sangat
menguntungkan bagi suatu wilayah yang nantinya akan digunakan sebagai fasilitas disposal limbah
radioaktif.
Untuk aspek seismotektonik berdasarkan peta wilayah gempa Indonesia dengan percepatan
puncak batuan dasar dengan periode ulang 500 tahun, peta zona sumber gempa bumi di Indonesia,
dan peta sebaran lokasi kejadian tsunami di kawasan Asia Pasifik secara umum daerah penelitian
berada pada wilayah dengan bahaya goncangan gempa bumi rendah sebesar 100-150 gal(<400gal),
dan wilayah yang sangat kecil potensi terjadinya tsunami. Menurut peta wilayah rawan bencana gempa
bumi Indonesia (KERTAPATI dkk, 2001) [21], daerah Serang masuk dalam kategori skala MMI IV-V
dari maksimum skala XII, daerah Bogor masuk dalam skala MMI IV-VI, daerah Karawang dan Subang

39
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

masuk skala MMI < IV, dan daerah Majalengka, Rembang, Tuban dan Madura berada dalam skala MMI
IV-V.

D. Vulkanologi
Dari aspek vulkanologi, gunungapi aktif terdekat dari daerah Serang adalah Gunung Krakatau
(gunungapi tipe A) yang berjarak 70 km arah baratdaya. Lokasi penelitian daerah Bogor berjarak sekitar
25 km dari gunungapi terdekat yaitu G. Gede dan G. Salak (gunungapi tipe A). Daerah Karawang
berjarak minimal 45 km dari gunungapi aktif terdekat yaitu G. Gede dan G. Tangkubanperahu
(gunungapi tipe A). Daerah penelitian Subang berada pada jarak 30 km dari gunungapi aktif terdekat
yaitu G. Tangkubanperahu. Daerah penelitian Majalengka berada pada jarak sekitar 22.5 km dari
gunungapi terdekat yaitu G. Cerme (gunungapi tipe A). Daerah penelitian Rembang dan Tuban relatif
jauh dari gunungapi terdekat G. Lawu dan G. Ungaran (gunungapi tipe B) yaitu > 100 km. Daerah
penelitian Madura secara umum jauh dari gunungapi aktif yang ada di Pulau Jawa yaitu lebih dari 60
km terhadap G. Kelud, G. Arjuna-Welirang, G. Bromo, G. Lamongan dan G. Argopuro.
Sebagai gambaran perlu disampaikan bahwa gunungapi tipe A adalah gunungapi yang pernah
mengalami erupsi magmatik atau proses-proses lain yang berhubungan sekurang-kurangnya sekali
setelah tahun 1.600 M [23]. Gunungapi tipe B merupakan gunungapi yang berada dalam tahap
solfatara dan fumarola, dan tidak ada erupsi magmatik yang diketahui/tercatat sejak tahun 1.600 M.
Berdasarkan aspek volkanologi, kiranya daerah penelitian Bogor dan Majalengka memiliki
jarak terhadap gunungapi aktif hanya sekitar 22,5 25 km, dikhawatirkan akan terancam dari bahaya
aktivitas dan letusan gunung-gunung Gede dan Cerme, sehingga tidak memenuhi syarat untuk disposal
limbah radioaktif.

E. Hidrogeologi
Hidrogeologi mempelajari penye-baran, pergerakan air tanah dalam tanah dan batuan di
kerak bumi (umumnya dalam akuifer) serta kondisi produktifitas aquifer/air tanah. Secara umum daerah
penelitian Serang, Bogor, Karawang, Subang, Majalengka, Rembang, Tuban dan Madura termasuk
dalam wilayah bukan cekungan air tanah. Daerah penelitian rata-rata batuannya tersusun dari batuan
tua dan lempungan sehingga mempunyai kondisi akuifer langka dan batuannya memiliki kelulusan air
sangat rendah [24-27].

F. Hidrologi
Aspek hidrologi yang menjadi fokus penelitian dalam pemilihan wilayah potensial untuk PL-LR
adalah adanya pola aliran sungai dan aliran air dengan debit yang terlalu besar akibat curah hujan yang
tinggi yaitu banjir.
Berdasarkan peta daerah rawan banjir dan longsor P. Jawa periode 2006 dan peta zona
kerentanan gerakan tanah, daerah penelitian Serang, Bogor, Karawang, Subang, Majalengka,
Rembang, Tuban dan Madura termasuk dalam daerah [28] : a. tingkat aman terhadap rawan banjir dan
longsor, b. tingkat rendah terhadap kerentanan gerakan tanah.

G. Demografi
Berdasarkan laporan BPS masing-masing pemerintah kabupaten dari daerah penelitian
2
ditemukan fenomena kepadatan penduduk yang kurang dari 1000 jiwa/km di daerah Serang, Subang,
Rembang, Tuban dan Madura. Daerah penelitian Bogor, Karawang dan Majalengka memiliki kepadatan
penduduk yang relatif tinggi yaitu melebihi 1000 jiwa/km2.

H. Cebakan Tambang
Potensi cebakan tambang atau sumberdaya mineral dari suatu daerah merupakan aset yang
sangat berharga bagi pemasukan daerah setempat. Potensi cebakan tambang tersebut tentunya juga
sangat menentukan bagi kesejahteraan rakyat. Untuk itu daerah yang memiliki cadangan sumberdaya
alam terutama yang bernilai strategis dan vital (golongan A dan B) perlu dihindari untuk tidak
dipertimbangkan sebagai calon wilayah potensial disposal limbah radioaktif.

I. Kawasan Penting dan Situs Bersejarah


Yang dimaksud dengan kawasan penting dan situs bersejarah meliputi 1) kantor
pemerintahan, 2) fasilitas kesehatan (rumah sakit dan puskesmas), 3) pangkalan militer, 4) tempat
peribadatan, 5) fasilitas pendidikan (SD s/d PT), 6) prasarana transportasi dan telekomunikasi, 7)

40
Sucipta, Budi Setiawan, Pratomo B. Sastrowardoyo, Dadang Suganda : Pemilihan Wilayah Potensial untuk Disposal Limbah
Radioaktif di Pulau Jawa dan Sekitarnya

pemakaman umum, 8) wisata dan hiburan, 9) kebudayaan, 10) sarana perekonomian dan industri, 11).
situs bersejarah (meliputi: candi, pemakaman tokoh terkenal dan bangunan-bangunan bersejarah lain).
Kawasan penting biasanya merupakan kawasan yang penggunaan lahannya telah diatur oleh
pemerintah daerah setempat dan merupakan wilayah untuk kepentingan publik (umum). Situs
bersejarah berupa suatu benda atau tapak yang merupakan peninggalan bersejarah yang harus
dilindungi oleh undang-undang atau peraturan. Dalam pemilihan wilayah potensial untuk fasilitas
disposal limbah radioaktif, maka wilayah yang terdapat kawasan penting dan situs bersejarah perlu
dihindari.

KESIMPULAN
Telah dilakukan studi dalam rangka penyiapan tapak untuk disposal limbah radioaktif di Pulau
Jawa dan sekitarnya, yang dilakukan di daerah Serang, Bogor, Karawang, Subang, Majalengka,
Rembang, Tuban dan Madura. Aspek-aspek yang dipertimbangkan sebagai dasar pemilihan wilayah
potensial meliputi geomorfologi, litostratigrafi, seismotektonik, vulkanologi, hidrologi, hidrogeologi,
cebakan tambang, demografi, kawasan penting dan situs bersejarah.
Di sejumlah daerah penelitian terutama yang berbatuan lempung dan batuan beku, dari aspek
geomorfologi memiliki kesesuaian yang cukup sebagai wilayah potensial disposal limbah radioaktif.
Secara litostratigrafi menunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut memiliki stratigrafi yang
relatif sederhana, dan terutama tersusun dari batuan sedimen berupa batulempung dan asosiasinya,
kecuali di daerah Serang yang tersusun oleh batuan beku (lava) andesit piroksen. Daerah penelitian
Madura yang secara litologi sulit ditentukan sebagai wilayah potensial karena tidak ditemukan batuan
lempungan atau batuan beku dengan homogenitas yang memadai.
Berdasarkan peta wilayah gempa Indonesia dengan percepatan puncak batuan dasar
dengan periode ulang 500 tahun, daerah Serang berada pada wilayah 4 dengan percepatan
0,2 g. Daerah Bogor, Karawang, Subang dan Majalengka berada pada wilayah 3 dengan percepatan
gempa 0,15 g. Daerah Rembang, Tuban dan Madura berada pada wilayah 2 dengan percepatan 0,1 g.
Untuk aspek seismotektonik ber dasarkan peta wilayah gempa Indonesia dengan percepatan
puncak batuan dasar dengan periode ulang 500 tahun, peta zona sumber gempa bumi di Indonesia,
dan peta sebaran lokasi kejadian tsunami di kawasan Asia Pasifik seluruh daerah studi berada pada
wilayah dengan bahaya goncangan gempa bumi sebesar 100-150 gal(<400gal), dan merupakan
daerah dengan potensi ancaman bahaya tsunami yang sangat kecil.
Keberadaan struktur geologi yang kompleks juga menjadi bahan pertimbangan untuk tidak
dipilihnya daerah Bogor, sebagian daerah Subang dan Madura, karena banyak dijumpai patahan dan
lipatan.
Dari studi data sekunder dan peninjauan ke lapangan menunjukkan bahwa pada umumnya
daerah penelitian Serang, Karawang, Subang, Rembang, Tuban dan Madura berada jauh (>30 km) dari
gunung api aktif tipe A atau tipe B. Hanya daerah Bogor dan Majalengka yang relatif dekat (jarak < 25
km) dengan gunungapi aktif tipe A.
Dari aspek hidrogeologi/keterdapatan air tanah menunjukkan bahwa semua daerah penelitian
termasuk daerah bukan cekungan air tanah dengan kelulusan batuan sangat rendah. Daerah
penelitian pada umumnya berada pada daerah aman terhadap potensi banjir dan longsor (kerentanan
gerakan tanah tingkat rendah).
Daerah penelitian Serang, Subang, Rembang, Tuban dan Madura memiliki tingkat kepadatan
2
penduduk kurang dari 1000 jiwa/km , sedangkan daerah Bogor, Karawang dan Majalengka memiliki
2
tingkat kedapatan penduduk > 1000 jiwa/km .
Berdasarkan pola tata guna lahan, sebagian wilayah studi yang merupakan daerah cebakan
tambang maupun kawasan penting dan situs bersejarah, perlu dipertimbangkan dalam pemilihan
wilayah potensial untuk disposal limbah radioaktif.
Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa berdasarkan aspek-aspek tersebut di atas
daerah penelitian Serang, Subang, Sumedang (hasil ekstrapolasi Majalengka dan Subang), Rembang
dan Tuban memiliki kesesuaian sebagai calon wilayah potensial untuk PL-LR di Pulau Jawa dan
sekitarnya, sedangkan daerah penelitian Bogor, Karawang, Majalengka dan Madura kurang sesuai
untuk dipertimbangkan sebagai wilayah potensial.

DAFTAR PUSTAKA :
[1] IAEA: Siting of Near Surface Disposal Facilities, Safety Series No. 111 G-3.1, IAEA-Vienna
(1994).
41
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

[2] IAEA: Near Surface Disposal of Radioactive Wastes, Safety Series No. 111-S.3, IAEA-Vienna
(1994).
[3] IAEA: Site Investigations for Repositories for Solid radioactive Wastes in Shallow Ground,
Technical Reports Series No. 216, IAEA-Vienna (1982).
[4] IAEA: Criteria for Underground Disposal of Solid Radioactive Wastes, Sefety Series No. 60, IAEA-
Vienna (1983).
[5] Squires, D.J.: Siting of Shallow Land Repositories, Regional Training Course on National
Infrastructure for Radioactive Waste Management, Jakarta, Indonesia (1991).
[6] Panekoek: The Outline of Geomorphology, (1949)
[7] Bemmelen, R.W. Van: The Geology of Indonesia, Vol. 1A, Martinus Nijhoff, The Hague (1949).
[8] Zuidam, R.A., et al.: Terrain Analysis and Classification Using Aerial Photographs : A
Geomorphological Approach, ITC, Netherland (1979).
[9] Rusmana, E., Suwitodirdjo, K. dan Suharsono: Peta Geologi Lembar Serang, P3G ESDM,
Bandung, (1991).
[10] Effendi A.C., Kusnama dan B. Hermanto: Peta Geologi Lembar Bogor, P3G ESDM, Bandung,
(1998).
[11] Achdan dan Sudana: Peta Geologi Lembar Karawang, P3G ESDM, Bandung (1992).
[12] Silitonga: Peta Geologi Lembar Bandung, P3G ESDM, Bandung (2003)..
[13] Tjia, H.D.: Peta Geologi Bersistem Djawa, lembar 35 Subang. Field Report 1, Field Report 2, Field
Report 3, Field Report 4, Unpublished Report, Geological Survey of Indonesia (1963).
[14] Djuri: Peta Geologi Lembar Arjawinangun, P3G ESDM, Bandung (1995).
[15] Darwin, K. & Sudijono: Peta Geologi Lembar Rembang, P3G DESDM, Bandung (1993).
[16] Situmorang, R.L.: Peta Geologi Lembar Jatirogo Jawa, Puslitbang Geologi, Dept. ESDM,
Bandung (1992).
[17] Sukardi: Peta Geologi Lembar Surabaya dan Sapulu, P3G ESDM, Bandung (1992).
[18] Azis, S., Sutrisno, Noya, Y dan Brata, K.: Peta Geologi Lembar Tanjungbumi-Pamekasan, P3G
DESDM, Bandung (1992).
[19] Situmorang, R.L., Agustiyanto, D.A dan Suparman, M.: Peta Geologi Lembar Waru-Sumenep,
P3G ESDM, Bandung (1992).
[20] Kertapati, E.K., Setiawan, Y.B. & Ipranta: Peta Bahaya Goncangan Gempabumi Indonesia, P3G
DESDM, Bandung (1999).
[21] Sebaran lokasi kejadian tsunami di kawasan Asia Pasifik
[22] http://ciptakarya.pu.go.id/peta/list-at.php, diunduh Desember 2008
[23] Dir. Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Peta Sebaran Gunungapi Aktif di Indonesia,
DVMBG DESDM, Bandung, 2001.
[24] Sukrisna, A., Murtianto, E. & Ruchijat, S.: Peta Cekungan Air Tanah Propinsi Banten, PLG ESDM
Bandung (2008).
[25] Sukrisna, A., Murtianto, E., Ruchijat, S. & Setiadi, H.: Peta Cekungan Air Tanah Propinsi DKI dan
Jawa Barat, PLG ESDM Bandung (2008).
[26] Setiadi, H.: Peta Cekungan Air Tanah Propinsi Jawa Tengah, PLG ESDM Bandung (2008).
[27] Arifin, M.B., Peta Cekungan Air Tanah Propinsi Jawa Timur, PLG ESDM Bandung, 2008.
[28] KEMENEG. LINGKUNGAN HIDUP, Peta daerah rawan banjir dan longsor P. Jawa, 2006.

42
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565
Volume 13 Nomor 1 Juni 2010 (Volume 13, Number 1, June, 2010)
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

INTERAKSI RADIOCESIUM DENGAN HOST ROCK


DIBAWAH PENGARUH pH dan KEKUATAN ION LARUTAN
Budi Setiawan
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN
Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310

ABSTRAK
INTERAKSI RADIOCESIUM DENGAN HOST ROCK DIBAWAH PENGARUH pH dan
KEKUATAN ION LARUTAN. Telah dilakukan penelitian tentang interaksi radiocesium dengan host
rock pada kondisi pH dan kekuatan larutan yang bervariasi. Identifikasi keandalan suatu host rock dari
suatu calon wilayah untuk fasilitas penyimpanan akhir limbah radioaktif perlu diperoleh. Tujuan dari
kegiatan ini adalah untuk mendapatkan data spesifik karakter sorpsi-desorpsi radiocesium ke dalam
batuan host rock dari calon wilayah untuk fasilitas penyimpanan akhir limbah radioaktif. Kondisi
larutan/air tanah seperti pH dan kekuatan ion larutan dipertimbangkan akan berpengaruh pada interaksi
radiocesium-batuan, untuk itu cara catu diadopsi pada percobaan ini. Sampel percobaan diambil secara
periodik, ditentukan dan dihitung koefisien distribusinya/Kd. Variasi pH dan kekuatan ion di larutan
diperkirakan akan berpengaruh pada nilai Kd. Hasil menunjukkan bahwa perubahan pH larutan tidak
berpengaruh terhadap nilai Kd radiocesium karena kuatnya sifat buffer dari batuan host rock.
Berubahnya kekuatan ion larutan memberikan pengaruh pada nilai Kd radiocesium, kompetisi antara
ion garam latar dengan cesium menyebabkan terjadinya penurunan nilai Kd radiocesium ke host rock.
Kata kunci : Radiocesium, host rock, pH, I
ABSTRACT
INTERACTION OF RADIOCESIUM WITH HOST ROCK UNDER THE EFFECTS OF pH AND
IONIC STRENGTH OF SOLUTION. Experiments of radiocesium interaction with host rock under the
variation of pH and I of solution conditions have been done. Reliability identification of a host rock was
taken out from a candidate of potentially area for a radwaste disposal was important to be obtained.
Objective of the experiment is to find out specific data of sorption-desorption of radiocesium onto host
rock from a candidate of potentially area for a radwaste disposal. Solution/groundwater conditions such
as pH and I of solution were considered will affect to radiocesium-rock interaction, for that reason batch
method was adopted on the experiments. Sample was taken out periodically, measured and then
calculated their distribution coefficients/Kd. Variation of pH and I of solution are predicted affect to Kd
values. Results showed that pH changing in solution did not effect to Kd values due to buffer character
of host rock was strong. However changing of I in solution affects on Kd value, completion between
background salt ion with cesium made decreasing of Kd value of radiocesium to host rock.
Keywords : Radiocesium, host rock, pH, I

PENDAHULUAN
Penyimpanan akhir limbah radioaktif (PA-LRA) merupakan bagian ujung akhir (back-end) dari
sistem siklus bahan bakar nuklir (nuclear fuel cycle) maupun pengelolaan limbah radioaktif (radwaste
management). Limbah-limbah yang selesai diolah dapat berwujud kemasan drum 200 L maupun shell
beton dengan ukuran yang bervariasi akan disimpan secara lestari pada suatu fasilitas PA-LRA. Badan
tenaga atom dunia (International atomic energy agency/IAEA) telah merekomendasikan kepada seluruh
anggotanya agar menimbun limbah-limbah radioaktif yang beraras rendah (low-level waste/LLW) ke
dalam fasilitas PA-LRA jenis dekat permukaan (near surface disposal facility) dengan kedalaman
beberapa meter sampai puluhan meter [1]. Limbah radioaktif ini harus dikelola dengan baik dan benar
agar tidak membahayakan lingkungan dan menjamin keselamatan serta tidak membebani masyarakat
dan lingkungan hidup baik untuk masa sekarang maupun yang akan datang. Untuk alasan seperti itu,
biasanya pada fasilitas PA-LRA digunakan suatu sistem keselamatan yang berlapis untuk
meminimalisir kemungkinan adanya dampak sebaran radionuklida dari fasilitas ke lingkungan yang
diwujudkan sebagai suatu sistem penghalang yang terintergrasi: penghalang buatan dan penghalang
alami [2,3].
Penghalang buatan adalah sistem penghalang yang dibuat oleh manusia yang dimaksudkan
untuk memperkuat/memperbaiki kemampuan sistem penghalang yang telah ada di alam atau
lingkungan tempat fasilitas PA-LRA berada. Host rock dari PA-LRA merupakan sistem penghalang

43
Budi Setiawan : Interaksi Radiocesium dengan Host Rock di Bawah Pengaruh Ph dan Kekuatan Ion Larutan

alami yang juga merupakan penghalang terakhir kemungkinan penyebaran kontaminan ke lingkungan
akan berperan mengontrol aliran air tanah menuju fasilitas dan menghambat kemungkinan adanya
penyebaran radionuklida atau kontaminan dari suatu fasilitas PA-LRA ke lingkungan hidup.
Air tanah dikenal sebagai media pengemban (carrier) bagi penyebaran unsur hara yang
sangat dibutuhkan oleh tanaman, ion logam maupun kontaminan baik yang bersifat radioaktif maupun
non-radioaktif. Radionuklida terlarut dari fasilitas PA-LRA yang berhasil lepas ke air tanah kemudian
bersama-sama dengan aliran air tanah menuju ke biosfer. Selama bergerak bersama air tanah
radionuklida akan berinteraksi dan bereaksi dengan tanah/batuan host rock di sepanjang pathway yang
dilaluinya. Tanah dan batuan sebagai host rock yang ada disepanjang pathway akan berperan penting
untuk menahan dan memperlambat mobilitas radionuklida bersama air tanah melalui mekanisme
sorpsi. Sebagian konsentrasi radionuklida diperkirakan akan terserap oleh tanah/batuan karena
adanya interaksi tersebut, sehingga parameter-parameter yang berpengaruh dengan sifat air tanah
seperti kondisi keasaman/pH dan kekuatan ion/I larutan perlu dipelajari. Keasaman air tanah akan
berpengaruh pada perubahan spesiasi ion logam/radionuklida yang ada di larutan sehingga
diperkirakan akan merubah nilai Kd dari radionuklida ke padatan/host rock. Sorpsi radionuklida dari
larutan ke host rock juga akan tergantung pada besarnya konsentrasi garam latar dari larutan [4-6].
Radionuklida cesium/Cs-137 digunakan sebagai model ion logam karena radionuklida tersebut
merupakan radionuklida yang mendominasi inventori limbah radioaktif beraras rendah dan sedang
bahkan tinggi, kemudian mempunyai waktu paro panjang (t1/2 ~30 tahun) dan merupakan radionuklida
acuan (selain Sr-90 dan Co-60) dalam penelitian interaksi RN aras rendah dengan batuan [7].
Hasil akhir yang akan diperoleh dari percobaan ini adalah tersedianya informasi pengaruh
kondisi larutan seperti pH dan I larutan terhadap interaksi radionuklida-host rock, kemudian dari sini
akan dapat diketahui karakter sorpsi radionuklida oleh tanah/batuan host rock pada bermacam kondisi
yang dapat mempengaruhi proses sorpsi. Informasi ini selanjutnya dapat digunakan untuk mendukung
kegiatan pengkajian keselamatan fasilitas penyimpanan limbah, dan hasilnya dapat digunakan pada
pembuatan konsep disain penyimpanan limbah di masa yang akan datang.

TATA KERJA
Bahan dan Peralatan
Sampel host rock diambil dari beberapa lokasi di daerah Tuban-Jawa Timur. Sebelum
dipreparasi, sampel dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran (batu, akar, daun), dipanaskan dengan
oven, digerus, diayak menjadi 100 mesh dan dikeringkan kembali di udara terbuka. Padatan/sampel
yang dihasilkan itu kemudian disimpan dalam wadah plastik dan siap untuk di gunakan dalam penelitian
ini.
Bahan kimia yang digunakan adalah CsCl, NaCl, MES (2-(N-morpholino)ethanesulfonic acid)
dan THAM (tris(hydroxymethyl) aminomethane) 0.01M sebagai pengatur variasi keasaman larutan,
sedangkan radionuklida Cs-137 digunakan sebagai pengemban.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven, penggerus keramik, ayakan, alat
roller sebagai pencampur Cs-137 dengan sampel, Nalgene filter with syringe, alat cacah MCA dan alat
gelas/plastik sebagaimana digunakan pada lab kimia umumnya.

Prosedur
Sampel ditimbang dengan berat tertentu, kemudian dikontakkan di dalam vial PE 20 ml
dengan larutan yang mengandung CsCl 1x 10-4 dan 1x 10-8 M dengan ratio 10-2 g/ml. Setelah itu
pengemban Cs-137 diberikan ke dalam campuran tersebut. Keasaman dan kekuatan ion larutan
diberikan sebagai pemberi pengaruh pada interaksi CsCl dengan sampel. Rentang pH larutan dibuat
berkisar antara 3-9, sedangkan kekuatan ion direntang antara 0; 0,1 dan 1,0 M NaCl. Campuran
sampel dan larutan CsCl dirolling sampai mencapai kondisi setimbang dan pengaruh pH dan I larutan
terhadap interaksi CsCl-sampel dapat diketahui dengan cara mengukur konsentrasi CsCl yang ada di
larutan. Pemisahan fasa padat-cair dilakukan dengan menggunakan cara filtrasi dan larutan hasil
pemisahan diambil untuk diukur aktivitas -nya dengan menggunakan detektor NaI(Tl) jenis sumuran.
Larutan sisanya digunakan untuk mengukur pH larutan. Nilai koefisien distribusi/Kd radionuklida dapat
dihitung dengan persamaan [8],
C 0 C t V
Kd= (1)
Ct m
dimana C0 dan Ct masing-masing adalah konsentrasi awal Cs dan konsentrasi akhir Cs di larutan, V
adalah volume total larutan (ml), m adalah massa lempung (g) dan Kd adalah distribusi koefisien Cs-

44
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

137 di padatan dan di larutan saat mencapai kondisi kesetimbangan. Kegiatan penelitian ini seluruhnya
dilaksanakan pada tahun fiskal 2009 di Lab Kimia Bidang Teknologi Penyimpanan Lestari-PTLR-
BATAN, Serpong-Tangerang, Banten.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Komposisi kimia dari sampel
Hasil analisis dari masing-masing sampel mempunyai komposisi kimia unsur makro seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis fisika-kimia sampel host rock [9].


Unsur Sampel 1 Sampel 2
K 0,06 % 0,22
Ca 0,10 % 0,55
Mg 0,17 % 1,10
Na 0,08 % 0,15
Fe 1,97 % 3,02
Al 4,70 % 6,99
Mn 145 ppm 499 ppm
Silikat kasar 91,60 % 75,34

Sedangkan hasil analisis sampel mineral liat dari masing-masing sampel ditunjukkan pada
Tabel 2, dimana informasi kandungan mineralnya diperoleh melalui cara difraksi sinar X.

Tabel 2. Hasil analisis mineral sampel host rock [10].


Sampel Kaolinit Muskovit (Ba) Monmorilonit Meta haloisit Kuarsa Kelas
mineralogi
Sampel 1 + +++ Kaolinitik
Sampel 2 +++ ++ Haloistik
Catatan: ++++ dominan, +++ banyak, ++ sedang, + sedikit, (+) sangat sedikit

Pengaruh pH larutan
Perubahan kondisi larutan diperkirakan akan mempengaruhi kondisi penyerap (sampel host
rock) dan spesiasi ion logam/radionuklida yang akan berinteraksi dengan sampel. Interaksi sampel dan
larutan dengan kondisi keasaman tertentu menyebabkan terjadinya pergantian ion-ion pertukaran (ion
H, Na, Mg, Ca) yang ada di permukaan batuan dengan ion hidroksida di larutan. Radionuklida yang
ada di larutan kemudian berinteraksi dengan batuan sampel [11].
R-H + OH- <---------> R- + H2O (2)
R adalah matrik yang tak larut dari sampel batuan. Radiocesium merupakan radionuklida yang cukup
mobile pada lingkungan, tidak terspesiasi, mudah berasimilasi dengan organisme-organisme yang ada
di larutan maupun tanah sehingga cukup efisien terserap oleh binatang pada sistem rantai makanan
[12]. Secara umum dengan kondisi seperti diatas, keberadaan Cs di tanah/host rock atau di air tanah
akan ditentukan oleh kapasitas serap fase padatnya/host rock [12-14]. Host rock yang baik bersifat
menyerap kontaminan sehingga diharapkan mampu mencegah terjadinya penyebaran kontaminan dari
fasilitas PA-LRA ke biosfer.

45
Budi Setiawan : Interaksi Radiocesium dengan Host Rock di Bawah Pengaruh Ph dan Kekuatan Ion Larutan

10000 300

8000 (a) 250 (b)


200
6000
Kd (ml/g)

Kd (ml/g)
150
4000
100

2000
50

0 0
3 4 5 6 7 8 9 10 3 4 5 6 7 8 9 10

pH pH

10000
300

8000 250
(c) (d)
6000 200
Kd (ml/g)

Kd (ml/g)

150
4000
100
2000
50

0 0
3 4 5 6 7 8 9 10 3 4 5 6 7 8 9 10
pH pH

Gambar 1. Pengaruh perubahan pH larutan terhadap nilai Kd,


(a) (b) Sampel 1, (c) (d) Sampel 2
-8 -4
(a) (c) 1 x 10 M (b) (d) 1 x 10 M CsCl

Pengaruh pH larutan terhadap interaksi radiocesium dengan sampel host rock ditunjukkan
pada Gambar 1. Nilai Kd radiocesium yang dihasilkan relatif tetap terhadap adanya perubahan pH di
larutan. Kuatnya sifat penyangga (buffer) dari sampel ditengarai menyebabkan adanya penambahan
atau perubahan sifat asam atau basa di larutan terhadap sampel tidak memberikan pengaruh yang
nyata pada perubahan nilai Kd radiocesium ke sampel. Kondisi ini terlihat disepanjang rentang pH
yang dikenakan terhadap sampel. Walaupun ada sedikit perbedaan pada nilai Kd yang dihasilkan,
dimana pada Gambar 1(a) sampel host rock memberikan nilai yang l ebih tinggi dibandingkan
dengan hasil Kd sampel lainnya/1(c). Hal ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan komposisi
kimianya yang berbeda antara sampel satu dengan lainnya.
Hasil sorpsi CsCl pada Gambar 1(a)(c) memberikan hasil yang lebih tinggi dari pada hasil
sorpsi pada Gambar 1(b)(d). Perbedaan konsentrasi CsCl di larutan telah memberikan nilai Kd
radiocesium yang berbeda. Meningkatnya konsentrasi CsCl di larutan akan segera menjenuhkan
kapasitas serap host rock, dan CsCl tersisa di larutan akan menurunkan perhitungan nilai Kd
radiocesium.

Pengaruh Kekuatan ion ( I )


Hasil perhitungan nilai Kd radiocesium akibat pengaruh kekuatan ion/I larutan ditunjukkan
pada Gambar 2. Penurunan nilai Kd yang diakibatkan oleh bertambahnya konsentrasi garam
latar/NaCl telah diamati oleh beberapa peneliti [15] walaupun penyelidikan secara sistematik belum
pernah dilakukan terhadap fenomena seperti ini.

46
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

Kemungkinan terjadinya perubahan sifat elektrostatis larutan akibat meningkatnya kekuatan


ion di larutan dapat menyebabkan berkurangnya sifat selektifitas terhadap suatu kation monovalen
seperti cesium pada suatu sistem pertukaran yang heterogen seperti tanah/batuan [16-18].
Atau cara ini dapat dijelaskan dengan teori lapisan ganda elektrik (electrical double layer
theory) yang ada di sekeliling batuan host rock, dimana site aktif yang ada disekeliling batuan host rock
akan melakukan reaksi netralisasi dengan ion-ion Na sebagai garam latar. Akibatnya ion-ion logam
yang ada disekitar batuan bila akan berinteraksi dan beraksi dengan batuan sampel dikontrol secara
+ +
kompetisi antara garam latar/Na dan Cs . Sehingga meningkatnya konsentrasi garam NaCl di larutan
akan menyebabkan meningkatnya ion-ion Na di daerah pertukaran luar bahan penukar kation yang
dapat menyebabkan meningkatnya kompetisi antara ion-ion logam yang berada di daerah pertukaran
luar bahan penukar ion seperti sampel host rock.

6000 300

5000 250

4000 200

Kd (ml/g)
Kd (ml/g)

3000 150

2000 100

1000 50

0 0
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

I (M NaCl) I (M NaCl)

6000 300

5000 250

4000 200
Kd (ml/g)

Kd (ml/g)

3000 150

2000 100

1000 50

0 0
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

I (M NaCl) I (M NaCl)

Gambar 2. Pengaruh perubahan kekuatan ion di larutan terhadap nilai Kd,


(a)(b) Sampel 1, (c) (d) Sampel 2,
(a)(c) 1 x 10-8 M (b) (d) 1 x 10-4 M CsCl

KESIMPULAN
Telah dilakukan penelitian tentang interaksi radiocesium dengan host rock pada kondisi pH
dan kekuatan larutan yang bervariasi. Hasilnya menunjukkan bahwa perubahan pH di larutan tidak
mempengaruhi perhitungan nilai Kd radiocesium ke host rock karena kuatnya sifat buffer dari batuan
host rock. Berubahnya kekuatan ion larutan memberikan pengaruh pada nilai Kd radiocesium, hal ini
kompetisi antara ion garam latar dengan cesium telah menyebabkan terjadinya penurunan nilai Kd
radiocesium ke host rock.

47
Budi Setiawan : Interaksi Radiocesium dengan Host Rock di Bawah Pengaruh Ph dan Kekuatan Ion Larutan

UCAPAN TERIMA KASIH


Kegiatan ini telah dibiayai oleh Kementerian Pendidikan Nasional melalui Program Insentif
Riset DIKNAS-BATAN Tahun 2009. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Sdr. Teddy Sumantry
BSc. dan Sdri. Nurul Efriekaningrum SST. dari Bidang Teknologi Penyimpanan Lestari, Pusat Teknologi
Limbah Radioaktif-BATAN atas bantuan preparasi dan pekerjaan radiokimianya.

DAFTAR PUSTAKA
[1] IAEA: Operational Experience in Shallow Ground Disposal of Radioactive Wastes, Technical
Report Series no. 69, IAEA-Vienna (1985).
[2] IAEA: Siting of Near Surface Disposal Facilities, SS no. 111-G-3.1, IAEA-Vienna (1994).
[3] IAEA: Siting of Geological Disposal Facilities, SS no. 111-G-4.1, IAEA-Vienna (1994).
[4] Wahlberg, JS., Fishman, MJ.: Adsorption of Cesium on Clay Mineral, USGS Bull 1140-A (1962).
[5] McBride, MB.: An Interpretation of Cation Selectivity Variations in M+-M+ Exchange on Clays,
Clays and Clay Minerals 27, 417-422 (1979).
[6] Di Toro et.al.: Effects of Nonreversibility, Particle Concentration and Ionic Strength on Heavy Metal
Sorption, Environ. Sci. Technol 20, 55-61 (1986).
[7] Suryanto: Radionuklida Acuan Pada Analisis Keselamatan Penyimpanan Limbah Radioaktif,
Prosid. Pertemuan dan Presentasi Ilmiah I, PTPLR-BATAN, Serpong, 138-142 (1997).
[8] Erten, HN., et.el.: Sorption of Cesium and Strontium on Montmorillonite and Kaolinite, Radiochim.
Acta 44/45,147 (1988).
[9] BALIT TANAH, Hasil Analisis Contoh Tanah, Sertifikat Pengujian, Departemen Pertanian-Bogor
(2009).
[10] BALIT TANAH, Hasil Analisis Mineral Liat, Sertifikat Pengujian, Departemen Pertanian-Bogor
(2009).
[11] IAEA: Use of Local Mineral in The Treatment of Radioactive Waste, Technical Report Series
no.136, IAEA-Vienna (1972).
[12] Coughtrey, PJ., Thorne, MC.: Radionuclide Distribution and Transport in Terrestrial and Aquatic
Ecosystems Vol.1, Rotterdam: A.A. Balkema Publ., 496 (1983).
[13] Livens, FR., Loveland, PJ.: The Influence of Soil Properties on The Environmental Mobility of
Cesium in Cumbria, Soil Use Manage. 4, 69-75 (1988).
[14] Kirk, GJD., Staunton, S.: On Predicting The Fate of Radioactive Cesium in Soil Beneath
Grassland, J. Soil Sci. 40, 71-84 (1989).
[15] Staunton, S., Roubaud, M.: Adsorption of 137Cs on Montmorillonite and Illite: Effect of Charge
Compensating Cation, Ionic Strength, Concentration of Cs, K and Fulvic Acid, Clays and Clay
Minerals 45, No.2, 251-260 (1997).
[16] M. Ding et.al.: Sorption Characteristics of Radionuclides on Clays in Yucca Mountain Alluvium,
Presented to 2006 IHLRWM, April 30 - May 4, 2006, Las Vegas, Nevada.
[17] MV. Mironenko et.al.: Experimental Study of Sorption of Np(V) on Kaolinite, Herald of the
Department of the Earth Sciences RAS, 2004.
[18] WY Um, and C. Papelis: Sorption Mechanisms of Sr and Pb on Zeolitized Tuffs From The Nevada
Test Site as a Function of pH and Ionic Strength, American Mineralogist, Vol. 88, 20282039
(2003).

48
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565
Volume 13 Nomor 1 Juni 2010 (Volume 13, Number 1, June, 2010)
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

BIOAKUMULASI MERKURIA ANORGANIK DAN METIL


MERKURI OLEH Oreochromis mossambicus:
PENGARUH KONSENTRASI MERKURI ANORGANIK DAN
METIL MERKURI DALAM AIR
Heny Suseno*, Sumi Hudiyono PWS**, Budiawan**, Djarot S Wisnubroto***
*) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif BATAN, Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310
**) Departemen Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia, Kampus Depok
***) Badan Tenaga Nuklir Nasional, Kantor Pusat BATAN Jl Kuningan Barat, Mampang Prapatan-
Jakarta Selatan

ABSTRAK
BIOAKUMULASI MERKURI ANORGANIK DAN METIL MERKURI OLEH Oreochromis
mossambicus: PENGARUH KONSENTRASI MERKURI ANORGANIK DAN METIL MERKURI DALAM
AIR. Telah dilakukan studi bioakumulasi Hg2+ dan CH3HgCl oleh O. mossambicus menggunakan
radiotracer. Penelitian dilakukan dilaboratorium menggunakan radiotracer dan kedua kontaminan
tersebut divariasikan pada berbagai konsentrasi. Hasil penelitian menunjukkan nilai Faktor Konsentrasi
Hg2+ dan CH3HgCl masing-masing berkisar antara 134,5 - 176,7 ml.g-1 dan 1013,4 sampai dengan
-1
1284,1 ml.g . Peningkatan konsentrasi kedua kontaminan tersebut dalam medium air menyebabkan
penurunan nilai CF tetapi perhitungan menggunakan model Uptake Depuration Toxicity menunjukkan
O. mossambicus toleran terhadap peningkatan konsentrasi kedua senyawaan merkuri tersebut.
Kata kunci: Bioakumulasi, merkuri, metil merkuri, O. mossambicus, radiotracer
ABSTRACT
BIOACCUMULATION INORGANIC MERCURY AND METHYL MERCURY BY O.
mossambicus: THE INFLUENCES OF INORGANIC AND METHYL MERCURY CONCENTRAION ON
WATER. The study of Bioaccumulation Hg2+ and CH3HgCl by O. mossambicus using the radiotracer
have been done. Laboratory study was conducted using the radiotracer and the both of contaminanst
was varied at different concentrations. The Results of experiment was shown that the Concentration
2+
Factor (CF) of Hg and CH3HgCl ranged from 134.5 to 176.7 ml.g-1 and 1013.4 to 1284.1 ml.g-
1. Increasing concentrations of both contaminants in water medium caused a decrease in the value of
CF but calculations using the model Uptake - Depuration Toxicity shows O. mossambicus tolerant at
these experiment conditions.
Keywords: Bioaccumulation, mercury, methyl mercury, O. mossambicus, radiotracer

PENDAHULUAN
Sebagai salah satu zat pencemar, merkuri bersifat neutrotoksin dan masuk ke ekosistem
akuatik melalui deposisi atmosferik maupun bersumber dari eksternalisasi limbah industri [1,2]. Pada
lingkungan akuatik, merkuri mudah membentuk senyawaan kompleks sehingga mempunyai mobilitas
yang tinggi dan dominan sebagai Hg2+. Disisi lain merkuri dapat dimetilasi oleh bakteri membentuk
senyawaan organomerkuri yang mempunyai toksisitas lebih besar dibandingkan dengan bentuk
anorganik [3,4]. Organomerkuri selain metil merkuri cepat terdekompoisisi kembali menjadi merkuri
anorganik [5]. Merkuri mempunyai afinitas terhadap lipid dalam tubuh organism sehingga merkuri
cenderung lebih terakumulasi dan terbiomagnefikasi dibandingkan bentuk logam berat lainnya [6]. Oleh
2+
organisme akuatik merkuri diakumulasi dalam bentuk metil merkuri atau ion Hg pada seluruh
tingkatan jejaring makanan.
Tilapia (O. mossambicus ) dibudidayakan di perairan tawar dan payau karena mempunyai nilai
ekonomis dan kemampuannya beradaptasi terhadap perubahan saliitas yang cukup ekstrim serta
dapat bertahan pada kondisi kekurangan oksigen [7]. Budidaya ikan tersebut di daerah pesisir
terancam oleh berbagai macam jenis polutan termasuk merkuri. Walaupun wilayah pesisir dan muara
sungai sangat kecil memainkan peranan dalam siklus global merkuri, tetapi wilayah ini menunjukkan
tingkatan konsentrasi merkuri yang sangat tinggi yang diakibatkan oleh inputan dari sungai. Pada
wilayah pesisir merkuri terdeposisi dalam sedimen dan kurang mempunyai bioavailabilitas
dibandingkan dengan lingkungan laut tetapi tetap berada dalam rantai makanan lokal dengan derajad

49
Heny Suseno, Sumi Hudiyono PWS, Budiawan, Djarot S Wisnubroto : Bioakumulasi Merkuria Anorganik dan Metil Merkuri oleh
Oreochromis Mossambicus: Pengaruh Konsentrasi Merkuri Anorganik dan Metil Merkuri dalam Air

yang signifikan [8]. Sebagai salah satu predator puncak dalam jejaring makanan akuatik, O.
mossambicus berpotensi mengakumulasi merkuri/metil merkuri dan memberikan kontribusi terhadap
paparan kedua kontaminan tersebut pada manusia. Ikan ini mempunyai toleransi yang besar terhadap
kadar garam/salinitas dan mudah ditemui di tambak-tambak pada berbagai daerah pesisir. Disisi lain
kemampuan akumulasi merkuri/metil merkuri dalam berbagai kondisi lingkungan belum banyak
diketahui [9-13].
Bioakumulasi merupakan proses yang kompleks dan dinamis, tetapi dapat dijelaskan melalui
model yang dikontruksi dari hasil eksperimen. Model kompartemen tunggal secara luas paling banyak
digunakan untuk beragam spesies akuatik. Model kompartemen ini memberikan penjelasan matematis
2+
kuantitas senyawaan kimia termasuk Hg /CH3HgCl yang ditentukan oleh kecepatan pengambilan dan
pelepasannya [14]. Model kompartemen tunggal lebih realistik merupakan keseimbangan antara proses
pelepasan dan pengambilan serta dikuantisasi dengan model multi paparan. Pada model kompartemen
tunggal proses bioakumulasi juga didekontruksi berdasarkan mekanistik pada setiap komponen dan
direkontruksi kembali menjadi suatu prianti prakiraan bioakumulasi untuk daerah spesifik [15]. Seperti
halnya jenis ikan lainnya, jalur utama bioakumulasi merkuri O. mossambicus adalah melalui jalur pakan
[15]. Walaupun demikian jalur air juga berkontribusi dalam proses bioakumulasi karena proses
bioakumulasi merupakan keseimbangan antara 3 mekanisme yaitu: pengambilan Hg2+/CH3HgCl dari
jalur air, ingesi dan pelepasan. Menggunakan radiotracer, model ini dapat direalisasikan melalui
eksperimen secara kontinyu dan terkontrol dengan berbagai konsentrasi serta simulasi kondisi
lingkungan [15].
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi prilaku merkuri dan metil merkuri
yang meliputi bioakumulasi, dan eliminasi dalam tubuh Oreochromis mossambicus. Prilaku tersebut
dipengaruhi oleh berbagai kondisi eksternal salah satunya adalah perubahan konsentrasi dan lama
paparan kedua senyawaan merkuri tersebut dalam medium air payau.

TATA KERJA
Bioakumulasi merkuri dan metil merkuri mengikuti prinsip-prinsip masuknya xenobiotik
kedalam organisme hidup, yaitu: absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi. Pendekatan proses
absorpsi dan eliminasi menggunakan model biokinetika kompartemen tunggal. Studi bioakumulasi Hg2+
dan CH3HgCl oleh Oreochromis mossambicus dilakukan dua jalur paparan yaitu melalui jalur air dan
jalur ingesi (pakan). Pada penelitian ini dilakukan simulasi bioakumulasi melalui jalur aii meliputi: (a)
Akalimatisasi hewan percobaan, pembuatan media paparan dengan variasi konsentrasi (0,4 sampai
dengan 20g.l-1 Hg dan 0,021 sampai dengan 1,832g.l-1 untuk CH3HgCl (b) ioakumulasi Hg2+ dan
2+
CH3HgCl dilakukan dengan memberikan paparan O. mossambicus masig-masing dalam media Hg
203 2+ 203
dan CH3HgCl secara terpisah dalam interval waktu 1 - 30 hari. Radiotracer Hg dan (CH3)2Hg 1
-1 203
Bq.ml ditambahkan ke masing-masing media secara terpisah. Rasio konsentrasi Hg2+ atau
203
CH3Hg Cl dalam ikan dibandingkan konsentrasinya dalam air merupakan nilai Faktor Konsentrasi
(CF, ml.g-1). Nilai slope yang berasal dari plot nilai CF terhadap waktu merupakan konstanta kecepatan
-1 -1
pengambilan (ml.g .hari ). Nilai CFss diperoleh dari CF pada kondisi tunak (c) Pelepasan Hg2+ dan
CH3HgCl dari tubuh O.mossambicus dilakukan dengan menempatkan ikan yang telah terakumulasi
2+
akuarium berisi air payau yang tidak ditambahkan Hg dan CH3HgCl. Persentase kedua kontaminan
tersebut yang tertinggal dalam tubuh O. mossambicus ditetapkan setaip hari, nilai slope yang berasal
dari plot nilai persentase kontaminan yang tertahan CF terhadap waktu merupakan konstanta
kecepatan pelepasan (hari-1)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Proses bioakumulasi Hg2+ dan CH3HgCl oleh O. Mossambicus dari medium air dipengaruhi
oleh perubahan konsentrasi kedua senyawaan tersebut. Pada percobaan ini O.mossambicus
disimulasikan berada dalam kondisi lingkungan perairan yang mengandung Hg2+ dan atau CH3HgCl
dari konsentrasi rendah sampai dengan menengah. Konsentrasi Hg2+ dan CH3HgCl yang digunakan
adalah pada kisaran seperlimaratus sampai dengan sepersepuluh dari nilai LC50-96h pada O.
Mossambicus[7] . Pengaruh perubahan konsentrasi Hg2+ dan CH3HgCl terhadap kemampuan
akumulasi oleh O. mossambicus yang direpresentasikan oleh nilai CF ditunjukkan pada Gambar 1 dan
2

50
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

200

Faktor konsentrasi, CF (ml.g )


180

-1
160

140

120

100

80

60 -1
0,4 g.l
-1
40 2,0 g.l
-1
10,0 g.l
20 -1
20,0 g.l
0
0 5 10 15 20 25 30 35

Lama Paparan (hari)


2+
Gambar 1. Pengambilan Hg oleh O. mossambicus melalui jalur air pada kisaran konsentrasi
2+ -1
Hg dalam media air 0,40 sampai dengan 20 g.l

1400
Faktor Konsentrasi, CF (ml.g )
-1

1200

1000

800

600

400
-1
0,021 g.l
-1
200 0,105 g.l
-1
0,361 g.l
-1
1,832 g.l
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Lama Paparan (hari)

Gambar 2. Pengambilan CH3HgCl oleh O. mossambicus melalui jalur air pada kisaran
konsentrasi 0,021 sampai dengan 1,832 g.l-1

Gambar 1 dan 2 menunjukkan peningkatan konsentrasi Hg2+ dan CH3HgCl tidak dibarengi
dengan bertambahnya kemampuan O. mossambicus mengakumulasi kedua kontaminan tersebut.
Setelah hari ke 30, nilai Faktor Konsentrasi (CF) Hg2+ berkisar antara 134,5 sampai dengan 176,7
-1 -1
ml.g . Nilai CF untuk CH3HgCl berkisar antara 1013,4 sampai dengan 1284,1 ml.g . Hasil
2+ -1
eksperimen juga menunjukkan, nilai CF pada medium Hg berkonsentrasi rendah (0.4 g.l ) 31,38%
2+
lebih besar dibandingkan dengan medium Hg konsentrasi tinggi (20 g.l-1). Disisi lain didalam
-1
medium CH3HgCl 0,021 g.l , kemampuan O. mossambicus mengakumulasi sebesar 26,71% lebih
-1
besar dibandingkan jika berada dalam konsentrasi CH3HgCl 1,832 g.l .
Perbedaan kemampuan akumulasi senyawaan merkuri dalam medium dengan konsentrasi
yang bervariasi juga ditemui pada organism akuatik lainnya. Sebagai perbandingan, kemampuan
akumulasi CH3HgCl oleh spesies cyprinid pada berbagai konsentrasi(0,1 sampai dengan 1 g.l-1)
menunjukkan perbedaan nilai CF sebesar 109%. Peningkatan konsentrasi CH3HgCl dalam medium air
menyebabkan penurunan kemampuan cyprinid megakumulasi kontaminan tersebut. Disisi lain

51
Heny Suseno, Sumi Hudiyono PWS, Budiawan, Djarot S Wisnubroto : Bioakumulasi Merkuria Anorganik dan Metil Merkuri oleh
Oreochromis Mossambicus: Pengaruh Konsentrasi Merkuri Anorganik dan Metil Merkuri dalam Air

2+
kenaikan konsentrasi Hg dalam medium air meningkatkan kemampuan bioakumulasi Hg. Ikan jenis
salmonid juga menunjukkan kecenderungan yang sama, tetapi pada moluska peningkatan konsentrasi
medium justru menurunkan kemampuan bioakumulasi Hg [16].
2+
Pada ikan Plectorhinchus gibbosuaik kenaikan konsentrasi Hg dan CH3HgCl dalam medium
air justru dibarengi dengan peningkatan kemampuan bioakumulasi Hg maupun CH3HgCl [17]. Namun
2+

demikian percobaan hanya dilakukan beberapa jam dan kondisi tunak belum tercapai. Tidak terdapat
informasi nilai CF kedua kontaminan tersebut pada kondisi tunak. Pada ikan mosquitofish (Gambusia
3 -1 4
affinis) dan redear sunfish (Lepomis microlophus ) BCF sebesar 7,6 X 10 ml.g dan 9,8 X 10
bertutur-turut untuk Hg2+ dan CH3HgCl [18].
Berdasarkan Gambar 1 dan 2, hasil eksperimen membuktikan kemampuan O. mossambicus
2+
mengakumulasi CH3HgCl lebih besar dibandingkan kemampuannya mengakumulasi Hg . Nilai CF dari
2+
CH3HgCl menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan dibandingkan dengan nilai CF dari Hg .
2+
Setelah berada dalam medium Hg dan CH3HgCl selama 30 hari, kemampuan akumulasi CH3HgCl
2+
oleh O. mossmbicus 7,3 sampai dengan 7,99 kali lebih besar dibandingkan dengan akumulasi Hg .
2+
Hal serupa juga ditunjukkan oleh Daphina magna sejenis krustase mengakumlasi Hg dan CH3HgCl 3
sampai 4 kali dibandingkan konsentrasinya dalam medium air [19]. Akumulasi CH3HgCl yang lebih
besar dibandingkan Hg2+ disebabkan oleh metil merkuri lebih terakumulasi di dalam sel darah merah
dibandingkan dengan plasma darah ikan. Metil merkuri bersifat lifofilik dan cepat terabsorposi dari air
melalui insang dan masuk kedalam plasma darah selanjutnya diikat olah sel darah merah [20].
2+
Disamping sifat lifofilik tersebut, CH3HgCl mempunyai afinitas yang sama dengan Hg terhadap gugus
tiol yang terkandung dalam biomolekul seperti glutation (GSH), sistein (Cys), homosistein (Hcy), N-
asetilsistein (NAC), metalotionin (MT) dan albumin [20,21].
Pengangkutan metil merkuri melalui membrane biologi diatur oleh ikatan yang kuat dengan
gugus tiol dan kapasitasnya membentuk spesi netral Cl dan OH- sehingga dapat terdifusi secara pasif
melalui membral seluler. Secara actual metil merkuri diangkut melewati membrane sel dimediasi oleh
glutation dan ligan-ligan tiol kecil. (Rouleu). Dalam tubuh internal merkuri meniru struktur asam amino,
Konjugasi (Cys) S metilmerkuri (CH3Hg-S-Cys) mirip strukturnya dengan asam amino metionin. Hal
serupa ditunjukkan oleh konjugasi S Cys-merkuri anorganik (Cys-S-Hg-S-Cys) dengan asam amino
sistin, konjugasi homosistein (Hcy) S-merkuri anorganik (Hcy-S-Hg-S-Hcy) mirip dengan
homocystine. Konjugasi merkuri-asam amino (seperti Cys dan Hcys) dapat bertindak sebagai molekul
meniru struktur yang asam-asam amino.
2+
Gambar 8 dan 10 juga menunjukkan akumulasi CH3HgCl dan Hg pada medium
berkonsentrasi rendah lebih besar dibandingkan dengan medium berkonsentrasi yang tinggi. Hal ini
karena ion Hg2+ dan CH3HgCl merupakan senyawaan Endocrine disruptors yang mempunyai sifat
menggangu sintesis, sekresi, pengangkutan dan pengikatan atau kerja serta berhentinya hormon-
hormon di dalam tubuh yang berfungsi untuk mempertahankan homeostasis (dalam sel normal),
reproduksi, perkembangan dan atau prilaku [22].
2+
Internalisasi Hg atau CH3HgCl dari air ke dalam tubuh ikan pertama-tama melalui insang
dimana air dan darah memasuki insang dengan arah yang berlawanan dan memfasilitasi pertukaran
gas dan pempertahankan osmosis homeostatis. Ion Hg2+ dan CH3HgCl yang terkandung didalam air
masuk ke jaringan internal ikan melalui epitel insang selama berlangsungnya respirasi. Insang
bertindak sebagai antarmuka selektif antara lingkungan internal dan lingkungan luar [23]. Insang juga
sangat penting untuk osmolit volume dan regulasi asam basa dan pengambilan ion melawan
kehilangan ion akibat difusi. Absorsi zat-zat tertentu dari lingkungan eksternal dan sekresi produk-
produk katabolik juga melalui filamen insang. Epitelium insang dilapisi oleh sisi ikatan yang bermuatan
negatif yang terdiri dari fosfat, karboksil, amino dan gugus sulfat. Merkuri dan logam lainnya diikat oleh
sisi ikatan negatif tersebut kemudian diinternalisasi melalui difusi pasif pada lubang-lubang hidrat dan
melalui mekanisme mediasi transportasi.
Dalam sel insang terdapat sel klorida atau yang dikenal dengan sel yang kaya akan
mitokondria mengatur fluks ion antara organism dan lingkungan sekitar. Sel klorida merupakan sisi
aktif dimana ion dipompakan kedalam sel dari luar tubuh, Energi untuk aktivitas ini diperoleh dari ATP
yang dikonversikan menjadi ADP untuk mentransfer ion Na+ dari sel dan K+ dari luar sel. Aktivitas
+ +
enzim Na , K -ATP ase meningkat dalam sel insang ketikda berada dalam lingkungan bersalinitas
tinggi. Ketika gradient konsentrasi logam yang masuk dipertahankan secara pasif melalui afinitas tinggi
dari pengikatan secara antar sel, gradient konsentrasi logam lainnya membutuhkan energi untuk
berikatan dengan membrane. Ion Na+ dan K+ tidak mempunyai afinitas yang tinggi pada protein
+ +
pengompleks dan tetap dalam bentuk ion. Enzim Na K ATPase pada membrane sel insang menjaga
+
konsentrasi rendah Na intraseluler sehingga dapat masuk kedalam melalui saluran sodium (sodium
2+
chanel). Demikian halnya dengan pengambilan Ca melalui kanal kalsium dipertahankan melalui

52
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

2+ 2+
pemompaan ion Ca keluar [24]. Ion Hg dan CH3HgCl masuk ke dalam insang dari air melalui rute
+
yang sama dengan pengambilan Na yaitu melalui kanal Na yang dipicu oleh gradient elektrik yang
difasilitasi oleh enzim H+ATPase. Selanjutnya Hg terakumulasi sementara di dalam insang untuk
masuk ke dalam jaringan tubuh lainnya. Transportasi Hg sepajang membrane basolateral insang ke
dalam darah. Respon terhadap zat toksik (termasuk merkuri) adalah enzim Na+K+ATPase yang
terdapat pada membrane basolateral sel insang. Enzim ini berfungsi untuk memindahkan ion Na+
dalam pergantian ion K+ sepanjang membrane basolateral kedalam cairan intraseluler. Paparan Hg
+ -
menghambat aktivitas enzim ini sehingga pengambilan Na dan Cl pada insang mengalami gangguan.
Gangguan pengaturan ion menyebabkan kematian pada ikan.
Berdasarkan uraian diatas insang merupakan organ pertama yang bersentuhan dalam proses
akumulasi melalui jalur air. Kemampuan insang mentoleransi keberadaan Hg2+ dan CH3HgCl
2+
merupakan tahapan penting dalam proses akumulasi Hg dan CH3HgCl melalui jalur air. Inhibisi
enzim-enzim yang bekerja pada insang secara umum dipandang sebagai efek kritis yang menyebabkan
2+
kematian. Inhibisi enzim-enzim ini disebabkan oleh pengambilan Hg maupun CH3HgCl dari medium
air. Inhibisi enzim ATP-ase dan mortalitas tergantung pada dosis dan lamanya paparan terhadap O.
mossambicus. Peningkatan konsentrasi Hg dan CH3HgCl menyebabkan kerusakan insang dan
berakibat pada kegagalan atau gangguan pengaturan ostomik. Efek toksik yang dihasilkan oleh merkuri
adalah mengurangi ion-ion dalam darah dan meningkatkan permeabilitas ion dengan menggantikan
Ca2+ dari kanal paraselular dan menginhibisi enzim Na+K+ ATP ase serta karbonil anhirase. Disisi lain
2+
organism juga mempunyai kemampuan mentoleransi kontaminan (termasuk Hg dan CH3HgCl)
sampai batasan konsentrasi sublethalnya [25]. Nilai CL,50 tercapai ketika konsentrasi Hg2+ dan
CH3HgCl dalam tubuh mencapai kesetimbangan dengan konsentrasinya di dalam air.
Perbandingan dan prediksi proses akumulasi Hg2+ dan CH3HgCl oleh O. mosammbicus
ditunjukkan pada Gambar 3 sampai dengan 6.

10000
Faktor Konsentrasi, CF (ml.g )
-1

-0,0507t
CFt =1727,06 (1- e )
1000
-0,0675t
CFt =218,45 (1- e )

100

Prediksi CH3HgCl
-1
10 CH3HgCl 0,021 g.l
2+
Prediksi Hg
2+ -1
Hg 0,2 g.l

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80

Lama Paparan (Hari)


2+
Gambar 3. Pengambilan Hg oleh O. mossambicus dari medium air yang mengandung Hg 0,2
g.l-1 dan CH3HgCl 0,021g.l-1

53
Heny Suseno, Sumi Hudiyono PWS, Budiawan, Djarot S Wisnubroto : Bioakumulasi Merkuria Anorganik dan Metil Merkuri oleh
Oreochromis Mossambicus: Pengaruh Konsentrasi Merkuri Anorganik dan Metil Merkuri dalam Air

10000

Faktor Konsentrasi, CF (ml.g )


-1
-0,0404t
CFt =1905 (1- e )

1000
-0,055t
CFt =211,75 (1- e )

100

Prediksi CH3HgCl
-1
10 CH3HgCl 0,105 g.l
2+
Prediksi Hg
2+ -1
Hg 2,0 g.l
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80

Lama Paparan (Hari)


2+
Gambar 4. Pengambilan Hg oleh O. mossambicus dari medium air yang mengandung Hg 2,0
-1 -1
g.l dan CH3HgCl 0,105g.l

10000
Faktor Konsentrasi, CF (ml.g )

-0,0425t
-1

CFt =1772,06 (1- e )

1000
-0,0707t
CFt =172,44 (1- e )

100

Prediksi CH3HgCl
-1
10 CH3HgCl 0,361 g.l
2+
Prediksi Hg
2+ -1
Hg 10 g.l
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80

Lama Paparan (Hari)

Gambar 5. Pengambilan Hg oleh O. mossambicus dari medium air yang mengandung Hg2+
10,0 g.l-1 dan CH3HgCl 0,361g.l-1

54
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

10000

-0,0483t
CFt =1445,41 (1- e )

Faktor Konsentrasi (ml.g )


-1
1000

-0,0766t
CFt =159.88 (1- e )

100

Prediksi CH3HgCl
-1
CH3HgCl 1,832 g.l
10
2+
Prediksi Hg
2+ -1
Hg 20 g.l
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80

Lama Paparan (Hari)


2+
Gambar 6. Pengambilan Hg oleh O. mossambicus dari medium air yang mengandung Hg
20,0 g.l-1 dan CH3HgCl 1,832 g.l-1

Mengacu pada Gambar 3 sampai dengan 6, kondisi tunak akumulasi Hg2+ dan CH3HgCl tidak dicapai
2+ -1
dalam waktu yang bersamaan. Berdasarkan eksperimen, dalam medium Hg 0,4g.l kondisi tunak
2+
akumulasi Hg dicapai setelah 23 hari. Nilai nilai CF pada kondisi tunak tersebut sebesar sebesar
-1 -1
176,67 ml.g . Berdasarkan hasil eksperimen tersebut maka setelah 23 hari terpapar 0,4g.l kadar
2+ -1 2+
Hg dalam tubuh O. mossambicus mencapai 0,0707g.g . Kondisi tunak akumulasi Hg setelah
-1
terpapar medium masing-masing pada konsentrasi 2, 10 dan 20g.l berturut turut dicapai setelah 24,
23 dan 18 hari dan nilai CF berturut- turut 163,59; 142,8; dan 131,2 ml.g-1. Berdasarkan eksperimen
2+ -1 2+
tersebut maka pada kondisi tunak setelah terpapar medium Hg 2, 10 dan 20g.l maka kadar Hg
-1
dalam tubuh O. mossambicus berturut-turut 0,327; 1,482 dan 2,624 g.g . Berbeda dengan hasil
eksperimen, estimasi kondisi tunak berdasarkan prediksi persamaan non linier dicapai setelah 68 hari
dan estimasi CF berturut-turut sebesar 211,75; 172,44; dan 159,88 ml.g-1. Kondisi tunak akumulasi
-1
CH3HgCl dicapai dalam waktu 29 hari dan nilai CF 1284,06; 1199; 1144,73 dan 1013,368 ml.g
berturut-turut setelah terpapar dalam medium yang mengandung CH3HgCl 0,021; 0,105; 0,361 dan
-1
1,832g.l . Kalkulasi pada kondisi tersebut, diperoleh konsentrasi CH3HgCl dalam O. mossambicus
sebesar 0,02697; 0,259; 0,4132 dan 1,8569g.g-1. Disisi lain estimasi kondisi tunak menggunakan
-1
persamaan non linier berturut-turut sebesar 1727,06; 1905; 1772,06 dan 1445,41 ml.g .
Nilai CF Hg menurut rekomendasi IAEA secara umum untuk seluruh ikan adalah 3 x 104 ml.g-1
yang diperoleh dari perairan di Teluk Persia dan laut Arabia dengan konsentrasi merkuri sebesat
5ng.l-1 [26]. Namun demikian bioakumulasi logam tergantung pada spesies organsme akuatik dan
2+
kondisi lokasi akuatik yang spesifik. Nilai CF Hg pada kerang Pecten maximus sebesar 228 setelah
terpapar Hg selama 7 hari [27]. Studi bioakumulasi menggunakan radiotracer 203Hg membuktikan nilai
-1
CF yang diperoleh dari bioakumulasi pada ikan Liza aurata sebesar 178 ml.g dan pada ikan
Plectorhinchus gibbosuaik sebesar 48 sampai dengan 110 ml.g-1 [17]. Hasil penelitian lainnya juga
2+
melaporkan CF Hg pada sotong Sepia officinalis merkuri sebesar 260 ml.g-1 [29] . NIlai CF pada
Mosquitofish (Gambusia affinis) dan Redear Sunfish (Lepomis microlophus) berturut-turut sebesar
8500 12738 ml.g-1 dan 8000-10909 ml.g-1. Hasil eksperimen membuktikan menunjukkan nilai CF
Hg2+ berada dibawah nilai rekomendasi IAEA. Namun demikian jika dibandingkan dengan hasil-hasil
eksperimen yang dilakukan peneliti lain membuktikan kisaran nilai CF pada berbagai jenis biota sangat
luas dan nilai CF yang diperoleh masih berada pada kisaran tersebut.
Nilai CF CH3HgCl pada ikan bervariasi, namun IAEA merekomendasika nilai tersebut pada
kisaran 5000 sampai dengan 500000 ml.g-1. Nilai CF Ch3HgCl yang diperoleh dari eksperimen ini
-1
berkisar 1013,368 sampai dengan 1284,06 ml.g . Nilai tersebut berada jauh dibawah dari rekomendasi
IAEA namun demikian berbagai hasil penelitian lain menunjukkan nilai CF CH3HgCl sangat bervariatif
tergantung dari jenis speciesnya. Ikan Plectorhinchus gibbosuaik mempunyai nilai CF sebesar 350
800 ml.g-1 [17]. Ikan dari spesies Gambusia affinis mengakumulasi CH3HgCl pada kisaran nilai CF

55
Heny Suseno, Sumi Hudiyono PWS, Budiawan, Djarot S Wisnubroto : Bioakumulasi Merkuria Anorganik dan Metil Merkuri oleh
Oreochromis Mossambicus: Pengaruh Konsentrasi Merkuri Anorganik dan Metil Merkuri dalam Air

3714 sampai dengan 18777 ml.g-1 [18] ). Ikan O. notilicus yang masih dalam satu keluarga dengan
2+
O. mossambicus mengakumulasi Hg dan CH3HgCl dari medium air dengan nilai CF berturut-turut
sebesar 2205,13 ml.g .hari dan 66000 ml.g-1.hari-1. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, nilai CF
-1 -1

hasil eksperimen ini ini jauh kecil dibandingkan dengan nilai CF O. notilicus [29]. Namun demikian hasil
penelitian tidak selalu dapat dibandingkan karena eksperimen tersebut dilakukan pada konsentrasi
-1 2+ -1
yang sangat rendah ( 3,3 100 ng.l untuk Hg dan 1,1 130 ng.l untuk CH3HgCl) ) dan waktu yang
sangat singkat (8 jam).
2+
Pelepasan Hg dari jaringan tubuh O. mossambicus setelah terpapar Hg atau
CH3HgClselama 30 hari ditunjukkan pada Gambar 7.

100
Fraksi tertahan dalam tubuh (%)

90

80

70

-1 2+ -1 2+ -1 2+
0,4 g.l Hg 10 g.l Hg 10g.l Hg
60 -1 2+ -1
20g.l Hg 0,021g.l CH3HgCl,
-1 -1
0,015g.l CH3HgCl 0,361g.l CH3HgCl
-1
1,832 g.l CH3HgCl
50
0 2 4 6 8

Lama depurasi (Hari)


Gambar 7. Pelepasan Hg dari tubuh O. Mossambicus setelah terpapar Hg2+ dan CH3HgCl selama 30
hari

Kecepatan pelepasan dihitung dari slope grafik persentase Hg2+ atau CH3HgCl yang tertahan dalam
2+
tubuh versus lamanya pelepasan (depurasi). Kecepatan pelepasan Hg adalah 0,0227 sampai
-1
dengan 0,0238 hari dan kecepatan pelepasan CH3HgCl dari tubuh O. mossambicus adalah 0,01064
-1 -1
hari sampai dengan 0,01098 hari . Perbedaan kecepatan pelepasan pada setiap perlakuan
2+
eksperimen untuk Hg dan CH3HgCl masing-masing sebesar 11,2% dan 3,1%. Kecepatan pelepasan
2+ -1 -1
Hg dan CH3HgCl oleh O. niloticus berturut-turut adalah 0,039 hari dan 0,0055 hari . Ikan musqito
melepas Hg2+ keluar tubuh dengan kecepatan 0,021 sampai dengan 0,042 hari-1 dan CH3HgCl dengan
-1 2+
kecepatan 0,018 sampai dengan 0,019 hari . Ikan reader sunfish melepas Hg keluar tubuh dengan
kecepatan 0,03 sampai dengan 0,035 hari-1 dan CH3HgCl dengan kecepatan 0,021 hari-1.
2+
Kemampuan ikan Plectorhinchus gibbosuaik melepas Hg yang terakumulasi dalam tubuhnya
-1
sebesar 0,02878 sampai dengan 0,0722. hari dan melepas CH3HgCl sebesar 0,0103 sampai dengan
-1
0,0116 hari
Berdasar eksperimen, maka pada Hg2+ dilepas dari tubuh O. mossambicus sebesar 2,27
2+
sampai dengan 2,38% dari per hari dari total Hg yang telah terakumulasi. Disisi lain, persentase
CH3HgCl dilepas dari tubuh O. mossambicus sebesar 1,064 sampai dengan 1,098% dari per hari dari
2+
total Hg yang telah terakumulasi. Berdasarkan data tersebut maka CH3HgCl 2,13 sampai dengan
2,16 kali ditahan lebih lama dalam tubuh ikan tersebut dibandingkan dengan Hg2+. Data tersebut
memenuhi persyaratan dapat dibandingkan karena hasil penelitian lainnya menunjukkan kemampuan
menahan CH3HgCl dalam tubuh berbagai jenis ikan bervariatif. Ikan mosquito maksimal menahan
2+
CH3HgCl 1,17 kali lebih lama dibandingkan Hg . Ikan sunfinsh menahan CH3HgCl 1,43 sampai
dengan 1,667 kali lebih lama dibandingkan Hg2+. Ikan nila menahan CH3HgCl 7,2 kali lebih lama
2+
dibandingkan Hg .
Ikan menahan CH3HgCl lebih lama dibandingkan Hg2+ karena jalur pelepasannya multi
tahapan. Jalur utama pelepasan CH3HgCl melalui biotransformasi menjadi bentuk anorganik untuk
selanjutnya diekresikan sebagai ion Hg2+. Jalur lainnya adalah sekresi CH3HgCl kedalam empedu,
berikatan dengan berbagai macam senyawaan sulfhidril nonprotein. Sebagai tambahan pelepasan
CH3HgCl juga dapat melalui system pernafasan. Metil merkuri bersaifat lifofilik dan cepat diserap
insang dari medium air. Ultrafilktrasi atau fraksi CH3HgCl yang tidak terikat oleh darah merah dan tetap

56
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

berada dalam plasma darah dapat kembali kedalam insang untung selanjutnya diekskresikan keluar
[20]
tubuh .
Pengaruh konsentrasi medium air terhadap nilai CF Hg2+ dan CH3HgCl ditunjukkan pada
Gambar berikut.
10000

CH3HgCl

Faktor Konsentrasi, CF (ml.g )


-1
2+
Hg

CFCH3HgCl=-124,497[CH3HgCl] + 1232,467

1000

2+
CFHg=-15,72[Hg ] + 192,8

100
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 10 20
-1
Konsentrasi (g.l )
Gambar 8. Pengaruh konsentrasi Hg2+ dan atau CH3HgCl di dalam medium air terhadap kemampuan
bioakumulasinya oleh O. mosaambicus

Gambar 8 mengindikasikan peningkatan konsentrasi Hg2+ maupun CH3HgCl menurunkan kemampuan


O. mossambicus mengakumulasi kedua senyawaan tersebut. Konsentrasi Hg2+ sebesar 20g.l-1
(sepersepuluh dari LC50 pada ikan), CF yang dicapai 73,188% dari nilai CF yang terpapar medium
berkonsentrasi Hg 0.4g.l-1. Peningkatan konsentrasi kedua senyawaan tersebut dalam medium air
mengarah pada LC50 yang akan menimbulkan efek toksik terhadap O. mossambicus (Liao et.al, 2003).
Nilai LC50 98h pada ikan adalah ukuran kerentanan dan potensi kelangsungan hidup organisme terhadap
zat-zat toksik termasuk merkuri. O. mosammbicus mempunyai kemampuan mengatur konsentrasi
logam pada tubuh melalui kombinasi mekanisme absorpsi, ekresi detoksifikasi dan penyimpanan.
[15]
Kecepatan pengambilan logam pada setiap organisme adalah spesifik dan bergantung pada waktu .
Berdasarkan hasil eksperimen, CF ditentukan pada kondisi tunak dimana kecepatan pengambilan dan
pelepasan merkuri dari tubuh ikan setimbang. Dalam kondisi tersebut ikan akan beradaptasi
meminimisasi efek toksik yang diakibatkan akumulasi kedua senyawaan tersebut dalam jaringan
tubuh. Pada konsentrasi tinggi kedua kontaminan tersebut berusaha diekresikan keluar tubuh sehingga
residu dalam jaringan masih dapat ditorelansi efek toksiknya.
2+
Pengaruh peningkatan konsentrasi Hg maupun CH3HgCl dalam medium air terhadap
kemampuan akumulasinya dalam berbagai jenis biota sangat bervariasi. Peningkatan konsentrasi Hg
menyebakan kenaikan kecepatan mortalitas pada tinca tinca, sejenis ikan karper yang dapat hidup
2+
diair tawar dan payau. Pada ikan jenis P. Gibbosus peningkatan konsentrasi Hg mengakibatkan
kemampuan akumulasi senyawaan tersebut menurun, tetapi peningkatan konsentrasi CH3HgCldalam
medium air justru memberikan efek yang berlawanan.
Berdasarkan konsep residu pada seluruh tubuh, organism akuatik mengalami kematian jika
batasan maksimal konsentrasi internal toksikan dilampaui. Menggunakan pendekatan residu dalam
seluruh tubuh sebagai pengganti dari residu pada organ sasaran akan mempersingkat pemahaman
toksitas secara keseluruhan dibandingkan dengan pendekatan yang berkaitan dengan konsentrasi
eksternal terhadap aktivasi metabolism, distribusi internal, jenis lemak dan kandungannya dan factor
biologis secara umum. Terdapat 3 model untuk menjelaskan pendekatan toksisitas tersebut pada
ikan, salah satu diantaranya adalah model Uptake Depuation Toxicity model. Model ini menjelaskan
mekanistik untuk prediksi toksisitas akibat paparan dengan variasi waktu. Hubungan nilai LC50
terhadap Faktor Biokonsentrasi (BCF) yang ditunjukkan pada persamaan

Berdasarkan persamaan tersebut maka CL50 tersebut konstan dan disisi lain nilai LC50 tercapai
pada saat konsentrasi internal mencapai kesetimbangan dengan konstanta konsentrasi eksternal.

57
Heny Suseno, Sumi Hudiyono PWS, Budiawan, Djarot S Wisnubroto : Bioakumulasi Merkuria Anorganik dan Metil Merkuri oleh
Oreochromis Mossambicus: Pengaruh Konsentrasi Merkuri Anorganik dan Metil Merkuri dalam Air

Mengacu pada teori reseptor, intensitas toksik tergantung pada derajat kemampuan receptor (degree of
receptor occupation). Interaksi reseptor dapat terjadi secara reversible maupun irreversible. Penurunan
gugus sulfhidril memicu pembentukan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel [30]. Inhibisi
enzim-enzim yang bekerja pada insang secara umum dipandang sebagai efek kritis yang menyebabkan
2+
kematian. Inhibisi enzim-enzim ini disebabkan oleh pengambilan Hg maupun CH3HgCl. Inhibisi enzim
ATP-ase dan mortalitas tergantung pada dosis dan lamanya paparan terhadap O. mossambicus. Nilai
2+
CL,50 tercapai ketika konsentrasi Hg dan CH3HgCl dalam tubuh mencapai kesetimbangan dengan
konsentrasi di dalam air. Peningkatan konsentrasi Hg dan CH3HgCl menyebabkan kerusakan insang
dan berakibat pada kegagalan atau gangguan pengaturan ostomik.
Pengaruh konsentrasi Hg2+ dan CH3HgCl terhadap nilai LD50 yang dihitung menggunakan
model uptake depuration model ditunjukkan pada Gambar 9 dan 10.

10

-1 2+
0.4 g.l Hg dalam medium air
-1 2+
2,0 g.l Hg dalam medium air
LC50(mg.l-1)

-1 2+
10,0g.l Hg dalam medium air
-1 2+
20,0g.l Hg dalammediumair

0 5 10 15 20 25 30

Lama Paparan (Hari)


Gambar 9. Prediksi nilai LC50t Hg2+ menggunakan model Uptake Depuration

-1
0,021 g.l CH3HgCl dalammediumair
1 -1
0,105 g.l CH3HgCl dalammediumair
-1
0,361 g.l CH3HgCl dalammediumair
LC50(mg.l-1)

-1
1,832 g.l CH3HgCl dalammediumair

0.1

0 5 10 15 20 25 30

Lama Paparan (Hari)


Gambar 10. Prediksi nilai LC50t CH3HgCl menggunakan model Uptake Depuration

58
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

Gambar 9 dan 10 menunjukkan nilai LC50 mengalami penurunan terhadap waktu. Pada hari pertama
2+ -1 -1
nilai LC50 untuk Hg dan CH3HgCl (konsentrasi medium air masing-masing 20 g.l dan 1,816 g.l )
-1 -1
berturut-turut sebesar 7,56 dan 1,7 mg.l dan hari ke 30 menjadi 0,36 dan 0.068 mg.l . Berdasarkan
hasil perhitungan menunjukkan ikan masih mampu beradaptasi atau tolrean terhadap peningkatan
2+
konsentrasi Hg dan CH3HgCl. Untuk menghindari efek toksik O. mossambicus menurunkan
kecepatan pengambilan dan menaikan kecepatan pelepasan pada saat konsentrasi senyawaan Hg
tersebut dalam medium air meningkat.
2+
Kecepatan pengambilan (ku) Hg dan CH3HgCl oleh O. Mossambicus merupakan nilai slope
dari plot CF terhadap waktu. Kecepatan pengambilan kedua jenis senyawaan merkuri tersebut yang
dipengaruhi oleh konsentrasinya dalam medium air ditunjukkan pada Gambar 11.

100

2+
Hg
CH3HgCl
ku (ml.g .hari )
-1

2+
ku Hg= -0.16774[Hg ]+9,1814
-1

ku CH3HgCl= -7,979[CH3HgCl] + 58,6223

10

0.1 1 10 20
-1
Konsentrasi(g.l )
2+
Gambar 11. Pengaruh konsentrasi Hg dan CH3HgCl dalam air terhadap kecepatan
pengambilan (ku)

Gambar 11 menunjukkan ku cenderung menurun pada kenaikan konsentrasi Hg yang


mendekati nilai LC50. Pengaruh Kecepatan pengambilan berdasarkan hasil eksperimen berkisar antara
-1 -1 -1 -1
6,09 sampai dengan 8,79 ml.g .hari . Nilai ku Hg oleh ikan P. Gibbosus 195 ml.g .hari dan ku untuk
-1 -1
mosquitofish (Gambusia affinis) 52-78 ml.g .hari dan Redear Sunfish (Lepomis microlophus) 38 51
-1 -1
ml.g .hari . Variasi ku disebakan oleh konsentrasi paparan merkuri yang berbeda dan jenis
ikan/organisme yang berbeda. Penelitian menggunakan O. niloticus menunjukkan kecepatan
pengambilan Hg2+ dan CH3HgCl berturut-turut sebesar 86 ml.g-1.hari-1 dan 333 ml.g-1.hari-1. Nilai ku
yang diperoleh dari hasil eksperimen jauh lebih kecil dibandingkan dengan berbagai jenis ikan tersebut
diatas. Lebih spesifik lagi sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai ku kedua senyawaan merkuri
tersebut dibandingkan dengan O. niloticus yang masih satu keluarga dengan O. mossambicus. Namun
2+
demikian nilai ku hasil eksperimen dihitung setelah berada dalam medium Hg atau CH3HgCl selama
lebih dari 20 hari. Disisi lain nilai ku O. notilicus dan pembanding lainnya tersebut diatas ditetapkan
berdasarkan eksperimen yang dilakukan hanya 8 jam. Mengacu teori model kompartemen tunggal
dimana bioakumulasi diasumsikan sebagai kompartemen homogen sehingga kontaminan yang masuk
kedalam jaringan tubuh akan bercampur secara homogen dalam satu kompartemen. Namun demikian
pada kenyataannya tidaklah sesederhana itu dan kontaminan mengalir dalam satu kompartemen ke
kompartemen tubuh lainnya memerlukan waktu yang cukup.
Untuk memprediksi pengambilan Hg2+ dan CH3HgCl secara realistis, masing-masing
senyawaan logam tersebut harus dinyatakan dalam satuan konsentrasi pengamilan persatuan waktu.
Model biokinetika memprediksi bioakumulasi dari keseimbangan antara influks pengambilan dan effluks
pelepasan merkuri dibawah kondisi geokimia yang spesifik . Influks pengambilan merupakan perkalian
antara kecepatan pengambilan dengan konsentrasi merkuri dalam air yang ditunjukkan pada
persamaan berikut:

59
Heny Suseno, Sumi Hudiyono PWS, Budiawan, Djarot S Wisnubroto : Bioakumulasi Merkuria Anorganik dan Metil Merkuri oleh
Oreochromis Mossambicus: Pengaruh Konsentrasi Merkuri Anorganik dan Metil Merkuri dalam Air

I = k u .C w
Dimana I merepresentasikan influks Hg ke dalam tubuh O. mossambicus (g.g-1.hari-1), ku adalah
-1 -1 -1
kecepatan pengambilan (ml.g .hari ) dan Cw adalah konsentrasi Hg dalam air (g.ml ). Hasil
perhitungan influk merkuri kedalam tubuh O. mossambicus ditunjukkanpada Gambar 12.
100

ICH3HgCl=1,0028 [CH3HgCl] + 0,0243

2+
10 IHg2+=1,3393[Hg ] + 0,04431

Influks (g.g .hari )


-1
-1
1

0.1
2+
Hg
CH3HgCl)

0.01
0.0 0.5 1.0 1.5 10 20
-1
Konsentrasi (g.l )

Gambar 12. Pengaruh konsentrasi Hg terhadap influks dalam tubuh O. mossambicus

Hasil perhitungan influks Hg2+ dari medium 0,4 sampai dengan 20 g.l-1 kedalam tubuh O.
-1 -1 -1 -1
mossaambicus sebesar 0,0707 g.g hari sampai dengan 2.701 g.g hari . Influks CH3HgCl
-1 -1 -1 -1
berkisar 0,027 g.g hari sampai dengan 1,85649 g.g hari . Gambar 12 menujukkan pengaruh
kecenderungan kenaikan masuknya Hg ke dalam tubuh O. mossambicus akibat dari peningkatan
konsentrasi Hg2+ atau CH3HgCl dalam air. Hal ini sangat bertolak belakang dengan penurunan
kecepatan pengambilan (ku) akibat dari peningkatan konsentrasi Hg di dalam air. Namun demikian
menggunakan model korelasi antara nilai ku terhadap konsentrasi Hg2+ (ku =- 0,16774[Hg2+] + 9,814),
2+ -1
nilai ku menjadi negatif pada konsentrasi Hg dalam medium air sebesar 50g.l . Berpijak pada
perhitungan tersebut maka pada konsentrasi Hg2+ dalam medium air 50g.l-1, senyawaan tersebut
tidak masuk kedalam tubuh O. mossambicus atau telah mengalami lethal. Hal yang sama dilakukan
pada model korelasi antara nilai ku terhadap konsentrasi CH3HgCl (ku =- 7,97[CH3HgCl] + 58,6223),
nilai ku menjadi cenderung mengalami penurunan secara gradual.
Pengaruh paparan konsentrasi Hg terhadap kecepatan pelepasan tinggal biologis ditunjukkan
pada Gambar 13.

0.03
0.028
0.026
0.024
0.022

0.02
ke (hari )

0.018
-1

-4 2+
k e = 1,906. 10 [Hg ] + 0,02298
0.016

-4
0.014 k e = 1,465 10 [C H 3 H gC l] + 0,01057

0.012 2+
Hg
C H 3H gC l
0.01
0 1 2 10121416 182022
-1
Konsentrasi ( g.l )
Gambar 13. Pengaruh konsentrasi Hg dan CH3HgClterhadap ke

60
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

2+
Mengacu pada Gambar 13, kecepatan pelepasan Hg oleh O. mossambicus setelah terpapar dalam
-1
berbagai medium berkonsentrasi 0,4 sampai dengan 20 g.l menunjukkan kecenderungan meningkat.
Hal disebabkan paparan Hg dari jalur air menyebabkan Hg terakumulasi di tubuh ikan dan
konsentrasinya mencapai 0,09 2,18g.g-1. Paparan pada konsentrasi yang rendah, Hg yang
terakumulasi dilepas dengan kecepatan pelepasan sebesar 0,238 hari-1. Paparan konsentrasi yang
-1
lebih tinggi menyebabkan kecepatan pelepasan meningkat hingga 0,0227 hari . Hal ini disebakan oleh
semakin besar konsentrasi paparan Hg yang berasal dari air,residu Hg dalam tubuh ikan semakin
tinggi. Ikan tersebut berusaha mengeluarkan residu Hg dalam tubuhnya untuk menghindari efek toksik
yang mengarah pada kondisi kematian.

KESIMPULAN
Peningkatan konsentrasi Hg2+ dan CH3HgCl tidak dibarengi dengan bertambahnya kemampuan O.
mossambicus mengakumulasi kedua kontaminan tersebut. Nilai Faktor Konsentrasi (CF) Hg2+ berkisar
-1 -1
antara 134,5 - 176,7 ml.g . Nilai CF untuk CH3HgCl berkisar antara 1013,4 -1284,1 ml.g . Hasil
2+ -1
eksperimen juga menunjukkan, nilai CF pada medium Hg berkonsentrasi rendah (0.4 g.l ) 31,38%
2+
lebih besar dibandingkan dengan medium Hg konsentrasi tinggi (20 g.l-1). Disisi lain didalam
-1
medium CH3HgCl 0,021 g.l , kemampuan O. mossambicus mengakumulasi sebesar 26,71% lebih
-1 2+
besar dibandingkan jika berada dalam konsentrasi CH3HgCl 1,832 g.l . Kecepatan pelepasan Hg
adalah 0,0227- 0,0238 hari-1 dan kecepatan pelepasan CH3HgCl dari tubuh O. mossambicus adalah
-1 -1
0,01064 hari - 0,01098 hari . Perbedaan kecepatan pelepasan pada setiap perlakuan eksperimen
2+
untuk Hg dan CH3HgCl masing-masing sebesar 11,2% dan 3,1%. Peningkatan konsentrasi kedua
kontaminan tersebut dalam medium air menyebabkan penurunan nilai CF tetapi perhitungan
menggunakan model Uptake Depuration Toxicity menunjukkan O. mossambicus toleran terhadap
peningkatan konsentrasi kedua seyawaan merkuri tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
[1] WHO , Guidance for identifying populations at risk from mercury exposure, Issued by UNEP
DTIE Chemicals Branch and WHO Department of Food Safety, Zoonoses and Foodborne
Diseases Geneva, Switzerland, (2008)
[2] Gochfeld, M. Cases of mercury exposure, bioavailability, and absorption, Ecotoxicology and
Environmental Safety 56 : 174179 , ( 2003)
[3] Paasivirta, J.K. Long-term Effects of Bioaccumulation in Ecosystems. The Handbook of
Environmental Chemistry,Vol. 2 Part J Bioaccumulation (ed. by B. Beek) Springer-Verlag Berlin
Heidelberg, (2000)
[4] Morel, F.M.M., Kraepiel, AM.L., Amyot, M. The Chemical Cycle and Bioaccumulation of Mercury
Annu. Rev. Ecol. Syst. 1998 (29):54366, ( 2008)
[5] Booth, S., Zeller, D. Mercury. Food Webs, and Marine Mammals: Implications of Diet and
Climate Change for Human Health. Environmental Health Perspectives 113(5):521-526, (2005)
[6] Ravichandran, M. Interactions between mercury and dissolved organic matter a review
Chemosphere 55:319331, 2004
[7] Ishikawa, N.M., Ranzani-Paiva., M.J.T., Lombardi, J.V., Ferreira., C.M. Hematological
Parameters in Nile Tilpia, Oreochromis niloticus Exposed to Sub-letal Concentrations of
Mercury, Brazilian Archives of Biology and Technology, 50(4): 619-626, (2007)
[8] Arcos, J.M., Ruiz,X., Bearhop, S., Furness, R. W. Mercury levels in seabirds and their fish prey
at the Ebro Delta (NW Mediterranean): the role of trawler discards as a source of contamination
Mar Ecol Prog Ser 232: 281290, (2002)
[9] Kojadinovic, J. Potier, M. Le Corre, R.P. Cosson and Bustamante, P Mercury content in
commercial pelagic fish and its risk assessment in the Western Indian. Ocean Science of the
Total Environment 366: 688700, (2006).
[10] Chasar, L. Scudder, B. Stewart, A.R. Bell, A.B. Aiken, R. Mercury Cycling in Stream
Ecosystems. 3. Trophic Dynamics and Methylmercury Bioaccumulation. Environ. Sci. Technol.
(43): 27332739 (2009)
[11] Schwindt, R.A. Fournie, J.W. Landers, D.H. Schreck, C.B. Kent M. Mercury Concentrations in
Salmonids from Western U.S. National Parks and Relationships With Age and Macrophage
Aggregates Environ. Sci. Technol. 2: 13651370 (2008)
[12] Baker, M., Shindler,D., Holtgrieve, G., Louis, V. ST. Bioaccumulation and Transport of
Contaminants: Migrating Sockeye Salmon As Vectors of Mercury. Environ. Sci Tech 43: 8840

61
Heny Suseno, Sumi Hudiyono PWS, Budiawan, Djarot S Wisnubroto : Bioakumulasi Merkuria Anorganik dan Metil Merkuri oleh
Oreochromis Mossambicus: Pengaruh Konsentrasi Merkuri Anorganik dan Metil Merkuri dalam Air

8846 (2009)
[13] Choya, C.A., Popp, B.N., Kanekoc, J., Draze , J.C. The influence of depth on mercury levels in
pelagic fishes and their prey. PNAS. 106( 33): 1386513869, (2009)
[14] Luoma, S.N., Rainbow, P . Why Is Metal Bioaccumulation So Variable? Biodynamics as a
Unifying Concept Critical Review. Environmental Science & Technology 39(7):1921-1931, (2005)
[15] Liao, C.M., Lin, M.C. Acute Toxicity Modeling of Rainbow Trout and Silver Sea Bream Exposed
to Waterborne Metals , Environ Toxicol 16: 349-60, (2001)
[16] McGeer, J.C., Brix, K.V., Skeaff, J.M., Deforest, D.K.,Brigham, S.I., Adams, W.J. Inverse
relationship between bioconcentration factor and exposure concentration for metals: implications
for hazard assessment of metals in the aquatic environment. Environmental Toxicology and
Chemistry, 22(5):1017-1037, ( 2003)
[17] Wang, W.X., Wong, R.S. Bioaccumulation kinetics and exposure pathways of inorganic mercury
and methylmercury in a marine fish, the sweetlips Plectorhinchus gibbosus Mar Ecol Prog Ser
261: 257268,( 2003)
18 Pickhardt, P.C., Stepanova, M., Fisher, NS., Contrasting Uptake Routes and Tissue Distributions
of Inorganic and Methylmercury in Mosquitofish (Gambusia affinis) and Redear Sunfish (Lepomis
microlophus) Environ. Toxicol. Chem. 25(8): 21322142, (2006)
[19] Tsui, K.M., Wang, W-X. Uptake and Elimination Routes of Inorganic Mercury and Methylmercury
in Daphnia magna, Environ. Sci. Technol. 38: 808-816
[20] Schultz, I. R., Peters, E. L., And Newman, M. C. (1996).Toxicokinetics and Disposition of
Inorganic Mercury and Cadmium in Channel Catfish after Intravascular Administration. Toxiicol.
Appl. Pharmacol. 140: 3950.
[21] Bridges, C.C., Zalups, R.K. Review molecular and ionic mimicry and the transport of toxic metals.
Toxicology and Applied Pharmacology 204: 274 308 , (2005)
[22] Alvarez , M.C., Murphy, C.A., Rose , K.A., McCarthy, I.D., Fuiman , L.A. Maternal body burdens
of methylmercury impair survival skills of offspring in Atlantic croaker (Micropogonias undulatus) a
Aquatic Toxicology 80 :329337, (2006)
[23] Carvalho, R.C., Benfield, M.C., Santschi, P.H. Comparative bioaccumulation studies of colloidally
complexed and free-ionic heavy metals in juvenile brown shrimp Penaeus aztecus (Crustacea:
Decapoda: Penaeidae). Limnol. Oceanogr., 44(2): 403414, (1999)
[24] P. S. Rainbow, P.S. Review article Trace metal bioaccumulation: Models, metabolic availability
and toxicity. Environment International 33 : 576582 (2007)
[25] Yap, C.K., Ismail, A. Tan, S.G., Omar, H., Koyoma, J. Tolerance of High Inorganic Mercury of
Perna viridis: Laboratory Studies of Its Accumulation, Depuration and Distribution, J. Appl. Sci.
Environ. Manage. September, 2007 Vol. 11(3) 119 125
[26] IAEA, Sediment distribution coefficients and concentration factors for biota in the marine
environment. Technical reports series no. 422 Vienna, International Atomic Energy Agency,
(2004)
[27] Metian, M., . Warnau, M., Cossonc, R.P., Oberhnslia, F., Bustamante, P. Bioaccumulation and
detoxification processes of Hg in the king scallop Pecten maximus: field and laboratory
investigations, Aquatic Toxicology 90, 3 : 204-213,(2008)
[28] Lacoue-Labarthe, T., Warnau, M., Oberhnsli, F., Teyssi, J.-L. ., Pustamante. Bioaccumulation
203
of Inorganic Hg by the Juvenile Cuttlefish Sepia officinalis Exposed to Hg Radiolabelled
Seawater and Food, Aquat Biol 6: 9198 (2009)
[29] Wang, R., Wong, M.H. Wang, X-W. Mercury exposure in the freshwater tilapia Oreochromis
niloticus Environmental Pollution 158: 2694-2701, (2010)
[30] Stohs, S.J., Bagchi, D. Oxidative mechanisms in the toxicity of metal ions Free Radical. Biology
& Medicine, 18(2):321-336, (1995)

62
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565
Volume 13 Nomor 1 Juni 2010 (Volume 13, Number 1, June, 2010)
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

PARTICLE SIZE ANALYSIS OF TITANIUM DIOXIDE


BY ATOMIC FORCE MICROSCOPY
Muh. Nurdin, Maulidiyah
Department of Chemistry, Haluoleo University
Kampus Bumi Tridharma Andounohu, Kendari

ABSTRACT
PARTICLE SIZE ANALYSIS OF TITANIUM DIOXIDE BY ATOMIC FORCE MICROSCOPY.
In this paper will be presented surface characterization of nanomaterial photocatalyst titanium dioxide
(TiO2) nanostructure film by Atomic Force Microscopy (AFM). Nanostructure thin film of TiO2 was
prepared by applying the sol-gel dipping technique using titanium isopropoxide (TIP). The resulting
particle size, roughness, and surface complexity of the TiO2 films was investigated. Section analysis
values and lower roughness were observed for TiO2 film derived from TIP, which is suitable for practical
applications in any purposes.
Keywords: Nanostructure, photocatalyst, TiO2, AFM, characterization
ABSTRAK
ANALISIS UKURAN PARTIKEL TITANIUM DIOKSIDA SECARA ATOMIC FORCE
MICROSCOPY. Pada paper ini akan dipresentasikan tentang karakterisasi permukaan lapisan
fotokatalis titanium dioksida (TiO2) nanostructure dengan menggunakan Atomic Force Microscopy
(AFM). Lapis tipis nanostructure TiO2 telah dipreparasi dengan menerapkan metode Sol-Gel Dipping-
Coated menggunakan titanium isopropoksida (TIP). Hasil dari ukuran particle, roughness, dan
kompleksitas permukaan lapisan TiO2 yang terbuat dari TIP adalah cocok secara praktis pada berbagai
tujuan aplikasi.
Kata kunci: Nanostructure, fotokatalist, TiO2, AFM, karakterisasi

INTRODUCTION
Nanomaterials have been a core focus of nanoscience and nanotechnology - which is
multidisciplinary field of study attracting tremendous interest in research and development around the
world. Nanostructure materials possess unique surface, porous, and bulk properties that underline their
important uses in various fields such as ion exchange, separation, sensor, biological molecular,
purifications catalysis and photocatalyst. Nanostructure or nanoporous materials are also of scientific
and technological importance because of their vast ability to adsorb and interact with atoms, ions and
molecules on their large interior surfaces and in the nanometer sized pore space. They offer new
opportunities in areas of inclusion chemistry, synthesis and molecular manipulations and reaction in the
nanoscale for making nanostructure or nanoparticles.
The development of metal oxide thin films of controlled surface roughness and complexity
presents a significant theoretical and technological importance, offering an exciting opportunity for
developing a new class of materials with unique physical, chemical, optical and electronic properties [1].
Titanium dioxide (TiO2) thin films have recently attracted a particularly increased attention because of
their extended use in multitude of applications including photosensitized solar cells [15], photocatalytic
systems [6-8], biomolecules [9], and electrochromic displays [10].
In all the above applications the usual points raised are related to the shape and order of the
nanoparticles that make up the films [11, 12], as well as the surface texture, morphology, spatial
extension, roughness, particle size and thickness of the films. These parameters might influence many
of the film properties such as chemical adsorption, light absorption and conductivity. Production of open
highly porous structures is important because of their high surface area, which allows extensive contact
with the reaction medium. At the same time, continuity should exist between nanoparticles in order to
prevent traps and dead spots that would deplete the efficiency of the film [13]. The size of the
nanoparticles is an additional important parameter that affects the electronic properties and the
absorption onset of the nanocrystallites and should be carefully taken into account [14].
It then obvious that the performance and efficiency of the devices based on TiO2 thin films will
strongly depend on the semiconductor surface properties and especially on the preparation conditions.
Among the existing thin film fabrication methods, the sol-gel coating technique has been receiving

63
Muh. Nurdin, Maulidiyah : Particle Size Analysis of Titanium Dioxide by Atomic Force Microscopy

renewed interest, largely attributed to the fact that it combines a number of specific advantages, such as
the potential for large area coverage, simplicity, reproducibility, low cost and good mechanical
properties [15].
TiO2 thin films can be prepared by the sol-gel technique, where metal alkoxides Ti(OR)4
(R=alkyl groups) are generally used as principal precursors. There have been several reports about the
formation of sol-gel TiO2 thin films and it is now well established. A variety of Ti-containing organic
precursor materials have been used, and Ti-isopropoxide (TIP) is among the most promising of them.
Thus, it has been confirmed that the chemical reactivity of the ligand groups initially coordinated on the
titanium precursor plays a decisive role in the structure development of as-deposited sol-gel TiO2 films
[16]. However, no special attention was paid to the improvement and optimization of the obtained films
in terms of roughness, nanostructure and surface complexity, parameters which control the optical and
electronic properties and account for the performance of the material in a number of potential
applications. In this contribution, we emphasize on the preparation and characterization of rough,
section, particle analysis, large surface area nanocrystalline TiO2 thin films with highly controllable
parameters derived from TIP precursors trying to determine, especially by atomic force microscopy
(AFM) [17-20].
In this work, we present results of investigations on processing and nanostructural
characteristics of TiO2 porous thin films deposited on glass substrate through the solgel technology
using Triton X-100 as a surfactant. The measurement of roughness, section and particle size were
involved in this study because the morphologies of porous films are sensitive to the future application as
a biomaterial purposes.

EXPERIMENTAL
Titanium (IV) isopropoxide, Triton X-100, Cyclohexane were purchased from Aldrich Sigma
and Wako, respectively. Milli-Q water was used in all experiment. The chemical formulae are shown in
Fig. 1.

Figure. 1. Chemical formulae of Triton X-100 and Titanium isopropoxide.

All preparations and measurements were made at room temperature. The solutions in
cyclohexane were made by mixing the necessary ingredients. The water/surfactant ratio was kept
relatively low in order to reduce the alkoxide hydrolysis rate and obtained transparent gels. TIP was
added to TritonX-100, and the resulting global concentration was always 0.2 M. Triton X-100 solutions
are turbid below 30o C, but they clarify after addition of the alkoxide.
Gelation start immediately after alkoxide addition. Film was made by dip-coating at an early
-1
stage of gelation and at a withdrawal speed of 40 mm min . The films were left to dry in air. Prior to
o
dipping, the slides were cleaned in aceton, ethanol, milli-Q water and dried in oven for 100 C. To obtain
o
the final product, the film was sintered in air up to 450 C and left at the maximum temperature for 1

64
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

hour. The TiO2 crystallinity was analyzed with an X-ray diffractometer (RINT, Rigaku, Japan, CuK, 40
keV, 30 mA).
Atomic force microscopy images were obtained with Nanoscope III, Digital Instrument, in the
tapping mode as detailed below.

Atomic force microscopy


In order to investigate the surface topography of TiO2 surfaces, tapping mode AFM was used.
The AFM was performed on a commercial Nanoscope III (Digital Instruments, Veeco, Metrology Group)
using optical beam deflection to monitor the displacement of a microfabricated silicon cantilever having
-1
a spring constant of 42 Nm and resonance frequency of 300 kHz. It was performed with silicon probes
mounted on cantilevers in tapping mode. This method significantly improves the lateral resolution on
surfaces and thin films. The AFM images were obtained under ambient laboratory conditions at a scan
rate of 1 Hz and all the scans were 1.0 x 1.0 m2 in size. The roughness of the surface was determined
by measuring the root-mean-square (RMS) roughness parameter, defined as the root-mean-square
average of the height (z) taken from mean data plane, expressed as:

were zi is the current z value and N is the number of points within the box cursor.

RESULT AND DISCUSSION


Dip-coating method was used in making thin film in the glass substrate. By this method, TiO2
films exhibiting very good adherence on the glass substrates were obtained. Films made by using
Triton X-100 and TIP consist of uniformly sized, quasi spherical nanoparticles of a diameter of a few
tens of nanometer.

1000

800

600
Intensity

400

200

0
20 25 30 35 40 45 50
2 Theta (degrees)

o
Figure. 2. X-ray diffraction pattern of a TIP precursor sintered at 450 C.

By X-ray diffraction it has been confirmed that TIP exhibit behavior in thermal treatment. Fig. 2
shows the x-ray diffraction pattern of the TiO2 as prepared by TIP precursor using Triton X-100 as a
surfactant. It can be seen that the pattern it seems to be anatase. In fact, under this specific
preparation conditions, the films are comprised of single anatase and no trace of rutile phase was
o
detected in the XRD pattern in this temperature treatment, 450 C.
Fig. 3 and 4 show the AFM image of such film, top view and three dimensional surface plots
(1.01.0 m2), respectively. AFM, a mechanical technique following the surface morphology has been
demonstrated to be a very versatile and powerful tool for surface imaging at the nanometer to
submicrometer level and the revelation of surface characteristics of TiO2 thin films [17,18].

65
Muh. Nurdin, Maulidiyah : Particle Size Analysis of Titanium Dioxide by Atomic Force Microscopy

Figure. 3. Top view AFM image (tapping mode) of sol-gel TiO2 film
(scan range 1.01.0 m2, vertical scale: 20 nm) sintered at 450oC.

By using surfactant allows the nanostructure of the film to be controlled through several
parameters, such as surface raughness analysis: root mean square (RMS), mean roughness (Ra),
height of particle (Rmax), surface area and surface area different between two dimensional image and
three-dimensional image, as can be seen in Table.1. Another parameter is section analysis including
height distance, surface distance, horizontal distance, RMS and Ra along the line marked, as can be
seen in Fig. 5 and Table 1.

Figure 4. Three dimensional AFM images (tapping mode) of sol-gel TiO2 film
(scan range 1.01.0 m2 , vertical scale: 20 nm) sintered at 450oC.

Table 1. Roughness Analysis of TiO2 Surface

Parameters RMS Ra Rmax Surf. Area Surf. Area. Surface Horizontal


2
(nm) (nm) (nm) (m ) Diff(%) distance distance
(nm) (nm)
Roughness 2.377 1.860 35.430 1.155 15.48 - -
Section 2.759 2.043 12.722 - - 519.58 476.56

Surfactant containing a polyethylene oxide polar head is a preference for selecting a


surfactant, since it is strongly hydrated, thus strongly competing with alkoxide hydrolysis. Hydrolysis of
an alkoxide follows the general scheme M(OR)4 + 4H2O M(OH)4 + 4ROH [in our case, M= Ti and R=
CH(CH3)2]. Retaining water by hydration of surfactant polar group result in relatively slow hydrolysis
rates, even for transition metal alkoxides, which are otherwise known to hydrolyze rapidly. Slow
hydrolysis is always parallel by inorganic polymerization and oxide formation, i.e. M(OH)4 MO2 +
2H2O.

66
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

Figure 5.Topography and Section analysis AFM image of TiO2 thin film
(scan range 1.01.0 m2 , vertical scale: 20 nm) sintered at 450oC.

Thus, the original sol is slowly transformed into a gel (sol-gel process). The gelation process
can be followed by visual inspection. It was found necessary, in order to obtain thin transparent and
uniform films, to coat slides at an early stage of gelation.
The fundamental chemical process involved in solgel is based on hydrolytic and condensation
reactions, which lead to the formation of macromolecular networks. If hydrolysis proceeds slowly (e.g.,
in dilute solutions) or the dipping is performed in a premature stage, the resultant films are very thin,
relatively smooth, non-light absorbing and improper for biomaterial applications. On the other hand, very
high hydrolysis rates are also unfavorable since they lead to the formation of large aggregates and
consequently to quick precipitation. Moreover, by this means, the sol reaches the gelation stage very
fast, which is unfavorable for industrial coating applications (low shelf life). These observations clearly
imply that the films properties and surface roughness derive from a balance of some factors playing a
competing role.

o
Figure 6. Particle size distribution (height histogram) for TIP sol-gel TiO2 films sintered at 450 C,
(substrate depth = 10.970 nm, threshold height = 0 nm, particle height = 10.970 nm).

The TIP films are composed of relatively large interconnected particles and pores, building up
high mountains and deep valleys, forming a rather flat but more complex surface texture which is
consistent with a much less rough topography.
Particle size analysis has shown that height distributions of surface characteristics for film is
Gaussian-like. Fig. 6 shows two histograms, the top is correlation histogram data in height for

67
Muh. Nurdin, Maulidiyah : Particle Size Analysis of Titanium Dioxide by Atomic Force Microscopy

measuring the threshold height of particle size. Generally, the TIP film present surface characteristics of
greater height. The height distribution histogram of the TIP films is obviously broader.

A B

C D

Figure 7. Particles isolated by height for TIP sol-gel TiO2 films sintered at 450oC:
A. threshold height: 2 nm, B. threshold height: 4 nm, C. threshold height: 6 nm, D. threshold
height: 8 nm.

The height distribution maximum of TIP displays a broad maximum. Such a difference can be
reflected in the RMS roughness values (the standard deviation of the Z values, Z being the total height
range analyzed) of the films. Therefore it can be concluded that the broader the size distribution is, the
rougher the resulting film. This important observation can be explained by considering that in the case
of mono-dispersed particles, a better packing of the particles is favored, leading to the formation of a
less porous structure and morphology of TiO2 film.

90
80
A 50
45
B
70 40
Scale in nanometer
Scale in nanometer

60 Height 35 Height
30
50 Diameter Diameter
25
40 Length Length
20
30 Width 15 Width
20 10
10 5
0 0
Mean Minimum Maximum Std dev Mean Minimum Maximum Std dev
Particle s ize dis tribution Particle s ize dis tribution

68
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

40 25

35
C D
20
30

Scale in nanometer
Height
25 Height 15
Diameter
Diamet er
20
Lengt h Length
10
15 W idt h Width

10 5
5
0
0
M ean M inimum M aximum St d dev Mean Minimum Maximum Std dev

P ar t i cl e siz e d i st r i b ut io n Par ticle s ize dis tr ibution

Figure 8. Particle size distribution in nanometer scale for TIP sol-gel TiO2 films sintered at 450oC:
A. threshold height: 2 nm, B. threshold height: 4 nm,
C. threshold height: 6 nm, D. threshold height: 8 nm.

Fig. 7 and 8 show the particle isolated by height and histogram of particle size distribution,
o
respectively. The film of TiO2 formed by TIP precursor was sintered at 450 C. Particle was isolated by
different threshold height: 2 nm, 4 nm, 6 nm and 8 nm. This method has been demonstrated to be a
very good isolated particles and particle size distribution for different threshold at the nanometer level.
The particle analysis method used in this experiment defines particles based on the height of
the data obtained. This analysis was designed for analyzing well isolated particles. Particles may be
analyzed singly or in quantities. Particles in this context are conjoined above a given threshold height.

160
140
Scale in nanometer square

120
Area, Th:2nm
100
Area, Th:4nm
80
Area, Th:6nm
60
Area, Th:8nm
40
20
0
Mean Minimum Maximum Std dev
x 10
Are a dis tribution

o
Figure 9. Area distribution in nanometer square scale for TIP sol-gel TiO2 films sintered at 450 C,
threshold height: 2 nm (blue), 4 nm (red), 6 nm (yellow), 8 nm (green).

Fig. 9 shows the area distribution of the TiO2 as prepared by TIP precursor using Triton X-100
as a surfactant. It can be seen that the area it seems to be well distributed in the mean range of
around 60-90 nm2 . In fact, under this specific preparation conditions, the films are comprised of nano
size was measured by AFM with different threshold height for TIP sol-gel TiO2 films sintered at 450oC.

CONCLUSION
An investigation of the conditions under which uniform nanocrystalline thin TiO2 films are
formed via the solgel dipping method using titanium isopropoxide precursor has led to the following
conclusions:
The surface properties (parameters, such as size of nanoparticles, surface roughness, morphology,
grain size, particle and section analysis) of the films strongly depend on the preparation and
alkoxide. The roughness of the deposited films can be tailored by controlling the hydrolysis rate. A
narrow size distribution of the film particles leads to relatively smooth films while a large poly-
dispersed one leads to more rough and textured films.
The films surface complexity derives from a competitive balance of a number of factors, one of them
being the alkoxide precursor. The use of TIP leads to films with a good grain size. This is very
important for applications where large surface area films are required.

69
Muh. Nurdin, Maulidiyah : Particle Size Analysis of Titanium Dioxide by Atomic Force Microscopy

In fact, novel applications and/or more efficient devices based on light absorption or chemical
adsorption, which will take into advantage the self-similar character of surfaces, will be developed in
biomaterial application.

ACKNOWLEDGMENT
Financial support from Grant of Strategic Reserch (2009-2010) DP2M- Directorate General of
Higher Education, Ministry of National Education The Republic of Indonesia and Jasso are greatly
acknowledged. The authors are indebted to Prof. Atsushi. Ikai, Prof. Takashi Tatsumi H. Sekiguchi,
T.Yokoi for their invaluable assistance and discussion in sample preparation and instrument
measurement including XRD and AFM.

REFERENCES
[1] Zakeeruddin, S.M., Nazzeeruddi, ,M.K., Echy, P.P. , Rotzinger, F.P. Humphrybaker, R.
Kalyanasundaram, K.. Gratzel, M Shklover V. and Haibach, T.: Molecular Engineering of
Photosensitizers for Nanocrystalline Solar Cells: Synthesis and Characterization of Ru Dyes
Based on Phosphonated Terpyridines. Inorg. Chem. 36 , 937-5946, (1997).
[2] Zaban, A... Micic, O. I. Gregg and B. A. Nozik, A. J: Photosensitization of Nanoporous TiO2
electrodes with InP Quantum Dots. Langmuir 14, 3153-3156, (1998).
[3] Fessender , R. W. and Kamat, P. V.: Rate Constants for Charge Injection from Excited Sensitizer
into SnO2, ZnO, and Ti02 Semiconductor Nanocrystallites. J. Phys. Chem. 99, 12902-12906,
(1995)
[4] Argazzi, R.. Bignozzi C. A,. Heimer, T. A Castellano, F . N.and. Meyer ,G. J: Light-Induced
Charge Separation across Ru(II)-Modified Nanocrystalline TiO2 Interfaces with Phenothiazine
Donors.
J. Phys. Chem.B 101, 2591-2597, (1997).
[5] Cao, G. Oskam and P . C. Searson: A Solid State, Dye Sensitized Photoelectrochemical Cell.J.
Phys. Chem.B. 99, 17071-17073, (1995).
[6] Fujishima, A.Hashimoto, K and T. Watanabe, TiO2 Photocatalysis, Fundamentals and
Applications (Bkc Inc, Tokyo, 1999).
[7] Fujishima, N. Rao and d. A. Tryk: Titanium Dioxide Photocatalysis. J. Photochem. Photobiol.
C: Photochem. Rev. 1,
) 121, (2000).
[8] Yu, J. G. Yu and J. C. Zhao: Enhanced Photocatalytic Activity of Mesoporous and ordinary TiO2
thin films by sulfuric acid
reatment. Appl. Catal. B: Environ. 36, 3143, (2002),
[9] Cosnier, A. Senillou, m. Gratzel, P . Comte, N. Vlachopoulos, N. J . Renault and C. Martelet: A
Glucose Biosensor Based
On Enzyme Entrapment Within Polypyrrole Films Electrodeposited on Mesoporous Titanium
Dioxide J. Electronal
Chem. 469, 176-181, (1999).
[10] Dinh, , N. T. T. Oanh, , P. D. Long, , M. C. Bernard. and G.A. Hugot-Le: Electrochromic
properties of TiO2 anatase thin films prepared by a dipping solgel method. Thin Solid Films.
423, 7076, (2003).
[11] Blesic, , Z. V. Saponjic, , J. M. Nedeljkovic and, D. P. Uskokovic: TiO2 Films Prepared by
Ultrasonic Spray Pyrolysis of Nanosize Precursor. Mater. Lett. 54, 298302, (2002).
[12] Buscema., , C. Malibert and, S. Bach: Elaboration and Characterization of Thin Films of TiO2
Prepared by SolGel Process. Thin Solid Films.418, 7984, ( 2002).
[13] Greene, C. R. Kinser, D. E. Kramer, L. S.C. Pingree, And M. C. Hersam: Application of Scanning
Probe Microscopy to the Characterization and Fabrication of Hybrid Nanomaterials, Microscopy
Research and Technique. 64, 415434, (2004)
[14] Franta, I. Idal, P. Klapetek and P. Pokorny: Characterization of The Boundaries of Thin Films of
TiO2 by Atomic Force Microscopy and Optical Methods. Surf. Interface Anal. 34, 759762,(
2002).
[15] Trigwell, R. D. Hayden, K. F. Nelson and G. Selvaduray: Effects of Surface Treatment on The
Surface Chemistry of Niti Alloy for Biomedical Applications. Surf. Interface Anal. 26, 483-489,
(1998).
[16] Randolph, A. J. Mcevoy, M. Gratzel: Influence of Precursors on the Morphology and
Performance of TiO2 Photoanodes. Journal of Materials Science. 26 3305-3308, (1991).
[17] Sato, N. Tsukamoto, T. Shiratori, T. Furusawa, N. Suzuki and S. Tougaard: Quantification and

70
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

IMFP Determination of Multilayer LangmuirBlodgett Films by AFM And XPS Measurements.


Surf. Interface Anal. 38, 604609, (2006)
[18] Franta1, I Ohloadal, and P. Klapetek: Analysis of Slightly Rough Thin Films by Optical Methods
and AFM. Mikrochim. Acta. 132 , 443-447, (2000).
[19] Zhang, DL. Tao, Z. Deng, J. Zhang, L. Chen: Surface Morphologies and Properties of Pure and
Antimony-Doped Tin Oxide Films Derived by SolGel Dip-Coating Processing. Materials
Chemistry and Physics. 100, 275280, (2006)
[20] Advincula, M.C., D. Petersen, F. Rahemtulla, R. Advincula, J. E. Lemons: Surface Analysis and
Biocorrosion Properties of Nanostructured Surface SolGel Coatings on Ti6Al4V Titanium Alloy
Implants, Journal of Biomedical Materials Research Part B: Applied Biomaterials.DOI
10.1002/jbmb.

71
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565
Volume 13 Nomor 1 Juni 2010 (Volume 13, Number 1, June, 2010)
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

POLA SEBARAN SEDIMEN TERSUSPENSI


MELALUI PENDEKATAN PENGINDERAAN JAUH
DI PERAIRAN PESISIR SEMENANJUNG MURIA-JEPARA
Heni Susiati*, Eko Kusratmoko**, Aris Poniman***
*) Pusat Pengembangan Energi Nuklir BATAN
Jl. Kuningan Barat, Mampang Prapatan-Jakarta Selatan
*) Departemen Geografi, FMIPA-UI,
Kampus Universitas Indonesia, Depok
*)
PUJASINFO BAKOSURTANAL
Komplek Cibinong Science Center, Cibinong-Bogor

ABSTRAK
POLA SEBARAN SEDIMEN TERSUSPENSI MELALUI PENDEKATAN PENGINDERAAN
JAUH DI PERAIRAN PESISIR SEMENANJUNG MURIA, JEPARA. Dalam persiapan pembangunan
PLTN di Semenanjung Muria, kondisi keberadaan sumber daya kelautan, khususnya distribusi sedimen
tersuspensi (TSS) di wilayah perairan sekitar calon tapak PLTN sangat penting untuk dievaluasi. Telah
dilakukan penelitian pola distribusi TSS di perairan Semenanjung Muria sebagai rencana lokasi tapak
untuk fasilitas infrastruktur pendingin PLTN. TSS memainkan peran penting dalam manajemen kualitas
air, khususnya berkaitan dengan sumber air yang diperlukan sebagai air pendingin dan kondensasi uap
pembangkit listrik. Tujuan dari penelitian adalah menentukan pola distribusi TSS di Semenanjung
Muria, Jepara, dengan posisi 11005606,711004401,7 Bujur Timur dan 0602399,30602549,1
Lintang Selatan. Evaluasi pola distribusi sedimen tersuspensi telah dilakukan dengan pengukuran
lapangan dan penginderaan jauh. Penelitian menggunakan data Landsat (data citra tahun 1989, 2001,
2004) dan SPOT (2008). Berdasarkan hasil penelitian, konsentrasi sebaran sedimen tersuspensi di
perairan Semenanjung Muria menunjukkan pola dinamis, namun secara keseluruhan telah terjadi
peningkatan luasan pada konsentrasi sedimen tersuspensi. Konsentrasi TSS di perairan Semenanjung
Muria berkisar antara 1,5 sampai 2.140 mg/ liter dengan rata-rata 55,18 mg/ liter. Umumnya rata-rata
konsentrasi TSS masih di bawah ambang batas yang telah ditentukan dalam Keputusan Menteri KLH
No. 51/ 2004.
Kata kunci: PLTN, sedimen tersuspensi, pendingin, dan penginderaan jauh.
ABSTRACT
DISTRIBUTION PATTERNS OF TOTAL SUSPENDED SEDIMENT WITH REMOTE SENSING
APPRAISAL ON MURIA PENINSULA COAST, JEPARA. During the preparation of Nuclear Power Plant
(NPP) construction at Muria Peninsula, the existing ocean resources, especially sediment distribution
around NPP site candidate, should be evaluated. Total Suspended Sediment (TSS) distribution pattern
analysis in Muria Peninsula region as the site plan of NPP cooling infrastructure facility has been
conducted in this study. TSS plays an important role in water quality management, especially in relation
to water source that is needed for cooling and condensing the steam in the power plant. The purpose
of this research is to determine the distribution pattern of TSS in the coast of Muria Peninsula, Jepara,
0 0 0 0
located between 110 5606,7 - 110 4401,7 east longitudes and 06 2399,3 - 06 2549,1 south
latitudes. The evaluation of TSS distribution is performed using field sampling and remote sensing
appraisal. The research was carried out using Landsat (dataset received in 1989, 2001, 2004) and
SPOT (dataset received in 2008) satellite images. Based on the result of this study, TSS concentration
distribution in Muria Peninsula shows dynamic pattern. However, in total there has been an increase in
the area of TSS distribution. TSS concentration in Muria Peninsula region varied in the range of 1,5
2.140 mg/ liter, with an average concentration of 55,18 mg/liter. In general, the average concentration of
TSS is still less than the treshold for TSS in sea water as stipulated in the Ministry of Environment
regulation No. 51/2004.
Keywords: NPP, TSS, cooling, and remote sensing.

72
Heni Susiati, Eko Kusratmoko, Aris Poniman : Pola Sebaran Sedimen Tersuspensi Melalui Pendekatan Penginderaan Jauh di
Perairan Pesisir Semenanjung Muria-Jepara

PENDAHULUAN
Pemantauan lingkungan pesisir sehubungan dengan penyediaan data baseline dalam
persiapan pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Jepara sebagai calon tapak lokasi PLTN perlu
dipersiapkan sejak dini. Hal ini sangat penting karena data lingkungan yang diperoleh pada waktu
dilaksanakan studi kelayakan oleh konsultan pada tahun 1996 tentunya sudah berubah banyak akibat
perubahan rona lingkungan di sepanjang perairan pantai Semenanjung Muria. Salah satunya adalah
semakin meningkatnya konsentrasi sedimen tersuspensi (Total Suspended Solid/TSS).
Peningkatan konsentrasi TSS menyebabkan kekeruhan yang dapat mengganggu penetrasi
cahaya ke dalam perairan. Keberadaan TSS dapat mengganggu keseimbangan ekosistem perairan
yang pada akhirnya akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup manusia, seperti pendangkalan
pelabuhan, punahnya beberapa ekosistem perairan, dan kerusakan lingkungan [1].
Untuk memetakan sebaran TSS, pendekatan pengambilan sampel dan penggunaan teknik
penginderaan jauh telah banyak dilakukan. Data penginderaan jauh tidak hanya dipakai untuk data atau
inventarisasi saja tapi sekaligus untuk fungsi pemantauan. Hal ini dimungkinkan karena data
penginderaan jauh dapat diperoleh secara multitemporal [2]. Penginderaan jauh sistem satelit
merupakan salah satu sistem penginderaan jauh yang sudah dikembangkan Landsat TM dan SPOT.
Penginderaan jauh sistem satelit sering digunakan dalam berbagai penelitian karena di samping
kemampuan multispektral dari sensornya, juga karena begitu pesat perkembangan pengolahan dan
analisis datanya. Bertitik tolak dari latar belakang tersebut telah dilakukan penelitian tentang sebaran
konsentrasi TSS berdasarkan informasi spektral data digital Landsat TM, ETM + dan SPOT. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran distribusi sebaran TSS di wilayah perairan
Semenanjung Muria dalam persiapan pembangunan PLTN.

METODOLOGI
Daerah Studi
Daerah studi dalam penelitian ini adalah perairan pesisir Semenanjung Muria, yang masuk
dalam 2 wilayah kabupaten, yaitu Jepara dan Pati. Gambar 1 menunjukkan perairan Semenanjung
Muria yang menjadi daerah studi dalam penelitian.

Jepara

Rembang
Semarang

Gambar 1. Daerah Studi Semenanjung Muria


Citra yang digunakan
1. Citra Landsat 5 TM path/row 119 - 120/ 064 - 065 yang diakuisisi tanggal 8 September tahun 1989,
2. Citra Landsat 7 ETM+ path/row 119 - 120/ 064 - 065 yang diakuisisi tanggal 8 September tahun
2001,
3. Citra Landsat 7 ETM+ path/row 119 - 120/ 064 - 065 yang diakuisisi tanggal 4 Agustus tahun 2001
dan 2004, dari Global Land Cover Facilities, Institute of Applied Computer Science, University of
Maryland, USA (http://glcf.umiacs.umd.edu/data/landsat) [3],

73
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

4. Citra SPOT path/row 293- 363 yang diakuisisi 19 Oktober tahun 2008, data diperoleh dari Lembaga
Penerbangan dan Antariksa (LAPAN), Jakarta.
Citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini ada 4 buah citra yang mencakup wilayah
perairan Semenanjung Muria. Citra Landsat 5 TM, Landsat 7 ETM+, dan SPOT 293-363 diolah
menggunakan software ER Mapper 7.0 untuk mendapatkan nilai konsentrasi TSS. Kajian citra
penginderaan jauh ini menggunakan data multi temporal yang mempunyai karakteristik spectral yang
hampir sama. Untuk itu citra Landsat MSS TM dan ETM digunakan. Data citra Landsat Ortho tahun
2001 digunakan sebagai acuan dalam georeferensi atau penyamaan sistem koordinat citra-citra
Landsat yang digunakan dan dalam menganalisis konsentrasi TSS.

Algoritma Penelitian untuk Pemetaan TSS


Di dalam penelitian ini digunakan algoritma untuk mendapatkan nilai konsentrasi TSS.
Sebelum mengaplikasikan algoritma untuk pemetaan TSS, terlebih dahulu dilakukan land-sea masking
terhadap citra yang telah terkoreksi[4]. Tujuannya adalah untuk memisahkan agar wilayah daratan tidak
masuk dalam penghitungan TSS. Agar diperoleh peta sebaran TSS yang akurat diperlukan real time
data lapangan dan citra yang dianalisis. Karena tidak didapatkan data lapangan konsentrasi TSS
wilayah perairan Semenanjung Muria yang sama dengan waktu akuisisi citra Landsat dan SPOT, maka
dalam penelitian ini hanya diaplikasikan algoritma yang telah dibangun oleh peneliti sebelumnya, yaitu
[5,6]:
Konsentrasi TSS = 0,6432*(ETM1+ETM3)/2-5,9063 dengan ETM1, ETM3 = band 1 dan band
3 citra Landsat ETM+, sedangkan untuk citra SPOT4 HRVIR menggunakan algoritma yang telah
dikembangkan oleh Syarif Budiman [7], yaitu TSS (mg/liter) = 7,9038*exp(23,942*Red Band) dengan
Red band = Reflektans band 2

HASIL DAN PEMBAHASAN


Deskripsi Geografis dan Iklim Daerah Penelitian
Daerah penelitian pola sebaran sedimen tersuspensi yang ditinjau dalam studi ini terletak di
perairan Semenanjung Muria berada di jalur Pantai Utara (Pantura) Jawa. Secara administratif daerah
penelitian berada di wilayah kabupaten Jepara dan Pati, propinsi Jawa Tengah, dengan batas-batas
wilayah sebagai berikut:
o Sebelah barat : Laut Jawa
o Sebelah timur : Kab. Rembang dan Kab. Kudus
o Sebelah utara : Laut Jawa
o Sebelah selatan : Kabupaten Demak
Wilayah Jepara dan Pati memiliki ketinggian yang bervariasi antara 0 1.301 meter di atas
permukaan laut, dengan kondisi alam pegunungan, berbukit, berdataran rendah dan berpantai landai.
Dataran tinggi terletak di sebelah Timur membentang sampai selatan yang merupakan lereng di
sebelah barat dan utara dari Gunung Muria. Dari daerah ini mengalir sungai besar yang mengairi
Kabupaten Jepara [4,8].
Iklim daerah penelitian yang terletak di pantura umumnya sangat terkait dengan posisi
Indonesia yang berada di daerah katulistiwa. Terkait dengan posisi, maka iklim di daerah penelitian
termasuk iklim tropis. Adapun didasarkan atas ketinggian tempat yang merupakan daerah dataran,
lokasi yang berhadapan dengan laut terletak di wilayah pesisir, maka sangat dipengaruhi oleh angin
muson (angin musim). Angin ini akan selalu berganti arah setiap setengah tahun sekali. Angin yang
bertiup di wilayah ini adalah angin musim bertiup ke barat disebut angin timur, dan sebaliknya bila angin
berarah ke timur bertiup angin barat. Dengan demikian, maka wilayah ini memiliki kondisi iklim tropis
yang dipengaruhi oleh angin muson [4,8].

Pemetaan Sebaran TSS (Total Suspended Sediment)


Pengamatan sebaran dan konsentrasi TSS di perairan Semenanjung Muria sebenarnya dapat
dilakukan secara optik (remote sensing) dengan pendekatan statistik yang sederhana. Namun hal ini
mensyaratkan adanya data konsentrasi TSS insitu yang diambil pada waktu yang sama dengan saat
satelit melintas. Dengan regresi linier maka dapat dilakukan perbandingan antara nilai digital number
dengan konsentrasi TSS insitu pada lokasi yang sesuai. Selanjutnya dibangun suatu algoritma untuk
menentukan sebaran konsentrasi TSS. Sehingga sebenarnya algoritma untuk TSS ini bersifat sangat
spesifik untuk tempat dan waktu tertentu. Namun demikian algoritma yang telah dibangun tersebut
masih dapat diterapkan untuk tempat dan waktu yang berbeda walaupun hasilnya kurang akurat. Tetapi
setidaknya algoritma tersebut masih dapat memberikan gambaran pola sebaran TSS [9].

74
Heni Susiati, Eko Kusratmoko, Aris Poniman : Pola Sebaran Sedimen Tersuspensi Melalui Pendekatan Penginderaan Jauh di
Perairan Pesisir Semenanjung Muria-Jepara

Pada penelitian ini karena tidak adanya data konsentrasi TSS insitu yang sama dengan waktu
akuisisi citra, maka sebaran konsentrasi TSS didapatkan dengan mengaplikasikan algoritma untuk TSS
dari Ambarwulan, dkk. [5]. Data TSS hasil analisis laboratorium digunakan sebagai data pembanding.
Pada Gambar 2 ditunjukkan sebaran konsentrasi TSS di perairan Semenanjung Muria
berdasarkan algoritma Ambarwulan, dkk. [5] untuk citra Landsat TM 1989 dan Landsat ETM+ tahun
2001, 2004 dan SPOT 2008. Secara visual keempat gambar tersebut menunjukkan bahwa nilai TSS
untuk tahun 1989 masih tergolong rendah, tetapi perhitungan untuk tahun 2001 dan tahun 2004
terdapat peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini dapat dikaitkan dengan aktivitas masyarakat
pesisir pada waktu itu, yang menunjang besarnya penambangan pasir pada tahun 1989 dan
sebelumnya masih sedikit, tetapi meningkat drastis ketika direkam pada tahun 2001 dan 2004.

6 mg/liter 45 9 mg/liter 39
mg/liter mg/liter
Citra Landsat Tahun 1989 Citra Landsat Tahun 2001

8 mg/liter 42 5 mg/liter 72
mg/liter mg/liter
Citra Landsat Tahun 2004 Citra SPOT Tahun 2008
Gambar 2. Pola Sebaran TSS

Berdasarkan peta sebaran TSS yang dihasilkan dari citra satelit Landsat TM, ETM+, dan
SPOT dari Gambar 2, maka pengolahan menggunakan program ArcView diperoleh data konsentrasi
TSS di Semenanjung Muria dengan nilai yang dicantumkan pada Tabel 1.

75
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

Tabel 1. Nilai Konsentrasi TSS dari Citra Satelit


Nilai Konsentrasi TSS (mg/liter)
Jenis Citra Satelit Minimum Maksimum Rata-Rata
Landsat TM 1989 6,716 44,046 18,020
Landsat ETM+ 2001 9,965 38,285 24,529
Landsat ETM+ 2004 8,056 41,529 24,405
SPOT 2008 27,862 158,110 55,179

Dari Tabel 1 terlihat bahwa nilai konsentrasi rata-rata dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Sebagai hasil perbandingan maka pada penelitian ini juga digunakan nilai konsentrasi TSS hasil
pengukuran lapangan. Berdasarkan hasil pengukuran lapangan pada bulan April 2008 dan bulan
Oktober 2009, diperoleh nilai minimum, nilai maksimum dan nilai rata-rata konsentrasi TSS seperti yang
tercantum pada Tabel 2 [4].

Tabel 2. Nilai Konsentrasi TSS dari Hasil Analisis Laboratorium [4]

Hasil Sampling Nilai Konsentrasi TSS (mg/liter)


Minimum Maksimum Rata-Rata
April 2008 1,5 31,4 22,4
Oktober 2009 14 4.488 412

Pemetaan Hasil Klasifikasi Sebaran TSS


Untuk melihat luasan sebaran konsentrasi TSS dilakukan klasifikasi sebaran sedimen secara
unsupervised sehingga dihasilkan luasan konsentrasi TSS dengan membagi kelas-kelas konsentrasi
sedimen yang sama. Gambar 3 menunjukkan hasil klasifikasi unsupervised berdasarkan algoritma
Ambarwulan dkk. (2003) untuk citra Landsat TM 1989, Landsat ETM+ 2001, 2004 dan citra SPOT
2008.
Luasan tingkatan konsentrasi TSS berdasarkan klas-klas konsentrasi yang ditentukan
diberikan dalam Tabel 3 sampai dengan Tabel 6.

76
Heni Susiati, Eko Kusratmoko, Aris Poniman : Pola Sebaran Sedimen Tersuspensi Melalui Pendekatan Penginderaan Jauh di
Perairan Pesisir Semenanjung Muria-Jepara

Gambar 3. Klasifikasi Konsentrasi TSS di perairan Semenanjung Muria

Tabel 3. Luasan Klasifikasi Sebaran Konsentrasi TSS berdasarkan citra Landsat TM 1989

No Klasifikasi Konsentrasi TSS (mg/liter) Luas (Ha) %


1. 0 - 15 24.136,1 14
2. 16 - 25 54.475,8 32
3. 26 - 35 55.156,5 33
4. > 36 34.726,4 21

Tabel 4. Luasan Klasifikasi Sebaran Konsentrasi TSS berdasarkan citra Landsat ETM+ 2001

No Klasifikasi Konsentrasi TSS (mg/liter) Luas (Ha) %


1. 0 - 15 78.567,80 47
2. 16 - 25 24.254,74 15
3. 26 - 35 23.338,00 14
4. > 36 40.622,97 24

Tabel 5. Luasan Klasifikasi Sebaran Konsentrasi TSS berdasarkan citra Landsat ETM+ 2004

No Klasifikasi Konsentrasi TSS (mg/liter) Luas (Ha) %


1. 0 - 15 97.563,00 54
2. 16 - 25 28.450,09 16
3. 26 - 35 14.156,23 8
4. > 36 41.224,54 22

Tabel 6. Luasan Klasifikasi Sebaran Konsentrasi TSS berdasarkan citra SPOT 2008

No Klasifikasi Konsentrasi TSS (mg/liter) Luas (Ha) %


1. 0 15 91.263,2 51
2. 16 25 38.307,8 21
3. 26- 35 24.297,9 14
4. > 36 25.390,3 14

Berdasarkan Tabel 3 sampai Tabel 6, terlihat dinamika perubahan atas perkembangan luasan
konsentrasi TSS di perairan Semenanjung Muria.
Hasil analisis nilai TSS dari interpretasi citra menunjukkan bahwa nilai kandungan sedimen
tersuspensi di dekat garis pantai pada umumnya mempunyai nilai yang lebih tinggi, dan di bagian
paling timur wilayah penelitian mempunyai nilai yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah
lainnya. Hal ini juga sesuai dengan hasil analisis laboratorium.
Kandungan sedimen tersuspensi di perairan sangat dipengaruhi oleh pasokan sedimen
tersuspensi dari darat yang terbawa oleh sungai. Selain itu juga karena pengaruh musim yang terjadi.
Hal ini diperkuat dengan terbentuknya daratan baru atau delta di sebelah Timur wilayah penelitian.

Hubungan Pola Sebaran TSS dengan Pendekatan Penginderaan Jauh


Secara garis besar dalam penelitian ini pola sebaran TSS yang dihasilkan dari tahun 1989,
2001, 2004, dan 2008 terlihat bahwa pola sebaran tidak merata ke semua bagian namun dari tahun ke
tahun terlihat rata-rata pola sebaran semakin lama terdistribusi semakin luas. Demikian pula kandungan
TSS tertinggi dari tahun ke tahun berada pada posisi yang sama yaitu terkonsentrasi di bagian utara
dan timur di ujung kanan peta pola sebaran dari wilayah penelitian. Jadi pola sebaran TSS
terkonsentrasi dan terakumulasi di daerah tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan penggunaan lahan di
daerah pesisir yaitu kebanyakan difungsikan sebagai kawasan tambak. Terjadinya perbedaan sebaran
konsentrasi TSS di Semenanjung Muria, tentunya sangat terkait dengan proses dinamika perairan di
wilayah penelitian. Di samping itu juga didukung oleh perubahan arus musiman, pasang surut dan
gelombang yang dapat mempengaruhi pola sebaran TSS. Selain itu masuknya muatan sedimen
(sediment load) dari daratan ke perairan juga berpengaruh terhadap konsentrasi TSS di perairan.

77
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

Hubungan TSS dan Rencana Pembangunan PLTN


Dalam rangka memenuhi kebutuhan listrik di Indonesia, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
(PLTN) Muria direncanakan akan dibangun di daerah pesisir pantai Semenanjung Muria, Jepara.
Pertimbangan dalam pemilihan lokasi tersebut telah banyak dilakukan, salah satunya adalah hasil studi
kelayakan tapak PLTN oleh konsultan NEWJEC sehingga wilayah tersebut layak untuk dibangun PLTN.
Namun demikian studi lanjut perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih menyakinkan
sehubungan dengan perkembangan situasi saat ini di daerah tersebut, khususnya paska terjadinya
gempa di Yogyakarta. Seiring dengan program tersebut perlu dipersiapkan sumberdaya lokal yang
nantinya dapat mendukung operasi PLTN. Salah satu sumberdaya lokal yang penting adalah air laut di
sekitar tapak yang merupakan media untuk membuang panas dari kondensor ke lingkungan. Analisis
kelaikan air laut Muria menjadi perhatian awal sebelum digunakan sebagai pendingin tersier PLTN [10].
Salah satu kegiatan penting dalam penyiapan tapak PLTN adalah tersedianya tapak yang aman dari
faktor eksternal, dan salah satu faktor eksternal yang penting adalah kondisi faktor geologi khususnya
kondisi sedimen yang ada di tapak tersebut. Kondisi kualitas perairan pesisir Semenanjung Muria,
Jepara memainkan peran sangat penting dalam persiapan pembangunan PLTN. Hal ini terkait dengan
kondisi sedimen yang sangat diperlukan dalam bidang rekayasa pantai (coastal engineering), seperti
pembuatan desain, konstruksi dan pemanfaatan air laut untuk pendingin PLTN.
Pantai utara daerah Jepara sebagai lokasi tapak PLTN terbaik saat ini mempunyai genesis
pantai yang dipengaruhi kuat oleh struktur gunungapi Muria dan Lasem. Salah satu aspek geologi yang
penting di daerah penelitian adalah keberadaan gunung api Muria dan Genuk. Kedua gunung api ini
merupakan gunung api Kuarter dan merupakan gunung api kunci dalam menentukan perkembangan
tektonik dan subduksi di perairan Laut Jawa sejak ditemukannya jalur subduksi Kapur yang memotong
perairan Laut Jawa arah baratdaya timur laut dan berakhir di Pegunungan Meratus [11].
Di samping itu dengan keberadaan kedua gunung api tersebut sebagai sumber sedimen
terhadap daerah sekitarnya, dengan pendekatan penginderaan jauh dapat diperoleh data pola distribusi
sebaran sedimen di perairan Semenanjung Muria yang sangat bermanfaat dalam persiapan
pembangunan PLTN Muria.
Sedimen yang tersuspensi dalam air dapat berpengaruh terhadap sistem dan peralatan
pendingin yang diakibatkan adanya pengendapan, penyumbatan pipa dan jika mempunyai sifat abrasif
maka akan merusak sistem peralatan dan pipa-pipa pendingin. TSS yang berdiameter kurang dari 0,10
mm seperti lumpur atau lanau umumnya tidak abrasif tetapi akan menyebabkan pengendapan di dalam
struktur intake, sistem pemipaan, dan alat penukar panas, yang akan mengganggu operasional
pembangkit [12]. Beberapa contoh kasus lokasi pendingin yang berada di perairan pesisir dan muara
sungai telah terjadi gangguan oleh sedimen. Kondisi sedimen di perairan merupakan input yang sangat
penting dalam pemilihan konfigurasi sistem pendingin. Adanya sedimen yang tersuspensi dalam
perairan laut apabila digunakan sebagai air pendingin akan memerlukan pengolahan khusus untuk
mengurangi dampak bahaya terhadap sistem air pendingin. Oleh karena itu diperlukan penelitian yang
lebih lanjut melalui observasi lapangan sehubungan dengan permasalahan sedimen tersuspensi
tersebut.
Untuk menentukan kesesuaian antara kondisi sebaran sedimen di perairan laut Jepara dan
persyaratan bangunan fisik PLTN, diperlukan penelitian lanjut. Demikian juga untuk penelitian evaluasi
terhadap pondasi infrastruktur PLTN. Untuk itu kondisi hidrodinamika dan transport sedimen perlu
dievaluasi lebih lanjut setelah dilakukan analisis terhadap kondisi sedimen di lokasi tapak PLTN.
Desain pendingin PLTN memerlukan persyaratan kualitas air, salah satunya seperti yang
tertuang pada Tabel 7 [13].

Tabel 7. Parameter Fisik Dasar Kualitas Air dan Batasan Konsentrasi


untuk Air Pendingin PLTN [13]
Unsur Satuan Batasan
TDS mg/lt 70.000
TSS mg/lt <100 (dengan film fill)
<300 (dengan open fill)

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

78
Heni Susiati, Eko Kusratmoko, Aris Poniman : Pola Sebaran Sedimen Tersuspensi Melalui Pendekatan Penginderaan Jauh di
Perairan Pesisir Semenanjung Muria-Jepara

1. Secara spasial pola sebaran TSS dari tahun 1989 sampai 2008 tidak menunjukkan adanya
perbedaan, namun demikian ada kecenderungan wilayah dengan konsentrasi TSS antara > 36
mg/liter meningkat, khususnya di sisi timur perairan Semenanjung Muria. Arus laut dan morfologi
pantai daerah penelitian mempengaruhi pola sebaran konsentrasi yang terjadi.
2. Dari sisi proses sedimentasi yang terjadi di Semenanjung Muria, lokasi sebelah timur laut dari lokasi
penelitian menunjukkan lokasi perairan kurang memenuhi syarat sebagai sumber air pendingin
karena proses sedimentasi yang lebih besar dibandingkan daerah sisi barat.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Ritchie J.C. and Cooper, C.M.: Comparison of Measured Suspended Sediment Concentrations
With Suspended Sediment Concentrations Estimated From Landsat MSS Data, Int. J. Remote
Sensing (1988).
[2] Abu Daya, M.I.: Coastal Water Quality Monitoring with Remote Sensing in (East Kalimantan)
Makasar Strait-Indonesia, International Institute for Geo-Information Science and Earth
Observation, Enschede, The Netherlands (2004).
[3] Citra Landsat: http://glcf.umiacs.umd.edu/data Landsat
[4] Susiati, H., Pandoe, W. & Wijarnako A.: Studi Dinamika Transport Sedimen Menggunakan
Perunut Radioisotop dan Citra Satelit untuk Evaluasi Rekayasa Perlindungan Pantai Tapak PLTN,
Laporan Teknis Program Insentif, Pusat Pengembangan Energi Nuklir BATAN, Jakarta (2008).
[5] Ambarwulan W.: Mapping of TSM Concentrations From SPOT and Landsat TM Satellite Images
for Integrated Coastal Zone Management in Teluk Banten, Indonesia, MSc Thesis, International
Institute for Geo-information Science and Earth Observation (2002).
[6] Ambarwulan, W.: Struktur Spasial Parameter Bio-Fisik Perairan Delta Mahakam, Pusat Sumber
Daya Laut, Bakosurtanal (2004).
[7] Budhiman, S.: Mapping TSM Concentrations from Multisensor Satellite Images in Turbid Tropical
Coastal Waters of Mahakam Delta, Indonesia. Master of Science Thesis, ITC, Enschede, The
Netherlands (2004) .
[8] DKP.: Laporan Akhir Penyusunan Rencana Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Kabupaten Jepara, Departemen Kelautan dan Perikanan, Propinsi Jawa Tengah, Semarang
(2006).
[9] Azis Rifai: Kajian Perubahan Kerapatan Vegetasi Mangrove dan Kaitannya dengan Total
Suspended Matter (TSM) di Wilayah Delta Mahakam Berdasarkan Citra Satelit, Tesis Program
Studi Magister Sains Kebumian, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, ITB (2008).
[10] Ambarwulan, W., Hartini, S., dan Cornela, M.I.: Citra Satelit Landsat untuk Inventarisasi
Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut di Delta Mahakam, Pusat Sumber Daya Laut, Bakosurtanal
(2003).
[11] Sumijanto & Dibyo, S.: Analisis Kelaikan Air Laut Muria Sebagai Pendingin Tersier PLTN Jenis
PWR Menggunakan Watercycle Software, Prosiding Seminar Penelitian dan Pengelolaan
Perangkat Nuklir, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Maju, Yogyakarta (2005).
[12] Katili, J.A.: Geotectonics of Indonesia, A Modern View, Directorate General of Mines, Jakarta
(1980).
[13] Veil, J.A. Use of Reclaimed Water for Power Plant Cooling, Environmental Science Division,
Argonne National Laboratory, Canada (2007).

79
Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010
SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010


JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH

Pedoman Penulisan Naskah

Redaksi Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah menerima naskah/makalah karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian
dan pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah,
dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan untuk penerbitan pada bulan Juni dan
Desember setiap tahun.
Ketentuan penulisan naskah :
1. Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan berupa karya tulis ilmiah dari hasil penelitian, survei, pengkajian atau
studi literatur.
2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan format: menggunakan kertas A4, 1 kolom dengan
margin atas, bawah, kiri dan kanan masing-masing 3 cm (1,18). Gunakan jenis huruf Arial ukuran 9. Jumlah halaman
naskah termasuk gambar dan tabel maksimal 20 halaman,
3. Sistematika penulisan meliputi JUDUL, ABSTRAK, KATA KUNCI, PENDAHULUAN, TATA KERJA, HASIL DAN
PEMBAHASAN, KESIMPULAN, UCAPAN TERIMA KASIH (bila ada), DAFTAR PUSTAKA. Untuk makalah pengkajian
dan perancangan dapat menyesuaikan.
4. Judul tulisan menggunakan huruf Kapital, bold, font 14. Nama penulis dicantumkan tanpa gelar, bold, font 11,
sedangkan alamat penulis berupa Nama Unit Kerja, Instansi dan alamat Instansi.
5. Abstrak tidak melebihi 250 kata, dengan spasi 1, font 9 dan Judul tulisan dicantumkan kembali di dalam abstrak sebagai
kalimat pertama. Abstrak berbahasa Inggris ditulis dalam format Italic.
6. Bab dan Sub-bab dalam tulisan tidak bernomor tapi dibedakan dengan huruf besar dan huruf kecil, bold, font 9
7. Penulisan Tabel dan Gambar dibelakangnya diserta dengan angka Arab dan penjelasannya. Contohnya:
i) . Tabel 1. Hasil Analisis X-RF (ditulis di atas Tabel)
ii) . Gambar 2. Kurva Kesetimbangan . (ditulis di bawah Gambar)
8. Pustaka yang dikutip dalam teks diberi nomor angka Arab di belakangnya sesuai dengan urutan pemunculan dalam
Daftar Pustaka. Contoh: Standar IAEA memberi arahan bahwa kegiatan siting umumnya dilaksanakan melalui 4
tahapan utama [3],...
9. Penulisan Daftar Pustaka menggunakan format sebagai berikut:

Buku referensi :
[1] Akhmediev, M. and Ankiewicz, Y.: A Solution, Nonlinear Pulses and Beams, Chapman & Hall, London (1997).

Artikel yang terdapat dalam buku referensi:


[2] Dean, R.G.: Freak waves: A Possible Explanation, in Water Wave Kinetics, Editor: Torum, A and Gudmestad, O.T.,
Kluwer, Amsterdam, 609 612, (1990).

Artikel dari jurnal :


[3] Choppin, G.R.: The Role of Natural Organics in Radionuclide Migration in Natural Aquifer Systems, Radiochim.
Acta 58/59, 113, (1992)

Artikel dalam proceeding


[4] Chung, F., Erds, P., Graham , R.: On Sparse Sets Hitting Linear Forms, Proc. of the Number Theory for the
Millennium, I, Urbana, IL, USA, 57 72, (2000).

10. Dewan Redaksi berhak untuk menolak suatu tulisan yang dianggap tidak memenuhi syarat.
11. Dewan Redaksi dapat mengedit naskah tanpa mengurangi makna.
12. Isi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
13. Naskah diserahkan dalam bentuk cetakan 2 rangkap disertai compact disk (CD) berisi file naskah dalam format MS
Word.

Anda mungkin juga menyukai