Anda di halaman 1dari 526

Seminar Material Metalurgi 2010

  | ISSN : 2085 – 0492


KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmat-NYA
pada tanggal 13 Oktober 2010, Pusat Penelitian Metalurgi LIPI dapat menyelanggarakan
Seminar Material Metalurgi 2010 di Gedung Dewan Riset Nasional PUSPIPTEK Serpong,
Tangerang Selatan, dengan tema “Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan
Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia ”.
Seminar Material Metalurgi ini dihadiri oleh pembicara kunci Ir. Dede I Suhendra dari
Departemen ESDM dan Prof. Dr. Akihiko Chiba dari Tohoku University, Prof. Dr. Ir. Syoni
Soepriyanto dari Jurusan Teknik Material ITB. Hasil dari Seminar Material Metalurgi 2010,
dipublikasaikan dalam bentuk prosiding seminar dengan kontribusi tulisan dari insatansi
penelitian, universitas dan industri yang di presentasikan dalam kelompok diskusi Pengolahan
Sumber daya Mineral, Ekstraksi Mineral / Logam, Metoda Analisis dan Karakterisasi
Material / Mineral, Metalurgi Fisik dan Manufaktur, Keramik dan Komposit dan Advanced
Materials dan Nano Teknologi, Rekayasa Material / Metalurgi, Pemodelan dan Simulasi
Material / Metalurgi, Korosi dan Failure Analysis.
Kami berharap prosiding ini dapat bermanfaat bagi peneliti, dosen, mahasiswa, dan
kalangan industri yang berkecimpung dalam bidang material matelurgi dan bagi para
pemerhati bidang keilmuan metalurgi

Serpong Desember 2010

Tim Prosiding

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | iii
SUSUNAN PANITIA SEMINAR MATERIAL METALURGI 2010

PENANGGUNG JAWAB
Eddy Dwi Tjahjono, Ir.
(Kepala Puslit Metalurgi LIPI)

KETUA PANITIA
Latifa Hanum Lalasari, ST. MT

PANITIA PENGARAH
Dr. F. Firdiyono (Ketua)
Ir. Yusuf, PU
Dr. Efendi Mabruri

TIM EDITOR
Ir. Bambang Sriyono, Dipl.Ing.
Drs. Sundjono
Dr. Ing. Andika Widya Pramono
Dr. Solihin
Ir. Bintang Adjiantoro, MT
Eko Sulistiyono, ST

TIM PROSIDING
Dedi Irawan, ST.
Iwan Setiawan, MSc.
Ari Yustisia Akbar, S.Si.
Fendy Rokhmanto, ST.

EVENT ORGANIZER:
Koperasi Karyawan Metalurgi LIPI
Seminar Material Metalurgi 2010

iv   | ISSN : 2085 – 0492


SAMBUTAN KETUA PANITIA
SEMINAR MATERIAL METALURGI 2010

Assalamualaikum, Wr.Wb, Salam Sejahtera.


Puji syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah SWT atas izin rahmat dan karunia-Nya
sehingga Kami dapat melaksanakan Seminar Material Metalurgi 2010. Pada kesempatan ini,
Kami mengucapkan selamat datang kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Hery Harjono, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI,
2. Ir. Dede I Suhendra, Ka. Sub. Direktorat Pengawasan Teknik Mineral Batu Bara dan
Panas Bumi Kementerian ESDM
3. Prof. Akihiko Chiba, Institute for Materials Research, Tohoku University
4. Prof. Syoni Soepriyanto, PhD., Ketua Kelompok Keahlian (KK) Teknik Metalurgi,
Fakultas Teknik Pertambangan & Perminyakan, Institut Teknologi Bandung,
5. Ir. Purwoko, PT. Timah Industri
6. Ir. Tjandra Djuliswar, PT. ANTAM
7. Ir. Kamal Rasyid, PT. IKAD
8. Ir. Eddy Dwi Tjahjono, Kepala Pusat Penelitian Metalurgi, LIPI
9. Bapak-bapak dan Ibu-ibu, para peserta dan hadirin seminar.

Hadirin Yth.,
Seminar Material Metalurgi merupakan agenda tahunan Pusat Penelitan Metalurgi
LIPI yang diharapkan mampu menjadi sarana komunikasi ilmiah bagi berbagai pihak yang
berkiprah di bidang metalurgi dan material.
Tema Seminar Material Metalurgi tahun ini adalah “Peran Penelitian Material
Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia”. Latar
belakang diajukannya tema ini adalah untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya
mineral Indonesia sehingga dapat meningkatkan nilai tambah secara ekonomis. Seminar ini
juga diharapkan mampu menyumbangkan hasil-hasil penelitian yang bermanfaat bagi
pembangunan nasional dan pemecahan masalah-masalah yang terkait dengan pemanfaatan
sumber daya mineral Indonesia.
Pada Seminar Material Metalurgi 2010 ini telah terdaftar 67 makalah ilmiah dari
berbagai Lembaga Penelitian, Perguruan Tinggi, Industri, Mahasiswa dan Umum. Sebanyak
16 makalah terpilih akan dipresentasikan secara oral, 45 makalah disajikan dalam bentuk
poster, dan 6 makalah yang tidak dapat dipresentasikan dalam seminar karena tidak
memenuhi ruang lingkup tema seminar. Semua makalah (oral dan poster) ini akan
dipublikasikan di prosiding Seminar 2010 dan beberapa makalah terpilih akan dipublikasikan
di majalah Metalurgi dan majalah Korosi edisi khusus 2010.
Akhirnya, atas nama seluruh Panitia Seminar Material Metalurgi 2010 kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam seminar ini.
Seminar Material Metalurgi 2010

Secara khusus kami ucapkan terima kasih kepada PT. Timah Industri, PT. Aneka Tambang,
Tbk, PT. IKAD, PT. Spektris, Tbk., PT TeknoLab, Tbk., dan PT. JJ Executive International
atas dukungannya dalam pelaksanaan seminar ini. Kami mohon maaf bila selama
penyelenggaraan seminar ini ada hal-hal yang kurang berkenan.
Billahi Taufiq Wal Hidayah Wassalamualaikum Wr.Wb.

Ketua Panitia Seminar Material Metalurgi

Latifa Hanum Lalasari, MT

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | v
Seminar Material Metalurgi 2010

vi   | ISSN : 2085 – 0492


SAMBUTAN DEPUTI IPK LIPI

Yth. Ir. Dede I Suhendra, Ka. Sub. Direktorat Pengawasan Teknik Mineral Batu Bara dan
Panas Bumi Kementerian ESDM
Yth. Prof. Dr. Ir. Syoni Soepriyanto
Yth. Prof. Akihiko Chiba, Tohoku University
Yth. Kepala Pusat Penelitian Metalurgi LIPI,
Para Hadirin dan Undangan sekalian yang kami muliakan.

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua,
Pertama-tama, marilah kita memanjatkan rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kita masih dipertemukan untuk
bersama-sama hadir pada acara SEMINAR MATERIAL METALURGI 2010 dengan tema
“Peran Penelitian Material Metalurgi untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumberdaya Mineral
Indonesia”

Bapak/Ibu para peserta seminar yang saya hormati,


Isu sentral yang semakin mendapat perhatian dunia saat ini selain Pemanasan Global
dan Perubahan iklim adalah penurunan kualitas lingkungan hidup. Isu ini mulai masuk ke
ranah publik ketika kekhawatiran akan semakin memburuknya kualitas lingkungan di sekitar
kita menghantui kita semua. Itu semua tentu sedikit banyak berkaitan dengan penggunaan
material berbasis bahan bahan tambang, yang merupakan ilmu kita geluti bersama.

Bapak ibu sekalian,


Metalurgi adalah ilmu yang sama tuanya dengan peradaban manusia, yaitu ketika
manusia mulai mengenal logam sejak ribuan tahun yang silam. Sejalan dengan gelombang
peradaban manusia yang semakin maju yang ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, metalurgi atau material metalurgi juga ikut berkembang. Kemajuan dalam bidang
CIT di dalamnya tak lepas dari material berbasis bahan tambang dan metalurgi. Komponen-
komponen mobil-phone yang ada di saku kita tak terlepas dari material maju yang tentu saja
di dalamnya ada unsur metalurgi. Pertanyaannya, dalam kemajuan yang tersimpan di saku
kita itu, kita berada dimana? Seberapa jauh jarak kita dengan benda yang kita simpan dalam
saku kita itu? Ini pertanyaan yang tentu sangat menggelisahkan atau bisa jadi kita tidak peduli
dengan pertanyaan tersebut.

Kita patut bersyukur atas karunia Allah yang telah menempatkan kita di bumi yang
memiliki kekayaan sumberdaya mineral yang beraneka ragam yang dapat dimanfaatkan
sepenuhnya bagi kebutuhan hajat hidup manusia umumnya dan bangsa Indonesia khususnya.
Seminar Material Metalurgi 2010

Bangsa Indonesia menyadari sepenuhnya akan kekayaan alam ini dan hal yang berkaitan
dengan itu semua diimplementasikan dalam bentuk UU Minerba No. 4 Tahun 2009, yang
mengamanahkan peningkatan nilai tambah sumberdaya mineral Indonesia, dimana di
dalamnya tentu telah mempertimbangkan keharusan manusia menjaga alam dari kerusakan.
Tantangannya tentu saja adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan sumberdaya mineral
Indonesia dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Disinilah peran para peneliti,
insinyur, maupun praktisi sangat dibutuhkan.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | vii
Para peserta Seminar Metalurgi yth,
Pada dasarnya pada tahun 2010 ini, yang merupakan tahun I dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ke II 2010-2014, Pemerintah telah
menetapkan 11 Prioritas Nasional yang mencakup antara lain pendidikan, kesehatan
ketahanan pangan, energi, dan lingkungan hidup dan penanggulangan bencana. Lembaga Ilmu
Pengatahuan Indonesia (LIPI) sebagai lembaga penelitian yang fungsinya melaksanakan
pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang ilmu pengetahuan, diharapkan
berperan dalam 4 bidang prioritas, yaitu :
 Ketahanan pangan,
 Energi,
 Lingkungan hidup dan penanggulangan bencana,
 Kebudayaan, kreativitas, dan innovasi teknologi.

Hadirin yang berbahagia,


Saya ingin mengingatkan kembali tentang arah kebijakan di bidang Iptek dalam
RPJMN 2010-2014 yang ditujukan untuk:
 Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan litbang dan lembaga pendukung
untuk mendukung proses transfer ide – prototip laboratorium – prototip industri –
produk nasional (penguatan SIN)
 Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas sumberdaya iptek – produktifitas litbang yang
berdayaguna bagi sektor produksi – budaya inovasi/kreativitas nasional
 Mengembangkan dan memperkuat jejaring kelembagaan baik peneliti di lingkup
nasional maupun internasional – produktivitas litbang dan pendayagunaan litbang
nasional
 Meningkatkan kreativitas dan produktivitas litbang untuk ketersediaan teknologi yang
dibutuhkan oleh industri dan masyarakat serta menumbuhkan budaya kreativitas
masyarakat.
 Meningkatkan pendayagunaan iptek dalam sektor produksi – perekonomian nasional
dan penghargaan terhadap iptek dalam negeri

Sedangkan prioritas pebangunan iptek diarahkan pada: Penguatan Sistem Inovasi


Nasional dan Peningkatan Penelitian Pengembangan dan Penerapan Iptek yang terdiri dari 10
fokus yang antara lain salah satunya adalah pengembangan teknologi material industri dan
material maju. Adapun sasaran yang telah ditetapkan adalah untuk 1). Meningkatkan
kemampuan nasional dalam dalam penelitian, pengembangan dan penerapan iptek dalam
bentuk publikasi, paten, prototip, layanan teknologi, dan wirausahawan teknologi, dan 2).
Meningkatkan relevansi kegiatan riset dengan persoalan dan kebutuhan riil yang dibarengi
dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan iptek. Jadi ukurannya jelas, berapa produk
ilmiah yang kita hasilkan, apakah yang kita hasilkan menjawab persoalan riil masyarakat, dan
sejauh mana kesadaran masyarakat akan iptek meningkat (knowledge based society). Itu yang
akan dipakai untuk mengukur sejauh mana kita berhasil dalam kegiatan penelitian kita.
Seminar Material Metalurgi 2010

Para peserta Seminar yang terpelajar


Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi umat manusia dewasa ini tidak
terlepas dari arti pentingnya pengembangan material. Urgensi dan perkembangan sains dan
teknologi material secara global sangat bervariasi dari satu negara ke negara lainnya, baik dari
aspek pendidikan, riset dan pengembangan, maupun industrialisasi/komersialisasi, yang
diarahkan untuk peningkatan daya saing bangsa itu sendiri. Adapun perkembangan material
maju dewasa ini tidak terlepas dari interaksi dengan nanoteknologi. Diprediksi bahwa dalam
rentang dasawarsa 2010–2020, laju aplikasi nanoteknologi secara global di dunia industri
akan meningkat secara signifikan. Nanoteknologi dapat menjadi sarana penunjang
penguasaan dan pengembangan teknologi material. Lantas di mana posisi kita? Saat ini di

viii |  ISSN : 2085 – 0492


Indonesia ada sekitar 20 pengguna nanoteknologi yang semua material dan teknologinya
masih bergantung dari luar negeri.

Lantas seperti saya tekankan pada awal pidato saya tentang isu perubahan iklim dan
pelestarian lingkungan yang merupakan salah satu butir penekanan Millennium Development
Goals (MDGs) mau tak mau akan menjadi konstrain kita dalam pengembangan material
industri dan material maju yang pada gilirannya mengarahkan kita pada pengembangan
material yang bersifat bio-degradable atau eco-friendly materials. Hal lain yang perlu
mendapat perhatian adalah pengembangan material sensor yang mampu mendeteksi zat-zat
yang secara kuantitas maupun kualitas bersifat deterioratif baik terhadap kesehatan manusia
maupun lingkungan. Material sensor dan material struktur juga dapat dikembangkan untuk
membantu mengantisipasi atau meminimalisir efek bencana alam seperti gempa bumi. Jelas
kita tak bisa lepas dari pengembangan material maju. Oleh sebab itu LIPI dan tentu saja harus
bekerjasama dengan dunia pendidikan dan industri telah bertekat untuk ikut mengembangkan
material industri dan material maju, mengingat kita memiliki keunggulan komparatif berupa
kekayaan sumberdaya alam yang berlimpah, potensi pasar dalam negeri yang sangat besar
dengan memperhatikan jumlah penduduk serta letak geografis, kesadaran untuk mandiri dan
keinginan untuk mampu bersaing di dunia yang diwarnai persaingan global.

Hadirin yang berbahagia,


Masih banyak lagi tantangan atau permasalahan ke depan yang harus dipecahkan. Ini
tidak bisa kita jawab sekedar dengan retorika. Kita butuh kerja keras, ketekunan, kerjasama
dan konsisten dalam melaksanakan program kita.

Sebagai bagian proses pengembangan budaya masyarakat Indonesia yang berbasis


pengetahuan (knowledge based society), sudah sepatutnya kita menempatkan diri di depan
melalui kegiatan riset dan pengembangan. Kita sadari alasan klasik bahwa dana riset yang
kecil seringkali membelenggu kita sehingga kita seperti tidak mampu bergerak. Itu benar,
tetapi bukan alasan untuk tidak berbuat sesuatu. Kerjasama semakin terbuka, dan itu adalah
peluang, yang tentu saja harus dibarengi kesadaran bahwa kita tidak berfungsi sebagai
pendamping tetapi harus aktif ambil bagian dalam kerjasama tersebut.

Hadirin yang saya hormati,.


Puslit Metalurgi sebagai institusi ilmiah pada tingkat Nasional sudah selayaknya dapat
memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan kehidupan bangsa. Arah dan
kegiatan penelitian harus lebih terfokus pengembangan material industri dan material maju
melalui kerja sama antar institusí atau lembaga terkait baik secara nasional maupun
internasional. Oleh karena itu diharapkan Peran Penelitian Material Metalurgi dapat lebih
ditingkatkan lagi karena ke depan sebagai institusi Litbang harus merangkul para pelaku
industri dalam memecahkan masalah peningkatan produktivitas mereka untuk menuju
keunggulan kompetitif, bukan semata hanya mengandalkan sumberdaya alam semata akan
tetapi harus menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang saat ini input teknologi kita
Seminar Material Metalurgi 2010

baru 5,6 % dari GDP. Kementerian Ristek ke depan dalam program insentifnya akan lebih
menekankan kembali keharusan kegiatan tersebut mengharuskan menggandeng industri
sebagai mitra dalam berkegiatan, sehingga akan meningkatkan manfaat penelitian
berdasarkan kebutuhan industri.

Mengakhiri sambutan ini, saya berharap kiranya Seminar Material Metalurgi 2010 hari
ini dapat menghasilkan ide-ide konstruktif untuk membangun program pengembangan
penelitian dan kepakaran metalurgi berbasis pada SDM yang kompeten dan profesional dalam
rangka penguatan daya saing bangsa. Selamat berdiskusi, semoga Tuhan Yang Maha Esa
senantiasa memberikan bimbingan kepada kita semua, Amin.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | ix
Akhir kata dengan memohon ridho Allah SWT, dengan mengucapkan Bismillaahir
Rahmaanir Rohiim dengan ini saya nyatakan Seminar Material Metalurgi 2010 dengan tema
“Peran Penelitian Material Metalurgi untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumberdaya Mineral
Indonesia” dibuka secara resmi.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Serpong, 13 Oktober 2010

Prof. Dr. Ir. Hery Harjono


Deputi Kepala Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI
Seminar Material Metalurgi 2010

x   | ISSN : 2085 – 0492


DAFTAR ISI

Halaman Depan

Kata Pengantar

Susunan Panitia Seminar Material Metalurgi 2010

Laporan Ketua Panitia Pelaksana Seminar Material Metalurgi 2010

Daftar Isi

Presentasi Keynote Speaker

Ir. Dede I Suhendra, M.Sc. 1


Prof. Akihiko Chiba 5
Prof. Dr. Ir. Syoni Soepriyanto 9

Presentasi Industri

Ir. Tatto Miraza 13


Ir. Purwoko 17
Ir. Kamal Rasyid 21

Makalah Presentasi

Agus Edy Pramono 37


Karakterisasi Sifat Kuat Tekan dan Kekerasan Material Komposit Karbon Berbasis
Limbah Organik

Adil Jamali 53
Beneficiation of Low Grade Manganese Ores

Etty Marti Wigayati 65


Penurunan Kandungan Fe pada Feldspar Lodoyo dan Cina

Basso D. Makahanap 71
Influence of Particle Size on Reduction Kinetics of Lateritic Iron Ore

Mardiyanto 77
Optimization of BT Piezoelectric Material Synthesis and Its Characterization
Seminar Material Metalurgi 2010

Deddy Sufiandi 85
Pengaruh Perlakuan Bahan Baku Terhadap Reaksi Slaking Pada Limestone dari
Rumpin, Bogor

Dani Gustaman Syarif 91


Fabrikasi Keramik Elektrolit Padat 8YSZ dari Zirkon Lokal Menggunakan Metode Sol
Gel

Erlina Yustanti 97
Pembuatan Besi Spons dengan Pemanfaatan Limbah Scale Hasil Scarfing of Slab

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | xi
Adid Andin Hermansyah 107
Analisa Kegagalan Bocornya Tube Production Cooler D-200 IN ZEP

Akhmad Herman Yuwono 117


Fabrikasi Nanorod Seng Oksida (ZnO) Menggunakan Metodel Sol Gel dengan Variasi
Konsentrasi Poolyethylene Glycol dan Waktu tunda Evaporasi Amonia

Efendi Mabruri 125


Fabrikasi Kawat Shape Memory Alloy Ni-Ti Skala Laboratorium

M. Rosyid Ridlo 133


Sintesis Serbuk Nano PZT Menggunakan Metoda Sol Gel Termodifikasi

Syahfandi Ahda 137


Sintesa dan Karakterisasi Bahan Piezoelektrik BNT-MnO2 dengan Menggunakan
Metoda Solid State Reaction

Solihin 145
Pembuatan Ultra Fine Grain Tembaga

Umiatin 149
Pengaruh Milling dan Waktu Pemanasan terhadap Pembentukan Fasa Boron Karbida
(B4C) melalui Metode Sol Gel

Widyastuti 155
Synthesis Nanocrystalline Fe3O4 by Co-Precipitation

Makalah Poster

Anggoro Budi Susilo 161


Pengaruh Solusi Perlakuan Panas Dan Proses Artificial Aging Terhadap Struktur
Mikro Dan Sifat Mekanik Paduan Aluminium 2024

Bambang Herlambang 167


 Karakterisasi Optik Lapisan Tipis Aluminium dengan Refleksi 50% sebagai Beam
Splitter untuk Teleskop
 Pengkajian Lapisan Antirefleksi Tunggal Magnesium Florida (MgF2) pada
Substrate Gelas BK7

Cahya Sutowo 183


 Komponen Piston Kendaraan Bermotor Hasil Proses Tempa (Piston Forging)
 Prototipe Bilet Aluminium Untuk Aplikasi Bahan Baku Komponen Otomotif Metode
Tempa

David Chandra B 201


Pengaruh Penambahan Limbah Plastik sebagai Campuran dalam Pembuatan Briket
Seminar Material Metalurgi 2010

Batubara

Deddy Sufiandi 209


Ekstraksi Logam Tembaga Dari Konsentrat Bijih Chalcopyrite Menggunakan Ferri
Sulfat Dalam Media Asam Sulfat

Djoko Hadi Prajitno 215


Sintesis dan Karakterisasi Paduan Terner Zr-Nb-γ

Dwi Bayuwati 221


Karakterisasi Struktur & Sifat Optis dari Lapisan Tipis Oksida Bismuth (Bi2O3)

xii |  ISSN : 2085 – 0492


Edi Herianto 229
 Sponge Iron Alternatif Produk Pengolahan Pasir Besi di Indonesia
 Teknologi Baru dalam Pengolahan Nikel Kadar Rendah Menggunakan Heap Leach
Process

Erik Prasetiyo 245


The Viability of In Situ Gold Phytoextraction in Indonesia deposit Geochemistry
Perspective

Efendi Mabruri 255


Kombinasi Pelapisan Krom dan nitriding suhu tinggi pada martensit SS AISI 420

Etty Marti Wigayati 261


Pembuatan Keramik Berpori Berbasis Zeolit

Euis Sustini 269


Pengaruh Temperatur Anneling Pada Nilai Resistansi Spesifik Rc Struktur MSM pGaSb
Sebagai Bahan Fotodetektor IR.

Hafid 273
Pembuatan Produk Cor Substitusi Import dengan Metode Lost Wax Process

Iwan Setiawan 283


Ekstraksi Tembaga dari Pcb (Printed Circuit Board)

Jan Setiawan 289


Komparasi Fasa dan Kekerasan Mikro Lapisan Borida pada Baja ST37 dan S45C

Kosasih 297
Pengaruh Komposisi Bahan terhadap Sifat Hard Magnet dari Bahan Barium Ferit
untuk Magnet Loudspeaker

Muhammad Amin 309


Proses Produksi Peleburan Bijih Besi pada Tanur Tiup (Blast Furnace) menjadi
Produk Pig Iron di Lampung

M. Yunus 319
Pengaruh Variasi Arus Las Cane Cutter Menggunakan Elektroda Azucar 100 terhadap
Sifat Mekanik Baja Karbon Rendah

Melya Dyanasari Sebayang 333


Pengaruh Perlakuan Panas terhadap Kabel Listrik NYM

Pius Sebleku 351


 Proses Peningkatan Kekuatan dan Kekerasan Permukaan Logam dengan Metoda
Seminar Material Metalurgi 2010

Elektroplating
 Pengaruh Media Queenching Pada Baja ASTM A 36 Terhadap Sifat Mekanik Dan
Struktur Mikro

Puguh Prasetyo 371


 Masalah Kandungan Silikat (SiO2) Pada Bijih Nikel Laterit Kadar Rendah
Halmahera Apabila Diproses Dengan HPAL
 Studi Kritis Atas Proses Caron Untuk Mengolah Bijih Nikel Laterit Kadar Rendah

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | xiii
Saefudin 391
 Cacat Getas pada Pembuatan Pelat Tipis dengan Proses Rapid Solidifikasi Twin
Roll dari Material Aluminium Paduan
 Pembuatan Pelat Tipis dengan Proses Rapid Solidification Twin Roll Dengan
Material Pewter, Aluminium dan Aluminium Paduan
 Pembuatan Pelat Tipis dari Bahan Aluminium dengan Proses Rapid Solidification
Twin Roll

Solihin 423
 A Soft Process For Tungsten Extraction From Scheelite Mineral
 Pembuatan Biokeramik Hydroxyapatite

Sutarno 433
Pengukuran Tegangan Sisa Tekan Satuation Shot Peening Dengan Difraksi Sinar X

Yuly Kusumawati 445


Pengukuran Kandungan Mineral dalam Batubara yang Berasal dari Kalimantan
Menggunakan Spektrofotometri X-Ray Fluoresensi

Edi Herianto 449


Perekayasaan Peralatan Pengolahan Mineral Logam di Indonesia

Erfan Handoko 455


 Sintesis Serbuk Material Magnet Hibrida Nd2Fe14B and Sm2Co17 Berstruktur
Nanometer Melalui Metode Co-Milling
 Struktur dan Sifat Kemagnetan Serbuk Material Magnet Hibrida
BaFe12O19/Nd2Fe14B

Fika Rofiek Mufakhir 465


Rancang Bangun Converter Furnace Kapasitas 250 Kg

Harsisto 473
Pengaruh Limpasan Air Dan Lumpur Tsunami Pada Sifat Korosifitas Lingkungan Jejak
Tsunami di Daratan Banda Aceh

Heru Santoso 477


Pengaruh Penambahan Kompatibilizer PP-g-MA terhadap Sifat Mekanik Pembuatan
Blending Polimer PET/PP

M. Zainuri 485
Synthesis Nanocrystalline Barium Hexaferrite by Co-Precipitation

Prantasi Harmi Tjahjanti 491


Analisa Laju Korosi (Corrosion Rate) pada Bahan Komposit ber-Matrix Aluminium
dengan Reinforcement Bahan Keramik Silikon Karbida (SiC)
Seminar Material Metalurgi 2010

Sasi Kirono 501


Perilaku Kelelahan Komponen Katup Mesin

Diskusi dan Tanya Jawab 509

xiv |  ISSN : 2085 – 0492


PENINGKATAN NILAI TAMBAH PERTAMBANGAN

Ir. Dede I Suhendra, M.Sc.


Direktorat Teknik dan Lingkungan Minerbapabum
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 1
Seminar Material Metalurgi 2010

2   | ISSN : 2085 – 0492


Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 3
Seminar Material Metalurgi 2010

4   | ISSN : 2085 – 0492


GRAIN REFINEMENT OF Co-Cr-Mo ALLOYS FOR BIOMEDICAL
APPLICATIONS USING HOT-DEFORMATION PROCESSING

Prof. Akihiko Chiba


Institute for Materials Research, Tohoku University, Sendai
980-8577, Japan

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 5
Seminar Material Metalurgi 2010

6   | ISSN : 2085 – 0492


Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 7
Seminar Material Metalurgi 2010

8   | ISSN : 2085 – 0492


PERAN PRODUK OKSIDA LOGAM TANAH JARANG PADA
PENGEMBANGAN FUNGSI BERBAGAI MATERIAL MAJU

Prof. Syoni Soepriyanto, PhD.


Teknik Metalurgi – ITB

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 9
Seminar Material Metalurgi 2010

10 |  ISSN : 2085 – 0492


Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 11
Seminar Material Metalurgi 2010

12 |  ISSN : 2085 – 0492


PERAN PT ANTAM Tbk YANG DAPAT MENINGKATKAN
NILAI TAMBAH SUMBER DAYA MINERAL DI INDONESIA

Ir. Tatto Miraza, Ir. Tjandra Djuliswar


PT. Aneka Tambang (ANTAM)

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 13
Seminar Material Metalurgi 2010

14 |  ISSN : 2085 – 0492


Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 15
Seminar Material Metalurgi 2010

16 |  ISSN : 2085 – 0492


PERAN PT ANTAM Tbk YANG DAPAT MENINGKATKAN
NILAI TAMBAH SUMBER DAYA MINERAL DI INDONESIA

Ir. Purwoko
PT. Timah Industri

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 17
Seminar Material Metalurgi 2010

18 |  ISSN : 2085 – 0492


Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 19
Seminar Material Metalurgi 2010

20 |  ISSN : 2085 – 0492


NILAI TAMBAH MINERAL DI INDUTRI KERAMIK

Kamal Rasyid, ST
FM PT. ITASMALTINDO INDUSTRY

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 21
Seminar Material Metalurgi 2010

22 |  ISSN : 2085 – 0492


Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 23
Seminar Material Metalurgi 2010

24 |  ISSN : 2085 – 0492


Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 25
Seminar Material Metalurgi 2010

26 |  ISSN : 2085 – 0492


Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 27
Seminar Material Metalurgi 2010

28 |  ISSN : 2085 – 0492


Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 29
Seminar Material Metalurgi 2010

30 |  ISSN : 2085 – 0492


Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 31
Seminar Material Metalurgi 2010

32 |  ISSN : 2085 – 0492


Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 33
Seminar Material Metalurgi 2010

34 |  ISSN : 2085 – 0492


Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 35
Seminar Material Metalurgi 2010

36 |  ISSN : 2085 – 0492


KARAKTERISASI SIFAT KUAT TEKAN DAN KEKERASAN
MATERIAL KOMPOSIT KARBON KARBON
BERBASIS LIMBAH ORGANIC

Agus Edy Pramono 1&2; Anne Zulfia2; Johny Wahyuadi M. S.2


1: Staf Pengajar Teknik Mesin Politeknik Negeri Jakarta, Kampus Baru UI, Depok 16425
2: Dept. Teknik Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI, Depok 16424
email : aepram@yahoo.com
 
 
Abstrak
Penelitian ini adalah karakterisasi sifat kuat tekan dan kekerasan material komposit karbon karbon
berbasis limbah organik dengan memanfaatan karbon limbah organik tempurung kelapa, dan limbah batubara
sebagai partikel penguat dengan matrik perekat coal tar pitch.
Penelitian dimulai dengan mengkarbonisasi limbah tempurung kelapa, dan partikel limbah batubara,
melalui tungku vakum. Proses karbonisasi limbah organik batok kelapa menghasilkan karbon 99,27%C, Batu
bara 72,31% C, coal tar pitch sebagai matrik perekat mengandung karbon 84%.
Hasil karbonisasi digiling mesin ballmilling sampai mencapai mesh < 325, diayak siever mesh 325.
Selanjutnya partikel karbon dari tiap jenis bahan dicampur coal tar pitch dengan ratio 70 : 30% bobot, dalam
pencampuran panas >80°C. Campuran dipadatkan dingin dengan tekanan 640 bar dalam cetakan,
menghasilkan preform dengan ukuran + 40 x 10 [mm], bobot 25 [gram]. Preform selanjutnya di curing dalam
tungku vakum kontinyu dengan temperatur bervariasi dari 200 s/d 500°C, ditahan pada temperatur tersebut
selama 15 menit.
Observasi penelitian ini telah menguji sifat mekanik kuat tekan, kekerasan dan sifat fisik densitas dan
porositas komposit karbon karbon akibat proses pemadatan dan curing vakum dengan variasi temperature 200
s/d 700°C, menghasilkan kuat tekan maksimum 11,68 [N/mm2] dan kekerasan BHN 811,49. Kuat tekan dan
kekerasan komposit ini dipengaruhi oleh porositas yang nilai maksimumnya 35,74% dan densitas yang rendah
1,06 [gram/cm3].

Kata kunci: limbah organik, partikel karbon, komposit karbon karbon.

Abstract
The study is an engineering and characterization of carbon-carbon composite materials based on
carbon utilization of organic waste of organic waste coconut husks and coal waste particles as the enforcement
particles with the adhesive matrix of coal tar pitch.
The study was begun with carbonizing the coconut shell waste and coal powder waste, through vacuum
furnace. The process of carbonization of organic waste coconut shell produces 99.27% carbon, coal produces
72.31%C, coal tar pitch as adhesive matrix contains 84% carbon.
The results of carbonization was milled by ball milling machine to achieve mesh <325, sieved in 325
mesh. Furthermore, carbon particles of each type of material was mixed with coal tar pitch with ratio of 70:
30% weight, in the heat of mixing > 80°C. The mixture was compacted in cold at a pressure of 640 bar in the
mold, resulting preform with a size + 40x 10 [mm], weight 25 [grams]. The Preform was cured in the
continuous vacuum furnace with temperatures varying from 200 until 500°C, hold at this temperature for 15
minutes.
Observations of this study was to test the mechanical properties of compressive strength, hardness and
physical properties of density and porosity of carbon-carbon composites due to compaction and curing vacuum
process with temperature variation of 200 until 700°C, produced a maximum compressive strength of 11.68
[N/mm2] and hardness BHN 811.49. Compressive strength and hardness of composites is influenced by the
Seminar Material Metalurgi 2010

porosity of the maximum value of 35.74% and a low density of 1.06 [gram/cm3].

Keywords: organic wastes, carbon particles, carbon-carbon composites.


 
I. PENDAHULUAN
Latar belakang
Perkembangan rekayasa, produksi maupun pemanfaatan material berbasis komposit di
Indo-nesia belum begitu popular. Bahan awal atau dasar dari material rekayasa ini adalah
karbon sebagai reinforcement particles yang di Indonesia sangat luas tersedia dari batubara
dan limbah organik, sejauh ini ketersediaan batubara di Indonesia berdasarkan data-data

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 37
produksi tambang batubara tahun 2003 total produksi mencapai 38768 Metrik ton. Bahan
karbon juga bisa dihasilkan dari limbah organik yang diolah menjadi karbon.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penelitian telah dilakukan berbasis bahan karbon
sebagai bahan penguat dalam carbon carbon composite, yang ditinjau dari sudut proses
dengan konsep penelitian sbb: ” karakterisasi sifat kuat tekan dan kekerasan material kompo-
sit karbon karbon berbasis limbah organik”

Kajian jurnal
Komposit yang dibuat dari carbon fabric (CF) yang dimodifikasi dengan oksidasi
anodik menunjukkan sifat mekanik dan tribologi yang terbaik, sifat aus dan gesekan dari
carbon fabric composites sangat tergantung pada temperatur lingkungan, sebut saja laju aus
komposit pada temperatur yang dinaikkan di atas 180°C adalah jauh lebih besar ketimbang
yang dibawah 180°C, yang ditandai dengan degradasi dan decomposisi dari resin perekat pada
temperatur yang ditingkatkan secara berlebihan. Lagi pula, komposit yang dibuat dari CF
yang dimodifikasi dengan oksidasi anodik mempunyai stabilitas termal yang lebih baik
dibandingkan dari CF yang tidak dimodifikasi. CF yang dimodifikasi kemudian digunakan
untuk persiapan carbon fabric composit melalui dip-coating dalam resin phenolic dan
mempunyai kandungan masa relative CF dalam CFC 65%. Feng-hua Su, dkk, 2005. [1].
Sebuah material komposit dibuat dari serat dalam berbagai arah dan polimer bersifat karbon
dan hidrokarbon sebagai matrik precursor, densitas dan sifatnya tergantung pada jenis dan
fraksi volume penguatnya, matrik precursor yang digunakan dan temperature heat treatment
akhir. Komposit dengan resin termoset sebagai matrik prescursor lolos densitas rendah (1,55 –
1,75 g/cm3) dan microporositas yang tersebar dengan baik, sementara itu komposit yang
dibuat dengan pitch sebagai matrik precursor, setelah densifikasi menunjukkan densitas (1,8 –
2,0 g/cm3) dengan beberapa mesopores dan komposit yang dibuat dengan teknik CVD
(chemical vapour deposition) dengan gas hidrokarbon lolos densitas tingkat menengah dan
matrik dengan porositas yang rapat. Komposit berbasis resin menunjukkan kekuatan flexural
yang tinggi, ketangguhan yang rendah dan konduktifitas panas yang rendah. Manocha, L.M,
(2003). [2]. Sebuah komposit karbon karbon dikembangkan menggunakan teknik karbonisa-
si/impregnasi dengan PAN (Polyacrylonitrile) dan serat karbon berbasis pitch dari mikro-
struktur yang bervariasi sebagai penguat dan jenis pitch yang berbeda sebagai precursor
matrix. Komposit ini diperlakukan heat treatment akhir sampai 2500 sampai 2700°C. disini
ditemukan bahwa jenis serat dan keberadaan matrix dalam komposit mempengaruhi penye-
rapan panas spesifik dan konduktivitas energi panas. Pengaruh temperatur dari difusi termal,
panas spesifik, konduktifitas termal dan koefisien muai termal (CTE) telah dipelajari dan
dihubungkan dengan microstructur dari carbon carbon composite. Manocha, L.M, dkk,
(2006). [3]. Modulus dan kekuatan flexural meningkat ketika ratio masa dari non-woven cloth
terhadap jaringan serat pendek berubah dari 7:3 menjadi 6:4 dan bahwa serat karbon berbasis
PAN (Polyacrylonitrile) jenis non-woven cloth secara kuat mempengaruhi sifat flexural.
Kekuatan CCC non-woven cloth tidak linier dengan kekuatan serat karbon non-woven cloth
karena interface utama antara serat karbon de-ngan matrix carbon. Ini sesuai untuk memilih
T300 atau T700 (PAN-based carbon fiber T700, T300 (from Toray, Japan), sebagai serat
karbon penguat untuk CCC dalam studi saat ini. Chen, T. F, dkk, (2003). [4] . Empat jenis
Seminar Material Metalurgi 2010

pitch (coal tar pitch perendam komersial, pitch yang ditiup udara, dan dua coal tar pitch yang
diperlakukan secara termal dan empat karbon granular (grafit, anthracite, petroleum coke dan
kokas untuk foundry) digunakan untuk mempesiapkan komposit karbon. Percampuran dengan
30% bobot pitch dan tekanan molding 80MPa dipilih dan digunakan untuk persiapan semua
komposit carbon. Sifat material hasil akhir selama karbonisasi mem-pengaruhi sifat akhir
CCC. Komposit yang diperoleh dari pitch komersial dan pitch yang ditiup udara yang
dikombinasi dengan anthracite dan kokas foundry yang dideformasi pada karbonisasi,
menggambarkan sebuah porositas yang tinggi dan sifat mekanik yang rendah. Material yang
diperoleh dari pitchs yang diperlakukan secara termal, kokas foundry dan anthracite adalah

38 |  ISSN : 2085 – 0492


 
salah satu dengan kekuatan tekan yang tinggi. Sifat gesekan dari material terutama ditetapkan
oleh jenis karbon granular yang digunakan. Blanco, C, dkk, (2000). [5]. Carbon fabric
composite yang diisi dengan partikel nano SiO2, nano TiO2, dan nano CaCO3, dipersiapkan
melalui dip-coating dari carbon fabric dalam sebuah resin phenolic yang me-ngandung
partikel untuk disatukan dan selanjutnya di-curing (dipanaskan). Ditemukan bahwa partikel
nano sebagai filler berkontribusi untuk memperbaiki secara signifikan sifat mekanik dan
ketahanan aus dari carbon fabric. Nano CaCO3 sebagai filler adalah paling efektif dalam
meningkatkan ketahanan aus, sementara nano SiO2 adalah paling efektif dalam meningkat-kan
kemampuan mengurangi gesekan dan sifat mekanik. Ini karena partikel nano sebagai filler
berkontribusi meningkatkan kekuatan rekatan antara carbon fabric dengan resin adhe-sive.
Feng-hua Sua, dkk, (2006). [6]. Berikut dijelaskan sifat mekanik dari komposit karbon-
karbon 4D (C – C 4D), yang dirancang untuk aeronautic dan utamanya cakram rem pada
pesawat udara berat. Material ini adalah sebuah komposit berlapis yang diperkuat dalam tiga
arah dalam bidang (-60°, 0°, 60°) dimana arah penguatan keempatnya adalah tegak lurus
terhadap ketiganya. Telah menentukan matrix yang searah dalam bidang terhadap mana per-
mukaan pengereman adalah sejajar, kita telah menentukan konstanta engineering dari sebuah
lapisan dasar dari asumsi dasar teori pelapisan klasik. Model ini dapat diidentifikasi dari uji
mekanik sederhana. Dagli, L, dkk, (2002). [7]. Komposit karbon karbon bidirec-tional
dikembangkan menggunakan teknik karbonisasi dan impregnasi tekanan tinggi dengan carbon
fabric berbasis PAN (Polyacrylo-nitrile) sebagai penguat dan coal tar dan pitch sintesis
sebagai matrix precursor. Sifat termofisik seperti konduktifitas termal dan panas spesifik
dievaluasi keduanya pada temperatur ruang dan antara 40 dan 300°C. Pengaruh temperatur
dari difusi termal, panas spesifik dan koduktivitas termal dipelajari dan dihu-bungkan dengan
struktur mikro komposit karbon karbon. Ditemukan bahwa panas spesifik dari komposit
karbon karbon menunjukkan peningkatan dengan temperatur dalam sebuah slope yang
terbalik dalam range temperatur 150 – 200°C. Mengikuti slope tersebut, meski-pun
konduktivitas termal menurun dengan tempe-ratur karena interaksi phonon yang mening-kat,
ini menunjukkan kerja reversible antara 150 – 200°C. Manocha, L.M, dkk, (2006). [8].
Lempengan grafit dimasukkan ketika memproduksi jalinan serat berlubang jarum yang
dihasilkan dengan tekanan dan panas (needle-punched felts). Dua langkah diadopsi untuk
memadatkan (densify) bentuk awal (perform) berpori, pertama melalui isothermal chemical
vapour infiltration (I-CVI) sampai sekitar 1,40 [g/cm3] dan kemudian melalui impregnasi
dengan resin phenolic dan karbonisasi sampai sekitar 1,75 [g/cm3]. Laju I-CVI ditentukan.
Struktur mikro dari matrix karbon pyrolitic yang diperoleh dari CCC ultimate diteliti dengan
polarized light microscopy (PLM) dan transmission electron microscopy (TEM). Hasilnya
menunjukkan bahwa laju densifikasi I-CVI sebagian besar diperkuat oleh pemasukan
lempengan grafit dalam needle-punched felts dan ketebalan dan jumlah lempengan grafit yang
dimasukkan memainkan peran besar dalam laju densifikasi selama memproduksi CCC. Chen,
T.F, dkk, (2005). [9]. Sebuah CCC berlapis 2.5 D dipelajari dalam penelitian ini. Pengukuran
densitas dibuat dengan metode non-destructive dan non-contact: X-ray tomo-graphy.
Hubungan antara sifat mekanik dan perubahannya yang dipengaruhi oleh oxidasi dari densitas
material ditentukan. Keseluruhannya, oksidasi menyebabkan pengurangan modulus awal.
Seminar Material Metalurgi 2010

Secara potensial, hasil yang diperoleh melalui uji mekanik destruktif pada specimen lab dan
melalui teknik X –ray tomography non-destructive pada suku cadang skala besar dapat
diletakkan bersama agar untuk memperkirakan, dalam cara non-destructive, sifat me-kanik
dalam beberapa lokasi dari suku cadang tersebut. Douarche, N, dkk, (2001). [10]. Studi
pemodelan komputasi dari formasi teksture dalam CCC berbasis serat karbon dan precursor
mesophase bersifat karbon dipelajari dalam penelitian ini. Jumlah dan jenis discli-nations
yang ditampilkan oleh matrix mesophase bersifat karbon ditunjukkan harus ditetap-kan oleh
elastisitas mesophase, energi interfacial mesophase serat karbon, ukuran serat, dan pengaturan
posisi dari serat. Simulasi memberikan pengalaman baru pada prinsip dasar yang menetapkan
nukliasi disclinations dan texturing, pada bagaimana mengontrol struktur kom-posit karbon

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 39
karbon melalui konsentrasi serat, penampang lintang serat, dan interaksi matrix dan serat.
Gupta, G, dkk, (2005). [11]. Komposit karbon phenolic digunakan dalam bagian nozzle dari
motor rocket padat karena ketahanan panasnya, karakteristik kekuatan dan ablatevenya, yang
diperlukan untuk mengalami tekanan dan temperature tinggi dari gas pembakaran yang lewat
melalui nozzle. Tetapi struktur axisimetric tebal dari nozzle komposit menciptakan tegangan
sisa termal tinggi karena perbedaan koefisien ekspansi termal (CTE) yang besar, antara
bidang dalam dan bidang luar. Dalam kerja ini untuk mengurangi CTE dari sisi ketebalan dan
isi rongga, sebuah pemadatan (compression) dalam arah ketebalan diterap-kan terhadap
preimpregnation (pre-preg) kmposit melalui jig kompresi selama manufaktur komposit untuk
menambahkan tekanan autoclave yang rendah. CTE dari sisi ketebalan yang berubah secara
drastic dengan keterkaitan terhadap jumlah kompaksi, dan kandungan rongga dari lapisan
komposit fabric carbon /phenolic menunjukkan karakteristik yang berbeda dari lapisan fabric
biasa dengan keterkaitan terhadap tekanan auto-clave dan tekanan jig. Kim, J. W, dkk, (2004).
[12]. Paper ini menampilkan sifat tribologi dan sifat mekanik dari CCC 2D yang difabrikasi
melalui proses Pulse Chemical Vapor Infiltration (PCVI). Dalam proses tersebut, variasi
temperature fabrikasi dan tekanan reaktan yang berbeda diangkat untuk dite-liti pengaruh
kondisi proses pada sifat fisik, microstructur dan sifat mekanik. Dalam proses densifikasi
melalui PCVI, waktu penahanan dan jumlah pulsa adalah dua parameter yang signifikan
mempengaruhi sifat fisik (seperti densitas, porositas, dan tambahan bobot) dan sifat mekanik (
kekuatan interlaminar dan sifat aus). Ditemukan bahwa sifat aus dari dari CCC dapat
diperbaiki setelah densifikasi melalui 1000 pulse. TAI, N. H, dkk, (2002). [13]. Rekomendasi
praktis diusulkan untuk menciptakan struktur terpadu dari material refractory baru untuk
proses temperature tinggi dengan sebuah pembatasan temperatur operasi dari lapisan
pelindung carbide yang melebihi temperatur operasi dalam udara untuk material struktur
grafit sekitar lebih dari 1000°C. Studi eksperimental diujudkan pada 16 unit reactor yang
dipersiapkan untuk proses kimia temperatur tinggi dengan tekanan absolut di dalam reactor
0,3 MPa dan temperatur operasi 900OC. Kravetskii, G. A, dkk, (2007).[14]

State of the Art


Berdasarkan pengkajian terhadap jurnal-jurnal penelitian tentang komposit CCC yang
telah banyak dilakukan peneliti lain, belum ada penelitian tentang komposit CCC yang
berbasis bahan karbon partikel dari limbah organik dengan matrik coal tar pitch dalam proses
pemanasan variasi suhu rendah. Untuk itulah maka dalam penelitian ini telah diteliti mengenai
rekayasa komposit CCC dengan matrik thermosetting (coal tar pitch) dengan konsep: ”
Karakterisasi sifat kuat tekan dan kekerasan material komposit karbon karbon berbasis limbah
organik.”

II. PROSEDUR PERCOBAAN


Sebagai penguat komposit digunakan limbah organik dalam bentuk partikel partikel
dari bahan tempurung kelapa dan partikel limbah batubara. Sebagai matrik perekat digunakan
limbah coal tar pitch.
Penelitian ini dilakukan secara eksperimental dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Memproduksi karbon dari limbah organik tempurung kelapa dan partikel limbah
Seminar Material Metalurgi 2010

batubara. Proses ini dilakukan dengan teknologi vacuum furnace hasil rancang bangun
sendiri.
2. Hasil produksi karbon dilakukan karakterisasi dengan carbon analyzer untuk mengeta-
hui prosentase kandungan karbon dari masing limbah tersebut. Karakterisasi dilaku-
kan di Puslitbang TEKMIRA, Bandung dengan alat LECO CHN-2000. Disamping uji
kandungan karbon, hasil karbonisasi juga diuji dengan alat Thermogravimetri Analy-
zer (TGA).

40 |  ISSN : 2085 – 0492


 
 
Gambar 1. Tahapan penelitian pertama

3. Hasil produksi karbon selanjutnya digiling dengan discmill dan ballmill sampai men-
capai tingkat partikelan dengan ukuran mesh 325 atau lebih. Proses penggilingan dila-
kukan di laboratorium F-MIPA, UI. Selanjutnya proses sieving dilakukan di lab PNJ
dan lab DTMM, FT, UI.
4. Partikel partikel hasil sieving dengan mesh 325 atau lebih selanjutnya ditimbang untuk
mencapai proporsi 70% bobot partikel dan 30% bobot coal tar pitch. Dalam penim-
bangan ini bobot partikel sebesar 17,5 gram dan bobot coal tar pitch 7,5 gram.
5. Memanaskan coal tar pitch sampai mencair, selanjutnya ditaburkan partikel karbon
penguat untuk dicampurkan dengan cairan coal tar pitch.
6. Memadatkan campuran partikel dan matrik coal tar pitch dengan dikompaksi dalam
sebuah cetakan dan ditekan dengan mesin press hidrolik dengan beban 11 Uston (640
bar). Sampai bentuk dan dimensi green compack mencapai ketebalan + 10 [mm] dan
diameter 40 [mm].
7. Pyrolisasi green compact didalam ruang furnace kedap oksigen (teknik pyrolisis) de-
ngan flushing nitrogen. Pada proses ini dilakukan dengan variasi temperatur dari 200 –
700°C, sesuai data karakterisasi uji TGA.
8. Pengujian sifat fisik dan mekanik padatan hasil pyrolisis. Pada tahap ini spesimen
kompaksi pyrolisis diuji kekuatan tekannya dengan mesin Universal Testing mesin
TARNO, di lab mesin PNJ.
Seminar Material Metalurgi 2010

9. Spesimen padatan dilakukan uji SEM untuk mengetahui topografi dari padatan spe-
simen hasil pyrolisis.
10. Padatan spesimen juga diuji porositas dan densitas, untuk mengetahui tingkat kepa-
datan dari spesimen hasil kompaksi dan pyrolisis.
11. Padatan spesimen diuji kekerasan dengan metode hardness Brinell.
12. Padatan spesimen diuji gesek untuk mengetahui tingkat keausan dari padatan hasil
kompaksi dan curing.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 41
III. HASIL PERCOBAAN dan PEMBAHASAN
1. Hasil uji laboratorium Carbon Analyzer
Karakterisasi kandungan karbon setiap bahan yang digunakan dalam penelitian
dilakukan melalui ultimate test di laboratorium TEKMIRA Bandung dan disertifikasi. Yang
hasilnya terlihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Hasil uji carbon analizer bahan percobaan


Kode Pemanasan Parameter analisis %
No Bahan
bahan (OC) Carbon Hydrogen Nitrogen Sulfur Oxygen Ash
1 Batok kelapa ABK 900 99,27 0,16 0,62 0,05 0 1,64
2 Batu bara BB limbah 72,31 3,39 1,36 1,70
3 Pitch batubara Pitch BB limbah 84,99 5,91 1,32 0,61 5,03 2,14

Tabel 1 menunjukkan bahwa jenis karbon yang akan digunakan dalam penelitian ini
sebagai partikel penguat dalam komposit mempunyai kandungan karbon rata-rata > 70%.
Kandungan karbon tertinggi diperoleh dari bahan tempurung kelapa yang dikarbonisasi
sampai 900°C, yang mengandung karbon sebesar 99,27%. Sementara sebagai bahan matrik
yang digunakan dalam pembuatan komposit karbon karbon ini adalah coal tarr pitch yang
mengandung karbon 84,99%.

2. Hasil uji TGA


Hasil pengujian dalam bentuk grafik yang merupakan hasil akuisisi data dari mesin uji
TGA dapat dilihat dalam Gambar 2.
ABK 900.tad Temp
TGA ABK 900.tad TGA Arang Batok Kelapa 900 atau ABK Carrier Air Temp
% C
100 900
850
90start 0.00min
800
34.74C
80end 11.00min
750
142.89C 700
70kehilangan Berat -0.834mg 650
-3.534% 600
60 550
500
50
450
40 400
350
30 start 11.00min
142.89C
300
250
20 end 86.73min
899.77C 200
10 kehilangan Berat -23.152mg 150
-98.098% 100
0 50
0
-4-2 0 2 4 6 8 1012141618202224262830323436384042444648505254565860626466687072747678808284868890
Time [min]

 
Gambar 2. Grafik hasil uji TGA arang batok kelapa

BATUBARA (BB)
TGA Carrier Air Temp
% C

100 start 0.00min 900


39.51C
90 end 11.00min 800
147.64C
80 kehilangan Berat -0.796mg
700
-2.096%
70
Seminar Material Metalurgi 2010

600
60
500
50

40 400

start 11.00min
30 300
147.64C
end 86.23min
20 200
899.77C
kehilangan Berat -36.586mg
10 -96.355% 100
0
0
-4 -2 0 2 4 6 8 1012141618202224262830323436384042444648505254565860626466687072747678808284868890
Time [min]

 
Gambar 3. Grafik hasil uji TGA batubara

42 |  ISSN : 2085 – 0492


 
Grafik Gambar 2 menunjukkan bahwa proses pembentukan karbon dari bahan
tempurung kelapa terjadi pada derajad 500°C, pada menit ke 48. Data ini menjadi dasar dari
proses curing green compact komposit untuk suhu maksimum dari bahan dasar karbon
tempurung kelapa dan coal tar pitch dengan kode ABK.
Grafik Gambar 3 menunjukkan bahwa bahan batubara mentah akan mengalami
karbonisasi pada suhu sekitar 580°C pada menit sekitar ke 53. Data ini menjadi dasar dari
proses curing green compact komposit untuk suhu maksimum dari bahan dasar partikel
batubara dan coal tar pitch atau dengan kode BB.

3. Pengujian Kuat Tekan Komposit


Pengujian kuat tekan dilakukan dengan mesin universal testing machine di lab Politeknik
Negeri Jakarta.

Gambar 4. Hubungan temperatur curing VS kuat tekan, komposit karbon karbon berbahan partikel batubara (BB)

Gambar 4 adalah hasil uji kuat tekan komposit berbahan partikel batubara dengan
matrik coal tar pitch, pada suhu curing 200; 300; 400; 500°C. Komposit mengalami kuat
tekan tinggi ketika diproses curing pada suhu 400°C, tetapi selanjutnya ketika temperatur
ditingkatkan kuat tekan justru mengalami penurunan. Jika dilihat kecenderungan grafiknya
maka semakin tinggi temperatur curing maka kuat tekan cenderung semakin turun.
Selanjutnya berikut ini adalah hasil uji kuat tekan komposit berbahan karbon
tempurung kelapa dengan matrik coal tar pitch, pada suhu curing 200; 300; 400; 500°C.

Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 5. Hubungan temperatur curing VS kuat tekan, komposit karbon karbon berbahan partikel arang batok
kelapa (ABK).

Grafik Gambar 5 menunjukkan kecenderungan yang sama dengan grafik Gambar 4


dari bahan partikel batubara, bahwa semakin tinggi temperatur curing cenderung
memperlemah kuat tekan komposit. Pada kasus perlakuan temperatur curing pada suhu yang
sama.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 43
Bila diperhatikan semua grafik yang ada semua bahan penguat komposit batubara dan
batok kelapa, mengalami kecenderung yang sama yaitu semakin temperatur ditingkatkan
maka kuat tekan cenderung menurun.
Penurunan kuat tekan ketika temperatur curing ditingkatkan awalnya disebabkan oleh
peristi-wa penguapan hidrokarbon matrik perekat sehingga membentuk rongga-rongga yang
mem-perlemah ikatan antar partikel penguat komposit, selanjutnya ketika pemanasan
berlanjut te-rus akan diikuti oleh pemuaian partikel penguat yang memuai mendorong keluar
sehingga spesimen komposit membesar, pemuaian ini akan memperlemah ikatan partikel.
Kejadian inilah yang menurunkan kuat tekan komposit secara keseluruhan.

4. Pengujian Kekerasan Komposit


Pada pengujian kekerasan ini hanya dilakukan terhadap komposit dengan bahan
penguat partikel batubara dan arang batok kelapa. Dengan pertimbangan masing-masing
komposit mengalami perlakuan temperatur curing yang sama, yaitu 200; 300; 400; 500°C.
Pengujian kekerasan komposit dilakukan dengan metode Brinell, dilakukan di laboratorium
pengujian bahan Politeknik Negeri Jakarta. Pengujian dilakukan dengan beban 250 [kg],
diameter indentor 5 [mm].
Gambar 6 menunjukkan hubungan temperatur proses curing terhadap kekerasan
komposit karbon karbon dengan bahan penguat partikel batubara. Gambar 10 menunjukkan
kecenderungan bahwa ketika temperatur curing ditingkatkan justru menyebabkan penurunan
nilai kekerasan dari komposit karbon karbon berbahan penguat partikel batubara. Hal ini
sebangun dengan kejadian pengujian kuat tekan komposit dari jenis bahan dan perlakuan
curing yang sama. Lihat dan bandingkan Gambar 4.

Gambar 6. Grafik hubungan temperatur curing VS BHN, komposit bahan partikel batubara atau BB.

Gambar 7 juga menunjukkan kecenderungan yang sama, penurunan kekerasan ketika


temperatur perlakuan curing ditingkatkan, untuk komposit karbon karbon dengan bahan
penguat dari arang batok kelapa. Peristiwa ini juga terjadi pada hasil pengujian kuat tekan
untuk bahan dan perlakuan curing yang sama, lihat dan bandingkan Gambar 5.
Gambar 8 juga menunjukkan kecenderungan penurunan kekerasan ketika temperatur
perlakuan curing ditingkatkan, untuk komposit karbon karbon dengan bahan penguat dari
Seminar Material Metalurgi 2010

partikel arang semikokas batubara yang dipanaskan ulang 1000°C.


Penurunan kekerasan dari komposit karbon karbon disebabkan oleh kejadian seperti
pada penurunan kuat tekan, yaitu akibat penguapan hidrokarbon yang membentuk
ronggarongga yang memicu retak sehingga melemahkan ikatan antar partikel, hal ini juga
menurunkan kekerasan komposit.

44 |  ISSN : 2085 – 0492


 
Gambar 7. Grafik hubungan temperatur curing VS BHN, komposit bahan arang batok kelapa atau ABK.

Gambar 8. Grafik hubungan temperatur curing VS BHN, komposit bahan semikokas reheating atau ABB

5. Pengujian Porositas Komposit


Pengujian ini dilakukan dengan Metode Archimides. Selanjutnya bila dilihat pada
grafik Gambar 9, untuk komposit dengan penguat arang batok kelapa, menunjukkan
prosentase porositas yang cenderung tinggi ketika proses perlakuan curing pada suhu 400°C.
Meskipun grafik menunjukkan kecenderungan menurun ketika suhu pada 500°C, tetapi ada
satu titik menunjukkan kecenderungan prosentase porositas yang meningkat, alias jumlah
pori-pori dalam komposit semakin banyak, bila suhu curing ditingkatkan.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 9. Grafik hubungan temperatur curing VS % porositas, komposit bahan arang batok kelapa atau ABK.

Porositas yang terjadi pada komposit karbon karbon umumnya disebabkan oleh
menguapnya cairan hidrokarbon yang terkandung dalam komposit ketika proses curing,
sehingga membentuk rongga-rongga pori dalam komposit.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 45
Pori dalam komposit ini terutama terbentuk pada matrik perekat dan melonggarkan
ikatan partikel. Sehingga hal ini memicu retakan dalam struktur komposit, yang selanjutnya
memperlemah kekuatan komposit.
Hasil uji porositas komposit karbon karbon dengan bahan penguat dari partikel
batubara atau BB dapat dilihat pada grafik Gambar 10. Gambar 10 menunjukkan bahwa
semakin tinggi temperatur proses curing akan menurunkan prosentase porositas, dalam hal ini
jumlah pori-pori yang terkandung dalam komposit semakin sedikit. Sehingga dengan kondisi
ini komposit tersebut semakin padat.

Gambar 10. Grafik hubungan temperatur curing VS % porositas, komposit bahan partikel batubara atau BB.
6. Pengujian Densitas Komposit
Hasil pengujian densitas untuk komposit karbon karbon dengan bahan penguat dari
arang batok kelapa dapat dilihat pada Gambar 11. Dalam gambar tersebut menunjukkan
kecenderungan bahwa semakin tinggi temperatus curing semakin meningkatkan densitas
komposit, artinya disini komposit semakin padat dengan jumlah pori yang semakin kecil,
terutama pada daerah temperatur curing antara 400 sampai 500°C. Hal ini memenuhi
pemahaman bahwa ketika densitas meningkat maka porositas seharusnya menurun.

 
Gambar 11. Grafik hubungan temperatur curing VS densitas, komposit bahan arang batok kelapa atau ABK.
Seminar Material Metalurgi 2010

Berikut ini adalah hasil uji densitas komposit dengan bahan penguat dari partikel
batubara atau BB, dapat dilihat pada Gambar 12 menunjukkan bahwa densitas meningkat
pada daerah temperatur curing dari 200 sampai sekitar 350°C. Sehingga pada tingkat
temperatur antara 200 sampai sekitar 350°C ini memenuhi pemahaman bahwa ketika densitas
meningkat maka porositas menurun, artinya bahan makin berat tetapi padat, tidak banyak
pori-pori di dalam komposit.
Secara umum peningkatan porositas dan sekaligus penurunan densitas dipengaruhi
oleh proses pemadatan ketika membentuk preform (green compact), proses pemanasan ketika

46 |  ISSN : 2085 – 0492


 
proses curing, distribusi ukuran partikel yang tidak homogen, proses pencampuran yang
kurang merata.

 
Gambar 12. Grafik hubungan temperatur curing VS densitas, komposit bahan partikel batubara atau BB.
7. Pengujian SEM
Data dalam Tabel 2 dapat dilihat bahwa ukuran partikel partikel rerata untuk ABK dari
9,88 sampai 13,838 [m]; hal ini menunjukkan bahwa ukuran partikel partkel lebih kecil dari
pada ukuran mesh yang digunakan untuk menyaring partikel yaitu mesh 325 yang setara
dengan 0,043 [mm] atau 43 [m]. Pada faktanya ukuran partikel partikel masih lebih kecil
dari ukuran mesh 400 yang setara dengan 0,038 sampai 0,033 [mm] atau 38 sampai 33 [m].
Jika dicermati angka-angka yang tercantum dalam tabel data tersebut menunjukkan bahwa
besar ukuran partikel partikel tidak seragam, tetapi secara teknis ukuran partikel partikel
maksimum adalah pada mesh 325 atau 0,043 [mm].
Tabel tersebut juga menunjukkan ukuran rongga atau pori yang nilai reratanya untuk
ABK dari 7,122 sampai 14,26 [m]. Jika dicermati angka tiap titik juga menunjukkan bahwa
ukuran rongga-rongga pori dari komposit tidak seragam, tetapi bervariasi. Secara teknis
proses curing juga mendorong terbentuknya partikel-partikel baru disamping partikel penguat
padat (presolid) yang disisipkan dalam komposit. Partikel karbon baru terbentuk oleh
menguapnya hidrokarbon dari matrik perekat coal tar pitch, sehingga meninggalkan sisa
deposit dalam bentuk partikel padat karbon yang bentuknya tidak beraturan, dan ukurannya
bisa jadi lebih kecil dari partikel partikel padat bahan penguat.
Akibat penguapan hidrokarbon dari matrik perekat coal tar pitch dan kemudian juga
mengendapnya sisa karbon dari penguapan akan meninggalkan jejak berupa rongga-rongga
pori dalam komposit karbon karbon.
Pembesaran ukuran partikel dibentuk oleh penambahan endapan karbon padat dari
matrik perekat coal tar pitch, sementara itu pembesaran ukuran rongga pori dibentuk oleh
proses penguapan hidrokarbon ketika proses curing kompsit. Disamping disebabkan oleh
kedua peristiwa tersebut, pembesaran ukuran keduanya juga disebabkan terjadinya pemuaian
dari komposit yang bersangkutan.
Seminar Material Metalurgi 2010

Tabel 2. Data kwantitatif hasil uji SEM bahan ABK.


BAHAN ABK
Suhu Ukuran Ukuran
Rerata Ukuran ST Rerata Ukuran ST
No curing partikel rongga
O partikel[µm] Dev rongga[µm] Dev
C [µm] [µm]
1 200 7,75 2,67
2 200 9,54 7,5
9,88 2,31 7,122 3,08
3 200 8 5,86
4 200 10,68 8,75

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 47
5 200 13,43 10,83
6 300 10,37 8,88
7 300 11,88 8,53
8 300 12 14,432 5,39 9,79 11,17 2,96
9 300 14,13 15,04
10 300 23,78 13,61
11 400 21,27 13,27
12 400 20,49 18,25
13 400 7,36 13,566 6,83 5,62 12,412 5,06
14 400 11 15,74
15 400 7,71 9,18
16 500 14,18 11,88
17 500 14,61 15,65
18 500 15,45 13,838 1,37 20,17 14,26 3,78
19 500 12,98 10,71
20 500 11,97 12,89

      
 

      
Gambar 13. Topografi hasil uji SEM komposit karbon karbon berbahan arang batok kelapa atau ABK.
Gambar 13 adalah bentuk topografi struktur mikro dari komposit karbon karbon
dengan bahan arang batok kelapa atau ABK. Dalam foto mikro menunjukkan bentuk partikel
yang tidak beraturan, yang ditandai dengan partikel kelabu dengan batas pinggiran putih
adalah partikel karbon penguat komposit. Sementara rongga-rongga pori dari komposit
ditandai dengan warna hitam gelap dengan batas yang tajam terhadap warna putih yang
Seminar Material Metalurgi 2010

adalah partikel penguat.


Dari data dalam Tabel 3 dapat juga dilihat bahwa ukuran partikel rerata untuk BB dari
15,422 sampai 15,444 [m]; hal ini menunjukkan bahwa ukuran partikel juga masih lebih
kecil dari pada ukuran mesh yang digunakan untuk menyaring partikel yaitu mesh 325 yang
setara dengan 0,043 [mm] atau 43 [m].

48 |  ISSN : 2085 – 0492


 
Tabel 3. Data kwantitatif hasil uji SEM bahan BB.
Bahan BB
Suhu
Ukuran RerataUkuran ST Ukuran RerataUkuran ST
No curing
O Partikel[µm] Partikel[µm] Dev Rongga[µm] Rongga [µm] Dev
C
1 200 12,89 10,73
2 200 14,43 16,23
3 200 14,14 15,422 3,59 8,29 10,438 4,82
4 200 21,76 13,31
5 200 13,89 3,63
6 300 11,5 7,73
7 300 10,64 5,6
8 300 8,88 10,66 1,10 8,07 7,228 1,57
9 300 11,64 5,6
10 300 10,64 9,14
11 400 18,91 8,52
12 400 16,56 22,74
13 400 11,09 14,586 3,32 9,49 13,288 5,91
14 400 11,55 15,39
15 400 14,82 10,3
16 500 19,75 6,4
17 500 12,02 13,87
18 500 17,06 15,444 3,53 10,26 9,584 2,84
19 500 16,83 9,6
20 500 11,56 7,79
 

      
 
Seminar Material Metalurgi 2010

      
Gambar 14. Topografi hasil uji SEM komposit karbon karbon berbahan partikel batubara atau BB.
Dalam Tabel 3 juga menunjukkan ukuran rongga atau pori yang nilai reratanya untuk
BB dari 10,438 sampai 9,584 [m]. Jika dicermati angka tiap titik juga menunjukkan bahwa
ukuran rongga-rongga pori dari komposit tidak seragam, tetapi bervariasi.
Pembesaran ukuran partikel dibentuk oleh penambahan endapan karbon padat dari
matrik perekat coal tar pitch, sementara itu pembesaran ukuran rongga pori dibentuk oleh

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 49
proses penguapan hidrokarbon ketika proses curing komposit. Disamping disebabkan oleh
kedua peristiwa tersebut, pembesaran ukuran keduanya juga disebabkan terjadinya pemuaian
dari komposit yang bersangkutan.
Gambar 14 adalah bentuk topografi struktur mikro dari komposit karbon krabon
dengan bahan partikel batubara atau BB. Dalam foto mikro menunjukkan bentuk partikel
yang tidak beraturan, yang ditandai dengan partikelan kelabu dengan batas pinggiran putih
adalah partikel karbon penguat komposit. Sementara rongga-rongga pori dari komposit
ditandai dengan warna hitam gelap dengan batas yang tajam terhadap warna putih yang
adalah partikel penguat.

IV. KESIMPULAN dan SARAN


1. Kesimpulan
a. Proses karbonisasi limbah organik batok (tempurung) kelapa menghasilkan karbon
99,27%, karbonisasi limbah batu bara menghasilkan 72,31%C, sedang coal tar pitch
sebagai matrik perekat mengandung karbon 84%C.
b. Komposit dengan bahan partikel batubara menghasilkan kuat tekan 11,68 [N/mm2]
pada suhu 400°C, dengan bahan ABK menghasilkan kuat tekan 8,41 [N/mm2] pada
suhu 400°C.
c. Komposit dengan bahan partikel arang batok kelapa (ABK) pada suhu curing 400°C,
menghasilkan maksimum BHN 811,49, dengan bahan BB menghasilkan maksimum
BHN 575,82 pada suhu 400°C.
d. Komposit dengan bahan ABK mengandung porositas terendah 4,53 % pada suhu
200°C, dengan bahan BB terendah 5,31% pada suhu 400°C.
e. Komposit dengan bahan ABK menghasilkan densitas maksimum 1,45 [gram/cm3]
pada suhu 400°C, dengan bahan BB maksimum 1,25 [gram/cm3], pada suhu 500°C.
f. Angka kekerasan Brinell tertinggi dihasilkan oleh komposit dengan bahan partikel
penguat dari jenis arang batok kelapa pada suhu curing 400°C, yaitu dengan BHN
811,49.

2. Saran
Semua penelitian eksprimental yang dilaksanakan diatas dilakukan dengan kompaksi
pemadatan tekan dingin (cold press), sehingga tingkat kepadatan, kuat tekan, dan
kekerasannya masih bisa ditingkatkan. Untuk itu pada penelitian selanjutnya sebaiknya dicoba
dilakukan dengan metode tekan panas dengan alat HIP (hot isostatic press), yang dilanjutkan
dengan proses curing.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Feng-hua Su, Zhao-zhu Zhang, Kun Wang, Wei Jiang, Wei-min Liu, “Tribological and
mechanical properties of the composites made of carbon fabrics modified with
various methods”, Part A 36: 1601–1607; Composites: 2005.
[2] MANOCHA, LALIT M. “High performance carbon-carbon composites ”, Sadhana,
Vol. 28, Parts 1 & 2, pp. 349–358., Department of Materials Science, Sardar Patel
University, Vallabh Vidyanagar, 388 120, India, © Printed in India; 2003.
Seminar Material Metalurgi 2010

[3] Manocha, L.M, Ashish Warrier, S. Manocha, D. Sathiyamoorthy, S. Banerjee,


,“Thermophysical properties of densified pitch based carbon/carbon materials - I.
Unidirectional composites”, 44: 480–487; Carbon; 2006.
[4] Chen, T. F , J. Liao, G. S. Liu, F. Zhang, Q.M. Gong, , “Effects of needle-punched felt
structure on the mechanical properties of carbon/carbon composites”, 41: 993–999;
Carbon; 2003.
[5] Blanco, C., R. Santamarıa, J. Bermejo, R. Menendez*, “Pitch-based carbon compo-
sites with granular reinforcements for frictional applications”, 38: 1043 – 1051;
CARBON; 2000.

50 |  ISSN : 2085 – 0492


 
[6] Feng-hua Sua, Zhao-zhu Zhang, Wei-min Liu, “Mechanical and tribological pro-
perties of carbon fabric composites filled with several nano-particulates”, 260: 861–
868; Wear; 2006.
[7] DAGLI, L. and Y. REMOND, “Identification of the Non-linear Behaviour a 4D
Carbon–Carbon Material Designed for Aeronautic Application”, 9: 1–15; Applied
Composite Materials; 2002.
[8] Manocha, L.M, Ashish Warrier, S. Manocha, D. Sathiyamoorthy, S. Banerjee, ,
“Thermophysical properties of densified pitch based carbon/carbon materials – II.
Bidirectional composites“, 44: 488–495; Carbon; 2006.
[9] Chen, T.F, W.P. Gong, G.S Liu, F. Zhang, “Influence of graphite foils on I-CVI
densification rate and microstructure of obtained pyrolytic carbon of carbon–
carbon composites “: Part A 36:1494–1498; Composites; 2005.
[10] Douarche, N, D. Rouby, G. Peix, J.M. Jouin, , “Relations between X-ray tomography,
density and mechanical properties in carbon-carbon composites “,39: 1455–1465;
Carbon; 2001.
[11] Gupta, G, Alejandro D. Rey, “Texture modeling in carbon–carbon composites based
on mesophase precursor matrices “,43: 1400–1406; Carbon; 2005
[12] Kim, J. W., Hyoung Geun Kim, Dai Gil Lee, “Compaction of thick carbon/phenolic
fabric composites with autoclave method“,66: 467–477; Composite Structures; 2004.
[13] TAI, N. H, H. H. KUO, J. H. CHERN LIN, C. P. JU, ,“Mechanical and tribological
properties of 2-D carbon/carbon composites densified through pulse chemical vapor
infiltration“,37, 3693 – 3703; JOURNAL OF MATERIALS SCIENCE; 2002.
[14] Kravetskii, G. A., V. V. Rodionova, Yu. M. Dvoryanchikov, and S. A. Kolesnikov,
“Carbon-Ceramic Composite Materials With Protective Erosion-Resistant
Coatings“,Vol.48, No. 1; Refractories and Industrial Ceramics; 2007.

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 51
Seminar Material Metalurgi 2010

 
52 |  ISSN : 2085 – 0492
BENEFISIASI BIJIH MANGAN KADAR RENDAH

Adil Jamali, Slamet Sumardi, David Candra Birawidha, Anton Sapto Handoko
UPT. Balai Pengolahan Mineral Lampung, LIPI
Jl. Ir. Sutami Km 15, Tanjung Bintang, Lampung
Telp. 0721-350054 Fax. 0721-350056

Abstract
Manganese ores were found as small deposits scattered in many places of Indonesia such as Lampung,
Jawa, West Nusatenggara, Kalimantan and Halmahera. Hight grade manganese ore with more than forty
percent mangan has been exported to China and India without significant processing. The low grade one which
has mangan content less than forty percent has not been exploited yet. Mangan is used mainly as an alloying
element in Iron and Steel industry. About 90% of it in the form of Ferromanaganese ,a ferroalloy usually
containing 75% mangan . Both beneficiation plant to process the ore in to smeltable concentrate and a
smelting plant to produce ferromanganese have not been available in Indonesia yet. The aim of this research is
to strengthen technological capabilities in mineral processing. Especially strengthening the capability in
beneficiation of low grade manganese ores. Around twenty percent mangan content in ores will be processed to
become concentrate containing more than forty percent mangan
The method used in this research was laboratory experiment involving “washing operation “ and
flotation. For type A ore which consist of manganese powder encaps ulated by clay minerals, washing followed
by gravity separation was used.It was found that concentrate containing 42% Mn can be obtained from
washing a 20% Mn type A ore. Manganese lump ore, type B is physically hard consist of high silica minerals
and small amount of iron. Silica was separated by Flotation process. Flotation variables used were particle
sizes, frother and collector volume, and finaly pH.. Pine oil as frother and xylenol as collector were kept at the
same proportion . from 2, 4, 6,8 and 10 ml/kg ore. While particle sizes varies from 100 , 150 and 200 mesh. pH
value was adjusted in the range of 6 – 10. The adjustment was carried out by adding sodium silicate, carbonate
or hydroxide. From the flotation experiments it was found that in one stage process, 8 ml/kg ore frother/collector
gave the optimum results , namely 32% Mn in product stream. Tailing product cotains 15% Mn. Particle size of
100 mesh gives the best result compared to 150 and 200 mesh sizes.

Keywords : low grade, manganese ore, washing, flotation

Abstrak
Bijih Mangan dijumpai sebagai cadangan kecil yang tersebar di kepulauan Indonesia , yaitu Sumatra
Barat, Lampung, Jawa , Nusa Tenggara Barat, Kalimantan dan Halmahera. Bijih Mangan kadar tinggi yang
mengandung Mangan lebih besar dari empat pukuh persen dewasa ini telah diekspor ke China dan India tanpa
pengolahan. Sementara itu bijih Mangan kadar rendah dengan kadar lebih kecil dari empat puluh persen belum
dimanfaatkan. Unsur Mangan terutama digunakan sebagai unsur paduan atau Alloying element pada industri
besi dan baja. Hampir 90% Mangan digunakan disektor besi dan baja dalam bentuk ferromangan dengan
kandungan Mn = 75%.
Sampai saat ini belum ada industri pengolahan bijih mangan baik benefisiasi maupun ekstraksinya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperkuat kemampuan teknologi pengolahan mineral khususnya
pengolahan bijih mangan kadar rendah. Bijih mangan berkadar lebih kurang 20% akan diolah menjadi
konsentrat mangan dengan kadar Mn lebih besar atau sama dengan 40%. Metoda yang digunakan adalah
eksperimen laboratorium menggunakan operasi pencucian dan flotasi. Untuk bijih tipe A yaitu Mangan powder
yang diselimuti lumpur digunakan metoda pencucian dan pemisahan gravitasi. Sedangkan tipe B, yang
berbentuk bongkah padat yang massif dan keras digunakan flotasi. Jika pada tipe A pengotor utama adalah
lempung pada tipe B pengotor utamanya silika yang sebagian terikat dalam batuan. Variabel dalam percobaan
Seminar Material Metalurgi 2010

flotasi meliputi ukuran partikel bijih mangan, Volume frother dan Colector, dan keasaman larutan atau pH.
Volume frother dibuat sama dengan collector masing masing 2 , 4 , 6 ,8 dan 10 ml/kg bijih . Ukuran partikel
bervariasi dari 100, 150 dan 200 mesh. pH diatur pada kisaran 6 – 10 dengan menambahkan Na2SiO3 atau
karbonat dan NaOH. Dari percobaan pencucian diperoleh konsentrat Mangan dengan kadar 42% berasal dari
bijih berkadar 20%. Pada percobaan flotasi dengan frother 8 ml/kg bijih diperoleh konsentrat berkadar Mn
32%. Produk tailing masih mengandung Mn 15% untuk satu tahap flotasi. Dari ketiga ukuran partikel , ukuran
100 mesh memberikan hasil yang paling tinggi disusul 150 mesh dan paling rendah 200 mesh. Akhirnya
ditemukan bahwa bahan kimia dari ekstrak minyak bijih jarak pagar dapat digunakan sebagai frother flotasi
bijih mangan.

Kata kunci : bijih, mangan, kadar rendah, pencucian , flotasi

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 53
A.PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Salah satu produk mineral pertambangan yang penting yaitu mangan. Komoditi ini
termasuk dalam kelompok dua belas mineral di kulit bumi sebagai bahan baku yang tidak
tergantikan di industri baja menyerap hampir 90% total produksi mangan, Hal ini
mengindikasikan bahwa supply dan demand mangan linier dengan supply dan demand baja.
Wilayah asia pasifik merupakan konsumen terbesar dan tercepat pengguna mangan. Tahun
2007 wilayah ini mengkonsumsi 1,6 juta metrik ton dan pada tahun 2010 diperkirakan 2,2 juta
metrik ton mangan.. Selain digunakan pada industri baja, mangan digunakan untuk produksi
baterai, keramik, kimia, gelas, glasir, pertanian, proses produksi uranium, korek api dan
lainnya.
Cadangan bijih mangan di Indonesia tercatat 4,6 juta ton cadangan terunjuk, 649 ribu
ton terukur yang tersebar di berbagai pulau Sumatera, Kepulauan Riau, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Disahkannya UU Minerba diharapkan
membawa angin segar bagi pengelolaan sumber daya mineral Indonesia yang melimpah.
Salah satu point penting dalam UU Minerba, yaitu pelarangan eskpor bahan baku mentah.
Para investor pertambangan diwajibkan mengolah hasil tambang menjadi produk produk yang
memiliki nilai tambah.Mineral yang berupa bijih mangan dengan kadar rendah harus diproses
terlebih dahulu untuk ditingkatkan kadarnya.. Berdasarkan uraian diatas, perlu dilakukan
penelitian peningkatan kadar mangan (Mn) dari bijih mangan kadar rendah melalui proses
yang dapat diterapkan pada skala industri.Pada penelitian ini akan dilakukan peningkatan
kadar Mn dari bijih mangan rendah. Proses peningkatan kadar umumnya terdiri dari kegiatan
persiapan, penghancuran dan atau penggilingan, peningkatan konsentrasi dengan
menggunakan metode pencucian dan flotasi (pengapungan) yang diikuti dengan dewatering
dan penyaringan. Hasil dari proses ini adalah konsentrat bijih dan limbah dalam bentuk tailing
dan emisi debu.

2. Permasalahan
2.l. Bijih mangan (Mn) di Indonesia terutama kadar rendah ( 20%<Mn < 30%) sampai saat
ini belum dimanfaatkan, padahal jumlahnya diperkirakan lebih besar dari bijih kadar
tinggi ( Mn>40% )
2.2 Untuk memanfaatkan bijih mangan kadar rendah, langkah pertama setelah penambangan
adalah benefisiasi yaitu proses peningkatan kadar mineral dari suatu batuan yang
mengandung mineral berharga sehingga siap diolah dalam proses ekstraksi menjadi
mineral atau produk lain yang bernilai tambah tinggi. Teknologi proses benefisiasi
bukanlah teknologi canggih, namun belum banyak yang dapat menguasainya. Diperlukan
penguasaan teknologi proses benefisiasi melalui penelitian bijih (Mn) kadar rendah.
2.3 Unsur unsur pengotor yang ada didalam bijih Mn terutama adalah lempung, Silika dan
Besi , meningkatkan kadar Mn berarti memisahkan pengotor tersebut dari bijih Mangan.
2.4. Pemisahan dapat dilakukan dengan metoda fisika misalnya pencucian ,memanfaatkan
perbedaan kerapataan lempung, Silika, besi dan Mangan. Diperlukan pemilihan metoda
yang tepat sesuai dengan karakter bijih Mangan yang ada.
2.5. Pemisahan yang lebih baik akan diperoleh dengan metoda flotasi menggunakan proses
Seminar Material Metalurgi 2010

fisika-kimia. Diperlukan informasi metoda dan kondisi proses flotasi yang optimal agar
proses pemisahan ini dapat diterapkan di industri. Kondisi tersebut adalah ukuran
partikel bijih mangan, waktu flotasi, laju udara pengaduk,kecepatan pengadukan, serta
konsentrasi dan jenis bahan kimia yang digunakan.

3. Tujuan dan Sasaran


Tujuan dari kegiatan yang akan dilakukan adalah memperoleh teknologi peningkatan
kadar Mn dari bijih mangan kadar rendah yang dapat diterapkan pada skala industri. Sasaran

54 |  ISSN : 2085 – 0492


 
yang dituju yaitu penguasaan teknologi benefisiasi bijih mangan kadar rendah +/- 20% Mn
menjadi konsentrat Mangan dengan kadar Mn >/= 40%.

4. Hasil Penelitian Sebelumnya.


Mishra P.P , Mohapatra, B.K., and Mahanta, K., Upgradation of low-Grade Siliceous
Manganese Ore from Bonai-Keonjhar Belt, Orissa, India, Journal of Minerals & Materials
Characterization & Engineering,. Vol 8, No. 1, pp 47-56, 2009. Dalam makalahnya Mishra
dkk telah memaparkan percobaan laboratorium peningkatan kadar Mangan dari bijih mangan
kadar rendah berasal dari Orissa, India. Pengotor utama adalah Silika, dengan kandungan
bijih awal sbb : Mn = 26%, SiO2 = 32% dan Fe = 2,78 %. Untuk pemisahan digunakan teknik
gravity, magnetic dan meja goyang. Teknik gravity menggunakan media cairan berkerapatan
tinggi yaitu Bromoform , kerapatan 2,86. Ukuran partikel adalah – 1000 mikro meter atau –
50 mesh dan +500 mikrometer dan -500 sampai + 250, -250sampai +150 dan -150 sampai +
75. Hasilnya menunjukkan bahwa partikel terpisah menjadi bagian yang terapung yang
miskin Mn dan yang tenggelam yang kaya Mn. Jadi unsur pengotor masuk ke fraksi yang
terapung. Persesntasi berat yang tenggelam relatif sama dalam berbagai ukuran partikel yaitu
berkisar 64 – 65 % berat. Kandungan Mn dalam fraksi tenggelam meningkat dengan semakin
kecilnya ukuran partikel,dari 96,4 % ke 98,4 % namun pada ukuran fraksi terakhir persen Mn
dalam fraksi tenggelam justru menurun menjadi 97%. Terlihat bahwa pemisahan ini cukup
efektif dengan recovery tinggi ,Mn = 98,4 %. Walaupun demikian mengingat harga bahan
kimia media tersebut relatif mahal maka pemisahan ini tidak sesuai untuk skala industri.
Pemisahan dengan Teknik magnetis kering menghasilkan Mn 45% dan perolehan 69% pada
kekuatan magnet 1 tesla. Sebagai tahap pendahuluan pemisahan dengan cara ini patut
dipertimbangkan.
Cara pemisahan magnetic basah memberikan perolehan lebih rendah yaitu sebesar
56,2% sedangkan dengan meja goyang diperoleh perolehan pada konsentrat sebesar 40,7%
pada ukuran partikel – 500 + 150 mikro meter.
Petrovich.,V., Froth Flotation method for recovery of minerals, US Patent
no.3,902,602sep. 2,1975 . Dalam paten ini diungkapkan metoda benefisiasi bijih oksida
mangan, timah putih, titanium,samarium dan ytterbium menggunakan flotasi buih atau froth
flotation. Setelah dihaluskan bijih mineral oksida direduksi dengan bahan pereduksi inorganik
,kemudian ditambahkan bahan pembuih serta kolektor dari senyawa organik. Bahan ini dapat
berbentuk senyawa alkohol atau asam semuanya harus mempunyai sifat pembuih dan selektif
terhadap unsur unsur yang akan dipisahkan. Umumnya unsur berharga akan diapungkan
sedangkan pengotor ditenggelamkan sebagai tailing. Dalam pemisahan Mangan dicontohkan
sebagai pereduksi atau aktivator- promoter adalah Potassiumhyposulfite 0,3 pound per ton
sedangkan Pembuih dan pengumpul adalah Hexylpropiolic acid adduct of hexantriol 0,3
pound per ton . Bijih mangan kadar 19,3 persen dapat ditingkatkan menjadi Mn 55,1% dengan
recovery 96,2%
Petrovich.,V., Froth Flotation of ores using Hydrocarbyl Bicarbonates, US Patent no.
4,159,943 jul. 3, 1979. Penemu yang sama mengeluarkan paten kelanjutan penemuan
sebelumnya (1975). Aplikasi dari metoda yang baru lebih luas yang mencakup logam alkali
Seminar Material Metalurgi 2010

tanah seperti Mg, Ca,Strontium, Ba, dan mineral logam dasar seperti Cu, Pb,Zn , Ag serta
mineral logam berat misalnya Fe, Mn, Ni dan Co. Dengan kondisi pH 6 – 8 mendekati netral
digunakan bahan kimia yang dikalaim lebih selektif dan lebih cepat reaksinya sehingga
flowsheet proses lebih pendek. Bahan kimia tersebut berasal dari senyawa
alkyl,alkylaryl,aralkyl,aryl, serta cyclo, cykloalkylbicarbonate sebagai promoter-collector.
Untuk Mn digunakan Dicyclohexyl-carbonate di-bicarbonate, 250 g perton. Bijih
Rhodochrosite Mn 18,4% dapat ditingkatkan menjadi Mn 53,3% dengan recovery 90,6%.
Iwasaki,I., Selective flocculation,magnetic separation and flotation of ores, US
Patent,No. 4,298,169 Nov. 3 ,1981. Intinya memberikan solusi untuk mineral kadar rendah
dengan cara flokulasi, pemisahan magnetis kemudian dilakukan flotasi. Untuk bahan yang

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 55
tidak mengandung unsur magnetis seperti besi,dapat ditambahkan unsur tersebut,kemudian
dilakukan flokulasi yang mengumpulkan bahan pengotor seperti silika, alumina dalam suatu
floc. Kemudian dilakukan pemisahan magnetis dan flotasi.
Pojar et.al., Production of intermediate grade manganese concentrate from low grade
manganiferous ores, US Patent No. 5,496,526 tanggal Mar. 5.1996. Relatif paten baru yang
memberikan solusi untuk bijih mangan yang mengandung besi. Tidak semua bijh besi
magnetis,oleh sebab itu dalam paten ini disarankan agar bijih campuran Mn, Fe dipanaskan
sampai temperatur tertentu ( misalnya 1315 derajat C ) sehingga menjadi Besi-mangan
spinnel, yang magnetic. Pemisahan magnetis dapat dilakukan sehingga diperoleh bijih
mangan dengan kandungan mangan lebih tinggi lalu dilakukan pelindian dengan caustic atau
melalui flotasi.Dari proses tersebut bahan awal dengan Fe 27,3 dan Mn 12,8 % serta Si 19,5
% dibenefisiasi menghasilkan Fe 32%, Mn18,5% dan Si 12,9 %.

Diagram alir penelitian :


 

Bijih Mn kadar rendah

Penghancuran

Washing

Drying

Persiapan Sampel

Flotation Cell

Konsentrat Pengotor

Analisa

Data  Pembahasan dan kesimpulan
Seminar Material Metalurgi 2010

Kesimpulan

B. PROSEDUR DAN METODOLOGI


Bahan bahan riset meliputi : Bijih mangan dua tipe , yaitu tipe A dari Kabupaten Way
Kanan Lampung , dan tipe B dari Kabupaten Pesawaran dan Tanggamus Lampung. Tipe A
berbentuk powder diselimuti lumpur sedangkan tipe B berbentuk bongkah , padat dan masif
dengan pengotor silika . Bahan kimia untuk flotasi ,meliputi pine oil sebagai frother, xylenol,
asam oleat sebagai collector, sodium silikat dan karbonat serta hidroksida serta peralatan
flotasi dan pencucian.

56 |  ISSN : 2085 – 0492


 
Tahapan – tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
l. Bijih mangan A dari Waykanan dan B dari Tanggamus dilakukan analisa X-ray dan
bongkah dari B dilakukan mineragrafi.
2. Bijih mangan kadar rendah (<40%) dilakukan proses grinding/penghancuran dengan mesin
crusher atau ball mill hingga ukuran, 40,60,80 dan 100 mess
3. Dilakukan proses penyaringan, pencucian dan pengeringan terhadap mangan hasil proses
grinding
4. Sample mangan yang didapatkan dari proses pengeringan, dimasukan ke dalam mesin
flotation cell khusus untuk ukuran 100 mesh.
5. Jumlah sample 3 ( tiga buah) dan masing masing dengan variable 5 kondisi terhadap ph,
konsentrasi bahan kimia, waktu flotasi.
6. Dari proses flotasi ini akan didapatkan mangan dalam bentuk konsentrat dan juga pengotor
yang kemudian akan dianalisa.Setelah didapatkan data-data dari

Hasil analisa maka akan dilakukan pembahasan lalu kemudian ditarik kesimpulan.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


l. Hasil X-ray dan mineragrafi.
l.l Dua buah contoh powder dari Waykanan (A) , menunjukkan kandungan mineral kuarsa
dan pirolusit, SiO2 dan MnO2. Sedangkan powder dan bongkah dari Tanggamus (B)
masing masing mengandung kuarsa dan Manganokumingtonit yaitu SiO2 dan
Mn2(Mg,Fe,Mn)5Si8O22(OH)2 . Powder B juga mengandung pirolusit.
1.2 Hasil foto mineralografi bongkah (B) dari Tanggamus, diporoleh adanya mineral mineral
logam Kriptomelan dan Manganit. Kriptomelan berwarna putih abu abu terang, berbutir
halus, dominant sebagai mineral bijih mangan, tersebar merata, terperangkap pada contoh
bongkah batuan warna gelap. Manganit berwarna abu abu terang,berbutir halus, tersebar
tidak merata pada contoh batuan berwarna gelap. Terbentuk sebagai urat halus +/- 1
mikron pada Kristal mineral bukan logam, mengisi ruang antar Kristal maupun urat urat
pada tubuh batuan.

Foto 1. Fotomikrograf sayatan Foto 2. Fotomikrograf sayatan Foto 3. Fotomikrograf sayatan


poles contoh bongkah Mangan. poles contoh bongkah Mangan. poles contoh bongkah Mangan.
Tampak Kriptomelan (warna te- Tampak Kriptomelan (warna Tampak Kriptomelan & manganit
rang/putih) mengisi ruang antar terang) membentuk urat pada (warna terang) mengisi retakan
kristal mineral bukan logam. batuan retakan pada tubuh Kristal mineral
Seminar Material Metalurgi 2010

bukan logam.

Gambar l. Foto mikrograf sayatan polis contoh bongkah Mangan. Tampak Kriptomelan dan manganit (warna
terang) mengisi retakan retakan pada tubuh Kristal mineral bukan logam., membentuk urat ( tengah
dan kanan ). Kriptomelan terkunci dalam ruang antar Kristal mineral bukan logam ( kiri )

2. Flotasi.
Data percobaan 1

Jumlah umpan : 2000 gram


Ukuran Partikel : 100 mesh

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 57
Jenis Frother : Pine Oil
pH : 8-10
Mn awal Percobaan 1 s/d 4 : 21,2%

Tabel 1. Kadar Mn Total sebelum dan sesudah flotasi Pada Percobaan 1

Kode Jumlah Pine Jumlah Kadar Konsentrat Kadar Tailing


No.
Sampel oil (mL) Xilenol(mL) SiO2 Mn Total SiO2 Mn Total
1 100 M 2 L 2 2 27,28 19,36
2 100 M 4 L 4 4 27,16 16,53
3 100 M 6 L 6 6 31,57 18,63
4 100 M 8 L 8 8 32,46 15,84
5 100 M 10 L 10 10 29,76 16,65

Kadar Konsentrat  Kadar Feed  Kadar Tailing 


% Re cov ery   100%  54,68592058 %
Kadar Feed ( Kadar Konsentrat  Kadar Tailing )
 

Gambar 2. Sel Flotasi


Tabel 2. Berat Konsentrat dan Tailing

No. Kode Sampel Berat Konsentrat (g) Berat Tailing (g)

1 100 M 2 L 731,657 870,221


2 100 M 4 L 680,18 905,404
3 100 M 6 L 674,988 864,045
4 100 M 8 L 420,412 910,08
5 100 M 10 L 508,212 1025,06

Data percobaan 2
Jumlah umpan : 2000 gram
Seminar Material Metalurgi 2010

Ukuran Partikel : 150 mesh


Jenis Frother : Pine Oil
pH : 8-10

58 |  ISSN : 2085 – 0492


 
Tabel 3. Kadar Mn sebelum dan sesudah flotasi

Kode Jumlah Pine Jumlah Kadar Konsentrat Kadar Tailing


No.
Sampel oil (mL) Xilenol(mL) SiO2 Mn Total SiO2 Mn Total
1 150 M 2 L 2 2 27 19,84
2 150 M 4 L 4 4 27,45 18,94
3 150 M 6 L 6 6 28,04 17,64
4 150 M 8 L 8 8 30,82 16,56
5 150 M 10 L 10 10 29,64 17,04

Kadar Konsentrat  Kadar Feed  Kadar Tailing 


% Re cov ery   100%  53,44281525 %
Kadar Feed ( Kadar Konsentrat  Kadar Tailing )
Tabel 4. Berat Konsentrat dan Tailing

No. Kode Sampel Berat Konsentrat (g) Berat Tailing (g)

1 150 M 2 L 460 1360


2 150 M 4 L 530 1150
3 150 M 6 L 478 1086
4 150 M 8 L 390 1020
5 150 M 2 L 460 1360

Data percobaan 3
Jumlah umpan : 2000 gram
Ukuran Partikel : 200 mesh
Jenis Frother : Pine Oil
pH : 8-10

Tabel 5. Kadar Mn sebelum dan sesudah flotasi

Kode Jumlah Pine Jumlah Kadar Konsentrat Kadar Tailing


No.
Sampel oil (mL) Xilenol(mL) SiO2 Mn Total SiO2 Mn Total
1 200 M 2 L 2 2
2 200 M 4 L 4 4
3 200 M 6 L 6 6 21.4
4 200 M 8 L 8 8
5 200 M 10 L 10 10

Tabel 6.Berat Konsentrat dan Tailing

No. Kode Sampel Berat Konsentrat (g) Berat Tailing (g)


Seminar Material Metalurgi 2010

1 200 M 2 L 540 1315


2 200 M 4 L 390 1220
3 200 M 6 L 440 950
4 200 M 8 L 470 1100
5 200 M 10 L 520 1020

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 59
Data percobaan 4
Jumlah umpan : 2000 gram
Ukuran Partikel : 100 mesh
Jenis Frother : Minyak Jarak

Tabel 7. Kadar Mn sebelum dan sesudah flotasi

Kode Jumlah Pine Jumlah Kadar Konsentrat Kadar Tailing


No.
Sampel oil (mL) Xilenol(mL) SiO2 Mn Total SiO2 Mn Total
1 100 M 2 J 2 2 24,6 19,59
2 100 M 4 J 4 4 24,83 18,57
3 100 M 6 J 6 6 26,08 20,4
4 100 M 8 J 8 8 26,63 20,02
5 100 M 10 J 10 10 25,86 19,79

Tabel 8.Berat Konsentrat dan Tailing

No. Kode Sampel Berat Konsentrat (g) Berat Tailing (g)

1 100 M 2 J 211 1490


2 100 M 4 J 124 1595
3 100 M 6 J 128 1202
4 100 M 8 J 349 1350
5 100 M 10 J 177 1515

Data percobaan 5
Dalam percobaan ini umpan diambilkan dari hasil flotasi dengan kadar Mn total 32,46 % (
Percobaan ke-1 dengan jumlah frother 8 mL )
Jumlah umpan : 670 gram
Ukuran Partikel : 100 mesh
Jenis Frother : Minyak jarak
Kadar Mn Total Awal : 32,46

Tabel 11. Kadar Mn sebelum dan sesudah flotasi

Kode Jumlah Pine Jumlah Kadar Konsentrat Kadar Tailing


No.
Sampel oil (mL) Xilenol(mL) SiO2 Mn Total SiO2 Mn Total
1 030. 8J 8J 34,51 28,69

Kadar Konsentrat  Kadar Feed  Kadar Tailing 


% Re cov ery   100%
Seminar Material Metalurgi 2010

Kadar Feed ( Kadar Konsentrat  Kadar Tailing )

Tabel 12.Berat Konsentrat dan Tailing

No. Kode Sampel Berat Konsentrat (g) Berat Tailing (g)

1 030. 8J 95 481

60 |  ISSN : 2085 – 0492


 
(a) (b)
Gambar 3. (a) Mangan tipe A hasil pencucian (b) Bijih tipe B yang dihaluskan.

Grafik Kadar Mn Total Vs Volume Minyak jarak


Kadar Mn Total (%) 
60

50

40

30
24,6 24,83 26,08 26,63 25,86
20

10

0
2 4 6 8 10
Volume Minyak Jarak (mL)

Gambar 4. Grafik kadar Mn terhadap volume frother ekstrak minyak jarak. Kadar Mn dalam bijih = 21%.

Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 5. Hubungan volume frother dengan kadar Mn dalam produk flotasi untuk ukuran bijih 100 mesh

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 61
Gambar 6. Hubungan volume frother dengan kadar Mn dalam produk flotasi untuk ukuran bijih 150 mesh.

D. PEMBAHASAN
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disampaikan hal hal sebagai berikut yang
tidak semuanya sesuai dengan hipotesa kerja yang dirancang dalam acuan kerja.
 Untuk tipe bijih A dari Way Kanan, ternyata pemisahannya sangat mudah. Hanya dengan
pencucian biasa secara manual dalam ember plastik atau dengan sel flotasi yang
difungsikan sebagai alat pencuci akan didapatkan konsentrat dengan kadar Mn 42%.
(semula 19 – 21 %). Pengotor utamanya adalah lempung yang mudah larut dalam air
dengan kerapatan yang berbeda jauh dengan Mn sehingga mudah terpisah. Bijih tipe A ini
selanjutnya dapat segera dicoba dengan alat pencuci yang kontinyu sebagaimana alat
pencuci bijih besi yang telah dioperasikan dan didaftarkan paten nya.
 Untuk type B, bijih mangan dari Pesawaran dan Tanggamus, tidah semudah yang
dibayangkan. Hasil Foto mineralografi menunjukkan bahwa mangan terperangkap disela
sela senyawa non logam (warna putih dalam foto). Untuk memisahkannya perlu dilakukan
penggilingan sampai 100 mesh dan selanjutnya flotasi. Sebagian pengotor masih terikat
didalam pengotor dan bahan flotasi yang kurang tepat memberikan hasil yang belum
optimal. Dalam literature digunakan colektor Asam Oleat, Linoleat dan sejenisnya. Namun
karena dipasaran bahan bahan tersebut sulit digunakan, sementara dipakai Xylenol yang
lebih basa dan tersedia dipasar. Hasil tertinggi yang diperolehn adalah 34 % Mn dengan
flotasi dua tahap yaitun tahap satu menggunakan xylenol diperoleh Mn 32% selanjutnya
digunakan ekstrak minyak jarak dengan umpan 32% Mn diperoleh konsentrat Mn 34%.
Dengan demikian pencapaian pada tahap ini masih sebesar 85% dari target semula sebesar
40% Mn. Namun untuk tipe A, telah memenuhi target 40% Mn dengan diperolehnya
konsentrat hasil pencucian dengan Mn 42%.
Seminar Material Metalurgi 2010

 Peranan bahan kimia flotasi sangat penting dan disini Indonesia masih tergantung pada
bahan bahan impor yang umumnya terbuat dari sintesa hydrocarbon berbasis minyak atau
gas alam. Karena industri kimia jenis ini belum berkembang di tanah air maka dalam
penelitian ini dicari bahan kimia yang berasal dari tanaman yang ada di tanah air.
Terpilihlah jarak pagar yang tidak edible dan senyawa tersebut merupakan pengotor atau
hasil samping dalam konversi minyak jarak menjadi bio diesel. Ekstrak tersebut dari
literature diperkirakan mengandung oleat dan linoleat serta palmitat . Ekstrak ini telah
berhasil diperoleh dalam percobaan ini dan dicoba untuk flotasi. Hasilnya menunjukkan
bahwa ekstrak tersebut dapat digunakan walaupun belum optimal . Dengan bahan ini
diperoleh hasil Mn 26 % dari bahan baku Mn 20%.

62 |  ISSN : 2085 – 0492


 
 Dalam percobaan ini variable pengadukan dibuat tetap demikian pula pemasukan udara.
Laju alir udara adalah sebesar 7 liter/menit.
 Hasil yang diluar dugaan, ternyata ukuran yang lebih halus dari 100 mesh menghasilkan
kadar yang lebih rendah dibandingkan dengan ukuran yang lebih kasar. Dalam percobaan
selanjutnya hal ini perlu diulang kembali dan dicari sebab sebabnya. Selain itu
pemanfaatan ekstrak yang didapt sebaiknya diperdalam dengan penelitian lanjutan.
Alternatifnya , memurnikan ekstrak , misalnya hanya mengambil satu asam, oleat saja
untukm flotasi atau unsure unsure utama dan menghilangkan pengotor yang ada.

E. KESIMPULAN DAN SARAN


Dari percobaan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
l. Untuk tipe A, bijih mangan powder yang diselimuti lumpur dapat dipisahkan dengan
mudah dengan pencucian saja. Mn yang dihasilkan dari semula 20% menjadi 42%
2. Untuk tipe B yang padat dengan pengotor silica, hasil flotasi pada tahap ini paling tinggi
diperoleh Mn dengan kadar 34% dengan recovery 54 % untuk satu tahap flotasi.
3. Telah dibuat ekstrak minyak jarak yang dapat digunakan sebagai bahan kimia flotasi,
flother ataupun kolektor, namun unjuk kerjanya masih perlu dipelajari lebih lanjut.
Untuk itu disarankan, agar tipe A dapat dilanjutkan pada skala pilot plant untuk
pencucian bijih mangan tersebut melalui kerja sama dengan koperasi penambangan rakyat
ataupun pengusaha tambang. Sedangkan untuk tipe B perlu dilakukan penelitian flotasi lebih
lanjut baik mengenai operasi dalam proses flotasinya maupun bahan bahan kimia yang
digunakan untuk flotasi.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini dibiayai dari program insentif peneliti dan perekayasa Kementerian
Pendidikan Republik Indonesia dilaksanakan di LIPI dengan koordinasi Kantor menteri
Negara Riset dan Teknologi RI. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
terkait termasuk teknisi dan administrasi yang telah berperan menyelesaikan kegiatan ini.

PUSTAKA
1. Mishra P.P , Mohapatra, B.K., and Mahanta, K., Upgradation of low-Grade Siliceous
Manganese Ore from Bonai-Keonjhar Belt, Orissa, India, Journal of Minerals & Materials
Characterization & Engineering,. Vol 8, No. 1, pp 47-56, 2009
2. Petrovich.,V., Froth Flotation method for recovery of minerals, US Patent
no.3,902,602sep. 2,1975
3. Petrovich.,V., Froth Flotation of ores using Hydrocarbyl Bicarbonates, US Patent no.
4,159,943 jul. 3, 1979
4. Iwasaki,I., Selective flocculation,magnetic separation and flotation of ores, US Patent,No.
4,298,169 Nov. 3 ,1981
5. Pojar et.al., Production of intermediate grade manganese concentrate from low grade
manganiferous ores, US Patent No. 5,496,526 tanggal Mar. 5.1996
6. De Vaney, F.D., Clemmer,J.B., Process for recovering manganese from ore , US patent
Seminar Material Metalurgi 2010

1,951,326 Mar. 13, 1934


7. Kusnohadi, Prospek Pengembangan Industri Ferromangan di Indonesia , Seminar
Nasional Besi dan Baja , Institute Teknologi Bandung, 2009.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 63
Seminar Material Metalurgi 2010

 
64 |  ISSN : 2085 – 0492
PENURUNAN KANDUNGAN Fe PADA FELDSPAR
LODOYO DAN CINA

Etty Marti Wigayati dan Erfin Yundra Febrianto


Pusat Penelitian Fisika LIPI
Email: etty001@lipi.go.id, ettymw@yahoo.com

Intisari
Feldspar merupakan bahan baku keramik yang banyak terdapat dialam, dalam penggunaannya perlu
diolah terlebih dahulu sehingga mempunyai kualitas standar. Oleh karena itu perlu dilakukan penurunan
kandungan Fe. Pada penelitian ini dilakukan penurunan kandungan Fe2O3 feldspar asal Lodoyo dan Cina.
Metoda yang digunakan adalah perendaman dengan HCl dan metoda dekantasi. Pada metoda perendaman
Feldspar direndam dengan HCl teknis, dengan waktu peredaman dilakukan secara variasi yaitu 6 jam, 12 jam,
24 jam dan 120 jam. Feldspar hasil perendaman dianalisa menggunakan AAS. Hasilnya adalah pada feldspar
Lodoyo kandungan Fe2O3 terendah 0,16 % sedang pada feldspar Cina kandungan Fe2O3 terendah adalah 0,15
% dengan waktu perendaman 120 jam. Pada metoda dekantasi, feldspar dibuat slurry, diaduk dengan magnetik
stirrer, kemudian diambil bagian atasnya, oksida besi dan logam berat akan mengendap dibagian bawah karena
gaya sentrifugal. Hasilnya dianalisa menggunakan AAS. Hasilnya pada feldspar Lodoyo kadar Fe2O3 adalah
0,90 % sedang pada feldspar Cina 0, 27 % dengan waktu pengadukan 30 menit. Dari hasil tersebut dapat
diketahui bahwa penurunaan kandungan Fe2O3 lebih baik dengan cara perendaman dengan HCl dan feldspar
Cina mempunyai kadar Fe2O3 lebih rendah dibanding feldspar Lodoyo yang memenuhi persyaratan untuk
industri keramik.

Abstract
Feldspar is a lot of ceramic raw materials are in the nature, in its use needs to be processed first, so
has the quality standards. Therefore it is necessary to decrease Fe content. In this research, the decreased Fe2O3
content in feldspar Lodoyo and Chinese. The methods used are soaking with HCl and decantation methods. In
the soaking method Feldspar soaked with technical HCl, with variations time done 6 hours, 12 hours, 24 hours
and 120 hours. The products were analyzed using AAS. The result shown that the Fe2O3 content of feldspar
Lodoyo 0.16% was the lowest in China feldspar low Fe2O3 content is 0.15% with 120 hours of soaking time.
In the method of decantation, feldspar made slurry, stirred with a magnetic stirrer, then captured the top, iron
oxides and heavy metals will settle at the bottom because of centrifugal force. Flotation results were analyzed
using AAS. The results Fe2O3 content on feldspar Lodoyo is 0.90% while in feldspar China 0, 27% with 30
minutes stirring time. From these results it is known that better decreasing of Fe2O3 content by soaking with HCl
and feldspar China has Fe2O3 content is lower than feldspar Lodoyo who qualify for the ceramic industry.

Kata kunci: feldspar, kandungan Fe2O3, metoda perendaman, metoda dekantasi

PENDAHULUAN
Feldspar adalah suatu kelompok mineral alumina silikat yang mengandung satu atau
lebih kation basa dari potas (K+), soda (Na+), dan kapur (Ca2+). Pada dasarnya feldspar
mempunyai jaringan struktur tiga dimensi yang disebut tektosilikat dan mempunyai empat
atom oksigen yang membentuk SiO4 tetahedral. Kemudian silikat ini akan mengalami
perubahan kimia oleh unsur aluminium yang membentuk aluminium silikat. Sifat fisik dan
komposisi kimia feldspar[1,5]:
 Kekerasan : 6.0 – 6.5
Seminar Material Metalurgi 2010

 Berat jenis : (2.4-2.8) gr/cm3


 Titik lebur : (1100° – 1532°) C
 Bentuk pecahan : beraturan
 Refraktif index : 1.524- 1.584
Beberapa komposisi kimia feldspar dapat dilihat pada Tabel 1 [2].
Feldspar merupakan salah satu bahan baku keramik jenis material industri, dimana
keberadaannya sangat melimpah dikerak bumi, dalam penggunaannya perlu diolah terlebih
dahulu untuk meningkatkan kemurniannya. Proses pemurniannya disebut proses benefisiasi,
yang bertujuan untuk menghilangkan atau menurunkan kadar material pengotor seperti Fe2O3.
Material ini akan mempengaruhi pembentukan badan keramik pada saat dibakar. Pada

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 65
penelitian ini akan dilakukan penurunan kandungan Fe2O3 pada feldspar dengan metoda
perendaman dengan HCl dan penurunan kandungan Fe2O3 dengan metoda dekantasi.
Metoda perendaman menggunakan HCl, karena pada saat perendaman terjadi reaksi
oksida besi dengan HCl, sehingga terlepas dari feldspar berdasar reaksi[3]:
Fe2O3 + 6 HCl → 2 FeCl3 + 3 H2O (1)
Metoda dekantasi adalah pengolahan feldspar dengan cara pemisahan partikel mineral
yang halus dari yang agak kasar dengan memanfaatkan sifat fisik dan kimia bidang batas
antara fase padat (mineral), fase cair dan gas, sehingga diperoleh konsetrat (berupa
buih/busa). Proses pengolahan ini dilakukan secara bertahap yaitu dengan menghilangkan
pengotor besi dengan magnetic separator atau dengan pelarut HCl. Proses ini dapat
memisahkan antara feldspar dengan kwarsa, mika, oksida besi secara sempurna dalam proses
pemisahan. Penambahan zat kimia pada proses ini adalah untuk menghasilkan busa dan untuk
membuat mineral mineral bersifat hidrofobik, yaitu mineral yang mudah bergabung dengan
udara. Persyaratan untuk industri keramik berdasarkan Standar Industri Indonesia (SII) No.
1145-84 meliputi feldspar untuk pembuatan badan keramik halus dapat dilihat pada Tabel 2[2].

Tabel 1. Komposisi kimia feldspar


Komposisi Kimia (%)
Lokasi
SiO2 Al2O3 Fe2O3 TiO2 CaO MgO K2 O Na2O
Indonesia
Lampung 64,91 19,45 0,17 0,03 0,21 - 11,91 3,86
Sumut 86,00 8,75 0,16 O,04 0,31 0,31 3,14 1,45
Banjarnegara 77,83 12,29 0,33 0,88 0,09 0,07 4,74 4,34
Lodoyo 78,37 10,90 1,01 - 0,13 0,05 7,75 -
Import
USA 68,00 17,50 0,10 - - 0,50 2,00 11,50
Canada 66,50 17,30 0,10 - 0,15 - 2,00 13,00
Jerman 72,60 15,00 0,20 - 0,40 0,40 - 11,40
Inggris 73,80 16,06 0,40 - 2,30 0,10 - 7,40
RRC 67,68 16,62 0,39 - 0,75 1,21 7,48 4,74
India
Super grade 62,40 19,37 0,19 - 1,05 0,19 12,33 3,89
standar 63,58 18,62 0,10 - 0,82 0,78 11,56 3,75

Tabel 2. Persyaratan feldspar untuk industri keramik.


Feldspar untuk
Oksida
Porselen (%) Saniter (%) Gerabah halus (%)
K2O + Na2O 6,0-15,0 6,0-15,0 6,0-15,0
Fe2O3 maks 0,5 0,7 0,8
TiO2 maks 0,3 0,7 -
CaO maks 0,5 0,5 1,0

Persyaratan feldpar untuk industri gelas adalah[4]:


Seminar Material Metalurgi 2010

 SiO2 antara 66-69,99 %


 Al2O3 diatas 17 %
 K2O + Na2O diatas 11%
 Fe2O3 antara 0,1-0,2 %
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa pada umumnya feldspar dari berbagai daerah di
Indonesia dapat digunakan sebagai bahan baku pada industri keramik maupun gelas, dengan
menurunkan kadar Fe2O3. Apabila kadar Fe2O3 terlalu tinggi akan mengakibatkan perubahan
warna pada badan keramik, dan temperatur sintering yang tinggi. Untuk itu pada tulisan ini
ditampilkan hasil penelitian penurunan kadar Fe2O3 pada feldspar asal Lodoyo dan Cina

66 |  ISSN : 2085 – 0492


 
karena feldspar memenuhi kualitas untuk industri keramik dengan menurunkan kadar Fe2O3.
Dengan turunnya kandungan Fe2O3 akan menurunkan temperatur pembakaran dan dan tidak
perubahan warna pada badan keramik. Sehingga akan meningkatkan potensi daerah dengan
meningkatkan nilai jual sumber daya alam Lodoyo.

METODOLOGI[6]
Feldspar yang dipakai pada penelitian ini adalah feldspar yang berasal dari Lodoyo
dan feldspar dari Cina. Feldspar dihaluskan dengan mortal kemudian diayak hingga lolos
ayakan 100 mesh. Metoda yang digunakan pada penelitian ini adalah:

Metoda perendaman.
Feldspar yang sudah halus direndam dalam larutan HCl teknis karena murah harganya
mudah didapat dan dapat bereaksi dengan Fe. Waktu perendaman dibuat bervariasi yaitu 6
jam, 12 jam, 24 jam dan 120 jam. Kemudian feldspar dicuci bersih, dikeringkan dalam oven
dan dianalisa dengan AAS.

Metoda dekantasi.
Dalam metoda dekantasi feldspar dibuat slurry (bubur) dengan mencampurkan air.
Slurry diaduk dengan magnetic stirrer dan diambil sampel bagian atas setelah pengadukan
dibuat bervariasi 10 menit, 20 menit dan 30 menit. Kemudian sampel dikeringkan dalam
oven, dan dianalisa dengan AAS.
Prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Metoda perendam feldspar Metoda dekantasi

Direndam HCl Dihaluskan Dibuat slurry


Waktu bervariasi 100 mesh

Analisa AAS Diaduk


Cuci bersih
Waktu bervariasi

keringkan Ambil bagian atas

Analisa AAS keringkan

Analisa AAS
Gambar 1. Diagram alir prosedur percobaan.
Seminar Material Metalurgi 2010

HASIL DAN ANALISA


Feldspar setelah dihaluskan sampai 100 mesh dianalisa terlebih dahulu komposisi
kimia dengan mempergunakan AAS. Hasil analisa AAS dari feldspar Lodoyo maupun
feldspar Cina (sebelum dilakukan perendaman maupun sebelum mengalami proses dekantasi)
ditampilkan pada Tabel 3. Pada hasil analisa tersebut nampak bahwa kandungan Fe2O3 pada
feldspar Lodoyo lebih besar dibanding feldspar Cina.
Setelah mengalami proses perendaman dengan HCl teknis dengan waktu perendaman
dibuat bervariasi, maka hasil analisa komposisi feldspar dengan AAS ditampilkan pada Tabel
4 untuk feldspar Lodoyo dan Tabel 5 untuk feldspar dari Cina. Dari hasil analisa setelah

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 67
perendaman nampak pengurangan kandungan Fe2O3 pada feldspar cukup besar.
Berkurangnya kandungan Fe2O3 karena bereaksi dengan HCl. Dengan berkurangnya Fe2O3
maka prosentase dari SiO2, CaO, K2O, MgO, Al2O3 dan Na2O berubah. Prosentase SiO2
bertambah besar, untuk prosentase Al2O3 berkurang.
Tabel 3. Hasil analisa komposisi awal feldspar

Asal Komposisi Kimia (%)


feldspar SiO2 Al2O3 Fe2O3 CaO MgO K2 O Na2O
Lodoyo 72,7835 14,8105 0,9769 0,02 0,04 10,6543 0,6345
Cina 68,0016 18,0097 0,3082 0,0043 0,0973 11,8004 1,7235

Tabel 4. Hasil analisa komposisi feldspar Lodoyo setelah proses perendaman.


Waktu Komposisi (%)
perendaman
Al2O3 CaO Fe2O3 K2O MgO SiO2 Na2O
(jam)
6 12,7502 0,0132 0,1815 9,9552 0,1580 73,8281 1,0639
12 10,3793 0,0108 0,1771 9,7656 0,0227 75,7755 3,7956
24 14,0155 0,0155 0,1615 9,0853 0,1453 74,9800 1,2127
120 13,2239 0,0111 0,1600 8,5969 0,1073 76,2426 2,6008
Tabel 5. Hasil analisa komposisi feldspar Cina setelah proses perendaman.
Waktu Komposisi (%)
perendaman
Al2O3 CaO Fe2O3 K2O MgO SiO2 Na2O
(jam)
6 10,6192 0,0105 0,2115 9,2690 0,1230 73,9742 5,6779
12 11,2486 0,0056 0,1866 9,3493 0,1371 77,8019 1,1926
24 7,3975 0,0098 0,1823 8,7308 0,0844 80,9834 2,5416
120 8,7451 0,0178 0,1515 8,7431 0,0874 80,3902 1,6269

Bila diGambarkan dalam grafik kandungan Fe2O3 setelah mengalami proses perendaman,
ditampilkan pada Gambar 2 dan 3. Hasil analisa feldspar dengan metoda dekantasi
ditampilkan dalam Tabel 6 dan 7.
Tabel 6. Hasil analisa komposisi feldspar Lodoyo setelah proses dekantasi.
Waktu Komposisi (%)
(menit) Al2O3 CaO Fe2O3 K2O MgO SiO2 Na2O
10 12,3683 0,0817 0,9621 7,3464 0,1075 76,9186 2,1272
20 9,9989 0,0751 0,9154 7,3433 0,1004 79,5155 1,9958
30 11,0286 0,0731 0,9036 7,2647 0,0919 78,0870 2,4737
Tabel 7. Hasil analisa komposisi feldspar Cina setelah proses dekantasi.
Waktu Komposisi (%)
(menit) Al2O3 CaO Fe2O3 K2O MgO SiO2 Na2O
Seminar Material Metalurgi 2010

10 10,4193 0,0486 0,2995 7,8552 0,0395 81,1583 0,1234


20 10,4252 0,0490 0,2987 7,7492 0,0477 81,0218 0,2303
30 10,1541 0,0463 0,2712 6,7378 0,0395 81,6303 1,1378

Pada proses dekantasi berkurangnya Fe2O3 pada feldspar Lodoyo maupun Cina tidak
sebesar pada proses perendaman dengan HCl. Pada proses dekantasi Fe2O3 dan material berat
lainnya mengendap sangat kecil prosentasenya. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui
bahwa kemampuan bereaksi dari HCl dengan Fe2O3 lebih besar dibanding dengan metoda
dekantasi. Berkurangnya kandungan Fe2O3 sangat kecil meskipun waktu pengadukan
bertambah.

68 |  ISSN : 2085 – 0492


 
Pada feldspar asal Cina kandungan Fe2O3 lebih rendah dari feldspar Lodoyo, setelah
proses perendaman dengan HCl kandungan Fe2O3 tidak jauh berbeda antara feldspar Lodoyo
dan Cina. Sedang pada metoda dekantasi kandungan Fe2O3 pada feldspar Lodoyo masih
tinggi. Berkurangnya kandungan Fe2O3 terhadap waktu pengadukan dapat dilihat pada
Gambar 4 dan 5.
0.185

kom pos is i (F 2O3)


0.18
0.175
0.17
0.165
0.16
0.155
0 20 40 60 80 100 120 140
w a ktu pe re nda m a n (ja m )
Gambar 2, kurva komposisi Fe2O3 terhadap waktu perendaman pada feldspar Lodoyo.
0.35
0.3
kom pos is i (F 2O3)

0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0 5 10 15 20 25 30
w a ktu pe re nda m a n (ja m )
Gambar 3, kurva komposisi Fe2O3 terhadap waktu perendaman pada feldspar Cina
1
0.98
K om pos is i F 2O3

0.96
0.94
0.92
0.9
0.88
0 5 10 15 20 25 30 35
Wa ktu pe ng a duka n
Gambar 4, kurva komposisi Fe2O3 terhadap waktu pengadukan pada feldspar Lodoyo
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 5, kurva komposisi Fe2O3 terhadap waktu pengadukan pada feldspar Cina.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 69
Dari data diatas menunjukkan bahwa feldspar Lodoyo :
 Cukup baik dibanding feldspar daerah lain karena mempunyai kandungan SiO2 yang besar.
 Kandungan K2O dan Al2O3 cukup tinggi, CaO lebih rendah dibanding dari daerah lain.
Dengan metoda perendaman dengan HCl ternyata selain dapat menurunkan
kandungan Fe2O3 dan CaO, kandungan SiO2 tinggi, sehingga meningkatkan kwalitas feldspar
asal Lodoyo.
Dari Gambar diatas dapat dilihat bahwa feldspar setelah mengalami perendaman
kandungan Fe2O3 menurun dari mula mula 0,9769 % menjadi 0,1815 %. Dengan pertambahan
waktu perendaman tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap pengurangan kandungan
Fe2O3 pada perendaman 24 jam maupun 120 jam. Pada kondisi ini tidak ada lagi Fe yang
bereaksi dengan HCl atau Cl didalam HCl sudah bereaksi semua dengan HCl. Kandungan
Fe2O3 maksimum ada didalam dalam feldspar setelah mengalami perendaman adalah 0,16 %.
Pada metoda dekantasi, penurunan kandungan Fe2O3 terjadi secara pelan. Pada
pengadukan 30 menit kandungan Fe2O3 sekitar 0,9036 %. Dengan metoda dekantasi
penurunan Fe2O3 sangat kecil. Sehingga metoda ini tidak efektif digunakan untuk
menurunkan kandungan Fe2O3 dari feldspar karena Fe2O3 masih besar. Maka penurunan
kadar Fe2O3 dari feldspar akan efektif dan efisien menggunakan metoda perendaman
menggunakan HCl teknis. Feldspar asal Lodoyo cocok dipergunakan untuk industri keramik
halus dan gelas karena memenuhi SII.

KESIMPULAN
1. Kandungan Fe2O3 pada feldspar Cina lebih rendah dibanding feldspar Lodoyo.
2. Pada penurunan kadar Fe2O3 yang dilakukan dengan metoda perendaman dan dekantasi
maka metoda perendaman dengan HCl lebih efektif dan lebih besar turun kandungan
Fe2O3.
3. Hasil penurunan kandungan Fe2O3 pada feldspar Lodoyo dengan perendaman HCl adalah
0,16 %, sedang pada feldspar Cina 0,15 %. Dengan metoda dekantasi Fe2O3 feldspar
Lodoyo 0,90% sedang feldspar Cina 0,27 %.

SARAN
Pada penelitian penurunan kandungan Fe2O3 dari feldspar alam, perlu dilakukan kajian
ekonomi untuk masing masing proses. Dan perlu pula dilakukan penelitian feldspar dari
daerah yang lain di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
1. D. Callister William, Materials Science and Engeenering an Introduction. Sixth Edition,
John Wiley & Sons, Inc: Singapore, (2003).
2. YVM Hartono, Pemakaian dan pengembangan Bahan Baku Dalam Industri Keramik,
Informasi Teknologi Keramik dan Gelas, Balai Besar Industri Keramik, No 35 Th IX
Desember 1987, ISSN :0125.9237.
3. Cutler J. Cleveland , Mineral Information Institute (Content Partner); Sidney Draggan
(Topic Editor). 2008. "Feldspar." In: Encyclopedia of Earth. Eds. (Washington, D.C.:
Environmental Information Coalition, National Council for Science and the Environment).
Seminar Material Metalurgi 2010

[First published in the Encyclopedia of Earth January 21, 2008; Last revised January 22,
2008; Retrieved November 24, 2009].
4. Binsri, Uun, Bahan Galian Industri: Feldspar, Dirjen Pertambangan Umum, Pusat
Pengembangan Teknologi Mineral, 1991.
5. Ceramics and Glasses. Volume 4. Engineering Material Hand Book
6. Yet Ming Chiang, Dunbar Birnie and W.David Kingery. : Physical Ceramics Principles for
Ceramic Science end Engineering Wiley the MIT Series in Materials end engineering.

70 |  ISSN : 2085 – 0492


 
INFLUENCE OF PARTICLE SIZE ON REDUCTION KINETICS OF
LATERITIC IRON ORE

Basso D. Makahanap1*, A. Manaf1 and M. Anis2


1
Program Pascasarjana FMIPA
Program Studi Ilmu Material (Materials Science), Universitas Indonesia,
Kampus UI, Jl. Salemba Raya No 4, Jakarta 10430, Indonesia
2
Faculty of Engineering
Department of Metallurgy and Materials Technology, Universitas Indonesia
Kampus UI, Depok 16424, Indonesia

Abstract
This work is to report a laboratory investigation on the influence of particle sizes on reduction behavior
of lateritic iron ore with anthracite coal under isothermal condition. The main minerals content of investigated
ore were Goethite : 62.8%, Hematite : 18.3% and Magnetite (Fe3O4) : 6.2% and other oxide minerals like
Alumina : 6.6%, Silica : 4.5% , Chromate : 3.3% and others. The ore and anthracite coal of -100, -200 and -
500 μm size with mol ratio between iron oxide and carbon in the antrachite of 1:1.88 were mixed, pressed into
a composite of 12 mm diameter and 20 mm long and heated isothermally at four different temperatures. The
metallization is determined by the reduction temperature and time. Mostly, effective reduction temperatures were
found to be 1100 0C resulted in the highest value of almost 94 %. The particle size seems has no significant
influence on the metallization value at this reduction temperature. However, particle sizes influenced
significantly the metallization for reduction temperatures less than 11000C from which values of metallization
increased with decreasing in particle sizes. Particle size determined the reducibility, reducibility decreased with
increasing particle size, decreasing reducibility will decrease the metallization achieved.

Keywords : laterite, antrachite, reduction, metallization

INTRODUCTION
Laterites are the product of intensive and long lasting tropical rock weathering which
intensified by high rainfall and elevated temperatures. One of the lateritic ore species is
lateritic iron ore which has a significant amount in the world but the Fe content is < 66% or
less than minimum standard for current commercial iron ore content, (Freyssinet, et.al.,
2005). However, the lateritic iron ore can in principle be utilized as raw material for iron and
steel making industry even with its low Fe content by a reduction with a suitable technology
e.g. rotary kiln or lateritic iron ore – carbon composite technology like ITmk3, oxy cup even
the utilization of lateritic iron ore for those technology is under development.
The main mineral content of latritic iron ore is goethite, FeO(OH), the others are
haematite, Fe2O3, magnetite, Fe3O4 and other oxide like alumina, Al2O3, etc. When ore is
heated, dehydroxilation of goethite takes place at about 200 – 4000C and FeO(OH) is
transformed to Fe2O3 (O’Connors et.al, 2006), means the Fe content will be increased due to
increasing of Fe2O3 content.
Reduction kinetics in iron ore reduction deal with the rate at which iron oxides are
converted to metallic iron by the removal of oxygen. It is important if the process is carried
out under the iron melting point like in ITmk3, Direct Reduction process, because the rate at
Seminar Material Metalurgi 2010

which the ore can be reduced determines the production rate. In turn the production rate
largely determines its economic feasibility and its competitiveness with other process. It is
well known that the rate of chemical reaction increases as the temperature increases.
The iron oxides reduction reactions consist of several series of very complex reaction
or steps before the conversion is completed, the slowest steps in the process determine the
overall reaction rate and is referred as the rate controlling factor. The reactions can be
occurred if the reductor can be reached at the iron oxides surface and the products of the
reaction must get away. The adsorption of reductor at the interface between iron oxides and

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 71
the reductor may interfere with the reduction rate The movement of reactants and products in
this interface area are affected by several factors, any one of which might be rate controlling.
Some of the rate determining steps in ore reduction is associated with the nature of the
reaction system, contact between the reacting phases and the nature of the ore. The nature of
the ore determines the ease of oxygen removing form the iron oxides by the redactor, this ore
property is often called as the reducibility. The reducibility is determined by the particle size,
shape, particle size distribution density, porosity, crystal structure and composition, all of
these items influence the relative amount of the contact area of the iron oxides exposed to the
reductors. The reducibility of an iron ore can be determined experimentally in many ways,
one of them is measuring of the time require to reach an arbitrarily chosen reduction degree,
some people use 90% and others use 50% reduction degree, (Ross, H.U., et.al.,1980). It is can
be said that the reducibility is the time required to reach a certain reduction degree, in
industrial case 90% figure is often used. The reducibility parameter is commonly applied in
the iron making industry
In order to proceed the reduction reactions, the reductants have to come in contact
with the surface of the iron oxides, the reductants have to diffuse inwards and the reduction
products have to get away from the interface layer.
Reduction of iron oxide according to Fruehan consist of two stages, (Prakash, 1996),
and the reduction mechanism can be describe either by using two different k value or by
application of separate models to the acceleratory and decay region of the sigmoid curve,
(Brown, 1997).
In this paper, some results in kinetic studies of laterite-antracite composites reduction
process under isothermal heating is reported. Metalization which is defined as a ratio between
reduced iron and total iron in the ore. A quantitative analyses by X-ray diffractometer (XRD)
was employed in order to derive fraction of phases during reduction processing.

EXPERIMENTAL METHOD
The sample was lateritic iron ore from Sebuku island. Phase identification by XRD to
the ore confirmed that beside goethite, the other minerals were quartz (SiO2), hematite
(Fe2O3), Nickel Oxide (NiO) and Chromite (Cr2O3), (Makahanap, et.al., 2009) . The ore and
anthracite coal as reducing agent with mol ratio between iron oxide and carbon in the
anthracite of 1:1.88 were co-milled to -100, -200 and -500 μm by a ball mill apparatus. The
milled mixture powders were pressed into a composite of 2 cm diameter and 3 cm long. The
composite was then heated isothermally at three different temperatures 900, 1000 and 1100°C
for various reduction time from 15 to 90 minutes of each reduction temperature. The heating
was carried out in an auto glass bead furnace with normal atmosphere or without inert gas. All
of the reduced materials were analyzed with XRD and the result was analyzed quantitatively
with GSAS (General Structure Analysis System) software. The antrachite composition is
Fixed Carbon : 85.57%; Ash : 10.88%; Lost of ignition (LoI) : 89.12%; Volatile matter :
5.5%; Water content : 1.84%.

RESULT AND DISCUSSION


Figure 1 is a plot of metallization obtained from reduction at various isothermal
Seminar Material Metalurgi 2010

temperatures for samples with -100, -200 and -500 μm particle sizes. The curves for each
temperature represent kinetics of metallization during reduction period. It is once again
indicating a two stages reduction kinetic as reported previously, [Makahanap, et.al., 2010]. In
the first stage of reduction period in which metallization is controlled by a nucleation and
growth a relatively lower metallization rate occurs at temperatures 800 and 900°C. This is
somewhat different with that of temperatures 1000 and 1100 °C in which the metallization
progressed with much faster rate. Reduction kinetics of the second stage is controlled by a
diffusion of reduction agent and progress of metallization takes place in a much lower rates.

72 |  ISSN : 2085 – 0492


 
However, for both stages worth to note that the time where these two stages start to take place
and ceased were different for each reduction temperature and particle size.
Obviously, metallization is determined strongly by reduction temperature and time.
Metallization at a reduction temperature 1100°C is significantly higher when compared with
those of 1000 and 900° C for the same reduction times. Lower reduction temperature caused
lower metallization values. The metallization achieved its highest value at 1100°C for the
whole particle size, about 94%, it is higher than steel making minimum standard for steel
making, 90%, means the sponge iron produced by lateritic iron ore from the metallization
point of view fulfilled the minimum standard as a raw material for steel making. It was clearly
shown that the temperature and reduction time determine the metallization. Mostly, effective
reduction temperatures were found to be 1100°C resulted in the highest value of almost 94 %.
Figure 2, is a plot of experimental result, a correlation between metallization,
reduction time and particle size. Figure 2 indicate that the metallization as function of
reduction time for the 900°C, 1000°C and 1100°C reduction temperature follow the sigmoid
curve means follow the Avrami equation. It is found that the
Avrami equation is valid for the first stage for those three reduction, means at the first stage
the reduction is controlled by chemically reaction.
Figure 2 indicates that the reducibility of lateritic iron ore decreased with increasing
of particle size. The reduction time required to achieve 90% metallization at 1000°C was
91.5, 106.6 and 158.8 minutes for particle size -100, -200 and -500 μm, especially for the
reduction temperature <1100°C. means reducibility is determined by the reduction
temperature, as shown in Figure 3. Higher reduction time required to achieve 90%
metallization means lower reducibility. In steel making industrial case, lower reducibility
means lower productivity since the production cycle time will be longer and the energy
consumption will be higher. The reducibility decreased with increasing of particle size.
Decreasing reducibility also will decrease the metallization achieved for the same temperature
and reduction time.
120 120
1100
1100

100 100
M e talliza tio n (% )

80
Metallization (%)

80

60 60
1000 1000
800 40
40 900
900

20 20
800

0
0
0 15 30 45 60 75 90 105 0 15 30 45 60 75 90 105

Reduction time (Minutes) Reduction time (Minutes)


A B
120
100
M e ta lliz a tio n (% )

Seminar Material Metalurgi 2010

80 1100
60 1000

40
900
20
0
0 15 30 45 60 75 90 105
Reduction time (Minutes)
C
Figure 1. Correlation between metallization, temperature and reduction time. A.100 μm. B. 200 μm. C. 500 μm

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 73
Figure 3, shows the influence of particle size in more detail figure compare to Figure
2. Figure 3 shows the influence of particle size on the metallization at the reduction
temperature 900°C, 1000°C and 1100°C for reduction time 90 minutes. It is shown that the
particle size influenced the metallization significantly at the reduction temperature 900°C and
1000°C for 90 minutes reduction time, where the metallization is decreased with increasing
particle size, due to increasing in specific surface area. It means that contact surface between
the ore particles and the reductor is increased with reducing particle size, higher contact
surface will enhance the reduction reaction. However, particle size has relatively has no
significance influence on the metallization and reducibility for reduction temperature 1100°C
and the reduction time 90 minutes or in the second stage where the metallization proceed
slower compare to the first stage.
80 100

M e t a lliz a t io n ( % )
100 mikron
M e d ta lliza tio n 9 5 0

60
100 mikron 80
60
200 mikron
40 200 mikron 40
500 mikron 500 mikron
20 20
0
0
0 15 30 45 60 75 90 105 0 15 30 45 60 75 90 105
Reduction time (minutes) Reduction time (minutes)
A B
120
100 mikron
100
Metallization (%)

80
500 mikron
60

40
200 mikron
20

0
0 15 30 45 60 75 90 105
Reduction time (Minutes)
C
Figure 2. Influence of particle size on the metallization for 900°C, 1000°C and 1100°C . A. Temperature
reduction 900°C. B. Temperature reduction 1000°C. C. Temperature reduction 1100°C.
120
100
Metallization (%)

1100 C, 90 Mnt
80
Seminar Material Metalurgi 2010

60
1000 C, 90 Mnt
40
20 900 C, 90 Mnt

0
0 200 400 600
Particle size (micron)
Figure 3. Correlation between particle size and metallization at the reduction temperature 900°C, 1000°C and
1100°C

74 |  ISSN : 2085 – 0492


 
The significant enhancement of reduction by particle size also indicates that the
particle size is one of the controlling factor in reduction of lateritic iron ore.

CONCLUSION
Lateritic iron ore can be reduced by anthracite, the metallization achieved was up to
94%, means the reduced lateritic iron ore from metallization point of view can fulfill the
standard metallization minimum for steel making raw material. Particle size determine the
lateritic iron ore reduction achievement, in this case the metallization and reducibility.
Metallization and reducibility decrease with increasing particle size due to decreasing the
contact surface area between iron ore and reductant particle, However at the reduction
temperature 1100°C, the reducibility is not sensitive to the reduction temperature. Particle size
is one of the controlling factor in lateritic iron ore.

ACKNOWLEDGEMENT
This research work was carried out at chemical laboratory of PT KRAKATAU
STEEL, Cilegon and Postgraduate Program of Materials Science laboratory, University of
Indonesia. The support and facility provided by both institutions are gratefully acknowledged.
The authors wish also thanks to PT KRAKATAU STEEL management where the first author
is being employed as Assistant to HRD Director, formerly Process And Product Research
And Development Manager for providing facilities for experimental work.

REFERENCES
[1] Dutta, S.K., Ghosh, A., “Kinetics of Gaseous Reduction of Iron Ore Fines” ISIJ
International, Vol. 33 (1993), No 11, p. 1168 – 173.
[2] Freyssinet, P.H., Butt, C.R.M., Morris, R.C., Piantone, F., “Ore-Forming Process
Realted to Lateritic weathering”, Society of Economic Geologist, Inc. Economic
Geology 100th Anniversary Volume, (2005), pp. 681-722
[3] Makahanap, B.D., Manaf, A., ”Reduction Kinetic Characteristic of Lateritic Iron
Ore”, Quality in Research Seminar 3-6 August 2009, Seminar Proceeding, E2-S4-5.
[4] Ross, H.U., McAdams, D., Marshall, T., “Reaction Kinetics”, Direct Reduced Iron,
Technology and Economics of Production and Use”, Iron & Steel Society, (1980), pp.26-
34.
[5] Prakash, S., “Reduction and sintering of fluxed iron ore pellets – a comprehensive
review”, The Journal of The South African Institute of Mining and Metallurgy”,
January/February 1996,pp.3 – 16.
[6] Yang, J., Mori, T., Kuwabara, M., ”Mechanism of Carbothermic Reduction of
Hematite – Carbon Composite Pellets”, ISIJ International, Vol. 47 (2007), No. 10, pp
1394 – 1400.
[7] O’Connors, F., Cheung, W.H, Valix, M., “Reduction Roasting of Limonite Ores: Effect
of Dehydroxylation”, International Journal Of Mineral Processing, 80 (2006) p.88 – 99
[O’Connors, 2006].
[8] Makahanap, B.D., Manaf, A., Anis,M., ”Reduction Kinetic Characteristic of
Seminar Material Metalurgi 2010

Lateritic Iron Ore”, 2010 SEAISI Conference & Exhibition, 17 – 20 May 2010, Ho Chi
Minh City, Vietnam, Seminar Proceeding, 5A-5.
[9] Brown, M.E., “The Prout – Tompkins rate equation in solid-state kinetics”,
Thermochemica Acta 300 (1997) p. 93 – 106.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 75
Seminar Material Metalurgi 2010

 
 

76 |  ISSN : 2085 – 0492


OPTIMIZATION OF BT PIEZOELECTRIC MATERIAL SYNTHESIS
AND ITS CHARACTERIZATION

Mardiyanto and Syahfandi Ahda


Nuclear Industry Material Division, Centre of Nuclear Industry Material Technology,
National Nuclear Energy Agency, Indonesia

Abstract
Comparison of Barium Titanate (BT) synthesized by solid state, hydrothermal and sol gel method. BT
has been produced by tree different methods namely solid sate, hydrothermal and sol gel method. One of the
research field in material science that can be done is to optimize among the different processes in synthesizing a
material such as BT. This work aims to select the best process based on the criteria of least energy consumption
and best product result. Based on the previous works the use of solid state reaction is most simple process to
have BT. However, it needs high temperature process. On the other hand hydrothermal and sol gel method need
lower temperature process but they are more complicated. To have BT produced by the tree methods, raw
materials are needed. The raw materials that were used for the first method were barium carbonate (BaCO3)
and titanium oxide (TiO2), for the second method were Ba(OH)2, de-mineral water, water, TiO2, ethanol,
format acid, and for the third method were stearic acid, Ba(OH)2, TiO2, and aceton. After being processed with
the tree different procedures, the results were analyzed by using X-ray diffraction (XRD) machine. For the solid
state reaction, the optimum sintering process was 900°C and the sintering time was 5 hours. In contrast with
this, to produce BT with hydrothermal process the temperature as high as 300°C was needed. On the other hand
for the sol gel process, the temperature of the process was the same with solid state reaction and also with the
same sintering time. Based on the XRD diffraction pattern the best result is obtained with solid state reaction
where no contamination is available.

Abstrak
Telah dilakukan eksperimen untuk membandingkan sintesa bahan piezoelektrik barium titanat (BT)
dengan menggunakan tiga metoda yakni metoda sintering, hidrotermal, dan sol-gel. Ini merupakan eksperimen
untuk membandingkan atau mencari metoda yang paling optimum kualitas BT yang dihasilkan dari ketiga
metoda tersebut. Metoda yang paling sederhana adalah sintering namun memerlukan suhu tinggi. Kedua
metoda yang lain tidak memerlukan suhu yang tinggi namun prosesnya lebih rumit. Untuk mendapatkan BT
diperlukan bahan dasar dan untuk ketiga metoda terebut bahan dasarnya berbeda. Bahan dasar untuk metoda
pertama adalah barium karbonat (BaCO3) dan titanium oksida (TiO2), untuk metoda yang kedua adalah
Ba(OH)2, air de-mineral, air, TiO2, ethanol, asam format , dan metoda ketiga memerlukan bahan dasar asam
stearat, Ba(OH)2, TiO2, and aseton. Setelah proses dilakukan maka hasilnya dianalisa dengan menggunakan
XRD. Untuk metoda sintering suhu optimumnya adalah 900°C dan waktu sintering 5 jam. Sedangkan untuk
hidrotermal adalah 300°C . Untuk metoda sol gel ternyata juga memerlukan suhu yang cukup tinggi
sebagaimana metoda sintering. Dari hasil analisa ternyata bahwa BT yang terbaik diperoleh dari metoda
sintering karena tidak ada kontaminan.

Key words : Barium titanate (BT), solid state reaction, hydrothermal process, sol gel process.

I. Introduction
The piezoelectric effect was discovered for the first time in the 18th century. After that
the materials are becoming very famous smart materials for converting mechanical energy
Seminar Material Metalurgi 2010

into electric energy or vice verse. Natural materials such as quartz, tourmaline, Rochelle salt,
etc. exhibit piezo effect but their piezo effect is very small. In order to improve the effect
some polycrystalline ferroelectric ceramic materials such as barium titanate and lead
zirconate titanate (PZT) with improved properties have been developed. These ferroelectric
ceramics become piezoelectric when they are poled by using high electric field namely in the
order of 100 kV/cm. PZT ceramics are available in many variations and are still the most
widely used materials for actuator applications today. At temperatures below the Curie
temperature, PZT crystallites exhibit tetragonal or rhombohedric structure. Due to their
permanent electrical and mechanical asymmetry, these types of unit cells exhibit spontaneous
polarization and deformation. Groups of unit cells with the same polarization and deformation

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 77
orientation are called domains. Because of the random distribution of the domain orientations
in the ceramic material, a ferroelectric poling process is required to obtain any macroscopic
anisotropy and the associated piezoelectric properties.
The pole piezoelectric materials can be used as a sensor or an actuator. When a
piezoelectric material subjects to a pressure its dimension changes and electrical charges are
generated. This phenomena is called as a direct piezoelectric effect. The converse
piezoelectric effect is the change of strain or stress in the material due to an applied electric
field. They are used in various applications such as in micro motor, imaging in non-
destructive testing, sonochemistry, sonic bloom, ink injector, vibration damping etc. There
has been increased interest in researching the material synthesis as well as their applications
[1]. The applications, however, are restricted due to their brittleness and their atomic structure
which is sensitive to the temperature change.
The piezoelectric materials are most sensitive to the change of temperature especially
in their Currie temperature. In this temperature, their spontaneous polarization disappears due
to the change of their crystal structure namely from tetragonal to simple cubic structure. To
solve this problem it is necessary to increase the currie temperature by doping with other
elements such as Pt, Mn, Si etc [2].
Piezoelectric materials can be made by using at least two methods i.e. a powder
metallurgy (dry method) and sol gel method (wet method). The first method is relatively
simple so that it will be adopted in this experiment.

II. Basic Theory


The crystal structure of piezoelectric materials is perovskite. The structure can be
described as a simple cubic cell which contains ABO3 atoms [2]. A is a large cation exhibits
on the corners, B is a smaller cation in the body center, and O is an oxygen which exhibits on
the center of the faces. When the material is heated above the currie temperature the material
has a simple cubic structure where the B cation is exactly in the body center ( Fig.1.a.).
However, when the temperature is under currie temperature the material has a tetragonal or
rhombohedral structure Fig.1.b). The new structure is denoted as the ferroelectric phase.
Ferroelectricity means as reversibility of he direction of the electric dipole in a polar crystal
by means of an applied electric field.

Ba 
Ti 

(a) (b)
Figure 1. Barium titanate BaTiO3 (a) Simple cubic (above currie temperature) (b) Tetragonal (below currie
temperature).

As an example, the material is barium titanate, BaTiO3. The large A cations are
represented by Ba2+ in the corners of the cubic cell, smaller cation B is Ti4+ cation in the body
Seminar Material Metalurgi 2010

center of the cell, and O is O2- anions which are located on the face centers.

III. Experimental
3.1. Synthesis of Barium titanate (BaTiO3) by sintering process
Figure 2 shows the flow chart for barium titanate powder preparation. The raw
materials were barium carbonate (BaCO3) and titanium oxide (TiO2). They were weighted
stochiometrically, mixed, and ground manually by using a mortar for 4 hours.

78 |  ISSN : 2085 – 0492


 
Start 

Raw materials are weighted 
stochiometrically

Raw materials are mixed, 
ground  within 4 hours

Ground materials are 
pressed into pellets

Te pellets are calcined at 
300°C  for an hours

The pellets are sintered at 
950°C  for 5 hours

Finish 

Figure 2. Block diagram of Powder metallurgy process


The ground materials were then pressed into pellets. The pressure for making the
pellets were 3000 psi. For driving off the contamination material the pellets were calcined at
the temperature of 300°C for an hour. The process were ended by sintering the pellets at the
temperature of 900 °C for 5 hours.

3.2 Synthesis of Barium titanate (BaTiO3) by hydrothermal process


The synthesis of barium titanate can be done by using chemical process i.e. sol gel and
hydrothermal process. Here the second process was used. The raw materials used in this
experiment were Ba(OH)2, de-mineral water, water, TiO2, ethanol, format acid. The
experiments were divided into four steps. Firstly, to make solution of Ba(OH)2 and TiO2 with
the ratio of Ba/Ti was one. Secondly, to make a homogeneous solution the solution was
stirred for 15 hours by using magnetic stirrer to make a homogeneous solution. Thirdly, the
hydrothermal process was done namely by heating the solution in a closed reactor. The last
step was the characterization of BaTiO3 .
Seminar Material Metalurgi 2010

In order to have the solution of Ba(OH)2 and TiO2 with the ratio of Ba/Ti is one,
2.4954 gram of solid Ba(OH)2 was solved in the demineral water and stirred and 3.3361 gram
of solid Ti02 was solved in ethanol and stirred. Both solutions were stirred using a magnetic
stirrer for about 15 hours. The two slutions were then mixed and stirred using the same stirrer
for 24 hours in the room temperature.
The next process was the synthesis of BaTiO3. The mixed solution was poured into a
stainless steel reactor and closed. After that the reactor was put in a furnace which was set at
temperature of 240°C and 300°C for 2, 4, and 6 hours.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 79
After being heated the solution was filtered using funnel buchner and Ba(OH)2 was
washed out using formic acid. After that, the filtered solution was heated at a constant
temperature of 100°C for 12 hours. The white powder, which was assumed as BaTiO3, was
characterized using XRD and SEM.

3.3 Synthesis of Barium titanate (BaTiO3) by using sol gel method


Stearic acid that served as a matrix was pulverized using a mortar and then weighed as
much as 0.2133 grams. This raw material was then solved with 30 mL (0.83 M) of acetone.
Ba (OH)2 and TiO2 as much as 4.1847 grams and 1.9731 grams (0.025 mol) were prepared.
These two ingredients were mixed with stearic acid solution in a glass cup and then stirred
using magnetic steerer with the speed of 600 rpm at 65 ° C for 12 hours to obtain a viscous
solution or gel.
After becoming gel, the materials were then heated at 120 ° C for an hour so that they
became powder. Materials that have been dried then formed into pellet at a pressure of 2000
Psi. Four samples were made namely loosely called as A, B, C and D. The A, B, and C
sample were calcined at 300 ° C for an hour, then the temperature was raised to 625 ° C for an
hour. After being calcined, the A, B, and C sample were sintered at temperatures of 800,
900, and 1000 ° C for 4 hours. The D sample was not calcined and sintered and was used for
comparison.

Figure 3. X-ray diffraction patterns of mixed barium carbonate (BaCO3) and titanium oxide (TiO2) at the
different sintering temperature.
Seminar Material Metalurgi 2010

Figure 4. X-ray diffraction patterns of barium titanate [4]

80 |  ISSN : 2085 – 0492


 
IV. Result and Discussion
X-ray diffraction analysis
4.1.1 Synthesis of Barium Titanate by using sintering process
X-ray diffraction (XRD) patterns of raw material after being mixed are shown in
Figure 3. Fig.3 also shows X-ray diffraction (XRD) patterns of barium titanate after being
sintered. The sintering temperatures were 800 and 900°C . The XRD analysis shows that the
powders possess the raw materials phase structures.
By increasing the sintering temperature the phase structures are changing to form
single phase of perovskite structure. The single phase of perovskite structure was formed
when the temperature reached the value of 800°C . The temperature where the single phase
of perovskite structure has been formed can be determined by comparing the XRD pattern
with the pattern taken from [4] that can be shown in Figure 4.
4.1.2 Synthesis of barium titanate by hydrothermal process
It is claimed that purer, fine grain barium titanate (BaTiO3) may be obtained when it is
synthesized by using hydrothermal process. Moreover, by using the process the energy
consumption is much lower compared by using dry sintering process. The synthesis of
BaTiO3 with hydrothermal process was done in the environment temperature of 240 – 300°C .
On the other hand when it is done by dry sintering the temperature is about 900°C . The
sintering temperature is also a function of the pressure of pelleting process. The higher the
pressure the lower the sintering process. However, the pelleting pressure can not be increased
continuously but it depends on the capability of the pressurizing equipment.
Based on the temperature of the process, the hydrothermal process needs much lower
temperature than the sintering process. It means that the consumption of the energy for
synthesizing barium titanate (BaTiO3) is economically better using hydrothermal process. It
is, however, based on X-ray diffraction patterns of both methods and they are compared to the
X-ray diffraction of the standard sample, the barium titanate (BaTiO3) made by sintering
process is better (see Figure 3). Here, there are no foreign peaks shown. On the other hand it
is shown clearly that X-ray diffractions of the barium titanate (BaTiO3) made by
hydrothermal process contain foreign peaks which are the peaks of titanium oxide.
From Figure 5, A curve is a diffraction pattern of BaTiO3 crystal that was synthesized
for four hours with a temperature of 300°C , B curve for 2 hours at 2400C, and C curve for
two hours at a temperature of 300°C . From these results, it can be known that the
hydrothermal process has not fully completed yet. So, there are two questions that appear.
Firstly, when the raw materials were weighted stoichiometrically , why is there any titanium
oxide left ? and why does some of the barium carbonate (BaCO3) leave from the process ?
To answer these two questions we have to go back to the process being done. From the
hypotheses it was assumed that the process of synthesizing barium titanate (BaTiO3) would
not be perfectly done. There would be some raw materials exist after the process.
Seminar Material Metalurgi 2010

Figure 5. X-ray diffraction patterns of barium titanate made by hydrothermal method

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 81
The rest of the barium carbonate (BaCO3) can be easily washed by using natrium carbonate
(NaCO3) and this process has been done. On the other hand, titanium oxide (TiO2) can not be
chemically washed. So that it still exists in the result of the process and can be seen clearly in
the X-ray diffraction pattern (Figure 5).
4.1.3 Synthesis of barium titanate by sol gel method
Figure 6. shows the occurrence of phase transformation of material structures that are
influenced by temperature. At a temperature of 30 ° C is not treated as calcining and sintering
(green color. This indicates that in this stage the reaction is only a process of homogenization
of the material. At a temperature of 800 ° C to 1000 ° C shows that there are some peaks at 2θ
angles between 10 till 80 ° intervals. XRD diffraction pattern of barium titanate which refers
to the standard JCPDS Hannawalt crystal structure is shown in Table 1.

Figure 6. X-ray diffraction patterns of barium titanate made by sol-gel method


Table 1 shows that the five highest peaks of barium titanate crystals according to
JCPDS Hannawalt are in the 2θ angle of 31.4938, 31.6424, 42.3132, 45.3718, and 56 245 °.
The 2θ angle values are calculated using Bragg equation :
2d sin θ = nλ
The values are then used as reference to identify the diffraction pattern of the materials
that were heated at 800, 900, and 1000°C. The analysis results of the diffraction patterns of
materials can be presented on the following tables:

Tabel 2. Data puncak bahan pada pemanasan 800°C


Intensitas
No. 2θ (°)
(%)
1 31.559 100
2 38.9147 32.89
3 45.2091 31.17
4 25.3675 29.35
5 56.1762 28.09

Tabel 3. Data puncak bahan pada pemanasan 900°C


Intensitas
No. 2θ (°)
Seminar Material Metalurgi 2010

(%)
1 31.6324 100
2 28.3907 42.25
3 56.2517 37.79
4 38.963 34.3
5 45.3037 31.66

82 |  ISSN : 2085 – 0492


 
Tabel 4 Data puncak bahan pada pemanasan 1000°C
No. 2θ (°) Intensitas (%)
1 31.7116 100
2 28.482 34.1
3 39.0563 33.84
4 56.4343 29.66
5 45.4656 29.42

From the data obtained, the diffraction pattern which approximates the pattern is
Hannawalt JCPDS diffraction pattern which occurs at a temperature of 800 ° C although there
appear peaks of impurities. Seen at an angle 2θ around 25.3675 emerged peak intensity is
high (29.35%). The peak which should appear as in the standard pattern Hannawalt is at an
angle 2θ around 22 °. Peak pattern that emerged was the culmination of TiO2 impurities.
As for the heating 900 ° C and 1000 ° C than the peak of the pattern of impurities
appear around 25 °, the diffraction patterns are emerging at an angle 2θ around 28 ° with the
intensity of the peak at 900 ° C warming of about 42.25% and the heating 1000 ° C is 34.1%.
These peaks is the peak of the diffraction pattern of Ba (OH)2.

V. Conclusions
Barium titanate piezoelectric materials have been synthesized using three different
methods namely powder, hydrothermal, and sol-gel method. The raw materials that were used
for the first method were barium carbonate (BaCO3) and titanium oxide (TiO2), for the
second method were Ba(OH)2, de-mineral water, water, TiO2, ethanol, format acid, and for
the third method were stearic acid, Ba(OH)2, TiO2, and aceton. After being processed with
the tree different procedures, the results were analyzed by using X-ray diffraction (XRD)
machine. For the solid state reaction, the optimum sintering process was 900°C and the
sintering time was 5 hours. In contrast with this, to produce BT with hydrothermal process the
temperature as high as 300°C was needed. On the other hand for the sol gel process, the
temperature of the process was the same with solid state reaction and also with the same
sintering time. Based on the XRD diffraction pattern the best result is obtained with solid state
reaction where no contamination is available.

Acknowledgements
The research was supported by the National Block Grant 2009.

References :
1. Donglin Xia, Meidong Liu, Yike Zeng, and Churong Li, Fabrication and electrical
properties of lead Zirconate titanate thick films by sol-gel method, Materials Scince
and engineering B87 , Elsevier, 2001.
2. Arunachalakasi Arockiarajan, Computational Modeling of Domain Switching Effects
in Piezoceramic Materials, PhD Thesis, Tecnishe Universitat Kaiserslautern,
December 2005.
Seminar Material Metalurgi 2010

3. Tieqi Liu, Electromechanical Behavior of Relaxor Ferroelectric Crystals, A Thesis


Presented to The Academic Faculty in Mechanical Engineering, Georgia Institute of
Technology, October 2004.
4. Myeong-Heon Um, Chul-Tae Lee and Hidehiro Kumazawa, Preparation and
Dielectric Properties of Ferroelectric Barium Titanate Fine Particles by Hydrothermal
Method, Journal of Ind. & eng. Chemistry, Vol.3, N0.4, December 1997.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 83
Seminar Material Metalurgi 2010

 
84 |  ISSN : 2085 – 0492
PENGARUH PERLAKUAN BAHAN BAKU TERHADAP REAKSI
SLAKING PADA LIMESTONE DARI RUMPIN, BOGOR

Deddy Sufiandi dan Eko Sulistiyono


Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Gedung 470 Kawasan PUSPIPTEK Serpong

Abstrak
Pada tulisan ini akan dipaparkan pengaruh perlakuan bahan baku terhadap reaksi yang terjadi pada
proses slaking yaitu pembentukan kalsium hidroksida dari kalsium oksida. Bahan baku yang digunakan pada
percobaan ini adalah bahan baku batukapur dari daerah Rumpin, Kabupaten Bogor. Perbedaan proses
perlakuan bahan baku terletak pada proses penghalusan yaitu antara bahan baku yang dihaluskan dengan yang
tidak dihaluskan. Hasil percobaan mwenujukkan adanya perbedaan karakteristik kinetika reaksi antara bahan
baku yang dihaluskan dengan bahan baku yang tidak dihaluskan. Perbedaan tersebut terletak pada lama waktu
reaksi slaking dan temperatur maksimum slaking pada berbagai perbandingan antara bahan baku dengan air.

Kata kunci : Batu Kapur, Slaking, Penghalusan, temperatur maksium

Abstract
In the paper to explain influence of row material reaction in slaking process normaly calcium
hydroxide former from calcium oxide. This experiment to used row material lime stone from Rumpin area in
Bogor region. Different treatment process of material studied into refines between material refines and coarse .
The result to showed and different kinetic reaction characteristic between refines and coarse . That different is
retention time of slaking reaction and maximum temperature slaking , in all bind of raw material and water
ratio.

Key words : Lime stine, Slaking to refines, Maximum Temperature

I. PENDAHULUAN
Indonesia memiliki potensi batu kapur yang cukup melimpah dengan jumlah deposit
yang tersebar di seluruh pelosok. Hingga saat ini pemanfaatan batu kapur hanya terbatas
untuk bahan bagunan seperti sebagai bahan pembuatan semen, pondasi rumah, bata putih dan
campuran adukan semen. Ada sebagian kecil batu kapur dimanfaatkan untuk keperluan
industri seperti industri keramik, penetralisir limbah, fluks untuk peleburan baja dan lain-lain.
Pemanfaatan batu kapur untuk keperluan tersebut menhasilkan nilai tambah batu kapur yang
cukup rendah, dimana harga kapur yang sudah diolah kurang lebih sekitar Rp 2.000 / kg ,
sedangkan harga semen sekitar Rp 60.000 per sak atau sekitar Rp 1.200 / kg.
Aplikasi penggunaan batu kapur untuk keperluan material maju akhir-akhir mulai di
kembangkan di Indonesia. Hal ini sesuai dengan tuntutan dunia industri terhadap peningkatan
kualitas bahan mineral industri, dimana bahan material maju ini memiliki nilai jual yang
sangat tinggi. Salah satu aplikasi material maju pada pemanfaatan batu kapur adalah
membuat kalsium karbonat presipitat skala nano dengan bulk density yang rendah dan derajat
keputihan yang tinggi.
Melihat perkembangan material maju yang cukup pesat ini maka Pusat Penelitian
Seminar Material Metalurgi 2010

Metalurgi – LIPI mulai mengembangkan material maju salah satunya adalah material maju
berbasis mineral karbonat. Tujuan dari penelitian pengamatan reaksi slaking batu kapur dari
Rumpin, Bogor ini adalah untuk melihat proses slaking sabagai salah satu tahapan terpenting
dalam pembuatan kalsium karbonat presipitat. Pembuatan kalsium karbonat presipitat dengan
spesifikasi yang umum telah banyak dilakukan dan bukan merupakan teknologi baru. Namun
modifikasi proses karbonatasi untuk menghasilkan kalsium karbonat dengan spesifikasi
khusus belum dikembangkan secara luas di Indonesia. Pada umumnya pengembangan
material maju untuk kalsium karbonat dan mineral karbonat yang lain dengan proses milling
yaitu digerus dengan ball mill atau alat penumbuk khusus sampai ukuran nano. Diharapkan

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 85
dengan berbagai modifikasi proses karbonatasi diperoleh material maju berbasis karbonat
yang memiliki spesifikasi yang lebih baik dibandingkjan dengan proses proses fisik.

II. TEORI PROSES SLAKING


Proses slaking merupakan salah satu proses yang menetukan pada waktu pembuatan
kalsium karbonat presipitat dengan proses karbonatasi dari batu kapur. Dalam proses ini
reaksi terjadi antara kalsium oksida dari proses kalsinasi batu kapur dengan temperature yang
sangat tinggi. Adapun reaksi slaking pada percobaan yang terjadi adalah sebagai berikut :
CaO + H2O ====== Ca(OH)2 ......................... ( 1 )
Dalam reaksi tersebut terjadi proses pembentukan kalsium hidroksida yang disertai
dengan panas yang cukup tinggi. Panas tersebut dapat menaikkan temperatur proses secara
cepat dan mampu menguapkan air yang digunakan sebagai bahan baku. Panas yang terjadi
dalam proses reaksi slaking adalah sebesar :
∆H = ( - 235,8 ) - ( - 151,7 ) = - 84,1 Kkal / mol
Dengan melihat reaksi tersebut yang menghasilkan panas yang cukup tinggi maka
beberapa proses slaking telah dilakukan oleh sebagian orang untuk menghasilkan kalsium
hidroksida antara lain melalui :
1. Penambahan air secara perlahan-lahan sehingga air tersebut bereaksi dengan kalsium
oksida hasil proses kalsinasi yang terjadi secara perlahan-lahan. Dalam proses ini air yang
ditambahkan sebagian menguap sehingga proses reaksi terjadi dalam bentuk padatan
dimana kalsium oksida secara perlahan lahan berubah menjadi kalsium hidroksida dalam
bentuk padatan.
2. Penambaan air secara berlebihan dengan proses pengadukan sehingga panas yang timbul
dapat diserap sepenuhnya oleh air. Pada proses ini dengan perbandingan tertentu air akan
terserap habis dalam proses sehingga menghasilkan reaksi yang kurang sempurna. Untuk
itu perlu diperhatikan perbandingan antara air yang ditambahkan dengan padatan yang
akan direaksikan.

III. PROSEDUR PERCOBAAN


3.1. Pemilihan Bahan Baku
Pada penelitian ini untuk mendapatkan bahan baku untuk percobaan digunakan bahan
baku dari alam berupa batu kapur ( limestone ) dari daerah Rumpin, Kabupaten Bogor. Batu
kapur dari daerah Rumpin, Kabupaten Bogor hingga saat ini belum dimanfaatkan secara luas
hal ini terkait dengan rendahnya kualitas batu kapur dan ketersediaan deposit batu kapur di
daerah tersebut. Batu kapur dari daerah tersebut memiliki kadar CaO yang cukup rendah yaitu
sekitar 42 – 48 % , sementara itu batu kapur yang baik memiliki kadar CaO sampai 55 %.
Kemudian batu kapur dari daerah Rumpin ini memiliki pengotor antara lain silika dan
alumina sedangkan kadar besi cukup rendah. Adapun hasil analisa kimia dengan
menggunakan metode XRD dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Analisa XRF batu Kapur Rumpin-Bogor


Seminar Material Metalurgi 2010

Titik Kadar senyawa ( % berat )


Pengambilan CaO MgO Na2O SiO2 Al2O3 K2O BaO Fe2O3 TiO2 LOI
Bawah 48,54 1,89 3,67 5,12 2,62 0,001 nd 0,001 0,001 38,15
Tengah 42,13 1,79 3,36 14,6 4,98 0,039 nd 0,001 0,010 33,12
Ke Dalam 49,88 1,16 3,95 3,75 2,06 0,001 nd 0,001 0,008 39,22

Bahan baku dari daereah Rumpin tersebut selanjutnya dilakukan proses kalsinasi pada
temperatur 1.000OC selama lima jam. Diharapkan dengan proses kalsinasi pada tempartur
tersebut dan waktu yang cukup lama dapat dihasilkan kalsium oksida yang sempurna

86 |  ISSN : 2085 – 0492


 
reaksinya. Kesempurnaan reaksi kalsinasi dapat dilihat dari penyusutan batu kapur menjadi
sekitar 56 % , dimana 44 % telah berubah menjadi gas CO2 dengan reaksi sebagai berikut :
CaCO3 ============ CaO + CO2 ........................... ( 2)
3.2. Tahapan Kegiatan
Pada kegiatan ini dilakukan proses slaking terhadap hasil kalsinasi batu kapur dari
Rumpin dengan variabel utama yaitu perlakuan terhadap bahan baku secara fisik yaitu melalui
proses penghalusan dan tanpa proses penghalusan. berbagai variabel perbandingan massa
sampel hasil kalsinasi yang ditambahkan terhadap air. Secara garis besar proses slaking
dilakukan dalam tiga tahap proses yaitu :

1. Proses Penghalusan
Proses penghalusan merupakan salah satu tahapan yang cukup penting dalam kegiatan
penelitian ini, dimana dalam proses penghalusan ini produk hasil kalsinasi dihaluskan sampai
ukuran dibawah 150 mesh. Kemudian variabel percobaan yang lain adalah tidak dihaluskan
melainkan dibiarkan ukuran butiran sekitar 5 mm . Proses penghalusan dilakukan di di dalam
Disk Mill yang beruptar di dalam piringan baja sampai produk kalsinasi menjadi tepung.
Selanjutnya tepung tersebut diayak dalam pengayak ukuran 150 mesh, dimana tepung yang
diambil adalah yang lolos dalam ayakan tersebut.
2. Proses Slaking
Proses slaking adalah proses reaksi antara produk kalsium oksida dengan air sehingga
terbentuk kalsium hidroksida. Dalam prercobaan ini dilakukan dengan lima variabel
perbandingan antara lair dengan padatan yaitu 1.000 ml air dan padatan 200 g , 300 g dan 400
g.
3. Proses Pengamatan Temperatur
Dilakukan proses pengamatan temperatur dalam proses slaking yaitu pada temperatur
cairan setiap terjadi kenaikan temparatur. Pengamatan dilakukan sampai tercapai temparatur
maksimal kemudian selanjutnya setelah tercapai tempartur maksimal diamati penurunan
temparatur hingga sampai temparatur kembali seperti semula.

IV. HASIL PERCOBAAN


Telah dilakukan percobaan slaking pada kondisi bahan baku tidak diohaluskan dan
bahan baku yang dihaluskan. Diperoleh data sebagai berikut :
4.1. Perlakuan Bahan Baku Tidak Digerus
Tabel 2. Hasil perhitungan waktu dengan temperatur slaking pada bahan baku yang tidak dihaluskan
200 g 300 g 400 g
O O O
T C Menit T C Menit T C Menit
28 0.00 28 0.00 29 0.00
30 0.15 35 0.18 30 0.07
31 0.28 37 0.27 32 0.12
32 0.40 39 0.38 34 0.18
Seminar Material Metalurgi 2010

33 0.58 41 0.48 36 0.20


34 0.75 43 0.60 38 0.22
35 0.88 45 0.70 40 0.23
36 1.03 47 0.80 42 0.25
37 1.20 49 0.92 44 0.28
38 1.40 51 1.02 46 0.32
39 1.63 53 1.13 48 0.35
40 1.78 55 1.22 50 0.38
41 2.05 57 1.28 52 0.40
42 2.43 59 1.42 54 0.43

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 87
43 3.20 61 1.57 56 0.47
44 5.62 63 1.75 58 0.50
65 1.95 60 0.58
67 2.30 62 0.65
69 3.13 64 0.78
66 0.97
78 4.02

4.2. Bahan Baku Dihaluskan


Tabel 3. Hasil perhitungan waktu dengan temperatur slaking pada bahan baku yang dihaluskan sampai 150 mesh
200 g 300 g 400 g
T (oC) t (mnt) T (oC) t (mnt) T (oC) t (mnt)
30 0 30 0 31 0
31 0.03 32 0.03 34 0.07
33 0.05 34 0.05 36 0.08
35 0.07 35 0.10 38 0.12
36 0.08 37 0.13 40 0.17
37 0.12 38 0.25 42 0.22
38 0.15 40 0.30 44 0.28
39 0.18 42 0.35 46 0.32
40 0.22 44 0.38 48 0.37
41 0.28 46 0.43 50 0.42
42 0.32 48 0.48 52 0.45
43 0.37 50 0.53 54 0.52
44 0.40 52 0.55 56 0.53
45 0.43 54 0.60 58 0.57
46 0.48 55 0.65 60 0.62
47 0.52 56 0.73 62 0.68
48 0.57 58 0.82 64 0.77
49 0.62 59 0.88 66 0.83
50 0.67 60 1.08 67 0.88
51 0.73 60.5 1.28 69 1.17
52 0.82 60 1.55 65 2.33
53 0.88 55 0.20 60 4.33
54 1.03 47 2.43 55 6.33
55 1.28 45 4.67 50 8.92
56.5 1.33 40 6.20 45 19.58
56 1.70 35 11.17 39 31.67
55 2.40 33 11.80 35 52.17
50 5.07 32 16.17 33 68.00
45 7.45 25.92
Seminar Material Metalurgi 2010

40 10.87 80.33
35 16.95
31 40.60

V. PEMBAHASAN
Dari kedua tabel yaitu Tabel 2 dan Tabel 3 dapat dilihat perbedaan pencapaian
temperatur dan waktu yang dilakukan. Adapun perbedaan proses slaking antara bahan yang
dihaluskan dan tidak dihaluskan dapat diuraikan sebagai berikut :

88 |  ISSN : 2085 – 0492


 
5.1. Temperatur Maksimal
Dari perbandingan pencapaian tempatur maksimal pada bahan baku yang telah
dihaluskan menujukkan bahwa peningkatan perbandingan padatan dengan volume air tidak
menujkkan kenaikan yang cepat. Pada Gambar 1 dibawah terlihat untuk bahan baku yang
dihaluskan, penambahan rasio padatan tidak begitu berpengaruh terhadap temperatur
maksimal yang dicapai. Sebaliknya untuk bahan tidak dihaluskan terjadi peningkatan
temperatur maksimal yang cukup berarti seiring dengan penambahan rasio padatan.

Temperatur maksimal : OC
80
Dihaluskan
70 Tidak
60

50
40
30
20
10
0
200 g 300 g 400 g
Gambar 1. Temperatur maksimal yang dicapai

Kemudian dari dua percobaan baik dengan pemnghalusan bahan baku muapun tidak
dihaluskan menunjukkan peningkatan tempartur maksimal seiring dengan penambahan rasio
padatan yaitu dari 200 g sampai 400 g per 1.000 ml air. Dengan melihat data tersebut diatas
dapat diamati bahwa untuk bahan baku yang dihaluskan telah terjadi distribusi penyebaran
panas yang lebih merata dibandingkan dengan bahan baku yang tidak dihaluskan. Perbedaan
waktu distribusi panas yang lebih menyolok terjadi jika rasio penambahan padatan dengan air
semakin besar. Namun demikian untuk mengetahui sejauhmana efek penyebaran panas
terhadap kualitas produk kalsium karbonat presipitat dapat diamati pada hasil percobaan
dengan melihat bulk density , derajat keputihan dan ukuran partikel.

5.2. Waktu Pencapaian


Waktu pencapaian temperatur maksimal pada percobaan dengan penghalusan bahan
baku pada gambar 2 dibawah jauh lebih cepat dibandingkan tanpa proses penghalusan.
Kecepatan reaksi pada bahan baku yang dihaluskan jauh lebih baik daripada tanpa proses
penghalusan, hal ini karena luas permukaan kontak antara padatan dan cairan lebih besar.
Seminar Material Metalurgi 2010

Sehingga dengan semakin besar luas kontak antara padatan dengan air maka proses adsorbsi
air dalam padatan lebih cepat.
Waktu pencapaian temperatur maksimal menunjukkan bahwa pada perbandingan
padatan dengan air 300 g / 1.000 ml air adalah waktu yang paling cepat. Hal ini berlaku
untuk bahan baku yang dihaluskan mapun untuk bahan baku yang tidak dihaluskan. Dengan
melihat kecepatan pencapaian temperatur maksimal menujukkan bahwa pada perbandingan
300 g / 1.000 ml adalah perbandingan yang tepat untuk proses slaking. Data pada penelitian
sebelumnya menujukkan bahwa pada perbandingan 300 g / 1.000 ml air dengan tanpa melalui
proses penghalusan bahan baku menujukkan bahwa bulk density yang dihasilkan paling

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 89
rendah. Untuk proses dengan penghalusan diharapkan diperoleh hal yang sama yaitu
pencapaian bulk density yang juga rendah pula, dengan pencapaian bulk density yang jauih
lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan bahan baku tanpa proses penghalusan.
Adapun hasil percobaan pencapaian temperatur maksimal dapat ditampilkan pada Gambar 2.

Waktu pencapaian : menit 
6
Dihaluskan
5 Tidak

0
200 g 300 g 400 g

Gambar 2. Waktu pencapaian temperatur


VI. KESIMPULAN
1. Kecepatan reaksi yang paling cepat pada penambahan massa sampel 300 g per 1.000
ml air, hal ini berlaku untuk bahan baku yang dihaluskan mapun bahan baku yang
tidak dihaluskan.
2. Bahan baku yang dihaluskan terlebih dahulu akan memerlukan waktu reaksi yang
lebih cepat dibandingkan dengan bahan yang tidak dihaluskan. Hal ini diumungkan
karena luas kontak permukaan bahan yang lebih halus semakin luas sehingga
mempercepat proses reaksi.
3. Pencapaian temperatur maksimal dipengaruhi oleh penambahan massa sampel dimana
semakin besar massa sampel maka temperatur yang dicapai semakin tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Eko Sulistiyono dan Murni Handayani , “ Uji Reaksi Slaking pada Limestone dari
Rumpin, Bogor “ , Prosiding Seminar Material Metalurgi 2009, Pusat Metalurgi-LIPI,
2 Desember 2009. Serpong, Tangerang. ISSN 2085-0492 .
2. Imam A. Sadisun, Hideki Shimada, Masatomo Inchinose and Kikno Matsui,
Experimental Insights on the Caharacteristic of Rocck Slaking with Particular
Reference to the Sedimentary Argilaceus Rocks, Paper SR America, 2003.
3. Immanuel Ginting, Deddy Sufiandi dan Agus Budi Prasetyo, Studi Potensi
Seminar Material Metalurgi 2010

Pengembangan Batu Kapur dari Rumpin, Bogor, Proseding Seminar “


ASTECHNOVA “ Fakultas Teknik, Universitas Gadjamada, Yogyakarta, 6 Oktober
2009.
4. Mohammad Hassabi, An Overviev of Lime Slaking and Factors That the Affect
Process, Chemco System, LP, November 1999, revision by February 2009.

90 |  ISSN : 2085 – 0492


 
FABRIKASI KERAMIK ELEKTROLIT PADAT 8YSZ DARI ZIRKON
LOKAL MENGGUNAKAN METODE SOL GEL

Dani Gustaman Syarif*1), Syoni Soepriyanto**), Akhmad Korda**)


*)
Program Pasca Sarjana Teknik Metalurgi ITB, Jl. Ganesha 10, Bandung, Indonesia 40132.
1)
PTNBR-BATAN, Jl.Tamansari 71, Bandung 40132, Indonesia.
**)
Jurusan Teknik Metalurgi, Institut Teknologi Bandung,
Jl. Ganesha 10, Bandung 40132, Indonesia.

Abstrak.
Dalam rangka pemanfaatan bahan zirkon lokal untuk produk bernilai tinggi, pada penelitian ini
dilakukan studi pembuatan keramik ZrO2 yang didop 8 % mol Y2O3 (8YSZ) untuk elektrolit padat. Keramik
8YSZ difabrikasi dari serbuk ukuran nanometer (nanopowder) yang dibuat dengan metode solgel. Prekursor
untuk menyiapkan serbuk nano 8YSZ adalah ZrOCl2.8H2O yang diperoleh dari zirkon sebagai produk samping
pengolahan timah di pulau Bangka, dan Y(NO3)3 komersial. Keramik difabrikasi dengan cara pengepresan
dengan tekanan 5 ton/cm2 dan penyinteran pada suhu 1500oC selama 4 jam. Keramik hasil sinter dianalisis
dengan difraksi sinar-x (XRD) dan konduktivitas listriknya diukur memakai LCR meter presisi pada frekuensi
20Hz-2MHz. Hasil analisis XRD memperlihatkan bahwa keramik 8YSZ yang dibuat berstruktur kristal kubik.
Keramik ini mempunyai rapat massa yang cukup tinggi yaitu 97,2 % rapat massa teoritis. Konduktivitas
ioniknya pada suhu 500oC adalah 0.26 mS/cm. Konduktivitas ionik yang harganya hanya sedikit lebih rendah
dari pada data literatur (0,291 mS/cm) dan kepadatan yang cukup tinggi memperlihatkan bahwa zirkon dari
Bangka mempunyai potensi yang baik untuk fabrikasi elektrolit padat.

Kata kunci : Elektrolit padat, 8YSZ, zirkon, serbuk ukuran nano, sol gel.

Abstract.
In order to utilize local zircon for production of high value product, in this work a study of fabrication
of 8 mol % Y2O3 doped-ZrO2 (8YSZ) for solid electrolyte has been carried out. The 8YSZ ceramics were
fabricated from nanopowder using sol gel method. Precursors for preparation of the 8YSZ powder were
ZrOCl2.8H2O derived from zircon as by product of Tin processing at Bangka island, and commercial Y(NO3)3.
The ceramics were fabricated by pressing with pressure of 5 ton/cm2 and sintering at 1500oC for 4 hours. The
sintered ceramic was analyzed using XRD. It’s conductivity was measured using an precision LCR meter at
frequency of 20Hz-2MHz. The XRD analyses showed that the 8YSZ ceramic had crystal structure of cubic. The
ceramic had relatively high density of 97,2 % theoritical density. It’s ionic conductivity at 500oC was 0.26
mS/cm. This ionic conductivity which is only slightly different with the literature data and the relatively high
density showed that the zircon from Bangka island had good potentiality for fabrication of solid electrolyte.

Key words: Solid electrolyte, 8YSZ, zircon, nanopowder, sol gel.

PENDAHULUAN
Kebutuhan energi yang besar khususnya di Indonesia telah memaksa kita untuk
mencari sumber-sumber energi alternatif atau memproduksi energi dengan metode alternatif.
Salah satu jalan dalam penyediaan energi adalah dengan memanfaatkan sel bahan bakar
oksida padatan (SOFC, Solid Oxide Fuel Cell). SOFC adalah sebuah pengkonversi
(converter) energi. SOFC dapat dimanfaatkan untuk mengkonversi bahan bakar seperti
Seminar Material Metalurgi 2010

hidrogen ke energi listrik [1-3]. Sebuah SOFC terdiri atas tiga bagian utama yaitu anode,
katode dan elektrolit. Ketiganya dibuat dari bahan tertentu yang berbeda. Anode dapat dibuat
dari komposit zirkonia yang distabilkan Y2O3 (YSZ) dan Ni [4] sementara katode dapat dibuat
dari komposit YSZ dan LSM(LaSrMnO3) [5-6]. Khusus untuk elektrolit, yang sangat populer
adalah YSZ khususnya 8YSZ[7-10].
Di Indonesia, mineral yang mengandung zirconium khususnya zircon sebagai hasil
samping pemrosesan timah sangat berlimpah dan belum dimanfaatkan dengan baik untuk
produk bernilai tinggi. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan nilai tambah kepada zircon
yang tersedia secara berlimpah, pada penelitian ini dilakukan sintesis serbukYSZ dengan

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 91
metode sol gel dan fabrikasi keramik YSZ dengan memanfaatkan zircon lokal dari pulau
Bangka. Karakteristik keramik yang diperoleh dipelajari dan dibahas.

TATA KERJA
Serbuk ZrOCl2.8H2O yang diperoleh dengan cara fusi kaustik [11] dicampur dengan
serbuk Y(NO3).6H2O dan dilarutkan kedalam air. Kedalam campuran ditambahkan asam
sitrat. Larutan sol yang terbentuk selanjutnya dipanaskan pada suhu 80oC selama sekitar 24
Jam hingga membentuk gel. Gel dipanaskan pada suhu 180oC hingga kering, dilanjutkan
dengan kalsinasi pada suhu 800oC selama 3 jam. Serbuk yang terbentuk dianalisis dengan
difraksi sinar-x (XRD). Serbuk ini dinamai serbuk 8YSZ. Serbuk 8YSZ dipres dengan
tekanan 5 ton/cm2, lalu disinter pada suhu 1500oC selama 4 Jam di udara. Rapat massa pelet
hasil sinter ditentukan dengan cara penimbangan dan pengukuran dimensi. Pelet sinter
kemudian dianalisis XRD dan konduktivitas ioniknya diukur memakai LCR meter presisi
pada frekuensi 20 Hz hingga 2 MHz pada suhu 500oC. Suhu ini adalah suhu operasi sel bahan
bakar oksida padatan (SOFC) suhu rendah. Kekerasan pelet diukur dengan Vickers hardness
tester.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penampilan Visual dan Analisis XRD
Serbuk yang dibuat secara visual diperlihatkan pada Gambar 1. Serbuk berwarna putih
kekuningan. Hasil XRD nya diperlihatkan pada Gambar 2. Sementara hasil analisis XRD
pelet sinternya diperlihatkan pada Gambar 3.

Gambar 1. Penampilan visual serbuk 8YSZ hasil proses sol gel.


Pola difraksi pada Gambar 2 memperlihatkan bahwa serbuk YSZ yang dibuat masih
mengandung ZrO2 monoklinik, dan serbuk mayoritas berkristal tetargonal. Ini disebabkan
oleh tidak larutnya sebagian Y2O3 karena suhu kalsinasi yang relatif rendah (800oC). Setelah
serbuk YSZ dibuat pelet dan disinter pada suhu 1500oC, keramik hasil sinter mempunyai
Seminar Material Metalurgi 2010

struktur kubik seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Selama penyinteran, sebagian ZrO2
monoklinik dan sebagian Y2O3 yang belum larut membentuk larutan padat YSZ kubik.
Keramik ini kemudian diberi kode 8YSZ.
Pelet hasil sinter mempunyai rapat massa 97,2 % rapat massa teoritis. Harga ini relatif
cukup tinggi. Pada suhu yang sama Dahl dkk.[12] memperoleh pelet dengan rapat massa
97,4% rapat massa teoritis. Untuk kebutuhan SOFC, rapat massa masih perlu ditingkatkan
hingga mencapai 99 % lebih untuk mendapatkan karakteristik elektrolit padat yang lebih baik.
Penampilan visual pelet hasil sinter diperlihatkan pada Gambar 4.

92 |  ISSN : 2085 – 0492


 
2500 T

2000

I n te n s i ty   (C p s )
1500
T
1000

M T T
500 M
M T
0
20 30 40 50 60 70 80

2  (De g re e)

Gambar 2. Pola difraksi sinar-x serbuk YSZ yang dikalsinansi pada suhu 800oC selama 3 Jam.

600
111
500
I n te n s i ty   (C p s )

400 220

300
200
200 311
222 400
100

0
25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80
2   (Deg ree)

Gambar 3. Pola difraksi sinar-x pelet 8YSZ yang disinter pada suhu 1500oC.

Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 4. Penampilan visual pelet 8YSZ hasil sinter.


Analisis Sifat Listrik
Konduktivitas ionik pelet 8YSZ diukur menggunakan alat LCR meter presisi dari
frekuensi 20Hz hingga 2 MHz pada suhu 500oC. Hasil pengukurannya diperlihatkan pada
Gambar 4. Seperti terlihat pada Gambar 4, hanya terdapat satu cole. Cole ini merupakan

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 93
representasi tahanan listrik butir. Cole lain yang biasanya terletak di sebelah kanan cole butir
yang merupakan cole batas butir tidak terlihat. Hal ini menggambarkan tidak terdapatnya
blocking kekosongan oksigen di batas butir. Dari Gambar 4, konduktivitas ionik dihitung dan
hasilnya adalah 0,260 mS/cm (Diperlihatkan pula pada Tabel 1). Dibandingkan dengan data
literatur [13] sebesar 0,291 mS/cm harga konduktivitas ionik yang diperoleh sudah cukup
baik, meski masih sedikit lebih rendah. Perbedaan harga konduktivitas ionik ini kemungkinan
disebabkan oleh masih relatif rendahnya densitas keramik yang diperoleh. Jika densitas dapat
ditingkatkan, maka kemungkinan konduktivitas ionik akan lebih besar lagi.

‐1500
Z   Im   (O h m )

‐1000

‐500

0
0 1000 2000 3000 4000
Z real (Ohm)

Gambar 4. Plot Z real versus Z imajiner (Plot Nyquis) dari keramik 8YSZ hasil pengukuran menggunakan
LCR meter presisi pada suhu 500oC.

Tabel 1. Rekapitulasi karakteristik keramik 8YSZ yang dibuat.


No. Karakteristik Keterangan
1. Struktur kristal Kubik
2. Rapat massa (Densitas) 97,2 % densitas teoritis
3. Konduktivitas ionik (500oC) 0,260 mS/cm
4. Kekerasan 12,4 GPa
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 5. Gambar SEM permukaan patahan pelet 8YSZ hasil sinter.


Struktur mikro dan Analisis Sifat Mekanik (Kekerasan)
Struktur mikro pelet 8YSZ hasil sinter diperlihatkan pada Gambar 5. Terlihat jelas
bahwa pelet berstruktur nano. Butir-butir berukuran realtif kecil berorde puluhan nanometer.
Kekerasan pelet hasil sinter diukur menggunakan alat Vickers Hardness Tester. Dari hasil
pengukuran diketahui bahwa keramik 8YSZ mempunyai kekerasan sebesar 12,4 GPa seperti

94 |  ISSN : 2085 – 0492


 
dapat dilihat pada Tabel 1. Dibandingkan dengan data literatur [13] yaitu sebesar 12-15 Gpa,
harga kekerasan yang diperoleh sudah tinggi, masuk kedalam selang harga kekerasan literatur.
Kekerasan secara teoritis masih dapat ditingkatkan jika densitas pelet dapat ditingkatkan
menjadi > 97,2 densitas teoritis. Rekapitulasi hasil analisis keramik 8YSZ yang dibuat
diperlihatkan pada Tabel 1.

KESIMPULAN
1. Sintesis serbuk 8YSZ berukuran nanometer dari zirkon lokal asal Bangka dengan metode
sol gel dapat dilakukan.
2. Pelet 8YSZ dapat difabrikasi dari serbuk YSZ naometer pada suhu sinter 1500oC dengan
kepadatan 97,2 % rapat massa teoritis dan konduktivitas ionik sebesar 0,26 mS/cm serta
kekerasan sebesar 12,4 GPa.

SARAN
Konduktivitas ionik dari keramik 8YSZ yang dibuat masih perlu ditingkatkan untuk
dapat diaplikasikan pada SOFC suhu rendah melalui doping atau pembentukan komposit
dengan bahan lain yang mempunyai konduktivitas ionik yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
1. A. Kaiser, A., E. Monreal, E., D. Stolten, Preparation techniques and materials for long
term stable SOFC single cell membranes, Ionics 3, 143-148(1997).
2. S. P. Jiang, Dependence of cell resistivity on electrolyte thickness in solid oxide fuel cells,
J. Power Sources 183, 595-599 (2008).
3. J. H. Joo, G. M. Choi, Thick film electrolyte-supported solid oxide fuel cells, J. Power
Sources 180, 195-199 (2008).
4. R. N. Basu, A. D. Sharma, A. Dutta, Mukhopadhyay, Processing of high-performance
anode-suported planar solid oxide fuel cell, Internl J. Hydrogen Energy 33, 5748-5754
(2008).
5. K. Barthel, S. Rambert, St. Siegmann, Microstructure and Polarization Resistance of
Thermally Sprayed Composite Cathodes for Solid Oxide Fuel Cell Use, J. Thermal Spray
Tech. 9, (2000).
6. H. S. Song, W. H. Kim, S. H. Hyun, J. Moon, Influences of starting particulate material
son microstructural evolution and electrochemical activity of LSM-YSZ composite
cathode for SOF, J. Electroceram. 17, 759-764 (2006).
7. X. J. Chen, K. A. Khor, S. H. Chan, L. G. Yu, Preparation of yttria-stabilized zirconio
electrolyte by spark-plasma sintering, Mater. Sci. Eng. A341, 43-48 (2003).
8. R. R. Piticescu, M. Hrovath, D. Belavic, A. Lonascu, B. Malic, A. M. Motoc, C. Montly,
Zirconia pressure sensor: From nano powder to device, Solid State Phenom. 99-100, 89-
98(2004).
9. F. Tietz, H.P. Bruchkremer, D. Stover, Components manufacturing for solid oxide fuel
cells, Solid State Ionics 152– 153, 373– 381 (2002).
10. M. M. Bucko, Some structural aspects of ionic conductivity in zirconia stabilized by yttria
and calcia, Mater. Sci.-Poland 24, 39-44 (2006).
Seminar Material Metalurgi 2010

11. S. Soepriyanto, A. A. Korda, T. Hidayat, Development of zircon base industrial product


from zircon-sand concentrate of Bangka Tin processing, Proceeding of the 3rd International
Workshop on Earth Sci. Tech., Faculty of Engineering, Kyushu University, Fukuoka,
2005.
12. P. Dahl, I. Kaus, Z. Zhao, M. Johnsson, M. Nygren, K. Wiik, T. Grande, M.A. Einarsrud,
Densification and properties of zirconia prepared by three different sintering techniques,
Ceramic International 33, 1603-1610 (2007).
13. A. Rizea, M. Filal, D. Chirlesan, F. Lacour-Laher, C. Petot, G. Petoe-Ervas, Grain
boundary conductivity of Yttria-doped Zirconia:Influence of the Microstructure and
Composite Effect, Ionics 6, 279-287 (2000).

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 95
Seminar Material Metalurgi 2010

 
96 |  ISSN : 2085 – 0492
PEMBUATAN BESI SPONS DENGAN PEMANFAATAN LIMBAH
SCALE HASIL SCARFING OF SLAB

Erlina Yustanti*, Maulud Hidayat**


*Jurusan Teknik Metalurgi FT.Untirta, **Departemen Teknologi PT.Krakatau Steel Cilegon
*e-mail: rline68@yahoo.com, **e-mail: maulud.hidayat@krakatausteel.com

Abstrak
Scale atau kerak merupakan lapisan oksida yang terbentuk karena adanya reaksi oksidasi antara unsur
besi dengan oksigen yang terkandung disekitarnya. Scale yang terbentuk pada umumnya wustite (FeO),
magnetite (Fe3O4) dan hematite (Fe2O3). Pembentukan scale pada permukaan slab akibat pemanasan slab
merupakan salah satu permasalahan yang harus diperhatikan dalam industri baja. Scale yang terbentuk nantinya
akan menjadi limbah buangan. Tujuan dari penelitian untuk meningkatkan nilai ekonomis dari scale dengan
mengamati pengaruh komposisi, temperatur dan waktu tahan proses reduksi terhadap nilai Fe metal dan
metalisasi besi spons hasil reduksi. Dengan mempertimbangkan banyaknya kandungan oksida besi (>70%Fe)
dalam scale, maka scale dapat diolah kembali menjadi besi spons. Pada penelitian ini digunakan material utama
scale hasil scarfing of slab dan batubara sebagai reduktor dengan variasi perbandingan 60:40; 70:30; 80:20. Pada
awalnya dilakukan proses pelletizing untuk masing-masing komposisi tersebut dengan menggunakan binder
molasses. Selanjutnya dilakukan proses reduksi dengan variasi temperatur 950; 1000; 1050 dan 1100 oC dengan
waktu tahan reduksi 15; 30; 45; dan 60 menit. Nilai Fe metal tertinggi yang dihasilkan adalah 84,16% yaitu pada
komposisi pellet I (60:40) dengan temperatur reduksi 1100 oC dan waktu tahan 45 menit dengan nilai persen
metalisasi sebesar 99,85%.

Key words:kerak, besi spons, scarfing of slab, pelletizing, molasses, metalisasi

Abstract
Scale or crust is a layer of oxide is formed by the oxidation reaction between iron elements contained
by the surrounding oxygen. Scale formed on the generally wustite (FeO), magnetite (Fe3O4) and hematite
(Fe2O3). Scale formation on the surface of the slab due to slab heating is one problem that must be considered
in the steel industry. Scale that formed later will become waste. The aim of the research to improve the economic
value of the scale by observing the influence of composition, temperature and holding time on the value of Fe
metal and metallized sponge iron reduction results. Considering the amount of iron oxide content (> 70% Fe) in
the scale, the scale can be reprocessed into sponge iron. In this study, the main material of the slab scarfing
scale results and coal as a reductant with a variation ratio of 60:40, 70:30, 80:20. In the pelletizing process was
initially performed for each composition using molasses binder. Furthermore, the reduction process is carried
out by varying the temperature 950; 1000; 1050 and 1100 oC with holding time reduction of 15, 30, 45, and 60
minutes. The highest value of Fe metal produced is 84.16% of the composition of the pellets I (60:40) with a
temperature of 1100 oC reduction and holding time of 45 minutes with 99.85% metallized .

Key words:scale, sponge iron, scarfing of slab, pelletizing, molasses, metallized.

Pendahuluan
Scale atau kerak merupakan suatu lapisan oksida yang muncul karena adanya reaksi
oksidasi antara unsur besi dengan oksigen yang terkandung dalam atmosfer di sekitar slab
Seminar Material Metalurgi 2010

selama proses pendinginan ataupun proses pemanasan. Scale yang terbentuk pada temperatur
tinggi pada umumnya wustite (FeO), hematite (Fe2O3) dan magnetite (Fe3O4). Keberadaan
scale tentunya tidak diinginkan dalam suatu proses produksi baja, karena dengan munculnya
scale berarti terjadi pembuangan massa yang seharusnya merupakan bagian dari produk akhir.
Pada umumnya akan terbentuk scale sebanyak 20-25 kg untuk setiap ton produksi baja. Hal
ini menyebabkan bertambahnya biaya produksi dari suatu baja. Dewasa ini keberadaan scale
tetap menjadi problem dalam industri baja sebagai illustrasi dalam produksi slab dihasilkan
scale sebanyak 250 ton/bulan. Selanjutnya scale tersebut menjadi limbah buangan, dan belum
dilakukan pemanfaatan untuk meningkatkan nilai ekonomis scale. Bila dikaji lebih lanjut
dalam scale banyak mengandung oksida besi (>70% Fe), dengan kadar Fe yang tinggi

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 97
tersebut maka limbah scale dapat diolah sebagai bahan utama yang akan direduksi menjadi
besi spons. Besi spons yang dihasilkan dari reduksi limbah scale dapat digunakan sebagai
bahan penganti dalam proses steel making pada industri baja. .
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:mengamati dan menentukan pengaruh
temperatur reduksi dan waktu reduksi optimum terhadap nilai persen Fe metal dan persen
metalisasi yang terjadi.
Tahap awal penelitian dimulai dari proses preparasi bahan baku scale dan reduktor
batubara yang kemudian dilakukan pengujian komposisi awal dari kedua material tersebut,
dilanjutkan dengan pembuatan pelet scale kemudian direduksi dan dianalisis persen
metalisasinya serta penentuan parameter proses pembuatan besi spons yang paling optimum.
Bahan baku yang digunakan adalah scale dari hasil scarfing of slab, batubara sub bituminus
dan binder molase/gula tetes. Variabel proses dalam penelitian ini adalah komposisi
pencampuran antara scale dengan batubara (60:40; 70:30; 80:20), temperatur reduksi (950;
1000; 1050; 1100 oC), waktu reduksi (15; 30; 45; 60 menit ).

Kajian Pustaka
Pada umumnya scale berwarna biru keabu-abuan. Scale merupakan lapisan oksida
yang muncul pada permukaan baja karena adanya reaksi oksidasi dari unsur besi dengan
oksigen yang terdapat di dalam atmosfer di sekitar slab. Scale dari baja terdiri dari tiga jenis
oksida besi yang berbeda jumlah proporsi oksigennya, seperti ditunjukkan pada Tabel 1 [New
Zealand Steel, 2008].

Tabel 1 Kandungan Besi Dan Oksigen Dalam Oksida-Oksida Besi

Jenis Scale % Iron (Fe) % Oksigen (O2)

Fe2O3 (hematite) 69,9 30,1

Fe3O4 (magnetite) 72,4 27,6

FeO (wustite) 77,7 22,3

Batubara adalah termasuk salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya adalah
batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-
sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan. Unsur-unsur utamanya terdiri
dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batubara juga merupakan batuan organik yang memiliki
sifat-sifat fisika dan kimia yang kompleks yang dapat ditemukan dalam berbagai bentuk.
Analisis unsur memberikan rumus formula empiris seperti: C137H97O9NS untuk bituminus dan
C240H90O4NS untuk antrasit [Wikipedia, 2008]. Berdasarkan tingkat proses pembentukannya
yang dikontrol oleh tekanan, panas dan waktu, batubara umumnya dibagi dalam lima kelas:
antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan gambut. Potensi sumber daya batubara di
Indonesia sangat melimpah, terutama di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatra, sedangkan di
daerah lainnya dapat dijumpai batubara walaupun dalam jumlah kecil dan belum dapat
Seminar Material Metalurgi 2010

ditentukan nilai ekonomisnya, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua dan Sulawesi. Pada
umumnya batubara Indonesia berusia muda, kebanyakan dari kelas sub-bituminus. Untuk
kelas bituminus Indonesia memiliki cadangan 790 juta ton, kelas sub-bituminus 1430 juta ton
dan lignit 3150 juta ton. Adapun syarat batubara sebagai reduktor berdasarkan proximate
analysis adalah sebagai berikut: kadar fixed carbon berkisar antara 30-50%, mempunyai kadar
volatile matter 26-32%, kadar abu kurang dari 20%, moisture berkisar antara 3-20%.
Binder yaitu material tambahan yang berfungsi sebagai pengikat serbuk satu dengan
yang lain sehingga menjadi bagian yang lebih besar. Bahan pengikat atau binder ini dapat
digolongkan menjadi dua yaitu pengikat organik dan anorganik. Bahan pengikat organik lebih
sering digunakan untuk cetakan basah sedangkan pengikat anorganik sering digunakan untuk

98 |  ISSN : 2085 – 0492


 
membuat bahan yang nantinya akan dilakukan proses perlakuan lanjut. Pemilihan bahan
pengikat didasarkan pada kekuatan hasil pengikatan yang diinginkan, ketersediaan bahan
pengikat , serta pengaruh reaksi kimia bahan pengikat tersebut terhadap kondisi proses. Gula
tetes merupakan bahan pengikat organik yang digunakan untuk membuat cetakan basah. Gula
tetes adalah produk samping dari proses pembuatan gula. Bahan pengikat ini berbentuk cairan
kental berwarna coklat seperti karamel. Gula tetes biasanya diolah lebih lanjut untuk
pembuatan kecap, pakan ternak, atau dikirim ke pabrik fermentasi seperti penyulingan alkohol
[wikipedia, 2009]. Selain itu, saat ini gula tetes juga digunakan sebagai pengikat dalam
pembuatan pellet ataupun briket fines sponge iron. Adapun komponen penyusun dari molasse
terdiri dari: air (17-25)%, glukosa (30-40)%, fruktosa (5-12)%, gula pereduksi (1-5)%,
karbohidrat (2-5)%, abu (7-15)%, nitrogen (2-6)% dan sisanya lilin, steroid, fosfolipid dalam
jumlah maksimal 1% [Othmer, 1982]. Gula tetes mempunyai fungsi pengikat yang cukup
baik. Keuntungan pengikat ini antara lain, karena kekentalannya dan mampu basahnya yang
tinggi menyebabkan green briquette yang dihasilkan memiliki green strength yang baik.
Selain itu, pada temperatur tinggi gula tetes akan meningkatkan kekerasan pellet.
Pellet bijih besi dibuat melalui proses pelletizing. Prinsip utama pembuatan pellet bijih
besi meliputi tiga tahap, yaitu [Meyer, 1980]: preparasi bahan baku, meliputi proses
pengayaan dan grinding, pembentukan bola pellet, meliputi proses pencampuran, pengadukan
dan pembentukan bahan baku menjadi bentuk bola, indurasi, yaitu proses peningkatan
kekuatan pellet.
Proses reduksi bertujuan untuk menghilangkan ikatan oksigen dari biji besi. Proses
reduksi ini memerlukan gas reduktor seperti hidrogen atau gas karbon monoksida (CO).
Proses reduksi ini ada 2 macam yaitu proses reduksi langsung dan proses reduksi tidak
langsung.
Proses reduksi langsung biasanya digunakan untuk merubah pellet menjadi besi spons
(sponge iron) atau sering disebut besi hasil reduksi langsung (direct reduced iron). Reduksi
langsung dengan reduktor gas memerlukan bahan baku bijih besi dengan kadar Fe yang relatif
tinggi (60-67%) dan pengotor serendah mungkin (P ≤ 0,02%, S ≤ 0,01%) baik dalam bentuk
pellet ataupun lump ore. Gas reduktor yang dipakai biasanya berupa gas hidrogen atau gas
karbon monoksida yang dapat dihasilkan melalui pemanasan gas alam cair liquid netroleum
gas (LNG) dengan uap air di dalam suatu reaktor ataupun dapat berasal dari pembakaran
karbon.
Reduksi bijih besi berlangsung melalui tiga tahap reaksi, yaitu perubahan dari bentuk
hematite, magnetite, wustite, dan besi yang berlangsung pada temperatur di atas 570 oC.
Tahap I Tahap II Tahap III
Fe2O3  Fe3O4  FeO  Fe
Persamaan reaksi reduksi bijih besi oleh gas CO ditunjukkan seperti persamaan reaksi (1)
sampai (3) [Stephenson ; 1980]:
3Fe2O3 + CO → 2Fe3O4 + CO2 ΔHo1273 = -37,33 KJ/mol
o
........(1)
ΔG 1273 = -211,29 KJ/mol

Fe3O4 + CO → 3FeO + CO2 ΔHo1273 = 16,07 KJ/mol


Seminar Material Metalurgi 2010

o
........(2)
ΔG 1273 = -35,56 KJ/mol

FeO + CO → Fe + CO2 ΔHo1273 = 250,35 KJ/mol


o
........(3)
ΔG 1273 = -344, 92 KJ/mol
Persamaan reaksi pembentuksn besi dengan menggunakan gas CO, berlangsung pada
temperatur di atas 570 oC, sedangkan dengan menggunakan gas H2 mulai berlangsung pada
temperatur di atas 560 oC dan dua tahap lainya pada temperatur di bawah 560 oC. Reaksi
pembentukan akan dapat dipercepat dengan kenaikan temperatur. Selain menggunakan gas

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 99
reduktor CO, oksida besi dapat direduksi dengan menggunakan gas H2 seperti pada
persamaan reaksi (4) sampai (6):
3Fe2O3 + H2 → 2Fe3O4 + H2O ΔHo1273 = -5,104 KJ/mol
o
ΔG 1273 = -106,69 KJ/mol ........(4)
Fe3O4 + H2 → 3FeO + H2O ΔHo1273 = 53,76 KJ/mol
o
ΔG 1273 = -23,01 KJ/mol ........(5)
FeO + H2 → Fe + H2O ΔHo1273 = 19,37 KJ/mol
o
ΔG 1273 = 8,368 KJ/mol ........(6)

Metode Penelitian
Batubara Scale scarfing Binder

Preparasi Preparasi
-140# -140#

Uji Komposisi Uji Komposisi Kimia

Pencampuran (scale : Batubara = 60 : 40 ; 70 : 30 ; 80 : 20 ; )

Pelletizing

Pellet

Reduksi :T = 950 ; 1000 ;1050 ; 1100 oC, variasi t = 15, 30, 45, 60 menit

Pengujian: Analisa Basah

Data Pengamatan
Seminar Material Metalurgi 2010

Pembahasan Literatur

Kesimpulan

Gambar 1. Diagram alir penelitian pembuatan besi spons dari limbah scale hasil scarfing of slab

100 |  ISSN : 2085 – 0492


 
Alat yang digunakan
Ball mil, Vibrating Screen (140#), muffle furnace dan thermocouple, tabung stainless
steel tertutup (D = 5 cm dan t = 5 cm), timbangan Elektronik, jangka sorong, labu Erlenmeyer
250 ml, labu ukur 250 ml, burret titrasi 50 ml, magnetic stirrer, pipet ukur 100 ml, pipet tetes,
universal testing machine, amplas (300, 500, 800, 1000, 1200), mesin grinding, mesin
poleshing.
Bahan yang digunakan
Scale hasil proses scarfing of slab yang berasal dari limbah PT. Krakatau Steel,
batubara Bituminous, batu kapur, molasse/gula tetes, resin polyester, katalis, larutan alumina,
bahan yang digunakan untuk pengujian besi spons menurut standar PT. Krakatau Steel
adalah:larutan ferry chloride (FeCl3), larutan ammonium chloride (NH4Cl) 1%, larutan
potasium dikromat (K2Cr2O7) ± 0,1 N, larutan campuran asam sulfat (H2SO4) dan asam fosfat
(H3PO4), asam klorida (HCl) pekat, asam fosfat (H3PO4) pekat, SnCl2 10%, HgCl 10%,
aquades, indikator Diphenylamine Sulphonat

Pengujian Fe Total
Pengujian Fe total dilakukan berdasarkan standar pengujian pada ASTM –E 1028 - 84
(reapprove 1988), dengan cara sebagai berikut:
- Menimbang sampel besi spons sebanyak 0,3 gram.
- Melarutkan sampel dengan larutan HCl sebanyak 25 ml dalam labu erlemmeyer dan
diencerkan 200 ml H2O.
- Mendidihkan larutan besi spons + H2O tersebut, menambahkan 5 tetes SnCl2 sampai
larutan tersebut menjadi jernih, didinginkan sampai temperatur kamar.
- Menambahkan 15 ml HgCl2, 10 ml H3PO4, 2 tetes indikator yang selanjutnya
dilakukan titrasi menggunakan larutan K2Cr2O7 hingga berwarna ungu.
- Fe total pada besi spons dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
( NormalitasxVolum) K 2 Cr2 O7 xBM ( Fe)
% FeTotal  x100% ....................(7)
BeratSampel
Pengujian Fe Metal
Pengujian Fe metal dilakukan berdasarkan standar ASTM–E 1028-84 (reapprove
1988), dengan cara sebagai berikut:
- Menimbang 0,2 gr besi spons, memasukkannya ke dalam labu ukur 250 ml.
- Menambahkan larutan FeCl3 50 ml sambil dialiri nitrogen dan ditutup rapat.
- Melakukan pengadukan larutan dengan pengaduk magnetik selama 55 menit.
- Menambahkan NH4Cl ke dalam labu ukur hingga mencapai 250 ml dan aduk hingga
homogen.
- Mengambil 100 ml dari hasil pencampuran tahap 4, dan diencerkan dengan 50 ml
aquades, serta ditambahkan asam campuran 25 ml dan 3 tetes indikator.
- Melakukan titrasi larutan hasil tahap 5 dengan menggunakan larutan K2Cr2O7 hingga
berubah warna menjadi ungu.
- Nilai Fe metal dapat dihitung dengan rumus:
2,5 x( NormalitasxVolum) K 2 Cr2 O7 xBM ( Fe) 1
Seminar Material Metalurgi 2010

% FeMetal  x x100%
BeratSampel 3 ............(8)

Hasil dan Pembahasan


Nilai persen Fe metal pada suatu material yang telah direduksi menunjukkan
banyaknya logam besi yang terbentuk dalam suatu proses reduksi oksida besi, dalam
penelitian ini oksida besi yang digunakan berupa pellet scale. Pembentukan logam besi
selama proses reduksi ini dapat dipengaruhi oleh tiga variabel, yaitu komposisi campuran
antara oksida dan reduktor, temperatur reduksi dan waktu reduksi.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 101
80.00

75.00

Fe Metal (%)
70.00

65.00

60.00

55.00
10 20 30 40 50
Reduktor (%)

t = 15 menit t = 30 menit t = 45 menit t = 60 menit

Gambar 2. Pengaruh komposisi reduktor terhadap persen Fe metal pada temperatur reduksi 950 oC
80.00

75.00
Fe Metal (%)

70.00

65.00

60.00
10 20 30 40 50
Reduktor (%)

t = 15 menit t = 30 menit t = 45 menit t = 60 menit

Gambar 3. Pengaruh komposisi reduktor terhadap persen Fe metal pada temperatur reduksi 1000 oC.
85.00

80.00
Fe MEtal (%)

75.00

70.00

65.00

60.00
10 20 30 40 50
Reduktor (%)

t = 15 menit t = 30 menit t = 45 menit t = 60 menit

Gambar 4. Pengaruh komposisi reduktor terhadap persen Fe metal pada temperatur reduksi 1050 oC.
85.00

80.00
Fe Metal (%)
Seminar Material Metalurgi 2010

75.00

70.00

65.00

60.00
10 20 30 40 50
Reduktor (%)

t = 15 menit t = 30 menit t = 45 menit t = 15 menit

Gambar 5. Pengaruh komposisi reduktor terhadap persen Fe metal pada temperatur reduksi 1100 oC.

102 |  ISSN : 2085 – 0492


 
Pengaruh Komposisi Campuran Pellet dan reduktor terhadap Persen Fe Metal pada
Proses Reduksi Pellet Scale
Perbedaan komposisi pencampuran antara scale besi dengan reduktor batubara akan
memberikan pengaruh terhadap nilai perolehan Fe metal selama proses reduksi. Pengaruh
komposisi reduktor terhadap Fe metal dapat dilihat dalam Gambar 2 sampai Gambar 5.
Jumlah keseluruhan besi baik oksida atau metal dalam scale dapat diwakili dengan
nilai Fe total, sedangkan banyaknya besi metal dalam scale setelah proses reduksi
berlangsung diwakili dengan nilai Fe metal.
Pada Gambar 2 sampai Gambar 5 secara umum menunjukkan perbedaan nilai persen
Fe metal besi spons pada masing-masing komposisi penambahan reduktor untuk setiap
temperatur dan waktu reduksi tertentu. Pada gambar tersebut menunjukkan semakin banyak
penggunaan reduktor maka semakin banyak pula perolehan Fe metal selama proses reduksi
pada temperatur tertentu. Hal ini dikarenakan dengan semakin banyaknya komposisi reduktor
maka semakin sedikitnya kandungan besi oksida pada pellet yang harus direduksi, sedangkan
ketersediaan bahan reduktor semakin banyak. Kondisi seperti ini menyebabkan perolehan Fe
metal dari kandungan besi oksida tersebut juga semakin banyak.
Reaksi reduksi magnetite menjadi besi berlangsung sesuai dengan persamaan (9):
Fe3O4 (s) + 4CO (g)  3Fe (s) + 4CO2 (g) .......... (9)
Persamaan (9) menunjukkan, untuk setiap mol magnetite (Fe3O4) yang akan direduksi
menghasilkan tiga mol besi (Fe), dan proses reduksi tersebut membutuhkan empat mol gas
CO. Gas reduktor CO yang bertindak sebagai reduktor dalam reaksi tersebut dihasilkan dari
pembakaran batubara, sesuai dengan persamaan (9) dan (10):
C (s) + O2 (g)  CO2 (g) ......... (10)
CO2 (g) + C (s)  CO (g) ......... (11)
Berdasarkan persamaan (10) dan (11) tersebut, penggunaan bahan reduktor yang semakin
sedikit akan mengurangi jumlah gas CO yang terbentuk.

Pengaruh Temperatur dan Waktu Reduksi terhadap Fe Metal pada Proses Reduksi
Pellet Scale.
Perbedaan temperatur dan waktu reduksi yang digunakan dalam proses reduksi akan
memberikan pengaruh terhadap nilai perolehan Fe metal pada proses reduksi besi oksida.
Pengaruh temperatur dan waktu reduksi yang digunakan dalam proses reduksi terhadap Fe
metal pada masing-masing komposisi pellet dapat dilihat dalam Gambar 6 sampai Gambar 8.
Secara umum pada Gambar 6 sampai 8 terlihat nilai Fe metal meningkat dengan
meningkatnya temperatur dan waktu reduksi yang digunakan selama proses reduksi, dan pada
akhirnya menurun setelah 45 menit proses reduksi berlangsung. Adanya peningkatan nilai Fe
metal disebabkan adanya peningkatan laju pembentukan gas CO pada saat meningkatnya
temperatur dan waktu reduksi, reaksi pembentukan CO ditunjukkan seperti pada persamaan
(12):
CO2(g) + C(s)  2CO(g) ΔH298 = 172,46 KJ/mol C ............ (12)
Reaksi pembentukan gas CO yang pada persamaan (12) bersifat endotermik, sehingga
adanya peningkatan temperatur akan mendukung reaksi tersebut. Adanya peningkatan laju
Seminar Material Metalurgi 2010

pembentukan CO yang semakin tinggi mengakibatkan semakin banyaknya besi oksida pada
pellet yang tereduksi oleh gas CO dan menghasilkan logam Fe. Peningkatan nilai logam Fe
dalam besi spons mempengaruhi langsung peningkatan nilai Fe metal besi spons tersebut.
Nilai Fe metal tertinggi dari keseluruhan proses reduksi dicapai hingga 84,16% yaitu pada
pellet jenis I pada temperatur reduksi 1100 oC dengan waktu reduksi 45 menit.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 103
90.00

Fe Metal (%)
80.00

70.00

60.00
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu Reduksi (Menit)
T = 950 oC T = 1000 oC T = 1050 oC T = 1100 oC

Gambar 6. Pengaruh temperatur dan waktu reduksi terhadap Fe metal pada proses reduksi pelet scale untuk
jenis pellet I (60:40)
80.00
Fe Metal (%)

70.00

60.00

50.00
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu Reduksi (menit)
T = 950 oC T = 1000 oC T = 1050 oC T = 1000 oC

Gambar 7. Pengaruh temperatur dan waktu reduksi terhadap Fe metal pada proses reduksi pelet scale untuk
jenis pellet II (70:30)

70.00
Fe Metal (%)

60.00

50.00
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu Reduksi (menit)
T = 950 oC T = 1000 oC T = 1050 oC T = 1100 oC

Gambar 8. Pengaruh temperatur dan waktu reduksi terhadap Fe metal pada proses reduksi pelet scale untuk
jenis pellet III (80:20)

Pada Gambar 6 sampai dengan 8 memperlihatkan peningkatan nilai Fe metal seiring


peningkatan waktu reduksi, namun proses reduksi maksimum tercapai dengan waktu reduksi
45 menit, sedangkan pada menit ke-60 nilai Fe metal mengalami penurunan. Hal ini dikarena
oksidasi balik dari logam Fe yang telah terbentuk selama proses reduksi menjadi oksida besi,
sesuai dengan persamaan (13):
2Fe (s) + O2 (g)  2FeO(g) ΔG1273 = -360,13 KJ/mol ....... (13)
Pembentukan oksida besi ini dimungkinkan terjadi karena keberadaan oksigen yang berlebih
Seminar Material Metalurgi 2010

selama proses reduksi berlangsung.


Pengaruh Komposisi Reduktor terhadap Persen Metalisasi pada Proses Reduksi Pellet
Scale.
Perbedaan komposisi pencampuran antara scale besi dengan reduktor batubara akan
memberikan pengaruh terhadap nilai persen metalisasi pada proses reduksi. Nilai persen
metalisasi merupakan rasio perbandingan antara nilai Fe metal dan Fe total, secara matematik
dapat ditulis:
FeMetal
% Metalisasi  x100%
FeTotal ...... (14)

104 |  ISSN : 2085 – 0492


 
Pengaruh komposisi campuran pellet terhadap persen metalisasi pada temperatur reduksi
1100 oC ditunjukkan pada Gambar 9.
100.00

Metalisasi (%)
95.00

90.00

85.00
10 20 30 40 50
Reduktor (%)

t = 15 menit t = 30 menit t = 45 menit t = 60 menit

Gambar 9. Pengaruh komposisi reduktor terhadap persen metalisasi pada temperatur reduksi 1100 oC.
Gambar 9 menunjukkan nilai metalisasi dari masing-masing jenis besi spons yang
dihasilkan selama proses reduksi pada temperatur 1100 oC. Pada Gambar 9 dapat diketahui
bahwa nilai metalisasi dari besi spons selama proses reduksi pada temperatur 1100 oC
cenderung meningkat seiring meningkatnya reduktor yang digunakan. Nilai metalisasi yang
terbentuk selama proses reduksi mulai dari 87,10% yaitu pada komposisi penambahan
reduktor sebanyak 20% dengan waktu reduksi 15 menit sampai dengan 99,85% yaitu pada
komposisi penambahan reduktor sebanyak 40% dengan waktu reduksi 45 menit.
Peningkatan persen metalisasi yang ditunjukkan pada Gambar 9 berhubungan
langsung dengan penggunaan reduktor, dengan semakin banyaknya ketersediaan bahan
reduktor maka oksida besi yang dapat direduksi akan semakin banyak. Kondisi seperti ini
menyebabkan perolehan Fe metal semakin besar, Jumlah ketersediaan bahan reduktor akan
memberikan pengaruh langsung terhadap ketersediaan gas reduktor. Gas reduktor CO yang
bertindak sebagai reduktor dalam reaksi tersebut dihasilkan dari gasifikasi batubara, sesuai
dengan persamaan (10) dan (11).

Pengaruh Temperatur dan Waktu Reduksi terhadap Persen Metalisasi pada proses
reduksi pellet scale.
Perbedaan temperatur dan waktu reduksi yang digunakan dalam proses reduksi akan
memberikan pengaruh terhadap nilai persen metalisasi pada proses reduksi. Pengaruh
temperatur dan waktu reduksi yang digunakan dalam proses reduksi terhadap persen
metalisasi pada proses reduksi pelet scale untuk jenis pellet I (60:40) dapat dilihat dalam
Gambar 10.
100.00
Metalisasi (%)

90.00

80.00

70.00
Seminar Material Metalurgi 2010

0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu Reduksi (menit)

T = 950 oC T = 1000 oC T = 1050 oC T = 1100 oC

Gambar 10. Pengaruh tempertur dan waktu reduksi terhadap persen metalisasi pada proses reduksi pelet scale
untuk jenis pellet I (60:40)

Pada Gambar 10 dapat diketahui bahwa nilai persen metalisasi dari besi spons jenis I
selama proses reduksi cenderung meningkat dengan meningkatnya temperatur dan waktu
reduksi. Nilai persen metalisasi yang terjadi pada besi spons jenis I selama proses reduksi

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 105
mulai dari 86,23% yaitu pada temperatur 950 oC dengan waktu reduksi 15 menit sampai
dengan 99,85% yaitu pada temperatur 1100 oC dengan waktu reduksi 45 menit.
Secara umum nilai persen metalisasi meningkat dengan meningkatnya temperatur dan
waktu reduksi yang digunakan selama proses reduksi. Hal ini disebabkan adanya peningkatan
laju pembentukan gas CO pada saat meningkatnya temperatur dan waktu reduksi, reaksi
pembentukan CO ditunjukkan seperti pada persamaan (12) yang bersifat endotermik,
sehingga adanya peningkatan temperatur akan mendukung reaksi tersebut.
Pada Gambar 10 nilai persen metalisasi semakin meningkat seiring peningkatan waktu
reduksi, persen metalisasi tertinggi tercapai pada waktu reduksi 45 menit, sedangkan pada
menit ke-60 persen metalisasi mengalami penurunan. Hal ini dikarena adanya oksidasi balik
dari logam Fe yang telah terbentuk selama proses reduksi menjadi oksida besi, sesuai dengan
persamaan (13) pembentukan oksida besi ini mungkin terjadi karena keberadaan oksigen yang
berlebih selama proses reduksi berlangsung.

Kesimpulan
 Berdasarkan penelitian ini, limbah scale hasil scarfing of slab dapat didaur ulang menjadi
besi spons kembali, dengan cara melakukan palletizing dengan binder gula tetes dan
reduksi dengan batubara.
 Semakin banyak komposisi reduktor yang digunakan akan semakin besar pula nilai Fe
metal dan persen metalisasi yang dihasilkan, demikian pula dengan pengaruh temperatur
dan waktu reduksi.
 Berdasarkan penelitian ini didapatkan nilai optimum Fe metal sebesar 84,16% yaitu pada
komposisi penambahan reduktor sebanyak 40% (pellet jenis I) dengan temperatur reduksi
1100 oC dan waktu reduksi 45 menit, dengan nilai persen metalisasi sebesar 99,85%.

Daftar Pustaka
1. Kamijo, C. et al., 2001. Production of Direct Reduced Iron By Sheet Material Inserting
Metalization Method. ISIJ Internationa. 4rd quarter edition. Hal 3-5.
2. Meyer, K., 1980. “Pelletizing of Iron Ores”. Springer-Verlag Berlin Heidelberg and
Verlag Stahleissen, Dusseldorf
3. Multi Data Riset Indonesia. 2007. Perkembangan dan Prospek Industri Baja di Indonesia
di Tengah Defisit Bahan Baku dan Import Ilegal. URL: http//ptmdri.com. [online, diakses
Juni 2009].
4. Othmer, kirk.1982, Encyclopedia of Chemical Technology. Vol 15. John Willey and Son.
New York
5. Rosenqvist, T. 1983. Principles of Exstractive Metallurgy. McGraw- Hill Book Co.
Singapura.
6. Stephenson, L. R. 1980. Direct Reduced Iron Technology and Economics of Productions
and Use. The Iron and Steel Society of AIME. Warrendale. Hal 9-33.
7. http://wikipedia.org. [online, diakses Juni 2009].
8. http://wikipedia.org.2008 [online, diakses April 2009].
Seminar Material Metalurgi 2010

106 |  ISSN : 2085 – 0492


 
ANALISA KEGAGALAN BOCORNYA
TUBE PRODUCTION COOLER D-200 IN ZEP

Adid Andin Hermansyah1, Kosasih1 , Hafid Abdullah2


1
Balai Besar Bahan dan Barang Teknik (B4T) dan 2Balai Besar Logam Mesin (BBLM),
Kementrian Perindustrian, Jl. Sangkuriang No. 14 Bandung 40135

Abstrak
Penelitian kerusakan pada tube production cooler D-200 INZEP yang terbuat dari bahan duplex telah
dilakukan. Kebocoran terjadi pada suhu sekitar 85oF-180oF setelah terpasang lebih dari 3 bulan. Untuk
mengetahui penyebabnya dilakukan analisa kegagalan dengan menggunakan beberapa metode, yaitu (1)
pemeriksan visual dan dimensi, (2) pengujian tarik dan kekerasan, (3) pemeriksaan makroskopis dan
mikroskopis, (4) pengujian komposisi kimia bahan, (5) pengujian SEM/EDS. Hasil penelitian membuktikan
bahwa bocornya tube di karenakan oleh pengikisan korosi sumuran dan lapisan pasivasi Cr2O3 yang tipis diisi
oleh Zn(OH)2 yang sifatnya mengabsorbsi anion-anion agresif (Cl- dan S2-). Berdasarkan uji tarik dan komposisi
kimia hasilnya memehuhi spesifikasi standar ASTM A-789M tetapi dari hasil uji keras Vickers sebaliknya. Hasil
pemeriksaan struktur mikro menunjukkan adanya presipitat karbida (M23C6) dan jaringan batas butir tidak jelas
serta hasil uji EDS menunjukkan adanya unsur-unsur korosif seperti Cl- dan S2-.

Kata kunci: analisis kegagalan, baja tahan karat dupleks, tube production cooler D-200

Abstract
Research on the damage of production cooler D-200 INZEP tube made of dupleks has been carried out.
Leakage happened within temperature range 85-180oF after 3 months operated. Failure analysis was carried
out by using several methods : (1) visual and dimension test, (2) strength and hardness test, (3) macroscopic and
is microscopic test, (4) the chemical analysis test, (5) SEM/EDS test. Result of research showed that the leakage
of the tubewas caused by erosion of pitting corrosion and replacement of thin layer of passive Cr2O3 by Zn
(OH)2 which can absorb aggressive anions (Cl- and S2-). Based on its strength test and chemical composition,
the results were comply with the ASTM A-789M but not for Vickers hardness. Microstructure showed the
existence of carbide precipitate (M23C6) with unclear grain boundary network while EDS showed the presence of
corrosion elements like Cl- and S2-.

Keywords : failure analysis, stainless steel duplex, production cooler D-200 tube

I. PENDAHULUAN
Kerusakan komponen dan peralatan industri harus ditangani secara tuntas dengan
maksud mengetahui penyebab utama dari kerusakan, sehingga tidak terjadi kerusakan sejenis
dimasa mendatang. Kesalahan pemilihan material, kesalahan fabrikasi, ketidaksesuaian jenis
material dengan kondisi kerjanya, merupakan contoh penyebab mengapa banyak komponen
atau peralatan industri mengalami gagal fungsi dalam pemakaiannya.
Kasus kegagalan sangat merugikan, karena itu untuk menghindari peristiwa serupa
maka perlu dipelajari sebab-sebab terjadinya kegagalan. Penyelidikan terhadap sebab-sebab
terjadinya kegagalan akan bermanfaat terutama untuk menghindari kerugian biaya yang
berlebihan. Dengan mengetahui sebab kegagalan maka berbagai tindakan pencegahan awal
Seminar Material Metalurgi 2010

(preventive) dapat dilakukan. Kesalahan mungkin saja terjadi sejak tahap design. Kesalahan
tersebut bisa disebabkan oleh ; kesalahan perencanaan dimensi, kesalahan material, kesalahan
penempatan pada kondisi lingkungan tertentu, kesalahan perhitungan tegangan dan lain-lain.
Berdasarkan kenyataan di atas, makalah ini akan memaparkan hasil analisis
kegagalan(1) berikut temuan penyebabnya pada kasus bocornya tube production cooler E-200
milik perusahaan CNOOC SES Ltd. Sehubungan dengan bocornya tube penukar panas
(duplex stainless steel tube ASTM A 789 UNS S31803), maka perusahaan tersebut
mengirimkan satu contoh potongan tube yang bocor dengan diameter 19 mm tebal 2 mm
untuk di lakukan analisis.
Data teknis dari tube adalah sebagai berikut :

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 107
 Material tube : A 789 UNS S31803
 Diameter : 19 mm
 Tebal : 2 mm
 Operating temperature
- Shell side : 180 oF (inlet)/95 -107 oF (outlet)
- Tube side : 85 oF (inlet)/110 – 115 oF (outlet)
 Operating pressure
- Shell side : 1100 Psig max
- Tube side : 15 Psig
 Jenis fluida
- Shell side : wet product gas (10 % CO2)
- Tube side : air laut
Tube yang diteliti ini mengalami bocor setelah kurang lebih dioperasikan selama 3
bulan. Kejadian bocornya tube ini bukanlah yang pertama kali, kebocoran pada tube
sebelumnya pernah terjadi kemudian dilakukan penutupan tube (plug).
Penelitian yang dilakukan tujuannya adalah untuk mencari penyebab bocornya tube dan
tipe korosi karena kegagalan material agar dapat dilakukan tindakan pencegahan untuk
menghindari terulangnya kejadian tersebut. Kegiatan analisis dilakukan dengan mengacu pada
: (1) data operasi, (2) gambar-gambar tube yang bocor, (3) informasi lain.

Baja Tahan Karat Dupleks Feritik Austenitik


Bermacam jenis baja tahan karat (feritik, austenitik, martensitik, precipitation-
hardenable, dupleks feritik-martensitik dan dupleks feritik-austenitik) cukup berperan didalam
memberikan ketahanan korosi yang baik didalam lingkungan yang agresif.
Korosi retak tegang (SCC) yang terjadi pada baja tahan karat feritik maupun austenitik
yang digunakan dalam lingkungan yang mengandung khlorida masih merupakan masalah
yang tidak selalu dapat dipecahkan dengan memuaskan dikarenakan ketahanan korosinya
yang rendah untuk feritik) dan biaya yang tinggi (untuk austenitik).
Pengembangan baja tahan karat dupleks feritik-austenitik memiliki karakterisasi kuat
luluh yang tinggi dan ketahanan korosi yang sangat memuaskan, paduannya relatif tidak
mahal dan menunjukan ketahanan yang tinggi terhadap korosi retak tegang dilingkungan
khlorida.
Baja tahan karat feritik austenitik pada dasarnya dikelompokan menjadi dua
berdasarkan sifat kandungan ferit yang dimilikinya, yaitu : (1) dupleks austeno-ferritic,
biasanya mengandung sekitar 20-40% agregat ferit (predominan austenitik), (2) dupleks
ferro-austenitic, mengandung agregat ferit lebih dari 40 % (predominan ferit).
Baja tahan karat dupleks feritik-austenitik memiliki struktur yang terdiri dari agregat
ferit dan austenit sehingga memiliki sifat-sifat tertentu, yaitu sifat kekenyalan (austenitik) dan
kekuatan mekanik (feritik).
Sifat mekanik dari baja-baja feritik-austenitik jauh lebih baik daripada baja-baja
austenitik. Dengan bertambahnya kandungan ferit maka sifat-sifat mekanik akan semakin
meningkat, seperti dijelaskan pada Gambar 1. Peningkatan yield stress (batas elastis) akan
jauh lebih besar daripada peningkatan ultimate tensile strength.
Seminar Material Metalurgi 2010

Sifat kenyal (ductility) dari jenis dupleks sangat baik untuk kandungan ferit yang
moderat (40%). Bila ferit menjadi fasa yang mayoritas, kekenyalannya menurun terutama
ketangguhannya. Paduan dupleks memiliki kandungan Cr yang tinggi dan bersifat kenyal dan
dapat dijelaskan melalui 2(dua) cara yang berbeda, yaitu :
1. Matrik austenit merupakan suatu ”ductile cushion” untuk daerah feritik. Hal ini tidak
berlaku untuk baja-baja ferit tinggi, yang memiliki matrik ferit.
2. Kekenyalan terdapat pada komposisi ferit. Karbon dan nitrogen terdistribusi sangat
berbeda dalam ferit dan austenit. Austenit ”memompa” karbon dan nitrogen dari ferit.

108 |  ISSN : 2085 – 0492


 
Ferit dengan kandungan karbon dan nitrogen yang rendah adalah kenyal pada
temperatur kamar.
Ketahanan material dupleks umumnya sangat bergantung pada kandungan ferit,
dimana pada proporsi lebih besar dari 10 % maka ketahanannya akan meningkat secara tajam
seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Adanya ferit didalam struktur sangat bermanfaat karena
akan mengurangi pembentukan jaringan kontinu khrom-karbida disepanjang batas butir
austenit. Karbida-karbida yang terpresipitasi disekitar butir ferit yang terisolasi dapat
menyebabkan deplesi (pengosongan) khromium, tetapi kelangsungan pengosongan akan
tertahan oleh butiran yang terisolasi sehingga tidak akan terjadi propagasi.

Gambar 1. Pengaruh jumlah ferit terhadap sifat Gambar 2. Pengaruh jumlah ferit terhadap sifat
mekanik. mekanik

Catatan : Rm = Ultimate tensile strength, R0.01= 1% yield stress,


R0.002= 0.2% yield stress

Ketahanan Korosi
Ketahanan korosi baja tahan karat dupleks feritik-austenitik berhubungan dengan
lapisan permukaan pasif, yang sifat-sifatnya bergantung pada komposisi logam-logam
dasarnya dan kurang bergantung pada strukturnya. Tetapi harus diingat bahwa komposisi
lapisan pasifnya sangat berbeda dari komposisi paduannya, dikarenakan adanya bermacam
proses pengkayaan (Cr, Ni, Mo dan Si) atau pelarutan khusus (Fe) yang terjadi dalam
lingkungan agresif. Dengan demikian, komposisi dan sifat-sifat lapisan pasif ini dapat
berubah tergantung lingkungan dan kemampuan memproteksinya.
Kemampuan memproteksi biasanya berhubungan dengan penurunan pelarutan anodik
yang dapat dipercepat oleh adanya ion-ion agresif dalam larutan, seperti halnya khlorida dan
florida. Sifat memproteksi yang sangat baik dari lapisan pasif biasanya berhubungan dengan
tingginya kandungan Cr.
Unsur-unsur paduan lain yang penting untuk mnurunkan pelarutan anodik adalah
terutama Ni dan Mo, seperti halnya dalam larutan asam halida atau dalam larutan asam-asam
pereduksi dan pengkomleks. Tidak adanya atau rendahnya kandungan Ni akan berpengaruh
terhadap penurunan ketahanan material dupleks ini, sehingga memerlukan peningkatan
kandungan Cr dan Mo, diikuti penambahan seperti Cu dan Si.
Adanya fasa ferit dan austenit pada paduan dupleks dengan komposisi yang berbeda,
Seminar Material Metalurgi 2010

dapat menimbulkan pengaruh tertentu sehubungan dengan terjadinya hubungan


galvanik.Sedangkan ketahanan korosi sumuran hanya sedikit bergantung pada struktur
kristalografi tetapi sangat bergantung pada komposisi paduan.

Ketahanan Terhadap Korosi retak Tegang (SCC)


Umumnya SCC dari logam terjadi akibat adanya kombinasi dari tegangan tarik yang
diberikan dengan lingkungan atau faktor-faktor metalurgi yang ada, sehingga berakibat
terjadinya kegagalan komponen karena inisiasi dan propagasi dari retakan. Korosi setempat
memiliki peranan penting dalam menginisiasi terjadinya retakan pada permukaan logam yang
kemudian berkembang.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 109
Beberapa karakteristik penting pada SCC adalah : (1) retakan terjadi pada tegangan
dibawah yield point logam, yaitu pada selang tegangan desainnya, (2) sangat dipengaruhi oleh
suhu, komposisi larutan, komposisi logam, tegangan dan struktur logam.
Tidak semua kombinasi logam dengan lingkungan dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan akibat korosi jenis ini, misalnya baja tahan karat dapat mengalami retak tegang
dalam lingkungan yang mengandung khlorida, tetapi tidak demikian halnya dalam lingkungan
amonia.
Kenyataan menunjukan bahwa baja tahan karat dapat mengalami SCC dalam larutan
khlorida pada temperatur tinggi. Hasil pengembangan lebih lanjut menunjukan bahwa tidak
ada imunitas baik pada kisi bcc (ferit) maupun pada austenitik. Akan tetapi kerawanan baja
tahan karat terhadap peretakan khorida sangat bergantung pada komposisi dan strukturnya.
Pada dasarnya paduan dupleks memiliki distribusi sel-sel lokal yang terdiri dari
austenit dan ferit. Ferit akan selalu anodik terhadap austenit dalam spesimen yang tidak
mengalami tegangan, akan tetapi bidang-bidang anodik akan banyak terdapat dalam austenit
bila spesimen mengalami tegangan. Sifat anodik dari ferit ini memungkinkan ferit dapat
memproteksi secara katodik matriks-matriks austenit, sehingga keadaan ini dapat
meningkatkan ketahanan terhadap propagasi retakan.
Salah satu mekanisme terjadinya korosi retak tegang adalah mekanisme pelarutan
yang dapat berupa perusakan lapisan pasif, dimana sifat dari lapisan pasif yang terbentuk
adalah sangat bergantung dari komposisi logam-logam dasarnya. Kemampuan memproteksi
dari lapisan pasif adalah berhubungan dengan penurunan pelarutan anodik. Adanya ion-ion
agresif seperti ion klorida akan meningkatkan pelarutan anodik, dimana peningkatan
pelarutannya akan bertambah besar dengan menaiknya temperatur dan konsentrasi ion klodida
tersebut.. Sifat memproteksi yang sangat baik dari lapisan pasif, biasanya berhubungan
dengan tingginya kandungan Cr, sedangkan unsur paduan lainnya yang berperan untuk
menurunkan pelarutan anodik adalah Ni dan Mo. Dari hasil percobaan diketahui bahwa
ketahanan korosi retak tegang dupleks SAF 2205 (22 %Cr ; 5,5% Ni ; 3,0 % Mo) > 3 RE 60
(18,5 % Cr ; 4,9 % Ni ; 2,7 % Mo) > SAF 2304 (23 % Cr ; 4,0 % Ni ; 0 % Mo).

II. METODE PENELITIAN


Metode penelitian dilakukan dengan menggunakan peralatan pengujian sebagai berikut : (a)
pemeriksaan visual dan dimensi, (b) pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis, (c) pengujian
komposisi kimia, (d) pengujian EDAX, seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Hasil pemeriksaan dan
pengujian akan mendukung terhadap analisis dari kegagalan tersebut.
Seminar Material Metalurgi 2010

                
Gambar 3. Lokasi pengambilan sample uji Gambar 4. Bagian tube yang bocor
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemeriksaan Visual dan Dimensi
Berdasarkan pengamatan secara visual, permukaan luar dan permukaan dalam tube
terlihat masih mulus dan tidak menunjukkan adanya indikasi serangan korosi merata.
Pengukuran tebal menunjukkan hal yang sama, tebal tube pada daerah ujung, tengah dan

110 |  ISSN : 2085 – 0492


 
daerah di sekitar bocor menunjukkan hasil yang relatif sama (Tabel 1). Pada daerah dekat
ujung potongan tube terlihat dari sebelah luar tube ada lubang kecil akibat serangan korosi
dari sebelah dalam. Pada potongan melintang terlihat lubang berongga yang besar akibat
serangan korosi yang mengkikis dinding tube sehingga terjadi kebocoran (Gambar 4).

Tabel 1. Tebal tube


Tebal (mm)
No Tube
1 2 3
1 Ujung (lokasi 1) 2,1 2,2 2,1
2 Tengah (lokasi 2) 2,1 2,1 2,1
3 Ujung dekat bocor (lokasi 3) 2,0 2,0 2,1

Dengan demikian hasil pemeriksaan visual dan dimensi tidak menunjukkan adanya
perubahan oleh temperatur dan tekanan. Adanya lubang akibat korosi sumuran (pitting
corrosion) yang diduga pada daerah tersebut paling lemah dan rentan terhadap serangan
korosi mengingat pada daerah tsb mempunyai lapis lindung yang tidak merata atau daerah
tersebut mempunyai kekerasan yang berbeda akibat proses pengerjaan. Yang mana daerah tsb
pada posisi jam 6 maka akan terjadi abrasi oleh aliran fluida dan juga terjadi korosi erosi
(erosion corrosion).

Hasil Pengujian Mekanik (Tarik dan Kekerasan)


Pada Tabel 2 dan Tabel 3 ditunjukkan hasil pengujian mekanik. Berdasarkan
persyaratan standar ASTM A 789/A-789M – 05b yaitu tensile strength min 620 MPa, yield
strength min 450 MPa, elongation min 25 % maka tube yang diuji masih memenuhi
persyaratan standar. Akan tetapi nilai kekerasan khususnya pada daerah bocor menunjukkan
nilai keras yang berbeda mencolok yaitu 321-373 HV (33-38,5 HRC). Hal ini berarti material
tube telah mengalami penggetasan atau proses anil pada saat pembentukan tube kurang
sempurna. Jadi berdasarkan standar ASTM A 789/A-789M – 05b nilai kekerasan yang
dipersyaratkan adalah max 290 HRB/30 HRC, maka kekerasan tube yang diuji tidak
memenuhi persyaratan.
Tabel 2. Hasil uji tarik yang diuji
1 Kuat tarik (tensile strength) 85.2 (836) Kgf/mm2 (Mpa)
2 Kuat luluh (yield strengt) 58.3 (572) Kgf/mm2 (Mpa)
3 Elongasi (elongation) 37.4 % %

Tabel 3. Hasil uji kekerasan tube yang dilakukan pada spesimen mikroskopik
Nilai Vickers HV 1 kg/mm2 (HRC)
Tube
1 2 3
Line 1 358 (36,5) 305 (30,8) 313 (32)
Sampel 1 (jauh dari bocor)
Line 2 339 (34,7) 290 (29) 321 (33)
Line 1 378 (38,6) 330 (34) 330 (34)
Sampel 2 (sekitar bocor) Line 2 321 (32,8) 334 (34,4) 330 (34)
Line 3 358 (36,5) 368 (37,5) 373 (38,5)
Seminar Material Metalurgi 2010

Hasil Pengujian Komposisi Kimia Bahan


Hasil uji komposisi kimia bahan tube dapat dilihat pada lihat Tabel 4. Berdasarkan
persyaratan standar ASTM A 789/A-789M – 05b, komposisi kimia yang dipersyaratkan sbb:
C=0,030 max ; Mn=2,00 max; P=0,030 max ; S=0,020 max; Si=1,00 max; Ni=4,5-6,5 ;
Cr=21,0-23,0 ; Mo=2,5-3,5 ; N=0,08-0,20. Hasil uji menunjukkan bahwa unsur C, Cr, Ni, Mo
memenuhi persyaratan standar.
Hasil pengujian diatas menunjukkan lapis lindung krom oksida (Cr2O3) yang cukup
menyatu dan merata, akan tetapi unsur Mo yang berfungsi sebagai proteksi terhadap
terjadinya korosi sumuran tidak seperti Cr2O3 yang menyatu dan merata, mungkin saja pada

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 111
daerah yang bocor unsur Mo sebagai pencegah serangan korosi sumuran sangat kecil. Akan
tetapi prediksi ini tidak menjadi pokok permasalahan, kemungkinan dari aspek lain seperti
inklusi, cacat logam, perlakuan panas, dan kekerasan permukaan akibat proses pengerjaan.

Hasil Pemeriksaan Struktur Mikro


Pemeriksaan mikrostruktur dilakukan pada dua sampel yang diambil dari daerah dekat
bocor dan daerah jauh dari bocor (Tabel 5).
Hasil struktur mikro untuk sampel yang bocor menunjukkan fenomena adanya
penurunan sifat fisik seperti sudah terjadinya presipitat karbida di batas butir dan tidak jelas
jaringannya, hal ini menunjukkan material tsb akan rentan terhadap serangan korosi sumuran
bila lapisan pasivasi dipermukaan tidak berfungsi sebagai protektor. Adanya presipitat di
batas butir atau di butir akan meningkatkan kekerasan pada material di daerah tersebut, dan
bersifat anodik sehingga terjadi reaksi yang mengakibatkan terjadinya korosi. Dengan adanya
penebalan partikel karbida (M23C6) diantara fasa ferit dan austenit akan menjadi permasalahan
yang cukup serius, khususnya pada serangan oleh zat yang sifatnya sangat korosif sehingga
terjadi serangan korosi di batas butir (intergranular corrosion).
Tabel 4. Hasil uji komposisi kimia bahan
Hasil Uji (%)
No Unsur-unsur
1 2
1 Karbon (C) 0.03441 0.02119
2 Silikon ( Si ) 0.36011 0.36367
3 Belerang (S) 0.00721 0.0091
4 Posfor (P) 0.02845 0.03159
5 Mangan ( Mn ) 1.32480 1.34612
6 Nikel ( Ni ) 4.80626 4.79897
7 Kromium ( Cr ) 22.69218 22.6031
8 Molibdenum ( Mo) 2.73072 2.72787
9 Vanadium (V) 0.07810 0.07595
10 Tembaga ( Cu ) 0.18336 0.18301
11 Wolfram (W) 0.02731 0.02915
12 Titan ( Ti ) 0.00156 0.00116
13 Tin ( Sn ) 0.01019 0.01043
14 Aluminium ( Al ) 0.00352 0.00214
15 Timbal ( Pb ) - -
16 Antimon ( Sb ) - -
17 Neobium (Nb ) 0.02022 0.01906
18 Zirkon ( Zr ) - -
19 Seng ( Zn ) - -
20 Besi (Fe ) 67.6916 67.7775
Tabel 5. Hasil uji struktur mikro
No Identifikasi Hasil Uji
1 Sampel di daerah  Perubahan struktur mikro relatif kecil (hampir tidak terjadi)
bocor  Sebagian batas butir tidak jelas (terputus-putus), ditunjukan pada
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 5,7,9,11.
 Pada daerah batas butir adanya presipitat karbida diprediksi krom
karbida (Cr C), ditunjukkan pada Gambar 5,7, 9, 11.
 Korosi yang terjadi adalah korosi sumuran (pitting corrosion) dan
secara spesifik yaitu intergranular corrosion, ditunjukkan pada
Gambar 6,7,8,9,10, 11.
2 Sampel di daerah  Perubahan struktur mikro relatif kecil (hampir tidak terjadi).
jauh dari bocor  Batas butir cukup jelas dan sebagian sudah terjadi adanya presipitat
karbida di batas butir.
 Korosi pada permukaan dalam hampir tidak terjadi

112 |  ISSN : 2085 – 0492


 
Etsa : 10% oxalic acid 720x Etsa : 10% oxalic acid 180x
Gambar 5. Struktur mikro ferit dengan presipitat Gambar 6. Struktur mikro bentuk ferrite-austenite,
karbida yang terdispersi pada batas-batas pitting corrosion
butir, dalam matriks austenit

Etsa : 10% oxalic acid 720x Etsa : 10% oxalic acid 180x
Gambar 7. Struktur mikro ferrite-austenite, pitting Gambar 8. Struktur mikro matrix of austenite
corrosion

Etsa : 10% oxalic acid 720x Etsa : 10% oxalic acid 180x
Gambar 9. Struktur mikro terdapat corrosion- Gambar 10. Struktur mikro terdapat pitting corrosion.
intergranular

Seminar Material Metalurgi 2010

Etsa : 10% oxalic acid 720x


Gambar 11. Struktur mikro ferrit austenit Corrosion

Hasil Pengujian EDS


Hasil pengujian komposisi kimia kerak pada permukaan dalam daerah bocor
dilakukan dengan uji EDS (Energy Dispersive Spectroscopy) di daerah tube bagian dalam
dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 12.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 113
Gambar 12. Hasil uji EDS
Tabel 6. Hasil EDS
Daerah ujung bocor (%)
No Unsur
I II
1 Karbon (C) 13,30 6,66
2 Natrium ( Na ) 1,18 1,21
3 Sulfur (S) 2,58 0,91
4 Klor ( Cl ) 0,03 -
5 Kalium (K) 0,05 -
6 Tembaga (Cu) 4,00 1,39
7 Seng ( Zn) 7,18 3,80

Dari hasil uji ditemukan adanya deposit S dan Cl pada kerak permukaan dalam tube di daerah
yang bocor, dengan demikian menunjukkan terjadi korosi sumuran (pitting corrosion) dengan
mekanisme sbb:
1. Unsur sulfur (S)
Unsur ini akan membentuk asam sulfat, yaitu hasil reaksi dengan air dan gas O2,
dengan reaksi sbb :
Seminar Material Metalurgi 2010

S + 3/2 O2 SO3
SO3 +H2O H2SO4
Asam sulfat (H2SO4) kemudian terionisasi dalam larutan :
H2SO4 2 H + + SO4 2 -
2 -
SO4 ini sangat agresif dan mampu mempercepat proses terbentuknya korosi
sumuran.
2. Unsur Chlorida (Cl)
Ion Chlorida dikenal sebagai ion yang sangat agresif dan sangat potensial untuk
terjadinya korosi sumuran dan dapat berpenetrasi kedalam lapis lindung Fe(OH)2 atau

114 |  ISSN : 2085 – 0492


 
FeO.H2O maupun Fe(OH) 3 atau Fe2.O3.3H2O. Dengan adanya ion Chlorida tersebut
maka total reaksi elektrokimia yang berlangsung adalah :
Fe2+ + H2O + 2Cl Fe (OH)2 + HCl
Terjadinya korosi sumuran ditunjukkan pada Gambar 13.

Gambar 13. Profil korosi sumuran


Disamping S dan Cl, ditemukan juga deposit Zn yang berarti adanya kation Zn+ yang
diduga berasal dari lapis lindung inhibitor. Ditinjau dari reaksi elektrokimia yang terjadi O2 +
H2O + 4 e- 4 OH – maka kation Zn+ akan bereaksi dengan OH– membentuk senyawa
Zn(OH)2 yang merupakan deposit yang menempel pada permukaan tube. Deposit ini
merupakan media yang diam dan akan mengabsorbsi anion-anion Cl- dan S2– yang terkandung
dalam fluida yang mengalir dan akan terakumulasi setempat.
Anion C - dan S2– adalah anion-anion yang sangat agresif dan sangat berbahaya bila
berada pada media yang diam Zn(OH)2. Kemungkinan lain adalah terkelupasnya lapis lindung
(passive film) dan pada daerah tsb terdapat inklusi atau permukaan kasar dan keras sehingga
daerah tsb akan bersifat anodik yang selanjutnya anion Cl - dan S2– akan menyerang daerah
anodik tsb. Anion akan bereaksi dengan kation Fe 2+ sbb:
Fe Fe 2+ + 2e , dengan adanya anion Cl - dan S2– maka akan terjadi reaksi :
Fe + Cl -
2+
FeCl2
Fe 2+ + S2– FeS
Reaksi pembentukan FeCl2 maupun FeS berlangsung terus menerus secara autocatalytic
membentuk korosi sumuran hingga terjadi kebocoran tube.

Evaluasi Kebocoran Tube


Berdasarkan pengamatan secara visual dan tebal, permukaan luar dan permukaan
dalam tube terlihat masih mulus dan tidak menunjukkan adanya indikasi serangan korosi
merata. Adanya lubang pada tube disebabkan oleh korosi setempat yaitu korosi sumuran.
Hasil uji tarik dan komposisi kimia bahan tube menunjukkan bahwa tube masih memenuhi
persyaratan standar ASTM A 789/A-789M – 05b. Akan tetapi nilai kekerasan khususnya pada
daerah bocor menunjukkan nilai keras yang berbeda mencolok yaitu 321-373 HV (33-38,5
HRC). Hal ini berarti material tube telah mengalami penggetasan atau proses anil pada saat
Seminar Material Metalurgi 2010

pembentukan tube kurang sempurna sehingga nilai kekerasan tidak memenuhi persyaratan
standar.
Berdasarkan hasil uji komposisi kimia kerak pada permukaan dalam daerah bocor
ditemukan deposit yang mengandung unsur S dan Cl. Unsur S akan membentuk SO4 2 yang
mampu mempercepat proses terbentuknya korosi sumuran sedangkan unsur Cl membentuk
ion Chlorida yang sangat potensial menyebabkan terjadinya korosi sumuran karena ion ini
dapat berpenetrasi kedalam lapisan lindung Fe(OH)2 atau FeO.H2O maupun Fe(OH)3 atau
Fe2.O3.3H2O. Disamping itu ditemukan deposit unsur Zn, deposit ini merupakan media yang
diam dan akan mengabsorbsi anion-anion Cl- dan S2– yang selanjutnya bereaksi dengan kation

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 115
Fe2+ menjadi FeCl2 maupun FeS yang berlangsung terus menerus secara autocatalytic
membentuk korosi sumuran hingga terjadi kebocoran tube.

IV.KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan dan saran sebagai berikut :
1. Dari hasil uji tarik dan komposisi kimia material tube production cooler D-200 in ZEF
memenuhi spesifikasi standar ASTM A-789/A – 789M, akan tetapi hasil uji keras
Vickers pada daerah bocor menunjukkan nilai keras yang berbeda mencolok dan tidak
memenuhi persyaratan standar ASTM A-789/A – 789M.
2. Dari hasil pemeriksaan struktur mikro terlihat adanya presipitat karbida (M23C6) dan
jaringan batas butir tidak jelas sehingga material rentan terhadap serangan korosi
sumuran bila lapisan pasivasi tidak berfungsi.
3. Hasil pengujian EDS menunjukkan adanya unsur-unsur korosif seperti Cl - dan S2-
sehingga sangat potensial untuk terjadinya serangan korosi sumuran.
4. Bocornya tube (duplex stainless steel) production cooler D-200 in ZEF disebabkan
oleh lapisan pasivasi Cr2O3 yang tipis diisi oleh Zn(OH)2 yang sifatnya mengabsorbsi
anion-anion agresif seperti Cl- dan S2–, disamping itu material tube pada daerah bocor
sangat keras sehingga akan bersifat anodik, maka terjadilah pengikisan oleh korosi
sumuran (pitting corrosion).
5. Untuk mencegah kegagalan yang serupa, pada proses water treatment harus
diperhatikan adanya unsur-unsur seperti Cl- dan S2- .
6. Pada bagian permukaan dalam tube jangan ada cacat permukaan atau material
impurities, karena itu dianjurkan di periksa secara NDT.

DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul Wahid, Dikdik Gunantara, “Analisa Kegagalan Impeller Submersible Pump”,
Metal Indonesia, Vol 017/15, Bandung, 195.
2. Metal of Microstructure, ASM Metal Handbook Vol. 7, 8th Edition , American Society
for Metal, 1975
3. Failure Analysis and Prevention, American Society for Metal , ASM Metal Handbook
Vol. 11, 9th Edition , 1995.
4. Material Data Books for Engineer and Scientists , McGraw Hill Inc., USA,1967.
5. Physical Metallurgy of Engineering Materials , E.R. Petty, George Allen & Unwin
LTD, 1970
6. Failure Analysis and Prevention , Dr. Stan P. Lunch, Aeronatical & Maritim Research
Laboratory, Melbourne, 1995.
7. Carbon and Alloy Steel, ASM International, J.R. Davis , Ed, 1996.
8. Standard Specification for Seamless and Welded Ferritic/Austenitic Stainless Steel
Tubing for General Service, ASTM International, 2005.
9. A. John Sedriks, “Corrosion of Stainless Steel”, John Wiley & Sons. Inc. Canada,
1979.
10. Source Book On Steinless Steel, ASM, Metals Park, Ohio, 1976.
Seminar Material Metalurgi 2010

116 |  ISSN : 2085 – 0492


 
FABRIKASI NANOROD SENG OKSIDA (ZnO) MENGGUNAKAN
METODE SOL-GEL DENGAN VARIASI KONSENTRASI
POLYETHYLENE GLYCOL DAN WAKTU TUNDA EVAPORASI
AMONIA

Akhmad Herman Yuwono dan Hasriardy Dharma


Departemen Metalurgi dan Material Fakultas Teknik Universitas Indonesia
Kampus UI Depok 16424
e-mail: ahyuwono@metal.ui.ac.id

Abstrak
Seng oksida (ZnO) adalah salah satu material semikonduktor yang banyak digunakan dalam
aplikasi katalitik, elektronik dan optoelektronik. Pada penelitian ini, ZnO nanorods telah berhasil
disintesis menggunakan metode sol-gel dengan campuran (Zn(NO3)2.4H2O), NH4OH, dan
polyethylene glycol (PEG). Variasi pada konsentrasi PEG dan penahanan laju evaporasi amoniak
pada larutan telah dilakukan dan nanorod ZnO yang dihasilkan dikarakterisasi dengan XRD dan
SEM untuk menginvestigasi perbedaan diameter, morfologi dan tingkat nanokristalinitas nanorod
ZnO. Penambahan PEG dari 1 hingga 3 gram pada larutan meningkatkan ukuran diameter rata-rata
nanorods dari 157 menjadi 464 nm. Namun demikian tidak didapatkan adanya peningkatan ukuran
nanokristalit ZnO di dalam struktur solid nanorod tersebut. Pada variasi waktu tunda evaporasi
amonia selama 1 dan 2 jam, terjadi penurunan diameter nanorod menjadi 410 dan 328 nm, sebagai
perbandingan terhadap diameter nanorod ZnO tanpa proses penundaan evaporasi ammonia yang
mencapai 464 nm. Sebaliknya, besar kristalit di dalam struktur nanorod ZnO bertambah dari 121.49
menjadi 166.59 nm sejalan dengan penambahan waktu tunda evaporasi ammonia dari 1 hingga 2 jam,
sebagai perbandingan terhadap ukuran kristalit nanorod ZnO tanpa proses penundaan evaporasi
ammonia yang hanya mencapai 94.77 nm.

Kata kunci: Nanorod ZnO, konsentrasi PEG, waktu tunda evaporasi, kristalinitas.

Abstract
Zinc oxide (ZnO) is one of semiconductor materials which has been widely used for catalytic,
electronic and optoelectronic applications. In the present research, ZnO nanorod has been
successfully synthesized through a sol-gel method using (Zn(NO3)2.4H2O), NH4OH, and polyethylene
glycol (PEG) precusrors. Variation in PEG concentration and ammonia evaporation delay time were
performed and the resulting ZnO nanorods were characterized by XRD and SEM to investigate the
difference in diameter, morphology and nanocrystallinity. It was revellead that the addition of PEG
concentration from 1 to 3 grams has increased the average diameter of ZnO nanorods from 157 to
464 nm. However, there was no an increase in the crystallite size on those nanorod solid structures.
The ammonia evaporation delay time from 1 to 2 hours has resulted in a deacrease in the average
diameter of ZnO nanorods from 410 to 328 nm, in comparison to those of without evaporation delay
time which can reach up to 464 nm. By contrast, the average crystallite size of ZnO phase in the
nanorod structures has increased from 121.49 to 166.59 nm when the evaporation delay time was
prolonged from 1 to 2 hours, as compared to those of without evaporation delay time which can only
reach 94.77 nm in size.
Seminar Material Metalurgi 2010

Keywords: ZnO nanorods, PEG concentration, evaporation delay time, crystallinity.

1. PENDAHULUAN
Seng oksida (ZnO) adalah salah satu semikonduktor yang telah diteliti secara luas.
Material ini memiliki energi celah pita langsung (direct band gap) yang lebar sebesar 3.37 eV
[1] serta emisi ultra-violet (UV) yang kuat disebabkan tingginya energi ikatan eksiton sebesar
60 meV pada temperatur ruang, yang jauh lebih tinggi dibandingkan galium nitrida (25 meV)
[2], yang membawa potensi yang sangat besar untuk aplikasi laser semikonduktor UV-biru

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 117
[3], dioda pemancar cahaya [4-6] dan divais-divais optoelektronik lainnya. ZnO juga telah
banyak digunakan sebagai material pigmen, aditif pada karet, sensor gas dan varistor [7,8].
Terkait dengan pencarian sumber energi alternatif yang dapat diperbaharui, murah dan ramah
lingkungan telah dipertimbangkan penggunaan ZnO di dalam sel surya tersensitasi zat
pewarna (dye sensitized solar cell, DSSC). Divais ini menggunakan prinsip elektrokimia
sederhana yang meniru efek fotosintesis daun hijau, yaitu proses penangkapan energi foton
pada skala molekuler untuk selanjutnya dikonversi menjadi energi listrik.
Dalam suatu sistem DSSC, interaksi antara zat pewarna dan partikel semikonduktor
oksida menentukan proses konversi energi cahaya menjadi energi listrik. Telah diketahui
bahwa dengan semakin dibuat kecilnya ukuran suatu material hingga skala nanometer maka
rasio antara permukaan terhadap volume (surface to volume ratio) akan semakin besar dan
peluang interaksinya dengan lingkungan sekeliling akan semakin tinggi. Material yang paling
sering digunakan di DSSC adalah nanopartikel TiO2. Namun demikian, saat ini seng oksida
(ZnO) dipertimbangkan sebagai alternatif pengganti TiO2 karena beberapa kelebihan yang
dimilikinya, antara lain posisi pita valensi yang tepat berada di bawah pita konduksi (direct
band gap) sehingga memungkinkan eksitasi elektron yang lebih cepat pada saat absorpsi
energi foton DSSC di bawah penyinaran cahaya matahari dibandingkan dengan TiO2 yang
memiliki karakeristik sebagai indirect band gap semiconductor. Selain itu, ZnO dapat
difabrikasi melalui berbagai teknis sintesis sederhana untuk memperoleh variasi bentuk
morfologi, di antaranya nanostruktur yang vertikal (nanorod). Struktur nanorod berbentuk
seperti pipa pejal ini berpotensi memberikan sifat elektronik unik yang dinamakan “ballistic
transport” yang mampu menghilangkan hamburan elastik yang sehingga pergerakan elektron
menjadi lebih efisien. Kondisi ini diharapkan mampu meningkatkan kemampuan DSSC. Oleh
sebab itu dirasakan pentingnya suatu penelitian yang mampu mensintesis nanorod ZnO yang
sesuai untuk aplikasi DSSC ini, yaitu tumbuh langsung secara terarah dan uniform di atas
permukaan substrat kaca konduktif. Di antara teknik-teknik fabrikasi nanorod ZnO, metode
deposisi kimiawi basah dan hidrotermal dipandang paling menguntungkan karena mudah
dalam kontrol proses, pertumbuhan kristalit ZnO dapat diperoleh pada temperatur rendah,
tidak memerlukan peralatan canggih yang mahal dan potensi produksi dalam skala besar.
Terkait dengan hal-hal di atas, dalam penelitian ini ingin diketahui pengaruh parameter proses
sol-gel berupa variasi konsentrasi polyethylene glycol (PEG) dan waktu tahan kondensasi
amonium hidroksida (NH4OH) terhadap diameter, morfologi dan tingkat nanokristalinitas
nanorod ZnO.

2. METODOLOGI
Proses sintesis nanorod ZnO dimulai dengan persiapan Larutan 1 yaitu dengan
pelarutan precursor zinc nitrate tetrahydrate sebanyak 5.23 gram (Zn(NO3)2.4H2O) ke dalam
100 ml air suling di dalam wadah Erlenmeyer yang dilanjutkan dengan pengadukan secara
seksama dengan magnetic stirrer selama 2 jam untuk memperoleh larutan yang homogen.
Pada saat yang sama di wadah yang lain dilakukan pembuatan Larutan 2 yang diperoleh dari
variasi pengenceran polyethylene glycol (PEG) sebanyak 1, 2 dan 3 gram di dalam 50 ml air.
Proses pengadukan dilakukan minimal 20 menit hingga seluruh PEG terlarut sempurna. Ke
Seminar Material Metalurgi 2010

dalam Larutan 2 yang homogen ini selanjutnya ditambahkan 0.15 mol NH4OH dan diadukan
selama 10 menit. Selanjutnya Larutan 2 ini diteteskan ke dalam Larutan 1 secara bertahap
diiringi dengan pengadukan. Penambahan larutan 2 ini dilakukan hingga larutan campuran
mencapai pH ~10.5. Sesaat setelah kondisi keasaman ini diperoleh, proses pengadukan
dipercepat diiringi dengan pemanasan larutan campuran mencapai temperatur 75oC selama 2
jam sehingga diperoleh endapan berwarna putih pucat. Pada tahapan pemanasan ini, wadah
larutan campuran ini sengaja dibiarkan terbuka untuk memberikan kesempatan terjadinya
evaporasi amoniak (NH3). Pembentukan nanostruktur ZnO mulai terjadi pada 1 jam pertama,
ditandai dengan berubahnya larutan campuran yang bening menjadi berwarna keputihan

118 |  ISSN : 2085 – 0492


 
(milky). Endapan sepenuhnya terbentuk pada jam ke-2 untuk kemudian disaring dan dibilas
menggunakan etanol dan aquadest sebanyak 3 kali sebagai cara untuk menetralkan ion-ion
yang tersisa dari proses pencampuran larutan. Bubuk putih nanorod ZnO ini selanjutnya
dikeringkan di dalam oven pada temperatur 60oC selama minimal 12 jam. Variasi dalam
sintesis nanorod ZnO juga dilakukan dengan menempuh rute yang berbeda pada saat
pemanasan larutan campuran dimana evaporasi NH3 sengaja ditunda dengan menutup wadah
selama 1 dan 2 jam, untuk selanjutnya dilakukan pemanasan pada 75oC dengan membuka
penutup wadah hingga diperolehnya endapan putih. Prosedur selanjutnya sama dengan sampel
tanpa penundaan evaporasi NH3. Karakterisasi nanorod ZnO dilakukan dengan mikroskop
elektron (SEM, LEO 420i) dan difraksi sinar x (Phillips X-ray diffractometer dengan radiasi
Cu-K = 1.54056 Å). Tingkat kristalinitas nanorod ZnO dilakukan dengan mengukur
pelebaran (broadening) puncak difraksi dari sampel dengan persamaan Scherrer [9]:
0.9
t (1)
B cos 
dimana t adalah ukuran kristal rata-rata,  adalah panjang gelombang X-ray,  adalah sudut
difraksi dan B adalah pelebaran berdasarkan full-width at half maximum (FWHM) puncak
difraksi dalam satuan radian. Dalam pengolahan data XRD ini dilakukan pemisahan
broadening akibat instrumen dari broadening yang dihasilkan oleh regangan dan besar
kristalit.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Efek variasi konsentrasi PEG
Gambar 1 adalah foto SEM dengan perbesaran 7500 X untuk nanorod ZnO dengan
variasi penambahan PEG sebanyak 1, 2 dan 3 gram dengan waktu evaporasi NH3 konstan
selama proses sintesis kimiawi basah. Berdasarkan analisis citra, dapat diketahui bahwa
diameter rata-rata nanorod ZnO untuk ketiga sampel dengan masing-masing urutan tersebut di
atas adalah sebesar 157, 300 dan 464 nm. Pertumbuhan nanorod ZnO sebagai hasil reaksi
(Zn(NO3)2.4H2O dan NH4OH terkait dengan peran PEG sebagai pemicu pembentukan
microglobule yang akan bertindak sebagai template [10]. Penambahan PEG ke dalam larutan
campuran memberikan efek penyerapan dan pengarahan (alignment) aktivitas kinetika
prekursor secara anisotropis mengikuti struktur rantai polimer PEG [10]. Terkait dengan
meningkatnya diameter nanorod ZnO dari 157 menjadi 464 nm sebagai hasil penambahan
PEG sebesar 1 hingga 3 gram, hasil yang diperoleh dalam penelitian ini mengkonfirmasi
penelitian yang telah dilakukan oleh Zhengquan [10] dimana penambahan PEG akan
meningkatkan proses intertwisting yang menghasilkan nanorod ZnO dengan diameter lebih
besar. Dalam penelitian ini juga didapatkan bahwa penambahan 3 gram PEG adalah kondisi
paling optimal untuk pembentukan nanorod ZnO yang relatif seragam karena peningkatan
lebih lanjut jumlah PEG ke dalam prekursor sebesar 5 gram membuat larutan campuran
(Zn(NO3)2.4H2O dan NH4OH tidak bereaksi menghasilkan nanorod ZnO, ditandai larutan
tetap bening dan tidak ditemukan endapan hingga proses pemanasan pada 75oC berakhir
setelah 2 jam.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 1. Foto SEM nanorod ZnO hasil reaksi sol-gel (Zn(NO3)2.4H2O dan NH4OH dengan penambahan:
(a) 1 gr; (b) 2 gr dan (c) 3 gr PEG.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 119
Untuk mengkonfirmasi fasa inorganik sampel ZnO yang terbentuk dan tingkat
kristalinitas yang dihasilkan, pengujian difraksi sinar x dilakukan untuk sample dengan
penambahan PEG sebesar 1 dan 3 gram. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa puncak-puncak
difraksi yang jelas pada sudut 2 sebesar 32.05, 34.71, 36.53, 47.72, 56.75 dan 63.26 adalah
bersesuaian dengan bidang kristal (100), (002), (101), (102), (110) dan (103) dari wurtzite
ZnO.

Gambar 2. Hasil pengujian XRD nanorod ZnO hasil reaksi sol-gel (Zn(NO3)2.4H2O
dan NH4OH dengan penambahan: (a) 1 gr dan (b) 3 gr PEG.

Untuk mengetahui besar kristalit ZnO yang terdapat pada masing-masing sampel
maka data hasil uji XRD dianalisis lebih lanjut untuk memperoleh nilai full-width at half
maximum (FWHM) pada puncak-puncak difraksi tersebut yang kemudian diolah dengan
persamaan Scherrer [11]. Perlu dicatat bahwa selama pengolahan data XRD ini telah
dilakukan pembuangan efek pelebaran difraksi broadening yang disebabkan oleh kontribusi
instrumen. Hasil analisis memberikan besar ukuran kristalit ZnO pada masing-masing ZnO
dengan penambahan PEG 1 dan 3 gram adalah 95.42 dan 94.77 nm. Dari hasil ini dapat
dilihat bahwa penambahan PEG dari 1 hingga 3 gram tidak memberikan efek peningkatan
ukuran yang signifikan terhadap pertumbuhan nanokristalit ZnO yang berada di dalam
struktur solid nanorod ZnO itu sendiri.

3.2. Efek waktu tunda evaporasi NH3


Gambar 3 menunjukkan hasil foto SEM untuk sampel nanorod ZnO dengan
penambahan 3 gram PEG tanpa penundaan evaporasi NH3 (sampel a) dan dengan penundaan
evaporasi NH3 selama 1 jam (sampel b) dan 2 jam(sampel c). Dari observasi pada keseluruhan
area pengamatan dapat diketahui bahwa sampel b dan c memberikan distribusi struktur
nanorod yang lebih seragam daripada sampel a. Analisis citra terhadap gambar-gambar
tersebut memberikan data diameter rata-rata nanorod ZnO untuk ketiga sampel dengan
masing-masing urutan tersebut di atas adalah sebesar 464, 410 dan 328 nm. Penundaan laju
Seminar Material Metalurgi 2010

evaporasi NH3 menghasilkan nanorod ZnO dengan diameter yang lebih kecil dibandingkan
tanpa penundaan. Dengan memperpanjang waktu penundaan, efek pengecilan diameter
nanorod tersebut semakin signifikan. Hasil ini dapat dikaitkan dengan mekanisme yang terjadi
pada prekursor zinc nitrate dan ammonium hidroksida. Secara umum reaksi antara prekursor
Zn(NO3)2.4H2O dan NH4OH dalam sintesis nanorod ZnO ini adalah sebagai berikut [12]:

 NH3 + H2O NH3. H2O NH4+ + HO- (2)


 Zn2+ + 4NH3 Zn(NH3)42+ (3)
 Zn(NH3)42+ + 2OH- ZnO + 4NH3 + H2O (4)

120 |  ISSN : 2085 – 0492


 
 Zn2+ + 4OH- Zn(OH)42- (5)
 Zn(OH)42- ZnO + H2O + 2OH- (6)

Hongxia [12] melaporkan bahwa penundaan laju evaporasi NH3 dari prekursor
campuran (Zn(NO3)2.4H2O dan NH4OH memberikan kesempatan interaksi antara Zn(NH3)42+
dan inti-inti ZnO yang lebih lama, menghasilkan ZnO nanorods dengan ukuran yang optimal
dan distribusi yang merata. Dalam hasil investigasinya, Banerjee [13] menyatakan bahwa
dengan menahan laju evaporasi ammonia, maka akan lebih banyak terdapat zat pembasa
tersebut di dalam larutan yang masih bereaksi dengan garam logam (zinc nitrate) sehingga
dihasilkan nanorod ZnO dengan diameter yang lebih kecil namun memanjang.

(a)  (b) (c)

     
Gambar 3. Foto SEM nanorod ZnO hasil reaksi sol-gel (Zn(NO3)2.4H2O dan NH4OH dengan 3 gram PEG pada
kondisi: (a) tanpa penundaan evaporasi NH3; (b) penundaan evaporasi NH3 selama 1 jam dan (c)
penundaan evaporasi NH3 selama 2 jam

Pengujian difraksi sinar-x dilakukan pada ketiga sampel tersebut dan mengkonfirmasi
bahwa fasa inorganik yang terbentuk adalah wurtzite ZnO, sebagaimana ditunjukkan oleh
Gambar 4.

Gambar 4. Hasil pengujian XRD nanorod ZnO hasil reaksi sol-gel (Zn(NO3)2.4H2O dan NH4OH dengan 3 gram
Seminar Material Metalurgi 2010

PEG pada kondisi: (a) tanpa penundaan evaporasi NH3; (b) penundaan evaporasi NH3 selama 1 jam
dan (c) penundaan evaporasi NH3 selama 2 jam

Analisis pengukuran besar kristalit nanorod ZnO dengan persamaan Scherrer


memberikan hasil sebesar 94.77, 121.49 dan 166.59 untuk sampel nanorod ZnO dengan
penambahan 3 gram PEG tanpa penundaan evaporasi NH3 (sampel a) dan dengan penundaan
evaporasi NH3 selama 1 jam (sampel b) dan 2 jam(sampel c), seperti ditunjukkan oleh
Gambar 5 berikut. Hasil ini menarik untuk diamati karena memberikan kecenderungan yang
berbeda dibandingkan dengan penurunan diameter nanorod ZnO sebagai efek proses
penundaan laju evaporasi NH3. Peningkatan ukuran kristalit yang berada dalam stuktur

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 121
nanorod ZnO ini dimungkinkan karena terdapatnya kesempatan bagi inti-inti ZnO sebagai
hasil reaksi prekursor Zn(NO3)2.4H2O dan NH4OH untuk tumbuh lebih besar dalam konstrain
diameter yang lebih kecil.

166.59

121.49

94.77 

a  b  c 
 
Gambar 5. Hasil pengukuran besar kristalit nanorod ZnO hasil reaksi sol-gel (Zn(NO3)2.4H2O dan NH4OH
dengan 3 gram PEG pada kondisi: (a) tanpa penundaan evaporasi NH3; (b) penundaan evaporasi
NH3 selama 1 jam dan (c) penundaan evaporasi NH3 selama 2 jam

4. KESIMPULAN
Sintesis nanorod ZnO telah berhasil dilakukan dengan metode sol-gel menggunakan
prekursor Zn(NO3)2.4H2O dan NH4OH pada temperatur yang relatif rendah, yaitu 75oC.
Penambahan PEG ke dalam prekursor campuran dari 1 hingga 3 gram memberikan efek
peningkatan diameter nanorod ZnO dari 157 menjadi 464 nm, namun tidak memberikan efek
terhadap perbedaan ukuran nanokristalit di dalam struktur nanorod itu sendiri, dimana ukuran
nanokristalit tetap konstan sekitar 94-95 nm seiring dengan penambahan PEG tersebut. Pada
proses sintesis nanorod ZnO dengan penambahan PEG sebesar 3 gram, penundaan laju
evaporasi NH3 selama 1 dan 2 jam, memberikan efek terhadap penurunan diameter nanorod
menjadi 410 dan 328 nm, sebagai perbandingan dengan diameter nanorod ZnO tanpa proses
penundaan evaporasi NH3 yang mencapai ukuran sebesar 464 nm. Hal ini terkait dengan
interaksi yang lebih lama antara spesies intermediate Zn(NH3)42+ dan inti-inti ZnO. Di sisi
lain hal ini juga memberikan kesempatan bagi inti-inti ZnO sebagai hasil reaksi prekursor
Zn(NO3)2.4H2O dan NH4OH untuk tumbuh lebih besar dalam konstrain diameter yang lebih
kecil, yang memberikan efek peningkatan ukuran nanokristalit sebesar 121.49 dan 166.59 nm
untuk sampel dengan 1 dan 2 jam penundaan waktu evaporasi NH3, sebagai perbandingan
terhadap nanokristalit ZnO tanpa proses penundaan evaporasi NH3 yang hanya mencapai
ukuran sebesar 94.77 nm.

DAFTAR PUSTAKA
Seminar Material Metalurgi 2010

1. R.E. Service, “Materials Science-Will UV lasers beat the blues,” Science, 276, 895
(1997).
2. C.M. Jin, A. Tiwari and R.J. Narayan, J.Appl.Phys. 98, 083707 (2005).
3. M.Huang, S.Mao, H.Feick, HQ. Yan, Y.Y. Wu, H.Kind, E.Weber, R.Russo and P.D.
Yang, Science, 292, 1897 (2001).
4. Y.R. Ryu, T.. Lee, J.A. Lugbuban, H.W. White, B.J. Kim, Y.S. Park and C.J. Youn, Appl.
Phys. Lett. 88, 241108 (2006).
5. S.H. Park, S.H. Kim and S.W. Han, Nanotechnology, 18, 055608 (2007).
6. Z.P. Wei, Y.M. Lu, D.Z.Shen, Z.Z. Zhang, B.Yao, B.H. Li, J.Y. Zhang, D.X. Zhao,
X.W.Fan and Z.K. Tang, Appl. Phys. Lett. 90, 042113 (2007).

122 |  ISSN : 2085 – 0492


 
7. F.Demangeot, V.Paillard and P.M. Chassaing, Appl. Phys. Lett. 88, 071921 (2006).
8. Y.H. Choo, J.Y. Kim and H.S. Kwack, Appl. Phys. Lett. 89, 201903 (2006).
9. B.D. Cullity, Elements of X-ray Diffraction, 2nd ed., Addison-Wesley Reading,
Massachusetts (1978).
10. Z. Xingfu, American Chemical Society, Nanjing University, 2006.
11. L. Zhengquan, Y.Xiong, Y. Xie, Inorganic Chemistry-University of Science and
Technology of China (2003).
12. Z. Hongxia, Preparation of ZnO Nanorods through Wet Chemical Method. Elsevier:
Harbin Engineering University (2007).
13. D. Banerjee, Large Hexagonal Arrays of Aligned ZnO Nanorods. Material Science and
Processing: Boston College (2004).

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 123
Seminar Material Metalurgi 2010

 
124 |  ISSN : 2085 – 0492
FABRIKASI KAWAT SHAPE MEMORY ALLOY Ni-Ti
SKALA LABORATORIUM
 

Efendi Mabruri1), Bambang Sriyono1), Bintang Adjiantoro1), D.N.Adnyana2)


1)
Pusat Penelitian Metalurgi-LIPI, Kawasan Puspiptek Gd. 470 Serpong, Tangerang 15314,Indonesia
Email: efendi_lipi@yahoo.com
2)
Balai Besar Teknologi Kekuatan dan Struktur-BPPT, Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang
15314,Indonesia

Abstrak
Shape memory alloy (SMA) memiliki kemampuan untuk merekoveri regangan plastis dan kembali ke
bentuk awal pada saat dipanaskan. Dengan karakteristik shape memory effect (SME) seperti ini SMA dapat
dimanfaatkan sebagai coupling (penyambung), konektor listrik dan aktuator. Shape memory alloy yang paling
potensial dan memungkinkan untuk berbagai aplikasi di industri adalah paduan Ni-Ti karena memiliki keuletan
yang lebih besar, regangan rekoveri lebih besar, ketahanan korosi yang ekselen, suhu transformasi yang stabil,
biokompatibilitas yang tinggi dan dapat dipanaskan secara elektrik untuk rekoveri bentuk [Waran, 1993].
Sampai saat ini aplikasi paduan shape memory Ni-Ti telah menyebar di berbagai bidang seperti peralatan
rumah tangga, teknik sipil, otomotif, mikro elektro-mekanik (MEM), peralatan medis dan lain-lain. Tulisan ini
memaparkan kegiatan fabrikasi skala laboratorium kawat paduan shape memory Ni-Ti ekuiatomik dan
karakterisasinya sebagai langkah awal dalam kegiatan pengembangan shape memory alloy di Indonesia.
Kawat shape memory Ni-Ti yang dihasilkan pada kegiatan ini memiliki karakteristik shape memory yang sesuai
dengan NiTi komersial.

Kata kunci: fabrikasi, laboratorium, shape memory alloys, kawat nikel-titanium.

Abstract
Shape memory alloys (SMA) have the ability to recover plastic strain and restore the alloys to the
original shape upon heating. This shape memory effect (SME) can be used for coupling, electrical connecting
and actuation. Nickel-titanium (Ni-Ti) is the most potential shape memory alloys for industrial applications due
to its greater ductility, more recoverable strain, excellent corrosion resistance, stable transformation
temperature, high biocompatibility, and the ability to be electrically heated for shape recovery [Waram, 1993].
To date, Ni-Ti SMA are found in widespread application such as home appliances, civil engineering,
automotives, micro-electro mechanics (MEM), medical devices, and so on. This paper reports the fabrication
and characterization of Ni-Ti shape memory wires in a laboratory-scale as the first step in the development of
shape memory alloys in Indonesia. The Ni-Ti shape memory wires resulted from this work have the shape
memory characteristics similar with those of the commercial Ni-Ti alloys.

Keywords: fabrication, laboratory, shape memory alloys, nickel-titanium wires.

I. PENDAHULUAN
Shape memory alloy (SMA) merupakan material cerdik-fungsi (smart dan functional)
yang mempunyai kemampuan untuk merekoveri regangan plastis dan kembali ke bentuk
Seminar Material Metalurgi 2010

awal pada saat dipanaskan. Fenomena ini merupakan hasil dari perubahan fasa kristalin yang
dikenal dengan transformasi martenisitik thermoelastik [1-3]. Pada suhu rendah atau di bawah
suhu transformasi, SMA memiliki fasa martensitik yang lunak dan dapat dideformasi plastis
dengan mudah sehingga bentuknya berubah. Akan tetapi pada saat dipanaskan di atas suhu
transformasi, dalam hal ini suhu terbentuknya austenit sampai 100% (Af), SMA mengalami
perubahan struktur kristal menjadi fasa austenitik yang menyebabkan ia kembali ke bentuk
semula sebelum dideformasi plastis. Sifat seperti ini dikenal dengan shape memory effect
(SME).
Ada beberapa jenis paduan yang menunjukkan fenomena SME seperti paduan NiTi,
Cu-based dan Fe-based alloy. Paduan Cu-based masih mempunyai masalah untuk skala

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 125
aplikasi industri, yaitu terjadinya natural aging yang menyebabkan penurunan fenomena
SME, dan pertumbuhan butir selama perlakukan termomekanik yang menyebabkan
pergeseran suhu transformasi martensit termoelastik [4]. Shape memory alloy yang paling
penting dan memungkinkan untuk aplikasi di industri adalah paduan NiTi. Paduan NiTi dapat
dideformasi plastis sampai lebih dari 50% regangan, memiliki SME yang stabil dan NiTi
dapat merekover bentuk awal (sampai regangan 8%) pada waktu dipanaskan di atas suhu
trasformasi atau dapat menghasilkan tegangan restorasi yang tinggi (sampai 700 Mpa) [4-6].
Para peneliti, pendisain dan industri memanfaatkan potensi SME ini untuk aplikasi
teknik. Pada awalnya SMA digunakan untuk peralatan statik seperti coupling (penyambung)
untuk sistem perpipaan dan konektor listrik. Kemudian para peneliti mulai memanfaatkan
peralatan SMA untuk aplikasi dinamik, yaitu sebagai aktuator. Untuk melakukan tugas
dinamik ini, SMA harus dilakukan sebuah siklus pemanasan, pendinginan dan deformasi.
Sumber untuk memanaskan SMA bisa berasal dari elektrik misalnya dalam aplikasi mikro
robotik atau bisa dengan memanfaatkan suhu lingkungan seperti untuk aplikasi sistem
pengaturan suhu. Beberapa contoh lain aplikasi yang menggunakan suhu lingkungan adalah
misalnya peralatan SMA digunakan untuk membuka dan menutup jendela rumah kaca secara
otomatis, mengoperasikan katup yang mengontrol suhu gedung, mengontrol kopling kipas
pada otomobil dan mengontrol aliran oli pelumas pada sistem transmisi otomotif otomatik.
Pada kelompok aplikasi ini peralatan SMA bertindak sebagai sensor termal dan aktuator, tidak
ada sumber elektrik yang dibutuhkan pada sistem tersebut. Kemudian sebagai bagian dari
mekanisme siklus SME, dibutuhkan gaya balik (bias force) dengan arah berlawanan untuk
mengembalikan SMA ke posisi semula.
Penggunaan aktuator SMA memberikan alternatif yang menarik terhadap metoda
aktuasi konvensional. Aktuator SMA telah diaplikasikan dengan sukses untuk kompensasi
termal, aktuasi termal dan proteksi termal. Aktuator SMA merespon perubahan suhu dengan
perubahan bentuk dengan kata lain dapat merubah energi panas menjadi energi mekanik.
Aktuator SMA memberikan perubahan gerakan yang besar dengan ukuran yang relatif kecil
sehingga menghasilkan output kerja yang tinggi. Dibandingkan dengan jenis-jenis aktuator
lain (bi-metal, elektromagnet, PZT dan lain-lain), aktuator dari SMA memberikan output
kerja spesifik/volume yang paling tinggi seperti ditunjukkan oleh Gambar 1. Aktuator SMA
biasanya terdiri dari hanya satu komponen tunggal, misalnya dalam bentuk pegas spiral dan
tidak membutuhkan sistem mekanik yang rumit. Aktuator SMA dapat dipasangkan pas ke
dalam ruang di dalam desain yang telah ada dengan rapat, sedangkan aktuator termal yang
lain seperti bimetal akan membutuhkan desain ulang dari produk.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 1. Perbandingan output kerja spesifik/volume dari jenis-jenis aktuator yang berbeda [2].
SMA sebagai material cerdik-fungsi mendapat perhatian yang besar baik dari sisi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun dari sisi aplikasi industri. Sampai
saat ini aplikasi SMA khususnya NiTi telah menyebar di berbagai bidang seperti ruang
peralatan rumah tangga, teknik sipil, otomotif, mikro elektro-mekanik (MEM), peralatan

126 |  ISSN : 2085 – 0492


 
medis dan lain-lain. Penguasaan teknologi pembuatan SMA sangat diperlukan dalam
pembangunan nasional dalam kaitannya dengan usaha kemandirian bangsa dalam bidang
teknologi material maju di berbagai industri yang disebutkan di atas. Tulisan ini memaparkan
kegiatan fabrikasi dan karakterisasi kawat paduan shape memory Ni-Ti ekuiatomik sebagai
langkah awal dalam kegiatan pengembangan shape memory alloy khususnya paduan yang
berbasis Ni-Ti di Indonesia.

II. PROSEDUR PERCOBAAN


Langkah-langkah pembuatan kawat paduan shape memory NiTi adalah sebagai
berikut:
1. Pembuatan ingot paduan biner NiTi
Bahan baku pembuatan ingot paduan biner NiTi (selanjutnya disebut paduan NiTi)
adalah logam Ni (99,9+%) dan logam Ti (99,9%). Logam-logam murni ini ditimbang sesuai
dengan komposisi target 50% atom Ni dan 50% atom Ti. Kemudian bahan-bahan baku ini
dilebur bersamaan di dalam tungku busur listrik vakum (vacum arc furnace). Pada tahap ini
dibuat lima buah ingot paduan NiTi dengan komposisi target yang sama seperti disebutkan di
atas. Ingot yang dihasilkan berbentuk setengah bulat seperti kancing yang disebut button
ingot.
2. Homogenisasi button ingot NiTi
Untuk menghasilkan komposisi yang seragam di dalam button ingot, dilakukan
homogenisasi terhadap ingot. Sampel button ingot dimasukkan ke dalam ampoule tabung
kuarsa dalam kondisi vakum. Homogenisasi dilakukan dengan memanaskan ampoule yang
berisi button ingot di dalam tungku mafel pada suhu 1000oC selama 24 jam. Setelah
mencapai waktu yang ditentukan ampoule dikeluarkan dari tungku dan didinginkan di udara.
3. Pengepresan panas (Hot Pressing)
Pengepresan panas dilakukan untuk menghancurkan struktur dendrit hasil pembekuan
setelah peleburan. Button ingot terlebih dahulu dipanaskan oleh pemanas induksi dan
kemudian dalam kondisi panas langsung dilakukan pengepresan oleh mesin press. Cetakan
(die) dan penekan (punch) yang digunakan untuk pengepresan memiliki lubang untuk sampel
berbentuk memanjang dengan penampang melintang segi empat. Pengepresan panas
dilakukan berkali-kali sehingga button ingot berubah bentuk menjadi balok segi empat.

Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 2. Rod paduan NiTi hasil pengerolan panas.

4. Pengerolan panas (Hot Rolling)


Sampel hasil pengepresan panas kemudian dirol panas oleh mesin rol profil agar
sampel menjadi panjang dan dapat ditarik oleh mesin penarikan kawat. Mesin rol memiliki 10
lubang profil dengan ukuran yang makin mengecil. Pengerolan panas yang dimaksud adalah
sampel dipanaskan dahulu kemudian dirol dalam kondisi panas. Pemanasan sampel dilakukan
oleh pemanas induksi untuk pengerolan profil 1 sampai profil 4, sedangkan untuk pengerolan
profil 5 sampai 10 pemansan sampel dilakukan di dalam tungku fludized bed. Pengerolan

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 127
terakhir pada lubang ke 10 menghasilkan sampel rod dengan diamter 3 mm. Pada tahap ini
satu ingot mengalami retak karena dilakukan pengerolan dingin (tidak dalam kondisi panas)
sehingga dari 5 sampel tinggal 4 sampel yang diteruskan ke tahap selanjutnya. Gambar 2
menunjukkan rod paduan NiTi hasil pengerolan panas.
5. Penarikan kawat (Wire drawing)
Untuk mendapatkan bentuk kawat, pada rod yang dihasilkan dari pengerolan panas
yang memiliki diameter 3 mm kemudian dilakukan proses penarikan kawat (wire drawing)
secara bertahap (multipass drawing). Di antara tahapan penarikan kawat, sampel di anil
(intermidiate annealing) di dalam tungku fludized bed untuk menghindari retak. Kawat yang
dihasilkan dari penarikan terakhir memiliki diameter akhir 1,4 mm. Gambar 2a menunjukkan
proses penarikan kawat. Pada kawat yang dihasilkan kemudian dilakukan lagi pemanasan anil
akhir (Post deformation annealing) di dalam tungku fludized bed.

Gambar 2a. Proses penarikan kawat paduan NiTi.

6. Karakterisasi kawat paduan NiTi


 Analisa komposisi kimia
Kawat yang dihasilkan kemudian dilakukan analisa komposisi kimia dengan
menggunakan EDS yang terintegrasi dengan SEM (Scanning Electron Microscope). Untuk
setiap sampel, pengujian EDS dilakukan sebanyak tiga titik yang kemudian diambil nilai rata-
ratanya.
 Pengujian transformasi fasa
Penentuan suhu transformasi fasa (Ms, Mf, As dan Af) dilakukan dengan
menggunakan DSC (Differential Scanning Calorimetry). Sampel dipanaskan dari suhu kamar
sampai suhu tertentu dan ddidinginkan kembali. Perbedaan suhu sampel dengan suhu material
pembanding diukur dan ditampilkan nalam bentuk kurva. Proses tranformasi fasa selama
pemansan atau pendinginan dapat terlihat dari adanya cekungan atau puncak pada kurva.
Sedangkan untuk mengetahui struktur fasa yang terbentuk di dalam paduan, dilakukan
pengujian dengan XRD (X-Ray Difffractometer).
 Pengujian mekanik
Seminar Material Metalurgi 2010

Pengujian mekanik yang dilakukan yaitu pengujian kekerasan mikro menggunakan


mesin uji Vickers dan pengujian uji tarik menggunakan mesin UTM (Universal Tensile
Machine).
 Pengujian sifat shape memory
Pengujian sifat shape memory dilakukan dengan mengukur prosentasi regangan yang
dapat dipulihkan ratau diekoveri (strain recovery) oleh kawat paduan TiNi pada saat
dipanaskan. Rekoveri regangan ini menjadi ukuran sifat shape memory dari paduan SMA.
Pengujian ini dilakukan dengan menekuk kawat dengan diameter t yang awalnya lurus
sebesar 180o dengan logam bulat dengan diameter tertentu d sampai bengkok (terdeformasi

128 |  ISSN : 2085 – 0492


 
plastis). Kawat yang telah ditekuk dimasukkan ke dalam gelas ukur yang berisi air dan
kemudian dipanaskan. Setelah dipanaskan kawat yang bengkok akan bergerak ke posisi awal.
Kemudian dilakukan pengukuran sudut-sudut untuk mengukur rekoveri regangannya. Sudut
yang diukur adalah sudut spring back e ( selisih antara sudut penekukan 180o dan sudut
kawat dalam kondisi bengkok) dan sudut rekoveri m (selisih sudut kawat bengkok sebelum
dipanaskan dan sudut setelah dipanaskan). Rekoveri regangan mutlak dapat dihitung dengan
rumus di bawah ini:

(1)
Di mana a adalah rekoveri regangan mutlak dan p =t/d.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Kawat paduan NiTi yang dihasilkan
Gambar 3 menunjukkan kawat paduan NiTi hasil penarikan kawat dan dalam kondisi
setelah dilakukan pemanasan anil akhir. Kawat memiliki diameter 1,4 mm dengan panjang
bervariasi dari 30-50 cm.
2. Komposisi kawat paduan NiTi
Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia kawat paduan NiTi yang dianalisa dengan
EDS. Keempat kawat paduan NiTi menpunyai nilai komposisi rata-rata yang relatif sama
tetapi sedikit bergeser dari komposisi target 50:50 % atom. Penurunan komposisi Ti dari
target bisa disebabkan oleh terjadinya oksidasi terhadap Ti pada saat peleburan dan pada saat
hot pressing, hot rolling dan annealing karena Ti sangat reaktif terhadap oksigen. Oksidasi
terhadap Ti pada saat peleburan di tungku vakum bisa terjadi karena kondisi vakum yang
tidak sempurna sehingga masih terdapat oksigen meskipun dalam konsentrasi yang sangat
kecil.

Gambar 3. Kawat paduan NiTi hasil penarikan kawat.


Tabel 1. Komposisi paduan NiTi yang dianalisa dengan EDS (% atom).

Titik 1 Titik 2 Titik 3 Rata-rata


No. Sample
Ti Ni Ti Ni Ti Ni Ti Ni
1 A 48,58 51,42 48,94 51,06 49,12 50,88 48,88 51,12
Seminar Material Metalurgi 2010

2 C 48,77 51,23 48,92 51,08 49,1 50,9 48,93 51,07


3 D 48,64 51,36 48,86 51,14 49,45 50,55 48,98 51,02
4 E 48,38 51,62 48,34 51,66 49,09 50,91 48,84 51,16

3. Suhu transformasi fasa kawat paduan NiTi


Gambar 4 menunjukkan kurva hasil pengukuran DSC terhadap kawat paduan NiTi. Kurva
yang terlihat adalah kurva pemanasan dari suhu 50 sampai 150 oC. Puncak-puncak pada kurva
menunjukkan adanya transformasi fasa yang endotermis pada pemanasan. Transformasi yang terjadi
adalah perubahan dari fasa martensit menjadi austenit. Dari puncak kurva ini dapat ditentukan As
(suhu austenit awal) dan Af (suhu austenit akhir) dan untuk ke empat paduan memiliki nilai-nilai yang

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 129
relatif sama, yaitu selang untuk As= 94,66-94,75oC dan selang untuk Af= 95,50-95,60oC. Hal ini sesuai
dengan komposisi keempat paduan NiTi yang relatif sama. Pada saat pendinginan sampai suhu kamar
tidak ditemukan adanya cekungan atau puncak pada kurva, sehingga tidak dapat ditentukan Ms (suhu
martensit awal) dan Mf, tetapi nilai keduanya dapat diperkirakan berada di bawah suhu kamar.

 
Gambar 4. Kurva hasil pengujian DSC.

4. Fasa-fasa yang terbentuk pada paduan NiTi


Fasa-fasa yang terbentuk pada kawat paduan NiTi setelah proses anil dan didinginkan
di udara dan di air ditunjukkan oleh hasil pengujian dengan XRD pada Gambar 5. Kedua
sampel terdeteksi memiliki fasa-fasa yang sama yaitu austenit, martensit dan intermetalik
Ni3Ti. Fasa intermetalik Ni3Ti muncul sebagai konsekuensi komposisi kimia paduan yang
memiliki kandungan nikel yang lebih besar dari komposisi 50:50 yaitu dengan nilai rata-rata
Ni51,15Ti48,85 (nickel-rich NiTi alloy). Intensitas peak XRD untuk intermetalik Ni3Ti terlihat
lebih tinggi pada sampel yang didinginkan dengan udara dari pada sampel yang didinginkan
di air. Ini menunjukkan bahwa pada pendinginan dengan air, presipitasi intermetalik masih
tertahan oleh pendinginan cepat, sedangkan pada media udara pendinginan cenderung lebih
lambat dan memungkinkan terjadinya aging sehingga presipitasi intermetalik lebih banyak.
A
M M A Ni3TiA Ni Ti
Seminar Material Metalurgi 2010

3 (a)

(b)

 
Gambar 5. Profil XRD untuk kawat paduan NiTi yang dianil dan didinginkan di (a) udara (b) air.

130 |  ISSN : 2085 – 0492


 
5. Sifat mekanik kawat paduan NiTi
Hasil uji kekerasan mikro Vikers (HV) terhadap kawat paduan NiTi ditunjukkan oleh
Tabel 2. Kekerasan rata-rata kawat paduan NiTi dalam kondisi anil berkisar antara 313,9 -
349,6 HV.
Tabel 2 Hasil pengujian kekerasan mikro Vikers.
Kekerasan Mikro (HV)
No. Sample
1 2 3 4 5 Rata-rata
1 A 311,6 311,6 320,8 320,8 334,5 313,9
2 C 320,8 315,2 320,8 311,6 311,6 316,0
3 D 320,8 324,6 311,6 320,8 330,5 321,7
4 E 378,6 340,6 373,8 330,5 324,6 349,6

Kurva tegangan-regangan hasil uji tarik sampai putus terhadap kawat paduan NiTi
dalam kondisi anil ditunjukkan oleh Gambar 6. Keempat sampel memiliki bentuk kurva yang
relatif sama. Adanya belokan kurva (daerah plastis) pada bagian tengah menunjukkan adanya
fasa martensit di dalam paduan NiTi. Daerah belokan yang sempit menunjukkan adanya
campuran fasa martensit dan austenit seperti ditunjukkan oleh hasil pengujian XRD pada
Gambar 5. Pada kurva tegangan regangan martensit tersebut tedapat 2 daerah elastik dan 2
daerah plastik. Daerah plastik di bagian tengah kurva menunjukkan martensit dalam keadaan
de-twinned. Regangan plastis pada daerah martensit de-twinned inilah yang dapat direkoveri
pada saat paduan NiTi dipanaskan melebihi suhu Af , sehinga menimbulkan efek shape
memory. Sedangkan nilai kekuatan tarik, kekuatan luluh dan regangan yang ditentukan dari
kurva tegangan-regangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Sample A Sample C Sample D Sample E


Gambar 6. Kurva tegangan-regangan kawat paduan NiTi.

Tabel 3. Kekuatan tarik, kekuatan luluh dan elongasi kawat paduan NiTi.
No. Sample Kuat Luluh (N/mm2) Kuat Tarik (N/mm2) Elongasi
1 A 388,76 730,87 34
2 C 326,56 746,42 24
3 D 327,56 715,32 30
4 E 264,36 699,77 16
Seminar Material Metalurgi 2010

   
Gambar 7. Percobaan rekoveri regangan pada kawat paduan NiTi. (a) setelah dibengkokan dan (b) setelah
dipanaskan sampai di atas suhu Af .

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 131
6. Sifat shape memory kawat paduan NiTi
Gambar 6 menunjukkan kawat paduan NiTi pada percobaan rekoveri regangan.
Gambar 7(a) adalah kawat yang setelah dibengkokkan, sedangkan Gambar 7 (b) adalah kawat
setelah dilakukan pemanasan yang memperlihatkan adanya pemulihan bentuk atau rekoveri
regangan. Pengukuran sudut-sudut dari gambar tersebut di tunjukkan pada Tabel 4. Dari tabel
tersebut dapat dilihat bahwa rekoveri regangan mutlak a untuk kawat paduan NiTi yang
dibuat berkisar dari 7,40% (sampel B) sampai 8,83% (sampel D). Nilai regangan rekoveri
kawat paduan NiTi yang dibuat pada studi ini sudah memenuhi standar rekoveri regangan
paduan NiTi komersial yaitu 8,5%. Sehingga kawat paduan NiTi yang dibuat memiliki sifat
shape memory yang sesuai dengan paduan NiTi komersial.

Tabel 4 Regangan rekoveri mutlak a yag dihitung dari persamaan (1).


No. Sampel e m a (%)
o o
1. A 14 55 7,40
2. C 12 o 53 o 7,04
3. D 11 o 60 o 7,92
4. E 19,5 o 63,5 o 8,83

IV. KESIMPULAN
Pada kegiatan ini telah berhasil dibuat kawat paduan NiTi equiatomik melalui tahapan
proses peleburan di dalam vacum arc furnace, pengepresan panas, pengerolan panas dan
penarikan kawat. Karakterisasi terhadap kawat yang dihasilkan menunjukkan bahwa paduan
termasuk jenis Ni-rich Ni-Ti ekuiatomik (Ni51,15Ti48,85) dengan suhu As= 94,66-94,75 oC dan
Af = 95,50-95,60 oC, Ms dan Mf berada di bawah suhu kamar serta memiliki regangan
rekoveri berkisar antara 7,4-8,83%. Kawat shape memory Ni-Ti yang dihasilkan memiliki
karakteristik yang sesuai dengan NiTi komersial.

DAFTAR PUSTAKA
1. B.C.Chang ,J.A. Shaw, M.A.Iadicola, Thermodynamics of shape memory alloy wire:
modeling, experiments, and application, Continuum Mech. Thermodyn. 18 (2006)
83–118.
2. M. Mertmann and G. Vergani, Design and application of shape memory actuators,
Eur. Phys. J. Special Topics, 158 (2008). 221–230
3. Ming H. Wu , Fabrication of Nitinol Materials and Components, Proceedings of the
International Conference on Shape Memory and Superelastic Technologies, Kunming,
China, (2001) 285-292 .
4. R.A. Sanguinetti Ferreira, E.P. Rocha Lima, A. Aquino Filho,N.F. de Quadros, O.
Olimpio de Araújo, Y.P. Yadava, Materials Research, 3 (4) (2000)119-123.
5. J.I.Kim and S.Myazaki, Comparison of Shape Memory Characteristics of a Ti-50.9 At.
Pct Ni Alloy Aged at 473 and 673 K, Met. Mat. Trans. A, 36A (2005) 3301-3310.
6. G.B.Cho,Y.H.Kim, S.G.Hur, C.A.Yu, and T.H.Nam, Transformation Behavior and
Mechanical Properties of a Nanostructured Ti-50.0Ni(at.%) Alloy, Met. Mat. Int., 12
Seminar Material Metalurgi 2010

(2) (2006) 181-187.

132 |  ISSN : 2085 – 0492


 
SINTESIS SERBUK NANO PZT MENGGUNAKAN
METODA SOL GEL TERMODIFIKASI

M.Rosyid Ridlo1, Didik Prasteyo1, Efendi M.2


1
Pusat Penelitian Fisika LIPI Komplek Puspiptek Serpong Tangerang
2
Pusat Penelitian Metalurgi-LIPI, Kawasan Puspiptek Gd. 470 Serpong, Tangerang 15314,Indonesia
email: mrridlo@yahoo.com

Abstrak
Dalam makalah ini akan dibahas proses sintesis serbuk nano PZT menggunakan metoda sol gel
termodifikasi. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian mengenai pembuatan tranduser/sensor ultrasonic
piezokomposit berbasis serbuk nano PZT sebagai filler dan polimer sebagai matrik. Sebagai precursor
digunakan bahan Ti(OC4H9)4, Zr(NO3)4.5H2O dan Pb(CH3COO)2.3H2O dengan pelarut berupa ethylene
glycol. Untuk memperoleh sifat piezoelektrik dekat dengan batas fasa morphotropic P(Zr0,52 Ti0,48)O3
perbandingan mol Pb:Zr:Ti adalah 1,1:0,52:0,48. Pembentukan sol dilakukan pada 60 0C dan kemudian
dilakukan pengeringan 90 0C hingga diperoleh Xerogel . Serbuk nano PZT terbentuk dengan perlakuan panas
pada 650 0C selama 2 jam. Pengamatan SEM dan XRD menunjukkan telah terbentuknya serbuk nano PZT
dengan struktur kristal perovskite.

Kata kunci: piezokomposite, nano PZT, transduser, sol gel, xerogel

Abstract
In this paper, it will be discussed synthesizing of nano powder PZT using modified sol gel method. This
research is part of work about fabrication process of piezocomposite materials as transducers/ sensor based
nano PZT as filler and matrix polimer. Ti(OC4H9)4, Zr(NO3)4.5H2O and Pb(CH3COO)2.3H2O was used as
precursor and solvent was ethylene glycol. To get piezoelectric characteristic near morphotropic phase
boundary (MPB) P(Zr0,52 Ti0,48)O3 , mole ratio Pb:Zr:Ti was 1,1:0,52:0,48. The sol was obtained at 60 0C
and then dried at 90 0C until xerogel formed. Nano powder PZT was obtained after thermal treatment of xerogel
650 0C for 2 h. SEM and XRD observation indicated nano powder PZT had been formed with crystal structure
perovskite.

Keywords : piezocomposite, nano PZT, transducers, sol gel, xerogel.

I. PENDAHULUAN
Struktur kristal perovskite yang dimiliki material lead zirconate titanate (PbZrxTi1-xO3
(PZT)), terkait erat dengan sifat piezoelektrisitas kuat yang ditunjukkannya. Karenanya dalam
decade terakhir material ini banyak digunakan sebagai transduser /sensor ultrasonic[1].
Pemanfaatannya meluas mulai dari bidang pertanian, nuklir, elektronik/robot, uji tak merusak,
sumber energi alternatif hingga bidang kedokteran[2]. Dalam zona frekwensi rendah, ahli
medis menggunakannya sebagai alat terapi, sedang frekwensi tinggi sering dipakai untuk
diagnosis lewat teknologi pencitraan[3].
Tulisan ini merupakan bagian penelitian pembuatan transduser ultrasonic untuk
teknologi pencitraan bidang kedokteran[4]. Dari hasil penelitian sebelumnya dapat
dinyatakan baik komposisi maupun struktur PZT berhubungan erat dengan resolusi dan
sensitivitas citra medis( ultrasonograph, echocardiograph dll) yang ditampilkan[5]. Peralatan
pencitraan modern saat ini banyak menggunakan material komposit ( PZT + polimer) dengan
Seminar Material Metalurgi 2010

struktur 1-3 piezokomposit[6]. Banyak upaya penelitian terbaru terfokus untuk meningkatkan
resolusi citra tersebut diantaranya dengan studi transduser berbasiskan butiran nano PZT.
1. Sol gel termodifikasi (modified sol gel)
Metoda sol gel sering digunakan untuk sintesis nano PZT sebab melibatkan suhu
reaksi rendah, perbandingan komponen yang terkontrol baik serta tingkat kemurnian
tinggi[7,8]. Metoda lain untuk sintesis nano PZT adalah microwave hydrothermal, co-
precipitation, electrohydrodinamic atomization, ultrasonic spray combustion synthesis, metal
oxide decomposition. Sebagai pelarut dalam sol gel umumnya methoxyethanol atau asam
asetat dan precursor adalah lead asetat, zirconium alkoxides dan titanium alkoxides. Dalam

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 133
system ini reaksi hidrolisis dan kondensasi sangat sensitive terhadap air dan kelembaban
udara. Sehingga perlu zat penstabil semacam acetylacetone. Dalam paper ini dicoba metoda
yang digunakan oleh Zhang De-Qing dkk yang menggunakan ethylene glycol sebagai pelarut
dan lead asetat, tetrabutyl titanate, zirconium nitrate sebagai precursor[7,8].
2. Struktur kristal perovskite
Rumus kimia senyawa perovskite secara umum ditulis ABX3 dengan A dan B berupa
kation dan X anion. Pada PZT atom A adalah Pb, B bisa berupa Zr atau Ti sedang X atom O.

Gambar 1. Struktur kristal perovskite PZT


Dekat dengan batas fasa morphotropic (MPB) P(Zr0,52 Ti0,48)O3 terbentuk fasa rhombohedral
dan tetragonal dengan nilai konstatanta dielektrik paling tinggi. Sifat tersebut membuat PZT
sebagai salah satu material piezoelektrik yang sangat penting.

II. EKSPERIMEN
Percobaan yang dilakukan menggunakan metoda modified sol gel seperti yang
digunakan oleh Zhang De-Qing dkk[7,8]. Sebagai prescursors digunakan tetrabutyl titanat
Ti(OC4H9)4, zirconium nitrat Zr(NO3)4.5H2O, Pb(CH3COO)2.3H2O dan pelarut ethylene
glycol. Perbandingan molar Pb:Zr:Ti = 1,1:0,52:0,48 dengan mempertimpangkan Pb yang
hilang. Reaksi dimulai dari pencampuran zirconium nitrat dengan tetrabutyl titanat ethylene
glycol pada 60 0C selama 0,5 jam, untuk kemudian ditambahkan lead asetat. Setelah 2 jam sol
akan diperoleh yang selanjutnya dikeringkan pada 90 0C hingga terbentuk xerogel. Serbuk
nano PZT diperoleh dari perlakuaan panas sol pada suhu 650 0C selama 2 jam.
Secara skematik dapat digambarkan seperti dibawah ini :
6  7
1. Pencampuran Zr(NO3) 4.5 H 2Odan
  
650 C Ti(OC 4H 4)4 dalam ethylene glycol
2. {Zr(NO 3) 4.5 H 2O + Ti (OC 4H 9) 4}
dengan Pb(CH 3COO)2.3H 2O
3 Bentuk Sol
4 Sol dipanaskan pada 90 C hingga
terbentuk xerogel
4
  2    5 5. Xerogel
90 C    1     6. Xerogel dipanaskan pada 650 0C
7. Serbuk Nano PZT
60C  

Seminar Material Metalurgi 2010

0,5    Waktu (jam)
2,5  
Gambar 2. Skema eksperimen modified sol gel

Precursor +ethylene glycol gel Xerogel Serbuk nano PZT


Gambar 3. Tahapan pembuatan serbuk nano PZT

134 |  ISSN : 2085 – 0492


 
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah 2,5 jam pemanasan –pengadukan pada suhu 60 C diperoleh fasa gel berwarna
sedikit putih kental mirip agar agar. Fasa ini kemudian dipanaskan 90 C hingga terbentuk
xerogel yaitu keadaan dengan fasa cair dari gel yang telah menguap. Lalu xerogel dipanaskan
dalam oven selama 2 jam pada suhu 650 C dan akhirnya terbentuk serbuk nano PZT berwarna
kuning muda.
Dari pengamatan SEM ukuran butiran kurang lebih sekitar 80 nm – 100 nm. Hasil ini
sudah memenuhi struktur nano yang diinginkan.

Gambar 4. Foto SEM serbuk nano PZT

Hasil XRD juga menunjukkan struktur kristal yang terbentuk adalah perovskite
dengan fasa MPB P(Zr0,52 Ti0,48)O3

(110) (200)
(211)

(100) 
(111) (201)

Gambar 5. Hasil XRD serbuk nano PZT

Bila dibandingkan dengan metoda sol gel yang lain seperti yang dilakukan oleh
Chontira S dkk[9] atau A.Khorsand dkk [10]atau K.Stanly J dkk [11] metoda ini lebih simple
dan membutuhkan waktu yang lebih sedikit. Dari persiapan hingga terbentuk serbuk nano
Seminar Material Metalurgi 2010

PZT metoda Zang De-Qing ini kurang lebih perlu waktu 4-5 jam saja. Sedang yang lain rata
rata 1hingga 3 hari.

IV. KESIMPULAN
Telah berhasil disintesis serbuk nano PZT menggunakan metoda sol gel termodifikasi
Zhang DeQing. Metoda ini lebih simpel, dilakukan pada suhu rendah serta waktu yang relatif
pendek. Ukuran butiran serbuk yang diperoleh dibawah 100 nm dengan struktur kristal
perovskite pada fasa MPB.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 135
DAFTAR PUSTAKA
1. M.Rosyid Ridlo,” PZT sebagai bahan utama sensor citra diagnostik”, Proc. Seminar
Nasional Keramik di BBK Bandung, mei 2009.
2. C.Miclea et all,” Advanced technology for making PZT type ceramics by fast firing”,
J.Opto and Adv.Mat,Vol 3 No 1 , March2001.
3. Medical ultrasonography http//en.wikipedia.org
4. M.Rosyid Ridlo,”Proposal penelitian insentif ristek: kombinasi 0-3/1-3 PZT piezo
nano komposite sebagai material sensor pencitraan diagnostik frekwensi tingg”, 2009
5. W.A.Smith, ” Composite piezoelectric materials for medical ultrasonic imaging
transducers”, Proc.1986 IEEE int symposium on appl. of Ferroelectric pp 249-256.
6. Ihor Trots et al,” Chosing an ultrasonic sensor for ultrasonography”, sensor &
Transducer Magazine,vol 36, Issue 10, Okt 2003,pp 8-15
7. Zhang De Qing et al,”Synthesis and mecanism research of an ethylene glycol based
sol gel method for preparing PZT nanopowders,”J Sol gel Sci Tech (2007)
8. Zhang De Qing et al, ” Structural and electrical properties of PZT/PVDF
piezoelectric nanocomposite prepared by cold press and hot press”, Chin.phys.lett,
vol 25, no 12 (2008) 4410.
9. Chontira S et,al,” Preparation of PZT nanopowders via sol gel processing”,
http://www.thaiscience.info/Journal/Data_Thaiscien
10. A.Khorsand Zak et.al” Characterization and X ray peak broadening analysis in PZT
nanoparticles prepared by modified sol gel method”, Ceramic International 36 (2010)
1905-1910
11. K.Stanly Jacob et.al,” Sol gel syntesis of nanocrystalline PZT using a novel system”,
J.Of sol gel science and technology 28, 289-295, 2003
Seminar Material Metalurgi 2010

136 |  ISSN : 2085 – 0492


 
SINTESA DAN KARAKTERISASI BAHAN PIEZOELEKTRIK
BNT-MnO2 DENGAN MENGGUNAKAN
METODA SOLID STATE REACTION.

Syahfandi Ahda dan Mardiyanto


Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir –Badan Tenaga Nuklir Nasional.
Kawasan Puspiptek, Serpong
ahda@batan.go.id

Abstrak
Bahan piezoelektrik yang digunakan sebagai transducer ultrasonik umumnya bahan berbasis timbal
(Pb) yakni PbZrxTi1-xO3 (PZT) dan dominan digunakan pada instrumen medis seperti USG. Walaupun PZT
adalah bahan piezoelektrik yang memiliki sifat piezoelektrisitas relatif baik, namun PbO juga merupakan salah
satu bahan beracun yang tidak ramah lingkungan (terutama limbah proses produksi) dan perlu diminalisasi
secara jangka panjang. Bahan piezoelektrik bebas Pb menjadi suatu prioritas penelitian dewasa ini, maka calon
kuat sebagai bahan masa depan adalah Bi0,5Na0,5TiO3 (BNT). Dalam memodifikasi bahan BNT diperlukan peng-
dopan bahan MnO2, agar performance bahan piezoelektrik menjadi lebih baik. Hal ini disebabkan bahan BNT
relatif memerlukan tegangan tinggi DC yang cukup tinggi sekitar 70KV, agar dapat me-polling bahan menjadi
searah dipole internal bahannya. Proses sintesa BNT-MnO2 telah dilakukan dengan menggunakan metoda solid
state reaction. Karakteriasi dan evaluasi sistem kristal dari tahapan proses dilakukan dengan pengukuran pola
difraksi sinar-x. Variasi prosentase berat MnO2 ke dalam BNT dapat mengubah parameter sistem kristal dari
BNT murni. Sehingga ada indikasi perubahan struktur dari sistem kristal rhombohedral ke tetragonal. Daerah
perbatasan perubahan fasa ini dikenal dengan MPB dan terjadi pada komposisi penambahan MnO2 pada
0,306%. Mikrograph dari bentuk partikel dari hasil sintesa dilakukan dengan menggunakan Scanning Electron
Microscope.

Kata Kunci: piezoelektrik, BNT, PZT, MPB (morphotropic phase boundary)

Abstract
Piezoelectric materials used as an ultrasonic transducer is generally based material of lead (Pb),
PbZrxTi1-xO3 (PZT), have been dominantly used in medical instruments such as USG. Although PZT is a
piezoelectric material having relatively good properties of piezoelectricity, but PbO is also one of toxic
materials that are not environmentally friendly (especially waste of production process) and need long-term
minimalization. Pb-free piezoelectric materials become a research priority today, then strong candidate as a
material future is Bi0,5Na0,5TiO3 (BNT). In modifying the materials needed MnO2-dopant material, im order to
get piezoelectric material performance for the better. This is due to BNT materials require relatively high DC
voltage of about 70KV high enough to be able to poll the material into the internal dipole direction. The
synthesis process of BNT-MnO2 has been carried out using solid state reaction method. Characterization and
evaluation of crystal system on the step process have been done by measuring the x-ray diffraction pattern.
Addition of variations MnO2 in weight percentages into BNT can change the parameters of crystal system of
BNT. So there is indication of crystal structure changes from rhombohedral to the tetragonal system. Border
area, known as phase change, occurs at the composition of MnO2 additiom at 0.306%, namely MPB.
Micrograph of particle shape from the synthesis product is done by using Scanning Electron Microscope

Keywords: piezoelectric, BNT, PZT, MPB (morphotropic phase boundary)


Seminar Material Metalurgi 2010

I. PENDAHULUAN
Bahan piezoelektrik merupakan salah satu bahan feroelektrik yang memiliki
fenomena sangat menarik yakni dapat membangkitkan muatan listrik pada saat material
dikenai stress mekanis, begitu juga sebaliknya, fenomena tersebut dapat pula membangkitkan
strain mekanis dalam merespon medan listrik yang teraplikasi pada bahan tersebut. Sehingga
pengembangan bahan dan aplikasinya sangat diminati oleh para peneliti dan perekayasa
dewasa ini, dikarenakan banyak sekali bentuk-bentuk penggunaannya dalam masyarakat
nanti dan sekarang ini. Diantaranya adalah cantilever untuk menghasilkan listrik berdaya

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 137
rendah, motor listrik mini, mikrofon dan alat kesehatan pada ultrasonography (USG).
Sedangkan salah satu aplikasi yang dikembangkan lebih intens pada saat ini adalah memori
ferroelectric yang diharapkan dapat menjadi primadona masa depan untuk menggantikan
sistem memori magnetik yang ada sebagaimana dikembangkan oleh G.H. Haertling [ 1- 4].

Gambar 1. a). Prinsip bahan piezoelektrik, diberikan stress mekanis menimbulkan listrik dan sebaliknya, b)
aplikasi motor mini piezoelektrik

Bahan piezoelektrik yang banyak diaplikasikan dewasa ini adalah bahan keramik
PbZrxTi(1-x)O3 (lebih dikenal dengan PZT). Akan tetapi pada proses sintesa dan bahan
teraplikasinya sangat perlu diwaspadai sekali, dikarenakan sifat beracun yang dimiliki lead
oxides dan senyawa lead (sebagai bahan dasar PZT ). Begitu juga proses penguapan selama
proses sintesa akan dan telah menyebabkan problem yang cukup serius secara jangka
panjang. Maka dari itu suatu pemilihan bahan aplikasi, mau tak mau, baik pada skala labor
maupun industri menjadi sangat bermakna sekali dalam penentuan kebijaksanaan nasional
jangka panjang.
Keberacunan bahan PZT ini membuat para peneliti mencari alternatif bahan
piezoelektrik yang lain bebas dari Pb (lead) dalam rangka proteksi lingkungan. Industri
Jepang telah mengembangkan the reactive templated grain growth (RTGG) method untuk
mengfabfrikasi bahan keramik piezoelektrik bebas Pb. RTGG method ini telah banyak
mengembangkan bahan-bahan seperti keramik feroelektrik berstruktur lapisan bismuth
(diantaranya Bi4Ti3O12 [5], CaBi4 Ti4O15 [6]), keramik pyrolektrik (Zn5O5In2O3 [7], NaCo2O4
[8]), dan keramik piezoelektrik lainnya (K0.5Na0.5 NbO3) .
Keluarga keramik berstruktur bismuth ini telah menjadi pilihan yang tepat dalam
penelitian kali ini untuk menyiasati bahan yang tidak beracun dan mempunyai sifat
piezoelektrik kuat. Sehingga bahan berstruktur bismuth Bi0.5Na0.5TiO3 (BNT) menjadikan
kandidat kuat bahan piezoelektrik bebas Pb [9,10,11]. Sintesa BNT yang dilakukan dewasa
ini di laboratorium PTBIN-BATAN telah menunjukkan terbentuknya sistem kristal perovskite
dengan menggunakan solid state reaction, sebagaimana dilaporkan oleh S.Ahda dkk [12].
Pengembangan bahan piezoelektrik BNT inilah terus dikembangkan, agar dapat
meningkatkan performance dari aplikasinya nanti.
Dalam penelitian kali ini, kita melihat pengaruh penambahan MnO2 pada BNT. Hal
Seminar Material Metalurgi 2010

ini juga dapat meningkatkan densifikasi bahan sebagaimana telah dikembangkan oleh Henry
Ekene Mgbemere[13] pada alkaline Niobate, begitu juga oleh Ahn, C.-W [14] pada KNN-BT.
Disamping itu juga Mangan juga dapat meningkatkan resistivitas listrik bahan keramik
piezoelektrik [14].
Sintesa yang dilakukan adalah menggunakan solid state reaction dan kemudian
dilakukan studi struktur kristal dengan variasi penambahan MnO2 itu sendiri. Penambahan
MnO2 ini diharapkan sebagai bahan dopant dari BNT. Dengan menggunakan analisis pola
difraksi sinar-x dari produk sintesa akan didapat perubahan struktur kristal BNT itu sendiri.

138 |  ISSN : 2085 – 0492


 
II. PERCOBAAN
Langkah awal dalam mengsintesa BNT dengan penambaham MnO2, terlebih dahulu
diidentifikasi bahan-bahan dasarnya dengan menggunakan metoda x-ray diffraction, agar
dapat melihat perubahan strukturnya dan tingkat impuritas yang ada dalam bahan. Bahan-
bahan dasar ( serbuk BNT dan MnO2) ditimbang dengan berbagai variasi MnO2 ( 0,2%, 0,5%
dan 0,8% ) dalam proentase berat, kemudian digerus. Penggerusan dilakukan selama 4 jam
dengan mortar, agar campuran dapat tercampur secara lebih homogen dan besaran partikel
lebih halus. Sintesa ini dengan menggunakan metoda solid state reaction dengan parameter
yang dominan pada penelitian kali ini adalah homogenisasi yang cukup merata, besaran
partikel, kompaksi dan suhu sintering. Homogenisasi dan besaran partikel dikualifikasi
dengan lamanya penggerusan. Sedangkan kompaksi dengan penekanan 3000 psi dan
sinrtering pada suhu 1000oC selama 4 jam. Untuk kalsinasi pada suhu 300oC selama 1 jam
diharapkan adanya penguapan bahan organic atau membersihkan pengotor yang ada selama
proses penimbangan, penggerusan dan dikala kompkasi, khususnya untuk bahan-bahan
mudah menguap. Sesudah proses sintesa dilakukan, dilanjutkan dengan pengidentifikasian
dan karaketrisasi menggunakan metoda x-ray diffraction (XRD) dan scannimg electron
microscope (SEM). Flowchart dari proses penelitian kali ini dapat dilihat pada Gambar 2
dibawah ini.

Gambar 2. Skematik flowchart dari proses sintesa BNT dengan penambahan MnO2.

Hasil-hasil karakterisasi ini dianalisis bentuk perubahan-perubahan struktur kristalnya


akibat penambahan MnO2. Begitu juga dengan bentuk-bentuk morfologi dari sampel-sampel
Seminar Material Metalurgi 2010

yang dihasilkan.

III. DATA DAN ANALISIS.


Untuk berbagai penambahan 0,2%, 0,5% dan 0,8% MnO2 pada BNT ini dengan
menggunaka proses sintesa metoda solid state reaction menunjukkan hasil karakterisasi
dengan XRD sebagaimana terlihat pada Gambar dibawah ini. Pola difraksi MnO2 untuk hasil
sintesa dan penambahan MnO2 pada BNT ( kode + 0,02% MnO2, +0,5% MnO2 dan +0,8%
MnO2) ditampilkan dalam Gambar 3. Pola difraksi pada sampel BNT (dengan struktur
rhombohedral [15]) dan penambahan variasi MnO2 tidak menunjukkan keberadaan puncak-
puncak MnO2 sebagai bahan dasar. Atau dalam kata lain tidak terdeteksi puncak difraksi

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 139
sinar-x dari MnO2 pada pola difraksi hasil sintesa. Apakah hal ini dapat dimungkinkan
adanya perubahan sistem kristal BNT rhombohedral, akibat dari penambahan MnO2 ini?
Perubahan ini juga diperkuat dengan pergeseran puncak-puncak nya untuk sudut difraksi
sinar-x 2 theta, sebagaimana terlihat pada salah satu puncak BNT 57,86o menjadi 58,02o,
58,16o, 58,26o secara berurutan dengan penambahan MnO2. Sehingga dimungkinkan struktur
BNT yang ditambahankan MnO2 menjadi berubah, baik bentuk maupun parameter kisi.
Untuk lebih lanjut, kita coba lihat puncak yang agak spesifik, sebagaimana diperlihatkan
dalam Gambar 4.

Gambar 3. Pola difraksi sinar-x dari bahan MnO2, BNT & hasil sintesa berbagai penambahan MnO2 pada BNT
Puncak-puncak dominan dari pola difraksi BNT dan juga untuk penambahan MnO2
tampak tidak berubah, walaupun ada berapa puncak-puncak kecil juga muncul akan tetapi
tidak signifikan, seperti terlihat pada pola difraksi dengan penambahan 0,2% MnO2. Pola
difraksi sinar-x dari BNT sesuai dengan analisis sistem kristal yang dikemukakan oleh
Toshiko tani dan Wei Zhao diperkirakan sebagai struktur bertipe perovskite dalam sistem
kristal rhombohedral [15-16] .
Pergeseran puncak-puncak dan perubahan bentuk dari intensitas difraksi dengan
penambahan Mn+4 dapat diindikasikan pada Gambar 4.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 4. Pola difaksi sistem BNT pada 2 theta dari 45,5o sampai 49o.

Semua puncak dalam pola difraksi sinar-x BNT+ Mn+4 korespond dengan BNT
dengan struktur rhombohedral dengan parameter kisi 3.886Å, sebagaimana ditulis kembali

140 |  ISSN : 2085 – 0492


 
oleh peneliti-penelit berbeda [17-19]. Secara umum semua puncak yang diperoleh untuk
BNT di indeks dan ditemukan sebagai fasa tunggal dari BNT (Gambar 3). Pola XRD dengan
komposisi diatas (untuk lebih detail) menunjukkan puncak ekstra yang mengindikasi
kehadiran fasa ekstra yang seakan akan tidak teridentifikasi (Gambar 4). Hal ini lebih spesifik
pada puncak sekitar 45,5-49o dimiliki oleh bidang (200) korespond terhadap pola difraksi
dari BNT (rhombohedral), akan tetapi memunculkan puncak baru (overlapping)
disampingnya. Dari Gambar 4. pola difraksi membuktikan bahwa adanya pengaruh substitusi
ion Mn4+ ke dalam BNT dengan pola yang tergeser. Juga substitusi Mn4+ tampak lebih tegas
pada pola difraksi yang dihasilkan pada penambahan 0,5 % MnO2 dengan splitting puncak
bidang refleksi (200) menjadi 2 puncak yakni bidang refleksi (200) dan (002) . Splitting ini
juga mengindikasikan terjadi perubahan komposisi dengan adanya MPB (morphotropic phase
boundary) dari fasa rhombohedral ke tetragonal. Dengan cara yang sama perubahan MPB ini
juga terlihat pada penambahan Ba2+ sekitar 0,6% ke dalam BNT, sebagaimana diteliti oleh
Konapala Sambasiva Rao [20]
Dengan keberadaan fasa dengan struktur rhombohedral maupun tetragonal diatas, kita
dapat menentukan parameter kisi dengan rumus sebagai berikut [21].

Dimana a, c dan  merupakan parameter kisi, h, k dan l adalah indeks Miller dari bidang
refleksi, sedangkan d adalah jarak antar bidang refleksi yang didapat dari = 2 d sin .
Panjang gelombang sinar x yang digunakan berasal dari CuK sebesar = 1,5404 Angstroom
dan  merupakan sudut refleksi sinar-x. Hasil dari penghitungan dengan menggunakan data-
data puncak pola difraksi diatas dan indek miller yang telah diteliti [20], sehingga diperoleh
harga parameter kisi.
Tabel 1. hasil perhitungan parameter kisi untuk rhombohedral dan tetragonal
Rhombohedral Tetragonal
No % MnO2
a[Ả] [o] a[Ả] c[Ả]
0,2 3.8966 89.87 3.8883 2.7423
0,5 3.85338 90.27 3.8716 3.8635
0,8 3.85995 90.21 3.8741 3.8963

Harga parameter a kisi dari rhombohedral kecendrungan turun jika ditambahkan


MnO2, sedangkan untuk tetragonal relatif asimtotis naik setelah penambahan 0,5% MnO2.
Pada gambar 5 merupakan hubungan harga parameter kisi a untuk rhombohedral dan
tetragonal. Perpotongan harga a dalam angstrom terjadi pada prosentase penambahan MnO2
sebesar 0,306%. Besaran harga a untuk rhombohedral lebih besar dari tetragonal jika
penambahan MnO2 lebih kecil dari 0,306%, sedangkan untuk tetragonal lebih besar dari
rhombohedral jika penambahan MnO2 lebih besar dari 0,306%. Sebagaimana disingggung
diatas puncak yang mulai splitting adalah pada 0,5% MnO2 dan untuk penambahan 0,2%
Seminar Material Metalurgi 2010

masih belum splitting atau masih tampak simetris. Dari analisis diatas dimugkinkan adanya
batas MBP dari rhombohedral ke tetragonal pada penambahan MnO2 pada 0,306%. Prediksi
MPB juga dilakukan dengan cara yang sama oleh Wei-Chih Lee [22,23] pada bahan BNT
dengan penambahan BZT dan juga dengan penambahan BSrT

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 141
3.9

parameter kisi [A]


tetragonal
3.875

0,306 rhombohedral

3.85
0.15 0.25 0.35 0.45 0.55 0.65 0.75 0.85
penambahan MnO2 [%]

Gambar 5. Hubungan harga a[Ả] dari rhombohedral dan tetragonal terhadap penambahan % MnO2.

Pada gambar dibawah ini menunjukkan mikrograph terhadap komposisi dari


penambahan MnO2.

Gambar 6. Mikrograph dari SEM dengan perbesaran 5000X untuk sampel a) dengan penambahan 0,5% MnO2
dan b) 0,8% MnO2.

Partikel-partikel dari mikrogarph diatas membentuk sudut dan pada penambahan 0,8% MnO2
lebih clear membentuk kotak atau sudut. Ukuran partikel untuk 0,5% MnO2 berkisar anatara
yaitu 1.23 µm – 3 µm dan untuk 0,8% MnO2 berkisar anatara 0.87 µm – 2.34 µm

IV. KESIMPULAN
Penambahan bahan dopant dari Mn4+ ke BNT menunjukkan perubahan pola difraksi
sinar-x dengan pergeseran puncak dan splitting puncak (terlihat pada sudut antara 45,5 – 49o).
Dari data hasil eksperimen ini menunjukkan MPB dari rhombohedral ke tetragonal pada
hasil sintesa dengan penambahan 0,5% MnO2. Hal ini juga dapat dimungkinkan terjadi
perubahan strukrur itu dari analisis model perubahan parameter kisi itu sendiri, sehingga
memungkinkan adanya batas MPB pada 0,306% MnO2.
Mikrograph dari hasil sintesa dengan penambahan 0,8% MnO2 menunjukkan bentuk
Seminar Material Metalurgi 2010

partikel lebih clear berbentuk sudut atau kotak dengan besar partikel berkisar antara 1.23 µm
– 3 µm.

UCAPAN TERIMA KASIH


Kami dari kelompok peneliti mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas
kesempatan dan anggaran yang diberikan oleh RISTEK melalui program Insentif tahun 2010.
Kawan sekolega peneliti di lingkungan PTBIN dan Dilla (mahasiswa Fisika –UNAND) yang
memberi kontribusi positif dalam eksperiman dan diskusi-diskusi ilmiahnya. Begitu juga

142 |  ISSN : 2085 – 0492


 
penghargaan yang tinggi pada Bapak Iman Kuntoro dan Ibu Evvy Kartini atas dorongan dan
semangat yang diberikan dengan terselenggaranya kepenelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
1. G.H. Haertling, Ferroelectric Ceramics: History and Technology, J. Am. Ceram. Soc.
82(1999) 797.
2. F. Jona, Ferroelectric crystals, 1th edition, New York, Dover, 1993.
3. J. Scott and C.A. Araujo, Ferroelectric Memories, Science 246 (1989) 1400.
4. O. Auciello, J.F. Scott and R. Ramesh, The Physics of Ferroelectric Memories, Physics
Today, July 1998, 22
5. Takenaka T. Grain orientation effects on electrical properties of bismuth layer-
structured ferroelectric ceramics. J Ceram Soc Jpn 2002; 110(4): 215-224.
6. Takeuchi T, Tani T, Saito Y. Unidirectionally textured CaBi4Ti4O15 ceramics by the
reactive templated grain growth with an extrusion. Jpn J Appl Phys Part 1 2000; 39(9B):
5577-5580.
7. Tani T, Isobe S, Seo WS, Koumoto, K. Thermoelectric properties of highly textured
(ZnO)(5)In2O3 ceramics. J Mater Chem 2001; 11(9): 2324-2328.
8. Tajima S, Tani T, Isobe S, Koumoto K. Thermoelectric properties of highly textured
NaCo2O4 ceramics processed by the reactive templated grain growth (RTGG) method.
Mater Sci Eng B- Solid State Materials for Advanced Technology 2001; 86(1): 20-25.
9. Paisa, S, Narueporn. V, Surphakan. K, Aree .T, Science and Technology of Advanced
Materials 6 (2005) 278-281.
10. Chune.P, Jing-Feng Li, Wen Gong, Materials Letters 59 (2005) 1576-1580.
11. Shan Tao, Alain B.K., Emil A, Applied Physics 91 (2007) 112906
12. S.Ahda dan Mardiyanto, SYNTHESIS OF LEAD FREE PIEZOELECTRIC BNT
CERAMIC by USE OF SOLID STATE REACTION METHOD, ICMST, Oktober
2010.
13. Henry Ekene Mgbemere, Ralf-Peter Herber and Gerold A. Schneider, Effect of MnO2
on the dielectric and piezoelectric properties of Alkaline Niobate based lead free
piezoelectric ceramics, Journal of the European Ceramic Society Volume 29, Issue 9,
June 2009, Pages 1729-1733.
14. Ahn, C.-W., Song, H.-C., Nahm, S., Park, S.-H., Uchino, K., Priya, S., Lee, H.-G. and
Nam-Kee, K., Effect of MnO2 on the piezoelectric properties of
(1−x)(Na0.5K0.5)NbO3−xBaTiO3 ceramics. Jpn. J. Appl. Phys., 2005, 44, L1361–
L1364
15. Toshihiko Tani, Journal of the Korean Physical Society, Vol. 32, No. , Feburary 1998,
pp. S1217_S1220
16. Wei Zhao*, Jing Ya, Ying Xin, Zhifeng Liu, Lei E. and Dan Zhao, Recent Patents on
Materials Science 2008, 1, 241-248
17. Isupov, V.A. (2005), Ferroelectric Na0.5Bi0.5TiO3 and K0.5Bi0.5TiO3 perovskites and
their solid solutions. Ferro-electrics, 315(1), 123-147.
18. Park, S.E. and Chung, S.J. (1994), Phase transition of ferroelectric (Na1/2Bi1/2)TiO3
Seminar Material Metalurgi 2010

on applications of ferroelectrics. Proceedings of the 9th IEEE International


Symposium,ISAF’94, 265-268.
19. Liu, Y.F., Lv, Y.N., Xu, M., Shi, S.Z., Xu, H.Q. and Yang, X.D. (2007) Structure and
electric properties of (1-x)(Bi1/2Na1/2) TiO3-xBaTiO3 systems. Journal of Wuhan
University of Technology - Materials Science Edition, 22(2), 315-319.
20. Konapala Sambasiva Rao, Kuan China Varada Rajulu, Bollepalli Tilak, Anem Swathi,
Effect of Ba2+ in BNT ceramics on dielectric and conductivity properties, Natural
Science, Vol.2, No.4, 357-367 (2010).
21. Cullity, B D, Element of X-ray Diffraction, Addison-Wesley Pub, Co. Inc.,
Massachusetts (1978).

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 143
22. Wei-Chih Lee, Yi-Fang Lee, Min-Hui Tseng , and Chi-Yuen Huang, The Structure and
Dielectric Properties of Lead-Free Piezoelectric (Bi0.5Na0.5)TiO3 (Zr0.05Ti0.95)O3
Ceramic System, ceramic.che.nthu.edu.tw/document/ceramic2007/PF/PF%2015.pdf
23. Wei-Chih Lee, Chi-Yuen Huang, Liang-Kuo Tsao, Yu-Chun Wu, Chemical
composition and tolerance factor at the morphotropic phase boundary in
(Bi0.5Na0.5)TiO3-based piezoelectric ceramics, W.-C. Lee et al. / Journal of the
European Ceramic Society xxx (2008) xxx–xxx
Seminar Material Metalurgi 2010

144 |  ISSN : 2085 – 0492


 
PEMBUATAN ULTRA FINE GRAIN TEMBAGA

Solihin, I Nyoman Gede P.A., Lusiana, Toat Nursalam, Efendi


Pusat Penelitian Metalurgi-LIPI, Kawasan Puspiptek Gd. 470 Serpong, Banten 15314
e-mail: solihin@lipi.go.id

Abstract
The effort to synthesize ultra fine grain material has been done using Severe Plastic Deformation
method. The chosen technique for initiation of severe plastic deformation effect is the so-called Equal Angular
Channel Pressing (ECAP) technique with turning angular 120o. The results shows that the hardness of samples
treated by ECAP technique increases signifivsntly. The evaluation to the microstructure reveal the changes in
microstructure, the grain size become smaller and the shape has changed.

Keyword: Severe Plastic Deformation, Equal Angular Pressing, Ultra Fine Grain

Abstrak
Sintesa ultra fine grain material telah dilakukan dengan menggunakan metode Severe Plastic
Deformation. Teknik yang dipiulih untuk menginisiasi severe plastic deformation adalah teknik Equal Angular
Pressing dengan sudut belokan dies 120º. Hasil pengerjaan dengan teknik ini menghasilkan penaikan kekerasan
30%. Pengamatan terhadap struktur mikro menunjukan terjadinya perubahan struktur mikro setelah pengerjaan
dengan teknik ECAP berupa pengecilan ukuran butiran dan perubahan bentuk.

Kata kunci: Severe plastic deformation, equal angular pressing, ultra fine grain

I. PENDAHULUAN
Ultra fine grain materials dapat dibuat melalui jalur “bottom-up” ataupun “top-down”
[1-3]. Cara bottom-up dilakukan dengan menyusun material dimulai dari atom-atom atau
molekul sampai terbentuk cluster-cluster dan akhirnya didapat butir berukuran nano.
Sedangkan cara top-down dilakukan dengan memecah material berukuran besar (biasanya
dalam skala mikro) dengan energi sangat tinggi secara berulang sehingga terbentuk material
dengan ukuran sangat halus [4-6]. Material yang terdeformasi dengan energi per satuan luas
permukaan yang tingi akan mentransformasikan sub-struktur sehingga terbentuk sub-batas
dislokasi, sub-sel dan batas butir bersudut tinggi [7]. Sub-grain, yang merupakan bagian
terbelah butiran asalnya, terbentuk karena:
 slip dislokasi menuju batas butir
 perpindahan batas butir,
 twin defmation,
 sliding batas butir.
Semua mekanisme di atas terjadi karena konsentrasi tegangan per satuan luas yang
sangat tinggi sehingga sub-struktur (sebagian merupakan cacat struktur) bertransformasi dan
Seminar Material Metalurgi 2010

berpindah meninggalkan susunan atom yang berorientasi berbeda sehingga membentuk batas
butir baru, atau dengan kata lain menghasilkan butiran baru yang lebih kecil ukurannya.
Salah satu teknik yang sering digunakan untuk menghasilkan efek severe plastic deformation
adalah teknik Equal Channel Angular Pressing (ECAP). Teknik ini sering dipilih karena memiliki
kelebihan dalam menghasilkan ultra fine grain material tanpa merubah dimensi dan bentuk material.
Skema proses ECAP diperlihatkan pada gambar 1. Besarnya strain () berbanding lurus dengan sudut
belokan (), sesuai dengan persamaan di bawah ini:

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 145
Sedangkan besarnya shear strain () berbanding lurus dengan tekanan (P) sesuai dengan
persamaan di bawah ini [6]:

Setelah pengerjaan dengan teknik ECAP ini dilaporkan terjadinya perpanjangan bentuk
butiran, disamping terjadinya pembentukan butir baru. Setelah beberapa pass, akan terbentuk
juga shear band. Hal ini jelas akan menaikan nilai sifat mekanik material bersangkutan.
Umumnya material yang dilakukan proses ECAP akan mengalami kenaikan kekerasan yang
drastis [8].

Gambar 1. Skema Teknik Equal Angular Pressing Gambar 2. Dies untuk teknik ECAP

II. PERCOBAAN
Material yang akan digunakan dalam percobaan ini adalah tembaga murni. Teknik
yang dipilih adalah teknik ECAP. Ukuran benda kerja disesuaikan dengan luas penampang
dies ECAP. Dies ECAP terbuat dari tool steel jenis H13 yang mengalami proses heat
treatment dan nitriding untuk menjaga ketahanan aus akibat gesekan dengan tembaga. Sudut
belokan dibuat konstan sebesar 120o. Rute benda kerja dalam jalur dies ECAP adalah rute BA,
dimana benda kerja diputar sebesar 90o tiap pass.
Morfologi benda kerja hasil pengerjaan dengan teknik ECAP diamati dengan
menggunakan peralatan Scanning Electron Microscope (SEM) sedangkan pengujian
kekerasan, yang mewakili sifat mekanis, dilakukan dengan alat uji kekerasan dengan skala
Vicker.

III. HASIL PERCOBAAN DAN DISKUSI


Tabel 1 menunjukan hasil pengujian kekerasan terhadap benda kerja setelah
pengerjaan dengan teknik ECAP, sedangkan gambar 3 menggambarkan nilai rata-rata dari
data-data tersebut.
135
Copper, ECAP, Rute 0-90-180-360-

130

125
Seminar Material Metalurgi 2010

Hardness (Vicker)

120

115

110

105

100
0 2 4 6 8 10
Jumlah Pass (kali)
Gambar 3. Pengaruh jumlah pass dalam proses ECAP terhadap kekerasan

146 |  ISSN : 2085 – 0492


 
Tabel 1. Hasil Pengujian Kekerasan Hasil ECAP
Kode Sampel No. Urut Hv Hv –Rata-rata
1 100,3
2 115,9
As Received 3 108,7 107,8
4 110,3
5 103,6
1 101,2
2 105,1
2 Pass 3 115,9 109,0
4 111,4
5 111,4
1 121,9
2 129,8
4 Pass 3 125,1 126,7
4 128,4
5 128,4
1 118,9
2 125,1
8 Pass 3 129,8 130,5
4 143,1
5 135,5

Dari gambar 3 terlihat bahwa sampai 2 pass (0, 90o) kekerasan masih relatif konstan,
tetapi pada jumlah pass 4 (0, 90, 270, 360o) sampai dengan 8 (2 x [0, 90, 270, 360o] ) terjadi
peningkatan kekerasan cukup signifikan, sekitar 30% dari nilai kekerasan awal. Jumlah pass
diatur tidak lebih dari 8 pass karena pengecilan ukuran butiran pada bulk material (non-
powder) memiliki batas pengecilan sekitar 4-8 pass, dengan kata lain menaikkan jumlah pass
lebih dari 8 pass tidak merubah sifat mekanis benda yang diuji.

Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 4. SEM micrograph dari sampel as-received


Penambahan nilai kekerasan ini tentu saja diakibatkan terutama oleh perubahan
struktur mikro dari benda kerja tersebut, selain juga karena efek minor dari strain hardening.
Hal ini sesuai dengan hasil pengerjaan dengan teknik ECAP yang dilakukan Moldova dkk [8]
(menggunakan logam paduan) dan Rodak dkk [9] (menggunakan logam murni) dimana
didapatkan kenaikan kekerasan signifikan setelah pengerjaan dengan proses ECAP lebih dari
2 pass.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 147
Gambar 5. SEM micrograph dari sampel setelah melalui pengerjaan dengan teknik ECAP 4 pass
Hasil pengamatan struktur mikro menunjukan terjadinya perubahan drastis struktur
mikro pada sampel hasil ECAP 4 pass dibanding sampel awal. Terlihat jelas bentuk butiran
menjadi lebih kecil dan eliptic. Hal ini sesuai dengan perkiraan teoritik dimana deformasi
plastis yang amat besar akan menyebabkan tertransformasikannya sub-struktur dan
terciptanya butir baru yang lebih kecil ukurannya [4]. Selain itu terlihat juga perubahan
bentuk sudut batas butir menjadi high angle grain boundary. Hal ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh peneliti lain [9] dimana perubahan struktur mikro setelah
pengerjaan dengan teknik ECAP ternyata berupa perubahan sudut batas butir dan perubahan
ukuran butiran.

IV. KESIMPULAN
Pengerjaan tembaga dengan teknik ECAP menghasilkan tembaga dengan ukuran kecil
dan eliptik, serta sudut batas butir yang lebih kecil. Perubahan struktur mikro berupa
pertambahan sub-butir baru dan perubahan sudut butiran menyebabkan naiknya kekerasan
partikel.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Koch, CC, Rev. Adv. Matter.Sci. 5 (2003) 91
[2] Koch, CC, Rev. Adv. Matter.Sci. 42 (2007) 1403
[3] Koch, CC, Ovidko IA, Seal S, Structural Nanocrystalline Materials: Fundamentals and
Applications, Cambridge U. Press, 2007
[4] Langdon, TG, Rev. Adv. Matter.Sci. 13 (2006) 15
[5] Bobylev SV, Ovidko IA, Rev. Adv. Matter.Sci. 17 (2008) 76-89
[6] Zrinc J, Dobatkin SV, Mamuzic I, Metalurgija 47 (2008) 3
[7] V. M. Segal, V. I. Rezhnikov, A. E. Dobryshevsky, V. I.Kopylov, Russ. Metall. (Engl.
Transl.) 1 (1981) 99
[8] Molodova X, Berghammer R, Gottstein G, Hellmig RJ, Int. J. Mat. Res. 98 (2007) 3
Seminar Material Metalurgi 2010

[9] Rodak K, Pawlicki, Arch. Mat. Sci. Eng. 28 (2007) 7.

148 |  ISSN : 2085 – 0492


 
PENGARUH MILLING DAN WAKTU PEMANASAN TERHADAP
PEMBENTUKAN FASA BORON KARBIDA (B4C)
MELALUI METODE SOL-GEL

Umiatin1, Erfan Handoko1, Bambang Soegijono2


1
Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Jakarta Jl. Pemuda No.10 Jakarta 13220
E-mail : ummiatin@yahoo.com
2
Departemen Fisika , FMIPA Universitas Indonesia, Depok

Abstrak
Telah dilakukan penelitian mengenai pembuatan material keramik boron karbida melalui metode sol-
gel berbahan dasar asam borat (B(OH)3), polyvinylalcohol (PVA), dan karbon (C). Tujuan dari penelitian ini
dititikberatkan pada pengaruh lama pemanasan dan waktu milling terhadap proses pembentukan material
keramik boron karbida. Sebelum sampel diberikan perlakuan panas, sampel dimilling terlebih dulu
menggunakan Vibration Ball Mill (VBM) dengan variasi waktu milling selama 2 jam, 4 jam, 6 jam, dan 8 jam.
Dari hasil analisis kualitatif dengan menggunakan ICDD diketahui bahwa sampel dengan waktu milling selama
8 jam memperlihatkan jumlah pembentukan fasa B4C yang semakin meningkat. Selain itu dilakukan pula variasi
lamanya waktu pemanasan untuk sampel yang dipanaskan pada suhu 800 oC dengan variasi waktu ½ jam, 1
jam, 3 jam, dan 4 jam. Hali ini diakukan untuk mencari waktu pemanasan yang terbaik untuk fasa B4C. Dari
hasil analisis kualitatif diketahui bahwa pembentukan fasa B4C dengan intensitas tertinggi pada sampel yang
dipanaskan selama 4 jam. Dapat ditarik kesimpulan bahwa lamanya pemanasan dan waktu milling
mempengaruhi proses pembentukan fasa boron karbida.

Kata Kunci : boron karbida, milling, metode sol-gel, difraksi sinar-X.

I. PENDAHULUAN
Sekitar tahun 1960 di Amerika mula-mula dikembangkan keramik perangkat militer
keramik pelindung (armored ceramics) untuk rompi tahan peluru adalah boron karbida (B4C).
Boron Karbida dikenal sebagai material keramik ketiga terkuat setelah Diamond dan Cubic
Boron Nitride (BN) dengan keuntungan lebih mudah disintesis dan sangat stabil pada
temperatur tinggi[2]. Dengan seiring berjalannya waktu dan berkembangnya ilmu pengetahuan
maka banyak peneliti yang mencoba untuk menemukan suatu metode baru yang lebih efektif
dari segi biaya produksi, waktu, dan prosesnya serta bahan yang digunakan. Secara tradisional
meterial keramik boron karbida disintesis pada temperatur tinggi, seperti mereaksikan secara
langsung karbon dengan boron, reduksi carbothermal dari boron oksida, serta mereaksikan
asam borat (B(OH)3) dan asam sitrat (C6H8O7.H2O) menggunakan metode reduksi
carbothermal seperti yang dilaporkan oleh A.K.Khanra[3]. Dari proses sintesis meterial
dengan menggunakan metode seperti diatas, dapat dihasilkan material keramik B4C dengan
proses yang sederhana, namun apabila diproduksi dalam jumlah skala besar dibutuhkan
temperatur yang tinggi (sekitar 10000C-20000C) sehingga akan mengakibatkan meningkatnya
biaya produksi. Sekarang ini telah banyak inovasi yang terus dilakukan oleh para peneliti
untuk dapat mensintesis material keramik boron karbida pada temperatur rendah. Salah satu
Seminar Material Metalurgi 2010

caranya dengan memproduksi serbuk boron karbida (B4C) seperti yang telah dilakukan oleh
Liang Shi et al serta Shampa Mondal dan Ajit K. Banthia, yaitu dengan meraksikan
polyvinylalcohol (PVA) dengan asam borat (B(OH)3) pada temperatur rendah [4]. Metode ini
diketahui telah mampu menghasilkan boron karbida (B4C) melalui proses yang cukup
sederhana dengan menggunakan material dasar yang mudah didapat. Berdasarkan hal diatas,
maka penelitian ini akan dititikberatkan pada pengaruh lama pemanasan dan waktu milling
terhadap pembentukan keramik B4C dengan berbahan dasar asam borat (B(OH)3),
polyvinylalcohol (PVA), dan karbon (C) melalui metode sol-gel pada penahanan suhu 8000C
dan menganalisa pengaruh variasi waktu milling terhadap ukuran butir partikel dari sampel
material keramik B4C yang akan dihasilkan.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 149
II. METODE PENELITIAN
Teknik pembuatan material keramik B4C dalam penelitian ini adalah melalui proses
pemanasan pada temperatur rendah dengan tahapan proses sebagai berikut, asam borat, PVA,
dan karbon dilarutkan dalam aquadest dengan cara dicampurkan dalam kondisi panas di atas
hot plate . Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu ~150oC selama 6 jam sehingga
diperoleh material padatan yang dilanjutkan dengan proses penghalusan menggunakan
vibration disc mill selama 30 menit untuk tujuan proses kalsinasi pada suhu 400oC selama 1
jam. Proses milling dengan menggunakan vibration ball mill pada variasi waktu 2, 4, 6 dan 8
jam. Perlakuan panas pada suhu 800oC dengan variasi lama pemanasan ½, 1, 3, dan 4 jam
dilakukan pada padatan berupa silinder hasil kompaksi dengan beban 3 ton. Karakterisasi
yaitu identifikasi fasa dengan difraksi sinar-x (XRD) dan analisis struktur mikro & ukuran
butir menggunakan scanning electron microscope (SEM).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis Terhadap Proses Preparasi Sampel
Metode preparasi sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sol-gel
dengan rute polimeric gel. Bahan dasar yang digunakan adalah serbuk asam borat (H3BO3)
yang telah dilarutkan, polyvinylalcohol (PVA), dan karbon (C). Bahan dasar tersebut
dilarutkan ke dalam pelarut aquadest yang dipanaskan diatas hotplate. Pencampuran bahan
bertujuan agar dapat terjadi pencampuran yang homogen dan suatu prekursor polimer dimana
rantai polimernya mengandung unsur baru selain unsur yang terdapat dalam rantai polimer
yaitu unsur boron. Proses pencampuran dilakukan dengan mengaduk larutan dengan
menggunakan glassrod secara konstan sampai terbentuk suatu gel yang terpisah dari pelarut.
Selama proses perubahan dari sol menjadi gel terjadi proses hidrolisis yang menghasilkan
pembentukan rantai polimer yang disebut dengan proses polimerisasi. Proses polimerisasi
menyebabkan viskositas meningkat dari larutan yang telah dicampurkan sehingga terbentuk
gel. Penambahan karbon bertujuan sebagai penyedia rantai karbon lain untuk dapat berikatan
dengan asam borat. Dengan adanya penambahan karbon pada larutan menyebabkan proses
polimerisasi terhambat yang dikarenakan kemunculan unsur karbon ini mengakibatkan
terputusnya pembentukan rantai dari prekursor polimer sehingga gel yang terbentuk tidak
langsung menggumpal tetapi membentuk gumpalan-gumpalan kecil yang berpencar. Gel yang
dihasilkan berbentuk gumpalan berwarna hitam yang terpisah dari cairan, proses ini disebut
dengan proses penuaan gel (Aging of gel). Dalam proses aging, gel menyusut tanpa adanya
penguapan dari cairan. Gel yang sudah menyusut dan menjadi suatu gumpalan kemudian
dipisahkan dari larutan yang nantinya diletakkan ke dalam petridish. Sampel yang masih
berbentuk wet gel mengandung cairan dalam jumlah yang cukup banyak sehingga gel harus
dikeringkan agar dapat berguna sebagai material awal. Proses pengeringan dilakukan di
dalam oven pada suhu ~150oC dalam waktu yang cukup lama yaitu sekitar ±6 jam.
 
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 1. (a) Gel yang sudah dipisahkan dari cairan. (b) . Penggembungan gel selama proses pengeringan. (c)
Sampel hasil proses kompaksi

Peletakkan sampel pada petridish selama proses pengeringan berlangsung hanya pada
satu permukaan saja, sehingga permukaan gel yang berada di bagian bawah masih
mengandung air. Hal ini mengakibatkan membengkoknya sisi-sisi gel ke arah yang

150 |  ISSN : 2085 – 0492


 
berlawanan, yang menyebabkan gel terlihat menggembung. Meskipun sampel telah
dikeringkan, gel sebenarnya masih mengandung sedikit air sehingga diperlukan adanya proses
kalsinasi. Proses kalsinasi merupakan proses pengeringan kembali dengan menggunakan
furnace selama 1 jam pada suhu ~400oC. Setelah melalui proses pengeringan, kemudian
diteruskan ke tahap proses penghalusan (milling) yang membuat campuran serbuk menjadi
lebih homogen dan ukuran partikel menjadi lebih halus sehingga dapat mempercepat proses
difusi selama proses perlakuan panas. Pada saat proses penghalusan dengan peralatan milling
terdapat kemungkinan adanya pengotor (impurity) yang dapat menyebabkan adanya
pembentukan fasa yang tidak diinginkan. Proses berikutnya adalah proses pemadatan sampel
yang disebut dengan proses kompaksi. Proses kompaksi dilakukan menggunakan alat cetak
dari sampel yang berbentuk serbuk menjadi padatan berbentuk silinder yang disebut dengan
padatan muda (green compact). Densitas dari padatan muda yang tidak sesuai dapat
menyebabkan sampel menjadi retak. Karakteristik dari partikel yang dapat mempengaruhi
proses kompaksi antara lain kekerasan, ukuran, dan distribusi ukuran partikel. Ada beberapa
cara untuk mengurangi kerusakan pada sampel salah satunya dengan mengurangi besarnya
diameter dengan tebal dari padatan muda yang akan dicetak. Proses kompaksi dilakukan
dalam tiga tahap, yaitu : 1) mengisi cetakan dengan serbuk yang ingin dicetak, 2)
memadatkan serbuk kedalam bentuk dan ukuran dari alat cetak yang dipakai, 3)
mengeluarkan hasil kompaksi dari cetakan.

Pengaruh lamanya waktu milling terhadap pembentukan fasa B4C


Pada milling 4 jam fasa karbon sudah tidak ada, hanya fasa boron karbida yang
muncul dengan dua puncak nya. Pada milling 6 jam terbentuk tiga fasa yaitu boron karbida,
boron oksida dan karbon. Sedangkan untuk sampel milling 8 jam terbentuk 3 puncak yang
terdiri dari fasa boron karbida, boron oksida dan karbon. Pada sampel ini menghasilkan
puncak untuk fasa B4C yang lebih banyak sehingga fasa boron karbida lebih mendominasi
dibandingkan dengan kedua fasa lainnya.
 ▲   B4C
d ▲ B2O3
● ▲ ●  ● C



● c

intensity (count)


b

a
Seminar Material Metalurgi 2010

20 30 40 50 60 70 80
2θ (degree)

Gambar 2. Perbandingan waktu milling untuk sampel hasil campuran asam borat (B(OH)3), polyvinylalcohol
(PVA), dan karbon (C) yang dipanaskan pada suhu 800oC selama 1 jam, dengan : (a) 2 jam
milling,(b). 4 jam milling, (c). 6 jam milling, (d). 8 jam milling.
 
Pada saat proses milling berlangsung, partikel mengalami tekanan mekanik pada
daerah titik kontak (contact point) berupa tekanan, tumbukkan dan pemotongan (shear). Maka
dapat terlihat bahwa proses lamanya waktu milling yang dilakukan mempengaruhi proses

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 151
pembentukan fasa. Hal ini dikarenakan ukuran partikel yang halus dan distribusi partikel yang
merata dapat meningkatkan laju difusi dari berkurangnya ukuran partikel yang menyebabkan
jarak difusi partikel juga berkurang. Selain itu, dapat ukuran partikel yang semakin halus dan
distribusi partikelnya merata dapat menghasilkan luas permukaan reaksi yang lebih besar.
Sehingga hal inilah yang menyebabkan reaksi pembentukan fasa yang diinginkan dapat
dilakukan pada waktu pemanasan yang lebih cepat dan pada suhu yang rendah.

Pengaruh Lamanya Pemanasan pada Pembentukan fasa B4C


Dari sampel yang telah dihasilkan terdapat perbedaan yang timbul akibat pengaruh
lamanya pemanasan pada proses pembentukan fasa. Hal ini dapat terlihat dari pola difraksi
sinar-X dengan lama pemanasan yang divariasikan yaitu ½ jam, 1 jam, 3 jam dan 4 jam.

  B4C
▲ B2O3
▲ ● C

 ● ▲


▲ ▲ ●
intensity(count)

 ▲



20 30 40 50 60 70 80
2θ (degree)
 
Gambar 3. Perbandigan variasi lamanya pemanasan dengan waktu milling selama 6 jam pada suhu 800 oC
dengan : (a). ½ jam pemanasan, (b). 1 jam pemanasan, (c). 3 jam pemanasan, (d). 4 jam pemanasan.
 
Tujuan dari dilakukannya perlakuan panas dengan variasi lama pemanasan ini adalah
untuk mengetahui waktu optimum untuk pembentukan fasa boron karbida. Pada waktu ½ jam
pemanasan, pembentukan fasa menghasilkan dua fasa yaitu boron karbida dan karbon. Boron
karbida pada pemanasan ½ jam ini memiliki dua puncak fasa sedangkan untuk fasa karbon
hanya terbentuk satu puncak. Pada waktu 1 jam pemanasan terbentuk tiga fasa yaitu boron
karbida, boron oksida dan karbon. Tetapi pada sampel ini fasa karbon meupakan fasa yang
paling dominan yang terbentuk dibandingkan dengan kedua fasa lainnya. Untuk sampel yang
Seminar Material Metalurgi 2010

dimilling selama 6 jam dengan waktu pemanasan 3 jam terbentuk tiga fasa yang dihasilkan
yaitu boron karbida, boron oksida dan karbon. Pada waktu ini fasa yang paling dominan
adalah fasa boron oksida yang menghasilkan empat puncak dari hasil data difraksi yang
diperoleh. Selanjutnya pada waktu 4 jam pemanasan hanya terbentuk dua puncak saja yaitu
boron karbida dan boron oksida. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa fasa B4C
dengan intensitas tertinggi terjadi pada waktu pemanasan yang ditahan selama 4 jam.

Struktur Mikro
Analisis struktur mikro dilakukan untuk melihat ukuran butir dari masing-masing
sampel yang dimilling dengan variasi waktu 2 jam, 4 jam, 6 jam, dan 8 jam.

152 |  ISSN : 2085 – 0492


 
   
(a) 2 jam milling (b) 4 jam milling

   
(c) 6 jam milling (d) 8 jam milling
Gambar 4. Hasil foto SEM dari sampel hasil campuran asam borat (B(OH)3), polyvinylalcohol (PVA), dan
karbon (C) sebelum diberikan perlakuan panas.

Dari hasil foto SEM terlihat adanya perubahan ukuran butir pada masing-masing sampel.
Untuk sampel yang dimilling selama 2 jam memperlihatkan ukuran butir yang masih cukup
besar dan semakin lama waktu milling ukuran butir semakin halus. Dari foto SEM untuk
waktu milling selama 8 jam terlihat adanya penggumpalan (aglomerate), hal ini terjadi karena
ukuran partikel yang semakin halus memiliki kecenderungan untuk bersatu dengan fasa yang
sejenis sehingga terbentuk gumpalan.

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, mateial keramik boron karbida dapat dihasilkan
dengan menggunakan metode sol-gel baik pada suhu rendah maupun pada suhu tinggi. Dari
sampel-sampel yang telah dihasilkan terbentuk tiga fasa diantaranya fasa boron oksida
(B2O3), fasa boron karbida (B4C) dan fasa karbon (C). Fasa tersebut muncul lebih banyak
dalam bentuk amorf dibandingkan dengan bentuk kristal. Hasil kajian dari penelitian yang
telah dilakukan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa waktu penghalusan (milling) dan lamanya
Seminar Material Metalurgi 2010

pemanasan merupakan hal yang mempengaruhi proses pembentukan fasa boron karbida
(B4C). Dengan waktu milling yang semakin lama, jumlah pembentukan fasa B4C semakin
meningkat yang disebabkan luas permukaan kontak antar partikel meningkat dan distribusi
partikel yang lebih merata. Selain itu, dari hasil foto SEM terlihat bahwa semakin lama waktu
penghalusan pada serbuk material akan mengakibatkan penggumpalan karena serbuk semakin
halus yang menyebabkan partikel-partikel lebih cepat berinteraksi.

UCAPAN TERIMA KASIH


DP2M DIKTI Kementerian Pendidikan Nasional RI yang telah mendanai penelitian
ini melalui Hibah Pekerti tahun ke-2 anggaran 2010.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 153
DAFTAR ACUAN
[1] Callister, William D. 1994. Materials Science and Engineering an Introductions, 3rd-
ed. John Willey & Sons, inc. New York.
[2] Charles W. Keenan, Donald C. Kleinfelter, Jesse H. Wood. 1992. Kimia untuk
Universitas Jilid 2 edisi ke-6, Terj. Aloysius Hadyana Pudjaatmaka, Ph.D, Jakarta:
Erlangga.
[3] Rahaman, M.N. 2001. Ceramic Processing. Taylor & Francis Group. New York,
USA.
[4] Linah. 2009. Efek Waktu Milling Terhadap Pembentukan Boron Karbida (B4C)
berbahan dasar Asam Borat (B(OH)3), Asam Sitrat (C6H8O7), dan Karbon (C) Melalui
Metode Reduksi Carbothermal. FMIPA UNJ. Jakarta.
[5] Saputra, Frilla RT. 2009. Sintesis Material Keramik Boron Karbida (B4C) berbahan
dasar Asam Borat (B(OH)3), Polyvinylalcohol (PVA), dan Karbon (C) dengan
menggunakan metode Sol-Gel. FMIPA UNJ. Jakarta.
[6] A. K. Khanra. 2007. Production of Boron Carbide Powder by Carbhothermal
Synthesis of Gel Material. J. pp. 93-96. Bull. Mat. Sci, Vol.30 No.2
[7] D.K. Bose. 1986. Production of high purity boron carbide high temperature. Mat. &
Proc. 7, 133-140.
[8] Linah, Erfan Handoko, Bambang Soegijono, dkk. 2008. Efek Temperatur terhadap
Pembentukan Fasa Boron Oksida (B2O3) pada Aam Borat (B(OH)3). Pros. SATEK II.
ISN : 978-979-1165-74-7.
[9] Shampa Mondal, Ajit K. Banthia. 2005. Low Temperature Synthetic Route for Boron
Carbid. J of the European Ceramics Society. 25,287-291.
Seminar Material Metalurgi 2010

154 |  ISSN : 2085 – 0492


 
SYNTHESIS NANOCRYSTALLINE Fe3O4 by Co-PRECIPITATION

Widyastutia, M. Zainurib, Munawirul Qulubb, Fajar Budiyantob


a
Department of Material & Metalurgical Eng, Sepuluh Nopember Institute Of Technology Surabaya (ITS),
Indonesia, e-mail : wiwid_material@yahoo.com
b
Department of Physics, Sepuluh Nopember Institute Of Technology Surabaya(ITS), Indonesia

Abstrak
Sintesis serbuk nano Fe3O4 dilakukan dengan metode ko-presipitation. Serbuk Fe3O4 hasil sintesis
kemudian dipanaskan pada suhu 500oC selama 2 jam. Untuk menentukan fase kristal dan ukuran kristal yang
terbentuk, digunakan Difraktometri sinar-X. Ukuran kristal dihitung dengan menggunakan persamaan Scharerr.
Berdasarkan analisa XRD dari serbuk Fe3O4 diperoleh fase Magnetite (Fe3O4) dan fase hematit (α-Fe2O3)
dengan ukuran kristal rata-rata 84,73 nm

Kata kunci : Nanokristalin, Ko-presipitasi, Magnetite (Fe3O4) dan fase hematit (α-Fe2O3)

Abstract
Synthesis of Fe3O4 powder was conduct through co-precipitation methods. Fe3O4 formed powder was
heating at a temperature of 500oC for 2 hours. To determine the crystalline phases and crystals size of Fe3O4
powder was used X-rays Diffraction. Crystal size was calculated by Scharerr equation. Magnetite (Fe3O4) and
Hematite (α-Fe2O3) phase was indicated from Fe3O4 powder by X-rays Diffraction with average crystal size was
84.73 nm.

Keywords: Nanocrystalline, Copresipitation, Magnetite (Fe3O4), Hematite (α-Fe2O3).

I. INTRODUCTION
Developments in nano materials research went nearly as it’s application. In particular
nanomagnetic field, research and analysis of research results have been successfully studied
some of the magnetic properties of Fe3O4 magnetic powder. The interesting ones is the
amount of material Fe3O4 opportunity to apply in various areas. Each application refers to a
different nature. In the health sector for example, the magnetic material used must have the
stability to temperature, chemistry, colloids, and the security of consumption (not toxic) (J,
Santoyo, et al., 2006). This study aims to synthesize Fe3O4 powders through nanocrystalinne
sized copresipitation methods.

Mineral Fe3O4
Magnetic minerals can be found in the iron sand. Largest magnetic mineral content in
the iron sand Magnetite Fe3O4) which is a family of iron oxide. Raw Magnetite (Fe3O4) are
chemically oxidized to hematite (α-Fe2O3) and Maghemit (γ-Fe2O3) (Yulianto, 2002).
Seminar Material Metalurgi 2010

 
Figure 1. Crystal Structure of Magnetite

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 155
Magnetic minerals have great potential to be developed as indutri material. Magnetite
(Fe3O4) for example, can be used as raw material dry ink (toner) on photo-copying machines
and laser printers. While Maghemite (γ-Fe2O3) as the main ingredient-cassette tape. Besides
that, Fine Magnetite, Maghemite, and Hematite is also used as a dye and a mixture (filler) to
paint as well as basic materials for the permanent magnet industry (Wise, 2003).

Phase of the Iron Oxide (III)


Iron III Oxides alpha (α-Fe2O3) / Hematite
Hematite has karakeristik have rombohedral structure, is the form most commonly
found. Hematite is under antiferromagnetic temperature ~ 260 K and weak ferromagnetik
between 260 K and 950 K.

(a) (b) (c)


Figure 2. (a)Coordination Fe in Hematite, (b)Crystal structure α-Fe2O3 (c.)Powder Fe2O3 (wikipedia.com, 2009)
Iron (III) Oxide Beta (β-Fe2O3)
β-Fe2O3 has the characteristics of the crystal structure face centered cubic (fcc),
metastable, at temperatures above 500°C transformed into the alpha form.

Iron (III) Oxide Gamma (γ-Fe2O3)


γ-Fe2O3 has a characteristic cubic shape, metastable, changes to the alpha form at high
temperatures, is formed naturally as the mineral maghemite, ferimagnetic nature. Particles
smaller than 10 nanometers is superparamagnetic.

Iron (III) Oxide Epsilon (ε -Fe2O3)


ε-Fe2O3 are characterized as Shaped like a rhombus, Shows the nature of an
intermediary between alpha and gamma forms, metastable, changes to the alpha form at
temperatures between 500 ˚ C and 750 ˚ C and So far not prepared in pure form, but always
mixed with the alpha or gamma form.

Co-precipitation Method
Co- precipitation method of (precipitation) is one kind of fabrication technique by
Seminar Material Metalurgi 2010

chemical means, this technique is used to separate the bullies impurities. The other method is
electrolysis, solvent extraction, and chromatography. In co-precipitation, basic powder
dissolved in strong acid solution and metal salt product was produced. Alkaline solution is
added gradually while stirring. Homogeneity of the solution is determined by the length of the
material reacts and temperature used. The results of the sediment was filtered and rinsed with
aquades to remove the remaining acid and other waste. Chemically, presipitation of powder
which has high purity, small particle size and tendency to beraglomerasi (Day & Underwood,
1989). The reaction on the formation of Fe3O4 deposition using coprecipitation process is as
follows:

156 |  ISSN : 2085 – 0492


 
Reaction between Fe and HCl

Precipitation of Fe3O4

II. METHODOLOGY
The materials used in this study are alumina and magnesium powders with a purity
of> 99%, solvent 12.063% HCl, 6.5 M NH4OH solution and aquades. Fe powder dissolved in
HCl with a magnetic stirrer until the formation of a yellowish clear solution. During the
stirring process is the addition of HCl solution if the mixture is too thick, preventing the
mixing process. Adding NH4OH solution into the solution. The mixture was left for some
time until it forms deposits. Sediment washed with acid aquades to rest and other dirt
dissolved in it. Acidity test is performed to determine if the sediment is clean of residual acid.
Next sludge is filtered and heated at a temperature of 100oC in the oven for 1 hour followed
by heating at a temperature of 500oC. Formed powder tested with X-Ray Diffraction (XRD)
to determine the crystal size and phase are formed. Crystal size (D) can be identified by use
Schererr equation,

 
with D is the size (diameter) kristallites, λ is the wavelength of X-rays are used, θB is the
Bragg angle, while B is a half height width of diffraction peaks. Value of B can be obtained
from the half-FWHM values.

III. RESULT & DISCUSSION


The result of powder produced by co-precipitation method is red brick. Crystalline
structure can be seen from the top of the diffraction peaks towering shape and has a broad
peak with a small value, Based on the results of XRD data and by matching peaks using the
program Search and Macth was found that the sample has a phase that is phase 2 Hematite
and Magnetite phase.
Table 1. Results matching Search and Match
Peak Position
No (Degree) Matched
1 24.056 A
2 24.208
3 30.184 B
4 33.135 A
5 35.62 A,B
Seminar Material Metalurgi 2010

Hematite has the same top 3 with a sample of the diffraction peaks at 2θ = 24.10 o,
33.16o and 35.69o. As for Magnetite has the same peak 2 with the sample at 2θ = 30.23 and
35.69o. Iron oxide has the highest stability is Hematite and magnetite. While phase has
stability less stable (metastable) is maghemite c-Fe2O3 and wustite (Fe1_xO) (Handke, 2006).
Magnetite (Fe3O4) can be chemically oxidized to hematite (α-Fe2O3. In the synthesis process
Fe3O4 phase shift from Magnetite to maghemite and then transformed into Hematite. These
phase changes occur at a temperature of 240oC to 450oC (Guin et al, 2005). Hematite also can

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 157
be reduced with CO, CO2 or H2 into Magnetite (R. Fan, 2001). Reduction of the following
chemical equation

Characteristic diffraction peaks for each phase is at 2θ = 30.1 o for magnetite (220)
and at 2θ = 33.2o for Hematite taken from 2θ =20o to 50o ¬ (JP Gavirı'a, 2006)

.
Figure 3. XRD pattern changes with time at a temperature of 320oC (JP Gavirı'a, 2006).

Crystal size is calculated using the equation Schererr. The results obtained from the
calculation of the value of average crystal size of 84.73 nm.

Table 2. The crystal sizes calculated


No Peak FWHM B λ θ cos θ D
1 0.2128 0.001856 0.1540598 24.056 0.913147 90.89706537
2 0.1619 0.001412 0.1540598 24.208 0.912062 119.6164673
3 0.2827 0.002466 0.1540598 30.184 0.864415 72.27932355
4 0.2501 0.002181 0.1540598 33.135 0.837384 84.33810375
5 0.3844 0.003353 0.1540598 35.62 0.812897 56.52535293

IV. CONCLUSION
Based on experimental results obtained have made the following conclusion:
1. Fe3O4 powders can be obtained through co-presipitation methods. The resulting
powder has magnetic characteristics and is red brick.
2. Results of analysis of data XRD phase generated content Magnetite (Fe3O4) and
hematite (α-Fe2O3) with an average crystal size of 84.73 nm.

REFERENCES
Seminar Material Metalurgi 2010

Abdullah, Mikrajuddin & Khoirurrijal. 2008. “Review: Karakteristik Nanomaterial”. Jurnal


Nanoscience dan Teknologi vol2, No.1. ITB. Bandung
Bijaksana, S. 2003. “Kajian Sifat Magnetik Pada Endapan Pasir Besi di Wilayah Cilacap dan
Upaya Pemnfaatannya Untuk Bahan Industri”. Laporan Penelitian Hibah Bersaing,
ITB. Bandung.
Day, Jr, R. A dan Underwood, A.L. 1989. ”Analisis Kimia Kuantitatif”. Jakarta:Erlangga.
El Indah. 2007. “Sintesis Serbuk Nanokristalin Al2O3, MgO Dan MgAl2O4 Dengan Metode
Kopresipitasi”. Tugas Akhir S1. ITS. Surabaya

158 |  ISSN : 2085 – 0492


 
Guin, dkk. 2005. “Iron oxide thin film growth on Al2O3/NiAl(1 10)”. Surface Science
online.http.www.sciencedirect.com
Handke, dkk. 2006. “A simple chemical synthesis of nanocrystalline AFe2O4 (A = Fe, Ni,
Zn):An efficient catalyst for selective oxidation of styrene”. Journal of Molecular
Catalysis A online.http.www.sciencedirect.com
J, Santoyo, dkk. 2006. “Structural and magnetic domains characterization of magnetite
nanoparticles”. Journal of Materials Science and Engineering online.
http.www.sciencedirect.com
J.P. Gavirı´a, dkk. 2006. “Hematite to magnetite reduction monitored by Mo¨ ssbauer
spectroscopy and X-ray diffraction”. Physica B. online.http.www.sciencedirect.com
R, Fan, dkk. 2001. “A new simple hydrothermal preparation of nanocrystalline
magnetite Fe3O4”. Materials Research Bulletin 36 (2001) 497–502
William D. Callister, 2001. “Fundamentals of Materials Science and Engineering”.
Department of Metallurgical Engineering The University of Utah
 

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 159
Seminar Material Metalurgi 2010

 
160 |  ISSN : 2085 – 0492
PENGARUH SOLUSI PERLAKUAN PANAS DAN PROSES ARTIFICIAL
AGING TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK
PADUAN ALUMINIUM 2024

Anggoro Budi Susilo


Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Jakarta Jl. Pemuda
Kampus B, Jl. Pemuda No. 10 Rawamangun, Jakarta 13220

Abstrak
Paduan Aluminium 2024 merupakan jenis paduan yang mampu panas, sehingga paduan tersebut dapat
ditingkatkan sifat kekerasannya dengan cara diberikan perlakuan panas (heat treatment). Oleh karena sifat
kekerasan yang dimiliki cukup baik, maka material ini banyak diaplikasikan pada industri pesawat terbang dan
pertahanan.
Dalam penelitian ini telah dilakukan proses perlakuan panas pada Paduan Aluminium 2024 yang
bertujuan untuk meningkatkan nilai kekerasan dari material tersebut. Proses perlakuan panas meliputi proses
solusi perlakuan panas pada temperatur 450°C , 550°C , dan 650°C dengan waktu penahanan selama 5 menit,
10 menit dan 15 menit dengan media pendinginan di air dan di udara bebas, dan artificial aging pada
temperatur 190°C selama 12 jam. Sebelumnya, Paduan Aluminium 2024 dilelehkan pada temperatur 900°C
dan didinginkan dia air (sampel A1). Pengujian nilai kekerasan dilakukan dengan menggunakan metode
Hardness Vickers (HV) dan pengujian struktur mikro dilakukan dengan menggunakan mikroskop optik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa nilai kekerasan semakin meningkat dengan lamanya waktu pemanasan pada
temperatur 450°C dan 550°C dan mencapai nilai maksimum setelah diberikan proses artificial aging pada
temperatur 190°C selama 12 jam.

A. PENDAHULUAN
Lebih dari lima puluh tahun, aluminium menduduki peringkat ke-tiga setelah besi dan
baja dalam perdangan logam. Kebutuhan akan logam aluminium terus meningkat secara
cepat, dikarenakan material tersebut merupakan material serbaguna dimana sifat yang dimiliki
dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan yang dapat diaplikasikan untuk keperluan
teknik dan konstruksi [1].
Ada dua jenis paduan aluminium, yaitu paduan aluminium mampu panas (heat
treatable alloy) dan paduan aluminium tidak mampu panas (non-heat treatable alloy).
Kekuatan yang dimiliki oleh paduan aluminium mampu panas dapat ditingkatkan dengan
penambahan elemen paduan seperti tembaga (Cu), zinc (Zn), magnesium (Mg), mangan (Mn)
dan silikon (Si). Sedangkan untuk jenis paduan aluminium tidak mampu panas, nilai kekuatan
hanya bergantung pada efek pengerasan dari elemen paduan sebagai sebuah elemen tunggal
atau kombinasi yang bervariasi [2].
Salah satu jenis paduan aluminium yang mampu panas dalam pembahasan ini adalah
Paduan Aluminium 2024 yang merupakan seri paduan 2xxx yang banyak digunakan secara
luas dalam industri struktur penerbangan. Hal itu dikarenakan paduan ini memiliki kekuatan
spesifik yang sangat baik dan ringan [3]. Paduan Aluminiun 2024 telah diperkenalkan oleh
Seminar Material Metalurgi 2010

ALCOA (Aluminum Company of America) pada tahun 1931 [4]. Selain itu, jenis paduan ini
juga merupakan jenis paduan yang sifat kekerasannya dapat ditingkatkan dengan cara
diberikan perlakuan panas (heat treatment). Proses perlakuan panas yang dilakukan meliputi
proses solusi perlakuan panas (solution treatment), quenching dan proses penuaan
(aging/precipitation hardening) [5].
Proses solusi perlakuan panas pada Paduan Aluminium 2024 dilakukan pada
temperatur eutektiknya, yaitu sekitar 548°C dengan komposisi elemen Cu (tembaga) di
bawah 5.7 % yang masih tergolong pada kondisi fasa tunggal [6]. Pada temperatur 548°C ,
elemen Cu memiliki daya larut maksimum yang menyebabkan atom-atom dari elemen Cu
terdistribusi secara merata pada fasa matrik aluminium melalui proses difusi [7]. Adapun

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 161
proses proses penuaan buatan dilakukan untuk memperoleh kekerasan yang maksimum,
karena proses penuaan berperan dalam proses terjadinya difusi pada jarak yang sangat pendek
pada fasa aluminium dan berperan dalam proses pertumbuhan butir [6]. Proses penuaan
buatan biasanya dilakukan pada temperatur elevasi dari paduan, untuk Paduan Aluminium
2024 berkisar antara 100 °C sampai 200°C [8]. Adapun ilustrasi dari hasil proses penuaan
buatan dalam kaitannya dengan sifat kekerasan dapat diGambarkan pada Gambar 1 di bawah

140

120

100 4.5 %Cu


Kekerasan → HV

4.0 %Cu
80

60
3.0 %Cu

40 2.0 %Cu

0.1 1 10 100

Waktu aging (hari) pada 190°C

Gambar 1. Grafik hubungan antara waktu penuaan dengan kekerasan [erwin siahaan]

B. METODE PERCOBAAN
Tahap awal yang dilakukan adalah menyiapkan sampel Paduan Aluminium 2024 yang
meliputi proses pemotongan terhadap material tersebut. Setelah proses preparasi, maka
sampel tersebut dilebur pada temperatur 900°C dengan media pendinginan di air (sampel
A1), dilanjutkan dengan pengujian struktur mikro menggunakan Mikroskop Optik dan sifat
nilai kekerasannya dengan menggunakan metode Vickers. Sebelum proses pengujian struktur
mikro, sampel dietsa dengan menggunakan larutan HNO3, HF, HCl dan H2O [Vander].
Sampel yang telah dilebur, kemudian dipotong menjadi 18 keping untuk proses solusi
perlakuan panas. Kemudian setelah proses pemotongan dilakukan, masing-masing sampel
dipanaskan pada temperatur 450°C , 550°C dan 650°C dengan variasi waktu penahan selama
5 menit, 10 menit dan 15 menit dengan media pendinginan di air. Setelah itu dilakukan
pengujian kembali struktur mikro dan kekerasannya. Kemudian tahap terakhir adalah proses
Seminar Material Metalurgi 2010

penuaan buatan pada temperatur 190°C selama 12 jam, dan dilanjutkan dengan proses
pengujian struktur mikro dan sifat mekanik.

162 |  ISSN : 2085 – 0492


C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian

Gambar 2. Struktur mikro sampel A1 yang dipanaskan pada temperatur 450°C (a). Selama 5 menit, (b). Selama
10 menit dan (c). Selama 15 menit, masing-masing didinginkan di air dan diukur dengan dengan
menggunakan Mikroskop Optik.

Gambar 3. Struktur mikro sampel A1 yang dipanaskan pada temperatur 550°C (a). Selama 5 menit, (b). Selama
10 menit dan (c). Selama 15 menit, masing-masing didinginkan di air dan diukur dengan dengan
menggunakan Mikroskop Optik.

Gambar 4. Struktur mikro sampel A1 yang dipanaskan pada temperatur 450°C (a). Selama 5 menit, (b). Selama
10 menit dan (c). Selama 15 menit, masing-masing didinginkan di air dan diukur dengan dengan
menggunakan Mikroskop Optik. Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 5. (a). Struktur mikro sampel A1 setelah dipanaskan pada temperatur 450°C selama 15 menit dan
dilanjutkan dengan proses penuaan pada temperatur 190°C selama 12 jam, (b). Struktur mikro
sampel A1 setelah dipanaskan pada temperatur 550°C selama 15 menit dan dilanjutkan dengan
proses penuaan pada temperatur 190°C selama 12 jam dan (c). Struktur mikro sampel A1 setelah
dipanaskan pada temperatur 650°C selama 15 menit dan dilanjutkan dengan proses penuaan pada
temperatur 190°C selama 12 jam, masing-masing didinginkan di air dan diukur dengan
menggunakan Mikroskop Optik.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 163
130 450 °C
550 °C

Kekerasan Vickers (Kg/mm²)


120
650 °C

110

100

90

80

70
5 menit 10 menit 15 menit 12 jam

Waktu penahanan Solusi Perlakuan Aging pada


Panas 190 °C
Perlakuan Panas

Gambar 6. Grafik kekerasan Vickers sampel A1 setelah dipanaskan pada temperatur 450°C , 550°C dan 650°C
dengan media pendinginan di air.

2. Pembahasan
Pada Gambar 2 terlihat adanya perbedaan ukuran butir pada sampel A1 setelah
dipanaskan pada temperatur 450°C seiring dengan perbedaan variasi waktu. Untuk sampel
yang dipanaskan pada temperatur 450°C dengan variasi waktu 5 menit (Gambar 2(a)), 10
menit (Gambar 2(b)) dan 15 menit (Gambar 2(c)) yang didinginkan di air terlihat ukuran butir
semakin kecil seiring dengan bertambahnya waktu pemanasan. Hal itu dikarenakan semakin
lama proses pemanasan, maka semakin banyak fasa presipitat yang berdifusi yang
menyebabkan atom-atom presipitat terdistribusi lebih merata pada fasa matriknya yaitu
aluminium dan proses pendinginannya terjadi secara cepat sehingga fasa-fasa presipitat tetap
dipertahankan. Sedangkan pada Gambar 4.18, Gambar 4.19(a), 4.19(b) dan 4.19(c) terlihat
bahwa ukuran butir relatif semakin besar seiring dengan bertambahnya waktu pemanasan baik
yang didinginkan di air maupun yang didinginkan di udara bebas. Hal itu dikarenakan sampel
awal yaitu A2 dan A3 merupakan sampel yang proses pendinginannya terjadi secara lambat
dan sangat lambat setelah proses peleburan yang menyebabkan atom-atom fasa presipitat pada
sampel A2 sebagian terkumpul secara berkelompok (clustering) di daerah batas butir (grain
boundaries). Begitu pula untuk sampel A3, fasa-fasa presipitat terkumpul secara berkelompok
di daerah batas butir dalam jumlah yang relatif besar dibandingkan dengan yang terjadi pada
sampel A2. Hal tersebut menyebabkan ketika sampel tersebut diberikan perlakuan panas di
bawah daerah eutektik yaitu 450°C yang merupakan temperatur di bawah daya larut
maksimum Cu memberikan pengaruh yang relatif kecil untuk menyebabkan terjadinya proses
difusi fasa-fasa presipitat. Walaupun terjadi proses difusi atom-atom presipitat, akan tetapi
Seminar Material Metalurgi 2010

proses difusi atom-atom presipitat tersebut bukan untuk menyebar secara merata pada fasa
matriknya tetapi untuk lebih terkumpul pada batas butir, sehingga semakin lama proses
pemanasannya maka semakin banyak fasa presipitat yang terkumpul pada batas butir. Selain
itu, temperatur 450°C merupakan temperatur dan butiran pun menjadi lebih besar.

3. Kesimpulan
Nilai kekerasan Vickers sampel A1 setelah dipanaskan pada temperatur 450°C dan
550°C setelah didinginkan di air semakin meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu
pemanasan pada temperatur tersebut dan setelah proses penuaan buatan, dan semakin
menurun seiring dengan semakin lamanya waktu pemanasan setelah dipanaskan pada

164 |  ISSN : 2085 – 0492


temperatur 650°C dan setelah proses penuaan buatan. Nilai kekerasan Vickers juga dapat
diGambarkan dengan bentuk ukuran butir, dimana semakin kecil ukuran butir maka semakin
baik sifat kekerasan yang dimiliki dan sebaliknya. Selain itu, sampel yang dipanaskan pada
temperatur 650°C struktur mikronya berbentuk dendrit.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Tan Chee Fai and Mohamad R Said. 2009. Effect of Hardness Test on Precipitation
Hardening Aluminium Alloy 6061 T-6. Journal. Malaysia : Universiti Teknikal Malaysia
Melaka.
[2] Khan Muhammad Riaz, Irfanullah and Fajal-ur-Rehman. Beneficial Effect of Heat
Treatment on Mechanical Properties and Microstructure of Aluminum Alloy Used in
Aerospace Industry. Pakistan : University of Peshawar.
[3] Kissell Randolph, J,. Robert L, Ferry. 2002. Aluminum Structures, A Guide to Their
Spesifications and Design. Second Edition. John Wiley and Sons, Inc : New York.
[4] http://www.gabunganteknik.com (diakses pada tanggal 16 Februari 2009, pukul 13.15
WIB)
[5] Vernon John, Material for Technology Student, First Published, The Macmillan Press
Ltd, London, 1975, 131 – 138
[6] Kailas Satish V. 2000. Material Science. Department of Mechanical Engineering, Indian
Institute of Science, Bangalore – 560012, India
[7] Wahyudin I, Erfan H dan Anggoro B S. 2009. Studi Struktur Mikro dan Sifat Mekanik
Paduan Aluminium 2024 Terhadap Perlakuan Panas Pada Daerah Proeutektik. Jurnal
LIPI. Jakarta : Universitas Negeri Jakarta.
[8] Totten George E and D. Scott MacKenzie. 2006. Handbook of Aluminum, Volume 2,
Alloy Production and Materials Manufacturing. New York : Marcel Dekker, Inc.

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 165
Seminar Material Metalurgi 2010

166 |  ISSN : 2085 – 0492


KARAKTERISTIK OPTIK LAPISAN TIPIS ALUMINIUM DENGAN
REFLEKSI 50% SEBAGAI BEAM SPLITTER UNTUK TELESKOP

Bambang Herlambang
Puslit KIM LIPI PUSPIPEK Serpong Banten

Abstrak
Telah dilakukan pembuatan beam splitter 50% untuk teleskop. Bahan substrat yang digunakan adalah
BK7 dengan indeks bias 1,52. Sedangkan untuk pelapisnya adalah aluminium yang dilapiskan ke permukaan
substrat tersebut dalam ruang vakum dengan cara evaporasi.
Hasil analisa menunjukkan bahwa grafik menyerupai “bukit” dimana reflektansi lapisan meningkat
pada panjang gelombang 400 – 550 nm dan kemudian menurun pada panjang gelombang 550 – 755 nm.
Reflektansi tertinggi sekitar 72% terjadi pada panjang gelombang 550 nm. Reflektansi terendah sebesar 10%
terjadi pada panjang gelombang 400 nm dan 750 nm. Sedangkan reflektansi 50% terjadi pada panjang
gelombang 525 nm.

Kata kunci : Lapisan tipis, aluminium, refleksi, pemecah sinar dan spectrum tampak.

Abstract
In this research fabrication of beam splitter 50% for telescope has been done. Substrate materials used
was BK7 with refractive index 1.52 while coating materials used was aluminum which is deposited on the
substrate surface in vacuum chamber using evaporation method.
Analysis results showed that the graph resembles a "hill" where reflectance layer at the wavelength
increases from 400 to 550 nm and then decrease at wavelengths from 550 to 755 nm. Highest reflectance
approximately 72% occurs at 550 nm wavelength. Reflectance lowest of 10% occurs at wavelength 400 nm and
750 nm. Reflectance while 50% occurred at 525 nm wavelength.

Keywords : Thin films, aluminum reflection, beam splitter and visible spectrum.

PENDAHULUAN
Aluminium merupakan salah satu logam yang banyak digunakan untuk pelapisan di
bidang optik [1-4]. Logam ini memiliki kelebihan yaitu murah, mudah diaplikasikan dan
memiliki reflektansi yang baik pada panjang gelombang tampak (400 - 740 nm). Kelemahan
logam ini adalah mudah lepas dan untuk jangka waktu lama reflektansinya akan menurun.
Kelemahan ini biasanya diantisipasi dengan pelapisan ulang dan penggunaan lapisan
tambahan sebagai pelindung.
Salah satu aplikasi lapisan tipis aluminium adalah pada beam splitter yang digunakan
untuk teropong militer. Komponen optik ini berfungsi untuk memecah sinar menjadi dua yaitu
sebagian diteruskan dan sebagian lagi dipantulkan. Untuk beam splitter berbentuk kubus besar
sudut sinar pantulan adalah 90 sementara untuk cermin datar besar pantulan adalah 45.
Pengadaan komponen ini masih harus diimpor dari luar negeri karena untuk fabrikasi
didalam negeri menghadapi kendala dalam hal SDM dan peralatan. Hal ini menimbulkan
ketergantungan pada negara lain dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu
Seminar Material Metalurgi 2010

diperlukan upaya-upaya agar pengadaan komponen tersebut dapat dilakukan didalam negeri
mengingat komponen tersebut menyangkut hal yang strategis dalam bidang ekonomi, politik,
hankam dan teknologi.
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab tantangan tersebut. Dalam penelitian ini
dilakukan fabrikasi lapisan tipis aluminium sebagai beam splitter untuk teropong militer. Ada
dua tujuan utama yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu pertama penguasaan teknologi
optik dan lapisan tipis dan kedua meningkatkan kemandirian bangsa.
Tulisan ini akan membahas kegiatan penelitian tersebut dimana dilakukan fabrikasi
lapisan tipis aluminium (Al) untuk keperluan militer. Pembuatan lapisan tipis aluminium
dilakukan dengan menggunakan mesin coating pada tekanan rendah dengan metoda

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 167
evaporasi. Refleksi yang digunakan adalah dengan refleksi 50% pada daerah gelombang
tampak. Substrat yang digunakan adalah gelas BK7 yang telah dipoles. Sampel yang
diperoleh kemudian dianalisa dengan menggunakan reflektometer yang telah dikalibrasi.
Analisa dilakukan terhadap reflektansi pada daerah panjang gelombang 400 – 740 nm.

DASAR TEORI
Pemecah Sinar (Beam Splitter)
Beam splitter adalah suatu komponen optik yang membagi sinar cahaya menjadi dua
[2-6]. Bagian ini adalah bagian penting dari suatu interferometer, autokorrelator, kamera,
proyektor dan sistem laser.
Bentuk umum beam splitter adalah kubus yang terbuat dari dua gelas prisma yang
ditempel pada sisi miring menggunakan balsam Canada seperti yang diperlihatkan pada
Gambar 1. ketebalan lapisan resin diatur sehingga (untuk panjang gelombang tertentu)
setengah cahaya yang jatuh menembus satu sisi dipantulkan dan setengah lainnya
ditransmisikan. beam splitter polarisasi seperti prisma Wollaston yang menggunakan material
birefringent (kristal kalsit atau boron nitride) membagi cahaya menjadi sinar dengan
polarisasi yang berbeda.

Gambar 1. Representasi skematik suatu beam splitter kubus


Desain kedua yaitu menggunakan half mirror seperti yang ditunjukkan pada Gambar
2. Komponen optik ini adalah sebuah plat gelas dengan lapisan tipis aluminium (biasanya
dideposisikan dari uap aluminium) dengan ketebalan lapisan aluminium sedemikian rupa
sehingga setengah bagian cahaya pada sudut 45 derajat ditransmisikan dan sisanya
dipantulkan. Selain lapisan logam, lapisan optik dielektrik dapat pula digunakan. Cermin
demikian biasanya digunakan sebagai output coupler dalam konstruksi laser. Half mirror
digunakan dalam fotografi disebut cermin pellicle (suatu cermin transparan yang digunakan
dalam sebuah single-lens reflex camera atau SLR). Rasio transmisi dan refleksi dapat berubah
sebagai fungsi panjang gelombang tergantung pada lapisan yang digunakan.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 2. Beam splitter dalam betuk half mirror : penggunaan yang benar (kiri), penggunaan yang salah
(kanan)

Versi ketiga beam splitter adalah cermin prisma dikroik yang menggunakan lapisan
optik dikroik untuk membagi cahaya yang datang menjadi tiga sinar yaitu merah, hijau dan

168 |  ISSN : 2085 – 0492


biru. Komponen demikian digunakan dalam kamera tv berwarna multi tabung dan juga dalam
kamera filmtechnicolor tiga lapis. Komponen ini juga digunakan dalam proyektor LCD untuk
membagi warna dan reflektor elips spotlight untuk menghilangkan radiasi panas.

Lapisan Tipis Logam


Cermin logam merupakan bahan yang telah lama digunakan untuk system optik [1-4].
Tujuan utama cermin ini adalah untuk mengumpulkan cahaya dan mengarahkannya ke lokasi
lain dalam system optik tersebut.
Cermin logam menawarkan efisiensi yang tinggi dan merupakan lapisan yang banyak
dipilih untuk kebanyakan system optik seperti cermin teleskop. Namun kekurangan bahan ini
adalah sangat rapuh dan sulit untuk dirawat dalam periode yang lama.
Logam yang umum digunakan untuk permukaan refleksi tinggi adalah aluminium,
emas dan perak. Dengan mengatur ketebalan dan kerapatan lapisan logam, dapat diperoleh
suatu lapisan logam yang dapat mengurangi reflektivitas dan meningkatkan transmisi
permukaan sehingga menghasilkan half-silvered mirror. Kurva reflektansi terhadap panjang
gelombang untuk aluminium, perak dan emas pada sudut jatuh normal diperlihatkan pada
Gambar 3.

Gambar 3. Kurva reflektansi terhadap panjang gelombang untuk aluminium (Al), perak (Ag) dan emas (Au)
suatu cermin logam pada sudut jatuh normal.

PEMBUATAN DAN PENGUJIAN


Dalam pembuatan beam splitter ini ada tiga tahapan yang dilakukan yaitu tahap
perancangan, tahap evaporasi dan tahap pengujian. Khusus untuk tahap pengujian akan
dibahas di “bab” selanjutnya.

Tahap Perancangan
Perancangan lapisan tipis aluminium untuk beam splitter pada prinsipnya dilakukan
dengan membuat grafik dan persamaan hubungan berat material sumber terhadap reflektansi.
Selengkapnya langkah perancangan ini dilakukan berdasarkan diagram alir seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 4.
Dari hasil pengukuran berat material sumber dan reflektansi, maka dapat dibuat suatu
grafik berupa garis linier hubungan antara berat material sumber dan reflektansi. Dari grafik
Seminar Material Metalurgi 2010

yang diperoleh tersebut dapat dicari berat material sumber dengan reflektansi yang
diinginkan.
Dalam perancangan lapisan tipis aluminium untuk beam splitter, berat material
aluminium yang digunakan adalah 13 – 30 mg. Lapisan tipis yang diperoleh kemudian diukur
menggunakan spektrofotometer terkalibrasi untuk mengetahui daya reflektansinya. Hasil
percobaan ditunjukkan pada Gambar 5.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 169
Start

Timbang berat material sumber

Pelapisan dengan metoda


evaporasi

Ukur reflektansi lapisan tipis

Buat grafik hubungan berat vs


reflektansi

Tentukan persamaan hub berat


vs reflektansi

Tentukan reflektansi dan berat


material berdasarkan grafik

End

Gambar 4. Diagram alir perancangan lapisan tipis optic aluminium untuk beam splitter
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 5. Grafik hubungan berat material sumber dan reflektansi lapisan


Berdasarkan grafik diatas, persaman hubungan massa material sumber dan reflektansi lapisan
dapat dinyatakan dengan persamaan matematis berikut :
y = 3.383x – 35.33 (1)

170 |  ISSN : 2085 – 0492


dengan x adalah berat material sumber (mg) dan y adalah reflektansi (%). Dengan
menggunakan persamaan tersebut diatas maka untuk reflektansi 50%, maka berat material
sumber yang dibutuhkan adalah 25 mg.

Tahap Pelapisan
Pada tahap ini dilakukan proses pembentukan lapisan tipis Al dengan metoda
evaporasi menggunakan mesin coating optik pada tekanan vakum dengan orde 10-5 torr. Berat
material sumber ditentukan dari grafik yang diperoleh dari kalibrasi berat material sumber
terhadap reflektansi.
Material sumber berupa kawat diletakkan pada kawat pemanas dan dibentuk menjadi
huruf “U” agar mudah untuk diletakkan pada kawat pemanas. Substrat diletakkan pada tempat
substrat (rotary holder) yang dapat berputar. Substrat yang digunakan adalah gelas BK7
berukuran 25 x 24 mm dan tebal 2 mm.
Proses evaporasi dilakukan dengan memanaskan material sumber melalui kawat
pemanas. Material sumber yang dipanaskan akan menguap dan terdeposisi pada substrat yang
diletakkan diatas ruangan evaporasi. Pemegang substrat diputar untuk menghasilkan lapisan
dengan ketebalan yang lebih merata. Proses evaporasi dilakukan hingga material sumber
habis.
Sebelum proses evaporasi, substrat gelas BK7 terlebih dahulu dibersihkan
menggunakan aseton. Tujuannya agar aluminium dapat terdeposisi dengan baik pada substrat.
Kemudian ruangan evaporasi divakumkan hingga tekanan 10-5 torr. Data tekanan mesin
coating selengkapnya ditunjukkan pada table 1.

Tabel 1. Data tekanan proses evaporasi untuk pembentukan lapisan tipis aluminium
Tekanan (torr)
Simbol Keterangan
Sebelum Setelah
P1 2.56 x 10-2 1,74 x 10-2 Pompa rotary
P2 2,01 x 10-3 2,01 x 10-3 Pompa difusi
-5
P3 6,05 x 10 3,7 x 10-5 Ruangan evaporasi

Setelah tekanan dalam ruangan evaporasi mencapai orde 10-5 torr maka pengontrol
arus diputar hingga kawat pemanas menyala. Setelah kawat pemanas menyala kawat
aluminium akan menguap dan uap tersebut akan terdeposisi pada substrat.
Hasil evaporasi berupa lapisan tipis aluminium seperti diperlihatkan pada Gambar 6.
Secara fisik lapisan yang terbentuk hanya sedikit gelap. Pandangan masih bisa menembus
lapisan ini dan tidak terlalu gelap. Hal ini sesuai dengan fungsi lapisan yang diinginkan yaitu
sebagai pemecah sinar dimana sinar datang akan terbagi menjadi dua yaitu sinar yang lurus
dengan sinar datang dan sinar yang dipantulkan 45.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 6. Lapisan aluminium dengan refleksi 50%

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 171
PENGUJIAN
Setelah proses pelapisan dengan metoda evaporasi akan diperoleh lapisan tipis Al.
Untuk mengetahui kinerja dari lapisan ini maka dilakukan pengujian. Pengujian dilakukan
dengan menggunakan reflektometer yang telah dikalibrasi untuk mengetahui reflektansi
lapisan pada daerah gelombang tampak (400 – 740 nm). Hasil pengujian berupa grafik
hubungan antara reflektansi terhadap panjang gelombang tampak. Dari grafik tersebut dapat
dilakukan analisa kinerja reflektansi lapisan terhadap suatu panjang gelombang dalam daerah
panjang gelombang 400 – 740 nm.
Dalam penelitian ini ada dua pengujian yang dilakukan yaitu pengujian daya transmisi
dan pengujian spectrum. Pengujian daya transmisi dilakukan untuk mengetahui kemampuan
lapisan tipis aluminium dalam mentansmisikan cahaya. Sedangkan pengujian spectrum
dilakukan untuk mengamati transmisi cahaya pada suatu daerah gelombang cahaya tertentu.
Pengukuran daya transmisi dilakukan dengan menggunakan phtorometer sementara
pengukuran spectrum cahaya dilakukan dengan spektrofotometer.
Dalam pengujian daya transmisi ini sumber cahaya yang digunakan memiliki
intensitas cahaya 100 lux. Sampel kemudian diukur daya transmisinya menggunakan alat
pengukur intensitas cahaya photometer terkalibrasi. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa
daya transmisi lapisan adalah sebesar 49,6%. Sedangkan daya tranmsisi menurut perhitungan
menggunakan persamaan hubungan reflektansi dengan massa material sumber adalah 50%.
Jadi kesalahan yang terjadi adalah sebesar 0,8%. Nilai kesalahan ini sangat kecil sehingga
perbedaan nilai transmisi tersebut tidak signifikan.
Sampel kemudian diukur nilai transmisinya menggunakan spektrofotometer yang
terkalibrasi pada daerah panjang gelombang cahaya tampak yaitu 400 – 740 nm (spectrum
tampak). Hasil pengukuran ditunjukkan pada Gambar 7. Kurva bagian atas merupakan kurva
transmitansi lampu, sedangkan kurva bawah merupakan kurva transmitansi lapisan.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 7. Grafik transmitansi lapisan terhadap panjang gelombang cahaya 400 – 800 nm
Pada kondisi lapisan jenuh, reflektansi logam aluminium cenderung datar yaitu sekitar
88 - 92% pada panjang gelombang tampak. Reflektansi tinggi terjadi pada daerah panjang
gelombang 700 - 950 nm. Dari grafik diatas terlihat bahwa transmitansi lapisan meningkat
secara signifikan pada panjang gelombang 400 – 550 nm. Transmitansi tertinggi sekitar 72%
terjadi pada panjang gelombang 550 nm. Transmitansi terendah sebesar 10% terjadi pada
ujung spectrum tampak yaitu pada panjang gelombang 400 nm dan 750 nm. Sedangkan
transmitansi 50% terjadi pada panjang gelombang 525 nm.

172 |  ISSN : 2085 – 0492


Gambar 7 juga menunjukkan bahwa reflektansi terbesar terjadi pada panjang
gelombang 400 – 450 nm (violet) dan 700 – 750 nm (merah). Sementara kadar transmitansi
yang besar berada pada daerah panjang gelombang 550 – 600 nm (hijau dan kuning) [7].

Gambar 8. Mesin coating optik Edwards 306 Gambar 9. Kawat pemanas tempat material
sumber diletakkan

Gambar 10. Pemegang subsrat mesin coating


KESIMPULAN
Dalam penelitian ini telah dilakukan fabrikasi lapisan tipis aluminium dengan refleksi
50% menggunakan metoda evaporasi. Lapisan ini digunakan sebagai beam splitter untuk
teropong bidik militer. Material sumber adalah aluminium dalam bentuk kawat. Sedangkan
substrat yang digunakan adalah gelas BK7. Untuk proses evaporasi digunakan mesin coating
optik Edwards 306.
Ada tiga tahap yang dilakukan pada penelitian ini yaitu tahap kalibrasi, tahap
Seminar Material Metalurgi 2010

evaporasi dan tahap pengujian. Tahap kalibrasi bertujuan untuk melihat hubungan berat
material sumber dengan reflektansi. Tahap evaporasi bertujuan untuk membuat lapisan tipis
aluminium. Tahap pengujian bertujuan untuk mengetahui kinerja lapisan terhadap cahaya
pada panjang gelombang tampak (400 – 740 nm).
Hasil pengujian daya transmisi menunjukkan bahwa daya transmisi lapisan adalah
49,6%. Sedangkan pengukuran dengan spektrofotometer mengindikasikan daya transmisi
meningkat secara signifikan pada panjang gelombang pusat (550 – 600 nm). Transmisi
tertinggi sekitar 72% terjadi pada panjang gelombang 550 nm. Transmisi terendah sebesar
10% terjadi pada ujung spectrum cahaya tampak (400 nm dan 750 nm). Sedangkan transmisi
50% terjadi pada panjang gelombang 525 nm.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 173
DAFTAR PUSTAKA
1. Wikipedia, 2009, Optical Coating (http://en.wikipedia.org/wiki/Optical_coating#High-
reflection_coatings).
2. HA Macleod, 1969, Thin Film Optical Filters, Adam Hilger Ltd, London.
3. JK Consulting, 2009, High Reflector Coatings (http://www.kruschwitz.com/HR's.h
tm#Protected%20Metal).
4. L Holland, 1970, Vacuum Deposition of Thin Films, Chapman and Hall Ltd, London.
5. Wikipedia, Beam Splitter (http://en.wikipedia.org/wiki/Beam_splitter).
6. Dr. Rüdiger Paschotta, 2009, Beam Splitters, Encyclopedia of Laser Physics and
Technology (http://www.rp-photonics.com/beam_splitters.html).
7. Wikipedia, 2009, Visible Spectrum (http://en.wikipedia.org/wiki/Optical_spectrum).
 

 
Seminar Material Metalurgi 2010

174 |  ISSN : 2085 – 0492


PENGKAJIAN LAPISAN ANTIREFLEKSI TUNGGAL MAGNESIUM
FLORIDA (MgF2) PADA SUBSTRAT GELAS BK7

Bambang Herlambang
Puslit KIM LIPI PUSPIPTEK Serpong Banten

Abstrak
Telah dilakukan pengkajian terhadap lapisan antirefleksi tunggal MgF2 pada substrat gelas BK7. Dari
hasil pengkajian terbukti bahwa dengan panjang gelombang referensi 550 nm dan ketebalan fisik 99,64 nm,
lapisan menunjukkan reflektansi maksimal 2,21% untuk sudut jatuh normal, sedangkan untuk sudut jatuh efektif
lapisan adalah 40 dan reflektansinya sekitar 3,9% untuk daerah panjang gelombang biru (300 nm) dan
semakin menurun sehingga mendekati 1,8% pada daerah merah (700 nm).

Kata kunci : Lapisan antirefleksi, reflektansi.

Abstract
A study on single layer antireflection coating of MgF2 on substrate glass BK7 has been done. The
analysis results show that at reference wavelength 550 nm and physical thickness 99.64 nm, the coating gives
maximum reflectance 2,21% at normal incidence. Effective incidence of the optical thin film is until 40 with
reflectance 3.9% in blue wavelength region (300 nm) and the reflectance decreases until approximately 1.8% in
red wavelength region (700 nm).

Keywords : Antireflection coating, reflectance.

PENDAHULUAN
Lapisan tipis antirefleksi merupakan suatu tipe lapisan optik yang digunakan pada
permukaan lensa dan permukaan komponen optik lainnya untuk mengurangi refleksi [1 - 4].
Hal ini akan meningkatkan efisiensi sistem karena cahaya yang hilang menjadi lebih sedikit.
Dalam sistem yang komplek seperti teleskop, pengurangan refleksi juga meningkatkan
kontras citra dengan menghilangkan cahaya terpendar. Hal ini sangat penting khususnya
dalam astronomi planetarium. Dalam aplikasi lainnya, keuntungan utama lapisan ini adalah
penghilangan refleksi itu sendiri seperti lapisan pada lensa kacamata yang membuat mata
pemakai lebih terlihat oleh lainnya atau lapisan untuk mengurangi kilatan pemakai binokuler
atau teleskop yang tersembunyi.
Dalam perancangan lapisan tipis antirefleksi ada beberapa hal yang perlu
diperhitungkan yaitu indeks bias material, ketebalan fasa, ketebalan fisik, dan reflektansi
lapisan. Indeks bias material menentukan material yang harus digunakan sebagai pelapis,
ketebalan fasa menggambarkan ketebalan optik terhadap sudut jatuh dan panjang gelombang,
ketebalan fisik menggambarkan ketebalan lapisan aktual, dan reflektansi menggambarkan
reflektansi lapisan untuk tiap panjang gelombang.
Tulisan ini mengkaji lapisan tipis antirefleksi lapisan tunggal yang dirancang untuk
substrat berindeks bias rendah (1,52) yaitu gelas BK7. Aspek yang dibahas adalah parameter
Seminar Material Metalurgi 2010

yang telah disebutkan di atas. Hasil perancangan kemudian dianalisa untuk melihat efektivitas
kinerja lapisan pada daerah panjang gelombang tampak.

DASAR TEORI
Lapisan Antirefleksi Lapisan Tunggal
Bentuk yang paling sederhana lapisan tipis antirefleksi adalah lapisan dengan satu
lapis (single layer) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 [4,5]. Pada lapisan ini terdapat
dua interface dan dua vektor, masing-masing menunjukkan amplitudo koefisien pantulan, r,
pada masing-masing interface. Kalau indeks bias film lebih rendah dibandingkan dengan

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 175
substrat maka koefisien pantulan pada masing-masing interface akan menjadi negatif yang
menunjukkan suatu perubahan fasa 180.
ra rb

n0 Incident medium
a
n1 Thin film
b
n2 Substrate

Gambar 1. Sinar pantul pada masing-masing interface suatu lapisan tunggal


Koefisien pantulan masing-masing interface dinyatakan dengan persamaan berikut :
n -n
ra = 0 1 (1)
n 0 + n1
n -n
rb = 1 2 (2)
n1 + n 2
Koefisien pantulan pada masing-masing interface merupakan besaran vektor dan bila
digambarkan pada sumbu koordinat x-y maka dapat diilustrasikan seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 2.

(a) (b)

Gambar 2. (a) Vektor koefisien pemantulan pada masing-masing interface (b), vektor resultan koefisien
pemantulan, r.
Untuk menghasilkan lapisan antirefleksi dengan refleksi 0% (transmisi 100%) maka
ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, koefisien pantulan pada masing-masing
interface harus sama besar. Hal ini berarti ra = rb, maka dengan menggunakan persamaan 1
dan 2 diperoleh :
n 0 - n1 n -n
= 1 2 (3)
n 0 + n1 n1 + n 2
n1 = n 0 .n 2 (4)
Di sini seolah-olah bisa disimpulkan bahwa kondisi yang sempurna untuk lapisan
tunggal antirefleksi bahan pelapisnya adalah bahan yang memiliki indeks bias akar pangkat
Seminar Material Metalurgi 2010

dua bahan substrat.


Kedua, dua vector koefisien pantulan harus benar-benar berlawanan arah. Hal ini
diperoleh bila terjadi beda fasa sebesar 90 pada dua sinar pantulan tersebut. Hal ini dapat
diilustrasikan sebagai dua gelombang pantul R1 dan R2 yang berbeda fasa 90 seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3 [1].

176 |  ISSN : 2085 – 0492


Gambar 3. Perbedaan fasa sebesar 90 dua gelombang dengan amplitudo yang berlawanan menghasilkan
interferensi destruktif pada lapisan antirefleksi

Bila beda fasa sebesar 90 maka ketebalan optik dari lapisan adalah :
nd = 0/4 (5)
dengan 0 merupakan panjang gelombang referensi.

Ketebalan Fasa Lapisan Tipis ()


Ketebalan fasa,, menyatakan ketebalan lapisan secara optik dan dinyatakan dalam
satuan panjang gelombang [4]. Ketebalan fasa dipengaruhi oleh sudut jatuh cahaya dan
panjang gelombang. Secara matematis dinyatakan dengan persamaan berikut :
2π n d cosθ
δ= (6)
λ
dengan n adalah indeks bias lapisan,  adalah sudut jatuh cahaya dan  adalah panjang
gelombang.

Reflektansi Lapisan Tipis (R )


Reflektansi menyatakan jumlah energi cahaya yang dipantulkan oleh suatu lapisan [4].
Biasanya dibandingkan dengan energi awal dan dinyatakan dalam %. Dalam persamaan
matematis dinyatakan dengan : I = R + T + A + D dengan I adalah intensitas cahaya yang
datang (100%), T adalah intensitas cahaya yang ditransmisikan (diteruskan), R adalah
intensitas cahaya yang dipantulkan, A adalah intensitas cahaya yang diserap dan D adalah
intensitas cahaya yang difuse (terserak). A dipengaruhi oleh koefisien absorpsi gelas/material.
Sedangkan D dipengaruhi oleh kerataan permukaan.
Reflektansi lapisan tunggal suatu lapisan antirefleksi pada sudut jatuh normal
dinyatakan dengan persamaan berikut :
2
 n  
 n 0 - n 2  cos δ +   2  - n1  sin 2δ
2 2

R=   n1  
2 (7)
  n2  
 n 0  n 2  cos δ +     n1  sin δ
2 2 2
Seminar Material Metalurgi 2010

  n1  
dengan n0 indeks bias udara, n1 indeks bias lapisan, n2 indeks bias substrat dan  ketebalan
fasa.
Reflektansi sistem diatas pada panjang gelombang referensi adalah :
 n -Y 
R = 0  (8)
 n0 + Y 
n12
Y= (9)
n2

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 177
HASIL PERHITUNGAN DAN ANALISA
Perhitungan nilai reflektansi lapisan tipis antirefleksi yang terbuat dari lapisan tipis
MgF2 pada substrat gelas BK7 dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram alir perhitungan reflektansi lapisan tipis optik satu lapis
Ketebalan Fasa Lapisan Tipis
Untuk lapisan antirefleksi tunggal dengan sudut jatuh normal maka ketebalan lapisan
adalah 0/4 dengan 0 adalah panjang gelombang referensi. Dalam bentuk matematis
dinyatakan sebagai berikut :
λ
nd = 0 (10)
4
Bila persamaan 6 dan 10 digabung untuk sudut jatuh normal  = 0 maka akan diperoleh
persamaan berikut :
λ
δ = 90 . 0 (11)
λ
Persamaan 11 merupakan persamaan ketebalan fasa pada sudut jatuh normal dengan
ketebalan lapisan 0/4.
Setelah diketahui persamaan ketebalan fasa maka nilai ketebalan fasa lapisan, , untuk
tiap panjang gelombang dapat dihitung menggunakan persamaan 11 dengan rentang panjang
gelombang 300 – 700 nm. Nilai  untuk tiap panjang gelombang ditunjukkan pada Tabel 1.
Seminar Material Metalurgi 2010

Reflektansi Lapisan Tipis


Setelah nilai ketebalan fasa, , diketahui maka nilai reflektansi, R, dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan 4. Untuk indeks udara n0 = 1, maka persamaan 4 tersebut
menjadi :
2
 n  
1 - n 2  cos δ +   2  - n1  sin 2δ
2 2

R=   n1  
2 (12)
  n2  
1  n 2  cos δ +     n1  sin 2δ
2 2

  n1  

178 |  ISSN : 2085 – 0492


Dengan menggunakan persamaan 12 maka untuk panjang gelombang 300 – 700 nm,
nilai R dapat dihitung. Hasilnya adalah seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. Sedangkan
reflektansi dalam bentuk grafik ditunjukkan pada Gambar 5.

Tabel 2. Reflektansi (R) pada panjang gelombang () 300 – 700 nm

Panjang gelombang  Reflektansi R


(nm) (%)
300 4.06
325 3.96
350 3.72
375 2.63
400 2.21
425 1.87
450 1.62
475 1.45
500 1.34
525 1.28
550 1.26
575 1.27
600 1.31
625 1.37
650 1.44
675 1.51
700 1.60

4.50

4.00

3.50

3.00
Reflectansi (%)

2.50

2.00

1.50

1.00

0.50

0.00
Seminar Material Metalurgi 2010

300 325 350 375 400 425 450 475 500 525 550 575 600 625 650 675 700
Panjang Gelombang (nm)

Gambar 5. Grafik reflektansi (R) pada panjang gelombang () 300 – 700 nm
Dari grafik reflektansi (Gambar 5) terlihat bahwa kurva refleksi lapisan tipis
menyerupai huruf “U” dimana refleksi lapisan tipis lebih tinggi pada panjang gelombang 300
nm kemudian menurun hingga panjang gelombang 550 nm dan kemudian menaik lagi pada
panjang gelombang 550 - 700 nm. Hal ini terjadi karena rasio (0/) semakin mengecil pada

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 179
panjang gelombang 300 – 550 nm. Sedangkan pada panjang gelombang 550 – 700 nm rasio
tersebut semakin membesar sehingga reflektansi pada sudut normal meningkat.
Pada Gambar 2 terlihat bahwa reflektansi menurun pada panjang gelombang 300 –
550 nm dan kemudian meningkat pada panjang gelombang 550 – 700 nm. Pada 300 – 550 nm
rentang nilai reflektansi adalah 1.26 – 4.06%, sedangkan 550 – 700 nm rentang reflektansi
adalah 1.26 – 1.60%. Hal ini menunjukkan secara umum lapisan antirefleksi bekerja lebih
efektif pada panjang gelombang 550 - 700 nm dibandingkan dengan pada panjang gelombang
300 – 550 nm.
Nilai reflektansi R ini adalah nilai untuk sudut jatuh normal. Untuk sudut jatuh selain
sudut normal maka perlu dihitung nilai  dengan menggunakan Hukum Snellius n1 sin 1 = nr
sin r dengan n1 adalah indeks medium sudut jatuh, nr adalah indeks medium ke-r, 1 adalah
sudut jatuh, dan r adalah sudut bias pada medium ke-r.
Terlihat pada Gambar 5 bahwa untuk panjang gelombang tampak (400 – 700 nm),
nilai reflektansi teoritis tertinggi adalah 2.21% pada panjang gelombang 400 nm. Hal ini
menunjukkan material MgF2 cukup baik untuk digunakan sebagai material lapisan antirefleksi
dimana nilai reflektansi dalam daerah panjang gelombang tampak cukup rendah.

Pengaruh Sudut Jatuh Terhadap Reflektansi Lapisan


Dalam perancangan ini dilakukan perhitungan reflektansi untuk sudut jatuh selain
sudut jatuh normal. Ketebalan fasa lapisan tipis  secara matematis dinyatakan dengan
persamaan berikut :
2π n d cos θ r
δ= (13)
λ
dengan n adalah indeks bias material, d adalah ketebalan fisik lapisan, r adalah sudut jatuh
cahaya, dan  adalah panjang gelombang cahaya.
Untuk kasus sudut jatuh selain 0, sudut jatuh r dapat dihitung menggunakan
persamaan Snellius :
n0 sin 0 = nr sin r (14)
dengan n0 adalah indeks bias sinar datang, 0 adalah sudut jatuh, nr adalah indeks bias lapisan
dan r adalah sudut jatuh sinar pada lapisan antirefleksi.
Dengan menggunakan persamaan 12 maka untuk panjang gelombang 300 – 700 nm,
nilai R dapat dihitung. Hasilnya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 6. Reflektansi teoritis lapisan antirefleksi satu lapis MgF2 pada berbagai sudut jatuh

180 |  ISSN : 2085 – 0492


Pada Gambar 6 terlihat bahwa lapisan antirefleksi bekerja efektif hingga sudut jatuh
40. Pada daerah sudut jatuh ini reflektansi lapisan dibawah 5% dan lebih besar dari sudut
jatuh 40 maka terlihat reflektansinya semakin besar. Sebagai catatan, dalam aplikasi system
optik secara umum hampir tidak ada sistem optik yang mempunyai sudut jatuh (datang) diatas
30.

Pengaruh Pergeseran Panjang Gelombang Referensi Terhadap Reflektansi Lapisan


Dalam perancangan ini dilakukan perhitungan untuk panjang gelombang referensi (0)
yang berbeda-beda untuk melihat pengaruhnya terhadap reflektansi lapisan pada sudut jatuh
normal. Adapun panjang gelombang referensi yang dipilih adalah panjang gelombang 450 –
700 nm. Persamaan yang digunakan untuk perhitungan ini adalah persamaan 11 dan 12.
Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 7.
4.5
4
5
4
0
5
3.5 0
0
5
3 5
0
Reflektansi (%)

2.5

1.5

0.5

0
300 325 350 375 400 425 450 475 500 525 550 575 600 625 650 675 700
Panjang gelombang (nm)

Gambar 7. Grafik reflektansi lapisan terhadap panjang gelombang 300 – 700 nm pada panjang gelombang
referensi 450 – 700 nm

Dari Gambar 7 terlihat bahwa reflektansi lapisan meningkat seiring peningkatan


panjang gelombang referensi pada daerah panjang gelombang 300 hingga panjang gelombang
referensi namun reflektansi menurun pada daerah panjang gelombang referensi hingga
panjang gelombang 700 nm. pada panjang gelombang 550 nm reflektansi meningkat pada
rentang panjang gelombang referensi 550 – 700 nm namun kemudian terjadi hal sebaliknya
pada rentang panjang gelombang 450 – 500 nm.

KESIMPULAN
Pada tulisan ini telah dilakukan pengkajian lapisan tipis antirefleksi satu lapis pada
substrat indeks rendah. Hasil pengkajian menunjukkan lapisan ini efektif bekerja pada daerah
gelombang tampak dengan reflektansi maksimal 2.21% untuk sudut jatuh normal. sedangkan
Seminar Material Metalurgi 2010

sudut jatuh efektif lapisan ini adalah hingga 40 dengan reflektansi lapisan dibawah 5%.
Sementara reflektansi lapisan meningkat seiring dengan peningkatan panjang gelombang
referensi pada daerah panjang gelombang 300 nm namun menurun pada daerah panjang
gelombang referensi hingga 700 nm.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementrian Pendidikan Nasional yang
memberikan dukungan dana dalam penelitian ini melalui program Riset Insentif Peneliti dan
Perekayasa 2009. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan di lab

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 181
optik dan fotometeri KIM LIPI atas segala bantuannya sehingga penelitian ini dapat
dilaksanakan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Wikipedia, 2009, Anti-reflective Coating, The Free Encyclopedia
(http://en.wikipedia.org/wiki/Anti-reflective_coating).
2. Dr. Rüdiger Paschotta, 2009, Anti-reflection Coatings, Encyclopedia of Laser Physics
and Technology (http://www.rp-photonics.com/anti_reflection_coatings.html).
3. L Holland, 1970, Vacuum Deposition of Thin Films, Chapman and Hall Ltd, London.
4. HA Macleod, 1969, Thin Film Optical filters, Adam Hilger Ltd, London.
5. JK Consulting, 2009, 1 Layer AR Coatings, Thin Film Design & Applications
(http://www.kruschwitz.com/1layer.htm).
Seminar Material Metalurgi 2010

182 |  ISSN : 2085 – 0492


KOMPONEN PISTON KENDARAAN BERMOTOR HASIL PROSES
TEMPA (PISTON FORGING)

Cahya Sutowo, Toni Bambang Romijarso


Staff Peneliti Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan PUSPIPTEK Serpong Tangerang 15314

Abstrak
Metode tempa (forging) dalam pembuatan komponen piston memberikan produk yang memiliki unjuk
kerja lebih baik dibandingkan piston yang dihasilkan melalui proses pengecoran (casting). Dimensi piston yang
dihasilkan dapat lebih terkontrol dan cacat produk seperti yang dihasikan melalui proses pengecoran dapat
dihindari.
Dilihat dari sisi material komponen hasil tempa mempunyai tingkat porositas yang lebih rendah hal ini
akan meningkatkan kekuatan dan kekerasannya. Sehingga secara keseluruhan unjuk kerja komponen hasil
tempa dalam hal ini piston menjadi lebih baik bila dibandingkan dengan unjuk kerja piston hasil pengecoran.
Selain menghasilkan produk dengan unjuk kerja yang lebih baik, metode tempa juga dapat mempercepat proses
produksi.
Pengujian telah dilakukan untuk membandingkan komponen piston hasil tempa dan piston hasil casting
meliputi analisa komposisi kimia, sifat mekanik dan struktur mikro. Komposisi kimia piston hasil tempa sesuai
dengan grade AA 4032 sedangkan piston hasil casting sesuai grade AC8A dan AC9A, massa jenis piston hasil
tempa relatif lebih besar sekitar 20%, nilai kekerasan piston hasil tempa 15 % lebih tinggi sehingga
memungkinkan piston di buat dengan massa persatuan piston lebih kecil. Hasil metalografi menunjukkan
struktur yang lebih padat akibat deformasi dan eutektik silikonyang lebih halus.

Kata Kunci : Aluminium paduan, piston forging, worakability, billet aluminium,

1. PENDAHULUAN
Piston, sebagai salah satu komponen utama kendaraan bermotor, mempunyai fungsi
yang sangat penting untuk menghasilkan kinerja kendaraan bermotor agar prima. Piston
mengubah atau mentransfer tekanan pembakaran yang menghasilkan gerak lurus (sliding)
selanjutnya melalui pena torak (piston pin), batang torak (connecting rod), dan poros engkol
(crank shaft), gerak lurus dari piston tersebut diubah menjadi gerak putar. Oleh karena itu,
piston harus tahan terhadap tekanan yang tinggi dan mampu bekerja dengan kecepatan tinggi.

Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar.1. Komponen Piston


Sebagian besar piston terbuat dari bahan paduan alumunium, walaupun pada kondisi
tertentu digunakan piston dari bahan besi tuang dan keramik. Bahan alumunium mempunyai
keunggulan yaitu ringan dan cepat mentransfer panas sehingga mesin dapat bekerja pada
putaran yang lebih tinggi. Sedangkan kelemahan piston yang terbuat dari bahan alumunium
adalah pemuaiannya cukup besar yang menyebabkan piston berubah bentuk. Salah satu usaha
yang dilakukan untuk mengatasai kelemahan adalah dengan cara membuat diameter bagian

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 183
atas piston lebih kecil dari pada bagian bawahnya, hal ini untuk mengantisipasi tingkat
pemuaian yang lebih tinggi pada bagian atas piston. Sehingga pada suhu kerja diameter
bagian atas dan bawah piston menjadi sama.
Kelemahan dari aspek manufaktur adalah sering terbentuknya penyusutan dan porositas
pada bagian kepala piston yang dapat berpengaruh terhadap pusat grafitasi. Hal ini akhirnya
akan menimbulkan getaran pada saat bekerja pada putaran tinggi. Cara lain untuk
menanggulangi kelemahan tersebut diatas adalah dengan dibuatnya piston melalui metode
ditempa yang dikenal dengan forged piston. Proses tempa dapat menghasilkan kualitas
material yang baik karena dapat menghindari adanya segregasi, inklusi akan tersebar dan
penyusutan dapat dihindari.
Piston tempa memiliki ketahanan yang tinggi dibanding piston konvensional, teknologi
Forged Piston adalah teknologi motor balap yang sekarang sudah mulai diaplikasikan ke
moped, teknologi ini baru dimiliki oleh satu dari beberapa produsen motor dari Jepang.
Produk kendaraan bermotor yang menggunakan forged piston sudah ada akan tetapi
komponen forged piston masih diimpor, perkembangan di Indonesia belum ada dan masih
sangat terbatas apabila ditinjau dari kemampuan industri dan litbang yang ada.
Keuntungannya menggunakan Forged Piston antara lain : tahan lama, tidak mudah aus,
suhu muai lebih tinggi, koefisien gesek lebih rendah, berat piston lebih ringan, menghasilkan
‘noise’ lebih kecil, mencegah terjadinya piston seizure (piston macet) dan biaya produksi
yang lebih efisiensi.

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Aluminium
Aluminium merupakan logam ringan mempunyai ketahanan korosi yang baik dan
hantaran listrik yang baik. Kekuatan mekanik aluminium meningkat dengan penambahan Cu,
Mg, Si, Mn, Zn, Ni dan sebagainya, secara satu persatu atau bersama-sama, memberikan juga
sifat-sifat yang baik lainnya seperti ketahanan korosi, ketahanan aus, koefisien pemuaian
rendah dan sebagainya. Material ini sangat banyak penggunaannya bukan saja untuk peralatan
rumah tangga tapi juga dipakai untuk keperluan material pesawat terbang, otomotif,
konstruksi dan sebagainya.
Aluminium pertama kali ditemukan oleh Sir Humphrey Davy pada tahun 1809 sebagai
suatu unsur dan pertama kali direduksi sebagai logam oleh H. C. Oersted pada tahun 1825.
Secara Industri tahun 1886, Paul Heroul di Prancis dan C. M. Hall di Amerika Serikat secara
terpisah telah memperoleh logam aluminium dari alumina dengan cara elektrolisa dari garam
yang terfusi.
Aluminium merupakan unsur metalik paling melimpah dibumi, sekitar 8 % selalu
muncul dalam bentuk senyawa. Bijih aluminium dikenal sebagai bouksit, yang sebenarnya
adalah hidrataluminium oksida (Al2O3H2O). Aluminium dapat diolah melalui beberapa
tahapan seperti : proses penambangan, proses pemurnian, proses peleburan dan proses
fabrikasi.
Proses penambangan biasanya dilakukan pada tempat terbuka, setelah ditambang, biji
bouksit digiling sehingga diperoleh hasil yang lebih halus dan merata dan kemudian
dilakukan proses pemurnian yang dikenal dengan proses Bayer, dimana bouksit yang halus
Seminar Material Metalurgi 2010

tadi diubah menjadi alumina (Al2O3).


Proses selanjutnya adalah proses reduksi secara elektrolisa yang bertujuan untuk
memisahkan aluminium dengan oksigen. Proses ini disebut dengan proses proses hall heroult,
dimana alumina dilarutkan dengan larutan kimia yang disebut juga kreolit dalam sebuah
tungku reduksi berdinding karbon tempat terjadinya elektrolisa.Hasil peleburan biasanya
berupa aluminium ingot berkadar 99,95% dan sebagian dari aluminium ini oleh industri
peleburan diproses lanjut menjadi aluminium paduan dengan pemaduan logam lain seperti :
tembaga, magnesium, mangan, silikon, seng, timah, dan lain-lain.

184 |  ISSN : 2085 – 0492


2.2. Karakteristik Aluminium
Penggunaan logam aluminium semakin meluas dikarenakan aluminium mempunyai
sifat-sifat yang sangat baik dan bila dipadu dengan logam lain bisa mendapatkan sifat - sifat
yang tidak bisa ditemui pada logam lain. Sifat-sifat aluminium antara lain : ringan, tahan
korosi, penghantar panas dan listrik yang baik. Berat jenisnya hanya 2,7 sehingga walaupun
kekuatannya rendah tetapi strength to weight rationya masih lebih tinggi daripada baja,
sehingga banyak digunakan pada konstruksi yang menuntut sifat ringan.
Sifat tahan korosi pada aluminium diperoleh karena terbentuknya lapisan oksid
aluminium pada permukaaan aluminium. Lapisan tersebut melekat pada permukaan dengan
kuat dan rapat serta sangat stabil sehingga melindungi bagian yang lebih dalam, akan tetapi di
lain pihak menyebabkan aluminium menjadi sukar dilas dan disoldier (titik leburnya lebih
dari 2000 OC).
Aluminium komersial selalu mengandung beberapa impurity (0,8%), biasanya besi,
silikon, tembaga dan lain-lain. Adanya impurityini bisa menurunkan sifat hantar listrik dan
sifat tahan korosi tetapi juga akan menaikkan kekuatannya hampir dua kali lipat dari
aluminium murni. Kekuatan dan kekerasan aluminium memang tidak terlalu tinggi, tetapi
dapat diperbaiki dengan pemaduan dan heat treatment. Keburukan yang paling serius dilihat
dari segi teknik adalah sifat elastisitasnya yang sangat rendah, hampir tidak dapat diperbaiki
baik dengan pemaduan maupun dengan heat treatment. Sifat lain yang menguntungkan pada
aluminium adalah sangat mudah difabrikasi, dapat dituang dengan cara penuangan apapun,
dapat deforming dengan berbagai cara seperti rolling, stamping, drawing, forging, ekstruding.

2.4. Paduan aluminium


Paduan Al-Si merupakan paduan aluminium yang banyak digunakan dalam komponen
otomotif, terutama untuk piston. Karena paduan ini memiliki daya tahan terhadap korosi dan
abrasi, koefisien pemuaian yang rendah, dan juga mempunyai kekatan yang tinggi

2.5. Proses Pelaburan aluminium


Pada proses peleburan digunakan dapur krusibel, selama proses peleburan, material Al
yang digunakan dilakukan proses pre-heating. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan
moisture pada permukaan material untuk menghindari pembentukan gas dan melarut dalam
logam cair yang dapat menyebabkan cacat gas. Setelah proses pre-heating maka material
logam dimasukkan kedalam tungku dan dibiarkan melebur dengan tahapan berikut :
a. Alloying
Pada proses pengecoran selain bertujuan menghasilkan produk yang sesuai dengan
dimensi juga dibutuhkan nilai sifat mekanis material yang sesuai. Pemberian material
tambahan (alloying) bertujuan untuk meningkatkan sifat mekanis dari material.
b. Degassing
Pada temperatur tinggi gas hidrogen akan cenderung berdifusi kedalam logam cair. Gas-
gas hidrogen ini harus dikeluarkan dari Aluminium cair karena akan menyebabkan
terjadinya cacat pada benda cor. Proses pengeluaran gas ini disebut proses degassing.
Umumnya degasser yang digunakan adalah dalam bentuk tablet atau gas (gas argon dan
gas nitrogen).
Seminar Material Metalurgi 2010

c. Cover Flux
Setelah proses degasser selesai dilanjutkan dengan proses pemberian flux. Proses
pemberian flux bertujuan untuk menutupi atau covering permukaan logam Aluminium
cair agar terhindar dari masuknya gas hidrogen kedalam logam aluminium. Pemberian
flux dilakukan pada saat mulai pencairan aluiminium dengan cara menaburkan flux pada
permukaan Aluminium cair.
Selanjutnya logam cair tersebut dituang sesuai dengan tujuan peleburannya apakah
dijadikan ingot, billet atau benda tuangan.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 185
2.3. Unsur Paduan Aluminium Bahan Baku Piston
Paduan Al-Si merupakan paduan aluminium yang banyak digunakan dalam komponen
otomotif, terutama untuk piston. Karena paduan ini memiliki daya tahan terhadap korosi dan
abrasi, koefisien pemuaian yang rendah, dan juga mempunyai kekatan yang tinggi.
Aluminium murni terlalu lunak dan kekuatannya sangat rendah untuk dapat digunakan pada
bidang teknik. Sifat tersebut dapat diperbaiki dengan pemaduan unsur – unsur lainya, antara
lain :
a. Silikon (Si), mempunyai ketahanan terhadap korosi. Bila ditambahkan pada logam
aluminium akan mempunyai kekuatan yang tinggi setelah perlakuan panas, tetapi
silikon mempunyai kualitas pengerjaan mesin yang jelek, selain itu juga mempunyai
ketahanan koefisien panas yang rendah.
b. Tembaga (Cu), meningkatkan kekerasannya dan kekuatannya karena tembaga bisa
memperhalus struktur butir dan akan mempunyai kualitas pengerjaan mesin yang baik,
mampu tempa, keuletan yang baik dan mudah dibentuk.
c. Magnesium (Mg), mempunyai ketahanan korosi yang baik dan kualitas pengerjaan
mesin yang baik, mampu las serta kekuatannya cukup, Unsur Mg bersama dengan Si
membentuk fasa Mg2Si merupakan fasa yang dapat meningkatkan kekerasan dan
kekuatan.
d. Nikel (Ni), meningkatkan ketahanan pada temperatur tinggi dan mengurangi ekspansi
panas, misalnya piston dan silinder head untuk motor.
e. Mangan (Mn), meningkatkan mampu bentuk, tahan korosi baik, sifat dan mampu
lasnya baik.
f. Seng (Zn), meningkatkan sifat-sifat mekanik pada perlakuan panas, juga kemampuan
mesin.
g. Besi (Fe), dapat mengurangi penyusutan, tapi penambahan Fe yang besar akan
menyebabkan struktur mengalami perubahan butir yang kasar, namun hal ini dapat
diperbaiki dengan Mg atau Cr.
h. Titanium (Ti), untuk mendapat struktur butir yang halus. Biasanya penambahan
bersama-sama dengan Cr dalam prosentase 0,1%, titanium juga dapat meningkatkan
mampu mesin.

Standar material sebagai acuan adalah standar material aluminium paduan hasil casting dan
untuk aplikasi forging.
- Grade Standar AC8A : Si=11-13 , Fe=0.8 maks, Cu=0.8–1.3, Mn=0.15 maks,
Mg=0.7-1.3, Zn=0.15 maks, Ti=0,2 maks, Cr=0.10 maks, Ni=0,8–1,5, Pb=0.05 maks,
Sn=0.05 maks.
- Grade Standar AC9A : Si=22-24 , Fe=0.8 maks, Cu=0.5–1.5, Mn=0.15 maks,
Mg=0.5-1.5, Zn=0.2 maks, Ti=0,2 maks, Cr=0.10 maks, Ni=0,5–1,5, Pb=0.1 maks,
Sn=0.1 maks
- Grade Standar AA 4032 : Si=11-13.5, Fe=1.0 maks, Cu=0.5–1.3, Mg=0.8-1.3,
Zn=0.25 maks, Cr=0.10 maks, Ni=0,5–1,3, 0.05 maks unsur lainnya.
Paduan aluminium grade standar AA 4032 memiliki batasan temperatur sebagai
berikut :
Seminar Material Metalurgi 2010

 Solid solution temperature : 516C


 Aging temperature : 174C
 Annealing temperature : 413C
 Liquidus temperature : 571C

186 |  ISSN : 2085 – 0492


Gambar 2. Diagram Fasa Biner Al-Si
3. METODOLOGI PENELITIAN
Tahapan kegiatan penelitian atau metodologi pengumpulan data dan pengamatan yang
dilakukan adalah survey lapangan dan karakterisasi komponen piston hasil tempa (forging)
dan hasil peleburan (casting), diagram alir tahapan penelitian sebagaimana pada Gambar 1.
berikut ini :
Mulai

Survey

Pengumpulan data
Piston Casting Piston Forging

Pengujian

Uji Komposisi Uji Densitas Uji Kekerasan Metalografi

Data & pembahasan


Seminar Material Metalurgi 2010

Kesimpulan

Selesai

Gambar 1. Diagram alir tahapan penelitian

3.1. Survey Lapangan.


Survey lapangan dilakukan pada perusahaan manufakturing piston dan distributor
penjualan komponen piston baik komponen piston konvensional maupun forged piston.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 187
3.2 Karakterisasi
Karakterisasi dilakukan pada beberapa produk piston hasil pengecoran dan penempaan
yang ada di pasaran meliputi uji komposisi kimia, uji dimensi, uji kekerasan dan metalografi,
sebagai berikut :
 Sampel 1 : Piston hasil forging, volume silinder 150 cc
 Sampel 2 : Piston hasil forging, volume silinder 135 cc
 Sampel 3 : Piston hasil casting, volume silinder 110 cc
 Sampel 4 : Piston hasil casting, volume silinder 135 cc

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Hasil survey Industri telah dilakukan pada perusahaan manufakturing piston
menggunakan die casting dimana hampir seluruh permintaan komponen piston dari merk
terkenal di suplai oleh perusahaan ini. Satu perusahaan otomotif terkenal di indonesia sudah
mulai menggunakan piston tempa pada beberapa tipe unit produknya, akan tetapi piston
tempa tersebut masih di impor dari negara lain.
Karakterisasi dilakukan pada beberapa produk piston hasil pengecoran (casting) dan
penempaan (forging) yang ada di pasaran, sebagai berikut :
 Sampel 1 : Piston hasil forging, volume 150 cc
 Sampel 2 : Piston hasil forging, volume 135 cc
 Sampel 3 : Piston hasil casting, volume 110 cc
 Sampel 4 : Piston hasil casting, volume 135 cc

(a)

(b)

(c)
Gambar 1. Foto Sampel Piston (a). tampak atas, (b). tampak bawah, (c) tampak depan.
Seminar Material Metalurgi 2010

Data hasil penimbangan dan pengukuran massa jenis sebagaimana pada tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Masa unit piston dan masa jenis piston


Masa piston Masa Jenis
No.
(gram) (gram/cc)
Sampel 1 77,72 2,53
Sampel 2 70,33 2,51
Sampel 3 84,53 2,15
Sampel 4 146,26 2,70

188 |  ISSN : 2085 – 0492


Data hasil pengujian komposisi kimia untuk kedua jenis produk piston sebagaimana tabel 2
dibawah ini :

Tabel 1. Komposisi Kimia Sampel Piston Hasil Forging

Kadar, Content, %
Unsur
Element grade AA40
Sampel 1 Sampel 2
32
Si 12.20563 11.82550 11-13.5
Fe 0.28818 0.30519 1.0 maks
Cu 4.36409 4.19208 0.5 – 1.3
Mn 0.05554 0.05571 -
Mg 0.61767 0.50337 0.8 – 1.3
Zn 0.04012 0.09223 0.25 maks
Ti 0.01121 0.01362 -
Cr 0.03197 0.04426 1.0 maks
Ni 0.03881 0.02893 0.5 – 1.3
Pb 0.00316 0.00271 -
Sn 0.00682 0.00711 -
Al 82.3368 82.9293 Bal.

Tabel 2. Komposisi Kimia Sampel Piston Hasil Casting


Kadar, Content, %
Unsur
Element STD STD
Sampel 3 Sampel 4
AC8A AC9A
Si 12.16493 11.0 – 13.0 23.48068 22 – 24
Fe 0.45296 0.8 maks 0.32773 0.8 maks
Cu 1.08463 0.8 – 1.3 0.89851 0.5 – 1.5
Mn 0.02105 0.15 maks 0.01883 0.5 maks
Mg 0.91935 0.7 – 1.3 0.95282 0.5 – 1.5
Zn 0.02806 0.15 maks 0.00776 0.2 maks
Ti 0.01747 0.2 maks 0.07624 0.2 maks
Cr 0.02246 0.10 maks 0.00492 0.10 maks
Ni 1.11954 0.8 – 1.5 0.77655 0.5 – 1.5
Pb 0.00344 0.05 maks 0.00239 0.10 maks
Sn 0.00223 0.05 maks 0.00614 0.10 maks
Al 84.1639 Bal. 73.3474 Bal.

Data hasil pengujian kekerasan untuk kedua jenis produk piston sebagaimana tabel 3 dibawah
ini :
Tabel 3. Harga Kekerasan Sampel Piston
Seminar Material Metalurgi 2010

Harga Kekerasan Brinell, HB 10


No Sampel Sampel Sampel Sampel
1 2 3 4
1. 158,2 162,2 142,3 142,3
2. 163,3 160,0 143,0 141,6
3. 155,5 159,1 141,6 141,6
Rata 2 159,0 160,4 142,3 141,8

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 189
Data hasil pengamatan metalografi untuk kedua jenis produk piston sebagaimana Gambar 2.

a.

b.

c.
Seminar Material Metalurgi 2010

d.
Gambar 2. Struktur Mikro (a, b) Casted Piston, (c,d) Forged Piston

190 |  ISSN : 2085 – 0492


5. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari Percobaan dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa :
 Pembuatan billet aluminium untuk aplikasi piston forging merupakan suatu peluang untuk
dapat dikembangkan di Indonesia mengingat teknologi pembuatan piston metode tempa
belum berkembang.

Saran.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan mempertimbangkan :
 Karakterisasi mampu bentuk dengan parameter yang lebih kompleks perlu dilakukan pada
penelitian selanjutnya.

Reff.
Studi Pembuatan Piston Berbasis Material Piston Bekas Yang Dikuatkan Dengan Penyisipan
Cast Iron, Suhardi; Suwachid; Budi H; Indah W
 

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 191
Seminar Material Metalurgi 2010

192 |  ISSN : 2085 – 0492


PROTOTIPE BILET ALUMINIUM UNTUK APLIKASI BAHAN BAKU
KOMPONEN OTOMOTIF METODE TEMPA

Cahya Sutowo, Fatayalkadri Citrawati, Bintang Adjiantoro


Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan PUSPIPTEK Serpong Tangerang 15314

Abstrak
Komponen otomotif selain rangka ataupun body mobil dewasa ini juga mulai menggunakan material
yang kuat namun ringan terutama untuk komponen mesin. Komponen mesin seperti piston merupakan salah
komponen penting yang memerlukan pengembangan terutama mengenai penyiapan bahan baku.
Metode tempa (forging) dalam pembuatan komponen piston memberikan produk yang memiliki unjuk
kerja lebih baik dibandingkan piston yang dihasilkan melalui proses pengecoran (casting). Dimensi piston yang
dihasilkan dapat lebih terkontrol dan cacat produk seperti yang dihasikan melalui proses pengecoran dapat
dihindari. Ketahanan lelah piston hasil tempa terhadap suhu tinggi menjadi lebih baik, sehingga secara
keseluruhan unjuk kerjanya menjadi lebih baik bila dibandingkan dengan unjuk kerja piston hasil pengecoran.
Pembuatan billet alumunium dengan struktur columnar (tanpa pengontrolan pembekuan) dengan disain
proses dan komposisi disain dari grade standar material AA 4032. Karakterisasi billet hasil percobaan, meliputi
: analisa komposisi kimia, sifat mekanik, struktur mikro serta karakterisasi teknologi antara lain sifat
workability.
Prototipe billet hasil percobaan dengan grade standar AA4032 dengan kandungan silikon 11 – 13,5 %
dan nilai kekerasan rata – rata 108 HBN. Hasil pengujian workability menunjukkan sifat mampu forging akan
lebih baik apabila proses penempaan dilakukan pada temperatur diatas rekristalisasi yaitu pada range
temperatur 260 OC sehingga prototipe billet paduan aluminium ini dapat dilakukan dengan menggunakan
pengerjaan hot forging untuk aplikasi piston. Pada sampel temperatur 315 OC, nilai kekerasan tidak mengalami
kenaikan signifikan setelah dilakukan penempaan hal ini karena telah terjadinya pertumbuhan butir.

Kata Kunci : Aluminium paduan, piston forging, workability, billet aluminium,

1. PENDAHULUAN
Piston atau torak serta ada pula yang menyebutnya “seher”, adalah komponen mesin
untuk mengubah atau mentransfer tekanan pembakaran yang menjadi gerak lurus (sliding)
yang selanjutnya dengan perantaraan pena torak (piston pin), batang torak (connecting rod),
dan poros engkol (crank shaft), gerak lurus dari piston tersebut diubah menjadi gerak putar.
Oleh karena itu, torak/piston harus tahan terhadap tekanan yang tinggi, dan mampu
bekerja dengan kecepatan tinggi yaitu 24.000 kali pada putaran mesin 12.000 rpm, atau 400
kali gerak turun naik per detik. Sebagian besar piston terbuat dari bahan paduan alumunium,
walaupun pada kondisi tertentu digunakan torak dari bahan besi tuang dan keramik. Bahan
alumunium mempunyai keunggulan ringan dan cepat mentransfer panas. Karena ringan maka
mesin dapat bekerja pada putaran yang lebih tinggi.
Keuntungan lainnya dari alumunium adalah memungkinkan mesin bekerja dengan suhu
mesin yang lebih rendah daripada dengan piston dari besi tuang, sehingga mengurangi
kemungkinan terjadinya penumpukan kerak karbon di bawah permukaan piston (karena
Seminar Material Metalurgi 2010

kerusakan minyak pelumas serta panas) atau pada ring toraknya.


Kelemahan utama torak yang terbuat dari bahan alumunium adalah pemuaiannya cukup
besar yang menyebabkan torak berubah bentuk. Meskipun demikian, banyak usaha dilakukan
untuk mengatasai kelemahan ini salah satunya adalah dengan cara membuat bagian atas torak
lebih kecil dari pada bagian bawahnya, agar saat piston telah mencapai suhu kerja, maka
bagian yang lebih kecil tersebut akan memuai sehingga bagian atas dan bawah dari piston
menjadi sama. Kelemahan dari aspek manufaktur adalah sering terbentuknya penyusutan dan
porositas pada bagian kepala piston yang dapat berpengaruh terhadap pusat grafitasi. Hal ini
akhirnya akan menimbulkan getaran pada saat bekerja pada putaran tinggi

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 193
Untuk menghasil piston yang memiliki kualitas tinggi diperlukan proses tempa sesuai
dengan material yang akan dikembangkan. Proses tempa dapat menghasilkan kualitas material
yang baik karena dapat menghindari adanya segregasi, inklusi akan tersebar dan penyusutan
dapat dihindari.
Pengembangan bahan piston lebih banyak diarahkaan pada paduan Al-Si mengingat
paduan Al-Si memliki beberapa keunggulan, yaitu : Mempunyai berat jenis yang rendah
(ringan), koefisien pemuaian termal dari unsur silikon sangat rendah. Beberapa contoh
pengembangan bahan piston yang menggunakan paduan Al-Si Tinggi adalah sebagai berikut :
 Alumunium Forging : AA 4032
 Paduan Al-Si (Si 12%) dengan penambahan unsur paduan sebagai penguat presipitasi
Mg-Cu-Ni.
 Pengembangan selanjutnya dengan penambahan Si – hipereutektik, yaitu : AFP 20
(Al-20Si-5Fe-1Cu-0,5Mg-1Zr)
.
Bahan baku untuk pembuatan material dasar ini adalah terdiri atas ingot aluminium
murni dan logam paduan seperti paduan Al-Si, logam paduan Al-Mg, logam tembaga (Cu)
dan logam Nikel (Ni). Setelah dilakukan perhitungan material balance dan penimbangan
kemudian dilakukan peleburan dengan menggunakan tungku listrik Muffle, pembuatan billet
aluminium ini dilakukan tanpa pengontrolan pendinginan. Untuk target komposisi silikon 11
– 13,5 % sesuai grade standar AA 4032 dengan temperatur cair 571 OC, temperatur
penuangan (casting temperature) 675 – 788 OC. Penuangan dilakukan pada beberapa cetakan
(dies) yaitu cetakan billet.
Survey Lapangan

Pengumpulan data

Desain & Pembuatan Billet


Aluminium

Pembuatan Billet

Percobaan & Karakterisasi

Data & pembahasan

Paket Data Hasil

Gambar 1. Diagram alir tahapan penelitian


2. METODOLOGI PENELITIAN
Tahapan kegiatan penelitian atau metodologi pengumpulan data dan pengamatan yang
Seminar Material Metalurgi 2010

telah dilaksanakan : Studi literatur dan survey dalam rangka mencari data pendukung kegiatan
meliputi Industri otomotif khususnya mengenai fabrikasi piston yang ada di Indonesia dan
teknologi forging serta industri pembuat billet aluminium yang berkembang dewasa ini.
Karakterisasi produk piston hasil tempa dan peleburan, meliputi analisa komposisi
kimia, sifat mekanik dan struktur mikro. Karakterisasi billet impor tidak dilakukan karena
kesulitan untuk mendapatkan produk billet tersebut.Percobaan (experimen), dengan disain
proses dan komposisi disain dari standar dasar material yang akan digunakan AA 4032 .
Pembuatan bilet alumunium AA 4032 dengan struktur columnar (tanpa pengontrolan
pembekuan).

194 |  ISSN : 2085 – 0492


Karakterisasi billet hasil percobaan, meliputi : analisa komposisi kimia, sifat mekanik
serta struktur mikro serta karakterisasi teknologi antara lain sifat workability. Diagram alir
tahapan penelitian sebagaimana pada Gambar 1.
2.1. Proses Pengujian dan Karakterisasi
Pengujian dilakukan untuk mengkarakterisasi work ability, struktur mikro, sifat
mekanik dan struktur mikro billet aluminium yang dihasilkan. Pengujian Workability dengan
melakukan deformasi compressive melalui penempaan seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Work ability test (forging test)


2.2. Forging Test (Wedge Forging Test)
Pengujian tempa dengan menggunakan specimen berbentuk baji atau pasak merupakan
pengujian bertingkat dimana derajat deformasinya bervariasi dari besar pada bagian yang
tebal (h2) ke kecil atau tidak ada deformasi sama sekali pada bagian yang tipis (h1). Sampel
uji yang digunakan beserta ukuran-ukurannya ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Dimensi Sampel Forging Test (Wedge Forging Test)

Temperatur deformasi yang digunakan: temperatur ruang (27C), 300 F (149C), 400 F
(204C), 500 F (260C) dan 600 F (315C). Pemanasan dengan ditahan (holding time) selama
1 jam kemudian di lakukan penempaan (forging) dengan mesin forging kapasitas maksimum
160 ton dan kecepatan 0.086 m/s.

3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Prototipe billet aluminium hasil peleburan tanpa kontrol pendinginan sesuai dengan
grade standar AA 4032 dengan paduan Si = 11 – 13,5 % berat sesuai tabel 1. Sedangkan
harga kekerasan rata – rata 108 HBN.

Tabel 1. Hasil Pengujian Komposisi Kimia Produk Billet Aluminium.


Seminar Material Metalurgi 2010

Kadar, Content, %
Element
Sampel A Grade Std. AA4032
Si 11,25689 11-13,5
Fe 0,36951 1,0 maks
Cu 1,04442 0,5 – 1,3
Mg 1,31278 0,8 - 1,3
Zn 0,10357 0,25 maks
Cr 0,01280 0,10 maks
Ni 1,06943 0,5 – 1,3

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 195
Gambar 4. Produk Prototipe billet yang di hasilkan
Hasil pengujian workability dengan melakukan deformasi compressive melalui
penempaan (forging).

3.1. Hasil Forging Test (Wedge Forging Test)


Penempaan pada temperatur ruang dan 149 OC menyebabkan terjadinya keretakan,
sedangkan sampel hasil tempa pada temperatur 204 OC, 260 OC dan 315 OC tidak terjadi
keretakan yang signifikan. Dari hasil penempaan menunjukkan bahwa proses forging dapat
dilakukan pada temperatur 204 OC, 260 OC dan 315 OC, ketiga temperatur tersebut diatas
temperatur rekristalisasinya.

Gambar 5. Sampel hasil tempa (kiri ke kanan) pada temperatur ruang, temperatur 149°C, 204°C, 260°C, 315°C.

Gambar 6. Sampel yang telah diforging dibagi menjadi 2 bagian


Dimana :
No. 1 / h1 adalah reduksi kecil sampai 0 %
No. 2 adalah reduksi sekitar <30 %
No. 3 adalah reduksi sekitar 30 - 50 %
No. 4 adalah reduksi sekitar 50 - 60 %
Seminar Material Metalurgi 2010

No. 5 adalah reduksi sekitar 60 - 67 %


No. 6 adalah reduksi sekitar <67 %
No. 7 adalah reduksi mengecil

196 |  ISSN : 2085 – 0492


Gambar 7. Grafik hubungan antara kekerasan terhadap jarak atau reduksi
Pengujian kekerasan dilakukan setelah penempaan, Grafik pengaluran kekerasan untuk
masing-masing sampel pada temperatur yang berbeda ditunjukkan oleh Gambar 7. Dari
pengaluran ini, terlihat bahwa nilai kekerasan pada bagian reduksi kecil (h1) maupun bagian
reduksi besar memiliki nilai optimum pada temperatur tertentu. Secara lebih jelas pengaluran
antara kekerasan dengan temperatur uji yang digunakan sebagai parameter dapat dilihat pada
Gambar 8. Nilai kekerasan tertinggi diperoleh pada saat sampel dipanaskan pada suhu 149 C
selama 1 jam untuk kemudian dilakukan penempaan. Selanjutnya nilai kekerasan menurun
seiring dengan naiknya temperatur uji yang digunakan.

Gambar 8. Grafiks Hubungan antara harga kekerasan terhadap temperatur forging


. Dari hasil metalografi pada Gambar 9, terlihat bahwa sampel uji pertama (temperatur
Seminar Material Metalurgi 2010

ruang 27 OC) dan sampel uji kedua (149 OC) belum memperlihatkan perbedaan struktur mikro
yang signifikan. Naiknya nilai kekerasan pada sampel uji kedua merupakan efek penguatan
regangan dari proses penempaan. Pada sampel uji kedua, prosentase reduksi kecil (h1) adalah
sebesar 14%, sedangkan pada sampel uji pertama besarnya 8%.
Pada sampel uji yang ketiga, yaitu pada temperatur 204ºC, terlihat banyaknya dendrite
Si semakin berkurang jika dibandingkan dengan sampel uji pada temperatur 149°C. Meskipun
prosentase reduksinya lebih tinggi, yaitu sebesar 27%, tetapi berkurangnya dendrit Si ini lebih
mempengaruhi kekerasan sampel, sehingga nilai kekerasan menjadi berkurang. Selanjutnya,
semakin tinggi temperatur uji yang digunakan semakin berkurang kekerasan dari sampel,
dikarenakan semakin besarnya fasa  Al

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 197
(a) (b) (c)
(a) 27°C

(a) (b) (c)


(b) 149°C

(a) (b) (c)


(c) 204°C

(a) (b) (c)


(d) 260°C

(a) (b) (c)


(e) 315°C
Gambar 10. Struktur mikro sampel uji workability
3.2. Hasil Uji Kekerasan.
Data hasil pengujian kekerasan menunjukkan bahwa sampel billet yang dihasilkan
dengan nilai kekerasan rata – rata 108 BHN. Nilai kekerasan pada sampel hasil test
penekanan. Sedangkan nilai kekerasan setelah penempaan sebagaimana Tabel 2.
Tabel 2. Harga Kekerasan Sampel Hasil Forging Test
Seminar Material Metalurgi 2010

Harga Kekerasan Brinell HB 10


No Sampel Temp. Sampel Temp. Sampel Temp. Sampel Temp. Sampel Temp.
Ruang 149 OC 204 OC 260 OC 315 OC
1. 100,8 140,2 117,6 118,0 104,4
2. 108,0 151,0 121,0 122,5 92,0
3. 117,6 169,9 118,4 122,0 107,1
4. 121,0 160,0 110,4 125,0 105,6
5. 151,0 164,4 133,0 124,5 99,3
6. 150,2 159,1 122,0 123,5 108,8
7. 117,6 138,1 128,5 123,0 104,1

198 |  ISSN : 2085 – 0492


4. KESIMPULAN
Dari Percobaan dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa :
 Pembuatan billet aluminium untuk aplikasi piston forging merupakan suatu peluang untuk
dapat dikembangkan di Indonesia mengingat teknologi pembuatan piston metode tempa
belum berkembang.
 Pembuatan prototipe billet hasil percobaan sudah bisa dilakukan dengan grade standar
AA4032 dengan kandungan silikon 11 – 13,5 % dan nilai kekerasan rata – rata 108 HBN.
 Hasil pengujian workability menunjukkan sifat mampu forging akan lebih baik apabila
proses penempaan dilakukan pada temperatur diatas rekristalisasi yaitu pada range
temperatur 260 OC sehingga prototipe billet paduan aluminium ini dapat dilakukan dengan
menggunakan pengerjaan hot forging untuk aplikasi piston.
 Pada sampel temperatur 315 OC, nilai kekerasan tidak mengalami kenaikan signifikan
setelah dilakukan penempaan hal ini karena telah terjadinya pertumbuhan butir.

Referensi
1. _______, Aluminum and Aluminum Alloys, ASM Specialty Annual Book of ASTM
Standards 3, 1994
2. _______, Properties and Selection Nonferrous Alloys and Special Purpose Material,
Vol.2, ASM Hand Book, USA: ASM International, 1990
3. George E. Dieter, Bulk Workability Testing.
4. John E Gruzleski, The Treatment of Liquid Aluminium Silicon Alloys, American
Foundrymen’s Society, Inc, USA, 1990

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 199
Seminar Material Metalurgi 2010

200 |  ISSN : 2085 – 0492


PENGARUH PENAMBAHAN LIMBAH PLASTIK SEBAGAI
CAMPURAN DALAM PEMBUATAN BRIKET BATUBARA

David Candra Birawidha, Yayat Iman Supriyatna, Kusno Isnugroho


UPT. Balai Pengolahan Mineral Lampung, LIPI*
Jl. Ir. Sutami Km 15, Tanjung Bintang, Lampung
Telp. 0721-350054 Fax. 0721-350056
cb_r500@yahoo.com

Abstrak
Sampah atau limbah merupakan bagian dari kehidupan kita sehari – hari. Agar tidak menjadi masalah
di masa depan, diperlukan proses daur ulang menjadi barang atau produk yang dapat digunakan kembali. Salah
satu contohnya adalah sampah plastik. Plastik sendiri sudah menjadi bagian yang sukar dipisahkan dari
berbagai aktifitas manusia. Plastik sudah banyak digunakan dan dimanfaatkan menjadi alat atau produk yang
banyak membantu aktifitas manusia. Tetapi setelah habis masa pakainya biasanya akan menjadi sampah, salah
satu yang banyak ditemui adalah plastik pembungkus dimana rata – rata merupakan jenis polyethylene dan
HDPE. Dalam penelitian ini dilakukan pemanfaatan sampah plastik khususnya sampah plastik kemasan (kresek)
dimana sangat banyak sekali ditemui dalam kehidupan sehari hari, dimana akan digunakan sebagai bahan
campuran dalam pembuatan briket batubara. Briket dilakukan dengan cara mencairkan sampah plastik yang
telah dibersihkan pada temperatur 150°C - 200°C kemudian dicampur dengan serbuk batubara dan dicetak
pada cetakan tanpa menggunakan tekanan. Metode tersebut dilakukan sebanyak 4 kali dengan komposisi plastik
yang bervariasi yaitu 20%, 30%, 40% dan 50%. Dari hasil analisa proksimat didapatkan bahwa seiring
penambahan komposisi plastic terjadi penurunan persentase fixed carbon. Memang plastik merupakan sintesa
dari produk minyak akan tetapi dalam kandungan plastik juga terdapat senyawa lain yang dapat mengurangi
persentase FC dalam briket. Dengan meningkatnya pertambahan plastik juga membuat briket lebih resistan
terhadap uap air yaitu dengan ditandai semakin menurunnya persentase moisture. Hal ini memberikan
keuntungan dalam proses penyimpanan khususnya saat lingkungan dalam kondisi kelembaban yang tinggi.
Selain itu terdapat peningkatan jumlah persentase volatile matter seiring penambahan komposisi plastik. Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin banyak kandungan plastik dalam briket, semakin mudah briket untuk terbakar.
Selain itu berdasarkan pengujian ketangguhan dalam menerima beban, seiring dengan penambahan plastik
menjadi menurun kekuatannya. Penambahan plastik 20% mempunyai kemampuan breaking strength yang
paling tinggi dari pada yang lain. Akan tetapi, melihat kadar abu yang dimiliki pada penambahan 20% plastik,
penurunan yang terjadi hanya sedikit jika dibandingkan dengan kadar abu batubara sebagai material utamanya
yaitu sebesar 20,09% menjadi 19,82%, oleh karena itu untuk penambahan plastik sekitar 30% dapat menjadi
pilihan utama dengan kadar abu 15,26% dan breking strength 68,8 Kg/cm2.

Kata kunci : briket , batubara, limbah plastik, campuran, pemanfaatan

Abstract
Municipial waste are part of our daily activity. In the future, if this municial waste doesnt want to
become a problem, it must be processing to become reuse product or by product. For example of this municipial
waste that we always see is plastic bag. Plastic itself is difficult to be apart from human activity. Most of them is
use plastic to help their work. But if plastic is run out of usefullines, plastic can become waste and if not be
processing, it very annoying. One of plastic waste were always see is polyethylene and HDPE (high density
polyethylene). So in this research, we will use plastic waste especially plastic bag for addition material in the
Seminar Material Metalurgi 2010

coal briquette. Briquette are made with melting plastic in temperature 150°C - 200°C then mix with fine coal
and molded without pressure in simple dies. We use this method four times with variation composition there are
20%, 30%, 40% and 50% of addition plastic waste. From analyze proximate data, with increasing of addition
plastic waste to briquette, for fixed carbons have decreased percentage. For fact plastic is an oil extract, but in
plastic composition have another compound that can reduce fixed carbon percentage. With increasing of plastic
addition, briquette is more resistant to water humidity and have higher volatile matter. With this, briquette has a
benefit for storage process and easier in ignition process. For toughness test, with increasing of plastic addition,
briquette is more fragile to take a load. For addition 20% of plastic waste, it has highest breaking strength
ability. But if we look for ash value, addition 20% of plastic waste only can reduce the ash value of coal for main
composition of coal briquette there is 20,09% become 19,82%. So with addition 30% of plastic waste can be
main option because it have ash value 15, 26% and breaking strength value of 68, 8 Kg/cm2.
Keywords : briquette, coal, plastic waste, mixing, utility

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 201
PENDAHULUAN
Sampah atau limbah merupakan bagian dari kehidupan kita sehari – hari. Agar tidak
menjadi masalah di masa depan, diperlukan proses daur ulang menjadi barang atau produk
yang dapat digunakan kembali. Salah satu contohnya adalah sampah plastik. Plastik sendiri
sudah menjadi bagian yang sukar dipisahkan dari berbagai aktifitas manusia. Plastik sudah
banyak digunakan dan dimanfaatkan menjadi alat atau produk yang banyak membantu
aktifitas manusia.
Seiring dengan perkembangan teknologi, kebutuhan akan plastik terus meningkat.
Data BPS tahun 1999 menunjukkan bahwa volume perdagangan plastik impor Indonesia,
terutama polipropilena (PP) pada tahun 1995 sebesar 136.122,7 ton sedangkan pada tahun
1999 sebesar 182.523,6 ton, sehingga dalam kurun waktu tersebut terjadi peningkatan sebesar
34,15%. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus meningkat pada tahun-tahun selanjutnya.
Sebagai konsekuensinya, peningkatan limbah plastikpun tidak terelakkan. Menurut
Himawanto (2005) komposisi sampah atau limbah plastik yang dibuang oleh setiap rumah
tangga adalah 2% dari total sampah kota. Di Jabotabek rata-rata setiap pabrik menghasilkan
satu ton limbah plastik setiap minggunya. Jumlah tersebut akan terus bertambah, disebabkan
sifat-sifat yang dimiliki plastik, antara lain tidak dapat membusuk, tidak terurai secara alami,
tidak dapat menyerap air, maupun tidak dapat berkarat, dan pada akhirnya akhirnya menjadi
masalah bagi lingkungan. (YBP, 1986).
Pemanfaatan limbah plastik merupakan upaya menekan pembuangan plastik
seminimal mungkin dan dalam batas tertentu menghemat sumber daya dan mengurangi
ketergantungan bahan baku impor. Pemanfaatan limbah plastik dapat dilakukan dengan
pemakaian kembali (reuse) maupun daur ulang (recycle). Pemanfaatan limbah plastik dengan
cara daur ulang umumnya dilakukan oleh industri. Secara umum terdapat empat persyaratan
agar suatu limbah plastik dapat diproses oleh suatu industri, antara lain limbah harus dalam
bentuk tertentu sesuai kebutuhan (biji, pellet, serbuk, pecahan), limbah harus homogen, tidak
terkontaminasi, serta diupayakan tidak teroksidasi. Untuk mengatasi masalah tersebut,
sebelum digunakan limbah plastik diproses melalui tahapan sederhana, yaitu pemisahan,
pemotongan, pencucian, dan penghilangan zat-zat seperti besi dan sebagainya (Sasse et
al.,1995).
Pemanfaatan plastik daur ulang dalam pembuatan kembali barang-barang plastik telah
berkembang pesat. Hampir seluruh jenis limbah plastik (80%) dapat diproses kembali menjadi
barang semula walaupun harus dilakukan pencampuran dengan bahan baku baru dan additive
untuk meningkatkan kualitas (Syafitrie, 2001). Menurut Hartono (1998) empat jenis limbah
plastik yang populer dan laku di pasaran yaitu polietilena (PE), High Density Polyethylene
(HDPE), polipropilena (PP), dan asoi. Plastik yang digunakan sebagai pengemas merupakan
jenis plastik yang banyak terdapat dalam sampah plastik karena pemakaiannnya yang singkat.
High density polyethylene (HDPE) merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan
sebagai pengemas.  
Berdasarkan uraian diatas maka dalam penelitian ini akan dilakukan pemanfaatan
sampah plastik khususnya sampah plastik kemasan (kresek) dimana sangat banyak sekali
ditemui dalam kehidupan sehari hari yang akan digunakan sebagai bahan campuran dalam
pembuatan briket batubara.
Seminar Material Metalurgi 2010

Tabel 1. Karakteristik bahan yang digunakan


Kadar  Volatile  Kadar  Fixed 
Jenis Bahan Baku  air  matter (VM)  Abu  Carbon (FC) 
(MT) %  %  (ash) %  % 
Batubara  14.03  40.46  20.09  56.48 
Plastik  0.44  98.1  0.74  0.72 

202 |  ISSN : 2085 – 0492


METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Dalam penelitian ini, bahan yang digunakan untuk melakukan penelitian adalah jenis
plastic HDPE dimana sering menjadi produk limbah rumah tangga yang sering ditemui di
aktifitas keseharian kita. Selain itu, penggunaan batubara dilakukan dalam proses
pencampuran (mixing) dengan limbah plastic rumah tangga tersebut dimana selain sebagai
salah satu bahan bakar, limbah plastic kemasan tersebut nantinya juga berfungsi sebagai
binder atau perekat. Alat yang digunakan nantinya adalah alat prosesing briket sederhana
seperti alat cetakan dan alat bakar sederhana.

Metoda Pelaksanaan
Sampah plastik rumah tangga yang telah dibersihkan, dilelehkan dengan dibakar pada
temperatur 150°C - 200°C, kemudian dicampur dengan serbuk batubara dan dicetak pada
cetakan tanpa menggunakan tekanan. Metode tersebut dilakukan sebanyak 4 kali dengan
komposisi plastik yang bervariasi yaitu :
 Untuk label no 1 dibuat dengan komposisi 20% plastic dan 80% batubara
 Untuk label no 2 dibuat dengan komposisi 30% plastic dan 70% batubara
 Untuk label no 3 dibuat dengan komposisi 40% plastic dan 60% batubara
 Untuk label no 4 dibuat dengan komposisi 50%.plastic dan 50% batubara

 
Gambar 1. Briket batubara (1) 0% plastik, (2) 20% plastik, (3) 30% palstik, (4) 40% plastik, (5) 50% plastik
Setelah itu dilakukan proses analisa proksimat dan untuk mengetahui kemampuan
briket menerima beban, dilakukan uji coba ketagguhan dengan memberikan beban secara
bertahap.

Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 2. Grafik kadar FC dan bahan baku

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 203
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pengaruh penambahan plastik terhadap fixed carbon
Analisis kadar fixed carbon dilakukan untuk mengetahui bagian yang hilang saat
proses pembakaran setelah semua kadar volatile solid hilang pada temperatur 1050C. Dari
hasil percobaan didapat bahwa dengan penambahan plastik maka nilai fixed carbon pada
briket terjadi penurunan (Gambar 2).
Dari Gambar 1 menunjukan trend antara komposisi batubara dan plastik yaitu dengan
semakin bertambahnya kadar plastik maka kadar fixed carbon semakin berkurang, untuk
nilai tertinggi pada sampel no 1 dengan 37,1% kadar FC dan yang terendah pada sampel 4
dengan 33,15% FC. Hal ini dikarenakan plastik jenis HDPE memiliki nilai fixed carbon
kecil yaitu 0,72% (Sorum, Gronli, Hustad, 2001)  sehingga seiring bertambahnya kadar
plastic pada campuran batubara maka nilai fixed carbon asli dari batubara yaitu sebesar
56,48% semakin berkurang.

Gambar 3. Grafik kadar moisture dan bahan baku


2. Pengaruh penambahan plastik terhadap moisture
Hasil uji kadar air dari seluruh sampel briket dengan campuran plastik dapat dilihat
pada Gambar 3 yang menunjukkan trend penurunan kadar air dengan semakin bertambahnya
plastic waste.
Penambahan plastik menghasilkan kadar air pada briket semakin berkurang. Dengan
nilai tertinggi yaitu 3,04% pada penambahan plastik 20% dan terendah 2,61% pada
penambahan plastik 50%. Dari hasil percobaan rata-rata kadar air produk briket sudah
memenuhi standar kualitas biobriket berdasarkan PERMEN ESDM no 47 Tahun 2006, yaitu
maksimal kadar air sebesar 15%.
Dengan meningkatnya pertambahan plastik maka kadar air semakin berkurang
dikarenakan plastik sendiri kadar airnya sangat kecil yaitu 0,44% (sorum, gronli, Hustad,
2001) serta plastik bersifat lebih tahan terhadap air dan uap air. Dengan sifatnya ini
Seminar Material Metalurgi 2010

memberikan keuntungan dalam proses penyimpanan khususnya saat lingkungan dalam


kondisi kelembaban yang tinggi seperti saat musim hujan, karena salah satu dari kelemahan
briket adalah saat proses penyimpanan, jika terlalu tinggi kadar air nantinya dapat mengurangi
kekuatan dari briket tersebut sehingga mudah hancur saat proses pengangkutan.

3. Pengaruh penambahan plastik terhadap volatile matter


Nilai persentase volatile matter meningkat seiring penambahan komposisi plastic
(Gambar 4). Hal tersebut disebabkan kadar volatile solid plastik yang besar dan banyak
bagian yang dengan mudah menjadi gas atau uap pada saat proses pembakaran.

204 |  ISSN : 2085 – 0492


Gambar 4. Grafik kadar volatile matter dan bahan baku
Semakin besar nilai volatile matter maka briket semakin mudah untuk terbakar.
Penambahan plastic akan menurunkan ignition point dari briket yang dibuat. Menurut
Himawanto (2005) disebutkan bahwa penambahan kadar anorganik akan meningkatkan kadar
volatile solids (VS), sehingga mempercepat terjadinya pembakaran. Dengan kata lain dengan
penambahan plastic pada briket mampu menurunkan titik bakar briket sehingga lebih mudah
terbakar.

4. Pengaruh penambahan plastik terhadap kadar abu


Berdasarkan Gambar 5, dapat dilihat dengan penambahan kadar plastik yang semakin
meningkat maka kadar abu briket akan semakin berkurang. Hal ini dapat dipahami karena
kadar abu plastik yang disumbangkan pada briket sangat kecil yaitu 0,74% sehingga dengan
bertambahnya kadar plastik maka kadar abu briket semakin rendah. Untuk kadar abu awal
batubara sebesar 20,09% dengan penambahan 20% plastic dapat menurunkan ash menjadi
19,82% dan penambahan 50% plastic dapat menurunkan ash menjadi 11,25%

Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 5. Grafik kadar abu dan bahan baku


Kadar abu yang tinggi dapat mempersulit proses operasi dan pemeliharaan alat
pembakaran. Selain itu, dengan persentase abu hasil pembakaran yang besar nantinya dapat
menyulitkan pada penanganan limbah buangnya.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 205
5. Pengaruh penambahan plastik terhadap breaking strength (toughness material)
Berdasarkan pengujian ketangguhan dalam menerima beban, seiring dengan
penambahan plastik menjadi turun kekuatannya. Penambahan plastik 20% mempunyai
kemampuan breaking strength yang tinggi dari pada yang lain yaitu sebesar 98 kg/cm2
(Gambar 6). Ini terjadi karena dengan pengaruh penambahan prosentase jumlah limbah plastic
dalam briket dimana limbah plastic ini kebanyakan merupakan grade terendah dari beberapa
kali proses daur ulang. Sebagai contoh untuk plastic jenis seperti kresek warna hitam adalah
jenis plastic kemasan yang terendah. Kemungkinan dalam material penyusunannya terdapat
sejumlah pengotor yang berpengaruh terhadap daya ikat briket yang dimana berbanding lurus
pada ketangguhannya.

Gambar 6. Grafik breaking strength dan bahan baku


Selain itu semakin tinggi kerapatan suatu produk, maka semakin tinggi pula nilai kuat
tekannya (Listiyanawati, 2008). Standar nilai kuat tekan briket bio-batubara berdasarkan
Permen ESDM No. 047 Tahun 2006 adalah ≥ 65 kg/cm2. Dalam penelitian ini untuk jenis
sampel penambahan 20% plastic dan 30% plastic memenuhi standar untuk briket. Kekuatan
dari briket dapat bertambah tinggi jika dalam proses pencetakannya disertai dengan tekanan.
Dalam Permen ESDM No. 047 Tahun 2006 disebutkan bahwa proses pembriketan briket bio-
batubara memerlukan tekanan yang tinggi, yaitu sekitar 2 ton/cm2.

KESIMPULAN
Dalam penelitian ini, penambahan plastic hingga mencapai 20% pada briket bio
batubara mempunyai standar spesifikasi yang paling baik. Hal ini dikuatkan dengan nilai
breaking strength yang mencapai 98 Kg/cm2 dimana melebihi standar dari spesifikasi bio
briket. Akan tetapi jika dilihat dari kadar abu yang dimiliki, jika dibandingkan pada kadar abu
asli dari batubara awalnya, penurunan kadar abunya sangat sedikit yaitu 20,09% menjadi
19,82%. Akan tetapi untuk sampel kedua yaitu penambahan 30% plastic pada briket bio
Seminar Material Metalurgi 2010

batubara, terjadi penurunan kadar abu yang cukup signifikan yaitu 20,09% menjadi 15,26%.
Selain itu dengan nilai breaking strength mencapai 68,8% telah melebihi standar spesifikasi
bio briket. Sehingga penambahan plastic 30% dapat menjadi pilihan utama. Untuk kadar
volatile mater, dengan penambahan plastic yang semakin banyak akan mempermudah nyala
briket, selain itu untuk kadar fixed carbon, dari ke empat sampel tidak jauh berbeda walaupun
seiring penambahan plastic terjadi penurunan kadar fixed carbon.
Dalam pembuatan briket ini, penambahan tekanan tidak dilakukan dalam proses
pencetakan dikarenakan dengan alat yang sederhana saja, nantinya diharapkan dapat
diaplikasikan pada skala industry rumahan untuk mensiasati limbah plastic rumah tangganya.

206 |  ISSN : 2085 – 0492


DAFTAR PUSTAKA
Deqi Rizkia Radita, Eko Briket Dari Komposit Sampah Plastik (HDPE) dan Arang Sampah
Organik Kota, Teknik Lingkungan ITS, 2006
Dwi Suheryanto dan Tri Haryanto, Arang Briket Biomassa dari Sampah Kota Sebagai Bahan
Bakar Alternatif, Prosiding SRKP, Teknik Kimia UNDIP. 2004.
Himawanto, D. A. 2005. “Pengaruh Temperatur Karbonasi terhadap Karakteristik
Pembakaran Briket Sampah Kota”. Media Mesin, Vol. 6, No. 2 : 84-91.
Nisandi, Pengolahan dan Pemanfaatan Sampah Organik Menjadi Briket Arang dan Asap Cair
, Yogyakarta, SNT, 2007.
Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral nomor 047 tahun 2006. Pedoman Pembuatan
dan Pemanfaatan Briket Batubara dan Bahan Bakar Padat Berbasis Batubara.
Prasetiyo, D. D. 2008. Tugas Akhir : Eco-briquette dari Komposit Sampah Plastik High
Density Polyethylene dan Sampah Lignoselulosa. Surabaya : Jurusan Teknik
Lingkungan FTSP-ITS.
Ramesh Man Singh, Eco-Fuel Briquettes for Sustainable Development, Royal Nepal
Academy of Science and Technology, World Review of Science, Vol.3, No.1.2006
Tianji Li, Development of Plastic Waste Disposal Method by Combustion of Coal Briquette,
Departement of Ecology Engineering, Toyohashi University of technology.

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 207
Seminar Material Metalurgi 2010

208 |  ISSN : 2085 – 0492


EKSTRAKSI LOGAM TEMBAGA DARI KONSENTRAT BIJIH
CHALCOPYRITE MENGGUNAKAN FERRI SULFAT DALAM
MEDIA ASAM SULFAT

Deddy Sufiandi
Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan PUSPIPTEK Serpong Tangerang 15314

Intisari
Chalcopyrite (CuFeS2) adalah salah satu mineral yang mengandung tembaga. Chalcopyrite banyak
terdapat di Indonesia, antara lain terdapat di daerah Irian Jaya dan Karang Nu'nggal. Pada percobaan ini
dilakukan pelarutan Chalcopyrite dengan larutan ferri sulfat dan asam sulfat. Hasil yang diharapkan adalah
terbentuknya larutan ferro sulfat dan cupri sulfat. Hasil percobaan telah diperoleh pelarutan Cu sampai 93 %
dengan kondisi proses sebagai berikut : konsentrasi pelarut Fe3+ 60 gr/ It, waktu pelarutan 3 jam dan ekses
asam sulfat 20 ml.

Kata kunci: Chalcopyrite, cupri sulfat, ferro sulfat.

I. PENDAHULUAN
Chalcopyrite (CuFeS2) adalah suatu mineral yang berwarna hitam kehijauan, banyak
terdapat dialam sebagai bahan galian yang mengandung bijih tembaga dengan nilai ekonomi
yang tinggi. Bijih Chalcopyrite banyak terdapat di Indonesia misalnya didaerah Irian Jaya dan
Karang Nunggal (Tasikmalaya). Tembaga yang terdapat dialam selain sebagai batuan
chalcopiryte juga terdapat sebagai batuan yang lain seperti : Chalcolite (Cu2S), , Brocantite
(CuS04 .3Cu(OH)2), Covelite (CuS), energite (3Cu2S.As2S2), MalShite (CuCo2.Cu(OH)2) dan
sebagainnya.
Penambangan bijih tembaga tergantung dari kadar tembaganya. Apabila bijih tembaga
mencapai kadar diatas 6 % biasanya langsung dilebur tanpa pengolahan terlebih dahulu.
Tetapi di Indonesia pada umumnya kadar tembaga pada bijih sangat rendah, maka untuk
mendapatkan kadar tembaga yang tinggi dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Bijih tembaga
yang mempunyai kadar rendah dikonsentrasikan secara flotasi, yaitu untuk memisahkan
mineral tembaga sulfida dengan mineral-mineral lainnya. Bijih tembaga karbonat dapat
dikerjakan secara pelindian sedangkan untuk bijih Chalcopyrite dilakukan konsentrasi
sehingga diperoleh konsentrat Chalcopyrite yang diolah lebih lanjut.
Percobaan pelarutan konsentrat Chalcopyrite merupakan suatu tahapan yang penting
dalam proses ekstraksi tembaga dari bijih Chalcopyrite. Pada proses ini dari konsentrat bijih
chalpopyrit dilarutkan dalam larutan asam sulfat yang telah ditambahkan ferri sulfat.
Kemudian larutan yang terbentuk berupa larutan yang mengandung CuSO4, FeSO4 dan sulfur.
Larutan tersebut dapat diambil tembaganya dengan proses elektrowining ataupun dipekatkan
sehingga diperoleh garam CuSO4. Setelah tembaga dapat dipisahkan, maka larutan tinggal
berupa FeSO4 yang dapat direcycle menjadi ferri sulfat dengan proses oksidasi pada kondisi
Seminar Material Metalurgi 2010

basa.
Pada percobaan ini menggunakan Chalcopyrite dengan kadar Cu 28,5 % , Fe 33,5 %
dan sulfur 32,3 %.

II.TEORI PERCOBAAN
Pelarutan (leaching) yaitu suatu proses melarutkan unsur tertentu dalam padatan
dengan menggunakan pelarut tertentu, sehingga diperoleh larutan yang mengandung zat yang
berasal dari padatan yang dilarutkan. Tujuan dari proses leaching adalah mengambil salah
satu unsur dari padatan dengan bantuan media cair.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 209
Pada proses pelarutan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan antara lain zat
yang akan dilarutkan dan pelarutnya. Setiap zat akan mempunyai kelarutan yang berbeda,
tergantung dari komposisi zat tersebut, apabila dilarutkan didalam satu macam pelarut.
Kelarutan dipengaruhi oleh beberapa faklor tertentu, dalam proses pelarutan dan chalcopyrite
kelarutan dipengaruhi oleh :
 Konsentrasi pelarut
 Temperatur pelarutan
 Waktu pelarutan
 Ekses asam sulfat
Dalam proses pelarutan chalcopyrite dengan rnenggunakan asam sulfat sebagai
pelarut, terjadi suatu reaksi reduksi - oksidasi, dimana tembaga (Cu) dan chalcopyrite dengan
menggunakan ferisulfat akan mengalami oksidasi, sedang ferri sulfat mengalami reduksi.
Reaksi yang terjadi :
Cu+ => Cu2+ + e
+ 3+
Cu + Fe => Cu2+ + Fe2+
Reaksi lengkapnya sebagai berikut :
CuFeS2(s) + 2 Fe3(SO4)3 => CuSO4 + 5 FeSO4 + 2 S (s)
Untuk mendapatkan basil kelarutan tembaga dari chalcopyrite yang tinggi, maka perlu
diperhatikan garam ferri sulfat yang akan digunakan. Garam ferisulfat mempunyai sifat
mudah tereduksi menjadi ferro sulfat dalam suasana asam. Untuk mencegah reduksi ferri
sulfat karena percobaan dilakukan pada suasana asam maka dalam garam feri sulfat
ditambahkan hidrogen peroksida Dan percobaan pendahuluan sebelumnya, apabila
melakukan percobaan dengan menggunakan garam ferri maka konsentrasi Fe3+ dengan Fe2+
harus berbanding 40 : 1 untuk mendapatkan kelarutan yang tinggi. Percobaan pelarutan
dengan garam ferri sulfit juga harus dilakukan dalam lingkungan asam, hal ini guna
menghindari hidroksi feri sulfat menjadi endapan ferri hidroksida.

III.METODOTOGI
1. Percobaan Dengan Variable Konsentrasi Pelarut.
Seberat 7,5 gr ferri sulfat dilarutkan dalam aquadest, lalu tambahkan asam sulfat pekat
sebanyak 10 ml dan 5 ml hydrogen peroksida, kemudian diencerkan dengan aquadest sampai
volume 250 ml sehingga diperoleh larutan dengan kadar 30 gr Fe3+/lt
Larutan tersebut lalu di didihkan dalam labu didih sambil diaduk menggunakan
magnetic stirrer, setelah mendidih masukan 25 gr konsentrat chalcopyrite kemudian peralatan
kondenser dipasang. Lakukan proses pelarutan pada kondisi mendidih. Setelah proses
pelarutan selama satu jam hasil proses disaring untuk memisahkan residu. Filtrat yang
diperoleh diencerkan sampai volume 500 ml kemudian dilakukan analisa kadar tembaganya.
Percobaan juga dilakukan dengan penambahan ferri sulfat yang berbeda sehingga diperoleh
variable konsentrasi ferri - 40 gr Fe3+/lt, 50 gr Fe3+/lt, 60 gr Fe3+/lt 70 gr Fe3+/lt dan 80 gr
Fe3+/lt.

2. Percobaan Dengan Variable Waktu


15 gr ferri sulfat dilanjutkan dalam aquadest lalu tambahkan asam sulfat pekat
Seminar Material Metalurgi 2010

sebanyak 10 ml dan 5 ml hydrogen peroksida, kemudian diencerkan dengan aquadest sampai


volume 250 ml, sehingga diperoleh larutan dengan kadar 60 gr Fe3+/lt
Larutan tersebut lalu didihkan dalam labu didih sambil diaduk menggunakan magnetic
stirrer, setelah mendidih masukan 25 gr konsentrat chalcopyrite kemudian peralatan
kondenser dipasang, Proses pelarutan dilakukan pada kondisi mendidih. Setelah proses
pelarutan selama satu jam, hasil proses disaring untuk memisahkan residu Filtrat yang
diperoleh diencerkan sampai volume 500 ml kemudian dilakukan analisa kadar tembaganya,
Percobaan diulangi dcngan variasi waktu 2 jam, 3 jam, 4 jam, 5 jam dan 6 jam.

210 |  ISSN : 2085 – 0492


3. Perbedaan Dengan Variable Penambahan Asam Sulfat
Seberat 15 gr ferri sulfat dilakukan dalam aquadest, lalu tambahkan asam sulfat pekat
sebanyak 10 ml dan 5 ml hydrogen peroksida, kemudian diencerkan dengan aquadest sampai
volume 250 ml, sehingga diperoleh larutan dengan kadar 60 gr Fe³+/lt.
Larutan tersebut lalu didihkan dalam labu didih sambil diaduk menggunakan magnetic
stirrer. Setelah mendidih masukan 25 gr konsentrat chalcopyrite kemudian peralatan
kondenser dipasang. Lakukan proses pelarutan pada kondisi mendidih selama 3 jam, setelah
itu hasil proses disaring untuk memisahkan residu. Filtrat yang diperoleh diencerkan sampai
volume 500 ml kemudian dilakukan analisa kadar tembaganya. Percobaan diulangi dengan
variable penambahan asam sulfat 12,5m, 15ml, 17,5 ml, 20 ml dan 22,5 ml.

IV. HASIL PERCOBAAN


Dan hasil percobaan yang telah dilakukan dengan tiga variabel diperoleh hasil
percobaan sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil percobaan dengan variabel konsentrasi Fe
Konsentrasi Fe3+ ( gr/lt )
Hasil
30 40 50 60 70 80
+
Konsentrasi Cu² 13,01 15,01 15,74 16,00 16,06 16,08
Persen Cu terlarut 45,65 52.67 55.23 56,14 56,37 56.43
Tabel 2. Hasil percobaan dengan variabel waktu proses
Waktu proses ( jam )
Hasil
1 2 3 4 5 6
2+
Konsentrasi Cu 16,00 17,35 17,71 17,86 17,92 17,96
Persen Cu terlarut 56,14 60,87 62,15 62,69 62,88 6?, 02
Tabel 3. Hasil percobaan dengan variabel penambahan asam sulfat pekat
Penambahan Asam sulfat ( ml )
Hasil
10 12,5 15 17,5 20 22,5
Konsentrasi Cu2+ 17,73 21,KB 24,16 25,56 26,46 26,53
Pcrsen Cu terlarut 62,15 76,78 84,7S 89,68 92,87 93,12

Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 1. Grafik hubungan antara konsentrasi Fe dengan persen ekstraksi

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 211
V. HASIL, DAN PEMBAHASAN
Percobaan yang telah dilakukan diperoleh beberapa data, untuk percobaan dengan
variabel konsentrasi pelarut dapat dilihat pada Gambar 1.
Dari Gambar 1 dapat diamati hubungan persen ekstraksi dengan konsentrasi dimana di
perlihatkan dengan semakin tinggi konsenirasi Fe maka persen eksiraksi logam Cu semakin
besar, namun pada konsentrasi terlentu yaitu antara 60 gr/It sampai 80 gr/It, Persen ekstraksi
logam Cu mendekati konstan berkisar antara 56,14 % sampai 56,43 %, Hal ini berarti
konsentrasi yang optimum untuk pelarut Fe adalah berkisar 60 sampai 70 gr/It. Untuk hasil
percobaan dengan variabel waktu ekstraksi ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik hubungan antara waktu pelarutan dengan persen ekstrasi


Dari Gambar 2 terlihat babwa semakin lama waktu ekstraksi maka persen ekstraksi
logam Cu juga semakin besar, namun pada waktu lima jam persen ekstraksi 62,88 %
sedangkan untuk enam jam sebesar 63,02 % , sehingga untuk selisih waktu satu jam hanya
menaikkan persen ektraksi sebesar 0,14 %. Jadi waktu proses yang efektif adalah berkisar
lima jam.
Sedangkan untuk hasil percobaan dengan variabel penambahan asam sulfat pekat
ditunjukkan pada Gambar 3.

Persen Ekstraksi 
Seminar Material Metalurgi 2010

                                                       
Penambahan Asam Sulfat (ml) 
Gambar 3. Grafik hubungan antara penambahan asam sulfat dengan persen ekstraksi
Dari Gambar 3 terlihat bahwa penambahan asam sulfat pekat berpengaruh terhadap
persen ekstraksi. Semakin tinggi konentrasi pelarut maka persen logam Cu yang terekstraksi

212 |  ISSN : 2085 – 0492


juga meningkat. Namun pada konsenuasi yang terlalu pekat kecenderungan % ekstraksi
menunjukkan indikasi yang stabil, yaitu pada penambahan asam sulfat 20 ml diperoleh persen
ekslraksi 92,87 %t sedangkan penambahan asam sulfat 22,5 ml persen ekstraksi yang
diperolch hanya 93,12 %. Hal ini dapat disebabkan karena semakin pekat pelarut asam sulfal
maka ion Fe3+ yang terbentuk akan semakin sulit jika dibandingkan dengan asam sulfat yang
lebih encer atau juga secara stokiometri logam Cu dari calcopyrite hampir semua telah
bereaksi.

KESIMPULAN
Untuk mengekstraksi logam tembaga (Cu) dari chalcopyrite, beberapa hal penting
yang perlu diperhatikan antara lain konsentrasi Fe3\ waktu ekstraksi dan kelebihan asam sulfat
yang digunakan. Untuk konsentrasi Fe dengan semakin pekat belum tentu memberikan hasil
yang febih baik, sedangkan perpanjangan waktu diatas waktu yang efeknva juga tidak akan
efisien, Disamping itu kelebihan asarn sulfat yang berlebihan juga tidak berarti memberikan
perolehan ekstraksi yang besar.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kirk Othmcr," Encyclopedia Chemichal Technologi”
2. Joseph Newum,” Extractive Metalurgi”, John Wiley and Sons, Chapman and Hall
Limited, New york, London.

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 213
Seminar Material Metalurgi 2010

214 |  ISSN : 2085 – 0492


SINTESIS DAN KARAKTERISASI PADUAN TERNER Zr-Nb-Y

Djoko H Prajitno1, Syoni Soepriyanto2 dan Eddy Agus Basuki2


1
PTNBR-BATAN Jl. Tamansari 71 Bandung dan
2
Teknik Metalurgi ITB Jl. Ganesa 10 bandung

Abstrak
Telah dilakukan pembuatan paduan terner Zr-Nb-Y. Bahan awal untuk pembuatan paduan tersebutl
adalah , Zr 99% Nb 99,9, Y 99,9. Komposisi paduan yang dibuat adalah Zr-2,5%Nb, Zr-2,5%Nb-0,5%Y, Zr-
2,5%Nb-0,75%Y, Zr-2,5%Nb-1%Y. Pembuatan paduan dilakukan dengan menggunakan tungku busur listrik
dalam atmosfer tungku gas argon kemurnian tinggi. Ingot hasil proses peleburan dikarakterisasi dengan difraksi
sinar x, mikroskop optik dan pengujian kekerasan dilakukan dengan uji kekerasan mikro vickers. Hasil
karakterisasi dengan mikroskop optik menunjukkan bahwa struktur mikro utama paduan adalah dendritic dan
lath martensit .Penambahan Y pada Zr-2,5%Nb paduan tidak merubah struktur mikro secara berarti. Hasil
analisa difraksi x menunjukkan bahwa fasa utama paduan adalah .
.
Kata kunci: zircaloy, paduan terner Zr-Nb-Y, kekerasan, dendritic, basketwave.

1. PENDAHULUAN
Aging komponen kritis dari reaktor nuklir akan menentukan umur pakai reaktor ( life
time service). Komponen-komponen kritis reaktor tersebut meliputi: fuel cladding, coolant
chanel dan pressure tube dimana komponen tersebut terbuat dari paduan logam zirkaloy.
Mekanisme aging komponen kritis tersebut adalah PCI ( Pellet Clading Interaction ), WSCI (
Waterside cladding interaction ), LOCA ( Loss of Cooling Accident ), HID (hydrogen induced
damage) dan Radiation damage.[1]
Paduan zircaloy seperti: zircaloy1, zircaloy 2, zircaloy 3 dan zircaloy 4 serta Zr-2,5Nb
telah lama digunakan sebagai kelongsong elemen bakar nuklir pembangkit listrik tenaga
nuklir. Pemakaian zircaloy untuk kelongsong elemen bakar nuklir karena paduan zirkaloy
mempunyai penampang serapan netron yang rendah, sifat mekanik dan ketahanan korosi yang
baik pada selang suhu tinggi yaitu 350-380oC pada kondisi reaktor beroperasi normal.
Selanjutnya pada kondisi reaktor sudah beroperasi dalam jangka waktu lama maka komponen
reaktor tersebut akan mengalami aging dengan mekanisme seperti yang telah disebutkan di
atas. Pemakaian paduan zircaloy pada jangka waktu yang lama mempunyai keterbatasan
karena rentan terhadap penggetasan oleh hidrogen dengan terbentuknya hidrida, penurunan
sifat mulur, dan ketahanan oksidasi yang kurang baik.[2]
Penggetasan pada logam oleh hidrogen ( hydrogen embrittlement ) adalah proses
dimana beberapa paduan logam terutama pada baja kekuatan tinggi akan mengalami getas dan
terjadi retakan akibat terpapar dilingkungan yang mengandung hidrogen. Pada paduan
zirkaloy penggetasan terjadi karena difusi hidrogen pada paduan karena batas kelarutan
hidrogen dalam paduan dilampaui maka akan terbenntuk hidrida yang dapat menyebabkan
paduan zirkaloy menjadi getas.[3]
Pada dasarnya ada dua cara untuk memperbaiki sifat-sifat paduan logam yaitu pertama
Seminar Material Metalurgi 2010

dengan memodifikasi komposisi paduan yang sudah ada dan yang kedua dengan cara
membuat paduan logam dengan komposisi yang baru. Upaya untuk meningkatan unjuk kerja
kelongsong elemen bakar nuklir yang terbuat dari paduan logam Zr-Nb terhadap penggetasan
oleh hidrogen dapat dengan cara menambahkan unsur logam ytrium sebagai unsur pemadu
terner.
Komponen reaktor nuklir yang beroperasi dalam jangka waktu yang lama dengan
kondisi adanya radiasi, lingkungan korosif dan suhu tinggi serta stress yang tinggi akan
menyebabkan komponen tersebut mengalami degradasi. Degradasi yang terjadi bisa teramati
secara makroskopis. Namun demikian kejadian sebenarnya berawal pada skala mikroskopis.
Untuk pengembangan material baru dan atau modifikasi material sudah ada diperlukan biaya

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 215
yang mahal dan waktu yang lama bila dilakukan di laboratorium untuk mensimulasikan
degradasi paduan logam. Untuk mengatasi keterbatasan di atas maka sintesa material
merupakan satu metodologi yang dapat digunakan sebagai alat bantu yang bisa menjembatani
keterbatasan diatas.[4]
Pengembangan paduan zirconium telah banyak dilakukan dan diteliti dari mulai sifat
fisik, mekanik dan kimianya.[7] Pengembangan komposisi paduan zirconium cukup bervariasi
ada biner, terner dan quartener. Masing – masing penambahan unsur pemadu mempunyai
tujuan yang berbeda ada yang meningkatkat sifat mekaniknya, ada meningkatkan ketahanan
korosi, dan meningkatkan terhadap penggetasan oleh hidrogen.
Pada Tabel 1 dapat dilihat berbagai jenis dan komposisi paduan zirkonium. Dari tabel
tersebut ditunjukan bahwa unsur yang ditambahkan pada paduan zironium relatif sedikit
karena bila unsur yang ditambahkan terlalu banyak akan menyebabkan turunya nilai serapan
netron. Turunya nilai serapan netron tersebut akan menurunkan efisiensi daya rektor nuklir.
Unsur yang ditambahkan pada zirconium bisa membentuk paduan biner zirconium seperti
pada zircaloy 1 dan Zr-Nb. Penambahan lebih dari satu unsur pemadu akan diperoleh paduan
terner zirconium seperti zircaloy 2, zircaloy3 dan zircaloy 4. Penambahan unsur pemadu Sn,
Ni, P dan Fe bertujuan untuk memperbaiki sifat mekanik logam zirconium. Sedangkan
penambahan unsur pemadu Cr dan Nb bertujuan untuk meningkatkan ketahanan oksidasi
paduan logam zirconium pada suhu tinggi.

Tabel 1. Jenis dan Komposisi Paduan Zircaloy

Komposisi rata-rata dalam % berat


Paduan
Sn Fe Cr Ni Nb P
Zircaloy-1 2,5 - - - -
Zircaloy-2 1,5 0,12 0,10 - - -
Zircaloy-3 0,25 0,25 - 0,5- - -

Zircaloy-4 1,50 0,22 0,10 - - -

Zr4-Nb 1,50 0,22 0,10 1

Zr-2,5%Nb - - - - 2,5 -

Zr-1%Nb - - - - 1,0 -

Zr-1%Nb-20ppm P 1,0 20ppm

Zr-Cr-Fe - 0,15 1,0 - - -

Zr-Nb-Sn 1,0 - - - 3,0 -


Seminar Material Metalurgi 2010

Pada penelitian ini dipilih dilakukan penelitian zirkaloy mengingat untuk


mengantisipasi opsi nuklir dalam rangka penyediaan sumber energi listrik untuk masa yang
akan datang. Tahapan percobaan meliputi pemaduan logam zirkaloy Zr-Nb-Y dengan tungku
busur listrik. Hasil pemaduan dikarakterisasi dengan difraksi sinar, mikroskop optic, SEM-
serta dilakukan pengujian kekerasanya.

216 |  ISSN : 2085 – 0492


2. PERCOBAAN
Bahan logam untuk pembuatan paduan Zr-Nb-Y terdiri dari lump Zr (99), Nb (99,98),
dan Y (99,9), Komposisi paduan zirconium yang dibuat dapat dilihat pada tabel 1. Berat total
paduan zirconium yang akan dibuat sebesar 15 gram. Pembuatan paduan dilakukan dalam
tungku busur listrik dengan krusibel tembaga yang didinginkan air. Sebelum proses peleburan
dilakukan, tabung tungku dialiri gas argon dengan kemurnian tinggi. Selama dan sesudah
proses peleburan gas argon tetap dialirkan untuk menghindari paduan yang dibuat teroksidasi.
Proses peleburan logam diulang sebanyak 4 kali untuk memperoleh komposisi paduan yang
homogen. Ingot dipotong dengan alat potong piringan intan kecepatan rendah untuk proses
metalografi dan pengujian kekerasan. Pengujian kekerasan dilakukan dengan alat uji keras
mikro metoda Vickers. Pengujian kekerasan dilakukan dengan beban 0,5 kg dengan waktu
indentasi 15 detik. Pemeriksaan metalografi dilakukan dengan cara pengampelasan ingot yang
telah dipotong dari mulai ampelas grit 500 sampai 2000 kemudian dipoles. Setelah dipoles
ingot tersebut dietsa dengan larutan etsa 5%H2SO4, 10% HF, 30% HNO3 and 55% H2O untuk
memunculkan struktur mikro paduan. Pemeriksaan struktur mikro dilakukan dengan
mikroskop optik nikon M 22.

3. HASIL
Hasil penelitian yang akan dibahas meliputi karakterisasi makro ingot hasil peleburan,
struktur mikro ingot dan fasa – fasa yang dominan pada ingot hasil peleburan.

3.1. Foto makro Ingot hasil peleburan


Pada Gambar 1 diperlihatkan ingot paduan Zr-2,5% Nb dan Zr-2,5%Nb-Y hasil proses
peleburan dengan tungku busur listrik. Dari Gambar tersebut diperlihatkan bahwa ingot
mempunyai permukaan yang bersih dan bebas dari pori.

Gambar 1. Foto makro ingot


3. 2. Difraksi sinar x
Pada Gambar 2 diperlihatkan hasil karakterisasi dengan difraksi sinar x. Dari Gambar
tersebut terlihat bahwa fasa matrix yang dominan adalah fasa 

3.3. Mikrostruktur
Seminar Material Metalurgi 2010

Analisa struktur mikro dilakukan dengan mikroskop optik dan SEM, hasil
mikrostruktur bisa dilihat pada Gambar 3 dan 4.

3.3.1. Mikroskop optik


Pada Gambar 3 diperlihatkan mikrostruktur paduan Zr-2,5%Nb dan Zr-2,5%Nb-Y.
Dari Gambar tersebut terlihat bahwa paduan Zr-2,5%Nb dan Zr-2,5%Nb-0,5%Y mempunyai
struktur mikro lath martensit sedangkan paduan Zr-2,5%Nb-0,75%Y dan Zr-2,5%Nb-1%Y
mempunyai strukturmikro dendritik..

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 217
Intensity (counts)
1200

 
1000

800

600

400
 
   
   
200

0
25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75
2Theta (°)
Intensity (counts)

 
800

600

400

 
   
   
200  

0
30 40 50 60 70 80 90
2Theta (°)

Gambar 2. Pola difraksi sinar x ingot hasil peleburan paduan Zr-2,5%Nb-0,5%Y dan Zr-2,5%Nb-1%Y

a b
Seminar Material Metalurgi 2010

c d
Gambar 3. Mikrostruktur Paduan Zr-2,5%Nb dan Zr-2,5%Nb-Y

218 |  ISSN : 2085 – 0492


4. DISKUSI
Dari hasil proses peleburan ingot mempunyai visual yang baik bebas dari pori hasl ini
disebabkan sebelum proses peleburan tabung tempat peleburan dibilas dengan gas argon
kemurnian tinggi untuk menghindari oksidasi serta selama proses peleburan argon gas maíz
dialirkan sampai ingot mendingin.
Mekanisme pembentukan fasa  dapat dijelaskan sebagai berikut pada peleburan
logam senua bahan Zr-Nb dan Y leleh pada suhu 1800oC. Pada saat temperatur lelehan logam
turun maka akan terbentuk inti fasa . Penurunan temperatur lebih lanjut akan banyak fasa 
yang terbentuk sampai suhu 900oC. Penurunan temperatur dibawah 900oC terjadi tranformasi
fasa dimana fasa fasa  menjadi  sampai terjadi 2 fasa yaitu  + . Dibawah temperatur
eutektik seluruh besar fasa  menjadi fasa  sehingga fasa yang dominan pada matrik adalah
fasa .

5. KESIMPULAN
Dari hasil percobaan yang telah dilah dapat disimpulkan bahwa :
1. Ingot hasil pengecoran cukup baik dan bebas pori
2. Fasa utama paduan terner Zr-2,5Nb-Y adalah fasa 
3. Struktur mikro ingot bentuk dendritic dan lath martensit

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini dibiayai melalui proyek DIPA PTNBR-BATAN

7. DAFTAR PUSTAKA
1. Chatterjee, Priti Kotak Shah, dan. Dubey, Ageing of zirconium alloy components,
Journal of Nuclear Materials 383 (2008) hal.172–177
2. Sepold. L, dkk, Severe fuel damage experiments performed in the QUENCH facility
with 21-rod bundles of LWR-type, Nuclear Engineering and Design 237 (2007)
hal.2157–2164
3. Sarkar A, Mukherjee P., dan Barat P., Effect of heavy ion irradiation on
microstructure of zirconium alloy characterised by X-ray diffraction, Journal of
Nuclear Materials 372 (2008) hal 285–292
4. Arthur T. Motta, Aylin Yilmazbayhan, Marcelo J. Gomes da Silva, Robert J.
Comstock, Gary S. Was, Jeremy T. Busby, Eric Gartner, Qunjia Peng , Yong Hwan
Jeong , dan Jeong Yong Park, Zirconium alloys for supercritical water reactor
applications: Challenges and possibilities, Journal of Nuclear Materials 371 (2007)
hal.61–75
5. Dong Chen dkk, Experimental analysis of the aqueous chemical environment
following a loss-of-coolant accident,_Nuclear Engineering and Design 237 (2007)
hal.2126–2136
6. Yao M.Y., Zhou B.X., Q. Li b, W.Q. Liu b, dan Y.L. Chu, The effect of alloying
modifications on hydrogen uptake of zirconium-alloy welding specimens during
corrosion tests, Journal of Nuclear Materials 350 (2006) 195–201
Seminar Material Metalurgi 2010

7. Samaras, M and Hoffelener W, Modeling of Advanced Structural Materials for GEN


IV Reactors, Journal of Nuclear Materials 371 (2007) 28-36.
8. Jianlong Lin , Hualong Li, J.A. Szpunar, R. Bordoni, A.M. Olmedob, M. Villegas, dan
A.J.G. Maroto ,Analysis of zirconium oxide formed during oxidation at 623 K on Zr–
2.5Nb and Zircaloy-4, Materials Science and Engineering A 381 (2004) Hal.104–112

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 219
Seminar Material Metalurgi 2010

220 |  ISSN : 2085 – 0492


KARAKTERISASI STRUKTUR DAN SIFAT OPTIS DARI
LAPISAN TIPIS OKSIDA BISMUTH (Bi2O3)

Dwi Bayuwati, dan Erfin Y. Febrianto


Pusat Penelitian Fisika-LIPI
Kawasan Puspiptek Serpong 15314 Tangerang
Email:dwib001@lipi.go.id/ dwib001@yahoo.co.id

Abstrak
Lapisan tipis oksida bismuth telah ditumbuhkan pada substrat gelas menggunakan teknik pengkabut
ultrasonik. Lapisan tipis oksida bismuth dibentuk dari bubuk bismuth nitrat/Bi(NO3)3.5H2O yang dilarutkan
dalam larutan asam nitrat 0.05 M. Larutan bismuth nitrat kemudian digetarkan dan diatomisasi oleh probe
pengkabut ultrasonik/ultrasonic fogger menjadi butiran kabut. Kabut yang terbentuk disemprotkan ke substrat
gelas yang telah dipanaskan melalui suatu nozzle, dengan bantuan gas nitrogen sebagai gas pembawa, hingga
terbentuk lapisan tipis oksida bismuth. Proses pelapisan dilakukan pada rentang suhu 200-360 0C. Karakterisasi
struktur dari lapisan tipis oksida bismuth dilakukan dengan menganalisa kurva difraksi sinar –X dari Phillips X-
ray difraktometer dengan radiasi CuKa dan mempelajari gambar SEM/ scanning electron microscope. Sifat
optis diamati dengan spectrometer UV-VIS dengan merekam kurva transmisi dan refleksi lapisan tipis. Kurva
difraksi sinar-X memperlihatkan hadirnya puncak stabil suhu rendah - polikristal Bi2O3 dan metastabil Bi2O3
serta oksida bismuth non stoichiometri Bi2O2.33 disamping masih hadirnya puncak bismuth (Bi) sendiri.
Pemeriksaan struktur lapisan oksida bismuth dengan SEM memberikan ketebalan serta ukuran butir masing-
masing sekitar 0.035 m dan 0.3-0.65 m pada kondisi suhu dan waktu penumbuhan masing-masing 360 0C dan
7 menit serta kecepatan alir gas nitrogen 4 l/menit. Pengamatan sifat optis menggunakan spektrometer Jasco V
570, menghasilkan kurva refleksi dan transmisi dengan nilai transparansi 79-96 % serta nilai reflektansi 4-11%
pada rentang panjang gelombang dari 250-1500 nm.

Kata Kunci: Oksida bismuth, lapisan tipis, pengkabut ultrasonik, struktur, sifat optik.

Abstract
Deposision of bismuth oxide (Bi2O3) thin layer on glass substrate using spray pyrolysis technique has
been conducted. The bismuth oxide thin layer was prepared from bismuth nitrate/Bi(NO3)3.5H2O powder which
was dissolved thermally in nitric acid 0.05 M solution. The bismuth nitrate solution was then vibrated and
atomized by ultrasonic fogger and sprayed onto the heated glass substrate via a nozzle using nitrogen as the
carrier gas until the bismuth oxide thin layer was formed. The growth process was conducted in the temperature
range of 200-360 0C. The structural characteristics of the bismuth oxide thin layers were carried out by
analyzing the X-ray diffraction pattern obtained from Phillips X-ray difraktometer with CuKa radiation and
studying the scanning electron microscope/SEM image. Optical properties were examined by measuring
transmission and reflection spectra using UV-VIS-NIR spectrometer. The XRD pattern showed the existence of
polycrystalline multi phase bismuth oxide forms, Bi2O3 and Bi2O3 metastable polycrystal and also non
stoichiometri bismuth oxide Bi2O2.33 and bismuth (Bi) alone. Structural examination showed oxide bismuth
thickness layer of around 0.035 m and grain size 0.3-0.65 m at growth temperature and time of 360 0C and 7
mimutes respectively; with nitrogen gas flow 4 l/menit. Examination of optical properties resulted in values of
transparency 79-96% and reflectance 4-11% at wavelength range of 250-1500 nm.

Keywords: bismuth oxide, thin layer, ultrasonic fogger, structure, optical properties

PENDAHULUAN
Seminar Material Metalurgi 2010

Oksida bismuth (bismuth(III) oxide/Bi2O3) merupakan bahan paduan bismuth yang


paling penting secara komersial. Bi2O3 menjadi topik penelitian yang menarik karena sifat-
sifat optik dan listrik nya, yaitu energi bandgap serta indeks refraksi yang tinggi; permitivitas
dielektrik, fotokonduktivitas dan fotoluminesensi yang kuat serta transparansi yang cukup
tinggi dan juga karena kuatnya spektrum fotoluminesensi serta tingginya nilai
fotokonduktivitas [1,2]. Sifat-sifat ini membuat oksida bismuth potensial digunakan di
berbagai bidang seperti pelapis anti refleksi, teknologi sensor, divais optoelektronik dan
mikroelektronik, teknologi sensor, pembuatan gelas keramik transparan, aplikasi elektrokimia
seperti fuel cell dll. [3-6]

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 221
Bismuth oksida murni, Bi2O3 mempunyai 5(lima) kondisi kristal polimorf yaitu kristal
fasa stabil α- Bi2O3 dan δ-Bi2O3 serta kristal fasa metastabil β- Bi2O3, γBi2O3 dan Bi2O3 [1,
7]
Masing-masing polimorfic Bi2O3 memiliki sifat fisis dan struktur kristal yang
berbeda, misalnya δ-Bi2O3 mempunyai harga konduktivitas termal yang paling tinggi
dibanding yang lain [1]. Kondisi yang spesifik ini membuat beragamnya penelitian yang
intensif dan mendalam tentang kondisi multifasa bismuth dengan berbagai teknik dan cara
untuk optimalnya penggunaan bahan Bi2O3.
Beberapa teknik yang dilaporkan telah digunakan untuk menumbuhkan lapisan tipis oksida
bismuth antara lain adalah oksidasi termal [8], oksidasi anodik [9], evaporasi flash [10],
deposisi laser pulsa [11] serta spray pyrolysis [12].
Pada makalah ini dilaporkan proses pelapisan serta karakterisasi lapisan tipis oksida
bismuth diatas substrat gelas menggunakan teknik pengkabut ultrasonik. Pertimbangan
digunakannya teknik ini adalah karena mudah pengoperasian serta rendah investasi.
Karakterisasi yang dilakukan meliputi pemeriksaan kondisi struktur dengan XRD dan SEM
serta pengamatan sifat optis (transmisi dan refleksi) menggunakan spectrometer Jasco.

BAHAN OKSIDA BISMUTH


Bahan oksida bismuth merupakan bubuk berwarna kuning, tidak larut dalam air tetapi
larut dalam larutan asam tertentu misalnya larutan asam nitrat atau larutan asam asetat. Secara
komersial, oksida bismuth merupakan senyawa terpenting untuk bahan bismuth.
Seperti telah disebutkan terdahulu oksida bismuth mempunyai 5(lima) kondisi fasa kristal.
Kondisi fasa Kristal dan sifat-sifat bismuth oksida sangat bergantung pada suhu dan dapat
diuraikan sebagai berikut [1,7]: pada suhu ruang oksida bismuth berbentuk kristal stabil
monoklinik α- Bi2O3; bentuk ini akan berubah menjadi struktur kubik, δ-Bi2O3 bila
dipanaskan diatas suhu 727°C sampai mencapai titik lelehnya 824°C. Bila didinginkan dari
fasa δ ada beberapa kemungkinan struktur yang akan terbentuk yaitu kondisi fasa
metastable berupa fasa β tetragonal atau fasa γ- body-centred cubic. Fasa γ dapat terbentuk
pada suhu ruang jika proses pendinginan sangat lambat tetapi fasa α- Bi2O3 selalu terbentuk
pada pendinginan Bi2O3 fasa β. Fasa adalah bentuk metastabil yang lain dari bahan oksida
bismuth.
Masing-masing kondisi fasa mempunyai bentuk struktur dan sifat-sifat fisis tersendiri.
Misalnya δ-Bi2O3 mempunyai konduktivitas yang tertinggi dibanding bismuth pada kondisi
fasa-fasa yang lain [7]. Pada suhu 750°C, konduktivitasnya sekitar 1 Scm−1, yaitu sekitar 3
kali nilai konduktivitas oksida bismuth fasa metastabil dan empat kali nilai konduktivitas fasa
monoklinik.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 1. (a) Model Sillen; kekosongan diGambarkan tersusun teratur sepanjang bidang (<111>, (b) Model
Gattow, kekosongan digambarkan tak beraturan, (c) Model Willis; atom-atom oksigen dipindahkan
dari posisi regular 8c [1,7].

222 |  ISSN : 2085 – 0492


Susunan atom oksigen dalam unit sel bahan, fasa δ-Bi2O3 telah digambarkan oleh
beberapa ahli [1,7] yaitu Sillen (1937), Gattow dan Schroder (1962) serta Willis (1965);
sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 1. Susunan atom inilah yang menentukan sifat-sifat
dari bahan oksida bismuth.
Sifat-sifat penting dari oksida bismuth antara lain adalah energi bandgap serta indeks
refraksi yang tinggi; permitivitas dielektrik, fotokonduktivitas dan fotoluminesensi yang kuat
serta transparansi yang cukup tinggi. Sifat-sifat ini membuat bahan oksida bismuth cocok
untuk pemakaian sebagai pelapis anti refleksi, sensor, fuel cell, divais optoelektronik dll.

TEKNIK PENGKABUT ULTRASONIK


Teknik pengkabut ultrasonik melibatkan reaksi antara suatu butiran kabut berukuran
sangat halus dengan suatu substrat yang dipanaskan [13,14]. Faktor yang sangat penting pada
teknik ini adalah pembentukan kabut yang cukup serta deposisi termal. Secara detail proses
pelapisan adalah sebagai berikut: larutan dalam suatu prekursor digetarkan dan diatomisasi
oleh suatu ultrasonic fogger hingga terbentuk kabut, kemudian dialirkan ke substrat yang
telah dipanaskan melalui suatu nozzle dengan bantuan gas pembawa. Parameter yang dapat
divariasikan adalah suhu, waktu, konsentrasi larutan serta kecepatan alir gas pembawa. Skema
dari peralatan sistem pelapisan dengan teknik pengkabut ultrasonik disajikan pada Gambar 2.
Bagian terpenting dari sistem peralatannya selain ultrasonic fogger adalah sistem nozzle.
Sistem nozzle yang bervariasi dalam keluaran bentuk berkas kabut ultrasonik telah dibuat
antara lain oleh sono-tek [13] yang mengembangkan beberapa jenis nozzles dengan karakter
berdaya semprot kecil dan overspray yang rendah sehingga mengurangi biaya dan
kontaminasi lingkungan sekitar, tidak menyumbat atau merusak lubang nozzle sehingga
mengurangi kesukaran pada proses pelapisan.

Gambar 2. Skema sistem pelapisan tipis dengan teknik pengkabut ultrasonik.


Seminar Material Metalurgi 2010

Pemakaian secara tipikal dari teknik pengkabut ultrasonik sendiri adalah dalam
bidang-bidang sebagai berikut [13]: Semiconductor/Electronik (misal untuk aplikasi fotoresist
ke substrat, flux ke lubang PCB, deposisi mikro pada hard disk komputer, pelapisan
semikonduktor dan superkonduktor), Medical/biomedical (misal pelapisan tabung darah
secara kolektif, pelapisan diagnostic kit set, pelapisan protein, enzim dan reagen) , industri
minyak wangi, oli, spray keramik dan lain-lain.
Proses pelapisan dengan teknik spray pyrolysis telah kami lakukan sebelumnya dan
menghasilkan lapisan tipis oksida timah serta indium oksida timah pada substrat silikon dan
gelas [15, 16]. Dengan teknik dan peralatan yang ada secara teknis proses pelapisan bisa
berlangsung sederhana, baik dalam susunan peralatan maupun prosedur proses.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 223
EKSPERIMEN
Proses eksperimen dilakukan di dalam suatu ruang asam kecil untuk sistem isolasi dari
lingkungan sekeliling yang dilengkapi dengan sistem pembuangan udara. Peralatan utama
yang digunakan adalah sistem pengkabut ultrasonik dari Mainland USA, tabung gelas berisi
larutan pembentuk lapisan yang berfungsi sebagai tabung prekursor tempat kabut ultrasonik
dibangkitkan, sistem aliran gas/kabut, sistem pemanas serta nitrogen sebagai gas pembawa
(lihat Gambar 2).
Lapisan oksida bismuth dibuat menggunakan larutan prekursor bismuth asetat 0.05 N.
Larutan prekursor yang telah digetarkan dan diatomisasi oleh pengkabut ultrasonik menjadi
kabut dialirkan ke substrat gelas yang telah dipanaskan dengan bantuan gas nitrogen sebagai
gas pembawa dengan kecepatan alir 4 liter per menit. Sebagai substrat gelas digunakan slide
mikroskop dengan ukuran sekitar (2 cm x 3 cm) dan ketebalan 1 mm. Kemampuan sistem
pemanas hingga suhu sekitar 8000C. Sebelum proses pelapisan, substrat dibersihkan
menggunakan larutan methanol, aceton dan trichlorethylene serta dikeringkan dibawah lampu
ultraviolet dengan aliran gas nitrogen.
Kurva difraksi sinar-X diperoleh dari diffraktometer Phillips dengan radiasi CuKa (=
1.5405 m). Puncak-puncak oksida bismuth diidentifikasi dan dievaluasi menggunakan file
JCPDS. Morfologi permukaan dan gambar penampang lintang dari lapisan diperiksa dengan
SEM. Sifat optik diamati menggunakan spectrometer UV-VIS- NIR Jasco.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakterisasi Struktur dengan XRD
Kurva difraksi sinar-X dari lapisan tipis oksida bismuth diamati pada rentang suhu
pelapisan 200-3600C dengan waktu pelapisan bervariasi dari 3 detik hingga 30 menit dan
dengan aliran gas nitrogen konstan 4 liter/menit.
Gambar 3(a) dan (b) memperlihatkan spektrum difraksi sinar- X dari lapisan tipis
oksida bismuth dengan suhu pemanasan yang bervariasi pada 200, dan 2750C dengan waktu
7 menit. Terlihat bahwa pada suhu 2000C lapisan masih berupa amorf dan berangsur
terbentuk kristal polikristal pada suhu yang lebih tinggi. Pada suhu 2750 puncak XRD yang
teramati ada beberapa buah (Gambar 3(b)) tetapi cenderung tenggelam dalam nois dan
puncak dominan adalah pada sudut 2= 24.316o dari Bi2O2.33 (103) yang merupakan paduan
oksida bismuth non stoichiometri.
Gambar 4 adalah spektrum difraksi sinar- X dari lapisan tipis oksida bismuth pada
suhu penumbuhan 3600C dengan waktu pemanasan yang bervariasi masing-masing pada 3
detik, 3 menit dan 30 menit. Untuk waktu penumbuhan 3 detik (Gambar 4(a)) lapisan oksida
bismuth masih berupa amorf dan puncak polikristal baru muncul pada waktu pelapisan 3 dan
30 menit (lihat Gambar 4 (b) dan (c)). Puncak-puncak yang terdeteksi pada Gambar 4(b) dan
(c) adalah Bi2O3 (020), Bi (101), Bi2O2.33 (107), Bi2O3 (002), Bi2O3 (400) dan Bi2O2.33
(116); dengan puncak refleksi terkuat pada sudut 2= 23.8673o untuk Bi (101). Tambahan
satu puncak kristal muncul pada suhu penumbuhan 30 menit (lihat Gambar 4(c)) yaitu pada
sudut 2= 26.1214o untuk Bi2O3 (002).
Hasil-hasil eksperimen pada pada Gambar 3 menunjukkan bahwa puncak polikristal
oksida bismuth baru mulai hadir pada suhu 2750 dengan puncak kristal yang masih tenggelam
Seminar Material Metalurgi 2010

dalam nois. Hasil eksperimen pada Gambar 4 menunjukkan bahwa dengan penahanan suhu
pada 3600 dan variasi waktu yang ekstrim (3 menit dan 30 menit) menghasilkan puncak-
puncak oksida bismuth bentuk fasa yang sama dengan intensitas duakalinya dan hanya
memunculkan 1(satu) buah tambahan puncak kristal oksida bismuth dengan fasa berbeda
yaitu Bi2O3 (002), lihat Gambar 4c.
Hasil-hasil ini sesuai dengan literatur [2, 8, 12] yang menyatakan bahwa struktur yang
terbentuk dipengaruhi oleh detail proses penumbuhannya. Untuk mendapatkan puncak kristal
dengan fasa yang lebih stabil (oksida bismuth fasa ) bisa dilakukan penumbuhan lapisan
oksida pada suhu yang lebih tinggi atau dilakukan proses annealing pada sampel.

224 |  ISSN : 2085 – 0492


Gambar 3. Kurva difraksi sinar-X dari lapisan tipis oksida bismuth dengan suhu pemanasan: (1) 200o C (2) 275o
C dengan waktu pelapisan konstan 7 menit.

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 225
Gambar 4. Kurva XRD dari lapisan tipis oksida bismuth dengan suhu pelapisan 360o C dan waktu pelapisan: (a)
3 detik (b) 3 menit dan (c) 30 menit.

Karakterisasi Struktur dengan SEM


Morfologi dari lapisan tipis oksida bismuth diatas substrat gelas diamati dengan SEM
untuk sampel yang ditumbuhkan pada suhu 3600C dengan kecepatan alir nitrogen 4
liter/menit dan waktu pelapisan 7 menit. Pengamatan gambar SEM memberikan ketebalan
lapisan sekitar 0.035 m (lihat Gambar 5) dan ukuran butir 0.3-0.65 m dengan bentuk
beragam (lihat Gambar 6).

Gambar 5. Gambar SEM dari penampang lintang Gambar 6. Gambar SEM dari permukaan atas
lapisan tipis oksida bismuth/gelas lapisan tipis oksida bismuth/gelas
dengan perbesaran 5000x  dengan perbesaran 9000x. 

Pemeriksaan Sifat Optis dengan Spektrometer


Karakterisasi terakhir adalah pengukuran kurva transmisi dan refleksi cahaya
menggunakan spectrometer Jasco V-570 dengan hasil ditunjukkan pada Gambar 7 dan
Gambar 8.
Kurva transmisi pada rentang panjang gelombang 250-1500 nm (Gambar 7)
memperlihatkan transmitansi lapisan tipis oksida bismuth didaerah cahaya tampak dan infra
merah dekat dengan nilai transparansi 79-96%. Kurva refleksi (Gambar 8) memperlihatkan
Seminar Material Metalurgi 2010

harga refleksi yang rendah pada rentang panjang gelombang 250-1500 nm dengan nilai
refleksi sekitar 4-11%
Hasil-hasil yang diperoleh yang menunjukkan telah terlapisnya bahan bismuth oksida
pada substrat gelas dengan karakterisatik sifat kristal serta kurva transmisi dan refleksi
menunjukkan potensi pemakaian bismuth oksida terutama untuk divais optoelektronik, sensor
gas serta pelapisan optis. Untuk penelitian selanjutnya masih diperlukan pengukuran yang
lebih mendetail dengan suhu yang lebih tinggi serta parameter lain yang lebih bervariasi.
Perbaikan sistem agar terbentuk kabut yang lebih banyak lagi dan juga peningkatan performa
sistem pemanas diperlukan agar diperoleh lapisan yang lebih homogen dengan daya rekat

226 |  ISSN : 2085 – 0492


yang baik. Untuk penelaahan aplikasi oksida bismuth pada bidang lainnya misalnya sebagai
lapisan tipis fuel cell dapat dilakukan penelitian serupa menggunakan bahan substrat yang
sesuai.

Gambar 7. Kurva transmisi lapisan tipis oksida bismuth diatas substrat gelas dengan variasi waktu deposisi: (1)
0 detik (2) 3 detik (3) 1 menit (4) 3 menit.

Gambar 8. Kurva refleksi lapisan tipis oksida bismuth diatas substrat gelas dengan variasi waktu deposisi: (1) 0
(2) 3 detik (3) 1 menit (4) 3 menit.

KESIMPULAN DAN SARAN


Telah diuraikan proses karakterisasi struktur dan sifat optis dari lapisan oksida
bismuth (Bi2O3) yang ditumbuhkan diatas substrat gelas dengan teknik pengkabut ultrasonik.
Lapisan tipis oksida bismuth telah berhasil ditumbuhkan pada substrat gelas. Pada suhu dan
waktu penumbuhan masing-masing 3600C dan 7 menit diperoleh ketebalan lapisan dalam
Seminar Material Metalurgi 2010

orde sekitar 0.035 m dan ukuran butir 0.3-0.65 . Kristal oksida bismuth baru mulai hadir
pada suhu penumbuhan sekitar 275oC, dibawah itu hanya lapisan amorf yang tampak. Walau
puncak  Bi2O3dan Bi2O3 telah dapat teramati tetapi puncak yang paling dominan masih
milik dari unsur bismuth yang mengindikasikan bahwa suhu penumbuhan masih kurang
tinggi atau perlu proses aniling untuk memperoleh lapisan oksida bismuth dari fasa yang lebih
stabil. Pengamatan kurva transmisi dan refleksi menghasilkan nilai transparansi 79-96% dan
nilai reflektansi 4-11% pada rentang panjang gelombang 4-11%. Untuk penelitian selanjutnya
masih diperlukan pengukuran yang lebih mendetail dengan suhu yang lebih tinggi serta
parameter lain yang lebih bervariasi agar diperoleh struktur oksida bismuth dengan fasa yang

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 227
lebih stabil. Pengukuran sifat-sifat fisis yang lain seperti energi gap atau fotoluminesensi juga
perlu dilakukan. Berbagai usaha perbaikan sistem peralatan masih dilakukan untuk
mendapatkan lapisan yang lebih homogen dengan kerekatan yang baik.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih yang tak berhingga kepada Pusat Penelitian Fisika-
LIPI atas dukungan hingga terlaksananya kegiatan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
1. P. Shuk, H.D. Wiemhofer, U. Guth, W. Gopel, M. Greenblatt, “Oxide ion conducting
solid electrolytes based on Bi2O3, Solid State Ionics 89, pp. 179-196, 1996.
2. L. Leontie, M. Caraman, M. Alexe, C. Harnagea, “Structural and optical characteristics
of bismuth oxide thin films”, Surface Science 517-510, pp. 480-485, 2002.
3. G. Bandoli, D. Barecca, E. Brescacin, G.A. Rizzi, E. Tondello, Chem. Vap. Depos., 2/9,
p. 238, 1996.
4. T. Hyodo, E. Kanazawa, Y. Takao, Y. Shimizu, M. Egashira, Electrochemistry 68/1, p.
24, 2000.
5. M. Schuisky, A. Harsta, Chem. Vap. Depos. 2/9, p. 235, 1996.
6. A. Pan, A. Ghosh, J. Non-Cryst. Solid 271/1-2, p. 157, 2000.
7. Bismuth (III) Oxide, http://en.wikipedia.org/wiki/Bismuth III) Oxide (diunduh 15 Maret
2010).
8. L. Leontie, M. Caraman, A. Visinoiu, G. Rusu, “Optical properties of bismuth trioxide
thin films”, Material Research Bulletin, vol. 36, pp. 1629-1637, 2001.
9. M. Metic, J. Electrochem. Acta., Vol. 26, p. 989, 1981.
10. V. Dolocan, F. Iova, Phys. Stat. Sol., vol. A64, p. 755, 1981.
11. L. Leontie, M. Caraman, M. Delibas, G. Rusu, “Optical properties of bismuth oxide thin
films prepared by pulsed laser deposition”, Thin Solid Films, vol. 473 , pp. 230- 235,
2005.
12. V. Killedar, C. Bhosale, “Characterization of spray deposited bismuth oxide thin film
from non aqueous medium”, Tr. J. Physics, vol. 22, pp. 825-830, 1998.
13. www.sono-tek.com
14. B. Correa-Lozano, CH. Comninellis, A. De Battisti, “Preparation of SnO2-Sb2O5 Films
by the Spray Pyrolysis Technique”, Journal of Applied Electrochemistry, 26, pp. 83-89,
1996.
15. Dwi Bayuwati and Suryadi, ”Deposition of Thin Film Using Pyrosol Method”,
Proceedings of Sub Committee on Material Science and Technology, The 2nd ASEAN
Congress and Sub Committee Conference, pp. 160-167, 2005, Indonesian Institute of
Sciences/LIPI-State Minister for Research and Technology Republic of Indonesia-
ASEAN Committee on Science and Technology, Jakarta.
16. Dwi Bayuwati, Achiar Oemry dan Syuhada, “Analisis Difraksi Sinar X, Mikroskop
Elektron dan Spektrometri Lapisan Tipis Tin Oksida untuk Sel Surya Si-n/SnO2”,
Proceedings Electric, Control, Communication and Information Seminar, hal. 75-80,
2004, Universitas Brawijaya, Malang.
Seminar Material Metalurgi 2010

228 |  ISSN : 2085 – 0492


SPONGE IRON ALTERNATIF PRODUK PENGOLAHAN
PASIR BESI DI INDONESIA

Edi Herianto
Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang 15314
e-mail : edih001@lipi.go.id. Hp : 0815 88 57 960

Abstrak
Pasir besi di Indonesia memiliki karakteristik tersendiri, sehingga menyulitkan dalam pengolahannya
secara konvensional, kondisi ini disebabkan karena kandungan utama pasir besi adalah ilmenit yang merupakan
senyawa antara unsur besi dengan titan oksida (FeTiO3). Pengolahan pasir besi secara konvensional
menggunakan tanur tiup (blast furnace) agak sulit untuk dilakukan, karena slag yang dihasilkan dari peleburan
pasir besi di dalam tanur tiup mengandung titan oksida yang cukup kental sehingga kesulitan dalam
pengeluaran slag tersebut melalui lubang pengeluaran slag. Melalui jalur reduksi langsung dan dilanjutkan
dengan peleburan menggunakan tungku listrik suatu alternatip teknologi yang dapat dilakukan, namun untuk
sampai pada tahap peleburan di Indonesia saat ini juga sulit untuk dikembangkan mengingat krisis listrik yang
ada saat ini. Maka alternatip yang paling cepat untuk pemanfaatan pasir besi tersebut adalah di olah menjadi
sponge iron selanjutnya dapat diolah menjadi pig iron atau baja, jika peleburan sponge iron tersebut belum
dapat dilakukan di dalam negeri, maka produk sponge iron ini sudah dapat dieksport sebagai produk antara
sebelum dilakukan peleburan, sehingga pemanfaatan pasir besi lebih cepat untuk dimanfaatkan dan bernilai
ekonomi cukup tinggi.

Kata Kunci : Pasir besi, ilmenit, teknologi alternatip, reduksi langsung, sponge iron, iron nuggets, pig iron.

PENDAHULUAN
Pasir besi merupakan salah satu mineral besi yang keberadaannya sangat berlimpah di
Indonesia, hampir diseluruh wilayah Indonesia keberadaan pasir besi ini terkandung di
dalamnya, mulai dari sabang sampai merauke dan diperkirakan sekitar 382 juta ton (ESDM
2009). Namun sampai saat ini pasir besi tersebut belum terolah atau dimanfaatkan secara
maksimal, paling-paling hanya digunakan oleh industry semen sebagai bahan campuran
dalam pembuatan semen Portland. Selebihnya masih belum termanfaatkan atau juga di
eksport masih dalam bentuk bahan mentah sehingga memiliki nilai ekonomi yang sangat
rendah, berdasarkan data nilai eksport bijih besi pada tahun 2007 lebih dari 4 juta ton
(Deperin, 2008).
Namun kedepan eksport bahan mentah ini sulit untuk dilakukan mengingat telah
diundangkannya UU No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan yaitu UU Minerba (mineral dan
batubara). Secara prinsip Undang undang tersebut lebih mengutamakan pengolahan mineral di
dalam negeri semata-mata untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Bahkan salah satu pasalnya
melarang untuk mengekspor bahan baku mentah,yaitu pada pasal 103 ayat (1) yang
menyebutkan pemegang IUP dan IUP khusus (IUPK) wajib melakukan pengolahan dan dan
pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Disamping itu UU minerba tersebut
memperioritaskan hasil produksi pertambangan kita untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri dan mendorong peningkatan nilai tambah atas produk pertambangan sehingga kedepan
Seminar Material Metalurgi 2010

tidak lagi semata-mata mengeksport bahan mentah produk pertambangan (ESDM 2009).
Namun kenyataan ini perlu juga kita cermati dan pertimbangkan secara menyeluruh.Misalnya
untuk pemanfaatan pasir besi menjadi produk pig iron atau baja, tentunya diperlukan
teknologi yang cocok dan tentunya investasi yang juga tidak kecil. Maka perlu dilakukan
pertimbangan-pertimbangan teknologi yang dapat dilakukan sehingga pasir besi ini memiliki
nilai tambah, namun tidak memerlukan waktu yang terlalu lama dalam pengolahannya.
Salah satu alternatip teknologi yang ditawarkan adalah pembuatan sponge iron, karena
sponge iron ini selanjutnya dapat diolah menjadi besi cor atau produk baja. Dan seandainya di
dalam negeri belum dapat melakukan peleburan sponge iron sepenuhnya maka kelebihan dari

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 229
hasil produksi dapat dieksport, karena sponge iron bukan lagi bahan baku mentah tapi sudah
merupakan bahan setengan jadi atau produk antara. Maka melalui penelitian ini dilakukan
proses pembuatan sponge iron dari pasir besi Indonesia.

METODOLOGI
Langkah awal yang dilakukan untuk melakukan penelitian ini adalah studi literature
yang tentunya sangat diperlukan untuk mempejari dalam proses pemisahan besi dari ilmenit,
karena pasir besi biasanya tidak terlepas dari kandungan titan di dalamnya. Berdasarkan hasil
analisa Petrografi bijih besi Indonesia pada umumnya mengandung Magnetik (Fe3O4),
Hematit (Fe2O3) dan Ilmenit (FeTiO3) (Indarto Katim, Ir, 1994). Bahan baku yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pasir besi yang diambil Tegal Buleut, Sukabumi, arang kayu dan
bentonit sebagai binder.
Langkah kedua adalah analisa komposisi bahan baku, dilakukan untuk melihat berapa
besar kandungan besi yang terdapat didalam pasir besi. Analisa dilakukan terhadap pasir besi
yang seebelumnya telah dilakukan konsentrat, dan langkah ketigayang dilakukan adalah
melakukan percobaan laboratorium yang meliputi :
1. Preparasi bahan baku, dimana semua bahan baku yang digunakan yaitu pasir besi,
bentonit dan arang kayu di haluskan menggunakan ballmill sampai mencapai ukuran –
100 mesh.
2. Bahan baku yang telah dihaluskan selanjutnya dicampur dengan menggunakan peralatan
mixer.
3. Setelah bahan baku bercampur secara merata selanjutnya dibuat pelet dengan diameter
sekitar 1.5 cm.
4. Langkah selanjutnya pembuatan sponge iron, dengan melakukan reduksi pelet kedalam
tungku reduksi dengan temperatur tetap 1200 OC, Pada tahap reduksi pemisahan logam Fe
dari TiO3 diperlukan temperatur sekitar 1200 OC – 1300 OC (Direct from midrex,
2007/2008), membentuk senyawa Fe2O3 dan TiO2. Selanjutnya senyawa Fe2O3 maupun
Fe3O4 direduksi menjadi Fe.
5. Penahanan waktu reduksi dilakukan dengan variasi waktu 0.5 jam, 1 jam, 2 jam dan 3
jam. Sedangkan bahan reduksi arang kayu divariasikan 15 %, 20 % dan 25 %.
6. Pada penelitian ini untuk menguji hasil metalisasi maka sponge iron yang dihasilkan akan
dilebur dengan tungku listrik untuk mengetahui berapa besar hasil besi yang diperoleh
sebagai produk logam besi dan sisanya yang berada di slag, ini dilakukan mengingat
peralatan untuk menganalisa metalisasi besi dari hasil reduksi di Puslit Metalurgi sedang
tidak berfungsi, sehingga hasil metalisasi dari sponge iron tidak dapat dilakukan, namun
hal ini ada jalan keluarnya dengan cara melebur sponge iron yang dihasilkan, kemudian
menimbang besi yang dihasilkan, sehingga besi yang terrecovery dapt diketahui.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Bahan baku yang digunakan adalah pasir besi yang diambil dari Kematan Tegal
Buleut, Sukabumi. Adapun Komposisi dari pasir besi tersebut ditampilkan pada tabel 1.

Tabel 1. Analisa bahan baku (%)


Seminar Material Metalurgi 2010

BAHAN
FC CaO MgO SiO2 Al2O3 S Fe VM TiO2
BAKU
A. kayu 70 0.01 0.09 2.13 0.12 - - 21.95
P.Besi - 2.28 5.62 8.65 2.12 0.25 51.24 - 8.11
B. Kapur - 54.15 1.22 2.83 0.46 - - -
Bentonit 0.7 3.35 59.6 12.76 1.31

Pasir besi merupakan ilmenit yang merupakan senyawa antara unsure besi dengan
titan oksida (FeTiO3). Senyawa ilmenit membentuk jala-jala halus didalam masa magnetit,

230 |  ISSN : 2085 – 0492


sehingga kondisi ini akan mempersulit pemisahan besi dengan TiO2 secara magnetik, karena
TiO2 akan selalu ikut pada logam besi (Indarto Katim, Ir, 1994). Sehingga untuk memisahkan
Fe dari Titan harus dilakukan reduksi terlebih dahulu menjadi Fe2O3 (hematit) dan TiO2 (titan
oksida). Pada tahap reduksi pemisahan logam Fe dari TiO3 diperlukan temperatur sekitar 1200
O
C – 1300 OC (Direct from midrex, 2007/2008), membentuk senyawa Fe2O3 dan TiO2.
Selanjutnya senyawa Fe2O3 maupun Fe3O4 direduksi menjadi Fe.
Dari hasil percobaan yang telah dilakukan besi dapat dipisahkan dari pasir besiseperti
ditunjukan pada Gambar 1, sedangkan besi yang berada di dalam slag ditunjukan pada
Gambar 2. Untuk menghitung logam yang tereduksi didalam sponge iron digunakan rumus
sebagai berikut,

% Recovery = Berat besi yang terlebur (dihasilkan) – berat besi total yang ada di dalam bahan baku.

Gambar 1.Persen Recovery logam (Fe) terhadap waktu untuk berbagai persen reduksi pada temperatur 1200 OC.
Dilihat dari Gambar 1, persen recovery logam besi dipengaruhi oleh jumlah bahan
reduktor atau persentase bahan reduktor yang digunakan. Hal tersebut terlihat dari Gambar 1,
dimana untuk pemakaian bahan reduktor 15 % metalisasi tertinggi hanya 66 % pada
penahanan waktu 2 jam. Namun untuk bahan reduktor stoikiometri reduksi tertinggi hanya
dicapai 82 % pada penahanan waktu 2 jam. Kondisi ini dapat dijelaskan karena perhitungan
stoikiometri hanya diasumsikan pada reduksi hematit (Fe2O4), dan tidak memperhitungkan
untuk oksida lainnya termasuk panas yang hilang.
Sedangkan pada penggunakan bahan reduktor dilebihkan dari stoikiometri persen
recovery atau logam yang dihasilkan semakin meningkat yaitu sebesar 90 % pada penahanan
waktu 2 jam. Dari kondisi ini dapat dijelaskan walaupun penahanan waktu reduksi di
perpanjang namun tidak meningkatkan perolehan logam besi, kondisi ini diakibatkan bahan
reduktor yang diperlukan untuk mereduksi besi yang ada telah habis, sehingga untuk lebih
mengoptimalkan proses maka perlu dilakukan penelitian untuk penambahan bahan baku lebih
Seminar Material Metalurgi 2010

banyak lagi, mengingat kondisi ini sangan dipengaruhi oleh bahan reduktor yang diperlukan.
Penentuan kebutuhan bahan reduktor (arang kayu) dihitung secara stokiometri
berdasarkan komposisi kimia pasir besi titan pada tabel 1. Oksida besi yang ada diasumsikan
semua berupa Fe2O3 direduksi menggunakan karbon (C) menjadi Fe dan CO2, kebutuhan
karbon secara stoikiometri kemudian di kurangi dan dilebihkan dari nilai stoikiometri,
berdasarkan mekanisme reaksi sebagai berikut (Direct from midrex, 2007/2008, biswas,A.K,
1981). Kebutuhan arang kayu sekitar 20 %.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 231
Fe2O3 + 3C  2Fe + 3CO 1)
2Fe2O3 + 3CO  2Fe + 3CO2 2)
2Fe2O3 + 3 C  4 Fe + 3CO2 3)

Sedangkan mekanisme reaksi yang terjadi dari ilmenit yang berupa FeTiO3 sehingga
Fe melepaskan diri dari TiO3 dapat digambarkan sebagai berikut (After A.Muan and
E.F.Osborn, 1965).

4FeTiO3 (s) + O2 (g) → 2Fe2O3.TiO2 (s) + 2 TiO2 (s) 4)


Fe2O3.TiO2 (s) + 3CO (g) → 2 Fe (s) + 2 TiO2 (s) + 3 CO2 (g) 5)

Sponge iron diperoleh dari reduksi langsung (direct reduction), spong iron ini boleh
dibilang biji besi yang telah tereduksi atau dikenal juga dengan sebutan direct reduced iron
(DRI).Untuk melebur sponge iron menjadi cairan besi dilakukan pada tungku yang berbeda
dengan tungku pembuatan sponge iron, biasanya peleburan dilakukan dalam tungku listrik.
Pembuatan spong iron biasanya diperlukan temperature reduksi sekitar 900°C – 1100°C,
namun pada percobaan ini temperature reduksi dilakukan pada temperature 1200°C, hal ini
dilakukan mengingat bahan baku yang digunakan adalah pasir besi.
Kalau dilihat antara reaksi 3 dan reaksi 5 secara prinsip mekanisme reaksi yang terjadi
tidak ada korelasi yang menyatakan rekasi tersebut ada hubungannya, apalagi kalau kita
perhatikan mekanisme pemisahan unsur Fe dari FeTiO3, namun ada juga teori yang
menjelaskan pemisahan tersebut pada temperatur 1200 – 1300 OC terjadi pemisahan imenit
menjadi Fe2O3 menjadi TiO2 (Direct from midrex, 2007/2008, pramusanto, dkk, 2008),
seperti ditampilkan pada Gambar 2.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 2. Diagram terner perubahan fasa titanohematit


Dari mekanisme reaksi dan diagram terner perubahan fasa pada Gambar 2, juga
terlihat adanya pemisahan ilmenit menjadi α-Fe2O3 dan TiO2 terjadi pada temperature
1200°C, kondisi ini sesuai dengan percobaan yang dilakukan untuk temperatur reduksi
1200°C. Reduksi langsung mulai diteliti di Jerman sejak tahun 1879 oleh William Siemen,
namun baru dikembangkan pada tahun 1950 dan digunakan secara komersial di Mexico pada
tahun 1957 oleh perusahaan Hoyalata Y Lamina (HyL).

232 |  ISSN : 2085 – 0492


Dalam proses pembuatan sponge iron bahan reduktor yang digunakan dapat berbentuk
padat atau gas. Berbentuk padat yaitu karbon (C) misalnya, arang kayu, batubara, kokas, dll.
Sedangkan bahan reduktor berbentuk gas dapat berupa gas hydrogen (H2), gas Carmon
monoksida (CO), atau campuran keduanya.
Bahan reduktor yang digunakan dalam skala industry biasanya digunakan carbon
monoksida (CO), hydrogen (H2) dan karbon padat (C).Jika reaksiterjadi tanpa diikuti oleh
karbon padatmaka proses reduksi akan lebih sederhana, dan tidak banyak menimbulkan
masalah, maka mekanisme reaksi yang terjadi adalah (Biswas, 1981).

3 Fe2O3 + CO  2 Fe3O4 + CO2 H = - 10.330 kal 6)


Fe3O4 + CO  3 FeO + CO 2 H = + 8.750 kal 7)
FeO + CO  Fe + CO 2 H = - 3.990 kal 8)

Fe2O3 + 3CO  2 Fe3O4 + 3CO2 H = - 5.570 kal 9)

Jika mekanisme reaksi yang terbentuk seperti reaksi 9 maka sangat dimunkinankan
terbentuknya gas CO hasil reaksi oksidasi dari gas oksigen (baik yang ada dalam bijih besi
atau gas sisa yang ada didalam crusibel) dengan carbon dari bahan reduktor seperti reaksi
berikut :
C + ½ O2  CO 10)
Tahapan reduksi oksida besi oleh CO dapat dilihat pada Gambar 3, yang memuat kurva
keseimbangan antara Fe – C – O atau Fe – H – O (Coudrier,L,dkk, 1985).

Gambar 3. Diagram kesetimbangan CO/CO2, H2/H2O, reaksi boudodouard’s CO2 + C  2CO

Tanpa adanya penambahan C padat, CO2 + C  2CO tidak memegang peranan


Seminar Material Metalurgi 2010

penting maka proses dengan bahan reduktor CO, reaksi boudodouard’s dapat diabaikan.
Dibawah kurva terdapat Fe3O4 , sesungguhnya Fe2O3  Fe3O4, reaksi ini terjadi cukup
sempurna walaupun jumlah CO cukup kecil. Kurva bagian atas menunjukan persen CO yang
diperlukan untuk mereduksi Fe3O4  FeO  Fe. Kurva Fe3O4  Fe. Keseimbangan pada
daerah ini sulit tercapai karena temperature terlalu rendah, sehingga reaksi berjalan sangat
lambat. Reduksi FeO Fe terjadi diatas temperature 560 OC, dengan CO diatas 50 %.
Bagaimana jika digunakan karbon padat( C) seperti pada percobaan ini. Maka terjadi
hal-hal sebagai berikut , jika temperature reduksi tercapai untuk oksidasi C dengan O2 atau
dengan CO2 yang ada di dalam tungku membentuk CO, setelah reaksinya cukup maka juga
terbentuk reaksi :

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 233
Fe3O4 + CO  3FeO + CO2 11)
FeO + CO  Fe + CO2 12)
CO2 yang terbentuk akan mempercepat pembentukan gas CO dengan reaksi boudodouard’s.
CO2 + C  2CO 13)
Reaksi 11, 12 dan reaksi 13 terjadi secara simultan, dan dimulai pada potongan kurva
kesetimbangan antara Fe3O4  FeO dan FeO  Fe dengan CO2  CO. Reaksi11 terjadi
pada temperature 740 OC, reaksi 12 terjadi pada temperature diatas 800OC, dimana reaksi ini
berjalan lebih lambat dan memerlukan CO yang lebih banyak dibandingkan reaksi 11.
Kelancaran atau tercapainya reaksi tergantung pada jumlah CO diatas 60 %. Dengan control
temperature dan konsumsi yang carbon yang cukup maka reaksi akan dapat berjalan dengan
lancer.

KESIMPULAN
Pembuatan sponge iron yang telah dilakukan, memberikan hasil recovery cukup
tinggi, hal ini terbukti dari hasil peleburan sponge iron menggunakan tunggku listrik yaitu
mencapai 90 % untuk pemakaian bahan reduktor 25 % dengan penahanan waktu 2 jam. Dari
hasil yang dicapai dapat membrikan solusi dalam pengolahan pasir besi di Indonesia,
sehingga dapat di manfaatkan lebih cepat. Sesuai dengan teori pembuatan sponge iron,
dilakukan pada reactor yang bebeda untuk proses peleburan guna memisahkan logam besinya,
sehingga sponge dapat diproduksi oleh pabrik yang berlainan dengan pabrik peleburan.
Dalam segi investasi tentunya tidak begitu besar dibandingkan dengan pembuatan sekaligus
dengan tungku peleburan. Namun untuk produksi dalam skala komersial masih perlu
dilakukan pengkajian lagi baik dari segi proses maupun jenis peralatan yang akan digunakan,
apakah proses yang dilakukan batch atau kontinyu. Sedangkan peralatan reduksi yang
digunakan juga perlu di kaji apakah akan menggunakan rotary kiln, tunnel kiln, rotary heart
furnace (RHF), dll. Pemilihan peralatan tentunya atas pertimbangan bahan reduktor yang
digunakan, bahan bakar ataupun investasi yang paling ekonomis. Semoga tulisan ini sebagai
salah satu insfirasi dalam pemanfaatan pasir besi di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
1. Coudurier. L, Hopkins. D. W, Wilkomirsky. I, “ Fundamentals Of Metallurgical
Processes”, 2 nd Edition, International Series On Materials Science and technology,
volume 27, 1985.
2. Biswas, A.K, “ Principles of Blast Furnace Ironmaking” , Cootha Publishing
House,Brisbane,. Australia. 1981.
3. After A.Muan and E.F.Osborn,”Fhase Equilibria Among Oxides in Stellmaking”, Addison
Wesley, 1965.
4. Direct from midrex, from the hearth RHF Tecnologies special report winter, http://
www.midrex.com. 2007/2008.
5. Indarto katim,Ir, Laporan akhir, Riset Unggulan Terpadu 1,” Pemanfaatan Pasir besi titan
untuk pembuatan besi cor, titan oksida dan logam titan”, Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Metalurgi – LIPI, 1993/1994.
Seminar Material Metalurgi 2010

6. Pramusanto, Nuryadi S,Dessy A, Yuhelda D,”Peningkatan Nilai Tambah Mineral Besi di


Indonesia”, Prosiding, Indonesian Process Metallurgy Conference and Workshop (IPM
2008), Aula Timur ITB, Bandung, 4 – 5Desember 2008.

234 |  ISSN : 2085 – 0492


TEKNOLOGI BARU DALAM PENGOLAHAN NIKEL KADAR
RENDAH MENGGUNAKAN HEAP LEACH PROCESS

Edi Herianto
Puslit Metalurgi – LIPI
Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang
e-mail : edih001@lipi.go.id

Abstrak
Pengolahan bijih nikel laterit selama ini yang sudah dianggap layak dikembangkan secara ekonomis
adalah proses Caron dan HPAL (High Pressure Acid Leaching), PAL (Pressure Acid Leaching). Proses Caron
merupakan kombinasi proses pyrometalurgi dan hydrometalurgi dan digunakan larutan Ammonia Ammonium
Carbonate (AAC) sebagai bahan pelarut bekerja pada tekanan atmosfer. Sedangkan proses HPAL merupakan
proses hydrometalurgi dengan menggunakan larutan asam sulfat (H2SO4) sebagai bahan pelarut dan bekerja
pada tekanan tinggi. Namun industry yang mengembangkan kedua proses tersebut satu persatu mulai
menghentikan produksinya, tentunya hal ini ada masalah serius dalam proses yang dilakukan, kondisi ini
mungkin dapat ditinjau dari segi investasi, efisiensi ataupun dalam proses produksi. Teknologi dalam
pemanfaatan nikel laterit kadar rendah terus dilakukan di belahan dunia ini baik riset maupun
pengembangannya. Seperti yang dilakukan di China melebur apa adanya nikel laterit kadar rendah tersebut
untuk menghasilkan nickel containing pig iron (NCPI), karena mereka melihat kandungan besi yang tinggi di
dalam bijih nikel kadar rendah tersebut saying kalu diabaikan begitu saja. Namun teknologi yang digunakan
menggunakan jalur pyrometalurgy tentunya energy yang diperlukan cukup tinggi, kondisi ini akan berdampak
pada efisiensi pengolahan. Dekade tahun 2000-an pengembangan dengan jalur hydrometalurgi mulai
dikembangkan oleg Caldag, Turki dengan proses heap leaching. Walaupun teknologi ini belum sepenuhnya
dikatakan baik, namun efisiensi pengolahan dan investasi sudah mulai terlihat manfaatnya, akan tetapi ditinjau
dari efisiensi waktu proses boleh dibilang belum sepenuhnya sukses. Karena proses produksi juga dipengaruhi
oleh cuaca, seperti curah hujan dan penguapan. Pada tulisan ini dicoba untuk mengulas bagaimana teknologi
yang sudah ada dan teknologi baru sperti heap leach process. Semoga tulisan ini dapat memberikan insfirasi
bagi para peneliti untuk melakukan riset dan pengembangan bijih laterit kadar rendah, karena Indonesia sangat
potensial untuk mineral tersebut yang sampai saat ini sama sekali belum diolah.

Kata Kunci : Nikel laterit kadar rendah, pyrometalurgy, hydrometalurgi, caron, HPAL, heap leach process.

PENDAHULUAN
Pada dasarnya dikenal dua jenis bijih nikel yang mempunyai nilai ekonomis yaitu bijih
nikel sulfide dan bijih nikel laterit. Bijih nikel sulfide terbentuk oleh proses replacement atau
magmatic injection, terutama terdiri dari mineral pentlandit (Ni,Fe)9S8 dan mineral milerit
(NiS). Pada umumnya mineral sulfide tersebut diikuti bersama-sama oksida besi dan tembaga
sulfida misalnya chalcopyrite (CuFeS2) dan lain sebagainya. Bijih jenis ini banyak terdapat di
Kanada, Findlandia, Rusia dan Norwegia. Sedangkan bijih laterit atau juga disebut dengan
nikel oksida merupakan campuran komplek dari berbagai jenis oksida dan silikat diantaranya
oksida besi, kobal, aluminium, magnesium dan lain-lain. Mineral nikel yang terdapat pada
bijih jenis ini padaumumnya berupa garnierit (Ni,Mg)6Si4O10(OH)8 dan nickeliferrous
limonite (Fe,Ni)O(OH).nH2O. Bijih jenis ini terbentuk oleh pelapukan batuan ultrabasa yang
Seminar Material Metalurgi 2010

mengandung nikel, sehingga batuan ini banyak terdapat didaerah tropis dan sub-tropis. Bijih
oksida ini banyak terdapat di Kuba, New Caledonia, Philipina, Yunani, beberapa Negara
Amerika Latin dan termasuk Indonesia.Bijih nikel laterit dikenal dengan istilah laterit kadar
rendah atau lebih dikenal dengan sebutan limonit, sedangkan untuk nikel kadar tinggi lebih
dikenal dengan sebutan saprolit.
Teknologi untuk mengolah nikel kadar rendah atau limonit secara komersial , selama
ini digunakan proses Caron dan HPAL(High Pressure Acid Leaching), PAL (Pressure Acid
Leaching). Proses Caron merupakan kombinasi proses pyrometalurgi dan hydrometalurgi.
Pada proses Caron pelindiannya digunakan larutan Ammonia Ammonium Carbonate (AAC)
dan bekerja pada tekanan atmosfer. Sedangkan proses HPAL merupakan proses

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 235
hydrometalurgi dengan menggunakan larutan asam sulfat untuk pelindiannya dan bekerja
pada tekanan tinggi. Dari kedua teknologi tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya,
seperti proses Caron yang diterapkan di Punta Gorda, Greenvalle/yabulu merupakan proses
caron yang sudah dimodifikasi, namun bagaimanapun juga kedua proses ini dapat dikatakan
teknologi yang cukup mahal baik dari segi proses maupun investasinya, sehingga penelitian
dan pengembangan dengan proses baru yang lebih baik dari kedua proses tersebut terus
dilakukan. Teknologi baru untuk mengolah nikel laterit kadar rendah telah dikembangkan
oleh Caldag Turki dan dibeberapa Negara Australia seperti Minara, MetallicaMinerals
(Nornico Project) dan Heron Resources (Jump-UP Dump Project), dengan teknologi Heap
Leach Prosess, maka pada makalah ini akan dibahas apa dan bagaimana teknologi baru
tersebut.

NIKEL DAN KEBERADAAN BIJIH NIKEL


Nikel adalah sejenis logam yang berwarna kelabu perak, yang memiliki sifat fisik dan
kimia yang baik diantaranya kekuatan, kekerasan dan ketahanan terhadap korosi. Logam nikel
dengan lambang Ni, memiliki nomor atom 28 pada susunan berkala unsure-unsur, dan
memiliki masa atom 58,71, dengan masa jenis 8,9 gr/ml. Karena memiliki sifat-sifat fisik dan
kimia yang baik maka logam nikel banyak digunakan dalam berbagai bidang teknologi,
terutama dalam bentuk paduan. Paduan logam nikel dapat berbentuk logam-logam ferro
(besi-baja), maupun logam-logam non ferro (tembaga, aluminium, dll).Pemakaian paduan
logam diantaranya dalam bidang transformasi, konstruksi, informatika, peralatan-peralatan
laboratorium, peralatan perang, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam pemakaian logam
murni biasanya logam nikel dimanfaatkan untuk pelapisan logam lain sebagai menambah
kekerasan permukaan dan melindungi dari serangan korosi seperti electroplating, disamping
itu digunakan sebagai bahan bahan kimia dalam bentuk senyawa ataupun dimanfaatkan
sebagai katalisator. Saat ini penggunaan logam nikel semakin meluas dalam pengembangan
material maju (advend materials). Diantaranya untuk material magnet baik yang berupa
komposit maupun paduan (alloys).

Tabel 1. Senyawa mineral yang mengandung nikel.


Persentase Kandungan
Mineral Rumus Kimia
Nikel
Sulfida
Pendlandite (Ni,Fe)9S8 34.22
Milleite NiS 64.67
Heazlewoodite Ni3S2 73.30
Linnaeeite series (Fe,Co,Ni)3S4 Bervariasi
Polydimite Ni3S4 57.86
Violarite Ni2FeS4 38.94
Siegenite (Co,Ni)3S4 28.89
Arsenides
Niccolite NiAs 43.92
Seminar Material Metalurgi 2010

Maucherite Ni11As8 51.85


Rammelsbergite NiAs2 28.15
Gersdorffite NiAsS 35.41
Antimonide
Breithauptite NiSb 32.53
Arsenate
Annabergite Ni3As2O8.8H2O 29.40
Silicate & oxide
Garnierite (Ni,Mg)6Si4O10(OH)8 Bervariasi sampai 47 %
Nickeliferrous limonite (Fe,Ni)O(OH).nH2O Rendah tapi bervariasi

236 |  ISSN : 2085 – 0492


Bijih nikel di alam terdapat dalam berbagai bentuk senyawa mineral, namun yang
utamanya hanya ada dua mineral yaitu jenis sulfide dan jenis oksida. Mineral laterit dalam
bentuk oksida lebih dikenal dengan mineral laterit. Bijih nikel sulfide terbentuk oleh proses
replacement atau magmatic injection, terutama terdiri dari mineral pentlandit (Ni,Fe)9S8 dan
mineral milerit (NiS). Pada umumnya mineral sulfide tersebut diikuti bersama-sama oksida
besi dan tembaga sulfida misalnya chalcopyrite (CuFeS2) dan lain sebagainya. Bijih jenis ini
banyak terdapat di Kanada, Findlandia, Rusia dan Norwegia. Sedangkan bijih laterit atau juga
disebut dengan nikel oksida merupakan campuran komplek dari berbagai jenis oksida dan
silikat diantaranya oksida besi, kobal, aluminium, magnesium dan lain-lain. Mineral nikel
yang terdapat pada bijih jenis ini pada umumnya berupa garnierit (Ni,Mg)6Si4O10(OH)8 dan
nickeliferrous limonite (Fe,Ni)O(OH).nH2O. Bijih jenis ini terbentuk oleh pelapukan batuan
ultrabasa yang mengandung nikel, sehingga batuan ini banyak terdapat didaerah tropis dan
sub-tropis. Bijih oksida ini banyak terdapat di Kuba, New Caledonia, Philipina, Yunani,
beberapa Negara Amerika Latin dan termasuk Indonesia. Untuk lebih jelasnya senyawa dan
mineral-mineral yang mengandung nikel dapat dilihat pada Tabel 1, (Alcock R,A, 1988).
Bijih nikel laterit dikenal dengan istilah laterit kadar rendah atau lebih dikenal dengan
sebutan limonit, sedangkan untuk nikel kadar kadar tinggi lebih dikenal dengan sebutan
saprolit. Dialam endapan bijih nikel laterit umumnya terbagi 3 lapisan utama, yaitu lapisan
pertama ferricrate, lapisan kedua limonit dan lapisan ketiga adalah lapisan saprolit.
Komposisi utama pada lapisan pertama adalah bijih hematite (Fe2O3) dengan kandungan Fe
cukup tinggi yaitu diatas 50 %, dan kandungan nikel dibawah 0,8 %, cobalt sekitar 0,1 %,
selebihnya oksida silikat, alumina, mangan dan lain lain. Bagian ini merupakan lapisan paling
atas atau biasa disebut sebagai overburden. Lapisan kedua sebagai lapisan limonit juga
mengandung senyawa besi cukup tinggi yaitu antara 40 – 50 %, dan logam nikel sekitar 0.8 –
1,5 %, cobalt sekitar 0,1 – 0,2 % dan selebihnya oksida silikat, alumina, mangan dan lain lain.
Sedangkan lapisan ketiga merupakan lapisa saprolit mengandung senyawa besi cukup rendah
yaitu antara 25 - 40 %, dan logam nikel sekitar 1,5 – 3 %, cobalt sekitar 0,02 – 0,1 % dan
selebihnya oksida silikat, alumina, mangan dan lain lain. Untuk lebih jelasnya gambaran
lapisan bijih nikel yang ada di alam dapat dilihat pada Gambar 1(Lanagan,MD,2003).
Berdasarkan pemanfaatannya secara komersial, bijih nikel laterit pada umumnya
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu bijih laterit, limonit dan low gradesaprolit ore (LGSO)
(Zaki Mubarok,M, 2008).

Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 1. Lapisan ideal bijih nikel laterit dan jalur proses pengolahannya

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 237
Bijih nikel didunia sebagian besar atau dalam jumlah besar terdapat di Negara-negara
New Caledonia, Indonesia, Kanada, Cuba, Uni-Soviet, dan selebihnya terdapat dinegara-
negara Pilipina, Republik Dominika, Amerika Serikat, Australi, Guatemala, dan lain lain.
Untuk cadangan bijih nikel didunia dapat dilihat pada Tabel 2. (yusuf, 2005).
Sedangkan untuk potensi cadangan bijih nikel terutama terdapat dikawasan timur
Indonesia merupakan nomor 2 cadangan terbesar dunia tentunya sangat memberi berkah bagi
bangsa Indonesia, namun kenyataannya untuk bijih dengan kadungan nikel rendah belum di
manfaatkan sama sekali kecuali segian kecil diekspor, terutama ke Austalia itupun dengan
syarat tertentu. Cadangan bijih nikel laterit tersebar dibeberapa pulau diantaranya Pasir
Mayang Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, Pulau sebuku Kalimantan selatan,
Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan , Pulau Obi Maluku, Halmahera ( pulau gebe, Pulau
Gee, Pulau Pakal, Buli, dan Weda), Papua (Pulau Gag, kepulauan weagio dan Pegunungan
Cylops),(Puguh P, 2008). Sedangkan Indonesia hanya mengolah nikel laterit kadar tinggi
yaitu jenis saprolit. Diantaranya PT. Antam Tbk di Pomalaa untuk memproduksi ferronikel,
dan PT.INCO di Sorowako, untuk memproduksi nikel matte. Potensi cadangan bijih nikel di
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3, (Arifin Arif, 2007).
Tabel 2. Distribusi cadangan nikel laterit Dunia
Contained Ni % Known
Resources Tonnes Ni Grade
Country Tonnes World
(millions) (%)
(thaousands) Resources
Afrika1) 477 1,42 6773
South-west Pasific
Australia 233 1,22 2843
Indonesia 1.740 1,48 25752 19
New Caledonia 3.200 1,59 50880 37
Philipines 1.138 1,10 12518 9
Other2) 140 1,00 1400
Uni Soviet (USSR) 2700
Europe
Greece 253 1,11 2808
Other3) 164 1,03 1689
North America
USA 34 0,94 320
South America
Brazil 340 1,51 5134 4
Cuba 1.179 1,30 15327 11
Quatemala 298 1,55 4620
Others4) 200 1,54 3080

Total 135844 80

Sedangkan untuk potensi cadangan bijih nikel di Indonesia nomor 2 terbesar dunia
tentunya sangat memberi berkah bagi bangsa Indonesia, namun kenyataannya untuk bijih
dengan kadungan nikel rendah belum di manfaatkan sama sekali kecuali segian kecil
Seminar Material Metalurgi 2010

diekspor, terutama ke Austalia itupun dengan syarat tertentu. Sedangkan Indonesia hanya
mengolah nikel laterit kadar tinggi yaitu jenis saprolit. Diantaranya PT. Antam Tbk di
Pomalaa untuk memproduksi ferronikel, dan PT.INCO di Sorowako, untuk memproduksi
nikel matte. Potensi cadangan bijih nikel di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3, (Arifin Arif,
2007).

238 |  ISSN : 2085 – 0492


Tabel 3. Potensi endapan bijih nikel laterit di Indonesia.
No Lokasi Cadangan (Ton) Kadar Ni-Co (%)
1 Peg.Kukusan & S.Duwa 126.000.000 NiO : 0.7
2 P.Suwangi 250.000 NiO : 0.66
3 P.Darmawan 7.500.000 NiO : 0.04 – 1.42
4 P.Sebuku 426.497.000 NiO : 0.1 – 0.91
5 Bone Putih 2.200.000 Ni + Co : 0.09
6 Lingkona 1.500.000 Ni + Co : 0.09
7 Larona 370.000.000 NiO : 0.39 – 0.91
8 Lingkobale 1.500.000 Ni + Co : 0.09
9 Karipinan 1.000.000 Ni + Co : 0.09
10 Gn.Nuih 56.000.000 Ni + Co : 1.5
11 Soroako dan Sekitarnya 100.000.000 Ni : 1.67, Co : 0.15
12 Pomalaa 136.000.000 Ni : 1.28 – 2.45
13 Halmahera dan P.Gebe 93.300.000 Ni : 1.25 – 2.22
14 P. Obi 87.900.000 Ni : 1.20, Co : 0.07
15 P. Gag 262.000.000 Ni : 1.51, Co : 0.11
16 P. Weigeo 103.900.000 Ni : 1.32, Co : 0.16
17 P.Cycloop 53.000.000 Ni : 1.31, Co : 0.13

TEKNOLOGI PENGOLAHAN NIKEL KADAR RENDAH


Pengolahan bijih nikel laterit kadar rendah secara komersial selama ini digunakan
proses Caron dan HPAL(High Pressure Acid Leaching), PAL (Pressure Acid Leaching).
Proses Caron merupakan kombinasi proses pyrometalurgi dan hydrometalurgi. Pada proses
Caron pelindiannya digunakan larutan Ammonia Ammonium Carbonate (AAC), pada tekanan
atmosfer. Proses caron mulai diterapkan pada tahun 1944 – 1947 di Nicaro Cuba, kemudian
proses caron juga dilakukan di Punta Gorda, Niquelandia/Sao Paolo di brazil dan Queensland
Nickel Industries (QNI), Greenvalle/Yabulu di Australia, (arifin A, 2007, Zaki Mubarok,M,
2008). Proses caron membutuhkan energy yang cukup tinggi karena proses ini merupakan
kombinasi dari piro dan hydro metalurgi. Pada awalnya bijih perlu dikeringkan untuk
menurunkan kadar air sampai mencapai 2-3 %, Kemudian di gerus dan dilanjutkan proses
reduksi (roasting) pada temperature 850°C. Setelah direduksi kemudian didinginkan sampai
mencapai temperature 150 – 200°C, selanjutnya bijih dilarutkan dengan larutan Ammonia
Ammonium Carbonate (AAC) pada temperature kamar dan kodisi atmosfer. Didalam larutan
Nikel dan Cobalt membentuk suatu senyawa komplek dengan ammonia dan tetap dalam
kondisi stabil, sementara logam besi teroksidasi dan mengendap sebagai besi hidroksida
(Fe(OH)2). Namun teknologi Caron dirasakan kurang menguntungkan pada saat ini dimana
energy yang digunakan cukup mahal sehingga kurang ekonis, karena mahalnya sumber
energy baik yang berupa gas maupun bahan bakar minyak. Untuk diagram alir proses caron
dapat dilihat pada Gambar 2, (Zaki Mubarak,M,2008).
Selain proses Caron ada juga proses HPAL (High Pressure Acid Leaching), PAL
(Pressure Acid Leaching), untuk mengolah nikel laterit kadar rendah. Proses HPAL
merupakan proses hydrometalurgi dengan menggunakan larutan asam sulfat untuk
pelindiannya dan bekerja pada tekanan tinggi. Proses ini pertama kali dilakukan di Moa Bay
Seminar Material Metalurgi 2010

Cuba oleh Freefort dengan dukungan dari USA, pada tahun 1959. Pada dasarnya proses
HPAL melarutkan bijih nikel dengan larutan H2SO4 pada tekanan tinggi. Pada mulanya bijih
digerus terlebih dahulu kemudian dicampur dengan air untuk membentuk slury dengan persen
solid 20-30 %. Slury selanjutnya dimasukan ke dalam thickener untuk menaikan persen solid
hingga mencapai sekitar 45 %. Slury yang telah mencapai sekitar 45 % solid lalu dipanaskan
pada temperature 70-80°C sebelum diumpankan kedalam autoclave. Proses dilakukan pada
temperature sekitar 246°C, pemanasan menggunakan uap air pada tekanan tinggi sekitar 4,3
MPa atau sekitar 40 atm. Larutan nikel yang diperoleh cukup tinggi sekitar 94-95 %. Logam
lain yang terlarut termasuk juga logam kobal, mangan dan magnesium, sedangkan logam

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 239
lainnya tetap berada pada kondisi padat.Kelemahan pada proses ini diantaranya membutuhkan
investasi yang cukup tinggi karena peralatan khusus yang bertekanan tinggi yaitu berupa
reactor atau autoclave. Untuk lebih jelasnya diagram alir proses HPAL ditampilkan pada
Gambar 3, (Zaki Mubarak,M,2008).

Gambar 2. Diagram alir proses Caron


Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 3. Diagram alir proses PAL di Moa Bay, Kolumbia


Karena masih banyaknya kelemahan-kelemahan dari segi proses terhadap efisiensi
maka banyak proses Caron maupun HPAL secara komersial banyak yang berhenti,
diantaranya Bulong di Australia menggunakan proses HPAL tutup pada tahun 2003,
sedangkan untuk proses Caron yaitu Surigao dipilipina tutup pada tahun 1986. Sehingga
pengolahan bijih nikel laterit kadar rendah ini terus dilakukan penelitien dan pengembangan

240 |  ISSN : 2085 – 0492


dengan teknologi baru yang tentunya dianggap lebih effisien baik dari segi proses maupun
teknologinya. Untuk proses baru yang mulai dikembangkan adalah proses heap leaching,
untuk itu akan diulas bagaimana teknologi baru tersebut.

HEAP LEACH PROCESS


Teknologi dalam pengolahan nikel laterit kadar rendah saat ini mulai dikembangkan,
yaitu dengan teknologi proses heap leaching menggunakan asam sulfat (H2SO4) sebagai
pelarut. Dalam proses pengolahannya dimana tumpukan dari mineral nikel laterit kadar
rendah diletakan diatas lapisan yang impermeable misalnya sejenis rubber khusus yang
tahanterhadap larutan asam, lalu di beri larutan asam sulfat sebagai pelarut yang di jatuhkan
dari atas sehingga larutan asam sulfat mengalir secara alami atau tergenang pada tumpukan
selanjutnya melarutkan logam nikel sebagai nikel sulfat (NiSO4), sehingga logam nikel dan
logam lain yang terlarut terkumpul sebagai larutan metal sulfat (MxSO4), selanjutnya larutan
yang mengandung logam nikel dialirkan dengan pipa-pipa ke bak-bak penampung untuk
dilakukan proses selanjutnya. Pada proses heap leaching tidak apa pemisahan solid dan liquid
secara mekanik, pemisahan terjadi dengan sendirinya secara alami. Proses pelarutan cukup
memakan waktu yang lama karena tidak ada proses pengadukan, kecepatan pelarutan juga
tergantung dari karakteristik dari mineralogy bijih. Trial pertama yang dilakukan terhadap
ektraksi logam dengan proses ini adalah logam 73.2 % Nikel, 75.8 % Cobalt untuk waktu
proses selama 15 bulan. Untuk lebih jelasnya proses ektraksi logam Ni, Co dan Fe dari hasil
heap leaching dapat di amati pada Gambar 4, (Materials work, 2006). Sedangkan hasil
leaching test yang dilakukan oleh Metallica minerals dan Heron resources untuk ektraksi
logam yang terlarut terhadap waktu ditampilkan pada Gambar 5 dan Gambar 6 (Heron,
Longword,M,dkk,2007).

Gambar 4. Ektraksi test oleh caldag, turki untuk logam Ni, Co dan Fe
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 5. Leaching test untuk logam terhadap waktu oleh Heron resources

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 241
Gambar 6. Leaching test untuk logam terhadap waktu oleh Metallica minerals
Pengembangan teknologi heap leaching tersebut sedang dilakukan oleh Caldag, Turki
dan di Australia diantaranya Minara, Metallica Minerals (Nornico Project) dan Heron
Resources (Jump-up dump project). Diagram alir proses yang dilakukan di Australia
ditampilkan pada Gambar 10 dan 11. Nornico project di Australia merencanakan pabriknya
beroperasi pada awal tahun 2010 dengan kapasitas produksi 10.000 ton Ni + Co pertahun
dalam bentuk mixed hydroxide precipitate (MHP). Sedangkan caldag project merencanakan
produksi 21.400 ton nikel dan 1000 ton cobalt juga dalam bentuk mixed hydroxide precipitate
(MHP), dengan estimasi biaya sebesar US$268 million. Untuk pengembangan heap leaching
yang dilakukan oleh caldag project dapat dilihat pada Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar 9.
(mineral work, 2006), untuk diagram alir proses heap leaching di Mettalica inerals dan Heron
resources (Heron, Longword,M,dkk,2007) ditampilkan pada Gambar 10 dan Gambar 11.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 7. Lapisan/tumpukan bijih nikel laterit dalam proses heap leaching di caldag
Beberapa keuntungan teknologi heap leach process diantaranya kebutuhan energy
yang sangat rendah, karena dalam proses menggunakan jalur hydrometalurgi, investasi yang
kecil karena tidak diperlukan kontruksi pabrik dalam proses pelarutan. Pabrikasi hanya
dilakukan untuk mengolah produk hasil pelarutan. Hasil dari proses berupa tumpukan mineral
yang sudah diambil logam-logam berharganya tidak perlu dibuang kesuatu tempat atau
dengan kata lain tidak ada limbah hasil pelarutan yang berupa padatan. Dari segi proses cukup

242 |  ISSN : 2085 – 0492


sederhana. Namun kalau dilihat dari efisiensi waktu cukup lama disamping persentase
ektraksi sekitar 70 – 80 % untuk Nikel dan 60 -70 % untuk cobalt.

Gambar 8. Pengumpulan larutan logam dari proses heap leaching di Caldag

Gambar 9. Pabrik pengolahan larutan nikel di Caldag

Gambar 10. Diagram alir proses heap leaching di Metallica Mineral, Australia.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 11. Diagram alir proses heap leaching di heron Resources, Australia.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 243
KESIMPULAN
Bijih nikel laterit cukup berlimpah dibelahan dunia ini termasuk diantaranya
Indonesia. Memang logam laterit kadar rendah ini masih belum banyak teknologi yang
dilakukan untuk mengolahnya. Teknologi yang telah proven selama ini untuk mengolah laterit
kadar rendah adalah proses Caron dan HPAL (High Pressure Acid Leaching), PAL (Pressure
Acid Leaching), dengan beberapa kelehan dan kelebihan proses tersebut kurang begitu
berkembang walaupun masih ada menggunakan proses tersebut.
Di China untuk bijih laterit kadar rendah ini mereka melakukan proses pyrometalurgi
dengan jalur konvensional yaitu menggunakan tanur tiup (blast furnace) (Edi Herianto, 2008),
untuk menghasilkan produk nickel containing pig iron (NCPI), namun teknologi tersebut
cukup mahal, dan menggunakan energi cukup tinggi. Sejalan dengan waktu pengembangan-
pengembangan proses terus dilakukan untuk mengolah bijih nikel kadar rendah dengan
teknologi sederhana dan biaya operasional yang rendah. Saat ini sedang dikembangkan sutu
teknologi baru untuk mengolah bijih nikel laterit kadar rendah dengan jalur hydrometalurgi
yaitu dengan proses heap leaching. Proses ini cukup menjanjikan mengingat Indonesia
banyak terdapat bijih laterit kadar rendah yang sampai saat ini belum dilakukan
pengolahannya, semoga tulisan ini menjadi salah satu sumber informasi, pemikiran atau
wacana untuk penelitian dan pengembangan dalam negeri untuk mengolah bijih nikel laterit
kadar rendah yang ada di negeri ini.

DAFTAR PUSTAKA
1. Alcock,R,A,”The Character and Occurrence of Primary Resources Available to the nickel
industry”, Extractive metallurgy of Nickel and Cobalt, Edited by G.P. Troyler and C.A,
Landolt, 1988.
2. Zaki Mubarok, M,”Ektraksi Nikel dari Bijih Laterit Berkadar Rendah dengan Jalur
Hydrometalurgy”, Proceeding, Indonesian Process Metallurgy Conference and Workshop
(IPM 2008), Aula Timur ITB, Bandung, 4-5 Desember 2008.
3. Yusuf,”Strategi pengembangan Sumberdaya Nikel-Besi Laterit Indonesia”, Metalurgi,
Volume 20 Nomor 2, Desember 2005.
4. Puguh P,”Pemanfaatan Potensi Bijih Nikel Indonesia pada Saat ini dan Masa Mendatang”,
METALURGI”, Majalah Ilmu dan Teknologi Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI, Volume
23 Nomor 1, Juli 2008, ISSN 0126-3188, Akreditasi : SK 38/AKRED-
LIPI/P2MBI/9/2006
5. Arifin Arif,”prospek Penggunaan Proses HPAL untuk Pengolahan Bijih Nikel Kadar
Rendah Indonesia”, METALURGI”, Majalah Ilmu dan Teknologi Pusat Penelitian
Metalurgi – LIPI, Volume 22, Nomor 1, Juni 2007, ISSN 0126-3188, Akreditasi : SK
38/AKRED-LIPI/P2MBI/9/2006
6. Heron Resourcess, http://www.heronresources.com.au/downloads, diundu pada tahun
2010.
7. Longworth,M.Von Perger,D.,Bartsch,P.,”Jump-up Dam Nickel Laterit Heap Leach
Project”, ALTA 2007 Nickel Cobalt 12, ALtA Metallurgical Services,Melbourne, 2007.
8. Edi Herianto,”Peleburan Bijih Nikel Laterit Menggunakan Blast Furnace, Pelajaran dari
China” ,METALURGI”, Majalah Ilmu dan Teknologi Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI,
Seminar Material Metalurgi 2010

Volume 23 Nomor 2, Desember 2008, ISSN 0126-3188, Akreditasi : SK 38/AKRED-


LIPI/P2MBI/9/2006
9. Materials Works,”heaps of Nickel”, Mining Consultant Keith irons reports”, February
2006.

244 |  ISSN : 2085 – 0492


THE VIABILITY OF IN SITU GOLD PHYTOEXTRACTION IN
INDONESIA
DEPOSIT GEOCHEMISTRY PERSPECTIVE
Erik Prasetyo
UPT BPML – Indonesian Institute of Sciences
erik_exploreur@yahoo.com, erik005@lipi.go.id

Abstract
The solutions could be proposed as compromise between mining activities and environmental problems
are phytoextraction and phytomining. These methods use plants as accumulators of metal extracted from soils.
So far, phytoextraction concept is still in experimental stage and in this paper, the possibilities of direct
application in the field (in situ phytoextraction) would be reviewed from the deposit geochemistry perspectives:
the shared characteristics between substrate used in laboratories and substrate in the field, especially in
Indonesia, including supporting factors e.g. potential hyperaccumulating plants and chelating agents. In
general, supergene gold could be served as potential substrate and it is shown that gold content in supergene
horizon of Pongkor and Lebong Simpang deposit could be extracted based on minimum gold content in the
substrate.

Keywords: phytoextraction, phytomining, geochemistry, gold.

Abstrak
Salah satu solusi untuk menyelesaikan dan mencegah kerusakan lingkungan akibat aktivitas
pertambangan adalah phytoextraction dan phytomining. Secara sederhana, prinsip-prinsip ini menggunakan
tumbuh-tumbuhan sebagai penyerap unsur-unsur logam berharga di dalam tanah. Sejauh ini phytoextraction
dan phytomining kebanyakan masih dalam tahap eksperimental, dan dalam paper ini akan dikaji kemungkinan
penerapannya di lapangan dilihat dari kemiripan antara substrat (tanah) yang digunakan di laboratorium
(tanah) dengan karakter geokimia endapan bijih sebagai substrat di alam, khususnya di Indonesia disertai
pengaruh terhadap faktor-faktor lainnya seperti jenis hyperaccumulating plant yang potensial dan chelating
agent. Kajian ini secara umum menunjukkan endapan emas supergen adalah substrat yang potensial, dan
secara khusus endapan mineral di Pongkor dan Lebong Simpang memenuhi persyaratan phytomining dan dari
segi kandungan emas minimum di dalam horizon supergen.

Kata kunci: phytoextraction, phytomining, geokimia, emas.

1. Introduction
The mining activities in Indonesia were generally accused for environmental damages.
Although this is not necessarily true, the mining activities could affect the ecosystem balance.
The damages might become worse due to the fact that many mining concessions granted by
the government are overlapped with national parks and protected forests e. g. Gunung
Pongkor gold mines in Gunung Halimun national park, Timika copper-gold mines, etc.
One of several solutions proposed to solve this problem is by applying the principles
of phytoaccumulation. The principle has been developed by many interdisciplinary scientists
(botanists, geochemists, horticulturists, etc.) in last two decades. Phytoaccumulation (Figure
1) could be simply defined as process of absorption of metal elements by plants
(hyperaccumulating plants) from substrate (in this case soil), which then stored in their
Seminar Material Metalurgi 2010

tissues. In the beginning, the principles were applied to extract polluting heavy metal in soil
(phytoremediation) and further, the same principles are tried to absorb valuable metal
elements in soil (phytoextraction or phytomining) [1].
So far however, the phytoextraction concept is still in experimental stage, which
experiments were usually carried out in laboratories. In controlled conditions,
hyperaccumulating plants were planted in substrate with several treatments e. g. addition of
metal elements and ligands as solution into substrate. Only a few scientists have already
conducted field experiments, such as Anderson et. al [2]. In this experiment, the
hyperaccumulating plants were planted on oxidized ore pile, treated with addition of NaCN.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 245
The experiment concluded that the yield of 1 kg gold/ha was a realistic achievement for a
substrate contained 2 gr/ton Au.
In the future, the phytoextraction should be expected to be applied directly on mineral
deposits so that the environmental effects could be minimized to almost none. As forecast to
the case, this paper would review the viability of phytoextraction based on geochemical
characteristic of mineral deposits especially in Indonesia including a brief review on the other
factors, and how these geochemical characteristics affect the other factors.

Figure 1. Phytoaccumulation of metals by phytoaccumulating plants [3], influenced by concentration of metals


(M2+) and chelating agents (organic acids etc.).

2. Experimental phytoextraction
2.1 The role of hyperaccumulating plants
The organisms especially plants show the ability in selecting the elements they absorb.
However, these plant compositions are still affected by their geochemical environment. The
unfavorable conditions e.g. toxicity, could trigger the evolution and drastical change in
relatively short duration, which involve only several generations for a certain species. The
phenomenon could be easily noticed in natural geochemical environment e. g. mineral deposit
including its periphery or induced environment such as tailing ponds.
Although the plants biologically could select and control their chemical compositions
in certain range, the metal element concentration in their tissues correlates positively with the
abundance of the same elements in the substrate [4]. This would bring to the next question on
how much the metals could be extracted from the environment by hyperaccumulating plants.
For gold, there are several plants which have been proven as gold accumulator (Table
1). These plants are initially discovered to grow on weathered zone of mineral deposits and
Seminar Material Metalurgi 2010

serve as biogeochemistry indicators [5]. The role of these hyperaccumulating plants is directly
influenced by gold content in substrate. So that in experiments, the scientists added gold
solution with several concentrations into substrate and monitored their capacity to absorb gold
in relation to the concentration added. The table shows that the last two species accumulates
extremely high gold content in their tissues. Of these plants only four could be found naturally
in Indonesia (1, 4, 5, and 6) and in the future these plants could be used as potential
hyperaccumulating plants.

246 |  ISSN : 2085 – 0492


Table 1. List of gold accumulator species. Maximum gold contains in ppb dry weight based (various sources).
* denotes the species used in phytoextraction or phytomining experiments.

Max. Au content
Species [selected source]
(x)
Impatiens sp. [6]*, Lunicera sp.[6].*, Trifolium repens cv.
x ≤ 100 Prestige [7]*, Equisetum arvense [8], Corylus avellana [9],
Zea mays[9,10]*
Maianthemum bifolium[11], Cryptodiscus didymus[12],
Antennaria dioica[11], Rubus sacchalinensis[11], Hordeum
100 < x ≤ 400
brevisubulatum[11], Girgensohnia oppositiflora[12], Linnaea
borealis[11], Clematis vitalba[9]
Datura stramonium[9], Asarum europaeum[9], Rubus
400 < x ≤ 700
arcticus[11], Tilia parvifolia[9], Haplophyllum robustum[12]
Leucojum aestivum[9], Anthriscus silvestris[9],
*
Arrhenatherum elatius[6] , Salsola rigida[12], Lagochilus
x > 700
intermedius[12], Artemisia vulgaris[13,14]*, Brassica
juncea[4]*, Chilopsis linearis[15,16]*

2.2 The role of chelating agents


Besides the presence of hyperaccumulating plants, the phytoaccumulation also
depends on the kind and concentration of chelating agents. This factor was put into scientists
attention since metal elements especially Au migrate vertically and laterally in soil facilitated
by chelating agents to form complex compounds. As native mineral, gold is extremely
insoluble. So far in secondaire ore deposits e.g. lateritic deposits, Au has been identified to
form several complex species. The species formed depends on redox potential, pH, Eh,
salinity, and chelating agent concentration [17].
Experimentally, the scientists tried to improve the phytoaccumulation efficiency by
adding various chelating agents or ligands (additive) into substrate including KAuCl4 [4],
NaCN[2,7], NH4SCN[1], Hg(CH3COO)2[15], and cyanat[18]. Efficiency in this case refers to
the ratio between the grade of absorbed elements in hyperaccumulating plants with the grade
of the same elements in substrate (soil). However, there are still many additives screened and
investigated by scientists on how much they could increase the absorption efficiency. In
general, the role of chelating agents added into substrate could be grouped into two
categories: the first group as vigour enhancer [19] e.g. NO3-, NH4+, and the second group as
solubility and mobility enhancer, and served as ligands e. g. cyanide or tiocyanide.

3. Geochemical characteristics of secondary gold deposits


The substrate where the plants grow is soil, which is overlapping zone between
biosphere and lithosphere. The soil formation by means of weathering could release valuable
metal elements from the source rock (primary ore deposits) and accumulate the metal in
enrichment zone as part of soil profiles. If the enrichment process proceeds intensively, it
would form a secondary ore deposit. For primary ore deposits, the phytoextraction is
Seminar Material Metalurgi 2010

considered futile since there are only few plants could survive on fresh rock substrate.
In Indonesia at least exist two types of gold deposits formed by weathering process:
supergenes, and alluvial. There is no ore deposit occurs exclusively as Au supergene, but the
occurrence of this type of deposits are always associated with primary Au deposits in the
same location as weathering product of primary Au deposits e. g. epithermal, porphyry,
sediment hosted etc. Indeed, the identification of this secondary ore deposits in exploration
program usually would reveal the primary ore deposit beneath. However the feasibility studies
usually indicate that the primary zone has more economic values than the secondary zone, so
that the weathering zone would be discarded as overburden (waste).

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 247
Figure 2. shows the distribution of placer Au deposits (alluvial gold) and primary gold
deposits which several of them associated with supergene Au deposits such as Tapadaaa[20],
Tombulilato[21], Kaputusan[22], Bulagidun[23], Grasberg[24], Batu Hijau[25], Mt.
Muro[26], Mirah[27], Lebong Simpang[27], and Pongkor[28]. The maximum thickness of
this supergene horizons various from 25 m in Mirah [27] and Mt. Muro[26], and could reach
250 m as in Pongkor[28]. Unfortunately, Au grade data in these horizons is quite scarce. The
scarcity is due to the fact that these horizons are usually economically unimportant and
abandoned in exploration program. However, the exploration program for supergene horizons
in Pongkor yield average grade 26 ppm Au [28], Lebong Simpang with 20 ppm Au[27], and
Kaputusan with 0.44 ppm Au [22].

Figure 2. The location of alluvial and primary gold prospect in Indonesia [27].

3.1 Alluvial gold deposits


Placer (alluvial) deposit could be simply defined as alluvial or elluvial accumulation
which bear valuable minerals formed by weathering product in trap location [29], as shown in
Figure 3. The mechanical concentration of valuable minerals released or formed by physical
weathering in alluvial accumulation depends on grain size and specific gravity. The most
valuable minerals found in alluvial are native platinum, native gold, cassiterite, monazite,
ilmenite, zircon, diamond, garnet, columbite-tantalite, rutile, etc [30]. One important thing to
bear in mind is in this type of deposit, the valuable elements mobilized from the source to the
depositional location as suspension particles, not as solution or colloid.
Tropical climate in Indonesia causes the chemical weathering more favorable to occur,
so that the occurrence of placer gold (alluvial gold) deposits as product of physical weathering
Seminar Material Metalurgi 2010

are quite rare. The main characteristic of this type of deposits is still unconsolidated sediment
(Figure 4), which indicates the recentness of deposit formation in Quarternary basin e.g.
alluvial plain. The sediment consists of sand – pebble size grain, mixed with clay or silt. The
gold as native mineral is found in gold bearing horizon which distribute regularly or
irregularly both in lateral and vertical direction, with thickness could reach several meters.
The gold grade is usually erratic in vertical direction.

248 |  ISSN : 2085 – 0492


Figure 3. Origin of placer gold deposits, as shown here the gold particles released from quartz veins by
weathering and erosion then carried downstream and deposited where the water slows[29].

3.2 Supergene gold deposits


Supergene could be simply defined as metal element enrichment by meteoric water
circulation which oxydize and chemically disintegrate the primary mineral deposit. Metal
elements as oxidation and leaching product of primary minerals would migrate downward
along with groundwater percolation and would be accumulated in enrichment zone at the base
part of weathering horizon (Figure 5).

Figure 4. Surface appearance of alluvial gold deposits (left) and profile (right), consists of unconsolidated
sediments (pebble, sand, mud) location: Murung Raya, Central Kalimantan.

Genesis of supergene gold depends on several factors: environment (geomorphology,


climates, groundwater rate), psychochemical condition of ground water, and primary deposits
Seminar Material Metalurgi 2010

as metal elements source. So far, it is believed that Au is mobilized as complex compounds.


The ligands could be halide, organic acid, and sulphur complexes.
Element remobilization depends on the type of primary Au mineralization, the history
of climate change, and local environmental conditions, which affect the psychochemical
condition in the deposit profile. Au is known to be mobile if chelating agents exist. Au
dissolution can occur in the weathering front, saprolite (generally in the middle or top part of
the saprolite), ferruginous lateritic horizon, and soil (Figure 5).

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 249
Figure 5. Schematic representation of the main Au remobilization in lateritic profile under various conditions
from arid to humid tropical climates. The arid climate form the deeper enrichment zone[17].

4. Discussion
Based on geochemistry characteristics, alluvial deposits seems futile to be developed
with phytoextraction method, due to several considerations: first, the major role in alluvial
deposits is mechanical weathering which cause Au released, mobilized, and deposited as
suspension grains not as solution of complex compounds or ions. The gold suspension is hard
to absorb by hyperaccumulating plants. The second reason is the lack of nutrients in these
areas which cause only a few plant species can survive (see Figure 4).
However, the concept of transportation of gold as grain suspension is questioned by
Seeley and Senden [31]. Based on research on the location of alluvial gold deposits in
Ampalit and Cempaga Buang in Kasongan, Central Kalimantan, they deducted that Au was
transported vertically and horizontally by the percolation of ground water in the form of a
colloid stabilized by humic acids. Unfortunately, this opinion has not been widely accepted by
most of the economic geologist. So far there is no research investigates the possibility of
similar phenomenon in other Au alluvial deposits around the world. If this opinion is
acceptable, the viability of in situ gold phytoextraction for alluvial deposits should be
reevaluated.
Previous chapter about the types of gold deposit indicates that the best prospect so far
to develop in situ phytoextraction or phytoming is supergene Au deposits since the
characteristics (gold content and chelating process of gold) are quite similar to the
Seminar Material Metalurgi 2010

experimental substrate characteristics. In supergene Au deposits, the geochemical


characteristics that must be put into considerations in order to succeed phytoextraction or
phytoming are the depth zones of Au enrichment, gold concentration or gold content in the
substrate, and the presence and concentration of chelating agents or ligands. These factors
would affect the other aspects: the choice of hyperaccumulating plants and decision about the
kind and concentration of additive in order to facilitate these processes.
The lateritic gold deposits, a subtype of supergene gold formed in wet tropical
condition, has relatively shallow enrichment zone. This type of deposits probably occurs in
Sumatera e.g. Miwah and Lebong Simpang, Java e.g. Pongkor, Kalimantan e.g. Mt. Muro,

250 |  ISSN : 2085 – 0492


and Sulawesi e.g. Tombulilato. For shallow enrichment zone, the choice of
hyperaccumulating plants available is quite diverse, including herb, weeds, or vines.
Unfortunately, there is no report about hyperaccumulating plants native to Indonesia
for gold. Only five hyperaccumulating plants mentioned in the Table 1 and Table 2 can be
found in Indonesia, namely Brassica juncea, Medicago sativa, Trifolium repens, Zea mays,
and Artemisia ssp. These plants are not native to Indonesia and most of them are herbaceous.
The nativeness was emphasized here, due to the opinion that introduced aquatic weeds are one
of the most dangerous weed species by becoming invasive species [32] e.g. water hyacinth
(Eichornia crassipes). Most of the species listed in Table 1 and 2 have been known as good
indicators in exploration of gold deposits, but not yet proven its potential as
hyperaccumulating plants for gold. But at least the table above list a plant as a potential
hyperaccumulator since it is widespread in Indonesia: Datura.
In non lateritic gold deposit formed in arid condition, the example of this subtype
supergene gold deposits probably occurs in Lesser Sunda Islands e.g. Soripesa and Batu Hijau
in Sumbawa, and Lerokis/Kali Kuning in Wetar Island due to the low rainfall rate in these
regions. The enrichement zone probably exists in deeper horizon, based on supergene model
for arid condition by Freyssinet [17]. For this subtype of deposit, the hyperaccumulating
plants preferred are trees since they have deeper root penetration than herbaceous plants.
However, Table 1. only lists three tree plants which all of them are not native to Indonesia:
Tilia parvifolia from subtropical Asia and Europe, Chilopsis linearis from wet subtropic
North America and Pseudotsuga manziesii indigenous to North American desert. The
introduction of these plants need further study due to the different climate in the place of
origin from the climate in Indonesia.

Table 2. Minimum gold content in substrate (soil in ppb) required for several hyperaccumulating plants.

Min. Au content
Species[source]
(x)
Equisetum arvense[8], Anthriscus silvestris[9], Asarum
europaeum[9], Clematis vitalba[9], Cryptodiscus didymus[12],
Corylus avellana[9], Girgensohnia oppositiflora[12],
≤ 200 1
Haplophyllum robustum [12], Hordeum brevisubulatum[11],
Lagochilus intermedius[12], Salsola rigida[12], Tilia
parvifolia[9], Zea mays[9,10]
Maianthemum bifolium[11], Datura stramonium[9], Leucojum
200 < x ≤ 600
aestivum[9]
600 < x ≤ 1000 Lonicera altaica[11], Antennaria dioica[11]
Linnaea borealis[11], Rubus arcticus[11], Rubus
> 1000
sacchalinensis[11]

The concentration of gold in substrate correlates positively with the gold content in
substrate [4]. However this correlation seems specific for each species, for example from the
Seminar Material Metalurgi 2010

Table 2, Equisetum species required lower gold concentration in their substrate than Rubus
species in order to accumulate gold. Datura species which is considered as the most potential
hyperaccumulating plant so far require minimum gold content 600 ppb (0.6 ppm). If this
number compared with gold content in supergene horizon in Pongkor (26 ppm Au) and
Lebong Simpang (20 ppm Au), in situ phytoextraction and phytomining in these area is
viable.
Previous geochemical description indicated that each supergene gold deposit already
contain chelating agents with certain concentration in order to mobilize Au. The concentration
of these chelating agents in substrate also correlates positively with gold uptake rate in
phytoextraction and phytomining. However to increase the accumulation rate, the additives

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 251
have to be applied with extra caution and full of consideration since the addition would have
side effect to environment i.e. amount and concentration of ligand added. Phytoextraction and
phytomining applied to extract Au from waste (tailings) would allow the use of additives to
some degree.
The most extreme conditions are the phytoextraction and phytomining planned on
concession overlap with protected forests or national parks. In this case the addition would be
totally banned. However the tropical climate has its advantages, where the addition happens
naturally i.e. the addition of humic acid and other organic acids into the substrate as a result of
decomposition of leaf litter twigs on the forest floor [17]. This is one of the supporting factors
in situ phytoextraction and phytomining in protected forests which have to put into
consideration for almost all potential gold deposits.

5. Conclusions and future directions


Based on geochemical characteristics, only supergene gold deposit that mimics the
condition of idealized substrate according to phytoextraction and phytomining experiments
carried out by scientists. The problem posed by alluvial gold is only about perception. If the
theory about colloidal origin proposed by Seeley and Senden is widely accepted, the
possibilities of alluvial gold as substrate have to be reevaluated.
In situ phytoextraction and phytomining and phytoaccumulation so far are viable only
for two deposits: Pongkor and Lebong Simpang, based on minimum gold content required by
hyperaccumulating plants (Datura). The depth of enrichment zones would confine the kind of
hyperaccumulating plants used in phytomining, according to the depth of root penetration.
Since the ligand concentration would affect the gold uptake rate and the addition of this
compound could change the chemical equilibrium in substrate, this should be carried out only
with extra caution and consideration.
The two important things should be carried out in the future: the native
hyperaccumulating plants inventory, and reevaluation of gold content in many supergene
horizon associated to primary deposits in Indonesia.

Reference
[1] Anderson, C. W. N., Brooks, R. R., Chiarucci, A., LaCoste, C. J., Leblanc, M.,
Robinson, B. H., Simcock, R., and Stewart, R. B., Phytomining for nickel, thallium
and gold, Journal of Geochemical Exploration, Volume 67, Issues 1-3, Pages 407-415,
1999.
[2] Anderson, C., Moreno, F., and John Meech, J., A field demonstration of gold
phytoextraction technology, Minerals Engineering, Volume 18, Issue 4, Pages 385-392,
2005
[3] Sheoran, V., Sheoran, A. S., Poonia, P., Phytomining: A review, Minerals Engineering,
22, 1007–1019, 2009
[4] Bali, R., Siegele, R., and Harris, A. T., Phytoextraction of Au: Uptake, accumulation
and cellular distribution in Medicago sativa and Brassica juncea, Chemical Engineering
Journal, Volume 156, Issue 2, 15, Pages 286-297, 2010.
[5] Brooks, R. R., Biological methods of prospecting for gold, Jornal of geochemical
Seminar Material Metalurgi 2010

exploration, 17, 109-122, 1982.


[6] Anderson, C. W. N., Brooks, R. R. , Stewart, R. B., Gold uptake by plants,
Unpublished, 1998.
[7] Piccinin, R. C. R., Ebbs, S. D., Reichman, S. M., Kolev, S. D., Woodrow, I. E., and
Baker, A. J. M., A screen of some native Australian flora and exotic agricultural species
for their potential application in cyanide-induced phytoextraction of gold, Minerals
Engineering, Volume 20, Issue 14, Pages 1327-1330, 2007.
[8] Boyle, R. W., The geochemistry of gold and its deposits, Geol. Surv. Can. Bull, 280,
576 pp., 1979, in[5].

252 |  ISSN : 2085 – 0492


[9] Babička J., Gold in living organism (in German), Microchem. Verein. Mikrochim. Acta.,
31: 201-253, 1943, in[5].
[10] Girling, C. A., Peterson, J. P., Minski, M. J., Gold and arsenic concentrations in plants
as an indicator of gold mineralisation, Sci. Total. Env. 10, 79–85, 1978.
[11] Razin, L. V., and Rozhkov, I. S., Geochemistry of gold in the crust of weathering and
in the biosphere in the gold ore deposits of Kuranakh type, Nauka Press, Moskow, 256
pp., 1966, in[5].
[12] Khatamov, Sh., Lobanov, E. M., and Kist, A. A., The problem of the concentration of
gold in organs of plants within ore fields (in Russian). Dohl. Akad. Nauk. Tdzhik. SSSR,
9:27-30, 1966, in[5].
[13] Erdman, J. A., Olson, J. C., The use of plants in prospecting for gold: A brief overview
with a selected bibliography and topic index, J. Geochem. Explor. 24, 281–304, 1985,
in[18].
[14] Aripova, Kh., and Talipov, R. M., Concentration of gold in soils and plants in the
southern part of Tamdydau mountains, Uzb. Geol. Zh., 10: 45 – 51, 1966, in[5].
[15] Rodríguez, E., Peralta-Videa, J. R., Israr, M., Sahi, S. V., Pelayo, H., Sánchez-Salcido,
B., and Gardea-Torresdey, J. L., Effect of mercury and gold on growth, nutrient uptake,
and anatomical changes in Chilopsis linearis, Environmental and Experimental Botany,
Volume 65, Issues 2-3, Pages 253-262, 2009.
[16] Gardea-Torresdey, J. L., Parsons, J. G., Gomez, E., Peralta-Videa, J. R., Troiani, H. E.,
Santiago, P., Jose-Yacaman, M., Formation and growth of Au nanoparticles inside live
alfalfa plants, Nano. Lett. 2, 397–401, 2002, in[18].
[17] Freyssinet, P. H., Butt, C. R. M., Morris, R. C., and Piantone, P., Ore-Forming
Processes Related to Lateritic Weathering, Economic Geology 100th Anniversary
Volume pp. 681–722, 2005.
[18] Babula, P., Adam, V., Opatrilova, R., Zehnalek, J., Havel, L., and Kize, R., Uncommon
Heavy Metals, Metalloids and Their Plant Toxicity: A Review, Environmental
Chemistry Letters, 2008.
[19] Xie, H. L. , Jiang, R. F., Zhang, F. S., & McGrath, S. P., and Zhao, F. J., Effect of
nitrogen form on the rhizosphere dynamics and uptake of cadmium and zinc by the
hyperaccumulator Thlaspi caerulescens, Plant Soil, 318:205–215, 2009.
[20] Lowder, G.G., and Dow, J.A.S., Porphyry copper mineralization at the Tapadaa
prospect, northern Sulawesi, Indonesia. AIME Trans., 262: 191-198, 1977, in[27].
[21] Perelló, J.A., Geology, porphyry Cu-Au, and epithermal Cu-Au-Ag mineralization
of the Tombulilato district, North Sulawesi, Indonesia. J. Geochem. Explor., 50:
221- 256, 1994
[22] Bering, D., 1986, The exploration of the Kaputusan copper-gold porphyry (Bacan
Island, Northern Moluccas ), Federal Institute for Geosciences and Natural Resources,
Hannover, unpubl. Report 099386, 140 pp, 1986, in [27].
[23] Lubis, H., Prihatmoko, S. and James, L.P., Bulagidun prospect: a copper, gold and
tourmaline bearing porphyry and breccia system in northern Sulawesi, Indonesia, J.
Geochem. Explor., 50: 257-278, 1994.
[24] MacDonald, G.D. and Arnold, L.C., Geological and geochemical zoning of the
Seminar Material Metalurgi 2010

Grasberg Igneous Complex, lrian Jaya, Indonesia, 1994, in[27].


[25] Meldrum, S.J., Aquino, R.S., Gonzales, R.I., Burke, R.J., Suyadi, A., Irianto, D. and
Clarke, D.S., The Batu Hijau porphyry copper-gold deposit, Sumbawa Island,
Indonesia, J. Geochem. Explor., 50: 203-220, 1994.
[26] Simmons, E.F. and Browne, P.R.L., Mineralogy, alteration and fluid-inclusion studies
of epithermal gold-bearing veins at the Mt. Muro prospect, central Kalimantan
(Borneo), Indonesia, 1990, in[27].
[27] van Leeuwen, T. M., 25 Years of mineral exploration and discovery in Indonesia,
Journal of Geochemical Exploration, 50, 13-90, 1994.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 253
[28] Milési, J. P., Marcoux, E., Sitorus, T., Simandjuntak, M., Leroy, J., and Bailly, L.,
Pongkor (west Java, Indonesia): a Pliocene supergene-enriched epithermal Au-Ag-(Mn)
deposit, Mineralium Deposita 34: 131–149, 1999.
[29] Carey, S. P., Giant Placers of the Victorian Gold Province, SEG newsletter, 2004.
[30] Devismes, P., Atlas Photographique des Mineraux d’Alluvions, Bureau de Recherches
Géologiques et Miniéres, 1978.
[31] Seeley, J. B. and Senden,T. J., Alluvial gold in Kalimantan, Indonesia: A colloidal
origin? Journal of Geochemical Exploration, Volume 50, Issues 1-3, Pages 457-478,
1994.
[32] Hanum,I. F. and van der Maesen, L. J. G. (Editors), Prosea 11: Auxiliary Plants 1997.
Seminar Material Metalurgi 2010

254 |  ISSN : 2085 – 0492


KOMBINASI PELAPISAN Cr DAN NITRIDING SUHU TINGGI PADA
MARTENSITIC STAINLESS STEEL AISI 420

Efendi Mabruri dan M. Syaiful Anwar


Pusat Penelitian Metalurgi-LIPI, Kawasan Puspiptek
Gd. 470 Serpong, Tangerang 15314, Indonesia
e-mail: efendi_lipi@yahoo.com

Abstrak
Pengembangan sistem lapisan untuk komponen turbin uap saat ini di arahkan untuk menggantikan
stellite dengan material yang memiliki kombinasi yang bagus antara sifat tahan erosi/abrasi dan sifat ketahanan
oksidasi suhu tingginya. Material keramik (karbida, nitrida dan oksida logam) dipilih sebagai lapisan
pengganti stellite karena memiliki ketahanan erosi/abrasi yang tinggi sekaligus juga memiliki ketahanan
oksidasi yang bagus. Pada tulisan ini akan dilaporkan hasil sementara dari percobaan kombinasi proses
elektroplating Cr dan nitriding suhu tinggi terhadap baja tahan karat AISI 420. Hasil percobaan menunjukkan
bahwa unsur N terdeteksi oleh EDS sebesar 1,50 % atom atau 0,44% berat N pada permukaan baja 420 setelah
proses nitriding pada suhu 1050 oC selama 3 jam dan menggunakan gas N2. Akan tetapi unsur N tidak terdeteksi
atau terdeteksi sangat lemah pada permukaan lapisan Cr setelah proses nitriding yang sama. Proses kombinasi
elektroplating Cr dan nitriding menghasilkan lapisan yang memiliki kekerasan yang jauh lebih tinggi dari pada
kekerasan material awal (baja 420) dan dari pada kekerasan lapisan Cr saja akibat terbentuknya karbida Cr-C
selama proses nitriding.

Kata kunci: nitriding suhu tinggi, pelapisan krom, baja tahan karat martensitik 420, turbin uap.

Abstract
Recently, the develompment of coating system for steam tutbine components is focusing to replace
stellite with other material having better combination of wear/ abrasion resistance and high temperature
oxidation resistance. Ceramic materials (carbides, nitrides and oxides) are the potential candidates to replace
stellite due to excellent erosion/abrasion and oxidation resistances. This paper reports the experiment of Cr-
electroplating and subsequent high temperature nitriding processes on martensitic stainless steel 420. The
experimental results showed that nitrogen (N) of 1.50 at.% or 0.44 wt.% was detected by EDS on the 420 steel
sufaces after nitriding at 1050 oC for 3 hours using N2 gas. Nitrogen was weakly detected or undetected on the
surface of Cr-plated layer after the same nitriding processes. The coating resulted from combination of Cr-
electroplating+nitriding processes has much higher hardness (HV) than that of Cr-coating due to the Cr-C
formation during nitriding process.

Keywords: high temperature nitriding, chromium electroplating, martensitic stainless steel 420 , steam
turbines.

PENDAHULUAN
Komponen-komponen struktur yang beroperasi pada suhu tinggi seperti pada sistem
turbin uap atau turbin gas harus memiliki kekuatan yang memadai pada suhu tinggi dan
ketahanan terhadap oksidasi dan korosi suhu tinggi. Pada turbin uap, suhu operasi komponen
turbin berkisar antara 600-700oC dengan lingkungan berupa uap air superkritis dengan
tekanan bisa mencapai 24 Mpa. Untuk meningkatkan umur pakai komponen turbin uap,
Seminar Material Metalurgi 2010

komponen perlu dilapis dengan material lain yang memiliki ketahanan oksidasi dan abrasi
yang lebih baik. Komponen turbin uap biasanya dibuat dari baja tahan karat martensitik yang
dilapis dengan stellite (paduan berbasis kobal) untuk meningkatkan ketahanan aus terhadap
tumbukan droplet uap air bertekanan tinggi. Pelat stellite normalnya disolder dengan perak
(Ag) pada permukaan sudu turbin. Akan tetapi penyolderan dengan perak menimbulkan
masalah yang berkaitan dengan biaya, keandalan dan sebagainya, misalnya (1) cadmium
yang terkandung di dalam solder berbahaya bagi tubuh manusia; (2) ongkos kerja
penyolderan perak yang mahal; dan (3) defek kecil pada solder perak dapat menyebabkan
retak fatik.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 255
Pengembangan sistem lapisan untuk komponen turbin uap saat ini di arahkan untuk
menggantikan stellite dengan material yang memiliki kombinasi yang bagus antara sifat tahan
erosi/abrasi dan sifat ketahanan oksidasi suhu tingginya. Oleh karena itu diperlukan material
lapisan yang memiliki kombinasi yang baik antara sifat tahan abrasi dan oksidasi suhu tinggi.
Beberapa penelitian mengembangkan pelapisan keramik nitrida seperti TiN dan CrN. Material
keramik dipilih sebagai lapisan pengganti stellite karena memiliki ketahanan erosi/abrasi yang
tinggi sekaligus juga memiliki ketahanan oksidasi yang bagus. Akan tetapi proses yang
dilakukan masih relatif mahal yaitu ion plating. Penulis telah melakukan penelitian untuk
mendapatkan lapisan tahan abrasi/aus pada material baja tahan karat martensitik 420 sebagai
material yang biasa digunakan untuk sudu turbin uap. Ada tiga macam proses pelapisan yang
dilakukan yaitu masing-masing Hot Dip Aluminizing untuk melapiskan Aluminium yang
diharapkan akan terbentuk intermetalik (Fe,Cr) Aluminide pada lapisan, Pack Boronizing
untuk mendeposisikan Boron yang diharapkan akan terbentuk (Fe,Cr) Boride pada lapisan,
dan Proses Nitriding untuk mengendapakan unsur Nitrogen yang dikombinasikan dengan Hot
Dip Aluminizing atau Pack Boriding yang diharapkan akan terbentuk senyawa Nitrida (AlN,
BN) pada lapisan dan kombinasi proses elektroplaitng dan nitriding suhu tinggi yang
diharapkan akan membentuk senyawa krom nitrida pada lapisan. Pemilihan material lapisan
tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa senyawa aluminide, boride dan nitride memilkiki
kekerasan dan ketahanan abrasi yang tinggi. Pada tulisan ini akan dilaporkan hasil sementara
dari percobaan kombinasi proses elektroplating Cr dan nitriding terhadap baja tahan karat
AISI 420.

PROSEDUR PERCOBAAN
Bahan yang digunakan untuk percobaan ini adalah pelat baja tahan karat martensitik
AISI 420 yang diperoleh dari pasaran. Dari pelat tersebut dibuat sampel berbentuk persegi
panjang dengan ukuran 20 x 10 x 3 mm. Sebelum dilakukan proses pelapisan, sampel
diampelas sampai ukuran #600, dan dibersihkan dengan etanol di dalam pembersih ultrasonik
selama sepuluh menit. Proses elektroplating dilakukan di dalam campuran larutan asam
kromik dan asam sulfat pada rapat arus dan suhu 60oC serta waktu pelapisan selama 2, 5 dan
8 jam. Pelat baja 420 ditempatkan sebagai katoda sedangkan sebagai anoda digunakan Pb.
Untuk memilih sampel yang akan diproses selanjutnya dengan nitriding, setelah proses
elektroplating selesai kemudian pelat dipotong melintang, dimounting dengan resin,
diampelas sampai #1000, dipoles dengan alumina sampai ukuran 1 mikron dan kemudian
dilakukan pengamatan melintang sampel dengan mikroskop optik. Berdasarkan ketebalan dan
keseragaman lapisan, pelat yang dilapis selama 5 jam dipilih untuk dilakukan proses nitriding
suhu tinggi. Proses gas nitriding suhu tinggi dilakukan terhadap sampel baja 420 ysng belum
dilapis krom dan yang sudah dilapis sebelumnya dengan elektroplating krom. Proses nitriding
dilakukan di dalam tungku tabung pada suhu 1050oC selama 3 jam dengan dialirkan gas
nitrogen selama proses berlangsung. Proses gas nitriding dilakukan pada suhu yang lebih
tinggi agar lapisan krom oksida yang terbentuk pada lapisan krom diharapkan menguap pada
suhu tinggi sehingga tidak menghalangi proses nitriding. Gas syang digunakan hanya nitrogen
, tidak menggunakan gas amoniak seperti gas nitriding suhu rendah (570oC). Setelah proses
selesai sampel dikeluarkan dari tungku dan didinginkan di udara. Sampel kemudian dipotong
Seminar Material Metalurgi 2010

melintang dan dilakukan preparasi metalografi standar untuk dilakukan pengamatan


metalografi dengan mikroskop optik, pengukuran kekerasan mikro Vickers dan pengamatan
dengan SEM/EDS.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Gambar 1 menunjukkan gambar mikroskop optik terhadap struktur mikro hasil
elektroplating Cr dan kombinasi lapis Cr+nitriding pada baja tahan karat 420. Dari Gambar 9
terlihat bahwa proses elektroplating terdiri dari satu lapisan, sedangkan kombinasi proses
elektroplating dan nitriding terdiri dari dua lapisan, lapisan yang lebih tebal bagian atas masih

256 |  ISSN : 2085 – 0492


merupakan lapisan Cr, sedangkan lapisan tambahan yang lebih tipis di bawahnya merupakan
lapisan yang terbentuk akibat interdifusi antarmuka lapisan Cr dan substrat baja yang terjadi
pada saat proses nitriding suhu tinggi. Untuk mengetahui komposisi kimia lapisan dilakukan
pengamatan struktur mikro dengan SEM (Scanning Electron Microscope) dan analisa kimia
EDS (Energy Dispersive X-Ray Spectrometer). Gambar 2 adalah gambar SEM dan hasil
analisa EDS untuk penampang melintang lapisan nitriding terhadap baja 420, yang
menunjukkan bahwa pada daerah dekat permukan lapisan terdiri dari unsur mayor baja 420
yaitu Fe, Cr, Si, C dan terdapat pula unsur nitrogen (N) dari proses nitriding dalam jumlah
kecil ( 1,50 % atom atau 0,44% berat). Sedangkan pada lapisan Cr+nitriding, hasil analisa
EDS tidak menunjukkan adanya unsur N, yang terdeteksi hanya unsur Cr dan C pada lapisan
dekat permukaan seperti ditunjukkan oleh Gambar 3.

AISI 420+ Lapis Krom AISI 420+ Lapis Krom+ Nitriding


Gambar 1. Struktur mikro hasil elektroplating Cr dan kombinasi lapis Cr + nitriding pada baja tahan karat 420.
Nitriding dilakukan pada suhu 1050oC selama 3 jam.

LG10000
3000

2700
FeKa

2400
CrLa FeLl FeLa

2100

1800
Counts

1500
CrKa
CKa NKa CrLl

1200
FeKb

900
FeKesc

CrKb
SiKa

600

300

0
LG1 0.00 3.00 6.00 9.00 12.00 15.00 18.00 21.00
30 µm keV
Seminar Material Metalurgi 2010

ZAF Method Standardless Quantitative Analysis


Fitting Coefficient : 0.3959
Element (keV) Mass% Error% Atom% Compound Mass% Cation K
C K* 0.277 3.72 0.35 14.86 0.8761
N K* 0.392 0.44 0.62 1.50 0.7824
Si K* 1.739 0.45 0.34 0.77 0.2681
Cr K 5.411 13.57 0.50 12.53 16.0098
Fe K 6.398 81.83 0.73 70.35 82.0636
Total 100.00 100.00
Gambar 2. Gambar SEM dan komposisi kimia lapisan pada sampel baja 420 yang dilakukan nitriding pada
suhu 1050oC selama 3 jam.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 257
001
5000

4500
001

CrKa
4000

3500

CrLl CrLa
3000

Counts
2500

2000

CrKb
CKa
1500

1000

500

0
0.00 3.00 6.00 9.00 12.00 15.00 18.00 21.00
100
100 µm
µm keV

(a) (b)
ZAF Method Standardless Quantitative Analysis
Fitting Coefficient : 0.4078
Element (keV) Mass% Error% Atom% Compound Mass% Cation K
C K 0.277 14.76 0.35 42.84 5.0557
Cr K 5.411 85.24 0.75 57.16 94.9443
Total 100.00 100.00
(c)
Gambar 3. (a) Gambar SEM (b) Spektrum EDS (c) Hasil analisa kuantitatif EDS pada penampang melintang
lapisan Cr+nitriding.

Ada dua kemungkinan mengapa unsur N tidak terdeteksi oleh analisa EDS pada
lapisan Cr+nitriding. Kemungkinan yang pertama lapisan nitrogen yang terbentuk sangat tipis
sehingga tidak teranalisa kimia pada penampang melintang oleh EDS, tetapi bisa diperiksa
dengan menggunakan XRD pada permukaan luar. Yang kedua, absorpsi N pada permukaan
sampel belum terjadi pada waktu proses nitriding yang singkat (dalam hal ini 3 jam), sehingga
membutuhkan waktu proses nitriding yang lebih lama untuk mendepositkan N dari N2 ke
permukaan lapisan Cr. Sebagai perbandingan telah dilakukan pemetaan unsur Fe, Cr dan N
oleh EDS pada permukaan melintang lapisan cr+nitriding yang hasilnya ditunjukkan oleh
Gambar 4. Dari gambar tersebut terlihat unsur Fe terdistribusi kuat pada substrat baja 420,
sedangkan unsur Cr terdistribusi kuat pada lapisan. Sedangkan unsur N terpetakan sangat
lemah pada lapisan yang menunjukkan konsentrasi yang sangat lemah atau bahkan tidak
terdeteksi.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 4. Pemetaan (mapping) unsur Fe, Cr dan N pada pernampang melintang lapisan Cr+nitriding.
Terdeteksinya unsur C pada lapisan Cr+nitriding sebesar 42,84% atom (14,76%berat)
seperti ditunjukkan oleh hasil EDS pada Gambar 3 (c) menunjukkan adanya interdufusi C

258 |  ISSN : 2085 – 0492


dari baja ke dalam lapisan Cr selama proses nitriding. Unsur C mempunyai ukuran yang jauh
lebih kecil dari Fe ataupun Cr sehingga C dapat berdifusi lebih cepat secara interstisi di dalam
Cr dibandingkan dengan Fe yang harus berdifusi secara substutusi di dalam Cr. Adanya difusi
C di dalam Cr ini membentuk karbida Cr-C yang mempunyai kekerasan yang tinggi.
Pengukuran kekerasan HV pada lapisan Cr+nitriding ini menunjukkan harga yang jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan kekerasan pada lapisan Cr saja tanpa nitriding seperti ditunjukkan
oleh Gambar 5. Kekerasan yang tinggi ini menyebabkan lapisan menjadi getas (brittle)
sehingga mudah retak akibat pendinginan cepat setelah proses nitriding. Retak-retak pada
lapisan Cr+nitriding ini dapat telihat pada Gambar 3 (a) dan 4 (a).

1000,0 926,5
900,0
800,0
700,0
Kekerasan (HV)

573,4
600,0
500,0
400,0
300,0
172,3
200,0
100,0
0,0
AISI 420 Lapis Krom LapisKrom+Nitriding
Jenis Material

Gambar 5. Kekerasan mikro HV logam dasar AISI 420, lapisan elektroplating Cr dan kombinasi elektroplating
Cr+nitriding.

KESIMPULAN
Hasil percobaan menunjukkan bahwa unsur N terdeteksi oleh EDS sebesar 1,50 %
atom atau 0,44% berat N pada permukaan baja 420 setelah proses nitriding pada suhu 1050 oC
selama 3 jam dan menggunakan gas N2. Akan tetapi unsur N tidak terdeteksi atau terdeteksi
sangat lemah pada permukaan lapisan Cr setelah proses nitriding yang sama. Proses
kombinasi elektroplating Cr dan nitriding menghasilkan lapisan yang memiliki kekerasan
yang jauh lebih tinggi dari pada kekerasan material awal (baja 420) dan dari pada kekerasan
lapisan Cr saja akibat terbentuknya karbida Cr-C selama proses nitriding.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ryuichiro Ebara et al, Improvement of drain erosion resistance of steam turbine blade by
ceramic coating, Mitsubishi Tech. Bull. 202 (1997).
2. Carlos Mario Garz´on, H´ebert Thomasb, Jose Francisco dos Santos,Andr´e Paulo
Tschiptschin, Cavitation erosion resistance of a high temperature gas nitrided duplex
Seminar Material Metalurgi 2010

stainless steel in substitute ocean water, Wear 259 (2005) 145–153.


3. O. A. Bannykh, V. M. Zinchenko, B. A. Prusakov, and V. Ya. Syropyatov,
DEVELOPMENT OF NITRIDING IN RUSSIA, FOURTH PERIOD (1980 – PRESENT
TIME): NEW DIRECTIONS IN THE DEVELOPMENT OF LTCTT, Metal Science and
Heat Treatment Vol. 43, Nos. 3 – 4, 2001.
4. G. Cabrera, F. Torres, J. C. Caicedo, W. Aperador, C. Amaya, N. A. de Sánchez, A.
Mendoza and P. Prieto , Enhancement of Corrosion, Mechanical, and Tribological
Properties by Using a [CrN/AlN]n Multilayer System, Proc. ICAM 2009, Sept.20-25,
Brazil.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 259
Seminar Material Metalurgi 2010

260 |  ISSN : 2085 – 0492


PEMBUATAN KERAMIK BERPORI BERBASIS ZEOLIT

Etty Marti Wigayati


Pusat Penelitian Fisika LIPI Kawasan PUSPIPTEK Serpong
Email: etty001@lipi.go.id, ettymw@yahoo.com

Abstrak
Telah dilakukan pembuatan keramik berpori berbasis zeolit alam. Zeolit alam asal Lampung
dikarakterisasi terlebih dahulu sehingga dapat diketahui luas permukaan partikel 37,482 m2/g dan ukuran
butiran partikel berkisar 2,28 – 41,14 μm, densitas zeolit alam Lampung diperoleh harga 1,85 gr/cm3 sampai
2,02 gr/cm3. Untuk mengetahui karakteristik material zeolit alam tersebut diamati struktur kristal dengan XRD.
Pola difraksi zeolit Lampung puncak difraksinya mengindikasikan mineral alam yaitu mineral mordenit (kristal
zeolit), mineral albite, mineral napheline. Zeolit asal Lampung ditambah bahan polimer PVA pada komposisi
bervariasi yaitu 5%, 10%, 12% dan 14%. Campuran dicetak kemudian sampel dibakar dengan temperatur
bervariasi 800oC, 850oC dan 900oC. Kemudian benda uji dianalisa ukuran partikel, densitas, porositas, susut
bakar dan XRD. Hasil analisa XRD menunjukan tidak ada perubahan pola difraksi pada temperatur
pembakaran yang bervariasi, puncak yang didapat CaAl2Si2O8. Harga densitas terbesar adalah pada sampel
yang dibakar 900oC dengan penambahan PVA 5%. Sedangkan porositas terbesar pada sampel dibakar pada
800oC dengan penambahan PVA 14%. Susut bakar terbesar didapatkan 21,63% pada sampel dibakar pada
temperatur 900oC dengan penambahan PVA 14%. Selanjutnya keramik berpori zeolit akan digunakan untuk
filter.

Kata kunci: zeolit, karakterisasi, luas permukaan, densitas, porositas,susut bakar, filter

PENDAHULUAN
Zeolit umumnya didefinisikan sebagai kristal alumina silika yang berstruktur tiga
dimensi, yang terbentuk dari tetrahedral alumina dan silika dengan rongga-rongga di
dalamnya berisi ion-ion logam, biasanya alkali atau alkali tanah dan molekul air yang dapat
bergerak bebas. Secara empiris, rumus molekul zeolit adalah Mx/n.(AlO2)x.(SiO2)y.xH2O.
Struktur zeolit sejauh ini diketahui bermacam-macam, tetapi secara garis besar strukturnya
terbentuk dari unit bangun primer, berupa tetrahedral yang kemudian menjadi unit bangun
sekunder polihedral dan membentuk polihendra dan akhirnya terbentuk unit struktur zeolit.

Sifat Unik Zeolit


Karena sifat fisika dan kimia dari zeolit yang unik, maka pada dasawarsa terakhir ini
zeolit oleh para peneliti dijadikan sebagai mineral serba guna. Sifat-sifat unik tersebut
meliputi dehidrasi, adsorben, penyaring molekul, katalisator dan penukar ion.
Zeolit mempunyai sifat dehidrasi (melepaskan molekul H20) apabila dipanaskan. Pada
umumnya struktur kerangka zeolit akan menyusut, tetapi kerangka dasarnya tidak mengalami
perubahan secara nyata. Disini molekul H2O seolah-olah mempunyai posisi yang spesifik dan
dapat dikeluarkan secara reversibel. Sifat zeolit sebagai adsorben dan penyaring molekul
karena struktur zeolit yang berongga, sehingga zeolit mampu menyerap sejumlah besar
Seminar Material Metalurgi 2010

molekul yang berukuran lebih kecil atau sesuai dengan ukuran rongganya. Selain itu kristal
zeolit yang telah terdehidrasi merupakan adsorben yang selektif dan mempunyai efektivitas
adsorpsi yang tinggi.
Kemampuan zeolit sebagai katalis berkaitan dengan tersedianya pusat-pusat aktif
dalam saluran antar zeolit. Pusat-pusat aktif tersebut terbentuk karena adanya gugus fungsi
asam tipe Bronsted maupun Lewis. Perbandingan kedua jenis asam ini tergantung pada proses
aktivasi zeolit dan kondisi reaksi. Pusat-pusat aktif yang bersifat asam ini selanjutnya dapat
mengikat molekul-molekul yang bersifat basa secara kimiawi. Sedangkan sifat zeolit sebagai
penukar ion karena adanya kation logam alkali atau alkali tanah. Kation tersebut dapat

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 261
bergerak bebas didalam rongga dan dapat dipertukarkan dengan kation logam lain dengan
jumlah yang sama. Akibat struktur zeolit berongga, anion atau molekul berukuran lebih kecil
atau sama dengan rongga dapat masuk dan terjebak. Zeolit ditemukan di alam dan berbagai
zeolit kini dibuat zeolit sintesis dengan jumlah besar di industri. Tetrahedra SiO4 dan AlO4
terikat melalui penggunaan bersama oksigennya dan membentuk lubang dan terowongan
dengan berbagai ukuran. Strukturnya merupakan komposit dari satuan struktur tetrahedra
MO4. Misalnya struktur di Gambar 1, satuan dasarnya adalah kubus hasil leburan 8 MO4,
prisma heksagonal leburan 12 MO4, dan oktahedra terpancung leburan 24 MO4.

Gambar 1. Struktur zeolit.


Silikon atau aluminum terletak di sudut polihedra dan oksigen, yang digunakan
bersama di tengah sisi. Bila polihedra-polihedra ini berikatan, berbagai jenis struktur zeolit
akan dihasilkan. Misalnya oktahedra terpancung yang disebut dengan kurungan β adalah
struktur dasar zeolit A sintetik, Na12(Al12Si12O48)].27H2O, dan bagian segi empatnya
dihubungkan melalui kubus. Dapat dilihat bahwa terowongan oktagonal B terbentuk bila 8
oktahedra terpancung diikat dengan cara ini. Struktur yang akan dihasilkan bila bagian
heksagon bersambungan melalui prisma heksagon adalah faujasit, NaCa0.5(Al2Si5O14)] .10
H2O.
Kation logam alkali atau alkali tanah berada dalam lubangnya, dan jumlah kation ini
akan meningkat dengan meningkatnya aluminum untuk mengkompensasi kekurangan
muatan. Struktur zeolit memiliki banyak lubang sebagai tempat kation dan air. Kation ini
dapat dipertukarkan. Dengan menggunakan sifat pertukaran kation ini, zeolit dalam jumlah
besar sebagai pelunak air sadah. Zeolit terdehidrasi (dengan cara pemanasan) akan
mengabsorpsi air dengan efisien, zeolit juga digunakan sebagai pengering pelarut atau gas.
Zeolit kadang juga disebut dengan penyaring molekular, karena ukuran lubang dan
terowongannya berubah untuk zeolit yang berbeda dan dimungkinkan untuk memisahkan
molekul organik dengan zeolit berdasarkan ukurannya. Zeolit dapat digunakan untuk
mereaksikan dua molekul dalam lubangnya asal ukurannya memadai dan dapat digunakan
sebagai katalis untuk reaksi selektif.
Tabel 1. Klasifikasi zeolit berdasarkan kemampuan terhadap penyaringan molekul .

Diameter (nm) Jenis Penyaring Tak disaring


0.489 - 0.558 Khabazit CH4, C2H6, nparaffins iso-parafin
0.400 - 0.489 Mordenit N2, O2, CH4, C2H6 n-parafin,aromatik
Seminar Material Metalurgi 2010

0.384 - 0.400 Ca-mordernit gas Ar, N2 hidro karbon, CH4

Zeolit dengan struktur "framework" mempunyai luas permukaan yang besar dan
mempunyai saluran yang dapat menyaring ion/molekul (molecular sieving). Bila atom Al
dinetralisir dengan ion polivalen, misalnya logam Pt, Cu dsb, zeolit dapat berfungsi sebagai
katalis yang banyak digunakan pada reaksi-reaksi petrokimia. Tabel 1 memperlihatkan
klasifikasi zeolit berdasarkan kemampuan terhadap penyaringan molekul organik. Volume
dan ukuran garis tengah ruang hampa dalam kisi-kisi kristal inilah yang menjadi dasar
penggunaan mineral zeolit sebagai bahan penyaring (molecular sieving). Molekul zat yang
disaring yang ukurannya lebih kecil dari ukuran garis tengah ruang hampa mineral zeolit

262 |  ISSN : 2085 – 0492


dapat melintas, sedangkan yang berukuran lebih besar akan tertahan atau ditolak. Kapasitas
atau daya saring mineral zeolit tergantung dari volume dan jumlah ruang hampanya. Makin
besar jumlah ruang hampa, maka makin besar pula daya saring zeolit alam yang
bersangkutan.
Oleh karena zeolit merupakan material alam yang mempunyai banyak kegunaan,
sehingga pada penelitian ini akan dilakukan karakterisasi zeolit alam asal Lampung,
kemudian dibuat keramik berpori yang berbasis zeolit Lampung. Dengan memanfaatkan
struktur pori dari partikel zeolit, maka pada pembuatan keramik berpori dari bahan baku zeolit
ditambahkan bahan polimer PVA. PVA selain berfungsi sebagai perekat juga sebagai
pembentuk pori pada keramik berpori zeolit, dengan pemanasan yang tidak terlalu tinggi PVA
akan menguap, akan meninggalkan pori yang halus, struktur zeolit tidak berubah. Keramik
berpori ini selanjutnya akan digunakan sebagai filter.

METODOLOGI
Zeolit alam yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari Lampung. Zeolit
dihaluskan dengan menggunakan mortal, kemudian diayak dengan ayakan 200 mesh. Untuk
mengetahui karakteristik material zeolit alam tersebut, zeolit ini diukur sifat fisisnya meliputi
densitas mengikuti prinsip Archimedes berdasar ASTM D-792, luas permukaan dengan
surface areameter monosorb BET Quantacrome dan struktur kristal dengan XRD. Zeolit
dicampur dengan PVA (Polivynilalkohol) sebagai aditif yang berfungsi sebagai perekat dan
digunakan aditif untuk mempermudah pencetakan serta untuk membantu mengontrol
microstructur dari material yang akan dihasilkan. Fungsi penting dari binder adalah untuk
mengingkatkan kekuatan dari keramik hasil pencetakan, sebelum mengalami perlakuan panas,
atau biasa di sebut green body. Komposisi zeolit dan PVA dibuat bervariasi yaitu 5%, 10%,
12% dan 14%. Sampel dicetak dalam bentuk batangan balok dengan cetak pres hidrolik
dengan tekanan 100kg/cm3, kemudian dikeringkan diudara untuk mengurangi kadar air yang
terdapat didalam sampel. Setelah benda uji dikeringkan dilanjutkan dengan pembakaran.
Pembakaran awal ( kalsinasi ) pada 400oC ditahan 30 menit, dilanjutkan dengan pembakaran
akhir pada 3 variasi temperatur yaitu 800oC, 850oC dan 900oC dan waktu penahanan masing
masing 1 jam.
Sampel padatan diukur densitas dengan metoda Archimedes, porositas dengan metoda
serapan air berdasarkan ASTM C-20, susut bakar, ukuran partikel meliputi luas permukaan
dengan surface area meter, ukuran partikel dengan metoda sedimentasi dengan pipet
Andreason dan struktur kristal dengan XRD. Diagram alir ditampilkan pada Gambar 2.

Zeolit Lampung  dihaluskan  Zeolit + PVA  Karakterisasi: 

Densitas, luas 
Kalsinasi 400oC  pembentukan  pencampuran  permukaan,XRD,u
kuran partikel
Benda uji Karakterisasi: 
Seminar Material Metalurgi 2010

Sintering:800oC, 
850oC, 900oC 
Gambar 2. diagram alir percobaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Zeolit alam asal Lampung dikarakterisasi terlebih dahulu sifat fisisnya, meliputi :
densitas, porositas, struktur mikro maupun luas permukaan partikel. Pengukuran densitas
zeolit Lampung sebelum diproses diperoleh harga antara 1,85 gr/cm3 sampai 2,02 gr/cm3,
sedang luas permukaan dihitung dengan monosorbquantacrome BET diperoleh harga 37,482
m2/g. Zeolit alam asal Lampung cocok digunakan sebagai katalis karena zeolit ini mempunyai

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 263
luas permukaan yang besar. Semakin besar luas permukaan maka tempat yang ditempati
reaktan untuk berlangsungnya reaksi semakin besar.
Ukuran partikel diukur dengan metoda sedimentasi dengan pipet Anderson dan
hasilnya dapat dilihat pada Gambar 2, dimana ukuran partikel berkisar 2,28 – 41,14 μm. Dari
kurva dapat diketahui bahwa ukuran partikel cukup halus, tetapi tidak homogen.
 

Gambar 2. Distribusi ukuran partikel (μm) terhadap prosentase ukuran partikel


Pengukuran densitas sampel berupa padatan berbertuk batangan, dengan temperatur
bakar yang berbeda ditampilkan pada Tabel 2 dan Gambar 3.

Tabel 2. Hasil pengukuran densitas terhadap variasi PVA dan temperatur bakar.
Densitas (gr/cm3)
PVA (%) Temperatur Sintering (oC)
800 850 900
5 1,967 2,259 2,377
10 1,941 2,133 2,341
12 1,903 2,104 2,331
14 1,822 2,071 2,319
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 3. Kurva densitas terhadap prosentase PVA pada temperatur pembakaran 800oC, 850oC & 900oC
Harga densitas pada zeolit berbentuk batangan diantara 1,967 gr/cm3 sampai 2,341
gr/cm3. Pada pembakaran 900oC memberikan densitas yang lebih besar dibandingkan
temperatur pembakaran yang lebih rendah. Hal ini karena terjadi reaksi pemadatan. Pada

264 |  ISSN : 2085 – 0492


kenaikan prosentase PVA memberi pengaruh menurunnya densitas, karena PVA pada
temperatur diatas 300oC menguap meninggalkan pori pada sampel.
Hasil dari pengukuran porositas dari sampel batangan zeolit dapat dilihat pada Tabel 3
dan Gambar 4.

Tabel 3. Hasil pengukuran porositas terhadap variasi PVA dan temperatur bakar
Porositas (%)
PVA (%) Temperatur Sintering (oC)
800 850 900
5 36,901 30,154 24,499
10 37,089 30,220 24,666
12 38,253 30,796 24,805
14 39,840 32,605 25,233

Porositas(%) vs % PVA
50,000
40,000
30,000 800
850
20,000
900
10,000
0
5 10 12 14
% PVA

Gambar 4. Kurva porositas terhadap prosentase PVA pada temperatur pembakaran 800oC, 850oC &900oC.
Porositas dari 24,499 % sampai 39,84 %, bertambah besar dengan menurunnya
temperatur pembakaran, bertambahnya prosentase PVA akan menaikkan porositas, karena
PVA terbakar habis pada temperatur 300oC dan meninggalkan pori. Dengan naiknya
temperatur pembakaran maka sampel semakin memadat sehingga akan menurunkan porositas
sampel. Karakteristik struktur mikro zeolit alam mempergunakan XRD hasilnya berupa pola
difraksi dapat dilihat pada Gambar 5.
Seminar Material Metalurgi 2010

 
Gambar 5. Pola XRD zeolit alam asal Lampung.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 265
Pada Gambar 5 puncak yang muncul pada 2θ: 20,2800; 26,7200; 36,4000 merupakan
puncak untuk kuarsa (Quartz), JCPDS no 5-0490. Puncak pada 2θ: 19,5400 ; 22,2800 ; 25,5600
; 27,6000 ; 28,0200 merupakan puncak untuk mineral mordenit (kristal zeolit), JCPDS no 6-
239. Puncak pada 2θ: 23,0800; 24,9400 merupakan puncak untuk mineral albite, JCPDS no
10-393. Sedangkan puncak pada 2θ: 29,9000; 30,2000 ; 31,8600 puncak untuk mineral
napheline, JCPDS no 19-1176. Mineral mordenit merupakan jenis mineral penyusun zeolit,
sehingga dapat disimpulkan bahwa batuan ini merupakan batuan zeolit. Dari kurva XRD
zeolit alam nampak intensitas tertinggi pada 2 θ=22,280. Pola difraksi pada benda uji setelah
pembakaran pada temperatur 800oC, 850oC dan 900oC, ditampilkan pada Gambar 6, 7 dan 8.
Pada Gambar 6 pola difraksi tersebut muncul puncak pada 2θ: 21,34; 22,12; 23,72;
25,54; 27,90 bila dicocokkan dengan JCPDS merupakan CaAl2Si2O8 dengan struktur kristal
orthorombik.

Gambar 6 . Pola difraksi pada benda uji denga temperatur pembakaran 800oC

Gambar 7 . Pola difraksi pada benda uji dengan temperatur pembakaran 850oC
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 8. Pola difraksi pada benda uji dengan temperatur pembakaran 900oC

266 |  ISSN : 2085 – 0492


Dari Gambar 7 puncak yang muncul pada 2θ: 21,48; 22,22; 23,16; 23,84 bila
dicocokan dengan JCPDS merupakan CaAl2Si2O8 dengan struktur kristal orthorombik.
Pada Gambar 8 puncak yang muncul pada 2θ: 21,52; 22,36; 24,34 ; 27,64; 35,58 bila
dicocokan dengan JCPDS merupakan CaAl2Si2O8 dengan struktur kristal orthorombik. Jadi
pada saat proses pembakaran maka mineral mineral yang terkandung dalam zeolit mengalami
perubahan. Pengamatan susut bakar terhadap temperatur sintering ditampilkan pada Tabel 4
dan Gambar 9.
Tabel 4. Hasil pengukuran susut bakar terhadap variasi PVA dan temperatur bakar.
Susut Bakar ( %)
PVA (%) 800oC 850 o C 900oC
5 5,56 16,26 21,13
10 5,96 13,87 21,21
12 5,59 14,24 21,60
14 6,35 14,39 21,63

Dari Gambar 9 nampak bahwa terjadi kenaikan susut bakar dengan naiknya
temperatur pembakaran. Penyusutan terbesar 21,60 % pada pembakaran 900oC. Hal ini karena
terbakarnya bahan organik maupun mineral yang terkandung dalam Zeolit alam tersebut. Dari
grafik tersebut nampak bahwa kenaikkan susut bakar sebanding dengan kenaikkan temperatur
pembakaran. Untuk tiap prosestase PVA mempunyai pola yang sama. Sehingga faktor
dominan yang mempengaruhi susut bakar adalah temperatur pembakaran.

Gambar 9 . Kurva susut bakar terhadap prosentase PVA pada temperatur pembakaran 800oC, 850oC dan 900oC.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian pembuatan keramik zeolit maka dapat disimpulkan:
Zeolit alam asal Lampung mempunyai luas permukaan partikel 37,482 m2/g dan
ukuran butiran partikel berkisar 2,28 – 41,14 μm. Pengukuran densitas zeolit Lampung
Seminar Material Metalurgi 2010

sebelum diproses diperoleh harga antara 1,85 gr/cm3 sampai 2,02 gr/cm3. Keramik berpori
berbasis zeolit Lampung yang dibuat temperatur bakar 900oC dan penambahan PVA 5 %
didapatkan densitas terbesar yaitu 2,37 gr/cm3. Porositas terbesar dihasilkan 39,8 %
temperatur pembakaran 800oC dengan komposisi PVA 14 %. Hasil analisa XRD dapat
diketahui bahwa tidak ada perubahan pola difraksi pada temperatur pembakaran yang
bervariasi, puncak yang didapat CaAl2Si2O8. Pola difraksi pada zeolit alam Lampung
terdapat sebelum mengalami proses pembakaran terdapat puncak puncak difraksi yang
mengindikasikan mineral alam yaitu mineral mordenit (kristal zeolit), mineral albite, mineral
napheline. Dimana pada saat proses pembakaran puncak puncak tersebut hilang. Keramik
berpori berbasis zeolit akan digunakan sebagai filter.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 267
SARAN
Untuk penelitian zeolit selanjutnya adalah pengamatan struktur pori keramik zeolit,
kemudian difokuskan aplikasi keramik zeolit untuk filter ataupun penyaring, dan spesifikasi
filter dari keramik zeolit.

DAFTAR PUSTAKA
1. A.Dyer., "Introduction to Zeolite Molecular Sieves", John Willey and Sons, Chichester,
(1988)
2. Jozsf, T., "A mineral of the future", Mineralimpex, Budapest, (1989)
3. Muhammad Rif’an. 2005. Zeolit, Kristal Ajaib dari Gunung Berapi. Majalah ACID Edisi
III/Tahun V/Mei 2005. Bandar Lampung
4. Susanto dan Suharso.. Pemisahan Ion-ion Besi dalam Air dengan Zeolit Alam yang
Diaktifasi. Jurnal Univ. Lampung. Bandar Lampung, 1999.
5. Tsitsishvili, G.V., in "Natural Zeolite, occurence, properties and uses", Pergamon Press,
Oxford, (1978).
6. Mumpton, F.A and Sand, L.B., in "Natural Zeolite, occurence, properties and uses",
Pergamon Press, Oxford, (1978) . Breck, D.W., "Zeolite Molecular Sieves", John Willey
Interscience, New York, (1974).
7. Minoru Takahashi dan Masayoshi Fuji, "Synthesis and Fabrication of Inorganic Porous
Materials : From Nanometer to Millimeter Sizes," Ceramics Research Laboratory, Nagoya
Institute of Technology, Gifu, Japan, 2002.
8. “Poly Vinyl_Alcohol”, http://en.wikipedia.org/wiki.
Seminar Material Metalurgi 2010

268 |  ISSN : 2085 – 0492


PENGARUH TEMPERATUR ANNELING PADA
NILAI RESISTANSI SPESIFIK Rc STRUKTUR MSM pGaSb
SEBAGAI BAHAN FOTODETEKTOR IR.

Euis Sustini
KK Fisika Material Elektronik, FMIPA, ITB
Jl Ganisha 10 Bandung 40132
Email: euis@fi.itb.ac.id

Abstrak
Semikonduktor GaSb telah ditumbuhkan dengan metoda Metal Organic Chemical Vapour Deposition
(MOCVD) vertikal pada tekanan 50 torr di atas subtsrat SI GaAs(100). Film mempunyai type p dengan
permukaan yang cukup homogen serta orientasi film didominasi (200). Film yang ditumbuhkan pada temperatur
520 oC dengan rasio V/III=1 mempunyai mobilitas 68,57 cm2/Vs dengan konsentrasi hole 1,9 1018 cm-3.
Film GaSb ini dibuat piranti foto detektor berstruktur Metal Semikonduktor Metal (MSM). Struktur
MSM pGaSb dibuat menggunakan metoda evaporasi untuk beberapa logam, yaitu emas Au,perak Ag dan
indium In. MSM bersifat ohmik kontak dengan resistansi spesifik Rc yang menurun terhadap temperatur
annealing.

Key word : GaSb, MOCVD,MSM

PENDAHULUAN
Pengembangan material semikonduktor tidak lepas dari perkembangan piranti
elektronik terutama fotodetektor. Metal Semikonduktor Metal (MSM) merupakan salah satu
jenis fotodetektor yang mempunyai sifat-sifat menguntungkan. Struktur MSM dapat menekan
nois, arus gelap rendah serta mudah untuk dibuat. MSM dapat bersifat ohmik kontak dan
schottky kontak. Ohmik kontak biasanya banyak digunakan dalam pemakaian fotokonduktif
sedangkan schottky kontak banyak digunakan pada fotovoltaik[1].
GaSb merupakan bahan semikonduktor paduan V/III yang cukup berpotensi karena
mempunyai pita energi langsung dengan mobilitas yang cukup tinggi sehingga akan
menghasilkan piranti kecepatan tinggi. Selain itu perbandingan koefisien elektron dan hole
tinggi sehingga akan mengurangi noise. Pita enrgi GaSb adalah 0,72 eV sehingga bersesuaian
dengan inframerah[2,3].
Penumbuhan semikonduktor biasanya menggunkan metoda Liquid Phase Epitaxsi
(LPE), Molekular Beam Epitaxsi (MBE) dan Metal Organic Chemical Vapour Deposition
(MOCVD). Penumbuhan semikonduktor dengan MOCVD cukup berkembang pesat karena
dapat menumbuhkan semikonduktor multileyer dengan ketebalan setiap layer dapat
dikontrol, dapat mengontrol doping yang diberikan serta lebih menguntungkan lagi karena
MOCVD dapat dioperasikan pada tekanan atmosfirik [4].
Dalam tulisan ini GaSb ditumbuhkan dengan metoda MOCVD vertikal bertekanan
rendah dan dengan aliran gas yang rendah pula. Hail penumbuhan GaSb dibuat struktur MSM
Seminar Material Metalurgi 2010

pGaSb dengan menggunakan logam Au,Ag dan In. Metoda pembuatan sambungan MSM
menggunakan sistem evaporasi.
Persamaan arus saturasi MSM sesuai dengan teori emisi termionik adalah adalah [6] :
qbn qbp
J S  A *T 2 exp( )  A *T 2 exp( )
kT kT
Khusus untuk kasus kontak Ohmik, maka resistansi sfesifik (Rc) adalah :
k  q  k  q bp 
Rc  *
exp bn   * exp 

qA T  kT  qA T  kT 
dengan A* = 4πm*qk3/h3 = 5.28 A cm-2 K-2 , T tempertur , Ф fungsi kerja.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 269
Secara eksperimen resistansi spesifik Persamaan arus saturasi MSM sesuai dengan teori
emisi termionik adalah adalah [6] :
qbn qbp
J S  A *T 2 exp( )  A *T 2 exp( )
kT kT
Khusus untuk kasus kontak Ohmik, maka resistansi sfesifik (Rc) adalah :
k  q  k  q bp 
Rc  *
exp bn   * exp 

qA T  kT  qA T  kT 
dengan A* = 4πm*qk3/h3 = 5.28 A cm-2 K-2 , T tempertur
MSM dianalisa untuk berbagai temperatur anealling yang merupakan kebalikan
turunan rapat arus terhadap tegangan ketika tegangan mendekati nol. Grafik rapat arus
terhadap tegangan diperoleh melalui pengukuran I-V.

EKSPERIMEN

Semikonduktor GaSb ditumbuhkan dengan metoda MOCVD vertikal pada tekanan


chamber 50 torr. Sumber metal organik yang digunakan adalah TMGa untuk Ga dan
TDMASb untuk Sb. Penumbuhan dilakukan di atas substrat semi insulet GaAs (100) yang
dikelola terlebih dulu dengan didegrase menggunakan DI water, metanol dan aseton
kemudian di eksa secara kimiawi dan akhirnya di panaskan dalam reaktor vakum pada
temperatur 600oC. Semua sample di karakterisasi homogenitas permukaannya dengan SEM,
kekristalannya dengan XRD serta sifat listriknya menggunakan Effek Hall Van de Pouw.
Film GaSb yang yang berkualitas baik digunakan untuk pembuatan MSM dengan
menggunakan logam Au, Ag dan In yang fungsi kerjanya cocok digunakan sebagai kontak
dalam sistem semikonduktor GaSb.
Kontak metal 

Semikonduktor 
2 mm 

1 mm 
Gambar 1. Skematik Struktur MSM
Pembuatan struktur MSM menggunakan teknik evaporasi dengan luas kontak 0,02
cm2 ,skema kontaknya seperti pada Gambar 1. Sebelum diberi logam, semikonduktor
dibersihkan dengan DI water, metanol dan aseton, kemudian logam diuapkan pada bagian
semikonduktor yang diinginkan. MSM dikarakterisasi menggunakan Keithley 617 untuk
memperoleh diagram I-V tanpa annealing dan beberapa temperatur annealing di bawah
temperatur lebur dari masing-masing logam.

HASIL DAN DISKUSI


Seminar Material Metalurgi 2010

Pada umumnya layer GaSb bertype p dengan permukaan yang relatif homogen serta
secara kasat mata mirror like. Dari kurva XRD diperoleh bahwa film bersifat kristal dengan
puncak-puncak didominasi (200) dan (400). Film yang ditumbuhkan pada temperatur 520oC
dengan rasio V/III mendekati 1 mempunyai mobilitas 68,57 cm2/Vs dengan konmsentrasi
hole 1,9 1018 cm-3. Sifat listrik film belum baik, kemungkinan disebabkan adanya impuriti
unsur karbon yang berasal dari metal organik sebagai sumber[5]. Film ini dimetalisasi untuk
menghasilkan MSM pGaSb.

270 |  ISSN : 2085 – 0492


Kurva I-V struktur MSM pGaSb untuk berbagai logam dan berbagai temperatur
annealing diperoleh berbentuk linier, ini menunjukkan bahwa MSM bersifat kontak ohmik
untuk berbagai temperatur annealing dan untuk setiap logam yang digunakan. Pada Gambar 2
ditunjukkan kurva I-V untuk berbagai logam sebelum diannealing ( gbr 2a) dan setelah
diannealing 100oC (gbr.2b). Karena MSM pGaSb bersifat ohmik kontak, maka ini
menunjukan bahwa MSM pGaSb sangat potensil dalam pemakaian fotokonduktif. Beberapa
jurnal ada yang menyimpulkan bahwa sukar untuk mendapatkan MSM yang bersifat
Schottky dengan menggunakan semikonduktor tipe p.

Kurva I-V berbagai jenis metal sebelum anealing Kurva I-V berbagai jenis metal pada temperatur
annealing 100 C
0.004
0.004
0.003
Indium 0.003
0.002 Indium
Aru s (am p ere)

0.002
0.001
0.001

A ru s (A )
0 Perak
0 Perak
-5 -3 -0.001
-1 1 3 5
-3 -2 -1 -0.001 0 1 2 3
-0.002
Emas -0.002
-0.003 Emas
-0.003
-0.004
-0.004
Tegangan (volt)
Tegangan (V)

(a) (b)
Gambar 2. Kurva I-V untuk MSM p GaSb berbagai logam (a) Sebelum diannealing; (b) Setelah diannealing
100oC

Kemiringan kurva I-V relatif berubah terhadap temperatur annealing untuk berbagai
logam dan ini menunjukkan bahwa kualitas MSM dipengaruhi oleh temperatur.
Dari grafik ini maka dianalisa harga resistansi spesifik MSM pGaSb untuk berbagai
temperatur dan berbagai logam ( tabel 1). Seacara umum Rc menurun terhadap
temperatur,untuk berbagai logam. Logam Ag cukup stabil sampai 150oC artinya piranti yang
dibuat tidak dipengaruhi temperatur untuk temperatur di bawah 150oC

Tabel 1. Harga Rc MSM untuk berbagai logam dan temperatur annealing


Resistansi spesifik Rc cm2
Temperatur °C In Ag Au
Sebelum 3.238 2.890 2.726
50 2.590
100 2.870 2.726 2.590
150 2.590 1.295
250 1.295 0.863

KESIMPULAN
Semikonduktor GaSb dapat ditumbuhkan dengan metoda MOCVD vertikal pada
tekanan rendah dengan laju alir gas rendah. Temperatur penumbuhan di atas 500oC dengan
rasio V/III mendekati 1. Film mempunyai type p, permukaan cukup homogen dengan
orientasi kristal (200). Sumber metal organik TMGa dan TDMASb masih menimbulkan
Seminar Material Metalurgi 2010

impuriti sehingga membuat sifat listrik sample rendah.


MSM pGaSb bersifat ohmik kontak untuk berbagai logam dengan Rc dipengaruhi
temperatur, sehingga potensil untuk digunakan pada piranti foto konduktif dengan batasan-
batasan temperatur berbeda untuk masing-masing logam.

AKNOWLEDGEMENT
Penulis mengucapkan terimakasih pada ITB yang telah memberi dana research KK
ITB

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 271
PUSTAKA
1. Kwok K.Ng. 1995.Complete guide to Semiconductor devices. Mc Graww-Hill. New
York.
2. S.M Sze. 1985.Semiconductor devices physics and technology.John Willey & Sons.New
York
3. Otfried Madelung, Semiconductors-Basic Data, Springer, 1996
4. Fuh Shyang Juang and Yun Kuin Su, Prog Crystal Growth and Charact, 22 (1990)285-
312
5. Euis Sustini. 2005.Studi penumbuhan GaSb dan AlxGa(1-x)Sb menggunakan reaktor
MOCVD vertikal bertekanan rendah dengan precursor TDMASb.ITB.Bandung.
6. Sandip Tiwari, M.c Hargis, Y.Wang, M.c Teich and Wen I.Wang.1992.1.3 μm GaSb
Metal-Semiconductor-Metal Photodetectors.IEEE Photonic Technology Letters vol 4
no.3.
Seminar Material Metalurgi 2010

272 |  ISSN : 2085 – 0492


PEMBUATAN PRODUK COR SUBSTITUSI IMPORT DENGAN
METODE LOST WAX PROCESS

Hafid1, Tatang Taryaman2, Abdul Wahid3


1
Balai Besar Logam dan Mesin (BBLM/MIDC),
2
Konsultan Free Lance MIDC, 3Kementrian Perindustrian, Jakarta
Jl. Sangkuriang No. 12 Bandung 40135

Abstrak
Telah dilakukan pembuatan produk cor substitusi import dengan menggunakan metode lost wax
process. Tujuannya adalah sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap produk cor yang selama ini
masih banyak di import dan selain itu dilakukan penyelidikan terhadap kemungkinan penggunaan bahan baku
lokal. Lost wax process yang juga dikenal sebagai investment casting, yaitu : salah satu jenis teknologi
pengecoran presisi yang menghasilkan suatu produk coran yang memiliki bentuk geometri yang kompleks,
misalnya : tipis, kemiringan, kelengkungan dan variasi radius yang kecil, kehalusan permukaan produk, dan
mensyaratkan tingkat kepresisian bentuk dan dimensi. Berdasarkan hasil percobaan pada pembuatan produk
rocker arm diketahui bahwa faktor-faktor yang menentukan kepresisian produk cor yang dibuat adalah : (1) dies
pola lilin, (2) teknik pembuatan pola, (3) pembuatan cetakan keramik, (4) dewaxing, (5) sintering, (6) peleburan
dan (7) penuangan. Untuk mengurangi ongkos produksi secara ekonomis dapat digunakan : (1) bahan epoxy
resin sebagai pengganti pola logam, (2) lilin dan pasir lokal, (3) mesin injeksi hidrolik dan peralatan pendukung
lainnya buatan dalam negeri. Dengan adanya teknologi ini diharapkan menjadi salah satu alternatif metode
pembuatan produk cor dan dapat dikembangkan produk cor lainnya yang mempunyai spectrum yang sangat
luas pada bidang industri manufaktur di Indonesia.

Kata kunci : lost wax process, pengecoran presisi, cetakan keramik.

Abstrak
Research on the manufacturing of casting products for import substitution by using lost wax process
has been done. The aim is to reduce import dependency of casting products and there are some possibilities of
using local material. Lost wax process or investment casting is a kind of precision casting which produces
casting products having complex geometry such as thin, slope, small radius, smooth surface and need precision
level of shape and dimension. Based on the results of the trial experimentation on making products rocker arm,
some factors that determine the precision of making casting products are : (1) wax pattern dies, (2) wax pattern
making techniques, (3) ceramic mold production, (4) dewaxing, (5) sintering, (6) melting, and (7) pouring. The
results show that to minimize the production cost and to increase the profit substitution of material and
equipment can be used, such as : (1) epoxy resin materials as a substitution of metal patterns, (2) local sand and
wax, (3) the hydraulic injection machine and local supporting equipment. This technology is expected to be one
of the alternative methods of making casting products and we can develop any other casting products which
have a very wide spectrum at the manufacturing industrial field in Indonesia.

Key words : lost wax process, investment casting, ceramic mold.

PENDAHULUAN
Lost wax process(1) adalah salah satu jenis proses pengecoran yang juga dikenal
sebagai pengecoran presisi (investment casting) dapat menghasilkan suatu produk coran yang
memiliki bentuk geometri yang kompleks, misalnya : tipis, kemiringan, kelengkungan dengan
Seminar Material Metalurgi 2010

variasi radius yang kecil, kehalusan permukaan produk, dan mensyaratkan tingkat kepresisian
bentuk dan dimensi. Teknologi ini tidak hanya menghasilkan bentuk-bentuk benda yang
presisi tetapi juga dapat meminimalkan tahapan pengerjaan akhir seperti untuk proses
permesinan.
Masih besarnya ketergantungan terhadap pemakaian bahan baku import dan
penggunaan mesin dan peralatan luar negeri untuk melaksanakan lost wax process menjadi
salah satu penyebab teknologi tersebut dianggap mahal. Padahal aplikasi penggunaan produk
cor yang dihasilkannya mempunyai spektrum yang sangat luas pada bidang industri, yaitu(2) :

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 273
mulai dari industri pertanian, tekstil, kesehatan, senjata, elektronik, komponen listrik,
otomotif dan lain sebagainya yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia.
Sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap kebutuhan komponen
(suku cadang) import, peneliti telah melakukan percobaan pembuatan produk-produk cor
dengan menggunakan pemanfaatan bahan baku lokal, antara lain : sudu turbin uap, impeller
pompa, rocker arm dan lain-lain. Dalam pembahasan difokuskan pada pembuatan produk
rocker arm, seperti ditunjukan pada Gambar (3).
Salah satu tahapan dalam lost wax process adalah pembuatan cetakan keramik yang
merupakan faktor yang sangat mempengaruhi produktivitas dan hasil akhir mutu produk cor.
Selain itu material yang digunakan masih di import. Padahal sebagai negara yang sangat kaya
akan potensi sumber daya alam, material lokal mempunyai peluang untuk digunakan dalam
proses tersebut(4).
Diharapkan dengan pemanfaatan bahan baku lokal serta penggunaan mesin injeksi
hidrolik dan peralatan pendukung lainnya buatan dalam negeri, maka dapat direduksi biaya
produksi. Sehingga industri cor yang bergerak di bidang lost wax process akan lebih meluas
dan anggapan teknologi tersebut yang selama ini dianggap sesuatu yang mahal dapat
dipatahkan.

Gambar 1. Produk rocker arm hasil coran.


METODE PENELITIAN
Berdasarkan sifat masalahnya metode penelitian ini dikategorikan pada penelitian
eksperimental pembuatan produk cor substitusi import dengan pemanfaatan bahan baku lokal.
Bahan baku lokal tersebut telah diaplikasikan untuk menghasilkan berbagai jenis produk cor,
seperti : sudu turbin uap, impeller pompa, rocker arm dan lain-lain. Material yang digunakan
pada pembuatan produk rocker arm adalah dari bahan ADI (austempered ductile iron).
Penelitian dilaksanakan di workshop pengecoran BBLM Bandung dengan urutan prosedur
kegiatan laboratorium seperti ditunjukkan pada Gambar 2 dengan keterangan sebagai
berikut(5) :
1. Pendisainan dies untuk pembuatan pola lilin.
2. Mempersiapkan alat dan bahan baku untuk cetakan lilin.
3. Injeksi lilin, dilakukan dengan memasukan lilin lilin ke dalam dies.
4. Pembersihan pola lilin agar supaya keramik dapat melekat pada pola.
5. Perakitan pola lilin menjadi suatu rangkaian pola yang disebut cluster.
Seminar Material Metalurgi 2010

6. Mencelupkan rangkaian lilin yang telah di assembling ke dalam slurry, lantas proses
sanding hingga menjadi cetakan keramik dengan ketebalan ± 1 cm.
7. Dewaxing, merupakan proses pengeluaran lilin dari cetakan keramik dilakukan dengan
cara memanaskan pada sebuah tabung air panas pada suhu ± 100 oC.
8. Firing, merupakan suatu proses pembakaran yang dilakukan terhadap cetakan keramik
agar kondisi cetakan menjadi kuat ikatannya dan sekaligus membersikan sisa lilin yang
masih ada. Dilanjutkan preheat pada cetakan keramik agar pada saat penuangan logam
cair tidak terjadi drop temperatur.
9. Persiapan material peleburan.

274 |  ISSN : 2085 – 0492


10. Melting, peleburan dilakukan pada dapur pelebur hingga mencapai titik lebur logam yang
digunakan.
11. Tapping, merupakan proses penuangan logam cair dari dapur kedalam ladel.
12. Pouring, merupakan proses penuangan logam cair dari ladel kedalam cetakan sampai
logam cair mengisi seluruh rongga cetakan yang kemudian didiamkan hingga membeku.
13. Pembongkaran cetakan : setelah pouring selesai dan logam cair membeku selanjutnya
dilakukan pembongkaran dan pembersihan produk hasil coran. Setelah produk bersih dari
keramik kemudian pemotongan produk cor.
14. Produk cor selanjutnya diperiksa secara visual, untuk produk cor yang baik dilakukan
pengujian sedangkan untuk produk cor yang cacat/gagal dimasukkan lagi ke dapur
pelebur sebagai bahan baku logam cair.
15. Pengujian : dilakukan uji komposisi kimia, uji kekerasan, uji metalografi dan analisis
cacat visual.
16. Hasil dan pembahasan : meliputi analisis terhadap data-data serta membahasnya selama
berlangsung penelitian.
17. Kesimpulan dan saran : mengemukakan beberapa resume dari hasil analisis dan
pembahasan yang dapat dipergunakan untuk mengambil keputusan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Teknologi
Lost Wax Process
Pembuatan produk rocker arm dengan metode lost wax process secara garis besar
dibagi dalam 4 (empat) tahapan, yaitu :
1. Pembuatan model :
Model dari lilin dibuat dengan menginjeksi lilin cair kedalam cetakan logam (dies
pola) dan setelah beku dikeluarkan untuk kemudian dipasang dengan saluran logam cair
sehingga membentuk rangkaian model. Dies dirancang sedemikian rupa agar lilin mudah
memasuki seluruh rongga dies pada waktu ditekan dengan mesin injeksi hidrolik kapasitas
5 ton. Pada Gambar 3 dan Gambar 4 diperlihatkan proses injeksi lilin ke dalam cetakan
logam dan cluster hasil rakitan.
Suhu lilin diatur pada selang dimana lilin berada dalam keadaan gel dan
menghasilkan pola lilin hasil injeksi dengan penyusutan terbaik. Suhu nosel diatur agar
lilin dapat melewati nosel dengan baik, tidak tersumbat karena terlalu dingin tetapi juga
tidak bocor karena terlalu panas. Waktu injeksi diatur agar injeksi lilin dapat selesai
mengisi seluruh rongga cetakan.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 3. Proses injeksi pola lilin. Gambar 4. Cluster hasil rakitan.


2. Pembuatan cetakan :
Rangkaian model yang sudah dipasang dengan saluran logam cair dicelupkan kedalam
lumpur keramik (slurry) yang ada dalam wadah (Gambar 5). Setelah pengeringan diudara,
pencelupan dilakukan beberapa kali sehingga membentuk lapisan-lapisan (multi layer)
keramik. Lilin yang dilapisi tersebut dipanaskan sampai seluruhnya keluar dan terbentuk

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 275
cetakan kulit yang berongga (Gambar 6). Untuk mendapatkan cetakan yang kuat dan
stabil, cetakan dipanaskan pada suhu tinggi (Gambar 7).

Gambar 5. Slurry coating dan sanding process.

Gambar 6. Dewaxing Gambar Gambar 7. Preheating dan firing.


3. Penuangan :
Peleburan dilakukan pada dapur induksi kapasitas 250 kg (Gambar 8) hingga mencapai
titik lebur logam yang digunakan. Selanjutnya dilakukan proses penuangan logam cair
dari dapur kedalam ladel untuk selanjutnya dituangkan kedalam cetakan yang masih
dalam keadaan panas sampai logam cair mengisi seluruh rongga cetakan yang kemudian
dibiarkan didiamkan hingga membeku dan dingin (Gambar 9).
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 8. Peleburan Gambar 9. Penuangan logam cair


ke dalam cetakan keramik
4. Pembongkaran :
Cetakan yang selesai dituang selanjutnya dibongkar dan tuangan (casting) dipotong untuk
dipisahkan dari bekas saluran logam cair dan diproses lebih lanjut.

Pembuatan Cetakan Keramik


Dalam pembuatan cetakan keramik, komposisi bahan yang digunakan pada primary
slurry dan secondary slurry dapat dilihat pada Tabel 1. Pada proses pembuatan primary
slurry, bahan-bahan tersebut diaduk dengan continous mixer dengan kecepatan antara 133 –

276 |  ISSN : 2085 – 0492


135 rpm. Primary slurry merupakan slurry yang mengalami kontak langsung dengan cluster,
karena itu pada slurry ini ditambahkan surface active agar slurry dapat menempel pada
cluster. Penambahan defoamer dilakukan untuk mencegah terbentuknya busa dan sekaligus
menghilangkan gelembung udara pada slurry. Setelah homogen kemudian diuji viskositasnya
(nilai kekentalannya) memakai alat zahn cup no. 4 dengan waktu viskositas 40 detik (waktu
standar viskositas 40 detik). Jika nilai viskositas lebih kecil dari 40 detik, tambahkan colloidal
silica, jika nilai viskositasnya lebih besar dari 40 detik, tambahkan silica fuse.
Tabel 1. Komposisi bahan slurry(3)
Primary slurry Secondary slurry
No
Nama Bahan Jumlah Nama Bahan Jumlah
1 Colloidal silica 1 liter Colloidal silica 3 liter
2 Silica fuse 350 mesh 3 kg Silica fused 200 mesh 11 kg
3 Surface active agent 0,002 kg - -
4 Defoamer 0,003 kg - -
Catatan : colloidal silica adalah sejenis water glass yang mempunyai sifat seperti lem.

Setelah primary slurry dihasilkan, selanjutnya cluster dilapisi dengan primary slurry
kemudian ditiriskan beberapa saat untuk kemudian dihamburkan dengan zircon 200 mesh.
Permukaan cluster harus bersih dari kotoran agar seluruhnya mudah tertutup slurry dan proses
pelapisan dilakukan satu kali saja. Lalu dikeringkan dengan cara menggantungkan pada rak
gantungan pola yang terbuat dari plat aluminium, kemudian lapisan keramik dikeringkan
dengan pengeringan udara dengan suhu udara sekitar 23 oC selama kurang lebih satu s/d dua
jam. Kipas angin dapat digunakan untuk mengeringkan lebih cepat kering, tetapi jika tidak
berhati-hati dapat menyebabkan penurunan suhu yang terlalu cepat yang menyebabkan
keretakan pada cetakan.
Perlu diperhatikan bahwa dalam proses pengujian viskositas harus dijaga tetap berada
pada kondisi optimum karena jika viskositas terlalu tinggi akan menyebabkan sagging pada
saat pelapisan slurry pada pola dan gelembung udara yang berdampak pada cacat produk
ketika dicor. Terlalu rendah viskositas dapat menyebabkan material refraktori pada saat
sanding process menembus masuk ke dalam lapisan slurry menyebabkan kekasaran
permukaan pada produk cor. Kemungkinan lainnya akibat viskositas yang terlalu rendah
adalah precoat slurry akan tertarik ke atas kearah butiran refraktori akibat kerja kapiler,
mengakibatkan bintik kosong pada pola, dapat menyebabkan penetrasi logam pada lapisan
precoat.
Pada secondary slurry digunakan silica fuse 200 mesh dan colloidal silica 30 %.
Komposisi colloidal silica dengan silica fuse adalah ditunjukkan pada Tabel 1. Parameter
yang digunakan adalah viskositas yang sesuai standar yaitu 15 detik. Setelah viskositasnya
mencapai 15 detik kemudian cluster dicelupkan kedalam secondary slurry selanjutnya ditabur
pasir zircon sehingga membentuk lapisan keramik. Fungsi secondary slurry adalah untuk
membuat ketebalan dan meningkatkan kekuatan cetakan keramik. Proses pengeringan paling
sedikit 12 jam atau sampai dengan 1 hari. Setelah proses pengeringan pada suhu kamar,
proses ini diulangi beberapa kali hingga didapatkan ketebalan keramik yang diinginkan (7 –
13 mm).
Untuk menghasilkan mutu produk cor yang baik dan mereduksi biaya, maka silica
Seminar Material Metalurgi 2010

fuse lokal dari daerah Bangka dan Belitung dapat digunakan dalam proses pembuatan cetakan
keramik karena karakteristik pasir silika (SiO2) yang diperlihatkan pada Tabel 2 relatif sama
dengan yang terdapat dalam Tabel 3, dan memenuhi persyaratan sebagai bahan baku untuk
pembuatan silica fuse bilamana dilihat dari kadar SiO2 di atas 99,5 % dan kadar Fe2O3 di
bawah 0,05 %. Pemilihan silica fuse sebagai pengganti zircon flour karena harganya jauh
lebih murah. Tabel 3 menunjukkan beberapa perusahaan di Kanada yang menghasilkan
produk silica fused.
Berdasarkan percobaan dalam penelitian yang telah dilakukan penggunaan colloidal
silica lokal hasilnya belum memuaskan, karena sebelum proses dewaxing, cetakan keramik

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 277
sudah rontok atau pecah. Pada slurry dengan tingkat kekentalan tinggi, proses retaknya
cetakan lebih mudah terjadi, sementara pada slurry yang lebih encer permukaan cetakan yang
retak lebih sedikit. Dengan demikian, pada kedua kondisi slurry tersebut, cetakan yang
dihasilkan tidak dapat diproses lebih lanjut.
Tabel 2. Potensi cadangan pasir kuarsa di Indonesia(7)
Daerah
No Rembang Tuban
Bangka & Belitung
(Jawa Tengah) (Jawa Timur)
1. Σ cadangan (m3) 8.640.000 170.000 1.360.000
2. Kadar (%) :
- SiO2 98,4 – 99,6 97,20 – 98,93 96,8 – 99,2
- Fe2O3 0,01 – 0,05 0,06 – 0,09 0,05 – 0,13
- Al2O3 0,02 – 0,07 0,14 – 0,71 0,02 – 0,06
- TiO2 0,01 – 0,03 0,10 – 0,42 0,12 – 0,51
Tabel 3. Produk silica fuse dari Kanada(6)
Perusahaan
Sifat-sifat Tilcon CE Mineral Elmin Harbison
Komposisi kimia, % :
SiO2 99,7 99,6 99,5 99,6
Fe2O3 0,02 0,03 0,01 0,03
Al2O3 0,08 0,15 0,20 0,20
TiO2 0,02 0,03 0,05 0,01
CaO + MgO > 0,07 0,02 0,02 0,04
CaO + K2O > 0,07 0,02 0,03 0,01
Thermal ekspansi
(x10-6) : 0 – 1000 oC 0,54 0,50 0,52 0,51

Hasil Pengujian
Berdasarkan hasil pengujian komposisi kimia menggunakan spektrometer, didapat
bahwa material coran sesuai dengan standar FCD 70 (Tabel 4). Uji metalografi yang
dilakukan untuk melihat struktur mikro dari sampel hasil coran rocker arm sebelum dan
sesudah heat treatment. Dari hasil uji kekerasan yang dilakukan pada sampel uji keras pada
daerah gate, distribusi kekerasan rata-rata adalah 426 HRB (Tabel 5). Dari hasil pengujian
kekasaran didapat bahwa sampel coran menggunakan lilin non filler permukaannya
mempunyai kekasaran rata-rata sebesar 6,044 m (Tabel 5). Hal ini disebabkan permukaan
lilin yang kurang bersih pada saat pencelupan kedalam primary slurry dan juga dapat
disebabkan zircon flour-nya tidak 350  sehingga mengakibatkan permukaan hasil coran
masih kasar. Dari hasil pengecekan dimensi, ternyata jenis lilin berpengaruh terhadap hasil
coran.
Hasil analisis cacat coran secara visual diketahui cacat yang terjadi adalah (1) cacat
inklusi terak (2) cetakan rontok (3) retakan dan (4) cacat air buble. Inklusi terak dapat
disebabkan karena penyimpangan terak dari permukaan cairan logam didalam ladel tidak
cukup, waktu penuangan terlalu lama, dan permukaan cetakan kurang baik. Cetakan rontok
disebabkan suhu pengeringan cetakan keramik tidak sempurna sehingga daya ikat keramik
Seminar Material Metalurgi 2010

lemah. Pada waktu dilewati logam cair, keramik terkikis sehingga terjadi fenomena cetakan
rontok. Cacat retakan yang terjadi disebabkan oleh tidak meratanya larutan slurry pada waktu
pencelupan sehingga saat penaburan pasir zircon terjadi perbedaan ketebalan lapisan keramik.
Lapisan slurry yang tipis tidak dapat mengikat pasir zircon dengan sempurna sehingga pada
waktu dilakukan proses firing, lapisan slurry yang tipis terjadi alur-alur yang menonjol
menyerupai retakan apabila dilihat pada hasil coran. Cacat ini dapat dicegah dengan
pencelupan slurry secara merata dan secepatnya dilakukan penaburan pasir zircon
menggunakan tekanan tertentu sehingga hasil lapisan yang dihasilkan merata. Cacat air buble
terjadi pada waktu pencelupan pola lilin ke dalam larutan primary slurry. Larutan slurry tidak

278 |  ISSN : 2085 – 0492


menutup seluruh permukaan pola akibatnya pada proses penaburan pasir zircon, pasir tidak
melekat pada slurry. Kemudian pada pelapisan slurry yang kedua, didaerah yang tidak
tertutup pada lapisan pertama akan terjadi rongga. Cacat ini dapat dicegah dengan
membersihkan permukaan pola lilin dengan sempurna agar larutan slurry melekat seluruhnya
pada pola lilin.
Tabel 4. Perbandingan hasil uji komposisi kimia
No. Unsur Standar wt (%) Hasil uji Wt (%)
1. C 2,75 – 3,50 3,15
2. Si 2,70 max 2,5
3. Mn 0,4 max 0,3
4. P 0,08 max 0,025
5. S 0,08 max 0,03
6. Cr 0,02 max 0,01
7. Mo 0,25 max 0,15
8. Ni 2,00 max 1,53
9. Al 0,1 max -
10. Mg 0,09 max 0,06
11. Cu 1,0 max 0,75
Tabel 5. Hasil uji kekerasan dan kekasaran produk coran rocker arm
Hasil uji kekerasan Hasil uji kekasaran permukaan
No Kekerasan (HRB) ISO Standar 1083 Kekasaran ( m)
1 435 229-302 4,90
2 415 229-302 5,58
3 398 229-302 9,20
4 426 229-302 6,21
5 456 229-302 4,33
Rata-rata - 6,044

Ekonomi
Keuntungan yang diperoleh dari lost wax process adalah fleksibel dalam rancangan,
hemat dalam penggunaan bahan, tidak memerlukan investasi peralatan mahal dan besar, tidak
memerlukan pemasangan (assembling) inti dan cetakan, dapat menghasilkan bagian benda
tuang yang halus dan kecil, biaya produksi relatif rendah, dan dapat membuat semua logam
tuang (casting).
Selain itu lost wax process mampu dan menguntungkan bila diproduksi secara masal.
Produk yang dihasilkan memiliki tingkat kepresisian tinggi, bentuk yang kompleks, radius
yang diinginkan dan kemiringan tertentu sudah dapat dilakukan menggunakan lost wax
process serta diusahakan tidak menggunakan proses permesinan atau dapat mengurangi waktu
proses tersebut. Sehingga ditinjau dari segi ekonomis menguntungkan karena ongkos produksi
bisa rendah sehingga harga jual menjadi kompetitif.
Beberapa usaha terobosan untuk mengurangi ongkos proses produksi, antara lain :
1. Penggunaan epoxy resin : sebagai bahan baku pengganti pola logam (duralumin), selain
harganya lebih murah dan teknologinya sederhana juga waktu pembuatannya dapat
dipersingkat.
Seminar Material Metalurgi 2010

2. Bahan baku lilin : dapat diganti dengan lilin buatan dalam negeri, yaitu dengan komposisi
: (a) parafin dan damarselo dan arpus (b) parafin 60 %, carnauba 20 % dan lilin 20 %.
3. Zircon flour : yang selama ini masih di import, bisa diganti dengan pasir zircon dari P.
Bangka dan Belitung.
4. Mesin injeksi wax : dikembangkan mesin injeksi wax dan peralatan yang lainnya buatan
dalam negeri dengan melakukan reverse engineering sehingga bisa terjangkau oleh IKM.
Hasil produk dari lost wax process umumnya material yang mempunyai kekerasan
tinggi, material yang tidak dapat diproses mesin dan material yang sangat tipis, seperti sudu
turbin dan rocker arm.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 279
Dibandingkan dengan proses tempa, lost wax process ini mempunyai keunggulan
yaitu dapat membuat produk yang rumit dan menghasilkan kehalusan permukaan yang tinggi,
juga dapat menghemat biaya pembuatan dies, biaya proses lebih rendah karena dalam proses
tempa, untuk membuat satu produk memerlukan 5 (lima) sampai 6 (enam) kali proses tempa.
Bahan baku yang selama ini masih import, bisa disubtitusi dengan bahan baku buatan
Indonesia. Seperti bahan baku beeswax untuk lilin dapat digantikan dengan lilin buatan dalam
negeri yaitu dengan komposisi parafin 60%, Carnauba 20% dan wax 20%, kemudian Zircon
Flour yang selama ini import bisa diganti dengan pasir zirkon dari Pulau Bangka, mesin
injeksi lilin dan peralatan yang lainnya juga dapat dibuat di dalam negeri.

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka di dapat beberapa kesimpulan
dan saran sebagai berikut :
1. Produk cor substitusi import yang telah dibuat adalah rocker arm untuk komponen
otomotif roda empat dari bahan ADI.
2. Silica fuse lokal dapat digunakan untuk pembuatan cetakan keramik karena mempunyai
kadar SiO2 di atas 99,5 % dan kadar Fe2O3 di bawah 0,05 % tetapi colloidal silica lokal
masih perlu diteliti komposisinya karena belum memberikan hasil yang memuaskan.
3. Viskositas harus berada pada kondisi optimum sekitar 30 detik : (a) terlalu tinggi
menyebabkan sagging pada saat pelapisan slurry pada pola dan gelembung udara yang
berdampak pada cacat produk ketika dicor, (b) terlalu rendah menyebabkan material
refraktori pada saat sanding proses menembus masuk ke dalam lapisan slurry
menyebabkan kekasaran permukaan pada produk cor.
4. Ketebalan keramik sangat berpengaruh pada hasil proses firing, preheating dan dewaxing
sehingga perlu disesuaikan dengan besar kecilnya produk cor yang dibuat.
5. Suhu yang digunakan pada proses dewaxing sebesar ± 100 oC dan dikeringkan sekitar 24
jam. Sedangkan untuk firing dan preheating adalah ± 1.000 oC dengan waktu 2 jam.
6. Cacat produk cor yang banyak timbul pada percobaan ini adalah inklusi terak dan cetakan
rontok.
7. Untuk menurunkan biaya produksi dilakukan : (1) penyederhanaan proses pengerjaan, (2)
pemanfaatan pasir silica dan zircon lokal untuk cetakan keramik, (3) lilin paraffin dan
damar selo untuk model lilin (wax), (4) epoxy resin untuk dies sebagai pengganti logam
(duralumin), (5) mesin injeksi hidrolik dan peralatan pendukung lainnya produksi dalam
negeri.
8. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap bahan baku import lainnya, yaitu :
defoamer dan surface active agent.

UCAPAN TERIMA KASIH


Kepada : (1) Dr. Ir. Abdul Wahid MSc yang telah menugaskan penulis mempelajari
bidang lost wax process, (2) Dr. Mitsuo Ninomiya dari NIRIN/AIST yang telah memberikan
bantuan teknologi yang diperlukan dalam penelitian ini, (3) Mario ST, Dr. Ir. Sri Bimo
Pratomo M.Eng. dan Dr. Ir. Rudy Suhradi M.Eng atas segala bantuanya dalam pelaksanaan
penelitian, (4) semua pihak yang tidak bisa ditulis satu persatu yang telah memberikan
Seminar Material Metalurgi 2010

sumbangan pemikiran dan diskusi yang berguna.

DAFTAR PUSTAKA
1. Edgar Deridder, 2001, “Investment Casting An Essential Technology For Indonesia”,
Balai Besar Pengembangan Industri Logam dan Mesin (BBLM) dan F.N., Formetal
Belgie, Bandung.
2. Horton, Robert A, 1992, “Investment Casting”, ASM International Handbook”, USA.

280 |  ISSN : 2085 – 0492


3. Hafid dan Tatang Taryaman, 2002, ”Pembuatan Rocker Arm Connecting Rod Cup Di
IKM Cor Ferro”, Balai Besar Logam dan Mesin (BBLM) Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, Bandung.
4. Hafid dan Abdul Wahid, 2009, ”Penelaahan Peluang Penumbuhan Industri Berbasis
Sumber Daya Alam Indonesia”, Kementrian Perindustrian, Jakarta.
5. Mitsuo Ninomia, A. Wahid, 2000, “Precission Casting Technology”, Final Report Of A
Joint Research, NIRIN – Japan and MIDC Indonesia, Nagoya, Japan.
6. PPTM, 1985, “Majalah Industrial Mineral”, Bandung.
7. Wahyudin dkk, 1996, “Pasir Kuarsa, Bahan Galian Industri”, B.12.96., Direktorat
Jenderal Pertambangan Umum, Puslitbang Teknologi Mineral, Bandung.

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 281
Seminar Material Metalurgi 2010

282 |  ISSN : 2085 – 0492


EKSTRAKSI TEMBAGA DARI PCB (Printed Circuit Board)

Iwan Setiawan, Januar Irawan


Pusat Penelitian Metalurgi LIPI
Gedung 470 Kawasan PUSPIPTEK Serpong

Abstrak
PCB (Printed Circuit Board) merupakan suatu body dari suatu rangkaian elektronik pada alat
elektronik. Sehingga kuantitas PCB dalam suatu alat elektronik adalah sangat dominan. Dengan perkembangan
produksi elektronik yang sangat tinggi, keberadaan limbah PCB ini dapat dimanfaatkan dengan cara ekstraksi
terhadap logam utamanya yaitu Cu. Logam tembaga dan timah merupakan kandungan terbesar dengan tingkat
kemurnian diatas 99.9 %
Beberapa macam cara dapat digunakan untuk daur ulang tembaga dan timah dalam PCB. Pada teknik
hidrometalurgi, PCB biasanya dipanaskan untuk melelehkan Sn, kemudian direndam dalam basa kuat untuk
pengelupasan plastik penutup dan diikuti dengan pelarutan tembaga dengan asam sulpat pekat, asam klorida
atau asam nitrat encer dengan pencampuran yang sesuai. Tahap terakhir yaitu sementasi dengan logam dan
atau elektrolisis tembaga.
Pada penelitian telah dilakukan daur ulang Cu dengan cara perendaman dalam basa, pelarutan dalam
dengan campuran asam nitrat dan asam klorida encer, kemudian larutan yang terbentuk dielektrodeposisi
dengan cara elektrolisis sehingga pada katoda akan terbentuk logam tembaga pada katoda. Tembaga yang
terbentuk pada katoda dimurnikan kembali dengan elektrorefining dalam media CuSO4 menghasilkan tembaga
dengan tingkat kemurnian diatas 99.8%.

Kata kunci : Ekstraksi tembaga, Limbah PCB (Printed Circuit Board, Hidrometalurgi, Elektrorefining.

Abstrack
PCB (Printed Circuit Board) is a body of an electronic circuit in electronic equipment. So the quantity
of PCBs in an electronic device is very dominant. With the development of electronic production is very high, the
presence of PCB waste can be utilized by extraction of primary metal is Cu. Metal content of copper and tin is
the largest with a purity level above 99.9%.
Some kind of way can be used to recycle copper and tin in the PCB. In hydrometallurgical techniques,
PCBs are usually heated to melt the Sn, then soaked in a strong base to peel the plastic cover and is followed by
dissolution of copper with concentrated sulpat acid, hydrochloric acid or nitric acid diluted with an appropriate
mixing. The last stage of cementation with copper metal and / or electrolysis.
The research has been carried out. Cu recycled by leached in alkali, dissolving in the mixture of nitric
acid and dilute hydrochloric acid, then the solution electrodeposited formed by electrolysis to be formed on the
cathode copper metal on the cathode. Copper cathode formed on purified again with the media elektrorefining
CuSO4 produce copper with purity above 99.8%.

Key words : copper extraction, PCB waste (Printed Circuit Board), hidrometallurgy, Elektrorefining,
electrolysis.

PENDAHULUAN
Seminar Material Metalurgi 2010

Permasalahan lingkungan merupakan suatu topik yang hangat dibicarakan dalan 2


dekade terakhir. Hal ini karena masyarakat semakin sadar dengan kondisi lingkungan yang
dirasakan, dan dampak-dampaknya yang sudah terasa. Permasalahan yang timbul itu
merupakan suatu dampak buruk dari kemajuan dalam bidang industri barang, dalam bidang
elektronika kemajuan dalam bidang ekonomi akan berdampak pada melimpahnya produk-
produk tersebut dan tidak diikuti dengan pemecahan bagaimana produk-produk tersebut bila
sudah tidak dipergunakan dan menjadi suatu sampah, padahal material penyusun dari produk
tersebut didesain sejak semula merupakan suatu material yang awet, tahan lama, dan tentunya
mengandung material, unsur atau senyawa yang berbahaya. Dampak ini akan lebih terasa
terutama dinegara berkembang dengan tingkat GDP yang tinggi seperti Indonesia, India dan

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 283
China, karena mereka pada umumnya belum siap secara penuh untuk mengatasi limbah, tetapi
disisi lain tingkat konsumsinya sangat tinggi. Untuk mengatasi masalah ini yaitu dengan cara
penguasaan pengolahan limbah jenis ini dengan teknologi yang tentunya ekonomis dan tidak
menimbulkan permasalahan limbah baru.
Dalam suatu produk elektronika komponen yang paling banyak dipakai tentunya apa
yang disebut PCB (printed circuit board) yang merupakan suatu papan utama tempat
menancapnya komponen elektronika yang lebih kecil seperti IC, transistor, resistor, thermistor
dll. Tentunya PCB ini merupakan komponen yang terbesar dan hampir dipastikan ada dalam
suatu produk. elektonika. Terdapat beberapa unsur kimia yang masih bermanfaat dalam
limbah ini yang utama yaitu tembaga dan timah. Unsur tembaga dan timah dalam limbah ini
masih dapat diekstraksi untuk menghasilkan tembaga murni dan timah yang dapat
dipergunakan kembali.
Beberapa teknik yang bisa dipergunakan yaitu pengelupasan Cu dengan besi klorida
atau dengan asam nitrat, kemudian dilanjutkan dengan reduksi senyawa Cu ini dengan
sementasi, elektrolisis atau teknik-teknik yang lainnya. Pada penelitian ini kan dicoba
beberapak teknik ekstraksi secara hidro metalurgi dimulai dengan ekstraksi Sn terlebih dahulu
dengan suatu basa diikuti dengan ekstraksi dan sementasi tembaga dengen beberapa cara
termasuk ekstraksi menggunakan pelarut organik. Diharapkan tingkat perolehan dari recovery
ini sangat tinggi dengan meminimialkan resiko akibat dari senyawa kimia/pelarut yang akan
digunakan, dan PCB setelah proses akan dapat lebih mudah diolah untuk dipreparasi lebih
lanjut untuk didegradasi.

METODOLOGI
Metodologi yang digunakan seperti pada gambar 1
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 1. Diagram alir penelitian

Sampel yang digunakan ada penelitian ini berasal dari PCB komputer. Adapun diagram
lapisan Cu pada PCB seperti pada gambar 2.

284 |  ISSN : 2085 – 0492


Gambar 2. Diagram lapisan Cu
Pada tahap pertama dilakukan pengelupasan atau perusakan lapisan plastik dengan
cara degradasi dengan basa kuat NaoH encer pada suhu sekitar 100 oC. Ini dilakukan terhadap
pada PCB hasil grinding. Degradasi selain dengan basa dapat dilakukan juga dengan
menggunakan suatu pelarut organik. Semua proses pengujian komposisi kimia dalam
penelitian ini menggunakan AAS Analytica Jena (atomic absorption spectrophotometer).

PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Pada tahap pertama dilakukan grinding pada PCB yang telah dibersihkan dari
komponen-komponen yang menancap dipermukaaannya, menjadi bentuk yang lebih kecil.
Dan ini seperti pada gambar 3b.

a b
Gambar 3. PCB TV (a) dan hasil grinding (b)

Tabel 1. Uji komposisi kimia Cu


PCB Limbah Pabrik PCB TV PCB PC
Kadar Cu (%) 2.33 3.23 3.86
Kadar Sn (%) - 8.52 5.87
Kadar Cu* (%) 6.33 5.23 8.76
*Konsentrasi dilakukan dengan cara manual yaitu PCB digrinding sampai halus kemudian dicuci dengan air,
bagian bawah (fraksi lebih berat) dianalisa.

Hal ini bertujuan supaya proses pelarutan dapat berjalan lebih baik. Sehingga
diharapkan proses ekstraksi dapat berjalan optimal. Hasil Uji komposisi dari beberapa jenis
Seminar Material Metalurgi 2010

PCB tertera pada tabel 1.


Pada tahap kedua dilakukan leaching terhadap PCB hasil grinding dengan NaOH 1
M, pada 100 oC. Kemudian dilakukan penyaringan. Filtrat yang yang dihasilkan mengandung
ion besi dan Sn. Besi yang dihasilkan kemungkinan dari kaki-kaki komponen yang tertancap
dalam PCB.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 285
Gambar 4. Proses penyaringan
Pada tahap tiga, tembaga yang masih melekat pada PCB selanjutnya di direndam
dalam berbagai media leaching seperti HCl, HNO3, H2SO4. Jumlah dan komposisi asam
divariasikan untuk mengetahui kombinasi dan komposisi yang tebaik untuk memperoleh
Tembaga. Data hasil penelitian tertera pada tabel 2.

Tabel 2. Rendemen Cu pada berbagai komposisi dan kombinasi asam


NO Media Leaching Waktu Sn ekstraksi (%) Cu ekstraksi
(menit)
1 H2SO4 2M 10 1.2 <0.01
30 1.3 <0.01
60 2.0 <0.01
120 3.0 <0.01
2 H2SO4 2M + HCl 3M 10 30.3 4.7
(leaching ke-1) 30 39.1 5.4
60 55.7 6.7
120 57.2 7.7
H2SO4 2M + HCl 3M 10 90.5 4.7
(leaching ke-2) 30 90.3 5.4
60 90.3 7.5
120 90.3 9.3
3 HCl 3M 10 55.2 5.7
30 66.1 7.4
60 80.8 8.1
120 91.7 9.7
4 HCl 3 M + HNO3 1M 10 71.2 65.3
30 86.4 78.4
60 93.7 84.7
120 98.1 93.7

Pada kombinasi HCl 3 M + HNO3 1M selama 120 menit didapatkan jumlah logam
Seminar Material Metalurgi 2010

terekstrak paling tinggi. Kemudian komposisi asam yang terakhir ini yang dijadikan pelarut
untuk Cu dan Sn.
Tahap selanjutnya yaitu tahap 4 merupakan elektrodeposisi Cu dari larutan
menggunakan sel elektrolisis. Kondisi elektrolisis yang dilakukan yaitu :
- Pelarut yaitu HNO3 1 M dan HCl 3 M (perb. Volume 1:1)
- Kondisi elektrolisis Elektrolisis Cu
temperatur: 45 oC
rapat arus: 20 mA.cm-2
- Kemurnian Cu yang didapatkan mencapai 93.3 %

286 |  ISSN : 2085 – 0492


Tahap terakhir yaitu pemurnian tembaga dari tahap 4 menggunakan elektrolisis
pemurnian atau elektrorefining. Gambar percobaan seperti pada gambar 5a dan gambar 5b.
Gambar 5c merupakan gamabr Cu yang terelektrodeposisi pada katoda.
Kondisi elektrolisis Elektrolisis Cu adalah sbb:
- temperature: bervariasi (30, 45, 80 oC)
- rapat arus: bervariasi (10, 15, 20, 25 mA.cm-2)
- Penambahan gom arabic untuk mencegah dendritik
- Pengaturan pH untuk pencegahan pengendapan pengotor Fe.
- Media yang digunakan yaitu CuSO4, 40-60 gram per 1 L (berdasarkan literatur).

a b c
Gambar 5. Proses elektrorefining

Tabel 3. Data penelitian pengaruh temperature dan rapat arus terhadap deposisi tembaga pada katoda
Waktu Temp Arus Rapat Arus Berat Awal Berat Akhir Selisih berat Berat Awal Berat Akhir Selisih berat Cu menempel %
(jam) (oC) (ampere) (mA/cm2) Tembaga (gram) Stainless Steel (gram) ke SS (%)

3 45 1.0 10 52.77 48.20 -4.57 150.86 155.12 4.26 8.07% 8.07


3 45 1.5 15 61.96 56.16 -5.80 151.38 157.48 6.10 9.85% 9.85
3 45 2.0 20 56.05 48.35 -7.70 151.07 158.41 7.34 13.10% 13.1
3 45 2.5 25 56.88 45.58 -11.30 150.95 161.01 10.06 17.69% 17.69
3 45 3.0 30 44.95 36.54 -8.41 151.20 162.05 10.85 24.14% 24.14

3 29 1.5 15 59.67 53.79 -5.88 151.39 157.22 5.83 9.77% 9.77


3 45 1.5 15 61.96 56.16 -5.80 151.38 157.48 6.10 9.85% 9.85
3 80 1.5 15 55.66 49.80 -5.86 151.40 157.02 5.62 10.10% 10.10

Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 5. Grafik pengaruh kuat arus dan temperatur terhadap deposisi tembaga pada katoda
Dari data percobaan didapatkan bahwa semakin tinggi rapat arus maka jumlah Cu
yang terdeposisi makin banyak. Tetapi dari hasil percobaan tidak mendapatkan temperatur
optimum untuk memperoleh Cu dengan kemurnian tertinggi. Kemurnian yang diperoleh ada
pada kisaran 99,7-99,9 pada temperatur 45-80 oC.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 287
KESIMPULAN
- Daur ulang tembaga dari PCB dapat dilakukan pada prinsipnya dengan dua tahap yaitu
penghilangan lapisan cat penutup dan diikuti dengan pelarutan tembaga dengan
campuran asam nitrat dan HCl
- Tingkat recovery Cu mencapai 72 % dengan kemurnian tertinggi mencapai 99.9804 %

DAFTAR PUSTAKA
1. Habashi, F., "Principles of Extractive Metallurgy", Gordon and Breach Science
Publishers, Vol. 1,1969
2. Antropov, L.I., "Theoretical Electrochemistry", 2"d ed., Mir Publishers, Moscow.
3. 1977.Kruesi, P.R., Alien, E.S. and Lake, J.L., "Cymet Process Hydrometallurgical
Convention of Base Metal", CIM Bulletin, June 1973, p: 81-83.
Seminar Material Metalurgi 2010

288 |  ISSN : 2085 – 0492


KOMPARASI FASA DAN KEKERASAN MIKRO
LAPISAN BORIDA PADA BAJA ST37 DAN BAJA S45C

Jan Setiawan, Sugondo, Bambang Soegiono*, Ratih Langenati


Pusat teknologi Bahan Bakar Nuklir-BATAN, Kawasan Puspiptek, Serpong
*Program Studi Ilmu Bahan-Bahan, Universitas Indonesia, Depok
djan@batan.go.id

Abstrak
Komparasi Fasa dan Kekerasan Mikro Lapisan Borida Pada Baja ST37 dan Baja S45C.
Peningkatan kualitas baja seperti kekuatan mekanik dan ketahanan korosi, dapat dilakukan dengan
berbagai metode. Salah satu metode secara termokimia yang dapat dilakukan adalah boronisasi.
Telah dilakukan boronisasi baja ST37 dan S45C menggunakan media pedonor boron berupa padatan
(serbuk). Temperatur proses dilakukan pada 1000 oC selama 8 jam dengan kondisi atmosfer tungku
yang inert. Hasil boronisasi yang diperoleh berupa lapisan borida dengan morfologi gigi gergaji
(sawtooth). Pengujian kekerasan mikro lapisan borida dilakukan dari permukaan dan penampang
lintang. Kekerasan mikro dari penampang lintang yang tertinggi diperoleh dikedalaman antara 50 –
90 μm. Sedangkan, kekerasan mikro dari permukaan lapisan borida yang tertinggi diperoleh pada
kedalaman 30 – 60 μm. Karakterisasi pola difraksi lapisan borida untuk kedua baja dilakukan dari
kedalaman 0 – 100 μm. Fasa yang teridentifikasi yaitu fasa FeB, Fe2B dan CrB. Pola difraksi yang
diperoleh, dianalisis secara kuantitatif menggunakan aplikasi GSAS. Hasil analisis kuantitatif
menunjukkan kekerasan mikro dari permukaan lapisan borida yang tertinggi sangat dipengaruhi oleh
fasa FeB dan CrB.

Kata Kunci: GSAS, Kekerasan Mikro, Boronisasi, ST37, S45C

Abstract
Boride Layers Phases and Microhardness Comparison On ST37 and S45C Steels. Quality
improvement in mecanical strength and corrosion resistance on steels, can be done by several
methods. One of them, is thermochemical method like Boronizing. Boronizing on ST37 and S45C
have been done by solid (powder pack) boron donor media. The Process temperature was 1000 oC for
8 hours with inert atmospheric furnace. The result, the boride layers with sawthooth morphology was
created. The microhardness test took placed on the surface and the crosssection of boride layers. The
higest result on the crosssection was obtained at 50 – 90 μm from the outer surface. Meanwhile, the
highest result on the surface layer was obtained at 30-60 μm from the outer surface. The Diffraction
pattern for both steels carried out at 0 – 100 μm from the outer surface. The identified phases were
FeB, Fe2B and CrB. The Diffraction pattern was analyzed quantitatively by GSAS. The result show
that the higest microhardness on the surface of boride layers was influenced by the FeB and CrB
phases.

Terms: GSAS, Microhardness, Boronizing, ST37, S45C

Pendahuluan
Bahan boron digunakan dalam industri nuklir. Dipadu pada batang kendali netron di
Seminar Material Metalurgi 2010

reaktor nuklir. Dilarutkan dalam air pendingin reaktor daya untuk mengatur distribusi netron.
Ditambahkan pada pelet ujung elemen bakar nuklir untuk menghindari neutron spiking[1,2].
Kelongsong elemen bakar nuklir model reaktor tertentu juga dilapis boron. Boron juga
digunakan dalam industri selain industri nuklir dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas
baja, antara lain sifat mekanik dan ketahanan korosi. Sebagai spin off penelitian di bidang
nuklir, boron digunakan untuk pelapisan baja tipe Corten.
Boronisasi atau boriding merupakan perlakukan termokimia yang mendifusikan atom
boron menembus suatu permukaan bahan. Aplikasi boronisasi pada logam bertujuan untuk
meningkatkan kekerasan dan ketahanan aus permukaan bahan baik pada paduan logam besi

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 289
dan paduan logam non besi[3]. Boron sebagai elemen yang relatif kecil mampu berdifusi pada
berbagai macam logam[4]. Proses boronisasi dapat dilakukan pada temperatur antara 1113 K
sampai 1323 K dengan media boron berupa padatan, cairan atau gas[4]. Hasil proses
boronisasi ini pada permukaan logam akan terbentuk lapisan yang terdiri dari fasa borida
tunggal (FeB atau Fe2B) atau poli-fasa borida (FeB dan Fe2B)[3]. Sifat-sifat mekanik dari
variasi lapisan FeB dan Fe2B sangat bergantung pada waktu dan temperatur proses boronisasi.
Kekerasan mikro lapisan borida sangat bergantung pada komposisi dan struktur lapisan borida
dan komposisi logam dasarnya[3]. Kandungan C, Cr dan Ni pada paduan besi sangat
mempengaruhi lapisan borida. Kandungan C yang besar akan membuat kedalaman lapisan
borida menjadi lebih rendah tetapi meningkatkan kekerasannya[4]. Kandungan Cr pada
paduan besi akan meningkatkan pembentukan fasa FeB pada lapisan borida[4]. Selain itu,
kandungan Cr mampu meningkatkan kekerasan seiring dengan kegetasannya pada lapisan
permukaan, sedangkan untuk kandungan Ni akan mempengaruhi morfologi lapisan borida
yang terbentuk.
Dalam penelitian ini dilakukan analisis kuantitatif fasa menggunakan aplikasi GSAS
dan pengujian kekerasan mikro lapisan borida pada boronisasi baja ST37 dan baja S45C
dengan metode powder pack. Proses boronisasi yang dilakukan untuk kedua baja tersebut
pada temperatur 1000 oC selama 8 Jam dengan kondisi atmosfer Ar. Dari analisis lapisan
borida ini diharapkan diperoleh bagaimana komposisi dan struktur variasi fasa borida untuk
kedua baja dan bagaimana karakteristik kekerasan mikro untuk kedua baja pada lapisan
tersebut. Komparasi hasil boronisasi pada baja ST37 dengan baja S45C, diharapkan
karakteristik baja ST37 yang diboronisasi mampu mendekati bahkan melebihi karakteristik
baja S45C yang diboronisasi.

Tata Kerja
Baja ST37 dan baja S45C yang berbentuk rod dengan ukuran diameter 1.5 cm dan
tinggi 3 cm, diletakkan di dalam serbuk media boronisasi yang komposisinya terdiri dari
5wt% B4C, 5wt% KBF4 dan 90wt% SiC. Proses boronisasi dilakukan pada temperatur 1000
o
C selama 8 jam menggunakan tungku Nabertherm K2/H dalam kondisi atmosfer Ar. Setelah
proses selesai, baja didinginkan di dalam tungku sampai temperatur ruangan tercapai.
Struktur mikro penampang lintang lapisan borida diamati menggunakan mikroskop optik
Nikon 114. Kekerasan mikro lapisan borida dari penampang lintang diuji menggunakan
microhardness tester Leitz dengan indentor kekerasan Vickers.
Karakterisasi XRD dilakukan pada sudut 2θ mulai 200 sampai 900 menggunakan XRD
Phillips dengan difraktometer PW3710. Karakterisasi XRD pertama dilakukan pada lapisan
terluar kedua baja yang sudah diboronisasi kemudian diuji kekerasan mikronya. Setelah itu,
lapisan ini diabrasif menggunakan SiC emery paper grit 180. Ketebalan kedua baja yang
diabrasif diukur menggunakan mikrometer digital Mitutoyo dan diverifikasi dengan
mikroskop optik terhadap lapisan borida yang tersisa. Proses abrasif untuk baja ST37
dilakukan pada kedalaman 35, 55, 77 dan 97 µm dan untuk baja S45C dilakukan pada
kedalaman 39, 41, 55 dan 74 μm. Analisis kuantitatif fasa pada lapisan borida dikedalaman
tersebut dilakukan berdasarkan hasil pola difraksi yang diperoleh. Analisis kuantitatif ini
dilakukan menggunakan aplikasi GSAS
Seminar Material Metalurgi 2010

Hasil dan Pembahasan


Karakteristik Baja ST37 dan Baja S45C
Baja ST37 merupakan plain carbon steel dengan kandungan 0.17wt% C, 0.10-
0.35wt% Si, 0,40-0.80wt% Mn, 0.040wt% P, 0.040wt% S dan didominasi oleh unsur Fe.
Baja S45C merupakan baja karbon sedang, dengan kandungan 0.42-0.48wt% C, 0.15-
0.45wt% Si, 0.60-0.90wt% Mn, 0.030wt% P, 0.035wt% S dan didominasi juga oleh unsur Fe.
Sedangkan untuk baja yang diproduksi dari Cilegon ditambahkan unsur V, Ni, dan Cr[7]
dengan harapan dapat meningkatkan karakteristik material tersebut secara keseluruhan.

290 |  ISSN : 2085 – 0492


Struktur mikro baja ST37 sebelum diboronisasi ditampilkan pada gambar 1.a dan pola
difraksi baja tersebut ditampilkan pada gambar 1.c sedangkan sturktur baja S45C ditampilkan
pada gambar 1.b dan pola difraksi baja tersebut ditampilkan pada gambar 1.d.

100 μm  100 μm
(a) (b)

(110)
(110)

(200)
(200)

(c) (d)
Gambar 1. (a) Struktur mikro baja ST37 sebelum boronisasi, (b) Struktur mikro baja S45C sebelum boronisasi,
(c) Pola difraksi XRD baja ST37 dan (d) Pola difraksi XRD baja S45C.

Gambar 1.a memperlihatkan baja ST37 didominasi fasa α-Fe dan sedikit fasa pearlite,
berbeda dengan baja S45C yang diperlihatkan pada gambar 1.b. Struktur mikro baja S45C
lebih didominasi oleh fasa pearlite. Pola difraksi XRD pada gambar 1.c dan gambar 1.d
dianalisis menggunakan aplikasi GSAS, dengan parameter yang di-input sesuai kartu 99-100-
7795 dari database IuCr/COD/AMCSD 22.01.10. Kartu tersebut merupakan fasa Fe dengan
space group I m -3 m. Hasil analisis diperoleh struktur kristal kedua baja adalah BCC
dengan parameter kisi untuk baja ST37 sebesar 2.866 Å dan untuk baja S45C sebesar 2.8662
Å. Kedua baja memiliki bidang orientasi tertinggi yang sama di (110). Hasil pengujian
kekerasan mikro pada baja ST37 diperoleh sebesar 123.82 HV dan untuk baja S45C sebesar
196.39 HV. Hasil analisis yang telah dilakukan menunjukkan baja S45C memiliki kekerasan
mikro yang lebih besar daripada baja ST37. Meskipun analisis struktur kristal kedua baja
Seminar Material Metalurgi 2010

menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Kekerasan mikro baja S45C yang lebih
tinggi tersebut disebabkan struktur mikronya yang lebih didominasi oleh fasa pearlite.

Karakterisasi Hasil Boronisasi


Morfologi Lapisan Borida
Morfologi lapisan borida yang terbentuk pada baja ST37 dan baja S45C diperlihatkan
pada Gambar 2.a dan 2.b. Terlihat sangat jelas morfologi lapisan borida yang terbentuk pada
keduanya berupa gigi gergaji (sawtooth). Morfologi ini terbentuk diakibatkan oleh desakan
boron yang berdifusi selama boronisasi menemui hambatan mekanik yang tidak homogen di
dalam matriks baja, sehingga panjang dari lapisan borida tidak homogen. Pada bagian

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 291
dengan hambatan mekanik yang rendah akan didapati lapisan borida yang lebih dalam
dibandingkan dibagian lain dengan hambatan mekanik yang lebih besar. Pada baja S45C
terlihat adanya crack yang memotong sepanjang lapisan borida. Crack akan terbentuk pada
baja dengan komposisi karbon rendah-sedang yang terjadi selama boronisasi. Crack pada
lapisan borida menunjukkan terbetuknya dua fasa Fe2B dan FeB pada lapisan borida tersebut.
Untuk menghitung kedalaman lapisan borida yang terbentuk, skema pengukuran dari hasil
SEM yang diperoleh diperlihatkan pada Gambar 3.

100 μm  100 μm

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 2. Struktur mikro lapisan borida dari penampang lintang pada (a) baja ST37 dan (b) baja S45C dengan
menggunakan mikroskop optik dan Secondary electron image (SEI) pada (c) baja ST37 dan (d) baja
S45C dengan menggunakan SEM JEOL/JSM 6510.

Lapisan 
d1 d3 d4
d2

Zona Transisi 
Seminar Material Metalurgi 2010

Matriks 

[6]
Gambar 3. Skema pengukuran kedalaman lapisan borida .

Untuk memperoleh kedalaman lapisan borida yang terbentuk, dihitung rata-rata dari
tiap-tiap panjang puncak gigi gergaji pada lapisan borida menggunakan persamaan berikut:
n

d i
d i 1
n (1)

292 |  ISSN : 2085 – 0492


dimana:
di : panjang puncak gigi gergaji.
n : banyaknya data yang diambil
Dari pengukuran kedalaman menggunakan persamaan (1), lapisan borida untuk baja
ST37 kedalamannya sebesar 249 µm dan lapisan borida untuk baja S45C kedalamanya
sebesar 243 μm. Daerah di bawah lapisan borida struktur mikro baja mengalami perubahan.
Fasa pearlite pada kedua baja membesar dari sebelumnya. Perubahan ini diakibatkan saat
pemanasan selama proses boronisasi terjadi desakan dari kandungan unsur didalam baja yang
tidak terlarut pada lapisan borida terutama unsur karbon. Saat proses pendinginan pada baja
ST37, terjadi desakan-desakan unsur karbon pada fasa α-Fe yang akan mendorong
terbentuknya fasa pearlite yang lebih besar. Proses pendinginan pada baja S45C yang
memang didominasi fasa pearlite, desakan unsur karbon akan membuat ukuran pearlite
menjadi jauh lebih besar. Daerah yang terpengaruh inipun tidak terlalu lebar, bergantung
lama boronisasi, kandungan boron di luar baja dan besar kandungan unsur yang tidak terlarut
didalam lapisan borida.

FeB (002)

CrB(002)

Fe2B (002)

97 µm 

77 µm 

55 µm 

35 µm 

0 µm 
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 4. Pola difraksi XRD lapisan borida pada baja ST37.


Pola Difraksi Lapisan Borida
Pola difraksi XRD lapisan borida untuk baja ST37 pada permukaan terluar hingga
kedalaman 97 µm ditampilkan pada Gambar 4, sedangkan lapisan borida untuk baja S45C
pada permukaan terluar hingga kedalaman 74 μm ditampilkan pada Gambar 5.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 293
FeB (002)

CrB (002)

Fe2B (002)

74 µm 

55 µm 

41 µm 

29 µm 

0 µm 

Gambar 5. Pola difraksi XRD lapisan borida pada baja S45C.


Dari Gambar 4 dan Gambar 5 teridentifikasi dua puncak tertinggi yaitu sudut 2θ di
50.00 – 50.50 dan 74.00 – 76.00. Hasil pencocokan dengan database IuCr/ COD /AMCSD
22.01.10, puncak pada sudut 2θ di 50.00 – 50.50 adalah milik fasa Fe2B sesuai dengan kartu
99-200-3534. Puncak pada sudut 2θ di 74.00 – 76.00 adalah adalah milik fasa FeB sesuai
dengan kartu 99-100-9836 dan fasa CrB sesuai dengan kartu 99-101-0921. Analisis yang
dilakukan dengan aplikasi GSAS untuk tiap-tiap fasa yang diketahui dari pola difraksi yang
diperoleh, fasa Fe2B, FeB dan CrB terorientasi pada bidang (002) dan fraksi beratnya untuk
kedua baja disajikan pada Gambar 6.
Hasil analisis GSAS menunjukkan fasa Fe2B tidak mengalami perubahan parameter
kisi yang signifikan dari tiap-tiap perubahan kedalaman dan densitas fasa ini relatif berkisar
7.3 gr/cm3. Pertumbuhan fasa Fe2B ini selama boronisasi terhambat setelah terbentuk
sepanjang [001] dipermukaan baja. Kandungan pendonor boron yang melimpah dipermukaan
baja mengakibatkan reaksi baru fasa Fe2B dengan atom B yang membentuk fasa FeB diluar
permukaan fasa Fe2B yang sebelumnya sudah terbentuk. Pertumbuhan fasa FeB akan terus
berlangsung selama boronisasi masih berlangsung atau pendonor boron di dalam media masih
Seminar Material Metalurgi 2010

melimpah.
Hasil analisis GSAS menunjukkan fasa FeB dan fasa CrB mengalami perubahan
parameter kisi baik a, b, atau c dan densitas fasa FeB. pada baja ST37 dipermukaan terluar
tidak teridentifikasi fasa CrB, berbeda dengan lapisan borida pada baja S45C yang
teridentifikasi fasa CrB. Untuk baja ST37 pada kedalaman 55 μm mulai teridentifikasi fasa
CrB, berbeda untuk baja S45C dimana pada kedalaman 41 μm fasa CrB sama sekali tidak
teridentifikasi. Terbentuknya fasa CrB diluar permukaan diakibatkan oleh kandungan unsur
Cr yang cukup besar dan afinitas unsur Cr lebih besar dibandingkan unsur C untuk berikatan

294 |  ISSN : 2085 – 0492


dengan unsur B. Sangat dimungkinkan kandungan unsur Cr pada baja S45C lebih besar
dibandingkan pada ST37.

(a) (b)
Gambar 6. Grafik fraksi berat fasa hasil analisis GSAS untuk (a) baja ST37 dan (b) baja S45C

Gambar 7. Kekerasan mikro pada penampang lintang baja setelah boronisasi.

Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 8. Kekerasan mikro pada permukaan baja setelah boronisasi.


Kekerasan Mikro Lapisan Borida
Hasil pengujian kekerasan mikro pada penampang lintang baja disajikan pada Gambar
7 dan hasil pengujian kekerasan mikro pada permukaan baja disajikan pada Gambar 8.
Kekerasan mikro sesudah diboronisasi mengalami peningkatan dibandingkan sebelum

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 295
diboronisasi. Peningkaran pada kedua baja memliki pola yang serupa satu sama lainnya.
Pada baja ST37 hasil pengujian kekerasan mikro yang tertinggi diperoleh dikedalaman 87.5
μm, sedangkan untuk baja S45C hasil pengujian kekerasan mikro yang tertinggi diperoleh
dikedalaman 80 μm. Semakin kedalam, kekerasan mikro lapisan borida yang diperoleh terus
menurun. Pada daerah α-Fe yang terpengaruh proses boronisasi, kekerasan mikronya
meningkat dibandingkan kekerasan mikro matriks yang tidak terpengaruh proses boronisasi.
Baja ST37 meningkat mencapai 142 HV, sedangkan baja S45C meningkat mencapai 179 HV.
Hasil kekerasan mikro dari permukaan baja sangat berbeda dibandingkan dengan kekerasan
mikro dari penampang lintang. Kekerasan mikro tentinggi diperoleh pada kedalaman 30 – 60
μm, untuk baja ST37 diperoleh pada kedalaman 57 μm yang besarnya mencapai 4000HV.
Sedangkan untuk baja S45C diperoleh pada kedalaman 40 μm yang besarnya mencapai
4400HV. Perbedaan besar kekerasan mikro lapisan borida pada penampang lintang
dibandingkan pada permukaannya diakibatkan dari mekanisme pertumbuhan lapisan borida
didalam baja, dimana difusi boron selama boronisasi membentuk fasa baru berbentuk jarum
dengan orientasi (002). Dengan demikian terjadi anisotropy sifat-sifat mekanik pada lapisan
borida yang terbentuk. Pengujian kekerasan mikro yang dilakukan pada permukaan lapisan
borida searah dengan bidang (002) berbeda dengan pengujian yang dilakukan pada
penampang lintang yang arahnya tegak lurus dengan orientasi pertumbuhan lapisan borida.
Dari pengujian statistik, diperoleh bahwa fraksi berat lapisan borida pada kedalaman tertentu
dari permukaan (0 μm) sampai kedalaman 100 μm dipengaruhi oleh fasa FeB dan CrB

Kesimpulan
Boronisasi baja ST37 dan baja S45C akan terbentuk lapisan borida dipermukaan baja
dengan morfologi berbentuk gigi gergaji (sawtooth). Komposisi lapisan borida yang
terbentuk pada baja ST37 dan baja S45C teridentifikasi tiga fasa, yaitu fasa FeB, fasa Fe2B
dan fasa CrB. Kekerasan mikro lapisan borida pada permukaan dua kali lebih besar
dibandingkan kekerasan mikro lapisan borida pada penampang lintangnya yang disebabkan
orientasi pertumbuhan lapisan borida yang memanjang berbentuk jarum dengan orientasi
pertumbuhan (002). Dari fasa yang teridentifikasi, fasa FeB dan fasa CrB menunjukan
korelasi yang kuat mempengaruhi kekerasan mikro lapisan borida pada kedalaman 0 μm
sampai 100 μm.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan seluruh rekan-rekan teknisi yang terlibat dalam penelitian
boronisasi yang dilakukan pada Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir – BATAN.

Daftar Pustaka
[1] BANEY R., An Innovative Ceramic Corrosion Protection System for Zircaloy Cladding,
U.S. Department of Energy, Proposal No 99-0229, 199.
[2] BERTRAND F., Analysis of the QUENCH-09 with ICARE/CATHARE Code, The 21th
Proceedings on Bundle Interpretation Circle, Aix-en-Provence, 29 Oktober 2003.
[3] Culha O., et. Al., “Characterization and Determination of FexB Layers Mechanichal
Properties”, Journal of Materials Processing Technology, 206, 2008, pp. 231-240.
Seminar Material Metalurgi 2010

[4] Bejar, M.A dan E. Moreno, “Abrasive Wear Resistance of Boronized Carbon and Low-
Alloy Steels”, Journal of Materials Processing Technology, 173, 2007, pp. 352-358.
[5] Sugondo, dkk., “Pelapisan Baja Tipe-ST37 Dengan Nano Powder Pack Boron Karbida”,
Jurnal Teknologi Bahan Bakar Nuklir, Vol 2 No 2, 2005, pp. 89-102.
[6] Jain, Vipin dan G. Sundararajan, “Influence of The Pack Thickness of The Boronizing
Mixture On The Boriding of Steel“, Surface and Coatings Technology 149, 2002, pp. 21-
26.
[7] Sugondo, et.al, “Grain Size And hardness Change On Nano Boronizing Of Conten Steel”,
proceedings of Asian Physics Symposium 2005, pp. 196-203.

296 |  ISSN : 2085 – 0492


PENGARUH KOMPOSISI BAHAN
TERHADAP SIFAT HARD MAGNET DARI BAHAN BARIUM FERIT
UNTUK MAGNET LOUDSPEAKER

Kosasih1, Untung Prayudie1, Hafid2, Anies Mutiari1, Adid A. Hermansyah1


1
B4T dan 2BBLM – Kementrian Perindustrian
Jl. Sangkuriang No. 14 Bandung 40135

Abstrak
Selama ini kebutuhan bahan magnet permanen untuk aplikasi di industri elektronika masih di import,
sedangkan potensi bahan baku tersebut di dalam negeri cukup memadai. Salah satu jenis komponen elektronika
yang banyak dibutuhkan saat ini adalah pengeras suara (loudspeaker), yang bahannya terbuat dari magnet
permanen. Kondisi semacam ini merupakan tantangan untuk dilakukan penelitian yang menghasilkan produk
magnet dengan kualitas minimal sama dengan produk import. Penelitian dilakukan dengan proses metalurgi
serbuk (powder metallurgy) dan dengan memvariasikan komposisi bahan Barium (Ba) dengan suhu sintering
1.100 oC dan waktu milling 25 jam. Perbandingan komposisi 1 adalah untuk Ba = 17,08% ferrit 82,92%. Untuk
komposisi 2 adalah Ba = 23,69% dan ferrit = 76,31%. Berdasarkan hasil percobaan diketahui bahwa komposisi
2, menunjukkan sifat magnet lebih tinggi, karakteristik suara lebih Bass, hal ini karena pengaruh Ba yang akan
menguatkan sifat magnet. Namun berdampak pada Amplifier cepat panas. Pada komposisi 1 : sifat magnet lebih
rendah, karakteristik suara lebih treable dan percobaan uji Sound Pressure Level (SPL) tidak dapat
menunjukkan indikasi. Hal ini dipengaruhi waktu milling yang relatif lama yang tidak diimbangi dengan
pemanasan cukup. Untuk menghasilkan magnet yang lebih baik perlu dilakukan sistem kompaksi hidrolik yang
disertai sistem pemanasan. Dari segi nilai ekonomis, bahwa pembuatan magnet permanen dapat
menguntungkan karena harga pokok Rp 3.655/buah dengan kapasitas produksi 1.200.000 buah/tahun. Untuk itu
magnet permanen dapat diproduksi untuk dimensi sesuai ukuran magnet loudspeaker.

Kata kunci : hard magnet, barium ferit, metalurgi serbuk, loudspeaker

I. PENDAHULUAN
Saat ini perkembangan industri eletronika di Indonesia sangatlah pesat, sehingga
berbagai macam komponen listrik dan elektronik, misalnya : motor-motor DC kecil, meteran
air, KWH-meter, telephone receiver, circulator, rice cooker, pengeras suara (loudspeaker)
dan industri lainnya seiring dengan kemajuan teknologi masih menggunakan magnet
permanen sebagai sumber energi magnetik. Untuk komponen loudspeaker 100% masih harus
di import dari China.
Barium-Ferit termasuk salah satu jenis magnet permanen yang sumber dayanya
belum dimanfaatkan dan tersedia secara melimpah di Indonesia. Kondisi semacam ini
merupakan peluang bahan tersebut dapat diolah menjadi bahan industri menjadi terbuka
lebar. Sekaligus tantangan untuk melakukan penelitian yang dapat menghasilkan produk
permanen yang minimal setara dengan mutu produk import.
Dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap kebutuhan produk import
khususnya magnet untuk aplikasi komponen elektronika agar diperoleh penghematan devisa
negara, Balai Besar Bahan dan Barang Teknik (B4T) Kementrian Perindustrian pada tahun
2009 telah melakukan penelitian pembuatan hard magnet dari bahan Barium Ferit
Seminar Material Metalurgi 2010

(BaFe12O19) khususnya magnet untuk produk loudspeaker yang berukuran kecil dengan
memanfatkan limbah oksida besi sebagai bahan magnet melalui teknologi metalurgi serbuk
agar diperoleh produk tablet yang mempunyai sifat keras, dan bila dimagnetisasi logam
tersebut akan membentuk sifat magnet yang tinggi. Metode penelitian dilakukan melalui
pendekatan laboratorium untuk mencari formulasi material magnet yang melibatkan proses
sintering dan kompaksi.
Fenomena tersebut merupakan topik permasalahan yang akan dilaksanakan dari
ukuran dan bentuk yang relatif kecil akan menghasilkan daya magnet yang tinggi sehingga
secara ekonomis mempunyai potensi pasar karena kebutuhan industri cukup tinggi. Di samping
itu, penelitian ini dilakukan untuk menunjang kebijakan Industri Nasional seperti tertuang

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 297
pada PP. No. 28 Th. 2008, yaitu pengembangan klaster Industri Elektronika untuk jangka
panjang. Penelitian ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada produk import
sekaligus menunjang kemandirian bangsa, khususnya dalam komponen elektronika.
Metode yang digunakan dalam proses metalurgi serbuk dilaksanakan dengan
parameter proses pembuatan magnet yang divariasikan meliputi : variabel : komposisi bahan,
suhu sintering dan waktu milling tetap. Untuk mengetahui hal tersebut di atas, maka
dilakukan beberapa pengujian sebagai berikut : (1) komposisi kimia, (2) pengujian struktur
mikro, (3) pengujian sifat magnet (4) pengujian unjuk kerja loudspeaker.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Barium Untuk Bahan Magnet
Barium adalah suatu unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang Ba dan
nomor atom 56. Barium termasuk unsur dalam deret alkali tanah, dengan konfigurasi
elektron terluar : [ Xe ] 6s2. Jumlah elektron tiap-tiap kulitnya adalah : 2, 8, 18, 18, 8, 2.
Barium ditemukan hanya terkombinasi dengan unsur lainnya, terutama dengan sulfat dan
karbonat dan dipersiapkan secara elektrolisis dengan klorida.
Barium merupakan unsur metalik, lunak, dan barium murni bewarna perak keputih-
putihan seperti timbal. Ia masuk golongan grup alkali dan mirip kalsium secara kimia. Logam
ini teroksida dengan mudah dan harus disimpan dalam bensin atau bahan cair lainnya yang
tidak mengandung oksigen. Barium terdekomposisi oleh air atau alkohol.
Senyawa-senyawa yang penting adalah peroksida, klorida, sulfat, nitrat dan klorat.
Lithopone, pigmen yang mengandung barium sulfat dan seng sulfida memiliki sifat penutup
yang kuat dan tidak menjadi gelap atau hitam oleh sulfida. Barium sulfat digunakan dalam
cat, diagnostik sinar x-ray dan dalam pembuatan kaca. Barite sering digunakan sebagai agen
pemberat dalam fluida pengebor sumur minyak dan digunakan dalam pembuatan karet.
Barium karbonat digunakan dalam racun tikus. Sedangkan nitrat dan klorat memberikan
warna pada pertunjukan kembang api. Semua senyawa barium yang larut dalam air atau
asam sangat berbahaya. Barium yang muncul secara alami merupakan campuran tujuh
isotop. Dua puluh dua isotop radioaktif barium lainnya telah ditemukan.
Pada beberapa aspek sifat-sifat spectra dan magnetik dari unsur-unsur Lantanida
secara mendasar adalah berbeda dengan unsur-unsur transisi blok d. Alasan utamanya
adalah perbedaan yang nyata bahwa elektron-elektron yang bertanggung jawab terhadap
sifat-sifat spektra dan magnetik pada ion-ion Labtanida adalah elektron-elektron 4 f,
dan orbital-orbital 4 f sangat efektip dan terlindung dari interaksi dengan gaya-gaya
eksternal oleh pelapisan (Overlying ) kulit 6 s 2 dan 6 p 6. Dengan demikian sifat-sifat
magnetik dari unsur-unsur lantanida sangat ditentukan oleh adanya orbital kulit
terluar 4 f yang perhitungannya akan sangat bergantung pada harga Total angular
Momentum (J) dan Ordinary Temperatur (kT), k adalah konstanta spin-orbit coupling.

2.2. Magnet
Atom terdiri dari proton dan netron serta di kelilingi elektron (-), atom dalam keadaan
stabil kondisinya netral yaitu netron sama dengan proton. Atom dalam keadaan stabil jika
memiliki konfigurasi elektron 2 dan 8 pada kulit terluar (Kaidah Oktet).
Seminar Material Metalurgi 2010

Ikatan atom terdiri dari ikatan primer dan sekunder yang mana ikatan primer adalah
ikatan kuat (ikatan ion) yaitu gaya tarik menarik atau ikatan elektrovalen dari ikatan ion
positif dan ion negatif. Suatu material dikatakan ikatan ikatan ion disebut material tidak
konduktif.
Ikatan kovalen yaitu ikatan antara atom dalam molekul berdasarkan pemakaian
pasangan elektron bersama, hal ini disebut material tidak konduktif. Ikatan logam adalah
ikatan kovalen sesaat atau atom tersusun sangat rapat dari kemungkinan konfigurasinya,
bahwa atom logam mempunyai sedikit elektron pada kulit terluar, elektron tersebut dapat
bergerak dengan bebas, sehingga terjadi ikatan terhadap satu dengan yang lainnya. Hal ini

298 |  ISSN : 2085 – 0492


disebut ikatan logam yang bersifat konduktif. Atom dalam ikatan padat menyusun dirinya
dalam keadaan terakhir sehingga seperti mengelilingi atom yang lain. Susunan atom yang
terkecil didalam satu ruang disebut sel satuan (unit cell). Susunan atom yang terkecil bentuk
unsur ferit (Fe) adalah sel satuan kubus pusat badan (Body Centre Cubic= BCC).
Konfigurasi elektron pada ferit (Fe) adalah tidak stabil, hal ini akan mudah bersifat magnet.

Gambar 1. Sel satuan Kubus Pusat Badan (BCC)

2.3. Teknologi Ferit dan Proses Pembuatan Magnet.


Pada tahun sampai dengan tahun 1992-an bahan baku yang digunakan untuk
pembuatan magnet adalah bahan kimia yang memiliki kemurnian yang tinggi (pro analysis),
tetapi sejak tahun 2000 dicoba memanfaatkan limbah oksida besi (Fe2O3) sebagai bahan baku
utama, yang merupakan limbah pada industri produksi baja nasional. Teknologi yang
digunakan pada penelitian pembuatan magnet adalah teknologi metalurgi serbuk yaitu
mereaksikan semua bahan baku dalam bentuk serbuk. Pemilihan teknologi proses ini
dikarenakan peralatan yang lebih mudah dan aman. Bahan baku dan teknologi proses yang
digunakan untuk semua komponen magnet adalah sama, yang membedakan adalah komposisi
bahan dan variasi proses (temperatur sintering, temperatur kalsinasi, lamanya penggilingan,
dan kompaksi).
Adid A.H dkk (Jurnal Riset Industri, 2009) menyatakan bahwa pada pembuatan
magnet permanen NdFeB pada suhu sintering 1.300oC makin tinggi persentase
penambahan NdFeB maka makin kecil nilai Br, BHmax. Nilai optimum penambahan
NdFeB adalah 10 % dengan hasil uji sifat magnet parameter Br=2,706 kG, HcJ = 0,985
kOe dan Bhmax = 0,53 MGOe. Sementara V. Babu dan P. Pada ikhatan (2001)
menyatakan bahwa pada proses milling campuran BaO2 dan Fe2O3 yang diikuti dengan
pemanasan mengakibatkan sifat hard magnetik naik secara signifikan. Magnet yang
dihasilkan memang relatif baik, namun harga NdFeB dan ferit relatif sangat mahal
sehingga harga jual kurang dapat bersaing.
Dedi, dkk (Jurnal Fisika HFI, 2002) telah melakukan pembuatan magnet Barium
Stronsium Ferit dari bahan limbah industri baja yang diaplikasikan pada motor DC mini
menyatakan bahwa bahan dimilling pada kehalusan 400 mesh, suhu kalsinasi 1.200 oC,
suhu sintering 1250 oC, menghasilkan magnet dengan Br = 2,30 kG, Hc = 1,773 kOe dan
BHmaks = 1,04 MGOe. Sedangkan Novrita dan Dedi (Proceeding SNTE 2003) telah
melakukan penelitian pembuatan magnet dari bahan limbah hot strip mill ditambah BaCO3
dengan suhu kalsinasi 1.200 oC, menghasilkan magnet yang akan diaplikasikan pada
Seminar Material Metalurgi 2010

komponen elektronika dengan Br= 2,42 kG, Hc=1.700 kOe dan BHmaks = 1,15 MGOe.
Magnet yang dihasilkan memang relatif baik, namun tidak diaplikasikan secara spesifik
pada loudspeaker sehingga belum dapat diketahui unjuk kerja loud speakernya.
2.4. Loudspeaker
Loudspeaker adalah salah satu komponen elektronika yang dapat mengubah getaran
listrik menjadi gelombang suara yang dapat didengar oleh telinga manusia. Loudspeaker
banyak dipakai pada perangkat elektronika yaitu diantaranya pada amplifier, radio, televisi,
tepe recorder, handphone, telephone dan masih banyak lagi yang lainnya.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 299
Gelombang suara dapat merambat melalui media udara dengan frekuensi tertentu
yang akan menghasilkan arus elektromagnetik yang menimbulkan gaya magnet seperti
rumus sebagai berikut :
F = I.L.B (1)
Dimana :
F = Gaya magnet
I = Arus
L = Lintasan
B = Medan magnet
Gaya magnet dengan frekuensi tertentu akan menggambarkan diafragma pada
loudspeaker.

Gambar 2. Gaya magnetik pada lilitan coil yang diberi arus.

Gambar 3. Skema loudspeaker


III. METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini dilakukan pemanfaatan limbah oksida besi sebagai bahan
magnet melalui teknologi metalurgi serbuk dengan diagram alir, seperti ditunjukkan pada
Gambar 4.
Seminar Material Metalurgi 2010

3.1. Kegiatan Laboratorium


1. Bahan-bahan yang digunakan
 Serbuk oksida besi (62,%)
 Serbuk Barium (pa)
 SiO2
 Alkohol teknis
 Akuades
 Polivinil Alkohol (PVA)

300 |  ISSN : 2085 – 0492


2. Peralatan yang digunakan
 Ball mill
 Sieve shaker 400 mesh
 Mesin kompaksi
 Tungku sintering
 Neraca analitik
 Permagraph
 Impulse magnetizer
Pencampuran bahan
b k

Kalsinasi

Penggilingan kalsin

Kompaksi

Sintering

Magnetisasi

Perakitan loudspeaker

Pengujian

Gambar 4. Diagram alir pembuatan magnet dan loudspeaker


3.2. Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan membuat sampel magnet permanen dari barium
ferit masing-masing 15 gram dengan penambahan aditif BaCO3, SiO2, CaO dan PVA disertai
dengan sintering dan tekanan kompaksi 1,5 ton/cm2. Dimensi dari sampel magnet adalah:
diameter luar 31,96 mm, diameter dalam 17,75 mm dan ketebalan 90 mm
Kondisi proses pembuatan magnet yang divariasi adalah :
1. Komposisi bahan dengan prosentase 2 jenis yaitu:
a. Komposisi 1 : Ferit = 82,92% - Barium = 17,08%
b. Komposisi 2 : Ferit = 76,31% - Barium = 23,69%
2. Waktu milling untuk komposisi 1 dan 2 = 25 jam.
3. Suhu sintering untuk komposisi 1 dan 2 sebanyak 4 tahap yaitu: 1.000oC, 1.100oC,1.200
Seminar Material Metalurgi 2010

o
C dan 1.300 oC.
Lebih jelasnya ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kode sampel penelitian
Waktu
Suhu
Komposisi Milling Kode
Sintering
(jam)
M4B1
1 25 1100 oC M4B2
M4B3
2 25 1100 oC F2

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 301
3.3. Pengumpulan Data dan Analisis
Pengumpulan data dilakukan terhadap hasil pengujian sampel magnet dan pengujian
loudspeaker. Pengujian terhadap sampel magnet meliputi : uji komposisi kimia, uji struktur
mikro menggunakan SEM/EDAX dan pengujian sifat magnet. Sedangkan pengujian terhadap
loudspeaker dengan permagraph meliputi : uji unjuk kerja yaitu respon loudspeaker (berupa
tegangan listrik ) terhadap stimulan yang diberikan yaitu frekuensi dan uji performance di
Lab. Mutu PT. YDA Galva Industries Bogor. Selanjutnya data hasil pengujian tersebut di
atas dikumpulkan dan dianalisis.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Teknologi
Ditinjau dari aspek teknologi metalurgi yang digunakan, relatif sederhana karena
peralatan yang digunakan : antara lain ball mill, mixer, sieve shaker/ayakan, tungku
sintering, dan mesin kompaksi sudah terbiasa dipakai masyarakat, terutama industri keramik.
Peralatan yang perlu mendapat perhatian khusus adalah mesin kompaksi karena memerlukan
bahan yang tahan panas sampai dengan suhu yang relatif tinggi, dan diupayakan dapat
dioperasikan secara otomatis agar kecepatan produksinya dapat dicapai. Yang diperkirakan
mahal adalah alat uji sifat magnet yaitu Permagraph. Namun untuk mendapatkan hasil uji
sifat magnet tidak harus memiliki alat sendiri, karena dapat diujikan pada pihak ke 3 yang
ada di Telimek LIPI Bandung.
Industri pembuatan barium magnet dari oksida besi yang berasal dari limbah industri
baja sangat mungkin untuk diterapkan pada industri skala IKM disebabkan alasan-alasan
sebagai berikut :
a. Bahan baku mudah diperoleh karena tersedia dalam jumlah yang cukup di dalam negeri,
terutama di Pulau Jawa. Bahan tambahan dan aditif sangat tersedia di pasaran.
b. Teknologi yang digunakan, yaitu teknologi metalurgi serbuk, relatif sederhana karena
peralatan yang digunakan sudah terbiasa dipakai masyarakat, terutama industri keramik.
Peralatan yang perlu mendapat perhatian khusus adalah mesin kompaksi karena
memerlukan bahan yang tahan panas sampai dengan suhu yang relatif agak tinggi, dan
diupayakan dapat dioperasikan secara otomatis agar kecepatan produksinya dapat
dicapai.
c. Tenaga yang diperlukan tidak memerlukan keahlian khusus sehingga dapat menggunakan
tenaga kerja yang ada di sekitar lokasi pabrik.
d. Pemasaran produk realtif mudah karena industri komponen elektronika yang ada cukup
banyak dan selama ini hanya memperoleh magnet dengan mengimpor dari Cina.
Disamping itu harga jual relatif murah dan dapat bersaing dengan produk import.

4.2. Hasil Pengujian


1. Hasil Uji Komposisi Kimia
Sampel magnet mempunyai karakteristik sama dengan sifat magnet dari toko.
Komposisi sampel ditoko menunjukan Fe = 68 % dan Ba = 2,45 %, sampel ini merupakan
referensi/acuan untuk sampel hasil penelitian.
Sampel dengan komposisi kimia (1) menunjukkan unsur Fe dan Ba yang relatif
Seminar Material Metalurgi 2010

rendah dengan sampel yang ditoko, tentunya berdasarkan komposisi kimia sampel (1) akan
mempunyai karakteristik magnet yang relatif berbeda dengan referensi. Kelemahan sifat
magnet pada komposisi (1) ini akan diperbaiki dengan suhu sintering dan waktu milling.
Unsur Ba yang terkandung di sampel magnet dari toko menunjukkan relatif rendah,
namun unsur Fe relatif tinggi sehingga kestabilan magnet juga akan tinggi, juga unsur
oksigen yang terkandung dalam sampel magnet relatif rendah.
Sampel komposisi (2) : Fe = 76,31% dan Ba = 23,69% dengan kode F mempunyai
komposisi kimia yang relatif sama dengan sampel magnet dari toko, berdasarkan komposisi

302 |  ISSN : 2085 – 0492


kimia saja pada sampel komposisi (2) diharapkan akan mempunyai sifat magnet dari toko.
Ba pada sampel komposisi (2) sebesar 23,69 % diharapkan dapat menstabilkan sifat magnet.
Tabel 2. Komposisi kimia sampel penelitian setelah sintering
Kode Sampel
Unsur
T M4B1 F2
C 2,44 1,7 1,64
O 24,32 23,6 23,1
Fe 68,8 63 59,9
Ba 2,45 8,8 13,4

2. Hasil Uji Struktur Mikro


Dengan metode SEM menunjukkan bahwa sampel magnet dari toko, butir relatif
rapat dan menyebar dan sebagian butir terjadi fusi. Hal ini akan mempunyai sifat magnet
yang relatif sama dengan sifat magnet dari toko. Semakin banyak butir yang berfusi akan
meningkakan sifat magnet.
Seluruh sampel penelitian menunjukkan butir yang menyebar dan relatif terjadi fusi
dan dibeberapa sampel yang lain adanya porositas. Sampel magnet yang dibeli di toko
menunjukan distribusi butir yang merata dengan butir yang relatif fusi, hal ini akan
mempengaruhi sifat magnet. Semakin padat distribusi butir akan semakin tinggi sifat
magnetnya. Adanya porositas akan mempengaruhi sifat magnet, yaitu semakin banyak
porositas akan menurunkan sifat magnetnya.

Tabel 3. Struktur Mikro

Kode
Perbesaran 600x Perbesaran 5000x
Contoh
Butir relatif menyebar, ada Sebagian butir terjadi fusi,
M4B1
porositas ada porositas
Butir relatif menyebar, ada
F2 porositas dan orientasi butir Sebagian butir terjadi fusi
searah
Butir relatif rapat dan Sebagian butir terjadi fusi
T
menyebar dan porositas

3. Hasil Uji Sifat Magnet


Sampel magnet yang dibeli dari toko merupakan acuan sebagai karakteristik magnet,
sifat magnet dari toko menunjukan Br = 3,88 kG, Hcj = 2,457, BH maks = 3,51. Sifat ini
merupakan sifat remanen magnet dan Hcj yang sesuai dengan karakteristik loudspeaker.
Kurva Historis Magnetisasi seperti Gambar 6 menunjukan pada kwadran II membentuk segi
empat, semakin besar nilai Hcj dan Br akan mempunyai sifat remanen magnet yang
besar(Hard Magnet).
Tabel 4. Sifat magnet dari berbagai komposisi kimia
Kode Sampel
Unsur
T M4B1 F2
Seminar Material Metalurgi 2010

C 2,44 1,7 1,64


O 24,32 23,6 23,1
Fe 68,8 63 59,9
Ba 2,45 8,8 13,4

Tabel 4 menunjukkan bahwa semakin tinggi unsur Barium (Ba) maka sifat magnet
akan semakin besar (M4B1 <F2). Tabel 2 khususnya sampel dari toko tidak bisa
dibandingkan karena perlakukan sintering maupun waktu milling tidak diketahui. Menurut
literatur bahwa waktu milling akan mempengaruhi ukuran butir, semakin lama waktu milling
maka butir akan semakin halus. Butir yang halus, akan memperbesar luas permukaan,

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 303
sehingga pergerakan ion akan terhambat oleh batas butir. Dan suhu sintering semakin tinggi
maka kuat medan magnet akan semakin besar, karena suhu sintering akan melumerkan
bahan sehingga luas permukaan semakin kecil (contact area).

Gambar 6. Kurva Histerisis pada sampel magnet toko (Kode T).

Gambar 7. Kurva Histerisis pada sampel magnet kode F2.

Gambar 8. Kurva Histerisis pada sampel magnet kode M4B1.

Gambar 7 dan Gambar 8 menunjukkan kurva Histerisis sampel Kode F2 pada


kuadran II tidak membentuk segi empat. Bila dibandingkan dengan Gambar 6, hal ini kuat
medan semakin rendah. Gambar 8 pada kuadran II nilai Br dan HcJ lebih rendah
dibandingkan dengan Gambar 7, hal ini sangat dipengaruhi kandungan Ba yang terkandung
Seminar Material Metalurgi 2010

di sampel F2.

4. Hasil uji Unjuk kerja loudspeaker


Magnet yang dibuat hasil penelitian di pasang pada loudspeaker. Pengujian dilakukan
di Lab. PT. Toa Galva Industries Bogor. Sampel F2 menunjukkan kemampuan magnetnya
mendekati toko karena mempunyai nilai SPL (Sound Pressure Level) sekitar 75.08 db,
sedangkan magnet standar dari toko : 78,11 db. Sedangkan magnet F2 nilai impedansinya
8,18 Ohm sedikit tinggi dibandingkan magnet dari toko, hal ini akan berakibat pada amplifier
menjadi sedikit cepat panas.

304 |  ISSN : 2085 – 0492


Sedangkan ditinjau dari parameter uji loudspeaker Fo (Frequency cut-off) sampel
magnet F2 memiliki nilai 258 Hz, sedangkan magnet dari toko nilainya lebih rendah, yaitu
243 Hz (untuk T3), hal ini akan berdampak pada suara bass yang keluar dari loudspeaker
kurang kuat. Makin besar nilai frekuensi respon/Fo akan menghasilkan mutu suara bass pada
loudspeaker kurang kuat, hal ini apat diindikasikan dari nilai frekuensi respon untuk low
frekuensi menunjukkan nilai 140 Hz (nilai frekuensi dari toko 110-120 Hz).
Menurut standar umum yang digunakan oleh industri (misalnya PT Toa Galva
Industries) nilai impedansi yang diijinkan 8 Ohm ± 15%. Sedangkan nilai impedansi sampel
magnet penelitian 8,18 Ohm, nilai impedan tersebut dapat memenuhi standar. Sedangkan
nilai SPL pada sampel hasil penelitian menunjukkan nilai 75,88 dB, nilai tersebut menurut
standar mutu dengan toleransi minus 3 dB menunjukkan sedikit di bawah rata-rata SPL
sampel magnet dari toko (78,11 dB).

Tabel 5. Hasil uji unjuk kerja loudspeaker


Hasil Parameter Ui
uji Freq
Average
Resistance
SPL Fo Tmp
Kode
(dB)
contoh
M4B1 Unable to perform tes
F2 75,08 140 20.000 258 8,18
T 78,11 120 20.000 206 8,11

5. Aspek Ekonomis
Bahan baku pembuatan magnet mudah diperoleh karena tersedia dalam jumlah yang
cukup di dalam negeri. Teknologi yang digunakan, yaitu teknologi serbuk yang relatif
sederhana. Sehingga dapat diterapkan di Industri Kecil dan Menengah (IKM).
Pemasaran produk relatif mudah karena industri komponen elektronika yang ada
cukup banyak dan selama ini hanya menggunakan magnet import.
Walaupun penelitian ini dilakukan secara skala laboratorium namun kegiatan
produksi kedepan dapat diusahakan secara komersial, sehingga hasil produk loudspeaker
yang dibuat dapat dijual ke pasar karena ditinjau dari aspek ekonomis mempunyai prospek
yang baik.
Untuk membuat suatu unit usaha dibutuhkan modal/investasi yang besarnya
tergantung dari kapasitas produksi yang diinginkan. Besarnya investasi yang diperlukan
dengan kapasitas produksi 4000 unit/hari dengan 25hari/bulan hari kerja adalah sebagai
berikut :
1. Permodalan :
a. Modal tetap :
 Mesin dan peralatan (mixer, alat kalsinasi, penggiling kalsin, tungku sintering, alat
kompaksi, timbangan analitik, magnitizer, peralatan pendukung) = Rp 64.460.000.
 Instalasi (material dan karyawan) = Rp 251.980.000
 Tanah 600 m2 = Rp 120.000.000
 Engineering & konstruksi = Rp 311.596.000
Seminar Material Metalurgi 2010

Jumlah modal tetap = Rp 3.427.556.000


b. Modal kerja/tahun :
 Bahan dasar (serbuk : ferit dan barium, Alkohol, akuades, SiO2, CaO, PVA = Rp
470.700.000
 Tenaga kerja = Rp 117.600.000
 Utilitas = Rp 63.600.000
 Ongkos Overhead = Rp 902.333.400
 Lain-lain = Rp 696.442.953
 Administrasi dan umum = 2.135.773.163

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 305
Jumlah modal kerja = Rp 4.386.449.516.
Jadi jumlah modal investasi yang diperlukan (modal tetap+modal kerja) = Rp 7.814.005.516.
2. Harga pokok produksi (HPP) :
= Total biaya modal kerja : volume produksi
= Rp 4.386.449.516:1.200.000 unit/tahun
= Rp 3.655/unit
3. Perhitungan Keuntungan
a. Total pendapatan usaha:hasil penjualan
= 1.200.000 unit x Rp 5.000 = Rp 6.000.000.000/tahun
b. Total biaya/pengeluaran = Rp 4.386.449.516
c. Keuntungan kotor :
Total pendapatan usaha - total biaya (a-b) = Rp 1.613.550.484
4. Pajak :
35% x keuntungan kotor
= Rp. 564.742.669
5. Keuntungan bersih :
Keuntungan kotor - pajak
= Rp 1.048.807.815
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keuntungan bersih dalam periode 1 (satu)
tahun adalah sebesar Rp 1.048.807.815.

6. Perhitungan batas rugi laba


a. Prosentase pada batas rugi laba :
Biaya tetap
= x100%
Hasil penjualan - Biaya variabel
3.734.549.516
= x100%
6.000.000.000-651.900.000
= 69,83%

b. Nilai pada batas rugi laba :


= 69,83% x Rp 6.000.000.000
= Rp 4.189.800.000

c. Kapasitas pada batas rugi laba : Produk limbah oksida besi


= 69,83% x 1.200.000
= 837.960 unit

7. Perhitungan Benefit Cost Ratio (BCR)


6.000.000.000 (benefit)
= x 100%
4.386.449.516 (cost)
Seminar Material Metalurgi 2010

= 136,78%
(BCR>1) adalah baik

Harga magnet import Rp 8.000 per unit, sedangkan harga jual magnet hasil penelitian
dengan kapasitas 100.000 unit per bulan adalah sebesar Rp 5000 per unit. Berdasarkan
perhitungan bahwa BCR sebesar 4,96, hal ini berarti lebih besar dari 1 (satu). Sehingga
pabrik sangat pabrik untuk didirikan.

306 |  ISSN : 2085 – 0492


V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Sampel magnet yang digunakan untuk penelitian dibeli dari toko dengan spesifikasi : (a)
komposisi bahan kimia ; kadar Fe = 68,58% dan Ba = 2,45%, (b) sifat magnet ; Br =
3.880 Gauss, HcJ = 2,457 kOe, Bhmax = 3,351 MGOe, (c) performance test ; SPL =
78,11dB, frekuensi respon untuk low 120 Hz, frekuensi respon untuk high = 20.000 Hz,
Fo = 206 Hz dan impedansi = 8,11 Ohm.
2. Sampel magnet komposisi 1 :
 Kadar Fe = 82.92%
 Ba = 17,08%
 SPL = Abnormal
 Karakteristik suara lebih treable
 Kuat medan lebih rendah
3. Sampel magnet komposisi 2 :
 Kadar Fe = 76,31%
 Ba = 23,69%
 SPL = sesuai standar baku mutu
 Karakteristik suara lebih Bass
 Kuat medan lebih tinggi dari komposisi 1
4. Dari segi ekonomis, pembuatan hard magnet menguntungkan karena dengan harga jual
Rp 5.000/unit dan kapasitas produksi 1.200.000/tahun diperoleh keuntungan sebesar Rp
1.048.807.815.

5.2. Saran
Untuk menghasilkan magnet yang lebih baik perlu dilakukan sistem kompaksi
hidraulik yang disertai dengan sistem pemanasan.

DAFTAR PUSTAKA
1. American Society For Metals, 2004, Metal Handbook 9th ed., Vol.7 Powder Metallurgy,
New York
2. Goldman A, 2001, Modern Ferrite Technology, 1st ed., Vannostrand Reinhold, New York.
3. Groover, Mikell P, 2005, Fundamentals of Modern Manufacturing, 2nd ed., New York.
4. Idayanti, Novrita, 2003, Penggunaan Barium Ferrite dalam bidang elektronika,
Proceeding SNTE, Yogyakarta.
5. Ismunandar, 2006, Padatan Oksida Logam Struktur, Sintesis dan Sifat-sifatnya, Penerbit
ITB, Bandung
6. Metal Hand Book, 2004, Powder Metallurgy, 9th ed.,Vol. 7, American Society for Metal,
Metal Park, Ohio.
7. Reitz R.J, Milford J.F, Christy W.R, 2003, Dasar Teori Listrik Magnet, Edisi Ketiga,
Penerbit ITB, Bandung
8. Ulaby, Fawwaz T, 2004, Fundamentals of Applied Electromagnetics, 5th ed., Pearson
International Edition
Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 307
Seminar Material Metalurgi 2010

308 |  ISSN : 2085 – 0492


PROSES PRODUKSI PELEBURAN BIJIH BESI PADA TANUR TIUP
(BLAST FURNACE MENJADI PRODUK PIG IRON DI LAMPUNG

 
Muhammad Amin, Adil Jamali, M. Yunus, Kalzani Jafri
Unit Pelaksana Teknis Balai Pengolahan Mineral Lampung – LIPI
Jl. Ir.Sutami KM.15 Tanjung Bintang Lampung Selatan
Telp.0721-350054 fax 0721-350056. e-mail : muha047@lipi.go.id

Abstrak
Sesuai dengan perkembangan industri produksi pengecoran dan pemakainnya yang terus meningkat
telah mendorong industri pengecoran besi dan baja beberapa tahun ini terus mengalami kenaikan yang cukup
tinggi.Seperti diketahui bahwa pig iron adalah salah satu bahan baku yang di gunakan dalam industri
pengecoran besi/baja, disamping bahan baku lainnya seperti scrap,ferro alloy. Sedangkan pig iron selam ini
iIndonesia masih mengimport dari luar yaitu Cina, India, Brazil
Untuk membuat pig iron teknologi saat ini yang di gunakan adalah tanur tiup (blast furnace), di dalam
tanur tiup inilah proses produksi terjadi yaitu proses dileburnya bijih besi menjadi pig iron dengan penambahan
bahan baku batu kapur sebagai fluk serta arang kayu dan kokas sebagai bahan bakar atau bahan reduktor.
Prosedur peleburan di tanur tiup adalah mengalami beberapa langkah-langkah yaitu dari persiapan bahan
baku yang akan di gunakan bijih besi, batukapur, arang kayu, kokas setelah bahan baku siap maka dimasukan
kedalam alat tanur tiup dengan menggunakan ember charging yang di tarik menggunakan hoist yang
selanjutnya langkah-langkah pemasukan bahan baku sesuai dengan prosedur dan selanjutnya proses reduksi
terjadi didalam tanur dengan bantuan reduktor arang kayu dan kokas. Setelah menunggu waktu yang cukup
lama dari awal pemasukan bahan baku pertama sampai denga proses yang terjadi sehingga suhu yang ada di
dalam tanur mencapai 1600°C pada bagian bawah tanur menghasilkan besi cair dan slag yang selanjutnya di
keluarkan melalui lubang slag hole yang didapatkan slag atau terak dan tap hole yang didapatkan adalah besi
cair yang selanjutnya di cetak pada mesin casting sehingga menghasilkan pig iron yang jenis nya adalah putih
dan kelabu yang sesuai dengan kebutuhan bahan baku industri pengecoran besi dan baja yaitu jenis kelabu
kandungan Si= 1,6-2,2 % sedangkan jenis putih Si= 0,3 – 1,4 %.
Tanur tiup yang ada di Lampung dapat di gunakan untuk melebur bijih besi menjadi pig iron sehingga
bijih besi yang selama ini di eksport dapat diolah menjadi produk sesuai dengan undang-undang minerba tidak
boleh mengeksport bahan mentah harus diolah terlebih dahulu.

Kata kunci: proses produksi,arang kayu, bijih besi, tanur tiup, pig iron.

I. PENDAHULUAN
Proses produksi dapat dinyatakan sebagai rangkaian untuk mengolah atau mengubah
sekumpulan masukan (input) menjadi sejumlah keluaran (output) yang memiliki nilai tambah
(added value), pengolahan disini bisa secara fisik atau non fisik dimana perubahan tersebut
bisa terjadi terhadap bentuk, dimensi atau sifat-sifatnya. Nilai tambah disini adalah nilai dari
kerluaran yang bertambah dalam pengertian nilai fungsional (kegunaan) atau nilai
ekonominya.
Secara sederhana proses produksi dapat digambarkan dalam bagian input-output
sebagai berikut:
 bahan baku dan 1. kegiatan produktif
Seminar Material Metalurgi 2010

penunjang  transportasi fisik/ non Fisik


 tenaga kerja  proses nilai tambah  produk /jasa
 mesin dan fasilitas (nilai fungsi dan ekonomi)  limbah (padat,
produksi cair, gas)
 informasi 2. Kegiatan non produktif
 informasi
(Fokus kajian ergonomi, Studi gerak
 Energy
dan waktu)
 Waktu
 idle/ delays
 dll
 set-up, loading-unloding, Keluaran (output)
matrial handling dll
Masukan (input) Proses Produksi

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 309
(Sritomo.W,2000)
UPT.Balai Pengolahan Mineral Lampung merupakan suatu unit kerja yang di peruntukan
tempat penerapan dari pada hasil-hasil litbang yang dapat di kembangkan pada skala yang lebih besar
dari skala laboratorium sebelumnya. Pada tahun 1983 LIPI melalui hasil dari Puslitbang Metalurgi
membangun tanur tiup dengan kapasitas 25 ton pig iron/hari di Lampung dengan pertimbangan
Lampung mempunyai banyak cadangan bijih besi sebagai bahan baku utama pada proses produksi
tanur tiup. Pada tahun 1983 di mulailah proses produksi, akan tetapi proses produksi ini tak bertahan
lama hingga pada tahun tahun 1987 di berhentikan dan dilakukan renovasi tanur. Pada tahun1990
selesailah renovasi tanur dan di mulailah lagi proses produksi secara terus menerus sampai tahun
1996.
Berkaitan dengan proses produksi pig iron maka tanur tiup sangatlah di andalkan
sebagai alat untuk proses produksinya, mengingat pada tahun 2000 permintaan besi baja
makin meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Hampir setiap Negara produsen baja
meningkatkan kapasitas produksinya untuk memenuhi kebutuhan pasar sehingga produsen
besar seperti Negara Cina, India tidak cukup memiliki cadangan bijih besi sehingga mereka
mengimport dari Indonesia untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bijih besinya.
Seiring dengan telah di terbitkanya u ndang-undang Minerba yang melarang untuk
mengeksport bahan baku mentah, sehingga para pemain tambang di wajibkan untuk mengolah
hasil tambang mereka dalam bentuk yang bernilai tambah.(Adil Jamali,2008)
Pig Iron adalah salah satu bahan baku yang digunakan dalam industry pengecoran
besi/baja disamping bahan baku utama lainya seperti scrap, ferro alloy dengan bahan
pembantu berupa kokas,lime stone dan sebagainya.
Penggunaan pig iron ini sangatlah bervariasi tergantung dari berbagai peti8mbangan
seperti jenis barang yang dibuat, besi/baja scrap yang digunakan, oleh sebab itu ada ukuran
ataupuntakaran yang pasti mengenai jumlah pig iron yang digunakan untuk setiap produk
casting ini.
Untuk menyongsong berlakunya Undang-undang minerba inij maka UPT Balai
Pengolahan Mineral Lampung siap untuk melakukan proses produksi peleburan bijih besi
menjadi pig iron dengan menggunakan alat yang ada berupa teknologi tanur tiup dengan
berbekal pengalaman apa yang telah dilakukan peleburan bijih besi di tanur tiup terutama
rentang waktu antara tahun 1990 – 1996 yang bisa dikatakan waktu yang cukup panjang
untuk mempelajari apa saja yang terjadi pada saat proses produksi peleburan di tanur tiup dari
bahan baku-proses produksi- sampai dengan produk berupa pig iron.
Berdasarkan dari berbagai informasi dapat disimpulkan bahwa jumlah pig iron yang
digunakan untuk keperluan pembuatan barang-barang cor ini untuk besi cor bisa mencapai
300 kg untuk setiap 1 ton produk besi cor sedangkan untuk baja cor mencapai 250 kg untuk 1
ton nya (Indometal,1997).
Untuk itulah perlu dilakukan penggambaran pada tulisan ini apa saja yang terjadi
selama proses produksi dari bahan baku utama bijih besi di lebur di tanur tiup, proses apa
yang terjadi di dalam tanur tiup sampai dengan produk apa saja yang dihasilkan dan informasi
ini sangat perlu disampaikan guna tolok ukur pengguna jasa peleburan atau sector industri
yang akan bergerak di bidang peleburan bijih besi.

II. ACUAN TEORI


Seminar Material Metalurgi 2010

Pada dasarnya teknologi prose produksi peleburan bijih besi pada tanur tiup telah
dikuasai, akan tetapi walupun demiklian tetap perlu dilakukan inovasi yang dapat
mengembangkan kapasitas produksi, karena skala tanur tiup masih kecil yaitu 25 ton/hari.
Ada banyak dari pada proses produksi peleburan baik dari bahan baku atau pun
sponge dan pellet halus antara lain:
1. Proses Pelletech (PTC)
2. Proses Kawasaki – Double tuyere
3. Proses Rotary Heating Furnace-Electric Arch Furnace
4. Duplex-DIOS dari NKK Jepang

310 |  ISSN : 2085 – 0492


5. Penyesuaian Proses.
(Tim pemberdayaan Lampung,2001)
Akan tetapi untuk melakukan pengembangan kearah proses tersebut diatasperlu
adanya investasi yang cukup besar, karenanya tetaplah dilakukan pendayagunaan pada
peralatan yang telah ada yaitu tanur tiup.
Tanur tiup LIPI Lampung merupakan suatu alat reactor panas yang digunakan untuk
melakukan peleburan bijih besi dalam bentuk split dengan ukuran 30-50 mm menjadi pig
iron/besi mentah, dengan peralatan pendukung antara lain pemanas udara (stove),penangkap
debu (dust catcher), tuyer, rotary blower, mesin casting, ladle, conveyor dll.
Proses produksi peleburan bijih besi menjadi pig iron di tanur tiup bekerja pada suhu
cukup tinggi 1450-1650°C.
Bahan baku utama bijih besi, arang kayu sebagai reduktor, batu kapur sebagai
penambah yang berfungsi sebagai pengikat kotoran sehingga menjadi slag, semua bahan baku
dimasukan dari atas bagian tanur yang di tempatkan dalam satu wadah ember charging
kemudian dimasukan kedalam tanur tiup yang berketiu nggian 15 meter, udara panas yang di
hembuskan melalui stove pada bagian bawah tanur tiup mengubah arang kayu menjafdi gas
CO yang berfungsi sebagai pereduksi kemudian semua bahan baku yang dimasukan kedalam
tanur tiup tadi menjadi panas dan akan mengalami penurunan ke bagian bawah tanur seiring
dengan tereduksinya bijih besi oleh karbon monoksida dan kearah yang b again yang lebih
panas yaitu heart sehingga proses reduksi bijih besi menjadi hot metal sempurna. Batu kapur
yang ada akan melepaskan gas CO2 dan bereaksi dengan pengotor-pengotor yang ada seperti
silicon dioksida dengan menghasilkan slag atau pengotor dan karena berdasarkan perbedaan
berat jenis sehingga aka nada lapisan dua bagian yang kedua bagian tadi akan dikeluarkan
pada 2 lubang yang berbeda yaitu slag pada lubang Slag Hole dan hot metal pada Taping
Hole.
Reaksi yang terjadi pada proses peleburan bijih besi menjadi pig iron adalah sebagai
berikut:
3 Fe2O3 + CO ==== 2 Fe3O4 + CO2
Fe3O4 + CO ==== 3 FeO + CO2
FeO + CO ==== Fe + CO2
(Adil Jamali, 2008)

III. PERCOBAAN
Berikut ini adalah tahapan langkah-langkah pemasukan bahan baku kedalam tanur tiup
dari awal (proses blowing-in):
LUBANG
No A.KAYU KOKAS B.BESI SCRAP SLAG B.KAPUR BLOWER
TAPPING
1. 500 - - - - -
2. 500 - - - - -
Blower
3. 500 - - - - - dibuka
keong hidup
4. 500 - - - - -
5 500 - - - - -
Seminar Material Metalurgi 2010

6 500 - - - - -
7 500 - - - - -
8 500 - - - - -
9 500 - - - - -
10 500 - - - - -
11 500 - - - - -
12 500 - - - - -
13 - 500 - - - -
14 - 500 - - - -
15 250 - 500 - 25

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 311
16 250 - 500 - 25
17 250 - 500 - 25
Blower
hidup, flow
18 250 - 500 - 25
kecil 0,1
ATM
19 550 - 550 - 50 30
20 550 - 550 - 50 30
21 550 - 550 - 50 30
22 550 - 550 - 50 30
23 550 - 600 - - 45
Blower
Semua
hidup,flow
24 550 - 600 - - 45 lubang
besar 0,2
tertutup
ATM
25 550 - 600 - - 45
26 550 - 600 - - 45
27 550 - 600 - - 45
28 550 - 600 - - 45
29 550 - 600 - - 45
30 550 - 600 - - 45
31 550
33 550 - 600 - - 45
34 550 - 600 - - 45
35 550 - 600 - - 45
36 Dilakukan taping I (pertama),lubang slag dan taping hole dibuka.
Dilakukan taping II (kedua), setelah 4 jam dari taping pertama. Seterusnya di lihat kondisi
proses tanur kalau proses bagus komposisi bijih besi dinaikan 650,700,750,800.
Sumber: buku data charging.
Keterangan:
Tapping = pengeluaran cairan berupa slag ,yang diawali dari dibuka nya lubang slag hole setelah slag habis,
baru lubang pengeluaran cairan besi dibuka.

IV. HASIL PERCOBAAN


DATA PROSES DAN TONASE PELEBURAN I
KOMPOSISI BAHAN BAKU (Kg) JUMLAH OC OC
TEKAN-
B. KA- KO- BP
NO B. BESI A. KAYU CHARGE AN STOVE I STOVE I
PUR KAS

1 650 550 50 / 55 - 13 X 400 - 410 0,32 - 0,33 180 - 270 620 - 710
2 650 / 675 550 52 / 53 550 52 X 420 - 460 0,28 - 0,35 295 - 420 685 - 740
3 675 / 700 500 / 550 53 / 54 900 48 X 420 - 500 0,26 - 0,40 420 - 500 720 - 830
4 650 / 675 500 / 550 50 / 52 900 36 X 480 - 530 0,37 - 0,42 460 - 580 780 - 870
5 650 / 675 500 / 550 50 / 52 600 48 X 470 - 510 0,33 - 0,37 500 - 530 780 - 840
Seminar Material Metalurgi 2010

6 675 500 / 550 50 / 51 700 53 X 440 - 490 0,32 - 0,36 490 - 515 770 - 840
7 650 / 675 500 / 550 50 / 52 1100 48 X 430 - 490 0,32 - 0,40 480 - 580 760 - 860
8 650 500 / 550 50 / 51 900 45 X 480 - 530 0,33 - 0,40 560 - 580 820 - 860
9 650 500 / 550 50 / 51 900 45 X 420 - 480 0,28 - 0,35 520 - 580 730 - 840
10 650 / 675 500 / 550 50 / 52 700 53 X 370 - 390 0,24 - 0,33 420 - 520 680 - 740
11 675 / 700 550 52 / 54 - 54 X 340 - 370 0,22 - 0,27 390 - 430 640 - 700
12 675 / 700 550 52 / 54 - 49 X 320 - 370 0,21 - 0,24 400 - 440 630 - 690
13 700 550 54 - 52 X 320 - 360 0,20 - 0,25 400 - 440 650 - 680
14 350 / 700 550 53 / 54 - 59 X 330 - 360 0,20 - 0,35 340 - 420 650 - 700
15 675 500 / 550 53 250 50 X 380 - 420 0,33 - 0,40 400 - 440 610

312 |  ISSN : 2085 – 0492


53 / 55
16 675 / 700 500 / 550 900 31 X 310 - 370 0,33 - 0,43 400 - 610 480 - 600
/ 57
17 350 / 650 500 / 550 52 / 54 750 37 X 320 - 410 0,30 - 0,43 400 - 460 600 - 630
18 650 500 / 550 55 / 56 750 50 X 300 - 310 0,29 - 0,30 420 - 460 480 - 570
19 650 / 675 500 / 550 55 / 57 750 48 X 300 - 310 0,29 - 0,30 390 - 430 -
20 675 550 56 / 57 300 49 X 300 - 350 0,28 - 0,30 420 - 460 500 - 540
21 675 550 56 - 51 X 320 - 350 0,28 - 0,30 430 - 460 500 - 570
22 675 500 / 550 56 - 51 X 310 - 490 0,28 - 0,43 460 - 550 520 - 630
23 650 / 675 550 55 / 56 - 41 X 470 - 480 0,39 - 0,40 560 - 630 660 - 680
24 650 / 675 550 55 - 50 X 370 - 420 0,33 - 0,40 460 - 590 610 - 680
25 675 550 55 - 50 X 390 - 430 0,38 - 0,42 530 - 540 610 - 650
26 675 / 700 500 / 550 55 / 57 600 52 X 360 - 430 0,34 - 0,40 510 - 540 610 - 640
27 675 / 700 500 / 550 55 / 57 900 49 X 350 - 400 0,33 - 0,39 510 - 520 600 - 620
28 675 / 700 500 / 550 55 / 57 900 53 X 340 - 360 0,29 - 0,35 460 - 480 580 - 610
29 675 / 700 550 55 / 57 250 37 X 380 - 430 0,37 - 0,43 460 - 540 600 - 740
30 300 / 650 550 55 / 45 - 37 X 450 - 490 0,39 - 0,45 500 - 720 650 - 560

DATA HASIL PRODUK DAN JENIS CAIRAN I

HASIL PRODUK CARA TONASE TONASE KETERANGAN


P. IRON SLAG TAPPING P. IRON A. KAYU PROSES PRODUKSI

P HL Tembak 3.380 7.150 Proses "Blowing-In"


P/K HKL Tembak 15.840 28.600 Metal Baik, Slagencer
K/P/
HL Tembak 6940 25.500 Metal Jelek, Oksida
OKSIDA
P / OKSIDA Biru Tembak Trouble 18.900 Metal Jelek, Oksida
K HKL Tembak 14.360 25.800 Metal Jelek, Slagencer
K HKC/Abu Tembak 7.950 28.450 Metal Baik, Slagkental
K/P HKC/Biru Tembak 6.580 25.550 Metal Jelek, Slagkental
K HKC Tembak 10.010 23.850 Metal Jelek, Beku diruner
K HKC Tembak 10.020 23.850 Metal Baik, T4 diganti
K HKC Tembak 15.540 28.650 Metal Baik, T5 diganti
K HKC Tembak 17.220 30.450 Metal Baik, T2 diganti
K HKC Tembak 17.890 26.950 Metal Baik, T1 diganti
K HKC Tembak 16.830 28.600 Metal Baik, T3 diganti
OKSIDA Hitam Tembak 8.150 31.350 Metal Jelek, Slagkental
P Hijau Tembak 6.010 27.200 Metal Jelek, Slagkental
P / OKSIDA Hijau Tembak 2.110 16.150 Metal Jelek, Oksida
P/K HL/HKC Tembak 5.430 19.850 Metal Baik, Slagkental
K HKC Tembak 12.060 26.750 Metal Baik, Slagencer
K HKC Tembak 15.050 26.150 Metal Baik, Slagencer
K HKC Tembak 12.060 26.950 Metal Baik, Slagencer
K HKC Tembak 18.620 28.050 Metal Baik, Slagencer
K HKC Tembak 13.250 25.650 Metal Baik, Slagkental
Seminar Material Metalurgi 2010

P/K HL/HKC Tembak 6.250 20.500 Metal Jelek, Slagkental


K HKC Tembak 13.650 33.300 Metal Jelek, 8500 Hanging
OKSIDA OKSIDA Tembak Trouble 31.725 Metal Jelek, Oksida
P/K HKC/HL Tembak 19.790 35.400 Metal Baik, Slagencer
K HKC Tembak 19.150 33.525 Metal Baik, Slagencer
K HKC Tembak - 35.825 Metal Baik, 0525 Hanging
- Hitam Tembak Trouble 20.351 Metal Beku Diruner
Dalam Proses "Blowing-
- Tembak 5.260 8.800
Out"

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 313
KOMPOSISI BAHAN BAKU DAN JENIS PRODUK II
KOMPOSISI BAHAN BAKU (Kg) JENIS KOMPOSISI BAHAN BAKU (Kg) JENIS
PIG PIG
B. BESI A. KAYU B.KAPUR KOKAS B. BESI A. KAYU B.KAPUR KOKAS
IRON IRON
775 50 550 0 Kelabu
750 56 550 0 Kelabu 775 50 550 0 Kelabu
750 56 550 0 Kelabu 800 52 550 0 Kelabu
750 56 550 0 Putih 800 52 550 0 Putih
Tak 800 52 550 0 Oksida
750 58 550 0
Terabu 775 54 550 0 Oksida
700 56 550 0 Putih 775 54 550 0 Putih
Putih 775 54 550 0 Putih
700 56 550 0
(Media) 700 57 550 0 Putih
700 56 550 0 Kelabu 700 57 550 0 Kelabu
700 56 550 0 Kelabu 700 57 550 0 Kelabu
725 56 550 0 Kelabu 700 57 550 0 Kelabu
725 54 550 0 Kelabu 700 57 550 0 Kelabu
725 54 550 0 Kelabu 750 60 550 0 Kelabu
725 54 550 0 Kelabu 750 60 550 0 Kelabu
Kelabu. 750 61 550 0 Kelabu
750 56 550 0
S 750 61 550 0 Kelabu
750 56 550 0 Kelabu 775 61 550 0 Putih
750 56 550 0 Kelabu 775 62 550 0 Kelabu
750 50 550 0 Kelabu 775 62 550 0 Kelabu
750 50 550 0 Kelabu 775 62 550 0 Kelabu
750 50 550 0 Kelabu 775 62 550 0 Kelabu
775 50 550 0 Kelabu 775 62 550 0 Kelabu
775 50 550 0 Kelabu 775 62 550 0 Kelabu
800 50 550 0 Kelabu 775 62 550 0 Kelabu
800 50 550 0 Kelabu 775 63 / 65 550 0 Kelabu
Kelabu 775 /
800 50 550 0 63 / 65 550 0 Kelabu
+ Putih 800
775 48 550 0 Kelabu 775 /
775 48 550 0 Kelabu 63 550 0 Kelabu
800
Putih + 775 /
775 48 550 0 63 550 0 Kelabu
Kelabu 800
750 + Kelabu
50 + 48 550 0 Putih 775 58 550 0
800 + Putih
Putih + 775 58 550 0 Kelabu
750 40 550 0
Kelabu 775 60 550 0 Putih
Putih + 775 62 550 0 Putih
750 48 550 0
Kelabu 775 62 550 0 Putih
775 50 550 0 Kelabu 775 60 550 0 Kelabu
775 50 550 0 Kelabu 775 60 550 0 Kelabu
775 50 550 0 Kelabu
775 50 550 0 Kelabu
800 52 550 0 Kelabu
Seminar Material Metalurgi 2010

314 |  ISSN : 2085 – 0492


JENIS PRODUK DAN KONDISI CAIRAN II
JENIS CAIRAN JENIS CAIRAN
JENIS SLAG JENIS SLAG
PRODUK PRODUK
Hijau Kecoklatan
HKC Hitam Kecoklatan
Abu-abu Slagneer metal baik - Hitam Kecoklatan
Hitam Slagneer metal baik + HKC
Slagneer cepat beku HKC
Hitam metal kurang baik + Putih
Slagneer cepat beku Oksida
Hitam (Hijau) metal kurang baik + Oksida
Slagneer + oksida Hitam Legam
Hijau Muda metal kurang baik - Hijau Muda
Slagneer not metal baik Hitam Kecoklatan (+)
Coklat (arang bagus -) Hitam Kecoklatan (+)
Slagneer kental hot Hitam Kecoklatan (+)
Coklat metal baik + Hitam Kecoklatan (+)
Slagneer cepat beku hot Hitam Kecoklatan (+)
Abu-abu metal baik + Abu-abu (-)
Hot metal baik slagneer Hitam Kecoklatan (+)
Abu-abu Kecoklatan encer + Metal
Abu Coklat Muda Ta Hitam Kecoklatan (+)
glasir
Hitam Kecoklatan (+)
Hitam Kecoklatan Ta
Abu-abu Tua (-)
glasir
Hitam Kecoklatan
Hitam Abu-abu glasir
(1/2)
½
Hijau Kecoklatan
Abu-abu Kecoklatan
(1/2)
Abu-abu Seperti
Hijau Kecoklatan
Semen
(1/2)
Abu-abu
Hijau Kecoklatan (+)
Coklat Muda
Abu-abu (+)
Abu-abu Seperti
Hijau Kecoklatan (+)
Semen
Hijau Kecoklatan (+)
Abu-abu
Hijau Muda (+)
Abu-abu
Hijau Kecoklatan (+)
Hitam Kecoklatan
Hijau Kecoklatan (+)
Hitam Kecoklatan
Hijau Kecoklatan (+)
Hijau
Coklat (-)
Hitam Kecoklatan
Hitam Legam (-)
Hitam
Hijau Lumut (+)
Hitam (Oxida)
Slegkental
Hijau Muda (+ -) 1/2 Hijau Lumut /
Hijau Kecoklatan Slegencer metal baik
Seminar Material Metalurgi 2010

Hitam Kecoklatan (+)


Hitam Kecoklatan (+)
Hijau Kecoklatan
Hijau Kecoklatan
Hijau Kecoklatan
Hijau Kecoklatan

V. PEMBAHASAN
Dalam keadaan normal tanur bisa melakukan pengeluaran cairan dalam waktu 24 jam
atau 3 shif sebanyak 6 kali atau 1 shif sebanyak 2 kali, dalam 1 kali pengeluaran cairan dapat

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 315
menghasilkan 3000 kg cairan besi sedangkan slag atau terak yang dihasilkan sebanyak 250
kg.
Dalam data hasil produk pig iron oksida adalah proses reduksi yang dihasilkan di
dalam tanur tidak sempurna karena beberapa hal antara lain dikarenakan arang kayu tidak
cukup kering atau basah sehingga kalori yang ada seharusnya untuk mereduksi bijih besi tapi
di gunakan untuk menguapkan air yang ada di arang basah tadi yang pada akhirnya kalori
tidak cukup dan akhirnya yang di hasilkan adalah oksida atau FeO bukan Fe.
Jenis pig iron ada yang putih dan kelabu ini dapat di lihat dari komposisi kimia dari
kandungan Silika (Si) kalau kelabu Si=1,6 - 2.2 % sedangkan putih Si=0,3 - 1,4 %.sedangkan
sifat fisik adalah kalau kelabu mudah dibor dan tidak mudah patah sedangkan kalau putih
tidak bisa dibor dan mudah patah.
Komposisi bahan baku sebagai umpan pada tanur bijih besi 650 kg arang kayu 550 kg
batu kapur 50 kg dan sedangkan kokas bisa di gunakan dan bisa juga tidak di gunakan karena
kokas berfungsi sebagai penambah kalori atau panas yang di gunakan untuk mereduksi bijih
besi, komposisi ini juga bisa berubah sewaktu-waktu sesuai dengan kondisi proses di dalam
tanur apabila dalam keadaan temperature tanur bagus semua bahan baku umpan tanur kering
maka komposisi bijih besi bisa dinaikan 700 kg, 750 kg, 775 kg sampai 800 kg sedangkan
batu kapur mengikuti naiknya bijih besi seperti terlihat pada table komposisi umpan tanur II.
Produk Jenis slag atau terak yang di hasilkan pada proses produksi peleburan bijih
besi di tanur bisa bermacam jenis sesuai dengan kondisi proses tanur sedang baik atau tidak,
seperti pada table di bawah ini jenis-jenis slag dan kompoisisi kimianya:

% % % % %
NO. JENIS SLAG
SiO2 CaO MgO Al2O3 Fe.total
1. .HITAM MUDA (HM) 37,02 33,68 1,64 5,52 0,27
2. HIJAU LUMUT (HL) 34,35 24,80 2,68 4,84 0,34
3. HITAM PEKAT (HP) 39,28 32,82 2,91 5,32 1,51
4. ABU-ABU GLACY CEMENT 37,95 26,88 2,44 5,41 0,68
5. COKLAT 43,24 38,95 2,46 5,32 0,33
6. HIJAU GELAP (HG) GLACY 43,97 26,82 1,97 4,59 1,16
HITAM KECOKLATAN (HT)
7. 45,97 27,09 2,38 4,95 0,25
GLACY

Basicity yang di inginkan di slag sesuai dengan kondisi tanur adalah 0,7-0,8 maka
berdasarkan komposisi kimia jenis-jenis slag yang baik adalah yang berjenis abu-abu glacy,
hijau lumut glacy jenis slag ii di tanur sangat diinginkan karena dengan adanya slag seperti
ini maka bisa dikatakan proses produksi di dalam tanur berjalan dengan baik sesuai dengan
rencana.
Selain itu slag yang dihasilkan dapat dimanfatkan sebagai bahan baku semen, bahan
baku kramik sehingga dapat dibuat berbagai macam produk beton seperti genteng beton,
batako dll.
Basicity yang dimaksud adalah % CaO / % MgO
Seminar Material Metalurgi 2010

VI. KESIMPULAN
Berdasarkan data dan table yang didapat maka dapat disimpulkan Tanur tiup (blast
furnace) masih dapat dijalankan dengan menghasilkan produk berupa pig iron dan slag dan
produk ini langsung dimanfaatkan oleh industri kecil yang ada di Klaten Yogjakarta.Juga
tanur tiup di Lampung telah siap mendukung apa yang menjadi rencana pemerintah yang
tertuang pada undang-undang minerba yaitu melarang barang di eksport dalam bentuk mentah
sehingga harus diolah terlebih dahulu menjadi produk atau setengah produk jadi dalam hal ini
pengolahan bijih besi di tanur tiup menjadi Pig Iron.

316 |  ISSN : 2085 – 0492


DAFTAR PUSTAKA
1. Adil J.,2008, Uji Coba Tanur Tiup Peleburan Bijih Besi Kapasitas 25
ton/Hari,Proseding Seminar Material Metalurgi,2008, Puslit Metalurgi,Serpong.
2. Biswas, A.K, 1981. Principles Of Blast Furnace Iron Making. Cootha Publishing
House Brisbane Australia
3. Foote.C.A,1982, Dapur Peleburan Listrik, Inductotherm (Melting) Pty Ltd, Bandung.
4. H.Kamal Irvan dkk, 2008, Pengembangan Pabrik Bijih Besi Baja Berbahan Baku
Lokal Oleh PT.Krakatau steel, Proseding Indonesia Proses Metallurgy.
5. Indometal, 1997, Prospek Industri dan Pemasaran Pig Iron di Indonesia, Laporan
Bisnis,PT.Capricorn,Jakarta
6. Agus Budi, P, 2008, Percobaan Pendahuluan Peleburan Bijih Besi Dari Sumatera
Utara Skala Laboratorium, Proseding Seminar Material Maetalurgi, Puslit Metalurgi
Serpong.
7. Sritomo.W, 2000, Ergonomi Studi Gerak Dan Waktu,Surabaya Edisi 1.
8. Tim Pemberdayaan Lampung, 2001, Pengembangan Industri Pengolahan Bijih Besi
Di Lampung, Bandar Lampung.
9. --------,1995, Data Charge Produksi Tanur Tiup lampung, Lampung.

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 317
Seminar Material Metalurgi 2010

318 |  ISSN : 2085 – 0492


PENGARUH VARIASI ARUS LAS CANE CUTTER
MENGGUNAKAN ELEKTRODA AZUCAR 100 TERHADAP SIFAT
MEKANIK BAJA KARBON RENDAH

 
M.Yunus*, M. Amin dan Slamet Sumardi
UPT. Balai Pengolahan Mineral Lampung – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Jl. Ir. Sutami Km. 15 Tanjung Bintang – Lampung Selatan
e-mail : myun001@lipi.go.id Telepon : 0721-350054, Fax : 0721- 350056

Abstrak
Pengujian sifat mekanik sangat berpengaruh besar terhadap sifat logam seperti kuat, elastis, keras, dan
getas. Untuk dapat meningkatkan kualitas kekerasan pada logam dapat dilakukan dengan cara pengerasan
permukaan (Surface Hardening). Pada penelitian ini dilakukan experimen uji kekerasan Brinell dan uji
setruktur mikro terhadap baja karbon rendah (max 0,25%C) standar ASTM A36/JIS SS400 yang diberikan
pengelasan permukaan dengan elektroda Azucar 100 dengan memvariasikan arus pengelasan 250 A, 275 A dan
300 A.
Pada uji kekerasan awal nilai kekerasan rata-rata 122.52 kgf/mm2 dengan struktur mikro
memperlihatkan bentuk struktur butir besar yang terdiri dari ferit dan dikelilingi lapisan perlit. Setelah
dilakukan pengelasan permukaan dengan mengunakan elektroda Azucar 100, nilai kekerasan rata-rata pada
daerah logam las (Weld metal) Arus 250 A sebesar 192,16 kgf/mm2 Arus 275A sebesar 239,49 kgf/mm2 dan
Arus 300 A sebesar 242,87 kgf/mm2 dengan struktur mikro yang memperlihatkan bentuk struktur butir halus
baik ferit ataupun perlit diantara bilah-bilah fasa ini, austenit sisa akan bertransformasi. Produk transformasi
yang terjadi memiliki kandungan karbon yang lebih tinggi. Pada daerah pengaruh panas (Heat Affected Zone)
Arus 250 A nilai kekerasan rata-rata sebesar 139,74 kgf/mm2, Arus 275 A sebesar 138,54 kgf/mm2 dan Arus 300
A sebesar 152,65 kgf/mm2 struktur mikro yang terbentuk adalah ferit dan perlit. Pada daerah logam induk yang
tidak terpengaruh panas (Parent Metal) Arus 250 A nilai kekerasan rata-rata sebesar 126,25 kgf/mm2, Arus 275
A sebesar 126,25 kgf/mm2 dan Arus 300 A sebesar 139,19 kgf/mm2 dengan bentuk struktur mikro yang hampir
sama dengan logam induk (Base Metal) yaitu ferit dan perlit. Nilai kekerasan dari arus 250 A, 275 A sampai
300 A mengalami peningkatan kekerasan. Peningkatan kekerasan yang maksimal dicapai pada arus 300 A yaitu
sebesar 242,87 kgf/mm2 pada daerah logam las (Weld Metsal).
Dari hasil uji kekerasan brinell dan struktur mikro, dapat disimpulkan bahwa pengelasan permukaan
dengan mengunakan elektroda Azucar 100 adalah metode yang tepat untuk meningkatkan kekerasan baja
ASTM A36.

Kata Kunci : Pengaruh Variasi Arus Las Cane Cutter Terhadap Sifat Mekanik Baja Karbon Rendah

LATAR BELAKANG MASALAH


PT. Sweet Indolampung menggunakan cane cutter sebagai pisau potong tebu dari
bahan Baja A36 (ASTM) atau SS400 (JIS). Bahan baja tersebut termasuk dalam katagori
mild carbon steel (a low and medium carbon steel), dimana komposisi kimianya hanya karbon
(C), Mangan (Mn), Silikon (Si), Sulfur (S) dan Posfor (P) dimana tidak terdapat pemaduan
(alloying) untuk meningkatkan kekuatannya dan sifat lainnya (mis: keausan dan impact).
Mengingat kadar karbonnya rendah (max 0.25 %C) material ini sulit untuk di keraskan
(hardening) melalui proses quench and temper. Oleh karena itu bahan baja ini dikeraskan
Seminar Material Metalurgi 2010

melalui pengerasan permukaan (surface hardening) dengan menggunakan las busur listrik
elektroda terbungkus. Elektroda yang digunakan pada proses pengerasan permukaan cane
cutter ini adalah Azucar 100. Produk dari Afrox ini mempunyai unsur paduan yang lengkap
dan sangat baik untuk memberikan kekerasan yang tinggi. dimana didalam elektroda tersebut
terdapat unsur-unsur Karbon (C), silikon (Si), Sulfur (S), Phospor (P), Mangan (Mn), Krom
(Cr), Molibden (Mo) + Niobium (Nb)+ Vanadium (V) + Wolfram (W), dan komposisi ini
sangat bagus untuk aplikasi yang membutuhkan kemampuan perlindungan baja terhadap
kadar asam yang tinggi selama proses pembuatan gula yang dilakukan pada PT. Sweet
Indolampung. Selanjutnya baja hasil pengelasan dilakukan uji struktur mikro dan uji
kekerasan dan pengembangan. Untuk itu perlu dilakukan pengujian guna mengetahui

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 319
seberapa besar pengaruh elektroda Azucar 100 dalam meningkatkan kemampuan sifat
mekanik khususnya kekerasan bahan.

TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui seberapa besar pengaruh elektroda Azucar 100 terhadap kekerasan dan
perubahan struktur mikro pada cane cutter setelah dilakukan pengelasan permukaan
dengan variasi arus pengelasan.
2. Mengembangkan hasil kekerasan baja karbon rendah setelah dilakukan pengelasan
menggunakan variasi arus.

PERMASALAHAN
Bagaimana pengaruh pengelasan dengan elektroda Azucar 100 dan variasi arus 250 A,
275 A dan 300 A pada tegangan 220 V terhadap kekerasan dan struktur mikro pada cane
cutter.

MANFAAT PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian tugas akhir ini, diharapkan dapat mengembangkan aspek
ilmu pengetahuan dan teknologi terutama bidang teknik dan dapat bermanfaat bagi
masyarakat umum.

METODE PENELITIAN
Penelitian dan analisa dilakukan pada pengelasan menggunakan elektroda Azucar 100,
terhadap kekerasan pada pisau pemotong tebu (cane cutter) dengan metode pengerasan
permukaan (surface hardening) dengan variasi arus 250 A, 275 A dan 300 A dengan tegangan
220 V.

Variabel Penelitian
Variabel-variabel penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Variabel Bebas: Variasi arus pengelasan menggunakan elektroda Azucar 100.
b. Variabel Terkendali: Proses pengelasan menggunakan Elektroda Azucar 100
c. Variabel Terikat: Struktur mikro dan kekerasan cane cutter ASTM A36 / JIS SS 400
Hubungan antar variabel
Variabel bebas Variabel terikat
Variasi arus pengelasan Struktur mikro dan
elektroda Azucar 100 kekerasan cane cutter
Elektroda
Azucar 100

Variabel terkendali
Gambar 1. Hubungan antar variable
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 2. Automatic Gas Cutting Machine (Sumber : Data primer)

320 |  ISSN : 2085 – 0492


Diagram Alir Penelitian
Persiapan Bahan
Cane Cutter ASTM A36 / JIS SS400

Pembentukan Benda Uji Awal Standard ASTM

Uji Komposisi Uji Stuktur Mikro Uji Kekerasan Awal mengunakan


Kimia menggunakan Uji kekerasan Brinell
Alat Metalografi

Data awal penelitian

Proses Pengelasan Menggunakan Elektroda Azucar 100


Ø = 5 mm, Arus 250 A, 275 A, 300 A, tegangan 220 V.

Pengujian kekerasan brinell Uji Stuktur Mikro menggunakan


Alat Metalografi

Data Hasil Ahir


Penelitian

Analisa dan Pembahasan Data Hasil


Penelitian

Kesimpulan dan Saran

Gambar 3. Diagram Alir Penelitian


Seminar Material Metalurgi 2010

Alat Automatic Gas Cutting Machine.untuk pembuatan cane cutter dan benda uji:
Nama : Automatic gas Cutting Machine.
Buatan : Japan
Model : ‘IK’ 54 – D
Cutting Capacity : 3 – 100 mm
Cutting Speed : 100- 1000 mm/men
Motor : 100 V – 2 A

Elektroda yang digunakan pada proses pengerasan permukaan cane cutter ini adalah Azucar
100. Produk dari Afrox .

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 321
Gambar 4. Eletroda Azucar 100
Tabel 1. Komposisi kimia Aws : Sugar Rod
C Cr Mn Na
3.90 8.0 0.80 0.50

Persiapan Benda Uji


Penelitian ini menggunakan sampel dari baja ASTM A36 / SS400 (Cane Cutter).
Material awal baja ini berbentuk plat dengan dimensi ketebalan 25 mm .

Pembentukan Benda Uji


Sebelum dilakukan pengelasan dan uji kekerasan, spesimen uji dibentuk terlebih
dahulu dengan menggunakan mesin Automatic gas Cutting Machine. Standar ukuran pisau
cutter yang dipakai di PT. Sweet Indolampung sebagai berikut:

Tabel 2. Standar Ukuran Pisau Cane Cutter


T T Lo l p H dl lh ls Lt
25 5 275 230 42 225 33 146 50 500
Keterangan Tabel 2 :
T = tebal plat, mm H = panjang penjepit cane cutter, mm
t = tebal ujung mata pisau cane cutter, mm dl = diameter lubang, mm
Lo = panjang pisau cane cutter, mm lh = lebar penjepit, mm
l = lebar pisau cane cutter, mm ls = panjang sumbu, m
p = panjang radius, mm Lt = panjang keseluruhan cane cutter, mm
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 5. Pisau Cane Cutter


HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Kimia Baja ASTM A36/JIS SS400. Sebelum dilakukan proses
pembentukan benda uji, perlu diketahui komposisi kimia dari baja ASTM A36/JIS SS400.
Dimana komposisi kimia sangat mempengaruhi sifat - sifat baja seperti kuat tarik, kuat tekan,
liat, keras dan getas. Pada Tabel 3 merupakan komposisi kimia baja ASTM A36/JIS SS400.
 

322 |  ISSN : 2085 – 0492


Tabel 3. Komposisi Kimia Baja Karbon Rendah (ASTM A36/JIS SS400) (Sumber: Data Primer)
No Komposisi kimia Simbol Hasil %
1 Mangan Mn 0,80
2 Sulfur S 0,05
3 Pospor P 0,04
4 Silikon Si 0,40
5 Karbon C 0,25
6 Unsur lain-lain - 0.20
7 Besi Fe 98,26
Pengujian Kekerasan
Pengujian menggunakan metode Hardnes Brinell Number (HBN). Uji kekerasan ini
dilakukan pada 3 (tiga) titik pada masing - masing spesimen benda uji dan variasi arus
pengelasan. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan nilai kekerasan dari baja
ASTM A36/JISS SS400 setelah dilakukan variasi arus pengelasan. Diameter hasil pengujian
kekerasan dari material awal dicantumkan dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 4. Diameter Hasil Uji Kekerasan Brinell Pada Benda Uji Awal.
Jenis Perlakuan Diameter Tapak {mm) Diameter Gaya
No
Bahan 1 2 3 Indentor (mm) (Kgf)
1 Base Metal 1.15 1.15 1.10 5 125
Sumber : Data Primer
Tabel 5. Hasil Uji Kekerasan Brinell Awal

Nilai Kekerasan Tiap Titik Rata-rata


No
Jenis Perlakuan
Bahan
(kgf/mm2 )  
1 2 3 Nilai Kekerasan
1 Base Metal 118.79 118.79 129.99 122.52
Sumber : Data Primer
Tabel 6. Uji Kekerasan Brinell Setelah pengelasan dengan arus 250 A

Jenis Perlakuan Diameter Tapak (mm) Diameter Gaya


No.
Bahan 1 2 3 Indentor (mm) (Kgf)
1. Weld Metal 0.90 0.92 0.90 5 125
2. HAZ 1.00 1.05 1.15 5 125
3. Parent Metal 1.10 1.15 1.10 5 125
Sumber : Data Primer
Tabel 7. Hasil Uji Kekerasan Brinell Setelah Pengelasan Dengan Arus 250 A
Nilai Kekerasan Tiap Titik
Jenis Perlakuan Rata-rata Nilai
No. (kgf /mm2)
Bahan kekerasan (kgf /mm2)
1 2 3
1. Weld Metal 194.98 186.52 194.98 192.16
2. HAZ 157.62 142.82 118.79 139.74
Seminar Material Metalurgi 2010

3. Parent Metal 129.98 118.79 129.98 126.25


Sumber : Data Primer
Tabel 8. Uji Kekerasan Brinell Setelah Pengelasan dengan Arus 275 A
Jenis Perlakuan Diameter Tapak (mm) Diameter Gaya
No.
Bahan 1 2 3 Indentor (mm) (Kgf)
1. Weld Metal 0.80 0.80 0.84 5 125
2. HAZ 1.05 1.10 1.05 5 125
3. Parent Metal 1.10 1.10 1.15 5 125
Sumber : Data Primer

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 323
Tabel 9. Hasil Uji Kekerasan Brinell Setelah Pengelasan Dengan Arus 275 A
Nilai Kekerasan Tiap Titik
Jenis Perlakuan Rata-rata Nilai kekerasan
No (kgf /mm2)
Bahan (kgf /mm2)
1 2 3
1. Weld Metal 247.20 247.20 224.07 239.49
2. HAZ 142.82 129.98 142.82 138.54
3. Parent Metal 129.98 129.98 118.79 126.25
Sumber : Data Primer
Tabel 10. Uji Kekerasan Brinell Setelah Pengelasan dengan Arus 300 A
Jenis Perlakuan Diameter Tapak (mm) Diameter Gaya
No
Bahan 1 2 3 Indentor (mm) (Kgf)
1. Weld Metal 0.80 0.82 0.80 5 125
2. HAZ 1.00 1.05 1.00 5 125
3. Parent Metal 1.10 1.10 1.00 5 125
Sumber : Data Primer
Tabel 11. Hasil Uji Kekerasan Brinell Setelah Pengelasan Dengan Arus 300 A
Nilai Kekerasan Tiap Titik
Jenis Perlakuan Rata-rata Nilai
No (kgf /mm2)
Bahan Kekerasan (kgf /mm2)
1 2 3
1. Weld Metal 247.20 234.22 247.20 242.87
2. HAZ 157.62 142.82 157.62 152.68
3. Parent Metal 129.98 129.98 157.62 139.19
Sumber : Data Primer

250
194.98 186.52 194.98
200
Nilai Kekerasan

157.62 129.98
129.98 142.82 Weld Metal
150 118.79
118.79 Heat Affected Zone
100
Parent Metal
50

0
1 2 3
Titik Indentasi

Grafik 1. Nilai Uji Kekerasan Brinell Pada Arus Pengelasan 250 A (Sumber: Data Primer)

300
247.2 247.2
250
224.07
Nilai Kekerasan

200 Weld Metal


142.82 129.98 142.82
150 129.98 129.98 118.79 Heat Affected Zone

100 Parent Metal


Seminar Material Metalurgi 2010

50

0
1 2 3
Titik Indentasi

Grafik 2. Nilai Uji Kekerasan Brinell Pada Arus Pengelasan 275 A (Sumber: Data Primer)

324 |  ISSN : 2085 – 0492


300
247.2 247.2
234.22
250

Nilai Kekerasan
200 157.62
157.62 142.82 Weld Metal
129.98 129.98 157.62
150 Heat Affected Zone
100 Parent Metal

50

0
1 2 3
Titik Indentasi

Grafik 3. Nilai Uji Kekerasan Brinell Pada Arus Pengelasan 300 A (Sumber: Data Primer)

PEMBAHASAN
Dari grafik 1, 2 dan 3 menjelaskan nilai kekerasan logam induk (Base Metal) tanpa
perlakuan dan sesudah adanya perlakuan pengelasan permukaan (Surface Hardening) dengan
elektroda Azucar 100 dengan memvariasikan arus pengelasan, menunjukan peningkatan
kekerasan Cane Cutter (ASTM A36/JIS SS400). Kekerasan maksimum di capai pada daerah
logam las dengan arus yang lebih besar adalan denag arus pengelasan 300 A. PT. Sweet
indolampung menggunakan baja A36 (ASTM) atau SS400 (JIS) untuk sebagai pisau
pemotong tebu (cane cutter) dimana komposisinya hanya Karbon (C), Mangan (Mn), Silikon
(Si), Sulfur (S), dan Pospor (P). Tidak terdapat campuran untuk kekerasan dan kekuatan. Baja
ini tergolong baja karbon rendah yang sulit untuk dikeraskan (hardening). Untuk mengatasi
hal ini maka ditambahkan unsur - unsur paduan yang dapat memperhalus butir dan
membentuk endapan pada fasa ferit, sehingga didapat sifat mekanik yang tinggi. Kekerasan
pada baja sangat tergantung dari komposisi kimia dan setruktur mikro. Dimana struktur kimia
tergantung pada proses pembuatan baja sedangkan struktur mikro baja tergantung pada proses
perlakuan panas baja dan dilanjutkan lagi pada proses pengelasan, mengunakan elektroda
Azucar 100. Produk dari Afrox ini mempunyai unsur paduan yang lengkap dan sangat baik
untuk memberikan kekerasan yang maksimal, juga akan di bahas lebih lanjut tentang:
1. Struktur mikro yang terbentuk pada daerah logam induk (Base metal), dan logam yang
telah dilakukan proses pengelasan pada masing-masing arus.
2. Perbandingan nilai kekerasan pada masing-masing daerah arus pengelasan.
Struktur mikro yang terbentuk pada daerah logam induk, dan logam yang telah
dilakukan proses pengelasan pada masing-masing arus. Proses pengelasan adalah proses
penyambungan logam dengan mengunakan energi panas. Karna proses ini logam akan
mengalami proses pemanasan dan pendinginan (siklus termal), hal ini akan mempengaruhi
struktur mikro yang dihasilkan. Dari pengamatan terhadap perubahan kekerasan dan struktur
mikro yang terjadi pada baja Cane Cater (ASTM A36/JIS SS 400) setelah dilakukan
pengelasan dengan Elektroda Azucar 100 dan dilakukan pendinginan secara normal hingga
mencapai temperatur kamar, menyebabkan terjadinya perubahan struktur butir dari ferit dan
perlit. Perubahan ini diakibatkan karena logam mengalami proses pemanasan dan
Seminar Material Metalurgi 2010

pendinginan. Pada saat dilakukan pengujian Metalografi akan terlihat daerah masing-masing
arus pengelasan. Pembagian daerah ini meliputi:
1. Daerah logam induk (Base Metal)
2. Daerah logam las (WeldMetal)
3. Daerah logam induk yang terpengaruh panas (Heat Affected Zone)
4. Daerah yang tidak terpengaruh panas (Parent Metal)
Dibawah ini Pembahasan Struktur Mikro pada daerah logam induk, dan daerah logam
induk yang telah dilakukan proses pengelasan dengan menggunakan elektroda Azucar 100
dengan variasi arus 250 A, 275 A, dan 300 A. Perbandingan nilai kekerasan pada masing-
masing daerah arus pengelasan. Distribusi nilai kekerasan sambungan las berkaitan dengan

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 325
struktur mikro yang terbentuk, ini berhubungan dengan panas dan kandungan komposisi
unsur paduan. Sedangkan makin tinggi unsur kandungan pada logam maka nilai kekerasan
akan semakin meningkat. Dibawah ini pembahasan pengujian kekerasan Brinell pada masing
- masing arus pengelasan, yaitu:

1. Kekerasan Brinell pada Arus 250 A


Pada tabel 7 dapat dilihat bahwa nilai kekerasan yang mendapat perlakuan pengelasan
dengan menggunakan elektroda Azucar 100 dengan menggunakan arus 250 A pada daerah
logam las (Weld Metal) nilai pada titik 1 sebesar 194,98 kgf /mm2, nilai pada titik 2 sebesar
186,52 kgf /mm2, nilai pada titik 3 sebesar 194,98 kgf /mm2 dan nilai kekerasan rata-rata
192,16 kgf /mm2
Pada daerah pengaruh panas (Heat affected Zone) nilai pada titik 1 sebesar 157,62 kgf
/mm , nilai pada titik 2 sebesar 142,82 kgf /mm2, nilai pada titik 3 sebesar 118,79 kgf /mm2,
2

dan nilai kekerasa rata-rata 139,74 kgf /mm2.


Pada daerah tidak begitu pengaruh panas (Parent Metal) nilai pada titik 1 sebesar
129,98 kgf /mm2, pada titik 2 sebesar 118,79 kgf /mm2, nilai pada titik 3 sebesar 129,98 kgf
/mm2, dan nilai kekerasan rata - rata 126,25 kgf /mm2.

2. Kekerasan Brinell Pada Arus 275 A


Pada tabel 9 dapat dilihat bahwa nilai kekerasan yang mendapat perlakuan pengelasan
dengan menggunakan elektroda Azucar 100 dengan menggunakan arus 275 A pada daerah
logam las (Weld Metal) nilai pada titik 1 sebesar 247,20 kgf /mm2, nilai pada titik 2 sebesar
247,20 kgf /mm2, nilai pada titik 3 sebesar 224,07 kgf /mm2, dan nilai kekerasan rata-rata
239,49 kgf /mm2.
Pada daerah pengaruh panas (Heat affected Zone) nilai pada titik 1 sebesar 142,82 kgf
/mm , nilai pada titik 2 sebesar 129,98 kgf /mm2, nilai pada titik 3 sebesar 142,82 kgf /mm2,
2

dan nilai kekerasa rata - rata 138,52 kgf /mm2.


Pada daerah tidak begitu pengaruh panas (Parent Metal) nilai pada titik 1 sebesar
129,98 kgf /mm2, pada titik 2 sebesar 129,98 kgf /mm2, dan pada titik 3 sebesar 118,79 kgf
/mm2, dan nilai kekerasan rata-rata 126, 25 kgf /mm2.

3. Kekerasan Brinell Pada Arus 300 A


Pada tabel 11 Nilai kekerasan yang mendapat perlakuan pengelasan dengan
menggunakan elektroda Azucar 100 dengan menggunakan arus 300 A pada daerah logam las
(Weld Metal) nilai pada titik 1 sebesar 247,20 kgf /mm2, nilai pada titik 2 sebesar 234,22 kgf
/mm2,nilai pada titik 3 sebesar 247,20 kgf / mm2 dan nilai rata-rata sebesar 242,87 kgf /mm2.
Pada daerah pengaruh panas (Heat affected Zone) nilai pada titik 1 sebesar 157,62 kgf
/mm2, nilai pada titik 2 sebesar 142,82 kgf /mm2, nilai pada titik 3 sebesar 157,62 kgf /mm2,
dan nilai kekerasa rata-rata 152,68 kgf /mm2.
Pada daerah tidak begitu pengaruh panas (Parent Metal) nilai pada titik 1 sebesar
129,98 kgf /mm2, pada titik 2 sebesar 129,98 kgf /mm2, nilai pada titik 3 sebesar 157,62 kgf
/mm2, dan nilai kekerasan rata-rata 139,19 kgf /mm2.
Dari perbedaan nilai kekerasan brinell setelah dilakukan pengelasan dengan
Seminar Material Metalurgi 2010

menggunakan elektroda Acucar 100 dengan memvariasikan arus pengelasan mengalami


peningkatan kekerasan terutama pada daerah logam las (Weld Metal) pada setiap arus
pengelasan yang digunakan, peningkatan kekerasan tertinggi dicapai pada Arus 300 A pada
daerah logam las (Weld Metal) yang kekerasan rata-ratanya mencapai 242,87 kgf /mm2.
Dari nilai rata-rata pengujian kekerasan Brinell, bila dihubungkan nilai kekerasan dan
daerah pengujian kekerasan terlihat sebagai berikut:

326 |  ISSN : 2085 – 0492


300

239.49 242.87
250
192.16

Nilai Kekerasan
200
Weld Metal
152.68
139.74 138.54 HAZ
150
Parent Metal
126.25 126.25 139.19
100

50

0
250 A 275 A 300 A
Arus Pengelasan

Grafik 4. Nilai Rata-Rata Uji Kekerasan Brinell Pada Setiap Arus Pengelasan (Sumber : Data Primer)
Dari garafik 4 diatas menjelaskan nilai kekerasan sesudah adanya perlakuan
pengelasan permukaan dengan elektroda Azucar 100 dengan memvariasikan arus pengelasan
menunjukan peningkatan kekerasan terhadap Cane Cutter. Dari hasil tersebut kekerasan yang
optimal terutama pada daerah logam las (Weld Metal), kekerasan optimal di capai pada daerah
logam las dengan arus yang lebih besar.
Dari hasil perhitungan pada titik 1 (satu) terhadap spesimen setelah dilakukan
pengelasan menggunakan elektroda Azucar 100 dengan arus pengelasan 250 A pada daerah
logam las (Weld Metal) mempunyai nilai kekerasan Brinell 194.98 kgf /mm2. Perhitungan
kekerasan Brinell pada tiap titik ditabelkan sebagai berikut
Hasil Uji Struktur Mikro Baja Karbon Rendah ASTM A 36. JIS SS400.
Dari hasil pengujian metalografi yang telah dilakukan telah didapatkan secara lengkap
photo struktur mikro. Masing-masing pembagian daerah pengelasan yang meliputi Base
metal, Heat Affected Zone (HAZ) dan Weld metal dapat dilihat seperti Gambar 24 – 33.
Gambar : struktur mikro awal baja

Ferit

Perlit

Gambar 24. Struktur Mikro Awal Baja A36 (Pembesaran 400x)


Gambar : struktur mikro dengan arus pengelasan 250 a
Seminar Material Metalurgi 2010

Ferit

Perlit

Gambar 25. Struktur Mikro Daerah Weld Metal (Pembesaran 800X) (Sumber: Data Primer)

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 327
Ferit

Perlit

Gambar 26. Struktur Mikro Daerah HAZ (Pembesar 800X) (Sumber: Data Primer)

Ferit

Perlit 

Gambar 27. Struktur Mikro Daerah Parent Metal (Pembesaran 800X) (Sumber: Data Primer)
Gambar struktur mikro dengan arus pengelasan 275 a

Ferit 

Perlit 

Gambar 28. Struktur Mikro Weld Metal (Pembesaran 800X) (sumber: Data Primer)

Ferit 
Seminar Material Metalurgi 2010

Perlit 

Gambar 29. Struktur Mikro Daerah HAZ (Pembesar 800X) (Sumber: Data Primer)

328 |  ISSN : 2085 – 0492


Ferit

Perlit 

Gambar 30. Struktur Mikro Daerah Parent Metal (Pembesaran 800X) (Sumber: Data Primer)
Gambar struktur mikro dengan arus pengelasan 300 a

Ferit 

Perlit 

Gambar 31. Struktur Mikro Daerah Weld Metal (Pembesaran 800X) (Sumber: Data Primer)

Ferlit 

Perlit 

Gambar 32. Struktur Mikro Daerah HAZ (Pembesaran 800X) (Sumber: Data Primer)

Ferit 
Seminar Material Metalurgi 2010

Perlit 

Gambar 33. Struktur Mikro Daerah Parent Metal (Pembesaran 800X) (Sumber: Data Primer)
PEMBAHASAN HASIL PENGUJIAN STRUKTUR MIKRO
Daerah Logam Induk (Base Metal) Gambar 24. Struktur Mikro Logam Induk (Base
Metal). Struktur yang terbentuk pada daerah ini merupakan struktur awal dari Baja Karbon

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 329
Rendah ASTM A36 sebelum dilakukan pengelasan dengan menggukan Elektroda Azucar 100,
dengan pembesaran 400X memperlihatkan bentuk struktur butir besar yang terdiri dari ferit
(berwarna putih) dan dikelilingi oleh lapisan perlit (berwarna hitam) yang tipis karena baja ini
mempunyai kandungan karbon yang rendah (Low Carbon)
Daerah logam Induk yang sudah dilakukan proses pengelasan dengan menggunakan
arus 250 A. Gambar 25. Struktur Mikro Daerah Logam Las (Weld Metal ). Struktur yang
terbentuk pada daerah ini merupakan struktur dari Baja Karbon Rendah ASTM A36 setelah
dilakukan pengelasan dengan menggunakan Elektroda Azucar 100, dengan pembesaran 800X
memperlihatkan bentuk struktur butir yang halus baik ferit ataupun perlit. Ferlit lebih
mendominasi dari pada daerah perlit, struktur ini bersifat lebih kuat dan keras. Gambar 26.
Struktur Mikro Daerah Pengaruh Panas (Heat Affected Zone). Pada daerah ini adalah yang
terpengaruh panas pada saat proses pengelasan berlangsung, dari struktur mikro yang terlihat
adalah ferit yang dikelilingi perlit.
Daerah yang berbutir kasar adalah daerah terjadinya masukan panas yang diterima
oleh logam tersebut, sedangkan daerah yang berbutir halus adalah daerah terjadinya proses
penghalusan butir. Struktur mikro yang terjadi pada daerah HAZ ini dipengaruhi oleh
masukan panas dan komposisi kimia logam induk. Gambar 27. Struktur Mikro Daerah Yang
Tidak Terpengaruh Panas (Parent Metal). Struktur mikro daerah ini menunjukan struktur
butir ferit dan perlit, dari gambar struktur mikro ferit lebih dominant dari pada perit dan
struktur ini bersifat lunak dan kuat.
Daerah logam Induk yang sudah dilakukan proses pengelasan dengan menggunakan
arus 275 A Gambar 28. Struktur Mikro Daerah Logam Las (Weld Metal). Struktur yang
terbentuk pada daerah ini mengalami sedikit perubahan bentuk dikarenakan arus yang
digunakan lebih besar. Struktur yang terbentuk memperlihatkan bentuk struktur butir yang
halus baik ferit ataupun perlit. Karena masukan panas yang makin tinggi akan menyebabkan
pendinginan logam las akan semakin lambat. Hal ini akan menyebabkan sel-sel satuan akan
lebih lama untuk berdifusi. Gambar 29. Struktur Mikro Daerah Pengaruh Panas (Heat
Affected Zone). Pada daerah ini struktur yang terbentuk yaitu ferit dan perlit, daerah ini paling
terpengaruh oleh panas, namun dari gambar struktur mikro yang terlihat ferit lebih
mendominasi sehingga struktur ini bersifat lunak dan kuat. Gambar 30. Struktur Mikro
Daerah Yang Tidak Terpengaruh Panas (Parent Metal). Struktur yang terbentuk pada daerah
ini menunjukan stuktur butir dari ferit dan perlit, ferit lebih dominan dari pada perlit dan
struktur ini bersifat lunak dan kuat.
Daerah logam Induk yang sudah dilakukan proses pengelasan dengan menggunakan
arus 300 A. Gambar 31. Struktur Mikro Daerah Logam Las (Weld Metal). Struktur yang
terbentuk pada daerah ini mengalami sedikit perubahan bentuk dikarenakan arus yang
digunakan lebih besar. Struktur yang terbentuk memperlihatkan bentuk struktur butir yang
halus baik ferit ataupun perlit. Karena masukan panas yang makin tinggi akan menyebabkan
pendinginan logam las akan semakin lambat. Hal ini akan menyebabkan sel-sel satuan akan
lebih lama untuk berdifusi. Gambar 32. Struktur Mikro Daerah Pengaruh Panas (Heat
Affected Zone). Pada daerah ini merupakan daerah yang paling besar terpengaruh oleh panas.
Struktur mikro yang terbentuk menunjukan struktur butir yang besar dari ferit dan perlit,
struktur ini bersifat lunak dan kuat tetapi lebih keras dari pada daerah parent metal..Gambar
Seminar Material Metalurgi 2010

33. Struktur mikro daerah yang tidak terpengaruh panas (Parent Metal). Struktur mikro yang
terbentuk pada daerah ini menunjukan stuktur butir dari ferit dan perlit, struktur ini tidak
banyak berubah dari logaminduk disebabkan karena daerah ini tidak terpengaruh panas akibat
pengelasan.. Berdasarkan Pengamatan struktur mikro maka terlihat bahwa nilai komposisi
kimia elektroda Azucar 100 dengan variasi arus pengelasan memberikan peningkatan
kekerasan terhadap bahan Cane Cutter (ASTM A36/JIS SS400) dan besar kecilnya butir
struktur mikro yang terbentuk berpengaruh terhadap kekeresan bahan. Kecepatan pengelasan
tergantung dari bahan induk, jenis elektroda, geometris sambungan dan ketelitian sambungan.
Perubahan arus akan mengakibatkan perubahan kecepatan pengelasan. Waktu pengelasan

330 |  ISSN : 2085 – 0492


yang cepat maka arus yang akan digunakan tinggi. Kecepatan pengelasan dapat dihitung dari
data pengelasan dengan rumus:
L
V 
t
Dimana:
V : Kecepatan pengelasan (cm/menit)
t : Waktu pengelasan (menit)
L : Panjang lasan (cm)
Panjang busur tidak mempengaruhi kecepatan pencairan logam, tetapi busur yang
panjang akan menambah energi listrik.
Energi panas dihasilkan melalui busur listrik:
E.I .60
HI 
V
Dimana:
HI : Masukan panas (Joule/cm)
I : Arus (A)
E : Tegangan (V)
V : Kecepatan pengelasan (cm/menit)
60 : Konstanta
Besar masukan panas dalam pengelasan dapat diatur melalui pengaturan besarnya arus
dan kecepatan pengelasan. Panjang busur yang dianggap baik lebih kurang sama dengan
diameter elektroda yang dipakai. Besarnya tegangan yang dipakai untuk setiap posisi
pengelasan tidak sama. Pengelasan dengan menggunakan elektroda diameter 3-6 mm, maka
tegangan yang akan digunakan 20-30 volt pada posisi datar, dan dikurangi sekitar 2-5 volt
untuk tegak atau posisi atas kepala. Kecepatan pengelasan dan masukan panas dihitung pada
panjang pengelasan 250 mm = 25 cm. Dan waktu pengelasan selama 5 menit.
25
Kecepatan Pengelasan (V) =  5 cm/menit
5
1. Perhitungan masukan panas pada arus pengelasan 250 ampere
220 x 250 x60
Masukan Panas (HI) =  660000 J/cm
5
2. Perhitungan masukan panas pada arus pengelasan 275 ampere
220 x 275 x60
Masukan Panas (HI) =  726000 J/cm
5
3. Perhitungan masukan panas pada arus pengelasan 300 ampere
220 x300 x60
Masukan Panas (HI) =  792000 J/cm
5
Berdasarkan hasil perhitungan masukan panas pada arus pengelasan 250 ampere didapat
masukan panasnya 660000 J/cm, pada arus pengelasan 275 ampere didapat masukan
panasnya 726000 J/cm dan pada arus pengelasan 300 ampere didapat masukan panasnya
Seminar Material Metalurgi 2010

792000 J/cm.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
1. Nilai kekerasan pada masing - masing titik pengujian mempunyai kekerasan yang berbeda-
beda dari daerah Weld Metal, Heat Affected Zone dan Parent Metal. Nilai kekerasan
dimulai dari arus 250 A, 275 A sampai 300 A mengalami peningkatan kekerasan,

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 331
peningkatan kekerasan yang maksimal dicapai pada arus 300 A yaitu sebesar 242,87 kgf
/mm2 pada daerah logam las Weld Metal.
2. Dalam proses pembuatan pisau Cane Cutter metode pengelasan ujung dari permukaan baja
merupakan metode yang tepat
3. Struktur mikro yang terbentuk setelah memvariasikan arus pengelasan mengalami
perubahan yaitu:
a. Pada arus 250 A struktur mikro yang terbentuk pada daerah logam las Weld Metal
memperlihatkan bentuk struktur butir yang halus baik ferit maupun perlit. Perlit lebih
mendominasi daerah ferit, struktur bersifat kuat dan keras. Pada daerah pengaruh
panas Heat Affected Zone memperlihatkan struktur butir didominasi oleh
perlit.struktur ini bersifat liat, lunak, dan elastisnya baik. Pada daerah Parent Metal
menunjukan struktur butir besar sifat struktur ini kuat dan lunak.
b. Pada arus 275 A struktur mikro yang terbentuk pada daerah Weld Metal sedikit
mengalami perubahan dibandingkan struktur mikro pada arus 250 A fasa perlit lebih
besar. Pada daerah Heat Affected Zone hampir tidak mengalami perubahan bentuk
dibandingkan struktur mikro arus 250 A. Pada daerah logam Parent Metal hampir
tidak mengalami perubahan bentuk dari fasa ferit dan perlit.
c. Pada arus 300 A struktur mikro yang terbentuk pada daerah Weld Metal sedikit
mengalami perubahan dibandingkan struktur mikro pada arus 250 A dan arus 275 A
fasa perlit lebih besar. Pada daerah Heat Affected Zone hampir tidak mengalami
perubahan bentuk dibandingkan struktur mikro arus 250 A dan arus 275 A, pada
daerah Parent Metal hampir tidak mengalami perubah bentuk dari fasa ferit dan perlit.

Saran
Dalam penulisan tugas ahir ini penulis menyadari bahwa masih banyak memiliki
kekurangan dan keterbatasan penulis didalam melakukan percobaan., arena itu penulis
menyarankan dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap masalah ini, diantaranya:
1. Penggunaan arus yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada benda kerja diakibatkan
karena panas dan busur listrik yang tinggi.
2. Perlu adanya penelitian yang lebih lajut karena masih banyak kekurangan dalam penelitian
ini. Antara lain terbatasnya jumlah sampel untuk bahan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Amanto, Hari. Daryanto, 2003,” Ilmu Bahan ”, Bumi Angkasa, Jakarta.
Anonim, 1994, ” Pengelompokan Bahan Logam ”, Bumi Angkasa, Jakarta.
Arifin, Syamsul, 1982,” Ilmu Logam ”, PT. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Bahan Untuk Perguruan Tinggi Teknik dan Industri, 1991,’’ Jakarta, Fakultas Teknik
Universitas Pasundan, 2005,’’ Bandung.
Djaprie, S, 1989 ” Ilmu dan Teknologi Bahan ”, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Smallman, R.E, 1994 “ Metalurgi Fisik Moderen “ Edisi Keempat, PT. Gramedia, Jakarta.
Supardi, Edih, 1994, ” Pengujian Logam ”, PT. Angkasa Pura.
Surdia, Tata. Saito, Shinroku, 1999,” Pengetahuan Bahan Teknik ”, T. Pradnya Paramita,
Jakarta.
Seminar Material Metalurgi 2010

Universitas Malahayati, 1998, “ Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah ”, Universitas


Malahayati, Bandar Lampung.
Wiryosumarto, H, Okumora, dan T, 1996,” Teknologi Pengelasan Logam ”, PT. Pradnya
Paramita, Jakarta.

332 |  ISSN : 2085 – 0492


PENGARUH PERLAKUAN PANAS TERHADAP
KABEL LISTRIK NYM
 

Melya Dyanasari Sebayang S.Si, MT


Universitas Tama Jagakarsa- Jl.Letjen.TB.Simatupang Jagakarsa- Jakarta Selatan- Indonesia,
melcan_sebayang@yahoo.co.id

Abstract
The heating simulation for cable NYM to know the properties from a such simulation where heating
simulation in temperature 1000C, 1200C, 1400C and 1600C, respectively for 45 minutes has been conducted.
The treatment for physical property such as conversion of isolation thickness and coating, conversion of
isolation- diameter, coating and conductive cable and depreciation of isolation mass and coating is  6%,
conversion the isolation diameter is  0,15%, and mass depreciation is 23%, while the treatment for
mechanical properties, i.e., test for attractivity and flexibility to isolation and coating is  8,9 N/mm2 and
average attractivity of conductive cable is  234 N/mm2 and flexibility of isolation and coating is about 167%,
conductive cable 24% and structural analyses of cable Cu indicated that te greater temperature the hydrogen
atoms change.
Based on physical property measure, mechanical and structural analyses indicated that cable NYM
simulated is still useable to electrical distribution network for house with voltage less 2 kV and the use will not
spreaded out, rather in pipe or on the wall

Intisari
Telah dilakukan simulasi pemanasan terhadap kabel NYM untuk mengetahui sifat-sifatnya akibat
simulasi tersebut dimana simulasi pemanasan dilakukan pada suhu 1000C, 1200C, 1400C dan 1600C dengan
waktu 45 menit
Pengujian sifat fisis seperti perubahan tebal isolasi dan selubung, perubahan diameter isolasi,
selubung dan kawat penghantar serta pengujian penyusutan massa isolasi dan selubung 6%, perubahan
diameter isolasi dan selubung 10%, dan perubahan diameter kawat penghantar 0,15%, juga penyusutan
massanya 23%, sedangkan pengujian sifat mekanis yaitu pengujian kuat tarik dan pemuluran terhadap
isolator, selubung, dan kawat penghantar menunjukkan bahwa kuat tarik rata-rata isolasi dan selubung adalah
8,9 N/mm2 dan kuat tarik rata-rata kawat penghantar 243 N/mm2 serta pemuluran isolasi dan selubung
167%, kawat penghantar 24% dan analisis struktur kawat Cu menjelaskan bahwa makin besar suhu maka
atom- atom hidrogen berubah.
Dari pengukuran sifat fisis, mekanis dan analisis struktur maka kabel NYM yang disimulasi masih
dapat digunakan pada jaringan distribusi listrik untuk rumah tanga dengan tegangan lebih kecil dari 2 kV dan
pemakaiannya tidak dibentangkan, tetapi didalam pipa atau di dinding.

LATAR BELAKANG
Kabel merupakan salah satu komponen penting dalam jaringan distribusi kelistrikan.
Menurut pengunaannya kabel dibagi dalam beberapa kelompok yaitu, kabel untuk tegangan
rendah (tegangan nominal s/d 1 kV), kabel untuk tegangan menengah ( tegangan nominal s/d
30 kV), kabel untuk tegangan tinggi ( tegangan 30 kV s/d 150 kV) dan kabel untuk tegangan
ekstra tinggi ( tegangan dari 150 kV s/d 500 kV).
Seminar Material Metalurgi 2010

Kabel secara umum mempunyai 4 bagian, yaitu :


1. Penghantar
Penghantar adalah bagian kabel yang berfungsi untuk menghantarkan arus listrik.
Penghantar ini pada umumnya terbuat dari tembaga ( biasanya diberi kode huruf N pada
huruf pertama pada kabel) dan alumunium (biasanya diberi kode NA pada huruf pertama
pada kabel)
2. Isolasi
Isolasi adalah bahan pembungkus penghantar biasanya dibuat dari bahan PVC, karet, PE
yang mana berfungsi untuk mengisolasi penghantar.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 333
3. Lapisan pembungkus inti
Lapisan pembungkus inti adalah lapisan yang berfungsi sebagai lapisan dan membentuk
kabel berinti banyak agar berbentuk bulat pada lapisan pembungkus nti ini tidak dilakukan
pengujian mekanis.
4. Selubung luar
Selubung luar adalah bahan yang berfungsi untuk mencegah bahaya korosi dan berfungsi
juga sebagai pelindung mekanis pada waktu penarikan kabel dengan kemampuan kuat tarik
lebih besar dari 12,5 N/mm2.

Namun ada juga bagian-bagian kabel lainnya, seperti:


1. Perisai
Berfungsi untuk pelindung mekanis dan biasanya pada kabel dibawah tanah.
2. Penggantung
Berfungsi pada kabel udara, yaitu sebagai penggantung yang dengan lengkapan khusus
dihubungkan atau digantung pada tiang-tiang penyangga sepanjang saluran. Menurut
International Electrotechnical Commision ( IEC) 502, suatu bahan PVC tahan terhadap
suhu 700C dalam jangka waktu yang lama selama suhunya tetap. Bahkan PVC masih baik
pada suhu 1000C selama 7 x 24 jam sampai suhu 1600C dalam waktu maksimal 5 detik (
Gambar 1.1). Selain itu juga suatu bangunan akan habis terbakar dalam waktu  45 menit
dengan suhu yang mencapai  9600C (Gambar 1.2). Suatu gedung bertingkat yang terbakar
akibat kecerobohan manusia akan berakibat juga pada instalasi listrik pada umumnya dan
pada kabel khususnya.
Dalam penelitian ini akan diteliti mutu dari kabel yang terpanggang atau terkena
radiasi panas. Sehingga dapat ditentukan kabel tersebut masih layak dipakai kembali atau
tidak menurut standar- standar yang ada di Indonesia seperti Standar Perusahaan Listrik
Negara. Dan bila pemilik gedung bertingkat yang terbakar tersebut mau membangun kembali
gedung tersebut dapat dipakai kabel tersebut atau tidak.

TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui sifat fisis seperti tebal, diameter, massa,
struktur; sifat mekanis seperti kuat tarik saat putus dan pemuluran panjang dari masing-
masing bagian kabel; sifat elektrik seperti tegangan kabel utuh dan resistivitas kawat
penghantar; serta sifat termis seperti daya tahan retak kabel dan karakteristik hambatan api
dari material kabel yang baru maupun material kabel yang tepanggang pada suhu dan waktu
tertentu pada suatu bangunan dengan merek tertentu. Pada penelitian ini juga mengamati
komposisi tembaga serta struktur bagian kabel pada material kabel baru maupun material
kabel yang terpanggang, sehingga dapat disimpulkan kabel dengan merek tersebut masih
dapat digunakan atau harus didaur ulang.

MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan perbandingan atau referensi
terhadap kelayakan suatu merek kabel tertentu yang dipakai pada suatu gedung bertingkat
Seminar Material Metalurgi 2010

tinggi bila kabel tersebut terkena radiasi panas atau terpanggang.

TEMPAT PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di beberapa laboratorium di PT(Persero) PLN-JTK.
Laboratorium yang digunakan adalah Laboratorium Material Mekanikal, Laboratorium
Peralatan Listrik, Laboratorium Kimia dan Lingkungan. Selain itu penelitian dilakukan di
Laboratorium Pemadaman Kebakaran DKI.

334 |  ISSN : 2085 – 0492


BATASAN MASALAH
Karena begitu luasnya permasalahan dalam kabel ini, maka penulis membuat batasan
masalah, yaitu pengujian material kabel yang baru dan material kabel sejenis yang
terpanggang pada suhu 1000C, 1200C, 1400C dan 1600C dengan waktu 45 menit dikarenakan
titik lebut PVC adalah 1600C dan waktu puncak bahan bangunan terbakar habis adalah 45
menit dan kabel yang disimulasi pada suhu tersebut bisa dianggap seperti kabel yang terkena
radiasi panas akibat kebakaran gedung bertingkat tinggi, selain itu juga diuji dalam suhu kerja
PVC seperti 800C, 1000C dalam 7 hari sebagai bahan pembanding dalam nilai kerusakan pada
kabel.

Kabel NYM
Kabel NYM merupakan salah satu dari sekian banyak kabel yang ada di Indonesia dan
biasanya kabel NYM dipasang didalam bangunan baik dirumah tinggal maupun di gedung
bertingkat, karena kabel NYM mempunyai sifat yang tahan panas, namun tidak tahan
terhadap radiasi sinar matahari. Kabel NYM pada umumnya tidak berserat dan seperti kabel-
kabel yang lain mempunyai standar penulisan yang baik
1. Huruf N mempunyai arti kabel jenis standar dengan tembaga sebagai penghantar
2. Huruf Y mempunyai arti kabel tersebut mempunyai selubung dari bahan PVC
3. Huruf M mempunyai arti kabel tersebut mempunyai isolasi dari bahan PVC
4. Huruf re mempunyai arti bentuk pengantar padat bulat
5. Huruf rm mempunyai arti bentuk penghantar bulat berkawat banyak
6. Huruf -I mempunyai arti kabel dengan sistem pengenal berwarna inti hijau kuning
7. Huruf -O mempunyai arti kabel dengan sistem pengenal berwarna inti tanpa hijau
kuning

Penghantar tembaga
Kabel di Indonesia mempunyai 2 jenis penghantar yaitu Alumunium (Al) dan tembaga
(Cu). Perbedaan 2 bahan penghantar terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbedaan Penghantar Tembaga dengan Penghantar Alumunium


Penghantar Tembaga Penghantar Alumunium
Simbol Kimia Cu Al
Massa atom 63,57 26,97
3 4
Density(kg/m ) 8,89 x 10 2,70 x 104
Titik didih (oC) 1083 652-657
Koefisien expansi linier
16,8 x 10-6 23,6 x 10-6
( 1/oCpd.20oC)
Konductifity termal
0,934 x 102 0,55 x 102
( cal/m. SecoC)
Kekuatan tarik ( N/m2) 24 x 107 16 x 107
Pemuluran (%) 38,5 6
Modulus elastisitas (N/m2) 11,9 x 1010 6,3 x 1010
Seminar Material Metalurgi 2010

Konduktivitas Listrik (%) 100 61


Konduktivity listrik ( -1m-1) 1,7241 x 10-8 2,8264 x 10-8

Menurut SPLN 41-1 : 1991 bahwa kawat tembaga yang digunakan untuk penghantar
harus permukaan halus, licin, mengkilap, tidak retak dan tidak teroksidasi, sehingga daya
hantar arus dan tegangan dapat mengalir dengan baik.
Penghantar tembaga murni mempunyai struktur yang sangat halus seperti pada
Gambar 3 a, namun bila kabel tersebut dicampur oleh Au maka akan berstruktur seperti pada
gambar 3.b, 3 c, 3d.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 335
 
Gambar 3. Gambar mikrostruktur campuran Cu-Cu2O. (a) Mikrostruktur Cu murni; (b) mikrostruktur Cu murni
dan eutektik; (c) mikrostruktur Cu yang eutetik; (d) Mikrostruktur Cu murni pada 33% Cu2O

Selubung dan isolasi pvc


Isolasi dan selubung terbuat dari bahan PVC ( Poly Vinil Chorida) pada umumnya
dikenal dalam bentuk kompon yaitu campuran PVC resin sebagai bahan dasarnya dengan
plasticizir (untuk memberikan kelunakan dan fleksibelitas), stabilizer (untuk memberikan
ketahanan terhadap suhu tinggi), filter (untuk memperbaiki sifat-sifat listrik).
Atom Chlor yang terkandung pada bahan PVC menyebabkan sifat dielektrik PVC
Sangay terkantung pada suhu sehingga bahan PVC mempunyai sifat memadamkan sendiri
nyala api bila terbakar.
Dilihat dari struktur kimianya, PVC hanya berbeda dengan PE dimana diantara 4 atom
hidrogen dalam PE diganti dengan atom Chlor,

Besar dan jumlah penampang


Yang dimaksud jumlah penampang adalah banyaknya penghanta tembaga pada kabel
NYM, ada yang berjumlah 2,3,4,5; dengan masing-masing fungsi yang berbeda. Makin
banyak penampang, makin efesiensi pemakaian kabel tersebut.

Gambar 4. Gambar penampang kawat kabel NYM 3 x 2.5

Yang dimaksud luas penampang adalah luas lingkaran, yaitu:


A= ¼  d2 (1)

Dengan : A = luas penampang ( m2)


d = diameter kawat penghantar (m)

Sehingga dengan adanya luas penampang tersebut dapat diketahui kuat arus
maksimum yang dapat digunakan atau dengan mengetahui kapasitas arus yang ingin dipakai
maka dapat ditentukan besar penampang kabel dalam saluran penghantar daya listrik, Besar
kapasitas arus dapat dihitung dengan mengetahui besar tegangan dan daya yang disalurkan
atau beban terpasang akan disuplai.
Seminar Material Metalurgi 2010

Besaran yang diperlukan untuk menentukan luas penampang & jumlah penampang
kabel, yaitu :
1. Dihitung besar jumlah beban listrik yang akan disuplai
2. Panjang saluran dari pusat panel ke panel cabang dalam meter
3. Besar tegangan serta sistem fase tegangan dari beban (tegangan antara 220V hingga 380V)
4. Susut tegangan yang diizinkan ( V = %)

Setelah besaran diketahui maka dapat dihitung daya dan kapasitas bahan dengan rumus :

336 |  ISSN : 2085 – 0492


P  2  V  I  cos  (2)
Dari besar beban tersebut dapat dihitung besar arus beban:
I  P / 2  V  cos  (3)
Dengan : P = kapasitas beban (watt)
I = kapasitas arus beban ( Ampere)
V = tegangan jaringan ( volt)
Cos = power faktor beban
 = sudut fasor antara daya nyata dan daya semu
Dengan mengetahui besar arus (I) maksimum yang akan digunakan, maka dapat ditentukan
jenis kabel yang akan dipergunakan bagi jaringan distribusi listrik.

Standarisasi kabel tegangan rendah


Standardisasi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah : penyesuaian bentuk
(ukuran, kualitas, dsb) dengan pedoman atau standar yang ditetapkan; sedangkan
standardisasi menurut ISO (International Organization for Standardization) ialah proses
penyusunan dan penerapan aturan-aturan dalam pendekatan secara teratur bagi kegiatan
tertentu untuk pemanfaatan dan kerjasama dari semua pihak yang berkepentingan, khususnya
untuk meningkatkan penghematan menyeluruh secara optimal.
Dari pengertian tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa standardisasi memberi
jaminan pada masa kini, dapat merupakan landasan bagi berhasilnya usaha pengembangan di
masa mendatang. Standardisasi juga meningkatkan penghematan menyeluruh secara optimum
bagi semua pihak yang bersangkutan, baik dalam segi aspek kondisi fungsional maupun dari
segi aspek jaminan keamanannya. Serta standadisasi memberikan manfaat kepada semua
pihak yang berkepentingan, karena standardisasi menyangkut kepentingan pihak yang
berkepentingan, yaitu: konsumen, produsen, pengatur (dalam ha ini pemerintah) an lembaga
penguji. Dengan adanya pengertian dan kesimpulan dari standardisasi, maka manfaatnya
adalah: keselamatan kehidupan dan harta, perdagangan yang adil, peningkatan kepusan
langganan, dan penyederhanaan pengiriman serta penanganan barang.
Guna menjamin keselamatan umum khususnya dalam pembangkitan, penyaluran,
distribusi dan penggunaan listrik, serta agar tenaga listrik dapat digunakan dengan aman,
efektif dan efisien, maka salah satu syarat yang penting adalah bahwa peralatan listrik yang
dipasang dan dipakai khususnya kabel tegangan rendah haruslah bermutu baik.
Tidak kalah pentingnya kegiatan standardisasi di tingkat perusahaan, seperti PT
(Persero) PLN dan PT Telkom, Tbk. PLN menyusun standar yang diberikan Standar Perum
Listrik Negara ( SPLN) sejak tahun 1975, sehingga sampai sekarang dihasilkan 201 SPLN, 50
diantaranya adalah SPLN tentang kabel.
Standar yang telah dirumuskan dikonsesuskan di Indonesia untuk kabel tegangan
rendah pada saat ini adalah :
1. Standar Nasional Indonesia (SNI)
2. Standar Perum Listrik Negara (SPLN)

BAHAN-BAHAN
Seminar Material Metalurgi 2010

Bahan-bahan yang dipergunakan adalah sebagai berikut.


1. Kabel NYM 2x 2,5 mm2 sepanjang  60 meter
2. Asam Nitrat
3. Air suling
4. Cairan Cu  25 ppm,  50 ppm,  100 ppm

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 337
PERALATAN
Peralatan-peralatan yang digunakan adalah:
1. Alat pembentuk halter
Berfungsi membentuk halter pada selubung yang digunakan pada pengujian kuat tarik
20 

12,5 

75 mm
Gambar 5. Gambar halter pada selubung kabel
2. Pemanas/ oven
Berfungsi untuk mensimulasi benda uji
3. Timbangan digital
Berfungsi untuk menimbang benda uji
4. Universal Testing Machine
Berfungsi untuk menguji kuat tarik
5. Mandrel
Berfungsi untuk tempat melilitkan benda uji pada uji daya tahan retak
6. Voltage test
Berfungsi untuk melihat daya tahan tegangan 2 kV
7. Spektrometer Serapan Atom ( AAS)
Berfungsi untuk melihat komposisi tembaga
8. Double Bridge
Berfungsi untuk menguji resistivitas kawat
9. Proyektor Pengukur
Berfungsi untuk mengukur tebal dan diameter selubung dan isolasi
10. Stereoscope Microscope MZ-2T
Berfungsi untuk melihat struktur tembaga
11. Mesin amplas
Berfungsi untuk memeperhalus permukaan kawat
12. Burner Bunker
Berfungsi untuk melihat karakteristik hambatan api
Contoh uji (kabel)

Pem bakar
gas

450 
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 6. Burner bunker


13. Dan alat- alat lainnya, seperti : Tang besar dan kecil, spidol permanen, pisau cutter,
stopwatch

PROSEDUR KERJA
Pengujian Dimensi
A. Pengujian dimensi kabel

338 |  ISSN : 2085 – 0492


1. Kabel yang diuji dipotong 10 cm sebanyak 3 sampel tiap suhu yang akan diuji
2. Mengukur diameter kabel luar ( selubungnya) sebanyak 3 titik per sampel
3. Mengukur diameter masing-masing isolasi baik isolasi biru maupun isoasi hitam setelah
lapisan pembungkus inti dan selubung dikupas
4. Mengukur diameter kawat penghantar setelah isolasi dikupas
5. Mengadakan perlakuan panas terhadap kabel sampel dengan variasi suhu dan waktu (
pada point 2.3.4)
6. Mengulangi pengukuran diameter kabel dengan selang waktu minimal 1 x 24 jam
setelah disimulasi seperti pada point 2,3,4 diatas.
7. Mengukur tebal selubung, isolasi baik pada kabel yang baru maupun pada kabel yang
telah disimulasi.

B. Pengujian perubahan erat isolasi dan selubung kabel NYM


1. Mengukur berat masing-masing selubung dengan dibentuk halter
2. Mengukur berat masing-masing isolasi setelah dipisahkan dengan kawat penghantarnya
dengan suhu dan waktu yang bervariasi
3. Melakukan perlakuan panas terhadap masing-masing isolaso dan selubung
4. Mengukur berat masing-masing selubung dan isolasi setelah disimulas (dipanaskan dan
didinginkan lebih dari 1 x 24 jam)
5. Membandingkan perubahan berat selubung dan isolasi sebelum dan sesudah disimulasi

Pengujian Mekanis
Pengujian kuat tarik pada selubung, isolasi dan kawat penghantar
1. Seluruh selubung, isolasi, dan penghantar yang telah disimulasi maupun yang belum
disimulasi diberi tanda agar dalam pengujian kuat tarik tidak tertukar.
2. Seluruh selubung, isolasi, dan penghantar tersebut dilakukan uji kuat tarik dan data
dicatat dalam blanko uji yang telah disiapkan.

Pengujian Thermis
A. Pengujian cracking/ daya tahan retak kabel utuh dan isolasi kabel NYM
1. Mengukur diameter kabel utuh dan masing-masing isolasi baik biru maupun hitam
2. Menyiapkan mandrel sesuai diameter kabel utuh dan isolasi (point 1 diatas)
3. Kabel utuh dan isolasi tersebut dibelitkan pada mandrel secara ketat, sesuai suhu dan
waktu yang diuji, dengan jumlah lilitan pada Tabel 2.
4. Suhu alat pemanas diatur hingga konstan, dimasukkan keping uji yang sudah dililitkan
ke dalam lemari pemanas
5. Keluarkan kabel utuh dan isolasi dalam keadaan terpasang dalam mandrelnya
6. Setelah 1 x 24 jam periksa kondisi permukaan keping uji dengan cara visual ( tanpa
alat bantu)

Tabel 2. Tabel diameter mandrel yang digunakan dan jumlah lilitan pada andrel setelah diketahui diameter luar
keping uji
Diameter luar Diameter mandrel Jumlah
Seminar Material Metalurgi 2010

keping uji (x10-3 m) (10-3 m) lilitan


s.d 2,5 5 6
2,5 < d < 4,5 9 6
4,5 < d < 6,5 13 6
6,5 < d < 9,5 19 4
9,5 < d < 12,5 40 2

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 339
B. Pengujian karakteristik hambatan api dari kabel NYM
1. Mengukur massa atau diameter luar kabel utuh yang akan diuji
2. Menentukan waktu pembakaran dengan memilih standar dari PLN atau IEC, dengan
rumus :
a. Menurut standar SPLN 39-1 : 1981
T  60  w / k
Dengan :
T = waktu pembakaran ( sekon)
w = massa kabel ( kg)
k = koefisien bahan ( 25x 10-3 kg/s)
sehingga semakin berat kabel, maka waktu pembakaran makin lama
b. Menurut IEC (International Electrotechnical Commision)502 menggunakan tabel 3.
3. Menghidupkan stopwatch bersamaan dengan dimulainya pengoperasian alat uji bakar,
yaitu pada sumbu burner bunker terlihat api berwarna biru
4. Mengukur panjang kabel yang tidak terbakar dari klem atas tepi bawah ke bagian yang
terbakar atau diamati apakah api segera padam setelah sumber api dipadamkan.

Tabel 3. Tabel waktu pembakaran yang diperlukan menurut IEC 502 dengan mengukur diameter kabel
sebelum disimulasi
Diameter luar kabel Lamanya pembakaran
( x 10-3 m) ( detik)
D x 25 60
25< D < 50 120
50 < D < 75 240
D > 75 480

Pengujian Elektris
A. Pengujian tegangan pada kabel utuh
1. Selubung dan lapisan pembungkus inti kabel pada kedua ujungnya dikupas sepanjang 
100 mm dan regangankan inti- intinya
2. Isolasi kabel dikupas sepanjang  20 mm pada salah satu ujung kabel
3. Tentukan salah satu inti kabel yang akan diuji tegangan, kemudian inti-inti kabel yang
lain dan penghantar digabungkan serta duihubungkan ke elektrode bumi
4. Penjepit sumber tegangan dipasang dari alat uji tegangan AC pada inti kabel yang telah
ditentukan
5. Operasikan alat uji tegangan dan sesuaikan dengan tegangan uji dari kabel utuh yang
sedang diuji
6. Ulangi point 3,4,5 terhadap inti yang sama.

B. Pengujian resistivitas kawat penghantar


1. Menyiapkan kawat penghantar dan luruskan dengan alat pelurus kawat
2. Menguji resistivitas kawat penghantar dengan menggunakan alat Double Brigde
3. Lakukan perlakuan panas dengan variasi suhu dan waktu
Seminar Material Metalurgi 2010

4. Setelah 1 x 24 jam dilakukan kembali pengujian resistivitas penghantar seperti pada


point 2

Pengujian Komposisi Penghantar dengan Spektrometer Serapan Atom


1. Penghantar tembaga (Cu) yanga akan diteliti dihaluskan alu dibasuh dengan
Kloroforum dan dipotong kecil-kecil
2. Potongan kecil- kecil tersebut ditimbang hingga 0,5 gr lalu dicampur dengan asam
nitrat 65% sebanyak 10 ml perlahan-ahan sampai asap biru yang terbentuk keluar atau

340 |  ISSN : 2085 – 0492


menguap (selama pencampuran dilakukan diruang asam agar tidak terhirup) sehingga
mencair dan berubah menjadi warna hijau
3. Siapkan tabung yang berisi cairan Cu yang sudah diencerkan sebanyak 10 ml dan 500
ml juga pipa tetes 1 ml
4. Tembaga yang berwarna hijau tadi dikeluarkan dari ruang asam, lalu teteskan Cu tadi
ke tabung 10 ml dan campur dengan air suling hingga 10 ml sambil dikocok-kocok
hingga rata.
5. Pindahkan 10 ml dari campuran yang pertama ketabung 500 ml, campur dengan air
suling lalu dikocok-kocok hingga rata
6. Ulangi point 4,5 hingga dirasakan konsentrasi pada Cu sudah standar, lalu bawa ke
Spektrometer Serapan Atomm ( AAS)
7. Pada AAS dilakukan penstandaran dengan standar Cu  25 ppm, 50 ppm, 100 ppm
lalu sedot lewat selang pada AAS
8. Setelah penstandaran baru dapat dihitung kadar pada Cu yang akan diteliti

Pengujian Metalurgi Logam


Benda uji yang akan diuji dipersiapkan melalui beberapa proses, yaitu :
1. Proses pemotongan benda uji
Yaitu : benda uji dipotong memakia resin ( cutter machine) lalu diikat dengan kawat
baja
2. Proses pembuatan pegangan ( mounting)
Yaitu : proses mounting ini dilakukan pada suhu 1700C selama 6-10 menit yang
berfungsi sebagai pegangan benda uji, pada saat pengamplasan sehingga tidak
mengenai jari.
3. Proses Pengamplasan
Yaitu : proses pengahlusan permukaan benda uji sebelum dipolish
4. Proses polishing
Yaitu : proses mempoles permukaan benda uji sehingga bagian tersebut mengkilap
5. Proses Etching
Yaitu : proses mengetsha permukaan benda uji dengan memakai asam nitrat dimana
proses etching adalah proses interaksi antara permukaan spesimen logam dengan cairan
kimia tertentu, sehingga tampak keadaan mikrostruktur spesimen logam pada
mikroskop.

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN


Pengujian Dimensi
Setiap kabel yang diproduksi di Indonesia harus memenuhi standar penulisan pada selubung
maupun penulisan pada akte produksi kabel sebuah perusahaan, maka dilakukanlah pengujian
dimensi atau kata lain pengujian dimensi berfungsi untuk mengetahui luas penampang kabel
tersebut seperti pada rumus II.1.
Seminar Material Metalurgi 2010

Contoh :
Dari lampiran I tentang pengujian dimensi bagian A yaitu pengujian dimensi pada suhu 200C
diketahui diameter kawat penghantar inti biru (dalam satuan mm), sehingga dapat dihitung
luas penampang, dengan terlebih dahulu menghitung diameter rata-rata, yaitu :
Sehingga luas penampangnya (A) adalah :
A = ¼  ( 1,578 x 10-3)2 = 1,955 x 10-6 m2
Dari lampiran 1 tersebut dapatlah dihitung tebal rata-rata isolasi, selubung dan diameter rata-
rata isolasi, selubung, dan kawat penghantar, seperti pada Gambar 7 dan 8.
(1,577  1,576  1,577  1,589  1,575  1,578  1,577  1,580) x10 3
d  1,578 x 10 - 3 m
9

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 341
1.6

1.4 1.382
1.306 1.271 1.271
1.2
1.135
1
Isolasi biru
0.8 0.7 Isolasi hitam
0. 0.7 35
0.668 699 0.6
58
11 0.6 Selubung
0.6 31

0.4

0.2

0
20 0C 100 0C 120 0C 140 0C 160 0C

x 10-3 m

Tebal isolasi dan selubung yang disimulasi pada suhu simulasi


Gambar 7. Grafik tebal isolasi dan selubung yang telah disimulasi

20
7

2
2

57

3
58

18
58
0

58
58

1.

1.
1.

1.
1.

16 1.584 1.579 1.578 1.579


1.578
14
8. 8. 8.
8. 43 53 48
54 Kawat inti hitam
12 8.
73
Kawat inti biru
10
Selubung
8 Isolasi hitam
9

8
2 .8

9
2 .9

2 .8

2 .8
9

Isolasi biru
2 .2

2
2.

2.
2.

2.

2.
84

87
58

83

79

0
20 0C 100 0C 120 0C 140 0C 160 0C
x 10-3 m

Diameter isolasi,selubung & kawat penghantar yang telah disimulasi

Gambar 8. Grafik diameter isolasi, selubung dan kawat penghantar yang telah disimulasi
Pengujian dimensi ini dapat berfungsi juga sebagai bahan pembanding bila kabel
tersebut mengalami perlakuan panas dari beberapa suhu dan waktu, dan menurut standar IEC
502 diterangkan bila perlakuan panas masih dalam gambar 1. dan gambar 2., maka tebal dan
Seminar Material Metalurgi 2010

diameter bagian-bagian kabel tidak berubah drastis atau perubahannya sangat kecil.
Selain itu pengujian dimensi berfungsi untuk mengetahui perubahan massa yaitu
penyusutan massa akibat perlakuan panas yang diberikan tentang pengujian penyusutan massa
dimana setelah massa isolasi dan selubung ditimbang baik sebelum dan sesudah pemanasan
dapat terlihat adanya selisih massa (∆b), sehingga terlihat rata-rata penyusutan. Rata-rata
selisih massa (∆b) dibagi dengan luas penampang (A), maka dapat terlihat penyusutan massa
yang terjadi. Pengujian penyusutan massa dihitung dari massa isolasi dan selubung kabel
NYM rata-rata yang akan disimulasi dikurangi dengan massa isolasi dan selubung kabel
NYM rata-rata setelah disimulasi dibagi dengan luas penampang rata-rata sampel.

342 |  ISSN : 2085 – 0492


Contoh :
Dari data tentang pengujian penyusutan massa yaitu pengujian pada isolasi dapat dihitung
massa rata-rata isolasi biru yang akan disimulasi adalah 1032,02 x 10-3 g dan massa rata-rata
isolasi biru setelah disimulasi adalah 905,67 x 10-3 sehingga selisih rata-rata isolasi biru
adalah :
Selisih massa (b) 126.35 x 10 3 g .................... 1

Luas penampang rata  rata 27.68 x 10  4 m 2
Dari data-data pengujian penyusutan massa dapat dibuat gambar seperti pada gambar 9.
1600.00

2
.9
19
12

14
1400.00

93
.4
1356.80

3
.3
1200.00

20
12
11

0
41 1094.90
.2
93 .1
0
10

1000.00
10
32

35
.0

7.
2

89
800.00
83
4.
73

600.00

74
7.
69

33
7.
03
400.00

200.00

0.00
100 0C 120 0C 140 0C 160 0C
x 10-3 g
Massa isolasi & selubung akan disimulasi

Isolasi biru Isolasi hitam Selubung

Gambar 9. Grafik massa isolasi dan selubung sebelum disimulasi

Dari gambar 10 dapat dihitung selisih massa masing-masing bahan, yaitu massa sebelum
disimulasi dengan massa yang telah disimulasikan seperti pada gambar 11.
1600.00
2
.9
19
12

14

1400.00
93
.4

1356.80
0

3
.3

1200.00
20
12

11
0

41 1094.90
.2
93

.1
0
10

1000.00
10
32

35
.0

7.
2

89

800.00
83
4.

600.00
73

74
7.
69

33
7.
03

400.00

200.00

0.00
100 0C 120 0C 140 0C 160 0C
Seminar Material Metalurgi 2010

x 10-3 g
Massa isolasi & selubung akan disimulasi

Isolasi biru Isolasi hitam Selubung

Gambar 10. Grafik massa isolasi dan selubung setelah disimulasi

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 343
200.00

180.60
180.00

160.00

14
6.
10
140.00

126.35

121.40

10
120.00

8.

12
80
Isolasi biru

4.
11

60
3.
113.13
100.00 Isolasi hitam

10

102.20
Selubung

92.10
80.00

60.00

24.43
40.00

41.25
20.00

0.00
100 0C 120 0C 140 0C 160 0C

x 10-3 g

Selisih massa

Gambar 11. Grafik selisih massa (∆b) isolasi dan selubung kabel

Dengan melihat gambar 11, maka bisa dihitung penyusutan massa (b) membagi selisis massa
masing-masing sampel dengan luas penampang rata-rata (A) seperti pada gambar 12.
30.00
14.47

25.00
11.73

5.43

20.00
Selubung
3.19

15.00 63 Isolasi hitam


93 4.
4. 02 Isolasi biru
10.00 4. 97
3.
6.70

5.00
4.56

4.36

3.58

0.00
x 10 g/m2 x 10 g/m2 x 10 g/m2 x 10 g/m2

100 0C 120 0C 140 0C 160 0C

Penyusutan massa( b) isolasi & selubung kabel (x 10-3 g/m2)

Gambar 12. Grafik penyusutan massa (b) isolasi dan selubung kabel

Pengujian Mekanis
Pengujian mekanis disini adalah pengujian kuat tarik dan pemuluran dari isolasi,
selubung, dan kawat penghantar dari masing-masing suhu. Pengujian kuat tarik dihasilkan
dari rata-rata gaya saat putus ( F) dibagi dengan rata-rata luas penampang (A) atau :
Gaya saat putus rata  rata F
   .......................................... 2
luas penampang rata  rata A
Seminar Material Metalurgi 2010

Contoh : Pada pengujian kuat tarik dan pemuluran yaitu pengujian kuat tarik isolasi biru pada
suhu 200C dapat dihitung kuat tarik saat putus adalah:
33.3 x 10 6
   6.634 N / m 2
5.02 x 10 6
Sehingga dari data-data diatas dapat diketahui kuat tarik dari isolasi, selubung dan kawat
penghantar dengan menggunakan rumus 2, yaitu rumus kuat tarik.

Sedangkan pemuluran () adalah % selisih panjang mula-mula isolasi, selubung


maupun kawat penghantar dengan panjang saat putus dimana panjang mula-mula untuk

344 |  ISSN : 2085 – 0492


isolasi dan selubung adalah 20 x 10-3 m dan panjang mula-mula untuk kawat penghantar
adalah 250 x 10-3 m, atau dengan rumus :
L l l
%  t 0 x100%  x100% ……………………………. 3.
l0 l0
dengan :
Lt = panjang saat putus rata-rata ( m) Lo = panjang mula-mula ( m)
L=selisih panjang saat putus rata-rata dengan panjang awal ( m)

Contoh
Rata-rata panjang putus isolasi biru pada 200C adalah :
59.4  59.5  42.3  51.2  56.4  50.8 x 10 3  53.27 x 10 1 m
6
Dan % pemuluran() untuk isolasi biru tersebut adalah :
53.27  20x10 3 x100%  166.33%
20 x 10 3
Dapat dibandingkan kuat tarik bahan dalam bentuk kurva kuat tarik () vs suhu ( T) seperti
pada Gambar 13
2 5 5 .5 9 0

2 5 4 .3 9
260
N /m 2)

255
8

250
8 .4
6

2 3 8 .9 5
2 .3

24
-6

25

245 Kawat inti biru


K u a t ta r i k (x 1 0

1
9 .9
9

23
6 .8

240 Kawat inti hitam


23

5
7 .3

235
2 3 5 .9 1

2 3 6 .8 7

23

230
225
1 2 3 4 5
0
suhu ( C)
. Gambar 13. Grafik kuat tarik- vs- suhu pada kawat penghantar

Dari hasil pemuluran panjang kawat penghantar dapat dibuat kurva pemuluran ( ) vs suhu
(T) dapat dilihat perbedaan hasil masing-masing bahan seperti pada gambar 14.
30
27.47 28.47
25
22.73 23.47 22.4
Pemuluran (%)

22.33
20 20.4
18.67 17.87
16.2 Kawat inti biru
15
Kawat inti hitam
10

0
1 2 3 4 5
Seminar Material Metalurgi 2010

suhu ( 0C)
Gambar 14. Kurva pemuluran vs suhu pada kawat penghantar Cu
Dari hasil kuat tarik isolasi dan selubung saat putus maka dapat terlihat perbedaan kuat tarik
saat putus masing-masing bahan seperti pada gambar 15.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 345
14 12.67

11.11
Kuat tarik(x10 -6 N/m 2)
12

10.28
10.58

10.15
8.76

9.54
10

9.85
Isolasi biru

7.65
8.48
8 6.64 7.4
Isolasi hitam

6.34

7.04
7.07
6
Selubung
4
2
0
20 0C 100 0C 120 0C 140 0C 160 0C
0
Suhu ( C)
Gambar 15. Kurva kuat tarik- vs- suhu dari isolasi dan selubung

Pada pemuluran panjang akibat kuat tarik dapat dibuat suatu kurva pemuluran () vs suhu
seperti pada gambar 16.
200
18

16

17

15
16

5.

4.

3.

2.
4.

8817 146.50

67

67

08
92 16 136.08

6.

150
17

16
Pemuluran (%)

29
6.

6.

2.

15
33

00

00
Isolasi biru
130.17

8.
15
118.08
100 Isolasi hitam
Selubung

84.65
50

0
20 100 120 140 160
0
suhu ( C)
Gambar 16. Kurva pemuluran- vs- suhu dari isolasi dan selubung
Pengujian Thermis
1. Pengujian daya tahan retak isolasi dan kabel nym
Pengujian daya tahan retak berfungsi untuk mengetahui kemampuan kabel tersebut
menahan beban dan daya tahan retak isolasi maupun selubung PVC pada suhu tinggi. Hasil
pengujian daya tahan retak dilakukan setelah kabel dililitkan pada mandrel dapat dilihat
dengan mata telanjang. Kabel tersebut tahan retak bila dikenai komponen-komponen listrik,
seperti pada tabel IV.10 baik pada isolasi maupun selubung.
Dari tabel IV.10, dapat dilhat isolasi dn selubung terlihat retak mulai suhu 1400C
hingga suhu 1600C. Hal ini membuktikan bahwa isolasi dan selubung tidak tahan terhadap
suhu 1400C, 1500C, dan 1600C.
2. Pengujian gejala suhu tinggi dan karakteristik hambatan api
Pengujian gejala suhu tinggi dan karakteistik hambatan api berfungsi untuk melihat
kualitas bahan PVC tersebut sehingga jika terjadi kebakaran, api pada kabel tersebut langsung
padam atau tidak. Makin cepat api tersebut padam, maka panjang kabel terbakar dari sumber
api akan semakin pendek dimana salah satu syarat kabel tersebut masih layak dipakai kembali
atau tidak.
Menurut IEC 332-1 : 1993 waktu padamnya api tidak boleh melebihi waktu 45 detik
sehingga kabe tersebut dpat dikatakan masih bagus jika pada suhu dan waktu yang telah
ditetapkan..
Seminar Material Metalurgi 2010

Pengujian Elektrik
1. Pengujian tegangan kabel utuh
Pengujian tegangan kabel utuh mempunyai fungsi untuk melihat kemampuan kabel
tersebut tahan terhadap tegangan 2 kV AC selama 5 menit sesuai SPLN 39-1: 1981. Kabel
utuh ( 5 menit) yang telah disimulasikan tersebut direndam didalam bak air selama  1 jam,
namun kedua ujung kabel dijepit dengan penjepit yang dihubungkan ke voltmeter.
Perendaman didalam air tersebut berfungsi untuk melihat daya tahan kabel NYM bila diberi
tegangan 2 kV AC selama 5 menit.

346 |  ISSN : 2085 – 0492


Suatu kabel dikatakan tahan terhadap tegangan 2 kV bila pada selama 5 menit tidak
terjadi korsleting pada kedua ujung kabel atau tidak terjadi percikan api di kedua ujung kabel.
Hasil yang didapat dari pengujian inti kabel dengan gabungan inti dan air yang akan diuji
dengan panjang 5 meter. Bahan direndam di dalam air pada suhu 280C, dengan perendaman 1
jam.
Dari hasil pengujian, terlihat bahwa kabel utuh dapat tahan atau pada kedua
penghantar tidak terjadi arus singkat terhadap tegangan 2 kV AC selama 5 menit, jika kabel
tersebut telah disimulasi dalam suhu 200C,1000C, 1200C, dan 1400C, kecuali pada suhu 1600C
karena pada suhu 1600C terjadi bright down pada kedua ujung kabel.

2. Pengujian resitivitas dan konduktivitas kawat


Pengujian resistivitas dan konduktivitas kawat berfungsi untuk melihat resistivitas
dan konduktivitas dari kawat penghantar apabila kabel tersebut disimulasi. Resistivitas kawat
tembaga pada 200C (ρ20) mempunyai nilai maksimum 0.017  m, karena jika resistivitasnya
lebih besar dari 0.017 m, maka resistan kawat penghantar Cu tersebut makin besar seperti
pada persamaan.4.
A x Rt x f k
 20  ....................................................4.
l
Dengan :
20 = Resistivitas pada 200C
A = Luas penampang ( x 10-6 m2)
Rt = Resistan pada suhu kamar ( )
fk = Faktor koreksi
l = Panjang kawat penghantar (m)

Faktor koreksi berfungsi untuk mengkoreksi suhu kamar yang sesuai dengan standar,
yaitu 200C, namun jika suhu tidak 200C maka diperlukan faktor koreksi.
Selanjutnya pengujian resistivitas kawat dapat dibuat tabel pada resistivitas kawat
penghantar tidak berubah sama sekali, hal ini disebabkan pemanggangan kabel tersebut
terhadap kawat penghantar tidak mempengaruhi struktur pada kawat penghantar dan juga
suhu pemanggangan pada kawat penghantar jauh dari titik didih kawat Cu dimana titik didih
Cu adalah 1.0830C.

Pengujian Metalurgi
Kawat penghatar
Dari data- data penelitian baik pada lampiran maupun pada analisis data tentang kawat
penghantar, dapat terlihat bahwa kawat penghantar mengalami perubahan struktur. Terlihat
bahwa perbedaan diameter kawat penghantar tembaga (Cu) mengalami perubahan 0.15%,
baik pada kawat penghantar Cu yang berinti biru maupun berinti hitam.
Pada pengujian mekanis, kawat penghantar seperti luas penampang kawat penghantar
Cu, baik kuat tarik saat putus kawat penghantar Cu maupun pemuluran panjang akibat kuat
tarik, yaitu 243% dan pemuluran 24%. Adanya selisih perbedaan struktur pada pengujian-
Seminar Material Metalurgi 2010

pengujian kawat penghantar karena semakin besar suhu simulasi pada pengujian dimensi dan
pengujian mekanis. Karena semkin besar suhu simulasi, maka struktur Cu, yaitu struktur
FCC-nya mengalami perenggangan atom-atom Cu.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 347
Gambar 17. Gambar struktur kawat penghantar Cu pada 200C
Gambar 1. terlihat struktur Cu pada suhu 200C yang dilihat menggunakan Stereoscope
Microscope MZ-2T dengan perbesaran 100x, dimana pada gambar tersebut hidrogen masih
sedikit, namun setelah disimulasi pada 1000C,1200C, dan 1600C terlihat adanya rongga-
rongga akibat banyaknya oksigen yang keluar pada struktur Cu.

Gambar 18. Gambar struktur kawat penghantar Cu setelah disimulasi pada suhu 1000C
Semakin besar suhu disimulasi, maka rongga- rongga pada struktur Cu makin besar
pula, namun karena ikatan FCC tersebut telah mengalami pendinginan 1 x 24 jam sehingga
kemampuan kuat tarik semakin besar dan pemulurannya semakin besar.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 19. Gambar struktur kawat penghantar Cu setelah disimulasi pada suhu 1200C.

348 |  ISSN : 2085 – 0492


c
Gambar 20. Gambar struktur kawat penghantar Cu setelah disimulasi pada suhu 1600C.
Pada Gambar 17 hingga 20 tidak terlihat perbedaan yang menyolok karena suhu
simulasinya dibawah titik lebur tembaga yang mengakibatkan kuat tarik, pemuluran, dimensi
kawat tembaga naik tidak terlalu drastis bahkan hampir mendekati sama,sehingga resistivitas
kawat penghantar tidak berubah sama sekali.

Isolasi Dan Selubung PVC


Dari data-data penelitian baik pada lampiran maupun pada analisis data tentang
seubung dan isolasi dapat terlihat bahwa selubung dan isolasi mengalami perubahan data
antara  6% hingga 10%
Dari tabel tentang tabel dan diameter isolasi dan selubung terlihat perbedaan data,
yaitu 6%. Rata-rata selisih massa (b) dibagi dengan luas penampang (A), maka dapat terlihat
penyusutan berat yang terjadi. Penyusutasn berat pada PVC terjadi karena adanya perubahan
struktur tersebut.
Makin besar suhu simulasi, maka struktur pada PVC akan semakin renggang karena
makin banyak hidrogen didalam ikatan tersebut. Dengan banyaknya hidrogen pada ikatan
PVC tersebut, maka kemampuan menahan mekanis dari luar pada kabel semakin kecil
sehingga pemuluran panjang pada bahan tersebut makin besar.

KESIMPULAN
1. Dari hasil penelitian kuat tarik rata-rata isolasi dan selubung adalah 8,9 x 106 N/m2,
sedangkan menurut standar yang berlaku kuat tarik isolasi maupun selubung haruslah
lebih besar dari 12 x 106 N/m2, sehingga kabel pengujian tidak layak dipakai dilihat dari
pengujian mekanis, namun karena kabel tersebut masih tahan terhadap keretakkan,
tegangan 2 kV, karakteristik hambatan apinya masih bagus, maka kabel tersebut masih
bisa digunakan tetapi kualitas kabel tersebut tidak sama kabel NYM sejenis yang baru.
Karena kabel NYM mempunyai sifat kuat tariknya lebih kecil dari 12,5 x 106 N/m2 dan
luas penampangnya tidak mencapai 2,5 x 10-6 m2 serta perubahan massanya tidak lebih
besar dari 50%, sehingga sebaiknya kabel tersebut tidak dibentangkan, tetapi diletakkan
didalam pipa atau di dinding.
2. Dari gambar IV.1. hingga IV.4., terlihat bahwa struktur kawat penghantar tidak terlalu jauh
berbeda, hal ini dikarenakan kawat tersebut terpanggang jauh dibawah titik lebur,
Seminar Material Metalurgi 2010

sehingga kekuatan tarik dan pemuluran kawat penghantar relative sama yang
mengakibatkan resistivitas kawat tersebut relatif tetap yaitu 1,759 m

SARAN
1. Sebaiknya pengujian dilakukan di ruang terbuka sehingga kabel yang terpanggang dapat
diuji bila terkontaminasi.
2. Sebaiknya pengujian metalurgi logam juga menggunakan XRD.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 349
DAFTAR PUSTAKA
1. ASTM B2-70 : Standard specification for Medium- Hard- Draw Copper wire
2. ASTM B2-74 : Standard specification for Soft or Annealed Copper wire
3. ASTM B4-79 : Standard specification for Tough- Pitch Copper Reninery shapes
4. Beaty Wayne H, Fink G. Donald, Standard Handbook for Electrical Engineers, edisi 5, bab 4,
1993
5. Bhan Suraj, DR, Practical Physical Metalurgy, Kanna Pubisher, Delhi, 1973
6. Biro Bina penyusunan Program DKI Jakarta, PT. Darma Permai Kurnia, Final Report Study;
Evaluasi Kebakaran bangunan akibat listrik di DKI Jakarta, 1995-1996
7. Boyer H.E., Metal handbook, vol 11: non destructive and Quality control, edisi 8, Ohio, America
Society Metal, 1976
8. Brandup J., E.H. Immergut, Polimer Handbook, edisi 3, Penerbit John Willey & Sons, 1989
9. Budiman Masgunarto. Ir.Msc, Penjelasan tentang standar Kabel Listrik tegangan rendah kabel
fleksibel, Jakarta 1992
10. D. Mc. Allister, Electric Cables Handbook, edisi 2, Penerbit Granada, 1983
11. Doan G.E., The principles of Physical Metalurgy, edisi 3, international stident edition, Mc.Graw-
Hill Book Company.inc, 1953
12. Fire department, Fire investigation by fire service organization in Japan, Nagoya City, 1990
13. Fire department, Procedure for investigating Fire related to electricity, Nagoya City, 1990
14. Fire department, Aspect of Polymeris Materials, volume 1; Materials state of the art, 1977
15. Fire department, Aspect of Polymeris Materials, volume 7; Materials state of the art, Building,
1979
16. Harper A. Charles; handbook of wiring- cabling- and interconnecting for electric, Mc. Graw- Hill
Book Company, 1972
17. IEC 189-2 : Low frequency cables and wires with PVC insulation & PVC sheath
18. IEC 502 : Extruded solid dielectric insulated Power Cables for Rated Voltage from 1 kV up to
30 kV, edisi 3, 1982
19. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum No.10/KPTS/2000, tanggal 1 Maret 2000 tentang
Ketentuan Teknis Pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan
lingkungan, 2000
20. PT. Sibalec, LAPP, Cable- cables and accessories, 1993
21. R.W.K. Honeycombe, The Plastic Deformation of Metals, University of Cambrige,1973
22. SNI 04-3893-1995 : Metode Pengujian Kabel Listrik
23. SPLN 10-1 : 1978 : Ketentuan tentang jenis dan ukuran isolastor yang dipilih
24. SPLN 39-1: 1981 : pengujian kabel listrik
25. SPLN 41-1 : 1991 : Persyaratan Penghantar Cu dan AL untuk kabel listrik yang berisolasi
26. SPLN 42-2 : 1992 : Kabel berisolasi dan berselubung PVC tegangan pengenal 300/500 volt (
NYM)
27. Suprapto, Ir. Msc; Sistim Proteksi Kebakaran pada bangunan gedung, Lembaga Pengabdian pada
Masyarakat, ITB bekerjasama dengan PT. Jaya Teknik Indonesia, Jakarta, 1992
28. Supreme Cable Manufacturing Corp, PT. Sucaco, Power cable voltage, 1993
Seminar Material Metalurgi 2010

350 |  ISSN : 2085 – 0492


PENINGKATAN KEKUATAN DAN KEKERASAN PERMUKAAN
LOGAM DENGAN METODA ELEKTROPLATING

Pius Sebleku
Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang 15314
 
Abstrak
Telah dilakukan penelitian mengenai peningkatan kekuatan dan kekerasan permukaan logam dengan
metoda elektroplating. Penelitian ini dilakukan untuk melihat sejauh mana peningkatan sifat material logam
dasar setelah dilapisi dengan logam lain menggunakan metoda elektroplating. Adapun sebagai bahan pelapis
digunakan nikel, krom dan nikel + khrom.
Kondisi pelapisan yang dianggap baik adalah elektroplating dengan arus listrik sebesar 3 A, waktu 20
menit serta konsentrasi larutan 150 g/L untuk pelapisan nikel. Sedangkan kondisi untuk pelapisan krom adalah
elektroplating dengan arus listrik 15 A, waktu 20 menit serta konsentrasi larutan 250 g/L.
Pelapisan logam dasar dapat meningkatkan kekerasan permukaan logam. Peningkatan kekerasan
logam dasar mencapai 8,64% untuk pelapis nikel, 10,05% untuk pelapis krom, dan 12,18 % untuk logam pelapis
nikel+krom.
Pelapisan logam dasar juga dapat meningkatkan kekuatan tarik (tensile strength) logam dasar secara
keseluruhan. Tensile strength logam dasar sebesar 650,5 N/mm2 meningkat menjadi 668,8; 678,9; 682,6 N/mm2
berturut-turut setelah dilapisi nikel, krom, dan nikel + krom.

Kata kunci : Baja Karbon ASTM A-36, Austenisasi, Quenching, Sifat mekanik, struktur mikro.

PENDAHULUAN
Elektroplating (lapis listrik) adalah salah satu proses pelapisan logam menggunakan
logam lain seperti tembaga (Cu), emas (Au), nikel (Ni), krom (Cr) dan zink (Zn). Tujuan dari
proses elektroplating adalah untuk melapisi permukaan logam lain sebagai produk jadi seperti
bahan konstruksi, mur, baut, velk otomotip, sparepart, asesoris, dll, untuk menambah
kekuatan dan kekerasan terutama bagian luar (permukaan logam). Di samping itu ada nilai
tambah sebagai keindahan (perbaikan penampilan) menghaluskan dan mengkilapkan
permukaan logam serta dapat juga melindungi dari korosi, sehingga teknologi elektroplating
ini dapat dikatakan memiliki keunggulan multi fungsi.
Tiap jenis logam juga mempunyai kondisi proses tersendiri untuk dapat dilapiskan
dengan logam lain,karena dengan berbeda jenis logam juga akan memiliki sifat dan
karakteristik yang berbeda. Pada proses elektroplating sumber listrik yang digunakan adalah
arus searah, sehingga perbedaan kondisinya secara prinsip terletak pada bahan kimia elektrolit
yang digunakan, kondisi operasi pada proses electroplating dan tahapan atau langkah proses
termasuk penyiapan (preparasi) dari bahan atau benda yang akan dilapisi.
Pada penelitian ini akan dilakukan proses elektroplating menggunakan bahan plat baja
karbon rendah ASTM A-36 pelapis nikel dan chrom terhadap bahan berbasis besi.

METODOLOGI
Seminar Material Metalurgi 2010

Bahan dan Alat


Adapun bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
Bahan : Plat baja tipis, Nikel sulfat (NiSO4.6H2O, Nikel klorida (NiCl2.6H2O), asam borat,
kromat (CrO3), asam sulfat (H2SO4), brightener.
Alat :
 Mesin potong
 Bak proses, persyaratan yang diperlukan untuk bak proses adalah :
- tahan terhadap bahan kimia yang digunakan
- tahan pada kondisi operasi tertentu (misalnya temperatur)
- dapat menampung larutan dengan baik.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 351
 Sumber arus searah dapat dipilih dari alat-alat berikut ini :
- Akumulator
- Penyearah arus (rectifier)
- Generator DC
 Rak
 Pemanas/pendingin
 Pengadukan, beberapa larutan elektrolit memerlukan pengadukan untuk :
- Homogenisasi komposisi
- Homogenisasi suhu
- Membebaskan benda kerja dari penempelan gas
- Mengurangi polarisasi
Beberapa alat pengaduk (agitator) yang dikenal dalam proses elektroplating antara lain :
- Pengadukan dengan impeller
- Pengadukan dengan udara
- Gerakan benda kerja.
 Penyaring larutan
 Pengeringan, yang biasa digunakan dalam proses elektroplating adalah :
- Pengeringan dengan matahari/atmosfer.
- Pengering sentrifugal (centrifugal dryer), dipakai untuk mengeringkan benda- benda
kerja kecil.
- Oven (lemari pengering), digunakan untuk mengeringkan benda kerja agak besar.
 Alat Poles
 Sistim pembuangan udara (exhaust system).

Diagram alir proses percobaan ditampilkan pada Gambar 1 dan Gambar 2.


Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 1. Diagram alir proses nikel

352 |  ISSN : 2085 – 0492


Gambar 2. Diagram alir proses krom
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Kimia
Komposisi kimia dilakukan pada logam dasar yang akan dilakukan lapis nikel dan
khrom.
Tabel 1. Komposisi kimia pada material logam dasar.
UNSUR PERSENTASE (%)
C 0.075
Si 0,02
Mn 0,28
P 0,014
S 0,013
Cu 0,009
 
Dari hasil analisa komposisi kimia pada Tabel 1, menunjukan bahwa material dasar
yang digunakan untuk dilapisi dengan nikel dan khrom dengan metoda lapis listrik adalah
adalah baja karbon rendah dimana kandungan karbon ≤ 0,30 % C atau lebih tepatnya sebesar
0,075 % C, disamping itu juga mengandung unsur lain seperti Si, Mn, Cu, P dan S.

Pengujian Kekuatan Tarik


Data hasil pengujian tarik ditampilkan pada Tabel 2 dibawah ini, sedangkan benda
Seminar Material Metalurgi 2010

yang telah dilakukan pengujian tarik ditampilkan pada Gambar 3.


                    
Tabel 2. Hasil pengujian uji tarik sebelum dan sesudah dilakukan proses electroplating menggunakan logam
nikel dan logam khrom.
So Lo Fm Rm ∆L
Sampel
mm2 mm N/mm2 kN mm
Bahan yg akan dilapisi 2,844 10 1,85 650,5 0,7 7
Setelah lapis nikel 2,886 10 1,93 668,8 0,75 7,5
Setelah lapis khrom 2,887 10 1,96 678,9 0,76 7,6
Setelah lapis Nikel + lapis Khrom 2,930 10 2,00 682,6 0,72 7,2

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 353
Gambar 3. Uji kekuatan tarik pada logam dasar, setelah pelapisan nikel, pelapisan krom dan pelapisan nikel +
krom.

Pengujian Kekerasan
Pengujian kekerasan adalah untuk mengetahui kekerasan dari suatu material,
pengujian kekerasan dari material awal, setelah lapis nikel, lapis khrom maupun lapis nikel +
khrom digunakan metoda Vickers.
Kekerasan suatu material logam merupakan salah satu ukuran untuk menyatakan
ketahanannya terhadap deformasi plastis ataupun deformasi permanen. Kekerasan material
dapat juga diartikan ketahannya terhadap lekukan ataupun terhadap perlakuan panas. George
E.Dieter, 1978, mengelompokan tiga jenis ukuran kekerasan tergantung pada cara
pengujiannya, pengujian tersebut meliputi :
1. Scratch hardness atau kekerasan goresan,
2. Indentation hardness atau kekerasan lekukan,
3. Rebound hardness or dynamic hardness, atau kekerasan pantulan atau dinamik.
Pengujian kekerasan dari material awal, setelah lapis nikel, lapis khrom maupun lapis
nikel + khrom digunakan metoda vikers, pengujian dilakukan lima kali penjejakan dimana
masing-masing benda uji digunakan beban 500 grf dengan waktu pembebanan 15 detik. Hasil
dari pengujian hardness cvickers ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil pengujian kekerasan sebelum dan sesudah dilakukan proses electroplating menggunakan
nikel dan khrom.
 
INDENTASI MIKRO HARDNESS, HV
Bahan yg akan Setelah lapis Setelah lapis Setelah lapis Nikel
No dilapisi nikel khrom + lapis Khrom
1 194,4 214,5 215,0 226,6
2 199,0 211,5 214,0 223,6
3 201,6 217,0 218,0 222,4
4 200,0 219,0 224,4 220,0
5 200,0 219,0 223,6 223,6
Rata-rata 199,0 216,2 219,0 223,24
Seminar Material Metalurgi 2010

 
Pengujian Waktu Dan Konsentrasi Larutan Terhadap Laju Pengendapan
Pengujian laju pengendapan terhadap waktu dan konsentrasi larutan dilakukan untuk
melihat sejauh mana banyaknya logam pelapis yang menempel pada logam yang akan
dilapisi, sehingga dengan demikian dapat diambil pelapisan yang baik untuk aplikasi
pelapisan selanjutnya. Adapun hasil dari percobaan laju pengendapan terhadap waktu dan
konsentrasi larutan dapat di lihat pada Tabel 4. Sedangkan pada Gambar 14 adalah logam
dasar, logan setelah lapis nikel, logam setelah lapis khrom dan logam setelah lapis nikel +
lapis khrom.

354 |  ISSN : 2085 – 0492


Logam Lapis Lapis Lapis nikel +
dasar nikel khrom lapis khrom

Gambar 4. Hasil pelapisan nikel, pelapisan khrom dan pelapisan nikel + khrom yang dianggap baik.
Tabel 4. Pengaruh waktu dan konsentrasi larutan Nikel terhadap laju pengendapan.
Konsentrasi Waktu Pelapisan Berat Lapisan Tampak Lapisan
No
Nikel (gr/lt) (menit) (mg/cm2) (Visual)
5 2,78 Baik
10 6,55 Baik
1 60
15 8,23 Baik
20 11,10 Baik
5 4,20 Baik
10 7,42 Baik
2 80
15 10,11 Baik
20 13,05 Baik
5 4,95 Baik
10 10,12 Baik
3 100
15 14,40 Baik
20 19,60 Baik
5 6,45 Baik
10 13,21 Baik
4 150
15 19,02 Baik
20 25,02 baik
Catatan : Rapat arus tetap 3 Amper
Tabel 5. Pengaruh waktu dan konsentrasi larutan Ckrom terhadap laju pengendapan.
Konsentrasi Waktu Pelapisan Berat Lapisan Tampak Lapisan
No
krom (gr/lt) (menit) (mg/cm2) (Visual)
5 1,11 Baik
10 5,14 Baik
1 80
15 7,14 Baik
20 9,00 Baik
5 1,20 Baik
10 4,42 Baik
2 100
15 7,11 Baik
Seminar Material Metalurgi 2010

20 10,32 Baik
5 1,65 Baik
10 5,12 Baik
3 150
15 9,89 Baik
20 14,71 Baik
5 2,16 Baik
10 10,13 Baik
4 250
15 15,12 Baik
20 20,14 baik
Catatan : Rapat arus tetap 15 Amper

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 355
Pengaruh Waktu Dan Konsentrasi Larutan Terhadap Laju Pengendapan
Dari hasil percobaan pengaruh waktu dan konsentrasi larutan terhadap laju
pengendapan logam pelapis sangat berpengaruh, sehingga untuk melihat pengaruh
pengendapan tersebut dilakukan percobaan awal, berdasarkan konsentrasi larutan dan waktu
pengendapan. Hasil percobaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5 untuk larutan nikel
sedangkan Gambar 6 untuk larutan krom.
30
Konsent rasi 60 gr/ lt 25.02
25 Konsent rasi 80 gr/ lt
Konsent rasi 100 gr/ lt
Berat Lapisan (mg/cm2)

Konsent rasi 150 gr/ lt 19.6


20 19.02

14.4
15 13.05
13.21
10.11 10.12
11.1
10
8.23 7.42

6.55 4.95 6.45


5
2.78 4.2

0
5 10 15 20
Waktu Pelapisan (menit)

Gambar 5. Pengaruh waktu dan konsentrasi larutan Nikel terhadap laju pengendapan (tebal lapisan)

25

Konsent rasi 80 gr/ lt


20.14
Konsent rasi 100 gr/ lt
20 Konsent rasi 150 gr/ lt
Berat lapisan (mg/cm2)

Konsent rasi 250 gr/ lt


14.71 15.12
15

10.32 9.89 10.13


10
9
7.11
7.14
5.12
4.42
5 5.14
1.65
1.2 2.16
1.11

0
5 10 15 20
Waktu Pelapisan (menit)

Gambar 6. Pengaruh waktu dan konsentrasi larutan Nikel terhadap laju pengendapan (tebal lapisan).
Dari Gambar 5 maupun Gambar 6 di atas pengaruh waktu maupun konsentrasi
terhadap laju pengendapan sangat berpengaruh, dimana kenaikan waktu maupun konsentrasi
Seminar Material Metalurgi 2010

terhadap laju pengendapan sangat signifikan. Untuk pelapisan logam nikel pada Gambar 1,
dimana konsentrasi 60 gr/l dengan waktu 5 menit pengendapan logam nikel sebesar 2,78
gr/mm2, untuk waktu 10 menit pengendapan logam nikel meningkat sebesar 4,2 gr/mm2,
ditingkatkan lagi pada waktu 15 menit pengendapan logam nikel meningkat sebesar 4,96
gr/mm2, sedangkan untuk waktu 20 menit menit pengendapan logam nikel sebesar 6,45
gr/mm2. Peningkatan pengendapan ini semakin tinggi dengan penambahan konsentrasi larutan
serta penambahan waktu pengendapan. Hal ini juga sama halnya dengan pelapisan khrom.
Namun pada percobaan ini waktu pengendapan hanya dilakukan sampai waktu 20 menit saja,
mengingat waktu untuk penelitian yang sangat terbatas. Namun dari kondisi ini semakin lama
waktu yang dibutuhkan tentunya akan semakin banyak logam pelapis yang menempel atau

356 |  ISSN : 2085 – 0492


mengendap, sehingga dengan semakin banyaknya logam yang mengendap tentunya logam
yang dilapisi semakin keras dan kuat. Tinggal saja bahan apa yang akan kita lapisi serta untuk
keperluan apa bahan tersebut, sehingga banyaknya logam yang mengendap sesuai dengan
kebutuhan, hal ini tentunya berpengaruh dari segi ekonomis.

Pengaruh Pelapisan Terhadap Kekerasan Material


Dari Tabel 2 dapat digambarkan hubungan pelapisan dengan elongation, untuk
pelapisan nikel, pelapisan krom dan pelapisan nikel + khrom dibandingkan dengan material
awal yang belum dilakukan pelapisan, hal ini dapat dilihat pada Gambar 7.
Dari Gambar 7 terlihat dengan jelas peningkatan kekerasan terhadap pelapisan,
dimana pada awalnya material yang belum dilapisi memiliki kekerasan sebesar 199 HV,
sedangkan untuk pelapisan logam nikel kekerasan meningkat menjadi 216,2 HV, sedangkan
untuk pelapisan dengan logam khrom kekerasan juga meningkat menjadi 219 HV, untuk
pelapisan logam nikel + khrom peningkatan kekerasan terjadi secara signifikan yaitu sebesar
223,24 HV.
225
223.24
220
219
Kekerasan (HV)

216.2
215

210

205

200
199
195
Lapis khrom

Lapis khrom
Logam dasar

Lapis nikel

Lapis nikel
+

Pelapisan

Gambar 7. Pengaruh pelapisan terhadap kekerasan


Pengaruh Pelapisan Terhadap Elongation
Dari Tabel 2 dapat digambarkan hubungan pelapisan dengan elongation, untuk
pelapisan nikel, pelapisan krom dan pelapisan nikel + khrom dibandingkan dengan material
awal yang belum dilakukan pelapisan, hal ini dapat dilihat pada Gambar 8.
Dari Gambar 8, dapat diamati dengan jelas perubahan elongation pelapisan untuk
pelapisan nikel, pelapisan krom dan pelapisan nikel + khrom dibandingkan dengan material
awal yang belum dilakukan pelapisan, dimana untuk material awal elongation sebesar 7 %,
sedangkan untuk pelapisan logam nikel kekerasan meningkat menjadi 7,5 %, sedangkan untuk
pelapisan dengan logam khrom kekerasan juga meningkat menjadi 7,6 %, untuk pelapisan
Seminar Material Metalurgi 2010

nikel + khrom peningkatan lebih kecil dari pelapisan nikel dan khrom, hal ini dapat
disebabkan pelapisan nikel + khrom lebih getas karena memiliki kekerasan yang lebih baik,
yaitu sebesar 7,2 %.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 357
7.6
7.47
7.5
7.5
7.4

Elongation (%)
7.3

7.2
7.2
7.1
7
7

6.9

Lapis khrom

Lapis khrom
Logamdasar

Lapis nikel

Lapis nikel
+
Pelapisan

Gambar 8. Pengaruh pelapisan terhadap elongation


Pengaruh Pelapisan Terhadap Tensile Strength
Dari Tabel 2 dapat digambarkan hubungan pelapisan dengan tensile strength, untuk
pelapisan nikel, pelapisan krom dan pelapisan nikel + khrom dibandingkan dengan material
awal yang belum dilakukan pelapisan, hal ini dapat dilihat pada Gambar 9.
Dari Gambar 9, dapat diamati dengan jelas perubahan tensile strength pelapisan untuk
pelapisan nikel, pelapisan krom dan pelapisan nikel + khrom dibandingkan dengan material
awal yang belum dilakukan pelapisan, dimana untuk material awal elongation sebesar 650,5
N/mm2, sedangkan untuk pelapisan logam nikel kekerasan meningkat menjadi 668,8 N/mm2,
sedangkan untuk pelapisan dengan logam khrom kekerasan juga meningkat menjadi 678,9
N/mm2, untuk pelapisan logam nikel + khrom peningkatan tensile strength terjadi secara
signifikan yaitu sebesar 682,6 N/mm2.
685
Tensile strength (N/mm2)

682.6
680 678.9
675
670
668.8
665
660
655
650.5
650
645
Lapis khrom

Lapis khrom
Logamdasar

Lapis nikel

Lapis nikel
+

Pelapisan
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 9. Pengaruh pelapisan terhadap tensile strength


Hubungan Kekerasan Dan Tensile Strength Pada Pelapisan
Dari Tabel 2 dan Tabel 3 dapat digambarkan hubungan kekerasan terhadap tensile
strength untuk pelapisan nikel, pelapisan krom dan pelapisan nikel + khrom dibandingkan
dengan material awal yang belum dilakukan pelapisan, hal ini dapat dilihat pada Gambar 10.

358 |  ISSN : 2085 – 0492


685
6 8 2 .6

680

Tensile Strength (N/mm2)


6 7 8 .9

675

670
6 6 8 .8
665

660

655
6 5 0 .5
650

645
195 200 205 210 215 220 225

K e k e ra s a n (H V)

Gambar 10. Hubugan tensile strength terhadap kekerasan pada pelapisan


Dari Gambar 10 dapat dijelaskan bahwa, logam dasar yang dilapisi dengan logam lain
akan memiliki kekerasan dan tensile strength yang meningkat, dimana semakin keras logam
yang dilapisi maka semakin meningkat juga tensile strengthnya.

Pengaruh Kuat Arus Terhadap Pelapisan


Dari percobaan yang dilakukan kuat arus pelapisan juga mempengaruhi hasil pelapisan
dimana untuk pelapisan logam nikel kuat arus yang ideal adalah sebesar 3 Amper, jika kuat
arus lebih dari 3 Amper pelapisan yang dihasilkan berwarna hitam (gosong), sedangkan
untuk pelapisan logamkhrom kuat arus yang digunakan sebesar 15 Amper, jika lebih dari 15
Amper maka hasil pelapisan juga menghitam. Sedangkan jika amper yang digunakan kurang
dari amper ideal maka lapisan logam yang menempel (mengendap) kurang begitu baik secara
visual lapisan yang dihasilkan seperti bergelombang (tidak merata), bahkan kalau terlalu
rendah logam tidak menempel pada permukaan logam yang akan dilapisi.
 
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian serta analisis terhadap beberapa data hasil penelitian yang telah
dilakukan terhadap logam dasar yang telah dilapisi logam nikel, logam khrom maupun logam
nikel + logam khrom, maka dapat di tarik beberapa kesimpulan diantaranya :
1. Pelapisan logam dasar dengan nikel dapat meningkatkan kekerasan permukaan logam
sebesar 8,64 % dari logam dasar, sedangkan pelapisan dengan logam khrom dapat
meningkatkan kekerasan permukaan logam sebesar 10,05 % dari logam dasar, sedangkan
untuk pelapisan logam dengan nikel + khrom dapat meningkatkan kekerasan permukaan
logam sebesar 12,18 % dari logam dasar.
2. Peningkatan tensile strength terhadap pelapisan nikel, pelapisan khrom maupun pelapisan
nikel + khrom juga dapat meningkatkan tensile strength logam dasar secara keseluruhan
dimana tensile strength logam dasar sebesar 650,5 N/mm2, meningkat menjadi 668,8
N/mm2 setelah dilapisi logam nikel, dan meningkat menjadi 678,9 N/mm2 setelah dilapisi
Seminar Material Metalurgi 2010

logam krom, sedangkan setelah pelapisan nikel + logam khrom tensile strength meningkat
sebesar 682, 6 N/mm2 atau meningkat sebesar 5 % dari logam dasar.
3. Kondisi pelapisan yang dianggap baik pada pelapisan ini adalah 3 Amper, waktu 20 menit
serta konsentrasi larutan 150 gr/lt untuk pelapisan nikel, sedangkan untuk pelapisan
khrom 15 Amper, waktu 20 menit serta konsentrasi larutan 250 gr/lt.

DAFTAR PUSTAKA
1. Denis,”Nickel and Chromium Plating”, Newnes – Butterworths, 1972.
2. Gabe,”Principles of Metal Surface Treatment and protection”, 2 nd edition, Pergamon
Press, 1978.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 359
3. Lowenheim, F,A,”The Canning Handbook on Electroplating”, 3rd edition, Jhon Willey &
Son, Inc, New York, 1974.
4. J.B.Mohler,”Electroplating & Related Process”, Chemical Publishing Co, Inc, New York,
1969.
5. Malathy Pushpavanam and B.A,”Shenoi,”Electroplating of Zinc from a Cyanide-Free,
Near Neutral Electrolyte”, Central Electrpochemical Research Institute, Karaikudi, India.
6. Penuntun Pelapisan Nikel, Khrom dan Seng,Dinas Perindustrian Tigkat I Sumatera
Selatan, Lembaga Metallurgi Nasional - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
1985/1986.
 
Seminar Material Metalurgi 2010

360 |  ISSN : 2085 – 0492


PENGARUH MEDIA QUENCHING PADA BAJA ASTM A 36
TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO

Pius Sebleku
Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang 15314

Abstrak
Baja spesifikasi ASTM A-36, kekuatannya dapat ditingkatkan melalui Proses pengerjaan Heat
Treatment (Austenisasi). Proses austensasi dilakukan melalui pemanasan spesimen pada suhu 900oC selama
satu jam, kemudian di quench di media pendingin yang berbeda-beda. Sebagai media pendingin adalah
pendinginan di dalam tungku , di ruang terbuka , quench di oli dan media air, Hasil percobaan menunjukkan
bahwa kekuatan baja dari bahan awal 423,9 MPa, kekuatannya meningkat menjadi 474,9 MPa melalui
pendinginan udara, dan 560,5 MPa melalui qunching di air. Untuk quenching di air, menghasilkan sifat
mekanik kurang bagus, karena spesimen manjadi getas (elongasi kecil 6%). Fasa yang terbentuk adalah ferit
sebagai matrik dan perlit. Peningkatan kekuatan tarik disebabkan karena butir perlit yang terbentuk
terdistribusi lebih tinggi dari pada bahan awal. Spesimen yang di quench di air, tipe strukturmikro yang
terbentuk menjadi merubah, fasa yang terbentuk adalah ferit bentuk jarum sebagai matrik dan martensit. Tipe
strukturmikro ini memberikan logam menjadi getas. Walaupun kekutannya paling tinggi (717,3 MPa).

Kata kunci : Baja Karbon ASTM A-36, Austenisasi, Quenching, Sifat mekanik, Struktur mikro.

PENDAHULUAN
Perkembangan industri saat ini, logam merupakan salah satu material yang
penggunaannya sangat luas dan banyak digunakan dalam berbagai keperluan. Logam yang
paling banyak digunakan salah satunya adalah baja. Baja merupakan bahan dasar yang sering
digunakan untuk berbagai rekayasa teknik, salah satunya adalah plate baja karbon. Kegunaan
dari baja berkaitan dengan sifat mekanis yang dimiliki oleh baja itu sendiri, dimana baja ini
memiliki kombinasi sifat mekanis yang baik seperti: kekerasan, keuletan, dan ketangguhan
yang lebih baik jika dibandingkan dengan bahan material lainnya, disamping itu baja karbon
merupakan material yang mempunyai kemampuan las, keuletan dan ketangguhan yang baik.
Untuk mendapatkan kualitas produk baja yang lebih baik maka pada baja tersebut perlu
dilakukan Prosess Heat Treatment (perlakuan panas). Salah satunya adalah Proses
Austenisasi, yaitu proses perlakuan panas pada daerah austenit dan ditahan (holding time)
kemudian didinginkan, pendinginan yang dilakukan dapat berupa media udara, air, oli, dan
didalam tungku. Proses tersebut dapat meningkatkan sifat mekanis yang lebih baik, Pada
penelitian ini akan dilakukan peningkatan sifat mekanik melalui proses austenisasi dengan
media pendingin udara, air, oli dan didalam tungku.

METODOLOGI
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Bahan Material baja
karbon rendah ASTM A-36. Alat Yang Digunakan gergaji besi, muffle furnace, AAS (Atomic
Seminar Material Metalurgi 2010

Absorption Spectrophotometer), Alat uji kekerasan, mesin poles, dan mikroskop optik.

PROSEDUR PENELITIAN
1. Pembuatan Sampel Uji Tarik
Pelat baja spesifikasi ASTM A36, tebal 2 cm dipotong, untuk pembuatan spesimen
uji tarik. Bentuk spesimen berdasarkan Standar JIS.
 
2. Proses Austenisasi
Proses Austenisasi, spesimen dipanasi di dalam tungku pada suhu (T) 900oC selama 1
jam. Holding time dari spesimen tergantung dari dimensi benda kerja.Pada penelitian

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 361
inidimensi benda kerja relatif kecil, sehingga waktu penahanan selama 1 jam. Supaya benda
kerja tidak teroksidasi spesimen dibungkus dengan cangkang kelapa.
Suhu

900oC 1 jam
tungku

udara

oli
air
Waktu
Gambar 1. Skematis cara pengerjaan austenisasi.
Pemanasan pada suhu 900oC selama 1 jam. Setiap spesimen didinginkan dengan
media pendingin yang memberikan kecepatan pendinginan yang berbeda (tungku, udara,
celup oli, dan celup air).

3. Diagram alir penelitian


Analisa
PEMOTONGAN   Komposisi Kimia 
SAMPEL SAMPLE UNTUK   Uji Kekerasan 
BAJAKARBON      SPESIMEN   Kekuatan Tarik 
AS A 36
 Struktur Mikro

AUSTENISASI 900 OC, 60 menit

PENDINGINAN

TUNGKU UDARA AIR OLI

 Uji Kekerasan
 Kekuatan Tarik 
 Struktur Mikro

PENGUMPULAN DATA 
Seminar Material Metalurgi 2010

HASIL DAN PEMBAHASAN

KESIMPULAN

Gambar 2. Diagram alir penelitian

362 |  ISSN : 2085 – 0492


HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Analisa Komposisi Kimia Material Baja
Hasil analisa komposisi kimia ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia baja standar ASTM A36
C (%) Si (%) S (%) P (%) Mn (%)
0,2 0,3 0,04 0,04 1,4

Dari Tabel 1 ditunjukkan bahwa material baja termasuk tipe baja karbon rendah,
hanya saja kandungan Mn (1,4%) relatif tinggi jika dibandingkan dengan baja korbon
konvensionil (kandungan Mn sekitar 0,5% - 0,7%). Tipe baja karbon ini ditentukan oleh
jumlah kandungan karbon. Kandungan karbon 0,2 % termasuk baja karbon rendah.

Hasil Uji Sifat Mekanik


Pelat baja sebagai benda uji dipotong untuk spesimen uji tarik, jumlah spesimen adalah
lima buah. Spesimen untuk diuji tarik berdasarkan standart stantart JIS seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 5.

 : 1,5 cm  :1,8 cm

L : 12,5 cm
P : 15 cm
 
Gambar 3. Skematis spesimen uji tarik berdasarkan standar JIS

Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 4. Hasil machining lima buah spesimen uji tarik. Diameter bagian atas 1,8 cm. Diameter bagian tengah
yang ditarik 1,5 cm.

Lima buah spesimen diambil empat buah, kemudian ke empat buah spesimen
diaustenisasi pada suhu 900oC selama 1 jam. Kemudian masing-masing spesimen didinginkan
dengan kecepatan pendinginan berbeda di dalam media tungku, udara, oli dan air. Hasil
percobaan setelah proses austenisasi ditunjukkan pada Gambar 7.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 363
1 2 3 4 5

Gambar 5. Spesimen setelah laku panas


Keterangan gambar : 1. spesimen awal 2. Pendinginan tungku, Pendinginan udara, Quench di oli, Quench di
air.
Setelah proses austenisasi dilanjutkan dengan uji tarik. Hasil patahan uji tarik
ditunjukkan pada Gambar 6.

Arah
perpanjangan

5 4 3 2 1

Gambar 6. Patahan spesimen setelah uji tarik


Keterangan gambar : 1. Pendinginan tungku, 2. Pendinginan udara, 3. Quench di oli, dan 4. Quench di air, 5.
Spesimen awal. Tanda panah : penurunan luas penampang lintang.

Spesimen melalui pendinginan tungku menjadi paling panjang. Sementara itu


spesimen Quench di air paling pendek. Hal ini berarti pada setiap perbedaan jenis
pendinginan mempunyai sifat kemuluran (elongasi) yang berbeda. Demikian juga pengamatan
pada posisi patahan tampak luas penampang lintang yang berbeda (tanda panah). Spesimen
pendinginan ditungku penurunan luasnya paling kecil jika dibandingkan dengan spesimen
dengan pendinginan udara dan oli. Penurunan luas penampang juga berlangsung pada
spesimen awal. Penurunan luas penampang spesimen pendinginan udara dan oli sedikit
menurun. Hal ini berbeda dengan spesimen pendinginan air, luas penampangnya hampir tidak
mengalami penurunan.
Seminar Material Metalurgi 2010

Dari hasil pengamatan visual tersebut di atas dapat dianalisa bahwa spesimen yang
mengalami kecepatan pendinginan tinggi (celup air), tidak mengalami penurunan luas
penampang berarti, sehingga spesimen menjadi getas. Karena adanya sifat mulur pada
spesimen material baja A-36 ini, maka spesimen yang didinginkan melalui celup oli, udara
dan tungku mempunyai sifat ulet (ductile).
Data hasil nilai uji tarik dan regangan, dan nilai elongasi ditunjukkan pada Tabel 2.
 

364 |  ISSN : 2085 – 0492


Tabel 2. Data uji tarik dan regangan pada spesimen ASTM A-36 dengan kecepatan pendinginan yang berbeda.
Jenis media Kecepatan pendinginan Kekuatan tarik Kekuatan yield Elongasi
pendingin (oC/menit) (mPa) (mPa) (%)
Tungku 5 445,9 305,6 36
Udara 50 474,9 346,1 32
Celup oli 100 560,5 426,6 16
Celup air 150 717,3 - 6

Bahan awal - 423.9 266,0 32

Selanjutnya dari data Tabel 2. dibuat grafik hubungan antara kecepatan pendinginan
dengan kekuatan tarik dan elongasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7

Gambar 7. Hubungan antara kecepatan pendinginan dan kekuatan tarik, elongasi.


Kurva grafik Gambar 7 menunjukkan kecepatan pendinginan berpengaruh terhadap
sifat mekanik kekuatan tarik dan elongasi. Peningkatan kecepatan pendinginan diikuti dengan
peningkatan kekuatan dari 445,9 MPa hingga 717,3 MPa. Sebaliknya peningkatan kecepatan
pendinginan diikuti dengan penurunan nilai elongasi yang sangat rendah (6%). Jadi kurva
grafik hubungan antara kecepatan pendinginan dan kekuatan tarik, elongasi tampak
berlawanan. Walaupun melalui media celup air kekuatan tariknya tinggi, karena elongasinya
rendah, maka logam baja mempunyai sifat getas. Sifat getas ditunjukkan tidak adanya
penurunan luas penampang lintang (Gambar 7), dan tidak tampak adanya kurva deformasi
plastis.

Hasil Uji Brinel


Uji kekerasan Brinnel terhadap masing-masing spesimen dilakukan 5 kali pengukuran.
Seminar Material Metalurgi 2010

Data pengukuran ditunjukkan pada lapiran. Nilai rata-rata uji kekerasan pada setiap spesimen
ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil uji kekersan rata-rata spesimen ASTM A36
Jenis media pendingin Kecepatan pendinginan Kekerasan (Brinnel)
(oC/menit)
Tungku 5 124,44 
Udara 50 143.1
Celup oli 100 182.96
Celup air 150 370.96

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 365
Dari Tabel 3, dibuat grafik hubungan antara kecepatan pendinginan dan kekerasan

Gambar 8. Hubungan kecepatan pendinginan dan kekerasan


Pada grafik Gambar 8, kecepatan pendinginan juga berpengaruh terhadap peningkatan
kekerasan baja. Seperti sifat baja pada umumnya, peningkatan kekerasan diikuti pula oleh
peningkatan kekuatan. Fakta ini ditunjukkan dari hasil percobaan, hubungan antara kekuatan
dan kekerasan. Seperti yang telah disebutkan di atas, walaupun kekerasan dan kekuatan tarik
tinggi, tetapi elongasinya rendah 6% . Jadi spesimen baja A-36, pada suhu austenisasi
(900oC), dilanjutkan dengan quench cepat di air, tidak membuat baja menjadi mempunyai
sifat mekanik yang bagus. Hal ini disebabkan karena baja mempunyai sifat getas. Sifat getas
pada material baja, menjadi mudah retak bila mengalami beban tarik (bebannya masih di
bawah kekuatan yield) atau kompresi mendadak (dalam kurun waktu sekitar 1/100 detik).
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 9. Hubungan Kekuatan tarik dengan kekerasan


Hasil Pengamatan Struktur Mikro
Pengamatan strukturmikro pada masing-masing spesimen setelah austenisasi (900oC)
dengan media pendingin berbeda (tungku, air, oli, dan udara) ditunjukkan pada Gambar 10
sampai dengan 14. Untuk keperluan analisa strukturmikro disajikan dua foto dengan
pembesaran yang berbeda, agar supaya fasa yang terbentuk lebih tampak jelas.

366 |  ISSN : 2085 – 0492


 
2
  1 1 

  2 
 
a  b
 
   
Gambar 10. Struktur mikro pendinginan tungku. Tanda panah : 1. Ferit (matrik, putih), 2. Perlit (Struktur
lamelar, hitam).
 
 

  1

 
2
 

  a  b

   
Gambar 11. Struktur mikro pendinginan udara. Tanda panah : 1. Ferit (matrik, putih), 2. Perlit (Struktur lamelar,
hitam).
 

  1 

  1 

  2 
2
 
b
  a 
Seminar Material Metalurgi 2010

 
Gambar 12. Struktur mikro pendinginan oli. Tanda panah : 1. Ferit (matrik, putih), 2. Perlit (Struktur lamelar,
hitam).

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 367

1


b

a  b 
 
Gambar 13. Strukturmikro pendinginan celup air. Tanda panah : 1. Ferit bentuk jarum (Witmanstatten ferit,
matrik), 2. Martensit

1  1 

2

a  b

   
Gambar 14. Strukturmikro bahan awal. Tanda panah : 1. Ferit (matrik, putih), 2. Perlit (Struktur lamelar, hitam).
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 15. Diagram kesetimbangan Fe – Fe3C

368 |  ISSN : 2085 – 0492


Seperti yang ditunjukkan pada diagram fasa biner Fe-C (Gambar 15), pada suhu kamar
hingga ke suhu sekitar 723oC (suhu tranformasi), fasa yang terbentuk pada baja adalah ferit
(kisi kristal BCC) dan perlit. Kalau baja dipanasi pada suhu di atas 723oC, fasa ferit dan perlit
bertranformasi menjadi austenit (kisi kristal FCC).
Pengerjaan austenisasi baja pada suhu di atas 723oC, fasa ferit dan perlit
bertranformasi menjadi austenit. Selama pendinginan hingga ke suhu kamar, fasa austenit
bertranformasi menjadi ferit dan perlit. Perlit merupakan struktur lamelar ferit dan Fe3C hasil
reaksi eutektoid. Dari hasil percobaan menunjukkan fakta bahwa selama spesimen
diaustenisasi, kemudian didinginkan dengan media pendingin yang divariasikan, tipe
strukturmikro yang terbentuk berbeda. Jadi semua strukturmikro pada gambar di atas adalah
hasil tranformasi fasa austenit dengan variasi kecepatan pendinginan, dan dapat diterangkan
sebagai berikut :
a. Pendinginan spesimen yang dibiarkan tetap di dalam tungku selama pendinginan.
Pemanasan 900oC dengan kecepatan pendinginan paling lambat ini, tipe strukturmikro
yang terbentuk ferit perlit. Jadi terhadap baja karbon rendah dengan kandungan 0,2%C
perlit juga terbentuk pada pendinginan sangat lambat. Apabila tipe strukturmikro ini
dikaitkan dengan sifat mekanik meemberikan kekuatan yang paling rendah (445,9 MPa),
tapi elongasinya tertinggi (36%)
b. Pendinginan spesimen di udara, tipe strukturmikro yang terbentuk tetap ferit perlit. Namun
demikian dengan pendinginan lebih cepat, perlit yang terbentuk terdistribusi lebih tinggi
jika dibandingkan dengan pendinginan di dalam tungku. Hubungannya dengan sifat
mekanik, perlit yang terdistribusi lebih banyak berpengaruh terhadap peningkatan kekuatan
yang lebih tinggi (474,9 MPa) dari pada pendinginan lambat (tungku). Tetapi elongasi
sedikit menurun (32%)
c. Pendinginan spesimen celup oli, tipe strukturmikro yang terbentuk masih tetap ferit perlit.
Perbedaannya adalah, melalui kecepatan pendinginan lebih tinggi dari pada udara ini,
distribusi perlit lebih tinggi dari pada pendingian udara. Akibatnya kekuatannya meningkat
lagi (560,5 MPa), elongasi menjadi turun (16%). Dari hasil pengamatan strukturmikro ini
memberikan informasi bahwa pembentukan perlit yang terdistribusi di dalam matrik ferit
memberikan peningkatan kekuatan baja. Disamping itu ferit di dalam baja memberikan
peningkatan elongasi.
d. Pendinginan spesimen celup air, pendinginan cepat di dalam media air menghasilkan tipe
strukturmikro yang berbeda dengan media lain tersebut di atas. Tipe struktur yang
terbentuk adalah ferit bentuk jarum (Witmanstatten ferit) sebagai matrik, dan martensit
(warna abu-abu). Adanya perbedaan strukturmikro ini memberikan informasi bahwa
terhadap baja ASTM A36, tranformasi dari fasa austenit () ke fasa ferit () dan perlit
memerlukan kecepatan pendinginan relatif lambat. Sementara itu, tranformasi dari fasa
austenit () ke fasa ferit () dan martensit memerlukan pendinginan cepat, berdasarkan
reaksi sebagai berikut :
  + perlit
Pendinginan lambat
  + martensit
Seminar Material Metalurgi 2010

Pendinginan cepat
e. Bahan awal. Strukturmikro bahan awal juga terdiri dari ferit dan perlit, perlit tampak
memanjang, yang menunjukkan bahwa bahan awal adalah hasil dari pengerjaan panas rol,
pendinginan di udara.
Dari pengamatan hasil pengujian dan pembahasan terhadap baja ASTM A36 yang
telah dilakukan, perlu dipilih perlakuan spesimen yang mempunyai peningkatan sifat mekanik
dari pada bahan awal. Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan setelah austenisasi,
pendinginan udara dan oli memberikan sifat mekanik yang bagus, dengan alasan sebagai
berikut

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 369
1. Kekuatan spesimen melalui pendinginan udara dan celup oli (474,9 MPa, 560,5 MPa) lebih
tinggi dari pada bahan awal (423.9 MPa). Di dalam strukturmikro, peningkatan kekuatan
ditunjukkan adanya distribusi perlit
2. Spesimen mempunyai sifat tangguh, karena ke dua spesimen nilai elongasinya relatif tinggi
(32% dan 16%). Di dalam strukturmikro, peningkatan elongasi ditunjukkan adanya butir
fasa ferit sebagai matrik.

KESIMPULAN
Perlakuan austenisasi baja ASTM A-36, dengan media pendingin yang berbeda dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Sifat mekanik kekuatan baja ASTM A-36 dapat ditingkatkan melalui pengerjaan
austenisasi dengan media pendingin tungku (anil), udara, celup oli, dan air.
2. Proses austenisasi dengan media pendingin udara dan quench di oli memberikan sifat
mekanik yang bagus. Disamping kekuatannya lebih tinggi dari pada bahan awal, baja
masih tetap tangguh (nilai elongasi tinggi : 32% dan 16%).
3. Proses austenisasi dengan media pendingin di dalam tungku, kecepatan pendinginan
lambat, kekuatannya lebih rendah dari pada media pendingin udara dan quench di oli.
4. Proses austenisasi dengan media pendingin di dalam tungku, memberikan kekuatan
(445,9 MPa) sedikit lebih tinggi dari pada bahan awalnya yaitu (423,9 MPa), serta
bersifat tangguh.
5. Proses austenisasi dengan media pendingin quench di air, walaupun kekuatan baja
meningkat tinggi (717,3 MPa), tetapi baja menjadi getas.

DAFTAR PUSTAKA
1. ASTM. Metal Hand Book, “Properties and Selection Iron and Steel” 9th ed, vol 1,
Formely Tenth Edition Metal Hand Book, Second Printing, 1992.
2. Annual Book of ASTM Standard, Section 3, Metal Test Methods and Analytical
Prosedures,”Metals-Mechanical Testing”, Eleveted and low Temperatur Test,
Metallography, Vol.03.01.
3. B.Zakharov, “Heat Treatment of Metals”, Peace Publisher, Moscow.
4. George E. Dieter, “Mechanical Metallurgy”, International Student Edition, Second
Edition Mc.Graw-Hill Kogakusha Ltd, Tokyo, 1978.
5. George E. Dieter, “Work Ability Testing Techniquues”, ASM, Metal Park Ohio 44073,
1984.
6. George Krauss, “Heat Treatment and Processing Principle”, Material Park, Ohio 44073,
p14.
7. Herman W.pollack, “Materials Sciece and Metalurgi”, Third Edition, Reston Publishing
Company, Inc, p 180 – 181.
8. K-E Thelning, “Steel and Its Heat Treatment, Bofors Handbook, 1974.
9. Marder, A,R,”The Effect of Heat Treatment on The Properties”, Metal Trans, Vol 12A,
Sep. 1981.
10. Sydney H.Avner, “Introduction to Physical Metallurgi”, Second Edition, McGraw-Hill
Inc, 1974.
Seminar Material Metalurgi 2010

11. Sydney H.Avner, “Introduction to Physical Metallurgi”, Second Edition, McGraw-Hill


Inc, 1986.
12. Standard JIS, JIS Z 2201, “Test Pieaces for Tensile Test for Matallic Material No 5”,
p32.
13. Thomas,G,” The Physical Metallurgy and Alloy Design of Dual Phase Steel”, infrontier
in Material Teknologies, 1985.
14. Thomas, G, and Kim, N.J.”Effect of Marfhology on the Mechanical Behavior of Dual
Phase Fe/2Si/0,1 % C Steel’, Metall Transaction, vol 12A, August 1981.

370 |  ISSN : 2085 – 0492


MASALAH KANDUNGAN SILIKAT (SIO2) PADA BIJIH NIKEL
LATERIT KADAR RENDAH HALMAHERA
APABILA DIPROSES DENGAN HPAL

Puguh Prasetiyo
Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang 15314

Abstrak
Di alam semesta bijih nikel digolongkan dalam dua jenis, yaitu nikel sulfide berada dibelahan bumi
subtropics, dan nikel oksida yang lazim disebut laterit berada dibelahan bumi khatulistiwa (tropis) seperti di
Indonesia. Laterit berkadar nikel rendah yang pada umumnya mengandung besi tinggi, diolah dengan jalur
proses hydrometalurgi. Sedangkan laterit berkadar nikel tinggi yang pada umumnya mengandung besi rendah,
diolah dengan jalur proses pyrometalurgi.
Menurut Dalvi dkk cadangan nikel dunia sekitar 70 % berupa laterit. Pada tahun 2003, pasokan nikel
dunia yang berasal dari laterit sekitar 42 %. Diperkirakan pasokan nikel dari laterit akan meningkat diatas 50
% pada tahun 2012, dan sebagian besar pasokan tersebut berasal dari pengolahan laterit kadar rendah dengan
proses HPAL (High Pressure Acid Leach) yang tergolong dalam jalur proses hydrometalurgi.
Dengan kegagalan tiga HPAL (High Pressure Acid Leach) plant di Australia yang mengolah laterit
kadar rendah dengan kandungan silikat tinggi (SiO2 ± 40 %) pada tahun 2000-2008. Maka proyek proyek untuk
mengolah laterit kadar rendah dengan HPAL banyak yang ditunda termasuk di Indonesia, yaitu PT BHP di
pulau Gag Papua dan PT Weda Bay Nickel (WBN) di teluk Weda Halmahera. Dengan demikian perkiraan Dalvi
dkk menjadi meleset. Kenyataan kegagalan teknologi HPAL tersebut akan ditinjau pada tulisan ini. Dimana
tinjauan difocuskan pada kandungan silikat (SiO2) didalam laterit kadar rendah Halmahera. Mudah mudahan
tulisan ini bermanfaat.

Kata Kunci: laterit, hydrometalurgi, pyrometalurgi, HPAL, silikat (SiO2).

Abstract
There are two variety of nickel in the nature, ie : nickel sulfide ore at subtropical area and nickel oxide
ore which it is said laterite at tropical area as Indonesia. Laterite contains high iron generally the low grade
níckel ore are suitable to process by hydrometallurgy. Laterite contains low iron generally the high grade níckel
ore are suitable to process by pyrometallurgy.
Dalvi et al report that laterite contains 70 % of the estimated world land based nickel reserves. In 2003,
nickel production from laterite about 42 %. In 2012, nickel production from laterite are predicted more than 50
%, its come from hydrometallurgy to process the low grade laterite especially HPAL process.
The failure of all HPAL (High Pressure Acid Leach) plant in Australia which its processed the low
grade laterit contains silicate (SiO2 ± 40 %) on 2000’s, its become the same projects at the other place are
postponed until now as PT BHP at Gag island Papua Indonesia and PT Weda Bay Nickel (WBN) at Halmahera
Indonesia.
The fact results the prediction of Dalvi et al become depression and the failure of HPAL will
assignment at this paper with focus the contains of silicate (SiO2) in Halmahera’s laterite. The paper hopes will
useful, maybe.

PENDAHULUAN
Dialam semesta bijih nikel digolongkan dalam dua jenis, yaitu nikel sulfide berada
Seminar Material Metalurgi 2010

dibelahan bumi subtropics, dan nikel oksida yang lazim disebut laterit berada dibelahan bumi
khatulistiwa (tropis) seperti di Indonesia. Menurut Dalvi dkk cadangan nikel dunia sekitar 70
% berupa laterit. Sedangkan pasokan nikel dunia yang berasal dari laterit sekitar 42 % pada
tahun 2003. Diperkirakan pasokan nikel dunia dari laterit akan meningkat menjadi diatas 50
% pada tahun 2012, dan sebagian besar pasokan berasal dari pengolahan laterit kadar rendah
dengan proses HPAL (High Pressure Acid Leach) yang tergolong dalam proses
hydrometalurgi.
Dengan terjadinya peristiwa di Australia, yaitu kegagalan tiga HPAL plant yang
mengolah laterit kadar rendah dengan kandungan silikat tinggi (SiO2 ± 40 %), dan ditutupnya

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 371
Revensthrope e-PAL plant milik BHP pada awal tahun 2009. Ditambah dengan ketidak
jelasan “Goro Demonstration HPAL Plant” di Goro New Caledonia (Kaledonia Baru) milik
INCO tempat dimana Dalvi dkk bekerja. Maka perkiraan Dalvi dkk bahwa akan terjadi
peningkatan produksi nikel dari HPAL menjadi meleset.
Tiga HPAL plant tersebut yang commissioning dalam waktu hampir bersamaan pada
akhir tahun 1998 adalah Bulong, Cawse, dan Murrin Murrin. Tidak sampai dua tahun
beroperasi ketiga plant tersebut mengalami ramp up, yaitu kemacetan kemacetan pada
operasi. Menurut para ahli apabila terjadi ramp up, paling tidak setelah dua tahun beroperasi.
Dimana ramp up disebabkan adanya penyumbatan (choking) pada peralatan proses terutama
pada pipa pipa, dan penyumbatan tersebut berasal dari pengendapan silikat (SiO2) yang
terakumulasi. Sehingga untuk mengatasi ramp up tersebut terpaksa perusahaan mengeluarkan
biaya ekstra diluar biaya operasional. Akibat dari ramp up menyebabkan perusahaan
mengalami kesulitan keuangan sehingga Bulong tutup pada tahun 2003, Cawse tutup tahun
2008, dan Murrin Murrin berpindah tangan ke Minara pada tahun 2003/2004. Minara berubah
haluan untuk mengolah laterit kadar rendah dengan heap leaching pada tahun 2007/2008.
Sedangkan Revensthrope e-PAL plant milik BHP langsung ditutup setelah selesai dibangun
pada awal tahun 2009. Dimana BHP juga menggunakan teknologi HPAL yang telah
dimodifikasi untuk mengolah laterit kadar rendah pada Revensthrope e-PAL plant.
Dari penjelasan diatas menunjukkan bahwa teknologi HPAL telah gagal pada saat
digunakan pada skala industri. Walaupun secara laboratorium dan pilot plant telah sukses
untuk mengolah berbagai jenis laterit. HPAL yang sukses pada skala industri sampai saat ini
hanya di Moa Bay Cuba yang mengolah limonit dengan kandungan SiO2 < 10 %. Hal ini
semakin terbukti dengan tertundanya pembangunan PT Weda Bay Nickel (WBN) Eramet
Perancis di Halmahera, dan PT BHP yang beroperasi dipulau Gag Papua mengembalikan ijin
ke pemerintah Indonesia pada tahun 2009.
Karena laterit kadar rendah belum diolah didalam negeri, baru laterit kadar tinggi
jenis saprolit yang mengandung Ni > 1,8 % sudah diolah di Sulawesi Tenggara oleh BUMN
PT Aneka Tambang di Pomalaa dan PT INCO Canada di Sorowako. Dimana laterit kadar
rendah terdiri dari limonit dan saprolit dengan kandungan Ni < 1,8 %. Sedangkan UU
Minerba yang disahkan 2008 mengamanatkan harus mengolah mineral didalam negeri. Atas
dasar alasan ini maka dibuat tulisan tentang kajian dengan judul diatas.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 1. Lapisan Ideal Laterit Daerah Tropis Dialam Dan Pengolahannya11)

372 |  ISSN : 2085 – 0492


Teknologi Pengolahan Laterit
Bijih nikel laterit berasal dari pelapukan batuan ultrabasic. Dari batuan ultrabasic
tersebut, nikel terkonsentrasi pada dunit dan hasburgit. Selanjutnya dari pelapukan batuan
ultrabasic membentuk zona limonit dan zona saprolit seperti yang ditunjukkan pada Gambar
1. Sedangkan teknologi yang ada untuk pengolahan laterit, dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Proses Pengolahan Laterit Dengan Proses Pyrometalurgi (Smelting), Proses Caron (Ammonia
Leach), dan Proses HPAL. 3)

Laterit berkadar nikel rendah yang pada umumnya mengandung besi tinggi, diolah
dengan jalur proses hydrometalurgi. Sedangkan laterit berkadar nikel tinggi yang pada
umumnya mengandung besi rendah, diolah dengan jalur proses pyrometalurgi. Kedua jalur
proses tersebut digunakan untuk mengambil nikel (Ni) dan kobal (Co) yang terkandung
didalam bijih nikel laterit. Sampai saat ini produksi nikel dari laterit sekitar 70 % berasal dari
pengolahan dengan jalur pyrometalurgi, dan sebagian besar digunakan untuk memproduksi
FeNi (ferro nikel).
Teknologi pyrometalurgi sudah mapan (proven) untuk memproduksi ferro nikel
(FeNi) atau nikel matte (Ni-matte). Akan tetapi masíh ada kelemahan pada jalur proses ini,
yaitu hanya sesuai untuk laterit jenis saprolit dengan kadar Ni tinggi, butuh konsumsi energi
tinggi, dan perolehan Co rendah. Konsumsi energi tinggi karena untuk mengolah laterit
dengan jalur pyrometalurgi dibutuhkan tiga tahapan, yaitu pengeringan (drying),
kalsinasi/reduksi (calcination/reduction), dan peleburan (electric furnace smelting).
Di Indonesia sudah ada pabrik pengolahan saprolit dengan pyrometalurgi di Sulawesi
Tenggara, yaitu pabrik FeNi di Pomalaa milik PT Aneka Tambang dan pabrik Ni-matte di
Sorowako milik PT INCO Canada. Sedangkan jalur hydrometalurgi belum ada ditanah air.
Adapun saprolit yang diolah didalam negeri termasuk bijih nikel laterit berkadar nikel tinggi
dengan kandungan Ni > 1,8 %.
Tabel 1. Analisa Kimia Laterit Di Cuba (Dari Bijih Kering) 4)
Seminar Material Metalurgi 2010

Limonit Serpentine
Ni 1,3 1,4
Co 0,1 0,1
Cr2O3 3 1
Fe2O3 64 30
MgO 1,7 8
CaO 1 1
SiO2 3,7 40
Al2O3 8,5 2
MnO 1 0,5
H2O 12,5 10

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 373
Jalur proses hydrometalurgi digunakan secara komersial dimulai di Cuba oleh
Freeport perusahaan dengan dukungan pemerintah USA, yaitu proses Caron (ammonia leach)
digunakan untuk memproduksi NiO di Nicaro pada tahun 1950-an, dan proses HPAL (High
Pressure Acid Leaching) untuk memproduksi NiS di Moa Bay pada tahun 1960-an.
Sampai saat ini kedua plant tersebut masih beroperasi. Adapun laterit kadar rendah
yang diolah di Cuba, dapat dilihat pada Tabel 1.
- Limonit diolah di Moa Bay dengan proses HPAL (Acid Leaching) untuk
memproduksi NiS
- Serpentine diolah di Nicaro dengan proses Caron (ammonia leach) untuk
memproduksi NiO
Selanjutnya kedua proses tersebut dikembangkan dan digunakan untuk mengolah
laterit kadar rendah ditempat lain termasuk Indonesia. Pada tahun 1970-an pemerintah RI
telah memberi ijin kepada PT Pasific Nickel USA untuk megolah laterit pulau Gag Papua
dengan proses Caron.Walaupun rencana tersebut tidak terrealisasi hingga saat ini. Pemerintah
RI juga memberi ijin untuk mengolah laterit dengan HPAL pada tahun 1998, yaitu PT WBN
(Weda Bay Nickel) Canada di Halmahera dan PT BHP Australia di pulau Gag Papua.
Kenyataan yang terjadi PT WBN Canada beralih kepemilikan ke Eramet Perancis pada Mei
2006, PT BHP Australia mengembalikan ijin ke pemerintah pada tahun 2009, dan sampai saat
ini Eramet belum membangun HPAL plant di Weda.
Peneltian Dan Pengembangan Proses HPAL
Jalur proses pyrometalurgi dan proses Caron (pyro-hydro metalurgi) seperti diagram
alir proses yang ditunjukkan pada gambar 2 diatas, mengkonsumsi lebih banyak energi
apabila dibandingkan dengan proses HPAL. Karena energi pada jalur proses pyrometalurgi
digunakan untuk pengeringan (drying), kalsinasi, dan peleburan. Sedangkan energi pada
proses Caron digunakan untuk pengeringan dan kalsinasi.
Dari sisi recovery (perolehan) logam, jalur pyrometalurgi untuk memproduksi Ni-
matte (mis : PT INCO di Sorowako) mencapai perolehan (recovery) Ni ± 90 % dan Co ± 50
%, untuk memproduksi FeNi (mis : PT Aneka Tambang di Pomalaa) mencapai perolehan
(recovery) Ni ± 96 % dan Co ± 0 %. Proses Caron (pyro-hydro metalurgi) mencapai
perolehan (recovery) Ni : 75 – 80 % dan Co : 35 – 50 %. Sedangkan proses HPAL di Moa
Bay Cuba yang tergolong pada jalur proses hydrometalurgi mencapai perolehan (recovery) Ni
: 92 - 95 % dan Co : 92 - 95 %.
Atas dasar kenyataan diatas bahwa proses HPAL lebih unggul dari recovery
(perolehan) metal dan konsumsi energi. Apabila dibandingkan dengan proses pyrometalurgi
dan proses Caron. Maka penelitian dan pengembangan untuk mengolah berbagai jenis laterit
dengan proses HPAL termasuk modifikasinya dilakukan oleh AMAX USA, Sherrit Gordon
Canada, dan COFREMMI Perancis. Dimana proses HPAL Moa bay digunakan sebagai dasar
untuk melakukan litbang (penelitian dan pengembangan). Adapun kelemahan proses HPAL
hanya sesuai untuk laterit kadar rendah dengan kandungan Mg < 6 % (MgO : 9 – 10 %).
Apabila kandungan Mg > 6 % maka akan mengkonsumsi asam sulfat lebih banyak.
HPAL plant generasi pertama di Moa Bay yang mengolah limonit dengan melarutkannya
didalam asam sulfat, menggunakan autoclave yang beroperasi pada temperatur ± 246 0C dan
Seminar Material Metalurgi 2010

tekanan ± 4500 kPa. Perkiraan reaksi reaksi yang terjadi pada tahap leaching ádalah sbb :
FeOOH + 3 H2SO4 → Fe(HSO4)3 + 2 H2O ............................................. (1)
Al(OH)3 + 3 H2SO4 → Al(HSO4)3 + 3 H2O ................................................... (2)
MgSiO + 2 H2SO4 → Mg(HSO4)2 + H2O + SiO2 ........................................... (3)
MgO + 2 H2SO4 → Mg(HSO4)2 + H2O ................ ......................................... (4)
NiO + 2 H2SO4 → Ni(HSO4)2 + H2O ................... .......................................... (5)
2 Fe(HSO4)3 + 3 H2O → Fe2O3 + 6 H2SO4 .......... ....................................... .. (6)
2 Al(HSO4)3 + H2O → Al2O(SO4)2 + 4 H2SO4 ............................................. (7)
Mg(HSO4)2 → MgSO4 + H2SO4 .................................................................... (8)
MgO + H2SO4 → MgSO4 + H2O .................................................................... . (9)

374 |  ISSN : 2085 – 0492


Untuk memproduksi NiS juga digunakan autoclave yang beroperasi pada temperatur ± 1210C
dan tekanan ± 1034 kPa. Reaksi yang terjadi ádalah sbb :

NiSO4 + H2S → NiS + H2SO4 ....................................................................... (10)


Masalah yang dialami oleh Moa plant adalah menimbulkan pencemaran lingkungan
untuk buangan sulfat, shut down rutin untuk autoclave pada unit leaching setiap 3 – 4 bulan,
dan setiap 850 jam untuk autoclave pada unit produksi NiS. Dimana shut down dilakukan
untuk membersihkan scaling (endapan) pada dinding dalam autoclave. Pada autoclave unit
leaching, scale (endapan) mengandung hematit (Fe2O3) dan alunite Al2O(SO4)2 yang
terbentuk dari reaksi (6) dan (7). Sedangkan pada autoclave unit produksi NiS, scale
(endapan) berupa produk NiS yang mengendap pada dinding dalam autoclave. Dimana NiS
terbentuk dari reaksi (10).
AMAX melakukan penelitian untuk mengolah berbagai jenis laterit dengan HPAL
termasuk modifikasinya sejak tahun 1960-an. Untuk pengembangannya, AMAX melakukan
uji pilot plant untuk mengolah laterit dari Kaledonia Baru pada tahun 1975. Disamping itu
AMAX juga melakukan kerja sama dengan COFREMMI untuk uji pilot plant dengan skala
lebih besar pada tahun 1978 – 1981. Laterit yang digunakan pada pilot plant bervariasi
jenisnya dari limonit murni (mengandung 0,4 % Mg dan 1,2 % Ni) sampai garnierite
(mengandung Mg > 18% dan 3 % Ni). Dari uji pilot plant setelah diperoleh hasil yang sudah
mapan (proven) pada skala laboratorium, AMAX-COFREMMI mengklaim bahwa proses
AMAX-COFREMMI mampu mengolah berbagai jenis laterit sampai pada kandungan 15 %
MgO dan proses AMAX-COFREMMI lebih unggul d/p proses proses pengolahan laterit yang
lain terutama proses HPAL di Moa Bay. Proses AMAX-COFREMMI mengkonsumsi energi
rendah dengan perolehan mencapai Ni > 95 % dan Co > 95 %. Adapun perbandingan
konsumsi energi untuk proses pengolahan laterit, dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kebutuhan Konsumsi Energi (MJ/Kg Nikel) 9)


No Proses Energi (MJ/Kg Nikel)
1. Matte Smelting 700 – 800
2. Ferro Níckel Smelting 600 – 700
3. Proses Caron 500 – 600
4. Proses HPAL di Moa Bay 350 – 400
5. Proses AMAX-COFREMMI 200 - 300

Sedangkan modifikasi proses HPAL oleh AMAX, dapat dilihat pada Gambar 3.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 3. Proses AMAX-COFREMMI 10)

Kesuksesan Dan Kegagalan HPAL


HPAL plant generasi pertama dibangun di Moa Bay Cuba pada tahun 1959 oleh
Freeport dengan bantuan Sherrit Gordon Canada. Setahun kemudian terjadi peristiwa politik

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 375
di Cuba, dimana seluruh proyek Freeport milik USA dinasionalisasi oleh pemerintah Cuba
dibawah rezim Fidel Castro. Pada saat nasionalisasi (1960) proyek Moa Bay belum selesai,
dengan bantuan Uni Soviet (sekarang Rusia) proyek bisa diselesaikan dan mulai beroperasi
1961. Setelah mengalami berbagai macam kesulitan dalam kurun waktu 6 – 7 tahun, Moa Bay
mulai berjalan normal. Walaupun masih menimbulkan masalah lingkungan untuk buangan
sulfat, shut down rutin untuk autoclave pada unit leaching setiap 3 – 4 bulan, dan setiap 850
jam untuk autoclave pada unit produksi NiS. Dimana sampai tahun 1993/1994, kapasitas
produksi plant tersebut ± 24.000 ton/tahun. Adapun kandungan produk NiS adalah sbb : 55,1
% Ni, 5,36 % Co, 0,74 % Fe, 0,17 % Cu, 0,93 % Zn, dan 10,8 % H2O.
Pada Desember 1994, pemerintah Cuba menandatangani kerja sama dengan Sherrit
Gordon Canada untuk proyek laterit Moa Bay. Fokus kerja sama terutama memperbaiki
kinerja Moa Bay plant, dan seluruh produk NiS dibeli oleh Sherrit Gordon untuk diolah di
Fortsaskatchewan Canada. Setelah kerja sama tersebut dijalankan, masalah pencemaran
lingkungan akibat buangan sulfat bisa diatasi dan ada peningkatan produksi. Apabila masa
yang lalu capaian produksi maksimum 19.500 ton/tahun pada tahun 1989, menjadi 20.651
ton/tahun pada tahun 1995, dan meningkat 26.035 ton/tahun pada tahun 1996. Peningkatan
produksi bisa dicapai karena perolehan (recovery) rata rata terutama Ni bisa ditingkatkan
menjadi 96 % dari perolehan sebelumnya 92 – 95 %. Walaupun demikian sampai saat ini Moa
bay plant tetap melakukan shut down rutin autoclve pada unit leaching setiap 3 – 4 bulan, dan
setiap 850 jam pada autoclave unit produksi NiS.
Kesuksesan yang diraíh oleh Sherrit Gordon menyebabkan teknologi HPAL menjadi
trend untuk mengolah laterit kadar rendah dibeberapa Negara yang memiliki cadangan laterit.
Sherrit Gordon menjadi perusahaan yang laris manis untuk menjadi konsultan maupun mitra
untuk mendirikan HPAL plant, terutama HPAL plant generasi kedua yang berada di Australia
Barat (Western Australia), yaitu Bulong, Cawse, dan Murrin Murrin. Apabila dibandingkan
dengan limonit murni Moa Bay Cuba. Ketiga HPAL plant tersebut mengolah dry laterite
Western Australia yang dominan dengan smectite atau nontronite yang mengandung silikat
tinggi, besi rendah, dan magnesium tinggi. Adapun perbandingan antara dry laterite dengan
limonit murni Moa Bay, dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan Komposisi Kimia Antara Dry Laterite Dengan Limonit Murni5 &7)
Nontronite % Limonit Murni %
Smectite % Cawse %
(Murrin Murrin) (Moa Bay)
Ni 1,1 1,0 1,25 1,30
Co 0,08 0,07 0,08 0,12
Mg 4,6 1,58 3,7 0,55
Fe 20,8 18,0 22,0 48,0
Al 2,8 1,71 2,7 4,8
Mn 0,4 0,17 0,4 0,8
Cr 0,6 0,92 1,0 2,0
SiO2 42,9 42,5 42,0 9,0
Ca 0,03 0,03
H2O > 35 % > 10 % > 20 %
Seminar Material Metalurgi 2010

Walaupun HPAL telah sukses pada uji laboratorium maupun pilot plant. Ternyata tiga
HPAL plant generasi kedua di Australia tersebut gagal digunakan untuk mengolah laterit
kadar rendah Western Australia. Kegagalan tersebut bermula dari penanganan masalah
lumpur (slurry) yang menimbulkan masalah penyumbatan (choking) pada peralatan untuk
proses terutama pada pipa pipa penghubung. Untuk mengatasi masalah lumpur (slurry) yang
berasal dari akumulasi endapan silikat (SiO2) yang berasal dari reaksi (3) dan silikat (SiO2)
bebas, terpaksa pabrik harus shut down. Dimana masalah silikat (SiO2) timbul pada saat
teknologi HPAL digunakan pada skala komersial (plant). Pada skala laboratorium maupun
pilot plant, tidak muncul masalah silikat (SiO2).

376 |  ISSN : 2085 – 0492


Dengan seringnya shut down pada tiga HPAL plant Australia maka operasi pabrik
menjadi terganggu sehingga tidak tercapai kapasitas produksi, dan keuangan perusahaaan
menjadi terganggu karena tidak terpikirkan sebelumnya pos dana untuk shut down. Bagi yang
tidak sanggup mengatasi masalah keuangan seperti Bulong terpaksa tutup lebih awal pada
tahun 2003, Murrin Murrin berpindah tangan ke Minara pada tahun 2003/2004. Minara
mengubah proses menjadi heap leaching pada tahun 2006/2007, dan Cawse mengikuti jejak
Bulong terpaksa tutup pada tahun 2008.
Akibat kegagalan tiga HPAL plant Australia maka rencana pembangunan pabrik
pabrik pengolahan laterit kadar rendah diberbagai tempat dengan HPAL untuk 2007 – 2012
terpaksa ditunda, termasuk di Indonesia oleh PT Weda Bay Nickel (WBN) Eramet di Weda
Halmahera dan PT BHP Australia di pulau Gag. Dengan demikian perkiraaan Dalvi dkk
menjadi meleset.

HPAL Untuk Laterit dari Halmahera


Untuk dapat mengolah laterit Halmahera kedepan secara optimal terutama laterit kadar
rendah, akan tergantung pada mineralogy, komposisi kimia, dan teknologi yang tersedia. Dari
hasil eksplorasi yang ditunjukkan pada tabel 4 s/d 6 di beberapa tempat di Halmahera oleh PT
Aneka Tambang dan PT Weda Bay Níkel (PT WBN), yaitu Sangaji, Santa Monica (daerah PT
WBN), pulau Pakal, dan Tanjung Buli. Menunjukkan bahwa zona limonit mengandung MgO
bervariasi 1,36 – 6,55 % dan SiO2 : 16,8 – 30,04 %. Sedangkan zona saprolit mengandung
MgO bervariasi 16,97 – 34,4 % dan SiO2 : 39,75 – 47,92 %. Adapun kriteria untuk limonit
ádalah Fe2O3 > 25 % dan MgO < 10 %.

Tabel 4. Zona Laterit Sangaji Blok C Dan Komposisi Kimianya 8)

Tabel 5. Detailed Mineral Resources- 2004 Weda Drilling Program (Santa Monica) 6)

Seminar Material Metalurgi 2010

Dari Tabel 4 dan Tabel 5 menunjukkan bahwa density (berat jenis) rata rata dari sample
sample zona limonit dan zona saprolit, besarnya sangat berdekatan sekitar satu (1). Hal ini
meningkatkan perkiraan akan sama kecenderungannya untuk laterit dari tempat lain di
Halmahera terutama untuk laterit dari pulau Pakal dan Tanjung Buli.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 377
Tabel 6. Zona Laterit Pulau Paka Dan Tanjung Buli Beserta Komposisi Kimianya8)

Apabila teknologi yang berbasis HPAL termasuk modifikasinya digunakan untuk


mengolah laterit kadar rendah yang terdiri dari limonit dan saprolit dengan kandungan Ni <
1,8 %. Hanya limonit dari Tanjung Buli yang sesuai untuk diolah dengan teknologi HPAL
karena mengandung MgO ± 1,325 % dan SiO2 ± 4,39 % (SiO2 < 10 %). Untuk limonit dari
tempat lain masih dipertanyakan kemampuan teknologi HPAL tersebut. Karena limonit dari
Sangaji, Santa Monica, dan Tanjung Buli mengandung SiO2 > 10 %, dan sampai saat ini
belum diketahui bagaimana mengatasi masalah silikat (SiO2) agar tidak menimbulkan ramp
up seperti HPAL plant di Australia.
Teknologi HPAL termasuk modifikasinya telah direncanakan oleh PT WBN Canada
untuk mengolah laterit teluk Weda dengan fokus laterit dari daerah Santa Monica yang
memiliki perbandingan limonit : saprolit = 1 : 1. Dimana PT WBN telah melakukan tes
laboratorium di Hydrometallurgical Research Laboratory (HRL) Brisbane Australia, dan uji
pilot plant di Dynatec Canada. Sedangkan untuk bahan baku yang akan diolah adalah limonit
dengan kandungan 3 – 6 % MgO yang dicampur (diblending) dengan saprolit sehingga
diperoleh PFB (Pressure Feed Blending) yang mengandung 9 – 10 % MgO. Dimana hasil tes
oleh WBN yang dipublikasi pada tahun 2002 adalah sbb :
1. Pengolahan PFB dengan HPAL mendapatkan perolehan (recovery) Ni : 96,8 % dan
Co : 94,8 %.
2. Pengolahan PFB dengan “Saprolit Neutralization (SN)” mendapatkan perolehan
(recovery) Ni > 80 % dan Co > 95 %. Dimana perbandingan PAL : SN = 4 : 1.
3. Pengolahan PFB dengan e-PAL atau kombinasi PAL/ATL/SN.
- Pada ATL yang terpisah pada T ± 90 0C dan t ± 2 jam dapat diperoleh (recovery) Ni ±
95 % dan Co ± 85 %.
- Untuk PAL : ATL : SN = 4 : 1 : 1 diperoleh Ni ± 80 % dan Co > 70 %.
Adapun diagram alir proses HPAL/PAL yang telah direncanakan oleh WBN, dapat dilihat
pada Gambar 4.

PAL Blend Saprolite PAL Blend Saprolite

HPAL HPAL ATL


Seminar Material Metalurgi 2010

Saprolite Saprolite
Neutralization Neutralization

CCD CCD
Gambar 4. Diagram Alir Proses PAL Dan Modifikasinya 1)

378 |  ISSN : 2085 – 0492


Masalahnya tidaklah sederhana apabila HPAL maupun modifikasinya digunakan
untuk mengolah laterit kadar rendah Halmahera, terutama untuk mengolah laterit dari Santa
Monica (daerah PT WBN) yang memiliki perbandingan limonit : saprolit = 1 : 1. Misalnya
untuk mendapatkan PFB yang mengandung 9–10 % MgO dengan mencampurkan saprolit
kedalam limonit yang mengandung 3–6 % MgO.
Apabila melihat pada hasil eksplorasi tambahan Santa Monica tahun 2004, tentunya
dengan mencampurkan saprolit dengan limonit (3–6 % MgO) selain diperoleh PFB yang
mengandung 9–10 % MgO juga akan diperoleh PFB dengan kandungan SiO2 > 20 %.
Dengan adanya masalah silikat (SiO2) yang menimbulkan ramp up pada HPAL plant
di Australia, tidak ada jaminan WBN plant akan sukses seperti Moa Bay plant. Apabila PT
WBN mengolah PFB dengan kandungan SiO2 > 20 % menggunakan teknologi HPAL.
Apalagi jika salah satu modifikasi HPAL (SN atau kombinasi PAL/ATL/SN) yang dipilih
untuk bisa mengolah limonit sekaligus saprolit daerah Santa Monica. Masalah diperkirakan
semakin kompleks. Karena beban utama tetap ada pada HPAL yang masih diragukan
kemampuannya pada skala plant (pabrik) untuk mengolah limonit dengan kandungan SiO2 >
10 %.
Selain pada HPAL plant di Australia, tampaknya HPAL ada kemungkinan gagal saat
digunakan untuk mengolah laterit di New Caledonia yang mirip dengan laterit Indonesia
khususnya laterit Halmahera. Kenyataan ini semakin terlihat tanda tandanya dari ketidak
jelasan “Goro Demonstration HPAL Plant” milik INCO di Goro New Caledonia. Namun
demikian HPAL masih berpeluang untuk digunakan pada skala plant apabila masalah silikat
(SiO2) bisa diatasi, dan inilah peluang riset untuk lembaga riset maupun perguruan tinggi
ditanah air.
 
KESIMPULAN
1. HPAL gagal digunakan pada skala plant (industri) di Australia yang mengolah laterit
kadar rendah (dry laterit di Western Australia) dengan kandungan silikat tinggi (SiO2 ±
40 %). Walaupun HPAL telah sukses pada saat uji secara laboratorium maupun pilot
plant.
2. Untuk mengolah laterit kadar rendah Halmahera dengan HPAL terutama laterit daerah
Santa Monica milik WBN, masalahnya tidak sederhana dan tidak ada jaminan bakal
sukses seperti Moa Bay plant di Cuba. Karena kandungan silikatnya tinggi (SiO2 > 10
%), dan sampai saat masih diragukan kemampuan HPAL pada skala plant (pabrik)
untuk mengolah laterit kadar rendah terutama limonit dengan kandungan SiO2 > 10 %.
3. Peluang HPAL masih terbuka untuk mengolah laterit kadar rendah Halmahera.
Apabila masalah silikat yang menimbulkan ramp up bisa diatasi, dan inilah peluang
riset untuk lembaga riset maupun perguruan tinggi ditanah air.

DAFTAR PUSTAKA :
1. Baillie, M.G., “An Update of The Weda Bay Nickel/Cobalt Laterite Project”, Weda
Bay Minerals Inc, ALTA 2002.
2. Chalkley, M.E., Toirac, I.C., “The Acid Pressure Leach Process for Nickel and Cobalt
Seminar Material Metalurgi 2010

Laterite, Part I : Review of Operation at Moa”, Hydrometallurgy and Refining of


Nickel and Cobalt, Proceeding of Nickel-Cobalt 97 International Symposium-Volume
1, August 17-20, 1997, Sudbury, Ontario, Canada. 36th Conference of Metallurgist of
CIM. 27th Hydrometallurgical Meeting of CIM.
3. Dalvi, Ashok D., Bacon, W, Gordon., Osborne, Robert C., “The Past and The Future
of Nickel Laterite”, INCO Limited, 2060 Flavelle Boulevard, Sheridan Park,
Mississauga, Ontario L5K 1Z9 Canada, PDAC 2004 International Convention Trade
Show & Investors Exchange, March 7 – 10, 2004.
4. Habashi, Fathi., “Nickel in Cuba”, Extractive Metallurgy of Copper, Nickel, and
Cobalt, Proceeding of the Paul E.Queneau International Symposium 1993.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 379
5. Kyle, J.H., Furfaro, D., “The Cawse Nickel/Cobalt Laterite Project Metallurgical
Process Development”, Hydrometallurgy and Refining of Nickel and Cobalt,
Proceeding of Nickel-Cobalt 97 International Symposium-Volume 1, August 17-20,
1997, Sudbury, Ontario, Canada. 36th Conference of Metallurgist of CIM. 27th
Hydrometallurgical Meeting of CIM.
6. Lynch, John., “Mineral Resources Estimate Increase for the Weda Bay Nickel Cobalt
Project, Halmahera Island, Indonesia”, Technical Report in Accord With National
Instrument 43-101, October 13, 2004, Weda Bay Minerals Inc.
7. Motteram, G., Ryan, M., Weizenbach, R., “Application of the Pressure Acid Leach
Process to Western Australian Nickel/Cobalt Laterite”, Hydrometallurgy and Refining
of Nickel and Cobalt, Proceeding of Nickel-Cobalt 97 International Symposium-
Volume 1, August 17-20, 1997, Sudbury, Ontario, Canada. 36th Conference of
Metallurgist of CIM. 27th Hydrometallurgical Meeting of CIM.
8. Rustiadi, “Identifikasi Mineralogi Bijih Nikel Laterit Kadar Rendah Halmahera Serta
Kemungkinan Pengolahannya Kedepan”, Kegiatan Program Insentif Bagi Peneliti &
Perekayasa LIPI, DIKTI – LIPI, Laporan akhir tahun 2009.
9. The Cofremmi Acid Leach Process For Laterite Ores, COFREMMI S.A, Compagnie
Francaise d’Entreprises minieres, Metallurgi ques et d’Investissements.
10. Wicker, Gordon R., Jha, Mahesh C., “Developments in the AMAX-COFREMMI Acid
Leach Process for Nickel Laterites”, 25th Annual Conference of Metallurgist of CIM,
Toronto Canada, August 17 – 20, 1986.
11. Wedderburn, Bruce., “Nickel Laterite Processing A Shift Towards Heap Leaching”,
ALTA Conference May 2009.  
Seminar Material Metalurgi 2010

380 |  ISSN : 2085 – 0492


STUDI KRITIS ATAS PROSES CARON UNTUK MENGOLAH BIJIH
NIKEL LATERIT KADAR RENDAH

Puguh Prasetiyo
Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan PUSPIPTEK Serpong Banten 15314

Abstrak
Indonesia dikaruniai oleh Allah cadangan bijih nikel pada peringkat dua dunia. Sumber daya alam
(SDA) bijih nikel tersebut adalah nikel oksida yang lazim disebut laterit berada di kawasan Timur Indonesia
(KTI) terutama di Sulawesi dan Halmahera. Adapun laterit terdiri dari dua jenis, yaitu : saprolit dan limonit.
Saprolit yang berkadar nikel tinggi diproses dengan cara pyrometalurgi, dan ada dua jalur produk
untuk mengolah saprolit dengan cara ini, yaitu produk FeNi (ferro nikel) seperti produksi PT Aneka Tambang di
Pomalaa Sulawesi Tenggara dan Ni matte (nikel matte) seperti produksi PT INCO di Sorowako juga di Sulawesi
Tenggara. Dimana saprolit yang diolah ditanah air berkadar Ni > 1,8 %.
Laterit kadar rendah rendah yang terdiri dari limonit dan saprolit dengan kadar Ni < 1,8 %, belum
diolah ditanah air. Untuk mengolahnya diproses dengan cara hydrometalurgi, dan ada dua jalur proses, yaitu
proses Caron dan proses HPAL (High Pressure Acid Leaching). Setelah tahun 1973 proses Caron praktis telah
ditinggalkan karena kenaikan harga minyak dunia yang dramatis, dan trend pengolahan laterit kadar rendah
(terutama limonit) menggunakan proses HPAL. Kenyataan ini akan ditinjau pada tulisan ini karena laterit kadar
rendah belum diolah didalam negeri, dan proses Caron sesuai untuk mengolah laterit kadar rendah yang ada
ditanah air. Dari sisi lain Undang Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (UU Minerba) mengamanatkan harus mengolah mineral didalam negeri.

Kata Kunci : laterit, saprolit, limonit, proses HPAL, proses Caron

Abstract
Indonesia is gived Allah the resources of nickel ore the second in the world. The resources are nickel
oxide which it say laterite locate at East Indonesia especially Sulawesi and Halmahera. There are two variety
for laterite, ie : saprolit is the high nickel content and limonite is the low nickel content. Saprolite is processed
by pyrometalurgy and there are two line product from processing saprolite, ie : to produce FeNi (ferro nickel)
as PT Aneka Tambang plant at Pomalla South-East Sulawesi and NiS (Nickel Matte) as PT INCO plant at
Sorowako also at South-East Sulawesi. Saprolite is used for raw material at two plants contain Ni > 1,8 %.
The low grade nickel not yet processed in Indonesia. Its are limonite and saprolite contains Ni < 1,8 %.
The low grade nickel is processed by hydrometalurgy and there are two line process, ie : Process Caron and
process HPAL (High Pressure Acid Leaching). The Caron’s process has been retained because the oil price
increase dramatical after 1973, and the trend to process the low grade nickel laterie is HPAL .
The fact will contemplate at this paper because the low grade nickel not yet processed, and the Caron’s
process have prospect for the condition of the low grade laterite in Indonesia. The other side the new law (UU
Minerba) entrust to process the mineral in Indonesia.

PENDAHULUAN
Ada dua jenis bijih nikel di alam, yaitu nikel sulfida berada dibelahan bumi sub tropis
dan nikel oksida yang lazim disebut laterit berada dibelahan bumi khatulistiwa (tropis). Untuk
Seminar Material Metalurgi 2010

bijih nikel, Indonesia dikaruniai Allah cadangan bijih nikel adalah nomor dua (2) di dunia.
Laterit di tanah air berada di Kawasan Timur Indonesia terutama di Sulawesi Tenggara dan
Maluku Utara.
Cadangan nikel dunia didominasi oleh laterit, yaitu sekitar 73 %. Sedangkan produksi
nikel dunia yang berasal dari laterit sekitar 44 %, dan Indonesia berkontribusi memasok
kebutukan nikel dunia sekitar 6 %. Dimana produksi nikel dunia didominasi oleh enam
perusahaan, yaitu : Norilsk Rusia, INCO Canada, Falconbridge Canada, Eramet Perancis,
WMC Australia, dan BHP Australia. Dari enam perusahaan tersebut, tiga perusahaan telah
mendapat ijin dari pemerintah untuk mengolah laterit di tanah air, yaitu PT INCO mendapat
konsesi terutama di Sulawesi Tenggara pada tahun 1970-an untuk mengolah saprolit menjadi

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 381
nikel matte (Ni – matte) di Sorowako, PT Weda Bay Nickel (WBN) Eramet mendapat konsesi
di teluk Weda Halmahera dan PT BHP mendapat konsesi dipulau Gag Papua. Kedua
perusahaan tersebut mendapat ijin pada tahun 1998 untuk mengolah laterit terutama limonit
dengan HPAL (High Pressure Acid Leaching). Dimana ijin untuk BHP dikeluarkan setelah
pemerintah mengalihkan ijin PT Pasific Nickel USA yang telah dikeluarkan pada Pebruari
1969. Menurut rencana PT Pasific Nickel USA PT Pasific Nickel USA akan mengolah laterit
pulau Gag Papua dengan proses Caron terutama untuk laterit kadar rendah.
Untuk mengolah laterit digunakan dua jalur proses, yaitu pyrometalurgi untuk
mengolah saprolit yang berkadar nikel tinggi, dan hydrometalurgi untuk mengolah laterit
(terutama limonit) yang berkadar nikel rendah.
Pyrometalurgi yang digunakan untuk memproduksi FeNi (ferro nikel) atau nikel matte
(Ni-matte) sudah ada di Indonesia, aktifitas produksi tersebut dilakukan oleh PT INCO
Canada di Sorowako Sulawesi Tenggara yang memproduksi Ni-matte dan PT Aneka
Tambang di Pomalaa Sulawesi Tenggara yang memproduksi FeNi. Dimana saprolit yang
digunakan sebagai bahan baku berkadar Ni > 1,8 %.
Hydrometalurgi yang digunakan untuk mengolah laterit kadar rendah (limonit dan
saprolit dengan kadar Ni < 1,8 %) belum ada di Indonesia. Adapun secara komersial
hydrometalurgi terdiri dari dua jalur proses, yaitu proses Caron dan proses HPAL (High
Pressure Acid Leaching).
Akibat kenaikan harga minyak dunia yang dramatis setelah tahun 1973, proses Caron
praktis telah ditinggalkan dan pengolahan laterit laterit kadar rendah khususnya limonit
cenderung menggunakan proses HPAL. Kenyataan ini akan ditinjau pada tulisan ini karena
laterit kadar rendah belum diolah di Indonesia, dan Undang Undang (UU) Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) mengamanatkan harus
mengolah mineral didalam negeri. Dari sisi lain untuk kondisi laterit kadar rendah yang ada
ditanah air, proses Caron masih punya prospek. Diharapkan tulisan ini bisa membawa
manfaat.

SUMBER DAYA LATERIT DAN PENGOLAHANNYA


Menurut R.A. Alcock dari pusat riset INCO Canada yang mempublikasikan karya
tulisnya pada tahun 1988, Indonesia adalah negara yang dikaruniai oleh Allah SWT cadangan
bijih nikel nomor dua di dunia seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Negara Negara Dengan Cadangan Bijih Nikel Oksida (Laterit) Dan Bijih Nikel Sulfida 1)
% Total Cadangan nikel
Country
(sulfida dan laterit)
New Caledonia (laterit) 27
Indonesia (laterit) 13
Canada (sulfida) 11
Cuba (laterit) 8
Uni-Soviet (Rusia sekarang) (laterit & sulfida) 7
Total 66
Seminar Material Metalurgi 2010

Data pada Tabel 1 bisa berubah untuk cadangan laterit ditanah air. Karena PT Weda
Bay Nickel (WBN) Eramet mengklaim bahwa cadangan WBN di teluk Weda Halmahera
merupakan lima besar cadangan nikel dunia. Adapun laterit yang digunakan sebagai bahan
baku untuk mendapatkan logam nikel (Ni) dan produk samping kobal (Co) yang bernilai
strategis, digolongkan dalam dua jenis, yaitu limonit dan saprolit. Endapan limonit dan
saprolit secara ideal dialam dan cara pengolahan limonit maupun saprolit, dapat dilihat pada
Gambar 1 8) dan Gambar 2 6).

382 |  ISSN : 2085 – 0492


Gambar 1. Idealized Section Through Latorized Deposit Suggestion Treatment Method Applicable
Berdasarkan studi literatur dan pengalaman penulis saat berkunjung setiap tahun dari
1996 s/d 2004 ke daerah-daerah eksplorasi dan eksploitasi laterit oleh PT Aneka Tambang.
Untuk daerah Sulawesi Tenggara, endapan saprolit lebih tebal dari pada endapan limonit.
Sedangkan untuk daerah Maluku Utara, endapan limonit lebih tebal dari pada endapan
saprolit. Adapun daerah yang telah dikunjungi adalah pulau Gebe Maluku Utara tahun 1996,
Pomalaa Sulawesi Tenggara tahun 1997 dan 2001, pulau Obi Maluku Utara tahun 1998, pulau
Gee Buli Halmahera Maluku Utara tahun 1999, pulau Bahulu Lasolo Sulawesi Tenggara
tahun 2000 dan 2002, Tanjung Buli Halmahera Maluku Utara tahun 2003, dan Sangaji Buli
Halmahera Maluku Utara tahun 2004.
Eksploitasi laterit dilakukan untuk mengambil limonit dan saprolit. PT Aneka
Tambang mengambil limonit dengan persyaratan tertentu untuk ekspor ke Queensland Nickel
Australia untuk diolah dengan proses Caron untuk memproduksi NiO. Sedangkan saprolit
dengan persyaratan tertentu selain digunakan untuk bahan baku pabrik FeNi Pomalaa, juga
diekspor ke Jepang untuk bahan baku pabrik FeNi. Adapun persyaratan saprolit maupun
limonit untuk ekspor dan bahan baku pabrik FeNi Pomalaa, ditunjukkan pada Tabel 2 & 3
dibawah ini.
Tabel 2. Komposisi Kimia Laterit Dari PT Aneka Tambang Untuk Ekspor 2)
Gebe Pomalaa
High Grade (HG) Low Grade (LG) High Grade (HG)
Element
Grade % Grade % Grade %
Ni > 2.30 > 1.50 2.20 – 2.40
Co 0.80 0.10 – 0.16 0.02 – 0.03
Fe 15 – 17 35 – 43 11.0 – 12.0
SiO2 32 – 36 Max 14 44.0 – 47.0
MgO 21 – 25 6.0 – 8.0 20.0 – 23.0
Seminar Material Metalurgi 2010

Basicity 0,60 – 0,70 - 0.41 – 0.56


Size of Ore < 20 cm < 20 cm < 20 cm
Moisture Content 34 – 38 34 – 38 29 – 31

Saprolitic ore atau High Grade ore diekspor ke Jepang untuk bahan baku pabrik ferro
nikel (FeNi), yaitu Japanese Nickel Smelter, Pasific Metals Co. Ltd, Sumitomo Metal Mining
Co. Ltd, Nippon Yakin Kogyo Co.
Limonitic ore atau Low Grade ore diekspor ke Australia untuk bahan baku proses
Caron, yaitu Queensland Nickel Pty Ltd.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 383
Gebe telah tutup pada tahun 2003/2004, sebagai ganti untuk ekspor laterit (saprolit dan
limonit) maupun bahan baku pabrik FeNi Pomalaa dipasok dari pulau Gee, Tanjung Buli,
Moronoppo, dan Pomalaa.

Tabel 3. Typical Chemical Analysis of Blended Ore 13)


Pomalaa Ferronickel Smelting Plant
Assay Pomalaa (wt-%) Gebe (wt-%)
feed ore average (wt-%)
Ni 1.80 – 2.60 2.00 – 2.65 2.20
Co 0.02 – 0.03 0.05 – 0.12 0.05
Fe 9 - 16 16 – 23 13.40
MgO 17 – 26 21 – 29 23.60
SiO2 35 – 45 27 – 37 38.80
CaO –3 – 0.4 0.40
Al2O3  1.4  1.4  1.4
Cr  0.4  0.4  0.4
P  0.003  0.003  0.003
Mn  0.700  0.700  0.700
LOI 10 12 11
PT INCO mengeksploitasi laterit untuk mengambil saprolit untuk bahan baku pabrik Ni matte
Sorowako. Pada awal operasi tahun 1977/1978, bahan baku adalah saprolit dari sebelah barat
(West Block = WB) pabrik. Selanjutnya mulai tahun 1981 sampai saat ini menggunakan
bahan baku hasil blending (pencampuran) antara saprolit dari sebelah timur (East Block =
EB) dengan saprolit dari sebelah barat (West Block = WB) pabrik. Adapun komposisi laterit
hasil campuran antara EB dengan WB, dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah.
Tabel 4. Process Plant Feed Composition 1986, % wt 5)
Feed Ni Fe SiO2 MgO SiO2/MgO
60 % EB 1.85 21.2 31 20 1.6
40 % WB 2.15 19.6 35 14 2.4
Total 1.97 20.6 32.6 17.6 1.85
Adapun Gambaran secara umum pengolahan laterit, dapat dilihat pada Gambar 2.6)
Laterit Laterit Laterit

Drying Drying High Pressure Leaching

Calcine/Reduction Calcine/Reduction CCD and Neutralization

Smelting Ammonical Purification and


Leaching Redesolution (Optional)
Seminar Material Metalurgi 2010

Refining or Converting Purification and Purification and


Recovery Recovery

FeNi or Ni matte Ni and Co Ni and Co

Smelting Caron Process HPAL


Gambar 2. Gambaran Umum Pengolahan Laterit

384 |  ISSN : 2085 – 0492


Saprolit berkadar nikel tinggi (Ni > 1,8 %) sudah diolah ditanah air oleh PT INCO
Canada dan BUMN PT Aneka Tambang. Sedangkan laterit kadar rendah yang terdiri dari
limonit dan saprolit dengan kadar Ni < 1,8 %, belum diolah didalam negeri. Padahal amanat
UU minerba diharuskan untuk mengolah mineral didalam negeri.

PENGOLAHAN LATERIT KADAR RENDAH


Pengolahan laterit kadar rendah dirintis oleh Freeport perusahaan dengan dukungan
pemerintah Amerika Serikat (USA). Dimana Freeport yang telah lama beroperasi di Cuba
untuk mengambil manggan (Mn) menemukan cadangan laterit kadar rendah yang berlimpah
di Cuba. Selanjutnya Prof Caron dari Universitas Delft Belanda dengan dukungan dana riset
dari Freeport menemukan proses untuk mengolah laterit kadar rendah dengan ammoniak
leaching, dan proses tersebut dipatenkan dengan nama proses Caron pada tahun 1924. Untuk
mengembangkan proses Caron, Freeport membangun pilot plant di Hoskins Mond Texas
dengan tujuan untuk mendapatkan data data untuk membangun pabrik di Nicaro Cuba pada
tahun 1940-an.
Pabrik pengolahan laterit kadar rendah dengan proses Caron pertama di dunia
beroperasi (commisioning) pada tahun 1944, pabrik ditutup dengan alasan tidak ekonomis
pada tahun 1947, dan dibuka lagi oleh Freeport pada tahun 1952. Dimana sampai saat ini
(2010) ini pabrik Nicaro masih beroperasi untuk memproduksi NiO (± 30.000 ton
Ni+Co/tahun). Selanjutnya proses Caron direncanakan untuk mengolah limonit di negara
negara yang memiliki cadangan laterit, misalnya PT Pasific Nickel dari USA akan mengolah
laterit kadar rendah (terutama limonit) pulau Gag Papua Indonesia, dan Marinduque Mining
Industrial Corporation dengan bantuan Sherrit Gordon Canada mengolah laterit di Nonoc
Island Philipina.
Setelah tahun 1973 akibat kenaikan harga minyak dunia secara dramatis, proses
Caron praktis ditinggalkan oleh para pemain nikel dunia. Proyek yang belum direalisasi
dengan terpaksa distop seperti PT Pasific Nickel dari USA. Sedangkan yang sudah berjalan
dan dinilai tidak ekonomis, terpaksa distop seperti Nonoc island pada tahun 1986 dan Las
Camarioca Cuba yang gagal commisioning pada tahun 1995.
Saat ini proses Caron beroperasi secara terbatas di Nicaro dan Punta Gorda Cuba,
Tocantins Brazilia, dan Qny Queensland Australia.
Pengolahan limonit dengan teknologi HPAL (High Pressure Acid Leaching) juga
dirintis oleh Freeport, yaitu melarutkan limonit didalam asam sulfat pada temperatur dan
tekanan tinggi didalam autoclave. Dimana pada saat gagasan mengolah limonit dengan asam
sulfat didalam autoclave, teknologi penggunaan autoclave telah sukses digunakan untuk
mengolah bijih emas. Adapun ide dasar pengolahan limonit dengan teknologi HPAL, limonit
dengan kadar air tinggi apabila bisa dilarutkan langsung didalam asam sulfat akan lebih
ekonomis. Karena tidak diperlukan lagi pengeringan dan pemanggangan reduksi terhadap
limonit seperti pada proses Caron (Gambar 2).
Pada tahun 1951, Freeport melakukan riset untuk mengolah limonit dengan teknologi
HPAL. Dari hasil riset ternyata laterit kadar rendah di Nicaro yang mengandung magnesium
(Mg) tinggi, tidak ekonomis apabila diolah dengan cara HPAL. Karena akan mengkonsumsi
Seminar Material Metalurgi 2010

banyak asam sulfat (H2SO4). Teknologi HPAL ekonomis apabila digunakan untuk mengolah
limonit dengan kandungan magnesium (Mg) rendah seperti limonit di daerah Moa Bay.
Pada tahun 1959 di Moa Bay, Freeport dengan bantuan Sherrit Gordon Canada
membangun pabrik pengolahan limonit dengan HPAL pertama di dunia untuk memproduksi
NiS (±22.500 ton Ni/tahun + 2.000 ton Co/tahun).
Pada tahun 1960, seluruh proyek Freeport di nasionalisasi oleh pemerintah Cuba
dibawah rezim Fidel Castro. Pada saat nasionalisasi proyek Moa Bay belum selesai, dan
dengan bantuan Uni Soviet (sekarang Rusia) maka Cuba bisa menyelesaikan proyek tersebut.
Setelah mengalami berbagai macam kesulitan sekitar 6 – 7 tahun dari awal operasi pada
pertengahan tahun 1961 maka pabrik Moa bisa beroperasi sampai saat ini.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 385
Adapun laterit kadar rendah yang diolah di Nicaro dan Moa Bay, dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Analisa Kimia Laterit Di Cuba (Dari Bijih Kering) 7)
Limonit Serpentin
Ni 1.3 1.4
Co 0.1 0.1
Cr2O3 3 1
Fe2O3 64 30
MgO 1.7 8
CaO 1 1
SiO2 3.7 40
Al2O3 8.5 2
MnO 1 0.5
H2O (Combined) 12.5 10
Keterangan :
Limonit diolah di Moa Bay dengan proses HPAL
Serpentin diolah di Nicaro dengan proses Caron
Pada tahun 1993/1994, pemerintah Cuba bekerja sama dengan Sherrit Gordon Canada
untuk proyek Moa Bay. Setelah kerja sama ditindak lanjuti, kinerja pabrik Moa makin baik
sehingga proses HPAL menjadi trend untuk mengolah limonit.
Di Indonesia belum ada pengolahan laterit kadar rendah (limonit dan saprolit dengan
kadar Ni < 1,8 %) dengan proses Caron maupun proses HPAL. PT Pasific Nickel USA telah
mendapat ijin dari pemerintah pada Pebruari 1969 untuk mengolah laterit terutama limonit
dengan proses Caron di pulau Gag Papua. Kapasitas produksi pabrik minimal 50 juta pon
metal Ni/tahun (±25.000 ton Ni/tahun) sedikitnya untuk waktu 30 tahun. Dari studi awal dan
studi studi yang lain ternyata di pulau Gag Papua bisa didirikan pabrik pengolahan limonit
dengan kapasitas produksi 100 juta pon metal Ni/tahun (±50.000 ton Ni/tahun) dan 4 juta pon
Co/tahun (±2.000 ton Co/tahun). Pada pebruari 1974 sudah disiapkan penambangan untuk
waktu lima tahun. Akibat kenaikan harga minyak dunia yang dramatis setelah tahun 1973,
proyek PT Pasific Nickel dihentikan. Berawal dari kenyataan ini maka proses Caron praktis
mulai ditinggalkan, dan boleh dikatakan sampai saat ini (2010) tidak ada proyek baru untuk
mengolah laterit kadar rendah dengan proses Caron.
Selain PT Pasific Nickel USA, Sumitomo Jepang juga menjajaki untuk mengolah
limonit dengan proses Caron, yaitu dengan cara pemerintah Jepang memberi hibah kepada
pemerintah Indonesia. Hibah tersebut berupa laboratorium laterit dan pilot plant untuk
mengolah laterit terutama limonit dengan proses Caron di Puslit Metalurgi LIPI di Puspiptek
Serpong. Proyek tersebut diresmikan oleh Presiden Suharto pada Desember 1990.
Kenyataannya Sumitomo justru mendirikan pabrik pengolahan limonit dengan proses HPAL
di Rio Tuba Philipina, bukan di Indonesia. Dimana pabrik Rio Tuba commisioning pada tahun
2005.
Pada tahun 1990-an pemerintah mengalihkan ijin PT Pasific Nickel ke PT BHP
Australia untuk mengolah limonit dengan HPAL di pulau Gag atau Sorong. Pabrik yang akan
Seminar Material Metalurgi 2010

dibangun berkapasitas produksi 20.000 ton Ni/tahun berbentuk katoda Ni dan 2.000 ton
Co/tahun berbentuk katoda Co. Pada April 1996, pemerintah memberi ijin kepada PT Weda
Bay Nickel (WBN) Canada untuk mengolah laterit terutama limonit di Weda Halmahera
dengan HPAL. Selanjutnya WBN melakukan eksplorasi dan berbagai studi untuk mengolah
laterit dengan HPAL sampai 2005. Pada tahun 2006 tepatnya bulan Mei, WBN telah resmi
berpindah kepemilikan ke Eramet Perancis. Sampai saat ini (2010), baik PT BHP maupun PT
WBN belum merealisasikan proyeknya walaupun kedua perusahaan tersebut telah mendapat
izin resmi dari pemerintah pada tahun 1998 untuk kontrak karya pertambangan generasi ke-7.
Bahkan pada tahun 2009, PT BHP mengembalikan ijin ke pemerintah sedangkan Eramet

386 |  ISSN : 2085 – 0492


bekerja sama dengan Mitsubishi Jepang untuk mengolah laterit Weda menjadi FeNi (ferro
nikel).

KECENDERUNGAN PENGOLAHAN LATERIT KADAR RENDAH


Kenyataan bahwa HPAL telah sukses untuk mengolah limonit di Moa Bay setelah
tahun 1993/1994 tidak bisa dibantah, yaitu hasil dari tindak lanjut kerja sama untuk proyek
laterit Moa antara pemerintah Cuba dengan Sherrit Gordon Canada. Hal ini bisa dilihat pada
data data operasi pabrik dari tahun 1961 s/d 1996 pada Tabel 6 dibawah ini.

Tabel 6. Data Operasi Pabrik Moa Bay Tahun 1961 – 1996 4)


Bahan Baku
Tahun Produksi NiS % ekstraksi
Limonit
Ni (%) Co (%) Produksi Ni + Co (ton) Ni Co
1961 1,5 0,12 < 2000 92,2 90 – 92,2
1966 1,32 0,13  12.000 94,8 90 –94,8
1971 1,33 0,12  18.000 94,4 90 –94,4
1976 1,33 0,123 18.000 93,8 90 –93,8
1981 1,41 0,125  20.000 94 90 –94
1986 1,39 0,125  17.000 93,9 90 –93,9
1991 1,33 0,12 < 15.500 94,6 90 –94,6
1996 1,30 0,11  26.000 96 95

Pada saat ini (2010) mungkin kapasitas produksi sudah meningkat menjadi 49.000 ton
Ni + Co/tahun dalam bentuk NiS. Karena pabrik Moa telah merencanakan untuk
meningkatkan kapasitas produksi menjadi 49.000 ton Ni + Co/tahun.
Disamping kesuksesan Moa Bay, dari segi teknis berdasarkan uji laboratorium
maupun pilot plant maka HPAL bisa juga digunakan untuk mengolah berbagai jenis laterit
dengan kandungan MgO sampai 15 %, dan lebih ekonomis dari pada HPAL plant di Moa
Bay. Seperti yang diklaim oleh AMAX USA berdasarkan litbang (penelitian dan
pengembangan) pengolahan laterit dengan HPAL sejak tahun 1960-an, uji pilot plant pada
tahun 1975, dan kerja sama AMAX USA dengan COFREMMI Perancis pada tahun 1978.
Proses HPAL lebih meyakinkan setelah uji pilot plant pada skala besar dilakukan oleh
AMAX-COFREMMI pada tahun 1978 – 1981 untuk mengolah laterit Kaledonia Baru, yaitu
limonit dengan kandungan 0,4 % Mg dan 1,2 % Ni sampai garnerit (saprolit) dengan
kandungan Mg > 18 % dan Ni  3 %. Serta kesuksesan kerja sama pemerintah Cuba - Sherrit
Gordon pada HPAL plant di Moa Bay. Kenyataan ini menyebabkan proses Caron makin
ditinggalkan, dan terjadi kecenderungan Untuk mengolah laterit terutama limonit dengan
HPAL.
Karena produksi nikel yang berasal bijih nikel sulfida praktis konstan sedangkan
kebutuhan nikel dunia terus meningkat. Sedangkan didalam laterit jumlah cadangan global
limonit lebih besar dari pada saprolit seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7, dan berdasarkan
Seminar Material Metalurgi 2010

kajian ekonomi untuk memproduksi 35.000 ton Ni dari laterit seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 8, ternyata biaya proses HPAL paling murah apabila dibandingkan dengan proses
Caron maupun pyrometalurgi. Maka HPAL dijadikan pilihan utama untuk mengolah laterit
terutama limonit, dan litbang pengolahan laterit dengan HPAL terus dilakukan.

Tabel 7. Cadangan Global Laterit Dalam Juta Metrik Ton 6)


Cadangan (Mt) Kadar Ni Kandungan Ni Distribusi (%)
Saprolit 4.000 1,55 62 Mt 39
Limonit 8.600 1,15 99 Mt 61
Laterit 12.600 1,28 161 Mt 100

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 387
Tabel 8. Basics Conditions and economics 11)
Pyromet Caron Acid Leach
Process
(RK-ELKEM) (Ammonia Leach) (Sulfuric Acid)
Ore Throughput
Dry Mt/y 1.64 3.11 2.59
Grade
Ni % 2.25 1.5 1.5
Co 0.05 0.12 0.12
Fe 15-20 35 35-40
Mg - - 3-4
Moisture 25 35 35
Recovery
Ni % 95 75 90
Co 0 50 85
Production-t
Nickel as FeNi 35,000 - -
as NiO - 31,270 -
as Metal - 3,730 35,000
Total 35,000 35,000 35,000
Cobalt as Metal Nil 1,870 2,650
Energy Base Hydro & Oil Oil Oil
Requirements
Power - MW 125 45 30
- kWH/tdo 610 - -
Fuel oil – kg/tdo 65 190 39
Sulphur – kg/tdo - 2 89
Capital-$/Annual lb.Ni
Fixed, Int, Commision $ 8.65 $ 9.06 $ 6.55
Working Capital 0.35 0.69 0.60
Total Capital $ 9.00 $ 9.75 $ 7.15
Operating- $/lb Ni
Energy $ 0.18 $ 0.67 $ 0.12
Reagents - 0.04 0.25
Other 0.52 0.66 0.84
Total Direct $ 0.70 $ 1.37 $ 1.22
Capital Recovery 1.00 1.05 0.76
Cobalt Credit Nil (0.27) (0.38)
Net Total Cost -$5 Co $ 1.70 $ 2.15 $ 1.60
-$10 Co $ 1.70 $ 1.80 $ 1.10
Pada tahun 1990-an, para pemain nikel dunia mulai merencanakan untuk mengolah
limonit dengan HPAL untuk memenuhi kebutuhan nikel dunia dan dibangun tiga (3) HPAL
plant generasi kedua di Australia yang mulai beroperasi tahun 1999. Ketiga plant di Australia
Seminar Material Metalurgi 2010

adalah Murrin Murrin dengan kapasitas produksi 45.000 ton Ni/tahun dalam bentuk briket,
Cawse dengan kapasitas produksi 9.000 ton Ni/tahun dalam bentuk katoda Ni, dan Bulong
dengan kapasitas produksi 7.000 ton Ni/tahun dalam bentuk katoda Ni. Selain di Australia,
HPAL juga dibangun di Kaledonia Baru oleh Goro INCO dengan kapasitas produksi 54.000
ton Ni/tahun dalam bentuk NiO dan di Philipina oleh Coral Bay Project of Sumitomo/Mitsui
Jepang dengan kapasitas produksi 10.000 ton Ni/tahun dalam bentuk NiS.
Sepuluh tahun kemudian setelah beroperasi, tiga HPAL plant Australia ternyata gagal
total karena teknologi HPAL belum mapan (unproven technology) untuk mengolah limonit
yang tidak mirip dengan limonit Moa Bay. Hal ini telah terbukti pada saat HPAL digunakan
untuk mengolah laterit kadar rendah (limonit) Australia dengan kandungan silikat tinggi (SiO2

388 |  ISSN : 2085 – 0492


± 42,5 % di Cawse dan SiO2 ± 42,0 % di Murrin Murrin). Walaupun secara laboratorium dan
pilot plant teknologi HPAL sudah mapan (proven technology) untuk mengolah berbagai jenis
laterit dengan kadar MgO sampai 15 %. Sehingga Bulong tutup sejak 2003, Murrin Murrin
mengubah pengolahan laterit menjadi heap leaching sejak 2007, dan Cawse tutup sejak
oktober 2008. Hanya Coral Bay Project of Sumitomo/Mitsui Jepang yang commisioning 2005
masih beroperasi karena limonit yang diolah di Rio Tuba Philipina mirip limonit Moa Bay
Cuba. Sedangkan Goro INCO di Kaledonia Baru yang rencana commisioning 2007 menunda
sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

KENAPA PROSES CARON DITINGGALKAN


Untuk membangun pabrik pengolahan laterit dibutuhkan dana ratusan juta US $,
sebagai contoh Eramet Perancis untuk membangun pabrik di Weda Halmahera membutuhkan
biaya diatas US $ 1 milyar. Sehingga sebelum membangun pabrik akan dikaji berbagai aspek
terutama teknologi pengolahan laterit, jangan sampai terulang lagi kegagalan yang dialami
oleh tiga HPAL plant di Australia, yaitu Cawse, Bulong, dan Murrin Murrin.
Proses Caron praktis ditinggalkan karena berdasarkan kajian ekonomi seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 8 diatas, biaya proses ini lebih mahal apabila dibandingkan dengan
proses HPAL maupun pyrometalurgi. Disamping itu proses ini menghasilkan perolehan yang
rendah untuk nikel (Ni : 75 – 80 %) maupun kobal (Co : 35 – 50 %). Sedangkan proses HPAL
biayanya murah dengan menghasilkan perolehan yang tinggi untuk nikel (Ni > 90 %) maupun
kobal (Co > 90 %). Walaupun demikian faktanya hingga saat ini proses Caron masih
digunakan secara terbatas di Qny Australia, Tocantins Brasilia, Nicaro dan Punta Gorda Cuba.
Karena sebagian besar Caron-plant tersebut dibangun pada tahun 1970-an pada saat harga
minyak dunia masih murah sehingga BEP (Break Event Point) telah tercapai.
Akan tetapi proses Caron tidak bisa dipandang sebelah mata untuk mengolah laterit
kadar rendah Indonesia yang terdiri dari limonit dan saprolit dengan Ni < 1,8 %. Laterit kadar
rendah tersebut mengandung magnesium tinggi (Mg > 6 %) dan silikat tinggi (SiO2 > 14 %),
kondisi laterit tersebut jelas tidak bisa diolah dengan proses HPAL. Karena proses HPAL
yang sukses seperti Moa Bay mengolah bahan baku limonit dengan persyaratan magnesium
rendah dan silikat rendah, yaitu : Mg < 6 % dan SiO2 < 10 %.
Pertanyaannya proses Caron yang bagaimana yang punya prospek untuk mengolah
laterit kadar rendah Indonesia ? Jawabannya adalah modifikasi proses Caron yang bisa
mengolah berbagai jenis laterit dengan perolehan yang setara dengan proses HPAL, yaitu
modifikasi proses Caron yang mampu menghasilkan perolehan yang tinggi untuk nikel (Ni >
90 %) maupun kobal (Co > 90 %). Walaupun hal ini tidak mudah untuk bisa diwujudkan
tetapi itulah peluang untuk mengoptimalkan pemanfaatan laterit kadar rendah di tanah air.

Daftar Pustaka :
1. Alcock, R.A., “The Character And Occurance Of Primary Resources Available To
The Nickel Industry”, INCO LIMITED 2060 Flavelle Blvd Sheridan Park research
Center Mississauga, Ontario, Canada L5K 1Z9, Extractive Metalurgy of Nickel and
Cobalt, edited By G.P. Tyroler and C.A. Landolt The Metallurgical Society, 1988.
Seminar Material Metalurgi 2010

2. Aneka Tambang.,”An Overview September 1999.


3. Baillie, M.G., "An Update of the Weda Bay Nickel/Cobalt Laterite Project, Weda Bay
Minerals inc, 2002.
4. Chalkey, M.E., Toirac, I.I., "The acid pressure leach procees for nickel and cobalt
laterite, Part I : Review of operation of Moa ", Moa Nickel S.A. Correctera del Puerto
SIN Moa, Holguin, Cuba, Hydrometallurgy and Refining of Nickel and Cobalt,
Proceedings of The Nickel Cobalt 97 International Symposium Volume I, August 17 -
20, 1997, Sudbury, Ontario Canada.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 389
5. Dalvy, A.D., Guiry, J.D., Osborne, R.C., "Developments at PT INCO's Indonesian
Nickel Project", 25th Annual Conference of Metallurgist 1986, August 17 - 20, 1986,
Toronto, Ontario, Canada.
6. Dalvy, A.D., Bacon, Gordon., Osborne, R.C., "The Past and the Future of Nickel
Laterites", INCO LIMITED 2060 Flavelle Blvd Sheridan Park research Center
Mississauga, Ontario, Canada L5K 1Z9, PDAC 2004 International Convention, Trade
Show & Investors Exchange March 7-10, 2004.
7. Data data lepas dari PT Aneka Tambang.
8. Habashi, Fathi., "Nickel in Cuba", Laval University, Quebec City, Canada G 1KP4.,
WILEY VCH, Proceeding of The Paul E. Queneau International Symposium,
Extractive Metallurgy of Copper, Nickel, and Cobalt, Volume I : Fundamental aspecs,
1993.
9. Habashi, Fathi., "Nickel", Handbook of Extractive Metallurgy, Volume II, Department
of Mining and Metallurgy, Laval University, Quebec City, Canada G 1KP4., WILEY
VCH, 1997.
10. Mccalcum, Rebecca., “Nickel”, Australian Commodities vol 14 no 1 March Quarter
2007, ABARE Australia.
11. Simons, C.S., “The Production of Nickel : Extractive Metallurgy – Past, Present, and
Future”, Consulting Chemical and Metallurgical Engineer Tucson, Arizona USA,
Extractive Metalurgy of Nickel and Cobalt, edited By G.P. Tyroler and C.A. Landolt
The Metallurgical Society, 1988.
12. Slamet Darmoko., President Director PT Aneka Tambang, “Development of Nickel
Industry in Kawasan Timur Indonesia”, Seminar and Workshop on Mamberano River
Catchment Area Development: As a Growth Area in Eastern Part of Indonesia,
Jakarta, April 7-8, 1997.
13. Taylor, Alan., “Nickel Processing Technology 10 Years On From Cawse, Bulong And
Murrin Murrin”, ALTA Metallurgical Services-Australia, 2007.
14. Wiryokusumo, y., Loebis, A.S., Badrujaman, T., Miraza., T., "Pomalaa Ferronickel
Smelting Plant of PT Aneka Tambang", South-East Sulawesi Indonesia,
Pyrometallurgical Operations Enviroment Vessel Integrity in High-intensity Smelting
and Converting Processes, Proceedings of The Nickel Cobalt 97 International
Symposium Volume III, August 17 - 20, 1997, Sudbury, Ontario Canada.
Seminar Material Metalurgi 2010

390 |  ISSN : 2085 – 0492


CACAT GETAS PADA PEMBUATAN PELAT TIPIS
DENGAN PROSES RAPID SOLIDIFIKASI TWIN ROLL
DARI MATERIAL ALUMINIUM PADUAN

Saefudin
Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan PUSPIPTEK Serpong Banten 15314

Abstract
Pada penelitian ini, dilakukan pembuatan pelat tipis dengan prosess rapid solidifikasi twin roll dari
material aluminium paduan yang temperatur peleburannya 800oC. Kemudian material tersebut dilebur dan di
roll dalam kedaan material cair dan cairan akan mengalami pembekuan cepat akibat roll keadaan dingin,
sehingga material mengalami terdeformasi menjadi pelat tipis. Hasil pelat tipis dari material tersebut diuji
kekerasan, struktur mikronya dan SEM. Adapun hasil pengujian kekerasan tersebut diperoleh pada material
pelat tipis aluminium paduan kekerasan yang diperoleh tinggi baik pada posisi searah roll. Hal ini materialnya
mengalami penggetasan dan robek akibat fasa yang diperoleh adalah denritik sedangkan sifat fasa denritik
sendiri getas. Kemudian hasil roll pelat tipis tersebut mengalami robek diakibatkan oleh unsur yang dikandung
yaitu Al, Mg, Si, Mn, Cu hal ini akan mengakibatkan terjadinya unsur partikel keras mgSi2 bila di roll akan
timbul retakan.

Kata Kunci : Al paduan, Rapid solidifikasi, Twin roll, Nozel, Pelat tipis, Pengggetasan, Denritik, Partikel keras
(senyawa logam), robekan.

PENDAHULUAN.
Semakin majunya teknologi industri pembentukan pelat tipis di Indonesia, Semakin
berkembangnya pembuatan pelat tipis dengan cara proses solidifikasi twin roll.
Pada pembuatan pelat tipis secara rapid solidifikasi twin roll sangat berbeda dengan
pembentukan pelat tipis secara biasa, sebab kalau pembuatan pelat tipis secara biasa material
yang diroll dalam keadaan padat baik roll panas maupun roll dingin. Tetapi bila pada proses
rapid solidifikasi twin roll, materialnya dalam keadaan cair dituang kedalam roll melalui
nozzle. Kemudian material cair mulai turun suhunya dari nozle kemudian terjadi pembekuan
cepat pada roll, sebab roll dalam keadaan dingin terus material terdeformasi menjadi pelat
tipis. Pada pembuatan pelat tipis dengan cara rapid solidifikasi twin roll dari material
aluminium paduaan mempunyai kendala yaitu hasil roll pelat tipis mengalami penggetasan
dan robek. Maka dalam penelitian ini difokuskan pada penyebab dari terjadinya penggetasan
dan robek pada proses pembuatan pelat tipis dengan cara rapid solidifikasi twin roll dari
material aluminium paduan tersebut. Maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk mendapat
kan pelat tipis dari aluminium paduan dengan cara rapid solidifikasi twin roll. Tujuan
penelitian ini untuk melihat penyebab terjadinya penggetasan dan robek pada pembuatan pelat
tipis dengan cara rapid solidifikasi twin roll dari material aluminium paduan.

TEORI DASAR.
Seminar Material Metalurgi 2010

Kekuatan Bahan
Kekuatan bahan dapat didefinisikan sebagai ketahanan bahan terhadap deformasi.
Dalam praktek, angka kekuatan suatu bahan diperoleh dari pengujian mekanik ( misalnya :
Pengujian tarik). Kekuatan bahan dapat dinyatakan dengan kekuatan luluh ( Yield strength)
ataupun kekuatan tarik (tensile strength). Bila ditinjau lebih dalam, yaitu dari teori dislokasi,
maka deformasi atau perubahan bentuk terjadi apabila dislokasi-yang ada didalam logam
bergerak kepermukaan luar. Dislokasi-dislokasi akan bergerak bila ada tegangan geser yang
bekerja pada dislokasi tersebut. Tegangan geser ini berasal dari beban atau gaya luar yang
bekerja pada logam tersebut. Dengan demikian maka mudah atau tidaknya gerakan dislokasi
akan menentukan mudah atau tidaknya suatu bahan mengalami deformasi. Semakin sukar

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 391
dislokasi –dislokasi bergerak, maka semakin tinggi pula kekuatan logam tersebut. Dengan
perkataan lain : Kekuatan logam adalah tahan terhadap gerakan dislokasi. Dari titik tolak
inilah maka dikembangkan berbagai metoda untuk menaikan kekuatan logam, beserta teori
yang mendasarinya.

Mekanisme-mekanisme Penguatan logam


Logam bertambah kuat bila gerakan dislokasi dihambat dengan diberikannya
rintangan – rintangan (obstacles). Secara singkat dapat disebutkan mekanisme-mekanisme
penguatan sebagai berikut :
 Penguatan dengan pengerjaan dingin (work hardening).
 Penguatan dengan larut padat (solid solution strengthening).
 Penguatan dengan fasa kedua (second phase strengthening).
 Penguatan dengan penghalusan butir (Grain boundary strengthening).
 Penguatan dengan penyebaran fasa kedua (precipitation / dispersion hardening).
 Penguatan dengan transfrmasi martesite (Martensitic transformation).

Beberapa rintanagan (obstacles) terhadap gerakan dislokasi dapat terlihat pada struktur
mikro. Demikianlah maka struktur mikro mempengaruhi kekuatan logam serts sifst-sifst
mekanik yang lain.

Ukuran Butir.
Ukuran butir pada coran diprhitungan oleh hubungan antara kecepatan pertumbuhan G
dan kecepatan pengintian N. Jika jumlah dari pengintian terbentuk tinggi material yang akan
dihasilkan berbutir halus, dan jika hanya terbentuknya pengintian sedikit material yang
dihasilkan berbutir kasar. Kecepatan pendinginan adalah faktor yang paling penting dalam
membedakan kecepatan dalam pengintian dan oleh karena itu ukuran butir, keceptan
pendinginan (chill cast) akan menghasilkan jumlah yang besar terbentuknya inti dan ukuran
butir halus. Dimana pendinginan pelan (coran pasir) atau cetaakan panas hanya terbentuk
pengintian sedikit saja dan mereka akan mempunyai perubahan pertumbuhan. Penguapan
cairan sebelum pengintian bisa membentuk lebih dan mereka akan telah berubah untuk
pertumbuhan. Faktor-faktor lain yang menambah kecepatan untuk pengintian, kemudian
membantu pembentukan untuk butir halus adalah :
1. Kelarutan pengotor demikian seperti Aluminium dan titanium yang membentuk
kelarutan oksida pada baja.
2. Pengadukan cairan selama pembekuan yang mana menuju memecahkan atas kristal
sebelum mereka telah berubah pertumbuhan sangat besar.

Pertumbuhan relatif cepat untuk kecepatan pengintian lebih beasar pada atau
pengaturan dibawah titik pembekuan, jika jika cairan tepat betul menjaga temperatur
pembekuan dan permukaan diuletkan oleh suatu kristal sangat kecil (bibit). Kristal akan
tumbuh kebawah dalam cairan. Jika itu ditarik pelan-pelan kristal tunggal bisa dihasilkan.
Pada umumnya, kristal-kristal berbutir halus memperlihatkan ketangguhan atau tahan shock
Seminar Material Metalurgi 2010

lebih baik. Mereka lebih keras dan lebih kuat dari pada material berbutir kasar. Dalam industri
proses pengecoran, dimana cairan panas berhubungan dengan suatu cetakan masih dingin,
gradiaen temperatur akan ada dalam cairan. Bagian luar adalah pada temperatur paling
rendahdari pada pusat dan oleh karena itu mulai untuk pertama pembekuan. Kemudian
beberapa pengitian terbentuk pada dinding cetakan dan mulai untuk tumbuh pada segala arah.
Mereka meneruskan aliran kedalam samping dari cetakan dan masing-masing lainnya. Agar
arah tak terbatas hanya untuk pertumbuhan ke bagian pusat. Hasil butir-butir berkolom
panjang, salah satunya, tegak lurus pada permukaan cetakan. Ini menggambarkan untuk Pb
kemurnian tinggi, Seterusnya kedinding cetakan, dimana kecepatan pendinginan adalah cepat
berbutir kecil. Sewaktu kebagian pusat dimana kecepatan pendinginan pelan butir lebih besar

392 |  ISSN : 2085 – 0492


dan panjang . Jika cetakan mempunyai sudut tajam bidang lemah akan mengembangakn dari
sudut ini karena kedua gas dan pengotor pembekuan cenderung terkosentrasi sepanjang
bidang ini.Untuk menghidari bidang ini, desain coran yang baik perbedaan cetakan dengan
sudut dibulatkan.

LANGKAH PERCOBAAN
Dalam percobaan ini dilakukan proses peleburan dari material aluminium paduan.
Dimana proses peleburan dilakukan pada suhu peleburan aluminium paduan 800°C. Dalam
proses peleburan menggunakan tungku listrik yaitu tungku mufle dimana suhu operasi tungku
tersebut max 1200°C, menggunakan krusible SiC sebagai wadah cairan logam dengan
kapasitas ± 1 kg. Dari bahan yang sudah dipotong – potong dimasukan kedalam krusibel dan
dimasukkan ke tungku. Kemudian atur suhu peleburannya serta ditahan sampai logam
mencair setelah mencair krusibel dikeluarakan dari tungku. Selanjutnya atur suhu penuangan
dengan cara menurunkan suhu tuangnya, misal untuk material aluminium paduan sekitar
649°C. Setelah suhu cairan dalam krusibel sudah mencapai suhu penuangan yang diminta,
kemudian langsung dituangkan dalam roll melalui nozle. Maka cairan akan mengalami
penurunan suhu dari nozle ke roll didaerah roll akan terjadi pendinginan cepat akibat kedaan
roll yang dingin sehingga cairan akan membeku sempurna dan terdeformasi menjadi pelat
tipis. Dari hasil proses roll berupa pelat tipis kemudian diuji struktur mikro dan kekerasan
(Hv),dan SEM dari data percobaan penelitian di kumpulkan kemudian dibahan dan diambil
kesimpulannya. Adapun diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Proses Peleburan

Aluminium paduan

Pengerolan

Cacat getas pada hasil roll

Pengujian

Pembahasan

Kesimpulan
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 1. Diagram alir percobaan penelitian.


DATA HASIL PENELITIAN.
Material.
Material yang dipakai untuk percobaan adalah aluminium paduan adapun kandungan
material tersebut terdiri Al, Si, Mg, Mn, dan Cu.

Proses Peleburan.
Aluminium paduan mempunyai suhu lebur rendah sehingga peleburan cukup
menggunakan tungku mufle, dimana suhu operasi tungku tersebut sekitar 1200°C. Tungku
mufle ini menggunakan energi listrik, sehingga cairan yang dilebur cukup bersih

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 393
dibandingkan dengan tungku arang atau tungku enersi minyak. Suhu bisa diatur karena
mempunyai termokontrol dan termokopel yang otomatis. Adapaun tempat cairan logam
menggunakan krusibel yang terbuat silikon karbida yang mempunyai kapasitas 0.5 sampai 1
kg. Adapun tungku mufle dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Tungku Mufle.


Proses Roll.
Pada proses roll ini material yang akan di roll dalam keadaan cair, dimana mesin perlu
dilengkapi dengan nozel sebagai pengalir cairan ke roll. Cairan akan terjadi pendinginan cepat
diantara kedua roll tersebut, kenapa karena roll keadaan dingin sehingga cairan logam akan
mengalami pembekuan cepat. Dimana kecepatan roll yang digunakan adalah 20 rpm. Dan
nozel tergantung gape roll dan gape roll tergantung hasil tebal pelat yang akan dihasilkan.
Cairan yang sudah siap dituang di masukan pada nozel dan akan mengalir pada roll dan cairan
juga akan mengalami pembekuan cepat pada roll sehingga logam yang telah membeku akan
ke roll dan menjadi pelat tipis. Mesin roll yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 3.

Roll

Nozzle

Gambar 3. Mesin roll berikut nozle.


Temperatur Penuangan.
Seminar Material Metalurgi 2010

Temperatur penuangan sangat menentukan dalam pengerollan, maka perlu kontrol


suhu logam cair yang akan dituang pada roll. Maka perlu peralatan kontrol suhu tersebut yaitu
termokopel dan termokotrolnya. Sebab bila suhu tuang terlalu tinggi maka akan terjadi cairan
terlambat mengalami pembekuannya sehingga cairan berhaburan tidak karuan dan tidak
terjadi pelat hasilnya. Jika suhu penuangan terlalu rendah maka cairan mengalami pembekuan
ditengah jalan tepatnya pada nozel sehingga logam cair tidak mengalir kedalam roll. Oleh
karena itu suhu penuangan harus tepat dan sesuai sehingga cairan akan mengalir pada roll dan
cairan akan mengalai pembekuan cepat sehingga logam akan keroll dan menjadi pelat yang
tipis. Adapun suhu penuangan untuk bahan aluminium paduan 649°C

394 |  ISSN : 2085 – 0492


Hasil Percobaan Roll
Pada percobaan ini material yang digunakan aluminium paduan, dimana temperatur
penuangan aluminium paduan 649°C. Dituangkan pada nozle dan cairan mengalir kedalam
roll kemudian cairan mengalami pendinginan mendadak akibat roll keadaan dingin sehingga
terjadi pembekuan cepat akhirnya logam yang sudah dalam keadaan beku keroll dan menjadi
pelat tipis. Hasil pengerolan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Hasil roll aluminium Paduan material menjadi getas.


Hasil Kekerasan.
Pada Pengujian kekerasan sampel yang diuji seperti pada Gambar 5. yaitu Searah
dengan roll dan tidak searah dengan roll.

Gambar 5. Posisi pengambilan uji keras searah roll dan tidak searah roll..
Untuk hasil uji kekerasan aluminium paduan tidak searah roll adalah 175.6, 165.2,
155.8, 167.2, 165.2 Hv dengan kekerasan rata-rata 165.8 Hv. Sedang untuk aluminium
paduan hasil uji kekerasan searah roll adalah 167.2, 153.1, 181.1, 181.1, 193.0 HV dengan
kekerasan rata-rata 175.1 Hv.

Hasil Pemeriksaan Struktur Mikro


Seminar Material Metalurgi 2010

Pada pemeriksaan struktur mikro dari hasil roll pelat tipis dengan tebal 0.5 mm
tersebut, Posisi pemeriksaannya yaitu posisi serah roll, tidak searah roll. Sedangkan
pembesaran nya 20 µm. Adapun hasil pemeriksaan struktur mikro posisi searah dengan roll
dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 395
Gambar 6. Hasil struktur mikro sampel posisi searah roll dengan pembesaran 30µm. Untuk material Aluminium
paduan.

Gambar 7. Hasil struktur mikro sampel posisi tidak searah roll dengan pembesaran 30µm. Untuk material
Aluminium paduan

Pemeriksaan struktur mikro dengan SEM searah roll dan tidak searah roll dengan
pembesaran 450 X seperti terlihat pada Gambar 8 dan Gambar 9.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 8. Pemeriksaan struktur mikro searah roll dengan SEM dengan pembesaran 450 X.

396 |  ISSN : 2085 – 0492


Gambar 8. Pemeriksaan struktur mikro tidak searah roll dengan SEM dengan pembesaran 450 X.

004

Gambar 9. Posisi penembakan daerah 004.


004
12000

10500
AlKa

9000

7500
CuLa
Counts

6000
MnLl MnLa CuLl
MgKa

4500
MnKb

Seminar Material Metalurgi 2010

3000
MnKa

CuKb
CuKa
SiKa

1500

0
0.00 3.00 6.00 9.00 12.00 15.00 18.00 21.00

keV

Gambar 10. Grafik unsur yang ada pada daerah 004.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 397
Tabel 1. Hasil analisa kuantitatif komposisi kimia pada daerah 004.
ZAF Method Standardless Quantitative Analysis
Fitting Coefficient : 0.2393
Element (keV) Mass% Error% Atom% Compound Mass% Cation K
Mg K 1.253 12.51 0.30 13.73 15.1848
Al K 1.486 85.83 0.40 84.88 83.8547
Si K* 1.739 1.29 1.01 1.23 0.5798
Mn K* 5.894 0.20 1.52 0.10 0.2064
Cu K* 8.040 0.17 3.16 0.07 0.1743
Total 100.00 100.00

005

100
100 µm
µm
Gambar 11. Posisi penembakan daerah 005.
005
6400

5600
AlKa MgKa

4800

4000
CuLa
Counts

3200
MnLl MnLa CuLl

2400
MnKb

1600
MnKa

CuKb
CuKa
SiKa

800

0
0.00 3.00 6.00 9.00 12.00 15.00 18.00 21.00

keV
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 12. Grafik unsur yang ada pada daerah 005.


Tabel 2. Hasil analisa kuantitatif komposisi kimia pada daerah 005
ZAF Method Standardless Quantitative Analysis
Fitting Coefficient : 0.2374
Element (keV) Mass% Error% Atom% Compound Mass% Cation K
Mg K 1.253 37.00 0.22 39.51 51.4304
Al K 1.486 61.98 0.43 59.64 47.9100
Si K* 1.739 0.81 0.73 0.75 0.4222
Mn K* 5.894 0.18 1.12 0.08 0.2015
Cu K* 8.040 0.03 2.34 0.01 0.0359
Total 100.00 100.00

398 |  ISSN : 2085 – 0492


006

100
100 µm
µm
Gambar 13. Posisi penembakan daerah 006.
006
12000

10500
AlKa

9000

7500
Counts

6000
MgKa

4500
MnKb
MnLl MnLa

3000
MnKa
SiKa

1500

0
0.00 3.00 6.00 9.00 12.00 15.00 18.00 21.00

keV
Gambar 14. Grafik unsur yang ada pada daerah 006.
Tabel 3. Hasil analisa kuantitatif komposisi kimia pada daerah 006.
ZAF Method Standardless Quantitative Analysis
Fitting Coefficient : 0.2432
Element (keV) Mass% Error% Atom% Compound Mass% Cation K
Mg K 1.253 15.96 0.29 17.44 20.1250
Al K 1.486 82.88 0.41 81.56 79.2293
Seminar Material Metalurgi 2010

Si K* 1.739 0.96 0.98 0.91 0.4470


Mn K* 5.894 0.19 1.47 0.09 0.1987
Total 100.00 100.00

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 399
007

100
100 µm
µm
Gambar 15. Posisi penembakan daerah 007.
007
12000

10500
AlKa

9000
CuLl MnLa CuLa

7500
Counts

6000
MgKa

4500
MnKb
MnLl

3000
MnKa

CuKb
CuKa
CKa

SiKa

1500

0
0.00 3.00 6.00 9.00 12.00 15.00 18.00 21.00

keV

Gambar 16. Grafik unsur yang ada pada daerah 007.


Tabel 4. Hasil analisa kuantitatif komposisi kimia pada daerah 007.
ZAF Method Standardless Quantitative Analysis
Fitting Coefficient : 0.2383
Element (keV) Mass% Error% Atom% Compound Mass% Cation K
C K 0.277 27.33 1.23 45.34 3.6251
Mg K 1.253 13.17 0.21 10.80 20.5310
Al K 1.486 58.62 0.28 43.30 75.0725
Si K* 1.739 0.70 0.54 0.49 0.5194
Mn K* 5.894 0.03 0.97 0.01 0.0481
Cu K* 8.040 0.15 2.03 0.05 0.2039
Total 100.00 100.00

Tabel 5. Hasil komposisi kimia rata-rata kuantitatif.


Al % Mg% Si% Mn% Cu% O% C%
Seminar Material Metalurgi 2010

61.4 16.6 0.8 0.24 0.04 43.12 4.21

PEMBAHASAN
Pada pembahasan ini, ditinjau dari hasil kekerasan (Hv) dari material aluminium
paduan terlihat pada grafik Gambar 17, ternyata pada grafik kekerasan menyatakan kekerasan
yang paling tinggi pada posisi searah dengan roll. Disini bisa dilihat pada struktur mikro
butirnya lebih halus posisi tidak searah roll dibandingkan dengan searah roll besar butirnya
kasar (besar) sehingga kekerasannya tinggi. Disamping itu pada aluminium paduan kekerasan
sangat tinggi sehingga sifat materialnya hasil roll berupa pelat tipis sangat getas dan
mengalami robekan, hal ini diakibatkan oleh fasa yang ada pada material tersebut adalah

400 |  ISSN : 2085 – 0492


denritik yang bersifat getas, kemudian oleh kandungan unsurnya yaitu Al, Mg, Si, Cu, Mn ini
yang bisa membentuk fasa keras yaitu senyawa logam MgSi2 partikel keras ini bisa
menyebabkan penggetasan dan timbul robekan hal ini bisa dilihat pada Gambar 4.
H a s il K e k e ra s a n P e la t tip is Alu m in iu m P a d u a n

tdk s earah rol


Posisi Uji

S earah rol

0 50 100 150 200


K e ke rasan (H v )

Gambar 17. Hasil kekerasan pelat tipis aluminium paduan hasil roll.

KESIMPULAN
Hasil kekerasan aluminium paduan sangat tinggi sehingga material menjadi getas, hal
ini diakibatkan fasa yang ada diperoleh denritik yang bersifat getas.
Karena kandungan unsur Mg dan si tinggi pada material sehingga mengakibatkan
membentuk partikel yang keras yaitu MgSi2 maka bila material mengalami roll akan terjadi
robekan. Karena paduan unsur yang tinggi misal Mg, Si maka material tersebut tidak bisa
diroll.

DAFTAR PUSTAKA.
1. Surdia T., Chijiwa k., 2000 “ Teknik Pengecoran Logam “ Cetakan Ke 8, PT Pradnya
Paramitha, Jakarta.
2. Heine R. W, “ Principle of Metal Casting “ Tata Mc Graw Repint 1978.
3. Sidney H Avner, “ Introduction to Physical Metallurgy’ , Second Edition, Copy Right
© 1974 by Mc Graw Hill Inc.
4. Dr. Ir. Mardjono Siswo Suwarno, “ Mata Kuliah Metal Mekanik “ A.I.L. Bandung
1982.
Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 401
Seminar Material Metalurgi 2010

402 |  ISSN : 2085 – 0492


PEMBUATAN PELAT TIPIS DENGAN PROSES RAPID
SOLIDIFICATION TWIN ROLL DENGAN MATERIAL PEWTER,
ALUMINIUM DAN ALUMINIUM PADUAN

Saefudin, Fendy Rokhmanto, Yuswono


Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan PUSPIPTEK Serpong Banten 15314

Abstrak
Pada penelitian ini, dilakukan pembuatan pelat tipis dengan prosess rapid solidifikasi twin roll dari
material pewter yang temperatur peleburan 500oC, aluminium yang temperatur peleburannya 750oC dan
aluminium paduan yang temperatur peleburannya 800 oC. Kemudian ketiga material tersebut masing-masing
dilebur dan di roll dalam kedaan material cair dan cairan akan mengalami pembekuan cepat akibat roll
keadaan dingin, sehingga material mengalami terdeformasi menjadi pelat tipis. Masing-masing hasil pelat tipis
dari ketiga material tersebut diuji kekerasan dan struktur mikronya. Adapun hasil pengujian tersebut diperoleh
pada material pewter dan aluminium pada posisi tidak searah roll paling tinggi kekerasannya, walau
kekerasannya yang didapat berbeda karena sifat materialnya berbeda. Hal ini diakibatkan besar butirnya lebih
kasar (Besar) dibandingkan dengan posisi searah roll yang berbutir halus (kecil). Tetapi pada pelat tipis
aluminium paduan kekerasan yang diperoleh tinggi baik pada posisi searah roll hal ini berbeda dari kedua sifat
material, dan materialnya mengalami penggetasan dan robek hal ini akibat fasa yang diperoleh adalah denritik
sedangkan sifat fasa denritik sendiri getas. Kemudian material mengalami robek diakibatkan oleh unsur yang
dikandung material tersebut yaitu Al, Mg, Si, Mn, Cu hal ini akan mengakibatkan terjadinya unsur partikel
keras mgSi2 bila di roll akan timbul retakan. Kesimpulan, material al paduan tidak bisa diroll akibat unsur Mg
dan Si cukup tinggi.

Kata Kunci : Al paduan, Rapid solidifikasi, Twin roll, Nozel, Pelat tipis, Pengggetasan, Dendritik, Partikel
keras (senyawa logam), robekan

PENDAHULUAN
Semakin maju teknologi dalam proses pembentukkan pelat tipis dikalangan industri di
Indonesia, yaitu proses pembentukkan pelat tipis dengan proses rapid solidification twin roll.
Proses tersebut tidak sama dengan proses pembentukkan pelat tipis secara biasa, dimana
proses pembentukkan pelat tipis dengan deformasi roll dari material dalam kedaan padat baik
dalam cold roll maupun hot roll prosesnya. Tetapi dalam proses secara rapid solidification
twin roll berbeda yaitu material dalam keadaan cair dan di tuangkan dalam roll melalui nozzle
sudah barang tentu cairan akan turun suhunya dari mulai nozzle dan sampai ke roll akan
terjadi kecepatan pembekuan karena roll dalam keadaan dingin sehingga cairan akan
mengalami pembekuan kemudian terjadi deformasi pelat tipis pada roll tersebut. Dalam
proses ini akan mengalami kendala pada pengaturan suhu penuangan, bila keadaan suhu
tinggi cairan masih kedaan cair sehingga tak bisa keroll karena material akan lewat terus
dalam keadaan cair, bila suhu terlalu rendah maka terjadi pembekuan dini sehingga cairan
Seminar Material Metalurgi 2010

membeku dahulu sebelum melewati roll. Dalam hal ini suhu penuangan harus benar tepat
sehingga terjadi deformasi pada roll karena cairan akan mengalami pembekuan yang cepat di
roll. Pada penelitian ini akan difokuskan pada proses pembuatan pelat tipis dengan cara proses
rapid solidification twin roll dari material pewter, aluminium dan aluminium paduan. Maksud
dan tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan pelat tipis dari proses rapid solidification
twin roll dari material pewter, aluminium dan aluminium paduan. Sedang tujuan penelitian ini
untuk melihat sifat mekaniknya terutama sifat kekerasannya dan struktur mikro.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 403
TEORI DASAR
Kekuatan Bahan
Kekuatan bahan dapat didefinisikan sebagai ketahanan bahan terhadap deformasi.
Dalam praktek, angka kekuatan suatu bahan diperoleh dari pengujian mekanik ( misalnya :
Pengujian tarik). Kekuatan bahan dapat dinyatakan dengan kekuatan luluh ( Yield strength)
ataupun kekuatan tarik (tensile strength). Bila ditinjau lebih dalam, yaitu dari teori dislokasi,
maka deformasi atau perubahan bentuk terjadi apabila dislokasi-yang ada didalam logam
bergerak kepermukaan luar. Dislokasi-dislokasi akan bergerak bila ada tegangan geser yang
bekerja pada dislokasi tersebut. Tegangan geser ini berasal dari beban atau gaya luar yang
bekerja pada logam tersebut. Dengan demikian maka mudah atau tidaknya gerakan dislokasi
akan menentukan mudah atau tidaknya suatu bahan mengalami deformasi. Semakin sukar
dislokasi –dislokasi bergerak, maka semakin tinggi pula kekuatan logam tersebut. Dengan
perkataan lain : Kekuatan logam adalah tahan terhadap gerakan dislokasi. Dari titik tolak
inilah maka dikembangkan berbagai metoda untuk menaikkan kekuatan logam, beserta teori
yang mendasarinya.

Mekanisme-mekanisme Penguatan logam


Logam bertambah kuat bila gerakan dislokasi dihambat dengan diberikannya
rintangan – rintangan (obstacles). Secara singkat dapat disebutkan mekanisme-mekanisme
penguatan sebagai berikut :
 Penguatan dengan pengerjaan dingin (work hardening).
 Penguatan dengan larut padat ( solid solution strengthening).
 Penguatan dengan fasa kedua ( second phase strengthening).
 Penguatan dengan penghalusan butir (Grain boundary strengthening).
 Penguatan dengan penyebaran fasa kedua ( precipitation / dispersion hardening).
 Penguatan dengan transfrmasi martesite ( Martensitic transformation).

Beberapa rintangan (obstacles) terhadap gerakan dislokasi dapat terlihat pada struktur
mikro. Demikianlah maka struktur mikro mempengaruhi kekuatan logam serts sifst-sifst
mekanik yang lain.

Ukuran Butir.
Ukuran butir pada coran diprhitungan oleh hubungan antara kecepatan pertumbuhan G
dan kecepatan pengintian N. Jika jumlah dari pengintian terbentuk tinggi material yang akan
dihasilkan berbutir halus, dan jika hanya terbentuknya pengintian sedikit material yang
dihasilkan berbutir kasar. Kecepatan pendinginan adalah faktor yang paling penting dalam
membedakan kecepatan dalam pengintian dan oleh karena itu ukuran butir, keceptan
pendinginan (chill cast) akan menghasilkan jumlah yang besar terbentuknya inti dan ukuran
butir halus. Dimana pendinginan pelan (coran pasir) atau cetaakan panas hanya terbentuk
pengintian sedikit saja dan mereka akan mempunyai perubahan pertumbuhan. Penguapan
cairan sebelum pengintian bisa membentuk lebih dan mereka akan telah berubah untuk
pertumbuhan. Faktor-faktor lain yang menambah kecepatan untuk pengintian, kemudian
Seminar Material Metalurgi 2010

membantu pembentukan untuk butir halus adalah :


1. Kelarutan pengotor demikian seperti Aluminium dan titanium yang membentuk
kelarutan oksida pada baja.
2. Pengadukan cairan selama pembekuan yang mana menuju memecahkan atas kristal
sebelum mereka telah berubah pertumbuhan sangat besar.

Pertumbuhan relatif cepat untuk kecepatan pengintian lebih beasar pada atau
pengaturan dibawah titik pembekuan, jika jika cairan tepat betul menjaga temperatur
pembekuan dan permukaan diuletkan oleh suatu kristal sangat kecil (bibit). Kristal akan
tumbuh kebawah dalam cairan. Jika itu ditarik pelan-pelan kristal tunggal bisa dihasilkan.

404 |  ISSN : 2085 – 0492


Pada umumnya, kristal-kristal berbutir halus memperlihatkan ketangguhan atau tahan shock
lebih baik. Mereka lebih keras dan lebih kuat dari pada material berbutir kasar. Dalam industri
proses pengecoran, dimana cairan panas berhubungan dengan suatu cetakan masih dingin,
gradiaen temperatur akan ada dalam cairan. Bagian luar adalah pada temperatur paling
rendahdari pada pusat dan oleh karena itu mulai untuk pertama pembekuan. Kemudian
beberapa pengitian terbentuk pada dinding cetakan dan mulai untuk tumbuh pada segala arah.
Mereka meneruskan aliran kedalam samping dari cetakan dan masing-masing lainnya. Agar
arah tak terbatas hanya untuk pertumbuhan ke bagian pusat. Hasil butir-butir berkolom
panjang, salah satunya, tegak lurus pada permukaan cetakan. Ini menggambarkan untuk Pb
kemurnian tinggi, Seterusnya kedinding cetakan, dimana kecepatan pendinginan adalah cepat
berbutir kecil. Sewaktu kebagian pusat dimana kecepatan pendinginan pelan butir lebih besar
dan panjang . Jika cetakan mempunyai sudut tajam bidang lemah akan mengembangakn dari
sudut ini karena kedua gas dan pengotor pembekuan cenderung terkosentrasi sepanjang
bidang ini.Untuk menghidari bidang ini, desain coran yang baik perbedaan cetakan dengan
sudut dibulatkan.
Peleburan

Pewter  Aluminium Aluminium paduan 

Pengerolan

Pelat tipis

Pengujian

Pembahasan

Kesimpulan

Gambar 1. Diagram alir percobaan penelitian.


Langkah Percobaan
Dalam percobaan ini dilakukan beberapa proses peleburan dari material pewter,
aluminium dan aluminium paduan. Dimana proses peleburan dilakukan satu persatu, yang
pertama peleburan pewter, kemudian yang kedua aluminium dan yang ketiga aluminium
paduan. Sudah barang tentu suhu peleburan tiap material akan berbeda misal pewter pada
Seminar Material Metalurgi 2010

suhu 500oC, aluminium pada suhu 750 oC dan aluminium paduan 800 oC. Dalam proses
peleburan menggunakan tungku listrik yaitu tungku mufle dimana suhu operasi tungku
tersebut max 1200 oC, menggunakan krusible SiC sebagai wadah cairan logam dengan
kapasitas ± 1 kg. Dari bahan yang sudah dipotong – potong dimasukan kedalam krusibel dan
dimasukkan ke tungku. Kemudian atur suhu peleburannya serta ditahan sampai logam
mencair setelah mencair krusibel dikeluarakan dari tungku. Selanjutnya atur suhu penuangan
dengan cara menurunkan suhu tuangnya, misal untuk material pewter suhu penuangan sekitar
450 oC, aluminium sekitar 625 oC dan aluminium paduan sekitar 649 oC. Setelah suhu cairan
dalam krusibel sudah mencapai suhu penuangan yang diminta, kemudian langsung dituangkan
dalam roll melalui nozle. Maka cairan akan mengalami penurunan suhu dari nozle ke roll

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 405
didaerah roll akan terjadi pendinginan cepat akibat kedaan roll yang dingin sehingga cairan
akan membeku sempurna dan terdeformasi menjadi pelat tipis. Dari hasil proses roll berupa
pelat tipis kemudian diuji struktur mikro dan kekerasan (Hv), dari data percobaan penelitian
di kumpulkan kemudian dibahan dan diambil kesimpulannya. Adapun diagram alir penelitian
dapat dilihat pada Gambar 1.

DATA HASIL PENELITIAN.


Material.
Material yang dipakai untuk percobaan adalah Pewter, Aluminium dan aluminium
paduan adapun kandungan material tersebut terdiri Sn, Pb, Zn dan Cu. Material ini biasa
dipakai untuk piala, Supenir dll. Material ini mempunyai suhu peleburan sekitar 500°C dan
tidak begitu keras atau getas tetapi ulet sehingga mudah dibentuk. Dan warnanya bisa
mengkilat sehingga dapat sebagai bahan untuk lukisan-lukisan. Sedang aluminium paduan
komposisi Al, Si, Mg, Mn, dan Cu.

Proses Peleburan.
Karena bahan pewter,Aluminium dan aluminium paduan mempunyai suhu lebur
rendah sehingga peleburan cukup menggunakan tungku mufle, dimana suhu operasi tungku
tersebut sekitar 1200°C. Tungku mufle ini menggunakan energi listrik, sehingga cairan yang
dilebur cukup bersih dibandingkan dengan tungku arang atau tungku energi minyak. Suhu
bisa diatur karena mempunyai termokontrol dan termokopel yang otomatis. Adapaun tempat
cairan logam menggunakan krusibel yang terbuat silikon karbida yang mempunyai kapasitas
0.5 sampai 1 kg. Adapun tungku mufle dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Tungku Mufle.


Proses Roll.
Pada proses roll ini material yang akan di roll dalam keadaan cair, dimana mesin perlu
Seminar Material Metalurgi 2010

dilengkapi dengan nozel sebagai pengalir cairan ke roll. Cairan akan terjadi pendinginan cepat
diantara kedua roll tersebut, kenapa karena roll keadaan dingin sehingga cairan logam akan
mengalami pembekuan cepat. Dimana kecepatan roll yang digunakan adalah 20 rpm. Dan
nozel tergantung gape roll dan gape roll tergantung hasil tebal pelat yang akan dihasilkan.
Cairan yang sudah siap dituang di masukan pada nozel dan akan mengalir pada roll dan cairan
juga akan mengalami pembekuan cepat pada roll sehingga logam yang telah membeku akan
ke roll dan menjadi pelat tipis. Adapun mesin roll yang digunakan dapat dilihat pada Gambar
3.

406 |  ISSN : 2085 – 0492


Roll

Nozle

Gambar 3. Mesin roll berikut nozle.


Temperatur Penuangan.
Temperatur penuangan sangat menentukan dalam pengerollan, maka perlu kontrol
suhu logam cair yang akan dituang pada roll. Maka perlu peralatan kontrol suhu tersebut yaitu
termokopel dan termokotrolnya. Sebab bila suhu tuang terlalu tinggi maka akan terjadi cairan
terlambat mengalami pembekuannya sehingga cairan berhaburan tidak karuan dan tidak
terjadi pelat hasilnya. Jika suhu penuangan terlalu rendah maka cairan mengalami pembekuan
ditengah jalan tepatnya pada nozel sehingga logam cair tidak mengalir kedalam roll. Oleh
karena itu suhu penuangan harus tepat dan sesuai sehingga cairan akan mengalir pada roll dan
cairan akan mengalai pembekuan cepat sehingga logam akan keroll dan menjadi pelat yang
tipis. Adapun suhu penuangan untuk bahan pewter ± 450oC, Aluminum 625oC dan aluminium
paduan 649oC.

Hasil Percobaan Roll


Pada percobaan ini material yang digunakan adalah pewter, aluminium dan aluminium
paduan, dimana temperatur penuangan ± 500°C, Aluminum 625°C dan aluminium paduan
649°C. Dituangkan pada nozle dan cairan mengalir kedalam roll kemudian cairan mengalami
pendinginan mendadak akibat roll keadaan dingin sehingga terjadi pembekuan cepat akhirnya
logam yang sudah dalam keadaan beku keroll dan menjadi pelat tipis. Hasil pengerolan dapat
dilihat pada Gambar 4 s/d Gambar 7.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 4. Hasil roll pewter keadaan belum di potong.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 407
Gambar 5. Hasil roll sudah dalam keadaan dipotong dengan tebal 0.5 mm pewter.

Gambar 6. hasil roll dari aluminium murni.


Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 7. Hasil roll aluminium Paduan material menjadi getas.

Hasil Pengujian Hasil Roll.


Pada pengujian hasil roll ini, sampel yang diuji hanya struktur mikro dan kekerasan
(HV). Adapun posisi pengujiannya posisi searah dengan roll dan tidak searah dengan roll
serta permukaan roll, seperti terlihat pada Gambar 6.

408 |  ISSN : 2085 – 0492


Permukaan
Tidak searah roll

Searah roll
 

Gambar 6. Posisi pengambilan sampel uji.


Hasil Kekerasan.
Pada Pengujian kekerasan sampel yang diuji seperti pada Gambar 6. yaitu Searah
dengan roll, tidak searah dengan roll dan permukaan. Adapun hasil yang searah dengan roll
dengan posisi pengujian sepeperti pada Gambar 7.

Gambar 7. Posisi pengambilan uji keras dengan posisi searah roll.


Adapun hasil uji keras yaitu : 16.57, 18.5, 16.27, 17.89, 16.57 Hv dengan rata-rata
17.19 Hv. Untuk material pewter.
Sedangkan hasil yang tidak searah roll dengan posisi sama seperti pada Gambar 7
adapun hasil kekerasannya adalah 17.40, 17.40, 18.39, 17.16, 18,85 Hv dengan rata-rata
kekerasan 17.8 Hv. Untuk material pewter.
Kemudian hasil kekerasan pada posisi permukaan dengan posisi pengujian kekerasan
seperti pada Gambar 8.

Gambar 8. Posisi uji kekeran pada sampel uji posisi permukaan.


Adapun hasil kekerasan sebagai berikut : 16.93, 18.39, 17.64, 17.64, 17.64 Hv dengan
rata-rata kekerasan 17.65 Hv. Untuk material pewter.
Sedang untuk aluminium hasil uji kekerasan searah roll adalah 49.84, 43.22, 45.44,
45.27, 49.84 HV dengan kekerasan rata-rata 46.72 Hv. Untuk aluminium hasil uji kekerasan
tidak searah roll adalah 54.56, 45.27, 48.55, 51.51, 55.51 Hv dengan kekerasan rata-rata 51
Seminar Material Metalurgi 2010

Hv. Untuk aluminium hasil uji kekerasan permukaan 41.31, 44.16, 49.84, 51.51, 54.19 Hv
dengan kekerasan rata-rata 48.2 Hv.
Sedang untuk aluminium paduan hasil uji kekerasan searah roll adalah 167.2, 153.1,
181.1, 181.1, 193.0 HV dengan kekerasan rata-rata 175.1 Hv. Untuk aluminium paduan hasil
uji kekerasan tidak searah roll adalah 175.6, 165.2, 155.8, 167.2, 165.2 Hv dengan kekerasan
rata-rata 165.8 Hv.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 409
Hasil Pemeriksaan Struktur Mikro
Pada pemeriksaan struktur mikro dari hasil roll pelat tipis dengan tebal 0.5 mm
tersebut. Posisi pemeriksaannya seperti Gambar 7 yaitu posisi serah roll, tidak searah roll dan
permukaan. Sedangkan pembesaran nya 20 µm. Adapun hasil pemeriksaan struktur mikro
posisi searah dengan roll dapat dilihat pada Gambar 9 untuk material pewter. Adapun hasil
pemeriksaan struktur mikro posisi tidak searah dengan roll dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 9. Hasil struktur mikro sampel posisi Gambar 10. Hasil struktur mikro sampel posisi
searah roll dengan pembesaran 20µm. tidak searah roll dengan pembesaran
Untuk material pewter. 20µm. Untuk material pewter.

Gambar 11. Hasil struktur mikro sampel posisi pada permukaan dengan pembesaran20µm. Untuk material
pewter.

Adapun hasil pemeriksaan struktur mikro posisi pada permukaan dapat dilihat pada
Gambar 11. Sedangkan pembesaran nya 20 µm. Adapun hasil pemeriksaan struktur mikro
posisi searah dengan roll dan tidak searah roll dapat dilihat pada Gambar12 dan Gambar 13
untuk material Aluminium.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 12. Hasil struktur mikro sampel posisi Gambar 12. Hasil struktur mikro sampel posisi
searah roll dengan pembesaran tidak searah roll dengan pembesaran
20µm. Untuk material Aluminium. 20µm. Untuk material Aluminium.

410 |  ISSN : 2085 – 0492


Sedangkan pembesarannya 20 µm. Adapun hasil pemeriksaan struktur mikro posisi
searah dengan roll dan tidak searah roll dapat dilihat pada Gambar14 dan Gambar 15 untuk
material Aluminium paduan :

Gambar 14. Hasil struktur mikro sampel posisi Gambar 15. Hasil struktur mikro sampel posisi tidak
searah roll dengan pembesaran 30µm. searah roll dengan pembesaran 30µm.
Untuk material Aluminium paduan. Untuk material Aluminium paduan

PEMBAHASAN
Pada pembahasan ini, ditinjau dari hasil kekerasan (Hv) setiap material terlihat pada
grafik Gambar 16 s/d Gambar 18, ternyata pada material pewter dan aluminium walaupun
kekerasannya berbeda karena sifat material masing-masing. Tetapi grafik kekerasan
menyatakan kekerasan yang paling tinggi pada posisi tidak searah dengan roll. Berbeda
dengan grafik kekerasan pada aluminium paduan yang paling tinggi justru searah dengan roll.
Disini bisa dilihat pada struktur mikro dari kedua material tersebut yaitu pewter dan
aluminium, ternyata dari kedua material tersebut terlihat sama pada posisi searah dengan roll
besar butirnya lebih halus dibandingkan dengan posisi tidak searah dengan roll besar butirnya
kasar (besar) sehingga kekerasannya tinggi. Disamping itu pada aluminium kekerasan sangat
tinggi sehingga sifat materialnya hasil roll berupa pelat tipis sangat getas dan mengalami
robekan serta patah, hal ini diakibatkan oleh fasa yang ada pada material tersebut adalah
denritik yang bersifat getas, kemudian oleh kandungan unsurnya yaitu Al, Mg, Si, Cu, Mn ini
yang bisa membentuk fasa keras yaitu senyawa logam MgSi2 partikel keras ini bisa
menyebabkan penggesan dan timbul robekan serta patah hal ini bisa dilihat pada Gambar 7
diatas.

Hasil kekerasan sampel rol

Permukaan
Posisi pengujian

Tidak S R
Seminar Material Metalurgi 2010

searah roll

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kekerasan HV

Gambar 16. Hasil kekerasan pelat tipis pewter hasil roll.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 411
Hasil Kekerasan Pelat Tipis Aluminium

permukaan

Posisi Uji
tdk searah rol

Searah rol

0 10 20 30 40 50 60

Kekerasan (Hv)

Gambar 17. Hasil kekerasan pelat tipis aluminium hasil roll.

H a s il K e k e ra s a n P e la t tip is A lu m in iu m P a d u a n

tdk s earah rol


Posisi Uji

S earah rol

0 50 100 150 200


K e ke rasan (H v )

Gambar 17. Hasil kekerasan pelat tipis aluminium paduan hasil roll.
KESIMPULAN
Pada hasil kekerasan pewter dan aluminium kekerasan paling tinggi adalah pada posisi
tidak searah dengan roll, diakibatkan oleh besar butir lebih besar (kasar) dibandingkan pada
posisi searah roll yang berbutir halus. Hal ini besar butir kasar akan bersifat keras.
Suhu penuangan pewter yang tepat sekitar 450°C dan aluminium sekitar 679°C,
peleburan pada 500°C untuk pewter dan aluminium pada 750°C.
Hasil kekerasan aluminium paduan sangat tinggi sehingga material menjadi getas, hal ini
diakibatkan fasa yang ada diperoleh denritik yang bersifat getas. Karena kandungan unsur Mg
dan si tinggi pada material sehingga mengakibatkan membentuk partikel yang keras yaitu
MgSi2 maka bila material mengalami roll akan terjadi robekan. Karena paduan unsur yang
tinggi misal Mg, Si maka material tersebut tidak bisa diroll.

DAFTAR PUSTAKA.
Seminar Material Metalurgi 2010

1. Surdia T., Chijiwa k., 2000 “ Teknik Pengecoran Logam “ Cetakan Ke 8, PT Pradnya
Paramitha, Jakarta.
2. Heine R. W, “ Principle of Metal Casting “ Tata Mc Graw Repint 1978.
3. Sidney H Avner, “ Introduction to Physical Metallurgy’ , Second Edition, Copy Right
© 1974 by Mc Graw Hill Inc.
4. Dr. Ir. Mardjono Siswo Suwarno, “ Mata Kuliah Metal Mekanik “ A.I.L. Bandung
1982.

412 |  ISSN : 2085 – 0492


PEMBUATAN PELAT TIPIS DARI
BAHAN ALUMINIUM
DENGAN PROSES RAPID SOLIDIFICATION TWIN ROLL

Saefudin
Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang 15314

Abstrack
Pada proses pembuatan pelat tipis ini menggunakan bahan aluminium, sedang proses pembuatan
dengan proses rapid solidification twin roll. Dimana material yang di roll tidak material padat, tetapi dalam
keadaan logam cair. Bahan aluminium dilebur dengan menggunakan krusibel silikon karbida berkapasitas ±
1kg, meleburnya menggunakan tungku mufle yang suhu operasinya sekitar 1200oC. Kemudian bahan aluminium
yang siap dilebur didalam krusibel dimasukan pada tungku dan diatur suhu pemanasannya 750oC, sedangkan
suhu penuangan pada suhu 690oC. Logam cair dituangkan pada roll melalui nozle, mengalir ke roll yang
keadaan dingin sehingga cairan logam mengalami pembekuan cepat kemudian terdeformasi menjadi pelat tipis.
Hasil pelat tipis kemudian Diuji kekerasan (Hv), pemeriksaan struktur mikro dan SEM. Adapun hasil pengujian
adalah. Pada pelat tipis 0.5 mm hasil kekerasan rata-rata searah roll adalah 47 Hv, Sedang tidak searah roll
51Hv. Pada pelat tipis 1 mm hasil kekerasan rata-rata searah roll adalah 24 Hv, Sedang tidak searah roll 24Hv.
Pada pelat tipis 2 mm hasil kekerasan rata-rata searah roll adalah 24 Hv, Sedang tidak searah roll
28Hv.Sedang hasil struktur mikronya adalah Pada tebal 0.5 mm besar butir halus sedangkan pada tebal 1mm
dan 2mm besar butir sama yaitu kasar ( besar ). Kesimpulannya ternyata semakin tipis pelat yang dihasilkan
akan diperoleh semakin halus besar butirnya dan sebaliknya semakin tebal pelat yang diproleh semakin kasar
(besar) butirnya disini dikibatkan karena semakin tipis pelat mengalami pendinginan yang cepat, dan sebaliknya
semakin tebal pendinginan kurang cepat (lambat).

Kata Kunci : Proses rapid solidification twin Roll, Proses peleburan, Logam cair, Proses penuangan, Nozle,
Roll dingin, Pembekuan cepat, Terdeformasi, Pelat tipis, Kekerasan, Besar butir.

1. Pendahuluan
Semakin maju teknologi proses pembentukan pelat tipis dikalangan industri besar di
Indonesia. Industri pelat tipis di Indonesia masih relatif sedikit, terutama di daerah Tangerang,
Bekasi dan surabaya. Dimana material untuk bahan baku masih ketergantungan import negara
lain misal Jepang, Cina. Pada pembuatan pelat tipis dengan proses rapid solidification twin
roll ini sangat berbeda dengan proses pembentukan pelat tipis dengan roll biasa misal cold roll
maupun hot roll. Sebab pada proses roll biasa material yang di roll dalam kedaan bentuk
padat, tetapi pada proses rapid solidification twin roll ini material dalam kedaan cair. Dimana
cairan logam hasil peleburan dituangkan kedalam roll melalui nozle, dan suhu cairan logam
pada waktu penuangan harus tepat. Karena bila suhu cairan logam terlalu tinggi bila
dituangkan hasil pembentukan akan makin keadaan cair dan berantakan alias tidak
terdeformasi menjadi pelat tipis. Dan bila suhunya terlalu rendah terjadi beku dini logam
cairnya pada daerah nozle sehingga logam belum nyampai pada daerah pengerollan.Kalau
Seminar Material Metalurgi 2010

logam cair suhu penuangan tepat dia akan mengalir kedaerah roll melalui nozle, karena roll
dalam keadaan dingin maka cairan logam tersebut akan mengalami pembekuan relatif cepat
kemudian logam terdeformasi menjadi pelat tipis. Maka penelitian ini akan difokuskan pada
pembuatan pelat tipis dengan proses rapid solidification twin roll dari material aluminium.
Maksud tujuan penelitian ini adalah : Maksud penelitian ini untuk memeperoleh pelat tipis
dengan proses rapid solidification twin roll. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk
melihat hasil kekerasan dan struktur mikro berdasarkan variasi tebal pelat pelat tipis dari hasil
proses rapid solidification twin roll tersebut.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 413
2. Teori Dasar.
Aluminium.
Karakteristik aluminium yang paling dikenal logam ringan, densiti kira-kira 1/3 dari
baja atau paduan Cu. Biasanya paduan aluminium mempunyai kekeuatan yang paling baik
untuk perbandingan berat dari pada yang untuk pelat baja kekuatan tinggi. Aluminium
mempunyai malleable ( dapat ditempa ) dan mampu bentuk yang baik, tahan korosi tinggi,
dan konduktifitas listrik dan panas tinggi. Suatu bentuk aluminium sangat tinggi adalah
dipakai reflektor photografi, sebaik mungkin faedah untuk reflektor kilat tinggi dan sifat tidak
membuat kusam. Aluminium tidak beracun, tidak magnetik, dan tidakmenimbulkan percikan
api. Sifat non magnetik membuat aluminium dipergunakan untuk pelindung listrik, maksud
demikian sebagai bus bar housingatau pagar keliling untuk peralatan listrik lainnya.Walaupun
konduktifitas listrik (EC) grade aluminium adalah kira-kira 62% dari tembaga, berat ringan
membuat aluminium lebih cocok sebagai konduktor listrik untuk pemakaian beberapa
industri. Aluminium murni mempunyai kekuatan tinggi kira-kira 13.000 Psi.Yang mana, yang
penting menambah dalam kekuatan dicapai dengan pengerjaan dingin atau memadu dalam
beberapa paduan, sifat perlakuan panas, kira-kira kekuatan tarik 100.000 psi. Salah satu sifat
aluminium yang paling penting adalah mampu mesin dan mampu kerja itu bisa dicor. Diroll
untuk beberapa ketebalan yang diminta , stempel, penarikan, sendok, palu tempa, dan extrusi.
Aluminium murni komersil, paduan 1100 ( 99.0 + % Al ), adalah cocok untuk
penggunaan mampu bentuk bagus atau tahan korosi sangat baik ( kedua-duanya) adalah yang
diinginkan dan kekuatatan tinggi tidak penting. Itu telah digunakan untuk perkakas masak,
bermacam-macat komponen arsitek, pemegang makanan dari kimia, peralatan penyimpanan
dan perakit pengelasan.

Kekuatan Bahan
Kekuatan bahan dapat didefinisikan sebagai ketahanan bahan terhadap deformasi.
Dalam praktek, angka kekuatan suatu bahan diperoleh dari pengujian mekanik ( misalnya :
Pengujian tarik). Kekuatan bahan dapat dinyatakan dengan kekuatan luluh ( Yield strength)
ataupun kekuatan tarik (tensile strength). Bila ditinjau lebih dalam, yaitu dari teori dislokasi,
maka deformasi atau perubahan bentuk terjadi apabila dislokasi-yang ada didalam logam
bergerak kepermukaan luar. Dislokasi-dislokasi akan bergerak bila ada tegangan geser yang
bekerja pada dislokasi tersebut. Tegangan geser ini berasal dari beban atau gaya luar yang
bekerja pada logam tersebut. Dengan demikian maka mudah atau tidaknya gerakan dislokasi
akan menentukan mudah atau tidaknya suatu bahan mengalami deformasi. Semakin sukar
dislokasi –dislokasi bergerak, maka semakin tinggi pula kekuatan logam tersebut. Dengan
perkataan lain : Kekuatan logam adalah tahan terhadap gerakan dislokasi. Dari titik tolak
inilah maka dikembangkan berbagai metoda untuk menaikan kekuatan logam, beserta teori
yang mendasarinya.

Mekanisme-mekanisme Penguatan logam


Logam bertambah kuat bila gerakan dislokasi dihambat dengan diberikannya
rintangan – rintangan (obstacles). Secara singkat dapat disebutkan mekanisme-mekanisme
penguatan sebagai berikut :
Seminar Material Metalurgi 2010

- Penguatan dengan pengerjaan dingin (work hardening).


- Penguatan dengan larut padat ( solid solution strengthening).
- Pengutan dengan fasa kedua ( second phase strengthening).
- Penguatan dengan penghalusan butir (Grain boundary strengthening).
- Penguatan dengan penyebaran fasa kedua ( precipitation / dispersion hardening).
- Penguatan dengan transfrmasi martesite ( Martensitic transformation).
Beberapa rintanagan (obstacles) terhadap gerakan dislokasi dapat terlihat pada struktur
mikro. Demikianlah maka struktur mikro mempengaruhi kekuatan logam serts sifst-sifst
mekanik yang lain.

414 |  ISSN : 2085 – 0492


Ukuran Butir.
Ukuran butir pada coran diprhitungan oleh hubungan antara kecepatan pertumbuhan G
dan kecepatan pengintian N. Jika jumlah dari pengintian terbentuk tinggi material yang akan
dihasilkan berbutir halus, dan jika hanya terbentuknya pengintian sedikit material yang
dihasilkan berbutir kasar. Kecepatan pendinginan adalah faktor yang paling penting dalam
membedakan kecepatan dalam pengintian dan oleh karena itu ukuran butir, keceptan
pendinginan (chill cast) akan menghasilkan jumlah yang besar terbentuknya inti dan ukuran
butir halus. Dimana pendinginan pelan (coran pasir) atau cetaakan panas hanya terbentuk
pengintian sedikit saja dan mereka akan mempunyai perubahan pertumbuhan. Penguapan
cairan sebelum pengintian bisa membentuk lebih dan mereka akan telah berubah untuk
pertumbuhan. Faktor-faktor lain yang menambah kecepatan untuk pengintian, kemudian
membantu pembentukan untuk butir halus adalah :
1. Kelarutan pengotor demikian seperti Aluminium dan titanium yang membentuk
kelarutan oksida pada baja.
2. Pengadukan cairan selama pembekuan yang mana menuju memecahkan atas kristal
sebelum mereka telah berubah pertumbuhan sangat besar.

Pertumbuhan relatif cepat untuk kecepatan pengintian lebih beasar pada atau
pengaturan dibawah titik pembekuan, jika jika cairan tepat betul menjaga temperatur
pembekuan dan permukaan diuletkan oleh suatu kristal sangat kecil (bibit). Kristal akan
tumbuh kebawah dalam cairan. Jika itu ditarik pelan-pelan kristal tunggal bisa dihasilkan.
Pada umumnya, kristal-kristal berbutir halus memperlihatkan ketangguhan atau tahan shock
lebih baik. Mereka lebih keras dan lebih kuat dari pada material berbutir kasar. Dalam industri
proses pengecoran, dimana cairan panas berhubungan dengan suatu cetakan masih dingin,
gradiaen temperatur akan ada dalam cairan. Bagian luar adalah pada temperatur paling
rendahdari pada pusat dan oleh karena itu mulai untuk pertama pembekuan. Kemudian
beberapa pengitian terbentuk pada dinding cetakan dan mulai untuk tumbuh pada segala arah.
Mereka meneruskan aliran kedalam samping dari cetakan dan masing-masing lainnya. Agar
arah tak terbatas hanya untuk pertumbuhan ke bagian pusat. Hasil butir-butir berkolom
panjang, salah satunya, tegak lurus pada permukaan cetakan. Ini menggambarkan untuk Pb
kemurnian tinggi, Seterusnya kedinding cetakan, dimana kecepatan pendinginan adalah cepat
berbutir kecil. Sewaktu kebagian pusat dimana kecepatan pendinginan pelan butir lebih besar
dan panjang . Jika cetakan mempunyai sudut tajam bidangn lemah akan mengembangakn dari
sudut ini karena kedua gas dan pengotor pembekuan cenderung terkosentrasi sepanjang
bidang ini.Untuk menghidari bidang ini, desain coran yang baik perbedaan cetakan dengan
sudut dibulatkan.

3. Metode Penelitian.
Persiapan bahan.
Bahan-bahan yang digunakan untuk penelitian adalah Aluminium murni berupa ingot.
Bahan ingot tersebut dipotong- potong kecil agar bisa masuk dalam krusibel yang
berkapasitas ± 1 kg.
Seminar Material Metalurgi 2010

Proses Peleburan.
Tungku mufle adalah tungku yang dipakai untuk proses peleburan, dimana bahan
bakar adalah energi listrik dimana suhu operasinya bisa mencapai temperatur 1200oC. Pada
proses peleburan untuk bahan aluminium dengan wadah krusibel silikon karbida
pemanasannya sekitar 750oC, kemudian suhu penuangan pada temperatur 690oC dituang
pada roll melalui Nozle.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 415
Proses Pengerolan.
Pada proses pengerollan menggunakan roll dengan putaran 20 rpm, yang dilengkapi
nozle. Pada proses pengerollan dengan proses rapid solidification twin roll material yang di
roll dalam keadaan cair, maka roll perlu pendinginan agar cairan yang dituang pada suhu yang
tepat cairan akan mengalir pada roll melalui nozle akan terjadi pembekuan cepat sehingga
logam yang sudah mengalami pembekuan cepat akibat keadaan roll yang dingin terdeformasi
menjadi pelat tipis.

Pengujian.
Pada proses pengujian material yang diuji adalah hasil pelat tipis dengan variabel tebal
pelat yaitu : 0.5 mm, 1 mm, 2 mm. Sedang yang diuji adalah kekerasan (Hv) dan pemeriksaan
struktur mikro dari hasil pengerolan pelat tersebut. Dari data-data pengujian dikumpulkan
kemudian dibahas dan diambil kesimpulannya.

Persiapan bahan 

Proses Peleburan 

Penuangan 

Pengerollan 

Hasil pelat tipis 

Pengujian 

Pembahasan  Kesimpulan 

Gambar 1. Diagram alir percobaan penelitian.


Seminar Material Metalurgi 2010

4. Data Hasil Penelitian.


Material.
Material yang dipakai untuk percobaan adalah Aluminium murni, dimana berat
jenisnya 2.7 g/cm3, mempunyai titik lebur 660 oC bentuk bahan berupa ingot kemudian
dipotong-potong menjadi kecil agar masuk kedalam krusibel yang berkapasitas 1 kg.

Proses Peleburan.
Karena bahan Aluminium mempunyai suhu lebur rendah sehingga peleburan cukup
menggunakan tungku mufle, dimana suhu operasi tungku tersebut sekitar 1200oC. Tungku
mufle ini menggunakan energi listrik, sehingga cairan yang dilebur cukup bersih

416 |  ISSN : 2085 – 0492


dibandingkan dengan tungku arang atau tungku enersi minyak. Suhu bisa diatur karena
mempunyai termokontrol dan termokopel yang otomatis. Adapaun tempat cairan logam
menggunakan krusibel yang terbuat silikon karbida yang mempunyai kapasitas 1 kg. Adapun
tungku mufle dapat dilihat pada gambar 2. bereikut ini:

Gambar 2. Tungku Mufle.

Proses Roll.
Pada proses roll ini material yang akan di roll dalam keadaan cair, dimana mesin perlu
dilengkapi dengan nozel sebagai pengalir cairan ke roll. Cairan akan terjadi pendinginan cepat
diantara kedua roll tersebut, kenapa karena roll keadaan dingin sehingga cairan logam akan
mengalami pembekuan cepat. Dimana kecepatan roll yang digunakan adalah 20 rpm. Dan
nozel tergantung gape roll dan gape roll tergantung hasil tebal pelat yang akan dihasilkan.
Cairan yang sudah siap dituang di masukan pada nozel dan akan mengalir pada roll dan cairan
juga akan mengalami pembekuan cepat pada roll sehingga logam yang telah membeku akan
ke roll dan menjadi pelat tipis. Adapun mesin roll yang digunakan dapat dilihat pada gambar
3 berikut ini.
Roll

Nozle
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 3. Mesin roll berikut nozle.

Temperatur Penuangan.
Temperatur penuangan sangat menentukan dalam pengerollan, maka perlu kontrol
suhu logam cair yang akan dituang pada roll. Maka perlu peralatan kontrol suhu tersebut yaitu
termokopel dan termokotrolnya. Sebab bila suhu tuang terlalu tinggi maka akan terjadi cairan
terlambat mengalami pembekuannya sehingga cairan berhaburan tidak karuan dan tidak
terjadi pelat hasilnya. Jika suhu penuangan terlalu rendah maka cairan mengalami pembekuan
ditengah jalan tepatnya pada nozel sehingga logam cair tidak mengalir kedalam roll. Oleh

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 417
karena itu suhu penuangan harus tepat dan sesuai sehingga cairan akan mengalir pada roll dan
cairan akan mengalai pembekuan cepat sehingga logam akan keroll dan menjadi pelat yang
tipis. Adapun suhu penuangan untuk bahan Aluminum 690oC.

Hasil Percobaan Roll


Pada percobaan ini material yang digunakan adalah aluminium dimana temperatur
penuangan Aluminum 690oC. Dituangkan pada nozle dan cairan mengalir kedalam roll
kemudian cairan mengalami pendinginan mendadak akibat roll keadaan dingin sehingga
terjadi pembekuan cepat akhirnya logam yang sudah dalam keadaan beku keroll dan menjadi
pelat tipis. Hasil pengerolan dapat dilihat pada gambar 4 s/d gambar 6 berikut ini :

Gambar 4. hasil roll dari aluminium murni tebal 0.5mm

Gambar 5. hasil roll dari aluminium murni tebal 1mm.


Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 6. hasil roll dari aluminium murni tebal 2mm.

418 |  ISSN : 2085 – 0492


Hasil Pengujian Hasil Roll.
Pada pengujian hasil roll ini, sampel yang diuji hanya struktur mikro dan kekerasan
(HV). Adapun posisi pengujiannya posisi searah dengan roll dan tidak searah dengan roll
serta permukaan roll, seperti terlihat pada gambar 6 berikut ini.
Permukaan
Tidak searah roll

Searah roll

Gambar 6. Posisi pengambilan sampel uji.

Hasil Kekerasan.

Gambar 7. Posisi pengambilan uji keras dengan posisi searah roll.

Pada pengujian kekerasan yang diuji adalah berdasarkan hasil pelat yang divariasikan
tebal dari 0.5 mm, 1 mm, 2 mm, sedang posisi pengujian seperti gambar 7 diatas. Adapun
hasil uji keras (Hv) dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Hasil kekerasan pelat tipis dari tebal 0.5mm, 1mm, 2 mm dengan
proses rapid solidification twin roll.
No Tebal pelat Kekerasan (Hv) Seararah roll Kekerasan
(mm) Rata-rata (mm)
1 0.5 49.84 43.22 45.99 45.27 49.84 47
2 1 23.95 23.95 23.15 25.67 23.95 24
3 2 19.51 23.15 23.95 21.67 28.97 24

No Tebal pelat Kekerasan (Hv) tidak seararah roll Kekerasan


(mm) Rata-rata (mm)
1 0.5 58.56 45.27 48.55 51.51 55.51 51
2 1 24.33 23.52 23.95 24.22 24.61 24
3 2 28.97 27.38 31.49 27.58 27.58 28

Hasil Pemeriksaan Struktur Mikro


Seminar Material Metalurgi 2010

Pada pemeriksaan struktur mikro hasil roll pelat tipis dari aluminium dengan
tebal 0.5 mm,1mm, 2 mm tersebut, posisi pemeriksaannya serah roll, tidak searah roll.
Sedangkan ukuran besar butirnya 20 µm, dapat dilihat pada gambar 8 sampai dengan 13
berikut ini

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 419
Gambar 8. Hasil struktur mikro sampel posisi searah roll dengan besar butir
20µm. Untuk material Aluminium dengan tebal 0.5 mm..

Gambar 9. Hasil struktur mikro sampel posisi tidak searah roll dengan besar
butir 20µm. .Untuk material Aluminium dengan tebal 0.5 mm.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 10. Hasil struktur mikro sampel posisi searah roll dengan besar butir
20µm. .Untuk material Aluminium dengan tebal 1 mm.

420 |  ISSN : 2085 – 0492


Gambar 11. Hasil struktur mikro sampel posisi tidak searah roll dengan besar
butir 20µm. .Untuk material Aluminium dengan tebal 1 mm.

Gambar 12. Hasil struktur mikro sampel posisi searah roll dengan besar butir
20µm. .Untuk material Aluminium dengan tebal 2 mm.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 13. Hasil struktur mikro sampel posisi tidak searah roll dengan besar
butir 20µm. .Untuk material Aluminium dengan tebal 2 mm.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 421
5. Pembahasan
Pada pembahasan ini, ditinjau dari hasil kekerasan (Hv) dari hasil pengujian pelat tipis
dengan masing-masing tebal dari tebal pelat 0.5 mm, 1 mm, 2 mm dengan proses rapid
solidification twin roll diperoleh kekerasan yang paling tinggi adalah tebal pelat 0.5 mm..
Tetapi pada tebal pelat dari 1 mm dan 2 mm hasil kekerasannya sama seperti terlihat pada
tabel 1 diatas.Hal ini bisa dibuktikan dengan besar butir yang diperoleh dari hasil pemeriksaan
struktur mikro yang terlihat pada gambar 8 sampai dengan gambar 13, baik pemeriksaan
struktur mikro dengan posisi searah roll maupun tidak searah dengan rolll. Diperoleh besar
butir yang halus adalah hasil pemeriksaan struktur mikro dengan tebal yang paling tipis yaitu
tebal pelat 0.5 mm, sedang besar butir yang kasar (besar) dari hasil pememeriksaan struktur
mikro dengan tebal pelat 1mm, dan 2 mm. Karena pelat tipis pendinginan akan relatif cepat
dan kalau pelat tebal pendinginan akan kurang cepat sehingga pertumbuhan kristal akan
mempunyai kesempatan besar terbentuknya kristal yang besar pula sehingga besar butir yang
diperoleh akan kasar ( besar ). Butir kasar akan mempunyai kekerasan yang rendah, sedang
besar butir halus akan mempunyai sifat kekerasan yang tinggi.

6. Kesimpulan
1. Pada hasil kekerasan aluminium kekerasan paling tinggi baik pada posisi searah roll
dan tidak searah dengan roll, adalah 0.5 mm diakibatkan oleh besar butir lebih halus.
2. Pada hasil kekerasan aluminium kekerasan paling rendah baik pada posisi searah roll
dan tidak searah dengan roll, adalah 1 mm dan 2mm diakibatkan oleh besar butir lebih
kasar (besar).
3. Hasil besar butir aluminium yang diperoleh halus, hal ini diakibatkan oleh
pendinginan cepat, sedangkan hasil besar butir aluminium yang diperoleh kasar, hal
ini diakibatkan oleh pendinginan relatif lambat, sehingga pertumbuhan butir kristal
mempunyai kesempatan tumbuh relatif besar maka terjadi timbul berbutir kasar
hasil kristalnya.
4. Suhu penuangan adalah sangat penting karena bila suhu penuangan terlalu tinggi,
cairan logam tidak bisa cukup membeku pada daerah roll karena sifat pembekuan
aluminium sangat tinggi sehingga tidak terjadi terdeformasi pada roll maka yang
terjadi cairan logam akan beratakan hasilnya..
5. Sedang bila suhu penuangan terlalu rendah, cairan logam akan mengalami beku dini
pada daerah sebelum roll yaitu daerah nozle, sehingga tidak terjadi proses pengerollan.

Daftar Pustaka.
1. Surdia T., Chijiwa k., 2000 “ Teknik Pengecoran Logam “ Cetakan Ke 8, PT Pradnya
Paramitha, Jakarta.
2. Heine R. W, “ Principle of Metal Casting “ Tata Mc Graw Repint 1978.
3. Sidney H Avner, “ Introduction to Physical Metallurgy’ , Second Edition, Copy Right
© 1974 by Mc Graw Hill Inc.
4. Dr. Ir. Mardjono Siswo Suwarno, “ Mata Kuliah Metal Mekanik “ A.I.L. Bandung
1982.
5. E.R.Petty.BSc,PhD. A.I.M.” Physical Metallurgy of Engineering Materials” ©George
Seminar Material Metalurgi 2010

Allen & Unwin Ltd, 1970 ISBN 0046710043.


6. 6. Donald S.Clark, PhD & Wilburr. Varnew,M.S. “Physical Metallurgy for
Engineerings” Second Edition © 1962 by Litton Educastonal Publishing, Inc.
7. R.M. Brick/ A.W. Pense/ R.B.Gordon “ Structure and Properties of Engineering
Materials “ Fourth Edition © 1977 by Mc Grow hill, Inc.

422 |  ISSN : 2085 – 0492


A SOFT PROCESS FOR TUNGSTEN EXTRACTION
FROM SCHEELITE MINERAL

Solihin
Indonesian Institute of Science Research Center for Metalurgy
Kawasan PUSPIPTEK Serpong Tangerang, Banten 15314 Indonesia
e-mail: solihin@lipi.go.id

Abstract
A soft process to extract tungsten from scheelite mineral is proposed. Starting materials consisting of
calcium tungstate and sodium silicate have been reacted at low and high temperature. It is found that the molar
ratio of calcium tungstate and sodium silicate determines the progress of the reaction, which in turn determines
the amount of reaction products.

Keywords: soft process, solid-state reaction, tungsten, extraction, scheelite

INTRODUCTION
Tungsten is an important materials used in many applications. Tungsten is used as
filaments in incandescent light bulbs, electric contacts, arc-welding electrodes, alloying
element in certain alloys and abrasive materials. Tungsten can be conventionally processed
through mineral dressing technology such as classification, flotation [1], and digestion using
alkaline solution [2] resulting sodium tungstate solution followed by crystallization,
calcinations and smelting.
Although the conventional process has successfully been able to extract tungsten, the
utilization of alkali solution in that process can potentially harm the environment. Therefore,
an effort is needed to replace the unit operation of this conventional process with a safer
operation, and this will be the aim of this research. A unit of process based on solid-state
reaction driven by mechanical force or heating, as shown in Figure 1, is proposed to replace
the conventional process for converting scheelite into sodium tungstate. The co-reactant
selected in solid-state reaction is sodium silicates, which is a relatively environmental friendly
compound.
Reactants 

Solid‐State Reaction

Dissolution in Water
Seminar Material Metalurgi 2010

Filtration

Residue Rich Tungsten Solution 

Figure 2. Proposed process

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 423
EXPERIMENT
Calcium tungstate, which is used in this experiment to represent scheelite mineral, and
sodium silicate were obtained from Wako Chemical Japan. The low and high temperature
solid state reactions were conducted through a planetary milling and a door furnace,
respectively. The phases within samples are characterized by XRD equipment using CuK-
alpha radiation. The amount of tungsten resulted in the leaching solution is determined by
ICP.

RESULT AND DISCUSSION


Low temperature solid-state reaction
Figure 3 shows the XRD patterns of milled samples from different molar ratio of
CaWO4 and Na2SiO3. The new phases in the milled sample are recognized as Na2WO4 and
Na2SiO3. Thus, the mechanochemical reaction taking place during milling is:

CaWO4 + Na2SiO3.  Na2WO4 + CaSiO3

It is also found in that the amount of Na2WO4 increases with an increasing of Na2SiO3.
At molar ratio of CaWO4/Na2SiO3 = 1/12, Na2WO4 can be formed in significant amount. The
relation between the increasing of Na2WO4 with molar ratio of Na2SiO3 and CaWO4 cannot be
explained clearly, but it is obvious that the high content of sodium silicate in the milled
sample increases the possibility of contact between those reactants. In addition, sodium
tungstate can also act as co-grinding media, which increases the grinding rate and in turn it
will lead to the increasing of mechanochemical reaction between those reactants.

Figure 3. XRD pattern of milled samples with different molar ratio of CaWO4 and Na2SiO3
Although mechanochemical reaction to form sodium tungstate has taken place at low
Seminar Material Metalurgi 2010

temperature through solid-sate reaction during milling, the amount of sodium tungstate is still
too low, which is the consequences of high molar sodium silicate ratio within the samples.
Therefore, the addition of energy, in the form of heating, is needed.

High temperature solid-state reaction


In contrast with the previous one, this time the solid state reaction is established at
elevated temperature through heating in air atmosphere. The reaction temperature is
determined through TG-DTA and it is found that an endothermic reaction has taken place at
temperature range 700-1000 oC.

424 |  ISSN : 2085 – 0492


CaW O 4

Na 2 W O 4

Intensity (a.u.)

Mixed Sam ples

Milled Sam ples

800 o C

o
925 C

1000 o C

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60 62 64 66 68 70
2

Figure 4. XRD patterns of heated samples

Figure 5. Percent extraction of mixed CaWO4/Na2SiO3 at different molar ratio


Figure 4 shows the XRD patterns of samples after being heated at different
temperature. From the Figureure it can be seen that the formation of sodium tungstate has
taken place since 800oC, and then beyond 800oC, the peaks corresponding to sodium tungstate
decrease with an increasing of temperature. The intensity decreasing of these peaks is maybe
caused by structural change.
Seminar Material Metalurgi 2010

Figure 5 shows the percent extraction of tungsten at different molar ratio of calcium
tungstate and sodium silicate. It can be seen that the lower the molar ratio of calcium tungstate
and sodium silicate, the higher the percent extraction. The dependency of this ratio to the
formation of sodium tungstate is a matter reaction kinetic. It can be imagine that at high
amount of sodium silicate calcium tungstate is in a favorable condition to conduct reaction
since it is surrounded by reactants, which allows every part of surface to conduct chemical
reaction freely.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 425
CONCLUSION
Tungsten can be extracted from scheelite through solid state reaction between calcium
tungstate and sodium silicate, at high temperature using mechanochemical reaction or at high
temperature using heating. The progress of solid state reaction depends on the ratio of
CaWO4/Na2SiO3. Significant amount of sodium tungstate can only be synthesized at low
molar ratio of CaWO4/Na2SiO3 and heating temperature 800oC. .

REFERENCE
1. F. Habashi, Handbook of extractive metallurgy Vol. III (1997) Wiley VCH Germany
ISBN 3-527-28792-2 page 1329-1360
2. E. Lassner, Osterr.Chem.Ztg. 80 (1979) 111
3. P.B. Queneau, L.W. Beckstead, D.K. Huggins, AMAX, US 4311679, 1972
4. J. J. Moore, Chemical Metallurgy, Butterworth, 1981
Seminar Material Metalurgi 2010

426 |  ISSN : 2085 – 0492


PEMBUATAN BIOKERAMIK HYDROXYAPATITE

Solihin, Agus Budi Prasetyo, Bambang Sriyono, Saefudin


Pusat Penelitian Metalurgi LIPI
Kawasan PUSPIPTEK Serpong Tangerang
e-mail: solihin@lipi.go.id

Abstract
Biomaterial is every type of material (metal, ceramic, polymer or composites) that can be used to
replace part of the body and it has to be physiologically accepted by cells body. One of important ceramic
biomaterial is hydroxyapatite, a compound possess similar chemical composition with bone. In this research, the
attempt to synthesize hydroxyapatite through chemical reaction at low temperature followed high temperature
sintering has been done, and hydroxyapatite has been resulted.

Keywords: Biomaterial, hydroxyapatite, sol-gel

Abstrak
Biomaterial adalah material (logam, keramik, polimer atau komposit) yang digunakan untuk
menggantikan sebagian organ tubuh dan secara fisiologis dapat diterima oleh sel-sel tubuh. Salah satu
biomaterial keramik yang penting adalah hydroxyapatite yang memiliki komposisi kimia sama dengan unsur
penyusun tulang. Dalam penelitian ini dilakukan proses pembuatan hydroxyapatite melalui reaksi kimia pada
temperatur rendah yang kemudian diikuti oleh proses sintering sehingga dihasilkan hydroxyapatite.

Kata Kunci: biomaterial, hydroxyapatite, sol-gel.

PENDAHULUAN
Biomaterial adalah material yang digunakan untuk membuat komponen yang akan
digunakan untuk menggantikan salah satu bagian atau salah satu fungsi tubuh yang secara
fisiologis dapat diterima oleh tubuh bersangkutan [1]. Salah satu prasyarat penting bagi suatu
material untuk dapat digunakan sebagai komponen pengganti organ tubuh adalah bersifat
kompatibel dengan tubuh. Dalam hal ini biomaterial juga didefinisikan sebagai material yang
bisa berinteraksi positif dengan tubuh tanpa adanya efek negatif terhadap sel-sel tubuh [2].
Biomaterial ditempatkan dalam tubuh terutama untuk membantu bagian tubuh yang
kehilangan fungsinya karena penyakit atau trauma, membantu penyembuhan, meningkatkan
performa dan mengkoreksi keabnormalan fungsi tubuh.
Berbagai jenis material dapat digunakan sebagai bahan biomaterial, yakni: logam,
keramik, polimer serta komposit. Contoh penggunaan biomaterial logam adalah untuk
penggantian sambungan antar tulang, bagian dari tulang serta akar gigi. Sementara itu,
biomaterial dari jenis polimer digunakan pada penggantian organ lunak seperti hidung, telinga
serta bagian tissue tubuh. Sedangkan biomaterial jenis keramik digunakan untuk implant gigi,
bagian tulang serta pelapisan implant logam untuk keperluan ortopoedik. Dalam penelitian
Seminar Material Metalurgi 2010

yang akan kami lakukan, biomaterial yang menjadi objek penelitian untuk disintesa adalah
biomaterial jenis keramik. Salah satu biomaterial jenis keramik yang bersifat kompatibel
dengan tubuh adalah hydroxyapatite [Ca10(PO4)6(OH)2]. Sebagian material tulang dan gigi
tersusun oleh senyawa kristalin kalsium posfat yang mirip dengan hydroxyapatite. Kelompok
mineral apatite [A10(BO4)6X2] bila mengkristal akan membentuk prisma rhombic hexagonal
dengan dimensi sel a=9.432 dan c = 6,881 Angstrom. Struktur atom dari hydroxyapatite
dengan memproyeksikan sumbu-c pada bidang basal dapat dilihat pada Gambar 1[3]. Ion
hydroxyl yang terletak pada ujung bidang proyeksi basal dengan interval jarak yang sama
sebesar 3,44 Angstrom sepanjang kolom yang tegak lurus bidang basal dan paralel dengan
sumbu-c. Enam dari sepuluh ion kalsium dalam unit sel terhubungkan dengan ion-ion

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 427
hydroxyl ini dalam kolom ini sehingga akan menghasilkan interaksi yang kuat dari ion-ion
tersebut.
Perbandingan ideal kalsium dan posfor (Ca/P) dari hydroxyapatite adalah 10:6 dengan
density 3.219 g/cm3. Sifat mekanik hydroxyapatite, yang merupakan golongan kalsium
posfat, bervariasi tergantung dari proses produksinya. Kondisi pemanasan berpengaruh
terhadap sifat mekanik dari hydroxyapatite yang dihasilkan[3]. Standar sifat fisik/mekanik
kalsium posfat dapat dilihat pada Tabel 1. Sifat fisik/mekanik dari beberapa organ tubuh
berada dalam rentang atau dekat dengan sifat fisik/mekanis biomaterial hydroxyapatite
diantaranya adalah enamel yang merupakan tissue keras memiliki modulus elastik 47 Gpa,
Dentin 21 Gpa dan tulang biasa antara 12-18 Gpa. Poisson Ratio hydroxyapatite (0.27) juga
dekat dengan poisson ratio tulang (0.3)

Gambar 1. Proyeksi struktur molekul hydroxypatite [3]


Tabel 1. Sifat Fisik Hydroxyapatite [3]
Seminar Material Metalurgi 2010

Hydroxyapatite bisa diproduksi dengan berbagai macam proses. Proses yang paling
umum adalah metode sol-gel [4,5,6] yang diikuti dengan sintering. Metode lainnya adalah
dengan selective laser sintering [7] dan mekanokimia. Metode sol-gel dan mekanokimia
memiliki keunggulan dalam hal kesederhanaan proses sehingga lebih memungkinkan untuk
dapat diterapkan dalam industri. Bahan baku yang digunakan bervariasi tetapi pada dasarnya
bahan baku harus mengandung komponen kalsium, posfat dan hidroksida.

428 |  ISSN : 2085 – 0492


PERCOBAAN
Kalsium hydroksida (Merck) pertama-tama direaksikan pada kondisi alkaline dengan
asam posfat (Merck) membentuk presipitat. Presipitat tersebut kemudian dipanaskan hingga
800oC sampai dihasilkan serbuk hydroxyapatite. Terhadap serbuk hydroxyapatite yang
dihasilkan dilakukan proses kompaksi dengan menggunakan binder dengan rasio
hydroxyapatite/binder yang berbeda-beda. Variabel-variabel proses, seperti komposisi bahan
baku, temperature, ratio binder/hydroxyapatite, porositas dan besar gaya tekan merupakan
hal-hal yang menjadi objek penelitian lebih lanjut.
Sampel yang dihasilkan pada setiap proses dianalisa dan dikarakterisasi. Fasa yang
muncul dianalisa dengan menggunakan XRD. Terhadap hasil Kompaksi dilakukan
pengamatan melalui SEM untuk mengetahui morfologinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada percobaan pendahuluan, telah dilakukan pembentukan hydroxyapatite ternyata
menghasilkan senyawa apatite yang merupakan senyawa antara untuk membuat
hydroxyapatite. Terhadap apatite yang dihasilkan kemudian dilakukan proses ageing,
pemanasan dan proses sintering sampai temperatur 800 oC. Hasil pemanasan menghasilkan
senyawa lain yang masih keluarga kalsium posfat (Ca2P2O7). Pola XRD dari senyawa tersebut
diperlihatkan pada Gambar 2 s.d.4.

Gambar 2. Pola XRD dari reaksi kimia antara H3PO4 dan Ca(OH)2. Hasil analisa XRD menunjukan
pembentukan awal apatite.

Gambar 3. Pola XRD hasil pemanasan precursor apatite. Hasil analisa XRD menunjukan pembentukan Ca2P2O7
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 4. Pola XRD dari hydroxyapatite yang dihasilkan

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 429
Dari pola XRD tersebut dapat disimpulkan bahwa selama pelarutan terjadi proses
hydrolisa yang disertai pembentukan apatite. Ion-ion hidroksil dan ion hidrogen bereaksi
membentuk senyawa air, sementara ion-ion kalsium dan posfat bereaksi membentuk apatite
yang masih merupakan keluarga persenyawaan kalsium posfat. Pemanasan mengakibatkan
terlepasnya senyawa air yang dihasilkan sehingga menghasilkan kalsium posfat. Sementara
itu, proses sintering pada atmorfir udara biasa akan menghasilkan penambahan jumlah
oksigen pada senyawa kalsium sehingga membentuk senyawa Ca2P2O7 yang kemudian
merupakan reaktan untuk reaksi pembentukan hydroxyapatite. Hydroxyapatite yang telah
dihasilkan diperlihatkan pada Gambar 4.
Hydroxyapatite yang dihasilkan kemudian dikompaksi dengan menggunakan peralatan
press biasa. Perbandingan antara binder dan hydroxyapatite menghasilkan hydroxyapatite
dengan porositas yang berbeda. Hasil sementara dari proses kompaksi diperlihatkan pada
Gambar 5. Terlihat secara visual bahwa fraksi berat hydroxyapatite berpengaruh terhadap
kekompakan partikel. Pada %HAP tinggi, didapatkan Tabel hydroxyapatite yang kompak. Hal
ini wajar karena pada %HAP tinggi porositas menjadi rendah sehingga pada saat kompaksi
suhu tinggi efek welding antar partikel bisa berlangsung progresif sehingga membentuk
jaringan antar partikel yang rapat dan kuat .

Gambar 5. Hasil Proses Kompaksi terhadap Hydroxyapatite (a) HAP 50 % (b) HAP 60% (c) HAP 70 % (d)
HAP 80% (e) HAP 90%
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 6. Morfologi sample dari hydroxyapatite hasil kompaksi (90% HAP)


Gambar 6 menunjukan hydroxyapatite yang dihasilkan melalui proses di atas dan
dilanjutkan dengan sintering. Terlihat ukuran butiran hydroxyapatite berada pada range 500-
1000 nm. Butiran hydroxyapatite tersebut membentuk suatu jaringan disertai dengan rongga-
rongga. Keberadaan rongga-rongga tersebut diperlukan untuk menyesuaikan dengan kondisi
hydroxyapatite dalam tulang yang juga memiliki morfologi rongga.

430 |  ISSN : 2085 – 0492


KESIMPULAN DAN SARAN
Hydroxyapatite adalah bahan yang cocok untuk transpalntasi tulang. Penelusuran
literatur menunjukan bahwa hydroxyapatite dapat diproduksi melalui berbagai metode,
diantaranya adalah metode sol-gel. Percobaan pendahuluan pembuatan hydroxyapatite
melalui metode tersebut telah dapat menghasilkan hasil reaksi yang setelah dianalisa dengan
XRD menunjukan hydroxyapatite. Proses kompaksi dan sintering menghasilkan
hydroxyapatite dengan ukuran 500-1000 nm yang membentuk jaringan berongga.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hench LL, Erthridge EC, Biomaterials – An Interfacial Approach, Vol.4, A.
Noordergraaf, Ed. Academic Press, New York 1982
2. Black J, Biological Performance Materials, 2nd Ed., Marcel Dekker New York 1992
3. Park JB, Lakes RS, Biomaterials-An Introduction, 2nd Ed., Platinum Press, New York
1992
4. Kundu B, Sinha MK, Mitra MK, Basu D, Fabrication and Characterization of Porous
Hydroxyapatite Ocular Implanr Followed by An In Vivo Study in Dogs, Bull. Mater.
Sci. 27:2, 2004, p.133-140.
5. Prabakaran K, Kannan S, Rajeswari S, Development and Characterization of
Hydroxyapatite Composites for Orthopaedic Applications, Trends Biomater. Artif.
Organs. 18:2, 2005, p.114-116
6. Qian J, Kang Y, Zhang W, Li Z, Fabrication , Chemical Composition Change and
Phase Evolution of Biomorphic Hydroxyapatite, J. Mater. Sci. Med. 19, 2008, p. 3373-
3383.
7. Wiria FE, Chua CK, Leong KF, Quah ZY, Chandrasekaran M, Lee MW, Improved
Biocomposite Development of Poly(vinyl alcohol) and Hydroxyapatite for Tissue
Engineering Scaffold Fabrication Using Selective Laser Sintering, J. Mater Sci: Mater
Med. 19, 2008, p. 989-996.

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 431
Seminar Material Metalurgi 2010

432 |  ISSN : 2085 – 0492


PENGUKURAN TEGANGAN SISA TEKAN SATUATION SHOT
PEENING DENGAN DIFRAKSI SINAR X

Sutarno1, A Taufik Junus2, Eddy Agus Basuki2


1
Aerostructure-PT Dirgantara Indonesia
Jl. Pajajaran 154 Bandung 40174, Phone :022 6054600/Mobile :08122240183
Email : tarno@indonesian-aerospace.com
2
Rekayasa Pertambangan Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganeca 10 Bandung

Abstrak
Shot pening merupakan rekayasa permukaan benda kerja bertujuan memperbaiki umur lelah
(fatigue life improvement), stress corrosion cracking. Proses ini banyak diaplikasikan pada structural
parts and components pesawat terbang yang mengalami beban dinamis.
Dalam penelitian ini dilakukan pengkajian pengaruh intensitas shot peening terhadap
karakteristik permukaan mencakup pengerasan regang, kedalaman lapisan tekan dimana tegangan
sisa tekan yang terbentuk serta pengukuran tegangan sisa tekan dengan metoda difraksi sinar X pada
material Alumunium 7050. Untuk karakteristik permukaan dilakukan dengan memvariasaikan ukuran
bola baja yakni S230, S280 dan S330 masing masing dengan tekanan 3.5 bar, 4 bar dan 4.5 bar.
Adapun pengukuran tegangan sisa tekan dilakukan pada sudut 2θ = 116 o dengan sudut rotasi (ψ) 0º,
15º, 30º dan 45 º.
Hasil penelitian memberikan kenaikan intensitas shot peening meningkatkan tegangan sisa
tekan-194 dan -257 MPa dengan kedalaman 9-12μm untuk intensitas 4-6A, sedangkan antara -307dan
-332 MPa dengan kedalaman 14-16 μm untuk intensitas 6-8A serta antara -332 dan - 357 MPa
dengan kedalaman 16-23μm untuk intensitas 8-10A. Adapun kekerasan meningkat 157-174 HV

Kata kunci : shot peening, intensitas, coverage, tegangan sisa tekan

Abstract
Shot peening is a process by which the surface of work piece of metal is repeatedly imparted
by small hardshot with sufficient kinetic energy to create plastic deformation in the surface layer and
than induces residual stress, that has beneficial effect on mechanical properties especially fatigue life
improvement. Therefore, this process is one of the best choice for application on critical aircraft parts
and components those inducing dynamic loading.
The physicals effect of the shot peening process such as dimple and strain hardening, surface
hardness and depth of layer where residual stress occur, depend mainly on the size, mass and velocity
of the hard shot as importance parameter in the process. Intensity specified in Almen number
determine the depth to which the compressive stresses extend below the peening surface. The optimum
intensity is defined by the depth at which both decreased by intensity and increased intensity would
decrease the fatigue resistance.
In this experiment, used the specimen made Aluminum 7050. Shot peening process performed
with variation pressure 3 Bar (4-6A), 4 Bar (6-8A), 4.5 Bar (8-10A) for dimple analyzing, and the
magnitude of residual stress using steel shot # 280 at the saturation condition by variation intensity
setting 4-6A, 6-8A, 8-10A. Specimen tested by XRD 5A Shimadzu radiation Cu K_ with _ 1.542
Amstrong and Ni as filter 46 kVat the angle 2θ = 116 degrees and is rotated by ψ angle 0, 15, 30, and
Seminar Material Metalurgi 2010

45 degree. Magnitude of the shift will be related to the magnitude of the residual stress.
By using XRD known as sin2 θ method, the maximum compression residual stress result is -
357.20 MPa with 23 micron depth of layer, and -94.27 MPa for specimen does not shot peening.
Based on the result theadditional process shot peening on the specimen the residual increase - 262.93
MPa,

Kata kunci : shot peening, intensity, coverage, residual stress

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 433
1. Pendahuluan
Hampir dapat dipastikan bahwa kegagalan fungsi suatu part and components berawal
dari acat permukaan berupa kekasaran, poros, goresan, radius tajam, takikan dan korosi yang
terjadi selama proses manufakturing (pemesinan, pembentukan, penggabungan) dimana akan
mengakibatkan perubahan kesetimbangan akibat perubahan tegangn sisa yang terkadang
diikuti dengan distorsi dan selama beroperasi (in service).
Shot peening merupakan bagian integral dari seluruh proses manufakturing structural
parts and components pesawat terbang dimana hampir 55% berasal dari hasil pemesinan [1].
Tujuan dari penambahan shot peening antara lain mengintroduksi tegangan sisa tekan seluruh
permukaan part untuk memperbaiki umur lelah dan sekaligus mempromosi terjadinya adesi
intergranular, menghilangkan porositas, menahan perambahan retak, mengeliminasi pengaruh
lingkungan korosif dibawah kondisi terkontrol[2,3].. Proses saturation shot peening
merupakan salah satu upaya kompromi antara persyaratan desain dan koreksi serta perbaikan
kualitas dalam upaya meningkatkan umur lelah.
Seiring dengan tuntutan umur pakai (service life) dan batas lelah (endurance limit)
komponen, maka banyak industri seperti perkakas mesin (machine tools), engine component,
structural parts and components, hydraulic system dan landing gear menggunakan proses
shot peening untuk meningkatkan fatigue resistance, mitigating stress, intergranular
corrosion, dan mencegah serangan permukaan komponen lainnya yang mengakibatkan
kecelakaan atau gagalnya fungsi komponen dan meningkatkan umur ekonomis.
Hingga saat ini kualitas proses shot peening hanya dikontrol dengan menggunakan
metoda almen strip dan status sertifikasi & kualifikasi mesin melalui Machine Verification
Tool (MVT) dan Parts Verification Tool (PVT), kualifikasi dan sertifikasi operator, penetapan
parameter sesuai dengan Technical Data Sheet (TDS), tercatat & terdokumentasi secara baik
dan mampu usut (traceable) untuk keperluan audit.[4,5,6,7]
Pengkajian tegangan sisa tekan dan lapisan tekan pada permukaan komponen terhadap
intensitas shot peening tidak diketahui secara pasti, sehingga perbaikan rancangan dan
parameter proses tidak dapat dilakukan. Pengkajian mengenai tegangan sisa tekan ini menjadi
penting dan diperlukan untuk melakukan prediksi awal dan mengkuantifikasi pengaruh
parameter proses.
Pengujian pengaruh penambahan proses shot peening yang dianggap representatif
terhadap kualitas shot peening selama ini masih menggunakan spesimen fatigue test.
Besarnya pengaruh penambahan proses shot peening adalah selisih dari nilai umur lelah dari
spesimen yang dikenai dan tidak dikenai proses shot peening. Pengujian dengan metoda
fatigue test ini disamping memerlukan banyak specimen, keakuratan dan kepresisian dimensi
spesimen juga waktu yang lama dan biaya pengujian yang relatif cukup besar[8].

2. Tinjauan Teori
2.1. Pengertian
Tegangan sisa adalah tegangan internal yang dapat berupa tegangan tarik, tekan pada
parts and components terjadi setelah operasi manufaktur atau perakitan selesai dan tidak ada
tegangan eksternal[10,11,12]
Secara umum, tegangan sisa timbul bilamana terjadi perbedaan kondisi antara lapisan
Seminar Material Metalurgi 2010

luar dan dalam suatu komponen, sebagai akibat satu dari tiga mekanisme dasar proses yakni
proses manufaktur, perlakuan permukaan (surface treatment), dan perlakuan panas (heat
treatment)[13]. Adapun proses manufaktur yang menyebabkan tegangan sisa seperti
pengerolan, pemesinan, chemical milling, pengelasan, shot peening, perlakuan panas,
perlakuan permukaan, perakitan komponen tunggal (single komponen) atau ketidaksesuaian
(misfit) antara daerah yang berdekatan[12]. Akibatnya adalah terjadi tegangan sisa tekan yang
melibatkan plastic yielding di permukaan komponen yang disebut pengerjaan dingin (cold
working) yang bermanfaat untuk memperbaiki fatigue life[15].

434 |  ISSN : 2085 – 0492


Keberadaan tegangan sisa permukaan dapat meningkatkan atau merusak fatigue life,
sangat tergantung pada kondisi permukaan dan tegangan tarik[8]. Apabila kondisi permukaan
komponen kasar dan terdapat goresan, takikan atau radius tajam tidak diintroduksi tegangan
sisa tekan, sedangkan komponen dikenai beban siklis, maka tegangan sisa berupa tegangan
tarik akan mengakibatkan konsentrasi tegangan yang besar dan pada gilirannya
mengakibatkan penurunan fatigue life yang berdampak kepada fungsi dan umur ekonomis
komponen.

2.2. Proses Shot Peening


Shot peening termasuk jenis mechanical treatment, salah satu perlakuan permukaan
komponen dengan cara menumbukkan bola baja yang disebut shot pada kecepatan
terkontrol[4,5,6,7]. Keunggulan metoda proses shot peening antara lain dapat menjangkau ke
seluruh permukaan komponen yang mempunyai geometri kompleks, dimensi kecil, radius
tajam, takikan dengan kondisi gradien tegangan tinggi dan memperbaiki surface roughness
komponen hasil pemesinan[13 ]. Secara fisis, proses shot peening mudah dimengerti dengan
model tumbukan tunggal yang ditransfer ke tumbukan multiple. Persamaan gaya antara
kecepatan shot dan tekanan yang terjadi pada permukaan komponen dapat dituliskan menjadi

(1)
Model pendekatan harga untuk tekanan dengan yield stress (tegangan luluh) adalah

(2)
Menurut analisis Herzt distribusi regangan dan tegangan berupa hemispherical[23],
sedangkan berdasarkan model plastic stretching, regangan maksimum terjadi di permukaan
kontak dengan shot, dan selanjutnya berkurang hingga nol kearah kedalaman. Adapun
tekanan rata-rata selama tumbukan shot rigid dengan massa m dan radius R pada radius
lekukan deformasi awal, Rc adalah :

(3)
Jadi tekanan yang terjadi pada komponen oleh steel shot merupakan fungsi dari
kecepatan, v, sedangkan parameter lain seperti a, m, E, R, dan v tetap
Kedalaman lapisan plastis menjadi perhatian yang paling penting pada proses shot
peening, karena secara langsung menentukan lapisan pengerasan-regang yang berkaitan erat
dengan tegangan sisa tekan dan bergunan untuk memperbaiki fatigue life komponen[24].
Regangan radial akibat shot peening mengakibatkan terjadinya pengerasan regangan dan laju
regangan. Persamaan pengerasan regang dan laju regangan dapat dinyatakan sebagai berikut :

(4)
Seminar Material Metalurgi 2010

Dimple yang terjadi akibat shot peening didekati dengan indentasi pada pengukuran
kekerasan Brinell[27]. Jika sebuah shot dengan kecepatan v memberikan tekanan P mengenai
permukaan logam, maka akan terjadi dimple dengan diameter D dan kedalaman z, secara
matematis, dapat dituliskan sebagai

(5)
dimana BHN adalah nilai kekerasan Brinell,

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 435
2.3. Parameter Proses Shot Peening
2.3.1. Arc height dan coverage
Arc height dan coverage memainkan peranan penting dalam pembentukan lapisan
tekan, tegangan sisa dan kekasaran permukaan. Dalam prakteknya, harga meningkat
dengan peening time sampai kejejuhan diperoleh, yang ditandai dengan coverage minimal
100%. Selanjutnya, penambahan peening time tidak berpengaruh terhadap harga .[5,6,7,8]
Harga arc of height optimum dicapai pada suatu kondisi dimana inferior properties akibat
tekanan mempunyai umur yang sama dengan superior properties material induk yang
direduksi dengan tegangan tarik.[28]. Untuk kurva jenuh berarti ada N siklus peening,
persamaan arc height jenuh, F akhir dapat dituliskan dengan persamaan (4)
2 0.5 L2  vo2 
0.5

F  3 (6)
32h  p 
Coverage didefinisikan sebagai uniformitas atau keseragaman dan obliterasi permukaan asli
benda kerja yang ditentukan dengan pengujian visual menggunakan pembesaran 10 atau 30 X.
Hubungan antara coverage dan exposure time[5,21,29] secara matematik dinyatakan
sebagai
Cn = 1-(1-C1)n (7)
Menurut Al Hassani[23] coverage area actual dinyatakan sebagai
Actual area coverage = area(1- exp(-Nt) (8)
Dimana Nt adalah jumlah total coverage yang nilainya diasumsikan sama dengan jumlah total
dimple. coverage proses shot peening di seluruh permukaan komponen dipersyaratkan
berkisar antara 100 %-600 % [5,7].

2.3.2. Diameter dan laju alir bola


Untuk peening time, t* yang sama, kenaikan variasi intensitas peening menghasilkan kenaikan
nilai arc of height seperti ditunjukkan Gambar 1.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 1. Penentuan intensitas jenuh [3,4].


Dengan memvariasikan peening time, maka akan diperoleh nilai arc of height yang
berbeda. Bilamana perbedaan nilai arc of height almen strip kurang dari 10 % untuk 2 x
peening time, maka kondisi demikian disebut saturation time dari suatu nilai intensitas
berbeda, proses shot peening pada komponen dilaksanakan.

436 |  ISSN : 2085 – 0492


2.5. Pengukuran Tegangan Sisa dengan Metoda XRD
2.5.1. Sinar X
Sinar X yang digunakan untuk difraksi adalah gelombang elektromagnetik dengan
panjang gelombang, λ antara 0.5–2.5 Amstrong, bergerak menurut garis lurus dan tidak dapat
dibelokkan oleh medan magnet. Hubungan panjang gelombang, λ sinar X dan voltase
dinyatakan sebagai
hc 12400
  (9)
ev v
Biasanya, voltase untuk difraksi berkisar antara 30–50 kvolt. Dalam pengukuran tegangan sisa
tekan ini digunakan difraksi sinar X adalah Cu Kα : 1.542 A, Co Kα : 1.790 A, Fe Kα : 1.937 A
dan Cr Kα : 2.291 A.[9,19]. Karena untuk difraksi dipersyaratkan jenis sinar X monokromatik,
maka keberadaan radiasi Kβ harus ditiadakan dengan memasang filter, seperti misalnya Ni
untuk Cu, Vanadium untuk Cr. Difraktometer yang digunakan adalah Merk Difraktometer
XD-5A Shimadsu Jepang, tabung Target Cu, normal fokus, Tegangan arus 35 KV dan 30mA,
detektor scintilasi, Goniometer scan VG 108R, kontinyu 0.5º per menit, Kecepatan kertas 40
mm/menit dan split divergen slit 1º dan receiving slit 0.4º.

2.5.2. Struktur Kristal


Kristal didefinisikan sebagai zat padat yang atom-atomnya tersusun menurut pola yang
terulang dalam tiga dimensi. Bagian terkecil dari kisi kristal adalah sel satuan. Jarak antar
bidang, dhkl merupakan fungsi dari indeks bidang (hkl) dan tetapan kisi (a, b, c, α, β, γ).
Untuk bentuk kubus dinyatakan :
a
d hkl  (10)
h2  k 2  l 2
Untuk logam Alumunium mempunyai kisi FCC dan berjarak 1.54 Amstrong.

2.5.3. Difraksi sinar X


Syarat sinar X dapat terdifraksi adalah bila sinar X jatuh pada benda yang jarak antar-
atomnya kira-kira sama dengan panjang gelombang sinar tersebut dan sefasa. Bragg
memberikan hubungan antara jarak antara bidang kristal dan sudut yang radiasi refleksinya
menunjukkan intensitas maksimum untuk panjang gelombang tertentu, menurut persamaan :
λ = 2dsinθ (11)
Sudut θ merupakan arah difraksi dalam kristal, yaitu sistem kristal dan parameter kisinya, atau
arah difraksi ditentukan oleh bentuk dan ukuran sel satuan. Substitusi persamaan (10) ini ke
persamaan (11), diperoleh
sin  
2 
2 h 2  k 2  l 2 (12)
4 a2
Persamaan (12) meramalkan untuk λ dan kristal kubus tertentu dengan ukuran sel satuan, a,
semua sudut Bragg memungkinkan difraksi berlangsung di bidang hkl.
Seminar Material Metalurgi 2010

2.5.4. Pengukuran Tegangan Sisa dengan Metoda Difraksi Sinar X


Pada deformasi plastis, bidang kisi biasanya terdistorsi sedemikian rupa sehingga
spacing particular set (hkl) atau jarak antara bidang bervariasi dari butir satu ke butir yang
lain atau dari bagian butir ke butir lainnya. Pengukuran makroskopik tegangan sisa
direpresentasikan dengan volume difraksi dimungkinkan, mengingat penetrasi kedalaman
sinar X sangat dangkal, sebagai suatu permukaan bebas dibawah tegangan bidang,
sebagaimana ditunjukkan Gambar 2. [19,22]
Tegangan biaksial permukaan didefinisikan oleh principal residual σ1 dan σ2 dengan
tidak ada tegangan normal terhadap permukaan tegangan. Tegangan σ2, terletak dalam bidang
permukaan pada sudut Φ ke tegangan utama, σ.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 437
Gambar 2. Model elastis tegangan bidang[20]
Vektor regangan (strain vector), εφψ terletak dalam bidang didefinisikan oleh
permukaan normal dan tegangan σφ yang ditentukan dapat dinyatakan dalam jumlah tegangan
utama sebagai :

(13)
Tegangan permukaan σo dalam setiap arah didefinisikan oleh sudut ψ terhadap regangan ε
dalam arah (φ,ψ) dan tegangan utama di permukaan.

(14)
Spasi kisi (lattice spacing) dapat ditentukan untuk setiap orientasi ψ. Jika σφ adalah
tegangan tarik, spasi antara bidang palalel kisi terhadap permukaan akan direduksi oleh
kontraksi rasio poison, sementara bidang miring terhadap arah tegangan diekspansi. Jika
dinyatakan dalam istilah strain crystal lattice spacing.
ε φ ψ = (d φ ψ - do)/do (15)
dimana do adalah tegangan bebas spasi kisi, sebagai ukuran regangan (strain gage) menjadi
kisi yang diukur dalam arah φ dan ψ. Substitusi persamaan (14) ke persamaan (15) dan diatur
ulang, spasi kisi (lattice spacing) diukur dalam setiap arah dapat dinyatakan sebagai sebuah
fungsi tegangan yang ada dalam sampel dan konstata elastis dalam (hkl) arah kristalografi
digunakan untuk pengukuran tegangan.

(16)
Persamaan (16) merupakan persamaan dasar hubungan antara spasi kisi dengan tegangan
biaksial dalam permukaan benda kerja. Spasi kisi d φψ merupakan fungsi linier sin2ψ.
Intersep kemudian diplot pada sin2ψ. = 0, yaitu

(17)
Dimana sama dengan spasi kisi yang tidak ada tegangan, do kontraksi rasio poison berharga
negatif disebabkan oleh penjumlahan tegangan utama. Gradien kemiringan dapat ditulis
Seminar Material Metalurgi 2010

menjadi

(18)
Dimana tegangan sisa, σφ dapat diselesaikan dengan persamaan

(19)

438 |  ISSN : 2085 – 0492


3. Prosedur Percobaan
3.1. Penemuan intensitas dan waktu peening
Sebelum saturation shot peening dilakukan pada permukaan benda kerja, terlebih dulu
ditentukan intensitas dan waktu (peening time) dengan almen strip (Gambar 3a). Dengan
memvariasikan peening time untuk intensitas sama atau berbeda akan diperoleh kurva
saturation shot peening Gambar 3b). Peening time diambil waktu saturation dimana kenaikan
peening time tidak berpengaruh kepada kenaikan intensitas. Adapun itensitas <4A digunakan
almen strip N, intensitas 4-10A digunakan almen strip A dan lebih dari 10A digunakan almen
strip C.

Gambar 3. Penentuan intensitas dan peening time dengan almen strip


3.2. Material
a. Material specimen
b. Dalam penelitian ini digunakan material Alumunium paduan 7050 T6 plate per AMS
4050 atau AMS 4201 dengan unsur paduan Zn-Mg-Cu. Analisis komposisi digunakan
Spectro analyser Shimadzu
Cu Mg Cr Zn Si Fe Mn Ti Zr
1.4-2.6 1.9-2.6 0.04 5.7-6.7 0.12 0.15 0.1 0.06 0.08-0.15
1.538 2.2 ND 5.42 0.05 0.147 0.016 0.02 ND

3.3. Peralatan
a. Mesin saturation peening
b. Material bola baja
c. Surtronic 3P dengan cut off 0.25 mm
d. Difraksi sinar X tipe XD-5A Shimadzu Jepang
Density Hardness Coverage Jarak nozel-benda
Steel shot Size
(Kg/m3) (Vicker, 20gf) (%) kerja (mm)
Carbon steel 7.15 55-62 100 150 S230 S280 S330
Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 439
Gambar 4a. Sudut difraksi 2θ

Gambar 4b. Pengukuran d dengan ψ=45º


Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 4c. Situasi pengukuran d

440 |  ISSN : 2085 – 0492


Gambar 4d. Pengukuran d dengan ψ=0 º
Difraksi sinar X yang digunakan adalah Merk Difraktometer XD-5A Shimadsu
Jepang, tabungTarget Cu, normal fokus, Tegangan arus 35 KV dan 30mA, detektor scintilasi,
Goniometer scan VG 108R, kontinyu 0.5º per menit, Kecepatan kertas 40 mm/menit dan split
divergen slit 1º dan receiving slit 0.4º

3.4. Pengukuran
Beberapa jenis pengukuran dalam penelitian mencakup antara lain (a) kekasaran
permukaan, (b) kedalaman lapisan tekan, (c) tegangan sisa tekan dengan difraksi sinar X.

4. Hasil dan Pembahasan


4.1. Intensitas terhadap dimple dan roughness
Dengan intensitas sama, diameter bola semakin besar menghasilkan diameter dimple
yang lebih besar (Gambar 3a) dan tingkat kekasaran permukaan (roughness) yang besar pula.

Seminar Material Metalurgi 2010

(a) (b)
Gambar 5. Pengaruh intensitas, dimple dan roughness
4.2. Intensitas terhadap kekerasan dan lapisan tekan
Kenaikan intensitas saturation shot peening meningkatkan kedalaman lapisan tekan
hingga 50 mikron. Profil kekerasan paling tinggi berada di permukaan dan menurun ke arah
dalam permukaan. Dengan demikian terjadi sub layer permukaan

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 441
(a) (b)
Gambar 6. Kedalaman lapisan tekan dan kekerasan
4.3. Intensitas terhadap tegangan sisa tekan
Difraksi sinar X menggunakan 2θ = 116 º dengan memvariasikan sudut ψ =0, 15, 30
dan 45º diperoleh data bahwa kenaikan sudut ψ menyebabkan terjadinya kenaikan pelebaran
dan pergeseran sudut puncak difraksi 2θ, dimana mengindikasikan adanya perubahan jarak
dalam kristal yang tidak lain adalah regangan. Besarnya regangan bidang kristal dihitung
dengan mengeplot pergeseran 2θ terhadap jarak bidang kristal (d) sehingga diperoleh jarak
do.
Hasil perhitungan tegangan sisa tekan bervariasi terhadap kedalaman lapisan tekan
(Gambar 5b). Sedangkan kedalaman dipengaruhi oleh intensitas saturation shot peening.
Dengan kata lain intensitas yang tinggi akan memberikan tegangan sisa tekan yang tinggi
juga. Namun perlu diingat bahwa intensitas yang tinggi akan berpengaruh kepada kekerasan
dimana kekerasan akan berakibat getas.

(a) (b)
Gambar 7. Perhitungan besarnya tegangan sisa tekan
5. Kesimpulan dan saran
5.1. Kesimpulan
a. Kenaikan peening time akan meningkatkan intensitas shot peening meningkat hingga
Seminar Material Metalurgi 2010

coverage 100% dan selanjutnya hanya berdampak kepada penurunan kekasaran


permukaan.
b. Pengerasan regang dipengaruhi oleh kenaikan intensitas shot peening dan diameter bola
baja.
c. Pola difraksi untuk bidang kristal yang mempunyai tegangan sisa, rotasi sudut ψ
memperlihatkan adanya pergeseran sudut 2θ dan pelebaran puncak difraksi.
d. Tegangan sisa tekan meningkat linier dengan intensitas 4-10A dperoleh tegangan sisa
berkisar antara -194 sampai dengan -332 MPa. Dengan kata lain, penambahan shot peening
pada permukaan akan memperbaiki umur lelah suatu komponen.

442 |  ISSN : 2085 – 0492


5.2. Saran
a. Peninjauan intensitas dan ukuran bola baja serta tegangan sisa tekan yang dihasilkan
b. Peninjauan bidang kristal terhadap tegangan sisa sehingga memungkinkan penetapan
bidang kristal yang akan dipakai untuk mengukur tegangan sisa.
c. Pengembangan model matematik atau FEM untuk simulasi yang memungkinkan
mengamati korelasi antar parameter proses saturation shot peening dengan tegangan sisa
tekan yang terjadi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Manufacturing Process Flow Standard for IAe
2. Robert C, Mulhal, Shot Peening Advanced Aerospace Design, SP 528, Industrial Product
Div. Potter Industries Inc, Warrendale, PA. 15096, Oct. 1982
3. Shot peening Application, Metal Improvement Co. 7 th. Ed
4. BAC 5730, Shot Peening, Boeing Specification 1992
5. ABP 1-2028, Shot Peening for Improved Fatigue and Stress Corrosion Resistance,
Airbus UK, 2000
6. PS 20-0-35-0205, Shot Peening to Improve Fatigue Strength, 1987
7. CASA I +D-P 06 A , Shot Peening, Spain Specification, 1982
8. Fuchs H O, Techniques of Surface Stressing to Avoid Fatigue, Metal improvement
equipment
9. Cullty, BD., Elements of X Ray Difraction, 2nd Edition, Addisin-esley, Massachusetts,
1978
10. Dieter, George E, Mechanical Metallurgy, 3 rd Ed.,McGraw-Hill, Inc, 1986
11. Wulpi Donald J, Understanding how components fails, ASM, 1990, pp 66-82
12. http://www-sped.utt.fr/aboutprestress/definition.htm, Integration De La Notion Des
13. Physical Industry, Residual Stress in the Grain Boundery
14. Champaigne, Shot Peening Method, US Patent 5,460,025, Oct 24, 1995
15. Fuchs, H O and Hutchinson, Shot Peening , Designer’s guide to the process, its
application
16. David Kirk, Curve Fitting for Shot Peening Data Analysis, Coventry, UK
17. P. K Sharp and G Clark, The Effect of Peening on the Fatigue Life of 7050 Aluminium
Alloy, Airframes and Engines DSTO Division Aeronotical and Marine Research Lab.
Lorimer St Fishermen Bend Victoria 3207, DSTO-RR-0208, March 2001
18. ASM Committee, Shot Peening, American Society for Metal, pp 138-149
19. Paul S Prevey , X-ray diffraction Residual Stress techniques, Lambda Research, Metal
Handbook, 10, Metal Park, OH, ASM,1986, pp 380-392
20. Al Hassani, ST. The Shot Peening of Metal Mechanics and Structure, 821452, Dept. of
Mechanical Engineering, The University of Manchester, Institut of Science &
Technology, UK, 1982
21. http://2.eng.cam.ac.uk/tw225/work.htm, Plastic Dept Produced by a single Spherical on
Strain-rate Insensitive Metals
22. Roger S Simpson, Development of a Mathematical Model for Predicting The Percentage
Fatigue Life Increase Resulting from Shot Peened Components, Phase I, Flight Dynamic
Seminar Material Metalurgi 2010

Lab. Air Force Wright Aeronautical Lab, Air Force System Command Wright-Patterson
AFB, Ohio 45433, April 1985
23. H. O. Fuchs, Optimum Peening Intensity, Metal Improvement Co. Paramus, NJ USA
24. Sriati Djaprie, Metalurgi mekanik, Edisi 3, 1986
25. H. O. Fuchs, Optimum Method, Intensity, and Coverage of Mechanical Prestressing,,
Metal Improvement Co. Paramus, NJ USA
26. Clifford S Mehelich, Shot peening, ASM, pp 138-149
27. Macroscopic & Microscopic evaluation of a shot peen layer during isothermal recovery,
Metallurgical & materials transactionVol. 31 A, month 2000-213.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 443
28. Erny Sulistyanti DKK, Analisa Produk Chemical Milling Material Alumunium 2024-T3
cladd, TRA 2109, 1996, pp 20-23.
29. Serope Kalpakjian, Manufacturing Process for Engineering Materials, Addison-Wisley
Pub. Co., London, 1985, pp 66-70,
30. Amrizal, “Pengaruh Peregangan terhadap Tegangan Sisa, laju perambatan retak lelah
dan ketangguhan retak Al. 2024-T3”, Tesis Magister Teknik Material Prog. Pascasarjana
ITB 1998.
31. Macon H Miller, Stress Measurement in Metal, General Motors Corporation
32. J D Lord, A T Fry and P V Grant, An Examination of the XRD and Hole Drilling
Techniques, Project CPM4.5 Measurement of Residual Stress in Component, NPL
Materials Centre Queens Road Teddington, Middlesex, UK, TW11 0LW,May 2002,
33. M.B Prime, V.C Prantil at all, Residual Stress Measurement and Prediction in a
hardened Steel Ring, Los Alamos, National Laboratory, LA-UR-99-5103
34. E. J. Hearn, Mechanics of Material, An Introduction to the Mechanics of Elastic and
Plastic Deformation of Solids and Structural Components, 2 edition Volume I, Pergamon
Press Oxford, 1981
 

 
Seminar Material Metalurgi 2010

444 |  ISSN : 2085 – 0492


PENGUKURAN KANDUNGAN MINERAL DALAM BATUBARA YANG
BERASAL DARI KALIMANTAN MENGGUNAKAN
SPEKTROFOTOMETRI X-RAY FLUORESENSI

Kusumawati, Y1, Said, N. F.2, Agustiani, E3, Fansuri, H1,2 (Kimia/FMIPA/ITS)


1
Jurusan Kimia FMIPA ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111
2
Lab. Studi Energi dan Rekayasa LPPM ITS, Gedung Pusat Studi Robotika, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya
60111(D3 Teknik Kimia/FTI/ITS)
3
Program Studi D3 Teknik Kimia FTI ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111
Email: y_kusumawati@chem.its.ac.id

Abstrak
Kandungan mineral dalam batubara penting untuk diketahui selain penetuan kandungan unsur utama
C, H, O, N. Penentuan kandungan mineral dalam batubara penting dilakukan karena mineral dapat
mempengaruhi kemampuan pembakaran batubara. Mineral juga dapat memberikan efek yang tidak diinginkan
pada saat penyimpanan batubara. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap kandungan mineral
dalam sampel batubara yang berasal dari berbagai daerah di Kalimantan dengan menggunakan metode
spektrofotometri X-Ray Fluorosensi (XRF) standarless. Dari hasil pengukuran diketahui bahwa besi merupakan
mineral yang paling banyak terdapat dalam sampel batubara yang diamati dengan kisaran 207.5 – 1554.1 ppm.
Mineral lain yang teridentifikasi adalah aluminium, silikon, sulfur, kalsium, titanium, kalium dan mangan.
Mangan teridentifikasi sangat rendah dengan kisaran 0.8-6.9 ppm. Berdasarkan fakta bahwa matriks batubara
bersifat kompleks, penelitian ini merupakan suatu langkah awal dalam menyiapkan material referensi standar
batubara.

1. Pendahuluan
Batubara merupakan batuan sedimen organik yang mengandung karbon, hidrogen,
nitrogen, oksigen dan sulfur dengan beragam nilai sesuai jenisnya (Speight, 2005; ASTM D-
121). Batubara saat ini merupakan bahan bakar yang diandalkan oleh pemerintah sebagai
sumber energi utama dalam pembangkitan energi listrik. Program listrik 10000 MW,
misalnya, hampir semua dibangun dengan menggunakan batubara sebagai sumber energinya.
Dalam penggunaannya, perlu diketahui kualitas batubara yang digunakan agar dapat dicapai
efisiensi penggunaan batubara yang optimal. Parameter utama yang dijadikan kualitas
batubara meliputi kelembaban dan kemampuan pembakaran. Kemampuan pembakaran
batubara dapat dianalisa dari kandungan di dalamnya, terutama karbon (Speight, 2005).
Selain karbon, kandungan mineral dalam batubara penting juga diketahui. Mineral
dalam batu bara dapat merupakan unsur yang berikatan dengan unsur utama batu bara (C, H,
O. N), misalnya kalsium dan magnesium yang merupakan unsur pendamping dari senyawa
CaCO3 dan MgCO3. Selain itu, terdapat juga mineral yang tidak berikatan dengan unsur
utama batu bara (Speight, 2005). Mineral dapat menjadi sumber abrasi yang tidak
diinginkan, stickines, korosi atau polusi pada saat penanganan dan atau penggunaan batubara
(Ward, 2002).
Penentuan kadar mineral dapat dilakukan dengan menggunakan metode
spektrofotometri serapan atom (speight, 2005), scanning dan transmission electrkon
Seminar Material Metalurgi 2010

microscopy (Allen dan VanderSande, 1984), difraksi sinar-X (Ward, dkk; 2001) atau
spektroskopi XRF (X-Ray Fluorosensi) (Fernandez, dkk; 2001).
Metode pengukuran flourosensi sinar-X memiliki kelebihan diantara metode lainnya
dalam hal tidak memerlukan pelarut dan kecepatan waktu analisa. Tetapi, material batu bara
tersebut memiliki matriks yang kompleks, sehingga adanya unsur lain dalam material akan
memberikan perngaruh terhadap hasil spektrum XRF. Salah satu faktor yang mempengaruhi
perbedaan spektrum adalah adanya absorpsi oleh atom di lapisan dalam material. Absorpsi
sinar-X oleh atom ini akan menurunkan intensitas sinar-X yang berflorosensi.
Melihat kondisi tersebut, dalam pengukuran XRF perlu adanya material standar, yang
disebut Standard Reference Material (SRM) yang disiapkan sesuai jenis materialnya. SRM

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 445
untuk pengukuran mineral pada batuan harus berasal dari jenis material (batuan) bahkan
jenis batuan yang sama atau mendekati. Hal ini dilakukan untuk mengurangi nilai kesalahan
dalam pengambilan keputusan hasil analisa.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengukuran terhadap sampel batubara yang
telah dikumpulkan dari berbagai daerah di Kalimantan dengan menggunakan metode
pengukuran spektroskopi XRF. Pengukuran ini merupakan suatu langkah awal bagi
penyiapan SRM batubara.

2. Eksperimen
Pemilihan bahan baku batubara dan karakterisasinya.
Bahan baku batubara dari berbagai kualitas (anthracite, bituminous, sub bituminous
dan lignite) diperoleh dari daerah Kalimantan timur dan Kalimantan selatan. Bahan baku
tersebut dianalisis proksimat dan ultimat untuk menentukan kualitasnya mengikuti prosedur
baku standard British (British Standard BS 1016).

Pengukuran Kandungan Logam dalam Sampel Serbuk Batubara


Pengukuran logam dalam sampel batubara dilakukan menggunakan spketrofotometer
XRF minipal-4. Sampel batu bara diserbukan dan dipanaskan pada suhu 105oC selama 12
jam, kemudian dihaluskan dan diayak pada ukuran 12 mesh. Sampel ini siap untuk dianalisa
kandungan mineralnya dengan metode standarless.
Hasil kandungan logam dengan menggunakan XRF dibandingkan dengan hasil
kandungan salah satu logam (Fe) dari hasil ICP (Inductively Coupled Plasma) untuk
diketahui kandungan absolutnya. Pengukuran ICP menggunakan ICP - Oes Prodigy Teledyne
Instrumen Leeman Labs. Baik pengukuran XRF maupun ICP dilakukan di Laboratorium
Studi Energi dan Rekayasa Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

3. Hasil dan Pembahasan


Kandungan beberapa mineral dalam sampel batu bara dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 1.a. Hasil pengukuran XRF sampel batubara untuk unsur Al, Si, P, S
Kalori Kandungan Unsur (ppm)
No
Batubara Nilai
Kategori Al Si P S
Kalori
3 4312.67 Rendah 56.543 + 0.114 68.7 + 0.1 8.032 + 0.025 555 + 0.363
5 4407.67 Rendah 187.49 + 0.114 332.7 + 0.084 (*) + (*) 549 + 0.332
27 5825.67 Sedang 142.13 + 0.837 368.1 + 0.122 10.74 + 0.073 9.76 + 0.038
28 6970 Tinggi 41.549 + 0.548 43.5 + 0.385 7.674 + 0.085 181 + 1.095
20 6346 Tinggi 300.13 + 0.445 414.6 + 0.152 (*) + (*) 674 + 0.587
11 7030.67 Tinggi 122.7 + 0.548 137.1 + 0.464 35.22 + 0.175 64.6 + 0.41

Tabel 1.b. Hasil pengukuran XRF sampel batubara untuk unsur K, Ca, Ti
Kalori Kandungan Unsur (ppm)
No
Seminar Material Metalurgi 2010

Batubara Nilai
Kategori K Ca Ti
Kalori
3 4312.67 Rendah 13.32 + 0.032 206.2 + 0.046 8.4022 + 0.0084
5 4407.67 Rendah 74.63 + 0.048 104.7 + 0.023 43.978 + 0.0219
27 5825.67 Sedang 73.05 + 0.111 89.52 + 0.149 38.095 + 0.0903
28 6970 Tinggi 4.057 + 0.036 52.47 + 0.161 11.707 + 0.0319
29 6862 Tinggi 0 + 0.077 0 + 0.206 0 + 0.1463
20 6346 Tinggi 85.36 + 0.036 115.6 + 0.019 46.747 + 0.0447
11 7030.67 Tinggi 15.73 + 0.041 291.3 + 0.808 27.283 + 0.0532

446 |  ISSN : 2085 – 0492


Tabel 1.c. Hasil pengukuran XRF sampel batubara untuk unsur Mn, Fe, Mo.
Kalori Kandungan Unsur (ppm)
No
Batubara Nilai
Kategori Mn Fe Mo
Kalori
3 4312.67 Rendah 3.5934 + 0.009 3.5934 + 0.009 3.5934 + 0.009
5 4407.67 Rendah 2.1599 + 0.013 2.1599 + 0.013 2.1599 + 0.013
27 5825.67 Sedang 0.7922 + 0.013 0.7922 + 0.013 0.7922 + 0.013
28 6970 Tinggi 1.9552 + 0.016 1.9552 + 0.016 1.9552 + 0.016
20 6346 Tinggi 3.1842 + 0.009 3.1842 + 0.009 3.1842 + 0.009
11 7030.67 Tinggi 6.496 + 0.045 6.496 + 0.045 6.496 + 0.045
(*) tidak terdeteksi

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa besi memiliki kandungan paling tinggi
diantara unsur lainnya. Sampel batu bara nomor 3 memiliki kadar Fe sampai 1554.1 ppm,
sedangkan kandungan besi paling sedikit terdapat dalam sampel batubara nomor 28 sebanyak
207.5 ppm. Unsur lainnya yang terdapat cukup banyak dalam batubara adalah aluminium,
silikon, sulfur dan kalsium. Keempat unsur ini terdapat dalam sampel batubara dengan kadar
bervariasi dari sekitar 50 ppm sampai 500 ppm. Sedangkan unsur fosfor, titanium dan kalium
memiliki kadar < 100 ppm. Unsur yang masih terdeteksi oleh XRF dengan nilai kandungan
yang rendah adalah logam mangan dengan kandungan 0.8-6.9 ppm.
Unsur-unsur besi, aluminium, silikon, sulfur, kalsium, titanium, kalium dan mangan
yang teridentifikasi dalam sampel batubara merupakan penyusun dari mineral-mineral yang
umumnya ditemukan dalam batubara seperti senyawa silika termasuk didalamnya kuarsa
(SiO2), senyawa penyusun tanah liat seperti kaloin (Al2Si2O5(OH)4), ilit
(K1.5Al4(Si6.5Al1.5)O20(OH)4), smectit(Na0.33(Al1.67Mg0.33)Si4O10(OH)2), feldspar (KAlSi3O8);
senyawa karbonat seperti kalsit (CaCO3) atau dolomit (CaMg(CO3)2); senyawa sulfida
seperti pirit (FeS2) atau galena (PbS), senyawa sulfat seperti gipsum (CaSO4) dan
persenyawaan lainnya (Ward, 2002).
Mengetahui kandungan mineral dalam batubara sangat penting, karena jenis mineral
yang terdapat dalam batubara akan mempengaruhi karakteristik pembakaran batubara
(Wigley, 1997). Selain itu dengan mengetahui kandungan mineral kita dapat dengan tepat
melakukan penanganan terhadap material atau penanganan terhadap berbagai perlatan yang
digunakan. Misalnya, Kandungan Fe dalam sampel batubara yang diamati cukup tinggi
dibandingkan kandungan logam lainnya. Ini dapat dijadikan sebagai suatu rambu-rambu agar
kita lebih waspada terhadap proses perkaratan peralatan penyimpanan atau pipa pembakaran.

4. Prospek Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu langkah awal dalam menyiapkan material referensi
standar batubara. Hal ini didasari fakta bahwa matrik material batubara bersifat kompleks,
sehingga pengukuran kadar unsur dalam batubara menggunakan XRF harus menggunakan
standar yang memiliki matriks hampir sama dengan sampelnya.
Seminar Material Metalurgi 2010

5. Kesimpulann
Dari hasil pengukuran diketahui bahwa besi merupakan mineral yang paling banyak
terdapat dalam sampel batubara yang diamati dengan kisaran 207.5 – 1554.1 ppm. Mineral
lain yang teridentifikasi adalah aluminium, silikon, sulfur, kalsium, titanium, kalium dan
mangan. Mangan teridentifikasi sangat rendah dengan kisaran 0.8-6.9 ppm.

6. Ucapan Terimakasih
Ucapan terimkasih kepada pemberi dana penelitian, Pelaksana Program Penelitian
Produktif Tahun Anggaran 2010, ITS; Jurusan Kimia FMIPA ITS dan Laboratorium Studi
Energi dan Rekayasa ITS.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 447
Daftar Pustaka
1. Allen, R. M.; VanderSande, J. B., Analysis of sub-micron mineral matter in coal via
scanning transmission electron microscopy. Fuel 1984, vol 63, hal 24-29.
2. Suarez-Fernandez, G. P et all. Analysis of major, minor and trace elements in coal by
radioisotope X-ray fluorescence spectromletry. Fuel 2001, vol 80, hal 255-261.
3. Ward, C. R. et all. Quantification of mineral matter in the Argonne Premium Coals using
interactive Rietveld-based X-ray diffraction. International Journal of Coal Geology 2001,
vol 46, hal 67-82.
4. Ward, C. R. Analysis and significance of mineral matter in coal seams. International
Journal of Coal Geology 2002, vol 50, hal 135-168.
5. Wigley, F; Williamson, J; Gibb W. H. The distribution of mineral matter in pulverized
coal particles in relation to burnout behavior. Fuel 1997, vol 76, hal 1283-1288.
6. Speight, J. G. Handbook of Coal Analysis. 2005. John Wiley & Sons: New Jersey.
Seminar Material Metalurgi 2010

448 |  ISSN : 2085 – 0492


PEREKAYASAAN PERALATAN PENGOLAHAN
MINERAL LOGAM DI INDONESIA

Edi Herianto, Dedi Irawan, Arifin Arif


Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang 15314
e-mail : edih001@lipi.go.id. Hp : 0815 88 57 960

Abstrak
Mineral logam di Indonesia cukup berlimpah namun sampai saat ini belum termanfaatkan secara
optimal. Hal ini dikarenakan beragamannya kandungan pengotor yang berada didalam mineral tersebut,
sehingga menyulitkan pengolahan secara konvensional karena kurang ekonomis. Maka dalam pengolahan
mineral logam tersebut perlu dilakukan terobosan teknologi yang sederhana namun berkualitas. Sehingga pada
penelitian ini dicoba untuk melakukan perekayasaan peralatan Pengolahan Mineral logam di Indonesia,
sehingga dengan terlaksanya penelitian ini diharapkan pengolahan mineral logam di Indonesia mendapatkan
jalan keluar, dengan demikian pengembangan dan pengolahan mineral logam di Indonesia dapat
dikembangkan.faktor utama dalam proses perekayasaan ini meliputi kapasitas desain, bentuk tungku/peralatan
pengolahan (tungku reduksi) karena tungku yang direncanakan untuk mengolah mineral logam dengan cara
reduksi langsung (direct reduction), untuk mendapatkan mineral logam yang tereduksi atau sponge iron atau
dikenal juga direct reduced iron (DRI). Kalau memungkinan peralatan tersebut dapat digunakan untuk membuat
iron nuggets.Sehingga peralatan ini dapat bekerja pada temperature 1200 OC, dan kalau memungkinkan sampai
temperature 1500 OC. Perekayasaan peralatan mineral logam pada tahap penelitian didesain untuk skala
laboratorium.

Kata Kunci : Mineral logam, bijih besi, laterit, pasir besi, perekayasaan, peralatan, reduksi, temperatur tinggi,
direct reduced iron (DRI), PSH furnace, tunnel kiln.

PENDAHULUAN
Indonesia kaya akan kandungan deposit mineral baik mineral industri maupun mineral
logam. Namun sampai saat ini kandungan mineral tersebut belum termanfaatkan secara
optimal. Terutama untuk pengolahan mineral logam. Indonesia memiliki cadangan bijih besi
yang terbesar adalah besi laterit disusul dengan pasir besi dan selanjutnya bijih besi
konvensional. Untuk pengolahan mineral besi tersebut secara modern saat ini dilakukan
dengan reduksi langsung, untuk menghasilkan sponge iron atau dikenal juga direct reduced
iron (DRI) atau hot DRI (Direct from midrex 2007/2008), yang selanjutnya dapat diolah
menggunakan electric arc furnace (EAF). Atau kalu mungkin perekayasaan peralatan juga
dapat digunakan untuk menghasilkan besi nuget. Dalam proses pengolahan besi nuget ini
paling tidak diperlukan suatu peralatan tungku reduksi dan peralatan tungku
peleburan/pelelehan, sehingga di perlukan suatu perekayaasaan peralatan untuk pengolahan
mineral besi tersebut yang dapat bekerja pada suhu tinggi 1100°C sampai 1500°C. Maka
untuk memanfaatkan mineral-mineral tersebut perlu dilakukan penelitian lebih mendalam,
terutama tungku pengolahan mineral pada temperatur tinggi, sehingga melalui kegiatan ini
diharapkan penelitian pengolahan material dapat dilaksanakan lebih mendalam.
Seminar Material Metalurgi 2010

METODOLOGI
Maksud dari kegiatan ini diharapkan tersedianya peralatan atau prototip peralatan
tungku pada suhu tinggi untuk proses pengolahan mineral logam. Dan kalau memungkinkan
dapat dimanfaatkan untuk pengolahan besi nugget.
Sedangkan metoda yang dilakukan dalam penelitian Perekayasaan Peralatan
Pengolahan Mineral logam secara garis besarnya meliputi :
1. Studi literatur, dimana studi literatur dilakukan untuk mempelajarai jenis atau tipe
tungku reduksi dan peleburan pada suhu tinggi sehingga dapat menghasilkan besi
nuget serta mempelajari peralatan pengujian material metalurgi.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 449
2. Basic desain, basic desain dilakukan mulai dari perencanaan perekayasaan peralatan,
perhitungan-perhitungan sampai dengan pemilihan bahan-bahan yang diperlukan
untuk perekayasaan peralatan.
3. Perencanaan : Desain, perhitungan, pengujian/karakterisasi bahan dan pemilihan
material, studi banding (tunnel kiln, rotary heart furnace, tube furnace, arc furnace)
pada temperatur diatas 1100 °C.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Rotary hearth Furnace (RHF)
Dari hasil penelusuran literatur yang dapat diambil sebagai dasar pemikiran desain
peralatan yang akan dilakukan diantaranya, dapat dilihat pada Gambar 1. Pada Gambar 1
merupakan mekanisme dari pengolahan mineral logam dengan reduksi langsung
menggunakan peralatan rotary hearth furnace (Lu,W.K, 2002, James Mc, 2007/2008).

Gambar 1. Ketinggian tumpukan pelet terhadap penyerapan panas dari bahan bakar
Dari dasar pemikiran ini dapat dicermati seberapa tinggi tumpukan dari pelet yang
akan di reduksi di dalam tungku reduksi, sehingga pemerataan panas sampai kebagian
terbawah dari pelet dapat tereduksi. Beberapa tungku reduksi baik dalam penelitian
laboratorium maupun dalam skala pilot juga ditampilkan pada Gambar 4 (Lu,W.K, 2002),
Gambar 5 dan Gambar 6 (Lu,W.K and Huang D, 2001).
Dalam desain tungku rotary hearth furnace (RHF), beberapa bagian penting yang
perlu diperhatikan diantaranya ratio antara luas heart (bagian dalam bawah tungku) terhadap
lingkar bagian luar furnace (peripheral ring) untuk tumpukan pelet yang poporsional untuk
tinggi tumpukan yang sama, dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut (Lu,W.K, 2002).
Luas dari peripheral ring dari RHF (APR), bagian ini dapat diamati pada Gambar 2.
APR = [(R + d)2 – R2]
Seminar Material Metalurgi 2010

Luas heart untuk tumpukan pelet dengan tinggi yang tetap (AC)
AC =  (R2 – r2)
Presentase luas peripheral ring terhadap Luas heart untuk tumpukan pelet dengan tinggi yang
tetap adalah :

APR  R  d   R 2

2

AC 
 R2  r 2

450 |  ISSN : 2085 – 0492


Gambar 2. Luas distribusi dari RHF untuk tinggi tumpukan pelet
Dimana : R : Diameter terluar dari RHF (m)
r : Diameter bagian dalam RHF (m)
d : Lebar peripheral ring RHF (m)

Tinggi dari tumpukan pelet terhadap luas hearth furnace berpengaruh terhadap
produktivity (kg/m2-hr) dari metalisasi logam yang ada didalam pelet, berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh (Lu,W.K, 2002), ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Hubungan produktivity terhadap tinggi tumpukan dari pelet.


Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 4. Salah satu tungku peleburan dengan bahan bakar gas alam.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 451
Paired Straight Hearth (PSH) Furnace
Pengembangan tungku untuk reduksi langsung terus dilakukan karena, reduksi
langsung merupakan solusi yang baik dalam pengolahan mineral logam. Mengingat bahan
reduktor yang digunakan dapat berupa batubara yang low grade sekalipun, disamping itu
mineral logam yang berupa fine ore juga dapat terpakai, karena sebelum dilakukan reduksi
pada umumnya bijih mineral digerus terlebih dahulu lalu di buat pelet. Pelet inilah selanjutnya
yang diumpankan kedalam tungku untuk menghasilkan sponge iron atau DRI. Salahsatu
rekayasa tungku untuk reduksi langsung ini adalah tungku yang dikembangkan oleh (Lu,W.K
and Huang D, 2001) yaitu tungku paired straight hearth (PSH). Tungku yang dikembangkan
hampir mirip dengan tungku tunnel furnace.

Gambar 5. Pandangan atas dari PSH furnace, dan laju perpindahan pellets

Gambar 6. Pandangan atas dari PSH furnace, dan laju aliran gas
Sedangkan bagian dalam dari tungku paired straight hearth (PSH) furnace
ditampilkan pada Gambar 7 dan Gambar 8. Ukuran dari tungku tersebut berdasarkan rrtio w/h
= 0.8 – 1.2 sedangkan D/L = 0.3 – 0.5.
Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 7. Pandangan depan dan atas dari profil PSH furnace

452 |  ISSN : 2085 – 0492


Gambar 8. Pandangan depan profil keseluruhan dari PSH furnace.

Gambar 9. Pandangan depan dari desain peralatan yang direncanakan


Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 10. Pandangan samping bagian dalam dari desain peralatan yang direncanakan

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 453
Rekayasa Peralatan Pengolahan Mineral Logam
Rekayasa yang dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan literatur yang ada maka
perekayasaan peralatan pengolahan mineral logam yang akan didesain mengaju pada paired
straight hearth (PSH) furnace, dimana tungku ini cukup mewakili untuk skala laboratorium,
disamping itu tungku ini hampir mirip dengan rel pada tunnel furnace. Proses yang terjadi
secara counter current yaitu aliran gas berlawanan dengan laju pellets yang ada didalam
furnace, seperti yang terjadi pada Gambar 4 dan Gambar 5. Namun lori yang dibuat untuk
sementara ini hanya satu rel saja, jadi pengisian pelet dan pengeluaran sponge iron masih
dilakukan secara manual.
Untuk tempat pelet dibuat seperti crusibel yang dapat berjalan sehingga pemanasan
pelet atau proses reduksi pelet dapat terjadi secara bertahap, sedangkan bagian bawah dari
crusibel dibuat rolly sehingga crusibel dapat dijalankan. Pada desain slubung furnace dibuat
untuk dapat memuat 4 (empat) buah crusibel, dengan bahan bata tahan api SK 38 dan kastable
setara dengan bata tahan api SK 38. Sedangkan pembungkus atau cashing tanur seperti
terlihat pada Gambar 5 dibuat dari plat baja mild steel tebal 4 mm, furnace di letakan di atas
tumpuan penyangga hal ini dibuat untuk memudahkan kontrol dan pengoperasian peralatan,
dan bagian dalam juga dilapisi dengan bata api SK 38 dan castable. Adapun desain dari
tungku yang akan dibuat ditampilkan pada Gambar 9 dan Gambar 10. Bahan bakar yang
dipakai dapat digunakan gas elpiji.

KESIMPULAN
1. Dalam perekayasaan peralatan mineral logam untuk tungku reduksi langsung dengan
tungku yang berjalan atau kontinyu beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah :
2. Tingginya tumpukan pelet didalam tungku reduksi harus diperhatikan, kondisi ini
sangat mempengaruhi pendistribusian panas samapai pada pelet bagian bawah dari
tumpukan. Jika panas tidak merata maka reduksi pelet tidak merata atau kurang
sempurna, sehingga sponge iron atau direct reduced iron (DRI) yang dihasilkan
metalisasi logamnya rendah dan juga tidak merata, hal ini dapat mengakibatkan
kualitasnya produk kurang bagus.
3. Tungku yang dirancang harus dapat menghasilkan panas bekisar 1100°C sampai
1500°C, kondisi ini dapat dicapai dengan perekayasaan yang benar untuk pembakaran
bahan bakar, apalagi bahan bakar yang digunakan dapat digunakan gas, BBM ataupun
batubara.
4. Bahan konstruksi yang digunakan harus sesuai dengan kondisi operasi yang
diinginkan, sehingga panas yang ada didalam tungku tidak mudah terbuang secara
konveksi melalui dinding tungku.

DAFTAR PUSTAKA
1. Lu,W.K,”Technology of Low Coal Rate ang High Productivity of RHF Iron
Making”,AISI/Doe, Technology Rodmap Program, 15 September 2002.
2. USA Patent No.60.257879, Huang D and Lu, W.K,”Paired Straight Hearth (PSH)
Furnace for Mertal Oxide Reduction”, Issuedon Juli 2001.
3. Direct from midrex, ”RHF Tecnologies”, Spesial report Winter 2007/2008.
Seminar Material Metalurgi 2010

4. James McClelland,”A Layman’s Guide to the Midrex and Kobe Steel”, Rotary Hearth
Furnace Technologies,2007/2008. www.midrex.com.

454 |  ISSN : 2085 – 0492


SINTESIS SERBUK MATERIAL MAGNET HIBRIDA
Nd2Fe14B DAN Sm2Co17 BERSTRUKTUR NANOMETER
MELALUI METODE CO-MILLING

Erfan Handoko1, Yusmaniar2, dan Iwan Sugihartono1


1. Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Jakarta, Jl. Pemuda No.10 Jakarta 13220
2. Jurusan Kimia, FMIPA Universitas Negeri Jakarta, Jl. Pemuda No.10 Jakarta 13220
email : erfisika@yahoo.com

Abstrak
Material magnet hibrida yang terdiri dari dua magnet keras unggul Nd2Fe14B dan Sm2Co17 telah
disiapkan dalam penelitian ini. Sintesis serbuk material magnet hibrida Nd2Fe14B/ Sm2Co17 melalui proses
penghalusan dengan menggunakan planetary ball mill dalam suasana toluen selama 80 jam telah diperoleh
serbuk halus material magnet. Hasil XRD menunjukkan telah terjadi pelebaran puncak-puncak difraksi dari
kedua fasa magnet keras yang mengindikasikan bahwa telah terjadi penghalusan serbuk magnet. Pengamatan
struktur dengan SEM memperlihatkan telah terjadi penghalusan serbuk magnet dengan ukuran kurang dari 500
nm.

Kata Kunci : Magnet hibrida, Nd2Fe14B/Sm2Co17, planetary ball mill,

PENDAHULUAN
Pengembangan material magnet permanen yang berbasis logam tanah jarang (rare
earth) terutama kaya dengan unsur Fe ( Fe-rich ) dan memiliki sifat kemagnetan unggul
masih terus dilakukan oleh banyak peneliti bahan magnet. Demikian juga dengan alloy
magnetik berbasis logam tanah jarang (Rare earth) sistem RE-TM-B [1-5], Sm-Co[6-8] dan
tidak terkecuali sistem keramik MO.6 Fe2O3 (M=Ba atau Sr)[9-10]. Rekayasa proses
preparasi baik itu teknik konvensional seperti Powder Metallurgy[11] maupun teknik modern
seperti Rapid Solidification[12] dalam pembuatan magnet permanen telah mampu
menghasilkan sifat kemagnetan ekstrinsik yang mencapai 90-100 % nilai intrinsiknya. Arah
pengembangan penelitian bahan magnet lebih terfokus pada rekayasa struktur dari material
magnetik yang pernah dikembangkan sebelumnya yaitu penerapan nanotechnology dalam
preparasi material magnetik. Sebagai penerapan dari teknik rekayasa modern ini telah
membuka peluang baru untuk memperoleh magnet dengan sifat yang sangat unggul misalnya
saja fasa magnetik Nd2Fe14B yang memiliki nilai maximum energy product, (BH)max sebesar
512 kJ.m-3 [13] berpeluang di rekayasa untuk menghasilkan magnet dengan nilai (BH)max
sebesar ~ 1 MJ.m-3 [14-15].

METODE EKSPERIMEN
Paduan Nd2Fe14B and Sm2Co17 yang diproduksi oleh Johnson Matthey Rare Earth
Products, Material Technology Divion, berupa padatan dan serbuk kasar. Komposisi Material
magnet hibrida Nd2Fe14B/Sm2Co17 (5, 40, 50 % berat) dilakukan proses penghalusan dengan
Seminar Material Metalurgi 2010

menggunakan Planetary Ball Mill selama 80 jam dalam susana toluen dengan rasio massa
material magnet dan bola baja adalah 1 : 10. Identifikasi fasa magnetik dilakukan dengan
menggunakan XRD dengan target Co pada interval sudut 2 20o – 60o . Analisis struktur
menggunakan SEM.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengukuran Difraksi Sinar-x
Pola difraksi sinar-x hasil pengukuran terhadap material magnet hibrida sebelum dan
sesudah proses penghalusan dilakukan untuk mengetahui komposisi material magnet hibrida.
Pada material magnet hibrida sebelum penghalusan pola difraksi sinar-x menunjukkan tidak

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 455
terjadi dekomposisi fasa dan terdeteksi untuk masing-masing fasa Nd2Fe14B dan Sm2Co17
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Pola difraksi sinar-x material magnet hibrida Nd2Fe14B+30% wt Sm2Co17 sebelum proses
penghalusan serbuk.

Sedangkan pola difraksi sinar-x pada serbuk magnet hibrida sesudah proses
penghalusan selama 80 jam (Gambar 2) menunjukkan telah terjadi reduksi ukuran serbuk
secara signifikan. Pelebaran puncak-puncak difraksi untuk masing-masing fasa penyusun
magnet hibrida meindikasikan telah terbentuknya butir-butir (grains) kristal dengan ukuran
nanometer.

Gambar 2. Pola difraksi sinar-x material magnet hibrida Nd2Fe14B+30% wt Sm2Co17 sebelum proses
penghalusan serbuk dan material magnet hibrida Nd2Fe14B+40% wt Sm2Co17 sesudah proses
Seminar Material Metalurgi 2010

penghalusan serbuk selama 80 Jam

Hal yang sama juga dialami oleh material magnet hibrida dengan komposisi 5% dan
50%. Ini memastikan bahwa tingkat penghalusan terjadi pada semua komposisi material
magnet hibrida. Gambar 3 menunjukkan pola difraksi-x material magnet hibrida
Nd2Fe14B+5% wt Sm2Co17 dan Nd2Fe14B+50% wt Sm2Co17 sesudah proses penghalusan
serbuk selama 80 Jam di mana telah terjadi pelebaran puncak-puncak difraksi dan
terbentuknya krista-kristal pada skala nanometer.

456 |  ISSN : 2085 – 0492


Gambar 3. Pola difraksi sinar-x material magnet hibrida Nd2Fe14B+5% wt Sm2Co17 dan Nd2Fe14B+50% wt
Sm2Co17 sesudah proses penghalusan serbuk selama 80 Jam

Gambar 3. Pola difraksi sinar-x material magnet hibrida Nd2Fe14B+5% wt Sm2Co17 dan Nd2Fe14B+50% wt
Sm2Co17 sesudah proses penghalusan serbuk selama 80 Jam

Analisis Struktur Kristal


Struktur material magnet hibrida untuk masing-masing komposisi dianalisis dengan
menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Hasil foto SEM menunjukkan bentuk
dan ukuran serbuk kristal sebagai terlihat pada Gambar4.
Seminar Material Metalurgi 2010

(a) (b)
Gambar 4. Foto SEM material magnet (a) Nd2Fe14 B dan (b) Sm2Co17 serbuk awal.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 457
Gambar 4 memperlihatkan morfologi serbuk material magnet Nd2Fe14B dan Sm2Co17
sebelum proses penghalusan. Terlihat terdapat perbedaan kedua material magnet tersebut,
Warna komposisi Nd2Fe14B lebih halus dibandingkan dengan Sm2Co17 yang lebih kasar pada
permukaan serbuk kristalnya. Namun demikian kedua bahan tersebut memiliki ukuran
distribusi ukuran serbuk yang berbeda pada skala mikrometer.
Proses penghalusan serbuk material magnet hibrida dengan planetary ball mill
mengakibatkan terjadi reduksi distribusi ukuran serbuk kristal pada ukuran kurang dari 1 m
atau 1000 nm (Gambar 5a, 5b, dan 5c).

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 5. Foto SEM material magnet hibrida Nd2Fe14B+30% wt Sm2Co17 sesudah proses penghalusan serbuk
selama (a) 10 jam, (b) 40 jam, dan (c) 80 jam. (d) Serbuk magnet berukuran kurang dari 500 nm.

Serbuk magnet dengan ukuran kurang dari 1000 nm diyakini terdiri dari beberapa
kristal dengan ukuran kurang dari 100 nm (Gambar 5d) apabila dikonfirmasi dengan hasil
pengukuran difraksi sinar-x terhadap serbuk setelah penghalusan selama 80 jam dimana
puncak-puncak difraksi mengalami pelebaran (peak broadening).

KESIMPULAN
Material magnet hibrida Nd2Fe14B dan Sm2Co17 telah disiapkan dalam penelitian ini.
Sintesis serbuk material magnet hibrida Nd2Fe14B/Sm2Co17 melalui proses penghalusan
dengan menggunakan planetary ball mill dalam suasana toluen selama 80 jam telah diperoleh
serbuk halus material magnet kurang dari 500 nm. Hasil XRD menunjukkan telah terjadi
Seminar Material Metalurgi 2010

pelebaran puncak-puncak difraksi dari kedua fasa magnet keras yang mengindikasikan bahwa
telah terjadi penghalusan serbuk magnet. Pengamatan struktur dengan SEM memperlihatkan
telah terjadi penghalusan serbuk magnet dengan ukuran kurang dari 500 nm.

UCAPAN TERIMA KASIH


DP2M DIKTI Kementerian Pendidikan Nasional RI yang telah mendanai penelitian
ini melalui Hibah Bersaing tahun ke-2 anggaran 2010.

458 |  ISSN : 2085 – 0492


DAFTAR ACUAN
[01]. M. Sagawa, S. Fujimura, N. Togawa, H. Yamamoto and Y. Matsuura, J. Appl. Phys., 55
(1984), pp. 2083-2087
[02]. M. Sagawa, S. Fujimura, H. Yamamoto, Y. Matsuura and S. Hirosawa, J. Appl. Phys.,
55 (1985), pp. 4094-4096
[03]. J.J. Croat, J.F. Herbst, R.W. Lee and F.E. Pinkerton, Appl. Phys. Lett., 55 (1984), 148
[04]. K.J. Strnat, “Ferro Magnetic Materials”, ed. E.P. Wohlfarth and K.H.J. Buschow,
North-Holland, vol.4, Amsterdam (1988), pp. 131-210
[05]. M.McCaig and A.G. Clegg, Permanent Magnets in Theory and Practice, 2nd edition,
Prentech Press, London (1987)
[06]. G. Hoffer and Strnat, IEEE Trans. Magn. Mag. 21 (1966), 487.
[07]. M. Sagawa, S. Fujimura, H. Yamamoto, Y. Matsuura and S. Hirosawa, J. Appl. Phys.,
57 1984), 2078
[08]. J. Smit and H.P.J. Wijn, "Ferrite", Willey, New York (1959)
[09] J. Ormerod, Metals and Materials, 4 (1989), 478-482
[10]. K.H.J. Buschow, Mat. Sci. Reports, 1 (1986), pp 1-64
[11]. H.A. Davies, in Rapidly Quenched Metals III, ed. B.Cantor, 1, the Chameleon Press
Ltd, London (1988), pp 8-14
[12]. R. Skomski and J.M.D. Coey, IEEE Trans. Magn., 29 (1993), 2860
[13]. C. Suryanarayana, Int. Materials Reviews, 40 (1995), 41
[14]. A. Manaf, R.A. Buckley, H.A. Davies and M. Leonowicz, "Enhanced Magnetic
Properties in Rapidly Solidified FeNdB Based Alloys", J. Magn. Magn. Mater, 101, 360-
362 (1991).

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 459
Seminar Material Metalurgi 2010

460 |  ISSN : 2085 – 0492


STRUKTUR DAN SIFAT KEMAGNETAN SERBUK MATERIAL
MAGNET HIBRIDA BaFe12O19/Nd2Fe14B

Erfan Handoko1, Widyaningrum1, dan Budhy Kurniawan2


1
Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Jakarta. Jl. Pemuda No.10 Jakarta 13220
2
Departemen Fisika , FMIPA Universitas Indonesia, Depok
email : erfisika@yahoo.com

Abstrak
Telah dilakukan penelitian material magnet hibrida BaFe12O19/Nd2Fe14B. Material magnet BaFe12O19
dan Nd2Fe14B berupa serbuk kasar berukuran kurang dari 100 mm disiapkan menggunakan vibration disc mill
dengan komposisi Nd2Fe14B 5%, 10%, 20%, dan 30% berat. Penghalusan serbuk magnet hibrida menggunakan
vibration ball mill selama 40 jam denganrasio massa material magnet dengan massa bola adalah 1 : 10.
Analisis struktur dengan XRD dan SEM menunjukkan telah terjadi pelebaran puncak-puncak difraksi dari kedua
fasa magnet keras yang mengindikasikan bahwa telah terjadi penghalusan serbuk magnet. Pengamatan struktur
dengan SEM memperlihatkan telah terjadi penghalusan serbuk magnet dengan ukuran kurang dari 1000 nm.
Pengukuran sifat magnet dengan Permagraph pada medan luar 2 T diperoleh berupa loop histerisis dari magnet
permanen dan telah terjadi peningkatan terhadap nilai remanen, koesivitas, dan energi produk maksimum dari
magnet hibrida.

Kata Kunci : Magnet hibrida, BaFe12O19/Nd2Fe14B, vibration ball mill,

PENDAHULUAN
Dalam pengembangan material magnet permanen yang berbasis logam tanah jarang
(rare earth) terutama kaya dengan unsur Fe ( Fe-rich ) dan memiliki sifat kemagnetan unggul
masih terus dilakukan oleh banyak peneliti bahan magnet. Demikian juga dengan alloy
magnetik berbasis sistem keramik MO.6 Fe2O3 (M=Ba atau Sr)[1-2]. Supremasi rekayasa
proses preparasi baik itu teknik konvensional seperti Powder Metallurgy[3] telah mampu
menghasilkan sifat kemagnetan ekstrinsik yang mencapai 90-100 % nilai intrinsiknya. Hal ini
menunjukkan bahwa seolah-olah jenis-jenis senyawa magnetik baru menjadi sangat mendesak
untuk dikembangkan. Namun, berdasarkan berbagai publikasi bahwa arah pengembangan
penelitian pada lebih dari 100 tahun di belakang adalah terfokus pada penemuan senyawa-
senyawa baru. Ternyata tidak demikian halnya pada awal milenium ke tiga dimana
berdasarkan pengamatan melalui berbagai publikasi, arah pengembangan penelitian bahan
magnet lebih terfokus pada rekayasa struktur dari material magnetik yang pernah
dikembangkan sebelumnya yaitu penerapan nanotechnology dalam preparasi material
magnetik. Sebagai penerapan dari teknik rekayasa moderen ini telah membuka peluang baru
untuk memperoleh magnet dengan sifat yang sangat unggul misalnya saja fasa magnetik
Nd2Fe14B yang memiliki nilai maximum energy product, (BH)max sebesar 512 kJ.m-3 [4]
berpeluang di rekayasa untuk menghasilkan magnet dengan nilai (BH)max sebesar ~ 1 MJ.m-3
[5-6]. Implikasi lain dari penerapan teknologi tersebut adalah diperlukannya pemahaman baru
tentang fenomena “nanomagnetism” material yang kini telah menarik banyak perhatian para
peneliti teori [7-9]. Dalam penelitian ini dilakukan rekayasa material magnet BaFe12O19 dan
Seminar Material Metalurgi 2010

Nd2Fe14B untuk membuat campuran hibrida. Diharapkan terjadi kombinasi dari sifat
kemagnetan yang dihasilkan.

METODE EKSPERIMEN
Desain komposisi yang telah dilakukan adalah sintesis magnet hibrida sebagai
komponen utama material magnet keras BaO 6.Fe2O3 atau BaFe12O19 dengan penambahan
Nd2Fe14B berupa pita magnet yang memiliki magnetisasi sisa atau remanen mencapai 1 T.
Penambahan Nd2Fe14B terhadap BaFe12O19 dengan komposisi 5%, 10%, 20%, dan 30% berat.
Massa total untuk masing-masing adalah 10 gram untuk dilakukan proses penghalusan dengan
menggunakan vibration ball mill (VBM) dalam suasana toluen. Pemaduan mekanik atau

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 461
mechanical alloying yaitu proses pemaduan dua bahan dasar dari material magnet secara
mekanik. Material magnet hibrida BaFe12O19 / Nd2Fe14B yang dihasilkan berupa paduan
setelah proses mekanik menggunakan VBM dengan rasio massa material magnet terhadap
massa total bola yaitu 1 : 10 selama 40 jam diharapkan terjadi reduksi ukuran serbuk sampai
pada skala nanometer. Analisis struktur dengan XRD pada interval 2θ 20 – 60o dan SEM.
Serbuk halus magnet hibrida diukur sifat kemagnetan dengan Permagraph.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis Struktur

Gambar 1. Pola difraksi sinar-x magnet hibrida BaO 6.Fe2O3 / Nd2Fe14B sesudah proses milling dengan VBM
selama 40 jam. (a) BaO 6.Fe2O3 serbuk awal, ( b ) BaO 6.Fe2O3 / 5 % wt Nd2Fe14B, (b) BaO
6.Fe2O3 / 10 % wt Nd2Fe14B, ( c ) BaO 6.Fe2O3 / 10 % wt Nd2Fe14B, ( d ) BaO 6.Fe2O3 / 20% wt
Nd2Fe14B, ( e ) BaO 6.Fe2O3 / 30 % wt Nd2Fe14B.

(a) (b)
Seminar Material Metalurgi 2010

(c) (d)
Gambar 2. Foto SEM magnet hibrida BaO 6.Fe2O3 / Nd2Fe14B sesudah proses milling dengan VBM selama 40
jam. ( a ) BaO 6.Fe2O3 / 5 % wt Nd2Fe14B, ( b ) BaO 6.Fe2O3 / 10 % wt Nd2Fe14B, ( c ) BaO 6.Fe2O3
/ 20% wt Nd2Fe14B, ( d ) BaO 6.Fe2O3 / 30 % wt Nd2Fe14B.

462 |  ISSN : 2085 – 0492


Pengukuran dengan menggunakan difraksi sinar-x (XRD) dan scanning electron
microscope (SEM) dilakukan untuk analisis struktur material magnet hibrida. Gambar 1
merupakan pola difraksi sinar-x untuk magnet hibrida BaO 6.Fe2O3 / Nd2Fe14B sesudah
proses milling dengan VBM selama 40 jam. Pola difraksi di atas menunjukkan telah terjadi
perubahan pada puncak-puncak difraksi dimana telah mengalami pelebaran puncak. Hal ini
mengindikasikan serbuk magnet hibrida telah mengalami penghalusan setelah pemaduan
mekanik dan penghalusan dengan VBM selama 40 jam
Analisis struktur juga dilakukan dengan pengamatan serbuk dengan menggunakan
SEM sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.
Pada Gambar 2 terlihat serbuk magnet telah mengalami reduksi ukuran serbuk sampai
pada kurang dari 1000 nm yang diyakini serbuk terdiri dari kristal-kristal dengan ukuran
kurang dari 100 nm.

Sifat Kemagnetan
Pengukuran sifat kemagnetan dengan menggunakan Permagraph pada medan luar
maksimum 2 T terhadap serbuk magnet hibrida diperoleh Gambar 3. Terlihat terjadi
peningkatan secara signifikan sifat kemagnetannya terhadap peningkatan Nd2Fe14B. Nilai
remanen kurang dari 0,5 T meningkat hampir 1,5 T dengan persen berat dari 5 % menjadi 30
% Nd2Fe14B. Begitu pula diikuti oleh koersivitas dan energi produk maksimum.

Gambar 3. Loop hisyerisis magnet hibrida ( b ) BaO 6.Fe2O3 / 5 % wt Nd2Fe14B, dan ( b ) BaO 6.Fe2O3 / 30 %
wt Nd2Fe14B.

KESIMPULAN
Material magnet hibrida BaFe12O19/Nd2Fe14B. dengan komposisi Nd2Fe14B 5%, 10%,
20%, dan 30% berat. Penghalusan serbuk magnet hibrida menggunakan vibration ball mill
selama 40 jam denganrasio massa material magnet dengan massa bola adalah 1 : 10. Analisis
struktur dengan XRD dan SEM menunjukkan telah terjadi pelebaran puncak-puncak difraksi
dari kedua fasa magnet keras yang mengindikasikan bahwa telah terjadi penghalusan serbuk
magnet. Pengamatan struktur dengan SEM memperlihatkan telah terjadi penghalusan serbuk
Seminar Material Metalurgi 2010

magnet dengan ukuran kurang dari 1000 nm terjadi peningkatan secara signifikan sifat
kemagnetannya terhadap peningkatan Nd2Fe14B. Nilai remanen kurang dari 0,5 T meningkat
hampir 1,5 T dengan persen berat dari 5 % menjadi 30 % Nd2Fe14B. Begitu pula diikuti oleh
koersivitas dan energi produk maksimum.

UCAPAN TERIMA KASIH


DP2M DIKTI Kementerian Pendidikan Nasional RI yang telah mendanai penelitian
ini melalui Hibah Pekerti tahun ke-2 anggaran 2010.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 463
DAFTAR ACUAN
[01]. K.H.J. Buschow, Mat. Sci. Reports, 1 (1986), pp 1-64
[02]. H.A. Davies, in Rapidly Quenched Metals III, ed. B.Cantor, 1, the Chameleon Press
Ltd, London (1988), pp 8-14
[03]. R. Skomski and J.M.D. Coey, IEEE Trans. Magn., 29 (1993), 2860
[04]. C. Suryanarayana, Int. Materials Reviews, 40 (1995), 41
[05]. A. Manaf, R.A. Buckley, H.A. Davies and M. Leonowicz, "Enhanced Magnetic
Properties in Rapidly Solidified FeNdB Based Alloys", J. Magn. Magn. Mater, 101,
360-362 (1991).
[06]. A. Manaf, M. Leonowicz, H.A. Davies and R.A. Buckley, " Effect of Grain Size and
Microstructure on Magnetic Properties of Rapidly Solidified F82.4Nd13.1B4.5", J.
Appl. Phys., 70, 6366-6368 (1991).
[07]. E.C. Stoner and E.P. Wohlfarth, Phil. Trans. Soc., A-240 (1948), 599
[08]. A. Manaf, M. Leonowicz, H.A. Davies and R.A. Buckley, "Nanocrystalline Fe-Nd-B
Type Permanent Magnet Materials with Enhanced Remanence", Materials Letters, 13,
194-198 (1992).
[09]. A. Manaf, M. Leonowicz, H.A. Davies and R.A. Buckley, "Enhanced Remanence in
Nanocrystalline Rapidly Solidified FeNdB Alloys", Opening paper Proc. 12th Intl.
Workshop on Rare Earth magnets, pp 1-11, publ. Univ. West Australia (1992).
Seminar Material Metalurgi 2010

464 |  ISSN : 2085 – 0492


RANCANG BANGUN ALAT CONVERTER FURNACE
KAPASITAS 250 KG

Fika Rofiek M, Slamet Sumardi, Kusno Isnugroho


Peneliti Bidang Teknik, UPT. Balai Pengolahan Mineral Lampung-LIPI
Jl. Ir. Sutami KM. 15 Tanjung Bintang Lampung Selatan
fika_cupiw@yahoo.com, Telp/Fax (0721) 350052

Abstrak
Telah dilakukan rancang bangun Converter Furnace (CF) kapasitas 250 Kg, yang bertujuan untuk
memodifikasi/optimasi pengaruh penggunaan oksigen terhadap pengurangan kadar karbon (dekarburisasi)
pada hot metal untuk membuat baja. CF terdiri dari 3 bagian utama yaitu bagian Cone, Lining dan Bottom.
secara umum dimensinya adalah Out Diameter (OD) 77 cm dan tinggi 101 cm. Pada bagian atas adalah cone,
tingginya adalah 29, 4 cm, dan lebarnya dari diameter 77 cm mengerucut menjadi 53, 6 cm pada bagian
atasnya. Pada bagian tengah adalah lining, tingginya adalah 55,4 cm, sedangkan OD 77 cm, In Diameter (ID)
48 cm. Pada bagian bottom, tinggi atau tebalnya adalah 15, 6 cm sedangkan lebarnya 77 cm pada titik
tengahnya disimpan 1 unit tuyere. Setelah rancang bangun selesai, dilakukan percobaan dengan
menghembuskan oksigen kadar 99 % pada bagian tengah tuyere, pada saat itu juga minyak residu dihembuskan
pada bagian lingkaran luar diantara dua pipa konsentris dengan tekanan sebesar 3 - 6 bar selama 2 menit
kedalam CF melalui bottom tuyere yang terisi hot metal sekitar 200 kg. Sebagai hasilnya kadar karbon sebesar
yaitu 0.78 % C dimana bahan baku awal berupa pig iron dan scrap pig dengan kadar 3.41 % C. Dapat dilihat
terjadinya penurunan persentase kadar karbon (dekarburisasi) sebesar 22.8 %, sehingga CF ini dapat
digunakan dalam skala laboratorium, yang diperuntukan untuk industri-industri pengecoran logam maupun
untuk kepentingan penelitian/pendidikan.

Kata Kunci : Converter Furnace, dekarburasi, bottom tuyere, baja

Abstract
The Engineering (the making) of Converter Furnace (CF) capacity 250 Kg have been made, which
intent on modification of oxygen influence toward carbon reduction (decarburization) in hot metal for steel
making. It’s consists of 3 bodywork there are Cone, Lining and Bottom with general dimension for Outer
Diameter (OD) 77 cm, height 101 cm. At up section is cone which has height 29, 4 cm, width 77 cm conical to
53, 6 cm on the top. At middle section is lining which have height is 55, 4 cm, OD 77 cm, Inner Diameter (ID) 48
cm. At down section is bottom which has height or thicknesses 15, 6 cm, width 77 cm, on central point inserted 1
unit of tuyere. After engineering be finished, then experiment is done with oxygen 99 % are injected through the
central portion of the tuyere, while a residual oil is injected through the annular section between the two
concentric pipes, used 3 - 6 bar pressure during 2 minutes pass through bottom tuyere into filled approximately
200 kg hot metal in CF. As a result carbon content is 0, 78 % C where carbon content in raw material such as
pig iron and scrap are 3.14 % C. The reduction of carbon content (decarburization) finally did as big as 22, 8
%. With the result that this CF can be used in laboratory scale on foundry industries although
research/education purposes.
.
Keyword: Converter Furnace, decarburization, bottom tuyere, steel

PENDAHULUAN
Dibandingkan jenis logam yang lain (misalnya Aluminium, Seng, Tembaga, dll) maka
besi/baja adalah bahan yang paling banyak diproduksi di dunia hingga saat ini. Statistik
Seminar Material Metalurgi 2010

menunjukkan, bahwa 92 % penggunaan logam dunia adalah besi/baja. Pada tahun 1998,
produksi Rohstahl/raw steel (baja baku) sejumlah 750 juta ton (sumber: Berita Iptek).
Kemudian menurut data dari MEPS (International) Ltd konsumsi besi dan baja dunia
sampai tahun 2004 meningkat sebesar 941.5 juta ton yaitu naik 8.5 % diatas tahun
sebelumnya akan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Sedangkan Pada 2010,
permintaan baja di dalam negeri diprediksi akan meningkat menjadi 7,2 juta ton seiring
dengan digenjotnya sejumlah proyek infrastruktur. Namun, implementasi FTA ASEAN-China
akan menyebabkan impor baja asal China pada 2010 naik 170,76 % menjadi 1,5 juta ton
dibanding tahun 2009 (zubaedah hanum). Karena besarnya pangsa pasar baja ini, maka
negara-negara yang maju dalam industri baja berlomba-lomba untuk membuat rekayasa-

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 465
rekayasa baru di dalam proses produksi. Tujuannya adalah untuk mendapatkan baja
berkualitas bagus dengan harga yang relatif murah
Dewasa ini, besi kasar diproduksi dengan menggunakan blast furnace (dapur bijih
besi) yang berisi kokas atau bisa juga digunakan arang kayu sebagai reduktor, kemudian batu
kapur dan bijih besi. Kokas/arang kayu terbakar dan menghasilkan gas CO dan mereduksi
oksida besi. Besi yang telah tereduksi melebur dan terkumpul di bawah tanur menjadi besi
kasar yang biasanya mengandung C, Si, Mn, P, dan S. Kemudian leburan besi dipindahkan ke
tungku lain (converter) dan diembuskan gas oksigen untuk mengurangi kandungan karbon.
Dengan cara ini dapat diproses besi kasar menjadi baja.
Menurut komposisi kimianya baja diklasifikasikan menjadi :
1. Baja karbon (carbon steel), dibagi menjadi tiga yaitu;
 Baja karbon rendah (low carbon steel)  0,05 % - 0,30% C.
 Baja karbon menengah (medium carbon steel)  0,3 % -0,60 %C
 Baja karbon tinggi (high carbon steel)  0,60 % - 1,50 % C
2. Baja paduan (alloy steel). Baja paduan yang diklasifikasikan menurut kadar karbonnya
dibagi menjadi:
 Low alloy steel, jika elemen paduannya ≤ 2,5 %
 Medium alloy steel, jika elemen paduannya 2,5 – 10 %
 High alloy steel, jika elemen paduannya > 10 %

Converter bertujuan untuk proses pemurnian atau penghilangan unsur-unsur yang


tidak diinginkan atau kotoran lainnya dari logam panas (hot metal) yang dihasilkan dari blast
furnace ataupun dari proses peleburan yang lain seperti tanur listrik (EAF), tungku induksi
dan lain-lain. Unsur utama yang biasa dihilangkan adalah karbon (C) yang teroksidasi
menjadi karbon monoksida (CO). Unsur lain seperti silikon, fosfor, belerang dan mangan
ditransfer menjadi fase terak (slag).

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Studi
Literatur, 2. Perancangan alat, 3. Pengadaan bahan dan alat, 4. Pembuatan alat, 5. Pengujian
unjuk kerja alat.

TATA KERJA/PROSEDUR PERCOBAAN


Converter Furnace (CF) yang dibuat pada penelitian ini mempunyai kapasitas 250 Kg,
yang merupakan skala laboratorium, bertujuan untuk memodifikasi/optimasi pengaruh
penggunaan oksigen terhadap pengurangan kadar karbon pada hot metal. CF terdiri dari 3
bagian utama seperti terlihat pada Gambar 1, yaitu bagian Cone, Lining dan Bottom.
Seminar Material Metalurgi 2010

466 |  ISSN : 2085 – 0492


CONE 1

Castable C 16
Input Hole
Tapping Hole

Converter Flange

Filler Material LINING 2


Slag-Oil Mixing
thickness 20 mm

Sheel
Mildsteel Plate thickness 6 mm

Fire Bricks Arranggement


Castable C 16 SK 34 for upper
thickness 10 mm SK 38 for bottom

BOTTOM 3

Copper Bottom Tuyere


Silica Sand - Bentonite Mixing

Gambar 1. Desain Converter Furnace kapasitas 250 Kg

Kontruksi CF seperti terlihat pada Gambar 1 berbentuk seperti tabung yang atapnya
membentuk seperti kerucut terpotong. Pada bagian pertama yaitu bagian Cone, lapisannya
terdiri dari bagian luar yaitu plat MS tebal 6 mm, kemudian bagian dalamnya yaitu lapisan
refraktori castable C 16 dengan tebal ± 5 cm, dan mempunyai dua lubang pada sisi kiri dan
kanan yaitu, input hole yaitu tempat masuknya logam cair panas yang akan diproses dan
tapping hole yaitu tempat mengeluarkan logam cair panas yang sudah diproses di dalam
tungku. Bagian kedua yaitu Lining, lapisannya terdiri dari bagian luar yaitu plate MS tebal 6
mm, bagian tengahnya terdiri dari filler/penambah yaitu campuran oli dengan slag dengan
tebal 20 mm, tujuannya sebagai tambahan hambatan laju konduktivitas suhu dari dalam
tungku, dan bagian dalam yaitu Bata Api menggunakan jenis SK 34 sebagai upaya menahan
panas dari cairan besi/baja. Bagian ketiga yaitu Bottom, terdiri dari beberapa lapisan dimulai
dari lapisan paling luar yaitu plat MS tebal 6 mm, kemudian lapisan kedua yaitu berisi
campuran pasir silika dan bentonit, kemudian lapisan ketiga yaitu castable jenis C 16 dengan
tebal 10 mm dan lapisan paling dalam yaitu Bata Api dengan jenis SK 38 dengan tebal 6,5
cm. Pada bagian tengah bottom tersimpan 1 unit tuyere dengan bahan 99 % tembaga.

Converter Furnace Sheel


6 mm thickness plate
Bottom Tuyere

Filler Material
Slag-Oil Mixing
Seminar Material Metalurgi 2010

Fire Bricks Arranggement


SK 34 for upper
SK 38 for bottom

Ga
Gambar 2. Dimensi Converter Furnace Kapasitas 250 Kg

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 467
Gambar 2 memperlihatkan dimensi detail dari Converter Furnace, secara umum
dimensi CF ini mempunyai diameter luar sebesar 77 cm dan tinggi 101 cm. Pada bagian cone,
tingginya adalah 29, 4 cm, dan lebarnya dari diameter 77 cm mengerucut menjadi 53, 6 cm
pada bagian atasnya. Pada bagian lining, tingginya adalah 55,4 cm, sedangkan diameter
luarnya adalah 77 cm dengan tebal pada salah satu sisinya adalah 14,5 cm yaitu terdiri dari
lapisan plat MS ditambah lapisan campuran oli-slag dan lapisan bata api, diameter dalamnya
adalah 48 cm. Antara bagian cone dan lining terdapat batas yang menempel dikeduanya yaitu
flange, karena bagian cone dan lining ini terpisah, detailnya seperti terlihat pada gambar 3
yaitu dari bahan plat MS 6 mm dengan diameter dalam ID 76,8 dan diameter luar OD 87 cm
dimana terdapat 26 lubang baut dengan diameter ¼ inchi tujuannya untuk mengunci antara
bagian cone dan lining supaya ketika proses tapping cone tidak tumpah/jatuh. Pada bagian
bottom, tinggi atau tebalnya adalah 15, 6 cm namun pada bagian bawahnya cenderung
membentuk radius yaitu sebesar R 133,5 cm, sedangkan lebarnya 77 cm pada titik tengahnya
terdapat 1 unit tuyere untuk gambar detailnya bisa dilihat pada Gambar 4.

Gambar 3. Converter Furnace Flange

Gambar 4. Bottom Tuyere dengan bentuk pipa konsentris


Bentuk bottom tuyere yang dibuat berbentuk konsentris, terdapat dua lubang pipa,
dimana lubang yang ditengah berfungsi untuk mengeluarkan oksigen, sedangkan lubang yang
satunya mengeluarkan minyak residu. Dimensi diameter tuyere bagian dalam adalah ID 1.1
cm, dan OD 1.9 cm, dan dimensi tuyere bagian luar adalah ID 2.8 cm,dan OD 5.2 cm serta
mempunyai panjang total 34,5 cm.
Untuk sistem penggerak menggunakan motor 5,5 HP dengan kecepatan putar 960 rpm,
2 buah gearbox dengan tipe 80 dan tipe 120, sproket dengan tipe RS 80, mekanisme gerak
putaran CF ini bisa dilihat pada lay out di bawah ini :
Seminar Material Metalurgi 2010

SPROKET RS
MOTOR 5.5 HP GEAR BOX 80 GEAR BOX 120 TUNGKU
80
960 RPM 1 : 30 1 : 60 CONVERTER
20 : 30

Gambar 5. Lay out proses gerak CF


Kecepatan yang diinginkan untuk memutar CF ini adalah 0.353 RPM, karena
kecepatan awal pada motor terlalu tinggi yaitu dengan putaran 960 RPM, maka diperlukan
pengurangan kecepatan putar, sehingga ditambahkan 2 buah gearbox untuk mendapatkan
kecepatan putar yang diinginkan. Dari AS motor dihubungkan dengan couple ke AS gearbox
tipe 80 dengan perbandingan 1 : 30, kemudian diteruskan ke AS gearbox tipe 120 dengan

468 |  ISSN : 2085 – 0492


perbandingan 1:60, sehingga mendapatkan kecepatan 0.53 RPM. Karena kecepatan putarnya
masih tinggi dan tempat penyimpanan komponen penggerak tersebut berada di bawah AS CF
(lihat Gambar 6), maka untuk menghubungkannya digunakan rantai tipe RS 80, jadi dari AS
gear box dipasangkan sproket tipe RS 80 dengan jumlah 20 mata, dihubungkan ke AS CF
dengan dipasangkan sproket tipe RS 80 dengan jumlah 30 mata, sehingga kecepatan putaran
CF adalah 0,353 RPM sesuai dengan apa yang dinginkan.

Gear Box

Oxygen
Fuel Oil Supply
Motor Supply

Gambar 6. Sistem penggerak dan sistem supply oksigen dan residu

Gambar 7. Converter Tampak Samping Gambar 8. Converter Tampak Depan


Gambar 6 memperlihatkan posisi sistem penggerak dan system supply oksigen dan
residu. Untuk sistem supply oksigen menggunakan tabung oksigen yang biasa dipakai
diindustri, lengkap dengan regulator dan sistem selangnya. Begitu pula dengan residu yang
disimpan didalam drum, kemudian dialirkan menggunakan pompa residu melalui fleksibel
Seminar Material Metalurgi 2010

hose, dimana digunakan alat relief untuk mengatur tekanan yang dialirkan kedalam tungku.
Setelah semua rancangan tersebut dibangun, maka selanjutnya adalah dilakukan percobaan.
Percobaan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut diawali dengan pig iron dan scrap pig
iron dengan kadar C sebesar 3-4 % dilebur menggunakan mesin tungku induksi. Setelah
semuanya leleh dan terbentuk cairan panas dengan suhu sekitar 1650 oC, maka diambil
sample awal untuk di analisa komposisi kimianya, dilanjutkan dengan proses tapping yaitu
proses pengeluaran cairan panas tersebut dari tungku induksi kedalam ladle sekitar 200 Kg,
kemudian dari ladle tersebut dimasukan kedalam CF melalui runner. Pada saat cairan mulai
masuk ke dalam CF, oksigen dan residu mulai dialirkan dengan tekanan masing-masing 3 bar
dan 2 bar , tujuannya supaya cairan tidak menutupi lubang tuyere. Setelah semua cairan panas

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 469
masuk maka tekanan aliran oksigen dan residu dinaikan sampai 2 – 6 bar. Proses dekarburasi
dilakukan selama 2 menit, setelah itu dari cairan panas setelah proses tersebut dikeluarkan
untuk di uji kadar karbonnya dan sisanya di tuang ke dalam cetakan.

PEMBAHASAN
Pemilihan material refraktori di dalam tungku sangatlah penting karena refraktori
tersebut berfungsi untuk menjaga ketahanan panas, korosi, oksidasi, hot modulus rupture dari
hot metal yang akan diproses, selain itu pemilihan refraktori yang tepat akan menambah umur
pakai, mengurangi biaya pemasangan dan pemeliharaan. Pemilihan refraktori pada bagian
cone menggunakan Castable C 16 (Al2O3 60,5%, SiO2 24.5%, CaO 5,5%) dimana temperatur
kerja sampai 1600 oC, pada bagian dalam Lining menggunakan bata tahan api tipe SK 34
(Al2O3 40%, SiO2 45-55%) dengan temperatur kerja maksimal 1750 oC dan pada bagian
Bottom menggunakan high alumina brick tipe SK-38 (Al2O3 74%, SiO2 22%, TiO2 2%, Fe2O3
2%) dengan temperature kerja maksimal 1850 oC. Jenis refraktori pada bata api yang
digunakan adalah jenis asam, secara teoritis, refraktori asam tidak boleh digunakan dalam
kontak dengan slags basa, gas atau uap basa, sedangkan refraktori jenis basa akan sangat baik
digunakan dalam kontak dengan lingkungan kimia yang basa. Jadi pemakaian refraktori harus
disesuaikan dengan bahan baku yang akan digunakan.
Untuk proses pemurnian digunakan gas oksigen dengan tingkat kemurnian sebesar 99
%, gas ini bertujuan untuk mengikat C pada cairan logam panas seperti terlihat pada proses
kimia dibawah ini :
C + ½ O2  CO
Sebagian CO teroksidasi menjadi CO2 diatas cairan, proses reaksi oksidasi lainnya yang
terjadi pada proses pemurnian seperti dibawah ini :
Si + O2  SiO2
2P + (5/2) O2  P2O5
Mn + 1/2O2  MnO
Fe + 1/2 O2  FeO
2Fe + (3/2)O2  Fe2O3

Oksida-oksida ini bersatu dengan oksida yang lainnya untuk membentuk cairan slag
dimana akan mengapung pada permukaan cairan. Karena oksigen bersifat eksotermis,
sehingga akan meningkatkan temperatur didalam CF. Sedangkan residu bersifat endotermis,
maka akan menurunkan temperatur pada bagian ujung tuyere hal ini kan membuat tuyere
lebih tahan lama.
Ketika pada tahap tapping dari CF ke dalam cetakan terjadi pembekuan dini di dalam
CF, hal ini dikarenakan terjadinya penurunan temperatur di dalam CF. Disebabkan oleh
lubang tuyere untuk mengeluarkan oksigen tertutup cairan yang membeku, karena pada saat
proses dekarburasi, selang oksigen yang digunakan tidak tahan terhadap panas yang
merambat dari dalam CF sehingga terjadi kemuluran pada selang yang digunakan dan
akhirnya terlepas. Kemudian residu yang mempunyai sifat endotermis terbakar dan
memberikan efek dingin pada cairan yang akan dituang selain itu baja yang mempunyai sifat
mampu alir rendah menambah proses pembekuan.
Seminar Material Metalurgi 2010

Namun setelah percobaan ini dilakukan didapatkan data berupa hasil uji kadar karbon
sebelum dan setelah proses dengan menggunakan metode analisa titrimetri seperti pada Tabel
dibawah ini :
Tabel 1. Hasil analisa kadar karbon
HASIL ANALISA KADAR KARBON
SEBELUM PROSES SETELAH PROSES
%C %C
3.41 0.78

470 |  ISSN : 2085 – 0492


Apabila kita melihat hasil analisa diatas, maka kadar karbon sebelum proses masih
tinggi yaitu 3.41 % C, tetapi setelah dilakukan proses dekarburasi dengan menggunakan CF
ini maka kadar karbon turun cukup signifikan yaitu menjadi 0.78 % C atau terjadi penurunan
sebanyak 22.8 %. Dapat diartikan bahwa proses dekarburasi dengan menggunakan Converter
Furnace ini berhasil sehingga menghasilkan baja dengan klasifikasi baja karbon tinggi 0,6% -
1,5% C.

KESIMPULAN
Rancangan pembuatan Converter Furnace kapasitas 250 Kg ini dapat digunakan
sebagai alat untuk menurunkan kadar karbon sehingga bisa menghasilkan baja dengan kadar
karbon yang rendah. Converter Furnace bisa dibuat sesuai dengan skala/kapasitas yang
dikendaki. Dan dapat digunakan untuk industri pengecoran maupun untuk kepentingan
penelitian/pendidikan.

SARAN
Perlu dilakukan percobaan kembali dengan variasi waktu dan tekanan alir oksigen dan
residu yang digunakan sehingga bisa menghasilkan baja yang sesuai serta penggunakan
selang yang tahan temperatur tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
1. AISE, The Making, Shaping and Treating of Steel - Steelmaking and Refining, Volume,
ISBN: 0–930767–02–0, The AISE Steel Foundation. 1998
2. Guy Savard at al, 1958, “Method and Apparatus for treating Molten Metal with Oxygen”,
US Patent No. 2.855.293.
3. Kimura et al, 1983, “Tuyere for Blowing Gases into Molten Metal Bath Container”, US
Patent No. 4.417.723.
4. Wang Xin , Pengukur Aliran Oksigen, Survei dan Perbaikan Kebocoran., Pedoman
Efisiensi Energi untuk Industri di Asia Pasifik”("Greenhouse Gas Emission Reduction
from Industry in Asia and the Pacific"/ GERIAP)., UNEP, 2006.
5. General Product Specification, Technical Data Sheet, PT. Indoporlen Refractories
6. Product-Steel Making., Basic Oxygen Furnace Refractories., http://www.mckeown
international.com/New/Steel_Making.htm diakses tanggal 2 Agustus 2010
7. http://sinarbaja.wordpress.com/2009/09/08/alternatif-proses-pembuatan-lempengan-baja-
tipis-thin-strip-masa-depan diakses tanggal 12 Juli 2010
8. http://www.meps.co.uk/world-price.htm diakses tanggal 10 Juni 2010
9. http://bataviase.co.id/content/industri-besi-baja-lokal-terjepit-liberalisasi-pasar diakses
tanggal 12 Juli 2010

 
Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 471
Seminar Material Metalurgi 2010

472 |  ISSN : 2085 – 0492


PENGARUH LIMPASAN AIR DAN LUMPUR TSUNAMI
PADA SIFAT KOROSIFITAS LINGKUNGAN JEJAK
TSUNAMI DI DARATAN BANDA ACEH

Harsisto dan Eddy Dwi Tjahjono


Pusat Penelitian Metalurgi-LIPI
Kawasan PUSPIPTEK Serpong-Tangerang Selatan

PENDAHULUAN
Tragedi tsunami tanggal 26 Desember 2004 yang terjadi di samudra Hindia telah
membawa korban ribuan jiwa, limpasan air laut dan Lumpur laut yang timbul mencapai 5 km
lebih masuk kedaratan Banda Aceh. Limpasan air laut dan Lumpur laut, pasti menimbulkan
perubahan sifat air permukaan yang semula tawar menjadi asin atau bersalinitas tinggi. Akibat
lebih lanjut terhadap sifat korosifitas lingkungan air permukaan dan lingkungan tanah akan
berubah dan meningkat secara signifikan. Pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2006,
yaitu untuk mengetahui tingkat korosifitas lingkungan pasca tsunami telah dilaksanakan dari
bulan Maret hingga bulan Desember 2006. Lokasi penelitian yang diambil sebanyak 12
tempat, didasarkan pada garis lurus dari garis pantai masuk kedaratan yang dimulai dari
Daerah Lamsenang (Desa Kajhu) hingga Daerah Ceuceu Iniem.
Masuknya air laut dan lumpur laut kedaratan yang mencapai lebih dari 5 km, dapat
dipastikan membawa dampak perubahan sifat korosifitas lingkungan. Terkait dengan sifat
korosifitas lingkungan jejak tsunami, penelitian yang telah dilakukan terdiri dari karakterisasi
lingkungan dan pengaruhnya terhadap konstruksi baja karbon.

METODOLOGI PENELITIAN
Karakterisasi Lingkungan
Penelitian untuk karakterisasi lingkungan telah dilakukan di Lokasi atau di lapangan
dan juga dilakukan di Laboratorium.
Langkah-langkah penelitian di lapangan yang dilakukan adalah:
1. Pengumpulan data skunder dari sumber-sumber terkait, misalnya Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi (BRR), Bapeda, wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan lain-
lain.
2. Survei lapangan dan pemetaan lokasi uji yang menetapkan 12 daerah uji, yaitu (1) Dukuh
Lamsenang-Desa Kajhu, (2) Dukuh Lamprada-Desa Kajhu, (3) Universitas Syiah Kuala,
(4) Gla Meunasah, (5) Makam Syah Kuala, (6) Lambaro Skep, (7) Beurawe, (8)
Universitas Serambi Mekah, (9) Deah Teungoh, (10) Punge Blangcut PLTD, (11)
Lamteumeun Timur dan (12) Ceuceu Iniem.
3. Pengamatan visual terhadap jejak tsunami terhadap bangunan berstruktur baja. Langkah
kerja meliputi peninjau langsung ke lokasi dan melakukan pemotretan.
4. Pengukuran resistivitas air permukaan, lumpur dan tanah. Langkah kerja mengguna-kan
Seminar Material Metalurgi 2010

metode “winner“ atau metode 4 (empat) pin.


5. Pengukuran Potensial Korosi Alami dan sifat keasaman air permukaan dan tanah.
Pengukuran keasaman atau pH air permukaan dan tanah di lapangan, dilakukan dengan
menggunakan alat” pH and Hummidity Soil Tester”. Sedangkan untuk mengukur
Potensial korosi alami, dapat menggunakan alat ukur voltmeter dengan elektroda
Ag/AgCl jenuh atau Cu/Cu SO4 jenuh.
Langkah-langkah penelitian yang dilakukan di laboratorium Pusat Penelitian
Metalurgi-LIPI kawasan Puspiptek Serpong meliputi:

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 473
1. Uji resistivitas air permukaan, lumpur dan tanah permukaan. Pengukuran di laboratorium
menggunakan “soil box” yang dilengkapi alat Ampermeter dan voltmeter.
2. Analisa komposisi kimia logam dan senyawa klhorida dalam air permukaan, lumpur dan
tanah permukaan. Pengukuran komposisi kimia logam dalam media air, lumpur dan tanah
digunakan alat Atomic Absortion Spectrometer (AAS).
3. Uji laju korosi logam baja karbon dimedia air permukaan, lumpur dan tanah permukaan.
Pengukuran laju korosi dengan menggunakan metode kehilangan berat benda uji.
Komposisi kimia baja karbon yang digunakan, adalah : C=0,21 ; S=0,015; P=0,015,
Mn=0,86; Si= 0,26; V=0,09; Al=0,03 dan Fe= balan.

HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh baik uji lapangan maupun uji
laboratorium, hasil-hasilnya dapat dipelajari di bawah. Hasil survei lapangan, foto visual
ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Perencanaan uji lapangan yang dilakukan tim peneliti P2 Metalurgi-LIPI. Hasil pengukuran
resistivitas dan pH media air, lumpur dan tanah ditunjukkan pada Tabel-1.

Tabel 1. Hasil uji resistivitas dan pH


Kisaran harga resistivitas rerata pada air
Kode Daerah permukaan (Ohm Cm) pH
Maret Mei Agustus Nopember rerata
1 Dukuh Lamsenang-Desa Kajhu 150 150 150 150 7,2
2 Dukuh Lamprada-Desa Kajhu 30-130 80 79 79 7,3
3 Universitas Syiah Kuala, 550 720 630 630 7,8
4 Gla Meunasah 780 800 800 800 7,2
5 Makam Syah Kuala 20 20 17 17 7,7
6 Lambaro Skep 220 500 470 470 7,35
7 Beurawe 200 200 200 200 7,3
8 Universitas Serambi Mekah 1060 980 1020 1020 7,5
9 Deah Teungoh 18 17 20 20 7,8
Seminar Material Metalurgi 2010

10 Punge Blangcut PLTD 300 380 380 380 6,9


11 Lamteumeun Timur 840 820 370 370 7,2
12 Ceuceu Iniem 830 840 875 150 7,0

Berdasarkan hasil pengujian yang diampilkan pada Tabel 1, menunjukkan bahwa ada
jebakan lumpur dan air laut di daerah Dukuh Lamprada, Makan Syah Kuala dan Deah
Teungoh yang mempunyai kisaran resistivitas antara 17 hingga 79 OhmCm yang
mengindikasikan korosi yang sangat kuat. Walaupun harga pH netral sekitar 7,3.
Hasil pengukuran potensial korosi alami rerata media air, lumpur dan tanah
ditunjukkan pada Tabel 2.

474 |  ISSN : 2085 – 0492


Tabel 2. Hasil pengukuran potensial korosi alami rerata media air, lumpur dan tanah
Potensial korosi alami rerata
pH
Kode Daerah Vs Ag/AgCl jenuh ( - mV)
rerata
Maret Mei Agustus Nopember
1 Dukuh Lamsenang-Desa Kajhu 690 680 690 690 7,2
2 Dukuh Lamprada-Desa Kajhu 715 700 710 720 7,3
3 Universitas Syiah Kuala, 725 710 720 725 7,8
4 Gla Meunasah 730 725 730 720 7,2
5 Makam Syah Kuala 700 710 700 700 7,7
6 Lambaro Skep 720 720 730 720 7,35
7 Beurawe 725 720 725 720 7,3
8 Universitas Serambi Mekah 710 710 700 710 7,5
9 Deah Teungoh 690 700 690 690 7,8
10 Punge Blangcut PLTD 720 700 690 690 6,9
11 Lamteumeun Timur 710 720 700 720 7,2
12 Ceuceu Iniem 700 680 690 700 7,0

Berdasarkan hasil pengujian potensial korosi alami rerata media air, lumpur dan tanah
yang ditunjukkan pada Tabel 2, memperlihatkan bahwa kaitan harga pH dan harga potensial
korosi alami rerata media air, lumpur dan tanah menunjukkan posisi dalam diagram pourbaik
yang masuk daerah imun yang menjadikan logam baja tidak terkorosi secara merata. Laju
korosi muncul akibat adanya peran serta ion-ion klhorida dari air laut dan lumpur laut.

Tabel 3. Hasil pengukuran laju korosi rerata dalam media air, lumpur dan tanah
Korelasi hasil uji resistivitas, sifat
korosifitas, pH dan laju korosi pH
Kode Daerah
Resistivitas Derajad Laju korosi rerata
(Ohmcm) Korosifitas (mpy)
1 Dukuh Lamsenang-Desa Kajhu 150-160 Sangat korosif 100 7,2
2 Dukuh Lamprada-Desa Kajhu 18-160 Sangat korosif 137 7,3
3 Universitas Syiah Kuala, 630-1400 Korosif 100 7,8
4 Gla Meunasah 660-1250 Korosif 100 7,2
5 Makam Syah Kuala 17-20 Sangat korosif 100 7,7
Sangat korosif
6 Lambaro Skep 220-1700 100~130 7,35
hingga korosif
7 Beurawe 120-300 Sangat korosif 137 7,3
8 Universitas Serambi Mekah 1050-3000 korosif 100 7,5
9 Deah Teungoh 17-420 Sangat korosif 137 7,8
10 Punge Blangcut PLTD 340-1300 Sangat korosif 137 6,9
Sangat korosif
11 Lamteumeun Timur 370-840 100~137 7,2
hingga korosif
12 Ceuceu Iniem 840-875 Korosif 100 7,0

Hasil penelitian potensial korosi alami rerata media air, lumpur dan tanah yang
disajikan pada Tabel 2, diperkuat dengan hasil uji korosi yang ditunjukkan pada Tabel 3. Dari
Tabel 1, menunjukkan bahwa ada jebakan lumpur dan air laut di daerah Dukuh Lamprada,
Seminar Material Metalurgi 2010

Makan Syah Kuala dan Deah Teungoh yang mempunyai kisaran resistivitas antara 17 hingga
79 OhmCm yang mengindikasikan korosi yang sangat kuat dengan kisaran antara 100 hingga
137 mpy. Keterkaitan antara resistivitas, derajad salinita atau pH, potensial korosi alami dan
laju korosi dapat dilihat adanya hubungan yang sangat erat yang faktanya dapat dipelajari dari
Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pengaruh limpasan air dan lumpur
tsunami pada sifat korosifitas lingkungan jejak tsunami di daratan Banda Aceh dapat
disimpulkan bahwa derajad korosifitas air permukaan, lumpur dan tanah jejak tsunami

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 475
menunjukkan semakin mendekati garis pantai angka korosifitasnya peningkatan dari angka
100 mpy hingga 137 mpy.

DAFTAR PUSTAKA
1. Fontana M.G. and Greene N.D.,” Corrosion Engineering” Second Edition, Tokyo
1978.
2. Pourbaix M.,” Atlas of Electrochemical Equilibria in Aqueous Solution,” NACE,
Houton,Texas 1974.
3. Chawla S.L and Gupta R.K.” Material Selection for Corrosion Control” ASM Material
Park, Copyrigh 1993.
Seminar Material Metalurgi 2010

476 |  ISSN : 2085 – 0492


PENGARUH PENAMBAHAN KOMPATIBILIZER PP-g-MA
TERHADAP SIFAT MEKANIK
PEMBUATAN BLENDING POLIMER PET/PP

Heru Santoso
Balai Pengkajian Teknologi Polimer BPPT
Gedung 460 Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang
herues@gmail.com

Abstrak
Dengan berkembangnya kemampuan rekayasa material, polimer blend menjadi salah satu metode
untuk merekayasa material polimer yang cukup penting karena aplikasinya yang cukup luas. Dalam penelitian
ini telah dilakukan proses blending (pencampuran) antara material polimer polietilena tereftalat (PET) dengan
polipropilena (PP) dengan bantuan kompatibilizer PP-g-MA. Untuk melihat pengaruh penambahan
kompatibilizer PP-g-MA terhadap sifat mekanik sistem blending PET/PP digunakan kompatiblizer dengan
konsentrasi 1, 3, 5, 7, 10 dan 15 % (rasio berat). Proses pencampuran menggunakan mesin ekstrusi jenis single
screw dengan setting parameter suhu 210oC, 230oC, 265oC dan 275oC pada putaran 50 rpm. Hasil blending
dengan alat ekstrusi kemudian dibuat spesimen uji menggunakan alat injection molding dengan parameter suhu
185oC, 190oC, 195oC dan 200oC. Hasil pencampuran PET/PP/PP-g-MA dikarakterisasi sifat mekanik yaitu
tensile strength, impact strength dan sifat termalnya dengan TGA serta morfologinya dengan SEM. Pada
penelitian ini didapatkan nilai optimal dari penambahan kompatibilizer PP-g-MA pada konsentrasi 7% (rasio
berat) dengan nilai kuat tarik sebesar 29,25 MPa.

Abstract
Advancement of material engineering makes polymer blend as an important polymer material
engineering method among other methods because of its wide applications. In this research, blending between
polyethylene terephthalate (PET) and polypropylene (PP) polymer materials using compatibilizer PP-g-MA was
produced. The influence of compatibilizer PP-g-MA supplementation on mixture system of PET/PP/PP-g-MA on
mechanical properties was carried out by adding compatibilizer of 1, 3, 5, 7, 10 and 15% (weight ratio). Single-
screw extrusion machine with temperature parameters of 210oC, 230oC, 265oC and 275oC at 50 rpm was used
during mixing process. The result of blending with extrusion machines were made of specimens using injection
molding machine with the parameter of temperature 185oC, 190oC, 195oC and 200oC. The mixing result of
PET/PP/PP-g-MA was characterized mechanically (tensile strength, impact strength), thermally (TGA), and
morphologically (SEM). Optimal value of compatibilizer PP-g-MA supplementation was obtained at
concentration of 7% (weight ratio) with tensile strength of 29.25 MPa.

Keywords : blending PET/PP, compatibilizer PP-g-MA, single screw extrusion

PENDAHULUAN
Metode pencampuran polimer (polymer blending) mempunyai peranan yang penting
dalam pengembangan material polimer baru. Berkembangnya kemampuan rekayasa material,
blending polimer menjadi salah satu metode untuk merekayasa material polimer yang cukup
penting karena aplikasinya yang cukup luas. Dengan teknik blending antara 2 polimer yang
memiliki sifat yang berbeda akan menghasilkan gabungan kedua sifat tersebut atau memiliki
Seminar Material Metalurgi 2010

sifat yang baru.


Proses blending dapat berlangsung secara fisik berupa kontak permukaan yakni terjadi
interaksi antar molekul polimer. Yang memegang peran penting dalam proses ini adalah
parameter solubility antar polimer yang akan dicampur. Bila parameter solubility kedua
polimer sama atau berdekatan diharapkan polimer dapat bercampur secara kompak. Di
samping parameter tersebut, tingkat polaritas polimer juga penting diperhatikan. Bila
komponen blending ada yang bersifat polar, sedangkan yang lain bersifat non polar maka
perlu ditambahkan compatibilizer dimana ujung molekul yang satu bersifat polar dan ujung
molekul yang lain bersifat non polar. Polimer blending telah banyak diteliti oleh para ahli

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 477
untuk maksud aplikasi yang spesifik terutama untuk aplikasi dalam bidang otomotif,
pengemas, elektronik dan lain-lain. [1]
Teknik pencampuran polimer immiscible (tidak bercampur) lebih sering dipilih dari
pada jenis pencampuran miscible (bercampur), karena teknik blending immiscible dapat
menggabungkan beberapa karakteristik penting dari masing-masing komponen campuran.
Peminimalan daya antar muka dan peningkatan daya adesi antara dua fase biasanya dapat
meningkatkan sifat mekanik dari pencampuran polimer immiscible. [1]
Pencampuran polimer immiscible biasanya memiliki sifat mekanik yang rendah karena daya
adhesi antar muka yang lemah antara konstituen mereka. Kurangnya daya adhesi antara
campuran konstituen ini umumnya dianggap sebagai kelemahan.[2] Di sisi lain kompatibilitas
campuran polimer immiscible dapat ditingkatkan dengan menambahkan komponen
compatibilizer ketiga (misalnya, kopolimer blok atau grafting) atau dengan menambahkan
polimer fungsional tertentu yang mampu meningkatkan interaksi spesifik dan reaksi kimia
dalam sistem blending.[3]
Pencampuran polietilena tereftalat (PET) and polyolefin (seperti PP dan PE) telah
menarik kegiatan penelitian yang cukup besar karena kedua bahan tersebut merupakan
termoplastik yang paling sering digunakan, terutama digunakan sebagai bahan pengemas
plastik. PET dapat meningkatkan kekakuan (stiffness) poliolefin pada temperatur yang lebih
tinggi. Sementara poliolefin bisa memfasilitasi kristalisasi PET oleh nukleasi heterogen yang
mempengaruhi kekakuan campuran. Namun, karena perbedaan sifat kimia dan polaritas,
blending PET/Poliolefin menunjukkan kekuatan impak yang rendah. Oleh karena itu,
penambahan compatibilizer sangat diperlukan untuk mendapatkan daya adhesi yang lebih
baik antara dua campuran ini dan untuk meningkatkan sifat mekaniknya. Compatibilizer
biasanya memiliki dua bagian sehingga tiap bagian dapat berinteraksi dengan salah satu dari
polimer dalam campuran. Hal ini memungkinkan pencampuran polimer immiscible
didapatkan campuran yang homogen.[2]
Polietilena tereftalat (PET) dan PP tidak kompatibel dan pencampuran mereka akan
menghasilkan fase besar dengan ikatan antar muka yang lemah dan miskin sifat mekanik.[3]
Polietilena tereftalat (PET) dan polipropilena (PP) yang diketahui sepenuhnya tidak
bercampur (immiscible) dan membutuhkan modifikasi antar muka (interfacial) untuk
mendapatkan campuran yang baik dan untuk meningkatkan daya adhesi solid-state. Berbagai
penelitian telah dilakukan untuk mendapatkan compatibilizer antara PET dan PP dengan
berbagai jenis seperti maleat anhidrida (MA), asam akrilik, atau fungsionalisasi metakrilat
glycidyl.[4]
Pada penelitian ini dilakukan penambahan kompatibilizer PP-g-MA dengan berbagai
konsentrasi, untuk melihat pengaruh sifat mekanik pada pembuatan blending PET/PP. Hasil
dari proses blending PET//PP/PP-g-MA kemudian dikarakterisasi menggunakan TGA, SEM
dan UTM.

METODOLOGI
Bahan dan Peralatan yang digunakan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah resin PP tipe Trilene
HI35HO dari PT. Tri Polyta Indonesia, PET tipe SKY PET BL-8050 produksi SK Keris, PP-
Seminar Material Metalurgi 2010

g-MA tipe Epolene E43 produksi Eastman dan antioksidan (Irganox 1010 dan Irgafos 168).
Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : mesin Single Screw Extruder
merek Collin dengan panjang screw 75 cm (L/D=25) dan alat Injection Molding merek
Battenfeld dengan panjang screw 54 cm (L/D=18).

Cara Kerja Pembuatan Blending PET/PP/PP-g-MA


Pembuatan blending PET/PP/PP-g-MA mengacu pada penelitian yang dilakukan
Wenjing Li pada jurnal Journal of Applied Polymer Science.[4,7] PET sebelum digunakan
untuk blending dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 100oC selama 12 jam untuk

478 |  ISSN : 2085 – 0492


menghindari degradasi hidrolitik selama proses ekstrusi. Sampel compatibilizer PP-g-MA
sebelum digunakan juga dipanaskan pada suhu 80oC selama 12 jam. Setelah itu, material
PET, PP, PP-g-MA dan antioksidan dicampurkan dengan cara diaduk selama 5 menit.
Komposisi masing-masing komponen blending dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Komposisi pembuatan blending PET/PP dengan compatibilizer PP-g-MA.


Komposisi (rasio % berat)
No Formula
PET PP PP-g-MA
1 PP Murni 0 100 0
2 PET/PP/C1 25 74 1
3 PET/PP/C3 25 72 3
4 PET/PP/C5 25 70 5
5 PET/PP/C7 25 68 7
6 PET/PP/C10 25 65 10
7 PET/PP/C15 25 60 15

Hasil ramuan kompon kemudian dimasukan dalam alat ekstrusi single screw dengan
setting parameter suhu 210oC, 230oC, 265oC, 270oC dan 275oC dengan putaran 50 rpm.
Proses pencampuran material dalam alat ekstrusi dilakukan selama 2 kali. Sampel kompon
kemudian dibuat pelet dengan bantuan alat pelletizer. Pelet hasil blending dengan alat ekstrusi
kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 75oC selama 12 jam.

Proses Pembuatan Spesimen uji dog bone


Sampel pelet hasil ekstrusi yang telah dikeringkan, dimasukan dalam alat injection
molding dengan setting parameter suhu 185oC, 190oC, 195oC dan 200oC. Hasil spesimen uji
dogbone digunakan untuk pengujian mekanik tensile strength, tensile modulus, elongasi dan
impact strength.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Percampuran Polimer PET dan PP merupakan jenis pencampuran polimer immiscible
(tidak saling bercampur). PET mempunyai sifat polar sedang PP bersifat non polar. Agar
percampuran kedua polimer ini bersatu dibutuhkan kompatibilizer yang dapat
menghubungkan polimer polar dan non polar. Pada penelitian ini digunakan kompatibilizer
jenis PP-g-MA. Untuk mendapatkan keefektifan penambahan kompatibilizer PP-g-MA dalam
pencampuran PET/PP dilakukan optimasi terlebih dahulu yaitu dengan memvariasi
penambahan konsentrasi kompatibilizer. Konsentrasi yang digunakan adalah 1, 3, 5, 7, 10 dan
15 (rasio % berat).
Data sifat mekanik pembuatan blending PET/PP/PP-g-MA dapat dilihat pada Tabel
3.1.
Tabel 3.1. Data sifat mekanik blending PET/PP/PP-g-MA
Nama Tensile E-Modulus Elongasi Impact
Sampel (MPa) (GPa) (%) (kJ/m2)
Seminar Material Metalurgi 2010

PET Murni 62.71 1.112 34.03 116.88


PP Murni 29.79 0.710 140.70 79.13
PET/PP/C1 26.19 0.955 6.11 19.27
PET/PP/C3 27.37 1.025 4.30 15.99
PET/PP/C5 28.15 0.984 5.54 15.16
PET/PP/C7 29.25 0.961 6.41 18.70
PET/PP/C10 28.82 0.954 5.87 22.60
PET/PP/C15 29.10 0.930 6.87 17.68

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 479
Dari data pada Tabel 3.1 terlihat PET mempunyai sifat mekanik yang jauh lebih
unggul bila dibandingkan dengan polimer PP. Sehingga PET sangat memungkinkan
digunakan sebagai penguat dalam pencampuran PET/PP.
Di lihat dari sifat mekanik kekuatan tarik dan modulus pada pencampuran PET/PP
didapatkan data bahwa semakin besar konsentrasi penambahan kompatibilizer PP-g-MA
menyebabkan kekuatan tarik bertambah besar dan modulus mengalami penurunan (lihat
Gambar 3.1)
1.500 70

1.300 60

Tensile Strength (MPa)


1.100
E-Modulus (GPa)

50
0.900
40
0.700
30
0.500

0.300 20
PET PP C1 C3E-Modulus
C5 C7 Tensile
C10 C15
Neat Neat
0.100 10
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Gambar 3.1. Grafik E-Modulus dan Tensile Strength pencampuran PET/PP/PP-g-MA


Kekuatan tarik (tensile strength) terbesar pada penambahan kompatibilizer ini dicapai
pada sampel PET/PP/C7 yaitu penambahan PP-g-MA sebesar 7 rasio % berat.
Data di atas bila dibandingkan dengan dengan kekuatan tarik dan modulus dari PP
murni dan PET murni masih berada di bawahnya. Secara teori seharusnya penambahan PET
dapat menambah kekuatan mekanik, akan tetapi dalam penelitian ini justru mengalami
penurunan sifat mekanik. Hal ini dapat dijelaskan pada analisa morfologi SEM pada
campuran PET/PP (Gambar 3.2).
Dari gambar 3.2 terlihat bahwa struktur mikro PET dalam campuran PET/PP/PP-g-
MA tidak banyak terbentuk fiber seperti yang diharapkan tetapi berbentuk droplet (bulatan-
bulatan kecil) PET. Akibatnya sifat mekanik campuran PET/PP/PP-g-MA secara umum
menurun bila dibandingkan dengan PP murni. Tidak terbentuknya fiber dalam pencampuran
ini dimungkinkan karena selama proses ekstrusi kurang mengalami penarikan sehingga
orientasi polimer PET dari droplet menjadi benang tidak terjadi.
Sifat mekanik tensile strength pada sampel PET/PP/C7 paling tinggi dibandingkan
dengan sampel lainnya. Fenomena ini diterangkan dari gambar SEM di atas bahwa pada
sampel PET/PP/C7 terbentuk fiber yang relatif banyak sehingga fiber ini sebagai penguat
pada blending yang mengakibatkan sifat mekanik kuat tariknya menjadi besar. Pada sampel
PET/PP/C1 memiliki sifat mekanik kuat tarik paling kecil karena secara morfologi benang
PET yang terbentuk lebih sedikit dan cenderung membentuk butiran-butiran bulat (droplet)
Seminar Material Metalurgi 2010

sehingga menyebabkan sifat mekaniknya menjadi turun. Pada sampel PET/PP/C15 terlihat
PET yang membentuk fiber relatif banyak seperti pada sampel PET/PP/C7 sehingga sifat
mekanik kuat tariknya hampir mempunyai nilai yang sama.

480 |  ISSN : 2085 – 0492


a b

c  d

e  f

Gambar 3.2. Foto SEM sampel blending PET/PP penambahan compatibilizer PP-g-MA pada spesimen uji
dogbone setelah dietsa dengan xylene panas dengan perbesaran 500 x dan 1000 x : (a)&(b) Sampel
PET/PP/C1, (c) &(d) sampel PET/PP/C7, (e)&(f) sampel PET/PP/C15.

27.00
22.60
Impact Strength (kJ/m2)

Seminar Material Metalurgi 2010

22.00
19.27 18.70
17.68
17.00 15.99
15.16

12.00

7.00

2.00
PET/PP/C1 PET/PP/C3 PET/PP/C5 PET/PP/C7 PET/PP/C10 PET/PP/C15

Gambar 3.3. Grafik Kekuatan Impak pada pencampuran PET/PP/PP-g-MA

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 481
Kekuatan impak pada pencampuran PET/PP/PP-g-MA dapat dilihat pada Gambar 3.3.
yang menunjukan tidak ada trend (kecenderungan) yang jelas dengan bertambahnya
kompatibilizer. Kekuatan impak terbesar terjadi pada sampel PET/PP/C10 dan terendah pada
sampel PET/PP/C5.
Untuk melihat kestabilan termal pada pencampuran PET/PP/PP-g-MA dilakukan
pengujian menggunakan alat TGA. Dalam Gambar 3.4 terlihat kestabilan termal dari beberapa
formula pencampuran PET/PP/PP-g-MA.
Suhu Dekomposisi Termal ( o C)

436
434
432
430
428
426
424
422
420
418
416
ni

10

15
ni

7
/C

/C

/C

/C
ur

ur

/C

/C
PP

PP

PP

PP
M

PP

PP
T

PP

T/

T/

T/

T/
PE

T/

T/
PE

PE

PE

PE

PE

PE
Gambar 3.4. Grafik Uji Kestabilan Termal pada pencampuran PET/PP/PP-g-MA
Dari Gambar 3.4. terlihat PET murni memiliki suhu dekomposisi yang paling rendah.
Hal ini karena PET mempunyai sifat higroskopis sehingga adanya air dalam polimer PET
menyebabkan reaksi hidrolisa yang menyebabkan kestabilan termal PET menjadi rendah.
Kestabilan termal terbesar pada sampel di atas dicapai pada formula PET/PP/C7. Kestabilan
termal secara umum dengan bertambahnya kompatibilizer PP-g-MA berpengaruh sedikit. Hal
ini karena PP-g-MA merupakan polimer dengan berat molekul yang rendah sehingga
penambahannya tidak begitu signifikan. Akan tetapi di sisi lain adanya kompatibilizer ini
membuat campuran polimer PET/PP menjadi lebih menyatu sehingga memperkuat daya adesi
campurannya. Pengaruh inilah yang menyebabkan ada perbedaan sedikit dalam kestabilan
termalnya.

KESIMPULAN DAN SARAN


Penggunaan kompatibilizer PP-g-MA dalam pencampuran PET/PP dimaksudkan agar
sifat immisible dalam campuran ini menjadi lebih miscible. Pada penelitian ini didapatkan
nilai optimal dari penambahan kompatibilizer PP-g-MA pada konsentrasi 7% (rasio berat)
dengan nilai kuat tarik sebesar 29.25 MPa. Dari morfologi SEM terlihat bahwa konsentrasi
7% (rasio berat) terjadi pembentukan benang (fiber) yang relatif banyak dibandingkan dengan
konsentrasi kompatibilizer yang lainnya. Sedangkan sifat mekanik yang lain seperti E-
modulus cenderung menurun dengan penambahan konsentrasi kompatibilizer, sifat elongasi
dan kekuatan impak tidak menunjukan kencenderungan yang jelas. Sementara dari tinjauan
sifat kestabilan termal terlihat konsentrasi kompatibilizer 7 % (rasio berat) memiliki nilai
terbesar yaitu 435,05oC dibandingkan dengan lainnya.
Seminar Material Metalurgi 2010

Pada penelitian ini, penulis menggunakan mesin ekstrusi jenis single screw yang
menghasilkan pembentukan fiber PET dalam sistem campuran PET/PP kurang optimal. Untuk
kelanjutan penelitian ini, perlu dilakukan modifikasi alat dengan menambahkan bak
pendinginan 2 buah yaitu pendingin air biasa dan pendingin pada suhu 80oC. Pada bak
pendingin kedua inilah akan banyak terbentuk orientasi droplet PET menjadi fiber PET.
Sehingga harapannya didapatkan sifat mekanik yang lebih unggul. Dan perlu juga dilakukan
penggunaan ekstrusi jenis twin screw agar didapatkan pencampuran yang lebih homogen.

482 |  ISSN : 2085 – 0492


DAFTAR PUSTAKA
1. Wenjing Li, Alois K.Schlarb, Michael Evstatiev. Effect of Viscosity Ratio on the
Morphology of PET Microfibrils in Uncompatibilized and Compatibilized Drawn
PET/PP/TiO2 Blends. Journal of Polymer Science : Part B:Polymer Physics, 47, 555-
562. 2009.
2. Wenjing Li. PET/PP-Based Polymer Composites: Effects of Compatibilizer and
Nanofillers on the Processing Structure Property Relationships, Dissertation Dr.-Ing,
Technical University of Kaiserslautern, Germany. 2009.
3. M.Akbari, A.Zadhoush,& M.Haghighat. PET/PP Blending by Using PP-g-MA
Synthesized by Solid Phase. Journal of Applied Polymer Science, 104,3986-3993.
2007.
4. Wenjing Li, Alois K.Schlarb, Michael Evstatiev. Study of PET/PP/TiO2 Microfibrillar
Structured Composites, Part 2: Morphology, and Mechanical Properties. Journal of
Applied Polymer Science, 113,3300-3306. 2009.
5. Raha Sarami, Nadereh Golshan Ebrahimi, Mehdi Razzaghi Kashani. Study of
Polypropylene/Polyethylene Terephthalate Blend Fibres Compatibilized with Glycidyl
Methacrylate. Iranian Polymer Journal, 17 (4), 243-250. 2008.
6. M.Krumova, G.H Michler, M.Evstatiev, K.Friederich, N.Stribeck, S.Fakirov.
Transcrystallisation with Reorientation of Polypropilene in drawn PET/PP and
PA66/PP blends. Part 2. Electron Microscopic Observation on the PET/PP Blend.
Progress in Colloid and Polymer Science. 130, 167-173. 2005.
7. Wenjing Li, Alois K.Schlarb, Michael Evstatiev. Study of PET/PP/TiO2 Microfibrillar
Structured Composites, Part 1: Preparation, Morphology, and Dynamic Mechanical
Analysis of Fibrillezed Blends. Journal of Applied Polymer Science, 113,1471-1479.
2009.
8. Wenjing Li, Alois K.Schlarb, Michael Evstatiev. Influence of Processing Window and
Weight Ratio on the Morphology of the Extruded and Drawn PET/PP Blends. Polymer
Engineering and Science, 49, 1929-1936. 2009.

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 483
Seminar Material Metalurgi 2010

484 |  ISSN : 2085 – 0492


SYNTHESIS NANOCRYSTALLINE BARIUM HEXAFERRITE
BY CO-PRECIPITATION

M. Zainuria, Widyastutib, El-Indahniaa, Noer Af’idaha


a
Department of Physics, Sepuluh Nopember Institute Of Technology Surabaya, Indonesia
Email : Zainury@physics.its.ac.id
b
Department of Material & Metalurgical Eng, Sepuluh Nopember Institute Of Technology Surabaya, Indonesia

Abstrak
Sintesis serbuk BaFe12O19 kristal barium hexaferite telah dilakukan dengan metode Co-presipitation.
Untuk menentukan fasa kristal yang terbentuk, digunakan Difraksi sinar-X dan menentukan ukuran kristal,
dengan Microcal Software pada analisis data XRD. Serbuk polikristal yang dihasilkan terdiri dari fase α-Fe2O3
(fasa dominan), BaFe2O4 dan BaFe12O19 dengan diameter kristal rata-rata, 239,43; 139,25 dan 146,21 nm untuk
kalsinasi selama 1 jam dan 216,38; 177,64 dan 123,39 nm untuk kalsinasi selama 2 jam.

Kata kunci :Barium Hexaferrite, Ko-presipitasi, Diameter Crystal

Abstract
Powder synthesis has been done with Co-precipitation method for hexagonal barium ferrite crystal
BaFe12O19. To determine the crystalline phase formed, used X-ray difraction. While to know the size of the
crystal, used Microcal origin Software based on XRD data analysis, the powder produced poly crystals
consisting of α-Fe2O3 phase (dominant phase), BaFe2O4 and BaFe12O19 with crystal diameter on average,
respectively 239.43 ; 139.25 ;and 146.21 nm for 1 hour calcinations . Average crystal diameter are 216.38 ;
177.64 ; and 123.39 nm for 2 hours calcinations.

Keywords :Barium Hexaferrite, Copresipitation, Diameter Crystal

INTRODUCTION
Nanocrystalline ferromagnetic are materials that attract the attention of researchers in
recent years. One is the oxide of hexagonal ferrite and the most widely used commercially are
barium ferrite and strontium ferrite. Both have the same formula. Barium hexaferitte and all
its derivatives have a specific magnetic properties that can be used as a permanent magnet, the
magnetic damping medium and microwave equipment other applications. The ability of
hexagonal ferrite materials as absorbers of electromagnetic waves is expected to be applied as
a antiradar materials needed in the country's military defense. Various methods have been
made to produce powders hexaferitte, namely: solid reactions, sol-gel and more. In this
research, carried out the synthesis of barium ferrite powders by co-precipitation method at
700˚C. calcinations The purpose of this experiment is to produce ceramic powders
nanocrystalinne hexagonal barium ferrite by co-presipitation method.
Based on the chemical formula and crystal structure, hexaferit classified into 5 types,
namely: the type-M ( BaFe12O19 ) , type-W ( BaMe2 Fe16O27 ) , type-X ( Ba2 Me2 Fe28O46 ) , type-
Seminar Material Metalurgi 2010

Y ( Ba2 Me2 Fe12O22 ) dan type-Z ( Ba2 Me2 Fe24O41 ) . Type-M is better known as Hexagonal
Barium ferrite (BAM) is a ceramic oxide of the most widely used commercially, and until
now has been much research done to develop these materials both in terms of fabrication and
its use as a permanent magnet, magnetic media and equipment silencer other microwave
applications (Dimry, et al, 2004).
BaM has a chemical formula BaO.6Fe2O3(BaFe12O19). Tues Bam complex system
composed of 2 cubic crystal-structure of the center-side (face-centered-cubic) and hexagonal
solid (hexagonal-close-packed) as shown in Figure 1. Both are composed with the same
atomic layers, one layer over another layer. In each layer, the atoms located in the center of
the network.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 485
 

       :  ion O2‐ 
 

      :  ion Ba2+ 

Figure 1. Crystal structure BaFe12 O19 (wikipedia.com, 2009)

BaM unit cell contains 2 molecules, or a total of 2 x 32 = 64 atoms. This is what


makes the structure very long in the direction of z axis with c = 23.2 A ˚ and a = 5.88 A ˚.
Ions and has a large size, almost the same and is non magnetic. Both models are arranged in
close-pecked (closed). Ions occupy interstitial positions. In the BaM unit cell, there are 10
layers of large ions (and), with the ions in each of 4 layers.
Ion which is magnetized in the barium ferrite is ion, each ion Fe3+ with magnetic
moment values 5B are located in the crystallographic structure of 3 different types of
tetrahedral, octahedral and hexahedral. Ions in the direction of the field layer of oxygen,
which can be parallel or perpendicular to the z-axis in the <0001>. In each unit cell there are
24 ions, 4 ions in the tetrahedral system, octahedral and 2 ions in hexahedral. There are 16 ion
with the spin direction and 8 ions with opposite spin. Magnetic moment of each cell is (10 - 8)
= 40B/ or unit cell 20 B/ molecule of BaO.6 (Fe2O3). This amount is equal to 100 emu/g
measured at the saturation magnetization in 0oK.
From research ever conducted, the formation of BaM Co-precipitation method can be
achieved through 2 mechanisms, namely: (i) directly from precursor phase, (ii) indirectly,
through BaFe2O4 as intermediate phase. In the first mechanism, the formation of BaM
requires a lower temperature because the activation energy lowers than the second
mechanism. BaCO3 formed from precursors during the preparation process done. The
formation of 4 and BaFe2O4 and BaFe12O19 degradation process begins with a temperature of
BaCO3 at 700-900˚C. Thus, the formation of BaCO3 is required to form BaFe12O19 at low
temperatures. In a research before, BaFe12O19 began to form at a temperature of 500˚C
calcinations although the form of amorphous phase. Phase will be reduced and the crystalline
perfection as we get calcinations temperature, i.e. about 700-900 ˚ C. BaM can be produced
through the degradation BaCO3 formed from precursor and   Fe2 O3 formed BaFe2O4 and
BaM at temperature 600˚. The chemical reaction is
0
Fe  prec(amor ) 290    Fe2 O3
C , H 2O

)
Ba  prec(amorf )  Fe  prec(amorf ) 500
  BaFe12 O19
C , H 2O
Seminar Material Metalurgi 2010

0
BaCO3    Fe2 O3 600
  BaFe12 O19  BaFe2 O4
C ,CO2

0
  Fe2 O3  BaFe2 O4 600
 C
 BaFe12 O19
(Lisjak, dkk, 2007)

METHODOLOGY
BaFe12O19 powder synthesis performed by dissolving the powder FeCl3 .6 H2O (10 g)
in aquades (0.67 ml) stirred with a spatula until perfectly dissolved (indicated by the absence
of sediment in the solution). Next powder BaCO3(0.61 g) reacted with a solution of HCl (0.51

486 |  ISSN : 2085 – 0492


g) by using a magnetic stirrer, and then added until dissolved aquades perfect. Both solutions
are mixed while stirred and heated with a magnetic stirrer. NH4OH solution (18.5 ml) is added
while stirring until it forms brownish-yellow precipitate. The results of the sediment washed
with aquades and deposited using a magnet. Deposition acidity was measured to ensure the
rest of the dirt was gone. Next sediments and doused with aquades and dried in an oven at a
temperature of 150 ˚ C for 1 hour. Co-precipitation the precursor powders, heated at a
temperature of 700 ˚ C with a variation of time 1 hour and 2 hours. XRD tests conducted to
determine the crystal size of the powder by applying the Schrerer equation with the help of
Microcal Origin software. Crystalline size determined by the peak broadening of X-ray
diffraction that appears. Widened resulting diffraction peak is smaller crystal size of powders.
The relationship between the size of the crystals with the peak width of X-ray diffraction can
approximately with Schrerer following equation:

(1)

where D is (diameter) crystal, λ is wave length of X-ray ( λ = 0,154056 nm),


is Bragg angle, B is FWHM one peak (Abdullah, dkk, 2009).

RESULT & DISCUSSION


These experiments were conducted to obtain powders nanocrystal hexagonal barium
ferrite (BaFe12O19) co-precipitation method with a basis of BaCO3 and FeCl3. Expected to
produce nanometer-sized powders monocrystal. Obtained from the synthesis of the results of
2 samples calcinations temperature 700˚C for 1 hour and 2 hours. XRD patterns of the test X-
ray diffraction can be seen in Figure 3 below:
1600
Fe2O3
1400 O BaFe O
2 4
BaFe12O19
1200
O
2 jam
1000
Intensitas (count)

O O
800

600

400
O
1 jam
200
O
0
Seminar Material Metalurgi 2010

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

(degree)
Figure 3. Diffraction patterns of X-ray powder synthesis of BaCO3 and FeCl3 method Co-precipitation
Figure 3 shows that the resulting powder is not hexaferrite but monocrystalline
Barium polycrystals composed of α-Fe2O3 phase (dominant phase), BaFe2O4 and BaFe12O19.
-Fe2O3 phase and intermediate phase BaFe2O4 is hexaferrit of barium. In a research before
BaFe12O19 phase will begin formed at a temperature 500˚ C calcination if prekursornya
powder produced from the BaCl2 and FeCl3, although in small quantities and still surrounded
by amorphous phase. Phase is reduced and transformed into a perfect crystal phase as the

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 487
temperature increases calcination, which is about 700 ˚ C. BaCO3 not react at temperatures
below 600 ˚ C. As in this experiment, the precursor powders used as raw material forming the
hexaferrit barium BaCO3 and FeCl3. Reactions that occur during the process lasted co-
presipitasi are as follows:

(2)

Increase in pH up to 9 will cause the intermediate phase is formed while still heating
up to 600˚C. In this case, the number of ions OH- growing and cause balance Fe3+ and Fe2+ in
acid solution resulting in the formation of disrupted intermediate phase with BaFe12O19. Both
can be transformed into BaFe12O19 after sintered (Dimry, et al, 2004).
So the formed of α-Fe2O3 phase as dominant phase is possible because due to 2
factors, namely: (i) re-emergence as a result of BaCl2 degradation BaCO3, and (ii) the addition
of NH4OH solution, which causes the balance of intermediate phase transformation to phase
BaFe12O19 disrupted. In addition, in Figure 4 indicated that there is no specific phase change
of the two samples. Only the angle 2θ = 39.27 ˚ BaFe2O4 phase is formed. Calcinations
process is only carried out for 1 hour and 2 hours. So less calcinations long time if they see
the process as above
Color powder synthesis results above are brick red. Should, color powder hexagonal
ferrite barium monocrystalline is black. It can be concluded also that the powder is not
monocrystal barium hexaferrite. Diameter crystal can be calculated using the method Schrerer
with equation (1). Initially, the peak FWHM is determined by redrawing the selected
diffraction pattern within a small angle, as Figure 4 and Figure 5.

200 

150 
Intensitas (count)

100 
 

50

23,6 23,8  24,0 24,2 24,4 24,6


Seminar Material Metalurgi 2010

2q (degree)

Figure 4. X-ray diffraction at the angle range between 23.7˚ and 24.5˚ (calcinations 1 hour)

488 |  ISSN : 2085 – 0492


200 

150 
Intensitas (count)

100 

50 

23,6 23,8  24,0 24,2 24,4  24,6 


2q (degree)

Figure 5. Fitting Lorentzian for the diffraction peak angle range 24.5 ˚ and 23.7 ˚ (calcinations 1 hour)
Crystal diameter of powder of calcinations results for 1 hour and 2 hours can be seen
in Table 1.

Table 1. Crystal diameter powder average calcinations results for 1 hour and 2 hours
1 Hour 2 Hour
No Phase D total D Average D total D Average
(nm) (nm) (nm) (nm)
1 α-Fe2O3 3351,99 239,43 3029,27 216,38
2 BaFe2O4 278,49 139,25 355,28 177,64
3 BaFe12O19 292,41 146,21 370,18 123,39

From the table above it can be concluded that the crystal diameter on average,
although not order nanometer co-precipitation methods such as synthesis of α-Fe2O3 powders
which had been done before.

CONCLUSION
Based on experimental results obtained have made the following conclusion:
Powders produced polycrystalline consisting of α-Fe2O3 phase (dominant phase), BaFe2O4
and BaFe12O19 with crystal diameter on average, respectively 239.43; 39.25; and 146.21nm
for calcinations for 1 hour and 216,38; 177.64; and 123.39 nm for calcinations for 2 hours.
The formed of intermediate phase (α-Fe2O3 and BaFe2O4) is possible because the disturbance
Seminar Material Metalurgi 2010

of the balance of Fe3+, Fe2+ and Ba2+ due to: (i) uncontrolled pH when done adding NH4OH
solution, and (ii) degradation occurs BaCO3 be returned as a precursor BaCl2 from BaFe12O19.
Color BaM powder was synthesized is red brick, the color should be black.

REFERENCES
1. Abdullah, Mikrajuddin. & Khairurrijal. ”Review: Karakterisasi Nanomaterial”,
Jurnal Nanoscience dan Teknologi vol.2, No.1, (Februari 2008).
2. Callister, Jr., W.D., ”Material Science and Engineering”, 1985.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 489
3. Dimri, M.C, dkk. ”Electrical and magnetic properties of barium hexaferrite
nanoparticles prepared by citrate precursor method”, Ceramics International 30, 1623-
1626 (2004).
4. Lisjak, D. & Miha Drofenik. ”The low temperature formation of barium hexaferrites”,
Journal of the European Ceramic Society 26, 3681-3686 (2006).
5. Lisjak, D. & Miha Drofenik. ”The mechanism of the low temperature formation of
barium hexaferrites”, Journal of the European Ceramic Society 27, 4515-4520 (2007).
6. Qiu, Jianxun, dkk. ”Microwave absorption of nanosized barium ferrite particles
prepared using high-energy ball milling”, Journal Powder Technology 154, 116-119
(2005).
7. Qiu, Jianxun. & Mingyuan Gu. ”Crystal structure and magnetic properties of barium
ferrite synthesized using GSPC and HEBM”, Journal of Alloys and Compounds
415,209-212 (2006).
8. Shepherd, P, dkk. ”Magnetic and structural properties of M-type barium hexaferrite
prepared by co-precipitation”. Juornal of Magnetism and Magnetic Materials 311,
683-692 (2007).
Seminar Material Metalurgi 2010

490 |  ISSN : 2085 – 0492


ANALISA LAJU KOROSI (CORROSION RATE)
PADA BAHAN KOMPOSIT BER-MATRIX ALUMINIUM DENGAN
REINFORCEMENT BAHAN KERAMIK SILIKON KARBIDA (SiC)

Prantasi Harmi Tjahjanti1, Anggiya Catur Nugroho2


1
Kopertis Wilayah VII Jatim, dpk pada Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA)
Fakultas Teknik Jurusan Teknik Mesin
E-mail: prantasi@gmail.com ; pran_tasi@yahoo.com
2
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA)

Abstrak
Telah dilakukan penelitian korosi yang diujikan pada bahan komposit ber-matrix aluminium (ALSI =
paduan aluminum silikon) dengan reinforcement bahan keramik silikon karbida (SiC). Korosi yang dilakukan
adalah korosi basah dan korosi kering. Perlakuan korosi basah dengan merendam masing-masing di dalam
larutan asam HCl, larutan basa NaOH dan larutan garam NaCl. Hasil yang diperoleh bahwa perendaman ALSI
maupun ALSI + SiC dalam larutan asam (HCl), mengalami laju korosi paling tinggi, dibandingkan di rendam
dalam larutan NaOH dan NaCl. Namun dengan penambahan SiC dapat mengurangi laju korosi pada bahan.
Penambahan SiC terbanyak (sampel 5: ALSI 80% + 20% SiC) dapat mengurangi laju korosi, nilainya separoh
lebih kecil bila dibandingkan dengan ALSI yang tanpa penguat SiC. Korosi basah lainnya yang dilakukan
adalah merendam sampel dalam pH, yaitu pada pH =1, 3, 5, 7, 9, 11, 13. Hasil yang didapat bahwa nilai laju
korosi/corrotion rate (CR) paling tinggi saat sampel direndam dalam larutan pH 1, nilainya mencapai 0,35
mm/yr, Namun demikian laju korosi akan berkurang dengan bertambahnya penguat SiC. Korosi kering
dilakukan dalam 2 suhu, pertama suhu ruang ~ 270C dan kedua dengan suhu 1000C. Hasil yang didapat bahwa
temperatur yang lebih tinggi dapat menyebabkan laju korosi bertambah cepat. Secara umum, dalam penelitian
ini material komposit bermatrik aluminum, yaitu sampel ALSI 80% + 20% SiC, merupakan material terbaik
dalam menghadapi serangan korosi, karena memiliki laju korosi terkecil (masih di bawah standart korosi yang
diijinkan yaitu < 0,5 mm/yr).

Abstract
The corrosion has been studied composite materials were tested in aluminum-matrix (ALSI = alloy of
aluminum silicon) with the reinforcement of ceramic material silicon carbide (SiC). Corrosion is corrosion by
wet and dry corrosion. Soaking wet corrosion treatment with their respective in HCl acid solution, aqueous
solution of NaOH and NaCl salt solution. Results showed that soaking and ALSI ALSI + SiC in acid solution
(HCl), experiencing the highest corrosion rate, compared to the immersion in a solution of NaOH and NaCl. But
with the addition of SiC can reduce the corrosion rate of materials. Additions Most SiC (sample 5: ALSI 80% +
20% SiC) can reduce the corrosion rate, half the value is smaller when compared with that without SiC
reinforcement ALSI. Corrosion other wet samples taken is soaking in pH, ie at pH = 1, 3, 5, 7, 9, 11, 13. The
results obtained that the corrosion rate values / corrotion rate (CR) highest when samples were soaked in a
solution of pH 1, the value reached 0.35 mm / yr, however, the corrosion rate will decrease with increasing SiC
reinforcement. Corrosion conducted in two temperature dry, room temperature ~ 270C first and second with a
temperature of 1000C. The result shows that higher temperatures can cause rapid corrosion rate increases. In
general, in this study bermatrik aluminum composite material, namely the sample ALSI 80% + 20% SiC, is the
best material in the face of corrosion, because it has the smallest corrosion rate (still below the allowable
standard for corrosion that is <0.5 mm / yr ).
Seminar Material Metalurgi 2010

PENDAHULUAN
Korosi adalah peristiwa kerusakan suatu bahan akibat interaksi yang tidak dikehendaki
antara bahan tersebut dengan lingkungannya. Korosi merupakan gejala alamiah dari bahan
khususnya logam, hal ini tidak mungkin dihindari, akan tetapi yang dapat dilakukan hanyalah
mengendalikan proses korosi tersebut dengan menekan laju korosi, sehingga diharapkan umur
dan kualitas bahan bertahan lama. Korosi tidak mudah dikenali, sebab korosi bentuknya tidak
hanya satu macam, tetapi mempunyai bermacam-macam bentuk yang berbeda.
Beberapa penelitian mengenai korosi telah dilakukan, yaitu terjadi kerugian akibat
korosi mencapai 2% dari nilai barang logam yang terpakai [F.N. Speller,1979]. Selanjutnya
diprediksi bahwa sekitar 1/3 bagian jumlah produksi logam pertahun rusak akibat korosi

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 491
[Marcel Pourbaix,1979]. Cara penanggulangan korosi bermacam-macam sesuai dengan jenis
korosinya, mekanisme terjadinya serta tingkat kerusakan yang ditimbulkannya. Cara
penanggulangannya yang bersifat pencegahan (preventif) akan lebih baik daripada usaha
setelah korosi terjadi.
Bahan komposit berbasis logam atau umumnya disebut dengan Metal Matrix
Composite (MMC) merupakan bahan komposit dengan matrik berupa logam murni atau
logam paduan (alloy). Logam-logam tersebut misalnya aluminium (Al) /aluminium alloy,
tembaga (Cu), Titan (Ti) dan lainnya. Proses pembuatannya dengan menggunakan dua cara.
Cara pertama menggunakan Powder Metallurgy (P/M), sedangkan cara kedua dengan
menggunakan pengecoran (casting). Sedangkan untuk bahan penguatnya (reinforcement)
yang biasanya ditambahkan pada matrik logam ini adalah bahan keramik. Bahan keramik
yang sering dipakai yaitu silikon karbida (SiC) dan aluminium oksida (Al2O3).
Komposit berbasis logam dengan penguat silikon karbida (SiC) dan aluminium oksida
(Al2O3) merupakan bahan-bahan potensial yang dipakai pada saat sekarang dan banyak
diaplikasikan di berbagai bidang. Keunggulan bahan ini antara lain memiliki kekakuan yang
tinggi (high stiffness), unggul dalam temperatur ruang dan kuat pada temperatur tinggi,
ketahanan ausnya tinggi (high wear resistance), koefisien muai panasnya rendah [S.F.
Moustafa, 2002, J. Hu, W.D. Fei, 2004] dan memperbaiki kekuatan luluh serta kekuatan retak
pada bahan. Logam aluminium/aluminium alloy (Al/Al alloy) dengan penguat SiC merupakan
bahan terpenting dalam kelompok MMC, karena mudah dibuat dan rendah biaya produksinya,
banyak diaplikasikan untuk industri otomotif dan aerospace [Rohatgi P,1991,Koczak MJ
et.al,1993,Howes MAH,1986] juga dipakai untuk aplikasi pengemasan elektronik dan
peralatan-peralatan yang berhubungan dengan panas [K.C. Ramesh,et,al,1999].
Mengingat kegunaan bahan komposit berbasis logam ini sangat banyak dan korosi
yang terjadi selama ini banyak menyerang pada jenis logam, maka pada penelitian ini
dilakukan uji korosi bukan pada jenis logam tetapi pada bahan komposit berbasis aluminium
dengan penguat silikon karbida (SiC), yaitu melakukan pengujian korosi dengan memakai
korosi basah dan korosi kering.

METODE PENELITIAN
Material komposit yang telah disiapkan yaitu matrik aluminum alloy (ALSI = paduan
aluminum silikon) dan reinforcement (penguat) adalah bahan keramik silikon karbida (SiC).
Komposisi sampel uji yang dibuat adalah:
Sampel 1: Al/Al alloy (ALSI) (3 sampel)
Sampel 2: ALSI 95% + 5% SiC (3 sampel)
Sampel 3: ALSI 90% + 10% SiC (3 sampel)
Sampel 4: ALSI 85% + 15% SiC (3 sampel)
Sampel 5: ALSI 80% + 20% SiC (3 sampel)
Korosi yang dilakukan adalah korosi basah dan korosi kering.

Uji Korosi Basah


Pengaruh Waktu
Sebelum diuji korosi, bahan komposit ditimbang massanya (mo). Setelah itu di uji
Seminar Material Metalurgi 2010

korosinya dengan direndam masing-masing di dalam larutan asam HCl, larutan basa NaOH
dan larutan garam NaCl, dengan konsentrasi masing-masing 0,1 Molar, dalam waktu
perendaman selama 6 jam dengan interval waktu tiap 2 jam. Setelah 2 jam, sampel diangkat
dan dibersihkan dengan cara merendamnya ke dalam campuran larutan HCl (1000 ml), 50
gram SnCl2 dan 20 gram Sb2O3 selama 15 menit. Setelah itu sampel di cuci kembali dengan
menggunakan alkohol 70 % dan dikeringkan, kemudian ditimbang beratnya(m) untuk
memperoleh produk korosi/kehilangan berat selama pengujian dinyatakan dengan W= m0 - m.

492 |  ISSN : 2085 – 0492


Pengaruh pH Larutan
Sampel direndam selama 2 jam dalam larutan dengan pH =1, 3, 5, 7, 9, 11, 13. Untuk
pH 1, 3, 5 dibuat dari larutan HCl pekat yang diencerkan masing-masing menjadi 0,1 M,
0,001 M dan 0,00001 M. Sedangkan pH = 7 dibuat dengan cara menimbang 5,85 gram NaCl,
kemudian dilarutkan hingga volume mencapai 1000ml. Kemudian untuk pH = 9, 11 dan 13
dengan cara menimbang 40 gram NaOH kemudian dilarutkan dalam 1000 ml aquades,
masing-masing diencerkan 10 kali , 100 kali dan 1000 kali. Setelah 2 jam, sampel diangkat
dan dibersihkan dengan perlakuan seperti pada uji korosi basah pengaruh waktu.

Uji Korosi Kering


Dengan Temperatur 1000C.
Sampel dimasukkan ke dalam furnace / tungku selama 96 jam dengan interval waktu
tiap 24 jam. Pengangkatan dan pembersihan sampel, perlakuannya seperti pada uji korosi
basah pengaruh waktu
Dengan Temperatur Ruang ~ 270C
Sampel diletakkan di udara terbuka ( temperatur ruang ) selama 96 jam dengan
interval waktu tiap 24 jam. Pengangkatan dan pembersihan sampel, perlakuannya seperti pada
uji korosi basah pengaruh waktu.
Metode yang digunakan dalam pengukuran laju korosi adalah menggunakan Metode
Kehilangan Berat. Metode ini digunakan sebagai ukuran ketahanan korosi, dapat dinyatakan
dengan mil per year (mpy). Bila diketahui kehilangan berat selama proses pengujian material
berat jenis material uji (W) dan waktu pengujian (T), maka laju penembusan korosi (CR)
dapat dihitung dari persamaan di bawah ini [Kenneth.R, et.al,1991]:
KW
CR  …………………………………………(1)
ADT

Keterangan:
CR = laju (penembusan) korosi (Corrosion Penetration Rate) atau berkurangnya
ketebalan material tiap satuan waktu satuan: mil per year (mpy) atau
millimeter per year (mm/yr) (1 mil = 10-3 inchi)
W = kehilangan berat selama pengujian (mg)
K = konstanta yang besarnya bergantung pada satuan yang dipakai
Memakai: K = 534 jika menggunakan satuan mpy (dengan satuan A = luas
permukaan = inchi2)
K = 87,6 jika menggunakan mm/yr (dengan satuan A= cm2)
 = berat jenis (gr/cm3)
t = waktu (jam)
Bila nilai CR kurang dari 20 mpy atau 0,5 mm/yr, maka nilai tersebut masih dapat diterima.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil dan Pembahasan Hasil Uji Korosi Basah (NaOH, HCl, NaOH)
Hasil laju korosi saat direndam dalam larutan HCl 0,1 M, HCl 0,1 M dan NaOH 0,1,
Seminar Material Metalurgi 2010

masing-masing ditunjukkan dalam Gambar 1,2 dan 3

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 493
CR Korosi Basah HCl 0,1 M vs Waktu Korosi

0,60

0,50

0,40
CR (mm/yr)

0,30

0,20
ALSI
ALSI(95)+SiC(5)
0,10 ALSI(90)+SiC(10)
ALSI(85)+SiC(15)
ALSI(80)+SiC(20)

0,00
0 1 2 3 4 5 6 7
t (jam)

Gambar 1. Grafik CR korosi larutan HCl 0,1 M vs waktu korosi


CR Korosi Basah NaCl 0,1 M vs Waktu

0,50
0,48
0,46
0,44
0,42
0,40
0,38
0,36
0,34
0,32
0,30
CR (mm/yr)

0,28
0,26
0,24
0,22
0,20
0,18
0,16
0,14
0,12 ALSI
0,10 ALSI(95)+SiC(5)
0,08 ALSI(90)+SiC(10)
0,06 ALSI(85)+SiC(15)
0,04
0,02 ALSI(80)+SiC(20)
0,00
0 1 2 3 4 5 6 7
Waktu (t) (jam)

Gambar 2. Grafik CR korosi larutan NaCl 0,1 M vs waktu korosi

CR larutan NaOH 0,1 M vs Waktu pemanasan

0,44
0,42
0,40
0,38
0,36
0,34
0,32
0,30
CR (mm/year)

0,28
0,26
0,24
0,22
0,20
0,18
0,16
0,14
0,12
Seminar Material Metalurgi 2010

0,10 ALSI
0,08 ALSI95 + SiC 5
0,06 ALSI90% + SIC10%
ALSI85% +SiC15%
0,04 ALSI80% +SiC 20%
0,02
0,00
0 2 4 6
Waktu Pemanasan (jam)

Gambar 3. Grafik CR korosi larutan NaOH 0,1 M vs waktu korosi


Dari ketiga gambar terlihat bahwa pengaruh penambahan penguat SiC terhadap
material ALSI sangat signifikan dapat mengurangi laju korosi, seperti ditunjukkan pada Tabel
1, yaitu data untuk laju korosi sampel 2: ALSI 95% + 5% SiC, sampel 3: ALSI 90% + 10%

494 |  ISSN : 2085 – 0492


SiC, sampel 4: ALSI 85% + 15% SiC, dan sampel 5: ALSI 80% + 20% SiC, terhadap waktu
perendaman ( 2, 4, dan 6 jam) pada larutan HCl, NaOH dan NaCl.

Tabel 1. Data-data laju korosi untuk komposisi SiC


5% 10% 15% 20%
Komposisi SiC ALSI
CR
HCl 0,1M/2 jam 0,46 0,31 0,30 0,28 0,55
HCl 0,1M/4 jam 0,52 0,33 0,31 0,29 0,59
HCl 0,1M/6 jam 0,56 0,36 0,315 0,30 0,61
0,25 0,23 0,20 0,18
NaCl 0,1M/2 jam 0,41
NaCl 0,1M/4 jam 0,28 0,26 0,25 0,23 0,43
NaCl 0,1M/6 jam 0,30 0,29 0,27 0,25 0,44
NaOH
0,20 0,18 0,15 0,13
0,1M/2jam 0,39
NaOH
0,24 0,2 0,19 0,15 0,41
0,1M/4jam
NaOH
0,28 0,23 0,2 0,18 0,42
0,1M/6jam

Pada Tabel 1 terlihat bahwa laju korosi akan berkurang, saat material komposit diberi
penguat SiC, artinya bahwa penambahan SiC berfungsi untuk mengurangi laju korosi yang
terjadi saat direndam dalam larutan HCl, NaOH dan NaCl. Apabila dibandingkan dengan
material ALSI tanpa SiC, maka laju korosi akan menurun apabila ditambah dengan SiC.
Dalam waktu perendaman 6 jam, laju korosi tertinggi saat sampel komposit di rendam dalam
larutan HCl, namun demikian penambahan SiC dengan komposisi tertinggi (20%), dapat
mengurangi laju korosi pada perendaman dalam larutan tersebut. Secara jelas grafik laju
korosi yang di rendam dalam ke tiga larutan selama 6 jam terhadap komposisi SiC
ditunjukkan pada Gambar 4.

CR pada korosi basah (HCl,NaCl,NaOH)0,1M waktu 6 jam vs


Komposisi SiC

0,6
0,55
0,5
0,45
0,4
CR (mm/year)

0,35
0,3
0,25
0,2
0,15
0,1 HCl0,1M NaCl0,1M
0,05 NaOH0,1M
Seminar Material Metalurgi 2010

0
0 5 10 15 20 25
Komposisi SiC (% )

Gambar 4. Grafik Laju korosi terhadap komposisi SiC


Material dengan komposisi SiC paling banyak, 20% yaitu sampel 5: ALSI 80% + 20%
SiC dibuat grafik terhadap waktu perendaman pada ketiga larutan, maka grafik yang muncul
dapat dilihat dalam Gambar 5.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 495
CR ALSI80%+SiC20% (untuk HCl,NaCl,NaOH)0,1M vs
Waktu pemanasan
0,6
0,55

CR ALSI80%+SiC20% (mm/year
0,5
0,45
0,4
0,35
0,3
0,25
0,2
0,15
ALSI80%+SiC20% (HCl 0,1M)
0,1 ALSI80%+SiC20% (NaCl 0,1M)
ALSI80%+SiC20% (NaOH 0,1M)
0,05 ALSI(HCl 0,1M)
ALSI (NaCl 0,1M)
0 ALSI (NaOH 0,1M)

0 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu Pemanasan (jam)

Gambar 5. Grafik Laju korosi sampel 5: ALSI 80% + 20% SiC terhadap waktu pemanasan
Perendaman ALSI maupun ALSI + SiC dalam larutan asam (HCl), mengalami laju
korosi paling tinggi, dibandingkan di rendam dalam larutan NaOH dan NaCl. Sebenarnya,
pada dasarnya ALSI (aluminum alloy) merupakan jenis logam yang akan membentuk lapisan
pelindung Al2O3 pada permukaannya dalam lingkungan oksidasi. Lingkungan oksidasi adalah
lingkungan yang dapat melepaskan/mengurangi elektron, dan dapat menaikkan tingkat
oksidasi. Lapisan pelindung Al2O3 sangat baik, karena dapat membuat rapat arus (arus/luas,
satuan Ampere/meter2) mendekati nilai nol. Namun pada saat ALSI maupun ALSI + SiC
direndam dalam larutan HCl, maka sampel-sampel tersebut akan mudah terkikis, karena HCl
tidak memiliki oksigen. Tidak adanya oksigen dalam HCl akan menyebabkan terjadi reaksi
pada sisi katoda sel galvanik, sehingga membentuk pasangan sel galvanik. Pembentukan
pasangan sel galvanik dalam struktur mikro ini yang menyebabkan sampel sangat cepat
terkorosi, sehingga laju korosi saat sampel direndam dalam HCl, sangat cepat/tinggi dengan
nilai laju korosi untuk sampel dengan penambahan SiC terbanyak (sampel 5: ALSI 80% +
20% SiC) mencapai 0,3 mm/yr, dengan waktu perendaman selama 6 jam. Nilai ini separoh
lebih kecil bila dibandingkan dengan ALSI yang tanpa penguat SiC, yaitu dengan nilai laju
korosi sebesar 0,61 mm/yr.
Sementara perendaman sampel dalam larutan garam dan basa, juga dapat mengurangi
laju korosi, namun tidak secepat yang terjadi saat perendaman dalam larutan asam. Pada
kondisi basa akan terjadi reaksi reduksi oksigen/basa sebagai berikut:

O2 + 2H2O + 4e-  4OH- .................................... (2)

Selanjutnya ion OH- dari basa akan dioksidasi menjadi gas oksigen (O2), bentuk reaksinya:
4OH-  2H2O + O2 + 4e ..................................( 3)

Terbentuknya gas oksigen, menyebabkan perlambatan dalam proses korosi pada lingkungan
basa. Nilai laju korosi untuk sampel 5: ALSI 80% + 20% SiC saat direndam dalam larutan
Seminar Material Metalurgi 2010

NaOH mencapai 0,18 mm/yr, dengan waktu perendaman selama 6 jam.


Sementara perendaman dalam larutan garam (NaCl), yang terdapat ion Na+ dan Cl-
dimana ion Cl- bereaksi dengan aluminium yang memudahkan oksigen mengikat aluminium
sehingga proses pengkaratan/korosi berlangsung lebih cepat dibandingkan di lingkungan basa.
Nilai laju korosi untuk sampel 5: ALSI 80% + 20% SiC saat direndam dalam larutan NaCl
mencapai 0,25 mm/yr, dengan waktu perendaman selama 6 jam.

496 |  ISSN : 2085 – 0492


Hasil dan Pembahasan Hasil Uji Korosi Basah (Menggunakan pH)
Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa hasil dari pH 1, pH 3, pH 5, pH 7, pH 9,
pH 11, dan pH 13, terlihat nilai laju korosi/corrotion rate (CR) paling tinggi saat sampel
direndam dalam larutan pH 1, karena pH 1merupakan larutan yang bersifat asam kuat. Asam
kuat dalam air akan terionisasi sempurna, sehingga konsentrasi H+ dapat ditentukan. Jika ke
dalam air dilarutkan asam, maka asam tersebut akan melepaskan ion H+, akibatnya [H+]
dalam air akan bertambah sedangkan [OH-] dalam air akan berkurang. Besarnya nilai [H+]
dan [OH-], ditunjukkan dalam persamaan (5.3):

[H+] > 10-7 mol [OH-] < 10-7 mol ........................( 4)

Bila : -log [H+] = pH, maka


Larutan netral : pH = 7
Larutan asam : pH < 7
Larutan basa : pH > 7

Dapat ditunjukkan dengan:

_____asam ____________.___________basa_______
0 7 14
(netral)

Peranan pH di media korosif adalah mengubah reaksi katodik.

Namun demikian laju korosi akan berkurang dengan bertambahnya penguat SiC.
Sehingga sampel 5: ALSI 80% + 20% SiC, yaitu ALSI yang ditambah dengan
penguat/reinforcement SiC terbanyak, mempunyai nilai laju korosi terkecil saat sampel
direndam dalam larutan pH berapapun. Secara jelas grafik laju korosi pada komposisi
ALSI80% + SiC20% saat direndam dalam larutan pH 1 sd pH 13 terhadap waktu rendaman,
ditunjukkan pada Gambar 6.

CR Korosi Basah Perbedaan pH pada


0,65 ALSI(80)+SiC(20) vs waktu rendaman korosi

0,55

0,45
CPR (mm/yr)

0,35

0,25

0,15
Korosi pH 1 Korosi pH 3
Korosi pH 5 Korosi pH 7
0,05
Seminar Material Metalurgi 2010

Korosi pH 9 Korosi pH 11
Korosi pH 13 ALSI pH1

-0,05 0 1 2 3 4 5 6 7
Waktu Perendaman (jam)

Gambar 6. Laju korosi pada komposisi ALSI80% + SiC20% untuk rendaman larutan pH 1 sd pH 13 vs waktu
rendaman

Sedangkan grafik laju korosi sampel 5: ALSI80% + SiC20% terhadap korosi basah
(perendaman dalam pH), ditunjukkan pada Gambar 7.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 497
CR Korosi Sampel ALSI(80%)+SiC(20%) vs
korosi basah pH

0,4
0,35
0,3
CPR (m m /yr)

0,25
0,2
0,15
0,1
0,05 laju korosi ALSI80%+SiC20%
0
0 2 4 6 8 10 12 14

Korosi basah pH

Gambar 7. Laju korosi pada komposisi ALSI80% + SiC20% terhadap rendaman larutan pH 1 sd pH 13
Terlihat pada Gambar 6, nilai laju korosi untuk sampel 5: ALSI 80% + 20% SiC saat
direndam dalam larutan pH 1 mencapai 0,35 mm/yr, dengan waktu perendaman selama 6
jam. Nilai ini lebih kecil bila dibandingkan dengan ALSI tanpa penguat SiC, yaitu dengan
nilai laju korosi sebesar 0,62 mm/yr dengan waktu perendaman yang sama 6 jam.
Sementara pada Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai pH 1, pH 3 dan pH 5,
mempunyai nilai yang hampir sama, masing-masing adalah 0,35 mm/yr, 0,34 mm/yr, dan
0,33 mm/yr, karena ketiga pH tersebeut masih dalam lingkungan asam. Sementara nilai laju
korosi menurun cukup tajam saat masuk dalam daerah netral (pH 7) dan basa (pH 9, pH 11
dan pH 13).

Hasil dan Pembahasan Hasil Uji Korosi Kering (Menggunakan Temperatur ~ 270C dan
Temperatur 1000C)
Hasil data korosi kering dengan menggunakan temperatur ~270C dan temperatur
1000C, memperlihatkan bahwa laju korosi tertinggi saat sampel diuji korosi kering dengan
temperatur 1000C. Pengaruh penambahan SiC juga cukup penting, karena dapat mengurangi
laju korosi, sehingga sampel 5: ALSI 80% + 20% SiC mempunyai nilai laju korosi terendah
baik di korosi dalam temperatur ~270C maupun temperatur 1000C. Nilai laju korosi sampel 5:
ALSI 80% + 20% SiC untuk temperatur ~270C sebesar 0,002 mm/year dengan waktu korosi
selama 96 jam (ALSI tanpa SiC sebesar 0,011 mm/year, dengan waktu korosi yang sama).
Sedangkan untuk korosi temperatur 100oC, mempunyai nilai laju korosi 0,006 mm/year
dengan waktu korosi selama 96 jam. ALSI tanpa SiC sebesar 0,027 mm/year, dengan waktu
korosi yang sama. Temperatur yang lebih tinggi dapat menyebabkan laju korosi bertambah
cepat, karena hampir semua proses/reaksi pada temperatur tinggi mengakibatkan
kecepatannya bertambah dan umumnya hasil reaksi juga bertambah banyak. Serangan korosi
yang terjadi pada sampel merupakan reaksi udara langsung membentuk lapisan oksida.
Seminar Material Metalurgi 2010

KESIMPULAN
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah:
1. Laju korosi tertinggi saat sampel komposit di rendam dalam larutan HCl.
2. Laju korosi akan berkurang, saat material komposit diberi penguat SiC.
3. Penambahan penguat SiC yang terbanyak dalam material komposit bermatrik
aluminum, merupakan material komposit yang paling tahan terhadap serangan korosi,
artinya memiliki laju korosi terendah.
4. Perendaman dalam larutan dengan pH 1, memiliki laju korosi/corrotion rate (CR)
paling tinggi, karena pH 1merupakan larutan yang bersifat asam kuat.

498 |  ISSN : 2085 – 0492


5. Temperatur yang lebih tinggi dapat menyebabkan laju korosi bertambah cepat, karena
hampir semua proses/reaksi pada temperatur tinggi mengakibatkan kecepatannya
bertambah dan umumnya hasil reaksi juga bertambah banyak.
6. Secara umum, material komposit bermatrik aluminum, yaitu sampel ALSI 80% + 20%
SiC, merupakan material terbaik dalam menghadapi serangan korosi, karena memiliki
laju korosi terkecil.

SARAN
Setelah meneliti begitu hebatnya serangan korosi, baik untuk korosi basah maupun
korosi kering, maka saran yang cukup penting adalah:
1. Perlu dilakukan penelitian bagaimana cara mengatasi material yang telah terkorosi.
2. Perlu dilakukan penelitian bagaimana cara mencegah terjadi korosi, khususnya pada
material komposit bermatrik aluminum

UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional yang telah memberikan support dana untuk penelitian ini lewat skem
penelitian Dosen Muda Tahun 2009.

DAFTAR PUSTAKA
1. F.N Speller, 1979, Corrosion Causes and Preventation, dikutip dari
2. Djoewito, Korosi 1,Jakarta.
3. Kenneth.R, J.Chamberlain, 1991, Korosi, alihbahasa: Alex Tri Koentjono Widodo,
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
4. Koczak MJ, Khatri SC, Allison JE, Bader MG, 1993, Metal matrix composites for
ground vehicles, aerospace and industrial applications, In: Suresh S, Mortensen
5. M. Pourbaix, 1979 Lecture on Electrochemical Corrosion, dikutip dari Djoewito,
Korosi 1, Jakarta.
6. Rohatgi P, 1991, Cast aluminum-matrix composites for automotive applications, JOM
1991;43:10–15.
7. S.F. Moustafa, Z. Abdel-Hamid, A.M. Abd- Elhay, 2002, Mater. Lett.53 (2002) 244.

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 499
Seminar Material Metalurgi 2010

500 |  ISSN : 2085 – 0492


PERILAKU KELELAHAN KOMPONEN KATUP MESIN

Sasi Kirono
B2TKS BPPT
PUSPIPTEK, Serpong, Tangerang 15314
sasi.kirono@yahoo.com, fax. (021)7560903 HP. 08161436793

Abstrak
Kelelahan adalah suatu sifat berkurangnya ketahanan mekanis dari bahan, komponen dan struktur.
Katup adalah salah satu komponen pada mesin penggerak mula yang menerima pembebanan dinamis, sehingga
diperlukan analisa kelelahan terhadap tegangan dinamis akibat gerakan tuas (valve rocker arm) pada frekwensi
tertentu pada mesin penggerak mula. Dalam tulisan ini membahas perilaku umur lelah bahan komponen katup
menggunakan metode perhitungan statistik pengujian dan analisa hasil pembebanan kelelahan pada katup.
Pembahasan hasil penelitian memeliputi kondisi korelasi antara tingkat tegangan dan tegangan dinamis. Hasil
penelitian menunjukkan umur lelah rata- rata 1,2 x 106 siklus.

Kata kunci: umur lelah, statistik, tegangan dinamis

Abstrak
Fatigue is the decrease of material resistance on the mechanical components and structures. Valve is
the machine component for prime mover to use the dynamic loading stress of the valve rocker arm acceleration.
This paper discussed the behavior of fatigue life of valve components using the method which is available in
the statistic calculation. The discussion of the test result is includes correlation between stress level and the
dynamic compression stress condition. Result examination show that the fatigue life rate is 1,2 x 106 cycle.

Keyword: fatigue life, statistic, dynamic stress

PENDAHULUAN
Katup adalah salah satu komponen mesin penggerak mula yang berfungsi agar tuas
penggerak pelatuk katup agar membuka dan merutup katup pada dudukannya silinder blok.
Dalam penggunaannya harus mampu menahan tekanan gas pembakaran dalam silinder, yang
dilewatkan pada katub sewaktu membuka dan menutup.
Katup terletak pada penumpu keseimbangan yang dihubungkan pada poros tumpuan
seperti Gambar 1. Sehingga diperlukan analisa kekuatan bahan karena pembebanan dinamis
terhadap peralatan tersebut sangat perlu, agar mendapatkan produk yang berkualitas aman,
kuat dan ekonomis.
Pengujian dinamik dilakukan untuk mengetahui karakteristik kekuatan kelelahan dari
katup tersebut.
Pengujian kelelahan bahan katup ini dilakukan dengan mensimulasikan pembebanan
tekan dinamis pada frekwensi tertentu. Pengujian kelelahan ini untuk mengetahui karakteristik
kekuatan dinamis lelelahan antara tegangan dinamis dan jumlah siklus pembebanan.
Tulisan ini membahas metode pengujian dan analisa hasil pembebanan kelelahan pada
Seminar Material Metalurgi 2010

valve rocker arm.


Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui karakteristik kekuatan kelelahan dari
bahan katup. Pengujian kelelahan katup ini dilakukan dengan mensimulasikan pembebanan
tekan dinamis pada frekuensi tertentu.Pengujian kelelahan ini untuk mengetahui karakteristik
kekuatan dinamis antara pembebanan dan umur jumlah siklus pembebanan. Dengan pengujian
kelelahan dapat diperkirakan besar kekuatan rancangan desain dan umur lelah bahan
komponen dan struktur. Pengujian kelelahan ini menggunakan mesin uji silinder hidrolik
dengan kontrol gaya.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 501
PROSEDUR PENELITIAN
Katup dalam kedudukannya dalam mesin penggerak mula selalu mendapatkan
pembebanan yang berasal dari tekanan gas pembakaran. Pembebanan dinamis adalah
merupakan beban tekan yang diterima katup akibat tekanan gas pembakaran .
Penggerak mula motor bakar biasanya mempunyai satu atau beberapa silinder, tempat
proses pembakaran bahan bakar berlangsung. Pada salah satu ujungnya, silinder itu ditutup
oleh kepala silinder yang dilengkapi dengan katup [11]isap dan katup buang . Katup isap
berguna untuk memasukkan udara segar atau campuran bahan bakar dan udara kedalam
silinder sedangkan katup buang untuk mengeluarkan gas pembakaran yang tidak terpakai lagi
dari dalam silinder. Pegas katup membuat katup itu menyumbat saluran isap dan saluran
buang. Mekanisme pembuka katup terdiri dari cam pada poros cam, penggerak katup, batang
penekan, dan tuas , katup dapat dibuka secara bergiliran. Udara segar atau campuran bahan
bakar dan udara masuk kedalam kepala silinder melalui pipa isap sedangkan gas buang keluar
dari kepala silinder melalui pipa gas buang dan peredam suara ke atmosfir.

1. Katup
2. Valve rocker arm
3. Push rod
4. Tapped
5. Cam

Gambar 1. Katup dan mekanisme [10].


Katup [2] merupakan penutup ujung kepala silinder dapat berupa katup isap dan katup
buang . Katup isap berguna untuk memasukkan udara segar atau campuran bahan bakar dan
udara kedalam silinder sedangkan katup buang untuk mengeluarkan gas pembakaran yang
tidak terpakai lagi dari dalam silinder. Bentuk geometri kepala katup secara umum harus
mampu menerima beban mekanis impact pada dudukannya dan menerima tegangan panas .
Tegangan maksimum terpusat pada permukaan dudukan konis dan daerah transisi dari kepala
menuju gas panas katup. Tegangan mekanis dan termal mempengaruhi kerusakan dan umur
lelah katup. Pada katup keluar jika bahan bakar menggunakan bahan antiknock tetraethyl lead
akan terjadi korosi pada dudukan dan kepala silinder blok . Temperatur pada pada katup
keluar dari karburator mesin adalah 800-820 oC dan katup masuk sampai 500oC . Dengan
kandungan Ni 60% dan Cr 15% pada dudukan katup. Kandunan karbon dan pelapisan Cr
dapat menahan gesekan[1,8]. Tapped katup dirancang dari baja pejal atau besi cor dengan
proses karburasi kedalaman 0,7- 1,5 mm dengan proses pengerasan induksi sedalam 2,5 mm,
Seminar Material Metalurgi 2010

dengan kekerasan 45 HRC.


Pada penelitian ini disimulasikan terhadap bahan X 55 CrSiMoW15.2-Nimonic 80A,
temperature T=650o [4] diuji dengan beban lentur dinamis bolak-balik. Bentuk pembebanan
amplitudo berulang pada daerah tarik dinamis yang menyebabkan tegangan dinamis pada
komponen katup [3] Pada pengujian disimulasikan dengan pembebanan dinamis tekanan
berulang dengan frekuensi 10 Hz. Beban minimum dan beban amplitudo maksimum
dilakukan pada dua tingkat tegangan 400 N/mm2 dan 460 N/mm2. Sedangkan katup
mengalami perlakuan panas austenitisasi pada temperature 800-820oC dan tempering pada
650oC. Bahan katup tersebut setara dengan AISI 446 tersebut mempunyai komposisi kimia

502 |  ISSN : 2085 – 0492


0,20%C, 25%Cr, 1,5Mn dan Ni serta kandungan lainnya . Kekuatan tarik 552 MPa , batas
luluh 345 MPa, keuletan 20%. [3, 9]
Metode penelitian yang digunakan dalam merencanakan dan mengembangkan
komponen katup pada penggerak mula diperlukan sifat karakteristik komponen yang
memenuhi fungsi dengan baik , kuat aman dan ekonomis, diperlukan pengujian sifat kekuatan
lelah.
Tujuan pengujian kelelahan adalah untuk mengetahui karakteristik kekuatan kelelahan
umur terbatas . Pengujian kelelahan ini dilakukan pada kelelahan siklus tinggi (high cycle
fatigue) dengan beban yang diberikan diambil lebih rendah dari batas elastis sehingga masih
memberikan daerah regangan elastis.
Melalui pemetaan diagram kelelahan pada daerah siklus terbatas dilakukan
pengamatan jumlah siklus untuk 2 (dua) tingkat tegangan 400N/mm2 dan 460 N/mm2. Pada
setiap tingkat tegangan diperlukan minimal 5 (lima) benda uji. Penggambaran untuk membuat
diagram kelelahan pada daerah batas lelah dilakukan pengamatan terhadap kemungkinan
patah pada bahan katup pada 107 siklus pembebanan untuk 2(dua) tingkat tegangan
360N/mm2 dan 340N/mm2. Pengujian terhadap bahan uji batang torak di klem pada mesin uji
silinder hidrolik . Kemudian pembebanan dinamis tarik berulang dilakukan terhadap benda uji
Selama pengujian kelelahan[3] untuk waktu tertentu pada tingkat pembebanan tarik ,
dilakukan pengamatan tegangan dinamis yang terjadi dengan menggunakan mesin uji
kelelahan seperti terlihat pada Gambar 2.
Metode analisis penelitian menggunakan perhitungan statistik probabilitas
[5,6]
kemungkinan patah pada pembebanan dan jumlah siklus dengan metode arc sin

Seminar Material Metalurgi 2010

Gambar 2. Mesin uji kelelahan [7]

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 503
HASIL PENELITIAN
Melalui pengujian kelelahan umur terbatas terhadap bahan katup untuk 2 (dua)
tingkat pembebanan pada tegangan 400 N/mm2 dan 460 N/mm2 dalam daerah patah yang
menyatakan hubungan antara beban dan jumlah siklus N umur lelah sampai patah. Pada
daerah batas lelah dilakukan untuk 2 (dua) tingkat tegangan 360N/mm2dan 340 N/mm2
diamati dan dipetakan terhadap kemungkinan gagal pada 107 siklus pembebanan. Data hasil
pengujian kelelahan katup terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengujian kelelahan katup
Tegangan Jumlah siklus
Keterangan
No Tegangan maksimum minimum
(N/mm2) (N/mm2)
1 460 0 54 x 103 Patah
2 460 0 68 x 103 Patah
3 460 0 70 x 103 Patah
4 460 0 80 x 103 Patah
5 460 0 102 x 103 Patah
6 400 0 210 x 103 Patah
7 400 0 307 x 103 Patah
8 400 0 314 x 103 Patah
9 400 0 617 x 103 Patah
10 400 0 1379 x 103 Patah
11 360 0 1464 x 103 Patah
12 360 0 1603 x 103 Patah
13 360 0 3063 x 103 Patah
14 360 0 1 x 107 Tidak gagal
15 360 0 1 x 107 Tidak gagal
16 340 0 5416 x 107 Patah
17 340 0 1 x 107 Tidak gagal
18 340 0 1 x 107 Tidak gagal
19 340 0 1 x 107 Tidak gagal
20 340 0 1 x 107 Tidak gagal

PEMBAHASAN
Dari hasil pemetaan kenyataan jumlah umur lelah sampai patah akan berbeda-beda
menyebar untuk suatu tingkat tegangan pada pembebanan tertentu. Oleh karena itu perlu
dilakukan perhitungan statistik probabilitas untuk menganalisa kemungkinan patah pada suatu
tingkat pembebanan tertentu tersebut. Analisa dan perhitungan statistik dilakukan terhadap
hubungan antara ketinggian tegangan terhadap jumlah siklus dengan metode arc sin .
Diawali dengan melakukan perhitungan statistik untuk memperkirakan garis
kemungkinan patah sedikit (PB = 10% probabilitas patah 10%) , kemungkinan patah rata-rata
( PB = 50% ) dan kemungkinan patah banyak (PB = 90%) pada setiap tingkat tegangan. Metode
Seminar Material Metalurgi 2010

tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan harga jumlah siklus pada setiap harga
kemungkinan patah (PB =10%, 50% dan 90%). Kemudian untuk titik-titik yang mempunyai
kemungkinan patah yang sama di analisa dengan regresi linier.
Untuk analisa daerah batas lelah dilakukan perhitungan statistik probabilitas
kemungkinan patah pada suatu siklus tertentu ialah 107 siklus. Sehingga akan diperoleh harga
tingkat pembebanan pada setiap harga kemungkinan patah (PB = 10%,50% dan 90%) pada 107
siklus tersebut.
Diagram kelelahan tegangan maksimum terhadap jumlah siklus N untuk bahan katup
seperti dilihat pada Gambar 3.

504 |  ISSN : 2085 – 0492


Tegangan maksimum σ max (N/mm2)

Jumlah siklus (N)


Gambar 3. S-N Diagram
Pada hasil penelitian pada pengujian kelelahan terhadap bahan katup dilakukan
dengan melakukan tegangan tarik dinamis bolak balik dilakukan dengan frekuensi f= 10 Hz
pada mesin uji dinamis.
Pada diagram kelelahan hubungan antara tegangan dinamis maksimum terhadap
jumlah siklus N pada Gambar 3 terlihat bahwa pada tingkat tegangan tarik maksimum 400
N/mm2 terlihat umur lelah benda uji rata-rata ( untuk PB = 50% ) sebesar 362,25 x 103 siklus.
Tingkat tegangan tarik maksimum 460 N/mm2 terlihat umur lelah benda uji rata-rata 68,51x
103 siklus. Harga batas lelah rata-rata (PB = 50%) adalah pada tingkat tegangan tarik
maksimum sekitar 355 N/mm2. Untuk kemungkinan patah lelah pada (PB = 90%) adalah pada
tingkat tegangan tarik maksimum sekitar 377 N/mm2. Dan jumlah siklus atau umur lelah
minimum pada batas lelah rata-rata tersebut sekitar 1,3 x 106 siklus.
Sedangkan distribusi kemungkinan patah untuk setiap tingkat tegangan terhadap
jumlah siklus dapat dilihat pada gambar 4. Dengan analisa distribusi kemungkinan patah
untuk tingkat tegangan tarik maksimum 400 N/mm2 pada daerah batas lelah untuk suatu
jumlah siklus 1,3 x 106 siklus pembebanan, terdapat kemungkinan benda uji patah adalah
Seminar Material Metalurgi 2010

sekitar 95%. Sedangkan perkiraan umur lelah minimum sekitar 2 x 104 siklus. Pengambilan
harga 1,2 x 106 siklus adalah merupakan perkiraan titik belok daerah kelelahan siklus terbatas
ke batas lelah ( endurance limit ) atau umur lelah minimum pada batas lelah rata-rata sekitar
1,2 x 106 siklus. Pada tingkat tegangan tarik maksimum 400 N/mm2 dan 460 N/mm2 untuk
umur lelah N= 1,2 x 106 siklus pembebanan terdapat kemungkinan semua benda uji akan
patah.

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 505
Jumlah siklus (N)
Gambar 4. Distribusi kemungkinan patah
KESIMPULAN
Perhitungan statistik menggunakan metode arc sin untuk mengetahui kemungkinan
benda uji patah. Dari hasil penelitian analisa tegangan kelelahan dari diagram kemungkinan
patahan dapat diperkirakan dan dipetakan dalam diagram S- N. Diagram S-N tegangan
dinamis terhadap jumlah siklus dapat diperkirakan kemungkinan benda uji patah pada batas
Seminar Material Metalurgi 2010

umur lelah rata- rata 1,2 x 106 siklus pembebanan , dan umur lelah minimum 2 x 104 pada
tingkat tegangan 400 N/mm2.
Menggunakan diagram tegangan terhadap jumlah siklus dapat diperkirakan umur lelah
rata- rata untuk suatu harga tingkat tegangan yang diinginkan 335 N/mm2 dan harga tingkat
tegangan dinamis maupun umur lelah minimum pada daerah batas lelah.

506 |  ISSN : 2085 – 0492


DAFTAR PUSTAKA
1. ARKHANGELSKY,V, “ Motor Vehicle Engines ”, Mir Publishers, Moscow,(1977).
2. BEITZ.W, KUTTNER.K.H , “Taschenbuch fur den Maschinenbau”, Springer Verlag,
Berlin, (2006).
3. CALLISTER, WILLIAM D, “ Materials Science and Engineering”, John Wiley &
Sons, Inc, New York, (1985).
4. DAEVES.K, “Werkstoff-Handbuch Stahl Und Eisen”, Verlag Stahleisen Mbh,
Dusseldorf, (1975).
5. DIETER DENGEL,“Eine Zweckmasige Statistic Auswertung von
Dauerschwingversuchen", Werkstoff kollokium . Karlsrule, (1976).
6. DIETER DENGEL, “Die arc sin Transformation ein einfaches Verfahhen zur
grafischen und rechnerischen Auswertung geplanter Wohlerversuche,” Journal of
Materials Technology 6 Jahre , (1976).
7. MYER KUTZ, “Handbook of Materials Selection”, John Wiley & Sons, Inc, New
York, (2006).
8. ROLOFF, MATEK, “Maschinenelemente”, Vieweg, Braunschweg , (2006).
9. SCHMITZ,H, “Stahl Eisen Liste”, Verlag Stahleisen M.B.H, Dusseldorf, (1981).
10. WIESLAW JEZEWSKI, “Illustrated Automobile Dictionary ”, Kluwer Technische
Boeken B.V. Deventer , (2006).
11. WIRANTO ARISMUNANDAR, “Penggerak Mula Motor Bakar Torak”, Universitas
ITB , (2006).

Seminar Material Metalurgi 2010

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 507
Seminar Material Metalurgi 2010

508 |  ISSN : 2085 – 0492


SEMINAR MATERIAL METALURGI 2010
RUANG 1

Pertanyaan :

Supono (Universitas Jendral Ahmad Yani )


1. Ditujukan ke pemakalah Erlina Yustanti:
Apakah pada proses reduksi diamati gejala swelling?
Jawaban: Belum sampai sejauh itu.
2. Ditujukan ke pemakalah Basso D. Makahanap:
Apa perbandingan reduktor & laterit 1:1,8 tidak terlampau besar? Pada blast furnace
perbandingan kokas tidak sebesar itu.
Jawaban: Angka 1,8 dari literatur / penelitian orang lain, bahkan ada yang 1 : 1
3. Ditujukan ke pemakalah Agus Edy Pramono:
Bagaimanakah proses Vakum furnace?
Jawaban: Continous vacum furnace menggunakan pompa tekanan tinggi dengan
menggunakan venturi dengan suhu maksimum 1250 oC.

Andika Widya Pramono (P2M – LIPI)


1. Ditujukan ke pemakalah Agus Edy Pramono:
Apakah melakukan uji tarik? Apa pernah menghitung kecenderungan role of mix atau
ada penyimpangan? Kondisi optimum terjadi di mana?
Jawaban: Kompaksi, di uji tekan, tidak dilakukan uji tarik, digunakan 70% carbon
30% matrik perekat, konstan, kondisi optimum pada 400 oC.

M. Amin (UPT BPL Lampung)


1. Ditujukan ke pemakalah Agus Edy Pramono:
Preparasi dilakukan pada temperatur berapa? Ditahan berapa lama? Prosentase awal
berapa?
Jawaban: Batok kelapa mentah di vakum furnace selama 4 jam sampai mencapai
suhu 900 oC kemudian diholding time 15 menit, pompa vakum tetap hidup, hasil di
permukaan batok kelapa hitam (99%) tanpa abu. Prosentase awal tidak dikarakterisasi

Hafid (BPPT)
1. Ditujukan ke pemakalah Adil Jamali:
2. Bagaimana kalau dikombinasikan dengan metode konsentrasi grafitasi untuk
membantu selain proses flotasi.
Jawaban: Bisa diterima sebagai masukan
3. Ditujukan ke pemakalah Etty Marti Wigayati:
Kadar rendaman HCl 0,16% apakah masih memungkinkan di proses lagi? Bagaimana
dengan melakukan pemanasan?
Jawaban: Kadar Fe rendaman HCl teknis memang baru 0,16% dilakukan selama 112
Seminar Material Metalurgi 2010

jam, di industri bisa mencapai 0,1 % menggunakan HCl (PA), dengan pemanasan
belum pernah di coba bisa jadi dapat menurunkan Fe.

Wira (Univ. Jendral Ahmad Yani )


1. Ditujukan ke pemakalah Etty Marti Wigayati:
Bagaimana hipotesis penelitiannya sehingga dipilih HCl?
Jawaban: Kadar Fe203 cukup tinggi sehingga perlu diturunkan, dipilih HCl untuk
mengurai menjadi FeCl3.
2. Ditujukan ke pemakalah Agus Edy Pramono :

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 509
Proses untuk memperbaiki sifat logam dengan carburizing, sumber selain arang batok
bisa juga menggunkan kerang batu. Apa dasar pemikiran penggunaan arang batok?
Jawaban: Dasar pemikiran penggunaan arang batok karena selama ini masih
digunakan secara tradisional sehingga perlu ditingkatkan nilai tambahnya untuk
digunakan pada aplikasi teknologi. Penggunakan kerang batu juga dapat dijadikan
sebagai masukan.
Seminar Material Metalurgi 2010

510 |  ISSN : 2085 – 0492


SEMINAR MATERIAL METALURGI 2010
RUANG 2

Pertanyaan:

Adid Andin Hermansyah (B4T )


1. Ditujukan kepada Efendi Mabruri:
Apakah proses heat treatment dapat menyebabkan kandungan Ti hilang?
Jawaban: Dengan proses heat treatment dalam kondisi vakum dan innert, kandungan
Ti masih tetap terjaga, jadi tidak hilang.

Amin Suhadi (B2TKS)


1. Ditujukan kepada Solihin:
Bagaimana peranan temperatur dalam proses?
Jawaban: Meningkatkan energi bebas sehingga dapat mempercepat proses
2. Ditujukan kepada Adid Andin Hermansyah:
Bagaimana dapat memastikan terjadi korosi sumuran?
Jawaban: Terjadi korosi setempat dan autokatalitik
Bagaimana relevansi uji tarik terhadap korosi?
Jawaban: Merupakan sinkronisasi dengan nilai kekerasan

Efendi Mabruri (P2M)


1. Ditujukan kepada Solihin:
Bagaimana bila proses solid state dilakukan tanpa air?
Jawaban: Tidak bisa, karena solid state membantu dalam proses leaching

Saefudin (P2M)
1. Ditujukan kepada Solihin:
Bagaimana perbandingan proses leaching dengan air dan chemical?
Jawaban: Persentase hasil ekstrak menggunakan chemical lebih besar daripada air
namun air lebih ramah linkungan.

Solihin (P2M)
1. Ditujukan kepada Syahfandi Ahda:
Bagaimana memastikan agar MnO2 tidak bereaksi masuk?
Jawaban: Dalam proses lanjutan, diindikasikan tidak timbul MnO2 seperti yang
ditunjukkan dari hasil XRD.
2. Ditujukan kepada Umiatin:
Mengapa memilih PVE?
Jawaban: Berdasar jurnal-jurnal yang sudah ada
3. Ditujukan kepada Erfan handoko:
Apakah sudah terlihat distribusi ukuran nano atau belum?
Seminar Material Metalurgi 2010

Jawaban: Belum terindikasi dan masih dalam proses penelitian

Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 511
Seminar Material Metalurgi 2010

512 |  ISSN : 2085 – 0492

Anda mungkin juga menyukai