Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmat-NYA
pada tanggal 13 Oktober 2010, Pusat Penelitian Metalurgi LIPI dapat menyelanggarakan
Seminar Material Metalurgi 2010 di Gedung Dewan Riset Nasional PUSPIPTEK Serpong,
Tangerang Selatan, dengan tema “Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan
Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia ”.
Seminar Material Metalurgi ini dihadiri oleh pembicara kunci Ir. Dede I Suhendra dari
Departemen ESDM dan Prof. Dr. Akihiko Chiba dari Tohoku University, Prof. Dr. Ir. Syoni
Soepriyanto dari Jurusan Teknik Material ITB. Hasil dari Seminar Material Metalurgi 2010,
dipublikasaikan dalam bentuk prosiding seminar dengan kontribusi tulisan dari insatansi
penelitian, universitas dan industri yang di presentasikan dalam kelompok diskusi Pengolahan
Sumber daya Mineral, Ekstraksi Mineral / Logam, Metoda Analisis dan Karakterisasi
Material / Mineral, Metalurgi Fisik dan Manufaktur, Keramik dan Komposit dan Advanced
Materials dan Nano Teknologi, Rekayasa Material / Metalurgi, Pemodelan dan Simulasi
Material / Metalurgi, Korosi dan Failure Analysis.
Kami berharap prosiding ini dapat bermanfaat bagi peneliti, dosen, mahasiswa, dan
kalangan industri yang berkecimpung dalam bidang material matelurgi dan bagi para
pemerhati bidang keilmuan metalurgi
Tim Prosiding
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | iii
SUSUNAN PANITIA SEMINAR MATERIAL METALURGI 2010
PENANGGUNG JAWAB
Eddy Dwi Tjahjono, Ir.
(Kepala Puslit Metalurgi LIPI)
KETUA PANITIA
Latifa Hanum Lalasari, ST. MT
PANITIA PENGARAH
Dr. F. Firdiyono (Ketua)
Ir. Yusuf, PU
Dr. Efendi Mabruri
TIM EDITOR
Ir. Bambang Sriyono, Dipl.Ing.
Drs. Sundjono
Dr. Ing. Andika Widya Pramono
Dr. Solihin
Ir. Bintang Adjiantoro, MT
Eko Sulistiyono, ST
TIM PROSIDING
Dedi Irawan, ST.
Iwan Setiawan, MSc.
Ari Yustisia Akbar, S.Si.
Fendy Rokhmanto, ST.
EVENT ORGANIZER:
Koperasi Karyawan Metalurgi LIPI
Seminar Material Metalurgi 2010
Hadirin Yth.,
Seminar Material Metalurgi merupakan agenda tahunan Pusat Penelitan Metalurgi
LIPI yang diharapkan mampu menjadi sarana komunikasi ilmiah bagi berbagai pihak yang
berkiprah di bidang metalurgi dan material.
Tema Seminar Material Metalurgi tahun ini adalah “Peran Penelitian Material
Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia”. Latar
belakang diajukannya tema ini adalah untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya
mineral Indonesia sehingga dapat meningkatkan nilai tambah secara ekonomis. Seminar ini
juga diharapkan mampu menyumbangkan hasil-hasil penelitian yang bermanfaat bagi
pembangunan nasional dan pemecahan masalah-masalah yang terkait dengan pemanfaatan
sumber daya mineral Indonesia.
Pada Seminar Material Metalurgi 2010 ini telah terdaftar 67 makalah ilmiah dari
berbagai Lembaga Penelitian, Perguruan Tinggi, Industri, Mahasiswa dan Umum. Sebanyak
16 makalah terpilih akan dipresentasikan secara oral, 45 makalah disajikan dalam bentuk
poster, dan 6 makalah yang tidak dapat dipresentasikan dalam seminar karena tidak
memenuhi ruang lingkup tema seminar. Semua makalah (oral dan poster) ini akan
dipublikasikan di prosiding Seminar 2010 dan beberapa makalah terpilih akan dipublikasikan
di majalah Metalurgi dan majalah Korosi edisi khusus 2010.
Akhirnya, atas nama seluruh Panitia Seminar Material Metalurgi 2010 kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam seminar ini.
Seminar Material Metalurgi 2010
Secara khusus kami ucapkan terima kasih kepada PT. Timah Industri, PT. Aneka Tambang,
Tbk, PT. IKAD, PT. Spektris, Tbk., PT TeknoLab, Tbk., dan PT. JJ Executive International
atas dukungannya dalam pelaksanaan seminar ini. Kami mohon maaf bila selama
penyelenggaraan seminar ini ada hal-hal yang kurang berkenan.
Billahi Taufiq Wal Hidayah Wassalamualaikum Wr.Wb.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | v
Seminar Material Metalurgi 2010
Yth. Ir. Dede I Suhendra, Ka. Sub. Direktorat Pengawasan Teknik Mineral Batu Bara dan
Panas Bumi Kementerian ESDM
Yth. Prof. Dr. Ir. Syoni Soepriyanto
Yth. Prof. Akihiko Chiba, Tohoku University
Yth. Kepala Pusat Penelitian Metalurgi LIPI,
Para Hadirin dan Undangan sekalian yang kami muliakan.
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua,
Pertama-tama, marilah kita memanjatkan rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kita masih dipertemukan untuk
bersama-sama hadir pada acara SEMINAR MATERIAL METALURGI 2010 dengan tema
“Peran Penelitian Material Metalurgi untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumberdaya Mineral
Indonesia”
Kita patut bersyukur atas karunia Allah yang telah menempatkan kita di bumi yang
memiliki kekayaan sumberdaya mineral yang beraneka ragam yang dapat dimanfaatkan
sepenuhnya bagi kebutuhan hajat hidup manusia umumnya dan bangsa Indonesia khususnya.
Seminar Material Metalurgi 2010
Bangsa Indonesia menyadari sepenuhnya akan kekayaan alam ini dan hal yang berkaitan
dengan itu semua diimplementasikan dalam bentuk UU Minerba No. 4 Tahun 2009, yang
mengamanahkan peningkatan nilai tambah sumberdaya mineral Indonesia, dimana di
dalamnya tentu telah mempertimbangkan keharusan manusia menjaga alam dari kerusakan.
Tantangannya tentu saja adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan sumberdaya mineral
Indonesia dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Disinilah peran para peneliti,
insinyur, maupun praktisi sangat dibutuhkan.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | vii
Para peserta Seminar Metalurgi yth,
Pada dasarnya pada tahun 2010 ini, yang merupakan tahun I dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ke II 2010-2014, Pemerintah telah
menetapkan 11 Prioritas Nasional yang mencakup antara lain pendidikan, kesehatan
ketahanan pangan, energi, dan lingkungan hidup dan penanggulangan bencana. Lembaga Ilmu
Pengatahuan Indonesia (LIPI) sebagai lembaga penelitian yang fungsinya melaksanakan
pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang ilmu pengetahuan, diharapkan
berperan dalam 4 bidang prioritas, yaitu :
Ketahanan pangan,
Energi,
Lingkungan hidup dan penanggulangan bencana,
Kebudayaan, kreativitas, dan innovasi teknologi.
Lantas seperti saya tekankan pada awal pidato saya tentang isu perubahan iklim dan
pelestarian lingkungan yang merupakan salah satu butir penekanan Millennium Development
Goals (MDGs) mau tak mau akan menjadi konstrain kita dalam pengembangan material
industri dan material maju yang pada gilirannya mengarahkan kita pada pengembangan
material yang bersifat bio-degradable atau eco-friendly materials. Hal lain yang perlu
mendapat perhatian adalah pengembangan material sensor yang mampu mendeteksi zat-zat
yang secara kuantitas maupun kualitas bersifat deterioratif baik terhadap kesehatan manusia
maupun lingkungan. Material sensor dan material struktur juga dapat dikembangkan untuk
membantu mengantisipasi atau meminimalisir efek bencana alam seperti gempa bumi. Jelas
kita tak bisa lepas dari pengembangan material maju. Oleh sebab itu LIPI dan tentu saja harus
bekerjasama dengan dunia pendidikan dan industri telah bertekat untuk ikut mengembangkan
material industri dan material maju, mengingat kita memiliki keunggulan komparatif berupa
kekayaan sumberdaya alam yang berlimpah, potensi pasar dalam negeri yang sangat besar
dengan memperhatikan jumlah penduduk serta letak geografis, kesadaran untuk mandiri dan
keinginan untuk mampu bersaing di dunia yang diwarnai persaingan global.
baru 5,6 % dari GDP. Kementerian Ristek ke depan dalam program insentifnya akan lebih
menekankan kembali keharusan kegiatan tersebut mengharuskan menggandeng industri
sebagai mitra dalam berkegiatan, sehingga akan meningkatkan manfaat penelitian
berdasarkan kebutuhan industri.
Mengakhiri sambutan ini, saya berharap kiranya Seminar Material Metalurgi 2010 hari
ini dapat menghasilkan ide-ide konstruktif untuk membangun program pengembangan
penelitian dan kepakaran metalurgi berbasis pada SDM yang kompeten dan profesional dalam
rangka penguatan daya saing bangsa. Selamat berdiskusi, semoga Tuhan Yang Maha Esa
senantiasa memberikan bimbingan kepada kita semua, Amin.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | ix
Akhir kata dengan memohon ridho Allah SWT, dengan mengucapkan Bismillaahir
Rahmaanir Rohiim dengan ini saya nyatakan Seminar Material Metalurgi 2010 dengan tema
“Peran Penelitian Material Metalurgi untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumberdaya Mineral
Indonesia” dibuka secara resmi.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Halaman Depan
Kata Pengantar
Daftar Isi
Presentasi Industri
Makalah Presentasi
Adil Jamali 53
Beneficiation of Low Grade Manganese Ores
Basso D. Makahanap 71
Influence of Particle Size on Reduction Kinetics of Lateritic Iron Ore
Mardiyanto 77
Optimization of BT Piezoelectric Material Synthesis and Its Characterization
Seminar Material Metalurgi 2010
Deddy Sufiandi 85
Pengaruh Perlakuan Bahan Baku Terhadap Reaksi Slaking Pada Limestone dari
Rumpin, Bogor
Erlina Yustanti 97
Pembuatan Besi Spons dengan Pemanfaatan Limbah Scale Hasil Scarfing of Slab
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | xi
Adid Andin Hermansyah 107
Analisa Kegagalan Bocornya Tube Production Cooler D-200 IN ZEP
Solihin 145
Pembuatan Ultra Fine Grain Tembaga
Umiatin 149
Pengaruh Milling dan Waktu Pemanasan terhadap Pembentukan Fasa Boron Karbida
(B4C) melalui Metode Sol Gel
Widyastuti 155
Synthesis Nanocrystalline Fe3O4 by Co-Precipitation
Makalah Poster
Batubara
Hafid 273
Pembuatan Produk Cor Substitusi Import dengan Metode Lost Wax Process
Kosasih 297
Pengaruh Komposisi Bahan terhadap Sifat Hard Magnet dari Bahan Barium Ferit
untuk Magnet Loudspeaker
M. Yunus 319
Pengaruh Variasi Arus Las Cane Cutter Menggunakan Elektroda Azucar 100 terhadap
Sifat Mekanik Baja Karbon Rendah
Elektroplating
Pengaruh Media Queenching Pada Baja ASTM A 36 Terhadap Sifat Mekanik Dan
Struktur Mikro
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | xiii
Saefudin 391
Cacat Getas pada Pembuatan Pelat Tipis dengan Proses Rapid Solidifikasi Twin
Roll dari Material Aluminium Paduan
Pembuatan Pelat Tipis dengan Proses Rapid Solidification Twin Roll Dengan
Material Pewter, Aluminium dan Aluminium Paduan
Pembuatan Pelat Tipis dari Bahan Aluminium dengan Proses Rapid Solidification
Twin Roll
Solihin 423
A Soft Process For Tungsten Extraction From Scheelite Mineral
Pembuatan Biokeramik Hydroxyapatite
Sutarno 433
Pengukuran Tegangan Sisa Tekan Satuation Shot Peening Dengan Difraksi Sinar X
Harsisto 473
Pengaruh Limpasan Air Dan Lumpur Tsunami Pada Sifat Korosifitas Lingkungan Jejak
Tsunami di Daratan Banda Aceh
M. Zainuri 485
Synthesis Nanocrystalline Barium Hexaferrite by Co-Precipitation
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 1
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 3
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 5
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 7
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 9
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 11
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 13
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 15
Seminar Material Metalurgi 2010
Ir. Purwoko
PT. Timah Industri
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 17
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 19
Seminar Material Metalurgi 2010
Kamal Rasyid, ST
FM PT. ITASMALTINDO INDUSTRY
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 21
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 23
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 25
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 27
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 29
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 31
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 33
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 35
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstract
The study is an engineering and characterization of carbon-carbon composite materials based on
carbon utilization of organic waste of organic waste coconut husks and coal waste particles as the enforcement
particles with the adhesive matrix of coal tar pitch.
The study was begun with carbonizing the coconut shell waste and coal powder waste, through vacuum
furnace. The process of carbonization of organic waste coconut shell produces 99.27% carbon, coal produces
72.31%C, coal tar pitch as adhesive matrix contains 84% carbon.
The results of carbonization was milled by ball milling machine to achieve mesh <325, sieved in 325
mesh. Furthermore, carbon particles of each type of material was mixed with coal tar pitch with ratio of 70:
30% weight, in the heat of mixing > 80°C. The mixture was compacted in cold at a pressure of 640 bar in the
mold, resulting preform with a size + 40x 10 [mm], weight 25 [grams]. The Preform was cured in the
continuous vacuum furnace with temperatures varying from 200 until 500°C, hold at this temperature for 15
minutes.
Observations of this study was to test the mechanical properties of compressive strength, hardness and
physical properties of density and porosity of carbon-carbon composites due to compaction and curing vacuum
process with temperature variation of 200 until 700°C, produced a maximum compressive strength of 11.68
[N/mm2] and hardness BHN 811.49. Compressive strength and hardness of composites is influenced by the
Seminar Material Metalurgi 2010
porosity of the maximum value of 35.74% and a low density of 1.06 [gram/cm3].
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 37
produksi tambang batubara tahun 2003 total produksi mencapai 38768 Metrik ton. Bahan
karbon juga bisa dihasilkan dari limbah organik yang diolah menjadi karbon.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penelitian telah dilakukan berbasis bahan karbon
sebagai bahan penguat dalam carbon carbon composite, yang ditinjau dari sudut proses
dengan konsep penelitian sbb: ” karakterisasi sifat kuat tekan dan kekerasan material kompo-
sit karbon karbon berbasis limbah organik”
Kajian jurnal
Komposit yang dibuat dari carbon fabric (CF) yang dimodifikasi dengan oksidasi
anodik menunjukkan sifat mekanik dan tribologi yang terbaik, sifat aus dan gesekan dari
carbon fabric composites sangat tergantung pada temperatur lingkungan, sebut saja laju aus
komposit pada temperatur yang dinaikkan di atas 180°C adalah jauh lebih besar ketimbang
yang dibawah 180°C, yang ditandai dengan degradasi dan decomposisi dari resin perekat pada
temperatur yang ditingkatkan secara berlebihan. Lagi pula, komposit yang dibuat dari CF
yang dimodifikasi dengan oksidasi anodik mempunyai stabilitas termal yang lebih baik
dibandingkan dari CF yang tidak dimodifikasi. CF yang dimodifikasi kemudian digunakan
untuk persiapan carbon fabric composit melalui dip-coating dalam resin phenolic dan
mempunyai kandungan masa relative CF dalam CFC 65%. Feng-hua Su, dkk, 2005. [1].
Sebuah material komposit dibuat dari serat dalam berbagai arah dan polimer bersifat karbon
dan hidrokarbon sebagai matrik precursor, densitas dan sifatnya tergantung pada jenis dan
fraksi volume penguatnya, matrik precursor yang digunakan dan temperature heat treatment
akhir. Komposit dengan resin termoset sebagai matrik prescursor lolos densitas rendah (1,55 –
1,75 g/cm3) dan microporositas yang tersebar dengan baik, sementara itu komposit yang
dibuat dengan pitch sebagai matrik precursor, setelah densifikasi menunjukkan densitas (1,8 –
2,0 g/cm3) dengan beberapa mesopores dan komposit yang dibuat dengan teknik CVD
(chemical vapour deposition) dengan gas hidrokarbon lolos densitas tingkat menengah dan
matrik dengan porositas yang rapat. Komposit berbasis resin menunjukkan kekuatan flexural
yang tinggi, ketangguhan yang rendah dan konduktifitas panas yang rendah. Manocha, L.M,
(2003). [2]. Sebuah komposit karbon karbon dikembangkan menggunakan teknik karbonisa-
si/impregnasi dengan PAN (Polyacrylonitrile) dan serat karbon berbasis pitch dari mikro-
struktur yang bervariasi sebagai penguat dan jenis pitch yang berbeda sebagai precursor
matrix. Komposit ini diperlakukan heat treatment akhir sampai 2500 sampai 2700°C. disini
ditemukan bahwa jenis serat dan keberadaan matrix dalam komposit mempengaruhi penye-
rapan panas spesifik dan konduktivitas energi panas. Pengaruh temperatur dari difusi termal,
panas spesifik, konduktifitas termal dan koefisien muai termal (CTE) telah dipelajari dan
dihubungkan dengan microstructur dari carbon carbon composite. Manocha, L.M, dkk,
(2006). [3]. Modulus dan kekuatan flexural meningkat ketika ratio masa dari non-woven cloth
terhadap jaringan serat pendek berubah dari 7:3 menjadi 6:4 dan bahwa serat karbon berbasis
PAN (Polyacrylonitrile) jenis non-woven cloth secara kuat mempengaruhi sifat flexural.
Kekuatan CCC non-woven cloth tidak linier dengan kekuatan serat karbon non-woven cloth
karena interface utama antara serat karbon de-ngan matrix carbon. Ini sesuai untuk memilih
T300 atau T700 (PAN-based carbon fiber T700, T300 (from Toray, Japan), sebagai serat
karbon penguat untuk CCC dalam studi saat ini. Chen, T. F, dkk, (2003). [4] . Empat jenis
Seminar Material Metalurgi 2010
pitch (coal tar pitch perendam komersial, pitch yang ditiup udara, dan dua coal tar pitch yang
diperlakukan secara termal dan empat karbon granular (grafit, anthracite, petroleum coke dan
kokas untuk foundry) digunakan untuk mempesiapkan komposit karbon. Percampuran dengan
30% bobot pitch dan tekanan molding 80MPa dipilih dan digunakan untuk persiapan semua
komposit carbon. Sifat material hasil akhir selama karbonisasi mem-pengaruhi sifat akhir
CCC. Komposit yang diperoleh dari pitch komersial dan pitch yang ditiup udara yang
dikombinasi dengan anthracite dan kokas foundry yang dideformasi pada karbonisasi,
menggambarkan sebuah porositas yang tinggi dan sifat mekanik yang rendah. Material yang
diperoleh dari pitchs yang diperlakukan secara termal, kokas foundry dan anthracite adalah
Secara potensial, hasil yang diperoleh melalui uji mekanik destruktif pada specimen lab dan
melalui teknik X –ray tomography non-destructive pada suku cadang skala besar dapat
diletakkan bersama agar untuk memperkirakan, dalam cara non-destructive, sifat me-kanik
dalam beberapa lokasi dari suku cadang tersebut. Douarche, N, dkk, (2001). [10]. Studi
pemodelan komputasi dari formasi teksture dalam CCC berbasis serat karbon dan precursor
mesophase bersifat karbon dipelajari dalam penelitian ini. Jumlah dan jenis discli-nations
yang ditampilkan oleh matrix mesophase bersifat karbon ditunjukkan harus ditetap-kan oleh
elastisitas mesophase, energi interfacial mesophase serat karbon, ukuran serat, dan pengaturan
posisi dari serat. Simulasi memberikan pengalaman baru pada prinsip dasar yang menetapkan
nukliasi disclinations dan texturing, pada bagaimana mengontrol struktur kom-posit karbon
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 39
karbon melalui konsentrasi serat, penampang lintang serat, dan interaksi matrix dan serat.
Gupta, G, dkk, (2005). [11]. Komposit karbon phenolic digunakan dalam bagian nozzle dari
motor rocket padat karena ketahanan panasnya, karakteristik kekuatan dan ablatevenya, yang
diperlukan untuk mengalami tekanan dan temperature tinggi dari gas pembakaran yang lewat
melalui nozzle. Tetapi struktur axisimetric tebal dari nozzle komposit menciptakan tegangan
sisa termal tinggi karena perbedaan koefisien ekspansi termal (CTE) yang besar, antara
bidang dalam dan bidang luar. Dalam kerja ini untuk mengurangi CTE dari sisi ketebalan dan
isi rongga, sebuah pemadatan (compression) dalam arah ketebalan diterap-kan terhadap
preimpregnation (pre-preg) kmposit melalui jig kompresi selama manufaktur komposit untuk
menambahkan tekanan autoclave yang rendah. CTE dari sisi ketebalan yang berubah secara
drastic dengan keterkaitan terhadap jumlah kompaksi, dan kandungan rongga dari lapisan
komposit fabric carbon /phenolic menunjukkan karakteristik yang berbeda dari lapisan fabric
biasa dengan keterkaitan terhadap tekanan auto-clave dan tekanan jig. Kim, J. W, dkk, (2004).
[12]. Paper ini menampilkan sifat tribologi dan sifat mekanik dari CCC 2D yang difabrikasi
melalui proses Pulse Chemical Vapor Infiltration (PCVI). Dalam proses tersebut, variasi
temperature fabrikasi dan tekanan reaktan yang berbeda diangkat untuk dite-liti pengaruh
kondisi proses pada sifat fisik, microstructur dan sifat mekanik. Dalam proses densifikasi
melalui PCVI, waktu penahanan dan jumlah pulsa adalah dua parameter yang signifikan
mempengaruhi sifat fisik (seperti densitas, porositas, dan tambahan bobot) dan sifat mekanik (
kekuatan interlaminar dan sifat aus). Ditemukan bahwa sifat aus dari dari CCC dapat
diperbaiki setelah densifikasi melalui 1000 pulse. TAI, N. H, dkk, (2002). [13]. Rekomendasi
praktis diusulkan untuk menciptakan struktur terpadu dari material refractory baru untuk
proses temperature tinggi dengan sebuah pembatasan temperatur operasi dari lapisan
pelindung carbide yang melebihi temperatur operasi dalam udara untuk material struktur
grafit sekitar lebih dari 1000°C. Studi eksperimental diujudkan pada 16 unit reactor yang
dipersiapkan untuk proses kimia temperatur tinggi dengan tekanan absolut di dalam reactor
0,3 MPa dan temperatur operasi 900OC. Kravetskii, G. A, dkk, (2007).[14]
batubara. Proses ini dilakukan dengan teknologi vacuum furnace hasil rancang bangun
sendiri.
2. Hasil produksi karbon dilakukan karakterisasi dengan carbon analyzer untuk mengeta-
hui prosentase kandungan karbon dari masing limbah tersebut. Karakterisasi dilaku-
kan di Puslitbang TEKMIRA, Bandung dengan alat LECO CHN-2000. Disamping uji
kandungan karbon, hasil karbonisasi juga diuji dengan alat Thermogravimetri Analy-
zer (TGA).
3. Hasil produksi karbon selanjutnya digiling dengan discmill dan ballmill sampai men-
capai tingkat partikelan dengan ukuran mesh 325 atau lebih. Proses penggilingan dila-
kukan di laboratorium F-MIPA, UI. Selanjutnya proses sieving dilakukan di lab PNJ
dan lab DTMM, FT, UI.
4. Partikel partikel hasil sieving dengan mesh 325 atau lebih selanjutnya ditimbang untuk
mencapai proporsi 70% bobot partikel dan 30% bobot coal tar pitch. Dalam penim-
bangan ini bobot partikel sebesar 17,5 gram dan bobot coal tar pitch 7,5 gram.
5. Memanaskan coal tar pitch sampai mencair, selanjutnya ditaburkan partikel karbon
penguat untuk dicampurkan dengan cairan coal tar pitch.
6. Memadatkan campuran partikel dan matrik coal tar pitch dengan dikompaksi dalam
sebuah cetakan dan ditekan dengan mesin press hidrolik dengan beban 11 Uston (640
bar). Sampai bentuk dan dimensi green compack mencapai ketebalan + 10 [mm] dan
diameter 40 [mm].
7. Pyrolisasi green compact didalam ruang furnace kedap oksigen (teknik pyrolisis) de-
ngan flushing nitrogen. Pada proses ini dilakukan dengan variasi temperatur dari 200 –
700°C, sesuai data karakterisasi uji TGA.
8. Pengujian sifat fisik dan mekanik padatan hasil pyrolisis. Pada tahap ini spesimen
kompaksi pyrolisis diuji kekuatan tekannya dengan mesin Universal Testing mesin
TARNO, di lab mesin PNJ.
Seminar Material Metalurgi 2010
9. Spesimen padatan dilakukan uji SEM untuk mengetahui topografi dari padatan spe-
simen hasil pyrolisis.
10. Padatan spesimen juga diuji porositas dan densitas, untuk mengetahui tingkat kepa-
datan dari spesimen hasil kompaksi dan pyrolisis.
11. Padatan spesimen diuji kekerasan dengan metode hardness Brinell.
12. Padatan spesimen diuji gesek untuk mengetahui tingkat keausan dari padatan hasil
kompaksi dan curing.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 41
III. HASIL PERCOBAAN dan PEMBAHASAN
1. Hasil uji laboratorium Carbon Analyzer
Karakterisasi kandungan karbon setiap bahan yang digunakan dalam penelitian
dilakukan melalui ultimate test di laboratorium TEKMIRA Bandung dan disertifikasi. Yang
hasilnya terlihat dalam Tabel 1.
Tabel 1 menunjukkan bahwa jenis karbon yang akan digunakan dalam penelitian ini
sebagai partikel penguat dalam komposit mempunyai kandungan karbon rata-rata > 70%.
Kandungan karbon tertinggi diperoleh dari bahan tempurung kelapa yang dikarbonisasi
sampai 900°C, yang mengandung karbon sebesar 99,27%. Sementara sebagai bahan matrik
yang digunakan dalam pembuatan komposit karbon karbon ini adalah coal tarr pitch yang
mengandung karbon 84,99%.
Gambar 2. Grafik hasil uji TGA arang batok kelapa
BATUBARA (BB)
TGA Carrier Air Temp
% C
600
60
500
50
40 400
start 11.00min
30 300
147.64C
end 86.23min
20 200
899.77C
kehilangan Berat -36.586mg
10 -96.355% 100
0
0
-4 -2 0 2 4 6 8 1012141618202224262830323436384042444648505254565860626466687072747678808284868890
Time [min]
Gambar 3. Grafik hasil uji TGA batubara
Gambar 4. Hubungan temperatur curing VS kuat tekan, komposit karbon karbon berbahan partikel batubara (BB)
Gambar 4 adalah hasil uji kuat tekan komposit berbahan partikel batubara dengan
matrik coal tar pitch, pada suhu curing 200; 300; 400; 500°C. Komposit mengalami kuat
tekan tinggi ketika diproses curing pada suhu 400°C, tetapi selanjutnya ketika temperatur
ditingkatkan kuat tekan justru mengalami penurunan. Jika dilihat kecenderungan grafiknya
maka semakin tinggi temperatur curing maka kuat tekan cenderung semakin turun.
Selanjutnya berikut ini adalah hasil uji kuat tekan komposit berbahan karbon
tempurung kelapa dengan matrik coal tar pitch, pada suhu curing 200; 300; 400; 500°C.
Gambar 5. Hubungan temperatur curing VS kuat tekan, komposit karbon karbon berbahan partikel arang batok
kelapa (ABK).
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 43
Bila diperhatikan semua grafik yang ada semua bahan penguat komposit batubara dan
batok kelapa, mengalami kecenderung yang sama yaitu semakin temperatur ditingkatkan
maka kuat tekan cenderung menurun.
Penurunan kuat tekan ketika temperatur curing ditingkatkan awalnya disebabkan oleh
peristi-wa penguapan hidrokarbon matrik perekat sehingga membentuk rongga-rongga yang
mem-perlemah ikatan antar partikel penguat komposit, selanjutnya ketika pemanasan
berlanjut te-rus akan diikuti oleh pemuaian partikel penguat yang memuai mendorong keluar
sehingga spesimen komposit membesar, pemuaian ini akan memperlemah ikatan partikel.
Kejadian inilah yang menurunkan kuat tekan komposit secara keseluruhan.
Gambar 6. Grafik hubungan temperatur curing VS BHN, komposit bahan partikel batubara atau BB.
Gambar 8. Grafik hubungan temperatur curing VS BHN, komposit bahan semikokas reheating atau ABB
Gambar 9. Grafik hubungan temperatur curing VS % porositas, komposit bahan arang batok kelapa atau ABK.
Porositas yang terjadi pada komposit karbon karbon umumnya disebabkan oleh
menguapnya cairan hidrokarbon yang terkandung dalam komposit ketika proses curing,
sehingga membentuk rongga-rongga pori dalam komposit.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 45
Pori dalam komposit ini terutama terbentuk pada matrik perekat dan melonggarkan
ikatan partikel. Sehingga hal ini memicu retakan dalam struktur komposit, yang selanjutnya
memperlemah kekuatan komposit.
Hasil uji porositas komposit karbon karbon dengan bahan penguat dari partikel
batubara atau BB dapat dilihat pada grafik Gambar 10. Gambar 10 menunjukkan bahwa
semakin tinggi temperatur proses curing akan menurunkan prosentase porositas, dalam hal ini
jumlah pori-pori yang terkandung dalam komposit semakin sedikit. Sehingga dengan kondisi
ini komposit tersebut semakin padat.
Gambar 10. Grafik hubungan temperatur curing VS % porositas, komposit bahan partikel batubara atau BB.
6. Pengujian Densitas Komposit
Hasil pengujian densitas untuk komposit karbon karbon dengan bahan penguat dari
arang batok kelapa dapat dilihat pada Gambar 11. Dalam gambar tersebut menunjukkan
kecenderungan bahwa semakin tinggi temperatus curing semakin meningkatkan densitas
komposit, artinya disini komposit semakin padat dengan jumlah pori yang semakin kecil,
terutama pada daerah temperatur curing antara 400 sampai 500°C. Hal ini memenuhi
pemahaman bahwa ketika densitas meningkat maka porositas seharusnya menurun.
Gambar 11. Grafik hubungan temperatur curing VS densitas, komposit bahan arang batok kelapa atau ABK.
Seminar Material Metalurgi 2010
Berikut ini adalah hasil uji densitas komposit dengan bahan penguat dari partikel
batubara atau BB, dapat dilihat pada Gambar 12 menunjukkan bahwa densitas meningkat
pada daerah temperatur curing dari 200 sampai sekitar 350°C. Sehingga pada tingkat
temperatur antara 200 sampai sekitar 350°C ini memenuhi pemahaman bahwa ketika densitas
meningkat maka porositas menurun, artinya bahan makin berat tetapi padat, tidak banyak
pori-pori di dalam komposit.
Secara umum peningkatan porositas dan sekaligus penurunan densitas dipengaruhi
oleh proses pemadatan ketika membentuk preform (green compact), proses pemanasan ketika
Gambar 12. Grafik hubungan temperatur curing VS densitas, komposit bahan partikel batubara atau BB.
7. Pengujian SEM
Data dalam Tabel 2 dapat dilihat bahwa ukuran partikel partikel rerata untuk ABK dari
9,88 sampai 13,838 [m]; hal ini menunjukkan bahwa ukuran partikel partkel lebih kecil dari
pada ukuran mesh yang digunakan untuk menyaring partikel yaitu mesh 325 yang setara
dengan 0,043 [mm] atau 43 [m]. Pada faktanya ukuran partikel partikel masih lebih kecil
dari ukuran mesh 400 yang setara dengan 0,038 sampai 0,033 [mm] atau 38 sampai 33 [m].
Jika dicermati angka-angka yang tercantum dalam tabel data tersebut menunjukkan bahwa
besar ukuran partikel partikel tidak seragam, tetapi secara teknis ukuran partikel partikel
maksimum adalah pada mesh 325 atau 0,043 [mm].
Tabel tersebut juga menunjukkan ukuran rongga atau pori yang nilai reratanya untuk
ABK dari 7,122 sampai 14,26 [m]. Jika dicermati angka tiap titik juga menunjukkan bahwa
ukuran rongga-rongga pori dari komposit tidak seragam, tetapi bervariasi. Secara teknis
proses curing juga mendorong terbentuknya partikel-partikel baru disamping partikel penguat
padat (presolid) yang disisipkan dalam komposit. Partikel karbon baru terbentuk oleh
menguapnya hidrokarbon dari matrik perekat coal tar pitch, sehingga meninggalkan sisa
deposit dalam bentuk partikel padat karbon yang bentuknya tidak beraturan, dan ukurannya
bisa jadi lebih kecil dari partikel partikel padat bahan penguat.
Akibat penguapan hidrokarbon dari matrik perekat coal tar pitch dan kemudian juga
mengendapnya sisa karbon dari penguapan akan meninggalkan jejak berupa rongga-rongga
pori dalam komposit karbon karbon.
Pembesaran ukuran partikel dibentuk oleh penambahan endapan karbon padat dari
matrik perekat coal tar pitch, sementara itu pembesaran ukuran rongga pori dibentuk oleh
proses penguapan hidrokarbon ketika proses curing kompsit. Disamping disebabkan oleh
kedua peristiwa tersebut, pembesaran ukuran keduanya juga disebabkan terjadinya pemuaian
dari komposit yang bersangkutan.
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 47
5 200 13,43 10,83
6 300 10,37 8,88
7 300 11,88 8,53
8 300 12 14,432 5,39 9,79 11,17 2,96
9 300 14,13 15,04
10 300 23,78 13,61
11 400 21,27 13,27
12 400 20,49 18,25
13 400 7,36 13,566 6,83 5,62 12,412 5,06
14 400 11 15,74
15 400 7,71 9,18
16 500 14,18 11,88
17 500 14,61 15,65
18 500 15,45 13,838 1,37 20,17 14,26 3,78
19 500 12,98 10,71
20 500 11,97 12,89
Gambar 13. Topografi hasil uji SEM komposit karbon karbon berbahan arang batok kelapa atau ABK.
Gambar 13 adalah bentuk topografi struktur mikro dari komposit karbon karbon
dengan bahan arang batok kelapa atau ABK. Dalam foto mikro menunjukkan bentuk partikel
yang tidak beraturan, yang ditandai dengan partikel kelabu dengan batas pinggiran putih
adalah partikel karbon penguat komposit. Sementara rongga-rongga pori dari komposit
ditandai dengan warna hitam gelap dengan batas yang tajam terhadap warna putih yang
Seminar Material Metalurgi 2010
Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 14. Topografi hasil uji SEM komposit karbon karbon berbahan partikel batubara atau BB.
Dalam Tabel 3 juga menunjukkan ukuran rongga atau pori yang nilai reratanya untuk
BB dari 10,438 sampai 9,584 [m]. Jika dicermati angka tiap titik juga menunjukkan bahwa
ukuran rongga-rongga pori dari komposit tidak seragam, tetapi bervariasi.
Pembesaran ukuran partikel dibentuk oleh penambahan endapan karbon padat dari
matrik perekat coal tar pitch, sementara itu pembesaran ukuran rongga pori dibentuk oleh
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 49
proses penguapan hidrokarbon ketika proses curing komposit. Disamping disebabkan oleh
kedua peristiwa tersebut, pembesaran ukuran keduanya juga disebabkan terjadinya pemuaian
dari komposit yang bersangkutan.
Gambar 14 adalah bentuk topografi struktur mikro dari komposit karbon krabon
dengan bahan partikel batubara atau BB. Dalam foto mikro menunjukkan bentuk partikel
yang tidak beraturan, yang ditandai dengan partikelan kelabu dengan batas pinggiran putih
adalah partikel karbon penguat komposit. Sementara rongga-rongga pori dari komposit
ditandai dengan warna hitam gelap dengan batas yang tajam terhadap warna putih yang
adalah partikel penguat.
2. Saran
Semua penelitian eksprimental yang dilaksanakan diatas dilakukan dengan kompaksi
pemadatan tekan dingin (cold press), sehingga tingkat kepadatan, kuat tekan, dan
kekerasannya masih bisa ditingkatkan. Untuk itu pada penelitian selanjutnya sebaiknya dicoba
dilakukan dengan metode tekan panas dengan alat HIP (hot isostatic press), yang dilanjutkan
dengan proses curing.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Feng-hua Su, Zhao-zhu Zhang, Kun Wang, Wei Jiang, Wei-min Liu, “Tribological and
mechanical properties of the composites made of carbon fabrics modified with
various methods”, Part A 36: 1601–1607; Composites: 2005.
[2] MANOCHA, LALIT M. “High performance carbon-carbon composites ”, Sadhana,
Vol. 28, Parts 1 & 2, pp. 349–358., Department of Materials Science, Sardar Patel
University, Vallabh Vidyanagar, 388 120, India, © Printed in India; 2003.
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 51
Seminar Material Metalurgi 2010
52 | ISSN : 2085 – 0492
BENEFISIASI BIJIH MANGAN KADAR RENDAH
Adil Jamali, Slamet Sumardi, David Candra Birawidha, Anton Sapto Handoko
UPT. Balai Pengolahan Mineral Lampung, LIPI
Jl. Ir. Sutami Km 15, Tanjung Bintang, Lampung
Telp. 0721-350054 Fax. 0721-350056
Abstract
Manganese ores were found as small deposits scattered in many places of Indonesia such as Lampung,
Jawa, West Nusatenggara, Kalimantan and Halmahera. Hight grade manganese ore with more than forty
percent mangan has been exported to China and India without significant processing. The low grade one which
has mangan content less than forty percent has not been exploited yet. Mangan is used mainly as an alloying
element in Iron and Steel industry. About 90% of it in the form of Ferromanaganese ,a ferroalloy usually
containing 75% mangan . Both beneficiation plant to process the ore in to smeltable concentrate and a
smelting plant to produce ferromanganese have not been available in Indonesia yet. The aim of this research is
to strengthen technological capabilities in mineral processing. Especially strengthening the capability in
beneficiation of low grade manganese ores. Around twenty percent mangan content in ores will be processed to
become concentrate containing more than forty percent mangan
The method used in this research was laboratory experiment involving “washing operation “ and
flotation. For type A ore which consist of manganese powder encaps ulated by clay minerals, washing followed
by gravity separation was used.It was found that concentrate containing 42% Mn can be obtained from
washing a 20% Mn type A ore. Manganese lump ore, type B is physically hard consist of high silica minerals
and small amount of iron. Silica was separated by Flotation process. Flotation variables used were particle
sizes, frother and collector volume, and finaly pH.. Pine oil as frother and xylenol as collector were kept at the
same proportion . from 2, 4, 6,8 and 10 ml/kg ore. While particle sizes varies from 100 , 150 and 200 mesh. pH
value was adjusted in the range of 6 – 10. The adjustment was carried out by adding sodium silicate, carbonate
or hydroxide. From the flotation experiments it was found that in one stage process, 8 ml/kg ore frother/collector
gave the optimum results , namely 32% Mn in product stream. Tailing product cotains 15% Mn. Particle size of
100 mesh gives the best result compared to 150 and 200 mesh sizes.
Abstrak
Bijih Mangan dijumpai sebagai cadangan kecil yang tersebar di kepulauan Indonesia , yaitu Sumatra
Barat, Lampung, Jawa , Nusa Tenggara Barat, Kalimantan dan Halmahera. Bijih Mangan kadar tinggi yang
mengandung Mangan lebih besar dari empat pukuh persen dewasa ini telah diekspor ke China dan India tanpa
pengolahan. Sementara itu bijih Mangan kadar rendah dengan kadar lebih kecil dari empat puluh persen belum
dimanfaatkan. Unsur Mangan terutama digunakan sebagai unsur paduan atau Alloying element pada industri
besi dan baja. Hampir 90% Mangan digunakan disektor besi dan baja dalam bentuk ferromangan dengan
kandungan Mn = 75%.
Sampai saat ini belum ada industri pengolahan bijih mangan baik benefisiasi maupun ekstraksinya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperkuat kemampuan teknologi pengolahan mineral khususnya
pengolahan bijih mangan kadar rendah. Bijih mangan berkadar lebih kurang 20% akan diolah menjadi
konsentrat mangan dengan kadar Mn lebih besar atau sama dengan 40%. Metoda yang digunakan adalah
eksperimen laboratorium menggunakan operasi pencucian dan flotasi. Untuk bijih tipe A yaitu Mangan powder
yang diselimuti lumpur digunakan metoda pencucian dan pemisahan gravitasi. Sedangkan tipe B, yang
berbentuk bongkah padat yang massif dan keras digunakan flotasi. Jika pada tipe A pengotor utama adalah
lempung pada tipe B pengotor utamanya silika yang sebagian terikat dalam batuan. Variabel dalam percobaan
Seminar Material Metalurgi 2010
flotasi meliputi ukuran partikel bijih mangan, Volume frother dan Colector, dan keasaman larutan atau pH.
Volume frother dibuat sama dengan collector masing masing 2 , 4 , 6 ,8 dan 10 ml/kg bijih . Ukuran partikel
bervariasi dari 100, 150 dan 200 mesh. pH diatur pada kisaran 6 – 10 dengan menambahkan Na2SiO3 atau
karbonat dan NaOH. Dari percobaan pencucian diperoleh konsentrat Mangan dengan kadar 42% berasal dari
bijih berkadar 20%. Pada percobaan flotasi dengan frother 8 ml/kg bijih diperoleh konsentrat berkadar Mn
32%. Produk tailing masih mengandung Mn 15% untuk satu tahap flotasi. Dari ketiga ukuran partikel , ukuran
100 mesh memberikan hasil yang paling tinggi disusul 150 mesh dan paling rendah 200 mesh. Akhirnya
ditemukan bahwa bahan kimia dari ekstrak minyak bijih jarak pagar dapat digunakan sebagai frother flotasi
bijih mangan.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 53
A.PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Salah satu produk mineral pertambangan yang penting yaitu mangan. Komoditi ini
termasuk dalam kelompok dua belas mineral di kulit bumi sebagai bahan baku yang tidak
tergantikan di industri baja menyerap hampir 90% total produksi mangan, Hal ini
mengindikasikan bahwa supply dan demand mangan linier dengan supply dan demand baja.
Wilayah asia pasifik merupakan konsumen terbesar dan tercepat pengguna mangan. Tahun
2007 wilayah ini mengkonsumsi 1,6 juta metrik ton dan pada tahun 2010 diperkirakan 2,2 juta
metrik ton mangan.. Selain digunakan pada industri baja, mangan digunakan untuk produksi
baterai, keramik, kimia, gelas, glasir, pertanian, proses produksi uranium, korek api dan
lainnya.
Cadangan bijih mangan di Indonesia tercatat 4,6 juta ton cadangan terunjuk, 649 ribu
ton terukur yang tersebar di berbagai pulau Sumatera, Kepulauan Riau, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Disahkannya UU Minerba diharapkan
membawa angin segar bagi pengelolaan sumber daya mineral Indonesia yang melimpah.
Salah satu point penting dalam UU Minerba, yaitu pelarangan eskpor bahan baku mentah.
Para investor pertambangan diwajibkan mengolah hasil tambang menjadi produk produk yang
memiliki nilai tambah.Mineral yang berupa bijih mangan dengan kadar rendah harus diproses
terlebih dahulu untuk ditingkatkan kadarnya.. Berdasarkan uraian diatas, perlu dilakukan
penelitian peningkatan kadar mangan (Mn) dari bijih mangan kadar rendah melalui proses
yang dapat diterapkan pada skala industri.Pada penelitian ini akan dilakukan peningkatan
kadar Mn dari bijih mangan rendah. Proses peningkatan kadar umumnya terdiri dari kegiatan
persiapan, penghancuran dan atau penggilingan, peningkatan konsentrasi dengan
menggunakan metode pencucian dan flotasi (pengapungan) yang diikuti dengan dewatering
dan penyaringan. Hasil dari proses ini adalah konsentrat bijih dan limbah dalam bentuk tailing
dan emisi debu.
2. Permasalahan
2.l. Bijih mangan (Mn) di Indonesia terutama kadar rendah ( 20%<Mn < 30%) sampai saat
ini belum dimanfaatkan, padahal jumlahnya diperkirakan lebih besar dari bijih kadar
tinggi ( Mn>40% )
2.2 Untuk memanfaatkan bijih mangan kadar rendah, langkah pertama setelah penambangan
adalah benefisiasi yaitu proses peningkatan kadar mineral dari suatu batuan yang
mengandung mineral berharga sehingga siap diolah dalam proses ekstraksi menjadi
mineral atau produk lain yang bernilai tambah tinggi. Teknologi proses benefisiasi
bukanlah teknologi canggih, namun belum banyak yang dapat menguasainya. Diperlukan
penguasaan teknologi proses benefisiasi melalui penelitian bijih (Mn) kadar rendah.
2.3 Unsur unsur pengotor yang ada didalam bijih Mn terutama adalah lempung, Silika dan
Besi , meningkatkan kadar Mn berarti memisahkan pengotor tersebut dari bijih Mangan.
2.4. Pemisahan dapat dilakukan dengan metoda fisika misalnya pencucian ,memanfaatkan
perbedaan kerapataan lempung, Silika, besi dan Mangan. Diperlukan pemilihan metoda
yang tepat sesuai dengan karakter bijih Mangan yang ada.
2.5. Pemisahan yang lebih baik akan diperoleh dengan metoda flotasi menggunakan proses
Seminar Material Metalurgi 2010
fisika-kimia. Diperlukan informasi metoda dan kondisi proses flotasi yang optimal agar
proses pemisahan ini dapat diterapkan di industri. Kondisi tersebut adalah ukuran
partikel bijih mangan, waktu flotasi, laju udara pengaduk,kecepatan pengadukan, serta
konsentrasi dan jenis bahan kimia yang digunakan.
tanah seperti Mg, Ca,Strontium, Ba, dan mineral logam dasar seperti Cu, Pb,Zn , Ag serta
mineral logam berat misalnya Fe, Mn, Ni dan Co. Dengan kondisi pH 6 – 8 mendekati netral
digunakan bahan kimia yang dikalaim lebih selektif dan lebih cepat reaksinya sehingga
flowsheet proses lebih pendek. Bahan kimia tersebut berasal dari senyawa
alkyl,alkylaryl,aralkyl,aryl, serta cyclo, cykloalkylbicarbonate sebagai promoter-collector.
Untuk Mn digunakan Dicyclohexyl-carbonate di-bicarbonate, 250 g perton. Bijih
Rhodochrosite Mn 18,4% dapat ditingkatkan menjadi Mn 53,3% dengan recovery 90,6%.
Iwasaki,I., Selective flocculation,magnetic separation and flotation of ores, US
Patent,No. 4,298,169 Nov. 3 ,1981. Intinya memberikan solusi untuk mineral kadar rendah
dengan cara flokulasi, pemisahan magnetis kemudian dilakukan flotasi. Untuk bahan yang
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 55
tidak mengandung unsur magnetis seperti besi,dapat ditambahkan unsur tersebut,kemudian
dilakukan flokulasi yang mengumpulkan bahan pengotor seperti silika, alumina dalam suatu
floc. Kemudian dilakukan pemisahan magnetis dan flotasi.
Pojar et.al., Production of intermediate grade manganese concentrate from low grade
manganiferous ores, US Patent No. 5,496,526 tanggal Mar. 5.1996. Relatif paten baru yang
memberikan solusi untuk bijih mangan yang mengandung besi. Tidak semua bijh besi
magnetis,oleh sebab itu dalam paten ini disarankan agar bijih campuran Mn, Fe dipanaskan
sampai temperatur tertentu ( misalnya 1315 derajat C ) sehingga menjadi Besi-mangan
spinnel, yang magnetic. Pemisahan magnetis dapat dilakukan sehingga diperoleh bijih
mangan dengan kandungan mangan lebih tinggi lalu dilakukan pelindian dengan caustic atau
melalui flotasi.Dari proses tersebut bahan awal dengan Fe 27,3 dan Mn 12,8 % serta Si 19,5
% dibenefisiasi menghasilkan Fe 32%, Mn18,5% dan Si 12,9 %.
Bijih Mn kadar rendah
Penghancuran
Washing
Drying
Persiapan Sampel
Flotation Cell
Konsentrat Pengotor
Analisa
Data Pembahasan dan kesimpulan
Seminar Material Metalurgi 2010
Kesimpulan
Hasil analisa maka akan dilakukan pembahasan lalu kemudian ditarik kesimpulan.
bukan logam.
Gambar l. Foto mikrograf sayatan polis contoh bongkah Mangan. Tampak Kriptomelan dan manganit (warna
terang) mengisi retakan retakan pada tubuh Kristal mineral bukan logam., membentuk urat ( tengah
dan kanan ). Kriptomelan terkunci dalam ruang antar Kristal mineral bukan logam ( kiri )
2. Flotasi.
Data percobaan 1
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 57
Jenis Frother : Pine Oil
pH : 8-10
Mn awal Percobaan 1 s/d 4 : 21,2%
Data percobaan 2
Jumlah umpan : 2000 gram
Seminar Material Metalurgi 2010
Data percobaan 3
Jumlah umpan : 2000 gram
Ukuran Partikel : 200 mesh
Jenis Frother : Pine Oil
pH : 8-10
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 59
Data percobaan 4
Jumlah umpan : 2000 gram
Ukuran Partikel : 100 mesh
Jenis Frother : Minyak Jarak
Data percobaan 5
Dalam percobaan ini umpan diambilkan dari hasil flotasi dengan kadar Mn total 32,46 % (
Percobaan ke-1 dengan jumlah frother 8 mL )
Jumlah umpan : 670 gram
Ukuran Partikel : 100 mesh
Jenis Frother : Minyak jarak
Kadar Mn Total Awal : 32,46
1 030. 8J 95 481
50
40
30
24,6 24,83 26,08 26,63 25,86
20
10
0
2 4 6 8 10
Volume Minyak Jarak (mL)
Gambar 4. Grafik kadar Mn terhadap volume frother ekstrak minyak jarak. Kadar Mn dalam bijih = 21%.
Gambar 5. Hubungan volume frother dengan kadar Mn dalam produk flotasi untuk ukuran bijih 100 mesh
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 61
Gambar 6. Hubungan volume frother dengan kadar Mn dalam produk flotasi untuk ukuran bijih 150 mesh.
D. PEMBAHASAN
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disampaikan hal hal sebagai berikut yang
tidak semuanya sesuai dengan hipotesa kerja yang dirancang dalam acuan kerja.
Untuk tipe bijih A dari Way Kanan, ternyata pemisahannya sangat mudah. Hanya dengan
pencucian biasa secara manual dalam ember plastik atau dengan sel flotasi yang
difungsikan sebagai alat pencuci akan didapatkan konsentrat dengan kadar Mn 42%.
(semula 19 – 21 %). Pengotor utamanya adalah lempung yang mudah larut dalam air
dengan kerapatan yang berbeda jauh dengan Mn sehingga mudah terpisah. Bijih tipe A ini
selanjutnya dapat segera dicoba dengan alat pencuci yang kontinyu sebagaimana alat
pencuci bijih besi yang telah dioperasikan dan didaftarkan paten nya.
Untuk type B, bijih mangan dari Pesawaran dan Tanggamus, tidah semudah yang
dibayangkan. Hasil Foto mineralografi menunjukkan bahwa mangan terperangkap disela
sela senyawa non logam (warna putih dalam foto). Untuk memisahkannya perlu dilakukan
penggilingan sampai 100 mesh dan selanjutnya flotasi. Sebagian pengotor masih terikat
didalam pengotor dan bahan flotasi yang kurang tepat memberikan hasil yang belum
optimal. Dalam literature digunakan colektor Asam Oleat, Linoleat dan sejenisnya. Namun
karena dipasaran bahan bahan tersebut sulit digunakan, sementara dipakai Xylenol yang
lebih basa dan tersedia dipasar. Hasil tertinggi yang diperolehn adalah 34 % Mn dengan
flotasi dua tahap yaitun tahap satu menggunakan xylenol diperoleh Mn 32% selanjutnya
digunakan ekstrak minyak jarak dengan umpan 32% Mn diperoleh konsentrat Mn 34%.
Dengan demikian pencapaian pada tahap ini masih sebesar 85% dari target semula sebesar
40% Mn. Namun untuk tipe A, telah memenuhi target 40% Mn dengan diperolehnya
konsentrat hasil pencucian dengan Mn 42%.
Seminar Material Metalurgi 2010
Peranan bahan kimia flotasi sangat penting dan disini Indonesia masih tergantung pada
bahan bahan impor yang umumnya terbuat dari sintesa hydrocarbon berbasis minyak atau
gas alam. Karena industri kimia jenis ini belum berkembang di tanah air maka dalam
penelitian ini dicari bahan kimia yang berasal dari tanaman yang ada di tanah air.
Terpilihlah jarak pagar yang tidak edible dan senyawa tersebut merupakan pengotor atau
hasil samping dalam konversi minyak jarak menjadi bio diesel. Ekstrak tersebut dari
literature diperkirakan mengandung oleat dan linoleat serta palmitat . Ekstrak ini telah
berhasil diperoleh dalam percobaan ini dan dicoba untuk flotasi. Hasilnya menunjukkan
bahwa ekstrak tersebut dapat digunakan walaupun belum optimal . Dengan bahan ini
diperoleh hasil Mn 26 % dari bahan baku Mn 20%.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini dibiayai dari program insentif peneliti dan perekayasa Kementerian
Pendidikan Republik Indonesia dilaksanakan di LIPI dengan koordinasi Kantor menteri
Negara Riset dan Teknologi RI. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
terkait termasuk teknisi dan administrasi yang telah berperan menyelesaikan kegiatan ini.
PUSTAKA
1. Mishra P.P , Mohapatra, B.K., and Mahanta, K., Upgradation of low-Grade Siliceous
Manganese Ore from Bonai-Keonjhar Belt, Orissa, India, Journal of Minerals & Materials
Characterization & Engineering,. Vol 8, No. 1, pp 47-56, 2009
2. Petrovich.,V., Froth Flotation method for recovery of minerals, US Patent
no.3,902,602sep. 2,1975
3. Petrovich.,V., Froth Flotation of ores using Hydrocarbyl Bicarbonates, US Patent no.
4,159,943 jul. 3, 1979
4. Iwasaki,I., Selective flocculation,magnetic separation and flotation of ores, US Patent,No.
4,298,169 Nov. 3 ,1981
5. Pojar et.al., Production of intermediate grade manganese concentrate from low grade
manganiferous ores, US Patent No. 5,496,526 tanggal Mar. 5.1996
6. De Vaney, F.D., Clemmer,J.B., Process for recovering manganese from ore , US patent
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 63
Seminar Material Metalurgi 2010
64 | ISSN : 2085 – 0492
PENURUNAN KANDUNGAN Fe PADA FELDSPAR
LODOYO DAN CINA
Intisari
Feldspar merupakan bahan baku keramik yang banyak terdapat dialam, dalam penggunaannya perlu
diolah terlebih dahulu sehingga mempunyai kualitas standar. Oleh karena itu perlu dilakukan penurunan
kandungan Fe. Pada penelitian ini dilakukan penurunan kandungan Fe2O3 feldspar asal Lodoyo dan Cina.
Metoda yang digunakan adalah perendaman dengan HCl dan metoda dekantasi. Pada metoda perendaman
Feldspar direndam dengan HCl teknis, dengan waktu peredaman dilakukan secara variasi yaitu 6 jam, 12 jam,
24 jam dan 120 jam. Feldspar hasil perendaman dianalisa menggunakan AAS. Hasilnya adalah pada feldspar
Lodoyo kandungan Fe2O3 terendah 0,16 % sedang pada feldspar Cina kandungan Fe2O3 terendah adalah 0,15
% dengan waktu perendaman 120 jam. Pada metoda dekantasi, feldspar dibuat slurry, diaduk dengan magnetik
stirrer, kemudian diambil bagian atasnya, oksida besi dan logam berat akan mengendap dibagian bawah karena
gaya sentrifugal. Hasilnya dianalisa menggunakan AAS. Hasilnya pada feldspar Lodoyo kadar Fe2O3 adalah
0,90 % sedang pada feldspar Cina 0, 27 % dengan waktu pengadukan 30 menit. Dari hasil tersebut dapat
diketahui bahwa penurunaan kandungan Fe2O3 lebih baik dengan cara perendaman dengan HCl dan feldspar
Cina mempunyai kadar Fe2O3 lebih rendah dibanding feldspar Lodoyo yang memenuhi persyaratan untuk
industri keramik.
Abstract
Feldspar is a lot of ceramic raw materials are in the nature, in its use needs to be processed first, so
has the quality standards. Therefore it is necessary to decrease Fe content. In this research, the decreased Fe2O3
content in feldspar Lodoyo and Chinese. The methods used are soaking with HCl and decantation methods. In
the soaking method Feldspar soaked with technical HCl, with variations time done 6 hours, 12 hours, 24 hours
and 120 hours. The products were analyzed using AAS. The result shown that the Fe2O3 content of feldspar
Lodoyo 0.16% was the lowest in China feldspar low Fe2O3 content is 0.15% with 120 hours of soaking time.
In the method of decantation, feldspar made slurry, stirred with a magnetic stirrer, then captured the top, iron
oxides and heavy metals will settle at the bottom because of centrifugal force. Flotation results were analyzed
using AAS. The results Fe2O3 content on feldspar Lodoyo is 0.90% while in feldspar China 0, 27% with 30
minutes stirring time. From these results it is known that better decreasing of Fe2O3 content by soaking with HCl
and feldspar China has Fe2O3 content is lower than feldspar Lodoyo who qualify for the ceramic industry.
PENDAHULUAN
Feldspar adalah suatu kelompok mineral alumina silikat yang mengandung satu atau
lebih kation basa dari potas (K+), soda (Na+), dan kapur (Ca2+). Pada dasarnya feldspar
mempunyai jaringan struktur tiga dimensi yang disebut tektosilikat dan mempunyai empat
atom oksigen yang membentuk SiO4 tetahedral. Kemudian silikat ini akan mengalami
perubahan kimia oleh unsur aluminium yang membentuk aluminium silikat. Sifat fisik dan
komposisi kimia feldspar[1,5]:
Kekerasan : 6.0 – 6.5
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 65
penelitian ini akan dilakukan penurunan kandungan Fe2O3 pada feldspar dengan metoda
perendaman dengan HCl dan penurunan kandungan Fe2O3 dengan metoda dekantasi.
Metoda perendaman menggunakan HCl, karena pada saat perendaman terjadi reaksi
oksida besi dengan HCl, sehingga terlepas dari feldspar berdasar reaksi[3]:
Fe2O3 + 6 HCl → 2 FeCl3 + 3 H2O (1)
Metoda dekantasi adalah pengolahan feldspar dengan cara pemisahan partikel mineral
yang halus dari yang agak kasar dengan memanfaatkan sifat fisik dan kimia bidang batas
antara fase padat (mineral), fase cair dan gas, sehingga diperoleh konsetrat (berupa
buih/busa). Proses pengolahan ini dilakukan secara bertahap yaitu dengan menghilangkan
pengotor besi dengan magnetic separator atau dengan pelarut HCl. Proses ini dapat
memisahkan antara feldspar dengan kwarsa, mika, oksida besi secara sempurna dalam proses
pemisahan. Penambahan zat kimia pada proses ini adalah untuk menghasilkan busa dan untuk
membuat mineral mineral bersifat hidrofobik, yaitu mineral yang mudah bergabung dengan
udara. Persyaratan untuk industri keramik berdasarkan Standar Industri Indonesia (SII) No.
1145-84 meliputi feldspar untuk pembuatan badan keramik halus dapat dilihat pada Tabel 2[2].
METODOLOGI[6]
Feldspar yang dipakai pada penelitian ini adalah feldspar yang berasal dari Lodoyo
dan feldspar dari Cina. Feldspar dihaluskan dengan mortal kemudian diayak hingga lolos
ayakan 100 mesh. Metoda yang digunakan pada penelitian ini adalah:
Metoda perendaman.
Feldspar yang sudah halus direndam dalam larutan HCl teknis karena murah harganya
mudah didapat dan dapat bereaksi dengan Fe. Waktu perendaman dibuat bervariasi yaitu 6
jam, 12 jam, 24 jam dan 120 jam. Kemudian feldspar dicuci bersih, dikeringkan dalam oven
dan dianalisa dengan AAS.
Metoda dekantasi.
Dalam metoda dekantasi feldspar dibuat slurry (bubur) dengan mencampurkan air.
Slurry diaduk dengan magnetic stirrer dan diambil sampel bagian atas setelah pengadukan
dibuat bervariasi 10 menit, 20 menit dan 30 menit. Kemudian sampel dikeringkan dalam
oven, dan dianalisa dengan AAS.
Prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Analisa AAS
Gambar 1. Diagram alir prosedur percobaan.
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 67
perendaman nampak pengurangan kandungan Fe2O3 pada feldspar cukup besar.
Berkurangnya kandungan Fe2O3 karena bereaksi dengan HCl. Dengan berkurangnya Fe2O3
maka prosentase dari SiO2, CaO, K2O, MgO, Al2O3 dan Na2O berubah. Prosentase SiO2
bertambah besar, untuk prosentase Al2O3 berkurang.
Tabel 3. Hasil analisa komposisi awal feldspar
Bila diGambarkan dalam grafik kandungan Fe2O3 setelah mengalami proses perendaman,
ditampilkan pada Gambar 2 dan 3. Hasil analisa feldspar dengan metoda dekantasi
ditampilkan dalam Tabel 6 dan 7.
Tabel 6. Hasil analisa komposisi feldspar Lodoyo setelah proses dekantasi.
Waktu Komposisi (%)
(menit) Al2O3 CaO Fe2O3 K2O MgO SiO2 Na2O
10 12,3683 0,0817 0,9621 7,3464 0,1075 76,9186 2,1272
20 9,9989 0,0751 0,9154 7,3433 0,1004 79,5155 1,9958
30 11,0286 0,0731 0,9036 7,2647 0,0919 78,0870 2,4737
Tabel 7. Hasil analisa komposisi feldspar Cina setelah proses dekantasi.
Waktu Komposisi (%)
(menit) Al2O3 CaO Fe2O3 K2O MgO SiO2 Na2O
Seminar Material Metalurgi 2010
Pada proses dekantasi berkurangnya Fe2O3 pada feldspar Lodoyo maupun Cina tidak
sebesar pada proses perendaman dengan HCl. Pada proses dekantasi Fe2O3 dan material berat
lainnya mengendap sangat kecil prosentasenya. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui
bahwa kemampuan bereaksi dari HCl dengan Fe2O3 lebih besar dibanding dengan metoda
dekantasi. Berkurangnya kandungan Fe2O3 sangat kecil meskipun waktu pengadukan
bertambah.
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0 5 10 15 20 25 30
w a ktu pe re nda m a n (ja m )
Gambar 3, kurva komposisi Fe2O3 terhadap waktu perendaman pada feldspar Cina
1
0.98
K om pos is i F 2O3
0.96
0.94
0.92
0.9
0.88
0 5 10 15 20 25 30 35
Wa ktu pe ng a duka n
Gambar 4, kurva komposisi Fe2O3 terhadap waktu pengadukan pada feldspar Lodoyo
Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 5, kurva komposisi Fe2O3 terhadap waktu pengadukan pada feldspar Cina.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 69
Dari data diatas menunjukkan bahwa feldspar Lodoyo :
Cukup baik dibanding feldspar daerah lain karena mempunyai kandungan SiO2 yang besar.
Kandungan K2O dan Al2O3 cukup tinggi, CaO lebih rendah dibanding dari daerah lain.
Dengan metoda perendaman dengan HCl ternyata selain dapat menurunkan
kandungan Fe2O3 dan CaO, kandungan SiO2 tinggi, sehingga meningkatkan kwalitas feldspar
asal Lodoyo.
Dari Gambar diatas dapat dilihat bahwa feldspar setelah mengalami perendaman
kandungan Fe2O3 menurun dari mula mula 0,9769 % menjadi 0,1815 %. Dengan pertambahan
waktu perendaman tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap pengurangan kandungan
Fe2O3 pada perendaman 24 jam maupun 120 jam. Pada kondisi ini tidak ada lagi Fe yang
bereaksi dengan HCl atau Cl didalam HCl sudah bereaksi semua dengan HCl. Kandungan
Fe2O3 maksimum ada didalam dalam feldspar setelah mengalami perendaman adalah 0,16 %.
Pada metoda dekantasi, penurunan kandungan Fe2O3 terjadi secara pelan. Pada
pengadukan 30 menit kandungan Fe2O3 sekitar 0,9036 %. Dengan metoda dekantasi
penurunan Fe2O3 sangat kecil. Sehingga metoda ini tidak efektif digunakan untuk
menurunkan kandungan Fe2O3 dari feldspar karena Fe2O3 masih besar. Maka penurunan
kadar Fe2O3 dari feldspar akan efektif dan efisien menggunakan metoda perendaman
menggunakan HCl teknis. Feldspar asal Lodoyo cocok dipergunakan untuk industri keramik
halus dan gelas karena memenuhi SII.
KESIMPULAN
1. Kandungan Fe2O3 pada feldspar Cina lebih rendah dibanding feldspar Lodoyo.
2. Pada penurunan kadar Fe2O3 yang dilakukan dengan metoda perendaman dan dekantasi
maka metoda perendaman dengan HCl lebih efektif dan lebih besar turun kandungan
Fe2O3.
3. Hasil penurunan kandungan Fe2O3 pada feldspar Lodoyo dengan perendaman HCl adalah
0,16 %, sedang pada feldspar Cina 0,15 %. Dengan metoda dekantasi Fe2O3 feldspar
Lodoyo 0,90% sedang feldspar Cina 0,27 %.
SARAN
Pada penelitian penurunan kandungan Fe2O3 dari feldspar alam, perlu dilakukan kajian
ekonomi untuk masing masing proses. Dan perlu pula dilakukan penelitian feldspar dari
daerah yang lain di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1. D. Callister William, Materials Science and Engeenering an Introduction. Sixth Edition,
John Wiley & Sons, Inc: Singapore, (2003).
2. YVM Hartono, Pemakaian dan pengembangan Bahan Baku Dalam Industri Keramik,
Informasi Teknologi Keramik dan Gelas, Balai Besar Industri Keramik, No 35 Th IX
Desember 1987, ISSN :0125.9237.
3. Cutler J. Cleveland , Mineral Information Institute (Content Partner); Sidney Draggan
(Topic Editor). 2008. "Feldspar." In: Encyclopedia of Earth. Eds. (Washington, D.C.:
Environmental Information Coalition, National Council for Science and the Environment).
Seminar Material Metalurgi 2010
[First published in the Encyclopedia of Earth January 21, 2008; Last revised January 22,
2008; Retrieved November 24, 2009].
4. Binsri, Uun, Bahan Galian Industri: Feldspar, Dirjen Pertambangan Umum, Pusat
Pengembangan Teknologi Mineral, 1991.
5. Ceramics and Glasses. Volume 4. Engineering Material Hand Book
6. Yet Ming Chiang, Dunbar Birnie and W.David Kingery. : Physical Ceramics Principles for
Ceramic Science end Engineering Wiley the MIT Series in Materials end engineering.
Abstract
This work is to report a laboratory investigation on the influence of particle sizes on reduction behavior
of lateritic iron ore with anthracite coal under isothermal condition. The main minerals content of investigated
ore were Goethite : 62.8%, Hematite : 18.3% and Magnetite (Fe3O4) : 6.2% and other oxide minerals like
Alumina : 6.6%, Silica : 4.5% , Chromate : 3.3% and others. The ore and anthracite coal of -100, -200 and -
500 μm size with mol ratio between iron oxide and carbon in the antrachite of 1:1.88 were mixed, pressed into
a composite of 12 mm diameter and 20 mm long and heated isothermally at four different temperatures. The
metallization is determined by the reduction temperature and time. Mostly, effective reduction temperatures were
found to be 1100 0C resulted in the highest value of almost 94 %. The particle size seems has no significant
influence on the metallization value at this reduction temperature. However, particle sizes influenced
significantly the metallization for reduction temperatures less than 11000C from which values of metallization
increased with decreasing in particle sizes. Particle size determined the reducibility, reducibility decreased with
increasing particle size, decreasing reducibility will decrease the metallization achieved.
INTRODUCTION
Laterites are the product of intensive and long lasting tropical rock weathering which
intensified by high rainfall and elevated temperatures. One of the lateritic ore species is
lateritic iron ore which has a significant amount in the world but the Fe content is < 66% or
less than minimum standard for current commercial iron ore content, (Freyssinet, et.al.,
2005). However, the lateritic iron ore can in principle be utilized as raw material for iron and
steel making industry even with its low Fe content by a reduction with a suitable technology
e.g. rotary kiln or lateritic iron ore – carbon composite technology like ITmk3, oxy cup even
the utilization of lateritic iron ore for those technology is under development.
The main mineral content of latritic iron ore is goethite, FeO(OH), the others are
haematite, Fe2O3, magnetite, Fe3O4 and other oxide like alumina, Al2O3, etc. When ore is
heated, dehydroxilation of goethite takes place at about 200 – 4000C and FeO(OH) is
transformed to Fe2O3 (O’Connors et.al, 2006), means the Fe content will be increased due to
increasing of Fe2O3 content.
Reduction kinetics in iron ore reduction deal with the rate at which iron oxides are
converted to metallic iron by the removal of oxygen. It is important if the process is carried
out under the iron melting point like in ITmk3, Direct Reduction process, because the rate at
Seminar Material Metalurgi 2010
which the ore can be reduced determines the production rate. In turn the production rate
largely determines its economic feasibility and its competitiveness with other process. It is
well known that the rate of chemical reaction increases as the temperature increases.
The iron oxides reduction reactions consist of several series of very complex reaction
or steps before the conversion is completed, the slowest steps in the process determine the
overall reaction rate and is referred as the rate controlling factor. The reactions can be
occurred if the reductor can be reached at the iron oxides surface and the products of the
reaction must get away. The adsorption of reductor at the interface between iron oxides and
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 71
the reductor may interfere with the reduction rate The movement of reactants and products in
this interface area are affected by several factors, any one of which might be rate controlling.
Some of the rate determining steps in ore reduction is associated with the nature of the
reaction system, contact between the reacting phases and the nature of the ore. The nature of
the ore determines the ease of oxygen removing form the iron oxides by the redactor, this ore
property is often called as the reducibility. The reducibility is determined by the particle size,
shape, particle size distribution density, porosity, crystal structure and composition, all of
these items influence the relative amount of the contact area of the iron oxides exposed to the
reductors. The reducibility of an iron ore can be determined experimentally in many ways,
one of them is measuring of the time require to reach an arbitrarily chosen reduction degree,
some people use 90% and others use 50% reduction degree, (Ross, H.U., et.al.,1980). It is can
be said that the reducibility is the time required to reach a certain reduction degree, in
industrial case 90% figure is often used. The reducibility parameter is commonly applied in
the iron making industry
In order to proceed the reduction reactions, the reductants have to come in contact
with the surface of the iron oxides, the reductants have to diffuse inwards and the reduction
products have to get away from the interface layer.
Reduction of iron oxide according to Fruehan consist of two stages, (Prakash, 1996),
and the reduction mechanism can be describe either by using two different k value or by
application of separate models to the acceleratory and decay region of the sigmoid curve,
(Brown, 1997).
In this paper, some results in kinetic studies of laterite-antracite composites reduction
process under isothermal heating is reported. Metalization which is defined as a ratio between
reduced iron and total iron in the ore. A quantitative analyses by X-ray diffractometer (XRD)
was employed in order to derive fraction of phases during reduction processing.
EXPERIMENTAL METHOD
The sample was lateritic iron ore from Sebuku island. Phase identification by XRD to
the ore confirmed that beside goethite, the other minerals were quartz (SiO2), hematite
(Fe2O3), Nickel Oxide (NiO) and Chromite (Cr2O3), (Makahanap, et.al., 2009) . The ore and
anthracite coal as reducing agent with mol ratio between iron oxide and carbon in the
anthracite of 1:1.88 were co-milled to -100, -200 and -500 μm by a ball mill apparatus. The
milled mixture powders were pressed into a composite of 2 cm diameter and 3 cm long. The
composite was then heated isothermally at three different temperatures 900, 1000 and 1100°C
for various reduction time from 15 to 90 minutes of each reduction temperature. The heating
was carried out in an auto glass bead furnace with normal atmosphere or without inert gas. All
of the reduced materials were analyzed with XRD and the result was analyzed quantitatively
with GSAS (General Structure Analysis System) software. The antrachite composition is
Fixed Carbon : 85.57%; Ash : 10.88%; Lost of ignition (LoI) : 89.12%; Volatile matter :
5.5%; Water content : 1.84%.
temperatures for samples with -100, -200 and -500 μm particle sizes. The curves for each
temperature represent kinetics of metallization during reduction period. It is once again
indicating a two stages reduction kinetic as reported previously, [Makahanap, et.al., 2010]. In
the first stage of reduction period in which metallization is controlled by a nucleation and
growth a relatively lower metallization rate occurs at temperatures 800 and 900°C. This is
somewhat different with that of temperatures 1000 and 1100 °C in which the metallization
progressed with much faster rate. Reduction kinetics of the second stage is controlled by a
diffusion of reduction agent and progress of metallization takes place in a much lower rates.
100 100
M e talliza tio n (% )
80
Metallization (%)
80
60 60
1000 1000
800 40
40 900
900
20 20
800
0
0
0 15 30 45 60 75 90 105 0 15 30 45 60 75 90 105
80 1100
60 1000
40
900
20
0
0 15 30 45 60 75 90 105
Reduction time (Minutes)
C
Figure 1. Correlation between metallization, temperature and reduction time. A.100 μm. B. 200 μm. C. 500 μm
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 73
Figure 3, shows the influence of particle size in more detail figure compare to Figure
2. Figure 3 shows the influence of particle size on the metallization at the reduction
temperature 900°C, 1000°C and 1100°C for reduction time 90 minutes. It is shown that the
particle size influenced the metallization significantly at the reduction temperature 900°C and
1000°C for 90 minutes reduction time, where the metallization is decreased with increasing
particle size, due to increasing in specific surface area. It means that contact surface between
the ore particles and the reductor is increased with reducing particle size, higher contact
surface will enhance the reduction reaction. However, particle size has relatively has no
significance influence on the metallization and reducibility for reduction temperature 1100°C
and the reduction time 90 minutes or in the second stage where the metallization proceed
slower compare to the first stage.
80 100
M e t a lliz a t io n ( % )
100 mikron
M e d ta lliza tio n 9 5 0
60
100 mikron 80
60
200 mikron
40 200 mikron 40
500 mikron 500 mikron
20 20
0
0
0 15 30 45 60 75 90 105 0 15 30 45 60 75 90 105
Reduction time (minutes) Reduction time (minutes)
A B
120
100 mikron
100
Metallization (%)
80
500 mikron
60
40
200 mikron
20
0
0 15 30 45 60 75 90 105
Reduction time (Minutes)
C
Figure 2. Influence of particle size on the metallization for 900°C, 1000°C and 1100°C . A. Temperature
reduction 900°C. B. Temperature reduction 1000°C. C. Temperature reduction 1100°C.
120
100
Metallization (%)
1100 C, 90 Mnt
80
Seminar Material Metalurgi 2010
60
1000 C, 90 Mnt
40
20 900 C, 90 Mnt
0
0 200 400 600
Particle size (micron)
Figure 3. Correlation between particle size and metallization at the reduction temperature 900°C, 1000°C and
1100°C
CONCLUSION
Lateritic iron ore can be reduced by anthracite, the metallization achieved was up to
94%, means the reduced lateritic iron ore from metallization point of view can fulfill the
standard metallization minimum for steel making raw material. Particle size determine the
lateritic iron ore reduction achievement, in this case the metallization and reducibility.
Metallization and reducibility decrease with increasing particle size due to decreasing the
contact surface area between iron ore and reductant particle, However at the reduction
temperature 1100°C, the reducibility is not sensitive to the reduction temperature. Particle size
is one of the controlling factor in lateritic iron ore.
ACKNOWLEDGEMENT
This research work was carried out at chemical laboratory of PT KRAKATAU
STEEL, Cilegon and Postgraduate Program of Materials Science laboratory, University of
Indonesia. The support and facility provided by both institutions are gratefully acknowledged.
The authors wish also thanks to PT KRAKATAU STEEL management where the first author
is being employed as Assistant to HRD Director, formerly Process And Product Research
And Development Manager for providing facilities for experimental work.
REFERENCES
[1] Dutta, S.K., Ghosh, A., “Kinetics of Gaseous Reduction of Iron Ore Fines” ISIJ
International, Vol. 33 (1993), No 11, p. 1168 – 173.
[2] Freyssinet, P.H., Butt, C.R.M., Morris, R.C., Piantone, F., “Ore-Forming Process
Realted to Lateritic weathering”, Society of Economic Geologist, Inc. Economic
Geology 100th Anniversary Volume, (2005), pp. 681-722
[3] Makahanap, B.D., Manaf, A., ”Reduction Kinetic Characteristic of Lateritic Iron
Ore”, Quality in Research Seminar 3-6 August 2009, Seminar Proceeding, E2-S4-5.
[4] Ross, H.U., McAdams, D., Marshall, T., “Reaction Kinetics”, Direct Reduced Iron,
Technology and Economics of Production and Use”, Iron & Steel Society, (1980), pp.26-
34.
[5] Prakash, S., “Reduction and sintering of fluxed iron ore pellets – a comprehensive
review”, The Journal of The South African Institute of Mining and Metallurgy”,
January/February 1996,pp.3 – 16.
[6] Yang, J., Mori, T., Kuwabara, M., ”Mechanism of Carbothermic Reduction of
Hematite – Carbon Composite Pellets”, ISIJ International, Vol. 47 (2007), No. 10, pp
1394 – 1400.
[7] O’Connors, F., Cheung, W.H, Valix, M., “Reduction Roasting of Limonite Ores: Effect
of Dehydroxylation”, International Journal Of Mineral Processing, 80 (2006) p.88 – 99
[O’Connors, 2006].
[8] Makahanap, B.D., Manaf, A., Anis,M., ”Reduction Kinetic Characteristic of
Seminar Material Metalurgi 2010
Lateritic Iron Ore”, 2010 SEAISI Conference & Exhibition, 17 – 20 May 2010, Ho Chi
Minh City, Vietnam, Seminar Proceeding, 5A-5.
[9] Brown, M.E., “The Prout – Tompkins rate equation in solid-state kinetics”,
Thermochemica Acta 300 (1997) p. 93 – 106.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 75
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstract
Comparison of Barium Titanate (BT) synthesized by solid state, hydrothermal and sol gel method. BT
has been produced by tree different methods namely solid sate, hydrothermal and sol gel method. One of the
research field in material science that can be done is to optimize among the different processes in synthesizing a
material such as BT. This work aims to select the best process based on the criteria of least energy consumption
and best product result. Based on the previous works the use of solid state reaction is most simple process to
have BT. However, it needs high temperature process. On the other hand hydrothermal and sol gel method need
lower temperature process but they are more complicated. To have BT produced by the tree methods, raw
materials are needed. The raw materials that were used for the first method were barium carbonate (BaCO3)
and titanium oxide (TiO2), for the second method were Ba(OH)2, de-mineral water, water, TiO2, ethanol,
format acid, and for the third method were stearic acid, Ba(OH)2, TiO2, and aceton. After being processed with
the tree different procedures, the results were analyzed by using X-ray diffraction (XRD) machine. For the solid
state reaction, the optimum sintering process was 900°C and the sintering time was 5 hours. In contrast with
this, to produce BT with hydrothermal process the temperature as high as 300°C was needed. On the other hand
for the sol gel process, the temperature of the process was the same with solid state reaction and also with the
same sintering time. Based on the XRD diffraction pattern the best result is obtained with solid state reaction
where no contamination is available.
Abstrak
Telah dilakukan eksperimen untuk membandingkan sintesa bahan piezoelektrik barium titanat (BT)
dengan menggunakan tiga metoda yakni metoda sintering, hidrotermal, dan sol-gel. Ini merupakan eksperimen
untuk membandingkan atau mencari metoda yang paling optimum kualitas BT yang dihasilkan dari ketiga
metoda tersebut. Metoda yang paling sederhana adalah sintering namun memerlukan suhu tinggi. Kedua
metoda yang lain tidak memerlukan suhu yang tinggi namun prosesnya lebih rumit. Untuk mendapatkan BT
diperlukan bahan dasar dan untuk ketiga metoda terebut bahan dasarnya berbeda. Bahan dasar untuk metoda
pertama adalah barium karbonat (BaCO3) dan titanium oksida (TiO2), untuk metoda yang kedua adalah
Ba(OH)2, air de-mineral, air, TiO2, ethanol, asam format , dan metoda ketiga memerlukan bahan dasar asam
stearat, Ba(OH)2, TiO2, and aseton. Setelah proses dilakukan maka hasilnya dianalisa dengan menggunakan
XRD. Untuk metoda sintering suhu optimumnya adalah 900°C dan waktu sintering 5 jam. Sedangkan untuk
hidrotermal adalah 300°C . Untuk metoda sol gel ternyata juga memerlukan suhu yang cukup tinggi
sebagaimana metoda sintering. Dari hasil analisa ternyata bahwa BT yang terbaik diperoleh dari metoda
sintering karena tidak ada kontaminan.
Key words : Barium titanate (BT), solid state reaction, hydrothermal process, sol gel process.
I. Introduction
The piezoelectric effect was discovered for the first time in the 18th century. After that
the materials are becoming very famous smart materials for converting mechanical energy
Seminar Material Metalurgi 2010
into electric energy or vice verse. Natural materials such as quartz, tourmaline, Rochelle salt,
etc. exhibit piezo effect but their piezo effect is very small. In order to improve the effect
some polycrystalline ferroelectric ceramic materials such as barium titanate and lead
zirconate titanate (PZT) with improved properties have been developed. These ferroelectric
ceramics become piezoelectric when they are poled by using high electric field namely in the
order of 100 kV/cm. PZT ceramics are available in many variations and are still the most
widely used materials for actuator applications today. At temperatures below the Curie
temperature, PZT crystallites exhibit tetragonal or rhombohedric structure. Due to their
permanent electrical and mechanical asymmetry, these types of unit cells exhibit spontaneous
polarization and deformation. Groups of unit cells with the same polarization and deformation
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 77
orientation are called domains. Because of the random distribution of the domain orientations
in the ceramic material, a ferroelectric poling process is required to obtain any macroscopic
anisotropy and the associated piezoelectric properties.
The pole piezoelectric materials can be used as a sensor or an actuator. When a
piezoelectric material subjects to a pressure its dimension changes and electrical charges are
generated. This phenomena is called as a direct piezoelectric effect. The converse
piezoelectric effect is the change of strain or stress in the material due to an applied electric
field. They are used in various applications such as in micro motor, imaging in non-
destructive testing, sonochemistry, sonic bloom, ink injector, vibration damping etc. There
has been increased interest in researching the material synthesis as well as their applications
[1]. The applications, however, are restricted due to their brittleness and their atomic structure
which is sensitive to the temperature change.
The piezoelectric materials are most sensitive to the change of temperature especially
in their Currie temperature. In this temperature, their spontaneous polarization disappears due
to the change of their crystal structure namely from tetragonal to simple cubic structure. To
solve this problem it is necessary to increase the currie temperature by doping with other
elements such as Pt, Mn, Si etc [2].
Piezoelectric materials can be made by using at least two methods i.e. a powder
metallurgy (dry method) and sol gel method (wet method). The first method is relatively
simple so that it will be adopted in this experiment.
O
Ba
Ti
(a) (b)
Figure 1. Barium titanate BaTiO3 (a) Simple cubic (above currie temperature) (b) Tetragonal (below currie
temperature).
As an example, the material is barium titanate, BaTiO3. The large A cations are
represented by Ba2+ in the corners of the cubic cell, smaller cation B is Ti4+ cation in the body
Seminar Material Metalurgi 2010
center of the cell, and O is O2- anions which are located on the face centers.
III. Experimental
3.1. Synthesis of Barium titanate (BaTiO3) by sintering process
Figure 2 shows the flow chart for barium titanate powder preparation. The raw
materials were barium carbonate (BaCO3) and titanium oxide (TiO2). They were weighted
stochiometrically, mixed, and ground manually by using a mortar for 4 hours.
Raw materials are weighted
stochiometrically
Raw materials are mixed,
ground within 4 hours
Ground materials are
pressed into pellets
Te pellets are calcined at
300°C for an hours
The pellets are sintered at
950°C for 5 hours
Finish
In order to have the solution of Ba(OH)2 and TiO2 with the ratio of Ba/Ti is one,
2.4954 gram of solid Ba(OH)2 was solved in the demineral water and stirred and 3.3361 gram
of solid Ti02 was solved in ethanol and stirred. Both solutions were stirred using a magnetic
stirrer for about 15 hours. The two slutions were then mixed and stirred using the same stirrer
for 24 hours in the room temperature.
The next process was the synthesis of BaTiO3. The mixed solution was poured into a
stainless steel reactor and closed. After that the reactor was put in a furnace which was set at
temperature of 240°C and 300°C for 2, 4, and 6 hours.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 79
After being heated the solution was filtered using funnel buchner and Ba(OH)2 was
washed out using formic acid. After that, the filtered solution was heated at a constant
temperature of 100°C for 12 hours. The white powder, which was assumed as BaTiO3, was
characterized using XRD and SEM.
Figure 3. X-ray diffraction patterns of mixed barium carbonate (BaCO3) and titanium oxide (TiO2) at the
different sintering temperature.
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 81
The rest of the barium carbonate (BaCO3) can be easily washed by using natrium carbonate
(NaCO3) and this process has been done. On the other hand, titanium oxide (TiO2) can not be
chemically washed. So that it still exists in the result of the process and can be seen clearly in
the X-ray diffraction pattern (Figure 5).
4.1.3 Synthesis of barium titanate by sol gel method
Figure 6. shows the occurrence of phase transformation of material structures that are
influenced by temperature. At a temperature of 30 ° C is not treated as calcining and sintering
(green color. This indicates that in this stage the reaction is only a process of homogenization
of the material. At a temperature of 800 ° C to 1000 ° C shows that there are some peaks at 2θ
angles between 10 till 80 ° intervals. XRD diffraction pattern of barium titanate which refers
to the standard JCPDS Hannawalt crystal structure is shown in Table 1.
(%)
1 31.6324 100
2 28.3907 42.25
3 56.2517 37.79
4 38.963 34.3
5 45.3037 31.66
From the data obtained, the diffraction pattern which approximates the pattern is
Hannawalt JCPDS diffraction pattern which occurs at a temperature of 800 ° C although there
appear peaks of impurities. Seen at an angle 2θ around 25.3675 emerged peak intensity is
high (29.35%). The peak which should appear as in the standard pattern Hannawalt is at an
angle 2θ around 22 °. Peak pattern that emerged was the culmination of TiO2 impurities.
As for the heating 900 ° C and 1000 ° C than the peak of the pattern of impurities
appear around 25 °, the diffraction patterns are emerging at an angle 2θ around 28 ° with the
intensity of the peak at 900 ° C warming of about 42.25% and the heating 1000 ° C is 34.1%.
These peaks is the peak of the diffraction pattern of Ba (OH)2.
V. Conclusions
Barium titanate piezoelectric materials have been synthesized using three different
methods namely powder, hydrothermal, and sol-gel method. The raw materials that were used
for the first method were barium carbonate (BaCO3) and titanium oxide (TiO2), for the
second method were Ba(OH)2, de-mineral water, water, TiO2, ethanol, format acid, and for
the third method were stearic acid, Ba(OH)2, TiO2, and aceton. After being processed with
the tree different procedures, the results were analyzed by using X-ray diffraction (XRD)
machine. For the solid state reaction, the optimum sintering process was 900°C and the
sintering time was 5 hours. In contrast with this, to produce BT with hydrothermal process the
temperature as high as 300°C was needed. On the other hand for the sol gel process, the
temperature of the process was the same with solid state reaction and also with the same
sintering time. Based on the XRD diffraction pattern the best result is obtained with solid state
reaction where no contamination is available.
Acknowledgements
The research was supported by the National Block Grant 2009.
References :
1. Donglin Xia, Meidong Liu, Yike Zeng, and Churong Li, Fabrication and electrical
properties of lead Zirconate titanate thick films by sol-gel method, Materials Scince
and engineering B87 , Elsevier, 2001.
2. Arunachalakasi Arockiarajan, Computational Modeling of Domain Switching Effects
in Piezoceramic Materials, PhD Thesis, Tecnishe Universitat Kaiserslautern,
December 2005.
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 83
Seminar Material Metalurgi 2010
84 | ISSN : 2085 – 0492
PENGARUH PERLAKUAN BAHAN BAKU TERHADAP REAKSI
SLAKING PADA LIMESTONE DARI RUMPIN, BOGOR
Abstrak
Pada tulisan ini akan dipaparkan pengaruh perlakuan bahan baku terhadap reaksi yang terjadi pada
proses slaking yaitu pembentukan kalsium hidroksida dari kalsium oksida. Bahan baku yang digunakan pada
percobaan ini adalah bahan baku batukapur dari daerah Rumpin, Kabupaten Bogor. Perbedaan proses
perlakuan bahan baku terletak pada proses penghalusan yaitu antara bahan baku yang dihaluskan dengan yang
tidak dihaluskan. Hasil percobaan mwenujukkan adanya perbedaan karakteristik kinetika reaksi antara bahan
baku yang dihaluskan dengan bahan baku yang tidak dihaluskan. Perbedaan tersebut terletak pada lama waktu
reaksi slaking dan temperatur maksimum slaking pada berbagai perbandingan antara bahan baku dengan air.
Abstract
In the paper to explain influence of row material reaction in slaking process normaly calcium
hydroxide former from calcium oxide. This experiment to used row material lime stone from Rumpin area in
Bogor region. Different treatment process of material studied into refines between material refines and coarse .
The result to showed and different kinetic reaction characteristic between refines and coarse . That different is
retention time of slaking reaction and maximum temperature slaking , in all bind of raw material and water
ratio.
I. PENDAHULUAN
Indonesia memiliki potensi batu kapur yang cukup melimpah dengan jumlah deposit
yang tersebar di seluruh pelosok. Hingga saat ini pemanfaatan batu kapur hanya terbatas
untuk bahan bagunan seperti sebagai bahan pembuatan semen, pondasi rumah, bata putih dan
campuran adukan semen. Ada sebagian kecil batu kapur dimanfaatkan untuk keperluan
industri seperti industri keramik, penetralisir limbah, fluks untuk peleburan baja dan lain-lain.
Pemanfaatan batu kapur untuk keperluan tersebut menhasilkan nilai tambah batu kapur yang
cukup rendah, dimana harga kapur yang sudah diolah kurang lebih sekitar Rp 2.000 / kg ,
sedangkan harga semen sekitar Rp 60.000 per sak atau sekitar Rp 1.200 / kg.
Aplikasi penggunaan batu kapur untuk keperluan material maju akhir-akhir mulai di
kembangkan di Indonesia. Hal ini sesuai dengan tuntutan dunia industri terhadap peningkatan
kualitas bahan mineral industri, dimana bahan material maju ini memiliki nilai jual yang
sangat tinggi. Salah satu aplikasi material maju pada pemanfaatan batu kapur adalah
membuat kalsium karbonat presipitat skala nano dengan bulk density yang rendah dan derajat
keputihan yang tinggi.
Melihat perkembangan material maju yang cukup pesat ini maka Pusat Penelitian
Seminar Material Metalurgi 2010
Metalurgi – LIPI mulai mengembangkan material maju salah satunya adalah material maju
berbasis mineral karbonat. Tujuan dari penelitian pengamatan reaksi slaking batu kapur dari
Rumpin, Bogor ini adalah untuk melihat proses slaking sabagai salah satu tahapan terpenting
dalam pembuatan kalsium karbonat presipitat. Pembuatan kalsium karbonat presipitat dengan
spesifikasi yang umum telah banyak dilakukan dan bukan merupakan teknologi baru. Namun
modifikasi proses karbonatasi untuk menghasilkan kalsium karbonat dengan spesifikasi
khusus belum dikembangkan secara luas di Indonesia. Pada umumnya pengembangan
material maju untuk kalsium karbonat dan mineral karbonat yang lain dengan proses milling
yaitu digerus dengan ball mill atau alat penumbuk khusus sampai ukuran nano. Diharapkan
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 85
dengan berbagai modifikasi proses karbonatasi diperoleh material maju berbasis karbonat
yang memiliki spesifikasi yang lebih baik dibandingkjan dengan proses proses fisik.
Bahan baku dari daereah Rumpin tersebut selanjutnya dilakukan proses kalsinasi pada
temperatur 1.000OC selama lima jam. Diharapkan dengan proses kalsinasi pada tempartur
tersebut dan waktu yang cukup lama dapat dihasilkan kalsium oksida yang sempurna
1. Proses Penghalusan
Proses penghalusan merupakan salah satu tahapan yang cukup penting dalam kegiatan
penelitian ini, dimana dalam proses penghalusan ini produk hasil kalsinasi dihaluskan sampai
ukuran dibawah 150 mesh. Kemudian variabel percobaan yang lain adalah tidak dihaluskan
melainkan dibiarkan ukuran butiran sekitar 5 mm . Proses penghalusan dilakukan di di dalam
Disk Mill yang beruptar di dalam piringan baja sampai produk kalsinasi menjadi tepung.
Selanjutnya tepung tersebut diayak dalam pengayak ukuran 150 mesh, dimana tepung yang
diambil adalah yang lolos dalam ayakan tersebut.
2. Proses Slaking
Proses slaking adalah proses reaksi antara produk kalsium oksida dengan air sehingga
terbentuk kalsium hidroksida. Dalam prercobaan ini dilakukan dengan lima variabel
perbandingan antara lair dengan padatan yaitu 1.000 ml air dan padatan 200 g , 300 g dan 400
g.
3. Proses Pengamatan Temperatur
Dilakukan proses pengamatan temperatur dalam proses slaking yaitu pada temperatur
cairan setiap terjadi kenaikan temparatur. Pengamatan dilakukan sampai tercapai temparatur
maksimal kemudian selanjutnya setelah tercapai tempartur maksimal diamati penurunan
temparatur hingga sampai temparatur kembali seperti semula.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 87
43 3.20 61 1.57 56 0.47
44 5.62 63 1.75 58 0.50
65 1.95 60 0.58
67 2.30 62 0.65
69 3.13 64 0.78
66 0.97
78 4.02
40 10.87 80.33
35 16.95
31 40.60
V. PEMBAHASAN
Dari kedua tabel yaitu Tabel 2 dan Tabel 3 dapat dilihat perbedaan pencapaian
temperatur dan waktu yang dilakukan. Adapun perbedaan proses slaking antara bahan yang
dihaluskan dan tidak dihaluskan dapat diuraikan sebagai berikut :
Temperatur maksimal : OC
80
Dihaluskan
70 Tidak
60
50
40
30
20
10
0
200 g 300 g 400 g
Gambar 1. Temperatur maksimal yang dicapai
Kemudian dari dua percobaan baik dengan pemnghalusan bahan baku muapun tidak
dihaluskan menunjukkan peningkatan tempartur maksimal seiring dengan penambahan rasio
padatan yaitu dari 200 g sampai 400 g per 1.000 ml air. Dengan melihat data tersebut diatas
dapat diamati bahwa untuk bahan baku yang dihaluskan telah terjadi distribusi penyebaran
panas yang lebih merata dibandingkan dengan bahan baku yang tidak dihaluskan. Perbedaan
waktu distribusi panas yang lebih menyolok terjadi jika rasio penambahan padatan dengan air
semakin besar. Namun demikian untuk mengetahui sejauhmana efek penyebaran panas
terhadap kualitas produk kalsium karbonat presipitat dapat diamati pada hasil percobaan
dengan melihat bulk density , derajat keputihan dan ukuran partikel.
Sehingga dengan semakin besar luas kontak antara padatan dengan air maka proses adsorbsi
air dalam padatan lebih cepat.
Waktu pencapaian temperatur maksimal menunjukkan bahwa pada perbandingan
padatan dengan air 300 g / 1.000 ml air adalah waktu yang paling cepat. Hal ini berlaku
untuk bahan baku yang dihaluskan mapun untuk bahan baku yang tidak dihaluskan. Dengan
melihat kecepatan pencapaian temperatur maksimal menujukkan bahwa pada perbandingan
300 g / 1.000 ml adalah perbandingan yang tepat untuk proses slaking. Data pada penelitian
sebelumnya menujukkan bahwa pada perbandingan 300 g / 1.000 ml air dengan tanpa melalui
proses penghalusan bahan baku menujukkan bahwa bulk density yang dihasilkan paling
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 89
rendah. Untuk proses dengan penghalusan diharapkan diperoleh hal yang sama yaitu
pencapaian bulk density yang juga rendah pula, dengan pencapaian bulk density yang jauih
lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan bahan baku tanpa proses penghalusan.
Adapun hasil percobaan pencapaian temperatur maksimal dapat ditampilkan pada Gambar 2.
Waktu pencapaian : menit
6
Dihaluskan
5 Tidak
0
200 g 300 g 400 g
DAFTAR PUSTAKA
1. Eko Sulistiyono dan Murni Handayani , “ Uji Reaksi Slaking pada Limestone dari
Rumpin, Bogor “ , Prosiding Seminar Material Metalurgi 2009, Pusat Metalurgi-LIPI,
2 Desember 2009. Serpong, Tangerang. ISSN 2085-0492 .
2. Imam A. Sadisun, Hideki Shimada, Masatomo Inchinose and Kikno Matsui,
Experimental Insights on the Caharacteristic of Rocck Slaking with Particular
Reference to the Sedimentary Argilaceus Rocks, Paper SR America, 2003.
3. Immanuel Ginting, Deddy Sufiandi dan Agus Budi Prasetyo, Studi Potensi
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak.
Dalam rangka pemanfaatan bahan zirkon lokal untuk produk bernilai tinggi, pada penelitian ini
dilakukan studi pembuatan keramik ZrO2 yang didop 8 % mol Y2O3 (8YSZ) untuk elektrolit padat. Keramik
8YSZ difabrikasi dari serbuk ukuran nanometer (nanopowder) yang dibuat dengan metode solgel. Prekursor
untuk menyiapkan serbuk nano 8YSZ adalah ZrOCl2.8H2O yang diperoleh dari zirkon sebagai produk samping
pengolahan timah di pulau Bangka, dan Y(NO3)3 komersial. Keramik difabrikasi dengan cara pengepresan
dengan tekanan 5 ton/cm2 dan penyinteran pada suhu 1500oC selama 4 jam. Keramik hasil sinter dianalisis
dengan difraksi sinar-x (XRD) dan konduktivitas listriknya diukur memakai LCR meter presisi pada frekuensi
20Hz-2MHz. Hasil analisis XRD memperlihatkan bahwa keramik 8YSZ yang dibuat berstruktur kristal kubik.
Keramik ini mempunyai rapat massa yang cukup tinggi yaitu 97,2 % rapat massa teoritis. Konduktivitas
ioniknya pada suhu 500oC adalah 0.26 mS/cm. Konduktivitas ionik yang harganya hanya sedikit lebih rendah
dari pada data literatur (0,291 mS/cm) dan kepadatan yang cukup tinggi memperlihatkan bahwa zirkon dari
Bangka mempunyai potensi yang baik untuk fabrikasi elektrolit padat.
Kata kunci : Elektrolit padat, 8YSZ, zirkon, serbuk ukuran nano, sol gel.
Abstract.
In order to utilize local zircon for production of high value product, in this work a study of fabrication
of 8 mol % Y2O3 doped-ZrO2 (8YSZ) for solid electrolyte has been carried out. The 8YSZ ceramics were
fabricated from nanopowder using sol gel method. Precursors for preparation of the 8YSZ powder were
ZrOCl2.8H2O derived from zircon as by product of Tin processing at Bangka island, and commercial Y(NO3)3.
The ceramics were fabricated by pressing with pressure of 5 ton/cm2 and sintering at 1500oC for 4 hours. The
sintered ceramic was analyzed using XRD. It’s conductivity was measured using an precision LCR meter at
frequency of 20Hz-2MHz. The XRD analyses showed that the 8YSZ ceramic had crystal structure of cubic. The
ceramic had relatively high density of 97,2 % theoritical density. It’s ionic conductivity at 500oC was 0.26
mS/cm. This ionic conductivity which is only slightly different with the literature data and the relatively high
density showed that the zircon from Bangka island had good potentiality for fabrication of solid electrolyte.
PENDAHULUAN
Kebutuhan energi yang besar khususnya di Indonesia telah memaksa kita untuk
mencari sumber-sumber energi alternatif atau memproduksi energi dengan metode alternatif.
Salah satu jalan dalam penyediaan energi adalah dengan memanfaatkan sel bahan bakar
oksida padatan (SOFC, Solid Oxide Fuel Cell). SOFC adalah sebuah pengkonversi
(converter) energi. SOFC dapat dimanfaatkan untuk mengkonversi bahan bakar seperti
Seminar Material Metalurgi 2010
hidrogen ke energi listrik [1-3]. Sebuah SOFC terdiri atas tiga bagian utama yaitu anode,
katode dan elektrolit. Ketiganya dibuat dari bahan tertentu yang berbeda. Anode dapat dibuat
dari komposit zirkonia yang distabilkan Y2O3 (YSZ) dan Ni [4] sementara katode dapat dibuat
dari komposit YSZ dan LSM(LaSrMnO3) [5-6]. Khusus untuk elektrolit, yang sangat populer
adalah YSZ khususnya 8YSZ[7-10].
Di Indonesia, mineral yang mengandung zirconium khususnya zircon sebagai hasil
samping pemrosesan timah sangat berlimpah dan belum dimanfaatkan dengan baik untuk
produk bernilai tinggi. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan nilai tambah kepada zircon
yang tersedia secara berlimpah, pada penelitian ini dilakukan sintesis serbukYSZ dengan
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 91
metode sol gel dan fabrikasi keramik YSZ dengan memanfaatkan zircon lokal dari pulau
Bangka. Karakteristik keramik yang diperoleh dipelajari dan dibahas.
TATA KERJA
Serbuk ZrOCl2.8H2O yang diperoleh dengan cara fusi kaustik [11] dicampur dengan
serbuk Y(NO3).6H2O dan dilarutkan kedalam air. Kedalam campuran ditambahkan asam
sitrat. Larutan sol yang terbentuk selanjutnya dipanaskan pada suhu 80oC selama sekitar 24
Jam hingga membentuk gel. Gel dipanaskan pada suhu 180oC hingga kering, dilanjutkan
dengan kalsinasi pada suhu 800oC selama 3 jam. Serbuk yang terbentuk dianalisis dengan
difraksi sinar-x (XRD). Serbuk ini dinamai serbuk 8YSZ. Serbuk 8YSZ dipres dengan
tekanan 5 ton/cm2, lalu disinter pada suhu 1500oC selama 4 Jam di udara. Rapat massa pelet
hasil sinter ditentukan dengan cara penimbangan dan pengukuran dimensi. Pelet sinter
kemudian dianalisis XRD dan konduktivitas ioniknya diukur memakai LCR meter presisi
pada frekuensi 20 Hz hingga 2 MHz pada suhu 500oC. Suhu ini adalah suhu operasi sel bahan
bakar oksida padatan (SOFC) suhu rendah. Kekerasan pelet diukur dengan Vickers hardness
tester.
struktur kubik seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Selama penyinteran, sebagian ZrO2
monoklinik dan sebagian Y2O3 yang belum larut membentuk larutan padat YSZ kubik.
Keramik ini kemudian diberi kode 8YSZ.
Pelet hasil sinter mempunyai rapat massa 97,2 % rapat massa teoritis. Harga ini relatif
cukup tinggi. Pada suhu yang sama Dahl dkk.[12] memperoleh pelet dengan rapat massa
97,4% rapat massa teoritis. Untuk kebutuhan SOFC, rapat massa masih perlu ditingkatkan
hingga mencapai 99 % lebih untuk mendapatkan karakteristik elektrolit padat yang lebih baik.
Penampilan visual pelet hasil sinter diperlihatkan pada Gambar 4.
2000
I n te n s i ty (C p s )
1500
T
1000
M T T
500 M
M T
0
20 30 40 50 60 70 80
2 (De g re e)
Gambar 2. Pola difraksi sinar-x serbuk YSZ yang dikalsinansi pada suhu 800oC selama 3 Jam.
600
111
500
I n te n s i ty (C p s )
400 220
300
200
200 311
222 400
100
0
25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80
2 (Deg ree)
Gambar 3. Pola difraksi sinar-x pelet 8YSZ yang disinter pada suhu 1500oC.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 93
representasi tahanan listrik butir. Cole lain yang biasanya terletak di sebelah kanan cole butir
yang merupakan cole batas butir tidak terlihat. Hal ini menggambarkan tidak terdapatnya
blocking kekosongan oksigen di batas butir. Dari Gambar 4, konduktivitas ionik dihitung dan
hasilnya adalah 0,260 mS/cm (Diperlihatkan pula pada Tabel 1). Dibandingkan dengan data
literatur [13] sebesar 0,291 mS/cm harga konduktivitas ionik yang diperoleh sudah cukup
baik, meski masih sedikit lebih rendah. Perbedaan harga konduktivitas ionik ini kemungkinan
disebabkan oleh masih relatif rendahnya densitas keramik yang diperoleh. Jika densitas dapat
ditingkatkan, maka kemungkinan konduktivitas ionik akan lebih besar lagi.
‐1500
Z Im (O h m )
‐1000
‐500
0
0 1000 2000 3000 4000
Z real (Ohm)
Gambar 4. Plot Z real versus Z imajiner (Plot Nyquis) dari keramik 8YSZ hasil pengukuran menggunakan
LCR meter presisi pada suhu 500oC.
KESIMPULAN
1. Sintesis serbuk 8YSZ berukuran nanometer dari zirkon lokal asal Bangka dengan metode
sol gel dapat dilakukan.
2. Pelet 8YSZ dapat difabrikasi dari serbuk YSZ naometer pada suhu sinter 1500oC dengan
kepadatan 97,2 % rapat massa teoritis dan konduktivitas ionik sebesar 0,26 mS/cm serta
kekerasan sebesar 12,4 GPa.
SARAN
Konduktivitas ionik dari keramik 8YSZ yang dibuat masih perlu ditingkatkan untuk
dapat diaplikasikan pada SOFC suhu rendah melalui doping atau pembentukan komposit
dengan bahan lain yang mempunyai konduktivitas ionik yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
1. A. Kaiser, A., E. Monreal, E., D. Stolten, Preparation techniques and materials for long
term stable SOFC single cell membranes, Ionics 3, 143-148(1997).
2. S. P. Jiang, Dependence of cell resistivity on electrolyte thickness in solid oxide fuel cells,
J. Power Sources 183, 595-599 (2008).
3. J. H. Joo, G. M. Choi, Thick film electrolyte-supported solid oxide fuel cells, J. Power
Sources 180, 195-199 (2008).
4. R. N. Basu, A. D. Sharma, A. Dutta, Mukhopadhyay, Processing of high-performance
anode-suported planar solid oxide fuel cell, Internl J. Hydrogen Energy 33, 5748-5754
(2008).
5. K. Barthel, S. Rambert, St. Siegmann, Microstructure and Polarization Resistance of
Thermally Sprayed Composite Cathodes for Solid Oxide Fuel Cell Use, J. Thermal Spray
Tech. 9, (2000).
6. H. S. Song, W. H. Kim, S. H. Hyun, J. Moon, Influences of starting particulate material
son microstructural evolution and electrochemical activity of LSM-YSZ composite
cathode for SOF, J. Electroceram. 17, 759-764 (2006).
7. X. J. Chen, K. A. Khor, S. H. Chan, L. G. Yu, Preparation of yttria-stabilized zirconio
electrolyte by spark-plasma sintering, Mater. Sci. Eng. A341, 43-48 (2003).
8. R. R. Piticescu, M. Hrovath, D. Belavic, A. Lonascu, B. Malic, A. M. Motoc, C. Montly,
Zirconia pressure sensor: From nano powder to device, Solid State Phenom. 99-100, 89-
98(2004).
9. F. Tietz, H.P. Bruchkremer, D. Stover, Components manufacturing for solid oxide fuel
cells, Solid State Ionics 152– 153, 373– 381 (2002).
10. M. M. Bucko, Some structural aspects of ionic conductivity in zirconia stabilized by yttria
and calcia, Mater. Sci.-Poland 24, 39-44 (2006).
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 95
Seminar Material Metalurgi 2010
96 | ISSN : 2085 – 0492
PEMBUATAN BESI SPONS DENGAN PEMANFAATAN LIMBAH
SCALE HASIL SCARFING OF SLAB
Abstrak
Scale atau kerak merupakan lapisan oksida yang terbentuk karena adanya reaksi oksidasi antara unsur
besi dengan oksigen yang terkandung disekitarnya. Scale yang terbentuk pada umumnya wustite (FeO),
magnetite (Fe3O4) dan hematite (Fe2O3). Pembentukan scale pada permukaan slab akibat pemanasan slab
merupakan salah satu permasalahan yang harus diperhatikan dalam industri baja. Scale yang terbentuk nantinya
akan menjadi limbah buangan. Tujuan dari penelitian untuk meningkatkan nilai ekonomis dari scale dengan
mengamati pengaruh komposisi, temperatur dan waktu tahan proses reduksi terhadap nilai Fe metal dan
metalisasi besi spons hasil reduksi. Dengan mempertimbangkan banyaknya kandungan oksida besi (>70%Fe)
dalam scale, maka scale dapat diolah kembali menjadi besi spons. Pada penelitian ini digunakan material utama
scale hasil scarfing of slab dan batubara sebagai reduktor dengan variasi perbandingan 60:40; 70:30; 80:20. Pada
awalnya dilakukan proses pelletizing untuk masing-masing komposisi tersebut dengan menggunakan binder
molasses. Selanjutnya dilakukan proses reduksi dengan variasi temperatur 950; 1000; 1050 dan 1100 oC dengan
waktu tahan reduksi 15; 30; 45; dan 60 menit. Nilai Fe metal tertinggi yang dihasilkan adalah 84,16% yaitu pada
komposisi pellet I (60:40) dengan temperatur reduksi 1100 oC dan waktu tahan 45 menit dengan nilai persen
metalisasi sebesar 99,85%.
Abstract
Scale or crust is a layer of oxide is formed by the oxidation reaction between iron elements contained
by the surrounding oxygen. Scale formed on the generally wustite (FeO), magnetite (Fe3O4) and hematite
(Fe2O3). Scale formation on the surface of the slab due to slab heating is one problem that must be considered
in the steel industry. Scale that formed later will become waste. The aim of the research to improve the economic
value of the scale by observing the influence of composition, temperature and holding time on the value of Fe
metal and metallized sponge iron reduction results. Considering the amount of iron oxide content (> 70% Fe) in
the scale, the scale can be reprocessed into sponge iron. In this study, the main material of the slab scarfing
scale results and coal as a reductant with a variation ratio of 60:40, 70:30, 80:20. In the pelletizing process was
initially performed for each composition using molasses binder. Furthermore, the reduction process is carried
out by varying the temperature 950; 1000; 1050 and 1100 oC with holding time reduction of 15, 30, 45, and 60
minutes. The highest value of Fe metal produced is 84.16% of the composition of the pellets I (60:40) with a
temperature of 1100 oC reduction and holding time of 45 minutes with 99.85% metallized .
Pendahuluan
Scale atau kerak merupakan suatu lapisan oksida yang muncul karena adanya reaksi
oksidasi antara unsur besi dengan oksigen yang terkandung dalam atmosfer di sekitar slab
Seminar Material Metalurgi 2010
selama proses pendinginan ataupun proses pemanasan. Scale yang terbentuk pada temperatur
tinggi pada umumnya wustite (FeO), hematite (Fe2O3) dan magnetite (Fe3O4). Keberadaan
scale tentunya tidak diinginkan dalam suatu proses produksi baja, karena dengan munculnya
scale berarti terjadi pembuangan massa yang seharusnya merupakan bagian dari produk akhir.
Pada umumnya akan terbentuk scale sebanyak 20-25 kg untuk setiap ton produksi baja. Hal
ini menyebabkan bertambahnya biaya produksi dari suatu baja. Dewasa ini keberadaan scale
tetap menjadi problem dalam industri baja sebagai illustrasi dalam produksi slab dihasilkan
scale sebanyak 250 ton/bulan. Selanjutnya scale tersebut menjadi limbah buangan, dan belum
dilakukan pemanfaatan untuk meningkatkan nilai ekonomis scale. Bila dikaji lebih lanjut
dalam scale banyak mengandung oksida besi (>70% Fe), dengan kadar Fe yang tinggi
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 97
tersebut maka limbah scale dapat diolah sebagai bahan utama yang akan direduksi menjadi
besi spons. Besi spons yang dihasilkan dari reduksi limbah scale dapat digunakan sebagai
bahan penganti dalam proses steel making pada industri baja. .
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:mengamati dan menentukan pengaruh
temperatur reduksi dan waktu reduksi optimum terhadap nilai persen Fe metal dan persen
metalisasi yang terjadi.
Tahap awal penelitian dimulai dari proses preparasi bahan baku scale dan reduktor
batubara yang kemudian dilakukan pengujian komposisi awal dari kedua material tersebut,
dilanjutkan dengan pembuatan pelet scale kemudian direduksi dan dianalisis persen
metalisasinya serta penentuan parameter proses pembuatan besi spons yang paling optimum.
Bahan baku yang digunakan adalah scale dari hasil scarfing of slab, batubara sub bituminus
dan binder molase/gula tetes. Variabel proses dalam penelitian ini adalah komposisi
pencampuran antara scale dengan batubara (60:40; 70:30; 80:20), temperatur reduksi (950;
1000; 1050; 1100 oC), waktu reduksi (15; 30; 45; 60 menit ).
Kajian Pustaka
Pada umumnya scale berwarna biru keabu-abuan. Scale merupakan lapisan oksida
yang muncul pada permukaan baja karena adanya reaksi oksidasi dari unsur besi dengan
oksigen yang terdapat di dalam atmosfer di sekitar slab. Scale dari baja terdiri dari tiga jenis
oksida besi yang berbeda jumlah proporsi oksigennya, seperti ditunjukkan pada Tabel 1 [New
Zealand Steel, 2008].
Batubara adalah termasuk salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya adalah
batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-
sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan. Unsur-unsur utamanya terdiri
dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batubara juga merupakan batuan organik yang memiliki
sifat-sifat fisika dan kimia yang kompleks yang dapat ditemukan dalam berbagai bentuk.
Analisis unsur memberikan rumus formula empiris seperti: C137H97O9NS untuk bituminus dan
C240H90O4NS untuk antrasit [Wikipedia, 2008]. Berdasarkan tingkat proses pembentukannya
yang dikontrol oleh tekanan, panas dan waktu, batubara umumnya dibagi dalam lima kelas:
antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan gambut. Potensi sumber daya batubara di
Indonesia sangat melimpah, terutama di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatra, sedangkan di
daerah lainnya dapat dijumpai batubara walaupun dalam jumlah kecil dan belum dapat
Seminar Material Metalurgi 2010
ditentukan nilai ekonomisnya, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua dan Sulawesi. Pada
umumnya batubara Indonesia berusia muda, kebanyakan dari kelas sub-bituminus. Untuk
kelas bituminus Indonesia memiliki cadangan 790 juta ton, kelas sub-bituminus 1430 juta ton
dan lignit 3150 juta ton. Adapun syarat batubara sebagai reduktor berdasarkan proximate
analysis adalah sebagai berikut: kadar fixed carbon berkisar antara 30-50%, mempunyai kadar
volatile matter 26-32%, kadar abu kurang dari 20%, moisture berkisar antara 3-20%.
Binder yaitu material tambahan yang berfungsi sebagai pengikat serbuk satu dengan
yang lain sehingga menjadi bagian yang lebih besar. Bahan pengikat atau binder ini dapat
digolongkan menjadi dua yaitu pengikat organik dan anorganik. Bahan pengikat organik lebih
sering digunakan untuk cetakan basah sedangkan pengikat anorganik sering digunakan untuk
o
........(2)
ΔG 1273 = -35,56 KJ/mol
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 99
reduktor CO, oksida besi dapat direduksi dengan menggunakan gas H2 seperti pada
persamaan reaksi (4) sampai (6):
3Fe2O3 + H2 → 2Fe3O4 + H2O ΔHo1273 = -5,104 KJ/mol
o
ΔG 1273 = -106,69 KJ/mol ........(4)
Fe3O4 + H2 → 3FeO + H2O ΔHo1273 = 53,76 KJ/mol
o
ΔG 1273 = -23,01 KJ/mol ........(5)
FeO + H2 → Fe + H2O ΔHo1273 = 19,37 KJ/mol
o
ΔG 1273 = 8,368 KJ/mol ........(6)
Metode Penelitian
Batubara Scale scarfing Binder
Preparasi Preparasi
-140# -140#
Pelletizing
Pellet
Reduksi :T = 950 ; 1000 ;1050 ; 1100 oC, variasi t = 15, 30, 45, 60 menit
Data Pengamatan
Seminar Material Metalurgi 2010
Pembahasan Literatur
Kesimpulan
Gambar 1. Diagram alir penelitian pembuatan besi spons dari limbah scale hasil scarfing of slab
Pengujian Fe Total
Pengujian Fe total dilakukan berdasarkan standar pengujian pada ASTM –E 1028 - 84
(reapprove 1988), dengan cara sebagai berikut:
- Menimbang sampel besi spons sebanyak 0,3 gram.
- Melarutkan sampel dengan larutan HCl sebanyak 25 ml dalam labu erlemmeyer dan
diencerkan 200 ml H2O.
- Mendidihkan larutan besi spons + H2O tersebut, menambahkan 5 tetes SnCl2 sampai
larutan tersebut menjadi jernih, didinginkan sampai temperatur kamar.
- Menambahkan 15 ml HgCl2, 10 ml H3PO4, 2 tetes indikator yang selanjutnya
dilakukan titrasi menggunakan larutan K2Cr2O7 hingga berwarna ungu.
- Fe total pada besi spons dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
( NormalitasxVolum) K 2 Cr2 O7 xBM ( Fe)
% FeTotal x100% ....................(7)
BeratSampel
Pengujian Fe Metal
Pengujian Fe metal dilakukan berdasarkan standar ASTM–E 1028-84 (reapprove
1988), dengan cara sebagai berikut:
- Menimbang 0,2 gr besi spons, memasukkannya ke dalam labu ukur 250 ml.
- Menambahkan larutan FeCl3 50 ml sambil dialiri nitrogen dan ditutup rapat.
- Melakukan pengadukan larutan dengan pengaduk magnetik selama 55 menit.
- Menambahkan NH4Cl ke dalam labu ukur hingga mencapai 250 ml dan aduk hingga
homogen.
- Mengambil 100 ml dari hasil pencampuran tahap 4, dan diencerkan dengan 50 ml
aquades, serta ditambahkan asam campuran 25 ml dan 3 tetes indikator.
- Melakukan titrasi larutan hasil tahap 5 dengan menggunakan larutan K2Cr2O7 hingga
berubah warna menjadi ungu.
- Nilai Fe metal dapat dihitung dengan rumus:
2,5 x( NormalitasxVolum) K 2 Cr2 O7 xBM ( Fe) 1
Seminar Material Metalurgi 2010
% FeMetal x x100%
BeratSampel 3 ............(8)
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 101
80.00
75.00
Fe Metal (%)
70.00
65.00
60.00
55.00
10 20 30 40 50
Reduktor (%)
Gambar 2. Pengaruh komposisi reduktor terhadap persen Fe metal pada temperatur reduksi 950 oC
80.00
75.00
Fe Metal (%)
70.00
65.00
60.00
10 20 30 40 50
Reduktor (%)
Gambar 3. Pengaruh komposisi reduktor terhadap persen Fe metal pada temperatur reduksi 1000 oC.
85.00
80.00
Fe MEtal (%)
75.00
70.00
65.00
60.00
10 20 30 40 50
Reduktor (%)
Gambar 4. Pengaruh komposisi reduktor terhadap persen Fe metal pada temperatur reduksi 1050 oC.
85.00
80.00
Fe Metal (%)
Seminar Material Metalurgi 2010
75.00
70.00
65.00
60.00
10 20 30 40 50
Reduktor (%)
Gambar 5. Pengaruh komposisi reduktor terhadap persen Fe metal pada temperatur reduksi 1100 oC.
Pengaruh Temperatur dan Waktu Reduksi terhadap Fe Metal pada Proses Reduksi
Pellet Scale.
Perbedaan temperatur dan waktu reduksi yang digunakan dalam proses reduksi akan
memberikan pengaruh terhadap nilai perolehan Fe metal pada proses reduksi besi oksida.
Pengaruh temperatur dan waktu reduksi yang digunakan dalam proses reduksi terhadap Fe
metal pada masing-masing komposisi pellet dapat dilihat dalam Gambar 6 sampai Gambar 8.
Secara umum pada Gambar 6 sampai 8 terlihat nilai Fe metal meningkat dengan
meningkatnya temperatur dan waktu reduksi yang digunakan selama proses reduksi, dan pada
akhirnya menurun setelah 45 menit proses reduksi berlangsung. Adanya peningkatan nilai Fe
metal disebabkan adanya peningkatan laju pembentukan gas CO pada saat meningkatnya
temperatur dan waktu reduksi, reaksi pembentukan CO ditunjukkan seperti pada persamaan
(12):
CO2(g) + C(s) 2CO(g) ΔH298 = 172,46 KJ/mol C ............ (12)
Reaksi pembentukan gas CO yang pada persamaan (12) bersifat endotermik, sehingga
adanya peningkatan temperatur akan mendukung reaksi tersebut. Adanya peningkatan laju
Seminar Material Metalurgi 2010
pembentukan CO yang semakin tinggi mengakibatkan semakin banyaknya besi oksida pada
pellet yang tereduksi oleh gas CO dan menghasilkan logam Fe. Peningkatan nilai logam Fe
dalam besi spons mempengaruhi langsung peningkatan nilai Fe metal besi spons tersebut.
Nilai Fe metal tertinggi dari keseluruhan proses reduksi dicapai hingga 84,16% yaitu pada
pellet jenis I pada temperatur reduksi 1100 oC dengan waktu reduksi 45 menit.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 103
90.00
Fe Metal (%)
80.00
70.00
60.00
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu Reduksi (Menit)
T = 950 oC T = 1000 oC T = 1050 oC T = 1100 oC
Gambar 6. Pengaruh temperatur dan waktu reduksi terhadap Fe metal pada proses reduksi pelet scale untuk
jenis pellet I (60:40)
80.00
Fe Metal (%)
70.00
60.00
50.00
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu Reduksi (menit)
T = 950 oC T = 1000 oC T = 1050 oC T = 1000 oC
Gambar 7. Pengaruh temperatur dan waktu reduksi terhadap Fe metal pada proses reduksi pelet scale untuk
jenis pellet II (70:30)
70.00
Fe Metal (%)
60.00
50.00
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu Reduksi (menit)
T = 950 oC T = 1000 oC T = 1050 oC T = 1100 oC
Gambar 8. Pengaruh temperatur dan waktu reduksi terhadap Fe metal pada proses reduksi pelet scale untuk
jenis pellet III (80:20)
Metalisasi (%)
95.00
90.00
85.00
10 20 30 40 50
Reduktor (%)
Gambar 9. Pengaruh komposisi reduktor terhadap persen metalisasi pada temperatur reduksi 1100 oC.
Gambar 9 menunjukkan nilai metalisasi dari masing-masing jenis besi spons yang
dihasilkan selama proses reduksi pada temperatur 1100 oC. Pada Gambar 9 dapat diketahui
bahwa nilai metalisasi dari besi spons selama proses reduksi pada temperatur 1100 oC
cenderung meningkat seiring meningkatnya reduktor yang digunakan. Nilai metalisasi yang
terbentuk selama proses reduksi mulai dari 87,10% yaitu pada komposisi penambahan
reduktor sebanyak 20% dengan waktu reduksi 15 menit sampai dengan 99,85% yaitu pada
komposisi penambahan reduktor sebanyak 40% dengan waktu reduksi 45 menit.
Peningkatan persen metalisasi yang ditunjukkan pada Gambar 9 berhubungan
langsung dengan penggunaan reduktor, dengan semakin banyaknya ketersediaan bahan
reduktor maka oksida besi yang dapat direduksi akan semakin banyak. Kondisi seperti ini
menyebabkan perolehan Fe metal semakin besar, Jumlah ketersediaan bahan reduktor akan
memberikan pengaruh langsung terhadap ketersediaan gas reduktor. Gas reduktor CO yang
bertindak sebagai reduktor dalam reaksi tersebut dihasilkan dari gasifikasi batubara, sesuai
dengan persamaan (10) dan (11).
Pengaruh Temperatur dan Waktu Reduksi terhadap Persen Metalisasi pada proses
reduksi pellet scale.
Perbedaan temperatur dan waktu reduksi yang digunakan dalam proses reduksi akan
memberikan pengaruh terhadap nilai persen metalisasi pada proses reduksi. Pengaruh
temperatur dan waktu reduksi yang digunakan dalam proses reduksi terhadap persen
metalisasi pada proses reduksi pelet scale untuk jenis pellet I (60:40) dapat dilihat dalam
Gambar 10.
100.00
Metalisasi (%)
90.00
80.00
70.00
Seminar Material Metalurgi 2010
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu Reduksi (menit)
Gambar 10. Pengaruh tempertur dan waktu reduksi terhadap persen metalisasi pada proses reduksi pelet scale
untuk jenis pellet I (60:40)
Pada Gambar 10 dapat diketahui bahwa nilai persen metalisasi dari besi spons jenis I
selama proses reduksi cenderung meningkat dengan meningkatnya temperatur dan waktu
reduksi. Nilai persen metalisasi yang terjadi pada besi spons jenis I selama proses reduksi
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 105
mulai dari 86,23% yaitu pada temperatur 950 oC dengan waktu reduksi 15 menit sampai
dengan 99,85% yaitu pada temperatur 1100 oC dengan waktu reduksi 45 menit.
Secara umum nilai persen metalisasi meningkat dengan meningkatnya temperatur dan
waktu reduksi yang digunakan selama proses reduksi. Hal ini disebabkan adanya peningkatan
laju pembentukan gas CO pada saat meningkatnya temperatur dan waktu reduksi, reaksi
pembentukan CO ditunjukkan seperti pada persamaan (12) yang bersifat endotermik,
sehingga adanya peningkatan temperatur akan mendukung reaksi tersebut.
Pada Gambar 10 nilai persen metalisasi semakin meningkat seiring peningkatan waktu
reduksi, persen metalisasi tertinggi tercapai pada waktu reduksi 45 menit, sedangkan pada
menit ke-60 persen metalisasi mengalami penurunan. Hal ini dikarena adanya oksidasi balik
dari logam Fe yang telah terbentuk selama proses reduksi menjadi oksida besi, sesuai dengan
persamaan (13) pembentukan oksida besi ini mungkin terjadi karena keberadaan oksigen yang
berlebih selama proses reduksi berlangsung.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini, limbah scale hasil scarfing of slab dapat didaur ulang menjadi
besi spons kembali, dengan cara melakukan palletizing dengan binder gula tetes dan
reduksi dengan batubara.
Semakin banyak komposisi reduktor yang digunakan akan semakin besar pula nilai Fe
metal dan persen metalisasi yang dihasilkan, demikian pula dengan pengaruh temperatur
dan waktu reduksi.
Berdasarkan penelitian ini didapatkan nilai optimum Fe metal sebesar 84,16% yaitu pada
komposisi penambahan reduktor sebanyak 40% (pellet jenis I) dengan temperatur reduksi
1100 oC dan waktu reduksi 45 menit, dengan nilai persen metalisasi sebesar 99,85%.
Daftar Pustaka
1. Kamijo, C. et al., 2001. Production of Direct Reduced Iron By Sheet Material Inserting
Metalization Method. ISIJ Internationa. 4rd quarter edition. Hal 3-5.
2. Meyer, K., 1980. “Pelletizing of Iron Ores”. Springer-Verlag Berlin Heidelberg and
Verlag Stahleissen, Dusseldorf
3. Multi Data Riset Indonesia. 2007. Perkembangan dan Prospek Industri Baja di Indonesia
di Tengah Defisit Bahan Baku dan Import Ilegal. URL: http//ptmdri.com. [online, diakses
Juni 2009].
4. Othmer, kirk.1982, Encyclopedia of Chemical Technology. Vol 15. John Willey and Son.
New York
5. Rosenqvist, T. 1983. Principles of Exstractive Metallurgy. McGraw- Hill Book Co.
Singapura.
6. Stephenson, L. R. 1980. Direct Reduced Iron Technology and Economics of Productions
and Use. The Iron and Steel Society of AIME. Warrendale. Hal 9-33.
7. http://wikipedia.org. [online, diakses Juni 2009].
8. http://wikipedia.org.2008 [online, diakses April 2009].
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Penelitian kerusakan pada tube production cooler D-200 INZEP yang terbuat dari bahan duplex telah
dilakukan. Kebocoran terjadi pada suhu sekitar 85oF-180oF setelah terpasang lebih dari 3 bulan. Untuk
mengetahui penyebabnya dilakukan analisa kegagalan dengan menggunakan beberapa metode, yaitu (1)
pemeriksan visual dan dimensi, (2) pengujian tarik dan kekerasan, (3) pemeriksaan makroskopis dan
mikroskopis, (4) pengujian komposisi kimia bahan, (5) pengujian SEM/EDS. Hasil penelitian membuktikan
bahwa bocornya tube di karenakan oleh pengikisan korosi sumuran dan lapisan pasivasi Cr2O3 yang tipis diisi
oleh Zn(OH)2 yang sifatnya mengabsorbsi anion-anion agresif (Cl- dan S2-). Berdasarkan uji tarik dan komposisi
kimia hasilnya memehuhi spesifikasi standar ASTM A-789M tetapi dari hasil uji keras Vickers sebaliknya. Hasil
pemeriksaan struktur mikro menunjukkan adanya presipitat karbida (M23C6) dan jaringan batas butir tidak jelas
serta hasil uji EDS menunjukkan adanya unsur-unsur korosif seperti Cl- dan S2-.
Kata kunci: analisis kegagalan, baja tahan karat dupleks, tube production cooler D-200
Abstract
Research on the damage of production cooler D-200 INZEP tube made of dupleks has been carried out.
Leakage happened within temperature range 85-180oF after 3 months operated. Failure analysis was carried
out by using several methods : (1) visual and dimension test, (2) strength and hardness test, (3) macroscopic and
is microscopic test, (4) the chemical analysis test, (5) SEM/EDS test. Result of research showed that the leakage
of the tubewas caused by erosion of pitting corrosion and replacement of thin layer of passive Cr2O3 by Zn
(OH)2 which can absorb aggressive anions (Cl- and S2-). Based on its strength test and chemical composition,
the results were comply with the ASTM A-789M but not for Vickers hardness. Microstructure showed the
existence of carbide precipitate (M23C6) with unclear grain boundary network while EDS showed the presence of
corrosion elements like Cl- and S2-.
Keywords : failure analysis, stainless steel duplex, production cooler D-200 tube
I. PENDAHULUAN
Kerusakan komponen dan peralatan industri harus ditangani secara tuntas dengan
maksud mengetahui penyebab utama dari kerusakan, sehingga tidak terjadi kerusakan sejenis
dimasa mendatang. Kesalahan pemilihan material, kesalahan fabrikasi, ketidaksesuaian jenis
material dengan kondisi kerjanya, merupakan contoh penyebab mengapa banyak komponen
atau peralatan industri mengalami gagal fungsi dalam pemakaiannya.
Kasus kegagalan sangat merugikan, karena itu untuk menghindari peristiwa serupa
maka perlu dipelajari sebab-sebab terjadinya kegagalan. Penyelidikan terhadap sebab-sebab
terjadinya kegagalan akan bermanfaat terutama untuk menghindari kerugian biaya yang
berlebihan. Dengan mengetahui sebab kegagalan maka berbagai tindakan pencegahan awal
Seminar Material Metalurgi 2010
(preventive) dapat dilakukan. Kesalahan mungkin saja terjadi sejak tahap design. Kesalahan
tersebut bisa disebabkan oleh ; kesalahan perencanaan dimensi, kesalahan material, kesalahan
penempatan pada kondisi lingkungan tertentu, kesalahan perhitungan tegangan dan lain-lain.
Berdasarkan kenyataan di atas, makalah ini akan memaparkan hasil analisis
kegagalan(1) berikut temuan penyebabnya pada kasus bocornya tube production cooler E-200
milik perusahaan CNOOC SES Ltd. Sehubungan dengan bocornya tube penukar panas
(duplex stainless steel tube ASTM A 789 UNS S31803), maka perusahaan tersebut
mengirimkan satu contoh potongan tube yang bocor dengan diameter 19 mm tebal 2 mm
untuk di lakukan analisis.
Data teknis dari tube adalah sebagai berikut :
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 107
Material tube : A 789 UNS S31803
Diameter : 19 mm
Tebal : 2 mm
Operating temperature
- Shell side : 180 oF (inlet)/95 -107 oF (outlet)
- Tube side : 85 oF (inlet)/110 – 115 oF (outlet)
Operating pressure
- Shell side : 1100 Psig max
- Tube side : 15 Psig
Jenis fluida
- Shell side : wet product gas (10 % CO2)
- Tube side : air laut
Tube yang diteliti ini mengalami bocor setelah kurang lebih dioperasikan selama 3
bulan. Kejadian bocornya tube ini bukanlah yang pertama kali, kebocoran pada tube
sebelumnya pernah terjadi kemudian dilakukan penutupan tube (plug).
Penelitian yang dilakukan tujuannya adalah untuk mencari penyebab bocornya tube dan
tipe korosi karena kegagalan material agar dapat dilakukan tindakan pencegahan untuk
menghindari terulangnya kejadian tersebut. Kegiatan analisis dilakukan dengan mengacu pada
: (1) data operasi, (2) gambar-gambar tube yang bocor, (3) informasi lain.
Sifat kenyal (ductility) dari jenis dupleks sangat baik untuk kandungan ferit yang
moderat (40%). Bila ferit menjadi fasa yang mayoritas, kekenyalannya menurun terutama
ketangguhannya. Paduan dupleks memiliki kandungan Cr yang tinggi dan bersifat kenyal dan
dapat dijelaskan melalui 2(dua) cara yang berbeda, yaitu :
1. Matrik austenit merupakan suatu ”ductile cushion” untuk daerah feritik. Hal ini tidak
berlaku untuk baja-baja ferit tinggi, yang memiliki matrik ferit.
2. Kekenyalan terdapat pada komposisi ferit. Karbon dan nitrogen terdistribusi sangat
berbeda dalam ferit dan austenit. Austenit ”memompa” karbon dan nitrogen dari ferit.
Gambar 1. Pengaruh jumlah ferit terhadap sifat Gambar 2. Pengaruh jumlah ferit terhadap sifat
mekanik. mekanik
Ketahanan Korosi
Ketahanan korosi baja tahan karat dupleks feritik-austenitik berhubungan dengan
lapisan permukaan pasif, yang sifat-sifatnya bergantung pada komposisi logam-logam
dasarnya dan kurang bergantung pada strukturnya. Tetapi harus diingat bahwa komposisi
lapisan pasifnya sangat berbeda dari komposisi paduannya, dikarenakan adanya bermacam
proses pengkayaan (Cr, Ni, Mo dan Si) atau pelarutan khusus (Fe) yang terjadi dalam
lingkungan agresif. Dengan demikian, komposisi dan sifat-sifat lapisan pasif ini dapat
berubah tergantung lingkungan dan kemampuan memproteksinya.
Kemampuan memproteksi biasanya berhubungan dengan penurunan pelarutan anodik
yang dapat dipercepat oleh adanya ion-ion agresif dalam larutan, seperti halnya khlorida dan
florida. Sifat memproteksi yang sangat baik dari lapisan pasif biasanya berhubungan dengan
tingginya kandungan Cr.
Unsur-unsur paduan lain yang penting untuk mnurunkan pelarutan anodik adalah
terutama Ni dan Mo, seperti halnya dalam larutan asam halida atau dalam larutan asam-asam
pereduksi dan pengkomleks. Tidak adanya atau rendahnya kandungan Ni akan berpengaruh
terhadap penurunan ketahanan material dupleks ini, sehingga memerlukan peningkatan
kandungan Cr dan Mo, diikuti penambahan seperti Cu dan Si.
Adanya fasa ferit dan austenit pada paduan dupleks dengan komposisi yang berbeda,
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 109
Beberapa karakteristik penting pada SCC adalah : (1) retakan terjadi pada tegangan
dibawah yield point logam, yaitu pada selang tegangan desainnya, (2) sangat dipengaruhi oleh
suhu, komposisi larutan, komposisi logam, tegangan dan struktur logam.
Tidak semua kombinasi logam dengan lingkungan dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan akibat korosi jenis ini, misalnya baja tahan karat dapat mengalami retak tegang
dalam lingkungan yang mengandung khlorida, tetapi tidak demikian halnya dalam lingkungan
amonia.
Kenyataan menunjukan bahwa baja tahan karat dapat mengalami SCC dalam larutan
khlorida pada temperatur tinggi. Hasil pengembangan lebih lanjut menunjukan bahwa tidak
ada imunitas baik pada kisi bcc (ferit) maupun pada austenitik. Akan tetapi kerawanan baja
tahan karat terhadap peretakan khorida sangat bergantung pada komposisi dan strukturnya.
Pada dasarnya paduan dupleks memiliki distribusi sel-sel lokal yang terdiri dari
austenit dan ferit. Ferit akan selalu anodik terhadap austenit dalam spesimen yang tidak
mengalami tegangan, akan tetapi bidang-bidang anodik akan banyak terdapat dalam austenit
bila spesimen mengalami tegangan. Sifat anodik dari ferit ini memungkinkan ferit dapat
memproteksi secara katodik matriks-matriks austenit, sehingga keadaan ini dapat
meningkatkan ketahanan terhadap propagasi retakan.
Salah satu mekanisme terjadinya korosi retak tegang adalah mekanisme pelarutan
yang dapat berupa perusakan lapisan pasif, dimana sifat dari lapisan pasif yang terbentuk
adalah sangat bergantung dari komposisi logam-logam dasarnya. Kemampuan memproteksi
dari lapisan pasif adalah berhubungan dengan penurunan pelarutan anodik. Adanya ion-ion
agresif seperti ion klorida akan meningkatkan pelarutan anodik, dimana peningkatan
pelarutannya akan bertambah besar dengan menaiknya temperatur dan konsentrasi ion klodida
tersebut.. Sifat memproteksi yang sangat baik dari lapisan pasif, biasanya berhubungan
dengan tingginya kandungan Cr, sedangkan unsur paduan lainnya yang berperan untuk
menurunkan pelarutan anodik adalah Ni dan Mo. Dari hasil percobaan diketahui bahwa
ketahanan korosi retak tegang dupleks SAF 2205 (22 %Cr ; 5,5% Ni ; 3,0 % Mo) > 3 RE 60
(18,5 % Cr ; 4,9 % Ni ; 2,7 % Mo) > SAF 2304 (23 % Cr ; 4,0 % Ni ; 0 % Mo).
Gambar 3. Lokasi pengambilan sample uji Gambar 4. Bagian tube yang bocor
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemeriksaan Visual dan Dimensi
Berdasarkan pengamatan secara visual, permukaan luar dan permukaan dalam tube
terlihat masih mulus dan tidak menunjukkan adanya indikasi serangan korosi merata.
Pengukuran tebal menunjukkan hal yang sama, tebal tube pada daerah ujung, tengah dan
Dengan demikian hasil pemeriksaan visual dan dimensi tidak menunjukkan adanya
perubahan oleh temperatur dan tekanan. Adanya lubang akibat korosi sumuran (pitting
corrosion) yang diduga pada daerah tersebut paling lemah dan rentan terhadap serangan
korosi mengingat pada daerah tsb mempunyai lapis lindung yang tidak merata atau daerah
tersebut mempunyai kekerasan yang berbeda akibat proses pengerjaan. Yang mana daerah tsb
pada posisi jam 6 maka akan terjadi abrasi oleh aliran fluida dan juga terjadi korosi erosi
(erosion corrosion).
Tabel 3. Hasil uji kekerasan tube yang dilakukan pada spesimen mikroskopik
Nilai Vickers HV 1 kg/mm2 (HRC)
Tube
1 2 3
Line 1 358 (36,5) 305 (30,8) 313 (32)
Sampel 1 (jauh dari bocor)
Line 2 339 (34,7) 290 (29) 321 (33)
Line 1 378 (38,6) 330 (34) 330 (34)
Sampel 2 (sekitar bocor) Line 2 321 (32,8) 334 (34,4) 330 (34)
Line 3 358 (36,5) 368 (37,5) 373 (38,5)
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 111
daerah yang bocor unsur Mo sebagai pencegah serangan korosi sumuran sangat kecil. Akan
tetapi prediksi ini tidak menjadi pokok permasalahan, kemungkinan dari aspek lain seperti
inklusi, cacat logam, perlakuan panas, dan kekerasan permukaan akibat proses pengerjaan.
Gambar 5,7,9,11.
Pada daerah batas butir adanya presipitat karbida diprediksi krom
karbida (Cr C), ditunjukkan pada Gambar 5,7, 9, 11.
Korosi yang terjadi adalah korosi sumuran (pitting corrosion) dan
secara spesifik yaitu intergranular corrosion, ditunjukkan pada
Gambar 6,7,8,9,10, 11.
2 Sampel di daerah Perubahan struktur mikro relatif kecil (hampir tidak terjadi).
jauh dari bocor Batas butir cukup jelas dan sebagian sudah terjadi adanya presipitat
karbida di batas butir.
Korosi pada permukaan dalam hampir tidak terjadi
Etsa : 10% oxalic acid 720x Etsa : 10% oxalic acid 180x
Gambar 7. Struktur mikro ferrite-austenite, pitting Gambar 8. Struktur mikro matrix of austenite
corrosion
Etsa : 10% oxalic acid 720x Etsa : 10% oxalic acid 180x
Gambar 9. Struktur mikro terdapat corrosion- Gambar 10. Struktur mikro terdapat pitting corrosion.
intergranular
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 113
Gambar 12. Hasil uji EDS
Tabel 6. Hasil EDS
Daerah ujung bocor (%)
No Unsur
I II
1 Karbon (C) 13,30 6,66
2 Natrium ( Na ) 1,18 1,21
3 Sulfur (S) 2,58 0,91
4 Klor ( Cl ) 0,03 -
5 Kalium (K) 0,05 -
6 Tembaga (Cu) 4,00 1,39
7 Seng ( Zn) 7,18 3,80
Dari hasil uji ditemukan adanya deposit S dan Cl pada kerak permukaan dalam tube di daerah
yang bocor, dengan demikian menunjukkan terjadi korosi sumuran (pitting corrosion) dengan
mekanisme sbb:
1. Unsur sulfur (S)
Unsur ini akan membentuk asam sulfat, yaitu hasil reaksi dengan air dan gas O2,
dengan reaksi sbb :
Seminar Material Metalurgi 2010
S + 3/2 O2 SO3
SO3 +H2O H2SO4
Asam sulfat (H2SO4) kemudian terionisasi dalam larutan :
H2SO4 2 H + + SO4 2 -
2 -
SO4 ini sangat agresif dan mampu mempercepat proses terbentuknya korosi
sumuran.
2. Unsur Chlorida (Cl)
Ion Chlorida dikenal sebagai ion yang sangat agresif dan sangat potensial untuk
terjadinya korosi sumuran dan dapat berpenetrasi kedalam lapis lindung Fe(OH)2 atau
pembentukan tube kurang sempurna sehingga nilai kekerasan tidak memenuhi persyaratan
standar.
Berdasarkan hasil uji komposisi kimia kerak pada permukaan dalam daerah bocor
ditemukan deposit yang mengandung unsur S dan Cl. Unsur S akan membentuk SO4 2 yang
mampu mempercepat proses terbentuknya korosi sumuran sedangkan unsur Cl membentuk
ion Chlorida yang sangat potensial menyebabkan terjadinya korosi sumuran karena ion ini
dapat berpenetrasi kedalam lapisan lindung Fe(OH)2 atau FeO.H2O maupun Fe(OH)3 atau
Fe2.O3.3H2O. Disamping itu ditemukan deposit unsur Zn, deposit ini merupakan media yang
diam dan akan mengabsorbsi anion-anion Cl- dan S2– yang selanjutnya bereaksi dengan kation
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 115
Fe2+ menjadi FeCl2 maupun FeS yang berlangsung terus menerus secara autocatalytic
membentuk korosi sumuran hingga terjadi kebocoran tube.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul Wahid, Dikdik Gunantara, “Analisa Kegagalan Impeller Submersible Pump”,
Metal Indonesia, Vol 017/15, Bandung, 195.
2. Metal of Microstructure, ASM Metal Handbook Vol. 7, 8th Edition , American Society
for Metal, 1975
3. Failure Analysis and Prevention, American Society for Metal , ASM Metal Handbook
Vol. 11, 9th Edition , 1995.
4. Material Data Books for Engineer and Scientists , McGraw Hill Inc., USA,1967.
5. Physical Metallurgy of Engineering Materials , E.R. Petty, George Allen & Unwin
LTD, 1970
6. Failure Analysis and Prevention , Dr. Stan P. Lunch, Aeronatical & Maritim Research
Laboratory, Melbourne, 1995.
7. Carbon and Alloy Steel, ASM International, J.R. Davis , Ed, 1996.
8. Standard Specification for Seamless and Welded Ferritic/Austenitic Stainless Steel
Tubing for General Service, ASTM International, 2005.
9. A. John Sedriks, “Corrosion of Stainless Steel”, John Wiley & Sons. Inc. Canada,
1979.
10. Source Book On Steinless Steel, ASM, Metals Park, Ohio, 1976.
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Seng oksida (ZnO) adalah salah satu material semikonduktor yang banyak digunakan dalam
aplikasi katalitik, elektronik dan optoelektronik. Pada penelitian ini, ZnO nanorods telah berhasil
disintesis menggunakan metode sol-gel dengan campuran (Zn(NO3)2.4H2O), NH4OH, dan
polyethylene glycol (PEG). Variasi pada konsentrasi PEG dan penahanan laju evaporasi amoniak
pada larutan telah dilakukan dan nanorod ZnO yang dihasilkan dikarakterisasi dengan XRD dan
SEM untuk menginvestigasi perbedaan diameter, morfologi dan tingkat nanokristalinitas nanorod
ZnO. Penambahan PEG dari 1 hingga 3 gram pada larutan meningkatkan ukuran diameter rata-rata
nanorods dari 157 menjadi 464 nm. Namun demikian tidak didapatkan adanya peningkatan ukuran
nanokristalit ZnO di dalam struktur solid nanorod tersebut. Pada variasi waktu tunda evaporasi
amonia selama 1 dan 2 jam, terjadi penurunan diameter nanorod menjadi 410 dan 328 nm, sebagai
perbandingan terhadap diameter nanorod ZnO tanpa proses penundaan evaporasi ammonia yang
mencapai 464 nm. Sebaliknya, besar kristalit di dalam struktur nanorod ZnO bertambah dari 121.49
menjadi 166.59 nm sejalan dengan penambahan waktu tunda evaporasi ammonia dari 1 hingga 2 jam,
sebagai perbandingan terhadap ukuran kristalit nanorod ZnO tanpa proses penundaan evaporasi
ammonia yang hanya mencapai 94.77 nm.
Kata kunci: Nanorod ZnO, konsentrasi PEG, waktu tunda evaporasi, kristalinitas.
Abstract
Zinc oxide (ZnO) is one of semiconductor materials which has been widely used for catalytic,
electronic and optoelectronic applications. In the present research, ZnO nanorod has been
successfully synthesized through a sol-gel method using (Zn(NO3)2.4H2O), NH4OH, and polyethylene
glycol (PEG) precusrors. Variation in PEG concentration and ammonia evaporation delay time were
performed and the resulting ZnO nanorods were characterized by XRD and SEM to investigate the
difference in diameter, morphology and nanocrystallinity. It was revellead that the addition of PEG
concentration from 1 to 3 grams has increased the average diameter of ZnO nanorods from 157 to
464 nm. However, there was no an increase in the crystallite size on those nanorod solid structures.
The ammonia evaporation delay time from 1 to 2 hours has resulted in a deacrease in the average
diameter of ZnO nanorods from 410 to 328 nm, in comparison to those of without evaporation delay
time which can reach up to 464 nm. By contrast, the average crystallite size of ZnO phase in the
nanorod structures has increased from 121.49 to 166.59 nm when the evaporation delay time was
prolonged from 1 to 2 hours, as compared to those of without evaporation delay time which can only
reach 94.77 nm in size.
Seminar Material Metalurgi 2010
1. PENDAHULUAN
Seng oksida (ZnO) adalah salah satu semikonduktor yang telah diteliti secara luas.
Material ini memiliki energi celah pita langsung (direct band gap) yang lebar sebesar 3.37 eV
[1] serta emisi ultra-violet (UV) yang kuat disebabkan tingginya energi ikatan eksiton sebesar
60 meV pada temperatur ruang, yang jauh lebih tinggi dibandingkan galium nitrida (25 meV)
[2], yang membawa potensi yang sangat besar untuk aplikasi laser semikonduktor UV-biru
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 117
[3], dioda pemancar cahaya [4-6] dan divais-divais optoelektronik lainnya. ZnO juga telah
banyak digunakan sebagai material pigmen, aditif pada karet, sensor gas dan varistor [7,8].
Terkait dengan pencarian sumber energi alternatif yang dapat diperbaharui, murah dan ramah
lingkungan telah dipertimbangkan penggunaan ZnO di dalam sel surya tersensitasi zat
pewarna (dye sensitized solar cell, DSSC). Divais ini menggunakan prinsip elektrokimia
sederhana yang meniru efek fotosintesis daun hijau, yaitu proses penangkapan energi foton
pada skala molekuler untuk selanjutnya dikonversi menjadi energi listrik.
Dalam suatu sistem DSSC, interaksi antara zat pewarna dan partikel semikonduktor
oksida menentukan proses konversi energi cahaya menjadi energi listrik. Telah diketahui
bahwa dengan semakin dibuat kecilnya ukuran suatu material hingga skala nanometer maka
rasio antara permukaan terhadap volume (surface to volume ratio) akan semakin besar dan
peluang interaksinya dengan lingkungan sekeliling akan semakin tinggi. Material yang paling
sering digunakan di DSSC adalah nanopartikel TiO2. Namun demikian, saat ini seng oksida
(ZnO) dipertimbangkan sebagai alternatif pengganti TiO2 karena beberapa kelebihan yang
dimilikinya, antara lain posisi pita valensi yang tepat berada di bawah pita konduksi (direct
band gap) sehingga memungkinkan eksitasi elektron yang lebih cepat pada saat absorpsi
energi foton DSSC di bawah penyinaran cahaya matahari dibandingkan dengan TiO2 yang
memiliki karakeristik sebagai indirect band gap semiconductor. Selain itu, ZnO dapat
difabrikasi melalui berbagai teknis sintesis sederhana untuk memperoleh variasi bentuk
morfologi, di antaranya nanostruktur yang vertikal (nanorod). Struktur nanorod berbentuk
seperti pipa pejal ini berpotensi memberikan sifat elektronik unik yang dinamakan “ballistic
transport” yang mampu menghilangkan hamburan elastik yang sehingga pergerakan elektron
menjadi lebih efisien. Kondisi ini diharapkan mampu meningkatkan kemampuan DSSC. Oleh
sebab itu dirasakan pentingnya suatu penelitian yang mampu mensintesis nanorod ZnO yang
sesuai untuk aplikasi DSSC ini, yaitu tumbuh langsung secara terarah dan uniform di atas
permukaan substrat kaca konduktif. Di antara teknik-teknik fabrikasi nanorod ZnO, metode
deposisi kimiawi basah dan hidrotermal dipandang paling menguntungkan karena mudah
dalam kontrol proses, pertumbuhan kristalit ZnO dapat diperoleh pada temperatur rendah,
tidak memerlukan peralatan canggih yang mahal dan potensi produksi dalam skala besar.
Terkait dengan hal-hal di atas, dalam penelitian ini ingin diketahui pengaruh parameter proses
sol-gel berupa variasi konsentrasi polyethylene glycol (PEG) dan waktu tahan kondensasi
amonium hidroksida (NH4OH) terhadap diameter, morfologi dan tingkat nanokristalinitas
nanorod ZnO.
2. METODOLOGI
Proses sintesis nanorod ZnO dimulai dengan persiapan Larutan 1 yaitu dengan
pelarutan precursor zinc nitrate tetrahydrate sebanyak 5.23 gram (Zn(NO3)2.4H2O) ke dalam
100 ml air suling di dalam wadah Erlenmeyer yang dilanjutkan dengan pengadukan secara
seksama dengan magnetic stirrer selama 2 jam untuk memperoleh larutan yang homogen.
Pada saat yang sama di wadah yang lain dilakukan pembuatan Larutan 2 yang diperoleh dari
variasi pengenceran polyethylene glycol (PEG) sebanyak 1, 2 dan 3 gram di dalam 50 ml air.
Proses pengadukan dilakukan minimal 20 menit hingga seluruh PEG terlarut sempurna. Ke
Seminar Material Metalurgi 2010
dalam Larutan 2 yang homogen ini selanjutnya ditambahkan 0.15 mol NH4OH dan diadukan
selama 10 menit. Selanjutnya Larutan 2 ini diteteskan ke dalam Larutan 1 secara bertahap
diiringi dengan pengadukan. Penambahan larutan 2 ini dilakukan hingga larutan campuran
mencapai pH ~10.5. Sesaat setelah kondisi keasaman ini diperoleh, proses pengadukan
dipercepat diiringi dengan pemanasan larutan campuran mencapai temperatur 75oC selama 2
jam sehingga diperoleh endapan berwarna putih pucat. Pada tahapan pemanasan ini, wadah
larutan campuran ini sengaja dibiarkan terbuka untuk memberikan kesempatan terjadinya
evaporasi amoniak (NH3). Pembentukan nanostruktur ZnO mulai terjadi pada 1 jam pertama,
ditandai dengan berubahnya larutan campuran yang bening menjadi berwarna keputihan
Gambar 1. Foto SEM nanorod ZnO hasil reaksi sol-gel (Zn(NO3)2.4H2O dan NH4OH dengan penambahan:
(a) 1 gr; (b) 2 gr dan (c) 3 gr PEG.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 119
Untuk mengkonfirmasi fasa inorganik sampel ZnO yang terbentuk dan tingkat
kristalinitas yang dihasilkan, pengujian difraksi sinar x dilakukan untuk sample dengan
penambahan PEG sebesar 1 dan 3 gram. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa puncak-puncak
difraksi yang jelas pada sudut 2 sebesar 32.05, 34.71, 36.53, 47.72, 56.75 dan 63.26 adalah
bersesuaian dengan bidang kristal (100), (002), (101), (102), (110) dan (103) dari wurtzite
ZnO.
b
a
Gambar 2. Hasil pengujian XRD nanorod ZnO hasil reaksi sol-gel (Zn(NO3)2.4H2O
dan NH4OH dengan penambahan: (a) 1 gr dan (b) 3 gr PEG.
Untuk mengetahui besar kristalit ZnO yang terdapat pada masing-masing sampel
maka data hasil uji XRD dianalisis lebih lanjut untuk memperoleh nilai full-width at half
maximum (FWHM) pada puncak-puncak difraksi tersebut yang kemudian diolah dengan
persamaan Scherrer [11]. Perlu dicatat bahwa selama pengolahan data XRD ini telah
dilakukan pembuangan efek pelebaran difraksi broadening yang disebabkan oleh kontribusi
instrumen. Hasil analisis memberikan besar ukuran kristalit ZnO pada masing-masing ZnO
dengan penambahan PEG 1 dan 3 gram adalah 95.42 dan 94.77 nm. Dari hasil ini dapat
dilihat bahwa penambahan PEG dari 1 hingga 3 gram tidak memberikan efek peningkatan
ukuran yang signifikan terhadap pertumbuhan nanokristalit ZnO yang berada di dalam
struktur solid nanorod ZnO itu sendiri.
evaporasi NH3 menghasilkan nanorod ZnO dengan diameter yang lebih kecil dibandingkan
tanpa penundaan. Dengan memperpanjang waktu penundaan, efek pengecilan diameter
nanorod tersebut semakin signifikan. Hasil ini dapat dikaitkan dengan mekanisme yang terjadi
pada prekursor zinc nitrate dan ammonium hidroksida. Secara umum reaksi antara prekursor
Zn(NO3)2.4H2O dan NH4OH dalam sintesis nanorod ZnO ini adalah sebagai berikut [12]:
Hongxia [12] melaporkan bahwa penundaan laju evaporasi NH3 dari prekursor
campuran (Zn(NO3)2.4H2O dan NH4OH memberikan kesempatan interaksi antara Zn(NH3)42+
dan inti-inti ZnO yang lebih lama, menghasilkan ZnO nanorods dengan ukuran yang optimal
dan distribusi yang merata. Dalam hasil investigasinya, Banerjee [13] menyatakan bahwa
dengan menahan laju evaporasi ammonia, maka akan lebih banyak terdapat zat pembasa
tersebut di dalam larutan yang masih bereaksi dengan garam logam (zinc nitrate) sehingga
dihasilkan nanorod ZnO dengan diameter yang lebih kecil namun memanjang.
Gambar 3. Foto SEM nanorod ZnO hasil reaksi sol-gel (Zn(NO3)2.4H2O dan NH4OH dengan 3 gram PEG pada
kondisi: (a) tanpa penundaan evaporasi NH3; (b) penundaan evaporasi NH3 selama 1 jam dan (c)
penundaan evaporasi NH3 selama 2 jam
Pengujian difraksi sinar-x dilakukan pada ketiga sampel tersebut dan mengkonfirmasi
bahwa fasa inorganik yang terbentuk adalah wurtzite ZnO, sebagaimana ditunjukkan oleh
Gambar 4.
c
b
a
Gambar 4. Hasil pengujian XRD nanorod ZnO hasil reaksi sol-gel (Zn(NO3)2.4H2O dan NH4OH dengan 3 gram
Seminar Material Metalurgi 2010
PEG pada kondisi: (a) tanpa penundaan evaporasi NH3; (b) penundaan evaporasi NH3 selama 1 jam
dan (c) penundaan evaporasi NH3 selama 2 jam
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 121
nanorod ZnO ini dimungkinkan karena terdapatnya kesempatan bagi inti-inti ZnO sebagai
hasil reaksi prekursor Zn(NO3)2.4H2O dan NH4OH untuk tumbuh lebih besar dalam konstrain
diameter yang lebih kecil.
166.59
121.49
94.77
a b c
Gambar 5. Hasil pengukuran besar kristalit nanorod ZnO hasil reaksi sol-gel (Zn(NO3)2.4H2O dan NH4OH
dengan 3 gram PEG pada kondisi: (a) tanpa penundaan evaporasi NH3; (b) penundaan evaporasi
NH3 selama 1 jam dan (c) penundaan evaporasi NH3 selama 2 jam
4. KESIMPULAN
Sintesis nanorod ZnO telah berhasil dilakukan dengan metode sol-gel menggunakan
prekursor Zn(NO3)2.4H2O dan NH4OH pada temperatur yang relatif rendah, yaitu 75oC.
Penambahan PEG ke dalam prekursor campuran dari 1 hingga 3 gram memberikan efek
peningkatan diameter nanorod ZnO dari 157 menjadi 464 nm, namun tidak memberikan efek
terhadap perbedaan ukuran nanokristalit di dalam struktur nanorod itu sendiri, dimana ukuran
nanokristalit tetap konstan sekitar 94-95 nm seiring dengan penambahan PEG tersebut. Pada
proses sintesis nanorod ZnO dengan penambahan PEG sebesar 3 gram, penundaan laju
evaporasi NH3 selama 1 dan 2 jam, memberikan efek terhadap penurunan diameter nanorod
menjadi 410 dan 328 nm, sebagai perbandingan dengan diameter nanorod ZnO tanpa proses
penundaan evaporasi NH3 yang mencapai ukuran sebesar 464 nm. Hal ini terkait dengan
interaksi yang lebih lama antara spesies intermediate Zn(NH3)42+ dan inti-inti ZnO. Di sisi
lain hal ini juga memberikan kesempatan bagi inti-inti ZnO sebagai hasil reaksi prekursor
Zn(NO3)2.4H2O dan NH4OH untuk tumbuh lebih besar dalam konstrain diameter yang lebih
kecil, yang memberikan efek peningkatan ukuran nanokristalit sebesar 121.49 dan 166.59 nm
untuk sampel dengan 1 dan 2 jam penundaan waktu evaporasi NH3, sebagai perbandingan
terhadap nanokristalit ZnO tanpa proses penundaan evaporasi NH3 yang hanya mencapai
ukuran sebesar 94.77 nm.
DAFTAR PUSTAKA
Seminar Material Metalurgi 2010
1. R.E. Service, “Materials Science-Will UV lasers beat the blues,” Science, 276, 895
(1997).
2. C.M. Jin, A. Tiwari and R.J. Narayan, J.Appl.Phys. 98, 083707 (2005).
3. M.Huang, S.Mao, H.Feick, HQ. Yan, Y.Y. Wu, H.Kind, E.Weber, R.Russo and P.D.
Yang, Science, 292, 1897 (2001).
4. Y.R. Ryu, T.. Lee, J.A. Lugbuban, H.W. White, B.J. Kim, Y.S. Park and C.J. Youn, Appl.
Phys. Lett. 88, 241108 (2006).
5. S.H. Park, S.H. Kim and S.W. Han, Nanotechnology, 18, 055608 (2007).
6. Z.P. Wei, Y.M. Lu, D.Z.Shen, Z.Z. Zhang, B.Yao, B.H. Li, J.Y. Zhang, D.X. Zhao,
X.W.Fan and Z.K. Tang, Appl. Phys. Lett. 90, 042113 (2007).
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 123
Seminar Material Metalurgi 2010
124 | ISSN : 2085 – 0492
FABRIKASI KAWAT SHAPE MEMORY ALLOY Ni-Ti
SKALA LABORATORIUM
Abstrak
Shape memory alloy (SMA) memiliki kemampuan untuk merekoveri regangan plastis dan kembali ke
bentuk awal pada saat dipanaskan. Dengan karakteristik shape memory effect (SME) seperti ini SMA dapat
dimanfaatkan sebagai coupling (penyambung), konektor listrik dan aktuator. Shape memory alloy yang paling
potensial dan memungkinkan untuk berbagai aplikasi di industri adalah paduan Ni-Ti karena memiliki keuletan
yang lebih besar, regangan rekoveri lebih besar, ketahanan korosi yang ekselen, suhu transformasi yang stabil,
biokompatibilitas yang tinggi dan dapat dipanaskan secara elektrik untuk rekoveri bentuk [Waran, 1993].
Sampai saat ini aplikasi paduan shape memory Ni-Ti telah menyebar di berbagai bidang seperti peralatan
rumah tangga, teknik sipil, otomotif, mikro elektro-mekanik (MEM), peralatan medis dan lain-lain. Tulisan ini
memaparkan kegiatan fabrikasi skala laboratorium kawat paduan shape memory Ni-Ti ekuiatomik dan
karakterisasinya sebagai langkah awal dalam kegiatan pengembangan shape memory alloy di Indonesia.
Kawat shape memory Ni-Ti yang dihasilkan pada kegiatan ini memiliki karakteristik shape memory yang sesuai
dengan NiTi komersial.
Abstract
Shape memory alloys (SMA) have the ability to recover plastic strain and restore the alloys to the
original shape upon heating. This shape memory effect (SME) can be used for coupling, electrical connecting
and actuation. Nickel-titanium (Ni-Ti) is the most potential shape memory alloys for industrial applications due
to its greater ductility, more recoverable strain, excellent corrosion resistance, stable transformation
temperature, high biocompatibility, and the ability to be electrically heated for shape recovery [Waram, 1993].
To date, Ni-Ti SMA are found in widespread application such as home appliances, civil engineering,
automotives, micro-electro mechanics (MEM), medical devices, and so on. This paper reports the fabrication
and characterization of Ni-Ti shape memory wires in a laboratory-scale as the first step in the development of
shape memory alloys in Indonesia. The Ni-Ti shape memory wires resulted from this work have the shape
memory characteristics similar with those of the commercial Ni-Ti alloys.
I. PENDAHULUAN
Shape memory alloy (SMA) merupakan material cerdik-fungsi (smart dan functional)
yang mempunyai kemampuan untuk merekoveri regangan plastis dan kembali ke bentuk
Seminar Material Metalurgi 2010
awal pada saat dipanaskan. Fenomena ini merupakan hasil dari perubahan fasa kristalin yang
dikenal dengan transformasi martenisitik thermoelastik [1-3]. Pada suhu rendah atau di bawah
suhu transformasi, SMA memiliki fasa martensitik yang lunak dan dapat dideformasi plastis
dengan mudah sehingga bentuknya berubah. Akan tetapi pada saat dipanaskan di atas suhu
transformasi, dalam hal ini suhu terbentuknya austenit sampai 100% (Af), SMA mengalami
perubahan struktur kristal menjadi fasa austenitik yang menyebabkan ia kembali ke bentuk
semula sebelum dideformasi plastis. Sifat seperti ini dikenal dengan shape memory effect
(SME).
Ada beberapa jenis paduan yang menunjukkan fenomena SME seperti paduan NiTi,
Cu-based dan Fe-based alloy. Paduan Cu-based masih mempunyai masalah untuk skala
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 125
aplikasi industri, yaitu terjadinya natural aging yang menyebabkan penurunan fenomena
SME, dan pertumbuhan butir selama perlakukan termomekanik yang menyebabkan
pergeseran suhu transformasi martensit termoelastik [4]. Shape memory alloy yang paling
penting dan memungkinkan untuk aplikasi di industri adalah paduan NiTi. Paduan NiTi dapat
dideformasi plastis sampai lebih dari 50% regangan, memiliki SME yang stabil dan NiTi
dapat merekover bentuk awal (sampai regangan 8%) pada waktu dipanaskan di atas suhu
trasformasi atau dapat menghasilkan tegangan restorasi yang tinggi (sampai 700 Mpa) [4-6].
Para peneliti, pendisain dan industri memanfaatkan potensi SME ini untuk aplikasi
teknik. Pada awalnya SMA digunakan untuk peralatan statik seperti coupling (penyambung)
untuk sistem perpipaan dan konektor listrik. Kemudian para peneliti mulai memanfaatkan
peralatan SMA untuk aplikasi dinamik, yaitu sebagai aktuator. Untuk melakukan tugas
dinamik ini, SMA harus dilakukan sebuah siklus pemanasan, pendinginan dan deformasi.
Sumber untuk memanaskan SMA bisa berasal dari elektrik misalnya dalam aplikasi mikro
robotik atau bisa dengan memanfaatkan suhu lingkungan seperti untuk aplikasi sistem
pengaturan suhu. Beberapa contoh lain aplikasi yang menggunakan suhu lingkungan adalah
misalnya peralatan SMA digunakan untuk membuka dan menutup jendela rumah kaca secara
otomatis, mengoperasikan katup yang mengontrol suhu gedung, mengontrol kopling kipas
pada otomobil dan mengontrol aliran oli pelumas pada sistem transmisi otomotif otomatik.
Pada kelompok aplikasi ini peralatan SMA bertindak sebagai sensor termal dan aktuator, tidak
ada sumber elektrik yang dibutuhkan pada sistem tersebut. Kemudian sebagai bagian dari
mekanisme siklus SME, dibutuhkan gaya balik (bias force) dengan arah berlawanan untuk
mengembalikan SMA ke posisi semula.
Penggunaan aktuator SMA memberikan alternatif yang menarik terhadap metoda
aktuasi konvensional. Aktuator SMA telah diaplikasikan dengan sukses untuk kompensasi
termal, aktuasi termal dan proteksi termal. Aktuator SMA merespon perubahan suhu dengan
perubahan bentuk dengan kata lain dapat merubah energi panas menjadi energi mekanik.
Aktuator SMA memberikan perubahan gerakan yang besar dengan ukuran yang relatif kecil
sehingga menghasilkan output kerja yang tinggi. Dibandingkan dengan jenis-jenis aktuator
lain (bi-metal, elektromagnet, PZT dan lain-lain), aktuator dari SMA memberikan output
kerja spesifik/volume yang paling tinggi seperti ditunjukkan oleh Gambar 1. Aktuator SMA
biasanya terdiri dari hanya satu komponen tunggal, misalnya dalam bentuk pegas spiral dan
tidak membutuhkan sistem mekanik yang rumit. Aktuator SMA dapat dipasangkan pas ke
dalam ruang di dalam desain yang telah ada dengan rapat, sedangkan aktuator termal yang
lain seperti bimetal akan membutuhkan desain ulang dari produk.
Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 1. Perbandingan output kerja spesifik/volume dari jenis-jenis aktuator yang berbeda [2].
SMA sebagai material cerdik-fungsi mendapat perhatian yang besar baik dari sisi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun dari sisi aplikasi industri. Sampai
saat ini aplikasi SMA khususnya NiTi telah menyebar di berbagai bidang seperti ruang
peralatan rumah tangga, teknik sipil, otomotif, mikro elektro-mekanik (MEM), peralatan
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 127
terakhir pada lubang ke 10 menghasilkan sampel rod dengan diamter 3 mm. Pada tahap ini
satu ingot mengalami retak karena dilakukan pengerolan dingin (tidak dalam kondisi panas)
sehingga dari 5 sampel tinggal 4 sampel yang diteruskan ke tahap selanjutnya. Gambar 2
menunjukkan rod paduan NiTi hasil pengerolan panas.
5. Penarikan kawat (Wire drawing)
Untuk mendapatkan bentuk kawat, pada rod yang dihasilkan dari pengerolan panas
yang memiliki diameter 3 mm kemudian dilakukan proses penarikan kawat (wire drawing)
secara bertahap (multipass drawing). Di antara tahapan penarikan kawat, sampel di anil
(intermidiate annealing) di dalam tungku fludized bed untuk menghindari retak. Kawat yang
dihasilkan dari penarikan terakhir memiliki diameter akhir 1,4 mm. Gambar 2a menunjukkan
proses penarikan kawat. Pada kawat yang dihasilkan kemudian dilakukan lagi pemanasan anil
akhir (Post deformation annealing) di dalam tungku fludized bed.
(1)
Di mana a adalah rekoveri regangan mutlak dan p =t/d.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 129
relatif sama, yaitu selang untuk As= 94,66-94,75oC dan selang untuk Af= 95,50-95,60oC. Hal ini sesuai
dengan komposisi keempat paduan NiTi yang relatif sama. Pada saat pendinginan sampai suhu kamar
tidak ditemukan adanya cekungan atau puncak pada kurva, sehingga tidak dapat ditentukan Ms (suhu
martensit awal) dan Mf, tetapi nilai keduanya dapat diperkirakan berada di bawah suhu kamar.
Gambar 4. Kurva hasil pengujian DSC.
3 (a)
(b)
Gambar 5. Profil XRD untuk kawat paduan NiTi yang dianil dan didinginkan di (a) udara (b) air.
Kurva tegangan-regangan hasil uji tarik sampai putus terhadap kawat paduan NiTi
dalam kondisi anil ditunjukkan oleh Gambar 6. Keempat sampel memiliki bentuk kurva yang
relatif sama. Adanya belokan kurva (daerah plastis) pada bagian tengah menunjukkan adanya
fasa martensit di dalam paduan NiTi. Daerah belokan yang sempit menunjukkan adanya
campuran fasa martensit dan austenit seperti ditunjukkan oleh hasil pengujian XRD pada
Gambar 5. Pada kurva tegangan regangan martensit tersebut tedapat 2 daerah elastik dan 2
daerah plastik. Daerah plastik di bagian tengah kurva menunjukkan martensit dalam keadaan
de-twinned. Regangan plastis pada daerah martensit de-twinned inilah yang dapat direkoveri
pada saat paduan NiTi dipanaskan melebihi suhu Af , sehinga menimbulkan efek shape
memory. Sedangkan nilai kekuatan tarik, kekuatan luluh dan regangan yang ditentukan dari
kurva tegangan-regangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kekuatan tarik, kekuatan luluh dan elongasi kawat paduan NiTi.
No. Sample Kuat Luluh (N/mm2) Kuat Tarik (N/mm2) Elongasi
1 A 388,76 730,87 34
2 C 326,56 746,42 24
3 D 327,56 715,32 30
4 E 264,36 699,77 16
Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 7. Percobaan rekoveri regangan pada kawat paduan NiTi. (a) setelah dibengkokan dan (b) setelah
dipanaskan sampai di atas suhu Af .
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 131
6. Sifat shape memory kawat paduan NiTi
Gambar 6 menunjukkan kawat paduan NiTi pada percobaan rekoveri regangan.
Gambar 7(a) adalah kawat yang setelah dibengkokkan, sedangkan Gambar 7 (b) adalah kawat
setelah dilakukan pemanasan yang memperlihatkan adanya pemulihan bentuk atau rekoveri
regangan. Pengukuran sudut-sudut dari gambar tersebut di tunjukkan pada Tabel 4. Dari tabel
tersebut dapat dilihat bahwa rekoveri regangan mutlak a untuk kawat paduan NiTi yang
dibuat berkisar dari 7,40% (sampel B) sampai 8,83% (sampel D). Nilai regangan rekoveri
kawat paduan NiTi yang dibuat pada studi ini sudah memenuhi standar rekoveri regangan
paduan NiTi komersial yaitu 8,5%. Sehingga kawat paduan NiTi yang dibuat memiliki sifat
shape memory yang sesuai dengan paduan NiTi komersial.
IV. KESIMPULAN
Pada kegiatan ini telah berhasil dibuat kawat paduan NiTi equiatomik melalui tahapan
proses peleburan di dalam vacum arc furnace, pengepresan panas, pengerolan panas dan
penarikan kawat. Karakterisasi terhadap kawat yang dihasilkan menunjukkan bahwa paduan
termasuk jenis Ni-rich Ni-Ti ekuiatomik (Ni51,15Ti48,85) dengan suhu As= 94,66-94,75 oC dan
Af = 95,50-95,60 oC, Ms dan Mf berada di bawah suhu kamar serta memiliki regangan
rekoveri berkisar antara 7,4-8,83%. Kawat shape memory Ni-Ti yang dihasilkan memiliki
karakteristik yang sesuai dengan NiTi komersial.
DAFTAR PUSTAKA
1. B.C.Chang ,J.A. Shaw, M.A.Iadicola, Thermodynamics of shape memory alloy wire:
modeling, experiments, and application, Continuum Mech. Thermodyn. 18 (2006)
83–118.
2. M. Mertmann and G. Vergani, Design and application of shape memory actuators,
Eur. Phys. J. Special Topics, 158 (2008). 221–230
3. Ming H. Wu , Fabrication of Nitinol Materials and Components, Proceedings of the
International Conference on Shape Memory and Superelastic Technologies, Kunming,
China, (2001) 285-292 .
4. R.A. Sanguinetti Ferreira, E.P. Rocha Lima, A. Aquino Filho,N.F. de Quadros, O.
Olimpio de Araújo, Y.P. Yadava, Materials Research, 3 (4) (2000)119-123.
5. J.I.Kim and S.Myazaki, Comparison of Shape Memory Characteristics of a Ti-50.9 At.
Pct Ni Alloy Aged at 473 and 673 K, Met. Mat. Trans. A, 36A (2005) 3301-3310.
6. G.B.Cho,Y.H.Kim, S.G.Hur, C.A.Yu, and T.H.Nam, Transformation Behavior and
Mechanical Properties of a Nanostructured Ti-50.0Ni(at.%) Alloy, Met. Mat. Int., 12
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Dalam makalah ini akan dibahas proses sintesis serbuk nano PZT menggunakan metoda sol gel
termodifikasi. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian mengenai pembuatan tranduser/sensor ultrasonic
piezokomposit berbasis serbuk nano PZT sebagai filler dan polimer sebagai matrik. Sebagai precursor
digunakan bahan Ti(OC4H9)4, Zr(NO3)4.5H2O dan Pb(CH3COO)2.3H2O dengan pelarut berupa ethylene
glycol. Untuk memperoleh sifat piezoelektrik dekat dengan batas fasa morphotropic P(Zr0,52 Ti0,48)O3
perbandingan mol Pb:Zr:Ti adalah 1,1:0,52:0,48. Pembentukan sol dilakukan pada 60 0C dan kemudian
dilakukan pengeringan 90 0C hingga diperoleh Xerogel . Serbuk nano PZT terbentuk dengan perlakuan panas
pada 650 0C selama 2 jam. Pengamatan SEM dan XRD menunjukkan telah terbentuknya serbuk nano PZT
dengan struktur kristal perovskite.
Abstract
In this paper, it will be discussed synthesizing of nano powder PZT using modified sol gel method. This
research is part of work about fabrication process of piezocomposite materials as transducers/ sensor based
nano PZT as filler and matrix polimer. Ti(OC4H9)4, Zr(NO3)4.5H2O and Pb(CH3COO)2.3H2O was used as
precursor and solvent was ethylene glycol. To get piezoelectric characteristic near morphotropic phase
boundary (MPB) P(Zr0,52 Ti0,48)O3 , mole ratio Pb:Zr:Ti was 1,1:0,52:0,48. The sol was obtained at 60 0C
and then dried at 90 0C until xerogel formed. Nano powder PZT was obtained after thermal treatment of xerogel
650 0C for 2 h. SEM and XRD observation indicated nano powder PZT had been formed with crystal structure
perovskite.
I. PENDAHULUAN
Struktur kristal perovskite yang dimiliki material lead zirconate titanate (PbZrxTi1-xO3
(PZT)), terkait erat dengan sifat piezoelektrisitas kuat yang ditunjukkannya. Karenanya dalam
decade terakhir material ini banyak digunakan sebagai transduser /sensor ultrasonic[1].
Pemanfaatannya meluas mulai dari bidang pertanian, nuklir, elektronik/robot, uji tak merusak,
sumber energi alternatif hingga bidang kedokteran[2]. Dalam zona frekwensi rendah, ahli
medis menggunakannya sebagai alat terapi, sedang frekwensi tinggi sering dipakai untuk
diagnosis lewat teknologi pencitraan[3].
Tulisan ini merupakan bagian penelitian pembuatan transduser ultrasonic untuk
teknologi pencitraan bidang kedokteran[4]. Dari hasil penelitian sebelumnya dapat
dinyatakan baik komposisi maupun struktur PZT berhubungan erat dengan resolusi dan
sensitivitas citra medis( ultrasonograph, echocardiograph dll) yang ditampilkan[5]. Peralatan
pencitraan modern saat ini banyak menggunakan material komposit ( PZT + polimer) dengan
Seminar Material Metalurgi 2010
struktur 1-3 piezokomposit[6]. Banyak upaya penelitian terbaru terfokus untuk meningkatkan
resolusi citra tersebut diantaranya dengan studi transduser berbasiskan butiran nano PZT.
1. Sol gel termodifikasi (modified sol gel)
Metoda sol gel sering digunakan untuk sintesis nano PZT sebab melibatkan suhu
reaksi rendah, perbandingan komponen yang terkontrol baik serta tingkat kemurnian
tinggi[7,8]. Metoda lain untuk sintesis nano PZT adalah microwave hydrothermal, co-
precipitation, electrohydrodinamic atomization, ultrasonic spray combustion synthesis, metal
oxide decomposition. Sebagai pelarut dalam sol gel umumnya methoxyethanol atau asam
asetat dan precursor adalah lead asetat, zirconium alkoxides dan titanium alkoxides. Dalam
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 133
system ini reaksi hidrolisis dan kondensasi sangat sensitive terhadap air dan kelembaban
udara. Sehingga perlu zat penstabil semacam acetylacetone. Dalam paper ini dicoba metoda
yang digunakan oleh Zhang De-Qing dkk yang menggunakan ethylene glycol sebagai pelarut
dan lead asetat, tetrabutyl titanate, zirconium nitrate sebagai precursor[7,8].
2. Struktur kristal perovskite
Rumus kimia senyawa perovskite secara umum ditulis ABX3 dengan A dan B berupa
kation dan X anion. Pada PZT atom A adalah Pb, B bisa berupa Zr atau Ti sedang X atom O.
II. EKSPERIMEN
Percobaan yang dilakukan menggunakan metoda modified sol gel seperti yang
digunakan oleh Zhang De-Qing dkk[7,8]. Sebagai prescursors digunakan tetrabutyl titanat
Ti(OC4H9)4, zirconium nitrat Zr(NO3)4.5H2O, Pb(CH3COO)2.3H2O dan pelarut ethylene
glycol. Perbandingan molar Pb:Zr:Ti = 1,1:0,52:0,48 dengan mempertimpangkan Pb yang
hilang. Reaksi dimulai dari pencampuran zirconium nitrat dengan tetrabutyl titanat ethylene
glycol pada 60 0C selama 0,5 jam, untuk kemudian ditambahkan lead asetat. Setelah 2 jam sol
akan diperoleh yang selanjutnya dikeringkan pada 90 0C hingga terbentuk xerogel. Serbuk
nano PZT diperoleh dari perlakuaan panas sol pada suhu 650 0C selama 2 jam.
Secara skematik dapat digambarkan seperti dibawah ini :
6 7
1. Pencampuran Zr(NO3) 4.5 H 2Odan
650 C Ti(OC 4H 4)4 dalam ethylene glycol
2. {Zr(NO 3) 4.5 H 2O + Ti (OC 4H 9) 4}
dengan Pb(CH 3COO)2.3H 2O
3 Bentuk Sol
4 Sol dipanaskan pada 90 C hingga
terbentuk xerogel
4
2 5 5. Xerogel
90 C 1 6. Xerogel dipanaskan pada 650 0C
7. Serbuk Nano PZT
60C
3
Seminar Material Metalurgi 2010
0,5 Waktu (jam)
2,5
Gambar 2. Skema eksperimen modified sol gel
Hasil XRD juga menunjukkan struktur kristal yang terbentuk adalah perovskite
dengan fasa MPB P(Zr0,52 Ti0,48)O3
(110) (200)
(211)
(100)
(111) (201)
Bila dibandingkan dengan metoda sol gel yang lain seperti yang dilakukan oleh
Chontira S dkk[9] atau A.Khorsand dkk [10]atau K.Stanly J dkk [11] metoda ini lebih simple
dan membutuhkan waktu yang lebih sedikit. Dari persiapan hingga terbentuk serbuk nano
Seminar Material Metalurgi 2010
PZT metoda Zang De-Qing ini kurang lebih perlu waktu 4-5 jam saja. Sedang yang lain rata
rata 1hingga 3 hari.
IV. KESIMPULAN
Telah berhasil disintesis serbuk nano PZT menggunakan metoda sol gel termodifikasi
Zhang DeQing. Metoda ini lebih simpel, dilakukan pada suhu rendah serta waktu yang relatif
pendek. Ukuran butiran serbuk yang diperoleh dibawah 100 nm dengan struktur kristal
perovskite pada fasa MPB.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 135
DAFTAR PUSTAKA
1. M.Rosyid Ridlo,” PZT sebagai bahan utama sensor citra diagnostik”, Proc. Seminar
Nasional Keramik di BBK Bandung, mei 2009.
2. C.Miclea et all,” Advanced technology for making PZT type ceramics by fast firing”,
J.Opto and Adv.Mat,Vol 3 No 1 , March2001.
3. Medical ultrasonography http//en.wikipedia.org
4. M.Rosyid Ridlo,”Proposal penelitian insentif ristek: kombinasi 0-3/1-3 PZT piezo
nano komposite sebagai material sensor pencitraan diagnostik frekwensi tingg”, 2009
5. W.A.Smith, ” Composite piezoelectric materials for medical ultrasonic imaging
transducers”, Proc.1986 IEEE int symposium on appl. of Ferroelectric pp 249-256.
6. Ihor Trots et al,” Chosing an ultrasonic sensor for ultrasonography”, sensor &
Transducer Magazine,vol 36, Issue 10, Okt 2003,pp 8-15
7. Zhang De Qing et al,”Synthesis and mecanism research of an ethylene glycol based
sol gel method for preparing PZT nanopowders,”J Sol gel Sci Tech (2007)
8. Zhang De Qing et al, ” Structural and electrical properties of PZT/PVDF
piezoelectric nanocomposite prepared by cold press and hot press”, Chin.phys.lett,
vol 25, no 12 (2008) 4410.
9. Chontira S et,al,” Preparation of PZT nanopowders via sol gel processing”,
http://www.thaiscience.info/Journal/Data_Thaiscien
10. A.Khorsand Zak et.al” Characterization and X ray peak broadening analysis in PZT
nanoparticles prepared by modified sol gel method”, Ceramic International 36 (2010)
1905-1910
11. K.Stanly Jacob et.al,” Sol gel syntesis of nanocrystalline PZT using a novel system”,
J.Of sol gel science and technology 28, 289-295, 2003
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Bahan piezoelektrik yang digunakan sebagai transducer ultrasonik umumnya bahan berbasis timbal
(Pb) yakni PbZrxTi1-xO3 (PZT) dan dominan digunakan pada instrumen medis seperti USG. Walaupun PZT
adalah bahan piezoelektrik yang memiliki sifat piezoelektrisitas relatif baik, namun PbO juga merupakan salah
satu bahan beracun yang tidak ramah lingkungan (terutama limbah proses produksi) dan perlu diminalisasi
secara jangka panjang. Bahan piezoelektrik bebas Pb menjadi suatu prioritas penelitian dewasa ini, maka calon
kuat sebagai bahan masa depan adalah Bi0,5Na0,5TiO3 (BNT). Dalam memodifikasi bahan BNT diperlukan peng-
dopan bahan MnO2, agar performance bahan piezoelektrik menjadi lebih baik. Hal ini disebabkan bahan BNT
relatif memerlukan tegangan tinggi DC yang cukup tinggi sekitar 70KV, agar dapat me-polling bahan menjadi
searah dipole internal bahannya. Proses sintesa BNT-MnO2 telah dilakukan dengan menggunakan metoda solid
state reaction. Karakteriasi dan evaluasi sistem kristal dari tahapan proses dilakukan dengan pengukuran pola
difraksi sinar-x. Variasi prosentase berat MnO2 ke dalam BNT dapat mengubah parameter sistem kristal dari
BNT murni. Sehingga ada indikasi perubahan struktur dari sistem kristal rhombohedral ke tetragonal. Daerah
perbatasan perubahan fasa ini dikenal dengan MPB dan terjadi pada komposisi penambahan MnO2 pada
0,306%. Mikrograph dari bentuk partikel dari hasil sintesa dilakukan dengan menggunakan Scanning Electron
Microscope.
Abstract
Piezoelectric materials used as an ultrasonic transducer is generally based material of lead (Pb),
PbZrxTi1-xO3 (PZT), have been dominantly used in medical instruments such as USG. Although PZT is a
piezoelectric material having relatively good properties of piezoelectricity, but PbO is also one of toxic
materials that are not environmentally friendly (especially waste of production process) and need long-term
minimalization. Pb-free piezoelectric materials become a research priority today, then strong candidate as a
material future is Bi0,5Na0,5TiO3 (BNT). In modifying the materials needed MnO2-dopant material, im order to
get piezoelectric material performance for the better. This is due to BNT materials require relatively high DC
voltage of about 70KV high enough to be able to poll the material into the internal dipole direction. The
synthesis process of BNT-MnO2 has been carried out using solid state reaction method. Characterization and
evaluation of crystal system on the step process have been done by measuring the x-ray diffraction pattern.
Addition of variations MnO2 in weight percentages into BNT can change the parameters of crystal system of
BNT. So there is indication of crystal structure changes from rhombohedral to the tetragonal system. Border
area, known as phase change, occurs at the composition of MnO2 additiom at 0.306%, namely MPB.
Micrograph of particle shape from the synthesis product is done by using Scanning Electron Microscope
I. PENDAHULUAN
Bahan piezoelektrik merupakan salah satu bahan feroelektrik yang memiliki
fenomena sangat menarik yakni dapat membangkitkan muatan listrik pada saat material
dikenai stress mekanis, begitu juga sebaliknya, fenomena tersebut dapat pula membangkitkan
strain mekanis dalam merespon medan listrik yang teraplikasi pada bahan tersebut. Sehingga
pengembangan bahan dan aplikasinya sangat diminati oleh para peneliti dan perekayasa
dewasa ini, dikarenakan banyak sekali bentuk-bentuk penggunaannya dalam masyarakat
nanti dan sekarang ini. Diantaranya adalah cantilever untuk menghasilkan listrik berdaya
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 137
rendah, motor listrik mini, mikrofon dan alat kesehatan pada ultrasonography (USG).
Sedangkan salah satu aplikasi yang dikembangkan lebih intens pada saat ini adalah memori
ferroelectric yang diharapkan dapat menjadi primadona masa depan untuk menggantikan
sistem memori magnetik yang ada sebagaimana dikembangkan oleh G.H. Haertling [ 1- 4].
Gambar 1. a). Prinsip bahan piezoelektrik, diberikan stress mekanis menimbulkan listrik dan sebaliknya, b)
aplikasi motor mini piezoelektrik
Bahan piezoelektrik yang banyak diaplikasikan dewasa ini adalah bahan keramik
PbZrxTi(1-x)O3 (lebih dikenal dengan PZT). Akan tetapi pada proses sintesa dan bahan
teraplikasinya sangat perlu diwaspadai sekali, dikarenakan sifat beracun yang dimiliki lead
oxides dan senyawa lead (sebagai bahan dasar PZT ). Begitu juga proses penguapan selama
proses sintesa akan dan telah menyebabkan problem yang cukup serius secara jangka
panjang. Maka dari itu suatu pemilihan bahan aplikasi, mau tak mau, baik pada skala labor
maupun industri menjadi sangat bermakna sekali dalam penentuan kebijaksanaan nasional
jangka panjang.
Keberacunan bahan PZT ini membuat para peneliti mencari alternatif bahan
piezoelektrik yang lain bebas dari Pb (lead) dalam rangka proteksi lingkungan. Industri
Jepang telah mengembangkan the reactive templated grain growth (RTGG) method untuk
mengfabfrikasi bahan keramik piezoelektrik bebas Pb. RTGG method ini telah banyak
mengembangkan bahan-bahan seperti keramik feroelektrik berstruktur lapisan bismuth
(diantaranya Bi4Ti3O12 [5], CaBi4 Ti4O15 [6]), keramik pyrolektrik (Zn5O5In2O3 [7], NaCo2O4
[8]), dan keramik piezoelektrik lainnya (K0.5Na0.5 NbO3) .
Keluarga keramik berstruktur bismuth ini telah menjadi pilihan yang tepat dalam
penelitian kali ini untuk menyiasati bahan yang tidak beracun dan mempunyai sifat
piezoelektrik kuat. Sehingga bahan berstruktur bismuth Bi0.5Na0.5TiO3 (BNT) menjadikan
kandidat kuat bahan piezoelektrik bebas Pb [9,10,11]. Sintesa BNT yang dilakukan dewasa
ini di laboratorium PTBIN-BATAN telah menunjukkan terbentuknya sistem kristal perovskite
dengan menggunakan solid state reaction, sebagaimana dilaporkan oleh S.Ahda dkk [12].
Pengembangan bahan piezoelektrik BNT inilah terus dikembangkan, agar dapat
meningkatkan performance dari aplikasinya nanti.
Dalam penelitian kali ini, kita melihat pengaruh penambahan MnO2 pada BNT. Hal
Seminar Material Metalurgi 2010
ini juga dapat meningkatkan densifikasi bahan sebagaimana telah dikembangkan oleh Henry
Ekene Mgbemere[13] pada alkaline Niobate, begitu juga oleh Ahn, C.-W [14] pada KNN-BT.
Disamping itu juga Mangan juga dapat meningkatkan resistivitas listrik bahan keramik
piezoelektrik [14].
Sintesa yang dilakukan adalah menggunakan solid state reaction dan kemudian
dilakukan studi struktur kristal dengan variasi penambahan MnO2 itu sendiri. Penambahan
MnO2 ini diharapkan sebagai bahan dopant dari BNT. Dengan menggunakan analisis pola
difraksi sinar-x dari produk sintesa akan didapat perubahan struktur kristal BNT itu sendiri.
Gambar 2. Skematik flowchart dari proses sintesa BNT dengan penambahan MnO2.
yang dihasilkan.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 139
sinar-x dari MnO2 pada pola difraksi hasil sintesa. Apakah hal ini dapat dimungkinkan
adanya perubahan sistem kristal BNT rhombohedral, akibat dari penambahan MnO2 ini?
Perubahan ini juga diperkuat dengan pergeseran puncak-puncak nya untuk sudut difraksi
sinar-x 2 theta, sebagaimana terlihat pada salah satu puncak BNT 57,86o menjadi 58,02o,
58,16o, 58,26o secara berurutan dengan penambahan MnO2. Sehingga dimungkinkan struktur
BNT yang ditambahankan MnO2 menjadi berubah, baik bentuk maupun parameter kisi.
Untuk lebih lanjut, kita coba lihat puncak yang agak spesifik, sebagaimana diperlihatkan
dalam Gambar 4.
Gambar 3. Pola difraksi sinar-x dari bahan MnO2, BNT & hasil sintesa berbagai penambahan MnO2 pada BNT
Puncak-puncak dominan dari pola difraksi BNT dan juga untuk penambahan MnO2
tampak tidak berubah, walaupun ada berapa puncak-puncak kecil juga muncul akan tetapi
tidak signifikan, seperti terlihat pada pola difraksi dengan penambahan 0,2% MnO2. Pola
difraksi sinar-x dari BNT sesuai dengan analisis sistem kristal yang dikemukakan oleh
Toshiko tani dan Wei Zhao diperkirakan sebagai struktur bertipe perovskite dalam sistem
kristal rhombohedral [15-16] .
Pergeseran puncak-puncak dan perubahan bentuk dari intensitas difraksi dengan
penambahan Mn+4 dapat diindikasikan pada Gambar 4.
Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 4. Pola difaksi sistem BNT pada 2 theta dari 45,5o sampai 49o.
Semua puncak dalam pola difraksi sinar-x BNT+ Mn+4 korespond dengan BNT
dengan struktur rhombohedral dengan parameter kisi 3.886Å, sebagaimana ditulis kembali
Dimana a, c dan merupakan parameter kisi, h, k dan l adalah indeks Miller dari bidang
refleksi, sedangkan d adalah jarak antar bidang refleksi yang didapat dari = 2 d sin .
Panjang gelombang sinar x yang digunakan berasal dari CuK sebesar = 1,5404 Angstroom
dan merupakan sudut refleksi sinar-x. Hasil dari penghitungan dengan menggunakan data-
data puncak pola difraksi diatas dan indek miller yang telah diteliti [20], sehingga diperoleh
harga parameter kisi.
Tabel 1. hasil perhitungan parameter kisi untuk rhombohedral dan tetragonal
Rhombohedral Tetragonal
No % MnO2
a[Ả] [o] a[Ả] c[Ả]
0,2 3.8966 89.87 3.8883 2.7423
0,5 3.85338 90.27 3.8716 3.8635
0,8 3.85995 90.21 3.8741 3.8963
masih belum splitting atau masih tampak simetris. Dari analisis diatas dimugkinkan adanya
batas MBP dari rhombohedral ke tetragonal pada penambahan MnO2 pada 0,306%. Prediksi
MPB juga dilakukan dengan cara yang sama oleh Wei-Chih Lee [22,23] pada bahan BNT
dengan penambahan BZT dan juga dengan penambahan BSrT
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 141
3.9
0,306 rhombohedral
3.85
0.15 0.25 0.35 0.45 0.55 0.65 0.75 0.85
penambahan MnO2 [%]
Gambar 5. Hubungan harga a[Ả] dari rhombohedral dan tetragonal terhadap penambahan % MnO2.
Gambar 6. Mikrograph dari SEM dengan perbesaran 5000X untuk sampel a) dengan penambahan 0,5% MnO2
dan b) 0,8% MnO2.
Partikel-partikel dari mikrogarph diatas membentuk sudut dan pada penambahan 0,8% MnO2
lebih clear membentuk kotak atau sudut. Ukuran partikel untuk 0,5% MnO2 berkisar anatara
yaitu 1.23 µm – 3 µm dan untuk 0,8% MnO2 berkisar anatara 0.87 µm – 2.34 µm
IV. KESIMPULAN
Penambahan bahan dopant dari Mn4+ ke BNT menunjukkan perubahan pola difraksi
sinar-x dengan pergeseran puncak dan splitting puncak (terlihat pada sudut antara 45,5 – 49o).
Dari data hasil eksperimen ini menunjukkan MPB dari rhombohedral ke tetragonal pada
hasil sintesa dengan penambahan 0,5% MnO2. Hal ini juga dapat dimungkinkan terjadi
perubahan strukrur itu dari analisis model perubahan parameter kisi itu sendiri, sehingga
memungkinkan adanya batas MPB pada 0,306% MnO2.
Mikrograph dari hasil sintesa dengan penambahan 0,8% MnO2 menunjukkan bentuk
Seminar Material Metalurgi 2010
partikel lebih clear berbentuk sudut atau kotak dengan besar partikel berkisar antara 1.23 µm
– 3 µm.
DAFTAR PUSTAKA
1. G.H. Haertling, Ferroelectric Ceramics: History and Technology, J. Am. Ceram. Soc.
82(1999) 797.
2. F. Jona, Ferroelectric crystals, 1th edition, New York, Dover, 1993.
3. J. Scott and C.A. Araujo, Ferroelectric Memories, Science 246 (1989) 1400.
4. O. Auciello, J.F. Scott and R. Ramesh, The Physics of Ferroelectric Memories, Physics
Today, July 1998, 22
5. Takenaka T. Grain orientation effects on electrical properties of bismuth layer-
structured ferroelectric ceramics. J Ceram Soc Jpn 2002; 110(4): 215-224.
6. Takeuchi T, Tani T, Saito Y. Unidirectionally textured CaBi4Ti4O15 ceramics by the
reactive templated grain growth with an extrusion. Jpn J Appl Phys Part 1 2000; 39(9B):
5577-5580.
7. Tani T, Isobe S, Seo WS, Koumoto, K. Thermoelectric properties of highly textured
(ZnO)(5)In2O3 ceramics. J Mater Chem 2001; 11(9): 2324-2328.
8. Tajima S, Tani T, Isobe S, Koumoto K. Thermoelectric properties of highly textured
NaCo2O4 ceramics processed by the reactive templated grain growth (RTGG) method.
Mater Sci Eng B- Solid State Materials for Advanced Technology 2001; 86(1): 20-25.
9. Paisa, S, Narueporn. V, Surphakan. K, Aree .T, Science and Technology of Advanced
Materials 6 (2005) 278-281.
10. Chune.P, Jing-Feng Li, Wen Gong, Materials Letters 59 (2005) 1576-1580.
11. Shan Tao, Alain B.K., Emil A, Applied Physics 91 (2007) 112906
12. S.Ahda dan Mardiyanto, SYNTHESIS OF LEAD FREE PIEZOELECTRIC BNT
CERAMIC by USE OF SOLID STATE REACTION METHOD, ICMST, Oktober
2010.
13. Henry Ekene Mgbemere, Ralf-Peter Herber and Gerold A. Schneider, Effect of MnO2
on the dielectric and piezoelectric properties of Alkaline Niobate based lead free
piezoelectric ceramics, Journal of the European Ceramic Society Volume 29, Issue 9,
June 2009, Pages 1729-1733.
14. Ahn, C.-W., Song, H.-C., Nahm, S., Park, S.-H., Uchino, K., Priya, S., Lee, H.-G. and
Nam-Kee, K., Effect of MnO2 on the piezoelectric properties of
(1−x)(Na0.5K0.5)NbO3−xBaTiO3 ceramics. Jpn. J. Appl. Phys., 2005, 44, L1361–
L1364
15. Toshihiko Tani, Journal of the Korean Physical Society, Vol. 32, No. , Feburary 1998,
pp. S1217_S1220
16. Wei Zhao*, Jing Ya, Ying Xin, Zhifeng Liu, Lei E. and Dan Zhao, Recent Patents on
Materials Science 2008, 1, 241-248
17. Isupov, V.A. (2005), Ferroelectric Na0.5Bi0.5TiO3 and K0.5Bi0.5TiO3 perovskites and
their solid solutions. Ferro-electrics, 315(1), 123-147.
18. Park, S.E. and Chung, S.J. (1994), Phase transition of ferroelectric (Na1/2Bi1/2)TiO3
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 143
22. Wei-Chih Lee, Yi-Fang Lee, Min-Hui Tseng , and Chi-Yuen Huang, The Structure and
Dielectric Properties of Lead-Free Piezoelectric (Bi0.5Na0.5)TiO3 (Zr0.05Ti0.95)O3
Ceramic System, ceramic.che.nthu.edu.tw/document/ceramic2007/PF/PF%2015.pdf
23. Wei-Chih Lee, Chi-Yuen Huang, Liang-Kuo Tsao, Yu-Chun Wu, Chemical
composition and tolerance factor at the morphotropic phase boundary in
(Bi0.5Na0.5)TiO3-based piezoelectric ceramics, W.-C. Lee et al. / Journal of the
European Ceramic Society xxx (2008) xxx–xxx
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstract
The effort to synthesize ultra fine grain material has been done using Severe Plastic Deformation
method. The chosen technique for initiation of severe plastic deformation effect is the so-called Equal Angular
Channel Pressing (ECAP) technique with turning angular 120o. The results shows that the hardness of samples
treated by ECAP technique increases signifivsntly. The evaluation to the microstructure reveal the changes in
microstructure, the grain size become smaller and the shape has changed.
Keyword: Severe Plastic Deformation, Equal Angular Pressing, Ultra Fine Grain
Abstrak
Sintesa ultra fine grain material telah dilakukan dengan menggunakan metode Severe Plastic
Deformation. Teknik yang dipiulih untuk menginisiasi severe plastic deformation adalah teknik Equal Angular
Pressing dengan sudut belokan dies 120º. Hasil pengerjaan dengan teknik ini menghasilkan penaikan kekerasan
30%. Pengamatan terhadap struktur mikro menunjukan terjadinya perubahan struktur mikro setelah pengerjaan
dengan teknik ECAP berupa pengecilan ukuran butiran dan perubahan bentuk.
Kata kunci: Severe plastic deformation, equal angular pressing, ultra fine grain
I. PENDAHULUAN
Ultra fine grain materials dapat dibuat melalui jalur “bottom-up” ataupun “top-down”
[1-3]. Cara bottom-up dilakukan dengan menyusun material dimulai dari atom-atom atau
molekul sampai terbentuk cluster-cluster dan akhirnya didapat butir berukuran nano.
Sedangkan cara top-down dilakukan dengan memecah material berukuran besar (biasanya
dalam skala mikro) dengan energi sangat tinggi secara berulang sehingga terbentuk material
dengan ukuran sangat halus [4-6]. Material yang terdeformasi dengan energi per satuan luas
permukaan yang tingi akan mentransformasikan sub-struktur sehingga terbentuk sub-batas
dislokasi, sub-sel dan batas butir bersudut tinggi [7]. Sub-grain, yang merupakan bagian
terbelah butiran asalnya, terbentuk karena:
slip dislokasi menuju batas butir
perpindahan batas butir,
twin defmation,
sliding batas butir.
Semua mekanisme di atas terjadi karena konsentrasi tegangan per satuan luas yang
sangat tinggi sehingga sub-struktur (sebagian merupakan cacat struktur) bertransformasi dan
Seminar Material Metalurgi 2010
berpindah meninggalkan susunan atom yang berorientasi berbeda sehingga membentuk batas
butir baru, atau dengan kata lain menghasilkan butiran baru yang lebih kecil ukurannya.
Salah satu teknik yang sering digunakan untuk menghasilkan efek severe plastic deformation
adalah teknik Equal Channel Angular Pressing (ECAP). Teknik ini sering dipilih karena memiliki
kelebihan dalam menghasilkan ultra fine grain material tanpa merubah dimensi dan bentuk material.
Skema proses ECAP diperlihatkan pada gambar 1. Besarnya strain () berbanding lurus dengan sudut
belokan (), sesuai dengan persamaan di bawah ini:
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 145
Sedangkan besarnya shear strain () berbanding lurus dengan tekanan (P) sesuai dengan
persamaan di bawah ini [6]:
Setelah pengerjaan dengan teknik ECAP ini dilaporkan terjadinya perpanjangan bentuk
butiran, disamping terjadinya pembentukan butir baru. Setelah beberapa pass, akan terbentuk
juga shear band. Hal ini jelas akan menaikan nilai sifat mekanik material bersangkutan.
Umumnya material yang dilakukan proses ECAP akan mengalami kenaikan kekerasan yang
drastis [8].
Gambar 1. Skema Teknik Equal Angular Pressing Gambar 2. Dies untuk teknik ECAP
II. PERCOBAAN
Material yang akan digunakan dalam percobaan ini adalah tembaga murni. Teknik
yang dipilih adalah teknik ECAP. Ukuran benda kerja disesuaikan dengan luas penampang
dies ECAP. Dies ECAP terbuat dari tool steel jenis H13 yang mengalami proses heat
treatment dan nitriding untuk menjaga ketahanan aus akibat gesekan dengan tembaga. Sudut
belokan dibuat konstan sebesar 120o. Rute benda kerja dalam jalur dies ECAP adalah rute BA,
dimana benda kerja diputar sebesar 90o tiap pass.
Morfologi benda kerja hasil pengerjaan dengan teknik ECAP diamati dengan
menggunakan peralatan Scanning Electron Microscope (SEM) sedangkan pengujian
kekerasan, yang mewakili sifat mekanis, dilakukan dengan alat uji kekerasan dengan skala
Vicker.
130
125
Seminar Material Metalurgi 2010
Hardness (Vicker)
120
115
110
105
100
0 2 4 6 8 10
Jumlah Pass (kali)
Gambar 3. Pengaruh jumlah pass dalam proses ECAP terhadap kekerasan
Dari gambar 3 terlihat bahwa sampai 2 pass (0, 90o) kekerasan masih relatif konstan,
tetapi pada jumlah pass 4 (0, 90, 270, 360o) sampai dengan 8 (2 x [0, 90, 270, 360o] ) terjadi
peningkatan kekerasan cukup signifikan, sekitar 30% dari nilai kekerasan awal. Jumlah pass
diatur tidak lebih dari 8 pass karena pengecilan ukuran butiran pada bulk material (non-
powder) memiliki batas pengecilan sekitar 4-8 pass, dengan kata lain menaikkan jumlah pass
lebih dari 8 pass tidak merubah sifat mekanis benda yang diuji.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 147
Gambar 5. SEM micrograph dari sampel setelah melalui pengerjaan dengan teknik ECAP 4 pass
Hasil pengamatan struktur mikro menunjukan terjadinya perubahan drastis struktur
mikro pada sampel hasil ECAP 4 pass dibanding sampel awal. Terlihat jelas bentuk butiran
menjadi lebih kecil dan eliptic. Hal ini sesuai dengan perkiraan teoritik dimana deformasi
plastis yang amat besar akan menyebabkan tertransformasikannya sub-struktur dan
terciptanya butir baru yang lebih kecil ukurannya [4]. Selain itu terlihat juga perubahan
bentuk sudut batas butir menjadi high angle grain boundary. Hal ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh peneliti lain [9] dimana perubahan struktur mikro setelah
pengerjaan dengan teknik ECAP ternyata berupa perubahan sudut batas butir dan perubahan
ukuran butiran.
IV. KESIMPULAN
Pengerjaan tembaga dengan teknik ECAP menghasilkan tembaga dengan ukuran kecil
dan eliptik, serta sudut batas butir yang lebih kecil. Perubahan struktur mikro berupa
pertambahan sub-butir baru dan perubahan sudut butiran menyebabkan naiknya kekerasan
partikel.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Koch, CC, Rev. Adv. Matter.Sci. 5 (2003) 91
[2] Koch, CC, Rev. Adv. Matter.Sci. 42 (2007) 1403
[3] Koch, CC, Ovidko IA, Seal S, Structural Nanocrystalline Materials: Fundamentals and
Applications, Cambridge U. Press, 2007
[4] Langdon, TG, Rev. Adv. Matter.Sci. 13 (2006) 15
[5] Bobylev SV, Ovidko IA, Rev. Adv. Matter.Sci. 17 (2008) 76-89
[6] Zrinc J, Dobatkin SV, Mamuzic I, Metalurgija 47 (2008) 3
[7] V. M. Segal, V. I. Rezhnikov, A. E. Dobryshevsky, V. I.Kopylov, Russ. Metall. (Engl.
Transl.) 1 (1981) 99
[8] Molodova X, Berghammer R, Gottstein G, Hellmig RJ, Int. J. Mat. Res. 98 (2007) 3
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Telah dilakukan penelitian mengenai pembuatan material keramik boron karbida melalui metode sol-
gel berbahan dasar asam borat (B(OH)3), polyvinylalcohol (PVA), dan karbon (C). Tujuan dari penelitian ini
dititikberatkan pada pengaruh lama pemanasan dan waktu milling terhadap proses pembentukan material
keramik boron karbida. Sebelum sampel diberikan perlakuan panas, sampel dimilling terlebih dulu
menggunakan Vibration Ball Mill (VBM) dengan variasi waktu milling selama 2 jam, 4 jam, 6 jam, dan 8 jam.
Dari hasil analisis kualitatif dengan menggunakan ICDD diketahui bahwa sampel dengan waktu milling selama
8 jam memperlihatkan jumlah pembentukan fasa B4C yang semakin meningkat. Selain itu dilakukan pula variasi
lamanya waktu pemanasan untuk sampel yang dipanaskan pada suhu 800 oC dengan variasi waktu ½ jam, 1
jam, 3 jam, dan 4 jam. Hali ini diakukan untuk mencari waktu pemanasan yang terbaik untuk fasa B4C. Dari
hasil analisis kualitatif diketahui bahwa pembentukan fasa B4C dengan intensitas tertinggi pada sampel yang
dipanaskan selama 4 jam. Dapat ditarik kesimpulan bahwa lamanya pemanasan dan waktu milling
mempengaruhi proses pembentukan fasa boron karbida.
I. PENDAHULUAN
Sekitar tahun 1960 di Amerika mula-mula dikembangkan keramik perangkat militer
keramik pelindung (armored ceramics) untuk rompi tahan peluru adalah boron karbida (B4C).
Boron Karbida dikenal sebagai material keramik ketiga terkuat setelah Diamond dan Cubic
Boron Nitride (BN) dengan keuntungan lebih mudah disintesis dan sangat stabil pada
temperatur tinggi[2]. Dengan seiring berjalannya waktu dan berkembangnya ilmu pengetahuan
maka banyak peneliti yang mencoba untuk menemukan suatu metode baru yang lebih efektif
dari segi biaya produksi, waktu, dan prosesnya serta bahan yang digunakan. Secara tradisional
meterial keramik boron karbida disintesis pada temperatur tinggi, seperti mereaksikan secara
langsung karbon dengan boron, reduksi carbothermal dari boron oksida, serta mereaksikan
asam borat (B(OH)3) dan asam sitrat (C6H8O7.H2O) menggunakan metode reduksi
carbothermal seperti yang dilaporkan oleh A.K.Khanra[3]. Dari proses sintesis meterial
dengan menggunakan metode seperti diatas, dapat dihasilkan material keramik B4C dengan
proses yang sederhana, namun apabila diproduksi dalam jumlah skala besar dibutuhkan
temperatur yang tinggi (sekitar 10000C-20000C) sehingga akan mengakibatkan meningkatnya
biaya produksi. Sekarang ini telah banyak inovasi yang terus dilakukan oleh para peneliti
untuk dapat mensintesis material keramik boron karbida pada temperatur rendah. Salah satu
Seminar Material Metalurgi 2010
caranya dengan memproduksi serbuk boron karbida (B4C) seperti yang telah dilakukan oleh
Liang Shi et al serta Shampa Mondal dan Ajit K. Banthia, yaitu dengan meraksikan
polyvinylalcohol (PVA) dengan asam borat (B(OH)3) pada temperatur rendah [4]. Metode ini
diketahui telah mampu menghasilkan boron karbida (B4C) melalui proses yang cukup
sederhana dengan menggunakan material dasar yang mudah didapat. Berdasarkan hal diatas,
maka penelitian ini akan dititikberatkan pada pengaruh lama pemanasan dan waktu milling
terhadap pembentukan keramik B4C dengan berbahan dasar asam borat (B(OH)3),
polyvinylalcohol (PVA), dan karbon (C) melalui metode sol-gel pada penahanan suhu 8000C
dan menganalisa pengaruh variasi waktu milling terhadap ukuran butir partikel dari sampel
material keramik B4C yang akan dihasilkan.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 149
II. METODE PENELITIAN
Teknik pembuatan material keramik B4C dalam penelitian ini adalah melalui proses
pemanasan pada temperatur rendah dengan tahapan proses sebagai berikut, asam borat, PVA,
dan karbon dilarutkan dalam aquadest dengan cara dicampurkan dalam kondisi panas di atas
hot plate . Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu ~150oC selama 6 jam sehingga
diperoleh material padatan yang dilanjutkan dengan proses penghalusan menggunakan
vibration disc mill selama 30 menit untuk tujuan proses kalsinasi pada suhu 400oC selama 1
jam. Proses milling dengan menggunakan vibration ball mill pada variasi waktu 2, 4, 6 dan 8
jam. Perlakuan panas pada suhu 800oC dengan variasi lama pemanasan ½, 1, 3, dan 4 jam
dilakukan pada padatan berupa silinder hasil kompaksi dengan beban 3 ton. Karakterisasi
yaitu identifikasi fasa dengan difraksi sinar-x (XRD) dan analisis struktur mikro & ukuran
butir menggunakan scanning electron microscope (SEM).
Gambar 1. (a) Gel yang sudah dipisahkan dari cairan. (b) . Penggembungan gel selama proses pengeringan. (c)
Sampel hasil proses kompaksi
Peletakkan sampel pada petridish selama proses pengeringan berlangsung hanya pada
satu permukaan saja, sehingga permukaan gel yang berada di bagian bawah masih
mengandung air. Hal ini mengakibatkan membengkoknya sisi-sisi gel ke arah yang
▲
● c
●
intensity (count)
b
a
Seminar Material Metalurgi 2010
20 30 40 50 60 70 80
2θ (degree)
Gambar 2. Perbandingan waktu milling untuk sampel hasil campuran asam borat (B(OH)3), polyvinylalcohol
(PVA), dan karbon (C) yang dipanaskan pada suhu 800oC selama 1 jam, dengan : (a) 2 jam
milling,(b). 4 jam milling, (c). 6 jam milling, (d). 8 jam milling.
Pada saat proses milling berlangsung, partikel mengalami tekanan mekanik pada
daerah titik kontak (contact point) berupa tekanan, tumbukkan dan pemotongan (shear). Maka
dapat terlihat bahwa proses lamanya waktu milling yang dilakukan mempengaruhi proses
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 151
pembentukan fasa. Hal ini dikarenakan ukuran partikel yang halus dan distribusi partikel yang
merata dapat meningkatkan laju difusi dari berkurangnya ukuran partikel yang menyebabkan
jarak difusi partikel juga berkurang. Selain itu, dapat ukuran partikel yang semakin halus dan
distribusi partikelnya merata dapat menghasilkan luas permukaan reaksi yang lebih besar.
Sehingga hal inilah yang menyebabkan reaksi pembentukan fasa yang diinginkan dapat
dilakukan pada waktu pemanasan yang lebih cepat dan pada suhu yang rendah.
B4C
▲ B2O3
▲ ● C
▲
● ▲
▲
●
▲ ▲ ●
intensity(count)
▲
●
●
●
20 30 40 50 60 70 80
2θ (degree)
Gambar 3. Perbandigan variasi lamanya pemanasan dengan waktu milling selama 6 jam pada suhu 800 oC
dengan : (a). ½ jam pemanasan, (b). 1 jam pemanasan, (c). 3 jam pemanasan, (d). 4 jam pemanasan.
Tujuan dari dilakukannya perlakuan panas dengan variasi lama pemanasan ini adalah
untuk mengetahui waktu optimum untuk pembentukan fasa boron karbida. Pada waktu ½ jam
pemanasan, pembentukan fasa menghasilkan dua fasa yaitu boron karbida dan karbon. Boron
karbida pada pemanasan ½ jam ini memiliki dua puncak fasa sedangkan untuk fasa karbon
hanya terbentuk satu puncak. Pada waktu 1 jam pemanasan terbentuk tiga fasa yaitu boron
karbida, boron oksida dan karbon. Tetapi pada sampel ini fasa karbon meupakan fasa yang
paling dominan yang terbentuk dibandingkan dengan kedua fasa lainnya. Untuk sampel yang
Seminar Material Metalurgi 2010
dimilling selama 6 jam dengan waktu pemanasan 3 jam terbentuk tiga fasa yang dihasilkan
yaitu boron karbida, boron oksida dan karbon. Pada waktu ini fasa yang paling dominan
adalah fasa boron oksida yang menghasilkan empat puncak dari hasil data difraksi yang
diperoleh. Selanjutnya pada waktu 4 jam pemanasan hanya terbentuk dua puncak saja yaitu
boron karbida dan boron oksida. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa fasa B4C
dengan intensitas tertinggi terjadi pada waktu pemanasan yang ditahan selama 4 jam.
Struktur Mikro
Analisis struktur mikro dilakukan untuk melihat ukuran butir dari masing-masing
sampel yang dimilling dengan variasi waktu 2 jam, 4 jam, 6 jam, dan 8 jam.
(c) 6 jam milling (d) 8 jam milling
Gambar 4. Hasil foto SEM dari sampel hasil campuran asam borat (B(OH)3), polyvinylalcohol (PVA), dan
karbon (C) sebelum diberikan perlakuan panas.
Dari hasil foto SEM terlihat adanya perubahan ukuran butir pada masing-masing sampel.
Untuk sampel yang dimilling selama 2 jam memperlihatkan ukuran butir yang masih cukup
besar dan semakin lama waktu milling ukuran butir semakin halus. Dari foto SEM untuk
waktu milling selama 8 jam terlihat adanya penggumpalan (aglomerate), hal ini terjadi karena
ukuran partikel yang semakin halus memiliki kecenderungan untuk bersatu dengan fasa yang
sejenis sehingga terbentuk gumpalan.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, mateial keramik boron karbida dapat dihasilkan
dengan menggunakan metode sol-gel baik pada suhu rendah maupun pada suhu tinggi. Dari
sampel-sampel yang telah dihasilkan terbentuk tiga fasa diantaranya fasa boron oksida
(B2O3), fasa boron karbida (B4C) dan fasa karbon (C). Fasa tersebut muncul lebih banyak
dalam bentuk amorf dibandingkan dengan bentuk kristal. Hasil kajian dari penelitian yang
telah dilakukan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa waktu penghalusan (milling) dan lamanya
Seminar Material Metalurgi 2010
pemanasan merupakan hal yang mempengaruhi proses pembentukan fasa boron karbida
(B4C). Dengan waktu milling yang semakin lama, jumlah pembentukan fasa B4C semakin
meningkat yang disebabkan luas permukaan kontak antar partikel meningkat dan distribusi
partikel yang lebih merata. Selain itu, dari hasil foto SEM terlihat bahwa semakin lama waktu
penghalusan pada serbuk material akan mengakibatkan penggumpalan karena serbuk semakin
halus yang menyebabkan partikel-partikel lebih cepat berinteraksi.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 153
DAFTAR ACUAN
[1] Callister, William D. 1994. Materials Science and Engineering an Introductions, 3rd-
ed. John Willey & Sons, inc. New York.
[2] Charles W. Keenan, Donald C. Kleinfelter, Jesse H. Wood. 1992. Kimia untuk
Universitas Jilid 2 edisi ke-6, Terj. Aloysius Hadyana Pudjaatmaka, Ph.D, Jakarta:
Erlangga.
[3] Rahaman, M.N. 2001. Ceramic Processing. Taylor & Francis Group. New York,
USA.
[4] Linah. 2009. Efek Waktu Milling Terhadap Pembentukan Boron Karbida (B4C)
berbahan dasar Asam Borat (B(OH)3), Asam Sitrat (C6H8O7), dan Karbon (C) Melalui
Metode Reduksi Carbothermal. FMIPA UNJ. Jakarta.
[5] Saputra, Frilla RT. 2009. Sintesis Material Keramik Boron Karbida (B4C) berbahan
dasar Asam Borat (B(OH)3), Polyvinylalcohol (PVA), dan Karbon (C) dengan
menggunakan metode Sol-Gel. FMIPA UNJ. Jakarta.
[6] A. K. Khanra. 2007. Production of Boron Carbide Powder by Carbhothermal
Synthesis of Gel Material. J. pp. 93-96. Bull. Mat. Sci, Vol.30 No.2
[7] D.K. Bose. 1986. Production of high purity boron carbide high temperature. Mat. &
Proc. 7, 133-140.
[8] Linah, Erfan Handoko, Bambang Soegijono, dkk. 2008. Efek Temperatur terhadap
Pembentukan Fasa Boron Oksida (B2O3) pada Aam Borat (B(OH)3). Pros. SATEK II.
ISN : 978-979-1165-74-7.
[9] Shampa Mondal, Ajit K. Banthia. 2005. Low Temperature Synthetic Route for Boron
Carbid. J of the European Ceramics Society. 25,287-291.
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Sintesis serbuk nano Fe3O4 dilakukan dengan metode ko-presipitation. Serbuk Fe3O4 hasil sintesis
kemudian dipanaskan pada suhu 500oC selama 2 jam. Untuk menentukan fase kristal dan ukuran kristal yang
terbentuk, digunakan Difraktometri sinar-X. Ukuran kristal dihitung dengan menggunakan persamaan Scharerr.
Berdasarkan analisa XRD dari serbuk Fe3O4 diperoleh fase Magnetite (Fe3O4) dan fase hematit (α-Fe2O3)
dengan ukuran kristal rata-rata 84,73 nm
Kata kunci : Nanokristalin, Ko-presipitasi, Magnetite (Fe3O4) dan fase hematit (α-Fe2O3)
Abstract
Synthesis of Fe3O4 powder was conduct through co-precipitation methods. Fe3O4 formed powder was
heating at a temperature of 500oC for 2 hours. To determine the crystalline phases and crystals size of Fe3O4
powder was used X-rays Diffraction. Crystal size was calculated by Scharerr equation. Magnetite (Fe3O4) and
Hematite (α-Fe2O3) phase was indicated from Fe3O4 powder by X-rays Diffraction with average crystal size was
84.73 nm.
I. INTRODUCTION
Developments in nano materials research went nearly as it’s application. In particular
nanomagnetic field, research and analysis of research results have been successfully studied
some of the magnetic properties of Fe3O4 magnetic powder. The interesting ones is the
amount of material Fe3O4 opportunity to apply in various areas. Each application refers to a
different nature. In the health sector for example, the magnetic material used must have the
stability to temperature, chemistry, colloids, and the security of consumption (not toxic) (J,
Santoyo, et al., 2006). This study aims to synthesize Fe3O4 powders through nanocrystalinne
sized copresipitation methods.
Mineral Fe3O4
Magnetic minerals can be found in the iron sand. Largest magnetic mineral content in
the iron sand Magnetite Fe3O4) which is a family of iron oxide. Raw Magnetite (Fe3O4) are
chemically oxidized to hematite (α-Fe2O3) and Maghemit (γ-Fe2O3) (Yulianto, 2002).
Seminar Material Metalurgi 2010
Figure 1. Crystal Structure of Magnetite
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 155
Magnetic minerals have great potential to be developed as indutri material. Magnetite
(Fe3O4) for example, can be used as raw material dry ink (toner) on photo-copying machines
and laser printers. While Maghemite (γ-Fe2O3) as the main ingredient-cassette tape. Besides
that, Fine Magnetite, Maghemite, and Hematite is also used as a dye and a mixture (filler) to
paint as well as basic materials for the permanent magnet industry (Wise, 2003).
Co-precipitation Method
Co- precipitation method of (precipitation) is one kind of fabrication technique by
Seminar Material Metalurgi 2010
chemical means, this technique is used to separate the bullies impurities. The other method is
electrolysis, solvent extraction, and chromatography. In co-precipitation, basic powder
dissolved in strong acid solution and metal salt product was produced. Alkaline solution is
added gradually while stirring. Homogeneity of the solution is determined by the length of the
material reacts and temperature used. The results of the sediment was filtered and rinsed with
aquades to remove the remaining acid and other waste. Chemically, presipitation of powder
which has high purity, small particle size and tendency to beraglomerasi (Day & Underwood,
1989). The reaction on the formation of Fe3O4 deposition using coprecipitation process is as
follows:
Precipitation of Fe3O4
II. METHODOLOGY
The materials used in this study are alumina and magnesium powders with a purity
of> 99%, solvent 12.063% HCl, 6.5 M NH4OH solution and aquades. Fe powder dissolved in
HCl with a magnetic stirrer until the formation of a yellowish clear solution. During the
stirring process is the addition of HCl solution if the mixture is too thick, preventing the
mixing process. Adding NH4OH solution into the solution. The mixture was left for some
time until it forms deposits. Sediment washed with acid aquades to rest and other dirt
dissolved in it. Acidity test is performed to determine if the sediment is clean of residual acid.
Next sludge is filtered and heated at a temperature of 100oC in the oven for 1 hour followed
by heating at a temperature of 500oC. Formed powder tested with X-Ray Diffraction (XRD)
to determine the crystal size and phase are formed. Crystal size (D) can be identified by use
Schererr equation,
with D is the size (diameter) kristallites, λ is the wavelength of X-rays are used, θB is the
Bragg angle, while B is a half height width of diffraction peaks. Value of B can be obtained
from the half-FWHM values.
Hematite has the same top 3 with a sample of the diffraction peaks at 2θ = 24.10 o,
33.16o and 35.69o. As for Magnetite has the same peak 2 with the sample at 2θ = 30.23 and
35.69o. Iron oxide has the highest stability is Hematite and magnetite. While phase has
stability less stable (metastable) is maghemite c-Fe2O3 and wustite (Fe1_xO) (Handke, 2006).
Magnetite (Fe3O4) can be chemically oxidized to hematite (α-Fe2O3. In the synthesis process
Fe3O4 phase shift from Magnetite to maghemite and then transformed into Hematite. These
phase changes occur at a temperature of 240oC to 450oC (Guin et al, 2005). Hematite also can
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 157
be reduced with CO, CO2 or H2 into Magnetite (R. Fan, 2001). Reduction of the following
chemical equation
Characteristic diffraction peaks for each phase is at 2θ = 30.1 o for magnetite (220)
and at 2θ = 33.2o for Hematite taken from 2θ =20o to 50o ¬ (JP Gavirı'a, 2006)
.
Figure 3. XRD pattern changes with time at a temperature of 320oC (JP Gavirı'a, 2006).
Crystal size is calculated using the equation Schererr. The results obtained from the
calculation of the value of average crystal size of 84.73 nm.
IV. CONCLUSION
Based on experimental results obtained have made the following conclusion:
1. Fe3O4 powders can be obtained through co-presipitation methods. The resulting
powder has magnetic characteristics and is red brick.
2. Results of analysis of data XRD phase generated content Magnetite (Fe3O4) and
hematite (α-Fe2O3) with an average crystal size of 84.73 nm.
REFERENCES
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 159
Seminar Material Metalurgi 2010
160 | ISSN : 2085 – 0492
PENGARUH SOLUSI PERLAKUAN PANAS DAN PROSES ARTIFICIAL
AGING TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK
PADUAN ALUMINIUM 2024
Abstrak
Paduan Aluminium 2024 merupakan jenis paduan yang mampu panas, sehingga paduan tersebut dapat
ditingkatkan sifat kekerasannya dengan cara diberikan perlakuan panas (heat treatment). Oleh karena sifat
kekerasan yang dimiliki cukup baik, maka material ini banyak diaplikasikan pada industri pesawat terbang dan
pertahanan.
Dalam penelitian ini telah dilakukan proses perlakuan panas pada Paduan Aluminium 2024 yang
bertujuan untuk meningkatkan nilai kekerasan dari material tersebut. Proses perlakuan panas meliputi proses
solusi perlakuan panas pada temperatur 450°C , 550°C , dan 650°C dengan waktu penahanan selama 5 menit,
10 menit dan 15 menit dengan media pendinginan di air dan di udara bebas, dan artificial aging pada
temperatur 190°C selama 12 jam. Sebelumnya, Paduan Aluminium 2024 dilelehkan pada temperatur 900°C
dan didinginkan dia air (sampel A1). Pengujian nilai kekerasan dilakukan dengan menggunakan metode
Hardness Vickers (HV) dan pengujian struktur mikro dilakukan dengan menggunakan mikroskop optik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa nilai kekerasan semakin meningkat dengan lamanya waktu pemanasan pada
temperatur 450°C dan 550°C dan mencapai nilai maksimum setelah diberikan proses artificial aging pada
temperatur 190°C selama 12 jam.
A. PENDAHULUAN
Lebih dari lima puluh tahun, aluminium menduduki peringkat ke-tiga setelah besi dan
baja dalam perdangan logam. Kebutuhan akan logam aluminium terus meningkat secara
cepat, dikarenakan material tersebut merupakan material serbaguna dimana sifat yang dimiliki
dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan yang dapat diaplikasikan untuk keperluan
teknik dan konstruksi [1].
Ada dua jenis paduan aluminium, yaitu paduan aluminium mampu panas (heat
treatable alloy) dan paduan aluminium tidak mampu panas (non-heat treatable alloy).
Kekuatan yang dimiliki oleh paduan aluminium mampu panas dapat ditingkatkan dengan
penambahan elemen paduan seperti tembaga (Cu), zinc (Zn), magnesium (Mg), mangan (Mn)
dan silikon (Si). Sedangkan untuk jenis paduan aluminium tidak mampu panas, nilai kekuatan
hanya bergantung pada efek pengerasan dari elemen paduan sebagai sebuah elemen tunggal
atau kombinasi yang bervariasi [2].
Salah satu jenis paduan aluminium yang mampu panas dalam pembahasan ini adalah
Paduan Aluminium 2024 yang merupakan seri paduan 2xxx yang banyak digunakan secara
luas dalam industri struktur penerbangan. Hal itu dikarenakan paduan ini memiliki kekuatan
spesifik yang sangat baik dan ringan [3]. Paduan Aluminiun 2024 telah diperkenalkan oleh
Seminar Material Metalurgi 2010
ALCOA (Aluminum Company of America) pada tahun 1931 [4]. Selain itu, jenis paduan ini
juga merupakan jenis paduan yang sifat kekerasannya dapat ditingkatkan dengan cara
diberikan perlakuan panas (heat treatment). Proses perlakuan panas yang dilakukan meliputi
proses solusi perlakuan panas (solution treatment), quenching dan proses penuaan
(aging/precipitation hardening) [5].
Proses solusi perlakuan panas pada Paduan Aluminium 2024 dilakukan pada
temperatur eutektiknya, yaitu sekitar 548°C dengan komposisi elemen Cu (tembaga) di
bawah 5.7 % yang masih tergolong pada kondisi fasa tunggal [6]. Pada temperatur 548°C ,
elemen Cu memiliki daya larut maksimum yang menyebabkan atom-atom dari elemen Cu
terdistribusi secara merata pada fasa matrik aluminium melalui proses difusi [7]. Adapun
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 161
proses proses penuaan buatan dilakukan untuk memperoleh kekerasan yang maksimum,
karena proses penuaan berperan dalam proses terjadinya difusi pada jarak yang sangat pendek
pada fasa aluminium dan berperan dalam proses pertumbuhan butir [6]. Proses penuaan
buatan biasanya dilakukan pada temperatur elevasi dari paduan, untuk Paduan Aluminium
2024 berkisar antara 100 °C sampai 200°C [8]. Adapun ilustrasi dari hasil proses penuaan
buatan dalam kaitannya dengan sifat kekerasan dapat diGambarkan pada Gambar 1 di bawah
140
120
4.0 %Cu
80
60
3.0 %Cu
40 2.0 %Cu
0.1 1 10 100
Gambar 1. Grafik hubungan antara waktu penuaan dengan kekerasan [erwin siahaan]
B. METODE PERCOBAAN
Tahap awal yang dilakukan adalah menyiapkan sampel Paduan Aluminium 2024 yang
meliputi proses pemotongan terhadap material tersebut. Setelah proses preparasi, maka
sampel tersebut dilebur pada temperatur 900°C dengan media pendinginan di air (sampel
A1), dilanjutkan dengan pengujian struktur mikro menggunakan Mikroskop Optik dan sifat
nilai kekerasannya dengan menggunakan metode Vickers. Sebelum proses pengujian struktur
mikro, sampel dietsa dengan menggunakan larutan HNO3, HF, HCl dan H2O [Vander].
Sampel yang telah dilebur, kemudian dipotong menjadi 18 keping untuk proses solusi
perlakuan panas. Kemudian setelah proses pemotongan dilakukan, masing-masing sampel
dipanaskan pada temperatur 450°C , 550°C dan 650°C dengan variasi waktu penahan selama
5 menit, 10 menit dan 15 menit dengan media pendinginan di air. Setelah itu dilakukan
pengujian kembali struktur mikro dan kekerasannya. Kemudian tahap terakhir adalah proses
Seminar Material Metalurgi 2010
penuaan buatan pada temperatur 190°C selama 12 jam, dan dilanjutkan dengan proses
pengujian struktur mikro dan sifat mekanik.
Gambar 2. Struktur mikro sampel A1 yang dipanaskan pada temperatur 450°C (a). Selama 5 menit, (b). Selama
10 menit dan (c). Selama 15 menit, masing-masing didinginkan di air dan diukur dengan dengan
menggunakan Mikroskop Optik.
Gambar 3. Struktur mikro sampel A1 yang dipanaskan pada temperatur 550°C (a). Selama 5 menit, (b). Selama
10 menit dan (c). Selama 15 menit, masing-masing didinginkan di air dan diukur dengan dengan
menggunakan Mikroskop Optik.
Gambar 4. Struktur mikro sampel A1 yang dipanaskan pada temperatur 450°C (a). Selama 5 menit, (b). Selama
10 menit dan (c). Selama 15 menit, masing-masing didinginkan di air dan diukur dengan dengan
menggunakan Mikroskop Optik. Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 5. (a). Struktur mikro sampel A1 setelah dipanaskan pada temperatur 450°C selama 15 menit dan
dilanjutkan dengan proses penuaan pada temperatur 190°C selama 12 jam, (b). Struktur mikro
sampel A1 setelah dipanaskan pada temperatur 550°C selama 15 menit dan dilanjutkan dengan
proses penuaan pada temperatur 190°C selama 12 jam dan (c). Struktur mikro sampel A1 setelah
dipanaskan pada temperatur 650°C selama 15 menit dan dilanjutkan dengan proses penuaan pada
temperatur 190°C selama 12 jam, masing-masing didinginkan di air dan diukur dengan
menggunakan Mikroskop Optik.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 163
130 450 °C
550 °C
110
100
90
80
70
5 menit 10 menit 15 menit 12 jam
Gambar 6. Grafik kekerasan Vickers sampel A1 setelah dipanaskan pada temperatur 450°C , 550°C dan 650°C
dengan media pendinginan di air.
2. Pembahasan
Pada Gambar 2 terlihat adanya perbedaan ukuran butir pada sampel A1 setelah
dipanaskan pada temperatur 450°C seiring dengan perbedaan variasi waktu. Untuk sampel
yang dipanaskan pada temperatur 450°C dengan variasi waktu 5 menit (Gambar 2(a)), 10
menit (Gambar 2(b)) dan 15 menit (Gambar 2(c)) yang didinginkan di air terlihat ukuran butir
semakin kecil seiring dengan bertambahnya waktu pemanasan. Hal itu dikarenakan semakin
lama proses pemanasan, maka semakin banyak fasa presipitat yang berdifusi yang
menyebabkan atom-atom presipitat terdistribusi lebih merata pada fasa matriknya yaitu
aluminium dan proses pendinginannya terjadi secara cepat sehingga fasa-fasa presipitat tetap
dipertahankan. Sedangkan pada Gambar 4.18, Gambar 4.19(a), 4.19(b) dan 4.19(c) terlihat
bahwa ukuran butir relatif semakin besar seiring dengan bertambahnya waktu pemanasan baik
yang didinginkan di air maupun yang didinginkan di udara bebas. Hal itu dikarenakan sampel
awal yaitu A2 dan A3 merupakan sampel yang proses pendinginannya terjadi secara lambat
dan sangat lambat setelah proses peleburan yang menyebabkan atom-atom fasa presipitat pada
sampel A2 sebagian terkumpul secara berkelompok (clustering) di daerah batas butir (grain
boundaries). Begitu pula untuk sampel A3, fasa-fasa presipitat terkumpul secara berkelompok
di daerah batas butir dalam jumlah yang relatif besar dibandingkan dengan yang terjadi pada
sampel A2. Hal tersebut menyebabkan ketika sampel tersebut diberikan perlakuan panas di
bawah daerah eutektik yaitu 450°C yang merupakan temperatur di bawah daya larut
maksimum Cu memberikan pengaruh yang relatif kecil untuk menyebabkan terjadinya proses
difusi fasa-fasa presipitat. Walaupun terjadi proses difusi atom-atom presipitat, akan tetapi
Seminar Material Metalurgi 2010
proses difusi atom-atom presipitat tersebut bukan untuk menyebar secara merata pada fasa
matriknya tetapi untuk lebih terkumpul pada batas butir, sehingga semakin lama proses
pemanasannya maka semakin banyak fasa presipitat yang terkumpul pada batas butir. Selain
itu, temperatur 450°C merupakan temperatur dan butiran pun menjadi lebih besar.
3. Kesimpulan
Nilai kekerasan Vickers sampel A1 setelah dipanaskan pada temperatur 450°C dan
550°C setelah didinginkan di air semakin meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu
pemanasan pada temperatur tersebut dan setelah proses penuaan buatan, dan semakin
menurun seiring dengan semakin lamanya waktu pemanasan setelah dipanaskan pada
DAFTAR PUSTAKA
[1] Tan Chee Fai and Mohamad R Said. 2009. Effect of Hardness Test on Precipitation
Hardening Aluminium Alloy 6061 T-6. Journal. Malaysia : Universiti Teknikal Malaysia
Melaka.
[2] Khan Muhammad Riaz, Irfanullah and Fajal-ur-Rehman. Beneficial Effect of Heat
Treatment on Mechanical Properties and Microstructure of Aluminum Alloy Used in
Aerospace Industry. Pakistan : University of Peshawar.
[3] Kissell Randolph, J,. Robert L, Ferry. 2002. Aluminum Structures, A Guide to Their
Spesifications and Design. Second Edition. John Wiley and Sons, Inc : New York.
[4] http://www.gabunganteknik.com (diakses pada tanggal 16 Februari 2009, pukul 13.15
WIB)
[5] Vernon John, Material for Technology Student, First Published, The Macmillan Press
Ltd, London, 1975, 131 – 138
[6] Kailas Satish V. 2000. Material Science. Department of Mechanical Engineering, Indian
Institute of Science, Bangalore – 560012, India
[7] Wahyudin I, Erfan H dan Anggoro B S. 2009. Studi Struktur Mikro dan Sifat Mekanik
Paduan Aluminium 2024 Terhadap Perlakuan Panas Pada Daerah Proeutektik. Jurnal
LIPI. Jakarta : Universitas Negeri Jakarta.
[8] Totten George E and D. Scott MacKenzie. 2006. Handbook of Aluminum, Volume 2,
Alloy Production and Materials Manufacturing. New York : Marcel Dekker, Inc.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 165
Seminar Material Metalurgi 2010
Bambang Herlambang
Puslit KIM LIPI PUSPIPEK Serpong Banten
Abstrak
Telah dilakukan pembuatan beam splitter 50% untuk teleskop. Bahan substrat yang digunakan adalah
BK7 dengan indeks bias 1,52. Sedangkan untuk pelapisnya adalah aluminium yang dilapiskan ke permukaan
substrat tersebut dalam ruang vakum dengan cara evaporasi.
Hasil analisa menunjukkan bahwa grafik menyerupai “bukit” dimana reflektansi lapisan meningkat
pada panjang gelombang 400 – 550 nm dan kemudian menurun pada panjang gelombang 550 – 755 nm.
Reflektansi tertinggi sekitar 72% terjadi pada panjang gelombang 550 nm. Reflektansi terendah sebesar 10%
terjadi pada panjang gelombang 400 nm dan 750 nm. Sedangkan reflektansi 50% terjadi pada panjang
gelombang 525 nm.
Kata kunci : Lapisan tipis, aluminium, refleksi, pemecah sinar dan spectrum tampak.
Abstract
In this research fabrication of beam splitter 50% for telescope has been done. Substrate materials used
was BK7 with refractive index 1.52 while coating materials used was aluminum which is deposited on the
substrate surface in vacuum chamber using evaporation method.
Analysis results showed that the graph resembles a "hill" where reflectance layer at the wavelength
increases from 400 to 550 nm and then decrease at wavelengths from 550 to 755 nm. Highest reflectance
approximately 72% occurs at 550 nm wavelength. Reflectance lowest of 10% occurs at wavelength 400 nm and
750 nm. Reflectance while 50% occurred at 525 nm wavelength.
Keywords : Thin films, aluminum reflection, beam splitter and visible spectrum.
PENDAHULUAN
Aluminium merupakan salah satu logam yang banyak digunakan untuk pelapisan di
bidang optik [1-4]. Logam ini memiliki kelebihan yaitu murah, mudah diaplikasikan dan
memiliki reflektansi yang baik pada panjang gelombang tampak (400 - 740 nm). Kelemahan
logam ini adalah mudah lepas dan untuk jangka waktu lama reflektansinya akan menurun.
Kelemahan ini biasanya diantisipasi dengan pelapisan ulang dan penggunaan lapisan
tambahan sebagai pelindung.
Salah satu aplikasi lapisan tipis aluminium adalah pada beam splitter yang digunakan
untuk teropong militer. Komponen optik ini berfungsi untuk memecah sinar menjadi dua yaitu
sebagian diteruskan dan sebagian lagi dipantulkan. Untuk beam splitter berbentuk kubus besar
sudut sinar pantulan adalah 90 sementara untuk cermin datar besar pantulan adalah 45.
Pengadaan komponen ini masih harus diimpor dari luar negeri karena untuk fabrikasi
didalam negeri menghadapi kendala dalam hal SDM dan peralatan. Hal ini menimbulkan
ketergantungan pada negara lain dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu
Seminar Material Metalurgi 2010
diperlukan upaya-upaya agar pengadaan komponen tersebut dapat dilakukan didalam negeri
mengingat komponen tersebut menyangkut hal yang strategis dalam bidang ekonomi, politik,
hankam dan teknologi.
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab tantangan tersebut. Dalam penelitian ini
dilakukan fabrikasi lapisan tipis aluminium sebagai beam splitter untuk teropong militer. Ada
dua tujuan utama yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu pertama penguasaan teknologi
optik dan lapisan tipis dan kedua meningkatkan kemandirian bangsa.
Tulisan ini akan membahas kegiatan penelitian tersebut dimana dilakukan fabrikasi
lapisan tipis aluminium (Al) untuk keperluan militer. Pembuatan lapisan tipis aluminium
dilakukan dengan menggunakan mesin coating pada tekanan rendah dengan metoda
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 167
evaporasi. Refleksi yang digunakan adalah dengan refleksi 50% pada daerah gelombang
tampak. Substrat yang digunakan adalah gelas BK7 yang telah dipoles. Sampel yang
diperoleh kemudian dianalisa dengan menggunakan reflektometer yang telah dikalibrasi.
Analisa dilakukan terhadap reflektansi pada daerah panjang gelombang 400 – 740 nm.
DASAR TEORI
Pemecah Sinar (Beam Splitter)
Beam splitter adalah suatu komponen optik yang membagi sinar cahaya menjadi dua
[2-6]. Bagian ini adalah bagian penting dari suatu interferometer, autokorrelator, kamera,
proyektor dan sistem laser.
Bentuk umum beam splitter adalah kubus yang terbuat dari dua gelas prisma yang
ditempel pada sisi miring menggunakan balsam Canada seperti yang diperlihatkan pada
Gambar 1. ketebalan lapisan resin diatur sehingga (untuk panjang gelombang tertentu)
setengah cahaya yang jatuh menembus satu sisi dipantulkan dan setengah lainnya
ditransmisikan. beam splitter polarisasi seperti prisma Wollaston yang menggunakan material
birefringent (kristal kalsit atau boron nitride) membagi cahaya menjadi sinar dengan
polarisasi yang berbeda.
Gambar 2. Beam splitter dalam betuk half mirror : penggunaan yang benar (kiri), penggunaan yang salah
(kanan)
Versi ketiga beam splitter adalah cermin prisma dikroik yang menggunakan lapisan
optik dikroik untuk membagi cahaya yang datang menjadi tiga sinar yaitu merah, hijau dan
Gambar 3. Kurva reflektansi terhadap panjang gelombang untuk aluminium (Al), perak (Ag) dan emas (Au)
suatu cermin logam pada sudut jatuh normal.
Tahap Perancangan
Perancangan lapisan tipis aluminium untuk beam splitter pada prinsipnya dilakukan
dengan membuat grafik dan persamaan hubungan berat material sumber terhadap reflektansi.
Selengkapnya langkah perancangan ini dilakukan berdasarkan diagram alir seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 4.
Dari hasil pengukuran berat material sumber dan reflektansi, maka dapat dibuat suatu
grafik berupa garis linier hubungan antara berat material sumber dan reflektansi. Dari grafik
Seminar Material Metalurgi 2010
yang diperoleh tersebut dapat dicari berat material sumber dengan reflektansi yang
diinginkan.
Dalam perancangan lapisan tipis aluminium untuk beam splitter, berat material
aluminium yang digunakan adalah 13 – 30 mg. Lapisan tipis yang diperoleh kemudian diukur
menggunakan spektrofotometer terkalibrasi untuk mengetahui daya reflektansinya. Hasil
percobaan ditunjukkan pada Gambar 5.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 169
Start
End
Gambar 4. Diagram alir perancangan lapisan tipis optic aluminium untuk beam splitter
Seminar Material Metalurgi 2010
Tahap Pelapisan
Pada tahap ini dilakukan proses pembentukan lapisan tipis Al dengan metoda
evaporasi menggunakan mesin coating optik pada tekanan vakum dengan orde 10-5 torr. Berat
material sumber ditentukan dari grafik yang diperoleh dari kalibrasi berat material sumber
terhadap reflektansi.
Material sumber berupa kawat diletakkan pada kawat pemanas dan dibentuk menjadi
huruf “U” agar mudah untuk diletakkan pada kawat pemanas. Substrat diletakkan pada tempat
substrat (rotary holder) yang dapat berputar. Substrat yang digunakan adalah gelas BK7
berukuran 25 x 24 mm dan tebal 2 mm.
Proses evaporasi dilakukan dengan memanaskan material sumber melalui kawat
pemanas. Material sumber yang dipanaskan akan menguap dan terdeposisi pada substrat yang
diletakkan diatas ruangan evaporasi. Pemegang substrat diputar untuk menghasilkan lapisan
dengan ketebalan yang lebih merata. Proses evaporasi dilakukan hingga material sumber
habis.
Sebelum proses evaporasi, substrat gelas BK7 terlebih dahulu dibersihkan
menggunakan aseton. Tujuannya agar aluminium dapat terdeposisi dengan baik pada substrat.
Kemudian ruangan evaporasi divakumkan hingga tekanan 10-5 torr. Data tekanan mesin
coating selengkapnya ditunjukkan pada table 1.
Tabel 1. Data tekanan proses evaporasi untuk pembentukan lapisan tipis aluminium
Tekanan (torr)
Simbol Keterangan
Sebelum Setelah
P1 2.56 x 10-2 1,74 x 10-2 Pompa rotary
P2 2,01 x 10-3 2,01 x 10-3 Pompa difusi
-5
P3 6,05 x 10 3,7 x 10-5 Ruangan evaporasi
Setelah tekanan dalam ruangan evaporasi mencapai orde 10-5 torr maka pengontrol
arus diputar hingga kawat pemanas menyala. Setelah kawat pemanas menyala kawat
aluminium akan menguap dan uap tersebut akan terdeposisi pada substrat.
Hasil evaporasi berupa lapisan tipis aluminium seperti diperlihatkan pada Gambar 6.
Secara fisik lapisan yang terbentuk hanya sedikit gelap. Pandangan masih bisa menembus
lapisan ini dan tidak terlalu gelap. Hal ini sesuai dengan fungsi lapisan yang diinginkan yaitu
sebagai pemecah sinar dimana sinar datang akan terbagi menjadi dua yaitu sinar yang lurus
dengan sinar datang dan sinar yang dipantulkan 45.
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 171
PENGUJIAN
Setelah proses pelapisan dengan metoda evaporasi akan diperoleh lapisan tipis Al.
Untuk mengetahui kinerja dari lapisan ini maka dilakukan pengujian. Pengujian dilakukan
dengan menggunakan reflektometer yang telah dikalibrasi untuk mengetahui reflektansi
lapisan pada daerah gelombang tampak (400 – 740 nm). Hasil pengujian berupa grafik
hubungan antara reflektansi terhadap panjang gelombang tampak. Dari grafik tersebut dapat
dilakukan analisa kinerja reflektansi lapisan terhadap suatu panjang gelombang dalam daerah
panjang gelombang 400 – 740 nm.
Dalam penelitian ini ada dua pengujian yang dilakukan yaitu pengujian daya transmisi
dan pengujian spectrum. Pengujian daya transmisi dilakukan untuk mengetahui kemampuan
lapisan tipis aluminium dalam mentansmisikan cahaya. Sedangkan pengujian spectrum
dilakukan untuk mengamati transmisi cahaya pada suatu daerah gelombang cahaya tertentu.
Pengukuran daya transmisi dilakukan dengan menggunakan phtorometer sementara
pengukuran spectrum cahaya dilakukan dengan spektrofotometer.
Dalam pengujian daya transmisi ini sumber cahaya yang digunakan memiliki
intensitas cahaya 100 lux. Sampel kemudian diukur daya transmisinya menggunakan alat
pengukur intensitas cahaya photometer terkalibrasi. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa
daya transmisi lapisan adalah sebesar 49,6%. Sedangkan daya tranmsisi menurut perhitungan
menggunakan persamaan hubungan reflektansi dengan massa material sumber adalah 50%.
Jadi kesalahan yang terjadi adalah sebesar 0,8%. Nilai kesalahan ini sangat kecil sehingga
perbedaan nilai transmisi tersebut tidak signifikan.
Sampel kemudian diukur nilai transmisinya menggunakan spektrofotometer yang
terkalibrasi pada daerah panjang gelombang cahaya tampak yaitu 400 – 740 nm (spectrum
tampak). Hasil pengukuran ditunjukkan pada Gambar 7. Kurva bagian atas merupakan kurva
transmitansi lampu, sedangkan kurva bawah merupakan kurva transmitansi lapisan.
Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 7. Grafik transmitansi lapisan terhadap panjang gelombang cahaya 400 – 800 nm
Pada kondisi lapisan jenuh, reflektansi logam aluminium cenderung datar yaitu sekitar
88 - 92% pada panjang gelombang tampak. Reflektansi tinggi terjadi pada daerah panjang
gelombang 700 - 950 nm. Dari grafik diatas terlihat bahwa transmitansi lapisan meningkat
secara signifikan pada panjang gelombang 400 – 550 nm. Transmitansi tertinggi sekitar 72%
terjadi pada panjang gelombang 550 nm. Transmitansi terendah sebesar 10% terjadi pada
ujung spectrum tampak yaitu pada panjang gelombang 400 nm dan 750 nm. Sedangkan
transmitansi 50% terjadi pada panjang gelombang 525 nm.
Gambar 8. Mesin coating optik Edwards 306 Gambar 9. Kawat pemanas tempat material
sumber diletakkan
evaporasi dan tahap pengujian. Tahap kalibrasi bertujuan untuk melihat hubungan berat
material sumber dengan reflektansi. Tahap evaporasi bertujuan untuk membuat lapisan tipis
aluminium. Tahap pengujian bertujuan untuk mengetahui kinerja lapisan terhadap cahaya
pada panjang gelombang tampak (400 – 740 nm).
Hasil pengujian daya transmisi menunjukkan bahwa daya transmisi lapisan adalah
49,6%. Sedangkan pengukuran dengan spektrofotometer mengindikasikan daya transmisi
meningkat secara signifikan pada panjang gelombang pusat (550 – 600 nm). Transmisi
tertinggi sekitar 72% terjadi pada panjang gelombang 550 nm. Transmisi terendah sebesar
10% terjadi pada ujung spectrum cahaya tampak (400 nm dan 750 nm). Sedangkan transmisi
50% terjadi pada panjang gelombang 525 nm.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 173
DAFTAR PUSTAKA
1. Wikipedia, 2009, Optical Coating (http://en.wikipedia.org/wiki/Optical_coating#High-
reflection_coatings).
2. HA Macleod, 1969, Thin Film Optical Filters, Adam Hilger Ltd, London.
3. JK Consulting, 2009, High Reflector Coatings (http://www.kruschwitz.com/HR's.h
tm#Protected%20Metal).
4. L Holland, 1970, Vacuum Deposition of Thin Films, Chapman and Hall Ltd, London.
5. Wikipedia, Beam Splitter (http://en.wikipedia.org/wiki/Beam_splitter).
6. Dr. Rüdiger Paschotta, 2009, Beam Splitters, Encyclopedia of Laser Physics and
Technology (http://www.rp-photonics.com/beam_splitters.html).
7. Wikipedia, 2009, Visible Spectrum (http://en.wikipedia.org/wiki/Optical_spectrum).
Seminar Material Metalurgi 2010
Bambang Herlambang
Puslit KIM LIPI PUSPIPTEK Serpong Banten
Abstrak
Telah dilakukan pengkajian terhadap lapisan antirefleksi tunggal MgF2 pada substrat gelas BK7. Dari
hasil pengkajian terbukti bahwa dengan panjang gelombang referensi 550 nm dan ketebalan fisik 99,64 nm,
lapisan menunjukkan reflektansi maksimal 2,21% untuk sudut jatuh normal, sedangkan untuk sudut jatuh efektif
lapisan adalah 40 dan reflektansinya sekitar 3,9% untuk daerah panjang gelombang biru (300 nm) dan
semakin menurun sehingga mendekati 1,8% pada daerah merah (700 nm).
Abstract
A study on single layer antireflection coating of MgF2 on substrate glass BK7 has been done. The
analysis results show that at reference wavelength 550 nm and physical thickness 99.64 nm, the coating gives
maximum reflectance 2,21% at normal incidence. Effective incidence of the optical thin film is until 40 with
reflectance 3.9% in blue wavelength region (300 nm) and the reflectance decreases until approximately 1.8% in
red wavelength region (700 nm).
PENDAHULUAN
Lapisan tipis antirefleksi merupakan suatu tipe lapisan optik yang digunakan pada
permukaan lensa dan permukaan komponen optik lainnya untuk mengurangi refleksi [1 - 4].
Hal ini akan meningkatkan efisiensi sistem karena cahaya yang hilang menjadi lebih sedikit.
Dalam sistem yang komplek seperti teleskop, pengurangan refleksi juga meningkatkan
kontras citra dengan menghilangkan cahaya terpendar. Hal ini sangat penting khususnya
dalam astronomi planetarium. Dalam aplikasi lainnya, keuntungan utama lapisan ini adalah
penghilangan refleksi itu sendiri seperti lapisan pada lensa kacamata yang membuat mata
pemakai lebih terlihat oleh lainnya atau lapisan untuk mengurangi kilatan pemakai binokuler
atau teleskop yang tersembunyi.
Dalam perancangan lapisan tipis antirefleksi ada beberapa hal yang perlu
diperhitungkan yaitu indeks bias material, ketebalan fasa, ketebalan fisik, dan reflektansi
lapisan. Indeks bias material menentukan material yang harus digunakan sebagai pelapis,
ketebalan fasa menggambarkan ketebalan optik terhadap sudut jatuh dan panjang gelombang,
ketebalan fisik menggambarkan ketebalan lapisan aktual, dan reflektansi menggambarkan
reflektansi lapisan untuk tiap panjang gelombang.
Tulisan ini mengkaji lapisan tipis antirefleksi lapisan tunggal yang dirancang untuk
substrat berindeks bias rendah (1,52) yaitu gelas BK7. Aspek yang dibahas adalah parameter
Seminar Material Metalurgi 2010
yang telah disebutkan di atas. Hasil perancangan kemudian dianalisa untuk melihat efektivitas
kinerja lapisan pada daerah panjang gelombang tampak.
DASAR TEORI
Lapisan Antirefleksi Lapisan Tunggal
Bentuk yang paling sederhana lapisan tipis antirefleksi adalah lapisan dengan satu
lapis (single layer) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 [4,5]. Pada lapisan ini terdapat
dua interface dan dua vektor, masing-masing menunjukkan amplitudo koefisien pantulan, r,
pada masing-masing interface. Kalau indeks bias film lebih rendah dibandingkan dengan
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 175
substrat maka koefisien pantulan pada masing-masing interface akan menjadi negatif yang
menunjukkan suatu perubahan fasa 180.
ra rb
n0 Incident medium
a
n1 Thin film
b
n2 Substrate
(a) (b)
Gambar 2. (a) Vektor koefisien pemantulan pada masing-masing interface (b), vektor resultan koefisien
pemantulan, r.
Untuk menghasilkan lapisan antirefleksi dengan refleksi 0% (transmisi 100%) maka
ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, koefisien pantulan pada masing-masing
interface harus sama besar. Hal ini berarti ra = rb, maka dengan menggunakan persamaan 1
dan 2 diperoleh :
n 0 - n1 n -n
= 1 2 (3)
n 0 + n1 n1 + n 2
n1 = n 0 .n 2 (4)
Di sini seolah-olah bisa disimpulkan bahwa kondisi yang sempurna untuk lapisan
tunggal antirefleksi bahan pelapisnya adalah bahan yang memiliki indeks bias akar pangkat
Seminar Material Metalurgi 2010
Bila beda fasa sebesar 90 maka ketebalan optik dari lapisan adalah :
nd = 0/4 (5)
dengan 0 merupakan panjang gelombang referensi.
R= n1
2 (7)
n2
n 0 n 2 cos δ + n1 sin δ
2 2 2
Seminar Material Metalurgi 2010
n1
dengan n0 indeks bias udara, n1 indeks bias lapisan, n2 indeks bias substrat dan ketebalan
fasa.
Reflektansi sistem diatas pada panjang gelombang referensi adalah :
n -Y
R = 0 (8)
n0 + Y
n12
Y= (9)
n2
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 177
HASIL PERHITUNGAN DAN ANALISA
Perhitungan nilai reflektansi lapisan tipis antirefleksi yang terbuat dari lapisan tipis
MgF2 pada substrat gelas BK7 dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Diagram alir perhitungan reflektansi lapisan tipis optik satu lapis
Ketebalan Fasa Lapisan Tipis
Untuk lapisan antirefleksi tunggal dengan sudut jatuh normal maka ketebalan lapisan
adalah 0/4 dengan 0 adalah panjang gelombang referensi. Dalam bentuk matematis
dinyatakan sebagai berikut :
λ
nd = 0 (10)
4
Bila persamaan 6 dan 10 digabung untuk sudut jatuh normal = 0 maka akan diperoleh
persamaan berikut :
λ
δ = 90 . 0 (11)
λ
Persamaan 11 merupakan persamaan ketebalan fasa pada sudut jatuh normal dengan
ketebalan lapisan 0/4.
Setelah diketahui persamaan ketebalan fasa maka nilai ketebalan fasa lapisan, , untuk
tiap panjang gelombang dapat dihitung menggunakan persamaan 11 dengan rentang panjang
gelombang 300 – 700 nm. Nilai untuk tiap panjang gelombang ditunjukkan pada Tabel 1.
Seminar Material Metalurgi 2010
R= n1
2 (12)
n2
1 n 2 cos δ + n1 sin 2δ
2 2
n1
4.50
4.00
3.50
3.00
Reflectansi (%)
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
Seminar Material Metalurgi 2010
300 325 350 375 400 425 450 475 500 525 550 575 600 625 650 675 700
Panjang Gelombang (nm)
Gambar 5. Grafik reflektansi (R) pada panjang gelombang () 300 – 700 nm
Dari grafik reflektansi (Gambar 5) terlihat bahwa kurva refleksi lapisan tipis
menyerupai huruf “U” dimana refleksi lapisan tipis lebih tinggi pada panjang gelombang 300
nm kemudian menurun hingga panjang gelombang 550 nm dan kemudian menaik lagi pada
panjang gelombang 550 - 700 nm. Hal ini terjadi karena rasio (0/) semakin mengecil pada
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 179
panjang gelombang 300 – 550 nm. Sedangkan pada panjang gelombang 550 – 700 nm rasio
tersebut semakin membesar sehingga reflektansi pada sudut normal meningkat.
Pada Gambar 2 terlihat bahwa reflektansi menurun pada panjang gelombang 300 –
550 nm dan kemudian meningkat pada panjang gelombang 550 – 700 nm. Pada 300 – 550 nm
rentang nilai reflektansi adalah 1.26 – 4.06%, sedangkan 550 – 700 nm rentang reflektansi
adalah 1.26 – 1.60%. Hal ini menunjukkan secara umum lapisan antirefleksi bekerja lebih
efektif pada panjang gelombang 550 - 700 nm dibandingkan dengan pada panjang gelombang
300 – 550 nm.
Nilai reflektansi R ini adalah nilai untuk sudut jatuh normal. Untuk sudut jatuh selain
sudut normal maka perlu dihitung nilai dengan menggunakan Hukum Snellius n1 sin 1 = nr
sin r dengan n1 adalah indeks medium sudut jatuh, nr adalah indeks medium ke-r, 1 adalah
sudut jatuh, dan r adalah sudut bias pada medium ke-r.
Terlihat pada Gambar 5 bahwa untuk panjang gelombang tampak (400 – 700 nm),
nilai reflektansi teoritis tertinggi adalah 2.21% pada panjang gelombang 400 nm. Hal ini
menunjukkan material MgF2 cukup baik untuk digunakan sebagai material lapisan antirefleksi
dimana nilai reflektansi dalam daerah panjang gelombang tampak cukup rendah.
Gambar 6. Reflektansi teoritis lapisan antirefleksi satu lapis MgF2 pada berbagai sudut jatuh
2.5
1.5
0.5
0
300 325 350 375 400 425 450 475 500 525 550 575 600 625 650 675 700
Panjang gelombang (nm)
Gambar 7. Grafik reflektansi lapisan terhadap panjang gelombang 300 – 700 nm pada panjang gelombang
referensi 450 – 700 nm
KESIMPULAN
Pada tulisan ini telah dilakukan pengkajian lapisan tipis antirefleksi satu lapis pada
substrat indeks rendah. Hasil pengkajian menunjukkan lapisan ini efektif bekerja pada daerah
gelombang tampak dengan reflektansi maksimal 2.21% untuk sudut jatuh normal. sedangkan
Seminar Material Metalurgi 2010
sudut jatuh efektif lapisan ini adalah hingga 40 dengan reflektansi lapisan dibawah 5%.
Sementara reflektansi lapisan meningkat seiring dengan peningkatan panjang gelombang
referensi pada daerah panjang gelombang 300 nm namun menurun pada daerah panjang
gelombang referensi hingga 700 nm.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 181
optik dan fotometeri KIM LIPI atas segala bantuannya sehingga penelitian ini dapat
dilaksanakan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wikipedia, 2009, Anti-reflective Coating, The Free Encyclopedia
(http://en.wikipedia.org/wiki/Anti-reflective_coating).
2. Dr. Rüdiger Paschotta, 2009, Anti-reflection Coatings, Encyclopedia of Laser Physics
and Technology (http://www.rp-photonics.com/anti_reflection_coatings.html).
3. L Holland, 1970, Vacuum Deposition of Thin Films, Chapman and Hall Ltd, London.
4. HA Macleod, 1969, Thin Film Optical filters, Adam Hilger Ltd, London.
5. JK Consulting, 2009, 1 Layer AR Coatings, Thin Film Design & Applications
(http://www.kruschwitz.com/1layer.htm).
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Metode tempa (forging) dalam pembuatan komponen piston memberikan produk yang memiliki unjuk
kerja lebih baik dibandingkan piston yang dihasilkan melalui proses pengecoran (casting). Dimensi piston yang
dihasilkan dapat lebih terkontrol dan cacat produk seperti yang dihasikan melalui proses pengecoran dapat
dihindari.
Dilihat dari sisi material komponen hasil tempa mempunyai tingkat porositas yang lebih rendah hal ini
akan meningkatkan kekuatan dan kekerasannya. Sehingga secara keseluruhan unjuk kerja komponen hasil
tempa dalam hal ini piston menjadi lebih baik bila dibandingkan dengan unjuk kerja piston hasil pengecoran.
Selain menghasilkan produk dengan unjuk kerja yang lebih baik, metode tempa juga dapat mempercepat proses
produksi.
Pengujian telah dilakukan untuk membandingkan komponen piston hasil tempa dan piston hasil casting
meliputi analisa komposisi kimia, sifat mekanik dan struktur mikro. Komposisi kimia piston hasil tempa sesuai
dengan grade AA 4032 sedangkan piston hasil casting sesuai grade AC8A dan AC9A, massa jenis piston hasil
tempa relatif lebih besar sekitar 20%, nilai kekerasan piston hasil tempa 15 % lebih tinggi sehingga
memungkinkan piston di buat dengan massa persatuan piston lebih kecil. Hasil metalografi menunjukkan
struktur yang lebih padat akibat deformasi dan eutektik silikonyang lebih halus.
1. PENDAHULUAN
Piston, sebagai salah satu komponen utama kendaraan bermotor, mempunyai fungsi
yang sangat penting untuk menghasilkan kinerja kendaraan bermotor agar prima. Piston
mengubah atau mentransfer tekanan pembakaran yang menghasilkan gerak lurus (sliding)
selanjutnya melalui pena torak (piston pin), batang torak (connecting rod), dan poros engkol
(crank shaft), gerak lurus dari piston tersebut diubah menjadi gerak putar. Oleh karena itu,
piston harus tahan terhadap tekanan yang tinggi dan mampu bekerja dengan kecepatan tinggi.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 183
atas piston lebih kecil dari pada bagian bawahnya, hal ini untuk mengantisipasi tingkat
pemuaian yang lebih tinggi pada bagian atas piston. Sehingga pada suhu kerja diameter
bagian atas dan bawah piston menjadi sama.
Kelemahan dari aspek manufaktur adalah sering terbentuknya penyusutan dan porositas
pada bagian kepala piston yang dapat berpengaruh terhadap pusat grafitasi. Hal ini akhirnya
akan menimbulkan getaran pada saat bekerja pada putaran tinggi. Cara lain untuk
menanggulangi kelemahan tersebut diatas adalah dengan dibuatnya piston melalui metode
ditempa yang dikenal dengan forged piston. Proses tempa dapat menghasilkan kualitas
material yang baik karena dapat menghindari adanya segregasi, inklusi akan tersebar dan
penyusutan dapat dihindari.
Piston tempa memiliki ketahanan yang tinggi dibanding piston konvensional, teknologi
Forged Piston adalah teknologi motor balap yang sekarang sudah mulai diaplikasikan ke
moped, teknologi ini baru dimiliki oleh satu dari beberapa produsen motor dari Jepang.
Produk kendaraan bermotor yang menggunakan forged piston sudah ada akan tetapi
komponen forged piston masih diimpor, perkembangan di Indonesia belum ada dan masih
sangat terbatas apabila ditinjau dari kemampuan industri dan litbang yang ada.
Keuntungannya menggunakan Forged Piston antara lain : tahan lama, tidak mudah aus,
suhu muai lebih tinggi, koefisien gesek lebih rendah, berat piston lebih ringan, menghasilkan
‘noise’ lebih kecil, mencegah terjadinya piston seizure (piston macet) dan biaya produksi
yang lebih efisiensi.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Aluminium
Aluminium merupakan logam ringan mempunyai ketahanan korosi yang baik dan
hantaran listrik yang baik. Kekuatan mekanik aluminium meningkat dengan penambahan Cu,
Mg, Si, Mn, Zn, Ni dan sebagainya, secara satu persatu atau bersama-sama, memberikan juga
sifat-sifat yang baik lainnya seperti ketahanan korosi, ketahanan aus, koefisien pemuaian
rendah dan sebagainya. Material ini sangat banyak penggunaannya bukan saja untuk peralatan
rumah tangga tapi juga dipakai untuk keperluan material pesawat terbang, otomotif,
konstruksi dan sebagainya.
Aluminium pertama kali ditemukan oleh Sir Humphrey Davy pada tahun 1809 sebagai
suatu unsur dan pertama kali direduksi sebagai logam oleh H. C. Oersted pada tahun 1825.
Secara Industri tahun 1886, Paul Heroul di Prancis dan C. M. Hall di Amerika Serikat secara
terpisah telah memperoleh logam aluminium dari alumina dengan cara elektrolisa dari garam
yang terfusi.
Aluminium merupakan unsur metalik paling melimpah dibumi, sekitar 8 % selalu
muncul dalam bentuk senyawa. Bijih aluminium dikenal sebagai bouksit, yang sebenarnya
adalah hidrataluminium oksida (Al2O3H2O). Aluminium dapat diolah melalui beberapa
tahapan seperti : proses penambangan, proses pemurnian, proses peleburan dan proses
fabrikasi.
Proses penambangan biasanya dilakukan pada tempat terbuka, setelah ditambang, biji
bouksit digiling sehingga diperoleh hasil yang lebih halus dan merata dan kemudian
dilakukan proses pemurnian yang dikenal dengan proses Bayer, dimana bouksit yang halus
Seminar Material Metalurgi 2010
c. Cover Flux
Setelah proses degasser selesai dilanjutkan dengan proses pemberian flux. Proses
pemberian flux bertujuan untuk menutupi atau covering permukaan logam Aluminium
cair agar terhindar dari masuknya gas hidrogen kedalam logam aluminium. Pemberian
flux dilakukan pada saat mulai pencairan aluiminium dengan cara menaburkan flux pada
permukaan Aluminium cair.
Selanjutnya logam cair tersebut dituang sesuai dengan tujuan peleburannya apakah
dijadikan ingot, billet atau benda tuangan.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 185
2.3. Unsur Paduan Aluminium Bahan Baku Piston
Paduan Al-Si merupakan paduan aluminium yang banyak digunakan dalam komponen
otomotif, terutama untuk piston. Karena paduan ini memiliki daya tahan terhadap korosi dan
abrasi, koefisien pemuaian yang rendah, dan juga mempunyai kekatan yang tinggi.
Aluminium murni terlalu lunak dan kekuatannya sangat rendah untuk dapat digunakan pada
bidang teknik. Sifat tersebut dapat diperbaiki dengan pemaduan unsur – unsur lainya, antara
lain :
a. Silikon (Si), mempunyai ketahanan terhadap korosi. Bila ditambahkan pada logam
aluminium akan mempunyai kekuatan yang tinggi setelah perlakuan panas, tetapi
silikon mempunyai kualitas pengerjaan mesin yang jelek, selain itu juga mempunyai
ketahanan koefisien panas yang rendah.
b. Tembaga (Cu), meningkatkan kekerasannya dan kekuatannya karena tembaga bisa
memperhalus struktur butir dan akan mempunyai kualitas pengerjaan mesin yang baik,
mampu tempa, keuletan yang baik dan mudah dibentuk.
c. Magnesium (Mg), mempunyai ketahanan korosi yang baik dan kualitas pengerjaan
mesin yang baik, mampu las serta kekuatannya cukup, Unsur Mg bersama dengan Si
membentuk fasa Mg2Si merupakan fasa yang dapat meningkatkan kekerasan dan
kekuatan.
d. Nikel (Ni), meningkatkan ketahanan pada temperatur tinggi dan mengurangi ekspansi
panas, misalnya piston dan silinder head untuk motor.
e. Mangan (Mn), meningkatkan mampu bentuk, tahan korosi baik, sifat dan mampu
lasnya baik.
f. Seng (Zn), meningkatkan sifat-sifat mekanik pada perlakuan panas, juga kemampuan
mesin.
g. Besi (Fe), dapat mengurangi penyusutan, tapi penambahan Fe yang besar akan
menyebabkan struktur mengalami perubahan butir yang kasar, namun hal ini dapat
diperbaiki dengan Mg atau Cr.
h. Titanium (Ti), untuk mendapat struktur butir yang halus. Biasanya penambahan
bersama-sama dengan Cr dalam prosentase 0,1%, titanium juga dapat meningkatkan
mampu mesin.
Standar material sebagai acuan adalah standar material aluminium paduan hasil casting dan
untuk aplikasi forging.
- Grade Standar AC8A : Si=11-13 , Fe=0.8 maks, Cu=0.8–1.3, Mn=0.15 maks,
Mg=0.7-1.3, Zn=0.15 maks, Ti=0,2 maks, Cr=0.10 maks, Ni=0,8–1,5, Pb=0.05 maks,
Sn=0.05 maks.
- Grade Standar AC9A : Si=22-24 , Fe=0.8 maks, Cu=0.5–1.5, Mn=0.15 maks,
Mg=0.5-1.5, Zn=0.2 maks, Ti=0,2 maks, Cr=0.10 maks, Ni=0,5–1,5, Pb=0.1 maks,
Sn=0.1 maks
- Grade Standar AA 4032 : Si=11-13.5, Fe=1.0 maks, Cu=0.5–1.3, Mg=0.8-1.3,
Zn=0.25 maks, Cr=0.10 maks, Ni=0,5–1,3, 0.05 maks unsur lainnya.
Paduan aluminium grade standar AA 4032 memiliki batasan temperatur sebagai
berikut :
Seminar Material Metalurgi 2010
Survey
Pengumpulan data
Piston Casting Piston Forging
Pengujian
Kesimpulan
Selesai
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 187
3.2 Karakterisasi
Karakterisasi dilakukan pada beberapa produk piston hasil pengecoran dan penempaan
yang ada di pasaran meliputi uji komposisi kimia, uji dimensi, uji kekerasan dan metalografi,
sebagai berikut :
Sampel 1 : Piston hasil forging, volume silinder 150 cc
Sampel 2 : Piston hasil forging, volume silinder 135 cc
Sampel 3 : Piston hasil casting, volume silinder 110 cc
Sampel 4 : Piston hasil casting, volume silinder 135 cc
(a)
(b)
(c)
Gambar 1. Foto Sampel Piston (a). tampak atas, (b). tampak bawah, (c) tampak depan.
Seminar Material Metalurgi 2010
Data hasil penimbangan dan pengukuran massa jenis sebagaimana pada tabel 1 berikut ini:
Kadar, Content, %
Unsur
Element grade AA40
Sampel 1 Sampel 2
32
Si 12.20563 11.82550 11-13.5
Fe 0.28818 0.30519 1.0 maks
Cu 4.36409 4.19208 0.5 – 1.3
Mn 0.05554 0.05571 -
Mg 0.61767 0.50337 0.8 – 1.3
Zn 0.04012 0.09223 0.25 maks
Ti 0.01121 0.01362 -
Cr 0.03197 0.04426 1.0 maks
Ni 0.03881 0.02893 0.5 – 1.3
Pb 0.00316 0.00271 -
Sn 0.00682 0.00711 -
Al 82.3368 82.9293 Bal.
Data hasil pengujian kekerasan untuk kedua jenis produk piston sebagaimana tabel 3 dibawah
ini :
Tabel 3. Harga Kekerasan Sampel Piston
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 189
Data hasil pengamatan metalografi untuk kedua jenis produk piston sebagaimana Gambar 2.
a.
b.
c.
Seminar Material Metalurgi 2010
d.
Gambar 2. Struktur Mikro (a, b) Casted Piston, (c,d) Forged Piston
Saran.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan mempertimbangkan :
Karakterisasi mampu bentuk dengan parameter yang lebih kompleks perlu dilakukan pada
penelitian selanjutnya.
Reff.
Studi Pembuatan Piston Berbasis Material Piston Bekas Yang Dikuatkan Dengan Penyisipan
Cast Iron, Suhardi; Suwachid; Budi H; Indah W
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 191
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Komponen otomotif selain rangka ataupun body mobil dewasa ini juga mulai menggunakan material
yang kuat namun ringan terutama untuk komponen mesin. Komponen mesin seperti piston merupakan salah
komponen penting yang memerlukan pengembangan terutama mengenai penyiapan bahan baku.
Metode tempa (forging) dalam pembuatan komponen piston memberikan produk yang memiliki unjuk
kerja lebih baik dibandingkan piston yang dihasilkan melalui proses pengecoran (casting). Dimensi piston yang
dihasilkan dapat lebih terkontrol dan cacat produk seperti yang dihasikan melalui proses pengecoran dapat
dihindari. Ketahanan lelah piston hasil tempa terhadap suhu tinggi menjadi lebih baik, sehingga secara
keseluruhan unjuk kerjanya menjadi lebih baik bila dibandingkan dengan unjuk kerja piston hasil pengecoran.
Pembuatan billet alumunium dengan struktur columnar (tanpa pengontrolan pembekuan) dengan disain
proses dan komposisi disain dari grade standar material AA 4032. Karakterisasi billet hasil percobaan, meliputi
: analisa komposisi kimia, sifat mekanik, struktur mikro serta karakterisasi teknologi antara lain sifat
workability.
Prototipe billet hasil percobaan dengan grade standar AA4032 dengan kandungan silikon 11 – 13,5 %
dan nilai kekerasan rata – rata 108 HBN. Hasil pengujian workability menunjukkan sifat mampu forging akan
lebih baik apabila proses penempaan dilakukan pada temperatur diatas rekristalisasi yaitu pada range
temperatur 260 OC sehingga prototipe billet paduan aluminium ini dapat dilakukan dengan menggunakan
pengerjaan hot forging untuk aplikasi piston. Pada sampel temperatur 315 OC, nilai kekerasan tidak mengalami
kenaikan signifikan setelah dilakukan penempaan hal ini karena telah terjadinya pertumbuhan butir.
1. PENDAHULUAN
Piston atau torak serta ada pula yang menyebutnya “seher”, adalah komponen mesin
untuk mengubah atau mentransfer tekanan pembakaran yang menjadi gerak lurus (sliding)
yang selanjutnya dengan perantaraan pena torak (piston pin), batang torak (connecting rod),
dan poros engkol (crank shaft), gerak lurus dari piston tersebut diubah menjadi gerak putar.
Oleh karena itu, torak/piston harus tahan terhadap tekanan yang tinggi, dan mampu
bekerja dengan kecepatan tinggi yaitu 24.000 kali pada putaran mesin 12.000 rpm, atau 400
kali gerak turun naik per detik. Sebagian besar piston terbuat dari bahan paduan alumunium,
walaupun pada kondisi tertentu digunakan torak dari bahan besi tuang dan keramik. Bahan
alumunium mempunyai keunggulan ringan dan cepat mentransfer panas. Karena ringan maka
mesin dapat bekerja pada putaran yang lebih tinggi.
Keuntungan lainnya dari alumunium adalah memungkinkan mesin bekerja dengan suhu
mesin yang lebih rendah daripada dengan piston dari besi tuang, sehingga mengurangi
kemungkinan terjadinya penumpukan kerak karbon di bawah permukaan piston (karena
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 193
Untuk menghasil piston yang memiliki kualitas tinggi diperlukan proses tempa sesuai
dengan material yang akan dikembangkan. Proses tempa dapat menghasilkan kualitas material
yang baik karena dapat menghindari adanya segregasi, inklusi akan tersebar dan penyusutan
dapat dihindari.
Pengembangan bahan piston lebih banyak diarahkaan pada paduan Al-Si mengingat
paduan Al-Si memliki beberapa keunggulan, yaitu : Mempunyai berat jenis yang rendah
(ringan), koefisien pemuaian termal dari unsur silikon sangat rendah. Beberapa contoh
pengembangan bahan piston yang menggunakan paduan Al-Si Tinggi adalah sebagai berikut :
Alumunium Forging : AA 4032
Paduan Al-Si (Si 12%) dengan penambahan unsur paduan sebagai penguat presipitasi
Mg-Cu-Ni.
Pengembangan selanjutnya dengan penambahan Si – hipereutektik, yaitu : AFP 20
(Al-20Si-5Fe-1Cu-0,5Mg-1Zr)
.
Bahan baku untuk pembuatan material dasar ini adalah terdiri atas ingot aluminium
murni dan logam paduan seperti paduan Al-Si, logam paduan Al-Mg, logam tembaga (Cu)
dan logam Nikel (Ni). Setelah dilakukan perhitungan material balance dan penimbangan
kemudian dilakukan peleburan dengan menggunakan tungku listrik Muffle, pembuatan billet
aluminium ini dilakukan tanpa pengontrolan pendinginan. Untuk target komposisi silikon 11
– 13,5 % sesuai grade standar AA 4032 dengan temperatur cair 571 OC, temperatur
penuangan (casting temperature) 675 – 788 OC. Penuangan dilakukan pada beberapa cetakan
(dies) yaitu cetakan billet.
Survey Lapangan
Pengumpulan data
Pembuatan Billet
telah dilaksanakan : Studi literatur dan survey dalam rangka mencari data pendukung kegiatan
meliputi Industri otomotif khususnya mengenai fabrikasi piston yang ada di Indonesia dan
teknologi forging serta industri pembuat billet aluminium yang berkembang dewasa ini.
Karakterisasi produk piston hasil tempa dan peleburan, meliputi analisa komposisi
kimia, sifat mekanik dan struktur mikro. Karakterisasi billet impor tidak dilakukan karena
kesulitan untuk mendapatkan produk billet tersebut.Percobaan (experimen), dengan disain
proses dan komposisi disain dari standar dasar material yang akan digunakan AA 4032 .
Pembuatan bilet alumunium AA 4032 dengan struktur columnar (tanpa pengontrolan
pembekuan).
Temperatur deformasi yang digunakan: temperatur ruang (27C), 300 F (149C), 400 F
(204C), 500 F (260C) dan 600 F (315C). Pemanasan dengan ditahan (holding time) selama
1 jam kemudian di lakukan penempaan (forging) dengan mesin forging kapasitas maksimum
160 ton dan kecepatan 0.086 m/s.
Kadar, Content, %
Element
Sampel A Grade Std. AA4032
Si 11,25689 11-13,5
Fe 0,36951 1,0 maks
Cu 1,04442 0,5 – 1,3
Mg 1,31278 0,8 - 1,3
Zn 0,10357 0,25 maks
Cr 0,01280 0,10 maks
Ni 1,06943 0,5 – 1,3
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 195
Gambar 4. Produk Prototipe billet yang di hasilkan
Hasil pengujian workability dengan melakukan deformasi compressive melalui
penempaan (forging).
Gambar 5. Sampel hasil tempa (kiri ke kanan) pada temperatur ruang, temperatur 149°C, 204°C, 260°C, 315°C.
ruang 27 OC) dan sampel uji kedua (149 OC) belum memperlihatkan perbedaan struktur mikro
yang signifikan. Naiknya nilai kekerasan pada sampel uji kedua merupakan efek penguatan
regangan dari proses penempaan. Pada sampel uji kedua, prosentase reduksi kecil (h1) adalah
sebesar 14%, sedangkan pada sampel uji pertama besarnya 8%.
Pada sampel uji yang ketiga, yaitu pada temperatur 204ºC, terlihat banyaknya dendrite
Si semakin berkurang jika dibandingkan dengan sampel uji pada temperatur 149°C. Meskipun
prosentase reduksinya lebih tinggi, yaitu sebesar 27%, tetapi berkurangnya dendrit Si ini lebih
mempengaruhi kekerasan sampel, sehingga nilai kekerasan menjadi berkurang. Selanjutnya,
semakin tinggi temperatur uji yang digunakan semakin berkurang kekerasan dari sampel,
dikarenakan semakin besarnya fasa Al
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 197
(a) (b) (c)
(a) 27°C
Referensi
1. _______, Aluminum and Aluminum Alloys, ASM Specialty Annual Book of ASTM
Standards 3, 1994
2. _______, Properties and Selection Nonferrous Alloys and Special Purpose Material,
Vol.2, ASM Hand Book, USA: ASM International, 1990
3. George E. Dieter, Bulk Workability Testing.
4. John E Gruzleski, The Treatment of Liquid Aluminium Silicon Alloys, American
Foundrymen’s Society, Inc, USA, 1990
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 199
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Sampah atau limbah merupakan bagian dari kehidupan kita sehari – hari. Agar tidak menjadi masalah
di masa depan, diperlukan proses daur ulang menjadi barang atau produk yang dapat digunakan kembali. Salah
satu contohnya adalah sampah plastik. Plastik sendiri sudah menjadi bagian yang sukar dipisahkan dari
berbagai aktifitas manusia. Plastik sudah banyak digunakan dan dimanfaatkan menjadi alat atau produk yang
banyak membantu aktifitas manusia. Tetapi setelah habis masa pakainya biasanya akan menjadi sampah, salah
satu yang banyak ditemui adalah plastik pembungkus dimana rata – rata merupakan jenis polyethylene dan
HDPE. Dalam penelitian ini dilakukan pemanfaatan sampah plastik khususnya sampah plastik kemasan (kresek)
dimana sangat banyak sekali ditemui dalam kehidupan sehari hari, dimana akan digunakan sebagai bahan
campuran dalam pembuatan briket batubara. Briket dilakukan dengan cara mencairkan sampah plastik yang
telah dibersihkan pada temperatur 150°C - 200°C kemudian dicampur dengan serbuk batubara dan dicetak
pada cetakan tanpa menggunakan tekanan. Metode tersebut dilakukan sebanyak 4 kali dengan komposisi plastik
yang bervariasi yaitu 20%, 30%, 40% dan 50%. Dari hasil analisa proksimat didapatkan bahwa seiring
penambahan komposisi plastic terjadi penurunan persentase fixed carbon. Memang plastik merupakan sintesa
dari produk minyak akan tetapi dalam kandungan plastik juga terdapat senyawa lain yang dapat mengurangi
persentase FC dalam briket. Dengan meningkatnya pertambahan plastik juga membuat briket lebih resistan
terhadap uap air yaitu dengan ditandai semakin menurunnya persentase moisture. Hal ini memberikan
keuntungan dalam proses penyimpanan khususnya saat lingkungan dalam kondisi kelembaban yang tinggi.
Selain itu terdapat peningkatan jumlah persentase volatile matter seiring penambahan komposisi plastik. Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin banyak kandungan plastik dalam briket, semakin mudah briket untuk terbakar.
Selain itu berdasarkan pengujian ketangguhan dalam menerima beban, seiring dengan penambahan plastik
menjadi menurun kekuatannya. Penambahan plastik 20% mempunyai kemampuan breaking strength yang
paling tinggi dari pada yang lain. Akan tetapi, melihat kadar abu yang dimiliki pada penambahan 20% plastik,
penurunan yang terjadi hanya sedikit jika dibandingkan dengan kadar abu batubara sebagai material utamanya
yaitu sebesar 20,09% menjadi 19,82%, oleh karena itu untuk penambahan plastik sekitar 30% dapat menjadi
pilihan utama dengan kadar abu 15,26% dan breking strength 68,8 Kg/cm2.
Abstract
Municipial waste are part of our daily activity. In the future, if this municial waste doesnt want to
become a problem, it must be processing to become reuse product or by product. For example of this municipial
waste that we always see is plastic bag. Plastic itself is difficult to be apart from human activity. Most of them is
use plastic to help their work. But if plastic is run out of usefullines, plastic can become waste and if not be
processing, it very annoying. One of plastic waste were always see is polyethylene and HDPE (high density
polyethylene). So in this research, we will use plastic waste especially plastic bag for addition material in the
Seminar Material Metalurgi 2010
coal briquette. Briquette are made with melting plastic in temperature 150°C - 200°C then mix with fine coal
and molded without pressure in simple dies. We use this method four times with variation composition there are
20%, 30%, 40% and 50% of addition plastic waste. From analyze proximate data, with increasing of addition
plastic waste to briquette, for fixed carbons have decreased percentage. For fact plastic is an oil extract, but in
plastic composition have another compound that can reduce fixed carbon percentage. With increasing of plastic
addition, briquette is more resistant to water humidity and have higher volatile matter. With this, briquette has a
benefit for storage process and easier in ignition process. For toughness test, with increasing of plastic addition,
briquette is more fragile to take a load. For addition 20% of plastic waste, it has highest breaking strength
ability. But if we look for ash value, addition 20% of plastic waste only can reduce the ash value of coal for main
composition of coal briquette there is 20,09% become 19,82%. So with addition 30% of plastic waste can be
main option because it have ash value 15, 26% and breaking strength value of 68, 8 Kg/cm2.
Keywords : briquette, coal, plastic waste, mixing, utility
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 201
PENDAHULUAN
Sampah atau limbah merupakan bagian dari kehidupan kita sehari – hari. Agar tidak
menjadi masalah di masa depan, diperlukan proses daur ulang menjadi barang atau produk
yang dapat digunakan kembali. Salah satu contohnya adalah sampah plastik. Plastik sendiri
sudah menjadi bagian yang sukar dipisahkan dari berbagai aktifitas manusia. Plastik sudah
banyak digunakan dan dimanfaatkan menjadi alat atau produk yang banyak membantu
aktifitas manusia.
Seiring dengan perkembangan teknologi, kebutuhan akan plastik terus meningkat.
Data BPS tahun 1999 menunjukkan bahwa volume perdagangan plastik impor Indonesia,
terutama polipropilena (PP) pada tahun 1995 sebesar 136.122,7 ton sedangkan pada tahun
1999 sebesar 182.523,6 ton, sehingga dalam kurun waktu tersebut terjadi peningkatan sebesar
34,15%. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus meningkat pada tahun-tahun selanjutnya.
Sebagai konsekuensinya, peningkatan limbah plastikpun tidak terelakkan. Menurut
Himawanto (2005) komposisi sampah atau limbah plastik yang dibuang oleh setiap rumah
tangga adalah 2% dari total sampah kota. Di Jabotabek rata-rata setiap pabrik menghasilkan
satu ton limbah plastik setiap minggunya. Jumlah tersebut akan terus bertambah, disebabkan
sifat-sifat yang dimiliki plastik, antara lain tidak dapat membusuk, tidak terurai secara alami,
tidak dapat menyerap air, maupun tidak dapat berkarat, dan pada akhirnya akhirnya menjadi
masalah bagi lingkungan. (YBP, 1986).
Pemanfaatan limbah plastik merupakan upaya menekan pembuangan plastik
seminimal mungkin dan dalam batas tertentu menghemat sumber daya dan mengurangi
ketergantungan bahan baku impor. Pemanfaatan limbah plastik dapat dilakukan dengan
pemakaian kembali (reuse) maupun daur ulang (recycle). Pemanfaatan limbah plastik dengan
cara daur ulang umumnya dilakukan oleh industri. Secara umum terdapat empat persyaratan
agar suatu limbah plastik dapat diproses oleh suatu industri, antara lain limbah harus dalam
bentuk tertentu sesuai kebutuhan (biji, pellet, serbuk, pecahan), limbah harus homogen, tidak
terkontaminasi, serta diupayakan tidak teroksidasi. Untuk mengatasi masalah tersebut,
sebelum digunakan limbah plastik diproses melalui tahapan sederhana, yaitu pemisahan,
pemotongan, pencucian, dan penghilangan zat-zat seperti besi dan sebagainya (Sasse et
al.,1995).
Pemanfaatan plastik daur ulang dalam pembuatan kembali barang-barang plastik telah
berkembang pesat. Hampir seluruh jenis limbah plastik (80%) dapat diproses kembali menjadi
barang semula walaupun harus dilakukan pencampuran dengan bahan baku baru dan additive
untuk meningkatkan kualitas (Syafitrie, 2001). Menurut Hartono (1998) empat jenis limbah
plastik yang populer dan laku di pasaran yaitu polietilena (PE), High Density Polyethylene
(HDPE), polipropilena (PP), dan asoi. Plastik yang digunakan sebagai pengemas merupakan
jenis plastik yang banyak terdapat dalam sampah plastik karena pemakaiannnya yang singkat.
High density polyethylene (HDPE) merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan
sebagai pengemas.
Berdasarkan uraian diatas maka dalam penelitian ini akan dilakukan pemanfaatan
sampah plastik khususnya sampah plastik kemasan (kresek) dimana sangat banyak sekali
ditemui dalam kehidupan sehari hari yang akan digunakan sebagai bahan campuran dalam
pembuatan briket batubara.
Seminar Material Metalurgi 2010
Metoda Pelaksanaan
Sampah plastik rumah tangga yang telah dibersihkan, dilelehkan dengan dibakar pada
temperatur 150°C - 200°C, kemudian dicampur dengan serbuk batubara dan dicetak pada
cetakan tanpa menggunakan tekanan. Metode tersebut dilakukan sebanyak 4 kali dengan
komposisi plastik yang bervariasi yaitu :
Untuk label no 1 dibuat dengan komposisi 20% plastic dan 80% batubara
Untuk label no 2 dibuat dengan komposisi 30% plastic dan 70% batubara
Untuk label no 3 dibuat dengan komposisi 40% plastic dan 60% batubara
Untuk label no 4 dibuat dengan komposisi 50%.plastic dan 50% batubara
Gambar 1. Briket batubara (1) 0% plastik, (2) 20% plastik, (3) 30% palstik, (4) 40% plastik, (5) 50% plastik
Setelah itu dilakukan proses analisa proksimat dan untuk mengetahui kemampuan
briket menerima beban, dilakukan uji coba ketagguhan dengan memberikan beban secara
bertahap.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 203
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pengaruh penambahan plastik terhadap fixed carbon
Analisis kadar fixed carbon dilakukan untuk mengetahui bagian yang hilang saat
proses pembakaran setelah semua kadar volatile solid hilang pada temperatur 1050C. Dari
hasil percobaan didapat bahwa dengan penambahan plastik maka nilai fixed carbon pada
briket terjadi penurunan (Gambar 2).
Dari Gambar 1 menunjukan trend antara komposisi batubara dan plastik yaitu dengan
semakin bertambahnya kadar plastik maka kadar fixed carbon semakin berkurang, untuk
nilai tertinggi pada sampel no 1 dengan 37,1% kadar FC dan yang terendah pada sampel 4
dengan 33,15% FC. Hal ini dikarenakan plastik jenis HDPE memiliki nilai fixed carbon
kecil yaitu 0,72% (Sorum, Gronli, Hustad, 2001) sehingga seiring bertambahnya kadar
plastic pada campuran batubara maka nilai fixed carbon asli dari batubara yaitu sebesar
56,48% semakin berkurang.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 205
5. Pengaruh penambahan plastik terhadap breaking strength (toughness material)
Berdasarkan pengujian ketangguhan dalam menerima beban, seiring dengan
penambahan plastik menjadi turun kekuatannya. Penambahan plastik 20% mempunyai
kemampuan breaking strength yang tinggi dari pada yang lain yaitu sebesar 98 kg/cm2
(Gambar 6). Ini terjadi karena dengan pengaruh penambahan prosentase jumlah limbah plastic
dalam briket dimana limbah plastic ini kebanyakan merupakan grade terendah dari beberapa
kali proses daur ulang. Sebagai contoh untuk plastic jenis seperti kresek warna hitam adalah
jenis plastic kemasan yang terendah. Kemungkinan dalam material penyusunannya terdapat
sejumlah pengotor yang berpengaruh terhadap daya ikat briket yang dimana berbanding lurus
pada ketangguhannya.
KESIMPULAN
Dalam penelitian ini, penambahan plastic hingga mencapai 20% pada briket bio
batubara mempunyai standar spesifikasi yang paling baik. Hal ini dikuatkan dengan nilai
breaking strength yang mencapai 98 Kg/cm2 dimana melebihi standar dari spesifikasi bio
briket. Akan tetapi jika dilihat dari kadar abu yang dimiliki, jika dibandingkan pada kadar abu
asli dari batubara awalnya, penurunan kadar abunya sangat sedikit yaitu 20,09% menjadi
19,82%. Akan tetapi untuk sampel kedua yaitu penambahan 30% plastic pada briket bio
Seminar Material Metalurgi 2010
batubara, terjadi penurunan kadar abu yang cukup signifikan yaitu 20,09% menjadi 15,26%.
Selain itu dengan nilai breaking strength mencapai 68,8% telah melebihi standar spesifikasi
bio briket. Sehingga penambahan plastic 30% dapat menjadi pilihan utama. Untuk kadar
volatile mater, dengan penambahan plastic yang semakin banyak akan mempermudah nyala
briket, selain itu untuk kadar fixed carbon, dari ke empat sampel tidak jauh berbeda walaupun
seiring penambahan plastic terjadi penurunan kadar fixed carbon.
Dalam pembuatan briket ini, penambahan tekanan tidak dilakukan dalam proses
pencetakan dikarenakan dengan alat yang sederhana saja, nantinya diharapkan dapat
diaplikasikan pada skala industry rumahan untuk mensiasati limbah plastic rumah tangganya.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 207
Seminar Material Metalurgi 2010
Deddy Sufiandi
Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan PUSPIPTEK Serpong Tangerang 15314
Intisari
Chalcopyrite (CuFeS2) adalah salah satu mineral yang mengandung tembaga. Chalcopyrite banyak
terdapat di Indonesia, antara lain terdapat di daerah Irian Jaya dan Karang Nu'nggal. Pada percobaan ini
dilakukan pelarutan Chalcopyrite dengan larutan ferri sulfat dan asam sulfat. Hasil yang diharapkan adalah
terbentuknya larutan ferro sulfat dan cupri sulfat. Hasil percobaan telah diperoleh pelarutan Cu sampai 93 %
dengan kondisi proses sebagai berikut : konsentrasi pelarut Fe3+ 60 gr/ It, waktu pelarutan 3 jam dan ekses
asam sulfat 20 ml.
I. PENDAHULUAN
Chalcopyrite (CuFeS2) adalah suatu mineral yang berwarna hitam kehijauan, banyak
terdapat dialam sebagai bahan galian yang mengandung bijih tembaga dengan nilai ekonomi
yang tinggi. Bijih Chalcopyrite banyak terdapat di Indonesia misalnya didaerah Irian Jaya dan
Karang Nunggal (Tasikmalaya). Tembaga yang terdapat dialam selain sebagai batuan
chalcopiryte juga terdapat sebagai batuan yang lain seperti : Chalcolite (Cu2S), , Brocantite
(CuS04 .3Cu(OH)2), Covelite (CuS), energite (3Cu2S.As2S2), MalShite (CuCo2.Cu(OH)2) dan
sebagainnya.
Penambangan bijih tembaga tergantung dari kadar tembaganya. Apabila bijih tembaga
mencapai kadar diatas 6 % biasanya langsung dilebur tanpa pengolahan terlebih dahulu.
Tetapi di Indonesia pada umumnya kadar tembaga pada bijih sangat rendah, maka untuk
mendapatkan kadar tembaga yang tinggi dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Bijih tembaga
yang mempunyai kadar rendah dikonsentrasikan secara flotasi, yaitu untuk memisahkan
mineral tembaga sulfida dengan mineral-mineral lainnya. Bijih tembaga karbonat dapat
dikerjakan secara pelindian sedangkan untuk bijih Chalcopyrite dilakukan konsentrasi
sehingga diperoleh konsentrat Chalcopyrite yang diolah lebih lanjut.
Percobaan pelarutan konsentrat Chalcopyrite merupakan suatu tahapan yang penting
dalam proses ekstraksi tembaga dari bijih Chalcopyrite. Pada proses ini dari konsentrat bijih
chalpopyrit dilarutkan dalam larutan asam sulfat yang telah ditambahkan ferri sulfat.
Kemudian larutan yang terbentuk berupa larutan yang mengandung CuSO4, FeSO4 dan sulfur.
Larutan tersebut dapat diambil tembaganya dengan proses elektrowining ataupun dipekatkan
sehingga diperoleh garam CuSO4. Setelah tembaga dapat dipisahkan, maka larutan tinggal
berupa FeSO4 yang dapat direcycle menjadi ferri sulfat dengan proses oksidasi pada kondisi
Seminar Material Metalurgi 2010
basa.
Pada percobaan ini menggunakan Chalcopyrite dengan kadar Cu 28,5 % , Fe 33,5 %
dan sulfur 32,3 %.
II.TEORI PERCOBAAN
Pelarutan (leaching) yaitu suatu proses melarutkan unsur tertentu dalam padatan
dengan menggunakan pelarut tertentu, sehingga diperoleh larutan yang mengandung zat yang
berasal dari padatan yang dilarutkan. Tujuan dari proses leaching adalah mengambil salah
satu unsur dari padatan dengan bantuan media cair.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 209
Pada proses pelarutan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan antara lain zat
yang akan dilarutkan dan pelarutnya. Setiap zat akan mempunyai kelarutan yang berbeda,
tergantung dari komposisi zat tersebut, apabila dilarutkan didalam satu macam pelarut.
Kelarutan dipengaruhi oleh beberapa faklor tertentu, dalam proses pelarutan dan chalcopyrite
kelarutan dipengaruhi oleh :
Konsentrasi pelarut
Temperatur pelarutan
Waktu pelarutan
Ekses asam sulfat
Dalam proses pelarutan chalcopyrite dengan rnenggunakan asam sulfat sebagai
pelarut, terjadi suatu reaksi reduksi - oksidasi, dimana tembaga (Cu) dan chalcopyrite dengan
menggunakan ferisulfat akan mengalami oksidasi, sedang ferri sulfat mengalami reduksi.
Reaksi yang terjadi :
Cu+ => Cu2+ + e
+ 3+
Cu + Fe => Cu2+ + Fe2+
Reaksi lengkapnya sebagai berikut :
CuFeS2(s) + 2 Fe3(SO4)3 => CuSO4 + 5 FeSO4 + 2 S (s)
Untuk mendapatkan basil kelarutan tembaga dari chalcopyrite yang tinggi, maka perlu
diperhatikan garam ferri sulfat yang akan digunakan. Garam ferisulfat mempunyai sifat
mudah tereduksi menjadi ferro sulfat dalam suasana asam. Untuk mencegah reduksi ferri
sulfat karena percobaan dilakukan pada suasana asam maka dalam garam feri sulfat
ditambahkan hidrogen peroksida Dan percobaan pendahuluan sebelumnya, apabila
melakukan percobaan dengan menggunakan garam ferri maka konsentrasi Fe3+ dengan Fe2+
harus berbanding 40 : 1 untuk mendapatkan kelarutan yang tinggi. Percobaan pelarutan
dengan garam ferri sulfit juga harus dilakukan dalam lingkungan asam, hal ini guna
menghindari hidroksi feri sulfat menjadi endapan ferri hidroksida.
III.METODOTOGI
1. Percobaan Dengan Variable Konsentrasi Pelarut.
Seberat 7,5 gr ferri sulfat dilarutkan dalam aquadest, lalu tambahkan asam sulfat pekat
sebanyak 10 ml dan 5 ml hydrogen peroksida, kemudian diencerkan dengan aquadest sampai
volume 250 ml sehingga diperoleh larutan dengan kadar 30 gr Fe3+/lt
Larutan tersebut lalu di didihkan dalam labu didih sambil diaduk menggunakan
magnetic stirrer, setelah mendidih masukan 25 gr konsentrat chalcopyrite kemudian peralatan
kondenser dipasang. Lakukan proses pelarutan pada kondisi mendidih. Setelah proses
pelarutan selama satu jam hasil proses disaring untuk memisahkan residu. Filtrat yang
diperoleh diencerkan sampai volume 500 ml kemudian dilakukan analisa kadar tembaganya.
Percobaan juga dilakukan dengan penambahan ferri sulfat yang berbeda sehingga diperoleh
variable konsentrasi ferri - 40 gr Fe3+/lt, 50 gr Fe3+/lt, 60 gr Fe3+/lt 70 gr Fe3+/lt dan 80 gr
Fe3+/lt.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 211
V. HASIL, DAN PEMBAHASAN
Percobaan yang telah dilakukan diperoleh beberapa data, untuk percobaan dengan
variabel konsentrasi pelarut dapat dilihat pada Gambar 1.
Dari Gambar 1 dapat diamati hubungan persen ekstraksi dengan konsentrasi dimana di
perlihatkan dengan semakin tinggi konsenirasi Fe maka persen eksiraksi logam Cu semakin
besar, namun pada konsentrasi terlentu yaitu antara 60 gr/It sampai 80 gr/It, Persen ekstraksi
logam Cu mendekati konstan berkisar antara 56,14 % sampai 56,43 %, Hal ini berarti
konsentrasi yang optimum untuk pelarut Fe adalah berkisar 60 sampai 70 gr/It. Untuk hasil
percobaan dengan variabel waktu ekstraksi ditunjukkan pada Gambar 2.
Persen Ekstraksi
Seminar Material Metalurgi 2010
Penambahan Asam Sulfat (ml)
Gambar 3. Grafik hubungan antara penambahan asam sulfat dengan persen ekstraksi
Dari Gambar 3 terlihat bahwa penambahan asam sulfat pekat berpengaruh terhadap
persen ekstraksi. Semakin tinggi konentrasi pelarut maka persen logam Cu yang terekstraksi
KESIMPULAN
Untuk mengekstraksi logam tembaga (Cu) dari chalcopyrite, beberapa hal penting
yang perlu diperhatikan antara lain konsentrasi Fe3\ waktu ekstraksi dan kelebihan asam sulfat
yang digunakan. Untuk konsentrasi Fe dengan semakin pekat belum tentu memberikan hasil
yang febih baik, sedangkan perpanjangan waktu diatas waktu yang efeknva juga tidak akan
efisien, Disamping itu kelebihan asarn sulfat yang berlebihan juga tidak berarti memberikan
perolehan ekstraksi yang besar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kirk Othmcr," Encyclopedia Chemichal Technologi”
2. Joseph Newum,” Extractive Metalurgi”, John Wiley and Sons, Chapman and Hall
Limited, New york, London.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 213
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Telah dilakukan pembuatan paduan terner Zr-Nb-Y. Bahan awal untuk pembuatan paduan tersebutl
adalah , Zr 99% Nb 99,9, Y 99,9. Komposisi paduan yang dibuat adalah Zr-2,5%Nb, Zr-2,5%Nb-0,5%Y, Zr-
2,5%Nb-0,75%Y, Zr-2,5%Nb-1%Y. Pembuatan paduan dilakukan dengan menggunakan tungku busur listrik
dalam atmosfer tungku gas argon kemurnian tinggi. Ingot hasil proses peleburan dikarakterisasi dengan difraksi
sinar x, mikroskop optik dan pengujian kekerasan dilakukan dengan uji kekerasan mikro vickers. Hasil
karakterisasi dengan mikroskop optik menunjukkan bahwa struktur mikro utama paduan adalah dendritic dan
lath martensit .Penambahan Y pada Zr-2,5%Nb paduan tidak merubah struktur mikro secara berarti. Hasil
analisa difraksi x menunjukkan bahwa fasa utama paduan adalah .
.
Kata kunci: zircaloy, paduan terner Zr-Nb-Y, kekerasan, dendritic, basketwave.
1. PENDAHULUAN
Aging komponen kritis dari reaktor nuklir akan menentukan umur pakai reaktor ( life
time service). Komponen-komponen kritis reaktor tersebut meliputi: fuel cladding, coolant
chanel dan pressure tube dimana komponen tersebut terbuat dari paduan logam zirkaloy.
Mekanisme aging komponen kritis tersebut adalah PCI ( Pellet Clading Interaction ), WSCI (
Waterside cladding interaction ), LOCA ( Loss of Cooling Accident ), HID (hydrogen induced
damage) dan Radiation damage.[1]
Paduan zircaloy seperti: zircaloy1, zircaloy 2, zircaloy 3 dan zircaloy 4 serta Zr-2,5Nb
telah lama digunakan sebagai kelongsong elemen bakar nuklir pembangkit listrik tenaga
nuklir. Pemakaian zircaloy untuk kelongsong elemen bakar nuklir karena paduan zirkaloy
mempunyai penampang serapan netron yang rendah, sifat mekanik dan ketahanan korosi yang
baik pada selang suhu tinggi yaitu 350-380oC pada kondisi reaktor beroperasi normal.
Selanjutnya pada kondisi reaktor sudah beroperasi dalam jangka waktu lama maka komponen
reaktor tersebut akan mengalami aging dengan mekanisme seperti yang telah disebutkan di
atas. Pemakaian paduan zircaloy pada jangka waktu yang lama mempunyai keterbatasan
karena rentan terhadap penggetasan oleh hidrogen dengan terbentuknya hidrida, penurunan
sifat mulur, dan ketahanan oksidasi yang kurang baik.[2]
Penggetasan pada logam oleh hidrogen ( hydrogen embrittlement ) adalah proses
dimana beberapa paduan logam terutama pada baja kekuatan tinggi akan mengalami getas dan
terjadi retakan akibat terpapar dilingkungan yang mengandung hidrogen. Pada paduan
zirkaloy penggetasan terjadi karena difusi hidrogen pada paduan karena batas kelarutan
hidrogen dalam paduan dilampaui maka akan terbenntuk hidrida yang dapat menyebabkan
paduan zirkaloy menjadi getas.[3]
Pada dasarnya ada dua cara untuk memperbaiki sifat-sifat paduan logam yaitu pertama
Seminar Material Metalurgi 2010
dengan memodifikasi komposisi paduan yang sudah ada dan yang kedua dengan cara
membuat paduan logam dengan komposisi yang baru. Upaya untuk meningkatan unjuk kerja
kelongsong elemen bakar nuklir yang terbuat dari paduan logam Zr-Nb terhadap penggetasan
oleh hidrogen dapat dengan cara menambahkan unsur logam ytrium sebagai unsur pemadu
terner.
Komponen reaktor nuklir yang beroperasi dalam jangka waktu yang lama dengan
kondisi adanya radiasi, lingkungan korosif dan suhu tinggi serta stress yang tinggi akan
menyebabkan komponen tersebut mengalami degradasi. Degradasi yang terjadi bisa teramati
secara makroskopis. Namun demikian kejadian sebenarnya berawal pada skala mikroskopis.
Untuk pengembangan material baru dan atau modifikasi material sudah ada diperlukan biaya
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 215
yang mahal dan waktu yang lama bila dilakukan di laboratorium untuk mensimulasikan
degradasi paduan logam. Untuk mengatasi keterbatasan di atas maka sintesa material
merupakan satu metodologi yang dapat digunakan sebagai alat bantu yang bisa menjembatani
keterbatasan diatas.[4]
Pengembangan paduan zirconium telah banyak dilakukan dan diteliti dari mulai sifat
fisik, mekanik dan kimianya.[7] Pengembangan komposisi paduan zirconium cukup bervariasi
ada biner, terner dan quartener. Masing – masing penambahan unsur pemadu mempunyai
tujuan yang berbeda ada yang meningkatkat sifat mekaniknya, ada meningkatkan ketahanan
korosi, dan meningkatkan terhadap penggetasan oleh hidrogen.
Pada Tabel 1 dapat dilihat berbagai jenis dan komposisi paduan zirkonium. Dari tabel
tersebut ditunjukan bahwa unsur yang ditambahkan pada paduan zironium relatif sedikit
karena bila unsur yang ditambahkan terlalu banyak akan menyebabkan turunya nilai serapan
netron. Turunya nilai serapan netron tersebut akan menurunkan efisiensi daya rektor nuklir.
Unsur yang ditambahkan pada zirconium bisa membentuk paduan biner zirconium seperti
pada zircaloy 1 dan Zr-Nb. Penambahan lebih dari satu unsur pemadu akan diperoleh paduan
terner zirconium seperti zircaloy 2, zircaloy3 dan zircaloy 4. Penambahan unsur pemadu Sn,
Ni, P dan Fe bertujuan untuk memperbaiki sifat mekanik logam zirconium. Sedangkan
penambahan unsur pemadu Cr dan Nb bertujuan untuk meningkatkan ketahanan oksidasi
paduan logam zirconium pada suhu tinggi.
Zr-2,5%Nb - - - - 2,5 -
Zr-1%Nb - - - - 1,0 -
3. HASIL
Hasil penelitian yang akan dibahas meliputi karakterisasi makro ingot hasil peleburan,
struktur mikro ingot dan fasa – fasa yang dominan pada ingot hasil peleburan.
3.3. Mikrostruktur
Seminar Material Metalurgi 2010
Analisa struktur mikro dilakukan dengan mikroskop optik dan SEM, hasil
mikrostruktur bisa dilihat pada Gambar 3 dan 4.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 217
Intensity (counts)
1200
1000
800
600
400
200
0
25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75
2Theta (°)
Intensity (counts)
800
600
400
200
0
30 40 50 60 70 80 90
2Theta (°)
Gambar 2. Pola difraksi sinar x ingot hasil peleburan paduan Zr-2,5%Nb-0,5%Y dan Zr-2,5%Nb-1%Y
a b
Seminar Material Metalurgi 2010
c d
Gambar 3. Mikrostruktur Paduan Zr-2,5%Nb dan Zr-2,5%Nb-Y
5. KESIMPULAN
Dari hasil percobaan yang telah dilah dapat disimpulkan bahwa :
1. Ingot hasil pengecoran cukup baik dan bebas pori
2. Fasa utama paduan terner Zr-2,5Nb-Y adalah fasa
3. Struktur mikro ingot bentuk dendritic dan lath martensit
7. DAFTAR PUSTAKA
1. Chatterjee, Priti Kotak Shah, dan. Dubey, Ageing of zirconium alloy components,
Journal of Nuclear Materials 383 (2008) hal.172–177
2. Sepold. L, dkk, Severe fuel damage experiments performed in the QUENCH facility
with 21-rod bundles of LWR-type, Nuclear Engineering and Design 237 (2007)
hal.2157–2164
3. Sarkar A, Mukherjee P., dan Barat P., Effect of heavy ion irradiation on
microstructure of zirconium alloy characterised by X-ray diffraction, Journal of
Nuclear Materials 372 (2008) hal 285–292
4. Arthur T. Motta, Aylin Yilmazbayhan, Marcelo J. Gomes da Silva, Robert J.
Comstock, Gary S. Was, Jeremy T. Busby, Eric Gartner, Qunjia Peng , Yong Hwan
Jeong , dan Jeong Yong Park, Zirconium alloys for supercritical water reactor
applications: Challenges and possibilities, Journal of Nuclear Materials 371 (2007)
hal.61–75
5. Dong Chen dkk, Experimental analysis of the aqueous chemical environment
following a loss-of-coolant accident,_Nuclear Engineering and Design 237 (2007)
hal.2126–2136
6. Yao M.Y., Zhou B.X., Q. Li b, W.Q. Liu b, dan Y.L. Chu, The effect of alloying
modifications on hydrogen uptake of zirconium-alloy welding specimens during
corrosion tests, Journal of Nuclear Materials 350 (2006) 195–201
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 219
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Lapisan tipis oksida bismuth telah ditumbuhkan pada substrat gelas menggunakan teknik pengkabut
ultrasonik. Lapisan tipis oksida bismuth dibentuk dari bubuk bismuth nitrat/Bi(NO3)3.5H2O yang dilarutkan
dalam larutan asam nitrat 0.05 M. Larutan bismuth nitrat kemudian digetarkan dan diatomisasi oleh probe
pengkabut ultrasonik/ultrasonic fogger menjadi butiran kabut. Kabut yang terbentuk disemprotkan ke substrat
gelas yang telah dipanaskan melalui suatu nozzle, dengan bantuan gas nitrogen sebagai gas pembawa, hingga
terbentuk lapisan tipis oksida bismuth. Proses pelapisan dilakukan pada rentang suhu 200-360 0C. Karakterisasi
struktur dari lapisan tipis oksida bismuth dilakukan dengan menganalisa kurva difraksi sinar –X dari Phillips X-
ray difraktometer dengan radiasi CuKa dan mempelajari gambar SEM/ scanning electron microscope. Sifat
optis diamati dengan spectrometer UV-VIS dengan merekam kurva transmisi dan refleksi lapisan tipis. Kurva
difraksi sinar-X memperlihatkan hadirnya puncak stabil suhu rendah - polikristal Bi2O3 dan metastabil Bi2O3
serta oksida bismuth non stoichiometri Bi2O2.33 disamping masih hadirnya puncak bismuth (Bi) sendiri.
Pemeriksaan struktur lapisan oksida bismuth dengan SEM memberikan ketebalan serta ukuran butir masing-
masing sekitar 0.035 m dan 0.3-0.65 m pada kondisi suhu dan waktu penumbuhan masing-masing 360 0C dan
7 menit serta kecepatan alir gas nitrogen 4 l/menit. Pengamatan sifat optis menggunakan spektrometer Jasco V
570, menghasilkan kurva refleksi dan transmisi dengan nilai transparansi 79-96 % serta nilai reflektansi 4-11%
pada rentang panjang gelombang dari 250-1500 nm.
Kata Kunci: Oksida bismuth, lapisan tipis, pengkabut ultrasonik, struktur, sifat optik.
Abstract
Deposision of bismuth oxide (Bi2O3) thin layer on glass substrate using spray pyrolysis technique has
been conducted. The bismuth oxide thin layer was prepared from bismuth nitrate/Bi(NO3)3.5H2O powder which
was dissolved thermally in nitric acid 0.05 M solution. The bismuth nitrate solution was then vibrated and
atomized by ultrasonic fogger and sprayed onto the heated glass substrate via a nozzle using nitrogen as the
carrier gas until the bismuth oxide thin layer was formed. The growth process was conducted in the temperature
range of 200-360 0C. The structural characteristics of the bismuth oxide thin layers were carried out by
analyzing the X-ray diffraction pattern obtained from Phillips X-ray difraktometer with CuKa radiation and
studying the scanning electron microscope/SEM image. Optical properties were examined by measuring
transmission and reflection spectra using UV-VIS-NIR spectrometer. The XRD pattern showed the existence of
polycrystalline multi phase bismuth oxide forms, Bi2O3 and Bi2O3 metastable polycrystal and also non
stoichiometri bismuth oxide Bi2O2.33 and bismuth (Bi) alone. Structural examination showed oxide bismuth
thickness layer of around 0.035 m and grain size 0.3-0.65 m at growth temperature and time of 360 0C and 7
mimutes respectively; with nitrogen gas flow 4 l/menit. Examination of optical properties resulted in values of
transparency 79-96% and reflectance 4-11% at wavelength range of 250-1500 nm.
Keywords: bismuth oxide, thin layer, ultrasonic fogger, structure, optical properties
PENDAHULUAN
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 221
Bismuth oksida murni, Bi2O3 mempunyai 5(lima) kondisi kristal polimorf yaitu kristal
fasa stabil α- Bi2O3 dan δ-Bi2O3 serta kristal fasa metastabil β- Bi2O3, γBi2O3 dan Bi2O3 [1,
7]
Masing-masing polimorfic Bi2O3 memiliki sifat fisis dan struktur kristal yang
berbeda, misalnya δ-Bi2O3 mempunyai harga konduktivitas termal yang paling tinggi
dibanding yang lain [1]. Kondisi yang spesifik ini membuat beragamnya penelitian yang
intensif dan mendalam tentang kondisi multifasa bismuth dengan berbagai teknik dan cara
untuk optimalnya penggunaan bahan Bi2O3.
Beberapa teknik yang dilaporkan telah digunakan untuk menumbuhkan lapisan tipis oksida
bismuth antara lain adalah oksidasi termal [8], oksidasi anodik [9], evaporasi flash [10],
deposisi laser pulsa [11] serta spray pyrolysis [12].
Pada makalah ini dilaporkan proses pelapisan serta karakterisasi lapisan tipis oksida
bismuth diatas substrat gelas menggunakan teknik pengkabut ultrasonik. Pertimbangan
digunakannya teknik ini adalah karena mudah pengoperasian serta rendah investasi.
Karakterisasi yang dilakukan meliputi pemeriksaan kondisi struktur dengan XRD dan SEM
serta pengamatan sifat optis (transmisi dan refleksi) menggunakan spectrometer Jasco.
Gambar 1. (a) Model Sillen; kekosongan diGambarkan tersusun teratur sepanjang bidang (<111>, (b) Model
Gattow, kekosongan digambarkan tak beraturan, (c) Model Willis; atom-atom oksigen dipindahkan
dari posisi regular 8c [1,7].
Pemakaian secara tipikal dari teknik pengkabut ultrasonik sendiri adalah dalam
bidang-bidang sebagai berikut [13]: Semiconductor/Electronik (misal untuk aplikasi fotoresist
ke substrat, flux ke lubang PCB, deposisi mikro pada hard disk komputer, pelapisan
semikonduktor dan superkonduktor), Medical/biomedical (misal pelapisan tabung darah
secara kolektif, pelapisan diagnostic kit set, pelapisan protein, enzim dan reagen) , industri
minyak wangi, oli, spray keramik dan lain-lain.
Proses pelapisan dengan teknik spray pyrolysis telah kami lakukan sebelumnya dan
menghasilkan lapisan tipis oksida timah serta indium oksida timah pada substrat silikon dan
gelas [15, 16]. Dengan teknik dan peralatan yang ada secara teknis proses pelapisan bisa
berlangsung sederhana, baik dalam susunan peralatan maupun prosedur proses.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 223
EKSPERIMEN
Proses eksperimen dilakukan di dalam suatu ruang asam kecil untuk sistem isolasi dari
lingkungan sekeliling yang dilengkapi dengan sistem pembuangan udara. Peralatan utama
yang digunakan adalah sistem pengkabut ultrasonik dari Mainland USA, tabung gelas berisi
larutan pembentuk lapisan yang berfungsi sebagai tabung prekursor tempat kabut ultrasonik
dibangkitkan, sistem aliran gas/kabut, sistem pemanas serta nitrogen sebagai gas pembawa
(lihat Gambar 2).
Lapisan oksida bismuth dibuat menggunakan larutan prekursor bismuth asetat 0.05 N.
Larutan prekursor yang telah digetarkan dan diatomisasi oleh pengkabut ultrasonik menjadi
kabut dialirkan ke substrat gelas yang telah dipanaskan dengan bantuan gas nitrogen sebagai
gas pembawa dengan kecepatan alir 4 liter per menit. Sebagai substrat gelas digunakan slide
mikroskop dengan ukuran sekitar (2 cm x 3 cm) dan ketebalan 1 mm. Kemampuan sistem
pemanas hingga suhu sekitar 8000C. Sebelum proses pelapisan, substrat dibersihkan
menggunakan larutan methanol, aceton dan trichlorethylene serta dikeringkan dibawah lampu
ultraviolet dengan aliran gas nitrogen.
Kurva difraksi sinar-X diperoleh dari diffraktometer Phillips dengan radiasi CuKa (=
1.5405 m). Puncak-puncak oksida bismuth diidentifikasi dan dievaluasi menggunakan file
JCPDS. Morfologi permukaan dan gambar penampang lintang dari lapisan diperiksa dengan
SEM. Sifat optik diamati menggunakan spectrometer UV-VIS- NIR Jasco.
dalam nois. Hasil eksperimen pada Gambar 4 menunjukkan bahwa dengan penahanan suhu
pada 3600 dan variasi waktu yang ekstrim (3 menit dan 30 menit) menghasilkan puncak-
puncak oksida bismuth bentuk fasa yang sama dengan intensitas duakalinya dan hanya
memunculkan 1(satu) buah tambahan puncak kristal oksida bismuth dengan fasa berbeda
yaitu Bi2O3 (002), lihat Gambar 4c.
Hasil-hasil ini sesuai dengan literatur [2, 8, 12] yang menyatakan bahwa struktur yang
terbentuk dipengaruhi oleh detail proses penumbuhannya. Untuk mendapatkan puncak kristal
dengan fasa yang lebih stabil (oksida bismuth fasa ) bisa dilakukan penumbuhan lapisan
oksida pada suhu yang lebih tinggi atau dilakukan proses annealing pada sampel.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 225
Gambar 4. Kurva XRD dari lapisan tipis oksida bismuth dengan suhu pelapisan 360o C dan waktu pelapisan: (a)
3 detik (b) 3 menit dan (c) 30 menit.
Gambar 5. Gambar SEM dari penampang lintang Gambar 6. Gambar SEM dari permukaan atas
lapisan tipis oksida bismuth/gelas lapisan tipis oksida bismuth/gelas
dengan perbesaran 5000x dengan perbesaran 9000x.
harga refleksi yang rendah pada rentang panjang gelombang 250-1500 nm dengan nilai
refleksi sekitar 4-11%
Hasil-hasil yang diperoleh yang menunjukkan telah terlapisnya bahan bismuth oksida
pada substrat gelas dengan karakterisatik sifat kristal serta kurva transmisi dan refleksi
menunjukkan potensi pemakaian bismuth oksida terutama untuk divais optoelektronik, sensor
gas serta pelapisan optis. Untuk penelitian selanjutnya masih diperlukan pengukuran yang
lebih mendetail dengan suhu yang lebih tinggi serta parameter lain yang lebih bervariasi.
Perbaikan sistem agar terbentuk kabut yang lebih banyak lagi dan juga peningkatan performa
sistem pemanas diperlukan agar diperoleh lapisan yang lebih homogen dengan daya rekat
Gambar 7. Kurva transmisi lapisan tipis oksida bismuth diatas substrat gelas dengan variasi waktu deposisi: (1)
0 detik (2) 3 detik (3) 1 menit (4) 3 menit.
Gambar 8. Kurva refleksi lapisan tipis oksida bismuth diatas substrat gelas dengan variasi waktu deposisi: (1) 0
(2) 3 detik (3) 1 menit (4) 3 menit.
orde sekitar 0.035 m dan ukuran butir 0.3-0.65 . Kristal oksida bismuth baru mulai hadir
pada suhu penumbuhan sekitar 275oC, dibawah itu hanya lapisan amorf yang tampak. Walau
puncak Bi2O3dan Bi2O3 telah dapat teramati tetapi puncak yang paling dominan masih
milik dari unsur bismuth yang mengindikasikan bahwa suhu penumbuhan masih kurang
tinggi atau perlu proses aniling untuk memperoleh lapisan oksida bismuth dari fasa yang lebih
stabil. Pengamatan kurva transmisi dan refleksi menghasilkan nilai transparansi 79-96% dan
nilai reflektansi 4-11% pada rentang panjang gelombang 4-11%. Untuk penelitian selanjutnya
masih diperlukan pengukuran yang lebih mendetail dengan suhu yang lebih tinggi serta
parameter lain yang lebih bervariasi agar diperoleh struktur oksida bismuth dengan fasa yang
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 227
lebih stabil. Pengukuran sifat-sifat fisis yang lain seperti energi gap atau fotoluminesensi juga
perlu dilakukan. Berbagai usaha perbaikan sistem peralatan masih dilakukan untuk
mendapatkan lapisan yang lebih homogen dengan kerekatan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. P. Shuk, H.D. Wiemhofer, U. Guth, W. Gopel, M. Greenblatt, “Oxide ion conducting
solid electrolytes based on Bi2O3, Solid State Ionics 89, pp. 179-196, 1996.
2. L. Leontie, M. Caraman, M. Alexe, C. Harnagea, “Structural and optical characteristics
of bismuth oxide thin films”, Surface Science 517-510, pp. 480-485, 2002.
3. G. Bandoli, D. Barecca, E. Brescacin, G.A. Rizzi, E. Tondello, Chem. Vap. Depos., 2/9,
p. 238, 1996.
4. T. Hyodo, E. Kanazawa, Y. Takao, Y. Shimizu, M. Egashira, Electrochemistry 68/1, p.
24, 2000.
5. M. Schuisky, A. Harsta, Chem. Vap. Depos. 2/9, p. 235, 1996.
6. A. Pan, A. Ghosh, J. Non-Cryst. Solid 271/1-2, p. 157, 2000.
7. Bismuth (III) Oxide, http://en.wikipedia.org/wiki/Bismuth III) Oxide (diunduh 15 Maret
2010).
8. L. Leontie, M. Caraman, A. Visinoiu, G. Rusu, “Optical properties of bismuth trioxide
thin films”, Material Research Bulletin, vol. 36, pp. 1629-1637, 2001.
9. M. Metic, J. Electrochem. Acta., Vol. 26, p. 989, 1981.
10. V. Dolocan, F. Iova, Phys. Stat. Sol., vol. A64, p. 755, 1981.
11. L. Leontie, M. Caraman, M. Delibas, G. Rusu, “Optical properties of bismuth oxide thin
films prepared by pulsed laser deposition”, Thin Solid Films, vol. 473 , pp. 230- 235,
2005.
12. V. Killedar, C. Bhosale, “Characterization of spray deposited bismuth oxide thin film
from non aqueous medium”, Tr. J. Physics, vol. 22, pp. 825-830, 1998.
13. www.sono-tek.com
14. B. Correa-Lozano, CH. Comninellis, A. De Battisti, “Preparation of SnO2-Sb2O5 Films
by the Spray Pyrolysis Technique”, Journal of Applied Electrochemistry, 26, pp. 83-89,
1996.
15. Dwi Bayuwati and Suryadi, ”Deposition of Thin Film Using Pyrosol Method”,
Proceedings of Sub Committee on Material Science and Technology, The 2nd ASEAN
Congress and Sub Committee Conference, pp. 160-167, 2005, Indonesian Institute of
Sciences/LIPI-State Minister for Research and Technology Republic of Indonesia-
ASEAN Committee on Science and Technology, Jakarta.
16. Dwi Bayuwati, Achiar Oemry dan Syuhada, “Analisis Difraksi Sinar X, Mikroskop
Elektron dan Spektrometri Lapisan Tipis Tin Oksida untuk Sel Surya Si-n/SnO2”,
Proceedings Electric, Control, Communication and Information Seminar, hal. 75-80,
2004, Universitas Brawijaya, Malang.
Seminar Material Metalurgi 2010
Edi Herianto
Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang 15314
e-mail : edih001@lipi.go.id. Hp : 0815 88 57 960
Abstrak
Pasir besi di Indonesia memiliki karakteristik tersendiri, sehingga menyulitkan dalam pengolahannya
secara konvensional, kondisi ini disebabkan karena kandungan utama pasir besi adalah ilmenit yang merupakan
senyawa antara unsur besi dengan titan oksida (FeTiO3). Pengolahan pasir besi secara konvensional
menggunakan tanur tiup (blast furnace) agak sulit untuk dilakukan, karena slag yang dihasilkan dari peleburan
pasir besi di dalam tanur tiup mengandung titan oksida yang cukup kental sehingga kesulitan dalam
pengeluaran slag tersebut melalui lubang pengeluaran slag. Melalui jalur reduksi langsung dan dilanjutkan
dengan peleburan menggunakan tungku listrik suatu alternatip teknologi yang dapat dilakukan, namun untuk
sampai pada tahap peleburan di Indonesia saat ini juga sulit untuk dikembangkan mengingat krisis listrik yang
ada saat ini. Maka alternatip yang paling cepat untuk pemanfaatan pasir besi tersebut adalah di olah menjadi
sponge iron selanjutnya dapat diolah menjadi pig iron atau baja, jika peleburan sponge iron tersebut belum
dapat dilakukan di dalam negeri, maka produk sponge iron ini sudah dapat dieksport sebagai produk antara
sebelum dilakukan peleburan, sehingga pemanfaatan pasir besi lebih cepat untuk dimanfaatkan dan bernilai
ekonomi cukup tinggi.
Kata Kunci : Pasir besi, ilmenit, teknologi alternatip, reduksi langsung, sponge iron, iron nuggets, pig iron.
PENDAHULUAN
Pasir besi merupakan salah satu mineral besi yang keberadaannya sangat berlimpah di
Indonesia, hampir diseluruh wilayah Indonesia keberadaan pasir besi ini terkandung di
dalamnya, mulai dari sabang sampai merauke dan diperkirakan sekitar 382 juta ton (ESDM
2009). Namun sampai saat ini pasir besi tersebut belum terolah atau dimanfaatkan secara
maksimal, paling-paling hanya digunakan oleh industry semen sebagai bahan campuran
dalam pembuatan semen Portland. Selebihnya masih belum termanfaatkan atau juga di
eksport masih dalam bentuk bahan mentah sehingga memiliki nilai ekonomi yang sangat
rendah, berdasarkan data nilai eksport bijih besi pada tahun 2007 lebih dari 4 juta ton
(Deperin, 2008).
Namun kedepan eksport bahan mentah ini sulit untuk dilakukan mengingat telah
diundangkannya UU No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan yaitu UU Minerba (mineral dan
batubara). Secara prinsip Undang undang tersebut lebih mengutamakan pengolahan mineral di
dalam negeri semata-mata untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Bahkan salah satu pasalnya
melarang untuk mengekspor bahan baku mentah,yaitu pada pasal 103 ayat (1) yang
menyebutkan pemegang IUP dan IUP khusus (IUPK) wajib melakukan pengolahan dan dan
pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Disamping itu UU minerba tersebut
memperioritaskan hasil produksi pertambangan kita untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri dan mendorong peningkatan nilai tambah atas produk pertambangan sehingga kedepan
Seminar Material Metalurgi 2010
tidak lagi semata-mata mengeksport bahan mentah produk pertambangan (ESDM 2009).
Namun kenyataan ini perlu juga kita cermati dan pertimbangkan secara menyeluruh.Misalnya
untuk pemanfaatan pasir besi menjadi produk pig iron atau baja, tentunya diperlukan
teknologi yang cocok dan tentunya investasi yang juga tidak kecil. Maka perlu dilakukan
pertimbangan-pertimbangan teknologi yang dapat dilakukan sehingga pasir besi ini memiliki
nilai tambah, namun tidak memerlukan waktu yang terlalu lama dalam pengolahannya.
Salah satu alternatip teknologi yang ditawarkan adalah pembuatan sponge iron, karena
sponge iron ini selanjutnya dapat diolah menjadi besi cor atau produk baja. Dan seandainya di
dalam negeri belum dapat melakukan peleburan sponge iron sepenuhnya maka kelebihan dari
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 229
hasil produksi dapat dieksport, karena sponge iron bukan lagi bahan baku mentah tapi sudah
merupakan bahan setengan jadi atau produk antara. Maka melalui penelitian ini dilakukan
proses pembuatan sponge iron dari pasir besi Indonesia.
METODOLOGI
Langkah awal yang dilakukan untuk melakukan penelitian ini adalah studi literature
yang tentunya sangat diperlukan untuk mempejari dalam proses pemisahan besi dari ilmenit,
karena pasir besi biasanya tidak terlepas dari kandungan titan di dalamnya. Berdasarkan hasil
analisa Petrografi bijih besi Indonesia pada umumnya mengandung Magnetik (Fe3O4),
Hematit (Fe2O3) dan Ilmenit (FeTiO3) (Indarto Katim, Ir, 1994). Bahan baku yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pasir besi yang diambil Tegal Buleut, Sukabumi, arang kayu dan
bentonit sebagai binder.
Langkah kedua adalah analisa komposisi bahan baku, dilakukan untuk melihat berapa
besar kandungan besi yang terdapat didalam pasir besi. Analisa dilakukan terhadap pasir besi
yang seebelumnya telah dilakukan konsentrat, dan langkah ketigayang dilakukan adalah
melakukan percobaan laboratorium yang meliputi :
1. Preparasi bahan baku, dimana semua bahan baku yang digunakan yaitu pasir besi,
bentonit dan arang kayu di haluskan menggunakan ballmill sampai mencapai ukuran –
100 mesh.
2. Bahan baku yang telah dihaluskan selanjutnya dicampur dengan menggunakan peralatan
mixer.
3. Setelah bahan baku bercampur secara merata selanjutnya dibuat pelet dengan diameter
sekitar 1.5 cm.
4. Langkah selanjutnya pembuatan sponge iron, dengan melakukan reduksi pelet kedalam
tungku reduksi dengan temperatur tetap 1200 OC, Pada tahap reduksi pemisahan logam Fe
dari TiO3 diperlukan temperatur sekitar 1200 OC – 1300 OC (Direct from midrex,
2007/2008), membentuk senyawa Fe2O3 dan TiO2. Selanjutnya senyawa Fe2O3 maupun
Fe3O4 direduksi menjadi Fe.
5. Penahanan waktu reduksi dilakukan dengan variasi waktu 0.5 jam, 1 jam, 2 jam dan 3
jam. Sedangkan bahan reduksi arang kayu divariasikan 15 %, 20 % dan 25 %.
6. Pada penelitian ini untuk menguji hasil metalisasi maka sponge iron yang dihasilkan akan
dilebur dengan tungku listrik untuk mengetahui berapa besar hasil besi yang diperoleh
sebagai produk logam besi dan sisanya yang berada di slag, ini dilakukan mengingat
peralatan untuk menganalisa metalisasi besi dari hasil reduksi di Puslit Metalurgi sedang
tidak berfungsi, sehingga hasil metalisasi dari sponge iron tidak dapat dilakukan, namun
hal ini ada jalan keluarnya dengan cara melebur sponge iron yang dihasilkan, kemudian
menimbang besi yang dihasilkan, sehingga besi yang terrecovery dapt diketahui.
BAHAN
FC CaO MgO SiO2 Al2O3 S Fe VM TiO2
BAKU
A. kayu 70 0.01 0.09 2.13 0.12 - - 21.95
P.Besi - 2.28 5.62 8.65 2.12 0.25 51.24 - 8.11
B. Kapur - 54.15 1.22 2.83 0.46 - - -
Bentonit 0.7 3.35 59.6 12.76 1.31
Pasir besi merupakan ilmenit yang merupakan senyawa antara unsure besi dengan
titan oksida (FeTiO3). Senyawa ilmenit membentuk jala-jala halus didalam masa magnetit,
% Recovery = Berat besi yang terlebur (dihasilkan) – berat besi total yang ada di dalam bahan baku.
Gambar 1.Persen Recovery logam (Fe) terhadap waktu untuk berbagai persen reduksi pada temperatur 1200 OC.
Dilihat dari Gambar 1, persen recovery logam besi dipengaruhi oleh jumlah bahan
reduktor atau persentase bahan reduktor yang digunakan. Hal tersebut terlihat dari Gambar 1,
dimana untuk pemakaian bahan reduktor 15 % metalisasi tertinggi hanya 66 % pada
penahanan waktu 2 jam. Namun untuk bahan reduktor stoikiometri reduksi tertinggi hanya
dicapai 82 % pada penahanan waktu 2 jam. Kondisi ini dapat dijelaskan karena perhitungan
stoikiometri hanya diasumsikan pada reduksi hematit (Fe2O4), dan tidak memperhitungkan
untuk oksida lainnya termasuk panas yang hilang.
Sedangkan pada penggunakan bahan reduktor dilebihkan dari stoikiometri persen
recovery atau logam yang dihasilkan semakin meningkat yaitu sebesar 90 % pada penahanan
waktu 2 jam. Dari kondisi ini dapat dijelaskan walaupun penahanan waktu reduksi di
perpanjang namun tidak meningkatkan perolehan logam besi, kondisi ini diakibatkan bahan
reduktor yang diperlukan untuk mereduksi besi yang ada telah habis, sehingga untuk lebih
mengoptimalkan proses maka perlu dilakukan penelitian untuk penambahan bahan baku lebih
Seminar Material Metalurgi 2010
banyak lagi, mengingat kondisi ini sangan dipengaruhi oleh bahan reduktor yang diperlukan.
Penentuan kebutuhan bahan reduktor (arang kayu) dihitung secara stokiometri
berdasarkan komposisi kimia pasir besi titan pada tabel 1. Oksida besi yang ada diasumsikan
semua berupa Fe2O3 direduksi menggunakan karbon (C) menjadi Fe dan CO2, kebutuhan
karbon secara stoikiometri kemudian di kurangi dan dilebihkan dari nilai stoikiometri,
berdasarkan mekanisme reaksi sebagai berikut (Direct from midrex, 2007/2008, biswas,A.K,
1981). Kebutuhan arang kayu sekitar 20 %.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 231
Fe2O3 + 3C 2Fe + 3CO 1)
2Fe2O3 + 3CO 2Fe + 3CO2 2)
2Fe2O3 + 3 C 4 Fe + 3CO2 3)
Sedangkan mekanisme reaksi yang terjadi dari ilmenit yang berupa FeTiO3 sehingga
Fe melepaskan diri dari TiO3 dapat digambarkan sebagai berikut (After A.Muan and
E.F.Osborn, 1965).
Sponge iron diperoleh dari reduksi langsung (direct reduction), spong iron ini boleh
dibilang biji besi yang telah tereduksi atau dikenal juga dengan sebutan direct reduced iron
(DRI).Untuk melebur sponge iron menjadi cairan besi dilakukan pada tungku yang berbeda
dengan tungku pembuatan sponge iron, biasanya peleburan dilakukan dalam tungku listrik.
Pembuatan spong iron biasanya diperlukan temperature reduksi sekitar 900°C – 1100°C,
namun pada percobaan ini temperature reduksi dilakukan pada temperature 1200°C, hal ini
dilakukan mengingat bahan baku yang digunakan adalah pasir besi.
Kalau dilihat antara reaksi 3 dan reaksi 5 secara prinsip mekanisme reaksi yang terjadi
tidak ada korelasi yang menyatakan rekasi tersebut ada hubungannya, apalagi kalau kita
perhatikan mekanisme pemisahan unsur Fe dari FeTiO3, namun ada juga teori yang
menjelaskan pemisahan tersebut pada temperatur 1200 – 1300 OC terjadi pemisahan imenit
menjadi Fe2O3 menjadi TiO2 (Direct from midrex, 2007/2008, pramusanto, dkk, 2008),
seperti ditampilkan pada Gambar 2.
Seminar Material Metalurgi 2010
Jika mekanisme reaksi yang terbentuk seperti reaksi 9 maka sangat dimunkinankan
terbentuknya gas CO hasil reaksi oksidasi dari gas oksigen (baik yang ada dalam bijih besi
atau gas sisa yang ada didalam crusibel) dengan carbon dari bahan reduktor seperti reaksi
berikut :
C + ½ O2 CO 10)
Tahapan reduksi oksida besi oleh CO dapat dilihat pada Gambar 3, yang memuat kurva
keseimbangan antara Fe – C – O atau Fe – H – O (Coudrier,L,dkk, 1985).
penting maka proses dengan bahan reduktor CO, reaksi boudodouard’s dapat diabaikan.
Dibawah kurva terdapat Fe3O4 , sesungguhnya Fe2O3 Fe3O4, reaksi ini terjadi cukup
sempurna walaupun jumlah CO cukup kecil. Kurva bagian atas menunjukan persen CO yang
diperlukan untuk mereduksi Fe3O4 FeO Fe. Kurva Fe3O4 Fe. Keseimbangan pada
daerah ini sulit tercapai karena temperature terlalu rendah, sehingga reaksi berjalan sangat
lambat. Reduksi FeO Fe terjadi diatas temperature 560 OC, dengan CO diatas 50 %.
Bagaimana jika digunakan karbon padat( C) seperti pada percobaan ini. Maka terjadi
hal-hal sebagai berikut , jika temperature reduksi tercapai untuk oksidasi C dengan O2 atau
dengan CO2 yang ada di dalam tungku membentuk CO, setelah reaksinya cukup maka juga
terbentuk reaksi :
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 233
Fe3O4 + CO 3FeO + CO2 11)
FeO + CO Fe + CO2 12)
CO2 yang terbentuk akan mempercepat pembentukan gas CO dengan reaksi boudodouard’s.
CO2 + C 2CO 13)
Reaksi 11, 12 dan reaksi 13 terjadi secara simultan, dan dimulai pada potongan kurva
kesetimbangan antara Fe3O4 FeO dan FeO Fe dengan CO2 CO. Reaksi11 terjadi
pada temperature 740 OC, reaksi 12 terjadi pada temperature diatas 800OC, dimana reaksi ini
berjalan lebih lambat dan memerlukan CO yang lebih banyak dibandingkan reaksi 11.
Kelancaran atau tercapainya reaksi tergantung pada jumlah CO diatas 60 %. Dengan control
temperature dan konsumsi yang carbon yang cukup maka reaksi akan dapat berjalan dengan
lancer.
KESIMPULAN
Pembuatan sponge iron yang telah dilakukan, memberikan hasil recovery cukup
tinggi, hal ini terbukti dari hasil peleburan sponge iron menggunakan tunggku listrik yaitu
mencapai 90 % untuk pemakaian bahan reduktor 25 % dengan penahanan waktu 2 jam. Dari
hasil yang dicapai dapat membrikan solusi dalam pengolahan pasir besi di Indonesia,
sehingga dapat di manfaatkan lebih cepat. Sesuai dengan teori pembuatan sponge iron,
dilakukan pada reactor yang bebeda untuk proses peleburan guna memisahkan logam besinya,
sehingga sponge dapat diproduksi oleh pabrik yang berlainan dengan pabrik peleburan.
Dalam segi investasi tentunya tidak begitu besar dibandingkan dengan pembuatan sekaligus
dengan tungku peleburan. Namun untuk produksi dalam skala komersial masih perlu
dilakukan pengkajian lagi baik dari segi proses maupun jenis peralatan yang akan digunakan,
apakah proses yang dilakukan batch atau kontinyu. Sedangkan peralatan reduksi yang
digunakan juga perlu di kaji apakah akan menggunakan rotary kiln, tunnel kiln, rotary heart
furnace (RHF), dll. Pemilihan peralatan tentunya atas pertimbangan bahan reduktor yang
digunakan, bahan bakar ataupun investasi yang paling ekonomis. Semoga tulisan ini sebagai
salah satu insfirasi dalam pemanfaatan pasir besi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Coudurier. L, Hopkins. D. W, Wilkomirsky. I, “ Fundamentals Of Metallurgical
Processes”, 2 nd Edition, International Series On Materials Science and technology,
volume 27, 1985.
2. Biswas, A.K, “ Principles of Blast Furnace Ironmaking” , Cootha Publishing
House,Brisbane,. Australia. 1981.
3. After A.Muan and E.F.Osborn,”Fhase Equilibria Among Oxides in Stellmaking”, Addison
Wesley, 1965.
4. Direct from midrex, from the hearth RHF Tecnologies special report winter, http://
www.midrex.com. 2007/2008.
5. Indarto katim,Ir, Laporan akhir, Riset Unggulan Terpadu 1,” Pemanfaatan Pasir besi titan
untuk pembuatan besi cor, titan oksida dan logam titan”, Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Metalurgi – LIPI, 1993/1994.
Seminar Material Metalurgi 2010
Edi Herianto
Puslit Metalurgi – LIPI
Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang
e-mail : edih001@lipi.go.id
Abstrak
Pengolahan bijih nikel laterit selama ini yang sudah dianggap layak dikembangkan secara ekonomis
adalah proses Caron dan HPAL (High Pressure Acid Leaching), PAL (Pressure Acid Leaching). Proses Caron
merupakan kombinasi proses pyrometalurgi dan hydrometalurgi dan digunakan larutan Ammonia Ammonium
Carbonate (AAC) sebagai bahan pelarut bekerja pada tekanan atmosfer. Sedangkan proses HPAL merupakan
proses hydrometalurgi dengan menggunakan larutan asam sulfat (H2SO4) sebagai bahan pelarut dan bekerja
pada tekanan tinggi. Namun industry yang mengembangkan kedua proses tersebut satu persatu mulai
menghentikan produksinya, tentunya hal ini ada masalah serius dalam proses yang dilakukan, kondisi ini
mungkin dapat ditinjau dari segi investasi, efisiensi ataupun dalam proses produksi. Teknologi dalam
pemanfaatan nikel laterit kadar rendah terus dilakukan di belahan dunia ini baik riset maupun
pengembangannya. Seperti yang dilakukan di China melebur apa adanya nikel laterit kadar rendah tersebut
untuk menghasilkan nickel containing pig iron (NCPI), karena mereka melihat kandungan besi yang tinggi di
dalam bijih nikel kadar rendah tersebut saying kalu diabaikan begitu saja. Namun teknologi yang digunakan
menggunakan jalur pyrometalurgy tentunya energy yang diperlukan cukup tinggi, kondisi ini akan berdampak
pada efisiensi pengolahan. Dekade tahun 2000-an pengembangan dengan jalur hydrometalurgi mulai
dikembangkan oleg Caldag, Turki dengan proses heap leaching. Walaupun teknologi ini belum sepenuhnya
dikatakan baik, namun efisiensi pengolahan dan investasi sudah mulai terlihat manfaatnya, akan tetapi ditinjau
dari efisiensi waktu proses boleh dibilang belum sepenuhnya sukses. Karena proses produksi juga dipengaruhi
oleh cuaca, seperti curah hujan dan penguapan. Pada tulisan ini dicoba untuk mengulas bagaimana teknologi
yang sudah ada dan teknologi baru sperti heap leach process. Semoga tulisan ini dapat memberikan insfirasi
bagi para peneliti untuk melakukan riset dan pengembangan bijih laterit kadar rendah, karena Indonesia sangat
potensial untuk mineral tersebut yang sampai saat ini sama sekali belum diolah.
Kata Kunci : Nikel laterit kadar rendah, pyrometalurgy, hydrometalurgi, caron, HPAL, heap leach process.
PENDAHULUAN
Pada dasarnya dikenal dua jenis bijih nikel yang mempunyai nilai ekonomis yaitu bijih
nikel sulfide dan bijih nikel laterit. Bijih nikel sulfide terbentuk oleh proses replacement atau
magmatic injection, terutama terdiri dari mineral pentlandit (Ni,Fe)9S8 dan mineral milerit
(NiS). Pada umumnya mineral sulfide tersebut diikuti bersama-sama oksida besi dan tembaga
sulfida misalnya chalcopyrite (CuFeS2) dan lain sebagainya. Bijih jenis ini banyak terdapat di
Kanada, Findlandia, Rusia dan Norwegia. Sedangkan bijih laterit atau juga disebut dengan
nikel oksida merupakan campuran komplek dari berbagai jenis oksida dan silikat diantaranya
oksida besi, kobal, aluminium, magnesium dan lain-lain. Mineral nikel yang terdapat pada
bijih jenis ini padaumumnya berupa garnierit (Ni,Mg)6Si4O10(OH)8 dan nickeliferrous
limonite (Fe,Ni)O(OH).nH2O. Bijih jenis ini terbentuk oleh pelapukan batuan ultrabasa yang
Seminar Material Metalurgi 2010
mengandung nikel, sehingga batuan ini banyak terdapat didaerah tropis dan sub-tropis. Bijih
oksida ini banyak terdapat di Kuba, New Caledonia, Philipina, Yunani, beberapa Negara
Amerika Latin dan termasuk Indonesia.Bijih nikel laterit dikenal dengan istilah laterit kadar
rendah atau lebih dikenal dengan sebutan limonit, sedangkan untuk nikel kadar tinggi lebih
dikenal dengan sebutan saprolit.
Teknologi untuk mengolah nikel kadar rendah atau limonit secara komersial , selama
ini digunakan proses Caron dan HPAL(High Pressure Acid Leaching), PAL (Pressure Acid
Leaching). Proses Caron merupakan kombinasi proses pyrometalurgi dan hydrometalurgi.
Pada proses Caron pelindiannya digunakan larutan Ammonia Ammonium Carbonate (AAC)
dan bekerja pada tekanan atmosfer. Sedangkan proses HPAL merupakan proses
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 235
hydrometalurgi dengan menggunakan larutan asam sulfat untuk pelindiannya dan bekerja
pada tekanan tinggi. Dari kedua teknologi tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya,
seperti proses Caron yang diterapkan di Punta Gorda, Greenvalle/yabulu merupakan proses
caron yang sudah dimodifikasi, namun bagaimanapun juga kedua proses ini dapat dikatakan
teknologi yang cukup mahal baik dari segi proses maupun investasinya, sehingga penelitian
dan pengembangan dengan proses baru yang lebih baik dari kedua proses tersebut terus
dilakukan. Teknologi baru untuk mengolah nikel laterit kadar rendah telah dikembangkan
oleh Caldag Turki dan dibeberapa Negara Australia seperti Minara, MetallicaMinerals
(Nornico Project) dan Heron Resources (Jump-UP Dump Project), dengan teknologi Heap
Leach Prosess, maka pada makalah ini akan dibahas apa dan bagaimana teknologi baru
tersebut.
Gambar 1. Lapisan ideal bijih nikel laterit dan jalur proses pengolahannya
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 237
Bijih nikel didunia sebagian besar atau dalam jumlah besar terdapat di Negara-negara
New Caledonia, Indonesia, Kanada, Cuba, Uni-Soviet, dan selebihnya terdapat dinegara-
negara Pilipina, Republik Dominika, Amerika Serikat, Australi, Guatemala, dan lain lain.
Untuk cadangan bijih nikel didunia dapat dilihat pada Tabel 2. (yusuf, 2005).
Sedangkan untuk potensi cadangan bijih nikel terutama terdapat dikawasan timur
Indonesia merupakan nomor 2 cadangan terbesar dunia tentunya sangat memberi berkah bagi
bangsa Indonesia, namun kenyataannya untuk bijih dengan kadungan nikel rendah belum di
manfaatkan sama sekali kecuali segian kecil diekspor, terutama ke Austalia itupun dengan
syarat tertentu. Cadangan bijih nikel laterit tersebar dibeberapa pulau diantaranya Pasir
Mayang Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, Pulau sebuku Kalimantan selatan,
Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan , Pulau Obi Maluku, Halmahera ( pulau gebe, Pulau
Gee, Pulau Pakal, Buli, dan Weda), Papua (Pulau Gag, kepulauan weagio dan Pegunungan
Cylops),(Puguh P, 2008). Sedangkan Indonesia hanya mengolah nikel laterit kadar tinggi
yaitu jenis saprolit. Diantaranya PT. Antam Tbk di Pomalaa untuk memproduksi ferronikel,
dan PT.INCO di Sorowako, untuk memproduksi nikel matte. Potensi cadangan bijih nikel di
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3, (Arifin Arif, 2007).
Tabel 2. Distribusi cadangan nikel laterit Dunia
Contained Ni % Known
Resources Tonnes Ni Grade
Country Tonnes World
(millions) (%)
(thaousands) Resources
Afrika1) 477 1,42 6773
South-west Pasific
Australia 233 1,22 2843
Indonesia 1.740 1,48 25752 19
New Caledonia 3.200 1,59 50880 37
Philipines 1.138 1,10 12518 9
Other2) 140 1,00 1400
Uni Soviet (USSR) 2700
Europe
Greece 253 1,11 2808
Other3) 164 1,03 1689
North America
USA 34 0,94 320
South America
Brazil 340 1,51 5134 4
Cuba 1.179 1,30 15327 11
Quatemala 298 1,55 4620
Others4) 200 1,54 3080
Total 135844 80
Sedangkan untuk potensi cadangan bijih nikel di Indonesia nomor 2 terbesar dunia
tentunya sangat memberi berkah bagi bangsa Indonesia, namun kenyataannya untuk bijih
dengan kadungan nikel rendah belum di manfaatkan sama sekali kecuali segian kecil
Seminar Material Metalurgi 2010
diekspor, terutama ke Austalia itupun dengan syarat tertentu. Sedangkan Indonesia hanya
mengolah nikel laterit kadar tinggi yaitu jenis saprolit. Diantaranya PT. Antam Tbk di
Pomalaa untuk memproduksi ferronikel, dan PT.INCO di Sorowako, untuk memproduksi
nikel matte. Potensi cadangan bijih nikel di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3, (Arifin Arif,
2007).
Cuba oleh Freefort dengan dukungan dari USA, pada tahun 1959. Pada dasarnya proses
HPAL melarutkan bijih nikel dengan larutan H2SO4 pada tekanan tinggi. Pada mulanya bijih
digerus terlebih dahulu kemudian dicampur dengan air untuk membentuk slury dengan persen
solid 20-30 %. Slury selanjutnya dimasukan ke dalam thickener untuk menaikan persen solid
hingga mencapai sekitar 45 %. Slury yang telah mencapai sekitar 45 % solid lalu dipanaskan
pada temperature 70-80°C sebelum diumpankan kedalam autoclave. Proses dilakukan pada
temperature sekitar 246°C, pemanasan menggunakan uap air pada tekanan tinggi sekitar 4,3
MPa atau sekitar 40 atm. Larutan nikel yang diperoleh cukup tinggi sekitar 94-95 %. Logam
lain yang terlarut termasuk juga logam kobal, mangan dan magnesium, sedangkan logam
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 239
lainnya tetap berada pada kondisi padat.Kelemahan pada proses ini diantaranya membutuhkan
investasi yang cukup tinggi karena peralatan khusus yang bertekanan tinggi yaitu berupa
reactor atau autoclave. Untuk lebih jelasnya diagram alir proses HPAL ditampilkan pada
Gambar 3, (Zaki Mubarak,M,2008).
Gambar 4. Ektraksi test oleh caldag, turki untuk logam Ni, Co dan Fe
Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 5. Leaching test untuk logam terhadap waktu oleh Heron resources
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 241
Gambar 6. Leaching test untuk logam terhadap waktu oleh Metallica minerals
Pengembangan teknologi heap leaching tersebut sedang dilakukan oleh Caldag, Turki
dan di Australia diantaranya Minara, Metallica Minerals (Nornico Project) dan Heron
Resources (Jump-up dump project). Diagram alir proses yang dilakukan di Australia
ditampilkan pada Gambar 10 dan 11. Nornico project di Australia merencanakan pabriknya
beroperasi pada awal tahun 2010 dengan kapasitas produksi 10.000 ton Ni + Co pertahun
dalam bentuk mixed hydroxide precipitate (MHP). Sedangkan caldag project merencanakan
produksi 21.400 ton nikel dan 1000 ton cobalt juga dalam bentuk mixed hydroxide precipitate
(MHP), dengan estimasi biaya sebesar US$268 million. Untuk pengembangan heap leaching
yang dilakukan oleh caldag project dapat dilihat pada Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar 9.
(mineral work, 2006), untuk diagram alir proses heap leaching di Mettalica inerals dan Heron
resources (Heron, Longword,M,dkk,2007) ditampilkan pada Gambar 10 dan Gambar 11.
Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 7. Lapisan/tumpukan bijih nikel laterit dalam proses heap leaching di caldag
Beberapa keuntungan teknologi heap leach process diantaranya kebutuhan energy
yang sangat rendah, karena dalam proses menggunakan jalur hydrometalurgi, investasi yang
kecil karena tidak diperlukan kontruksi pabrik dalam proses pelarutan. Pabrikasi hanya
dilakukan untuk mengolah produk hasil pelarutan. Hasil dari proses berupa tumpukan mineral
yang sudah diambil logam-logam berharganya tidak perlu dibuang kesuatu tempat atau
dengan kata lain tidak ada limbah hasil pelarutan yang berupa padatan. Dari segi proses cukup
Gambar 10. Diagram alir proses heap leaching di Metallica Mineral, Australia.
Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 11. Diagram alir proses heap leaching di heron Resources, Australia.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 243
KESIMPULAN
Bijih nikel laterit cukup berlimpah dibelahan dunia ini termasuk diantaranya
Indonesia. Memang logam laterit kadar rendah ini masih belum banyak teknologi yang
dilakukan untuk mengolahnya. Teknologi yang telah proven selama ini untuk mengolah laterit
kadar rendah adalah proses Caron dan HPAL (High Pressure Acid Leaching), PAL (Pressure
Acid Leaching), dengan beberapa kelehan dan kelebihan proses tersebut kurang begitu
berkembang walaupun masih ada menggunakan proses tersebut.
Di China untuk bijih laterit kadar rendah ini mereka melakukan proses pyrometalurgi
dengan jalur konvensional yaitu menggunakan tanur tiup (blast furnace) (Edi Herianto, 2008),
untuk menghasilkan produk nickel containing pig iron (NCPI), namun teknologi tersebut
cukup mahal, dan menggunakan energi cukup tinggi. Sejalan dengan waktu pengembangan-
pengembangan proses terus dilakukan untuk mengolah bijih nikel kadar rendah dengan
teknologi sederhana dan biaya operasional yang rendah. Saat ini sedang dikembangkan sutu
teknologi baru untuk mengolah bijih nikel laterit kadar rendah dengan jalur hydrometalurgi
yaitu dengan proses heap leaching. Proses ini cukup menjanjikan mengingat Indonesia
banyak terdapat bijih laterit kadar rendah yang sampai saat ini belum dilakukan
pengolahannya, semoga tulisan ini menjadi salah satu sumber informasi, pemikiran atau
wacana untuk penelitian dan pengembangan dalam negeri untuk mengolah bijih nikel laterit
kadar rendah yang ada di negeri ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alcock,R,A,”The Character and Occurrence of Primary Resources Available to the nickel
industry”, Extractive metallurgy of Nickel and Cobalt, Edited by G.P. Troyler and C.A,
Landolt, 1988.
2. Zaki Mubarok, M,”Ektraksi Nikel dari Bijih Laterit Berkadar Rendah dengan Jalur
Hydrometalurgy”, Proceeding, Indonesian Process Metallurgy Conference and Workshop
(IPM 2008), Aula Timur ITB, Bandung, 4-5 Desember 2008.
3. Yusuf,”Strategi pengembangan Sumberdaya Nikel-Besi Laterit Indonesia”, Metalurgi,
Volume 20 Nomor 2, Desember 2005.
4. Puguh P,”Pemanfaatan Potensi Bijih Nikel Indonesia pada Saat ini dan Masa Mendatang”,
METALURGI”, Majalah Ilmu dan Teknologi Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI, Volume
23 Nomor 1, Juli 2008, ISSN 0126-3188, Akreditasi : SK 38/AKRED-
LIPI/P2MBI/9/2006
5. Arifin Arif,”prospek Penggunaan Proses HPAL untuk Pengolahan Bijih Nikel Kadar
Rendah Indonesia”, METALURGI”, Majalah Ilmu dan Teknologi Pusat Penelitian
Metalurgi – LIPI, Volume 22, Nomor 1, Juni 2007, ISSN 0126-3188, Akreditasi : SK
38/AKRED-LIPI/P2MBI/9/2006
6. Heron Resourcess, http://www.heronresources.com.au/downloads, diundu pada tahun
2010.
7. Longworth,M.Von Perger,D.,Bartsch,P.,”Jump-up Dam Nickel Laterit Heap Leach
Project”, ALTA 2007 Nickel Cobalt 12, ALtA Metallurgical Services,Melbourne, 2007.
8. Edi Herianto,”Peleburan Bijih Nikel Laterit Menggunakan Blast Furnace, Pelajaran dari
China” ,METALURGI”, Majalah Ilmu dan Teknologi Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI,
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstract
The solutions could be proposed as compromise between mining activities and environmental problems
are phytoextraction and phytomining. These methods use plants as accumulators of metal extracted from soils.
So far, phytoextraction concept is still in experimental stage and in this paper, the possibilities of direct
application in the field (in situ phytoextraction) would be reviewed from the deposit geochemistry perspectives:
the shared characteristics between substrate used in laboratories and substrate in the field, especially in
Indonesia, including supporting factors e.g. potential hyperaccumulating plants and chelating agents. In
general, supergene gold could be served as potential substrate and it is shown that gold content in supergene
horizon of Pongkor and Lebong Simpang deposit could be extracted based on minimum gold content in the
substrate.
Abstrak
Salah satu solusi untuk menyelesaikan dan mencegah kerusakan lingkungan akibat aktivitas
pertambangan adalah phytoextraction dan phytomining. Secara sederhana, prinsip-prinsip ini menggunakan
tumbuh-tumbuhan sebagai penyerap unsur-unsur logam berharga di dalam tanah. Sejauh ini phytoextraction
dan phytomining kebanyakan masih dalam tahap eksperimental, dan dalam paper ini akan dikaji kemungkinan
penerapannya di lapangan dilihat dari kemiripan antara substrat (tanah) yang digunakan di laboratorium
(tanah) dengan karakter geokimia endapan bijih sebagai substrat di alam, khususnya di Indonesia disertai
pengaruh terhadap faktor-faktor lainnya seperti jenis hyperaccumulating plant yang potensial dan chelating
agent. Kajian ini secara umum menunjukkan endapan emas supergen adalah substrat yang potensial, dan
secara khusus endapan mineral di Pongkor dan Lebong Simpang memenuhi persyaratan phytomining dan dari
segi kandungan emas minimum di dalam horizon supergen.
1. Introduction
The mining activities in Indonesia were generally accused for environmental damages.
Although this is not necessarily true, the mining activities could affect the ecosystem balance.
The damages might become worse due to the fact that many mining concessions granted by
the government are overlapped with national parks and protected forests e. g. Gunung
Pongkor gold mines in Gunung Halimun national park, Timika copper-gold mines, etc.
One of several solutions proposed to solve this problem is by applying the principles
of phytoaccumulation. The principle has been developed by many interdisciplinary scientists
(botanists, geochemists, horticulturists, etc.) in last two decades. Phytoaccumulation (Figure
1) could be simply defined as process of absorption of metal elements by plants
(hyperaccumulating plants) from substrate (in this case soil), which then stored in their
Seminar Material Metalurgi 2010
tissues. In the beginning, the principles were applied to extract polluting heavy metal in soil
(phytoremediation) and further, the same principles are tried to absorb valuable metal
elements in soil (phytoextraction or phytomining) [1].
So far however, the phytoextraction concept is still in experimental stage, which
experiments were usually carried out in laboratories. In controlled conditions,
hyperaccumulating plants were planted in substrate with several treatments e. g. addition of
metal elements and ligands as solution into substrate. Only a few scientists have already
conducted field experiments, such as Anderson et. al [2]. In this experiment, the
hyperaccumulating plants were planted on oxidized ore pile, treated with addition of NaCN.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 245
The experiment concluded that the yield of 1 kg gold/ha was a realistic achievement for a
substrate contained 2 gr/ton Au.
In the future, the phytoextraction should be expected to be applied directly on mineral
deposits so that the environmental effects could be minimized to almost none. As forecast to
the case, this paper would review the viability of phytoextraction based on geochemical
characteristic of mineral deposits especially in Indonesia including a brief review on the other
factors, and how these geochemical characteristics affect the other factors.
2. Experimental phytoextraction
2.1 The role of hyperaccumulating plants
The organisms especially plants show the ability in selecting the elements they absorb.
However, these plant compositions are still affected by their geochemical environment. The
unfavorable conditions e.g. toxicity, could trigger the evolution and drastical change in
relatively short duration, which involve only several generations for a certain species. The
phenomenon could be easily noticed in natural geochemical environment e. g. mineral deposit
including its periphery or induced environment such as tailing ponds.
Although the plants biologically could select and control their chemical compositions
in certain range, the metal element concentration in their tissues correlates positively with the
abundance of the same elements in the substrate [4]. This would bring to the next question on
how much the metals could be extracted from the environment by hyperaccumulating plants.
For gold, there are several plants which have been proven as gold accumulator (Table
1). These plants are initially discovered to grow on weathered zone of mineral deposits and
Seminar Material Metalurgi 2010
serve as biogeochemistry indicators [5]. The role of these hyperaccumulating plants is directly
influenced by gold content in substrate. So that in experiments, the scientists added gold
solution with several concentrations into substrate and monitored their capacity to absorb gold
in relation to the concentration added. The table shows that the last two species accumulates
extremely high gold content in their tissues. Of these plants only four could be found naturally
in Indonesia (1, 4, 5, and 6) and in the future these plants could be used as potential
hyperaccumulating plants.
Max. Au content
Species [selected source]
(x)
Impatiens sp. [6]*, Lunicera sp.[6].*, Trifolium repens cv.
x ≤ 100 Prestige [7]*, Equisetum arvense [8], Corylus avellana [9],
Zea mays[9,10]*
Maianthemum bifolium[11], Cryptodiscus didymus[12],
Antennaria dioica[11], Rubus sacchalinensis[11], Hordeum
100 < x ≤ 400
brevisubulatum[11], Girgensohnia oppositiflora[12], Linnaea
borealis[11], Clematis vitalba[9]
Datura stramonium[9], Asarum europaeum[9], Rubus
400 < x ≤ 700
arcticus[11], Tilia parvifolia[9], Haplophyllum robustum[12]
Leucojum aestivum[9], Anthriscus silvestris[9],
*
Arrhenatherum elatius[6] , Salsola rigida[12], Lagochilus
x > 700
intermedius[12], Artemisia vulgaris[13,14]*, Brassica
juncea[4]*, Chilopsis linearis[15,16]*
considered futile since there are only few plants could survive on fresh rock substrate.
In Indonesia at least exist two types of gold deposits formed by weathering process:
supergenes, and alluvial. There is no ore deposit occurs exclusively as Au supergene, but the
occurrence of this type of deposits are always associated with primary Au deposits in the
same location as weathering product of primary Au deposits e. g. epithermal, porphyry,
sediment hosted etc. Indeed, the identification of this secondary ore deposits in exploration
program usually would reveal the primary ore deposit beneath. However the feasibility studies
usually indicate that the primary zone has more economic values than the secondary zone, so
that the weathering zone would be discarded as overburden (waste).
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 247
Figure 2. shows the distribution of placer Au deposits (alluvial gold) and primary gold
deposits which several of them associated with supergene Au deposits such as Tapadaaa[20],
Tombulilato[21], Kaputusan[22], Bulagidun[23], Grasberg[24], Batu Hijau[25], Mt.
Muro[26], Mirah[27], Lebong Simpang[27], and Pongkor[28]. The maximum thickness of
this supergene horizons various from 25 m in Mirah [27] and Mt. Muro[26], and could reach
250 m as in Pongkor[28]. Unfortunately, Au grade data in these horizons is quite scarce. The
scarcity is due to the fact that these horizons are usually economically unimportant and
abandoned in exploration program. However, the exploration program for supergene horizons
in Pongkor yield average grade 26 ppm Au [28], Lebong Simpang with 20 ppm Au[27], and
Kaputusan with 0.44 ppm Au [22].
Figure 2. The location of alluvial and primary gold prospect in Indonesia [27].
are quite rare. The main characteristic of this type of deposits is still unconsolidated sediment
(Figure 4), which indicates the recentness of deposit formation in Quarternary basin e.g.
alluvial plain. The sediment consists of sand – pebble size grain, mixed with clay or silt. The
gold as native mineral is found in gold bearing horizon which distribute regularly or
irregularly both in lateral and vertical direction, with thickness could reach several meters.
The gold grade is usually erratic in vertical direction.
Figure 4. Surface appearance of alluvial gold deposits (left) and profile (right), consists of unconsolidated
sediments (pebble, sand, mud) location: Murung Raya, Central Kalimantan.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 249
Figure 5. Schematic representation of the main Au remobilization in lateritic profile under various conditions
from arid to humid tropical climates. The arid climate form the deeper enrichment zone[17].
4. Discussion
Based on geochemistry characteristics, alluvial deposits seems futile to be developed
with phytoextraction method, due to several considerations: first, the major role in alluvial
deposits is mechanical weathering which cause Au released, mobilized, and deposited as
suspension grains not as solution of complex compounds or ions. The gold suspension is hard
to absorb by hyperaccumulating plants. The second reason is the lack of nutrients in these
areas which cause only a few plant species can survive (see Figure 4).
However, the concept of transportation of gold as grain suspension is questioned by
Seeley and Senden [31]. Based on research on the location of alluvial gold deposits in
Ampalit and Cempaga Buang in Kasongan, Central Kalimantan, they deducted that Au was
transported vertically and horizontally by the percolation of ground water in the form of a
colloid stabilized by humic acids. Unfortunately, this opinion has not been widely accepted by
most of the economic geologist. So far there is no research investigates the possibility of
similar phenomenon in other Au alluvial deposits around the world. If this opinion is
acceptable, the viability of in situ gold phytoextraction for alluvial deposits should be
reevaluated.
Previous chapter about the types of gold deposit indicates that the best prospect so far
to develop in situ phytoextraction or phytoming is supergene Au deposits since the
characteristics (gold content and chelating process of gold) are quite similar to the
Seminar Material Metalurgi 2010
Table 2. Minimum gold content in substrate (soil in ppb) required for several hyperaccumulating plants.
Min. Au content
Species[source]
(x)
Equisetum arvense[8], Anthriscus silvestris[9], Asarum
europaeum[9], Clematis vitalba[9], Cryptodiscus didymus[12],
Corylus avellana[9], Girgensohnia oppositiflora[12],
≤ 200 1
Haplophyllum robustum [12], Hordeum brevisubulatum[11],
Lagochilus intermedius[12], Salsola rigida[12], Tilia
parvifolia[9], Zea mays[9,10]
Maianthemum bifolium[11], Datura stramonium[9], Leucojum
200 < x ≤ 600
aestivum[9]
600 < x ≤ 1000 Lonicera altaica[11], Antennaria dioica[11]
Linnaea borealis[11], Rubus arcticus[11], Rubus
> 1000
sacchalinensis[11]
The concentration of gold in substrate correlates positively with the gold content in
substrate [4]. However this correlation seems specific for each species, for example from the
Seminar Material Metalurgi 2010
Table 2, Equisetum species required lower gold concentration in their substrate than Rubus
species in order to accumulate gold. Datura species which is considered as the most potential
hyperaccumulating plant so far require minimum gold content 600 ppb (0.6 ppm). If this
number compared with gold content in supergene horizon in Pongkor (26 ppm Au) and
Lebong Simpang (20 ppm Au), in situ phytoextraction and phytomining in these area is
viable.
Previous geochemical description indicated that each supergene gold deposit already
contain chelating agents with certain concentration in order to mobilize Au. The concentration
of these chelating agents in substrate also correlates positively with gold uptake rate in
phytoextraction and phytomining. However to increase the accumulation rate, the additives
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 251
have to be applied with extra caution and full of consideration since the addition would have
side effect to environment i.e. amount and concentration of ligand added. Phytoextraction and
phytomining applied to extract Au from waste (tailings) would allow the use of additives to
some degree.
The most extreme conditions are the phytoextraction and phytomining planned on
concession overlap with protected forests or national parks. In this case the addition would be
totally banned. However the tropical climate has its advantages, where the addition happens
naturally i.e. the addition of humic acid and other organic acids into the substrate as a result of
decomposition of leaf litter twigs on the forest floor [17]. This is one of the supporting factors
in situ phytoextraction and phytomining in protected forests which have to put into
consideration for almost all potential gold deposits.
Reference
[1] Anderson, C. W. N., Brooks, R. R., Chiarucci, A., LaCoste, C. J., Leblanc, M.,
Robinson, B. H., Simcock, R., and Stewart, R. B., Phytomining for nickel, thallium
and gold, Journal of Geochemical Exploration, Volume 67, Issues 1-3, Pages 407-415,
1999.
[2] Anderson, C., Moreno, F., and John Meech, J., A field demonstration of gold
phytoextraction technology, Minerals Engineering, Volume 18, Issue 4, Pages 385-392,
2005
[3] Sheoran, V., Sheoran, A. S., Poonia, P., Phytomining: A review, Minerals Engineering,
22, 1007–1019, 2009
[4] Bali, R., Siegele, R., and Harris, A. T., Phytoextraction of Au: Uptake, accumulation
and cellular distribution in Medicago sativa and Brassica juncea, Chemical Engineering
Journal, Volume 156, Issue 2, 15, Pages 286-297, 2010.
[5] Brooks, R. R., Biological methods of prospecting for gold, Jornal of geochemical
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 253
[28] Milési, J. P., Marcoux, E., Sitorus, T., Simandjuntak, M., Leroy, J., and Bailly, L.,
Pongkor (west Java, Indonesia): a Pliocene supergene-enriched epithermal Au-Ag-(Mn)
deposit, Mineralium Deposita 34: 131–149, 1999.
[29] Carey, S. P., Giant Placers of the Victorian Gold Province, SEG newsletter, 2004.
[30] Devismes, P., Atlas Photographique des Mineraux d’Alluvions, Bureau de Recherches
Géologiques et Miniéres, 1978.
[31] Seeley, J. B. and Senden,T. J., Alluvial gold in Kalimantan, Indonesia: A colloidal
origin? Journal of Geochemical Exploration, Volume 50, Issues 1-3, Pages 457-478,
1994.
[32] Hanum,I. F. and van der Maesen, L. J. G. (Editors), Prosea 11: Auxiliary Plants 1997.
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Pengembangan sistem lapisan untuk komponen turbin uap saat ini di arahkan untuk menggantikan
stellite dengan material yang memiliki kombinasi yang bagus antara sifat tahan erosi/abrasi dan sifat ketahanan
oksidasi suhu tingginya. Material keramik (karbida, nitrida dan oksida logam) dipilih sebagai lapisan
pengganti stellite karena memiliki ketahanan erosi/abrasi yang tinggi sekaligus juga memiliki ketahanan
oksidasi yang bagus. Pada tulisan ini akan dilaporkan hasil sementara dari percobaan kombinasi proses
elektroplating Cr dan nitriding suhu tinggi terhadap baja tahan karat AISI 420. Hasil percobaan menunjukkan
bahwa unsur N terdeteksi oleh EDS sebesar 1,50 % atom atau 0,44% berat N pada permukaan baja 420 setelah
proses nitriding pada suhu 1050 oC selama 3 jam dan menggunakan gas N2. Akan tetapi unsur N tidak terdeteksi
atau terdeteksi sangat lemah pada permukaan lapisan Cr setelah proses nitriding yang sama. Proses kombinasi
elektroplating Cr dan nitriding menghasilkan lapisan yang memiliki kekerasan yang jauh lebih tinggi dari pada
kekerasan material awal (baja 420) dan dari pada kekerasan lapisan Cr saja akibat terbentuknya karbida Cr-C
selama proses nitriding.
Kata kunci: nitriding suhu tinggi, pelapisan krom, baja tahan karat martensitik 420, turbin uap.
Abstract
Recently, the develompment of coating system for steam tutbine components is focusing to replace
stellite with other material having better combination of wear/ abrasion resistance and high temperature
oxidation resistance. Ceramic materials (carbides, nitrides and oxides) are the potential candidates to replace
stellite due to excellent erosion/abrasion and oxidation resistances. This paper reports the experiment of Cr-
electroplating and subsequent high temperature nitriding processes on martensitic stainless steel 420. The
experimental results showed that nitrogen (N) of 1.50 at.% or 0.44 wt.% was detected by EDS on the 420 steel
sufaces after nitriding at 1050 oC for 3 hours using N2 gas. Nitrogen was weakly detected or undetected on the
surface of Cr-plated layer after the same nitriding processes. The coating resulted from combination of Cr-
electroplating+nitriding processes has much higher hardness (HV) than that of Cr-coating due to the Cr-C
formation during nitriding process.
Keywords: high temperature nitriding, chromium electroplating, martensitic stainless steel 420 , steam
turbines.
PENDAHULUAN
Komponen-komponen struktur yang beroperasi pada suhu tinggi seperti pada sistem
turbin uap atau turbin gas harus memiliki kekuatan yang memadai pada suhu tinggi dan
ketahanan terhadap oksidasi dan korosi suhu tinggi. Pada turbin uap, suhu operasi komponen
turbin berkisar antara 600-700oC dengan lingkungan berupa uap air superkritis dengan
tekanan bisa mencapai 24 Mpa. Untuk meningkatkan umur pakai komponen turbin uap,
Seminar Material Metalurgi 2010
komponen perlu dilapis dengan material lain yang memiliki ketahanan oksidasi dan abrasi
yang lebih baik. Komponen turbin uap biasanya dibuat dari baja tahan karat martensitik yang
dilapis dengan stellite (paduan berbasis kobal) untuk meningkatkan ketahanan aus terhadap
tumbukan droplet uap air bertekanan tinggi. Pelat stellite normalnya disolder dengan perak
(Ag) pada permukaan sudu turbin. Akan tetapi penyolderan dengan perak menimbulkan
masalah yang berkaitan dengan biaya, keandalan dan sebagainya, misalnya (1) cadmium
yang terkandung di dalam solder berbahaya bagi tubuh manusia; (2) ongkos kerja
penyolderan perak yang mahal; dan (3) defek kecil pada solder perak dapat menyebabkan
retak fatik.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 255
Pengembangan sistem lapisan untuk komponen turbin uap saat ini di arahkan untuk
menggantikan stellite dengan material yang memiliki kombinasi yang bagus antara sifat tahan
erosi/abrasi dan sifat ketahanan oksidasi suhu tingginya. Oleh karena itu diperlukan material
lapisan yang memiliki kombinasi yang baik antara sifat tahan abrasi dan oksidasi suhu tinggi.
Beberapa penelitian mengembangkan pelapisan keramik nitrida seperti TiN dan CrN. Material
keramik dipilih sebagai lapisan pengganti stellite karena memiliki ketahanan erosi/abrasi yang
tinggi sekaligus juga memiliki ketahanan oksidasi yang bagus. Akan tetapi proses yang
dilakukan masih relatif mahal yaitu ion plating. Penulis telah melakukan penelitian untuk
mendapatkan lapisan tahan abrasi/aus pada material baja tahan karat martensitik 420 sebagai
material yang biasa digunakan untuk sudu turbin uap. Ada tiga macam proses pelapisan yang
dilakukan yaitu masing-masing Hot Dip Aluminizing untuk melapiskan Aluminium yang
diharapkan akan terbentuk intermetalik (Fe,Cr) Aluminide pada lapisan, Pack Boronizing
untuk mendeposisikan Boron yang diharapkan akan terbentuk (Fe,Cr) Boride pada lapisan,
dan Proses Nitriding untuk mengendapakan unsur Nitrogen yang dikombinasikan dengan Hot
Dip Aluminizing atau Pack Boriding yang diharapkan akan terbentuk senyawa Nitrida (AlN,
BN) pada lapisan dan kombinasi proses elektroplaitng dan nitriding suhu tinggi yang
diharapkan akan membentuk senyawa krom nitrida pada lapisan. Pemilihan material lapisan
tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa senyawa aluminide, boride dan nitride memilkiki
kekerasan dan ketahanan abrasi yang tinggi. Pada tulisan ini akan dilaporkan hasil sementara
dari percobaan kombinasi proses elektroplating Cr dan nitriding terhadap baja tahan karat
AISI 420.
PROSEDUR PERCOBAAN
Bahan yang digunakan untuk percobaan ini adalah pelat baja tahan karat martensitik
AISI 420 yang diperoleh dari pasaran. Dari pelat tersebut dibuat sampel berbentuk persegi
panjang dengan ukuran 20 x 10 x 3 mm. Sebelum dilakukan proses pelapisan, sampel
diampelas sampai ukuran #600, dan dibersihkan dengan etanol di dalam pembersih ultrasonik
selama sepuluh menit. Proses elektroplating dilakukan di dalam campuran larutan asam
kromik dan asam sulfat pada rapat arus dan suhu 60oC serta waktu pelapisan selama 2, 5 dan
8 jam. Pelat baja 420 ditempatkan sebagai katoda sedangkan sebagai anoda digunakan Pb.
Untuk memilih sampel yang akan diproses selanjutnya dengan nitriding, setelah proses
elektroplating selesai kemudian pelat dipotong melintang, dimounting dengan resin,
diampelas sampai #1000, dipoles dengan alumina sampai ukuran 1 mikron dan kemudian
dilakukan pengamatan melintang sampel dengan mikroskop optik. Berdasarkan ketebalan dan
keseragaman lapisan, pelat yang dilapis selama 5 jam dipilih untuk dilakukan proses nitriding
suhu tinggi. Proses gas nitriding suhu tinggi dilakukan terhadap sampel baja 420 ysng belum
dilapis krom dan yang sudah dilapis sebelumnya dengan elektroplating krom. Proses nitriding
dilakukan di dalam tungku tabung pada suhu 1050oC selama 3 jam dengan dialirkan gas
nitrogen selama proses berlangsung. Proses gas nitriding dilakukan pada suhu yang lebih
tinggi agar lapisan krom oksida yang terbentuk pada lapisan krom diharapkan menguap pada
suhu tinggi sehingga tidak menghalangi proses nitriding. Gas syang digunakan hanya nitrogen
, tidak menggunakan gas amoniak seperti gas nitriding suhu rendah (570oC). Setelah proses
selesai sampel dikeluarkan dari tungku dan didinginkan di udara. Sampel kemudian dipotong
Seminar Material Metalurgi 2010
LG10000
3000
2700
FeKa
2400
CrLa FeLl FeLa
2100
1800
Counts
1500
CrKa
CKa NKa CrLl
1200
FeKb
900
FeKesc
CrKb
SiKa
600
300
0
LG1 0.00 3.00 6.00 9.00 12.00 15.00 18.00 21.00
30 µm keV
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 257
001
5000
4500
001
CrKa
4000
3500
CrLl CrLa
3000
Counts
2500
2000
CrKb
CKa
1500
1000
500
0
0.00 3.00 6.00 9.00 12.00 15.00 18.00 21.00
100
100 µm
µm keV
(a) (b)
ZAF Method Standardless Quantitative Analysis
Fitting Coefficient : 0.4078
Element (keV) Mass% Error% Atom% Compound Mass% Cation K
C K 0.277 14.76 0.35 42.84 5.0557
Cr K 5.411 85.24 0.75 57.16 94.9443
Total 100.00 100.00
(c)
Gambar 3. (a) Gambar SEM (b) Spektrum EDS (c) Hasil analisa kuantitatif EDS pada penampang melintang
lapisan Cr+nitriding.
Ada dua kemungkinan mengapa unsur N tidak terdeteksi oleh analisa EDS pada
lapisan Cr+nitriding. Kemungkinan yang pertama lapisan nitrogen yang terbentuk sangat tipis
sehingga tidak teranalisa kimia pada penampang melintang oleh EDS, tetapi bisa diperiksa
dengan menggunakan XRD pada permukaan luar. Yang kedua, absorpsi N pada permukaan
sampel belum terjadi pada waktu proses nitriding yang singkat (dalam hal ini 3 jam), sehingga
membutuhkan waktu proses nitriding yang lebih lama untuk mendepositkan N dari N2 ke
permukaan lapisan Cr. Sebagai perbandingan telah dilakukan pemetaan unsur Fe, Cr dan N
oleh EDS pada permukaan melintang lapisan cr+nitriding yang hasilnya ditunjukkan oleh
Gambar 4. Dari gambar tersebut terlihat unsur Fe terdistribusi kuat pada substrat baja 420,
sedangkan unsur Cr terdistribusi kuat pada lapisan. Sedangkan unsur N terpetakan sangat
lemah pada lapisan yang menunjukkan konsentrasi yang sangat lemah atau bahkan tidak
terdeteksi.
Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 4. Pemetaan (mapping) unsur Fe, Cr dan N pada pernampang melintang lapisan Cr+nitriding.
Terdeteksinya unsur C pada lapisan Cr+nitriding sebesar 42,84% atom (14,76%berat)
seperti ditunjukkan oleh hasil EDS pada Gambar 3 (c) menunjukkan adanya interdufusi C
1000,0 926,5
900,0
800,0
700,0
Kekerasan (HV)
573,4
600,0
500,0
400,0
300,0
172,3
200,0
100,0
0,0
AISI 420 Lapis Krom LapisKrom+Nitriding
Jenis Material
Gambar 5. Kekerasan mikro HV logam dasar AISI 420, lapisan elektroplating Cr dan kombinasi elektroplating
Cr+nitriding.
KESIMPULAN
Hasil percobaan menunjukkan bahwa unsur N terdeteksi oleh EDS sebesar 1,50 %
atom atau 0,44% berat N pada permukaan baja 420 setelah proses nitriding pada suhu 1050 oC
selama 3 jam dan menggunakan gas N2. Akan tetapi unsur N tidak terdeteksi atau terdeteksi
sangat lemah pada permukaan lapisan Cr setelah proses nitriding yang sama. Proses
kombinasi elektroplating Cr dan nitriding menghasilkan lapisan yang memiliki kekerasan
yang jauh lebih tinggi dari pada kekerasan material awal (baja 420) dan dari pada kekerasan
lapisan Cr saja akibat terbentuknya karbida Cr-C selama proses nitriding.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ryuichiro Ebara et al, Improvement of drain erosion resistance of steam turbine blade by
ceramic coating, Mitsubishi Tech. Bull. 202 (1997).
2. Carlos Mario Garz´on, H´ebert Thomasb, Jose Francisco dos Santos,Andr´e Paulo
Tschiptschin, Cavitation erosion resistance of a high temperature gas nitrided duplex
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 259
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Telah dilakukan pembuatan keramik berpori berbasis zeolit alam. Zeolit alam asal Lampung
dikarakterisasi terlebih dahulu sehingga dapat diketahui luas permukaan partikel 37,482 m2/g dan ukuran
butiran partikel berkisar 2,28 – 41,14 μm, densitas zeolit alam Lampung diperoleh harga 1,85 gr/cm3 sampai
2,02 gr/cm3. Untuk mengetahui karakteristik material zeolit alam tersebut diamati struktur kristal dengan XRD.
Pola difraksi zeolit Lampung puncak difraksinya mengindikasikan mineral alam yaitu mineral mordenit (kristal
zeolit), mineral albite, mineral napheline. Zeolit asal Lampung ditambah bahan polimer PVA pada komposisi
bervariasi yaitu 5%, 10%, 12% dan 14%. Campuran dicetak kemudian sampel dibakar dengan temperatur
bervariasi 800oC, 850oC dan 900oC. Kemudian benda uji dianalisa ukuran partikel, densitas, porositas, susut
bakar dan XRD. Hasil analisa XRD menunjukan tidak ada perubahan pola difraksi pada temperatur
pembakaran yang bervariasi, puncak yang didapat CaAl2Si2O8. Harga densitas terbesar adalah pada sampel
yang dibakar 900oC dengan penambahan PVA 5%. Sedangkan porositas terbesar pada sampel dibakar pada
800oC dengan penambahan PVA 14%. Susut bakar terbesar didapatkan 21,63% pada sampel dibakar pada
temperatur 900oC dengan penambahan PVA 14%. Selanjutnya keramik berpori zeolit akan digunakan untuk
filter.
Kata kunci: zeolit, karakterisasi, luas permukaan, densitas, porositas,susut bakar, filter
PENDAHULUAN
Zeolit umumnya didefinisikan sebagai kristal alumina silika yang berstruktur tiga
dimensi, yang terbentuk dari tetrahedral alumina dan silika dengan rongga-rongga di
dalamnya berisi ion-ion logam, biasanya alkali atau alkali tanah dan molekul air yang dapat
bergerak bebas. Secara empiris, rumus molekul zeolit adalah Mx/n.(AlO2)x.(SiO2)y.xH2O.
Struktur zeolit sejauh ini diketahui bermacam-macam, tetapi secara garis besar strukturnya
terbentuk dari unit bangun primer, berupa tetrahedral yang kemudian menjadi unit bangun
sekunder polihedral dan membentuk polihendra dan akhirnya terbentuk unit struktur zeolit.
molekul yang berukuran lebih kecil atau sesuai dengan ukuran rongganya. Selain itu kristal
zeolit yang telah terdehidrasi merupakan adsorben yang selektif dan mempunyai efektivitas
adsorpsi yang tinggi.
Kemampuan zeolit sebagai katalis berkaitan dengan tersedianya pusat-pusat aktif
dalam saluran antar zeolit. Pusat-pusat aktif tersebut terbentuk karena adanya gugus fungsi
asam tipe Bronsted maupun Lewis. Perbandingan kedua jenis asam ini tergantung pada proses
aktivasi zeolit dan kondisi reaksi. Pusat-pusat aktif yang bersifat asam ini selanjutnya dapat
mengikat molekul-molekul yang bersifat basa secara kimiawi. Sedangkan sifat zeolit sebagai
penukar ion karena adanya kation logam alkali atau alkali tanah. Kation tersebut dapat
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 261
bergerak bebas didalam rongga dan dapat dipertukarkan dengan kation logam lain dengan
jumlah yang sama. Akibat struktur zeolit berongga, anion atau molekul berukuran lebih kecil
atau sama dengan rongga dapat masuk dan terjebak. Zeolit ditemukan di alam dan berbagai
zeolit kini dibuat zeolit sintesis dengan jumlah besar di industri. Tetrahedra SiO4 dan AlO4
terikat melalui penggunaan bersama oksigennya dan membentuk lubang dan terowongan
dengan berbagai ukuran. Strukturnya merupakan komposit dari satuan struktur tetrahedra
MO4. Misalnya struktur di Gambar 1, satuan dasarnya adalah kubus hasil leburan 8 MO4,
prisma heksagonal leburan 12 MO4, dan oktahedra terpancung leburan 24 MO4.
Zeolit dengan struktur "framework" mempunyai luas permukaan yang besar dan
mempunyai saluran yang dapat menyaring ion/molekul (molecular sieving). Bila atom Al
dinetralisir dengan ion polivalen, misalnya logam Pt, Cu dsb, zeolit dapat berfungsi sebagai
katalis yang banyak digunakan pada reaksi-reaksi petrokimia. Tabel 1 memperlihatkan
klasifikasi zeolit berdasarkan kemampuan terhadap penyaringan molekul organik. Volume
dan ukuran garis tengah ruang hampa dalam kisi-kisi kristal inilah yang menjadi dasar
penggunaan mineral zeolit sebagai bahan penyaring (molecular sieving). Molekul zat yang
disaring yang ukurannya lebih kecil dari ukuran garis tengah ruang hampa mineral zeolit
METODOLOGI
Zeolit alam yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari Lampung. Zeolit
dihaluskan dengan menggunakan mortal, kemudian diayak dengan ayakan 200 mesh. Untuk
mengetahui karakteristik material zeolit alam tersebut, zeolit ini diukur sifat fisisnya meliputi
densitas mengikuti prinsip Archimedes berdasar ASTM D-792, luas permukaan dengan
surface areameter monosorb BET Quantacrome dan struktur kristal dengan XRD. Zeolit
dicampur dengan PVA (Polivynilalkohol) sebagai aditif yang berfungsi sebagai perekat dan
digunakan aditif untuk mempermudah pencetakan serta untuk membantu mengontrol
microstructur dari material yang akan dihasilkan. Fungsi penting dari binder adalah untuk
mengingkatkan kekuatan dari keramik hasil pencetakan, sebelum mengalami perlakuan panas,
atau biasa di sebut green body. Komposisi zeolit dan PVA dibuat bervariasi yaitu 5%, 10%,
12% dan 14%. Sampel dicetak dalam bentuk batangan balok dengan cetak pres hidrolik
dengan tekanan 100kg/cm3, kemudian dikeringkan diudara untuk mengurangi kadar air yang
terdapat didalam sampel. Setelah benda uji dikeringkan dilanjutkan dengan pembakaran.
Pembakaran awal ( kalsinasi ) pada 400oC ditahan 30 menit, dilanjutkan dengan pembakaran
akhir pada 3 variasi temperatur yaitu 800oC, 850oC dan 900oC dan waktu penahanan masing
masing 1 jam.
Sampel padatan diukur densitas dengan metoda Archimedes, porositas dengan metoda
serapan air berdasarkan ASTM C-20, susut bakar, ukuran partikel meliputi luas permukaan
dengan surface area meter, ukuran partikel dengan metoda sedimentasi dengan pipet
Andreason dan struktur kristal dengan XRD. Diagram alir ditampilkan pada Gambar 2.
Densitas, luas
Kalsinasi 400oC pembentukan pencampuran permukaan,XRD,u
kuran partikel
Benda uji Karakterisasi:
Seminar Material Metalurgi 2010
Sintering:800oC,
850oC, 900oC
Gambar 2. diagram alir percobaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Zeolit alam asal Lampung dikarakterisasi terlebih dahulu sifat fisisnya, meliputi :
densitas, porositas, struktur mikro maupun luas permukaan partikel. Pengukuran densitas
zeolit Lampung sebelum diproses diperoleh harga antara 1,85 gr/cm3 sampai 2,02 gr/cm3,
sedang luas permukaan dihitung dengan monosorbquantacrome BET diperoleh harga 37,482
m2/g. Zeolit alam asal Lampung cocok digunakan sebagai katalis karena zeolit ini mempunyai
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 263
luas permukaan yang besar. Semakin besar luas permukaan maka tempat yang ditempati
reaktan untuk berlangsungnya reaksi semakin besar.
Ukuran partikel diukur dengan metoda sedimentasi dengan pipet Anderson dan
hasilnya dapat dilihat pada Gambar 2, dimana ukuran partikel berkisar 2,28 – 41,14 μm. Dari
kurva dapat diketahui bahwa ukuran partikel cukup halus, tetapi tidak homogen.
Tabel 2. Hasil pengukuran densitas terhadap variasi PVA dan temperatur bakar.
Densitas (gr/cm3)
PVA (%) Temperatur Sintering (oC)
800 850 900
5 1,967 2,259 2,377
10 1,941 2,133 2,341
12 1,903 2,104 2,331
14 1,822 2,071 2,319
Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 3. Kurva densitas terhadap prosentase PVA pada temperatur pembakaran 800oC, 850oC & 900oC
Harga densitas pada zeolit berbentuk batangan diantara 1,967 gr/cm3 sampai 2,341
gr/cm3. Pada pembakaran 900oC memberikan densitas yang lebih besar dibandingkan
temperatur pembakaran yang lebih rendah. Hal ini karena terjadi reaksi pemadatan. Pada
Tabel 3. Hasil pengukuran porositas terhadap variasi PVA dan temperatur bakar
Porositas (%)
PVA (%) Temperatur Sintering (oC)
800 850 900
5 36,901 30,154 24,499
10 37,089 30,220 24,666
12 38,253 30,796 24,805
14 39,840 32,605 25,233
Porositas(%) vs % PVA
50,000
40,000
30,000 800
850
20,000
900
10,000
0
5 10 12 14
% PVA
Gambar 4. Kurva porositas terhadap prosentase PVA pada temperatur pembakaran 800oC, 850oC &900oC.
Porositas dari 24,499 % sampai 39,84 %, bertambah besar dengan menurunnya
temperatur pembakaran, bertambahnya prosentase PVA akan menaikkan porositas, karena
PVA terbakar habis pada temperatur 300oC dan meninggalkan pori. Dengan naiknya
temperatur pembakaran maka sampel semakin memadat sehingga akan menurunkan porositas
sampel. Karakteristik struktur mikro zeolit alam mempergunakan XRD hasilnya berupa pola
difraksi dapat dilihat pada Gambar 5.
Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 5. Pola XRD zeolit alam asal Lampung.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 265
Pada Gambar 5 puncak yang muncul pada 2θ: 20,2800; 26,7200; 36,4000 merupakan
puncak untuk kuarsa (Quartz), JCPDS no 5-0490. Puncak pada 2θ: 19,5400 ; 22,2800 ; 25,5600
; 27,6000 ; 28,0200 merupakan puncak untuk mineral mordenit (kristal zeolit), JCPDS no 6-
239. Puncak pada 2θ: 23,0800; 24,9400 merupakan puncak untuk mineral albite, JCPDS no
10-393. Sedangkan puncak pada 2θ: 29,9000; 30,2000 ; 31,8600 puncak untuk mineral
napheline, JCPDS no 19-1176. Mineral mordenit merupakan jenis mineral penyusun zeolit,
sehingga dapat disimpulkan bahwa batuan ini merupakan batuan zeolit. Dari kurva XRD
zeolit alam nampak intensitas tertinggi pada 2 θ=22,280. Pola difraksi pada benda uji setelah
pembakaran pada temperatur 800oC, 850oC dan 900oC, ditampilkan pada Gambar 6, 7 dan 8.
Pada Gambar 6 pola difraksi tersebut muncul puncak pada 2θ: 21,34; 22,12; 23,72;
25,54; 27,90 bila dicocokkan dengan JCPDS merupakan CaAl2Si2O8 dengan struktur kristal
orthorombik.
Gambar 6 . Pola difraksi pada benda uji denga temperatur pembakaran 800oC
Gambar 7 . Pola difraksi pada benda uji dengan temperatur pembakaran 850oC
Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 8. Pola difraksi pada benda uji dengan temperatur pembakaran 900oC
Dari Gambar 9 nampak bahwa terjadi kenaikan susut bakar dengan naiknya
temperatur pembakaran. Penyusutan terbesar 21,60 % pada pembakaran 900oC. Hal ini karena
terbakarnya bahan organik maupun mineral yang terkandung dalam Zeolit alam tersebut. Dari
grafik tersebut nampak bahwa kenaikkan susut bakar sebanding dengan kenaikkan temperatur
pembakaran. Untuk tiap prosestase PVA mempunyai pola yang sama. Sehingga faktor
dominan yang mempengaruhi susut bakar adalah temperatur pembakaran.
Gambar 9 . Kurva susut bakar terhadap prosentase PVA pada temperatur pembakaran 800oC, 850oC dan 900oC.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian pembuatan keramik zeolit maka dapat disimpulkan:
Zeolit alam asal Lampung mempunyai luas permukaan partikel 37,482 m2/g dan
ukuran butiran partikel berkisar 2,28 – 41,14 μm. Pengukuran densitas zeolit Lampung
Seminar Material Metalurgi 2010
sebelum diproses diperoleh harga antara 1,85 gr/cm3 sampai 2,02 gr/cm3. Keramik berpori
berbasis zeolit Lampung yang dibuat temperatur bakar 900oC dan penambahan PVA 5 %
didapatkan densitas terbesar yaitu 2,37 gr/cm3. Porositas terbesar dihasilkan 39,8 %
temperatur pembakaran 800oC dengan komposisi PVA 14 %. Hasil analisa XRD dapat
diketahui bahwa tidak ada perubahan pola difraksi pada temperatur pembakaran yang
bervariasi, puncak yang didapat CaAl2Si2O8. Pola difraksi pada zeolit alam Lampung
terdapat sebelum mengalami proses pembakaran terdapat puncak puncak difraksi yang
mengindikasikan mineral alam yaitu mineral mordenit (kristal zeolit), mineral albite, mineral
napheline. Dimana pada saat proses pembakaran puncak puncak tersebut hilang. Keramik
berpori berbasis zeolit akan digunakan sebagai filter.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 267
SARAN
Untuk penelitian zeolit selanjutnya adalah pengamatan struktur pori keramik zeolit,
kemudian difokuskan aplikasi keramik zeolit untuk filter ataupun penyaring, dan spesifikasi
filter dari keramik zeolit.
DAFTAR PUSTAKA
1. A.Dyer., "Introduction to Zeolite Molecular Sieves", John Willey and Sons, Chichester,
(1988)
2. Jozsf, T., "A mineral of the future", Mineralimpex, Budapest, (1989)
3. Muhammad Rif’an. 2005. Zeolit, Kristal Ajaib dari Gunung Berapi. Majalah ACID Edisi
III/Tahun V/Mei 2005. Bandar Lampung
4. Susanto dan Suharso.. Pemisahan Ion-ion Besi dalam Air dengan Zeolit Alam yang
Diaktifasi. Jurnal Univ. Lampung. Bandar Lampung, 1999.
5. Tsitsishvili, G.V., in "Natural Zeolite, occurence, properties and uses", Pergamon Press,
Oxford, (1978).
6. Mumpton, F.A and Sand, L.B., in "Natural Zeolite, occurence, properties and uses",
Pergamon Press, Oxford, (1978) . Breck, D.W., "Zeolite Molecular Sieves", John Willey
Interscience, New York, (1974).
7. Minoru Takahashi dan Masayoshi Fuji, "Synthesis and Fabrication of Inorganic Porous
Materials : From Nanometer to Millimeter Sizes," Ceramics Research Laboratory, Nagoya
Institute of Technology, Gifu, Japan, 2002.
8. “Poly Vinyl_Alcohol”, http://en.wikipedia.org/wiki.
Seminar Material Metalurgi 2010
Euis Sustini
KK Fisika Material Elektronik, FMIPA, ITB
Jl Ganisha 10 Bandung 40132
Email: euis@fi.itb.ac.id
Abstrak
Semikonduktor GaSb telah ditumbuhkan dengan metoda Metal Organic Chemical Vapour Deposition
(MOCVD) vertikal pada tekanan 50 torr di atas subtsrat SI GaAs(100). Film mempunyai type p dengan
permukaan yang cukup homogen serta orientasi film didominasi (200). Film yang ditumbuhkan pada temperatur
520 oC dengan rasio V/III=1 mempunyai mobilitas 68,57 cm2/Vs dengan konsentrasi hole 1,9 1018 cm-3.
Film GaSb ini dibuat piranti foto detektor berstruktur Metal Semikonduktor Metal (MSM). Struktur
MSM pGaSb dibuat menggunakan metoda evaporasi untuk beberapa logam, yaitu emas Au,perak Ag dan
indium In. MSM bersifat ohmik kontak dengan resistansi spesifik Rc yang menurun terhadap temperatur
annealing.
PENDAHULUAN
Pengembangan material semikonduktor tidak lepas dari perkembangan piranti
elektronik terutama fotodetektor. Metal Semikonduktor Metal (MSM) merupakan salah satu
jenis fotodetektor yang mempunyai sifat-sifat menguntungkan. Struktur MSM dapat menekan
nois, arus gelap rendah serta mudah untuk dibuat. MSM dapat bersifat ohmik kontak dan
schottky kontak. Ohmik kontak biasanya banyak digunakan dalam pemakaian fotokonduktif
sedangkan schottky kontak banyak digunakan pada fotovoltaik[1].
GaSb merupakan bahan semikonduktor paduan V/III yang cukup berpotensi karena
mempunyai pita energi langsung dengan mobilitas yang cukup tinggi sehingga akan
menghasilkan piranti kecepatan tinggi. Selain itu perbandingan koefisien elektron dan hole
tinggi sehingga akan mengurangi noise. Pita enrgi GaSb adalah 0,72 eV sehingga bersesuaian
dengan inframerah[2,3].
Penumbuhan semikonduktor biasanya menggunkan metoda Liquid Phase Epitaxsi
(LPE), Molekular Beam Epitaxsi (MBE) dan Metal Organic Chemical Vapour Deposition
(MOCVD). Penumbuhan semikonduktor dengan MOCVD cukup berkembang pesat karena
dapat menumbuhkan semikonduktor multileyer dengan ketebalan setiap layer dapat
dikontrol, dapat mengontrol doping yang diberikan serta lebih menguntungkan lagi karena
MOCVD dapat dioperasikan pada tekanan atmosfirik [4].
Dalam tulisan ini GaSb ditumbuhkan dengan metoda MOCVD vertikal bertekanan
rendah dan dengan aliran gas yang rendah pula. Hail penumbuhan GaSb dibuat struktur MSM
Seminar Material Metalurgi 2010
pGaSb dengan menggunakan logam Au,Ag dan In. Metoda pembuatan sambungan MSM
menggunakan sistem evaporasi.
Persamaan arus saturasi MSM sesuai dengan teori emisi termionik adalah adalah [6] :
qbn qbp
J S A *T 2 exp( ) A *T 2 exp( )
kT kT
Khusus untuk kasus kontak Ohmik, maka resistansi sfesifik (Rc) adalah :
k q k q bp
Rc *
exp bn * exp
qA T kT qA T kT
dengan A* = 4πm*qk3/h3 = 5.28 A cm-2 K-2 , T tempertur , Ф fungsi kerja.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 269
Secara eksperimen resistansi spesifik Persamaan arus saturasi MSM sesuai dengan teori
emisi termionik adalah adalah [6] :
qbn qbp
J S A *T 2 exp( ) A *T 2 exp( )
kT kT
Khusus untuk kasus kontak Ohmik, maka resistansi sfesifik (Rc) adalah :
k q k q bp
Rc *
exp bn * exp
qA T kT qA T kT
dengan A* = 4πm*qk3/h3 = 5.28 A cm-2 K-2 , T tempertur
MSM dianalisa untuk berbagai temperatur anealling yang merupakan kebalikan
turunan rapat arus terhadap tegangan ketika tegangan mendekati nol. Grafik rapat arus
terhadap tegangan diperoleh melalui pengukuran I-V.
EKSPERIMEN
Semikonduktor
2 mm
1 mm
Gambar 1. Skematik Struktur MSM
Pembuatan struktur MSM menggunakan teknik evaporasi dengan luas kontak 0,02
cm2 ,skema kontaknya seperti pada Gambar 1. Sebelum diberi logam, semikonduktor
dibersihkan dengan DI water, metanol dan aseton, kemudian logam diuapkan pada bagian
semikonduktor yang diinginkan. MSM dikarakterisasi menggunakan Keithley 617 untuk
memperoleh diagram I-V tanpa annealing dan beberapa temperatur annealing di bawah
temperatur lebur dari masing-masing logam.
Pada umumnya layer GaSb bertype p dengan permukaan yang relatif homogen serta
secara kasat mata mirror like. Dari kurva XRD diperoleh bahwa film bersifat kristal dengan
puncak-puncak didominasi (200) dan (400). Film yang ditumbuhkan pada temperatur 520oC
dengan rasio V/III mendekati 1 mempunyai mobilitas 68,57 cm2/Vs dengan konmsentrasi
hole 1,9 1018 cm-3. Sifat listrik film belum baik, kemungkinan disebabkan adanya impuriti
unsur karbon yang berasal dari metal organik sebagai sumber[5]. Film ini dimetalisasi untuk
menghasilkan MSM pGaSb.
Kurva I-V berbagai jenis metal sebelum anealing Kurva I-V berbagai jenis metal pada temperatur
annealing 100 C
0.004
0.004
0.003
Indium 0.003
0.002 Indium
Aru s (am p ere)
0.002
0.001
0.001
A ru s (A )
0 Perak
0 Perak
-5 -3 -0.001
-1 1 3 5
-3 -2 -1 -0.001 0 1 2 3
-0.002
Emas -0.002
-0.003 Emas
-0.003
-0.004
-0.004
Tegangan (volt)
Tegangan (V)
(a) (b)
Gambar 2. Kurva I-V untuk MSM p GaSb berbagai logam (a) Sebelum diannealing; (b) Setelah diannealing
100oC
Kemiringan kurva I-V relatif berubah terhadap temperatur annealing untuk berbagai
logam dan ini menunjukkan bahwa kualitas MSM dipengaruhi oleh temperatur.
Dari grafik ini maka dianalisa harga resistansi spesifik MSM pGaSb untuk berbagai
temperatur dan berbagai logam ( tabel 1). Seacara umum Rc menurun terhadap
temperatur,untuk berbagai logam. Logam Ag cukup stabil sampai 150oC artinya piranti yang
dibuat tidak dipengaruhi temperatur untuk temperatur di bawah 150oC
KESIMPULAN
Semikonduktor GaSb dapat ditumbuhkan dengan metoda MOCVD vertikal pada
tekanan rendah dengan laju alir gas rendah. Temperatur penumbuhan di atas 500oC dengan
rasio V/III mendekati 1. Film mempunyai type p, permukaan cukup homogen dengan
orientasi kristal (200). Sumber metal organik TMGa dan TDMASb masih menimbulkan
Seminar Material Metalurgi 2010
AKNOWLEDGEMENT
Penulis mengucapkan terimakasih pada ITB yang telah memberi dana research KK
ITB
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 271
PUSTAKA
1. Kwok K.Ng. 1995.Complete guide to Semiconductor devices. Mc Graww-Hill. New
York.
2. S.M Sze. 1985.Semiconductor devices physics and technology.John Willey & Sons.New
York
3. Otfried Madelung, Semiconductors-Basic Data, Springer, 1996
4. Fuh Shyang Juang and Yun Kuin Su, Prog Crystal Growth and Charact, 22 (1990)285-
312
5. Euis Sustini. 2005.Studi penumbuhan GaSb dan AlxGa(1-x)Sb menggunakan reaktor
MOCVD vertikal bertekanan rendah dengan precursor TDMASb.ITB.Bandung.
6. Sandip Tiwari, M.c Hargis, Y.Wang, M.c Teich and Wen I.Wang.1992.1.3 μm GaSb
Metal-Semiconductor-Metal Photodetectors.IEEE Photonic Technology Letters vol 4
no.3.
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Telah dilakukan pembuatan produk cor substitusi import dengan menggunakan metode lost wax
process. Tujuannya adalah sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap produk cor yang selama ini
masih banyak di import dan selain itu dilakukan penyelidikan terhadap kemungkinan penggunaan bahan baku
lokal. Lost wax process yang juga dikenal sebagai investment casting, yaitu : salah satu jenis teknologi
pengecoran presisi yang menghasilkan suatu produk coran yang memiliki bentuk geometri yang kompleks,
misalnya : tipis, kemiringan, kelengkungan dan variasi radius yang kecil, kehalusan permukaan produk, dan
mensyaratkan tingkat kepresisian bentuk dan dimensi. Berdasarkan hasil percobaan pada pembuatan produk
rocker arm diketahui bahwa faktor-faktor yang menentukan kepresisian produk cor yang dibuat adalah : (1) dies
pola lilin, (2) teknik pembuatan pola, (3) pembuatan cetakan keramik, (4) dewaxing, (5) sintering, (6) peleburan
dan (7) penuangan. Untuk mengurangi ongkos produksi secara ekonomis dapat digunakan : (1) bahan epoxy
resin sebagai pengganti pola logam, (2) lilin dan pasir lokal, (3) mesin injeksi hidrolik dan peralatan pendukung
lainnya buatan dalam negeri. Dengan adanya teknologi ini diharapkan menjadi salah satu alternatif metode
pembuatan produk cor dan dapat dikembangkan produk cor lainnya yang mempunyai spectrum yang sangat
luas pada bidang industri manufaktur di Indonesia.
Abstrak
Research on the manufacturing of casting products for import substitution by using lost wax process
has been done. The aim is to reduce import dependency of casting products and there are some possibilities of
using local material. Lost wax process or investment casting is a kind of precision casting which produces
casting products having complex geometry such as thin, slope, small radius, smooth surface and need precision
level of shape and dimension. Based on the results of the trial experimentation on making products rocker arm,
some factors that determine the precision of making casting products are : (1) wax pattern dies, (2) wax pattern
making techniques, (3) ceramic mold production, (4) dewaxing, (5) sintering, (6) melting, and (7) pouring. The
results show that to minimize the production cost and to increase the profit substitution of material and
equipment can be used, such as : (1) epoxy resin materials as a substitution of metal patterns, (2) local sand and
wax, (3) the hydraulic injection machine and local supporting equipment. This technology is expected to be one
of the alternative methods of making casting products and we can develop any other casting products which
have a very wide spectrum at the manufacturing industrial field in Indonesia.
PENDAHULUAN
Lost wax process(1) adalah salah satu jenis proses pengecoran yang juga dikenal
sebagai pengecoran presisi (investment casting) dapat menghasilkan suatu produk coran yang
memiliki bentuk geometri yang kompleks, misalnya : tipis, kemiringan, kelengkungan dengan
Seminar Material Metalurgi 2010
variasi radius yang kecil, kehalusan permukaan produk, dan mensyaratkan tingkat kepresisian
bentuk dan dimensi. Teknologi ini tidak hanya menghasilkan bentuk-bentuk benda yang
presisi tetapi juga dapat meminimalkan tahapan pengerjaan akhir seperti untuk proses
permesinan.
Masih besarnya ketergantungan terhadap pemakaian bahan baku import dan
penggunaan mesin dan peralatan luar negeri untuk melaksanakan lost wax process menjadi
salah satu penyebab teknologi tersebut dianggap mahal. Padahal aplikasi penggunaan produk
cor yang dihasilkannya mempunyai spektrum yang sangat luas pada bidang industri, yaitu(2) :
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 273
mulai dari industri pertanian, tekstil, kesehatan, senjata, elektronik, komponen listrik,
otomotif dan lain sebagainya yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia.
Sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap kebutuhan komponen
(suku cadang) import, peneliti telah melakukan percobaan pembuatan produk-produk cor
dengan menggunakan pemanfaatan bahan baku lokal, antara lain : sudu turbin uap, impeller
pompa, rocker arm dan lain-lain. Dalam pembahasan difokuskan pada pembuatan produk
rocker arm, seperti ditunjukan pada Gambar (3).
Salah satu tahapan dalam lost wax process adalah pembuatan cetakan keramik yang
merupakan faktor yang sangat mempengaruhi produktivitas dan hasil akhir mutu produk cor.
Selain itu material yang digunakan masih di import. Padahal sebagai negara yang sangat kaya
akan potensi sumber daya alam, material lokal mempunyai peluang untuk digunakan dalam
proses tersebut(4).
Diharapkan dengan pemanfaatan bahan baku lokal serta penggunaan mesin injeksi
hidrolik dan peralatan pendukung lainnya buatan dalam negeri, maka dapat direduksi biaya
produksi. Sehingga industri cor yang bergerak di bidang lost wax process akan lebih meluas
dan anggapan teknologi tersebut yang selama ini dianggap sesuatu yang mahal dapat
dipatahkan.
6. Mencelupkan rangkaian lilin yang telah di assembling ke dalam slurry, lantas proses
sanding hingga menjadi cetakan keramik dengan ketebalan ± 1 cm.
7. Dewaxing, merupakan proses pengeluaran lilin dari cetakan keramik dilakukan dengan
cara memanaskan pada sebuah tabung air panas pada suhu ± 100 oC.
8. Firing, merupakan suatu proses pembakaran yang dilakukan terhadap cetakan keramik
agar kondisi cetakan menjadi kuat ikatannya dan sekaligus membersikan sisa lilin yang
masih ada. Dilanjutkan preheat pada cetakan keramik agar pada saat penuangan logam
cair tidak terjadi drop temperatur.
9. Persiapan material peleburan.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 275
cetakan kulit yang berongga (Gambar 6). Untuk mendapatkan cetakan yang kuat dan
stabil, cetakan dipanaskan pada suhu tinggi (Gambar 7).
Setelah primary slurry dihasilkan, selanjutnya cluster dilapisi dengan primary slurry
kemudian ditiriskan beberapa saat untuk kemudian dihamburkan dengan zircon 200 mesh.
Permukaan cluster harus bersih dari kotoran agar seluruhnya mudah tertutup slurry dan proses
pelapisan dilakukan satu kali saja. Lalu dikeringkan dengan cara menggantungkan pada rak
gantungan pola yang terbuat dari plat aluminium, kemudian lapisan keramik dikeringkan
dengan pengeringan udara dengan suhu udara sekitar 23 oC selama kurang lebih satu s/d dua
jam. Kipas angin dapat digunakan untuk mengeringkan lebih cepat kering, tetapi jika tidak
berhati-hati dapat menyebabkan penurunan suhu yang terlalu cepat yang menyebabkan
keretakan pada cetakan.
Perlu diperhatikan bahwa dalam proses pengujian viskositas harus dijaga tetap berada
pada kondisi optimum karena jika viskositas terlalu tinggi akan menyebabkan sagging pada
saat pelapisan slurry pada pola dan gelembung udara yang berdampak pada cacat produk
ketika dicor. Terlalu rendah viskositas dapat menyebabkan material refraktori pada saat
sanding process menembus masuk ke dalam lapisan slurry menyebabkan kekasaran
permukaan pada produk cor. Kemungkinan lainnya akibat viskositas yang terlalu rendah
adalah precoat slurry akan tertarik ke atas kearah butiran refraktori akibat kerja kapiler,
mengakibatkan bintik kosong pada pola, dapat menyebabkan penetrasi logam pada lapisan
precoat.
Pada secondary slurry digunakan silica fuse 200 mesh dan colloidal silica 30 %.
Komposisi colloidal silica dengan silica fuse adalah ditunjukkan pada Tabel 1. Parameter
yang digunakan adalah viskositas yang sesuai standar yaitu 15 detik. Setelah viskositasnya
mencapai 15 detik kemudian cluster dicelupkan kedalam secondary slurry selanjutnya ditabur
pasir zircon sehingga membentuk lapisan keramik. Fungsi secondary slurry adalah untuk
membuat ketebalan dan meningkatkan kekuatan cetakan keramik. Proses pengeringan paling
sedikit 12 jam atau sampai dengan 1 hari. Setelah proses pengeringan pada suhu kamar,
proses ini diulangi beberapa kali hingga didapatkan ketebalan keramik yang diinginkan (7 –
13 mm).
Untuk menghasilkan mutu produk cor yang baik dan mereduksi biaya, maka silica
Seminar Material Metalurgi 2010
fuse lokal dari daerah Bangka dan Belitung dapat digunakan dalam proses pembuatan cetakan
keramik karena karakteristik pasir silika (SiO2) yang diperlihatkan pada Tabel 2 relatif sama
dengan yang terdapat dalam Tabel 3, dan memenuhi persyaratan sebagai bahan baku untuk
pembuatan silica fuse bilamana dilihat dari kadar SiO2 di atas 99,5 % dan kadar Fe2O3 di
bawah 0,05 %. Pemilihan silica fuse sebagai pengganti zircon flour karena harganya jauh
lebih murah. Tabel 3 menunjukkan beberapa perusahaan di Kanada yang menghasilkan
produk silica fused.
Berdasarkan percobaan dalam penelitian yang telah dilakukan penggunaan colloidal
silica lokal hasilnya belum memuaskan, karena sebelum proses dewaxing, cetakan keramik
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 277
sudah rontok atau pecah. Pada slurry dengan tingkat kekentalan tinggi, proses retaknya
cetakan lebih mudah terjadi, sementara pada slurry yang lebih encer permukaan cetakan yang
retak lebih sedikit. Dengan demikian, pada kedua kondisi slurry tersebut, cetakan yang
dihasilkan tidak dapat diproses lebih lanjut.
Tabel 2. Potensi cadangan pasir kuarsa di Indonesia(7)
Daerah
No Rembang Tuban
Bangka & Belitung
(Jawa Tengah) (Jawa Timur)
1. Σ cadangan (m3) 8.640.000 170.000 1.360.000
2. Kadar (%) :
- SiO2 98,4 – 99,6 97,20 – 98,93 96,8 – 99,2
- Fe2O3 0,01 – 0,05 0,06 – 0,09 0,05 – 0,13
- Al2O3 0,02 – 0,07 0,14 – 0,71 0,02 – 0,06
- TiO2 0,01 – 0,03 0,10 – 0,42 0,12 – 0,51
Tabel 3. Produk silica fuse dari Kanada(6)
Perusahaan
Sifat-sifat Tilcon CE Mineral Elmin Harbison
Komposisi kimia, % :
SiO2 99,7 99,6 99,5 99,6
Fe2O3 0,02 0,03 0,01 0,03
Al2O3 0,08 0,15 0,20 0,20
TiO2 0,02 0,03 0,05 0,01
CaO + MgO > 0,07 0,02 0,02 0,04
CaO + K2O > 0,07 0,02 0,03 0,01
Thermal ekspansi
(x10-6) : 0 – 1000 oC 0,54 0,50 0,52 0,51
Hasil Pengujian
Berdasarkan hasil pengujian komposisi kimia menggunakan spektrometer, didapat
bahwa material coran sesuai dengan standar FCD 70 (Tabel 4). Uji metalografi yang
dilakukan untuk melihat struktur mikro dari sampel hasil coran rocker arm sebelum dan
sesudah heat treatment. Dari hasil uji kekerasan yang dilakukan pada sampel uji keras pada
daerah gate, distribusi kekerasan rata-rata adalah 426 HRB (Tabel 5). Dari hasil pengujian
kekasaran didapat bahwa sampel coran menggunakan lilin non filler permukaannya
mempunyai kekasaran rata-rata sebesar 6,044 m (Tabel 5). Hal ini disebabkan permukaan
lilin yang kurang bersih pada saat pencelupan kedalam primary slurry dan juga dapat
disebabkan zircon flour-nya tidak 350 sehingga mengakibatkan permukaan hasil coran
masih kasar. Dari hasil pengecekan dimensi, ternyata jenis lilin berpengaruh terhadap hasil
coran.
Hasil analisis cacat coran secara visual diketahui cacat yang terjadi adalah (1) cacat
inklusi terak (2) cetakan rontok (3) retakan dan (4) cacat air buble. Inklusi terak dapat
disebabkan karena penyimpangan terak dari permukaan cairan logam didalam ladel tidak
cukup, waktu penuangan terlalu lama, dan permukaan cetakan kurang baik. Cetakan rontok
disebabkan suhu pengeringan cetakan keramik tidak sempurna sehingga daya ikat keramik
Seminar Material Metalurgi 2010
lemah. Pada waktu dilewati logam cair, keramik terkikis sehingga terjadi fenomena cetakan
rontok. Cacat retakan yang terjadi disebabkan oleh tidak meratanya larutan slurry pada waktu
pencelupan sehingga saat penaburan pasir zircon terjadi perbedaan ketebalan lapisan keramik.
Lapisan slurry yang tipis tidak dapat mengikat pasir zircon dengan sempurna sehingga pada
waktu dilakukan proses firing, lapisan slurry yang tipis terjadi alur-alur yang menonjol
menyerupai retakan apabila dilihat pada hasil coran. Cacat ini dapat dicegah dengan
pencelupan slurry secara merata dan secepatnya dilakukan penaburan pasir zircon
menggunakan tekanan tertentu sehingga hasil lapisan yang dihasilkan merata. Cacat air buble
terjadi pada waktu pencelupan pola lilin ke dalam larutan primary slurry. Larutan slurry tidak
Ekonomi
Keuntungan yang diperoleh dari lost wax process adalah fleksibel dalam rancangan,
hemat dalam penggunaan bahan, tidak memerlukan investasi peralatan mahal dan besar, tidak
memerlukan pemasangan (assembling) inti dan cetakan, dapat menghasilkan bagian benda
tuang yang halus dan kecil, biaya produksi relatif rendah, dan dapat membuat semua logam
tuang (casting).
Selain itu lost wax process mampu dan menguntungkan bila diproduksi secara masal.
Produk yang dihasilkan memiliki tingkat kepresisian tinggi, bentuk yang kompleks, radius
yang diinginkan dan kemiringan tertentu sudah dapat dilakukan menggunakan lost wax
process serta diusahakan tidak menggunakan proses permesinan atau dapat mengurangi waktu
proses tersebut. Sehingga ditinjau dari segi ekonomis menguntungkan karena ongkos produksi
bisa rendah sehingga harga jual menjadi kompetitif.
Beberapa usaha terobosan untuk mengurangi ongkos proses produksi, antara lain :
1. Penggunaan epoxy resin : sebagai bahan baku pengganti pola logam (duralumin), selain
harganya lebih murah dan teknologinya sederhana juga waktu pembuatannya dapat
dipersingkat.
Seminar Material Metalurgi 2010
2. Bahan baku lilin : dapat diganti dengan lilin buatan dalam negeri, yaitu dengan komposisi
: (a) parafin dan damarselo dan arpus (b) parafin 60 %, carnauba 20 % dan lilin 20 %.
3. Zircon flour : yang selama ini masih di import, bisa diganti dengan pasir zircon dari P.
Bangka dan Belitung.
4. Mesin injeksi wax : dikembangkan mesin injeksi wax dan peralatan yang lainnya buatan
dalam negeri dengan melakukan reverse engineering sehingga bisa terjangkau oleh IKM.
Hasil produk dari lost wax process umumnya material yang mempunyai kekerasan
tinggi, material yang tidak dapat diproses mesin dan material yang sangat tipis, seperti sudu
turbin dan rocker arm.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 279
Dibandingkan dengan proses tempa, lost wax process ini mempunyai keunggulan
yaitu dapat membuat produk yang rumit dan menghasilkan kehalusan permukaan yang tinggi,
juga dapat menghemat biaya pembuatan dies, biaya proses lebih rendah karena dalam proses
tempa, untuk membuat satu produk memerlukan 5 (lima) sampai 6 (enam) kali proses tempa.
Bahan baku yang selama ini masih import, bisa disubtitusi dengan bahan baku buatan
Indonesia. Seperti bahan baku beeswax untuk lilin dapat digantikan dengan lilin buatan dalam
negeri yaitu dengan komposisi parafin 60%, Carnauba 20% dan wax 20%, kemudian Zircon
Flour yang selama ini import bisa diganti dengan pasir zirkon dari Pulau Bangka, mesin
injeksi lilin dan peralatan yang lainnya juga dapat dibuat di dalam negeri.
DAFTAR PUSTAKA
1. Edgar Deridder, 2001, “Investment Casting An Essential Technology For Indonesia”,
Balai Besar Pengembangan Industri Logam dan Mesin (BBLM) dan F.N., Formetal
Belgie, Bandung.
2. Horton, Robert A, 1992, “Investment Casting”, ASM International Handbook”, USA.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 281
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
PCB (Printed Circuit Board) merupakan suatu body dari suatu rangkaian elektronik pada alat
elektronik. Sehingga kuantitas PCB dalam suatu alat elektronik adalah sangat dominan. Dengan perkembangan
produksi elektronik yang sangat tinggi, keberadaan limbah PCB ini dapat dimanfaatkan dengan cara ekstraksi
terhadap logam utamanya yaitu Cu. Logam tembaga dan timah merupakan kandungan terbesar dengan tingkat
kemurnian diatas 99.9 %
Beberapa macam cara dapat digunakan untuk daur ulang tembaga dan timah dalam PCB. Pada teknik
hidrometalurgi, PCB biasanya dipanaskan untuk melelehkan Sn, kemudian direndam dalam basa kuat untuk
pengelupasan plastik penutup dan diikuti dengan pelarutan tembaga dengan asam sulpat pekat, asam klorida
atau asam nitrat encer dengan pencampuran yang sesuai. Tahap terakhir yaitu sementasi dengan logam dan
atau elektrolisis tembaga.
Pada penelitian telah dilakukan daur ulang Cu dengan cara perendaman dalam basa, pelarutan dalam
dengan campuran asam nitrat dan asam klorida encer, kemudian larutan yang terbentuk dielektrodeposisi
dengan cara elektrolisis sehingga pada katoda akan terbentuk logam tembaga pada katoda. Tembaga yang
terbentuk pada katoda dimurnikan kembali dengan elektrorefining dalam media CuSO4 menghasilkan tembaga
dengan tingkat kemurnian diatas 99.8%.
Kata kunci : Ekstraksi tembaga, Limbah PCB (Printed Circuit Board, Hidrometalurgi, Elektrorefining.
Abstrack
PCB (Printed Circuit Board) is a body of an electronic circuit in electronic equipment. So the quantity
of PCBs in an electronic device is very dominant. With the development of electronic production is very high, the
presence of PCB waste can be utilized by extraction of primary metal is Cu. Metal content of copper and tin is
the largest with a purity level above 99.9%.
Some kind of way can be used to recycle copper and tin in the PCB. In hydrometallurgical techniques,
PCBs are usually heated to melt the Sn, then soaked in a strong base to peel the plastic cover and is followed by
dissolution of copper with concentrated sulpat acid, hydrochloric acid or nitric acid diluted with an appropriate
mixing. The last stage of cementation with copper metal and / or electrolysis.
The research has been carried out. Cu recycled by leached in alkali, dissolving in the mixture of nitric
acid and dilute hydrochloric acid, then the solution electrodeposited formed by electrolysis to be formed on the
cathode copper metal on the cathode. Copper cathode formed on purified again with the media elektrorefining
CuSO4 produce copper with purity above 99.8%.
Key words : copper extraction, PCB waste (Printed Circuit Board), hidrometallurgy, Elektrorefining,
electrolysis.
PENDAHULUAN
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 283
China, karena mereka pada umumnya belum siap secara penuh untuk mengatasi limbah, tetapi
disisi lain tingkat konsumsinya sangat tinggi. Untuk mengatasi masalah ini yaitu dengan cara
penguasaan pengolahan limbah jenis ini dengan teknologi yang tentunya ekonomis dan tidak
menimbulkan permasalahan limbah baru.
Dalam suatu produk elektronika komponen yang paling banyak dipakai tentunya apa
yang disebut PCB (printed circuit board) yang merupakan suatu papan utama tempat
menancapnya komponen elektronika yang lebih kecil seperti IC, transistor, resistor, thermistor
dll. Tentunya PCB ini merupakan komponen yang terbesar dan hampir dipastikan ada dalam
suatu produk. elektonika. Terdapat beberapa unsur kimia yang masih bermanfaat dalam
limbah ini yang utama yaitu tembaga dan timah. Unsur tembaga dan timah dalam limbah ini
masih dapat diekstraksi untuk menghasilkan tembaga murni dan timah yang dapat
dipergunakan kembali.
Beberapa teknik yang bisa dipergunakan yaitu pengelupasan Cu dengan besi klorida
atau dengan asam nitrat, kemudian dilanjutkan dengan reduksi senyawa Cu ini dengan
sementasi, elektrolisis atau teknik-teknik yang lainnya. Pada penelitian ini kan dicoba
beberapak teknik ekstraksi secara hidro metalurgi dimulai dengan ekstraksi Sn terlebih dahulu
dengan suatu basa diikuti dengan ekstraksi dan sementasi tembaga dengen beberapa cara
termasuk ekstraksi menggunakan pelarut organik. Diharapkan tingkat perolehan dari recovery
ini sangat tinggi dengan meminimialkan resiko akibat dari senyawa kimia/pelarut yang akan
digunakan, dan PCB setelah proses akan dapat lebih mudah diolah untuk dipreparasi lebih
lanjut untuk didegradasi.
METODOLOGI
Metodologi yang digunakan seperti pada gambar 1
Seminar Material Metalurgi 2010
Sampel yang digunakan ada penelitian ini berasal dari PCB komputer. Adapun diagram
lapisan Cu pada PCB seperti pada gambar 2.
a b
Gambar 3. PCB TV (a) dan hasil grinding (b)
Hal ini bertujuan supaya proses pelarutan dapat berjalan lebih baik. Sehingga
diharapkan proses ekstraksi dapat berjalan optimal. Hasil Uji komposisi dari beberapa jenis
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 285
Gambar 4. Proses penyaringan
Pada tahap tiga, tembaga yang masih melekat pada PCB selanjutnya di direndam
dalam berbagai media leaching seperti HCl, HNO3, H2SO4. Jumlah dan komposisi asam
divariasikan untuk mengetahui kombinasi dan komposisi yang tebaik untuk memperoleh
Tembaga. Data hasil penelitian tertera pada tabel 2.
Pada kombinasi HCl 3 M + HNO3 1M selama 120 menit didapatkan jumlah logam
Seminar Material Metalurgi 2010
terekstrak paling tinggi. Kemudian komposisi asam yang terakhir ini yang dijadikan pelarut
untuk Cu dan Sn.
Tahap selanjutnya yaitu tahap 4 merupakan elektrodeposisi Cu dari larutan
menggunakan sel elektrolisis. Kondisi elektrolisis yang dilakukan yaitu :
- Pelarut yaitu HNO3 1 M dan HCl 3 M (perb. Volume 1:1)
- Kondisi elektrolisis Elektrolisis Cu
temperatur: 45 oC
rapat arus: 20 mA.cm-2
- Kemurnian Cu yang didapatkan mencapai 93.3 %
a b c
Gambar 5. Proses elektrorefining
Tabel 3. Data penelitian pengaruh temperature dan rapat arus terhadap deposisi tembaga pada katoda
Waktu Temp Arus Rapat Arus Berat Awal Berat Akhir Selisih berat Berat Awal Berat Akhir Selisih berat Cu menempel %
(jam) (oC) (ampere) (mA/cm2) Tembaga (gram) Stainless Steel (gram) ke SS (%)
Gambar 5. Grafik pengaruh kuat arus dan temperatur terhadap deposisi tembaga pada katoda
Dari data percobaan didapatkan bahwa semakin tinggi rapat arus maka jumlah Cu
yang terdeposisi makin banyak. Tetapi dari hasil percobaan tidak mendapatkan temperatur
optimum untuk memperoleh Cu dengan kemurnian tertinggi. Kemurnian yang diperoleh ada
pada kisaran 99,7-99,9 pada temperatur 45-80 oC.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 287
KESIMPULAN
- Daur ulang tembaga dari PCB dapat dilakukan pada prinsipnya dengan dua tahap yaitu
penghilangan lapisan cat penutup dan diikuti dengan pelarutan tembaga dengan
campuran asam nitrat dan HCl
- Tingkat recovery Cu mencapai 72 % dengan kemurnian tertinggi mencapai 99.9804 %
DAFTAR PUSTAKA
1. Habashi, F., "Principles of Extractive Metallurgy", Gordon and Breach Science
Publishers, Vol. 1,1969
2. Antropov, L.I., "Theoretical Electrochemistry", 2"d ed., Mir Publishers, Moscow.
3. 1977.Kruesi, P.R., Alien, E.S. and Lake, J.L., "Cymet Process Hydrometallurgical
Convention of Base Metal", CIM Bulletin, June 1973, p: 81-83.
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Komparasi Fasa dan Kekerasan Mikro Lapisan Borida Pada Baja ST37 dan Baja S45C.
Peningkatan kualitas baja seperti kekuatan mekanik dan ketahanan korosi, dapat dilakukan dengan
berbagai metode. Salah satu metode secara termokimia yang dapat dilakukan adalah boronisasi.
Telah dilakukan boronisasi baja ST37 dan S45C menggunakan media pedonor boron berupa padatan
(serbuk). Temperatur proses dilakukan pada 1000 oC selama 8 jam dengan kondisi atmosfer tungku
yang inert. Hasil boronisasi yang diperoleh berupa lapisan borida dengan morfologi gigi gergaji
(sawtooth). Pengujian kekerasan mikro lapisan borida dilakukan dari permukaan dan penampang
lintang. Kekerasan mikro dari penampang lintang yang tertinggi diperoleh dikedalaman antara 50 –
90 μm. Sedangkan, kekerasan mikro dari permukaan lapisan borida yang tertinggi diperoleh pada
kedalaman 30 – 60 μm. Karakterisasi pola difraksi lapisan borida untuk kedua baja dilakukan dari
kedalaman 0 – 100 μm. Fasa yang teridentifikasi yaitu fasa FeB, Fe2B dan CrB. Pola difraksi yang
diperoleh, dianalisis secara kuantitatif menggunakan aplikasi GSAS. Hasil analisis kuantitatif
menunjukkan kekerasan mikro dari permukaan lapisan borida yang tertinggi sangat dipengaruhi oleh
fasa FeB dan CrB.
Abstract
Boride Layers Phases and Microhardness Comparison On ST37 and S45C Steels. Quality
improvement in mecanical strength and corrosion resistance on steels, can be done by several
methods. One of them, is thermochemical method like Boronizing. Boronizing on ST37 and S45C
have been done by solid (powder pack) boron donor media. The Process temperature was 1000 oC for
8 hours with inert atmospheric furnace. The result, the boride layers with sawthooth morphology was
created. The microhardness test took placed on the surface and the crosssection of boride layers. The
higest result on the crosssection was obtained at 50 – 90 μm from the outer surface. Meanwhile, the
highest result on the surface layer was obtained at 30-60 μm from the outer surface. The Diffraction
pattern for both steels carried out at 0 – 100 μm from the outer surface. The identified phases were
FeB, Fe2B and CrB. The Diffraction pattern was analyzed quantitatively by GSAS. The result show
that the higest microhardness on the surface of boride layers was influenced by the FeB and CrB
phases.
Pendahuluan
Bahan boron digunakan dalam industri nuklir. Dipadu pada batang kendali netron di
Seminar Material Metalurgi 2010
reaktor nuklir. Dilarutkan dalam air pendingin reaktor daya untuk mengatur distribusi netron.
Ditambahkan pada pelet ujung elemen bakar nuklir untuk menghindari neutron spiking[1,2].
Kelongsong elemen bakar nuklir model reaktor tertentu juga dilapis boron. Boron juga
digunakan dalam industri selain industri nuklir dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas
baja, antara lain sifat mekanik dan ketahanan korosi. Sebagai spin off penelitian di bidang
nuklir, boron digunakan untuk pelapisan baja tipe Corten.
Boronisasi atau boriding merupakan perlakukan termokimia yang mendifusikan atom
boron menembus suatu permukaan bahan. Aplikasi boronisasi pada logam bertujuan untuk
meningkatkan kekerasan dan ketahanan aus permukaan bahan baik pada paduan logam besi
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 289
dan paduan logam non besi[3]. Boron sebagai elemen yang relatif kecil mampu berdifusi pada
berbagai macam logam[4]. Proses boronisasi dapat dilakukan pada temperatur antara 1113 K
sampai 1323 K dengan media boron berupa padatan, cairan atau gas[4]. Hasil proses
boronisasi ini pada permukaan logam akan terbentuk lapisan yang terdiri dari fasa borida
tunggal (FeB atau Fe2B) atau poli-fasa borida (FeB dan Fe2B)[3]. Sifat-sifat mekanik dari
variasi lapisan FeB dan Fe2B sangat bergantung pada waktu dan temperatur proses boronisasi.
Kekerasan mikro lapisan borida sangat bergantung pada komposisi dan struktur lapisan borida
dan komposisi logam dasarnya[3]. Kandungan C, Cr dan Ni pada paduan besi sangat
mempengaruhi lapisan borida. Kandungan C yang besar akan membuat kedalaman lapisan
borida menjadi lebih rendah tetapi meningkatkan kekerasannya[4]. Kandungan Cr pada
paduan besi akan meningkatkan pembentukan fasa FeB pada lapisan borida[4]. Selain itu,
kandungan Cr mampu meningkatkan kekerasan seiring dengan kegetasannya pada lapisan
permukaan, sedangkan untuk kandungan Ni akan mempengaruhi morfologi lapisan borida
yang terbentuk.
Dalam penelitian ini dilakukan analisis kuantitatif fasa menggunakan aplikasi GSAS
dan pengujian kekerasan mikro lapisan borida pada boronisasi baja ST37 dan baja S45C
dengan metode powder pack. Proses boronisasi yang dilakukan untuk kedua baja tersebut
pada temperatur 1000 oC selama 8 Jam dengan kondisi atmosfer Ar. Dari analisis lapisan
borida ini diharapkan diperoleh bagaimana komposisi dan struktur variasi fasa borida untuk
kedua baja dan bagaimana karakteristik kekerasan mikro untuk kedua baja pada lapisan
tersebut. Komparasi hasil boronisasi pada baja ST37 dengan baja S45C, diharapkan
karakteristik baja ST37 yang diboronisasi mampu mendekati bahkan melebihi karakteristik
baja S45C yang diboronisasi.
Tata Kerja
Baja ST37 dan baja S45C yang berbentuk rod dengan ukuran diameter 1.5 cm dan
tinggi 3 cm, diletakkan di dalam serbuk media boronisasi yang komposisinya terdiri dari
5wt% B4C, 5wt% KBF4 dan 90wt% SiC. Proses boronisasi dilakukan pada temperatur 1000
o
C selama 8 jam menggunakan tungku Nabertherm K2/H dalam kondisi atmosfer Ar. Setelah
proses selesai, baja didinginkan di dalam tungku sampai temperatur ruangan tercapai.
Struktur mikro penampang lintang lapisan borida diamati menggunakan mikroskop optik
Nikon 114. Kekerasan mikro lapisan borida dari penampang lintang diuji menggunakan
microhardness tester Leitz dengan indentor kekerasan Vickers.
Karakterisasi XRD dilakukan pada sudut 2θ mulai 200 sampai 900 menggunakan XRD
Phillips dengan difraktometer PW3710. Karakterisasi XRD pertama dilakukan pada lapisan
terluar kedua baja yang sudah diboronisasi kemudian diuji kekerasan mikronya. Setelah itu,
lapisan ini diabrasif menggunakan SiC emery paper grit 180. Ketebalan kedua baja yang
diabrasif diukur menggunakan mikrometer digital Mitutoyo dan diverifikasi dengan
mikroskop optik terhadap lapisan borida yang tersisa. Proses abrasif untuk baja ST37
dilakukan pada kedalaman 35, 55, 77 dan 97 µm dan untuk baja S45C dilakukan pada
kedalaman 39, 41, 55 dan 74 μm. Analisis kuantitatif fasa pada lapisan borida dikedalaman
tersebut dilakukan berdasarkan hasil pola difraksi yang diperoleh. Analisis kuantitatif ini
dilakukan menggunakan aplikasi GSAS
Seminar Material Metalurgi 2010
100 μm 100 μm
(a) (b)
(110)
(110)
(200)
(200)
(c) (d)
Gambar 1. (a) Struktur mikro baja ST37 sebelum boronisasi, (b) Struktur mikro baja S45C sebelum boronisasi,
(c) Pola difraksi XRD baja ST37 dan (d) Pola difraksi XRD baja S45C.
Gambar 1.a memperlihatkan baja ST37 didominasi fasa α-Fe dan sedikit fasa pearlite,
berbeda dengan baja S45C yang diperlihatkan pada gambar 1.b. Struktur mikro baja S45C
lebih didominasi oleh fasa pearlite. Pola difraksi XRD pada gambar 1.c dan gambar 1.d
dianalisis menggunakan aplikasi GSAS, dengan parameter yang di-input sesuai kartu 99-100-
7795 dari database IuCr/COD/AMCSD 22.01.10. Kartu tersebut merupakan fasa Fe dengan
space group I m -3 m. Hasil analisis diperoleh struktur kristal kedua baja adalah BCC
dengan parameter kisi untuk baja ST37 sebesar 2.866 Å dan untuk baja S45C sebesar 2.8662
Å. Kedua baja memiliki bidang orientasi tertinggi yang sama di (110). Hasil pengujian
kekerasan mikro pada baja ST37 diperoleh sebesar 123.82 HV dan untuk baja S45C sebesar
196.39 HV. Hasil analisis yang telah dilakukan menunjukkan baja S45C memiliki kekerasan
mikro yang lebih besar daripada baja ST37. Meskipun analisis struktur kristal kedua baja
Seminar Material Metalurgi 2010
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Kekerasan mikro baja S45C yang lebih
tinggi tersebut disebabkan struktur mikronya yang lebih didominasi oleh fasa pearlite.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 291
dengan hambatan mekanik yang rendah akan didapati lapisan borida yang lebih dalam
dibandingkan dibagian lain dengan hambatan mekanik yang lebih besar. Pada baja S45C
terlihat adanya crack yang memotong sepanjang lapisan borida. Crack akan terbentuk pada
baja dengan komposisi karbon rendah-sedang yang terjadi selama boronisasi. Crack pada
lapisan borida menunjukkan terbetuknya dua fasa Fe2B dan FeB pada lapisan borida tersebut.
Untuk menghitung kedalaman lapisan borida yang terbentuk, skema pengukuran dari hasil
SEM yang diperoleh diperlihatkan pada Gambar 3.
100 μm 100 μm
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 2. Struktur mikro lapisan borida dari penampang lintang pada (a) baja ST37 dan (b) baja S45C dengan
menggunakan mikroskop optik dan Secondary electron image (SEI) pada (c) baja ST37 dan (d) baja
S45C dengan menggunakan SEM JEOL/JSM 6510.
Lapisan
d1 d3 d4
d2
Zona Transisi
Seminar Material Metalurgi 2010
Matriks
[6]
Gambar 3. Skema pengukuran kedalaman lapisan borida .
Untuk memperoleh kedalaman lapisan borida yang terbentuk, dihitung rata-rata dari
tiap-tiap panjang puncak gigi gergaji pada lapisan borida menggunakan persamaan berikut:
n
d i
d i 1
n (1)
FeB (002)
CrB(002)
Fe2B (002)
97 µm
77 µm
55 µm
35 µm
0 µm
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 293
FeB (002)
CrB (002)
Fe2B (002)
74 µm
55 µm
41 µm
29 µm
0 µm
melimpah.
Hasil analisis GSAS menunjukkan fasa FeB dan fasa CrB mengalami perubahan
parameter kisi baik a, b, atau c dan densitas fasa FeB. pada baja ST37 dipermukaan terluar
tidak teridentifikasi fasa CrB, berbeda dengan lapisan borida pada baja S45C yang
teridentifikasi fasa CrB. Untuk baja ST37 pada kedalaman 55 μm mulai teridentifikasi fasa
CrB, berbeda untuk baja S45C dimana pada kedalaman 41 μm fasa CrB sama sekali tidak
teridentifikasi. Terbentuknya fasa CrB diluar permukaan diakibatkan oleh kandungan unsur
Cr yang cukup besar dan afinitas unsur Cr lebih besar dibandingkan unsur C untuk berikatan
(a) (b)
Gambar 6. Grafik fraksi berat fasa hasil analisis GSAS untuk (a) baja ST37 dan (b) baja S45C
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 295
diboronisasi. Peningkaran pada kedua baja memliki pola yang serupa satu sama lainnya.
Pada baja ST37 hasil pengujian kekerasan mikro yang tertinggi diperoleh dikedalaman 87.5
μm, sedangkan untuk baja S45C hasil pengujian kekerasan mikro yang tertinggi diperoleh
dikedalaman 80 μm. Semakin kedalam, kekerasan mikro lapisan borida yang diperoleh terus
menurun. Pada daerah α-Fe yang terpengaruh proses boronisasi, kekerasan mikronya
meningkat dibandingkan kekerasan mikro matriks yang tidak terpengaruh proses boronisasi.
Baja ST37 meningkat mencapai 142 HV, sedangkan baja S45C meningkat mencapai 179 HV.
Hasil kekerasan mikro dari permukaan baja sangat berbeda dibandingkan dengan kekerasan
mikro dari penampang lintang. Kekerasan mikro tentinggi diperoleh pada kedalaman 30 – 60
μm, untuk baja ST37 diperoleh pada kedalaman 57 μm yang besarnya mencapai 4000HV.
Sedangkan untuk baja S45C diperoleh pada kedalaman 40 μm yang besarnya mencapai
4400HV. Perbedaan besar kekerasan mikro lapisan borida pada penampang lintang
dibandingkan pada permukaannya diakibatkan dari mekanisme pertumbuhan lapisan borida
didalam baja, dimana difusi boron selama boronisasi membentuk fasa baru berbentuk jarum
dengan orientasi (002). Dengan demikian terjadi anisotropy sifat-sifat mekanik pada lapisan
borida yang terbentuk. Pengujian kekerasan mikro yang dilakukan pada permukaan lapisan
borida searah dengan bidang (002) berbeda dengan pengujian yang dilakukan pada
penampang lintang yang arahnya tegak lurus dengan orientasi pertumbuhan lapisan borida.
Dari pengujian statistik, diperoleh bahwa fraksi berat lapisan borida pada kedalaman tertentu
dari permukaan (0 μm) sampai kedalaman 100 μm dipengaruhi oleh fasa FeB dan CrB
Kesimpulan
Boronisasi baja ST37 dan baja S45C akan terbentuk lapisan borida dipermukaan baja
dengan morfologi berbentuk gigi gergaji (sawtooth). Komposisi lapisan borida yang
terbentuk pada baja ST37 dan baja S45C teridentifikasi tiga fasa, yaitu fasa FeB, fasa Fe2B
dan fasa CrB. Kekerasan mikro lapisan borida pada permukaan dua kali lebih besar
dibandingkan kekerasan mikro lapisan borida pada penampang lintangnya yang disebabkan
orientasi pertumbuhan lapisan borida yang memanjang berbentuk jarum dengan orientasi
pertumbuhan (002). Dari fasa yang teridentifikasi, fasa FeB dan fasa CrB menunjukan
korelasi yang kuat mempengaruhi kekerasan mikro lapisan borida pada kedalaman 0 μm
sampai 100 μm.
Daftar Pustaka
[1] BANEY R., An Innovative Ceramic Corrosion Protection System for Zircaloy Cladding,
U.S. Department of Energy, Proposal No 99-0229, 199.
[2] BERTRAND F., Analysis of the QUENCH-09 with ICARE/CATHARE Code, The 21th
Proceedings on Bundle Interpretation Circle, Aix-en-Provence, 29 Oktober 2003.
[3] Culha O., et. Al., “Characterization and Determination of FexB Layers Mechanichal
Properties”, Journal of Materials Processing Technology, 206, 2008, pp. 231-240.
Seminar Material Metalurgi 2010
[4] Bejar, M.A dan E. Moreno, “Abrasive Wear Resistance of Boronized Carbon and Low-
Alloy Steels”, Journal of Materials Processing Technology, 173, 2007, pp. 352-358.
[5] Sugondo, dkk., “Pelapisan Baja Tipe-ST37 Dengan Nano Powder Pack Boron Karbida”,
Jurnal Teknologi Bahan Bakar Nuklir, Vol 2 No 2, 2005, pp. 89-102.
[6] Jain, Vipin dan G. Sundararajan, “Influence of The Pack Thickness of The Boronizing
Mixture On The Boriding of Steel“, Surface and Coatings Technology 149, 2002, pp. 21-
26.
[7] Sugondo, et.al, “Grain Size And hardness Change On Nano Boronizing Of Conten Steel”,
proceedings of Asian Physics Symposium 2005, pp. 196-203.
Abstrak
Selama ini kebutuhan bahan magnet permanen untuk aplikasi di industri elektronika masih di import,
sedangkan potensi bahan baku tersebut di dalam negeri cukup memadai. Salah satu jenis komponen elektronika
yang banyak dibutuhkan saat ini adalah pengeras suara (loudspeaker), yang bahannya terbuat dari magnet
permanen. Kondisi semacam ini merupakan tantangan untuk dilakukan penelitian yang menghasilkan produk
magnet dengan kualitas minimal sama dengan produk import. Penelitian dilakukan dengan proses metalurgi
serbuk (powder metallurgy) dan dengan memvariasikan komposisi bahan Barium (Ba) dengan suhu sintering
1.100 oC dan waktu milling 25 jam. Perbandingan komposisi 1 adalah untuk Ba = 17,08% ferrit 82,92%. Untuk
komposisi 2 adalah Ba = 23,69% dan ferrit = 76,31%. Berdasarkan hasil percobaan diketahui bahwa komposisi
2, menunjukkan sifat magnet lebih tinggi, karakteristik suara lebih Bass, hal ini karena pengaruh Ba yang akan
menguatkan sifat magnet. Namun berdampak pada Amplifier cepat panas. Pada komposisi 1 : sifat magnet lebih
rendah, karakteristik suara lebih treable dan percobaan uji Sound Pressure Level (SPL) tidak dapat
menunjukkan indikasi. Hal ini dipengaruhi waktu milling yang relatif lama yang tidak diimbangi dengan
pemanasan cukup. Untuk menghasilkan magnet yang lebih baik perlu dilakukan sistem kompaksi hidrolik yang
disertai sistem pemanasan. Dari segi nilai ekonomis, bahwa pembuatan magnet permanen dapat
menguntungkan karena harga pokok Rp 3.655/buah dengan kapasitas produksi 1.200.000 buah/tahun. Untuk itu
magnet permanen dapat diproduksi untuk dimensi sesuai ukuran magnet loudspeaker.
I. PENDAHULUAN
Saat ini perkembangan industri eletronika di Indonesia sangatlah pesat, sehingga
berbagai macam komponen listrik dan elektronik, misalnya : motor-motor DC kecil, meteran
air, KWH-meter, telephone receiver, circulator, rice cooker, pengeras suara (loudspeaker)
dan industri lainnya seiring dengan kemajuan teknologi masih menggunakan magnet
permanen sebagai sumber energi magnetik. Untuk komponen loudspeaker 100% masih harus
di import dari China.
Barium-Ferit termasuk salah satu jenis magnet permanen yang sumber dayanya
belum dimanfaatkan dan tersedia secara melimpah di Indonesia. Kondisi semacam ini
merupakan peluang bahan tersebut dapat diolah menjadi bahan industri menjadi terbuka
lebar. Sekaligus tantangan untuk melakukan penelitian yang dapat menghasilkan produk
permanen yang minimal setara dengan mutu produk import.
Dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap kebutuhan produk import
khususnya magnet untuk aplikasi komponen elektronika agar diperoleh penghematan devisa
negara, Balai Besar Bahan dan Barang Teknik (B4T) Kementrian Perindustrian pada tahun
2009 telah melakukan penelitian pembuatan hard magnet dari bahan Barium Ferit
Seminar Material Metalurgi 2010
(BaFe12O19) khususnya magnet untuk produk loudspeaker yang berukuran kecil dengan
memanfatkan limbah oksida besi sebagai bahan magnet melalui teknologi metalurgi serbuk
agar diperoleh produk tablet yang mempunyai sifat keras, dan bila dimagnetisasi logam
tersebut akan membentuk sifat magnet yang tinggi. Metode penelitian dilakukan melalui
pendekatan laboratorium untuk mencari formulasi material magnet yang melibatkan proses
sintering dan kompaksi.
Fenomena tersebut merupakan topik permasalahan yang akan dilaksanakan dari
ukuran dan bentuk yang relatif kecil akan menghasilkan daya magnet yang tinggi sehingga
secara ekonomis mempunyai potensi pasar karena kebutuhan industri cukup tinggi. Di samping
itu, penelitian ini dilakukan untuk menunjang kebijakan Industri Nasional seperti tertuang
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 297
pada PP. No. 28 Th. 2008, yaitu pengembangan klaster Industri Elektronika untuk jangka
panjang. Penelitian ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada produk import
sekaligus menunjang kemandirian bangsa, khususnya dalam komponen elektronika.
Metode yang digunakan dalam proses metalurgi serbuk dilaksanakan dengan
parameter proses pembuatan magnet yang divariasikan meliputi : variabel : komposisi bahan,
suhu sintering dan waktu milling tetap. Untuk mengetahui hal tersebut di atas, maka
dilakukan beberapa pengujian sebagai berikut : (1) komposisi kimia, (2) pengujian struktur
mikro, (3) pengujian sifat magnet (4) pengujian unjuk kerja loudspeaker.
2.2. Magnet
Atom terdiri dari proton dan netron serta di kelilingi elektron (-), atom dalam keadaan
stabil kondisinya netral yaitu netron sama dengan proton. Atom dalam keadaan stabil jika
memiliki konfigurasi elektron 2 dan 8 pada kulit terluar (Kaidah Oktet).
Seminar Material Metalurgi 2010
Ikatan atom terdiri dari ikatan primer dan sekunder yang mana ikatan primer adalah
ikatan kuat (ikatan ion) yaitu gaya tarik menarik atau ikatan elektrovalen dari ikatan ion
positif dan ion negatif. Suatu material dikatakan ikatan ikatan ion disebut material tidak
konduktif.
Ikatan kovalen yaitu ikatan antara atom dalam molekul berdasarkan pemakaian
pasangan elektron bersama, hal ini disebut material tidak konduktif. Ikatan logam adalah
ikatan kovalen sesaat atau atom tersusun sangat rapat dari kemungkinan konfigurasinya,
bahwa atom logam mempunyai sedikit elektron pada kulit terluar, elektron tersebut dapat
bergerak dengan bebas, sehingga terjadi ikatan terhadap satu dengan yang lainnya. Hal ini
komponen elektronika dengan Br= 2,42 kG, Hc=1.700 kOe dan BHmaks = 1,15 MGOe.
Magnet yang dihasilkan memang relatif baik, namun tidak diaplikasikan secara spesifik
pada loudspeaker sehingga belum dapat diketahui unjuk kerja loud speakernya.
2.4. Loudspeaker
Loudspeaker adalah salah satu komponen elektronika yang dapat mengubah getaran
listrik menjadi gelombang suara yang dapat didengar oleh telinga manusia. Loudspeaker
banyak dipakai pada perangkat elektronika yaitu diantaranya pada amplifier, radio, televisi,
tepe recorder, handphone, telephone dan masih banyak lagi yang lainnya.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 299
Gelombang suara dapat merambat melalui media udara dengan frekuensi tertentu
yang akan menghasilkan arus elektromagnetik yang menimbulkan gaya magnet seperti
rumus sebagai berikut :
F = I.L.B (1)
Dimana :
F = Gaya magnet
I = Arus
L = Lintasan
B = Medan magnet
Gaya magnet dengan frekuensi tertentu akan menggambarkan diafragma pada
loudspeaker.
Kalsinasi
Penggilingan kalsin
Kompaksi
Sintering
Magnetisasi
Perakitan loudspeaker
Pengujian
o
C dan 1.300 oC.
Lebih jelasnya ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kode sampel penelitian
Waktu
Suhu
Komposisi Milling Kode
Sintering
(jam)
M4B1
1 25 1100 oC M4B2
M4B3
2 25 1100 oC F2
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 301
3.3. Pengumpulan Data dan Analisis
Pengumpulan data dilakukan terhadap hasil pengujian sampel magnet dan pengujian
loudspeaker. Pengujian terhadap sampel magnet meliputi : uji komposisi kimia, uji struktur
mikro menggunakan SEM/EDAX dan pengujian sifat magnet. Sedangkan pengujian terhadap
loudspeaker dengan permagraph meliputi : uji unjuk kerja yaitu respon loudspeaker (berupa
tegangan listrik ) terhadap stimulan yang diberikan yaitu frekuensi dan uji performance di
Lab. Mutu PT. YDA Galva Industries Bogor. Selanjutnya data hasil pengujian tersebut di
atas dikumpulkan dan dianalisis.
rendah dengan sampel yang ditoko, tentunya berdasarkan komposisi kimia sampel (1) akan
mempunyai karakteristik magnet yang relatif berbeda dengan referensi. Kelemahan sifat
magnet pada komposisi (1) ini akan diperbaiki dengan suhu sintering dan waktu milling.
Unsur Ba yang terkandung di sampel magnet dari toko menunjukkan relatif rendah,
namun unsur Fe relatif tinggi sehingga kestabilan magnet juga akan tinggi, juga unsur
oksigen yang terkandung dalam sampel magnet relatif rendah.
Sampel komposisi (2) : Fe = 76,31% dan Ba = 23,69% dengan kode F mempunyai
komposisi kimia yang relatif sama dengan sampel magnet dari toko, berdasarkan komposisi
Kode
Perbesaran 600x Perbesaran 5000x
Contoh
Butir relatif menyebar, ada Sebagian butir terjadi fusi,
M4B1
porositas ada porositas
Butir relatif menyebar, ada
F2 porositas dan orientasi butir Sebagian butir terjadi fusi
searah
Butir relatif rapat dan Sebagian butir terjadi fusi
T
menyebar dan porositas
Tabel 4 menunjukkan bahwa semakin tinggi unsur Barium (Ba) maka sifat magnet
akan semakin besar (M4B1 <F2). Tabel 2 khususnya sampel dari toko tidak bisa
dibandingkan karena perlakukan sintering maupun waktu milling tidak diketahui. Menurut
literatur bahwa waktu milling akan mempengaruhi ukuran butir, semakin lama waktu milling
maka butir akan semakin halus. Butir yang halus, akan memperbesar luas permukaan,
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 303
sehingga pergerakan ion akan terhambat oleh batas butir. Dan suhu sintering semakin tinggi
maka kuat medan magnet akan semakin besar, karena suhu sintering akan melumerkan
bahan sehingga luas permukaan semakin kecil (contact area).
di sampel F2.
5. Aspek Ekonomis
Bahan baku pembuatan magnet mudah diperoleh karena tersedia dalam jumlah yang
cukup di dalam negeri. Teknologi yang digunakan, yaitu teknologi serbuk yang relatif
sederhana. Sehingga dapat diterapkan di Industri Kecil dan Menengah (IKM).
Pemasaran produk relatif mudah karena industri komponen elektronika yang ada
cukup banyak dan selama ini hanya menggunakan magnet import.
Walaupun penelitian ini dilakukan secara skala laboratorium namun kegiatan
produksi kedepan dapat diusahakan secara komersial, sehingga hasil produk loudspeaker
yang dibuat dapat dijual ke pasar karena ditinjau dari aspek ekonomis mempunyai prospek
yang baik.
Untuk membuat suatu unit usaha dibutuhkan modal/investasi yang besarnya
tergantung dari kapasitas produksi yang diinginkan. Besarnya investasi yang diperlukan
dengan kapasitas produksi 4000 unit/hari dengan 25hari/bulan hari kerja adalah sebagai
berikut :
1. Permodalan :
a. Modal tetap :
Mesin dan peralatan (mixer, alat kalsinasi, penggiling kalsin, tungku sintering, alat
kompaksi, timbangan analitik, magnitizer, peralatan pendukung) = Rp 64.460.000.
Instalasi (material dan karyawan) = Rp 251.980.000
Tanah 600 m2 = Rp 120.000.000
Engineering & konstruksi = Rp 311.596.000
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 305
Jumlah modal kerja = Rp 4.386.449.516.
Jadi jumlah modal investasi yang diperlukan (modal tetap+modal kerja) = Rp 7.814.005.516.
2. Harga pokok produksi (HPP) :
= Total biaya modal kerja : volume produksi
= Rp 4.386.449.516:1.200.000 unit/tahun
= Rp 3.655/unit
3. Perhitungan Keuntungan
a. Total pendapatan usaha:hasil penjualan
= 1.200.000 unit x Rp 5.000 = Rp 6.000.000.000/tahun
b. Total biaya/pengeluaran = Rp 4.386.449.516
c. Keuntungan kotor :
Total pendapatan usaha - total biaya (a-b) = Rp 1.613.550.484
4. Pajak :
35% x keuntungan kotor
= Rp. 564.742.669
5. Keuntungan bersih :
Keuntungan kotor - pajak
= Rp 1.048.807.815
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keuntungan bersih dalam periode 1 (satu)
tahun adalah sebesar Rp 1.048.807.815.
= 136,78%
(BCR>1) adalah baik
Harga magnet import Rp 8.000 per unit, sedangkan harga jual magnet hasil penelitian
dengan kapasitas 100.000 unit per bulan adalah sebesar Rp 5000 per unit. Berdasarkan
perhitungan bahwa BCR sebesar 4,96, hal ini berarti lebih besar dari 1 (satu). Sehingga
pabrik sangat pabrik untuk didirikan.
5.2. Saran
Untuk menghasilkan magnet yang lebih baik perlu dilakukan sistem kompaksi
hidraulik yang disertai dengan sistem pemanasan.
DAFTAR PUSTAKA
1. American Society For Metals, 2004, Metal Handbook 9th ed., Vol.7 Powder Metallurgy,
New York
2. Goldman A, 2001, Modern Ferrite Technology, 1st ed., Vannostrand Reinhold, New York.
3. Groover, Mikell P, 2005, Fundamentals of Modern Manufacturing, 2nd ed., New York.
4. Idayanti, Novrita, 2003, Penggunaan Barium Ferrite dalam bidang elektronika,
Proceeding SNTE, Yogyakarta.
5. Ismunandar, 2006, Padatan Oksida Logam Struktur, Sintesis dan Sifat-sifatnya, Penerbit
ITB, Bandung
6. Metal Hand Book, 2004, Powder Metallurgy, 9th ed.,Vol. 7, American Society for Metal,
Metal Park, Ohio.
7. Reitz R.J, Milford J.F, Christy W.R, 2003, Dasar Teori Listrik Magnet, Edisi Ketiga,
Penerbit ITB, Bandung
8. Ulaby, Fawwaz T, 2004, Fundamentals of Applied Electromagnetics, 5th ed., Pearson
International Edition
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 307
Seminar Material Metalurgi 2010
Muhammad Amin, Adil Jamali, M. Yunus, Kalzani Jafri
Unit Pelaksana Teknis Balai Pengolahan Mineral Lampung – LIPI
Jl. Ir.Sutami KM.15 Tanjung Bintang Lampung Selatan
Telp.0721-350054 fax 0721-350056. e-mail : muha047@lipi.go.id
Abstrak
Sesuai dengan perkembangan industri produksi pengecoran dan pemakainnya yang terus meningkat
telah mendorong industri pengecoran besi dan baja beberapa tahun ini terus mengalami kenaikan yang cukup
tinggi.Seperti diketahui bahwa pig iron adalah salah satu bahan baku yang di gunakan dalam industri
pengecoran besi/baja, disamping bahan baku lainnya seperti scrap,ferro alloy. Sedangkan pig iron selam ini
iIndonesia masih mengimport dari luar yaitu Cina, India, Brazil
Untuk membuat pig iron teknologi saat ini yang di gunakan adalah tanur tiup (blast furnace), di dalam
tanur tiup inilah proses produksi terjadi yaitu proses dileburnya bijih besi menjadi pig iron dengan penambahan
bahan baku batu kapur sebagai fluk serta arang kayu dan kokas sebagai bahan bakar atau bahan reduktor.
Prosedur peleburan di tanur tiup adalah mengalami beberapa langkah-langkah yaitu dari persiapan bahan
baku yang akan di gunakan bijih besi, batukapur, arang kayu, kokas setelah bahan baku siap maka dimasukan
kedalam alat tanur tiup dengan menggunakan ember charging yang di tarik menggunakan hoist yang
selanjutnya langkah-langkah pemasukan bahan baku sesuai dengan prosedur dan selanjutnya proses reduksi
terjadi didalam tanur dengan bantuan reduktor arang kayu dan kokas. Setelah menunggu waktu yang cukup
lama dari awal pemasukan bahan baku pertama sampai denga proses yang terjadi sehingga suhu yang ada di
dalam tanur mencapai 1600°C pada bagian bawah tanur menghasilkan besi cair dan slag yang selanjutnya di
keluarkan melalui lubang slag hole yang didapatkan slag atau terak dan tap hole yang didapatkan adalah besi
cair yang selanjutnya di cetak pada mesin casting sehingga menghasilkan pig iron yang jenis nya adalah putih
dan kelabu yang sesuai dengan kebutuhan bahan baku industri pengecoran besi dan baja yaitu jenis kelabu
kandungan Si= 1,6-2,2 % sedangkan jenis putih Si= 0,3 – 1,4 %.
Tanur tiup yang ada di Lampung dapat di gunakan untuk melebur bijih besi menjadi pig iron sehingga
bijih besi yang selama ini di eksport dapat diolah menjadi produk sesuai dengan undang-undang minerba tidak
boleh mengeksport bahan mentah harus diolah terlebih dahulu.
Kata kunci: proses produksi,arang kayu, bijih besi, tanur tiup, pig iron.
I. PENDAHULUAN
Proses produksi dapat dinyatakan sebagai rangkaian untuk mengolah atau mengubah
sekumpulan masukan (input) menjadi sejumlah keluaran (output) yang memiliki nilai tambah
(added value), pengolahan disini bisa secara fisik atau non fisik dimana perubahan tersebut
bisa terjadi terhadap bentuk, dimensi atau sifat-sifatnya. Nilai tambah disini adalah nilai dari
kerluaran yang bertambah dalam pengertian nilai fungsional (kegunaan) atau nilai
ekonominya.
Secara sederhana proses produksi dapat digambarkan dalam bagian input-output
sebagai berikut:
bahan baku dan 1. kegiatan produktif
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 309
(Sritomo.W,2000)
UPT.Balai Pengolahan Mineral Lampung merupakan suatu unit kerja yang di peruntukan
tempat penerapan dari pada hasil-hasil litbang yang dapat di kembangkan pada skala yang lebih besar
dari skala laboratorium sebelumnya. Pada tahun 1983 LIPI melalui hasil dari Puslitbang Metalurgi
membangun tanur tiup dengan kapasitas 25 ton pig iron/hari di Lampung dengan pertimbangan
Lampung mempunyai banyak cadangan bijih besi sebagai bahan baku utama pada proses produksi
tanur tiup. Pada tahun 1983 di mulailah proses produksi, akan tetapi proses produksi ini tak bertahan
lama hingga pada tahun tahun 1987 di berhentikan dan dilakukan renovasi tanur. Pada tahun1990
selesailah renovasi tanur dan di mulailah lagi proses produksi secara terus menerus sampai tahun
1996.
Berkaitan dengan proses produksi pig iron maka tanur tiup sangatlah di andalkan
sebagai alat untuk proses produksinya, mengingat pada tahun 2000 permintaan besi baja
makin meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Hampir setiap Negara produsen baja
meningkatkan kapasitas produksinya untuk memenuhi kebutuhan pasar sehingga produsen
besar seperti Negara Cina, India tidak cukup memiliki cadangan bijih besi sehingga mereka
mengimport dari Indonesia untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bijih besinya.
Seiring dengan telah di terbitkanya u ndang-undang Minerba yang melarang untuk
mengeksport bahan baku mentah, sehingga para pemain tambang di wajibkan untuk mengolah
hasil tambang mereka dalam bentuk yang bernilai tambah.(Adil Jamali,2008)
Pig Iron adalah salah satu bahan baku yang digunakan dalam industry pengecoran
besi/baja disamping bahan baku utama lainya seperti scrap, ferro alloy dengan bahan
pembantu berupa kokas,lime stone dan sebagainya.
Penggunaan pig iron ini sangatlah bervariasi tergantung dari berbagai peti8mbangan
seperti jenis barang yang dibuat, besi/baja scrap yang digunakan, oleh sebab itu ada ukuran
ataupuntakaran yang pasti mengenai jumlah pig iron yang digunakan untuk setiap produk
casting ini.
Untuk menyongsong berlakunya Undang-undang minerba inij maka UPT Balai
Pengolahan Mineral Lampung siap untuk melakukan proses produksi peleburan bijih besi
menjadi pig iron dengan menggunakan alat yang ada berupa teknologi tanur tiup dengan
berbekal pengalaman apa yang telah dilakukan peleburan bijih besi di tanur tiup terutama
rentang waktu antara tahun 1990 – 1996 yang bisa dikatakan waktu yang cukup panjang
untuk mempelajari apa saja yang terjadi pada saat proses produksi peleburan di tanur tiup dari
bahan baku-proses produksi- sampai dengan produk berupa pig iron.
Berdasarkan dari berbagai informasi dapat disimpulkan bahwa jumlah pig iron yang
digunakan untuk keperluan pembuatan barang-barang cor ini untuk besi cor bisa mencapai
300 kg untuk setiap 1 ton produk besi cor sedangkan untuk baja cor mencapai 250 kg untuk 1
ton nya (Indometal,1997).
Untuk itulah perlu dilakukan penggambaran pada tulisan ini apa saja yang terjadi
selama proses produksi dari bahan baku utama bijih besi di lebur di tanur tiup, proses apa
yang terjadi di dalam tanur tiup sampai dengan produk apa saja yang dihasilkan dan informasi
ini sangat perlu disampaikan guna tolok ukur pengguna jasa peleburan atau sector industri
yang akan bergerak di bidang peleburan bijih besi.
Pada dasarnya teknologi prose produksi peleburan bijih besi pada tanur tiup telah
dikuasai, akan tetapi walupun demiklian tetap perlu dilakukan inovasi yang dapat
mengembangkan kapasitas produksi, karena skala tanur tiup masih kecil yaitu 25 ton/hari.
Ada banyak dari pada proses produksi peleburan baik dari bahan baku atau pun
sponge dan pellet halus antara lain:
1. Proses Pelletech (PTC)
2. Proses Kawasaki – Double tuyere
3. Proses Rotary Heating Furnace-Electric Arch Furnace
4. Duplex-DIOS dari NKK Jepang
III. PERCOBAAN
Berikut ini adalah tahapan langkah-langkah pemasukan bahan baku kedalam tanur tiup
dari awal (proses blowing-in):
LUBANG
No A.KAYU KOKAS B.BESI SCRAP SLAG B.KAPUR BLOWER
TAPPING
1. 500 - - - - -
2. 500 - - - - -
Blower
3. 500 - - - - - dibuka
keong hidup
4. 500 - - - - -
5 500 - - - - -
Seminar Material Metalurgi 2010
6 500 - - - - -
7 500 - - - - -
8 500 - - - - -
9 500 - - - - -
10 500 - - - - -
11 500 - - - - -
12 500 - - - - -
13 - 500 - - - -
14 - 500 - - - -
15 250 - 500 - 25
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 311
16 250 - 500 - 25
17 250 - 500 - 25
Blower
hidup, flow
18 250 - 500 - 25
kecil 0,1
ATM
19 550 - 550 - 50 30
20 550 - 550 - 50 30
21 550 - 550 - 50 30
22 550 - 550 - 50 30
23 550 - 600 - - 45
Blower
Semua
hidup,flow
24 550 - 600 - - 45 lubang
besar 0,2
tertutup
ATM
25 550 - 600 - - 45
26 550 - 600 - - 45
27 550 - 600 - - 45
28 550 - 600 - - 45
29 550 - 600 - - 45
30 550 - 600 - - 45
31 550
33 550 - 600 - - 45
34 550 - 600 - - 45
35 550 - 600 - - 45
36 Dilakukan taping I (pertama),lubang slag dan taping hole dibuka.
Dilakukan taping II (kedua), setelah 4 jam dari taping pertama. Seterusnya di lihat kondisi
proses tanur kalau proses bagus komposisi bijih besi dinaikan 650,700,750,800.
Sumber: buku data charging.
Keterangan:
Tapping = pengeluaran cairan berupa slag ,yang diawali dari dibuka nya lubang slag hole setelah slag habis,
baru lubang pengeluaran cairan besi dibuka.
1 650 550 50 / 55 - 13 X 400 - 410 0,32 - 0,33 180 - 270 620 - 710
2 650 / 675 550 52 / 53 550 52 X 420 - 460 0,28 - 0,35 295 - 420 685 - 740
3 675 / 700 500 / 550 53 / 54 900 48 X 420 - 500 0,26 - 0,40 420 - 500 720 - 830
4 650 / 675 500 / 550 50 / 52 900 36 X 480 - 530 0,37 - 0,42 460 - 580 780 - 870
5 650 / 675 500 / 550 50 / 52 600 48 X 470 - 510 0,33 - 0,37 500 - 530 780 - 840
Seminar Material Metalurgi 2010
6 675 500 / 550 50 / 51 700 53 X 440 - 490 0,32 - 0,36 490 - 515 770 - 840
7 650 / 675 500 / 550 50 / 52 1100 48 X 430 - 490 0,32 - 0,40 480 - 580 760 - 860
8 650 500 / 550 50 / 51 900 45 X 480 - 530 0,33 - 0,40 560 - 580 820 - 860
9 650 500 / 550 50 / 51 900 45 X 420 - 480 0,28 - 0,35 520 - 580 730 - 840
10 650 / 675 500 / 550 50 / 52 700 53 X 370 - 390 0,24 - 0,33 420 - 520 680 - 740
11 675 / 700 550 52 / 54 - 54 X 340 - 370 0,22 - 0,27 390 - 430 640 - 700
12 675 / 700 550 52 / 54 - 49 X 320 - 370 0,21 - 0,24 400 - 440 630 - 690
13 700 550 54 - 52 X 320 - 360 0,20 - 0,25 400 - 440 650 - 680
14 350 / 700 550 53 / 54 - 59 X 330 - 360 0,20 - 0,35 340 - 420 650 - 700
15 675 500 / 550 53 250 50 X 380 - 420 0,33 - 0,40 400 - 440 610
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 313
KOMPOSISI BAHAN BAKU DAN JENIS PRODUK II
KOMPOSISI BAHAN BAKU (Kg) JENIS KOMPOSISI BAHAN BAKU (Kg) JENIS
PIG PIG
B. BESI A. KAYU B.KAPUR KOKAS B. BESI A. KAYU B.KAPUR KOKAS
IRON IRON
775 50 550 0 Kelabu
750 56 550 0 Kelabu 775 50 550 0 Kelabu
750 56 550 0 Kelabu 800 52 550 0 Kelabu
750 56 550 0 Putih 800 52 550 0 Putih
Tak 800 52 550 0 Oksida
750 58 550 0
Terabu 775 54 550 0 Oksida
700 56 550 0 Putih 775 54 550 0 Putih
Putih 775 54 550 0 Putih
700 56 550 0
(Media) 700 57 550 0 Putih
700 56 550 0 Kelabu 700 57 550 0 Kelabu
700 56 550 0 Kelabu 700 57 550 0 Kelabu
725 56 550 0 Kelabu 700 57 550 0 Kelabu
725 54 550 0 Kelabu 700 57 550 0 Kelabu
725 54 550 0 Kelabu 750 60 550 0 Kelabu
725 54 550 0 Kelabu 750 60 550 0 Kelabu
Kelabu. 750 61 550 0 Kelabu
750 56 550 0
S 750 61 550 0 Kelabu
750 56 550 0 Kelabu 775 61 550 0 Putih
750 56 550 0 Kelabu 775 62 550 0 Kelabu
750 50 550 0 Kelabu 775 62 550 0 Kelabu
750 50 550 0 Kelabu 775 62 550 0 Kelabu
750 50 550 0 Kelabu 775 62 550 0 Kelabu
775 50 550 0 Kelabu 775 62 550 0 Kelabu
775 50 550 0 Kelabu 775 62 550 0 Kelabu
800 50 550 0 Kelabu 775 62 550 0 Kelabu
800 50 550 0 Kelabu 775 63 / 65 550 0 Kelabu
Kelabu 775 /
800 50 550 0 63 / 65 550 0 Kelabu
+ Putih 800
775 48 550 0 Kelabu 775 /
775 48 550 0 Kelabu 63 550 0 Kelabu
800
Putih + 775 /
775 48 550 0 63 550 0 Kelabu
Kelabu 800
750 + Kelabu
50 + 48 550 0 Putih 775 58 550 0
800 + Putih
Putih + 775 58 550 0 Kelabu
750 40 550 0
Kelabu 775 60 550 0 Putih
Putih + 775 62 550 0 Putih
750 48 550 0
Kelabu 775 62 550 0 Putih
775 50 550 0 Kelabu 775 60 550 0 Kelabu
775 50 550 0 Kelabu 775 60 550 0 Kelabu
775 50 550 0 Kelabu
775 50 550 0 Kelabu
800 52 550 0 Kelabu
Seminar Material Metalurgi 2010
V. PEMBAHASAN
Dalam keadaan normal tanur bisa melakukan pengeluaran cairan dalam waktu 24 jam
atau 3 shif sebanyak 6 kali atau 1 shif sebanyak 2 kali, dalam 1 kali pengeluaran cairan dapat
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 315
menghasilkan 3000 kg cairan besi sedangkan slag atau terak yang dihasilkan sebanyak 250
kg.
Dalam data hasil produk pig iron oksida adalah proses reduksi yang dihasilkan di
dalam tanur tidak sempurna karena beberapa hal antara lain dikarenakan arang kayu tidak
cukup kering atau basah sehingga kalori yang ada seharusnya untuk mereduksi bijih besi tapi
di gunakan untuk menguapkan air yang ada di arang basah tadi yang pada akhirnya kalori
tidak cukup dan akhirnya yang di hasilkan adalah oksida atau FeO bukan Fe.
Jenis pig iron ada yang putih dan kelabu ini dapat di lihat dari komposisi kimia dari
kandungan Silika (Si) kalau kelabu Si=1,6 - 2.2 % sedangkan putih Si=0,3 - 1,4 %.sedangkan
sifat fisik adalah kalau kelabu mudah dibor dan tidak mudah patah sedangkan kalau putih
tidak bisa dibor dan mudah patah.
Komposisi bahan baku sebagai umpan pada tanur bijih besi 650 kg arang kayu 550 kg
batu kapur 50 kg dan sedangkan kokas bisa di gunakan dan bisa juga tidak di gunakan karena
kokas berfungsi sebagai penambah kalori atau panas yang di gunakan untuk mereduksi bijih
besi, komposisi ini juga bisa berubah sewaktu-waktu sesuai dengan kondisi proses di dalam
tanur apabila dalam keadaan temperature tanur bagus semua bahan baku umpan tanur kering
maka komposisi bijih besi bisa dinaikan 700 kg, 750 kg, 775 kg sampai 800 kg sedangkan
batu kapur mengikuti naiknya bijih besi seperti terlihat pada table komposisi umpan tanur II.
Produk Jenis slag atau terak yang di hasilkan pada proses produksi peleburan bijih
besi di tanur bisa bermacam jenis sesuai dengan kondisi proses tanur sedang baik atau tidak,
seperti pada table di bawah ini jenis-jenis slag dan kompoisisi kimianya:
% % % % %
NO. JENIS SLAG
SiO2 CaO MgO Al2O3 Fe.total
1. .HITAM MUDA (HM) 37,02 33,68 1,64 5,52 0,27
2. HIJAU LUMUT (HL) 34,35 24,80 2,68 4,84 0,34
3. HITAM PEKAT (HP) 39,28 32,82 2,91 5,32 1,51
4. ABU-ABU GLACY CEMENT 37,95 26,88 2,44 5,41 0,68
5. COKLAT 43,24 38,95 2,46 5,32 0,33
6. HIJAU GELAP (HG) GLACY 43,97 26,82 1,97 4,59 1,16
HITAM KECOKLATAN (HT)
7. 45,97 27,09 2,38 4,95 0,25
GLACY
Basicity yang di inginkan di slag sesuai dengan kondisi tanur adalah 0,7-0,8 maka
berdasarkan komposisi kimia jenis-jenis slag yang baik adalah yang berjenis abu-abu glacy,
hijau lumut glacy jenis slag ii di tanur sangat diinginkan karena dengan adanya slag seperti
ini maka bisa dikatakan proses produksi di dalam tanur berjalan dengan baik sesuai dengan
rencana.
Selain itu slag yang dihasilkan dapat dimanfatkan sebagai bahan baku semen, bahan
baku kramik sehingga dapat dibuat berbagai macam produk beton seperti genteng beton,
batako dll.
Basicity yang dimaksud adalah % CaO / % MgO
Seminar Material Metalurgi 2010
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan data dan table yang didapat maka dapat disimpulkan Tanur tiup (blast
furnace) masih dapat dijalankan dengan menghasilkan produk berupa pig iron dan slag dan
produk ini langsung dimanfaatkan oleh industri kecil yang ada di Klaten Yogjakarta.Juga
tanur tiup di Lampung telah siap mendukung apa yang menjadi rencana pemerintah yang
tertuang pada undang-undang minerba yaitu melarang barang di eksport dalam bentuk mentah
sehingga harus diolah terlebih dahulu menjadi produk atau setengah produk jadi dalam hal ini
pengolahan bijih besi di tanur tiup menjadi Pig Iron.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 317
Seminar Material Metalurgi 2010
M.Yunus*, M. Amin dan Slamet Sumardi
UPT. Balai Pengolahan Mineral Lampung – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Jl. Ir. Sutami Km. 15 Tanjung Bintang – Lampung Selatan
e-mail : myun001@lipi.go.id Telepon : 0721-350054, Fax : 0721- 350056
Abstrak
Pengujian sifat mekanik sangat berpengaruh besar terhadap sifat logam seperti kuat, elastis, keras, dan
getas. Untuk dapat meningkatkan kualitas kekerasan pada logam dapat dilakukan dengan cara pengerasan
permukaan (Surface Hardening). Pada penelitian ini dilakukan experimen uji kekerasan Brinell dan uji
setruktur mikro terhadap baja karbon rendah (max 0,25%C) standar ASTM A36/JIS SS400 yang diberikan
pengelasan permukaan dengan elektroda Azucar 100 dengan memvariasikan arus pengelasan 250 A, 275 A dan
300 A.
Pada uji kekerasan awal nilai kekerasan rata-rata 122.52 kgf/mm2 dengan struktur mikro
memperlihatkan bentuk struktur butir besar yang terdiri dari ferit dan dikelilingi lapisan perlit. Setelah
dilakukan pengelasan permukaan dengan mengunakan elektroda Azucar 100, nilai kekerasan rata-rata pada
daerah logam las (Weld metal) Arus 250 A sebesar 192,16 kgf/mm2 Arus 275A sebesar 239,49 kgf/mm2 dan
Arus 300 A sebesar 242,87 kgf/mm2 dengan struktur mikro yang memperlihatkan bentuk struktur butir halus
baik ferit ataupun perlit diantara bilah-bilah fasa ini, austenit sisa akan bertransformasi. Produk transformasi
yang terjadi memiliki kandungan karbon yang lebih tinggi. Pada daerah pengaruh panas (Heat Affected Zone)
Arus 250 A nilai kekerasan rata-rata sebesar 139,74 kgf/mm2, Arus 275 A sebesar 138,54 kgf/mm2 dan Arus 300
A sebesar 152,65 kgf/mm2 struktur mikro yang terbentuk adalah ferit dan perlit. Pada daerah logam induk yang
tidak terpengaruh panas (Parent Metal) Arus 250 A nilai kekerasan rata-rata sebesar 126,25 kgf/mm2, Arus 275
A sebesar 126,25 kgf/mm2 dan Arus 300 A sebesar 139,19 kgf/mm2 dengan bentuk struktur mikro yang hampir
sama dengan logam induk (Base Metal) yaitu ferit dan perlit. Nilai kekerasan dari arus 250 A, 275 A sampai
300 A mengalami peningkatan kekerasan. Peningkatan kekerasan yang maksimal dicapai pada arus 300 A yaitu
sebesar 242,87 kgf/mm2 pada daerah logam las (Weld Metsal).
Dari hasil uji kekerasan brinell dan struktur mikro, dapat disimpulkan bahwa pengelasan permukaan
dengan mengunakan elektroda Azucar 100 adalah metode yang tepat untuk meningkatkan kekerasan baja
ASTM A36.
Kata Kunci : Pengaruh Variasi Arus Las Cane Cutter Terhadap Sifat Mekanik Baja Karbon Rendah
melalui pengerasan permukaan (surface hardening) dengan menggunakan las busur listrik
elektroda terbungkus. Elektroda yang digunakan pada proses pengerasan permukaan cane
cutter ini adalah Azucar 100. Produk dari Afrox ini mempunyai unsur paduan yang lengkap
dan sangat baik untuk memberikan kekerasan yang tinggi. dimana didalam elektroda tersebut
terdapat unsur-unsur Karbon (C), silikon (Si), Sulfur (S), Phospor (P), Mangan (Mn), Krom
(Cr), Molibden (Mo) + Niobium (Nb)+ Vanadium (V) + Wolfram (W), dan komposisi ini
sangat bagus untuk aplikasi yang membutuhkan kemampuan perlindungan baja terhadap
kadar asam yang tinggi selama proses pembuatan gula yang dilakukan pada PT. Sweet
Indolampung. Selanjutnya baja hasil pengelasan dilakukan uji struktur mikro dan uji
kekerasan dan pengembangan. Untuk itu perlu dilakukan pengujian guna mengetahui
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 319
seberapa besar pengaruh elektroda Azucar 100 dalam meningkatkan kemampuan sifat
mekanik khususnya kekerasan bahan.
TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui seberapa besar pengaruh elektroda Azucar 100 terhadap kekerasan dan
perubahan struktur mikro pada cane cutter setelah dilakukan pengelasan permukaan
dengan variasi arus pengelasan.
2. Mengembangkan hasil kekerasan baja karbon rendah setelah dilakukan pengelasan
menggunakan variasi arus.
PERMASALAHAN
Bagaimana pengaruh pengelasan dengan elektroda Azucar 100 dan variasi arus 250 A,
275 A dan 300 A pada tegangan 220 V terhadap kekerasan dan struktur mikro pada cane
cutter.
MANFAAT PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian tugas akhir ini, diharapkan dapat mengembangkan aspek
ilmu pengetahuan dan teknologi terutama bidang teknik dan dapat bermanfaat bagi
masyarakat umum.
METODE PENELITIAN
Penelitian dan analisa dilakukan pada pengelasan menggunakan elektroda Azucar 100,
terhadap kekerasan pada pisau pemotong tebu (cane cutter) dengan metode pengerasan
permukaan (surface hardening) dengan variasi arus 250 A, 275 A dan 300 A dengan tegangan
220 V.
Variabel Penelitian
Variabel-variabel penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Variabel Bebas: Variasi arus pengelasan menggunakan elektroda Azucar 100.
b. Variabel Terkendali: Proses pengelasan menggunakan Elektroda Azucar 100
c. Variabel Terikat: Struktur mikro dan kekerasan cane cutter ASTM A36 / JIS SS 400
Hubungan antar variabel
Variabel bebas Variabel terikat
Variasi arus pengelasan Struktur mikro dan
elektroda Azucar 100 kekerasan cane cutter
Elektroda
Azucar 100
Variabel terkendali
Gambar 1. Hubungan antar variable
Seminar Material Metalurgi 2010
Alat Automatic Gas Cutting Machine.untuk pembuatan cane cutter dan benda uji:
Nama : Automatic gas Cutting Machine.
Buatan : Japan
Model : ‘IK’ 54 – D
Cutting Capacity : 3 – 100 mm
Cutting Speed : 100- 1000 mm/men
Motor : 100 V – 2 A
Elektroda yang digunakan pada proses pengerasan permukaan cane cutter ini adalah Azucar
100. Produk dari Afrox .
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 321
Gambar 4. Eletroda Azucar 100
Tabel 1. Komposisi kimia Aws : Sugar Rod
C Cr Mn Na
3.90 8.0 0.80 0.50
Tabel 4. Diameter Hasil Uji Kekerasan Brinell Pada Benda Uji Awal.
Jenis Perlakuan Diameter Tapak {mm) Diameter Gaya
No
Bahan 1 2 3 Indentor (mm) (Kgf)
1 Base Metal 1.15 1.15 1.10 5 125
Sumber : Data Primer
Tabel 5. Hasil Uji Kekerasan Brinell Awal
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 323
Tabel 9. Hasil Uji Kekerasan Brinell Setelah Pengelasan Dengan Arus 275 A
Nilai Kekerasan Tiap Titik
Jenis Perlakuan Rata-rata Nilai kekerasan
No (kgf /mm2)
Bahan (kgf /mm2)
1 2 3
1. Weld Metal 247.20 247.20 224.07 239.49
2. HAZ 142.82 129.98 142.82 138.54
3. Parent Metal 129.98 129.98 118.79 126.25
Sumber : Data Primer
Tabel 10. Uji Kekerasan Brinell Setelah Pengelasan dengan Arus 300 A
Jenis Perlakuan Diameter Tapak (mm) Diameter Gaya
No
Bahan 1 2 3 Indentor (mm) (Kgf)
1. Weld Metal 0.80 0.82 0.80 5 125
2. HAZ 1.00 1.05 1.00 5 125
3. Parent Metal 1.10 1.10 1.00 5 125
Sumber : Data Primer
Tabel 11. Hasil Uji Kekerasan Brinell Setelah Pengelasan Dengan Arus 300 A
Nilai Kekerasan Tiap Titik
Jenis Perlakuan Rata-rata Nilai
No (kgf /mm2)
Bahan Kekerasan (kgf /mm2)
1 2 3
1. Weld Metal 247.20 234.22 247.20 242.87
2. HAZ 157.62 142.82 157.62 152.68
3. Parent Metal 129.98 129.98 157.62 139.19
Sumber : Data Primer
250
194.98 186.52 194.98
200
Nilai Kekerasan
157.62 129.98
129.98 142.82 Weld Metal
150 118.79
118.79 Heat Affected Zone
100
Parent Metal
50
0
1 2 3
Titik Indentasi
Grafik 1. Nilai Uji Kekerasan Brinell Pada Arus Pengelasan 250 A (Sumber: Data Primer)
300
247.2 247.2
250
224.07
Nilai Kekerasan
50
0
1 2 3
Titik Indentasi
Grafik 2. Nilai Uji Kekerasan Brinell Pada Arus Pengelasan 275 A (Sumber: Data Primer)
Nilai Kekerasan
200 157.62
157.62 142.82 Weld Metal
129.98 129.98 157.62
150 Heat Affected Zone
100 Parent Metal
50
0
1 2 3
Titik Indentasi
Grafik 3. Nilai Uji Kekerasan Brinell Pada Arus Pengelasan 300 A (Sumber: Data Primer)
PEMBAHASAN
Dari grafik 1, 2 dan 3 menjelaskan nilai kekerasan logam induk (Base Metal) tanpa
perlakuan dan sesudah adanya perlakuan pengelasan permukaan (Surface Hardening) dengan
elektroda Azucar 100 dengan memvariasikan arus pengelasan, menunjukan peningkatan
kekerasan Cane Cutter (ASTM A36/JIS SS400). Kekerasan maksimum di capai pada daerah
logam las dengan arus yang lebih besar adalan denag arus pengelasan 300 A. PT. Sweet
indolampung menggunakan baja A36 (ASTM) atau SS400 (JIS) untuk sebagai pisau
pemotong tebu (cane cutter) dimana komposisinya hanya Karbon (C), Mangan (Mn), Silikon
(Si), Sulfur (S), dan Pospor (P). Tidak terdapat campuran untuk kekerasan dan kekuatan. Baja
ini tergolong baja karbon rendah yang sulit untuk dikeraskan (hardening). Untuk mengatasi
hal ini maka ditambahkan unsur - unsur paduan yang dapat memperhalus butir dan
membentuk endapan pada fasa ferit, sehingga didapat sifat mekanik yang tinggi. Kekerasan
pada baja sangat tergantung dari komposisi kimia dan setruktur mikro. Dimana struktur kimia
tergantung pada proses pembuatan baja sedangkan struktur mikro baja tergantung pada proses
perlakuan panas baja dan dilanjutkan lagi pada proses pengelasan, mengunakan elektroda
Azucar 100. Produk dari Afrox ini mempunyai unsur paduan yang lengkap dan sangat baik
untuk memberikan kekerasan yang maksimal, juga akan di bahas lebih lanjut tentang:
1. Struktur mikro yang terbentuk pada daerah logam induk (Base metal), dan logam yang
telah dilakukan proses pengelasan pada masing-masing arus.
2. Perbandingan nilai kekerasan pada masing-masing daerah arus pengelasan.
Struktur mikro yang terbentuk pada daerah logam induk, dan logam yang telah
dilakukan proses pengelasan pada masing-masing arus. Proses pengelasan adalah proses
penyambungan logam dengan mengunakan energi panas. Karna proses ini logam akan
mengalami proses pemanasan dan pendinginan (siklus termal), hal ini akan mempengaruhi
struktur mikro yang dihasilkan. Dari pengamatan terhadap perubahan kekerasan dan struktur
mikro yang terjadi pada baja Cane Cater (ASTM A36/JIS SS 400) setelah dilakukan
pengelasan dengan Elektroda Azucar 100 dan dilakukan pendinginan secara normal hingga
mencapai temperatur kamar, menyebabkan terjadinya perubahan struktur butir dari ferit dan
perlit. Perubahan ini diakibatkan karena logam mengalami proses pemanasan dan
Seminar Material Metalurgi 2010
pendinginan. Pada saat dilakukan pengujian Metalografi akan terlihat daerah masing-masing
arus pengelasan. Pembagian daerah ini meliputi:
1. Daerah logam induk (Base Metal)
2. Daerah logam las (WeldMetal)
3. Daerah logam induk yang terpengaruh panas (Heat Affected Zone)
4. Daerah yang tidak terpengaruh panas (Parent Metal)
Dibawah ini Pembahasan Struktur Mikro pada daerah logam induk, dan daerah logam
induk yang telah dilakukan proses pengelasan dengan menggunakan elektroda Azucar 100
dengan variasi arus 250 A, 275 A, dan 300 A. Perbandingan nilai kekerasan pada masing-
masing daerah arus pengelasan. Distribusi nilai kekerasan sambungan las berkaitan dengan
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 325
struktur mikro yang terbentuk, ini berhubungan dengan panas dan kandungan komposisi
unsur paduan. Sedangkan makin tinggi unsur kandungan pada logam maka nilai kekerasan
akan semakin meningkat. Dibawah ini pembahasan pengujian kekerasan Brinell pada masing
- masing arus pengelasan, yaitu:
239.49 242.87
250
192.16
Nilai Kekerasan
200
Weld Metal
152.68
139.74 138.54 HAZ
150
Parent Metal
126.25 126.25 139.19
100
50
0
250 A 275 A 300 A
Arus Pengelasan
Grafik 4. Nilai Rata-Rata Uji Kekerasan Brinell Pada Setiap Arus Pengelasan (Sumber : Data Primer)
Dari garafik 4 diatas menjelaskan nilai kekerasan sesudah adanya perlakuan
pengelasan permukaan dengan elektroda Azucar 100 dengan memvariasikan arus pengelasan
menunjukan peningkatan kekerasan terhadap Cane Cutter. Dari hasil tersebut kekerasan yang
optimal terutama pada daerah logam las (Weld Metal), kekerasan optimal di capai pada daerah
logam las dengan arus yang lebih besar.
Dari hasil perhitungan pada titik 1 (satu) terhadap spesimen setelah dilakukan
pengelasan menggunakan elektroda Azucar 100 dengan arus pengelasan 250 A pada daerah
logam las (Weld Metal) mempunyai nilai kekerasan Brinell 194.98 kgf /mm2. Perhitungan
kekerasan Brinell pada tiap titik ditabelkan sebagai berikut
Hasil Uji Struktur Mikro Baja Karbon Rendah ASTM A 36. JIS SS400.
Dari hasil pengujian metalografi yang telah dilakukan telah didapatkan secara lengkap
photo struktur mikro. Masing-masing pembagian daerah pengelasan yang meliputi Base
metal, Heat Affected Zone (HAZ) dan Weld metal dapat dilihat seperti Gambar 24 – 33.
Gambar : struktur mikro awal baja
Ferit
Perlit
Ferit
Perlit
Gambar 25. Struktur Mikro Daerah Weld Metal (Pembesaran 800X) (Sumber: Data Primer)
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 327
Ferit
Perlit
Gambar 26. Struktur Mikro Daerah HAZ (Pembesar 800X) (Sumber: Data Primer)
Ferit
Perlit
Gambar 27. Struktur Mikro Daerah Parent Metal (Pembesaran 800X) (Sumber: Data Primer)
Gambar struktur mikro dengan arus pengelasan 275 a
Ferit
Perlit
Gambar 28. Struktur Mikro Weld Metal (Pembesaran 800X) (sumber: Data Primer)
Ferit
Seminar Material Metalurgi 2010
Perlit
Gambar 29. Struktur Mikro Daerah HAZ (Pembesar 800X) (Sumber: Data Primer)
Perlit
Gambar 30. Struktur Mikro Daerah Parent Metal (Pembesaran 800X) (Sumber: Data Primer)
Gambar struktur mikro dengan arus pengelasan 300 a
Ferit
Perlit
Gambar 31. Struktur Mikro Daerah Weld Metal (Pembesaran 800X) (Sumber: Data Primer)
Ferlit
Perlit
Gambar 32. Struktur Mikro Daerah HAZ (Pembesaran 800X) (Sumber: Data Primer)
Ferit
Seminar Material Metalurgi 2010
Perlit
Gambar 33. Struktur Mikro Daerah Parent Metal (Pembesaran 800X) (Sumber: Data Primer)
PEMBAHASAN HASIL PENGUJIAN STRUKTUR MIKRO
Daerah Logam Induk (Base Metal) Gambar 24. Struktur Mikro Logam Induk (Base
Metal). Struktur yang terbentuk pada daerah ini merupakan struktur awal dari Baja Karbon
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 329
Rendah ASTM A36 sebelum dilakukan pengelasan dengan menggukan Elektroda Azucar 100,
dengan pembesaran 400X memperlihatkan bentuk struktur butir besar yang terdiri dari ferit
(berwarna putih) dan dikelilingi oleh lapisan perlit (berwarna hitam) yang tipis karena baja ini
mempunyai kandungan karbon yang rendah (Low Carbon)
Daerah logam Induk yang sudah dilakukan proses pengelasan dengan menggunakan
arus 250 A. Gambar 25. Struktur Mikro Daerah Logam Las (Weld Metal ). Struktur yang
terbentuk pada daerah ini merupakan struktur dari Baja Karbon Rendah ASTM A36 setelah
dilakukan pengelasan dengan menggunakan Elektroda Azucar 100, dengan pembesaran 800X
memperlihatkan bentuk struktur butir yang halus baik ferit ataupun perlit. Ferlit lebih
mendominasi dari pada daerah perlit, struktur ini bersifat lebih kuat dan keras. Gambar 26.
Struktur Mikro Daerah Pengaruh Panas (Heat Affected Zone). Pada daerah ini adalah yang
terpengaruh panas pada saat proses pengelasan berlangsung, dari struktur mikro yang terlihat
adalah ferit yang dikelilingi perlit.
Daerah yang berbutir kasar adalah daerah terjadinya masukan panas yang diterima
oleh logam tersebut, sedangkan daerah yang berbutir halus adalah daerah terjadinya proses
penghalusan butir. Struktur mikro yang terjadi pada daerah HAZ ini dipengaruhi oleh
masukan panas dan komposisi kimia logam induk. Gambar 27. Struktur Mikro Daerah Yang
Tidak Terpengaruh Panas (Parent Metal). Struktur mikro daerah ini menunjukan struktur
butir ferit dan perlit, dari gambar struktur mikro ferit lebih dominant dari pada perit dan
struktur ini bersifat lunak dan kuat.
Daerah logam Induk yang sudah dilakukan proses pengelasan dengan menggunakan
arus 275 A Gambar 28. Struktur Mikro Daerah Logam Las (Weld Metal). Struktur yang
terbentuk pada daerah ini mengalami sedikit perubahan bentuk dikarenakan arus yang
digunakan lebih besar. Struktur yang terbentuk memperlihatkan bentuk struktur butir yang
halus baik ferit ataupun perlit. Karena masukan panas yang makin tinggi akan menyebabkan
pendinginan logam las akan semakin lambat. Hal ini akan menyebabkan sel-sel satuan akan
lebih lama untuk berdifusi. Gambar 29. Struktur Mikro Daerah Pengaruh Panas (Heat
Affected Zone). Pada daerah ini struktur yang terbentuk yaitu ferit dan perlit, daerah ini paling
terpengaruh oleh panas, namun dari gambar struktur mikro yang terlihat ferit lebih
mendominasi sehingga struktur ini bersifat lunak dan kuat. Gambar 30. Struktur Mikro
Daerah Yang Tidak Terpengaruh Panas (Parent Metal). Struktur yang terbentuk pada daerah
ini menunjukan stuktur butir dari ferit dan perlit, ferit lebih dominan dari pada perlit dan
struktur ini bersifat lunak dan kuat.
Daerah logam Induk yang sudah dilakukan proses pengelasan dengan menggunakan
arus 300 A. Gambar 31. Struktur Mikro Daerah Logam Las (Weld Metal). Struktur yang
terbentuk pada daerah ini mengalami sedikit perubahan bentuk dikarenakan arus yang
digunakan lebih besar. Struktur yang terbentuk memperlihatkan bentuk struktur butir yang
halus baik ferit ataupun perlit. Karena masukan panas yang makin tinggi akan menyebabkan
pendinginan logam las akan semakin lambat. Hal ini akan menyebabkan sel-sel satuan akan
lebih lama untuk berdifusi. Gambar 32. Struktur Mikro Daerah Pengaruh Panas (Heat
Affected Zone). Pada daerah ini merupakan daerah yang paling besar terpengaruh oleh panas.
Struktur mikro yang terbentuk menunjukan struktur butir yang besar dari ferit dan perlit,
struktur ini bersifat lunak dan kuat tetapi lebih keras dari pada daerah parent metal..Gambar
Seminar Material Metalurgi 2010
33. Struktur mikro daerah yang tidak terpengaruh panas (Parent Metal). Struktur mikro yang
terbentuk pada daerah ini menunjukan stuktur butir dari ferit dan perlit, struktur ini tidak
banyak berubah dari logaminduk disebabkan karena daerah ini tidak terpengaruh panas akibat
pengelasan.. Berdasarkan Pengamatan struktur mikro maka terlihat bahwa nilai komposisi
kimia elektroda Azucar 100 dengan variasi arus pengelasan memberikan peningkatan
kekerasan terhadap bahan Cane Cutter (ASTM A36/JIS SS400) dan besar kecilnya butir
struktur mikro yang terbentuk berpengaruh terhadap kekeresan bahan. Kecepatan pengelasan
tergantung dari bahan induk, jenis elektroda, geometris sambungan dan ketelitian sambungan.
Perubahan arus akan mengakibatkan perubahan kecepatan pengelasan. Waktu pengelasan
792000 J/cm.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 331
peningkatan kekerasan yang maksimal dicapai pada arus 300 A yaitu sebesar 242,87 kgf
/mm2 pada daerah logam las Weld Metal.
2. Dalam proses pembuatan pisau Cane Cutter metode pengelasan ujung dari permukaan baja
merupakan metode yang tepat
3. Struktur mikro yang terbentuk setelah memvariasikan arus pengelasan mengalami
perubahan yaitu:
a. Pada arus 250 A struktur mikro yang terbentuk pada daerah logam las Weld Metal
memperlihatkan bentuk struktur butir yang halus baik ferit maupun perlit. Perlit lebih
mendominasi daerah ferit, struktur bersifat kuat dan keras. Pada daerah pengaruh
panas Heat Affected Zone memperlihatkan struktur butir didominasi oleh
perlit.struktur ini bersifat liat, lunak, dan elastisnya baik. Pada daerah Parent Metal
menunjukan struktur butir besar sifat struktur ini kuat dan lunak.
b. Pada arus 275 A struktur mikro yang terbentuk pada daerah Weld Metal sedikit
mengalami perubahan dibandingkan struktur mikro pada arus 250 A fasa perlit lebih
besar. Pada daerah Heat Affected Zone hampir tidak mengalami perubahan bentuk
dibandingkan struktur mikro arus 250 A. Pada daerah logam Parent Metal hampir
tidak mengalami perubahan bentuk dari fasa ferit dan perlit.
c. Pada arus 300 A struktur mikro yang terbentuk pada daerah Weld Metal sedikit
mengalami perubahan dibandingkan struktur mikro pada arus 250 A dan arus 275 A
fasa perlit lebih besar. Pada daerah Heat Affected Zone hampir tidak mengalami
perubahan bentuk dibandingkan struktur mikro arus 250 A dan arus 275 A, pada
daerah Parent Metal hampir tidak mengalami perubah bentuk dari fasa ferit dan perlit.
Saran
Dalam penulisan tugas ahir ini penulis menyadari bahwa masih banyak memiliki
kekurangan dan keterbatasan penulis didalam melakukan percobaan., arena itu penulis
menyarankan dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap masalah ini, diantaranya:
1. Penggunaan arus yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada benda kerja diakibatkan
karena panas dan busur listrik yang tinggi.
2. Perlu adanya penelitian yang lebih lajut karena masih banyak kekurangan dalam penelitian
ini. Antara lain terbatasnya jumlah sampel untuk bahan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Amanto, Hari. Daryanto, 2003,” Ilmu Bahan ”, Bumi Angkasa, Jakarta.
Anonim, 1994, ” Pengelompokan Bahan Logam ”, Bumi Angkasa, Jakarta.
Arifin, Syamsul, 1982,” Ilmu Logam ”, PT. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Bahan Untuk Perguruan Tinggi Teknik dan Industri, 1991,’’ Jakarta, Fakultas Teknik
Universitas Pasundan, 2005,’’ Bandung.
Djaprie, S, 1989 ” Ilmu dan Teknologi Bahan ”, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Smallman, R.E, 1994 “ Metalurgi Fisik Moderen “ Edisi Keempat, PT. Gramedia, Jakarta.
Supardi, Edih, 1994, ” Pengujian Logam ”, PT. Angkasa Pura.
Surdia, Tata. Saito, Shinroku, 1999,” Pengetahuan Bahan Teknik ”, T. Pradnya Paramita,
Jakarta.
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstract
The heating simulation for cable NYM to know the properties from a such simulation where heating
simulation in temperature 1000C, 1200C, 1400C and 1600C, respectively for 45 minutes has been conducted.
The treatment for physical property such as conversion of isolation thickness and coating, conversion of
isolation- diameter, coating and conductive cable and depreciation of isolation mass and coating is 6%,
conversion the isolation diameter is 0,15%, and mass depreciation is 23%, while the treatment for
mechanical properties, i.e., test for attractivity and flexibility to isolation and coating is 8,9 N/mm2 and
average attractivity of conductive cable is 234 N/mm2 and flexibility of isolation and coating is about 167%,
conductive cable 24% and structural analyses of cable Cu indicated that te greater temperature the hydrogen
atoms change.
Based on physical property measure, mechanical and structural analyses indicated that cable NYM
simulated is still useable to electrical distribution network for house with voltage less 2 kV and the use will not
spreaded out, rather in pipe or on the wall
Intisari
Telah dilakukan simulasi pemanasan terhadap kabel NYM untuk mengetahui sifat-sifatnya akibat
simulasi tersebut dimana simulasi pemanasan dilakukan pada suhu 1000C, 1200C, 1400C dan 1600C dengan
waktu 45 menit
Pengujian sifat fisis seperti perubahan tebal isolasi dan selubung, perubahan diameter isolasi,
selubung dan kawat penghantar serta pengujian penyusutan massa isolasi dan selubung 6%, perubahan
diameter isolasi dan selubung 10%, dan perubahan diameter kawat penghantar 0,15%, juga penyusutan
massanya 23%, sedangkan pengujian sifat mekanis yaitu pengujian kuat tarik dan pemuluran terhadap
isolator, selubung, dan kawat penghantar menunjukkan bahwa kuat tarik rata-rata isolasi dan selubung adalah
8,9 N/mm2 dan kuat tarik rata-rata kawat penghantar 243 N/mm2 serta pemuluran isolasi dan selubung
167%, kawat penghantar 24% dan analisis struktur kawat Cu menjelaskan bahwa makin besar suhu maka
atom- atom hidrogen berubah.
Dari pengukuran sifat fisis, mekanis dan analisis struktur maka kabel NYM yang disimulasi masih
dapat digunakan pada jaringan distribusi listrik untuk rumah tanga dengan tegangan lebih kecil dari 2 kV dan
pemakaiannya tidak dibentangkan, tetapi didalam pipa atau di dinding.
LATAR BELAKANG
Kabel merupakan salah satu komponen penting dalam jaringan distribusi kelistrikan.
Menurut pengunaannya kabel dibagi dalam beberapa kelompok yaitu, kabel untuk tegangan
rendah (tegangan nominal s/d 1 kV), kabel untuk tegangan menengah ( tegangan nominal s/d
30 kV), kabel untuk tegangan tinggi ( tegangan 30 kV s/d 150 kV) dan kabel untuk tegangan
ekstra tinggi ( tegangan dari 150 kV s/d 500 kV).
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 333
3. Lapisan pembungkus inti
Lapisan pembungkus inti adalah lapisan yang berfungsi sebagai lapisan dan membentuk
kabel berinti banyak agar berbentuk bulat pada lapisan pembungkus nti ini tidak dilakukan
pengujian mekanis.
4. Selubung luar
Selubung luar adalah bahan yang berfungsi untuk mencegah bahaya korosi dan berfungsi
juga sebagai pelindung mekanis pada waktu penarikan kabel dengan kemampuan kuat tarik
lebih besar dari 12,5 N/mm2.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui sifat fisis seperti tebal, diameter, massa,
struktur; sifat mekanis seperti kuat tarik saat putus dan pemuluran panjang dari masing-
masing bagian kabel; sifat elektrik seperti tegangan kabel utuh dan resistivitas kawat
penghantar; serta sifat termis seperti daya tahan retak kabel dan karakteristik hambatan api
dari material kabel yang baru maupun material kabel yang tepanggang pada suhu dan waktu
tertentu pada suatu bangunan dengan merek tertentu. Pada penelitian ini juga mengamati
komposisi tembaga serta struktur bagian kabel pada material kabel baru maupun material
kabel yang terpanggang, sehingga dapat disimpulkan kabel dengan merek tersebut masih
dapat digunakan atau harus didaur ulang.
MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan perbandingan atau referensi
terhadap kelayakan suatu merek kabel tertentu yang dipakai pada suatu gedung bertingkat
Seminar Material Metalurgi 2010
TEMPAT PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di beberapa laboratorium di PT(Persero) PLN-JTK.
Laboratorium yang digunakan adalah Laboratorium Material Mekanikal, Laboratorium
Peralatan Listrik, Laboratorium Kimia dan Lingkungan. Selain itu penelitian dilakukan di
Laboratorium Pemadaman Kebakaran DKI.
Kabel NYM
Kabel NYM merupakan salah satu dari sekian banyak kabel yang ada di Indonesia dan
biasanya kabel NYM dipasang didalam bangunan baik dirumah tinggal maupun di gedung
bertingkat, karena kabel NYM mempunyai sifat yang tahan panas, namun tidak tahan
terhadap radiasi sinar matahari. Kabel NYM pada umumnya tidak berserat dan seperti kabel-
kabel yang lain mempunyai standar penulisan yang baik
1. Huruf N mempunyai arti kabel jenis standar dengan tembaga sebagai penghantar
2. Huruf Y mempunyai arti kabel tersebut mempunyai selubung dari bahan PVC
3. Huruf M mempunyai arti kabel tersebut mempunyai isolasi dari bahan PVC
4. Huruf re mempunyai arti bentuk pengantar padat bulat
5. Huruf rm mempunyai arti bentuk penghantar bulat berkawat banyak
6. Huruf -I mempunyai arti kabel dengan sistem pengenal berwarna inti hijau kuning
7. Huruf -O mempunyai arti kabel dengan sistem pengenal berwarna inti tanpa hijau
kuning
Penghantar tembaga
Kabel di Indonesia mempunyai 2 jenis penghantar yaitu Alumunium (Al) dan tembaga
(Cu). Perbedaan 2 bahan penghantar terlihat pada Tabel 2.
Menurut SPLN 41-1 : 1991 bahwa kawat tembaga yang digunakan untuk penghantar
harus permukaan halus, licin, mengkilap, tidak retak dan tidak teroksidasi, sehingga daya
hantar arus dan tegangan dapat mengalir dengan baik.
Penghantar tembaga murni mempunyai struktur yang sangat halus seperti pada
Gambar 3 a, namun bila kabel tersebut dicampur oleh Au maka akan berstruktur seperti pada
gambar 3.b, 3 c, 3d.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 335
Gambar 3. Gambar mikrostruktur campuran Cu-Cu2O. (a) Mikrostruktur Cu murni; (b) mikrostruktur Cu murni
dan eutektik; (c) mikrostruktur Cu yang eutetik; (d) Mikrostruktur Cu murni pada 33% Cu2O
Sehingga dengan adanya luas penampang tersebut dapat diketahui kuat arus
maksimum yang dapat digunakan atau dengan mengetahui kapasitas arus yang ingin dipakai
maka dapat ditentukan besar penampang kabel dalam saluran penghantar daya listrik, Besar
kapasitas arus dapat dihitung dengan mengetahui besar tegangan dan daya yang disalurkan
atau beban terpasang akan disuplai.
Seminar Material Metalurgi 2010
Besaran yang diperlukan untuk menentukan luas penampang & jumlah penampang
kabel, yaitu :
1. Dihitung besar jumlah beban listrik yang akan disuplai
2. Panjang saluran dari pusat panel ke panel cabang dalam meter
3. Besar tegangan serta sistem fase tegangan dari beban (tegangan antara 220V hingga 380V)
4. Susut tegangan yang diizinkan ( V = %)
Setelah besaran diketahui maka dapat dihitung daya dan kapasitas bahan dengan rumus :
BAHAN-BAHAN
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 337
PERALATAN
Peralatan-peralatan yang digunakan adalah:
1. Alat pembentuk halter
Berfungsi membentuk halter pada selubung yang digunakan pada pengujian kuat tarik
20
12,5
75 mm
Gambar 5. Gambar halter pada selubung kabel
2. Pemanas/ oven
Berfungsi untuk mensimulasi benda uji
3. Timbangan digital
Berfungsi untuk menimbang benda uji
4. Universal Testing Machine
Berfungsi untuk menguji kuat tarik
5. Mandrel
Berfungsi untuk tempat melilitkan benda uji pada uji daya tahan retak
6. Voltage test
Berfungsi untuk melihat daya tahan tegangan 2 kV
7. Spektrometer Serapan Atom ( AAS)
Berfungsi untuk melihat komposisi tembaga
8. Double Bridge
Berfungsi untuk menguji resistivitas kawat
9. Proyektor Pengukur
Berfungsi untuk mengukur tebal dan diameter selubung dan isolasi
10. Stereoscope Microscope MZ-2T
Berfungsi untuk melihat struktur tembaga
11. Mesin amplas
Berfungsi untuk memeperhalus permukaan kawat
12. Burner Bunker
Berfungsi untuk melihat karakteristik hambatan api
Contoh uji (kabel)
Pem bakar
gas
450
Seminar Material Metalurgi 2010
PROSEDUR KERJA
Pengujian Dimensi
A. Pengujian dimensi kabel
Pengujian Mekanis
Pengujian kuat tarik pada selubung, isolasi dan kawat penghantar
1. Seluruh selubung, isolasi, dan penghantar yang telah disimulasi maupun yang belum
disimulasi diberi tanda agar dalam pengujian kuat tarik tidak tertukar.
2. Seluruh selubung, isolasi, dan penghantar tersebut dilakukan uji kuat tarik dan data
dicatat dalam blanko uji yang telah disiapkan.
Pengujian Thermis
A. Pengujian cracking/ daya tahan retak kabel utuh dan isolasi kabel NYM
1. Mengukur diameter kabel utuh dan masing-masing isolasi baik biru maupun hitam
2. Menyiapkan mandrel sesuai diameter kabel utuh dan isolasi (point 1 diatas)
3. Kabel utuh dan isolasi tersebut dibelitkan pada mandrel secara ketat, sesuai suhu dan
waktu yang diuji, dengan jumlah lilitan pada Tabel 2.
4. Suhu alat pemanas diatur hingga konstan, dimasukkan keping uji yang sudah dililitkan
ke dalam lemari pemanas
5. Keluarkan kabel utuh dan isolasi dalam keadaan terpasang dalam mandrelnya
6. Setelah 1 x 24 jam periksa kondisi permukaan keping uji dengan cara visual ( tanpa
alat bantu)
Tabel 2. Tabel diameter mandrel yang digunakan dan jumlah lilitan pada andrel setelah diketahui diameter luar
keping uji
Diameter luar Diameter mandrel Jumlah
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 339
B. Pengujian karakteristik hambatan api dari kabel NYM
1. Mengukur massa atau diameter luar kabel utuh yang akan diuji
2. Menentukan waktu pembakaran dengan memilih standar dari PLN atau IEC, dengan
rumus :
a. Menurut standar SPLN 39-1 : 1981
T 60 w / k
Dengan :
T = waktu pembakaran ( sekon)
w = massa kabel ( kg)
k = koefisien bahan ( 25x 10-3 kg/s)
sehingga semakin berat kabel, maka waktu pembakaran makin lama
b. Menurut IEC (International Electrotechnical Commision)502 menggunakan tabel 3.
3. Menghidupkan stopwatch bersamaan dengan dimulainya pengoperasian alat uji bakar,
yaitu pada sumbu burner bunker terlihat api berwarna biru
4. Mengukur panjang kabel yang tidak terbakar dari klem atas tepi bawah ke bagian yang
terbakar atau diamati apakah api segera padam setelah sumber api dipadamkan.
Tabel 3. Tabel waktu pembakaran yang diperlukan menurut IEC 502 dengan mengukur diameter kabel
sebelum disimulasi
Diameter luar kabel Lamanya pembakaran
( x 10-3 m) ( detik)
D x 25 60
25< D < 50 120
50 < D < 75 240
D > 75 480
Pengujian Elektris
A. Pengujian tegangan pada kabel utuh
1. Selubung dan lapisan pembungkus inti kabel pada kedua ujungnya dikupas sepanjang
100 mm dan regangankan inti- intinya
2. Isolasi kabel dikupas sepanjang 20 mm pada salah satu ujung kabel
3. Tentukan salah satu inti kabel yang akan diuji tegangan, kemudian inti-inti kabel yang
lain dan penghantar digabungkan serta duihubungkan ke elektrode bumi
4. Penjepit sumber tegangan dipasang dari alat uji tegangan AC pada inti kabel yang telah
ditentukan
5. Operasikan alat uji tegangan dan sesuaikan dengan tegangan uji dari kabel utuh yang
sedang diuji
6. Ulangi point 3,4,5 terhadap inti yang sama.
Contoh :
Dari lampiran I tentang pengujian dimensi bagian A yaitu pengujian dimensi pada suhu 200C
diketahui diameter kawat penghantar inti biru (dalam satuan mm), sehingga dapat dihitung
luas penampang, dengan terlebih dahulu menghitung diameter rata-rata, yaitu :
Sehingga luas penampangnya (A) adalah :
A = ¼ ( 1,578 x 10-3)2 = 1,955 x 10-6 m2
Dari lampiran 1 tersebut dapatlah dihitung tebal rata-rata isolasi, selubung dan diameter rata-
rata isolasi, selubung, dan kawat penghantar, seperti pada Gambar 7 dan 8.
(1,577 1,576 1,577 1,589 1,575 1,578 1,577 1,580) x10 3
d 1,578 x 10 - 3 m
9
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 341
1.6
1.4 1.382
1.306 1.271 1.271
1.2
1.135
1
Isolasi biru
0.8 0.7 Isolasi hitam
0. 0.7 35
0.668 699 0.6
58
11 0.6 Selubung
0.6 31
0.4
0.2
0
20 0C 100 0C 120 0C 140 0C 160 0C
x 10-3 m
20
7
2
2
57
3
58
18
58
0
58
58
1.
1.
1.
1.
1.
8
2 .8
9
2 .9
2 .8
2 .8
9
Isolasi biru
2 .2
2
2.
2.
2.
2.
2.
84
87
58
83
79
0
20 0C 100 0C 120 0C 140 0C 160 0C
x 10-3 m
Gambar 8. Grafik diameter isolasi, selubung dan kawat penghantar yang telah disimulasi
Pengujian dimensi ini dapat berfungsi juga sebagai bahan pembanding bila kabel
tersebut mengalami perlakuan panas dari beberapa suhu dan waktu, dan menurut standar IEC
502 diterangkan bila perlakuan panas masih dalam gambar 1. dan gambar 2., maka tebal dan
Seminar Material Metalurgi 2010
diameter bagian-bagian kabel tidak berubah drastis atau perubahannya sangat kecil.
Selain itu pengujian dimensi berfungsi untuk mengetahui perubahan massa yaitu
penyusutan massa akibat perlakuan panas yang diberikan tentang pengujian penyusutan massa
dimana setelah massa isolasi dan selubung ditimbang baik sebelum dan sesudah pemanasan
dapat terlihat adanya selisih massa (∆b), sehingga terlihat rata-rata penyusutan. Rata-rata
selisih massa (∆b) dibagi dengan luas penampang (A), maka dapat terlihat penyusutan massa
yang terjadi. Pengujian penyusutan massa dihitung dari massa isolasi dan selubung kabel
NYM rata-rata yang akan disimulasi dikurangi dengan massa isolasi dan selubung kabel
NYM rata-rata setelah disimulasi dibagi dengan luas penampang rata-rata sampel.
2
.9
19
12
14
1400.00
93
.4
1356.80
3
.3
1200.00
20
12
11
0
41 1094.90
.2
93 .1
0
10
1000.00
10
32
35
.0
7.
2
89
800.00
83
4.
73
600.00
74
7.
69
33
7.
03
400.00
200.00
0.00
100 0C 120 0C 140 0C 160 0C
x 10-3 g
Massa isolasi & selubung akan disimulasi
Dari gambar 10 dapat dihitung selisih massa masing-masing bahan, yaitu massa sebelum
disimulasi dengan massa yang telah disimulasikan seperti pada gambar 11.
1600.00
2
.9
19
12
14
1400.00
93
.4
1356.80
0
3
.3
1200.00
20
12
11
0
41 1094.90
.2
93
.1
0
10
1000.00
10
32
35
.0
7.
2
89
800.00
83
4.
600.00
73
74
7.
69
33
7.
03
400.00
200.00
0.00
100 0C 120 0C 140 0C 160 0C
Seminar Material Metalurgi 2010
x 10-3 g
Massa isolasi & selubung akan disimulasi
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 343
200.00
180.60
180.00
160.00
14
6.
10
140.00
126.35
121.40
10
120.00
8.
12
80
Isolasi biru
4.
11
60
3.
113.13
100.00 Isolasi hitam
10
102.20
Selubung
92.10
80.00
60.00
24.43
40.00
41.25
20.00
0.00
100 0C 120 0C 140 0C 160 0C
x 10-3 g
Selisih massa
Gambar 11. Grafik selisih massa (∆b) isolasi dan selubung kabel
Dengan melihat gambar 11, maka bisa dihitung penyusutan massa (b) membagi selisis massa
masing-masing sampel dengan luas penampang rata-rata (A) seperti pada gambar 12.
30.00
14.47
25.00
11.73
5.43
20.00
Selubung
3.19
5.00
4.56
4.36
3.58
0.00
x 10 g/m2 x 10 g/m2 x 10 g/m2 x 10 g/m2
Gambar 12. Grafik penyusutan massa (b) isolasi dan selubung kabel
Pengujian Mekanis
Pengujian mekanis disini adalah pengujian kuat tarik dan pemuluran dari isolasi,
selubung, dan kawat penghantar dari masing-masing suhu. Pengujian kuat tarik dihasilkan
dari rata-rata gaya saat putus ( F) dibagi dengan rata-rata luas penampang (A) atau :
Gaya saat putus rata rata F
.......................................... 2
luas penampang rata rata A
Seminar Material Metalurgi 2010
Contoh : Pada pengujian kuat tarik dan pemuluran yaitu pengujian kuat tarik isolasi biru pada
suhu 200C dapat dihitung kuat tarik saat putus adalah:
33.3 x 10 6
6.634 N / m 2
5.02 x 10 6
Sehingga dari data-data diatas dapat diketahui kuat tarik dari isolasi, selubung dan kawat
penghantar dengan menggunakan rumus 2, yaitu rumus kuat tarik.
Contoh
Rata-rata panjang putus isolasi biru pada 200C adalah :
59.4 59.5 42.3 51.2 56.4 50.8 x 10 3 53.27 x 10 1 m
6
Dan % pemuluran() untuk isolasi biru tersebut adalah :
53.27 20x10 3 x100% 166.33%
20 x 10 3
Dapat dibandingkan kuat tarik bahan dalam bentuk kurva kuat tarik () vs suhu ( T) seperti
pada Gambar 13
2 5 5 .5 9 0
2 5 4 .3 9
260
N /m 2)
255
8
250
8 .4
6
2 3 8 .9 5
2 .3
24
-6
25
1
9 .9
9
23
6 .8
5
7 .3
235
2 3 5 .9 1
2 3 6 .8 7
23
230
225
1 2 3 4 5
0
suhu ( C)
. Gambar 13. Grafik kuat tarik- vs- suhu pada kawat penghantar
Dari hasil pemuluran panjang kawat penghantar dapat dibuat kurva pemuluran ( ) vs suhu
(T) dapat dilihat perbedaan hasil masing-masing bahan seperti pada gambar 14.
30
27.47 28.47
25
22.73 23.47 22.4
Pemuluran (%)
22.33
20 20.4
18.67 17.87
16.2 Kawat inti biru
15
Kawat inti hitam
10
0
1 2 3 4 5
Seminar Material Metalurgi 2010
suhu ( 0C)
Gambar 14. Kurva pemuluran vs suhu pada kawat penghantar Cu
Dari hasil kuat tarik isolasi dan selubung saat putus maka dapat terlihat perbedaan kuat tarik
saat putus masing-masing bahan seperti pada gambar 15.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 345
14 12.67
11.11
Kuat tarik(x10 -6 N/m 2)
12
10.28
10.58
10.15
8.76
9.54
10
9.85
Isolasi biru
7.65
8.48
8 6.64 7.4
Isolasi hitam
6.34
7.04
7.07
6
Selubung
4
2
0
20 0C 100 0C 120 0C 140 0C 160 0C
0
Suhu ( C)
Gambar 15. Kurva kuat tarik- vs- suhu dari isolasi dan selubung
Pada pemuluran panjang akibat kuat tarik dapat dibuat suatu kurva pemuluran () vs suhu
seperti pada gambar 16.
200
18
16
17
15
16
5.
4.
3.
2.
4.
8817 146.50
67
67
08
92 16 136.08
6.
150
17
16
Pemuluran (%)
29
6.
6.
2.
15
33
00
00
Isolasi biru
130.17
8.
15
118.08
100 Isolasi hitam
Selubung
84.65
50
0
20 100 120 140 160
0
suhu ( C)
Gambar 16. Kurva pemuluran- vs- suhu dari isolasi dan selubung
Pengujian Thermis
1. Pengujian daya tahan retak isolasi dan kabel nym
Pengujian daya tahan retak berfungsi untuk mengetahui kemampuan kabel tersebut
menahan beban dan daya tahan retak isolasi maupun selubung PVC pada suhu tinggi. Hasil
pengujian daya tahan retak dilakukan setelah kabel dililitkan pada mandrel dapat dilihat
dengan mata telanjang. Kabel tersebut tahan retak bila dikenai komponen-komponen listrik,
seperti pada tabel IV.10 baik pada isolasi maupun selubung.
Dari tabel IV.10, dapat dilhat isolasi dn selubung terlihat retak mulai suhu 1400C
hingga suhu 1600C. Hal ini membuktikan bahwa isolasi dan selubung tidak tahan terhadap
suhu 1400C, 1500C, dan 1600C.
2. Pengujian gejala suhu tinggi dan karakteristik hambatan api
Pengujian gejala suhu tinggi dan karakteistik hambatan api berfungsi untuk melihat
kualitas bahan PVC tersebut sehingga jika terjadi kebakaran, api pada kabel tersebut langsung
padam atau tidak. Makin cepat api tersebut padam, maka panjang kabel terbakar dari sumber
api akan semakin pendek dimana salah satu syarat kabel tersebut masih layak dipakai kembali
atau tidak.
Menurut IEC 332-1 : 1993 waktu padamnya api tidak boleh melebihi waktu 45 detik
sehingga kabe tersebut dpat dikatakan masih bagus jika pada suhu dan waktu yang telah
ditetapkan..
Seminar Material Metalurgi 2010
Pengujian Elektrik
1. Pengujian tegangan kabel utuh
Pengujian tegangan kabel utuh mempunyai fungsi untuk melihat kemampuan kabel
tersebut tahan terhadap tegangan 2 kV AC selama 5 menit sesuai SPLN 39-1: 1981. Kabel
utuh ( 5 menit) yang telah disimulasikan tersebut direndam didalam bak air selama 1 jam,
namun kedua ujung kabel dijepit dengan penjepit yang dihubungkan ke voltmeter.
Perendaman didalam air tersebut berfungsi untuk melihat daya tahan kabel NYM bila diberi
tegangan 2 kV AC selama 5 menit.
Faktor koreksi berfungsi untuk mengkoreksi suhu kamar yang sesuai dengan standar,
yaitu 200C, namun jika suhu tidak 200C maka diperlukan faktor koreksi.
Selanjutnya pengujian resistivitas kawat dapat dibuat tabel pada resistivitas kawat
penghantar tidak berubah sama sekali, hal ini disebabkan pemanggangan kabel tersebut
terhadap kawat penghantar tidak mempengaruhi struktur pada kawat penghantar dan juga
suhu pemanggangan pada kawat penghantar jauh dari titik didih kawat Cu dimana titik didih
Cu adalah 1.0830C.
Pengujian Metalurgi
Kawat penghatar
Dari data- data penelitian baik pada lampiran maupun pada analisis data tentang kawat
penghantar, dapat terlihat bahwa kawat penghantar mengalami perubahan struktur. Terlihat
bahwa perbedaan diameter kawat penghantar tembaga (Cu) mengalami perubahan 0.15%,
baik pada kawat penghantar Cu yang berinti biru maupun berinti hitam.
Pada pengujian mekanis, kawat penghantar seperti luas penampang kawat penghantar
Cu, baik kuat tarik saat putus kawat penghantar Cu maupun pemuluran panjang akibat kuat
tarik, yaitu 243% dan pemuluran 24%. Adanya selisih perbedaan struktur pada pengujian-
Seminar Material Metalurgi 2010
pengujian kawat penghantar karena semakin besar suhu simulasi pada pengujian dimensi dan
pengujian mekanis. Karena semkin besar suhu simulasi, maka struktur Cu, yaitu struktur
FCC-nya mengalami perenggangan atom-atom Cu.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 347
Gambar 17. Gambar struktur kawat penghantar Cu pada 200C
Gambar 1. terlihat struktur Cu pada suhu 200C yang dilihat menggunakan Stereoscope
Microscope MZ-2T dengan perbesaran 100x, dimana pada gambar tersebut hidrogen masih
sedikit, namun setelah disimulasi pada 1000C,1200C, dan 1600C terlihat adanya rongga-
rongga akibat banyaknya oksigen yang keluar pada struktur Cu.
Gambar 18. Gambar struktur kawat penghantar Cu setelah disimulasi pada suhu 1000C
Semakin besar suhu disimulasi, maka rongga- rongga pada struktur Cu makin besar
pula, namun karena ikatan FCC tersebut telah mengalami pendinginan 1 x 24 jam sehingga
kemampuan kuat tarik semakin besar dan pemulurannya semakin besar.
Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 19. Gambar struktur kawat penghantar Cu setelah disimulasi pada suhu 1200C.
KESIMPULAN
1. Dari hasil penelitian kuat tarik rata-rata isolasi dan selubung adalah 8,9 x 106 N/m2,
sedangkan menurut standar yang berlaku kuat tarik isolasi maupun selubung haruslah
lebih besar dari 12 x 106 N/m2, sehingga kabel pengujian tidak layak dipakai dilihat dari
pengujian mekanis, namun karena kabel tersebut masih tahan terhadap keretakkan,
tegangan 2 kV, karakteristik hambatan apinya masih bagus, maka kabel tersebut masih
bisa digunakan tetapi kualitas kabel tersebut tidak sama kabel NYM sejenis yang baru.
Karena kabel NYM mempunyai sifat kuat tariknya lebih kecil dari 12,5 x 106 N/m2 dan
luas penampangnya tidak mencapai 2,5 x 10-6 m2 serta perubahan massanya tidak lebih
besar dari 50%, sehingga sebaiknya kabel tersebut tidak dibentangkan, tetapi diletakkan
didalam pipa atau di dinding.
2. Dari gambar IV.1. hingga IV.4., terlihat bahwa struktur kawat penghantar tidak terlalu jauh
berbeda, hal ini dikarenakan kawat tersebut terpanggang jauh dibawah titik lebur,
Seminar Material Metalurgi 2010
sehingga kekuatan tarik dan pemuluran kawat penghantar relative sama yang
mengakibatkan resistivitas kawat tersebut relatif tetap yaitu 1,759 m
SARAN
1. Sebaiknya pengujian dilakukan di ruang terbuka sehingga kabel yang terpanggang dapat
diuji bila terkontaminasi.
2. Sebaiknya pengujian metalurgi logam juga menggunakan XRD.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 349
DAFTAR PUSTAKA
1. ASTM B2-70 : Standard specification for Medium- Hard- Draw Copper wire
2. ASTM B2-74 : Standard specification for Soft or Annealed Copper wire
3. ASTM B4-79 : Standard specification for Tough- Pitch Copper Reninery shapes
4. Beaty Wayne H, Fink G. Donald, Standard Handbook for Electrical Engineers, edisi 5, bab 4,
1993
5. Bhan Suraj, DR, Practical Physical Metalurgy, Kanna Pubisher, Delhi, 1973
6. Biro Bina penyusunan Program DKI Jakarta, PT. Darma Permai Kurnia, Final Report Study;
Evaluasi Kebakaran bangunan akibat listrik di DKI Jakarta, 1995-1996
7. Boyer H.E., Metal handbook, vol 11: non destructive and Quality control, edisi 8, Ohio, America
Society Metal, 1976
8. Brandup J., E.H. Immergut, Polimer Handbook, edisi 3, Penerbit John Willey & Sons, 1989
9. Budiman Masgunarto. Ir.Msc, Penjelasan tentang standar Kabel Listrik tegangan rendah kabel
fleksibel, Jakarta 1992
10. D. Mc. Allister, Electric Cables Handbook, edisi 2, Penerbit Granada, 1983
11. Doan G.E., The principles of Physical Metalurgy, edisi 3, international stident edition, Mc.Graw-
Hill Book Company.inc, 1953
12. Fire department, Fire investigation by fire service organization in Japan, Nagoya City, 1990
13. Fire department, Procedure for investigating Fire related to electricity, Nagoya City, 1990
14. Fire department, Aspect of Polymeris Materials, volume 1; Materials state of the art, 1977
15. Fire department, Aspect of Polymeris Materials, volume 7; Materials state of the art, Building,
1979
16. Harper A. Charles; handbook of wiring- cabling- and interconnecting for electric, Mc. Graw- Hill
Book Company, 1972
17. IEC 189-2 : Low frequency cables and wires with PVC insulation & PVC sheath
18. IEC 502 : Extruded solid dielectric insulated Power Cables for Rated Voltage from 1 kV up to
30 kV, edisi 3, 1982
19. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum No.10/KPTS/2000, tanggal 1 Maret 2000 tentang
Ketentuan Teknis Pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan
lingkungan, 2000
20. PT. Sibalec, LAPP, Cable- cables and accessories, 1993
21. R.W.K. Honeycombe, The Plastic Deformation of Metals, University of Cambrige,1973
22. SNI 04-3893-1995 : Metode Pengujian Kabel Listrik
23. SPLN 10-1 : 1978 : Ketentuan tentang jenis dan ukuran isolastor yang dipilih
24. SPLN 39-1: 1981 : pengujian kabel listrik
25. SPLN 41-1 : 1991 : Persyaratan Penghantar Cu dan AL untuk kabel listrik yang berisolasi
26. SPLN 42-2 : 1992 : Kabel berisolasi dan berselubung PVC tegangan pengenal 300/500 volt (
NYM)
27. Suprapto, Ir. Msc; Sistim Proteksi Kebakaran pada bangunan gedung, Lembaga Pengabdian pada
Masyarakat, ITB bekerjasama dengan PT. Jaya Teknik Indonesia, Jakarta, 1992
28. Supreme Cable Manufacturing Corp, PT. Sucaco, Power cable voltage, 1993
Seminar Material Metalurgi 2010
Pius Sebleku
Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang 15314
Abstrak
Telah dilakukan penelitian mengenai peningkatan kekuatan dan kekerasan permukaan logam dengan
metoda elektroplating. Penelitian ini dilakukan untuk melihat sejauh mana peningkatan sifat material logam
dasar setelah dilapisi dengan logam lain menggunakan metoda elektroplating. Adapun sebagai bahan pelapis
digunakan nikel, krom dan nikel + khrom.
Kondisi pelapisan yang dianggap baik adalah elektroplating dengan arus listrik sebesar 3 A, waktu 20
menit serta konsentrasi larutan 150 g/L untuk pelapisan nikel. Sedangkan kondisi untuk pelapisan krom adalah
elektroplating dengan arus listrik 15 A, waktu 20 menit serta konsentrasi larutan 250 g/L.
Pelapisan logam dasar dapat meningkatkan kekerasan permukaan logam. Peningkatan kekerasan
logam dasar mencapai 8,64% untuk pelapis nikel, 10,05% untuk pelapis krom, dan 12,18 % untuk logam pelapis
nikel+krom.
Pelapisan logam dasar juga dapat meningkatkan kekuatan tarik (tensile strength) logam dasar secara
keseluruhan. Tensile strength logam dasar sebesar 650,5 N/mm2 meningkat menjadi 668,8; 678,9; 682,6 N/mm2
berturut-turut setelah dilapisi nikel, krom, dan nikel + krom.
Kata kunci : Baja Karbon ASTM A-36, Austenisasi, Quenching, Sifat mekanik, struktur mikro.
PENDAHULUAN
Elektroplating (lapis listrik) adalah salah satu proses pelapisan logam menggunakan
logam lain seperti tembaga (Cu), emas (Au), nikel (Ni), krom (Cr) dan zink (Zn). Tujuan dari
proses elektroplating adalah untuk melapisi permukaan logam lain sebagai produk jadi seperti
bahan konstruksi, mur, baut, velk otomotip, sparepart, asesoris, dll, untuk menambah
kekuatan dan kekerasan terutama bagian luar (permukaan logam). Di samping itu ada nilai
tambah sebagai keindahan (perbaikan penampilan) menghaluskan dan mengkilapkan
permukaan logam serta dapat juga melindungi dari korosi, sehingga teknologi elektroplating
ini dapat dikatakan memiliki keunggulan multi fungsi.
Tiap jenis logam juga mempunyai kondisi proses tersendiri untuk dapat dilapiskan
dengan logam lain,karena dengan berbeda jenis logam juga akan memiliki sifat dan
karakteristik yang berbeda. Pada proses elektroplating sumber listrik yang digunakan adalah
arus searah, sehingga perbedaan kondisinya secara prinsip terletak pada bahan kimia elektrolit
yang digunakan, kondisi operasi pada proses electroplating dan tahapan atau langkah proses
termasuk penyiapan (preparasi) dari bahan atau benda yang akan dilapisi.
Pada penelitian ini akan dilakukan proses elektroplating menggunakan bahan plat baja
karbon rendah ASTM A-36 pelapis nikel dan chrom terhadap bahan berbasis besi.
METODOLOGI
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 351
Sumber arus searah dapat dipilih dari alat-alat berikut ini :
- Akumulator
- Penyearah arus (rectifier)
- Generator DC
Rak
Pemanas/pendingin
Pengadukan, beberapa larutan elektrolit memerlukan pengadukan untuk :
- Homogenisasi komposisi
- Homogenisasi suhu
- Membebaskan benda kerja dari penempelan gas
- Mengurangi polarisasi
Beberapa alat pengaduk (agitator) yang dikenal dalam proses elektroplating antara lain :
- Pengadukan dengan impeller
- Pengadukan dengan udara
- Gerakan benda kerja.
Penyaring larutan
Pengeringan, yang biasa digunakan dalam proses elektroplating adalah :
- Pengeringan dengan matahari/atmosfer.
- Pengering sentrifugal (centrifugal dryer), dipakai untuk mengeringkan benda- benda
kerja kecil.
- Oven (lemari pengering), digunakan untuk mengeringkan benda kerja agak besar.
Alat Poles
Sistim pembuangan udara (exhaust system).
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 353
Gambar 3. Uji kekuatan tarik pada logam dasar, setelah pelapisan nikel, pelapisan krom dan pelapisan nikel +
krom.
Pengujian Kekerasan
Pengujian kekerasan adalah untuk mengetahui kekerasan dari suatu material,
pengujian kekerasan dari material awal, setelah lapis nikel, lapis khrom maupun lapis nikel +
khrom digunakan metoda Vickers.
Kekerasan suatu material logam merupakan salah satu ukuran untuk menyatakan
ketahanannya terhadap deformasi plastis ataupun deformasi permanen. Kekerasan material
dapat juga diartikan ketahannya terhadap lekukan ataupun terhadap perlakuan panas. George
E.Dieter, 1978, mengelompokan tiga jenis ukuran kekerasan tergantung pada cara
pengujiannya, pengujian tersebut meliputi :
1. Scratch hardness atau kekerasan goresan,
2. Indentation hardness atau kekerasan lekukan,
3. Rebound hardness or dynamic hardness, atau kekerasan pantulan atau dinamik.
Pengujian kekerasan dari material awal, setelah lapis nikel, lapis khrom maupun lapis
nikel + khrom digunakan metoda vikers, pengujian dilakukan lima kali penjejakan dimana
masing-masing benda uji digunakan beban 500 grf dengan waktu pembebanan 15 detik. Hasil
dari pengujian hardness cvickers ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil pengujian kekerasan sebelum dan sesudah dilakukan proses electroplating menggunakan
nikel dan khrom.
INDENTASI MIKRO HARDNESS, HV
Bahan yg akan Setelah lapis Setelah lapis Setelah lapis Nikel
No dilapisi nikel khrom + lapis Khrom
1 194,4 214,5 215,0 226,6
2 199,0 211,5 214,0 223,6
3 201,6 217,0 218,0 222,4
4 200,0 219,0 224,4 220,0
5 200,0 219,0 223,6 223,6
Rata-rata 199,0 216,2 219,0 223,24
Seminar Material Metalurgi 2010
Pengujian Waktu Dan Konsentrasi Larutan Terhadap Laju Pengendapan
Pengujian laju pengendapan terhadap waktu dan konsentrasi larutan dilakukan untuk
melihat sejauh mana banyaknya logam pelapis yang menempel pada logam yang akan
dilapisi, sehingga dengan demikian dapat diambil pelapisan yang baik untuk aplikasi
pelapisan selanjutnya. Adapun hasil dari percobaan laju pengendapan terhadap waktu dan
konsentrasi larutan dapat di lihat pada Tabel 4. Sedangkan pada Gambar 14 adalah logam
dasar, logan setelah lapis nikel, logam setelah lapis khrom dan logam setelah lapis nikel +
lapis khrom.
Gambar 4. Hasil pelapisan nikel, pelapisan khrom dan pelapisan nikel + khrom yang dianggap baik.
Tabel 4. Pengaruh waktu dan konsentrasi larutan Nikel terhadap laju pengendapan.
Konsentrasi Waktu Pelapisan Berat Lapisan Tampak Lapisan
No
Nikel (gr/lt) (menit) (mg/cm2) (Visual)
5 2,78 Baik
10 6,55 Baik
1 60
15 8,23 Baik
20 11,10 Baik
5 4,20 Baik
10 7,42 Baik
2 80
15 10,11 Baik
20 13,05 Baik
5 4,95 Baik
10 10,12 Baik
3 100
15 14,40 Baik
20 19,60 Baik
5 6,45 Baik
10 13,21 Baik
4 150
15 19,02 Baik
20 25,02 baik
Catatan : Rapat arus tetap 3 Amper
Tabel 5. Pengaruh waktu dan konsentrasi larutan Ckrom terhadap laju pengendapan.
Konsentrasi Waktu Pelapisan Berat Lapisan Tampak Lapisan
No
krom (gr/lt) (menit) (mg/cm2) (Visual)
5 1,11 Baik
10 5,14 Baik
1 80
15 7,14 Baik
20 9,00 Baik
5 1,20 Baik
10 4,42 Baik
2 100
15 7,11 Baik
Seminar Material Metalurgi 2010
20 10,32 Baik
5 1,65 Baik
10 5,12 Baik
3 150
15 9,89 Baik
20 14,71 Baik
5 2,16 Baik
10 10,13 Baik
4 250
15 15,12 Baik
20 20,14 baik
Catatan : Rapat arus tetap 15 Amper
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 355
Pengaruh Waktu Dan Konsentrasi Larutan Terhadap Laju Pengendapan
Dari hasil percobaan pengaruh waktu dan konsentrasi larutan terhadap laju
pengendapan logam pelapis sangat berpengaruh, sehingga untuk melihat pengaruh
pengendapan tersebut dilakukan percobaan awal, berdasarkan konsentrasi larutan dan waktu
pengendapan. Hasil percobaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5 untuk larutan nikel
sedangkan Gambar 6 untuk larutan krom.
30
Konsent rasi 60 gr/ lt 25.02
25 Konsent rasi 80 gr/ lt
Konsent rasi 100 gr/ lt
Berat Lapisan (mg/cm2)
14.4
15 13.05
13.21
10.11 10.12
11.1
10
8.23 7.42
0
5 10 15 20
Waktu Pelapisan (menit)
Gambar 5. Pengaruh waktu dan konsentrasi larutan Nikel terhadap laju pengendapan (tebal lapisan)
25
0
5 10 15 20
Waktu Pelapisan (menit)
Gambar 6. Pengaruh waktu dan konsentrasi larutan Nikel terhadap laju pengendapan (tebal lapisan).
Dari Gambar 5 maupun Gambar 6 di atas pengaruh waktu maupun konsentrasi
terhadap laju pengendapan sangat berpengaruh, dimana kenaikan waktu maupun konsentrasi
Seminar Material Metalurgi 2010
terhadap laju pengendapan sangat signifikan. Untuk pelapisan logam nikel pada Gambar 1,
dimana konsentrasi 60 gr/l dengan waktu 5 menit pengendapan logam nikel sebesar 2,78
gr/mm2, untuk waktu 10 menit pengendapan logam nikel meningkat sebesar 4,2 gr/mm2,
ditingkatkan lagi pada waktu 15 menit pengendapan logam nikel meningkat sebesar 4,96
gr/mm2, sedangkan untuk waktu 20 menit menit pengendapan logam nikel sebesar 6,45
gr/mm2. Peningkatan pengendapan ini semakin tinggi dengan penambahan konsentrasi larutan
serta penambahan waktu pengendapan. Hal ini juga sama halnya dengan pelapisan khrom.
Namun pada percobaan ini waktu pengendapan hanya dilakukan sampai waktu 20 menit saja,
mengingat waktu untuk penelitian yang sangat terbatas. Namun dari kondisi ini semakin lama
waktu yang dibutuhkan tentunya akan semakin banyak logam pelapis yang menempel atau
216.2
215
210
205
200
199
195
Lapis khrom
Lapis khrom
Logam dasar
Lapis nikel
Lapis nikel
+
Pelapisan
nikel + khrom peningkatan lebih kecil dari pelapisan nikel dan khrom, hal ini dapat
disebabkan pelapisan nikel + khrom lebih getas karena memiliki kekerasan yang lebih baik,
yaitu sebesar 7,2 %.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 357
7.6
7.47
7.5
7.5
7.4
Elongation (%)
7.3
7.2
7.2
7.1
7
7
6.9
Lapis khrom
Lapis khrom
Logamdasar
Lapis nikel
Lapis nikel
+
Pelapisan
682.6
680 678.9
675
670
668.8
665
660
655
650.5
650
645
Lapis khrom
Lapis khrom
Logamdasar
Lapis nikel
Lapis nikel
+
Pelapisan
Seminar Material Metalurgi 2010
680
675
670
6 6 8 .8
665
660
655
6 5 0 .5
650
645
195 200 205 210 215 220 225
K e k e ra s a n (H V)
logam krom, sedangkan setelah pelapisan nikel + logam khrom tensile strength meningkat
sebesar 682, 6 N/mm2 atau meningkat sebesar 5 % dari logam dasar.
3. Kondisi pelapisan yang dianggap baik pada pelapisan ini adalah 3 Amper, waktu 20 menit
serta konsentrasi larutan 150 gr/lt untuk pelapisan nikel, sedangkan untuk pelapisan
khrom 15 Amper, waktu 20 menit serta konsentrasi larutan 250 gr/lt.
DAFTAR PUSTAKA
1. Denis,”Nickel and Chromium Plating”, Newnes – Butterworths, 1972.
2. Gabe,”Principles of Metal Surface Treatment and protection”, 2 nd edition, Pergamon
Press, 1978.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 359
3. Lowenheim, F,A,”The Canning Handbook on Electroplating”, 3rd edition, Jhon Willey &
Son, Inc, New York, 1974.
4. J.B.Mohler,”Electroplating & Related Process”, Chemical Publishing Co, Inc, New York,
1969.
5. Malathy Pushpavanam and B.A,”Shenoi,”Electroplating of Zinc from a Cyanide-Free,
Near Neutral Electrolyte”, Central Electrpochemical Research Institute, Karaikudi, India.
6. Penuntun Pelapisan Nikel, Khrom dan Seng,Dinas Perindustrian Tigkat I Sumatera
Selatan, Lembaga Metallurgi Nasional - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
1985/1986.
Seminar Material Metalurgi 2010
Pius Sebleku
Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang 15314
Abstrak
Baja spesifikasi ASTM A-36, kekuatannya dapat ditingkatkan melalui Proses pengerjaan Heat
Treatment (Austenisasi). Proses austensasi dilakukan melalui pemanasan spesimen pada suhu 900oC selama
satu jam, kemudian di quench di media pendingin yang berbeda-beda. Sebagai media pendingin adalah
pendinginan di dalam tungku , di ruang terbuka , quench di oli dan media air, Hasil percobaan menunjukkan
bahwa kekuatan baja dari bahan awal 423,9 MPa, kekuatannya meningkat menjadi 474,9 MPa melalui
pendinginan udara, dan 560,5 MPa melalui qunching di air. Untuk quenching di air, menghasilkan sifat
mekanik kurang bagus, karena spesimen manjadi getas (elongasi kecil 6%). Fasa yang terbentuk adalah ferit
sebagai matrik dan perlit. Peningkatan kekuatan tarik disebabkan karena butir perlit yang terbentuk
terdistribusi lebih tinggi dari pada bahan awal. Spesimen yang di quench di air, tipe strukturmikro yang
terbentuk menjadi merubah, fasa yang terbentuk adalah ferit bentuk jarum sebagai matrik dan martensit. Tipe
strukturmikro ini memberikan logam menjadi getas. Walaupun kekutannya paling tinggi (717,3 MPa).
Kata kunci : Baja Karbon ASTM A-36, Austenisasi, Quenching, Sifat mekanik, Struktur mikro.
PENDAHULUAN
Perkembangan industri saat ini, logam merupakan salah satu material yang
penggunaannya sangat luas dan banyak digunakan dalam berbagai keperluan. Logam yang
paling banyak digunakan salah satunya adalah baja. Baja merupakan bahan dasar yang sering
digunakan untuk berbagai rekayasa teknik, salah satunya adalah plate baja karbon. Kegunaan
dari baja berkaitan dengan sifat mekanis yang dimiliki oleh baja itu sendiri, dimana baja ini
memiliki kombinasi sifat mekanis yang baik seperti: kekerasan, keuletan, dan ketangguhan
yang lebih baik jika dibandingkan dengan bahan material lainnya, disamping itu baja karbon
merupakan material yang mempunyai kemampuan las, keuletan dan ketangguhan yang baik.
Untuk mendapatkan kualitas produk baja yang lebih baik maka pada baja tersebut perlu
dilakukan Prosess Heat Treatment (perlakuan panas). Salah satunya adalah Proses
Austenisasi, yaitu proses perlakuan panas pada daerah austenit dan ditahan (holding time)
kemudian didinginkan, pendinginan yang dilakukan dapat berupa media udara, air, oli, dan
didalam tungku. Proses tersebut dapat meningkatkan sifat mekanis yang lebih baik, Pada
penelitian ini akan dilakukan peningkatan sifat mekanik melalui proses austenisasi dengan
media pendingin udara, air, oli dan didalam tungku.
METODOLOGI
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Bahan Material baja
karbon rendah ASTM A-36. Alat Yang Digunakan gergaji besi, muffle furnace, AAS (Atomic
Seminar Material Metalurgi 2010
Absorption Spectrophotometer), Alat uji kekerasan, mesin poles, dan mikroskop optik.
PROSEDUR PENELITIAN
1. Pembuatan Sampel Uji Tarik
Pelat baja spesifikasi ASTM A36, tebal 2 cm dipotong, untuk pembuatan spesimen
uji tarik. Bentuk spesimen berdasarkan Standar JIS.
2. Proses Austenisasi
Proses Austenisasi, spesimen dipanasi di dalam tungku pada suhu (T) 900oC selama 1
jam. Holding time dari spesimen tergantung dari dimensi benda kerja.Pada penelitian
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 361
inidimensi benda kerja relatif kecil, sehingga waktu penahanan selama 1 jam. Supaya benda
kerja tidak teroksidasi spesimen dibungkus dengan cangkang kelapa.
Suhu
900oC 1 jam
tungku
udara
oli
air
Waktu
Gambar 1. Skematis cara pengerjaan austenisasi.
Pemanasan pada suhu 900oC selama 1 jam. Setiap spesimen didinginkan dengan
media pendingin yang memberikan kecepatan pendinginan yang berbeda (tungku, udara,
celup oli, dan celup air).
AUSTENISASI 900 OC, 60 menit
PENDINGINAN
Uji Kekerasan
Kekuatan Tarik
Struktur Mikro
PENGUMPULAN DATA
Seminar Material Metalurgi 2010
HASIL DAN PEMBAHASAN
KESIMPULAN
Dari Tabel 1 ditunjukkan bahwa material baja termasuk tipe baja karbon rendah,
hanya saja kandungan Mn (1,4%) relatif tinggi jika dibandingkan dengan baja korbon
konvensionil (kandungan Mn sekitar 0,5% - 0,7%). Tipe baja karbon ini ditentukan oleh
jumlah kandungan karbon. Kandungan karbon 0,2 % termasuk baja karbon rendah.
: 1,5 cm :1,8 cm
L : 12,5 cm
P : 15 cm
Gambar 3. Skematis spesimen uji tarik berdasarkan standar JIS
Gambar 4. Hasil machining lima buah spesimen uji tarik. Diameter bagian atas 1,8 cm. Diameter bagian tengah
yang ditarik 1,5 cm.
Lima buah spesimen diambil empat buah, kemudian ke empat buah spesimen
diaustenisasi pada suhu 900oC selama 1 jam. Kemudian masing-masing spesimen didinginkan
dengan kecepatan pendinginan berbeda di dalam media tungku, udara, oli dan air. Hasil
percobaan setelah proses austenisasi ditunjukkan pada Gambar 7.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 363
1 2 3 4 5
Arah
perpanjangan
5 4 3 2 1
Dari hasil pengamatan visual tersebut di atas dapat dianalisa bahwa spesimen yang
mengalami kecepatan pendinginan tinggi (celup air), tidak mengalami penurunan luas
penampang berarti, sehingga spesimen menjadi getas. Karena adanya sifat mulur pada
spesimen material baja A-36 ini, maka spesimen yang didinginkan melalui celup oli, udara
dan tungku mempunyai sifat ulet (ductile).
Data hasil nilai uji tarik dan regangan, dan nilai elongasi ditunjukkan pada Tabel 2.
Selanjutnya dari data Tabel 2. dibuat grafik hubungan antara kecepatan pendinginan
dengan kekuatan tarik dan elongasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7
Data pengukuran ditunjukkan pada lapiran. Nilai rata-rata uji kekerasan pada setiap spesimen
ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil uji kekersan rata-rata spesimen ASTM A36
Jenis media pendingin Kecepatan pendinginan Kekerasan (Brinnel)
(oC/menit)
Tungku 5 124,44
Udara 50 143.1
Celup oli 100 182.96
Celup air 150 370.96
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 365
Dari Tabel 3, dibuat grafik hubungan antara kecepatan pendinginan dan kekerasan
2
a b
Gambar 10. Struktur mikro pendinginan tungku. Tanda panah : 1. Ferit (matrik, putih), 2. Perlit (Struktur
lamelar, hitam).
1
1
2
2
a b
Gambar 11. Struktur mikro pendinginan udara. Tanda panah : 1. Ferit (matrik, putih), 2. Perlit (Struktur lamelar,
hitam).
1
1
2
2
b
a
Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 12. Struktur mikro pendinginan oli. Tanda panah : 1. Ferit (matrik, putih), 2. Perlit (Struktur lamelar,
hitam).
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 367
1
1
2
b
a b
Gambar 13. Strukturmikro pendinginan celup air. Tanda panah : 1. Ferit bentuk jarum (Witmanstatten ferit,
matrik), 2. Martensit
1 1
2
2
a b
Gambar 14. Strukturmikro bahan awal. Tanda panah : 1. Ferit (matrik, putih), 2. Perlit (Struktur lamelar, hitam).
Seminar Material Metalurgi 2010
Pendinginan cepat
e. Bahan awal. Strukturmikro bahan awal juga terdiri dari ferit dan perlit, perlit tampak
memanjang, yang menunjukkan bahwa bahan awal adalah hasil dari pengerjaan panas rol,
pendinginan di udara.
Dari pengamatan hasil pengujian dan pembahasan terhadap baja ASTM A36 yang
telah dilakukan, perlu dipilih perlakuan spesimen yang mempunyai peningkatan sifat mekanik
dari pada bahan awal. Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan setelah austenisasi,
pendinginan udara dan oli memberikan sifat mekanik yang bagus, dengan alasan sebagai
berikut
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 369
1. Kekuatan spesimen melalui pendinginan udara dan celup oli (474,9 MPa, 560,5 MPa) lebih
tinggi dari pada bahan awal (423.9 MPa). Di dalam strukturmikro, peningkatan kekuatan
ditunjukkan adanya distribusi perlit
2. Spesimen mempunyai sifat tangguh, karena ke dua spesimen nilai elongasinya relatif tinggi
(32% dan 16%). Di dalam strukturmikro, peningkatan elongasi ditunjukkan adanya butir
fasa ferit sebagai matrik.
KESIMPULAN
Perlakuan austenisasi baja ASTM A-36, dengan media pendingin yang berbeda dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Sifat mekanik kekuatan baja ASTM A-36 dapat ditingkatkan melalui pengerjaan
austenisasi dengan media pendingin tungku (anil), udara, celup oli, dan air.
2. Proses austenisasi dengan media pendingin udara dan quench di oli memberikan sifat
mekanik yang bagus. Disamping kekuatannya lebih tinggi dari pada bahan awal, baja
masih tetap tangguh (nilai elongasi tinggi : 32% dan 16%).
3. Proses austenisasi dengan media pendingin di dalam tungku, kecepatan pendinginan
lambat, kekuatannya lebih rendah dari pada media pendingin udara dan quench di oli.
4. Proses austenisasi dengan media pendingin di dalam tungku, memberikan kekuatan
(445,9 MPa) sedikit lebih tinggi dari pada bahan awalnya yaitu (423,9 MPa), serta
bersifat tangguh.
5. Proses austenisasi dengan media pendingin quench di air, walaupun kekuatan baja
meningkat tinggi (717,3 MPa), tetapi baja menjadi getas.
DAFTAR PUSTAKA
1. ASTM. Metal Hand Book, “Properties and Selection Iron and Steel” 9th ed, vol 1,
Formely Tenth Edition Metal Hand Book, Second Printing, 1992.
2. Annual Book of ASTM Standard, Section 3, Metal Test Methods and Analytical
Prosedures,”Metals-Mechanical Testing”, Eleveted and low Temperatur Test,
Metallography, Vol.03.01.
3. B.Zakharov, “Heat Treatment of Metals”, Peace Publisher, Moscow.
4. George E. Dieter, “Mechanical Metallurgy”, International Student Edition, Second
Edition Mc.Graw-Hill Kogakusha Ltd, Tokyo, 1978.
5. George E. Dieter, “Work Ability Testing Techniquues”, ASM, Metal Park Ohio 44073,
1984.
6. George Krauss, “Heat Treatment and Processing Principle”, Material Park, Ohio 44073,
p14.
7. Herman W.pollack, “Materials Sciece and Metalurgi”, Third Edition, Reston Publishing
Company, Inc, p 180 – 181.
8. K-E Thelning, “Steel and Its Heat Treatment, Bofors Handbook, 1974.
9. Marder, A,R,”The Effect of Heat Treatment on The Properties”, Metal Trans, Vol 12A,
Sep. 1981.
10. Sydney H.Avner, “Introduction to Physical Metallurgi”, Second Edition, McGraw-Hill
Inc, 1974.
Seminar Material Metalurgi 2010
Puguh Prasetiyo
Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang 15314
Abstrak
Di alam semesta bijih nikel digolongkan dalam dua jenis, yaitu nikel sulfide berada dibelahan bumi
subtropics, dan nikel oksida yang lazim disebut laterit berada dibelahan bumi khatulistiwa (tropis) seperti di
Indonesia. Laterit berkadar nikel rendah yang pada umumnya mengandung besi tinggi, diolah dengan jalur
proses hydrometalurgi. Sedangkan laterit berkadar nikel tinggi yang pada umumnya mengandung besi rendah,
diolah dengan jalur proses pyrometalurgi.
Menurut Dalvi dkk cadangan nikel dunia sekitar 70 % berupa laterit. Pada tahun 2003, pasokan nikel
dunia yang berasal dari laterit sekitar 42 %. Diperkirakan pasokan nikel dari laterit akan meningkat diatas 50
% pada tahun 2012, dan sebagian besar pasokan tersebut berasal dari pengolahan laterit kadar rendah dengan
proses HPAL (High Pressure Acid Leach) yang tergolong dalam jalur proses hydrometalurgi.
Dengan kegagalan tiga HPAL (High Pressure Acid Leach) plant di Australia yang mengolah laterit
kadar rendah dengan kandungan silikat tinggi (SiO2 ± 40 %) pada tahun 2000-2008. Maka proyek proyek untuk
mengolah laterit kadar rendah dengan HPAL banyak yang ditunda termasuk di Indonesia, yaitu PT BHP di
pulau Gag Papua dan PT Weda Bay Nickel (WBN) di teluk Weda Halmahera. Dengan demikian perkiraan Dalvi
dkk menjadi meleset. Kenyataan kegagalan teknologi HPAL tersebut akan ditinjau pada tulisan ini. Dimana
tinjauan difocuskan pada kandungan silikat (SiO2) didalam laterit kadar rendah Halmahera. Mudah mudahan
tulisan ini bermanfaat.
Abstract
There are two variety of nickel in the nature, ie : nickel sulfide ore at subtropical area and nickel oxide
ore which it is said laterite at tropical area as Indonesia. Laterite contains high iron generally the low grade
níckel ore are suitable to process by hydrometallurgy. Laterite contains low iron generally the high grade níckel
ore are suitable to process by pyrometallurgy.
Dalvi et al report that laterite contains 70 % of the estimated world land based nickel reserves. In 2003,
nickel production from laterite about 42 %. In 2012, nickel production from laterite are predicted more than 50
%, its come from hydrometallurgy to process the low grade laterite especially HPAL process.
The failure of all HPAL (High Pressure Acid Leach) plant in Australia which its processed the low
grade laterit contains silicate (SiO2 ± 40 %) on 2000’s, its become the same projects at the other place are
postponed until now as PT BHP at Gag island Papua Indonesia and PT Weda Bay Nickel (WBN) at Halmahera
Indonesia.
The fact results the prediction of Dalvi et al become depression and the failure of HPAL will
assignment at this paper with focus the contains of silicate (SiO2) in Halmahera’s laterite. The paper hopes will
useful, maybe.
PENDAHULUAN
Dialam semesta bijih nikel digolongkan dalam dua jenis, yaitu nikel sulfide berada
Seminar Material Metalurgi 2010
dibelahan bumi subtropics, dan nikel oksida yang lazim disebut laterit berada dibelahan bumi
khatulistiwa (tropis) seperti di Indonesia. Menurut Dalvi dkk cadangan nikel dunia sekitar 70
% berupa laterit. Sedangkan pasokan nikel dunia yang berasal dari laterit sekitar 42 % pada
tahun 2003. Diperkirakan pasokan nikel dunia dari laterit akan meningkat menjadi diatas 50
% pada tahun 2012, dan sebagian besar pasokan berasal dari pengolahan laterit kadar rendah
dengan proses HPAL (High Pressure Acid Leach) yang tergolong dalam proses
hydrometalurgi.
Dengan terjadinya peristiwa di Australia, yaitu kegagalan tiga HPAL plant yang
mengolah laterit kadar rendah dengan kandungan silikat tinggi (SiO2 ± 40 %), dan ditutupnya
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 371
Revensthrope e-PAL plant milik BHP pada awal tahun 2009. Ditambah dengan ketidak
jelasan “Goro Demonstration HPAL Plant” di Goro New Caledonia (Kaledonia Baru) milik
INCO tempat dimana Dalvi dkk bekerja. Maka perkiraan Dalvi dkk bahwa akan terjadi
peningkatan produksi nikel dari HPAL menjadi meleset.
Tiga HPAL plant tersebut yang commissioning dalam waktu hampir bersamaan pada
akhir tahun 1998 adalah Bulong, Cawse, dan Murrin Murrin. Tidak sampai dua tahun
beroperasi ketiga plant tersebut mengalami ramp up, yaitu kemacetan kemacetan pada
operasi. Menurut para ahli apabila terjadi ramp up, paling tidak setelah dua tahun beroperasi.
Dimana ramp up disebabkan adanya penyumbatan (choking) pada peralatan proses terutama
pada pipa pipa, dan penyumbatan tersebut berasal dari pengendapan silikat (SiO2) yang
terakumulasi. Sehingga untuk mengatasi ramp up tersebut terpaksa perusahaan mengeluarkan
biaya ekstra diluar biaya operasional. Akibat dari ramp up menyebabkan perusahaan
mengalami kesulitan keuangan sehingga Bulong tutup pada tahun 2003, Cawse tutup tahun
2008, dan Murrin Murrin berpindah tangan ke Minara pada tahun 2003/2004. Minara berubah
haluan untuk mengolah laterit kadar rendah dengan heap leaching pada tahun 2007/2008.
Sedangkan Revensthrope e-PAL plant milik BHP langsung ditutup setelah selesai dibangun
pada awal tahun 2009. Dimana BHP juga menggunakan teknologi HPAL yang telah
dimodifikasi untuk mengolah laterit kadar rendah pada Revensthrope e-PAL plant.
Dari penjelasan diatas menunjukkan bahwa teknologi HPAL telah gagal pada saat
digunakan pada skala industri. Walaupun secara laboratorium dan pilot plant telah sukses
untuk mengolah berbagai jenis laterit. HPAL yang sukses pada skala industri sampai saat ini
hanya di Moa Bay Cuba yang mengolah limonit dengan kandungan SiO2 < 10 %. Hal ini
semakin terbukti dengan tertundanya pembangunan PT Weda Bay Nickel (WBN) Eramet
Perancis di Halmahera, dan PT BHP yang beroperasi dipulau Gag Papua mengembalikan ijin
ke pemerintah Indonesia pada tahun 2009.
Karena laterit kadar rendah belum diolah didalam negeri, baru laterit kadar tinggi
jenis saprolit yang mengandung Ni > 1,8 % sudah diolah di Sulawesi Tenggara oleh BUMN
PT Aneka Tambang di Pomalaa dan PT INCO Canada di Sorowako. Dimana laterit kadar
rendah terdiri dari limonit dan saprolit dengan kandungan Ni < 1,8 %. Sedangkan UU
Minerba yang disahkan 2008 mengamanatkan harus mengolah mineral didalam negeri. Atas
dasar alasan ini maka dibuat tulisan tentang kajian dengan judul diatas.
Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 2. Proses Pengolahan Laterit Dengan Proses Pyrometalurgi (Smelting), Proses Caron (Ammonia
Leach), dan Proses HPAL. 3)
Laterit berkadar nikel rendah yang pada umumnya mengandung besi tinggi, diolah
dengan jalur proses hydrometalurgi. Sedangkan laterit berkadar nikel tinggi yang pada
umumnya mengandung besi rendah, diolah dengan jalur proses pyrometalurgi. Kedua jalur
proses tersebut digunakan untuk mengambil nikel (Ni) dan kobal (Co) yang terkandung
didalam bijih nikel laterit. Sampai saat ini produksi nikel dari laterit sekitar 70 % berasal dari
pengolahan dengan jalur pyrometalurgi, dan sebagian besar digunakan untuk memproduksi
FeNi (ferro nikel).
Teknologi pyrometalurgi sudah mapan (proven) untuk memproduksi ferro nikel
(FeNi) atau nikel matte (Ni-matte). Akan tetapi masíh ada kelemahan pada jalur proses ini,
yaitu hanya sesuai untuk laterit jenis saprolit dengan kadar Ni tinggi, butuh konsumsi energi
tinggi, dan perolehan Co rendah. Konsumsi energi tinggi karena untuk mengolah laterit
dengan jalur pyrometalurgi dibutuhkan tiga tahapan, yaitu pengeringan (drying),
kalsinasi/reduksi (calcination/reduction), dan peleburan (electric furnace smelting).
Di Indonesia sudah ada pabrik pengolahan saprolit dengan pyrometalurgi di Sulawesi
Tenggara, yaitu pabrik FeNi di Pomalaa milik PT Aneka Tambang dan pabrik Ni-matte di
Sorowako milik PT INCO Canada. Sedangkan jalur hydrometalurgi belum ada ditanah air.
Adapun saprolit yang diolah didalam negeri termasuk bijih nikel laterit berkadar nikel tinggi
dengan kandungan Ni > 1,8 %.
Tabel 1. Analisa Kimia Laterit Di Cuba (Dari Bijih Kering) 4)
Seminar Material Metalurgi 2010
Limonit Serpentine
Ni 1,3 1,4
Co 0,1 0,1
Cr2O3 3 1
Fe2O3 64 30
MgO 1,7 8
CaO 1 1
SiO2 3,7 40
Al2O3 8,5 2
MnO 1 0,5
H2O 12,5 10
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 373
Jalur proses hydrometalurgi digunakan secara komersial dimulai di Cuba oleh
Freeport perusahaan dengan dukungan pemerintah USA, yaitu proses Caron (ammonia leach)
digunakan untuk memproduksi NiO di Nicaro pada tahun 1950-an, dan proses HPAL (High
Pressure Acid Leaching) untuk memproduksi NiS di Moa Bay pada tahun 1960-an.
Sampai saat ini kedua plant tersebut masih beroperasi. Adapun laterit kadar rendah
yang diolah di Cuba, dapat dilihat pada Tabel 1.
- Limonit diolah di Moa Bay dengan proses HPAL (Acid Leaching) untuk
memproduksi NiS
- Serpentine diolah di Nicaro dengan proses Caron (ammonia leach) untuk
memproduksi NiO
Selanjutnya kedua proses tersebut dikembangkan dan digunakan untuk mengolah
laterit kadar rendah ditempat lain termasuk Indonesia. Pada tahun 1970-an pemerintah RI
telah memberi ijin kepada PT Pasific Nickel USA untuk megolah laterit pulau Gag Papua
dengan proses Caron.Walaupun rencana tersebut tidak terrealisasi hingga saat ini. Pemerintah
RI juga memberi ijin untuk mengolah laterit dengan HPAL pada tahun 1998, yaitu PT WBN
(Weda Bay Nickel) Canada di Halmahera dan PT BHP Australia di pulau Gag Papua.
Kenyataan yang terjadi PT WBN Canada beralih kepemilikan ke Eramet Perancis pada Mei
2006, PT BHP Australia mengembalikan ijin ke pemerintah pada tahun 2009, dan sampai saat
ini Eramet belum membangun HPAL plant di Weda.
Peneltian Dan Pengembangan Proses HPAL
Jalur proses pyrometalurgi dan proses Caron (pyro-hydro metalurgi) seperti diagram
alir proses yang ditunjukkan pada gambar 2 diatas, mengkonsumsi lebih banyak energi
apabila dibandingkan dengan proses HPAL. Karena energi pada jalur proses pyrometalurgi
digunakan untuk pengeringan (drying), kalsinasi, dan peleburan. Sedangkan energi pada
proses Caron digunakan untuk pengeringan dan kalsinasi.
Dari sisi recovery (perolehan) logam, jalur pyrometalurgi untuk memproduksi Ni-
matte (mis : PT INCO di Sorowako) mencapai perolehan (recovery) Ni ± 90 % dan Co ± 50
%, untuk memproduksi FeNi (mis : PT Aneka Tambang di Pomalaa) mencapai perolehan
(recovery) Ni ± 96 % dan Co ± 0 %. Proses Caron (pyro-hydro metalurgi) mencapai
perolehan (recovery) Ni : 75 – 80 % dan Co : 35 – 50 %. Sedangkan proses HPAL di Moa
Bay Cuba yang tergolong pada jalur proses hydrometalurgi mencapai perolehan (recovery) Ni
: 92 - 95 % dan Co : 92 - 95 %.
Atas dasar kenyataan diatas bahwa proses HPAL lebih unggul dari recovery
(perolehan) metal dan konsumsi energi. Apabila dibandingkan dengan proses pyrometalurgi
dan proses Caron. Maka penelitian dan pengembangan untuk mengolah berbagai jenis laterit
dengan proses HPAL termasuk modifikasinya dilakukan oleh AMAX USA, Sherrit Gordon
Canada, dan COFREMMI Perancis. Dimana proses HPAL Moa bay digunakan sebagai dasar
untuk melakukan litbang (penelitian dan pengembangan). Adapun kelemahan proses HPAL
hanya sesuai untuk laterit kadar rendah dengan kandungan Mg < 6 % (MgO : 9 – 10 %).
Apabila kandungan Mg > 6 % maka akan mengkonsumsi asam sulfat lebih banyak.
HPAL plant generasi pertama di Moa Bay yang mengolah limonit dengan melarutkannya
didalam asam sulfat, menggunakan autoclave yang beroperasi pada temperatur ± 246 0C dan
Seminar Material Metalurgi 2010
tekanan ± 4500 kPa. Perkiraan reaksi reaksi yang terjadi pada tahap leaching ádalah sbb :
FeOOH + 3 H2SO4 → Fe(HSO4)3 + 2 H2O ............................................. (1)
Al(OH)3 + 3 H2SO4 → Al(HSO4)3 + 3 H2O ................................................... (2)
MgSiO + 2 H2SO4 → Mg(HSO4)2 + H2O + SiO2 ........................................... (3)
MgO + 2 H2SO4 → Mg(HSO4)2 + H2O ................ ......................................... (4)
NiO + 2 H2SO4 → Ni(HSO4)2 + H2O ................... .......................................... (5)
2 Fe(HSO4)3 + 3 H2O → Fe2O3 + 6 H2SO4 .......... ....................................... .. (6)
2 Al(HSO4)3 + H2O → Al2O(SO4)2 + 4 H2SO4 ............................................. (7)
Mg(HSO4)2 → MgSO4 + H2SO4 .................................................................... (8)
MgO + H2SO4 → MgSO4 + H2O .................................................................... . (9)
Sedangkan modifikasi proses HPAL oleh AMAX, dapat dilihat pada Gambar 3.
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 375
di Cuba, dimana seluruh proyek Freeport milik USA dinasionalisasi oleh pemerintah Cuba
dibawah rezim Fidel Castro. Pada saat nasionalisasi (1960) proyek Moa Bay belum selesai,
dengan bantuan Uni Soviet (sekarang Rusia) proyek bisa diselesaikan dan mulai beroperasi
1961. Setelah mengalami berbagai macam kesulitan dalam kurun waktu 6 – 7 tahun, Moa Bay
mulai berjalan normal. Walaupun masih menimbulkan masalah lingkungan untuk buangan
sulfat, shut down rutin untuk autoclave pada unit leaching setiap 3 – 4 bulan, dan setiap 850
jam untuk autoclave pada unit produksi NiS. Dimana sampai tahun 1993/1994, kapasitas
produksi plant tersebut ± 24.000 ton/tahun. Adapun kandungan produk NiS adalah sbb : 55,1
% Ni, 5,36 % Co, 0,74 % Fe, 0,17 % Cu, 0,93 % Zn, dan 10,8 % H2O.
Pada Desember 1994, pemerintah Cuba menandatangani kerja sama dengan Sherrit
Gordon Canada untuk proyek laterit Moa Bay. Fokus kerja sama terutama memperbaiki
kinerja Moa Bay plant, dan seluruh produk NiS dibeli oleh Sherrit Gordon untuk diolah di
Fortsaskatchewan Canada. Setelah kerja sama tersebut dijalankan, masalah pencemaran
lingkungan akibat buangan sulfat bisa diatasi dan ada peningkatan produksi. Apabila masa
yang lalu capaian produksi maksimum 19.500 ton/tahun pada tahun 1989, menjadi 20.651
ton/tahun pada tahun 1995, dan meningkat 26.035 ton/tahun pada tahun 1996. Peningkatan
produksi bisa dicapai karena perolehan (recovery) rata rata terutama Ni bisa ditingkatkan
menjadi 96 % dari perolehan sebelumnya 92 – 95 %. Walaupun demikian sampai saat ini Moa
bay plant tetap melakukan shut down rutin autoclve pada unit leaching setiap 3 – 4 bulan, dan
setiap 850 jam pada autoclave unit produksi NiS.
Kesuksesan yang diraíh oleh Sherrit Gordon menyebabkan teknologi HPAL menjadi
trend untuk mengolah laterit kadar rendah dibeberapa Negara yang memiliki cadangan laterit.
Sherrit Gordon menjadi perusahaan yang laris manis untuk menjadi konsultan maupun mitra
untuk mendirikan HPAL plant, terutama HPAL plant generasi kedua yang berada di Australia
Barat (Western Australia), yaitu Bulong, Cawse, dan Murrin Murrin. Apabila dibandingkan
dengan limonit murni Moa Bay Cuba. Ketiga HPAL plant tersebut mengolah dry laterite
Western Australia yang dominan dengan smectite atau nontronite yang mengandung silikat
tinggi, besi rendah, dan magnesium tinggi. Adapun perbandingan antara dry laterite dengan
limonit murni Moa Bay, dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan Komposisi Kimia Antara Dry Laterite Dengan Limonit Murni5 &7)
Nontronite % Limonit Murni %
Smectite % Cawse %
(Murrin Murrin) (Moa Bay)
Ni 1,1 1,0 1,25 1,30
Co 0,08 0,07 0,08 0,12
Mg 4,6 1,58 3,7 0,55
Fe 20,8 18,0 22,0 48,0
Al 2,8 1,71 2,7 4,8
Mn 0,4 0,17 0,4 0,8
Cr 0,6 0,92 1,0 2,0
SiO2 42,9 42,5 42,0 9,0
Ca 0,03 0,03
H2O > 35 % > 10 % > 20 %
Seminar Material Metalurgi 2010
Walaupun HPAL telah sukses pada uji laboratorium maupun pilot plant. Ternyata tiga
HPAL plant generasi kedua di Australia tersebut gagal digunakan untuk mengolah laterit
kadar rendah Western Australia. Kegagalan tersebut bermula dari penanganan masalah
lumpur (slurry) yang menimbulkan masalah penyumbatan (choking) pada peralatan untuk
proses terutama pada pipa pipa penghubung. Untuk mengatasi masalah lumpur (slurry) yang
berasal dari akumulasi endapan silikat (SiO2) yang berasal dari reaksi (3) dan silikat (SiO2)
bebas, terpaksa pabrik harus shut down. Dimana masalah silikat (SiO2) timbul pada saat
teknologi HPAL digunakan pada skala komersial (plant). Pada skala laboratorium maupun
pilot plant, tidak muncul masalah silikat (SiO2).
Tabel 5. Detailed Mineral Resources- 2004 Weda Drilling Program (Santa Monica) 6)
Dari Tabel 4 dan Tabel 5 menunjukkan bahwa density (berat jenis) rata rata dari sample
sample zona limonit dan zona saprolit, besarnya sangat berdekatan sekitar satu (1). Hal ini
meningkatkan perkiraan akan sama kecenderungannya untuk laterit dari tempat lain di
Halmahera terutama untuk laterit dari pulau Pakal dan Tanjung Buli.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 377
Tabel 6. Zona Laterit Pulau Paka Dan Tanjung Buli Beserta Komposisi Kimianya8)
Saprolite Saprolite
Neutralization Neutralization
CCD CCD
Gambar 4. Diagram Alir Proses PAL Dan Modifikasinya 1)
DAFTAR PUSTAKA :
1. Baillie, M.G., “An Update of The Weda Bay Nickel/Cobalt Laterite Project”, Weda
Bay Minerals Inc, ALTA 2002.
2. Chalkley, M.E., Toirac, I.C., “The Acid Pressure Leach Process for Nickel and Cobalt
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 379
5. Kyle, J.H., Furfaro, D., “The Cawse Nickel/Cobalt Laterite Project Metallurgical
Process Development”, Hydrometallurgy and Refining of Nickel and Cobalt,
Proceeding of Nickel-Cobalt 97 International Symposium-Volume 1, August 17-20,
1997, Sudbury, Ontario, Canada. 36th Conference of Metallurgist of CIM. 27th
Hydrometallurgical Meeting of CIM.
6. Lynch, John., “Mineral Resources Estimate Increase for the Weda Bay Nickel Cobalt
Project, Halmahera Island, Indonesia”, Technical Report in Accord With National
Instrument 43-101, October 13, 2004, Weda Bay Minerals Inc.
7. Motteram, G., Ryan, M., Weizenbach, R., “Application of the Pressure Acid Leach
Process to Western Australian Nickel/Cobalt Laterite”, Hydrometallurgy and Refining
of Nickel and Cobalt, Proceeding of Nickel-Cobalt 97 International Symposium-
Volume 1, August 17-20, 1997, Sudbury, Ontario, Canada. 36th Conference of
Metallurgist of CIM. 27th Hydrometallurgical Meeting of CIM.
8. Rustiadi, “Identifikasi Mineralogi Bijih Nikel Laterit Kadar Rendah Halmahera Serta
Kemungkinan Pengolahannya Kedepan”, Kegiatan Program Insentif Bagi Peneliti &
Perekayasa LIPI, DIKTI – LIPI, Laporan akhir tahun 2009.
9. The Cofremmi Acid Leach Process For Laterite Ores, COFREMMI S.A, Compagnie
Francaise d’Entreprises minieres, Metallurgi ques et d’Investissements.
10. Wicker, Gordon R., Jha, Mahesh C., “Developments in the AMAX-COFREMMI Acid
Leach Process for Nickel Laterites”, 25th Annual Conference of Metallurgist of CIM,
Toronto Canada, August 17 – 20, 1986.
11. Wedderburn, Bruce., “Nickel Laterite Processing A Shift Towards Heap Leaching”,
ALTA Conference May 2009.
Seminar Material Metalurgi 2010
Puguh Prasetiyo
Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan PUSPIPTEK Serpong Banten 15314
Abstrak
Indonesia dikaruniai oleh Allah cadangan bijih nikel pada peringkat dua dunia. Sumber daya alam
(SDA) bijih nikel tersebut adalah nikel oksida yang lazim disebut laterit berada di kawasan Timur Indonesia
(KTI) terutama di Sulawesi dan Halmahera. Adapun laterit terdiri dari dua jenis, yaitu : saprolit dan limonit.
Saprolit yang berkadar nikel tinggi diproses dengan cara pyrometalurgi, dan ada dua jalur produk
untuk mengolah saprolit dengan cara ini, yaitu produk FeNi (ferro nikel) seperti produksi PT Aneka Tambang di
Pomalaa Sulawesi Tenggara dan Ni matte (nikel matte) seperti produksi PT INCO di Sorowako juga di Sulawesi
Tenggara. Dimana saprolit yang diolah ditanah air berkadar Ni > 1,8 %.
Laterit kadar rendah rendah yang terdiri dari limonit dan saprolit dengan kadar Ni < 1,8 %, belum
diolah ditanah air. Untuk mengolahnya diproses dengan cara hydrometalurgi, dan ada dua jalur proses, yaitu
proses Caron dan proses HPAL (High Pressure Acid Leaching). Setelah tahun 1973 proses Caron praktis telah
ditinggalkan karena kenaikan harga minyak dunia yang dramatis, dan trend pengolahan laterit kadar rendah
(terutama limonit) menggunakan proses HPAL. Kenyataan ini akan ditinjau pada tulisan ini karena laterit kadar
rendah belum diolah didalam negeri, dan proses Caron sesuai untuk mengolah laterit kadar rendah yang ada
ditanah air. Dari sisi lain Undang Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (UU Minerba) mengamanatkan harus mengolah mineral didalam negeri.
Abstract
Indonesia is gived Allah the resources of nickel ore the second in the world. The resources are nickel
oxide which it say laterite locate at East Indonesia especially Sulawesi and Halmahera. There are two variety
for laterite, ie : saprolit is the high nickel content and limonite is the low nickel content. Saprolite is processed
by pyrometalurgy and there are two line product from processing saprolite, ie : to produce FeNi (ferro nickel)
as PT Aneka Tambang plant at Pomalla South-East Sulawesi and NiS (Nickel Matte) as PT INCO plant at
Sorowako also at South-East Sulawesi. Saprolite is used for raw material at two plants contain Ni > 1,8 %.
The low grade nickel not yet processed in Indonesia. Its are limonite and saprolite contains Ni < 1,8 %.
The low grade nickel is processed by hydrometalurgy and there are two line process, ie : Process Caron and
process HPAL (High Pressure Acid Leaching). The Caron’s process has been retained because the oil price
increase dramatical after 1973, and the trend to process the low grade nickel laterie is HPAL .
The fact will contemplate at this paper because the low grade nickel not yet processed, and the Caron’s
process have prospect for the condition of the low grade laterite in Indonesia. The other side the new law (UU
Minerba) entrust to process the mineral in Indonesia.
PENDAHULUAN
Ada dua jenis bijih nikel di alam, yaitu nikel sulfida berada dibelahan bumi sub tropis
dan nikel oksida yang lazim disebut laterit berada dibelahan bumi khatulistiwa (tropis). Untuk
Seminar Material Metalurgi 2010
bijih nikel, Indonesia dikaruniai Allah cadangan bijih nikel adalah nomor dua (2) di dunia.
Laterit di tanah air berada di Kawasan Timur Indonesia terutama di Sulawesi Tenggara dan
Maluku Utara.
Cadangan nikel dunia didominasi oleh laterit, yaitu sekitar 73 %. Sedangkan produksi
nikel dunia yang berasal dari laterit sekitar 44 %, dan Indonesia berkontribusi memasok
kebutukan nikel dunia sekitar 6 %. Dimana produksi nikel dunia didominasi oleh enam
perusahaan, yaitu : Norilsk Rusia, INCO Canada, Falconbridge Canada, Eramet Perancis,
WMC Australia, dan BHP Australia. Dari enam perusahaan tersebut, tiga perusahaan telah
mendapat ijin dari pemerintah untuk mengolah laterit di tanah air, yaitu PT INCO mendapat
konsesi terutama di Sulawesi Tenggara pada tahun 1970-an untuk mengolah saprolit menjadi
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 381
nikel matte (Ni – matte) di Sorowako, PT Weda Bay Nickel (WBN) Eramet mendapat konsesi
di teluk Weda Halmahera dan PT BHP mendapat konsesi dipulau Gag Papua. Kedua
perusahaan tersebut mendapat ijin pada tahun 1998 untuk mengolah laterit terutama limonit
dengan HPAL (High Pressure Acid Leaching). Dimana ijin untuk BHP dikeluarkan setelah
pemerintah mengalihkan ijin PT Pasific Nickel USA yang telah dikeluarkan pada Pebruari
1969. Menurut rencana PT Pasific Nickel USA PT Pasific Nickel USA akan mengolah laterit
pulau Gag Papua dengan proses Caron terutama untuk laterit kadar rendah.
Untuk mengolah laterit digunakan dua jalur proses, yaitu pyrometalurgi untuk
mengolah saprolit yang berkadar nikel tinggi, dan hydrometalurgi untuk mengolah laterit
(terutama limonit) yang berkadar nikel rendah.
Pyrometalurgi yang digunakan untuk memproduksi FeNi (ferro nikel) atau nikel matte
(Ni-matte) sudah ada di Indonesia, aktifitas produksi tersebut dilakukan oleh PT INCO
Canada di Sorowako Sulawesi Tenggara yang memproduksi Ni-matte dan PT Aneka
Tambang di Pomalaa Sulawesi Tenggara yang memproduksi FeNi. Dimana saprolit yang
digunakan sebagai bahan baku berkadar Ni > 1,8 %.
Hydrometalurgi yang digunakan untuk mengolah laterit kadar rendah (limonit dan
saprolit dengan kadar Ni < 1,8 %) belum ada di Indonesia. Adapun secara komersial
hydrometalurgi terdiri dari dua jalur proses, yaitu proses Caron dan proses HPAL (High
Pressure Acid Leaching).
Akibat kenaikan harga minyak dunia yang dramatis setelah tahun 1973, proses Caron
praktis telah ditinggalkan dan pengolahan laterit laterit kadar rendah khususnya limonit
cenderung menggunakan proses HPAL. Kenyataan ini akan ditinjau pada tulisan ini karena
laterit kadar rendah belum diolah di Indonesia, dan Undang Undang (UU) Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) mengamanatkan harus
mengolah mineral didalam negeri. Dari sisi lain untuk kondisi laterit kadar rendah yang ada
ditanah air, proses Caron masih punya prospek. Diharapkan tulisan ini bisa membawa
manfaat.
Tabel 1. Negara Negara Dengan Cadangan Bijih Nikel Oksida (Laterit) Dan Bijih Nikel Sulfida 1)
% Total Cadangan nikel
Country
(sulfida dan laterit)
New Caledonia (laterit) 27
Indonesia (laterit) 13
Canada (sulfida) 11
Cuba (laterit) 8
Uni-Soviet (Rusia sekarang) (laterit & sulfida) 7
Total 66
Seminar Material Metalurgi 2010
Data pada Tabel 1 bisa berubah untuk cadangan laterit ditanah air. Karena PT Weda
Bay Nickel (WBN) Eramet mengklaim bahwa cadangan WBN di teluk Weda Halmahera
merupakan lima besar cadangan nikel dunia. Adapun laterit yang digunakan sebagai bahan
baku untuk mendapatkan logam nikel (Ni) dan produk samping kobal (Co) yang bernilai
strategis, digolongkan dalam dua jenis, yaitu limonit dan saprolit. Endapan limonit dan
saprolit secara ideal dialam dan cara pengolahan limonit maupun saprolit, dapat dilihat pada
Gambar 1 8) dan Gambar 2 6).
Saprolitic ore atau High Grade ore diekspor ke Jepang untuk bahan baku pabrik ferro
nikel (FeNi), yaitu Japanese Nickel Smelter, Pasific Metals Co. Ltd, Sumitomo Metal Mining
Co. Ltd, Nippon Yakin Kogyo Co.
Limonitic ore atau Low Grade ore diekspor ke Australia untuk bahan baku proses
Caron, yaitu Queensland Nickel Pty Ltd.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 383
Gebe telah tutup pada tahun 2003/2004, sebagai ganti untuk ekspor laterit (saprolit dan
limonit) maupun bahan baku pabrik FeNi Pomalaa dipasok dari pulau Gee, Tanjung Buli,
Moronoppo, dan Pomalaa.
banyak asam sulfat (H2SO4). Teknologi HPAL ekonomis apabila digunakan untuk mengolah
limonit dengan kandungan magnesium (Mg) rendah seperti limonit di daerah Moa Bay.
Pada tahun 1959 di Moa Bay, Freeport dengan bantuan Sherrit Gordon Canada
membangun pabrik pengolahan limonit dengan HPAL pertama di dunia untuk memproduksi
NiS (±22.500 ton Ni/tahun + 2.000 ton Co/tahun).
Pada tahun 1960, seluruh proyek Freeport di nasionalisasi oleh pemerintah Cuba
dibawah rezim Fidel Castro. Pada saat nasionalisasi proyek Moa Bay belum selesai, dan
dengan bantuan Uni Soviet (sekarang Rusia) maka Cuba bisa menyelesaikan proyek tersebut.
Setelah mengalami berbagai macam kesulitan sekitar 6 – 7 tahun dari awal operasi pada
pertengahan tahun 1961 maka pabrik Moa bisa beroperasi sampai saat ini.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 385
Adapun laterit kadar rendah yang diolah di Nicaro dan Moa Bay, dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Analisa Kimia Laterit Di Cuba (Dari Bijih Kering) 7)
Limonit Serpentin
Ni 1.3 1.4
Co 0.1 0.1
Cr2O3 3 1
Fe2O3 64 30
MgO 1.7 8
CaO 1 1
SiO2 3.7 40
Al2O3 8.5 2
MnO 1 0.5
H2O (Combined) 12.5 10
Keterangan :
Limonit diolah di Moa Bay dengan proses HPAL
Serpentin diolah di Nicaro dengan proses Caron
Pada tahun 1993/1994, pemerintah Cuba bekerja sama dengan Sherrit Gordon Canada
untuk proyek Moa Bay. Setelah kerja sama ditindak lanjuti, kinerja pabrik Moa makin baik
sehingga proses HPAL menjadi trend untuk mengolah limonit.
Di Indonesia belum ada pengolahan laterit kadar rendah (limonit dan saprolit dengan
kadar Ni < 1,8 %) dengan proses Caron maupun proses HPAL. PT Pasific Nickel USA telah
mendapat ijin dari pemerintah pada Pebruari 1969 untuk mengolah laterit terutama limonit
dengan proses Caron di pulau Gag Papua. Kapasitas produksi pabrik minimal 50 juta pon
metal Ni/tahun (±25.000 ton Ni/tahun) sedikitnya untuk waktu 30 tahun. Dari studi awal dan
studi studi yang lain ternyata di pulau Gag Papua bisa didirikan pabrik pengolahan limonit
dengan kapasitas produksi 100 juta pon metal Ni/tahun (±50.000 ton Ni/tahun) dan 4 juta pon
Co/tahun (±2.000 ton Co/tahun). Pada pebruari 1974 sudah disiapkan penambangan untuk
waktu lima tahun. Akibat kenaikan harga minyak dunia yang dramatis setelah tahun 1973,
proyek PT Pasific Nickel dihentikan. Berawal dari kenyataan ini maka proses Caron praktis
mulai ditinggalkan, dan boleh dikatakan sampai saat ini (2010) tidak ada proyek baru untuk
mengolah laterit kadar rendah dengan proses Caron.
Selain PT Pasific Nickel USA, Sumitomo Jepang juga menjajaki untuk mengolah
limonit dengan proses Caron, yaitu dengan cara pemerintah Jepang memberi hibah kepada
pemerintah Indonesia. Hibah tersebut berupa laboratorium laterit dan pilot plant untuk
mengolah laterit terutama limonit dengan proses Caron di Puslit Metalurgi LIPI di Puspiptek
Serpong. Proyek tersebut diresmikan oleh Presiden Suharto pada Desember 1990.
Kenyataannya Sumitomo justru mendirikan pabrik pengolahan limonit dengan proses HPAL
di Rio Tuba Philipina, bukan di Indonesia. Dimana pabrik Rio Tuba commisioning pada tahun
2005.
Pada tahun 1990-an pemerintah mengalihkan ijin PT Pasific Nickel ke PT BHP
Australia untuk mengolah limonit dengan HPAL di pulau Gag atau Sorong. Pabrik yang akan
Seminar Material Metalurgi 2010
dibangun berkapasitas produksi 20.000 ton Ni/tahun berbentuk katoda Ni dan 2.000 ton
Co/tahun berbentuk katoda Co. Pada April 1996, pemerintah memberi ijin kepada PT Weda
Bay Nickel (WBN) Canada untuk mengolah laterit terutama limonit di Weda Halmahera
dengan HPAL. Selanjutnya WBN melakukan eksplorasi dan berbagai studi untuk mengolah
laterit dengan HPAL sampai 2005. Pada tahun 2006 tepatnya bulan Mei, WBN telah resmi
berpindah kepemilikan ke Eramet Perancis. Sampai saat ini (2010), baik PT BHP maupun PT
WBN belum merealisasikan proyeknya walaupun kedua perusahaan tersebut telah mendapat
izin resmi dari pemerintah pada tahun 1998 untuk kontrak karya pertambangan generasi ke-7.
Bahkan pada tahun 2009, PT BHP mengembalikan ijin ke pemerintah sedangkan Eramet
Pada saat ini (2010) mungkin kapasitas produksi sudah meningkat menjadi 49.000 ton
Ni + Co/tahun dalam bentuk NiS. Karena pabrik Moa telah merencanakan untuk
meningkatkan kapasitas produksi menjadi 49.000 ton Ni + Co/tahun.
Disamping kesuksesan Moa Bay, dari segi teknis berdasarkan uji laboratorium
maupun pilot plant maka HPAL bisa juga digunakan untuk mengolah berbagai jenis laterit
dengan kandungan MgO sampai 15 %, dan lebih ekonomis dari pada HPAL plant di Moa
Bay. Seperti yang diklaim oleh AMAX USA berdasarkan litbang (penelitian dan
pengembangan) pengolahan laterit dengan HPAL sejak tahun 1960-an, uji pilot plant pada
tahun 1975, dan kerja sama AMAX USA dengan COFREMMI Perancis pada tahun 1978.
Proses HPAL lebih meyakinkan setelah uji pilot plant pada skala besar dilakukan oleh
AMAX-COFREMMI pada tahun 1978 – 1981 untuk mengolah laterit Kaledonia Baru, yaitu
limonit dengan kandungan 0,4 % Mg dan 1,2 % Ni sampai garnerit (saprolit) dengan
kandungan Mg > 18 % dan Ni 3 %. Serta kesuksesan kerja sama pemerintah Cuba - Sherrit
Gordon pada HPAL plant di Moa Bay. Kenyataan ini menyebabkan proses Caron makin
ditinggalkan, dan terjadi kecenderungan Untuk mengolah laterit terutama limonit dengan
HPAL.
Karena produksi nikel yang berasal bijih nikel sulfida praktis konstan sedangkan
kebutuhan nikel dunia terus meningkat. Sedangkan didalam laterit jumlah cadangan global
limonit lebih besar dari pada saprolit seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7, dan berdasarkan
Seminar Material Metalurgi 2010
kajian ekonomi untuk memproduksi 35.000 ton Ni dari laterit seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 8, ternyata biaya proses HPAL paling murah apabila dibandingkan dengan proses
Caron maupun pyrometalurgi. Maka HPAL dijadikan pilihan utama untuk mengolah laterit
terutama limonit, dan litbang pengolahan laterit dengan HPAL terus dilakukan.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 387
Tabel 8. Basics Conditions and economics 11)
Pyromet Caron Acid Leach
Process
(RK-ELKEM) (Ammonia Leach) (Sulfuric Acid)
Ore Throughput
Dry Mt/y 1.64 3.11 2.59
Grade
Ni % 2.25 1.5 1.5
Co 0.05 0.12 0.12
Fe 15-20 35 35-40
Mg - - 3-4
Moisture 25 35 35
Recovery
Ni % 95 75 90
Co 0 50 85
Production-t
Nickel as FeNi 35,000 - -
as NiO - 31,270 -
as Metal - 3,730 35,000
Total 35,000 35,000 35,000
Cobalt as Metal Nil 1,870 2,650
Energy Base Hydro & Oil Oil Oil
Requirements
Power - MW 125 45 30
- kWH/tdo 610 - -
Fuel oil – kg/tdo 65 190 39
Sulphur – kg/tdo - 2 89
Capital-$/Annual lb.Ni
Fixed, Int, Commision $ 8.65 $ 9.06 $ 6.55
Working Capital 0.35 0.69 0.60
Total Capital $ 9.00 $ 9.75 $ 7.15
Operating- $/lb Ni
Energy $ 0.18 $ 0.67 $ 0.12
Reagents - 0.04 0.25
Other 0.52 0.66 0.84
Total Direct $ 0.70 $ 1.37 $ 1.22
Capital Recovery 1.00 1.05 0.76
Cobalt Credit Nil (0.27) (0.38)
Net Total Cost -$5 Co $ 1.70 $ 2.15 $ 1.60
-$10 Co $ 1.70 $ 1.80 $ 1.10
Pada tahun 1990-an, para pemain nikel dunia mulai merencanakan untuk mengolah
limonit dengan HPAL untuk memenuhi kebutuhan nikel dunia dan dibangun tiga (3) HPAL
plant generasi kedua di Australia yang mulai beroperasi tahun 1999. Ketiga plant di Australia
Seminar Material Metalurgi 2010
adalah Murrin Murrin dengan kapasitas produksi 45.000 ton Ni/tahun dalam bentuk briket,
Cawse dengan kapasitas produksi 9.000 ton Ni/tahun dalam bentuk katoda Ni, dan Bulong
dengan kapasitas produksi 7.000 ton Ni/tahun dalam bentuk katoda Ni. Selain di Australia,
HPAL juga dibangun di Kaledonia Baru oleh Goro INCO dengan kapasitas produksi 54.000
ton Ni/tahun dalam bentuk NiO dan di Philipina oleh Coral Bay Project of Sumitomo/Mitsui
Jepang dengan kapasitas produksi 10.000 ton Ni/tahun dalam bentuk NiS.
Sepuluh tahun kemudian setelah beroperasi, tiga HPAL plant Australia ternyata gagal
total karena teknologi HPAL belum mapan (unproven technology) untuk mengolah limonit
yang tidak mirip dengan limonit Moa Bay. Hal ini telah terbukti pada saat HPAL digunakan
untuk mengolah laterit kadar rendah (limonit) Australia dengan kandungan silikat tinggi (SiO2
Daftar Pustaka :
1. Alcock, R.A., “The Character And Occurance Of Primary Resources Available To
The Nickel Industry”, INCO LIMITED 2060 Flavelle Blvd Sheridan Park research
Center Mississauga, Ontario, Canada L5K 1Z9, Extractive Metalurgy of Nickel and
Cobalt, edited By G.P. Tyroler and C.A. Landolt The Metallurgical Society, 1988.
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 389
5. Dalvy, A.D., Guiry, J.D., Osborne, R.C., "Developments at PT INCO's Indonesian
Nickel Project", 25th Annual Conference of Metallurgist 1986, August 17 - 20, 1986,
Toronto, Ontario, Canada.
6. Dalvy, A.D., Bacon, Gordon., Osborne, R.C., "The Past and the Future of Nickel
Laterites", INCO LIMITED 2060 Flavelle Blvd Sheridan Park research Center
Mississauga, Ontario, Canada L5K 1Z9, PDAC 2004 International Convention, Trade
Show & Investors Exchange March 7-10, 2004.
7. Data data lepas dari PT Aneka Tambang.
8. Habashi, Fathi., "Nickel in Cuba", Laval University, Quebec City, Canada G 1KP4.,
WILEY VCH, Proceeding of The Paul E. Queneau International Symposium,
Extractive Metallurgy of Copper, Nickel, and Cobalt, Volume I : Fundamental aspecs,
1993.
9. Habashi, Fathi., "Nickel", Handbook of Extractive Metallurgy, Volume II, Department
of Mining and Metallurgy, Laval University, Quebec City, Canada G 1KP4., WILEY
VCH, 1997.
10. Mccalcum, Rebecca., “Nickel”, Australian Commodities vol 14 no 1 March Quarter
2007, ABARE Australia.
11. Simons, C.S., “The Production of Nickel : Extractive Metallurgy – Past, Present, and
Future”, Consulting Chemical and Metallurgical Engineer Tucson, Arizona USA,
Extractive Metalurgy of Nickel and Cobalt, edited By G.P. Tyroler and C.A. Landolt
The Metallurgical Society, 1988.
12. Slamet Darmoko., President Director PT Aneka Tambang, “Development of Nickel
Industry in Kawasan Timur Indonesia”, Seminar and Workshop on Mamberano River
Catchment Area Development: As a Growth Area in Eastern Part of Indonesia,
Jakarta, April 7-8, 1997.
13. Taylor, Alan., “Nickel Processing Technology 10 Years On From Cawse, Bulong And
Murrin Murrin”, ALTA Metallurgical Services-Australia, 2007.
14. Wiryokusumo, y., Loebis, A.S., Badrujaman, T., Miraza., T., "Pomalaa Ferronickel
Smelting Plant of PT Aneka Tambang", South-East Sulawesi Indonesia,
Pyrometallurgical Operations Enviroment Vessel Integrity in High-intensity Smelting
and Converting Processes, Proceedings of The Nickel Cobalt 97 International
Symposium Volume III, August 17 - 20, 1997, Sudbury, Ontario Canada.
Seminar Material Metalurgi 2010
Saefudin
Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan PUSPIPTEK Serpong Banten 15314
Abstract
Pada penelitian ini, dilakukan pembuatan pelat tipis dengan prosess rapid solidifikasi twin roll dari
material aluminium paduan yang temperatur peleburannya 800oC. Kemudian material tersebut dilebur dan di
roll dalam kedaan material cair dan cairan akan mengalami pembekuan cepat akibat roll keadaan dingin,
sehingga material mengalami terdeformasi menjadi pelat tipis. Hasil pelat tipis dari material tersebut diuji
kekerasan, struktur mikronya dan SEM. Adapun hasil pengujian kekerasan tersebut diperoleh pada material
pelat tipis aluminium paduan kekerasan yang diperoleh tinggi baik pada posisi searah roll. Hal ini materialnya
mengalami penggetasan dan robek akibat fasa yang diperoleh adalah denritik sedangkan sifat fasa denritik
sendiri getas. Kemudian hasil roll pelat tipis tersebut mengalami robek diakibatkan oleh unsur yang dikandung
yaitu Al, Mg, Si, Mn, Cu hal ini akan mengakibatkan terjadinya unsur partikel keras mgSi2 bila di roll akan
timbul retakan.
Kata Kunci : Al paduan, Rapid solidifikasi, Twin roll, Nozel, Pelat tipis, Pengggetasan, Denritik, Partikel keras
(senyawa logam), robekan.
PENDAHULUAN.
Semakin majunya teknologi industri pembentukan pelat tipis di Indonesia, Semakin
berkembangnya pembuatan pelat tipis dengan cara proses solidifikasi twin roll.
Pada pembuatan pelat tipis secara rapid solidifikasi twin roll sangat berbeda dengan
pembentukan pelat tipis secara biasa, sebab kalau pembuatan pelat tipis secara biasa material
yang diroll dalam keadaan padat baik roll panas maupun roll dingin. Tetapi bila pada proses
rapid solidifikasi twin roll, materialnya dalam keadaan cair dituang kedalam roll melalui
nozzle. Kemudian material cair mulai turun suhunya dari nozle kemudian terjadi pembekuan
cepat pada roll, sebab roll dalam keadaan dingin terus material terdeformasi menjadi pelat
tipis. Pada pembuatan pelat tipis dengan cara rapid solidifikasi twin roll dari material
aluminium paduaan mempunyai kendala yaitu hasil roll pelat tipis mengalami penggetasan
dan robek. Maka dalam penelitian ini difokuskan pada penyebab dari terjadinya penggetasan
dan robek pada proses pembuatan pelat tipis dengan cara rapid solidifikasi twin roll dari
material aluminium paduan tersebut. Maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk mendapat
kan pelat tipis dari aluminium paduan dengan cara rapid solidifikasi twin roll. Tujuan
penelitian ini untuk melihat penyebab terjadinya penggetasan dan robek pada pembuatan pelat
tipis dengan cara rapid solidifikasi twin roll dari material aluminium paduan.
TEORI DASAR.
Seminar Material Metalurgi 2010
Kekuatan Bahan
Kekuatan bahan dapat didefinisikan sebagai ketahanan bahan terhadap deformasi.
Dalam praktek, angka kekuatan suatu bahan diperoleh dari pengujian mekanik ( misalnya :
Pengujian tarik). Kekuatan bahan dapat dinyatakan dengan kekuatan luluh ( Yield strength)
ataupun kekuatan tarik (tensile strength). Bila ditinjau lebih dalam, yaitu dari teori dislokasi,
maka deformasi atau perubahan bentuk terjadi apabila dislokasi-yang ada didalam logam
bergerak kepermukaan luar. Dislokasi-dislokasi akan bergerak bila ada tegangan geser yang
bekerja pada dislokasi tersebut. Tegangan geser ini berasal dari beban atau gaya luar yang
bekerja pada logam tersebut. Dengan demikian maka mudah atau tidaknya gerakan dislokasi
akan menentukan mudah atau tidaknya suatu bahan mengalami deformasi. Semakin sukar
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 391
dislokasi –dislokasi bergerak, maka semakin tinggi pula kekuatan logam tersebut. Dengan
perkataan lain : Kekuatan logam adalah tahan terhadap gerakan dislokasi. Dari titik tolak
inilah maka dikembangkan berbagai metoda untuk menaikan kekuatan logam, beserta teori
yang mendasarinya.
Beberapa rintanagan (obstacles) terhadap gerakan dislokasi dapat terlihat pada struktur
mikro. Demikianlah maka struktur mikro mempengaruhi kekuatan logam serts sifst-sifst
mekanik yang lain.
Ukuran Butir.
Ukuran butir pada coran diprhitungan oleh hubungan antara kecepatan pertumbuhan G
dan kecepatan pengintian N. Jika jumlah dari pengintian terbentuk tinggi material yang akan
dihasilkan berbutir halus, dan jika hanya terbentuknya pengintian sedikit material yang
dihasilkan berbutir kasar. Kecepatan pendinginan adalah faktor yang paling penting dalam
membedakan kecepatan dalam pengintian dan oleh karena itu ukuran butir, keceptan
pendinginan (chill cast) akan menghasilkan jumlah yang besar terbentuknya inti dan ukuran
butir halus. Dimana pendinginan pelan (coran pasir) atau cetaakan panas hanya terbentuk
pengintian sedikit saja dan mereka akan mempunyai perubahan pertumbuhan. Penguapan
cairan sebelum pengintian bisa membentuk lebih dan mereka akan telah berubah untuk
pertumbuhan. Faktor-faktor lain yang menambah kecepatan untuk pengintian, kemudian
membantu pembentukan untuk butir halus adalah :
1. Kelarutan pengotor demikian seperti Aluminium dan titanium yang membentuk
kelarutan oksida pada baja.
2. Pengadukan cairan selama pembekuan yang mana menuju memecahkan atas kristal
sebelum mereka telah berubah pertumbuhan sangat besar.
Pertumbuhan relatif cepat untuk kecepatan pengintian lebih beasar pada atau
pengaturan dibawah titik pembekuan, jika jika cairan tepat betul menjaga temperatur
pembekuan dan permukaan diuletkan oleh suatu kristal sangat kecil (bibit). Kristal akan
tumbuh kebawah dalam cairan. Jika itu ditarik pelan-pelan kristal tunggal bisa dihasilkan.
Pada umumnya, kristal-kristal berbutir halus memperlihatkan ketangguhan atau tahan shock
Seminar Material Metalurgi 2010
lebih baik. Mereka lebih keras dan lebih kuat dari pada material berbutir kasar. Dalam industri
proses pengecoran, dimana cairan panas berhubungan dengan suatu cetakan masih dingin,
gradiaen temperatur akan ada dalam cairan. Bagian luar adalah pada temperatur paling
rendahdari pada pusat dan oleh karena itu mulai untuk pertama pembekuan. Kemudian
beberapa pengitian terbentuk pada dinding cetakan dan mulai untuk tumbuh pada segala arah.
Mereka meneruskan aliran kedalam samping dari cetakan dan masing-masing lainnya. Agar
arah tak terbatas hanya untuk pertumbuhan ke bagian pusat. Hasil butir-butir berkolom
panjang, salah satunya, tegak lurus pada permukaan cetakan. Ini menggambarkan untuk Pb
kemurnian tinggi, Seterusnya kedinding cetakan, dimana kecepatan pendinginan adalah cepat
berbutir kecil. Sewaktu kebagian pusat dimana kecepatan pendinginan pelan butir lebih besar
LANGKAH PERCOBAAN
Dalam percobaan ini dilakukan proses peleburan dari material aluminium paduan.
Dimana proses peleburan dilakukan pada suhu peleburan aluminium paduan 800°C. Dalam
proses peleburan menggunakan tungku listrik yaitu tungku mufle dimana suhu operasi tungku
tersebut max 1200°C, menggunakan krusible SiC sebagai wadah cairan logam dengan
kapasitas ± 1 kg. Dari bahan yang sudah dipotong – potong dimasukan kedalam krusibel dan
dimasukkan ke tungku. Kemudian atur suhu peleburannya serta ditahan sampai logam
mencair setelah mencair krusibel dikeluarakan dari tungku. Selanjutnya atur suhu penuangan
dengan cara menurunkan suhu tuangnya, misal untuk material aluminium paduan sekitar
649°C. Setelah suhu cairan dalam krusibel sudah mencapai suhu penuangan yang diminta,
kemudian langsung dituangkan dalam roll melalui nozle. Maka cairan akan mengalami
penurunan suhu dari nozle ke roll didaerah roll akan terjadi pendinginan cepat akibat kedaan
roll yang dingin sehingga cairan akan membeku sempurna dan terdeformasi menjadi pelat
tipis. Dari hasil proses roll berupa pelat tipis kemudian diuji struktur mikro dan kekerasan
(Hv),dan SEM dari data percobaan penelitian di kumpulkan kemudian dibahan dan diambil
kesimpulannya. Adapun diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Proses Peleburan
Aluminium paduan
Pengerolan
Cacat getas pada hasil roll
Pengujian
Pembahasan
Kesimpulan
Seminar Material Metalurgi 2010
Proses Peleburan.
Aluminium paduan mempunyai suhu lebur rendah sehingga peleburan cukup
menggunakan tungku mufle, dimana suhu operasi tungku tersebut sekitar 1200°C. Tungku
mufle ini menggunakan energi listrik, sehingga cairan yang dilebur cukup bersih
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 393
dibandingkan dengan tungku arang atau tungku enersi minyak. Suhu bisa diatur karena
mempunyai termokontrol dan termokopel yang otomatis. Adapaun tempat cairan logam
menggunakan krusibel yang terbuat silikon karbida yang mempunyai kapasitas 0.5 sampai 1
kg. Adapun tungku mufle dapat dilihat pada Gambar 2.
Roll
Nozzle
Gambar 5. Posisi pengambilan uji keras searah roll dan tidak searah roll..
Untuk hasil uji kekerasan aluminium paduan tidak searah roll adalah 175.6, 165.2,
155.8, 167.2, 165.2 Hv dengan kekerasan rata-rata 165.8 Hv. Sedang untuk aluminium
paduan hasil uji kekerasan searah roll adalah 167.2, 153.1, 181.1, 181.1, 193.0 HV dengan
kekerasan rata-rata 175.1 Hv.
Pada pemeriksaan struktur mikro dari hasil roll pelat tipis dengan tebal 0.5 mm
tersebut, Posisi pemeriksaannya yaitu posisi serah roll, tidak searah roll. Sedangkan
pembesaran nya 20 µm. Adapun hasil pemeriksaan struktur mikro posisi searah dengan roll
dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 395
Gambar 6. Hasil struktur mikro sampel posisi searah roll dengan pembesaran 30µm. Untuk material Aluminium
paduan.
Gambar 7. Hasil struktur mikro sampel posisi tidak searah roll dengan pembesaran 30µm. Untuk material
Aluminium paduan
Pemeriksaan struktur mikro dengan SEM searah roll dan tidak searah roll dengan
pembesaran 450 X seperti terlihat pada Gambar 8 dan Gambar 9.
Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 8. Pemeriksaan struktur mikro searah roll dengan SEM dengan pembesaran 450 X.
004
10500
AlKa
9000
7500
CuLa
Counts
6000
MnLl MnLa CuLl
MgKa
4500
MnKb
3000
MnKa
CuKb
CuKa
SiKa
1500
0
0.00 3.00 6.00 9.00 12.00 15.00 18.00 21.00
keV
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 397
Tabel 1. Hasil analisa kuantitatif komposisi kimia pada daerah 004.
ZAF Method Standardless Quantitative Analysis
Fitting Coefficient : 0.2393
Element (keV) Mass% Error% Atom% Compound Mass% Cation K
Mg K 1.253 12.51 0.30 13.73 15.1848
Al K 1.486 85.83 0.40 84.88 83.8547
Si K* 1.739 1.29 1.01 1.23 0.5798
Mn K* 5.894 0.20 1.52 0.10 0.2064
Cu K* 8.040 0.17 3.16 0.07 0.1743
Total 100.00 100.00
005
100
100 µm
µm
Gambar 11. Posisi penembakan daerah 005.
005
6400
5600
AlKa MgKa
4800
4000
CuLa
Counts
3200
MnLl MnLa CuLl
2400
MnKb
1600
MnKa
CuKb
CuKa
SiKa
800
0
0.00 3.00 6.00 9.00 12.00 15.00 18.00 21.00
keV
Seminar Material Metalurgi 2010
100
100 µm
µm
Gambar 13. Posisi penembakan daerah 006.
006
12000
10500
AlKa
9000
7500
Counts
6000
MgKa
4500
MnKb
MnLl MnLa
3000
MnKa
SiKa
1500
0
0.00 3.00 6.00 9.00 12.00 15.00 18.00 21.00
keV
Gambar 14. Grafik unsur yang ada pada daerah 006.
Tabel 3. Hasil analisa kuantitatif komposisi kimia pada daerah 006.
ZAF Method Standardless Quantitative Analysis
Fitting Coefficient : 0.2432
Element (keV) Mass% Error% Atom% Compound Mass% Cation K
Mg K 1.253 15.96 0.29 17.44 20.1250
Al K 1.486 82.88 0.41 81.56 79.2293
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 399
007
100
100 µm
µm
Gambar 15. Posisi penembakan daerah 007.
007
12000
10500
AlKa
9000
CuLl MnLa CuLa
7500
Counts
6000
MgKa
4500
MnKb
MnLl
3000
MnKa
CuKb
CuKa
CKa
SiKa
1500
0
0.00 3.00 6.00 9.00 12.00 15.00 18.00 21.00
keV
PEMBAHASAN
Pada pembahasan ini, ditinjau dari hasil kekerasan (Hv) dari material aluminium
paduan terlihat pada grafik Gambar 17, ternyata pada grafik kekerasan menyatakan kekerasan
yang paling tinggi pada posisi searah dengan roll. Disini bisa dilihat pada struktur mikro
butirnya lebih halus posisi tidak searah roll dibandingkan dengan searah roll besar butirnya
kasar (besar) sehingga kekerasannya tinggi. Disamping itu pada aluminium paduan kekerasan
sangat tinggi sehingga sifat materialnya hasil roll berupa pelat tipis sangat getas dan
mengalami robekan, hal ini diakibatkan oleh fasa yang ada pada material tersebut adalah
S earah rol
Gambar 17. Hasil kekerasan pelat tipis aluminium paduan hasil roll.
KESIMPULAN
Hasil kekerasan aluminium paduan sangat tinggi sehingga material menjadi getas, hal
ini diakibatkan fasa yang ada diperoleh denritik yang bersifat getas.
Karena kandungan unsur Mg dan si tinggi pada material sehingga mengakibatkan
membentuk partikel yang keras yaitu MgSi2 maka bila material mengalami roll akan terjadi
robekan. Karena paduan unsur yang tinggi misal Mg, Si maka material tersebut tidak bisa
diroll.
DAFTAR PUSTAKA.
1. Surdia T., Chijiwa k., 2000 “ Teknik Pengecoran Logam “ Cetakan Ke 8, PT Pradnya
Paramitha, Jakarta.
2. Heine R. W, “ Principle of Metal Casting “ Tata Mc Graw Repint 1978.
3. Sidney H Avner, “ Introduction to Physical Metallurgy’ , Second Edition, Copy Right
© 1974 by Mc Graw Hill Inc.
4. Dr. Ir. Mardjono Siswo Suwarno, “ Mata Kuliah Metal Mekanik “ A.I.L. Bandung
1982.
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 401
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Pada penelitian ini, dilakukan pembuatan pelat tipis dengan prosess rapid solidifikasi twin roll dari
material pewter yang temperatur peleburan 500oC, aluminium yang temperatur peleburannya 750oC dan
aluminium paduan yang temperatur peleburannya 800 oC. Kemudian ketiga material tersebut masing-masing
dilebur dan di roll dalam kedaan material cair dan cairan akan mengalami pembekuan cepat akibat roll
keadaan dingin, sehingga material mengalami terdeformasi menjadi pelat tipis. Masing-masing hasil pelat tipis
dari ketiga material tersebut diuji kekerasan dan struktur mikronya. Adapun hasil pengujian tersebut diperoleh
pada material pewter dan aluminium pada posisi tidak searah roll paling tinggi kekerasannya, walau
kekerasannya yang didapat berbeda karena sifat materialnya berbeda. Hal ini diakibatkan besar butirnya lebih
kasar (Besar) dibandingkan dengan posisi searah roll yang berbutir halus (kecil). Tetapi pada pelat tipis
aluminium paduan kekerasan yang diperoleh tinggi baik pada posisi searah roll hal ini berbeda dari kedua sifat
material, dan materialnya mengalami penggetasan dan robek hal ini akibat fasa yang diperoleh adalah denritik
sedangkan sifat fasa denritik sendiri getas. Kemudian material mengalami robek diakibatkan oleh unsur yang
dikandung material tersebut yaitu Al, Mg, Si, Mn, Cu hal ini akan mengakibatkan terjadinya unsur partikel
keras mgSi2 bila di roll akan timbul retakan. Kesimpulan, material al paduan tidak bisa diroll akibat unsur Mg
dan Si cukup tinggi.
Kata Kunci : Al paduan, Rapid solidifikasi, Twin roll, Nozel, Pelat tipis, Pengggetasan, Dendritik, Partikel
keras (senyawa logam), robekan
PENDAHULUAN
Semakin maju teknologi dalam proses pembentukkan pelat tipis dikalangan industri di
Indonesia, yaitu proses pembentukkan pelat tipis dengan proses rapid solidification twin roll.
Proses tersebut tidak sama dengan proses pembentukkan pelat tipis secara biasa, dimana
proses pembentukkan pelat tipis dengan deformasi roll dari material dalam kedaan padat baik
dalam cold roll maupun hot roll prosesnya. Tetapi dalam proses secara rapid solidification
twin roll berbeda yaitu material dalam keadaan cair dan di tuangkan dalam roll melalui nozzle
sudah barang tentu cairan akan turun suhunya dari mulai nozzle dan sampai ke roll akan
terjadi kecepatan pembekuan karena roll dalam keadaan dingin sehingga cairan akan
mengalami pembekuan kemudian terjadi deformasi pelat tipis pada roll tersebut. Dalam
proses ini akan mengalami kendala pada pengaturan suhu penuangan, bila keadaan suhu
tinggi cairan masih kedaan cair sehingga tak bisa keroll karena material akan lewat terus
dalam keadaan cair, bila suhu terlalu rendah maka terjadi pembekuan dini sehingga cairan
Seminar Material Metalurgi 2010
membeku dahulu sebelum melewati roll. Dalam hal ini suhu penuangan harus benar tepat
sehingga terjadi deformasi pada roll karena cairan akan mengalami pembekuan yang cepat di
roll. Pada penelitian ini akan difokuskan pada proses pembuatan pelat tipis dengan cara proses
rapid solidification twin roll dari material pewter, aluminium dan aluminium paduan. Maksud
dan tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan pelat tipis dari proses rapid solidification
twin roll dari material pewter, aluminium dan aluminium paduan. Sedang tujuan penelitian ini
untuk melihat sifat mekaniknya terutama sifat kekerasannya dan struktur mikro.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 403
TEORI DASAR
Kekuatan Bahan
Kekuatan bahan dapat didefinisikan sebagai ketahanan bahan terhadap deformasi.
Dalam praktek, angka kekuatan suatu bahan diperoleh dari pengujian mekanik ( misalnya :
Pengujian tarik). Kekuatan bahan dapat dinyatakan dengan kekuatan luluh ( Yield strength)
ataupun kekuatan tarik (tensile strength). Bila ditinjau lebih dalam, yaitu dari teori dislokasi,
maka deformasi atau perubahan bentuk terjadi apabila dislokasi-yang ada didalam logam
bergerak kepermukaan luar. Dislokasi-dislokasi akan bergerak bila ada tegangan geser yang
bekerja pada dislokasi tersebut. Tegangan geser ini berasal dari beban atau gaya luar yang
bekerja pada logam tersebut. Dengan demikian maka mudah atau tidaknya gerakan dislokasi
akan menentukan mudah atau tidaknya suatu bahan mengalami deformasi. Semakin sukar
dislokasi –dislokasi bergerak, maka semakin tinggi pula kekuatan logam tersebut. Dengan
perkataan lain : Kekuatan logam adalah tahan terhadap gerakan dislokasi. Dari titik tolak
inilah maka dikembangkan berbagai metoda untuk menaikkan kekuatan logam, beserta teori
yang mendasarinya.
Beberapa rintangan (obstacles) terhadap gerakan dislokasi dapat terlihat pada struktur
mikro. Demikianlah maka struktur mikro mempengaruhi kekuatan logam serts sifst-sifst
mekanik yang lain.
Ukuran Butir.
Ukuran butir pada coran diprhitungan oleh hubungan antara kecepatan pertumbuhan G
dan kecepatan pengintian N. Jika jumlah dari pengintian terbentuk tinggi material yang akan
dihasilkan berbutir halus, dan jika hanya terbentuknya pengintian sedikit material yang
dihasilkan berbutir kasar. Kecepatan pendinginan adalah faktor yang paling penting dalam
membedakan kecepatan dalam pengintian dan oleh karena itu ukuran butir, keceptan
pendinginan (chill cast) akan menghasilkan jumlah yang besar terbentuknya inti dan ukuran
butir halus. Dimana pendinginan pelan (coran pasir) atau cetaakan panas hanya terbentuk
pengintian sedikit saja dan mereka akan mempunyai perubahan pertumbuhan. Penguapan
cairan sebelum pengintian bisa membentuk lebih dan mereka akan telah berubah untuk
pertumbuhan. Faktor-faktor lain yang menambah kecepatan untuk pengintian, kemudian
Seminar Material Metalurgi 2010
Pertumbuhan relatif cepat untuk kecepatan pengintian lebih beasar pada atau
pengaturan dibawah titik pembekuan, jika jika cairan tepat betul menjaga temperatur
pembekuan dan permukaan diuletkan oleh suatu kristal sangat kecil (bibit). Kristal akan
tumbuh kebawah dalam cairan. Jika itu ditarik pelan-pelan kristal tunggal bisa dihasilkan.
Pengerolan
Pelat tipis
Pengujian
Pembahasan
Kesimpulan
suhu 500oC, aluminium pada suhu 750 oC dan aluminium paduan 800 oC. Dalam proses
peleburan menggunakan tungku listrik yaitu tungku mufle dimana suhu operasi tungku
tersebut max 1200 oC, menggunakan krusible SiC sebagai wadah cairan logam dengan
kapasitas ± 1 kg. Dari bahan yang sudah dipotong – potong dimasukan kedalam krusibel dan
dimasukkan ke tungku. Kemudian atur suhu peleburannya serta ditahan sampai logam
mencair setelah mencair krusibel dikeluarakan dari tungku. Selanjutnya atur suhu penuangan
dengan cara menurunkan suhu tuangnya, misal untuk material pewter suhu penuangan sekitar
450 oC, aluminium sekitar 625 oC dan aluminium paduan sekitar 649 oC. Setelah suhu cairan
dalam krusibel sudah mencapai suhu penuangan yang diminta, kemudian langsung dituangkan
dalam roll melalui nozle. Maka cairan akan mengalami penurunan suhu dari nozle ke roll
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 405
didaerah roll akan terjadi pendinginan cepat akibat kedaan roll yang dingin sehingga cairan
akan membeku sempurna dan terdeformasi menjadi pelat tipis. Dari hasil proses roll berupa
pelat tipis kemudian diuji struktur mikro dan kekerasan (Hv), dari data percobaan penelitian
di kumpulkan kemudian dibahan dan diambil kesimpulannya. Adapun diagram alir penelitian
dapat dilihat pada Gambar 1.
Proses Peleburan.
Karena bahan pewter,Aluminium dan aluminium paduan mempunyai suhu lebur
rendah sehingga peleburan cukup menggunakan tungku mufle, dimana suhu operasi tungku
tersebut sekitar 1200°C. Tungku mufle ini menggunakan energi listrik, sehingga cairan yang
dilebur cukup bersih dibandingkan dengan tungku arang atau tungku energi minyak. Suhu
bisa diatur karena mempunyai termokontrol dan termokopel yang otomatis. Adapaun tempat
cairan logam menggunakan krusibel yang terbuat silikon karbida yang mempunyai kapasitas
0.5 sampai 1 kg. Adapun tungku mufle dapat dilihat pada Gambar 2.
dilengkapi dengan nozel sebagai pengalir cairan ke roll. Cairan akan terjadi pendinginan cepat
diantara kedua roll tersebut, kenapa karena roll keadaan dingin sehingga cairan logam akan
mengalami pembekuan cepat. Dimana kecepatan roll yang digunakan adalah 20 rpm. Dan
nozel tergantung gape roll dan gape roll tergantung hasil tebal pelat yang akan dihasilkan.
Cairan yang sudah siap dituang di masukan pada nozel dan akan mengalir pada roll dan cairan
juga akan mengalami pembekuan cepat pada roll sehingga logam yang telah membeku akan
ke roll dan menjadi pelat tipis. Adapun mesin roll yang digunakan dapat dilihat pada Gambar
3.
Nozle
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 407
Gambar 5. Hasil roll sudah dalam keadaan dipotong dengan tebal 0.5 mm pewter.
Searah roll
Hv. Untuk aluminium hasil uji kekerasan permukaan 41.31, 44.16, 49.84, 51.51, 54.19 Hv
dengan kekerasan rata-rata 48.2 Hv.
Sedang untuk aluminium paduan hasil uji kekerasan searah roll adalah 167.2, 153.1,
181.1, 181.1, 193.0 HV dengan kekerasan rata-rata 175.1 Hv. Untuk aluminium paduan hasil
uji kekerasan tidak searah roll adalah 175.6, 165.2, 155.8, 167.2, 165.2 Hv dengan kekerasan
rata-rata 165.8 Hv.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 409
Hasil Pemeriksaan Struktur Mikro
Pada pemeriksaan struktur mikro dari hasil roll pelat tipis dengan tebal 0.5 mm
tersebut. Posisi pemeriksaannya seperti Gambar 7 yaitu posisi serah roll, tidak searah roll dan
permukaan. Sedangkan pembesaran nya 20 µm. Adapun hasil pemeriksaan struktur mikro
posisi searah dengan roll dapat dilihat pada Gambar 9 untuk material pewter. Adapun hasil
pemeriksaan struktur mikro posisi tidak searah dengan roll dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 9. Hasil struktur mikro sampel posisi Gambar 10. Hasil struktur mikro sampel posisi
searah roll dengan pembesaran 20µm. tidak searah roll dengan pembesaran
Untuk material pewter. 20µm. Untuk material pewter.
Gambar 11. Hasil struktur mikro sampel posisi pada permukaan dengan pembesaran20µm. Untuk material
pewter.
Adapun hasil pemeriksaan struktur mikro posisi pada permukaan dapat dilihat pada
Gambar 11. Sedangkan pembesaran nya 20 µm. Adapun hasil pemeriksaan struktur mikro
posisi searah dengan roll dan tidak searah roll dapat dilihat pada Gambar12 dan Gambar 13
untuk material Aluminium.
Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 12. Hasil struktur mikro sampel posisi Gambar 12. Hasil struktur mikro sampel posisi
searah roll dengan pembesaran tidak searah roll dengan pembesaran
20µm. Untuk material Aluminium. 20µm. Untuk material Aluminium.
Gambar 14. Hasil struktur mikro sampel posisi Gambar 15. Hasil struktur mikro sampel posisi tidak
searah roll dengan pembesaran 30µm. searah roll dengan pembesaran 30µm.
Untuk material Aluminium paduan. Untuk material Aluminium paduan
PEMBAHASAN
Pada pembahasan ini, ditinjau dari hasil kekerasan (Hv) setiap material terlihat pada
grafik Gambar 16 s/d Gambar 18, ternyata pada material pewter dan aluminium walaupun
kekerasannya berbeda karena sifat material masing-masing. Tetapi grafik kekerasan
menyatakan kekerasan yang paling tinggi pada posisi tidak searah dengan roll. Berbeda
dengan grafik kekerasan pada aluminium paduan yang paling tinggi justru searah dengan roll.
Disini bisa dilihat pada struktur mikro dari kedua material tersebut yaitu pewter dan
aluminium, ternyata dari kedua material tersebut terlihat sama pada posisi searah dengan roll
besar butirnya lebih halus dibandingkan dengan posisi tidak searah dengan roll besar butirnya
kasar (besar) sehingga kekerasannya tinggi. Disamping itu pada aluminium kekerasan sangat
tinggi sehingga sifat materialnya hasil roll berupa pelat tipis sangat getas dan mengalami
robekan serta patah, hal ini diakibatkan oleh fasa yang ada pada material tersebut adalah
denritik yang bersifat getas, kemudian oleh kandungan unsurnya yaitu Al, Mg, Si, Cu, Mn ini
yang bisa membentuk fasa keras yaitu senyawa logam MgSi2 partikel keras ini bisa
menyebabkan penggesan dan timbul robekan serta patah hal ini bisa dilihat pada Gambar 7
diatas.
Permukaan
Posisi pengujian
Tidak S R
Seminar Material Metalurgi 2010
searah roll
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kekerasan HV
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia || 411
Hasil Kekerasan Pelat Tipis Aluminium
permukaan
Posisi Uji
tdk searah rol
Searah rol
0 10 20 30 40 50 60
Kekerasan (Hv)
H a s il K e k e ra s a n P e la t tip is A lu m in iu m P a d u a n
S earah rol
Gambar 17. Hasil kekerasan pelat tipis aluminium paduan hasil roll.
KESIMPULAN
Pada hasil kekerasan pewter dan aluminium kekerasan paling tinggi adalah pada posisi
tidak searah dengan roll, diakibatkan oleh besar butir lebih besar (kasar) dibandingkan pada
posisi searah roll yang berbutir halus. Hal ini besar butir kasar akan bersifat keras.
Suhu penuangan pewter yang tepat sekitar 450°C dan aluminium sekitar 679°C,
peleburan pada 500°C untuk pewter dan aluminium pada 750°C.
Hasil kekerasan aluminium paduan sangat tinggi sehingga material menjadi getas, hal ini
diakibatkan fasa yang ada diperoleh denritik yang bersifat getas. Karena kandungan unsur Mg
dan si tinggi pada material sehingga mengakibatkan membentuk partikel yang keras yaitu
MgSi2 maka bila material mengalami roll akan terjadi robekan. Karena paduan unsur yang
tinggi misal Mg, Si maka material tersebut tidak bisa diroll.
DAFTAR PUSTAKA.
Seminar Material Metalurgi 2010
1. Surdia T., Chijiwa k., 2000 “ Teknik Pengecoran Logam “ Cetakan Ke 8, PT Pradnya
Paramitha, Jakarta.
2. Heine R. W, “ Principle of Metal Casting “ Tata Mc Graw Repint 1978.
3. Sidney H Avner, “ Introduction to Physical Metallurgy’ , Second Edition, Copy Right
© 1974 by Mc Graw Hill Inc.
4. Dr. Ir. Mardjono Siswo Suwarno, “ Mata Kuliah Metal Mekanik “ A.I.L. Bandung
1982.
Saefudin
Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang 15314
Abstrack
Pada proses pembuatan pelat tipis ini menggunakan bahan aluminium, sedang proses pembuatan
dengan proses rapid solidification twin roll. Dimana material yang di roll tidak material padat, tetapi dalam
keadaan logam cair. Bahan aluminium dilebur dengan menggunakan krusibel silikon karbida berkapasitas ±
1kg, meleburnya menggunakan tungku mufle yang suhu operasinya sekitar 1200oC. Kemudian bahan aluminium
yang siap dilebur didalam krusibel dimasukan pada tungku dan diatur suhu pemanasannya 750oC, sedangkan
suhu penuangan pada suhu 690oC. Logam cair dituangkan pada roll melalui nozle, mengalir ke roll yang
keadaan dingin sehingga cairan logam mengalami pembekuan cepat kemudian terdeformasi menjadi pelat tipis.
Hasil pelat tipis kemudian Diuji kekerasan (Hv), pemeriksaan struktur mikro dan SEM. Adapun hasil pengujian
adalah. Pada pelat tipis 0.5 mm hasil kekerasan rata-rata searah roll adalah 47 Hv, Sedang tidak searah roll
51Hv. Pada pelat tipis 1 mm hasil kekerasan rata-rata searah roll adalah 24 Hv, Sedang tidak searah roll 24Hv.
Pada pelat tipis 2 mm hasil kekerasan rata-rata searah roll adalah 24 Hv, Sedang tidak searah roll
28Hv.Sedang hasil struktur mikronya adalah Pada tebal 0.5 mm besar butir halus sedangkan pada tebal 1mm
dan 2mm besar butir sama yaitu kasar ( besar ). Kesimpulannya ternyata semakin tipis pelat yang dihasilkan
akan diperoleh semakin halus besar butirnya dan sebaliknya semakin tebal pelat yang diproleh semakin kasar
(besar) butirnya disini dikibatkan karena semakin tipis pelat mengalami pendinginan yang cepat, dan sebaliknya
semakin tebal pendinginan kurang cepat (lambat).
Kata Kunci : Proses rapid solidification twin Roll, Proses peleburan, Logam cair, Proses penuangan, Nozle,
Roll dingin, Pembekuan cepat, Terdeformasi, Pelat tipis, Kekerasan, Besar butir.
1. Pendahuluan
Semakin maju teknologi proses pembentukan pelat tipis dikalangan industri besar di
Indonesia. Industri pelat tipis di Indonesia masih relatif sedikit, terutama di daerah Tangerang,
Bekasi dan surabaya. Dimana material untuk bahan baku masih ketergantungan import negara
lain misal Jepang, Cina. Pada pembuatan pelat tipis dengan proses rapid solidification twin
roll ini sangat berbeda dengan proses pembentukan pelat tipis dengan roll biasa misal cold roll
maupun hot roll. Sebab pada proses roll biasa material yang di roll dalam kedaan bentuk
padat, tetapi pada proses rapid solidification twin roll ini material dalam kedaan cair. Dimana
cairan logam hasil peleburan dituangkan kedalam roll melalui nozle, dan suhu cairan logam
pada waktu penuangan harus tepat. Karena bila suhu cairan logam terlalu tinggi bila
dituangkan hasil pembentukan akan makin keadaan cair dan berantakan alias tidak
terdeformasi menjadi pelat tipis. Dan bila suhunya terlalu rendah terjadi beku dini logam
cairnya pada daerah nozle sehingga logam belum nyampai pada daerah pengerollan.Kalau
Seminar Material Metalurgi 2010
logam cair suhu penuangan tepat dia akan mengalir kedaerah roll melalui nozle, karena roll
dalam keadaan dingin maka cairan logam tersebut akan mengalami pembekuan relatif cepat
kemudian logam terdeformasi menjadi pelat tipis. Maka penelitian ini akan difokuskan pada
pembuatan pelat tipis dengan proses rapid solidification twin roll dari material aluminium.
Maksud tujuan penelitian ini adalah : Maksud penelitian ini untuk memeperoleh pelat tipis
dengan proses rapid solidification twin roll. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk
melihat hasil kekerasan dan struktur mikro berdasarkan variasi tebal pelat pelat tipis dari hasil
proses rapid solidification twin roll tersebut.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 413
2. Teori Dasar.
Aluminium.
Karakteristik aluminium yang paling dikenal logam ringan, densiti kira-kira 1/3 dari
baja atau paduan Cu. Biasanya paduan aluminium mempunyai kekeuatan yang paling baik
untuk perbandingan berat dari pada yang untuk pelat baja kekuatan tinggi. Aluminium
mempunyai malleable ( dapat ditempa ) dan mampu bentuk yang baik, tahan korosi tinggi,
dan konduktifitas listrik dan panas tinggi. Suatu bentuk aluminium sangat tinggi adalah
dipakai reflektor photografi, sebaik mungkin faedah untuk reflektor kilat tinggi dan sifat tidak
membuat kusam. Aluminium tidak beracun, tidak magnetik, dan tidakmenimbulkan percikan
api. Sifat non magnetik membuat aluminium dipergunakan untuk pelindung listrik, maksud
demikian sebagai bus bar housingatau pagar keliling untuk peralatan listrik lainnya.Walaupun
konduktifitas listrik (EC) grade aluminium adalah kira-kira 62% dari tembaga, berat ringan
membuat aluminium lebih cocok sebagai konduktor listrik untuk pemakaian beberapa
industri. Aluminium murni mempunyai kekuatan tinggi kira-kira 13.000 Psi.Yang mana, yang
penting menambah dalam kekuatan dicapai dengan pengerjaan dingin atau memadu dalam
beberapa paduan, sifat perlakuan panas, kira-kira kekuatan tarik 100.000 psi. Salah satu sifat
aluminium yang paling penting adalah mampu mesin dan mampu kerja itu bisa dicor. Diroll
untuk beberapa ketebalan yang diminta , stempel, penarikan, sendok, palu tempa, dan extrusi.
Aluminium murni komersil, paduan 1100 ( 99.0 + % Al ), adalah cocok untuk
penggunaan mampu bentuk bagus atau tahan korosi sangat baik ( kedua-duanya) adalah yang
diinginkan dan kekuatatan tinggi tidak penting. Itu telah digunakan untuk perkakas masak,
bermacam-macat komponen arsitek, pemegang makanan dari kimia, peralatan penyimpanan
dan perakit pengelasan.
Kekuatan Bahan
Kekuatan bahan dapat didefinisikan sebagai ketahanan bahan terhadap deformasi.
Dalam praktek, angka kekuatan suatu bahan diperoleh dari pengujian mekanik ( misalnya :
Pengujian tarik). Kekuatan bahan dapat dinyatakan dengan kekuatan luluh ( Yield strength)
ataupun kekuatan tarik (tensile strength). Bila ditinjau lebih dalam, yaitu dari teori dislokasi,
maka deformasi atau perubahan bentuk terjadi apabila dislokasi-yang ada didalam logam
bergerak kepermukaan luar. Dislokasi-dislokasi akan bergerak bila ada tegangan geser yang
bekerja pada dislokasi tersebut. Tegangan geser ini berasal dari beban atau gaya luar yang
bekerja pada logam tersebut. Dengan demikian maka mudah atau tidaknya gerakan dislokasi
akan menentukan mudah atau tidaknya suatu bahan mengalami deformasi. Semakin sukar
dislokasi –dislokasi bergerak, maka semakin tinggi pula kekuatan logam tersebut. Dengan
perkataan lain : Kekuatan logam adalah tahan terhadap gerakan dislokasi. Dari titik tolak
inilah maka dikembangkan berbagai metoda untuk menaikan kekuatan logam, beserta teori
yang mendasarinya.
Pertumbuhan relatif cepat untuk kecepatan pengintian lebih beasar pada atau
pengaturan dibawah titik pembekuan, jika jika cairan tepat betul menjaga temperatur
pembekuan dan permukaan diuletkan oleh suatu kristal sangat kecil (bibit). Kristal akan
tumbuh kebawah dalam cairan. Jika itu ditarik pelan-pelan kristal tunggal bisa dihasilkan.
Pada umumnya, kristal-kristal berbutir halus memperlihatkan ketangguhan atau tahan shock
lebih baik. Mereka lebih keras dan lebih kuat dari pada material berbutir kasar. Dalam industri
proses pengecoran, dimana cairan panas berhubungan dengan suatu cetakan masih dingin,
gradiaen temperatur akan ada dalam cairan. Bagian luar adalah pada temperatur paling
rendahdari pada pusat dan oleh karena itu mulai untuk pertama pembekuan. Kemudian
beberapa pengitian terbentuk pada dinding cetakan dan mulai untuk tumbuh pada segala arah.
Mereka meneruskan aliran kedalam samping dari cetakan dan masing-masing lainnya. Agar
arah tak terbatas hanya untuk pertumbuhan ke bagian pusat. Hasil butir-butir berkolom
panjang, salah satunya, tegak lurus pada permukaan cetakan. Ini menggambarkan untuk Pb
kemurnian tinggi, Seterusnya kedinding cetakan, dimana kecepatan pendinginan adalah cepat
berbutir kecil. Sewaktu kebagian pusat dimana kecepatan pendinginan pelan butir lebih besar
dan panjang . Jika cetakan mempunyai sudut tajam bidangn lemah akan mengembangakn dari
sudut ini karena kedua gas dan pengotor pembekuan cenderung terkosentrasi sepanjang
bidang ini.Untuk menghidari bidang ini, desain coran yang baik perbedaan cetakan dengan
sudut dibulatkan.
3. Metode Penelitian.
Persiapan bahan.
Bahan-bahan yang digunakan untuk penelitian adalah Aluminium murni berupa ingot.
Bahan ingot tersebut dipotong- potong kecil agar bisa masuk dalam krusibel yang
berkapasitas ± 1 kg.
Seminar Material Metalurgi 2010
Proses Peleburan.
Tungku mufle adalah tungku yang dipakai untuk proses peleburan, dimana bahan
bakar adalah energi listrik dimana suhu operasinya bisa mencapai temperatur 1200oC. Pada
proses peleburan untuk bahan aluminium dengan wadah krusibel silikon karbida
pemanasannya sekitar 750oC, kemudian suhu penuangan pada temperatur 690oC dituang
pada roll melalui Nozle.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 415
Proses Pengerolan.
Pada proses pengerollan menggunakan roll dengan putaran 20 rpm, yang dilengkapi
nozle. Pada proses pengerollan dengan proses rapid solidification twin roll material yang di
roll dalam keadaan cair, maka roll perlu pendinginan agar cairan yang dituang pada suhu yang
tepat cairan akan mengalir pada roll melalui nozle akan terjadi pembekuan cepat sehingga
logam yang sudah mengalami pembekuan cepat akibat keadaan roll yang dingin terdeformasi
menjadi pelat tipis.
Pengujian.
Pada proses pengujian material yang diuji adalah hasil pelat tipis dengan variabel tebal
pelat yaitu : 0.5 mm, 1 mm, 2 mm. Sedang yang diuji adalah kekerasan (Hv) dan pemeriksaan
struktur mikro dari hasil pengerolan pelat tersebut. Dari data-data pengujian dikumpulkan
kemudian dibahas dan diambil kesimpulannya.
Persiapan bahan
Proses Peleburan
Penuangan
Pengerollan
Hasil pelat tipis
Pengujian
Pembahasan Kesimpulan
Proses Peleburan.
Karena bahan Aluminium mempunyai suhu lebur rendah sehingga peleburan cukup
menggunakan tungku mufle, dimana suhu operasi tungku tersebut sekitar 1200oC. Tungku
mufle ini menggunakan energi listrik, sehingga cairan yang dilebur cukup bersih
Proses Roll.
Pada proses roll ini material yang akan di roll dalam keadaan cair, dimana mesin perlu
dilengkapi dengan nozel sebagai pengalir cairan ke roll. Cairan akan terjadi pendinginan cepat
diantara kedua roll tersebut, kenapa karena roll keadaan dingin sehingga cairan logam akan
mengalami pembekuan cepat. Dimana kecepatan roll yang digunakan adalah 20 rpm. Dan
nozel tergantung gape roll dan gape roll tergantung hasil tebal pelat yang akan dihasilkan.
Cairan yang sudah siap dituang di masukan pada nozel dan akan mengalir pada roll dan cairan
juga akan mengalami pembekuan cepat pada roll sehingga logam yang telah membeku akan
ke roll dan menjadi pelat tipis. Adapun mesin roll yang digunakan dapat dilihat pada gambar
3 berikut ini.
Roll
Nozle
Seminar Material Metalurgi 2010
Temperatur Penuangan.
Temperatur penuangan sangat menentukan dalam pengerollan, maka perlu kontrol
suhu logam cair yang akan dituang pada roll. Maka perlu peralatan kontrol suhu tersebut yaitu
termokopel dan termokotrolnya. Sebab bila suhu tuang terlalu tinggi maka akan terjadi cairan
terlambat mengalami pembekuannya sehingga cairan berhaburan tidak karuan dan tidak
terjadi pelat hasilnya. Jika suhu penuangan terlalu rendah maka cairan mengalami pembekuan
ditengah jalan tepatnya pada nozel sehingga logam cair tidak mengalir kedalam roll. Oleh
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 417
karena itu suhu penuangan harus tepat dan sesuai sehingga cairan akan mengalir pada roll dan
cairan akan mengalai pembekuan cepat sehingga logam akan keroll dan menjadi pelat yang
tipis. Adapun suhu penuangan untuk bahan Aluminum 690oC.
Searah roll
Hasil Kekerasan.
Pada pengujian kekerasan yang diuji adalah berdasarkan hasil pelat yang divariasikan
tebal dari 0.5 mm, 1 mm, 2 mm, sedang posisi pengujian seperti gambar 7 diatas. Adapun
hasil uji keras (Hv) dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Hasil kekerasan pelat tipis dari tebal 0.5mm, 1mm, 2 mm dengan
proses rapid solidification twin roll.
No Tebal pelat Kekerasan (Hv) Seararah roll Kekerasan
(mm) Rata-rata (mm)
1 0.5 49.84 43.22 45.99 45.27 49.84 47
2 1 23.95 23.95 23.15 25.67 23.95 24
3 2 19.51 23.15 23.95 21.67 28.97 24
Pada pemeriksaan struktur mikro hasil roll pelat tipis dari aluminium dengan
tebal 0.5 mm,1mm, 2 mm tersebut, posisi pemeriksaannya serah roll, tidak searah roll.
Sedangkan ukuran besar butirnya 20 µm, dapat dilihat pada gambar 8 sampai dengan 13
berikut ini
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 419
Gambar 8. Hasil struktur mikro sampel posisi searah roll dengan besar butir
20µm. Untuk material Aluminium dengan tebal 0.5 mm..
Gambar 9. Hasil struktur mikro sampel posisi tidak searah roll dengan besar
butir 20µm. .Untuk material Aluminium dengan tebal 0.5 mm.
Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 10. Hasil struktur mikro sampel posisi searah roll dengan besar butir
20µm. .Untuk material Aluminium dengan tebal 1 mm.
Gambar 12. Hasil struktur mikro sampel posisi searah roll dengan besar butir
20µm. .Untuk material Aluminium dengan tebal 2 mm.
Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 13. Hasil struktur mikro sampel posisi tidak searah roll dengan besar
butir 20µm. .Untuk material Aluminium dengan tebal 2 mm.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 421
5. Pembahasan
Pada pembahasan ini, ditinjau dari hasil kekerasan (Hv) dari hasil pengujian pelat tipis
dengan masing-masing tebal dari tebal pelat 0.5 mm, 1 mm, 2 mm dengan proses rapid
solidification twin roll diperoleh kekerasan yang paling tinggi adalah tebal pelat 0.5 mm..
Tetapi pada tebal pelat dari 1 mm dan 2 mm hasil kekerasannya sama seperti terlihat pada
tabel 1 diatas.Hal ini bisa dibuktikan dengan besar butir yang diperoleh dari hasil pemeriksaan
struktur mikro yang terlihat pada gambar 8 sampai dengan gambar 13, baik pemeriksaan
struktur mikro dengan posisi searah roll maupun tidak searah dengan rolll. Diperoleh besar
butir yang halus adalah hasil pemeriksaan struktur mikro dengan tebal yang paling tipis yaitu
tebal pelat 0.5 mm, sedang besar butir yang kasar (besar) dari hasil pememeriksaan struktur
mikro dengan tebal pelat 1mm, dan 2 mm. Karena pelat tipis pendinginan akan relatif cepat
dan kalau pelat tebal pendinginan akan kurang cepat sehingga pertumbuhan kristal akan
mempunyai kesempatan besar terbentuknya kristal yang besar pula sehingga besar butir yang
diperoleh akan kasar ( besar ). Butir kasar akan mempunyai kekerasan yang rendah, sedang
besar butir halus akan mempunyai sifat kekerasan yang tinggi.
6. Kesimpulan
1. Pada hasil kekerasan aluminium kekerasan paling tinggi baik pada posisi searah roll
dan tidak searah dengan roll, adalah 0.5 mm diakibatkan oleh besar butir lebih halus.
2. Pada hasil kekerasan aluminium kekerasan paling rendah baik pada posisi searah roll
dan tidak searah dengan roll, adalah 1 mm dan 2mm diakibatkan oleh besar butir lebih
kasar (besar).
3. Hasil besar butir aluminium yang diperoleh halus, hal ini diakibatkan oleh
pendinginan cepat, sedangkan hasil besar butir aluminium yang diperoleh kasar, hal
ini diakibatkan oleh pendinginan relatif lambat, sehingga pertumbuhan butir kristal
mempunyai kesempatan tumbuh relatif besar maka terjadi timbul berbutir kasar
hasil kristalnya.
4. Suhu penuangan adalah sangat penting karena bila suhu penuangan terlalu tinggi,
cairan logam tidak bisa cukup membeku pada daerah roll karena sifat pembekuan
aluminium sangat tinggi sehingga tidak terjadi terdeformasi pada roll maka yang
terjadi cairan logam akan beratakan hasilnya..
5. Sedang bila suhu penuangan terlalu rendah, cairan logam akan mengalami beku dini
pada daerah sebelum roll yaitu daerah nozle, sehingga tidak terjadi proses pengerollan.
Daftar Pustaka.
1. Surdia T., Chijiwa k., 2000 “ Teknik Pengecoran Logam “ Cetakan Ke 8, PT Pradnya
Paramitha, Jakarta.
2. Heine R. W, “ Principle of Metal Casting “ Tata Mc Graw Repint 1978.
3. Sidney H Avner, “ Introduction to Physical Metallurgy’ , Second Edition, Copy Right
© 1974 by Mc Graw Hill Inc.
4. Dr. Ir. Mardjono Siswo Suwarno, “ Mata Kuliah Metal Mekanik “ A.I.L. Bandung
1982.
5. E.R.Petty.BSc,PhD. A.I.M.” Physical Metallurgy of Engineering Materials” ©George
Seminar Material Metalurgi 2010
Solihin
Indonesian Institute of Science Research Center for Metalurgy
Kawasan PUSPIPTEK Serpong Tangerang, Banten 15314 Indonesia
e-mail: solihin@lipi.go.id
Abstract
A soft process to extract tungsten from scheelite mineral is proposed. Starting materials consisting of
calcium tungstate and sodium silicate have been reacted at low and high temperature. It is found that the molar
ratio of calcium tungstate and sodium silicate determines the progress of the reaction, which in turn determines
the amount of reaction products.
INTRODUCTION
Tungsten is an important materials used in many applications. Tungsten is used as
filaments in incandescent light bulbs, electric contacts, arc-welding electrodes, alloying
element in certain alloys and abrasive materials. Tungsten can be conventionally processed
through mineral dressing technology such as classification, flotation [1], and digestion using
alkaline solution [2] resulting sodium tungstate solution followed by crystallization,
calcinations and smelting.
Although the conventional process has successfully been able to extract tungsten, the
utilization of alkali solution in that process can potentially harm the environment. Therefore,
an effort is needed to replace the unit operation of this conventional process with a safer
operation, and this will be the aim of this research. A unit of process based on solid-state
reaction driven by mechanical force or heating, as shown in Figure 1, is proposed to replace
the conventional process for converting scheelite into sodium tungstate. The co-reactant
selected in solid-state reaction is sodium silicates, which is a relatively environmental friendly
compound.
Reactants
Solid‐State Reaction
Dissolution in Water
Seminar Material Metalurgi 2010
Filtration
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 423
EXPERIMENT
Calcium tungstate, which is used in this experiment to represent scheelite mineral, and
sodium silicate were obtained from Wako Chemical Japan. The low and high temperature
solid state reactions were conducted through a planetary milling and a door furnace,
respectively. The phases within samples are characterized by XRD equipment using CuK-
alpha radiation. The amount of tungsten resulted in the leaching solution is determined by
ICP.
It is also found in that the amount of Na2WO4 increases with an increasing of Na2SiO3.
At molar ratio of CaWO4/Na2SiO3 = 1/12, Na2WO4 can be formed in significant amount. The
relation between the increasing of Na2WO4 with molar ratio of Na2SiO3 and CaWO4 cannot be
explained clearly, but it is obvious that the high content of sodium silicate in the milled
sample increases the possibility of contact between those reactants. In addition, sodium
tungstate can also act as co-grinding media, which increases the grinding rate and in turn it
will lead to the increasing of mechanochemical reaction between those reactants.
Figure 3. XRD pattern of milled samples with different molar ratio of CaWO4 and Na2SiO3
Although mechanochemical reaction to form sodium tungstate has taken place at low
Seminar Material Metalurgi 2010
temperature through solid-sate reaction during milling, the amount of sodium tungstate is still
too low, which is the consequences of high molar sodium silicate ratio within the samples.
Therefore, the addition of energy, in the form of heating, is needed.
Na 2 W O 4
Intensity (a.u.)
800 o C
o
925 C
1000 o C
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60 62 64 66 68 70
2
Figure 5 shows the percent extraction of tungsten at different molar ratio of calcium
tungstate and sodium silicate. It can be seen that the lower the molar ratio of calcium tungstate
and sodium silicate, the higher the percent extraction. The dependency of this ratio to the
formation of sodium tungstate is a matter reaction kinetic. It can be imagine that at high
amount of sodium silicate calcium tungstate is in a favorable condition to conduct reaction
since it is surrounded by reactants, which allows every part of surface to conduct chemical
reaction freely.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 425
CONCLUSION
Tungsten can be extracted from scheelite through solid state reaction between calcium
tungstate and sodium silicate, at high temperature using mechanochemical reaction or at high
temperature using heating. The progress of solid state reaction depends on the ratio of
CaWO4/Na2SiO3. Significant amount of sodium tungstate can only be synthesized at low
molar ratio of CaWO4/Na2SiO3 and heating temperature 800oC. .
REFERENCE
1. F. Habashi, Handbook of extractive metallurgy Vol. III (1997) Wiley VCH Germany
ISBN 3-527-28792-2 page 1329-1360
2. E. Lassner, Osterr.Chem.Ztg. 80 (1979) 111
3. P.B. Queneau, L.W. Beckstead, D.K. Huggins, AMAX, US 4311679, 1972
4. J. J. Moore, Chemical Metallurgy, Butterworth, 1981
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstract
Biomaterial is every type of material (metal, ceramic, polymer or composites) that can be used to
replace part of the body and it has to be physiologically accepted by cells body. One of important ceramic
biomaterial is hydroxyapatite, a compound possess similar chemical composition with bone. In this research, the
attempt to synthesize hydroxyapatite through chemical reaction at low temperature followed high temperature
sintering has been done, and hydroxyapatite has been resulted.
Abstrak
Biomaterial adalah material (logam, keramik, polimer atau komposit) yang digunakan untuk
menggantikan sebagian organ tubuh dan secara fisiologis dapat diterima oleh sel-sel tubuh. Salah satu
biomaterial keramik yang penting adalah hydroxyapatite yang memiliki komposisi kimia sama dengan unsur
penyusun tulang. Dalam penelitian ini dilakukan proses pembuatan hydroxyapatite melalui reaksi kimia pada
temperatur rendah yang kemudian diikuti oleh proses sintering sehingga dihasilkan hydroxyapatite.
PENDAHULUAN
Biomaterial adalah material yang digunakan untuk membuat komponen yang akan
digunakan untuk menggantikan salah satu bagian atau salah satu fungsi tubuh yang secara
fisiologis dapat diterima oleh tubuh bersangkutan [1]. Salah satu prasyarat penting bagi suatu
material untuk dapat digunakan sebagai komponen pengganti organ tubuh adalah bersifat
kompatibel dengan tubuh. Dalam hal ini biomaterial juga didefinisikan sebagai material yang
bisa berinteraksi positif dengan tubuh tanpa adanya efek negatif terhadap sel-sel tubuh [2].
Biomaterial ditempatkan dalam tubuh terutama untuk membantu bagian tubuh yang
kehilangan fungsinya karena penyakit atau trauma, membantu penyembuhan, meningkatkan
performa dan mengkoreksi keabnormalan fungsi tubuh.
Berbagai jenis material dapat digunakan sebagai bahan biomaterial, yakni: logam,
keramik, polimer serta komposit. Contoh penggunaan biomaterial logam adalah untuk
penggantian sambungan antar tulang, bagian dari tulang serta akar gigi. Sementara itu,
biomaterial dari jenis polimer digunakan pada penggantian organ lunak seperti hidung, telinga
serta bagian tissue tubuh. Sedangkan biomaterial jenis keramik digunakan untuk implant gigi,
bagian tulang serta pelapisan implant logam untuk keperluan ortopoedik. Dalam penelitian
Seminar Material Metalurgi 2010
yang akan kami lakukan, biomaterial yang menjadi objek penelitian untuk disintesa adalah
biomaterial jenis keramik. Salah satu biomaterial jenis keramik yang bersifat kompatibel
dengan tubuh adalah hydroxyapatite [Ca10(PO4)6(OH)2]. Sebagian material tulang dan gigi
tersusun oleh senyawa kristalin kalsium posfat yang mirip dengan hydroxyapatite. Kelompok
mineral apatite [A10(BO4)6X2] bila mengkristal akan membentuk prisma rhombic hexagonal
dengan dimensi sel a=9.432 dan c = 6,881 Angstrom. Struktur atom dari hydroxyapatite
dengan memproyeksikan sumbu-c pada bidang basal dapat dilihat pada Gambar 1[3]. Ion
hydroxyl yang terletak pada ujung bidang proyeksi basal dengan interval jarak yang sama
sebesar 3,44 Angstrom sepanjang kolom yang tegak lurus bidang basal dan paralel dengan
sumbu-c. Enam dari sepuluh ion kalsium dalam unit sel terhubungkan dengan ion-ion
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 427
hydroxyl ini dalam kolom ini sehingga akan menghasilkan interaksi yang kuat dari ion-ion
tersebut.
Perbandingan ideal kalsium dan posfor (Ca/P) dari hydroxyapatite adalah 10:6 dengan
density 3.219 g/cm3. Sifat mekanik hydroxyapatite, yang merupakan golongan kalsium
posfat, bervariasi tergantung dari proses produksinya. Kondisi pemanasan berpengaruh
terhadap sifat mekanik dari hydroxyapatite yang dihasilkan[3]. Standar sifat fisik/mekanik
kalsium posfat dapat dilihat pada Tabel 1. Sifat fisik/mekanik dari beberapa organ tubuh
berada dalam rentang atau dekat dengan sifat fisik/mekanis biomaterial hydroxyapatite
diantaranya adalah enamel yang merupakan tissue keras memiliki modulus elastik 47 Gpa,
Dentin 21 Gpa dan tulang biasa antara 12-18 Gpa. Poisson Ratio hydroxyapatite (0.27) juga
dekat dengan poisson ratio tulang (0.3)
Hydroxyapatite bisa diproduksi dengan berbagai macam proses. Proses yang paling
umum adalah metode sol-gel [4,5,6] yang diikuti dengan sintering. Metode lainnya adalah
dengan selective laser sintering [7] dan mekanokimia. Metode sol-gel dan mekanokimia
memiliki keunggulan dalam hal kesederhanaan proses sehingga lebih memungkinkan untuk
dapat diterapkan dalam industri. Bahan baku yang digunakan bervariasi tetapi pada dasarnya
bahan baku harus mengandung komponen kalsium, posfat dan hidroksida.
Gambar 2. Pola XRD dari reaksi kimia antara H3PO4 dan Ca(OH)2. Hasil analisa XRD menunjukan
pembentukan awal apatite.
Gambar 3. Pola XRD hasil pemanasan precursor apatite. Hasil analisa XRD menunjukan pembentukan Ca2P2O7
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 429
Dari pola XRD tersebut dapat disimpulkan bahwa selama pelarutan terjadi proses
hydrolisa yang disertai pembentukan apatite. Ion-ion hidroksil dan ion hidrogen bereaksi
membentuk senyawa air, sementara ion-ion kalsium dan posfat bereaksi membentuk apatite
yang masih merupakan keluarga persenyawaan kalsium posfat. Pemanasan mengakibatkan
terlepasnya senyawa air yang dihasilkan sehingga menghasilkan kalsium posfat. Sementara
itu, proses sintering pada atmorfir udara biasa akan menghasilkan penambahan jumlah
oksigen pada senyawa kalsium sehingga membentuk senyawa Ca2P2O7 yang kemudian
merupakan reaktan untuk reaksi pembentukan hydroxyapatite. Hydroxyapatite yang telah
dihasilkan diperlihatkan pada Gambar 4.
Hydroxyapatite yang dihasilkan kemudian dikompaksi dengan menggunakan peralatan
press biasa. Perbandingan antara binder dan hydroxyapatite menghasilkan hydroxyapatite
dengan porositas yang berbeda. Hasil sementara dari proses kompaksi diperlihatkan pada
Gambar 5. Terlihat secara visual bahwa fraksi berat hydroxyapatite berpengaruh terhadap
kekompakan partikel. Pada %HAP tinggi, didapatkan Tabel hydroxyapatite yang kompak. Hal
ini wajar karena pada %HAP tinggi porositas menjadi rendah sehingga pada saat kompaksi
suhu tinggi efek welding antar partikel bisa berlangsung progresif sehingga membentuk
jaringan antar partikel yang rapat dan kuat .
Gambar 5. Hasil Proses Kompaksi terhadap Hydroxyapatite (a) HAP 50 % (b) HAP 60% (c) HAP 70 % (d)
HAP 80% (e) HAP 90%
Seminar Material Metalurgi 2010
DAFTAR PUSTAKA
1. Hench LL, Erthridge EC, Biomaterials – An Interfacial Approach, Vol.4, A.
Noordergraaf, Ed. Academic Press, New York 1982
2. Black J, Biological Performance Materials, 2nd Ed., Marcel Dekker New York 1992
3. Park JB, Lakes RS, Biomaterials-An Introduction, 2nd Ed., Platinum Press, New York
1992
4. Kundu B, Sinha MK, Mitra MK, Basu D, Fabrication and Characterization of Porous
Hydroxyapatite Ocular Implanr Followed by An In Vivo Study in Dogs, Bull. Mater.
Sci. 27:2, 2004, p.133-140.
5. Prabakaran K, Kannan S, Rajeswari S, Development and Characterization of
Hydroxyapatite Composites for Orthopaedic Applications, Trends Biomater. Artif.
Organs. 18:2, 2005, p.114-116
6. Qian J, Kang Y, Zhang W, Li Z, Fabrication , Chemical Composition Change and
Phase Evolution of Biomorphic Hydroxyapatite, J. Mater. Sci. Med. 19, 2008, p. 3373-
3383.
7. Wiria FE, Chua CK, Leong KF, Quah ZY, Chandrasekaran M, Lee MW, Improved
Biocomposite Development of Poly(vinyl alcohol) and Hydroxyapatite for Tissue
Engineering Scaffold Fabrication Using Selective Laser Sintering, J. Mater Sci: Mater
Med. 19, 2008, p. 989-996.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 431
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Shot pening merupakan rekayasa permukaan benda kerja bertujuan memperbaiki umur lelah
(fatigue life improvement), stress corrosion cracking. Proses ini banyak diaplikasikan pada structural
parts and components pesawat terbang yang mengalami beban dinamis.
Dalam penelitian ini dilakukan pengkajian pengaruh intensitas shot peening terhadap
karakteristik permukaan mencakup pengerasan regang, kedalaman lapisan tekan dimana tegangan
sisa tekan yang terbentuk serta pengukuran tegangan sisa tekan dengan metoda difraksi sinar X pada
material Alumunium 7050. Untuk karakteristik permukaan dilakukan dengan memvariasaikan ukuran
bola baja yakni S230, S280 dan S330 masing masing dengan tekanan 3.5 bar, 4 bar dan 4.5 bar.
Adapun pengukuran tegangan sisa tekan dilakukan pada sudut 2θ = 116 o dengan sudut rotasi (ψ) 0º,
15º, 30º dan 45 º.
Hasil penelitian memberikan kenaikan intensitas shot peening meningkatkan tegangan sisa
tekan-194 dan -257 MPa dengan kedalaman 9-12μm untuk intensitas 4-6A, sedangkan antara -307dan
-332 MPa dengan kedalaman 14-16 μm untuk intensitas 6-8A serta antara -332 dan - 357 MPa
dengan kedalaman 16-23μm untuk intensitas 8-10A. Adapun kekerasan meningkat 157-174 HV
Abstract
Shot peening is a process by which the surface of work piece of metal is repeatedly imparted
by small hardshot with sufficient kinetic energy to create plastic deformation in the surface layer and
than induces residual stress, that has beneficial effect on mechanical properties especially fatigue life
improvement. Therefore, this process is one of the best choice for application on critical aircraft parts
and components those inducing dynamic loading.
The physicals effect of the shot peening process such as dimple and strain hardening, surface
hardness and depth of layer where residual stress occur, depend mainly on the size, mass and velocity
of the hard shot as importance parameter in the process. Intensity specified in Almen number
determine the depth to which the compressive stresses extend below the peening surface. The optimum
intensity is defined by the depth at which both decreased by intensity and increased intensity would
decrease the fatigue resistance.
In this experiment, used the specimen made Aluminum 7050. Shot peening process performed
with variation pressure 3 Bar (4-6A), 4 Bar (6-8A), 4.5 Bar (8-10A) for dimple analyzing, and the
magnitude of residual stress using steel shot # 280 at the saturation condition by variation intensity
setting 4-6A, 6-8A, 8-10A. Specimen tested by XRD 5A Shimadzu radiation Cu K_ with _ 1.542
Amstrong and Ni as filter 46 kVat the angle 2θ = 116 degrees and is rotated by ψ angle 0, 15, 30, and
Seminar Material Metalurgi 2010
45 degree. Magnitude of the shift will be related to the magnitude of the residual stress.
By using XRD known as sin2 θ method, the maximum compression residual stress result is -
357.20 MPa with 23 micron depth of layer, and -94.27 MPa for specimen does not shot peening.
Based on the result theadditional process shot peening on the specimen the residual increase - 262.93
MPa,
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 433
1. Pendahuluan
Hampir dapat dipastikan bahwa kegagalan fungsi suatu part and components berawal
dari acat permukaan berupa kekasaran, poros, goresan, radius tajam, takikan dan korosi yang
terjadi selama proses manufakturing (pemesinan, pembentukan, penggabungan) dimana akan
mengakibatkan perubahan kesetimbangan akibat perubahan tegangn sisa yang terkadang
diikuti dengan distorsi dan selama beroperasi (in service).
Shot peening merupakan bagian integral dari seluruh proses manufakturing structural
parts and components pesawat terbang dimana hampir 55% berasal dari hasil pemesinan [1].
Tujuan dari penambahan shot peening antara lain mengintroduksi tegangan sisa tekan seluruh
permukaan part untuk memperbaiki umur lelah dan sekaligus mempromosi terjadinya adesi
intergranular, menghilangkan porositas, menahan perambahan retak, mengeliminasi pengaruh
lingkungan korosif dibawah kondisi terkontrol[2,3].. Proses saturation shot peening
merupakan salah satu upaya kompromi antara persyaratan desain dan koreksi serta perbaikan
kualitas dalam upaya meningkatkan umur lelah.
Seiring dengan tuntutan umur pakai (service life) dan batas lelah (endurance limit)
komponen, maka banyak industri seperti perkakas mesin (machine tools), engine component,
structural parts and components, hydraulic system dan landing gear menggunakan proses
shot peening untuk meningkatkan fatigue resistance, mitigating stress, intergranular
corrosion, dan mencegah serangan permukaan komponen lainnya yang mengakibatkan
kecelakaan atau gagalnya fungsi komponen dan meningkatkan umur ekonomis.
Hingga saat ini kualitas proses shot peening hanya dikontrol dengan menggunakan
metoda almen strip dan status sertifikasi & kualifikasi mesin melalui Machine Verification
Tool (MVT) dan Parts Verification Tool (PVT), kualifikasi dan sertifikasi operator, penetapan
parameter sesuai dengan Technical Data Sheet (TDS), tercatat & terdokumentasi secara baik
dan mampu usut (traceable) untuk keperluan audit.[4,5,6,7]
Pengkajian tegangan sisa tekan dan lapisan tekan pada permukaan komponen terhadap
intensitas shot peening tidak diketahui secara pasti, sehingga perbaikan rancangan dan
parameter proses tidak dapat dilakukan. Pengkajian mengenai tegangan sisa tekan ini menjadi
penting dan diperlukan untuk melakukan prediksi awal dan mengkuantifikasi pengaruh
parameter proses.
Pengujian pengaruh penambahan proses shot peening yang dianggap representatif
terhadap kualitas shot peening selama ini masih menggunakan spesimen fatigue test.
Besarnya pengaruh penambahan proses shot peening adalah selisih dari nilai umur lelah dari
spesimen yang dikenai dan tidak dikenai proses shot peening. Pengujian dengan metoda
fatigue test ini disamping memerlukan banyak specimen, keakuratan dan kepresisian dimensi
spesimen juga waktu yang lama dan biaya pengujian yang relatif cukup besar[8].
2. Tinjauan Teori
2.1. Pengertian
Tegangan sisa adalah tegangan internal yang dapat berupa tegangan tarik, tekan pada
parts and components terjadi setelah operasi manufaktur atau perakitan selesai dan tidak ada
tegangan eksternal[10,11,12]
Secara umum, tegangan sisa timbul bilamana terjadi perbedaan kondisi antara lapisan
Seminar Material Metalurgi 2010
luar dan dalam suatu komponen, sebagai akibat satu dari tiga mekanisme dasar proses yakni
proses manufaktur, perlakuan permukaan (surface treatment), dan perlakuan panas (heat
treatment)[13]. Adapun proses manufaktur yang menyebabkan tegangan sisa seperti
pengerolan, pemesinan, chemical milling, pengelasan, shot peening, perlakuan panas,
perlakuan permukaan, perakitan komponen tunggal (single komponen) atau ketidaksesuaian
(misfit) antara daerah yang berdekatan[12]. Akibatnya adalah terjadi tegangan sisa tekan yang
melibatkan plastic yielding di permukaan komponen yang disebut pengerjaan dingin (cold
working) yang bermanfaat untuk memperbaiki fatigue life[15].
(1)
Model pendekatan harga untuk tekanan dengan yield stress (tegangan luluh) adalah
(2)
Menurut analisis Herzt distribusi regangan dan tegangan berupa hemispherical[23],
sedangkan berdasarkan model plastic stretching, regangan maksimum terjadi di permukaan
kontak dengan shot, dan selanjutnya berkurang hingga nol kearah kedalaman. Adapun
tekanan rata-rata selama tumbukan shot rigid dengan massa m dan radius R pada radius
lekukan deformasi awal, Rc adalah :
(3)
Jadi tekanan yang terjadi pada komponen oleh steel shot merupakan fungsi dari
kecepatan, v, sedangkan parameter lain seperti a, m, E, R, dan v tetap
Kedalaman lapisan plastis menjadi perhatian yang paling penting pada proses shot
peening, karena secara langsung menentukan lapisan pengerasan-regang yang berkaitan erat
dengan tegangan sisa tekan dan bergunan untuk memperbaiki fatigue life komponen[24].
Regangan radial akibat shot peening mengakibatkan terjadinya pengerasan regangan dan laju
regangan. Persamaan pengerasan regang dan laju regangan dapat dinyatakan sebagai berikut :
(4)
Seminar Material Metalurgi 2010
Dimple yang terjadi akibat shot peening didekati dengan indentasi pada pengukuran
kekerasan Brinell[27]. Jika sebuah shot dengan kecepatan v memberikan tekanan P mengenai
permukaan logam, maka akan terjadi dimple dengan diameter D dan kedalaman z, secara
matematis, dapat dituliskan sebagai
(5)
dimana BHN adalah nilai kekerasan Brinell,
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 435
2.3. Parameter Proses Shot Peening
2.3.1. Arc height dan coverage
Arc height dan coverage memainkan peranan penting dalam pembentukan lapisan
tekan, tegangan sisa dan kekasaran permukaan. Dalam prakteknya, harga meningkat
dengan peening time sampai kejejuhan diperoleh, yang ditandai dengan coverage minimal
100%. Selanjutnya, penambahan peening time tidak berpengaruh terhadap harga .[5,6,7,8]
Harga arc of height optimum dicapai pada suatu kondisi dimana inferior properties akibat
tekanan mempunyai umur yang sama dengan superior properties material induk yang
direduksi dengan tegangan tarik.[28]. Untuk kurva jenuh berarti ada N siklus peening,
persamaan arc height jenuh, F akhir dapat dituliskan dengan persamaan (4)
2 0.5 L2 vo2
0.5
F 3 (6)
32h p
Coverage didefinisikan sebagai uniformitas atau keseragaman dan obliterasi permukaan asli
benda kerja yang ditentukan dengan pengujian visual menggunakan pembesaran 10 atau 30 X.
Hubungan antara coverage dan exposure time[5,21,29] secara matematik dinyatakan
sebagai
Cn = 1-(1-C1)n (7)
Menurut Al Hassani[23] coverage area actual dinyatakan sebagai
Actual area coverage = area(1- exp(-Nt) (8)
Dimana Nt adalah jumlah total coverage yang nilainya diasumsikan sama dengan jumlah total
dimple. coverage proses shot peening di seluruh permukaan komponen dipersyaratkan
berkisar antara 100 %-600 % [5,7].
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 437
Gambar 2. Model elastis tegangan bidang[20]
Vektor regangan (strain vector), εφψ terletak dalam bidang didefinisikan oleh
permukaan normal dan tegangan σφ yang ditentukan dapat dinyatakan dalam jumlah tegangan
utama sebagai :
(13)
Tegangan permukaan σo dalam setiap arah didefinisikan oleh sudut ψ terhadap regangan ε
dalam arah (φ,ψ) dan tegangan utama di permukaan.
(14)
Spasi kisi (lattice spacing) dapat ditentukan untuk setiap orientasi ψ. Jika σφ adalah
tegangan tarik, spasi antara bidang palalel kisi terhadap permukaan akan direduksi oleh
kontraksi rasio poison, sementara bidang miring terhadap arah tegangan diekspansi. Jika
dinyatakan dalam istilah strain crystal lattice spacing.
ε φ ψ = (d φ ψ - do)/do (15)
dimana do adalah tegangan bebas spasi kisi, sebagai ukuran regangan (strain gage) menjadi
kisi yang diukur dalam arah φ dan ψ. Substitusi persamaan (14) ke persamaan (15) dan diatur
ulang, spasi kisi (lattice spacing) diukur dalam setiap arah dapat dinyatakan sebagai sebuah
fungsi tegangan yang ada dalam sampel dan konstata elastis dalam (hkl) arah kristalografi
digunakan untuk pengukuran tegangan.
(16)
Persamaan (16) merupakan persamaan dasar hubungan antara spasi kisi dengan tegangan
biaksial dalam permukaan benda kerja. Spasi kisi d φψ merupakan fungsi linier sin2ψ.
Intersep kemudian diplot pada sin2ψ. = 0, yaitu
(17)
Dimana sama dengan spasi kisi yang tidak ada tegangan, do kontraksi rasio poison berharga
negatif disebabkan oleh penjumlahan tegangan utama. Gradien kemiringan dapat ditulis
Seminar Material Metalurgi 2010
menjadi
(18)
Dimana tegangan sisa, σφ dapat diselesaikan dengan persamaan
(19)
3.3. Peralatan
a. Mesin saturation peening
b. Material bola baja
c. Surtronic 3P dengan cut off 0.25 mm
d. Difraksi sinar X tipe XD-5A Shimadzu Jepang
Density Hardness Coverage Jarak nozel-benda
Steel shot Size
(Kg/m3) (Vicker, 20gf) (%) kerja (mm)
Carbon steel 7.15 55-62 100 150 S230 S280 S330
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 439
Gambar 4a. Sudut difraksi 2θ
3.4. Pengukuran
Beberapa jenis pengukuran dalam penelitian mencakup antara lain (a) kekasaran
permukaan, (b) kedalaman lapisan tekan, (c) tegangan sisa tekan dengan difraksi sinar X.
(a) (b)
Gambar 5. Pengaruh intensitas, dimple dan roughness
4.2. Intensitas terhadap kekerasan dan lapisan tekan
Kenaikan intensitas saturation shot peening meningkatkan kedalaman lapisan tekan
hingga 50 mikron. Profil kekerasan paling tinggi berada di permukaan dan menurun ke arah
dalam permukaan. Dengan demikian terjadi sub layer permukaan
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 441
(a) (b)
Gambar 6. Kedalaman lapisan tekan dan kekerasan
4.3. Intensitas terhadap tegangan sisa tekan
Difraksi sinar X menggunakan 2θ = 116 º dengan memvariasikan sudut ψ =0, 15, 30
dan 45º diperoleh data bahwa kenaikan sudut ψ menyebabkan terjadinya kenaikan pelebaran
dan pergeseran sudut puncak difraksi 2θ, dimana mengindikasikan adanya perubahan jarak
dalam kristal yang tidak lain adalah regangan. Besarnya regangan bidang kristal dihitung
dengan mengeplot pergeseran 2θ terhadap jarak bidang kristal (d) sehingga diperoleh jarak
do.
Hasil perhitungan tegangan sisa tekan bervariasi terhadap kedalaman lapisan tekan
(Gambar 5b). Sedangkan kedalaman dipengaruhi oleh intensitas saturation shot peening.
Dengan kata lain intensitas yang tinggi akan memberikan tegangan sisa tekan yang tinggi
juga. Namun perlu diingat bahwa intensitas yang tinggi akan berpengaruh kepada kekerasan
dimana kekerasan akan berakibat getas.
(a) (b)
Gambar 7. Perhitungan besarnya tegangan sisa tekan
5. Kesimpulan dan saran
5.1. Kesimpulan
a. Kenaikan peening time akan meningkatkan intensitas shot peening meningkat hingga
Seminar Material Metalurgi 2010
DAFTAR PUSTAKA
1. Manufacturing Process Flow Standard for IAe
2. Robert C, Mulhal, Shot Peening Advanced Aerospace Design, SP 528, Industrial Product
Div. Potter Industries Inc, Warrendale, PA. 15096, Oct. 1982
3. Shot peening Application, Metal Improvement Co. 7 th. Ed
4. BAC 5730, Shot Peening, Boeing Specification 1992
5. ABP 1-2028, Shot Peening for Improved Fatigue and Stress Corrosion Resistance,
Airbus UK, 2000
6. PS 20-0-35-0205, Shot Peening to Improve Fatigue Strength, 1987
7. CASA I +D-P 06 A , Shot Peening, Spain Specification, 1982
8. Fuchs H O, Techniques of Surface Stressing to Avoid Fatigue, Metal improvement
equipment
9. Cullty, BD., Elements of X Ray Difraction, 2nd Edition, Addisin-esley, Massachusetts,
1978
10. Dieter, George E, Mechanical Metallurgy, 3 rd Ed.,McGraw-Hill, Inc, 1986
11. Wulpi Donald J, Understanding how components fails, ASM, 1990, pp 66-82
12. http://www-sped.utt.fr/aboutprestress/definition.htm, Integration De La Notion Des
13. Physical Industry, Residual Stress in the Grain Boundery
14. Champaigne, Shot Peening Method, US Patent 5,460,025, Oct 24, 1995
15. Fuchs, H O and Hutchinson, Shot Peening , Designer’s guide to the process, its
application
16. David Kirk, Curve Fitting for Shot Peening Data Analysis, Coventry, UK
17. P. K Sharp and G Clark, The Effect of Peening on the Fatigue Life of 7050 Aluminium
Alloy, Airframes and Engines DSTO Division Aeronotical and Marine Research Lab.
Lorimer St Fishermen Bend Victoria 3207, DSTO-RR-0208, March 2001
18. ASM Committee, Shot Peening, American Society for Metal, pp 138-149
19. Paul S Prevey , X-ray diffraction Residual Stress techniques, Lambda Research, Metal
Handbook, 10, Metal Park, OH, ASM,1986, pp 380-392
20. Al Hassani, ST. The Shot Peening of Metal Mechanics and Structure, 821452, Dept. of
Mechanical Engineering, The University of Manchester, Institut of Science &
Technology, UK, 1982
21. http://2.eng.cam.ac.uk/tw225/work.htm, Plastic Dept Produced by a single Spherical on
Strain-rate Insensitive Metals
22. Roger S Simpson, Development of a Mathematical Model for Predicting The Percentage
Fatigue Life Increase Resulting from Shot Peened Components, Phase I, Flight Dynamic
Seminar Material Metalurgi 2010
Lab. Air Force Wright Aeronautical Lab, Air Force System Command Wright-Patterson
AFB, Ohio 45433, April 1985
23. H. O. Fuchs, Optimum Peening Intensity, Metal Improvement Co. Paramus, NJ USA
24. Sriati Djaprie, Metalurgi mekanik, Edisi 3, 1986
25. H. O. Fuchs, Optimum Method, Intensity, and Coverage of Mechanical Prestressing,,
Metal Improvement Co. Paramus, NJ USA
26. Clifford S Mehelich, Shot peening, ASM, pp 138-149
27. Macroscopic & Microscopic evaluation of a shot peen layer during isothermal recovery,
Metallurgical & materials transactionVol. 31 A, month 2000-213.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 443
28. Erny Sulistyanti DKK, Analisa Produk Chemical Milling Material Alumunium 2024-T3
cladd, TRA 2109, 1996, pp 20-23.
29. Serope Kalpakjian, Manufacturing Process for Engineering Materials, Addison-Wisley
Pub. Co., London, 1985, pp 66-70,
30. Amrizal, “Pengaruh Peregangan terhadap Tegangan Sisa, laju perambatan retak lelah
dan ketangguhan retak Al. 2024-T3”, Tesis Magister Teknik Material Prog. Pascasarjana
ITB 1998.
31. Macon H Miller, Stress Measurement in Metal, General Motors Corporation
32. J D Lord, A T Fry and P V Grant, An Examination of the XRD and Hole Drilling
Techniques, Project CPM4.5 Measurement of Residual Stress in Component, NPL
Materials Centre Queens Road Teddington, Middlesex, UK, TW11 0LW,May 2002,
33. M.B Prime, V.C Prantil at all, Residual Stress Measurement and Prediction in a
hardened Steel Ring, Los Alamos, National Laboratory, LA-UR-99-5103
34. E. J. Hearn, Mechanics of Material, An Introduction to the Mechanics of Elastic and
Plastic Deformation of Solids and Structural Components, 2 edition Volume I, Pergamon
Press Oxford, 1981
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Kandungan mineral dalam batubara penting untuk diketahui selain penetuan kandungan unsur utama
C, H, O, N. Penentuan kandungan mineral dalam batubara penting dilakukan karena mineral dapat
mempengaruhi kemampuan pembakaran batubara. Mineral juga dapat memberikan efek yang tidak diinginkan
pada saat penyimpanan batubara. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap kandungan mineral
dalam sampel batubara yang berasal dari berbagai daerah di Kalimantan dengan menggunakan metode
spektrofotometri X-Ray Fluorosensi (XRF) standarless. Dari hasil pengukuran diketahui bahwa besi merupakan
mineral yang paling banyak terdapat dalam sampel batubara yang diamati dengan kisaran 207.5 – 1554.1 ppm.
Mineral lain yang teridentifikasi adalah aluminium, silikon, sulfur, kalsium, titanium, kalium dan mangan.
Mangan teridentifikasi sangat rendah dengan kisaran 0.8-6.9 ppm. Berdasarkan fakta bahwa matriks batubara
bersifat kompleks, penelitian ini merupakan suatu langkah awal dalam menyiapkan material referensi standar
batubara.
1. Pendahuluan
Batubara merupakan batuan sedimen organik yang mengandung karbon, hidrogen,
nitrogen, oksigen dan sulfur dengan beragam nilai sesuai jenisnya (Speight, 2005; ASTM D-
121). Batubara saat ini merupakan bahan bakar yang diandalkan oleh pemerintah sebagai
sumber energi utama dalam pembangkitan energi listrik. Program listrik 10000 MW,
misalnya, hampir semua dibangun dengan menggunakan batubara sebagai sumber energinya.
Dalam penggunaannya, perlu diketahui kualitas batubara yang digunakan agar dapat dicapai
efisiensi penggunaan batubara yang optimal. Parameter utama yang dijadikan kualitas
batubara meliputi kelembaban dan kemampuan pembakaran. Kemampuan pembakaran
batubara dapat dianalisa dari kandungan di dalamnya, terutama karbon (Speight, 2005).
Selain karbon, kandungan mineral dalam batubara penting juga diketahui. Mineral
dalam batu bara dapat merupakan unsur yang berikatan dengan unsur utama batu bara (C, H,
O. N), misalnya kalsium dan magnesium yang merupakan unsur pendamping dari senyawa
CaCO3 dan MgCO3. Selain itu, terdapat juga mineral yang tidak berikatan dengan unsur
utama batu bara (Speight, 2005). Mineral dapat menjadi sumber abrasi yang tidak
diinginkan, stickines, korosi atau polusi pada saat penanganan dan atau penggunaan batubara
(Ward, 2002).
Penentuan kadar mineral dapat dilakukan dengan menggunakan metode
spektrofotometri serapan atom (speight, 2005), scanning dan transmission electrkon
Seminar Material Metalurgi 2010
microscopy (Allen dan VanderSande, 1984), difraksi sinar-X (Ward, dkk; 2001) atau
spektroskopi XRF (X-Ray Fluorosensi) (Fernandez, dkk; 2001).
Metode pengukuran flourosensi sinar-X memiliki kelebihan diantara metode lainnya
dalam hal tidak memerlukan pelarut dan kecepatan waktu analisa. Tetapi, material batu bara
tersebut memiliki matriks yang kompleks, sehingga adanya unsur lain dalam material akan
memberikan perngaruh terhadap hasil spektrum XRF. Salah satu faktor yang mempengaruhi
perbedaan spektrum adalah adanya absorpsi oleh atom di lapisan dalam material. Absorpsi
sinar-X oleh atom ini akan menurunkan intensitas sinar-X yang berflorosensi.
Melihat kondisi tersebut, dalam pengukuran XRF perlu adanya material standar, yang
disebut Standard Reference Material (SRM) yang disiapkan sesuai jenis materialnya. SRM
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 445
untuk pengukuran mineral pada batuan harus berasal dari jenis material (batuan) bahkan
jenis batuan yang sama atau mendekati. Hal ini dilakukan untuk mengurangi nilai kesalahan
dalam pengambilan keputusan hasil analisa.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengukuran terhadap sampel batubara yang
telah dikumpulkan dari berbagai daerah di Kalimantan dengan menggunakan metode
pengukuran spektroskopi XRF. Pengukuran ini merupakan suatu langkah awal bagi
penyiapan SRM batubara.
2. Eksperimen
Pemilihan bahan baku batubara dan karakterisasinya.
Bahan baku batubara dari berbagai kualitas (anthracite, bituminous, sub bituminous
dan lignite) diperoleh dari daerah Kalimantan timur dan Kalimantan selatan. Bahan baku
tersebut dianalisis proksimat dan ultimat untuk menentukan kualitasnya mengikuti prosedur
baku standard British (British Standard BS 1016).
Tabel 1.b. Hasil pengukuran XRF sampel batubara untuk unsur K, Ca, Ti
Kalori Kandungan Unsur (ppm)
No
Seminar Material Metalurgi 2010
Batubara Nilai
Kategori K Ca Ti
Kalori
3 4312.67 Rendah 13.32 + 0.032 206.2 + 0.046 8.4022 + 0.0084
5 4407.67 Rendah 74.63 + 0.048 104.7 + 0.023 43.978 + 0.0219
27 5825.67 Sedang 73.05 + 0.111 89.52 + 0.149 38.095 + 0.0903
28 6970 Tinggi 4.057 + 0.036 52.47 + 0.161 11.707 + 0.0319
29 6862 Tinggi 0 + 0.077 0 + 0.206 0 + 0.1463
20 6346 Tinggi 85.36 + 0.036 115.6 + 0.019 46.747 + 0.0447
11 7030.67 Tinggi 15.73 + 0.041 291.3 + 0.808 27.283 + 0.0532
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa besi memiliki kandungan paling tinggi
diantara unsur lainnya. Sampel batu bara nomor 3 memiliki kadar Fe sampai 1554.1 ppm,
sedangkan kandungan besi paling sedikit terdapat dalam sampel batubara nomor 28 sebanyak
207.5 ppm. Unsur lainnya yang terdapat cukup banyak dalam batubara adalah aluminium,
silikon, sulfur dan kalsium. Keempat unsur ini terdapat dalam sampel batubara dengan kadar
bervariasi dari sekitar 50 ppm sampai 500 ppm. Sedangkan unsur fosfor, titanium dan kalium
memiliki kadar < 100 ppm. Unsur yang masih terdeteksi oleh XRF dengan nilai kandungan
yang rendah adalah logam mangan dengan kandungan 0.8-6.9 ppm.
Unsur-unsur besi, aluminium, silikon, sulfur, kalsium, titanium, kalium dan mangan
yang teridentifikasi dalam sampel batubara merupakan penyusun dari mineral-mineral yang
umumnya ditemukan dalam batubara seperti senyawa silika termasuk didalamnya kuarsa
(SiO2), senyawa penyusun tanah liat seperti kaloin (Al2Si2O5(OH)4), ilit
(K1.5Al4(Si6.5Al1.5)O20(OH)4), smectit(Na0.33(Al1.67Mg0.33)Si4O10(OH)2), feldspar (KAlSi3O8);
senyawa karbonat seperti kalsit (CaCO3) atau dolomit (CaMg(CO3)2); senyawa sulfida
seperti pirit (FeS2) atau galena (PbS), senyawa sulfat seperti gipsum (CaSO4) dan
persenyawaan lainnya (Ward, 2002).
Mengetahui kandungan mineral dalam batubara sangat penting, karena jenis mineral
yang terdapat dalam batubara akan mempengaruhi karakteristik pembakaran batubara
(Wigley, 1997). Selain itu dengan mengetahui kandungan mineral kita dapat dengan tepat
melakukan penanganan terhadap material atau penanganan terhadap berbagai perlatan yang
digunakan. Misalnya, Kandungan Fe dalam sampel batubara yang diamati cukup tinggi
dibandingkan kandungan logam lainnya. Ini dapat dijadikan sebagai suatu rambu-rambu agar
kita lebih waspada terhadap proses perkaratan peralatan penyimpanan atau pipa pembakaran.
4. Prospek Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu langkah awal dalam menyiapkan material referensi
standar batubara. Hal ini didasari fakta bahwa matrik material batubara bersifat kompleks,
sehingga pengukuran kadar unsur dalam batubara menggunakan XRF harus menggunakan
standar yang memiliki matriks hampir sama dengan sampelnya.
Seminar Material Metalurgi 2010
5. Kesimpulann
Dari hasil pengukuran diketahui bahwa besi merupakan mineral yang paling banyak
terdapat dalam sampel batubara yang diamati dengan kisaran 207.5 – 1554.1 ppm. Mineral
lain yang teridentifikasi adalah aluminium, silikon, sulfur, kalsium, titanium, kalium dan
mangan. Mangan teridentifikasi sangat rendah dengan kisaran 0.8-6.9 ppm.
6. Ucapan Terimakasih
Ucapan terimkasih kepada pemberi dana penelitian, Pelaksana Program Penelitian
Produktif Tahun Anggaran 2010, ITS; Jurusan Kimia FMIPA ITS dan Laboratorium Studi
Energi dan Rekayasa ITS.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 447
Daftar Pustaka
1. Allen, R. M.; VanderSande, J. B., Analysis of sub-micron mineral matter in coal via
scanning transmission electron microscopy. Fuel 1984, vol 63, hal 24-29.
2. Suarez-Fernandez, G. P et all. Analysis of major, minor and trace elements in coal by
radioisotope X-ray fluorescence spectromletry. Fuel 2001, vol 80, hal 255-261.
3. Ward, C. R. et all. Quantification of mineral matter in the Argonne Premium Coals using
interactive Rietveld-based X-ray diffraction. International Journal of Coal Geology 2001,
vol 46, hal 67-82.
4. Ward, C. R. Analysis and significance of mineral matter in coal seams. International
Journal of Coal Geology 2002, vol 50, hal 135-168.
5. Wigley, F; Williamson, J; Gibb W. H. The distribution of mineral matter in pulverized
coal particles in relation to burnout behavior. Fuel 1997, vol 76, hal 1283-1288.
6. Speight, J. G. Handbook of Coal Analysis. 2005. John Wiley & Sons: New Jersey.
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Mineral logam di Indonesia cukup berlimpah namun sampai saat ini belum termanfaatkan secara
optimal. Hal ini dikarenakan beragamannya kandungan pengotor yang berada didalam mineral tersebut,
sehingga menyulitkan pengolahan secara konvensional karena kurang ekonomis. Maka dalam pengolahan
mineral logam tersebut perlu dilakukan terobosan teknologi yang sederhana namun berkualitas. Sehingga pada
penelitian ini dicoba untuk melakukan perekayasaan peralatan Pengolahan Mineral logam di Indonesia,
sehingga dengan terlaksanya penelitian ini diharapkan pengolahan mineral logam di Indonesia mendapatkan
jalan keluar, dengan demikian pengembangan dan pengolahan mineral logam di Indonesia dapat
dikembangkan.faktor utama dalam proses perekayasaan ini meliputi kapasitas desain, bentuk tungku/peralatan
pengolahan (tungku reduksi) karena tungku yang direncanakan untuk mengolah mineral logam dengan cara
reduksi langsung (direct reduction), untuk mendapatkan mineral logam yang tereduksi atau sponge iron atau
dikenal juga direct reduced iron (DRI). Kalau memungkinan peralatan tersebut dapat digunakan untuk membuat
iron nuggets.Sehingga peralatan ini dapat bekerja pada temperature 1200 OC, dan kalau memungkinkan sampai
temperature 1500 OC. Perekayasaan peralatan mineral logam pada tahap penelitian didesain untuk skala
laboratorium.
Kata Kunci : Mineral logam, bijih besi, laterit, pasir besi, perekayasaan, peralatan, reduksi, temperatur tinggi,
direct reduced iron (DRI), PSH furnace, tunnel kiln.
PENDAHULUAN
Indonesia kaya akan kandungan deposit mineral baik mineral industri maupun mineral
logam. Namun sampai saat ini kandungan mineral tersebut belum termanfaatkan secara
optimal. Terutama untuk pengolahan mineral logam. Indonesia memiliki cadangan bijih besi
yang terbesar adalah besi laterit disusul dengan pasir besi dan selanjutnya bijih besi
konvensional. Untuk pengolahan mineral besi tersebut secara modern saat ini dilakukan
dengan reduksi langsung, untuk menghasilkan sponge iron atau dikenal juga direct reduced
iron (DRI) atau hot DRI (Direct from midrex 2007/2008), yang selanjutnya dapat diolah
menggunakan electric arc furnace (EAF). Atau kalu mungkin perekayasaan peralatan juga
dapat digunakan untuk menghasilkan besi nuget. Dalam proses pengolahan besi nuget ini
paling tidak diperlukan suatu peralatan tungku reduksi dan peralatan tungku
peleburan/pelelehan, sehingga di perlukan suatu perekayaasaan peralatan untuk pengolahan
mineral besi tersebut yang dapat bekerja pada suhu tinggi 1100°C sampai 1500°C. Maka
untuk memanfaatkan mineral-mineral tersebut perlu dilakukan penelitian lebih mendalam,
terutama tungku pengolahan mineral pada temperatur tinggi, sehingga melalui kegiatan ini
diharapkan penelitian pengolahan material dapat dilaksanakan lebih mendalam.
Seminar Material Metalurgi 2010
METODOLOGI
Maksud dari kegiatan ini diharapkan tersedianya peralatan atau prototip peralatan
tungku pada suhu tinggi untuk proses pengolahan mineral logam. Dan kalau memungkinkan
dapat dimanfaatkan untuk pengolahan besi nugget.
Sedangkan metoda yang dilakukan dalam penelitian Perekayasaan Peralatan
Pengolahan Mineral logam secara garis besarnya meliputi :
1. Studi literatur, dimana studi literatur dilakukan untuk mempelajarai jenis atau tipe
tungku reduksi dan peleburan pada suhu tinggi sehingga dapat menghasilkan besi
nuget serta mempelajari peralatan pengujian material metalurgi.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 449
2. Basic desain, basic desain dilakukan mulai dari perencanaan perekayasaan peralatan,
perhitungan-perhitungan sampai dengan pemilihan bahan-bahan yang diperlukan
untuk perekayasaan peralatan.
3. Perencanaan : Desain, perhitungan, pengujian/karakterisasi bahan dan pemilihan
material, studi banding (tunnel kiln, rotary heart furnace, tube furnace, arc furnace)
pada temperatur diatas 1100 °C.
Gambar 1. Ketinggian tumpukan pelet terhadap penyerapan panas dari bahan bakar
Dari dasar pemikiran ini dapat dicermati seberapa tinggi tumpukan dari pelet yang
akan di reduksi di dalam tungku reduksi, sehingga pemerataan panas sampai kebagian
terbawah dari pelet dapat tereduksi. Beberapa tungku reduksi baik dalam penelitian
laboratorium maupun dalam skala pilot juga ditampilkan pada Gambar 4 (Lu,W.K, 2002),
Gambar 5 dan Gambar 6 (Lu,W.K and Huang D, 2001).
Dalam desain tungku rotary hearth furnace (RHF), beberapa bagian penting yang
perlu diperhatikan diantaranya ratio antara luas heart (bagian dalam bawah tungku) terhadap
lingkar bagian luar furnace (peripheral ring) untuk tumpukan pelet yang poporsional untuk
tinggi tumpukan yang sama, dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut (Lu,W.K, 2002).
Luas dari peripheral ring dari RHF (APR), bagian ini dapat diamati pada Gambar 2.
APR = [(R + d)2 – R2]
Seminar Material Metalurgi 2010
Luas heart untuk tumpukan pelet dengan tinggi yang tetap (AC)
AC = (R2 – r2)
Presentase luas peripheral ring terhadap Luas heart untuk tumpukan pelet dengan tinggi yang
tetap adalah :
APR R d R 2
2
AC
R2 r 2
Tinggi dari tumpukan pelet terhadap luas hearth furnace berpengaruh terhadap
produktivity (kg/m2-hr) dari metalisasi logam yang ada didalam pelet, berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh (Lu,W.K, 2002), ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 4. Salah satu tungku peleburan dengan bahan bakar gas alam.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 451
Paired Straight Hearth (PSH) Furnace
Pengembangan tungku untuk reduksi langsung terus dilakukan karena, reduksi
langsung merupakan solusi yang baik dalam pengolahan mineral logam. Mengingat bahan
reduktor yang digunakan dapat berupa batubara yang low grade sekalipun, disamping itu
mineral logam yang berupa fine ore juga dapat terpakai, karena sebelum dilakukan reduksi
pada umumnya bijih mineral digerus terlebih dahulu lalu di buat pelet. Pelet inilah selanjutnya
yang diumpankan kedalam tungku untuk menghasilkan sponge iron atau DRI. Salahsatu
rekayasa tungku untuk reduksi langsung ini adalah tungku yang dikembangkan oleh (Lu,W.K
and Huang D, 2001) yaitu tungku paired straight hearth (PSH). Tungku yang dikembangkan
hampir mirip dengan tungku tunnel furnace.
Gambar 5. Pandangan atas dari PSH furnace, dan laju perpindahan pellets
Gambar 6. Pandangan atas dari PSH furnace, dan laju aliran gas
Sedangkan bagian dalam dari tungku paired straight hearth (PSH) furnace
ditampilkan pada Gambar 7 dan Gambar 8. Ukuran dari tungku tersebut berdasarkan rrtio w/h
= 0.8 – 1.2 sedangkan D/L = 0.3 – 0.5.
Seminar Material Metalurgi 2010
Gambar 10. Pandangan samping bagian dalam dari desain peralatan yang direncanakan
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 453
Rekayasa Peralatan Pengolahan Mineral Logam
Rekayasa yang dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan literatur yang ada maka
perekayasaan peralatan pengolahan mineral logam yang akan didesain mengaju pada paired
straight hearth (PSH) furnace, dimana tungku ini cukup mewakili untuk skala laboratorium,
disamping itu tungku ini hampir mirip dengan rel pada tunnel furnace. Proses yang terjadi
secara counter current yaitu aliran gas berlawanan dengan laju pellets yang ada didalam
furnace, seperti yang terjadi pada Gambar 4 dan Gambar 5. Namun lori yang dibuat untuk
sementara ini hanya satu rel saja, jadi pengisian pelet dan pengeluaran sponge iron masih
dilakukan secara manual.
Untuk tempat pelet dibuat seperti crusibel yang dapat berjalan sehingga pemanasan
pelet atau proses reduksi pelet dapat terjadi secara bertahap, sedangkan bagian bawah dari
crusibel dibuat rolly sehingga crusibel dapat dijalankan. Pada desain slubung furnace dibuat
untuk dapat memuat 4 (empat) buah crusibel, dengan bahan bata tahan api SK 38 dan kastable
setara dengan bata tahan api SK 38. Sedangkan pembungkus atau cashing tanur seperti
terlihat pada Gambar 5 dibuat dari plat baja mild steel tebal 4 mm, furnace di letakan di atas
tumpuan penyangga hal ini dibuat untuk memudahkan kontrol dan pengoperasian peralatan,
dan bagian dalam juga dilapisi dengan bata api SK 38 dan castable. Adapun desain dari
tungku yang akan dibuat ditampilkan pada Gambar 9 dan Gambar 10. Bahan bakar yang
dipakai dapat digunakan gas elpiji.
KESIMPULAN
1. Dalam perekayasaan peralatan mineral logam untuk tungku reduksi langsung dengan
tungku yang berjalan atau kontinyu beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah :
2. Tingginya tumpukan pelet didalam tungku reduksi harus diperhatikan, kondisi ini
sangat mempengaruhi pendistribusian panas samapai pada pelet bagian bawah dari
tumpukan. Jika panas tidak merata maka reduksi pelet tidak merata atau kurang
sempurna, sehingga sponge iron atau direct reduced iron (DRI) yang dihasilkan
metalisasi logamnya rendah dan juga tidak merata, hal ini dapat mengakibatkan
kualitasnya produk kurang bagus.
3. Tungku yang dirancang harus dapat menghasilkan panas bekisar 1100°C sampai
1500°C, kondisi ini dapat dicapai dengan perekayasaan yang benar untuk pembakaran
bahan bakar, apalagi bahan bakar yang digunakan dapat digunakan gas, BBM ataupun
batubara.
4. Bahan konstruksi yang digunakan harus sesuai dengan kondisi operasi yang
diinginkan, sehingga panas yang ada didalam tungku tidak mudah terbuang secara
konveksi melalui dinding tungku.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lu,W.K,”Technology of Low Coal Rate ang High Productivity of RHF Iron
Making”,AISI/Doe, Technology Rodmap Program, 15 September 2002.
2. USA Patent No.60.257879, Huang D and Lu, W.K,”Paired Straight Hearth (PSH)
Furnace for Mertal Oxide Reduction”, Issuedon Juli 2001.
3. Direct from midrex, ”RHF Tecnologies”, Spesial report Winter 2007/2008.
Seminar Material Metalurgi 2010
4. James McClelland,”A Layman’s Guide to the Midrex and Kobe Steel”, Rotary Hearth
Furnace Technologies,2007/2008. www.midrex.com.
Abstrak
Material magnet hibrida yang terdiri dari dua magnet keras unggul Nd2Fe14B dan Sm2Co17 telah
disiapkan dalam penelitian ini. Sintesis serbuk material magnet hibrida Nd2Fe14B/ Sm2Co17 melalui proses
penghalusan dengan menggunakan planetary ball mill dalam suasana toluen selama 80 jam telah diperoleh
serbuk halus material magnet. Hasil XRD menunjukkan telah terjadi pelebaran puncak-puncak difraksi dari
kedua fasa magnet keras yang mengindikasikan bahwa telah terjadi penghalusan serbuk magnet. Pengamatan
struktur dengan SEM memperlihatkan telah terjadi penghalusan serbuk magnet dengan ukuran kurang dari 500
nm.
PENDAHULUAN
Pengembangan material magnet permanen yang berbasis logam tanah jarang (rare
earth) terutama kaya dengan unsur Fe ( Fe-rich ) dan memiliki sifat kemagnetan unggul
masih terus dilakukan oleh banyak peneliti bahan magnet. Demikian juga dengan alloy
magnetik berbasis logam tanah jarang (Rare earth) sistem RE-TM-B [1-5], Sm-Co[6-8] dan
tidak terkecuali sistem keramik MO.6 Fe2O3 (M=Ba atau Sr)[9-10]. Rekayasa proses
preparasi baik itu teknik konvensional seperti Powder Metallurgy[11] maupun teknik modern
seperti Rapid Solidification[12] dalam pembuatan magnet permanen telah mampu
menghasilkan sifat kemagnetan ekstrinsik yang mencapai 90-100 % nilai intrinsiknya. Arah
pengembangan penelitian bahan magnet lebih terfokus pada rekayasa struktur dari material
magnetik yang pernah dikembangkan sebelumnya yaitu penerapan nanotechnology dalam
preparasi material magnetik. Sebagai penerapan dari teknik rekayasa modern ini telah
membuka peluang baru untuk memperoleh magnet dengan sifat yang sangat unggul misalnya
saja fasa magnetik Nd2Fe14B yang memiliki nilai maximum energy product, (BH)max sebesar
512 kJ.m-3 [13] berpeluang di rekayasa untuk menghasilkan magnet dengan nilai (BH)max
sebesar ~ 1 MJ.m-3 [14-15].
METODE EKSPERIMEN
Paduan Nd2Fe14B and Sm2Co17 yang diproduksi oleh Johnson Matthey Rare Earth
Products, Material Technology Divion, berupa padatan dan serbuk kasar. Komposisi Material
magnet hibrida Nd2Fe14B/Sm2Co17 (5, 40, 50 % berat) dilakukan proses penghalusan dengan
Seminar Material Metalurgi 2010
menggunakan Planetary Ball Mill selama 80 jam dalam susana toluen dengan rasio massa
material magnet dan bola baja adalah 1 : 10. Identifikasi fasa magnetik dilakukan dengan
menggunakan XRD dengan target Co pada interval sudut 2 20o – 60o . Analisis struktur
menggunakan SEM.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 455
terjadi dekomposisi fasa dan terdeteksi untuk masing-masing fasa Nd2Fe14B dan Sm2Co17
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Pola difraksi sinar-x material magnet hibrida Nd2Fe14B+30% wt Sm2Co17 sebelum proses
penghalusan serbuk.
Sedangkan pola difraksi sinar-x pada serbuk magnet hibrida sesudah proses
penghalusan selama 80 jam (Gambar 2) menunjukkan telah terjadi reduksi ukuran serbuk
secara signifikan. Pelebaran puncak-puncak difraksi untuk masing-masing fasa penyusun
magnet hibrida meindikasikan telah terbentuknya butir-butir (grains) kristal dengan ukuran
nanometer.
Gambar 2. Pola difraksi sinar-x material magnet hibrida Nd2Fe14B+30% wt Sm2Co17 sebelum proses
penghalusan serbuk dan material magnet hibrida Nd2Fe14B+40% wt Sm2Co17 sesudah proses
Seminar Material Metalurgi 2010
Hal yang sama juga dialami oleh material magnet hibrida dengan komposisi 5% dan
50%. Ini memastikan bahwa tingkat penghalusan terjadi pada semua komposisi material
magnet hibrida. Gambar 3 menunjukkan pola difraksi-x material magnet hibrida
Nd2Fe14B+5% wt Sm2Co17 dan Nd2Fe14B+50% wt Sm2Co17 sesudah proses penghalusan
serbuk selama 80 Jam di mana telah terjadi pelebaran puncak-puncak difraksi dan
terbentuknya krista-kristal pada skala nanometer.
Gambar 3. Pola difraksi sinar-x material magnet hibrida Nd2Fe14B+5% wt Sm2Co17 dan Nd2Fe14B+50% wt
Sm2Co17 sesudah proses penghalusan serbuk selama 80 Jam
(a) (b)
Gambar 4. Foto SEM material magnet (a) Nd2Fe14 B dan (b) Sm2Co17 serbuk awal.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 457
Gambar 4 memperlihatkan morfologi serbuk material magnet Nd2Fe14B dan Sm2Co17
sebelum proses penghalusan. Terlihat terdapat perbedaan kedua material magnet tersebut,
Warna komposisi Nd2Fe14B lebih halus dibandingkan dengan Sm2Co17 yang lebih kasar pada
permukaan serbuk kristalnya. Namun demikian kedua bahan tersebut memiliki ukuran
distribusi ukuran serbuk yang berbeda pada skala mikrometer.
Proses penghalusan serbuk material magnet hibrida dengan planetary ball mill
mengakibatkan terjadi reduksi distribusi ukuran serbuk kristal pada ukuran kurang dari 1 m
atau 1000 nm (Gambar 5a, 5b, dan 5c).
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 5. Foto SEM material magnet hibrida Nd2Fe14B+30% wt Sm2Co17 sesudah proses penghalusan serbuk
selama (a) 10 jam, (b) 40 jam, dan (c) 80 jam. (d) Serbuk magnet berukuran kurang dari 500 nm.
Serbuk magnet dengan ukuran kurang dari 1000 nm diyakini terdiri dari beberapa
kristal dengan ukuran kurang dari 100 nm (Gambar 5d) apabila dikonfirmasi dengan hasil
pengukuran difraksi sinar-x terhadap serbuk setelah penghalusan selama 80 jam dimana
puncak-puncak difraksi mengalami pelebaran (peak broadening).
KESIMPULAN
Material magnet hibrida Nd2Fe14B dan Sm2Co17 telah disiapkan dalam penelitian ini.
Sintesis serbuk material magnet hibrida Nd2Fe14B/Sm2Co17 melalui proses penghalusan
dengan menggunakan planetary ball mill dalam suasana toluen selama 80 jam telah diperoleh
serbuk halus material magnet kurang dari 500 nm. Hasil XRD menunjukkan telah terjadi
Seminar Material Metalurgi 2010
pelebaran puncak-puncak difraksi dari kedua fasa magnet keras yang mengindikasikan bahwa
telah terjadi penghalusan serbuk magnet. Pengamatan struktur dengan SEM memperlihatkan
telah terjadi penghalusan serbuk magnet dengan ukuran kurang dari 500 nm.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 459
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Telah dilakukan penelitian material magnet hibrida BaFe12O19/Nd2Fe14B. Material magnet BaFe12O19
dan Nd2Fe14B berupa serbuk kasar berukuran kurang dari 100 mm disiapkan menggunakan vibration disc mill
dengan komposisi Nd2Fe14B 5%, 10%, 20%, dan 30% berat. Penghalusan serbuk magnet hibrida menggunakan
vibration ball mill selama 40 jam denganrasio massa material magnet dengan massa bola adalah 1 : 10.
Analisis struktur dengan XRD dan SEM menunjukkan telah terjadi pelebaran puncak-puncak difraksi dari kedua
fasa magnet keras yang mengindikasikan bahwa telah terjadi penghalusan serbuk magnet. Pengamatan struktur
dengan SEM memperlihatkan telah terjadi penghalusan serbuk magnet dengan ukuran kurang dari 1000 nm.
Pengukuran sifat magnet dengan Permagraph pada medan luar 2 T diperoleh berupa loop histerisis dari magnet
permanen dan telah terjadi peningkatan terhadap nilai remanen, koesivitas, dan energi produk maksimum dari
magnet hibrida.
PENDAHULUAN
Dalam pengembangan material magnet permanen yang berbasis logam tanah jarang
(rare earth) terutama kaya dengan unsur Fe ( Fe-rich ) dan memiliki sifat kemagnetan unggul
masih terus dilakukan oleh banyak peneliti bahan magnet. Demikian juga dengan alloy
magnetik berbasis sistem keramik MO.6 Fe2O3 (M=Ba atau Sr)[1-2]. Supremasi rekayasa
proses preparasi baik itu teknik konvensional seperti Powder Metallurgy[3] telah mampu
menghasilkan sifat kemagnetan ekstrinsik yang mencapai 90-100 % nilai intrinsiknya. Hal ini
menunjukkan bahwa seolah-olah jenis-jenis senyawa magnetik baru menjadi sangat mendesak
untuk dikembangkan. Namun, berdasarkan berbagai publikasi bahwa arah pengembangan
penelitian pada lebih dari 100 tahun di belakang adalah terfokus pada penemuan senyawa-
senyawa baru. Ternyata tidak demikian halnya pada awal milenium ke tiga dimana
berdasarkan pengamatan melalui berbagai publikasi, arah pengembangan penelitian bahan
magnet lebih terfokus pada rekayasa struktur dari material magnetik yang pernah
dikembangkan sebelumnya yaitu penerapan nanotechnology dalam preparasi material
magnetik. Sebagai penerapan dari teknik rekayasa moderen ini telah membuka peluang baru
untuk memperoleh magnet dengan sifat yang sangat unggul misalnya saja fasa magnetik
Nd2Fe14B yang memiliki nilai maximum energy product, (BH)max sebesar 512 kJ.m-3 [4]
berpeluang di rekayasa untuk menghasilkan magnet dengan nilai (BH)max sebesar ~ 1 MJ.m-3
[5-6]. Implikasi lain dari penerapan teknologi tersebut adalah diperlukannya pemahaman baru
tentang fenomena “nanomagnetism” material yang kini telah menarik banyak perhatian para
peneliti teori [7-9]. Dalam penelitian ini dilakukan rekayasa material magnet BaFe12O19 dan
Seminar Material Metalurgi 2010
Nd2Fe14B untuk membuat campuran hibrida. Diharapkan terjadi kombinasi dari sifat
kemagnetan yang dihasilkan.
METODE EKSPERIMEN
Desain komposisi yang telah dilakukan adalah sintesis magnet hibrida sebagai
komponen utama material magnet keras BaO 6.Fe2O3 atau BaFe12O19 dengan penambahan
Nd2Fe14B berupa pita magnet yang memiliki magnetisasi sisa atau remanen mencapai 1 T.
Penambahan Nd2Fe14B terhadap BaFe12O19 dengan komposisi 5%, 10%, 20%, dan 30% berat.
Massa total untuk masing-masing adalah 10 gram untuk dilakukan proses penghalusan dengan
menggunakan vibration ball mill (VBM) dalam suasana toluen. Pemaduan mekanik atau
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 461
mechanical alloying yaitu proses pemaduan dua bahan dasar dari material magnet secara
mekanik. Material magnet hibrida BaFe12O19 / Nd2Fe14B yang dihasilkan berupa paduan
setelah proses mekanik menggunakan VBM dengan rasio massa material magnet terhadap
massa total bola yaitu 1 : 10 selama 40 jam diharapkan terjadi reduksi ukuran serbuk sampai
pada skala nanometer. Analisis struktur dengan XRD pada interval 2θ 20 – 60o dan SEM.
Serbuk halus magnet hibrida diukur sifat kemagnetan dengan Permagraph.
Gambar 1. Pola difraksi sinar-x magnet hibrida BaO 6.Fe2O3 / Nd2Fe14B sesudah proses milling dengan VBM
selama 40 jam. (a) BaO 6.Fe2O3 serbuk awal, ( b ) BaO 6.Fe2O3 / 5 % wt Nd2Fe14B, (b) BaO
6.Fe2O3 / 10 % wt Nd2Fe14B, ( c ) BaO 6.Fe2O3 / 10 % wt Nd2Fe14B, ( d ) BaO 6.Fe2O3 / 20% wt
Nd2Fe14B, ( e ) BaO 6.Fe2O3 / 30 % wt Nd2Fe14B.
(a) (b)
Seminar Material Metalurgi 2010
(c) (d)
Gambar 2. Foto SEM magnet hibrida BaO 6.Fe2O3 / Nd2Fe14B sesudah proses milling dengan VBM selama 40
jam. ( a ) BaO 6.Fe2O3 / 5 % wt Nd2Fe14B, ( b ) BaO 6.Fe2O3 / 10 % wt Nd2Fe14B, ( c ) BaO 6.Fe2O3
/ 20% wt Nd2Fe14B, ( d ) BaO 6.Fe2O3 / 30 % wt Nd2Fe14B.
Sifat Kemagnetan
Pengukuran sifat kemagnetan dengan menggunakan Permagraph pada medan luar
maksimum 2 T terhadap serbuk magnet hibrida diperoleh Gambar 3. Terlihat terjadi
peningkatan secara signifikan sifat kemagnetannya terhadap peningkatan Nd2Fe14B. Nilai
remanen kurang dari 0,5 T meningkat hampir 1,5 T dengan persen berat dari 5 % menjadi 30
% Nd2Fe14B. Begitu pula diikuti oleh koersivitas dan energi produk maksimum.
Gambar 3. Loop hisyerisis magnet hibrida ( b ) BaO 6.Fe2O3 / 5 % wt Nd2Fe14B, dan ( b ) BaO 6.Fe2O3 / 30 %
wt Nd2Fe14B.
KESIMPULAN
Material magnet hibrida BaFe12O19/Nd2Fe14B. dengan komposisi Nd2Fe14B 5%, 10%,
20%, dan 30% berat. Penghalusan serbuk magnet hibrida menggunakan vibration ball mill
selama 40 jam denganrasio massa material magnet dengan massa bola adalah 1 : 10. Analisis
struktur dengan XRD dan SEM menunjukkan telah terjadi pelebaran puncak-puncak difraksi
dari kedua fasa magnet keras yang mengindikasikan bahwa telah terjadi penghalusan serbuk
magnet. Pengamatan struktur dengan SEM memperlihatkan telah terjadi penghalusan serbuk
Seminar Material Metalurgi 2010
magnet dengan ukuran kurang dari 1000 nm terjadi peningkatan secara signifikan sifat
kemagnetannya terhadap peningkatan Nd2Fe14B. Nilai remanen kurang dari 0,5 T meningkat
hampir 1,5 T dengan persen berat dari 5 % menjadi 30 % Nd2Fe14B. Begitu pula diikuti oleh
koersivitas dan energi produk maksimum.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 463
DAFTAR ACUAN
[01]. K.H.J. Buschow, Mat. Sci. Reports, 1 (1986), pp 1-64
[02]. H.A. Davies, in Rapidly Quenched Metals III, ed. B.Cantor, 1, the Chameleon Press
Ltd, London (1988), pp 8-14
[03]. R. Skomski and J.M.D. Coey, IEEE Trans. Magn., 29 (1993), 2860
[04]. C. Suryanarayana, Int. Materials Reviews, 40 (1995), 41
[05]. A. Manaf, R.A. Buckley, H.A. Davies and M. Leonowicz, "Enhanced Magnetic
Properties in Rapidly Solidified FeNdB Based Alloys", J. Magn. Magn. Mater, 101,
360-362 (1991).
[06]. A. Manaf, M. Leonowicz, H.A. Davies and R.A. Buckley, " Effect of Grain Size and
Microstructure on Magnetic Properties of Rapidly Solidified F82.4Nd13.1B4.5", J.
Appl. Phys., 70, 6366-6368 (1991).
[07]. E.C. Stoner and E.P. Wohlfarth, Phil. Trans. Soc., A-240 (1948), 599
[08]. A. Manaf, M. Leonowicz, H.A. Davies and R.A. Buckley, "Nanocrystalline Fe-Nd-B
Type Permanent Magnet Materials with Enhanced Remanence", Materials Letters, 13,
194-198 (1992).
[09]. A. Manaf, M. Leonowicz, H.A. Davies and R.A. Buckley, "Enhanced Remanence in
Nanocrystalline Rapidly Solidified FeNdB Alloys", Opening paper Proc. 12th Intl.
Workshop on Rare Earth magnets, pp 1-11, publ. Univ. West Australia (1992).
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Telah dilakukan rancang bangun Converter Furnace (CF) kapasitas 250 Kg, yang bertujuan untuk
memodifikasi/optimasi pengaruh penggunaan oksigen terhadap pengurangan kadar karbon (dekarburisasi)
pada hot metal untuk membuat baja. CF terdiri dari 3 bagian utama yaitu bagian Cone, Lining dan Bottom.
secara umum dimensinya adalah Out Diameter (OD) 77 cm dan tinggi 101 cm. Pada bagian atas adalah cone,
tingginya adalah 29, 4 cm, dan lebarnya dari diameter 77 cm mengerucut menjadi 53, 6 cm pada bagian
atasnya. Pada bagian tengah adalah lining, tingginya adalah 55,4 cm, sedangkan OD 77 cm, In Diameter (ID)
48 cm. Pada bagian bottom, tinggi atau tebalnya adalah 15, 6 cm sedangkan lebarnya 77 cm pada titik
tengahnya disimpan 1 unit tuyere. Setelah rancang bangun selesai, dilakukan percobaan dengan
menghembuskan oksigen kadar 99 % pada bagian tengah tuyere, pada saat itu juga minyak residu dihembuskan
pada bagian lingkaran luar diantara dua pipa konsentris dengan tekanan sebesar 3 - 6 bar selama 2 menit
kedalam CF melalui bottom tuyere yang terisi hot metal sekitar 200 kg. Sebagai hasilnya kadar karbon sebesar
yaitu 0.78 % C dimana bahan baku awal berupa pig iron dan scrap pig dengan kadar 3.41 % C. Dapat dilihat
terjadinya penurunan persentase kadar karbon (dekarburisasi) sebesar 22.8 %, sehingga CF ini dapat
digunakan dalam skala laboratorium, yang diperuntukan untuk industri-industri pengecoran logam maupun
untuk kepentingan penelitian/pendidikan.
Abstract
The Engineering (the making) of Converter Furnace (CF) capacity 250 Kg have been made, which
intent on modification of oxygen influence toward carbon reduction (decarburization) in hot metal for steel
making. It’s consists of 3 bodywork there are Cone, Lining and Bottom with general dimension for Outer
Diameter (OD) 77 cm, height 101 cm. At up section is cone which has height 29, 4 cm, width 77 cm conical to
53, 6 cm on the top. At middle section is lining which have height is 55, 4 cm, OD 77 cm, Inner Diameter (ID) 48
cm. At down section is bottom which has height or thicknesses 15, 6 cm, width 77 cm, on central point inserted 1
unit of tuyere. After engineering be finished, then experiment is done with oxygen 99 % are injected through the
central portion of the tuyere, while a residual oil is injected through the annular section between the two
concentric pipes, used 3 - 6 bar pressure during 2 minutes pass through bottom tuyere into filled approximately
200 kg hot metal in CF. As a result carbon content is 0, 78 % C where carbon content in raw material such as
pig iron and scrap are 3.14 % C. The reduction of carbon content (decarburization) finally did as big as 22, 8
%. With the result that this CF can be used in laboratory scale on foundry industries although
research/education purposes.
.
Keyword: Converter Furnace, decarburization, bottom tuyere, steel
PENDAHULUAN
Dibandingkan jenis logam yang lain (misalnya Aluminium, Seng, Tembaga, dll) maka
besi/baja adalah bahan yang paling banyak diproduksi di dunia hingga saat ini. Statistik
Seminar Material Metalurgi 2010
menunjukkan, bahwa 92 % penggunaan logam dunia adalah besi/baja. Pada tahun 1998,
produksi Rohstahl/raw steel (baja baku) sejumlah 750 juta ton (sumber: Berita Iptek).
Kemudian menurut data dari MEPS (International) Ltd konsumsi besi dan baja dunia
sampai tahun 2004 meningkat sebesar 941.5 juta ton yaitu naik 8.5 % diatas tahun
sebelumnya akan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Sedangkan Pada 2010,
permintaan baja di dalam negeri diprediksi akan meningkat menjadi 7,2 juta ton seiring
dengan digenjotnya sejumlah proyek infrastruktur. Namun, implementasi FTA ASEAN-China
akan menyebabkan impor baja asal China pada 2010 naik 170,76 % menjadi 1,5 juta ton
dibanding tahun 2009 (zubaedah hanum). Karena besarnya pangsa pasar baja ini, maka
negara-negara yang maju dalam industri baja berlomba-lomba untuk membuat rekayasa-
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 465
rekayasa baru di dalam proses produksi. Tujuannya adalah untuk mendapatkan baja
berkualitas bagus dengan harga yang relatif murah
Dewasa ini, besi kasar diproduksi dengan menggunakan blast furnace (dapur bijih
besi) yang berisi kokas atau bisa juga digunakan arang kayu sebagai reduktor, kemudian batu
kapur dan bijih besi. Kokas/arang kayu terbakar dan menghasilkan gas CO dan mereduksi
oksida besi. Besi yang telah tereduksi melebur dan terkumpul di bawah tanur menjadi besi
kasar yang biasanya mengandung C, Si, Mn, P, dan S. Kemudian leburan besi dipindahkan ke
tungku lain (converter) dan diembuskan gas oksigen untuk mengurangi kandungan karbon.
Dengan cara ini dapat diproses besi kasar menjadi baja.
Menurut komposisi kimianya baja diklasifikasikan menjadi :
1. Baja karbon (carbon steel), dibagi menjadi tiga yaitu;
Baja karbon rendah (low carbon steel) 0,05 % - 0,30% C.
Baja karbon menengah (medium carbon steel) 0,3 % -0,60 %C
Baja karbon tinggi (high carbon steel) 0,60 % - 1,50 % C
2. Baja paduan (alloy steel). Baja paduan yang diklasifikasikan menurut kadar karbonnya
dibagi menjadi:
Low alloy steel, jika elemen paduannya ≤ 2,5 %
Medium alloy steel, jika elemen paduannya 2,5 – 10 %
High alloy steel, jika elemen paduannya > 10 %
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Studi
Literatur, 2. Perancangan alat, 3. Pengadaan bahan dan alat, 4. Pembuatan alat, 5. Pengujian
unjuk kerja alat.
Castable C 16
Input Hole
Tapping Hole
Converter Flange
Sheel
Mildsteel Plate thickness 6 mm
BOTTOM 3
Kontruksi CF seperti terlihat pada Gambar 1 berbentuk seperti tabung yang atapnya
membentuk seperti kerucut terpotong. Pada bagian pertama yaitu bagian Cone, lapisannya
terdiri dari bagian luar yaitu plat MS tebal 6 mm, kemudian bagian dalamnya yaitu lapisan
refraktori castable C 16 dengan tebal ± 5 cm, dan mempunyai dua lubang pada sisi kiri dan
kanan yaitu, input hole yaitu tempat masuknya logam cair panas yang akan diproses dan
tapping hole yaitu tempat mengeluarkan logam cair panas yang sudah diproses di dalam
tungku. Bagian kedua yaitu Lining, lapisannya terdiri dari bagian luar yaitu plate MS tebal 6
mm, bagian tengahnya terdiri dari filler/penambah yaitu campuran oli dengan slag dengan
tebal 20 mm, tujuannya sebagai tambahan hambatan laju konduktivitas suhu dari dalam
tungku, dan bagian dalam yaitu Bata Api menggunakan jenis SK 34 sebagai upaya menahan
panas dari cairan besi/baja. Bagian ketiga yaitu Bottom, terdiri dari beberapa lapisan dimulai
dari lapisan paling luar yaitu plat MS tebal 6 mm, kemudian lapisan kedua yaitu berisi
campuran pasir silika dan bentonit, kemudian lapisan ketiga yaitu castable jenis C 16 dengan
tebal 10 mm dan lapisan paling dalam yaitu Bata Api dengan jenis SK 38 dengan tebal 6,5
cm. Pada bagian tengah bottom tersimpan 1 unit tuyere dengan bahan 99 % tembaga.
Filler Material
Slag-Oil Mixing
Seminar Material Metalurgi 2010
Ga
Gambar 2. Dimensi Converter Furnace Kapasitas 250 Kg
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 467
Gambar 2 memperlihatkan dimensi detail dari Converter Furnace, secara umum
dimensi CF ini mempunyai diameter luar sebesar 77 cm dan tinggi 101 cm. Pada bagian cone,
tingginya adalah 29, 4 cm, dan lebarnya dari diameter 77 cm mengerucut menjadi 53, 6 cm
pada bagian atasnya. Pada bagian lining, tingginya adalah 55,4 cm, sedangkan diameter
luarnya adalah 77 cm dengan tebal pada salah satu sisinya adalah 14,5 cm yaitu terdiri dari
lapisan plat MS ditambah lapisan campuran oli-slag dan lapisan bata api, diameter dalamnya
adalah 48 cm. Antara bagian cone dan lining terdapat batas yang menempel dikeduanya yaitu
flange, karena bagian cone dan lining ini terpisah, detailnya seperti terlihat pada gambar 3
yaitu dari bahan plat MS 6 mm dengan diameter dalam ID 76,8 dan diameter luar OD 87 cm
dimana terdapat 26 lubang baut dengan diameter ¼ inchi tujuannya untuk mengunci antara
bagian cone dan lining supaya ketika proses tapping cone tidak tumpah/jatuh. Pada bagian
bottom, tinggi atau tebalnya adalah 15, 6 cm namun pada bagian bawahnya cenderung
membentuk radius yaitu sebesar R 133,5 cm, sedangkan lebarnya 77 cm pada titik tengahnya
terdapat 1 unit tuyere untuk gambar detailnya bisa dilihat pada Gambar 4.
SPROKET RS
MOTOR 5.5 HP GEAR BOX 80 GEAR BOX 120 TUNGKU
80
960 RPM 1 : 30 1 : 60 CONVERTER
20 : 30
Gear Box
Oxygen
Fuel Oil Supply
Motor Supply
hose, dimana digunakan alat relief untuk mengatur tekanan yang dialirkan kedalam tungku.
Setelah semua rancangan tersebut dibangun, maka selanjutnya adalah dilakukan percobaan.
Percobaan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut diawali dengan pig iron dan scrap pig
iron dengan kadar C sebesar 3-4 % dilebur menggunakan mesin tungku induksi. Setelah
semuanya leleh dan terbentuk cairan panas dengan suhu sekitar 1650 oC, maka diambil
sample awal untuk di analisa komposisi kimianya, dilanjutkan dengan proses tapping yaitu
proses pengeluaran cairan panas tersebut dari tungku induksi kedalam ladle sekitar 200 Kg,
kemudian dari ladle tersebut dimasukan kedalam CF melalui runner. Pada saat cairan mulai
masuk ke dalam CF, oksigen dan residu mulai dialirkan dengan tekanan masing-masing 3 bar
dan 2 bar , tujuannya supaya cairan tidak menutupi lubang tuyere. Setelah semua cairan panas
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 469
masuk maka tekanan aliran oksigen dan residu dinaikan sampai 2 – 6 bar. Proses dekarburasi
dilakukan selama 2 menit, setelah itu dari cairan panas setelah proses tersebut dikeluarkan
untuk di uji kadar karbonnya dan sisanya di tuang ke dalam cetakan.
PEMBAHASAN
Pemilihan material refraktori di dalam tungku sangatlah penting karena refraktori
tersebut berfungsi untuk menjaga ketahanan panas, korosi, oksidasi, hot modulus rupture dari
hot metal yang akan diproses, selain itu pemilihan refraktori yang tepat akan menambah umur
pakai, mengurangi biaya pemasangan dan pemeliharaan. Pemilihan refraktori pada bagian
cone menggunakan Castable C 16 (Al2O3 60,5%, SiO2 24.5%, CaO 5,5%) dimana temperatur
kerja sampai 1600 oC, pada bagian dalam Lining menggunakan bata tahan api tipe SK 34
(Al2O3 40%, SiO2 45-55%) dengan temperatur kerja maksimal 1750 oC dan pada bagian
Bottom menggunakan high alumina brick tipe SK-38 (Al2O3 74%, SiO2 22%, TiO2 2%, Fe2O3
2%) dengan temperature kerja maksimal 1850 oC. Jenis refraktori pada bata api yang
digunakan adalah jenis asam, secara teoritis, refraktori asam tidak boleh digunakan dalam
kontak dengan slags basa, gas atau uap basa, sedangkan refraktori jenis basa akan sangat baik
digunakan dalam kontak dengan lingkungan kimia yang basa. Jadi pemakaian refraktori harus
disesuaikan dengan bahan baku yang akan digunakan.
Untuk proses pemurnian digunakan gas oksigen dengan tingkat kemurnian sebesar 99
%, gas ini bertujuan untuk mengikat C pada cairan logam panas seperti terlihat pada proses
kimia dibawah ini :
C + ½ O2 CO
Sebagian CO teroksidasi menjadi CO2 diatas cairan, proses reaksi oksidasi lainnya yang
terjadi pada proses pemurnian seperti dibawah ini :
Si + O2 SiO2
2P + (5/2) O2 P2O5
Mn + 1/2O2 MnO
Fe + 1/2 O2 FeO
2Fe + (3/2)O2 Fe2O3
Oksida-oksida ini bersatu dengan oksida yang lainnya untuk membentuk cairan slag
dimana akan mengapung pada permukaan cairan. Karena oksigen bersifat eksotermis,
sehingga akan meningkatkan temperatur didalam CF. Sedangkan residu bersifat endotermis,
maka akan menurunkan temperatur pada bagian ujung tuyere hal ini kan membuat tuyere
lebih tahan lama.
Ketika pada tahap tapping dari CF ke dalam cetakan terjadi pembekuan dini di dalam
CF, hal ini dikarenakan terjadinya penurunan temperatur di dalam CF. Disebabkan oleh
lubang tuyere untuk mengeluarkan oksigen tertutup cairan yang membeku, karena pada saat
proses dekarburasi, selang oksigen yang digunakan tidak tahan terhadap panas yang
merambat dari dalam CF sehingga terjadi kemuluran pada selang yang digunakan dan
akhirnya terlepas. Kemudian residu yang mempunyai sifat endotermis terbakar dan
memberikan efek dingin pada cairan yang akan dituang selain itu baja yang mempunyai sifat
mampu alir rendah menambah proses pembekuan.
Seminar Material Metalurgi 2010
Namun setelah percobaan ini dilakukan didapatkan data berupa hasil uji kadar karbon
sebelum dan setelah proses dengan menggunakan metode analisa titrimetri seperti pada Tabel
dibawah ini :
Tabel 1. Hasil analisa kadar karbon
HASIL ANALISA KADAR KARBON
SEBELUM PROSES SETELAH PROSES
%C %C
3.41 0.78
KESIMPULAN
Rancangan pembuatan Converter Furnace kapasitas 250 Kg ini dapat digunakan
sebagai alat untuk menurunkan kadar karbon sehingga bisa menghasilkan baja dengan kadar
karbon yang rendah. Converter Furnace bisa dibuat sesuai dengan skala/kapasitas yang
dikendaki. Dan dapat digunakan untuk industri pengecoran maupun untuk kepentingan
penelitian/pendidikan.
SARAN
Perlu dilakukan percobaan kembali dengan variasi waktu dan tekanan alir oksigen dan
residu yang digunakan sehingga bisa menghasilkan baja yang sesuai serta penggunakan
selang yang tahan temperatur tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
1. AISE, The Making, Shaping and Treating of Steel - Steelmaking and Refining, Volume,
ISBN: 0–930767–02–0, The AISE Steel Foundation. 1998
2. Guy Savard at al, 1958, “Method and Apparatus for treating Molten Metal with Oxygen”,
US Patent No. 2.855.293.
3. Kimura et al, 1983, “Tuyere for Blowing Gases into Molten Metal Bath Container”, US
Patent No. 4.417.723.
4. Wang Xin , Pengukur Aliran Oksigen, Survei dan Perbaikan Kebocoran., Pedoman
Efisiensi Energi untuk Industri di Asia Pasifik”("Greenhouse Gas Emission Reduction
from Industry in Asia and the Pacific"/ GERIAP)., UNEP, 2006.
5. General Product Specification, Technical Data Sheet, PT. Indoporlen Refractories
6. Product-Steel Making., Basic Oxygen Furnace Refractories., http://www.mckeown
international.com/New/Steel_Making.htm diakses tanggal 2 Agustus 2010
7. http://sinarbaja.wordpress.com/2009/09/08/alternatif-proses-pembuatan-lempengan-baja-
tipis-thin-strip-masa-depan diakses tanggal 12 Juli 2010
8. http://www.meps.co.uk/world-price.htm diakses tanggal 10 Juni 2010
9. http://bataviase.co.id/content/industri-besi-baja-lokal-terjepit-liberalisasi-pasar diakses
tanggal 12 Juli 2010
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 471
Seminar Material Metalurgi 2010
PENDAHULUAN
Tragedi tsunami tanggal 26 Desember 2004 yang terjadi di samudra Hindia telah
membawa korban ribuan jiwa, limpasan air laut dan Lumpur laut yang timbul mencapai 5 km
lebih masuk kedaratan Banda Aceh. Limpasan air laut dan Lumpur laut, pasti menimbulkan
perubahan sifat air permukaan yang semula tawar menjadi asin atau bersalinitas tinggi. Akibat
lebih lanjut terhadap sifat korosifitas lingkungan air permukaan dan lingkungan tanah akan
berubah dan meningkat secara signifikan. Pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2006,
yaitu untuk mengetahui tingkat korosifitas lingkungan pasca tsunami telah dilaksanakan dari
bulan Maret hingga bulan Desember 2006. Lokasi penelitian yang diambil sebanyak 12
tempat, didasarkan pada garis lurus dari garis pantai masuk kedaratan yang dimulai dari
Daerah Lamsenang (Desa Kajhu) hingga Daerah Ceuceu Iniem.
Masuknya air laut dan lumpur laut kedaratan yang mencapai lebih dari 5 km, dapat
dipastikan membawa dampak perubahan sifat korosifitas lingkungan. Terkait dengan sifat
korosifitas lingkungan jejak tsunami, penelitian yang telah dilakukan terdiri dari karakterisasi
lingkungan dan pengaruhnya terhadap konstruksi baja karbon.
METODOLOGI PENELITIAN
Karakterisasi Lingkungan
Penelitian untuk karakterisasi lingkungan telah dilakukan di Lokasi atau di lapangan
dan juga dilakukan di Laboratorium.
Langkah-langkah penelitian di lapangan yang dilakukan adalah:
1. Pengumpulan data skunder dari sumber-sumber terkait, misalnya Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi (BRR), Bapeda, wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan lain-
lain.
2. Survei lapangan dan pemetaan lokasi uji yang menetapkan 12 daerah uji, yaitu (1) Dukuh
Lamsenang-Desa Kajhu, (2) Dukuh Lamprada-Desa Kajhu, (3) Universitas Syiah Kuala,
(4) Gla Meunasah, (5) Makam Syah Kuala, (6) Lambaro Skep, (7) Beurawe, (8)
Universitas Serambi Mekah, (9) Deah Teungoh, (10) Punge Blangcut PLTD, (11)
Lamteumeun Timur dan (12) Ceuceu Iniem.
3. Pengamatan visual terhadap jejak tsunami terhadap bangunan berstruktur baja. Langkah
kerja meliputi peninjau langsung ke lokasi dan melakukan pemotretan.
4. Pengukuran resistivitas air permukaan, lumpur dan tanah. Langkah kerja mengguna-kan
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 473
1. Uji resistivitas air permukaan, lumpur dan tanah permukaan. Pengukuran di laboratorium
menggunakan “soil box” yang dilengkapi alat Ampermeter dan voltmeter.
2. Analisa komposisi kimia logam dan senyawa klhorida dalam air permukaan, lumpur dan
tanah permukaan. Pengukuran komposisi kimia logam dalam media air, lumpur dan tanah
digunakan alat Atomic Absortion Spectrometer (AAS).
3. Uji laju korosi logam baja karbon dimedia air permukaan, lumpur dan tanah permukaan.
Pengukuran laju korosi dengan menggunakan metode kehilangan berat benda uji.
Komposisi kimia baja karbon yang digunakan, adalah : C=0,21 ; S=0,015; P=0,015,
Mn=0,86; Si= 0,26; V=0,09; Al=0,03 dan Fe= balan.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh baik uji lapangan maupun uji
laboratorium, hasil-hasilnya dapat dipelajari di bawah. Hasil survei lapangan, foto visual
ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Perencanaan uji lapangan yang dilakukan tim peneliti P2 Metalurgi-LIPI. Hasil pengukuran
resistivitas dan pH media air, lumpur dan tanah ditunjukkan pada Tabel-1.
Berdasarkan hasil pengujian yang diampilkan pada Tabel 1, menunjukkan bahwa ada
jebakan lumpur dan air laut di daerah Dukuh Lamprada, Makan Syah Kuala dan Deah
Teungoh yang mempunyai kisaran resistivitas antara 17 hingga 79 OhmCm yang
mengindikasikan korosi yang sangat kuat. Walaupun harga pH netral sekitar 7,3.
Hasil pengukuran potensial korosi alami rerata media air, lumpur dan tanah
ditunjukkan pada Tabel 2.
Berdasarkan hasil pengujian potensial korosi alami rerata media air, lumpur dan tanah
yang ditunjukkan pada Tabel 2, memperlihatkan bahwa kaitan harga pH dan harga potensial
korosi alami rerata media air, lumpur dan tanah menunjukkan posisi dalam diagram pourbaik
yang masuk daerah imun yang menjadikan logam baja tidak terkorosi secara merata. Laju
korosi muncul akibat adanya peran serta ion-ion klhorida dari air laut dan lumpur laut.
Tabel 3. Hasil pengukuran laju korosi rerata dalam media air, lumpur dan tanah
Korelasi hasil uji resistivitas, sifat
korosifitas, pH dan laju korosi pH
Kode Daerah
Resistivitas Derajad Laju korosi rerata
(Ohmcm) Korosifitas (mpy)
1 Dukuh Lamsenang-Desa Kajhu 150-160 Sangat korosif 100 7,2
2 Dukuh Lamprada-Desa Kajhu 18-160 Sangat korosif 137 7,3
3 Universitas Syiah Kuala, 630-1400 Korosif 100 7,8
4 Gla Meunasah 660-1250 Korosif 100 7,2
5 Makam Syah Kuala 17-20 Sangat korosif 100 7,7
Sangat korosif
6 Lambaro Skep 220-1700 100~130 7,35
hingga korosif
7 Beurawe 120-300 Sangat korosif 137 7,3
8 Universitas Serambi Mekah 1050-3000 korosif 100 7,5
9 Deah Teungoh 17-420 Sangat korosif 137 7,8
10 Punge Blangcut PLTD 340-1300 Sangat korosif 137 6,9
Sangat korosif
11 Lamteumeun Timur 370-840 100~137 7,2
hingga korosif
12 Ceuceu Iniem 840-875 Korosif 100 7,0
Hasil penelitian potensial korosi alami rerata media air, lumpur dan tanah yang
disajikan pada Tabel 2, diperkuat dengan hasil uji korosi yang ditunjukkan pada Tabel 3. Dari
Tabel 1, menunjukkan bahwa ada jebakan lumpur dan air laut di daerah Dukuh Lamprada,
Seminar Material Metalurgi 2010
Makan Syah Kuala dan Deah Teungoh yang mempunyai kisaran resistivitas antara 17 hingga
79 OhmCm yang mengindikasikan korosi yang sangat kuat dengan kisaran antara 100 hingga
137 mpy. Keterkaitan antara resistivitas, derajad salinita atau pH, potensial korosi alami dan
laju korosi dapat dilihat adanya hubungan yang sangat erat yang faktanya dapat dipelajari dari
Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pengaruh limpasan air dan lumpur
tsunami pada sifat korosifitas lingkungan jejak tsunami di daratan Banda Aceh dapat
disimpulkan bahwa derajad korosifitas air permukaan, lumpur dan tanah jejak tsunami
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 475
menunjukkan semakin mendekati garis pantai angka korosifitasnya peningkatan dari angka
100 mpy hingga 137 mpy.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fontana M.G. and Greene N.D.,” Corrosion Engineering” Second Edition, Tokyo
1978.
2. Pourbaix M.,” Atlas of Electrochemical Equilibria in Aqueous Solution,” NACE,
Houton,Texas 1974.
3. Chawla S.L and Gupta R.K.” Material Selection for Corrosion Control” ASM Material
Park, Copyrigh 1993.
Seminar Material Metalurgi 2010
Heru Santoso
Balai Pengkajian Teknologi Polimer BPPT
Gedung 460 Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang
herues@gmail.com
Abstrak
Dengan berkembangnya kemampuan rekayasa material, polimer blend menjadi salah satu metode
untuk merekayasa material polimer yang cukup penting karena aplikasinya yang cukup luas. Dalam penelitian
ini telah dilakukan proses blending (pencampuran) antara material polimer polietilena tereftalat (PET) dengan
polipropilena (PP) dengan bantuan kompatibilizer PP-g-MA. Untuk melihat pengaruh penambahan
kompatibilizer PP-g-MA terhadap sifat mekanik sistem blending PET/PP digunakan kompatiblizer dengan
konsentrasi 1, 3, 5, 7, 10 dan 15 % (rasio berat). Proses pencampuran menggunakan mesin ekstrusi jenis single
screw dengan setting parameter suhu 210oC, 230oC, 265oC dan 275oC pada putaran 50 rpm. Hasil blending
dengan alat ekstrusi kemudian dibuat spesimen uji menggunakan alat injection molding dengan parameter suhu
185oC, 190oC, 195oC dan 200oC. Hasil pencampuran PET/PP/PP-g-MA dikarakterisasi sifat mekanik yaitu
tensile strength, impact strength dan sifat termalnya dengan TGA serta morfologinya dengan SEM. Pada
penelitian ini didapatkan nilai optimal dari penambahan kompatibilizer PP-g-MA pada konsentrasi 7% (rasio
berat) dengan nilai kuat tarik sebesar 29,25 MPa.
Abstract
Advancement of material engineering makes polymer blend as an important polymer material
engineering method among other methods because of its wide applications. In this research, blending between
polyethylene terephthalate (PET) and polypropylene (PP) polymer materials using compatibilizer PP-g-MA was
produced. The influence of compatibilizer PP-g-MA supplementation on mixture system of PET/PP/PP-g-MA on
mechanical properties was carried out by adding compatibilizer of 1, 3, 5, 7, 10 and 15% (weight ratio). Single-
screw extrusion machine with temperature parameters of 210oC, 230oC, 265oC and 275oC at 50 rpm was used
during mixing process. The result of blending with extrusion machines were made of specimens using injection
molding machine with the parameter of temperature 185oC, 190oC, 195oC and 200oC. The mixing result of
PET/PP/PP-g-MA was characterized mechanically (tensile strength, impact strength), thermally (TGA), and
morphologically (SEM). Optimal value of compatibilizer PP-g-MA supplementation was obtained at
concentration of 7% (weight ratio) with tensile strength of 29.25 MPa.
PENDAHULUAN
Metode pencampuran polimer (polymer blending) mempunyai peranan yang penting
dalam pengembangan material polimer baru. Berkembangnya kemampuan rekayasa material,
blending polimer menjadi salah satu metode untuk merekayasa material polimer yang cukup
penting karena aplikasinya yang cukup luas. Dengan teknik blending antara 2 polimer yang
memiliki sifat yang berbeda akan menghasilkan gabungan kedua sifat tersebut atau memiliki
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 477
untuk maksud aplikasi yang spesifik terutama untuk aplikasi dalam bidang otomotif,
pengemas, elektronik dan lain-lain. [1]
Teknik pencampuran polimer immiscible (tidak bercampur) lebih sering dipilih dari
pada jenis pencampuran miscible (bercampur), karena teknik blending immiscible dapat
menggabungkan beberapa karakteristik penting dari masing-masing komponen campuran.
Peminimalan daya antar muka dan peningkatan daya adesi antara dua fase biasanya dapat
meningkatkan sifat mekanik dari pencampuran polimer immiscible. [1]
Pencampuran polimer immiscible biasanya memiliki sifat mekanik yang rendah karena daya
adhesi antar muka yang lemah antara konstituen mereka. Kurangnya daya adhesi antara
campuran konstituen ini umumnya dianggap sebagai kelemahan.[2] Di sisi lain kompatibilitas
campuran polimer immiscible dapat ditingkatkan dengan menambahkan komponen
compatibilizer ketiga (misalnya, kopolimer blok atau grafting) atau dengan menambahkan
polimer fungsional tertentu yang mampu meningkatkan interaksi spesifik dan reaksi kimia
dalam sistem blending.[3]
Pencampuran polietilena tereftalat (PET) and polyolefin (seperti PP dan PE) telah
menarik kegiatan penelitian yang cukup besar karena kedua bahan tersebut merupakan
termoplastik yang paling sering digunakan, terutama digunakan sebagai bahan pengemas
plastik. PET dapat meningkatkan kekakuan (stiffness) poliolefin pada temperatur yang lebih
tinggi. Sementara poliolefin bisa memfasilitasi kristalisasi PET oleh nukleasi heterogen yang
mempengaruhi kekakuan campuran. Namun, karena perbedaan sifat kimia dan polaritas,
blending PET/Poliolefin menunjukkan kekuatan impak yang rendah. Oleh karena itu,
penambahan compatibilizer sangat diperlukan untuk mendapatkan daya adhesi yang lebih
baik antara dua campuran ini dan untuk meningkatkan sifat mekaniknya. Compatibilizer
biasanya memiliki dua bagian sehingga tiap bagian dapat berinteraksi dengan salah satu dari
polimer dalam campuran. Hal ini memungkinkan pencampuran polimer immiscible
didapatkan campuran yang homogen.[2]
Polietilena tereftalat (PET) dan PP tidak kompatibel dan pencampuran mereka akan
menghasilkan fase besar dengan ikatan antar muka yang lemah dan miskin sifat mekanik.[3]
Polietilena tereftalat (PET) dan polipropilena (PP) yang diketahui sepenuhnya tidak
bercampur (immiscible) dan membutuhkan modifikasi antar muka (interfacial) untuk
mendapatkan campuran yang baik dan untuk meningkatkan daya adhesi solid-state. Berbagai
penelitian telah dilakukan untuk mendapatkan compatibilizer antara PET dan PP dengan
berbagai jenis seperti maleat anhidrida (MA), asam akrilik, atau fungsionalisasi metakrilat
glycidyl.[4]
Pada penelitian ini dilakukan penambahan kompatibilizer PP-g-MA dengan berbagai
konsentrasi, untuk melihat pengaruh sifat mekanik pada pembuatan blending PET/PP. Hasil
dari proses blending PET//PP/PP-g-MA kemudian dikarakterisasi menggunakan TGA, SEM
dan UTM.
METODOLOGI
Bahan dan Peralatan yang digunakan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah resin PP tipe Trilene
HI35HO dari PT. Tri Polyta Indonesia, PET tipe SKY PET BL-8050 produksi SK Keris, PP-
Seminar Material Metalurgi 2010
g-MA tipe Epolene E43 produksi Eastman dan antioksidan (Irganox 1010 dan Irgafos 168).
Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : mesin Single Screw Extruder
merek Collin dengan panjang screw 75 cm (L/D=25) dan alat Injection Molding merek
Battenfeld dengan panjang screw 54 cm (L/D=18).
Hasil ramuan kompon kemudian dimasukan dalam alat ekstrusi single screw dengan
setting parameter suhu 210oC, 230oC, 265oC, 270oC dan 275oC dengan putaran 50 rpm.
Proses pencampuran material dalam alat ekstrusi dilakukan selama 2 kali. Sampel kompon
kemudian dibuat pelet dengan bantuan alat pelletizer. Pelet hasil blending dengan alat ekstrusi
kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 75oC selama 12 jam.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 479
Dari data pada Tabel 3.1 terlihat PET mempunyai sifat mekanik yang jauh lebih
unggul bila dibandingkan dengan polimer PP. Sehingga PET sangat memungkinkan
digunakan sebagai penguat dalam pencampuran PET/PP.
Di lihat dari sifat mekanik kekuatan tarik dan modulus pada pencampuran PET/PP
didapatkan data bahwa semakin besar konsentrasi penambahan kompatibilizer PP-g-MA
menyebabkan kekuatan tarik bertambah besar dan modulus mengalami penurunan (lihat
Gambar 3.1)
1.500 70
1.300 60
50
0.900
40
0.700
30
0.500
0.300 20
PET PP C1 C3E-Modulus
C5 C7 Tensile
C10 C15
Neat Neat
0.100 10
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
sehingga menyebabkan sifat mekaniknya menjadi turun. Pada sampel PET/PP/C15 terlihat
PET yang membentuk fiber relatif banyak seperti pada sampel PET/PP/C7 sehingga sifat
mekanik kuat tariknya hampir mempunyai nilai yang sama.
c d
e f
Gambar 3.2. Foto SEM sampel blending PET/PP penambahan compatibilizer PP-g-MA pada spesimen uji
dogbone setelah dietsa dengan xylene panas dengan perbesaran 500 x dan 1000 x : (a)&(b) Sampel
PET/PP/C1, (c) &(d) sampel PET/PP/C7, (e)&(f) sampel PET/PP/C15.
27.00
22.60
Impact Strength (kJ/m2)
22.00
19.27 18.70
17.68
17.00 15.99
15.16
12.00
7.00
2.00
PET/PP/C1 PET/PP/C3 PET/PP/C5 PET/PP/C7 PET/PP/C10 PET/PP/C15
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 481
Kekuatan impak pada pencampuran PET/PP/PP-g-MA dapat dilihat pada Gambar 3.3.
yang menunjukan tidak ada trend (kecenderungan) yang jelas dengan bertambahnya
kompatibilizer. Kekuatan impak terbesar terjadi pada sampel PET/PP/C10 dan terendah pada
sampel PET/PP/C5.
Untuk melihat kestabilan termal pada pencampuran PET/PP/PP-g-MA dilakukan
pengujian menggunakan alat TGA. Dalam Gambar 3.4 terlihat kestabilan termal dari beberapa
formula pencampuran PET/PP/PP-g-MA.
Suhu Dekomposisi Termal ( o C)
436
434
432
430
428
426
424
422
420
418
416
ni
10
15
ni
7
/C
/C
/C
/C
ur
ur
/C
/C
PP
PP
PP
PP
M
PP
PP
T
PP
T/
T/
T/
T/
PE
T/
T/
PE
PE
PE
PE
PE
PE
Gambar 3.4. Grafik Uji Kestabilan Termal pada pencampuran PET/PP/PP-g-MA
Dari Gambar 3.4. terlihat PET murni memiliki suhu dekomposisi yang paling rendah.
Hal ini karena PET mempunyai sifat higroskopis sehingga adanya air dalam polimer PET
menyebabkan reaksi hidrolisa yang menyebabkan kestabilan termal PET menjadi rendah.
Kestabilan termal terbesar pada sampel di atas dicapai pada formula PET/PP/C7. Kestabilan
termal secara umum dengan bertambahnya kompatibilizer PP-g-MA berpengaruh sedikit. Hal
ini karena PP-g-MA merupakan polimer dengan berat molekul yang rendah sehingga
penambahannya tidak begitu signifikan. Akan tetapi di sisi lain adanya kompatibilizer ini
membuat campuran polimer PET/PP menjadi lebih menyatu sehingga memperkuat daya adesi
campurannya. Pengaruh inilah yang menyebabkan ada perbedaan sedikit dalam kestabilan
termalnya.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan mesin ekstrusi jenis single screw yang
menghasilkan pembentukan fiber PET dalam sistem campuran PET/PP kurang optimal. Untuk
kelanjutan penelitian ini, perlu dilakukan modifikasi alat dengan menambahkan bak
pendinginan 2 buah yaitu pendingin air biasa dan pendingin pada suhu 80oC. Pada bak
pendingin kedua inilah akan banyak terbentuk orientasi droplet PET menjadi fiber PET.
Sehingga harapannya didapatkan sifat mekanik yang lebih unggul. Dan perlu juga dilakukan
penggunaan ekstrusi jenis twin screw agar didapatkan pencampuran yang lebih homogen.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 483
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Sintesis serbuk BaFe12O19 kristal barium hexaferite telah dilakukan dengan metode Co-presipitation.
Untuk menentukan fasa kristal yang terbentuk, digunakan Difraksi sinar-X dan menentukan ukuran kristal,
dengan Microcal Software pada analisis data XRD. Serbuk polikristal yang dihasilkan terdiri dari fase α-Fe2O3
(fasa dominan), BaFe2O4 dan BaFe12O19 dengan diameter kristal rata-rata, 239,43; 139,25 dan 146,21 nm untuk
kalsinasi selama 1 jam dan 216,38; 177,64 dan 123,39 nm untuk kalsinasi selama 2 jam.
Abstract
Powder synthesis has been done with Co-precipitation method for hexagonal barium ferrite crystal
BaFe12O19. To determine the crystalline phase formed, used X-ray difraction. While to know the size of the
crystal, used Microcal origin Software based on XRD data analysis, the powder produced poly crystals
consisting of α-Fe2O3 phase (dominant phase), BaFe2O4 and BaFe12O19 with crystal diameter on average,
respectively 239.43 ; 139.25 ;and 146.21 nm for 1 hour calcinations . Average crystal diameter are 216.38 ;
177.64 ; and 123.39 nm for 2 hours calcinations.
INTRODUCTION
Nanocrystalline ferromagnetic are materials that attract the attention of researchers in
recent years. One is the oxide of hexagonal ferrite and the most widely used commercially are
barium ferrite and strontium ferrite. Both have the same formula. Barium hexaferitte and all
its derivatives have a specific magnetic properties that can be used as a permanent magnet, the
magnetic damping medium and microwave equipment other applications. The ability of
hexagonal ferrite materials as absorbers of electromagnetic waves is expected to be applied as
a antiradar materials needed in the country's military defense. Various methods have been
made to produce powders hexaferitte, namely: solid reactions, sol-gel and more. In this
research, carried out the synthesis of barium ferrite powders by co-precipitation method at
700˚C. calcinations The purpose of this experiment is to produce ceramic powders
nanocrystalinne hexagonal barium ferrite by co-presipitation method.
Based on the chemical formula and crystal structure, hexaferit classified into 5 types,
namely: the type-M ( BaFe12O19 ) , type-W ( BaMe2 Fe16O27 ) , type-X ( Ba2 Me2 Fe28O46 ) , type-
Seminar Material Metalurgi 2010
Y ( Ba2 Me2 Fe12O22 ) dan type-Z ( Ba2 Me2 Fe24O41 ) . Type-M is better known as Hexagonal
Barium ferrite (BAM) is a ceramic oxide of the most widely used commercially, and until
now has been much research done to develop these materials both in terms of fabrication and
its use as a permanent magnet, magnetic media and equipment silencer other microwave
applications (Dimry, et al, 2004).
BaM has a chemical formula BaO.6Fe2O3(BaFe12O19). Tues Bam complex system
composed of 2 cubic crystal-structure of the center-side (face-centered-cubic) and hexagonal
solid (hexagonal-close-packed) as shown in Figure 1. Both are composed with the same
atomic layers, one layer over another layer. In each layer, the atoms located in the center of
the network.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 485
: ion O2‐
: ion Ba2+
)
Ba prec(amorf ) Fe prec(amorf ) 500
BaFe12 O19
C , H 2O
Seminar Material Metalurgi 2010
0
BaCO3 Fe2 O3 600
BaFe12 O19 BaFe2 O4
C ,CO2
0
Fe2 O3 BaFe2 O4 600
C
BaFe12 O19
(Lisjak, dkk, 2007)
METHODOLOGY
BaFe12O19 powder synthesis performed by dissolving the powder FeCl3 .6 H2O (10 g)
in aquades (0.67 ml) stirred with a spatula until perfectly dissolved (indicated by the absence
of sediment in the solution). Next powder BaCO3(0.61 g) reacted with a solution of HCl (0.51
(1)
O O
800
600
400
O
1 jam
200
O
0
Seminar Material Metalurgi 2010
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
(degree)
Figure 3. Diffraction patterns of X-ray powder synthesis of BaCO3 and FeCl3 method Co-precipitation
Figure 3 shows that the resulting powder is not hexaferrite but monocrystalline
Barium polycrystals composed of α-Fe2O3 phase (dominant phase), BaFe2O4 and BaFe12O19.
-Fe2O3 phase and intermediate phase BaFe2O4 is hexaferrit of barium. In a research before
BaFe12O19 phase will begin formed at a temperature 500˚ C calcination if prekursornya
powder produced from the BaCl2 and FeCl3, although in small quantities and still surrounded
by amorphous phase. Phase is reduced and transformed into a perfect crystal phase as the
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 487
temperature increases calcination, which is about 700 ˚ C. BaCO3 not react at temperatures
below 600 ˚ C. As in this experiment, the precursor powders used as raw material forming the
hexaferrit barium BaCO3 and FeCl3. Reactions that occur during the process lasted co-
presipitasi are as follows:
(2)
Increase in pH up to 9 will cause the intermediate phase is formed while still heating
up to 600˚C. In this case, the number of ions OH- growing and cause balance Fe3+ and Fe2+ in
acid solution resulting in the formation of disrupted intermediate phase with BaFe12O19. Both
can be transformed into BaFe12O19 after sintered (Dimry, et al, 2004).
So the formed of α-Fe2O3 phase as dominant phase is possible because due to 2
factors, namely: (i) re-emergence as a result of BaCl2 degradation BaCO3, and (ii) the addition
of NH4OH solution, which causes the balance of intermediate phase transformation to phase
BaFe12O19 disrupted. In addition, in Figure 4 indicated that there is no specific phase change
of the two samples. Only the angle 2θ = 39.27 ˚ BaFe2O4 phase is formed. Calcinations
process is only carried out for 1 hour and 2 hours. So less calcinations long time if they see
the process as above
Color powder synthesis results above are brick red. Should, color powder hexagonal
ferrite barium monocrystalline is black. It can be concluded also that the powder is not
monocrystal barium hexaferrite. Diameter crystal can be calculated using the method Schrerer
with equation (1). Initially, the peak FWHM is determined by redrawing the selected
diffraction pattern within a small angle, as Figure 4 and Figure 5.
200
150
Intensitas (count)
100
50
0
2q (degree)
Figure 4. X-ray diffraction at the angle range between 23.7˚ and 24.5˚ (calcinations 1 hour)
150
Intensitas (count)
100
50
0
Figure 5. Fitting Lorentzian for the diffraction peak angle range 24.5 ˚ and 23.7 ˚ (calcinations 1 hour)
Crystal diameter of powder of calcinations results for 1 hour and 2 hours can be seen
in Table 1.
Table 1. Crystal diameter powder average calcinations results for 1 hour and 2 hours
1 Hour 2 Hour
No Phase D total D Average D total D Average
(nm) (nm) (nm) (nm)
1 α-Fe2O3 3351,99 239,43 3029,27 216,38
2 BaFe2O4 278,49 139,25 355,28 177,64
3 BaFe12O19 292,41 146,21 370,18 123,39
From the table above it can be concluded that the crystal diameter on average,
although not order nanometer co-precipitation methods such as synthesis of α-Fe2O3 powders
which had been done before.
CONCLUSION
Based on experimental results obtained have made the following conclusion:
Powders produced polycrystalline consisting of α-Fe2O3 phase (dominant phase), BaFe2O4
and BaFe12O19 with crystal diameter on average, respectively 239.43; 39.25; and 146.21nm
for calcinations for 1 hour and 216,38; 177.64; and 123.39 nm for calcinations for 2 hours.
The formed of intermediate phase (α-Fe2O3 and BaFe2O4) is possible because the disturbance
Seminar Material Metalurgi 2010
of the balance of Fe3+, Fe2+ and Ba2+ due to: (i) uncontrolled pH when done adding NH4OH
solution, and (ii) degradation occurs BaCO3 be returned as a precursor BaCl2 from BaFe12O19.
Color BaM powder was synthesized is red brick, the color should be black.
REFERENCES
1. Abdullah, Mikrajuddin. & Khairurrijal. ”Review: Karakterisasi Nanomaterial”,
Jurnal Nanoscience dan Teknologi vol.2, No.1, (Februari 2008).
2. Callister, Jr., W.D., ”Material Science and Engineering”, 1985.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 489
3. Dimri, M.C, dkk. ”Electrical and magnetic properties of barium hexaferrite
nanoparticles prepared by citrate precursor method”, Ceramics International 30, 1623-
1626 (2004).
4. Lisjak, D. & Miha Drofenik. ”The low temperature formation of barium hexaferrites”,
Journal of the European Ceramic Society 26, 3681-3686 (2006).
5. Lisjak, D. & Miha Drofenik. ”The mechanism of the low temperature formation of
barium hexaferrites”, Journal of the European Ceramic Society 27, 4515-4520 (2007).
6. Qiu, Jianxun, dkk. ”Microwave absorption of nanosized barium ferrite particles
prepared using high-energy ball milling”, Journal Powder Technology 154, 116-119
(2005).
7. Qiu, Jianxun. & Mingyuan Gu. ”Crystal structure and magnetic properties of barium
ferrite synthesized using GSPC and HEBM”, Journal of Alloys and Compounds
415,209-212 (2006).
8. Shepherd, P, dkk. ”Magnetic and structural properties of M-type barium hexaferrite
prepared by co-precipitation”. Juornal of Magnetism and Magnetic Materials 311,
683-692 (2007).
Seminar Material Metalurgi 2010
Abstrak
Telah dilakukan penelitian korosi yang diujikan pada bahan komposit ber-matrix aluminium (ALSI =
paduan aluminum silikon) dengan reinforcement bahan keramik silikon karbida (SiC). Korosi yang dilakukan
adalah korosi basah dan korosi kering. Perlakuan korosi basah dengan merendam masing-masing di dalam
larutan asam HCl, larutan basa NaOH dan larutan garam NaCl. Hasil yang diperoleh bahwa perendaman ALSI
maupun ALSI + SiC dalam larutan asam (HCl), mengalami laju korosi paling tinggi, dibandingkan di rendam
dalam larutan NaOH dan NaCl. Namun dengan penambahan SiC dapat mengurangi laju korosi pada bahan.
Penambahan SiC terbanyak (sampel 5: ALSI 80% + 20% SiC) dapat mengurangi laju korosi, nilainya separoh
lebih kecil bila dibandingkan dengan ALSI yang tanpa penguat SiC. Korosi basah lainnya yang dilakukan
adalah merendam sampel dalam pH, yaitu pada pH =1, 3, 5, 7, 9, 11, 13. Hasil yang didapat bahwa nilai laju
korosi/corrotion rate (CR) paling tinggi saat sampel direndam dalam larutan pH 1, nilainya mencapai 0,35
mm/yr, Namun demikian laju korosi akan berkurang dengan bertambahnya penguat SiC. Korosi kering
dilakukan dalam 2 suhu, pertama suhu ruang ~ 270C dan kedua dengan suhu 1000C. Hasil yang didapat bahwa
temperatur yang lebih tinggi dapat menyebabkan laju korosi bertambah cepat. Secara umum, dalam penelitian
ini material komposit bermatrik aluminum, yaitu sampel ALSI 80% + 20% SiC, merupakan material terbaik
dalam menghadapi serangan korosi, karena memiliki laju korosi terkecil (masih di bawah standart korosi yang
diijinkan yaitu < 0,5 mm/yr).
Abstract
The corrosion has been studied composite materials were tested in aluminum-matrix (ALSI = alloy of
aluminum silicon) with the reinforcement of ceramic material silicon carbide (SiC). Corrosion is corrosion by
wet and dry corrosion. Soaking wet corrosion treatment with their respective in HCl acid solution, aqueous
solution of NaOH and NaCl salt solution. Results showed that soaking and ALSI ALSI + SiC in acid solution
(HCl), experiencing the highest corrosion rate, compared to the immersion in a solution of NaOH and NaCl. But
with the addition of SiC can reduce the corrosion rate of materials. Additions Most SiC (sample 5: ALSI 80% +
20% SiC) can reduce the corrosion rate, half the value is smaller when compared with that without SiC
reinforcement ALSI. Corrosion other wet samples taken is soaking in pH, ie at pH = 1, 3, 5, 7, 9, 11, 13. The
results obtained that the corrosion rate values / corrotion rate (CR) highest when samples were soaked in a
solution of pH 1, the value reached 0.35 mm / yr, however, the corrosion rate will decrease with increasing SiC
reinforcement. Corrosion conducted in two temperature dry, room temperature ~ 270C first and second with a
temperature of 1000C. The result shows that higher temperatures can cause rapid corrosion rate increases. In
general, in this study bermatrik aluminum composite material, namely the sample ALSI 80% + 20% SiC, is the
best material in the face of corrosion, because it has the smallest corrosion rate (still below the allowable
standard for corrosion that is <0.5 mm / yr ).
Seminar Material Metalurgi 2010
PENDAHULUAN
Korosi adalah peristiwa kerusakan suatu bahan akibat interaksi yang tidak dikehendaki
antara bahan tersebut dengan lingkungannya. Korosi merupakan gejala alamiah dari bahan
khususnya logam, hal ini tidak mungkin dihindari, akan tetapi yang dapat dilakukan hanyalah
mengendalikan proses korosi tersebut dengan menekan laju korosi, sehingga diharapkan umur
dan kualitas bahan bertahan lama. Korosi tidak mudah dikenali, sebab korosi bentuknya tidak
hanya satu macam, tetapi mempunyai bermacam-macam bentuk yang berbeda.
Beberapa penelitian mengenai korosi telah dilakukan, yaitu terjadi kerugian akibat
korosi mencapai 2% dari nilai barang logam yang terpakai [F.N. Speller,1979]. Selanjutnya
diprediksi bahwa sekitar 1/3 bagian jumlah produksi logam pertahun rusak akibat korosi
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 491
[Marcel Pourbaix,1979]. Cara penanggulangan korosi bermacam-macam sesuai dengan jenis
korosinya, mekanisme terjadinya serta tingkat kerusakan yang ditimbulkannya. Cara
penanggulangannya yang bersifat pencegahan (preventif) akan lebih baik daripada usaha
setelah korosi terjadi.
Bahan komposit berbasis logam atau umumnya disebut dengan Metal Matrix
Composite (MMC) merupakan bahan komposit dengan matrik berupa logam murni atau
logam paduan (alloy). Logam-logam tersebut misalnya aluminium (Al) /aluminium alloy,
tembaga (Cu), Titan (Ti) dan lainnya. Proses pembuatannya dengan menggunakan dua cara.
Cara pertama menggunakan Powder Metallurgy (P/M), sedangkan cara kedua dengan
menggunakan pengecoran (casting). Sedangkan untuk bahan penguatnya (reinforcement)
yang biasanya ditambahkan pada matrik logam ini adalah bahan keramik. Bahan keramik
yang sering dipakai yaitu silikon karbida (SiC) dan aluminium oksida (Al2O3).
Komposit berbasis logam dengan penguat silikon karbida (SiC) dan aluminium oksida
(Al2O3) merupakan bahan-bahan potensial yang dipakai pada saat sekarang dan banyak
diaplikasikan di berbagai bidang. Keunggulan bahan ini antara lain memiliki kekakuan yang
tinggi (high stiffness), unggul dalam temperatur ruang dan kuat pada temperatur tinggi,
ketahanan ausnya tinggi (high wear resistance), koefisien muai panasnya rendah [S.F.
Moustafa, 2002, J. Hu, W.D. Fei, 2004] dan memperbaiki kekuatan luluh serta kekuatan retak
pada bahan. Logam aluminium/aluminium alloy (Al/Al alloy) dengan penguat SiC merupakan
bahan terpenting dalam kelompok MMC, karena mudah dibuat dan rendah biaya produksinya,
banyak diaplikasikan untuk industri otomotif dan aerospace [Rohatgi P,1991,Koczak MJ
et.al,1993,Howes MAH,1986] juga dipakai untuk aplikasi pengemasan elektronik dan
peralatan-peralatan yang berhubungan dengan panas [K.C. Ramesh,et,al,1999].
Mengingat kegunaan bahan komposit berbasis logam ini sangat banyak dan korosi
yang terjadi selama ini banyak menyerang pada jenis logam, maka pada penelitian ini
dilakukan uji korosi bukan pada jenis logam tetapi pada bahan komposit berbasis aluminium
dengan penguat silikon karbida (SiC), yaitu melakukan pengujian korosi dengan memakai
korosi basah dan korosi kering.
METODE PENELITIAN
Material komposit yang telah disiapkan yaitu matrik aluminum alloy (ALSI = paduan
aluminum silikon) dan reinforcement (penguat) adalah bahan keramik silikon karbida (SiC).
Komposisi sampel uji yang dibuat adalah:
Sampel 1: Al/Al alloy (ALSI) (3 sampel)
Sampel 2: ALSI 95% + 5% SiC (3 sampel)
Sampel 3: ALSI 90% + 10% SiC (3 sampel)
Sampel 4: ALSI 85% + 15% SiC (3 sampel)
Sampel 5: ALSI 80% + 20% SiC (3 sampel)
Korosi yang dilakukan adalah korosi basah dan korosi kering.
korosinya dengan direndam masing-masing di dalam larutan asam HCl, larutan basa NaOH
dan larutan garam NaCl, dengan konsentrasi masing-masing 0,1 Molar, dalam waktu
perendaman selama 6 jam dengan interval waktu tiap 2 jam. Setelah 2 jam, sampel diangkat
dan dibersihkan dengan cara merendamnya ke dalam campuran larutan HCl (1000 ml), 50
gram SnCl2 dan 20 gram Sb2O3 selama 15 menit. Setelah itu sampel di cuci kembali dengan
menggunakan alkohol 70 % dan dikeringkan, kemudian ditimbang beratnya(m) untuk
memperoleh produk korosi/kehilangan berat selama pengujian dinyatakan dengan W= m0 - m.
Keterangan:
CR = laju (penembusan) korosi (Corrosion Penetration Rate) atau berkurangnya
ketebalan material tiap satuan waktu satuan: mil per year (mpy) atau
millimeter per year (mm/yr) (1 mil = 10-3 inchi)
W = kehilangan berat selama pengujian (mg)
K = konstanta yang besarnya bergantung pada satuan yang dipakai
Memakai: K = 534 jika menggunakan satuan mpy (dengan satuan A = luas
permukaan = inchi2)
K = 87,6 jika menggunakan mm/yr (dengan satuan A= cm2)
= berat jenis (gr/cm3)
t = waktu (jam)
Bila nilai CR kurang dari 20 mpy atau 0,5 mm/yr, maka nilai tersebut masih dapat diterima.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 493
CR Korosi Basah HCl 0,1 M vs Waktu Korosi
0,60
0,50
0,40
CR (mm/yr)
0,30
0,20
ALSI
ALSI(95)+SiC(5)
0,10 ALSI(90)+SiC(10)
ALSI(85)+SiC(15)
ALSI(80)+SiC(20)
0,00
0 1 2 3 4 5 6 7
t (jam)
0,50
0,48
0,46
0,44
0,42
0,40
0,38
0,36
0,34
0,32
0,30
CR (mm/yr)
0,28
0,26
0,24
0,22
0,20
0,18
0,16
0,14
0,12 ALSI
0,10 ALSI(95)+SiC(5)
0,08 ALSI(90)+SiC(10)
0,06 ALSI(85)+SiC(15)
0,04
0,02 ALSI(80)+SiC(20)
0,00
0 1 2 3 4 5 6 7
Waktu (t) (jam)
0,44
0,42
0,40
0,38
0,36
0,34
0,32
0,30
CR (mm/year)
0,28
0,26
0,24
0,22
0,20
0,18
0,16
0,14
0,12
Seminar Material Metalurgi 2010
0,10 ALSI
0,08 ALSI95 + SiC 5
0,06 ALSI90% + SIC10%
ALSI85% +SiC15%
0,04 ALSI80% +SiC 20%
0,02
0,00
0 2 4 6
Waktu Pemanasan (jam)
Pada Tabel 1 terlihat bahwa laju korosi akan berkurang, saat material komposit diberi
penguat SiC, artinya bahwa penambahan SiC berfungsi untuk mengurangi laju korosi yang
terjadi saat direndam dalam larutan HCl, NaOH dan NaCl. Apabila dibandingkan dengan
material ALSI tanpa SiC, maka laju korosi akan menurun apabila ditambah dengan SiC.
Dalam waktu perendaman 6 jam, laju korosi tertinggi saat sampel komposit di rendam dalam
larutan HCl, namun demikian penambahan SiC dengan komposisi tertinggi (20%), dapat
mengurangi laju korosi pada perendaman dalam larutan tersebut. Secara jelas grafik laju
korosi yang di rendam dalam ke tiga larutan selama 6 jam terhadap komposisi SiC
ditunjukkan pada Gambar 4.
0,6
0,55
0,5
0,45
0,4
CR (mm/year)
0,35
0,3
0,25
0,2
0,15
0,1 HCl0,1M NaCl0,1M
0,05 NaOH0,1M
Seminar Material Metalurgi 2010
0
0 5 10 15 20 25
Komposisi SiC (% )
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 495
CR ALSI80%+SiC20% (untuk HCl,NaCl,NaOH)0,1M vs
Waktu pemanasan
0,6
0,55
CR ALSI80%+SiC20% (mm/year
0,5
0,45
0,4
0,35
0,3
0,25
0,2
0,15
ALSI80%+SiC20% (HCl 0,1M)
0,1 ALSI80%+SiC20% (NaCl 0,1M)
ALSI80%+SiC20% (NaOH 0,1M)
0,05 ALSI(HCl 0,1M)
ALSI (NaCl 0,1M)
0 ALSI (NaOH 0,1M)
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu Pemanasan (jam)
Gambar 5. Grafik Laju korosi sampel 5: ALSI 80% + 20% SiC terhadap waktu pemanasan
Perendaman ALSI maupun ALSI + SiC dalam larutan asam (HCl), mengalami laju
korosi paling tinggi, dibandingkan di rendam dalam larutan NaOH dan NaCl. Sebenarnya,
pada dasarnya ALSI (aluminum alloy) merupakan jenis logam yang akan membentuk lapisan
pelindung Al2O3 pada permukaannya dalam lingkungan oksidasi. Lingkungan oksidasi adalah
lingkungan yang dapat melepaskan/mengurangi elektron, dan dapat menaikkan tingkat
oksidasi. Lapisan pelindung Al2O3 sangat baik, karena dapat membuat rapat arus (arus/luas,
satuan Ampere/meter2) mendekati nilai nol. Namun pada saat ALSI maupun ALSI + SiC
direndam dalam larutan HCl, maka sampel-sampel tersebut akan mudah terkikis, karena HCl
tidak memiliki oksigen. Tidak adanya oksigen dalam HCl akan menyebabkan terjadi reaksi
pada sisi katoda sel galvanik, sehingga membentuk pasangan sel galvanik. Pembentukan
pasangan sel galvanik dalam struktur mikro ini yang menyebabkan sampel sangat cepat
terkorosi, sehingga laju korosi saat sampel direndam dalam HCl, sangat cepat/tinggi dengan
nilai laju korosi untuk sampel dengan penambahan SiC terbanyak (sampel 5: ALSI 80% +
20% SiC) mencapai 0,3 mm/yr, dengan waktu perendaman selama 6 jam. Nilai ini separoh
lebih kecil bila dibandingkan dengan ALSI yang tanpa penguat SiC, yaitu dengan nilai laju
korosi sebesar 0,61 mm/yr.
Sementara perendaman sampel dalam larutan garam dan basa, juga dapat mengurangi
laju korosi, namun tidak secepat yang terjadi saat perendaman dalam larutan asam. Pada
kondisi basa akan terjadi reaksi reduksi oksigen/basa sebagai berikut:
Selanjutnya ion OH- dari basa akan dioksidasi menjadi gas oksigen (O2), bentuk reaksinya:
4OH- 2H2O + O2 + 4e ..................................( 3)
Terbentuknya gas oksigen, menyebabkan perlambatan dalam proses korosi pada lingkungan
basa. Nilai laju korosi untuk sampel 5: ALSI 80% + 20% SiC saat direndam dalam larutan
Seminar Material Metalurgi 2010
_____asam ____________.___________basa_______
0 7 14
(netral)
Namun demikian laju korosi akan berkurang dengan bertambahnya penguat SiC.
Sehingga sampel 5: ALSI 80% + 20% SiC, yaitu ALSI yang ditambah dengan
penguat/reinforcement SiC terbanyak, mempunyai nilai laju korosi terkecil saat sampel
direndam dalam larutan pH berapapun. Secara jelas grafik laju korosi pada komposisi
ALSI80% + SiC20% saat direndam dalam larutan pH 1 sd pH 13 terhadap waktu rendaman,
ditunjukkan pada Gambar 6.
0,55
0,45
CPR (mm/yr)
0,35
0,25
0,15
Korosi pH 1 Korosi pH 3
Korosi pH 5 Korosi pH 7
0,05
Seminar Material Metalurgi 2010
Korosi pH 9 Korosi pH 11
Korosi pH 13 ALSI pH1
-0,05 0 1 2 3 4 5 6 7
Waktu Perendaman (jam)
Gambar 6. Laju korosi pada komposisi ALSI80% + SiC20% untuk rendaman larutan pH 1 sd pH 13 vs waktu
rendaman
Sedangkan grafik laju korosi sampel 5: ALSI80% + SiC20% terhadap korosi basah
(perendaman dalam pH), ditunjukkan pada Gambar 7.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 497
CR Korosi Sampel ALSI(80%)+SiC(20%) vs
korosi basah pH
0,4
0,35
0,3
CPR (m m /yr)
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05 laju korosi ALSI80%+SiC20%
0
0 2 4 6 8 10 12 14
Korosi basah pH
Gambar 7. Laju korosi pada komposisi ALSI80% + SiC20% terhadap rendaman larutan pH 1 sd pH 13
Terlihat pada Gambar 6, nilai laju korosi untuk sampel 5: ALSI 80% + 20% SiC saat
direndam dalam larutan pH 1 mencapai 0,35 mm/yr, dengan waktu perendaman selama 6
jam. Nilai ini lebih kecil bila dibandingkan dengan ALSI tanpa penguat SiC, yaitu dengan
nilai laju korosi sebesar 0,62 mm/yr dengan waktu perendaman yang sama 6 jam.
Sementara pada Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai pH 1, pH 3 dan pH 5,
mempunyai nilai yang hampir sama, masing-masing adalah 0,35 mm/yr, 0,34 mm/yr, dan
0,33 mm/yr, karena ketiga pH tersebeut masih dalam lingkungan asam. Sementara nilai laju
korosi menurun cukup tajam saat masuk dalam daerah netral (pH 7) dan basa (pH 9, pH 11
dan pH 13).
Hasil dan Pembahasan Hasil Uji Korosi Kering (Menggunakan Temperatur ~ 270C dan
Temperatur 1000C)
Hasil data korosi kering dengan menggunakan temperatur ~270C dan temperatur
1000C, memperlihatkan bahwa laju korosi tertinggi saat sampel diuji korosi kering dengan
temperatur 1000C. Pengaruh penambahan SiC juga cukup penting, karena dapat mengurangi
laju korosi, sehingga sampel 5: ALSI 80% + 20% SiC mempunyai nilai laju korosi terendah
baik di korosi dalam temperatur ~270C maupun temperatur 1000C. Nilai laju korosi sampel 5:
ALSI 80% + 20% SiC untuk temperatur ~270C sebesar 0,002 mm/year dengan waktu korosi
selama 96 jam (ALSI tanpa SiC sebesar 0,011 mm/year, dengan waktu korosi yang sama).
Sedangkan untuk korosi temperatur 100oC, mempunyai nilai laju korosi 0,006 mm/year
dengan waktu korosi selama 96 jam. ALSI tanpa SiC sebesar 0,027 mm/year, dengan waktu
korosi yang sama. Temperatur yang lebih tinggi dapat menyebabkan laju korosi bertambah
cepat, karena hampir semua proses/reaksi pada temperatur tinggi mengakibatkan
kecepatannya bertambah dan umumnya hasil reaksi juga bertambah banyak. Serangan korosi
yang terjadi pada sampel merupakan reaksi udara langsung membentuk lapisan oksida.
Seminar Material Metalurgi 2010
KESIMPULAN
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah:
1. Laju korosi tertinggi saat sampel komposit di rendam dalam larutan HCl.
2. Laju korosi akan berkurang, saat material komposit diberi penguat SiC.
3. Penambahan penguat SiC yang terbanyak dalam material komposit bermatrik
aluminum, merupakan material komposit yang paling tahan terhadap serangan korosi,
artinya memiliki laju korosi terendah.
4. Perendaman dalam larutan dengan pH 1, memiliki laju korosi/corrotion rate (CR)
paling tinggi, karena pH 1merupakan larutan yang bersifat asam kuat.
SARAN
Setelah meneliti begitu hebatnya serangan korosi, baik untuk korosi basah maupun
korosi kering, maka saran yang cukup penting adalah:
1. Perlu dilakukan penelitian bagaimana cara mengatasi material yang telah terkorosi.
2. Perlu dilakukan penelitian bagaimana cara mencegah terjadi korosi, khususnya pada
material komposit bermatrik aluminum
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional yang telah memberikan support dana untuk penelitian ini lewat skem
penelitian Dosen Muda Tahun 2009.
DAFTAR PUSTAKA
1. F.N Speller, 1979, Corrosion Causes and Preventation, dikutip dari
2. Djoewito, Korosi 1,Jakarta.
3. Kenneth.R, J.Chamberlain, 1991, Korosi, alihbahasa: Alex Tri Koentjono Widodo,
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
4. Koczak MJ, Khatri SC, Allison JE, Bader MG, 1993, Metal matrix composites for
ground vehicles, aerospace and industrial applications, In: Suresh S, Mortensen
5. M. Pourbaix, 1979 Lecture on Electrochemical Corrosion, dikutip dari Djoewito,
Korosi 1, Jakarta.
6. Rohatgi P, 1991, Cast aluminum-matrix composites for automotive applications, JOM
1991;43:10–15.
7. S.F. Moustafa, Z. Abdel-Hamid, A.M. Abd- Elhay, 2002, Mater. Lett.53 (2002) 244.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 499
Seminar Material Metalurgi 2010
Sasi Kirono
B2TKS BPPT
PUSPIPTEK, Serpong, Tangerang 15314
sasi.kirono@yahoo.com, fax. (021)7560903 HP. 08161436793
Abstrak
Kelelahan adalah suatu sifat berkurangnya ketahanan mekanis dari bahan, komponen dan struktur.
Katup adalah salah satu komponen pada mesin penggerak mula yang menerima pembebanan dinamis, sehingga
diperlukan analisa kelelahan terhadap tegangan dinamis akibat gerakan tuas (valve rocker arm) pada frekwensi
tertentu pada mesin penggerak mula. Dalam tulisan ini membahas perilaku umur lelah bahan komponen katup
menggunakan metode perhitungan statistik pengujian dan analisa hasil pembebanan kelelahan pada katup.
Pembahasan hasil penelitian memeliputi kondisi korelasi antara tingkat tegangan dan tegangan dinamis. Hasil
penelitian menunjukkan umur lelah rata- rata 1,2 x 106 siklus.
Abstrak
Fatigue is the decrease of material resistance on the mechanical components and structures. Valve is
the machine component for prime mover to use the dynamic loading stress of the valve rocker arm acceleration.
This paper discussed the behavior of fatigue life of valve components using the method which is available in
the statistic calculation. The discussion of the test result is includes correlation between stress level and the
dynamic compression stress condition. Result examination show that the fatigue life rate is 1,2 x 106 cycle.
PENDAHULUAN
Katup adalah salah satu komponen mesin penggerak mula yang berfungsi agar tuas
penggerak pelatuk katup agar membuka dan merutup katup pada dudukannya silinder blok.
Dalam penggunaannya harus mampu menahan tekanan gas pembakaran dalam silinder, yang
dilewatkan pada katub sewaktu membuka dan menutup.
Katup terletak pada penumpu keseimbangan yang dihubungkan pada poros tumpuan
seperti Gambar 1. Sehingga diperlukan analisa kekuatan bahan karena pembebanan dinamis
terhadap peralatan tersebut sangat perlu, agar mendapatkan produk yang berkualitas aman,
kuat dan ekonomis.
Pengujian dinamik dilakukan untuk mengetahui karakteristik kekuatan kelelahan dari
katup tersebut.
Pengujian kelelahan bahan katup ini dilakukan dengan mensimulasikan pembebanan
tekan dinamis pada frekwensi tertentu. Pengujian kelelahan ini untuk mengetahui karakteristik
kekuatan dinamis lelelahan antara tegangan dinamis dan jumlah siklus pembebanan.
Tulisan ini membahas metode pengujian dan analisa hasil pembebanan kelelahan pada
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 501
PROSEDUR PENELITIAN
Katup dalam kedudukannya dalam mesin penggerak mula selalu mendapatkan
pembebanan yang berasal dari tekanan gas pembakaran. Pembebanan dinamis adalah
merupakan beban tekan yang diterima katup akibat tekanan gas pembakaran .
Penggerak mula motor bakar biasanya mempunyai satu atau beberapa silinder, tempat
proses pembakaran bahan bakar berlangsung. Pada salah satu ujungnya, silinder itu ditutup
oleh kepala silinder yang dilengkapi dengan katup [11]isap dan katup buang . Katup isap
berguna untuk memasukkan udara segar atau campuran bahan bakar dan udara kedalam
silinder sedangkan katup buang untuk mengeluarkan gas pembakaran yang tidak terpakai lagi
dari dalam silinder. Pegas katup membuat katup itu menyumbat saluran isap dan saluran
buang. Mekanisme pembuka katup terdiri dari cam pada poros cam, penggerak katup, batang
penekan, dan tuas , katup dapat dibuka secara bergiliran. Udara segar atau campuran bahan
bakar dan udara masuk kedalam kepala silinder melalui pipa isap sedangkan gas buang keluar
dari kepala silinder melalui pipa gas buang dan peredam suara ke atmosfir.
1. Katup
2. Valve rocker arm
3. Push rod
4. Tapped
5. Cam
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 503
HASIL PENELITIAN
Melalui pengujian kelelahan umur terbatas terhadap bahan katup untuk 2 (dua)
tingkat pembebanan pada tegangan 400 N/mm2 dan 460 N/mm2 dalam daerah patah yang
menyatakan hubungan antara beban dan jumlah siklus N umur lelah sampai patah. Pada
daerah batas lelah dilakukan untuk 2 (dua) tingkat tegangan 360N/mm2dan 340 N/mm2
diamati dan dipetakan terhadap kemungkinan gagal pada 107 siklus pembebanan. Data hasil
pengujian kelelahan katup terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengujian kelelahan katup
Tegangan Jumlah siklus
Keterangan
No Tegangan maksimum minimum
(N/mm2) (N/mm2)
1 460 0 54 x 103 Patah
2 460 0 68 x 103 Patah
3 460 0 70 x 103 Patah
4 460 0 80 x 103 Patah
5 460 0 102 x 103 Patah
6 400 0 210 x 103 Patah
7 400 0 307 x 103 Patah
8 400 0 314 x 103 Patah
9 400 0 617 x 103 Patah
10 400 0 1379 x 103 Patah
11 360 0 1464 x 103 Patah
12 360 0 1603 x 103 Patah
13 360 0 3063 x 103 Patah
14 360 0 1 x 107 Tidak gagal
15 360 0 1 x 107 Tidak gagal
16 340 0 5416 x 107 Patah
17 340 0 1 x 107 Tidak gagal
18 340 0 1 x 107 Tidak gagal
19 340 0 1 x 107 Tidak gagal
20 340 0 1 x 107 Tidak gagal
PEMBAHASAN
Dari hasil pemetaan kenyataan jumlah umur lelah sampai patah akan berbeda-beda
menyebar untuk suatu tingkat tegangan pada pembebanan tertentu. Oleh karena itu perlu
dilakukan perhitungan statistik probabilitas untuk menganalisa kemungkinan patah pada suatu
tingkat pembebanan tertentu tersebut. Analisa dan perhitungan statistik dilakukan terhadap
hubungan antara ketinggian tegangan terhadap jumlah siklus dengan metode arc sin .
Diawali dengan melakukan perhitungan statistik untuk memperkirakan garis
kemungkinan patah sedikit (PB = 10% probabilitas patah 10%) , kemungkinan patah rata-rata
( PB = 50% ) dan kemungkinan patah banyak (PB = 90%) pada setiap tingkat tegangan. Metode
Seminar Material Metalurgi 2010
tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan harga jumlah siklus pada setiap harga
kemungkinan patah (PB =10%, 50% dan 90%). Kemudian untuk titik-titik yang mempunyai
kemungkinan patah yang sama di analisa dengan regresi linier.
Untuk analisa daerah batas lelah dilakukan perhitungan statistik probabilitas
kemungkinan patah pada suatu siklus tertentu ialah 107 siklus. Sehingga akan diperoleh harga
tingkat pembebanan pada setiap harga kemungkinan patah (PB = 10%,50% dan 90%) pada 107
siklus tersebut.
Diagram kelelahan tegangan maksimum terhadap jumlah siklus N untuk bahan katup
seperti dilihat pada Gambar 3.
sekitar 95%. Sedangkan perkiraan umur lelah minimum sekitar 2 x 104 siklus. Pengambilan
harga 1,2 x 106 siklus adalah merupakan perkiraan titik belok daerah kelelahan siklus terbatas
ke batas lelah ( endurance limit ) atau umur lelah minimum pada batas lelah rata-rata sekitar
1,2 x 106 siklus. Pada tingkat tegangan tarik maksimum 400 N/mm2 dan 460 N/mm2 untuk
umur lelah N= 1,2 x 106 siklus pembebanan terdapat kemungkinan semua benda uji akan
patah.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 505
Jumlah siklus (N)
Gambar 4. Distribusi kemungkinan patah
KESIMPULAN
Perhitungan statistik menggunakan metode arc sin untuk mengetahui kemungkinan
benda uji patah. Dari hasil penelitian analisa tegangan kelelahan dari diagram kemungkinan
patahan dapat diperkirakan dan dipetakan dalam diagram S- N. Diagram S-N tegangan
dinamis terhadap jumlah siklus dapat diperkirakan kemungkinan benda uji patah pada batas
Seminar Material Metalurgi 2010
umur lelah rata- rata 1,2 x 106 siklus pembebanan , dan umur lelah minimum 2 x 104 pada
tingkat tegangan 400 N/mm2.
Menggunakan diagram tegangan terhadap jumlah siklus dapat diperkirakan umur lelah
rata- rata untuk suatu harga tingkat tegangan yang diinginkan 335 N/mm2 dan harga tingkat
tegangan dinamis maupun umur lelah minimum pada daerah batas lelah.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 507
Seminar Material Metalurgi 2010
Pertanyaan :
Hafid (BPPT)
1. Ditujukan ke pemakalah Adil Jamali:
2. Bagaimana kalau dikombinasikan dengan metode konsentrasi grafitasi untuk
membantu selain proses flotasi.
Jawaban: Bisa diterima sebagai masukan
3. Ditujukan ke pemakalah Etty Marti Wigayati:
Kadar rendaman HCl 0,16% apakah masih memungkinkan di proses lagi? Bagaimana
dengan melakukan pemanasan?
Jawaban: Kadar Fe rendaman HCl teknis memang baru 0,16% dilakukan selama 112
Seminar Material Metalurgi 2010
jam, di industri bisa mencapai 0,1 % menggunakan HCl (PA), dengan pemanasan
belum pernah di coba bisa jadi dapat menurunkan Fe.
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 509
Proses untuk memperbaiki sifat logam dengan carburizing, sumber selain arang batok
bisa juga menggunkan kerang batu. Apa dasar pemikiran penggunaan arang batok?
Jawaban: Dasar pemikiran penggunaan arang batok karena selama ini masih
digunakan secara tradisional sehingga perlu ditingkatkan nilai tambahnya untuk
digunakan pada aplikasi teknologi. Penggunakan kerang batu juga dapat dijadikan
sebagai masukan.
Seminar Material Metalurgi 2010
Pertanyaan:
Saefudin (P2M)
1. Ditujukan kepada Solihin:
Bagaimana perbandingan proses leaching dengan air dan chemical?
Jawaban: Persentase hasil ekstrak menggunakan chemical lebih besar daripada air
namun air lebih ramah linkungan.
Solihin (P2M)
1. Ditujukan kepada Syahfandi Ahda:
Bagaimana memastikan agar MnO2 tidak bereaksi masuk?
Jawaban: Dalam proses lanjutan, diindikasikan tidak timbul MnO2 seperti yang
ditunjukkan dari hasil XRD.
2. Ditujukan kepada Umiatin:
Mengapa memilih PVE?
Jawaban: Berdasar jurnal-jurnal yang sudah ada
3. Ditujukan kepada Erfan handoko:
Apakah sudah terlihat distribusi ukuran nano atau belum?
Seminar Material Metalurgi 2010
Peran Penelitian Material Metalurgi Untuk Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral Indonesia | 511
Seminar Material Metalurgi 2010