Anda di halaman 1dari 330

ISSN.

2085-0492
SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014

PROSIDING
Penguasaan Teknologi Material dan Metalurgi
Untuk Menuju Kemandirian Industri Nasional
Diterbitkan tanggal 2 November 2014

Sponsored by :

Gedung Graha Widya Bhakti, DRN, Kawasan Puspiptek, Tangerang Selatan, Banten
SEMINAR
R MATER
RIAL MET
TALURG
GI 2014
Peenguasaann Teknolo
ogi Material dan Meetalurgi
untuk Mennuju Kemaandirian Inndustri Na
asional
2 Okttober 20144
Grahha Widya
a Bhakti-P Puspiptekk
Tan
ngerang Selatan,
S In
ndonesia

B KU PR
BUK ROS
SIDING
G

Disellenggarakaan oleh:
Pusaat Penelitiann Metalurgi dan Materiaal
Lembbaga Ilmu Pengetahuan
P n Indonesiaa
Kaw
wasan PUSPIIPTEK Geddung 470 Taangerang Seelatan - Bannten 15314

Disp
ponsori oleh
h:


Prosiding
Seminar Material Metalurgi 2014

ISSN: 2085 – 0492


Hak cipta © 2014 oleh Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin, memproduksi dalam segala bentuk,
termasuk mem-fotocopy, merekam, atau menyimpan informasi, sebagian atau seluruh isi dari
buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Reviewer/Editor : Dr. Efendi; Dr. Ir. Triwibowo, M.Sc; Dr. Ir. Andi Rustandi, MT;
Ir. Bambang Sriyono, Dipl. Ing; Dr. Rudi Subagja; Dr. Ika Kartika;
Dr. Nono Darsono; Dr. Ir. Edi Agus Basuki, M.Sc; Dr. Gadang
Priyotomo; Ir. Adil Jamali, M.Sc

Edit Teknis oleh : Sigit Dwi Yudanto, Septian Adi Chandra, M. Yunan Hasbi, Hendrik
Desain Sampul oleh : M. Yunan Hasbi

Diterbitkan oleh:
Pusat Penelitian Metalurgi dan Material
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tangerang Selatan – Banten Indonesia
Telp. : +62 21 7560911
Faks. : +62 21 7560553
Website : www.metalurgi.lipi.go.id

ii   
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya
pada tanggal 2 Oktober 2014, Pusat Penelitian Metalurgi dan Material - LIPI telah
menyelenggarakan rangkaian kegiatan Seminar Material Metalurgi 2014 yang bertempat
di Dewan Riset Nasional PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten dengan mengusung
tema “Penguasaan Teknologi Material dan Metalurgi untuk Menuju Kemandirian
Industri Nasional”.
Seminar Material Metalurgi ini dihadiri oleh pembicara kunci dari perwakilan dari
Kementerian Republik Indonesia (Kementerian Riset dan Teknologi) dan perusahaan
(PT. Krakatau Posco). Selain itu, seminar ini dihadiri para pembicara diskusi ilmiah dari
berbagai instansi penelitian, universitas dan industri, peserta pendengar dari berbagai
kalangan dan perwakilan dari sponsor, yaitu perwakilan dari PT. Timah, Tbk; PT. Antam,
Tbk; PT. Krakatau Posco; PT. Indotech dan PT. Teknolab.
Hasil Seminar Material Metalurgi 2014 dipublikasikan dalam bentuk Buku Prosiding
yang memuat tulisan atau makalah kontribusi dari peneliti dan praktisi dari berbagai lembaga
penelitian, perguruan tinggi, industri, mahasiswa dan umum yang mencakup topik-topik:
Pengolahan sumber daya mineral, Ekstraksi mineral/logam dari limbah, Metalurgi fisik dan
Manufaktur, Keramik dan komposit, Advanced material dan nano teknologi, Rekayasa
peralatan metalurgi, Analisa dan karakterisasi material/mineral, Pemodelan dan simulasi
material/metalurgi, Korosi dan failure analysis.
Kami berharap prosiding ini bermanfaat bagi pakar ilmu material, dosen, peneliti,
mahasiswa dan industriawan yang berkecimpung dalam bidang mineral, material dan
metalurgi umumnya bagi kalangan pemerhati ilmu material metalurgi.

Tangerang Selatan, November 2014

Tim Editor

iii 
Halaman ini sengaja dikosongkan

iv   
SUSUNAN PANITIA

PENANGGUNG JAWAB Dr. Ing. Andika Widya Pramono, M.Sc

PANITIA PENGARAH Ir. Yuswono, M.Eng (Ketua)


Dr. Efendi
Dr. Ir. Rudi Subagja
Dr. Ir. Florentinus Firdiyono
Ir. Adil Jamali, M.Sc
PANITIA PELAKSANA

Ketua Iwan Dwi Antoro, S.T., M.Si

Wakil Ketua Daniel P Malau, S.T., M.Si

Sekretariat Lia Andriyah, S.T (Koordinator)


Dina Astivian, S.IP
Maria Trisnawati, A.Md
Yosephine Dewiani R, S.Si
Nadia Chrisayu N, S.T
Dhyah Annur, M.Sc
Arini Nikitasari, S.T
M. Ikhlasul Amal, M.Si

Bendahara Eni Febriana, S.T (Koordinator)


Ilfa Rizki Amelia, S.E
Lutviasari Nuraini, S.Si

Tim Editor Dr. Efendi (LIPI) (Koordinator)


Dr. Ir. Triwibowo, M.Sc (BPPT)
Dr. Ir. Andi Rustandi, M.T (UI)
Ir. Bambang Sriyono, Dipl.Ing (LIPI)
Dr. Rudi Subagja (LIPI)
Dr. Ika Kartika (LIPI)
Dr. Nono Darsono (LIPI)
Dr. Ir. Edi Agus Basuki, M.Sc (ITB)
Dr. Gadang Priyotomo (LIPI)
Ir. Adil Jamali, M.Sc (LIPI)

Acara Agus Budi Prasetyo, M.T (Koordinator)


Cahya Sutowo, M.T
Nurhayati Indah Ciptasari, M.Si
Noor Hidayah, S.IP
Rosliana, S.E

Prosiding dan Buku Program Sigit Dwi Yudanto, S.T (Koordinator)


M. Yunan Hasbi, S.T
Septian Adi Chandra, A.Md
Hendrik, M.Sc


Perlengkapan dan Transportasi I Nyoman G.P.A, M.Si (Koordinator)
Bahari, A.Md
Joko Triwardono, A.Md, S.T
Heri Nugraha, A.Md, S.T

Sponsorship Edi Priyanto Utomo, S.T (Koordinator)


Ariyo Suharyanto, S.T
Ahmad Royani, S.T
Januar Irawan, S.T

Seminar Kit Lusiana, S.T., M.T (Koordinator)


Dedi Irawan, S.T
Fitri Yendra, A.Md

Konsumsi Sugiarti
Entang Sutriasih
Yani Kusliani, S.AP

Publikasi Moch. Syaiful Anwar, S.T., M.Si


Galih Senopati, S.T
Irwan Ruswandi, S.IP

Dokumentasi Toni Bambang Romijarso, M.T


Asep Jumarsa, S. Sos

vi   
KATA SAMBUTAN KETUA SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014

Yth. Bpk., Dr.-ing Andika Widya Pramono, M. Sc, Kepala Pusat Penelitian Metalurgi dan
Material LIPI, yang dalam hal ini mewakili Bapak Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian - LIPI
Yth. Bpk. Ir. Marsidon Simanungkalit, M.Eng, Direktur Teknologi dan Bisnis PT. Krakatau
Posco
Yth. Bpk. Dr. Yohan, M.Si, Asisten Deputi Kompetensi Kelembagaan – Deputi Bidang
Kelembagaan IPTEK, Kementerian Riset dan Teknologi
Yth. Profesor Takuji Ogawa, Osaka University
Yth. Profesor Takuya Matsumoto, Osaka University
Yth. Profesor Hirofumi Tanaka, Kyushu Institute of Technology
Yth. Para Kepala Satuan Kerja di kawasan PUSPIPTEK Serpong
Para Hadirin dan Undangan sekalian yang kami muliakan,

Assalamu`alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Atas izin, rahmat, dan karuniaNya sehingga
kami dapat melaksanakan Seminar Material Metalurgi 2014 ini.

Hadirin Yth,
Sejak tahun 2003, Seminar Material Metalurgi merupakan agenda tahunan Pusat Penelitian
Metalurgi LIPI sebagai sarana komunikasi ilmiah bagi berbagai pihak antara lain lembaga riset,
akademisi, pemerintahan daerah dan industri. Pada tahun ini, Seminar Material Metalurgi
mengambil tema “Penguasaan Teknologi Material dan Metalurgi untuk Menuju
Kemandirian Industri Nasional”. Latar belakang diajukannya tema ini adalah bahwa upaya
untuk mencapai kemandirian industri material dan metalurgi dengan memanfaatkan seoptimal
mungkin kekayaan mineral Indonesia membutuhkan dukungan penguasaan, pemanfaatan, dan
pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menciptakan inovasi yang berdayasaing
secara global maupun regional. Lebih jauh lagi, seminar ini dapat mempererat silahturahmi
antarpihak-pihak terkait dalam tataran perkembangan riset dan teknologi.

Pada Seminar tahun ini, makalah yang terdaftar sebanyak 43 naskah dari berbagai
lembaga penelitian, perguruan tinggi dan umum di seluruh Indonesia. 24 makalah terpilih
untuk dipresentasikan secara oral dan 19 makalah disajikan dalam bentuk poster. Makalah-
makalah yang diterima akan diterbitkan di buku prosiding Seminar Material Metalurgi 2014
setelah melalui proses revisi dan edit yang telah ditetapkan oleh Tim Editor Seminar
Material Metalurgi 2014.

Mengakhiri sambutan ini, atas nama seluruh Panitia Seminar Material Metalurgi 2014 kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam seminar ini.
Secara khusus kami ucapkan terima kasih kepada PT. Timah, Tbk; PT. Antam, Tbk;
PT. Krakatau Posco; PT. Indotech dan PT. Teknolab atas dukungannya dalam
pelaksanaan seminar ini. Kami mohon maaf bila selama penyelenggaraan seminar ini ada hal-
hal yang kurang berkenan. Kami berharap kerjasama ini dapat terus terbina untuk kemajuan
riset material dan metalurgi.

vii 
Saya mewakili seluruh kepanitiaan Seminar Material Metalurgi 2014 mohon maaf sebesar-
besarnya, jika selama dalam persiapan dan pelaksanaan seminar ini, ada hal-hal yang kurang
berkenan.

Billahitaufik walhidayah Wassalamu`alaikum Wr. Wb.

Tangerang Selatan, 2 Oktober 2014

Ketua Panitia Pelaksana SMM 2014


Iwan Dwi Antoro, M.Si

viii   
KATA SAMBUTAN DEPUTI BIDANG ILMU PENGETAHUAN KEBUMIAN-LIPI

Yth.
1. Ir. Marsidon Simanungkalit, M.Eng: Direktur Teknologi dan Pengembangan Bisnis
– PT. Krakatau Posco
2. Dr. drs. Yohan, M.Si: Asisten Deputi Kompetensi Kelembagaan – Kedeputian
Kelembagaan IPTEK – Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia
3. Prof. Takuji Ogawa: Osaka University
4. Prof. Takuya Matsumoto: Osaka University
5. Prof. Hirofumi Tanaka: Kyushu Institute of Technology
6. Dr. Ir. Djusman Sajuti
7. Para Kepala Satuan Kerja di Kawasan PUSPIPTEK Serpong
8. Para Hadirin dan Undangan sekalian yang kami muliakan

Assalamualaikum Wr. Wb
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan YME yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga kita dapat dipertemukan dalam acara Seminar Material Metalurgi
2014 yang bertema: “Penguasaan Teknologi Material dan Metalurgi untuk Menuju
Kemandirian Industri Nasional”.

Bapak/ibu sekalian
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia tidak terlepas dari peran dan interaksi
dari tiga aktor penting, yakni akademisi (lembaga penelitian dan universitas), pemerintah dan
kalangan dunia usaha (terutama industri). Interaksi di antara ketiga aktor tersebut seyogyanya
selaras, harmonis, dan sinergis. Namun pada kenyataannya, peran dan interaksi yang
dimaksud tersebut ternyata masih memerlukan upaya peningkatan yang cukup signifikan.

Para peserta Seminar Material Metalurgi yang saya hormati


Dalam rangka penguasaan teknologi material dan metalurgi untuk menuju kemandirian
industri nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berusaha memberikan
dukungan bagi peningkatan daya saing industri nasional, melalui kegiatan penelitian dan
pengembangan iptek metalurgi dan material yang menghasilkan luaran yang besar, signifikan,
dan nyata serta bernilai inovasi tinggi.

Sementara itu kemajuan iptek tidak terlepas dari peran penting Pemerintah terutama di dalam
penyusunan kebijakan dan peraturan perundangan-undangan. Pemerintah diharapkan dapat
menjadi jembatan antara lembaga litbang dengan industri dalam pengembangan riset dan
teknologi di Indonesia. Sebagai contoh adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2009 tentang Penambangan Mineral dan Batubara. Melalui UU ini, ekspor bahan baku
mineral mentah sangat dibatasi, serta terbuka peluang yang luas bagi upaya peningkatan nilai
tambah sumber daya mineral di dalam negeri. Di sinilah inovasi di bidang iptek metalurgi dan
material dapat menjadi modal utama bagi pemberdayaan sumber daya mineral Indonesia dan
peningkatan daya saing nasional.

Saat ini masih terdapat permasalahan di mana hubungan antara dunia penelitian dengan
industri belum cukup akrab sehingga banyak hasil dan luaran penelitian belum dapat
dimanfaatkan oleh pihak industri untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing produk.
Banyak kendala yang menyebabkan hal itu terjadi, seperti berbedanya alur pengembangan
produk antara dunia penelitian dengan industri. Produk yang dihasilkan oleh lembaga litbang

ix 
pada umumnya adalah hasil penelitian berskala kecil-menengah yang membutuhkan waktu
panjang untuk mendapatkan hasil yang optimal, disertai dukungan penganggaran yang masih
di bawah 1% dari anggaran nasional. Di lain pihak, dunia industri menginginkan suatu produk
yang berskala besar dan dapat diaplikasikan dalam waktu singkat sehingga return on
investment dapat terjadi dengan cepat. Dalam hal ini LIPI, melalui Pusat Inovasi, berusaha
mempertemukan kegiatan dan hasil litbang dengan kebutuhan industri melalui upaya inkubasi
teknologi.

Hadirin yang yang saya hormati


Tahun 2015 merupakan tahun awal dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah
Nasional (RPJMN) ke-3. RPJMN ketiga 2015 – 2019 kali ini menekankan akan arti
pentingnya tiga aspek utama pembangunan, yaitu: sd-manusia, sd-alam, dan iptek. LIPI
melalui Rencana Strategis 2015 – 2019 memanfaatkan momentum RPJMN ke-3 ini dengan
peningkatan kapasitas riset dan pengembangan yang direncanakan dan diupayakan untuk
memiliki dampak besar, signifikan, dan nyata. Melalui Kedeputian Ilmu Pengetahuan
Kebumian, khususnya Pusat Penelitian Metalurgi dan Material, LIPI mengangkat isu-isu
strategis seperti:
1. Pengembangan baja unggul nasional berbasis bijih besi nikel laterit;
2. Pengembangan implan generik nasional yang bersifat biokompatibel;
3. Peningkatan nilai tambah sumber daya mineral zirkon dan logam tanah jarang; serta
4. Pengembangan material untuk industri energi
Peta jalan atau road-map riset dan pengembangan dari keempat isu tersebut di atas disusun
sedemikian rupa untuk menghasilkan inovasi-inovasi yang mampu diadopsi oleh industri
nasional dan para pemangku kepentingan terkait, tanpa mengesampingkan kegiatan-kegiatan
yang bersifat fundamental research. Sebagai lembaga litbang yang bergerak dalam bidang
metalurgi dan material di Indonesia, Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI diharapkan
dapat menjadi motor penggerak bagi inovasi dan adopsi iptek material maju berbasis sumber
daya mineral nasional, serta menjadi salah satu acuan nasional pengembangan material maju
di Indonesia. Hal ini akan terus didukung oleh Kedeputian Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI
pada khususnya dan LIPI pada umumnya.

Mengakhiri sambutan ini, saya berharap semoga Seminar Material Metalurgi 2014 pada hari
ini dapat menghasilkan ide-ide konstruktif dan inovatif bagi pengembangan penelitian dan
kepakaran metalurgi dan material. Diharapkan pula bahwa seminar ini dapat menjadi momen
peningkatan sinergi antara para akademisi, pemerintah dan kalangan dunia usaha demi
kemajuan dan peningkatan daya saing nasional.

Akhir kata dengan memohon ridha Allah SWT Tuhan YME serta dengan mengucapkan
Bismillahirrahmannirahiim, dengan ini saya menyatakan Seminar Material Metalurgi 2014
dengan tema “Penguasaan Teknologi Material dan Metalurgi untuk Menuju
Kemandirian Industri Nasional” secara resmi dibuka.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Tangerang Selatan, 2 Oktober 2014

Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI


Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain

x   
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN i
KATA PENGANTAR iii
SUSUNAN PANITIA v
KATA SAMBUTAN KETUA SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014 vii
KATA SAMBUTAN DEPUTI BIDANG ILMU PENGETAHUAN KEBUMIAN-LIPI ix
DAFTAR ISI xi

PROSES PENGOLAHAN BIJIH NIKEL JENIS LIMONIT MENJADI NPI 1


DENGAN MENGGUNAKAN HOT BLAST CUPOLA
Achmad Shofi, Fajar Nurjaman, Slamet Sumardi

RANCANG BANGUN DAN UJI PERFORMA TUNGKU KONVERTER 9


KAPASITAS 200 KG
Adil Jamali, Fajar Nurjaman, Rahardjo Binudi

REDUKSI KONSENTRAT OKSIDA MANGAN DARI NUSA TENGGARA 13


TIMUR
Aditya Wibawa, Solihin

PEMODELAN PROSES PELEBURAN DI TANUR BUSUR LISTRIK SSP I 19


PT. KRAKATAU STEEL UNTUK MEMPELAJARI PENGARUH PENAMBAHAN
LELEHAN BESI WANTAH (HOT METAL)
Adrian Wirawan, Zulfiadi Zulhan

ANALISA HAMBAT JENIS LISTRIK PADA KAWAT SUPERKONDUKTOR 41


DENGAN MEMAKAI ALAT CRYOGENIC
Agung Imaduddin, Bintoro Siswayanti, Andika Widya Pramono, Pius Sebleku,
Anton Suryantoro, Sigit Dwi Yudanto, Hendrik

STUDI ANALISIS PRODUK α-Fe2O3 HASIL PENGOLAHAN BIJIH BESI 47


HEMATIT MENGGUNAKAN SEM-EDX
Agus Budi Prasetyo, Indira Matahari

DAMPAK CRYOGENIC TREATMENT DAN TEMPER TERHADAP 53


KARAKTERISTIK KEAUSAN PAHAT KARBIDA PADA PEMBUBUTAN
Al T-6061
Agus Suprapto, Agus Iswantoko, Ike Widyastuti

PENGARUH SODIUM NITRIT SEBAGAI INHIBITOR KOROSI BAJA 63


TULANGAN BETON DI DALAM LARUTAN BETON BUATAN pH 7
YANG TERKONTAMINASI KLORIDA
Arini Nikitasari, Moch. Syaiful Anwar, Efendi Mabruri, Sundjono

xi 
PENGARUH WAKTU FOTOKATALIS TiO2 TERHADAP PROSES 71
PENJERNIHAN LIMBAH WARNA
Ariyo Suharyanto, Ahmad Royani, Rudi Subagja

PENGARUH TEMPERATUR DALAM PROSES REDUKSI BIJIH BESI 75


DARI TASIKMALAYA
Bagus Dinda Erlangga, Solihin

KARAKTERISTIK TRANSMITANSI LAPISAN TIPIS ALUMINIUM 79


PADA SUBSTRAT GELAS BK7 YANG DIBUAT DENGAN METODA
EVAPORASI VAKUM
Bambang Herlambang

SINTESIS MATERIAL NANOKRISTALIN BPSCCO MELALUI METODE 89


PENCAMPURAN BASAH
Bintoro Siswayanti, Sigit Dwi Yudanto, Agung Imaduddin, Lusiana, Pius Sebleku

PENGARUH PENAMBAHAN SENG TERHADAP RESPONS PENGERASAN 95


PENUAAN KOMPOSIT Al-7Si-4Mg BERPENGUAT 5%VOL. SILIKON
KARBIDA HASIL SQUEEZE CASTING
Bondan T. Sofyan, Nararia Askarningsih, Vina Nanda Garjati

FRAKTOGRAFI PADA KERUSAKAN RODA ALUMUNIUM KENDARAAN 103


RODA EMPAT
Budi Priyono

GAS ABSORPTION PROCESS PADA BAJA TAHAN KARAT FERITIK Fe-Cr-Mo 109
UNTUK APLIKASI IMPLAN
Cahya Sutowo, Ika Kartika, Bambang Sriyono

ANALISA KERUSAKAN KOMPONEN KARBURATOR AKIBAT DOUBLE 117


SHOOT SAAT PROSES DIE CASTING
Cahya Sutowo, Saefudin, Budi Priyono

PEMILIHAN MATERIAL UNTUK ELEKTRODA ELEKTROLIZER 123


TIPE ALKALINE DAN PENEMPATAN MATERIAL LOKAL DENGAN METODE
ASHBY-SAATY
Dedi Irawan, Tresna P Soemardi, Rudi Subagja

KRISTALISASI SENYAWA LiMnOH SEBAGAI BAHAN BAKU BATERAI 135


PADAT LITHIUM
Dedy Sufiandi, Immanuel Ginting, Ahmad Royani

PENGARUH KONDISI AWAL SAMPEL DAN RUTE DEFORMASI ECAP 141


TERHADAP KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO PELAT
ALUMINIUM 6061
Edy Priyanto Utomo, I Nyoman G.P.A, Efendi Mabruri

PENGAMATAN KINETIKA REAKSI PEMBENTUKAN MgO DAN CaO 145


PADA KALSINASI DOLOMIT
Eko Sulistiyono, Solihin, Eni Febriana

xii   
EFEK PENAMBAHAN ZEOLIT SEBAGAI MATRIKS DALAM PUPUK NPK 149
DENGAN KEMAMPUAN LEPAS LAMBAT
F. R. Irawan, M. E. W. Utama, I. Rizky, T. E. Agustina, Husnain, M. I. Amal

ANALISA ORIENTASI KISI SERBUK LiFePO4/C MENGGUNAKAN 155


TRANSMISSION ELECTRON MICROSCOPY (TEM) TYPE TECNAI G2 20
S-TWIN (200KV)
F. Rohman, Y. Herbani, R. Ibrahim P.

PREPARASI PADUAN SERBUK Mg-Ca-Zn DENGAN BALL-MILLING 159


MENGGUNAKAN TOLUENA SEBAGAI MEDIA CAIR
Franciska P. Lestari, Yudhi N. Thaha, Ika Kartika, Cahya Sutowo, M. I. Amal

STUDI AWAL DETEKSI KOROSI DENGAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI 165


MATERIAL CERDIK PADA LAPISAN BERBAHAN AKRILIK
Gadang Priyotomo, Sundjono, Ronald Nasoetion, Nurhayati Indah Ciptasari,
Lutviasari Nuraini, Endang Ruslan

PENGARUH KOMPOSISI BINDER TETES TEBU DAN TEMPERATUR 173


INDURASI TERMAL TERHADAP KUAT TEKAN PELLET BIJIH BESI
PELAIHARI
Galih Senopati

SIMULASI TERMAL SISTEM HOT CHARGING GUNA OPTIMASI PROSES 181


PADA INDUSTRI BAJA
Hariyotejo Pujowidodo, Bhakti Nuryadin

PENGEMBANGAN INSTRUMENTASI ALAT UJI KOROSI RETAK TEGANG 189


PADA APLIKASI BAJA TAHAN KARAT TIPE 304 DI DALAM LARUTAN NaCl
Heri Nugraha, Gadang Priyotomo, Marga Asta Jaya Mulya, Bambang Hermanto

PEMBUATAN MASTER ALLOY Mg-Ca SEBAGAI BAHAN BAKU PADUAN 199


METAL SELULAR Mg-Ca-Zn
Ika Kartika, Bambang Sriyono, Dhyah Annur, M. Ikhlasul Amal

PROSES PEMBUATAN BESI SPONGE DENGAN MENGGUNAKAN 205


TEKNOLOGI ROTARY KILN
Iwan Dwi Antoro, Rahardjo Binudi, Adil Jamali, Daniel P Malau

PENGARUH PENAMBAHAN SERBUK ALUMINA PADA POLYURETHANE 213


EPOXY SEBAGAI BAHAN MATCHING LAYER PADA PROBE ULTRASONIK
M. Rosyid Ridlo

PENGARUH ARUS PROTEKSI TERHADAP KOROSI BAJA TULANGAN 219


BETON DI LINGKUNGAN AIR LAUT MENGGUNAKAN ANODA
MMO-Ti-BETON KONDUKTIF
Moch. Syaiful Anwar, Sundjono, Harsisto

PENAMBAHAN MATERIAL PADA PEMBUATAN BATA MERAH TANPA 225


BAKAR UNTUK INDUSTRI KERAKYATAN
Muhammad Amin

xiii 
SINTESIS NANOROD ZnO MENGGUNAKAN METODE SOL-GEL DAN 233
HIDROTERMAL DENGAN VARIASI TEKNIK PELAPISAN
Muhammad Yunan Hasbi, Amalia Sholehah

BELAJAR DARI CUBA DALAM MEMANFAATKAN POTENSI SUMBER DAYA 241


ALAM BIJIH NIKEL LATERIT TERUTAMA UNTUK LATERIT KADAR
RENDAH
Puguh Prasetiyo

POTENSI LATERIT (BIJIH NIKEL OKSIDA) KADAR RENDAH INDONESIA 251


UNTUK BAHAN BAKU NPI (NICKEL PIG IRON) UNTUK
STAINLESS STEEL (SS)
Puguh Prasetiyo

PENENTUAN PARAMETER OPERASIONAL PLANETARY BALL MILL UNTUK 261


KETEPATAN AKURASI SUBSTITUSI NIKEL PADA SINTESIS LiFe0.9Ni0.1PO4/C
SKALA LABORATORIUM DI PUSLIT FISIKA-LIPI
R. Ibrahim Purawiardi, Endang Suwandi

REVIEW TEKNOLOGI PENINGKATAN EFISIENSI SEL SURYA SILIKON 269


POLIKRISTAL
Retna Deca Pravitasari, Rina Dewi Mayasari, Dwi Gustiono

ANALISIS DEEP DRAWING BAJA LEMBARAN CANAI DINGIN KARBON 273


RENDAH JIS G3141 SPCC-SD DAN JIS G3141 SPCD-SD
Rezano, Rendy Harrista, Maulud Hidayat, Alfirano

KARAKTERISTIK STRUKTUR MIKRO PADUAN Al-Fe-Si PADA PROSES 279


RAPID SOLIDIFICATION TWIN ROLL MENGGUNAKAN TUNDISH
Saefudin, Galih Senopati

SINTESIS KOMPOSIT EPOKSI BERPENGUAT Fe-Ni PARTIKEL NANO 285


DENGAN KARAKTERISASI SIFAT TERMAL, KEKERASAN DAN
MORFOLOGI
Satrio Herbirowo, Adhitya Trenggono, Agung Sudrajat, Anistasia Milandia

PENGARUH SUHU SINTERING TERHADAP PEMBENTUKAN KERAMIK 293


Ca3Co4O9 MELALUI PROSES REAKSI PADATAN
Sigit Dwi Yudanto

PERBANDINGAN SISTEM BAHAN BAKU Ti-Si-TiC DAN Ti-SiC-C 299


DALAM PEMBUATAN Ti3SiC2
Solihin

PENGARUH PERLAKUAN PANAS TERHADAP KEKERASAN DAN 303


KETAHANAN KOROSI METALLIC GLASS Ti-Cu-Zr-Pd-Co UNTUK APLIKASI
BIOMEDIS
Sonny Ade Rinaldi, Yanyan Dwiyanti, Alfirano

SESI TANYA JAWAB 309

xiv   
PROSES PENGOLAHAN BIJIH NIKEL JENIS LIMONIT
MENJADI NPI DENGAN MENGGUNAKAN HOT BLAST CUPOLA

Achmad Shofi*, Fajar Nurjaman, Slamet Sumardi


UPT Balai Pengolahan Mineral Lampung - LIPI
Jl. Ir. Sutami Km. 15, Tanjung Bintang, Lampung Selatan
*E-Mail: ashofi_ceo81@yahoo.com

Abstrak
Setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM No. 7 Tahun 2012 tentang batasan 14 mineral
termasuk nikel yang tidak boleh diekspor tanpa diolah terlebih dahulu. Dewasa ini penelitian mengenai
pengolahan bijih nikel laterit jenis limonit sedang berkembang baik pengolahan melalui jalur pirometalurgi
maupun jalur hidrometalurgi. Bijih nikel limonit merupakan bijih dengan kandungan nikel < 1,5% dan memiliki
kandungan besi sebesar 30-40%. Sesuai dengan karakteristik bijih nikel limonit, pada penelitian ini dilakukan
percobaan pengolahan bijih asal Sulawesi Tenggara menjadi Nickel Pig Iron (NPI) dengan menggunakan
tungku hot blast cupola UPT. Balai Pengolahan Mineral Lampung LIPI. Tungku hot blast cupola merupakan
tungku tegak yang telah dimodifikasi. Proses percobaan diawali dengan karakterisasi bahan baku dan bahan
pendukung yang selanjutnya dilakukan pembuatan pellet bijih limonit dengan campuran batubara sebagai
sumber karbon dan bentonit sebagai perekatnya. Komposisi campuran pellet adalah 85,5% limonit, 12,5%
batubara dan 2% bentonit. Pellet bijih nikel kemudian diroasting menggunakan rotari kiln dengan waktu tinggal
60 menit. Produk yang keluar dari rotary kiln berupa pellet panas atau clinker kemudian dilebur dengan
menggunakan hot blast cupola. Dalam proses peleburan ditambahkan scrap dan kapur sesuai dengan komposisi
yang akan dijelaskan dalam tulisan ini. Selain itu ditambahkan kokas sebagai reduktor. Setelah beberapa lama
lelehan terak yang ada di lapisan atas ditapping melalui lubang tapping untuk terak sedangkan lelehan logam
ditapping melalui lubang tapping untuk logam. Logam yang dihasilkan dilakukan analisa menggunakan OES
Spektrometer merk Spectromaxx sedangkan terak dianalisa kandungannya menggunakan AAS. Hasil percobaan
menunjukkan bahwa produk NPI memiliki kadar Nikel sebesar 2,02% dan besi sebesar 94,26%.

Kata kunci: NPI (Nickel Pig Iron), Limonit, Rotary kiln, Hot blast cupola.

PENDAHULUAN
Nikel merupakan elemen paduan utama dari stainless steel dan pertumbuhan
kebutuhan logam ini semakin meningkat dari tahun ke tahun karena permintaan pasar akhir-
akhir ini. Bahan baku pembuatan nikel terbesar adalah bijih nikel sulfida yang hampir 60%
nya digunakan untuk produksi logam nikel melalui proses pirometalurgi. Di Indonesia sendiri
produksi nikel digarap oleh dua perusahaan yaitu PT. ANTAM dan PT. INCO yang mengolah
bijih nikel menjadi Ferronickel dan Nikel Matte.[1]
Karena semakin menipisnya bijih nikel sulfida, maka para peneliti mulai memikirkan
pengolahan bijih nikel yang lain yaitu bijih nikel laterit untuk dikembangkan. Beberapa
peneliti melalukan karakterisasi dan studi mineralogi terhadap bijih nikel laterit,[2,3] dan
proses pengolahan laterit kadar rendah menjadi Nickel Pig Iron atau NPI dengan
menggunakan blast furnace.[4,5] Peningkatan harga nikel internasional, khususnya pada akhir
tahun 2006 dan awal tahun 2007, di mana harga nikel mencapai USD$ 35.000/MT yang
sangat berpengaruh terhadap harga barang jadi, khususnya yang terbuat dari material stainless
steel, baik seri 200 maupun 300. Sebagai bahan baku untuk mengembangkan baja seri 200,
telah dikembangkan produksi Nickel Pig Iron (NPI) dengan kandungan nikel antara 1-10%,
dengan menggunakan bijih nikel laterit kadar rendah (Ni < 1,5%). China telah memproduksi
NPI dari bijih nikel laterit. Saat ini, NPI diperoleh dengan dua proses yaitu menggunakan mini
blast furnace dan tanur listrik.[6]
Proses pengolahan bijih nikel laterit melalui tahapan utama yaitu preparasi, proses
reduksi dan peleburan. Proses reduksi bertujuan untuk meningkatkan kadar nikel dari dalam
bijih nikel awal yaitu dengan cara reduksi di dalam rotary kiln.[7-9] Aspek termodinamika dari
proses reduksi dan peleburan bijih nikel limonit dapat dijelaskan dengan menggunakan

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     1 
diagram Ellingham yang sajikan pada Gambar 1. Diagram Ellingham menunjukkan plot
antara energi bebas standar pembentukan ( ) terhadap temperatur. Persamaannya
dinyatakan sebagai berikut:
Go  H o TS o (1)
dengan adalah entalpi standar, T adalah temperatur absolut, dan adalah entropi
standar. Nilai dan dianggap konstan terhadap temperatur kecuali jika ada perubahan
fasa, sehingga plot antara terhadap temperatur berupa garis linier, dengan sebagai
slope (gradien). Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa NiO akan lebih sukar direduksi
menjadi Ni dibandingkan Fe2O3 menjadi Fe3O4, karena garis kesetimbangannya berada di
bawah garis kesetimbangan Fe2O3. Artinya, rasio molar CO/CO2 yang dibutuhkan untuk
mereduksi NiO menjadi Ni lebih tinggi dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk
mereduksi Fe2O3 menjadi Fe3O4 pada temperatur yang sama. Namun, reduksi Fe3O4 menjadi
FeO dan FeO menjadi Fe pada temperatur ≤ 1000°C lebih sukar daripada reduksi NiO
menjadi Ni.[10]

Gambar 1. Diagram Ellingham.[10]

Setelah proses reduksi bijih nikel laterit dalam hal ini jenis limonit dilanjutkan dengan
proses peleburan dimana proses ini dilakukan di dalam tungku hot blast cupola UPT BPML
LIPI. Peleburan serupa pernah dilakukan dengan menggunakan bijih nikel jenis saprolit
dengan menghasilkan produk berupa NPI dengan kadar nikel 1,22%.[11] Pada tulisan ini akan
dipaparkan peleburan bijih nikel jenis limonit dengan menggunakan tungku hot blast cupola
dengan kapasitas 1 ton/hari. Selain itu akan dilakukan perhitungan perolehan kembali
terhadap logam nikel.

2  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
METODE PERCOBAAN

Bahan dan Alat Percobaan


Penelitian ini menggunakan bahan baku berupa bijih nikel jenis limonit yang
diambilkan dari tambang Kabupaten Sulawesi Tenggara. Bijih nikel tersebut dianalisa
kandungan senyawanya dengan XRF dan jenis mineral dengan XRD. Hasil analisa kandungan
bijih dengan menggunakan XRF pada sampel ditunjukkan pada Tabel 1 sedangkan hasil
analisa XRD ditunjukkan pada Gambar 2. Hasil analisa XRD menunjukkan bahwa jenis
mineral yang terdapat pada bijih adalah serpentine, hematit dan Quartz.

Tabel 1. Hasil analisa bijih nikel jenis limonit yang digunakan pada penelitian
Formula Fe2O3 SiO2 MnO NiO/Ni*) Al2O3 Cr2O3 P2O5 SO3
Concentration 72,97 12,78 1,04 3,46/1,53 4,63 2,80 0,43 0,24
*) Hasil analisa AAS

Gambar 2. Gambar XRD bijih nikel limonit.

Bahan lain yang digunakan selain bijih nikel limonit dalam percobaan ini adalah
kokas, scrap (besi bekas), batubara dan bentonit. Tabel 2 menunjukkan hasil analisa
proksimat dan kalori batubara dan kokas yang digunakan dalam percobaan ini.

Tabel 2. Analisa proximate batubara dan kokas untuk penelitian


Nilai (%)
Parameter
Batubara Kokas
Moisture Total 8,93 1,91
Volatile Matter 23,35 2,06
Ash 26,62 11,89
Fixed Carbon 49,95 84,69
Kalori - 7816 kal/g

Alat yang digunakan adalah alat untuk preparasi bahan baku seperti, hammer mill, ball
mill, mesin pellet. Untuk reduksi pellet digunakan rotary kiln sistem kontinu. Percobaan
peleburan digunakan hot blast cupola UPT BPML LIPI.

Prosedur Percobaan
Percobaan diawali dengan preparasi bijih nikel dengan cara pengeringan dengan udara
terik matahari yang selanjutnya dilakukan penggilingan dengan hammer mill dan ball mill.
Setelah mendapatkan serbuk bijih nikel dengan ukuran 100 mesh kemudian dilakukan
peletisasi yaitu pembuatan pellet bijih nikel dengan tambahan bahan berupa batubara dan
bentonit. Komposisi pellet adalah 85,5% bijih nikel limonit; 12,5% batubara; dan 2%
bentonit. Pellet yang terbentuk dikeringkan dan dilakukan pemanggangan reduksi dengan

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     3 
menggunakan rotary kiln. Clinker yang terbentuk kemudian dijadikan umpan peleburan di
dalam hot blast cupola. Produk dan hasil samping dianalisa kandungan logam dan oksidanya.
Flowcart percobaan pengolahan bijih nikel limonit menjadi NPI dengan menggunakan hot
blast cupola disajikan pada Gambar 3.

Bijih nikel
limonit

Pengeringan Penggilingan

Pembuatan
Batubara Bentonit
pellet

Kokas
Peleburan di Reduksi
hotblast cupola pellet
Kapur

Terak NPI

Gambar 3. Flowcart percobaan pengolahan bijih nikel limonit menjadi NPI dengan
menggunakan hot blast cupola.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Seperti terlihat pada Gambar 3 pellet bijih nikel limonit yang telah direduksi
kemudian dilebur didalam hot blast cupola, dimana tungku dengan kapasitas 1 ton/hari ini
merupakan modifikasi dari cupola yang telah ditambah dengan heat exchanger. Udara panas
bercampur dengan gas CO yang keluar dari tungku dikembalikan ke dalam tungku cupola
melalui blower sehingga temperatur operasional tungku menjadi lebih tinggi. Tahapan yang
dilakukan pada peleburan ini adalah pembakaran kokas bed, proses memasukkan scrap besi,
bahan baku dan bahan imbuh (charging bahan baku), tapping terak dan logam lelehan.
Awal percobaan ini adalah memasukkan kayu bakar sebagai umpan untuk membakar
kokas bed. Pada hot blast cupola ini dilakukan preheating dengan kokas bed sebanyak 100
kg, dimana temperatur awal 60°C. Setelah temperatur mencapai 180°C, dimulai charging I
dengan memasukkan kokas 10 kg, scrap besi 50 kg dan kapur 2 kg sampai charging III
dengan komposisi yang sama dengan charging I ditambah dengan charging IV dan charging
V dengan komposisi scrap 40 kg, kokas 12,5 kg, kapur 5 kg dan bijih nikel limonit hasil
reduksi 10 kg. Tapping pertama dilakukan 60 menit kemudian untuk mengeluarkan logam
cair dan slag. Setelah logam yang keluar dari tapping hole habis, dilanjutkan charging ke VI
sampai ke VII dengan memasukan kokas 15 kg, scrap 30 kg, kapur 5 kg dan bijih nikel
limonit hasil reduksi 20 kg ditambah dengan charging VIII dengan komposisi kokas 20 kg,
scrap 20 kg, kapur 5 kg dan bijih nikel limonit hasil reduksi 30 kg. Setelah 60 menit
dilakukan tapping ke-2 hingga cairan habis. Kemudian dilanjutkan dengan charging IX
dengan komposisi yang sama dengan charging VIII dan ditambah dengan charging X dan XI
dengan komposisi kokas 25 kg, scrap 10 kg, kapur 5 kg dan bijih nikel limonit hasil reduksi
40 kg, kemudian tapping ke-3 dilakukan setelah 60 menit. Charging yang terakhir
dimasukkan adalah charging XII dan charging XIII dengan komposisi masing-masing kokas

4  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
30 kg, scrap 0 kg, kapur 5 kg dan bijih nikel limonit hasil reduksi 50 kg kemudian dilakukan
tapping ke-4. Sebelum melakukan tapping cairan, maka terlebih dahulu dilakukan deslagging
yaitu pengeluaran slag dari slag hole sehingga diharapkan tidak ada yang terbawa ke dalam
cairan/pig. Neraca massa peleburan bijih nikel limonit pada percobaan ini disajikan pada
Tabel 3.

Tabel 3. Neraca massa peleburan bijih nikel limonit dalam hot blast cupola
bijih nikel
Sampel
limonit
Scrap Kokas Kapur keluar Keterangan
No. Charging hasil
(kg)
reduksi
(kg) (kg) (kg) (kg) Pig Slag
1 Coke bed - 100 - -
2 I 50 10 2 - 52,5 24,4 Scrap
3 II 50 10 2 - Scrap
4 III 50 10 2 - Scrap
5 IV 40 12,5 5 10 Pig I
6 V 40 12,5 5 10 Pig I
7 VI 30 15 5 20 114,2 59 Pig II
8 VII 30 15 5 20 Pig II
9 VIII 20 20 5 30
10 IX 20 20 5 30 84 95,2 Pig III
11 X 10 25 5 40
12 XI 10 25 5 40
13 XII 0 30 5 50 127,8 86,4 Pig IV
14 XIII 0 30 5 50
15 Cleaning 0 33,5 - - - -
Total 350 56 300 378,5 265

Pig yang dihasilkan dianalisa dengan menggunakan spark OES merk Spectromaxx.
Dari hasil analisa spark OES, seperti tampak pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa terjadi
kenaikan yang signifikan pada tiap charging/umpannya. Dimana nilai kandungan Nikel (Ni)
terendah terdapat pada bahan baku 100% scrap sebesar 0,015% dengan kadar Fe sebesar
93,79%. Sedangkan kandungan Ni tertinggi, yaitu sebesar 2,016% dengan kadar Fe sebesar
94,26% didapat pada tapping IV, dengan persentase bahan yang diumpankan 100% sponge
nikel limonit.

Tabel 4. Hasil analisa spark OES Sponge nikel limonit di Hot Blast Cupola Furnace
C Si S P Mn Ni Cr Fe
Output
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
Scrap 2,393 2,060 0,059 0,099 0,939 0,015 0,475 93,79
Pig I 2,754 0,898 0,411 0,123 0,296 0,152 0,027 95,02
Pig II 2,768 0,730 0,317 0,127 0,220 0,435 0,102 95,07
Pig III 2,269 0,236 0,411 0,123 0,296 1,055 0,084 95,43
Pig IV 1,678 0,172 1,080 0,064 0,235 2,02 0,315 94,26

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     5 
Peningkatan kadar nikel untuk masing-masing pig (NPI) disajikan secara sistematis
dalam Gambar 4 dibawah.
2.5

Kadar Ni dalam pig iron, %


2

1.5

0.5

0
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Penambahan sponge nikel limonit, %
Gambar 4. Pengaruh penambahan umpan bijih nikel limonit hasil reduksi terhadap kadar
nikel dalam NPI.

Grafik pada Gambar 4 memperlihatkan bahwa hot blast dapat digunakan untuk
melebur bijih nikel limonit hasil reduksi menghasilkan nickel pig iron (NPI) karena
peningkatan jumlah bijih nikel limonit hasil reduksi yang dimasukkan ke dalam tungku
sangat berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kadar nikel dalam pig iron atau
NPI yang dihasilkan. Dari hasil analisa terhadap komposisi terak, seperti pada Tabel 5
menunjukkan bahwa kandungan Ni dalam slag sangat rendah, sehingga bisa dikatakan bahwa
kandungan Ni mengalir pada cairan logam (NPI)

Tabel 5. Hasil analisa AAS pada terak


Parameter
Sampel ID
Ni Fe
Satuan % b/b % b/b
Slag II 0,052 12,55
Slag III 0,27 9,98
Slag IV 0,047 16,41

KESIMPULAN
Kesimpulan dari percobaan pengolahan bijih nikel jenis limonit dengan menggunakan
hot blast cupola adalah Hot blast cupola UPT BPML dapat digunakan untuk melebur bijih
nikel limonit sampai dengan perbandingan 100% pellet reduksi nikel limonit. Persen nikel
limonit tertinggi diperoleh dari input 100% pellet reduksi nikel limonit sebesar 2,02% Ni.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis menyampaikan terima kasih kepada Kementrian Riset dan Teknologi Republik
Indonesia atas program hibah dana riset SINAS 2013 dan UPT Balai Pengolahan Mineral
Lampung LIPI atas dukungan penuh terhadap penyediaan sarana dan prasarana penelitian.

Daftar Referensi
[1] Shofi, Achmad. dkk. 2013. Pembuatan Nickel Pig Iron (NPI) dari Bijih Nikel Laterit
Indonesia Menggunakan Blast Furnace LIPI di UPT Balai Pengolahan Mineral
Lampung LIPI. Laporan akhir Insentif Riset SINAS 2013.
[2] Shofi, Achmad dan Slamet Sumardi. 2014. Karakterisasi Bijih Nikel Laterit Sulawesi
Tenggara dan sulawesi Tengah Serta Prospek pengolahannya Menjadi NPI dengan

6  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
menggunakan Blast Furnace LIPI. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Industri
Hijau 1 Tahun 2014: 1-5. Semarang, 21 Mei 2014.
[3] Ellias, M. Nickel Laterite Deposits-Geological Overview, Resources and Exploitation.
Pongratz, CODES Special Publication 4: 205-220. Centre for Ore Deposit Research:
University of Tasamania.
[4] Herianto, Edi. 2011. Pengolahan Nikel Laterit Kadar Rendah dengan Jalur
Pyrometallurgy. Prosiding Seminar Indonesian Process Metalurgy (IPM) Tahun 2011.
Bandung, 21-22 Juli 2011: Institut Teknologi Bandung.
[5] Lennon, Jim. 2007. The Chinese nickel outlook and the role of nickel pig iron.
Presentation to International Nickel Study Group.
[6] F, Hernández. et al. 2008. NPI production in small blast furnace. PGMC – Mindanao
Philippines, May 2008. Metallurgical Process & Technical Consultant.
[7] Prasetyo, Agus Budi dan Puguh Prasetiyo. 2011. Peningkatan Kadar Nikel (Ni) dan
Besi (Fe) dari Bijih Nikel Laterit Kadar Rendah Jenis Saprolit Untuk Bahan Baku
Nickel Containing Pig Iron (NCPI/NPI). Majalah Metalurgi, 26(3).
[8] Jie Lu. et al. 2013. The effect of Sodium Sulphate on the Hydrogen Reduction Process
of Nickel Laterit Ore. Mineral Engineering, 49: 154-164.
[9] Tsuji, Hitosi. 2012. Behavior of Reduction and Growth of Metal in Smelting of
Saprolite Ni-Ore in a Rotary Kiln for Production of Ferro-nickel Alloy. ISIJ
International, 52(6): 1000-1009.
[10] Seetharaman, Seshadri. 2005. Fundamentals of Metallurgy. England: Woohead
Publishing Limited.
[11] Shofi, Achmad. dkk. 2013. Pembuatan NPI (Nickel Pig Iron) dari Bijih Nikel Laterit
(Saprolit) Menggunakan Tungku Hot Blast Cupola. Prosiding Seminar Nasional
Insentif Riset Sinas 2013.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     7 
8  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
RANCANG BANGUN DAN UJI PERFORMA
TUNGKU KONVERTER KAPASITAS 200 KG

Adil Jamali1*, Fajar Nurjaman2, Rahardjo Binudi1


1
Pusat Penelitian Metalurgi dan Material - LIPI
2
UPT Balai Pengolahan Mineral Lampung - LIPI
*E-Mail: adilj03@yahoo.com

Abstrak
Hampir 60% baja di dunia diproduksi dengan menggunakan tungku konverter, yaitu Basic Oxygen
Furnace (BOF). Dalam percobaan ini, akan dilakukan rancang bangun tungku konverter dengan kapasitas
200 kg (logam cair), yang terdiri atas sebuah bejana/vessel yang dilapisi oleh material refraktori (bata api dan
castable). Peniupan oksigen dilakukan pada permukaan atas logam cair (top blown) melalui sebuah lance,
terbuat dari pipa baja hitam yang dilapisi oleh material refraktori (castable). Uji performa tungku konverter
dilakukan dengan mengkonversi NPI (2,94% C-2,72% Ni) menjadi baja paduan nikel (0,04% C-3,17% Ni).
Pengamatan terhadap umur pakai lance dilakukan dengan mengamati kondisi sebelum dan setelah proses
konversi. Dari hasil percobaan, tungku konverter memiliki performa yang cukup baik. Laju umur pakai lance
sebesar 100 mm/4 kg untuk 200 kg logam cair. Proses konversi dalam tungku konverter mampu untuk mereduksi
kandungan karbon dalam logam cair hingga mencapai 98,64% dengan meniupkan oksigen sebanyak 35 kg
dengan laju rerata 1 kg/menit.

Kata kunci: Basic Oxygen Furnace, Konverter, Lance, Oksigen, Baja.

PENDAHULUAN
Ketergantungan Indonesia terhadap baja impor masih sangat tinggi, saat ini produksi
baja nasional sebanyak 7 juta ton/tahun, sedangkan kebutuhan baja nasional 12 juta
ton/tahun.[1] Kondisi tersebut cukup memprihatinkan, dikarenakan Indonesia memiliki
ketersediaan bijih besi yang cukup melimpah. Dewasa ini tidak kurang dari 60% baja dunia
dibuat melalui jalur proses Blast Furnace-Basic Oxygen Furnace. Teknologi pembuatan besi
wantah (pig iron) dengan menggunakan Blast Furnace telah dikuasai oleh LIPI, yaitu dengan
dioperasikannya Blast Furnace pada tahun 1990-1996 di provinsi Lampung. Blast Furnace
tersebut memiliki kapasitas 25 ton/hari dengan menggunakan bahan bakar berupa arang kayu.
Pabrik percontohan tersebut mengolah bijih besi bongkah hemato-magnetit menjadi pig iron
dengan kandungan 94% Fe; 3,5-4% C; dan 1,7% Si. Sementara itu, penguasaan teknologi
pembuatan baja menggunakan proses Basic Oxygen Furnace (teknologi converting) masih
sangat rendah. Hal ini terindikasi dari minimnya hasil penelitian tentang proses converting
dan pengembangan konverter di dalam negeri.
Basic Oxygen Furnace (BOF), seperti tampak pada Gambar 1a, merupakan salah satu
tungku konverter untuk pembuatan baja, yaitu dengan cara meniupkan oksigen, ke dalam
tungku untuk mereduksi kandungan karbon dalam pig iron. Konstruksi BOF terdiri dari
sebuah bejana (vessel) yang dilapisi oleh material refraktori pada bagian dalamnya, dilengkapi
dengan sistem mekanik untuk penuangan (tilting) logam/baja cair, dan lance untuk injeksi gas
ke dalam bejana.[2]

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     9 
(b)

(a) (c)
Gambar 1. Basic Oxygen Furnace; a) Konstruksi tungku, b) Top blown BOF, c) Bottom
blown BOF.[2]

Metode peniupan oksigen pada logam (besi) cair dalam BOF dibedakan menjadi:
1) Peniupan melalui permukaan atas logam cair (top blown), 2) Peniupan melalui bagian
bawah logam cair (bottom blown), 3) Kombinasi keduanya (combined blown).[3] Metode
bottom blown memiliki mekanisme stirring dalam logam cair yang lebih baik dibandingkan
dengan metode top blown. Combined blown memberikan efek stirring yang lebih baik dari
keduanya. Namun untuk metode bottom blown dan combined blown diperlukan material
hidrokarbon sebagai tambahan sumber energi panas.
Penelitian terkait BOF untuk pembuatan material baja dengan metode top blown,
umumnya dilakukan untuk memperoleh parameter optimal terkait laju aliran oksigen, desain
nosel pada lance, dan jarak antara lance dengan permukaan logam/baja cair.[4,5] Dalam
penelitian ini akan dilakukan pembuatan tungku konversi sederhana dengan metode top blown
serta uji performa terhadap tungku tersebut.

METODE PERCOBAAN
Pembuatan tungku konverter sederhana dengan kapasitas 200 kg logam (besi) cair
dilakukan dalam percobaan ini. Tungku konverter tersebut terdiri dari sebuah bejana/vessel
yang dilapisi oleh bata api dan plat baja pada bagian luarnya. Oksigen ditiupkan ke dalam
logam cair sesaat setelah logam cair dituangkan ke dalam tungku konverter melalui lance,
terbuat dari pipa baja hitam yang dilapisi oleh refraktori/castable, dengan jarak antara ujung
lance dengan permukaan logam (besi) cair sejauh 3 cm. Uji performa tungku tersebut
dilakukan dengan mengkonversi Nickel pig Iron (NPI) menjadi baja paduan nikel dengan
meniupkan oksigen ke permukaan logam cair. Analisa komposisi kimia terhadap material
besi/baja, sebelum dan sesudah proses konversi dilakukan dengan menggunakan Optical
Electron Spectrometer (OES). Dalam percobaan ini juga dilakukan pengamatan terhadap laju
umur pakai lance dengan cara menghitung selisih berat lance, sebelum dan sesudah proses
konversi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Konstruksi tungku konverter, terdiri dari sebuah bejana/vessel berukuran Ø460 x 620
mm (Gambar 2a). Lapisan terluar hingga terdalam terdiri dari plat mild steel setebal 6 mm,
castable C-18 setebal 30 mm, dan bata api tipe SK-38 setebal 114 mm. Tungku converter di
desain untuk menampung logam cair sebanyak 200 kg. Tungku ini dilengkapi dengan sebuah
lance (Gambar 2b) untuk meniupkan oksigen ke permukaan logam baja. Lance tersebut
terbuat dari pipa baja hitam berukuran Ø25 mm dengan tinggi 1000 mm, memiliki lubang

10  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
nosel berukuran Ø12 mm, dan dilapisi oleh material refraktori berupa castable tipe C-18
setebal 40 mm.

(a) (b)
Gambar 2. Konstruksi tungku konverter; a) Bejana/vessel, b) Lance.

Dari hasil uji performa (Gambar 3a) tampak bahwa oksigen (sebanyak 35 kg) yang
ditiupkan (dengan laju rerata 1 kg/menit) ke dalam 200 Kg logam NPI cair dengan komposisi
2,94% C-3,03% Ni, akan memberikan dampak terhadap penurunan kandungan karbon dalam
logam tersebut, seperti tampak pada Gambar 3b. Penurunan nilai karbon yang cukup
siginifikan (98,64%), dikarenakan unsur karbon yang terkandung dalam besi/NPI bereaksi
dengan oksigen membentuk gas CO.[6] Hal yang berbeda terjadi pada kandungan nikel,
dimana unsur tersebut cenderung mengalami sedikit peningkatan dengan semakin banyaknya
jumlah oksigen yang ditiupkan ke dalam logam (NPI) cair. Nikel memiliki sifat-sifat
ketahanan oksidasi pada temperatur tinggi, dikarenakan logam nikel memiliki sifat afinitas
yang lebih rendah terhadap oksigen.[7] Dari hasil uji performa tersebut diperoleh baja paduan
nikel dengan komposisi 0,04% C-3,17% Ni.

(a) (b)
Gambar 3. a). Uji performa tungku konverter; b). Hasil proses konversi pada tungku
konverter.

Dari hasil pengamatan terhadap lance, tampak bahwa terjadi pengurangan


dimensi/berat dari lance setelah proses konversi dilakukan, yaitu sebesar 100 mm/4 kg.
Temperatur pada area kontak oksigen dengan permukaan logam (fire point area) berkisar
antara 2300°C,[4] dimana nilai tersebut melebihi batas maksimum temperatur kerja untuk
castable C-18 (material pelapis lance), yaitu 1800°C sehingga lance akan habis terbakar.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     11 
KESIMPULAN
Konstruksi tungku konverter dengan kapasitas 200 kg logam cair, yang dirancang
bangun dalam percobaan ini terdiri dari: 1) Bejana/vessel yang dilapisi oleh material refraktori
(bata api dan castable) serta plat mildsteel pada bagian luarnya, 2) Lance yang terbuat dari
pipa baja hitam yang dilapisi oleh material refraktori (castable). Hasil uji performa dari proses
konversi menghasilkan baja paduan nikel dengan komposisi 0,04% C-3,17% Ni dengan
pemakaian lance sebesar 100 mm/4 kg untuk 200 kg logam cair.

SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap pengembangan material untuk lance
sehingga diperoleh umur pakai lance yang lebih baik. Parameter-parameter proses konversi,
seperti laju peniupan oksigen, serta jarak antara ujung lance dengan permukaan logam cair
masih perlu diteliti lebih lanjut untuk memperoleh hasil yang optimal.

Daftar Referensi
[1] Pemerintah diminta dukung Industri Baja Nasional. 2014. Antara News. Diakses 3
September 2014.
[2] Barker, K. J. et al. 1998. Oxygen Steel Making Furnace Mechanical Description and
Maintenance Considerations. The AISI Steel Foundation: 431-524.
[3] Ping Tang. et al. 2008. Study on The Optimization of the Combined Blown Converter
Process in Chongqing Iron and Steel Company. Journal of University of Science and
Technology Beijing, Mineral, Metallurgy, Material, 12(1): 5-9.
[4] Totti Maia, Breno. et al. 2014. Effect of Blow Parameters in the Jet Penetration by
Physical Model of BOF Converter. Journal of Material research and Technology, 3(3):
244-256.
[5] Xiao-fang Jiang. et al. 2010. High Efficient Blowing Technique for Large and Medium
Converters. Central Iron and Steel Research Institute.
[6] The Basic Oxygen Steelmaking (BOS) Process,Steel Works. 2014.
http://www.steel.org, diakses 8 September 2014.
[7] Adel A.A. Amara. et al. 2011. Investigation of the Oxygen Afinity of Manganese(II),
Cobalt(II), and Nickel (II), Complexes with some Tetradentate Schiff Base. Journal of
Saudi Chemical Society.

12  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
REDUKSI KONSENTRAT OKSIDA MANGAN
DARI NUSA TENGGARA TIMUR

Aditya Wibawa*, Solihin


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Geoteknologi
Komplek LIPI, Jl. Sangkuriang Gd. 70, Bandung
*E-Mail: aditalwi@yahoo.com

Abstrak
Peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian telah diatur oleh
pemerintah. Untuk mineral mangan, batasan minimum pemurnian dengan Permen ESDM No. 7 Tahun 2012
adalah Mn > 60% (untuk paduan Mn) dan Mn02 > 98%. Mangan adalah logam yang penting dalam
penggunaan campuran logam-logam di industri baja, mangan bersifat meningkatkan kualitas tempaan baik dari
segi kekuatan, kekerasan dan kemampuan pengerasan. Penelitian ini bertujuan agar dapat mengetahui
mekanisme proses reduksi mineral mangan serta mengetahui perbandingan reduktor dengan bijih mangan dan
temperatur yang optimal. Proses reduksi mineral mangan ini menggunakan reduktor berupa batubara dan
pembakaran menggunakan furnace dengan lama pembakaran pada temperatur maksimum 180 menit. Kemudian
sampel hasil reduksi akan diuji XRD untuk menguji senyawa dan perubahan fasanya, lalu uji XRF untuk
mengetahui persentase unsur kandungan Mn dan kenaikan kadar Mn pada sampel hasil proses reduksi, dan uji
SEM untuk mengetahui morfologinya. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa proses reduksi mineral
mangan menggunakan furnace, persentase batubara yang optimal digunakan sebesar 20%, dan temperatur
optimal yang digunakan untuk menghasilkan reduksi tertinggi adalah 1200°C yaitu sebesar 56,5% berupa
senyawa Mn2O3.

Kata kunci: Mangan, Reduksi, Pirometalurgi, Transformasi fasa.

PENDAHULUAN
Mangan ditemukan sebagai unsur bebas dalam sifat dasarnya dan sering dicampur
dengan besi, seperti mineral-mineral lainnya. Sebagai unsur bebas, mangan adalah logam
yang penting dalam penggunaan campuran logam-logam di industri baja. Dalam baja, mangan
bersifat meningkatkan kualitas tempaan baik dari segi kekuatan, kekerasan, kemampuan
pengerasan dan anti karat. Dalam tabel periodik unsur kimia, Mangan memiliki lambang Mn
dengan nomor atom 25. Unsur kimia adalah zat kimia lain dengan cara biasa dan tidak dapat
dipisah menjadi zat yang lebih kecil. Unsur-unsur kimia dalam bentuk kimia. Nomor atom
adalah angka yang menunjukkan jumlah proton dalam inti atom. Yang berarti bahwa Mangan
memiliki 25 jumlah proton dalam inti atom. Mangan pertama kali dikenali oleh Scheele,
Bergman dan ahli lainnya sebagai unsur dan diisolasi oleh Gahn pada tahun 1774, dengan
mereduksi mangan dioksida dengan karbon.[1]
Mineral mangan tersebar secara luas dalam banyak bentuk: oksida, silikat, karbonat
adalah senyawa yang paling umum. Penemuan sejumlah besar senyawa mangan di dasar
lautan merupakan sumber mangan dengan kandungan 24%, bersamaan dengan unsur lainnya
dengan kandungan yang lebih sedikit.[2,3]
Ada beberapa metode secara proses metalurgi mangan yaitu pirometalurgi dan
hidrometalurgi. Hidrometalurgi dapat diartikan sebagai cara pengolahan logam dari batuan
atau bijihnya dengan menggunakan pelarut berair (aqueous solution), atau secara detailnya
hidrometalurgi adalah suatu proses dalam pekerjaan metalurgi dimana dilakukan pemakaian
suatu zat kimia yang cair untuk dapat melarutkan suatu partikel tertentu. Pirometalurgi adalah
suatu proses ekstraksi metal dengan energi panas, temperatur umum yang dipakai berkisar
500-1600°C. Pada temperatur tersebut kebanyakan metal sudah dalam fase cair bahkan
kadang-kadang fase gas.[ 3]
Untuk mendapatkan logam mangan, bijih mangan yang masih merupakan campuran
berbagai mineral oksida, silikat dan karbonat, harus melalui proses tahapan tertentu, yakni
proses reduksi dan smelting. Tahapan yang paling krusial adalah tahapan reduksi.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     13 
Keberhasilan proses produksi mangan tergantung keberhasilan proses reduksi. Proses reduksi
pada dasarnya adalah pengambilan oksigen dari mineral oksida tertentu terutama mangan
oksida oleh reduktor tertentu, biasanya reduktor yang digunakan adalah karbon dalam
batubara. Karbon bereaksi dengan oksigen membentuk karbon monoksida yang lebih aktif
dalam mereduksi bijih mangan.[3,6]
Selama proses reduksi dan pembakaran bijih mangan, terjadi perubahan senyawa dari
bijih mangan tinggi senyawa ke senyawa yang rendah: MnO2→Mn2O3→Mn3O4→MnO.[6]
Reaksi reduksi mangan adalah sebagai berikut:

MnO2 + C → Mn2O3 + CO (1)


Mn2O3 + C → Mn3O4 + CO (2)
Mn3O4 + C → MnO + CO (3)
MnO + C → Mn + CO (4)

MnO2 dan Mn2O3 tidak dapat stabil pada temperatur 700°C dan 900°C, pada
persamaan 1-4 di atas menunjukan oksigen diberikan pada reaksi kesetimbangan. Tekanan
parsial mencapai 1 atm pada reaksi 3-4 dengan temperatur sebesar 800°C dan 900°C terurai
menjadi oksida yang lebih rendah secara spontan pada temperatur tersebut. Dari literatur yang
telah diterbitkan mengenai analisis termodinamika, didapat bahwa mangan oksida direduksi
menjadi logam pada temperatur 900°C dan 1300°C.

METODE PERCOBAAN
Bijih mangan berasal dari Nusa Tenggara Timur telah diambil secara representative
yang akan dilakukan uji pengolahan untuk meningkatkan kadar mangan dalam bijih tersebut.
Sedangkan reduktor yaitu batubara diperoleh dari pertambangan batubara di Kalimantan
Timur. Hasil analisa proksimat batubara diperoleh data pada tabel sebagai berikut:

Tabel 1. Analisa proksimat batubara


Variabel Persentase
Moisture 42,69%
Volatile Matter 28,80%
Ash 0,97%
Fixed Carbon 27,55%
Volatile Dry 53,13%
Ash Dry 1,62%

Untuk menimbulkan proses pembakaran maka pada furnace ditiupkan udara, sehingga
terjadi proses oksidasi sebagai berikut:

2C + O2 → 2 CO2 + panas (5)

Gas CO yang terjadi dapat menimbulkan reaksi reduksi terhadap bijih yang dimasukan
dalam furnace. Sedangkan panas yang ditimbulkan berguna untuk mencairkan bijih yang
telah tereduksi tersebut.
Untuk mencapai tujuan penelitian dengan baik, maka perlu dibuat suatu perencanaan
penelitian. Pertama-tama persiapan alat dan bahan. Konsentrat mangan dan batubara
selanjutnya dicampur dan diaduk dengan tambahan bentonit sebagai perekat. Dengan persen
batubara terhadap konsentrat mangan 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, lalu dicampur air sehingga
siap dijadikan pellet yang berdiameter kurang lebih 2 cm untuk proses reduksi mineral
mangan dengan menggunakan Muffle furnace merek Carbolite. Pada proses reduksi dengan

14  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
variasi persen batubara, temperatur yang dibutuhkan sebesar 1000°C dan lama pembakaran
180 menit, untuk mendapatkan komposisi persen batubara yang optimum.
Setelah itu, dilakukan uji XRF dan XRD agar diketahui komposisi unsur kimia
mineral mangan pada tiap persen batubara. Setelah didapat persen optimum batubara pada
pembakaran temperatur 1000°C, selanjutnya dibuat pellet dengan komposisi persen batubara
optimum yang telah didapat. Selanjutnya pellet direduksi dengan variasi temperatur. Pada
variasi temperatur, temperatur yang digunakan adalah 700°C, 800°C, 900°C, 1000°C, 1100°C
dan 1200°C.
Setelah sampel pellet direduksi dengan furnace, maka perlu diketahui bagaimana
reduksi yang terjadi pada tiap sampel. Untuk mengetahui senyawa-senyawa yang terbentuk
dari hasil reduksi dilakukan pengujian XRD. Pengujian sampel XRD dilakukan dengan
mengambil sampel berupa butiran dengan ukuran 100 mesh sebanyak 1 gram, menggunakan
alat Shimadzu XRD-7000 analytical. Pengujian menggunakan sinar-X dengan range sudut 2θ
sebesar 10-90°. Sedangkan SEM dilakukan setelah pengujian XRF. Analisa SEM
menggunakan Scanning Electron Miscroscope dengan menempelkan specimen ke paku dan
dilakukan pengamatan pada 15-20 kV. Uji SEM dilakukan untuk mengetahui morfologi
mineral mangan dan penyebaran unsur kimia mineral mangan setelah direduksi.[1]

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dalam proses ekstraksi mineral mangan, langkah awal penelitian ini adalah untuk
mendapatkan komposisi persen batubara atau reduktor yang optimum. Batubara di dalam
pellet akan tervolatilisasi sehingga material pellet mencapai temperatur proses reduksi.
Temperatur yang di butuhkan untuk roasting pellet sebesar 1000°C. Pada temperatur tersebut
didapatkan persen yang optimum reduktor sebesar 20%. Gambar 1 memperlihatkan grafik
Uji XRF perbandingan antara persen reduktor dengan kadar mangan. Terlihat adanya
peningkatan kadar mangan pada persen reduktor 10-20% dari 52,3% menjadi 52,45%.
Sedangkan pada persen reduktor 20-50% terjadi penurunan kadar Mn yang cukup signifikan
mencapai 47,38%. Hal ini dikarenakan pengaruh dari perlakuan roasting yang mana fungsi
roasting membakar unsur-unsur yang terdapat dalam pellet, sedangkan pada persen reduktor
30-50% kemungkinan masih ada unsur pengotor dari batubara yang terbentuk saat proses
reduksi.
Gambar 2 memperlihatkan hasil uji XRF dengan variasi temperatur dengan persen
reduktor 20% dan lama pemanasan 180 menit. Terjadi peningkatan kadar mangan yang cukup
konstan pada temperatur 700-1000°C dari 49,6-53,6% dan meningkat mencapai 56,5 % pada
temperatur 1200°C.

Gambar 1. Hasil Uji XRF dengan variasi persen reduktor.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     15 
Gambar 2. Hasil Uji XRF dengan variasi temperatur.

Gambar 3 memperlihatkan pola XRD dari sampel yang telah direduksi pada
temperatur 700-1100°C. Terlihat bahwa pada temperatur 700°C, senyawa yang muncul adalah
Mn2O3 pada peak 33,1°. Pada Gambar 3 memperlihatkan peak pada temperatur 900-1100°C
berupa senyawa Mn2O3, namun tidak hanya mangan (III) oksida yang terbentuk saat ekstraksi
berlangsung SiO2 juga terbentuk pada temperatur 1100-1200°C.

Gambar 3. Hasil uji XRD pada berbagai temperatur.

Dari pengujian SEM terlihat adanya proses peningkatan antar partikel dan adanya
proses melting pada sampel hasil reduksi pada temperatur 700, 1000, dan 1200°C
(Gambar 4). Sehingga rongga udara berkurang, dengan semakin besarnya temperatur maka
semakin besar proses reduksi dari proses ekstraksi mineral mangan. Pada Gambar 5 dilihat
Uji SEM juga didapat perubahan unsur massa tiap temperatur yang berbeda, semakin besar
temperatur terjadi kenaikan persen unsur massa Mn.
Pada perbedaan temperatur dapat diketahui peningkatan kadar Mn yang terjadi dengan
melihat hasil dari pengujian XRF. Dengan menggunakan variasi temperatur terjadi
peningkatan yang cukup signifikan dari kadar awal 49,69%. Peningkatan kandungan Mn pada
mineral mangan dengan pembakaran maksimum 1200°C yaitu sebesar 56,5%. Hal ini
merupakan peningkatan yang cukup efektif.

16  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Gambar 4. Hasil uji SEM hasil reduksi dengan variasi temperatur 700, 1000, dan 1200°C.

Gambar 5. Grafik perubahan unsur pada uji SEM.

Dari pengujian XRD diketahui bahwa adanya perubahan fase dengan semakin
bertambahnya temperatur. Pada temperatur yang kecil kandungan Mn yang diperoleh lebih
kecil dibandingkan dengan temperatur yang lebih besar dan senyawa yang terbentuk masih
berikatan dengan oksida. Hal ini disebabkan batubara belum optimal dalam mengikat oksigen
dalam mineral mangan, sehingga mineral mangan yang dihasilkan masih banyak pengotornya.
Dari data hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa persen kadar reduktor dan
temperatur yang optimal yaitu 20% dan 1200°C memberikan kesempatan batubara untuk
mengikat oksigen yang terkandung dalam mineral mangan sehingga dihasilkan persentase
kadar Mn yang semakin tinggi seiring dengan meningkatnya temperatur. Pada proses ini
diperkirakan dapat mencapai titik lebur mangan, sehingga metode ekstraksi dengan furnace
ini dapat dijadikan metode yang relatif mudah dan dapat diimplementasikan.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     17 
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian dan analisis data yang telah dilakukan maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Variasi persen reduktor yang optimal pada proses ekstraksi mineral mangan (pyrolusit)
pada kombinasi batubara sebesar 20% pada temperatur 1000°C dengan perolehan kadar
Mn 52,45% berupa senyawa SiO2 MnO2, dan Mn2O3.
2. Setelah didapat persen reduktor optimal, selanjutnya didapatkan hasil dari proses
ekstraksi mangan dengan temperatur yang optimal pada temperatur 1200°C, dengan
perolehan kadar sebesar 56,5% berupa Mn2O3. Pembentukan mangan yang konstan dan
tidak drastis dikarenakan reduktor berupa batubara belum optimal dalam mengikat
oksigen dan mineral mangan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Anggoro Tri Mursito yang telah
memberikan masukan dan diskusinya, serta rekan-rekan Laboratorium Kimia Geoteknologi
LIPI Bandung yang telah membantu dalam menganalisis.

Daftar Referensi
[1] Bahfie, F. dan S. Pintowantoro. 2012. Studi Proses Reduksi Mineral Mangan
Menggunakan Gelombang Mikro dengan Pengaruh variasi Daya dan Waktu Radiasi.
Jurnal Teknik Pomits, 1.
[2] B. Zhang and Z.L. Xue. 2013. Kinetics Analyzing of Direction Reduction on Manganese
Ore Pellets Containing Carbon.
[3] M. Kumar, S. et al. 2010. Kinetics of Reduction of Different Manganase Ore.
[4] Sembiring, H. dan Gurharyanto. 2011. Report: Percobaan Pengolahan untuk
Meningkatkan kadar Bijih Mangan (Mn) NTT.
[5] T. Min and T. Xiaozhuang. 2002. Review and Outlook of Chinese Manganese Mining
Industri.
[6] Todd, M. 2010. Mn Ore Reduction Technologies, IMnI EPD.
[7] LleweUyn, D.T. and R.C. Hudd. 2000. Steels: Metallurgy and Applications,
Butterworth-Heinemann.

18  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
PEMODELAN PROSES PELEBURAN DI TANUR BUSUR LISTRIK
SSP I PT. KRAKATAU STEEL UNTUK MEMPELAJARI PENGARUH
PENAMBAHAN LELEHAN BESI WANTAH (HOT METAL)

Adrian Wirawan*, Zulfiadi Zulhan


Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganeca 10, Bandung, 40132
*E-Mail: adrian.wirawan91@gmail.com

Abstrak
PT. Krakatau Steel membangun tanur tiup (blast furnace) untuk menghasilkan besi wantah (hot metal)
yang akan digunakan sebagai salah satu bahan baku pembuatan baja dalam tanur busur listrik (EAF). Tujuan
pembangunan blast furnace ini adalah untuk menurunkan biaya produksi. Blast furnace akan mulai beroperasi
pada bulan Juli 2015. Hingga saat ini belum pernah dilakukan studi pendahuluan terkait operasi penambahan
hot metal ke dalam EAF PT. Krakatau Steel. Sebuah studi pendahuluan harus dilakukan supaya pembangunan
blast furnace untuk memastikan proses pembangunan blast furnace tetap memenuhi tujuan utama yakni untuk
menurunkan biaya produksi. Unjuk kerja yang diprediksi meliputi konsumsi energi listrik, konsumsi CaO,
konsumsi oksigen, waktu tap to tap, basisitas terak dan ketinggian buih terak. Sebuah model statik dibuat untuk
memprediksi kebutuhan energi listrik, kebutuhan CaO, kebutuhan oksigen dan waktu tap to tap, sedangkan
basisitas terak dan ketinggian busa terak diprediksi dengan menggunakan sebuah model dinamik.
Hasil perhitungan dengan menggunakan 25% hot metal di material input EAF akan mengurangi
konsumsi energi listrik dari 515 kWh/ton baja cair hingga 313,21 kWh/ton baja cair, meningkatkan konsumsi
oksigen dari 4506 Nm3 hingga 5095 Nm3 dan mengurangi waktu tap to tap dari 87 menit hingga 73,5 menit.
Penurunan temperatur hot metal dari 1300°C hingga 1200°C pada persen penggunaan hot metal yang rendah
tidak akan mempengaruhi jumlah kebutuhan energi listrik. Laju penghembusan oksigen dapat digunakan untuk
mengatur waktu tap to tap agar proses di EAF dapat berjalan kontinu dengan alat lain. Waktu tap to tap paling
singkat berada pada rentang 5% hingga 30% penggunaan hot metal. Nilai laju penghembusan oksigen juga
dapat mempengaruhi potensi ketinggian buih terak yang terbentuk. Potensi buih terak yang paling tinggi
diprediksi terjadi pada saat pelelehan material padat, oleh karenanya laju penghembusan oksigen hendaknya
diatur pada laju yang minimum di waktu tersebut untuk menghindari tumpahnya terak dari dalam EAF dengan
jumlah yang sangat besar.

Kata kunci: EAF, Pembuatan baja, Neraca massa, Neraca panas, Kinetika terkendali laju perpindahan
massa, Slag foaming.

PENDAHULUAN
Tanur tiup (blast furnace) adalah alat yang digunakan untuk menghasilkan besi
wantah dengan efisiensi energi terbaik (85-90%) dan laju produktivitas tertinggi dibandingkan
dengan alat lain.[1] Besi wantah yang dihasilkan berwujud cairan (hot metal) yang dapat
dibekukan lebih lanjut menjadi padatan (pig iron). Besi wantah memiliki komposisi tipikal
seperti yang tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi tipikal besi wantah[1]


Unsur Fe C Si Mn S P
Komposisi (%) 94,5 3,5 - 4,5 0,4 - 3,0 0,3 - 1,0 0,03 - 0,04 0,07 - 0,25

Besi wantah yang akan dihasilkan oleh blast furnace PT. Krakatau Steel memiliki
temperatur sekitar 1300°C.[2] Dengan nilai temperatur yang tinggi serta kandungan unsur-
unsur pengotor yang dapat dioksidasi pada Tabel 1, hot metal dapat menyuplai energi
tambahan pada proses peleburan di EAF. Kebutuhan energi listrik untuk proses peleburan
ditentukan oleh jenis dan kuantitas bahan baku yang digunakan. PT. Krakatau Steel berencana
untuk menggunakan baja bekas (scrap), DRI, pig iron dan hot metal sebagai campuran bahan
baku peleburan.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     19 
Pada EAF baja cair akan mengalami pemurnian dengan suasana oksidasi. Proses
oksidasi unsur-unsur pengotor di dalam baja cair akan menghasilkan senyawa-senyawa oksida
dan gas CO. Senyawa oksida yang dihasilkan akan mempengaruhi sifat fisik terak seperti
basisitas, tegangan permukaan dan densitas terak. Semakin banyak SiO2 yang dihasilkan akan
membuat terak bersifat asam sehingga konsumsi CaO untuk membuat terak tetap basa pada
nilai tertentu akan semakin meningkat. Terak asam dihindari karena dapat merusak refraktori
EAF yang bersifat basa. Gas CO yang terbentuk dalam beberapa saat lamanya akan tertahan
di terak dan menyebabkan terak berbuih dan meninggi. Proses tersebut dinamakan pembuihan
terak (slag foaming). Buih terak yang terbentuk akan meningkatkan efisiensi transfer panas
dari elektroda.[3]
Semakin banyak jumlah unsur pengotor yang harus dioksidasi dalam baja cair akan
membuat waktu pemurnian menjadi semakin lama. Lamanya waktu pemurnian dapat diatur
dengan mengubah laju penghembusan oksigen supaya proses di EAF tetap kontinu dengan
alat-alat lainnya. Besarnya laju penghembusan juga mempengaruhi ketinggian dan durasi buih
terak.
Berangkat dari permasalahan tersebut kemudian dilakukan pemodelan untuk
memprediksi kebutuhan energi listrik, kebutuhan CaO dan waktu tap to tap dengan
menggunakan model statik. Untuk memprediksi basisitas terak dan ketinggian buih terak
dilakukan dengan menggunakan model dinamik oleh karena nilai keduanya yang senantiasa
berubah sebagai fungsi waktu.

METODE PERCOBAAN

Pemodelan Proses Peleburan di EAF

Pengumpulan data lapangan


Data lapangan yang dikumpulkan berupa:
 Rencana operasi PT. Krakatau Steel terkait operasi penambahan hot metal ke dalam
EAF
 Dimensi EAF di SSP I PT. Krakatau Steel
 Komposisi bahan baku, hot heel dan gas buang
 Pola tap operasi EAF
 Operasi yang dilakukan secara aktual di PT. Krakatau Steel, dimana dilakukan proses
pemurnian dengan cara menginjeksikan oksigen ke dalam lelehan sebagaimana tertera
pada Gambar 1.

Gambar 1. Penghembusan oksigen melalui RCB.[7]

20  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Bahan baku pembuatan baja di EAF yang rencananya akan digunakan setelah blast
furnace PT. Krakatau Steel dibangun adalah campuran dari besi wantah (hot metal dan pig
iron), besi spons (DRI) dan besi rongsok (scrap). Komposisi hot metal dan pig iron yang
digunakan dalam perhitungan tertera pada Tabel 2 dan Tabel 3, sedangkan untuk komposisi
besi spons (DRI), besi rongsok (scrap) disesuaikan dengan komposisi yang saat ini digunakan
oleh PT. Krakatau Steel.

Tabel 2. Spesifikasi teknis pig iron yang digunakan


Unsur %
Femetallic 79
C 3,75
Mn 0,7
Si 0,9
P 0,7
S 0,025
Bulk density (ton/m3) 3,3

Tabel 3. Spesifikasi teknis hot metal yang digunakan


Unsur %
C 4,82
Mn 0,5
Si 0,8
P 0,1
S 0,01
Temperatur (°C) 1250-1300

Perangkat lunak pengolahan data


Untuk mengolah data digunakan beberapa perangkat lunak, seperti Ms. Excel – VBA,
MATLAB, AutoCAD. Ms. Excel-VBA digunakan sebagai perangkat input-output data.
MATLAB digunakan untuk menentukan titik awal yang tepat pada proses iterasi numerik
Newton-Raphson. AutoCAD digunakan untuk menentukan persamaan geometris EAF.

Penghitungan kebutuhan CaO


Kebutuhan bahan imbuh dapat dihitung dengan meninjau nilai basisitas terak (B) yang
ingin dicapai menurut persamaan 1.
%
(1)
%

Dari persamaan 1 kemudian diturunkan persamaan 2 untuk menghitung jumlah CaO


yang dibutuhkan.

, (2)

Penghitungan kebutuhan energi listrik


Kebutuhan energi listrik dihitung dengan menggunakan persamaan 3.

(3)

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     21 
Teknik pembuatan baja di EAF PT. Krakatau Steel dilakukan dengan menggunakan
hot heel, yakni lelehan sisa dari peleburan sebelumnya untuk mengurangi konsumsi energi
dan membantu proses pemurnian. Pembagian energi keluar dan energi masuk ditunjukkan
pada Tabel 4.

Tabel 4. Komponen neraca energi


Energi Masuk (Ein) Energi Keluar (Eout)
Energi panas hot heel Energi panas baja cair dan terak
Energi panas hot metal Energi panas terbawa off gas
Energi panas reaksi kimia Kehilangan panas (heat losses)

Untuk menghitung energi yang dimiliki oleh hot heel, hot metal, baja cair dan terak
digunakan persamaan 4.


(4)
   

Untuk menghitung energi yang dihasilkan dari reaksi kimia digunakan persamaan 5.
.∆ ,
(5)

Dengan nilai ∆Hrx,298 ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Entalpi reaksi pembentukan pada temperatur 298K[4]


Reaksi kimia ∆H298 (kJ/kmol)
<Si> + (O2)g = (SiO2) -910.900
<C> + 1/2(O2)g = (CO)g -110.500
<Fe> + 1/2(O2)g = <FeO> -263.000
2<Al> + 3<FeO> = <Al2O3> + <Fe> -886.700
<Si> + 2<FeO> = <SiO2> + <Fe> -384.900
<Mn> + <FeO> = <MnO> + <Fe> -121.900
2<P> + 5<FeO> = <P2O5> + <Fe> -190.000
2<CaO> + <Al2O3> = <2CaO.Al2O3> -15.300
2<CaO> + <SiO2> = <2CaO.SiO2> -147.700
2<CaO> + <P2O5> = <2CaO.P2O5> -561.900

Kehilangan panas dihitung dengan menggunakan persamaan 6.

(6)

Nilai yang digunakan tertera pada Tabel 6.

Tabel 6. Koefisien kehilangan panas ( ) EAF[5]


Kejadian kWh/(ton.min)
Ketika Pelelehan 0,4
Ketika Pemurnian 1,7

22  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Energi panas yang terbawa oleh offgas dihitung dengan menggunakan persamaan
berikut:

, .

 
, . ,
. .
 
(7)
,

Dimana volume udara adalah selisih antara volume sedot sistem offgas dengan volume
gas CO yang terbentuk.

Penghitungan waktu tap to tap


Waktu tap to tap didefinisikan menurut persamaan 8 atau 9.
(8)
(9)
Persamaan 8 digunakan ketika lebih lama dibandingkan dengan .
Sedangkan persamaan 9 digunakan pada kondisi sebaliknya. Diasumsikan nilai
dekat dengan penjumlahan waktu dekarburisasi ( ) dengan desilikonisasi ( ).
Asumsi tersebut didasarkan pada konsentrasi karbon dan silikon yang besar pada penambahan
hot metal sehingga total waktu pemurnian akan dominan digunakan untuk mengoksidasi
kedua pengotor ini dengan laju reaksi keduanya terkendali penghembusan oksigen menurut
persamaan 10 dan 11.
, . ,
(10)
,   .

, . ,
(11)
,  

Nilai pada perhitungan ini adalah sebesar 15 menit yang meliputi waktu
buka dan tutup roof EAF, elektroda masuk dan tapping baja cair.

Penghitungan kebutuhan oksigen


Oksigen yang dihembuskan akan dominan mengoksidasi unsur karbon dan silikon
oleh karena konsentrasi keduanya yang lebih banyak dibandingkan dengan pengotor lain
seperti Al, Mn dan P yang teroksidasi dengan laju reaksi terkendali perpindahan massa. Oleh
karenanya kebutuhan oksigen dihitung dengan menggunakan persamaan 12.

, , , (12)

Penghitungan komposisi baja cair dan terak tiap menit


Untuk menghitung massa baja cair dan terak masing-masing menggunakan persamaan
13 dan 14.
, (13)

, (14)

Massa masing-masing unsur dan senyawa –i masing-masing ditentukan dengan


persamaan-persamaan berikut:

, ∆ , , , (15)

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     23 
, ∆ , , , (16)

Penghitungan massa padatan yang meleleh


Massa padatan yang meleleh (r) ditentukan dengan persamaan 17.

,
(17)
 

Nilai liquidus diperoleh dari penghitungan menggunakan salah satu dari persamaan
pada Tabel 7.

Tabel 7. Persamaan temperatur liquidus (Tliq)[6]


%C Tliq
%C < 0,5 Tliq (oC) = 1537 – 73,1%C - 4%Mn – 14%Si – 45%S – 30%P – 1,5%Cr
..– 2,5%Al – 3,5%Ni – 4%V – 5%Mo

0,5 < %C < 4,4 Tliq (oC) = 1531 – 61,5%C – 4%Mn – 14%Si – 45%S - 30%P – 1,5%Cr
..– 2,5%Al – 3,5%Ni – 4%V – 5%Mo

%C > 4,4 Tliq (oC) = 389%C – 10,5%Mn +105%Si + 140%S + 128%P – 506

Nilai Epelelehan,j diperoleh dari energi listrik pada pola tap operasi yang diinputkan,
yang diolah dengan menggunakan persamaan 18.

, (18)

Nilai 0,5 diasumsikan sebagai faktor transfer panas dari baja cair kepada material
padat. Nilai , diperoleh dengan menggunakan persamaan 19.

, % 
(19)
.

%  
, %  (20)
   

Reaksi oksidasi unsur-unsur pengotor


Reaksi oksidasi unsur-unsur pengotor dapat terjadi melalui penghembusan oksigen
melalui lance (RCB) atau reaksi dengan terak. Unsur-unsur pengotor dalam baja cair akan
teroksidasi menurut persamaan reaksi kimia yang tertera pada Gambar 1.
Reaksi oksidasi unsur di atas konsentrasi kritisnya akan menyebabkan unsur tersebut
teroksidasi dengan laju terkendali laju penghembusan oksigen, dan pada kondisi sebaliknya
laju reaksi akan terkendali perpindahan massa ke antarmuka baja cair dan terak. Konsentrasi
kritis untuk masing-masing unsur karbon dan silikon adalah sebesar 0,3% dan 0,1%. Unsur
Al, Mn dan P diasumsikan teroksidasi dengan laju reaksi terkendali perpindahan massa ke
antarmuka baja cair dan terak selama proses oleh karena konsentrasinya yang rendah.
Persamaan kinetika reaksi karbon dan silikon ketika keduanya terkendali laju
penghembusan oksigen adalah sebagai berikut[7]:

.   . .
(21)
, .

24  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
.   .
(22)
, .

Persamaan kinetika reaksi oksidasi terkendali perpindahan massa ke antarmuka baja


cair dan terak untuk unsur aluminium adalah sebagai berikut[8]:

(23)

.
(24)
  . .   . .  

.
(25)
.

(26)

Nilai aktivitas oksigen (ao) = fo.[O], dengan nilai oksigen terlarut [O] ditentukan
melalui kesetimbangan (FeO) = {Fe} + [O].
Persamaan kinetika reaksi oksidasi terkendali perpindahan massa ke antarmuka baja
cair dan terak untuk unsur silikon dan karbon adalah sebagai berikut[7]:

(27)

. .
(28)

(29)

(30)

. .
(31)

(32)

Nilai mSi dan mC dihitung dengan menggunakan persamaan 33 dan 34 dengan


mengasumsikan pada konsentrasi kritis, laju oksidasi unsur karbon dan silikon memiliki nilai
yang sama.
. .
(33)
, . . . .  –

. .
(34)
. , . . . .  – 

Persamaan kinetika reaksi oksidasi terkendali perpindahan massa ke antarmuka baja


cair dan terak untuk unsur mangan adalah sebagai berikut[9]:

(35)

(36)

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     25 
(37)
.

Persamaan kinetika reaksi oksidasi terkendali perpindahan massa ke antarmuka baja


cair dan terak untuk unsur fosfor adalah sebagai berikut[10]:

(38)

. , . .
(39)
. , . ,   .

 
(40)

log Kp = – 29,06 (41)

Reaksi oksidasi besi berlangsung dengan terkendali laju reaksi kimia oleh karena besi
adalah pelarut dalam sistem. Seluruh gas O2 yang tidak bereaksi dengan unsur pengotor akan
mengoksidasi besi. Konsentrasi oksigen terlarut [O] menurut hubungan kesetimbangan reaksi
(Fe)l + [O] = (FeO) berikut pada keadaan transient.[11]

log KFe = – 2,73 (42)

Penghitungan konsentrasi setimbang unsur-unsur pengotor


Nilai konsentrasi setimbang unsur pengotor [%WM]e didapat dengan meninjau
kesetimbangan reaksi oksidasi aM + bO = cMO sebagai berikut:

.%
(43)
.% . .%

Dari persamaan 43 akan didapatkan persamaan 44 untuk menghitung nilai


berikut:

(44)

Akar dari persamaan 44 dapat dicari menggunakan metode numerik Newton Raphson.
Titik awal iterasi Newton Raphson dicari dengan bantuan perangkat lunak MATLAB. Nilai
koefisien aktivitas henrian (f) dihitung dengan menggunakan persamaan[11]:

(45)

Nilai tertera pada Tabel 12[11]. Untuk menghitung nilai Koefisien aktivitas oksida
( ) ditentukan dengan persamaan (46).[12]

(46)

26  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Detail perhitungan persamaan 46 tertera pada Tabel 13 dan Tabel 14[12] pada
lampiran.

Penghitungan ketinggian buih terak


Peristiwa slag foaming terjadi akibat gas CO hasil dari reaksi oksidasi karbon tertahan
di dalam terak membentuk emulsi terak-gas-metal. Buih terak yang terbentuk akan
membungkus bagian bawah elektroda dan meningkatkan efisiensi perpindahan panas menuju
baja cair.
Ito dan Fruehan[13] mengukur kemampu-buihan (foamability) dari terak EAF dengan
menggunakan lance berdiameter 5-10 mm. Mereka menggunakan konsep indeks buih (∑)
yang dikaitkan dengan superficial gas velocity (vg) untuk menghasilkan ketinggian foam (Hf)
sebagai berikut:

Hf = ∑. vg (47)

Superficial gas velocity adalah fungsi dari laju pembentukan gas (Q) dan luas
permukaan (A) dari furnace sebagai berikut[13]:

vg = (48)

Indeks buih (foam index) dapat dianalogikan sebagai waktu yang diperlukan oleh gas
untuk melewati terak, satuannya adalah detik. Persamaan-persamaan yang digunakan untuk
menghitung ketinggian buih terak adalah sebagai berikut:
 Persamaan Ito, Zhang dan Fruehan:
,
, , (49)
. .

 Persamaan Jiang dan Fruehan[7]:

(50)
.

 Persamaan Hak Soo Kim et al[14]:

(51)

Untuk menghitung densitas terak ( ) dan viskositas terak ( ) digunakan model


KTH.[15] Penghitungan nilai tegangan permukan terak menggunakan persamaan berikut:

(52)

Tabel 8. Konstanta tegangan permukaan parsial ( )[17]


Komponen CaO SiO2 FeO MgO
-1
  (mN.m ) 625 260 645 635

Media Penghitungan
Kerangka input dan output data pada model statik dan model dinamik dibuat dengan
menggunakan perangkat lunak Ms. Excel–Macros Visual Basic dengan detail perhitungan
dibantu oleh perangkat lunak MATLAB dan AutoCAD. Perangkat lunak MATLAB digunakan
untuk mencari titik awal iterasi metoda numerik Newton-Raphson pada model dinamik.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     27 
Perangkat lunak AutoCAD digunakan untuk mencari persamaan dimensi dari EAF
PT. Krakatau Steel.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Perhitungan awal dilakukan dengan menggunakan rencana operasi PT. Krakatau Steel
terangkum pada Tabel 9 dan Tabel 10.

Tabel 9. Jumlah material input[2]


Material input Ton %
Scrap 13 10
DRI 71,5 55
Pig iron 13 10
Hot metal 32,5 25
Total 130 100

Tabel 10. Parameter operasi[3]


Tapping weight 130 ton
Massa hot heel 25 ton
Baja cair 23 ton
Lelehan terak 2 ton
Temperatur tapping 1620°C
Basisitas (%CaO/%SiO2) 2
Laju penghembusan oksigen 70 Nm3/min
Daya maksimum (MW) 48
Waktu tap to tap (model dinamik) 73 menit

Untuk operasi dengan detail seperti pada Tabel 9 dan Tabel 10, prediksi kebutuhan
listrik, kebutuhan CaO, waktu tap to tap adalah sebagai berikut:

Tabel 11. Prediksi kebutuhan listrik, CaO, waktu dekarburisasi dan waktu desilikonisasi
Kebutuhan Listrik Kebutuhan CaO Waktu Tap to Tap Kebutuhan oksigen
313,21 kWh/TBC 4296,87kg 73,55 menit 4881,8 Nm3

Prediksi logam, terak dan material dalam tanur, komposisi baja cair dan terak,
basisitas, temperatur dan ketinggian buih terak ditunjukkan dari Gambar 2 sampai dengan
Gambar 6. Pada Gambar 2 terjadi peningkatan jumlah baja cair secara signifikan sebanyak
dua kali yakni pada menit ke-5 hingga menit ke-10 dan pada menit ke-10 hingga menit ke-38.
Peningkatan di antara menit ke-5 dan menit ke-10 terjadi karena proses pelelehan scrap, pig
iron dan pengisian hot metal yang berlangsung bersama-sama. Peningkatan di antara menit
ke-10 hingga menit ke-38 terjadi karena proses pelelehan DRI yang ditambahkan ke dalam
tanur secara kontinu dengan menggunakan belt feeder. Tidak terlihat adanya DRI padat
selama proses oleh karena panas yang tersedia pada sistem jumlahnya jauh lebih besar
dibandingkan dengan kebutuhan panas untuk melelehkan seluruh DRI padat di tiap menitnya.
Profil energi panas dalam bentuk temperatur selama proses dapat dilihat pada Gambar 5.

28  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Gambar 2. Berat logam, terak dan material yang ditambahkan sebagai fungsi waktu.

Gambar 3. Perubahan komposisi pengotor dalam baja cair sebagai fungsi waktu.

Gambar 4. Perubahan basisitas dan komposisi terak sebagai fungsi waktu.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     29 
Gambar 5. Prediksi temperatur sebagai fungsi waktu.

Gambar 6. Prediksi ketinggian buih terak sebagai fungsi waktu.

Unsur yang pertama teroksidasi adalah silikon. Terlihat pada Gambar 3 bahwa
peningkatan unsur silikon sangat sedikit dikarenakan teroksidasi oleh penghembusan oksigen.
Setelah silikon habis teroksidasi maka unsur berikutnya yang teroksidasi adalah karbon. Pada
Gambar 3 terlihat bahwa gradien garis karbon di antara menit ke-9 hingga ke-38 terlihat
lebih landai dibandingkan dengan di antara menit ke-38 hingga ke-63. Hal ini terjadi oleh
karena pada menit ke-9 hingga ke-38 terjadi proses pelelehan DRI yang menyuplai karbon ke
dalam lelehan, sementara pada menit ke-38 hingga ke-63 tidak. Pada Gambar 4 terlihat
bahwa basisitas telah mencapai nilai yang konstan setelah menit ke-38 bersamaan dengan
selesainya proses pengisian DRI yang menyuplai SiO2 ke dalam terak.
Pada Gambar 5 terlihat di antara menit ke-2 hingga menit ke-10 terjadi perubahan
temperatur yang cukup fluktuatif. Peningkatan temperatur di antara menit tersebut terjadi
karena suplai panas dari hot metal, busur listrik, dan reaksi pembentukan terak lebih dominan
daripada kebutuhan panasnya. Penurunan temperatur pada menit-menit tersebut terjadi oleh
karena kebutuhan panas dari proses pelelehan scrap, pig iron dan kapur bakar lebih dominan
dari suplai panasnya. Pada menit ke-10 hingga menit ke-38 terjadi penurunan temperatur baja
cair disebabkan oleh pelelehan DRI. Setelah menit ke-38 terjadi peningkatan temperatur oleh
busur listrik yang masih menyala hingga menit ke-41. Setelah menit ke-41 kenaikan
temperatur tidak securam sebelumnya oleh karena busur listrik sudah tidak lagi menyala dan

30  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
suplai panas dipasok dari reaksi oksidasi karbon. Setelah menit ke-64 temperatur menurun
dan hingga selesai tapping.
Pada menit ke-5 Gambar 6 terlihat bahwa ketinggian baja cair meningkat secara tiba-
tiba. Hal tersebut terjadi karena adanya proses pengisian scrap yang memiliki densitas jauh
lebih kecil dibandingkan dengan densitas baja cair. Sedangkan pada saat penambahan hot
metal di menit ke-5 hingga 10 ketinggian baja cair cenderung menurun disebabkan karena
penurunan ketinggian oleh pelelehan material padat lebih besar dibandingkan dengan
peningkatan ketinggian oleh penambahan hot metal. Hal tersebut dapat terjadi oleh karena
densitas hot metal diasumsikan sama dengan densitas baja cair. Ketinggian buih terak
mencapai nilai maksimum pada menit ke-5 hingga menit ke-10, hal tersebut disebabkan
karena penurunan temperatur terak yang akan mempengaruhi nilai indeks buih. Diperkirakan
pada menit-menit tersebut terdapat potensi semburan terak dari pintu terak yang cukup besar
oleh karena tingginya prediksi ketinggian buih terak di menit-menit tersebut.

Pengaruh Jumlah Hot Metal terhadap Kebutuhan Energi Listrik


Tambahan energi panas dari penggunaan hot metal dapat menurunkan konsumsi
energi listrik. Untuk mempelajari pengaruh persentase hot metal di tiap temperatur, variabel
tetap yang digunakan dalam perhitungan adalah seluruh data pada Tabel 7 dan Tabel 8.
Kebutuhan energi listrik per ton baja cair untuk setiap persen penambahan hot metal dan
temperatur hot metal ditunjukkan pada Gambar 7. Pada penggunaan 0% hot metal
diasumsikan efisiensi transfer energi listrik hanya sebesar 60% oleh karena rendahnya jumlah
C yang disuplai ke dalam sistem sehingga ketinggian slag foam yang rendah. Kesimpulan
yang dapat diambil dari gambar tersebut adalah bahwa penurunan temperatur hot metal dari
1300°C sampai dengan 1200°C tidak begitu mempengaruhi kebutuhan energi listrik pada
persen penggunaan hot metal yang rendah sebagai material input EAF.

Gambar 7. Energi listrik spesifik vs persentase hot metal di material input.

Kebutuhan CaO
Untuk dapat melihat pengaruh persentase hot metal di tiap basisitas terhadap jumlah
kebutuhan CaO, variabel yang dibuat tetap adalah seluruh data pada Tabel 7 dan Tabel 8
selain basisitas dan persentase hot metal. Pada Gambar 8 ditunjukkan peningkatan konsumsi
CaO untuk setiap persen penambahan hot metal dalam rentang basisitas (B) pada rencana
PT. Krakatau Steel yakni dari 2 sampai dengan 2,2. Kenaikan kebutuhan CaO untuk setiap
penambahan 10% hot metal (gradien garis) di setiap basisitas terak adalah sebesar 99,98 kg
(B = 2); 100,31 kg (B = 2,1); 100,64 kg (B = 2,2) dan 100,97 kg (B = 2,3). Rata-rata selisih
kebutuhan CaO antara basisitas terak yang berbeda adalah sebesar 270,8 kg. Dari data-data

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     31 
tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan nilai basisitas terak lebih berpengaruh
terhadap konsumsi CaO dibandingkan dengan penambahan persentase hot metal dalam bahan
baku.

Gambar 8. Kebutuhan CaO sebagai fungsi persentase hot metal di material input.

Waktu tap to tap


Peningkatan jumlah hot metal akan meningkatkan jumlah unsur karbon dan silikon
yang harus dioksidasi. Untuk dapat melihat pengaruh jumlah persen hot metal terhadap waktu
tap to tap maka variabel yang dibuat tetap adalah seluruh data pada Tabel 7 dan Tabel 8
kecuali persentase hot metal dan laju penghembusan oksigen. Waktu tap to tap dapat
terkendali oleh waktu pelelehan atau waktu pemurnian tergantung siapa yang lebih lama.
Waktu pemurnian pengotor nilainya diasumsikan dekat dengan waktu total desilikonisasi dan
dekarburisasi yang ditunjukkan pada Gambar 9.
Nilai maksimal laju penghembusan oksigen disesuaikan dengan kapasitas yang
dimiliki oleh PT. Krakatau Steel yakni maksimal sebesar 100 Nm3/menit. Gradien garis pada
Gambar 9 terlihat semakin landai untuk setiap penambahan 10 Nm3/min (nilai gradien di tiap
selang persentase hot metal semakin kecil). Dari pengamatan tersebut dapat disimpulkan
bahwa penurunan waktu dekarburisasi dan desilikonisasi bersifat asimtotik.
Untuk melihat pengendali waktu tap to tap maka waktu tap to tap dengan pengendali
waktu berupa durasi proses pemurnian dan waktu tap to tap dengan pengendali waktu berupa
durasi proses pelelehan dialurkan bersama-sama pada Gambar 10. Waktu tap to tap dapat
dihitung melalui persamaan (8) atau (9). Profil waktu tap to tap untuk setiap variasi
persentase hot metal dengan daya maksimum sebesar 48 MW dan laju penghembusan oksigen
sebesar 70 Nm3 ditunjukkan pada Gambar 11.
Waktu tap to tap pada Gambar 11 terlihat menurun mulai dari persentase hot metal
0% hingga 10% dan meningkat kembali mulai dari persentase hot metal 20%. Pada persentase
hot metal 0% hingga 20% Gambar 10 terlihat bahwa waktu tap to tap dikendalikan oleh
waktu pelelehan dan setelah persentase hot metal 30% dikendalikan oleh waktu pemurnian.
Dari Gambar 11 dapat disimpulkan bahwa waktu tap to tap paling singkat untuk operasi
dengan parameter sesuai Tabel 7 dan Tabel 8 berada pada rentang 5% hingga 30% hot metal.
Rencana operasi PT. Krakatau Steel untuk menambahkan hot metal sebanyak 25%
membutuhkan waktu tap to tap sekitar 73 menit yakni sesuai dengan perhitungan literatur.[2]

32  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Gambar 9. Waktu pemurnian sebagai fungsi laju penghembusan oksigen.

Gambar 10. Waktu pemurnian dan pelelehan sebagai fungsi persentase hot metal.

Gambar 11. Waktu tap to tap sebagai fungsi persentase hot metal.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     33 
Pengaruh laju penghembusan oksigen terhadap ketinggian buih terak
Ketinggian buih terak dipengaruhi oleh nilai indeks foam dan kecepatan gas
superficial. Untuk dapat melihat pengaruh laju penghembusan oksigen, variabel yang dibuat
tetap adalah seluruh variabel pada Tabel 7 dan Tabel 8 dengan variasi laju penghembusan
oksigen. Profil ketinggian buih terak terhadap waktu ditunjukkan menggunakan model Hak
Soo Kim, et al pada Gambar 12.
Pada Gambar 12 terlihat bahwa semakin cepat laju penghembusan oksigen
menyebabkan waktu buih terak yang terbentuk semakin singkat dan ketinggian maksimumnya
semakin besar. Hal ini disebabkan oleh karena karbon dalam baja cair semakin cepat
teroksidasi hingga mencapai kadar dimana laju reaksinya terkendali perpindahan massa.
Ketika reaksi oksidasi karbon terkendali perpindahan massa, laju pembentukan gas CO
menurun dan menyebabkan penurunan ketinggian buih terak. Untuk mengatur agar efisiensi
energi listrik tetap tinggi selama proses maka ketinggian dan durasi terbentuknya buih terak
harus diatur dengan mengatur laju penghembusan oksigen.
Pada menit-menit awal di Gambar 12 terlihat bahwa potensi ketinggian buih terak
menjadi sangat besar. Hal ini dapat menyebabkan buih terak tumpah keluar dari dalam EAF
dengan jumlah yang besar. Strategi yang dapat dilakukan supaya tidak terjadi hal yang
demikian adalah dengan menghembuskan oksigen dengan laju penghembusan yang rendah di
menit-menit tersebut.

Gambar 12. Ketinggian buih terak menurut model Hak Soo Kim, et al sebagai fungsi waktu.

Gambar 13. Ketinggian buih terak menurut model Ito dan Fruehan sebagai fungsi waktu.

34  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Gambar 14. Ketinggian buih terak menurut model Jiang and Fruehan sebagai fungsi waktu.

KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapat dari permodelan ini adalah:
1. Penambahan hot metal sebesar 25% dari bahan baku akan berakibat pada penurunan
kebutuhan listrik dari 515 kWh/ton baja cair menjadi 313,21 kWh/ton baja cair,
peningkatan kebutuhan CaO dari 4044,78 kg menjadi 4294,67 kg, peningkatan kebutuhan
oksigen dari 4506 Nm3 menjadi 5095,77 Nm3, penurunan waktu tap to tap dari 87 menit
menjadi 73,5 menit.
2. Penurunan temperatur hot metal dari 1300°C hingga 1200°C pada penggunaan hot metal
di persentase rendah tidak berpengaruh terhadap besarnya penurunan kebutuhan energi
listrik.
3. Peningkatan nilai basisitas terak lebih berpengaruh terhadap konsumsi CaO dibandingkan
dengan penambahan persentase hot metal dalam bahan baku.
4. Semakin tinggi laju penghembusan oksigen menyebabkan waktu pemurnian menjadi
semakin singkat dengan laju penurunan waktu bersifat asimtotik.
5. Waktu tap to tap yang paling singkat berada pada persentase hot metal sebesar 5%
hingga 30.
6. Ketinggian maksimum buih terak terdapat pada menit ke-5 hingga menit ke-10, sehingga
pada menit-menit tersebut terak berpotensi untuk tumpah keluar dari EAF dengan volume
yang besar.
7. Semakin tinggi laju penghembusan oksigen maka ketinggian maksimum buih terak akan
semakin tinggi dan durasi pembentukan buih terak semakin singkat.

SARAN
Saran yang dapat diberikan untuk PT. Krakatau Steel serta penelitian selanjutnya
adalah:
1. Penghembusan gas oksigen dilakukan dengan laju yang lebih rendah pada menit-menit
awal proses supaya terak tidak tumpah keluar oleh karena besarnya potensi ketinggian
buih terak pada menit-menit tersebut.
2. Diperlukan data-data industri berupa heat loss setiap furnace PT. Krakatau Steel, persen
material padat yang efektif digunakan pada setiap proses, komposisi gas buang dan
efisiensi penghembusan oksigen untuk membuat model perhitungan neraca massa dan
neraca energi yang lebih akurat.
3. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menghitung pengaruh penambahan pig iron
terhadap unjuk kerja EAF di PT. Krakatau Steel agar seluruh produk blast furnace yang

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     35 
hendak dibangun dapat diprediksi pengaruh penggunaannya terhadap unjuk kerja alat
yang sudah ada.

Daftar Referensi
[1] Pretorius, E. and H. Oltmann. EAF Fundamentals. Process Technology Group - LWB
refractories, Jeremy Jones - Nupro Corporation.
[2] Siemens VAI Metals Technologies GmbH & Co, SSP 1 Revitalization Project, 2010.
[3] K, Atmosumarto. 1995. The Forming of Foaming Slag in Electric Arc Furnace by
Injection of Coke Breeze and Rearrangement of Melting Procedure. Thesis: University
of Wollongong.
[4] Kubaschewski, O. et al. 1993. Material Thermochemistry. Great Britain: Pergamon
Press.
[5] Opfermann, A. and D. Riedinger. 2007. Energy efficiency of Electric Arc Furnace.
Badische Stahl Engineering GmbH.
[6] BOF user guide. 2013. http://steeluniversity.org/content/html/eng/BOS_UserGuide.pdf.
[7] Pratama, I. A. 2011. Model Dinamik Untuk Prediksi Sloping Lelehan Logam dan Terak
pada Proses Pemurnian Ferronikel di LD-Konverter. Tugas Akhir, Teknik Metalurgi.
Bandung: Insitut Teknologi Bandung.
[8] H. Sun and K. Mori. 1996. Oxidation Rate of Aluminum in Molten Iron by CaO-SiO2-
Al2O3-FeO-MnO Slag. ISIJ International: S34-S37.
[9] M. Meraikib. 1993. Manganese Distribution between a Slag and a Bath of Molten
Sponge Iron and Scrap. ISIJ International, 33(3): 352-360.
[10] P. Wei. et al. 1993. Kinetics of Phosporus Transfer between Iron Oxide Containing Slag
and Molten Iron of High Carbon Concentration under Ar-O2 Atmosphere. ISIJ
International, 33(4): 479-487.
[11] Deo, B. and R. Boom. 1993. Fundamentals of Steelmaking Metallurgy. United
Kingdom: Prentice Hall International.
[12] S. BAN-YA. 1993. Mathematical Expression of Slag-Metal Reactions in Steelmaking
Process by Quadratic Formalism Based on the Regular Solution Model. ISIJ
International, 33(1): 2-11.
[13] Matsuura, H. and R. J. Fruehan. 2009. Slag Foaming in Electric Arc Furnace. ISIJ
International, 49(10): 1530-1535.
[14] H. S. Kim. et al. 2001. Foaming Behavior of CaO-SiO2-FeO-MgOsatd-X (X=Al2O3,
MnO, P2O5, and CaF2) Slags at High Temperature. ISIJ International, 41(4): 317-324.
[15] F. Z. Ji. et al. 1999. Viscosities of Multicomponent Silicate Melts at High
Temperatures. International Journal of Thermophysics, 23(1).
[16] Pilon, L. and D. Lotun. 2005. Physical Modeling of Slag Foaming for Various
Operating Condition and Slag Compositions. ISIJ International, 45(6): 835-840.

Daftar Simbol
: konsentrasi CaO dalam terak (%)
: konsentrasi SiO2 dalam terak (%)
: kadar unsur atau senyawa – i dalam material- j (%)
: konsentrasi unsur pada keadaan setimbang dalam baja cair (%)
: massa besi dalam terak dalam terak (kg)
: densitas baja cair (kg/m3)
: densitas terak (kg/m3)
: luas antarmuka baja cair dan terak (m2)
: massa atom relatif unsur atau senyawa – i
: CaO yang dibutuhkan untuk mengatur basisitas terak (kg)
: massa CaO dalam terak (kg)
: konsentrasi unsur atau senyawa – i yang tereduksi pada waktu tertentu (kg)

36  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
: konsentrasi dalam ruah baja cair (%)
: konsentrasi dalam antarmuka baja cair dan terak (%)
: kapasitas panas unsur atau senyawa – i pada tekanan tetap (J/mol.K)
: kapasitas panas komponen-j pada tekanan tetap (J/mol.K)
: energi yang masuk ke dalam sistem (kJ)
: energi yang keluar dari sistem (kJ)
, %  : energi untuk melelehakan seluruh material - j pada waktu tertentu (kJ)
: kehilangan panas (kJ)
: energi yang keluar dari sistem (kJ)
, : energi untuk pelelehan material - j pada waktu tertentu (kJ)
: energi panas reaksi kimia (kJ)
: konstanta kesetimbangan aluminium
: konstanta kesetimbangan karbon pada temperatur tertentu
: konstanta kesetimbangan besi pada temperatur tertentu
: konstanta kesetimbangan mangan pada temperatur tertentu
: konstanta kesetimbangan fosfor pada temperatur tertentu
: konstanta kesetimbangan silikon pada temperatur tertentu
: koefisien distribusi fosfor
: massa atom relatif senyawa oksida (kg/kmol)
, : massa SiO2 dalam terak (kg)
: temperatur material - j (K)
: temperatur liquidus (K)
: laju penghembusan oksigen (Nm3/min)
: volume baja cair (m3)
: volume terak (m3)
, : total massa unsur karbon yang masuk ke dalam sistem (kg)
: massa material - j (kg)
: massa unsur dalam baja cair (kg)
: massa senyawa oksida dalam terak (kg)
: massa baja cair (kg)
: massa oksida (kg)
, : massa unsur atau senyawa – i yang tereduksi pada waktu tertentu (kg)
, : massa unsur atau senyawa – i yang teroksidasi pada waktu tertentu (kg)
: massa tapping (kg)
: massa terak (kg)
: massa unsur atau senyawa – i pada waktu tertentu (kg)
: koefisien interaksi unsur dalam baja cair
: koefisien perpindahan massa aluminium dalam ruah baja cair (menit1)
: koefisien perpindahan massa silikon dalam ruah baja cair (menit-1)
: koefisien perpindahan massa fosfor dalam ruah baja cair (menit-1)
: koefisien perpindahan massa silikon dalam ruah baja cair (menit-1)
: koefisien perpindahan massa dalam ruah baja cair (menit-1)
: konstanta perhitungan koefisien perpindahan massa aluminium
(kg.m-2.menit-1)
: konstanta perhitungan koefisien perpindahan massa aluminium
(kg.m-2.menit-1)
: konstanta perhitungan koefisien perpindahan massa karbon (m/menit)
: konstanta perhitungan koefisien perpindahan massa silikon (m/menit)
: massa material – j yang meleleh pada waktu tertentu (kg)
: fraksi mol unsur atau senyawa – i

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     37 
: densitas baja cair (kg/m3)
: konsentrasi unsur dalam baja cair (%)
∆Hrx,298 : enthalpi reaksi pembentukan pada temperatur 298 K (kJ/kmol)
: basisitas terak
: konstanta max planck (J.s)
: koefisien kehilangan panas (kWh/ton.min)
: kapasitas panas tekanan tetap (J/mol.K)
: densitas terak model viskositas KTH (gr/cm3)
: bilangan Avogadro (atom/mol)
: konstanta gas ideal (J/K.mol)
: temperatur (K)
: aktifitas
: koefisien aktifitas henry
: waktu (menit)
: koefisien interaksi larutan regular untuk oksida
: koefisien aktifitas raoult
: viskositas (Pa.s)
: tegangan permukaan (mN/m)
: selisih waktu (menit)
{} : fasa cair
[] : fasa terlarut
()g : fasa gas
() : fasa cair terak
<> : fasa padat

Lampiran

Tabel 12. Koefisien interaksi unsur-unsur terlarut pada baja cair 1873K
Al C Mn O P S Si
Al 0,043 0,091 -4,77 -0,03 0,056
C 0,042 0,14 -0,012 -0,26 0,051 0,045 0,08
Mn -0,003 -0,1 -0,0035 -0,048 0,06
O -2,81 -0,35 -0,03 -0,2 -0,07 -0,133 -0,14
P 0,13 0,13 0,62 0,028 0,12
S 0,035 0,113 -0,025 0,27 0,29 -0,028 0,065
Si 0,058 0,18 0,033 -0,25 0,11 0,056 0,11

Tabel 13. Koefisien interaksi larutan regular untuk oksida


Fe2+ Fe3+ Mn2+ Ca2+ Mg2+ Si4+ P5+ Al3+
Fe2+ -18660 7110 -31380 33470 -41480 -31380 -41000
3+
Fe -18660 -56480 -95810 -2930 32640 14640 -161080
Mn2+ 7110 -56480 -92050 61920 -75310 -84940 -83680
2+
Ca -31380 -95810 -92050 -100420 133890 -251040 154810
Mg2+ 33470 -2930 61920 -100420 -66940 -37660 -71130
4+
Si -41480 32640 -75310 133890 -66940 83680 -261500
5+
P -31380 14640 -84940 -251040 -37660 83680 -261500
3+
Al -41000 -161080 -83680 154810 -71130 -261500 -261500

38  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Tabel 14. Faktor koreksi I’
Reaksi Perubahan Energi Bebas (J)
FeO(l) + (1-t)Fe(s or l) = FeO (R.S) ΔG = -8540 + 7,142.T
SiO2 (l) = SiO2 (R.S) ΔG = 17450 + 2,820.T
MnO (l) = MnO (R.S) ΔG = -86860+51,465.T
CaO (l) = CaO (R.S) ΔG = -40880-4,703.T
MgO (l) = MgO (R.S) ΔG = -23300+1,883.T
P2O5 (l) = 2PO2,5 (R.S) ΔG = 52720-230,706.T

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     39 
40  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
ANALISA HAMBAT JENIS LISTRIK PADA KAWAT
SUPERKONDUKTOR DENGAN MEMAKAI ALAT CRYOGENIC

Agung Imaduddin*, Bintoro Siswayanti, Andika Widya Pramono, Pius Sebleku,


Anton Suryantoro, Sigit Dwi Yudanto, Hendrik
Pusat Penelitian Metalurgi dan Material - LIPI
Gd 470 Kawasan Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan, Banten 15314
*E-Mail: agungi@gmail.com

Abstrak
Penelitian tentang sifat fisik elektron sering terhambat akibat memerlukan kondisi suhu yang rendah.
Pada suhu ruangan, atom yang berada di dalam benda padat mengalami vibrasi akibat suhu disekitarnya,
sehingga sifat asli dari elektron yang berada di dalam benda padat tersebut akan tidak mudah dianalisa. Sifat
fisika elektron pada benda padat hanya bisa dianalisa pada suhu super rendah. Untuk menciptakan kondisi suhu
super rendah, media yang biasa dipakai adalah Nitrogen cair (hingga 78K) dan Helium cair (hingga 4K).
namun pemakaian media ini sangat memerlukan biaya operasional yang tinggi dan fasilitas untuk penyimpanan
dan penanganan suhu super rendah yang memerlukan investasi yang sangat besar. Dengan berkembangnya
teknologi vakum dan pemampatan/ekspansi gas yang berguna dalam menurunkan suhu gas helium, maka biaya
dalam menciptakan kondisi suhu super rendah menjadi jauh lebih rendah. Pada penelitian ini akan dilaporkan
hasil pengukuran resistivity (hambat jenis listrik) pada superkonduktor berupa kawat superkonduktor Cu-Nb-Sn
yang dilakukan memakai Cryogenic Magnet yang terdapat di P2M2 (Pusat Penelitian Metalurgi dan Material)
LIPI. Dari hasil pengukuran dapat dipastikan adanya suhu kritis superkonduktor sekitar suhu 17K, dan juga
adanya hambatan sisa pada sampel pada suhu rendah yang disebabkan pengotor pada sampel.

Kata kunci: Cu-Nb-Sn, Suhu super rendah, Superkonduktor, Resistivity.

PENDAHULUAN
Manusia dalam menjalani kehidupannya biasanya berada pada suhu sekitar 20°C,
medan magnet 0,45 G (medan magnet bumi) dan tekanan udara 1 atm (sekitar 103 hPa).
Kondisi ini bagi manusia merupakan kondisi yang standar. Namun, bagi elektron yang berada
di dalam benda padat, kondisi ini sangat ekstrim. Akibat tingginya suhu bagi ion yang
mengeluarkan elektron, maka ion tersebut bergetar/vibrasi dan menyebabkan sifat asli
elektron yang dikeluarkannya menjadi tidak mudah terdeteksi.
Untuk melihat sifat asli elektron pada benda padat, maka diperlukan alat yang dapat
mengkondisikan lingkungan menjadi suhu super rendah. Biasanya untuk menciptakan kondisi
suhu super dingin tersebut, dipakai media pendingin berupa cairan Nitrogen (hingga 79K)
maupun cairan Helium (hingga 4,2K). Namun dengan perkembangan teknologi peralatan
pendukung suhu super dingin, maka untuk pendinginnya dapat juga memakai gas Helium
yang di compress/expand untuk menurunkan suhunya. Sedangkan untuk melihat sifat magnet
material yang disebabkan oleh spin elektron, dibutuhkan kondisi medan magnet tinggi.
Tiap benda padat memiliki sifat spin elektron yang menentukan sifat magnetik benda
tersebut. Dengan memberi medan magnet dari luar, kita memaksa spin elektron mengikuti
arah medan magnet luar. Dari sifat perubahan arah spin tersebut terhadap medan magnet luar,
kita dapat mengetahui sifat magnetik pada benda tersebut.
Untuk menciptakan kondisi medan magnet tinggi, biasanya dipakai kumparan kawat
tembaga untuk menghasilkan elektromagnetik. Namun karena kumparan tembaga memiliki
hambatan listrik, maka bila kita ingin menghasilkan medan magnet yang tinggi maka
kumparan tembaga ini akan menghasilkan panas (biasanya hanya bisa dipakai hingga 2
Tesla). Untuk menghasilkan medan magnet yang tinggi, dipakai kumparan kawat
superkonduktor yang memiliki hambatan listrik nol pada suhu rendah dibawah suhu kritisnya,
sehingga kita dapat menghasilkan medan magnet tinggi (untuk kumparan superkonduktor

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     41 
campuran logam biasanya sampai 10 Tesla, untuk kumparan superkonduktor oksida Cu bisa
hingga 14 Tesla).
Jenis analisa sifat elektron dengan memakai Cryogenic Magnet pada dasarnya dapat
dibagi atas:
 Sifat Elektrik Transport (Resistivity, Hall Effect, Conductivity, dll): untuk analisa
sifat hantar listrik
 Sifat Penghantar Kalor (Specific Heat, Thermal Conductivity, dll): untuk analisa sifat
hantar kalor oleh elektron
 Sifat Magnet (Magnetisasi): untuk analisa sifat spin magnet elektron
 Sifat Elastic Constant: untuk analisa interaksi elektron di dalam atom
Sedangkan untuk saat ini, kemampuan pengukuran yang bisa dilakukan di P2M2 LIPI
adalah jenis analisa:
1. Resistivity (Hambat jenis listrik)
2. Hall effect
Parameter perubahan yang bisa dilakukan:
1. Suhu (1,5-300K)
2. Medan Magnet (0-8 T)
3. Sudut sampel terhadap medan magnet (0-180°)

b) Circulation pump
d) Temperature and
Magnet controller
a) Cryogenic Magnet

c) Kompresor gas helium

Gambar 1. Peralatan Cryogenic Magnet “Cryotron FR” buatan Oxford.

Gambar 1 merupakan foto peralatan Cryogenic Magnet “Cryotron FR” buatan


Oxford yang berada di P2M2 LIPI. Cryogenic ini memakai sistem Pulse Tube cryocooler
untuk mendinginkan gas Helium. Sistem pendinginan ini tidak memerlukan penanganan
cairan helium yang disiapkan untuk pendinginan, namun hanya memerlukan gas helium yang
akan diekspan/dimampatkan oleh kompresor sehingga suhu gas helium akan turun. Gambar
1a merupakan unit utama cryogenic magnet tempat dimasukkannya sampel. Gambar 1b
merupakan sistem pompa sirkulasi untuk mengurangi tekanan helium gas sehingga suhu dapat
diturunkan hingga 1,5K. Gambar 1c merupakan kompresor gas helium yang apabila berdiri

42  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
sendiri tanpa circulation pump, akan menurunkan suhu sampel hingga 4,2K. Gambar 1d
merupakan controller untuk suhu dan medan magnet, serta alat ukur resistivity.

METODE PERCOBAAN
Pengukuran resistivity dengan metoda four point probe, skema pengukurannya adalah
seperti pada Gambar 2 di bawah ini.

(1)

Gambar 2. Skema pengukuran resistivity memakai metoda four point probe.[4]

dimana:
R = Resistance (Ohm)
V = Voltage (Volt)
I = Current (Amp)
Sedangkan untuk menghitung resistivity, dipakai perhitungan seperti dibawah ini.

(2)

dimana :
ρ = Resistivity (Ohm.cm)
A = luas penampang (cm2)
l = panjang (cm)

Penyiapan sampel kawat superkonduktor


Sampel merupakan kawat superkonduktor Cu-Nb-Sn berdiameter 1 mm dibuat
berdasarkan kerjasama P2M2-LIPI dengan LUVATA WATERBURRY-USA. Gambar 3
menunjukkan foto sampel tersebut.

Gambar 3. Kawat Cu-Nb-Sn P2M2-Luvata Waterburry

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     43 
Kawat Cu-Nb-Sn P2M2-Luvata Waterburry dibuat melalui metode internal tin–rod
restack process, IT-RRP. Selongsong terluar kawat berupa Cu pejal, di bagian tengah terdapat
kumpulan 37 buah sub-elemen Cu-Nb-Sn yang diikat dengan penghambat difusi berupa
Ta/Rb.[1,6]
Pada sub-elemen kawat tersebut Cu berperan sebagai matriks dengan filamen-filamen
Nb berdiameter kecil ditanam pada matriks Cu tersebut. Di bagian tengah sub-elemen kawat
dimasukkan timah. Masing-masing sub-elemen kawat dilapisi oleh penghambat difusi berupa
Cu.[1,6]
Filamen-filamen Nb ditanam dalam matriks Cu membentuk komposit Nb-Cu
dimaksudkan untuk mempertahankan kestabilan thermal dan elektris serta Cu mengkatalisis
pembentukan A15 di bidang antar muka Nb.[5,6]

Gambar 4. a) Penampang kawat dalam skala 50 µm, b) Penampang kawat dalam skala
20 µm, c) Foto SEM Penampang kawat dalam skala 100 µm, d) Skema Sub-elemen IT-RRP
Kawat Luvata Waterburry.

Tabel 1 menampilkan data awal kawat IT P2M2-Luvata Waterbury.


Tabel 1. Parameter Kawat
Parameter Kawat Internal Tin
Diameter Kawat (µm) 570
Jumlah Sub-elemen 37
Ukuran Sub-elemen (µm) 77 – 78
Ukuran Filamen Nb (RRP) dalam matriks Cu (µm) ± 1,5
Cu Stabilizer dalam Sub-elemen (% at.) 42,42
Nb dalam Sub-elemen (% at.) 43,23
Sn dalam Sub-elemen (% at.) 14,34
Rasio Sn : Nb/Sn (%) 25
Rasio Sn : Nb/Sn/Cu (%) 14
Rasio Sn : Sn/Cu (%) 25

Kawat tersebut kemudian dipanaskan agar terbentuk intermetalik superkonduktor


Nb3Sn pada suhu pemanasan 600°C dan rentang waktu pemanasan 72 jam.

44  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 5. Hasil analisa resistivity terhadap perubahan suhu.

Gambar 5 menunjukkan hasil analisa resistivity terhadap perubahan suhu. Grafik


kecil yang berada di dalam Grafik yang besar merupakan perbesaran grafik resistivity pada
suhu sekitar suhu Tc. Pada sampel ini terlihat adanya suhu kritis pada suhu sekitar 17K. Pada
suhu diatas 50K, terlihat peningkatan resistivity yang linier dengan peningkatan suhu. Hal ini
menunjukkan sifat konduktor yang dimiliki Cu dan senyawa Nb-Sn. Sifat konduktor
ditunjukkan dengan perubahan yang linier terhadap perubahan suhu. Pada suhu antara 17-50K
terjadi perubahan gradient resistivity. Hal ini disebabkan adanya bahan lain/ pengotor yang
terdapat pada sampel. Pada suhu 17K, resistivitynya turun dan menunjukkan hambatan sisa.
Hambatan sisa yang terdeteksi dibawah suhu 17K sekitar 1,7×10-7 Ohm.cm merupakan
hambatan yang terjadi akibat hambatan listrik sisa pada sampel.[2,3]
Resistivity logam pada suhu rendah dapat dinyatakan dengan (rumus Mathiessen)[7]:

(3)

ρres adalah resistivity sisa akibat unsur pengotor pada logam, ρph(T) adalah resistivity
yang bergantung perubahan suhu akibat interaksi elekron dan phonon, dan ρm adalah
resistivity akibat medan magnet luar.
Pada suhu yang mendekati suhu T = 0K, nilai ρph(T) mendekati nilai 0, akibat
hilangnya interaksi elektron di dalam atom. Sehingga pada suhu yang mendekati nilai T = 0K,
ρres merupakan nilai yang menentukan resistivity benda. Untuk itulah kemudian dipakai
perbandingan nilai resistivity pada suhu ruangan dibagi resistivity pada suhu rendah untuk
menentukan kemurnian suatu logam. Nilai perbandingan tersebut dinyatakan dalam RRR
(Residual Resistivity Ratio). Semakin tinggi nilai RRR menunjukkan semakin murninya sifat
konduktivitas logam tersebut. RRR dihitung dengan rumus dibawah ini.[8]

(4)
.

Karena sampel menunjukkan sifat superkonduktor pada suhu 4,2K maka nilai
resistivity pada suhu 4,2K digunakan untuk menghitung RRR dengan cara menarik garis linier
yang merupakan gradien pada suhu diatas Tc, yang kemudian ditentukan resistivity-nya pada
suhu 4,2K. Nilai RRR pada kawat yang berupa Cu dan senyawa Nb-Sn adalah sekitar 30.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     45 
Sedangkan bila dilihat pada logam Cu pada sampel ini didapat RRR sekitar 100 yang
menunjukkan hambatan sisa pada sampel yang cukup kecil dan menunjukkan kemurnian sifat
konduktor pada sampel.[8]

KESIMPULAN
Alat Cryogenic Magnet merupakan alat yang sangat membantu penelitian sifat
elektron pada benda padat. Telah dilakukan pengukuran resistivity pada kawat
superkonduktor. Pada sampel terlihat adanya suhu kritis pada suhu sekitar 17K. Suhu kritis
sebesar 17K ini menunjukkan bahwa sampel telah memiliki nilai Tc yang sama dengan yang
ada di pasar dunia. Pada suhu di atas 50K, terlihat peningkatan resistivity yang linier dengan
peningkatan suhu. Hal ini menunjukkan sifat konduktor yang dimiliki Cu pada suhu diatas
50K. Pada suhu antara 17K sampai 50K terlihat perubahan resistivity yang semakin kecil pada
suhu rendah. Hal ini disebabkan adanya bahan lain selain Cu yang terkandung di dalam
sampel. Sedangkan pada suhu dibawah 17K, Nb3Sn menunjukkan sifat superkonduktornya
sehingga terlihat adanya penurunan resistivity secara drastis, hingga resistivity-nya hanya
menunjukkan sisa hambatan listrik yang sangat kecil yang terjadi akibat hambatan listrik sisa
(residual resistivity) Cu dalam sampel.

Daftar Referensi
[1] Suenaga, M. 1980. Metallurgy of continuous filametary A15 superconductors
Superconductor Materials and Science Metallurgy, Fabrication and Applications, ed S
Former and B B Schwarts. New York: Plenum Press.
[2] Powell, R. L. and F. R. Fickett. 1979. Cryogenic Properties of Copper. International
Copper ResearchAssociation, Dec. 1979.
[3] Matula, R.A. 1979. Electrical Resistivity of Copper, Gold, Palladium and Silver. J.
Phys. Chem. Ref. Data, 8(4): 1147-1298.
[4] ASTM F42-93. Standard Test Methods for Conductivity Type of Extrinsic
Semiconducting Materials. Annual Bk. ASTM St., 1997.
[5] Watanabe, K. S. 1994. Highly Strengthened Multifilamentary (Nb, Ti),Sn Wires
Stabilized with CuNb Composite. IEEE Transactions on Magnetics, 30(4).
[6] Siswayanti, Bintoro. 2013. Pengaruh perlakuan panas terhadap mikrostuktur dan
mikrokimia kawat Cu-Nb-Sn Luvata Waterburry yang dibuat melalui metoda Internal
Tin. Disertasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Universitas
Indonesia.
[7] Rossiter, P.L. 1987. The electrical resistivity of metals and alloys. Cambridge Solid
State series. Cambridge: Cambridge University Press.
[8] Goodrich, L. F. et al. 2004. Measuring residual resistivity ratio of high-purity Nb.
Advances in Cryogenic Engineering Materials, 50A: 41-48.

46  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
STUDI ANALISIS PRODUK α-Fe2O3 HASIL PENGOLAHAN
BIJIH BESI HEMATIT MENGGUNAKAN SEM-EDX

Agus Budi Prasetyo1*, Indira Matahari2


1
Puslit Metalurgi dan Material - LIPI
Gedung 470, Kawasan Puspiptek Serpong,Tangerang Selatan
2
Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan
*E-Mail: chencen_abp@yahoo.com

Abstrak
Telah dilakukan percobaan pembuatan α-Fe2O3 dari bijih besi primer hematit dengan proses hidro-
piro metalurgi. Bijih besi hematit dipreparasi untuk mendapatkan ukuran kurang lebih 100#. Hasil preparasi
kemudian dilakukan proses hidrometurgi yaitu leaching dengan HCl dan pengendapan dengan menggunakan
Ammoniak. Proses selanjutnya pirometalurgi yaitu kalsinasi dilakukan dengan menggunakan muffle furnace
dengan variabel temperatur yang berbeda. Temperatur yang digunakan untuk kalsinasi yaitu 400, 500, dan
600°C. Bahan baku hematite dan hasil dari masing-masing percobaan dengan variabel perbedaan temperatur di
analisa dengan menggunakan SEM-EDX. Hasil dari analisa SEM-EDX untuk bahan baku hematite bahwa
morfologi dari sampel tersebut berbentuk partikel-partikel dengan distribusi partikel yang tidak merata dan
permukaan yang kasar seperti berbentuk batuan atau bongkah-bongkah serta tidak homogen. Hal ini
disebabkan pori yang masih tertutup oleh senyawa pengotor lain dan kandungan air yang memang sudah
terkandung di dalam sampel. Sedangkan hasil dari percobaan dengan temperatur tertentu hasil analisa
memperlihatkan bahwa permukaan dari partikelnya lebih halus dibandingkan dengan sampel awal sebelum
dilakukan percobaan. Dari percobaan dapat dilihat bahwa semakin tinggi temperatur percobaan maka ukuran
partikel menjadi lebih besar karena adanya pembentukan kembali partikel serta pertumbuhan kristal.
Sedangkan sampel pembanding dari China morfologinya sangat halus dan lebih homogen. Hasil dari EDX
untuk kandungan unsur memperlihatkan terjadi peningkatan % massa besi oksida. Pada sampel awal bijih besi
hematit sebelum diproses % massa besi oksidanya 80,62%. Sedangkan % massa besi oksida dari percobaan
dengan variabel temperatur kalsinasi 400, 500, dan 600°C berturut-turut sebesar 84,86%; 86,95%; dan
85,74%. Sampel dari China besi oksidanya mencapai 90,39%.

Kata kunci: Bijih Besi, Hematit, Morfologi, α-Fe2O3, SEM-EDX.

PENDAHULUAN
Hematit (Fe2O3) termasuk dalam besi oksida yang mempunyai struktur kristal yang
sama dengan magnetite dan juga termasuk ferit spinel serta bagian dari feromagnetik. Mineral
ini mempunyai warna abu-abu (grey shade), putih dan coklat. Mineral ini struktur kristalnya
isometric.[1] Terdapat beberapa fasa pada (Fe2O3), yaitu fasa alpha, fasa beta, fasa gamma,
dan fasa epsilon.[2]
Pada fasa alfa (α-Fe2O3) memiliki struktur heksagonal yang terjadi secara alami
sebagai mineral hematit yang merupakan hasil utama dari penambangan, dan memiliki sifat
antiferromagnetic hingga mencapai suhu kritis 950K. Dapat dibuat menggunakan thermal
decomposition dan presipitasi pada fasa cair. Sifat magnetiknya bergantung pada beberapa
faktor, yaitu: tekanan, ukuran partikel, dan intensitas medan magnetik.[3] α-Fe2O3 yang
berukuran nano dapat digunakan untuk berbagai kegunaan. Aplikasi α-Fe2O3 banyak
digunakan dalam divais elektronika seperti untuk sensor gas etanol, superkapasitor dan bahan
baku baterai lithium.[4] Selain untuk divais elektronika, α-Fe2O3 juga digunakan dalam dunia
biomedis dan α- Fe2O3 dapat diolah menjadi pigmen besi oksida yang berfungsi sebagai salah
satu komponen dasar pembuatan cat. Untuk industri pembuatan baterei lithium, α-Fe2O3
digunakan dalam pembuatan katoda sebagai campuran LiFePO4.[5]
Pada percobaan ini hematit akan diubah dalam bentuk α-Fe2O3 sehingga akan
mendapatkan nilai ekonomis yang lebih tinggi. Untuk mempelajari bentuk morfologi dan
sebaran butir akan dilakukan analisa SEM-EDX. Scanning electron microscope (SEM) adalah
satu jenis mikroskop elektron dimana gambar dari suatu sampel dihasilkan dengan cara
memindai permukaan sampel dengan high energy beam of electron. Elektron-elektron

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     47 
berinteraksi dengan atom-atom sehingga menghasilkan sinyal yang memberikan informasi
tentang topografi permukaan sampel, komposisi kimia (menggunakan EDX), struktur kristal
dan sifat-sifat lainnya seperti konduktivitas listrik. SEM dapat menghasilkan gambar
beresolusi tinggi yang sangat dari permukaan sampel, mengungkapkan rincian tentang kurang
dari 1 hingga 5 nm dalam ukuran. Karena berkas elektron yang sangat sempit, mikrograf SEM
memiliki besar kedalaman lapangan menghasilkan penampilan tiga-dimensi karakteristik
berguna untuk memahami struktur permukaan sampel. SEM bekerja berdasarkan prinsip scan
sinar elektron pada permukaan sampel, yang selanjutnya informasi yang didapatkan diubah
menjadi gambar.[6]
EDX (Electron Dispersion of X-Ray) adalah suatu teknik yang digunakan untuk
menganalisis elemen atau karakterisasi kimia dari suatu sampel. Prinsip kerja dari alat ini
adalah dengan metode spektroskopi, dimana elektron ditembakkan pada permukaan sampel,
yang kemudian akan memancarkan X-Ray. Energi tiap-tiap photon X-Ray menunjukkan
karakteristik masing-masing unsur yang akan ditangkap oleh detektor EDX, kemudian secara
otomatis akan menunjukkan puncak-puncak dalam distribusi energi sesuai dengan unsur yang
terdeteksi. Hasil yang didapatkan dari pengujian EDX adalah berupa grafik energi (keV)
dengan counts. Dan dari grafik tersebut kita bisa melihat unsur-unsur apa saja yang bisa
didapatkan. Dengan menggunakan EDX, didapatkan persentase dari suatu unsur yang
terkandung di dalam sampel. Tetapi, penembakan dari EDX dan SEM hanya pada suatu titik
yang disebabkan diameter tembakan terhadap partikel sampelnya sangat kecil, sehingga data
yang didapatkan kurang representative.[7]

METODE PERCOBAAN
Percobaan dimulai dengan tahap preparasi, yaitu pengeringan bijih besi dengan cara
dipanaskan di dalam oven. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kadar air yang berada dalam
sampel sehingga sampel akan kering. Selanjutnya tahap peremukan dengan menggunakan jaw
crusher. Hasil dari permukan dengan jaw crusher kemudian digerus untuk mendapatkan
ukuran mesh dengan menggunakan diskmill. Untuk memperoleh mesh yang diharapkan
kemudian dilakukan pengayakan sehingga diperoleh ukuran 100#. Sampel awal kemudian
dianalisa SEM-EDX untuk mengetahui morfologi, sebaran mineral dan kandungannya. Proses
pembuatan α-Fe2O3 dilakukan terhadap serbuk bijih besi yang telah dihaluskan. Proses
selanjutnya yaitu leaching dengan menggunakan HCl 1:1. Hasil dari leaching tersebut yaitu
berupa larutan yang kaya akan besi. Pemisahan antara filtrat dan residu dilakukan dengan cara
penyaringan. Filtrat hasil leaching kemudian dihidrolisa dengan menggunakan ammoniak
sampai terbentuk gel dan pada pH netral 7.[8] Setelah diendapkan, kemudian dipisahkan antara
filtrat dan residu dengan proses sentrifugal atau penyaringan. Endapan yang dihasilkan akan
menjadi sol-gel yang berwarna merah. Proses selanjutnya yaitu kalsinasi hasil dari hidrolisa
dengan menggunakan muffle furnace temperatur tertentu. Kalsinasi dilakukan pada
temperatur 400, 500, dan 600°C. Dari hasil kalsinasi tersebut dihasilkan serbuk α-Fe2O3 yang
berwarna merah. Hasil dari kalsinasi dengan variabel temperatur tersebut kemudian dianalisa
dengan menggunakan SEM-EDX.

Gambar 1. Serbuk α-Fe2O3 hasil proses.

48  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisa dilakukan dengan menggunakan SEM-EDX terhadap sampel awal bijih besi
primer jenis hematit dan hasil proses berupa serbuk α-Fe2O3. Analisa ini menggunakan
instrument SEM JEOL JSM - 6390A dengan voltase yang digunakan yaitu 20 kV. Sampel
yang diuji pada analisa ini merupakan sampel hematit hasil preparasi berukuran 100#.
Karakterisasi SEM ini dilakukan dengan tujuan hasil dari gambar SEM akan menggambarkan
pori-pori dan sifat permukaan sampel yang diuji. Dengan menggunakan EDX, hasil yang
didapatkan berupa komposisi kimia serta % massa dan % atom yang terkandung pada sampel.
Pada pengujian ini, sampel yang digunakan dalam bentuk serbuk dan hanya membutuhkan
sedikit hanya ± 0,5 gram sampel karena disesuaikan dengan tempat sampelnya. Sampel
diletakkan pada stub. Biasanya sampel diberi karbon tape konduktif agar sampel tidak
bergerak pada saat pengujian. Selain itu carbon tape ini juga berfungsi untuk mengalirkan
listrik ke sampel agar sampel tetap konduktif. Sampel dimasukkan ke electron chamber yang
kemudian akan ditembakkan oleh electron gun untuk proses scanning. Elektron yang
berinteraksi dengan atom akan menghasilkan gambar yang akan diamati dengan monitor.
Perbesaran akan dilakukan untuk kualitas gambar yang lebih baik dan pengamatan permukaan
yang lebih detail. Namun untuk pengujian SEM–EDX ini tidak bersifat representatif, karena
hasil pengujian hanya terbaca untuk titik sampel yang ditembak saja. Hasil SEM-EDX
terhadap sampel awal bijih besi hematite dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Penampang Morfologi Partikel Serbuk Hematite Ukuran 100#


perbesaran 1.000x dan 5.000x.

Hasil analisa SEM terhadap sampel hematit dapat dilihat bahwa morfologi dari sampel
tersebut berbentuk partikel-partikel dengan distribusi partikel yang tidak merata. Selain itu
morfologi sampel hematite ukuran 100# juga memperlihatkan permukaan yang kasar seperti
berbentuk batuan atau bongkah-bongkah serta tidak homogen. Berdasarkan penampang
morfologi serbuk hematite 100# dengan perbesaran 5.000 kali dapat dilihat bahwa pori-pori
pada sampel tidak terlihat begitu banyak. Hal ini disebabkan pori yang masih tertutup oleh
senyawa pengotor lain dan kandungan air yang terkandung didalam sampel, sehingga pori
yang terbentuk masih sangat sedikit. Oleh karena itu perlu dilakukan percobaan pada sampel
awal agar permukaannya lebih halus serta ukuran butir yang lebih merata.
Pengujian EDX dilakukan dengan tujuan mengetahui komposisi dan distribusi dari
unsur-unsur yang terdapat pada sampel awal hasil preparasi ukuran 100#. Pada sampel awal
dapat diketahui bahwa % massa Fe yaitu 51,2%. Ini sudah memenuhi syarat standar % massa
Fe untuk bahan baku pembuatan baterai lithium. Dimana diketahui untuk % massa Fe standar
yaitu diatas 50%. Unsur pengotor yang terkandung antara lain Aluminium (Al), Silikon (Si)
dan Kalsium (Ca). Dengan masih banyaknya pengotor pada sampel tersebut sehingga perlu
dilakukan percobaan untuk menghilangkannya. Sehingga akan diperoleh kadar besi oksida
yang lebih tinggi dan akan digunakan sebagai bahan baku katoda baterai lithium. Hasil EDX
dari bijih besi hematite dapat dilihat pada Tabel 1.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     49 
Tabel 1. Hasil EDX pada bijih besi hematit
No. Unsur % Massa
1 Karbon 6,36
2 Oksigen 29,42
3 Aluminium 4,6
4 Silikon 4,84
5 Kalsium 2,41
6 Iron 51,2

Sampel bijih besi kemudian diolah sesuai prosedur percobaan dengan variabel
perbedaan temperatur 400, 500 dan 600°C pada proses kalsinasi. Dari hasil akhir serbuk
α-Fe2O3 dilakukan analisa SEM untuk mengetahui morfologi, pori-pori, tingkat aglomerasi
dan ukuran partikel yang terdapat pada masing-masing perlakuan. Hasil analisa menunjukkan
permukaan partikel yang lebih halus dibandingkan dengan sampel awal sebelum dilakukan
proses. Gambar 3 menunjukkan bahwa ukuran partikel dari percobaan dengan kalsinasi
temperatur 600°C lebih besar dibandingkan percobaan dengan temperatur 400 dan 500°C. Hal
ini menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur kalsinasi menyebabkan ukuran partikel
menjadi lebih besar karena adanya pembentukan kembali partikel serta pertumbuhan kristal.
Pada percobaan dengan kalsinasi temperatur 600°C juga memperlihatkan tingkat aglomerasi
yang sedikit dibandingkan percobaan dengan temperatur 400 dan 500°C yang hanya terdiri
dari beberapa partikel yang saling bertumpuk. Temperatur semakin tinggi pada proses
kalsinasi menyebabkan berkurangnya kapasitas air yang terkandung di dalam bahan uji karena
pori yang terbentuk semakin sedikit. Sedangkan hasil analisa SEM terhadap serbuk α-Fe2O3
yang berasal dari China pada Gambar 3d memperlihatkan bahwa ukuran partikel sudah
homogen dan sangat halus serta pori-pori yang sangat sedikit sekali. Sebaran butiran partikel
lebih merata jika dibanding dengan serbuk α-Fe2O3 hasil proses.

Gambar 3. Hasil SEM terhadap serbuk α-Fe2O3 pada temperatur kalsinasi: a) 400°C,
b) 500°C, c) 600°C, dan d) serbuk α-Fe2O3 dari China sebagai pembanding.

Hasil dari EDX memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan % massa untuk unsur Fe
dan oksigen diatas 80% untuk kalsinasi pada temperatur 400, 500 dan 600°C. Pada percobaan
dengan variabel temperatur kalsinasi 400°C besi oksida mencapai 84,86%, pada kalsinasi
temperatur 500°C besi oksidanya 86,95%, sedangkan pada temperatur kalsinasi 600°C
mencapai 85,74%. Sedangkan apabila dibandingkan dengan sampel dari China besi oksida

50  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
mencapai 90,39%. Unsur pengotor silika dan kalsium dapat dihilangkan secara sempurna
dengan menggunakan prosedur proses yang telah dilakukan. Untuk unsur pengotor Al masih
belum dapat dihilangkan sempurna. Serbuk α-Fe2O3 hasil percobaan ini mengandung sedikit
unsur klorida. Unsur ini didapatkan dari proses leaching dengan menggunakan HCl, sehingga
memungkinkan klorida masih menempel pada besi oksida. Akan tetapi dengan peningkatan
temperatur, unsur pengotor aluminuim maupun klorida akan semakin kecil persentase
massanya. Hasil EDX terhadap serbuk α-Fe2O3 dengan variabel perbedaan temperatur
kalsinasi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil EDX pada serbuk α-Fe2O3 hasil kalsinasi 400°C, 500°C, 600°C
% Massa % Massa % Massa
% Massa serbuk
No. Unsur Kalsinasi Kalsinasi Kalsinasi
α-Fe2O3 dari China
400°C 500°C 600°C
1 Karbon 10,19 8,93 11,61 7,43
2 Oksigen 27,83 24,74 20,01 21,42
3 Aluminium 3,06 2,3 1,97 2,18
4 Klorida 1,89 1,82 0,68 -
5 Iron 57,03 62,21 65,73 68,97

KESIMPULAN
Hasil dari percobaan dengan perbedaan temperatur kalsinasi, hasil analisa
memperlihatkan bahwa permukaan dari partikelnya lebih halus dibandingkan dengan sampel
awal sebelum dilakukan pengujian. Dapat dilihat juga dari percobaan dengan perbandingan
temperatur 400, 500 dan 600°C yaitu semakin tinggi temperatur percobaan maka ukuran
partikel menjadi lebih besar karena adanya pembentukan kembali partikel serta pertumbuhan
kristal. Jika dibanding dengan sampel serbuk α-Fe2O3 yang berasal dari China untuk
morfologinya masih kurang homogen dan sebaran butir belum merata. Untuk % massa besi
oksida hasil dari percobaan sudah memperlihatkan adanya peningkatan, akan tetapi masih
dibawah dari sampel pembanding serbuk α-Fe2O3 dari China yaitu sebesar 90,39%.

Daftar Referensi
[1] Morel, Mauricio. et al. 2013. Synthesis and characterization of magnetite nanoparticles
from mineral magnetite. Journal of Magnetism and Magnetic Materials, 343: 76–81.
[2] Nagy M. Khalil. et al. 2012. Extraction of Nanosized α-Fe2O3 Particles from Hematite
Ore. 3rd International Conference on Chemistry and Chemical Engineering IPCBEE
Vol. 38. Singapore: IACSIT Press.
[3] X.Q. Liu. et al. 1997. Preparation and characterization of nanocrystalline α–Fe2O3 by a
sol-gel process. Sensors and Actuators, B 40: 161-165.
[4] F. Wang. et al. 2013. Hydrothermal synthesis and characterization of a-Fe2O3
nanoparticles. Materials Science in Semiconductor Processing, 16: 802–806
[5] Yamada, A. Chung, and K. C. Hinokuma. 2001. Optimized LiFePO4 for Lithium
Battery Cathodes. Journal of The Electrochemical Society, 148: A224-A229.
[6] Nizar. 2012. Studi Pengaruh Tekanan Kompaksi dan Waktu Kalsinasi Terhadap Pellet
Zeolit Alam sebagai Desiccant. Depok: Universitas Indonesia.
[7] Kusuma, G. D. 2012. Pengaruh Reduksi Roasting dan Konsentrasi Leaching Asam
Sulfat Terhadap Recovery Nikel dari Bijih Limonite. Laporan Tugas Akhir. Depok:
Universitas Indonesia.
[8] Prasetyo, P. 2013. Peningkatan Kadar Hematite (Fe2O3) dari Bijih Besi Primer
Kalimantan Selatan. Laporan Kemajuan Program Intensif Sinas Kemenristek, Pusat
Penelitian Metalurgi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Serpong.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     51 
52  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
DAMPAK CRYOGENIC TREATMENT DAN TEMPER
TERHADAP KARAKTERISTIK KEAUSAN PAHAT KARBIDA
PADA PEMBUBUTAN Al T-6061

Agus Suprapto*, Agus Iswantoko, Ike Widyastuti


Universitas Merdeka Malang
*E-Mail: agussuprapto@yahoo.com

Abstrak
Dewasa ini banyak industri mengembangkan penggunaan cryogenic treatment untuk memperbaiki
ketahanan aus pada cutting tool. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi dampak cryogenic treatment dan
temper terhadap karakteristik keausan pahat karbida. Metode yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan
proses cryogenic treatment yang dilanjutkan dengan proses temper pada pahat karbida. Pahat karbida hasil
proses tersebut diatas diimplementasikan pada proses pembubutan material paduan Alumunium T-6061 dengan
kedalaman potong (a) divariasikan 0,1 mm; 0,5mm dan 1 mm, sedangkan kecepatan potong (Vc) 70 m/menit dan
gerak makan (f) 0,1 mm/putaran dibuat konstan, dalam proses pemesinan ini tidak menggunakan cairan
pendingin (coolant). Analisa pengujian ini dilakukan dengan metode analitis dan pengamatan dengan
mikroskope digital. Temuan hasil penelitian: 1) Semakin besar kedalaman potongnya (a), maka keausan tepi
pahat (Vb) semakin besar, 2) Hasil cryogenic treatment menunjukan keausan tepi pahatnya semakin kecil
dibanding dengan tanpa treatment. Ini menunjukan ketahanan aus pahatnya semakin besar. Untuk hasil
cryogenic treatment+temper keausan tepi pahatnya lebih kecil dibanding dengan hasil cryogenic treatment, ini
menunjukan ketahanan ausnya lebih besar dibanding dengan pahat yang mendapat cryogenic treatment saja.

Kata kunci: Cryogenic treatment, Keausan tepi pahat, Pahat karbida, Temper.

PENDAHULUAN
Dalam suatu proses pemotongan logam khususnya pada proses pembubutan, gesekan
yang terjadi antara pahat dengan benda kerja akan menimbulkan panas yang tinggi, sehingga
akan mempercepat terjadinya keausan pahat. Hal ini berdampak pada pertumbuhan kekasaran
permukaan semakin tinggi dan umur pahat semakin pendek serta kualitas produk semakin
rendah. Pada umumnya untuk mengatasi masalah keausan pahat menggunakan cairan
pendingin pada proses pemotongan logam dengan tujuan untuk mengurangi gesekan atau
menggunakan pelapisan pada pahat. Dewasa ini banyak industri mengembangkan penggunaan
cryogenic treatment untuk memperbaiki ketahanan aus pada cutting tool, gear, dan lain-lain
(Thamizhmanii, S. et al, 2011; Ramji B. R. et al, 2010; Kollmer K.P, 2007), sehingga umur
pahat menjadi lebih lama, hal ini dapat menghemat biaya pengasahan/penajaman (resharping)
pahat dan waktu penggantian pahat. Cryogenic treatment adalah suatu proses pendinginan
suatu bahan baja, stainless steel dan lain-lain dari temperatur kamar sampai dengan
temperatur -320°F (-196°C) kemudian pada temperatur tersebut ditahan selama waktu tertentu
dan dilanjutkan dengan penghangatan sampai temperatur kamar (Singh, S. et al, 2012 dan
Ramji B. R. et al, 2010). Rajendra K. et al (2007) mengklasifikasikan jenis treatment bahan
dibawah temperatur kamar ada 2, yaitu subzero atau cold treatment dan cryogenic treatment.
Subzero treatment dilakukan pada -145°C (-230°F) dan cryogenic treatment dilakukan pada
-195°C di nitrogen cair.
Biranchi N. S. (2011) menunjukkan pada cemented carbide inserts setelah cryogenic
treatment menghasilkan partikel karbida halus sehingga meningkatkan kekerasan dan
ketahanan aus. Hal ini didukung hasil penelitian Ramji B.R. et al, (2010) yang menunjukkan
cryogenic treatment pada Carbide Inserts yang digunakan untuk membubut besi cor kelabu
dapat meningkatkan ketahanan aus sebesar 31%.
Penelitian yang dilakukan oleh (Amber Pawlik, et al, 2004) menunjukkan untuk
setiap pahat karbida dan material benda kerja yang digunakan baja AISI 1148 untuk
mendapatkan data umur dan kondisi pemesinan, variabel proses pemesinan dengan putaran

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     53 
spindel yang divariasikan menjadi 3 tingkatan dengan gerak potong (f) dan kedalaman potong
(a) konstan, persamaan rumus Taylor dari penelitian diperoleh V.T 02574 = 521,4.
Penelitian yang dilakukan oleh (Budiman, H dan Richard, 2007), menunjukkan umur
dan keausan pahat karbida untuk membubut baja paduan ASSAB 760, dengan kecepatan
potong tinggi (Vc = 170,816 m/menit), diperoleh umur pahat yang paling pendek 14,756
menit, dan umur paling panjang 140,33 menit yang terjadi pada kecepatan potong rendah (Vc
= 54,259 mm/menit).
Hasil penelitian yang dilakukan (Sudjatmiko dan Agus S., 2011), menentukan umur
dan keausan pahat karbida untuk membubut Alumunium T-6061, dengan metoda analitis
dan grafik diperoleh nilai eksponen n umur pahat (n = 0,3) dan konstanta umur pahat
(CT) = 112,5723, pada kecepatan potong tinggi (optimum) [Vc] = 69,12 m/menit, dengan
waktu terpendek (tc) = 12 menit, dengan kedalaman makan (a) = 0,70 mm.
Menindak lanjuti penelitian Amber Pawlik. et al (2004), Budiman, H dan Richard,
(2007), Ramji B. R. et al, (2010), Biranchi N. S. (2011), Sudjatmiko et al, (2011), Singh, S.
et al, (2012), pada penelitian ini mengevaluasi dampak cryogenic treatment dan temper
terhadap karakteristik keausan pahat karbida untuk diimplementasikan pada proses
pembubutan material paduan Alumunium T-6061 dengan kedalaman potong (a) divariasikan,
sedangkan gerak makan (f) dan kecepatan potong (Vc) yang konstan, dalam proses pemesinan
ini tidak menggunakan cairan pendingin (coolant).

Cryogenic Treatment
Cryogenic treatment adalah suatu proses pendinginan suatu bahan baja, stainless steel
dan lain-lain dari temperatur kamar sampai dengan temperatur -320°F (-196°C) kemudian
pada temperatur tersebut ditahan selama waktu tertentu dan dilanjutkan dengan penghangatan
sampai temperatur kamar (Singh, S. et al, 2012; Ramji B.R. et al, 2010). Rajendra K. et al
(2007) mengklasifikasikan jenis treatment bahan dibawah temperatur kamar ada 2, yaitu
subzero atau cold treatment dan cryogenic treatment. Subzero treatment dilakukan pada
-145°C (-230°F) dan cryogenic treatment dilakukan pada –195°C di nitrogen cair.
Biranchi N. S. (2011) menunjukkan pada cemented carbide inserts setelah cryogenic
treatment menghasilkan partikel karbid halus sehingga meningkatkan kekerasan dan
ketahanan aus. Hal ini didukung hasil penelitian Ramji B. R. et al, (2010) yang menunjukkan
cryogenic treatment pada Carbide Inserts yang digunakan untuk membubut besi cor kelabu
dapat meningkatkan ketahanan aus sebesar 31%.

Keausan Pahat
Dalam prakteknya umur pahat tidak hanya dipengaruhi oleh geometri pahat saja
melainkan juga oleh semua faktor yang berkaitan dengan proses pemesinan, yaitu antara lain
jenis material benda kerja dan pahat, kondisi pemotongan (kecepatan potong, kedalaman
potong, dan gerak makan), cairan pendingin dan jenis proses pemesinan (Rochim, T, 2007).
Keausan pahat akan tumbuh dan membesar dengan bertambahnya waktu pemotongan
sampai pada suatu saat pahat yang bersangkutan dianggap tidak dapat digunakan lagi.
Keausan merupakan faktor yang menentukan umur pahat, maka pertumbuhannya perlu
ditinjau dengan memperhatikan faktor utama/dominan.

METODE PERCOBAAN

Pengujian cryogenic treatment


1. Pendinginan pada nitrogen cair ditahan (soaking) dengan variasi 2 jam (6 sampel),
24 jam (6 sampel), dan 48 jam (6 sampel).
2. Sampel yang telah didinginkan dalam nitrogen cair dengan variasi soaking diambil
masing-masing 3 sampel, Selanjutnya ditemper pada temperatur 150°C ditahan
(soaking) selama 1 jam, kemudian didinginkan di udara.

54  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Pengujian pada proses pemesinan
1. Menyiapkan material Alumunium 6061-T dengan panjang = 100 mm dan diameter
= 22 mm, dicekamkan pada spindel utama.
2. Melakukan proses pembubutan dengan kondisi Vc = 70 m/menit dan f = 0,1
mm/putaran dan kedalaman potong a bervariasi 0,1 mm; 0,5 mm dan 1 mm.
3. Penghentian proses pembubutan untuk mencatat waktu pemotongan (tc) dengan stop
watch masing-masing 6 menit dan mengukur keausan tepi (VB) dengan menggunakan
Digital Microscope.
4. Membuat analisa hasil penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil pengujian pemakaian mata pahat pada proses pembubutan bahan Al
baik tanpa perlakuan maupun dengan perlakuan pendinginan nitrogen cair dan nitrogen cair
dengan temper dan penahanan, diperoleh data keausan tepi pahat seperti ditampilkan pada
grafik 1 berikut ini.
a = kedalaman potong
0.30

0.25
Keausan tepi Vb (mm)

0.20

0.15
a = 0.1mm

0.10 a = 0.5mm
a = 1.0mm
0.05

0.00
Untreat

Nitro 2

Nitro 24

Nitro 48

Nitro 2 +

Nitro 24 +

Nitro 48 +
Temp

Temp

Temp

Gambar 1. Keausan Tepi pahat Vb dengan variasi kedalaman potong dengan berbagai
kondisi pada proses pembubutan Vc = 70 m/menit, f = 0,1 mm/put dan tc = 6 menit.

Berdasarkan Gambar 1 keausan tepi pahat (VB) dengan berbagai kondisi


menunjukan bahwa semakin besar kedalaman potong (a) maka keausan tepi pahat (VB)
semakin besar. Keausan tepi pahat juga dipengaruhi oleh perlakuan (treated) pendinginan
nitrogen cair dan pendinginan nitrogen cair + temper.
Gambar 1 juga menunjukan pada kondisi tanpa perlakuan (untreated) keausan
tepi pahatnya (VB) lebih besar dibandingkan dengan pahat yang mengalami perlakuan
(treated) pendinginan nitrogen dengan berbagai penahanan (soaking) pada kedalaman
potong yang sama (a: 0,1 mm; 0,5 mm; 1 mm). Hal yang sama juga ditunjukan pada
perlakuan (treated) pendinginan nitrogen dengan berbagai soaking (penahanan 2 jam; 24
jam; 48 jam ) pada kedalaman potong yang sama (a: 0,1 mm; 0,5 mm; 1 mm), keausan
tepi pahatnya (VB) lebih besar dibandingkan dengan perlakuan (treated) pendinginan
nitrogen + temper pada temperatur 150°C selama 1 jam. Namun untuk kondisi pahat
karbida dengan perlakuan (treated) pendinginan nitrogen dengan soaking 24 jam +
temper menunjukan keausan tepi pahat lebih besar dibanding pada kondisi pendinginan
nitrogen dengan soaking 2 jam + temper pada kedalaman potong 0,5 mm dan 1 mm,
seharusnya lebih kecil.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     55 
Tabel 1. Optical micrographs pada flank surface dan rake surface pada sampel pahat karbida
yang tidak mendapat perlakuan (untreated) dan sampel pahat karbida yang mendapat
perlakuan (treated) Pendinginan pada nitrogen cair, soaking bervariasi 2 jam, 24 jam dan 48
jam, dilanjutkan proses pembubutan dengan Vc: 70 m/min, f: 0,1 mm/putaran, a: 0,10 mm,
pada benda kerja Aluminium T-6061

Treated (Pendinginan pada nitrogen cair)


Untreated
Waktu soaking 2 jam soaking 24 jam soaking 48 jam
No. Pembubutan
(detik) flank rake flank rake flank rake flank rake
surface surface surface surface surface surface surface surface

1 90

2 180

3 270

4 360

Berdasarkan Tabel 1 hasil optical micrograph untuk kondisi pemotongan bahan Al


dengan kecepatan potong Vc= 70 m/menit, pemakanan f = 0,1 mm/putaran dan kedalaman
potong a = 0,1 mm menunjukkan bahwa sampel tanpa perlakuan (untreated) pendinginan
nitrogen terjadi penumpukan (Built Up Edge/ BUE) bahan Al pada pahat karbida yang
semakin tebal dengan bertambahnya waktu pemotongan 90 s/d 360 detik. Penumpukan (BUE)
ini nampak sekali pada flank surface. Hal ini berbeda dengan sampel yang mendapat
perlakuan pendinginan nitrogen dengan soaking: 2 jam, 24 jam maupun 48 jam menunjukkan
tidak terjadi penumpukan (BUE) bahan Al pada flank surface pahat karbida. Namun untuk
sampel yang mendapat perlakuan pendinginan nitrogen cair + temper pada temperatur 150°C
selama 1 jam terjadi penumpukan (BUE) bahan Al dan pada soaking 24 jam dan 48 jam pada
waktu pemotongan/pembubutan 180 detik dengan ketebalan penumpukan (BUE) Al pada
pahat karbida relatif tipis (Tabel 2).

56  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Tabel 2. Optical micrographs pada flank surface dan rake surface pada sampel pahat karbida
yang tidak mendapat perlakuan (untreated) dan sampel pahat karbida yang mendapat
perlakuan (treated) Pendinginan pada nitrogen cair, soaking bervariasi 2 jam, 24 jam dan 48
jam + temper dilanjutkan proses pembubutan dengan Vc: 70 m/min, f: 0,1 mm/putaran,
a: 0,10 mm, pada benda kerja Aluminium T-6061

Treated (Pendinginan pada nitrogen cair)


Untreated soaking 2 jam + soaking 24 jam + soaking 48 jam +
Waktu
No. Pembubutan Temper 150°C 1 jam Temper 150°C 1 jam Temper 150°C 1 jam
(detik) flank rake flank rake flank rake flank rake
surface surface surface surface surface surface surface surface

1 90

2 180

3 270

4 360

Tabel 3 menunjukkan pada kondisi pemotongan dengan kecepatan potong Vc = 70


m/menit, pemakanan f = 0,1 mm/putaran dan kedalaman potong a = 0,5 mm terjadi
penumpukan (BUE) Al pada pahat karbida semakin tebal untuk sampel tanpa perlakuan
pendinginan nitrogen dengan waktu pemotongan 90 s/d 360 detik. Adapun sampel dengan
pendinginan nitrogen + soaking 2 jam sudah nampak terjadi penumpukan (BUE) Al pada
waktu pemotongan 180 detik dan semakin tebal penumpukannya (BUE) dengan
bertambahnya waktu pemotongan, hal ini berbeda untuk pendinginan nitrogen dengan soaking
24 jam baru kelihatan penumpukan (BUE) terjadi pada waktu pemotongan 270 detik. Adapun
untuk pendinginan nitrogen dengan soaking 48 jam ada perbedaan mekanisme terbentuknya
penumpukan (BUE), pada saat waktu pemotongan 90 detik sudah nampak tebal
penumpukannya (BUE) Al, dengan berjalannya waktu pemotongan 270 s/d 360 detik terjadi
pengelupasan Al.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     57 
Tabel 3. Optical micrographs pada flank surface dan rake surface pada sampel pahat karbida
yang tidak mendapat perlakuan (untreated) dan sampel pahat karbida yang mendapat
perlakuan (treated) Pendinginan pada nitrogen cair, soaking bervariasi 2 jam, 24 jam dan 48
jam, dilanjutkan proses pembubutan dengan Vc: 70 m/min, f: 0,1 mm/putaran, a: 0,5 mm,
pada benda kerja Aluminium T-6061

Treated (Pendinginan pada nitrogen cair)


Untreated
Waktu soaking 2 jam soaking 24 jam soaking 48 jam
No. Pembubutan
(detik) flank rake flank rake flank rake flank
rake surface
surface surface surface surface surface surface surface

1 90

2 180

3 270

4 360

Tabel 4 menunjukkan pada pendinginan nitrogen dengan soaking 2 jam + temper


150°C selama 1 jam pengelupasan Al pada pahat terjadi waktu pemotongan 180 detik, namun
terjadi penumpukan (BUE) lagi pada pahat karbida waktu pemotongan 360 detik. Mekanisme
terjadinya penumpukan dan pengelupasan bahan Al pada pahat karbida juga terjadi pada
pendinginan nitrogen dengan soaking 24 jam + temper 150°C selama 1 jam, penumpukan
(BUE) bahan Al semakin tebal dibanding dengan yang soaking 2 jam + temper dan
pengelupasan bahan Al waktu pemotongan 270 detik dan terjadi lagi penumpukan (BUE)
pada waktu pemotongan 360 detik. Untuk pendinginan nitrogen dengan soaking 48 jam +
temper 150°C selama 1 jam menunjukkan penumpukan (BUE) Al pada waktu pemotongan 90
detik dan terjadi pengelupasan Al pada waktu pemotongan 180 detik, kemudian terbentuk
penumpukan (BUE) Al lagi pada waktu 270 detik dan mengelupas lagi pada waktu 360 detik.

58  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Tabel 4. Optical micrographs pada flank surface dan rake surface pada sampel pahat karbida
yang tidak mendapat perlakuan (untreated) dan sampel pahat karbida yang mendapat
perlakuan (treated) Pendinginan pada nitrogen cair, soaking bervariasi 2 jam, 24 jam dan 48
jam + temper dilanjutkan proses pembubutan dengan Vc: 70 m/min, f: 0,1 mm/putaran, a: 0,5
mm, pada benda kerja Aluminium T-6061

Treated (Pendinginan pada nitrogen cair)


Untreated soaking 2 jam + soaking 24 jam + soaking 48 jam +
Waktu
No. Pembubutan Temper 150°C 1 jam Temper 150°C 1 jam Temper 150°C 1 jam
(detik) flank
flank rake rake flank rake flank
surface rake surface
surface surface surface surface surface surface

1 90

2 180

3 270

4 360

Pada sampel tanpa perlakuan (untreated) untuk kondisi pemotongan yang semakin
besar kedalaman potongnya a = 1 mm (lihat Tabel 5), menunjukkan penumpukan (BUE) Al
pada pahat semakin tebal dibandingkan dengan kedalaman potong a = 0,1 mm (lihat Tabel 1)
dan a = 0,5 mm (lihat Tabel 3). Kondisi pemotongan a = 1mm dengan bertambahnya waktu
pemotongan 90 s/d 360 detik pada sampel tanpa perlakuan menunjukkan pengurangan
penumpukan (BUE) Al pada flank surface pahat (lihat Tabel 5). Hal ini kebalikannya pada
sampel dengan perlakuan (treated) pendinginan nitrogen dengan soaking 2 jam, semakin
bertambah waktu pemotongan 90 s/d 360 detik menunjukkan penumpukan (BUE) Al pada
pahat semakin tebal (lihat Tabel 5). Hal ini berbeda dengan sampel pada pendinginan
nitrogen dengan soaking 24 jam menunjukkan terjadinya siklus penumpukan Al yang cukup
tebal pada waktu pemotongan 90 detik dan mengelupas pada saat 180 detik, kemudian terjadi
penumpukan (BUE) Al lagi pada waktu 270 detik dan mengelupas lagi pada waktu 360 detik.
Siklus semacam ini juga terjadi pada sampel pendinginan nitrogen dengan soaking 48 jam
yang menunjukkan mekanisme terjadinya penumpukan (BUE) Al pada waktu pemotongan s/d
180 detik dan terjadi pengelupasan pada saat 270 detik, kemudian terjadi penumpukan (BUE)
Al lagi pada waktu 360 detik (lihat Tabel 5).

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     59 
Tabel 5. Optical micrographs pada flank surface dan rake surface pada sampel pahat karbida
yang tidak mendapat perlakuan (untreated) dan sampel pahat karbida yang mendapat
perlakuan (treated) Pendinginan pada nitrogen cair , soaking bervariasi 2 jam, 24 jam dan 48
jam, dilanjutkan proses pembubutan dengan Vc: 70 m/min, f: 0,1 mm/putaran, a: 1,0 mm,
pada benda kerja Aluminium T-6061

Treated (Pendinginan pada nitrogen cair)


Untreated
Waktu soaking 2 jam soaking 24 jam soaking 48 jam
No. Pembubutan
(detik) flank rake flank rake flank rake flank rake
surface surface surface surface surface surface surface surface

90
1

2 180

3 270

4 360

Tabel 6 untuk sampel pada pendinginan nitrogen dengan soaking 2 jam + temper
150°C selama 1 jam, mulai terjadi penumpukan (BUE) Al yang cukup tebal pada saat
pemotongan 180 detik, kemudian mengelupas pada waktu 270 detik. Ini berbeda dengan
sampel-sampel pada pendinginan nitrogen dengan soaking 24 jam + temper temperatur 150°C
selama 1 jam, menunjukkan penumpukan (BUE) yang cukup besar terjadi waktu pemotongan
90 detik dan penumpukan ini bertahan sampai 270 detik, kemudian mengelupas pada waktu
360 detik. Sampel pada pendinginan nitrogen dengan soaking 48 jam + temper 150°C selama
1 jam, mulai terjadi penumpukan (BUE) Al yang cukup tebal pada saat pemotongan 270 detik
dan mengelupas pada saat pemotongan 360 detik.
Keausan pada rake surface semakin parah dengan bertambahnya waktu pemotongan
(lihat Tabel 1 s/d 6). Pada kondisi kecepatan potong Vc = 70 m/menit dengan gerak makan
f=0,1 mm/putaran, dan kedalaman potong a = 1 mm. Hasil cryogenic treatment menunjukan
keausan tepi pahatnya semakin kecil dibanding tanpa cryogenic treatment. Ini menunjukan
dengan mendapat perlakuan cryogenic treatment ketahanan aus pahat yang digunakan untuk
membubut Aluminium 6061 semakin meningkat. Hasil ini mirip dengan yang dilakukan oleh
Ramji B. R. et al, (2010) menunjukkan cryogenic treatment pada Carbide Inserts yang
digunakan untuk membubut besi cor kelabu dapat meningkatkan ketahanan aus sebesar 31 %.
Begitu juga yang dilakukan oleh Thamizhmanii S., et al (2011), meneliti Cemented carbide
tools dilapis dengan cara physical vapour deposition (PVD) digunakan untuk membubut
bahan Inconel 718 dengan kecepatan dan gerak makan yang tinggi, pahat yang mendapat
cryogenic treatment, umurnya pahat lebih panjang dibanding tanpa treatment.

60  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Tabel 6. Optical micrographs pada flank surface dan rake surface pada sampel pahat karbida
yang tidak mendapat perlakuan (untreated) dan sampel pahat karbida yang mendapat
perlakuan (treated) Pendinginan pada nitrogen cair, soaking bervariasi 2 jam, 24 jam dan 48
jam, + temper dilanjutkan proses pembubutan dengan Vc: 70 m/min, f: 0,1 mm/putaran, a: 1,0
mm, pada benda kerja Aluminium T-6061

Treated (Pendinginan pada nitrogen cair)


Untreated soaking 2 jam + soaking 24 jam + soaking 48 jam +
Waktu
No. Pembubutan Temper 150°C 1 jam Temper 150°C 1 jam Temper 150°C 1 jam
(detik) flank
flank rake rake flank rake flank rake
surface
surface surface surface surface surface surface surface

1 90

2 180

3 270

4 360

Keausan tepi pahat karbida yang digunakan untuk membubut Aluminium 6061 hasil
cryogenic treatment dan temper semakin kecil dibanding dengan hasil cryogenic treatment.
Ini menunjukan ketahanan aus pahat untuk hasil cryogenic treatment dan temper dengan
kondisi yang sama semakin meningkat dibanding dengan hasil cryogenic treatment. Ini mirip
dengan penelitian yang dilakukan oleh Rupinder Singh dan Kamaljit Singh (2010), yang
menunjukan proses pembubutan crank shaft dengan pahat karbida pada kecepatan potong
Vc = 250 m/menit, umur pahat karbida meningkat 22,2% setelah mendapat cryogenic
treatment dan temper.

KESIMPULAN
1. Semakin besar kedalaman potongnya maka keausan tepi pahat (VB) semakin besar dan
ketahanan aus pahat semakin rendah.
2. Ketahanan aus pahat karbida yang digunakan untuk membubut Aluminium 6061 hasil
cryogenic treatment semakin meningkat dibandingkan dengan pahat tanpa treatment.
3. Ketahanan aus pahat karbida yang digunakan untuk membubut Aluminium 6061 hasil
cryogenic treatment dan temper lebih besar dibandingkan dengan pahat tanpa cryogenic
treatment.
4. Pahat karbida tanpa perlakuan (untreated) terjadi penumpukan (Built Up Edge/ BUE)
bahan Al pada pahat karbida semakin tebal dengan bertambahnya waktu pemotongan 90
s/d 360 detik dimana penumpukan (BUE) ini nampak sekali pada flank surface,
selanjutnya terjadi penipisan BUE.
5. Mekanisme terjadinya penumpukan (Built Up Edge/ BUE) bahan Al pada pahat karbida
yang mendapat perlakuan (treated) pendinginan nitrogen cair dan pendinginan nitrogen
cair + temper, polanya berbeda dengan pahat karbida tanpa perlakuan. Untuk
pendinginan dengan nitrogen terjadi penumpukan (BUE) Al pada pahat karbida relatif

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     61 
lebih tipis, dan dengan berjalannya waktu pemotongan terjadi pengelupasan BUE bahan
Al pada pahat karbida.
6. Keausan pada rake surface semakin parah dengan bertambahnya waktu pemotongan.

Daftar Referensi
[1] Astakhov, V. P and D. J. Paulo. 2008. Tools (Geometry and Material) and Tool Wear.
Machining Fundamentals and Resent Advance, XIV(361): 222.
[2] ISBN: 978-1-84800-212-8, http:// www. springer.com/978-1-84800-212-8.
[3] N.S, Biranchi. 2011. Effect of Cryogenic Treatment of Cemented Carbide Inserts on
Properties & Performance Evaluation In Machining of Stainless Steel. Thesis Master of
Technology in Production Engineering, Departement of Mechanical Engineering.
Rourkela: National Institute of Technology.
[4] Budiman, H dan Richard. 2007. Percobaan menentukan Analisis umur dan keausan
pahat karbida untuk membubut baja paduan ASSAB 760, dengan metoda variable speed
machining test. Jurnal Teknik Mesin, 9(11): 31-39.
[5] ISO 3685. 1993.Tool Life Testing With Single Point Turning.
[6] Jeon, J. U and S. W. Kim. 1988. Optical Flank Wear Monitoring of Cutting Tools ls
by Image Processing. Journal Department of Production Engineering, Korea Advanced
Institute of Science and Technology, Box 150.
[7] K.P, Kollmer. 2007. Applications & Developments in the Cryogenic Processing of
Materials. Kollmer-The Technologi Interface.htm.2/23/2007.
[8] Pawlik, A. et al. 2002. Tool Life Experiment. Journal Techologi Process: 149-56.
[9] Rajendra K. et al. 2007. Under standing the effect of cryogenic treatment on M2 Tool
Steel Properties. Heat Treating Progress: 57-60.
[10] Ramji B. R. et al. 2010. Analysis of Roughness and Flank Wear in Turning Gray Cast
Iron Using Cryogenically Treated Cutting Tool. Research Journal of Applied Sciences,
Engineering and Technology, 2(5): 414-417.
[11] Rochim, Taufiq. 2007. Buku 1 Klasifikasi Proses, Gaya dan Daya Pemesinan.
Mechanical & Production Engineering (MPE), FTI, Jurusan Mesin. Bandung: Institut
Teknologi Bandung.
[12] Sandvik, Coromant. 2003. Technical Information Tool Wear Available. From:
http://www2.coromant.sandvik.com/coromant/products/steelturning/pdf. Accesed on:
Dec, 18,2010.
[13] Singh Rupinder and Singh Kamaljit. 2010. Enhancement of Tool Material Machining
Characteristics with Cryogenic Treatment: A Review. Proceedings of the 2010
International Conference on Industrial Engineering and Operations Management 2010.
Dhaka, Bangladesh, January 9 – 10 2010.
[14] Singh S. et al. 2012. Experimental Analysis of Cryogenic Treatment on Coated
Tungsten Carbide Inserts in Turning. International Journal of Advanced Engineering
Technology, III(I): 290-294
[15] Sudjatmiko, Agus Suprapto dan Rudy Soenoko. 2011. Analisis Umur dan Keausan
Pahat Karbida untuk membubut Alumunium 6061-T. ProsedingSemNasTek.
Informatika dan Aplikasinya Tahun 2011 Vol-3. Polines Malang.
[16] Thamizhmanii S. et al. 2011. Performance of deep cryogenically treated and non-treated
PVD inserts in milling. Journal of Achievments in Materials and Manufacturing
Engineering, 49(2): 460-466.

62  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
PENGARUH SODIUM NITRIT SEBAGAI INHIBITOR KOROSI BAJA
TULANGAN BETON DI DALAM LARUTAN BETON BUATAN pH 7
YANG TERKONTAMINASI KLORIDA

Arini Nikitasari*, Moch. Syaiful Anwar, Efendi Mabruri, Sundjono


Pusat Penelitian Metalurgi dan Material - LIPI
Kawasan PUSPIPTEK Gedung 470, Setu, Tangerang Selatan 15134
*E-Mail: arini_nikitasari@yahoo.com

Abstrak
Tulisan ini menyajikan hasil penelitian dari pengaruh sodium nitrit sebagai inhibitor korosi baja tulangan
beton di dalam larutan beton buatan dengan pH 7 dan terkontaminasi klorida. Tujuan penelitian difokuskan untuk
mengetahui pengaruh adanya sodium nitrit dan konsentrasi sodium nitrit yang efisien untuk menghambat
terjadinya korosi akibat kontaminasi dengan klorida pada baja tulangan beton di lingkungan pH netral (pH 7).
Baja tulangan beton dengan diameter 13 mm yang termounting oleh resin direndam di dalam larutan beton buatan
dengan pH 7 yang terkontaminasi oleh 3,5% sodium klorida tanpa inhibitor dan dengan inhibitor 0,1M; 0,3M dan
0,6M sodium nitrit. Potensial korosi dan laju korosi dilakukan pengukuran setelah 7 hari perendaman. Hasil
pengukuran telah menunjukkan bahwa potensial korosi (Ecorr) dan laju korosi terendah adalah baja tulangan beton
yang direndam di dalam larutan beton buatan dengan konsentrasi sodium nitrit sebesar 0,6M.

Kata kunci: Korosi, Inhibitor, Sodium nitrit, Potensial korosi (Ecorr), Laju korosi, Sodium klorida.

PENDAHULUAN
Dalam kondisi normal, laju korosi pada besi tulangan beton sangatlah rendah karena
beton memiliki kondisi pH yang tinggi (basa) sehingga besi tulangan beton berada pada
kondisi pasif.[6] Korosi pada besi tulangan beton dapat terjadi ketika lapisan pasif baja beton
rusak yang mengakibatkan turunnya pH beton dan menaikkan laju korosi besi tulangan beton.
Lapisan pasif baja beton dapat mengalami kerusakan akibat karbonasi beton yaitu reaksi
antara karbondioksida di udara dengan pasta semen dalam beton dan adanya konsentrasi ion
klorida pada permukaan besi yang melebihi batasan kritisnya yaitu pada rentang 0,4-1% berat
semen pada beton.[5]
Salah satu metode yang paling mudah dan ekonomis untuk mencegah terjadinya
korosi baja tulangan beton sehingga umur beton lebih lama adalah dengan menggunakan
inhibitor korosi. Berdasarkan aplikasi penggunaannya pada beton, inhibitor dapat dibagi
menjadi dua kelompok yaitu admixed inhibitor yang ditambahkan pada campuran komposisi
beton yang belum mengeras dan migrating inhibitor yang dapat masuk ke dalam struktur
beton yang telah mengeras.[5] Sodium nitrit merupakan salah satu admixed inhibitor yang
tersedia di pasaran dan telah banyak digunakan untuk menghambat laju korosi baja tulangan
beton karena sifatnya yang sesuai dengan beton dan harganya yang relatif murah. Oleh karena
sodium nitrit telah banyak digunakan sebagai inhibitor korosi pada beton saat ini, maka sangat
dibutuhkan pengetahuan mengenai pengaruh penambahan konsentrasi dari sodium nitrit serta
efisiensinya untuk menghambat laju korosi baja tulangan beton di lingkungan terkontaminasi
klorida yang akan diuraikan pada hasil penelitian ini.
Terdapat dua macam larutan yang dapat mengalami perlakuan inhibisi dari suatu
inhibitor yaitu larutan netral dengan inhibitor anoda dan larutan asam dengan inhibitor
katoda.[8] Sodium nitrit adalah jenis inhibitor anoda yaitu inhibitor yang dapat menurunkan
laju korosi di anodik sehingga efektif untuk digunakan pada larutan netral (pH 7). Oleh sebab
itu, pada penelitian ini digunakan lingkungan pH 7 untuk merendam baja tulangan beton.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     63 
METODE PERCOBAAN
Material dan Larutan
Baja beton yang digunakan adalah baja beton ulir dengan diameter 13 mm. Adapun
komposisi dari baja beton yang digunakan tercantum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia baja beton


Unsur Kadar (%)
C 0,368
Si 0,225
S 0,037
P 0,027
Mn 0,536
Ni 0,065
Cr 0,148
Mo 0,013
V 0,005
Cu 0,141
W 0,005
Ti 0,001
Sn 0,028
Al 0,003
Pb 0,005
Nb 0,003
Zr 0,002
Zn 0,018
Fe 98,37

Baja beton dalam penelitian ini dipotong dengan ukuran 1 cm yang selanjutnya
dimonting menggunakan resin sehingga luas area yang terekspos adalah bagian alasnya saja
yaitu seluas 1,23 cm2. Selanjutnya baja beton dipoles menggunakan abrasive paper dimulai
dari ukuran 80 cw hingga 1000 cw. Gambar sampel baja beton yang dimounting dapat dilihat
pada Gambar 1.

Gambar 1. Mounting baja beton.

Uji korosi menggunakan metode tiga elektrode yaitu baja beton sebagai working
electrode, saturated calomel (SCE) sebagai reference electrode, dan grafit sebagai counter
electrode. Adapun susunan ketiga elektoda seperti pada Gambar 2.

64  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Gambar 2. Skema tiga elektroda.

Larutan beton buatan yang dibutuhkan dalam percobaan ini sebanyak 2000 ml dan
dibuat dengan komposisi sesuai Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kimia larutan beton buatan


Unsur Mol/liter
NaOH 0,1
KOH 0,3
Ca(OH)2 0,03
CaSO4.H2O 0,002
Sumber: Concrete Research Letter [2]

Larutan beton buatan yang telah dibuat dibagi ke dalam empat beaker glass ukuran
500 ml dan ditambahkan NaCl sebanyak 3,5% volume serta diukur pH awalnya untuk
diadjust menggunakan HCl agar pHnya menjadi 7. pH awal sebelum penambahan HCl
diperoleh sebesar 13,44. Setelah itu, dilakukan penambahan inhibitor sodium nitrit ke dalam
tiga larutan masing-masing sebesar 0,1 M; 0,3 M; dan 0,6 M. Sedangkan satu larutan sebagai
kontrol tidak ditambahkan sodium nitrit (tanpa inhibitor). Sehingga jumlah sampel dalam
penelitian ini berjumlah empat sampel sesuai Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Sampel larutan beton sesuai parameter penelitian


No. Sodium Nitrit Kontaminasi pH
(NaNO2)
1 - NaCl 7
2 0,1 M NaCl 7
3 0,3 M NaCl 7
4 0,6 M NaCl 7

Teknik Pengukuran
Setelah diekspos selama tujuh hari di dalam larutan, dilakukan pengukuran laju korosi
terhadap baja beton. Teknik elektrokimia yang digunakan untuk mengukur laju korosi pada
penelitian ini menggunakan metode Tafel.
Tafel meerupakan metode pengukuran yang dapat digunakan untuk perubahan
potensial hingga 250 mV. Perhitungan laju korosi pada Tafel menggunakan dua persamaan di
bawah ini:

(1)

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     65 
.   .
(2)

Dimana S1 = slope anoda = 2,303/βa, S2 = slope katoda = 2,303/βc, βa = anoda tafel konstanta,
βc = katoda tafel konstanta, Ecorr = potensial korosi, icorr = arus listrik korosi, E = tegangan
listrik pada waktu tertentu, I = arus listrik pada waktu tertentu, Icorr = intensitas arus listrik
korosi, A = luas area tulangan yang terekspos (1,23 cm2), EW = berat ekivalen baja beton
(27,92), d = densitas baja beton (7,85 g/cc).
Pada penelitian ini pengukuran laju korosi dengan metode Tafel menggunakan alat
Gamry Instruments Seri G750 dengan parameter scan rate sebesar 1,5 mV/s.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensial Korosi (Ecorr)


Gambar 3 menunjukkan hasil pengukuran potensial korosi (Ecorr) dari masing-masing
sampel. Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui bahwa nilai potensial korosi (Ecorr) baja
beton mengalami kenaikan dengan bertambahnya konsentrasi inhibitor sodium nitrit yang
ditambahkan. Potensial korosi terendah yaitu -0,644 V adalah potensial korosi dari baja beton
yang dicelupkan ke dalam larutan beton terkontaminasi klorida pH 7 tanpa inhibitor.
Selanjutnya potensial korosi mengalami kenaikan yang drastis ketika dilakukan penambahan
inhibitor sodium nitrit. Potensial korosi (Ecorr) terbesar yaitu -0,2 V merupakan (Ecorr) dari
baja beton pada larutan beton terkontaminasi klorida pH 7 dengan konsentrasi sodium nitrit
sebesar 0,6 M.
Kemungkinan terjadinya korosi pada besi tulangan beton dapat diketahui berdasarkan
nilai potensial korosinya sesuai (ASTM C 876). Mengacu pada ASTM C 876, dapat diketahui
bahwa nilai potensial korosi (Ecorr) baja beton pada larutan beton buatan tanpa inhibitor
berada pada kondisi sangat korosi (<-0,426 V). Selanjutnya dengan penambahan sodium nitrit
sebesar 0,1 M dan 0,3 M dapat mengurangi kemungkinan terjadinya korosi hingga level
korosi tinggi (<-0,276 V). Sedangkan untuk penambahan konsentrasi sodium nitrit sebesar
0,6 M mampu menaikkan potensial korosi hingga mencapai kondisi korosi sedang (-0,126 s/d
-0,275 V).

Gambar 3. Potensial korosi, Ecorr baja tulangan beton pada konsentrasi inhibitor yang
berbeda (V).

66  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Laju Korosi
Pengukuran laju korosi pada setiap sampel menghasilkan grafik seperti pada
Gambar 4. Sesuai Gambar 4 terdapat kecenderungan bahwa semakin besar konsentrasi
inhibitor sodium nitrit yang digunakan maka laju korosi baja beton mengalami penurunan.

Gambar 4. Laju korosi baja tulangan beton pada konsentrasi inhibitor yang berbeda
(µm/tahun).

Laju korosi baja beton yang dicelupkan dalam larutan beton buatan tanpa inhibitor
memiliki laju korosi terbesar yaitu 60 µm/tahun. Sedangkan laju korosi terendah yaitu 0,58
µm/tahun dimiliki oleh baja beton dalam larutan beton buatan 0,6 M sodium nitrit. Laju
korosi baja beton pada larutan beton buatan 0,1 M sodium nitrit yaitu 23 µm/tahun lebih
rendah dibanding laju korosi baja beton tanpa inhibitor tetapi lebih besar dibanding laju korosi
dengan inhibitor 0,3 M dan 0,6 M. Laju korosi pada baja beton dalam larutan beton buatan
dengan 0,3 M sodium nitrit sebesar 17 µm/tahun tidak terlalu berbeda dari laju korosi baja
beton 0,1 M sodium nitrit. Penurunan laju korosi yang terjadi dengan adanya penambahan
inhibitor sodium nitrit cukup signifikan terutama pada konsentrasi inhibitor sodium nitrit
sebesar 0,6 M. Hal ini membuktikan bahwa sodium nitrit efektif untuk digunakan sebagai
inhibitor pada kondisi lingkungan terkontaminasi klorida dengan pH 7.

Kurva Polarisasi
Kurva polarisasi dari masing-masing sampel ditunjukkan pada Gambar 5. Kurva
polarisasi pada Gambar 5 menunjukkan bahwa pada baja beton dengan larutan tanpa
inhibitor, inhibitor 0,1 M dan inhibitor 0,3 M daerah anoda masih aktif. Hal ini dapat
diketahui dari arus korosi (Icorr) yang tidak konstan pada daerah anoda. Sedangkan untuk
kurva polarisasi baja beton dengan larutan inhibitor sebesar 0,6 M diperoleh daerah anoda
yang pasif yaitu arus korosi (Icorr) yang cenderung konstan pada potensial korosi yang
berbeda.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     67 
Gambar 5. Kurva polarisasi baja tulangan beton pada konsentrasi inhibitor yang berbeda.

Baja beton pada larutan beton buatan tanpa inhibitor aktif pada potensial sebesar -600
mV hingga -400 mV. Baja beton pada larutan beton buatan dengan konsentrasi inhibitor
sebesar 0,1 M daerah aktif berada pada potensial sebesar -300 mV hingga -100 mV. Baja
beton pada larutan beton buatan dengan inhibitor sebesar 0,3 M memiliki daerah aktif pada
potensial sebesar -250 mV hingga -50 mV. Sedangkan baja beton pada larutan beton buatan
dengan konsentrasi inhibitor sebesar 0,6 M adalah satu-satunya yang memiliki daerah pasif
pada potensial -150 mV hingga 150 mV, sehingga dapat disimpulkan bahwa konsentrasi
inhibitor sodium nitrit sebesar 0,6 M adalah yang paling optimal untuk menghambat
terjadinya korosi baja beton di lingkungan terkontaminasi klorida pada pH 7.

Efisiensi Inhibitor
Efisiensi inhibitor merupakan persentase keefektifan suatu inhibitor untuk
menghambat terjadinya korosi yang ditandai oleh semakin kecilnya laju korosi dengan adanya
inhibitor. Efisiensi inhibitor sodium nitrit dapat diketahui dengan perhitungan sebagai berikut:

           
(3)
     

Gambar 6 merupakan grafik hasil perhitungan efisiensi inhibitor pada setiap


konsentrasi inhibitor sodium nitrit. Berdasarkan Gambar 6, dapat diketahui bahwa efisiensi
inhibitor semakin meningkat seiring dengan bertambahnya konsentrasi inhibitor sodium nitrit
yang ditambahkan dengan efisiensi terbesar 99% pada konsentrasi inhibitor sodium nitrit
sebesar 0,6 M. Efisiensi inhibitor dengan konsentrasi sodium nitrit sebesar 0,1 M adalah
61,5% sedangkan efisiensi inhibitor dengan konsentrasi sodium nitrit sebesar 0,3 M adalah
71,4%. Efisiensi sodium nitrit pada ketiga parameter konsentrasi menunjukkan angka di atas
50% sehingga sodium nitrit sangat efektif untuk digunakan sebagai inhibitor korosi besi
tulangan beton yang berada pada lingkungan terkontaminasi klorida dengan pH 7.

68  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Gambar 6. Efisiensi inhibitor baja tulangan beton pada konsentrasi inhibitor yang berbeda.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa potensial
korosi (Ecorr) tertinggi (lebih positif) pada lingkungan terkontaminasi klorida dengan pH 7
adalah potensial korosi baja tulangan beton pada larutan beton buatan dengan konsentrasi
inhibitor sodium nitrit sebesar 0,6 M yaitu -0,2 V yang menunjukkan kondisi korosi sedang.
Semakin besar konsentrasi sodium nitrit pada larutan beton buatan terkontaminasi klorida pH
7, maka semakin positif pula potensial korosinya.
Semakin besar konsentrasi sodium nitrit yang ditambahkan pada lingkungan
terkontaminasi klorida dengan pH 7, maka laju korosi baja beton cenderung menurun dengan
konsentrasi sodium nitrit paling optimal sebesar 0,6 M. Kurva polarisasi konsentrasi inhibitor
sodium nitrit sebesar 0,6 M pada lingkungan terkontaminasi klorida pH 7 menunjukkan
bahwa daerah anoda baja beton cenderung pasif sehingga laju korosinya sangat kecil.
Konsentrasi inhibitor sodium nitrit sebesar 0,6 M pada lingkungan terkontaminasi
klorida pH 7 merupakan konsentrasi yang paling efisien untuk menghambat laju korosi
dengan efisiensi sebesar 99%. Sodium nitrit merupakan inhibitor yang sangat efektif untuk
menghambat terjadinya korosi pada baja tulangan beton di lingkungan pH 7 yang
terkontaminasi klorida.

Daftar Referensi
[1] Sagues, Alberto A. Corrosion measurements of reinforcing steel in concrete exposed to
various aqueous environments. Florida: University of South Florida.
[2] Amir Poursaee. 2010. Corrosion of steel bars in saturated Ca(OH)2 and concrete pore
solution. Concrete Research Letters, 1(3).
[3] Ha-Won Song and Velu Saraswathy. 2007. Corrosion monitoring of reinforced
concrete structures-A review. International Journal of Electrochemical Science, 2:1-28.
[4] Thompson, N. G. and J. H. Payer. 1998. DC Electrochemical Test Methods.
Texas: NACE International.
[5] Ormellese, M. et al. 2006. Corrosion inhibitors for chlorides induced corrosion in
reinforced concrete structures. Cement and Concrete Research, 36: 536-547.
[6] Garces, P. et al. 2011. Influence of pH on the nitrite corrosion inhibition of reinforcing
steel in simulated concrete pore solution. Corrosion Science, 53: 3991-4000.
[7] Report Cement and Agregates. 2009. Chloride Resistance of Concrete. Australia.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     69 
[8] Bahri, Samsul. 2006. Penghambatan Korosi Baja Beton dalam Larutan Garam dan
Asam Menggunakan Campuran Senyawa Butilamina dan Oktilamina. Jurnal Gradien,
3(1): 231- 236.

70  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
PENGARUH WAKTU FOTOKATALIS TiO2
TERHADAP PROSES PENJERNIHAN LIMBAH WARNA

Ariyo Suharyanto*, Ahmad Royani, Rudi Subagja


Pusat Penelitian Metalurgi dan Material - LIPI
Gedung 470 Kawasan Puspiptek - Serpong, Tangerang 15314
*E-Mail: ariyo_suharyanto@lipi.go.id

Abstrak
Zat warna tekstil umumnya sulit terdegradasi dan mempunyai resistensi terhadap lingkungan seperti
derajat keasaman, temperatur dan mikroba. Masalah limbah zat warna merupakan masalah yang serius karena
sangat berbahaya jika kontak langsung dengan mahluk hidup khususnya manusia. Dampak dari pencemaran air
zat warna dapat menyebabkan iritasi pada kulit, mata, saluran pencernaan bahkan bahaya kanker hati.
Bahan baku yang digunakan adalah anatase TiO2 hasil sintesa roasting pada temperatur 400°C dan
500°C. Kemudian anatase TiO2 tersebut digunakan untuk mendegradasi warna dari limbah dengan
menambahkan 0,1 gram anatase TiO2 kemudian diaduk dan disinari sinar ultra violet (UV) dengan daya 50 watt
selama 30 menit, 60 menit, 90 menit dan 180 menit. Kemudian hasilnya dianalisa dengan menggunakan uvvis.
Dari penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa degradasi zat warna limbah dapat dilakukan dengan proses
fotokatalis selama 30 menit sampai dengan 180 menit. Kondisi optimum proses degradasi zat warna didapat
pada 180 menit dengan yang dipreparasi sampel roasting temperatur 400 dan 500°C. Semakin lama waktu
proses fotokatalis maka semakin tinggi zat warna yang terdegradasi.

Kata kunci: Ilmenite, Limbah, Fotokatalis.

PENDAHULUAN
Industri tekstil merupakan salah satu industri yang berkembang di Indonesia.
Perkembangan industri tekstil berbanding lurus dengan bertambahnya limbah cair yang
merupakan masalah serius bagi lingkungan. Salah satu limbah cair yang dihasilkan dari
industri tekstil adalah limbah zat warna. Limbah zat warna yang dihasilkan dari industri
tekstil umumnya merupakan senyawa organik non-biodegradable, yang dapat mencemari
lingkungan perairan. Zat warna tekstil umumnya sulit terdegradasi dan mempunyai resistensi
terhadap lingkungan seperti derajat keasaman, temperatur dan mikroba. Masalah limbah zat
warna merupakan masalah yang serius karena sangat berbahaya jika kontak langsung dengan
mahluk hidup khususnya manusia. Dampak dari pencemaran air zat warna dapat
menyebabkan iritasi pada kulit, mata, saluran pencernaan bahkan bahaya kanker hati.
Beberapa limbah berbahaya yang menjadi perhatian masyarakat sekarang ini adalah limbah
Cr(VI), fenol dan Hg(II). Baik Cr(VI), fenol dan Hg(II) bersifat racun terhadap semua
organisme. Mengingat bahaya yang ditimbulkannya, maka perlu dilakukan penanganan
khusus terhadap limbah Cr(VI), fenol dan Hg(II). Teknologi konvensional telah banyak
dilakukan untuk mengolah limbah Cr(VI), fenol dan Hg(II), tetapi metode tersebut masih
memiliki beberapa kelemahan, diantaranya efisiensi pengolahan limbah yang rendah,
pemakaian energi dan bahan kimia yang cukup tinggi, serta proses pengolahan limbah yang
dilakukan tersebut ternyata masih menghasilkan residu berbahaya.[1-3]
Teknologi fotokatalisis merupakan kombinasi dari proses fotokimia dan katalis yang
terintegrasi untuk dapat belangsungkan suatu reaksi transformasi kimia. Reaksi transformasi
tersebut berlangsung pada permukaan bahan katalis semikonduktor yang terinduksi oleh
sinar.[4] Beberapa jenis semikonduktor yang dapat dipakai untuk proses fotokatalisis dari
kelompok oksida misalnya: TiO2, Fe2O3, ZnO, WO3, atau SnO2, sedangkan dari kelompok
sulfida adalah CdS, ZnS, CuS, FeS, dan lain-lain. Diantara sekian banyak jenis
semikonduktor, hingga saat ini serbuk TiO2 (terutama dalam bentuk kristal anatase) memiliki
aktivitas fotokatalitik yang tinggi, stabil dan tidak beracun.[5] Secara komersial serbuk TiO2
juga mudah didapat dan diproduksi dalam jumlah besar.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     71 
METODE PERCOBAAN
Penelitian ini terdiri dari dua tahapan yaitu: penyiapan bahan dan proses fotokatalis
TiO2 sebagai penjernih limbah warna.

Bahan baku
Bahan baku yang digunakan adalah anatase TiO2 hasil sintesa roasting pada
temperatur 400°C dan 500°C.

Proses Fotokatalis untuk Penjernihan Limbah


Kemudian anatase TiO2 tersebut digunakan untuk mendegradasi warna dari limbah
dengan menambahkan 0,1 gram anatase TiO2 kemudian diaduk dan disinari sinar ultra violet
(UV) dengan daya 50 watt selama 30 menit, 60 menit, 90 menit dan 180 menit. Kemudian
hasilnya dianalisa dengan menggunakan UV-vis. Seperti yang ada di Gambar 2.

Proses Fotokatalis
(reaktor 30x15 cm, dengan radiasi sinar UV 50 watt)

Proses pengambilan sampel


(30 menit, 60 menit, 90 menit dan 180 menit)

Analisa

Gambar 1. Diagram alir proses fotokatalis.

Gambar 2. Limbah warna yang sedang didegradasi warnanya dengan menggunakan sinar
Ultra Violet (UV).

Reaksi pada permukaan fotokatalis ketika dilakukan penyinaran dengan sinar ultra
violet adalah sebagai berikut[6]:
UV
TiO2 e- + h- (1)
h+ + H2O ×OH + H+ (2)
h+ + H- ×OH (3)
h+ + e- N + Energi (4)
dimana:
N = normal akibat rekombinasi
h+ = hole
e- = elektron
H+ = ion hidrogen
OH- = ion hidroksi

72  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Permukaan partikel TiO2 menyerap OH- dan H2O dalam limbah warna dan dioksida
membentuk radikal hidroksi (xOH) (persamaan 2 dan 3) ketika bertemu dengan sinar ultra
violet (UV). Ion xOH inilah yang mampu menguraikan senyawa organik berbahaya CO2 dan
H2O. Namun yang menjadi kendala adanya rekombinasi elektron-hole (persamaan 4) yang
cukup cepat sehingga menurunkan aktifitas fotokatalitik.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Setelah dilakukan proses fotokatalis dengan melakukan penyinaran menggunakan
sinar UV selama 30 menit, 60 menit, 120 menit dan 180 menit maka didapatkan data
kemudian dianalisa dengan menggunakan UV-vis.
Untuk melihat kemampuan menghilangkan limbah warna tersebut kita dapat
menggunakan persamaan seperti di bawah ini:

(5)
dimana:
X1 = konsentrasi awal
X2 = konsentrasi setelah proses

Dengan menggunakan persamaan di atas maka dapat diperoleh % dari penghilangan


zat warna dari limbah tekstil tersebut. maka diperoleh kurva sebagai berikut:
120
100
% degradasi

80
60
40 500°C

20 600°C
0
30 60 120 180
waktu fotokatalis

Gambar 3. % penghilangan zat warna berdasarkan lamanya proses fotokatalis.

Setelah melakukan percobaan maka didapatkan bahwa penambahan waktu fotokatalis


dapat mempengaruhi hasil dari penjernihan limbah warna dimana dengan proses fotokatalis
180 menit dapat mendegradasi warna dengan sempurna. Seperti yang ditunjukan pada
Gambar 4.

Gambar 4. Hasil penjernihan zat warna.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     73 
KESIMPULAN
Dari penelitian yang dilakukan didapatkan hasil kesimpulan sebagai berikut:
1. Degradasi zat warna limbah dapat dilakukan dengan proses fotokatalis selama 30 menit
sampai dengan 180 menit.
2. Kondisi optimum proses degradasi zat warna didapat pada 180 menit dengan
menggunakan anatase TiO2 yang dipreparasi sampel roasting temperatur 400 dan 500°C.
3. Semakin lama waktu proses fotokatalis maka semakin tinggi zat warna yang terdegradasi.

Daftar Referensi
[1] Khalil, L.B. et al. 1998. Photocatalytic reduction of environmental pollutant Cr(VI)
over some semiconductors under UV/visible light ilumination. Applied Catalyst B:
Environtmental, 17(3): 267-273.
[2] Dingwangchen and A. K. Ray. 1999. Photocatalytic kinetics of phenol and its
derivatives over UV irradiated TiO2. Applied Catalyst B: Environtmental, 23(2-3): 143-
157.
[3] Y. Ku and I. Jung. 2001. Photocatalytic Reduction Of Cr(VI) in Aqueous Solutions By
UV Irradiation with the Presence of Titanium Dioxide. Water Research, 35(1): 135-142.
[4] Sopyan, I. 1998. Majalah BPPT No. LXXXVIII, 45.
[5] Sopyan, I. 1998. Majalah BPPT No. LXXXVIII, 129.
[6] Xiang Li. et al. 2009. Preparation and Photocaralytic activity of nanoglued SN-doped
TiO2. Journal of Hazardous Material, 167: 587 – 591.

74  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
PENGARUH TEMPERATUR DALAM PROSES REDUKSI BIJIH BESI
DARI TASIKMALAYA

Bagus Dinda Erlangga*, Solihin


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Geoteknologi
Komplek LIPI, Gd. 70, Jl. Sangkuriang, Bandung
*E-Mail: bderlangga@yahoo.com

Abstrak
Bijih besi merupakan bijih yang sangat penting karena mengandung besi yang merupakan logam yang
strategis dan banyak digunakan di berbagai bidang. Percobaan reduksi bijih besi Karangnunggal, Tasikmalaya
telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh temperatur reduksi terhadap kenaikan kadar besi dalam sampel
hasil proses reduksi. Kenaikan temperatur dari 700 sampai dengan 1200°C berpengaruh meningkatkan kadar
besi dari 37% menjadi 52%. Selama proses reduksi, selain reaksi reduksi bijih besi menjadi oksida besi yang
lebih rendah kadar oksigennya, juga telah terjadi perubahan struktur pada SiO2 dari kwarsa menjadi kristobalit.
Peningkatan kadar hematite terhadap kwarsa juga lebih banyak dipengaruhi oleh penurunan kadar kwarsa
pada temperatur tinggi. Logam besi mulai terbentuk pada temperatur 900°C, dan kadar besi tersebut meningkat
seiring dengan naiknya temperatur.

Kata kunci: Bijih besi, Reduksi, Batubara, Transformasi kristal.

PENDAHULUAN
Bijih besi merupakan bijih yang sangat penting karena mengandung bahan baku
pembuatan logam besi yang sangat diperlukan dalam berbagai bidang.[1,2] Tingkat pengolahan
bijih besi merupakan indikator kemajuan suatu Negara. Indonesia memiliki beberapa
cadangan bijih besi yang walaupun kecil tetapi cukup potensial untuk diolah menjadi besi.
Untuk mendapatkan logam besi, bijih besi yang masih merupakan campuran berbagai mineral
oksida dan silikat harus melalui proses reduksi dan smelting.[3,4] Tahapan yang paling krusial
adalah tahapan reduksi. Keberhasilan proses produksi besi tergantung keberhasilan proses
reduksi. Proses reduksi pada dasarnya adalah pengambilan oksigen dari mineral besi oksida
oleh reduktor tertentu. Biasanya reduktor yang digunakan adalah unsur karbon dalam
batubara. Karbon bereaksi dengan oksigen membentuk karbon monoksida yang lebih aktif
dala mereduksi bijih besi. Adapun reaksi yang berlangsung dalam proses reduksi[4]:

C + O2 → CO (1)
3Fe2O3 + CO → 2Fe3O4 + CO2 (2)
Fe3O4 + CO → 3FeO + CO2 (3)
FeO + CO → Fe +CO2 (4)
Karbon dalam batubara diperlukan untuk mereaksi dengan oksigen membentuk karbon
monoksida. Karbon monoksida ini secara bertahap mereduksi besi oksida. Tahapan
reduksinya adalah hematit menjadi magnetit, kemudian menjadi FeO wustite. Dan akhirnya
wustite menjadi logam besi. Mekanisme reaksi reduksi sudah dikenal sejak lama. Mekanisme
ini berhasil menerangkan proses reduksi pasa bijih besi konvensional seperti bijih besi dari
Brazil dan Kalimantan. Penelitian ini bertujuan untuk melengkapi database mengenai proses
reduksi terhadap bijih besi yang lainnya. Kali ini bijih besi yang dipilih adalah bijih besi yang
berasosiasi dengan endapan mangaan yang berasal dari daerah Karangnunggal, kabupaten
Tasikmalaya.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     75 
METODE PERCOBAAN
Bijih besi diperoleh dari pertambangan rakyat didaerah Karangnunggal, Tasikmalaya,
Jawa Barat. Sedangkan reduktor batubara diperoleh dari pertambangan batubara di
Kalimantan Timur. Hasil analisa proksimat batubara diperoleh data pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisa proksimat reduktor batubara


Variabel Persentase
Moisture 42,69%
Volatile Matter 28,80%
Ash 0,97%
Fixed Carbon 27,55%
Volatile Dry 53,13%
Ash Dry 1,62%

Sebelum dilakukan proses reduksi, ukuran partikel bijih besi diturunkan ukurannya
menggunakan jaw crusher dan ball mill. Ukuran partikel yang dituju adalah 200 mesh. Hal
yang sama juga dilakukan terhadap batubara. Selanjutnya, bijih besi dan batubara yang
kemudian dicampurkan dan dijadikan pellet dengan diameter pellet sekitar 1 cm. Tungku
yang digunakan untuk proses reduksi adalah tungku muffle. Temperatur proses bervariasi
antara 700 sampai dengan 1200°C. Rancangan percobaan ditunjukan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rancangan percobaan variasi temperatur


Batubara (% Massa) Suhu Tungku (°C)
700
800
900
20
1000
1100
1200

Analisa terhadap sampel awal dan sampel hasil proses dilakukan menggunakan X-Ray
Diffraction (XRD), X-Ray Fluorescence (XRF), dan Scanning Electron Microscope (SEM)
untuk mengetahui fasa yang muncul, komposisi kimia dan morfologi dari bijih hasil proses
reduksi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil analisa XRF terhadap besi hasil proses reduksi diperlihatkan pada Tabel 3. Dari
Tabel tersebut terlihat bahwa kenaikan temperatur mulai dari 700°C sampai 1200°C menaikan
kadar besi mulai dari 37% hingga 52%. Hal ini menandakan bahwa proses reduksi telah
berlangsung sejak temperatur 700°C dan reaksi reduksi berlangsung progresif dengan naiknya
temperatur. Hal ini seiiring dengan penelitian lain mengenai reduksi bijih besi yang
mengemukakan bahwa secara teoritik reaksi reduksi telah berlangsung pada temperatur
600°C.[5,6] Tetapi walaupun reaksi reduksi telah dapat berlangsung pada rentang temperatur di
atas, kenaikan kadar besi tidak melonjak dengan drastis. Hal ini kemungkinan disebabkan
faktor kinetika dimana reaksi pembentukan karbon monoksida berjalan lambat di dalam
tungku. Kadar besi yang didapat dari proses reduksi kemungkinan berasal dari reaksi reduksi
langsung antara bijih dengan batubara.

Tabel 3. Kadar besi (Fe) pada berbagai temperatur proses reduksi


Temperatur (°C) 700 800 900 1000 1100 1200
% Fe 37,07 41,669 45,503 44,818 44,247 52,615

76  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Gambar 1. Pola XRD dengan perbedaan temperatur reduksi.

Gambar 2. Analisa kuantitatif hasil XRD untuk Hematite dan Quartz.

Pola XRD dari sampel hasil proses reduksi diperlihatkan pada Gambar 1. Pada
temperatur 700°C terlihat bahwa puncak intensitas yang berkorelasi dengan mineral hematite
semakin kuat dibanding dengan bijih asalnya. Di saat yang sama, puncak intensitas yang
berkorelasi dengan kwarsa menurun, dan transformasi kristal kwarsa menjadi kristobalite pun
mulai berlangsung. Puncak intensitas hematite semakin kuat dengan naiknya temperatur
proses. Sementara itu, kenaikan temperatur juga menaikan intensitas transformasi silikon
dioksida dari bentuk kristal kwarsa menjadi kristobalit. Pada temperatur 900°C pembentukan
logam besi mulai berlangsung dan semakin progresif dengan naiknya temperatur hingga
1200°C.
Hasil analisa kuantitatif menggunakan software siroquant terhadap pola XRD
diperlihatkan pada Gambar 2. Seiring dengan pola XRD, jumlah hematite semakin
meningkat dengan naiknya temperatur, sementara kwarsa menurun. Kenaikan hematite
disebabkan oleh turunnya kadar kwarsa karena bertransformasi ke dalam bentuk kristal yang
lain dan atau terjadi rekristalisasi sebagian kristal besi oksida yang nonkristalin menjadi
kristalin.

KESIMPULAN
Percobaan proses reduksi terhadap bijih besi Karangnunggal, Tasikmalaya
menunjukan derajat reduksi yang meningkat seiring dengan naiknya temperatur proses. Kadar

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     77 
besi dan kadar hematite meningkat dengan naiknya temperatur. Nilai peningkatan kadar besi
yang tidak begitu drastis disebabkan oleh pembentukan karbon monoksida yang berjalan
lambat di dalam tungku. Transformasi kristal kwarsa menjadi kristobalit menyebabkan kadar
kwarsa menurun dan kadar hematite meningkat. Proses reduksi sampai 1200°C berhasil
meningkatkan kadar besi menjadi 52,6%.

Daftar Referensi
[1] LleweUyn, D.T. and R.C. Hudd. 2000. Steels: Metallurgy and Applications.
Butterworth-Heinemann.
[2] Gandy, D. 2007. Carbon Steel Handbook. Final Report Electric Power Research
Institute.
[3] Supriyatna, Y. I dan M. Amin Suharto. 2012. Study Penggunaan Reduktor pada Proses
Reduksi Pellet Bijih Besi Lampung Menggunakan Rotary Kiln. Prosiding SNaPP 3.
[4] Hidayat, D. 2009. Reduksi Bijih Besi Laterit dari Bayah Provinsi Banten dengan
Reduktor Batubara. Tugas Akhir Fakultas MIPA. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
[5] Kunitomo, K. et al. 2006. Blast Furnace Iron making Process Using Pre-reduced Iron
Ore. Nippon Steel Technical Report, 94: 133-138.
[6] Antam, Tbk. 2013. Studi Kelayakan Proses Blast Furnace untuk Mengolah Bijih Nikel
Laterit.

78  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
KARAKTERISTIK TRANSMITANSI LAPISAN TIPIS ALUMINIUM
PADA SUBSTRAT GELAS BK7 YANG DIBUAT DENGAN METODA
EVAPORASI VAKUM

Bambang Herlambang
Puslit Metrologi LIPI, Puspiptek Serpong, Banten
E-Mail: bambangherlambang@yahoo.com

Abstrak
Dalam penelitian ini telah dilakukan kajian mengenai karakteristik transmitansi lapisan tipis
aluminium yang dibuat dengan metoda evaporasi vakum dan massa yang berbeda. Lapisan tipis dibuat pada
tekanan 10-6 torr dan sampel yang dipakai adalah gelas BK7 yang telah dipoles. Sampel yang dibuat kemudian
diuji durabilitasnya berdasarkan standar militer TNI/Polri dengan cara menggosokkan penghapus karet standar
sebanyak 20 kali dengan tekanan sedang. Hasil pengukuran transmitansi menunjukkan lapisan tipis ini memiliki
kurva transmitansi yang mengikuti Hukum Lambert T = 194,67626 exp (-0,05953m) dengan T adalah
transmitansi lapisan tipis dan m adalah massa material sumber. Sedangkan pada daerah diskontinu secara
umum hubungan transmitansi dan massa yang dapat dinyatakan dengan persamaan y = -3,4x + 135,3 dengan y
adalah transmitansi dan x adalah massa material sumber.

Kata kunci: Lapisan tipis optik aluminium, Evaporasi vakum, Transmitansi, Hukum Lambert.

PENDAHULUAN
Aluminium (Al) merupakan material yang banyak digunakan untuk pembuatan lapisan
permukaan yang sangat reflektif selain menggunakan material pelapis dari emas (Au) dan
perak (Ag).[1-4] Material ini memiliki sifat daya rekat yang baik terhadap gelas BK7 yang
banyak digunakan sebagai bahan dasar komponen optik. Dari sisi ekonomi material ini
relative murah dan banyak dipasaran. Material ini mampu menghasilkan efisiensi yang tinggi
dan digunakan banyak sistem optik seperti cermin teleskop.
Dalam pembuatan lapisan tipis optik aluminium salah satu hal yang penting untuk
diketahui adalah hubungan karakteristik optik terhadap massa material sumber. Hubungan ini
menggambarkan transmitansi lapisan tipis aluminium dengan jumlah massa tertentu. Dari
hubungan tersebut dapat ditentukan jumlah massa material sumber yang diperlukan untuk
memperoleh lapisan tipis dengan transmitansi tertentu.
Dalam penelitian ini dilakukan pembuatan lapisan tipis aluminium menggunakan
metoda evaporasi dengan variasi massa Al. Massa aluminium yang digunakan adalah 13-190
mg dengan kemurnian 99,99%. Sebagai substrat digunakan gelas BK7 yang telah dipoles.
Proses evaporasi dilakukan pada tekanan vakum 10-6 torr. Sampel yang diperoleh kemudian
diuji durabilitas dan nilai transmitansinya menggunakan photometer terkalibrasi. Selain itu
dilakukan pula pengukuran transmisi pada daerah gelombang tampak (380-740 nm).

METODE PERCOBAAN
Percobaan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi persiapan, pembuatan substrat
dan lapisan tipis, pengujian lapisan tipis dan analisa hasil pengujian. Selengkapnya langkah
percobaan tersebut ditunjukkan pada Gambar 1.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     79 
Start

Persiapan Bahan dan alat

Pembuatan substrat

Pembuatan Lapisan tipis

Pengujian

Analisa

Kesimpulan

End

Gambar 1. Diagram alir penelitian.

Pembuatan lapisan tipis dilakukan menggunakan mesin coating optic dengan metoda
evaporasi. Ruang evaporasi dikondisikan pada tekanan 10-6 torr. Pengkondisian ini dilakukan
menggunakan pompa rotary dan pompa difusi. Sebelum digunakan ruang evaporasi
dibersihkan menggunakan aseton dan kapas.
Material sumber yang digunakan adalah aluminium dengan kemurnian 99,99% dalam
bentuk kawat. Massa material yang digunakan adalah 13 mg, 15 mg, 20 mg, 25 mg, 30 mg
dan 190 mg. Material sumber diletakan pada kawat pemanas yang terbuat dari logam tungsten
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Proses pemanasan material sumber dilakukan
dengan metoda pemanasan tahanan (resistance heating).[5]

Gambar 2. Kawat pemanas tempat material sumber diletakkan.

Substrat yang digunakan adalah gelas BK7 berukuran 25 x 25 mm. Proses pembuatan
substrat meliputi pemotongan, pengasahan dan pemolesan. Sebelum digunakan substrat gelas

80  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
dibersihkan dari kotoran menggunakan kapas dan alkohol agar logam aluminium dapat
terdeposisi dengan baik pada permukaan substrat. Substrat gelas BK7 diletakkan pada
pemegang substrat yang dapat berputar seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3. Selama
proses evaporasi pemegang substrat berputar agar diperoleh ketebalan lapisan yang seragam
pada seluruh bagian susbtrat. Sampel lapisan tipis Al yang dihasilkan oleh proses evaporasi
dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 3. Pemegang subsrat mesin coating.

Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3


m = 13 mg m = 15 mg m = 20 mg
T = 92,4% T = 87,7% T = 61,4%

Sampel 4 Sampel 5 Sampel 6


m = 25 mg m = 30 mg m = 190 mg
T = 50,4% T = 36,3% T = 4,7%

Gambar 4. Sampel lapisan tipis Al dengan substrat gelas BK7 yang dibuat dengan metoda
evaporasi vakum.

Sampel lapisan tipis aluminium yang diperoleh kemudian diukur nilai daya
transmisinya menggunakan spektrometer terkalibrasi yang terdapat di Lab. Fotometer Puslit
Metrologi LIPI dan memiliki ketidakpastian pengukuran sebesar 0,15 angstrom. Spektrometer
tersebut menggunakan lampu halogen (QTH) berkekuatan 12 V 250 W sebagai sumber

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     81 
cahaya. Untuk memilih panjang gelombang cahaya digunakan monokromator SPEX 750M
yang dilengkapi dengan grating. Sebagai sensor cahaya digunakan Photo Multiplier Tube
(PMT) HTV tipe R446. Keluaran dari sensor PMT kemudian diperkuat oleh amplifier. Untuk
mengubah sinyal analog dari sensor menjadi sinyal digital yang dapat diolah menggunakan
komputer maka digunakan kartu Analog to Digital Converter (ADC) 16 bit. Pengolahan dan
hasil pengukuran dilakukan menggunakan computer desktop (PC). Skema spectrometer yang
digunakan untuk pengukuran transmitansi ditunjukkan pada Gambar 5. Sedangkan skema
spectrometer ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 5. Spectrometer yang digunakan untuk menguji lapisan tipis.

Gambar 6. Skema photometer.[6]

HASIL DAN PEMBAHASAN

Durabilitas Lapisan Tipis


Pengujian durabilitas lapisan tipis dilakukan untuk mengetahui daya rekat lapisan tipis
yang terbentuk pada substrat. Kekuatan rekat yang baik diperlukan agar lapisan tipis yang
dibuat mampu bertahan dalam jangka waktu yang lama. Dengan demikian kinerja sistem optic
yang menggunakan lapisan tipis Al dapat dipertahankan.
Pengujian dilakukan pada enam sampel yang dibuat. Standar uji yang digunakan
adalah standar untuk teropong bidik militer yang dikeluarkan oleh Mabes TNI AD.[7]
Pengujian durabilitas dilakukan dengan menggosokkan penghapus karet standar yang lunak

82  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
dengan tekanan sedang (seperti menekan penghapus pada kertas) pada permukaan lapisan
tipis sebanyak 20 kali pada satu arah. Setelah penggosokan dilakukan pengamatan apakah
terjadi pengelupasan lapisan tipis Al. Hasil pengujian durabilitas lapisan tipis ditampilkan
pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengujian durabilitas lapisan tipis Al


No. Massa Al Hasil
Sampel (mg) Pengujian
1 13 Lulus
2 15 Lulus
3 20 Lulus
4 25 Lulus
5 30 Lulus
6 190 Lulus

Hasil pada Tabel 2 menunjukkan sampel yang dibuat mampu bertahan terhadap
penggosokan dengan karet penghapus standar sebanyak 20 kali. Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat kevakuman 10-6 torr, proses pemolesan selama empat jam dan pembersihan sebanyak
50 kali dapat menghasilkan lapisan tipis dengan kualitas yang dapat memenuhi standar
militer.
Durabilitas lapisan tipis optik dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tingkat
kevakuman, jenis material dan kualitas permukaan.[1-5] Semakin tinggi tingkat kevakuman
deposisi, maka material sumber akan semakin mudah terdeposisi pada substrat. Hal ini terkait
dengan mean free path yang semakin besar dimana jarak antar molekul sebelum tumbukan
akan semakin besar. Dalam percobaan ini digunakan tekanan vakum dalam orde 10-6 torr
yang tergolong baik untuk deposisi lapisan tipis.
Jenis material mempengaruhi daya rekat lapisan tipis dengan substrat yang digunakan.
Hal ini terkait dengan sifat adhesi dimana terjadi gaya tarik menarik antara dua molekul yang
berbeda. Material Al memiliki sifat adhesi yang baik dengan substrat gelas BK7 dibandingkan
dengan perak dan emas.
Kualitas permukaan merupakan salah satu faktor yang menentukan daya rekat material
sumber pada substrat gelas BK7. Kotoran dan debu akan menghalangi difusi adatom dengan
permukaan substrat sehingga kerapatan nukleasi adatom menjadi rendah. Hal ini
menyebabkan area kontak antarmuka menjadi kecil sehingga adhesi lapisan menjadi rendah.
Permukaan yang halus biasanya akan menghasilkan lapisan PVD yang lebih padat
dibandingkan dengan permukaan yang kasar karena kekurangan dari makro-kolumnar
morfologi yang dihasilkan oleh permukaan yang kasar pada permukaan substrat. Dalam
percobaan ini peningkatan kualitas permukaan dilakukan dalam hal persiapan permukaan
substrat yaitu dengan cara pemolesan dan permbersihan substrat yang memadai. Hasil dari
peningkatan kualitas permukaan substrat, proses nukleasi awal terjadi dengan kepadatan yang
cukup tinggi pada permukaan kontak yang luas sehingga menghasilkan lapisan antarmuka
yang luas. Akibatnya lapisan tipis yang dihasilkan merekat dengan kuat pada permukaan
substrat.

Transmitansi Gelas BK7


Pengukuran transmitansi gelas BK7 dilakukan untuk mengetahui efektivitas gelas
BK7 dalam mentransmisikan cahaya yang mengenai permukaan gelas tersebut. Gelas BK7
yang digunakan telah melalui proses poles dan memiliki dimensi 25 x 25 x 1 mm. Ada lima
sampel gelas BK7 yang digunakan untuk pengukuran transmitansi ini.
Pengukuran transmitansi gelas BK7 dalam percobaan ini dilakukan menggunakan alat
photometer standar yang telah dikalibrasi. Pengukuran dilakukan sebanyak lima kali untuk

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     83 
tiap sampel dengan mengukur intensitas cahaya awal (Io) dan cahaya transmisi (T). Data hasil
pengukuran kemudian dihitung nilai rata-rata tiap sampel. Data hasil pengukuran transmitansi
rata-rata tiap sampel ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Data pengukuran intensitas cahaya transmisi


No. Io T
Sampel (%) (%)
1 100,0 92,9
2 100,0 92,9
3 100,0 93,0
4 100,0 92,9
5 100,0 92,9
Rata-rata 100,0 92,9

Dari Tabel 2 terlihat bahwa nilai transmitansi substrat gelas BK7 yang dibuat rata-rata
sebesar 92,9%. Nilai standar intensitas cahaya transmisi yang ditetapkan dalam standar militer
yang digunakan oleh TNI adalah minimal sebesar 85%. Dengan demikian substrat yang
digunakan memenuhi persyaratan standar militer dan layak digunakan sebagai alat bidik
senjata.
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya transmisi cahaya pada permukaan gelas BK7
adalah kehalusan dan kebersihan permukaan substrat.[1-5] Waktu proses pemolesan permukaan
substrat selama empat jam dan frekuensi pembersihan substrat sebanyak 50 kali mampu
mengurangi kekasaran, partikel pengotor dan cacat permukaan seperti lubang dan retakan
mikro yang menjadi sumber hamburan cahaya seperti yang telah dijelaskan pada bagian teori.
Dengan berkurangnya hamburan cahaya maka intensitas cahaya yang ditransmisikan akan
semakin meningkat.
Partikel pengotor juga memiliki peran dalam mempengaruhi sifat optik suatu
komponen optik. Partikel pengotor dapat menyerap dan menghamburkan cahaya yang datang
sehingga mengurangi intensitas cahaya yang dapat ditransmisikan. Tujuan perlakuan
permukaan dengan pembersihan disini adalah untuk mengurangi jumlah partikel pengotor
agar intensitas cahaya terserap dan terhambur seminimal mungkin sehingga cahaya yang
ditransmisikan dapat maksimal.

Transmitansi Lapisan Tipis Aluminium


Dalam pengujian ini dilakukan pengukuran nilai transmitansi cahaya yang dilewatkan
pada lapisan tipis Al. Pengukuran ini diperlukan untuk mengetahui nilai transmitansi lapisan
tipis Al untuk massa material sumber yang berbeda sehingga dapat diketahui hubungan antara
massa material sumber dan nilai transmitansi cahaya.
Pada percobaan ini pengukuran daya transmitansi cahaya dilakukan menggunakan
photometer yang terkalibrasi. Hasil pengukuran transmitansi lapisan tipis aluminium pada
berbagai massa aluminium ditunjukkan pada Gambar 7.

84  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Gambar 7. Transmitansi lapisan tipis aluminium pada berbagai massa Al.

Untuk massa Al hingga 30 mg laju penurunan transmitansi lapisan tipis Al yang


terjadi cukup besar. Perubahan kecil pada massa material menghasilkan perubahan
transmitansi yang signifikan. Namun untuk massa material lebih dari 30 mg bentuk kurva
mulai melandai. Gradien kurva yang terjadi lebih kecil dibandingkan dengan pada tahap awal.
Pada daerah ini dibutuhkan perubahan massa yang lebih besar untuk terjadinya perubahan
transmitansi lapisan.
Fenomena fisis pada kurva hubungan transmitansi lapisan tipis aluminium dan massa
material terkait dengan perubahan morfologi permukaan lapisan tipis aluminium.[8] Pada
lapisan dengan ketebalan yang rendah, lapisan yang terbentuk memiliki morfologi permukaan
yang diskontinu berupa struktur butiran dan menghasilkan transmitansi yang tinggi. Seiring
dengan meningkatnya ketebalan lapisan maka ukuran butiran akan semakin meningkat dan
morfologi permukaan diskontinu semakin menurun. Transmitansi lapisan mengalami
penurunan seiring peningkatan ketebalan lapisan Al. Hal ini berlangsung hingga pada suatu
ketebalan tertentu dihasilkan lapisan dengan morfologi permukaan yang kontinu namun
menghasilkan transmitansi yang rendah. Pada ketebalan tersebut transmitansi lapisan tipis
mulai memasuki daerah kontinu. Pada ketebalan yang lebih tinggi kontinuitas lapisan semakin
meningkat dan laju penurunan transmitansi lapisan semakin kecil. Hasilnya kurva
transmitansi yang dihasilkan lebih landai dibandingkan dengan daerah kurva dengan lapisan
yang diskontinu.
Dengan memperhatikan struktur mikro lapisan tipis Al pada penjelasan diatas maka
kurva transmitansi diatas dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu daerah diskontinu dan
kontinu. Daerah diskontinu adalah daerah sebelum terjadi pembelokan kurva, sedangkan
daerah kontinu adalah daerah setelah terjadi pembelokan kurva.
Dengan menggunakan perangkat lunak pengolah grafik dapat diketahui persamaan
grafik diatas yang dapat dinyatakan sebagai berikut:

T = 194,67626 exp (-0,05953m) (1)

dengan T adalah transmitansi (%) dan m adalah massa Al (mg).


Transmitansi adalah rasio intensitas cahaya transmisi terhadap intensitas cahaya awal
atau dapat dinyatakan dengan T = I/Io. Dengan memasukkan persamaan ini maka persamaan
1 dapat dinyatakan sebagai:

T = C exp (-x) (2)

dimana C adalah suatu konstanta.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     85 
Dengan membandingkan persamaan 1 dan 2 dapat diketahui bahwa nilai konstanta
absorpsi, , lapisan tipis aluminium adalah sebesar 0,05953 /m dimana massa (m) berbanding
lurus dengan ketebalan (x) seperti yang ditunjukkan persamaan 1 dan 2. Sedangkan nilai
konstanta C adalah 194,67626.
Dari kurva transmitansi tersebut diatas dapat diketahui bahwa kurva transmitansi
lapisan tipis aluminium pada awalnya terdapat kecenderungan berbentuk linier pada daerah
massa 0–30 mg kemudian melandai pada massa yang lebih besar. Untuk dapat memanfaatkan
daerah linier maka perlu diketahui persamaan hubungan massa material dengan transmitansi
lapisan tipis. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menarik garis lurus (trend line) pada plot
data daerah linier sehingga dapat diperoleh persamaan matematis garis tersebut seperti yang
dapat dilihat pada Gambar 8.

100

80
Transmitansi (%)

60

40

20

0
10 15 20 25 30 35
Massa Aluminium (mg)

Gambar 8. Plot data untuk daerah linier kurva transmitansi lapisan tipis aluminium pada
berbagai massa Al (13-30 mg).

Dari grafik tersebut terdapat daerah linier yang dapat dinyatakan dalam bentuk
persamaan regresi linier. Hubungan regresi linier dapat dituliskan dengan persamaan sebagai
berikut[9]:
y = ax + b (3)

dengan a dan b adalah variabel data. Dengan n jumlah data maka nilai a dan b dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan berikut:

 n   n  n 
n   x i yi  -   x i    yi 
a =  i=1   i=1   i=1 
2
(4)
 n 2  n 
n   xi  -   xi 
 i=1   i=1 

 n   n 2   n  n 
  yi    x i  -   x i   x i yi 
b =  i=1   i=1   i=1  i=1
2
 (5)
 n
  n

n   xi2  -   xi 
 i=1   i=1 

86  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Kesalahan standar pengukuran S dihitung dengan metoda standar kesalahan regresi
linier yang dirumuskan[10]:

  n  n  n   
2

 2  n  x i yi -   x i   yi   
 1   n 2  n   i=1  i=1  i=1   
S=    n  yi -   yi  - 2  (6)
 n(n-2)   i=1  i=1  n
2 
n
 
n  xi -   x i 
   
 i=1 i=1 

Dari kurva hasil plot data dengan menggunakan persamaan regresi linier 3-5 maka
dapat diketahui persamaan matematis hubungan massa material sumber dan transmitansi
lapisan pada daerah linier yang dapat dinyatakan dengan sebagai berikut:

y = -3,4x + 135,3 (7)

dengan y adalah transmitansi lapisan tipis Al (%) dan x adalah massa material sumber (13–30
mg). Sedangkan kesalahan standar pengukuran S dihitung dengan persamaan 6 diperoleh
kesalahan pengukuran transmitansi =  1,0%.
Daerah linier kurva transmitansi diatas dapat digunakan untuk pembuatan komponen
optik beam splitter. Dengan mengetahui daerah linier maka dapat dibuat beam splitter dengan
daya transmitansi tertentu. Nilai suatu beam splitter biasanya dinyatakan dengan T/R
(transmitansi/reflektansi). Beam splitter yang paling banyak digunakan adalah beam splitter
dengan rasio transmitansi/reflektansi 50/50.
Untuk memprediksi batas bawah daerah linier maka dapat dilakukan penghitungan
massa material yang diperlukan untuk memperoleh transmitansi 0% dengan menggunakan
persamaan 7. Hasil perhitungan menunjukkan untuk memperoleh transmitansi 0% maka
massa material sumber yang dibutuhkan adalah 40 mg. Sementara hasil pengukuran
menunjukkan massa material 190 mg menghasilkan transmitansi lapisan tipis sebesar 4,7%.
Hal ini berarti dengan massa material Al sebanyak 40 mg akan diperoleh transmitansi lapisan
lebih besar dari 4,7%. Hal ini menggambarkan bahwa daerah linier terjadi antara 13-40 mg.
Daerah linier ini dapat digunakan untuk pembuatan komponen optik pemecah sinar
(beam splitter). Dengan mengetahui daerah linier maka dapat dibuat beam splitter dengan
daya reflektansi tertentu. Nilai suatu beam splitter biasanya dinyatakan dengan T/R
(transmitansi/reflektansi). Beam splitter yang paling banyak digunakan adalah beam splitter
50/50.
Untuk mengetahui batas atas daerah linier maka dapat dilakukan penghitungan massa
material yang diperlukan untuk memperoleh reflektansi 100% dengan menggunakan
persamaan 19. Hasil penghitungan menunjukkan untuk memperoleh reflektansi 100% maka
massa material sumber yang dibutuhkan adalah 40 mg. Sementara hasil pengukuran
menunjukkan massa material 190 mg hanya menghasilkan reflektansi sebesar 95,3%. Berarti
dengan massa material sumber 40 mg akan diperoleh reflektansi lapisan dibawah 95,3%. Hal
ini menggambarkan bahwa daerah linier terjadi antara 13-40 mg. Massa material lebih dari 40
mg menghasilkan hubungan massa material sumber dan reflektansi lapisan yang tidak linier.
Untuk memperoleh nilai reflektansi mendekati 100% diperkirakan membutuhkan massa
material sumber aluminium sekitar 250 mg.

KESIMPULAN
Dalam penelitian ini telah dibuat lapisan tipis aluminium (Al) menggunakan metoda
evaporasi vakum dengan massa yang berbeda untuk digunakan sebagai beam splitter pada alat
bidik senjata. Sampel yang dibuat telah memenuhi Standar Syarat-syarat Tipe (SST)
Teropong Medan Perorangan yang ditetapkan oleh Dinas Penelitian dan Pengembangan

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     87 
Mabes TNI AD yaitu memenuhi persyaratan uji durabilitas lapisan tipis aluminium dan
transmitansi minimum substrat gelas BK7. Sampel lapisan tipis memenuhi persyaratan
standar tersebut setelah dilakukan penggosokan sebanyak 20 kali dengan tekanan sedang
menggunakan penghapus karet standar tidak mengalami pengelupasan. Sedangkan hasil
pengukuran transmitansi menunjukkan transmitansi rata-rata substrat gelas BK7 adalah
sebesar 92,9% melebihi nilai transmitansi minimum yang ditetapkan oleh standar diatas yaitu
sebesar 85%.
Dari hasil percobaan diketahui bahwa untuk memperoleh beam splitter dengan rasio
transmitansi/reflektansi 50/50, maka massa material Al yang dibutuhkan adalah sebesar 25
mg. Lapisan tipis aluminium dengan massa material aluminium 13-30 mg menunjukkan
kecenderungan penurunan transmitansi secara linier seiring peningkatan massa sumber yang
dapat dinyatakan oleh persamaan 4 dan 5 dengan kesalahan standar pengukuran sebesar ±
1,0%. Hasil pengukuran spektrum menunjukkan lapisan tipis aluminium menghasilkan
transmitansi yang tinggi pada panjang gelombang 550-600 nm pada pengukuran transmitansi
di daerah gelombang tampak (400-650 nm).
Untuk penelitian lebih lanjut dapat dilakukan pembuatan lapisan tipis Al dengan
massa 30-190 mg untuk mendapatkan data yang lebih akurat mengenai karakteristik
transmitansi lapisan tipis Al. Selain itu dapat pula dilakukan pengukuran transmitansi pada
kedua sisi permukaan sampel untuk mengetahui nilai absorpsi lapisan tipis pada berbagai
massa material sumber.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kemendiknas yang telah mendanai
penelitian ini melalui Program Penelitian Insentif Dikti 2009.

Daftar Referensi
[1] Hobbs, P.C.D. 2009. Building Electro-Optical System: Making It All Work, 2nd Ed.
New Jersey: John Wiley & Sons Inc. Publication.
[2] Macleod, H.A. 2010. Thin Film Optical Filters, 4th Ed. Boca Raton: CRC Press.
[3] Holland, L. 1970. Vacuum Deposition of Thin Films. London: Chapman and Hall Ltd.
[4] Ohring, M. 1992. The Material Science of Thin Films. London: Academic Press.
[5] Martin, P.M. 2005. Handbook of Deposition Technology for Films and Coatings:
Sciene, Application and Technology. Oxford UK: Elsevier Inc.
[6] M Series Spectrometers. New Jersey: Spex Industries.
[7] Dinas Penelitian dan Pengembangan TNI AD. 1980. Syarat-syarat Tipe (SST) Teropong
Medan Perorangan No : NS – 65 – 12 – 03 -05. Jakarta: Markas Besar TNI AD.
[8] Semaltianos, N.G. 2001. Thermally evaporated aluminium thin films. Applied Surface
Science, 183(3–4): 223-229.
[9] Doebelin, E.O. 1990. Measurement Systems: Application and Design, 4th Ed. New
York: McGraw-Hill International Book Company.
[10] Juliastuti, E. dan D. Gunawan Kurniadi. 2003. Pembuatan Prototipe Alat Ukur
Kekeruhan Larutan Berdasarkan Penyerapan Cahaya Secara On-Line. Jurnal
Instrumentasi, 27(2): 38-44.

88  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
SINTESIS MATERIAL NANOKRISTALIN BPSCCO
MELALUI METODE PENCAMPURAN BASAH

Bintoro Siswayanti*, Sigit Dwi Yudanto, Agung Imaduddin, Lusiana, Pius Sebleku
Pusat Penelitian Metalurgi dan Material - LIPI
Kawasan Puspiptek Gedung 470, Tangerang Selatan - Banten, 15314
*E-Mail: bint002@lipi.go.id

Abstrak
Bismuth Strontium Calcium Copper Oxide (BSCCO) merupakan material superkonduktor. Pada
penelitian ini dilakukan sintesis material superkonduktor BPSCCO menggunakan metode pencampuran basah
untuk mendapatkan kristal berukuran nano. Percobaan sintesis material BPSCCO menggunakan bahan baku
serbuk Bi2O3, Pb(NO3)2, SrCO3, CaO dan CuO. Bahan baku dicampur sesuai stoikiometri Bi2223 kemudian
dilarutkan dalam HNO3 dan akuades. Larutan diaduk sambil dipanaskan dengan suhu 180-200°C selama 1 jam
kemudian suhu dinaikkan menjadi 200-250°C sampai larutan menjadi kering. Padatan yang diperoleh
ditambahkan aceton dan selanjutnya digerus dengan menggunakan high energy miller selama 30 menit.
Campuran yang sudah digerus dikeringkan dan dikalsinasi dengan suhu 820°C selama 20 jam. Hasil kalsinasi
dibentuk pellet dan disinter dengan suhu 880°C yang ditahan selama 80 jam. Hasil difraksi sinar-X
menunjukkan bahwa fasa yang terbentuk berupa fasa Bi2212 sedangkan Bi2223 tidak ditemukan. Ukuran kristal
yang terbentuk didekati dengan persamaan Debye Scherer bernilai 0,8143 nm.

Kata kunci: Sintesis, BPSCCO, Pencampuran basah, Difraksi, Ukuran kristal, Debye Scherer.

PENDAHULUAN
Gejala superkonduktivitas pertama kali ditemukan oleh seorang Fisikawan Belanda
Heike Kamerlingh Onees pada tahun 1911 di Leiden Belanda.[1] Dalam penelitiannya diamati
bahwa hambatan listrik merkuri (Hg) mendadak menuju nol ketika suhunya diturunkan
sampai mendekati 4 K atau –269°C. Temperatur terjadinya peristiwa superkonduktivitas
disebut dengan temperatur transisi atau temperatur kritis (Tc), dimana suatu bahan berada
dalam fase transisi yaitu dari kondisi yang memiliki hambatan listrik normal ke kondisi
superkonduksi.
Pada tahun 1988, superkonduktor Bismuth-based cuprate dilaporkan Dr. H. Maeda, et
al sebagai superkonduktor pertama yang memiliki Tc melebihi 100 K. Sejauh ini dikenal tiga
jenis bismuth-cuprate, Bismuth Strontium Calcium Copper Oxide (BSCCO), berdasar jumlah
bidang CuO2 yang terbentuk dalam sel satuan kristal, yaitu Bi2Sr2CuO6 dengan satu lapisan
CuO2 (temperatur kritis 30K), Bi2Sr2CaCu2O8 dengan dua lapisan CuO2 (temperatur kritis
95K), dan Bi2Sr2Ca2Cu3O10 dengan tiga lapisan (temperatur kritis 110K). Mereka dikenal
dengan Bi2201, Bi2212 dan Bi2223.[2]
Bismuth Strontium Calcium Copper Oxide (BSCCO) merupakan superkonduktor
oksida keramik yang mempunyai struktur berlapis-lapis sehingga menyebabkan bahan
superkonduktor sistem BSCCO sangat rapuh dan mudah patah. Superkonduktor sistem
BSCCO memiliki beberapa keunggulan dan keistimewaan dibandingkan superkonduktor
keramik yang lainnya karena suhu kritisnya (Tc) relatif tinggi dan tidak mengandung unsur
beracun.[3]
Sintesis kristal superkonduktor kuprat berbasis Bismut dapat ditempuh melalui
beberapa metode, antara lain metode reaksi fase padat, metode Floating Zone (FZ), metode
“self-flux” dengan doping Gd[4], metode “self-fluks” dengan CaCO dan CuO[3], dan metode
Travelling Solvent Floating Zone (TSFZ).[5] Umumnya metode-metode tersebut menghasilkan
serbuk dengan ukuran kristal > 100 nm dan memerlukan waktu pemanasan yang relatif lama.
Dengan permasalahan seperti itu, maka tujuan penelitian ini akan dilakukan sintesis
superkonduktor (Bi,Pb)-2212 dan (Bi,Pb)-2223 dengan ukuran kristal ≤ 100 nm melalui
metode pencampuran basah.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     89 
Tiap fase kristalin mempunyai susunan difraktogram yang spesifik, sehingga dapat
digunakan sebagai sidik jari untuk uji identifikasi.[6] Penentuan kesesuaian struktur kristal
yang terbentuk dilakukan dengan mencocokkan setiap puncak yang muncul pada
difraktogram pada nilai sudut 2θ dan d tertentu hasil analisis dengan data dari ICDD
(International Centre for Diffraction Data).
Difraksi sinar-X juga dapat digunakan untuk menentukan ukuran kristal (crystallite
size). Penentuannya merujuk pada puncak-puncak utama pola difraktogram melalui
pendekatan modifikasi persamaan Debye Scherer[7] yang dirumuskan:

(1)

Keterangan :
D = ukuran kristal
K = faktor bentuk dari kristal (0,9 – 1)
λ = panjang gelombang (1,54056 Å)
ß = nilai dari Full Width at Half Maximum (FWHM) (rad)
θ = sudut difraksi (derajat)

Persamaan Scherer didapatkan berdasar pada asumsi grafik Gaussian dan kristal kubik
dengan ukuran kristal kecil. Tetapi persamaan ini juga digunakan untuk mengestimasi ukuran
kristal baik kubus maupun nonkubus. Nilai konstanta K umumnya digunakan K=1.[8]

METODE PERCOBAAN
Sintesis bahan superkonduktor Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3Ox (BPSCCO) dilakukan dengan
menggunakan metode pencampuran basah. Bahan baku yang digunakan pada penelitian
adalah serbuk Bi2O3 (Nilaco Company), Pb(NO3)2 (Merck), SrCO3 (Nilaco Company), CaO
(Merck), CuO (Merck), HNO3 (Merck) dan Akuades. Bahan baku serbuk Bi2O3, Pb(NO3)2,
SrCO3, CaO, dan CuO ditimbang sesuai stoikiometri polikristal yang diinginkan. Bahan baku
yang sudah ditimbang ditambahkan 45 mL aquadest dan 10 mL HNO3. Larutan diaduk sambil
dipanaskan sampai kering. Padatan kemudian ditambahi aceton sebanyak 30 mL dan
selanjutnya di-milling dengan high energy miller. Ukuran ruang penggerus berdiameter 35
mm dan tinggi 80 mm. Ball mill yang digunakan sebanyak tiga buah masing-masing
berdiameter 5 mm dan berat 4 gr. Setelah milling, larutan dikeringkan kembali dan dikalsinasi
dengan suhu 820°C selama 20 jam. Hasil kalsinasi dibentuk pellet dan disinter pada suhu
880°C yang ditahan selama 80 jam dengan kondisi atmosfir udara bebas. Setelah 80 jam
sintering, sampel dibiarkan di dalam tungku sampai dingin.
Karakterisasi hasil sintesis menggunakan difraksi sinar-X dan Scanning Electron
Microscope (SEM). Difraksi sinar-X menggunakan radiasi CuKα dengan panjang gelombang
1,54060 Å. Pengukuran dengan difraksi sinar-X dilakukan pada rentang sudut 2θ 10-80° dan
sampel pada kondisi suhu kamar. Eksperimen dan karakterisasi dilakukan di Puslit Metalurgi
dan Material LIPI.

90  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Pola Difraksi Sinar-X sampel BPSCCO pada suhu kamar.

Difraksi sinar-X digunakan untuk mengetahui fasa yang terbentuk dari hasil sintesis.
Gambar 1 menunjukkan pola difraksi sinar-X sampel yang disinter dengan suhu 860°C
selama 80 jam. Pola pantulan difraksi sinar-X menunjukkan bahwa mayoritas fasa yang
terbentuk adalah fasa CaCu2Sr2Bi2O8+x (Bi2212) yang sesuai dengan The International Centre
for Diffraction Data (ICDD) No. 049-0466. Selain fasa Bi2212, difraktogram menunjukkan
terdapat fasa lain yang ikut terbentuk, yaitu Bi2Sr2O5.
Dari hasil karakterisasi menggunakan difraksi sinar-X yang menunjukkan bahwa fasa
yang terbentuk adalah fasa Bi2212, dan tidak ditemukan fasa Bi2223 (dengan pendopingan Pb
pada basis Bi). Tidak ditemukan fasa Bi2223 hal tersebut karena suhu pemanasan pada
temperatur 880°C selama sintering terlalu tinggi. Hatano menjelaskan bahwa temperatur yang
sesuai untuk penumbuhan Bi2223 berada pada rentang 843°C hingga 870°C. Pada temperatur
di atas 870°C terjadi reaksi dekomposisi fasa Bi2223.[9]
Ukuran kristal dapat dihitung dengan menggunakan modifikasi persamaan Debye dan
Scherer tersebut di atas dengan nilai panjang gelombang, intensitas, 2θ, dan FWHM (ß) yang
telah dihasilkan dari uji XRD. Modifikasi persamaan Debye Schrerrer menunjukkan bahwa
nilai ukuran kristal yang dihasilkan akan berbanding terbalik dengan nilai FWHM, sedangkan
nilai FWHM dipengaruhi oleh intensitas masing-masing bidang kristal.
Berdasarkan persamaan 1 dibuat grafik hubungan ln (1/cos θ) sebagai sumbu x dan
ln β sebagai sumbu y. Sehingga diperoleh nilai intersep, yakni:

nilai intersep = ln (Kλ/D)


exp(nilai intersep) = (Kλ/D)
(D) = (Kλ /exp(nilai intersep))

Perhitungan nilai (ln 1/cos θ) dan (ln ß) hasil analisis XRD pada orientasi bidang-
bidang kristal ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel 1. Hasil Pengolahan Data Difraktogram


2  1/cos  ß ln (1/cos ) ln ß
22,85120 11,4256 1,0202179 0,312 0,020016232 -1,16475
24,58260 12,2913 1,023459838 0,216 0,023188885 -1,53248
27,20680 13,6034 1,028862637 0,312 0,028453956 -1,16475
30,72690 15,36345 1,037059733 0,288 0,036389529 -1,24479
32,85490 16,42745 1,04255871 0,336 0,04167799 -1,09064
34,73450 17,36725 1,04776652 0,432 0,046660775 -0,83933

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     91 
sehingga apabila diplotkan pada kurva ln (1/cosθ) vs ln(ß) akan diperoleh sebagai berikut:
ln (1/cos ) 
0
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05
‐0.2

‐0.4

‐0.6
y = 15.06x ‐ 1.665
‐0.8
R² = 0.501
ln ß  ‐1

‐1.2

‐1.4

‐1.6

‐1.8
Gambar 2. Kurva ln (1/cosθ) vs ln(ß) Hasil Modifikasi Persamaan Debye Scherer.

Nilai intersep diperoleh pada kurva tersebut sebesar -1,665, sehingga perhitungan (D)
= (Kλ /e(nilai intersep)) dapat diselesaikan. Ukuran kristal (D) diperoleh sebesar 0,8143 nm.
Koefisien determinasi dari persamaan regresi tersebut (R2) sebesar 0,501 menunjukkan
kecocokan model persamaan. Apabila puncak pertama difraktogram asumsi dapat diabaikan,
sehingga diperoleh R2 yang lebih baik, yakni 0,8, maka diperoleh besaran butir 1,138 nm.
Angka 1,138 nm tersebut pun masih jauh lebih kecil dari angka batas ukuran butir 100 nm.
Adapun hasil citra mikroskop elektron pada Gambar 3 memperlihatkan bahwa
struktur sampel BPSCCO terlihat padat, dan batas butir terlihat jelas. Dari gambar tersebut
juga terlihat struktur yang berbentuk lapisan (layer), hal ini sesuai dengan referensi bahwa
mikrostruktur BPSCCO berbentuk lapisan-lapisan.[3,9]

Gambar 3. Citra mikroskop elektron sampel BPSCCO yang disinter pada suhu 880°C.

KESIMPULAN
Metode pencampuran basah pada komposisi stoikiometri BPSCCO (Bi2223) yang
dikalsinasi pada 820°C dan sintering 880°C menghasilkan material nanokristalin BPSCCO
(Bi2212) yang memiliki ukuran kristal 0,8143 nm.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih diberikan kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang
telah mendanai penelitian program tematik ini. Selain itu ucapan terima kasih semua pihak
yang secara langsung atau tidak langsung membantu penelitian ini.

92  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Daftar Referensi
[1] Cyrot. et al. 1992. Introduction to Superconductivity and High-Tc Materials. Singapore:
World Scientific.
[2] Ayai, Naoki. et al. Achievement of High-Temperature Superconducting Wire With
Critical Current Exceeding 200 A. Number 63. December 2006. Sei Technical Review.
[3] Nanik, Y. 2002. Pengaruh Kadar Fluks CaCO dan CuO pada Pembentukan Kristal
Superkonduktor Bi-2212. Jurnal Ilmu Dasar, 3(1): 8-14.
[4] Y Zhao. et al. 2000. Growth and Annealing Effect on Resistivity Anisotropy of
Bi2Sr2CaCu2O8 Single Crystals. Beijing: Department of Physics, Peking University.
[5] Benseman, T. M. et al. 2007. In-plane oxygen diffusion in single crystals of
Bi2Sr2CaCu2O8+d3. Physica, C 468: 81–87.
[6] R. West, Anthony. 1989. Solid State Chemistry and Its Application. New York: John
Wiley and Sons.
[7] Monshi, Ahmad. et al. 2012. Modified Scherer Eqquation to Estimate More Accurately
Nano-Crystallite Size Using XRD. World Journal of Nano Science and Engineering, 2:
154-160.
[8] Subagja, Bagus. 2011. Pengaruh Variasi Persen Berat Bi dan Pemberian Tekanan pada
Parameter Kisi dan Ukuran Kristal Sistem Material Sn-Cu-Bi dan Sn-Cu. Skripsi.
Jakarta: Universitas Indonesia.
[9] Hatano, T. et al. 1990. Growth Mechanism of High Tc Phase in Leaded Bi-Sr-Ca-Cu-O
System. Cryogenics, 30.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     93 
94  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
PENGARUH PENAMBAHAN SENG TERHADAP RESPONS
PENGERASAN PENUAAN KOMPOSIT Al-7Si-4Mg
BERPENGUAT 5%VOL. SILIKON KARBIDA
HASIL SQUEEZE CASTING

Bondan T. Sofyan*, Nararia Askarningsih, Vina Nanda Garjati


Departemen Teknik Metalurgi dan Material
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424, Indonesia
*E-Mail: bondan@eng.ui.ac.id

Abstrak
Material komposit merupakan salah satu jenis material yang saat ini banyak dikembangkan karena
dapat menggabungkan sifat komponen penyusunnya. Karena keunggulannya tersebut, material komposit dapat
diaplikasikan pada berbagai bidang, salah satunya adalah untuk aplikasi balistik. Untuk aplikasi balistik
dibutuhkan material yang kekerasannya tinggi namun tidak mengorbankan ketangguhannya. Dalam penelitian
ini dikembangkan komposit partikulat yang terdiri dari matriks paduan Al-7Si-4Mg berpenguat 5% vol. silikon
karbida hasil squeeze casting. Untuk ketangguhan yang tinggi, ditambahkan seng dengan variasi fraksi berat 1,
5, dan 9% Zn yang kemudian mengalami laku pelarutan pada temperatur 500°C selama satu jam dan
dilanjutkan dengan pengerasan penuaan pada temperatur 200°C. Karakterisasi yang dilakukan adalah
pengujian kekerasan, pengujian impak dan fraktografinya, serta pengamatan dan analisis struktur mikro
menggunakan mikroskop optik, SEM (Scanning Electron Microscope) dan EDXA (Energy Dispersive X-ray
Analysis). Hasil pengujian menunjukkan semakin tinggi kandungan seng maka semakin tinggi kekerasan puncak
dan harga impak paduan. Seluruh sampel mencapai kekerasan puncak dalam waktu 2 jam.

Kata kunci: Komposit aluminium, Silikon karbida, Seng, Pengerasan penuaan, Kekerasan.

PENDAHULUAN
Material komposit merupakan salah satu jenis material yang saat ini banyak
dikembangkan karena dapat menggabungkan sifat-sifat yang menyusunnya. Beberapa tahun
belakangan ini, komposit berbasis logam (metal matrix composite) dengan matriks aluminium
yang berpenguat SiC banyak digunakan untuk aplikasi penerbangan, militer, dan industri
manufaktur karena kekuatannya tinggi dan memiliki ketahanan aus dan fatik yang baik.[1]
Karena keunggulannya, komposit aluminium berpenguat SiC diaplikasikan pada berbagai
bidang, salah satunya adalah untuk aplikasi balistik. Untuk aplikasi balistik dibutuhkan
material yang kekerasannya tinggi namun tidak mengorbankan ketangguhannya. Dengan
tujuan mencapai sifat tersebut, diperlukan penambahan elemen paduan pada matriks dan
pengerasan penuaan.
Penambahan magnesium pada lelehan paduan aluminium berguna untuk
meningkatkan ikatan antarmuka antara partikel SiC dengan matriksnya.[2] Sedangkan
penambahan seng pada aluminium merupakan kombinasi untuk mendapatkan kekuatan tarik
yang paling tinggi dalam wrought aluminium alloy karena seng dapat menghaluskan lengan
dendrit dan mampu membentuk mekanisme penguatan larutan padat.[3] Penambahan
magnesium dan seng pada aluminium meningkatkan kekuatannya karena mereka dapat
membentuk endapan MgZn2 sebagai respon terhadap perlakuan panas yang diberikan.[4]
Kekuatan dan kekerasan dari paduan aluminium dapat ditingkatkan dengan
pembentukan partikel kecil yang terlarut dalam bentuk fasa kedua pada matriksnya. Hal
tersebut dicapai dengan proses perlakuan panas pengerasan presipitasi (precipitation
hardening). Diharapkan mekanisme pengerasan presipitat ini dapat meningkatkan kekerasan
matriks paduan aluminium tanpa mengorbankan ketangguhannya.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     95 
METODE PERCOBAAN
Dalam penelitian ini, komposit partikulat bermatriks paduan Al-7Si-4Mg dengan
variasi penambahan Zn sebesar 1, 5, dan 9% berat serta berpenguat 5%vol. silikon karbida
dibuat melalui proses squeeze casting. Sampel untuk proses perlakuan panas dipotong
berukuran 1x1x1 cm3 seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Sementara sampel impak dibuat
sesuai standar ASTM E23 metode Charpy (Gambar 2). Komposit diberi perlakuan panas
solution treatment pada temperatur 500C selama satu jam, dicelup ke dalam air dingin dan
dilanjutkan dengan pengerasan penuaan (age hardening) pada temperatur 200C (Gambar 3).
Respon sampel terhadap pengerasan penuaan dari komposit aluminium berpenguat SiC ini
dilihat melalui pengujian kekerasan dengan metode Rockwell B menggunakan mesin uji keras
Rocky. Pengujian kekerasan dilakukan dalam rentang waktu 5 menit hingga 24 jam.

Gambar 1. Sampel untuk pengujian perlakuan panas penuaan.

Gambar 2. Sampel untuk pengujian impak.

Gambar 3. Tahapan proses pengerasan penuaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Respons Pengerasan Penuaan


Hasil pengujian kekerasan digunakan untuk membuat kurva penuaan yang ditunjukkan
pada Gambar 4. Gambar tersebut menunjukkan semakin meningkatnya kadar seng dalam

96  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
komposit maka nilai kekerasannya semakin tinggi pada kondisi as-cast. Hal itu diakibatkan
oleh peningkatan kadar Zn yang dapat memicu pembentukan dendrit yang lebih halus pada
matriks aluminium. Selain itu, atom Zn memiliki diameter yang lebih rendah daripada atom
Al (diamater atom Al = 0,142 nm, Zn = 0,138 nm) sehingga atom Zn terlarut pada kisi atom
aluminium dan menyebabkan tegangan kisi, yang disebut dengan mekanisme solid solution
strengthening (penguatan larutan padat).[3]
Pada Gambar 4 juga terlihat terjadinya penurunan kekerasan komposit pada kondisi
setelah pendinginan cepat (as-quenched), bila dibandingkan dengan kekerasan hasil
pengecoran (as-cast). Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah vacancy pada saat solution
treatment karena adanya peningkatan temperatur. Saat dilakukan pendinginan cepat, vacancy
tersebut terperangkap dalam matriks sehingga terjadi kekosongan atom yang mengakibatkan
penurunan kekerasan.[5]

Gambar 4. Pengaruh kandungan seng terhadap kurva penuaan komposit paduan Al-7Si
berpenguat 5% SiC.

Nilai kekerasan puncak yang didapat adalah 60,02; 62,27; dan 68,40 HRB masing-
masing untuk fraksi berat 1, 5 dan 9% Zn. Komposit dengan kandungan 9 wt.% Zn memiliki
kekerasan tertinggi dan terjadi peningkatan kekerasan sekitar 12 % dari komposit dengan
kandungan 1 wt.% Zn dan sekitar 9% dari komposit dengan kandungan 5 wt.% Zn. Kenaikan
kekerasan komposit pada kondisi peak aged diperkirakan akibat terbentuknya presipitat
MgZn2 yang tumbuh pada matriks. Nampak pada Gambar 4 bahwa perbedaan nilai
kekerasan komposit dengan kandungan 1 dan 9% Zn pada kondisi as-quenched hampir sama
dengan perbedaan pada kondisi kekerasan puncak sebesar kurang lebih 20 HRB. Hal tersebut
menandakan bahwa presipitat MgZn2 yang terbentuk pada matriks memiliki perbandingannya
yang hampir sama dan jumlah yang terbentuk pun juga cukup banyak.
Untuk menganalisis evolusi stuktur mikro pada komposit selama proses penuaan,
dilakukan pengamatan dengan mikroskop optik yang hasilnya ditampilkan pada Gambar 5.
Terlihat jelas bahwa penambahan seng menghaluskan jarak antar lengan dendrit (dendrite arm
spacing, DAS). Untuk memastikan terjadi penghalusan, dilakukan pengukuran secara
kuantitatif yang hasilnya ditampilkan pada Tabel 1. Terlihat bahwa pada kondisi as-cast,
semakin tinggi kandungan seng, DAS semakin kecil. Matriks dengan kandungan seng 9 wt.%
mengalami penurunan jarak lengan dendrit kurang lebih sebesar 27,56%. Hal tersebut sesuai
dengan teori bahwa seng yang terlarut pada matriks aluminium dapat menghaluskan lengan
dendrit melalui mekanisme penghambatan pertumbuhan butir.[3] Sedangkan pada kondisi
setelah dilakukan pengerasan penuaan didapatkan ukuran DAS dengan kecenderungan yang
kurang teratur. Sehingga perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk memahami
kecenderungan ukuran DAS pada kondisi sampel setelah diberikan pengerasan penuaan.
Pada struktur mikro komposit yang ditunjukkan pada Gambar 5 juga dapat dilihat
bahwa distribusi persebaran SiC tidak merata dan masih ada bagian matriks yang tidak
terdapat SiC. Hal ini disebabkan karena ukuran partikel SiC yang terlalu besar, sekitar 33,80-
53,90 µm, sehingga cukup sulit untuk dapat terdistribusi secara sempurna. Selain itu, fraksi

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     97 
berat SiC sebesar 5% diperkirakan masih terlalu sedikit untuk bisa mendapatkan persebaran
partikel yang merata pada matriks. Berdasarkan penelitian Kim et al.[6], distribusi partikel SiC
3 µm dengan fraksi berat 10% tersebar merata pada matriks Al–7,76Si–2,75Cu–0,28Mg dan
menghasilkan respons kekerasan tertinggi pada pengerasan penuaannya, yaitu sebesar 90
HRB pada waktu 10 jam dengan temperatur penuaan 160°C. Pada Gambar 5 juga dapat
dilihat bahwa disekeliling partikel SiC terdapat garis gelap. Garis gelap tersebut diperkirakan
adalah rontokan dari partikel SiC yang terjadi pada saat preparasi sampel.
Al‐7Si‐4Mg‐1Zn  Al‐7Si‐4Mg‐5Zn  Al‐7Si‐4Mg‐9Zn 
a  e  i 
as ‐cast 

49.12 52.62
b  f j 
under‐aged 

37.34  39.20  52.20 

c  g  k 
peak‐

60.02 62.27 68.40

d  h  l 
over‐

44.00 42.46 48.72

Gambar 5. Struktur mikro komposit paduan Al-7Si-4Mg berpenguat SiC 5 wt.% dalam
kondisi as-cast, under aged, peak aged dan over aged dengan kandungan seng (a-d) 1%,
(e-h) 5% , dan (i-l) 9% berat pada temperatur penuaan 200°C.

Tabel 1. Pengaruh kandungan Zn dan kondisi penuaan pada ukuran DAS (dalam µm)
Sampel Kondisi Sampel
As-Cast Underaged Peak aged Overaged
Al-7Si-4Mg-1Zn 25,90 20,46 19,40 19,62
Al-7Si-4Mg-5Zn 23,46 21,30 17,62 19,94
Al-7Si-4Mg-9Zn 18,76 16,50 12,43 14,15

98  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Gambar 6. Hasil pengamatan SEM komposit Al-7Si-4Mg dengan penambahan (a) 1%, b) 5%
dan c) 9% berat Zn pada kondisi peak aged dengan temperatur penuaan 200°C selama 2 jam.

Tabel 2. Hasil analisis mikro pada komposit dengan matriks mengandung 1% berat Zn pada
posisi sesuai dengan Gambar 6a

Tabel 3. Hasil analisis mikro pada komposit dengan matriks mengandung 5 % berat Zn pada
posisi sesuai dengan Gambar 6b

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     99 
Tabel 4. Hasil analisis mikro pada komposit dengan matriks mengandung 9% berat Zn pada
posisi sesuai dengan Gambar 6c

Hasil pengamatan struktur mikro komposit dengan menggunakan SEM ditampilkan


pada Gambar 6. Pada perbesaran 1000 kali, sampel dianalisis dengan menggunakan Energy
Dispersive X-ray Analysis untuk mengetahui kemungkinan fasa yang terbentuk akibat respons
pengerasan penuaan buatan. Berdasarkan analisis mikro yang ditunjukkan oleh Tabel 2, 3 dan
4, pada nomor 1 dideteksi partikel SiC. Secara umum partikel ini berukuran tidak seragam
dan tidak tersebar merata dalam matriks.
Posisi nomor 2 adalah daerah antarmuka dari partikel SiC dengan matriks. Pada
antarmuka tidak terlihat adanya void atau pori yang berarti bahwa ikatan antara matriks dan
partikel SiC baik. Pada daerah antarmuka antara matriks dengan penguat tidak dideteksi
keberadaan Mg yang berfungsi sebagai wetting agent. Keberadaan Mg tidak terdeteksi pada
antarmuka karena Mg bukan bertindak sebagai pengikat, namun mengurangi tegangan
permukaan antara matriks dan penguatnya. Diperkirakan Mg terikat sebagai fasa lain dalam
matriks sehingga tidak terdapat pada daerah antarmuka.
Pada nomor 3 dan 5, fasa yang terdeteksi adalah matriks paduan aluminium dengan
unsur Zn yang jumlahnya semakin meningkat seiring dengan peningkatan kandungannya.
Lalu pada nomor 4 terdeteksi adanya unsur Fe dan Mn pada matriks aluminium. Kedua unsur
ini terdeteksi dari fasa intermetalik berwarna putih, dapat dilihat pada nomor 4, yang berada
disekitar partikel silikon karbida. Diperkirakan keberadaan kedua unsur Fe dan Mn pada fasa
intermetalik ini berasal dari inklusi pada ingot aluminium yang digunakan untuk proses
pengecoran. Fasa intermetalik tersebut diperkirakan adalah α-Al(Fe,Mn)Si yang menyerupai
flake. Keberadaan unsur Cr pada fasa ini mungkin juga disebabkan oleh adanya inklusi pada
ingot.
Sedangkan hasil analisis mikro pada nomor 6, yang ditunjukkan pada Tabel 2 dan
Tabel 3, dideteksi kandungan Si yang cukup tinggi pada fasa yang berwarna abu-abu muda
seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5. Diperkirakan fasa tersebut adalah Si eutektik yang
berasal dari Si yang tidak larut pada matriks aluminium. Pada fasa Si eutektik ini juga
terdapat kandungan Mg yang diperkirakan berasal dari unsur paduan Mg dan berikatan
dengan Si sehingga membentuk presipitat Mg2Si akibat pengerasan penuaan. Penelitian Zhu
et al.[7] menunjukkan bahwa presipitat Mg2Si hanya dapat diobservasi dengan TEM karena
berukuran kurang lebih 30 nm dengan panjang kurang dari 500 nm.[7] Dapat disimpulkan
bahwa presipitat Mg2Si tidak terdeteksi secara jelas pada analisis mikro EDXA karena
ukurannya yang sangat kecil.
Pada hasil analisis mikro yang dilakukan, tidak terdeteksi adanya presipitat MgZn2
yang terbentuk akibat pengerasan penuaan. Berdasarkan penelitian Nasser, et al[8], presipitat
MgZn2 terbentuk sangat halus dan dapat dideteksi dengan SEM pada perbesaran 20.000 kali
atau lebih. Pada penelitian ini presipitat MgZn2 tidak bisa terdeteksi oleh SEM diakibatkan
oleh perbesaran SEM hanya 1000 kali.

Pengujian Impak
Pengujian impak dilakukan pada komposit dengan kondisi puncak (peak aged).
Perbandingan harga impak ditunjukkan pada Gambar 7. Semakin banyak penambahan seng,

100  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
harga impak semakin besar, yang terlihat dari kenaikan harga impak sampel 9% Zn dari
komposit yang mengandung 5% Zn. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan seng
meningkatkan kemampuan komposit untuk menyerap energi. Kenaikan harga impak
menunjukkan bahwa transfer tegangan terdistribusi dengan baik dan diharapkan sampel
tersebut juga memiliki ketahanan balistik yang besar. Gambar 8 menunjukkan foto makro
permukaan patah impak dari sampel komposit. Walaupun patahan menunjukkan patahan
getas, harga impak menunjukkan bahwa komposit dengan kandungan 9% berat seng masih
cukup tangguh. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengerasan penuaan berhasil untuk
meningkatkan ketangguhan komposit paduan aluminium berpenguat 5% vol. SiC.

Gambar 7. Pengaruh kandungan seng terhadap harga impak komposit aluminium Al-7Si-
4Mg-xZn berpenguat 5% berat SiC pada kondisi peak aged
dengan temperatur penuaan 200°C.

Gambar 8. Permukaan patahan impak dari komposit Al-7Si-4Mg dengan kandungan, a) 1%,
b) 5%, dan c) 9% berat Zn berpenguat 5% vol. SiC pada kondisi kekerasan puncak dengan
temperatur penuaan 200°C.

KESIMPULAN
Penambahan kandungan seng ke matriks komposit Al-7Si-4Mg berpenguat 5% vol.
Silicon karbida dapat meningkatkan kekerasan pada kondisi as-cast. Kondisi puncak
kekerasan komposit pada penuaan di 200°C dicapai dalam waktu 2 jam. Kekerasan puncak
paling tinggi dicapai pada kandungan seng sebesar 9% berat. Hasil analisis mikro SEM
(Scanning Electron Microscope) menunjukkan bahwa pada matriks aluminium terdapat fasa
intermetalik α-Al(Fe,Mn)Si. Sedangkan pengujian impak menunjukkan bahwa komposit
dengan kandungan 9% berat seng memiliki ketangguhan paling tinggi yang mengindikasikan
bahwa transfer tegangan yang diserap oleh matriks terdistribusi dengan baik ke penguat.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Riset dan Teknologi Republik
Indonesia yang telah mendanai riset ini melalui Insentif Riset Sinas tahun 2013 dengan
kontrak no. 0658/H2.R12/HKP.05.00 Perjanjian/2013.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     101 
Daftar Referensi
[1] Song, M. 2009. Effects of volume fraction of SiC particles on mechanical properties of
SiC/Al composites. Transaction Nonferrous Metals Society of China, 19(6):1400-1404.
[2] B. R, Henriksen and T.E. Johnsen. 1990. Influence of microstructure of fiber/matrix
interface on mechanical properties of Al/SiC composites. Materials Science and
Technology, 6: 857-863.
[3] Sofyan. dkk. 2008. Peran 1 dan 9 wt. % Zn dalam proses pengerasan presipitasi pauan
aluminium AA319. Jurnal Makara seri Teknologi, 12(1): 48-54.
[4] ASM Handbook. 1990. Properties and Selection: Nonferrous Alloys and Special-
Purpose Materials. ASM International Handbook Committee.
[5] W. D, Callister. 2004. Materials Science and Engineering, 6th ed. New York: John
Wiley & Sons, Inc.
[6] S.W. Kim. et al. Heat Treatment and Wear Characteristics of Al/Sicp Composites
Fabricated by Duplex Process. Composites Part B, 34: 737-735.
[7] M. Zhu. et al. 2012. Effect of T6 heat treatment on the microstructure, tensile
properties, and fracture behavior of the modified A356 alloys. Materials and Design,
36: 243-249.
[8] Nasser, A. et al. 2011. Fine scale precipitates in Al-Mg-Zn alloys after various aging
temperatures. Materials Sciences and Applications, 2: 427-434.

102  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
FRAKTOGRAFI PADA KERUSAKAN RODA ALUMUNIUM
KENDARAAN RODA EMPAT

Budi Priyono
Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI
Kawasan Puspiptek Tangerang Selatan, Banten 15314
E-Mail: budi.priyono@lipi.go.id

Abstrak
Fraktografi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri patahan. Sehingga dengan mengenal ciri-ciri
tersebut dapat diketahuai bentuk patahan yang terjadi dan akhirnya dapat menganalisa penyebab patahan.
Pada proses pemakaian berlangsung terjadi kerusakan pada roda berupa pecah atau patah dibagian spokes.
Material roda terbuat dari bahan alumunium paduan Al-Si-Mg untuk meningkatkan kekuatan dan
keuletan material dilakukan modifikasi eutektik dengan unsur Sr dan pengerasan endapan Mg2Si serta
kekerasan rata-rata material 86,93 HB, analog dengan standar DIN LM 9 Sr.
Dengan teknik fraktografi ciri-ciri patahan pada spokes, yaitu: patahan dekat dengan rim; membentuk
sudut 45° sebanyak 5 spokes dan membentuk sudut 90° sebanyak 1 spoke; Pada patahan yang membentuk sudut
90° terdapat deformasi plastis dan bekas gesekan. Dari ciri-ciri diatas kerusakan pada roda dapat
dikelompokkan kedalam patah getas akibat momen puntir yang diawali oleh tegangan geser akibat benturan
dengan benda keras pada saat roda berputar.

Kata kunci: Alumunium paduan Al-Si-Mg, Roda alumunium, Standar DIN LM 9 Sr, Fraktografi.

PENDAHULUAN
Pada proses pemakaian berlangsung terjadi kerusakan pada roda berupa pecah atau
patah dibagian spokes. Patahan terjadi pada seluruh spokes sebanyak 6 (enam) buah didekat
rim. Sehingga timbul pertanyaan apakah patah akibat kualitas roda alumunium yang rendah
atau disebabkan faktor pemakaian yang menyebabkan patahnya roda alumunium tersebut.
Untuk mengetahui penyebab kerusakan tersebut dilakukan serangkaian pengamatan
dan pengujian terhadap roda yang mengalami kerusakan. Pengujian yang dilakukan untuk
mengetahui kualitas material terdiri dari: analisa komposisi kimia, metalografi, dan pengujian
kekerasan. Sedangkan untuk mengetahui bentuk patahan dan penyebab terjadinya patahan
dilakukan dengan fraktografi secara konvensional. Hal ini dilakukan untuk mengetahui secara
cepat tetapi kritis mengenai jenis patahan dan faktor penyebab terjadinya patah pada spoke
roda alumunium kendaraan roda empat.
Sehingga segala tindakan dapat dilakukan secara cepat dan tepat untuk mencegah
kasus kegagalan terulang kembali. Diharapkan dari serangkaian pengamatan dan pengujian
dapat diketahui faktor penyebab kerusakan.

METODE PERCOBAAN

Analisa Komposisi Kimia


Analisa komposisi kimia menggunakan metoda ARL spektrometer, hasil analisa dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Komposisi kimia % Berat


Unsur Si Fe Cu Mn Mg Zn Ti Cr Ni Pb Sr Al

Spesimen 11,07 0,33 0,007 0,23 0,37 0,01 0,12 0,001 0,005 0,003 0,012 87,82

LM 9 Sr 10-13 0,35 0,2 03-0,7 0,2-0,5 - - - - - 0,02 -

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     103 
Metalografi
Serangkaian pengamatan metalografi dilakukan terhadap roda yang mengalami
kerusakan. Spesimen diambil pada daerah spokes, spesimen dihaluskan, dipoles dan dietsa
dengan larutan Keller’s. Kemudian dilakukan pengamatan dan pemotretan dengan
menggunakan mikroskop metalurgi. Disamping itu diamati pula pengamatan struktur makro
pada spesimen yang sama. Hasil pengamatan struktur mikro dan makro dapat dilihat pada
Gambar 1 dan Gambar 2.

Fraktografi
Serangkaian pengamatan fraktografi dilakukan pada roda yang mengalami kerusakan
terutama pada bagian spokes. Tujuan pengujian atau pengamatan fraktografi adalah untuk
mengetahu ciri-ciri patahan. Sehingga dari ciri-ciri terebut dapat diketahui kronologis
kerusakan dan faktor penyebab kerusakan. Hasil serangkaian pengamatan fraktografi pada
roda dan bidang patahan dapat dilihat pada Gambar 3.

Pengujian Kekerasan
Pengujian kekerasan dilakukan dengan metoda Brinell pada bagian spokes. Pengujian
kekerasan dilakukan pada sampel struktur makro yang hasilnya dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur Makro Pada Bagian Rim dari Roda Alumunium.

Etsan: Keller’s.
Gambar 2. Struktur Mikro Paduan Al-Si-Mg.

104  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
a)

b)
Gambar 3. a) Fraktografi Pada Spokes, b) Fraktografi Pada Spokes Dengan Sudut Bidang
Patahan 90°.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisa Material
Dari hasil analisa komposisi kimia material roda terbuat dari bahan alumunium paduan
jenis cor dengan sistem paduan Al-Si-Mg. Memiliki struktur mikro α (Al) dan Eutektik
Modifikasi dengan kekerasan rata-rata 86,93 HB. Standar kekerasan roda alumunium adalah
80-90 HB. Untuk meningkatkan kekuatan dan keuletan material, unsur yang digunakan
sebagai modifikasi eutektik adalah unsur Sr. Sehingga material roda analog dengan standar
DIN LM 9 Sr. Untuk mengurangi pengaruh negatif dari Fe ditambahkan unsur Mn sebesar 0,5
X unsur Fe yaitu 0,23%.
Dari hasil pengamatan tehadap struktur makro menunjukkan struktur chill pada bagian
permukaan dan terlihat pula sedikit pin hole. Struktur Chill masih terlihat meskipun
kandungan Ti sudah cukup tinggi yaitu sebesar 0,12%. Hal ini disebabkan beberapa parameter
proses pengecoran masih perlu diperhatikan terutama temperatur cetakan. Demikian pula pin

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     105 
hole perlu dilakukan pengurangan gas yang ada dalam cairan melalui proses degassing atau
memperhatikan faktor lain yang dapat menimbulkan pin hole.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa material roda alumunium sesuai dengan standar
DIN LM 9 Sr dengan kekerasan 80-90 HB.

Analisa Fraktografi
Pada proses pemakaian roda atau wheel beban yang paling besar adalah pada bagian
rim. Hal ini disebabkan beban tertumpu pada bagian tersebut, yaitu: beban dari tekanan ban
dan beban dinamis yang didistribusikan secara hidrostatis keseluruh bagian rim. Kondisi yang
sangat fatal sering terjadi pada bagian tersebut apabila ada benturan langsung pada rim yang
disebabkan oleh ban kendaraan kurang tekanan. Sehingga akan berakibat buruk, yaitu: rim
terdeformasi dan atau patah. Sedangkan pada bagian spokes pada kondisi normal hanya
menerima beban lentur.
Dari serangkaian pengamatan fraktografi daerah spokes pada Gambar 3a dan 3b,
menunjukkan ciri-ciri patahan sebagai berikut:
1. Patahan terjadi pada seluruh bagian spokes sebanyak 6 (enam) buah dengan posisi dekat
rim seperti ditunjukkan pada Gambar 3a dan 3b.
2. Hasil pengamatan terhadap bidang patahan yang terjadi dapat dikelompokkan menjadi
dua bagian, yaitu: 5 buah membentuk sudut 45° dan 1 buah membentuk sudut 90°.
3. Pada patahan yang membentuk sudut 45° tanpa adanya deformasi dan patahannya kasar.
Hal ini menunjukkan spokes mengalami patah getas akibat momen puntir (M).
4. Pada patahan yang membentuk sudut 90° menunjukkan daerah deformasi yang mengarah
kedalam yang ditandai oleh permukaan patahannya halus serta terdapat pula bidang
patahan kasar. Hal ini menunjukkan bahwa spokes patah akibat tegangan geser (F) sejajar
dengan sumbu roda. Disamping itu pula dapat diamati bekas tumbukkan pada bagian
spokes yang ditandai oleh deformasi dan gesekan seperti ditunjukkan pada Gambar 3b.
5. Analisa tegangan yang terjadi pada roda pada saat patah dapat dilihat pada Gambar 4.

Dari ciri-ciri diatas kerusakan pada roda dapat dikelompokkan kedalam patah getas
akibat momen puntir yang diawali oleh tegangan geser akibat benturan dengan benda keras
pada saat roda berputar.

Gambar 4. Analisa Tegangan Pada Bagian Spokes.

KESIMPULAN
Dari serangkaian pengujian dan pengamatan terhadap kerusakan roda dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Material roda terbuat dari bahan alumunium paduan Al-Si-Mg untuk meningkatkan
kekuatan dan keuletan material dilakukan modifikasi eutektik dengan unsur Sr dan

106  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
pengerasan endapan Mg2Si serta kekerasan rata-rata material 86,93 HB, analog dengan
standar DIN LM 9 Sr.
2. Ciri-ciri patahan pada spokes: patahan dekat dengan rim; membentuk sudut 45o sebanyak
5 spokes dan membentuk sudut 90° sebanyak 1 spokes; Pada patahan yang membentuk
sudut 90° terdapat deformasi plastis dan bekas gesekan.
3. Dari ciri-ciri diatas kerusakan pada roda dapat dikelompokkan kedalam patah getas akibat
momen puntir yang diawali oleh tegangan geser akibat benturan dengan benda keras pada
saat roda berputar.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sugandi dan Rahmat sebagai teknisi Lab.
Metalografi Bidang Metalurgi Fisik dan Manufaktur P2MM – LIPI yang telah membantu
dalam kegiatan PNBP.

Daftar Referensi
[1] Metal Handbook. 1990. Metal Handbook Vol. II, Non-Ferrous Metals. ASM.
[2] E. H., John. 1990. The Treatment of Liquide Aluminum–Silicon Alloys. Illinois:
American Foundrymen’s Society, Inc.
[3] E. H., John. 1989. Aluminum: Properties and Physical Metallurgy. American Society
For Metal – ASM. Ohio: Metals Park.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     107 
108  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
GAS ABSORPTION PROCESS PADA BAJA TAHAN KARAT FERITIK
Fe-Cr-Mo UNTUK APLIKASI IMPLAN

Cahya Sutowo*, Ika Kartika, Bambang Sriyono


Pusat Penelitian Metalurgi dan Material - LIPI
Kawasan Puspiptek Serpong, Gedung 470, Tangerang 15314
*E-Mail: csutowo@yahoo.com

Abstrak
Kebutuhan akan material implan yang biokompatibel dengan harga relatif murah semakin meningkat
akhir-akhir ini. Baja tahan karat merupakan salah satu jenis material implan dengan harga relatif murah
seperti baja tahan karat 316L atau baja tahan karat feritik bebas nikel. Dalam penelitian ini akan dibuat baja
tahan karat feritik bebas nikel untuk material implan dengan teknik Gas Absorption Process (GAP)
menggunakan gas NH3 dan N2, sehingga diharapkan terjadi penetrasi nitrogen ke dalam material dan
mengakibatkan perubahan fasa feritik menjadi austenitik. Karakterisasi dilakukan dengan mikroskop optik,
SEM-EDS, dan uji keras dengan metoda Vicker’s. Penetrasi nitrogen diperoleh pada baja A dengan kedalaman
lapisan nitrogen pada permukaan sebesar 2,535 μm dengan waktu penahanan selama 1 jam dan pada baja C
dengan waktu penahanan 3 jam dengan kedalaman 3,034 μm. Nitrogen masih kurang optimal berpenetrasi
dalam material karena struktur yang terbentuk masih berupa fasa feritik, dan teramati adanya karbida logam.

Kata kunci: Gas absorption process, Baja tahan karat feritik, Nitrogen, Material implan.

PENDAHULUAN
Baja tahan karat jenis SUS 316L banyak digunakan untuk keperluan material implan
karena sifatnya yang biokompatibel, akan tetapi kandungan sejumlah unsur nikel yang
melebihi persyaratan pada baja tahan karat tersebut akan berdampak alergi terhadap tubuh
manusia. Keberadaan unsur nikel pada dasarnya sangat diperlukan sebagai penstabil fasa
austenit sehingga material mempunyai kemampuan yang baik pada saat dibentuk (good
workability). Untuk memperoleh material implan dari baja tahan karat yang bebas dari
kandungan nikel diantaranya adalah mengubah fasa feritik menjadi fasa austenitik dengan
memasukkan unsur nitrogen ke dalam material melalui penggunaan gas N2 dalam baja tahan
karat feritik.[1]
Penambahan unsur nitrogen untuk menggantikan unsur nikel adalah sebagai penstabil
fasa austenitik (stabilizer austenitic element). Nitrogen dianggap sebagai unsur penstabil
austenitik yang terkuat di antara semua stabilisator austenitik lainnya seperti C, Mn, Ni, dan
Cu.[2]
Baja tahan karat feritik memiliki unsur utama Cr (% berat) sebesar 10%, 5-30% Ni,
dan beberapa unsur lain diantaranya Mo. Baja tahan karat ini memiliki ketahanan korosi yang
sangat baik terhadap korosi retak tegang, korosi celah maupun korosi galvanik. Hal lain yang
lebih penting adalah baja tahan karat feritik lebih murah dibandingkan baja tahan karat
austenitik.[3]
Tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pengaruh perlakuan
panas dengan teknologi gas absorption process (GAP) mampu memasukkan unsur nitrogen
dalam baja tahan karat feritik sehingga fasa austenitik bisa dihasilkan. Hasil proses GAP
kemudian dikarakterisasi dengan mikroskop optik dan SEM (scanning electron microscopy)
untuk pemeriksaan metalografi, analisa kualitatif komposisi kimia dengan SEM-EDS (energy
dispersive spectroscopy), dan uji keras dengan metoda Vicker’s.

METODE PERCOBAAN
Material yang digunakan pada penelitian ini menggunakan baja tahan karat feritik
dengan perbedaan kandungan Cr dan Mo seperti ditunjukkan dalam Tabel 1. Pada Gambar 1
menunjukkan material baja tahan karat feritik hasil coran (as cast) yang digunakan dalam

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     109 
penelitian ini. Hasil pengujian sebelum dilakukan proses menunjukkan kekuatan tarik baja
tahan karat feritik sampel baja A adalah 239 MPa sedangkan sampel baja B adalah 211 MPa.
Sedangkan nilai kekerasan rata-rata baja tahan karat feritik hasil coran pada sampel baja A
dan B masing 208,5 VHN dan 235,8 VHN dengan distribusi nilai kekerasan sebagaimana
pada Tabel 2.

Tabel 1. Komposisi kimia baja feritik (as cast) yang digunakan dalam penelitian
Paduan
C Si Mn Ni Cr Mo Zn Fe
(% berat)
Sampel Baja A 0,07 0,63 0,27 0,17 26,81 1,34 0,02 Bal.
Sampel Baja B 0,06 0,45 0,28 0,28 21,36 1,97 0,02 Bal.

Gambar 1. Material dasar baja tahan karat feritik (as cast).

Tabel 2. Harga kekerasan material baja tahan karat feritik (as cast)
JARAK KEKERASAN (VHN)
(µm) SAMPEL A SAMPEL B
50 215,3 197,8
150 210,2 200,6
250 215,3 191,6
350 191,6 215,3
450 210,2 373,8

Material dibuat spesimen dengan ukuran panjang x lebar x tebal sebesar 100 x 20 x 10
mm. Spesimen kemudian akan dideformasi dengan proses hot rolling pada temperatur 900°C
dengan beberapa tahapan proses pengerolan.
Pada proses deformasi tahap ke-1, spesimen dipanaskan terlebih dahulu pada
temperatur 1000°C selama 60 menit dalam tungku fluidized bed sehingga diperoleh struktur
yang homogen dalam material. Selanjutnya temperatur diturunkan menjadi 900°C dan ditahan
selama 30 menit, kemudian spesimen dikeluarkan dari dalam tungku fluidized bed untuk
dilakukan deformasi tahap-1 dengan tingkat deformasi 10% dan 30%. Setelah spesimen
mengalami proses pengerolan, spesimen kemudian didinginkan di udara terbuka. Pada proses
deformasi tahap ke-1 ukuran spesimen berkisar 7 mm. Gambar 2 menunjukkan ilustrasi dari
proses deformasi tahap ke-1.

110  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Gambar 2. Proses deformasi tahap ke-1 pada baja tahan karat feritik A dan B.

Pada proses deformasi tahap ke-2, sebelum dilakukan proses pengerolan, specimen
dipanaskan pada temperatur yang sama dengan proses deformasi tahap ke-1. Spesimen
kemudian dideformasi dengan pengerolan panas menggunakan tingkat deformasi 20%
selanjutnya ditahan kembali di dalam fluidized bed selama 20 menit pada temperatur 900°C
kemudian dilanjutkan dengan pengerolan kedua menggunakan tingkat deformasi 20%
sehingga diperoleh pelat baja tahan karat dengan ketebalan berkisar 3 mm.

Gambar 3. Proses deformasi tahap ke-2 dengan dua kali pengerolan panas.

Spesimen hasil pengerolan panas dengan ketebalan 3 mm kemudian dilakukan proses


absorpsi gas (GAP) dengan dialiri gas NH3 UHP dan N2 pada temperatur 950°C dengan
variasi waktu penahanan 1, 3 dan 5 jam dan tekanan gas NH3 : N2 = 2 : 10 (liter/menit).
Sampel untuk metalografi dan SEM-EDS dengan ukuran 10 x 10 mm. Pemeriksaan
metalografi dilakukan pada potongan melintang. Preparasi sampel metalografi dengan
tahapan sampel dimounting, kemudian diampelas dengan kekasaran # 400 sampai # 1000,
kemudian dipolishing dan dietsa dengan larutan Kalling’s. Sisa potongan yang lain dari
spesimen kemudian diuji kekerasan dengan metoda Mikro Vickers pada arah melintang
dimulai dari permukaan menuju ke tengah dengan kedalaman sampai dengan 450 μm dari
permukaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Foto Struktur mikro material sampel baja A dan B hasil hot rolling setelah proses
absorpsi gas pada temperatur 950°C dengan penahanan selama 1, 3, dan 5 jam sebagaimana
pada Gambar 4 dan Gambar 5.

Gambar 4. Foto struktur mikro sampel baja A hasil hot rolling;


a) setelah perlakuan GAP selama 1 jam, b) 3 jam, c) 5 jam. Etsa Kalling’s reagent.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     111 
Gambar 5. Foto struktur mikro sampel baja B hasil hot rolling;
(a) setelah perlakuan GAP selama 1 jam, (b) 3 jam, (c) 5 jam. Etsa Kalling’s reagent.

Hasil metalografi dengan menggunakan mikroskop optik pada Gambar 4 dan


Gambar 5 menunjukkan bahwa proses GAP menggunakan gas NH3 dan N2 menunjukkan
struktur yang terbentuk adalah karbida logam dengan matriks feritik.
Adanya karbida-karbida logam dalam interior butir-butir feritik dan juga pada
batas butir feritik sangat jelas terlihat, dimana semakin tinggi waktu penahanan, karbida
yang terbentuk teramati semakin meningkat, membentuk line dan memanjang secara
transgranular dalam matriks feritik pada Gambar 6.

Gambar 6. Foto hasil SEM untuk sampel baja A dan sampel baja B setelah proses GAP
selama: a) 1 jam, b) 3 jam, c) 5 jam. Struktur yang terbentuk adalah matriks-α feritik dengan
karbida yang mengandung unsur Fe, Cr dan Mo. Etsa larutan Kalling’s.

Analisa Kandungan Unsur Nitrogen


Gambar 7 dan Gambar 8 menunjukkan foto hasil SEM dan EDS untuk menganalisis
kandungan nitrogen pada baja tahan karat feritik sampel A dan B setelah perlakuan GAP
dengan waktu penahanan selama 1, 3 dan 5 jam. Analisis adanya kandungan unsur nitrogen
dilakukan pada potongan melintang sebanyak masing-masing 5 titik, dengan posisi pengujian
dimulai dari permukaan menuju ke arah tengah dalam skala mikron.

112  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
(a). 1 jam (b). 3 jam (c). 5 jam

Gambar 7. Foto hasil SEM dan posisi pengujian kandungan Nitrogen pada sampel baja A.

Hasil SEM-EDS pada sampel baja A pada Gambar 8, dengan perlakuan GAP selama
1 jam pada jarak 2,535 µm dari permukaan ke arah tengah menunjukkan adanya kandungan
nitrogen sebesar (% berat); (1) 11,45; (2) 9,41; (3) 9,41; (4) 0,90; (5) 1,01. Pada perlakuan
selama 3 jam pada jarak 4,031 µm dari permukaan ke arah tengah menunjukkan adanya
kandungan nitrogen sebesar (% berat); (1) 1,50; (2) 13,67; (3) 6,45; (4) 0; (5) 0. Sedangkan
pada perlakuan selama 5 jam pada jarak 4,073 µm dari permukaan ke arah tengah
menunjukkan adanya kandungan nitrogen sebesar (% berat); (1) 7,42 ; (2) 0 ; (3) 0 ; (4) 0 ; (5)
0.

(a). 1 jam (b). 3 jam (c). 5 jam

Gambar 8. Foto hasil SEM dan posisi pengujian kandungan Nitrogen pada sampel baja B.

Hasil SEM-EDS pada sampel baja B pada Gambar 9, dengan perlakuan GAP selama
1 jam pada jarak 2,037 µm dari permukaan ke arah tengah menunjukkan adanya kandungan
nitrogen sebesar (% berat): (1) 0; (2) 4,26 ;(3) 6,04 ;(4) 1,55 ;(5) 0. Pada perlakuan selama 3
jam pada jarak 3,034 µm dari permukaan ke arah tengah menunjukkan adanya kandungan
nitrogen sebesar (% berat): (1) 7,58 ; (2) 3,38 ; (3) 8,27 ; (4) 8,16 ; (5) 5,23. Sedangkan pada
perlakuan selama 5 jam pada jarak 3,034 µm dari permukaan ke arah tengah menunjukkan
adanya kandungan nitrogen sebesar (% berat); (1) 12,01 ; (2) 4,85 ; (3) 0 ; (4) 0 ; (5) 0.
Dari data hasil SEM-EDS di atas menunjukkan bahwa kandungan nitrogen secara
optimal terkandung dengan waktu penahanan selama 1 jam pada sampel baja A sampai
dengan kedalaman 2,535 µm dari permukaan ke tengah, sedangkan pada sampel baja B nilai
kandungan nitrogen tertinggi pada waktu penahanan 3 jam dengan kandungan nitrogen
diperoleh sampai dengan kedalaman 3,034.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     113 
Analisa Karbida Yang Terbentuk
Gambar 9 dan 10 menunjukkan foto hasil SEM-EDS dan posisi pengujian untuk
menganalisis karbida yang terbentuk dalam baja tahan karat feritik.

Gambar 9. Foto struktur mikro dan komposisi unsur hasil SEM-EDS pada sampel baja A
hasil perlakuan GAP selama 3 jam pada tiga titik pengujian. Etsa Kalling’s.

Gambar 10. Foto struktur mikro dan komposisi unsur hasil SEM-EDS pada sampel baja B
hasil perlakuan GAP selama 3 jam pada tiga titik pengujian. Etsa Kalling’s.

Hasil SEM-EDS untuk menganalisis karbida yang terbentuk menunjukkan bahwa


karbida-karbida logam yang terbentuk merupakan karbida logam yang mengandung unsur
Fe, Cr, Mo dan V.
Harga kekerasan pada baja tahan karat feritik sampel baja A dan sampel baja B setelah
pengerolan panas dan hasil perlakuan GAP dengan penahanan waktu selama 1, 3 dan 5 jam
ditunjukkan pada grafik Gambar 11 dan 12.

220

210

200
Kekerasan (VHN)

190
Hot Roll
180
1 jam
170 3 jam
160 5 jam
As Cast
150
50 150 250 350 450
Jarak dari permukaan (mikron) 
Gambar 11. Grafik nilai kekerasan dan jarak dari permukaan sampel baja A.

114  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
290

270

250

Kekerasan (VHN)
As Cast
230
Hot Roll
210 1 jam

190 3 jam
5 jam
170

150
0 100 200 300 400 500
Jarak dari permukaan (mikron)
Gambar 12. Grafik nilai kekerasan dan jarak dari permukaan sampel baja B.

KESIMPULAN
Proses perlakuan panas dengan NH3 dan N2 Gas Absorption Process (GAP) pada baja
tahan karat feritik diperoleh bahwa:
1. Nitrogen hanya terkandung di bagian permukaan menuju ke arah dalam dari baja tahan
karat feritik. Kedalaman permukaan nitrogen tertinggi diperoleh dengan waktu
penahanan selama 1 jam pada Baja A yaitu 2,535 μm, sedangkan pada Baja B pada waktu
penahanan 3 jam dengan kedalaman nitrogen diperoleh sebesar 3,034 μm.
2. Penetrasi nitrogen ke dalam logam induk sampai kedalaman rata-rata 3 μm dengan waktu
penahanan 1 dan 3 jam masih belum cukup dalam untuk dapat bersenyawa dengan unsur-
unsur yang terkandung di dalam logam induk. Penetrasi ini tidak menyebabkan
perubahan fasa feritik menjadi austenitik.
3. Kekerasan baja tahan karat feritik A dan B menunjukkan adanya peningkatan setelah
proses perlakuan panas. Hal ini tidak dipengaruhi oleh penetrasi nitrogen, akan tetapi
karena terbentuknya karbida-karbida yang mengandung unsur-unsur Fe, Cr, Mo dan V
dalam matriks ferit pada kedua baja tersebut.

Daftar Referensi
[1] Niinomi, Mitsuo. 2008. Metallic Biomaterials. J. Artif Organs, 11: 105-110.
[2] Ahmed. et al. 2011. Influence of Partial Replacement of Nickel by Nitrogen on
Microstructure andMechanical Properties of Austenitic Stainless Steel. Hindawi
Publishing Corporation Journal of Metallurgy.
[3] Campbell, R. D. 1992. Ferritic Stainless Steel Welding Metallurgy. Key Engineering
Materials, 69-70: 167-216.
[4] Harvey, J. Paul and Robert F. Games. 1994. Clinical and Laboratory Performance of
Bone Plates. ASTM. Philadelpia.
[5] Citrawati, Fatayalkadri. dkk. 2011. Pengaruh Tingkat Deformasi Pengerolan Panas
Terhadap Sifat Mekanis Baja Tahan Karat Feritik Fe-Cr-Mo. Prosiding Seminar
Material Metalurgi Tahun 2011: 273-280. Tangerang Selatan, 2011: Pusat Penelitian
Metalurgi-LIPI.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     115 
116  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
ANALISA KERUSAKAN KOMPONEN KARBURATOR
AKIBAT DOUBLE SHOOT SAAT PROSES DIE CASTING

Cahya Sutowo*, Saefudin, Budi Priyono


Pusat Penelitian Metalurgi dan Material - LIPI
Kawasan Puspiptek Serpong, Gedung 470, Tangerang 15314
*E-Mail: csutowo@yahoo.com

Abstrak
Paduan aluminium banyak digunakan sebagai komponen otomotif dengan proses manufaktur berupa
pengecoran. Paduan aluminium memiliki kemampuan dicor yang sangat baik dengan masa jenis yang relative
ringan dibandingkan material lainnya. Dalam penelitian ini telah dipelajari penyebab keretakan pada
komponen karburator paduan Al-9,8Si-1,9Cu hasil proses die casting setelah pemakaian. Tahapan penelitian
untuk mengetahui penyebab kegagalan adalah melakukan pengamatan dan pengujian. Pengujian dilakukan
pada sampel yang mengalami retak dan sampel pembanding yaitu komponen karburator yang sengaja
dipatahkan dan komponen karburator yang secara visual tidak terlihat retak. Beberapa pengujian yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah SEM-EDS (Scanning Electron Microscopy-Energy Dispersive
Spectroscopy), uji kekerasan metoda Brinell dan pengamatan metalografi dengan mikroskop optik (OM).
Kegagalan terjadi pada batas pertemuan logam cair dengan struktur mikro yang berbeda. Perbedaan struktur
ternyata diakibatkan adanya double shoot saat proses die casting. Penjalaran retakan terletak pada batas butir
eutektik (α + Si). Struktur eutektik teramati tidak homogen sehingga menginisiasi terjadinya retakan secara
mikro.

Kata kunci: Paduan aluminium, Die casting, Karburator, Kegagalan, Retakan mikro.

PENDAHULUAN
Paduan Al-Si-Cu banyak digunakan untuk komponen otomotif seperti karburator, blok
mesin dan kepala silinder karena memiliki beberapa keuntungan seperti mudah dimesin,
ringan, mudah didaur-ulang dan harganya relatif murah.[1]
Telah terjadi kegagalan pada produk komponen otomotif, kegagalan berupa retakan
pada komponen karburator hasil coran. Terjadinya retak diketahui pada saat pemakaian.
Berdasarkan informasi awal, komponen karburator dan patahan komponen karburator
sebagaimana pada Gambar 1 dibuat dari bahan paduan aluminium silikon dengan kadar
silikon sekitar 12%. Komponen karburator berfungsi untuk mencampur bahan bakar dengan
udara dalam ukuran yang tepat (sesuai kebutuhan) untuk kemudian disalurkan ke dalam ruang
pembakaran (silinder) dalam bentuk kabut.

Gambar 1. Foto visual sampel komponen karburator.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebab terjadinya keretakan
pada komponen karburator sehingga dapat mencegah kegagalan dengan penyebab yang sama

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     117 
terjadi kembali. Tahapan analisa kerusakan meliputi pengamatan dan pengujian pada
komponen karburator yang mengalami retak, pengujian juga dilakukan pada sampel
pembanding yaitu komponen radiator yang sengaja dipatahkan dan komponen radiator yang
secara visual tidak terjadi retak. Pengujian yang dilakukan adalah uji komposisi kimia
menggunakan Spark OES (Optical Emission Spectroscopy), metalografi dengan mikroskop
optik dan SEM (Scanning Electron Microscope), serta analisa komposisi kimia pada area
tertentu menggunakan EDS (Energy Dispersive Spectroscopy ).

METODE PERCOBAAN
Material yang digunakan pada pengujian adalah master ingot dan material komponen
karburator. Pengujian pada material komponen radiator sebanyak tiga sampel yaitu: sampel 1
komponen karburator yang mengalami kegagalan pada saat pemakaian, sampel 2 komponen
karburator yang sengaja dipatahkan pada area patahan identik dengan sampel 1 sebagai
pembanding pengujian, dan sampel 3 komponen karburator yang secara visual tidak
mengalami kegagalan.
Pengujian komposisi kimia dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia material
ingot dan komponen karburator, preparasi dilakukan pada permukaan spesimen melalui
pengampelasan terlebih dahulu kemudian spesimen diletakkan pada chamber penyimpanan
spesimen dalam spektrometer untuk selanjutnya dilakukan pengujian dengan ditembak
elektron, panjang gelombang yang dihasilkan menunjukkan unsur-unsur yang terkandung
dalam sampel.
Pengujian kekerasan menggunakan metode Brinell, sedangkan pengamatan struktur
mikro menggunakan teknik metalografi pada penampang sampel ingot dan sampel komponen.
Prosedur teknik metalografi adalah sebagai berikut: pemotongan spesimen, spesimen
dimounting, kemudian diampelas, dipoles, dietsa dengan larutan Kalling’s dan dilakukan
pengamatan melalui pemotretan.
Pengamatan dengan SEM dilakukan untuk melihat struktur mikro area penampang
dengan perbesaran yang lebih tinggi, sedangkan EDS dilakukan untuk mengetahui komposisi
kimia pada area tertentu disekitar retakan atau patahan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pengujian komposisi kimia dengan spark-OES pada pada Tabel 1, sampel
komponen karburator menunjukkan bahwa material dari komponen tersebut adalah paduan
Al-Si hypereutectic dengan kandungan Si sebesar 13-16% berat, sedangkan material dari
master ingot analog dengan standar JIS ADC12

Tabel 1. Hasil analisa komposisi kimia pada material paduan Al-Si-Cu pada komponen
karburator dan master ingot menggunakan OES
Karburator Karburator
Master ADC12
UNSUR Area A Area B
Ingot (JIS H 5302)
(% berat) (% berat)
Si 16,561 13,333 9,765 9,6 – 12,0
Cu 5,977 3,588 1,902 1,5 – 3,5
Fe 1,067 1,024 0,695 maks 1,3
Mn 0,742 0,412 0,223 maks 0,5
Mg - - 0,257 maks 0,3
Zn 1,192 0,997 0,787 Maks 1,0
Ni 4,296 1,160 0,446 Maks 0,5
Sn 0,778 0,282 0,123 Maks 0,3
Al Bal. Bal. Bal Bal.

118  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Nilai kekerasan rata-rata pada material Al-Si paduan dari komponen karburator adalah
sebesar 100 HB, tingginya kekerasan didukung oleh hasil analisa komposisi kimia yang
menunjukkan bahwa kandungan Si dalam komponen tersebut cukup tinggi.
Gambar 2 menunjukkan struktur mikro pada area A dan B. Pada gambar tersebut
teramati adanya perbedaan struktur antara area A dan area B. Area A memiliki struktur Al-
primer dan Si eutectic. Pada area B fasa yang terbentuk adalah secondary arm dendritic dari
Al-primer dan Si-primer yang tersebar halus. Penjalaran patahan terletak pada batas
perubahan struktur mikro dari struktur eutektik (α + Si) yang halus dan kasar. Impurity yang
terbentuk adalah: porosity, oksida dan sludge.

Gambar 2. Foto hasil metalografi penampang melintang sampel 1, terlihat adanya perbedaan
struktur disekitar retakan antara area A dan Area B Etsa Kalling’s Reagent.

Gambar 3 menunjukkan foto hasil SEM pada area A dan B. Pada area A struktur
yang terbentuk adalah Al-primer dan Si-eutectic, serta Si eutectic berbentuk jarum dalam
matriks Al-primer. Sedangkan pada area B fasa yang terbentuk adalah secondary arm
dendritic dari Al-primer dan Si-primer. Pada Gambar 3 teramati bahwa pada area retakan
memiliki struktur yang berbeda-beda, hal ini menunjukkan adanya mikro segregasi dari unsur
silikon.

Gambar 3. Foto hasil SEM sampel 1 komponen karburator yang mengalami kegagalan
pada posisi melintang pada: a) Area A dan, b) Area B Etsa Kalling’s reagent.

Gambar 4 menunjukkan foto hasil SEM pada sampel 2 dari area A dan B. Pada
gambar tersebut teramati adanya perbedaaan struktur antara area A dan area B, dimana pada

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     119 
area A memiliki struktur secondary arm dendritic dari Al-primer dan Si-primer yang tersebar
halus serta adanya blocky prime Silicon (Gambar 4a), sedangkan area B memiliki struktur
Al-primer dengan ukuran butir yang homogen, dan beberapa Si eutectic berbentuk jarum
dalam matriks Al-primer (Gambar 4b). Adanya pengotor (impurity) sepanjang batas butir Al-
primer juga teramati dalam Gambar 4b. Perbedaan struktur ini juga menunjukkan adanya
mikro segregasi unsur silikon dalam sampel tersebut.

Gambar 4. Foto hasil OM pada penampang melintang sampel 2, terlihat adanya perbedaan
struktur disekitar retakan antara: a) area A, b) Area B. Etsa Kalling’s reagent.

Gambar 5 menunjukkan hasil metalografi pada sampel 3 pada area A dan area B.
Teramati area B memiliki struktur secondary arm dendritic dari Al-primer dan Si-primer
tersebar halus (Gambar 5b), sedangkan area A memiliki struktur Al-primer dengan ukuran
butir yang homogen, dan Si eutectic berbentuk jarum dalam matriks Al-primer (Gambar 5a).
Porositas juga teramati sebagaimana pada Gambar 5a.
Struktur mikro pada komponen karburator dengan menggunakan proses double shoot,
yaitu sampel 2 dan sampel 3, menunjukkan pola yang sama dengan sampel 1.

Gambar 5. Foto hasil OM pada sampel 3, terlihat adanya perbedaan struktur disekitar inisiasi
retakan antara: a) area A, b) Area B. Etsa Kalling’s reagent.

Hasil SEM-EDS pada sampel 3 menunjukkan bahwa fasa berbentuk jarum dalam
matriks Al-primer adalah fasa Si, Si-primer terbentuk dibuktikan pada spot 3 area tersebut
Si=22,42 % dan pada spot 4 kadar Si = 30,77% artinya pada area tersebut kadar Si sangat
tinggi. Pada area Si-primer juga teramati adanya retakan mikro (micro cracking).

120  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Gambar 6. Foto hasil SEM sampel 3 pada area yang mendekati batas antara daerah A dan B.
Area A terbentuk struktur al-primer dengan fasa Si yang berbentuk seperti jarum dalam
matriks Al dendritik, sedangkan pada area B terbentuk secondary arm dendritic dari al-primer
dan Si-primer yang tersebar halus. Etsa Kalling’s reagent.

Gambar 7. Foto hasil metalografi pada penampang melintang sampel jauh dari retakan.
Dalam struktur mikro teramati adanya: a) Pengotor (berwarna hitam) dari unsur-unsur Fe-
Zn-Mn-Ni-Sn sepanjang batas butir Al-primer dendritik pada sampel 1, b) Blocky silikon
primer dalam sampel 2, c) Porositas. Etsa Kalling’s reagent.

Hasil pengamatan struktur mikro terhadap ingot pada lampiran tambahan


menunjukkan struktur fasa α (Al) + Eutektik (α + Si). Dari gambar tersebut tidak
menunjukkan adanya fasa Si Primer dan Sludge. Sehingga dapat dikatakan bahwa ingot yang
digunakan cukup baik ditinjau dari komposisi dan unsur pengotor, sesuai dengan standard
ADC12.

Gambar 8. Foto hasil metalografi pada master ingot. Etsa Kalling’s Reagent.

Dari hasil pengamatan struktur mikro diatas kegagalan komponen karburator dapat
disimpulkan bahwa perambatan retak terjadi pada batas pertemuan logam cair akibat proses
double shoot. Sedangkan pembentukkan senyawa sludge belum berpengaruh besar terhadap
kegagalan.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     121 
KESIMPULAN
1. Material komponen karburator adalah paduan Al-Si-Cu analog dengan ADC 12 (JIS
H5302).
2. Pada produk coran terdapat senyawa kompleks dari Si-Fe-Mn-Al yang disebut dengan
sludge dalam jumlah kecil dan belum nampak gejala negatif terhadap komponen tersebut.
Gejala negatif yang ditimbulkan hanya berupa komposisi kimia pada komponen yang
tidak homogen yaitu unsur Si, Mn, Fe cenderung lebih tinggi dari standar.
3. Senyawa sludge terbentuk akibat proses peleburan paduan aluminium dengan kandungan
Fe yang cukup tinggi sehingga akan mengental dan cenderung mengendap di bawah
ladel. Karena faktor waktu dan temperatur senyawa sludge tersebut dapat bertambah dan
akhirnya akan terbawa ke produk coran. Apabila hal ini terjadi akan menurunkan sifat
mekanik (getas) dan terbentuknya hardspot pada permukaan coran yang dapat
menurunkan sifat mampu mesin. Namun pada kasus kegagalan karburator, efek dari
senyawa kompleks tersebut belum berpengaruh besar dan hanya berpengaruh terhadap
komposisi kimia yang tidak homogen untuk beberapa area pada komponen yang ditandai
dengan lebih tingginya unsur Si, Mn dan Fe dari standar.
4. Terjadinya kegagalan berupa retakan disebabkan adanya batas pertemuan logam cair
yang mempunyai struktur mikro yang berbeda akibat double shoot pada proses die
casting. Penjalaran retakan terletak pada batas perubahan struktur mikro dari struktur
eutektik (α + Si) yang halus dan kasar sehingga terjadi ketidak homogenan struktur mikro
dan menginisiasi terjadinya retakan secara mikro.

Daftar Referensi
[1] Molina, R. et al. 2011. Metallurgical Science and Technology. Vol. 29-1, p. 5-15.
[2] Gruzleski, John E. 1990. The Treatment of Liquid Aluminium Silicon Alloys. USA:
American Society, Inc.
[3] ASM. 1998. Metals Hand Book. Vol. 12, Fractography. Ohio: American Society for
Metals.
[4] JIS Standard Handbook. Ferrous Materials and Metallurgy. Japanese Standard
Association.
[5] Porter, D.A. and K.E. Easterling. 1992. Phase Transformations in Metals and Alloys,
second edition. London.

122  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
PEMILIHAN MATERIAL UNTUK ELEKTRODA ELEKTROLIZER
TIPE ALKALINE DAN PENEMPATAN MATERIAL LOKAL
DENGAN METODE ASHBY-SAATY

Dedi Irawan1*, Tresna P Soemardi2, Rudi Subagja1


1
Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI
Kawasan PUSPIPTEK Gd. 470, Tangerang Selatan,15314
2
Departemen Teknik Mesin FTUI
*E-Mail: dedi027@lipi.go.id

Abstrak
Penelitian energi baru terbarukan, khususnya PEM fuel cell, diiringi dengan penelitian untuk
penyediaan bahan bakarnya. Teknologi pembangkit hidrogen (elektrolizer) sebagai bahan bakar PEMFC
kembali ke teknologi dasar yaitu Alkaline Elektrolysis. Pengembangan elektroda sebagai komponen utama
elektrolizer menggunakan material yang selama ini dikembangkan secara urut berdasarkan penelitian
sebelumnya dan trial and error.
Telah dilakukan pemilihan material elektroda elektrolizer dengan melibatkan kriteria-kriteria yang
lain, bukan hanya kinerja material, tetapi juga kriteria biaya material, biaya proses dan bentuk elektroda. Selain
itu juga ditambahkan kriteria material lokal sebagai keunggulan untuk sumber daya material Indonesia.
Tahap pertama dilakukan penilaian keunggulan kriteria yang satu dengan kriteria yang lain. Pada
tahap ini, hasil penilaian menunjukkan Material lokal dan Biaya material menjadi pilihan utama dibandingkan
kriteria yang lain. Tahap kedua penilaian dilakukan terhadap 10 kandidat material yang antara lain Platinum,
Nikel, Tembaga, Titanium, Cobalt, Molibden, Emas, Perak, Stainless Steel dan Grafit. Penilaian dilakukan
dengan membandingkan kriteria satu dengan kriteria lainnya seperti biaya material, kinerja, bentuk, biaya
proses dan ketersediaan bahan baku material lokal.Tahap Ketiga merupakan penilaian akhir dimana semua
penilaian kandidat material pada Tahap 2 direkap dan dilakukan pengurutan dan penilaian material yang
memiliki potensi terbaik sebagai material pilihan. Hasil akhir menunjukkan Indonesia memiliki 3 material yang
memiliki posisi teratas dalam pemilihan material untuk elektroda yaitu Nikel, Tembaga dan Stainless Steel.

Kata kunci: PEMFC, Elektrolizer, Hidrogen, Pemilihan material, Nikel, Material lokal, Ashby, Saaty.

PENDAHULUAN
Saat ini teknologi energi baru terbarukan seperti fuel cell diharapkan mampu
menciptakan energi yang ramah lingkungan. Salah satu yang berkembang adalah Proton
Exchange Membrane Fuel Cell (PEMFC). Penelitian PEMFC juga diiringi dengan
perkembangan teknologi bahan bakarnya (fuel) yaitu gas hidrogen.
Teknologi untuk menghasilkan gas hidrogen yang murah, ramah lingkungan dan aman
menjadi isu penting. Salah satunya adalah dengan metode alkaline elektrolysis. Salah satu
komponen utama teknologi elektrolisis adalah elektroda. Elektroda sebagai komponen yang
mampu memecah molekul air (H2O) menjadi gas Hidrogen dan gas Oksigen sebagai produk
sampingan merupakan komponen dengan material yang memiliki sifat tertentu. Pemilihan
material elektroda menjadi tahapan pertama yang menentukan untuk membawa teknologi
elektrolizer dari skala laboratorium ke dalam industri.
Perkembangan material untuk elektroda dalam dunia riset dilakukan hanya dilakukan
terbatas pada kriteria kinerja material itu sendiri. Penelitian yang dilakukan hanya berupa
pengembangan dari penelitian sebelumnya dan sebagian besar merupakan trial and error.
Sedangkan pada saat teknologi akan dibawa pada tahapan industri, akan terbentur pada
kriteria yang lain seperti desain ergonomis, biaya dan ketersediaan bahan baku. Beberapa
metode telah dikembangkan seperti yang dikembangkan oleh Ashby. Dimana kebutuhan
desain suatu komponen atauproduk merupakan suatu hubungan antara kriteria-kriteria terkait
yang membentuk suatu jaringan yang terkait satu sama lain. Kriteria-kriteria tersebut antara
lain fungsi komponen, material, bentuk komponen dan proses manufaktur.[1]

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     123 
Fungsi 

Material  Bentuk 

 Proses 

Gambar 1. Masalah utama dari pemilihan material, interaksi antara fungsi, material, proses
dan bentuk.[1]

Pemilihan material dengan menggunakan Metode Ashby dilakukan dengan


pembobotan setiap kriteria yang berpengaruh akan tetapi tidak menunjukkan tingkat prioritas
kriteria yang satu dengan yang lain. Metode Ashby melakukan pembobotan setiap kriteria
menggunakan data yang kuantitatif. Maka dikombinasikan dengan metode Analytic Hierarchy
Process (AHP)[2] yang dikembangkan oleh Saaty.
AHP adalah suatu metode pengambilan keputusan yang berdasarkan pada pembobotan
kriteria terkait berdasarkan data kualitatif. Dimana setiap kriteria yang berpengaruh dinilai
bukan berdasarkan nilai kuantitatifnya akan tetapi nilai kualitatifnya. Pada prakteknya
biasanya dilakukan dengan menggunakan data survey yang menyatakan kecenderungan
user/konsumen/pihak terkait terhadap suatu kriteria bila dibandingkan dengan kriteria yang
lain. Penilaian subjektif ini kemudian dianalisis menggunakan metode matrik hingga
diperoleh bobot setiap kriteria terhadap kriteria yang lain.
Hal yang yang membedakan AHP dengan metode pemilihan lainnya adalah AHP
menguji metode penilaian setiap kriteria menggunakan Consistency Ratio (CR).[2] Dimana CR
dihitung dengan persamaan 1.

CR = CI/RI (1)

dimana: CI = Consistency Index


CI = (max - n)/(n-1)
N = Jumlah kriteria
max = Consistency Measure
RI = Random Index

Penilaian dapat diterima bila Consistency Ratio untuk penilaian kriteria sebesar
dibawah 0,1. Bila memenuhi itu berarti penilaian konsisten dan dapat diterima.[2]
Memasukkan kriteria penggunaan bahan baku lokal Indonesia menjadi salah satu
komponen penting yang patut untuk diperhitungkan terutama untuk saat teknologi akan
memasuki tahapan industri di Indonesia. Dimana industri umumnya dibangun mendekati
bahan baku karena akan memangkas biaya transportasi dan regulasi.

124  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Goal  Material Elektroda 
Elektrolizer Terbaik 

Kriteria  K1  K2  K3  K4  K5  K6 

Alternatif 
Kandidat  A1  A2  A3  A4  …..  A10 
Material 
Gambar 2. Struktur Analisis Pemilihan Material Yang Dikembangkan Berdasarkan
Pendekatan Ashby-Saaty.

Dengan menggunakan kedua metode tersebut akan diperoleh suatu metode pemilihan
material yang lengkap bukan hanya berdasarkan material saja tetapi juga berdasarkan kriteria
terkait seperti terlihat dalam Gambar 2.

Tabel 1. Pairwise Comparison Matrix Penilaian kriteria yang berpengaruh terhadap kriteria
yang lain
Nilai
Kriteria A1 A2 … An
Kriteria(NA)
A1 1 NA1
A2 1 NA2
… 1 …
Am 1 NAm
ΣA ΣA1 ΣA2 ΣAn

Metode Penilaian dan Penyaringan Kriteria dan Kandidat Material

Tahap Pertama: Penilaian Kriteria


Beberapa kriteria terkait diambil sebagai fungsi yang akan menentukan pilihan
material. Penilaian dilakukan terhadap kriteria-kriteria tersebut dalam keterkaitannya dengan
kriteria yang lain. Dimana yang dinilai adalah seberapa besar suatu kriteria dipilih bila
dibandingkan dengan kriteria yang lain.
Dengan menggunakan Pairwise Comparison Matrix, penilaian kualitatif setiap kriteria
terhadap kriteria lain direkap. Dimana idealnya 2 bagian matriks yang dipotong oleh garis
diagonal merupakan nilai terbalik (inverse value). Pengujian penilaian kriteria menggunakan
pairwise comparison pada dasarnya menguji seberapa mendekati idealnya penilaian setiap
kriteria terhadap kriteria lain.
Selanjutnya dilakukan normalisasi terhadap kriteria tersebut hingga diperoleh nilai
yang menunjukkan peringkat suatu kriteria dari keseluruhan kriteria yang dipilih. Dengan
persamaan 2.

∑ ∑ ∑
(2)

Dimana :
n = m = Jumlah kriteria terkait
NAm = Nilai masing masing kriteria
xAnAm = Penilaian kriteria An lebih dipilih dibanding dengan kriteria Am

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     125 
Tahap Kedua: Penilaian Kandidat Material Terhadap Masing-Masing Kriteria
Pada tahap ini, nilai setiap kandidat material ( terhadap kriteria terkait
(misalnya sifat properties, biaya manufaktur, harga material, dll) direkap seperti dalam
Tabel 2. Kemudian nilai tersebut diurutkan dengan menempatkan material yang memiliki
nilai paling baik (ya) sebagai acuan.

Tabel 2. Penilaian Kandidat Material (M) terhadap kandidat material yang lain dalam kriteria
yang sama
Kandidat Nilai
M1 M2 … Mr
Material (S)
M1 S1
M2 S2
… …
Ms Ss
ΣMr ΣM1 ΣM2 ΣMr

Selanjutnya lakukan normalisasi terhadap nilai tersebut hingga mendapatkan nilai tiap
kandidat material terhadap kriteria terkait.

Tahap Ketiga: Penentuan Penilaian Akhir


Nilai yang telah diperoleh untuk Penilaian Kandidat Material (Ss) direkap dan
dibandingkan dengan Nilai Kriteria Terkait (NAm) yang selanjutnya dituangkan dalam
Tabel 3. Nilai Akhir Kandidat Material (N1) merupakan rata-rata dari nilai yang diperoleh
untuk setiap Kandidat Material (M).

Tabel 3. Matrik Penilaian Akhir kandidat Material


Kandidat Kriteria Terkait Nilai
Material A1 A2 … Am Akhir
M1 N1

M2 N2

Ms Ns

ΣM ΣM1 ΣM2 ΣMm

Dari nilai akhir (N), beberapa kandidat material dengan nilai tertinggi dipilih menjadi
material yang cocok untuk digunakan sebagai material elektroda elektrolizer.

Penilaian dan Penyaringan Kriteria dan Kandidat Material dengan Melibatkan Kriteria
Material Lokal

Pemilihan kriteria
Dalam proses penilaian dan penyaringan kriteria dalam pemilihan material, beberapa
kriteria dianggap dapat mewakili kebutuhan desain komponen. Seperti dijelaskan sebelumnya
beberapa kriteria yang berpengaruh antara lain Fungsi Komponen, Biaya Material, Biaya
Manufaktur, dan Faktor Bentuk.[1]
Proses diawali dengan menjabarkan struktur kriteria untuk mendapatkan kriteria mana
yang dianggap berpengaruh dalam pemilihan material elektroda. Dari 3 pendekatan pemilihan
material yang digunakan yaitu dari pendekatan Ashby, dari literatur hasil penelitian dan

126  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
eksperimen diperoleh daftar kriteria yang sering digunakan dalam pemilihan elektroda seperti
terlihat dalam Tabel 4.
Dari penjabaran tersebut diambil 5 kriteria yang dominan dengan menambahkan
kriteria bahan baku lokal. Sedangkan kriteria lain seperti ketahanan korosi, porositas, waktu
kerja, kekuatan mekanik dan mampu bentuk dianggap merupakan bagian spesifik dari kriteria
yang dominan sehingga keterkaitannya dianggap sudah terwakili oleh kriteria umumnya.
Berikut kriteria yang digunakan dalam pemilihan material:
 Kriteria Konduktivitas (κ)
Konduktivitas suatu material merupakan kemampuan material untuk menghantarkan arus
litrik. Kriteria ini penting sebab tanpa konduktivitas yang cukup, arus listrik tidak akan
mengalirdalam suatu rangkaian sehingga tidak akan terjadi proses elektrolisa. Dalam hal
ini material dengan konduktivitas tinggi dianggap sebagai material terbaik.

Tabel 4. Daftar kriteria yang terkait dengan pemilihan material elektroda


Pendekatan Daftar Kriteria Pemilihan Elektroda Rekapitulasi Kriteria
Ashby  Fungsi 1. Konduktivitas
 Material 2. Kinerja/Overpotensial
 Bentuk 3. Biaya Material
 Proses manufaktur 4. Tipe/Bentuk dan Luas
permukaan
Literatur Hasil Penelitian  Konduktivitas listrik, ketahanan korosi dan harga 5. Biaya Proses
[34]
material 6. Ketahanan korosi
 Efisiensi, porositas elektroda[35] 7. Porositas
[36]
 Tipe elektroda (bentuk) 8. Waktu kerja (lifetime)
 Biaya manufaktur[37] 9. Kekuatan mekanik
 Bentuk permukaan elektroda (Flow-through design)[38] 10. Mampu bentuk (fabrikasi)

Luas Permukaan[39] 11. Bahan Baku Lokal
 Ketahanan korosi, Konduktivitas, Efek katalitik
(overpotensial), harga[40]
 Waktu kerja, Overpotensial, harga, Konduktivitas,
Stabilitas Fisik, kekuatan mekanik, ketahanan korosi,
Stabilitas kimia, ketahanan korosi, Mampu
bentuk/fabrikasi[41]
 Overpotensial, luas permukaan, harga material[42]
 Luas permukaan[43]
 Geometri (bentuk)[44]
Eksperimen literatur dan  Bahan baku lokal (local resources)
yang dilakukan  Overpotensial

 Kriteria Overpotensial (η)


Overpotensial adalah besarnya energi dari luar sistem elektrolisa yang ditambahkan untuk
suatu elektroda untuk mampu untuk memecah molekul air (H2O) menjadi ion H+ dan ion
OH- dan mentransferkannya dari anoda ke katoda. Sehingga material dengan
overpotensial rendah merupakan material terbaik.
 Kriteria Material Lokal (Lc)
Kriteria ini merupakan acuan untuk beberapa material yang produksi dan cadangannya
ada di Indonesia agar dapat diprioritaskan sebagai bahan baku utama material elektroda.
Tujuannya adalah untuk mengurangi biaya material dari biaya impor dan regulasi serta
untuk meningkatkan kemandirian bangsa.
 Kriteria Biaya Material (Cm)
Kriteria ini akan menentukan besarnya harga suatu komponen produk selain dari biaya
manufaktur.
 Kriteria Biaya Manufaktur (Cp)
Kriteria ini berupa indeks atau besaran biaya yang timbul akibat dari proses produksi.
Biaya ini akan terakumulasi dengan biaya material yang menjadi salah satu komponen
biaya produksi.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     127 
 Kriteria Bentuk (S)
Kriteria ini mempengaruhi bentuk dan desain komponen, ergonomis dan berat komponen.

Penilaian Kriteria
Penilaian kecenderungan pemilihan kriteria yang satu dengan kriteria yang lain dapat
dilakukan dalam beberapa cara antara lain :
 Melakukan survey atau jajak pendapat terhadap desainer komponen, pengguna ataupun
orang yang ahli di bidang terkait.
 Melakukan penelusuran literatur terkait dan melakukan pembandingan kriteria satu
dengan lainnya.
Dalam tulisan ini penilaian dilakukan dengan penelusuran literatur, analisis data hasil
penelitian yang state of the art dan interpretasi data hasil penelitian untuk mendapatkan
tingkat sensitivitas kriteria satu terhadap lainnya.

Tabel 5. Perbandingan kinerja sel untuk komposisi yang berbeda FobAEC pada 240 C dan 40
bar[10]
Rs [mΩ cm2]at
Cell Anode Cathode
1,4 V polarization
Cell 1a 2 layer Ni foam 2 layer Inc foam 148
Cell 1b 2 layer Ni foam 2 layer Inc foam 140
Cell 2 1 layer Ni foam 1 layer Inc foam 112
1 layer Ni foam +
Cell 3a 1 layer Inc foam 119
Ag deposition
1 layer Ni foam +
Cell 3b 1 layer Inc foam 124
Ag deposition

Penilaian sensitivitas atau kecenderungan satu kriteria lebih dipilih daripada kriteria
lain dilakukan seperti contoh penilaian kriteria Bentuk (S) dibandingkan dengan konduktivitas
(k) berikut. Dari literatur diperoleh bahwa peningkatan luas permukaan menjadi 2 kali lipat
(100%) berefek pada peningkatan hambatan sel 17-32%. Hal ini juga menunjukkan
peningkatan yang sama untuk konduktivitas. Sensitivitas luas permukaan lebih tinggi bila
dibandingkan dengan konduktivitas sel.[10]
Dari interpretasi diatas dilakukan penilaian bahwa kriteria bentuk memiliki
kecenderungan untuk dipilih 4 kali dibindangkan kriteria konduktivitas.
Secara lengkap bisa dilihat pada referensi terkait.[4] Hasil penilaian bisa dilihat pada
Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Penilaian kriteria-kriteria yang berpengaruh terhadap kriteria yang lain
Consistency
Kriteria Κ η Lc Cm Cp S Nilai
Measure (CM)
Κ 0,08 0,69 0,18 0,21 0,19 0,50 1,84 0,306
Η 0,68 0,08 0,18 0,02 0,06 0,10 1,12 0,186
Lc 0,08 0,08 0,18 0,14 0,19 0,10 0,76 0,126
Cm 0,08 0,01 0,12 0,21 0,19 0,10 0,70 0,116
Cp 0,08 0,08 0,18 0,21 0,19 0,10 0,83 0,138
S 0,02 0,08 0,18 0,21 0,19 0,10 0,77 0,128

Pemilihan Kandidat Material


Pada tahapan ini dilakukan pemilihan kandidat material dengan mengumpulkan
material material yang digunakan sebagai elektroda dari referensi-referensi berikut antara lain
dari produk elektrolizer yang beredar dipasaran, hasil penelitian yang telah dipublish dalam

128  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
jurnal internasional dan literatur terkait. Beberapa material umum digunakan sebagai
elektroda terlihat dalam Tabel 7.

Tabel 7. Inventarisasi Material Potensial


Daftar Rekapitulasi daftar
Sumber Sumber referensi
Material material
Produk elektroda yang telah Ti [25],[26],[28]  Ni
diproduksi dan beredar di Ni [26]  Pt
pasaran. Pt [28]  Co
Ir [28]  Ti
Nb [28]  Mo
Literatur hasil penelitian SS [5],[33] C
Ni [6],[7],[8],[9],  Au
[10],[11],[12],[13],  SS
[14],[15],[16],[17],  Ag
[19],[20],[21],[22],  Cu
[23],[24],[26],[27],  Al
[31],[33],[34],[36],
 Si
[37],[38],[40],[41]
 La
Co [7],[12],[13],[15],
 Ru
[20],[22], [36],
 Ir
C [8],[23], [24],[34],
 Fe
Mo [7],[8],[9],[14],
[41]  Zn
Pt [9],[24],[25],[26],
[28],[29],[30],[32], [36],[39],
Ag [10],[21]
La [12],[13],[22],
Ru [12],[17],[18]
Cu [13],[24],[40],
Al [13],[22],[24],[37],
Ti [14],[22],[25],[26],
[28],[32],[39],
Zn [16],[36],
Si [22],[29],[35],[39]
Ir [23],[26],[28],
Fe [24], [36],[40],
Au [42],[36]
Rangkuman literatur terkait, Stainless Kelompok Logam Ferro dan
Materials Handbook [3] dll Steel Paduan
Mn
Ni
Co
Cu Kelompok Material Non Ferro
Al
Zn
Ti Kelompok Logam refractory
Nb
Cr
Mo
Au Kelompok Logam Berharga
Ag (Precious Metal)
Pt Kelompok Platinum (Platinum
Ir Group Metal)
Ru

Penilaian juga dilakukan berdasarkan asumsi lain antara lain material yang mewakili
kelompok material tertentu karena material dalam suatu kelompok tertentu memiliki
kecenderungan sifat yang hampir sama seperti[3]:
 Platinum (Pt) mewakili kelompok Platinum group Metal (PGM) seperti Ruthenium,
Osmium, Paladium, Iridium dan rhodium.
 Nikel, Cobalt dan Stainless Steel mewakili kelompok Logam ferro dan mangan.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     129 
 Stainless steel dan Grafit, karena memiliki ketahanan korosi yang baik dalam proses
elektrokimia.
 Tembaga (Cu) mewakili kelompok material nonferro yang memiliki konduktivitas listrik
yang baik.
 Emas dan Perak, mewakili logam mulia dan juga karena memiliki konduktivitas yang
cukup baik.
 Molibden dan Titanium, mewakili kelompok logam refraktori seperti Zircon, Hafnium,
tantalum, Chrom, Vanadium, Tungsten, Niobium dan Rhenium.
Dari daftar kandidat material yang diperoleh dari Tabel 6 diambil 10 material teratas
yang akan dilakukan penilaian sebagai kandidat material.

Penilaian Material Terhadap Tiap Kriteria


Pada tahap ini dilakukan penilaian terhadap setiap kandidat material terkait dengan
setiap kriteria. Penilaian juga dilakukan dengan metode Saaty dengan pairwise comparison
matrix. Dimana melalui literatur terkait diperoleh 2 set data penilaian material (dalam hal ini
penilaian kuantitatif). Kemudian 2 set data ini dibandingkan menggunakan pairwise
comparison matrix selanjutnya dinormalisasi dan dihitung nilai masing masing kandidat
material terkait dengan material lain.
Penilaian dilakukan untuk semua kandidat material. Sebagai contoh penilaian untuk
nilai overpotensial sebagai berikut. Penilaian material berdasarkan kinerja overpotensialnya
dilakukan berdasarkan referensi dari handbook of material dan eksperimen yang dilakukan
atas beberapa kandidat material menggunakan perlatan pengujian Voltametry. Dari material
yang menjadi kandidat diperoleh data overpotensialnya seperti dalam Tabel 8. Data
eksperimen diambil dengan menggunakan media yang sama yaitu larutan elektrolit NaOH 6
M dengan menggunakan anoda standar yaitu Platina (Pt). Dengan menyamakan variabel ini
diperoleh data yang relatif seimbang satu sama lain. Hasil eksperimen lengkap bisa dilihat
pada Lampiran.
Penilaian dilakukan berdasarkan data eksperimen dengan material yang memiliki
overpotensial terkecil yaitu Grafit dinilai dengan nilai tertinggi dan Molibden dengan
overpotensial terbesar dengan nilai terkecil. Setelah dilakukan penyamaan material standard
an normalisasi, nilai tiap material bisa dilihat pada lampiran dengan score terlihat pada tabel.
Ada perbedaan signifikan overpotensial grafit dari literatur dengan dari eksperimen.Hal ini
disebabkan oleh data overpotensial grafit yang di literatur merupakan grafit alam dimana
konduktivitasnya rendah sedangkan yang digunakan dalam eksperimen adalah grafit yang
telah dimodifikasi yang digunakan untuk elektroda EDM (Electro Discharge Machining)
yang memiliki konduktivitas cukup tinggi sebagai pengganti elektroda tembaga.

Tabel 8. Penilaian Kandidat material terhadap Kriteria Overpotensial Elektrokimia


Overpotensial dr
Overpotensial (η)
Material Eksperimen Nilai
(mV)
(mV/mm2)
Platinum (Pt) 43 9,2 0,134
Tembaga (Cu) 615 21,5 0,115
Nikel (Ni) 384 14,9 0,127
Emas (Au) 468 11,4 0,126
Cobalt (Co) 118 35,0 0,127
Molibden (Mo) 343 119,6 0,066
Titanium (Ti) 754-877 45,9 0,068
Stainless Steel 425-466 8,8 0,108
Silver (Ag) 432-444 35,6 0,103
Grafit 1200 3,3 0,028

130  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Proses penilaian lengkap dapat dilihat pada referensi.[4] Hasil yang diperoleh dari
penilaian seluruh kandidat material dalam kriteria yang sama dapat dilihat dalam Tabel 9.

Penilaian Akhir
Pada tahap ini dilakukan penilaian akhir setiap kandidat material dibandingkan dengan
penilaian kriteria terkait sesuai dengan hasil pada tahap sebelumnya yaitu penilaian kandidat
material. Penilaian dilakukan dengan sebelumnya melakukan normalisasi terhadap rekap data
hasil penilaian.
Selanjutnya Nilai akhir setiap kandidat material merupakan rata rata dari setiap nilai
kandidat material yang dikalikan dengan nilai setiap kriteria pada Tabel 6. Nilai akhir terlihat
pada Tabel 9.

Tabel 9. Penilaian akhir Kandidat Material terhadap Penilaian kriteria terkait


Kandidat Nilai Kandidat Material Terhadap Tiap Kriteria (S) Nilai
Material Κ η Lc Cm Cp S Akhir (N)
Nilai
0,101 0,163 0,237 0,214 0,138 0,146
Kriteria(NAm)
Platinum (Pt) 0,0278 0,1338 0,0000 0,0119 0,2047 0,0938 0,0125
Tembaga (Cu) 0,2273 0,1154 0,3106 0,1185 0,0557 0,0649 0,0266
Nikel (Ni) 0,1789 0,1267 0,1199 0,1184 0,0614 0,3606 0,0270
Emas (Au) 0,1918 0,1263 0,2737 0,0472 0,1212 0,0000 0,0231
Cobalt (Co) 0,0931 0,1269 0,1874 0,1184 0,0804 0,0469 0,0178
Molibden (Mo) 0,0824 0,0655 0,0000 0,1180 0,1095 0,0000 0,0110
Titanium (Ti) 0,0701 0,0677 0,0000 0,1182 0,0613 0,2260 0,0142
Stainless Steel 0,0535 0,1075 0,0427 0,1185 0,0692 0,1118 0,0132
Silver (Ag) 0,0424 0,1027 0,0657 0,1173 0,0564 0,0000 0,0103
Grafit 0,0326 0,0275 0,0000 0,1137 0,1803 0,0962 0,0109

Dari hasil penilaian akhir pada Tabel 9 terlihat 2 kandidat material dimana Indonesia
memiliki cadangan dan produksi cukup besar berada di posisi teratas (diblok abu-abu). Nikel
dan Tembaga merupakan sumber daya yang telah stabil produksinya didalam negeri.

KESIMPULAN
1. Model pemilihan material elektroda dengan melibatkan kriteria-kriteria yang berpengaruh
baik dari sisi kinerja elektroda maupun dari sisi biaya dianggap dapat mewakili dan
memberikan material yang sesuai.
2. Material lokal memiliki kinerja overpotensial yang cukup baik untuk digunakan sebagai
elektroda.
3. Posisi material lokal dari material yang menjadi kandidat cukup strategis terutama Nikel
dan Stainless steel. Hal ini terbukti dari kinerja yang ditunjukkan dari pengujian serta
industri nya yang telah stabil dalam kancah industri dunia.
4. Model untuk memposisikan material lokal dari material universal dapat digunakan
dengan hasil yang baik.

Daftar Referensi
[1] Ashby, Michael F. 2010. Materials Selection in Mechanical Design, Fourth Edition.
ISBN 978-1-85617-663-7. UK: Butterworth-Heinemann.
[2] Saaty, T. L. 1980. Handbook Material: The analytic hierarchy process. New York:
McGraw-Hill.
[3] Cardarelli, Francois. 2008. Materials handbook : a concise desktop reference, -2nd ed.
ISBN-13: 9781846286681. London: Springer-Verlag.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     131 
[4] Irawan, Dedi. 2014. Pemilihan Material Elektroda Elektrolizer Tipe Alkaline Dan
Penempatan Material Lokal Dengan Metode Ashby-Saaty. Tesis, Departemen Teknik
Mesin FTUI. Depok: Universitas Indonesia.
[5] Putra, Arbie Marwan. 2010. Analisis Produktifitas Gas Hidrogen dan Gas Oksigen Pada
Elektrolisis Larutan KOH. Jurnal Neutrino, 2(2).
[6] Tasic, Gvozden S. et al. 2011. Characterization of the Ni-Mo catalyst formed in situ
during hydrogen generation from alkaline water electrolysis. International Journal Of
Hydrogen Energy, 36: 11588-11595.
[7] Rosalbinoa, F. et al. 2008. Electrocatalytic behaviour of Co–Ni–R (Rare earth metal)
crystalline alloys as electrode materials for hydrogen evolution reaction in alkaline
medium. International journal of hydrogen energy, 33: 6696–6703.
[8] Martinez, S. et al. 2006. Electrocatalytic properties of electrodeposited Ni–15Mo
cathodes for the HER in acid solutions: Synergistic electronic effect. Journal of
Molecular Catalysis A: Chemical, 245: 114-121.
[9] Omar Aaboubi. 2011. Hydrogen evolution activity of Ni-Mo coating electrodeposited
under magnetic field control. International journal of hydrogen energy, 36: 4702-4709.
[10] Allebrod, Frank. 2013. Christodoulos Chatzichristodoulou, Mogens B. Mogensen,
Alkaline Electrolysis Cell At High Temperature And Pressure Of 250 C and 42 Bar.
Journal of Power Sources, 229: 22-31.
[11] Zoulias, Emmanuel, et al. A Review On Water Electrolysis.
[12] Wendt, H, et al. 1984. Anode And Cathode-Activation, Diaphragm-Construction And
Electrolyzer Configuration In Advanced Alkaline Water Electrolysis. Great Britain: Int.
J. Hydrogen Energy, 9(4): 297-302.
[13] Bocutti, R. et al. 2000. The hydrogen evolution reaction on codeposited Ni±hydrogen
storage intermetallic particles in alkaline medium. International Journal of Hydrogen
Energy, 25: 1051-1058.
[14] Weikang Hu and Jai-Young Lee. 1998. Electrocatalytic Properties Of Ti,Ni/Ni-Mo
Composite Electrodes For Hydrogen Evolution Reaction. International Jurnal
Hydrogen Energy, 23(4): 253-251.
[15] HB, Suffredini. et al. 2000. Recent developments in electrode materials for water
electrolysis. Int. J. Hydrogen Energy, 25: 415-423.
[16] Sheela, G, et al. 2002. Zinc–Nickel Alloy Electrodeposits For Water Electrolysis.
International Journal of Hydrogen Energy, 27: 627–633.
[17] Tavares, A.C. and S. Trasatti. 2000. Ni RuO2 co-deposited electrodes for hydrogen
evolution. Electrochimica Acta, 45: 4195–4202.
[18] Iwakura, Chiaki. et al. 1995. Electrochemical Properties of Ni/(Ni + Ruo,) Active
Cathodes For Hydrogen Evolution In Chlor-Alkali Electrolysis. Electrochimica Acta.
Great Britain, 40(8): 917-982.
[19] Iwakura, Chiaki. et al. 1995. Electrochemical Properties of Ni/(Ni + Ruo,) Active
Cathodes For Hydrogen Evolution In Chlor-Alkali Electrolysis. Electrochimica Acta.
Great Britain, 40(8): 917-982.
[20] Kaninski, Milica P. Marceta. et al. 2013. Cobalt-Chrome Activation Of The Nickel
Electrodes For The HER In Alkaline Water Electrolysis E Part II. International Journal
Of Hydrogen Energy, 38: 1758-1764.
[21] Moussallema, Imad, et al. 2012. Development Of High-Performance Silver-Based Gas-
Diffusion Electrodes For Chlor-Alkali Electrolysis With Oxygen Depolarized Cathodes.
Chemical Engineering and Processing, 52: 125–131.
[22] Weikang Hu. 2000. Electrocatalytic properties of new electrocatalysts for hydrogen
evolution in alkaline water electrolysis. International Journal of Hydrogen Energy, 25:
111-118.

132  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
[23] Solmaz, Ramazan. 2013. Electrochemical preparation and characterization of C/NieNiIr
composite electrodes as novel cathode materials for alkaline water electrolysis.
International Journal of Hydrogen Energy, 38: 2251–2256.
[24] Rosenqvist, T. 1974. An Principles of Extractive Metallurgy. Japan: McGraw - Hill
[25] Platinum electrode electrolysis. 2013. (http://www.alibaba.com/product-
gs/632796614/platinum_electrode_electrolysis.html, diakses 10 Mei 2013).
[26] www.alibaba.com
[27] Lumanauw, Daniel. 2000. Hydrogen Bubble Characterization In Alkaline Water
Electrolysis. Department of Metallurgy and Materials Science, University of Toronto.
[28] www.spf.co.jp/en/denkai/, diakses 6 Mei 2013.
[29] Keiji Kunimatsu. et al. Reaction Intermediate of Hydrogen Evolution Reaction on a Pt
Electrode Studied by Surface-Enhanced Infrared Spectroscopy, diakses dari
www.electrochem.org/dl/ma/206/pdfs/2311.pdf.
[30] Dincer, Ibrahim. 2012. Green Methods For Hydrogen Production International Journal
Of Hydrogen Energy, 37: 1954-1971.
[31] Hug, W. et al. 1992. Highly Efficient Advanced Alkaline Electrolyzer For Solar
Operation. Int. J. Hydrogen Energy, 17(9): 699-705.
[32] Kenji Kikuchi. et al. 2001. Hydrogen Concentration In Water From An Alkali–Ion–
Water Electrolyzer Having A Platinum-Electroplated Titanium Electrode. Journal of
Applied Electrochemistry, Kluwer Academic Publishers,31: 1301–1306.
[33] Ðukic, Ankica and Mihajlo Firak. 2011. Hydrogen production using alkaline
electrolyzer and photovoltaic (PV) module. International Journal For Hydrogen
Energy, 30: 7799–7806.
[34] Stafford, Gery R. et al. 1991. Graphite Fiber-Polymer Matrix Composites as
Electrolysis Electrodes. Journal of The Electrochemical Society, 138(2): 425-430.
[35] Nobuyuki Katsuki. et al. 1998. Water Electrolysis Using Diamond Thin-Film
Electrodes. J. Electrochem. Soc., 145(7): 2358-2362.
[36] Kai Zeng, and Dongke Zhang. 2010. Recent progress in alkaline water electrolysis for
hydrogen production and applications. Progress in Energy and Combustion Science, 36:
307–326.
[37] Martınez, W. M. et al. 2010. Synthesis of nickel-based skeletal catalyst for an alkaline
electrolyzer. International Journal Of Hydrogen Energy, 35: 8457–8462.
[38] Nikolic, Vladimir M. et al. 2010. Raising Efficiency Of Hydrogen Generation From
Alkaline Water Electrolysis - Energy Saving. International Journal Of Hydrogen
Energy, 35: 12369-12373.
[39] L. Jiang. et al. 2009. A Planar Microfabricated Electrolyzer For Hydrogen And Oxygen
Generation. Journal of Power Sources, 188: 256–260.
[40] Chi-Chang Hu and Yau-Ruen Wu. 2003. Bipolar Performance Of The Electroplated
Iron–Nickel Deposits For Water Electrolysis. Materials Chemistry and Physics, 82:
588–596.
[41] Salvi, Paolo. et al. 2011. Hydrogen evolution reaction in PTFE bonded Raney-Ni
electrodes. International journal of hydrogen energy, 36: 7816-7821.
[42] Jensen, J O. 2008. Pre-Investigation Of Water Electrolysis. Denmark.
[43] Gasteiger, Hubert A. et al. 2010. Electrocatalysis and Catalyst Degradation Challenges
in Proton Exchange Membrane Fuel Cells. Hydrogen Energy, ISBN: 978-3-527-32711-
9, WILEY-VCH Verlag GmbH & Co., Weinheim.
[44] Ashby, M. F. et al. 2000. Metal Foams: A Design Guide, Butterworth-Heinemann.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     133 
134  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
KRISTALISASI SENYAWA LiMnOH
SEBAGAI BAHAN BAKU BATERAI PADAT LITHIUM

Dedy Sufiandi*, Immanuel Ginting, Ahmad Royani


Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI
*E-Mail: dedy006@lipi.go.id

Abstrak
Tujuan penelitian mendapatkan produk litium manganese oksida sebagai bahan baku pembuatan
baterai padat litium. Bahan yang digunakan LiMnOH dari limbah baterai dan mangan oksida dari bijih
mangan. Metoda yang digunakan adalah proses kristalisasi dengan pengaturan temperatur 100°C dan 125°C
dan pH larutan 6, 8, 10 dan 12, senyawa diaduk homogen kemudian dipanaskan dan diatur pH nya. Pada
kondisi optimum dihasilkan produk LiMn kemudian dikeringkan pada temperatur 110°C dan produk dianalisis
dengan XRD. Hasil analisis XRD produk terdiri dari kristal Li2O dan MnO2.

Kata kunci: Baterai litium, Kristalisasi, Bijih mangan, LiMnOH.

PENDAHULUAN
Potensi sumber daya alam primer indonesia cukup melimpah, sampai dengan saat ini
belum optimal diolah sehingga sumber daya alam tersebut masih mempunyai nilai tambah
yang rendah. Salah satunya adalah bijih mangan untuk bahan magan sulfat, pakan ternak dan
mangan oksida sebagai bahan baku baterai konvensional atau material maju (Advanced
Material) seperti untuk bahan pembuatan baterai lithium sebagai produk elektronik seperti
lap top, handphone, baterai kamera, di lain pihak indonesia sebagai ladang pemasaran
elektronik sehingga berdampak menghasilkan limbah baterai lithium dalam jumlah yang
sangat besar yang tentunya memerlukan penanganan khusus dalam proses daur ulang. Dengan
perkembangan teknologi yang pesat sekarang telah ada baterai yang terbuat dari lithium
manganese yang mempunyai keunggulan yaitu memiliki rapat arus yang tinggi, mampu
dibuat dalam ukuran mikro, dapat diisi ulang dan ramah lingkungan sehingga dimasa datang
akan mempunyai prospek yang cerah.
Dengan penggunaan sumber daya primer dan sekunder pada penelitian ini diharapkan
adanya peningkatan nilai tambah sumber daya alam Indonesia. Penelitian ini sebagai lanjutan
dari penelitian yang telah dilakukan yaitu pembuatan produk LiMn2O4 dari senyawa LiMnOH
sebagai bagian dari bahan baku pembuatan baterai padat litium.
Percobaan dilakukan dengan cara kristalisasi dengan pengaturan temperatur dan pH
larutan sedemikian sehingga menghasilkan padatan LiMn oksida, kemudian produk dianalisa
dengan menggunakan XRD untuk mengetahui struktur kristal yang terbentuk.
Mangan oksida salah satu bahan baterai sebagai elektroda positif untuk baterai primer
sedangkan baterai litium menghasilkan energi yang tinggi menjadi penting dan mangan
oksida sebagai bahan baku baterai litium berpotensi dan ketersediannya melimpah, murah dan
ramah lingkungan.
Pertama, reaksi elektroda dari LiMn2O4 bisa dituliskan sebagai berikut:

LiMn2O4 = Li+ (a) +Mn2O4 + e- (1)

Hal ini mengindikasikan aktivitas lithium berkaitan dengan proses pelepasan dimana
Li+(a) disertakan dalam fasa Mn2O4. Stabilitas Li+ dan Mn2+ muncul pada pH kecil, pH =-log
a(H+), dimana LiMn2O4 larut pada kondisi asam. Reaksi ini membutuhkan elektron sehingga
bisa dikatagorikan reaksi pelepasan. Selama reaksi pelepasan, aktivitas lithium meningkat
(nilai potensial elektroda meningkat). Nilai perubahan bisa berubah dari -60 sampai -58. Ini

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     135 
berkaitan dengan perubahan aktivitas lithium pada pelepasan. Pada perubahan aktivitas
lithium, stabilitas LiMn2O4 menjadi kecil.
Kristalisasi larutan LiMnOH dengan menentukan kondisi temperatur dan pH akan
mempengaruhi hasil yang terbentuk yaitu produk bahan baterai padat lithium sebagai sumber
energi alternatif dan material maju dimasa depan. Kristal yang terbentuk terdapat perbedaan
tergantung kondisi baik temperatur maupun pH larutan.
Preparasi sampel larutan dibuat sedemikian dengan volume untuk tiap percobaan
disesuaikan dengan larutan yang ada dan variabel percobaan yang akan dilakukan.
Selanjutnya percobaan dimulai dengan tahap pemanasan dengan suhu 100°C dan 125°C dan
kontrol pH.
Pada tahap pemanasan yaitu untuk menghilangkan kadar air juga untuk mempercepat
proses pengkristalan, temperatur semakin tinggi proses pengkristalan semakin cepat, dari hasil
analisa XRD maka dimungkinkan lithium akan mudah menguap dan tidak ikut terkristalkan
atau terendapkan bersama-sama mangan. Selama proses pemanasan berlangsung pH tetap
terkontrol, sambil terus diaduk dengan magnetic stirrer. pH regulator yang digunakan adalah
larutan NH4OH berfungsi untuk menaikkan pH dan HCl untuk menurunkan pH larutan.
Hal ini berdasarkan literatur proses kristalisasi akan terbentuk sempurna pada kondisi
basa, ketika ditambahkan NH4OH akan berubah warna dan fasa selanjutnya membentuk
kristal LiMn oksida.

METODE PERCOBAAN
Peralatan yang digunakan antara lain Hot plate, magnetic stirrer, kertas saring,
perlengkapan gelas lab dan pH regulator. Bahan yang digunakan adalah Larutan LiMnOH
yang berasal dari hasil pelarutan limbah baterai lithium dan bijih mangan, HCl dan NH4OH.
Kemudian bahan-bahan disiapkan sedemikian sesuai dengan rencana penelitian. Tahap
selanjutnya dilakukan pemanasan dengan temperatur 100 dan 125°C dengan variabel pH 6,
8, 10 dan 12, setelah pengaturan kondisi terjadi penggumpalan dan kristalisasi dengan waktu
proses 2 jam hasilnya menjadi padat. Selanjutnya produk dikeringkan pada temperatur 110°C
dan dianalisa dengan XRD.

Tabel 1. Analisa Larutan dari LiMnOH


Kode Mg/l Fe Mn Li
A 340 60,75 1773
B 377 681,5 2368

Prosedur Percobaan

Gambar 1. Diagram Alir Proses Kristalisasi dari larutan LiMnOH.

136  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Tabel 2. Kondisi percobaan kristalisasi
Percobaan Suhu Waktu NH4OH
pH
No. (°C) jam 10% / ml
1 100 2 5 6
2 100 2 52 10
3 100 2 120 12
4 100 2 20 8
5 125 2 20 8
6 125 2 9 6
7 125 2 47 10

HASIL DAN PEMBAHASAN

a) Pemanasan b) Pemanasan c) Padatan Litium d) Produk


sebelum ditambah setelah ditambah Mangan
NH4OH NH4OH
Gambar 2. Percobaan kristalisasi.

Analisis XRD

Gambar 3. Hasil analisa XRD produk sampel No. 2.

Dari hasil analisa untuk sampel 2 pada temperatur 100°C dan pH 10 produk terdiri
dari (NH4)MnCl2.2H2O dan Li2O, Mn masih dalam bentuk Ammonium Chlorida.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     137 
Gambar 4. Hasil analisa XRD produk sampel No. 7.

Dari hasil analisa XRD sampel no. 7 pada temperatur 125°C dan pH 10 produk terdiri
dari (NH4)MnCl2.2H2O dan lithium tidak muncul kemungkinan litium menguap akibat
kenaikan temperatur kristalisasi.

Gambar 5. Hasil analisa XRD produk sampel 3.

Dari hasil analisa untuk sampel 3 pada temperatur 100°C dan pH 12 produk terdiri
dari MnO2 dan Li2O sudah terbentuk.

Gambar 6. Hasil analisa XRD produk sampel 4.

138  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Dari hasil analisa untuk sampel 4 pada temperatur 100°C dan pH 8 produk terdiri dari
MnO2 dan Li2O sudah terbentuk.

Gambar 7. Hasil analisis XRD produk sampel 5.

Dari hasil analisa untuk sampel 5 pada temperatur 125°C, dan pH 8 produk terdiri dari
MnO2 dan Li2O sudah terbentuk.

Gambar 8. Hasil analisa XRD produk sampel 6.

Dari hasil analisa untuk sampel 6 pada temperatur 125°C dan pH6 produk terdiri dari
MnO2 dan Li2O. Jadi dari analisa XRD pada pH 10, unsur Mn dan Li masih terpisah atau
discompound sedangkan pada pH 6, 8 dan 12 produk sudah menghasilkan kristal LiMn
walaupun terdapat beda temperatur.
Pada percobaan kristalisasi diharapkan mendapatkan kondisi yang sesuai untuk
terbentuknya produk senyawa Li-Mn Oksida dari bahan mineral mangan dan limbah baterai
lithium. Yaitu dengan pengaturan pH dan temperatur sehingga produk mempunyai fase yang
stabil. Untuk digunakan sebagai sumber energi alternatif untuk bahan baku baterai padat
litium.
Preparasi larutan dilakukan sedemikian sehingga mewakili sampel percobaan sesuai
dengan variabel pH dan temperatur yang dilakukan. Kemudian selanjutnya dilakukan
pemanasan pada suhu 100°C dan 125°C pada tahap ini terjadi penghilangan kadar air dan
mempercepat proses kristalisai begitu pula untuk temperatur yang lebih tinggi dimungkinkan
litium akan mudah menguap sehingga tidak ikut mengendap bersama mangan, jadi suhu

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     139 
dijaga konstan supaya kandungan litium tetap terjaga. Pada proses pemanasan berlangsung
pH diukur sebelum mencapai suhu yang diinginkan. Larutan sebelumnya berwarna kuning
kemudian berubah menjadi kuning keruh kemudian coklat muda sampai coklat tua tergantung
pH larutan yaitu dengan menambahkan NH4OH sebagai pH regulator.
Kristalisasi akan sempurna apabila proses dalam kondisi basa sedangkan proses
pemanasan berlangsung selama dua jam agar kandungan air benar-benar hilang dan produk
menjadi padat. Setelah proses kristalisasi kemudian produk dikeringkan dalam oven
selanjutnya produk dianalisa dengan XRD untuk melihat struktur kristal yang terbentuk.
Dari hasil XRD muncul peak adalah NaCl, Li2O dan (NH4)2 MnCl4 dan NaCl, (NH4)2
MnCl senyawa NaCl terjadi dari hasil reaksi sebelumnya antara pelarut HCl dengan media
pengendap NHOH dan Na2CO3 karena NaCl tidak larut poada filtrat yang dihasilkan.
Dari serangkaian hasil analisa XRD dapat diambil beberapa hal, pengaruh pH akan
mempengaruhi produk yang diperoleh yaitu MnO2 dan LiO2, perubahan makin tinggi peak
MnO2 yang muncul makin besar dan stabil dan begitu pula untuk LiO2 kecuali pada pH 10
kristal MnO2 mengalami penurunan tetapi kristal LiO2 tetap stabil baik pada kondisi
percobaan temperatur 100°C maupun 125°C, kecuali pada pH 12 dan temperatur 125°C,
sampel cepat sekali mengeras sehingga percobaan pada kondisi ini tidak efektif.

KESIMPULAN
Dari data pengamatan hasil analisa dapat disimpulkan bahwa pembuatan litium
mangan dengan waktu pemanasan selama dua jam pada variabel temperatur dan pengaturan
pH akan mempengaruhi kristal yang terbentuk. Kondisi yang optimum yang dicapai pada
temperatur pemanasan 100°C dan pH 8 dengan waktu 2 jam, sedangkan pada pH 6 dan pH
10 kondisi pembentukan kristal belum stabil dan pada pH 12 disamping penambanhan
ammonium hidroksil lebih banyak sampel cepat mengeras begitu pula dengan naiknya
temperatur maka dengan demikian kondisi pH 8, waktu pemanasan 2 jam kristal litium
mangan sudah terbentuk walaupun temperatur dinaikkan sampai temperatur 125°C seperti
pada sampel c dan d hasil analisa XRD.
Untuk aplikasi sebagai bahan baku baterai padat litium perlu dilakukan analisis sifat
kelistrikan seperti produktiviti (power) dan density energi.

Daftar Referensi
[1] Long Qu. et al. Synthesis and characterization of high capacity Li2MnSiO4/C cathode
material for lithium-ion batterey.
[2] Maugeri, L. Study of local disorder in LiMn(Cr,Ni)O2 compounds by extended X-ray
absorption fine structur measurement.
[3] M. McMeeking, Robert and Rajlaksmi Purkayastha. The role of solid mechanics in
electrochgemical energy systems such as lithium-ion batteries.
[4] Zhe Li. et al. A review of lithium deposition in lithium-ion and lithium metal secondary
batteries.
[5] Yi Zheng. et al. Hydrothermal synthesis of LiMnXCo1-xO2 cathode materials.

140  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
PENGARUH KONDISI AWAL SAMPEL DAN RUTE DEFORMASI
ECAP TERHADAP KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO
PELAT ALUMINIUM 6061

Edy Priyanto Utomo*, I Nyoman G.P.A, Efendi Mabruri


Pusat Penelitian Metalurgi dan Material - LIPI
Kawasan Puspiptek Gd.470, Serpong 15314
*E-Mail: edy_pir@yahoo.com.sg

Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh kondisi awal sampel dan rute deformasi ECAP
terhadap kekerasan dan struktur mikro pelat aluminium 6061. Hasil percobaan menunjukkan bahwa ECAP
pada sampel dengan kondisi as-annealed menghasilkan peningkatan kekerasan yang lebih besar dibandingkan
pada sampel dengan kondisi as-worked meskipun sampel kondisi as-worked memiliki struktur mikro dengan
butiran yang lebih kecil. Sedangkan rute deformasi A dan C pada ECAP menghasilkan kekerasan dan struktur
mikro yang relatif sama pada sampel kondisi as-annealed.

Kata kunci: Equal channel angular pressing, Rute deformasi, Kondisi awal sampel, Paduan aluminium 6061,
Kekerasan.

PENDAHULUAN
Dengan proses Equal Channel Angular Pressing (ECAP) telah diketahui suatu metoda
yang menghasilkan butiran yang sangat halus (sub-micrometer atau nano-meter), tanpa
mengurangi dimensi ukuran sampel.[1-2] Ukuran butir yang sangat halus diketahui mempunyai
keuntungan dapat meningkatkan kekuatan, kekerasan, fatique dan meningkatkan super
elastisitasnya.
ECAP dapat segera diaplikasikan di industri untuk menghasilkan benda kerja yang
relative besar, ECAP dapat digunakan untuk mendapatkan struktur mikro yang mana
dimungkinkan untuk mencapai pembentukan superelastis kecepatan regangan yang sangat
tinggi, ECAP dapat dikombinasikan dengan proses pengerjaan logam lainnya seperti forging,
rolling dan wire drawing. Beberapa paper sudah dipublikasikan terkait penelitian ECAP yang
dilakukan oleh Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI.[3-8]
Aluminium paduan 6061 mengandung silikon dan magnesium, dan akan membentuk
presipitat Mg2Si setelah perlakuan aging. Aluminium 6061 ini mempunyai kekuatan yang
tinggi, mampu bentuk yang baik, mampu las yang baik, mampu permesinan yang baik, dan
cenderung mempunyai ketahanan korosi yang baik. Pada tulisan ini akan dilaporkan hasil
penelitian pengaruh deformasi sangat tinggi dengan teknik ECAP terhadap kekerasan dan
struktur mikro as-worked dan annealed dengan membandingkan Rute A dan Rute C paduan
aluminium 6061.

METODE PERCOBAAN
Pelat aluminium 6061 diperoleh dari pasaran dalam kondisi as-worked dengan
komposisi kimia yang ditunjukan pada Tabel 1 berdasarkan analisa OES (optical emission
spektrometer). Untuk sampel kondisi as-annealed, pada sampel kondisi as-worked dilakukan
proses pemanasan anil pada suhu 530°C selama 4 jam. Dies untuk ECAP yang digunakan
memiliki lubang dengan ukuran (pxlxt) 90 mm x 70 mm x 15 mm dan lubang membentuk
sudut 120°. Proses ECAP dilakukan sebanyak 2 pass dengan menggunakan rute A dan rute C,
dimana benda kerja tidak diputar (rute A) dan diputar 180° (rute C) pada pass berikutnya.
Sebelum dilakukan penekanan, sampel diolesi dengan pelumas dengan untuk mengurangi
gesekan antara sampel dan dies selama proses penekanan. Proses ECAP yang dilakukan
diperlihatkan pada Gambar 1. Semua sampel kemudian dilakukan pengujian kekerasan

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     141 
Brinnel (HB10) dan pengamatan metalografi.

Tabel 1. Komposisi kimia Al 6061 (% berat)

Gambar 1. Gambar skematik ECAP dies Proses.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 2 dan Gambar 2 memperlihatkan hasil uji keras dengan metoda brinel 10 (HB
10), pada sampel aluminium 6061 sebelum, setelah ECAP rute A dan rute C. Dari Gambar 2
di atas terlihat peningkatan yang sangat tajam terhadap nilai kekerasan dari sampel as-worked
+ ECAP dengan sampel as-anneaed + ECAP dengan pass 0, pass 1 dan pass 2. Pada Gambar
2 terlihat kekerasan awal (pass 0) sampel as-worked mempunyai nilai kekerasan lebih tinggi
dibandingkan dengan kekerasan sampel as-annealed, hal ini karena sampel as-worked
mempunyai penguatan regangan, sehingga mempunyai nilai kekerasan lebih tinggi jika
dibandingkan dengan sampel as-annealed. Sedangkan setelah ECAP pass 1 dan pass 2,
sampel as-annealed mempunyai nilai kekerasan lebih tinggi dibandingkan sampel as-worked
yang menunjukan rapat dislokasi yang lebih tinggi dimiliki oleh sampel as-annealed. Rapat
dislokasi yang lebih tinggi pada sampel as-annealed setelah ECAP dapat dikaitkan dengan
kondisi regangan yang bebas regangan (free strain), sehingga dapat mengakomodasi shear
bend (pita geser) yang lebih optimal dibandingkan sampel as-worked dengan butiran yang
memiliki regangan sisa akibat proses pengerjaan sebelumnya (as-worked).

Tabel 2. Perbandingan nilai kekerasan sebelum ECAP dan setelah ECAP pada beberapa
kondisi percobaan
Harga Kekerasan Rata-Rata HB 10
Jumlah Pass
As Worked Rute A Annealed Rute A Annealed Rute C
0 (sebelum ECAP) 123.50 108.23 108.23
1 167.48 199.75 199.75
2 173.80 216.50 216.55

142  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
,250.00
K
e ,200.00

(
k
H
e ,150.00
B
r
a ,100.00
1
s As Worked
0 ,50.00
a
) Annealed
n
,0.00
Pass 0 Pass 1 Pass 2
Jumlah Pass

Gambar 2. Grafik nilai kekerasan ECAP rute A pada sampel kondisi awal as-worked dan
as-annealed.
,250.00

K
e ,200.00
k H
e B ,150.00
r
a 1 ,100.00 Route A
s 0 Route C
a ,50.00
n
,0.00
Pass 0 Pass 1 Pass 2
Jumlah Pass

Gambar 3. Grafik nilai kekerasan ECAP Anealed Rute A dan Rute C.

Pass 0 Pass 1 Pass 2

As
Worked
Rute A

Annealed
Rute A

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     143 
Annealed
Rute C

Gambar 4. Struktur mikro searah penekanan pada pelat aluminium 6061 dengan berbagai
kondisi ECAP.

Gambar 3 menunjukkan kekerasan sampel annealed yang diproses ECAP route A


dan route C. Dari gambar tersebut terlihat bahwa kekerasan pada kedua sampel menunjukkan
nilai yang relatif sama. Hal ini didukung oleh struktur mikro kedua sampel (kondisi as-
annealed route A dan as-annealed route C pass 2) yang relatif sama seperti ditunjukkan oleh
Gambar 4. Dari Gambar 4 juga dapat diamati bahwa sampel as-worked pada pass 0 dan
pass 1 memiliki struktur mikro dengan butiran yang lebih halus, tetapi pada pass 2 ukuran
butirannya relatif sama dengan sampel as-annealed setelah ECAP pass 2. Hal ini
menunjukkan tingkat densitas pita geser dan fragmentasi butiran pada sampel as-annelaed
yang lebih besar dibandingkan pada sampel kondisi awal as-worked. Selain itu dapat diamati
pula bahwa sampel ECAP pass 2 pada semua kondisi memiliki ukuran butir yang relatif lebih
kecil dibandingkan pada sampel setelah ECAP pass 1. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
banyak jumlah pass ECAP semakin banyak fragmentasi butiran yang terjadi oleh adanya pita-
pita geser (shear band).

KESIMPULAN
ECAP pada sampel aluminium 6061 dengan kondisi as-annealed menghasilkan
peningkatan kekerasan yang lebih besar dibandingkan pada sampel dengan kondisi as-worked
meskipun sampel kondisi as-worked memiliki struktur mikro dengan butiran yang lebih kecil
pada ECAP pass 1. Pada ECAP pass 2 sampel as-worked memiliki ukuran butir yang relatif
sama dengan sampel as-annealed. Rute deformasi A dan C pada ECAP menghasilkan
kekerasan dan struktur mikro pelat aluminium 6061 yang relatif sama pada sampel kondisi as-
annealed.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Penelitian Metalurgi dan Material
LIPI yang telah mendanai penelitian ini melalui kegiatan tematik 2014.

Daftar Referensi
[1] Stoicca, G. M and P.K Liaw. 2001. Jurnal of Metals, 36-4a.
[2] Rusz, S.and K. Malanik. 2007. Archives of Materials Science and Engineering, 28(11).
[3] Mabruri, E. dkk. 2009. Pemrosesan CP-Ti Struktur Ultra Halus dengan Deformasi
Sangat Plastis Menggunakan Teknik Equal Channel Angular Pressing (ECAP).
Prosiding Seminar Material Metalurgi 2009, Indonesia.
[4] Ika Kartika. 2011. Teknologi Deformasi Sangat Tinggi Untuk Mendapatkan Material
Ultra Fine Grain.
[5] Mabruri, E. dan I Nyoman G.P.A. 2014. Fractographic Analysis of 5052 Al-Mg Alloys
Processed by Equal Channel Angular Pressing. Advance Materials Research: 896.
[6] Mabruri, E. dkk. 2010. Jurnal METALURGI, 25(1).
[7] Mabruri, E. 2012. Jurnal METALURGI, 27(1).
[8] Kartika, I. dkk. 2012. Pros. Seminar Material Metalurgi 2012, Tangerang Selatan, 27
November 2012.

144  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
PENGAMATAN KINETIKA REAKSI PEMBENTUKAN MgO DAN CaO
PADA KALSINASI DOLOMIT

Eko Sulistiyono1*, Solihin2, Eni Febriana1


1
Pusat Penelitian Metalurgi dan Material - LIPI
2
Pusat Peneletian Geoteknologi – LIPI
*E-Mail: ekos001@lipi.go.id

Abstrak
Telah dilakukan percobaan kalsinasi dolomite secara parsial dimana diharapkan kalsinasi parsial ini
mampu memecah MgCO3 menjadi MgO dan CO2, sementara itu CaCO3 belum bereaksi. Tujuan dari kegiatan
penelitian ini adalah menentukan titik krusial proses kalsinasi dolomite dari Lamongan dengan harapan MgO
sebanyak mungkin terbentuk dan CaO seminimal mungkin terbentuk. Dengan demikian proses premisahan unsur
Mg dan Ca dalam dolomite Lamongan dapat berhasil dengan baik, sehingga target produksi MgCO3 dapat
terealisasi. Hasil penelitian menunjukkan titik krusial kalsinasi dolomite Lamongan terjadi pada temperatur
725°C dan waktu kalinasi antara 4,5 sampai 5 jam.

Kata kunci: Kalsinasi, Dolomite, Parsial.

PENDAHULUAN
Dolomit merupakan mineral karbonat yang tersusun atas MgCO3 dan CaCO3 dengan
komponen MgCO3 dalam jumlah yang cukup besar dengan kisaran kadar MgO diatas 7%.[1]
Hingga saat ini pemanfaatan dolomit hanya digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk
untuk sumber magnesium dan penetralisis tanah asam. Dibeberapa daerah di Kabupaten
Lamongan dolomit dimanfaatkan untuk bahan bangunan rumah sebagai penganti batu bata
yang tahan air laut.[1] Sehingga nilai jual dari mineral dolomit sangat murah dimana harga
dolomit di pasaran hanya sekitar Rp 500 per kg.[1] Sementara itu jika diolah dengan benar
maka nilai jual dari mineral dolomit akan tinggi yaitu dengan membuat dolomit sebagai
sumber bahan baku pembuat MgO dan magnesium karbonat.[2,3]
Pada percobaan ini bahan baku yang digunakan adalah dolomit yang berasal dari
daerah Paciran, Kabupaten Lamongan Jawa Timur.[1] Dolomit yang berasal dari daerah
tersebut pada umumnya merupakan dolomit yang memilki kualitas yang tinggi dengan kadar
MgO diatas 18% dan maksimal 22%.[1] Dolomit dari daerah Kabupaten Lamongan
merupakan hasil dari proses pembentukan karang yang bertumpuk dalam kurn waktu jutaan
tahun kemudian karena adanya peristiwa geologis tumpukan karang tersebut terangkut naik
menjadi kawasan pegunungan dolomit.[1] Kawasan ini membentang di sepanjang pantai utara
dimulai dari Kabupaten Renbang – Jawa Tengah sampai Kabupaten Gresik Jawa Timur,
kemudian menyeberang ke Pulau Madura samai dengan Kaawasan kepulauan Kangean.[1]
Untuk mengolah dolomit menjadi MgO dan magnesium karbonat perlu dilakukan
proses pemisahan dengan CaO menggunakan proses kalsinasi parsial.[2.3] Proses kalsinasi
parsial adalah proses peruraian antara MgCO3 menjadi MgO terlebih dahulu, kemudian
menyusul CaCO3 terurai menjadi CaO.[2,3] Proses transisi antara pembentukan MgO dan CaO
inilah yang menjadi kunci dari pengembangan proses pemisahan unsur Mg dan Ca dalam
mineral dolomit.

METODE PERCOBAAN
Pada penelitian ini bahan baku dolomit diperoleh dari hasil pengambilan di daerah
penambangan dolomit yang berada dalam kawasan pegunungan di Paciran, Kabupaten
Lamongan. Setelah diperoleh bahan baku kemudian bahan baku dihancurkan sampai ukuran
butiran 0,5 cm dengan pertimbangan ukuran tersebut adalah ukuran yang paling optimum.
Sebelum dilakukan penelitian bijih dolomit dari Kabupaten Lamongan dikarakterisasi dengan

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     145 
menggunakan instrument XRF untuk melihat komposisi mineral. Adapun komposisi dari
mineral Dolomit Lamongan dapat dilihat pada ganbar dibawah.

Tabel 1. Hasil Analisa XRF Dolomit Lamongan


No. Component Kadar ( %Wt) No. Senyawa Kadar ( %Wt)
1 CaO 31,98 4 SiO2 0,45
2 MgO 20,05 5 Al2O3 0,28
3 LOI 46,82 6 Fe2O3 0,38

Dilakukan pengujian dengan metode DTA-TGA. Hasil analisa DTA-TGA pada bahan
baku dolomit dari lamongan dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1. Hasil analisa TGA-DTA Dolomit Lamongan.

Dolomit yang akan dikalsinasi dihancurkan sampai ukuran sekitar 5 mm kemudian


kalsinasi dilakukan dalam cawan keramik dengan skala percobaan 100 g. Dilakukan proses
kalsinasi dengan rentang temperatur 600°C sampai dengan 750°C dan waktu dari 2 jam
sampai 10 jam.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Telah dilakukan percobaan kalsinasi mineral dolomit dengan rentang proses kalsinasi
parsial pada temperatur antara 700°C, 725°C dan temperatur 750°C dengan waktu kalsinasi
dari 2 jam sampai 10 jam dengan rentang interval 2 jam. Adapun hasil percobaan kalsinasi
dalam rentang interval waktu tersebut diperoleh data pada Tabel 2 sebagai berikut:

Tabel 2. Hasil percobaan kalsinasi mineral dolomit skala 100 g


Waktu Kalsinasi Persen sisa (% berat)
No.
(Jam) 600°C 700°C 725°C 750°C
1 2 97,98 91,78 87,16 79,21
2 4 96,62 87,10 84,49 71,52
3 6 95,90 83,72 77,57 67,78
4 8 95,43 81,86 71,93 64,22
5 10 94,67 81,66 68,90 64,18

146  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Gambar 2. Hasil Analisa XRD Pada Percobaan Kalsinasi Dolomit.

Dari hasil percobaan pada Tabel 2 terlihat bahwa pada tempetur 600°C reaksi
peruraian berjalan sangat lambat dimana dengan kalinasi 10 jam, persen berat yang masih ada
adalah 94,67%. Pada pengujian pemanasan 700°C selama 10 jam terlihat bahwa proses
kalsinasi cenderung meningkat dimana persen berat sisa berkurang tinggal 81,55%.
Berdasarkan analisa XRF pada Tabel 1 terlihat bahwa kadar MgO dalam bahan 20,05%, hal
ini menunjukkan bahwa dengan pemanasan 700°C proses peruraian yang terjadi hanya pada
MgCO3 dalam dolomite, sementara itu CaCO3 belum terurai. Baru pada pemanasan 725°C
mulai terjadi proses peruraian unsur CaCO3 dapat dilihat pada Tabel 2 pada waktu kalsinasi 6
jam persen sisa bahan sudah mencapai 77,57%. Pada temperatur 750°C proses kalsinasi
berlangsung sangat cepat, dimana pada waktu kalsinasi 2 jam persen sisa bahan sudah
mencapai 79,21%. Hal ini memberikan indikasi bahwa kalsinasi parsial di temperatur 750°C
berlangsung sangat singkat, dan langsung memasuki fase kalsinasi total.
Hasil analisa XRD pada Gambar 2, terlihat bahwa peak MgO mulai muncul pada
proses kalsinasi dolomite Lamongan pada temperatur 700°C dengan waktu 10 jam. Peak
MgO tersebut terlihat cenderung terus membesar dengan semakin tinggi temperatur dan
lamanya proses kalsinasi. Peak CaO pada hasil analisa XRD pada Gambar 2 mulai terlihat
pada proses kalsinasi 725°C dengan waktu kalsinasi 10 jam. Sementara itu peak
MgCO3.CaCO3 pada temperatur kalsinasi dolomite lamongan menurun drastis pada kalsinasi
temperatur 725°C dengan waktu kalsinasi 4 jam dan hilang pada waktu kalsinasi 10 jam.
Dengan melihat hilangnya peak MgCO3.CaCO3 dan mulai munculnya peak CaO
menunjukkan titik krusial peralihan kalsinasi parsial ke kalsinasi total dapat disimpulkan pada
temnperatur 725°C dengan waktu kalsinasi antara 4 sampai 10 jam. Melihat kesimpulan hasil
analisa XRD maka dilakukan proses optimasi kalsinasi. Hasil percobaan optimasi pada
Tabel 3. terlihat bahwa titik krusial kalsinasi dolomite Lamongan terjadi pada temperatur
725°C dan waktu kalinasi antara 4,5 sampai 5 jam. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan
persen berat yang hilang pada angka 22,4221% dengan angka kalsinasi parsial 100% dan
kalsinasi total 47,89%.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     147 
Tabel 3. Hasil optimasi proses kalsinasi temperatur 725°C skala 100 g
Waktu Kalsinasi Pengurangan berat Persen Persen
No.
( Jam ) ( % wt ) Kalsinasi Parsial Kalsinasi Total
1 4 15,5011 70,811 33,107
2 4,5 20,7283 94,689 44,272
3 5 22,4221 100 47,890
4 5,5 24,1002 100 51,474
5 6 24,9951 100 53,385

Dengan mengamati percobaan kalsinasi bertingkat pada dolomit dari Lamongan ini
maka hasil percobaan kaslinasi dolomit dapat dijadikan sebagai referensi dalam mengolah
mineral dolomit dari Lamongan.

KESIMPULAN
Hasil percobaan kalsinasi menunjukkan bahwa unsur Mg dalam dolomite lebih mudah
terurai dibandingkan dengan unsur Ca, dimana unsur Mg mulai terurai pada temperatur 700°C
dan Ca mulai terurai pada temperatur 725°C. Hasil penelitian menunjukkan titik krusial
kalsinasi dolomite Lamongan terjadi pada temperatur 725°C dan waktu kalinasi antara 4,5
sampai 5 jam.

Daftar Referensi
[1] Zahirani, Ahmad. et al. 2011. Effect of MgO Particle Size on the Microstructure,
Mechanical Properties and Wear Performance of ZTA-MgO Ceramic Cutting Inserts.
International Journal of Refractory Metals and Hard Materials, 29: 456-461.
[2] Boonyawan Yoosuk. et al. 2011. Hydration-Dehydration Technique for Property and
Activity Improvement of Calcined Natural Dolomit In Heterogeneus Biodesel
Production. Journal Aplied Catalysis, General 395: 87-94.
[3] Dinas Pertambangan Daerah Provinsi Jawa Timur. 1996. Memperkenalkan Bahan
Galian Golongan C di Jawa Timur “Dolomit“.
[4] Gelai, H. et al. 2007. Mechanism of Growth of MgO and CaCO3 During a Dolomit
Partial Decomposition. Journal Solid State Ionics, 178: 1039-1047.
[5] Oates, J. A. H. 1998. Lime and Limestone: Chemistry and Technology, Production. John
Wiley VCH, 1 Edition ( July 8,1998 ), ISBN-10 : 3527295275.
[6] Keiko Sasaki. et al. 2013. Effect of natural dolomit calcination temperature on sorption
of borate onto calcined products. Microporous and Mesoporous Materials, 1: 1-8.

148  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
EFEK PENAMBAHAN ZEOLIT SEBAGAI MATRIKS DALAM
PUPUK NPK DENGAN KEMAMPUAN LEPAS LAMBAT

F. R. Irawan1, M. E. W. Utama2, I. Rizky2, T. E. Agustina2, Husnain3, M. I. Amal4*


1
Program Studi Ilmu Bahan,Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia
2
Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya
3
Balai Penelitian dan Pengembangan Tanah, Departemen Pertanian
4
Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI
*E-Mail: m.ikhlasul@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini mencoba untuk mengkaji pembuatan pupuk lepas lambat (slow release fertilizer) juga
dimaksudkan mengkaji bagaimana kemampuan pupuk lepas lambat untuk mengontrol pelepasan unsur haranya
ke lahan pertanian lalu mengetahui pengaruh penambahan zeolit pada pupuk NPK majemuk maupun tunggal
serta menentukan formulasi pupuk lepas lambat yang tepat. Zeolit memiliki kandungan senyawa SiO2, Al2O3,
K2O, Fe2O3, CaO, MgO, P2O5 yang juga merupakan micronutrient yang dibutuhkan oleh tumbuhan. Pada
penelitian ini pupuk NPK dan zeolite dihaluskan menggunakan metode mechanical milling selama waktu
tertentu. Bubuk hasil proses mechanical milling kemudian dikompaki pada temperatur ruang. Pellet hasil
pemadatan kemudian diuj imikrostrukturnya menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) dan uji
leaching di dalam air. Ion yang terlepas dari pellet diukur secara berkala menggunakan alat ukur TDS-meter.
Hasil TDS-meter menunjukkan pupuk yang menggunakan matriks zeolite melepaskan ion terlarut lebih sedikit
dibandingkan pupuk yang tidak diberikan perlakuan.

Kata kunci: Slow release, NPK, Zeolit, Mechanical milling.

PENDAHULUAN
Pupuk merupakan faktor produksi yang sangat penting bagi sektor pertanian. Pupuk
menyumbang 20 persen terhadap keberhasilan peningkatan produksi pertanian, khususnya
beras antara tahun 1965-1980 dan keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras di
tahun 1984. Pupuk pun berkontribusi 15-30 persen untuk biaya usaha tani padi. Dengan
demikian sangat penting untuk menjamin kestabilan harga dan kelancaran distribusi pupuk.
Kekurangan pupuk dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman yang tidak normal sehingga
menurunkan hasil panen petani atau bahkan terjadi gagal panen. Gagal panen inilah yang
selanjutnya menjadi ancaman dalam menciptakan ketahanan pangan. Jika situasi kelangkaan
pupuk dibiarkan berlangsung lama dan tidak segera diambil tindakan yang tepat oleh instansi
terkait, akan mengakibatkan timbul rasa kurang adil kepada petani, menurunkan tingkat
kesejahteraan petani, mengganggu ketahanan pangan dan keberlangsungan produksi pertanian
nasional, serta dapat menekan pertumbuhan ekonomi nasional.
Kondisi perpupukan di Indonesia memiliki berbagai masalah yang serius. Pertama,
permasalahan pabrik pupuk yang sudah berusia tua sehingga efisiensi produksinya makin
menurun. Kedua, pasokan gas bumi untuk produksi pupuk sangat terbatas. Dengan demikian
pabrik tidak dapat beroperasi optimal. Padahal 60 persen bahan bakunya untuk pupuk urea
adalah gas alam. Keterbatasan suplai gas alam dikarenakan mayoritas perusahaan gas alam
dimiliki oleh swasta yang memiliki orientasi yang besar pada keuntungan. Hal itu seiring
dengan diresmikannya liberalisasi sektor migas di Indonesia yang diatur dalam UU No. 22
Tahun 2001 tentang Migas.
Ketiga, kebutuhan pupuk yang semakin meningkat, sementara produksinya terbatas,
sehingga terjadi kelangkaan pupuk. Kelangkaan pupuk juga melanda Indonesia pada tahun
2008 kemarin. Disinyalir permasalahan kelangkaan pupuk tersebut dikarenakan:
a) Rayonisasi yang tidak fleksibel, sehingga tidak mudah melakukan penyesuaian supply antar
wilayah, b) Pengawasan yang lemah dari Pemda di dalam pengelolaan pupuk bersubsidi juga
menyebabkan permasalahan pupuk terjadi, c) Rendahnya margin (fee) yang diterima

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     149 
distributor dan penyalur di Lini IV yang berkisar Rp 30-40/ kg, d) Tingginya disparitas harga
terjadi pada pupuk bersubsidi dengan pupuk non subsidi, sehingga memicu terjadinya
penyelewengan pupuk bersubsidi dan pada akhirnya menyebabkan kelangkaan pupuk.
Keempat, harga pupuk yang cenderung semakin mahal karena pupuk kimia yang beredar di
pasar Indonesia sangat begantung pada bahan baku impor yang harganya terus merangkak
naik mengikuti kurs dollar di pasar mata uang internasional. Kelima, Jumlah distributor
daerah dan kios penyalur di Lini IV cenderung masih terkonsentrasi di Ibu Kota Kecamatan/
Kabupaten/Kota. Keenam, penggunaan pupuk anorganik meningkat drastis akibat fanatisme
petani dan bertambahnya luas areal tanam, sementara penggunaan pupuk organik belum
berkembang. (Kemsesneg, 2009)
Persoalan biaya dalam proses pemupukan masih menjadi kendala berat bagi petani dan
kalangan pengguna pupuk lainnya. Akibatnya, petani sering memberikan kadar takaran pupuk
kurang dari takaran yang seharusnya diberikan dan kadang pula tidak diberi pupuk. Untuk itu,
diperlukan teknologi pemupukan secara berimbang melalui pemberian unsur hara makro dan
mikro secara lengkap dan sesuai kebutuhan dari tanaman itu sendiri. Konsep tersebut
dimaksudkan agar unsur hara yang diberikan secara lengkap yaitu mengandung semua unsur
hara yang diberikan tanaman serta dalam jumlah yang tepat. Salah satu metode yang dapat
digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menggunakan metode
pupuk nano atau dengan metode pelepasan lambat (slow release). Metode ini akan
memberikan nutrisi kepada tanaman secara terus-menerus yang dibutuhkan dalam jangka
waktu yang cukup lama sehingga proses pemupukan menjadi lebih efektif dan efisien serta
menguntungkan dari sisi biaya produksi pupuknya, selain itu slow release fertilizer. Selain itu
juga metode ini menguntungkan bagi lingkungan karena tanaman akan mampu menyerap
lebih optimal nutrisi yang ada sehingga jumlah yang terbuang ke lingkungan jauh lebih sedikit
jika dibandingkan pupuk konvensional biasa.
METODE PERCOBAAN
Prosedur penelitian ini meliputi preparasi pupuk NPK dan zeolit sebagai prekursor.
NPK dan Zeolit yang telah di preparasi dilakukan screening dan juga perhitungan formulasi
perbandingan terhadap NPK dan Zeolit. Metode mechanical milling digunakan untuk proses
mixing dan memperkecil ukuran partikel dari material. Setelah itu, sampel serbuk yang telah
didapatkan dikompaksi sehingga didapatkan sampel dalam bentuk pellet. Uji leaching
dilakukan terhadap sampel yaitu meliputi uji tanah, uji air, uji aqua desiminasi untuk
mendapatkan nilai TDS dari masing-masing pengujian. Analisa mikrostruktur pada sampel
dilakukan dengan menggunakan SEM untuk mengetahui morfologi permukaan sampel yang
didapat.
Preparasi Material
(Pupuk NPK dan Zeolit)

Formulasi

Milling (Proses
Homogenisasi)

Kompaksi

Uji Leaching &


Analisa mikrostruktur

Gambar 1. Diagram alir metodologi penelitian.

150  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada uji tanah, dapat dilihat bahwa nilai TDS tertinggi ada pada sampel NPK yang
telah di kompaksi. Ini membuktikan bahwa pupuk NPK yang telah dikompaksi masih mudah
melarut apabila disiram oleh air dibuktikan dengan jumlah nilai TDS selama seminggu yang
cukup tinggi. Uji tanah ini menggunakan air domestik yaitu air keran/ledeng biasa dan tiap 24
jam nya dilakukan pengambilan sampel sebanyak 30 ml air untuk dianalisa dan disiram air
kembali sebanyak 50 ml.
Berikut adalah grafik nilai TDS pada uji tanah:

Gambar 2. Nilai TDS pada Uji Tanah.

Pada uji Air, terlihat juga bahwa nilai TDS tertinggi adalah pada sampel NPK Granul.
Namun, nilai ini tidak terlalu jauh dibandingkan dengan sampel NPK yang sudah dikompaksi.
Ini memperlihatkan bahwa NPK mudah larut apabila disiram air dibandingkan dengan NPK
yang sudah ditambahkan zeolit maupun pupuk gabungan N, P, dan K yang ditambah zeolit.
Uji air ini menggunakan air domestik yaitu air ledeng/kran, masing-masing sampel direndam
dengan air 100 ml di dalam sebuah wadah kemudian setiap 24 jam nya 30 ml air diambil
untuk di uji, lalu ditambahkan lagi 30 ml air begitu seterusnya sampai 7 hari, dan selain itu
juga diukur nilai TDS nya setiap 24 jam.
Berikut adalah grafik TDS pada uji air:

Gambar 3. Nilai TDS pada Uji Air.


Pada uji air demineralisasi, terlihat bahwa sampel pupuk tunggal (N-P-K) + Zeolit
masih memiliki kandungan TDS terendah dibandingkan sampel yang lain, ini membuktikan
bahwa pupuk slow release (N-P-K) + Zeolit masih menjadi yang paling baik, karena
kelarutannya cukup lambat dibandingkan yang lain. Pada uji air demineralisasi, menggunakan
air demin sebagai media ujinya. Sampel direndam di dalam air demin, dan kemudian setiap 24

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     151 
jam 10 ml air diambil untuk diuji lalu air yang tersisa di dalam wadah tidak ditambahkan lagi
sehingga nilai TDS nya terakumulasi. Uji air demineralisasi dinilai adalah yang paling akurat
dalam menentukan kelarutan dari pupuk tersebut karena pada dasarnya air demin merupakan
air yang minim mengandung mineral sehingga ion-ion yang terlarut dalam air tersebut murni
merupakan ion yang berasal dari pupuk.
Berikut adalah grafik TDS pada uji air demineralisasi:

Gambar 4. Nilai TDS pada Uji Air Demineralisasi.

Struktur morfologi permukaan dari sampel dapat dilihat dari hasil karakterisasi SEM.
Dari Gambar 5 terlihat perbedaan struktir morfologi permukaan pada ketiga sampel yang
diuji. Pupuk NPK yang dimilling dan dikompaksi menunjukkan struktur yang menggumpal.
Hal ini dikarenakan pupuk yang bersifat higroskopis sehingga menyebabkan sampel
teraglomerasi. Sedangkan untuk pupuk NPK yang dimilling bersama zeolit menunjukkan
adanya blending antara sampel pupuk dan zeolit namun masih menggumpal. Untuk pupuk
dengan formulasi N+P+K yang dimilling bersama zeolit terjadi blending yang lebih baik
dibandingkan sampel sebelumnya. Sampel yang tidak menggumpal dan membentuk padatan
yang rata membuat sampel ini memiliki sifat slow release lebih baik.

(a) (b)

(c)
Gambar 5. Morfologi permukaan sampel; a) Pupuk NPK, b) NPK + Zeolit,
c) (N+P+K) + Zeolit.

152  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
KESIMPULAN
Selain menjadi matriks, pengaruh penambahan zeolit memperlambat kelarutan pupuk
terhadap air. Semakin tinggi nilai TDS pupuk maka tingkat kelarutan pupuk tersebut semakin
tinggi, sehingga dibutuhkan variabel pupuk dengan nilai TDS terendah. Berdasarkan nilai
TDS terendah, pupuk N-P-K dan zeolit adalah pupuk dengan kemampuan pelepasan lambat
terbaik. Penggunaan air demineral meminimalisir adanya kandungan ion mineral yang
terkandung di dalam air, berbeda dengan air domestik yang sudah banyak terkandung ion-ion
mineral. Sehingga pengujian air demineral dalam penelitian ini adalah pengujian yang paling
baik.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini didanai oleh kegiatan Kerjasama Kemitraan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Nasional (KKP3N) tahun 2014 dari Departemen Pertanian.

Daftar Referensi
[1] Drzaj, B. 1985. Zeolites Synthesis, Structure, Technology and Application. New York:
Hal 503-506.
[2] Epstein, E. 1972. Mineral Nutrition of Plants: Principles and Perspectives. New Delhi:
Wiley Eastern Limited..
[3] Khalid, B.Y. 2003. Increasing Crop Production Through NPK Fertilizer. Engro
Chemical Pakistan Ltd.
[4] Rosjidi, Mochamad. Potensi Zeolit Untuk Penggunaan Pupuk Lepas Lambat (Slow
Release Fertilizer) dan Membran Anorganik. Pusat Teknologi Industri Proses (PTIP)
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
[5] Rosmarkam. dkk. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Yogyakarta: Kanisius.
[6] Sabihan, S. dkk. 1982. Bahan Kuliah Pupuk dan Pemupukan. Bogor: Departemen Ilmu-
ilmu Tanah Fakultas Ilmu Pertanian IPB.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     153 
154  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
ANALISA ORIENTASI KISI SERBUK LiFePO4/C
MENGGUNAKAN TRANSMISSION ELECTRON MICROSCOPY (TEM)
TYPE TECNAI G2 20 S-TWIN (200KV)

F. Rohman*, Y. Herbani, R. Ibrahim P.


Pusat Penelitian Fisika, LIPI
*E-Mail: fadl002@lipi.go.id

Abstrak
Lithium Iron Phospate (LiFePO4) merupakan material aktif yang umum digunakan sebagai bahan aktif
katoda untuk baterai lithium. LiFePO4 memiliki struktur type olivine di mana struktur kisinya orthorombic. Oleh
karena itu, perlu adanya analisa kisi kristal untuk mengidentifikasi pembentukan material tersebut setelah
proses sintesis. Salah satu alat untuk menganalisanya yaitu Transmission Electron Microscopy (TEM). Pada
penelitian ini kita menggunakan TEM type Tecnai G2 20 Twin 200KV di Pusat Penelitian Fisika-LIPI. Serbuk
yang digunakan yaitu LiFePO4/C berasal dari serbuk teknis. Serbuk tersebut ter-coating carbon untuk
menaikkan performa baterai lithium. Serbuk ini disintering pada temperatur 800°C selama enam jam. Material
yang sudah disinter, kemudian dianalisa menggunakan TEM dan XRD. Preparasi sampel tersebut menggunakan
pelarutan LiFePO4/C dengan pelarut berupa DMAC dengan perbandingan 1 : 100 kemudian diteteskan ke grid
untuk dianalisa. Hasil citra TEM menunjukkan adanya orientasi kisi kristal pada material tersebut dengan jarak
antar kisinya yaitu 5,2 Å dan 3,8 Å serta sudutnya membentuk 90°. Orinteasi kisi ini juga dikuatkan dengan pola
difraksi yang dihasilkan kisi kristal menggunakan TEM melalui gambar SAED serta kondisi puncak difraksi
menggunakan XRD. Dari hasil ini menunjukkan bahwa resolusi TEM ini dapat mengidentifikasi adanya
orientasi kisi kristal pada LiFePO4/C secara kualitatif maupun kuantitatif dengan orientasi membentuk
ortorombik. Hasil ini diharapkan dapat menjadi bahan untuk perkembangan penelitian material aktif baterai
lithium berbasis LiFePO4 di Indonesia.

Kata kunci: Orientasi kisi LiFePO4/C, Transmission Electron Microscopy (TEM) Imaging and Analysis,
Crystallography.

PENDAHULUAN
Krisis ketersediaan bahan bakar pada kendaraan menjadi suatu permasalahan energi di
Indonesia. Persediaan bahan bakar tidak sejalan dengan jumlah yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Oleh karena itu, alih teknologi dalam mengatasi kekurangan tersebut menjadi hal
yang penting untuk dilakukan. Sumber energi baru yang sifatnya berkelanjutan dan ramah
lingkungan merupakan salah satu solusi dari krisis tersebut. Baterai lithium telah menjadi
bagian hal penting dalam perkembangan energi terbarukan pada saat ini. Hal ini dikarenakan
baterai menjadi bagian penting untuk kendaraan yang bersumber dari pada energi listrik.
Dalam baterai lithium terdapat beberapa komponen, salah satunya yaitu katoda. Ada beberapa
jenis material aktif katoda yang digunakan untuk bahan baterai lithium antara lain LiCoO2,
LiMnO4 serta LiFePO4. Namun, material yang unggul sifatnya yaitu LiFePO4, seperti
harganya murah, ramah lingkungan, tidak beracun, serta memiliki kapasitas secara teoritik
yang besar yaitu 170 mAh/g.[1] LiFePO4 memiliki struktur dengan type olivine[2] dan struktur
kisinya orthorhombic. Pada penelitian ini, LiFePO4 yang dipakai tercoating dengan carbon
(LiFePO4/C). Karena, LiFePO4 banyak digunakan dengan dilapisi carbon untuk menaikkan
performa dari baterai lithium.[1,3,4] Transmission Electron Microscopy merupakan salah satu
alat mikroskop elektron yang berfungsi untuk mengidentifikasi struktur pada suatu material,
salah satunya LiFePO4/C.[1,3,4,5] Namun, masih minim dalam menganalisa orientasi kisi dari
pada material tersebut. Padahal identifikasi mengenai proses pembentukan/sintesis LiFePO4/C
dapat diketahui melalui keberadaan kisi kristal tersebut yang kemudian dibandingkan dari
referensi. Proses identifikasi orientasi struktur kisi LiFePO4/C ini dilakukan menggunakan
alat TEM merk FEI type Tecnai G2 20 S-TWIN dengan kekuatan tegangan listrik sumbernya
200 KV yang ada di Pusat Penelitian Fisika – LIPI.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     155 
METODE PERCOBAAN
Pada penelitian ini, serbuk bahan aktif LiFePO4/C berasal dari China. Kita belum bisa
memastikan apakah serbuk tersebut LiFePO4/C. Oleh karena itu, dilakukan beberapa
treatment agar LiFePO4/C dapat terbentuk. Serbuk ini disintering selama 6 jam dengan suhu
800°C. Sebagian serbuk yang sudah disinter, dianalisa dengan XRD apakah serbuk tersebut
LiFePO4/C atau bukan. Serbuk tersebut kemudian dianalisa menggunakan TEM. Proses
analisa membutuhkan persiapan sampel. Persiapan sampel ini diawali dengan proses dispersi
menggunakan DMAC dengan perbandingan 1 (serbuk) : 100 (DMAC). Proses dispersi ini
berfungsi untuk perantara serbuk agar dapat diletakkan ke permukaan grid. Hal ini
dikarenakan ukuran sampel pada grid maksimal 200 nm. Sampel yang sudah terdispersi
dengan DMAC kemudian diteteskan ke atas permukaan grid menggunakan pipet. Proses
penetesan ini dilihat menggunakan mikroskop optik dikarenakan permukaannya yang sangat
kecil. Setelah sampel sudah diletakkan di atas grid, maka sampel dimasukkan ke dalam TEM
untuk dianalisa.

Gambar 1. Serbuk LiFePO4/C sampel yang sudah disintering.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari eksperimen yang dilakukan, kita terlebih dahulu menganalisa bahwa sampel yang
dianalisa menggunakan TEM merupakan sampel LiFePO4/C. Identifikasi ini menggunakan
XRD merk Rigaku. Gambar 2a menunjukkan hasil karakteriasai XRD sedangkan
Gambar 2b merupakan referensi pola difraksi untuk LiFePO4/C. Dari perbandingan pola
difraksi tersebut memiliki kesamaan pola difraksi. Oleh karena itu, kita dapat sedikit
menyimpulkan bahwa sampel yang akan diuji ini merupakan sampel LiFePO4/C.

(a) (b)
Gambar 2. a) Hasil karakterisasi XRD untuk LiFePO4/C sampel, b) XRD LiFePO4/C
referensi.[6]
Hasil citra TEM menunjukkan adanya material LiFePO4/C yang akan diamati
orientasi kisinya. Ada banyak spot yang dapat diamati pada area tersebut. Gambar 3a
merupakan hasil TEM yang menunjukkan ada beberapa spot yang akan diamati. Kita ambil
spot yang memungkinkan untuk diamati kisi kristalnya. Setelah diambil spot yang terbaik,
maka didapat bahwa di daerah tersebut terdapat orientasi kisi. Gambar 3b merupakan
gambar HRTEM yang menggambarkan orientasi kisi kristal sampel LiFePO4/C yang

156  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
dikarakterisasi. Sepintas memang seperti tak terlihat adanya orientasi kisi. Namun, jika kita
bandingkan dengan hasil pola difraksi (diffraction pattern) yang berupa SAED (selected area
electron diffraction) pada Gambar 3c, maka pola tersebut membuktikan adanya orientasi kisi
pada sampel. Hasil SAED ini kemudian dianalisa lebih lanjut menggunakan TIA (TEM
Imaging and Analysis) melalui IFFT maka akan didapat pola Gambar 3d.

Gambar 3. a) Gambar hasil TEM serbuk LiFePO4/C, b) Gambar HRTEM serbuk LiFePO4/C,
c) SAED serbuk LiFePO4/C, d) IFFT serbuk LiFePO4/C.

KESIMPULAN
Analisis orientasi kisi kristal pada LiFePO4/C merupakan bagian penting dalam
mengidentifikasi pembentukan material tersebut pada proses sintesis. Proses identifikasi
secara kualitatif dan kuantitatif ini, selain menggunakan XRD, dapat dilakukan dengan
menggunakan TEM resolusi yang tinggi sehingga didapat gambaran mengenai orientasi kisi
material tersebut. Namun, perlu adanya identifikasi lebih lanjut pada TEM dengan disertai
EDAX agar mengetahui komposisi dari material yang dikarakterisasi.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih untuk Kementerian Riset dan Teknologi yang telah membiayai penelitian
dalam mengembangkan mobil listrik nasional. Terima kasih juga untuk Mrs. Yuan Qiang Bai
dan Mr. Sebastian Tan dari FEI Company, atas konsultasi dan pelatihan TEM selama di Pusat
Penelitian Fisika LIPI.

Daftar Referensi
[1] Mengyao Gao. et al. 2014. A gelatin-based sol-gel procedure to synthesize the LiFePO4
nanocomposite for lithium ion batteries. Journal of Solid State Ionics, 258: 8-12.
[2] Huang Zhang. et al. 2014. A novel nano structured LiFePO4/C composite as cathode for

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     157 
Li-ion batteries. Journal of Power Sources, 249: 431-434.
[3] Naiqiang Liu. et al. 2014. Effect of gelatin concentration on the synthesize of the
liFePO4/C composite for lithium ion batteries. Journal of Alloys and Compounds, 599:
127-130.
[4] Cech, Ondrej. et al. 2013. Performance improvement on LiFePO4/C composite cathode
for lithium-ion batteries. Solid State Sciences, 20: 110-114.
[5] Williams, D. B and C. B. Carter. 2009. Transmission Electron Microscopy: a Textbook
for Materials Science (2nded.). Chicago: Springer.
[6] Xiangcheng Sun. et al. 2012. Controlled Preparation and Surface Structure
Characterization of Carbon-Coated Lithium Iron Phosphate and Elctrochemical Studies
as Cathode Materials for Lithium Ion Battery. International Journal of Materials and
Chemistry, 2(5): 218-224.

158  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
PREPARASI PADUAN SERBUK Mg-Ca-Zn DENGAN BALL-MILLING
MENGGUNAKAN TOLUENA SEBAGAI MEDIA CAIR

Franciska P. Lestari*, Yudhi N. Thaha, Ika Kartika, Cahya Sutowo, M. I. Amal


Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI
Gedung 470, Kawasan PUSPIPTEK Serpong, Tangerang Selatang 15314
*E-Mail: fran011@lipi.go.id

Abstrak
Material logam berbasis paduan magnesium dibuat dengan metode metalurgi bubuk. Pada penelitian
ini, komposisi paduan dibuat konstan, yaitu Mg – 0,82 wt.%Ca – 2,3 wt.%Zn – 0,2 wt.%CaH2 dan pengaruh
pencampuran basah dengan pelarut toluene menggunakan alat tumbler mill diamati. Tujuan pemberian pelarut
non-polar adalah untuk mempermudah proses pencampuran material yang digunakan dan untuk melapisi
permukaan material supaya tidak berhubungan dengan udara luar sehingga mencegah terjadinya oksidasi pada
material yang digunakan. Hasil pengamatan dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) menunjukkan
adanya pola penurunan ukuran partikel seiring dengan penambahan waktu milling. Dalam hal ini waktu milling
6 jam menghasilkan partikel yang lebih kecil dibandingkan waktu milling lainnya. Sedangkan dari hasil analisa
X-Ray difraktometer (XRD), terlihat tidak ada perbedaan fasa yang terbentuk antara sampel yang di milling
antara 2 sampai dengan 6 jam.

Kata kunci: Paduan Mg, Material biokompatibel, Metalurgi serbuk, Milling basah.

PENDAHULUAN
Homogenisasi dari material dasar merupakan hal yang penting pada proses
pencampuran material. Selain itu penambahan sejumlah aditif pada proses pencampuran juga
dapat menentukan sifat dari produk akhir.[1] Proses milling digunakan sebagai metode
pencampuran untuk mendapatkan ukuran dan bentuk tertentu dari partikel serta meningkatkan
luas area permukaan partikel solid yang sangat berperan penting dalam reaktivitas proses
reaksi kimia, penyerapan ataupun membentuk ikatan secara mekanik.
Ball milling umumnya digunakan sebagai cara mekanik untuk menggerus serbuk. Ada
dua fenomena keterbalikan dari proses milling, yang pertama yaitu partikel terpecah sebagai
hasil penting dari regangan internal akibat tekanan tinggi yang diberikan pada butir, namun
partikel yang terpecah tersebut cenderung untuk beraglomerasi karena reaktivitas permukaan
yang tinggi untuk meminimalkan energi permukaan.[2-3] Ketika ukuran partikel awal relatif
besar, proses milling diawali dengan pemecahan, penggerusan dan penggabungan partikel
yang menyebabkan serbuk menjadi homogen. Partikel serbuk hasil milling memiliki sifat
lebih keras dan rapuh.[4]
Proses milling pada media basah telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian
penting dalam riset metalurgi serbuk.[5-7] Beberapa alasan digunakannya media basah dalam
proses milling yaitu pelarut sebagai lubrikan dan/atau media dispersi. Ini digunakan untuk
menghindari aglomerasi dan pembentukan agregat. Selain itu adalah sebagai reaktan untuk
mencegah adanya reaksi dengan material lain, seperti yang dilakukan dalam penelitian ini
dikarenakan serbuk yang digunakan murni dan reaktif sehingga akan memungkinkan bereaksi
dengan zat lain.
Pencampuran basah (wet milling) merupakan proses pencampuran dimana material
dalam bentuk serbuk dicampur dengan menggunakan media cair yaitu pelarut dan
menggunakan pengaduk mekanik sebagai sarana pengaduk dan penghancur partikel material.
Umumnya, metode ini dipakai jika material yang digunakan mudah mengalami oksidasi.
Logam murni Mg, Ca dan Zn ini merupakan logam yang mudah teroksidasi. Selain itu, tujuan
pemberian pelarut adalah untuk mempermudah proses pencampuaran material yang
digunakan dan untuk melapisi permukaan material supaya tidak berhubungan dengan udara
luar sehingga mencegah terjadinya oksidasi pada material yang digunakan.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     159 
Pada penelitian ini digunakan pelarut toluena sebagai media yang membantu dalam
pencampuran. Toluena merupakan pelarut hidrokarbon aromatik dan sumber alam dari
toluena adalah minyak mentah dan pohon tolu. Nama lain dari toluena yaitu, methylbenzene,
toluol, anisen, phenyl methane. Toluena sebagai turunan dari benzena juga dipergunakan
sebagai pelarut organik, khususnya untuk zat yang memiliki sifat non-polar. Untuk toluena
menghasilkan senyawa intermediet asam benzoat yang dapat diekskresikan.[8] Toluena
dibentuk dari proses alkilasi benzene, yaitu gugus alkil akan menggantikan atom H pada
benzene menggunakan katalisator aluminium klorida. Proses alkilasi benzena ini sering juga
dikenal sebagai reaksi Friedel-Crafts. Toluena memiliki sifat, antara lain zat cair yang tidak
dapat larut dalam air tetapi larut di dalam alcohol atau eter, dan dapat dioksidasi menjadi
asam benzoat.[9] Biasanya digunakan bersamaan dengan pelarut yang lain dalam formulasi
dari vinyl copolimer pengeringan udara terbuka dan pelapisan klorinasi karet. Toluen secara
luas digunakan dalam pelapisan nitroselulose sebagai diluent. Merupakan tipe pelarut yang
murah untuk menurunkan harga formulasi pelapisan.

METODE PERCOBAAN
Pada penelitian ini, serbuk yang digunakan dalam campuran yaitu serbuk murni
produk dari Merck yang terdiri dari material Mg, Ca (granular particle size < 2,6 mm), Zn (<
45 µm), serta CaH2 (0-10 mm). Komposisi campuran konstan, yaitu Mg – 0,82 wt.%Ca – 2,3
wt.%Zn – 0,2 wt.%CaH2. Metode yang digunakan adalah pencampuran basah dengan pelarut
polar toluena menggunakan alat horizontal rotating cylinder ball mill. Toluena yang
dicampurkan yaitu sebanyak 10 ml di setiap sample. Ceramic ball serta steel ball digunakan
untuk menghancurkan dan mengaduk campuran serbuk dengan rasio berat bola dan serbuk
5:1 dan diameter ball mill yang bervariasi antara 1-2 cm. Adapun waktu pencampuran
dilakukan dengan variasi 2, 4 dan 6 jam dengan kecepatan konstan dan pada kondisi
temperatur kamar. Campuran serbuk Mg-Ca-Zn-CaH2 hasil milling kemudian dikeringkan
dalam oven pada temperatur 100°C selama 10 menit. Kemudian hasil campuran yang telah
dikeringkan dianalisa dengan menggunakan SEM serta XRD.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisa SEM


Gambar 1 menunjukkan foto hasil SEM dengan waktu milling 2, 4 dan 6 jam. Dari
Gambar 1 tersebut terlihat bahwa bentuk partikel hasil proses wet milling adalah bentuk butir
yang tidak seragam diakibatkan terjadinya pemecahan partikel. Pada waktu milling selama 2
jam (Gambar 1a) terlihat bahwa serbuk masih membentuk agregat atau beraglomerasi dan
belum terjadi pemecahan partikel yang signifikan. Sedangkan untuk proses milling lainnya
menunjukkan adanya pola penurunan ukuran partikel seiring dengan penambahan waktu
milling. Dalam hal ini waktu milling 6 jam menghasilkan partikel yang lebih kecil
dibandingkan waktu milling lainnya (Gambar 1c).
Proses milling dengan horizontal rotating cylinder ball mill digunakan untuk
menghaluskan partikel dengan adanya mekanisme gesekan (friction) serta benturan (impact),
dan juga dapat menghasilkan campuran yang merata akibat adanya rotasi secara horizontal.
Pemecahan partikel padatan (solid) terjadi di bawah beban mekanik yang terbatas pada
struktur partikel beban dengan ikatan internal antar partikel. Setelah proses grinding, ukuran
butir serta bentuk butir dari material solid berubah menjadi lebih kecil. Reaksi mekanik yang
memungkinkan terjadi pada material serbuk ketika milling yaitu peningkatan luas penampang
dari material solid, terbentuknya material solid dengan ukuran butir yang diinginkan serta
terkelupasnya lapisan-lapisan yang tidak diinginkan seperti lapisan oksida.

160  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Gambar 1. Foto hasil SEM dengan waktu milling 2, 4 dan 6 jam.

Analisa XRD
Gambar 2 menunjukkan grafik hasil analisa dengan XRD pada serbuk paduan Mg-
Ca-Za-CaH2 setelah proses wet milling dengan waktu milling 2, 4, dan 6 jam. Analisa
menggunakan XRD dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui fasa-fasa yang terbentuk dari
pencampuran logam murni Mg-Ca-Zn-CaH2. Dari Gambar 2 terlihat bahwa pencampuran
mekanik sistem Mg-Ca-Zn-CaH2 dengan variasi waktu milling 2, 4, dan 6 jam tidak ada
perbedaan signifikan mengenai jenis fasa yang terbentuk. Fasa-fasa utama yaitu Mg, Zn,
Mg2Ca serta MgZn. Tidak terdeteksi adanya MgO, ZnO, CaO atau senyawa oksida lain,
dimungkinkan karena toluena dapat melindungi serbuk Mg, Ca dan Zn dari oksidasi selama
proses pencampuran. Selain itu, tidak terlihat pula adanya fasa hidrokarbon sebagai penyusun
toluena. Hal ini kemungkinan karena toluena dapat segera menguap dalam kondisi terbuka di
udara juga menguap dari air. Di udara akan cepat bereaksi menjadi bahan kimia lain dan
mempunyai uap lebih berat daripada udara.[11]

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     161 
Gambar 2. Grafik hasil XRD dari campuran serbuk Mg-Ca-Zn-CaH2 hasil
proses wet milling selama 2, 4 dan 6 jam.

KESIMPULAN
Pada percobaan ini, toluena digunakan sebagai media cair dalam proses ball milling
prepasi serbuk paduan Mg dengan komposisi campuran Mg – 0,82 wt.%Ca – 2,3 wt.%Zn –
0,2 wt.%CaH2. Berdasarkan hasil observasi SEM, sampel milling selama 6 jam menghasilkan
partikel yang lebih kecil dibandingkan waktu milling lainnya. Sedangkan hasil XRD
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan mengenai jenis fasa yang terbentuk pada
pencampuran mekanik sistem Mg-Ca-Zn-CaH2 dengan variasi waktu milling 2, 4, dan 6 jam.
Fasa-fasa utama yang terdeteksi adalah Mg, Zn, Mg2Ca serta MgZn. Tidak terdeteksi adanya
MgO, ZnO, CaO atau senyawa oksida lain, dimungkinkan karena toluena dapat melindungi
serbuk Mg, Ca dan Zn dari oksidasi selama proses pencampuran.

SARAN
Penelitian selanjutnya dapat dilakukan proses sintering untuk pembentukan material
berpori paduan Mg yang juga sebagai salah satu cara menghilangkan toluena yang bersifat
toksik.

Daftar Referensi
[1] Bornemann, J. 1981. Chem. Engrs. Symp. Series: 65, S1/E.22.
[2] J. S, Benjamin. 1976. Mechanical Alloying. Scient Amer 234: 40.

162  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
[3] J. S, Benjamin and Schelleng R. D. 1981. Dispersion strengthened aluminium-
magnesium alloy made by mechanical alloying. Met Trans A 12: 1827.
[4] P. S, Gilman and Nix W. D. 1981. The structure and properties of aluminium alloys
produced by mechanical alloying: powder processing and resultant powder structures.
Met Trans A12:813.
[5] P. S, Gilman and Nix W. D. 1981. The structure and properties of aluminium alloys
produced by mechanical alloying: powder processing and resultant powder structures.
Met Trans A12:813.
[6] B, Clarke and Kitchener J. A. 1968. The influence of pulp viscosity on fine grinding in a
ball-mill. Br Chem Eng 3: 991.
[7] M, Watson. et al. 1998. Effects of milling liquid on the reaction bonded aluminium
oxide process. J. Am. Ceram Soc.
[8] http://blogkimia.wordpress.com/2011/01/24/alkil-benzena/feed/.
[9] http://www.scribd.com/doc/43421579/Ben-Zen-A.
[10] Product Stewardship Summary. 2014. Toluena 108-88-3.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     163 
164  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
STUDI AWAL DETEKSI KOROSI DENGAN MENGGUNAKAN
TEKNOLOGI MATERIAL CERDIK PADA LAPISAN BERBAHAN
AKRILIK

Gadang Priyotomo*, Sundjono, Ronald Nasoetion, Nurhayati Indah Ciptasari, Lutviasari Nuraini,
Endang Ruslan
Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI
Kawasan PUSPIPTEK Gd.474, Setu, Tangerang Selatan
*E-Mail: gada001@lipi.go.id

Abstrak
Kegagalan material akibat korosi berkaitan dengan reaksi oksidasi di anoda dan reaksi reduksi di
katoda sehingga tercipta sel elektrokimia. Dua reaksi tersebut di dalam sel elektrokimia dapat dihubungkan
dengan fungsi dari material cerdik berbasis polimer akrilik. Senyawa phenolphthalein dan coumarin sebagai
indikator warna dan flouresensi berpotensi untuk diterapkan pada polimer akrilik. Phenolphthalein berfungsi
sebagai indikator warna dimana indikator ini berkerja mendeteksi ion hidroksil (OH-) sebagai bagian dari
reaksi elektrokimia pada daerah katoda yang ditandai oleh peningkatan nilai pH. Coumarin berfungsi sebagai
indikator flouresensi jika terjadi reaksi hidroksilasi menjadi coumarin terhidroksilasi. Coumarin terhidroksilasi
ini memberikan efek flouresensi pada nilai pH 10 dimana reaksi elektrokimia pada daerah katoda. Daerah antar
muka polimer akrilik dan substrak baja diindikasikan sebagai daerah terjadinya reaksi aditif warna dan
flouresensi terhadap reaksi elektrokimia.

Kata kunci: Korosi, Katoda, Hidroksilasi, Hidroksil, Akrilik, Flouresensi.

PENDAHULUAN
Material cedik (smart materials) merupakan material yang berfungsi sebagai sensor
dengan kapabilitas untuk merespon stimulan secara fisik, kimia atau mekanik melalui
pengembangan tanda-tanda unik dan terbaca secara cepat. Perubahan sifat dan struktur terjadi
sebagai akibat dari lingkungan sekitar. Lebih jauh lagi, pendeteksian dini pada aplikasi di
lapangan mempunyai dampak positif secara ekonomi dan keamanan dikarenakan
pendeteksian korosi lokal pada area luas berstruktur komplek di lingkungan industri dan
transportasi sangatlah sulit. Oleh karena itu, teknik pengembangan sensor dan teknik telah
dikembangkan untuk mendeteksi korosi secara dini.[1-4] Teknik pengembangan dan kajian
teknologi deteksi dini terhadap kegagalan akibat korosi sangat jarang dijumpai di Indonesia
khususnya di bidang lapis cat berbahan dasar organik sehingga kegiatan ilmiah sebagai hasil
kajian kerja dijelaskan di dalam tulisan ini.
Kegagalan material akibat korosi berkaitan dengan reaksi oksidasi di anoda dan reaksi
reduksi di katoda sehingga tercipta sel elektrokimia. Dua reaksi tersebut di dalam sel
elektrokimia dapat dihubungkan dengan fungsi dari material cerdik. Lebih jauh lagi, di
temperatur ruang, reaksi katodik (reduksi) di dalam proses korosi di lingkungan atmosfir dan
larutan merupakan reaksi reduksi oksigen.[5]

O2 + 2H2O + 4e-  4OH- (1)

Khususnya pada korosi lokal antara lain sumuran, celah dan exfoliation, reaksi katodik
di atas lebih cenderung terjadi pada lokasi yang mudah dijangkau dibandingkan lokasi
terjadinya reaksi anodik dikarenakan sumber oksigen terdapat di udara bebas. Reaksi ini
dapat menyebabkan peningkatan nilai pH secara lokal dimana reaksi ini terjadi[6], sehingga
sistem pelapisan cat menjadi sensitif terhadap peningkatan nilai pH yang terjadi oleh reaksi
katodik akan mendeteksi korosi di sekitarnya. J. Zhang dan rekan-rekan memberikan
penjelasan bahwa indikator perubahan warna pH telah digabung ke dalam pelapisan organik
sebagai alat untuk menentukan rentang pH dimana dies florensecen digunakan di dalam uji

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     165 
mikroelektronik kendaraan untuk mendeteksi perubahan pH yang dihubungkan dengan korosi
aluminium.[7]
Dalam penelitian yang dilakukan oleh J. Zang, Lapisan pengikat (binder)
menggunakan bahan dasar akrilik.[7] Cat akrilik merupakan cat bersifat kering cepat yang
berisi subtansi polimer akrilik. Sifat cat akrilik ini adalah larut dalam media air, namun
menjadi tahan air. Lebih jauh lagi, subtansi polimer akrilat merupakan sebuah grup polimer
yang mengacu pada bahan plastik. Bentuk fisik dari jenis polimer ini adalah berwarna
transparan, tahan terhadap pecah dan elastis. Penamaan lainnya diketahui sebagai poliakrilat
karena gabungan dari banyak monomer-monomer akrilat yang ada. Pada Gambar 1,
monomer-monomer akrilat ini merupakan turunan dari asam akrilik seperti metil–methakrilat
dimana satu vinil hidrogen dan hidrogen asam karbosilik yang keduanya diganti oleh grup
metil dan akrilonitril pada grup asam karbosilik diganti oleh grup nitril.

Gambar 1. Senyawa Metil-metakrilat.

Penelitian ini difokuskan pada sistem pelapisan berbahan dasar organik akrilik dengan
penambahan dua zat aditif antara lain phenolphthalein (PP) sebagai indikator warna dan
coumarin sebagai indikator flouresensi. Di luar negeri, beberapa penelitian telah dilakukan
dengan menggunakan dua zat aditif [7-9], namun penelitian dengan menggunakan indikator-
indikator tersebut di tanah air sangat sedikit jumlahnya. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini
adalah 1) Untuk mengetahui fungsi zat aditif PP dan coumarin sebagai sebagai indikator
warna dan flouresensi yang diaplikasikan pada pelapisan cat berbahan dasar akrilik di dalam
lingkungan klorida, 2) Menjelaskan kemungkinan mekanisme dua zat aditif bekerja di dalam
sistem pelapisan tersebut.

METODE PERCOBAAN

Persiapan larutan acuan sebagai indikator


Larutan acuan dibutuhkan dalam penelitian dengan maksud untuk membandingkan
kondisi ideal dengan terciptanya warna indikator dan flouresensi terhadap kondisi sebenarnya
pada dalam aplikasi cat di lingkungan korosif seperti lingkungan yang mengandung klorida.
Prosedur larutan acuan zat aditif indikator sebagai berikut:

Phenolphthalein (PP)
a. Pelat baja dimasukan ke dalam cawan petri dimana diisi dengan larutan agar. Larutan
agar berisi 3% sodium klorida, PP dan Potassium ferricyanide ( K3[Fe(CN)6]).
b. Larutan agar yang berisi paku baja yang ditekuk dibiarkan di udara bebas hingga 24
jam kemudian dilihat secara kualitatif perubahan warna disekitar pelat baja.

Coumarin (C9H6O2)
a. Pembuatan larutan yang terdiri 0,1 gr coumarin dilarutkan 100 mL larutan ethanol.
b. Larutan campuran tersebut diatur nilai pH hingga 10 dengan larutan soddium
hidroksida (NaOH).
c. Larutan tersebut dipapar dengan sinar ultra violet (UV) tipe A dimana panjang
gelombang antara 380 nm hingga 315 nm.

166  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Persiapan substrak yang akan di lapis
Sampel substrak yang akan dilapis adalah logam baja karbon rendah. Logam tersebut
dipotong dengan dimensi 7,5 cm x 15 cm x 0,2 cm. Kemudian permukaan logam tersebut
dibersihkan dengan menggunakan pasir silika berukuran mesh -60 +80 melalui mesin sand
blasting hingga permukaan bersih dan bebas karat. Sebelum dilakukan proses pelapisan,
permukaan logam yang telah dibersihkan harus dilakukan uji kekasaran permukaan. Uji
kekasaran akan menampilkan data profil atau topografi permukaan dimana bentukan bukit
(peak) dan lembah (valley) maksimal akan membentuk jarak (distance) maksimal. Jarak
maksimal tersebut akan sebagai profile anchor (PA) dengan satuan unit mikron meter (μm)
dimana ketebalan cat harus melebihi nilai PA saat pengerjaan pelapisan.

Gambar 2. Mesin sand blasting. Gambar 3. Alat uji kekasaran permukaan.

Pelapisan cat akrilik


Proses pencampuran dua bahan aditif dilakukan pada dua jenis cat sebagai berikut:
 0,05 gr (0,3%) PP + 15 ml cat akrilik
 0,1gr (1,5 %) coumarin + 15 ml cat akrilik

Proses pelapisan dari dua campuran aditif di atas dengan menggunakan kuas harus
mempunyai kriteria ketebalan lapisan cat di atas nilai PA, kemudian dibiarkan mengering di
udara hingga 24 jam. Setelah kering sempurna, substrak baja yang telah dilapisi oleh cat
akrilik yang telah diimbuhkan masing-masing aditif dilakukan uji celup dengan media 3,5%
larutan sodium klorida (NaCl) selama 24 jam pada temperatur ruang.
Setelah waktu ekspos 24 jam, spesimen diangkat, dibersihkan dengan air distilasi dan
dikeringkan dengan pengering udara. Pengamatan dalam penelitian ini dilakukan secara visual
baik sebelum dan sesudah dengan menggunakan foto makro.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peranan preparasi permukaan subtrak


Peranan preparasi permukaan substrak pada proses pelapisan sangat penting. Ini
dikarenakan hampir 60% kegagalan pada pelapisan terjadi karena kurang perhatian terhadap
persiapan permukaan substrak. Gambar 4a memperlihatkan morfologi permukaan baja
setelah proses sand blast dengan ukuran pasir -60 +80. Permukaan baja yang telah dipreparasi
dilapisi dengan cat akrilik tanpa warna dengan waktu pengeringan di udara selama 24 jam
terlihat pada Gambar 4b. Lapisan akrilik ini tahan terhadap air.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     167 
Gambar 4a. Morfologi permukaan baja Gambar 4b. Morfologi spesimen baja
setelah proses sand blast. lapis akrilik tanpa warna.

Gambar 5 memperlihatkan profil permukaan baja setelah proses sand blasting. Pola
lembah (valley pattern) merupakan pola yang membentuk kedalaman dari titik nol sedangkan
pola puncak (peak pattern) merupakan pola yang membentuk puncak atau ketinggian dari
profil yang ada. Jarak antara pola lembah terdalam dan pola puncak yang tertinggi merupakan
acuan dari profil anchor (PA) dimana nilai PA adalah 24,5 μm. Jika tebal lapisan lebih dari
24,5 μm, lapisan tersebut berkatagori baik. Ini dikarenakan jika tebal lapisan kurang dari 24,5
μm, kegagalan dini terjadi karena daerah puncak substrak baja tidak terlapis dan mudah
terkorosi oleh lingkungan luar.

Gambar 5. Profil kekasaran permukaan substrak baja.

Indikator PP sebagai indikator warna


Pada Gambar 6 memperlihatkan identifikasi keberadaan daerah anoda dan katoda
secara visual berupa timbulnya warna. Senyawa (K3[Fe(CN)6]) sangatlah efektif untuk
mendeteksi ion Fe3+ dengan warna biru[10] dimana ion tersebut sebagai hasil reaksi oksidasi
logam Fe. Reaksi oksidasi terjadi pada daerah anoda. Senyawa PP sangat efektif sebagai
indikator warna melalui perubahan warna menjadi jingga pada daerah alkali dengan rentang
nilai pH antara 8,2 dan 10.[7] Daerah alkali merupakan daerah dimana keberadaan ion hidrosil
(OH-) sebagai hasil reaksi reduksi oksigen[11], dimana daerah tersebut sebagai katoda. Lebih
lanjut lagi, korosi merupakan reaksi sel elektrokimia dimana proses anodik pada anoda dan
proses katodik pada katoda berlangsung secara kontinyu terlihat pada reaksi 2 dan 3.

M → Mn+ + n e– reaksi anodik (2)

O2 + 2 H2O + 4e– → 4 OH– reaksi katodik (3)

168  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Gambar 6. Pengujian indikator PP sebagai acuan warna.

Gambar 7. Morfologi lapisan akrilik dengan aditif PP di atas substrak baja setelah
pencelupan pada larutan 3,5% NaCl dengan waktu ekspos 24 jam.

Gambar 7 memperlihatkan lapisan akrilik ditambah aditif PP pada baja dengan


ketebalan rata-rata 97,04 μm setelah pencelupan di larutan 3,5% NaCl dengan waktu ekspos
24 jam. Indikator PP bekerja dengan baik mengeluarkan secara visual berupa warna jingga.
Warna jingga ini terindikasi di antar muka lapisan polimer dan subtrak. Pada pelapisan
polyaniline acrylic, kehadiran ion klorida yang mempunyai diameter kecil, masuk ke dalam
retakan, interaksi logam dasar dengan larutan elektrolit membentuk senyawa di antamuka
logam dan polimer[12] sama dengan penelitian saat ini dengan bahan dasar metil-methakrilik.

Gambar 8. Skema model melintang lapisan akrilik pada substrak baja.

Proses elektrokimia di antar muka logam substrak dan lapisan polimer mengakibatkan
aliran elektron dari daerah anoda ke katoda, dimana reaksi reduksi terjadi dengan
menghasilkan ion hidrosil (OH-). Ion tersebut terdeteksi oleh additif PP yang ada di lapisan
polimer berbasis akrilik.

Indikator coumarin sebagai indikator fluoresensi


Gambar 9a memperlihatkan senyawa oragnik coumarin dimana proses hidroksilasi
akan mengubah struktur senyawa menjadi 7-hydroxycoumarin pada Gambar 9b. Proses
hidroksilasi adalah proses kimia dimana memasukan grup hidroksil (-OH) ke dalam senyawa

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     169 
organik. Coumarin dan turunan non-hidroksilat merupakan senyawa nonfluoresensi di bawah
kondisi fisikologi.[13] Bagaimanapun juga, hidroksilasi dari senyawa-senyawa oleh ion HO
menghasilkan produk fluoresensi.[14] Tingkat Fluoresensi dari senyawa coumarin yang
terhidroksilat secara kuat tergantung dari kedudukan hidroksilasi cincin aromatik.[13]

Gambar 9a. Senyawa coumarin. Gambar 9b. Senyawa 7-hydroxycoumarin.

Gambar 10 memperlihatkan larutan indikator acuan coumarin sebelum dipapar sinar


UV dan Gambar 11 memperlihatkan pula larutan indikator acuan coumarin setelah dipapar
sinar UV. Larutan pada Gambar 10 dan 11 telah di naikkan nilai pH hingga 10. Pada
penelitian ini, senyawa coumarin yang terhidroksilasi telah berfungsi sebagai senyawa
flouresensi berdasarkan pengujian. Senyawa yang terhidroksilasi ini menyiratkan sebagai
senyawa 7-hydroxycoumarin, sehingga harus dilakukan pengujian lebih lanjut untuk
membuktikan keberadaan senyawa 7-hydroxycoumarin.

Gambar 10. Larutan indikator acuan Gambar 11. Larutan indikator acuan
coumarin sebelum dipapar sinar UV. coumarin setelah dipapar sinar UV.

Gambar 12 memperlihatkan baja lapis akrilik ditambah aditif coumarin setelah


pencelupan di larutan 3,5% NaCl dengan waktu ekspos 24 jam. Indikator ini bekerja dengan
baik mendeteksi ion hidroksil pada daerah bernilai pH tinggi dimana nilai pH 10 terjadi
proses flouresensi. Zhang telah menginvestigasi rentang efisiensi kinerja flouresensi senyawa
coumarin terhidroksilasi di nilai pH tinggi.[7] Ini berarti bahwa keberadaan ion hidroksil (OH-)
terjadi dari hasil dari proses elektrokimia khususnya reaksi reduksi di daerah katoda anta
muka logam substrak dan polimer akrilik.
Performa aditif PP dan coumarin berjalan cukup baik terhadap lapisan polimer
berbasis akrilik tanpa pigmen warna. Investigasi dalam penelitian selanjutnya akan dilakukan
saat pertimbangan penggunaan lapisan polimer berbasis akrilik dengan pigmen warna untuk
melihat keefektifan aditif PP dan coumarin.

170  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Gambar 12. Morfologi baja lapis akrilik dengan aditif coumarin setelah pencelupan di
larutan 3,5% NaCl dengan waktu ekspos 24 jam.

KESIMPULAN
1. Phenolphthalein berfungsi sebagai indikator warna dimana indikator ini berkerja
mendeteksi ion hidroksil (OH-) sebagai bagian dari reaksi elektrokimia pada daerah
katoda yang ditandai oleh peningkatan nilai pH.
2. Coumarin berfungsi sebagai indikator warna jika terjadi reaksi hidroksilasi menjadi
coumarin terhidroksilasi.
3. Coumarin terhidroksilasi memberikan efek flouresensi pada nilai pH 10 dimana reaksi
elektrokimia pada daerah katoda.
4. Daerah antar muka polimer akrilik dan substrak baja merupakan daerah terjadinya
reaksi aditif warna dan flouresensi terhadap reaksi elektrokimia.

UCAPAN TERIMA KASIH


1. Terima kasih atas bantuan teknis pengadaan bahan cat akrilik kepada PT. SIGMA
UTAMA.
2. Terima kasih atas bantuan dana riset selama 1 tahun kepada pemerintah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Daftar Referensi
[1] White, L. 1981. Detection of Corrosion Phenomena with pH-Sensitive Fluorescent Dyes
on Aluminum and Gold-Metallized IC Devices. J. Electrochem. Soc.,128: 953.
[2] Cippolini, N. 1982. Visual Detection of Hydrated Aluminum Oxide by Staining with
Fluorescing and Nonfluorescing Dyes. J. Electrochem. Soc., 129: 1517.
[3] Johnson, R. E. and V.S. Agarwala. 1997. Fluorescence-Based Chemical Sensors for
Corrosion Detection. CORROSION/97, paper no. 304 (Houston, TX: NACE, 1997).
[4] Johnson, R. E. and V.S. Agarwala. 1994. Using Fluorescent Compounds as Early
Warning Detectors for Corrosion. MP, 33:25-29.
[5] Jones, D. A. 1992. Principles and Prevention of Corrosion. Macmilan Publishing
Company, New York, 7.
[6] Zhen He. et al. 2008. Effect of electrolyte pH on the rate of the anodic and cathodic
reactions in an air-cathode microbial fuel cell. Bioelectrochemistry, 74: 78–82.
[7] J. Zhang and G. S. Frankel. 1999. Corrosion-Sensing Behavior of an Acrylic-Based
Coating System. Corrosion, 55(10): 957-967.
[8] Gharaibeh, Belal. et al. 2007. Fluorescence emission sensing in coatings: Method for
defects detection in coated surfaces of structural elements. Progress in Organic
Coatings, 58: 282–289.
[9] P. Sibi, Mukund and Zhengang Zong. 2003. Determination of corrosion on aluminum
alloy under protective coatings using fluorescent probes. Progress in Organic Coatings,
47: 8–15.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     171 
[10] Carson, F. L. 1997. Histotechnology: A Self-Instructional Text (2nd ed.). Chicago:
American Society of Clinical Pathologists, p. 209–211.
[11] Jones, D. Principles and prevention of Corrosion. Macmilan Publishing Company, New
York.
[12] Solange de Souza. 2007. Smart coating based on polyaniline acrylic blend for corrosion
protection of different metals. Surface & Coatings Technology, 201: 7574–7581.
[13] Gomes, Ana. et al. 2005. Fluorescence probes used for detection of reactive oxygen
species. J. Biochem. Biophys. Methods, 65: 45–80.
[14] JAR, Mead. et al. 1958. Studies in detoxication. The metabolism of coumarin and o-
coumaric acid. Biochem J, 68: 67–74.

172  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
PENGARUH KOMPOSISI BINDER TETES TEBU DAN TEMPERATUR
INDURASI TERMAL TERHADAP KUAT TEKAN PELLET BIJIH BESI
PELAIHARI

Galih Senopati
Pusat Penelitian Metalurgi dan Material - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Puspiptek Serpong Indonesia
E-Mail: galihmetalurgi@gmail.com

Abstrak
Bijih besi yang telah dilakukan benefisiasi biasanya dalam bentuk partikel halus sehingga harus
dilakukan aglomerasi terlebih dahulu agar dapat diproses selanjutnya, salah satunya dalam bentuk pellet. Pellet
biih besi yang baik memiliki beberapa kriteria diantaranya harus memiliki kekuatan mekanik (nilai kuat tekan)
yang baik untuk mampu menahan beban selama transportasi penyimpanan, maupun saat reduksi. Nilai kuat
tekan pellet dipengaruhi oleh raw material, binder yang digunakan dan perlakuan panas yang dilakukan pada
pellet (indurasi termal). Pada penelitian ini digunakan raw material biih besi magnetit pelaihari dengan
menggunakan binder tetes tebu dan metode indurasi termal. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh
penggunaan binder tetes tebu dan temperatur indurasi termal pada nilai kuat tekan pellet. Komposisi binder
yang digunakan adalah 0, 1, 2, 3, dan % binder tetes tebu sedangkan untuk indurasi termal dilakukan pada
temperatur 1100, 1200, dan 1200°C. Hasil penelitian menunjukkan nilai kuat tekan pada temperatur 1100°C
tidak mengalami peningkatan yang signifikan dengan penambahan binder tetes tebu 1, 2, 3, dan 4 %. Yaitu
berkisar 1,4 hingga 1,7 KN. Untuk hasil indurasi termal, semakin tinggi temperatur pembakaran maka nilai kuat
tekan akan meningkat mulai dari temperatur 1000°C hingga 1200°C. Nilai kuat tekan tertinggi akan dicapai
pada temperatur 1200°C yaitu 1,92 KN.

Kata kunci: Pellet, Binder tetes tebu, Kuat tekan.

PENDAHULUAN
Potensi sumber daya bijih besi di Indonesia cukup besar namun potensi tersebut belum
dapat dimanfaatkan secara optimal karena kadar Fe yang terkandung relatif rendah dan tidak
memenuhi persyaratan minimum untuk dapat direduksi secara langsung untuk menghasilkan
besi spons. Pada umumnya untuk dapat mereduksi bijih besi dibutuhkan biih besi dengan
kadar 60-69% Fe.[1] Salah satu upaya untuk dapat meningkatkan kadar Fe dari bijih besi
adalah dengan melakukan benefisiasi. Produk dari proses benefisiasi adalah konstentrat yang
biasanya ada dalam bentuk butiran yang sangat halus sehingga perlu dilakukan aglomerasi
menjadi pellet agar konsentrat bijih besi halus tersebut dapat diproses selanjutnya. Kualitas
pellet berpengaruh terhadap proses pembuatan dan produk yang dihasilkan. Semakin baik
bahan baku yang digunakan maka proses yang berlangsung akan lebih efisien. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kualitas pellet adalah kandungan Fe yang tinggi (minimal 63%), ukuran
partikel penyusun pellet bahan pengikat (binder) baik dalam segi jenis maupun komposisinya,
serta teknik pemanasan (indurasi termal).[2]
Kalimantan Selatan memiliki potensi sumber daya bijih besi yang cukup besar yang
tersebar luas di empat kabupaten yaitu Tanah Bumbu, Kota Baru Tanah Laut, dan Balangan.
Diantara keempat daerah tersebut tanah laut memiliki bijih besi dengan kadar yang paling
tinggi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Potensi Bijih Besi di Daerah Kalimantan Selatan


Kabupaten Fe Total (%)
Tanah Bumbu 44
Kota Baru 46,7
Tanah Laut 58 - 62
[Tempo Interaktif, 2009].

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     173 
Dalam penelitian ini digunakan bijih besi dari Pelaihari Kabupaten Tanah Laut
Kalimantan Selatan dan menggunakan binder tetes tebu. Tetes tebu merupakan produk
samping (limbah) dari proses pembuatan gula tebu yang berwarna cokelat, tersusun dari
karamel dan mineral. Tetes tebu biasanya digunakan untuk industri fermentasi alkohol, pabrik
MSG (Mono Sodium Glutamat) dan pabrik pakan ternak. Tetes tebu juga mulai
dikembangkan untuk digunakan sebagai binder pada cetakan pasir untuk pengecoran. Tetes
tebu berfungsi sebagai binder pengikat yang cukup kuat dan memiliki kelebihan yaitu tidak
mengandung silika. Besi spon yang mengandung kadar silika yang tinggi dapat meningkatkan
viskositas peleburan sehingga dapat mengganggu pada saat proses peleburan.[3] Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan binder tetes tebu dan temperatur
pembakaran terhadap kuat tekan pellet.

METODE PERCOBAAN
Prosedur perobaan pengaruh komposisi binder dan temperatur indurasi termal
ditunjukkan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Prosedur Percobaan Pengaruh Komposisi Binder dan Temperatur Indurasi


Termal Terhadap Kuat Tekan Pellet Bijih Besi Pelaihari.

174  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Komposisi Kimia Bijih besi magnetit Pelaihari dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Kimia Bijih Besi Pelaihari


Komposisi Kadar (%)
Fe Total 51,8
SiO2 11,7
CaO 7,8
MgO 1,2

Bijih besi yang masih berupa bongkahan dilakukan reduksi ukuran menggunakan
martil kemudian dilakukan penggerusan dengan menggunakan vibratory disc mill. Bijih besi
yang telah halus kemudian diayak menggunakan ayakan 200# untuk mendapatkan bahan baku
pellet dengan ukuran -200#. Bijih besi halus kemudian dilakukan proses benefisiasi
menggunakan magnet 2000 Gauss untuk meningkatkan kadar Fe sampai kadar yang
dipersyaratkan sebagai bahan baku pellet bijih besi. Bijih besi hasil proses benefisiasi disebut
konsentrat. Konsentrat yang dihasilkan kemudian dicampur dengan binder tetes tebu dengan
komposisi binder 1, 2, dan 3% dan basis perhitungan yang digunakan adalah 100 g pellet.
Bijih besi yang sudah dicampur dengan binder tetes tebu kemudian dibentuk menjadi pellet
secara manual menggunakan tangan dengan ukuran pellet 9-15 mm. Pellet yang telah
terbentuk kemudian dibakar untuk meningkatkan kekuatan mekaniknya yang disebut proses
indurasi termal. Pembakaran pellet dilakukan pada temperatur 1000, 1100, dan 1200°C. Pellet
hasil proses indurasi termal kemudian dilakukan uji kuat tekan menggunakan Universal
Testing Machine di PT. Krakatau Steel. Nilai kuat tekan didefinisikan sebagai beban tekan
maksimum yang digunakan saat pellet hancur.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisa mineralogi raw material menunjukkan bahwa mineral yang dominan adalah
magnetit sebanyak 72% dan pengotor berupa SiO2 sebanyak 2%, Struktur mikro bijih besi
Pelaihari dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur Mikro Raw Material (Perbesaran 50x), M=Magnetit, G=Gangue,


P=Porosity.

Analisa mineralogi hasil pemisahan magnetik pada konsentrat dapat dilihat pada
Gambar 3. Analisa konsentrat hasil pemisahan magnetik dengan ukuran partikel bijih besi
-200# menunjukkan mineral magnetit sebanyak 86%, sedangkan mineral pengotornya (SiO2)
sebanyak 14%.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     175 

a) Struktur Mikro Konsentrat, M=Magnetit, G=Gangue

b) Struktur Mikro Tailing, M=Magnetit, G=Gangue


Gambar 3. Mineralogi Hasil Proses Preparasi.

Analisa konsentrat hasil pemisahan magnetik dengan ukuran pertikel besi -200#
menunjukkan mineral magnetit sebanyak 60% sedangkan mineral pengotornya (SiO2)
sebanyak 40%.

Analisa Komposisi Kimia


Hasil analisa kimia pada raw material dapat dilihat pada Tabel 3, diketahui bahwa
kadar Fe-total bijih besi magnetit Pelaihari sebesar 51,8% dan pengotor SiO2 sebanyak 11,7%.
Dengan melakukan konsentrasi menggunakan pemisahan magnetik pada ukuran 200#
diharapkan Fe-total pada konsentrat dapat mencapai minimal 60%.

Tabel 3. Analisa Kimia Raw Material


Material Kadar (%)
Fe-total SiO2 CaO MgO
Raw 51,8 11,7 7,8 1,2

Hasil analisa kimia hasil pemisahan magnetik dapat dilihat pada Tabel 4, diketahui
bahwa kadar Fe-total konsentrat bijih besi magnetit Pelaihari sebesar 65,82% dan pengotor
SiO2 sebanyak 3,35%. Kadar Fe-total yang terkandung pada konsentrat bijih besi sudah sesuai
syarat minimum untuk dibentuk menjadi pellet bijih besi yaitu, minimal 63%.

Tabel 4. Analisa Kimia Hasil Pemisahan Magnetik


Material Kadar (%)
Fe-total SiO2 CaO MgO
Konsentrat 65,82 3,35 1,04 -
Tailing 15,68 38,39 37,27 2,5

176  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Untuk tailing hasil pemisahan magnetik masih mengandung Fe sebesar 15,68% dan
SiO2 yang terkandung sebesar 38,39%. Kadar Fe-total yang terkandung pada tailing masih
cukup tinggi hal ini disebabkan dengan ukuran partikel halus 74 µm banyak partikel halus
mineral berharga yang ikut terbawa oleh partikel halus mineral pengotor.

Pengujian Kuat Tekan


Pada Gambar 4 diketahui bahwa kuat tekan pellet bijih besi yang menggunakan
binder tetes tebu memiliki kuat tekan yang lebih tinggi dibandingkan pellet bijih besi yang
tidak menggunakan binder tetes tebu namun tidak terlalu signifikan. Hal ini disebabkan
binder tetes tebu yang merupakan binder organik akan terbakar atau menguap pada
temperatur tinggi 1100°C sehingga tidak dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap
pellet hasil indurasi. Namun jika dibandingkan dengan binder anorganik seperti bentonit, tetes
tebu memiliki kelebihan tidak mengandung SiO2 sehingga tidak mempengaruhi komposisi
kimia dari pellet hasil indurasi.

Gambar 4. Grafik komposisi tetes tebu terhadap kuat tekan pellet bijih besi.

Gambar 5. Grafik pengaruh temperatur indurasi terhadap kuat tekan pellet.

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa semakin tinggi temperatur indurasi kuat tekan
pellet bijih besi akan semakin besar. Hal ini disebabkan pada temperatur 1000°C mortar
bridge masih berperan dalam kekuatan pellet bijih besi. Pada temperatur 1100°C pengotor
yang ada pada pellet seperti SiO2, Al2O3,dan CaO akan bereaksi satu sama lain membentuk
ikatan CaO.SiO2 dan Al2O3.2SiO2 (mullite) yang berpengaruh terhadap kekuatan pellet bijih
besi, ikatan-ikatan tersebut disebut dengan slag bond. Pada temperatur 1200°C ikatan yang
ditimbulkan oleh slag bond akan semakin optimal. Ini disebabkan adanya fenomena grain
growth pada slag bond diantaranya terbentuknya presipitat mullite yang berbentuk seperti
jarum seperti yang terlihat pada Gambar 6.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     177 
Gambar 6. Strukur mikro pellet hasil indurasi pada temperatur 1200°C.

Hasil Analisa Metalografi


Gambar 7 menunjukkan penambahan binder tetes tebu tidak memberikan efek yang
signifikan pada nilai kuat tekan pellet bijih besi hal ini disebabkan pada temperatur tinggi
bahan-bahan organik yang terkandung dalam tetes tebu akan terbakar (volatile). Ikatan antar
butir yang ada pada pellet bijih besi berperan pada nilai kuat tekan yang dimiliki pellet bijih
besi pada temperatur 1100°C dengan penambahan 1-4% binder tetes tebu.

Gambar 7. Strukur mikro pellet hasil indurasi pada temperatur 1100°C.

Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa perbedaan temperatur akan memberikan


pengaruh yang berbeda pada pellet hasil indurasi. Pada temperatur 1000°C butiran mulai

178  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
tumbuh dan membentuk ikatan antar butir. Pada temperatur 1100°C ikatan antar butir yang
terbentuk telah semakin banyak. Pada temperatur 1200°C mulai terbentuk presipitat mullite
yang berbentuk seperti jarum pada pellet bijih besi sehingga pada temperatur tersebut
kekuatan maksimum pellet dapat dicapai. Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa semakin tinggi
temperatur indurasi kuat tekan pellet bijih besi akan semakin besar. Hal ini disebabkan pada
temperatur 1000°C mortar bridge masih berperan dalam kekuatan pellet bijih besi. Pada
temperatur 1100°C pengotor yang ada pada pellet seperti SiO2, Al2O3,dan CaO akan bereaksi
satu sama lain membentuk ikatan CaO.SiO2 dan Al2O3.2SiO2 (mullite) yang berpengaruh
terhadap kekuatan pellet bijih besi, ikatan-ikatan tersebut disebut dengan slag bond. Pada
temperatur 1200°C ikatan yang ditimbulkan oleh slag bond akan semakin optimal. Ini
disebabkan adanya fenomena grain growth pada slag bond diantaranya terbentuknya
presipitat mullite yang berbentuk seperti jarum seperti yang terlihat pada Gambar 6.

Gambar 8. Strukur mikro pellet hasil indurasi dengan penambahan 2% tetes tebu.

KESIMPULAN
Dari percobaan pengaruh komposisi binder tetes tebu dan temperatur indurasi
terhadap kuat tekan pellet bijih besi dapat ditarik kesimpulan:
1. Penambahan binder organik tetes tebu pada pellet bijih besi tidak terlalu berpengaruh
signifikan pada pellet hasil firing. Nilai kuat tekan pellet bijih besi paling baik pada
temperatur 1100°C didapatkan pada penambahan 3-4% tetes tebu yaitu sebesar 1,82
KN/pellet.
2. Temperatur firing berpengaruh terhadap nilai kuat tekan pellet bijih besi. Nilai kuat tekan
pellet yang paling baik didapat pada temperatur 1200°C dengan penambahan 2% binder
tetes tebu yaitu sebesar 1,92 KN/pellet.

Daftar Referensi
[1] Pramusanto. dkk. 2009. Peningkatan Kadar Bijih Besi Dari Daerah Pelaihari Propinsi
Kalimantan Selatan Menggunakan Klasifayer dan Pemisah Magnetik. Kolokium
Pertambangan Puslitbang tekMIRA Bandung.
[2] Kurt, Meyer. 1980. Pelletizing of Iron Ores. Dusseldorf. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg and Verlag Stahleissen.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     179 
[3] Haryadi, Desman. 2009. Pengaruh Waktu Reduksi dan Komposisi Fines Pellet
Terhadap Metalisasi Besi Spons. Skripsi. Fakultas Teknik. Cilegon: Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa.

180  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
SIMULASI TERMAL SISTEM HOT CHARGING
GUNA OPTIMASI PROSES PADA INDUSTRI BAJA

Hariyotejo Pujowidodo*, Bhakti Nuryadin


Balai Termodinamika Motor dan Propulsi – BPP Teknologi
Gedung 230 Puspiptek Serpong Tangerang Banten 15314
*E-Mail: h_pujowidodo@yahoo.co.id

Abstrak
Proses industri baja merupakan proses industri yang membutuhkan energi termal yang besar dalam
menghasilkan produk baja. Hal ini didasarkan kepada proses produksi baja yang diperoleh dari hasil peleburan
bahan bijih besi (iron ore) perpaduan dengan unsur Carbon pada temperatur tinggi di atas 1000°C. Dalam
proses pembentukan baja jenis kawat (wire rod) terdapat proses pemanasan ulang dari bahan baku baja
batangan (steel billet) hingga temperatur 1100°C. Selama proses akan dipanaskan ulang tersebut bahan baku
billet mengalami perubahan temperatur awal saat dikeluarkan dari peralatan cetak (Continous Casting) akibat
proses handling dan transportasi menuju plant produksi baja kawat (Wire Rod Mill). Studi perancangan
simulasi termal system hot charging ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi proses melalui estimasi
temperatur bahan baku billet pada proses pemanasan ulang sesuai kondisi lingkungan setempat. Studi dilakukan
menurut observasi sistem proses, karakterisasi termal model, dan perancangan simulasi termal. Hasil estimasi
peningkatan efisiensi termal yang dapat dicapai sebesar minimum 50% untuk harga temperatur awal hot
charging saat reheating sebesar 600°C.

Kata kunci: Billet baja, Observasi proses, Karakterisasi termal model, Perancangan simulasi termal.

PENDAHULUAN
Industri baja memiliki peran penting dalam peningkatan laju pertumbuhan ekonomi
nasional, yang memberikan kontribusi utama di dalam pembangunan infrastruktur dan
industri.[1] Industri tersebut juga tergolong dalam 7 (tujuh) kelompok industri padat energi
(Perpres No. 28/2008) dan merupakan kelompok industri pengolahan yang mengkonsumsi
70% total energi, dimana utilisasi kapasitas produksinya baru mencapai 60% akibat
terbatasnya pasokan energi gas dan listrik.[2]
Konsumsi energi di industri baja dalam parameter intensitas energi masih tinggi yaitu
900 kWh/ton dibandingkan dengan industri baja di India dan Jepang sebesar 600 kWh/ton dan
350 kWh/ton.[3] Kebutuhan energi di dalam industri baja meliputi untuk proses peleburan
scrap 61,5%, perlakuan panas (reheating) 24,2% dan pembentukan logam 14,1% (BPPT,
2013), Saat ini telah disusun Roadmap Teknologi Penghematan Energi di Industri Besi dan
Baja hingga tahun 2030, dengan prinsip teknologi pengelolaan panas buang (hot
charging/heat recovery) guna mendukung kebijakan target pertumbuhan ekonomi sebesar 7%
per tahunnya.[4]
Di dalam teknologi penghematan energi tersebut, proses penggunaan energi panas
(heat) dilakukan melalui pemanfaatan panas buang sisa proses peleburan untuk menaikkan
temperatur udara pembakaran di dalam tanur (furnace) dan burner pembakaran di dapur
pemanasan ulang (reheating furnace). Dalam hal kondisi pemindahan (handling) selama
proses produksi, juga diupayakan efisiensi energi melalui teknologi hot charging sebagaimana
untuk keperluan pengerolan di plant baja lembaran (Steel Slab Plant) dan juga di plant baja
kawat (Wire Rod Mill).[5]
Bahan baku baja batangan yang sudah selesai dicetak (baja Concast, Continous
Casting) akan dipanaskan ulang untuk dapat dibentuk menjadi baja gulungan. Untuk
mengurangi konsumsi pembakaran di dapur pemanas ulang, telah dilakukan pengkajian
perancangan pemodelan termal untuk mengestimasikan energi panas yang hilang melalui
perubahan temperatur produk baja billet.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     181 
Pujowidodo[6] telah mendapatkan bahwa karakterisasi billet baja dalam sistem hot
charging memiliki laju pendinginan tertentu dalam kondisi atmosferik terbuka dan tertutup.
Dalam kondisi pendinginan secara natural atmosferik terbuka terdapat laju drop sangat tajam
sebesar 116°C/menit saat mencapai temperatur 700°C dan kondisi adanya udara bergerak
(rentang 1-3,5 m/detik) diperoleh laju pendinginan sebesar 4,3-8,4°C/menit. Alternatif
pemilihan sistem hot charging melalui ruang atmosferik tertutup (UNEP, 2006), dengan
menggunakan medium terisolasi (heating box) saat billet baja panas berada di area
penyimpanan sementara sebelum dipanaskan ulang bilamana terjadi kegagalan proses
(breakdown time).
Analisa pengkajian pemodelan termal sistem hot charging melalui karakteristik laju
drop temperature billet baja dan desain konseptual sistem hot box ditujukan untuk
memperoleh hasil analisa estimasi temperatur billet baja yaitu mulai temperatur awal saat
billet ditransportasikan dari Billet Steel Plant hingga temperatur saat billet akan dipanaskan
ulang oleh reheating furnace di Wire Rod Mill plant. Temperatur billet baja sangat
dipengaruhi oleh faktor utama kondisi lingkungan sekitar (surroundings influencing) dan
factor waktu sesaat (residence time) selama billet dipindahkan melalui mekanisme
handling/transportasi yang akan dirancang. Dan proses optimasi system hot charging dapat
ditentukan dengan pertimbangan hasil simulasi temperatur dan waktu yang telah dilakukan.

METODE PERCOBAAN
Untuk melakukan desain simulasi termal sistem hot charging ini, telah dikumpulkan
beberapa bahan dan langkah-langkah yang diperlukan sebagai berikut:
1. Observasi plant produksi billet baja dan plant kawat baja (PT. Krakatau Steel Cilegon)
Langkah ini dilakukan untuk memperoleh himpunan data dan informasi yang terkait
dengan optimasi proses konservasi energi pada plant billet baja yang terdapat di PT.
Krakatau Steel Cilegon, melalui sistem hot charging. Proses eksplorasi dan pengamatan
dalam proses produksi baja kawat (wire rod) dimulai dari hasil pencetakan baja batang
panjang oleh mesin cetak Concast (Continous Caster) di plant Billet Steel Plant (BSP)
sampai proses pemanasan ulang oleh reheating Furnace di Wire Rod Mill (WRM). Data-
data yang dikumpulkan yaitu temperatur dan dimensi billet Concast, kondisi atmosferik
lingkungan lokal (temperatur dan kecepatan udara) serta jarak dan mekanisme
pengangkutan/handling menuju ke reheating furnace.
2. Kajian Karakteristik Drop Temperature billet baja (System Hot Charging)
Untuk mengoptimasi energi termal (heat) proses produksi baja adalah dengan cara
mengurangi seoptimal mungkin kehilangan panas baja yang akan diproses melalui cara
sistem hot charging. Bahan baku billet yang selesai dicetak, akan diproses secara panas
(heat treatment) untuk dapat dibentuk menjadi produk hasil baja. Laju kehilangan panas
sangat dipengaruhi oleh kondisi atmosferik lingkungan sekitar, selama billet baja
dipindahkan untuk dipanaskan ulang. Karakteristik kehilangan panas perlu diketahui
untuk dapat mengetahui fungsi penurunan temperatur terhadap waktu pada beberapa
kondisi pendinginan atmosferik. Dalam kajian pemodelan termal telah dikumpulkan drop
temperatur pada kondisi natural dan kecepatan udara sesuai lingkungan local lapangan.
3. Desain Konseptual Parameter Medium Isolasi (Heating Box)
Sistem hot charging dilakukan dengan cara mengurangi laju pendinginan billet baja
panas oleh udara lingkungan melalui medium isolator panas (heating box). Beberapa
kriteria kebutuhan perancangan medium isolator agar dapat diketahui estimasi
pengurangan temperatur billet baja panas selama dipindahkan di dalam plant proses.
Pertama kali ditentukan tujuan atau sasaran perancangan system hot box yaitu sistem
yang mampu memiliki performance isolasi yang tinggi untuk mengurangi drop
temperature yang besar. Selanjutnya ditentukan batasan parameter perancangan yang
terdiri dari : material isolator, dimensi ukuran, mekanisme loading/unloading dan
integrasi sistem transport yang seluruhnya ditentukan berdasarkan kondisi yang ada

182  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
(existing) di plant BSP dan WRM PT. KS. Material yang digunakan dirancang dengan
batasan bobot/volume hot box dengan densitas tinggi, kapasitas ukuran ditentukan dengan
dimensi yang sesuai dengan ruang yang ada, mekanisme loading/unloading
menggunakan sistem hidrolik untuk memperlancar sistem dan integrasi sistem transport
adalah penyesuain bentuk rancangan terhadap sistem yang dipilih.
Sebagai acuan dalam mempertimbangkan aspek desain konseptual sistem hot box
menggunakan standar BS 5970 dan BS EN ISO 12241 tentang pedoman praktis insulasi
termal untuk pipa dan peralatan dalam rentang temperatur -100°C hingga 870°C dan
aturan kalkulasi insulasi termal instalasi peralatan gedung dan industrial. Metode analisa
desain dilaksanakan berdasarkan data sumber dari hasil kegiatan observasi lapangan,
tinjauan data manual teknis, diskusi dengan narasumber lapangan dan studi sumber data
properties bahan insulasi praktis. Beberapa kriteria yang ditetapkan dalam desain sistem
insulasi hot box yaitu: Geometri dan Dimensi serta Material insulasi.
4. Desain Model Simulasi Termal
Dalam tahap ini kajian simulasi hot charging difokuskan kepada interpretasi hasil
karakterisasi temperatur billet baja panas yang diperoleh pada kondisi sistem terbuka dan
tertutup yaitu keadaan profil drop temperature terhadap waktu. Hal ini merupakan data
acuan yang akan digunakan dalam mengkaji suatu sistem hot charging yang optimal baik
sistem proses dan juga sistem transportasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Observasi plant produksi billet baja dan plant kawat baja (PT. Krakatau Steel Cilegon)
Hasil observasi pada plant PT. Krakatau Steel Cilegon memberikan data bahwa
temperatur billet yang keluar dari dapur peleburan baja mempunyai panas sebesar 760°C di
lokasi billet yard yang dibiarkan mengalami pendinginan natural, yang selanjutnya
dipanaskan kembali dalam proses reheating hingga temperatur 1150°C di plant pembentukan
kawat baja (wire rod). Secara natural laju pendinginan pada billet yard terjadi oleh kecepatan
angin rata-rata sebesar 4 m/detik. Pada plant WRM, billet diletakkan melalui transportasi
rolling table dan penggerak mekanik hidrolik yang akan diproses menjadi bentuk kawat baja.
Billet diletakkan menurut arah berjajar agar tidak terjadi deformasi ke arah samping.
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan melalui transportasi angkut truk, temperatur
masuk saat pemanasan ulang hanya mampu mencapai maksimum 400°C.

Gambar 1. Sistem Proses di Plant BSP dan WRM.[8]

Data hasil observasi lapangan terkait kondisi lingkungan udara parameter kecepatan
angin natural dan tata letak plant menjadi informasi yang digunakan sebagai variable model
simulasi. Model simulasi dijalankan menurut keadaan selama billet baja panas dipindahkan
untuk dipanaskan ulang di plant WRM.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     183 
Kajian Karakteristik Drop Temperature billet baja (Sistem Hot Charging)
Dari hasil uji karakteristik drop temperature billet baja panas, sesuai alur proses di
plant lapangan, terdapat laju pendinginan natural 116°C/menit ketika mencapai temperatur
700°C, yaitu temperatur optimal bagi billet dipindahkan melalui mekanisme handling
magnetic crane. Pada kondisi pendinginan secara natural oleh udara lingkungan, terdapat
daerah drop temperature yang sangat cepat sebesar 36,68°C/menit hingga temperatur 700°C.
Dalam kondisi atmosferik terbuka di mana kecepatan udara lokasl 3,5 m/detik terjadi laju
pengurangan temperatur billet baja panas 8,4°C/menit untuk rentang efektif temperatur laluan
(residence temperature) yang terjadi antara 700°C-200°C.
800
700
600 Kec. 1 m/s

Temperatur ( oC )
500 Kec. 2 m/s
400 Kec. 3 m/s

300 Kec. 3,5 m/s

200
100
0
0 20 40 60 80 100 120 140

Waktu Pendinginan  (menit)

Gambar 2. Drop Temperature Hot Billet Udara Natural dan pada beberapa kecepatan udara
lokal Sistem Terbuka.[6]

Dalam hasil yang disampaikan di Gambar 2, drop temperature tajam terjadi saat
billet baja panas concast dengan temperatur 1000°C berada dalam lingkungan atmosferik
terbuka untuk siap dipindahkan dengan magnetic crane menuju media transportasi ke proses
pemanasan ulang. Selama billet dipindahkan dengan alat bantu crane, terjadi laju drop
temperature fungsi waktu sesuai kecepatan udara local yang terjadi di lapangan. Hal ini akan
menjadi parameter input utama yang menjadi batasan pemodelan termal hot charging
(estimasi temperatur awal pemanasan ulang di plant WRM).

Desain Konseptual Parameter Medium Isolasi (Heating Box)

Geometri dan Dimensi


Geometri dan dimensi sistem insulation box (hot box) dikaji berdasarkan kepada
dimensi dan bentuk billet baja serta tata letak (layouting) ruang yang ada di plant BSP PT.
KS. Seperti yang telah diperoleh pada saat observasi lapangan bahwa billet baja berbentuk
batang panjang berpenampang kotak dengan ukuran 13 mm x 13 mm x 9000 m dan bobot
sekitar 1 ton. Billet baja dipindahkan dari meja pendinginan (cooling bed) setelah billet keluar
dari continous caster (concast) menggunakan system handling Magnetic Crane dengan
kapasitas angkat 4 hingga 6 batang billet dengan temperatur di bawah 600°C. Saat billet
tersusun berjajar maka peletakan harus berhimpit rapat untuk mencegah terjadinya perubahan
bentuk karena pendinginan (deformasi). Dengan demikian harus ada sisi penahan kelurusan
billet yang berhimpit dengan sisi kedua ujung di dalam hot box yang juga berfungsi untuk
mencegah pergeseran posisi billet saat berada dalam perjalanan transport menuju plant WRM.

184  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Material insulasi
Pengkajian material insulasi ditentukan berdasarkan kriteria karakteristik material dan
sistem yang tercantum dalam acuan standar BS 5970, dengan beberapa pertimbangan utama
sebagai berikut:
1. Konduktivitas termal
Data tentang temperatur panas dan dingin (maks dan min) serta ambient harus diketahui
sebagai parameter desain awal. Untuk sistem di mana terdapat deviasi temperatur internal
dan eksternal (environment) yang besar diperlukan material dengan sifat konduksi
(hantaran panas) atau disebut konduktivitas termal yang rendah sehingga tahanan
panasnya menjadi tinggi. Hampir kebanyakan material insulasi memiliki konduktivitas
termal yang bergantung kepada temperatur dan densitas curah (bulk density). Manufaktur
umumnya mengeluarkan rentang produk yang dirancang pada aplikasi dan atau kisaran
temperatur yang berbeda. Efektivitas insulant utamanya tergantung kepada massa
material sel-sel udara/gas dalam jumlah besar. Struktur ini membatasi perpindahan panas
akibat konveksi dan radiasi.
2. Bentukan Fisik
Beberapa bentuk fisik insulasi terbagi sebagai berikut: pra-bentukan (slab atau section),
rigid, fexible, komposisi plastis, sprayed dan blown, loosefill, metalik yang kesemuanya
terbuat dari granular, fibrous, cellular atau material reflektif (atau kombinasinya)
tergantung kepada tujuan yang akan diperoleh. Dalam penetepan parameter desain hot
box dibutuhkan materil yang memiliki bobot tidak terlalu besar yang ditujukan bagi
pemakaian struktur yang berpindah (non static atau moveable structure).
3. Densitas Curah (Bulk Density)
Material insulasi rata-rata, mempunyai densitas curah yang berkisar dalam 10 kg/m3
hingga 320 kg/m3. Untuk apikasi temperatur tinggi dipilih material dengan densitas curah
yang tinggi. Untuk kepentingan tujuan desain, beban terapan terhadap insulasi perlu
diketahui dan dikalkulasi baik dari densitas dan dimensi, atau dari berat produk khusus
yang akan digunakan.
4. Kesesuaian Temperatur layanan
Temperatur di mana material digunakan seharusnya memiliki kisaran kerja secara baik
dalam durasi layanan yang lama dengan kondisi operasi normal. Untuk material yang
akan digunakan pada elevasi temperatur beberapa faktor dapat menjadi deteriorasi dalam
kondisi layanan misalkan linear shrinkage karena panas, hilangnya compressive strength
selama pemanasan, efek vibrasi dan kemungkinan fenomena self heating (karena bonding
agents atau kontaminasi).
5. Desain Model Simulasi Termal
Proses perancangan model komputasi system hot charging diawali dari pengkajian hasil
modelisasi karakteristik proses hot charging dengan sistem terbuka maupun kondisi
tertutup, yaitu besarnya laju drop temperature billet baja terhadap waktu. Kemudian
beberapa treatment lingkungan ditetapkan selama billet diproses dari BSP ke WRM
melalui mekanisme handling/transportasi yang direncanakan. Secara singkat bagan alir
model perhitungan ini diberikan di dalam Gambar 3.
Selanjutnya untuk memperoleh estimasi temperatur saat pemanasan ulang di reheating
furnace, digunakan parameter waktu sebagai variabel batas seperti ditampilkan dalam
Gambar 4. Dengan mendefinisikan proses hot charging yang selengkapnya kemudian dikaji
penurunan temperatur yang terjadi berdasarkan estimasi waktu laluan (residence time) yang
diberikan. Proses optimasi diiterasi melalui kelayakan kepada kriteria system
handling/transportasi dan sistem control/instrumentasi yaitu limitasi temperatur kerja/operasi,
berdasarkan karakteristik kemampuan sistem mekanik/hidrolik dan mekanik elektrik atau
elektronik.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     185 
Gambar 3. Bagan Analisis Model Komputasi Sistem Hot Charging Billet baja.

Gambar 4. Segmentasi Drop Temperature Billet Baja pada Model Hot Charging.

186  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Selengkapnya contoh hasil simulasi komputasi sistem hot charging terdapat dalam hal
berikut.

Gambar 5. Simulasi Komputasi Billet Awal 700°C dan beberapa asumsi waktu laluan.

Dari hasil simulasi estimasi temperatur awal saat pemanasan ulang diperoleh harga
temperatur sebesar 607,87°C. Bilamana terjadi kegagalan di dalam proses produksi kawat
baja, yang memerlukan waktu maksimum perbaikan selama 2 jam, terdapat estimasi
temperatur billet baja untuk disimpan sementara di dalam heating box hingga panas 621,33°C.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     187 
Berdasarkan estimasi temperatur optimasi sistem hot charging akan diperoleh nilai efisiensi
termal minimum sebesar 50%.

KESIMPULAN
1. Proses kelayakan sistem hot charging sangat ditentukan oleh optimasi waktu laluan
(residence time) dan sistem handling/transportasi serta media insulation box (hot box)
guna mengurangi laju drop temperatur billet bila terjadi breakdown selama proses di
WRM.
2. Peningkatan efisiensi termal yang dapat diperoleh dengan estimasi temperatur awal hot
charging sebesar minimum 600°C adalah sebesar minimum 50%.
3. Perancangan sistem hot box ditentukan oleh parameter yaitu: dimensi dan geometri billet
baja, layouting proses serta sistem handling/transport. Yang kedua adalah oleh material
isolasi dan sistem yang dipengaruhi oleh temperatur dan kondisi operasi proses.
4. Untuk memperoleh estimasi temperatur dari kelayakan sistem hot charging, diperlukan
pengumpulan data statistik kondisi lingkungan udara sekitar secara lengkap, jarak tata
letak proses BSP dan WRM serta kelayakan dukungan sistem handling maupun
kontrol/instrumentasi.

UCAPAN TERIMA KASIH


Kepala Program Otomasi Industri Baja Nasional 2010, Balai Mesin Perkakas, Teknik
Produksi dan Otomasi (MEPPO), BPP Teknologi Jakarta.

Daftar Referensi
[1] IISA. 2010. Peran IISA dalam Rangka Mendorong Pertumbuhan Industri Baja
Nasional. FGD Revitalisasi Industri Baja Nasional. Jakarta : BPP Teknologi.
[2] Biro Perencanaan. 2012. Perencanaan kebutuhan Energi Sektor Industri dalam Rangka
Akselerasi Industrialisasi. Jakarta : Kementerian Perindustrian.
[3] Kemenperin Dorong Industri Hemat Energi. 2013. (http://www.beritasatu.com, diakses
5 Agustus 2014)
[4] Balai Besar Teknoloi Energi. 2013. Perencanaan Efisiensi dan Elastisitas Energy 2013:
Roadmap teknologi Efisiensi Energi pada Industri Baja, BPP Teknologi, Desember
2013.
[5] V, Prieb. 2012. Hot Billet Charging Saves Energy and Improves Mill Productivity, Steel
Time International, July/August, 2012, www.steeltimesint.com
[6] H, Pujowidodo and Nuryadin B. 2014. Karakteristik Laju Drop Temperatur Billet Baja
dalam Sistem Hot Charging. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Tahun
2014: 72-77, Semarang, 25 Juni 2014 : Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim
[7] T.A, Adibroto. 2006. Recovering Waste Heat through Billet Transportation System
Modification. GERIAP Project: UNEP.
[8] A, Hendarto. 2010. Laporan Usulan Transportasi Billet dari BSP ke WRM di PT. KS,
WP-2300 Process Control. Jakarta: BPP Teknologi.
[9] Standar Code BS 5970. 2001. Code of practice for thermal insulation of pipework and
equipment in the temperature range of –100°C to +870°C, BSI, UK., December, 2001.
[10] Standar Code BN EN ISO 12241. 2009. Thermal insulation for building equipment and
industrial installations — Calculation rules, BSI, UK., May, 2009.

188  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
PENGEMBANGAN INSTRUMENTASI ALAT UJI KOROSI RETAK
TEGANG PADA APLIKASI BAJA TAHAN KARAT TIPE 304
DI DALAM LARUTAN NaCl

Heri Nugraha1*, Gadang Priyotomo1 , Marga Asta Jaya Mulya2, Bambang Hermanto2
1
Pusat Penelitian Metalurgi dan Material-LIPI
Gd. 470 Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan 15314
2
Pusat Penelitian Fisika - LIPI
Kawasan Puspiptek Gd. 440 Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan 15314
*E-Mail: nugraha321@gmail.com

Abstrak
Korosi retak tegang (stress corrosion cracking) adalah istilah yang diberikan untuk peretakan
intergranular atau transgranular pada logam akibat kegiatan gabungan antara tegangan dan lingkungan
khusus. Bentuk korosi ini lazim sekali dijumpai di lingkungan industri seperti: industri perkapalan,
perminyakan, dan industri-industri kontruksi logam. Pengembangan sistem instrumentasi alat uji korosi retak
tegang telah dilakukan dengan mengubah data analog menjadi digital melalui tampilan hasil pengukuran pada
program komputer kemudian dilakukan pengujian pada sampel baja tahan karat tipe 304 pada temperatur 80°C
di dalam lingkungan asam dengan pembebanan 23 kg/cm2. Data yang diperoleh dari keluaran tegangan sensor
linear variable differential transformer (LVDT) diolah oleh mikrokontroler arduino dengan menggunakan
Analog to Digital (ADC). Tegangan yang keluar dari sensor posisi LVDT mengontrol pertambahan panjang
dimensi suatu bahan yang dipengaruhi oleh beban luar statis, lingkungan larutan dan suhu lingkungan
sehingga jika bahan tersebut mengalami pertambahan panjang maka sensor akan mendeteksi perubahannya.
Pada pengukuran sensor LVDT diperoleh hubungan linear antara pertambahan panjang dan tegangan output
dengan persamaan y = 0,869x – 0,106 (y dalam satuan mm dan x dengan satuan volt), dimana berdasarkan
nilai tersebut sensor dapat menampilkan tegangan pada rentang pertambahan panjang dari 0 mm hingga 3,7
mm.

Kata kunci: Baja Tahan karat tipe 304, Sensor LVDT, Arduino, ADC.

PENDAHULUAN
Sistem otomasi dapat didefinisikan sebagai suatu teknologi yang berkaitan dengan
aplikasi mekanik, elektronik dan sistem yang berbasis komputer (komputer, PLC atau mikro).
Semuanya bergabung menjadi satu untuk memberikan fungsi terhadap mekanik sehingga
akan memiliki fungsi tertentu. Pada penelitian ini sensor yang digunakan adalah sensor Linier
Variable Differential Transformator (LVDT) dapat digunakan untuk menentukan suatu posisi
sistem yang bekerja dalam skala millimeter dengan output berupa tegangan, sehingga
mempermudah dalam pengambilan data nantinya.[1] Sensor melakukan konversi dari
fenomena fisik menjadi sinyal listrik. Sinyal ini selanjutnya diubah menjadi nilai numerik
digital oleh perangkat keras data acqustition (DAQ), yang dikendalikan oleh sebuah program
perangkat lunak yang dikembangkan dengan menggunakan bahasa pemrograman salah
satunya adalah LabView.[2] Sedangkan program pada Arduino Uno dapat diatur untuk
menampilkan hasil tegangan keluaran dengan menserialmonitorkan tool setelah menjalankan
program atau meng-uploadnya pada hardware arduinonya untuk memahami fenomena korosi
retak tegang (stress corrosion cracking) secara teoritis dalam material dan mengkaji pengaruh
lingkungan larutan uji korosif dan suhu lingkungan terhadap ketahanan pada korosi retak
tegang material pada variasi pembebanan statis. Pencatatan waktu patah pada material dengan
tiga parameter uji (beban luar, konsentrasi larutan uji dan suhu operasional) dapat diketahui
melalui program tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempermudah pembacaan
perubahan panjang dari sampel baja tahan karat akibat pengaruh beban luar statis, larutan uji
yaitu NaCl dan suhu uji pada 80°C dengan menggunakan komputer untuk selanjutnya
dilakukan analisa. Program korosi retak regang berupa data analog/kertas yang lama, sudah
tidak dapat digunakan, sehingga dilakukan pengembangan instrumentasi alat berbasis pada

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     189 
komputer dengan penyimpanan data berupa file dengan kapasitas yang lebih besar. Secara
umum korosi merupakan proses degradasi atau penurunan mutu material karena adanya reaksi
secara kimia dan elektrokimia dengan lingkungan. Setiap material dengan aplikasi yang
berbeda memiliki bentuk korosi yang berbeda. Salah satu bentuk korosi ini adalah Korosi
Retak Tegang. Bentuk korosi ini sangat lazim dijumpai pada lingkungan industri. Jenis korosi
ini terjadi karena adanya tiga kondisi yang saling berkaitan, yaitu adanya tegangan tarik,
lingkungan yang korosif, dan temperatur tinggi yang terlihat pada Gambar 1. Pada proses
korosi retak tegang, karena merupakan kondisi yang simultan, maka semua faktor- faktor
yang mempengaruhi harus bersinergi. Bila salah satu faktor tidak ada yang memenuhi maka
proses korosi retak tegang tidak akan terjadi.

Gambar 1. Keterkaitan tiga kondisi yang menyebabkan korosi retak tegang.

Salah satu pengujian korosi retak tegang yaitu metode beban statis dimana
menghasilkan grafik elongasi korosi terlihat pada Gambar 2.[3] Grafik ini dapat digunakan
lebih lanjut untuk mendapatkan tiga variable utama antara lain waktu patah (tf), steady-state
elongation rate (lss) dan rasion waktu transisi dan waktu patah (tss/tf). Tiga variabel ini dapat
digunakan untuk menganalisa perilaku kegagalan dan lss untuk dapat memprediksi waktu
patah.

Gambar 2. Grafik elongasi korosi.[3]

Pengujian yang dilakukan adalah pengujian dengan alat uji Stress Corrosion
Cracking pada material stainless steel 304 dalam larutan asam pada temperatur 80°C.

Arduino Uno
Pada Gambar 3, Uno Arduino merupakan mikrokontroler dengan 14 digital input
dimana 6 pin dapat digunakan sebagai output PWM yang terpasang langsung dalam satu
board sederhana.[4,5,6] Pada pin-pin ini berisi semua yang diperlukan untuk mendukung
mikrokontroler, hanya perlu menghubungkan ke komputer dengan kabel USB atau dapat
juga menggunakan sumber tegangan yang bisa diperoleh dari adaptor AC-DC atau baterai

190  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
pada spesifikasi besar dengan tegangan yang telah ditentukan untuk penggunaannya.

Gambar 3. Board Arduino Uno.

Setiap mikrokontroler mempunyai karakteristik masing- masing, untuk Arduino Uno


memiliki spesifikasi pada Tabel 1.

Tabel 1. Spesifikasi Arduino Uno


Mikrokontroller Atmega328
Operasi Voltage 5V
Input Voltage 7-12 V (Rekomendasi)
Input Voltage 6-20 V (limits)
I/O 14 pin (6 pin untuk PWM)
Arus 50 mA
Flash Memory 32KB
Bootloader SRAM 2 KB
EEPROM 1 KB
Kecepatan 16 Mhz

Sensor LVDT
Pada Gambar 4, Sensor Linear Variable Differential Transformer (LVDT) adalah
sebuah sensor perpindahan yang mengubah perubahan posisi linear dari referensi mekanik
(posisi nol) menjadi sinyal listrik yang sebanding dengan fase (arah) dan amplitude (jarak).[7-9]

Gambar 4. Sensor LVDT Transtek 351.

Pada sensor LVDT model transtek tipe 0351-0000 mempunyai karakteristik sebagai
berikut:
 Tegangan sumber dengan rentang 6-28 Volt yang terlihat pada Tabel 2.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     191 
Tabel 2. Rentang tegangan input dan output
Tegangan Input (V) Tegangan Output (V)
6 2.1
15 5.4
24 9.0
28 10.1

 Sensitifitas tinggi.
 Rentang temperatur -65°F hingga 200°F (-54°C hingga 93°C).
 Ketidaklinieran ˂ 0,5 %.

Analog to Digital (ADC) Mikro


ADC mikro adalah sebuah papan ADC yang digunakan untuk merubah sinyal
tegangan analog kedalam 24 bit nomor digital. Komunikasi data antara ADC dan
mikrokontroler menggunakan serial peripheral interface (SPI).[8,9]

METODE PERCOBAAN
Implementasi alat dan pengujian dilakukan di laboratorium korosi Pusat Penelitian
Metalurgi dan Material LIPI. Dalam melakukan kegiatan Penelitian ini terdapat tiga tahapan
diantaranya yaitu pemrograman pada komponen mikrokontroler yang digunakan, merangkai
alat, serta melakukan uji coba pada pengukuran sampel baja tahan karat tipe 304.
Pengujian korosi retak tegang pada baja tahan karat tipe 304 bertujuan untuk melihat
performa ketahanan material tersebut terhadap korosi jenis ini dengan melihat beban statis,
konsentrasi larutan uji dan suhu uji. Langkah-langkah pengujian yang dilakukan secara
umum terlihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Skema pengujian korosi retak tegang.

192  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Alat uji bahan
Keterangan:
1. Tabung pemanas/heater
2. Sensor Jarak (LVDT)
3. Thermocontrol
2  4. Pembebanan Sampel
3  5. Komputer / Monitoring Program

 4 

 5 

Gambar 6. Alat percobaan korosi retak tegang.

Pengujian yang dilakukan adalah pengujian dengan alat uji korosi retak tegang
pada baja tahan karat tipe 304 dalam larutan 0,5 M sodium klorida pada temperatur 80°C.

Tampilan Program Komputer


Pengembangan sistem kontrol dan akuisisi data dari analog menjadi digital dilakukan
karena data analog yang merekam data pengujian dalam bentuk output kertas sudah tidak
dapat digunakan/rusak (Gambar 7a), sehingga dilakukan pembuatan software berbasis Lab
View untuk merekam data proses pengujian pada alat korosi retak tegang (Gambar 7b).

(a)  (b) 

Gambar 7. Pengembangan Program Monitoring Sensor.

Proses Kalibrasi
Pada Gambar 8, proses kalibrasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara jarak
dengan tegangan yang dikeluarkan sensor. Kalibrasi menggunakan dial gauge Mitutoyo
(rentang 0-10 mm) dilakukan pada rentang jarak 0 sampai dengan 3,7 mm sesuai panjang
maksimal sensor LVDT, kemudian dilakukan pembacaan tegangan yang dihasilkan oleh
sensor.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     193 
Gambar 8. Proses Kalibrasi

Data kalibrasi

Tabel 3. Data Hasil Kalibrasi sensor LVDT


Tegangan (mV) Jarak (mm) Tegangan (mV) Jarak (mm)
0,05298 0 2,17869 1,8
0,2293 0,1 2,3237 1,9
0,3347 0,2 2,44319 2
0,4622 0,3 2,5592 2,1
0,631634 0,4 2,6411 2,2
0,6954 0,5 2,7572 2,3
0,7716 0,6 2,8664 2,4
0,897728 0,7 3,0324 2,5
1,05472 0,8 3,09465 2,6
1,200905 0,9 3,23795 2,7
1,2454 1 3,32476 2,8
1,4214 1,1 3,48155 2,9
1,5867 1,2 3,58205 3
1,6299 1,3 3,6654 3,1
1,7217 1,4 3,79804 3,2
1,82532 1,5 3,9207 3,3
2,00585 1,6 4,04964 3,4
2,06182 1,7 4,1222 3,5
2,17869 1,8 4,26164 3,6
2,3237 1,9 4,31852 3,7

Programming Komputer
Pada Arduino sebagai mikrokontroler berbasis ADC memakai program Serial
Peripheral Interface (SPI) yang mendukung komunikasi interface. Arduino board diprogram
agar dapat merespon sinyal yang diberikan dari LVDT.

194  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Perancangan diagram pada penelitian terbagi menjadi dua, yang pertama adalah
diagram sistem, diagram yang menggambarkan jalannya program dengan tujuan untuk
mempermudah saat pembuatan alat berjalan. Selanjutnya yaitu diagram alir (flowchart) untuk
program pada mikrokontroler adalah sebagai berikut:

Gambar 9. Diagram Sistem/Flowchart.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada pengukuran sensor LVDT diperoleh hubungan linear antara pertambahan
panjang dan tegangan output dengan persamaan y = 0,869x – 0,106 (y dalam satuan mm dan
x dengan satuan volt), dimana berdasarkan nilai tersebut sensor dapat menampilkan tegangan
pada rentang pertambahan panjang dari 0 mm hingga 3,7 mm.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     195 
Perubahan Panjang Terhadap Tegangan
Perubahan Panjang (mm) 
4
3.5
Perubahan Panjang Terhadap 
3 Tegangan
2.5
Linear (Perubahan Panjang 
2 y = 0.869x ‐ 0.106 Terhadap Tegangan)
1.5 R² = 0.999

1
0.5
0
‐0.5 0 1 2 3 4 5
Tegangan (v) 
Gambar 10. Hubungan antara perubahan panjang dan tegangan.

Pada pengujian korosi retak tegang yang dilakukan dengan sampel baja tahan karat
tipe 304 pada suhu 80°C didapatkan grafik yang terlihat pada Gambar 11.
Grafik Perubahan Panjang Terhadap Waktu
1

0.8
Panjang (mm)

0.6

0.4 Series1
0.2 Linear (Series1)

0
0 200 400 600 800 1000 1200
Waktu (s)

Gambar 11. Hubungan perubahan panjang terhadap waktu.

Saat spesimen mengalami penambahan panjang akibat pengaruh baban luar statis,
larutan uji dan suhu uji maka sensor juga akan mendeteksi berapa besar dari perpanjangan
dimensi material tersebut waktu tertentu. Pada Gambar 11 terbagi dua daerah yaitu
pemuluran awal yang cepat (primary) dan steady-state elongation region (secondary).
Daerah primary memberikan hubungan terjadinya nukleasi retakan dan daerah secondary
memberikan hubungan terjadinya proses propagasi retakan yang stabil. Jika dibandingkan
dengan Gambar 2, pada Gambar 11 tidak terjadi proses patah pada material yang ditandai
dengan terbentuknya daerah tersier (daerah propagasi retakan akhir). Ini dikarenakan penulis
tidak tahu kapan material tersebut patah dikarenakan mekanisme uji menggunakan beban
statis bukan pertambahan beban seperti pengujian slow strain rate test (SRRT).

196  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
KESIMPULAN
Pada penelitian yang telah dilakukan dengan topik implentasi data akuisisi oleh
mikrokontroler dapat disimpulkan bahwa:
1. Tegangan keluaran dari sensor LVDT dapat ditampilkan di serial monitor yang terdapat
pada simulasi arduino yang telah diprogram dan dihubungkan dengan ADC 24 bit.
2. Sensor LVDT dapat digunakan untuk mengetahui nilai dari perubahan panjang suatu
bahan yang mengalami keretakan akibat tegangan dan pemuaian, didapat rumus untuk
menentukan perubahan panjang setiap detik oleh tegangan output yang dihasilkan
sensor yaitu y = 0,869x – 0,106 (y dalam satuan mm dan x dengan satuan volt),
berdasarkan nilai tersebut sensor dapat menampilkan tegangan pada jarak 0 sampai
dengan 3,7 mm.
3. Penggunaan program komputer pada pengujian korosi retak tegang mempermudah
pembacaan cepat jika dibandingkan dengan proses analog.

Daftar Referensi
[1] Budiharto,Widodo dan Sigit Firmansyah. 2010. Elektronika digital dan Mikroprosessor.
Yogyakarta: Andi Publisher.
[2] Budiharto, Widodo. 2004. Interfacing Komputer dan Mikrokontroller. Jakarta: PT.Elex
Media Komputindo.
[3] M. Alyousif, Osama and Rokuro Nishimura. 2006. The effect of test temperature on
SCC behavior of austenitic stainless steels in boiling saturated magnesium chloride
solution. Corrosion Science, 48: 4283–4293.
[4] Ogata, Katsuhiko. Teknik Kontrol Automatik (Sistem Pengaturan Jilid 1). Penerbit
Erlangga: Jakarta.
[5] Pakpahan, S. 1984. Kontrol Otomatik. Penerbit Erlangga: Jakarta.
[6] Mila, Rusdiana. dkk. Rancang Bangun Alat Ukur Tegangan Permukaan Zat Cair
dengan Menggunakan Sensor LVDT (Linear Variabel Differential Transformer).
Malang: Universitas Negeri Malang.
[7] Datasheet LVDT sensor Series 350. TRANS-TEK Incorporated.
[8] Datasheet EasyADC. MikroElektronika: Software and Hardware Solutions for
Embedded World.
[9] Masria, Pane. dkk. Pembuatan Signal Conditioning untuk Sensor LVDT (Linear
Variable Differential Transformer). FMIPA USU.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     197 
198  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
PEMBUATAN MASTER ALLOY Mg-Ca SEBAGAI BAHAN BAKU
PADUAN METAL SELULAR Mg-Ca-Zn

Ika Kartika*, Bambang Sriyono, Dhyah Annur, M. Ikhlasul Amal


Pusat Penelitian Metalurgi dan Material, LIPI
Gedung 470, Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan, 15314
*E-Mail: ikak001@lipi.go.id

Abstrak
Paduan magnesium merupakan material paduan yang terus berkembang dan mulai banyak digunakan
untuk keperluan implan yang memiliki sifat biokompatibel dan mudah luruh (biodegradable). Teknologi proses
pembuatan yang dilakukan adalah dengan metalurgi serbuk melalui metal injection moulding (MIM). Akan
tetapi magnesium memiliki kendala saat dilakukan proses sintering, karena akan membentuk lapisan oksida tipis
yang stabil yang menghalangi proses sintering. Penambahan kalsium akan mengurangi pembentukan lapisan
oksida tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat master alloy Mg-Ca sebagai bahan baku pembuatan
paduan metal selular Mg-Ca-Zn. Campuran serbuk logam Mg, Ca, dan CaH2 pada komposisi tertentu ditekan
dengan beban 26 MPa dalam cetakan berbentuk silinder dengan ø=26 mm pada temperatur kamar. Proses
sintering dilakukan pada T=520°C selama 1 jam, dan dikeluarkan pada T=280°C. Hasil sintering
dikarakterisasi dengan XRD (X-ray diffraction) dan SEM (Scanning Electron Microscope. Hasil menunjukkan
terbentuknya fasa Mg dan Mg2Ca. Fasa Mg2Ca tidak diharapkan karena akan menurunkan sifat mekanik master
alloy yang dihasilkan.

Kata kunci: Master alloy, Mg-Ca, Paduan Metal Selular Mg-Ca-Zn, Fasa Mg2Ca.

PENDAHULUAN
Perkembangan material logam sebagai material medis kini mengalami tren yang
bergeser dari material dengan ketahanan korosi tinggi dalam tubuh menjadi material yang
dapat luruh dalam tubuh. Material implan yang bersifat luruh didefinisikan sebagai material
yang dapat terkorosi secara bertahap sehingga dapat membantu proses penyembuhan jaringan
tubuh tanpa residu.[1]
Salah satu paduan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai material implan yang
memiliki sifat mudah luruh dan biokompatibel adalah logam paduan Magnesium (Mg).[2-6]
Magnesium memiliki nilai Modulus Young yang cukup dekat dengan tulang (E=3-20 GPa)
jika dibandingkan dengan material implan mekanik lainnya (baja tahan karat, titanium, dan
paduan Co- Cr).[5,7,8] Dengan nilai Elastisitas yang mirip dengan tulang ini, magnesium dapat
mencegah terjadinya stress shielding effect dimana terjadi kegagalan implantasi karena
perbedan elastisitas yang signifikan antara tulang dan bahan implan. Paralel dengan sifat
mekaniknya yang unggul, Magnesium sendiri merupakan unsur kation penting dalam tubuh.
Magnesium berperan dalam pertumbuhan tulang serta salah satu faktor penting dalam
metabolisme tulang.[9] Mg dibutuhkan dalam metabolisme energi, proliferasi sel, sintesis
protein, dan dalam pembentukan ADN.[9-11]
Meskipun memiliki keunggulan sebagai material yang biokompatibel, Magnesium
dianggap masih terlalu mudah terdegradasi dalam larutan, terutama larutan yang mengandung
ion Klorida.[12] Hal ini yang mendorong penelitian pengembangan material Magnesium
dengan penambahan paduan yang akan meningkatkan ketahanan korosi Magnesium.
Paduan Magnesium-Kalsium-Seng (Mg-Ca-Zn) adalah salah satu paduan yang tengah
dikembangkan karena dianggap memiliki sifat biokompatibel yang baik (tidak toksik) dan
mampu meningkatkan ketahanan korosi serta memperbaiki sifat mekanik Magnesium.[7,13]
Kalsium sendiri merupakan unsur penyusun tulang manusia dan dibutuhkan dalam proses
penyembuhan tulang.[14] Ca juga memiliki densitas yang cukup rendah (1,55 g/cm3) yang
mendekati nilai Mg (1,74 g/cm3) sehingga dapat mempertahankan nilai kekuatan spesifik
yang baik. Keuntungan lain dari pemanfaatan unsur Ca adalah karena Ca memiliki nilai

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     199 
ekonomis yang cukup baik.[15] Seng (Zn) juga merupakan unsur penting dalam tubuh. Selain
itu, Seng dapat meningkatkan ketahanan korosi dan sifat mekanik paduan Magnesium melalui
mekanisme solution hardening.[16]
Penggunaan paduan Magnesium sebagai material implan, akan lebih mudah
diaplikasikan dengan pemilihan metode manufaktur yang dapat menghasilkan produk yang
mendekati hasil akhir. Salah satu metode yang digunakan adalah dengan metal injection
molding (MIM). Tetapi magnesium memiliki kendala saat dilakukan proses sintering, karena
akan membentuk lapisan oksida tipis stabil yang menghalangi proses sintering. Penambahan
Ca, bukan hanya ditujukan untuk memperbaiki sifat Mg, akan tetapi juga mengatasi kesulitan
dalam proses sintering Mg. Ca diharapkan akan menghambat pembentukan lapisan oksida
pada Mg karena perbedaan entalpi. Entalpi pembentukan CaO (-635 kJ/mol) lebih rendah
dibandingkan dengan entalpi pembentukan MgO (-601 kJ/mol).[6]
Penelitian ini bertujuan untuk membuat master alloy Mg-Ca sebagai bahan baku
pembuatan paduan metal selular Mg-Ca-Zn. Berdasarkan diagram fasa biner Mg-Ca,
maksimum kelarutan Kalsium dalam Mg pada suhu 789,5 K adalah 1,34%.[12] Penelitian kali
ini menggunakan paduan Mg dengan komposisi kadar kalsium 1% berat dan 7% berat.
Kalsium yang digunakan berbentuk serbuk kalsium murni dan dalam bentuk paduan CaH2.

METODE PERCOBAAN
Pembuatan sampel master alloy menggunakan campuran Magnesium murni
(kemurnian > 90%), Kalsium murni (kemurnian > 90%) serta padatan CaH2 produk dari
Merck. Pencampuran dilakukan dengan menggunakan mortar selama 10 menit sehingga
secara visual terlihat pencampuran yang baik antara Magnesium dan paduannya. Campuran
serbuk logam ini memiliki komposisi yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Setelah proses pencampuran, dilakukan proses kompaksi, yaitu penekanan dengan
mesin tekan uniaksial dengan beban 26 Mpa dalam cetakan bentuk silinder dengan diameter
25 mm pada temperatur ruang. Setelah proses kompaksi, sampel kemudian mengalami proses
sintering selama 1 jam pada suhu 520°C dalam tungku dengan atmosfer Argon. Untuk
memastikan tidak adanya oksigen dalam proses ini, dilakukan pengkondisian sampel dengan
aliran Argon selama 10 menit sebelum proses pemanasan. Adapun laju pemanasan yang
digunakan adalah 8°C/menit. Skema perlakuan sintering dapat dilihat pada Gambar 1.
Setelah proses sintering, sampel master alloy Mg-Ca kemudian dikarakterisasi dengan
menggunakan XRD (x-ray diffraction) dan SEM (scanning electron microscopy).

Tabel 1. Komposisi serbuk logam magnesium dan unsur tambahan lainnya


Kode Sampel* Komposisi (% berat)
Mg Ca CaH2
Mg7Ca0 93 7 0
Mg5Ca2 93 5 2
Mg0Ca1 99 0 1
*Keterangan: Mg7Ca0 = paduan Mg+7% berat Ca+0% berat CaH2

Gambar 1. Skema proses sintering pada serbuk logam paduan Mg setelah kompaksi.

200  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 2 menunjukkan analisis XRD dari master alloy yang telah mengalami proses
sintering. Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa fasa yang muncul adalah fasa Mg, Ca, dan
Mg2Ca, dan puncak MgO dalam intensitas yang rendah.

Gambar 2. Kurva hasil XRD dari master alloy Mg- Ca setelah sintering.

Berdasarkan Gambar 2, terlihat bahwa master alloy yang dihasilkan memiliki


puncak-puncak karakterisasi yang tidak begitu berbeda. Pada paduan Mg7Ca0, Mg5Ca2, dan
Mg0Ca1, puncak karakteristik Mg masih terlihat jelas karena paduan ini memiliki kadar Mg
yang cukup besar yaitu lebih dari 90% Mg. Selain itu, masing- masing paduan master alloy
juga menunjukkan adanya puncak karakteristik Ca. Dari analisis XRD juga diketahui hampir
tidak ada fasa MgO yang terbentuk dalam penelitian kali ini. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa penambahan Ca dapat mencegah terbentuknya fasa MgO yang menjadi
permasalahan dalam pemrosesan paduan Mg. Hal ini mendukung penelitian sebelumnya
dimana proses sintering Magnesium dapat ditingkatkan dengan penggunaan master alloy
yaitu penambahan Kalsium dalam paduan Mg.[6]
Penggunaan bahan kalsium baik berupa serbuk padatan murni maupun dalam bentuk
paduan dapat digunakan dalam pembuatan master alloy. Akan tetapi, perlu diperhatikan
bahwa penambahan Ca dalam paduan magnesium juga memicu terbentuknya fasa Mg2Ca.
Fasa Mg2Ca merupakan presipitat yang umum terbentuk pada paduan Mg- Ca. Fasa Mg2Ca
ini dapat memperbaiki struktur mikro paduan Mg dan meningkatkan kekuatan mekanik serta
ketahanan mulur, tetapi menyebabkan paduan Mg menjadi lebih getas dan mempercepat laju
degradasi akibat korosi galvanik.[1,8] Dibandingkan dengan paduan Mg7Ca0, paduan Mg5Ca2
dan Mg0Ca1 terlihat memiliki puncak Mg2Ca yang lebih tinggi, hal ini menunjukkan adanya
pengaruh yang lebih kuat dalam pembentukan fasa Mg2Ca. Meski demikian perlu dilakukan
studi lebih lanjut untuk menunjukkan pengaruh CaH2 dalam pembentukan fasa Mg2Ca pada
paduan Mg- Ca.
Berbeda dengan XRD yang digunakan untuk mengetahui fasa yang terbentuk, SEM
digunakan untuk analisis struktur mikro paduan master alloy. Gambar 3 menunjukkan
paduan Mg- Ca yang telah mengalami proses sintering selama 1 jam pada temperatur 520°C.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     201 
Gambar 3. Foto hasil SEM dari master alloy Mg- Ca setelah sintering untuk: a) Mg7Ca0;
b) Mg5Ca2; c) Mg0Ca1.

Berdasarkan Gambar 3, terlihat bahwa setelah sintering dihasilkan struktur yang


berpori dan tidak seragam. Dapat dilihat juga bahwa struktur mikro yang dihasilkan memiliki
karakteristik yang cukup berbeda antara paduan Mg7Ca0, Mg5Ca2, dan Mg0Ca1. Terlihat
dengan penambahan CaH2 (Gambar 3b dan Gambar 3c), sampel yang dihasilkan memiliki
struktur berpori yang memiliki interkonektivitas. Pada sampel Mg5Ca2, porositas yang
dihasilkan lebih besar, sedangkan pada sampel Mg0Ca1 (Gambar 3c) dihasilkan porositas
yang lebih halus tetapi serupa. Hal ini menunjukkan bahwa CaH2 dapat berfungsi dengan baik
sebagai foaming agent.

KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat dibuat master alloy Mg-Ca dengan
menggunakan Magnesium murni ditambahkan dengan Kalsium murni ataupun Kalsium
hidrida. Penambahan Kalsium dapat mengurangi terbentuknya fasa MgO. Meski demikian,
penambahan Kalsium ataupun Kalsium hidrida akan membentuk fasa Mg2Ca yang tidak
diinginkan. Untuk itu, Perlu dilakukan studi lebih lanjut optimasi proses dan komposisi
Kalsium agar fasa MgO tidak terbentuk dan fasa Mg2Ca dapat diminimalisasi. Pada penelitian
kali ini, juga terlihat bahwa penambahan kalsium hidrida dapat digunakan untuk membentuk
paduan logam selular yang memiliki interkonektivitas.

UCAPAN TERIMA KASIH


Kami mengucapkan terimakasih kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang
telah mendanai kegiatan penelitian ini melalui kompetitif LIPI 2014.

Daftar Referensi
[1] Y.F. Zheng. et al. 2014. Biodegradable metals. Materials Science and Engineering: R:
Reports, 77(0): 1-34.
[2] H. Zhuang. et al. 2008. Preparation, mechanical properties and in vitro biodegradation
of porous magnesium scaffolds. Materials Science and Engineering: C, 28(8): 1462-
1466.
[3] T. Lei. et al. 2012. On the corrosion behaviour of newly developed biodegradable Mg-
based metal matrix composites produced by in situ reaction. Corrosion Science, 54(0):
270-277.
[4] Wasiur-Rahman, S. et al. 2009. Critical assessment and thermodynamic modeling of the
binary Mg–Zn, Ca–Zn and ternary Mg–Ca–Zn systems. Intermetallics, 17(10): 847-864.
[5] Staiger, M.P. et al. 2006. Magnesium and its alloys as orthopedic biomaterials: A
review. Biomaterials, 27(9): 1728-1734.
[6] Wolff, M. et al. 2010. Sintering of Magnesium. Advanced Engineering Materials,
12(9): 829-836.
[7] Y.F. Zhao. et al. 2014. High strength Mg–Zn–Ca alloys prepared by atomization and
hot pressing process. Materials Letters, 118(0): 55-58.

202  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
[8] Kartika, I. et al. 2014. Characteristics of Mg-Ca-Zn Alloy Metallic Foam Based on Mg-
Zn-CaH2 System. Advanced Materials Research, 896: 267-271.
[9] Y. Sun. et al. 2012. Preparation and characterization of a new biomedical Mg–Zn–Ca
alloy. Materials & Design, 34(0): 58-64.
[10] Rubin, H. 2005. Degrees and kinds of selection in spontaneous neoplastic
transformation: An operational analysis. Proceedings of the National Academy of
Sciences of the United States of America, 102(26): 9276-9281.
[11] Rubin, H. 2005. Magnesium: The missing element in molecular views of cell
proliferation control. BioEssays, 27(3): 311-320.
[12] Z Li. et al. 2008. The development of binary Mg–Ca alloys for use as biodegradable
materials within bone. Biomaterials, 29(10): 1329-1344.
[13] H.X Wang. et al. 2010. In vitro degradation and mechanical integrity of Mg–Zn–Ca
alloy coated with Ca-deficient hydroxyapatite by the pulse electrodeposition process.
Acta Biomaterialia, 6(5): 1743-1748.
[14] N Li. et al. 2013. Novel Magnesium Alloys Developed for Biomedical Application: A
Review. Journal of Materials Science & Technology, 29(6): 489-502.
[15] Rad, H.R.B. et al. 2012. Microstructure analysis and corrosion behavior of
biodegradable Mg–Ca implant alloys. Materials & Design, 33(0): 88-97.
[16] S. Zhang. et al. 2010. Research on an Mg–Zn alloy as a degradable biomaterial. Acta
Biomaterialia, 6(2): 626-640.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     203 
204  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
PROSES PEMBUATAN BESI SPONGE
DENGAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI ROTARY KILN

Iwan Dwi Antoro*, Rahardjo Binudi, Adil Jamali, Daniel P Malau


Pusat Penelitian Metalurgi dan Material - LIPI
Kawasan Puspiptek Gedung 470, Tangerang Selatan 15314
*E-Mail: iwanda01@yahoo.com

Abstrak
Rotary kiln merupakan salah satu peralatan yang telah lama digunakan untuk memproduksi besi
Sponge. Disini akan dijelaskan beberapa proses pembuatan besi sponge dengan menggunakan rotary kiln,
diantaranya proses Krupp-Renn, Proses Krupp-CODIR, proses SL/RN dan proses ACCAR. Rotary kiln dipilih
karena dapat digunakan untuk proses kontinyu. Reduksi langsung bijih besi menjadi besi sponge dengan
menggunakan teknologi rotary kiln telah diterapkan secara luas dan komersial di beberapa Negara. Hal ini
tidak terlepas dari keunggulan yang dimiliki oleh teknologi rotary kiln dibandingkan dengan teknologi
pesaingnya. Keunggulan teknologi rotary kiln baik dari sisi proses maupun dari sisi produk dijelaskan di sini.
Selain keunggulan yang dimilikinya, rotary kiln juga masih mempunyai kelemahan. Kelemahan rotary kiln baik
dari sisi proses maupun dari sisi produk yang dihasilkan juga diuraikan.

Kata kunci: Rotary kiln, Besi sponge/ DRI (Direct Reduction Iron), Krupp-Renn, Krup-CODIR, Proses ACCAR,
Proses SL/RN.

PENDAHULUAN
Teknologi pembuatan DRI dengan menggunakan rotary kiln sudah sejak lama
diaplikasikan secara komersial oleh dunia industri pengolahan bijih besi di beberapa negara.
India, Venezuela, Meksiko, dan Iran merupakan empat negara penghasil DRI terbesar di
dunia. India merupakan negara pengahasil DRI terbesar dengan menggunakan teknologi
rotary kiln-nya.
Dengan diimplementasikannya Undang-Undang Minerba No. 4 tahun 2009,
diharapkan akan terus mendorong tumbuhnya industri pengolahan mineral di dalam negeri.
Industri pengolahan bijih besi kadar rendah menjadi DRI di indonesia belum bisa dibilang
banyak. Contoh industri yang bergerak dalam bidang pengolahan bijih besi kadar rendah
menjadi DRI adalah PT. Meratus Jaya di Kalimantan Selatan. Industri sejenis juga mulai
tumbuh di daerah lainnya. Tentu saat ini belum bisa dibandingkan dengan negara-negara yang
memang sudah lama mengaplikasikan teknologi rotary kiln untuk memproduksi DRI seperti
India, Venezuela, dan lainnya.
Indonesia boleh dikatakan baru memulai langkahnya dalam memproduksi DRI dengan
menggunakan teknologi rotary kiln. Karenanya penelitian dalam bidang ini seharusnya
menjadi salah satu langkah awal yang harus dilakukan. Untungnya kita tidak perlu memulai
dari nol karena teknologi ini sudah matang dan digunakan secara luas di dunia. Penelitian
yang dilakukan terkait dengan pemilihan proses mana yang cocok dengan karakteristik bijih
besi dan juga dengan sumber daya yang tersedia di Indonesia.
Tulisan ini akan mencoba mengulas beberapa proses yang digunakan dalam teknologi
rotary kiln untuk memproduksi DRI, seperti proses Krupp-Renn, Proses Krupp-CODIR,
proses SL/RN dan proses ACCAR. Selain itu juga akan disampaikan beberapa keunggulan dan
kelemahan teknologi rotary kiln dibandingkan dengan teknologi pesaingnya.

Proses pembuatan DRI dengan Rotary Kiln


Beberapa proses yang telah digunakan untuk memproduksi besi sponge dengan
menggunakan rotary kiln antara lain: Krupp-Renn, SL/RN, KRUPP-CODIR, ACCARDRC.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     205 
Proses Krupp-Renn
Proses Krupp-Renn dikembangkan untuk mengolah bijih dengan kandungan silika
yang tinggi dengan rasio basisitas 0,2 sampai dengan 0,3 dengan penambahan kapur pada
proses reduksinya. Pada proses ini campuran bijih dan reduktor halus batubara diumpankan
secara kontinyu ke rotary kiln. Diagram alir dari proses Krupp-Renn disajikan pada
Gambar 1 berikut:

Gambar 1. Diagram alir proses Krupp-Renn.

Temperatur maksimum kiln dijaga pada 1230°C sampai dengan 1260°C, yang cukup
untuk mengubah gangue dalam bijih menjadi slag silika dengan kadar silika yang tinggi dan
juga untuk mempengaruhi besi sponge yang diperoleh dari reduksi bijih besi. Besi yang
tereduksi menggumpal menjadi nodule yang disebut “luppen” yang tercampur dengan slag.
Produk ini dikeluarkan dari kiln. Setelah pendinginan slag tersebut dipecah kemudian luppen
ini dipisahkan dari slag menggunakan magnetic separator (pemisah magnet). Perolehan besi
dalam luppen bervariasi dari 94% sampai dengan 97,5%.
Bijih dengan kandungan titania yang tinggi juga bisa digunakan dalam proses ini dan
besi dapat dipisahkan dari titania dengan menggunakan magnetic separator karena titania
tidak tereduksi pada temperatur proses Krupp-Renn.

Proses Krupp-CODIR
Proses ini mirip proses Krupp-Renn. Proses ini beroperasi pada temperatur yang lebih
rendah dari pada Krupp-Renn sehingga menghasilkan produk DRI standar. Lebih jauh, kapur
atau dolomit dalam tungku akan mengikat sulphur yang berasal dari bahan bakar.
Pada proses ini diperlukan bongkahan bijih atau pellet oksida, reduktor padatan,
dolomit atau kapur. Untuk rotary kiln dengan proses CODIR, zona pemanasan awalnya
berkisar 25% sampai dengan 40% panjang kiln. Diagram untuk proses Krupp-CODIR
ditampilkan pada Gambar 2.

206  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Gambar 2. Diagram alir proses Krupp-CODIR.

Energi panas primer dialirkan ke dalam kiln dengan pembakaran batubara yang
diinjeksikan pada bagian discharge kiln. Energi panas sekunder disediakan dengan
menginjeksikan udara ke dalam kiln melalui pipa yang dipasang sepanjang kiln. Udara
sekunder ini diinjeksikan secara aksial. Dengan cara ini profil temperatur yang seragam antara
950 dan 1050°C dapat dicapai.

Proses SL/RN
Pada proses ini diperlukan bijih bongkahan atau pellet, batu bara, recycled char, dan
fluks untuk mengikat sulphur dari batu bara. Pada daerah pemanasan awal kiln, umpan
dipanaskan pada temperatur 980°C dengan aliran gas berlawanan arah. Agar efisiensi kiln
tinggi, daerah pemanasan awal dibuat sependek mungkin biasanya 40 sampai dengan 50%
panjang kiln. Reduksi bermula ketika temperatur umpan mencapai 900°C lebih saat reaksi
gasifikasi karbon mulai menghasilkan CO. Untuk menjaga keseragaman temperatur zona
reduksi, udara ditiupkan ke dalam kiln secara aksial. Diagram alir untuk proses SL/RN
ditampilkan pada Gambar 3.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     207 
Gambar 3. Diagram alir proses SL/RN.

Padatan dikeluarkan dari rotary kiln melalui chute ke rotary cooler. Semprotan air ke
dinding cooler mengurangi temperatur padatan sampai dengan kira-kira 95°C dalam atmosfer
non-oksidasi.

Proses ACCAR
Proses ACCAR menghasilkan DRI dengan metalisasi yang tinggi dalam rotary kiln.
Sumber energi berupa cairan, padatan, dan gas secara individu atau kombinasi digunakan
secara langsung di dalam kiln dengan reformer eksternal atau plant gasifikasi. Kiln ACCAR
dilengkapi dengan sistem port dan katup yang disusun secara radial di sekeliling kiln dan
diberi jarak yang seragam sepanjang kiln, yang berfungsi untuk injeksi bahan bakar gas
ataupun cairan. Fleksibilitas penggunaan sumber energi ini diklaim sebagai keunggulan
proses ACCAR sebab memungkinkan pilihan penggunaan bahan bakar yang lebih ekonomis
dan tersedia.
Rotary kiln bisa beroperasi dengan kombinasi batubara dan bahan bakar cair. Bahan
bakar cair dapat diinjeksikan dibawah bed sepanjang 2/3 panjang kiln. Kiln dimodifikasi agar
memungkinkan penambahan batubara halus dari bagian discharge. Diagram alir untuk proses
ACCAR disajikan pada Gambar 4 berikut.

Gambar 4. Diagram alir proses ACCAR.

208  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Keunggulan dan Kelemahan Teknologi Rotary Kiln dalam pembuatan Besi Sponge
Proses reduksi langsung dengan menggunakan rotary kiln awalnya dilihat secara
pesimis sebab sudah ada beberapa proses yang ada sebelumnya yang muncul dan tenggelam
silih berganti dalam pembuatan besi sponge. Adanya fakta bahwa teknologi rotary kiln telah
muncul kembali untuk memproduksi besi sponge mengindikasikan teknologi ini mempunyai
keunggulan.

Gambar 5. Keseimbangan oksidasi dan reduksi dalam rotary kiln yang digunakan untuk
memproduksi besi sponge.
Keunggulan Proses
Proses rotary kiln harus bersaing terutama dengan proses shaft dalam pembuatan besi
sponge dan juga pada kasus tertentu bersaing dengan blast furnace pada iron making.
Dibandingkan dengan kedua teknologi tadi, rotary kiln mempunyai beberapa keunggulan, dan
juga keterbatasan, baik yang berhubungan dengan proses dan produk yang dibuatnya.
Keunggulan utama dari proses rotary kiln adalah:
(i) Rotary kiln dapat mengaduk material yang ada di dalamnya bersamaan dengan proses
pemanasan dan reduksi. Pengadukan tersebut membantu CO2 yang terbentuk terdilusi ke
dalam partikel bijih besi ataupun besi sponge dimana CO2 ini diperlukan untuk proses
reduksi berlangsung.
(ii) Ketika volume freeboard (ruang kosong/bebas) yang besar tersedia di atas muatan solid
(kira-kira 85%), rotary kiln dapat mentoleransi adanya campuran gas dan debu yang
dihasilkan dalam kiln. Pada proses shaft, timbulnya debu seperti itu dapat membawa
masalah choking (sumbatan) dan masalah channeling yang pada gilirannya akan
mengganggu proses.
(iii) Rotary kiln dapat melayani dua proses sekaligus: gasifikasi batubara dan mereduksi
bijih. Preparasi gas pereduksi dari batubara merupakan langkah mahal, yang muncul
pada komersialisasi gasifikasi batubara berbasis proses reduksi langsung. Karenanya,
proses reduksi menggunakan rotary kiln telah terbukti secara komersial layak, bahkan
dengan produktivitas yang rendah per unit volume. Gambar 5 secara skematis
menyajikan situasi di dalam kiln dimana keseimbangan dari zona reduksi di dalam
charge bed dan zona oksidasi pada freeboard yang selalu terjaga.
(iv) Dalam perbandingan dengan blast furnace, temperatur reduksi dari oksida besi jauh
lebih rendah di dalam rotary kiln (kira-kira 1000°C sementara pada blast furnace
temperatur reduksinya 1500 sampai dengan 2000°C). Ini berarti diperlukan energi yang
jauh lebih sedikit untuk membawa reaktan ke temperatur reaksi.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     209 
Keunggulan Produk
Sebagai tambahan keunggulan produk yang dihasilkan rotary kiln adalah:
(i) Kemudahan untuk melakukan desulpurisasi pada bijih besi pada saat pembuatan besi
sponge. Konsekuensinya besi sponge dengan kandungan sulpur yang jauh lebih rendah
dapat diproduksi dibandingkan dengan cairan logam yang terbentuk pada blast furnace.
Untuk proses shaft pembuatan besi sponge, proses desulpurisasi yang rumit pada gas
alam diperlukan untuk mencegah kerusakan katalis yang digunakan untuk reforming.
(ii) Besi sponge yang diproduksi dari rotary kiln berukuran seperti granul. Dengan ukuran
seperti itu, bisa diumpankan ke dalam tungku elektrik atau tungku pembuatan baja
lainnya secara kontinu, sehingga menghindari kebutuhan untuk membuka dan menutup
atap. Umpan secara kontinyu memungkinkan partial refining selama tahap melting
ketika partikel melewati lapisan slag ke dalam lapisan campuran. Jika energi peleburan
yang cukup tersedia, waktu refining, dan konsekuensinya waktu operasi dapat
dikurangi.

Kelemahan Proses
Selain keunggulan yang disebutkan di atas, rotary kiln mempunyai sejumlah
kelemahan. Kelemahan ini muncul ditengah rotary kiln telah diterima secara luas
penggunaannya. Kelemahan proses rotary kiln diantaranya:
(i) Rotary kiln mempunyai produktivitas yang sangat rendah. Tungku shaft memberikan
output lebih dari lima kali dari pada rotary kiln dengan volume inner yang sama.
(ii) Reaktor berputar membuat rotary kiln sulit untuk dilakukan kontrol proses dan kontrol
kualitas. Penghematan energi, seperti penggunaan pemanasan awal udara akan sulit
dilakukan. Untuk mencegah masuknya udara luar ke dalam kiln diperlukan sistem
perapat.
(iii) Proses reduksi dalam rotary kiln mempunyai efisiensi energi yang rendah. Energi yang
tersimpan dalam besi sponge berkisar 1,7 GCal tiap ton. Banyak energi yang keluar
pada gas buang (lebih dari 2 GCal per ton).
(iv) Proses reduksi langsung pada rotary kiln menghasilkan besi sponge berukuran halus
(-3mm) yang membuatnya agak sulit diumpankan ke tungku elektrik.

Kelemahan Produk
Besi sponge yang dibuat dengan rotary kiln mempunyai beberapa kelemahan sebagai
berikut:
(i) Untuk umpan ke tungku listrik dalam jumlah yang cukup, sistem umpan kontinyu perlu
dibuat. Ini berarti merupakan investasi tambahan untuk unit yang telah ada yang belum
mempunyai fasilitas ini.
(ii) Besi sponge dari rotary kiln mempunyai kandungan karbon yang jauh lebih rendah
(biasanya 0,2 %) dari pada kandungan karbon baik pada besi sponge yang dhasilkan
oleh tungku shaft (0,7 sampai dengan 2%) ataupun besi cair yang dihasilkan oleh blast
furnace. Karbon dalam besi sponge dapat mengurangi konsumsi listrik yang diperlukan
oleh tungku elektrik.
(iii) Besi sponge dari rotary kiln membawa lebih banyak pengotor berupa gangue dan
pospor dari pada pengotor yang dihasilkan oleh tungku shaft, terutama sebab tungku
shaft menggunakan input yang lebih bersih. Kandungan gangue dan pospor jauh lebih
tinggi daripada besi dan baja skrap, sehingga akan banyak pospor dan slag yang masuk
ke tungku elektrik.
(iv) Ketika kita membandingkan besi sponge dengan skrap dan pig iron, semua besi sponge
rentan terhadap reoksidasi dan produk tak terkecuali produk dari rotary kiln. Meskipun
demikian produk besi sponge dari rotary kiln kurang rentan terhadap reoksidasi dari
pada besi sponge dari tungku shaft yang menggunakan gas reforming.

210  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
KESIMPULAN
Teknologi rotary kiln untuk memproduksi DRI merupakan teknologi yang sudah
terbukti (proven) dan secara luas digunakan oleh dunia industri di berbagai negara. Meskipun
demikian, teknologi ini masih memiliki kelemahan baik dari sisi proses maupun produk yang
dihasilkannya. Keungulannya dibandingkan dengan teknologi pesaingnya telah menjadikan
teknologi rotary kiln menjadi pilihan untuk mengolah mineral bijih besi kadar rendah.

Daftar Referensi
[1] Dwi Antoro, Iwan dan Rahardjo Binudi. 2013. Percobaan pemanasan awal tanpa
beban pada rotary kiln. Prosiding Seminar Material Metalurgi 2013.
[2] Babich, D. Senk. et al. 2008. Ironmaking. RWTH Aachen University. Department of
Ferrous Metallurgy, Aachen.
[3] Iron making. 2014. http://ibm.nic.in/ch6.pdf, diakses tanggal 3 September 2014.
[4] Rotary Kiln Proses of Making Sponge Iron. 2014. Diakses tanggal 19 Agustus 2014,
http://www.newagepublishers.com/samplechapter/001741.pdf
[5] Tapash Ranjan Majhi. 2012. Modelling of Rotary Kiln for Sponge Iron Processing
Using CFD Package (ANSYS 13). Department of Chemical Engineering, National
Institute of Technology, India.
[6] Feinman, J. 1999. Direct Reduction and Smelting Process. The AISE Steel Foundation,
Pittsburgh.
[7] Finneran, J. A. et al. 1971. High Grade Reducing Gas for Metallurgical Applications.
AIME Ironmaking Conference Proceedings, Vol. 30.
[8] Whipp, R. H. and Kulberg. 1985. Operational Experience of the FIOR of Venezuela DR
Plant Production Shipping and Use of FIOR Briquettes. ISS Ironmaking Conference
Proceedings, 44: 282–295.
[9] Hassan, A. and Whipp, R.H. 1996. Finmet Process for Direct Reduction of Fine Ore.
GormanIntertech Iron and Steel Scrap and Scrap Substitutes Conference in
Georgia/Atlanta, March21–23. 1995 and March 5–7.
[10] Meyer, G. et al. 1972. The Krupp Sponge Iron Process –its products andapplications.
UNESCO Economic Commission for Europe Steel Committee, Seminars on Direct
Reduction of Iron Ore—Technical and Economic Aspects, Bucharest, Romania.
[11] Meyer, G. et al. 1997. Solid Fuel Reduction by the Krupp Sponge Iron Process with
Special Emphasis on Conditions in the USA. ISS Steelmaking Conference Proceedings,
36: 433–445.
[12] Stewart, A. and H. K Work. 1958. R-N Direct-reduction Process, Journal of Metals,
460–464.
[13] Sibakin, J. G. 1962. Development of the SL Direct-reduction Process. AISI Yearbook,
187–228.
[14] Meyer, K. et al. 1977. The SL/RN Process for Production of Metallized Burden, Journal
of Metals, 748–752.
[15] Bold, D. A. and Evans, N. T. 1977. Direct Reduction Down Under: The New Zealand
Story. Iron and Steel International, 146–152.
[16] Keran, V. P. et al. 1980. The Direct Reduction Corporation's Process Technology. ISS
Ironmaking Conference Proceedings, 39: 412–419.
[17] Rierson, D. W. and A. A Albert, Jr. 1977. Development of the ACCAR Process at Allis
Chalmers. ISS Iron making Conference Proceedings, 36: 455–467.
[18] Ferrari, R and F. Colautti. 1975. The Kinglor-Metor Process—Direct Reduction Using a
SolidReducing Agent. Iron and Steel Engineer, 57–60.
[19] Barbi, A. 1977. The Kinglor-Metor Process: Commercial Operation of the World’s
Smallest DRUnit. Iron and Steel International, 50: 229–236.
[20] Lepinski, J. A. 1993. The Fastmet Direct Reduction Process. ISS Ironmaking
Conference Proceedings, 52: 349–352.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     211 
[21] Miyagawa, K. et al. 1998. Development of the Fastmet As A New Direct Reduction
Process. ISS Ironmaking Conference Proceedings, 57: 877–881.
[22] Lehmkuler, H. J. et al. 1996. INMETCO Process: An Attractive Solution for coal Based
Direct Reduction of Ore fines. International Conferenceon Pre-Reduced Pellets and
Europe, Milan, Italy.
[23] Anon. 1983. The KR Process, Korf Technology for Production of Hot Metal and
Reducing Gason the Basis of Coal. Korf Engineering GmbH, June 1983.
[24] Braun, H. G. and Matthews, W. 1984. KR Process: A New Development in Ironmaking.
Ironand Steel Engineer, August 1984, 41–45.
[25] Inatani, T. 1991. The current Status of JISF Research on The Direct Iron-Ore Smelting
ReductionProcess. ISS Ironmaking Conference Proceedings, 50: 651–658.
[26] Wiberg, M. 1932. Method of Treating Solid Materials with Gases. U.S. Pat. 1849 561.
[27] Wiberg, M. 1940. Reduction of Iron Ore by Carbon Monoxide, Hydrogen and Methane.
Jernkontorets Annaler, 124: 179–212.
[28] Kanada, Y. et al. 1977. Direct Reduction Process for Recycling Steel Plant Waste Fines.
ISS Ironmaking Conference Proceedings, 36: 398–410.
[29] Saito, Y. 1975. Direct-Reduction Process for Recycling Steel Plant Waste Fines. ISS
IronmakingConference Proceedings, 34: 464–481.
[30] Cruse, C. L. et al. 1969. Development of Armco’s Direct Reduction Processes. Journal
of Metals, 21: 55–59.
[31] Labee, C. J. 1974. Iron and Steel Engineer, 51: 73–75.
[32] Muraki, J. 1979. Operation of the Nippon Steel Direct Reduction 500T/D
Demonstration Plant. ISS Ironmaking Conference Proceedings, 38: 266–276.

212  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
PENGARUH PENAMBAHAN SERBUK ALUMINA
PADA POLYURETHANE EPOXY SEBAGAI BAHAN MATCHING
LAYER PADA PROBE ULTRASONIK

M. Rosyid Ridlo
Pusat Penelitian Fisika, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang Selatan
E-Mail: rosyid325@yahoo.com

Abstrak
Ketidak sesuaian impedansi akustik pada antarmuka (interface) bahan piezoelektrik dengan medium
objek akan mengurangi sejumlah energi ultrasonik yang diteruskan ke medium tersebut. Oleh karenanya,
matching layer merupakan bagian tranduser yang sangat penting. Pada penelitian ini telah dibuat bahan
matching layer untuk digunakan pada probe ultrasonik berupa komposit yaitu campuran serbuk alumina Al2O3
dengan polyurethane epoxy. Penambahan Al2O3 kedalam polyurethane epoxy berpengaruh besar terhadap
perubahan impedansi akustik dan koefisien atenuasi. Pada 30% volume alumina nilai impedansi akustik bahan
matching layer sebesar 4 Mrayls dan koefisien atenuasi sebesar 30 dB//MHz/cm. Pada komposisi ini, bahan
matching layer dicoba diaplikasikan untuk membangun probe ultrasonik elemen tunggal. Probe tersebut
menggunakan bahan piezoelektrik PZT/epoxy yang memiliki nilai akustik impedansi sebesar 8 Mrayls.

Kata kunci: Bahan matching layer, Transduser, Impedansi akustik, Atenuase, Probe, PZT, Piezoelektrik.

PENDAHULUAN
Impedansi akustik jaringan tubuh bernilai sekitar 1,5 Mrayls. Sedangkan bahan
piezoelektrik memiliki nilai jauh diatas nilai tersebut. Untuk bahan PZT murni nilainya
mencapai 30 Mrayls dan bahan piezokomposit bernilai sekitar 10 Mrayls.[1] Bahan bahan itu
umumnya digunakan dalam sebuah probe ultrasonik. Pada aplikasi ultrasonografi (USG),
perbedaan nilai yang cukup lebar ini berakibat pada penurunan energi ultrasonik yang masuk
ke jaringan tubuh. Untuk mengatasinya dibuatlah lapisan penyesuai (matching layer) yang
diletakkan antara bahan piezoelektrik dengan jaringan tubuh. Bahan ini nilai impedansi
akustiknya diantara nilai impedansi akustik piezoelektrik Z2 dan jaringan tubuh Z1. Bilai Z1
bernilai jauh lebih kecil dari Z2 maka besar koefisien transmisi T (pers.1) menjadi kecil.
Namun bila menggunakan matching layer tentu energi yang masuk ke tubuh menjadi cukup
besar.
Koefisien transmisi, (1)
    

Letak matching layer di dalam sebuah probe diilustrasikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Letak matching layer pada sebuah probe ultrasonik.

Sebuah probe ultrasonik tersusun atas beberapa komponen material yaitu bahan
piezoelektrik, bahan peredam (damping materials) dan bahan untuk matching layer.[2] Bahan
matching layer umumnya berupa komposit dengan matrik adalah polimer yang memiliki

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     213 
koefisien atenuasi atau absorbsi yang tinggi. Filler nya berupa logam atau keramik sebagai
agen yang dapat meningkatkan impedansi akustik bahan matriknya. Syarat bahan matching
layer adalah memilki koefisien attenuasi yang rendah dan nilai impedansi akusitiknya sama
atau mendekati bahan piezoelektrik.[3] Karakteristik yang optimal dapat diperoleh dengan
mengatur fraksi volume dari filler. Pada penelitian ini dilakukan fabrikasi dan karakterisasi
bahan matching layer dan kemudian diuji performansinya dalam sebuah probe. Sebagai
matrik digunakan polyurethane epoxy dan dengan filler adalah serbuk alumina Al2O3. Bahan
piezoelektrik yang digunakan adalah piezo komposit PZT/epoxy yang merupakan hasil
penelitian yang dilakukan sebelumnya.[4]

METODE PERCOBAAN
Bahan matching layer dibuat dengan cara mencampurkan polyurethan epoxy dengan
serbuk Al2O3 (α alumina powder, Sumitomo Co Ltd).[5] Pencampuran dilakukan dengan
pelarut ethanol dan diaduk menggunakan magnetik stirrer selama 30 menit. Dilanjutkan
dengan proses pengeringan pada suhu 80°C serta pencetakan berbentuk pellet diameter 10
mm, tebal 1 mm menggunakan mesin press tekanan 1 Mpa. Perbandingan pencampuran
didasarkan atas persen volume, dari 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, 60% hingga 70% vol. Al2O3.
Proses karakterisasi dilakukan untuk setiap sampel dengan mengukur besar impedansi akustik
dan koefisien atenuasi nya. Impedansi akustik adalah perkalian antara densitas dengan besar
cepat rambat gelombang ultrasonik yang menjalar melalui bahan tersebut.[6] Cepat rambat
diukur menggunakan ultrasonics thickness gauge meter (AR860, Intell Instruments Pro) yang
outputnya dihubungkan dengan osiloskop. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan
metoda transmit time (Gambar 2).

Gambar 2. Metoda transmit time, a) Skematik gelombang dalam osiloskop,


b) Perhitungan cepat rambat gelombang v= 2S/T.

Sementara koefisen atenuasi diukur dengan membandingkan besar antara intesitas


gelombang ultrasonik saat masuk dengan gelombang pantulan dari sisi permukaan bahan yang
berhadapan (Gambar 3). Koefisien attenuasi di rumuskan[7]:

Koefisien atenuasi = 1/2d . 20 ln[ I0 / I1 ] (2)

dengan d adalah tebal sampel, I0 Intensitas awal dan I1 intensitas gelombang pantul.

Gambar 3. Skematik metoda pengukuran koefisien atenuasi bahan matching layer;


a) Arah gel. ultrasonik dalam sampel bahan matching layer;
b) Tampilan gel. ultrasonik di osiloskop.

Bahan piezoelektrik yang digunakan adalah piezo komposit yang merupakan


campuran bahan PZT dengan bahan polimer epoxy. Proses pembuatanya dimulai dari

214  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
pembuatan serbuk PZT menggunakan metoda sol-gel, cetak pellet dengan hot press,
kemudian proses poling.[8,9,10] Dari hasil karakterisasi dipilih salah satu sampel yang memiliki
karakteristik yang optimal untuk digunakan dalam rancangan probe yang dibuat. Unjuk kerja
probe diuji dengan memberi getaran ultrasonik pada probe yang dihubungkan dengan
osiloskop (Gambar 4).

Gambar 4. Pengujian probe dengan bahan mathing layer serbuk Al2O3 dalam polyurethane
epoxy.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Gambar 5 merupakan hasil foto mikroskop optik digital permukan bahan matching
layer. Terlihat pada gambar tersebut serbuk alumina tersebar cukup merata dalam
polyurethane epoxy.

Gambar 5. Sebaran serbuk Al2O3 30% vol. dalam polyurethan epoxy.

Dari hasil data pengukuran impedansi akustik dan koefisien atenuasi bahan matching
layer yang ditampilkan pada Gambar 6, menunjukkan dengan penambahan fraksi volume
Al2O3 nilai akustik impedansi menjadi lebih besar sementara nilai koefisen atenuasi menurun.
Polyurethane epoxy memiliki daya serap tinggi terhadap gelombang ultrasonik. Meski tidak
setinggi bahan untuk peredam (damping materials) semisal silicon rubber, dengan
penambahan jumlah filler serbuk keramik maka fraksi volume polyurethane epoxy berkurang
yang berakibat daya serap atau koefisien attenuasi menurun. Dilain pihak, serbuk alumina
yang lebih padat dari pada polyurethane dapat menjalarkan gelombang ultrasonik lebih
mudah. Karena impedansi akustik sebanding dengan kecepatan jalar gelombang ultrasonik,
maka nilai impedansi akustik meningkat seiring bertambahnya jumlah serbuk alumina.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     215 
120 60

Koefisien attenuasi dB/MHz/cm
Akustik Impedansi Mrayls
100 50
80 40
60 30
akustik impedansi
40 20
Atenuasi
20 10
0 0
0 20 40 60 80
% vol .Al2O3 dalam polyurethan epoxy

Gambar 6. Akustik impedansi dan koefisien atenuasi matching layer.

Untuk menguji apakah bahan peredam dapat digunakan secara baik maka pada
percobaan berikut ini dipilih bahan matching layer dengan konten 30% vol Al2O3 yang
memiliki nilai akusitik impedansi 4 Mrayls dan koefisein atenuasi 30 dB/cm. Pemilihan ini
disesuaikan dengan karakteristik bahan piezoelektrik yang digunakan yaitu memiliki
impedansi akustik sebesar 8 Mrayls.
Berikut komponen material penyusun probe yang dibuat (Gambar 7): Casing terbuat
dari kuningan/stainless steel. Bahan piezoelektrik berupa piezo komposit PZT/Epoxy , bahan
peredam: Al2O3 (40% vol) + Silicon rubber dan bahan Matching Layer: Al2O3 ( 30% vol) +
Polyurethane Epoxy.

Gambar 7. Prototipe probe yang telah dibuat.

Probe yang telah dibuat diuji dengan memberikan gelombang ultrasonik dari sumber
ultrasonik lain ditempelkan pada probe sementara kabel listrik probe disambungkan ke
osiloskop. Hasilnya, probe merespon gelombang ultrasonik dengan mengkonversinya menjadi
sinyal listrik di osiloskop seperti ditunjukkan Gambar 8 sebelah kiri. Sinyal ini dapat dilihat
dalam domain frekuensi menggunakan program FFT seperti Gambar 8 sebelah kanan dengan
frekwensi pusat sekitar 1,95 MHz.

Gambar 8. Gelombang ultrasonik pada osiloskop (kiri) dan Fast Fourier Transform
(kanan) dari probe yang telah dibuat.

216  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
KESIMPULAN
Bahan matching layer komposit Al2O3 dalam polyurethane epoxy telah berhasil
difabrikasi. Sejumlah serbuk alumina Al2O3, yang ditambahkan dalam campuran dapat
mempertinggi nilai impedansi akustik dan menurunkan nilai koefisien atenuasinya. Pada
komposisi 30% volume alumina bahan matching layer memiliki nilai impedansi akustik
sebesar 4 Mrayls dan koefisien atenuasi sebesar 30 dB/MHz/cm. Ketika diaplikasikan dalam
probe ultrasonik yang berbahan piezoelektrik PZT/epoxy dapat memberiikan respon sinyal
ultrasonik dengan center frekuensi sekitar 1,95 MHz.

Daftar Referensi
[1] Thamjaree, W. et al. 2005. Fabrication of combination 0-3 and 1-3 connection
PZT/epoxy resin composite. Appl. Phys. A, 81: 1419-1422.
[2] El Tantawy and Sung Y. K. 2003. A novel ultrasonic transducer backing from porous
epoxy-resin–titanioum-silane coupling agent and plasticizer composites. Materials
Letters, 58: 154-158.
[3] Smith, W. A. 1986. Composite piezoelectric materials for medical ultrasonic imaging
transducers. Proc.IEEE int symposium on appl. of Ferroelectric, 249-256.
[4] Ridlo, M. Rosyid. et al. 2010. Synthesis of Nano Powder PZT using Modified Sol Gel
Method. Proc. National Seminar Metalurgy, P2M-LIPI, Puspiptek.
[5] Achenbach, D. 1984. Wave propagation in elastic solid. North Holland Amsterdam.
[6] Cannata, Jon. et al. Development of high frequency transducer for medical imaging.
NIH center for medical ultrasonic, Biomedical engineering dep. Univ. Of Southern
California.
[7] W. S, Lester. 1998. Fundamentals of ultrasonic nondestructive evaluation, a modeling
approach. Plenum Press, New York and London
[8] Ridlo, M. Rosyid. et al. 2010. Medical Image Sensor Based On PZT/PVDF Nano
Piezocomposite. South East Asian Congress of Medical Physics, Bandung Des. 11.
[9] Ridlo, M. Rosyid. et al. 2012. Poling Process Optimization of Piezo Nano Composite
PZT/polimer. Proc. International Seminar ICTAP-2, Palangkaraya.
[10] Zhang. et al. 2008. Structural and electrical properties of PZT/PVDF piezoelectric
nanocomposite prepared by cold press and hot press. Chin. phys. lett, 25(12): 4410.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     217 
218  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
PENGARUH ARUS PROTEKSI TERHADAP KOROSI BAJA
TULANGAN BETON DI LINGKUNGAN AIR LAUT
MENGGUNAKAN ANODA MMO-Ti-BETON KONDUKTIF

Moch. Syaiful Anwar*, Sundjono, Harsisto


Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI
Kawasan PUSPIPTEK Gedung 470, Setu, Tangerang Selatan 15314
*E-Mail: moch026@lipi.go.id

Abstrak
Pengaruh aplikasi arus proteksi terhadap korosi baja tulangan beton di lingkungan air laut telah
disajikan pada tulisan ini. Anoda yang dipakai pada penelitian ini terbuat dari semen, pasir, serat karbon dan
MMO-Ti sebagai anoda primer. Arus proteksi yang digunakan adalah 100, 150, dan 200 mA/m2. 100 mV
potential decay digunakan sebagai uji dari proteksi katodik pada baja tulangan beton. Tafel polarisasi
merupakan uji kedua yang digunakan untuk monitoring apakah proteksi katodik sistem arus proteksi ini telah
berfungsi dengan baik setelah 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada saat arus proteksi dihilangkan
selama 24 jam, benda uji yang telah dialiri arus proteksi 150 mA/m2 dapat menaikkan nilai potensial korosi
mulai dari -379 mV (resiko korosifitas tinggi) menjadi -154 mV (resiko korosifitas sedang) dan dapat
menurunkan nilai laju korosi mulai dari 2,33 µm/tahun menjadi 0,51 µm/tahun.

Kata kunci: Proteksi katodik, Arus proteksi, Anoda, MMO-Ti, Beton konduktif, Potensial korosi, Laju korosi.

PENDAHULUAN
Proteksi katodik merupakan salah satu dari perlindungan struktur logam yang
tertimbun di tanah maupun yang terendam air terhadap serangan korosi. Proteksi katodik ini
telah diaplikasikan untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi pada lambung kapal, pipa yang
tertimbun di tanah dan baja tulangan beton.[1] Selain memperbaiki kerusakan, proteksi katodik
ini juga dapat mencegah terjadinya korosi pada struktur logam baru seperti struktur baja
tulangan beton yang ada di udara terbuka maupun tertimbun di tanah.
Prinsip dari proteksi katodik ini adalah mengaplikasikan arus DC ke baja tulangan
beton sehingga tercapai potensial baja lebih negatif daripada potensial korosi alami (Ecorr)
baja. Arus DC bisa berasal dari perbedaan voltage (potensial) antara logam yang dilindungi
dengan logam yang sebagai anoda, disebut dengan proteksi katodik dengan sistem anoda
korban. Arus DC juga dapat diperoleh dari power supply yang dialirkan melalui logam inert
sebagai anoda ke baja tulangan beton, disebut dengan proteksi katodik dengan sistem arus
proteksi.[2,3] Karena beton merupakan bahan yang memiliki resistivitas tinggi dan susunan
tulangan beton rumit maka pemilihan proteksi katodik lebih baik menggunakan sistem arus
proteksi.[4]
Pada dekade ini telah dilakukan pengembangan proteksi katodik sistem arus proteksi
dengan memakai sistem anoda yang terdiri dari logam inert dan beton konduktif. Beton
konduktif mengandung bahan konduktif (fiber baja atau serbuk karbon) yang dicampur pada
saat pengadukan sehingga dapat membawa arus dari logam inert menuju logam yang
dilindungi.[5]
Pada tulisan ini, sistem anoda terdiri dari anoda primer dan anoda sekunder. MMO-Ti
yang ditanam di beton konduktif sebagai anoda primer sedangkan beton konduktif terdiri dari
serat karbon, semen dan pasir sebagai anoda sekunder. Potensial korosi dan laju korosi baja
tulangan beton yang direndam didalam air laut dievaluasi sebelum dan sesudah diaplikasikan
proteksi katodik sistem arus proteksi/tanding (Impress Current Cathodic Protection).

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     219 
METODE PERCOBAAN

Bahan-bahan percobaan
Polyacrylonitrile (PAN) based carbon fibres (CF) dengan panjang 6 mm digunakan
sebagai filler konduktif. Semen yang dipakai adalah Portland Pozzolana cement sesuai
dengan SNI 15032-2004 jenis IP-U. Pasir alam digunakan sebagai agregat dengan ukuran
kurang dari 4,76 mm. Air yang digunakan untuk mengaduk semen dan pasir adalah air keran.
Pembuatan beton bertulang memakai proporsi campuran 1:3:0,8 (dari berat) untuk semen,
pasir alam dan air keran. Pembuatan anoda sekunder memakai proporsi campuran 1:1:0,5
(dari berat) untuk semen, pasir alam dan air keran. MMO-Ti strip sebagai anoda primer
memiliki dimensi lebar 6,35 mm, tebal 0,6 mm dimana tebal lapisan MMO (Mix Metal Oxide)
tersebut adalah antara 39,11 µm sampai 46,68 µm. Gambar SEM dari MMO-Ti ditunjukkan
pada Gambar 1. Komposisi kimia dari lapisan MMO ditunjukan pada Tabel 1.

Gambar 1. SEM MMO-Ti sebelum ditanam di anoda sekunder.

Tabel 1. Komposisi Kimia Lapisan MMO (Mix Metal Oxide)


Unsur (% massa)
Ti 98,59
Ta 1,26
Ir 0,15

Pembuatan benda uji


Beton bertulang berbentuk tabung dengan ukuran diameter 6 cm dan tinggi 25 cm.
Baja tulangan ulir yang memiliki diameter 1,9 cm dan tinggi 25 cm ditempatkan di tengah-
tengah beton dan ditanam di beton sampai ketinggian 23 cm dimana luas area yang terekspos
adalah 140 cm2. Komposisi kimia baja tulangan ulir ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kimia baja tulangan ulir diameter 1,9 cm


Unsur C Si S P Mn Ni Cr Mo V
Kadar
0,32 0,19 0,01 0,006 0,52 0,05 0,22 0,009 0,006
(% berat)
Unsur Cu W Ti Sn Al Pb Nb Zr Zn Fe
Kadar 0,2 0,007 0,003 0,021 0,007 0,017 0,007 0,007 0,053 98,34
(% berat)

220  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Proses curing dilakukan setelah dari didalam air kapur jenuh selama 28 hari. Setelah
itu, benda uji beton diletakkan di udara terbuka. Kemudian sistem anoda (beton konduktif dan
MMO-Ti) diaplikasikan/dicor pada permukaan beton bertulang dengan ketebalan 10 mm.
Setelah itu, benda uji tersebut dilakukan proses curing lagi selama 7 hari. Gambar benda uji
ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Benda uji: a) beton bertulang, b) beton bertulang yang telah dilapisi oleh sistem
anoda (MMO-Ti + beton konduktif).

Pengujian

Open Circuit Potential (OCP)


Arus DC yang berasal dari power supply di on-kan pada masing-masing arus proteksi
(100, 150 dan 200 mA/m2 ) selama 30 menit. Setelah itu power supply di off-kan untuk
menguji potential decay dengan menggunakan teknik OCP menggunakan alat Gamry
Instruments Seri G750. Teknik OCP ini digunakan untuk monitoring proteksi katodik pada
baja tulangan beton yang disesuaikan dengan kriteria standar NACE SP0290. Standar ini
menjelaskan bahwa baja dalam kondisi terproteksi dapat dicapai ketika potential decay
minimum 100 mV selama periode antara 4 dan 24 jam setelah power supply di-off-kan dan
untuk menghindari terjadinya penggetasan hidrogen (hydrogen embrittlement) potensial pada
saat “off” (“instant-off” voltage) lebih besar dari -950 mV (SCE).

Potensial Korosi dan Laju Korosi


Beton bertulang yang dilapisi oleh sistem anoda kemudian direndam di air laut sampai
ketinggian 13,5 cm selama 24 jam. Air laut pada pengujian ini berasal dari pantai Ancol,
Jakarta. Pengukuran potensial korosi (Ecorr) dan laju korosi beton bertulang tersebut dilakukan
sebelum dan sesudah dialiri oleh arus proteksi 100, 150 dan 200 mA/m2 dengan metode Tafel
polarisasi menggunakan alat Gamry Instruments Seri G750 dengan parameter scan rate
sebesar 1,5 mV/s.

HASIL DAN PEMBAHASAN

100 mV Potential Decay


Gambar 3 menunjukkan uji 100 mV potential decay. Pada Gambar 3 menunjukkan
bahwa arus proteksi 100, 150 dan 200 mA/m2 yang dialirkan ke baja tulangan selama 30
menit (1800 detik) menghasilkan potensial korosi off (“instant-off” voltage) sebesar -675 mV;
-708,4 dan -760,3 mV. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi arus proteksi yang
dialirkan ke baja tulangan beton maka semakin rendah potensial korosi “off” yang dihasilkan.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     221 
Sedangkan potential decay yang dilakukan selama 4 jam dari “instant-off” voltage 4
jam menghasilkan potensial korosi sebesar -105,5 mV; -100 mV dan -109,4 mV untuk arus
proteksi 100, 150 dan 200 mA/m2. “Instant-off” voltage 4 jam dan potential decay pada
masing-masing benda uji menunjukkan bahwa hasil yang sesuai dengan kriteria standar
NACE SP0290. Hal ini mengindikasikan bahwa baja tulangan beton dalam keadaan
terproteksi.

Potensial Korosi (Ecorr)


Gambar 4 menunjukkan potensial korosi (Ecorr) pada beton bertulang tanpa dan
dengan dilapisi oleh sistem anoda, dan potential decay setelah 24 jam pada masing-masing
arus proteksi.
Pada Gambar 4 menunjukkan bahwa beton bertulang tanpa dilapisi oleh sistem anoda
memiliki nilai potensial korosi sebesar -379 mV sedangkan beton bertulang yang dilapisi oleh
sistem anoda memiliki nilai potensial korosi sebesar -322 mV. Hal tersebut disebabkan karena
masuknya klorida dari air laut ke baja tulangan beton yang terlapisi oleh sistem anoda lebih
sedikit daripada baja tulangan beton yang tidak dilapisi oleh sistem anoda sehingga potensial
korosi yang dihasilkannya lebih besar. Kemudian setelah dialirkan arus DC 100, 150 dan 200
mA/m2 pada benda uji beton bertulang+sistem anoda menghasilkan potential decay selama 24
jam sebesar -322, -154 dan -289 mV.
Kemungkinan terjadinya korosi pada besi tulangan beton dapat diketahui berdasarkan
nilai potensial korosinya yang mengacu pada ASTM C 876. Menurut ASTM C 876, potential
decay 24 jam pada benda uji yang dialiri arus proteksi 150 mA/m2 memiliki potensial korosi
-154 mV dimana potensial tersebut masuk dalam kategori korosi sedang.

Laju Korosi
Gambar 5 menunjukkan menunjukkan laju korosi pada beton bertulang tanpa dan
dengan dilapisi oleh sistem anoda, dan potential decay setelah 24 jam pada masing-masing
arus proteksi.
Pada Gambar 5 menunjukkan bahwa beton bertulang tanpa dilapisi oleh sistem anoda
memiliki laju korosi sebesar 2,33 µm/tahun sedangkan beton bertulang yang dilapisi oleh
sistem anoda memiliki laju korosi sebesar 0,67 µm/tahun. Kemudian setelah dialirkan arus
DC 100, 150 dan 200 mA/m2 pada benda uji beton bertulang + sistem anoda pada potential
decay selama 24 jam memiliki laju korosi sebesar 0,59; 0,51 dan 0,61 µm/tahun. Secara
keseluruhan, benda uji yang dialiri arus proteksi memiliki laju korosi yang lebih rendah
daripada tanpa arus proteksi.

Gambar 3. OCP pada saat: a) Diaplikasikan arus proteksi selama 30 menit, b) Power supply
di-off-kan untuk menguji potential decay selama 4 jam.

222  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Gambar 4. Potensial Korosi pada beton bertulang tanpa dan dengan sistem anoda (S.A.), dan
potential decay setelah 24 jam pada masing-masing arus proteksi.

Gambar 5. Laju Korosi pada beton bertulang tanpa dan dengan sistem anoda (S.A.), dan
potential decay setelah 24 jam pada masing-masing arus proteksi.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa proteksi katodik arus
proteksi/tanding dengan memakai sistem anoda beton konduktif telah berhasil memperbaiki
kerusakan baja tulangan beton yang direndam di air laut sesuai dengan kriteria NACE
SP0290.
Pengaruh arus proteksi yang dialirkan ke baja tulangan beton menjadikan potensial
baja tulangan menjadi lebih kecil (lebih negatif) daripada tanpa dialiri arus proteksi. Pada saat
Arus proteksi dihilangkan selama 24 jam, benda uji yang telah dialiri arus proteksi 150
mA/m2 dapat menaikkan nilai potensial korosi mulai dari -379 mV (resiko korosifitas tinggi)
menjadi -154 mV (resiko korosifitas sedang) dan dapat menurunkan nilai laju korosi mulai
dari 2,33 µm/tahun menjadi 0,51 µm/tahun.

Daftar Referensi
[1] CHESS, P. 1998. Corrosion in reinforced concrete structures. In: CHESS, P. (Ed.).
Cathodic protection of steel in concrete. London: E & FN Spon, 1-36.
[2] Page, C. L. 1997. Cathodic protection of reinforced concrete—Principles and
Applications, in: Proceedings of the International Conference on Repair of Concrete

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     223 
Structures. From Theory to Practice in a Marine Environment, Svolvear, Norway, 1997
(May 28–30), 123–131.
[3] Kranc, S. C. et al. 1997. Computational and experimental investigation of cathodic
protection distribution in reinforced concrete marine piling. Paper #231, Corrosion ’97,
NACE, Houston.
[4] Pedeferri, P. 1996. Cathodic protection and cathodic prevention. Constr. Build. Mater.,
10: 391402.
[5] Tuan, C. Y. and S. Yehia. 2004. Evaluation of Electrically Conducive Concrete
Containing Carbon Products for Deicing. ACI Materials Journal, 101(4): 287-293.

224  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
PENAMBAHAN MATERIAL PADA PEMBUATAN BATA MERAH
TANPA BAKAR UNTUK INDUSTRI KERAKYATAN

Muhammad Amin
UPT. Balai Pengolahan Mineral Lampung-LIPI
Jl. Ir. Sutami KM. 15 Tanjung Bintang Lampung Selatan
E-Mail: muha047@lipi.go.id

Abstrak
Proses pembuatan bata selama ini mengalami permasalahan pada proses pembuatan yang lama
karena harus melalui pembakaran lagi. Selama proses pembakaran masalah yang timbul adalah polusi udara
dan biaya yang dikeluarkan untuk membeli kayu bakar yang cukup mahal. Sehingga perlu dicarikan solusi untuk
pemecahan permasalahan tersebut yaitu dengan melakukan inovasi atau rekayasa material dengan penambahan
semen, pasir, abu sekam padi, kapur dan bijih besi dengan komposisi variasi. Dari hasil analisis material maka
semua material penambah memenuhi syarat karena sebagai pembentuk semen dan berdasarkan uji kualitas fisik
yang kuat tekan tertinggi pada komposisi I = 52,60 kg/cm2, uji berat jenis tertinggi pada komposisi
IV = 2,60 kg/cm3, uji porositas terendah pada komposisi I = 15%, bentuk dan ukuran semua persegi empat dan
sesuai standar yaitu190 x 95 x 50 mm. Sehingga dari keseluruhan pembuatan bata tanpa bakar telah
menyelesaikan masalah lamanya waktu proses pembuatan lebih singkat yaitu 3 hari, biaya produksi atau
pengeluaran menjadi murah Rp.196,84/bata, masalah polusi gas carbondioksida terhindari akibat pembakaran
dan kualitas bata yang dihasilkan sesuai dengan standar mutu menurut SNI dan ASTM.

Kata kunci: Batubata, Tanpa bakar, Kualitas mutu, Pengembangan.

PENDAHULUAN
Batu bata merupakan salah satu komponen yang sangat penting pada suatu bangunan.
Batu bata biasa digunakan sebagai komponen bahan utama dalam pembuading rumah atau
gedung, batu bata dipilih karena harganya yang relatif murah, mudah diperoleh, memiliki
kekuatan yang cukup tinggi, tahan terhadap cuaca karena cara pembuatannya dibakar dengan
suhu 800°C. Pembakaran batu bata menggunakan kayu bakar atau batubara hal ini dapat
menimbulkan polusi udara yang disebabkan timbulnya gas karbondioksida (CO2), selain itu
pembuatan batu bata juga dipengaruhi oleh cuaca karena apabila cuaca musim penghujan
maka akan mempengaruhi pembuatan bata dan produktivitas menurun. Pembakaran bata juga
akan mempengaruhi biaya pengeluaran karena harga kayu bakar dan batubara semakin mahal
dan semakin sulit didapat. Dilakukan pembuatan batubata tanpa bakar dengan bahan tanah liat
dicampur dengan limbah industri dan limbah pertanian, dengan maksud mengurangi polusi
udara yang diakibatkan dari hasil pembakaran. Limbah industri dan pertanian mempunyai
sifat seperti semen karena dapat menyatukan mineral-mineral limbah dengan tanah liat
sehingga bata tidak mudah pecah.[1]
Peluang utama dalam industri properti yaitu bata merah, dalam hal ini bata merah
tanpa bakar karena mempunyai beberapa keunggulan antara lain: lebih padat, lebih kuat, lebih
rapi, tahan berbagai cuaca, proses produksi cepat, harga jauh lebih baik, ramah lingkungan,
lebih hemat waktu, lahan dan tenaga.[2]
Fungsi bata merah dalam bangunan adalah sebagai penyekat, karenannya harus kuat,
untuk itu pembuatan bata merah dicampur dengan sekam padi karena bobot lebih ringan
dibandingkan dengan bata tanpa campuran sekam padi. Uji kualitas bata merah campur sekam
padi menunjukan uji kecerahan sama, uji serap air keduanya melebihi 20% seperti yang
disyaratkan karena rongga banyak, uji kuat tekan bata campuran menunjukan kekuatan
sebesar 51,12 kgf/cm2 sedangkan tanpa campuran hasil uji kekuatan bata yaitu kuat tekan
pada angka 48,57 kgf/cm2.[3]
Proses pembuatan bata merah berbahan dasar tanah liat dicetak dengan cetakan kayu
atau besi kemuidian hasil cetakan dibakar pada suhu tinggi, kemudian pembuatan bata

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     225 
dirubah dengan tanah liat bahan utama dicampur pasir (silica) dengan perbandingan tertentu
lalu ditambahkan air sedikit maka akan membentuk sifat plastis. Sifat plastis sangat penting
karena agar bata mudah dicetak, saat dikeringkan tanpa susut, tidak retak-retak dan tidak
melengkung. Penambahan pasir juga jangan terlalu banyak karena akan mempengaruhi bata
bersifat getas karena tak ada sifat lekat.[4]
Bata merah mempunyai standar baik dari ukuran maupun uji fisiknya, bata merah
harus mempunyai rusuk tajam dan siku, bidang sisi datar tidak retak-retak, ukuran standar
bata merah adalah panjang 230 mm, lebar 110 mm, dan tebal 50 mm dari standar ukuran
tersebut ada toleransi ukuran yaitu panjang maks 3%, lebar maks 4%, dan tebal maks 5%.
Bata merah yang diperjual belikan umumnya memiliki ketebalan 3-5 cm, lebar 7-11 cm,
panjang 17-22 cm dan berat 3 kg/biji.[5]
penambahan abu sekam padi pada campuran cenderung meningkatkan volume
campuran sehingga akan menambah bata yang akan dicetak. Kenaikan abu sekam padi
campuran cenderung membuat turun kuat tekan penambahan 5% abu kuat tekan dari bata
tersebut sebesar 4675 knewton/m2, penambahan 25% abu sekam padi kuat tekan turun
menjadi 1250 knewton/m2.[6]
Pembuatan batubata dengan bahan dasar tanah liat yang dicampur dengan abu limbah
tebu yang dicetak dengan menggunakan alat cetak terbuat dari besi.[7]
Selain tanah liat pembuatan batubata juga bisa ditambahkan pasir yang berfungsi
sebagai agregat.[8]

METODE PERCOBAAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi literature dan
metode eksperimen dengan cara membuat bata merah tanpa bakar yang dilakukan dengan
cara rekayasa serta inovasi material pembentuk selain tanah juga ditambahkan pasir, semen,
kapur, abu sekam padi dan besi oksida dan dicetak persegi panjang dengan ukuran standard
yaitu ukuran panjang 190, lebar 90, dan tebal 50 mm. Kualitas yang didapat memenuhi
persyaratan yang dibuktikan dengan uji fisik pada bata

Pengumpulan Data:
Untuk mendapatkan data dan diolah maka perlu diamati saat proses pembuatan dan
dilakukan pengujian fisik yaitu:
1. Uji Kuat Tekan, berupa Test Strength pada bata beton dengan prinsip menekan bata
beton pada luas permukaan (cm2) tertentu dengan beban tertentu (kg)
Rumus Kuat Tekan:

(kg/cm2) (1)

Dimana: P = Beban maksimum (kg)


A = Luas penampang bata beton (cm2)
2. Uji Porositas Air untuk Bata, berupa uji porositas dari bata beton dengan prinsip
perendaman pada air terhadap benda uji dengan waktu selama 24 jam dan
ditimbang benda uji tersebut.

(2)

Dimana: A = Berat Bata + Air terserap


B = Berat Bata beton kering
3. Uji Berat Jenis: Berupa pengujian berat jenisnya pada bata beton dengan prinsip
penimbangan berat bata beton dengan berat tertentu (kg) lalu di masukan dalam air

226  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
yang telah diketahui volume (ml), hitung selisih air sebelum dimasukan bata
dengan setelah dimasukan bata.

( gr/cm3) (3)

Dimana: m = massa dari bata


V = Selisih volume air
4. Uji Kadar Air, yaitu pengujian kandungan air yang ada di dalam bata dalam
pengeringan oven.

Rancangan percobaan dalam penelitian pembuatan bata tanpa bakar ini dimulai dari
pengumpulan bahan baku yaitu tanah liat yang dilakukan preparasi dengan mengecilkan
ukuran 2-4 cm, kapur dan abu dari sisa pembakaran sekam padi dilakukan penghalusan dan
diayak sampai ukuran didapat lolos mesh 20, bijih besi yang berfungsi member warna dan tak
mudah retak digiling halus dan diayak sampai lolos dan pasir yang kasar lolos mesh 10.
Kesemua bahan dilakukan komposisi penimbangan selanjutnya dilakukan pengadukan jadi
satu dan dibentuk adonan sambil ditambahkan air sedikit demisedikit, dicetak pada cetakan
besi atau kayu dengan ukuran 190x90x50 mm, dikeringkan pada sinar matahari selama 3 hari
dan kering, bata selanjutnya dilakukan uji fisikmengenai kualitas setelah dilakukan uji fisik
dan hasil bagus bata tanpa bakar siap digunakan. Untuk jelasnya rancangan percobaan
pembuatan bata tanpa bakar dapat dilihat pada gambar flow chart dibawah ini:

Gambar 1. Flow Chart Pembuatan Bata Tanpa Bakar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil-hasil penelitian

Tabel 1. Hasil Analisis Bahan Baku


UNSUR % HASIL ANALISIS KIMIA
KIMIA Tanah Semen Pasir Kapur Abu Biji Besi
SiO2 59,14 20-26 98,21 - 86-97 4-8
Al2O3 15,34 5-9 0,32 - - 2-4
Fe2O3 6,88 1-5 0,42 - 0,0-0,4 85-90
CaO / 5,08 58-65 <0,01 55,6 0,2-1,5 0,2-1
CaCO3

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     227 
Na2O 3,84 - 0,13 - 0,0-1,75 -
MgO 3,49 1-4 <0,01 0,03-0,48 0,12-1,5 0,5-1
K2O 1,13 - 0,07 - 0,58-2,5 -
TiO2 1,05 - 0,01 - - 0,5-2
H2O 1,15 - 0,02 - - <10
SO3 - 0,5-2 - - 01-1,13 0,005
P20 - - - - 0,2-2,84 -
Cl - - - - 0,0-0,42 -

Tabel 2. Komposisi Inovasi Material/Bahan Baku Percobaan


BAHAN % KOMPOSISI BAHAN
BAKU I II III IV V
Tanah 59,92 50 50 50 65
Semen 9,99 15 15 20 15
Pasir 29,96 30 30 25 19,85
Abu - 4,85 - - -
Kapur - 4,85 4,85 -
B.Besi 0,13 0,15 0,15 0,15 0,15

Tabel 3. Hasil Pengujian Fisik Bata Merah Tanpa Bakar


HASIL UJI FISIK KOMPOSISI
PENGUJIAN Bata I II III IV V
Biasa
Kuat Tekan 35,57 52,60 48,57 46,33 45,20 50,16
2
(kg/cm )
Porositas (%) 18 15 22 20 25 18
Berat Jenis 2,24 2,45 2,50 2,50 2,60 2,32
(gr/cm3)
Susut Bakar 5,16 3,52 4,73 4,97 4,32 4,56
(%)
Kadar Air 12,39 8,01 9,31 9,85 9,74 9,11
(%)
Segi Segi Segi Segi Segi Segi
Bentuk Empat Empat Empat Empat Empat Empat
Ukuran 160x82 190x90 190x90 190x90 190x90 190x90
PxLxT (mm) x33 x50 x50 x50 x50 x50
Lama Jemur 6 hr
Pengeringan dan bakar 3 hari 3 hari 3 hari 3 hari 3 hari
3 hari
Keterangan: P = Panjang, L = Lebar, T = Tebal

228  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Berikut adalah gambar-gambar proses pembuatan bata tanpa bakar:

Gambar 2. Proses Pengadukan Bahan Gambar 3. Alat Cetak Bata dari Besi
Baku. Dengan Ukuran 190x90x50mm.

Gambar 4. Proses Pencetakan Adonan Pada Gambar 5. Hasil Cetakan Bata Yang Siap
Cetakan Terbuat Dari Besi. Dijemur Pada Sinar Matahari selama 3 hari.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dalam hasil analisa bahan baku dapat dilihat pada Tabel 3 bahwa kandungan kimia
pada pasir yang dominan adalah kadar silika yaitu SiO2 sangat tinggi 98,2%, batu kapur
kandungan dominan adalah kadar kalsium CaO sebesar 55,6%, sedangkan tanah liat adalah
kadar silica (SiO2) dan alumina (Al2O3) yaitu sebesar 59,14% dan 15,34%. Sedangkan pada
abu sekam padi unsur dominan adalah silica (SiO2) sebesar 97%. Seperti diketahui bahwa
kesemua bahan tersebut adalah bahan baku dari pada semen sedangkan semen pada
penambahan bahan dikomposisi pembuatan bata tanpa bakar ini berfungsi untuk mempercepat
pengeringan terbukti bahwa waktu pengeringan yang dibutuhkan adalah setelah pencetakan
hanya 3 hari siap pakai, sedangkan bata dibakar total waktu setelah pencetakan dibutuhkan
waktu selama 9 hari yaitu penjemuran 6 hari dan pembakaran 3 hari nonstop, dengan begitu
dapat dikatakan bahwa penambahan semen, kapur, pasir dapat mengatasi masalah waktu
dalam pembuatan bata menjadi lebih singkat.
Dalam proses pembuatan bata dibakar akan membutuhkan proses pembakaran yang
menggunakan kayu dengan begitu ada waktu proses pembakaran, menimbulkan polusi udara
dan biaya untuk membeli kayu, sedangkan pada proses pembuatan bata tanpa bakar ini tidak
dibutuhkan proses pembakaran dengan begitu akan mengurangi masalah yang selam ini ada
yaitu tidak menimbulkan polusi udara, tidak membutuhkan biaya untuk pembelian kayu dan
tidak membutuhkan proses pembakaran
Dengan penembahan abu sekam padi pada bata maka limbah sekam padi dapat
dioptimalkan menjadi material yang berguna karena seperti diketahui abu sekam padi banyak
mengandung SiO2 sampai 97% sedangkan silica berfungsi sebagai agregat dan pengisi pori-
pori sehingga bata tidak mudah retak dan patah, akan tetapi karena abu sangat ringan maka

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     229 
volume adonan menjadi lebih banyak karena mengalami pengembangan dan mempermudah
dalam pengadukan.
Sedangkan batu kapur pada bata berfungsi untuk mengikat butir-butir tanah sehingga
ikatan menjadi lebih alot ini terbukti pada adonan komposisi yang terjadi adonan menjadi
lebih alot.
Dalam hasil uji fisik terlihat pada Tabel 6 bahwa kuat tekan pada komposisi I
melebihi dari komposisi yang lain yaitu sebesar 52,6 kg/cm2 hal ini dikarenakan pada
komposisi II, III dan IV ditambahkan abu sekam padi dan kapur yang bahan tersebut
diketahui mempunyai sifat ringan dan dapat memperbesar volume benda yang mengakibatkan
bata menjadi poros dan terlihat pada uji poros sehingga kuat tekan lebih rendah bila
dibandingkan dengan komposisi tanpa penambahan abu sekam dan kapur yaitu sebesar 45,20-
48,57 kg/cm2. Antara porositas berbading lurus dengan kuat tekan sehingga makin besar
porositas maka kuat tekan akan menjadi lebih rendah.
Untuk kuat tekan secara keseluruhan komposisi material pada bata mengalami
peningkatan bila dibandingkan dengan kuat tekan bata dibakar, pada bata bakar kuat tekan
sebesar 45,20 kg/cm2 sedangkan pada bata tanpa bakar antara 45,20 s/d 52,60 kg/cm2 hal ini
disebabkan pada bata tanpa bakar ditambahkan beberapa material lain selain tanah liat yang
mempunyai sifat menambah kekuatan semen, kapur, pasir atau abu sekam padi. Dengan
begitu maka penambahan material diatas dapat merubah kualitas bata yang dari lemah dan
cepat patah menjadi kuat dan tak mudah patah dan memenuhi persyaratan standar yaitu min
20 kg/cm2.
Untuk berat jenis terlihat bahwa komposisi bata tanpa bakar lebih tinggi dibanding
dengan bata dibakar hal ini karena penambahan beberapa material yang bersifat padat yaitu
semen dan pasir. Diantara ke lima komposisi penambahan material yang lebih rendah ada
pada komposisi V karena tanah liat yang dipakai lebih banyak 65% sedangkan pasir hanya
19,85%.
Dengan cepatnya proses pembuatan bata tanpa bakar selama 3 hari maka jumlah
produksi akan meningkat disebabkan tidak mengalami penjemuran yang terlalu lama dan
tidak mengalami proses pembakaran sehingga sisa waktu yang ada dapat digunakan untuk
melakukan pencetakan bata sehingga produktifitas akan meningkat.

KESIMPULAN
1. Proses pembuatan bata tanpa bakar dapat memecahkan masalah mengenai lamanya waktu
dan proses pembuatan dengan jalan melakukan inovasi material dengan penambahan
bahan semen, kapur, pasir, abu sekam padi, dan bijih besi dengan waktu proses selama 3
hari, dengan kata lain selama ini membuat bata 9 hari. Dari adanya proses pembakaran
menjadi tidak ada.
2. Proses pembuatan bata tanpa bakar dapat mengurangi polusi yang ditimbulkan akibat
proses pembakaran pada bata emisi karbondioksida.
3. Proses pembuatan bata tanpa bakar dapat mengehmat biaya pengeluaran dikarenakan
tidak membeli kayu bakar untuk proses pembakaran.
4. Kualitas mutu bata tanpa bakar yang dihasilkan dengan 5 macam komposisi semuanya
telah lebih baik dari bata yang ada yaitu bata dibakar.
5. Produktifitas pembuatan bata meningkat disebabkan waktu yang dibutuhkan untuk
mencetak semakin banyak karena tak mengalami penjemuran lama dan tidak ada proses
pembakaran sehingga dapat menunjang industri berbasis kerakyatan yang ada dipedesaan

Daftar Referensi
[1] Tiga Mahasiswa Berhasil Cetak Batu Bata Tanpa Bakar, http://www.pikiran
rakyat.com, diakses tgl 17 Maret 2014.
[2] Mesin Bata Merah Tanpa Bakar Complete Line Bekasi. http://bekasi.olx.co.id, diakses
tgl.14 Maret 2014.

230  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
[3] Budi. S, Imam. 2012. Uji Kualitas Bata Merah Dengan Campuran Sekam Padi Di
daerah Ngetos Kabupaten Nganjuk. Fakultas Teknik UM.
[4] Swastikawati, Ari. 2012. Standar Pengujian Kualitas Bata Pengganti. Balai Konservasi
Peninggalan Borobudur.
[5] Anonim. Definisi Bata Merah, diakses tgl. 10 Maret 2014.
[6] Cristawan. 2010. Perlakuan Bahan Bata Merah Berserat Abu Sekam Padi. Teknik Sipil
Universitas Diponegoro. 2010, hal 1-3.
[7] Totok. N, Vicentus. 2009. Inovasi Batu Bata Dari Bahan Alternatif. ITS.
[8] Unsur Tambahan Dalam Pembuatan Batu Bata. http://www.batamerahgarut.com,
diakses tgl.15 Maret 2014.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     231 
232  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
SINTESIS NANOROD ZnO MENGGUNAKAN METODE SOL-GEL DAN
HIDROTERMAL DENGAN VARIASI TEKNIK PELAPISAN

Muhammad Yunan Hasbi1*, Amalia Sholehah2


1
Pusat Penelitian Metalurgi dan Material, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
2
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Cilegon-Banten
*E-Mail: muha135@lipi.go.id

Abstrak
Nanoteknologi merupakan pemanfaatan material berstruktur nano untuk dijadikan aplikasi yang lebih
berkualitas dibanding material ruah. Kunci utama kelebihan nanoteknologi terletak pada korelasi antara ukuran
dengan luas permukaan yang dihasilkan. Dengan ukuran yang semakin kecil, maka rasio luas permukaan
terhadap volume akan semakin besar. Penelitian ini membahas sintesis ZnO dengan perpaduan metode sol-gel
dan hidrotermal dengan tujuan membentuk struktur nano berbentuk batang (rod). Sintesis dilakukan
menggunakan zinc acetat dehydrate dengan pelarut 2-methoxyethanol (2MOE) dan monoethanolamine (MEA)
yang dilapiskan pada permukaan kaca preparat (substrat) dengan menggunakan dua teknik pelapisan yaitu dip-
coating dan spinning. Kemudian substrat dirangsang menggunakan larutan penumbuh berupa campuran antara
zinc nitrate hexahydrate (ZNH) dengan Hexamethylinetetramine (HMT). Dari hasil penelitian dihasilkan larutan
benih putih jernih dan setelah dilakukan karakterisasi menggunakan SEM menunjukkan bahwa batang nano
ZnO dapat terbentuk optimal dengan memiliki persebaran yang homogen dan berbentuk heksagonal serta
menunjukkan rerata diameter batang nano sebesar 588nm. Hasil pengamatan menggunakan XRD menunjukkan
bahwa senyawa yang terbentuk yaitu ZnO dengan membandingkan antara sampel hasil sintesis dengan sampel
serbuk murni ZnO. Selanjutnya penelitian ini dapat dikembangkan untuk berbagai aplikasi optoelektronik salah
satunya yaitu Dye Sensitizied Solar Cell (DSSC).

Kata kunci: Sol-gel, ZnO, Hidrotermal, Nanorod.

PENDAHULUAN
Nanoteknologi merupakan pemanfaatan material berstruktur nano untuk dijadikan
aplikasi yang memiliki sifat lebih baik dari material ruahnya. Keunggulan dari nanoteknologi
yaitu korelasi antara ukuran dengan rasio luas permukaan yang dihasilkan. Semakin kecil
ukuran yang diperoleh, maka akan meningkatkan rasio luas permukaan terhadap volume. Hal
tersebut tentu sangat berpengaruh terhadap interaski atomik dalam material nano tersebut.
ZnO merupakan material semikonduktor dengan struktur kristal berupa wurtzite, zinc
blend atau rocksalt. Wurzite merupakan fasa yang stabil pada kondisi temperatur kamar.
Sedangkan zinc blende memiliki kestabilan yang baik jika tumbuh pada substrat dengan
struktur kisi berbentuk kubus dan rocksalt dapat dihasilkan dengan proses tekanan tinggi.

Gambar 1. Ilustrasi struktur kristal dari ZnO: a) Rocksalt, b) Zinc Blende, c) Wurtzite.[1]

Struktur yang paling umum digunakan untuk kegiatan komersial adalah wurtzite.
Secara alami, ZnO terbentuk sebagai mineral zinctite dengan sifat fisik berupa serbuk
berwarna putih. Sifat lain dari ZnO yaitu termasuk mineral tak larut dalam air namun mudah
larut jika menggunakan pelarut asam dan alkali. Dengan berbagai kelebihan ZnO termasuk
ketersediaannya yang melimpah, murah, tidak beracun, stabil secara kimia serta mudah untuk

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     233 
disintesis menjadikan ZnO sebagai material dengan peluang aplikasi yang sangat luas. Hal
paling menarik yaitu ZnO mampu disintesis dengan berbagai macam teknik, dengan
kemampuan tersebut maka bukan suatu yang tidak mungkin untuk menghasilkan aplikasi
dengan biaya yang terjangkau.

Tabel 1. Sifat-sifat ZnO[2]


Rumus molekul ZnO
Massa molar 81,408 g/mol
Berat jenis 5,606 g/cm3
Titik leleh 1975°C
Titik didih 2360°C
Kelarutan dalam air 0,16 mg/100ml (30°C)

ZnO nanostruktur merupakan material direct band gap dengan besar energi celah pita
(Eg) yaitu 3,37 eV, memiliki energi ikatan eksiton cukup kuat sebesar 60 meV, mobilitas
elektron yang tinggi (200 cm2V-1s-1), dekat dengan daerah UV dan konduktivitas yang
transparan serta termasuk material piezoelektrik.[3] Dengan berbagai sifat tersebut, ZnO
nanostruktur telah banyak digunakan pada berbagai aplikasi elektronik, optoelektronik,
electrochemical, dan peralatan electromechanical seperti laser ultraviolet, nanosensor dansel
surya (DSSC).[4] Tabel 2 menunjukkan berbagai penelitian yang telah dilakukan untuk
mendapatkan berbagai morfologi ZnO nanostruktur dengan variasi teknik preparasi, hal ini
disesuaikan dengan aplikasi yang nantinya akan diterapkan pada ZnO nanostruktur tersebut.

Tabel 2. Berbagai Metode Preparasi ZnO nanostruktur[5]


Metode Preparasi Morfologi
Non-aqueous solution chemistry Spherical nanoparticles
Nanorods
Controlled precipitation Aggregated particles
(aqueous solution)
Hydrothermal synthesis Nanorods
Electrodeposition Nanocolumns on substrate
Nanostructured film on
substrate
Chemical bath deposition Nanorods/wire on substrate
Nanotube on substrate
Vapor-liquid-solid deposition Nanorods/wire on substrate

Metode kimia basah terbagi menjadi beberapa teknik khusus antara lain sol-gel dan
hidrotermal.[10] Keduanya merupakan proses dengan temperatur rendah, serta memiliki
kemurnian larutan yang relatif tinggi. Pada penelitian ini akan fokus membahas sol-gel
sebagai teknik sintesis nanorod ZnO. Teknik sol-gel dipilih karena merupakan proses yang
sederhana dan murah, disamping itu teknik sol-gel merupakan teknik yang efisien karena
membutuhkan temperatur proses yang rendah.[10,12] Dalam prosesnya, teknik sol-gel
melibatkan dua reaksi yang berkesinambungan. Pertama yaitu reaksi hidrolisis yang
merupakan reaksi pergantian gugus –OR pada logam (M-OR) menjadi gugus logam
hidroksida (M-OH). Kemudian gugus M-OH dapat saling bereaksi membentuk jaringan M-O-
M secara kondensasi. Berikut skema rangkaian reaksi yang terjadi dalam teknik sol-gel[11] :
a) Reaksi Hidrolisis
M(OEt)4 + xH2O ↔ M(OEt)4.x(OH)x + xEtOH (1)

234  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
b) Reaksi Kondensasi
M(OEt)4-x(OH)x + M(OEt)4-x(OH)x ↔(OEt)4-x(OH)x-1MOM(OEt)4-x(OH)x-1 + H2O (2)

Dengan penggunaan temperatur yang rendah pada teknik sol-gel mengakibatkan


teknik tersebut memiliki kelemahan dalam hal kualitas kristalinitas nanostruktur yang
dihasilkan. Meski demikian, telah ditemukan solusi untuk meningkatkan kristalinitas dari
proses sol-gel yaitu dengan menggunakan teknik hidrotermal. Hidrotermal merupakan
penggunaan air pada temperatur dan tekanan tinggi dalam rangka merubah struktur suatu
kristal serta membentuk suatu nanostruktur. Teknik ini muncul pertama kali sebagai suatu
peristiwa alam dalam pembentukan batu permata akibat pengaruh air bertemperatur dan
bertekanan tinggi.[13] Sintesis hidrotermal biasanya dilakukan pada bejana tekan yang disebut
autoclave dengan atau tanpa teflon. Temperatur dapat meningkat diatas titik didih air,
mencapai tekanan uap jenuh. Temperatur dan jumlah larutan yang ditambahkan sangat
mempengaruhi tekanan yang dihasilkan oleh autoclave.[14]
Proses hidrotermal merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ukuran dan
morfologi dari nanorod ZnO. Salah satunya yaitu dengan menciptakan penyerapan yang baik
pada surfaktan kedalam permukaan nanorod.[15] Kelebihan lain dari proses hidrotermal yaitu
merupakan proses yang sederhana, murah, tidak bergantung pada katalis, menghasilkan
keseragaman yang luas, ramah lingkungan dan tidak berbahaya. Temperatur reaksi yang
rendah menjadikan teknik hidrotermal sebagai teknik yang sangat disarankan pada aplikasi
elektronik mikro dan elektronik plastik.[16]
Material semikonduktor 1 dimensi (1D) berskala nano seperti bentuk rods, tubes,
wires dan belts telah lama menjadi banyak perhatian para peneliti karena memiliki sifat dan
fungsi yang unik dalam aplikasi elektronik maupun fotonik. Telah banyak teknik sintesis yang
dapat dilakukan guna menghasilkan berbagai macam nanostruktur semikonduktor 1 dimensi
dan kebanyakan telah diterapkan pada material semikonduktor senyawaoksida.[3] Penelitian
berkenaan dengan nanostruktur dilakukan untuk menghasilkan suatu efek peningkatan sifat
akibat pengaruh reduksi ukuran dari bulk material menjadi nanomaterial, efek ini dikenal
sebagai quantum size effect. Efek tersebut terjadi akibat peningkatan volume akibat rasio luas
permukaan nanostruktur juga meningkat, dan hal ini menjadi salah satu keunggulan
nanostruktur untuk diterapkan dalam berbagai aplikasi.
Salah satu material 1D yang memiliki pengaruh terhadap quantum size effect yaitu
ZnO nanorod. Banyak penelitian yang menunjukkan quantum size effect yang terdapat pada
nanorod, salah satunya yaitu yang dilakukan oleh J. Deenathayalan, et al dalam penelitiannya
bahwa absorbsi optik ZnO nanorod meningkat seiring dengan penurunan ukuran kristalit ZnO
nanorod.[6] Karakteristik lain yang menjadi kelebihan ZnO nanorod yaitu kemampuannya
dalam menyerap emisi cahaya tanpa penghabluran elastik, kemampuan ini disebut sebagai
ballistic transport. Dengan kemampuan tersebut, ZnO nanorod akan lebih efektif dalam
mengemisikan cahaya tanpa harus membuang banyak energi serta tidak mengalami
penurunan koefisien transmisi dan konduktifitas elektrik.[7]
Untuk menghasilkan morfologi nanorod yang optimal perlu memperhatikan faktor-
faktor yang mempengaruhinya. Dalam sebuah penelitian, G. Amin, dkk menyatakan bahwa
terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi morfologi ZnO nanorod yaitu konsentrasi
larutan, waktu aging dan temperatur pemanasan.[8] Gambar 2 menunjukkan pengaruh waktu
tahan larutan benih terhadap ukuran nanorod yang akan semakin besar seiring dengan
bertambahnya waktu tahan. Hal ini disebabkan oleh proses hidrolisis dalam larutan seeding
sehingga menghasilkan OH- yang akan bereaksi dengan Zn2+ secara kontinu sesuai lama
waktu seeding. Semakin lama waktu seeding maka semakin banyak pula OH- yang dihasilkan
untuk bereaksi membentuk ZnO, oleh karena itu densitas yang dihasilkan juga akan
mengalami peningkatan.[8]

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     235 
Gambar 2. Nanorod dengan variasi waktu tahan (aging): (a) 1 jam, (b) 3 jam, (c) 6 jam dan
(d) 10 jam.[8]

Dalam penelitian ini dilakukansintesis ZnO dengan variasi metode pelapisan dengan
menggunakan media kaca preparat. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk memperoleh hasil
optimal berupa tingkat homogenitas batang nano ZnO yang dihasilkan dengan pengamatan
menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) serta dilanjutkan pengamatan
menggunakan XRD (X-Ray Defractometer) untuk mengetahui fasa yang terbentuk. Kedepan,
penelitian ini dapat dikembangkan untuk aplikasi nanoteknologi berbasis ZnO.

METODE PERCOBAAN

Pembuatan Larutan Benih ZnO (Seeding Solution)


Larutan benih dibuat dengan melarutkan zinc acetate dehydrate (ZAD, Merck 99,5%)
dengan pelarut ethanol monoethanolamine (MEA, Merck 99,5%) dan 2-methoxyethanole
(2MOE, Merck 99,5%) sehingga menghasilkan larutan benih dengan konsentrasi 0,5 M.
Campuran yang telah dihasilkan kemudian dilakukan pengadukan menggunakan Hot Plate
Stirrer pada kondisi T = 60°C, t = 2 jam agar diperoleh larutan yang homogen dan stabil.
Kemudian dilakukan aging pada temperatur kamar selama 5 hari agar diperoleh ukuran
batang nano tertentu.[9]

Pelapisan Kaca Preparat


Pelapisan dilakukan di atas kaca preparat ukuran 1 cm x 1 cm dengan beberapa teknik
pelapisan yaitu a) dip-coating; b) spin-coating pada kecepatan 1000 rpm dan 3000 rpm.
Kedua sampel sama-sama dipanaskan dalam furnace pada kondisi T = 400°C dan t = 10 menit
yang bertujuan untuk memecah kompleks asetat.[9]

Sintesis Batang Nano ZnO Secara Hidrotermal


Untuk memperoleh hasil optimal, dalam penelitian ini dilakukan teknik hidrotermal
yaitu memanfaatkan tekanan tinggi pada temperatur rendah menggunakan autoclave serta
memberikan tambahan larutan perangsang berupa campuran antara zincnitrate hexahydrate
(ZNH, Sigma Aldrich 98%), hexamethylenetetramine (HMT, Sigma aldrich 99,5%) dan
aquades. Metode yang digunakan yaitu dengan merendam sampel ke dalam larutan
perangsang pada autoclave kemudian dilanjutkan dengan pemanasan pada kondisi T = 90°C
dan t = 4 jam.[9]

236  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakterisasi SEM
Pengamatan dilakukan menggunakan SEM JEOL JSM-6510LA untuk mengetahui
bentuk serta persebaran nanostruktur ZnO yang dihasilkan dari masing-masing teknik
pelapisan ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Hasil pengamatan menggunakan SEM dengan perbesaran 20.000 kali:


a) teknik spin-coating; b) teknik dip-coating.

Teknik dip-coating (Gambar 3b) menunjukkan penampakan visual mayoritas


nanorod berbentuk heksagonal yang tegak vertikal dibandingkan dengan teknik spin-coating
(Gambar 3a) meski dari segi persebaran keduanya hampir memiliki coverage area yang
tidak jauh berbeda. Dan setelah diukur secara manual, nanorod pada Gambar 3b memiliki
rerata diameter sebesar 588 nm. Kemudian untuk memastikan struktur nano yang dihasilkan
pada sampel ZnO Gambar 3a maka dilakukan peningkatan perbesaran menjadi 40.000x yang
ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Hasil pengamatan sampel Gambar 3a (spin-coating) dengan peningkatan


perbesaran menjadi 40.000x

Dari Gambar 4 menunjukkan bahwa mayoritas dari struktur nano yang dihasilkan
memiliki bentuk yang tidak beraturan meskipun ada beberapa yang menunjukkan bentuk
heksagonal. Hal ini dimungkinkan karena beberapa faktor salah satunya yaitu proses spinning
yang tidak optimal baik dari segi kecepatan atau pundurasi yang digunakan. Namun demikian,
masih perlu pengkajian lebih lanjut yaitu melakukan pengamatan dengan arah berbeda untuk
memastikan arah pertumbuhan nanorod pada sampel ZnO (Gambar 4).

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     237 
Karakterisasi XRD
Pengamatan XRD dilakukan untuk mengetahui senyawa yang terkandung dalam sampel
uji. Disamping itu juga, karakterisasi menggunakan XRD juga dapat memberikan informasi
struktur yang terbentuk apakah amorf ataupun kristalin.
ZnO serbuk murni dijadikan sebagai pembanding untuk mengetahui keberadaan
senyawa ZnO pada hasil sintesis dengan berbagai arah bidang kristal seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 5b. Dengan menggunakan aplikasi peakfit dapat membantu dalam
membandingkan antara pola difraksi ZnO serbuk dengan sampel hasil sintesis. Dari hasil
pembandingan, diperoleh beberapa arah kristal yang sama pada sampel hasil sintesis dengan
sampel ZnO serbuk yang mengindikasikan bahwa sampel hasil sintesis mengandung senyawa
ZnO sesuai dengan Gambar 5.

Gambar 5. Hasil XRD sampel ZnO: A) sampel hasil sintesis; B) serbuk ZnO murni.

Gambar 5a menunjukkan bahwa ZnO yang terbentuk memiliki struktur amorf dilihat
dari tidak terdapatnya puncak yang tajam dibandingkan dengan sampel serbuk murni
(Gambar 5b). Kemudian dengan banyaknya noise yang terdapat pada Gambar 5a juga
menunjukkan adanya senyawa-senyawa lain yang ikut terkarakterisasi sehingga perlu
pengamatan lebih lanjut untuk mengetahui senyawa-senyawa yang terdapat pada sampel hasil
sintesis agar diketahui langkah-langkah apa yang diperlukan agar kemurnian sampel ZnO
dapat tercapai.

KESIMPULAN
Sintesis dengan menggunakan metode dip-coating menghasilkan batang nanorod
tegak vertikal dengan bentuk heksagonal serta memiliki coverage area yang cukup luas
dibandingkan dengan metode spin-coating. Sedangkan karakterisasi menggunakan XRD
dapat diketahui sampel hasil sintesis masih berupa amorf dan menunjukkan banyaknya
senyawa lain yang ikut terbentuk dilihat dari noise yang cukup dominan. Namun demikian,
penggunaan variabel pada sintesis ZnO nanorod yang dimulai dari pembuatan larutan benih
hingga proses pelapisan berhasil menghasilkan ZnO nanorod dengan coverage area yang
cukup optimal dengan rerata diameter sebesar 588 nm.

UCAPAN TERIMA KASIH


Universitas Indonesia atas bantuan dana dalam pelaksanaan penelitian ini melalui Hibah
Riset Unggulan Universitas Indonesia (RUUI)-Direktorat Riset dan Pengabdian kepada
Masyarakat Universitas Indonesia (DRPM-UI) Tahun 2011 dengan nomor kontrak:
1367/H2.R12/PPM.00.01Sumber Pendanaan/2011.

238  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Daftar Referensi
[1] Özgür Ü. et al. 2005. A Comprehensive Review of Zno Materials and Devices. Journal
Of Applied Physics, 98, 041301.
[2] http://en.wikipedia.org/wiki/Zinc_oxide, diakses 10 Agustus 2014.
[3] Chul Y.G. et al. 2005. ZnO nanorods: synthesis,characterization and applications.
Semicond. Sci. Technol., 20: S22–S34.
[4] Xu S. dan Wang Z.L. 2011. One-Dimensional ZnO Nanostructures: Solution Growth
and Functional Properties. DOI 10.1007/s12274-011-0160-7.2011.
[5] Soga, T. 2006. Nanostructured Materials for Solar Energy Conversion. Nagoya.
[6] Deenathayalan, J. et al. 2011. Effect of Growth Layer Solution Concentration On The
Structural And Optical Properties of Hydrothermally Grown Zinc Oxide Nano Rods.
India.
[7] Stein, H. O. 2009. Sintesis dan Karakterisasi Nanorod ZnO Hasil Proses Sol Gel dan
Hidrothermal untuk Aplikasi Sel Surya Tersensitasi Zat Pewarna Organik. Universitas
Indonesia. Depok.
[8] G, Amin. et al. 2011. Influence of pH, Precursor Concentration, Growth Time and
Temperature on the Morphology of ZnO Nanostructures Grown by the Hydrothermal
Method. Journal of Nanomaterials doi:10.1155/2011/269692. 2011.
[9] Su W.Y. dan Lin C.F. 2008. Study of the Structural and Luminescent Properties of ZnO
Nanorod Arrays With the Hydrogen Peroxide Treament. Proc. of SPIE Vol. 7039,
70391D.2008.
[10] R.W, Siegel. et al. 1999. Nanostructure Science and Technology a Worldwide Study.
1999. National Science and Technology Council (NSTC).
[11] A.K.K, Kyaw. et al. 2009. Efficient Charge Collection With Sol-Gel Derived Colloidal
ZnO Thin Film in Photovoltaic Devices. J Sol-Gel Sci Technol 52:348–355. 2009.
[12] Guozhong Cao. 2004. Growth of Oxide Nanorod Arrays through Sol Electrophoretic
Deposition. J. Phys. Chem. B, 2004, 108, 19921-19931.
[13] Gun, Ozgul. 2006. Hydrothermal Synthesis and Characterization Of
Ethylenediaminecontaining Molybdenum Oxides. Izmir Institue of Technology. 2006.
[14] Xiaobo C dan Mao S. S. 2007. Titanium Dioxide Nanomaterials: Synthesis, Properties,
Modifications, and Applications. California.
[15] P.M. Aneesh. et al. 2007. Synthesis of ZnO Nanoparticles by Hydrothermal Method.
Proc. of SPIE Vol. 6639 66390J-1.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     239 
240  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
BELAJAR DARI CUBA DALAM MEMANFAATKAN POTENSI
SUMBER DAYA ALAM BIJIH NIKEL LATERIT
TERUTAMA UNTUK LATERIT KADAR RENDAH

Puguh Prasetiyo
Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI
Kawasan Puspiptek Serpong, 15314
E-Mail: pprasetiyo2002@yahoo.com

Abstrak
Berdasarkan data tahun 2009, Indonesia dan Cuba masuk dalam katagori sepuluh besar negara yang
memiliki sumber daya alam bijih nikel dan produsen nikel maupun kobal. Persamaan antara Indonesia dan
Cuba memiliki sumber daya bijih nikel oksida yang lazim disebut laterit. Perbedaannya, Indonesia masuk dalam
katagori sepuluh besar negara produsen nikel maupun kobal sebagian besar dari ekspor bahan baku laterit.
Sedangkan Cuba mengekspor produk olahan laterit berupa NiO dan NiS. Dimana pada tahun 2007, ekspor
tersebut menghasilkan devisa ± US$ 2 milyar dan berkontribusi hampir 50% nilai ekspor Cuba. Dengan
terbitnya UU Minerba 2009 yang wajib mengolah bahan baku mineral didalam negeri serta melarang ekspor
mulai 2014. Maka dibuat tulisan dengan judul diatas karena Indonesia baru mengolah laterit kadar tinggi jenis
saprolit dengan kadar Ni ≥ 1,8% di Sulawesi Tenggara. Saprolit tersebut diolah menjadi FeNi di Pomalaa oleh
BUMN PT. Aneka Tambang, dan Ni matte di Soroako oleh PMA PT. Vale Indonesia. Dimana FeNi dan Ni matte
diekspor ke manca negara. Sedangkan laterit kadar rendah yang terdiri dari limonit dan saprolit dengan kadar
Ni < 1,8% belum dimanfaatkan optimal, lebih banyak diekspor terutama ke China.

Kata kunci: UU Minerba, Laterit kadar rendah, Limonit, Saprolit, Ni < 1,8 %.

PENDAHULUAN
Pada tahun 2007, ekspor produk olahan laterit Cuba dalam bentuk NiO dan NiS
menghasilkan devisa ± US $ 2 milyar atau hampir mencapai 50% nilai ekspor Cuba. Produk
NiO diperoleh dari pengolahan laterit kadar rendah jenis serpentin menggunakan proses
Caron (ammonia leaching) dengan kapasitas produksi ± 54.500 ton Ni/tahun dalam bentuk
NiO. Dimana serpentin tergolong dalam saprolit kadar rendah. Sedangkan produk NiS
diperoleh dari pengolahan laterit kadar rendah jenis limonit menggunakan proses HPAL/PAL
(High Pressure Acid Leaching) dengan kapasitas produksi ± 37.000 ton Ni/tahun dalam
bentuk NiS.
Berdasarkan data tahun 2009, Indonesia dan Cuba masuk dalam katagori sepuluh
besar negara yang mempunyai sumber daya alam bijih nikel, dan produsen nikel maupun
kobal. Bijih nikel yang dimiliki oleh Cuba maupun Indonesia adalah nikel oksida yang lazim
disebut laterit. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Sepuluh Besar Cadangan dan Produsen Nikel Dunia 2009[8]

Keterangan: Ada dua sumber daya alam bijih nikel, yaitu nikel sulfida dan nikel oksida yang lazim disebut
laterit. Sumber daya alam bijih nikel sulfida berada di Russia, Canada, Australia, Afrika Selatan, dan China.
Sedangkan Australia selain memiliki sumber daya alam bijih nikel sulfida juga memiliki laterit (nikel oksida)
jenis smectite.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     241 
Dari data yang ditunjukan pada Tabel 1 diatas, produksi nikel Cuba sekitar 65.000 mt
sedangkan produksi nikel Indonesia sekitar 189.000 mt. Produksi nikel Cuba berasal dari
pengolahan laterit kadar rendah jenis serpentin dan limonit. Sedangkan produksi nikel
Indonesia sebagian besar berasal dari ekspor bahan baku laterit ke manca negara terutama ke
China. China mengimpor limonit maupun saprolit terutama saprolit kadar rendah dengan
kandungan Ni ≥ 1,5%. Limonit sebagian besar diimpor oleh China dari Philipina sedangkan
saprolit kadar rendah dengan kandungan Ni ≥ 1,5% diimpor dari Indonesia. Selanjutnya laterit
impor digunakan sebagai bahan baku untuk memroduksi NPI (Nickel Pig Iron) di China. NPI
terutama digunakan sendiri oleh China untuk stainless steel (SS). Adapun sebagai gambaran
ekspor bahan baku laterit dari Indonesia ke China, dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.

Gambar 1. Produksi NPI (Nickel Pig Iron) Dan Impor Bijih Nikel China.[3]

Selain ekspor bahan baku laterit ke China, Indonesia juga mengekspor laterit kadar
tinggi saprolit ke Jepang sejak 1930-an, dan laterit kadar rendah limonit dengan persyaratan
tertentu ke Australia mulai 1978/1979. Indonesia juga mengekspor produk olahan laterit dari
Sulawesi Tenggara (Sultra), yaitu Ni matte yang diproduksi di Sorowako oleh PMA
PT. INCO dari Kanada (sekarang PT. VALE Indonesia) dan FeNi yang diproduksi di Pomalaa
oleh BUMN PT. Aneka Tambang. Dimana FeNi maupun Ni matte diproduksi dari pengolahan
laterit kadar tinggi saprolit dengan kadar Ni ≥ 1,8%. Sampai tahun 2009, kapasitas produksi
Ni matte ± 68.000 ton Ni/tahun dalam bentuk Ni matte sedangkan kapasitas produksi FeNi ±
11.000 ton Ni/tahun dalam bentuk FeNi.
Dari penjelasan diatas tentang produksi nikel Indonesia dan Cuba, terlihat bahwa
produksi nikel Indonesia sekitar 189.000 ton Ni yang berasal dari pengolahan laterit sekitar
79.000 ton Ni, sisanya sekitar 110.000 ton Ni berasal dari ekspor bahan baku laterit.
Sedangkan ekspor nikel Cuba berasal dari pengolahan laterit kadar rendah untuk
memproduksi NiO dan NiS.
Dengan terbitnya UU Minerba 2009 yang melarang ekspor bahan baku mineral dan
wajib untuk mengolah mineral didalam negeri, dan UU tersebut mulai berlaku efektif awal
2014. Kenyataan ini bisa menjadi peluang emas untuk memberi nilai tambah pada laterit
kadar rendah Indonesia yang belum dimanfaatkan secara optimal di tanah air. Apabila kita
bisa memanfaatkan peluang tersebut. Dimana laterit kadar rendah terdiri dari limonit dan
saprolit dengan kandungan Ni < 1,8%.

242  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Pengolahan Laterit Di Cuba dan Indonesia
Cuba adalah negara yang pertama kali mengolah laterit kadar rendah dengan jalur
proses hydrometalurgi, yaitu proses Caron (ammonia leaching) dan proses HPAL/PAL (High
Pressure Acid Leaching). Laterit kadar rendah jenis serpentin diolah dengan proses Caron di
Nicaro untuk memproduksi NiO mulai 1944, dan laterit kadar rendah jenis limonit diolah
dengan proses HPAL/PAL (High Pressure Acid Leaching) di Moa Bay untuk memproduksi
NiS mulai 1959. Dimana Freeport perusahaan multi nasional milik pemerintah USA yang
membangun kedua pabrik tersebut. Selanjutnya kedua proses tersebut digunakan untuk
mengolah laterit kadar rendah ditempat lain.
Pada tahun 1960, Freeport dinasionalisasi oleh pemerintah Cuba dibawah rezim Fidel
Castro. Saat dinasionalisasi Moa Bay plant belum selesai pembangunannya, dan dengan
bantuan Uni Soviet (Rusia) proyek tersebut diselesaikan. Moa Bay plant baru bisa berjalan
normal setelah mengalami berbagai hambatan selama 6-7 tahun.
Setelah Freeport dinasionalisasi, dengan kemandiriannya pemerintah Cuba bisa
membangun Caron plant kedua di Punta Gorda, kerja sama dengan Sherrit Gordon Canada
untuk Moa Bay plant dengan kepemilikan sama masing masing 50%, dan kerja sama dengan
Venezuela untuk membangun pabrik FeNi Las Camariocas plant dengan kepemilikan 51%
pemerintah Cuba sisanya 49% milik pemerintah Venezuela. Menurut rencana produk FeNi
diekspor ke Venezuela untuk bahan baku pabrik stainless steel “Siderurgica del ALBA” di
Venezuela. Untuk membangun pabrik stailess steel “Siderurgica del ALBA”, pemerintah
Cuba kerja sama dengan pemerintah Venezuela dengan kepemilikan 49% pemerintah Cuba
sisanya 51% milik pemerintah Venezuela. Adapun pabrik pengolahan laterit di Cuba, dapat
dilihat pada Tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Pabrik Pengolahan Laterit Di Cuba[8]

Dimana Las Camariocas plant yang memproduksi FeNi, sama seperti plant milik
PT. Aneka Tambang di Pomalaa.
Adapun diagram alir dari proses pengolahan laterit dengan proses smelting untuk
memproduksi FeNi atau Ni matte, proses Caron, dan proses HPAL, dapat dilihat pada
Gambar 2.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     243 
Gambar 2. Diagram Alir Pengolahan Laterit Dengan Smelting, Proses Caron, Dan Proses
HPAL.[2]

Di Sulawesi Tenggara (Sultra) Indonesia sudah ada pabrik pengolahan laterit kadar
tinggi saprolit untuk memproduksi Ni matte di Soroako milik PMA INCO Canada, dan untuk
memproduksi FeNi di Pomalaa milik BUMN PT. Aneka Tambang. Saat ini INCO Canada
sudah beralih kepemilikan ke Vale Brasilia, dan nama PT. Inco Indonesia berubah menjadi
PT. Vale Indonesia sejak 2012/2013.
INCO Canada melalui PT. INCO Indonesia di Soroako membangun pabrik untuk
memproduksi Ni matte dengan kapasitas 45.000 ton Ni/tahun mulai beroperasi tahun 1977,
dan menambah kapasitas 23.000 ton Ni/tahun mulai beroperasi tahun 2000. Dimana produk
Ni matte mengandung 78% Ni, 21% S, dan Fe < 0,7%.
PT. Aneka Tambang membangun pabrik FeNi I untuk memproduksi FeNi dengan
kapasitas 5.000 ton Ni/tahun mulai beroperasi 1975, dan 6.000 ton Ni/tahun dari pabrik FeNi
II mulai beroperasi 1995. Pada saat ini (2014) PT. Aneka Tambang telah menambah kapasitas
produksi 15.000 ton Ni/tahun dari pabrik FeNi III. Namun demikian PT. Aneka Tambang
menjaga produksi 18.000-20.000 ton Ni/tahun dalam bentuk FeNi. Untuk menjaga kualitas
agar produk FeNi mengandung Ni ± 20% dan Fe ± 80%, bahan baku saprolit dijaga agar
mengandung Ni ≥ 1,8% dan Fe ≤ 25%.

Proses Pyrometalurgy
Proses pyrometalurgi atau smelting digunakan untuk memproduksi FeNi atau Ni matte
dari laterit kadar tinggi jenis saprolit dengan kadar Ni ≥ 1,8%, secara teknologi sudah proven
(mapan). Pada umumnya proses ini digunakan untuk memproduksi FeNi, hanya beberapa
perusahaan yang memproduksi Ni matte, yaitu INCO Canada (sekarang Vale Inco) dan
Eramet Perancis. Pada tahun 2004, INCO Canada melalui PT. INCO Indonesia di Soroako
memproduksi Ni matte dengan kapasitas 68.000 ton Ni/th dalam bentuk Ni matte. Saat ini
INCO Canada sudah beralih kepemilikan ke Vale Brasilia, dan nama PT. Inco Indonesia
berubah menjadi PT. Vale Indonesia sejak 2012/2013. Eramet di Doniambo New Caledonia
memproduksi Ni matte maupun FeNi dengan kapasitas 11.000 ton Ni/th dalam bentuk Ni
matte, dan 49.000 ton Ni/th dalam bentuk FeNi.

244  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Proses ini membutuhkan banyak energi terutama pada tahap smelting (peleburan) pada
1500-1600°C untuk memproduksi FeNi atau Ni matte. Kenyataan ini menyebabkan PT. Inco
Indonesia membangun PLTA Larona untuk memenuhi kebutuhan energinya. Dengan adanya
PLTA tersebut PT. Inco Indonesia menjadi produsen Ni dengan biaya operasi termurah
didunia. Sedangkan PT. Aneka Tambang untuk memenuhi kebutuhan energinya
menggunakan PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) di Pomalaa. Pada 2012, PT. Aneka
Tambang sedang membangun PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) dari batubara untuk
menggantikan PLTD di Pomalaa.

Proses Caron
Pabrik pengolahan laterit kadar rendah menggunakan proses Caron, pertama kali
dibangun di Nicaro Cuba oleh Freeport USA pada tahun 1940-an. Pabrik tersebut mengolah
cadangan laterit di Pinares de Mayari di propinsi Holguin Cuba. Adapun tujuan pembangunan
Nicaro Plant untuk memproduksi NiO untuk mendukung persenjataan perang dunia ke-2 (PD
II). Dengan alasan tidak ekonomis Nicaro plant ditutup pada 31 Maret 1947, dan dilakukan
evaluasi. Kemudian dibuka kembali pada tahun 1952, dan sampai saat ini (2014) Nicaro plant
masih beroperasi. Perkembangan selanjutnya proses Caron digunakan untuk mengolah bijih
nikel ditempat lain seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3. Caron Plant Diberbagai Tempat[7]


Perusahaan Lokasi Mulai Status
Beroperasi
Cuba Niquel Nicaro, Holguin, Cuba 1945 Beroperasi
Qny Yabulu, Australia 1974 Beroperasi
Niquel Tocantins Niquelandia, Brasil 1981 Beroperasi
Cuba Niquel Punta Gorda, Cuba 1986 Beroperasi
Ferromin Sered, Slovakia 1958 Tutup
Internacional Níkel Sudbury, Canada 1975 Tutup
Nonoc Philipina 1975 Tutup

Proses Caron membutuhkan banyak energi terutama untuk pemanggangan reduksi


pada temperatur T ± 700°C, dan perolehannya (recovery) yang rendah untuk nikel maupun
kobal, yaitu perolehannya 75-80% untuk nikel (Ni) dan 35-50% untuk kobal (Co). Pada
umumnya pabrik pabrik pengolahan laterit kadar rendah menggunakan proses Caron didisain
saat harga minyak (BBM) masih murah. Namun setelah 1974 saat harga minyak (BBM) naik
tajam, tidak ada lagi rencana untuk mengolah laterit kadar rendah dengan proses Caron.
Bahkan pabrik (plant) yang ada terpaksa tutup (lihat Tabel 3) karena tidak bisa menyesuaikan
diri dengan harga minyak (BBM) yang mahal.
Prinsip dasar proses Caron, laterit kadar rendah jenis serpentin dengan kandungan
1,4% Ni; 0,1% Co, dan magnesium tinggi (MgO ± 8%) dipanggang secara reduksi. Kemudian
terhadap hasil reduksi dilakukan leaching menggunakan pelarut AAC (Ammnoia Ammonium
Carbonate). Selanjutnya terhadap filtrat (larutan hasil leaching) dicampur dengan larutan
ammonium sulfida (NH4HS) dalam jumlah terbatas untuk mendapatkan endapan sulfida (CoS
+ NiS). Endapan sulfida (CoS + NiS) tersebut mengandung 15% Co dan 40% Ni
dikumpulkan, dan siap diekspor setelah jumlahnya terpenuhi. Adapun terhadap larutan
dimurnikan dengan menguapkan dan mengkondensasi amoniak (NH3). Sehingga diperoleh
amoniak (NH3) cair agar bisa didaur ulang, dan menghasilkan padatan BNC (Basic Nickel
Carbonate: NiCO3). Kemudian BNC (Basic Nickel Carbonate: NiCO3) dikalsinasi untuk
mendapatkan produk akhir NiO. Adapun kandungan produk NiO dari Cuba dapat dilihat pada
Tabel 4.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     245 
Tabel 4. Produk Nikel Dari Cuba[4]
NiO Sinter Modular NiO
Garansi Analisa Analisa Garansi Analisa
(%) (%) Analisa (%) (%)
Ni 86 min 90,00 76 min 77,00
Co 1,60 max 1,10 1,30 max 0,90
Fe 0,90 max 0,50 0,70 max 0,30
S 0,06 max 0,04 - 0,015
C 0,35 max 0,20 - 0,02
Cu - 0,02 - 0,02
Bebas P, Sn, As, Sb,
dan Bi
NiO Granular NiO Powder
Garansi Analisa Analisa Garansi Analisa
(%) (%) Analisa (%) (%)
Ni 76 min 77,00 75 min 75,30
Co 1,30 max 0,90 1,45 max 1,12
Fe 0,70 max 0,309 0,50 max 0,27
S - 0,015 0,05 0,02
C - 0,02 - -
Cu - 0,02 - 0,02
Bebas P, Sn, As, Sb,
Bi, dan digaransi 2
% max untuk + 200
mesh.

Proses HPAL/PAL (High Pressure Acid Leaching)


Pabrik pengolahan laterit kadar rendah jenis limonit menggunakan proses HPAL/PAL
(High Pressure Acid Leaching) dengan kapasitas ± 25.000 ton Ni/tahun dalam bentuk NiS,
pertama kali dibangun di Moa Bay Cuba pada tahun 1955, dan Moa Bay plant mulai
beroperasi 1959. Dimana Freeport USA dengan bantuan Sherrit Gordon Canada adalah
perusahaan yang membangun Moa Bay plant.
Proses ini tidak sesuai untuk mengolah serpentin yang banyak mengandung
magnesium (Mg) tinggi karena akan membutuhkan banyak asam sulfat (H2SO4). Proses
HPAL/PAL telah terbukti di Moa Bay plant membutuhkan energi relatif rendah dengan
perolehan (recovery) yang tinggi untuk Ni maupun Co. Sehingga menjadi pilihan utama untuk
mengolah laterit kadar rendah yang cadangannya berlimpah didunia.
Prinsip dasar proses HPAL/PAL, limonit dengan kandungan 1,3% Ni; 0,1% Co, dan
magnesium rendah (MgO ± 1,7%) dileaching dengan asam sulfat (H2SO4) didalam autoclave
pada T ± 250°C tekanan (P) ± 4.000 kPa. Untuk mendapatkan produk akhir NiS, larutan hasil
leaching yang sudah dimurnikan selanjutnya diendapkan menggunakan asam sulfida (H2S)
didalam autoclave pada T ± 121°C tekanan (P) ± 1.034 kPa.
Saat Freeport dinasionalisasi oleh pemerintah Cuba dibawah rezim Fidel Castro pada
tahun 1960, Moa Bay plant belum proven (mapan) secara teknologi sehingga masih banyak
masalah dalam operasi, dan perlu penyempurnaan pada pabrik tersebut. Pada tahun 1961,
perolehannya sekitar 92% untuk nikel pada tahap leaching. Moa Bay plant mulai normal
1967/1968, pada tahap leaching perolehannya 93,5-95% untuk nikel.
Pada Desember 1994, General Nickel SA perusahaan milik pemerintah Cuba menjalin
kerja sama dengan Sherrit Gordon Canada. Tujuan kerja sama tersebut untuk memperbaiki
kinerja Moa Bay plant secara menyeluruh, dan seluruh produk NiS dari Moa Bay diekspor ke
Canada untuk diolah di Fortsatchewan, Alberta, Canada. Kapasitas produksi Moa Bay plant
ditingkatkan dari semula 25 mty (25.000 ton/tahun) menjadi 37 mty (37.000 ton/tahun).

246  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Adapun kepemilikan saham pada proyek kerja sama Moa Bay plant disepakati sama masing
masing 50%.
Setelah kerja sama tersebut ditindak lanjuti terjadi kemajuan yang cukup berarti pada
Moa Bay plant. Masalah pencemaran lingkungan akibat buangan sulfat bisa teratasi, dan
terjadi peningkatan produksi sedikit demi sedikit. Karena ada peningkatan perolehan Ni
maupun Co. Pada tahap leaching terjadi peningkatan perolehan (recovery) Ni, perolehan rata
rata 95% (sebelum 1992) menjadi rata rata 95,9% pada tahun 1995. Pada tahun 1996,
perolehan Ni > 96,1% dan perolehan Co > 95%. Pada tahap pengendapan untuk menghasilkan
produk akhir NiS, efisiensi pengendapan Ni > 99% dan Co > 98,5% pada tahun 1995. Tahun
tahun sebelumnya efisiensi maksimum Ni ± 99% dan Co ± 98,5%. Adapun hasil analisa
produk NiS dari Moa Bay plant mengandung 55,1% Ni; 5,36% Co; 0,74% Fe; 0,17% Cu;
0,93% Zn; dan 10,8% H2O.
Kesuksesan Moa Bay plant buah dari kerja sama Sherrit Gordon Canada - General
Nickel SA Cuba, menginspirasi para pemain nikel dunia untuk mengolah laterit kadar rendah
dengan teknologi berbasis HPAL/PAL. Karena proses HPAL/PAL telah terbukti di Moa Bay
plant membutuhkan energi relatif rendah dengan perolehan (recovery) yang tinggi untuk Ni
maupun Co. Disamping itu kebutuhan nikel dunia terus meningkat dan pasokan nikel dunia
yang berasal dari laterit sekitar 40% sisanya dari nikel sulfida. Padahal sumber daya alam
bijih nikel di dunia sekitar 70% berupa laterit sisanya 30% berupa nikel sulfida. Dari sisi
teknologi pengolahan laterit dengan HPAL/PAL sudah proven (mapan) secara laboratorium
maupun pilot plant. Karena sudah dilakukan litbang (penelitian dan pengembangan) puluhan
tahun oleh Sherrit Gordon Canada, AMAX USA, COFREMMI Perancis, dan kerja sama
AMAX – COFREMMI untuk pilot plant skala besar.
Adapun pabrik pengolahan laterit kadar rendah dengan teknologi berbasis HPAL/PAL
yang sudah jadi maupun dalam perencanaan oleh pemain nikel dunia, dapat dilihat pada
Tabel 5.

Tabel 5. Pabrik Pengolahan Laterit Berbasis HPAL/PAL Yang Sudah Dibangun Dan
Direncanakan Untuk Dibangun[2]
Nama Negara Proses Kapasitas Status
Murrin Murrin Australia HPAL 45000 ton Ni/th mulai 1999
(briket Ni )
Cawse Australia HPAL 9000 ton Ni/th mulai 1999
(katoda Ni) (tutup 2008)
Bulong Australia HPAL 7000 ton Ni/th mulai 1999
(katoda Ni) (tutup 2003)
Coral Bay Philipina HPAL 10000 ton Ni/th mulai 2005
(NiS)
Goro New Caledonia HPAL 54000 ton Ni/th sampai saat ini
(NiO) belum operasi
(rencana 2007)

Proyek 1 Australasia HPAL 45000 ton Ni/th Rencana mulai


Proyek 2 South America HPAL 45000 ton Ni/th beroperasi
Proyek 3 Afrika HPAL 40000 ton Ni/th 2007 - 2012
Proyek 4 Asia Tenggara PAL Exp 15000 ton Ni/th
Proyek 5 Karibia PAL Exp 10000 ton Ni/th

Proyek 1 Australasia HPAL 54000 ton Ni/th Rencana mulai


Proyek 2 Asia Tenggara HPAL 40000 ton Ni/th beroperasi
Proyek 3 Asia Tenggara HPAL 45000 ton Ni/th 2012 +
Proyek 4 Asia Tenggara HPAL 45000 ton Ni/th

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     247 
Proyek 5 Asia Tenggara HPAL 32000 ton Ni/th
Proyek 6 Karibia HPAL 40000 ton Ni/th

Walaupun secara laboratorium dan pilot plant teknologi HPAL/PAL sudah proven
(mapan) untuk mengolah berbagai jenis laterit. Kenyataan yang terjadi teknologi HPAL/PAL
gagal secara teknologi pada skala industri di Australia, yaitu saat digunakan untuk mengolah
laterit kadar rendah jenis smectite yang mengandung silikat tinggi (SiO2 ± 42%). Hanya satu
HPAL/PAL plant yang sukses setelah Moa Bay HPAL/PAL plant generasi pertama, yaitu
Coral Bay di Philipina milik Sumitomo dan Mitsui. Karena Coral Bay HPAL plant mengolah
limonit dengan kandungan silikat rendah (Si ± 8,15%) mirip dengan kandungan silikat (Si ±
4,3%) didalam limonit Moa Bay, yaitu Si < 10%.
Akibat dari kegagalan teknologi HPAL/PAL pada skala industri di Australia. Maka
proyek proyek pengolahan laterit kadar rendah berbasis proses HPAL/PAL banyak yang
ditunda termasuk yang ada di Indonesia, yaitu PT. Weda Bay Nickel milik Eramet Perancis di
Weda Halmahera dan PT. BHP Australia di pulau Gag Papua. Bahkan BHP Australia
mengembalikan ijin ke pemerintah Indonesia pada tahun 2009/2010. Akibat yang lain
pasokan nikel dunia terutama pasokan nikel ke China menjadi terganggu. Sehingga China
melakukan terobosan mengolah laterit kadar rendah menggunakan jalur proses pyrometalurgi
untuk memproduksi NPI (Nickel Pig Iron). Selanjutnya NPI digunakan sendiri oleh China
untuk diolah lebih lanjut menjadi stainless steel (SS). Sedangkan Cuba untuk mengatasi
kekurangan pasokan nikel dunia, membangun pabrik FeNi Las Camariocas di Cupey Cuba
dengan bekerja sama dengan Venezuela. Produk FeNi Las Camariocas selanjutnya diekspor
ke Venezuela untuk bahan baku pabrik stainless steel “Siderurgica del ALBA” di Venezuela.

Pelajaran yang bisa diambil dari Cuba


Cuba berhasil membangun Punta Gorda plant mulai beroperasi 1986, memperbaiki
kinerja Moa Bay plant hasil kerja sama dengan Sherrit Gordon Canada, serta kerja sama
dengan Venezuela membangun Las Camariocas FeNi plant di Cupey Cuba, dan stainless steel
“Siderurgica del ALBA” plant di Venezuela. Karena kebijakan pemerintah Cuba untuk
memanfaatkan potensi sumber daya laterit secara optimal. Kebijakan tersebut dilaksanakan
secara konsisten dengan melakukan litbang (penelitian dan pengembangan) laterit. terutama
untuk mengolah laterit kadar rendah.
Bukti bahwa pemerintah serius melakukan litbang laterit, untuk keperluan litbang
pemerintah Cuba disamping menggunakan kemampuan sendiri juga menggunakan ”bantuan
luar negeri”. Pemerintah melalui Union Emperess del Niquel membangun “Laterite Research
Center” di Moa pada tahun 1987. Dimana Union Emperess del Niquel adalah lembaga yang
bertanggung jawab terhadap produksi nikel Cuba. Lembaga tersebut dibawah Kementerian
Industri Dasar Cuba. Bantuan dari Uni Soviet (sekarang Rusia) digunakan untuk membangun
“Moa Mining and Metallurgical High Institute” di Moa. Demikian juga bantuan dari
PBB/United Nations (Perserikatan Bangsa Bangsa) melalui UNDP (United Nation
Development Progam) dalam bentuk “Laterite Project”, digunakan untuk membangun pusat
riset “Mineral and Metallurgical Research Center” di Havana, dan membangun Punta Gorda
pilot plant mulai beroperasi 1980.
Berdasarkan dari pengalaman menjalankan pilot plant dan plant di Nicaro, kondisi
laterit kadar rendah dari tambang kadarnya bervariasi. Sehingga perlu dilakukan uji pilot plant
sebelum diolah di plant (pabrik), dengan uji tersebut diharapkan pengolahan laterit kadar
rendah di plant (pabrik) menjadi lebih efisien dan ekonomis. Sebelum laterit tersebut diolah
dipabrik, dibutuhkan waktu sekitar dua (2) tahun untuk uji pilot plant terhadap laterit. Atas
dasar pengalaman tersebut maka pemerintah Cuba membangun pilot plant untuk mengolah
laterit kadar rendah menggunakan proses Caron dan proses HPAL. Dimana laterit yang
dikembangkan di pilot plant berasal dari hasil hasil riset (penelitian) laterit yang dilakukan di

248  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Laterite Research Center, Moa Mining and Metallurgical High Institute, dan Mineral and
Metallurgical Research Center.
Seiring dengan perkembangan teknologi, untuk menghasilkan produk yang lebih baik
dengan proses pengolahan yang lebih efisien dan ekonomis, maka dilakukan modifikasi
terhadap pilot plant. Misalnya pada Nicaro pilot plant, dilakukan penambahan pengendapan
kobal (Cobalt precipitation) untuk mendapatkan produk NiS-CoS, dan elektrolysis untuk
mendapatkan produk lembaran logam nikel maupun kobal. Pada Punta Gorda pilot plant
untuk memisahkan nikel dan kobal dilakukan penambahan ion exchange dan solvent
extraction. Di Cuba ada tiga (3) pilot plant pengolahan laterit kadar rendah yang sudah
dimodifikasi, yaitu dua pilot plant untuk proses Caron (ammonia leaching) dan satu pilot plant
untuk proses HPAL/PAL. Pilot plant (untuk proses Caron) generasi pertama dibangun oleh
Freeport di Nicaro, Caron pilot plant generasi berikutnya dibangun di Punta Gorda dengan
bantuan PBB, dan HPAL/PAL pilot plant di Moa Bay dibangun oleh pemerintah Cuba.
Adapun tiga pilot plant tersebut, dapat dilihat pada Tabel 6 dibawah ini.

Tabel 6. Pilot Plant Untuk Mengolah Laterit Di Cuba[4]


Lokasi Proses Kapasitas Pembangunan
(Ton Bijih Kering/hari)
Nicaro Ammnonia Leaching 1954
6
Cobalt precipitation 1977
Electrolysis 1987
Punta Gorda Ammnonia Leaching 1980
30
Ion exchange 1990-an
Solvent extraction 1990-an
Moa Sulfuric acid leaching 20 1990-an

Dari penjelasan diatas terlihat bahwa dengan melakukan litbang (penelitian dan
pengembangan) yang konsiten, pemerintah Cuba bisa meningkatkan nilai tambah bahan baku
laterit dengan diolah menjadi NiO, NiS, dan FeNi. Disamping itu pemerintah Cuba juga
punya posisi tawar dengan Canada dan Venezuela. Dengan Sherrit Gordon Canada untuk
HPAL/PAL plant di Moa Bay. Dengan Venezuela untuk Las Camariocas FeNi plant di Cupey
Cuba dan stainless steel “Siderurgica del ALBA” plant di Venezuela. Hal ini tercermin pada
kepemilikan saham pemerintah Cuba pada tiga (3) plant tersebut, yaitu masing masing 50%
untuk Moa Bay plant, 51% untuk Las Camariocas FeNi plant, dan 49% untuk stainless steel
“Siderurgica del ALBA” plant di Venezuela.
Kenyataan apa yang dialami oleh Cuba sangat jauh berbeda dengan Indonesia untuk
pengolahan laterit oleh pihak asing yang beroperasi di Indonesia. Misalnya untuk pengolahan
saprolit menjadi Ni matte di Soroako oleh PMA INCO Canada, kepemilikan saham
pemerintah Indonesia dibawah 10% saat PT. Inco Indonesia mulai operasi 1977. Demikian
juga dengan kepemilikan saham pemerintah hanya 10% di PT. Weda Bay Nickel Eramet.
Dimana PT. Weda Bay Nickel berencana memproduksi NiS dari pengolahan laterit kadar
rendah dengan teknologi berbasis HPAL/PAL di Weda Halmahera. Kepemilikan saham
pemerintah Indonesia yang rendah pada perusahaan pengolahan laterit oleh pihak asing.
Karena pemerintah tidak punya posisi tawar sebagai akibat tidak melakukan litbang laterit
dengan konsisten. Padahal dengan litbang yang sukses dan tepat, pemerintah akan punya
posisi tawar dengan pihak asing saat perundingan untuk mengeksploitasi laterit di tanah air.

KESIMPULAN
1. Pemerintah Cuba punya posisi tawar dengan pihak asing untuk pemanfaatan laterit
didalam negerinya. Karena pemerintah Cuba melakukan litbang (penelitian dan
pengembangan) secara konsisten dan berkesinambungan. Kenyataan ini terlihat dari
kepemilikan saham pemerintah Cuba sebesar 50% pada Moa Bay HPAL plant, 51% pada

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     249 
Las Camariocas FeNi plant di Cupey, dan 49% pada stainless steel “Siderurgica del
ALBA” plant di Venezuela.
2. Pemerintah Indonesia tidak punya posisi tawar dengan pihak asing untuk pemanfaatan
SDA (Sumber Daya Alam) didalam negeri khususnya laterit. Karena pemerintah
Indonesia belum melakukan litbang (penelitian dan pengembangan) secara konsisten
seperti Cuba. Kenyataan ini terlihat dari kepemilikan saham pemerintah Indonesia hanya
10% pada PT. Weda Bay Nickel Eramet, dan dibawah 10% saat PT. Inco Indonesia mulai
operasi 1977.

Daftar Referensi
[1] Chalkley, M.E. et al.1997. The acid pressure leach process for níkel and cobalt laterite.
Part I : Review of operations at Moa. Proceeding of the nickel – cobalt 97 International
Symposium 1997, Volume I: 341-353. Canada August 17 – 20, 1997: The Metallurgical
Society of the Canadian Institute of Mining, Metallurgy and Petroleum and the
Australian Institute of Mining and Metallurgy.
[2] Dalvi, Ashok D. et al. 2004. The Past and the Future of Nickel Laterites. Inco Limited,
2060 Flavelle Boulevard, Sheridan Park, Missisauga, Ontario, L5K 1Z9 Canada. PDAC
2004 International Convention, Trade Show & Investors Exchange, March 7 – 10, 2004.
[3] Ferreira, Ricardo. 2013. Statistical Analyst. “China Nickel Pig Iron” topics for
discussion. Internasional Nickel Study Group (INSG). Industry Advisory Panel.
Tuesday 1 October 2013.
[4] Habashi, Fathi. 1993. Department of Mining & Metallurgy, Laval University, Quebec
City, Canada. “Nickel In Cuba”. The Paul E. Queneau International Symposium
Extractive Metallurgy of Copper, Nickel and Cobalt. Volume I: 1165. Fundamental
Aspects, page. Edited by R.G. Reddy and R.N. Weizenbach. The Minerals, Metals &
Materials Society.
[5] Kyle, J. H. et al. 1997. “The Cawse nickel/cobalt laterite project metallurgical process
development”. Proceeding of the nickel-cobalt 97 Volume I International Symposium
1997: 379-389. Canada, August 17 – 20, 1997: The Metallurgical Society of the
Canadian Institute of Mining, Metallurgy and Petroleum and the Australian Institute of
Mining and Metallurgy.
[6] Motteram, G. et al. 1997. ”Application of the pressure acid leach process to western
Australian nickel/cobalt laterites”. Proceeding of the nickel-cobalt 97 Volume I
International Symposium 1997: 391 – 407. Canada, August 17 – 20, 1997: The
Metallurgical Society of the Canadian Institute of Mining, Metallurgy and Petroleum
and the Australian Institute of Mining and Metallurgy.
[7] Prado, Faustino L. 2004. “Sixty Years of Caron: Current Assesment”. The International
Laterite Nickel Symposium 2004: 593-598. Process and Operational Lessons Part I.
Edited by W.P Imrie, D.M. Lane. TMS 2004.
[8] R. Pinon, Jorge. 2010. Visiting Research Fellow. ”Cuba Nickel”. Cuba Insights. Cuban
Research Institute. Florida International University (FIU). Volume 1, no. 1, August
2010.
[9] Tsuchida, N. et al. 2004. “Development of process design for coral bay nickel project”.
The International Laterite Nickel Symposium 2004: 151-160. Process and Operational
Lessons Part I. Edited by W.P Imrie, D.M. Lane.
[10] www. PTAneka Tambang.com.

250  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
POTENSI LATERIT (BIJIH NIKEL OKSIDA) KADAR RENDAH
INDONESIA UNTUK BAHAN BAKU NPI (NICKEL PIG IRON)
UNTUK STAINLESS STEEL (SS)

Puguh Prasetiyo
Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI
Kawasan Puspiptek Serpong, 15314
E-Mail: pprasetiyo2002@yahoo.com

Abstrak
Stainless steel (SS) banyak digunakan oleh umat manusia untuk berbagai keperluan dari barang rumah
tangga sampai teknologi canggih, dan kebutuhannya cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya
jumlah penduduk. Pada umumnya stainless steel (SS) dibuat dari FeNi (ferro nikel) yang berasal dari
pengolahan laterit dengan kandungan Ni ≥ 1,8% menggunakan jalur proses pyrometalurgi. Di Indonesia FeNi
sudah diproduksi oleh BUMN PT. Aneka Tambang sejak 1973 di Pomalaa Sulawesi Tenggara. FeNi tersebut
diekspor terutama ke Eropa untuk dijadikan stainless steel (SS). Perkembangan terbaru yang dipelopori oleh
China mulai 2005, stainless steel (SS) dibuat dari NPI (Nickel Pig Iron). NPI (Nickel Pig Iron) berasal dari
pengolahan laterit kadar rendah dengan jalur proses pyrometalurgi. Dengan melihat kenyataan berdasarkan
data tahun 2008 bahwa Indonesia memiliki cadangan nikel ± 16% cadangan dunia, dan sebagian besar dari
cadangan tersebut adalah laterit kadar rendah yang belum dimanfaatkan dengan optimal. Dimana laterit kadar
rendah terdiri dari limonit dan saprolit dengan kandungan Ni < 1,8%. Maka dibuat tulisan dengan judul diatas
dengan harapan mudah mudahan tulisan ini bermanfaat.

Kata kunci: Laterit, Limonit, Saprolit, Stainless Steel (SS), FeNi, NPI, Pyrometalurgi.

PENDAHULUAN
Secara global sebagian besar produksi nikel digunakan untuk stainless steel (SS).
Kenyataan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.

Gambar 1. Pemanfaatan Nikel Secara Global Untuk Stainless Steel (SS) ± 62%.[2]

Dari Gambar 1 diatas terlihat bahwa pemakaian nikel terus tumbuh pertahunnya
terutama untuk baterai (5%) dan stainless steel (3%). Karena baterai banyak digunakan
terutama untuk baterai HP (hand phone). Sedangkan stainless steel (SS) banyak digunakan
dari barang rumah tangga sampai teknologi canggih.
Untuk meproduksi nikel dibutuhkan pengolahan bahan baku bijih nikel dari alam. Di
alam ada dua jenis bijih nikel, yaitu nikel oksida yang lazim disebut laterit dan nikel sulfida.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     251 
Adapun jumlah total nikel secara global yang terkandung didalam laterit dan nikel sulfida,
dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Jumlah Nikel Secara Global Didalam Laterit Dan Nikel Sulfida[3]

Dari Tabel 1 diatas terlihat bahwa sekitar 72-73% sumber daya alam bijih nikel
berupa laterit berada dibelaham bumi khatulistiwa terutama di Kaledonia Baru, Philipina, dan
Indonesia. Sisanya sekitar 27-28% berupa nikel sulfida berada dibelahan bumi subtropis
terutama di Rusia dan Canada. Sedangkan produksi nikel secara global sekitar 50-60% berasal
dari nikel sulfida. Kenyataan tersebut, dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3 dibawah ini.

Gambar 2. Produksi Nikel Secara Global Dan Sumber Daya Alam Bijih Nikel.[1]

Gambar 3. Distribusi Sumber Daya Laterit (Nikel Oksida) Secara Global. [9]

Dari Gambar 2, Gambar 3, dan Tabel 1 diatas terlihat bahwa secara global kedepan
laterit sangat potensial untuk memasok kebutuhan nikel terutama untuk SS, menggantikan
nikel sulfida yang cadangannya terus menurun.
Di tanah air laterit berada di kawasan Indonesia timur terutama di Sulawesi Tenggara,
Maluku Utara (Halmahera dan pulau Obi), dan Papua (pulau Gag dan kepulauan Waigeo-
Cylops). Di Pomalaa Sulawesi Tenggara, laterit kadar tinggi saprolit dengan kandungan Ni ≥
1,8% sudah diolah oleh BUMN PT. Aneka Tambang (Antam) untuk memproduksi FeNi
untuk ekspor terutama ke Eropa. Laterit kadar rendah yang terdiri dari limonit dan saprolit
dengan kandungan Ni < 1,8%, belum dimanfaatkan secara optimal di Indonesia. Laterit kadar

252  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
rendah tersebut sangat potensial untuk bahan baku NPI (Nickel Pig Iron) untuk stainless steel
(SS). Dimana NPI diproduksi dari laterit kadar rendah menggunakan jalur proses
pyrometalurgi.
Produksi NPI secara besar besaran menggunakan blast furnace (BF) atau electric
furnace (EF) dipelopori China mulai 2005. NPI digunakan sendiri oleh China untuk dijadikan
stainless steel (SS) sehingga terjadi peningkatan produksi stainless steel (SS) di China.
Adapun gambaran peningkatan produksi stainless steel (SS) di China, ditunjukkan pada
Gambar 4 dibawah ini.

Gambar 4. Produksi Stainless Steel (SS) Di China 2002-2007 [9]

Untuk memproduksi NPI, China mengimpor laterit dari Kaledonia Baru, Indonesia,
dan Philipina. Dari Indonesia terutama laterit dengan kandungan Ni > 1,6% sedangkan dari
Philipina terutama laterit dengan kandungan Ni < 1,5%.
Dengan terbitnya UU Minerba 2009 yang melarang ekspor mineral dan wajib untuk
mengolah didalam negeri. Serta terbitnya PP (peraturan pemerintah) pertengahan Januari
2014 untuk mulai memberlakukan UU minerba efektif mulai Januari 2014. Kenyataan ini
menjadikan laterit kadar rendah yang belum dimanfaatkan optimal didalam negeri, sangat
potensial untuk diolah didalam negeri untuk memproduksi NPI. Karena selama ini dari
Indonesia diekspor saprolit dari Pomalaa ke Jepang untuk FeNi sejak tahun 1930-an saat era
pemerintah kolonial Belanda, ekspor limonit dengan persyaratan tertentu ke Australia sejak
tahun 1978/1979 untuk memproduksi NiO, dan ekspor laterit ke China sejak tahun 2000-an
untuk memproduksi NPI.

Laterit Dan Pengolahannya


Endapan laterit ideal di alam dan jalur proses pengolahannya, dapat dilihat pada
Gambar 5.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     253 
Gambar 5. Endapan Laterit Secara Ideal di alam Dan Jalur Pengolahannya.[1]

Untuk laterit di Indonesia berdasarkan pengalaman dari hasil eksplorasi di Sulawesi


Tenggara, endapan saprolit lebih tebal d/p limonit. Sedangkan di Maluku Utara kebalikannya,
endapan limonit lebih tebal d/p endapan saprolit.
Pada umumnya untuk mengolah laterit digunakan jalur proses hydrometalurgi untuk
laterit kadar rendah (limonit), dan jalur proses pyrometalurgi untuk laterit kadar tinggi
(saprolit). Secara global seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 dibawah ini, jumlah endapan
limonit yang sesuai untuk diolah dengan jalur proses hydrometalurgi lebih besar d/p saprolit
yang sesuai untuk diolah dengan jalur proses pyrometalurgi.

Tabel 2. Jumlah Limonit Dan Saprolit Secara Global[3]

Jalur proses pyrometalurgi digunakan untuk memproduksi FeNi (ferro nikel) seperti
produksi BUMN PT. Antam di Pomalaa Sulawesi Tenggara sejak 1973/1974. Atau untuk
memproduksi nikel matte (NiS) seperti produksi PT. INCO (PMA dari Canada) dari
1977/1978 sampai 2011/2012 di Sorowako Sulawesi Tenggara. Dimana INCO beralih
kepemilikan ke Vale pada tahun 2011/2012. Hanya beberapa perusahaan yang memproduksi
Ni matte seperti INCO (sekarang Vale). Pada umumnya jalur pyrometalurgi digunakan untuk
memproduksi FeNi. Karena FeNi bisa langsung diproses menjadi stainless steel (SS). Secara
teknologi jalur proses pyrometalurgi sudah proven (mapan) sehingga tidak ada masalah dari
segi proses. Kelemahannya untuk memproduksi FeNi atau Ni matte dibutuhkan energi tinggi
untuk pemanggangan reduksi dan peleburan.
Jalur proses hydrometalurgi digunakan untuk mengolah laterit kadar rendah, dan
kebutuhan energi proses hydrometalurgi lebih rendah d/p proses pyrometalurgi. Untuk
mengolah laterit kadar rendah dengan kandungan magnesium (Mg) tinggi digunakan proses
Caron. Sedangkan untuk mengolah laterit kadar rendah dengan kandungan magnesium (Mg)
rendah digunakan proses HPAL/PAL (High Pressure Acid Leaching). Pada umumnya proses

254  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Caron digunakan untuk memproduksi NiO sedangkan proses HPAL/PAL digunakan untuk
memproduksi NiS.
Di Indonesia belum ada industri pengolahan laterit kadar rendah dengan
hydrometalurgi, baru rencana akan diolah oleh PMA (Penanaman Modal Asing). Pada tahun
1970-an, PT. Pasific Nickel dari USA berencana mengolah laterit pulau Gag Papua dengan
proses Caron untuk memproduksi NiO. Perkembangan selanjutnya PT. Pasific Nickel
mengembalikan ijin ke pemerintah. Sehingga pemerintah mengalihkan izin pulau Gag ke
BHP Australia pada tahun 1990-an. BHP berencana mengolah laterit pulau Gag dengan
teknologi berbasis HPAL/PAL (High Pressure Acid Leaching) untuk memproduksi katoda Ni
dan katoda Co.
Selain memberi ijin ke BHP Australia, pemerintah juga memberi ijin PT. Weda Bay
Nickel (PT. WBN) Canada untuk mengolah laterit teluk Weda Halmahera dengan teknologi
berbasis HPAL/PAL. Menurut rencana PT. WBN akan membangun pabrik untuk
memproduksi NiS di Weda Halmahera. Perkembangan selanjutnya PT. WBN Canada beralih
kepemilikan ke Eramet Perancis pada tahun 2006, dan BHP mengikuti jejak Pasific Nickel
mengembalikan izin ke pemerintah pada tahun 2008. Sedangkan PT. WBN Eramet sampai
saat ini (2014) belum mendirikan pabrik pengolahan laterit di Weda.
Secara teknologi proses Caron sudah proven (mapan), menurut pengamat kedepan
diperkirakan tidak ada lagi pabrik pengolahan laterit kadar rendah menggunakan proses
Caron. Karena biaya pembangunannya mahal, membutuhkan energi tinggi untuk operasinya,
dan perolehan yang rendah untuk nikel (70-80%) maupun kobal (35-50%). Pabrik pabrik yang
masih beroperasi hingga saat ini dibangun saat harga energi masih murah dan BEP (Break
Even Point) sudah tercapai. Misalnya Nicaro yang memproduksi NiO di Cuba dibangun tahun
1940-an oleh Freeport USA, QNY Australia yang memproduksi NiO mulai beroperasi 1974,
Tocantin yang memproduksi elektroda nikel di Brasil dibangun 1980-an, dan Punta Gorda
yang memproduksi NiO di Cuba dibangun 1980-an.
Proses berbasis teknologi HPAL/PAL untuk memproduksi NiS, pertama kali dibangun
di Moa Bay Cuba tahun 1959 oleh Freeport USA dengan bantuan Sherit Gordon Canada.
Moa Bay plant boleh dikatakan sukses secara teknologi dan ekonomi. Karena dalam
operasinya membutuhkan energi rendah, dan menghasilkan perolehan tinggi diatas 90% untuk
nikel maupun kobal. Oleh karena itu tidak heran apabila pengolahan laterit berbasis proses
HPAL/PAL dikembangkan oleh pemain nikel dunia seperti AMAX USA, Cofremmi Perancis,
Sherit Gordon Canada, INCO Canada, Sumitomo Jepang, dll. Sehingga secara laboratorium
dan pilot plant, teknologi proses berbasis HPAL/PAL sudah proven (mapan) untuk mengolah
berbagai jenis laterit terutama laterit kadar rendah. Sehingga untuk memasok kebutuhan nikel
global yang terus meningkat, proses berbasis HPAL/PAL menjadi pilihan utama untuk
mengolah laterit kadar rendah di Indonesia, Philipina, Papua Nugini, Kaledonia Baru,
Australia, dll.
Walaupun secara laboratorium dan pilot plant proses berbasis HPAL/PAL sudah
proven (mapan). Namun proses HPAL/PAL ”gagal” pada skala industri saat digunakan untuk
mengolah smectite pada tiga HPAL/PAL plant generasi kedua di Australia Barat. Smectite
adalah laterit kadar rendah di Australia Barat dengan kandungan silikat tinggi (SiO2 ± 42%).
Tiga HPAL/PAL plant yang mulai beroperasi akhir 1998 adalah Bulong, Cawse, dan Murrin
Murrin. Kegagalan tersebur berakibat Bulong tutup 2003, Cawse tutup 2008, dan Murrin
Murrin berpindah kepemilikan ke Minara 2003/2004. Sampai saat ini tidak ada kejelasan
tentang Minara. Selain tiga HPAL plant tersebut diatas, Revensthrope EPAL plant milik BHP
di Australia Barat juga ditutup awal 2009. Penutupan dilakukan setelah pabrik tersebut selesai
dibangun, dengan alasan ”tidak ekonomis”. Akhirnya Revensthorpe beralih kepemilikan ke
First Quantum Mining (FQM) perusahaan pertambangan tembaga (Cu) dari Canada. Sampai
saat ini (2014) EPAL plant tersebut belum beroperasi.
Akibat kegagalan teknologi berbasis HPAL/PAL di Australia, berpengaruh terhadap
rencana pembangunan HPAL/PAL plant dibeberapa negara. Pada umumnya pembangunan

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     255 
HPAL/PAL plant diluar Australia menjadi tertunda, kecuali HPAL/PAL plant milik
Sumitomo Jepang di Rio Tuba pulau Palawan Philipina. Ternyata HPAL/PAL plant yang
sukses milik Sumitomo Jepang di Rio Tuba yang mulai beroperasi akhir 2004. Karena
mengolah laterit dengan kandungan silikat rendah, yaitu Si < 10%. Seperti limonit yang
diolah di Moa Bay HPAL plant generasi pertama di Cuba.
Kenyataan ini menyebabkan pasokan nikel secara global terganggu. Sehingga harga
nikel naik tajam seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6 dibawah ini, dan pemain nikel
mencari jalan keluar untuk mengatasi kekurangan pasokan nikel.

Gambar 6. Harga Nikel (USD/lb) Pebruari 2004 – Desember 2008.[4]

Jalan keluar tersebut diantaranya pengolahan laterit kadar rendah dengan jalur
hydrometalurgi menggunakan proses heap leaching. Digunakan untuk memproduksi MHP
(Mixed Hydroxide Product) dari larutan nikel sulfat (NiSO4) produk dari proses heap
leaching. Atau pengolahan laterit kadar rendah dengan jalur pyrometalurgi untuk
memproduksi NPI (Nickel Pig Iron) menggunakan blast furnace (BF) atau electric furnace
(EF).
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata NPI yang dipelopori dan diproduksi besar
besaran oleh China mulai 2005, lebih menjadi pilihan d/p MHP (Mixed Hydroxide Product)
dari larutan nikel sulfat (NiSO4) hasil proses heap leaching.

NPI untuk stainless steel (SS)


NCPI/NPI (Nickel Containing Pig Iron/Nickel Pig Iron) adalah ferronikel (FeNi)
dengan kandungan 1,5-25% Ni yang dibuat dari laterit kadar rendah. Sedangkan ferronikel
(FeNi) konvensional pada umumnya mengandung 20-40% Ni dibuat dari saprolit berkadar Ni
≥ 1,8%. Teknologi pembuatan NCPI/NPI pada prinsipnya sama dengan pembuatan ferronikel
(FeNi), yaitu laterit dipanggang secara reduksi menggunakan reduktor batubara/kokas/gas,
kemudian dilanjutkan dengan peleburan terhadap hasil pemanggangan reduksi.
Karena kebutuhan nikel yang tinggi terutama untuk stainless steel (SS) di China, dan
tidak terjaminnya pasokan nikel akibat “kegagalan” proses HPAL/PAL seperti yang telah
dijelaskan diatas. Menyebabkan harga nikel berfluktuasi seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 6 diatas. Melihat kenyataan ini pemerintah China mengeluarkan kebijakan untuk
membuat NPI dari laterit kadar rendah menggunakan BF (blast furnace) atau EF (electric
furnace). Untuk bahan baku NPI, China mengimpor laterit dari Indonesia, Philipina, dan
Kaledonia Baru. Dari Indonesia diutamakan laterit dengan kandungan Ni > 1,6% sedangkan
dari Philipina diutamakan laterit dengan kandungan Ni < 1,5%. Dimana harga laterit impor
(berdasarkan nikel yang terkandung di dalam laterit) berbasis pada harga nikel menurut LME
di London Inggris. Adapun gambaran impor laterit dari Januari 2007 – Juli 2008, dapat
dilihat pada Gambar 7.

256  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Gambar 7. Impor Laterit Oleh China Dari Januari 2007 – Juli 2008.[10]

Laterit impor diolah menjadi NPI dengan menggunakan BF (blast furnace) atau EF
(electric furnace) oleh para produsen NPI di China. Pada umumnya dari blast furnace
dihasilkan NCPI/NPI dengan kandungan 1,5-8% Ni, sedangkan dari electric arc furnace
dihasilkan NCPI/NPI dengan kandungan 10-15 Ni%. Adapun produsen NPI di China, dapat
dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3. Produksi NPI Di China[7]

Selanjutnya NCPI/NPI tersebut digunakan untuk membuat stainless steel (SS) 200, SS
300, dan SS 400. Untuk membuat stainless steel (SS) 200 digunakan NCPI/NPI dengan
kandungan 1,6-1,7% Ni, sedangkan NCPI/NPI dengan kandungan 4-5% Ni digunakan untuk

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     257 
membuat SS 300. Adapun gambaran produksi SS di China dari tahun 2000-2010, dapat
dilihat pada Gambar 8 dibawah ini.

Gambar 8. Persentase Produksi Stainless Steel (SS) 200, 300, dan 400 Di China.[10]

Berdasarkan data terakhir Oktober 2013, produksi NPI di China makin meningkat
dengan demikian berarti impor laterit juga meningkat khususnya dari Indonesia. Produksi NPI
mencapai puncaknya ± 300.000 ton/tahun pada tahun 2012 dengan impor laterit ± 33.000.000
ton/tahun dari Indonesia, dan impor laterit ± 30.000.000 ton/tahun dari Philipina. Produksi
NPI dan impor laterit mulai turun pada tahun 2013. Sampai Juli 2013, produksi NPI ±
230.000 ton/tahun sedangkan impor laterit dari Indonesia ± 22.500.000 ton/tahun dan impor
laterit dari Philipina ± 15.000.000 ton/tahun. Barangkali terjadinya penurunan produksi NPI
dan impor laterit karena adanya larangan ekspor mineral oleh negara terutama dari Indonesia.
Indonesia melarang ekspor bahan baku mineral sesuai dengan amanat UU Minerba 2009
mulai pertengahan Januari 2014. Kenyataan penurunan produksi NPI dan impor laterit
tersebut, dapat dilihat pada Gambar 9 dibawah ini.

Gambar 9. Impor Laterit Dan Produksi NPI Di China Sampai 2013.[5]

Dengan berlakunya UU Minerba 2009 efektif mulai pertengahan Januari 2014 berarti
ekspor laterit tidak mendapatkan ijin dari negara, dan wajib untuk mengolahnya didalam
negeri. Dampak dari UU tersebut menyebabkan Jepang, China, dan Australia akan mengalami
gangguan pada industri pengolahan laterit didalam negerinya terutama China. Karena ketiga
negara tersebut mengimpor laterit dari Indonesia.
Dengan melihat kenyataan laterit sangat berlimpah di Indonesia seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3 diatas, dan bagian terbesar dari laterit tersebut adalah limonit
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 diatas. Sesuai dengan amanat UU Minerba 2009,
laterit kadar tinggi saprolit dengan kadar Ni ≥ 1,8% sudah diolah didalam negeri oleh

258  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
PT. Aneka Tambang di Pomalaa dan PT. Vale di Soroako. Maka laterit kadar rendah di tanah
air yang terdiri dari limonit dan saprolit dengan kandungan Ni < 1,8%, sangat potensial untuk
bahan baku NPI. Karena teknologi pengolahannya dengan jalur proses hydrometalurgi belum
proven (mapan) terutama teknologi HPAL/PAL (High Pressure Acid Leaching). Masalahnya
bisakah Indonesia seperti China memanfaatkan potensi laterit kadar rendah tersebut dengan
mengolahnya menggunakan jalur pyrometalurgi untuk memproduksi NPI.

KESIMPULAN
1. Laterit kadar rendah di tanah air yang terdiri dari limonit dan saprolit dengan kadar
Ni < 1,8%, sangat potensial untuk bahan baku NPI. Karena teknologi pengolahannya
dengan jalur proses hydrometalurgi belum proven (mapan) terutama teknologi HPAL
(High Pressure Acid Leaching).
2. Masalahnya bisakah Indonesia seperti China memanfaatkan potensi laterit kadar rendah
tersebut dengan mengolahnya menggunakan jalur pirometalurgi untuk memproduksi
NPI.

Daftar Referensi
[1] Cartman, Robert. 2010. An overview of the future production and demand of ferro
nickel. HATCH INFORMA MINING & METALS 2ND EURO NICKEL CONFERENCE,
18-19th 2010.
[2] Cranfield, Peter. 2006. The Nickel Industry – Long term drivers of nickel supply and
demand. International Nickel Study Group (INSG). Lisbon, October 2, 2006.
[3] Dalvi, Ashok. D. et al. 2004. The Past and The Future of Nickel Laterite. INCO
Limited, 2060 Flavelle Boulevard, Sheridan Park, Mississauga, Ontario L5K 1Z9
Canada, PDAC 2004 International Convention Trade Show & Investors Exchange,
March 7-10.
[4] Research Corporation. 40 University Avenue, Suite 440 Toronto, ON M5J 1T1.
[5] Ferreira, Ricardo. 2013. Statistical Analysis. Internasional Nickel Study Group (INSG).
“China Nickel Pig Iron”. Industry Advisory Panel. Tuesday, 1 October 2013.
[6] Lennon, Jim. 2007. The Chinese nickel outlook and the role of nickel pig iron.
Presentation to Internasional Nickel Study Group (INSG). May 11, 2007.
[7] Rao, Ming Jun. et al. 2013. Carbothermic reduction of Nickelliferous Laterite Ores for
Nickel Pig Iron Production in China : A Review. JOM: 65(11).
[8] Tollin, Sven. 2012. Chief Statistic. Internasional Nickel Study Group (INSG). “China
Nickel Pig Iron“. Industry Advisory Panel. Monday, 23 April 2012.
[9] Ye, Wang. 2008. Chinese Nickel Industry. Lisbon: BGRIM.
[10] Xinfang, Jiang. Tsinghan Holding Group. Ferro-Nickel/NPI Production from Laterite
Ore in China.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     259 
260  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
PENENTUAN PARAMETER OPERASIONAL
PLANETARY BALL MILL UNTUK KETEPATAN AKURASI
SUBSTITUSI NIKEL PADA SINTESIS LiFe0.9Ni0.1PO4/C
SKALA LABORATORIUM DI PUSLIT FISIKA-LIPI

R. Ibrahim Purawiardi*, Endang Suwandi


Pusat Penelitian Fisika - LIPI
Kawasan PUSPIPTEK, Tangerang Selatan, Indonesia
*E-Mail: ibrahimpurawiardi@yahoo.co.id

Abstrak
Puslit Fisika-LIPI saat ini sedang meneliti material katoda LiFe0.9Ni0.1PO4/C. Permasalahan muncul
ketika hasil pengujian elektrokimia dari material LiFe0.9Ni0.1PO4/C tidak selalu menunjukkan kesamaan hasil
uji. Hal ini diduga karena substitusi atom Ni kepada atom Fe tidak selalu tepat 0,1. Oleh sebab itu diperlukan
suatu penelitian untuk memastikan substitusi atom Ni kepada atom Fe adalah tepat 0,1. Ketepatan substitusi
dipengaruhi oleh proses milling, oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk menentukan parameter
operasional planetary ball mill yang digunakan di Puslit Fisika-LIPI dalam hal kecepatan putar operasional,
rasio perbandingan massa serbuk dengan bola penggerus, dan durasi milling yang tepat agar substitusi Ni
kepada Fe akurat pada angka kisaran 0,1. Metode yang dilakukan untuk mengumpulkan data parameter adalah
dengan cara menghitung kecepatan putar aktual yang diperlukan untuk milling, setelah itu LiFe(1-x)NixPO4/C
hasil dari kalsinasi 700°C selama dua jam di-milling dengan kecepatan putar aktual hasil hitungan tersebut
dengan variasi durasi milling 1 jam, 2 jam, dan 3 jam dengan rasio perbandingan massa serbuk dengan bola
penggerus 1:10 lalu disinter dengan suhu 800°C selama 10 jam, kemudian diakhiri dengan analisis XRD pada
ketiga sampel tersebut. Hasil perhitungan didapatkan kecepatan putar operasional yang diperlukan adalah 480
rpm. Dari hasil analisis berbasis data XRD ditemukan bahwa pada ketiga sampel terdapat pergeseran posisi
atom Fe akibat dorongan dari atom Ni pada sumbu x dan z yang menyebabkan adanya perbedaan volume kristal
dari masing-masing sampel. Perbedaan volume kristal tiap-tiap sampel menyebabkan nilai bobot molekular
tipa-tiap sampel menjadi berbeda pula. Perbedaan bobot molekular dari tiap-tiap sampel menyebabkan
perbedaan material sintetis yang dihasilkan. Sampel pertama dengan durasi satu jam menghasilkan material
LiFe0.9962PO4/C, sampel kedua dengan durasi dua jam menghasilkan material LiFe0.9371Ni0.0629PO4/C, dan
sampel ketiga dengan durasi tiga jam menghasilkan material LiFe0.9989PO4/C. Dari hasi-hasil tersebut berarti
menunjukkan substitusi atom Ni pada atom Fe menggunakan kecepatan putar 480 rpm dan rasio perbandingan
massa serbuk dengan bola penggerus 1:10 terjadi pada sampel kedua dengan durasi milling dua jam. Dengan
mempertimbangkan keberhasilan substitusi atom Ni pada atom Fe, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
parameter operasional yang direkomendasikan untuk planetary ball mill dalam sintesis LiFe0.9Ni0.1PO4/C skala
laboratorium di Puslit Fisika-LIPI adalah kecepatan putar operasional yang digunakan 480 rpm, rasio
perbandingan massa serbuk dengan bola penggerus 1:10, dan durasi milling dua jam.

Kata kunci: Kecepatan putar operasional, Rasio perbandingan massa serbuk dengan bola penggerus, Durasi
milling, Substitusi atom Ni pada atom Fe, Sintesis LiFe0.9Ni0.1PO4/C.

PENDAHULUAN
Seiring dengan semakin menipisnya cadangan bahan bakar fosil di dunia maka
manusia harus mulai berpikir untuk mempersiapkan sumber energi alternatif guna
mengantisipasi akan habisnya bahan bakar fosil di masa yang akan datang. Salah satu sumber
energi non fosil yang sekarang ini banyak dikembangkan di dunia adalah teknologi baterai
lithium. Teknologi baterai lithium sendiri merupakan teknologi yang strategis disamping
teknologi nuklir karena dapat diaplikasikan di berbagai sektor seperti energi, industri
elektronika, industri manufaktur, pertahanan, transportasi, pertanian, dan lain sebagainya.
Teknologi baterai lithium yang sedang banyak dikembangkan di Indonesia adalah
teknologi baterai lithium-ion. Teknologi ini tersusun atas komponen utama katoda, anoda,
separator, dan elektrolit cair. Bahan yang sekarang ini banyak dikembangkan untuk katoda
baterai lithium-ion adalah LiMPO4, dengan M merupakan logam transisi. Lithium transition-
metal phosphates (LiMPO4, dengan M = Fe, Mn) sendiri telah menarik banyak perhatian

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     261 
dikarenakan cyclic performance yang baik, stabilitas kimia dan thermal yang sangat baik,
kadar racun yang rendah, dan memiliki keunggulan dalam hal efektifitas harga.[1] Di
Indonesia sendiri banyak kalangan peneliti dan perekayasa yang mengembangkan LiFePO4
dan LiMnPO4 karena bahan baku kimianya seperti Fe2O3, MnO2, dan H3PO4 dapat diekstraksi
dari dalam negeri sehingga dapat menekan impor bahan baku pembuatan baterai lithium-ion.
LiFePO4 memiliki working-potential relatif yang rendah yaitu 3,5 V (vs. Li+/Li) bila
dibandingkan dengan LiMnPO4 yang mendekati 4 V (vs. Li+/Li), namun performa dari
LiMnPO4 lebih buruk dibandingkan LiFePO4 bila dijadikan katoda baterai lithium-ion.[2]
Selain itu baterai lithium-ion yang menggunakan katoda LiMnPO4 juga jarang mencapai
densitas energi yang diharapkan sesuai teoritis meskipun dibuat dalam mild condition.[2]
Dengan pertimbangan performa yang lebih stabil, maka LiFePO4 lebih banyak dikembangkan
di Indonesia. Permasalahan yang ada dari LiFePO4 adalah tinggal bagaimana meningkatkan
working-potential-nya. Salah satu cara untuk meningkatkan working-potential dari LiFePO4
dengan mensubstitusi sebagian atom Fe dengan sebagian atom Ni yang lebih konduktif
menjadi LiFe(1-x)NixPO4. Namun, mensintesis material LiFe(1-x)NixPO4 ternyata tidak semudah
teorinya. Seringkali target nilai x dari doping Ni meleset sehingga hasil pengujian
elektrokimianya seringkali tidak sesuai dengan teoritisnya. Untuk mensubstitusi atom Ni pada
Fe dalam membentuk LiFe(1-x)NixPO4, metode yang umumnya digunakan adalah dengan cara
mechanical alloying menggunakan ball mill. Oleh sebab itu efektivitas substitusi dopant
sangat dipengaruhi oleh efektivitas dari ball milling. Untuk mencapai efektivitas ball milling
dalam substitusi dopant maka perlu ditentukan parameter operasional yang tepat dari proses
ball milling tersebut. Di Puslit Fisika-LIPI sendiri sedang diteliti LiFe0.9Ni0.1PO4/C sebagai
bahan katoda baterai lithium-ion, oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk menentukan
parameter operasional ball milling yang menggunakan planetary ball mill dalam sintesis
LiFe0.9Ni0.1PO4/C agar substitusi atom Ni terhadap atom Fe dapat terjadi dengan akurasi yang
tepat yaitu pada kisaran x = 0,1.

Parameter Operasional Ball Milling


Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam reaksi solid-state menggunakan ball mill
yaitu kecepatan putar, rasio perbandingan massa sampel serbuk dengan bola penggerus, dan
durasi milling. Secara umum kecepatan putarnya ditentukan dari kecepatan kritisnya, yaitu[3]:
.
(1)

dengan Nc : kecepatan kritis (rpm)


D : diameter dalam silinder (ft)
d : diameter bola penggerus (ft)

Kecepatan putar silinder biasanya berkisar 80% dari kecepatan kritisnya. Putaran yang
terlalu cepat akan menimbulkan efek cataracting (gaya impak), sementara putaran yang
terlalu rendah akan menimbulkan efek cascading (gaya gerus).[3]
Proses mechanical alloying dalam mensintesis material olivine berstruktur kristal
LiFePO4/C dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara basah (wet) dan cara kering (dry).
Rasio perbandingan massa sampel serbuk dengan bola penggerus untuk cara basah berkisar
antara 1:15 hingga 1:30 dengan performa elektrokimia terbaik pada 1:25.[4] Sementara untuk
cara kering tidak ada ketentuan yang pasti berapa rasio perbandingan serbuk dengan bola
penggerusnya. Ada beberapa contoh yang menggunakan rasio 3:10 dan 2:5.[5,6] Rasio-rasio
tersebut pun disesuaikan dengan kondisi lapangannya menyesuaikan kapasitas silinder dan
gaya sentrifugal yang terjadi. Begitu juga dengan durasi milling juga ditentukan oleh
kebutuhan target yang diinginkan. Jadi, secara umum tidak ada hitungan yang pasti mengenai
rasio perbandingan serbuk dengan bola penggerus dan durasi milling, sehingga kedua
parameter tersebut lebih bersifat eksperimental.

262  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
METODE PERCOBAAN
Bahan yang digunakan untuk sintesis LiFe0.9Ni0.1PO4/C adalah LiOH.H2O (teknis),
Fe2O3 (hematite, syn teknis), Ni (99%, merck), H3PO4 (teknis), dan tepung tapioka. Kemudian
7,96 g LiOH.H2O; 13,64 g Fe2O3; 1,11 g Ni; 18,60 g H3PO4 dicampurkan hingga bereaksi
guna mengikuti persamaan reaksi sebagai berikut:

LiOH.H2O(s)+0.45Fe2O3(s)+0.1Ni(s)+H3PO4(l) LiFe0.9Ni0.1PO4(s)+0.175O2(g)+3H2O(g) (2)

Bahan hasil reaksi tersebut lalu dihaluskan hingga lolos ayakan 200 mesh, kemudian
dikalsinasi dengan temperatur 700°C selama dua jam.
Serbuk hasil kalsinasi kemudian dicampur dengan tepung tapioka dengan rasio
perbandingan massa serbuk hasil kalsinasi dengan tepung tapioka 4:1. Campuran serbuk hasil
kalsinasi dengan tepung tapioka tersebut kemudian diambil sebanyak 35 g untuk di-milling
dengan cara kering (dry) menggunakan planetary ball mill dengan rasio perbandingan serbuk
hasil kalsinasi dengan akumulasi bola penggerus 1:10 (35 g serbuk hasil kalsinasi, 350 g
akumulasi bola penggerus). Kecepatan putar proses ball milling yang digunakan disesuaikan
dengan hasil perhitungan. Durasi proses ball milling divariasikan selama satu jam, dua jam,
dan tiga jam. Setelah di-milling, bahan-bahan hasil milling kemudian disinter dengan
temperatur 800°C selama 10 jam lalu dianalisis hasilnya dengan X-Ray Diffractometer (XRD)
merk Rigaku tipe Smartlab.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Ada tiga hal yang menjadi parameter operasional planetary ball mill dalam sintesis
LiFe0.9Ni0.1PO4/C skala laboratorium, yaitu kecepatan putar operasional, rasio perbandingan
massa serbuk dengan akumulasi bola penggerus, dan durasi milling. Oleh sebab itu, tiga
parameter tersebut menjadi garis besar pembahasan di dalam tulisan ini.
Kecepatan putar operasional teoritis harus dihitung terlebih dahulu. Kecepatan putar
operasional yang digunakan harus menimbulkan efek cascading (gaya gerus yang dominan)
bukan efek cataracting (gaya impak yang dominan). Untuk mengetahui kecepatan putar
operasional agar menimbulkan efek cascading, perlu dihitung terlebih dahulu kecepatan putar
kritisnya dengan persamaan yang telah dijabarkan pada bagian pendahuluan tulisan ini.
Dimensi silinder planetary ball mill yang digunakan memiliki diameter dalam 92 mm (0,3 ft)
dan bola penggerus yang digunakan memiliki diameter 20 mm (0,07 ft). Sehingga bila kita
bagi angka 76,6 dengan akar dari selisih 0,3 ft dengan 0,07 ft maka akan diperoleh angka
159,72 rpm. Angka 159,72 rpm tersebut merupakan nilai kecepatan putar kritis. Untuk
menimbulkan efek cascading, kecepatan putar yang diperlukan adalah 80% dari kecepatan
kritisnya, sehingga nilai kecepatan putar teoritis yang diperlukan adalah 127,78 rpm. Namun,
alat planetary ball mill yang digunakan baru akan berputar bila kecepatan putarnya paling
rendah 480 rpm. Oleh sebab itu, kecepatan putar opersional aktual yang dipilih adalah 480
rpm dengan pertimbangan pada kecepatan operasional 480 rpm tersebut, efek cataracting
paling minimum terjadi.
Rasio perbandingan massa serbuk dengan bola penggerus yang digunakan ditentukan
oleh eksperimen langsung dari lapangan. Ada beberapa literatur yang menggunakan rasio
3:10 dan 2:5.[5,6] Tetapi, rasio-rasio tersebut bukanlah rasio hitungan teoritis, sehingga untuk
penentuannya harus disesuaikan kapasitas silinder yang digunakan. Untuk menekan efek
cataracting, satu luasan alas dari silinder harus dipenuhi oleh bola-bola penggerus. Dengan
diameter dalam silinder 92 mm dan diameter masing-masing bola penggerus 20 mm, maka
perbandingan luas alas silinder dengan luas potongan melintang satu bola penggerus menjadi
21,16. Dengan pembulatan nilai ke bawah menjadi 21, maka jumlah bola penggerus
berdiameter 20 mm yang diperlukan dalam operasional ball milling adalah 21 buah. Dengan
massa rata-rata satu bola penggerus 16,67 g, maka total akumulasi massa bola penggerus yang

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     263 
diperlukan adalah 350 g. Sementara total jumlah serbuk yang diperlukan dalam operasi ball
milling tidak boleh melebihi ketinggian dari akumulasi bola penggerus agar gaya sentrifugal
dan efek cascading dapat berlangsung optimum. Dari eksperimen yang dilakukan jumlah
massa serbuk yang paling optimum adalah 35 g. Dengan akumulasi massa bola penggerus 350
g dan akumulasi massa serbuk 35 g, maka rasio perbandingan massa serbuk dengan
akumulasi bola penggerus adalah 35 g per 350 g atau 1:10.
Durasi ball milling juga ditentukan berdasarkan eksperimen. Durasi yang paling
optimum untuk membentuk LiFe0.9Ni0.1PO4/C ditentukan dari hasil analisis XRD ketiga
sampel.

600

400
Intensity (cps)

200

-200
20 40 60 80
2-theta (deg)

Gambar 1. Pola difraksi sinar-X sampel LiFe(1-x)NixPO4 pertama dengan durasi milling
1 jam.

Hasil XRD sampel pertama menunjukkan terbentuk satu kristal tunggal LiFePO4
(ICDD/PDF4 # 01-080-6319) dengan tiga strongest lines pada d-spacing 2,51 Å; 3,00 Å; dan
3,48 Å serta nilai hkl masing-masing strongest line adalah (311), (211), dan (111) pada sudut
2θ = 35,619°; 29,722°; dan 25,564°. Nilai chi2 dari analisis XRD sendiri adalah 1.1302.
Struktur kristal adalah orthorombik dengan a = 10,337 Å; b = 6,010 Å; dan c = 4,696 Å serta
sudut α = β = γ = 90°. Volume aktual dari kristal LiFePO4 sampel pertama adalah 291,7 Å3.

2000

1500
Intensity (cps)

1000

500

0
20 40 60 80
2-theta (deg)

Gambar 2. Pola difraksi sinar-X sampel LiFe(1-x)NixPO4 kedua dengan durasi milling 2 jam.

Hasil XRD sampel kedua menunjukkan terbentuk satu kristal tunggal LiFePO4
(ICDD/PDF4 # 01-080-6319) dengan tiga strongest lines pada d-spacing 2,51 Å; 2,99 Å; dan
3,47 Å serta nilai hkl masing-masing strongest line adalah (311), (211), dan (111) pada sudut
2θ = 35,714°; 29,802°; dan 25,653°. Nilai chi2 dari analisis XRD sendiri adalah 1.1791.

264  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Struktur kristal adalah orthorombik dengan a = 10,329 Å; b = 6,0057 Å; dan c = 4,6905 Å
serta sudut α = β = γ = 90°. Volume aktual dari kristal LiFePO4 sampel kedua sendiri adalah
290,97 Å3.

1000

Intensity (cps)

500

20 30 40 50 60 70 80
2-theta (deg)

Gambar 3. Pola difraksi sinar-X sampel LiFe(1-x)NixPO4 ketiga dengan durasi milling 3 jam.

Hasil XRD sampel ketiga menunjukkan terbentuk satu kristal tunggal LiFePO4
(ICDD/PDF4 # 01-080-6319) dengan tiga strongest lines pada d-spacing 2,51 Å; 3,00 Å; dan
3,47 Å serta nilai hkl masing-masing strongest line adalah (311), (211), dan (111) pada sudut
2θ = 35,632°; 29,747°; dan 25,588°. Nilai chi2 dari analisis XRD sendiri adalah 1,2995.
Struktur kristal adalah orthorombik dengan a = 10,329 Å; b = 6,0092 Å; dan c = 4,6955 Å
serta sudut α = β = γ = 90°. Volume aktual dari kristal LiFePO4 sampel ketiga sendiri adalah
291,43 Å3.

Tabel 1. Data-data berbasis analisis XRD pada standar dan sampel uji.
Volume Bobot
Material
Sampel X Y Z Kristal Molekular
Terbentuk
(Å3) (g.mol-1)
Standar Fe = Fe = Fe =
291.31 157.76 LiFePO4
ICDD 0.28222 0.25 0.97472
Fe = Fe = Fe =
1 291.70 157.55 LiFe0.9962PO4
0.29222 0.25 1.02472
Fe = Fe = Fe =
2 290.97 157.94 LiFe0.9371Ni0.0629PO4
0.32222 0.25 0.99472
Fe = Fe = Fe =
3 291.43 157.70 LiFe0.9989PO4
0.27222 0.25 0.93472

Dari hasil XRD pada ketiga sampel menunjukkan bahwa penambahan atom Ni pada
LiFePO4/C menyebabkan adanya pergeseran koordinat posisi pada atom Fe seperti yang
terlihat pada Tabel 1. Hal ini menunjukkan adanya dorongan atom Ni terhadap atom Fe
dalam upaya mensubstitusi sebagian atom Fe. Tabel 1 menunjukkan pergeseran koordinat
posisi atom Fe terjadi pada sumbu x dan sumbu z. Hal ini menunjukkan adanya dorongan
atom Ni terhadap atom Fe pada bidang xz dalam upaya atom Ni mensubstitusi sebagian atom
Fe. Pergeseran posisi atom Fe akibat dorongan atom Ni menyebabkan adanya perubahan
volume kristal. Hal ini dapat kita lihat dari perbedaan volume kristal pada tiap-tiap sampel
bila dibandingkan dengan standar LiFePO4 (ICDD/PDF 4 # 01-080-6319). Volume kristal
LiFePO4 teoritis menunjukkan nilai 291,31 Å3. Sementara itu besarnya volume kristal dari

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     265 
sampel pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut adalah 291,70 Å3; 290,97 Å3; dan
291,43 Å3. Nilai bobot molekular dari LiFePO4 standar (ICDD/PDF 4 # 01-080-6319) adalah
157,76 g/mol, sedangkan bobot molekular teoritis dari target sintesis LiFe0.9Ni0.1PO4 adalah
158,05 g/mol. Hal ini menunjukkan bahwa secara teoritis apabila substitusi atom Ni terhadap
sebagian atom Fe berhasil maka akan berimplikasi pada kenaikan nilai bobot molekular. Nilai
bobot molekular seperti kita ketahui berbanding terbalik dengan nilai mol. Nilai mol sendiri
berbanding lurus dengan volume kristal. Oleh sebab itu, nilai bobot molekular akan
berbanding terbalik dengan nilai volume kristal. Dengan asumsi seperti itu, maka apabila
substitusi atom Ni terhadap sebagian atom Fe berhasil maka akan berimplikasi pada
penurunan besarnya volume kristal. Dari tiga sampel yang diujicobakan, hanya sampel kedua
saja yang mengalami penurunan volume kristal bila dibandingkan dengan LiFePO4 standar.
Hal ini menunjukkan bahwa hanya sampel kedua saja lah yang berhasil tersubstitusi atom Ni.
Sementara itu, sampel pertama dan ketiga justru mengalami kenaikan besar volume kristal.
Hal ini menunjukkan substitusi atom Ni pada sampel pertama dan ketiga gagal terjadi.
Dengan membagi nilai volume kristal LiFePO4 standar dengan nilai volume kristal sampel uji
kemudian dikalikan hasilnya dengan bobot molekular LiFePO4 standar maka akan diperoleh
nilai bobot molekular untuk sampel pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut sebesar
157,55 g/mol; 157,94 g/mol; dan 157,70 g/mol. Dengan nilai bobot molekular (Mr) yang
diketahui dari ketiga sampel, kita dapat prediksi material yang terbentuk. Dari hasil XRD
ketiga sampel menunjukkan terbentuk satu kristal tunggal LiFePO4, sehingga ketiga sampel
walaupun berbeda bobot molekularnya, akan tetap merupakan material dengan basis kristal
LiFePO4. Hasil prediksi ketiga sampel berdasarkan nilai bobot molekularnya dengan asumsi
tetap berbasis kristal LiFePO4 menunjukkan material yang terbentuk untuk sampel pertama
adalah LiFe0.9962PO4, sampel kedua LiFe0.9371Ni0.0629PO4, dan sampel ketiga LiFe0.9989PO4.
Bila kita perhatikan, sampel kedua yang terbentuk material LiFe0.9371Ni0.0629PO4 merupakan
sampel yang paling mendekati target sintesis LiFe0.9Ni0.1PO4. Dan dikarenakan hasil XRD
ketiga sampel hanya menunjukkan fasa tunggal LiFePO4 dan tidak terdeteksi struktur kristal
karbon, maka struktur kristal karbon dianggap amorf. Dengan asumsi tersebut, maka coating
karbon pada LiFePO4 secara analisis XRD telah berhasil dilakukan. Dengan demikian,
material yang terbentuk untuk sampel pertama adalah LiFe0.9962PO4/C, sampel kedua
LiFe0.9371Ni0.0629PO4/C, dan sampel ketiga LiFe0.9989PO4/C. Jadi, Berdasarkan analisis berbasis
data XRD, durasi operasional ball milling yang direkomendasikan adalah dua jam karena
pada sampel kedua yang menggunakan durasi dua jam-lah diperoleh material yang paling
mendekati target LiFePO4/C, yaitu LiFe0.9371Ni0.0629PO4/C.

KESIMPULAN
Parameter operasional planetary ball mill untuk ketepatan akurasi substitusi nikel pada
sintesis LiFe0.9Ni0.1PO4/C skala laboratorium di Puslit Fisika-LIPI yang direkomendasikan
adalah kecepatan putar operasional 480 rpm, rasio perbandingan massa serbuk dengan
akumulasi bola penggerus 1:10, dan durasi ball milling selama dua jam.

Daftar Referensi
[1] Meligrana, G. et al. 2013. Surfactant-Assisted Mild Hydrothermal Synthesis to
Nanostructured Mixed Orthophosphates LiMnyFe1-yPO4/C Lithium Insertion Cathode
Materials. Electrochimica Acta, 105: 99-109.
[2] Hong, J. et al. 2011. LiFexMn1-xPO4: a Cathode for Lithium-Ion Batteries. Journal of
Power Sources, 196: 3659-3663.
[3] Sudarsono, A. S. 2003. Pengantar Pengolahan dan Ekstraksi Bijih Emas. Bandung:
Penerbit ITB.
[4] Lv, Y. J. et al. 2014. Effects of Ball-to-Powder Weight Ratio on The Performance of
LiFePO4/C Prepared by Wet-Milling Assisted Carbothermal Reduction. Powder
Technology, 253: 467-473.

266  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
[5] Zhang, D. et al. 2010. Effect of Milling Method and Time on The Properties and
Electrochemical Performance of LiFePO4/C Composites Prepared by Ball Milling and
Thermal Treatment. Electrochimica Acta, 55: 2653-2661.
[6] Kang, H. C. et al. 2008. Optimized Solid-State Synthesis of LiFePO4 Cathode Materials
Using Ball Milling. Journal of Power Sources, 179: 340-34.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     267 
268  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
REVIEW TEKNOLOGI PENINGKATAN EFISIENSI SEL SURYA
SILIKON POLIKRISTAL

Retna Deca Pravitasari*, Rina Dewi Mayasari, Dwi Gustiono


Pusat Teknologi Material, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Gedung 224, Kawasan Puspitek, Tangerang Selatan, Banten
*E-Mail: retna.deca@bppt.go.id

Abstrak
Teknologi sel surya generasi pertama menggunakan silikon polikristal masih mendominasi industri sel
surya hingga saat ini. Teknologi pembuatan silikon polikristal telah dikaji untuk meningkatan efisiensi sel surya.
Pengembangan teknologi pembuatan silikon polikristal menarik dikaji dengan harapan memperoleh nilai
efisiensi sel surya yang mendekati efisiensi dari silikon kristal tunggal sebesar 25,6%. Beberapa teknologi
terkait yang telah diaplikasikan selama 10 tahun terakhir, yaitu teknologi teksturasi, difusi, improvisasi kontrol
proses, dan pasivasi permukaan. Kelebihan dan kekurangan masing-masing teknologi tersebut dijelaskan pada
makalah ini.

Kata kunci: Silikon polikristal, Efisiensi, Sel surya, Teksturisasi permukaan, Difusi, Pasivasi permukaan,
Kontrol proses.

PENDAHULUAN
Kebutuhan manusia akan energi listrik semakin tinggi tetapi tidak diimbangi dengan
bertambahnya pasokan energi listrik. Akibatnya, PLN harus mengambil kebijakan melakukan
pemadaman bergilir di beberapa wilayah dan bahkan ada daerah-daerah di Indonesia
khususnya di wilayah timur belum mendapatkan listrik. Oleh karena itu, pemerintah perlu
mengembangkan teknologi penghasil listrik alternatif sehingga dapat memenuhi kebutuhan
listrik. Salah satu teknologi penghasil listrik alternatif yang sesuai dengan kondisi alam
Indonesia yang memiliki intensitas cahaya matahari tinggi adalah teknologi sel surya.
Teknologi sel surya yang dikembangkan dunia penelitian adalah sel surya generasi
pertama menggunakan silikon polikristal dan silikon kristal tunggal.[1] Teknologi sel surya
generasi pertama yang mendominasi di pasaran adalah silikon polikristal karena memiliki
biaya produksi yang lebih rendah dan proses pembuatan yang lebih mudah. Akan tetapi,
silikon polikristal memiliki kekurangan, yaitu nilai efisiensi yang rendah berkisar 20%[2],
sehingga energi listrik yang dihasilkan sedikit. Kekurangan ini mendorong para ilmuwan
mengimprovisasi teknologi pembuatan polikristal silikon untuk mendapatkan performa sel
surya yang lebih baik.[3] Kajian paper ini mengulas tentang teknologi-teknologi
pengembangan silikon polikristal selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Hasil kajian ini
dapat memberikan rekomendasi teknologi silikon polikristal untuk mendapatkan nilai efisiensi
sel surya tertinggi hingga mendekati efisiensi silikon kristal tunggal yang dapat diaplikasikan
di industri sel surya.

Teknologi Tekstrurisasi
Teknologi teksturisasi merupakan rekayasa permukaan wafer silikon polikristal untuk
membentuk pola tertentu. Teknologi ini berfungsi untuk mengurangi reflektansi cahaya pada
permukaan silkon dan meningkatkan intensitas cahaya yang terperangkap sehingga dapat
meningkatkan nilai efisiensinya.[4] Tidak hanya teknologi teksturisasi permukaan, bentuk
tekstur permukaan juga penting diperhatikan untuk mendapatkan sifat listrik yang baik dan
tekstur dengan sifat reflektansi terhadap cahaya yang rendah.[5] Beberapa teknologi
teksturisasi permukaan yang selama ini digunakan antara lain etsa basah, pelapisan perak,
metode laser, dan teksturisasi sarang lebah.
Teksturisasi permukaan dengan proses etsa basah (wet etching process) dilakukan
menggunakan larutan asam (campuran dari HF dan HNO3) dan larutan alkali (campuran

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     269 
potassium hydroxide (KOH), isopropyl alcohol (IPA), dan air ionisasi). Kelebihan dari
teknologi teksturisasi etsa basah ini antara lain proses yang mudah dilakukan, biaya produksi
yang murah, laju etsa yang tinggi, dan luasnya daerah homogen yang dihasilkan.[4] Hanya saja
wet etching juga memiliki kekurangan, yaitu sulit mengontrol ukuran dan bentuk
teksturisasi.[5] Nilai efisiensi etsa basah diperoleh sebesar 12,61%.[4] Selain penggunaan asam
saja, metode lain mencoba untuk menambahkan reactive ion etching (RIE) untuk
mendapatkan pola permukaan yang lebih baik. Nilai efisiensi yang dihasilkan juga terbukti
lebih tinggi, yaitu 17,82%.[6]
Teknologi lainnya yang dapat dijadikan suatu referensi untuk meningkatkan nilai
efisiensi yaitu dengan kombinasi pelapisan perak (Ag-assisted etching) dan sodium hidroksida
(NaOH).[5] Eksperimen yang dilakukan yaitu membandingkan nilai efisiensi antara
polikristalin dengan metode standar, dengan padukan NaOH dan tanpa NaOH. Untuk hasil
polikristal tanpa NaOH menghasilkan nilai efisiensi 16,24%, polikristalin dengan metode
standar 17,39%, dan dengan tambahan NaOH dihasilkan nilai efisiensi sebesar 18,03%.[7]
Teksturisasi permukaan dengan menggunakan laser dapat juga digunakan untuk
meningkatkan nilai efisiensi.[3] Teksturasi menggunakan laser akan meningkatkan penyerapan
dari radiasi matahari karena memiliki orientasi butir yang lebih stabil dibandingkan dengan
metode lainnya karena teksturasi
Pembentukan tekstur permukaan yang paling baik adalah teksturisasi sarang lebah
atau “honeycomb”. Pembentukan pola sarang lebah ini menjadi teknologi teksturisasi yang
sangat efektif karena memadukan tiga teknologi teksturisasi secara bersamaan, yaitu
penggunaan asam, RIE dan laser. Bentuk morfologi permukaan berpola sarang lebah dapat
dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan hasil eksperimen, nilai efisiensi yang diperoleh dari
teknologi sarang lebah sebesar 18,6%.[4]

Gambar 1. Hasil SEM permukaan tekstur sarang lebah.

Teknologi Difusi
Teknologi difusi merupakan metode pemasukan bahan doping pada wafer silikon
polikristal tipe-p dan -n setelah proses pada suhu tinggi.[8] Wafer silikon polikristal tipe-p
diperoleh dengan difusi fospor dari sumber POCl3 dan tipe-n dengan boron dari sumber bahan
BBr3. Difusi fosfor dilakukan pada tungku tabung dengan suhu 800C selama satu jam dan
untuk difusi boron pada suhu 890C selama satu jam. Panjang awal kedua wafer yaitu
440 µm, setelah dilakukan difusi dengan boron panjangnya menjadi 540 µm sedangkan untuk
panjang setelah dilakukan difusi fosfor menjadi 600µm. Efisiensi yang diperoleh setelah
proses difusi secara simulasi diperoleh 20,6% untuk masing-masing tipe-p dan tipe-n.

Improvisasi Kontrol Mikrostruktur


Terdapat beberapa macam teknologi fabrikasi sel surya silikon polikristal seperti
electromagnetic casting, metode casting, edge-defined film feed method, dan directional
solidification (DSS). Dari beberapa metode tersebut, yang paling banyak digunakan di
industri-industri seel surya yaitu directional solidification system (DSS) karena beberapa

270  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
kelebihan yang dimilikinya seperti toleransi yang baik terhadap ketidakmurnian feedstock,
cocok digunakan untuk produk masal, kemudahan dalam pengoperasian, dan efektivitas
biayanya.[9]
Nilai efisiensi yang diperoleh pada silikon polikristal dengan metode DSS akan
bernilai rendah jika dibandingkan dengan silikon kristal tunggal karena akan terjadinya cacat
kristal (crystal defects) yang menyebabkan menurunnya nilai efisiensi. Karena hal itu,
peningkatan nilai efisiensi sel surya pada silikon polikristal dapat diperoleh dengan
mengontrol cacat (defects) dan unsur pengotornya (impurities) yakni dengan mengendalikan
pertumbuhan dan orientasi butir selama proses pembuatan ingot. Untuk melaksanakan proses
pengontrolan ini maka peru dilakukan modifikasi geometri tungku dan optimasi daerah panas
pada tungku.
Pada penelitian yang dilakukan, improvisasi control mikrostruktur terbukti dapat
meningkatkan nilai efisiensi sebesar 0,62%. Peningkatan performa ini karena ketika dilakukan
control mikrostruktur dihasilkan banyaknya ukuran butir yang lebih seragam yang dapat
menurunkan nilai densitas dislokasinya. Selain itu, dengan pengontrolan mikrostruktur
dihasilkan twin boundary yang lebih banyak yang memiliki energi boundary yang rendah
sehingga struktur-struktur atomnya akan lebih stabil dan tidak akan terbentuknya cacat yang
berada di bandgap daripada silikon polikristal.

Gambar 2. Peningkatan nilai efisiensi dengan pengontrolan mikrostruktur.

Teknologi Pasivasi Permukaan


Lapisan aluminium oksida (Al2O3) digunakan sebagai lapisan dielektrik yang
mempasivasi permukaan untuk emiter yang terpasivasi dan sel silikon polikristal (PERC).[10]
Pasivasi Silikon tipe-p resistivitas rendah dengan dielektrik Al2O3 mutan negatif terkonfirmasi
memiliki efisiensi sel surya 20,6%. Pasivasi yang terbaik diperoleh pada lapisan tipis Al2O3
dengan ketebalan 30nm yang dideposisikan pada lapisan silikon oksida (SiOx) menggunakan
plasma-enhanced-chemical-vapour-deposition (PPECVD).

Perbandingan Nilai Efisiensi


Berdasarkan hasil review kajian tentang peningkatan nilai efisiensi sel surya pada
silicon polikristal diperoleh nilai-nilai efisiensi yang bervariasi tergantung dari jenis
pengembangan teknologi yang digunakan (Tabel 1).

Tabel 1. Perbandingan nilai efisiensi sel surya pada beberapa teknologi pembuatan silikon
polikristal
Teknologi pembuatan silikon polikristal Nilai efisiensi (%)
Teksturisasi Sarang lebah 18,6
permukaan Penggunaan asam 12,61
Penambahan RIE 17,82
Pelapisan perak 18,03

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     271 
Laser 10,51
Difusi Tipe-n dengan fosfor 20,6 (hasil simulasi)
Tipe-p dengan boron 20,6 (hasil simulasi)
Pasivasi Permukaan dengan Al2O3 20,6
Improvisasi kontrol mikrostruktur Peningkatan nilai efisiensi sebesar
0,62

KESIMPULAN
Perbandingan nilai efisiensi dari sel surya silikon polikristal telah dipaparkan di
makalah ini. Nilai efisiensi menggunakan teknologi teksturasi menghasilkan nilai yang
bervariasi, yakni antara 10,51% hingga 18,03%. Untuk metode difusi menghasilkan nilai
efisiensi yang tidak berbeda dengan metode pasivasi sebesar 20,6%. Sedangkan untuk
improvisasi kontrol mikrostruktur akan meningkatkan nilai efisiensi sebesar 0,62%. Jika
diumpamakan nilai efisiensi sel surya silikon polikristalin dipasaran sebesar 20% maka nilai
efisiensi dengan improvisasi kontrol mikrostruktur sebesar 20,62%. Dari data ini diperoleh
bahwa metode yang memungkinkan untuk dikembangkan yaitu improvisasi kontrol
mikrostruktur karena proses teknologi yang mudah serta teknologi yang telah mendominasi
dikalangan industri dibandingkan dengan teknologi pasivasi dan difusi yang membutuhkan
teknologi yang tinggi.

Daftar Referensi
[1] Nuryadi. dkk. 2013. Review Teknologi Sel Surya Generasi Pertama, Kedua, dan Ketiga.
Prosiding Seminar Nasional TEKNOIN 2013. Vol 1.
[2] Solar Cell efficiency table (Version 44).
[3] Dobrzanski, L.A. 2008. Surface Texturing of Multicrystalline Silicon Solar Cells.
[4] Yuang-Tung Cheng. 2010. Efficiency Improved by Acid Texturization for Multi-
Crystalline Silicon Solar Cells.
[5] Morikawa, H. 2009. Processes for Over 18.5% High-Efficiency Multi-Crystalline
Silicon Solar Cell.
[6] Liu, S. 2014. Improvement of Conversion Efficiency of Multicrystalline Silicon Solar
Cells by Incorporating Reactive Ion Etching texturing.
[7] Zhihao Yue. 2014. Large Scale Black Multi-Crystalline Silicon Solar Cell With
Conversion Efficiency Over 18%.
[8] Michl, B. et al. 2013. Excellent Average Diffusion Lengths of 600µm of N-Type
Multicrystalline Silicon Wafers After The Full Solar Cell Process Including Boron
Diffusion. SciVerse Science Direct. Energy Procedia, 33: 41-49.
[9] Tang, X. et al. 2013. Characterization of High-Efficiency Multi-Crystalline Silicon in
Industrial Production. SciVerse Science Direct. Solar Energy Materials & Solar Cells,
117: 225-230.
[10] Schmidt, J. et al. 2008. Surface Passivation of High-Efficiency Silicon Solar Cell by
Atomic-Layer-Deposited Al2O3. Wiley Interscience. Progress in Photovoltaic: Research
and Applications, 16: 461-466.

272  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
ANALISIS DEEP DRAWING BAJA LEMBARAN CANAI DINGIN
KARBON RENDAH JIS G3141 SPCC-SD DAN JIS G3141 SPCD-SD

Rezano1, Rendy Harrista1, Maulud Hidayat2, Alfirano1*


1
Jurusan Teknik Metalurgi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Cilegon, Indonesia
2
Divisi Riset dan Teknologi, PT. Krakatau Steel, Cilegon, Indonesia
*E-Mail: alfirano@ft-untirta.ac.id

Abstrak
Proses pegerjaan dingin deep drawing merupakan salah proses pembentukan logam untuk membentuk
lembaran/plat menjadi bentuk mangkuk, panel mobil, panci, dan lain-lain. Bahan yang digunakan pada proses
ini merupakan jenis baja lembaran canai dingin. Baja lembaran memiliki sifat mampu bentuk, sifat mampu
bentuk yang menjadi ukuran pada proses deep drawing adalah deep drawability yang dinyatakan dengan nilai
LDR (Limited Drawing Ratio). Setiap pengerjaan proses deep drawing akan menimbulkan resiko terjadinya
cacat, baik cacat robek ataupun cacat keriput. Cacat ini merupakan salah satu kendala industri dalam
menciptakan produk yang baik agar dapat bermanfaat dalam aplikasi di berbagai bidang. Pada percobaan ini
dilakukan pengerjaan proses deep drawing dengan menggunakan parameter berupa, ukuran punch 75 mm,
ukuran radius profil punch 5,7 mm, dan ukuran radius profil die 11,7 mm. Proses deep drawing pada pada
percobaan menggunakan nilai Blank Holder Force (BHF) yang maksimum, nilai drawing ratio 2,67 dan nilai
koefisien anisotropi normal yaitu 1,17 dan 1,018. Pada penelitian mengenai pengaruh proses deep drawing
terhadap nilai kekerasan akan dilakukan pengujian kekerasan awal dan akhir setelah proses untuk
dibandingkan adanya perbedaan. Kemudian dilakukan pengamatan metalografi untuk mengetahui perubahan
mikrostruktur awal sebelum proses deep drawing dan setalah proses. Data yang diperoleh dari penelitian ini
akan menjadi acuan kecocokan bahan baku baja untuk aplikasi outer tube (bush arm).

Kata kunci: Deep Drawing, Baja Lembaran Canai Dingin, Punch, LDR, BHF.

PENDAHULUAN
Teknologi pengubahan bentuk baja lembaran adalah proses deep drawing. Dari proses
tersebut didapatkan komponen yang dapat diaplikasikan terhadap dunia industri. Salah satu
bahan yang digunakan dalam proses ini adalah baja lembaran canai dingin. Baja lembaran ini
memiliki sifat mampu bentuk, mampu las dan kehalusan permukaan yang baik. Sifat mampu
bentuk yang menjadi ukuran pada proses deep drawing adalah deep drawability yang
dinyatakan dengan nilai LDR (Limiting Drawing Ratio).
Untuk memenuhi kebutuhan akan baja lembaran yang mampu diproses dengan
teknologi pembentukan press forming, diperlukan baja lembaran yang memiliki sifat mampu
bentuk (formability) yang tinggi. Akan tetapi dalam prakteknya di dunia industri manufaktur,
proses pembentukan baja lembaran, sebagian hanya dapat diaplikasikan untuk produk-produk
yang mempunyai bentuk sederhana, seperti produk-produk alat rumah tangga. Baja lembaran
dengan sifat formability rendah akan sulit untuk diproses menjadi produk-produk yang rumit,
seperti komponen-komponen otomotif. Produk-produk dengan konfigurasi geometri rumit
hanya dapat dipenuhi oleh baja lembaran yang memiliki sifat formability tinggi.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh nilai blank holder force, dan
pengaruh radius profil punch serta die terhadap keberhasilan proses deep drawing, pengaruh
deep drawing terhadap nilai kekerasan akhir produk hasil deep drawing, dan pengaruh proses
deep drawing terhadap bentuk struktur mikro baja serta dapat memenuhi kebutuhan aplikasi
dari outer tube (bush arm).

METODE PERCOBAAN
Pada penelitian ini digunakan sampel baja karbon rendah JIS G3141 SPCC-SD (CQ3
(%C 0,03)) dan JIS G3141 SPCD-SD (DQ (%C 0,013)) dengan tebal masing-masing 1,2 dan
1,8 mm. Untuk pengujian deep drawing test kondisi yang digunakan adalah: kecepatan punch
1,5 mm/det, radius profile dies 2 mm dan radius punch 5 mm. Diameter Punch yang

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     273 
digunakan dalam percobaan ini adalah 75 mm dengan radius profil 5,7 mm. Ukuran Die
adalah 90 mm dengan radius profil 5,7 mm. Dari pengujian di atas dapat diketahui batas-batas
operasi drawing yaitu limiting drawing ratio, LDR dan blank holder force. Nilai LDR dan
besarnya blank holder force merupakan besaran yang langsung menggambarkan proses
pembentukkan. Dengan mengetahui seberapa besar perubahan temperatur anil terhadap
perubahan sifat mampu bentuk, nilai rm, maka akan diketahui secara pasti pengaruh sifat
mampu bentuk baja lembaran terhadap batas operasi drawing.
Selain uji deep drawing, dilakukan juga uji tarik dan pemeriksaan metalografi.
Pengujian tarik dilakukan untuk mendapatkan karakteristik sifat mekanik dan sifat mampu
bentuk. Sifat mekanik merupakan syarat yang selalu disertakan pada sertifikat baja lembaran
sesuai dengan standar permintaan. Sifat mampu bentuk memberikan gambaran umum
perubahan yang terjadi pada baja lembaran setelah mengalami proses anil. Pemeriksaan
metalografi bertujuan untuk mendapatkan orientasi struktur mikro baja lembaran.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan data hasil percobaan proses deep drawing yang dilakukan peneliti tidak
dapat menentukan batas bawah dari penelitian tersebut, sehingga hanya dapat didapatkan
batas maksimum BHF yang dapat diserap oleh sampel baja tersebut hingga tidak terjadi robek
pada proses deep drawing. Adapun daerah kerja proses deep drawing dapat dilihat pada
Gambar 1. Pada penilitian ini ditentukan drawing rationya 2,67 dari perhitungan faktor
perkakas yang dapat dilakukan, dengan menggunakan drawing ratio tersebut didapatkan nilai
blank holder force aman untuk deep drawing sebesar 65 kN untuk baja DQ dan 63 kN untuk
baja CQ3. Gaya yang didapatkan hasil blank holder force maksimum nya untuk baja CQ3 350
kN dan baja DQ 200 kN. Bila ditinjau ke dalam grafik daerah kerja deep drawing maka akan
berada di daerah robek, hal ini membuktikan bahwa pemberian gaya tekan pada pemegang
bakalan yang terlampau besar akan menyebabkan aliran material terhambat, sehingga pada
dinding mangkuk akan terjadi penipisan dan selanjutnya menjadi robek.

Gambar 1. Gambar daerah kerja pada deep drawing.[8]

Pada penelitian ini digunakan die berdiameter 90 mm dengan radius 11,7 mm dan
punch berdiameter 75 mm dengan radius 5,7 mm yang diharapkan dapat membentuk baja
dengan baik dengan mempertimbangkan penggunaan variabel tersebut yang paling mendekati
dari persamaan (4) dan (5) Oehler dan Kaiser.[9] Hasil perhitungan besaran radius punch untuk
baja DQ tebal 1,8 mm adalah 32 mm, dan besaran radius die nya adalah 8 mm, dan hasil yang
diperoleh pada baja DQ setelah deep drawing adalah robek, hal ini membuktikan bahwa
radius profil punch yang digunakan pada deep drawing harus lebih besar dari radius profil die
dengan faktor 3~5 kali. Penggunaan radius profil punch yang lebih kecil dari radius profil die

274  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
akan dapat mengakibatkan punch memotong material.[9] Begitu juga dengan perhitungan
besaran radius punch untuk baja CQ3 tebal 1,2 mm adalah 26 mm dan besaran radius die nya
adalah 6 mm. Dalam penelitian ini digunakan radius profil die adalah sepuluh kali tebal
lembaran (10 to) dan drawing ratio yang dicapai adalah 2,67 maka radius profil punch yang
harus digunakan minimal 6 to.
Proses deep drawing yang dilakukan pada penelitian ini membandingkan nilai
kekerasan baja CQ3 awal sebelum proses drawing dengan nilai kekerasan baja CQ3 setelah
proses deep drawing dimana nilai kekerasan awal baja CQ3 adalah 40 HRB. Begitu juga
dengan baja DQ yang membandingkan kekerasan awal sebelum deep drawing dengan
kekerasan setelah deep drawing dengan kekerasan awal baja DQ 41,67 HRB. Hasil uji
kekerasan dapat dilihat pada Gambar 3-6.

CQ3  DQ 

Gambar 2. Hasil deep drawing baja lembaran canai dingin karbon rendah.

Gambar 3. Posisi pengukuran tebal dan uji kekerasan dinding mangkuk.

48
47
46
Kekerasan (HRB)

45
44
43 Awal
42 Akhir Oli
41
40 Akhir Griss
39
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5
Titik Uji

Gambar 4. Grafik perbandingan nilai kekerasan awal baja CQ3 dengan nilai kekerasan baja
CQ3 setelah deep drawing menggunakan pelumas oli dan pelumas griss di bagian alas.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     275 
70
60
Kekerasan (HRB)
50
40
30 Awal
20 Akhir Oli
10
0 Akhir Griss
0 1 2 3 4 5 6 7
Titik Uji

Gambar 5. Grafik perbandingan nilai kekerasan awal baja CQ3 dengan nilai kekerasan baja
CQ3 setelah deep drawing menggunakan pelumas oli dan pelumas griss di bagian dinding.

60
Kekerasan (HRB)

50
40
30 Awal
20
10 Akhir Oli
0 Akhir Griss
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5
Titik Uji

Gambar 6. Grafik perbandingan nilai kekerasan awal baja DQ dengan nilai kekerasan baja
DQ setelah deep drawing menggunakan pelumas oli dan pelumas griss di bagian alas.

80
70
Kekerasan (HRB)

60
50
40 Awal
30 Akhir Oli
20 Akhir Griss
10
0
0 1 2 3 4 5 6 7
Titik Uji
Gambar 7. Grafik perbandingan nilai kekerasan awal baja CQ3 dengan nilai kekerasan baja
CQ3 setelah deep drawing menggunakan pelumas oli dan pelumas griss di bagian dinding.

Dari semua grafik yang ada menunjukkan bahwa hasil produk deep drawing
mengalami peningkatan kekerasan, pada grafik Gambar 5 dan Gambar 7 menunjukkan
kenaikkan nilai kekerasan dari titik uji kesatu sampai ke titik uji keenam, hal ini menjelaskan
bahwa nilai kekerasan pada dinding produk (Gambar 3, Titik 6) akan semakin tinggi pada
daerah radius karena mengalami beberapa gaya pada saat deep drawing yang menyebabkan
nilai kekerasan di daerah tersebut paling tinggi, penipisan terbesar terjadi di sekitar
lengkungan, di daerah radius profil punch, dan akan semakin tipis jika radius profil yang
digunakan semakin kecil.[10] Pertama pada saat setelah kontak awal terjadi sampel yang akan
menjadi bagian radius mengalami gaya bending punch terus menekan kebawah sehingga
posisi punch lebih dalam melebihi jari-jari (r) dari die, sedangkan posisi die tetap tidak

276  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
bergerak ataupun berpindah tempat, kombinasi gaya tekan dari punch dan gaya penahan dari
die menyebabkan material mengalami peregangan sepanjang jari-jari die, tentunya
keberhasilan proses bending ditentukan oleh aliran material saat proses itu terjadi. Kedua,
material yang akan menjadi bagian radius akan mengalami gaya straightening pada saat
punch sudah melewati radius die, pergerakan punch ke bawah akan menghasilkan pelurusan
sepanjang dinding die. Ketiga, material yang akan menjadi bagian radius akan mengalami
gaya compression yang terjadi ketika punch bergerak kebawah mengakibatkan blank tertarik
untuk mengikuti gerakan dari punch sampai membentuk mangkuk.
Fasa yang terdapat dalam mikrostruktur hasil metalografi adalah fasa ferrite. Setelah
dilakukan deep drawing terlihat butiran menjadi lebih pipih pada Gambar 8 (2) dan (3) dari
Gambar 8 (1). Hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan kekerasan akibat proses deep
drawing, hal ini dapat dimengerti dengan semakin pipih butiran maka kekerasan akan
meningkat. Namun pada Gambar 8 (2) dan (3) tidak terlalu terlihat perubahan bentuk
butirannya dari Gambar 9 (1). Hal ini dikarenakan proses deep drawing mengalami robek
sehingga butiran tidak seutuhnya berubah menjadi lebih pipih.

Gambar 8. Struktur mikro baja CQ3, (1) Sebelum deep drawing, (2) Setelah deep drawing
menggunakan pelumas oli, (3) Setelah deep drawing menggunakan pelumas griss.

Gambar 9. Struktur mikro baja DQ, (1) Sebelum deep drawing, (2) Setelah deep drawing
menggunakan pelumas oli, (3) Setelah deep drawing menggunakan pelumas griss.

KESIMPULAN
1. Nilai blank holder force yang ideal untuk mengurangi cacat pada drawing ratio sebesar
2,67 adalah 63 kN untuk baja CQ3 dan 65 kN untuk baja DQ.
2. Besaran radius profil punch dan die yang ideal untuk mengurangi cacat pada penelitian
ini adalah untuk baja CQ3 radius profil punch sebesar 6 mm dan radius profil die sebesar
26 mm. Pada baja DQ radius profil punch sebesar 8 mm dan radius profil die sebesar 32
mm.
3. Proses deep drawing sangat mempengaruhi terhadap hasil nilai kekerasan awal dan akhir.
Nilai kekerasan awal baja CQ3 sebesar 40 HRB dan mengalami kenaikan kekerasan

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     277 
setelah deep drawing hingga 47 HRB pada bagian alasnya dan pada bagian dinding
hingga 63 HRB. Pada baja DQ nilai kekerasan awal sebesar 41,67 HRB dan mengalami
kenaikan kekerasan setelah deep drawing hingga 50 HRB pada bagian alasnya dan pada
bagian dinding hingga 68 HRB.
4. Nilai kekerasan pada dinding produk diketahui akan lebih tinggi pada daerah radius
karena daerah radius paling banyak mengalami gaya pada deep drawing, yaitu gaya
bending, straightening, dan compressiaon.
5. Proses deep drawing dapat mempengaruhi struktur mikro baja, yaitu menjadi lebih pipih
dikarenakan adanya gaya tekanan yang diberikan pada blank yang mengakibatkan terjadi
deformasi pada blank.
6. Dari hasil penelitian ini diantara dua baja ini yang paling cocok untuk aplikasi bush arm
adalah baja CQ3 karena baja CQ3 dalam penelitian ini mampu membentuk mangkuk
hingga kedalaman 4 cm.

Daftar Referensi
[1] Hendrik, A. 2003. Die Geometry for Embossing and Stretching. Stamping Journal.
[2] Avner, S. H. 1964. Introduction to Physical Metallurgy. New York: Mc. Graw-Hill.
[3] Dieter, E. George. 1986. Mechanical Mettaliurgy. University of Maryland. London.
[4] Dieter, E. George. 1988. Workability Testing Techniques. ASM, Metal Park. Ohio.
[5] Eugene, D. Ostergaard. 1967. Advace Die Making. Prentice Hall. New Jersey.
[6] Hobbs, R. M. 1974. BPH Technical Bulletin. Broken-Hill Proprietary Co. Ltd. Vol. 18
No. 2.
[7] Hutchinson, W.B. 1984. International Metal Reviev. Vol. 29. No. 1.
[8] Hosford, W.F. 1993. Metal Forming Mechanics & Metallurgy. Second Edition.
Printice-Hill. Inc. New Hersey
[9] Lange, K.1985. Handbook of Metal Forming. University of Michigan. New York.
[10] Nitin Jain. et al. 2003. Simulation Confirm Deep-Draw Die Design. Metal Forming.
[11] Setiawan, W. 1996. Pengaruh Blank Holder Force Pada Proses Deep Drawing, KS.
Review, Cilegon.
[12] Sharma, P.C. 2001. A Text Book of Production Engineering. S Chand & Company Ltd.
New Delhi.
[13] Smallman. 2007. Physical Metallurgy and Advanced Materials. Seventh Edition, Kindle
Edition.

278  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
KARAKTERISTIK STRUKTUR MIKRO PADUAN Al-Fe-Si
PADA PROSES RAPID SOLIDIFICATION TWIN ROLL
MENGGUNAKAN TUNDISH

Saefudin*, Galih Senopati


Pusat Penelitian Metalurgi dan Material, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Kawasan Puspiptek Serpong, 15314
*E-Mail: saef003@lipi.go.id

Abstrak
Pelat tipis aluminium banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan aluminium foil. Dalam studi
ini telah dilakukan pembuatan pelat tipis dari paduan Al-Fe-Si hingga mencapai ketebalan 2 mm dengan proses
rapid solidification twin roll menggunakan tundish dengan media pendingin air. Temperatur tuang aluminium
cair dilakukan pada 650 dan 666°C. Pelat paduan Al-Fe-Si tersebut kemudian diuji keras dan dilakukan
metalografi dengan mikroskop optik. Hasil uji keras pelat paduan aluminium berkisar 21,2-23,6 HV. Struktur
pelat paduan Al-Fe-Si berupa butiran dengan bentuk equiaxed.

Kata kunci: Paduan Al-Fe-Si, Rapid solidification twin roll, Tundish, Pelat.

PENDAHULUAN
Proses pengecoran aluminium dengan metode rapid solidification menggunakan twin
roll casting merupakan teknologi untuk menghasilkan pelat aluminum dalam waktu yang
cepat. Aluminium cair dilewatkan dua rol yang bergerak kemudian didinginkan secara cepat
oleh rol tersebut dan keluar dalam bentuk pelat. Teknologi twin roll casting konvensional
memiliki beberapa kelebihan diantaranya proses yang cepat (langsung menghasilkan pelat
tipis) serta biaya proses dan biaya perawatan yang murah. Namun proses ini juga memiliki
beberapa kelemahan, yaitu terbatasnya paduan aluminium yang dapat dicor serta kecepatan
pengecoran yang rendah.[1]
Teknologi twin roll casting menggunakan unequal diameter twin roll dapat
meningkatkan kecepatan pengecoran dan dapat mengecor paduan aluminium. UEDTRC
terdiri dari dua buah rol pendingin, rol bagian bawah lebih besar empat kali dari rol bagian
atas. Tujuannya adalah supaya aluminium cair yang tidak membeku tidak keluar dari putaran
rol tetapi akan ikut terseret oleh pelat yang sudah terlebih dahulu membeku.[2]
Rol yang digunaan pada proses twin roll casting konvensional terbuat dari tool steel
sedangkan pada proses UEDTRC rol terbuat dari mild steel sehingga memiliki koefisien
transfer panas yang lebih baik dari twin roll casting konvensional.[3]
Pada percobaan sebelumnya aluminium dapat dicetak menjadi pelat tetapi pelat yang
dihasilkan masih terdapat cacat retak tepi (edge crack). Cacat tepi kemungkinan disebabkan
roll tidak mampu mendinginkan aluminium cair dalam waktu yang cepat. Pada percobaan ini
ditambahkan tundish yang terbuat dari kuningan dan dialiri air yang berfungsi membantu
proses pendinginan aluminium cair sebelum memasuki roll casting.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan tundish
pada proses pengecoran aluminium menggunakan unequal diameter twin roll casting.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     279 
Gambar 1. Ilustrasi Proses Rapid Solidification Twin Roll Casting.

METODE PERCOBAAN
Bahan yang digunakan adalah aluminium paduan yang ada di pasaran dengan
komposisi kimia yang ditunjukkan pada Tabel 1. Aluminium kemudian dilebur menggunakan
muffle furnace kapasitas 2 kg buatan Peneliti Pusat Penelitian Metalurgi pada temperatur
850°C. Aluminium yang telah cair kemudian dituangkan ke dalam tundish mesin twin roll
casting dengan temperatur tuang 650 dan 666°C. Aluminium cair akan masuk ke dalam dua
buah rol yang berputar dan akan terjadi pendinginan cepat/rapid solidification di permukaan
rol sehingga aluminium akan berubah dari fasa padat ke fasa cair dalam waktu yang cepat.
Aluminium akan keluar dari celah antara kedua rol berupa pelat aluminium dengan tebal 2
mm dan lebar 10 mm. Gambar mesin twin roll casting dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Mesin Twin Roll Casting.

Tabel 1. Komposisi Kimia Aluminium


% Berat
Si Fe Cu Mn Mg Zn Ti Al
0,116 0,390 0,063 0,014 0,006 0,006 0,016 99,40

280  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Aluminum Paduan

Peleburan Temperatur 850°C

Pengecoran pelat aluminium 2 mm


Temperatur Tuang 650 & 666°C
Menggunakan Tundish

Pengujian Kekerasan Analisa Metalografi


Vicker’s

Pembahasan

Kesimpulan

Gambar 3. Prosedur Percobaan rapid solidification twin roll dengan menggunakan tundish.

Prosedur percobaan pengaruh penggunaan tundish pada proses rapid solidification


twin roll ditunjukkan pada Gambar 3. Pelat aluminium yang dihasilkan kemudian dilakukan
pengujian kekerasan dengan metode Vicker’s menggunakan mesin merek Simadzu dan
analisa metalografi menggunakan mikroskop optik merek OLIMPUS DP 12.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelat Hasil Rapid Solidification Twin Roll


Pelat Aluminium 2 mm hasil proses rapid solidification twin roll memiliki kualitas
permukaan yang bebas retak pada area tepi. Gambar 4 menunjukkan pelat aluminium tebal
2 mm hasil proses rapid solidification twin roll.

Gambar 4. Pelat Aluminium

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     281 
Pengujian Kekerasan Vicker’s
Hasil pengujian kekerasan Vicker’s pada Tabel 2 menunjukkan nilai kekerasan sampel
B1 dan B2 (tanpa menggunakan tundish) memiliki nilai kekerasan yang lebih tinggi dari
sampel A1 dan A2. Ini mungkin disebabkan struktur mikro hasil rapid solidification twin roll
casting tanpa menggunakan tundish memiliki butiran yang pipih dibandingkan dengan hasil
rapid solidification twin roll casting dengan menggunakan tundish.

Tabel 2. Hasil pengujian kekerasan vicker’s pelat aluminium tebal 2 mm


Sampel Kekerasan Vicker’s Keterangan
A1 22,3
A2 21,2
Beban 100 gf
B1 42,4
B2 27,8

Hasil Analisa Metalografi


Dari hasil analisa metalografi pada Gambar 5 menunjukkan bahwa dengan
menggunakan tundish pada temperatur tuang yang berbeda akan menghasilkan struktur mikro
yang sama yaitu matriks aluminium dengan butiran yang bulat sempurna atau equiaxed
Gambar 5a-b. Pendinginan yang lebih cepat dapat menghasilkan struktur equiaxed yang
halus. Pendinginan yang lambat akan menghasilkan struktur yang lebih kasar.[4] Penggunaan
tundish yang dialiri air membantu mempercepat proses pendinginan aluminium cair.
Sedangkan ketika tidak menggunakan tundish maka struktur yang dihasilkan adalah pipih
Gambar 5c-d.

Gambar 5. Strukur mikro pelat aluminium hasil proses unequal diameter twin roll.

KESIMPULAN
Dari studi mengenai karakteristik struktur mikro paduan Al-Fe-Si pada proses rapid
solidification twin roll menggunakan tundish dapat ditarik kesimpulan:
1. Penggunaan tundish yang dialiri air membantu mempercepat proses pendinginan
aluminium cair saat proses rapid solidification twin roll casting.

282  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
2. Struktur mikro pelat aluminium 2 mm hasil proses rapid solidification twin roll dengan
menggunakan tundish memiliki struktur equiaxed.

Daftar Referensi
[1] Dietrich, Altenpohl G. 1999. Aluminium Technology, Applications, and Enironment.
Pensylvania. TMS.
[2] T. Haga. et al. 2007. Casting of Al–Si hypereutectic aluminum alloy strip using an
unequal diameter twin roll caster. Journal of Materials Processing Technology, 191:
238-241.
[3] T. Haga. et al. 2006. Aluminium alloy semisolid strip casting using an unequal diameter
twin roll caster. Journal of Achievements in material and manuacturing engineering,
14(1-2): 157-162.
[4] Stefanescu. 1992. ASM Handbook Volume 15 Casting. ASM International.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     283 
284  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
SINTESIS KOMPOSIT EPOKSI BERPENGUAT Fe-Ni PARTIKEL
NANO DENGAN KARAKTERISASI SIFAT TERMAL,
KEKERASAN DAN MORFOLOGI

Satrio Herbirowo1*, Adhitya Trenggono2, Agung Sudrajat2, Anistasia Milandia2


1
Faculty of Engineering University of Indonesia, Depok, 16424
2
Faculty of Engineering Tirtayasa University, Cilegon, 42435
*E-Mail: satrio.herbirowo@gmail.com

Abstrak
Besi dan baja adalah material kuat yang banyak digunakan saat ini, tetapi masih banyak kelemahan
dari massanya yang berat (7,8 g/cm3) dan mudah berkarat. Maka dibuatlah material baru dengan teknologi
komposit nano. Komposit nano adalah proses penggabungan dua atau lebih material antara matriks dengan
reinforced pada skala nanometer untuk membentuk material baru. Komposit nano memiliki keunggulan yaitu
dapat menghasilkan produk yang ringan, kuat, ramah lingkungan dan tahan korosi. Pada penelitian ini,
terdapat empat komposisi fraksi berat filler yaitu 0,01; 0,1; 1 dan 10 %wt serta variasi waktu sonikasi 30 dan 60
menit untuk mendapatkan nilai pengujian kekerasan dan thermal yang semakin meningkat. Dua varian waktu
sonikasi yang dilakukan untuk mengetahui waktu sonikasi terbaik dalam proses terdispersinya partikel nano di
dalam matriks epoksi resin yang berpengaruh pada sifat mekanik komposit nano polimer dan hasil pengujian
hardness tertinggi didapatkan pada komposisi fraksi berat 10 %wt dan waktu sonikasi 30 menit dengan nilai
kekerasan sebesar 80 shore D serta memiliki nilai temperatur Tg tertinggi dari hasil pengujian thermal sebesar
58,22°C. Pada pengamatan hasil foto struktur permukaan patahan yang dilakukan terlihat patahan yang semula
getas menjadi lebih ulet. Hal ini karena dispersi dari partikel nano mengubah struktur patahan dan
menghasilkan interface yang memiliki sifat lebih ulet dari pristine epoxy.

Kata kunci: Komposit, Partikel, Epoksi resin, Waktu sonikasi, Fraksi berat, Hardness.

PENDAHULUAN
Komposit nano dianggap sebagai bahan revolusi industri selanjutnya. Saat ini pusat
perhatian mengenai polimer komposit nano adalah mengidentifikasi sebuah material dengan
mendispersikan filler skala nanometer kedalam matriks polimer untuk mendapatkan komposit
yang ringan, ramah lingkungan, mudah didaur ulang, biaya proses murah, dan berorientasi
pada peningkatan performa yang sesuai dengan berbagai aplikasi. Salah satu cara untuk
mencapai fungsionalitas itu bisa diperoleh menggunakan material organik atau buatan sebagai
material pengisi di polimer.[3] Secara khusus, partikel nano logam telah banyak dilakukan
penelitian karena memiliki sifat magnetik, thermal dan sifat mekanik yang dapat
dikembangkan.[16] Hal tersebut membuat material ini sangat menjanjikan secara skala-nano
sebagai filler dalam pengembangan polimer komposit nano yang berpotensi dalam berbagai
aplikasi lain seperti elektronik, perangkat elektromagnetik dan otomotif. Epoksi resin
termoset digunakan secara luas sebagai bahan pelapis, bahan perekat, komponen cetakan dan
komposit polimer karena sifat termomekanik yang sangat baik dan kemampuan proses yang
unggul.[3]
Sampai saat ini beberapa dari penelitian mengenai magnetik partikel nano telah
dilakukan menggunakan logam oksida pada berbagai macam metode dan jenis polimer. Dari
hasil penelitian sebelumnya, percobaan sintesis dan variabel menjadi pedoman melakukan
trial dan penentuan variabel bebas yaitu dengan melakukan variasi pada penambahan
komposisi filler agar didapatkan pengaruh yang signifikan dari partikel nano yang cenderung
lebih keras dapat meningkatkan kekerasan dari matriks epoksi resin. Dan juga melakukan
variasi waktu sonikasi agar dapat melihat waktu efektif untuk mencapai filler dapat terdispersi
dengan sempurna di dalam matriks epoksi resin yang sangat mempengaruhi homogenitas
distribusi partikel.[16]

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     285 
METODE PERCOBAAN

Sintesis Komposit Nano Polimer Epoksi Resin dan Partikel Nano 55Fe-45Ni
Proses pembuatan sampel menggunakan metode sintesis pencampuran lelehan berupa
fasa liquid yang dicampurkan dan difungsionalisasi agar menghasilkan produk tanpa cacat.
Percobaan simulasi (trial) dilakukan untuk memprediksi berbagai parameter secara kimia
dalam percobaan penelitian yang akan dianalisa serta sebagai pembanding dengan eksperimen
sesungguhnya. Adapun langkah percobaan dalam metode ini sebagai berikut:
 Menentukan geometri dari cetakan sampel yang disesuaikan dengan alat pengujian,
kemudian membuat cetakan dari bahan kaca berukuran 40 x 12 x 3 mm dengan
bantuan alat pemotong kaca berupa intan dan perekat silikon rubber.
 Menimbang secara teliti bahan resin epoksi dan 55Fe-45Ni partikel nano dengan
komposisi 0 (pristine epoxy), 0,01; 0,1; 1; 10 persen berat di dalam beker gelas
menggunakan neraca analitis.
 Mencampur epoksi dengan partikel nano di dalam beker gelas 25 mL yang ditutup
dengan aluminium foil agar tidak terkontaminasi dan didiamkan selama semalaman
untuk memastikan permukaan 55Fe-45Ni partikel nano terbasahi sempurna oleh
polimer epoksi.
 Melakukan proses mixing 55Fe-45Ni partikel nano dan polimer epoksi resin dengan
alat magnetic stirrer selama 6 jam dalam temperatur kamar.
 Menambahkan hardener untuk setiap sampel dengan perbandingan 2:1.
 Melakukan proses mixing kembali dengan magnetic stirrer selama 5 menit.
 Melakukan sonikasi dengan variasi waktu 30 dan 60 menit dan temperatur media air
dengan kontrol temperatur bantuan es agar tidak panas yang bisa menyebabkan
sampel menjadi keras dan tidak terlalu dingin yang bisa menimbulkan pengembunan
maka temperatur dilakukan diantara 20-35°C.
 Mencetak campuran komposit nano kedalam cetakan sampel untuk pembuatan
spesimen.
 Mendiamkan sampel jangka waktu 1 hari agar proses curing selesai dalam
temperatur kamar (25°C).
 Melepaskan spesimen dari cetakan dengan bantuan spatula.
 Melakukan pengamatan secara visual untuk memastikan pembuatan spesimen dalam
keadaan baik dari segi kekerasan yang baik maupun ukuran dimensi sesuai dan
partikel nano terdispersi secara homogen.

Gambar 1. Sampel komposit nano, (A) Pristine Epoxy; (B) 0,01 %wt. (C) 0,1 %wt.
(D) 1 %wt. (E) 10 %wt. Fe-Ni.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengujian Kekerasan


Sifat mekanik dari material komposit perlu diperhatikan karena dapat meningkatkan
kualitas dari produk yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Pada umumnya, dalam

286  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
hipotesis sifat komposit dengan matriks polimer dan filler partikel nano akan meningkatkan
nilai kekerasan permukaan sebanding dengan penambahan komposisi fraksi berat dari
reinforced (filler partikel nano)[S. Ma, 2007]. Dari sampel hasil sintesis epoksi 55Fe-45Ni
komposit nano dilakukan pengujian material kekerasan jenis Shore D Hardnees dengan
metoda durometer dan standar pengujian mengacu pada ASTM D2240. Standar pengujian
tersebut digunakan untuk menentukan kekerasan relatif dari bahan lunak, biasanya berupa
material plastik atau karet. Pengujian ini mengukur kedalaman penetrasi indentor yang
mengenai permukaan material sampel dengan kondisi pembebanan dan waktu tertentu. Hasil
pengujian Kekerasan berupa data yang sudah diolah dengan melakukan perataan dan
perhitungan standar deviasi dari hasil nilai kekerasan. Berikut adalah grafik dari hasil data
pengujian kekerasan:

Gambar 2. Grafik Pengujian Kekerasan Sampel Pristine Epoxy; 0,01 %wt.; 0,1 %wt.;
1 %wt.; 10 %wt. Fe-Ni.

Apabila dilihat dari grafik, untuk nilai kekerasan waktu sonikasi 30 dan 60 menit
memiliki pola yang sama yaitu terjadi penurunan nilai kekerasan untuk waktu sonikasi 30
menit mulai dari komposisi fraksi berat pristine epoxy (0 %wt filler) sampai dengan 0,1 %wt
dengan nilai kekerasan 76,8; 73,8; 71,6 shore D dan untuk waktu sonikasi 60 menit terjadi
penurunan dari komposisi fraksi berat pristine epoxy (0 %wt filler) sampai dengan 0,1 %wt
dengan nilai kekerasan 76,8; 75; 73 shore D yang diakibatkan oleh terbentuknya interface
yang lemah antara matriks epoksi resin dengan 55Fe-45Ni partikel nano dimana ikatan rantai
polimernya tidak membentuk crosslinked dengan baik yang dapat melunakkan permukaan
sampel, selain itu juga bisa terdapat senyawa pengotor akibat teroksidasinya partikel nano di
udara bebas serta distribusi partikel yang tidak merata dan jarak antar partikel yang berjauhan
berakibat pada gerakan rantai polimer lebih leluasa yang dapat menurunkan nilai kekerasan.
[Zhang Wei. 2009]
Terjadi peningkatan kembali untuk waktu sonikasi 30 menit pada nilai kekerasan
mulai dari komposisi fraksi berat 1-10 %wt. dengan nilai kekerasan sebesar 70 dan 80 shore
D dan untuk waktu sonikasi 60 menit pada nilai kekerasan mulai dari komposisi fraksi berat
1-10%wt. dengan nilai kekerasan sebesar 75,8 dan 76,8 shore D yang disebabkan jumlah
filler yang semakin banyak maka mudah terjadi proses penyerapan antar molekul yang
mengakibatkan ikatan kimia antar partikel dan ikatan rantai polimer crosslinked terbentuk
dengan baik antar 55Fe-45Ni partikel nano dengan epoksi resin serta semakin banyak jumlah
filler maka distribusi partikel seragam, mengurangi jarak antar partikel yang mana pergerakan
antar atom akan semakin sulit yang menyebabkan mengerasnya sampel. [R.K. Goyal, 232-
233]

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     287 
Thermal Behavior

Gambar 3. Grafik Pengujian Kekerasan Sampel Pristine Epoxy; 0,01%wt.; 0,1%wt.; 1%wt.;
10%wt. Fe-Ni dengan waktu sonikasi 30 menit.

Nilai sifat panas suatu material sering digunakan untuk mengidentifikasi atau
menentukan temperatur transisi gelas, transisi kristalin, dan transisi lelehan. Berhubung bahan
yang digunakan termoset jadi nilai transisi lelehan menjadi transisi degradasi material. Hasil
pengujian thermal berupa data yang sudah diolah dengan melakukan penentuan dan
perhitungan nilai Tg, Tcure, Tdekomposisi. Data hasil pengujian thermal terlihat pada Tabel 1 di
bawah ini:

Tabel 1. Data pengujian thermal dengan sampel waktu sonikasi 30 menit


No. Fraksi Berat Waktu Sonikasi Tg Tcure
(%wt) (menit) Tdekomposisi (°C)
(°C) (°C)
1 0 43,71 313,74 380,72
2 0,01 35,90 311,25 388,16
3 0,1 30 35,90 311,25 375,76
4 1 48,3 326,46 358,39
5 10 58,22 348,47 358,39

Jika dilihat dari Gambar 3 yang merupakan hasil pengujian untuk waktu sonikasi 30
menit dengan variasi komposisi fraksi berat filler bahwa grafik yang terbentuk antara
temperatur terhadap heat flow DSC secara eksotermal memiliki pola yang hampir sama yaitu
terdapat grafik indikasi Tg dan puncak grafik sebagai terdekomposisi material spesimen yang
mendekati temperatur akhirnya.
Tg menunjukkan suhu dimana suatu sampel mengalami transformasi gelas dari
padatan yang rigid menjadi cairan supercooled dan sangat viscous. Titik transisi gelas
merupakan sifat penting dari gelas karena sifat ini merepresentasikan batas suhu atas dimana
suatu sifat gelas dapat digunakan dan juga memberikan suatu parameter yang dapat diukur
secara cepat untuk mempelajari sifat gelas.
Untuk identifikasi titik Transition Glass (Tg) dari grafik hasil pengujian dilakukan
perbandingkan spesimen Pristine Epoxy dengan komposit nano variasi fraksi berat filler,
penambahan filler komposisi 0,01 dan 0,1%wt cenderung menurunkan nilai Tg yang
menunjukkan pergeseran grafik Tg ke arah kiri atau lebih kecil. Penurunan nilai Tg terjadi
karena penambahan sedikit 55Fe-45Ni partikel nano yang membuat volume bebas menjadi
meningkat antara matriks dengan filler sekaligus membuat ikatan kimia yang kurang baik

288  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
dengan polimernya dan menunjukkan ikatan saling silang rantai polimer yang kurang efektif
membuat material komposit nano ini semakin lunak yang sebanding dengan penurunan Tg
[Mackay, M. E., 2006]. Variasi nilai Tg dipengaruhi oleh interaksi partikel nano dan epoksi,
kelembaban komposit nano dan kehadiran water nanolayer pada permukaan partikel nano
yang dapat menurunkan nilai Tg, hal tersebut dapat melemahkan ikatan karena kehadiran
nanolayer yang membuat molekul untuk bergerak bebas antara rantai matriks dengan rantai
interface-nya.[Singha S,2008]
Selain itu, pada komposisi 0,01 dan 0,1%wt. terjadi ketidakstabilan termal dengan
terbentuknya 2 puncak di daerah Tg yang disebabkan oleh proses curing yang tidak sempurna
berakibat pada saat pengujian terdapat residual curing. [W. J. Sichina, 2000]. Sedangkan pada
komposisi 1 dan 10%wt nilai Tg kembali meningkat yang disebabkan oleh jumlah filler yang
semakin banyak maka volume bebas semakin kecil akibatnya pergerakan antar partikel
menjadi tidak bebas dan perlakuan proses sintesis yang baik juga bisa mempengaruhi pada
saat curing dimana kepadatan rantai polimer crosslinked tumbuh secara efektif. [Karippal
JJ,2010]
Untuk nilai temperatur transisi curing (Tcure) yang didapat merupakan titik dimana
sampel yang sudah berubah menjadi fasa gelas mengalami pelepahan ikatan rantai-rantai
polimernya khususnya ikatan saling silang, maka atom-atom yang tersusun menjadi bergerak
bebas dan sampel melakukan deformasi plastis sebelum terjadinya tahap dekomposisi
material. Jika dilihat dari hasil data pengujian thermal dapat dianalisa bahwa untuk nilai Tcure
mengikuti nilai Tg-nya yaitu jika nilai Tg mengalami penurunan maka nilai Tcure juga turun
begitupula sebaliknya. Berikut adalah grafik hasil pengujian thermal dengan waktu sonikasi
60 menit yang didapatkan dengan nilai heat flow DSC di sumbu Y terhadap temperatur
pemanasannya di sumbu X dan grafik diplot berdasarkan reaksi eksotermal.

Gambar 4. Grafik Pengujian Kekerasan Sampel Pristine Epoxy; 0,01 %wt; 0,1 %wt; 1 %wt;
10 %wt Fe-Ni dengan waktu sonikasi 30 menit.

Tabel 2. Data pengujian thermal dengan sampel waktu sonikasi 60 menit


No. Fraksi Waktu Tg (°C) Tcure (°C) Tdekomposisi
Berat Sonikasi (°C)
(%wt.) (menit)
1 0 43,71 313,74 380,72
2 0,01 41,23 304,14 378,55
3 0,1 60 41,23 304,14 371,11
4 1 56,11 323,98 353,75
5 10 51,15 321,50 351,27

Untuk hasil pengujian termal dengan waktu sonikasi 60 menit yang ditunjukkan pada
Gambar 4 dapat dianalisa bahwa pola grafik DSC di daerah transition glass (Tg) memiliki

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     289 
kesamaan di setiap penambahan komposisi fraksi berat filler. Penambahan filler komposisi
0,01 dan 0,1%wt. cenderung menurunkan nilai Tg yang menunjukkan pergeseran grafik Tg ke
arah kiri atau lebih kecil memiliki kesamaan pola penurunan nilai Tg dengan pengujian DSC
waktu sonikasi 30 menit. Pada penambahan komposisi 1%wt. terjadi peningkatan Tg yang
cukup besar disebabkan jumlah filler yang semakin banyak maka volume bebas semakin kecil
akibatnya pergerakan antar partikel menjadi tidak bebas dan perlakuan proses sintesis yang
baik juga bisa mempengaruhi pada saat curing dimana kepadatan rantai polimer crosslinked
tumbuh secara efektif di seluruh bagian sampel [S. Julyes Jaisingh, 2012]. Jika dibandingan
dengan nilai Tg dari Pristine Epoxy maka komposisi filler 10%wt. terjadi penurunan kembali
nilai Tg disebabkan oleh proses sintesis yang tidak baik sekaligus membuat ikatan saling
silang yang kurang sempurna pada saat proses curing akibatnya rantai antar molekul tidak
memiliki ikatan yang kuat di tandai oleh sifat mekanik khususnya kekerasan yang menurun
[Siddaramaiah,2010]. Dibuktikan oleh uji SEM-EDS pada subbab selanjutnya
mengindikasikan terjadinya kecacatan yang dapat mempengaruhi ikatan rantai polimer yang
lemah dan menurunkan densitas crosslink efektif serta mengurangi temperatur proses curing.
[S. Julyes Jaisingh,2012]. Tg berhubungan dengan mobilitas rantai yang mana crosslink
menjadi faktor penting mempengaruhi Tg. Dapat dianalisa bahwa waktu sonikasi
mempengaruhi proses fungsionalisasi dari sintesis produk komposit nano bahwa semakin
lama maka filler semakin terdispersi dengan baik dan ikatan crosslink dapat membentuk
dengan baik juga yang dapat membatasi pergerakan rantai molekular antara matriks epoksi
dan 55Fe-45Ni partikel nano.[Toprak Pelin, 2004]

Hasil Morfologi dan fraktografi

Gambar 5. Foto struktur mikro permukaan patahan pada beberapa spesimen dan variasi
perbesaran antara lain : a) Pristine Epoxy 75X; b) HH 10%wt. 75X; c) OH 10%wt. 75X; d)
Pristine Epoxy 250X; e) HH 10%wt. 250X; f) OH 10%wt. 250X.

Pada Gambar 5 menunjukkan pemeriksaan dari permukaan patahan pristine epoxy


dan komposit nano berkomposisi 10 persen berat 55Fe-45Ni partikel nano. Pada Gambar 5a
menunjukkan permukaan fraktur yang relatif halus dan pada Gambar 5d yang merupakan
perbesarannya struktur mikro campuran sampel teratur tanpa gelombang menunjukkan patah

290  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
permukaan getas (brittle) sehingga untuk ketangguhan patah menjadi rendah dari epoksi
komposit nano. Mengindikasikan bahwa sintesis yang dilakukan berhasil mencampur epoksi
resin dengan hardener dengan baik dan terbukti bahwa epoksi termasuk pada jenis termoset
yang bersifat kaku dan getas [Chakradhar K.V.P, et al 2011]. Kemudian Gambar 5b dan c
merupakan komposit nano dengan material pengisi 10%wt, dapat diamati bahwa terdapat
struktur mikro seperti gelombang atau berbentuk flake dan tanpa defect berupa udara yang
terjebak menjelaskan antarmuka yang baik maka struktur ini mengindikasikan patahan
berubah menjadi patahan ulet dan menghasilkan material yang lebih keras. [Yin Quanfu,
2012].
Perbedaan antara Gambar 5b dan c adalah perlakuan sonikasinya, pada Gambar 5b
dengan perbesarannya Gambar 5e sonikasi 30 menit menghasilkan struktur mikro patahan
seperti gelombang yang merata, mengindikasikan dispersi cukup baik. Morfologi struktur
patahan tidak terlihat ada void atau bubble, maka dapat dihubungkan dengan hasil pengujian
kekerasan untuk spesimen dengan penambahan partikel nano 10%wt dan waktu sonikasi 30
menit nilai kekerasannya meningkat. Gambar 5f menunjukkan struktur mikro patahan seperti
gelombang yang kurang merata terlihat adanya void atau bubble yang menandakan proses
degassing kurang baik dan terjadi agglomerasi yang bisa menyebabkan inisiasi retak akibat
tegangan konsentrasi berdampak pada turunnya sifat mekaniknya khususnya sifat kekuatan
dan kegagalan dini maka butuh kontrol fungsionalisasi yang lebih baik. [Chakradhar K.V.P, et
al 2011]
Kaitannya dengan nilai kekerasan adalah pada 10% 55Fe-45Ni komposit nano dengan
sonikasi 1 jam lebih rendah dibanding 30 menit, serta dapat dianalisa bahwa partikel nano
mengendap turun ke bawah spesimen sedangkan yang dilakukan pengujian bagian permukaan
bagian atas bukannya tersebar merata dalam matriks. Hal ini ditegaskan oleh morfologi SEM
dari komposit penampang dalam adhesi antara partikel dan matriks epoksi sehingga mobilitas
rantai polimer ini terbatasi [Wei CL, 2002]. Dari hasil data penelitian yang telah dibahas, dari
sifat mekaniknya penambahan 55Fe-45Ni partikel nano ke dalam epoksi resin menjelaskan
peningkatan yang tidak terlalu besar. Sifat mekanik yang buruk pada 55Fe-45Ni epoksi
komposit nano dapat disebabkan buruknya proses dispersi, terjadi oksidasi menyebabkan
surface area meningkat akan mengakibatkan tidak ada ikatan kovalen, dan interaksi antar
molekul yang kecil dengan epoksi resin [Miller, Sandi. 2008].

KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapat kesimpulan sebagai berikut:
1. Nilai kekerasan hasil pengujian tidak selalu meningkat pada penambahan Fe-Ni
partikel nano, nilai kekerasan menurun disebabkan terbentuknya nanolayer serta nilai
kekerasan meningkat disebabkan jarak antar partikel semakin dekat maka pergerakan
atom semakin sulit. Untuk nilai Tg menurun mengikuti sifat kekerasan pada komposisi
filler 0,01; 0,1%wt. dan kembali meningkat dari komposisi 1 sampai 10%wt.
2. Nilai kekerasan dan Tg untuk waktu sonikasi 60 menit lebih besar dibandingkan 30
menit karena lebih terdispersi dan proses curing yang lebih baik untuk waktu sonikasi
yang lebih lama.
3. Morfologi hasil citra SEM menunjukan penambahan partikel nano 55Fe-45Ni
mempengaruhi morfologi permukaan patahan. Permukaan patahan yang semula
bersifat getas menjadi lebih ulet. Hal ini karena dispersi dari partikel nano mengubah
struktur patahan dan menghasilkan interface yang memiliki sifat lebih ulet dari pristine
epoxy.
4. Nilai tertinggi temperatur Tg dan kekerasan didapatkan pada komposisi filler 10%wt.
dengan waktu sonikasi 30 menit sebesar 58,22°C dan 80 shore D yang melebihi
pristine epoxy serta standar aplikasi.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     291 
Daftar Referensi
[1] F. Fred, Billmeyer. 1984. Textbook of Polymer Science. New York: John & Willey.
[2] Callister, W. D. 2007. Material Science and Engineering. Metallurgical Engineering.
University Utah: John Wiley Sons.
[3] Chakradhar, K.V.P. et al. 2011. Epoxy/Polyester Blend Nanocomposites: Effect of
Nanoclay on Mechanical, Thermal and Morphological Properties. Malaysian polymer
journal Malaysia.
[4] Chen,Yuanzhi. 2009. Synthesis of iron–nickel nanoparticles via a nonaqueous
organometallic route. Elsevier, Lausanne, SWISS.
[5] Jang, Bor Z. 1994. Advanced Polymer Composite. USA: ASM International.
[6] J. J, Karippal. 2010. The Processing and Characterization of MWCNT/Epoxy. Polymer-
Plastics Technology and Engineering,49:1207–1213.
[7] Mackay, M. E. 2006. A General Strategy for Nanoparticle Dispersion, Science.
311,(5768), 1740-1743.
[8] Miller, Sandi. 2008. Effect of Nanoparticle and Matrix Interface on Nanocomposite
Properties. United States: University of Akron.
[9] Goyal, R. K. 2005 Polymer Science Indian Institute. 232-233.
[10] S. Julyes Jaisingh. 2012. Electrical and Thermal Properties of Iron (III) Oxide
Nanoparticles Filled Epoxy Nanocomposites. European Journal of Scientific Research
ISSN 1450-216X Vol. 89 October, pp. 465-476.
[11] Toprak, Pelin. 2004. A New Route Synthesis of Nanocomposite bu Using UP Matrix.
Rusia: Middle East University.
[12] Wei, C. L. 2002. Tensile performance improvement of low nanoparticles filled-
polypropylene composites. ComposSciTechnol, 62:1327.
[13] W. J. Sichina. 2000. Characterization of Epoxy Resins Using DSC. USA : Perkin Elmer
[14] Yin Quanfu. 2012. Lignin/epoxy resin composite. BioResources, 7(4): 5738-5748.
[15] Zhang Wei. 2009. Heterogeneity Epoxy Nanocomposite Improvement.Weinheim. Wiley
InterScience.
[16] Zhu Jiahua. et al. 2010. Magnetic Epoxy Resin Nanocomposites Reinforced with Core-
Shell Structured Fe@FeO Nanoparticles: Fabrication and Property Analysis. American
chemical society. Texas.

292  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
PENGARUH SUHU SINTERING TERHADAP PEMBENTUKAN
KERAMIK Ca3Co4O9 MELALUI PROSES REAKSI PADATAN

Sigit Dwi Yudanto


Pusat Penelitian Metalurgi dan Material - LIPI
Kawasan Puspiptek Gedung 470, Tangerang Selatan - Banten, 15314
E-Mail: sigi008@lipi.go.id

Abstrak
Keramik Ca3Co4O9 merupakan material oksida termoelektrik yang mempunyai kestabilan yang baik
dan nilai ZT yang tinggi. Pembuatan keramik Ca3Co4O9 dalam penelitian ini dilakukan menggunakan metode
reaksi padatan dengan bahan baku serbuk CaO dan CoCO3. Bahan baku dicampur stoikiometri dan digerus
menggunakan planetary ball mill. Setelah digerus, campuran dikalsinasi dengan suhu 400°C dan digerus
kembali. Selanjutnya hasil penggerusan dibentuk pellet dan disinter pada suhu 700, 750, 800, dan 850°C yang
ditahan selama 24 jam. Pola difraksi sinar-X menunjukkan bahwa fasa Ca3Co4O9 telah terbentuk pada suhu
700°C. Hasil pembentukan fasa Ca3Co4O9 yang optimal terjadi pada suhu sinter 800°C.

Kata kunci: Keramik Ca3Co4O9, Reaksi padatan, Sinter, Difraksi sinar-X.

PENDAHULUAN
Keramik Ca3Co4O9 adalah material yang sangat menjanjikan untuk dijadikan sebagai
material termoelektrik.[1-10] Material termoelektrik adalah material yang dapat mengubah
energi panas menjadi energi listrik secara langsung. Sumber panas yang dapat diubah dapat
berupa panas saluran buang kendaraan bermotor, bejana uap, sinar matahari, panas tubuh, dan
lain-lain. Syarat dari material agar dapat diaplikasikan sebagai material termoelektrik adalah
mempunyai nilai ZT (figure of merit) yang tinggi. Keramik Ca3Co4O9 mempunyai nilai ZT
dan kestabilan yang baik pada suhu tinggi[1,2,5,7] sehingga sangat baik diaplikasikan sebagai
material termoelektrik.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuat material ini. Metode yang
digunakan antara lain: metode reaksi padat konvensional[2-5], Thermal Hydro-
decomposition[6], Spark Plasma Sintering (SPS)[7], Sol-Gel[8-9], dan Pulsed Laser
Deposition.[10]
Sintesis material Ca3Co4O9 secara umum menggunakan metode reaksi padatan (solid
state reaction). Bahan baku yang digunakan dalam sintesis pada umumnya adalah logam
oksida. Logam oksida yang digunakan adalah Co3O4 dan CaCO3. Pada sintesis Ca3Co4O9
mengacu pada diagram fasa sistem Ca-Co-O seperti yang terlihat pada Gambar 1. Pada
diagram fasa tersebut fasa Ca3Co4O9 dituliskan sebagai fasa 3:2. Fasa 3:2 terbentuk mulai
suhu 600-926°C. Seperti halnya yang diungkapkan D. Sedmidubsky´, et al[12], bahwa suhu
maksimum pembentukan fasa Ca3Co4O9 tertinggi pada suhu 927°C dengan kondisi atmosfir
udara bebas.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     293 
Gambar 1. Diagram fasa sistem Ca-Co-O.[11,12]

Pada diagram fasa sistem Ca-Co-O[11,12] yang ditunjukkan dalam Gambar 1 terlihat
bahwa fasa Ca3Co4O9 terbentuk pada rentang suhu 650-925°C dari fasa CaO - Co2O3 dan
pada rentang suhu 900-926°C untuk pembentukan fasa Ca3Co4O9 dari fasa CaO - Co3O4. Fasa
yang terbentuk di atas suhu 926°C berdasarkan diagram fasa tersebut adalah fasa Ca3Co2O6.
Polikristal Ca3Co4O9 mempunyai struktur yang berbentuk lapisan/layer[4,5]. Miyazaki,
et al[5] mengemukakan bahwa struktur kristal senyawa [Ca2CoO3]0.62CoO2 adalah bentuk
dasar dari kristal Ca3Co4O9 atau Ca9Co12O28. Struktur polikristal [Ca2CoO3]0.62CoO2 terdiri
dari tiga buah struktur kristal yang berbentuk mirip dengan sandwich seperti yang terlihat
pada Gambar 2. Polikristal tersusun dari dua buah struktur kristal CoO2 dan satu buah
struktur kristal Ca2CoO3. Dengan kata lain kristal Ca3Co4O9 adalah komposit kristal.

Gambar 2. Model struktur kristal Ca3Co4O9 atau [Ca2CoO3]0.62CoO2.[4]

Pada penelitian terdahulu, Rahardjo Binudi, dkk[2] melakukan sintesis Ca3Co4O9


menggunakan metode sintering dengan bahan baku serbuk CaCO3 dan CoCO3. Proses diawali
dengan menggerus bahan baku kemudian dibentuk pellet dan disinter pada suhu 950°C yang
ditahan selama 40 jam pada kondisi atmosfir O2. Hasil difraksi sinar-X menunjukkan fasa
Ca3Co4O9 sudah terbentuk dan terdapat fasa lain yaitu Ca3Co2O6. Penelitian awal

294  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
menghasilkan fasa dengan rentang suhu yang berbeda dengan diagram fasa sistem Ca-Co-O.
Oleh karena itu dilakukan percobaan ulang untuk sintesis keramik Ca3Co4O9.
Percobaan yang dilakukan bertujuan untuk memperoleh fasa tunggal keramik
Ca3Co4O9 yang akan diaplikasikan sebagai material termoelektrik. Pada penerapannya
sebagai material termoelektrik, keramik Ca3Co4O9 akan dipasangkan dengan keramik
CaMnO3. Pasangan keramik Ca3Co4O9 dan CaMnO3 ini disebut modul termoelektrik.

METODE PERCOBAAN
Sintesis keramik Ca3Co4O9 menggunakan metode reaksi padatan. Bahan baku yang
digunakan adalah CaO (Merck) dan CoCO3 (Kanto Chemical). Percobaan diawali dengan
menimbang bahan baku sesuai dengan stoikiometrinya. Bahan baku dicampur dan digerus
menggunakan planetary ball mill selama 24 jam. Setelah digerus, campuran dikalsinasi
dengan suhu 400°C selama 5 jam. Campuran hasil kalsinasi digerus lagi selama 12 jam dan
selanjutnya dibentuk pellet berdiameter 1,2 cm dengan tekanan 30 MPa. Pellet sampel
Ca3Co4O9 disinter pada suhu 700, 750, 800, dan 850°C yang ditahan selama 24 jam. Sintering
dilakukan pada lingkungan atmosfer udara bebas dan didinginkan di dalam tungku hingga
mencapai suhu kamar.
Karakterisasi sampel hasil sintesis menggunakan difraksi sinar-X untuk mengetahui
fasa yang terbentuk. Difraksi sinar-X menggunakan radiasi Cu Kα dengan panjang gelombang
0,15418 nm. Pengukuran dilakukan terhadap sampel dengan kondisi suhu kamar dan rentang
sudut 2θ = 5-60°.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada percobaan sintesis keramik Ca3Co4O9 menggunakan bahan baku serbuk CaO dan
CoCO3. Reaksi yang diharapkan terjadi antar bahan penyusun adalah:

3 CaO(s) + 4 CoCO3(s) + O2(g)  Ca3Co4O9(s) + 4 CO2(g) (1)

Sedangkan urutan reaksi yang terjadi pada pemanasan serbuk CoCO3 dapat
digambarkan sebagai berikut:

CoCO3(s) CoO(s)  Co3O4(s) (2)

dimana dekomposisi CoCO3 menjadi CoO terjadi pada suhu 220°C, sedangkan perubahan
CoO menjadi Co3O4 terjadi pada suhu 350°C.[13]
Dekomposisi CaCO3 menjadi CaO terjadi pada suhu diatas 800°C.[14] Suhu
dekomposisi CaCO3 dan suhu pembentukan fasa Ca3Co4O9 ini yang dijadikan pertimbangan
dalam percobaan pembuatan Ca3Co4O9 dengan bahan baku CaO dan CoCO3.

Analisis Difraksi Sinar-X Hasil Sintesis


Difraksi sinar-X digunakan untuk mengetahui fasa yang terbentuk dari hasil sintesis.
Hasil difraksi sinar-X sampel Ca3Co4O9 hasil sintering ditunjukkan pada Gambar 3.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     295 
Gambar 3. Pola difraksi sinar-X sampel Ca3Co4O9 dengan variasi suhu sintering.

Pola pantulan difraksi sinar-X menunjukkan bahwa mayoritas fasa yang terbentuk
adalah fasa Ca3Co4O9, sesuai dengan ICDD PDF-2 No. 23-0110.[3] Berdasarkan hasil difraksi
sinar-X, pembentukan fasa Ca3Co4O9 terjadi seiring dengan kenaikan suhu sintering. Hal ini
terlihat dengan semakin tingginya intensitas puncak pantulan difraksi sinar-X pada sudut fasa
Ca3Co4O9. Pada sudut 2θ = 8° terlihat adanya peningkatan intensitas puncak fasa Ca3Co4O9
(Gambar 3). Pada suhu pemanasan 700°C, puncak pada sudut tersebut belum terlihat dengan
jelas. Intensitas puncak terlihat jelas pada suhu pemanasan 800°C, dan sebaliknya pada suhu
pemanasan 850°C, intensitas puncak pada sudut 2θ = 8° mengalami penurunan.
Pada sudut 2θ = 20 - 25° terdapat puncak yang menandakan adanya fasa Ca3Co2O6,
sesuai dengan ICDD PDF-2 No. # 089-0629.[15] Semakin tinggi suhu sintering, semakin jelas
puncak dari fasa Ca3Co2O6. Fenomena ini sesuai dengan ketentuan dalam diagram fasa sistem
Ca-Co-O. Munculnya fasa Ca3Co2O6 ini mungkin dikarenakan tidak tepatnya perhitungan
stoikiometri antarfasa penyusun, yaitu fasa CaO dan Co3O4. Seperti yang terlihat pada
diagram fasa sistem Ca-Co-O (Gambar 1), jika perbandingan % berat fraksi mol fasa
penyusun tidak tepat maka akan terdapat dua fasa yang terbentuk. Selain itu, faktor yang
mungkin mempengaruhi tidak terbentuknya fasa tunggal Ca3Co4O9 adalah bahan baku yang
digunakan dalam sintesis. Dari beberapa referensi[5][7][8], sintesis keramik Ca3Co4O9
menggunakan bahan baku yang berbentuk oksida yaitu Co3O4. Sedangkan percobaan yang
dilakukan menggunakan bahan baku CoCO3 dengan kemurnian Co sebesar ≈ 43-48%.
Pertimbangan yang diambil dalam penggunaan bahan baku ini adalah harga bahan baku yang
murah.

KESIMPULAN
Hasil sintesis keramik Ca3Co4O9 dengan menggunakan metode reaksi padatan belum
menghasilkan fasa tunggal Ca3Co4O9. Fasa yang terbentuk selain fasa Ca3Co4O9 adalah
Ca3Co2O6. Semakin tinggi suhu sintering (> 800°C), intensitas beberapa puncak fasa
Ca3Co4O9 mengalami penurunan sedangkan intensitas puncak fasa Ca3Co2O6 mempunyai
kecenderungan semakin tinggi. Pola difraksi sinar-X pada sampel menunjukkan bahwa
material Ca3Co4O9 optimal terbentuk pada suhu sintering 800°C.

Daftar Referensi
[1] Fergus, Jeffrey W. 2012. Review: Oxide materials for high temperature thermoelectric
energy conversion. Journal of the European Ceramic Society, 32: 525-540.

296  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
[2] Binudi, Rahardjo. dkk. 2011. Sintesa Ca3Co4O9 Sebagai Bahan Termoelektrik dengan
Menggunakan Metode Sintering. Prosiding Seminar Nasional Teknoin Tahun 2011.
Yogyakarta: UII.
[3] Y. C. Liou. et al. 2008. Synthesis of Ca3Co4O9 and CuAlO2 Ceramics of the
Thermoelectric Application Using A Reaction-Sintering Process. J. Aust. Ceram. Soc.,
44(1): 17-22.
[4] Ihns, Melanie. 2013. Structural engineering of Ca3Co4O9 thermoelectric thin films.
Master Thesis, Faculty of Science and Technology Inorganic Materials Science.
University of Twente.
[5] Miyazaki, Yuzuru. et al. 2002. Modulated Structure of the Thermoelectric Compound
[Ca2CoO3]0.62CoO2. Journal of the Physical Society of Japan, 71(2): 491-497.
[6] Natkrita Prasoetsopha. et al. 2012. Synthesis and Thermoelectric Properties of
Ca3Co4O9 Prepared by a Simple Thermal Hydro-Decomposition Method. Electronic
Materials Letters, 8(3): 305-308.
[7] Kenfaui, Driss. et al. 2010. Ca3Co4O9 ceramics consolidated by SPS process:
Optimisation of mechanical and thermoelectric properties. Materials Research Bulletin,
45: 1240-1249.
[8] Sopicka-Lizer, Małgorzata. et al. 2005. Preparation and characterization of calcium
cobaltite for thermoelectric application. Journal of the European Ceramic Society, 25:
1997–2001.
[9] Shaojie Feng and Wu Yang. 2011. Effect of the preparation method on the catalytic
performance of Ca3Co4O9 for methane oxidation. Journal of Sol-Gel Science and
Technology.
[10] Paulauskas, T. and R. F. Klie. 2011. Characterization of Thermoelectric Ca3Co4O9
Microstructure Using Transmission Electron Microscopy. Journal of Undergraduate
Research 5, 1. Chicago: University of Illinois.
[11] Hoa Tran. et al. 2013. Synthesis and characterization of mixed phases in the Ca–Co–O
system using the Pechini method. Materials Research Bulletin, 48: 2450 – 2456.
[12] Sedmidubsky´, D. et al. 2012. Phase Equilibria in Ca–Co–O System. Journal of Solid
State Chemistry, 194: 199-205.
[13] Chong-Hu Wu. 2012. Low Energy-Consumption Industrial Production of Ultra-Fine
Spherical Cobalt Powders. InTech open source publications.
[14] Halikia, I. et al. 2001. Kinetic Study of the Thermal Decomposition of Calcium
Carbonate by Isothermal Methods of Analysis. The European Journal of Mineral
Processing and Environmental Protection, 1(2): 89-102.
[15] Dwi Yudanto, Sigit dan Septian Adi Chandra. 2013. Sintesis dan Analisis Struktur
Kristal Cu doping Calcium Cobalt Oxide (Ca3Co2O6) dari hasil X-Ray Diffraction.
Prosiding Seminar Material Metalurgi Tahun 2013: 353-357. Tangerang Selatan, 2
November 2013: Pusat Penelitian Metalurgi-LIPI.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     297 
298  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
PERBANDINGAN SISTEM BAHAN BAKU Ti-Si-TiC DAN Ti-SiC-C
DALAM PEMBUATAN Ti3SiC2

Solihin
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Geoteknologi
Komplek LIPI, Gd 70, Jl Sangkuriang Bandung
E-Mail: solihin@lipi.go.id

Abstrak
Titianium silikon karbida (Ti3SiC2) yang merupakan keramik yang memiliki sebagian sifat logam dapat
dibuat dari sistem bahan baku Ti-SiC-C atau Ti-Si-TiC. Senyawa intermediate yang ditemukan pada sistem
bahan baku Ti-SiC-C adalah Ti5Si3 dan TiC sedangkan pada sistem bahan baku Ti-Si-TiC hanya ditemukan satu
senyawa intermediate, yakni TiC. Sistem bahan baku Ti-SiC-C memerlukan tambahan energi untuk reaksi
dekomposisi SiC dan pembentukan TiC. Sebaliknya, pada sistem bahan baku Ti-Si-TiC tidak diperlukan energi
untuk reaksi dekomposisi. Hasil proses plasma discharge sintering (PDS) pada temperatur 1200°C terhadap
sistem bahan baku Ti-SiC-C menghasilkan komposit keramik dengan komposisi senyawa titanium silicon
carbida, titanium silisida dan titanium carbida. Sedangkan proses yang sama pada sistem bahan baku Ti-Si-TiC
menghasilkan komposit keramik dengan komposisi senyawa titanium silikon karbida dan titanium karbida.

Kata kunci: Keramik, Titanium silikon karbida, Sintering, Reaksi antar-padatan.

PENDAHULUAN
Titanium silicon carbida (Ti3SiC2) merupakan jenis karbida yang memiliki sebagian
sifat logam. Berbeda dengan karbida yang biasanya memiliki kekerasan tinggi, Ti3SiC2
memiliki kekerasan yang relatif rendah sehingga dapat dengan mudah dibentuk melalui proses
permesinan.[1] Strukturnya yang unik dimana Ti-C, sub-struktur yang memiliki kekerasan
tinggi, diselingi oleh sub-struktur jaringan silikon yang memiliki kekerasan rendah. Struktur
Ti3SiC2 ditunjukan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Struktur molekul Ti3SiC2.[1]

Penelitian mengenai Ti3SiC2 telah banyak dilakukan menggunakan berbagai macam


proses pembuatan Ti3SiC2.[2-5] Proses-proses tersebut umumnya berbasis reaksi antar padatan
pada temperatur tinggi dengan bahan baku yang mengandung unsur Ti, Si dan C. Variasi
bahan baku tersebut akan mempengaruhi nilai variabel proses pembuatan Ti3SiC2 karena

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     299 
dengan bahan baku yang berbeda akan menghasilkan reaksi-reaksi intermediate yang berbeda.
Oleh karena dalam penelitian ini akan dibahas pengaruh bahan baku yang berbeda sistem
campurannya terhadap variable proses pembentukan Ti3SiC2.

METODE PERCOBAAN
Bahan baku yang digunakan dalam percobaan ini adalah serbuk titanium (Ti), silikon
(Si), titanium karbida (TiC) dan silikon karbida (SiC) yang merupakan produk Wako
Chemical Japan. Semua bahan baku memiliki kemurnian di atas 99,9%. Proses yang
digunakan agar reaksi pembentukan Ti3SiC2 dapat berlangsung adalah proses Plasma
Discharge Sintering (PDS). Sebelum diproses dalam mesin PDS, sampel campuran diaduk
dalam pengaduk otomatis selama 24 jam untuk menjamin homogenitas campuran. Proses
PDS terhadap masing-masing sampel dilakukan pada temperatur 900 dan 1200°C. Sampel
hasil sintering kemudian dianalisa menggunakan peralatan X-Ray Diffraction (XRD) dengan
sinar radiasi Cu-K alpha dan Scanning Electron Microscope (SEM).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Morfologi serta hasil analisa kualitatif tiap senyawa dalam sampel-sampel hasil proses
PDS diperlihatkan pada Gambar 2 sampai dengan Gambar 4.

(a) (b)
Gambar 2. Morfologi hasil proses PDS pada temperatur 900°C untuk sistem bahan baku
(a) Ti-SiC-C dan (b) Ti-Si-TiC.

Gambar 2 memperlihatkan hasil proses PDS pada temperatur 900°C untuk masing-
masing sistem bahan baku Ti-SiC-C dan Ti-Si-TiC. Dari gambar tersebut terlihat bahwa
senyawa yang dapat ditemukan dalam hasil sintering untuk sistem bahan baku Ti-SiC-C pada
temperatur 900°C adalah silicon carbida (SiC), titanium carbida (TiC) dan titanium silisida
(Ti5Si3). SiC dalam sampel merupakan sisa SiC dari starting material yang belum bereaksi
sedang fasa baru yang muncul setelah sintering adalah TiC dan Ti5Si3. Reaksi yang terjadi
selama proses sintering pada temperatur ini adalah dekomposisi silikon karbida, diikuti
dengan pembentukan TiC serta Ti5Si3. Berbeda dengan sistem bahan baku Ti-SiC-C yang
diinisiasi dekomposisi SiC, pada sistem bahan baku Ti-Si-TiC reaksi yang terjadi adalah
reaksi langsung antara titanium dengan silikon menghasilkan Ti5Si3. Keberadaan fasa
intermediate Ti5Si3 juga sudah dilaporkan pada penelitian terdahulu mengenai sintesis Ti3SiC2
dengan sistem bahan baku Ti-SiC-C[5] dan juga sistem bahan baku Ti-Si-TiC.[6] Ti4Si3
merupakan hasil reaksi antara atom Ti dan Si yang sudah terbebas dari bahan baku SiC,
sedangkan TiC merupakan hasil reaksi antara titanium dan karbon dari bahan baku elementer
Ti dan C.[6,7] Titanium karbida diketahui juga dapat terbentuk jika ada carbon dan titanium
bebas, dan senyawa ini juga diketahui cukup stabil pada temperatur 900°C.[8]
Morfologi hasil proses PDS pada temperatur 1200°C untuk sistem bahan baku baku
Ti-SiC-C dan Ti-Si-TiC diperlihatkan pada Gambar 3. Dari gambar terlihat bahwa pada
sistem Ti-SiC-C, walaupun sudah terbentuk Ti3SiC2 tetapi masih tersisa senyawa Ti5Si3 dan

300  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
SiC. Kedua senyawa intermediate tersebut merupakan sisa dari bahan baku yang belum
bereaksi. TiC juga masih tersisa pada sistem bahan baku Ti-Si-TiC. Hasil PDS pada sistem
bahan baku Ti-Si-TiC lebih sederhana dibanding sistem bahan baku Ti-SiC-C. Hal ini karena
pada sistem Ti-Si-TiC tidak memerlukan energi tambahan untuk dekomposisi sebagian bahan
baku, yakni SiC,sebelum dapat membentuk titanium silikon karbida. Selain itu juga energi
tambahan untuk pembentukan titanium karbida dapat dihindari karena tersedianya bahan baku
dalam bentuk langsung titanium karbida (TiC).

(a) (b)
Gambar 3. Morfologi hasil proses PDS pada temperatur 1200°C untuk sistem bahan baku
(a) Ti-SiC-C dan (b) Ti-Si-TiC.

Gambar 4. Pola XRD hasil proses PDS 1200°C untuk sistem bahan baku (A) Ti-SiC-C dan
(B) Ti-Si-TiC.

Gambar 4 memperlihatkan pola XRD dari hasil proses PDS pada 1200°C untuk
sistem bahan baku Ti-SiC-C dan Ti-Si-TiC. Pada sistem bahan baku Ti-SiC-C, terdapat tiga
senyawa yang terdeteksi yakni Ti3SiC2, TiC dan Ti5Si3. Sedangkan pada sistem bahan baku
Ti-Si-TiC didominasi oleh Ti3SiC2 dengan sangat sedikit TiC. Hasil analisa XRD ini
mendukung hasil analisa sebelumnya melalui SEM.

KESIMPULAN
Titanium silicon carbida (Ti3SiC2) dapat disintesis melalui sistem bahan baku Ti-SiC-
C atau Ti-Si-TiC. Mekanisme pembentukan Titanium silicon carbida melalui kedua jenis
sistem bahan baku ini agak berbeda. Pada sistem bahan baku Ti-SiC-C terdapat tahap
dekomposisi SiC untuk menghasilkan titanium silisida dan titanium karbida bersama titanium
dan karbon elementer. Sedangkan pada sistem bahan baku Ti-Si-TiC reaksi pembentukan
titanium silisida terjadi langsung dari bahan baku titanium dan silikon elementer. Sistem
bahan baku Ti-SiC-C memerlukan energi yang lebih besar untuk reaksi dekomposisi SiC dan
juga untuk pembentukan TiC. Hasil proses plasma discharge sintering pada temperatur
1200°C dari sistem bahan baku Ti-Si-TiC hanya didominasi titanium silicon carbida dengan

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     301 
sedikit titanium carbida, sedangkan pada sistem bahan baku Ti-SiC-C terdapat titanium
silicon carbida, titanium silisida dan titanium carbida.

Daftar Referensi
[1] Yu Ryabkov. et al. 2001. Structural Design And Properties Of Layered Nanocomposite
Titanium Carbide-Silicide Materials. Mater. Phys. Mech., 3: 101-107.
[2] Songlan Yang. et al. 2003. Ti-Si-C powder synthesis from Ti/Si /TiC powder mixtures.
Journal of Alloys and Compounds, 358: 168-172.
[3] Radovic, M. et al. 2000. Tensile Properties Of Ti3SiC2 In The 25-1300°C Temperature
Range. Acta mater, 48: 453-459.
[4] Zheng Ming Sun. et al. 2004. Ti3SiC2 powder synthesis. Ceramics International, 30:
1873-1877.
[5] Solihin. Mekanisme Pembentukan Titanium Silikon Karbida dari Sistem Ti-SiC-C.
Jurnal Metalurgi, 28(3).
[6] Solihin. 2013. Pembuatan Titanium Silikon Karbida Melalui Teknik Plasma Discharge
Sintering. Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM) 2013.
[7] Solihin. 2009. Studi Kinetika Pertumbuhan Titanium Silikon Karbida Dari Bahan Baku
Ti/Si/TiC. Jurnal Metalurgi, 24(2).
[8] Yong Zou. et al. 2010. Reaction mechanism in Ti–SiC–C powder mixture during pulse
discharge sintering. Ceramics International, 36: 1027–1031.

302  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
PENGARUH PERLAKUAN PANAS TERHADAP KEKERASAN DAN
KETAHANAN KOROSI METALLIC GLASS Ti-Cu-Zr-Pd-Co
UNTUK APLIKASI BIOMEDIS

Sonny Ade Rinaldi, Yanyan Dwiyanti, Alfirano*


Jurusan Teknik Metalurgi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Cilegon, Indonesia
Jl. Jendral Sudirman KM. 03, Cilegon, Banten
*E-Mail: alfirano@ft-untirta.ac.id

Abstrak
Metallic glass merupakan suatu paduan logam yang memiliki struktur atom amorf. Material ini
memiliki sifat mekanis yang sangat tinggi, baik dalam hal kekerasan, tensile strength maupun fracture
toughness. Selain itu, karakter unik lainnya dari metallic glass adalah memiliki ketahanan korosi yang sangat
baik dan dapat diperhitungkan sebagai biomaterial pengganti tulang. Pada penelitian ini akan dilakukan
karakterisasi material metallic glass paduan Ti-Cu-Zr-Pd-Co dan membandingkannya dengan paduan logam
konvensional (metallic glass Ti-Cu-Zr-Pd-Co yang dilakukan anil untuk mengembalikan kondisi material
menjadi logam biasa) dalam hal ketahanan korosi dan kekerasan material. Anil dilakukan pada temperatur
700°C selama 60 menit dan selanjutnya dilakukan uji korosi, uji kekerasan, uji XRD. Hasil yang ditunjukkan
adalah ternyata anil dapat menurunkan ketahanan korosi dan kekerasan material. Hal tersebut dimungkinkan
terjadi akibat pergerakan atom pada material yang kembali membentuk barisan atom yang teratur (kristalin)
dimana batas butir material merupakan inisiasi terjadinya korosi sehingga laju korosi akan meningkat dan
pergerakan dislokasi atom lebih mudah terjadi pada kristalin sehingga deformasi lebih mudah terjadi
dibandingkan dengan struktur amorf.

Kata kunci: Metallic glass, Biomaterial, Ketahanan korosi, Kekerasan.

PENDAHULUAN
Osteoporosis merupakan penyakit yang berkaitan dengan tulang dimana terjadi
peristiwa berkurangnya kepadatan tulang secara signifikan sehingga tulang menjadi rapuh dan
mudah patah. Berdasarkan data BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional), pada tahun 2013 jumlah penduduk Indonesia mencapai angka 250 juta jiwa dimana
jumlah penduduk lansia di Indonesia mencapai 7,59% dari total penduduk Indonesia atau
sekitar kurang lebih sebanyak 18.750.000 jiwa dan rentan terkena osteoporosis. Dengan
meningkatnya jumlah penduduk lansia di Indonesia maka akan makin besar pula penggunaan
biomaterial di Indonesia. Selama dua dekade terakhir, para peneliti di bidang material science
terus meneliti sebuah material bernama metallic glass. Metallic glass merupakan suatu
paduan logam yang memiliki struktur atom amorf. Material ini memiliki sifat mekanis yang
sangat tinggi, baik dalam hal kekerasan, tensile strength maupun fracture toughness. Selain
itu, karakter unik lainnya dari metallic glass adalah memiliki ketahanan korosi yang sangat
baik dan dapat diperhitungkan sebagai biomaterial pengganti tulang. Karakteristik material
yang menarik ini akan dilakukan perbandingan uji performa terhadap material
konvensional/kristalin dan akan ditinjau kembali kemungkinan metallic glass ini sebagai
pilihan biomaterial yang baru.

METODE PERCOBAAN
Pada penelitian ini akan dilakukan pengujian korosi dan kekerasan material. Namun,
sebagai data pendukung, akan dilakukan pengujian struktur material dengan menggunakan
XRD untuk sampel sebelum anil dan setelah anil. Sampel yang digunakan adalah metallic
glass Ti-Cu-Zr-Pd-Co dengan komposisi yang berbeda pada masing-masing sampel, yaitu
Ti39.5Cu36Zr10Pd14Co0.5, (Ti40Cu36Zr10Pd14)97Co3 dan (Ti40Cu36Zr10Pd14)98Co2 dimana sampel
berbentuk silinder dengan diameter 6 mm. Sampel yang akan dianil dilakukan pemanasan
pada temperatur 700°C selama 60 menit dalam muffle furnace. Pengujian akan dilakukan

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     303 
pada sampel as-cast dan annealed. Pengujian korosi dilakukan dengan menggunakan teknik
pengujian ketahanan polarisasi dimana larutan uji yang digunakan adalah larutan asam laktat
1%. Untuk pengujian kekerasan dilakukan dengan menggunakan alat Rockwell C dengan
pembebanan sebesar 150 kgf.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Atom
Setelah dilakukan berbagai pengujian dan perlakuan pada material, maka diperoleh
berbagai data, diantaranya grafik struktur atom material, nilai kekerasan dan nilai laju korosi
material. Untuk struktur atom material, metallic glass Ti-Cu-Zr-Pd-Co as-cast cenderung
membentuk satu peak dan tidak diikuti dengan peak lainnya. Hal itu disebabkan karena
struktur amorf yang terbentuk sehingga pada grafik XRD tidak ditemukan senyawa kristalin
yang terbentuk pada material. Hal yang tidak serupa terjadi pada sampel metallic glass
annealed. Pada material ini mulai terbentuk senyawa-senyawa kristalin yang saling berikatan
dan membentuk fasa pada material. Ini disebabkan karena pada saat pemanasan atom-atom
pada material saling bergerak dan membentuk struktur atom yang tersusun rapi seperti
susunan atom logam pada umumnya dan ketika dilakukan pengujian XRD maka akan terlihat
beberapa peak yang menunjukkan bahwa terdapat beberapa fasa yang terbentuk pada sampel
metallic glass annealed. Grafik XRD metallic glass as-cast dan annealed ditunjukkan pada
Gambar 1 dan 2.

Gambar 1. Grafik XRD metallic glass Ti-Cu-Zr-Pd-Co as-cast.

Gambar 2. Grafik XRD metallic glass Ti-Cu-Zr-Pd-Co hasil anil.

304  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Ketahanan korosi
Setelah dilakukan pengujian struktur atom material dengan menggunakan XRD
sebelum dan setelah anil, maka selanjutnya dilakukan pengujian korosi dengan menggunakan
teknik ketahanan polarisasi. Data laju korosi dari sampel as-cast dan annealed ditunjukkan
pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1.Tabel laju korosi metallic glass Ti-Cu-Pd-Zr-Co (as-cast)


Sampel Ecorr (mV) Icorr (µA/cm2) Laju Korosi (Mpy)
(Ti39.5Cu36Zr10Pd14Co0.5) -25,51 0,16 0,317351416
((Ti40Cu36Zr10Pd14)97Co3) -106,12 1,47 2,77495007
((Ti40Cu36Zr10Pd14)98Co2) 246,02 0,27 0,531033947

Tabel 2.Tabel laju korosi metallic glass Ti-Cu-Pd-Zr-Co (annealed)


Sampel Ecorr (mV) Icorr (µA/cm2) Laju Korosi (Mpy)
(Ti39.5Cu36Zr10Pd14Co0.5) -88,53 2,18 4,137377679
((Ti40Cu36Zr10Pd14)97Co3) 193,26 2,86 4,994049633
((Ti40Cu36Zr10Pd14)98Co2) 173,35 0,44 0,884455498

Berdasarkan teori, annealing dapat mempengaruhi tingkat ketahanan korosi dari suatu
material. Pada metallic glass ini, pengaruh dari proses anil adalah menurunkan ketahanan
korosi material. Korosi adalah peristiwa degradasi material akibat pengaruh lingkungan.
Dalam bidang biomaterial, lingkungan yang dimaksud adalah fluida darah. Adapun fluida
yang digunakan pada penelitian ini adalah larutan asam laktat 1%, dimana larutan ini
merupakan simulasi dari tingkat keasaman darah pada saat manusia kelelahan. Grafik
perbandingan laju korosi metallic glassas-cast dan annealed ditampilkan pada Gambar 3.

6
5
Corrosion Rate (mpy)

4
3 As-cast
2 Annealed

1
0
1 2 3
Sampel

Gambar 3. Grafik perbandingan laju korosi metallic glass as-cast dan annealed.

Pada Gambar 3 terlihat bahwa terdapat kenaikan laju korosi antara metallic glass as-
cast dan annealed. Karakteristik khusus dari metallic glass yang menarik adalah ketahanan
korosi yang sangat baik dibandingkan dengan logam kristalin. Inisiasi korosi pada logam
kristalin biasanya terjadi pada batas butir atau karena kehadiran fasa kedua, sedangkan korosi
galvanik terjadi karena ketidakhomogenan material yang menyebabkan terjadinya beda
potensial yang mengakibatkan korosi, namun pada metallic glass struktur material yang
terbentuk adalah amorf dimana pada struktur ini material tidak memiliki batas butir, partikel
fasa kedua dan memiliki kehomogenan secara kimiawi dalam material sehingga metallic glass
memiliki ketahanan korosi yang lebih baik dibandingkan dengan logam kristalin.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     305 
Kekerasan
Pengujian kekerasan material dilakukan dengan menggunakan Rockwell C dengan
pembebanan 150 kgf. Data hasil pengujian kekerasan material ini dapat ditampilkan pada
Tabel 3 dan 4. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa proses
annealing mempengaruhi nilai kekerasan dari metallic glass Ti-Cu-Zr-Pd-Co.

Tabel 3. Tabel nilai kekerasan Metallic Glass Ti-Cu-Zr-Pd-Co(as-cast)


Sampel Rockwell C (HRC) Vickers (HVN)
Ti39.5Cu36Zr10Pd14Co0.5 49 498,57
(Ti40Cu36Zr10Pd14)97Co3 47 471,25
(Ti40Cu36Zr10Pd14)98Co2 47,2 473,75

Tabel 4. Tabel nilai kekerasan Metallic Glass Ti-Cu-Zr-Pd-Co (annealed)


Sampel Rockwell C (HRC) Vickers (HVN)
Ti39.5Cu36Zr10Pd14Co0.5 42 412,22
(Ti40Cu36Zr10Pd14)97Co3 40,4 396
(Ti40Cu36Zr10Pd14)98Co2 40,6 398

Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena ketika metallic glass dilakukan proses
pemanasan terjadi pergerakan atom-atom amorf pada material sehingga pergerakan atom
tersebut mengakibatkan penyusunan atom yang teratur dan kembali dalam bentuk kristalin.
Salah satu keunggulan yang dimiliki metallic glass, yaitu memiliki nilai kekerasan yang tinggi
dibandingkan logam dalam bentuk kristalin. Kekerasan adalah ketahanan suatu material
terhadap pembebanan lokal tanpa terjadi deformasi plastis. Fenomena yang terjadi pada
logam saat terjadi deformasi plastis adalah terjadinya dislokasi atom akibat pembebanan yang
diberikan terhadap material sehingga terjadi pergeseran atom melebihi batas elastis.
Hal yang serupa lebih sulit terjadi pada metallic glass. Pada metallic glass atom tidak
tersusun secara teratur atau amorf. Atom-atom yang tidak teratur ini ternyata menjadi sebab
mengapa metallic glass memiliki nilai kekerasan yang tinggi. Atom-atom yang tidak teratur
ini saling menahan atom lainnya untuk bergeser akibat pembebanan yang terjadi sehingga
untuk menggerakkan susunan atom metallic glass diperlukan energi yang lebih besar
dibandingkan energi yang dibutuhkan untuk menggerakan atom pada logam kristalin.
Karakteristik mekanik ini menjadi penting untuk aplikasi biomaterial, khususnya
untuk stem pada hip joint karena bagian stem dari hip joint implant selain harus biokompatibel
terhadap tubuh manusia juga harus dapat menahan beban dari tubuh manusia tanpa terjadi
deformasi. Bila dilakukan perbandingan terhadap biomaterial yang saat ini banyak digunakan,
yaitu Ti6Al4V yang memiliki kekerasan sekitar kurang lebih 36 HRC, maka metallic glass
Ti-Cu-Pd-Zr-Co baik yang as-cast maupun annealed keduanya memiliki nilai kekerasan yang
lebih tinggi dari paduan Ti6Al4V sehingga bila ditinjau dari segi nilai kekerasan, maka
material metallic glass Ti-Cu-Pd-Zr-Co dapat diaplikasikan sebagai biomaterial, salah satunya
sebagai stem hip joint karena memiliki nilai kekerasan yang tinggi. [Rodriguez, 2004]

KESIMPULAN
Pengaruh perlakuan annealing terhadap metallic glass Ti-Cu-Zr-Pd-Co telah
dilakukan. Secara umum, proses annealing dapat menurunkan ketahan korosi dan kekerasan
material metallic glass Ti-Cu-Zr-Pd-Co yang disebabkan akibat perubahan struktur material
dari amorf yang kembali menjadi kristalin. Dengan perbandingan performa dalam hal
ketahanan korosi dan kekerasan material antara metallic glass as-cast dengan metallic glass
annealed (kristalin) maka disimpulkan bahwa metallic glass Ti-Cu-Zr-Pd-Co memiliki
ketahanan korosi yang sangat baik dan bisa menjadi salah satu kandidat material yang dapat
dijadikan biomaterial dan untuk selanjutnya diharapkan penelitian ditujukan pada kriteria-
kriteria lain yang dibutuhkan metallic glass untuk diaplikasikan sebagai biomaterial.

306  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Albertus Deny Setyawan dari
Laboratorium metallic glass Tohoku University yang telah menyediakan material untuk
penelitian ini.

Daftar Referensi
[1] Basu, Joysurya. 2003. Bulk Metallic Glass: A New Class of Engineering Materials.
Bangalore, Indian Institute of Science
[2] Greer, A. L. 2005. Metallic Glass as Structural Materials. Department of Engineering.
Cambridge: University of Cambridge
[3] Inoue, A. 2007. A New Ti-Based Bulk Glassy Alloy with Potential for Biomedical
Application. Sendai: Institute for Material Research, Tohoku University
[4] Inoue, A. 2011. Recent Development and Application Products of Bulk Glassy Alloy.
Sendai: Tohoku University
[5] Fengxiang Qin. 2006. Corrosion Behaviour of Ti-Based Metallic Glass. Sendai:
Institute for Material Research, Tohoku University
[6] Fengxiang Qin. 2007. Corrosion Behaviour of a Ti-Based Bulk Metallic Glass and It’s
Crystalline Alloys. Sendai: Institute for Material Research, Tohoku University
[7] Fengxiang Qin. 2006. Ti-Based Bulk Metallic Glasses for Biomedical Applications.
Sendai: Institute for Material Research, Tohoku University
[8] Ratner, Buddy. 1996. Biomaterial Science: An Introduction to Material in Medicine.
California: Academic Press
[9] Rodriguez, Brendamari. 2004. Biomaterials for Orthopedics. Puerto Rico. University of
Puerto Rico, Mayaguez
[10] Salimon, A. I. 2003. Bulk Metallic Glass: What Are They Good for?. Department of
Engineering. Cambridge: University of Cambridge

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     307 
308  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
SESI TANYA JAWAB

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     309 
Halaman ini sengaja dikosongkan

310  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Sesi Tanya Jawab SMM 2014 Sesi 1 Ruang I

1. Dari Rahmat (Universitas Indonesia) kepada Cahyo S


Pertanyaan:
Bicara tentang biocompability salah satu aspek yang perlu kita bahas adalah seberapa
tingkat keracunan suatu biomaterial terhadap tubuh manusia, kenapa implan yang
digunakan tidak dicoba material dari base-nya timah, sedangkan disini malah digunakan
baja feritik dengan krom tinggi ?
Jawaban:
Pak Cahyo:
Seberapa tubuh manusia bisa menimbun material sampai kadar tertentu padahal krom
lebih beracun sampai sejauh mana tingkat penelitian belum dipastikan, berdasarkan
informasi dokter-dokter ortopedik sampai sejauh mana pengaruh nikel saat ini belum kita
pastikan seperti stainless steel yang mengandung nikel ketika dimasukkan ke tubuh kita
masih bisa digunakan. Yang terjadi sekarang ini selama pasien tidak mengalami hal
signifikan yang dirasakan barangkali ke depan adalah rasa gatal.
Ibu Ika (salah satu anggota):
salah satu alasan pemilihan ongkos produksi material yang murah, walaupun dalam
ASTM ada kandungan yang dinilai layak untuk implan material sehingga dapat diterima
dalam tubuh.

2. Dari Satrio (Pasca Sarjana UI) kepada Agus


Pertanyaan:
Tentang treatment cryogenic aluminium, kondisi saat ini terjadi tool rusak karena proses
aluminium, menarik untuk cryogenic treatment:
 Untuk pemilihan aluminium T-6061 kenapa memilih material tersebut komposisi
seperti apa ?
 Untuk cooting tool bubut yang baja tool life mau dicapai berapa lama karena apabila
tahan lebih lama bisa diaplikasikan dimanufaktur ?
 Untuk produk aluminum sering terjadi hardspot aluminium oksida atau silikon karbida
yang terbentuk saat melting yang mempengaruhi saat bubut ? Apakah diperhatikan
aspek tersebut ?
Jawaban:
 Pemilihan aluminum T6061 karena banyak pemakaiannya. Kandungan memiliki
spesifikasinya yang telah diuji untuk kandungan 78% Al; 0,2% Ni; 1,8% Cu; 0,1%
Zn; 1,8% Mg dst karena itu yang banyak digunakan dipasaran.
 Target pemakaian lebih panjang dari biasanya 6 menit cutting tool tanpa treatment.
Biasanya menjadi meningkat 2 kali lipat dari biasanya cutting tool yang dipakai. Dari
litelatur apabila terjadi keausan tepi 0,3-0,4% sudah terjadi kerusakan, tetapi diamati
pada beberapa lapangan ditabrak saja karena kenyataannya masih dipakai. Idealnya
0,3-0,8% keausan tepi sudah diganti cutting baru.
 Tentu ada pengaruh hardspot tetapi tidak dibahas oleh kami. Tentu saja pengaruhnya
ada bisa mempengaruhi umur. Kami asumsikan di sini material aluminium untuk
cutting tool.

3. Dari Harsisto (P2MM) kepada Vina


Pertanyaan:
Pada waktu proses komposit bagaimana cara mencampur material tersebut ?
Jawaban:
Pada proses komposit matriknya adalah aluminium, penguatnya adalah silikon karbida,
ditambahkan Si berbentuk batangan, seng berbentuk batangan dan dilebur. Setelah
dimasukkan Mg dan Zn bersamaan lalu dicasting. Lalu dimasukkan magnesium dan seng

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     311 
lalu dicasting. Pakai hard stirring manual kecepatan 500 rpm tetapi tidak konstan 500°C
terus. SiC dipanaskan pada vacuum furnace sampai 800°C SiC dikeluarkan lalu
dipanaskan sampai 1000°C lalu diholding 1 jam dituangkan Al Si Mg Zn sebelum
dituang lalu distirring.

Sesi Tanya Jawab SMM 2014 Sesi 1 Ruang II

1. Dari Ariyo kepada Muhammad Amin


Pertanyaan:
Mengapa Batubara yang digunakan tidak menggunakan batubara yang kualitas bagus
(nilai kalorinya tinggi) kenapa batubara yang kurang jelek yang digunakan ?
Jawaban:
Karena potensi yang ada di daerah tersebut batubara yang memiliki nilai kalori yang tidak
bagus.

Sesi Tanya Jawab SMM 2014 Sesi 2 Ruang I

1. Dari Efendi (P2MM) kepada Sony


Pertanyaan:
Apakah tujuan dilakukan Annealing ?
Jawaban:
Annealing digunakan untuk mengembalikan struktur amorf ke kristalin. Membandingkan
performa logam amorf dengan logam konvensional.

2. Dari Agus (Malang) kepada Gadang P


Pertanyaan:
Bagaimana menentukan tingkat korosi pipa PDAM dalam tanah ?
Jawaban:
Untuk aplikasi masih sulit karena ada pengaruh lingkungan yaitu tanah. Uji lapangan
sedang dilakukan dalam lingkungan atmosferik, trend-nya serupa dengan uji pada kondisi
ekstrim. Proteksi coating harus disesuaikan dengan proteksi katodik.

3. Dari Agus (Malang) kepada Sony


Pertanyaan:
Tolong jelaskan hasil XRD yang amorf ?
Jawaban:
Berdasarkan penelitian sebelumnya, uji XRD yang diperoleh serupa dengan hasil literatur
metallic glass.

Sesi Tanya Jawab SMM 2014 Sesi 2 Ruang II

Tidak ada pertanyaan

Sesi Tanya Jawab SMM 2014 Sesi 3 Ruang I

1. Dari Arini (P2MM) kepada Bintoro Siswayanti


Pertanyaan:
Kenapa metode sintesis dipilih jalur basah ?
Jawaban:
Agar kristal yang terbentuk kecil-kecil, sehingga batas butir yang terbentuk semakin
banyak. Dengan demikian pin force-nya meningkat dan sifat semikonduktor semakin
bagus.

312  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Sesi Tanya Jawab SMM 2014 Sesi 3 Ruang II

1. Dari Satriyo (Pasca Sarjana UI) kepada M. Rosyid Ridho


Pertanyaan:
 Pembuatan komposit apakah menggunakan epoxy ?
 Pembuatan magnetic stiring kalau pakai serbuk akan terbentuk aglomerasi, bagaimana
penanggulangannya ?
 Pengecekan impedansi menggunakan peralatan apa ?
Jawaban:
 Tidak menggunakan epoxy.
 Menggunakan pelarut etanol dengan tujuan agar lebih homogen.
 Menggunakan ultrasonic tightness yang dibeli dari China, alatnya lebih teliti.

2. Dari Ikhlasul Amal kepada Yunan Hasbi


Pertanyaan:
Ukuran nanorodnya berapa ?
Jawaban:
Tidak sampai mengetahui ukurannya karena pengamatan dilakukan dari atas.

3. Dari Ikhlasul Amal kepada Ibrahim


Pertanyaan:
Hasil penelitian ini seberapa besar % dapat diadaptasi untuk scale up ?
Jawaban:
Dengan pergantian instrument hasilnya akan beda, minimal ada patokan untuk skala
laboratorium untuk menuju ke skala Pilot Plant.

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014     313 
314  PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
Organized by :

PUSAT PENELITIAN METALURGI dan MATERIAL


LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
Kawasan PUSPIPTEK Gd. 470, Tangerang Selatan, Banten 15314
Telp : (021) 7560911, Fax: (021) 7560553

Anda mungkin juga menyukai