Anda di halaman 1dari 428

ISBN 978-979-540-117-9

Prosiding Seminar Nasional 2019

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian


Presisi dan Berkelanjutan

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi


Sukamandi, 10 Desember 2019

Penerbit
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Kementerian Pertanian
2020
PROSIDING 2019
SEMINAR NASIONAL PADI
TEKNOLOGI PADI INOVATIF MENDUKUNG PERTANIAN
PRESISI DAN BERKELANJUTAN
Panitia Pelaksana
Ketua Pelaksana : Dr. Estria Furry P.
Wakil Ketua : Dr. Indria W. Mulsanti
Sekretaris : Mira Landep Widyastuti, M.Si
: Nita Kartina, M.Si
Bendahara : Suhartini, M.Sc.
: Nuhammad Toha
IT dan Website : Suharna, A.Md
: Saiful Ma’arif
Humas dan Publikasi : Suharna, A.Md
: Tedi Purnawan, SP
: Kuntjoro Adi, A.Md
Sarana dan Prasarana : Asep Dedi Subagio, SP
: Sugiyanto
: M. Hari Rabuka, A.Md
Acara : Yuni Widyastuti, M.Si
: Celvia Roza, SP
: Asep Maolana Yusup, SP
: Bayu Pramono Wibowo, SP
: Ali Imammaudin, STP
Kesekretariatan : Shinta Dewi Ardiyanti, M.Si
: Elis Septianingrum, M.Sc
: Rozakurniati, S.Si

Steering Committee:
Dr. Yudhistira Nugraha (Kepala Bidang Program dan Evaluasi)
Dr. Suprihanto (Kepala Bidang Kerjasama dan Pendayagunaan Hasil Penelitian)
Udi Herdadi SIP (Kepala Bagian Tata Usaha)
Dr. Indrastuti A. Rumanti (Ketua Kelti Pemuliaan)
Dr. Rahmini (Ketua Kelti Proteksi Tanaman)
Dr. Zuziana Susanti (Ketua Kelti Agronomi)
Dr. Bram Kusbiantoro (Ketua Kelti Fisiologi Hasil)
Ir. Ade Ruskandar (Ketua Kelti Sosial Ekonomi)

Reviewer : Dr. Suprihanto


Dr. Indrastuti A. Rumanti
Dr. Zuziana Susanti
Dr. Rahmini
Dr. Bram Kusbiantoro
Ir. Ade Ruskandar, MP

ii
Editorial Board : Dr. Satoto
Dr. Bambang Nuryanto
Dr. Bram Kusbiantoro
Ir. Ade Ruskandar, MP
Dr. Rahmini
Dr. Nur’aini Herawati
Dr. Dody D. Handoko
Dr. Zuziana Susanti
Ir. Widyantoro, MP
Dr. Indrastuti A. Rumanti
Dr. N. Usyati
Dr. Untung Susanto
Ir. Sri Wahyuni, MS
Nurwulan Agustiani, M.Agr.
Swisci Margaret, M.Si

Editor Pelaksana : Idrus Hasmi, SP


Mutya Norvyani, SI. Kom

Setting/Layout : Mutya Norvyani, SI. Kom

Penerbit:
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi

Redaksi:
Jl. Raya 9, Sukamandi, Subang, Jawa Barat 41256
Phone (0260) 520157
Fax (260) 521104
bbpadi@litbang.pertanian.go.id

Cetakan pertama, November 2020

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa ijin tertulis dari
penerbit

iii
Pendahuluan
Padi merupakan komoditas nasional penting dan stategis secara ekonomi, sosial,
politik, serta budaya bangsa. Kesungguhan pemerintah dalam menjaga stabilitas
pangan nasional dilakukan dengan meluncurkan berbagai program nasional untuk
meningkatkan produksi padi nasional. Upaya yang dilakukan untuk mendukung
target jangka panjang yaitu Indonesia Lumbung Pangan Dunia pada tahun 2045.
Strategi tersebut perlu didukung oleh ketersediaan inovasi dan teknologi padi presisi
yang berkelanjutan serta dapat diimplementasikan dalam skala yang memungkinkan
oleh petani pada khususnya. Penggunaan teknologi informasi di era industrial 4.0
menjadi keharusan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan lahan
maupun tanaman sehingga menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) telah
menghasilkan berbagai inovasi dan teknologi unggulan padi yang diharapkan
dapat menjadi terobosan dalam strategi pencapaian target nasional serta akan
terus berkembang sesuai dengan keperluan para pengguna. Inovasi dan Teknologi
tersebut harus segera sampai di tangan petani diantaranya adalah Varietas Unggul
Baru (VUB), Teknologi Budidaya yang efisien, penggunaan alat dan sarana
produksi yang efektif serta ramah lingkungan, kajian fisiologi terhadap cekaman
abiotik, kajian terhadap hama penyakit, praktik teknologi pasca panen untuk
meningkatkan mutu dan nilai tambah varietas, hingga kajian sosial dan ekonomi
terhadap pemanfaatan varietas/teknologi.
Tujuan penyelenggaraan Seminar Nasional Padi ini adalah sebagai sarana
alih informasi dan teknologi yang mampu mempercepat perkembangan teknologi
padi inovatif guna mendukung pertanian presisi yang berkelanjutan kepada
pengguna dan petani menunjang kesuksesan Indonesia sebagai Lumbung Pangan
Dunia pada tahun 2045.
Saya berharap melalui kegiatan ini dapat terjadi alih informasi dan inovasi
teknologi kepada petani/penangkar, juga kepada peneliti/pemerhati serta seluruh
stakeholder pertanian padi sehingga mampu memberikan manfaat kepada
semua pihak dan menunjang kesuksesan Indonesia sebagai Lumbung Pangan
Dunia pada tahun 2045. Saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan andil atas terselenggaranya Seminar Nasional Padi dan
terbitnya prosiding ini.
Jakarta, Desember 2019
Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian

Dr. Ir. Fajri Djufri, M.Si

iv
Kata Pengantar
Pembangunan pertanian melalui proses transformasi dan modernisasi diperlukan
di era industri 4.0. Pendekatan konsep pertanian presisi dan berkelanjutan
dilakukan sebagai upaya menyikapi terjadinya keterbatasan sumberdaya,
perubahan iklim, akses yang rendah terhadap pengetahuan dan teknologi, serta
laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat menjadi tantangan yang saat
ini dihadapi pertanian di Indonesia. Seminar Nasional telah dilaksanakan pada
tanggal 10 Desember 2019 di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi-
Jawa Barat, sebagai upaya menghimpun gagasan, pemikiran, ide teknologi
inovatif tanaman padi dalam komunitas riset padi serta calon pengguna, khususnya
petani. Seminar Nasional ini diharapkan dapat menjadi sarana alih informasi
dan teknologi yang mampu mempercepat perkembangan teknologi padi inovatif
guna mendukung pertanian presisi yang berkelanjutan.
Total 80 makalah telah dipresentasikan secara oral maupun poster pada
Seminar Nasional Padi tahun 2019, dengan pemakalah yang berasal dari berbagai
lembaga penelitian lingkup Kementerian Pertanian, Perguruan Tinggi dan
Lembaga Penelitian Non-Kementerian. Prosiding ini memuat 38 makalah hasil
penelitian bidang budidaya pertanian (agronomi), pemuliaan tanaman, perbenihan,
proteksi tanaman, pasca panen, dan sosial ekonomi. Empat belas makalah peneliti
terbaik diterbitkan di Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan dan 17
makalah litkayasa terbaik diterbitkan di Buletin Teknik Pertanian.
Saya sampaikan terima kasih kepada seluruh pemakalah atas partisipasi
dan dukungan yang diberikan, kepada tim editor dan kepada panitia Seminar
Nasional dan Temu Teknologi Padi 2019 yang telah bekerja keras
mempersiapkan kegiatan dan menyusun prosiding ini. Semoga hasil-hasil
penelitian yang terhimpun dalam prosiding ini dapat memberikan manfaat yang
besar bagi kemajuan pertanian di Indonesia.

Sukamandi, Desember 2019


Kepala Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi

Dr. Ir. Priatna Sasmita, M.Si

v
vi
Sambutan dan Laporan Panitia Seminar Nasional Padi
2019 oleh Kepala BBPADI
Yang saya hormati:
• Bapak Kepala Puslitbang Tanaman Pangan
• Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat
• Para Dekan Universitas
• Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner
• Para Pejabat Eselon II, III dan IV lingkup Badan Litbang Pertanian
• Para Narasumber, Pemakalah, Moderator dan akademisi
• Peneliti, penyuluh, dan praktisi pertanian serta seluruh peserta Seminar
Nasional Padi tahun 2019

Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh


Segala puji kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi
kesehatan dan kemudahan kepada kita semua sehingga kita dapat berkumpul
bersama pada hari ini untuk mengikuti “Seminar Nasional Padi”. Pertama-
tama, saya mengucapkan selamat datang di Balai Besar Penelitian Tanaman
Padi, di Sukamandi, Subang, Jawa Barat.
Seminar Nasional Padi merupakan rangkaian dari kegiatan Temu Teknologi
Padi tahun 2019. Bagian pertama dari rangkaian kegiatan ini adalah kegiatan
transfer teknologi padi yang terdiri dari 3 kegiatan yaitu Focus Group Discussion
(FGD) Pengembangan Padi Hibrida melalui perbaikan system perbenihan,
workshop tata kelola air dan temu lapang dengan petani. Kegiatan transfer temu
teknologi padi tersebut telah dilaksanakan pada tanggal 3 oktober 2019.
Rangkaian kedua gelaran Temu Teknologi Padi 2019 dilanjutkan dengan
kegiatan Seminar Nasional Padi yang dilaksanakan hari ini. Tema dari seminar
nasional kali ini adalah “Teknologi Padi Inovatif mendukung Pertanian Presisi
dan Berkelanjutan”.
Dukungan teknologi inovatif padi yang mencakup berbagai komponen,
mutlak menjadi prasyarat dalam mencapai pertanian presisi yang berkelanjutan
di Indonesia.

vii
Keberhasilan program pemerintah dalam mewujudkan pertanian presisi yang
berkelanjutan akan tercapai dengan adanya dukungan dan kerjasama dari semua
stakeholder perpadian nasional. Sinergi dari berbagai disiplin ilmu seperti
pemuliaan tanaman, perbenihan, budidaya, proteksi tanaman, teknologi
pascapanen dan sosial ekonomi diperlukan dalam menjawab tantangan pertanian
padi di Indonesia.
Melalui Seminar Nasional ini, diharapkan dapat menjadi sarana alih informasi
dan teknologi yang mampu mempercepat perkembangan teknologi padi inovatif
guna mendukung pertanian presisi yang berkelanjutan.
Kami laporkan kepada Bapak Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, pada seminar kali ini, total peserta sebanyak 145 orang. Makalah
yang mendaftar sebanyak 83 makalah. Proses seleksi dewan editor menghasilkan
80 makalah. Dari 80 makalah tersebut, sebanyak 37 akan disajikan secara oral,
dan 43 lainnya akan disajikan melalui media poster. Makalah-makalah terbaik
akan diterbitkan melalui jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan.
Pada Seminar kali ini, untuk pertama kalinya pula, rekan-rekan teknisi
litkayasa, baik lapang maupun laboratorium akan berkesempatan untuk
mempresentasikan hasil pekerjaannya. Sebanyak 18 makalah diterima oleh
panitia yang ditulis oleh Teknisi Litkayasa, dan hasil seleksi akhir, sebanyak 17
makalah diterima oleh Seminar Nasional Padi kali ini. Makalah terbaik yang
ditulis oleh para Teknisi Litkayasa akan diterbitkan di Buletin Teknik Pertanian.
Perkenan saya pada kesempatan ini menyampaikan apresiasi dan
terimakasih kepada seluruh peserta yang telah meluangkan waktu untuk hadir
pada Seminar Nasional Padi tahun 2019 ini. Kami mohon maaf bila dalam
penyelenggaraan acara, ada hal-hal yang kurang berkenan bagi Bapak/Ibu.
Selanjutnya, kami mohon perkenan kepada Bapak Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian untuk memberikan arahan
sekaligus membuka acara.
Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh. Mohon perkenan
Bapak Kepala Badan.
Kepala Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi

Dr. Ir. Priatna Sasmita, M.Si.

viii
DAFTAR ISI
Pendahuluan ........................................................................................... iii
Kata Pengantar ...................................................................................... v
Sambutan dan Laporan Panitia Seminar Nasional Padi 2019 Oleh
Kepala BB Padi ..................................................................................... vii
Daftar Isi ................................................................................................ ix
Perbanyakan Benih Varietas Unggul Padi Sawah dengan Pendekatan
Pengelolaan Tanaman Terpadu di Sumatera Barat ................................ 1
Sumilah, Atin Yulyatin, dan Abdul Aziz Syarief
Seleksi Padi Hitam Batang Pendek Generasi M3 Iradiasi Sinar Gamma
300 Gray ................................................................................................ 11
Nandariyah, Edi Purwanto, Sutarno, dan Mamik Fitriana Nugraheni
Eksplorasi Keragaman Genetik Padi Lokal di Kabupaten Deli Serdang
Sumatera Utara ...................................................................................... 29
Noverina Chaniago, Irfan Suliansyah, Irawati Chaniago, dan Nalwida Rozen
Produksi Benih F1 Padi Hibrida Pada Dua Metode Isolasi Yang
Berbeda .................................................................................................. 43
Nita Kartina dan Satoto
Keragaan, Parameter Genetik, dan Mutu Beras Galur-galur Padi Gogo
pada Percobaan Observasi di Bawah Tegakan Kelapa ......................... 55
Angelita Puji Lestari, Yullianida, Rini Hermanasari, dan Aris Hairmansis
Pemanfaatan Alat Sensor Tegangan Air dan Konduktivitas Listrik
Tanah Pada Observasi dan Seleksi Galur Tadah Hujan ......................... 71
Wage Ratna Rohaeni dan Untung Susanto
Teknologi Budidaya Padi Jarwo Super dan Itik di Lahan Sawah Pasang
Surut Mendukung Pertanian Berkelanjutan di Provinsi Riau ................. 85
Rathi Frima Zona, Rizqi Sari Anggraini, Oni Ekalinda, dan Nana Sutrisna
Penggunaan Pupuk Cair Organik Mikro untuk Peningkatan
Produktivitas VUB Padi di Nusa Tenggara Barat ................................. 95
Hiryana Windiyani dan Sabar Untung
Pengaruh Pengembalian Air Lindi dan Penambahan Jerami Padi pada
Sampah Kota Organik dengan Sistem Pengomposan Windrow ............ 105
Anindita Farhani, A.A. Asmara, N.W. Yuwono, dan Suci Handayani

ix
Keragaan VUB Inpari 32 di Lahan Rawa Pasang Surut Tipe C di
Kabupaten Tanah Laut .......................................................................... 127
Abdul Sabur dan Nurmili Yuliani
Identifikasi Morfologi Akar terhadap Toleransi Salin pada Fase
Vegetatif di Beberapa Kultivar Tanaman Padi (Oryza Sativa L.) ........ 143
Tovika Berlinasari dan Mukhammad Muryono
Kajian Jarak Tanam Spesifik Lokasi untuk Optimalisasi Produktivitas
Inpari 32 di Kabupaten Majalengka ....................................................... 163
Yati Haryati, Bebet Nurbaeti dan Irma Noviana
Penampilan Beberapa Padi Varietas Unggul Baru di Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat .......................................................................... 175
Ratna Sari, Irma Noviana dan Oswald Marbun
Adaptasi Teknologi Largo Super pada Lahan Kebun Kelapa Sawit
Belum Menghasilkan di Provinsi Riau .................................................... 181
Nana Sutrisna, Dahono, Empersi, dan Rizqi, S. Agraini
Kajian Sistem Tanam Jajar Legowo terhadap Pertumbuhan dan
Produksi Inpari 30 di Sulawesi Tenggara ............................................... 199
Samrin, Yuliani Zainuddin, dan Aida Fitri Viva Yuningsih
Aplikasi Macam Pupuk Organik dan Pupuk N, P, K Terhadap Ph, K-dd,
K-potensial, Ktk dan Hasil Padi Hitam (Oryza Sativa L. Indica) pada
Inceptisols .............................................................................................. 207
Anni Yuniarti, Yuliati Machfud, dan Yogi Dheoksa Falma
Variabel Kritis Morfofisiologi Tanaman Padi pada Kondisi Cekaman
Rendaman .............................................................................................. 223
N. Agustiani, Sujinah, dan I. A. Rumanti
Pengaruh Sistem Tanam dan Dosis Pemupukan Padi Sawah Varietas
Inpari 36 terhadap Intensitas Penyakit Blas di Kabupaten Bangka
Selatan ................................................................................................... 235
Fitria Yuliani dan Ahmadi
Daya Adaptasi VUB Padi Sawah Pada Lahan Bukaan Baru di Bangka
Selatan ................................................................................................... 245
Muzammil, Ahmadi, dan Sigit Puspito
Varietas Lokal Sulawesi sebagai Sumber Ketahanan terhadap Penyakit
Blas (Pyricularia Grisea (Cooke) Sacc. .............................................. 257
Anggiani Nasution,Santoso,Rahmini, dan Nani Yunani

x
Identifikasi Tetua Baru Untuk Sifat Ketahanan terhadap Hawar Daun
Bakteri Melalui Pengujian Aksesi Plasma Nutfah Padi ......................... 271
Celvia Roza, N. Usyati, Ade Ruskandar, Rina Hapsari Wening, dan Heryanto
Tingkat Serangan Hama dan Penyakit pada Varietas Unggul Baru Padi
Sawah di Kabupaten Konawe ............................................................... 283
Samrin dan Aida Fitri Viva Yuningsih
Kajian Metode Inokulasi Penyakit Hawar Pelepah untuk Skrining
Ketahanan Varietas Padi ....................................................................... 297
Laila Nur Milati dan Bambang Nuryanto
Ketahanan Galur-galur Padi Tadah Hujan terhadap Wereng Coklat
Biotipe 1 ................................................................................................. 309
Dede Munawar, Rahmini, dan Untung Susanto
Kajian Teknologi Penyosohan untuk Memperbaiki Mutu uan Rendemen
Beras ...................................................................................................... 327
Suismono dan Ridwan Rahmat
Teknologi Budidaya Padi Jarwo Super dan Itik di Lahan Sawah Pasang
Surut Mendukung Pertanian Berkelanjutan di Provinsi Riau ................. 337
Rathi Frima Zona, Rizqi Sari Anggraini, Oni Ekalinda, dan Nana Sutrisna
Produksi dan Penyebaran Benih Varietas Unggul Baru Padi Melalui
Pendampingan Kawasan Padi Lahan Sawah Irigasi Provinsi Jambi ..... 347
Jumakir, Marlina Sr, dan Julistia Bobihoe
Integrasi Budidaya Padi Sawah Irigasi dengan Itik di Kabupaten
Subang ................................................................................................... 363
Agus Nurawan, Kiki Kusyaeri Hamdani, Heru Susanto, dan Yanto Surdianto
Respon Petani terhadap Peningkatan Indeks Pertanaman (IP) Melalui
Tumpangsari Tanaman Jagung-Padi di Kabupaten Pemalang ............... 373
Endah Nurwahyuni, Forita Dyah Ariyanti, dan Sherly Sisca Piay
Evaluasi Galur-galur Padi Toleran Salin di Tingkat Petani Melalui
Participatory Variety Selection (PVS) ................................................ 383
Ade Ruskandar, Zakiah M.H, T. Rustiati, Nafisah, Ali Imamuddin, Trias
Sitaresmi, Aris Hairmansis, dan S. Deny WP.
Peluang Usahatani Padi-ikan untuk Meningkatkan Tambahan
Pendapatan Petani ................................................................................. 397
Widyantoro

xi
xii
Perbanyakan Benih Varietas Unggul Padi Sawah
dengan Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu
di Sumatera Barat
Sumilah1, Atin Yulyatin2, dan Abdul Aziz Syarief1
1
BPTP Sumatera Barat
Jl. Raya Sukarami, Solok, West Sumatera, Indonesia
2
BPTP Jawa Barat
Jl. Kayuambon 80, Lembang, Bandung Barat, West Java, Indonesia
Email: smilejoys@gmail.com

ABSTRAK
Masyarakat Sumatera Barat menyukai rasa nasi pera sehingga
varietas unggul yang digunakan pada kegiatan perbanyakan benih
merupakan varietas unggul lama. Memilih varietas yang sesuai
dengan agroekologi lingkungan dan preferensi konsumen setempat
sangat mendukung pengembangan varietas dan keberhasilan usaha
tani padi secara berkesinambungan. Selain itu sangat berpotensi
untuk pengembangan varietas unggul lokal. Penelitian dilaksanakan
di lahan petani, Kelurahan Batipuah Panjang, Koto Tangah, Kota
Padang, Sumatera Barat dari Bulan Januari hingga Desember 2012.
Varietas yang digunakan yaitu IR 42, Cisokan, Inpara3, Inpari 12
dan Inpari 21 Batipuah dan Saganggam Panuah. Parameter
pengamatan terdiri dari tinggi tanaman, jumlah anakan produktif,
produksi GKP, produksi benih. Data keragaan agronomis (tinggi
tanaman dan jumlah anakan produktif), komponen hasil GKP dan
benih dianalisis deskriptif dengan cara membandingkan rata-rata
hasil dari masing-masing varietas. Penerapan PTT pada varietas
unggul dapat memberikan peningkatan hasil dan berpotensi untuk
dikembangkan pada lahan spesifik lokasi Sumatera Barat. Sumatera
Barat masih banyak menggunakan varietas unggul lama karena
masyarakatnya menyukai rasa nasi pera sehingga banyaknya
peluang pengembangan varietas unggul lokal.
Kata kunci: Padi, varietas, pera.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 1


ABSTRACT
The people of West Sumatra prefers to relatively hard rice, so
that the superior varieties used in seed propagation activities
are old superior varieties. Choosing varieties that are in
accordance with environmental agroecology and local consumer
preferences strongly supports the development of varieties and
the success of rice farming on an ongoing basis. Besides that, it
has the potential to develop local superior varieties. The study
was carried out in farmers’ land, Kelurahan Batipuah Panjang,
Koto Tangah, Padang City, West Sumatra from January to
December 2012. The varieties used were IR 42, Cisokan, Inpara3,
Inpari 12 and Inpari 21 Batipuah and Saganggam Panuah.
Observation parameters consisted of plant height, number of
productive tillers, dry grain production, seed production.
Agronomic performance data (plant height and number of
productive tillers), dry grain yield components and seeds were
analyzed descriptively by comparing the average yields of each
variety. The application of PTT to superior varieties increased
yields and has the potential to be developed in specific lands of
West Sumatra. West Sumatra still uses a lot of old superior
varieties because the people like the taste of non soft rice, so
that there are many opportunities for the development of local
superior varieties.
Keywords: Paddy, varieties, non glutinous.

PENDAHULUAN
Padi merupakan pangan pokok masyarakat Indonesia. Salah satu teknologi yang
dapat meningkatkan produktivitas adalah benih dan budidaya. Benih yang
dihasilkan harus melalui teknologi budidaya yang tepat agar produktivitasnya
meningkat.
Sumatera Barat merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki
preferensi yang berbeda terhadap nasi dibandingkan dengan masyarakat
Indonesia lainnya. Masyarakat Sumatera Barat cenderung menyukai rasa nasi
pera (kadar amilosa > 27) (Zen et al., 2005), yang cocok bila dipadukan dengan
masakan padang yang bersantan. Beras dengan karakter khusus memiliki
komposisi senyawa penyusun yang beda, terutama imbangan kandungan amilosa
- amilopektin yang dipengaruhi oleh kondisi lahan, pemupukan, lingkungan tempat

2 Sumilah: Perbanyakan Benih Varietas Unggul.....


tumbuh, dan iklim (Ikhwani & Rustiati, 2018). Namun varietas padi hasil
Balitbangtan Pertanian masih belum banyak seperti IR 42, IR 66, Cisokan, Inpari
12, Inpari 21, Inpara 3 yang menghasilkan rasa nasi pera yang disukai oleh
masyarakat Sumatera Barat, sehingga muncullah varietas unggul lokal yang
telah melalui proses pelepasan seperti varietas Saganggam Panuah. Walaupun
telah dilepas cukup banyak varietas unggul baru (VUB), namun tidak begitu
disukai oleh masyarakat Sumatera barat karena rasa nasinya tidak terlalu pera
atau tidak begitu cocok dengan lidah masyarakatnya sehingga perlu
dikembangkan varietas lokal yang spesifik lokasi. Pertimbangan konsumen
dalam memilih varietas padi/beras adalah berdasarkan karakteristik sensorinya,
terutama dalam hal aroma, rasa, dan kepulenan (Larasati, 2012).
Namun varietas ini masih memiliki produktivitas yang masih rendah bila
dibandingkan varietas unggul Balitbangtan. Maka melalui kegiatan perbanyakan
benih padi dengan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) diharapkan
produksi benihnya sama dengan varietas unggul Balitbangtan. Tujuan penelitian
ini adalah Peluang pengembangan benih varietas unggul padi sawah dengan
pendekatan pengelolaan tanaman terpadu melalui kegiatan perbanyakan benih
padi di Sumatera Barat.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di lahan petani, Kelurahan Batipuah Panjang, Koto
Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat dari Bulan Januari hingga Desember
2012. Padi ditanam pada lahan petani kooperator yang masing-masing varietas
ditanam seluas @0,1 ha. Varietas unggul yang digunakan merupakan varietas
Balitbangtan Pertanian yang sudah lama dilepas terdiri dari IR 42, IR 66, Cisokan,
Inpara3, Inpari 12 dan Inpari 21 Batipuah. Sedangkan varietas lokal yang
digunakan adalah Saganggam Panuah yang telah dilepas oleh Pemerintah
Kabupaten Padang Panjang, Sumatera Barat. Pendekatan pengelolaan tanaman
terpadu (PTT) yang digunakan, diantaranya: pupuk organik dari pukan sapi
dengan dosis 2,0 ton/ha, pupuk anorganik spesifik lokasi 100 kg/ha Urea dan
300 kg/ha NPK (15-15-15), umur bibit 15-21, jumlah bibit 1-3 bibit per lubang
dan sistem tanam tegel 25 cm x 25 cm, pengedalian hama an penyakit tergantung
pada tingkat serangannya.
Padi ditanam kelas benih BS untuk menghasilkan kelas benih BD.
Kebutuhan benih 25 kg/ ha, dan kebutuhan pupuk dasar 2 ton/ha pupuk kandang
sapi, sedangkan 100 kg/ha Urea dan 300 kg/ha NPK (15-15-15) diaplikasikan
sebanyak 3 kali pada umur 7 hst dan 30 hst. NPK diberikan pada saat 7 hst.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 3


Perlakuan benih dengan perendaman benih dalam larutan garam 3%. Selanjutnya
taburkan benih dengan kerapatan 50 g/m2 atau 0,5-1 kg benih per 20 m2 lahan.
Persemaian dipupuk dengan urea, SP36 dan KCl masing-masing 15 g/m2.
Penanaman dilakukan pada saat umur bibit berumur 15-21 hari, dengan tanam
3-5 bibit per lubang. Jarak tanam menggunakan sistem tegel 25 cm x 25 cm.
Pemupukan dilakukan tiga kali yaitu pada umur 30 hst, 45 hst dan 70 hst. Penyiangan
dilakukan secara intensif, agar tidak terganggu oleh gulma, penyiangan dilakukan
paling sedikit dua atau tiga kali tergantung pada keadaan gulma. Pengendalian
OPT dilakukan jika intensitas serangan OPT tinggi. Rouging/ seleksi dilakukan
sebanyak IV kali, yaitu rouging I pada umur 36 hss, rouging II pada umur 50 hss,
rouging III pada umur 80 hss, rouging IV pada umur 106 hss. Padi dipanen dan
selanjutnya diproses menjadi benih dengan cara dijemur sampai kadar ainya 6%.
Benih di sertifikasi oleh BPSB dan diberi label sesuai dengan kelasnya.
Parameter pengamatan terdiri dari tinggi tanaman, jumlah anakan produktif,
produksi GKP, produksi benih. Data keragaan agronomis (tinggi tanaman &
jumlah anakan produkti), komponen hasil GKP dan benih dianalisis deskriptif
dengan cara membandingkan rata-rata hasil dari masing-masing varietas.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Rerata tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif pada masing-masing varietas
tidak menunjukan jumlah yang berbeda (Tabel 1). Varietas memiliki tinggi
tanaman dan jumlah anakan produktif hampir sama dengan deskripsi varietasnya.
Kristamtini et al. (2016) menunjukkan nilai keragaman fenotipe dan genotipe
yang luas terdapat pada karakter tinggi tanaman, jumlah anakan produktif lebih
banyak dikendalikan oleh faktor genetik daripada faktor lingkungan.

Tabel 1. Rerata tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif.

Varietas Tinggi tanaman Jumlah anakan produktif/


(cm) rumpun (batang)

IR42 93 21
Cisokan 95 19
IR66 100 18
Inpari12 97 20
Inpari21 Batipuah 94 20
Inpara3 100 18
Saganggam Panuah 85 18

4 Sumilah: Perbanyakan Benih Varietas Unggul.....


Potensi hasil dari varietas tertentu hanya dapat dicapai apabila ditanam
pada kondisi pertumbuhan yang sesuai dengan varietas tersebut. Varietas
Cisokan, IR66, Inpari 12, Inpari 21 Batipuah dan Inpara 3 memiliki produksi
GKP yang lebih tinggi dibandingkan deskripsi varietasnya (Tabel 2). Hal ini
sama seperti penelitian yang dilakukan Atman & Misran (2015) kisaran hasil
gabah IR 66 adalah 5,32-6,46 t GKP/ha atau 4,95-6,01 t GKG/ha.
Sedangkan IR42 dan Saganggam Panuah masih lebih rendah dibandingkan
dengan deskripsinya. Hal ini diduga terkait dengan banyaknya gabah hampa
akibatnya kurangnya pengisian gabah. Saganggam panuh merupakan varietas
unggul lokal dari Kabupaten Padang Pajang, Sumatera Barat. Varietas ini banyak
diminati karena rasanya yang khas, namun benih sumbernya memiliki banyak
campuran, terlihat ketika sudah dilapangan. Tanaman campuran tersebut diambil
ketika roguing, sehingga mengurangi produksi GKP dan benih. Selain itu umur
tanamannya lebih panjang dibandingkan varietas yang lain.
Penerapan tanaman terpadu (PTT) padi dapat meningkatkan produksi.
Slameto et al. (2014) menyatakan PTT padi sawah merupakan inovasi di bidang
pertanian yang berperan penting mendukung peningkatan produktivitas padi.
Pengaruh paket teknologi (Jarak tanam tegel (25 cm x 25 cm), pupuk
rekomendasi (300 kg urea/ha, 100 kg SP36/ha dan 100 kg KCl/ha) secara tunggal
lebih baik (Hasmi & Widyantoro, 2016). Selain itu penerapan PTT juga dapat
meningkatkan produksi VUB Batang Piaman dan Batang Lembang (Atman,
2011).
Varietas unggul mampu meningkatkan produksi padi dan pendapatan petani.
Peningkatan produktivitas dicapai melalui peningkatan potensi atau daya hasil
tanaman, serta adaptasi terhadap kondisi lingkungan spesifik lokasi (Raharjo
dan Hasbianto, 2014). Laju metabolisme pada tanaman sangat menentukan
pertumbuhan tanaman selama fase vegetatif, reproduktif, dan pemasakan.

Tabel 2. Rerata produksi GKP dan produksi benih di Sumatera Barat.

No Varietas Produksi GKP Produksi benih


(kg) (kg)

1 IR42 2,8 2,3


2 Cisokan 8,9 7,3
3 IR66 5,2 4,1
4 Inpari 12 9,7 7,5
5 Inpari 21 Batipuah 8,0 7,2
6 Inpara 3 8,2 6,0
7 Saganggam Panuah 2,5 2,0

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 5


Tabel 3. Deskripsi varietas IR 42, Cisokan, IR 66, Inpari 12, Inpari 21 Batipuah, dan Saganggam
Panuah Berdasarkan BB Padi.

Tinggi Jumlah Umur Potensi


No Varietas tanaman anakan tanaman produksi Keterangan
(cm) produktif (hari) (t/ha)
(buah)

1 IR42 90-105 20-25 135-145 7,0 Tekstur nasi pera, baik ditanam
di lahan sawah irigasi, pasang
surut dan rawa
2 Cisokan 90-100 20-25 110-120 6,0 Tekstur nasi pera, cukup baik
sebagai padi sawah di dataran
rendah sampai ketinggian
500 m dpl.
3 IR66 115-126 20-35 110-127 5,5 Tekstur nasi pera, kerontokan
sedang, kerebahan tahan, baik
ditanam di lahan sawah irigasi
dataran rendah sampai
ketinggian 500 m dpl, baik
ditanam sebagai padi
gogorancah
4 Inpari 12 99 18-25 99 8,0 Tekstur nasi pera, kerontokan
sedang, cocok ditanam di
ekosistem sawah tadah hujan
dataran rendah sampai
ketingggian 600 m dpl.
5 Inpari 21 96 20-25 120 8,2 Tekstur nasi pera, kerebahan
Batipuah toleran, cocok ditanam di
ekosistem sawah sampai
ketinggian 600 m dpl
6 Inpara 3 108 16 127 5,6 Tekstur nasi pera, kerebahan
sedang, kerontokan sedang,
baik ditanam di daerah rawa
lebak, rawa pasang surut
potensial dan di sawah irigasi
yang rawan banjir
7 Saganggam 125-135 22-23 139-141 5,26-7,79 Tekstur nasi pera, kerebahan
Panuah tanah, krontokan sedang, baik
ditanam di lahan sawah dataran
tinggi 600-800 m dpl, hasil
lebih tinggi 13, 94% dari
Kuriak Kusuik, 4,19 % dari
Anak Daro; mutu beras, jumlah
gabah, gabah bernas dan
ketahanan hama putih palsu
dan penyakit bercak daun lebih
baik dari Kuriak Kusuik dan
Anak Daro
Sumber: BBPadi, 2005; 2019

6 Sumilah: Perbanyakan Benih Varietas Unggul.....


Proses ini selain dipengaruhi oleh teknik budidaya yang digunakan juga
dipengaruhi oleh varietas padi yang ditanam serta kondisi lingkungan pertanaman.
Introduksi varietas unggul yang dibudidayakan dengan pendekatan PTT
meningkatkan hasil padi sawah dari 4,50 t/ha menjadi 4,79 t/ha (Sudarto et al.,
2018).
Sumatera Barat memiliki banyak varietas padi baik varietas unggul
Balitbangtan maupun varietas unggul lokal, diantaranya IR-42, Batang Piaman
dan Cisokan, Anak Daro, Kuriak Kusuik, Mundam, 1000 Gantang, Padi Putiah,
Randah Kuniang, Saganggam Panuah, Silih Baganti, 100 hari, 42C, Pulut, dan
Bakwan (Mardita & Violita, 2018). Varietas unggul baru Balitbangtan seperti
Inpari 30 tidak banyak digunakan karena masyarakatnya menyukai varietas
dengan rasa nasi pera, sehingga masih banyaknya varietas lama yang
beerkembang seperti IR42, IR66, Cisokan. Padi yang mempunyai areal terluas
di Sumatera Barat ialah IR-42, Batang Piaman dan Cisokan (Nurnayetti dan
Arman, 2013). Memilih varietas yang sesuai dengan agroekologi lingkungan
dan prefensi konsumen setempat sangat mendukung pengembangan varietas
dan keberhasilan usaha tani padi secara berkesinambungan (Zen, 2013). Pada
beras semakin kecil kandungan amilosa atau semakin tinggi kandungan
amilopektinnya maka akan semakin pulen (lekat) nasi yang diperoleh (Ikhwanudin
2017, Zahara et al., 2016).

Saganggam Panuah

1. Penerapan PTT pada varietas unggul dapat memberikan peningkatan hasil


dan berpotensi untuk dikembangkan pada lahan spesifik lokasi Sumatera
Barat.
2. Sumatera Barat masih banyak menggunakan varietas unggul lama karena
masyarakatnya menyukai rasa nasi pera sehingga banyaknya peluang
pengembangan varietas unggul lokal

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 7


UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih atas kerjasama selama kegiatan kepada
Bpk. Taupik, Bpk. Burhainizar, Alm. Bpk Suhariatno, Bpk. Dasmal, Ibu Yulimasni
dan tim UPBS tahun 2011-2012.

DAFTAR PUSTAKA
Atman. 2011. Pengaruh Paket Teknologi Model PTT Padi Sawah Pada VUB
Batang Piaman. hlm. 124-130 Dalam: nama editor (eds) Prosiding
Seminar Nasional Akselerasi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan
Berbasis Inovasi dan Sumberdaya Lokal. Manokwari: BPTP Papua Barat.
Atman dan Misran. 2015. Pengaruh Sistem Tanam Terhadap Pertumbuhan
Dan Hasil Padi Sawah Varietas IR-66 Di Sumatera Barat. Prosiding
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia ke-33. Optimalisasi Sumberdaya
Lokal Melalui Diversifikasi Pangan Menuju Kemandirian Pangan dan
Perbaikan Gizi Masyarakat Menyonsong Masyarakat Ekonomi ASEAN
2015. Buku I. PSEKP-Balitbangtan; 237-245 hlm.
BB Padi. 2009. Deskripsi Varietas Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Kementerian Pertanian.
. 2019. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi Inbrida padi sawah irigasi (INPARI),
Hibrida padi (HIPA), Inbrida padi gogo (INPAGO), Inbrida padi rawa
(INPARA). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kementerian Pertanian.
Hasmi, I. & Widyantoro. 2016. Pengaruh Pemupukan NPK Majemuk Dan
Urea Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Padi Gogo. Prosiding Seminar
nasional 2016. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
Ikhwani dan T. Rustiati. 2018. Respons Varietas Padi dengan Beras Kerkarakter
Khusus terhadap Pemupukan dan Cara Tanam. Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan 2(1): 17-24.
Larasati SP. 2012. Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Organoleptik Nasi dari
Beberapa Varietas Beras. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. …
hlm.
Mardita, S., Violita. 2018. Morphological indices of Drought Tolerant of Some
Paddy Varieties (Oryza sativa L.) In West Sumatera Using Standard
Evaluation System (SES) For Rice. Bioscience 3(1): 60-68.

8 Sumilah: Perbanyakan Benih Varietas Unggul.....


Nurnayetti dan Atman. 2013. Keunggulan Kompetitif Padi Sawah Varietas Lokal
Di Sumatera Barat. Jurnal Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi
Pertanian (16)2: 102-110
Slameto, F., T. Haryadi, dan Subejo. 2014. Faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi beberapa etnis petani terhadap karakteristik inovasi pengelolaan
tanaman terpadu padi sawah di Lampung. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian 17(1):1-13.
Sudarto, A. Hipi, dan H. Windiyani. 2018. Kajian Pengembangan Varietas Unggul
Baru Padi Sawah dengan Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu di
Dompu, Nusa Tenggara Barat. Kajian Pengembangan Varietas Unggul
Padi Sawah (2)2: 95-99.
Zahara M., A.T. Rakhmi, S.D. Indrasari, dan B. Kusbiantoro. 2016. Evaluasi
mutu beras untuk menentukan pola preferensi konsumen di Pulau Jawa.
Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 35(3): 163-172.
Zen, S., Adrizal, dan Dasmal. 2005. Keragaan galur-galur baru padi sawah di
Sumatera Barat. Jurnal Stigma Fakultas Pertanian Universitas Andalas.
Vol. XIII, No. 4, Oktober-Desember 2005; 558-563 hlm.
Zen, Syahrul. 2013. Galur Harapan Padi Sawah Dataran Tinggi Berumur Genjah.
Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol 13(3): 197-205.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 9


10 Sumilah: Perbanyakan Benih Varietas Unggul.....
Seleksi Padi Hitam Batang Pendek Generasi M3
Iradiasi Sinar Gamma 300 Gray
Nandariyah1), Edi Purwanto1), Sutarno1), dan Mamik Fitriana Nugraheni2)
1)
Staf Dosen Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta
2)
Mahasiswa S1 Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret
Author Contact: nandar.suroso@yahoo.com

ABSTRAK
Padi hitam Cempo Ireng merupakan salah satu kekayaan plasma nutfah
di Indonesia yang perlu dibudayakan. Beras hitam kaya akan antosianin,
yaitu zat warna alami sebagai antioksidan yang dapat menurunkan kadar
kolesterol dalam darah. Beras hitam juga mengandung serat, vitamin
E, zat besi tiga kali lipat dibandingkan beras putih, dan kadar gula yang
rendah. Budidaya padi hitam Cempo ireng memiliki kelemahan yaitu
batangnya tinggi sehingga mudah rebah. Padi hitam merupakan sumber
genetik yang potensial untuk dikembangkan apabila kelemahan tersebut
dapat diatasi antara lain melalui pemuliaan mutasi dengan iradiasi sinar
gamma. Penelitian pemuliaan ini bertujuan untuk mendapatkan benih
M4 dari hasil seleksi tanaman padi hitam Cempo ireng hasil iradiasi
sinar gamma 300 Gy generasi M3 sesuai dengan sifat agronomi yang
diinginkan yaitu mutan berbatang pendek dan berproduktivitas tinggi.
Penelitian dilaksanakan di Dukuh Taru, Dusun Tempel, Kecamatan
Gatak, Kabupaten Sukoharjo mulai bulan Januari hingga Juli 2018.
Penelitian ini dilaksanakan di lapangan dengan metode seleksi pedigree,
dilanjutkan analisis secara deskriptif dan uji T dengan membandingkan
keragaan padi hitam M3 dengan kontrol. Variabel yang diamati antara
lain tinggi tanaman, jumlah anakan total, jumlah anakan produktif, panjang
malai, berat 1000 biji, jumlah biji per malai, hasil biji per rumpun, dan
indeks kelebatan malai. Hasil seleksi padi hitam generasi M3 hasil
iradiasi sinar gamma 300 Gy diperoleh 51 individu tanaman dengan
tinggi tanaman lebih rendah dibandingkan tinggi tanaman terendah pada
tanaman kontrol. Seleksi dari 51 nomor tersebut diperoleh 17 individu
tanaman yang memiliki sifat berbatang pendek dan berproduktivitas
tinggi dilihat dari hasil bobot per rumpun yang lebih tinggi dibandingkan
dengan nilai rata-rata tanaman kontrol.
Kata kunci: Antosianin, pemuliaan mutasi, seleksi pedigree, mutan.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 11


ABSTRACT
Black rice is one of the wealth of germplasm in Indonesia that
needs to be cultivated. Black rice is rich in anthocyanins, which
are natural dyes as antioxidants which can reduce cholesterol
levels in the blood. Black rice also contains fiber, vitamin E, and
iron three times more than white rice, and had relatively low sugar
levels. Black rice Cempo ireng has a weakness, i.e.long stem that
makes easily to londge. Black rice is apotential genetic source to
be develop if these weaknesses can be overcome such as through
mutation breeding by gamma ray irradiation. This breeding study
aims to obtain M4 seeds from the selection of Cempo ireng black
rice plants which were irradiated by 300 Gy gamma ray generation
M3 in accordance with the desired agronomic traits of short-
stemmed mutants and high productivity. The study was conducted
in Taru Hamlet, Tempel Hamlet, Gatak District, Sukoharjo
Regency from January to July 2018. This research was conducted
in the field using the pedigree selection method, followed by a
descriptive analysis and T test by comparing the performance of
M3 black rice with control. Observed variables were plant height,
total number of tillers, number of productive tillers, panicle length,
weight of 1000 seeds, number of seeds per panicle, seed yield per
clump, and panicle thickness index. Results of selection of M3
black rice from 300 Gy gamma ray irradiation obtained 51
individual plants with lower plant height compared to the lowest
plant height in the control plants. Selection of 51 numbers obtained
17 individual plants that have short shoot traits and high
productivity which is seen from the results of weight per plant that
is higher than the average value of control plants.
Keywords: Anthocyanin, mutation breeding, pedigree selection,
mutant.

PENDAHULUAN
Padi hitam merupakan salah satu kekayaan plasma nutfah di Indonesia yang
perlu dibudayakan. Beras hitam kaya akan antosianin, yaitu zat warna alami
dengan kemampuan sebagai antioksidan yang dapat menurunkan kadar kolesterol
dalam darah. Beras hitam juga mengandung zat besi tiga kali lipat dibandingkan
pada beras putih, serat, vitamin E, dan kadar gula rendah. Padi hitam minim
dibudidayakan karena dinilai memiliki banyak kelemahan seperti batang yang

12 Nandariyah et al.: Seleksi Padi Hitam Batang Pendek Generasi M3.....


tinggi dan produktifitas rendah. Batang yang tinggi menyebabkan tanaman mudah
rebah jika terkena angin atau hujan dan dalam pemeliharaannya juga sulit. Tinggi
tanaman padi hitam dapat mencapai >150 cm (Warman et al. 2015). Padi hitam
merupaka sumber genetik yang potensial untuk dikembangkan apabila kelemahan
tersebut diatasi, yaitu melalui pemuliaan mutasi dengan radiasi sinar gamma.
Kriteria padi hitam yang diseleksi pada penelitian ini adalah yang memiliki
habitus tanaman pendek sehingga padi hitam pada generasi M4 diharapkan
tidak mudah rebah dan memudahkan dalam pemeliharaan terutama saat panen,
berproduktivitas tinggi, dan memiliki umur yang sama dengan padi hitam kontrol.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mendapatkan benih M4 dari hasil seleksi tanaman
padi hitam hasil iradiasi sinar gamma 300 Gy generasi M3. Hasil seleksi
diharapkan sesuai dengan sifat agronomi yang diharapkan, yaitu mutan berbatang
pendek dan berdaya hasil tinggi.

BAHAN DAN METODE


Bahan yang digunakan yaitu benih padi hitam Cempo Ireng keturunan M2 hasil
iradiasi 300 Gy dan kontrol tanpa radiasi. Penelitian ini dilaksanakan di lapangan
dengan metode seleksi pedigree, dilanjutkan analisis secara deskriptif dan uji T
dengan membandingkan keragaan padi hitam generasi M3 hasil iradiasi sinar
gamma 300 Gy dengan padi hitam kontrol tanpa iradiasi. Penelitian dilaksanakan
dari Januari hingga Juli 2018.di Dukuh Taru, Dusun Tempel, Kecamatan Gatak,
Kabupaten Sukoharjo.
Alat yang digunakan antara lain sabit, patok, papan kode, meteran, penggaris,
tali rafia, gunting, timbangan digital, kertas koran, alat tulis, staples, plastik klip,
nampan, solasi, dan karung. Variabel yang diamati antara lain tinggi tanaman,
jumlah anakan total, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah per
malai, indeks kelebatan malai, berat 1000 biji, dan hasil per rumpun.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Kondisi Umum Penelitian
Lokasi penelitian berada di lahan sawah Dukuh Taru, Desa Tempel, Kecamatan
Gatak, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Letak astronomis lahan sawah
tersebut berada pada 7°32’17"-7°49’32" Lintang Selatan dan 110°42’06.79"-
110°57’33.7" Bujur Timur. Lahan sawah terletak pada lahan dengan ketinggian
118 meter diatas permukaan laut. Batas Kecamatan Gatak sebelah Utara yaitu

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 13


Kecamatan Kartasura, sebelah Timur yaitu Kecamatan Baki, sebelah Selatan
yakni Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten, dan sebelah Barat adalah
Kecamatan Sawit Kabupaten Boyolali. Lahan yang digunakan sebagai lokasi
penelitian memiliki luas lahan sebesar 3000 m2. Suhu udara pada daerah tersebut
berkisar antara 23°C sampai 34°C dengan rata-rata kelembaban udara 77%.

B . Pengamatan Peubah
1. Tinggi Tanaman
Tabel 1 menunjukkan rata-rata tinggi tanaman kelompok mutan padi hitam
generasi M3 iradiasi sinar gamma 300 Gy lebih rendah dibandingkan kontrol,
yaitu <133,8 cm. Rata-rata tinggi tanaman terendah yaitu pada nomor kelompok
mutan 3-2-38 (101,5 cm) dengan kisaran 97-122 cm, sedangkan nomor kelompok
mutan dengan rata-rata tertinggi yaitu 3-1-12 (125,91 cm) dengan kisaran 117-
133 cm. Efendi (2017) dalam penelitiannya membuktikan bahwa pemberian
iradiasi menyebabkan perubahan fenotip tinggi tanaman berupa peningkatan
dan penurunan.

Tabel 1. Tinggi tanaman padi hitam M3 hasil iradiasi sinar gamma 300 Gy.

Nomor Tinggi tanaman padi hitam M3 (cm)


kelompok
mutan Terendah Tertinggi Kisaran Rata-Rata ± SD

3-1-2 119 134 119-134 124,65 ± 5,92*


3-1-3 111 133 111-133 124,41 ± 5,18*
3-1-6 110 131 110-131 124,54 ± 5,16*
3-1-12 117 133 117-133 125,91 ± 4,13*
3-1-15 119 134 119-134 123,59 ± 5,00*
3-1-23 115 133 115-133 124,77 ± 5,40*
3-1-24 115 132 115-132 123,77 ± 5,35*
3-1-25 113 133 113-133 122,00 ± 5,44*
3-1-36 111 129 111-129 120,86 ± 5,19*
3-1-37 109 132 109-132 119,05 ± 6,49*
3-2-8 107 126 107-126 113,93 ± 4,73*
3-2-10 115 124 115-124 113,80 ± 5,15*
3-2-18 103 123 103-123 115,20 ± 7,04*
3-2-23 105 126 105-126 116,48 ± 5,54*
3-2-36 103 126 103-126 112,74 ± 6,77*
3-2-38 97 122 97-122 101,50 ± 3,83*
Kontrol 116 141 116-141 133,80 ± 7,35

Keterangan: Angka yang diikuti tanda (*) berbeda nyata dengan kontrol berdasarkan
hasil uji t =0,05

14 Nandariyah et al.: Seleksi Padi Hitam Batang Pendek Generasi M3.....


Hasil analisis uji t menunjukkan bahwa tinggi keseluruhan tanaman M3
berbeda nyata terhadap kontrol. Hal ini menandakan terdapatnya keragaman
genetik tanaman sebagai respon dari mutasi gen yang disebabkan oleh adanya
perlakuan iradiasi. Menurut Warid et al. (2017), iradiasi sinar gamma memberikan
pengaruh iradiasi terhadap tinggi tanaman. Kristamtini (2009) dalam deskripsi
padi Cempo ireng menyebutkan bahwa tinggi tanaman padi Cempo ireng adalah
lebih dari 150 cm. Hasil ini mengindikasikan bahwa iradiasi pada padi Cempo
ireng mampu menuunkan tinggi tanaman.

2. Jumlah Anakan Total dan Anakan Produktif


Tabel 2 menunjukkan rata-rata jumlah anakan total pada tanaman kontrol yaitu
12,85 anakan dengan kisaran 6-26 anakan. Jumlah anakan total tertinggi padi
hitam mutan yaitu pada nomor kelompok 3-1-24 sebanyak 31 anakan yang
memiliki kisaran 9-31 anakan dengan rata-rata 18,36 anakan. Nomor kelompok
mutan yang mempunyai anakan total terendah yaitu 3-1-36 sebanyak 6 anakan
dengan kisaran 6-30 anakan dan rata-rata jumlah anakan total diperoleh 15,48

Tabel 2. Jumlah anakan total padi hitam M3 hasil iradiasi sinar gamma 300 Gy.

Nomor Tinggi anakan total padi hitam M3 (cm)


kelompok
mutan Terendah Tertinggi Kisaran Rata-Rata ± SD

3-1-2 7 15 7-15 12,41±4,09


3-1-3 9 28 9-28 14,50±4,11
3-1-6 6 30 6-30 15,48±5,65
3-1-12 8 22 8-22 13,95±4,11
3-1-15 9 23 9-23 16,05±4,77*
3-1-23 9 17 9-17 12,41±2,56
3-1-24 9 31 9-31 18,36±5,83*
3-1-25 9 30 9-30 18,86±5,32*
3-1-36 10 16 10-16 14,32±3,54
3-1-37 8 16 8-16 15,14±4,46
3-2-8 8 15 8-15 11,43±4,47
3-2-10 10 14 10-14 10,16±1,91*
3-2-18 9 13 9-13 11,40±2,10
3-2-23 8 15 8-15 12,09±2,75
3-2-36 11 16 11-16 14,84±2,97
3-2-38 9 24 9-24 13,50±5,61
Kontrol 6 26 6-26 12,85±4,67

Keterangan: Angka yang diikuti tanda (*) berbeda nyata dengan kontrol berdasarkan
hasil uji t =0,05

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 15


anakan. Nomor kelompok mutan yang memiliki jumlah anakan total lebih banyak
dibanding kontrol, antara lain 3-1-3, 3-1- 36, 3-1-12, 3-1-15, 3-1-24, 3-1-25, 3-1-
36, 3-1-37, 3-2-36, dan 3-2-38. Hasil analisis uji t menunjukkan nomor kelompok
mutan M3 yang berbeda nyata dengan tanaman kontrol adalah 3-1-15, 3-1-24,
3-1-25, dan 3-2-10. Menurut Meliala et al. (2016), kemampuan tanaman
membentuk anakan dipengaruhi oleh ketersediaan hara dan kemampuan tanaman
menghasilkan anakan atau faktor genetis tanaman.
Tabel 3 menunjukkan rata-rata jumlah anakan produktif tanaman kontrol
yaitu 11,80 anakan dengan kisaran 6-24 anakan. Jumlah anakan produktif tertinggi
padi hitam M3 yaitu pada nomor kelompok 3-1-24 sebanyak 31 anakan yang
memiliki kisaran 9-31 anakan dengan rata-rata 15,91 anakan. Jumlah anakan
produktif terendah yaitu 3-1-16 sebanyak 6 anakan dengan kisaran 6-27 anakan
dan rata-rata 14,48 anakan. Nomor kelompok mutan dengan jumlah anakan
produktif lebih banyak dibanding kontrol yaitu 3-1-3, 3-1- 16, 3-1-12, 3-1-15, 3-
1-24, 3-1-25, 3-1-36, 3-1-37, 3-2-36, dan 3-2-38.

Tabel 3. Jumlah anakan produktif padi hitam M3 hasil iradiasi sinar gamma 300 Gy.

Nomor Jumlah anakan produktif padi hitam M3 (cm)


kelompok
mutan Terendah Tertinggi Kisaran Rata-Rata ± SD

3-1-2 8 12 8-12 11,36±4,11


3-1-3 8 27 8-27 13,00±4,20
3-1-6 6 27 6-27 14,48±5,52*
3-1-12 8 22 8-22 13,32±4,11
3-1-15 9 20 9-20 14,09±3,98*
3-1-23 8 14 8-14 11,36±2,30
3-1-24 9 31 9-31 15,91±6,02*
3-1-25 9 27 9-27 16,36±4,47*
3-1-36 9 16 9-16 12,36±2,66
3-1-37 8 16 8-16 13,32±3,75
3-2-8 8 15 8-15 11,00±3,11
3-2-10 7 13 7-13 9,36±1,82*
3-2-18 8 13 8-13 10,88±2,22
3-2-23 7 14 7-14 11,09±2,63
3-2-36 9 14 9-14 13,68±2,83
3-2-38 7 24 7-24 13,17±5,98*
Kontrol 6 24 6-24 11,80±4,09

Keterangan: Angka yang diikuti tanda (*) berbeda nyata dengan kontrol berdasarkan
hasil uji t =0,05

16 Nandariyah et al.: Seleksi Padi Hitam Batang Pendek Generasi M3.....


Hasil analisis uji t menunjukkan ada enam nomor kelompok padi hitam M3
yang berbeda nyata dengan tanaman kontrol, yaitu 3-1-16, 3-1-15, 3-1-25, 3-1-
24, 3-2-10, dan 3-2-38. Menurut Hanifa et al. (2015), banyaknya jumlah anakan
tidak selalu linier dengan komponen hasil, karena tidak semua anakan yang
terhitung adalah anakan produktif, bahkan banyak ditemukan satu rumpun padi
dengan jumlah anakan banyak, namun hanya sedikit anakan produktif dan banyak
pula gabah hampa.

3. Panjang Malai
Berdasarkan data, rata-rata panjang malai tanaman kontrol yaitu 26,55 cm
dengan kisaran 25,4-28 cm. Panjang malai tertinggi padi hitam M3 yaitu 29,4
cm pada nomor kelompok 3-1-36 yang memiliki kisaran 25,4-29,4 cm dengan
rata-rata 27 cm, serta nomor kelompok 3-2-36 dengan kisaran 25,6-29,4 cm
dan rata-rata 27,36 cm. Panjang malai terendah yaitu 3-2-38 (20,4 cm) dengan
kisaran 20,4-26,6 cm dan rata-rata 27,01 cm. Tanaman mutan apabila
dibandingkan dengan rata-rata kontrol, nomor kelompok mutan yang memiliki

Tabel 4. Panjang malai padi hitam M3 hasil iradiasi sinar gamma 300 Gy.

Nomor Panjang malai padi hitam M3 (cm)


kelompok
mutan Terendah Tertinggi Kisaran Rata-Rata ± SD

3-1-2 23,4 27,6 23,4-27,6 26,42±1,07


3-1-3 24,6 28,2 24,6-28,2 26,53±1,39
3-1-6 24,2 29,2 24,2-29,2 26,58±1,19
3-1-12 25,6 29,2 25,6-29,2 27,13±1,01*
3-1-15 25,2 29,2 25,2-29,2 27,23±1,23
3-1-23 25,4 29,4 25,4-29,4 27,07±0,89*
3-1-24 25,8 29 25,8-29 27,44±0,90*
3-1-25 25,6 28,8 25,6-28,8 27,42±0,92*
3-1-36 25,4 29,4 25,4-29,4 27,13±1,49
3-1-37 24,8 27,6 24,8-27,6 26,32±0,91
3-2-8 22,6 28,6 22,6-28,6 26,7±1,52
3-2-10 25,2 27,6 25,2-27,6 26,55±0,84
3-2-18 22,8 28 22,8-28 25,89±1,74
3-2-23 25,2 28,4 25,2-28,4 27,02±1,07
3-2-36 25,6 29,4 25,6-29,4 27,36±1,05*
3-2-38 20,4 26,6 20,4-26,6 27,01±2,51*
Kontrol 25,4 28 25,4-28 26,55±0,67

Keterangan: Angka yang diikuti tanda (*) berbeda nyata dengan kontrol berdasarkan
hasil uji t =0,05

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 17


panjang malai tidak lebih tinggi dibanding kontrol, antara lain 3-2-38, 3-2-10, 3-
1-37, 3-1-12, dan 3-1-3, sedangkan nomor yang lain memiliki nilai lebih tinggi
dibandingkan kontrol. Hasil analisis uji t menunjukkan ada enam nomor kelompok
padi hitam M3 yang berbeda nyata dengan tanaman kontrol, yaitu 3-1-12, 3-1-
3, 3-1-24, 3-1-25, 3-2-36, dan 3-2-38. Menurut Islam et al. (2016), pemberian
dosis sinar gamma 250-350 Gray lebih efektif dalam menentukan variasi genetik
pada padi. Hal ini ditandai dengan berpengaruhnya pemberian radiasi pada
panjang malai dan jumlah biji malai yang berisi serta produksi hasil yang tinggi.

4. Jumlah Gabah per Malai


Berdasarkan data, rata-rata jumlah biji per malai tanaman kontrol yaitu 183
bulir dengan kisaran 135,2-234,2 bulir. Jumlah biji per malai tertinggi padi hitam
M3 yaitu 244,2 bulir pada nomor kelompok 3-1- 15 yang memiliki kisaran 122,4-
244,2 bulir dengan rata-rata 192,1 bulir. Jumlah biji per malai terendah yaitu 3-
2-38 (83,2 bulir) dengan kisaran 83,2-143,6 dan rata-rata 104,7 bulir. Nomor
kelompok mutan yang memiliki jumlah biji per malai lebih tinggi dibanding kontrol
yaitu 3-1-15 dengan rata-rata 192,1 bulir. Hasil analisis uji t menunjukkan nomor

Tabel 5. Jumlah gabah per malai padi hitam M3 hasil iradiasi sinar gamma 300 Gy.

Nomor Jumlah gabah per malai padi hitam M3 (cm)


kelompok
mutan Terendah Tertinggi Kisaran Rata-Rata ± SD

3-1-2 120,4 202,4 120,4-202,4 162,6±26,88


3-1-3 124,6 201,2 124,6-201,2 168,9±24,56
3-1-6 100,4 222,6 100,4-222,6 160,6±25,88*
3-1-12 107,2 224,4 107,2-224,4 173,7±28,89
3-1-15 122,4 244,2 122,4-244,2 192,1±42,11
3-1-23 131,8 235,6 131,8-235,6 180,4±28,68
3-1-24 125,8 188,4 125,8-188,4 161,8±21,51
3-1-25 120,6 212,8 120,6-212,8 171,8±22,05
3-1-36 157,2 237,2 157,2-237,2 178,2±26,61
3-1-37 148,2 186 148,2-186 164±12,66
3-2-8 120,2 222 120,2-222 165,8±34,31
3-2-10 133,2 201,2 133,2-201,2 159,4±22,65*
3-2-18 113,6 210,8 113,6-210,8 165,8±33,61
3-2-23 125,4 214 125,4-214 162,6±32,45
3-2-36 115,2 206,6 115,2-206,6 171,6±27,51
3-2-38 83,2 143,6 83,2-143,6 104,7±29,19*
Kontrol 135,2 234,2 135,2-234,2 183±27,40

Keterangan: Angka yang diikuti tanda (*) berbeda nyata dengan kontrol berdasarkan
hasil uji t =0,05

18 Nandariyah et al.: Seleksi Padi Hitam Batang Pendek Generasi M3.....


kelompok padi hitam M3 yang berbeda nyata dengan tanaman kontrol yaitu 3-
1-36, 3-2-10, dan 3-2-38. Lafarge et al. (2004) menjelaskan bahwa tanaman
yang dikelola dengan baik dapat mengontrol dalam munculnya anakan sehingga
meningkatkan jumlah biji yang dapat memacu dalam pembentukan gabah isi
tiap malainya.

5. Indeks Kelebatan Malai


Berdasarkan data, rata-rata indeks kelebatan malai tanaman kontrol yaitu 6,88
dengan kisaran 5,28-8,74. Indeks kelebatan malai tertinggi padi hitam M3 yaitu
9,82 pada nomor kelompok 3-2-8 yang memiliki kisaran 4,23-9,82 dengan rata-
rata 6,26. Indeks kelebatan malai terendah yaitu 3,13 pada nomor kelompok
mutan 3-2-38 dengan kisaran 3,13-5,52 dan rata-rata 4,32. Nomor kelompok
mutan dengan indeks kelebatan malai lebih tinggi dibanding kontrol (6,88) yaitu
nomor 3-1-15 dengan rata-rata 7,03. Hasil analisis uji t menunjukkan kelompok
padi hitam M3 yang berbeda nyata dengan kontrol adalah 3-1-24 dan 3-2-38.
Menurut Las et al. (2003), semakin tinggi jumlah gabah per malai, semakin
tinggi pula indeks kelebatan malai.

Tabel 6. Indeks kelebatan malai padi hitam M3 hasil iradiasi sinar gamma 300 Gy.

Nomor Indeks kelebatan malai padi hitam M3 (cm)


kelompok
mutan Terendah Tertinggi Kisaran Rata-Rata ± SD

3-1-2 4,67 7,57 4,67-7,57 5,99±0,92


3-1-3 5,17 7,13 5,17-7,13 6,34±0,67
3-1-6 3,61 8,07 3,61-8,07 6,04±0,92
3-1-12 4,19 7,96 4,19-7,96 6,39±0,93
3-1-15 4,71 8,72 4,71-8,72 7,03±1,40
3-1-23 4,93 8,01 4,93-8,01 6,65±0,91
3-1-24 4,48 7,01 4,48-7,01 5,89±0,71*
3-1-25 4,40 7,49 4,4-7,49 6,26±0,70
3-1-36 5,74 8,07 5,74-8,07 6,55±0,74
3-1-37 5,57 6,78 5,57-6,78 6,23±0,45
3-2-8 4,23 9,82 4,23-9,82 6,26±1,53
3-2-10 5,29 7,29 5,29-7,29 5,99±0,70
3-2-18 4,73 7,53 4,73-7,53 6,36±0,98
3-2-23 4,75 7,59 4,75-7,59 5,99±1,00
3-2-36 4,30 7,27 4,3-7,27 6,26±0,90
3-2-38 3,13 5,52 3,13-5,52 4,32±0,94*
Kontrol 5,28 8,74 5,28-8,74 6,88±0,93

Keterangan: Angka yang diikuti tanda (*) berbeda nyata dengan kontrol berdasarkan
hasil uji t =0,05

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 19


6. Bobot 1000 Biji
Berdasarkan data, rata-rata bobot 1000 biji tanaman kontrol yaitu 22,9 gram
dengan kisaran 15,7-29,6 gram. Bobot 1000 biji tertinggi padi hitam M3 yaitu
31,0 gram pada nomor kelompok 3-1-12 yang memiliki kisaran 17,0-31,0 gram
dengan rata-rata 23,2 gram. Bobot 1000 biji terendah yaitu 8,6 gram pada nomor
kelompok mutan 3-2- D18 dengan kisaran 8,6-20,7 gram dan rata-rata 15,6
gram. Nomor kelompok mutan yang memiliki bobot 1000 biji lebih tinggi dibanding
kontrol yaitu nomor 3-1-12, 3-1-3 dan 3-1-36.
Hasil analisis uji t menunjukkan nomor kelompok padi hitam M3 yang
berbeda nyata dengan tanaman kontrol adalah 3-1-36 dan 3-2- 38. Makarim et
al. (2009) cit. Rahman (2018) menambahkan, berat 1000 butir termasuk gabah
berat yaitu yang berkisar 22,0-28,0 gr. Semakin berat bobot 1000 butir maka
semakin tinggi hasil produksi yang diperoleh. Sebaliknya, semakin ringan bobot
1000 butir maka semakin rendah pula hasil produksi suatu tanaman.

Tabel 7. Bobot 1000 biji padi hitam M3 hasil iradiasi sinar gamma 300 Gy.

Nomor Bobot 1000 biji padi hitam M3 (cm)


kelompok
mutan Terendah Tertinggi Kisaran Rata-Rata ± SD

3-1-2 17,7 22,7 17,7-22,7 21,9±2,6


3-1-3 17,3 25,6 17,3-25,6 21,7±2,0
3-1-6 11,3 26,4 11,3-26,4 19,8±3,1*
3-1-12 17,0 31,0 17,0-31,0 23,2±3,4
3-1-15 15,7 27,2 15,7-27,2 22,8±3,8
3-1-23 18,7 27,9 18,7-27,9 23,8±2,8
3-1-24 16,3 26,4 16,3-26,4 22,9±2,9
3-1-25 12,0 24,0 12,0-24,0 20,8±2,8
3-1-36 20,9 26,4 20,9-26,4 23,4±2,0
3-1-37 19,0 24,5 19,0-24,5 21,5±1,7
3-2-8 17,7 27,0 17,7-27,0 21,2±2,3
3-2-10 20,3 24,5 20,3-24,5 22,3±1,6
3-2-18 19,8 26,3 19,8-26,3 22,1±2,3
3-2-23 20,0 25,7 20,0-25,7 21,9±1,9
3-2-36 16,2 27,6 16,2-27,6 21,4±3,6
3-2-38 8,6 20,7 8,6-20,7 15,6±5,2*
Kontrol 15,7 29,6 15,7-29,6 22,9±3,7

Keterangan: Angka yang diikuti tanda (*) berbeda nyata dengan kontrol berdasarkan
hasil uji t =0,05

20 Nandariyah et al.: Seleksi Padi Hitam Batang Pendek Generasi M3.....


7. Bobot Biji per Rumpun
Berdasarkan data, rata-rata bobot biji per rumpun pada tanaman kontrol yaitu
27,79 gram dengan kisaran 15,88-40,17 gram. Bobot per rumpun tertinggi padi
hitam M3 yaitu 52,1 gram pada nomor kelompok 3-1-G6 yang memiliki kisaran
21,5-52,7 gram dengan rata- rata 30,61 gram. Bobot 1000 biji terendah yaitu 8,3
gram pada nomor kelompok mutan 3-2-38 dengan kisaran 8,3-23,79 gram dan
rata- rata 13,85 gram. Nomor kelompok mutan yang memiliki bobot per rumpun
lebih tinggi dibanding kontrol yaitu nomor 3-1-3, 3-1-12, 3-1- 15, 3-1-24, 3-1-25,
3-1-36, 3-1-37, dan 3-2-36.
Hasil analisis uji t menunjukkan nomor kelompok padi hitam M3 yang
berbeda nyata dengan tanaman kontrol adalah 3-2-D18. Menurut Sianipar et
al. (2013), penggunaan energi seperti sinar gamma pada tanaman akan
memberikan pengaruh yang baik di bidang pertanian, dengan perlakuan dosis
radiasi sinar gamma dengan dosis yang tepat diperoleh tanaman yang mempunyai
sifat-sifat seperti hasil produksi tinggi. Hasil produksi ini bisa terlihat dari hasil
biji per rumpun yang tinggi. Menurut Sakhidin et al. (2013), yang menyatakan

Tabel 8. Bobot biji per rumpun padi hitam M3 hasil iradiasi sinar gamma 300 Gy.

Nomor Bobot biji per rumpun padi hitam M3 (cm)


kelompok
mutan Terendah Tertinggi Kisaran Rata-Rata ± SD

3-1-2 18,63 38,89 18,63-38,89 25,94±6,72


3-1-3 18,64 43,36 18,64-43,36 30,06±8,52
3-1-6 14,13 48,37 14,13-48,37 27,1±8,42
3-1-12 13,16 49,49 13,16-49,49 29,21±8,18
3-1-15 20,14 45,53 20,14-45,53 36,43±8,71
3-1-23 14,52 44,46 14,52-44,46 27,77±8,91
3-1-24 16,72 48,69 16,72-48,69 32,83±9,28
3-1-25 20,5 48,0 20,5-48 32,39±6,40
3-1-36 21,5 52,7 21,5-52,7 30,61±9,52
3-1-37 16,74 39,95 16,74-39,95 28,56±7,43
3-2-8 14,94 43,48 14,94-43,48 26,35±8,48
3-2-10 19,57 43,67 19,57-43,67 25,93±8,02
3-2-18 18,83 39,69 18,83-39,69 25,94±6,49
3-2-23 13,68 40,13 13,68-40,13 25,03±7,10
3-2-36 15,3 38,65 15,3-38,65 29,34±6,09
3-2-38 8,3 23,79 8,3-23,79 13,85±5,55*
Kontrol 15,88 40,17 15,88-40,17 27,79±6,39

Keterangan: Angka yang diikuti tanda (*) berbeda nyata dengan kontrol berdasarkan
hasil uji t =0,05

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 21


bahwa bobot gabah per malai sangat ditentukan oleh sifat genetis atau varietas
yang ditanam.

C. Hasil Seleksi Karakter Pendukung Keunggulan pada Individu


Tanaman Padi Hitam Mutan Batang Pendek Generasi M3 Terbaik
Karakter pendukung keunggulan tanaman padi hitam M3 hasil iradiasi sinar
gamma yang digunakan dalam penelitian ini yakni dari segi tinggi tanaman dan
komponen hasil yaitu bobot per rumpun. Tanaman mutan hasil iradiasi sinar
gamma 300 Gray yang diseleksi karakter pendukung keunggulannya ada 51
nomor mutan yang merupakan hasil seleksi dari variabel tinggi tanaman
dibandingkan dengan tinggi tanaman kontrol terendah. Tanaman padi hitam M3
terseleksi ini memiliki batang pendek dengan ketinggian kurang dari tanaman
kontrol terendah. Seleksi dilakukan dengan membandingkan antara nilai tiap
individu tanaman dengan nilai rata-rata tanaman kontrol untuk setiap variabel
pengamatan. Hasil seleksi individu padi hitam M3 iradiasi sinar gamma 300 Gy
berbatang pendek dan berproduktivitas tinggi disajikan dalam Tabel 9.
Seleksi individu padi hitam generasi M3 terhadap variabel bobot biji per
rumpun menunjukkan bahwa terdapat 17 nomor mutan yang memiliki nilai hasil
biji per rumpun lebih banyak dibanding jumlah rata-rata kontrol yakni sebesar
27,79 gram. Ketujuh belas nomor tersebut perlu dilakukan penyimpanan sebagai
benih M4 untuk mendukung keunggulan benih mutan batang pendek terseleksi
dalam meningkatkan produktivitas padi hitam mutan 300 Gray. Hasil seleksi
individu tanaman mutan hasil iradiasi sinar gamma 300 Gray secara keseluruhan
dapat disimpulkan bahwa hanya terdapat 1 nomor mutan yang termasuk dalam
kategori tanaman mutan terbaik karena memiliki variabel pengamatan yang
lebih unggul dibandingkan tanaman kontrolnya, yaitu nomor mutan 3-2-36-12

22 Nandariyah et al.: Seleksi Padi Hitam Batang Pendek Generasi M3.....


Tabel 9. Hasil seleksi individu padi hitam m3 iradiasi sinar gamma 300 Gy berbatang pendek dan berproduktivitas tinggi.

Tinggi anakan anakan Rata-rata Rata-rata Indeks Bobot Hasil


Nomor tanaman total produktif panjang malai biji per kelebatan 1000 biji per rumpun
mutan (cm) (batang) (batang) (cm) malai malai (g) (g)

3-2-36-11 103 15 14 25,6 167,4 6,54 2,06 28,98
3-2-36-15 105 14 14 27,4 157,4 5,74 2,05 29,33
3-2-36-12 108 16 13 27 191,4 7,09 2,76 29,33
3-2-18-10 109 13 13 27 181,2 6,71 1,98 28,8
3-1-37-3 109 11 11 25,8 160,8 6,23 2,13 29,77
3-2-8-3 109 15 15 28,2 174 6,17 2,04 38,19
3-2-36-19 111 11 11 28 198,2 7,08 1,92 33,62
3-1-3-3 111 13 11 27,2 173,4 6,38 2,18 34,57
3-1-36-4 113 11 11 28,4 180 6,34 2,19 28,91
3-1-25-1 113 15 15 27,2 188,6 6,93 2,19 33,82
3-2-8-13 114 9 9 27 213 7,89 2,7 30,09
3-2-8-4 114 9 9 26,8 209,8 7,83 2,06 30,34
3-1-25-10 114 18 16 27,8 171,8 6,18 2,18 33,55
3-2-23-20 115 8 8 27,4 197 7,19 2,3 31,15
3-2-8-12 115 15 15 26 157,4 6,05 2,24 31,39
3-1-37-1 115 12 12 26,4 151,8 5,75 1,9 34,07
3-1-24-4 115 31 31 28,2 126,2 4,48 2,27 36,14
Kontrol 116 13 12 26,6 183,0 6,88 2,29 27,79

Keterangan: Nomor urut berdasarkan tinggi tanaman terendah ke tertinggi hasil

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan


23
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian seleksi varietas padi hitam Cempo Ireng generasi
M3 hasil iradiasi sinar gamma 300 Gy dapat ditarik kesimpulan yaitu diperoleh
51 tanaman padi hitam Cempo Ireng generasi M3 iradiasi sinar gamma 300 Gy
yang memiliki tinggi tanaman lebih rendah dibandingkan tinggi tanaman terendah
pada tanaman kontrol, serta diperoleh 17 galur tanaman padi hitam cempo ireng
generasi M3 hasil iradiasi sinar gamma 300 Gy yang memiliki sifat berbatang
pendek dan berproduktivitas tinggi dilihat dari hasil bobot per rumpun yang lebih
tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata tanaman kontrol.

DAFTAR PUSTAKA
Efendi, Bakhtiar, Sabar Z, Luk Kristamtini, Taryono, Panjisakti B, dan Rudi H
M. 2014. Keragaman genetik kultivar padi beras hitam lokal berdasarkan
penanda mikrosatelit. J. AgroBiogen 10(2):69-76.
man H, Sobrizal. 2017. Mutation with gamma raysirradiation to assemble green
super rice tolerant to drought stress andhigh yield rice (Oryza sativa
L.). Proceedings of 71st the ires international conference. Kuala lumpur,
Malaysia: 62- 66.
Hanifa M, Azhar, Darwati S. 2015. Analisis keragaman hayati tanaman padi
(Oryza sativa L.). J Ilmu Pertanian 4(3):13-17.
Islam MZ, Khalequaman M, Bashar MK, Ivy NA., Haque MM, Mian MAK.
2016. Variability assessment of aromatic and fine rie germplasm in
Bangladesh on quantitative traits. J Sci World: 14pages.
Kristamtini, Taryono, Panjisakti B, dan Rudi H M. 2014. Keragaman genetik
kultivar padi beras hitam lokal berdasarkan penanda mikrosatelit. J.
AgroBiogen 10(2):69-76.
Lafarge T, B Tubana, E Pasuquin. 2004. Yield advantage of hybrid rice induced
by its higher control in tiller emergence, New directions for a diverse
planet: Proceedings of the 4th International Crop Science Congress.
Brisbane, Australia.
Las I, Abdullah B, Daradjat A. 2003. Padi tipe baru dan hibrida mendukung
ketahanan pangan. Tabloid Sinar Tani.
Meliala JHS, Nur B, Andy S. 2016. Pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap
perubahan fenotipik tanaman pagi gogo (Oryza sativa L.). J. Produksi
Tanaman 4(7): 585-594.

24 Nandariyah et al.: Seleksi Padi Hitam Batang Pendek Generasi M3.....


Rahman RA, Sudharmawan AAK, Dwi RA. 2018. Pendugaan keragaman
genotipe pada galur f3 padi beras merah (Oryza sativa L.) dengan sistem
tanam yang berbeda. J Crop Agro: 1-9.
Sakhidin, Darudriyo, Karisun. 2013. Komponen hasil dan hasil varietas padi
pada beberapa dosis anjuran. Purwokerto: Fakultas Pertanian Universitas
Jendral Soedirman.
Warid, Nurul K, Agus P, M Syukur. 2017. Pengaruh iradiasi sinar gamma pada
generasi pertama (M1) untuk mendapatkan genotipe unggul baru kedelai
toleran kekeringan. J on Agriculture Science 7(1): 1-98.
Warman B, Suliansyah I, Swasti E, Syarif A, Alfi H. 2015. Selection and semi-
dwarf allele mutants segregation pattern as the result of gamma ray
irradiation of West Sumatera black rice. International J on Advanced
Science Engineering Information Technology 5(5):362- 365.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 25


Gambar 1. Lahan penyemaian Gambar 2. Benih semai siap pindah tanam

Gambar 3. Pindah tanam Gambar 4. Padi telah dipindah tanam

Gambar 5. Lokasi penelitian Gambar 6. Padi umur 2 MST

Gambar 7. Padi sudah berisi Gambar 8. Padi siap panen

26 Nandariyah et al.: Seleksi Padi Hitam Batang Pendek Generasi M3.....


Gambar 9. Kegiatan pengukuran sampel Gambar 10. Pembungkusan hasil panen

Gambar 11. Pengukuran panjang malai Gambar 12. Perontokan biji padi

Gambar 13. Pemanenan Gambar 14. Pemanenan

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 27


28 Nandariyah et al.: Seleksi Padi Hitam Batang Pendek Generasi M3.....
Eksplorasi Keragaman Genetik Padi Lokal
di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara
Noverina Chaniago1 2, Irfan Suliansyah2, Irawati Chaniago2, Nalwida Rozen2
1
Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Islam Sumatera Utara
Jl. Karya Wisata Gedung Johor, Medan
2
Program Studi Ilmu Pertanian S3 Fakultas Pertanian, Universitas Andalas
Corresponding author Email: noverinachaniago40515@gmail.com;
irfansuliansyah@agr.unand.ac.id;
irawati@agr.unand.ac.id;
nalwida_rozen@yahoo.co.id

ABSTRAK
Kabupaten Deli Serdang (DS) Provinsi Sumatera Utara memiliki
keanekaragaman padi lokal yang tersebar di berbagai kondisi iklim
dan lahan. Eksplorasi padi lokal di lokasi ini telah dilakukan pada
Bulan September sampai dengan Oktober tahun 2019 sebagai bahan
karakterisasi selanjutnya secara ex situ. Tim eksplorasi memperoleh
24 genotipe padi lokal dari 13 Kecamatan yaitu 2 genotipe dari topologi
dataran pantai, 6 genotipe dari topologi dataran rendah dan 15 genotipe
dari topologi dataran menengah sampai tinggi. Secara umum padi
lokal yang dieksplorasi di Kabupaten DS sudah ditanam turun temurun
oleh petani, khusus beberapa desa di kecamatan Sinembah Tanjung
Muda (STM) Hulu padi lokal ini ditumpangsarikan dengan tanaman
pisang. Pada topologi daerah pantai dan dataran rendah, padi lokal
ditanam di areal persawahan pada saat musim kemarau. Hasil
karakterisasi terhadap 24 genotipe bulir padi dan beras, berdasarkan
klasifikasi International Rice Research Institute (IRRI) dan and West
Africa Research and Development Agency (WARDA) diperoleh
variabilitas yang cukup lebar dari 24 genotipe berdasarkan morfologi
biji. Analisis kekerabatan pada padi lokal di Kabupaten DS dibedakan
menjadi 3 kelompok dengan derajat kemiripan 67%. Padi lokal Mariasi
hanya memiliki kesamaan 33% dengan kelompok pertama, kedua
dan ketiga. Padi Hitam tidak memiliki kemiripan sama sekali dengan
seluruh genotipe yang ada. Penelitian ini bermanfaat sebagai informasi
awal untuk melakukan karakterisasi selanjutnya secara ex situ.
Kata kunci: Eksplorasi, padi lokal, Deli Serdang, Sumatera Utara.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 29


ABSTRACT
Deli Serdang (DS) regency North Sumatra Province has local rice
varieties which are distributed on various climatic and land
conditions. Exploration of the local rice in this area was done in
September to October to collect material for exsitu
characterization.The team obtained 24 local rice varieties from
13 districts, consist of 2 genotypes from the coastal plain, 6
genotypes from the lowland and 15 genotypes from the medium to
high. Most of local varieties from DS have been planted for
generations, speciallity in the Sinemba Tanjung Mulia (STM) Hulu
sub-district, local rice is intercropping with banana plants. In the
coastal and lowland, local rice varieties are planted in paddy
fields during the dry season. The results of characterization had
on International Rice Research Institute (IRRI) and West Africa
Research and Development Agency (WARDA) classification
showed that 24 genotypes of rice grains had wide variability. The
similarity analysis of 24 local rice varieties in DS regency were
divided into 3 groups with a degree of similarity of 67%. Local
variety Mariasi only had 33% similarity with the first, second and
third groups, while local variety Padi Hitam had unsimilar at all
to all existing genotypes. This research is important as prelimanary
information for further ex situ characterization.
Keywords: Exploration local rice, Deli Serdang, North Sumatra.

PENDAHULUAN
Kabupaten Deli Serdang (DS) Sumatera utara dikenal sebagai salah satu daerah
yang memiliki keanekaragaman padi lokal dari berbagai desa yang tersebar
dibeberapa kecamatan. Selain itu Deli Serdang termasuk urutan ke dua sebagai
sentra produksi padi di Sumatera Utara, setelah Serdang Bedagai (BPS Deli
Serdang, 2018). Kabupaten Deli Serdang terletak pada 2º 57’-3º 16’ Lintang
Utara dan 98º 33’-99º 27’ Bujur Timur, menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten
DS (2018), luas wilayah ± 2.497.72 ha, dengan 22 Kecamatan, 380 desa dan 14
kelurahan. Topologi kabupaten ini terdiri dari daerah pantai, dataran rendah dan
dataran menengah-tinggi. Dataran pantai terdiri atas 4 kecamatan yaitu
Hamparan Perak, Labuhan Deli, Percut Sei Tuan dan Pantai Labu, dengan
potensi utamanya adalah Pertanian Tanaman Pangan. Dataran rendah terdiri
dari 11 kecamatan yaitu Galang, Tanjung Morawa, Patumbak, Deli Tua, Pancur

30 Chaniago et al.: Eksplorasi Keragaman Genetik Padi Lokal.....


Batu, Namo Rambe Sunggal, Batang Kuis, Beringin, Lubuk Pakam dan Pagar
Merbau, potensi utamanya Tanaman Pangan. Dataran menengah-tinggi terdiri
dari 7 kecamatan yaitu Gunung Meriah, Sinembah Tanjung Muda (STM) Hulu,
Sibolangit, Kutalimbaru, Biru-biru, Sinembah Tanjung Muda (STM) Hilir, Bangun
Purba, potensi utamanya pertanian rakyat.
Padi lokal merupakan aset genetik yang sangat berharga apabila dikelola
dengan baik (Siwi dan Kartowinoto, 1989). Padi lokal merupakan padi primitif
atau kultivar yang sudah berkembang selama bertahun-tahun atau bahkan
berabad-abad dan dipengaruhi oleh migrasi dan seleksi baik secara alami maupun
buatan. Padi lokal memiliki keunggulan tertentu yaitu dapat beradaptasi dengan
baik dengan berbagai kondisi iklim dan lahan spesifik (Hayward et al., 1993
dan Sitaresmi et al., 2013). Ditinjau dari sisikepentingan petani, padi lokal mudah
diperoleh, pemeliharaan yang sangat minim, selain itu hasilnya stabil, input rendah,
bentuk gabah kecil ramping yang disukai petani dan konsumen (Iskandar, 2001).
Beras lokal memiliki rasa dan aroma yang disukai oleh masyarakat. Sebaliknya,
padi lokal juga memiliki beberapa keterbatasan, antara lain umur produksi yang
relatif lebih lama (Hayward et al., 1993), dan produksi yang lebih rendah
(Nurnayetti dan Atman, 2013).
Eksplorasi merupakan kegiatan mencari, menemukan dan mengumpulkan
sumber daya genetik tertentu untuk mengamankannya dari kepunahan. Wijayanto
(2013) menyatakan bahwa sumberdaya genetik bersifat alami dan sulit
diciptakan, sehingga apabila punah maka mustahil untuk digantikan (Rusdiansyah
dan Intara, 2015). Plasma nutfah yang ditemukan perlu diamati sifat dan asalnya
untuk kemudian dilakukan upaya konservasi, dengan tujuan penyelamatan
keragaman genetik. Sedangkan koleksi plasma nutfah bertujuan untuk
mempelajari tingkat keragaman yang ada, karena setiap varietas tanaman
mempunyai sifat atau karakter yang berbeda. Pengamatan dan identifikasi plasma
nutfah padi yang memiliki sifat-sifat unggul merupakan kegiatan penting dalam
perbaikan varietas tanaman padi.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini terdiri dari kegiatan eksplorasi di beberapa kecamatan Kabupaten
Deli Serdang Sumatera Utara dengan berbagai topologi yaitu dataran pantai,
dataran rendah, dataran menengah sampai tinggi. Penentuan lokasi eksplorasi
dilakukan dengan metode purposive sampling (Sugiyono, 2013). Penentuan
lokasi dipilih berdasarkan informasi dari Dinas Pertanian Kabupaten Deli
Serdang, tokoh masyarakat, petani, dan pemimpin desa setempat. Dari hasil

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 31


eksplorasi diperoleh 24 genotipe padi lokal dari 13 Kecamatan yaitu 2 genotipe
dari topologi dataran pantai yaitu Kecamatan Percut Sei Tuan, 6 genotipe dari
topologi dataran rendah yaitu Kecamatan Galang, Tanjung Morawa, Namo
Rambe, Batang Kuis, Beringin dan Pagar Merbau. Selebihnya 15 genotipe dari
topologi dataran menengah sampai tinggi yaitu Kecamatan Sibolangit,
Kutalimbaru, Biru-biru, Sinembah Tanjung Muda (STM) Hilir, Sinembah Tanjung
Muda (STM) Hulu dan Gunung Meriah.
Hasil kegiatan eksplorasi berupa sampel gabah padi diambil langsung di
ladang petani atau diambil sebagai biji-bijian yang sudah dipanen. Sampel ini
digunakan sebagai bahan untuk kegiatan karakterisasi butir. Selanjutnya, padi
akan dibudidayakan untuk analisis karakteristik morfologi tanaman. Percobaan
dilakukan dari bulan September hingga Oktober 2019.
Pengamatan butiran padi (gabah) dan butiran beras (tanpa gabah) dilakukan
untuk karakter kuantitatif dan kualitatif. Pengamatan kuantitatif terdiri dari
panjang, lebar, rasio panjang lebar, ketebalan gabah dan beras serta panjang
awn/ekor gabah, diukur menggunakan caliper digital. Untuk berat 1000 butir
gabah dan beras diukur dengan timbangan analitik. Sedangkan pengamatan
kualitatif terdiri atas warna permukaan gabah (warna lemma dan palea), warna
dan bentuk caryopsis/beras. Semua data kuantitatif dan kualitatif ditentukan
dengan mengukur seluruh karakter butir padi dan beras sesuai deskriptor yang
dikeluarkan oleh IRRI dan WARDA 2007. Data yang diperoleh kemudian
diproses dengan Minitab versi 14 (Iriawan dan Astuti, 2006).

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Eksplorasi Padi Lokal


Eksplorasi padi lokal di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara diperoleh 24
genotipe padi lokal dari 13 Kecamatan yaitu topologi daerah pantai di Kecamatan
Percut Sei Tuan (2 genotipe), topologi dataran rendah yaitu Kecamatan Galang
(2 genotipe), Tanjung Morawa (1 genotipe), Namo Rambe (1 genotipe), Batang
Kuis (1 genotipe), Beringin (1 genotipe) dan Pagar Merbau (1 genotipe). Topologi
dataran menengah sampai tinggi di Kecamatan Sibolangit (1 genotipe),
Kutalimbaru (3 genotipe), Biru-biru (1 genotipe), STM Hilir (2 genotipe), STM
Hulu (5 genotipe) dan Gunung Meriah (3 genotipe), dapat dilihat pada Tabel 1.
Genotipe padi lokal lebih banyak ditemukan pada topologi dataran menengah
sampai tinggi, umumnya sudah ditanam turun temurun, khusus beberapa desa

32 Chaniago et al.: Eksplorasi Keragaman Genetik Padi Lokal.....


Tabel 1. Hasil eksplorasi padi lokal di 13 kecamatan di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.

Nama Desa Kecamatan Titik Topologi Elevasi Type per-


lokal koordinat tanaman

Kuku Cinta Damai Percut 3Ú41 37 N Daerah 1,0 Padi sawah


Balam Sei Tuan 98Ú46 39 E Pantai
Siudang Paloh Merbau Percut 3Ú43 6 N Daerah 2,3 Padi sawah
Sei Tuan 98Ú44 39 E Pantai
Pandan Karang Beringin 3Ú36 44 N Dataran 3,0 Padi sawah
Wangi Anyar 98Ú54 29 E rendah
Sigambiri Tumpatan Batang Kuis 3Ú36 44 N Dataran 6,0 Padi sawah
Merah Nibung 98Ú49 50 E rendah
Sigantang Keramat Galang 3Ú28 10 N Dataran 27,0 Padi sawah
Gajah 98Ú54 48 E rendah
Sibelacan Timbang Galang 3Ú28 1 N Dataran 31,7 Padi sawah
Deli 98Ú53 48 E rendah
Gemuruh Tanjung Tanjung 3Ú32 25 N Dataran 22,0 Padi sawah
Mulia Morawa 98Ú50 31 E menengah
Sipingkol Jati Kesuma Namorambe 3Ú27 29 N Dataran 82,0 Padi ladang
98Ú39 7 E menengah
Padi Sukamandi Pagar 3Ú34 6 N Dataran 15,7 Padi sawah
Hitam Hilir Merbau 98Ú54 47 E menengah
Sipirok Sayum Sabah Sibolangit 3Ú21 29 N Dataran 250,0 Padi ladang
98Ú36 16 E menengah
Sikoreng- Namomirik Kutalimbaru 3Ú24 14 N Dataran 204,0 Padi ladang
Koreng 98Ú31 59 E menengah
Merah Suka Makmur Kutalimbaru 3Ú22 50 N Dataran 272,0 Padi ladang
Wangi 98Ú31 47 E menengah
Serang Suka Makmur Kutalimbaru 3Ú22 50 N Dataran 277,0 Padi ladang
98Ú31 48 E menengah
Ramos Leudeleng Sibiru-biru 3Ú16 39 N Dataran 490,2 Padi ladang
Putih 98Ú43 29 E menengah
Ramos Penungkiran STM Hilir 3Ú18 5 N Dataran 338,2 Padi ladang
Merah 98Ú39 14 E menengah
Arias Juma STM Hilir 3Ú22 28 N Dataran 125,1 Padi ladang
Tombak 98Ú46 32 E menengah
Maraisi Durian STM Hulu 3Ú13 24 N Dataran 418,0 Padi ladang
Merah Tinggung 98Ú41 44 E menengah
Sigambiri Sipinggan STM Hulu 3Ú15 17 N Dataran 364,0 Padi ladang
Putih 98Ú36 50 E menengah
Sijambi Rumah Rih STM Hulu 3Ú10 15 N Dataran 546,0 Padi ladang
98Ú41 41 E menengah
Tambur Tanjung STM Hulu 3Ú10 15 N Dataran 546,0 Padi ladang
Kersik Muda 98Ú41 41 E menengah
Sialus Rumah STM Hulu 3Ú27 17 N Dataran 265,0 Padi ladang
Sumbul 98Ú72 15 E menengah
Silayur Gunung Gunun 3Ú7 13 N Dataran 633,0 Padi ladang
Meriah Meriah 98Ú41 54 E tinggi/bukit
Sirabut Gunung Gunung 3Ú5 32 N Dataran 753,0 Padi ladang
Sinembah Meriah 98Ú41 56 E tinggi/bukit
Sigimbal Kuta Bayu Gunung 3Ú2 52 N Dataran 1088,0 Padi ladang
Meriah 98Ú42 2 E tinggi/bukit

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 33


di kecamatan STM Hulu padi lokal ini ditumpangsarikan dengan tanaman pisang.
Pada topologi daerah pantai dan dataran rendah, padi lokal ditanam di areal
persawahan pada saat musim kemarau (bulan April-Agustus), sedangkan musim
penghujan (bulan Oktober-Januari) petani menanam padi varietas unggul baru
berumur genjah.

B . Karakteristik Kuantitatif Morfologi Butiran Gabah dan Beras


Pengamatan karakter kuantitatif butiran gabah dan beras dapat dilihat pada
Tabel 2 dan 3. Secara umum, terdapat perbedaan dalam karakteristik masing-
masing gabah maupun berasnya. Pengamatan variabel kuantitatif pada butir
gabah menunjukkan panjang butir gabah berkisar antara 7,29 hingga 9,93 mm,
gabah terpanjang terdapat pada genotipe padi Hitam (9,93 mm), sedangkan
yang terpendek terdapat pada genotipe Sijambi (7,29 mm), Lebar butiran gabah
mulai dari 2,21 hingga 3,43 mm, gabah tersempit terdapat pada genotipe Merah
Wangi (2,21 mm) dan gabah terlebar terdapat pada genotipe Sijambi (3,43 mm).
Rasio antara panjang gabah dan lebar gabah berkisar dari 2,13 sampai 4,30
mm, rasio panjang dan lebar gabah terkecil terdapat pada genotipe Sijambi (2,13
mm) dan terbesar terdapat pada genotipe Merah Wangi (4,30 mm). Ketebalan
butiran gabah berkisar antara 1,66 hingga 2,11 mm, gabah tertipis terdapat pada
genotipe Kuku Balam (1,66 mm) dan gabah tertebal terdapat pada genotipe
Sipirok (2,11mm). Panjang awn/ekor berkisar antara 0,00 hingga 15,00 mm,
genotipe Sibelacan dan Sikoreng-koreng, menurut IRRI dan WARDA Panjang
awn/ekor tergolong sedang ~15 mm (skor 5). Berat 1000 butir gabah berkisar
19,49 hingga 29,85 g, gabah 1000 butir teringan terdapat pada genotipe Sigimbal
(19,49 g) dan terberat pada genotipe Sikoreng-koreng (29,85 g).
Berdasarkan hasil pengamatan, gabah terpanjang pada genotipe padi Hitam
(9,93 mm), masih tergolong sedang. IRRI dan WARDA membagi panjang gabah
menjadi tiga kelas: pendek (<7,5 mm), sedang (7,5 hingga 12 mm) dan panjang
(> 12 mm). Berdasarkan klasifikasi IRRI dan WARDA, ditemukan hanya dua
genotipe padi lokal yang memiliki panjang gabah pendek yaitu Sijambi dan
Sigambiri Merah dan sisanya memiliki panjang biji ukuran sedang.
Diperoleh variabilitas genetik padi lokal yang luas berdasarkan variasi
variabel kuantitatif gabah dan beras yang diamati. Variabilitas genetik yang
luas, apabila koefisien keragaman genetik lebih besar atau sama dengan dua
kali simpangan baku genotipenya (KKG  2  2G), sedangkan variabilitas
sempit apabila koefisien keragaman genetik lebih kecil atau sama dengan dua
kali simpangan baku genotipenya (KKG < 2  2G) (Pinaria et al.,1995).

34 Chaniago et al.: Eksplorasi Keragaman Genetik Padi Lokal.....


Tabel 2. Hasil pengamatan kuantitatif butiran gabah padi lokal di 13 kecamatan Kabupaten Deli
Serdang Provinsi Sumatera Utara.

Nama Kode Panjang Lebar Rasio Ketebalan Berat Panjang


lokal genotipe gabah gabah panjang- gabah 1000 butir Awn/
(mm) (mm) lebar (mm) (g) ekor

Kuku Balam PL01 8,93 2,26 3,95 1,66 20,57 1


Siudang PL02 9,07 2,24 4,05 1,76 20,25 1
Sigantang PL03 8,99 2,39 3,76 1,82 24,22 1
Sibelacan PL04 9,86 2,55 3,87 1,84 27,57 5
Gemuruh PL05 7,66 2,57 2,98 1,78 26,30 1
Sipingkol PL06 8,89 2,81 3,16 1,94 28,05 0
Sigambiri merah PL07 7,41 3,39 2,19 2,10 27,63 0
Pandan wangi PL08 8,61 3,00 2,87 1,68 27,22 3
Beras Hitam PL09 9,93 2,69 3,69 1,74 25,49 0
Sipirok PL10 9,44 3,03 3,12 2,11 27,82 1
Sikoreng- koreng PL11 9,06 3,06 2,96 2,01 29,85 5
Merah wangi PL12 9,51 2,21 4,30 1,67 21,45 0
Serang PL13 9,61 2,34 4,11 1,83 25,59 3
Ramos Putih PL14 9,59 2,45 3,91 1,90 29,63 1
Ramos Merah PL15 9,12 2,41 3,78 1,77 22,66 3
Arias PL16 7,50 2,79 2,69 1,87 21,03 0
Maraisi PL17 9,28 2,79 3,33 1,93 26,81 1
Sigambiri Putih PL18 7,58 2,68 2,83 1,81 21,35 0
Sijambi PL19 7,29 3,43 2,13 1,95 25,89 0
Tambur Kersik PL20 8,45 2,64 3,20 1,76 22,63 0
Sialus PL21 8,22 2,59 3,17 1,83 22,23 0
Silayur PL22 9,33 2,48 3,76 1,79 24,76 1
Sirabut PL23 9,87 2,74 3,60 2,01 29,24 1
Sigimbal PL24 7,92 2,58 3,07 1,78 19,49 0
Varian 0,72 0,11 0,34 0,02 10,37 2,32
Variabilitas Luas Luas Luas Luas Luas Luas

Panjang ekor (IRRI dan WARDA): (0) tanpa ekor, (1) sangat pendek < 5mm, (3) pendek ~8
m (5) sedang ~15 mm; (7) panjang ~30 mm dan (9) sangat panjang >40 mm

C. Karakteristik Kualitatif Morfologi Bulir Gabah dan Beras


Hasil pengamatan kualitatif pada gabah dan beras menunjukkan variabilitas
yang luas antara masing-masing genotipe. Warna gabah dan caryopsis maupun
bentuk caryopsis masing-masing genotipe memiliki variasi warna dan bentuk
permukaan (Tabel 4 dan Gambar 1). Warna permukaan gabah dari 24 genotipe
adalah sebagai berikut: putih (8,33%) jerami kuning (41,67%), emas dan alur-
alur emas (12,50%), coklat (kuning kecoklatan (16,67%), bintik coklat (8,33%),

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 35


Tabel 3. Hasil pengamatan kuantitatif butiran beras padi lokal di 13 kecamatan Kabupaten Deli
Serdang Provinsi Sumatera Utara.

Nama Kode Panjang Lebar Rasio Ketebalan Berat


lokal genotipe beras beras panjang- beras 1000 butir
(mm) (mm) lebar (mm) (g)

Kuku Balam PL01 6,63 1,86 3,56 1,47 16,24


Siudang PL02 6,47 1,86 3,48 1,48 16,50
Sigantang PL03 8,99 2,39 3,07 1,82 24,22
Sibelacan PL04 6,96 2,20 3,16 1,67 21,42
Gemuruh PL05 6,56 2,19 2,99 1,60 20,27
Sipingkol PL06 7,07 2,04 3,47 1,58 23,18
Sigambiri merah PL07 5,29 2,86 1,85 1,90 23,43
Pandan wangi PL08 5,78 2,51 2,30 1,62 20,72
Beras Hitam PL09 6,99 2,31 3,03 1,49 20,08
Sipirok PL10 6,45 2,49 2,59 1,76 23,18
Sikoreng-koreng PL11 6,59 2,57 2,56 1,87 24,11
Merah wangi PL12 7,16 1,85 3,87 1,45 16,49
Serang PL13 7,13 2,01 3,55 1,64 19,97
Ramos Putih PL14 7,13 2,15 3,32 1,69 23,16
Ramos Merah PL15 6,74 2,05 3,29 1,55 18,16
Arias PL16 6,96 2,20 3,16 1,66 19,11
Maraisi PL17 6,56 2,31 2,84 1,68 22,57
Sigambiri Putih PL18 5,76 2,35 2,45 1,61 19,01
Sijambi PL19 5,88 3,05 1,93 1,88 22,16
Tambur Kersik PL20 6,15 2,24 2,75 1,67 19,80
Sialus PL21 6,19 2,26 2,74 1,64 18,59
Silayur PL22 6,78 2,14 3,17 1,63 20,71
Sirabut PL23 6,93 2,46 2,82 1,74 24,66
Sigimbal PL24 5,75 2,07 2,78 1,53 15,63
Varian 0,53 0,09 0,26 0,02 7,41
Variabilitas Luas Luas Luas Luas Luas

garis-garis coklat (8,33%) dan hitam (4,17%). Menurut IRRI dan WARDA,
warna permukaan gabah cukup beragam, yaitu putih, jerami, emas dan alur-
alur emas, coklat (kuning kecoklatan), bintik-bintik coklat, ungu, kemerahan
menjadi ungu muda, bintik-bintik ungu, alur ungu dan hitam. Untuk warna
caryopsis dari 24 genotipe adalah didominan dengan warna putih (66,67%),
coklat muda (16,66%), merah (12,50%) dan ungu (4,17%). Perbedaan warna
beras diatur secara genetik melalui regulasi aleuron dan warna endosperm, dan
komposisi pati dalam endosperma (Indrasari, 2006). Bentuk caryopsis dari 24
genotipe juga bervariasi yaitu setengah bulat (20,83%) setengah poros, (8,33%)
poros dan (33,34%) poros panjang (37,50%).

36 Chaniago et al.: Eksplorasi Keragaman Genetik Padi Lokal.....


Tabel 4. Hasil pengamatan kualitatif butiran gabah dan beras lokal di 13 kecamatan
Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.

Nama Kode Warna lemma Warna Bentuk


lokal genotipe dan palea caryopsis caryopsis

Kuku Balam PL01 42 10 4


Siudang PL02 52 10 4
Sigantang PL03 20 10 4
Sibelacan PL04 20 51 5
Gemuruh PL05 20 10 5
Sipingkol PL06 52 10 5
Sigambiri merah PL07 20 70 2
Pandan wangi PL08 20 10 2
Beras Hitam PL09 100 80 5
Sipirok PL10 54 10 4
Sikoreng-koreng PL11 54 10 4
Merah wangi PL12 10 51 5
Serang PL13 20 70 5
Ramos Putih PL14 20 10 5
Ramos Merah PL15 20 51 4
Arias PL16 52 10 2
Maraisi PL17 10 51 3
Sigambiri Putih PL18 53 10 2
Sijambi PL19 42 10 2
Tambur Kersik PL20 53 10 4
Sialus PL21 42 10 4
Silayur PL22 20 10 5
Sirabut PL23 20 70 5
Sigimbal PL24 52 10 3
Varian 450,67 664,46 1,33
Variabiltas Luas Luas Luas

Warna lemma dan palea (IRRI): (10) Putih, (20) Jerami, (42) Emas dan alur-alur
emas, (52) Coklat kuning kecoklatan), (53) Bintik-bintik coklat, (54) Garis-garis
coklat, (80) Ungu, (82) Kemerahan menjadi ungu muda, (90) Bintik-bintik ungu,
(91) Alur ungu dan (100) Hitam
Warna caryopsis (IRRI): (10) Putih, (51) coklat muda, (55) Bercak coklat, (50)
coklat, (70) merah, (88) Variable ungu dan (80) ungu.
Bentuk caryopsis (IRRI): (1) Bulat, (2) Setengah bulat, (3) Setengah poros, (4)
Poros dan (5) Poros panjang

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 37


1 cm

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1 cm

13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Gambar 1. Morfologi warna dan bentuk butiran gabah dan beras 24 genotipe padi
lokal Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.

Setiap genotipe padi lokal memiliki persamaan berbagai sifat, tetapi juga
memiliki perbedaan karakter yang bersifat unik. Adanya persamaan dan
perbedaan tersebut sering digunakan untuk mengetahui jauh dekatnya hubungan
kekerabatan genetik antara varietas padi. Semakin banyak persamaan karakter
tanaman padi semakin dekat hubungan kekerabatan genetiknya. Sebaliknya,
semakin banyak perbedaan karakter tanaman semakin jauh hubungan
kekerabatannya. Pengelompokan berdasarkan karakter yang sama merupakan
dasar dalam pengklasifikasian varietas (Irawan et al., 2008).

D. Analisis Cluster Berdasarkan Morfologi Butir


Hasil analisis cluster menurut penanda morfologi butir disajikan pada Gambar
2. Berdasarkan hasil pengelompokan 24 genotipe padi lokal pada tingkat
kesamaan 67%, genotipe padi lokal dikelompokkan menjadi 3 kelompok.
Kelompok pertama terdiri dari sebelas genotipe yaitu genotipe
1,2,6,10,11,16,18,19,20,21dan 24. Kelompok kedua terdiri dari lima genotipe, yaitu
3,5,8,14 dan 22. Kelompok ke tiga terdiri dari enam genotipe yaitu 4,7,12, 13,15,
dan 23. Sedangkan genotipe 17 hanya memiliki kesamaan 33% dengan kelompok
pertama, ke dua dan kelompok ke tiga. Untuk genotipe 9 tidak memiliki kemiripan
sama sekali dengan seluruh genotipe yang ada.

38 Chaniago et al.: Eksplorasi Keragaman Genetik Padi Lokal.....


Similarity

1 21 19 2 24 16 18 20 6 10 11 3 5 22 8 14 4 12 15 7 23 13 17 9

Gambar 2. Menunjukkan tingkat kekerabatan masing-masing 24 genotipe padi lokal


di Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.

Ukuran persentase kemiripan dipengaruhi oleh keragaman (variabilitas)


luas atau sempit. Tingkat variabilitas karakter morfologis akan menyebabkan
kesulitan dalam membatasi takson di bawah spesies (Winarti, 2005). Informasi
tentang tingkat kekerabatan diperlukan untuk memfasilitasi pemulia untuk
menghasilkan varietas baru melalui persilangan. Tingkat kekerabatan dekat
digunakan untuk menghasilkan varietas dengan tingkat keanekaragaman yang
sempit, sedangkan tingkat kekerabatan yang luas digunakan untuk menghasilkan
tingkat keanekaragaman yang luas. Semakin jauh jarak dalam hubungan, semakin
beragam rekombinan yang dihasilkan. Untuk menentukan sejauh mana hubungan
kekerabatan antara taksa tanaman dapat dilakukan dengan menentukan
kesamaan antara taksa tanaman dengan menggunakan sifat morfologis karena
sifat morfologis dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menggambarkan
tingkat spesies kekerabatan (Winarti, 2005).
Padi lokal merupakan plasma nutfah yang potensial sebagai sumber gen-
gen yang mengendalikan sifat-sifat penting pada tanaman padi. Keragaman
genetik yang tinggi pada padi lokal dapat dimanfaatkan dalam program pemuliaan
padi secara umum (Hairmansis et al., 2015). Menurunnya keragaman genetik
jenis-jenis padi lokal akhir-akhir ini, bahkan hampir punah, disebabkan semakin
intensifnya usaha manusia untuk menanam atau memperluas jenis-jenis padi
varitas unggul baru, yang memiliki umur panen yang lebih singkat dan produksi
lebih tinggi (Daradjat et al., 2008). Diperkirakan hanya berkisar 10-15% padi

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 39


varietas lokal yang ditanam oleh petani dari seluruh jumlah plasma nutfah padi
local yang ada. Namun, jumlah ini kemungkinan akan menurun dikarenakan
tidak ada upaya sistematis untuk pelestarian varietas lokal. Di sisi lain, kebijakan
paket teknologi usahatani padi tidak pernah memasukkan varietas lokal tetapi
selalu varietas unggul dan unggul-hibrida (Supangkat, 2017). Sebenarnya
kehilangan sumber daya genetik merupakan kehilangan yang tidak ternilai
harganya. Salah satu upaya sistematis yang harus dilakukan adalah
mengeksplorasi dan menginventarisasi padi-padi lokal yang masih eksis, serta
mengoleksinya, untuk dilestarikan dan ditingkatkan untuk menjadi varietas yang
lebih unggul (Hasanah, 2004). Karakter setiap genotipe dapat digunakan dan
dikembangkan dalam kegiatan pemuliaan tanaman untuk meningkatkan varietas
tanaman.

KESIMPULAN
Eksplorasi padi lokal menghasilkan 24 genotipe padi lokal dari 13 kecamatan di
Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara, yaitu 2 genotipe di Kecamatan Percut
Sei Tuan dengan topologi pantai, masing- masing 1 genotipe di Kecamatan
Tanjung Morawa, Namo Rambe, Batang Kuis, Beringin, Pagar Merbau dan 2
genotipe di Kecamatan Galang, dengan topologi dataran rendah. Topologi dataran
menengah sampai tinggi diperoleh paling banyak dari Kecamatan STM Hulu
yaitu 5 genotipe, disusul Kutalimbaru dan Gunung Meriah masing-masing 3
genotipe dan STM Hilir 2 genotipe, Sibolangit dan Biru-biru masing-masing 1
genotipe. Terdapat variabilitas yang luas dari 24 genotipe yang diperoleh. 24
Genotipe padi lokal di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara dibedakan
menjadi 3 kelompok dengan derajat kemiripan 67% dengan sedikit perbedaan
pada masing- masing kelompok. Padi lokal Mariasi hanya memiliki kesamamaa
33% dengan kelompok pertama, ke dua dan kelompok ke tiga. Padi Hitam tidak
memiliki kemiripan sama sekali dengan seluruh genotipe yang ada.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terimakasih kepada Fakultas Pertanian Universitas Islam
Sumatera Utara, Ketua Program Studi Ilmu Pertanian S3 Fakultas Pertanian
Universitas Andalas Padang, Dinas Pertanian Kabupaten Deli Serdang, tokoh
masyarakat dan petani yang memberikan informasi dalam kegiatan eksplorasi
dan penulisan artikel ini.

40 Chaniago et al.: Eksplorasi Keragaman Genetik Padi Lokal.....


DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang, 2018. Portal Kabupaten Deli
Serdang Iklim dan Wilayah https://deliserdangkab.go.id (2 September
2019)
Daradjat, A.A, Silitonga, S, dan Nafisah. 2008. Ketersediaan Plasma Nutfah
Untuk Perbaikan Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
Sukamandi.
Hairmansis, A., Supartopo, Yullianida, Sunaryo, Warsono, Sukirman, dan
Suwarno. 2015. Pemanfaatan plasma nutfah padi (Oryza sativa) untuk
perbaikan sifat padi gogo. Pros. Sem. Nas. Masy. Biodiv. Indon.1(1):14-
18.
Hayward. M. D, N. O. Boseman and Ramagesa. 1993. Plant Breeding Prospect.
Chapman And Hall. 55 pp.
Hasanah, M. 2004. Pedoman Pengelolaan Plasma Nutfah dalam rangka
Pelaksanaan Otonomi Daerah. Makalah disampaikan pada Lokakarya
Srategi Pengelolaan Plasma Nutfah di Bogor, 5-6 Agustus 2004. 12 hal.
Indrasari, SD 2006. Padi Aek Sibundong; Pangan Fungsional. Warta Penelitian
dan Pengembangan Pertanian 28(6): 1-3.
Iriawan, N dan SP Astuti. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah
Menggunakan Minitab 14. Andi. Yogyakarta.
Iskandar, J. 2001. Manusia, Budaya dan Lingkungan: Kajian Ekologi Manusia,
Bandung. Humaniora Utama Pres.
IRRI and WARDA. 2007. Descriptors for wild and cultivated rice (Oryza spp.)
Bioversity International, Rome, Italy; International Rice Research
Institute, Los Banos,Philippines; WARDA, Africa Rice Center, Cotonou,
Benin. 63 p
Irawan, Budi, dan K. Purbayanti. 2008. Karakterisasi dan kekerabatan kultivar
padi lokal di Desa Rancakalong, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten
Sumedang. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional PTTI, 21-
23 Oktober 2008.
Nurnayetti dan Atman. 2013. Keunggulan Kompetitif Padi Sawah Varietas Lokal
di Sumatera. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Vol. 16, No.2, Agustus 2013: 100-108.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 41


Pinaria H., Chapin FS, Pons TS. 1995. Plant Physiological Ecology, New York
(US): Springer-Verlag.
Rusdiansyah dan Yazid Ismi Intara. (2015). Identifikasi Kultivar Lokal Padi
Sawah (Oryza Sativa L) Kalimantan Timur Berdasarkan Karakter
Agronomi Dan Morfologi. Agrovigor, 8(2), 8-15.
Sitaresmi, T., Wening, R. H., Rakhmi, A. T., Yunani, N., & Susanto, U. (2015).
Pemanfaatan Plasma Nutfah Padi Varietas Lokal dalam Perakitan Varietas
Unggul. Iptek Tanaman Pangan, 8(1), 22-30.
Siwi, BH, dan S. Kartowinoto. 1989. Plasmanutfah padi. Dalam Padi Buku 2.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Sugiono, 2013. Metode Penelitian Kunatitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Supangkat Samidjo, G. (2017). Eksistensi Varietas Padi Lokal pada Berbagai
Ekosistem Sawah Irigasi: Studi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Planta
Tropika: Journal of Agro Science, 5(1), 34-41. https://doi.org/10.18196/
pt.2017.069.34-41
Wijayanto, T. 2013. Prospek penerapan bioteknologi dalam pemanfaatan dan
pengembangan biodiversitas padi lokal Sulawesi tenggara. Jurnal
Agroteknos3(1):41-47.
Winarti, N. 2005. Variasi Morfologi (Centela asiatica L.) Urb dan kerabatnya
(Hydrocotyle spp) Di Beberapa Lokasi Di Sumatera Barat. (Skripsi).

42 Chaniago et al.: Eksplorasi Keragaman Genetik Padi Lokal.....


Produksi Benih F1 Padi Hibrida pada Dua Metode
Isolasi Yang Berbeda
Nita Kartina dan Satoto
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Jl. Raya 9, Sukamandi, Subang, Jawa Barat
e-mail: nitakartina.nk@gmail.com

ABSTRAK
Keberhasilan produksi benih padi hibrida tergantung pada kesesuaian
pembungaan tetua betina (seed parent) dan tetua jantan (pollen
parent). Metode isolasi produksi benih F1 penting dilakukan untuk
menjamin kemurnian benih tiap musim. Penelitian dilakukan untuk
mendapatkan informasi mengenai metode isolasi pada produksi benih
F1 padi hibrida. Kegiatan yang dilakukan ialah produksi benih F1
dengan metode isolation free dan produksi benih F1 dengan metode
strict isolation. Masing-masing kegiatan dilakukan pada musim
kemarau tahun 2013 dan 2012 di Kebun Percobaan Sukamandi. Hasil
penelitian menunjukkan 117 benih F1 pada metode isolation free,
memberikan hasil produksi benih sebesar 20 g sampai 50 g per
kombinasi (hibrida). Hasil benih pada metode strict isolation, berkisar
antara 400 g (0,4 kg) pada GMJ7/Bio-12-3 hingga 6200 g (6,2 kg)
pada A7/BH9D yang berasal dari sekitar 400 rumpun tetua padi
hibrida. Penggunaan A7 sebagai tetua betina yang digunakan pada
dua metode isolasi, memberikan hasil benih F1 yang tinggi, terutama
pada metode strict isolation. Delapan hibrida memberikan hasil
produksi benih sebesar 3700 g sampai 6200 g. Berdasarkan umur
berbunga, bahwa dari tujuh galur mandul jantan yang digunakan pada
metode isolation free, dua galur mandul jantan (GMJ13 dan GMJ14),
memiliki umur bunga sangat genjah (72 HSS). Lima galur mandul
jantan lainnya yaitu GMJ11, GMJ12, A1, A7, GMJ6 berumur genjah,
yaitu 77 HSS, 81 HSS, 84 HSS dan 87 HSS. Pada kegiatan produksi
benih F1 hibrida metode strict isolation, 6 hibrida menunjukkan
sinkronisasi baik, selisih umur berbunga galur-galur tetuanya 0–3 hari,
hibrida tersebut ialah A7/BH19B-MR-6-2-2-2-B, A7/BH9D, GMJ6/
BH24B-MR-7-4B, A7/BP51-1, GMJ6/BH9D-MR-1-9-1B dan A7/
BH19D-7-5-1.
Kata kunci: Metode isolasi, benih F1, padi hibrida.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 43


ABSTRACT
Success in hybrid rice seed production depend on the
synchronization between seed parent and pollent parent. Isolation
method of F1 seed production important to guarantee the seed
purity each season. The aim of this research is to get the
information about the method of isolation in F1 hybrid rice seed
production. Activities carried out were F1 seed production used
isolation free and F1 hybrid rice seed production used strict
isolation method. Both activities were conducted in the dry season
of 2013 and DS of 2012 for strict isolation at Sukamandi
experimental station. The result showed that 117 F1 hybrid rice
seed in isolation free gives 20 g until 50 g seed each hybrid
combination. F1 hybrid rice seed produced 400 g (0.4 kg) in
GMJ7/Bio-12-3 until 6200 g (6.2 kg) in A7/BH9D, derived from
400 parental seed plants of hybrid rice in strict isolation. Use of
A7 as female parent on both isolation method, give high yields,
especially on strict isolation method. Eight hybrids gives the seed
yields by 3700 g to 6200 g. Based on flowering duration in
isolation free method showed two cytoplasmic genetic male sterile
(CMS) which were GMJ13 and GMJ14 had very early age of
flowering (72 DAS). Five others CMS i.e. GMJ11, GMJ12, A1,
A7, GMJ6 had early age of flowering 77 DAS, 81 DAS, 84 DAS
and 87 DAS. Hybrid rice seed production in strict isolation
method, six hybrids showed good shynchronization, those were
A7/BH19B-MR-6-2-2-2-B, A7/BH9D, GMJ6/BH24B-MR-7-4B,
A7/BP51-1, GMJ6/BH9D-MR-1-9-1B and A7/BH19D-7-5-1.
Keywords: Isolation method, F1 seed, hybrid rice.

PENDAHULUAN
Ketersediaan benih F1 yang murni dengan kuantitas dan kualitas yang baik
merupakan tolok ukur keberhasilan teknologi padi hibrida. Sailaja et al. (2012)
menyatakan bahwa benih padi hibrida yang berkualitas merupakan salah satu
syarat dalam adopsi padi hibrida secara luas. Benih yang bermutu mencakup
mutu genetik, mutu fisik dan mutu fisiologis. Kemurnian genetik benih F1 sangat
penting dalam kegiatan produksi benih padi hibrida (Mulsanti et al. 2013).
Benih F1 padi hibrida hanya dapat digunakan satu kali. Penggunaan benih
generasi-generasi turunan F1 (F2, F3....dst) menyebabkan pertanaman tidak

44 Kartina dan Satoto: Produksi Benih F1 Padi Hibrida.....


seragam dan menurunkan hasil karena adanya depresi inbriding sebagai akibat
terbentuknya susunan genetik yang homozigous. Fujimoto et al. (2018),
menjelaskan bahwa ekspresi heterosis tertinggi hanya ada pada individu F1
karena proporsi gen-gen heterozigot yang tinggi atau kontribusi alel superior
yang diberikan oleh tetua pada generasi tersebut. Pembuatan benih F1 hibrida
dapat dilakukan dengan berbagai cara, namun cara yang paling efektif untuk
mendapatkan benih secara massal, ialah dengan menggunakan sistem galur
mandul jantan (GMJ). Tiga tahap perbanyakan benih diperlukan dalam sistem
GMJ, yaitu: (1) perbanyakan benih GMJ, (2) perbanyakan benih galur pelestari
dan pemulih kesuburan, (3) produksi benih F1 padi hibrida. Metode produksi
benih padi hibrida tergantung pada jumlah benih yang ingin dihasilkan untuk
memenuhi kebutuhan benih pada evaluasi daya hasil. Menurut Virmani et al.
(1997) ada beberapa metode yang dapat dipakai dalam produksi benih untuk
bahan penelitian padi hibrida dengan sistem GMJ, diantaranya metode isolation
free dan metode strict isolation.
Metode isolation free atau metode tanpa isolasi, yaitu produksi benih F1
antara dua hibrida yang berbeda tidak dilakukan isolasi. Metode ini biasanya
digunakan untuk mendapatkan benih yang jumlahnya tidak terlalu banyak untuk
tiap kombinasi (hibrida), tetapi jumlah hibrida yang diproduksi cukup banyak.
Benih yang diperoleh diperkirakan cukup untuk digunakan sebagai bahan pada
uji silang atau observasi daya hasil. Selanjutnya metode strict isolation, dilakukan
dengan memberi isolasi yang cukup diantara dua hibrida yang diproduksi,
misalnya dengan isolasi jarak, waktu atau penghalang. Petakan yang digunakan
pada metode strict isolation juga lebih luas dibanding dengan metode isolation
free serta hibridanya lebih sedikit. Benih yang diperoleh akan digunakan untuk
keperluan pengujian dalam skala luas, seperti uji daya hasil pendahuluan, uji
daya hasil lanjutan dan uji multilokasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
informasi tentang metode isolasi pada produksi benih F1 padi hibrida.

BAHAN DAN METODE


Penelitian Pengadaan Benih F1 Menggunakan Metode Isolation Free
Penelitian pengadaan benih F1 padi hibrida dengan metode isolation free yang
diadopsi dari IRRI (International Rice Research Institute), dilakukan di Kebun
Percobaan Sukamandi pada MT1 2013. Sebanyak 124 calon galur pemulih
kesuburan (R) hasil identifikasi dan tujuh galur mandul jantan (GMJ) digunakan
sebagai bahan produksi benih F1. Diharapkan diperoleh 868 hibrida. Masing-
masing galur R ditanam pada tiap plot berbeda dengan jarak 40 cm x 20 cm,

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 45


dan di pinggir plot ditanam 4 baris galur R bersangkutan sebagai border yang
ditanam satu kali, sedangkan GMJ ditanam secara bertahap sebanyak 3 kali
dengan interval 5 hari.
Saat anakan maksimum sampai heading, 5-10 tanaman GMJ dipindahkan
ke barisan galur R yang memiliki status pertumbuhan sama, sehingga diharapkan
GMJ akan berbunga pada periode yang bersamaan dengan galur R. Masing-
masing galur R ditanam pada petakan berukuran 2 m x 2,5 m, jarak tanam 25
cm x 25 cm, jumlah bibit satu-dua bibit per rumpun. Pemberian pupuk dasar
maupun susulan, diberikan sesuai dengan standar operasional prosedur budidaya
padi sawah (Abdulrachman et al. 2011).
Pada saat galur R mulai berbunga, dipilih tanaman GMJ yang berbunga
bersamaan. Sebanyak 5 sampai 10 rumpun dari masing-masing GMJ yang sudah
diamati kemandulannya dipindahkan ke tengah-tengah barisan galur R.
Penyerbukan tambahan pada petakan galur R yang telah disisipi dengan GMJ,
dilakukan setiap hari, selama 7-10 hari. Polinasi tambahan dilakukan saat bunga
pada galur R telah antesis dan siap melepaskan tepungsarinya. Panen dilakukan
setelah gabah yang terbentuk pada tanaman GMJ telah menguning. Variabel
yang diamati meliputi umur 50% berbunga dan hasil benih per rumpun tiap
kombinasi hibrida.

Gambar 1. Metode Isolation Free untuk pengandaan benih bahan observasi.


(Virmani et al. 1997).

46 Kartina dan Satoto: Produksi Benih F1 Padi Hibrida.....


Penelitian Pengadaan Benih F1 Menggunakan Metode Strict Isolation
Penelitian pengadaan benih F1 padi hibrida dengan metode strict isolation
dilakukan di Kebun Percobaan Sukamandi MT1-2012. Sebanyak 21 hibrida
yang memiliki potensi hasil tinggi atau memiliki ketahanan terhadap hama penyakit
yang telah dievaluasi pada pengujian daya hasil pendahuluan pada musim
sebelumnya.
Luasan setiap hibrida ialah 100 m2 dengan ratio barisan antara galur R dan
GMJ ialah 2 R:8 A, jarak tanam antara GMJ: 15 cm x 15 cm, antara galur R: 30
cm x 15 cm dan antara GMJ – R: 15 cm. Bibit ditanam saat berumur 21 hari,
dengan satu batang per rumpun untuk GMJ dan tiga batang per rumpun untuk
galur R. Pemberian pupuk dasar maupun susulan, diberikan sesuai dengan
prosedur operasional standar budidaya padi sawah (Abdulrachman et al. 2011).
Selisih waktu tabur dan tanam galur R dan GMJ didasarkan pada selisih
umur berbunga hasil penelitian tahun sebelumnya pada musim yang sama. Guna
mengantisipasi terjadinya pergeseran selisih waktu pembungaan antara galur R
dan GMJ, maka galur R ditabur sebanyak tiga kali dengan selang waktu lima
hari. Pada saat galur R dan GMJ bunting, untuk menghindari terjadinya
persilangan bebas atau percampuran tepungsari dengan galur R lainnya, maka
dipasang isolasi menggunakan plastik setinggi sekitar 2,5 m.
Pembuangan tanaman tipe simpang dilakukan sebanyak empat kali, yaitu
pada fase vegetatif, fase anakan maksimun, fase berbunga dan fase menjelang
panen. Polinasi tambahan juga dilakukan, dengan cara menggoyang barisan
tanaman galur R telah antesis dan mulai melepaskan tepungsarinya. Panen
dilakukan pada barisan tanaman galur R terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan
panen pada tanaman GMJ. Variabel yang diamati meliputi: umur 50% berbunga,
jumlah anakan dan hasil benih hibrida.

Keterangan : x = galur mandul jantan (A) 0 = galur pemulih (R) = isolasi plastik
Gambar 2. Metode isolasi plastik metode strict isolation (Virmani et al. 1997).

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 47


HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Benih F1 Padi Hibrida
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa dari 124 kombinasi persilangan yang dibuat,
dengan metode isolation free, sebanyak 117 benih F1 padi hibrida dihasilkan
dengan kisaran 20 g sampai 50 g. Tidak semua hibrida yang dibuat produksi
benihnya, dapat menghasilkan benih yang cukup. Hal ini terjadi karena tidak
terjadinya sinkronisasi pembungaan atau pembungaan kurang sinkron. Hasil
benih pada produksi benih F1 menggunakan metode strict isolation berkisar
antara 400 g (0,4 kg) pada hibrida GMJ7/Bio-12-3 hingga 6200 g (6,2 kg) pada
hibrida A7/BH9D dari 21 hibrida yang diproduksi. Hasil benih F1 yang berbeda
disebabkan oleh perbedaan sinkronisasi pembungaan antara GMJ dan galur R.
Satoto et al. (2012) menyatakan bahwa hasil benih yang diperoleh tergantung
dari sinkronisasi pembungaan antara kedua tetua.
Perbedaan jumlah yang diperoleh pada produksi benih antar dua metode
tersebut, salah satunya disebabkan oleh perbedaan luas tanam terkait dengan
kebutuhan benihnya. Benih F1 yang dihasilkan dengan metode isolation free,
digunakan untuk evaluasi tahap awal, yang biasanya membutuhkan benih dalam
jumlah 5-10 g, sedangkan benih F1 yang dihasilkan dengan metode strict isolation
digunakan pada pengujian lanjutan dengan kebutuhan benih yang lebih besar.
Data hasil produksi benih F1 padi hibrida dan jumlah anakan berdasarkan strict
isolation disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil benih F1 dan jumlah anakan pada produksi benih F1 menggunakan metode strict
isolation.

No Hibrida JA Hasil No Hibrida JA Hasil


(g) (g)

1 GMJ7/BH21D-Mr-4-3-B 10 3400 12 A7/BH28D-MR-1-3-3 12 3800


2 A7/BH21D-Mr-4-3-B 11 5700 13 GMJ6/BH24B-MR-7-4B 8 2050
3 GMJ7/BH25B-MR-2-2-B 10 1750 14 GMJ6/BH25B-MR-8-1B 10 500
4 GMJ6/BH25B-MR-2-2-B 9 1300 15 A7/BH25B-1B 12 3700
5 A7/BH25B-MR-2-2-B 11 4450 16 GMJ6/BP51-1 10 1300
6 GMJ7/Bio-12-3 11 40 0 17 A7/BP51-1 14 6000
7 GMJ7/BH19B-MR-6-6-2 10 1500 18 GMJ6/BH24B-MR-7-2B 10 1900
8 BH19B-MR-6-2-2-2-B 10 5100 19 A7/BH24B-MR-7-2BB 12 4900
9 GMJ6/BH9D-MR-2-2-B 11 1750 20 GMJ6/BH9D-MR-1-9-1B 11 1350
10 A7/BH9D 11 6200 21 A7/BH19D-7-5-1 13 5100
11 GMJ6/BH28D-MR-1-3-3 9 75 0

Keterangan: JA=jumlah anakan

48 Kartina dan Satoto: Produksi Benih F1 Padi Hibrida.....


Syarat penting dalam pembentukan GMJ ialah sterilitas yang tinggi (Nugraha
et al. 2011). Galur mandul jantan merupakan salah satu komponen utama dalam
produksi benih F1 padi hibrida. Galur mandul jantan dengan kemandulan yang
stabil dan tinggi menyebabkan potensi heterosis padi hibrida muncul (Munarso
et al. 2012). Galur mandul jantan sebagai tetua betina dan galur R dengan daya
pulih yang kuat, ialah syarat yang harus dipenuhi, disamping faktor non genetik
lainnya agar produksi benih padi hibrida optimal (Kumar et al. 2012). Selain
karakter tersebut, kemampuan GMJ sebagai tetua betina untuk menyerbuk silang
juga sangat penting. Karakter ini diharapkan dapat meningkatkan produksi benih
F1 padi hibrida.
Sebanyak 23 hibrida yang diproduksi benihnya pada metode isolation free,
menggunakan A7 sebagai tetua betina. Benih F1 yang dihasilkan berkisar antara
21 g sampai 27,5 g. Jumlah tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan evaluasi
daya hasil tahap awal pada dua lokasi, sedangkan produksi benih F1 dengan
metode strict isolation, sebanyak delapan kombinasi hibrida juga menggunakan
A7 sebagai tetua betinanya. Kedelapan kombinasi hibrida tersebut memiliki
hasil benih tertinggi dengan kisaran hasil 3700 g sampai 6200 g. Produksi benih
F1 padi hibrida skala komersial per hektar biasanya berkisar antara 500 kg/ha
sampai 1 ton. Rata-rata produksi benih padi hibrida di Indonesia ialah 1-1,5 ton/
ha (Satoto et al. 2017).
Delapan hibrida dengan hasil benih tertinggi pada metode strict isolation
menggunakan A7 sebagai tetua betina. Hal ini mencerminkan bahwa A7 memiliki
sterilitas yang mantap dengan tingkat persilangan alami tinggi yang mendukung
untuk penyerbukan silang (outcrossing) dengan tetua jantan. Virmani dan Kumar
(2004) menyebutkan bahwa potensi silang luar A7 (IR79156A) cukup baik
dibanding GMJ lainnya dalam produksi benih. A7 memiliki eksersi stigma dan
eksersi malai yang cukup baik dibanding galur lain, sehingga potensi silang luarnya
tinggi. Raafat and Namaky (2018) menyatakan bahwa eksersi malai, eksersi
stigma serta sudut membuka lemma dan palea merupakan faktor yang
menentukan terjadinya kemampuan menyerbuk silang yang baik.
Galur mandul jantan lainnya yang digunakan dalam produksi benih F1 pada
metode isolation free dan metode strict isolation ialah GMJ6, merupakan
GMJ hasil perbaikan BB Padi dengan tipe sitoplasma WA (wild abortive). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebanyak dua hibrida yang diproduksi pada
metode isolation free dengan GMJ6 sebagai tetua betina menghasilkan benih
F1 masing-masing sebesar 20 g (GMJ6/CRS957) dan 30 g (GMJ6/CRS1026),
sedangkan pada metode strict isolation, 8 hibrida menghasilkan benih sebanyak
1300 g (GMJ6/BH25B-MR-2-2-B) dan (GMJ6/BP51-1), 1750 g (GMJ6/BH9D-

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 49


MR-2-2-B), 750 g (GMJ6/BH28D-MR-1-3-3), 2050 g (GMJ6/BH24B-MR-7-
4B), 500 g (GMJ6/BH25B-MR-8-1B), 1900 g (GMJ6/BH24B-MR-7-2B) dan
1350 g (GMJ6/BH9D-MR-1-9-1B).
Delapan hibrida ini juga memiliki jumlah anakan yang lebih banyak dibanding
hibrida lainnya. Hal ini disebabkan kondisi awal pertanaman yang baik terutama
saat fase vegetatif. Jumlah anakan yang dimiliki sekitar 11 sampai 13 anakan
produktif. Tiwari et al. (2011) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif yang
lebih baik akan mendukung tercapainya bobot hasil yang lebih tinggi karena
jumlah area fotosintesis yang diinisiasi saat pertumbuhan awal lebih besar, seperti
jumlah anakan dan jumlah daun. Widyastuti et al. (2012) menjelaskan bahwa
beberapa karakter agronomi, seperti jumlah anakan produktif per rumpun dapat
mempengaruhi tingkat serbuk silang padi.

Keuntungan Metode Isolation Free


Keuntungan penggunaan metode isolation free ialah sinkronisasi lebih mudah,
karena GMJ sebagi tetua betina yang dipindahkan ke barisan galur R sebagai
tetua jantan saat heading diharapkan akan berbunga pada waktu yang
bersamaan. Roguing lebih ringan dan menghemat biaya karena tanpa perlu
isolator, sedangkan kelemahannya antara lain hanya dapat digunakan pada skala
penelitian untuk bahan pengujian yang kebutuhan benihnya sedikit (Virmani,
1997)

Keuntungan Metode Strict Isolation


Keuntungan metode strict isolation ialah cocok untuk digunakan pada skala
penelitian dan komersial, lebih sederhana yaitu mudah dalam pengerjaan karena
jumlah kombinasi hibrida yang diuji lebih sedikit, sinkronisasi berdasarkan data
umur berbunga musim tanam sebelumnya, sedangkan kelemahan metode ini
ialah biaya yang lebih besar dan kemungkinan tidak sinkron antara tetua betina
dan tetua jantan lebih besar, (Virmani, 1997).

Umur Berbunga Galur Mandul Jantan dan Galur Pemulih Kesuburan


Hasil penelitian umur berbunga pada metode isolation free menunjukkan bahwa
dari tujuh GMJ yang digunakan, GMJ13 dan GMJ14 memiliki umur bunga sangat
genjah (72 HSS). Lima GMJ lainnya yaitu GMJ11, GMJ12, A1, A7 dan GMJ6
berumur genjah, yaitu 77 HSS, 81 HSS, 84 HSS dan 87 HSS. Umur berbunga 7
GMJ yang digunakan berumur sama pada tiga periode tanam (Tabel 2).

50 Kartina dan Satoto: Produksi Benih F1 Padi Hibrida.....


Tabel 2. Umur 50% berbunga GMJ produksi benih dengan metode isolation free.

Umur berbunga Rata-Rata


No.GM J (HSS)
Periode I HSS Periode II HSS Periode III HSS

1 A1 27-06-13 84 02-07-13 84 07-07-13 84 84


2 A7 27-06-13 84 02-07-13 84 07-07-13 84 84
3 GMJ 6 30-06-13 87 05-07-13 87 10-07-13 87 87
4 GMJ 11 20-06-13 77 25-06-13 77 30-06-13 77 77
5 GMJ 12 24-06-13 81 29-06-13 81 04-07-13 81 81
6 GMJ 13 15-06-13 72 20-06-13 72 25-06-13 72 72
7 GMJ 14 15-06-13 72 20-06-13 72 25-06-13 72 72

Keterangan: HSS=hari setelah semai

Tabel 3. Tanggal semai bahan produksi F1 metode isolation free.

Galur Periode Tanggal semai

Galur pemulih kesuburan CRS910 sd CRS963 - 02-04-13


Galur pemulih kesuburan CRS925, 926 - 10-04-13
Galur Mandul Jantan: A1, A7, GMJ6A, I 05-04-13
GMJ11A, GMJ12A, GMJ13A, dan GMJ14A II 10-04-13
III 15-04-13

Sinkronisasi pembungaan dengan masing-masing galur R pasangannya


diupayakan dengan menanam GMJ secara bertahap agar ketersediaan GMJ
kontinyu untuk sinkronisasi pembungaaan GMJ dan R pasangannya. Sinkronisasi
pembungaan berarti GMJ dan galur R harus dapat berbunga secara bersamaan,
meskipun kedua galur tersebut memiliki waktu berbunga yang berbeda.
Sinkronisasi pembungaan memberikan kontribusi yang besar terhadap
keberhasilan produksi benih F1 hibrida. Manubay (2013) menjelaskan agar
pembungaan bersamaan waktunya, galur tetua jantan harus satu stadia lebih
awal dibanding dengan galur tetua betinanya pada stadia perkembangan stadia
bakal bunga. Data umur berbunga penting dalam menentukan waktu tebar dan
tanam produksi benih hibrida selanjutnya. Pengaturan tabur GMJ dan galur R
dapat dilihat pada Tabel 3.
Satu tanaman galur pemulih kesuburan CRS 986 memiliki Umur berbunga
sangat genjah yaitu 69 HSS. Umur berbunga 123 calon galur pemulih kesuburan
lainnya berumur 75 HSS sampai 90 HSS. Periode berbunga 124 calon galur
pemulih kesuburan yang digunakan berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 51


tidak semua pasangan tetua betina dan tetua jantan sinkron dalam periode
pembungaannya.
Hasil penelitian umur berbunga pada metode strict isolation menunjukkan
bahwa sebanyak 6 hibrida memiliki sinkronisasi baik, dengan selisih umur
berbunga galur-galur tetuanya 0–3 hari, hibrida tersebut ialah A7/BH19B-MR-
6-2-2-2-B, A7/BH9D, GMJ6/BH24B-MR-7-4B, A7/BP51-1, GMJ6/BH9D-
MR-1-9-1B dan A7/BH19D-7-5-1. Enam hibrida lain memiliki periode
pembungaan yang kurang sinkron dengan selisih umur antara 4–6 hari. Enam
hibrida tersebut antara lain GMJ7/BH19B-MR-6-6-2, GMJ6/BH9D-MR-2-2-
B, GMJ6/BH28D-MR-1-3-3, A7/BH28D-MR-1-3-3, A7/BH25B-1B dan A7/
BH24B-MR-7-2BB. Data umur bunga dan status sinkronisasinya dapat dilihat
pada Tabel 4.

Tabel 4. Umur berbunga dan status sinkronisasi galur-galur tetua hibrida pada produksi benih F1
dengan metode strict isolation.

Tanggal 50% berbunga Selisih


No. Hibrida umur Sinkronisasi
GMJ galur R

1 GMJ7/BH21D-Mr-4-3-B 06-Jul-12 13-Jul-12 -7 TS


2 A7/BH21D-Mr-4-3-B 04-Jul-12 13-Jul-12 -9 TS
3 GMJ7/BH25B-MR-2-2-B 13-Jul-12 06-Jul-12 7 TS
4 GMJ6/BH25B-MR-2-2-B 14-Jul-12 06-Jul-12 8 TS
5 A7/BH25B-MR-2-2-B 13-Jul-12 06-Jul-12 7 TS
6 GMJ7/Bio-12-3 13-Jul-12 30-Jun-12 13 TS
7 GMJ7/BH19B-MR-6-6-2 06-Jul-12 02-Jul-12 4 KS
8 A7/BH19B-MR-6-2-2-2-B 04-Jul-12 02-Jul-12 2 S
9 GMJ6/BH9D-MR-2-2-B 06-Jul-12 02-Jul-12 4 KS
10 A7/BH9D 02-Jul-12 02-Jul-12 0 S
11 GMJ6/BH28D-MR-1-3-3 06-Jul-12 10-Jul-12 -4 KS
12 A7/BH28D-MR-1-3-3 04-Jul-12 10-Jul-12 -6 KS
13 GMJ6/BH24B-MR-7-4B 11-Jul-12 08-Jul-12 3 S
14 GMJ6/BH25B-MR-8-1B 11-Jul-12 04-Jul-12 -7 TS
15 A7/BH25B-1B 11-Jul-12 06-Jul-12 -5 KS
16 GMJ6/BP51-1 09-Jul-12 30-Jun-12 -9 TS
17 A7/BP51-1 02-Jul-12 30-Jun-12 -2 S
18 GMJ6/BH24B-MR-7-2B 11-Jul-12 04-Jul-12 -7 TS
19 A7/BH24B-MR-7-2BB 02-Jul-12 06-Jul-12 4 KS
20 GMJ6/BH9D-MR-1-9-1B 14-Jul-12 11-Jul-12 -3 S
21 A7/BH19D-7-5-1 02-Jul-12 02-Jul-12 0 S

Keterangan: S =Sinkron (0-3), KS =Kurang Sinkron (4-6), TS= Tidak Sinkron (7)

52 Kartina dan Satoto: Produksi Benih F1 Padi Hibrida.....


KESIMPULAN DAN SARAN
Umur bunga penting dalam produksi benih F1 padi hibrida. Metode isolation
free dapat dianjurkan untuk digunakan dalam proses produksi benih untuk
memenuhi kebutuhan benih pengujian daya hasil tahap awal dan lebih efisien
dibanding metode strict isolation. Sinkronisasi juga lebih mudah diperoleh pada
metode isolation free dan pada skala penelitian, metode isolation free lebih
efisien dibandingkan metode strict isolation serta roguing pada metode isolation
free lebih mudah dilakukan.
Metode strict isolation dianjurkan untuk digunakan pada proses produksi
benih untuk memenuhi kebutuhan benih pengujian daya hasil lanjutan. Kemurnian
benih akan lebih mudah didapat pada metode strict isolation karena rumpun
yang disisipkan dapat dipilih yang benar-benar murni.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Yuni Widyastuti,
M.Si. dan Dr. Indrastuti A. Rumanti atas masukan dan bantuannya pada
pelaksanaan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada tim
peneliti dan teknisi atas kerjasama yang baik.

DAFTAR PUSTAKA
Abdulrachman, S, S. Karsono, M. Y. Samaullah, H. Sembiring, Baehaki, S.
Effendi, A. Dirdjoseputro, E. S. Noor. 2011. POS budidaya padi sawah:
Badan Litbang Pertanian.
Fujimoto, R, K. Uezono, S. Ishikura, K. Osabe, W.J. Peacock, E.S. Dennis.
2018. Recent research on the mechanism of heterosis is important for
crop and vegetable breeding systems. Breeding Science. Japanese Society
of Breeding. 68(2):145–158.
Kumar I, R. Singh, T. J. Prakash, and S. Singh. 2012. Challenges in hybrid rice
seed production from the private sector’s perspective. Proceedings of
6th International Hybrid Rice Symposium.
Manubay, M.C. 2013. Timing essential in hybrid seed production. Department
of Agriculture. PhilRice. https://www.philrice.gov.ph/timing-essential-in-
hybrid-seed-production/ [17 Oktober 2019].

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 53


Mulsanti, I.W., M. Surahman, S. Wahyuni dan D.W. Utami. 2013. Identifikasi
galur tetua padi hibrida dengan marka SSR spesifik dan pemanfaatannya
dalam uji kemurnian benih. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan
32(1):1- 8.
Munarso, Y.P. 2012. Perkembangan penelitian pembentukan galur mandul jantan
pada perakitan padi hibrida. Jurnal Penelitian Pertanian dan
Pengembangan Pertanian 1(4):162-168.
Nugraha, Y., Y.P. Munarso dan Satoto. 2011. Pembentukan galur mandul jantan
baru padi hibrida tahan penyakit hawar daun bakteri dan hama wereng
batang coklat. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 30(1):9-16.
Rafaat, E and Namaky. 2018. The genetic variability of floral and agronomic
characteristics of newly-bred cytoplasmic male sterile rice. Agriculture.
8(68):1-11.
Sailaja, B, S.R. Voleti, A.S. Hariprasad, L.V. Subba Rao, and B.C. Viraktamath.
2012. Identifying suitable areas for hybrid rice seed production.
Proceedings of 6th International Hybrid Rice Symposium.
Satoto, Y. Nugraha, I.A. Rumanti, Y. Widyastuti. 2012. Sinkronisasi pembungaan
galur tetua padi hibrida dalam produksi benih. Zuriat 23(2).
Satoto, Y. Widyastuti, N. Kartina, B.P. Wibowo. 2017. Analisis adopsi dan
pengembangan padi hibrida di Indonesia. Iptek Tanaman Pangan. 12(1):1-
8.
Tiwari, D.K., P. Pandey, S.P. Giri, J.L. Dwivedi. 2011. Effect of GA3 and other
plant growth regulators on hybrid rice seed production. Asian Journal of
Plant Sceinces. 10(1):1-7.
Virmani, S.S., B.C. Viraktamath, C.L. Casal, R.S. Toledo, M.T. Lopez and
J.O. Manalo. 1997. Hybrid rice breeding manual. IRRI, Los Banos,
Philippines.
Virmani, S. S and I. Kumar. 2004. Development and use of hybrid rice technology
to increase rice productivity in the tropic. Int. Rice. Res. Note 19(1):10-
19.
Widyastuti Y, I.A. Rumanti dan Satoto. 2012. Perilaku pembungaan galur-galur
tetua padi hibrida. Iptek Tanaman Pangan 7(2):67-78.

54 Kartina dan Satoto: Produksi Benih F1 Padi Hibrida.....


Keragaan, Parameter Genetik, dan Mutu Beras
Galur-galur Padi Gogo pada Percobaan Observasi
di Bawah Tegakan Kelapa
Angelita Puji Lestari, Yullianida, Rini Hermanasari, dan Aris Hairmansis
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Jl. Raya No 9 Sukamandi, Subang Jawa Barat 41256
E-mail: ap_lestari@yahoo.com

ABSTRAK
Pengembangan padi gogo ke areal perkebunan mendorong diperoleh
dua varietas padi baru toleran naungan yaitu Rindang 1 dan Rindang
2 dengan tingkat toleransi 50% naungan. Meski demikian untuk
memperluas areal tanam di areal perkebunan dengan naungan yang
lebih tinggi masih diperlukan varietas baru dengan tingkat toleransi
lebih tinggi dan perbaikan karakter lainnya. Penelitian bertujuan
memperoleh informasi keragaan, parameter genetik dan mutu beras
galur-galur padi gogo yang ditanam di bawah tegakan kelapa.
Sebanyak 200 galur padi dan lima varietas cek, yaitu Limboto, IR64,
Situpatenggang, Inpago 8, dan Jatiluhur digunakan sebagai bahan
penelitian. Penelitian dilaksanakan pada MH 2016/2017 di Calincing,
Tegalbuleud, Sukabumi di bawah tegakan kelapa menggunakan
rancangan augmented dengan empat ulangan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat keragaman antar galur, genotipe, dan
varietas cek sehingga menghasilkan perbedaan penampilan pada
karakter tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur berbunga,
umur panen, serta hasil. Uji keragaman genetik menunjukkan nilai
heritabilitas tinggi pada seluruh karakter kecuali jumlah gabah hampa.
Persentase kemajuan genetik tertinggi adalah pada karakter jumlah
gabah isi per malai dengan nilai 70,3%. Nilai koefiseien keragaman
genetik (KKG) terendah ditunjukkan oleh karakter umur panen,
sedangkan nilai KKG tertinggi dihasilkan oleh jumlah jumlah gabah
isi per malai. Keragaman luas yaitu pada karakter tinggi tanaman
umur berbunga, dan jumlah gabah isi permalai. Jumlah gabah isi per
malai merupakan karakter terbaik sebagai kriteria seleksi galur-galur
padi gogo pada kondisi ternaungi. Terdapat enam galur dengan hasil
yang nyata lebih tinggi dibandingkan varietas cek terbaik Jatiluhur,
yaitu B15341-1B-TB-2, B15119C-TB-18, B15344B-TB-30, B15340-

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 55


4B-TB-2, B15302B-TGB-38, dan B15143C-TGB-14. Sebagian besar
galur memiliki ukuran beras panjang (L), bentuk sedang (M),
pengapuran kecil (S) dengan kadar amilosa rendah sampai sedang.
Kata kunci: padi gogo, naungan, parameter genetik, mutu beras.

ABSTRACT
The development of upland rice into the area was encouraged to
obtain two new shade-tolerant rice varieties namely Rindang 1
and Rindang 2 with a 50% shade level. Nevertheless, to expand
the planting area in the plantation area, new varieties with a higher
level of shade are needed, along with other improvements in
character. This study aimed to obtain information about the
performance and genetic parameters of upland rice lines grown
under coconut stands. A total of 200 rice lines and five check
varieties, namely Limboto, IR64, Situpatenggang, Inpago 8, and
Jatiluhur were used as research material. The study was conducted
in the village of Calincing, Tegalbuleud, Sukabumi under a coconut
stand in WS 2016/2017 using an augmented design with four
replications. The results showed that there were differences between
strains, genotypes, and varieties that resulted in differences in
plant character, number of productive tillers, flowering age, harvest
age, and grain yield. Genetic variability test showed high
heritability values for all characters except the number of empty
grains. The greatest percentage of genetic progress in the character
of the number of filled grain per panicle with a value of 70.3%.
The lowest coefficient of genetic variability (CGV) was the
character of harvest age, while the highest CGV value was
produced by the number of filled grains per panicle. Wide diversity
in plant height, age of flowering, and number of paddy grains.
The number of filled grains per panicle was the best character to
be used as a selection criteria for rice lines under shaded
conditions. There were six lines with higher yields than the best
Jatiluhur check varieties, namely B15341-1B-TB-2, B15119C-TB-
18, B15344B-TB-30, B15340-4B-TB-2, B15302B-TGB-38, and
B15143C-TGB-14. Most of the lines had long (L), medium (M),
small liming (S) sizes with low to moderate amylose content.
Keywords: upland rice, shading, genetic parameters, grain
quality.

56 Lestari et al.: Keragaan, Parameter Genetik, dan Mutu Beras.....


PENDAHULUAN
Luas lahan sawah irigasi menurun akibat kekurangan air yang disebabkan oleh
perubahan iklim (Tuhina-Khatun et al. 2015). Selain itu, konversi lahan subur
menyebabkan terjadinya peralihan pertanaman padi ke areal pertanian dengan
kondisi suboptimal untuk tetap dapat mendukung program ketahanan pangan
nasional. Salah satu upaya strategis untuk meningkatkan produksi padi nasional
adalah dengan pengembangan serta perluasan penanaman padi lahan kering
padi di lahan kering (Hafif 2016). Dengan demikian, padi gogo memiliki peran
penting untuk menjaga produksi padi dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan
di masa mendatang (Wahyunto dan Shofiyati 2013).
Saat ini pengembangan padi gogo diarahkan ke lahan perkebunan dan
perhutani dimana padi gogo ditanam di antara tanaman tahunan seperti kelapa,
kelapa sawit, jati dan karet. Areal perkebunan dan perhutani di Indonesia memiliki
potensi yang sangat besar untuk ektensifikasi usaha produksi padi. Luas lahan
yang potensial untuk tumpang sari padi gogo di lahan tersebut diperkirakan
mencapai 2 juta ha per tahun (Toha et al. 2009). Dalam kondisi seperti itu
tanaman padi sering mengalami kekurangan cahaya sehingga produksinya
rendah. Untuk mengatasi cekaman tersebut diperlukan varietas padi yang toleran
terhadap naungan.
Fokus utama program pemuliaan padi gogo adalah merakit varietas padi
gogo yang berpotensi hasil tinggi, toleran terhadap cekaman biotik (Zhi-juan et
al. 2016) dan abiotik tertentu (Bernier et al. 2008; Anggraheni dan Mulyaningsih
2017) , serta bermutu beras baik (Neto et al. 2019). Pada tahun 2018 BBPadi
telah berhasil melepas dua varietas padi baru dengan keunggulan toleran naungan
yaitu Rindang 1 dan Rindang 2 dengan toleransi sekitar 50% naungan (BBPadi
2019). Untuk lebih memperluas pertanaman padi gogo di lahan perkebunan di
bawah tegakan pohon dengan intersepsi cahaya yang lebih besar, diperlukan
varietas unggul baru dengan tingkat toleransi naungan yang lebih tinggi dengan
mutu beras baik sesuai dengan preferensi konsumen.
Beberapa persilangan untuk meningkatkan keunggulan varietas yang ada,
telah dilakukan dan beberapa galur yang diperoleh kemudian ditanam dalam
beberapa generasi di lingkungan target. Persilangan merupakan proses penting
dalam pemuliaan yang berfungsi sebagai sumber untuk menimbulkan keragaman
genetik pada keturunannya (Syukur et al. 2015). Dari keragaman yang ada
diperlukan seleksi untuk memperoleh komposisi genetik homogen homozigot
dari galur-galur padi gogo yang diuji. Oleh karena itu, informasi parameter genetik,
seperti heritabilitas, koefisien keragaman genetik, kemajuan genetik dan luas

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 57


sempitnya keragaman genetik, diperlukan untuk menentukan suatu karakter yang
dapat digunakan sebagai kriteria seleksi (Hermanto et al. 2017). Penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh informasi keragaan, keragaman genetik, dan mutu
beras galur-galur padi gogo pada percobaan observasi pada kondisi ternaungi di
bawah tegakan kelapa.

BAHAN DAN METODE


Pelaksanaan percobaan
Percobaan dilaksanakan di Sukabumi, Jawa Barat pada musim hujan (MH)
2016-2017. Bahan yang digunakan adalah sebanyak 200 galur beserta varietas
cek Limboto, IR64, Situpatenggang, Inpago 8, dan Jatiluhur. Percobaan
menggunakan rancangan Augmented dengan lima ulangan (blok) untuk varietas
cek nya. Setiap galur ditanam pada plot berukuran 1 m x 5 m dengan cara
ditugal. Jarak antar larikan 30 cm dan dalam barisan 15 cm. Percobaan dipupuk
dengan 300 kg NPK (Phonska) 100 kg Urea per ha. Tanaman dipelihara sampai
panen dengan pengendalian hama penyakit secara optimal. Peubah yang diamati
meliputi tinggi tanaman, umur panen, jumlah anakan produktif, jumlah gabah isi
dan hampa per malai, bobot 1000 butir gabah, hasil gabah kering panen/plot,
serta kadar amilosa beras dan ukuran panjang, bentuk, pengapuran beras. Mutu
beras yang diamati dikelompokkan berdasakan Juliano (1979).

Analisis Data
Perolehan ragam galur, ragam cek, dan ragam galur vs cek melalui analisis
komponen ragam PROC GLM SAS dan pengolahan data lainnya menggunakan
MS Excel dan Minitab. Sidik ragam digunakan untuk melihat keragaman suatu
populasi. Komponen yang dapat dijadikan sumber keragaman terdiri dari blok,
perlakuan yang terdiri dari galur dan cek, galur, cek, galur vs cek serta galat
(Puspitasari et al. 2012). Ragam fenotipe ditentukan dari ragam populasi,
sedangkan sebagai ragam lingkungan adalah kuadrat tengah galat yang diperoleh
dari rancangan augmented. Pendugaan parameter genetik meliputi pendugaan
ragam genetik (Vg), ragam interaksi genetik x lingkungan (Vge), ragam
lingkungan (Ve), ragam fenotipe (Vp), heritabilitas arti luas (Hbs), koefisien
keragaman genetik (KKG), koefisien keragaman fenotipe (KKF), serta luas
atau sempitnya nilai keragaman genetik (Febrianto 2014; Tiwari et al. 2019).

58 Lestari et al.: Keragaan, Parameter Genetik, dan Mutu Beras.....


HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis ragam
Berdasarkan analisis ragam diketahui bahwa perlakuan blok dan varietas cek
yang digunakan berpengaruh nyata terhadap seluruh karakter sedangkan galur
berpengaruh nyata terhadap seluruh karakter kecuali jumlah gabah hampa (Tabel
1). Interaksi galur dengan cek tidak nyata terhadap jumlah gabah hampa dan
hasil. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat keragaman antar galur, genotipe,
dan varietas cek sehingga menghasilkan perbedaan penampilan pada karakter
tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur berbunga dan umur panen, serta
hasil. Buhaira et al. (2014) melaporkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara
26 aksesi padi yang diuji pada diameter batang, umur berbunga, lebar daun
bendera, panjang daun bendera, panjang malai, jumlah gabah per malai, bobot
gabah isi, bobot gabah per tanaman, dan bobot 1000 butir.

Keragaan galur dan hasil


Dari 200 galur yang diuji, diambil sebanyak 20 galur dengan hasil tertinggi lalu
diamati karakternya. Keragaan tinggi tanaman, umur panen, jumlah gabah isi,
dan jumlah anakan produktif dari 20 galur tersebut ditampilkan pada Gambar 1.
Rata-rata galur memiliki tinggi tanaman 111.6 cm atau lebih pendek dibandingkan
varietas cek Inpago 8 (115,1 cm) dan Jatiluhur (115,3 cm). Umur panen galur
terlihat tidak berbeda nyata dengan cek Limboto, Situpatenggang, dan Jatiluhur
dengan rata-rata 110 hari dan masih lebih genjah dibandingkan Inpago 8. Jumlah
anakan produktif varietas cek rata-rata masih lebih tinggi dibandingkan galur
yang diuji namun masih lebih tinggi dibandingkan cek Situpatenggang. Kemudian
untuk karakter jumlah gabah isi rata-rata galur masih lebih tinggi dibandingkan

Tabel 1. Kuadrat tengah dari hasil analisis ragam pengaruh genotipe, galur dan cek terhadap
karakter galur-galur padi.

Jml Jml Jml


Sumber db Tinggi anakan Umur Umur gabah gabah Hasil
keragaman tanaman produktif berbunga panen isi hampa

Blok 4 ** ** ** ** ** ** **
Genotipe 70 ** ** ** ** tn tn **
Galur 64 ** ** ** ** ** tn **
Cek 4 ** ** ** ** ** ** **
GxC 1 tn ** ** ** ** tn tn

** dan tn masing-masing berbeda nyata dan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 59


IR64, Situpatenggang, dan Inpago 8 namun masih lebih sedikit dari Limboto dan
Jatiluhur. Yullianida et al. (2017) melaporkan bahwa varietas peka naungan
memiliki karakter umur lebih genjah, jumlah anakan sedikit, dan jumlah gabah
hampa lebih tinggi pada kondisi di bawah naungan paranet 75%.
Naungan menurunkan biomasa akar dan batang dan menurunkan hasil
(Chauhan 2013) juga berpengaruh terhadap karakter jumlah anakan produktif
dan persentase gabah isi (Muhidin et al. 2018) serta mutu beras seperti mutu
tanak, kandungan nutrisi dalam beras (Liu et al. 2014), peningkatan kapur pada
beras dan penurunan mutu beras (Chen et al. 2019). Berdasarkan penelitian
oleh Moula (2009) hasil padi menurun hingga 98% sampai 190% pada kondisi
ternaungi dibandingkan dengan tanpa naungan.
Nilai LSI (Least Significant Increase) digunakan untuk membandingkan
hasil galur dengan varietas ceknya (Saleem et al. 2013) yang diperoleh dengan
mengalikan nilai t tabel 5% dengan kuadrat tengah galat. Hasil galur nyata lebih
tinggi dari cek jika hasilnya lebih dari hasil cek ditambah LSI dan sebaliknya.
Menurut Petersen (1994) uji LSI efektif untuk membandingkan hasil antara
galur dengan varietas ceknya pada rancangan percobaan augmented. Terdapat
enam galur dengan hasil yang nyata lebih tinggi dibandingkan varietas cek terbaik
Jatiluhur, dari sebanyak total 20 galur terbaik berdasarkan hasil tertinggi (Tabel
2). Keenam galur tersebut adalah B15341-1B-TB-2, B15119C-TB-18, B15344B-
TB-30, B15340-4B-TB-2, B15302B-TGB-38, dan B15143C-TGB-14.

Gambar 1. Pertanaman observasi MT 1 2017 di Tegalbuleud, Sukabumi.

60 Lestari et al.: Keragaan, Parameter Genetik, dan Mutu Beras.....


0.0 1.5 3.0 4.5 6.0
Tinggi Tanaman Umur Panen
D 113.6
D 115.1, E 115.3 116
130
A 110.4
A 110.9, C 110.6, E 110.2
120 C 109.7 112

Rataan: 111.6 Rataan: 110.9


110 N: 20 N: 20
108
B 99.4
100 B 73.5
104
90

100
80
0 1 2 3 4
E 25.04
Jml Anakan Prod Jumlah Gabah Isi
0.0 2.5 5.0 7.5 10.0 A 19.58
Rataan: 7.3 Frequency
N: 20
12 18
B 11.37
D 8.77
A 9.13, E 16
10
Rataan: 14.4
C 6.97 N: 20
14
C 10.14
8
D 9.85
12 B 3.24
6

10

0.0 1.2 2.4 3.6 4.8


Frequency

Gambar 2. Histogram karakter tinggi tanaman dan umur panen (atas) dan jumlah anakan produktif
dan jumlah gabah isi (bawah) dari top 20 galur dengah hasil tertinggi dibandingkan
dengan karakter dari varietas cek A (Limboto), B (IR64), C (Situpatenggang), D (Inpago
8), dan E (Jatiluhur)

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 61


Tabel 2. Galur-galur padi gogo dengan top 20 hasil tertinggi.

No asal Galur Hasil No asal Galur Hasil

245 B15341-1B-TB-2 6,16 68 B14981B-TGB-20-3 2,21


242 B15119C-TB-18 5,43 230 B15340 -3B-TB-6 2,13
210 B15344B-TB-30 3,40 149 B15302B-TGB-30 2,04
249 B15340-4B-TB-2 3,38 45 B14168E-MR-4 2,03
151 B15302B-TGB-38 3,38 61 B14981B-TGB-7-1 2,00
122 B15143C-TGB-14 3,35 113 B12743-MR-18-2-3-5-PN-10-3-1 1,96
51 B14168E-MR-27 2,78 246 B15340 -3B-TB-28 1,95
247 B15341-2B-TB-37 2,60 119 B15143C-TGB-11 1,87
121 B15143C-TGB-13 2,41 53 B14168E-MR-30 1,85
243 B15340 -3B-TB-23 2,27 Cek A Limboto 1,45
62 B14981B-TGB-7-3 2,27 Cek B IR64 0,61
Cek+LSI Cek C Situpatenggang 1,48
Limboto 2,56 Cek D Inpago 8 1,90
IR64 1,72 Cek E Jatiluhur 2,16
St,patenggang 2,59 Rataan galur 2,77
Inpago 8 3,01 Rataan cek 1,55
Jatiluhur 3,27 Rataan umum 2,52

*LSI Hasil=1,11

Parameter genetik
Seleksi terhadap karakter kuantitatif dapat dilakukan berdasarkan pada nilai
parameter genetik tanpa mengabaikan nilai tengah populasi yang bersangkutan.
Perbaikan karakter tanaman melalui program pemuliaan tanaman membutuhkan
informasi tentang keragaman genetik dan heritabilitas. Informasi tersebut menjadi
modal awal sebagai acuan untuk melakukan seleksi (Lasmiana et al. 2017).
Data menunjukkan bahwa nilai heritabilitas tinggi pada seluruh karakter
kecuali jumlah gabah hampa (Tabel 3). Hal ini berarti jumlah gabah hampa
sangat dipengaruhi oleh lingkungan dibandingkan faktor genetiknya. Oladosu et
al. (2014) melaporkan nilai heritabilitas tinggi pada umur berbunga, umur panen,
dan tinggi tanaman. KKG tinggi pada hasil dan umur panen, kemajuan genetik
tinggi pada tinggi tanaman galur mutan padi. Sedangkan hasil penelitian Pratap
et al. (2012) menunjukkan bahwa nilai heritabilitas, KKG, KKF, dan kemajuan
genetik tinggi terdapat pada jumlah anakan produktif dan hasil gabah. Pada
percobaan ini, nilai KKG dan KKF tertinggi terdapat pada jumlah gabah isi per
malai, jumlah anakan produktif diikuti hasil, sebagaimana dilaporkan Manjunatha
et al. 2017 dimana hasil memiliki nilai KKG tertinggi. Widyayanti et al. (2017)
menyampaikan hal berbeda dimana nilai KKG tertinggi pada galur padi terdapat

62 Lestari et al.: Keragaan, Parameter Genetik, dan Mutu Beras.....


Tabel 3. Ragam genetik galur-galur yang diuji.

Karakter VG VP H KKG KKF KG KG Keragaman


(%) genetik

Tinggi tanaman 34,5 39,2 0,88 5,6 6,0 11,3 10,8 luas
Jumlah anakan produktif 0,7 1,0 0,66 11,5 13,1 1,4 17,7 sempit
Umur berbunga 1,0 1,5 0,69 1,2 1,4 1,8 2,0 luas
Umur panen 1,0 1,9 0,53 0,9 1,2 1,5 1,3 sempit
Jumlah gabah isi 30,4 32,2 0,94 33,3 36,2 11,0 70,3 luas
Jumlah gabah hampa 2,7 27,3 0,10 1,6 4,9 1,1 1,0 sempit
Hasil 0,2 0,2 0,75 25,5 29,8 0,7 46,1 sempit

*VG=ragam genotipe, VP=ragam fenotipe, H=heritabilitas, KKG=koefisien keragaman genetik


KKF=koefisien keragaman fenotipe, KG=kemajuan genetik

pada karakter tinggi tanaman dan nilai KKG paling rendah terdapat pada karakter
umur berbunga dan umur panen. Tingginya nilai KKG menunjukkan peluang
terhadap usaha-usaha perbaikan yang efektif melalui seleksi (Nur et al. 2012).
Nilai KKF terlihat sedikit lebih tinggi dari KKG menunjukkan sedikitnya pengaruh
lingkungan terhadap ekspresi galur (Sabesan et al. 2009) atau kontribusi genetik
terhadap keragaman fenotipe lebih besar dibandingkan faktor lingkungan
(Andriani dan Damanhuri 2018).
Nilai keragaman genetik luas terdapat pada karakter tinggi tanaman, umur
berbunga, dan jumlah gabah isi per malai. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh
Astari et al. (2016) dimana keragaman luas yaitu pada karakter tinggi tanaman,
umur berbunga, dan jumlah gabah isi permalai. Sedangkan untuk persentase
kemajuan genetik tertinggi adalah pada karakter jumlah gabah isi per malai
dengan nilai 70.3%. Jumlah gabah isi per malai juga merupakan salah satu
karakter yang memiliki korelasi nyata positif terhadap hasil gabah padi (Kohnaki
et al. 2013; Guru et al. 2016). Dengan demikian, jumlah gabah isi per malai
merupakan karakter terbaik sebagai kriteria seleksi galur-galur padi gogo pada
kondisi ternaungi karena memiliki heritabilitas tinggi dan keregaman genetik
yang luas (Buhaira et al. 2014).
Heritabilitas tinggi bersama dengan kemajuan genetik yang tinggi dalam
persentase rata-rata menunjukkan bahwa karakter ini disebabkan oleh efek
gen aditif dan seleksi dapat dilakukan dalam upaya peningkatan karakter tersebut
(Lingaiah et al. 2014). Hal yang sama dilaporkan oleh Tuhina-Khatun et al.
(2015) dimana karakter terbaik sebagai kriteria seleksi adalah jumlah gabah isi
per malai disamping hasil. Menurut Natawijaya (2012) tekanan seleksi dapat
dilakukan pada karakter-karakter dengan keragaman genetik tinggi, selain itu
karakter ini dapat digunakan sebagai kriteria seleksi. Dilaporkan juga oleh Nur
et al. (2012) bahwa pada gandum karakter dengan nilai heritabilitas tinggi dan

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 63


diikuti oleh keragaman genetik luas adalah jumlah anakan produktif, jumlah
spikelet dan luas daun. Keragaman genetik yang luas dari suatu karakter
mengindikasikan adanya peluang perbaikan karakter gandum melalui karakter
tersebut sehingga untuk menentukan suatu karakter sebagai kriteria seleksi
diperlukan nilai heritabilitas dan kemajuan genetik yang tinggi serta keragaman
genetik yang luas.

Mutu beras
Terdapat 53 galur yang dapat diamati data mutu beras, kadar amilosa, serta
ukuran panjang bentuk dan pengapurannya (Gambar 3). Berdasarkan nilai kadar
aminlose, terdapat sebanyak 2 galur lengket/ketan, 1 galur termasuk sangat
rendah, serta 25 galur dengan kadar amilosa masing-masing sedang dan rendah.
Suwannaporn (2007) menyatakan bahwa kadar amilosa penting untuk diketahui
karena dapat memprediksi mutu tanak beras, lama pemasakan dan lama
pengolahan nasi. amilosa berkorelasi positif dengan kekerasan nasi dan
berkorelasi negatif dengan lengketnya nasi.
Sedangkan untuk ukuran panjang, bentuk dan pengapuran beras, sebagian
besar galur memiliki ukuran yang panjang (L), bentuk beras sedang (M),
pengapuran kecil (S). Ukuran beras terbanyak berikutnya adalahpanjang (L),
bentuk sedang (M), dan pengapuran tergolong sedang (M). Hal yang sama
disampaikan oleh Xiongsiyee and Prom-U-Thai (2016) dan Mario et al. (2018)
bahwa sebagian besar padi gogo memiliki panjang L dan bentuk M.

Gambar 3. Jumlah galur berdasarkan penggolongan ukuran beras dan kadar amilosa.

64 Lestari et al.: Keragaan, Parameter Genetik, dan Mutu Beras.....


Sebanyak 3 galur merupakan galur beras ketan dan 7 galur beras merah.
Saat ini, telah terdapat 1 varietas padi gogo beras merah yaitu Inpago 7 dan
belum ada varietas beras ketan. Namun Inpago 7 masih memiliki kelemahan
dalam hal toleransi dan ketahanannya terhadap cekaman abiotik dan biotik (Jamil
et al. 2016). Maka dari itu, diharapkan dari percobaan ini diperoleh galur harapan
beras merah baru dengan ketahanan yang lebih baik.

KESIMPULAN
Berdasarkan parameter genetik, karakter jumlah gabah isi per malai merupakan
kriteria seleksi galur-galur padi gogo pada kondisi ternaungi. Dari seluruh galur
yang diuji, terdapat enam galur dengan hasil yang nyata lebih tinggi dibandingkan
varietas cek terbaik Jatiluhur, yaitu B15341-1B-TB-2, B15119C-TB-18,
B15344B-TB-30, B15340-4B-TB-2, B15302B-TGB-38, dan B15143C-TGB-
14. Sebagian besar galur padi gogo yang diuji memiliki ukuran beras panjang
(L), bentuk sedang (M), pengapuran kecil (S) dengan kadar amilosa rendah
sampai sedang.

DAFTAR PUSTAKA
Andriani, D. dan Damanhuri. 2018. Pola pewarisan toleransi kondisi anaerob
padi (Oryza sativa L.). Jurnal Produksi Tanaman 6(6): 1204-1210.
Anggraheni, Y.G.D dan E.S. Mulyaningsih. 2017. Eksplorasi marka SSR terpaut
sifat toleransi padi gogo terhadap alumunium. Jurnal Biologi Indonesia
13(1): 97-106.
Astari, R.A, Rosmayati, dan M. Basyuni. 2016. Kemajuan genetik, heritabilitas
dan korelasi beberapa karakter agronomis progeni kedelai F3 persilangan
anjasmoro dengan genotipe tahan salin. Jurnal Pertanian Tropik 3(1): 52-
61.
BB Padi. 2019. Varietas Padi Inbrida Padi Gogo. http://
bbpadi.litbang.pertanian.go.id/ index.php/varietas-padi/inbrida-padi-gogo-
inpago. [22 Oktober 2019].
Bernier, J., A. Gary, S. Rachid, K. Arvind, and S. Dean. 2008. Breeding upland
rice for drought resistance. Journal of the Science of Food and Agriculture
88(6).

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 65


Buhaira, S. Nusifera, P.L. Ardiyaningsih, dan Y. Alia. 2014. Penampilan dan
parameter genetik beberapa karakter morfologi agronomi dari 26 aksesi
padi (Oryza spp l.) Lokal Jambi. Jurnal Penelitian Universitas Jambi
Seri Sains 16(2): 33-42.
Chauhan, B.S. 2013. Effect of Shade on Growth and Yield of Weedy Rice
(Oryza sativa L.) Biotypes and a Rice (Oryza sativa L.) Cultivar from
Asia. Journal of Crop Improvement 27(3): 272-280.
Chen, H., L. Qiu-Ping, Z. Yu-Ling, F. Deng, and R. Wan-Jun. 2019. Efect of
different shading materials on grain yield and quality of rice.
www.nature.com/scientificreports [11 Oktober 2019].
Febrianto, E.B. 2014. Seleksi Galur-Galur Putatif Mutan Gandum (Triticum
Aestivum L.) di Dataran Menengah Lingkungan Tropis [tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Guru, T., V. Padma, D.V.V. Reddy, P.R. Rao, and D. Sanjeeva Rao. 2016.
Correlation and path coefficient analysis for grain yield and other
component traits in rice genotypes. International Journal of Agricultural
Science and Research (IJASR) 6(5): 363-370
Hafif, B. 2016. Optimasi potensi lahan kering untuk pencapaian target
peningkatan produksi padi satu juta ton di Provinsi Lampung. Jurnal
Litbang Pertanian 35(2): 81-88
Hermanto, R., M. Syukur, dan Widodo. 2017. Pendugaan Ragam Genetik dan
Heritabilitas Karakter Hasil dan Komponen Hasil Tomat (Lycopersicum
esculentum Mill.) di Dua Lokasi. J. Hort. Indonesia 8(1): 31-38
Jamil, A., M.J. Mejaya, R.H. Praptana, N.A. Subekti, M. Aqil, A. Musaddad,
dan F. Putri. 2016. Deskripsi Varietas Unggul Tanaman Pangan. 2010-
2016. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan
Litbang Pertanian. Kemeterian Pertanian. 151 hal.
Juliano, B.O. 1979. The Chemical Basis of Rice Grai Quality. Proceeding of
the Workshop on Chemical Aspect of Rice Grain Quality. Los Banos,
Laguna, Philippiness. 390 p.
Kohnaki, M.E., G. Kiani, and G. Nematzadeh. 2013. Relationship between
morphological traits in rice restorer lines at F3 generation using multivariate
analysis. International journal of Advanced Biological and Biomedical
Research 1(6): 572-577.

66 Lestari et al.: Keragaan, Parameter Genetik, dan Mutu Beras.....


Lasmiana, D.W. Ganefianti, dan Alnopri. 2016. Ragam genetik dan heritabilitas
peubah kualitatif dan peubah kuantitatif dua puluh genotipe cabai
(Capsicum annuum L.) Akta Agrosia 19(1): 1 - 10
Lingaiah, N., V. Venkanna and C. Cheralu. 2014. Genetic variability analysis in
rice (Oryza sativa L.). Int. J. Pure App. Biosci. 2 (5): 203-204
Liu, Q., X. Wu, B. Chen, J. Ma, and J. Gao. 2014. Effects of low light on
agronomic and physiological characteristics of rice including grain yield
and quality. Rice Science 21(5): 243-251.
Manjunatha, B., M. Krishnappa, and B.N. Kumara. 2017. Genetic variability
studies in rice (Oryza sativa L.) genotype. Trends in Biosciences 10(38):
8027-8028.
Mario, Y., J. Kimani, P. Kimani, and J.W. Muthoni. 2018. Screening upland rice
genotypes for grain yield and grain quality in Kenya. Journal of Agriculture
5(7): 1-15.
Muhidin, E. Syam’un, Kaimuddin, Y. Musa, G.R. Sadimantara, Usman, S. Leomo,
and T.C. Rakian. 2018. Shading effecton generative charactersof upland
red rice of Southeast Sulawesi, Indonesia IOP Conf. Series: Earth and
Environmental Science 157: 1-5.
Moula, G. 2009. Effect of shade on yield of rice crops. Pakistan J. Agric. Res.
22(1-2): 24-27.
Natawijaya A. 2012. Analisis genetik dan seleksi generasi awal segregan gandum
(Triticum aestivum L.) berdaya hasil tinggi. [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Neto, A.R., D.G. Castro, C.S.C. Da Silva, L.M. Tomé, P.Z. Bassinello, and
F.B.S Botelho. 2019. Selection Strategies for Grain Quality in Upland
Rice Lines. Journal of Agricultural Science 11(3): 443-452
Nur, A., Trikoesoemaningtyas, N. Khumaida, dan S Yahya. 2012. Evaluasi dan
keragaman genetik 12 galur gandum introduksi di lingkungan tropika basah.
Jurnal Agrivigor 11(2):230-243.
Oladosu, Y., M.Y. Rafii, N. Abdullah, M.A. Malek, H.A. Rahim, G. Hussin,
M.A. Latif, and I. Kareem. 2014. Genetic variability and selection criteria
in rice mutant lines as revealed by quantitative traits. The Scientific World
Journal 2014: 1-12
Petersen, R.G. 1994. Agricultural Field Experiments: Design and Analysis. Marcel
Dekker, Inc. Madison Avenue: New York, USA. 409 p.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 67


Pratap, N., P.K. Singh, R. Shekhar, S.K. Soni, and A. K. Mall. 2012. Genetic
variability, character association and diversity analyses for economic traits
in rice (Oryza sativa L.). SAARC J. Agri., 10(2): 83-94.
Puspitasari, W., S. Human, D. Wirnas, and Trikoesoemaningtyas. 2012.
Evaluating Genetic Variability of Sorghum Mutant Lines Tolerant to Acid
Soil. Atom Indonesia 38(2): 83 - 88
Sabesan, T., R. Suresh, and K. Saravanan. 2009. Genetic variability and
correlation for yield and grain quality characters of rice grown in coastal
saline low land of Tamilnadu. Electronic Journal of Plant Breeding 1: 56-
59.
Suwannaporn A., Pitiphunpong S., and Champan-gern S. 2007. Classification
of rice amylose content by discriminant analysis of physico-chemical
properties. Starch/Stärke 59: 171-177
Syukur, M., S. Sujiprihati., dan R. Yunianti. 2015. Teknik Pemuliaan Tanaman.
Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Toha H.M., K. Pirngadi, K. Permadi dan A.M.Fagi. 2009. Meningkatkan dan
memantapkan produktivitas dan produksi padi gogo. Dalam A.A. Daradjat,
A. Setyono, A.K. Makarim, dan A. Hasanudin (Eds). Padi Inovasi
Teknologi Produksi Buku 2. LIPI Press, Jakarta Hal.167-200.
Tiwari, D.N., S.R. Tripathi, M.P. Tripathi, N. Khatri, and B.R. Bastola. 2019.
Genetic Variability and Correlation Coefficients of Major Traits in Early
Maturing Rice under Rainfed Lowland Environments of Nepal. Advances
in Agriculture 2019:1-10
Tuhina-Khatun, M., M.M. Hanafi, R. Yusop, M., M.Y. Wong, F.M. Salleh, and
J. Ferdous. 2015. Genetic variation, heritability, and diversity analysis of
upland rice (Oryza Sativa l.) genotypes based on quantitative traits.
Biomed Res Int. 2015: 1-7.
Wahyunto dan R. Shofiyati. 2013. Prospek Pertanian Lahan Kering dalam
Mendukung Ketahanan Pangan. http://www.litbang.pertanian.go.id/buku/
Lahan-Kering-Ketahan/ [22 Oktober 2019].
Widyayanti, S., P. Basunanda, S. Mitrowihardjo, dan Kristamtini. 2017.
Keragaman genetik dan Heritabilitas karakter agronomi galur F4 padi
beras hitam. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 1(3): 191-199.
Xiongsiyee, V. and C. Prom-U-Thai. 2016. Variation in Grain Morphology of
Upland Rice Varieties from Luang prabang Province Lao PDR International
Journal of Environmental and Rural Development 7(2): 63-69.

68 Lestari et al.: Keragaan, Parameter Genetik, dan Mutu Beras.....


Yullianida, A. Hairmansis, A.P. Lestari, dan R. Hermanasari. 2017. Toleransi
galur-galur padi gogo generasi menengah dan lanjut terhadap cekaman
naungan artifisial. hlm 89-101. Dalam: Y. Wahyu, D. Wirnas,
Trikoesoemaningtyas, A.W. Ritonga, S. Marwiyah (eds.). Prosiding
Seminar Nasional PERIPI 2017. Bogor: Perhimpunan Ilmu Pemuliaan
Indonesia.
Zhi-juan, J., Y. Shu-dong, Z. Yu-xiang, L. Yan, Y. Chang-deng, and Q. Qian.
2016. Pyramiding blast, bacterial blight and brown planthopper resistance
genes in rice restorer lines. Journal of Integrative Agriculture 15(7): 1432–
1440

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 69


70 Lestari et al.: Keragaan, Parameter Genetik, dan Mutu Beras.....
Pemanfaatan Alat Sensor Tegangan Air dan
Konduktivitas Listrik Tanah pada Observasi dan
Seleksi Galur Tadah Hujan
Wage Ratna Rohaeni dan Untung Susanto
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Jl. Raya 9 Sukamandi, Ciasem, Subang 41256
Email: wagebbpadi@gmail.com/untungsus2011@gmail.com

ABSTRAK
Seleksi dan observasi adalah tahapan kegiatan pemuliaan untuk
memperoleh galur-galur terbaik untuk cekaman biotik dan abiotik.
Pengujian cekaman kekeringan diperlukan kepastian kondisi kering
pada skala lapang. Oleh sebab itu diperlukan aplikasi alat sensor atau
alat ukur cekaman kekeringan. Irrometer dan EM50 Decagon
merupakan alat sensor tegangan air tanah dan konduktivitas listrik
tanah yang bekaitan dengan cekaman kekeringan. Penelitian bertujuan
untuk mengetahui tegangan air tanah dan mengobservasi galur pada
set basah dan kering. Penelitian dilaksanakan pada MT1 2018 di
Kebun Percobaan Sukamandi, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi,
Subang, Jawa Barat. Sebanyak total 100 genotipe telah diujikan
(termasuk cek Ciherang, Ciherang Sub-1, Inpari 10, Inpari 38, dan
Inpari 43 GSR). Rancangan Acak Kelompok (RAK) 2 ulangan
digunakan sebagai rancangan percobaan yang tersarang pada 2
kondisi yakni set basah (optimum) dan set kering. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa alat Irrometer direkomendasikan diaplikasikan
di kedalaman 45 cm dengan target tegangan air tanah > 50 kPa.
Konduktivitas listrik mencapai -500 selama cekaman 1 bulan
berlangsung. Cekaman kekeringan mulai terjadi H+15 setelah
pemberhentian asupan air ke sawah. Cek terbaik di set kering dan
konsisten memiliki produtivitas tinggi di dua set adalah Inpari 10.
Diperoleh 7 galur yang memiliki konsistensi produktivitas tinggi baik
pada kondisi set basah maupun set kering. Galur tersbut diantaranya:
BP19980-JK-2-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-5-1, BP19980-JK-2-
IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-1-2, BP19978-JK-1-IND-2-SKI-0-
PWK-1-SKI-4-1, BP29337-2-CRB-0-SKI-0-7-PWK-1-SKI-3-3,
BP20106c-SKI-1-2-7-1-PWK-2-SKI-1-4, BP19978-JK-1-IND-2-

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 71


SKI-0-PWK-3-SKI-3-2, dan BP19980-JK-2-IND-2-SKI-0-PWK-1-
SKI-2-3.
Kata kunci: tegangan air tanah, konduktivitas listrik, tadah hujan,
observasi, seleksi.

ABSTRACT
Selection and observation are the stages of breeding activities
to obtain the best lines for biotic and abiotic stresses. Drought
stress testing requires certainty of dry conditions on a field scale.
Therefore we need the application of a damping stress sensor or
measuring device. Irrometer and EM50 Decagon are
groundwater voltage and electrical conductivity sensors that are
associated with drought stress. The research aims to determine
the groundwater stress and observe the lines in wet and dry
experiments. The study was conducted in the Wet Season of 2018
at the Sukamandi Experimental Garden, Indonesian Center for
Rice Research, Subang, West Java. A total of 100 genotypes have
been tested (including Ciherang check, Ciherang Sub-1, Inpari
10, Inpari 38, and Inpari 43 GSR). The research design used
was the Randomized Design of the 2 nested groups, namely the
wet set (optimum) and the dry set with 2 replications. The results
showed that the Irrometer is recommended to be applied at a
depth of 45 Cm with a target groundwater voltage> 50 kPa.
Electrical conductivity in drought-strained conditions reaches -
500 during a 1-month stress. Drought stress begins 15 days after
stopping the intake of water into the fields. The best check on
dry and consistently high productivity sets in two sets is Inpari
10 Layla. The test results obtained 7 lines that have high
productivity consistency in both wet and dry sets. These lines
include: BP19980-JK-2-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-5-1, BP19980-
JK-2-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI- 1-2, BP19978-JK-1-IND-2-SKI-
0-PWK-1-SKI-4-1, BP29337-2-CRB-0-SKI-0-7-PWK-1-SKI-3- 3,
BP20106c-SKI-1-2-7-1-PWK-2-SKI-1-4, BP19978-JK-1-IND-2-
SKI-0-PWK-3-SKI-3-2, and BP19980 -JK-2-IND-2-SKI-0-PWK-
1-SKI-2-3.
Keywords: electrical conductivity, groundwater voltage,
observation, rainfed, and selection.

72 Rohaeni dan Susanto: Pemanfaatan Alat Sensor.....


PENDAHULUAN
Pengembangan varietas padi tadah hujan terus dilakukan oleh Badan Litbang
Pertanian melalui Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Dalam mewujukan
Indonesia lumbung pangan dunia maka lahan tadah hujan yang hampir mencapai
luas sebanyak 4 juta ha atau sekitar 49.3% dari total sawah (Sulaiman et al.,
2017) akan menjadi salah satu tumpuan untuk peningkatkan produksi padi
nasional. Potensi tersebut harus dimaksimalkan dengan penanaman padi. Saat
ini petani sawah tadah hujan mampu membudidayakan padi paling maksimal 2
kali dalam setahun. Petani masih terkendala pada pelaksanaan budidaya pada
musim kering. Rata-rata petani tadah hujan akan memompa air setiap hari dari
sumur pada saat mengalami kekeringan (musim kemarau).
Cekaman kekeringan sangat berdampak serius bagi pertumbuhan tanaman
padi di fase generatif (Akram et al., 2013). Cekaman ini dapat menurunkan
hasil padi secara drastis (Ahadiyat et al., 2014; Maisura et al., 2014) dan juga
kualitas gabah (Tao et al., 2006). Kekurangan air akan mengganggu aktifitas
fisiologis maupun morfologis, sehingga mengakibatkan terhentinya pertumbuhan
(Siregar et al., 2017). Mekanisme ketahanan tanaman terhadap kekeringan
adalah dengan cara lolos dari kekeringan, ketahanan terhadap kekeringan dengan
pengelakan, dan toleran kekeringan (Sujinah & Jamil, 2016). Cekaman -6.7
sampai -9.9 Bar (setara dengan -60 dan -99 kPa) mampu membedakan genotipe
padi yang toleran maupun peka toleran cekaman kekeringan (Afa et al., 2013;
Widyastuti et al., 2016). Penurunan efektivitas penggunaan air pada tanaman
padi berbanding lurus dengan penurunan produksinya (Wang et al., 2014).
Interval pengeringan sawah > 3 hari dapat menurunkan hasil panen padi
(Munawaroh et al., 2016).
Pada proses perakitan varietas tadah hujan, dilakukan berbagai tahap
kegiatan pemuliaan, diantaranya: hibridisasi, seleksi, observasi, uji daya hasil
pendahuluan, uji daya hasil lanjutan, dan uji multi lokasi. Titik tumpu kegiatan
pemuliaan adalah pada saat seleksi dan observasi. Perlu dilakukan pengujian
untuk seleksi tersarang yakni untuk memperoleh galur-galur yang mampu
beradaptasi pada kondisi stress kekeringan dan memiliki produktivitas yang tetap
tinggi baik pada kondisi tercekam maupun optimum.
Pengujian cekaman kekeringan diperlukan kepastian kondisi kering pada
skala lapang. Oleh sebab itu diperlukan aplikasi alat sensor atau alat ukur cekaman
kekeringan. Irrometer adalah alat ukur tegangan air tanah (tensiometer). Nilai
dari tensiometer merupakan parameter kekuatan fisik sebenarnya menahan air
di dalam tanah. Semakin tinggi nilai tensiometer menggambarkan kondisi tanah

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 73


yang semakin kering dan membutuhkan tenaga akar untuk menyerap air tanah.
Alat ukur lainnya adalah EM50 Decagon. EM50 Decagon adalah alat sensor
yang berfungsi untuk mengukur kadar air dan konduktivitas listrik dalam tanah.
Alat ini ditanam diatas tanah dan kabel sensor dimasukan kedalam tanah.
Penelitian pengembangan sistem monitoring menggunakan Decagon EM 50
telah dilakukan oleh Chadirin et al. (2016). Konduktivitas listrik berkorelasi dengan
tingkat salinitas dalam tanah (Nasyirah et al., 2015). Alat ini akan merekam
kadar air dalam satuan mS/cm (milisiemens per sentimeter). Alat ini dapat diatur
untuk merekam setiap 1 jam sekali. Dengan aplikasi dua alat ini diharapkan
dapat memperoleh gambaran cekaman kekeringan pada saat perlakuan kering
dilapang dan pada saat setelah pemberian pengairan pasca cekaman kekeringan.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui tegangan air tanah dan mengobservasi
karakter agronomi galur pada set basah dan kering.

BAHAN DAN METODE


Waktu dan Tempat
Penelitian observasi dan seleksi tadah hujan dilaksanakan pada MT1 2018.
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Sukamandi, Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi, Subang, Jawa Barat.

Bahan Penelitian
Materi genetik yang digunakan adalah 100 galur yang ditujukan untuk lahan
tadah hujan hasil seleksi pada musim sebelumnya. Varietas cek yang digunakan
adalah cek tidak tahan kekeringan yakni Ciherang dan cek tahan kekeringan
diantaranya Situ Bagendit, Inpari 10 Laeya, dan Inpari 43 Agritan GSR. Peralatan
umum yang digunakan adalah sarpras budidaya padi. Peralatan khusus yang
digunakan adalah irrometer-tensiometer model SR untuk mengetahui data suhu
dan tingkat kekeringan yang terjadi dalam satuan kPa di dua kondisi (set kering
dan set basah).

Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan menanam 100 galur dan 5 cek di 2 kondisi lahan.
Rancangan penelitian yang diguanakan adalah rancangan acak kelompok (RAK)
2 ulangan di dua set (basah dan kering). Dua kondisi lahan percobaan yaitu set
basah dan set kering. Set basah dikondisikan tersedia air sepanjang pertanaman
padi. Set kering dikondisikan satu bulan diairi air, satu bulan dikeringkan dan

74 Rohaeni dan Susanto: Pemanfaatan Alat Sensor.....


bulan terakhir diairi kembali sampai panen. Olah tanah yang digunakan adalah
olah tanah bajak rotary yang dilakukan sebanyak dua kali. Jarak tanam 25 cm x
25 cm. Ukuran plot galur 5 baris x 20 baris. Label galur dengan menggunakan
sebilah bambu ukuran lebar 5-6 cm dan panjang 60 cm. label untuk set kering
diberi Kode K diikuti nomor lapang galur sedangkan set basah diberi kode B
diikuti nomor lapang galur.
Perekaman data kondisi kadar air dalam tanah dilakukan dengan memasang
alat Irrometer tensiometer model SR dan Decagon EM 50. Alat yang digunakan
adalah Irrometer-tensiometer model SR dan EM50 Decagon. Irrometer akan
mengukur tegangan air tanah (tensiometer) yang sebenarnya, yang menunjukkan
upaya yang dibutuhkan oleh sistem akar untuk mengekstrak air dari tanah. Karena
Irrometer adalah pengukuran potensi air tanah. Instrumen ini tidak terpengaruh
oleh salinitas dan tidak memerlukan kalibrasi lokasi. Alat lain yang digunakan
adalah EM50 Decagon. EM50 Decagon adalah alat sensor yang berfungsi untuk
mengukur kadar air dan konduktivitas listrik dalam tanah. EM 50 adalah data
logger mandiri yang dibangun untuk memberi daya, membaca, dan mencatat
data dari lima sensor. Semua sensor Decagon bekerja dengan Em50 tidak perlu
pemrograman. Em50 tidak membutuhkan enklosur atau sumber daya eksternal.
Pengaturan kondisi pengukuran dilakukan dengan menghubungkan data logger
EM 50 dengan komputer menggunakan software ECH2O utility. Interval
pencatatan/perekaman data dilakukan setiap 60 menit.
Pengukuran tekanan kekeringan menggunakan irrometer dilakukan selama
1 bulan pada fase pengeringan. Pengukuran 1 bulan fase pengeringan dilakukan
dengan menggunakan alat Irrometer dengan kedalam 30 cm dan 45 cm (Gambar
1a) untuk mengukur tegangan air tanah. EM50 Decagon untuk mengukur
konduktivitas listrik secara harian (Gambar 1b). Pengaturan kondisi pengukuran
dilakukan dengan menghubungkan data logger EM 50 dengan komputer
menggunakan software ECH2O utility. Interval pencatatan/perekaman data
dilakukan setiap 60 menit.

(A) (B)
Gambar 1. Alat pengukur tingkat kekeringan tanah (A) Irrometer-Tensiometer model SR (B)
EM50 Decagon.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 75


Pengukuran Irrometer dan EM50 Decagon hanya dilakukan di set kering.
Hal tersebut karena untuk mengetahui tegangan air tanah dan konduktivitas
listrik akibat kekeringan.

Pengamatan
Pengamatan dilakukan terhadap karakter vigor, PACP (Phenotypic
acceptability), umur berbunga 50% (hss), umur masak fisiologi (hss), dan
karakter agronomi (tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah gabah isi
per malai, jumlah gabah hampa per malai, persentase pengisian bulir (seed set),
bobot hasil per rumpun, bobot 1000 butir, bobot hasil konversi ton/ha, konduktivitas
listrik dari alat decagon EM 50 dan nilai hasil pengukuran tegangan air dalam
tanah menggunakan Irrometer..

Analisa data
Data hasil pengamatan terhadap karakter agronomi diolah dengan menggunakan
software Cropstat dan Minitab 14. Analisa data yang dilakukan yakni analisis
kurva sebaran normal, analisis varian pada masing-masing set kondisi. Uji lanjut
dilakukan dengan menggunakan LSD 5%. Data hasil pengukuran irrometer
dan EM50 Decagon dilakukan dengan menggunakan Ms. Excel.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi Umum Tingkat Kekeringan dan Curah Hujan
Curah Hujan Selama Pertanaman (Mei-September 2018)
Sepanjang periode pertanaman hanya 3 kali terjadi hujan. Hujan terjadi 2 kali
pada bulan Mei (tanggal 19 Mei intensitas 26 mm, tanggal 24 Mei intensitas 341
mm) dan 1 kali pada bulan September (3 September dengan intensitas 17 mm).
Berdasarkan hal tersebut, kondisi menunjukkan bahwa sepanjang pertanaman
mengalami musim kemarau. Sehingga pengairan pada pertanaman hanya
mengandalkan irigasi kebun. Dengan demikian pengaturan set kering dan set
basah lebih mudah (Gambar 2).

Tegangan Air Tanah


Kadar air dalam tanah merupakan faktor penting bagi tumbuhan. Tegangan air
tanah erat hubungannya dengan kadar air yang terkandung dalam tanah. Semakin
tinggi tegangan air tanah maka semakin sedikit kandungan air dalam tanah.

76 Rohaeni dan Susanto: Pemanfaatan Alat Sensor.....


Gambar 2. Curah hujan selama pertanaman Observasi (Mei-September 2018).

Semakin tinggi tegangan air artinya semakin besar tenaga yang harus dimiliki
akar untuk menyerap air dalam tanah. Oleh sebab itu indikator tegangan air
tanah merupakan indikator cekaman kekeringan.
Pada penelitian ini, cekaman kering diaplikasikan pada umur 1 bulan setelah
pindah tanam umur bibit 21 hss. Gambar 3 dan 4 menujukkan bahwa terdapat
persamaan nilai grafik pada minggu 1-3 setelah pemberhentian pasokan air ke
set kering pada kedalaman penancapan alat di 30 cm dengan kedalaman 45
cm. Namun terdapat perbedaan pola grafik nilai Irrometer pola di minggu ke 4
setelah sehari turun hujan. Minggu pertama, kedua, dan ketiga setelah
pengeringan menunjukkan grafik yang beranjak naik dengan pola hampir sama.
Akhir minggu ke-4 setelah pemberian cekaman kering, air mulai diberikan
kembali ke set kering. Pemberian air dimulai setelah cek tahan mengalami daun
menggulung permanen (tidak kembali normal membuka pada set kering).
Data irrometer pada awal minggu ke 4 setelah penyetopan pasokan air ke
set kering, menunjukkan nilai irrometer di kedalam 30 cm pada pengukuran jam
9 pagi mengalami penurunan tegangan air tanah, namun pada pengukuran jam
16.00 WIB menunjukkan tegangan air tanah yang lebih tinggi dibanding jam 9.
air irigasi mulai meresap kedalam tanah dan melembabkan permukaan tanah
sehingga pada pengukuran waktu pagi hari membuat nilai irrometer mengalami
penurunan menjadi 50 cb (centibar). Namun pada waktu pengukuran jam 16.00
WIB nilai naik menjadi 60 cb. Air irigasi langsung merembes ke bagian bawah
tanah emallui celah celah bongkahan tanah. Kondisi kadar air pada kedalaman

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 77


Gambar 3. Grafik tegangan air tanah (kPa) dengan kedalam alat irrometer 30 cm dari permukaan
tanah.

Gambar 4. Grafik tegangan air tanah (kPa) dengan keadalam alat irrometer 45 cm dari permukaan
tanah.

45 cm terdeteksi mengalami penurunan tegangan air tanah secara drastis sampai


bernilai nol. Hal tersebut mengartikan bahwa setelah turun hujan, air meresap
dan tersedia di kedalaman 45 cm.
Dengan demikian pengukuran irrometer direkomendasikan dilakukan pada
kedalam 45 cm dan pada jam 16.00 WIB. Hal tersebut untuk memastikan kondisi
terkontrol kering dengan nilai tegangan air tanah konstan dengan rata-rata > 50
cb di kedalaman 45 cm dibawah permukaan air.

78 Rohaeni dan Susanto: Pemanfaatan Alat Sensor.....


Gambar 5. Grafik konduktivitas listrik (mS/cm) dalam tanah selama cekaman kekeringan.

Konduktivitas Listrik Dalam Tanah


Nilai konduktivtas listrik yang semakin negatif mengartikan kadar air dalam
tanah semakin berkurang. Fluktuasi konduktivitas listrik sangat dipengaruhi oleh
proses hidrologi dalam tanah (Hirano et al., 2014). Konduktivitas listrik dalam
tanah masih menunjukan nilai mendekati nol yang artinya tanah masih lembab
dan mengandung unsur air. pada awal dimulai cekaman kering diaplikasikan.
Nilai konduktivitas listrik mulai turun pada hari ke 15 setelah penyetopan irigasi.
Artinya selama 15 hari awal setelah penyetopan, kondisi tanah masih lembab.
Berdasarkan data grafik EM50 Decagon maka cekaman kering dimulai 15 hari
setelah penyetopan irigasi ke dalam lahan set kering. Nilai kPa potensial tanah
apda awal pengeringan adalah -15,7 Awal aplikasi pengeringan. Pengeringan
selama sebulan mampu memberikan cekaman kering dengan nilai konduktivitas
listrik tanah sebesar -500 mS/cm(Gambar 5). Terdapat korelasi nilai konduktivitas
listrik tanah terhadap nilai pH. Semakin tinggi konduktivitas listrik maka pH
semakin tinggi (Aminina et al., 2019).

Kurva Sebaran Galur Berdasarkan Karakter Hasil dan Posisi Cek


Sebaran galur berdasarkan karakter hasil disajikan pada Gambar 6 dan 7.
Terdapat perbedaan sebaran varietas cek di set basah dan kering. Cek terbaik
di set basah dimiliki oleh Inpari 10 (3.58 ton/ha) sedangkan di set kering dimiliki

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 79


Gambar 6. Sebaran galur – galur tadah hujan dan posisi varietas cek berdasarkan karakter hasil di
set basah.

Gambar 7. Sebaran galur – galur tadah hujan dan posisi varietas berdasarkan karakter hasil di set
kering.

80 Rohaeni dan Susanto: Pemanfaatan Alat Sensor.....


Tabel 1. Galur-galur terbaik pada kondisi set basah dan set kering serta lebih baik dari salah satu cek terbaik (data agronomis set basah).

No. Genotipe Hasil TT JA Heading JM GI GH GT SS HSLRPN B1000B UP

69 BP19980-JK-2-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-5-1 4,47 106,20 14,00 68,00 15,33 117,02 57,86 174,89 0,66 46,21 26,50 106,00
65 BP19980-JK-2-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-1-2 3,81 103,40 16,10 68,00 15,50 104,76 32,95 137,71 0,76 38,00 24,91 106,00
62 BP19978-JK-1-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-4-1 3,76 103,55 14,40 65,00 12,17 162,45 28,95 191,40 0,85 39,72 25,80 106,00
35 BP29337-2-CRB-0-SKI-0-7-PWK-1-SKI-3-3 3,70 101,60 11,70 69,50 13,67 154,07 29,14 183,22 0,85 42,20 24,85 106,00
37 BP20106c-SKI-1-2-7-1-PWK-2-SKI-1-4 3,66 103,50 12,15 68,00 12,50 158,80 24,60 183,40 0,86 44,22 25,71 106,00
64 BP19978-JK-1-IND-2-SKI-0-PWK-3-SKI-3-2 3,62 101,40 13,65 66,50 15,17 93,78 18,84 112,62 0,84 36,50 27,06 106,00
67 BP19980-JK-2-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-2-3 3,62 99,90 11,75 66,50 15,00 93,36 31,43 124,79 0,75 36,68 24,88 106,00
10 0 Inpari 10 3,58 99,20 16,05 69,50 14,83 107,64 12,65 120,29 0,89 49,67 29,94 106,00

Rerata 3,05 98,57 13,13 69,26 13,88 114,95 23,15 138,10 0,84 39,72 27,63 106,00
SE (N = 2) 0,39 4,23 1,10 1,62 1,61 18,53 7,74 21,97 0,04 5,78 1,04 0,00
LSD 5% 1,10 11,88 3,08 4,53 4,52 51,98 21,72 61,64 0,12 16,21 2,91 0,00
CV (%) 18,10 6,10 11,80 3,30 16,40 22,80 47,30 22,50 7,40 20,60 5,30 0,00

Keterangan: Hasil ton/ha, TT = tinggi tanaman, JA = jumlah anakan, Heading = umur berbunga 100% (hss), JM = jumlah malai, GI = jumlah gabah isi,
GH = jumlah gabah hampa, GT = jumlah gabah total, SS = seed set atau persentase gabah isi (%), HSLRPN = hasil per rumpun,
B1000B = bobot 1000 butir, UP = umur panen (hss)

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan


81
oleh Inpari 38. Namun demikian, Inpari 10 konsisten tinggi di dua set tersebut.
Ciherang sub-1 memiliki produktivitas yang sama dengan Ciherang di set basah.
Ciherang sub-1 memiliki produktivitas paling rendah ketika ditanam di set kering
dan berbeda dengan Ciherang yang lebih adaptif di set tersebut. Hal tersebut
meyakinkan bahwa Ciherang sub-1 kurang adaptif di kondisi kekeringan dan
varietas ini dirakit untuk cekaman rendaman dengan periode tertentu.

Hasil observasi menunjukkan bahwa terdapat 7 galur terbaik dan lebih baik
dari cek terbaik (Inpari 10; 3,58 ton/ha). Tujuh galur tersebut adalah BP19980-
JK-2-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-5-1, BP19980-JK-2-IND-2-SKI-0-PWK-1-
SKI-1-2, BP19978-JK-1-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-4-1, BP29337-2-CRB-0-
SKI-0-7-PWK-1-SKI-3-3, BP20106c-SKI-1-2-7-1-PWK-2-SKI-1-4, BP19978-
JK-1-IND-2-SKI-0-PWK-3-SKI-3-2, dan BP19980-JK-2-IND-2-SKI-0-PWK-
1-SKI-2-3. Tujuh galur tersebut berproduksi paling tinggi di set basah dan mampu
tetap berproduksi lebih baik dari cek terbaik di set kekeringan. Tujuh galur tersebut
merupakan irisan galur terbaik antaran set kering dan set basah. Ketujuh galur
tersebut memiliki efektivitas penggunaan air yang cukup efisien pada saat terjadi
cekaman kekurangan air. Kedepannya diperlukan uji lanjut terhadap tujuh galur
tersebut.

KESIMPULAN
Pemanfaatan Irrometer dan Em50 Decagon telah diaplikasikan untuk mendeteksi
tegangan air tanah dan konduktivitas listrik dalam tanah. Irrometer
direkomendasikan diaplikasikan di kedalam 45 cm dengan target tegangan air
tanah > 50 kPa. Konduktivitas listrik mencapai -500 mS/cm selama cekaman 1
bulan berlangsung. Cekaman kekeringan mulai terjadi 15 setelah pemberhentian
asupan air ke sawah (H+15).
Cek terbaik di set kering dan konsisten memiliki produtivitas tinggi di dua
set adalah Inpari 10. Diperoleh 7 galur yang memiliki konsistensi produktivitas
tinggi baik pada kondisi set basah maupun set kering. Galur tersbut diantaranya:
BP19980-JK-2-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-5-1, BP19980-JK-2-IND-2-SKI-0-
PWK-1-SKI-1-2, BP19978-JK-1-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-4-1, BP29337-2-
CRB-0-SKI-0-7-PWK-1-SKI-3-3, BP20106c-SKI-1-2-7-1-PWK-2-SKI-1-4,
BP19978-JK-1-IND-2-SKI-0-PWK-3-SKI-3-2, dan BP19980-JK-2-IND-2-
SKI-0-PWK-1-SKI-2-3.

82 Rohaeni dan Susanto: Pemanfaatan Alat Sensor.....


DAFTAR PUSTAKA
Afa, L. O., Purwoko, B. S., Junaedi, A., Haridjaja, O., & Dewi, I. S. (2013).
Deteksi Dini Toleransi Padi Hibrida terhadap Kekeringan menggunakan
PEG 6000 Early Detection of Hybrid Rice Tolerance to Drought Using
PEG 6000. Jurnal Agronomi Indonesia, 41(1), 9-15.
Ahadiyat, Y. R., Hidayat, P., & Susanto, U. (2014). Drought tolerance,
phosphorus efficiency and yield characters of upland rice lines. Emirates
Journal of Food and Agriculture, 26(1), 25–34. https://doi.org/10.9755/
ejfa.v26i1.14417
Akram, H. M., Ali, A., Sattar, A., Rehman, H. S. U., & Bibi, A. (2013). Impact
of water deficit stress on various physiological and agronomic traits of
three Basmati rice (Oryza sativa L.) cultivars. Journal of Animal and
Plant Sciences, 23(5), 1415–1423.
Aminina, M., Sari, W., & Ivansyah, O. (2019). Hubungan Konduktivitas Listrik
Tanah dengan Unsur Hara NPK dan pH Pada Lahan Pertanian Gambut.
Prisma Fisika, 7(2), 55–62.
Chadirin, Y., Saptomo, S. K., Rudiyanto, ., & Osawa, K. (2016). Environmental
Biophysics and CO2 Emission in Bare Peatland for Sustainable Biomass
Production. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 21(2), 146–151. https://
doi.org/10.18343/jipi.21.2.146
Hirano, T., Kusin, K., Limin, S., & Osaki, M. (2014). Carbon dioxide emissions
through oxidative peat decomposition on a burnt tropical peatland. Global
Change Biology, 20(2), 555–565. https://doi.org/10.1111/gcb.12296
Maisura, Chozin, M. A., Lubis, I., Junaedi, A., & Ehara, H. (2014). Some
physiological character responses of rice under drought conditions in paddy
system. J. ISSAAS, 20(1), 104–114.
Munawaroh, L., Sulistyono, E., & Lubis, I. (2016). Karakter Morfologi dan
Fisiologi yang Berkaitan dengan Efisiensi Pemakaian Air pada Beberapa
Varietas Padi Gogo. Jurnal Agronomi Indonesia (Indonesian Journal of
Agronomy), 44(1), 1. https://doi.org/10.24831/jai.v44i1.12470
Nasyirah, N., Kalsim, D., & Saptomo, S. (2015). Analysis of The Rate of Saline
Soil Leaching by Using Subsurface Drainage. Jurnal Keteknikan
Pertanian, 03(2), 1–8. https://doi.org/10.19028/jtep.03.2.89-96
Siregar, S. R., Zuraida, & Zuyasna. (2017). Pengaruh kadar air kapasitas lapang
terhadap pertumbuhan bebrapa genotipe m3 kedelai. J. Floratek, 12(1),
10–20. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 83


Sujinah, & Jamil, A. (2016). Mekanisme Respon Tanaman Padi terhadap
Cekaman Kekeringan dan Varietas Toleran. Iptek Tanaman Pangan,
11(1).
Sulaiman, A. A., Simatupang, P., Las, I., Hermanto, Kariyasa, I. K., Syahyuti,
Sumaryanto, S., Suwandi, & Subagyono, K. (2017). Sukses Swasembada
Indonesia Menjadi Lumbung Pangan Dunia 2045 (T. Sudaryanto &
Hermanto (eds.); 1st ed.). Perpustakaan Sekjen Kementan. http://
repository.pertanian.go.id/handle/123456789/8623
Tao, H., Brueck, H., Dittert, K., Kreye, C., Lin, S., & Sattelmacher, B. (2006).
Growth and yield formation of rice (Oryza sativa L.) in the water-saving
ground cover rice production system (GCRPS). Field Crops Research,
95(1), 1-12. https://doi.org/10.1016/j.fcr.2005.01.019
Wang, W., Yu, Z., Zhang, W., Shao, Q., Zhang, Y., Luo, Y., Jiao, X., & Xu, J.
(2014). Responses of rice yield, irrigation water requirement and water
use efficiency to climate change in China: Historical simulation and future
projections. Agricultural Water Management, 146, 249-261. https://doi.org/
10.1016/j.agwat.2014.08.019
Widyastuti, Y., Purwoko, B. S., & Yunus, D. M. (2016). Identifikasi Toleransi
Kekeringan Tetua Padi Hibrida pada Fase Perkecambahan Menggunakan
Polietilen Glikol (PEG) 6000. Jurnal Agronomi Indonesia (Indonesian
Journal of Agronomy), 44(3), 235. https://doi.org/10.24831/jai.v44i3.13784

84 Rohaeni dan Susanto: Pemanfaatan Alat Sensor.....


Teknologi Budidaya Padi Jarwo Super dan Itik
di Lahan Sawah Pasang Surut Mendukung Pertanian
Berkelanjutan di Provinsi Riau
Rathi Frima Zona1, Rizqi Sari Anggraini1, Oni Ekalinda1 dan Nana Sutrisna2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau
Jl. Kaharuddin Nasution No 341 Km 10, Pekanbaru, Riau, Indonesia
Email: zona_riau@yahoo.com, Telp/HP/WA: 081284134382
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat
Jl. Kayuambon No 80 Lembang Jawa Barat Indonesia

ABSTRAK
Fenomena degradasi kesuburan lahan dan konversi lahan pertanian
menjadi penyebab berkurangnya luas lahan sawah irigasi di Indonesia.
Hal ini mengakibatkan penurunan produktivitas padi sawah yang
berdampak pada pemenuhan kebutuhan beras. Salah satu upaya untuk
meningkatkan produktivitas padi sawah adalah dengan melakukan
pengembangan lahan pasang surut. Pulau Sumatera memiliki lahan
pasang surut sekitar 7,1 juta ha, dan 4 juta ha berpotensi untuk
pengembangan pertanian, salah satunya di Kabupaten Indragiri Hilir,
Provinsi Riau. Saat ini, produktivitas padi sawah di Kabupaten Indragiri
Hilir sekitar 3,9 ton/ha. Rendahnya produktivitas ini disebabkan
terbatasnya informasi teknologi budidaya padi sawah di lahan pasang
surut. Tujuan dari penelitian adalah (a) untuk mengetahui produksi
padi dengan teknologi budidaya padi jarwo super di lahan sawah
pasang surut Provinsi Riau dan (b) untuk mengetahui produksi telur
itik yang dipelihara secara terintegrasi dengan padi jarwo super.
Penelitian dilakukan di Desa Kempas Jaya, Kabupaten Indragiri Hilir,
Provinsi Riau dari Januari - Desember 2018. Penelitian menggunakan
teknologi budidaya padi jarwo super yang di integrasikan dengan itik
dan teknologi budidaya padi existing (teknologi petani). Varietas padi
yang digunakan adalah Batang Piaman dan jenis itik yang digunakan
adalah Itik Dara (Pitalah). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
teknologi budidaya padi jarwo super yang di integrasikan dengan itik
memberikan hasil yang lebih baik untuk tinggi tanaman (118,4 cm),
jumlah anakan (22 rumpun), dan produksi padi (6,50 ton/ha GKP),
dibandingkan dengan teknologi budidaya padi existing. Selain itu,

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 85


teknologi budidaya padi jarwo super dan itik mampu menghasilkan
telur itik sebanyak 120 butir/hari pada puncak produksi.
Kata kunci: Sawah, lahan pasang surut, padi, itik.

ABSTRACT
Degradation of soil fertility and conversion of agricultural land
is the cause of the decrease in irrigated rice fields in Indonesia.
Developing tidal swamp area become promising effort to increase
rice productivity. Sumatra Island has a tidal land around 7.1
million ha, which 4 million ha is the potential area for
agricultural development, such as Indragiri Hilir Regency, Riau
Province. At present, the productivity of rice in Indragiri Hilir
Regency is 3.9 tons/ha. The low productivity is due to the limited
information about rice cultivation technology in tidal land. The
objectives of the study were (a) to determine the production of
rice with jarwo super rice cultivation technology in the tidal
rice field of Riau Province and (b) to determine the production
of duck eggs integrated with jarwo super rice system. This study
was conducted in Kempas Jaya Village, Indragiri Hilir Regency,
Riau Province from January to December 2018. This study was
compare jarwo super rice cultivation technology integrated with
ducks and existing rice cultivation technology (farmer practice)
using Batang Piaman rice variety and Dara (Pitalah) duck
spesies. The results showed that jarwo super rice cultivation
technology integrated with ducks gave better results for plant
height (118.4 cm), the number of tillers (22 clumps), and rice
production (6.50 tons/ha) compared to the existing rice
cultivation technology. Besides, jarwo super rice cultivation
technology integrated with ducks can produce 120 eggs/day at
the peak of the production season.
Keywords: Rice fields, tidal land, rice, ducks.

PENDAHULUAN
Indonesia memiliki sumber daya lahan yang sangat luas untuk peningkatan
produkivitas tanaman pangan, khususnya tanaman padi. Beras sebagai salah
satu sumber pangan utama penduduk Indonesia dan kebutuhannya terus
meningkat karena selain penduduk terus bertambah dengan laju peningkatan

86 Zona et al.: Teknologi Budidaya Padi Jarwo Super.....


sekitar 1,49% per tahun, juga adanya perubahan pola konsumsi penduduk dari
non beras ke beras. Disamping itu terjadinya penciutan lahan sawah irigasi
akibat konversi lahan untuk kepentingan non pertanian dan munculnya penomena
degradasi kesuburan lahan menyebabkan produktivitas padi sawah irigasi
cenderung melandai (Anonimous, 2017). Berkaitan dengan perkiraan terjadinya
penurunan produksi tersebut maka perlu diupayakan penanggulanggannya melalui
peningkatan produktivitas lahan sawah yang ada, intensitas pertanaman,
pencetakan lahan irigasi baru dan pengembangan lahan potensial lainnya
termasuk lahan marginal seperti lahan rawa pasang surut.
Lahan pasang surut mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan
menjadi lahan pertanian berbasis tanaman pangan dalam menunjang ketahanan
pangan nasional. Saat ini, Indonesia memiliki sekitar 9,3 juta lahan pasang surut
yang berpotensi untuk pengembangan tanaman pangan (Ismail et al. 1993).
Pulau Sumatera diperkirakan memiliki lahan pasang surut seluas 7,1 juta ha,
yang berpotensi untuk pengembangan pertanian adalah sekitar 4 juta ha, termasuk
lahan pasang surut di Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik Provinsi Riau (2017), produktivitas padi
di Kabupaten Indragiri Hilir adalah 3,9 ton/ha. Produktivitas ini termasuk rendah
bila dibandingkan dengan kabupaten lain. Beberapa hal yang menjadi penyebab
rendahnya produktivitas ini adalah penggunaan benih yang belum bersertifikat/
benih unggul, jenis lahan pasang surut yang dikategorikan lahan marginal,
terbatasnya pengetahuan petani tentang budidaya padi di lahan pasang surut
serta adanya serangan hama, penyakit dan gulma di pertanaman padi.
Khusus untuk pengendalian hama, penyakit dan gulma, petani di Kabupaten
Indragiri Hilir masih sangat tergantung pada penggunaan bahan-bahan kimia.
Sedangkan untuk peningkatan produksi, petani masih menggunakan pupuk
anorganik dengan dosis yang cukup tinggi dan tidak sesuai dengan rekomendasi
pemupukan di daerah tersebut.
Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk peningkatan produktivitas
padi di lahan sawah pasang surut adalah dengan menggunakan teknologi jarwo
super padi yang memiliki beberapa komponen teknologi yaitu (a) penggunaan
Varietas Unggul Baru (VUB) potensi hasil tinggi, (b) penggunaan biodekomposer
secara insitu sebelum pengolahan tanah, (c) penggunaan pupuk hayati dan
pemupukan berimbang berdasarkan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS), (d)
pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dengan pestisida nabati
dan pestisida anorganik berdasarkan ambang kendali, serta (e) penggunaan
alat mesin pertanian (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2016).

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 87


Selain itu, untuk mencapai pertanian berkelanjutan dalam penerapan
teknologi jarwo super padi di lahan sawah pasang surut serta berdasarkan
komponen teknologi pada teknologi jarwo super yang membatasi penggunaan
bahan-bahan kimia, maka teknologi budidaya padi jarwo super yang di
integrasikan dengan itik dapat menjadi salah satu alternatif teknologi budidaya
padi yang meminimalisir penggunaan bahan-bahan kimia. Hal ini sesuai dengan
pendapat Lu et al. (2005) yang menyatakan bahwa budidaya padi dan itik
merupakan salah satu teknologi ramah lingkungan yang mengurangi penggunaan
bahan-bahan kimia. Selain itu, Wang et al. (2003) juga menyatakan bahwa
budidaya padi dan itik secara bersama-sama mampu mengurangi efek dari
budidaya padi secara konvensional yang menggunakan bahan kimia dengan
dosis yang tinggi,
Beberapa keuntungan dalam budidaya padi dan itik secara bersama adalah
(a) itik dapat mengendalikan jumlah hama dan gulma di areal persawahan dengan
cara mengkonsumsinya, (b) itik juga dapat mengurangi penggunaan pestisida,
herbisida dan pupuk dengan cara menggunakan kotoran itik sebagai pupuk organik
untuk pertumbuhan tanaman padi, sehingga bisa mengurangi penggunaan pupuk
kimia, (c) itik juga dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan gerakan itik
yang berjalan di areal persawahan yang secara tidak langsung berkontribusi
terhadap pertumbuhan padi (Long et al., 2013).
Tujuan dari penelitian ini adalah (a) untuk mengetahui produksi padi dengan
teknologi budidaya padi jarwo super di lahan sawah pasang surut Provinsi Riau
dan (b) untuk mengetahui produksi telur itik yang dipelihara secara terintegrasi
dengan padi jarwo super.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini dilakukan di Desa Kempas Jaya, Kabupaten Indragiri Hilir dari
bulan Januari sampai dengan Desember 2018. Lahan sawah di Desa Kempas
Jaya termasuk kategori lahan sawah pasang surut tipe C atau pasang surut
tidak langsung, yang ditanami padi satu kali dalam setahun.
Penelitian ini membandingkan 2 (dua) teknologi budidaya tanaman padi
yaitu teknologi budidaya padi jarwo super yang diintegrasikan dengan itik,
dibandingkan dengan teknologi budidaya padi yang saat ini dilakukan oleh petani
(existing). Ulangan pada penelitian ini adalah petani sebanyak 10 orang per
masing-masing perlakuan dengan luas lahan 1 ha.

88 Zona et al.: Teknologi Budidaya Padi Jarwo Super.....


Budidaya padi menggunakan teknologi jarwo super yang meliputi: (a)
penggunaan Varietas Unggul Baru (VUB) yaitu Batang Piaman, (b) penanaman
dengan sistem Legowo 2:1, (c) penggunaan Agrimeth sebagai pupuk organik
yang diaplikasikan ke benih padi, (d) penggunaan M-Dec sebagai biodecomposer
yang diaplikasikan pada olah tanah pertama, (e) penggunaan pupuk kandang,
(f) penggunaan Urea, TSP dan KCl sesuai dengan rekomendasi PUTS, dan (f)
pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan bioprotektor.
Walaupun dikategorikan sebagai lahan rawa pasang surut tipe C, namun teknologi
yang digunakan tetap mengacu kepada teknologi jarwo super di lahan irigasi.
Hal ini karena sifat lahan rawa tipe pasang surut tipe C yang tidak diluapi oleh
air pasang, namun air pasang hanya mempengaruhi kedalaman muka air tanah
kurang dari 50 cm dari permukaan tanah, sehingga penanaman masih bisa
dilakukan sesuai dengan kondisi di lahan sawah irigasi.
Itik yang dibudidayakan adalah Itik Dara (Pitalah), itik lokal yang berasal
dari Sumatera Barat. Itik Dara (Pitalah) yang dipelihara berumur 4 bulan dan
digembalakan di areal sawah pasang surut yang sudah ditanami padi. Itik
diberikan pakan tambahan berupa konsentrat N544 dan dedak. Petani
memelihara sebanyak 136 itik yang terdiri dari 16 itik jantan dan 120 itik betina
di lahan seluas 1 ha.
Tahapan pelaksanaan kegiatan adalah (1) pembibitan, benih padi direndam
selama 24 jam, kemudian dicampur dengan Agrimeth dan kemudian disemaikan
di tempat persemaian, (2) persiapan lahan dengan cara membersihkan areal
sawah dari gulma, pohon, dan sisa-sisa tanaman, kemudian dilakukan pengolahan
tanah, (3) pemberian pupuk organik dari kotoran sapi sebanyak 2 ton/ha, (4)
penggunaan biodekomposer M-Dec sebanyak 4 kg/ha untuk pengomposan
jerami, (5) penanaman menggunakan sistem Jajar Legowo 2:1 dengan jarak
tanam 25x12,5x40 cm dan penggunaan bibit yang berumur 18 hari setelah semai,
(6) itik dilepas di sawah 15 hari setelah padi ditanam, (7) penyiangan dilakukan
secara manual dan menggunakan herbisida, (8) pemupukan berdasarkan
rekomendasi PUTS menggunakan Urea 200 Kg/ha, TSP 100 Kg/ha dan KCl
100 Kg/ha, (9) pengendalian hama dan penyakit, dan (10) panen dilakukan ketika
tanaman 90-95% matang.
Budidaya padi menggunakan teknologi yang dilakukan oleh petani (existing)
meliputi (a) penggunaan VUB yaitu Batang Piaman, (b) penanaman dengan
sistem tegel dengan jarak tanam 25x25 cm dan (c) penggunaan pupuk anorganik
berupa Urea sebanyak 300 Kg/ha, TSP 100 Kg/ha dan KCl sebanyak 100 Kg/
ha.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 89


Data yang dikumpulkan adalah tinggi tanaman (cm), jumlah anakan produktif
(rumpun), produksi (ton/ha) dan produksi telur itik (butir/hari). Pengamatan data
tinggi tanaman dilakukan 1x1 bulan dengan memilih 10 tanaman sampel per
petani. Pengamatan data jumlah anakan produktif dilakukan pada saat panen
dengan cara menghitung jumlah malai yang ada pada setiap rumpun sampel.
Sementara itu data untuk produksi padi diperoleh dengan cara menimbang hasil
panen padi setelah dirontokkan. Sedangkan untuk data produksi telur itik
dikumpulkan setiap hari, kemudian diambil rata-ratanya untuk mendapatkan
produksi telur itik per bulan. Data yang dikumpulkan dianalisa secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tinggi Tanaman (cm)
Berdasarkan hasil penelitian, tinggi tanaman pada teknologi budidaya padi jarwo
super dan itik (118,4 cm) lebih baik bila dibandingkan dengan teknologi budidaya
padi existing (teknologi petani) (117 cm). Hal ini disebabkan karena dengan
keberadaan itik di areal persawahan mampu meningkatkan kesuburan tanah
melalui gerakan itik yang berjalan di sekitar areal persawahan. Pergerakan itik
ini membuat tanah menjadi dibolak balik seperti diolah dengan menggunakan
cangkul, sehingga mampu memperbaiki struktur tanah. Dengan adanya perbaikan
struktur tanah ini, maka proses penyerapan unsur hara juga menjadi lebih optimal,
dan akhirnya berkontribusi terhadap pertumbuhan tanaman.
Tinggi tanaman dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini:

Gambar 1. Tinggi tanaman pada teknologi budidaya padi existing dan teknologi budidaya padi
jarwo super dan itik di Kabupaten Indragiri Hilir, Mei- Agustus 2018.

90 Zona et al.: Teknologi Budidaya Padi Jarwo Super.....


Jumlah Anakan Produktif (rumpun)
Berdasarkan hasil penelitian, teknologi budidaya padi jarwo super dan itik
memberikan jumlah anakan produktif lebih banyak (22 rumpun) bila dibandingkan
dengan teknologi budidaya padi existing (19 rumpun). Hal ini disebabkan karena
adanya tambahan nutrisi bagi pertumbuhan tanaman padi yang berasal dari
kotoran itik yang berada di areal persawahan. Kotoran itik menjadi salah satu
alternative pupuk organik tambahan yang secara tidak langsung menyediakan
nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman sehingga berkontribusi terhadap
pertumbuhan tanaman padi menjadi lebih baik.
Jumlah anakan produktif dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini:

Gambar 2. Jumlah anakan produktif pada teknologi budidaya padi existing dan teknologi budidaya
padi jarwo super dan itik di Kabupaten Indragiri Hilir, Mei- Agustus 2018.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 91


Produksi Padi (ton/ha)
Berdasarkan hasil penelitian, teknologi budidaya padi jarwo super dan itik di
lahan sawah pasang surut memberikan produksi padi yang lebih baik (6.50 ton/
ha GKP) bila dibandingkan dengan teknologi budidaya padi existing (5.20 ton/
ha GKP). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mofidian dan Sadeghi (2015)
yang menyatakan bahwa keberadaan itik di lahan sawah mampu meningkatkan
produksi padi sekitar 10%. Peningkatan produksi padi ini karena adanya kontribusi
kotoran itik sebagai salah satu sumber pupuk tambahan untuk pertumbuhan
padi, yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kesuburan tanah dan
ketersediaan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman. Selain itu, hal ini juga
disebabkan karena berkurangnya jumlah hama dan gulma pada areal pertanaman
karena dikonsumsi oleh itik.

Gambar 3. Produksi padi teknologi budidaya padi existing dan teknologi budidaya padi jarwo
super dan itik di Kabupaten Indragiri Hilir, Mei- Agustus 2018.

92 Zona et al.: Teknologi Budidaya Padi Jarwo Super.....


Produksi Telur Itik (butir/hari)
Berdasarkan Gambar 4 di atas, produksi telur itik menunjukkan tren terus
meningkat dari bulan pertama produksi sampai bulan ke enam. Hal ini sesuai
dengan informasi yang disampaikan oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan Provinsi Sumatera Barat (2017) yang menyatakan bahwa Itik Dara
(Pitalah) mulai bertelur pada umur 6 bulan, dan akan mencapai puncak produksi
pada umur 10-12 bulan. Itik Dara (Pitalah) yang dipelihara pada penelitian ini
dilepas ke areal persawahan pada Bulan Mei 2018 pada umur 4 bulan, dan
pada Bulan Juli 2018 atau pada umur 6 bulan, itik sudah mulai menghasilkan
telur. Idealnya, Itik Dara (Pitalah) mampu menghasilkan telur sebanyak 180
butir secara intensif tergantung kepada nutrisi yang diberikan.

Gambar 4. Produksi telur itik pada teknologi budidaya padi jarwo super dan itik di Kabupaten
Indragiri Hilir, Mei- Desember 2018.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 93


KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa teknologi budidaya padi
jarwo super yang di integrasikan dengan itik memberikan produksi padi lebih
baik bila dibandingkan dengan teknologi budidaya padi existing (teknologi petani)
yaitu 6.50 ton/ha GKP, dan produksi telur itik yang di integrasikan dengan padi
jarwo super mencapai 120 butir per hari pada puncak produksi.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2017. Kondisi dan Potensi Lahan Rawa di Indonesia. [7 Oktober
2019]
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2016. Petunjuk Teknis Budidaya
Padi Jajar Legowo Super. Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Jakarat. 44 hal
Badan Pusat Statistik. 2017. Provinsi Riau dalam Angka.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Barat. 2017. Itik
Pitalah: http://www.sumbarprov.go.id/details/category/197. [9Oktober
2019].
Ismail, I.G., Trip A., IPG Widjaja Adhi, Suwarno, Tati Herawati, Ridwan T. dan
DE. Sianturi. 1993. Sewindu penelitian pertanian di lahan rawa: Kontribusi
dan prospek pengembangan. Proyek Penelitian Pertanian Lahan Pasang
Surut dan Rawa-SWAMPS II. Badan Litbang Pertanian.
Long, P., Huang, H., Liao, X., Fu, Z., Zheng,H., Chen, A. and Chen, C. 2013.
Mechanism and capacities of reducing ecological cost through rice-duck
cultivation. Journal of the Science of Food and Agriculture, 93:2881-2891.
Lu, J. X., Zhang, J. E. and Huang, Z.X. 2005. Anauxiliary control method of
rice-duck farming system leafroller:the rope scraping of rice tail. China
Rice, 3: 39-46.
Mofidian, Saleh and Sadeghi, Sayyed Mostafa. 2015. Evaluation of Integrated
Farming of Rice and Duck on Rice Grain Yiled in Gilan, Iran. Acta
Universitatis Agricultutre et Silviculturae Mendelianae Brunensis, 63(4):
1161-1168.
Wang, H., Hunag, H., Yang, Z., H. and Liao, X. L. 2003. Integrated benefits of
rice-duck complex ecosystem. Rural Ecosystem and Environment, 19:
23-26.

94 Zona et al.: Teknologi Budidaya Padi Jarwo Super.....


Penggunaan Pupuk Cair Organik Mikro untuk
Peningkatan Produktivitas VUB Padi
di Nusa Tenggara Barat
Hiryana Windiyani dan Sabar Untung
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat
Jl. Raya Peninjauan Narmada, Lombok Barat
HP. 087865177969; Email: hir.yana@yahoo.co.id

ABSTRAK
Percobaan dilaksanakan di lahan sawah irigasi milik petani di Desa
Dasan Geria seluas 1 Ha, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok
Barat pada bulan Juni sampai Oktober 2018. Peningkatan produktivitas
padi dapat diupayakan melalui perbaikan teknologi budidaya dengan
penggunaan varietas unggul baru (VUB) dan pupuk yang tepat seperti
pupuk cair organik mikro (PCOM). Percobaan bertujuan untuk
mengetahui pengaruh penggunaan PCOM pada berbagai varietas unggul
baru (VUB) padi sawah di Nusa Tenggara Barat. Pengkajian
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 6 percobaan,
yaitu: A (Inpari 33 + tanpa PCOM); B (Inpari 33 + PCOM); C (Inpari
42 + tanpa PCOM); D (Inpari 42 + PCOM); E (Inpari 43 + tanpa
PCOM); F (Inpari 43 + PCOM). Masing – masing percobaan diulang
sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 18 percobaan. Data hasil pengamatan
dianalisa secara statistik dengan analisa ragam (ANOVA). Jika terdapat
beda nyata dilanjutkan dengan uji BNJ 5%. Rerata tinggi tanaman padi
varietas Inpari 33 (95,87 cm), Inpari 42 Agritan GSR (94,22 cm) dan
Inpari 43 Agritan GSR (93,07). Karakter tinggi tanaman terkait dengan
sifat ketahanan tanaman terhadap kekokohan batang tanaman dan
potensi tanaman untuk tidak mudah rebah atau tahan rebah. Hasil analisa
ragam terhadap parameter hasil (t/ha) tanaman menunjukkan bahwa
penggunaan varietas unggul baru padi dan pupuk cair organik mikro
memberikan hasil terbaik pada percobaan Inpari 42+PCOM (D) 9,62
t/ha diikuti Inpari 43 + PCOM (F) sebesar 9,34 t/ha dan Inpari
33+PCOM (B) sebesar 8,71 t/ha, sedangkan penggunaan varietas tanpa
pemberian PCOM produktivitas padi dari terendah ke tertinggi yaitu
Inpari 33 (A) sebesar 7,55 t/ha, Inpari 43 (E) sebesar 8,22 t/ha dan
diikuti Inpari 42 (C) sebesar 8,65 t/ha.
Kata kunci: VUB, pupuk cair, produktivitas.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 95


ABSTRACT
The experiment was conducted at farmers’ fields in Dasan Geria
Village, Narmada District, West Lombok Regency of West Nusa
Tenggara Province from June to October 2018. Increasing rice
of productivity is pursued through cultivation technology with
the use of new improved varieties and appropriate fertilizers such
as micro organic liquid fertilizers (MOLF).This study aimed to
determine the use of micro organic liquid fertilizers in increasing
productivity of some new improved varieties of rice. The study
used a Randomized Completely Block Design (RCBD) with 6
treatments, namely: A (Inpari 33+without MOLF); B (Inpari
33+MOLF); C (Inpari 42+without MOLF); D (Inpari
42+MOLF); E (Inpari 43+without MOLF); F (Inpari
43+MOLF). Each treatment was repeated 3 times therefore there
were 18 plots in total. Data were collected and analyzed
statistically by Analysis of Varian (ANOVA) followed by a HSD
of 5%. The average height of the plant of B (Inpari 33+MOLF)
95.87 cm, D (Inpari 42+MOLF) 94.20 cm and F (Inpari
43+MOLF) 93.07 cm. Plant height characters of plant height is
related to resistant to the plant stem robustness and its potential
to avoid collapseness or lodging resistance. The yield parameters
with the application of MOLF showed that new improved varieties
of rice gained. The best results of 9.62 t/ha for Inpari
42+MOLF(D),followed by Inpari 43+MOLF (F) 9.34 t/ha and
Inpari 33+MOLF (B) 8.71 t/ha. Whilst rice productivity without
application of MOLF was 7.55 t/ha for Inpari 33 (A),followed
by 8.22 t/ha and 8.65 t/ha for Inpari 43 (E) and Inpari 42 (C)
respectively.
Keywords: New improved varieties, organic fertilizer, productivity.

PENDAHULUAN
Padi merupakan komoditas pangan strategis masyarakat Indonesia. Sejalan
dengan pertumbuhan jumlah penduduk permintaan terhadap komoditas ini terus
meningkat. Konsumsi beras nasional tahun 2017 mencapai 30,01 juta ton dengan
jumlah produksi padi nasional pada tahun yang sama sebesar 81.148.594 ton
GKG. (BPS 2018). Untuk mewujudkan swasembada beras berkelanjutan
pemerintah tetap melakukan program peningkatan produktitas padi. Kontribusi
NTB dalam mendukung program swsembada pangan nasional tahun 2018

96 Windiyani dan Untung: Penggunaan Pupuk Cair Organik Mikro.....


sebesar 2.491.949 ton GKG pada ARAM II, meningkat 7,2% dari tahun 2017
(Distanbun prov NTB 2018).
Salah satu kendala dalam upaya melakukan peningkatan produksi padi di
NTB sampai saat ini adalah penggunaan varietas unggul baru potensi hasil tinggi
masih rendah. Dominasi penggunaan varietas potensi tinggi (VPT) baru mencapai
51,88% pada tahun 2016 dan pada tahun 2017 terjadi peningkatan penggunaan
VUB padi di NTB menjadi 55,6% (BPSB prov NTB 2018). Benih merupakan
input utama dalam produksi pertanian. Penggunaan benih bermutu dari varietas
unggul baru akan menghasilkan tanaman yang produktif dan lebih efisien.
Nirhono (2009) menyatakan bahwa 60% tingkat keberhasilan usahatani
ditentukan oleh penggunaan benih yang bermutu. Kebutuhan benih bersertifikat
semakin meningkat sejalan dengan kesadaran masyarakat untuk menggunakan
benih bermutu, namun ketersediaan benih bermutu masih terbatas.
Orientasi pembangunan tanaman pangan pada dasarnya adalah peningkatan
produksidan peningkatan pendapatan. Untuk itu faktor optimalisasi, efisiensi
usaha, peningkatan produktivitas, peningkatan kapasitas usaha serta peningkatan
nilai tambah dan daya saing. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, maka benih
merupakan faktor yang sangat menentukan terhadap keberhasilan program
tersebut. Khusus menyangkut ketersediaan benih yang berkesinambungan,
kualitas benih yang selalu dipertahankan oleh institusi/lembaga pemerintah dan
non pemerintah terhadap indutri perbenihan (Distabun prov NTB 2018)
Selain itu, penggunaan pupuk an organik secara berlebih oleh petani terus
meningkat, tanpa mempertimbangkan berdampak buruk terhadap produktivitas
lahan pertanian. Hal ini mendorong untuk kembali menggunakan bahan organik
sebagai pupuk. Penggunaan pupuk organik dinyatakan mampu menjaga
keseimbangan lahan dan meningkatkan produktivitas lahan serta mengurangi
dampak negatif terhadap lingkungan. Hasil dekomposisi bahan organik oleh
mikroba dinyatakan sebagai pupuk organik yang mampu menyediakan unsur
hara bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Berdasarkan jenisnya pupuk
organik digolongkan menjadi dua yaitu pupuk organik cair dan pupuk organik
padat (granule atau curah). Pupuk Cair Organik Mikro (PCOM) Micro Magic
(MM) Agro atau yang lebih dikenal dengan pupuk MM merupakan salah satu
pupuk cair yang berbahan baku organic yang diproduksi PT. MM Agro Buana
yang telah lulus uji mutu dan efekifitas dengan izin Kementerian Pertanian: Lab
ID no.SBL/1020/01689/03/2016.
Pupuk cair organik mikro MM Agro mengandung 7,46% C-Organik,
5,36%P2O5, 4,77% K2O, dengan pH 5,70. Pupuk ini juga mengandung unsur

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 97


mikro atau logam berat dalam batas yang tidak membahayakan seperti Mn
1395%, Cd 0 ppm, Hg 0,01 ppm, B 1020 ppm, Fe 176 ppm, Zn 832 ppm, Co 12
ppm, Cu 1181 ppm, Pb 5,30 ppm dan As 0,02 ppm. Berdasarkan Permentan
No.02/2006, pupuk organik dikatakan mempunyai efektivitas yang baik apabila
dibandingkan pupuk standar dapat meningkatkan pertumbuhana dan hasil
tanaman, atau mengefisienkan penggunaan pupuk anorganik atau memperbaiki
kesuburan tanah. PCOM MM termasuk salah satu pupuk cair organik yang
memiliki keunggulan penggunaan, yaitu: 1. Tidak mencemari lingkungan, 2.
Mempercepat pertumbuhan tanaman dan meningkatkan hasil panen, 3.
Meningkatkan ketahanan terhadap penyakit dan memulihkan tanaman yang
terserang hama penyakit, 4. Mengurangi penggunaan Pupuk NPK hingga 50%,
dan 5. Meningkatkan pH dan menyehatkan/memperbaiki struktur tanah.
Hasil penelitian Supartha et al., 2012 menunjukkan bahwa penggunaan
pupuk organik pada tanaman padi memiliki signifikansi terhadap panjang malai
maksimum, berat bobot 100 butir gabah serta hasil gabah kering panen. Hal
senada juga dinyatakan Masluki et al., 2016 bahwa pemberian pupuk organik
cair memiliki bobot 1000 butir biji yang lebih berat dengan sistem penanaman
legowo.
Hasil pengkajian BPTP Kalimantan tengah dengan menggunakan teknologi
jarwo super 2:1 dan pupuk MM pada pertanaman padi di Kecamatan Kota
Besi, Kabupaten Kotawaringin Timur, memberikan hasil yang cukup tinggi.
Penanaman pada lahan pasang surut tipe B dengan pH tanah 4,2-5,3
menghasilkan 6,5 ton GKG/ha varietas Inpari 9, Inpari 42 9,9 ton GKG/ha, dan
Inpari 43 8,6 ton GKG/ha. Angka ini naik 51,2-73,7% dari produksi padi tanpa
pupuk MM. Hal ini karena jumlah anakan produktif, jumlah gabah per malai
lebih banyak dengan malai padi lebih panjang dengan bulir padi bernas. Produksi
padi varietas Inpari 9, Inpari 42, dan Inpari 43 tanpa pupuk MM hanya sebesar
4,3 ton GKG/ha, 5,7 ton GKG/ha, dan 5,4 ton GKG/ha. Hal ini juga didukung
oleh hasil penelitian Sawitril dan Sukristiyonubowo (2009), menunjukkan bahwa
pemberian pupuk organik cair, secara nyata menurunkan jumlah gabah hampa
per malai dan terkecil dibanding percobaan lainnya.
Upaya peningkatan produktivitas tanaman salah satunya dapat diupayakan
melalui perbaikan teknologi budidaya seperti penggunaan varietas unggul baru
(VUB) dan penggunaan pupuk yang tepat seperti pupuk cair organik mikro
(PCOM). Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan
pupuk cair organik mikro terhadap peningkatan produktivitas varietas unggul
baru (VUB) padi di Nusa Tenggara Barat.

98 Windiyani dan Untung: Penggunaan Pupuk Cair Organik Mikro.....


BAHAN DAN METODE
Pengkajian dilaksanakan pada lahan sawah milik petani di desa Dasan Geria
kecamatan Lingsar kabupaten Lombok Barat pada bulan Juli hingga Oktober
2018 atau musim tanam MK II dengan menggunakan Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan 6 percobaan, yaitu:
A (Inpari 33 + tanpa PCOM)
B (Inpari 33 + PCOM)
C (Inpari 42 + tanpa PCOM)
D (Inpari 42 + PCOM)
E (Inpari 43 + tanpa PCOM)
F (Inpari 43 + PCOM)
Masing-masing percobaan diulang sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 18
percobaan. Data hasil pengamatan dianalisa secara statistik dengan analisa
ragam (ANOVA). Jika percobaan berpengaruh nyata atau sangat nyata
dilanjutkan dengan uji BNJ 5%.
Bahan yang digunakan dalam pengkajian ini yaitu: benih VUB padi Inpari
33, Inpari 42 dan Inpari 43, pupuk Urea, NPK Phonska dan pupuk cair organik
mikro (PCOM) dengan merk dagang MM Agro. Aplikasi PCOM dilakukan
dengan cara mencampurkan 1 liter pupuk MM Agro dengan 1000 liter air
kemudian disemprotkan ke tanaman. Penyemprotan yang efektif dilakukan pada
saat pagi hari jam 7 pagi sampai dengan jam 10 pagi pada bagian bawah daun.
Alat yang digunakan dalam pengkajian ini yaitu penggaris atau meteran, neraca
digital, alat tulis, alat dokumentasi dan alat penyemprotan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pupuk cair organik mikro (PCOM) merupakan pupuk cair yang berbahan baku
organik sebagai pendamping an organik. Pupuk cair organik bersifat bukan
kimiawi sehingga aman dan ramah lingkungan, selain itu dapat berperan sebagai
zat pengatur tumbuh bagi tanaman serta memperbaiki tingkat pH (keasaman)
tanah.
Hasil analisa ragam penggunaan varietas dan pupuk cair organik terhadap
parameter pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman pada umur 15, 30, 50, 65, 80
dan 95 Hari Setelah Tanam (HST) disajikan pada Tabel 1.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 99


Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman (cm) pada umur 15, 30, 50, 65, 80 dan 95 hari setelah tanam
(HST).

Rata-rata tinggi tanaman (cm)


Percobaan
15 HST 30 HST 50 HST 65 HST 80 HST 95 HST

A (Inp 33+tanpa PCOM) 32,80 a 43,13 a 75,00 a 87,87 a 97,87 b 94,47 a


B (Inp 33+PCOM) 34,20 a 43,07 a 76,67 a 90,47 a 98,13 b 95,87 a
C (Inp 42+tanpa PCOM) 33,00 a 42,73 a 87,27 b 95,20 a 97,60 b 97,60 a
D (Inp 42+PCOM) 33,53 a 43,27 a 84,97 ab 99,27 a 94,20 ab 94,20 a
E (Inp 43+tanpaPCOM) 32,93 a 42,20 a 75,00 a 88,20 a 90,93 a 92,20 a
F (Inp 43+PCOM) 32,13 a 42,73 a 76,00 a 89,47 a 95,87 ab 93,07 a

Rata-rata 33,10 42,86 79,15 91,71 95,77 94,57

Hasil analisa ragam rata-rata tinggi tanaman 50 HST dan 80 HST


menunjukkan perbedaan yang signifikan pada beberapa percobaan penggunaan
varietas dan PCOM. Rata-rata tinggi tanaman pada umur 50 HST menunjukkan
perbedaan nyata pada percobaan tanpa PCOM antara Inpari 42 (C) dengan
percobaan Inpari 33 (A,B) dan Inpari 43 (E,F), namun percobaan C tidak berbeda
nyata dengan percobaan D (Inpari 42 + PCOM). Percobaan A hanya
menunjukkan perbedaan nyata dengan percobaan C, namun dengan percobaan
lainnya tidak menunjukkan perbedaan. Demikian pula B, E dan F hanya berbeda
nyata dengan percobaan C.
Hasil analisa ragam rata-rata tinggi tanaman pada umur 80 HST
menunjukkan percobaan A menunjukkan perbedaan nyata dengan percobaan
E, namun tidak berbeda nyata dengan percobaan B, C, D dan F. Pola yang
sama ditunjukkan oleh percobaan B dan C. Percobaan E (Inpari 43 + tanpa
PCOM) menunjukkan perbedaan nyata terhadap percobaan A, B dan C, namun
tidak berbeda nyata dengan percobaan D dan F.
Hasil analisa ragam rata-rata tinggi tanaman pada umur 95 HST tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata pada setiap percobaan, karena telah
memasuki fase pertumbuhan generatif, sehingga pertumbuhan tanaman lebih
utama pada pembentukan malai dan pengisian bulir. Rata-rata tinggi tanaman
padi pada percobaan B 95,87 cm (Inpari 33 + PCOM), D 94,20 cm (Inpari 42 +
PCOM) dan F 93,07 cm (Inpari 43 + PCOM). Karakter tinggi tanaman terkait
dengan sifat ketahanan tanaman terhadap kekokohan batang tanaman dan
potensi tanaman untuk tidak mudah rebah atau tahan rebah.

100 Windiyani dan Untung: Penggunaan Pupuk Cair Organik Mikro.....


Hasil analisa ragam terhadap parameter hasil (t/ha) tanaman menunjukkan
bahwa penggunaan varietas unggul baru padi dan pupuk cair organik mikro
tidak menunjukkan perbedaan nyata. Hasil terbaik ditunjukkan pada percobaan
D (Inpari 42 + PCOM) 9,62 t/ha diikuti percobaan F (Inpari 43 + PCOM)
sebesar 9,34 t/ha dan percobaan B (Inpari 33 + PCOM) sebesar 8,71 t/ha,
sedangkan hasil pengunaan varietas tanpa pemberian PCOM dari terendah ke
tertinggi ditunjukkan percobaan A (Inpari 33 + tanpa PCOM) sebesar 7,55 t/ha,
percobaan E (Inpari 43 + tanpa PCOM) sebesar 8,22 t/ha dan percobaan C
(Inpari 42 + PCOM) sebesar 8,65 t/ha.
Produktivitas padi pada setiap percobaan tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan. Penggunaan varietas Inpari 42 dan PCOM memberikan hasil
maksimal sebesar 9,62 t/ha. Data ini menunjukkan penggunaan PCOM
memberikan hasil 1 ton/ha lebih tinggi dari tanpa penggunaan PCOM (8.65 t/
ha). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Supartha et al., 2012 menunjukkan
bahwa penggunaan pupuk organik pada tanaman padi memiliki signifikansi
terhadap panjang malai maksimum, berat bobot 100 butir gabah serta hasil gabah
kering panen. Hal senada juga dinyatakan Masluki et al., 2016 bahwa pemberian
pupuk cair organik memiliki bobot 1000 butir biji yang lebih berat dengan sistem
penanaman legowo. Peningkatan produktivitas padi dengan pemberian PCOM
berkisar antara 10-13% dibandingkan varietas padi yang tidak diberikan PCOM.
Berdasarkan deskripsi varietas padi diketahui bahwa potensi hasil padi Inpari
33 sebesar 9,8 t/ha, Inpari 42 sebesar 10,58 t/ha dan Inpari 43 sebesar 9,02 t/ha
(Kementerian Pertanian, 2018).

Gambar 1. Produktivitas (t/ha) varietas unggul baru padi pada percobaan pemberian PCOM.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 101


KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa ragam pada percobaan penggunaan varietas dan
PCOM dapat disimpulkan bahwa parameter hasil (t/ha) tanaman tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan. Penggunaan varietas dan. PCOM
memberikan hasil terbaik yaitu 9,62 t/ha Inpari 42 + PCOM (D) diikuti Inpari 43
+ PCOM (F) 9,34 t/ha dan Inpari 33 + PCOM (B) sebesar 8,71 t/ha, sedangkan
produktivitas padi pada penggunaan varietas tanpa pemberian PCOM dari
terendah ke tertinggi yaitu Inpari 33 + tanpa PCOM (A) sebesar 7,55 t/ha,
Inpari 43 + tanpa PCOM (E) sebesar 8,22 t/ha dan diikuti Inpari 42 + tanpa
PCOM (C) sebesar 8,65 t/ha.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Mujiono yang telah
membantu pelaksanaan kegiatan dan kerjasama yang baik dari anggota kelompok
tani Bareng Paran di Desa Dasan Geria Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok
Barat, Nusa Tenggara Barat.

DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Pertanian, 2018. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Manullang G.S., A. Rahmi, P. Astuti. 2014. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi
POC terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi (Brassica juncea
L.) Varietas Tosakan. Jurnal Agrifor XIII(1): 33-40. ISSN: 1412-6885.
Marpaung A.E. 2017. Pemanfaatan Jenis dan Dosis Pupuk Organik Cair (POC)
untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Hasil Sayuran Kubis. Jurnal
Agroteknosains 1(2): 117-123. P-ISSN: 2598-6228. E-ISSN: 2598-0092.
Masluki, M. Naim, Mutmainnah. 2016. Pemanfaatan Pupuk Organik Cair (POC)
pada lahan Sawah Melalui Sistem Mina Padi. Prosiding Seminar Nasional.
ISSN: 2443-1109. Vo(1):1. hlm 866-896.
Nainggolan I. M., G. Wijana, I.G.N. Santosa. 2017. Pengaruh Jumlah Bibit dan
Pupuk Organik terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi (Oryza
Sativa L.) E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika. 6(3). ISSN: 2301-6515.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT.

102 Windiyani dan Untung: Penggunaan Pupuk Cair Organik Mikro.....


Nur T., A.R. Noor, M.Elma. 2016. Pembuatan Pupuk Organik Cair dari Sampah
Organik Rumah Tangga dengan Penambahan Bioaktivator EM4
(Effective Microorganism). Konversi 5(2): 5-12.
Nurhasanah dan H. Heryadi. 2013. Pemanfaatan Sereh (Cymbopogon
cytratus) dalam Menurunkan Bau pada Pupuk Organik Cair dan
Potensinya dalam Meningkatkan Produksi Tanaman Cabai (Capsicum
annum). Jurnal Matematika, Sains dan Teknologi 14(1): 37-47.
Parman S. 2007. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Cair terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Kentang (Solanum tuberosum L.). Buletin
Anatomi dan Fisiologi XV(2): 21-31.
Sasmito A.T dan Sularno. 2017. Efektifitas Konsentrasi Pupuk Cair Hayati
Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah Oryza Sativa L.
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Pertanian. UMJ. Jurnal.umj.ac.id?
index.php/semnastan.
Sawitril H.M.R. dan Sukristiyonubowo. 2009. Pengaruh Pupuk Organik Cair
MM-17 Terhadap Sifat Kimia Tanah, Pertumbuhan, dan Hasil Padi (Oryza
sativa L.,) Varietas Ciherang. https://balittanah.litbang.pertanian.go.id.
dokumentasi.prosiding 2009pdf.23-II-2009-Suwatril.pdf.
Supartha I.N.Y., G. Wijana, G. M. Adnyana. 2012. Aplikasi Jenis Pupuk Organik
pada Tanaman Padi Sistem Pertanian Organik. E-Jurnal Agroekoteknologi
Tropika. 1(2). ISSN: 2301-6515. http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT.
Syafri R. Chairil. D. Simamora. 2017. Analisa Unsur Hara Makro Pupuk Organik
Cair (POC) dari Limbah Industri Keripik Nenas dan Nangka Desa Kualu
dengan Penambahan Urine Sapid an EM4. Jurnal Photon 8(1): 99-104.
FMIPA UMRI.
Yasin, S.M. 2016. Respon Pertumbuhan Padi (Oryza Sativa L.) pada Berbagai
Konsentrasi Pupuk Organik Cair Daun Gamal. Jurnal Galung Tropika
5(1): 20-27. ISSN Online 2407-6279. ISSN Cetak 2302-4178.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 103


104 Windiyani dan Untung: Penggunaan Pupuk Cair Organik Mikro.....
Pengaruh Pengembalian Air Lindi dan Penambahan
Jerami Padi pada Sampah Kota Organik dengan
Sistem Pengomposan Windrow
Anindita Farhani*, AA Asmara, N W Yuwono, Suci Handayani
Departemen Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
Jalan Flora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Telp/Faks (0274) 548814
Email: sekdep-tanah.faperta@ugm.ac.id, aninditahani@gmail.com

ABSTRAK
Sampah kota organik dan jerami di Indonesia belum dimanfaatkan secara
optimal meskipun sampah kota organik dan jerami di Indonesia
jumlahnya melimpah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
pengembalian air lindi dan komposisi penambahan jerami terhadap
pengomposan sampah kota organik sistem windrow. Rancangan
percobaan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan faktor perlakuan yaitu pengembalian air lindi
dan komposisi penambahan jerami antara lain kontrol, sampah kota
organik:jerami padi (1:1), sampah kota organik:jerami padi (2:1), sampah
kota organik:jerami padi (3:1), masing-masing dengan tiga ulangan.
Parameter pengamatan meliputi suhu, kelembaban, pH, DHL, warna,
bau, air lindi, kenampakan fisik, kadar air, penyusutan berat selama
proses pengomposan, nisbah C/N, potensial redoks (ORP), dan
kandungan hara (N, P, K). Hasil penelitian menujukkan pengaruh
pengembalian air lindi dan komposisi penambahan jerami berpengaruh
nyata sampai sangat nyata terhadap kadar air kompos, penyusutan
berat akhir kompos, nisbah C/N kompos, kadar C-organik dalam kompos,
berat C-organik dalam kompos, kadar nitrogen total kompos, berat
nitrogen dalam kompos, berat fosfor dalam kompos, berat kalium dalam
kompos, pH air lindi, kadar fosfor air lindi kompos, dan kadar kalium air
lindi kompos. Kondisi paling ideal pengomposan sistem windrow yaitu
pengembalian air lindi dan komposisi penambahan jerami antara sampah
organik berbanding jerami yaitu 1:1. Hal tersebut dibuktikan dengan
penyusutan berat akhir kompos, kadar kalium kompos, kadar nitrogen
air lindi kompos, dan kadar fosfor air lindi kompos yang paling optimal.
Pada akhir proses pengomposan diperoleh nisbah C/N antara 15-19
dibandingan dengan kontrol dengan nisbah C/N yaitu 22,40.
Kata kunci: Sistem windrow, sampah kota organik, jerami, air lindi,
pengomposan.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 105


ABSTRACT
Organic city waste and straw in Indonesia have not been used
optimally even though organic city waste and straw in Indonesia is
abundant. This research is aimed to determine the effect of reusing
leachate and added composition of straw towards organic city waste
composting using windrow system. The used experimental design
was a completely randomized design (CRD), with treatment factors
were reusing leachate and added composition of straw namely
control, organic city waste:paddy straw (1:1), organic city
waste:paddy straw (2:1), and organic city waste:paddy straw (3:1)
repeated three times. Observed parameter were temperature, relative
humidity, pH, electrical conductivity, color, smell, leachate, physical
performance, water content, mass reduction during the composting
process, C/N value, oxidation-reduction potential, nutrients (N, P,
K). The result showed that the effect of reusing leachate and added
composition of straw gave the significant effect on water content,
final mass compost reduction, carbon content, nitrogen content, C/
N value, organic carbon mass in compost, nitrogen mass in compost,
phosphor mass in compost, potassium mass in compost, pH of the
leachet, nitrogen content of the leachet, and phosphorus content of
the leachet. The ideal condition for windrow composting system
was reusing leachate with added composition of straw was 1:1. It
was proven by final mass compost reduction, potassium content,
nitrogen content of the leachet, and phosphorus content of the
leachet in the most optimal condition. In the end of the composting
process, obtained C/N value between 15-19 compare to the control
treatment which the C/N value was 22,40.
Keywords: Windrow method, organic city waste, paddy straw,
leachet, composting.

PENDAHULUAN
Seiring bertambahnya penduduk maka kegiatan masyarakat meningkat sehingga
mengakibatkan semakin bertambahnya volume sampah. Sampah menjadi
masalah hampir di semua negara. Volume sampah setiap tahunnya akan semakin
meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di suatu negara.
Peningkatan jumlah penduduk dan perubahan gaya hidup masyarakat akan sangat
mempengaruhi volume sampah setiap harinya. Di Indonesia, contohnya yaitu
Provinsi DKI Jakarta dalam satu hari dapat menghasilkan sampah sebesar 5.800-

106 Farhani et al.: Pengaruh Pengembalian Air Lindi.....


6.000 ton sampah. Sedangkan di D.I.Yogyakarta, menurut (Surono, 2013) volume
sampah tahun 2010 mencapai 300 ton per hari, sekarang menjadi 450 ton per
hari yang berarti terjadi kenaikan sebanyak 150 ton per hari. Untuk tahun 2016,
volume sampah mencapai 64 juta ton dalam setahun (Azhar, 2016).
Banyaknya sampah kota yang tidak dapat diangkut oleh truk sampah atau
ditampung di TPA menjadikan sampah kota sebagai limbah yang dapat
mencemari lingkungan dan menghasilkan bau yang tidak sedap. Hal ini menjadi
dasar peneliti untuk melakukan penelitian terhadap sampah kota. Harapannya,
dengan penelitian ini dapat mengetahui pengaruh pengembalian air lindi dan
pengkayaan dengan penambahan jerami sehingga dapat menghasilkan kompos
dengan kualitas baik dan membantu menyelesaikan permasalahan sampah kota
di Indonesia, dan Yogyakarta khususnya.
Untuk meminimalisasi dampak dari timbunan sampah, perlu adanya
pengelolaan yang baik. Salah satu sistem yang dapat diterapkan yaitu
pengomposan sistem windrow. Sistem ini termasuk salah satu sistem yang paling
murah dengan cara memanfaatkan sirkulasi udara secara alami. Akan tetapi
masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai sistem windrow ini agar proses
pengomposan berjalan lebih cepat.
Limbah pertanian berupa jerami padi merupakan potensi bahan baku lokal
yang dapat diolah menjadi pupuk organik atau kompos. Pada saat panen limbah
ini sangat berlimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan
jerami dalam kaitannya untuk menyediakan hara dan bahan organik tanah adalah
merombaknya menjadi kompos. Rendemen kompos yang dibuat dari jerami
kurang lebih 60% dari bobot awal jerami, sehingga kompos jerami yang bisa
dihasilkan dalam satu lahan sawah adalah sebesar 4,11 ton/ha (BPTP Kaltim,
2011).
Secara kuantitas, rata-rata setiap 1 kg beras menghasilkan sekitar 1 sampai
1,5 kg jerami (Situmeang, 2010). Apabila mengacu pada data di atas dapat
diperkirakan produksi jerami di Indonesia mencapai 64-96 juta ton per tahunnya.
Menurut Soejono et al. (1988) jerami saat ini secara mayoritas (62%) dibakar
oleh petani dan sisanya (38%) dimanfaatkan sebagai pakan ternak atau keperluan
industri. Petani cenderung membakar jerami untuk mempercepat proses
pembukaan lahan baru yang kemudian dilakukan proses penanaman padi kembali
(Purwandaru, 2013). Akan tetapi, dengan membakar jerami maka kandungan
unsur hara dalam jerami justru akan hilang. Lebih baik jika jerami dikomposkan
sehingga unsur hara yang terkandung dalam jerami dapat dikembalikan ke tanah
sebagai pupuk. Nisbah C/N awal jerami menurut Jusoh et al., (2013) yaitu

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 107


61,30. Nilai rasio C/N ini termasuk tinggi sehingga perlu dikomposkan. Jika C/N
masih berada diatas 20, maka nutrisi yang terkandung dalam kompos tidak dapat
diserap oleh tanaman.
Pusat Inovasi Agroteknologi (PIAT) UGM sendiri telah menerapkan
pengomposan sistem windrow belum lama ini., Percobaan lebih lanjut mengenai
pengaruh pengembalian air lindi terhadap kecepatan pengomposan belum diuji
coba lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
pengembalian air lindi terhadap kecepatan pengomposan. Selain itu, pengkayaan
nutrisi kompos dengan penambahan jerami juga belum diuji coba sehingga bisa
menghasilkan kompos dengan kualitas yang baik. Penelitian ini diharapkan akan
dapat mengurangi volume sampah kota setiap harinya dan mengurangi
pencemaran lingkungan.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei – Desember 2016 di Pusat Inovasi
Agroteknologi (PIAT) Universitas Gadjah Mada. Pelaksanaan pengomposan
dilakukan di dalam ruangan semi terbuka milik Laboratorium Daur Ulang Sampah,
PIAT, UGM. Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan antara lain sampah
kota organik, jerami padi, bambu, kayu, dan starter. Starter yang digunakan
yaitu EM4.
Percobaan ini disusun dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
faktor perlakuan yaitu pengembalian air lindi dan komposisi penambahan jerami.
Berikut adalah rancangan percobaan yang dilakukan pada penelitian ini.
1) A0B0 – Tanpa pengembalian air lindi dan tanpa penambahan jerami (kontrol)
2) A0B1 – Tanpa pengembalian air lindi dan penambahan jerami berbanding
sampah organik dengan perbandingan 1:1
3) A0B2 – Tanpa pengembalian air lindi dan penambahan jerami berbanding
sampah organik dengan perbandingan 1:2
4) A0B3 – Tanpa pengembalian air lindi dan penambahan jerami berbanding
sampah organik dengan perbandingan 1:3
5) A1B1 – Dengan pengembalian air lindi dan penambahan jerami berbanding
sampah organik dengan perbandingan 1:1
6) A1B2 – Dengan pengembalian air lindi dan penambahan jerami berbanding
sampah organik dengan perbandingan 1:2

108 Farhani et al.: Pengaruh Pengembalian Air Lindi.....


7) A1B3 – Dengan pengembalian air lindi dan penambahan jerami berbanding
sampah organik dengan perbandingan 1:3
Setiap perlakuan dengan 3 (tiga) ulangan sehingga total unit sebanyak 21
sampel percobaan.
Pada penelitian ini kompos dan air lindi yang dihasilkan dianalisis di
Laboratorium Tanah Umum dan Laboratorium Kimia Tanah dan Kesuburan
Tanah Kuningan Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah
Mada. Data hasil percobaan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam
(Analysis of Variance). Apabila pengaruhnya beda nyata maka dilanjutkan
dengan uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) untuk mengetahui perlakuan yang
berbeda nyata.

Tahapan Pelaksanaan Penelitian


Tahap Persiapan
Persiapan yang dilakukan sebelum pembuatan kompos adalah sebagai
berikut:
a. Penyediaan starter
Starter yang digunakan dalam penelitian ini adalah EM4. Starter dapat
diperoleh di toko pertanian.
b. Penyediaan bahan kompos
Sebelum dilakukan pengomposan, maka harus dipersiapkan bahan kompos
berupa sampah organik dan jerami padi. Sampah kota organik dipilah dari
sampah kota anorganik. Sedangkan jerami padi diperoleh dari hasil panen
padi di sawah. Komposisi di masing-masing bahan kompos sebagai berikut,
campuran sampah kota organik dengan jerami padi sebanyak 0,852 m3
untuk satu bangunan windrow sudah dalam kondisi berat kering mutlak.
Perlakuan bahan awal sampah kota organik dan jerami padi sebelum
digunakan sebagai bahan baku kompos yaitu dilakukan pemipihan dengan
mesin hummer dan pencacahan dengan menggunakan alat pencacah yang
sehingga menghasilkan ukuran yang berkisar antara 5-7 cm.
c. Pembuatan bangunan windrow
Pembuatan bangunan windrow dilakukan sebelum proses pengomposan,
bangunan windrow yang dibuat memiliki bentuk segitiga sama sisi dengan
ukuran panjang x lebar x tinggi yaitu 1m x 0,6 m x 0,6 m dengan volume
0,156 m3.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 109


kayu 60 cm

antar celah 1 cm

60 cm

Gambar 1. Bangunan segitiga windrow.

Tahap Percobaan
Setelah bahan dan bangunan windrow disiapkan, selanjutnya adalah
penyusunan tumpukan kompos sesuai perlakuan, yaitu:
a. Pencampuran bahan kompos dengan starter.
Bahan kompos yang telah dihomogenkan dahulu sebelumnya disiramkan
dengan 300 liter air hingga merata. Bahan kompos yang telah disiram air
dicampurkan dengan starter yang berupa EM4. Sebanyak 1 liter starter
dicampur dengan 1,5 liter ampas tebu kemudian dituangkan ke dalam 50
liter air. Campuran starter, ampas tebu, dan air ini disiramkan ke tumpukan
kompos sebanyak 10 liter untuk masing-masing tumpukan kompos kemudian
diaduk hingga merata. Pengadukan bahan baku kompos dilakukan secara
manual dengan sebelumnya jerami yang akan diaduk disuwir secara manual
terlebih dahulu. Jika hal ini tidak dilakukan maka jerami akan menggumpal
dan tidak tercampur merata meskipun telah dipipihkan dan dicacah
sebelumnya karena jerami mengandung banyak serat yang membuat jerami
mudah menggumpal.
b. Penyusunan tumpukan kompos.
Bahan kompos yang telah diberi starter dan telah diaduk rata disusun diatas
bangunan rak pengomposan windrow sesuai dengan perlakuan masing-
masing. Jumlah windrow yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

110 Farhani et al.: Pengaruh Pengembalian Air Lindi.....


Gambar 2. Penyusunan tumpukan bahan baku kompos.

sebanyak 18 windrow ditambah perlakuan kontrol. Ketebalan tumpukan


kompos yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 60 cm. Hal ini didasarkan
pada penelitian yang dilakukan oleh Dinasty (2016) yang menyatakan bahwa
ketebalan 60 cm merupakan ketebalan optimum untuk tumpukan kompos
dalam sistem pengomposan windrow.
c. Pemeliharaan
Pemeliharaan yang dilakukan pada pengomposan yaitu dengan mengukur
suhu dan kelembaban udara windrow setiap dua hari. Menjaga kestabilan
suhu dilakukan dengan pembalikan setiap 2 minggu sekali. Sedangkan untuk
menjaga kelembaban dilakukan dengan penyiraman air lindi untuk perlakuan
A1 sebanyak 37,5 liter setiap minggu. Air lindi ini ditampung di dalam saluran
penampungan yang terpisah untuk setiap perlakuan. Untuk perlakuan A0
tidak disiram dengan air lindi.

Tahap Pengamatan
Tahap pengamatan akan dibagi menjadi dua, yaitu pengamatan awal dan akhir
serta pengamatan series. Pengamatan awal dan akhir hanya dilakukan dua kali
yaitu pada awal dan akhir proses pengamatan. Sedangkan pengamatan series
dilakukan secara berkala.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 111


a. Pengamatan awal dan akhir (meliputi analisis laboratorium).
1. Kadar air
Kadar air diamati pada akhir pengomposan. Pengambilan sampel
dilakukan setelah kompos dipanen. Kompos yang masih terlalu lembab
diangin-anginkan semalam terlebih dahulu kemudian diambil 3 kg
kompos yang dianggap mewakili dari setiap windrow. Kadar air dalam
kompos diamati dengan cara pengeringan oven pada suhu 105 selama
semalam (16 jam).
2. Kemasaman (pH H2O)
Kemasaman (pH) diamati pada awal dan akhir pengamatan dengan
menggunakan pH meter. Pengamatan pH dilakukan untuk kompos
dan air lindi.
3. Warna
Warna kompos diamati pada awal dan akhir pengomposan. Apabila
warna sudah coklat kehitam-hitaman berarti kompos sudah matang.
Pengamatan warna dilakukan untuk kompos dan air lindi.
4. Nilai daya hantar listrik (DHL)
DHL kompos diamati pada awal dan akhir proses pengomposan. DHL
diamati dengan menggunakan EC-meter.
5. Potensial redoks (ORP)
Potensial redoks diamati pada akhir proses pengomposan dengan
menggunakan Eh meter. Pengamatan potensial redoks digunakan untuk
air lindi.
6. Nisbah C/N
Kandungan C dianalisis dengan metode pengabuan kering (muffle)
sedangkan kandungan N dianalisis dengan metode Kjedahl.
7. Kandungan nutrisi
Kandungan nutrisi yang diamati yatu:
- Kadar N menggunakan metode Kjedahl dengan 2 tahapan yaitu
destruksi dengan H2SO4 dan H2O2 dan destilasi. Pengamatan
kadar N dilakukan untuk kompos dan air lindi yang dihasilkan.
- Kadar P menggunakan hasil destruksi yang diencerkan dan diberi
pewarna P lalu dibaca dengan spektrofotometer yang sebelumnya
telah dibuat deret standarnya terlebih dahulu. Pengamatan kadar
P dilakukan untuk kompos dan air lindi.

112 Farhani et al.: Pengaruh Pengembalian Air Lindi.....


- Kadar K menggunakan hasil destruksi yang diencerkan kemudian
dibaca menggunakan flamefotometer yang sebelumnya telah
dibuat deret standarnya terlebih dahulu. Pengamatan kadar K
dilakukan untuk kompos dan air lindi.
8. Kandungan bahan organik
Kandungan bahan organik dilakukan pengamatan pada awal dan akhir
pengomposan menggunakan metode pengabuan kering (muffle).
b. Pengamatan series
1. Kelembaban
Kelembaban udara di sekitar kompos diukur dengan meletakkan
termohigrometer dibawah terowongan windrow selama beberapa
menit hingga nilai kelembaban windrow terbaca. Pengamatan
kelembaban ini dilakukan pada pukul 09.00 pagi setiap 2 hari sekali.
Pengamatan kelembaban tidak hanya dilakukan untuk tumpukan
windrow tetapi juga kelembaban udara di dalam ruangan.
2. Suhu
Suhu kompos diukur dengan meletakkan termometer pada tumpukan
windrow dengan kedalaman 20 cm dari permukaan. Pengamatan suhu
kompos dilakukan pada 3 titik, yaitu sisi kanan, kiri, dan atas.
Pengamatan suhu ini dilakukan pada pukul 09.00 pagi setiap 2 hari
sekali. Pengamatan suhu juga dilakukan untuk suhu udara dengan
menggunakan termohigrometer.
3. Kemasaman (pH H2O)
Kemasaman (pH) kompos diamati dengan menggunakan pH meter
rasio 1: 2,5 (1 kompos:2,5 bagian aquadest). pH kompos diamati setiap
7 hari sekali.
4. Nilai daya hantar listrik (DHL)
DHL (Daya Hantar Listrik) kompos diamati dengan menggunakan
alat Ec-meter. DHL kompos diamati setiap 2 hari sekali.
5. Warna
Warna kompos diamati setiap 7 hari sekali. Apabila warna sudah coklat
kehitam-hitaman berarti kompos sudah matang.
6. Bau
Aroma masing-masing tumpukan kompos diamati setiap 7 hari sekali.
Pengamatan bau dilakukan secara manual dengan mencium bau
kompos. Sebelumnya ditentukan tingkat bau dengan 4 level antara
lain tidak bau, agak bau, bau, dan bau menyengat. Aroma kompos
yang sudah matang mendekati bau tanah.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 113


HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Awal Bahan Baku Kompos
Pada penelitian ini, bahan baku kompos terdiri dari dua jenis yaitu sampah kota
organik dan jerami. Berikut adalah karakteristik dari masing-masing bahan baku.
Sampah Kota Organik
Bahan baku kompos sampah kota organik berasal dari dua sumber yaitu TPS
Purwo Berhati, Bayen, Sleman dan Pusat Inovasi Agroteknologi (PIAT)
Universitas Gadjah Mada. Sampah kota organik yang dominan ditemukan di
TPS antara lain sisa sayuran, kulit buah, dan dedaunan. Sampah kota organik
yang berada di PIAT berasal dari sampah UGM. Sampah yang ditemukan
dominan adalah dedaunan dan ranting pohon. , Bahan baku kompos yang berupa
sampah kota organik dilakukan pengujian awal terlebih dahulu, sebelum dilakukan
pengomposan di Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah
Mada. Parameter yang diukur adalah sebagai berikut.
Jerami Padi
Pada penelitian ini, jerami padi yang digunakan sebagai bahan baku kompos
yaitu varietas IR 64 yang berasal dari Imogiri, Bantul, DIY. Jerami yang
dicampurkan sebagai bahan baku kompos dalam penelitian ini berfungsi sebagai
enrichment untuk memperkaya kandungan unsur hara dalam kompos. dilakukan
pengomposan, bahan baku kompos yang berupa jerami padi dilakukan pengujian
awal terlebih dahulu di Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas
Gadjah Mada. Berikut adalah hasil pengujian awal jerami padi.

Tabel 1. Hasil uji laboratorium kandungan unsur


hara sampah kota organik.

Parameter Nilai

Kandungan air (%) 18,00


Kemasaman 5,74
DHL (mS/cm) 2,08
C-organik (%) 44,23
Kadar abu (%) 23,74
N total (%) 1,47
Nisbah C/N 30,09
P total (%) 0,54
K total (%) 1,94

114 Farhani et al.: Pengaruh Pengembalian Air Lindi.....


Tabel 2. Hasil uji laboratorium kandungan unsur
hara dalam jerami.

Parameter Nilai

Kandungan air (%) 14,29


Kemasaman 8,09
DHL (mS/cm) 1
C-organik (%) 39,30
Kadar abu (%) 32,24
N total (%) 1,63
Nisbah C/N 24,11
P total (%) 0,52
K total (%) 2,98

Tabel 3. Persentase sebaran ukuran kompos matang pada berbagai perlakuan.

Perlakuan < 0,5 0,5- 2 mm > 2- 5mm > 5-25 mm Total
(%) (%) (%) (%) (%)

A0B1 3,47 9,70 56,58 30,25 100,00


A0B2 6,29 11,59 50,25 31,87 100,00
A0B3 4,65 10,15 58,06 27,15 100,00
A1B1 5,42 14,45 51,87 28,26 100,00
A1B2 5,75 10,88 52,92 30,45 100,00
A1B3 6,12 17,10 49,04 27,74 100,00
A0B0 5,75 11,13 58,32 24,81 100,00

Kualitas Kompos yang Dihasilkan


Persentase Sebaran Ukuran
Selama proses pengomposan berlangsung, bahan yang dikomposkan akan
mengalami perubahan ukuran. Ukuran awal bahan baku kompos umunya
berbeda-beda. Untuk sampah kota organik berkisar antara 500-0,1 mm. jerami
padi kisaran ukurannya lebih kecil yaitu 250-0,1 mm.
Dari Tabel 3, dapat diketahui bahwa sebaran ukuran terbanyak yaitu pada
ukuran >2-5 mm dengan persentase antara 49,04-58,32% dari jumlah total
kompos matang. Jumlah ini belum memenuhi standar Permentan No: 70/
Permentan/SR.140/10/2011 yaitu minimum 80% untuk ukuran partikel 2-5 mm.
Secara keseluruhan, sebaran ukuran kompos matang pada Tabel 4 jika
dibandingkan dengan standar SNI, nilai ini telah memenuhi standar SNI No 19-
7030-2004 yaitu ukuran kompos matang antara 0,55-25 mm.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 115


Penyusutan Berat Akhir
Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan berat bahan kompos akhir
dari berat awal. Perlakuan pengembalian air lindi dan penambahan jerami
berpengaruh nyata terhadap penyusutan berat akhir kompos matang. Penyusutan
berat pada Tabel 4 sudah dikoreksi dengan kadar lengas yang masih terkandung
dalam kompos.
Penyusutan berat akhir kompos matang dari semua perlakuan masih sesuai
dengan standar yang dikemukakan oleh Yuwono (2006) yaitu sekitar 50-70%
dari berat awal. Nilai penyusutan berat akhir kompos pada semua perlakuan
lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya oleh Dinasty (2016)
yaitu sebesar 46,04%.
Kadar Air
Kadar air berpengaruh dalam mempercepat terjadinya perubahan dan penguraian
bahan-bahan organik yang digunakan dalam pembuatan kompos. Perlakuan
pengembalian air lindi dan penambahan jerami berpengaruh nyata terhadap
kadar air kompos matang. Kadar air kompos matang pada berbagai perlakuan
dapat dilihat pada Tabel 5.
Nilai kadar air kompos matang pada semua perlakuan telah memenuhi
standar Permentan No: 70/Permentan/SR.140/10/2011 yaitu antara 15-25%.
Nilai ini juga telah memenuhi standar SNI No 19-7030-2004 yaitu kadar air
kompos matang <50%. Nilai kadar air kompos pada semua perlakuan lebih
rendah jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya oleh Dinasty (2016)
yaitu sebesar 43,06%.

Tabel 4. Penyusutan berat (%) kompos matang pada berbagai


perlakuan.

Perlakuan Penyusutan berat (%)

A0B0 38,95 c
A0B1 46,88 bc
A0B2 47,30 bc
A0B3 45,89 bc
A1B1 59,58 a
A1B2 49,15 b
A1B3 42,80 bc

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada


kolom yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada taraf
signifikansi 5% dengan uji DMRT.

116 Farhani et al.: Pengaruh Pengembalian Air Lindi.....


Tabel 5. Kadar air (%) kompos matang pada berbagai perlakuan.

Perlakuan Kadar air (%)

A0B0 19,54 bc
A0B1 16,35 cd
A0B2 16,28 cd
A0B3 15,41 d
A1B1 22,64 ab
A1B2 24,30 a
A1B3 23,86 a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada


kolom yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada taraf
signifikansi 5% dengan uji DMRT.

Tabel 6. Kadar C-organik (%) kompos matang pada berbagai


perlakuan.

Perlakuan Kadar C-organik (%)

A0B0 29,83 a
A0B1 24,54 b
A0B2 22,43 b
A0B3 22,53 b
A1B1 22,44 b
A1B2 24,57 b
A1B3 24,45 b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada


kolom yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada taraf
signifikansi 5% dengan uji DMRT.

Kadar C-organik
Kadar C-organik kompos matang pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada
Tabel 6.
Perlakuan pengembalian air lindi dan penambahan jerami berpengaruh nyata
terhadap kadar C-organik kompos matang. Secara keseluruhan, kandungan C-
organik pada semua perlakuan sudah memenuhi standar Permentan No: 70/
Permentan/SR.140/10/2011 yaitu minimal 15%. Nilai ini juga telah memenuhi
SNI No 19-7030-2004 yaitu kandungan C-organik kompos matang antara 9,8-
32%. Nilai kandungan C-organik pada semua perlakuan sedikit lebih tinggi jika
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya oleh Dinasty (2016) yaitu sebesar
20,26%.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 117


Kadar N total
Kadar nitrogen total kompos matang pada berbagai perlakuan dapat dilihat Tabel 7.
Perlakuan pengembalian air lindi dan penambahan jerami berpengaruh nyata
terhadap kadar N-total kompos matang. Pada penelitian ini, kadar N-total kompos
matang berkisar antara 1,13-1,67%. Kadar nitrogen pada berbagai perlakuan
tersebut telah memenuhi syarat SNI No 19-7030-2004 minimum sebesar 0,40%.
Nilai kandungan N-total pada semua perlakuan tidak jauh berbeda jika
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya oleh Dinasty (2016) yaitu sebesar
1,44%.
Nisbah Karbon dan Nitrogen (C/N)
Hasil analisis nisbah C/N kompos matang pada umur 5 minggu dapat dilihat
pada Tabel 8.

Tabel 7. Kadar N-total (%) kompos matang pada berbagai perlakuan.

Perlakuan Kadar N-total (%)

A0B0 1,33 abc


A0B1 1,39 abc
A0B2 1,13 c
A0B3 1,19 bc
A1B1 1,45 abc
A1B2 1,67 a
A1B3 1,56 ab

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada


kolom yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada taraf
signifikansi 5% dengan uji DMRT.

Tabel 8. Nisbah C/N kompos matang pada berbagai perlakuan.

Perlakuan Nisbah C/N

A0B0 22,40 a
A0B1 17,81 bc
A0B2 19,82 ab
A0B3 19,83 ab
A1B1 15,62 cd
A1B2 14,82 d
A1B3 15,76 cd

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada


kolom yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada taraf
signifikansi 5% dengan uji DMRT.

118 Farhani et al.: Pengaruh Pengembalian Air Lindi.....


Perlakuan pengembalian air lindi dan penambahan jerami berpengaruh nyata
terhadap nisbah C/N kompos matang. Nilai nisbah C/N akhir pada semua
perlakuan (15-22) masih berada pada kisaran standar Permentan No: 70/
Permentan/SR.140/10/2011 yaitu antara 15-25. Jika dibandingkan dengan syarat
mutu kompos SNI No 19-7030-2004 yaitu nisbah C/N antara 10-20 nilai kompos
pada perlakuan kontrol sedikit melebihi batas maksimum dengan nisbah C/N
22. Nisbah C/N pada semua perlakuan sedikit lebih tinggi jika dibandingkan
dengan penelitian sebelumnya oleh Dinasty (2016) yaitu sebesar 14,93%.
Kadar P total
Hasil analisis kadar unsur hara fosfor kompos matang pada semua perlakuan
dapat dilihat pada Tabel 9.
Perlakuan pengembalian air lindi dan penambahan jerami tidak berpengaruh
nyata terhadap kadar P total kompos matang. Kadar fosfor pada berbagai
perlakuan tersebut telah memenuhi syarat SNI no 19-7030-2004 minimum
sebesar 0,10%. Kadar P total kompos matang pada semua perlakuan lebih
rendah jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya oleh Dinasty (2016)
yaitu sebesar 0,54%.
Kadar K total
Hasil analisis kadar unsur hara K pada kompos matang pada berbagai perlakuan
dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 9. Kadar P total (%) kompos matang pada berbagai perlakuan.

Perlakuan Kadar P total (%)

A0B0 0,38 a
A0B1 0,37 a
A0B2 0,36 a
A0B3 0,38 a
A1B1 0,39 a
A1B2 0,41 a
A1B3 0,44 a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada


kolom yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada taraf
signifikansi 5% dengan uji DMRT.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 119


Tabel 10. Kadar K total (%) kompos matang pada berbagai perlakuan.

Perlakuan Kadar K total (%)

A0B0 0,77 b
A0B1 1,05 ab
A0B2 0,86 b
A0B3 0,77 b
A1B1 1,25 a
A1B2 1,01 ab
A1B3 1,02 ab

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada


kolom yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada taraf
signifikansi 5% dengan uji DMRT.

Perlakuan pengembalian air lindi dan penambahan jerami tidak berpengaruh


nyata terhadap kadar K total kompos matang. Kandungan K kompos matang
pada semua perlakuan berada pada kisaran 0,77-1,25%. Nilai ini telah memenuhi
standar kualitas kompos menurut SNI 19-7030-2004 yaitu minimum 0,20%.
Kadar K total kompos matang pada semua perlakuan lebih rendah jika
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya oleh Dinasty (2016) yaitu sebesar
1,69%.

Air Lindi
Warna dan Bau
Warna dan bau air lindi dipengaruhi oleh kompos yang dihasilkan. Pada akhir
proses pengomposan dilakukan pengamatan terhadap warna dan bau air lindi.
Karakteristik air lindi berupa warna dan bau dapat dilihat pada Tabel 11.
Berdasarkan Tabel 11, dapat diketahui bahwa warna air lindi dari masing-
masing perlakuan berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh bahan baku yang
digunakan dalam proses pengomposan. Warna bahan baku sampah yang paling
dominan akan mempengaruhi warna air lindi yang dihasilkan. bau yang dihasilkan
oleh air lindi dipengaruhi oleh komposisi bahan baku yang dikomposkan. Tabel
11 dapat diketahui bahwa komposisi bahan baku kompos yang mengasilkan bau
menyengat adalah kompos dengan bahan baku sampah organik berbanding jerami
dengan perbandingan 3:1 (A0B3 dan A1B3). perlakuan lain dengan perbandingan
sampah organik berbanding jerami dengan perbandingan 1:1 (A0B1 dan A1B1)
dan 1:2 (A0B2 dan A1B2) menghasilkan air lindi yang bau.

120 Farhani et al.: Pengaruh Pengembalian Air Lindi.....


Tabel 11. Warna dan bau air lindi yang dihasilkan.

No Perlakuan Warna Deskripsi Bau

1 A0B0 10 YR 3/6 Dark Yellowish Brown Bau


2 A0B1 5 R 2.5/4 Very Dusky Red Bau
3 A0B2 7.5 YR 3/4 Dark Brown Bau
4 A0B3 2.5 YR 3/2 Dusky Red Bau menyengat
5 A2B1 7.5 YR 4/4 Brown Bau
6 A2B2 5 R 2.5/4 Very Dusky Red Bau
7 A2B3 10 YR 2/2 Very Dark Brown Bau menyengat

Tabel 12. Kemasaman air lindi kompos pada berbagai perlakuan.

Perlakuan Kemasaman (pH) air lindi

A0B0 7,47 c
A0B1 7,66 bc
A0B2 7,51 c
A0B3 7,82 ab
A1B1 7,62 c
A1B2 7,61 c
A1B3 7,86 a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada


kolom yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada taraf
signifikansi 5% dengan uji DMRT.

Derajat Kemasaman (pH)


Derajat kemasaman (pH) air lindi kompos pada berbagai perlakuan dapat dilihat
pada Tabel 12.
Perlakuan pengembalian air lindi dan penambahan jerami berpengaruh nyata
terhadap pH air lindi kompos. Perlakuan penambahan jerami dengan
perbandingan sampah berbanding jerami 3:1 (A0B3 dan A1B3) memiliki nilai
pH tertinggi yaitu 7,82 dan 7,86 dibandingkan dengan perlakuan yang lain.
Perlakuan dengan pH terendah yaitu A0B0 (kontrol) tanpa penambahan jerami
dan tanpa pengembalian air lindi dengan nilai pH 7,47. Hal ini dikarenakan pH
awal jerami lebih tinggi dibandingkan sampah awal sehingga mempengaruhi pH
air lindi hingga akhir proses pengomposan.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 121


Potensial Redoks (ORP)
Nilai potensial redoks air lindi pada berbagai macam perlakuan dapat dilihat
pada Tabel 13.
Dari Tabel 13, dapat diketahui bahwa nilai potensial redoks semua perlakuan
berada pada kondisi reduktif karena nilai Eh yang negatif. Menurut
Ponnamperuma (1978), nilai Eh yang tinggi dan positif menunjukkan kondisi
oksidatif, sebaliknya nilai Eh yang rendah bahkan negatif menunjukkan kondisi
reduktif. Nilai potensial redoks perlakuan A1B1, A1B2, dan A1B3 lebih rendah
jika dibandingkan dengan perlakuan A0B1, A0B2, dan A0B3 dan A0B0 (kontrol).
Hal ini disebabkan perlakuan A1B1, A1B2, dan A1B3 diberi penyiraman air
lindi setiap seminggu sekali, berbeda dengan perlakuan A0B1, A0B2, dan A0B3
dan A0B0 yang tidak disiram air lindi. Semakin banyak air lindi yang disiramkan
maka akan semakin banyak kation-kation yang terlarut dan tertampung ke
penampungan air lindi. Hal ini menyebabkan perlakuan A1B1, A1B2, dan A1B3
potensial redoksnya lebih rendah dibandingkan perlakuan A0B1, A0B2, dan
A0B3 dan A0B0 yang tidak diberi penyiraman air lindi.
Kadar N total Air Lindi
Kadar N total air lindi pada berbagai macam perlakuan dapat dilihat pada
Tabel 14.

Tabel 13. Potensial redoks air lindi pada berbagai perlakuan.

Perlakuan
Potensial
Redoks A0B0 A0B1 A0B2 A0B3 A1B1 A1B2 A1B3

ORP (mV) -43 -39.67 -40.33 -39 -52.67 -50.67 -67

Tabel 14. Kemasaman air lindi kompos pada berbagai perlakuan.

Perlakuan Kadar N total air lindi (%)

A0B0 0,013 b
A0B1 0,04 a
A0B2 0,02 b
A0B3 0,017 b
A1B1 0,04 a
A1B2 0,03 ab
A1B3 0,02 b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada


kolom yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada taraf
signifikansi 5% dengan uji DMRT.

122 Farhani et al.: Pengaruh Pengembalian Air Lindi.....


Perlakuan pengembalian air lindi dan penambahan jerami berpengaruh nyata
terhadap kadar N-total air lindi. Pada penelitian ini, kadar N-total air lindi berkisar
antara 0,040-0,017%. Kadar nitrogen pada berbagai perlakuan tersebut telah
memenuhi range karakteristik kandungan N-total air lindi menurut Ali (2011)
yaitu minimum 0,005% dan maksimum 0,5%.
Kadar P total Air Lindi
Kadar P total air lindi pada berbagai macam perlakuan dapat dilihat pada
Tabel 15.
Perlakuan pengembalian air lindi dan penambahan jerami berpengaruh nyata
terhadap kadar P total air lindi. Perlakuan A1B1 memiliki kadar P total air lindi
kompos matang tetinggi yaitu 2,93 mg/L. Kadar P total air lindi kompos terendah
yaitu pada perlakuan A0B3 sebesar 1,70 mg/L. Kadar fosfor pada berbagai
perlakuan tersebut telah memenuhi range karakteristik kadar P total air lindi
menurut Ali (2011) yaitu minimum 0,1 mg/L dan maksimum 30 mg/L.
Kadar K total Air Lindi
Kadar K total air lindi pada berbagai macam perlakuan dapat dilihat pada
Tabel 16.
Perlakuan pengembalian air lindi dan penambahan jerami tidak berpengaruh
nyata terhadap kadar K total air lindi. Kadar K total air lindi tertinggi yaitu pada
perlakuan A0B3 sebesar 0,070% sedangkan kadar K total air lindi terendah
yaitu pada perlakuan A0B0 (kontrol) sebesar 0,040%. Kadar K air lindi pada
semua perlakuan berada pada kisaran 0,040-0,070%. Nilai ini telah memenuhi
range karakteristik kadar K total air lindi menurut Ali (2011) yaitu minimum
0,001% dan maksimum 0,25%.
Tabel 15. Kadar P total air lindi pada berbagai perlakuan.

Perlakuan Kadar P total air lindi (mg/L)

A0B0 2,87 a
A0B1 2,20 bc
A0B2 2,00 c
A0B3 1,70 c
A1B1 2,93 a
A1B2 2,83 a
A1B3 2,67 ab

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada


kolom yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada taraf
signifikansi 5% dengan uji DMRT.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 123


Tabel 16. Kadar K total air lindi pada berbagai perlakuan.

Perlakuan Kadar K total air lindi (%)

A0B0 0,04 c
A0B1 0,06 abc
A0B2 0,05 abc
A0B3 0,07 a
A1B1 0,07 ab
A1B2 0,06 abc
A1B3 0,05 bc

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada


kolom yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada taraf
signifikansi 5% dengan uji DMRT.

KESIMPULAN
Secara umum pengaruh pengembalian air lindi dan komposisi penambahan jerami
berpengaruh nyata sampai sangat nyata terhadap kadar air kompos, penyusutan
berat akhir kompos, nisbah C/N kompos, kadar C-organik dalam kompos, berat
C-organik dalam kompos, kadar nitrogen total kompos, berat nitrogen dalam
kompos, berat fosfor dalam kompos, dan berat kalium dalam kompos, pH air
lindi, kadar fosfor air lindi kompos, dan kadar kalium air lindi kompos
Pengaruh pengembalian air lindi dan komposisi penambahan jerami
memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap kadar fosfor kompos, kadar
kalium kompos, dan kadar kalium air lindi kompos.
Berdasarkan hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa kondisi paling ideal
untuk pengomposan sistem windrow yaitu pada perlakuan A1B1 dengan
pengembalian air lindi dan komposisi penambahan jerami antara sampah organik
berbanding jerami yaitu 1:1. Hal tersebut dibuktikan dengan penyusutan berat
akhir kompos, kadar kalium kompos, kadar nitrogen air lindi kompos, dan kadar
fosfor air lindi kompos yang paling optimal.

UCAPAN TERIMAKASIH
Dalam pembuatan makalah ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Ir. Anjal Anie Asmara, M.Si. dan Bapak Nasih Widya Yuwono, S.P., M.P. selaku
pembimbing dalam penelitian ini dan terimakasih kepada Bapak Ir. Suci Handayani,
M.P. selaku penguji yang telah menguji dan memberikan masukan dalam penelitian
ini serta kepada semua pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

124 Farhani et al.: Pengaruh Pengembalian Air Lindi.....


DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. (2011). Rembesar Air Lindi (Leachate) Dampak pada Tanaman Pangan
dan Kesehatan. Surabaya: UPN Press.
Azhar. (2016). Setelah Cina, Indonesia Tempati Posisi Kedua Penyumbang
Sampah Terbesar di Dunia. Retrieved from National Geographic
Indonesia: http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/07/setelah-cina-
indonesia-tempati-posisi-kedua-penyumbang-sampah-terbesar-di-dunia
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur. (2011). Pemanfaatan
Limbah Pertanian (Jerami Padi) sebagai Bahan Organik. http://
kaltim.litbang.pertanian.go.id/ind/pdf/leaflet/tricholant.pdf. [25 February
2016]
Dinasty, D. I. (2016). Pengaruh Ketebalan dan Frekuensi Penyiraman Bahan
Kompos terhadap Kecepatan Pengomposan Sampah Kota. Yogyakarta:
Fakultas Pertanian, Skripsi Universitas Gadjah Mada.
Jusoh, M. L., Manaf, L. A., & Latiff, P. A. (2013). Composting of rice straw
with effective microorganisms (EM) and its influence on compost quality.
Iranian Journal of Environmental Health Science & Engineering, 10-17.
Purwandaru, Pandu (2013). Pemanfaatan Jerami untuk Produk Ramah
Lingkingan UKM Melalui Proses Kempa. Jurnal Teknik Lingkungan 14(2):
83-88
Ponnamperuma, F. (1978). Electrochemical Changes in Submerg Soil. Los Banos:
IRRI.
Situmeang, S.H. (2010). Prospek Pengembangan Potensi Jerami di Indonesia.
Medan: Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
Soejono, M., R. Utomo, Widyantoro. (1988). Peningkatan Nilai Nutrisi Jerami
Dengan Berbagai Perlakuan. Dalam: M. Soejono, A. Musofie, R. Utomo,
N.K. Wardhani, J.B. Schiere. Limbah Pertanian Sebagai Pakan dan
Manfaat Lainnya. Bioconversion Project Second Workshop on Crop
Residues for Feed and other Purpose.
Surono, U. B. (2013). Berbagai metode konservasi sampah menjadi bahan bakar
minyak. Jurnal Teknik 3, 32-40.
Yuwono, T. (2006). Kecepatan dekomposisi dan kualitas kompos sampah organik.
Jurnal Inovasi Pertanian 4, 116-123.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 125


126 Farhani et al.: Pengaruh Pengembalian Air Lindi.....
Keragaan VUB Inpari 32 di Lahan Rawa
Pasang Surut Tipe C di Kabupaten Tanah Laut
Abdul Sabur dan Nurmili Yuliani
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan
Jl. Panglima Batur 4 Banjarbaru, Kalimantan Selatan
email: saburbptp@gmail.com, nurmili@gmail.com

ABSTRAK
Pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk tanaman padi terus
dipacu untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Salah satu
komponen teknologi yang bisa diterapkan yaitu VUB Inpari 32 karena
memiliki kesamaan dengan varietas seperti Ciherang. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mendapatkan informasi pengembangan pertanian
berbasis tanaman padi rawa pasang surut tipe C dikombinasikan
dengan teknologi inovatif dari Balitbangtan. Hasilnya telah dilakukan
pengkajian budidaya VUB Inpari 32 pada lahan rawa pasang surut
selama 4 musim tanam yaitu: MH 2017/2018, MK 1 2018, MH 2018/
2019 dan MK 1 2019, seluas 2 ha di Kabupaten Tanah Laut. Pengkajian
menunjukkan bahwa Inpari 32 menghasilkan produksi gabah pada
MH 201/2018 sebanyak 8,32 ton/ha dan pada MH 2018/2019
sebanyak 8,2 ton/ha. Sedangkan pada MK I tahun 2019 sebanyak
8,5 ton/ha walaupun pada MK I tahun 2018 hanya menghasilkan 6,2
ton/ha, karena kondisi air yang minimum. Pemanfaatan informasi
katam terpadu sebagai patokan waktu tanam serta rekomendasi pupuk
dan lainnya dalam kegiatan budidaya padi mendukung aktualisasi
potensi hasil Inpari 32, menunjukkan bahwa varietas ini cocok untuk
ditanam di lahan rawa pasang surut jika dikelola dengan baik. Selain
itu perlu penyebarluasan informasi agar teknologi VUB Inpari 32
dapat semakin menyebar dan di manfaatkan petani terutama lahan
rawa pasang surut.
Kata kunci: VUB Inpari 32, kalender tanam.

ABSTRACT
The utilization of tidal swamps for rice plants continues to be driven
to meet food needs. one technology component that can be applied

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 127


is VUB Inpari 32 because it has similarities with varieties such as
Ciherang. The purpose of this study was to obtain information on
the development of type C tidal swamp-based agriculture
development combined with innovative technology from
Balitbangtan. The results have been assessed in Inpari 32 VUB
cultivation on tidal swamps for 4 growing seasons, namely: MH
2017/2018, MK 1 2018, MH 2018/2019, and MK 1 2019, covering
2 hectares in Tanah Laut Regency. The study showed that Inpari
32 produced grain production in MH 201/2018 at 8.32 tons/ha
and in MH 2018/2019 at 8.2 tons/ha. Whereas in MK I in 2019
there were 8.5 tons/ha although in MK I in 2018 it only produced
6.2 tons/ha, due to minimum water conditions. Utilization of
integrated cropping calender information as a benchmark for
planting time and fertilizer recommendations and others in rice
cultivation activities supports the actualization of the potential
results of Inpari 32, indicating that this variety is suitable for
planting in tidal swamps if managed properly. Also it is necessary
to disseminate the information so that Inpari 32 VUB technology
can be increasingly spread and utilized by farmers, especially tidal
swamps.
Keywords: Inpari 32 VUB, Integrated copping calender.

PENDAHULUAN
Kebutuhan padi sebagai sumber pangan utama yang menghasilkan beras untuk
penduduk Indonesia terus meningkat, karena selain disebabkan pertumbuhan
penduduk juga karena peningkatan konsumsi sekitar 2% per tahun. Disisi lain
konversi lahan pertanian subur yang dimanfaatkan untuk pertanaman padi menjadi
pemukiman atau lainnya dikarenakan pertambahan penduduk juga cukup nyata,
tentunya hal ini perlu di cermati dan dicarikan solusi tepat agar produksi padi
tetap stabil dan jika memungkinkan bisa lebih ditingkatkan. Hal ini menjadi penting
karena kondisi berkurangnya lahan akan berimbas pada jumlah produksi beras
yang akan dihasilkan.
Salah satu solusinya adalah pemanfaatan lahan non irigasi dengan
menggunakan teknologi yang tepat sehingga bisa menghasilkan produksi yang
tinggi dan menjadi jawaban pemanfaatan lahan. Kementerian Pertanian giat
melakukan upaya pemanfaatan lahanmarginal dalam rangka menambah luas
tanam. Untuk lahan sawah program peningkatan indeks pertanaman (IP) terus
diupayakan melalui optimalisasi pemanfaatan sumber air. Sumber air diupayakan

128 Sabur dan Yuliani: Keragaan VUB Inpari 32.....


melalui embung, dam parit, long storage, pompanisasi dan saluran air dengan
luas layanan saat ini sekitar 1.056.538 ha (Estiningtyas dan Syakir, 2017).
Sejumlah komponen utama teknologi yang berkaitan dengan pertanian
bertujuan untuk optimalisasi lahan, hanya saja kadang ada beberapa teknologi
yang hanya bisa optimal pada musim hujan sedangkan pada musim kemarau
ada kecenderungan menurun. Hal ini karena penentu musim tanam adalah
ketersediaan air yang dipengaruhi oleh curah hujan. Meskipun penerimaan hujan
tahunan tinggi, namun periode tanam pada sebagian besar wilayah produksi
tanaman pangan tetap tergantung pada kondisi penerimaan hujan musiman.
Artinya, curah hujan merupakan indikator yang cukup kuat untuk mengetahui
fluktuasi produksi padi (Hidayati et al., 2010).
Tentunya hal ini juga harus dicarikan solusinya agar produksi gabah petani
bisa stabil. Salah satunya juga dengan memanfaatkan teknologi varietas unggul.
Peningkatan produksi padi dapat dilakukan dengan penggunaan varietas unggul
yang berpotensi hasil tinggi dan mempunyai daya adaptasi yang luas (Abdullah
2008; Nugraha dan Sitaresmi 2018). Hal ini terkait dengan sifat-sifat yang dimiliki
oleh varietas unggul padi, antara lain berdaya hasil tinggi, tahan terhadap hama
dan penyakit utama, umur genjah sehingga sesuai dikembangkan dalam pola
tanam tertentu, dan rasa nasi enak dengan kadar protein relatif tinggi (Suprihatno
et al., 2007).Varietas Unggul Baru (VUB) yang ditanam tentunya harus adaptif
selain sesuai dengan berbagai lahan juga diharapkan pada beragam musim,
selain itu juga di dukung dengan pengelolaan lahan optimal sesuai kondisi lahan,
sistem tata air yang baik yang mampu memenuhi kebutuhan air dan tanaman,
pengelolaan tanah dengan bahan ameliorasi, hingga pengelolaan hara dan
pemupukan sesuai tipologi lahan.
Badan Litbang Pertanian sudah banyak melahirkan teknologi yang sesuai
untuk lahan rawa pasang surut, salah satunya adalah VUB yang beradaptasi
luas di berbagai tipologi lahan. Namun demikian varietas yang memiliki spesifikasi
tersebut masih perlu informasi daya adaptasi di lokasi tertentu. Inpari 32, yang
mulai disebarluaskan sejak tahun 2013 belum diketahui daya adaptasinya terhadap
lingkungan pasang surut. Varietas ini banyak ditanam di areal sawah irigasi di
pulau jawa dan disukai oleh petani karena memiliki banyak kesamaan dengan
Ciherang, yang saat ini banyak ditanam oleh petani di Indonesia. Inpari 32 juga
memiliki keunggulan tahan HDB dan beberapa strain blast dan tungro, serta
hasil yang tinggi(BBPadi, 2018).Tentunya ini cukup menjadi alasan kenapa
varietas ini ingin di kembangkan lebih luas lagi, sebagai alternatif pilihan selain
varietas Ciherang yang saat ini sudah banyak keluhan.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 129


Dalam rangka aktualisasi potensi genetik VUB padi, Kementerian Pertanian
juga sudah membuat sistem informasi kalender tanam(Katam) terpadu. Sistem
aplikasi yang dapat dimanfaatkan guna mengantisipasi keperluan rekomendasi
pendukung di bidang budidaya tanaman pangan, yang bisa diunduh dengan mudah,
baik waktu dan tempat dan mampu memberikan banyak informasi yang terkait
dengan waktu tanam, varietas, jenis dan dosis pupuk, kerentanan terhadap banjir
dan kekeringan serta serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan lain
lain. Tentunya hal ini juga perlu dilihat sejauh mana efektifnya dalam penerapan
di lapang terutama pada lahan rawa pasang surut yang cukup luas di Indonesia.
Salah satu tempat potensial yang memiliki banyak lahan rawa pasang surut
adalah Kabupaten Tanah Laut seluas 16.588 ha dari total 75.859 ha total lahan
tanaman pangan yang dimiliki kabupaten ini. Pengkajian ini bertujuan untuk
mendapatkan informasi yang berguna untuk pengembangan pertanian terutama
yang berbasis tanaman padi untuk dikembangkan dilokasi lahan pasang surut
tipe C dengan memanfaatkan beberapa teknologi serta aplikasi yang sudah dimiliki
balitbangtan serta sejauh mana bisa efektif baik pada musim hujan maupun
musim kemarau.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dan Pengkajian dilaksanakan di Kabupaten Tanah Laut tepatnya di
Desa Tambak Sarinah dan Desa Handil Birayang Atas pada lahan pasang surut
tipe C dan dilaksanakan di musim tanam MH (Musim Hujan) 2017/2018 (MT
a), MK (Musim Kering)1 2018 (MT b), MH 2018/2019 (MT c ) dan MK 1 2019
(MT d), selama 2 tahun berturut turut dimulai pada bulan oktober 2017 sampai
dengan bulan Agustus 2019, dengan petani dan lahan yang sama seluas 2 (dua)
ha. Adapun penentuan waktu tanam didasarkan pada waktu tanam padi
rekomendasi katam terpadu modern dan disesuaikan pola kebiasaan tanam petani
setempat.
Budidaya padi menggunakan teknik budidaya padi standar dimana olah lahan
sempurna menggunakan traktor tangan dengan 2 kali pengolahan. Lahan yang
sudah siap ditanam varietas Inpari 32 kelas benih dasar (label putih)pada saat
umur bibit 12-15 hari menggunakan dengan sistem tegel 20 x 20. Pemupukan
diberikan sesuai rekomendasi katam terpadu, yaitu pupuk NPK Phonska 350
kg/ha, pupuk Urea 150 kg/ha, dan di tambah dengan kapur 1 ton/ha. Plot
percobaan dirancang sedemikian rupa menggunakan Rancangan acak kelompok,
dengan 10 kali ulangan.

130 Sabur dan Yuliani: Keragaan VUB Inpari 32.....


Pemeliharaan tanaman dilakukan jika terdapat gulma yang dikendalikan
dengan cara dicabut atau menggunakan herbisida selektif dan kondisi lahan
yang kekeringan akan di airi dengan menggunakan pompa dan selang. Sedangkan
hama penyekit, di kendaliakan dengan memanfaatkan POPT setempat untuk
pengamatan. Pengamatan dan pengendalian hama dilakukan secara kimia
menggunakan insektisida dengan frekuensi 1 (satu) minggu sekali atau jika
dianggap ada serangan dan harus segera dkendalikan dan dilakukan dari tanaman
umur 1 minggu sampai dengan panen. Panen dilakukan saat 95% gabah
menguning.Pengamatan peubah pertumbuhan yang diamati meliputi tinggi
tanaman, jumlah anakan, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah/
malai, jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, berat gabah 100 butir, kadar air,
hasil gabah/ha . Selanjutnya data hasil pengamatan akan dianalisis secara
deskriptif dengan membandingkan tiap variabel pengamatan pada tiap musim
tanam.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Bardasarkan hasil tabulasi data yang sudah dirangkum pada Tabel 1 untuk musim
tanam MH 2017/2018 yang di tanam pada bulan November minggu pertama
tahun 2017 dan panen dilakukan pada maret minggu ke empat 2018.

Tabel 1. Hasil pengamatan pertanaman Inpari 32 musim tanam MH 2017/2018 (MTa).

Uraian/ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah Rerata

Tinggi (cm) 112 108 103 10 5 98 96 10 0 99 10 1 98 1020 102


Jumlah tanaman/ 21 23 34 35 28 32 28 22 23 21 267 26,7
rumpun
Anakan 20 20 28 34 25 25 25 20 19 20 236 23,6
produktif
Panjang malai 21 21 23 23 25 24 24 23 22 21 227 22,7
(cm)
Jumlah gabah/ 15 4 13 6 130 132 13 3 132 13 1 14 0 14 2 13 2 1362 136,2
malai (butir)
Jumlah gabah 14 5 12 3 112 127 12 2 107 12 1 12 2 12 9 12 1 1229 122,9
isi (butir)
Jumlah gabah 9 13 18 5 11 25 10 18 13 11 133 13,3
hampa/rusak
(butir)
Persentasi 94 90 86 96 92 81 92 87 91 92 90 90
gabah isi (%)
Berat 100 3,2 3 3 3 3 3 3 2,9 3 3 30,1 3,01
butir (gr)
Kadar air (%) 16,8 17 16,9 17 17,1 17 17 17,1 17,1 17 17 0 17

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 131


Jika dilihat berdasarkan deskripsi Inpari 32 yang dikeluarkan Kementerian
pertanian beberapa hal yang bisa di cermati adalah, pada lokasi rawa pasang
surut, pertanaman yang dilakukan pada MH cendrung lebih tinggi 102 cm,
sedangkan pada deskripsi hanya 98 cm, begitu juga dengan berat 1000 butir
bisa mencapai 30,1 gr sedangkan dideskripsi hanya mencapai 27,1 gr, namun
hal ini dimungkinkan karena kadar air masih tinggi yaitu mencapai 17%, hal lain
yang menarik adalah persentasi gabah isi mencapai 90%, pada saat panen
sehingga memungkinkan hasil yang tinggi, sedangkan dari hasil ubinan yang
dilakukan hasilnya mencapai 8,32 ton/ha GKP cukup tinggi karena secara rerata
hasil dilokasi ini hanya berkisar 5 ton/ha.
Berdasarkan gambaran tampilan data pada Tabel 2, yang di peroleh dari
pengamatan di lapang rerata tinggi tanaman pada MK 1 tahun 2018 (MT b)
yang ditanam pada pertengahan bulan April, VUB Inpari 32 menunjukkan tinggi
yang lebih rendah dibanding diskripsi VUB Inpari 32 berdasarkan data yang
didesiminasikan oleh Kementerian pertanian. Hal ini kemungkinan di sebabkan
kondisi tanaman yang tidak mendapatkan air secara optimal, sebagai catatan
pada pertanaman musin ini lahan di bantu dengan pompa agar kondisi air di
lahan cukup, dan berdasarkan catatan BMKG, musim kemarau tahun 2018 di
mulai pada April 2018 dan puncaknya pada Agustus 2018 grafik bisa dilihaat
pada Gambar 1.

Tabel 2. Hasil pengamatan pertanaman inpari 32 musim tanam MK I 2018 (MT b).

Uraian/ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah Rerata

Tinggi (cm) 83 85 98 87 88 90 84 92 90 89 886 88,6


Jumlah tanaman/ 18 20 18 18 20 24 23 16 25 13 195 19,5
rumpun
Anakan 9 11 13 13 12 16 15 14 16 10 129 12,9
produktif
Panjang malai 20 24 23 25 24 25 23 26 23 20 233 23,3
(cm)
Jumlah gabah/ 15 8 12 6 110 135 12 4 119 13 4 14 5 13 2 14 4 1327 132,7
malai (butir)
Jumlah gabah 14 5 12 0 100 126 12 2 107 13 1 12 2 12 5 13 0 1228 122,8
isi (butir)
Jumlah gabah 13 6 10 9 2 12 3 23 7 14 99 9,9
hampa/rusak
(butir)
Persentasi 92 95 91 93 98 90 98 84 95 90 93 93
gabah isi (%)
Berat 100 2,9 2,9 3 3 2,9 2,8 3 2,9 3 3 29,4 2,94
butir (gr)
Kadar air (%) 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 170 17

132 Sabur dan Yuliani: Keragaan VUB Inpari 32.....


Hal lain yang dapat di bandingkan adalah berkurangnya jumlah anakan
produktif jika dibanding dengan musim sebelumnya.Rerata jumlah anakan hanya
berkisar 12,9 batang Kondisi seperti inilah yang sudah di antisipasi dengan
pemanfaatan pompa air serta penggunaaan teknologi pengairan berselang
sehingga walau terdampak, namun bisa diminimalkan sehingga pertumbuhan
tanaman tetap baik, hal ini terlihat pada data jumlah gabah dalam tiap malai
tidak jauh berbeda di banding pada musim tanam sebelumnya dengan presentasi
gabah isi yang cukup baik, walau pada berat 1000 butir terjadi penurunan namun
jika di banding diskripsi masih lebih tinggi yaitu 29,4 gr, adapun hasil ubinan pada
musim ini adalah 6,2 ton/ha GKP.

Gambar 1. Data curah hujan untuk kecamatan Kurau dan sekitarnya tahun 2018. (BMKG)

Tabel 3. Hasil pengamatan pertanaman Inpari 32 musim tanam MH 2018/2019 (MTc).

Uraian/ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah Rerata

Tinggi (cm) 98 97 97 89 10 0 95 10 1 10 3 10 4 100 984 98,4


Jumlah tanaman/ 20 23 34 30 25 32 28 27 25 23 267 26,7
rumpun
Anakan 18 23 32 28 23 31 28 26 25 22 256 25,6
produktif
Panjang malai 23 23 25 26 23 24 24 22 24 23 237 23,7
(cm)
Jumlah gabah/ 14 5 14 6 162 148 15 1 169 15 8 14 3 14 3 14 5 1510 15 1
malai (butir)
Jumlah gabah 12 0 13 3 132 126 12 8 137 13 1 12 2 12 5 12 6 1280 12 8
isi (butir)
Jumlah gabah 25 13 30 22 23 32 27 21 18 19 230 23
hampa/rusak
(butir)
Persentasi 83 91 81 85 85 81 83 85 87 87 85 85
gabah isi (%)
Berat 100 3 3 3,2 3 3,1 2,9 3 2,9 3,1 3,1 30,3 3,03
butir (gr)
Kadar air (%) 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 170 17

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 133


Selanjutnya untuk tanam pada MH 2018/2019 (MT c) dapat dilihat pada
Tabel 3. Dimana pada data menunjukan bahwa untuk tinggi tanaman walau
lebih tinggi dari deskripsi namun terlalu nampak. Tinggi rerata tanaman VUB
Inpari 32 pada musin tanam ini adalah 98,4 cm. Kondisi anakan produktif pada
musim tanam ini juga relatif lebih baik dari musim MK, dimana jumlah anakan
produktifnya mencapai 25,6 anakan per rumpun, hingga hal ini di duga menjadi
faktor pendongkrak hasil yang lebih baik jika di bandingkan pada MK, hal ini
terlihat pada hasil ubinan yang mencapai 8,2 ton/ha. Hal lain yang juga menjadi
perhatian adalah pada musim ini hama penyakit juga cukup banyak terutama
hama putih palsu dan penggerek batang, serta walang sangit, antisipasi
pengendalian dilakukan dengan pengamatan yang intensif dan penggunakaan
bahan kimia yang sesuai serta pengendalian dini saat kondisi serangan masih
dalam level yang bisa dikendalikan sehingga dampak serangan yang di timbulkan
tidak besar. Informasi terkait dengan serangaan hama penyekit bisa dilihat pada
Tabel 4.
Pengumpulan data terakhir dilakukan pada kegiatan tanam MK I 2019
(MT d) yang kegiatan budidaya dengan menggunakan VUB Inpari 32 dilakukan
pada bulan April minggu ke 4 tahun 2019 sampai dengan panen pada bulan Juli
minggu ke 4 tahun 2019, adapun hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5. Adapun
dari hasil pengamatan menunjukan tampilan Inpari 32 yang ditanam lahan rawa
pasang surut di Desa Tambak Sarinah dan Desa Handil Birayang Atas
Kabupaten Tanah Laut, mampu menunjukan hasil yang optimal sesuai dengan
deskripsi, baik dari tinggi tanaman 97,5 cm maupun berat 1000 butir dengan
kisaran yang lebih tinggi dari deskripsi, selain itu dari parameter lain yang
ditunjukan juga mampu memberikan informasi kalo VUB Inpari 32 cocok di
tanam di lahan rawa pasang surut, pada musim tanam MH dan MK, hasilnya
ubinannya pun tinggi dan pada MK I 2019, varietas ini mampu menghasilkan
gabah 8,5 ton/ha.
Tabel 4. Data serangan hama penyakit.

No. Hama penyakit Persentase (%) Kondisi lahan

1. Tikus 5 Banyak tanaman seumur


2. Blast 1 Sebelumnya lokasi ada blast
3. Tungro 0 Sebelumnya lokasi ada tungro
4. WBC 0 -
5. Walang sangit 3 Banyak tanaman sumur
6. Burung 2 Banyak tanaman seumur
7. Gulma 2 Kondisi lahan terendam
8. Hama putih 2 Banyak kupu-kupu
9. Penggerek batang 3 Banyak kupu-kupu

134 Sabur dan Yuliani: Keragaan VUB Inpari 32.....


Beberapa ha yang diduga membuat kegiatan pada budidaya MK 1 tahun
2019 (MT d) menjadikan tanaman padi di lokasi ini menjadi baik karena, curah
hujan yang cukup sampai dengan fase generatif 1 dan awal fase generatif 2, hal
ini bisa terlihat dari jumlah anakan produktif yang tinggi mencapai rerata 30
batang/rumpun dan presentasi gabah isi mencapai 92%. Kondisi air yang cukup
ini didukung oleh data BMKG dimana pada bulan Mei dan Juni kondisi kecamatan
kurau masih mendapatkan curah hujan yang tinggi dengan kisaran 200-400 mm
lebih jelasnya terlihat pada Gambar ke 2, data analisis curah hujan yang di
keluarkan BMKG kalimantan selatan pada bulan Mei dan Juni 2019.

Tabel 5. Hasil pengamatan pertanaman Inpari 32 musum tanam MK 2019 (MT d).

Uraian/ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah Rerata

Tinggi (cm) 105 98 96 92 93 10 0 99 95 97 100 975 97,5


Jumlah tanaman/ 34 34 37 22 33 24 35 29 23 34 305 30,5
rumpun
Anakan 34 34 35 22 33 24 34 29 23 32 300 30
produktif
Panjang malai 24 23 21,5 21 23 21 24,5 21 22 23 224 22,4
(cm)
Jumlah gabah/ 12 3 14 5 146 105 11 7 123 10 9 13 2 12 5 13 3 1258 125,8
malai (butir)
Jumlah gabah 10 7 12 9 11 10 13 11 9 12 104 10,4
isi (butir)
Jumlah gabah 25 13 30 22 23 32 27 21 18 19 230 23
hampa/rusak
(butir)
Persentasi 92 95 92 92 91 92 89 92 93 92 92 92
gabah isi (%)
Berat 100 3.2 3,2 3,2 3,3 3,2 3,3 3,3 3,3 3,3 3,2 29,3 2,93
butir (gr)
Kadar air (%) 16,8 16,8 16,8 16,8 16,8 16,8 16,8 16,8 16,8 16,8 168 16,8

Gambar 2. Analisis curah hujan di wilayah kurau pada bulan April-Juni terekam dengan kisaran
200-500 mm berdasarkan informasi BMKG.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 135


Tabel 6. Hasil uji beda Inpari 32 jika dibandingkan pada tiap musim.

Musim MH MK MH MK
Uraian MT a MT b MT c MT d

Tinggi (cm) 102a 88,6c 98,4ab 97,5b


Jumlah tanaman /rumpun 26,7a 19,5b 26,7a 30,5a
Anakan produktif 23,6 12,9 25,6 30
Panjang malai (cm) 22,7a 23,3a 23,7a 22,4a
Jumlah gabah/malai 136,2a 132,7a 151b 136,2a
Jumlah gabah isi (butir) 122,9a 122,8a 128a 125,8a
Jumlah gabah hampa/rusak (butir) 13,3a 9,9a 23b 10,4a
Persentasi gabah isi (%) 90b 93 b 85a 92 b
Berat 1000 butir (gr) 30,1a 29,4a 30,3a 29,3a
Kadar air (%) 17a 17a 17a 16,8a
Hasil ubinan (ton) 8,32 6,2 8,2 8,5

Hal lain yang juga menarik adalah tingkat serangan OPT yang sangat kecil,
karena saat budidaya dilapang selama 4 bulan yang berlangsung dari bulan
April 2019 sampai dengan Juli 2019 untuk VUB Inpari 32 pada MK 2019 (MT
d) ini, bersamaan waktunya dengan budidaya varietas padi lokal yang memiliki
durasi tanam yang lebih panjang yang di mulai tanam awal januari 2019 dengan
sistem 3 kali pindah dan umur kurang lebih 6-7 bulan. Kondisi ini menyebabkan
OPT menyebar sehingga tidak terlihat serangan yang signifikan. Selain itu juga
petani mulai mengerti pentingnya pengamatan dan pengendalian dini terhadap
OPT, sehingga jika ditemukan tanda serangan atau berupa indikasi adanya hama
penyakit baik dari kupu kupu atau tanda lainnya sesuai ambang batas pengendalian
maka akan segera di lakukan penyemprotan dengan bahan kimia yang sesuai.
Tabel 6 menunjukkan Inpari 32 cukup baik jika di tanam pada MK dan
MH, hal ini terlihat pada beberapa parameter yang di amati, walau tidak semua
parameter menunjukan kesamaan. Adapun parameter yang sama adalah pada
panjang malai, jumlah gabah isi dan berat 1000 butir dan kadar air,Panjang malai
lebih dipengaruhi oleh faktor genetik seperti yang diutarakan Handoko et al.
(2017). Begitu juga pernyataan Suprapto dan Narimah Md Khairudin (2007)
yang melakukan penelitian pada tanaman kedelai menyatakan bahwa berat 1000
butir memiliki variasi genetik yang rendah, atau jarang sekali terdapat perbedaan,
dan dikuatkan oleh Silitonga et al. (2002) menyatakan bahwa ukuran biji di
pengaruhi tetuanya.
Jumlah gabah isi yang tidak berbeda lebih di pengaruhi karena faktor
lingkungan, karena walaupun jumlah gabah permalai bisa berbeda namun

136 Sabur dan Yuliani: Keragaan VUB Inpari 32.....


pengisian gabah lebih karena faktor lingkungan hal ini sependapat dengan Lakitan
(2008) bahwa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi proses fotosintesa
adalah ketersediaan air, CO2, cahaya serta suhu udara. Apabila unsur ini dalam
keadaan terbatas akibat adanya persaingan diantara tanaman maka hasil
fotosintesa yang dihasilkan juga akan sedikit selanjutnya menurut Masdar (2007)
tinggi rendahnya berat biji tergantung dari banyak atau tidaknya bahan kering
yang terkandung dalam biji. Bahan kering dalam biji diperoleh dari hasil
fotosintesis yang selanjutnya dapat digunakan untuk pengisian biji.
Sedangkan parameter lainnya terdapat perbedaan. Adapun perbedaan di
temukan pada parameter tinggi tanaman, jumlah rumpun, anakan produktif,
jumlah gabah/malai, Jumlah gabah hampa/rusak, presentasi gabah isi. Beberapa
hal penting yang harus di cermati adalah tinggi tanaman tidak menjamin hasil
yang tinggi hal ini di dukung pendapat Aribawa (2012), menyatakan bahwa
tinggi tanaman yang lebih tinggi belum menjamin produktivitas tanaman juga
tinggi. Hal itu terjadi karena tanaman berusaha menyerap hara dalam jumlah
banyak, ketersediaan hara dalam tanah berpengaruh terhadap aktivitas tanaman
termasuk aktivitas fotosintesis, sehingga dengan demikian tanaman dapat
meningkatkan pertumbuhan dan produksi.Lebih lanjut Suprihatno (2010)
menambahkan bahwa tinggi rendahnya batang tanaman dipengaruhi beberapa
faktor seperti faktor iklim ataupun faktor lingkungan tempat tumbuh.
Jumlah tanaman/rumpun, lebih di pengaruhi kondisi lingkungan tumbuh
sebelum masa primodial hal ini sejalan dengan Wagiyana et al. (2009), dan
seringkali anakan yang terbentuk terakhir tidak menjadi anakan yang produktif
menghasilkan malai. Parameter jumlah gabah hampa walau berdasarkan data
analisis berbeda terutama pada MT c (MH 2018/2019), lebih karena kondisi
pada saat kegiatan budidaya pada bulan november 2018 sampai bulan maret
2019, kondisi lingkungan belum banyak pertanaman karena saat ini padi lokal
belum tanam, tentunya OPT akan terkonsentrasi pada lahan tanaman VUB
Inpari 32, hal ini yang mungkin menyebabkan tingginya gabah hampa yang di
hasilkan pada musim tanam ini, hal ini sependapat dengan (Suharto, 2010)
Perbedaan banyak ditemukan pada kegiatan budidaya padi Inpari 32 yang
dilakukan pada MT b atau MK 1 tahun 2018. Hal ini di duga karena kondisi
lahan yang tidak sebaik pada saat MH terutama ketersedian air di lapang walau
sudah di antisipasi dengan memompa air ke lahan, kondisi ini sependapat dengan
Jayaseelan (2001) Kekurangan air dilahan sehingga tidak mampu memenuhi
kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu sehingga dapat
mengurangi biomassa dan jumlah tanaman. Hal yang sama dengan tulisan
Estiningtyas. W dan Syakir. M. (2017) yang menekankan pengaruh iklim yang

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 137


seringkali muncul serta serangan OPT membawa dampak menurunnya luas
panen akibat kerusakan tanaman. Pengaruh perubahan iklim berupa peningkatan
suhu, bisa mempengaruhi ketersedian air dilapang, kelembapan ,dan CO2
terhadap tanaman hal yang juga dikemukakan olah (Casper et al., 2016 dan
Weiguo Cheng et al., 2009)
Beberapa penelitian menunjukkan anakan produktif yang menghasilkan malai
tidak berpengaruh terhadap hasil (Silitonga, 1989; Sutaryo et al., 1988) karena
sering kali ditemukan malai yang tidak terisi sempurna atau banyak gabah hampa
dan penduga yang efektif terhadap hasil adalah kehampaan gabah itu sendiri.
Banyaknya gabah isi per malai berhubungan dengan hasil, namun tidak
berpengaruh banyak. Dari hasil rerata tiap musim bisa mendekati hasil potensial
varietas ini sebanyak 8,5 ton/ha, walaupun ubinan pada MK 1 tahun 2018 hasilnya
hanya mencapai 6,2 ton GKP namun hasil ini secara rata-rata sudah sesuai
dengan deskripsi Inpari 32, sehingga varietas ini memang sangat potensial
dikembangkan pada lahan rawa pasang surut tipe C di kabupaten tanah laut
pada berbagai musim. Selain itu pemanfaatan katam terpadu sebagai
rekomendasi sangat membantu mendukung kegiatan budidya, hal ini sesuai
dengan Fagi, A.M, dan I. Las. (1988) membuktikan bahwa VUB yang ditanam
dan dibudidayakan pada lahan sawah berbagai macam tipologi mampu

Tabel 7. Analisis pengaruh musim tanam pada kegiatan budidaya Inpari 32 di lahan
pasang surut di Kabupaten Tanah Laut.

Analisis pengaruh musim tanam


No Uraian Keterangan
MH MK

3 Cekaman rendaman ada tidak ada Info 10 tahun terakhir


4 Kekeringan tidak pernah sering Antisipasi pompanisasi,
long storage
5 Tingkat serangan OPT
6 Blas tinggi tinggi Antisipasi penerapan PHT
7 Tungro tinggi tinggi Antisipasi penerapan PHT
8 Penggerek tinggi kurang Antisipasi penerapan PHT
9 Tikus tinggi kurang Antisipasi penerapan PHT
10 Walang sangit tinggi kurang Antisipasi penerapan PHT
11 Burung tinggi tinggi Antisipasi penerapan PHT
12 Waktu tanam sesuai Katam bisa dilaksanakan bisa dilaksanakan Sesuai rekomendasi Katam
13 Penerapan teknik budidaya bisa dilaksanakan bisa dilaksanakan Spesifik lokasi
14 Pertumbuhan vegetatif baik baik Selama tidak kekurangan
unsur hara
1 5 Pertumbuhan generatif baik baik Selama tidak kekurangan
unsur hara
1 6 Umur panen sesuai deskripsi sesuai deskripsi
1 7 Hasil panen 8,3-8,5 t/ha 6,5-8,2 t/ha Gabah Kering Panen
(GKP)

138 Sabur dan Yuliani: Keragaan VUB Inpari 32.....


menghasilkan gabah setara dengan hasil gabah VUB pada sawah irigasi asal
sesuai praktek pengelolaan dan pengetahuan tentang prakiraan iklim.
Pada penelitian ini yang juga bisa diamati adalah pengaruh musim tanam
terhadap kemungkinan deraan yang akan menimpa tanaman yang bisa dilihat
pada Tabel 7. Pada kegiatan tanam Musim Hujan yang sering ditemui adalah
deraan rendaman karena tingginya permukaan air akibat hujan, yang biasanya
terjadi pada awal tanam dan saat tanaman masih di semai. Hal ini karena tanam
padi di khususnya pulau kalimantan ditentukan dengan menggunakan data curah
hujan yang mengaplikasikan metode Oldeman (Runtunuwu dan Syahbuddin,
2007). Sedangkan kekeringan hanya di temukan pada MK, kondisinya sering
terjadi dan langkah antisipasinya adalah memanfaatkan long storage (parit
penyimpan air) dengan menggunakan pompa air. OPT cukup menjadi masalah
dominan pada MH hal yang sama di sampaikan (Hutapera,2011), baik itu hama
dan penyakit, dikarena tingginya kelembaban udara, akibatnya hujan. Sedangkan
pada MK beberapa serangan hama penyakit berkurang karena seiring dengan
jadwal pertenaman padi lokal sehingga sebaran OPT lebih luas dan mengurangi
tingkat serangan. Pemanfaatan rekomendasi katam terutama waktu tanam,
dapat di lakukan dengan baik di MH maupun MK, begitu juga penerapan teknologi
khususnya spesifik lahan rawa pasang surut hal ini sejalan dengan Fagi, A.M,
dan I. Las. (1988). Pertumbuhan vegetatif dan generatif selama kegiatan
pengamatan terlihat baik, selama tanaman mendapatkan hara dan air yang cukup
pada musin tanam MH dan MK, dan tidak ada serangan OPT yang tidak bisa di
kendalikan. Musin tanam juga tidak berpengaruh terhadap umur tanaman rerata
panen pada kisaran umur 120 hari, sedangkan hasil panen gabah (GKP) pada
MH kisarannya lebih tinggi antara 8,32-8,5 ton/ha, sedangkan pada MK 6,5-8,2
ton/ha. Tentunya harus dengan pemeliharaan yang optimal dan OPT yang
terkendali hasil penelitian di kuatkan pendapat Angulo et al (2012) yang
menyimpulkan hal serupa bahwa produksi padi di MH lebih baik dari pada MK
dengan dengan dukungan faktor genetik dan lingkungan seperti teknik budi daya,
kondisi iklim, dan optimalisasi pengendalian hama penyakit pada tanaman padi..

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengkajian yang telah dilakukan Varietas Inpari 32 mampu
tumbuh dan berproduksi dengan baik pada lahan rawa pasang surut di kabupaten
Tanah Laut serta mampu menghasilkan produksi gabah per hakter pada MH
201/2018 sebanyak 8,32 ton/ha GKP dan pada MH 2018/2019 sebanyak 8,2
ton/ha. Sedangkan pada MK I tahun 2019 sebanyak 8,5 ton/ha GKP, walau

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 139


pada MK I tahun 2018 hanya menghasilkan 6,2 ton/ha GKP, namun hasil ini
sudah setara dengan rerata hasil produksi VUB Inpara 32 sesuai deskripsi yang
dikeluarkan Kementerian Pertanian.
Pemanfaatan informasi katam terpadu sebagai patokan waktu tanam serta
rekomendasi pupuk dan lain lain dalam kegiatan budidaya padi sangat
mendukung. Terbukti pada MK pun mampu berproduksi dengan baik. Beberapa
parameter yang diamati menunjukan varietas VUB Inpari 32 cocok untuk
ditanam di lahan rawa pasang surut asal dikelola dengan baik, untuk itu perlu
penyebarluasan informasi agar teknologi varietas Inpari 32 dapat semakin
menyebar dan di manfaatkan petani terutama lahan rawa pasang surut tipe C.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan Syukur kepada Allah SWT dan Terima kasih di sampaikan kepada
Kementerian Pertanain dan Kepala BPTP Kalimantan Selatan, Dinas Tanaman
Pangan Hortikultura dan Perkebuanan kabupaten Tanah Laut, serta rekan PPL
dan petani yang telah memberikan kontribusi pada kegiatan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, B., T. Soewito, dan Sularjo. 2008. Perkembangan dan prospek perakitan
padi tipe baru di Indonesia. Jurnal Litbangtan 27(1): Hal 1-8.
Angulo, C., M. Becker, and R. Wassmann. 2012. Yield gap analysis and
assessment of climate-induced yield trends of irrigated rice in selected
provinces of the Philippines. Journal of Agriculture and Rural
Development in the Tropics and Subtropics 113(1):61-68
Aribawa, 2012. Pengaruh sistem tanam terhadap peningkatan produktivitas padi
di lahan sawah dataran tinggi beriklim basah. Seminar kedaulatan Pangan
dan Energi. Fakultas pertanian Universitas Tronojoyo Madura. Http//
pertanian.trunojoyo.ac.id.
Casper J. van der Kooi, Martin Reich, Markus Löwc, Luit J. De Koka, Michael
Tausza.2016. “Growth and yield stimulation under elevated CO and
drought: A meta-analysis on crops.” 2 Environmental and Experimental
Botany, vol 122, pp. 150–157.
Estiningtyas. W dan Syakir. M. 2017. Pengaruh Perubahan Iklim terhadap
Produksi Padi di Lahan Tadah Hujan. Jurnal Meteorologi dan Geofisika
Vol 18 No2 Thahun 2017. Hal 83-93.

140 Sabur dan Yuliani: Keragaan VUB Inpari 32.....


Fagi, A.M, dan I. Las. 1988. Lingkungan Tumbuh Padi dalam Padi Buku 1.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 319 Hal.
Handoko, S, Y.Farmanta dan Adri. 2017. Peningkatan produktivitas padi sawah
melalui introduksi varietas unggul baru di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur Jambi. Prosiding Seminar Nasional Pengkajian Teknologi Spesifik
Lokasi Komoditas Tanaman Pangan, Bengkulu. 8 November 2016. Hal
96-100.
Hidayati, R., Impron, and B. D. Dasanto. 2010. Pengembangan kalender tanaman
semidinamik untuk penyusunan alternative pola tanam dengan risiko iklim
minimum berdasarkan karakteristik ENSO. Laporan Hasil Penelitian-
Hibah Penelitian I-MHERE B2C. Bogor.
Hutapea D. 2011. Kajian dampak keragaman iklim terhadap distribusi dan
perubahan status hama tanaman padi di Pantai Utara Jawa Barat. Tesis.
Institut Pertanian Bogor. Jawa Barat.
Lakitan, B. 2008. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo Persada,
Jakarta. 205 hal.
Jayaseelan, A. T. 2001. Drought and Flood Assessment And Monitoring Using
Remote Sensing And GIS, Satellite Remote Sensing And Gis Application
In Agricultural Meteorology, Hal 291-313.
Masdar. 2007. Interaksi jarak tanam dan jumlah bibit per titik tanaman pada
sistem intensifikasi padi terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman. Jurnal
Akta Agrosia, Edisi Khusus (1): 92-98.
Nugraha, Y dan Sitaresmi T. 2018. Upaya peningkatan produktivitas padi dari
sisipendekatan genetik.Iptek Tanaman Pangan 13(1): 1-10.
Runtunuwu, E., H. Syahbuddin. 2007. Perubahan pola curah hujan dan
dampaknya terhadap potensi periode masa tanam. Tanah dan Iklim 26:1-
12.
Silitonga, T.S. 1989. Analisis koefisien lintasan dari komponen hasil galur-galur
padi hibrida. Penelitian Pertanian 9(2):68-70.
Suharto, H. 2010. Pengendalian Hama Penggerek Batang Padi. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 141


Suprihatno, B., A A. Dradjat, Satoto, Baehaki, N. Widiarta, A. Setyono, S.D.
Indrasari, O.S. Lesmana dan Hasil Sembiring. 2007. Deskripsi varietas
padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Besar
Penelitian Padi. Sukamandi, Subang Jawa Barat.
Suprihatno, B. 2010. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman
Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian
Pertanian Sukamandi.
Suprapto dan Narimah Md Khairudin . 2007. Variasi Genetik, heratabilitas, Tindak
Gen dan Kemajuan Kedelai (Glycine Max Merrill) pada Ultisol. Jumal
Ilmu ilmu Pertanian Indonesia, volume 9 no 2. Hal 183-190
Sutaryo, B., B. Suprihatno, dan Z. Harahap. 1988. Analisis komponen lintasan
dari komponen hasil perbanyakan benih padi hibrida. Penelitian Pertanian
8(1):46-48
Silitonga,T.S. Asadi, dan Hadis Siregar. 2002. Studi Genetik Ukuran Biji Padi
dan Ketahanan Kedelai terhadap Virus Kerdil.Prosiding Seminar Hasil
Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. Hal 85-95.
Wangiyana, W., Laiwan, Z., dan Sanisah. 2009. Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman Padi Varietas Ciherang dengan Teknik Budidaya “SRI (system
of rice intensification)” pada Berbagai Umur dan Jumlah Bibit per Lubang
Tanam. Crop Agro Vol. 2 No. 1. Hal 70-78.
Weiguo Cheng, Hidemitsu Sakai, Kazuyuki Yagi, Toshihiro Hasegawa. 2009.
Interactions of elevated [CO2] and night temperature on rice growth
and yield. Agricultural and Forest Meteorology, vol 149, pp 51–58. 2009.

142 Sabur dan Yuliani: Keragaan VUB Inpari 32.....


Identifikasi Morfologi Akar terhadap Toleransi Salin
pada Fase Vegetatif di Beberapa Kultivar
Tanaman Padi (Oryza sativa L.)
Tovika Berlinasari dan Mukhammad Muryono
Departemen Biologi, Fakultas Sains, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Jl. Teknik Mesin No.173, Keputih, Kec. Sukolilo, Kota Surabaya, Jawa Timur 60115
Tel.:(031)5963857 Fax.: (031)5963857 Email:tovicsberlin3@gmail.com

ABSTRAK
Kebutuhan tanaman padi semakin meningkat seiring dengan
peningkatan laju pertumbuhan penduduk. Dampak dari perubahan
iklim adalah naiknya permukaan air laut yang mengakibatkan kondisi
tanaman mengalami cekaman salinitas. Upaya pengembangan
tanaman padi di lahan salin masih menemui beberapa kendala
diantaranya adalah belum banyak informasi mengenai kultivar yang
toleran pada kondisi salinitas. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dan mendapatkan informasi tentang hasil adaptasi dengan
lingkungan meliputi morfo-fisiologi akar yang berkaitan dengan
kemampuan toleransi salinitas pada beberapa kultivar padi fase
vegetatif sebagai upaya efisiensi penyerapan nutrisi guna peningkatan
produktivitas tanaman padi pada lahan salin. Metodologi dalam
penelitian ini adalah pemilihan benih, persiapan lahan, penyemaian
benih, penanaman padi, serta parameter yang diuji meliputi panjang
akar, diameter akar, berat basah akar, berat kering akar, dan kerusakan
tanaman. Hasil pada penelitian ini terdapat perbedaan secara signifikan
pada parameter panjang akar, diameter akar, berat basah akar, dan
berat kering akar pada fase vegetatif. Nilai kerusakan tanaman
kultivar Pokali dan FL478 menunjukkan nilai toleran lebih tinggi
dibandingkan dengan kultivar IR29 dan Inpara 4. Adanya korelasi
antara parameter panjang akar dan biomassa total tanaman serta
parameter diameter akar dan biomassa total tanaman dimana korelasi
diameter akar dan biomassa total tanaman menunjukkan nilai tertinggi.
Kata kunci: Akar, kerusakan, morfo-fisiologi, padi, salinitas.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 143


ABSTRACT
The needs of rice plants are increase along with the increase
rate of population growth. The impact of climate change is an
increase rising sea levels which cause plant conditions to stress
salinity. Efforts to develop rice plants on saline land still face
several problems include not much information about cultivars
that are tolerant to salinity. This experiment purpose are to ûnd
out and obtain information about the adaptation to the
environment including root morpho-physiology associated with
salinity tolerance ability in some rice cultivars in the vegetative
phase as an efûciently nutrients use to increase rice productivity
on saline ûelds. The methodology in this experiment were seed
selection, land preparation, seed seeding, rice planting, and
parameters tested including root length, root diameter, root wet
weight, root dry weight, and plant injury. The results of this study
have significant differences in the parameters of root length,
root diameter, root wet weight, and root dry weight in the
vegetative phase. The injury score of Pokali and FL478 cultivars
showed tolerant values higher than IR29 and Inpara 4 cultivars.
There was a correlation between parameters of root length and
total plant biomass as well as parameters of root diameter and
plant total biomass where the correlation of root diameter and
plant total biomass showed the highest value.
Keywords: Injury, rice plant, root, salinity.

PENDAHULUAN
Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan komoditas penting yang berperan
sebagai salah satu bahan pangan pokok dunia terutama bagi daerah di belahan
bumi bagian selatan dan Asia Tenggara yang menjadikan padi sebagai
penyumbang sekitar 50-80% total kalori yang dikonsumsi, terutama di Indonesia.
Fenomena peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan konsumsi
beras dalam 30 tahun mendatang dan konsumsi nasional beras tahunan akan
meningkat 2-3 kali lipat sehingga menyebabkan peningkatan impor (Mohanty et
al., 2013). Hal tersebut diakibatkan luas lahan pertanian yang semakin hari
semakin berkurang akibat alih fungsi lahan dan juga faktor lain seperti perubahan
iklim global. Cekaman salinitas terjadi sebagai akibat deposit garam. Menurut
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2007), lahan salin yaitu lahan

144 Berlinasari dan Muryono: Identifikasi Morfologi Akar.....


yang mendapat intrusi air laut sehingga mengandung garam dengan konsentrasi
yang tinggi, terutama pada musim kemarau luasannya sekitar 2%. Pada lahan-
lahan pantai sering memunculkan tanah-tanah salin sebagai akumulasi garam
akibat kekeringan pada musim kemarau (Sumarsono et al., 2006).
Pengaruh utama salinitas adalah berkurangnya pertumbuhan daun yang
langsung mengakibatkan berkurangnya fotosintesis tanaman. Salinitas
mengurangi pertumbuhan dan hasil tanaman pertanian penting dan pada kondisi
terburuk dapat menyebabkan terjadinya gagal panen. Pada kondisi salin,
pertumbuhan dan perkembangan tanaman terhambat karena akumulasi berlebihan
Na dan Cl dalam sitoplasma, menyebabkan perubahan metabolisme di dalam
sel.
Masalah salinitas telah menjadi masalah nasional yang harus ditangani,
terutama untuk mempertahankan atau meningkatkan produksi padi di Indonesia
(Hadi et al., 2015). Sejauh ini penanaman padi dilahan salin tidak mencapai
produktivitas yang maksimal, yang hanya mencapai 2 ton/ha dan masih jauh
dari standar nasional padi 6 ton/ha (BPS, 2015). Upaya-upaya untuk
meningkatkan produksi padi yang toleran salinitas dari beberapa macam genotip
padi sawah telah dilakukan. Peningkatkan hasil padi per satuan luas yaitu dengan
perakitan kultivar padi yang berpotensi hasil tinggi didukung oleh karakteristik
tahan terhadap cekaman biotik maupun abiotik dan berkualitas baik. Padi toleran
atau adaptif pada kondisi lahan tercekam melalui upaya memanipulasi gen yang
mengendalikannya (Khomariah dan Satori, 2011). Penggunaan kultivar padi
toleran salinitas dapat menjadi salah satu alternatif untuk budidaya padi pada
lahan berkonsentrasi garam tinggi sebagai salah satu cara paling efektif untuk
memanfaatkan potensi dan kontribusi lahan salin khususnya pada daerah sentra
produksi padi di pesisir pantai yang mengalami keterbatasan pasokan air irigasi
saat musim kemarau maupun akhir musim penghujan (Refdern et al., 2012).
Menurut Romdon et al. (2014) Badan Litbang Pertanian telah melepas
berbagai kultivar padi unggul seperti Ciherang, Batang 3 hari, Banyuasin, Situ
patenggang, INPARI 35, Mekongga, Limboto, Pokali, Cisadane, Widas, FL478
dan lain sebagainya. Varietas-varietas tersebut telah teruji dan menunjukkan
toleransi terhadap cekaman tertentu seperti cekaman air, cekaman salinitas
ataupun cekaman lainnya, namun masih dalam skala penelitian atau kondisi
lingkungan yang terkendali. Padi kultivar Pokali adalah kultivar terkenal di dunia
karena toleransi salinitasnya (Suprihatno et al., 2010). Padi kultivar FL478 adalah
kultivar hibrida rekombinan toleran salin yang dikembangkan IRRI (International
Rice Research Institute) (Walia et al., 2005). Padi kultivar IR29 adalah kultivar
dengan nomor seleksi B13138-7-MR-2-KA-1 (Jamil et al., 2006). Padi kultivar

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 145


Inpara 4 adalah golongan Cere Indica yang berumur 135 hari bertipe tanaman
(Suprihatno et al., 2010). Hasil produksi yang berbeda dengan deskripsi
kultivarpun sering ditemukan setelah diaplikasikan ke petani. Mohanty et al.,
(2013) mengingat adanya keberagaman kondisi agroekologi dan klimatologi
menunjukkan bahwa tingkat cekaman salinitas sangat bervariasi, hal ini akan
memberikan respon tanaman yang beragam dan menunjukkan kemampuan
adaptasi khusus sesuai dengan konsentrasi cekaman pada lingkungan tumbuhnya.
Hasil penelitian Sugiyono dan Samiyarsih (2005) terhadap kultivar padi
Cilamaya, Cisadane, IR64, dan Memberamo pada tingkatan salinitas 50 mM
NaCl, 100 mM NaCl, 150 mM NaCl, 200 mM NaCl, dan 250 mM NaCl
menyatakan bahwa salinitas berpengaruh pada perubahan proses fisologi dan
anatomi tanaman padi yang ditandai dengan penurunan kandungan klorofil total
daun, penurunan rasio klorofil a dan klorofil b, penurunan pertumbuhan tanaman,
penurunan tebal mesofil, dan penurunan panjang dan lebar daun. Salinitas tanah
2-4 dS/m dianggap salinitas rendah untuk tanaman padi, sedangkan salinitas 4-
10 dS/m salinitas tinggi (Mohanty et al., 2013). Girme et al. (2017) menemukan
bahwa tinggi tanaman, jumlah anakan dan daun, massa akar, kemudian massa
tunas berkurang secara signifikan pada tingkat salinitas 8 dS/m. Pada level
tertentu, salinitas mengurangi berat basah dan berat kering. Berat basah dan
berat kering berkurang tidak secara signifikan pada tingkat salinitas 4,5 dS/m
(Alam et al., 2004). Reduksi massa dapat terjadi karena salinitas yang
menurunkan indeks luas daun dan jumlah klorofil, sehingga memperlambat laju
fotosintesis (Gholizadeh dan Navabpour, 2011).
Adaptasi ekofisiologi merupakan karakter morfologi dan fisiologi yang
spesifik yang berasal dari materi genetik yang memiliki tingkat keragaman yang
berbeda pada masing-masing kultivar. Pengembangan kultivar dengan tingkat
keragaman genetik yang cukup tinggi memungkinkan untuk mencari materi
pemuliaan genotip padi tahan salin. Berdasarkan uraian permasalahan tersebut,
diperlukan informasi tentang karakter penting tanaman padi dalam merespon
kondisi salin, yang meliputi morfologi dan fisiologi yang mempengaruhi tingkat
toleransi dan produktivitas padi, salah satunya analisis morfo-fisiologi akar karena
akar memiliki peran penting dalam penyerapan air dan nutrisi (Yang et al., 2004)
dan penting untuk dipelajari khususnya berkaitan langsung dengan lahan salin
karena selama ini penelitian yang spesifik membahas tentang adaptasi organ
akar terhadap lingkungan salin tidak banyak dijumpai. Selain itu, akar merupakan
bagian penting dari organ tanaman dan terlibat dalam penyerapan nutrisi dan
air, mensintesis hormon tanaman, sintesis asam organik, dan sintesis asam amino
(Yang et al., 2004). Pengujian kultivar padi pada beberapa kultivar yakni pokali,

146 Berlinasari dan Muryono: Identifikasi Morfologi Akar.....


FL478, IR29, dan Inpara 4 menjadi penting dilakukan sebagai salah satu upaya
untuk dapat mengetahui tingkat toleransi kultivar pada konsentrasi salinitas
tertentu. Oleh sebab itu pemahaman karakter ekofisiologi padi tahan salin
khususnya morfo-fisiologi akar sangat diperlukan sebagai kriteria seleksi dalam
perbaikan genotip padi tahan salin atau toleran pada salinitas tinggi dan sebagai
upaya peningkatan produktivitas tanaman padi pada lahan salin.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret–Juni 2019 di Dusun Pamekasan, Desa
Pademawu Timur, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan, Madura
untuk penanaman dan pengambilan sampel, di Departemen Biologi, Universitas
Islam Negeri Madura, Jurusan Ilmu Tanah, Universitas Brawijaya dan
Departemen Biologi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember untuk pengujian
sampel dan analisis data.
Benih padi (Oryza sativa L.) yang digunakan adalah kultivar Pokali dan
FL478 sebagai toleran terhadap salin, kultivar IR29 dan Inpara 4 sebagai sensitif
terhadap salin diperoleh dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Persiapan
benih yaitu benih dihitung berat per 100 butir, kemudian disemai dalam media
tanah dan pupuk organik (1:2) dalam polybag dan dilakukan penyiraman sehari
2 kali dalam seminggu, kemudian dilakukan perhitungan benih yang tumbuh dan
estimasi jumlah benih tiap kultivar yang dibutuhkan untuk penanaman.
Ukuran lahan yang digunakan penelitian 29 m x 25 m. Lahan yang digunakan
dibersihkan dari sisa tanam padi sebelumnya kemudian dibajak hingga tanah
terbalik dan gembur serta diberi herbisida untuk membersihkan gulma. Kemudian
dilakukan pemetakan lahan semai dimana setiap petak semai diberi papan nama
kultivar. Perhitungan variabel fisik lingkungan meliputi tingkat salinitas lahan
menggunakan EC meter, pengukuran pH menggunakan pH meter, serta
pengukuran intensitas cahaya menggunakan LUX light meter yang rutin
dilakukan seminggu 2 kali.
Benih kultivar Pokali, FL478, IR29, Inpara 4 direndam dengan fungisida
selama 24 jam dan kemudian dilakukan pengeraman selama 24 jam hingga
berkecambah. Penebaran bibit padi sesuai dengan label kultivar pada petak
semai. Pemasangan jaring untuk melindungi bibit dari hama burung. Pemupukan
dilakukan pada 5 hari setelah semai, 12 hari setelah semai, dan 20 hari setelah
semai menggunakan pupuk urea 540 gram, SP36 270 gram, dan KCl 180 gram.
Pengawasan dan pembersihan gulma di lahan semai secara mekanik.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 147


Penanaman padi dilakukan setelah proses penyemaian selama 21-25 hari.
Penanaman bibit padi sesuai plot dan kulitivar pada petak lahan dengan jarak
tanam 25 x 25 cm. Pemupukan dilakukan pada hari ke 0, 2 minggu setelah
tanam, 6 minggu setelah tanam, dan 5% berbunga menggunakan pupuk urea
3600 gram, SP36 1200 gram, dan KCl 1200 gram.
Pengamatan dan pengambilan sampel akar dilakukan setiap seminggu sekali
selama fase vegetatif karena fase tersebut merupakan masa adaptasi tumbuhan
sehingga dapat mengetahui informasi mengenai kemampuan adaptasi akar
terhadap lahan salin. Parameter pengamatan meliputi aspek morfo-fisiologi akar
tanaman padi meliputi panjang akar, kandungan nitrogen akar, berat basah akar,
berat kering akar, biomassa akar, dan kerusakan tanaman.
Analisis data pada penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif dan analisis
deskriptif kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif menggunakan injury score
tanaman padi menurut IRRI (2013). Analisis deskriptif kuantitatif menggunakan
rancangan penelitian yaitu Rancangan Acak Kelompok 1 Faktorial yaitu kultivar
tanaman padi. Perlakuan terdiri dari 4 kultivar terdiri dari 2 kultivar toleran dan
2 kultivar sensitif, tanpa ada perlakuan lain dan dilakukan 3 kali pengulangan
pada masing-masing kultivar. Parameter pertumbuhan diamati setiap minggu.
Data yang dihasilkan dianalisa dengan ANOVA one way. Apabila hasil
menunjukkan berbeda nyata maka dilakukan uji lanjutan Tukey.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Kerusakan Tanaman Padi
Kerusakan tanaman padi yang disebabkan oleh salinitas dapat dianalisis
berdasarkan nilai kerusakan (injury score) yang telah ditetapkan oleh SES
(Standart Evaluation System of rice) (Mohanty et al., 2013). Berikut pengamatan
kerusakan tanaman pada masing-masing kultivar dengan jumlah populasi
keseluruhan.
Angka 1 dapat ditunjukkan dengan ciri-ciri pertumbuhan normal dan tidak
terdapat penyakit daun, angka 3 dapat ditunjukkan dengan ciri-ciri pertumbuhan
agak normal namun ujung daun atau beberapa daun memutih dan menggulung,
angka 5 dapat ditunjukkan dengan ciri-ciri pertumbuhan terhambat, hampir
seluruh daun menggulung dan hanya beberapa yang memanjang. Angka 7 dapat
ditunjukkan dengan ciri-ciri pertumbuhan berhenti total dan hampir seluruh daun
mengering, angka 9 dapat ditunjukkan dengan ciri-ciri hampir seluruh bagian
tanaman mati.

148 Berlinasari dan Muryono: Identifikasi Morfologi Akar.....


Gambar 1. Diagram pengamatan kerusakan tanaman. (1,3,5) merupakan angka untuk kategori
tanaman toleran. (7,9) merupakan angka untuk kategori tanaman sensitif.

Kultivar Pokali dan FL478 memiliki presentase nilai toleran 100% dan
presentase nilai sensitif 0%. Hal tersebut menunjukkan keseluruhan populasi
pada kultivar Pokali dan FL478 merespon positif lingkungan salin sehingga nilai
kerusakan tanaman yang toleran lebih tinggi dibandingkan nilai kerusakan
tanaman yang sensitif sehingga memiliki kemampuan adaptasi lebih baik daripada
kultivar IR29 dan Inpara 4. Kultivar IR29 memiliki presentase nilai toleran 88%
dan presentase nilai sensitif 12%, sedangkan kultivar Inpara 4 memiliki presentase
nilai toleran 76% dan presentase nilai sensitif 24%. Hal tersebut menunjukkan
kultivar IR29 dan Inpara 4 merespon negatif lingkungan salin sehingga nilai
kerusakan tanaman yang sensitif lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar Pokali
dan FL478 sehingga memiliki kemampuan adaptasi lebih buruk.

2. Parameter Panjang Akar


Pengukuran parameter panjang akar merupakan akar seminal terpanjang dari
pangkal akar hingga ujung akar dengan satuan cm. Hasil (Gambar 2)
menunjukkan adanya perbedaan panjang akar yang signifikan antara kultivar
padi toleran dan kultivar padi sensitif.
Pengamatan dianalisis menggunakan ANOVA one way dilanjutkan dengan
uji Tukey untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda signifikan dengan
taraf kepercayaan 95%. Huruf yang tertulis di atas angka pada masing-masing
diagram menunjukkan notasi dari hasil uji Tukey.
Gambar 2 tersebut menunjukkan nilai rata-rata panjang akar (cm) pada
masing-masing kultivar padi yang ditanam pada tanah salin. Hasil pengamatan
panjang akar yang dianalisis menggunakan ANOVA one way menunjukkan

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 149


Gambar 2. Diagram batang rata-rata panjang akar (cm).

pada Pokali dan FL478 yang merepresentasikan kultivar toleran terhadap salin
serta IR29 dan Inpara 4 yang merepresentasikan kultivar sensitif terhadap salin
menunjukkan kesimpulan bahwa tolak H0 (P<0,05) yang bermakna terdapat
perbedaan panjang akar yang signifikan akibat perbedaan kultivar, kemudian
dilanjutkan dengan uji Tukey sesuai gambar B menunjukkan Pokali dan FL478
memiliki nilai rata-rata panjang akar dengan notasi sama (b) berarti tidak berbeda
signifikan. IR29 dan Inpara 4 memiliki nilai rata-rata panjang akar dengan notasi
sama (a) berarti tidak berbeda signifikan. Hal tersebut menunjukkan adanya
perbedaan signifikan antara perlakuan kultivar toleran (Pokali dan FL478) yang
dilambangkan notasi (b) dengan perlakuan kultivar sensitif (IR29 dan Inpara 4)
yang dilambangkan notasi (a).
Pokali merupakan kultivar tanaman padi toleran yang memiliki respon
panjang akar tertinggi pada kondisi salin dan Inpara 4 merupakan kultivar
tanaman padi sensitif yang memiliki respon panjang akar terendah pada kondisi
salin. Kultivar tanaman padi toleran terhadap kondisi salin memiliki nilai panjang
akar yang lebih tinggi dibandingkan kultivar tanaman padi sensitif, hal ini
disebabkan oleh respon akar tanaman padi toleran terhadap salin menyerap
unsur hara lebih banyak dan menyebabkan pembelahan sel-sel apikal akar aktif
sehingga dapat memperpanjang akar (Gu et al., 2017).

3. Parameter Diameter Akar


Pengukuran parameter diameter akar merupakan diameter akar seminal
terpanjang dengan satuan mm. Hasil (Gambar 3) menunjukkan adanya
perbedaan diameter akar yang signifikan antara kultivar padi toleran dan kultivar
padi sensitif.

150 Berlinasari dan Muryono: Identifikasi Morfologi Akar.....


Gambar 3. Diagram batang rata-rata diameter akar (mm).

Pengamatan dianalisis menggunakan ANOVA one way dilanjutkan dengan


uji Tukey untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda signifikan dengan
taraf kepercayaan 95%. Huruf yang tertulis di atas angka pada masing-masing
diagram menunjukkan notasi dari hasil uji Tukey.
Gambar C. tersebut menunjukkan nilai rata-rata diameter akar (mm) pada
masing-masing kultivar padi yang ditanam pada tanah salin. Hasil pengamatan
diameter akar yang dianalisis menggunakan ANOVA one way menunjukkan
pada Pokali dan FL478 yang merepresentasikan kultivar toleran terhadap salin
serta IR29 dan Inpara 4 yang merepresentasikan kultivar sensitif terhadap salin
menunjukkan kesimpulan bahwa tolak H0 (P<0,05) yang bermakna terdapat
perbedaan diameter akar yang signifikan akibat perbedaan kultivar, kemudian
dilanjutkan dengan uji Tukey sesuai gambar C menunjukkan Pokali memiliki
nilai rata-rata diameter akar dengan notasi (c) berarti berbeda signifikan dengan
perlakuan lainnya. FL478 memiliki nilai rata-rata diameter akar dengan notasi
(b) berarti berbeda signifikan dengan perlakuan lainnya. IR29 dan Inpara 4
memiliki nilai rata-rata panjang akar dengan notasi sama (a) berarti tidak berbeda
signifikan. Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara
perlakuan kultivar toleran (Pokali) yang dilambangkan notasi (c) dengan perlakuan
kultivar toleran (FL478) yang dilambangkan notasi (b) dan kultivar sensitif (IR29
dan Inpara 4) yang dilambangkan notasi (a).
Pokali merupakan kultivar tanaman padi toleran yang memiliki respon
diameter akar tertinggi pada kondisi salin dan Inpara 4 merupakan kultivar
tanaman padi sensitif yang memiliki respon diameter akar terendah pada kondisi
salin. Diameter akar mempengaruhi volume akar yang mampu

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 151


merepresentasikan massa dan luas permukaan akar, hal tersebut menunjukkan
penyerapan nutrisi dan unsur hara semakin tinggi apabila diameter akar semakin
tinggi (Gu et al., 2017).

4. Parameter Berat Basah Akar


Pengukuran berat basah akar dengan menghitung berat menggunakan timbangan
digital diperoleh dari berat akar sebelum proses pengeringan atau dalam keadaan
segar. Hasil (Gambar 4) menunjukkan adanya perbedaan berat basah akar yang
signifikan antara kultivar padi toleran dan kultivar padi sensitif.
Pengamatan dianalisis menggunakan ANOVA one way dilanjutkan dengan
uji Tukey untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda signifikan dengan
taraf kepercayaan 95%. Huruf yang tertulis di atas angka pada masing-masing
diagram menunjukkan notasi dari hasil uji Tukey.
Gambar 4 tersebut menunjukkan nilai rata-rata berat basah akar (gram)
pada masing-masing kultivar padi yang ditanam pada tanah salin. Hasil
pengamatan diameter akar yang dianalisis menggunakan ANOVA one way
menunjukkan bahwa Pokali dan FL478 yang merepresentasikan kultivar toleran
terhadap salin serta IR29 dan Inpara 4 yang merepresentasikan kultivar sensitif
terhadap salin menunjukkan kesimpulan bahwa tolak H0 (P<0,05) yang bermakna
terdapat perbedaan diameter akar yang signifikan akibat perbedaan kultivar,
kemudian dilanjutkan dengan uji Tukey sesuai Gambar 4 menunjukkan Pokali
dan FL478 memiliki nilai rata-rata diameter akar dengan notasi sama (b) berarti
tidak berbeda signifikan. IR29 dan Inpara 4 memiliki nilai rata-rata diameter

Gambar 4. Diagram batang rata-rata berat basah akar (gram).

152 Berlinasari dan Muryono: Identifikasi Morfologi Akar.....


akar dengan notasi sama (a) berarti tidak berbeda signifikan. Hal tersebut
menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara perlakuan kultivar toleran
(Pokali dan FL478) yang dilambangkan notasi (b) dengan perlakuan kultivar
sensitif (IR29 dan Inpara 4) yang dilambangkan notasi (a).
Pokali merupakan kultivar tanaman padi toleran yang memiliki respon berat
basah akar tertinggi pada kondisi salin dan Inpara 4 merupakan kultivar tanaman
padi sensitif yang memiliki respon berat basah akar terendah pada kondisi salin.
Penurunan bobot basah akar tanaman yang terkena stres merupakan dampak
dari rendahnya potensial air dalam tanah sehingga akar tanaman mengalami
dehidrasi, dan terjadi pula reduksi transpirasi. Dampak lebih lanjut dari kedua
proses tersebut adalah rendahnya penyerapan material-material terlarut dari
dalam tanah dan atau rendahnya biosintesis material baru dalam tanaman
(Shahzad et al., 2012). Pembentukan seluruh massa tanaman dalam kondisi
salinitas tinggi membutuhkan massa akar lebih besar daripada salinitas rendah.
Massa akar besar dalam salinitas tinggi diharapkan untuk menyerap lebih banyak
air dan nutrisi (Gu et al., 2017).

5. Parameter Berat Kering Akar


Pengukuran berat kering akar dengan menghitung berat menggunakan timbangan
digital diperoleh dari berat akar setelah proses pengeringan menggunakan oven
dengan suhu sekitar 100-105 derajat celcius selama 3 hari. Hasil (Gambar 5)
menunjukkan adanya perbedaan berat kering akar yang signifikan antara kultivar
padi toleran dan kultivar padi sensitif.

Gambar 5. Diagram batang rata-rata berat kering akar (gram).

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 153


Pengamatan dianalisis menggunakan ANOVA one way dilanjutkan dengan
uji Tukey untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda signifikan dengan
taraf kepercayaan 95%. Huruf yang tertulis di atas angka pada masing-masing
diagram menunjukkan notasi dari hasil uji Tukey.
Gambar 5 tersebut menunjukkan nilai rata-rata berat kering akar (gram)
pada masing-masing kultivar padi yang ditanam pada tanah salin. Hasil
pengamatan berat kering akar yang dianalisis menggunakan ANOVA one way
menunjukkan bahwa Pokali dan FL478 yang merepresentasikan kultivar toleran
terhadap salin serta IR29 dan Inpara 4 yang merepresentasikan kultivar sensitif
terhadap salin menunjukkan kesimpulan bahwa tolak H0 (P<0,05) yang bermakna
terdapat perbedaan berat kering akar yang signifikan akibat perbedaan kultivar,
kemudian dilanjutkan dengan uji Tukey sesuai gambar E menunjukkan Pokali
memiliki nilai rata-rata berat kering akar dengan notasi (b) berarti berbeda
signifikan dengan perlakuan lainnya. FL478 dan IR29 memiliki nilai rata-rata
berat kering akar dengan notasi sama (ab) berarti tidak berbeda signifikan.
Inpara 4 memiliki nilai rata-rata berat kering akar dengan notasi (a) berarti
berbeda signifikan dengan perlakuan lainnya. Hal tersebut menunjukkan adanya
perbedaan signifikan antara perlakuan kultivar toleran (Pokali) yang
dilambangkan notasi (b) dengan perlakuan kultivar sensitif (Inpara 4) yang
dilambangkan notasi (a).
Pokali merupakan kultivar tanaman padi toleran yang memiliki respon berat
kering akar tertinggi pada kondisi salin dan Inpara 4 merupakan kultivar tanaman
padi sensitif yang memiliki respon berat kering akar terendah pada kondisi salin.
Albacete (2008) melaporkan bahwa pembentukan biomassa tanaman dipengaruhi
oleh hormon auksin, sitokinin, dan asam absisat (ABA). Di bawah kondisi salin,
hormon auksin mengalami penurunan, di sana dengan mengurangi partisi massa
akar tanaman. Namun, rasio auksin/sitokinin menunjukkan peningkatan, yang
menunjukkan bahwa sel-sel akar masih dapat melakukan pemanjangan akar
dan menumbuhkan pada kondisi salinitas.

6. Parameter Kandungan Air Akar


Pengukuran kandungan air akar menggunakan timbangan digital dengan
perhitungan selisih berat basah dan berat kering akar. Hasil (Gambar 6)
menunjukkan adanya perbedaan kandungan air akar yang signifikan antara
kultivar padi toleran dan kultivar padi sensitif.

154 Berlinasari dan Muryono: Identifikasi Morfologi Akar.....


Gambar 6. Diagram batang rata-rata kandungan air akar (gram).

Pengamatan dianalisis menggunakan ANOVA one way dilanjutkan dengan


uji Tukey untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda signifikan dengan
taraf kepercayaan 95%. Huruf yang tertulis di atas angka pada masing-masing
diagram menunjukkan notasi dari hasil uji Tukey.
Gambar 6 tersebut menunjukkan nilai rata-rata kandungan air akar (gram)
pada masing-masing kultivar padi yang ditanam pada tanah salin. Hasil
pengamatan kandungan air akar yang dianalisis menggunakan ANOVA one
way menunjukkan bahwa Pokali dan FL478 yang merepresentasikan kultivar
toleran terhadap salin serta IR29 dan Inpara 4 yang merepresentasikan kultivar
sensitif terhadap salin menunjukkan kesimpulan bahwa tolak H0 (P<0,05) yang
bermakna terdapat perbedaan kandungan air akar yang signifikan akibat
perbedaan kultivar, kemudian dilanjutkan dengan uji Tukey menunjukkan Pokali
dan FL478 memiliki nilai rata-rata kandungan air akar dengan notasi sama (b)
berarti tidak berbeda signifikan. IR29 dan Inpara 4 memiliki nilai rata-rata
kandungan air akar dengan notasi sama (a) berarti tidak berbeda signifikan.
Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara perlakuan kultivar
toleran (Pokali dan FL478) yang dilambangkan notasi (b) dengan perlakuan
kultivar sensitif (IR29 dan Inpara 4) yang dilambangkan notasi (a).
Pokali merupakan kultivar tanaman padi toleran yang memiliki respon
kandungan air akar tertinggi pada kondisi salin dan Inpara 4 merupakan kultivar
tanaman padi sensitif yang memiliki respon kandungan air akar terendah pada
kondisi salin. Sistem akar memainkan peran penting dalam penyerapan air dan
nutrisi (Kano et al., 2011). Area akar merupakan bagian integral dari organ
tanaman dan terlibat dalam penyerapan air, nutrisi, sintesis hormon tanaman,
sintesis asam organik dan sintesis asam amino (Yang et al., 2004).

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 155


7. Biomassa Total Tanaman Padi
Biomassa total tanaman padi menunjukkan biomassa dari total bagian organ
akar, batang, dan daun tanaman padi. Hasil (Gambar 7) menunjukkan biomassa
total masing-masing kultivar padi pada fase vegetatif.
Gambar 7 menunjukkan biomassa total kultivar pokali memiliki nilai tertinggi
sedangkan biomassa total kultivar inpara 4 memiliki nilai terendah. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kultivar toleran memiliki biomassa total yang lebih tinggi
dibandingkan biomassa total kultivar sensitif. Gejala salinitas pada tanaman padi
diawali tepi bagian ujung daun mengering, berkurangnya jumlah anakan, panjang
akar, tinggi tanaman, bobot kering tajuk, dan bobot akar (Suhartini dan
Hardjosudarmo, 2017).

8. Korelasi Parameter Panjang Akar dan Biomassa Total


Pengamatan parameter panjang akar dan biomassa total tanaman padi pada
masing-masing kultivar dikorelasikan untuk menunjukkan keterkaitan satu sama
lain.

Gambar 7. Diagram Pengamatan biomassa total masing-masing kultivar dalam presentase.

Gambar 8. Korelasi antara panjang akar dan biomassa total masing-masing kultivar.

156 Berlinasari dan Muryono: Identifikasi Morfologi Akar.....


Hasil korelasi antara panjang akar dan biomassa total tanaman padi,
menunjukkan bahwa ada korelasi antara keduanya. Korelasi terdekat terdapat
pada kultivar pokali daripada kultivar lainnya, hal tersebut menunjukkan bahwa
adanya hubungan antara panjang akar dan biomassa total tanaman sehingga
panjang akar dapat merepresentasikan nilai biomassa total tanaman padi.
Pembentukan seluruh massa tanaman dalam kondisi salinitas tinggi membutuhkan
panjang akar lebih tinggi daripada salinitas rendah. Panjang akar yang tinggi
dalam salinitas tinggi diharapkan untuk menyerap lebih banyak air dan nutrisi
(Gu et al., 2017), dan mencegah stres osmotik karena ketidakseimbangan dalam
rasio Na + / K +. Munns dan Tester (2008) juga melaporkan bahwa proliferasi
sel akar dan massa akar yang besar, mungkin memfasilitasi pelepasan akumulasi
ion Na + dalam sel-sel akar. Lebih lanjut, Ali et al. (2002) menyatakan bahwa
alokasi massa ke akar disarankan sebagai parameter pemilihan genotip.

9. Korelasi Parameter Diameter Akar dan Biomassa Total


Pengamatan parameter diameter akar dan biomassa total tanaman padi pada
masing-masing kultivar dikorelasikan untuk menunjukkan keterkaitan satu sama
lain.
Hasil korelasi antara diameter akar dan biomassa total tanaman padi,
menunjukkan bahwa ada korelasi antara keduanya. Korelasi pada masing-
masing kultivar memiliki angka mendekati satu, sehingga hal tersebut
menunjukkan bahwa adanya hubungan antara diameter akar dan biomassa total
tanaman sehingga diameter akar dapat merepresentasikan nilai biomassa total
tanaman padi. Salinitas mengurangi massa akar, laju pemanjangan akar, diameter
akar, panjang akar, dan volume akar (Shahzad et al., 2012). Diameter akar
mempengaruhi volume akar yang mampu merepresentasikan massa dan luas
permukaan akar, hal tersebut menunjukkan penyerapan nutrisi dan unsur hara

Gambar 9. Korelasi antara diameter akar dan biomassa total masing-masing kultivar.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 157


semakin tinggi apabila diameter akar semakin tinggi (Gu et al., 2017). Selain
menyebabkan kerusakan morfologi akar, salinitas juga menghambat penyerapan
nutrisi NO3 oleh akar, di sana dengan mengurangi tingkat produksi sel dan
mengurangi massa akar (Abdelgadir et al., 2005). Irving (2015) melaporkan
bahwa seiring dengan pertumbuhan tanaman, partisi massa dialokasikan lebih
banyak ke massa tanah di atas. Alokasi massa tanah di atas tanaman diperlukan
untuk meningkatkan laju fotosintesis. Tatar et al. (2009) melaporkan bahwa
massa batang varietas padi yang dialokasikan bervariasi dalam kondisi salinitas.
Stres salinitas dapat memberikan alokasi biomassa yang berbeda antara masing-
masing kultivar padi fase vegetatif. Tanaman padi dapat beradaptasi dengan
vigor pertumbuhan adalah semacam mekanisme yang dapat menghindari efek
racun pada salinitas. Konsentrasi Na+ yang diangkut akan lebih rendah pada
genotip yang pertumbuhannya cepat daripada yang pertumbuhannya lambat.
Membatasi masuknya garam ke akar tanaman padi mengendalikan transportasi
garam dengan penyerapan selektif oleh sel akar dan ion masuk ke akar bersama
air melalui jalur simplas dan apoplas. Kompartementasi intraseluler dimana
tanaman mengangkut ion racun ke daun tua dan pelepah daun untuk
menyelamatkan jaringan meristematik muda yang sedang tumbuh (Das et al.,
2018).

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian yang diambil dari beberapa kultivar sampel padi
(Oryza sativa L.) yang ditanam pada lingkungan salin dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan secara signifikan dimana analisis ANOVA one way
menunjukkan tolak H0 (P<0,05) pada masing-masing parameter (panjang akar,
diameter akar, berat basah akar, dan berat kering akar) pada fase vegetatif.
Nilai kerusakan tanaman kultivar Pokali dan FL478 menunjukkan nilai toleran
lebih tinggi (skor 1,3,5) dibandingkan dengan kultivar IR29 dan Inpara 4 (skor 7
dan 9). Adanya korelasi antara parameter panjang akar dan biomassa total
tanaman serta parameter diameter akar dan biomassa total tanaman dimana
korelasi diameter akar dan biomassa total tanaman menunjukkan nilai tertinggi.
Berdasarkan hasil penelitian, disarankan penelitian dilakukan dalam skala
rumah kaca dengan pot transparan untuk meminimalisir kerusakan akar pada
pengamatan dan disarankan dalam konteks budidaya tanaman perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut yang berupaya meningkatkan kemampuan tanaman padi
(Oryza sativa L.) dalam kondisi salin melalui penyesuaian karakter morfologi
akar yang beradaptasi baik untuk menghasilkan kultivar toleran.

158 Berlinasari dan Muryono: Identifikasi Morfologi Akar.....


UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr. Nafisah, M.Sc. dari Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi BALITBANGTAN Kementerian Pertanian
yang senantiasa mendukung dalam penelitian ini. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada kerabat dan teman-teman yang senantiasa mendoakan dan
mendukung penulis.

DAFTAR PUSTAKA
Mohanty, S., R. Wassmann., A. Nelson., P. Moya dan S.V.K. Jagadish. 2013.
Rice and Climate Change: Significance for Food Security and Vulnerability.
Filipina: International Rice Research Institute.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Prospek dan Arah
Pengembangan Agribisnis Jagung. Jakarta: Kementrian Pertanian.
Sumarsono, S. Anwar, S. Budianto dan D. W. Widjayanto. 2006. Penampilan
Morfologi dan Produksi Bahan Kering Hijauan Rumput Gajah dan
Kolonjono di Lahan Pantai yang Dipupuk dengan Pupuk Organik dan
Dua Level Pupuk Urea. Semarang: Fakultas Peternakan Universitas
Dipenogoro.
Hadi, Roni A., dan R. Budiasih. 2015. Variabilitas dan Heritabilitas Karakter
Penting beberapa Genotip Padi Sawahpada Cekaman Salinitas Tinggi.
PASPALUM 3(1).
BPS (Badan Pusat Statistika). 2015. Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai. Angka
Sementara Tahun 2015 Badan Pusat Statistik No.28/03/Th.XIX Maret
2016. Diakses dari http://www.bps.goid/ pada tanggal 21 Februari 2019
Khomairah, A. dan Djam’an Satori. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung:
Afabeta.
Redfern, S.K., N. Azzu dan J.S. Binamira. 2012. Rice in Southeast Asia: Facing
Risk and Vulnerabilities to Respond to Climate Change. Proc. Building
Resilience for Adaptation to Climate Change in the Agriculture Sector
Conf., FAO/OECD. p. 295-314.
Romdon, A.S., E. Kurniyati., S. Bahri dan J. Pramono. 2014. Kumpulan Deskripsi
Varietas Padi. Ungaran: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa
Tengah.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 159


Suprihatno, B., Daradjat, A.A., Satoto, Baehaki, Setyono, A., Indrasari, S.D.,
Wardana, I.P., dan Hasil Sembiring. 2010. Deskripsi Varietas Padi. Subang:
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
Walia H, Wilson C, Condamine P, Liu X, Ismail AM, Zeng L. 2005. Comparative
Transcriptional Profiling of Two Contrasting Rice Genotypes Under
Salinity Stress During The Vegetative Stage. Plant Phys 139: 822-835.
Jamil, M., Lee, D., Jung K.Y., Ashraf, M., Lee, S.C., dan Rha E.S. 2006. Effect
of Salt Stress on Germination and Early Seedling Growth of Four
Vegetables Species. Journal Cent. Eur. Agric. 7: 273-282.
Sugiyono dan S. Samiyarsih. 2005. Respon beberapa varietas padi terhadap
stress garam. Biosfera. 22(2): 67-75.
Girme, B., Hussein, M.A., Alemayehu, A.G., dan Kebede A. 2017. Evaluation
of Salt Tolerance, Cooking and Nutritional Quality of Rice. Lap Lambert
Academic Publishing.
Alam, M.Z., Stuchbury, T., Naylor, R.E.L., dan Rashid M.A. 2004. Effect of
Salinity on Growth of Some Modern Rice Cultivars. Journal of Agronomy,
3: 1-10.
Gholizadeh F. dan Navabpour S. 2011. Effect of Salinity on Morphological and
Physiological Characteristics in Correlation to Selection of Salt Tolerance
in Rice (Oryza sativa L.). International Journal of Agricultural Research,
6: 780-788.
Yang, C, Yang, L, Yang, Y and Ouyang, Z. 2004. Rice Root Growth and Nutrient
Uptake as Influenced by Organic Manure in Continuously and Alternately
Flooded Paddy Soils Agric. WaterManage 7067-81.
Gu, J, Zhou, Z, Li. Z, Chen. Y, Wang, Z, Zhang, H. 2017. Rice (Oryza sativa
L.) with Reduced Chlorophyll Content Exhibit Higher Photosynthetic Rate
and Efficiency, Improved Canopy Light Distribution, and Greater Yields
Than Normally Pigmented. Plants Field Crop Res 20058–70.
Shahzad, A, Ahmad, M, Iqbal, M, AhmedI, and Ali, G M. 2012. Evaluation of
Wheat Landrace Genotypes for Salinity Tolerance at Vegetative Stage
by Using Morphological and Molecular Markers. Genetics and Molecular
Research 11679-692.
Albacete, A. 2008. Hormonal Changes in Relation to Biomass Partitioning And
Shoot Growth Impairment In Salinized Tomato (Solanum lycopersicum
L.) Plants. Journal of Experimental Botany 594119–4131.

160 Berlinasari dan Muryono: Identifikasi Morfologi Akar.....


Kano, M, Inukai, Y, Kitano, H, Yamauchi, A. 2011. Root Plasticity As The Key
Root Trait for Adaptation to Various Intensities of Drought Stress in Rice.
Plant Soil 342117–128.
Suhartini, T. dan T. J. P. Hardjosudarmo. 2017. Toleransi plasma nutfah padi
lokal terhadap salinitas. Bul. Plasma Nutfah. 23(1): 51-58.
Munns, R and Tester, M. 2008. Mechanisms of Salinity Tolerance. Annu. Rev.
Plant Biol. 59651–681.
Ali, Y, Awan, A R, and Ashraf. M Y. 2002. Evaluation of Rice Genotypes at
Seedling Stage for Salinity Tolerance. Asian J Plant Sci. 1117-118.
Abdelgadir, E M, Oka, M, and Fujiyama. 2005. Nitrogen Nutrition of Rice Plants
Under Salinity. H. Biol Plant. 4999-104.
Irving, L J. 2015. Carbon Assimilation, Biomass Partitioning and Productivity in
Grasses Agriculture. 201551116-1134.
Tatar, O, Brueck, H, Gevrek. M N and Asch, F. 2009. Physiological Responses
of Two Turkish Rice (Oryza sativa L.) Varieties to Salinity. Turk. J.
Agric. 34451-459.
Das. G., G. J. N. Rao, M. Varier, A. Prakash and D. Prasad. 2018. Improved
Tapaswini having four BB resistance genes pyramided with six genes/
QTLs, resistance tolerance to biotic and abiotic stresses in rice. Scientific
Reports. 8:2413.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 161


LAMPIRAN

Gambar Lampiran 1. Pengamatan Morfologi Kerusakan Tanaman. (1,3,5) merupakan angka untuk
kategori tanaman toleran. (7,9) merupakan angka untuk kategori tanaman sensitif.

Gambar Lampiran 2. Sketsa lahan penelitian.

162 Berlinasari dan Muryono: Identifikasi Morfologi Akar.....


Kajian Jarak Tanam Spesifik Lokasi untuk
Optimalisasi Produktivitas Inpari 32
di Kabupaten Majalengka
Yati Haryati, Bebet Nurbaeti dan Irma Noviana
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat
Jl. Kayuambon No. 80 Lembang-Bandung Barat 40391
Email: dotyhry@yahoo.com

ABSTRAK
Salah satu varietas unggul baru yang diminati di wilayah Kabupaten
Majalengka adalah Inpari 32. Pengaturan jarak tanam untuk mengatur
populasi tanaman yang disesuaikan dengan sifat varietas merupakan
cara pengelolaan yang masih dapat dioptimalkan pada suatu wilayah.
Pengkajian dilaksanakan di Gapoktan Guna Tani, Desa
Babakanmanjeti, Kecamatan Sukahaji, Kabupaten Majalengka pada
Bulan April-Juli 2018. Kegiatan kajian jarak tanam dengan dua
perlakuan yaitu 1) jarak tanam rekomendasi 40 x 30 x 17 cm dan 2)
jarak tanam legowo cara petani 30 x 20 x 20 cm Masing-masing
perlakuan diulang pada 15 petak lahan sawah milik petani dengan
luasan masing-masing sesuai petakan alami milik petani. Data yang
diamati pertumbuhan tanaman yaitu tinggi tanaman dan jumlah anakan
produktif dan komponen hasil yaitu panjang malai, jumlah gabah isi,
jumlah gabah hampa dan hasil. Data hasil pengamatan dianalisis
menggunakan uji independent sample t-test pada taraf signifikan 0,05
menggunakan SPSS for windows 20.0. Hasil pengkajian menunjukkan
bahwa Varietas Inpari 32 memberikan hasil yang cukup tinggi 7,86 t/
ha GKP pada jarak tanam legowo 40 x 30 x 17 cm sehingga cocok
untuk dikembangkan sebagai rekomendasi jarak tanam legowo yang
sesuai di wilayah Kabupaten Majalengka.
Kata kunci: Inpari 32, jarak tanam, legowo.

ABSTRACT
One of the new high-yielding varieties of interest in the
Majalengka Regency is Inpari 32. Plant spacing to regulate plant
populations adjusted to the nature of varieties is a way of

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 163


management that can still be optimized in an area. The assessment
was conducted in Gapoktan Guna Tani, Babakanmanjeti Village,
Sukahaji District, Majalengka Regency in April-July 2018. Plant
spacing study activities with two treatments, namely 1)
recommended spacing of 40 x 30 x 17 cm and 2) spacing of
farmers legowo method 30 x 20 x 20 cm Each treatment was
repeated on 15 plots of farmer’s rice fields with an area of each
according to the natural plot of the farmer. Data observed were
plant growth, namely plant height and number of productive tillers
and yield components, namely panicle length, number of filled
grains, number of empty grains and yields. Observation data
were analyzed using independent sample t-test at a significant
level of 0.05 using SPSS for windows 20.0. The results of the
study showed Inpari 32 variety yields a high yield of 7.86 t/ha
GKP at legowo planting distance of 40 x 30 x 17 cm making it
suitable to be developed as a recommendation for suitable
planting distance of legowo in the Regency of Majalengka.
Keywords: Inpari 32, spacing, legowo.

PENDAHULUAN
Kabupaten Majalengka merupakan salah satu wilayah yang mendapatkan
program Desa Mandiri Benih dari Direktorat Perbenihan dan pendampingan
dari BPTP Jawa Barat dalam penerapan teknologi baik dalam hal teknis budidaya
dan produksi benih pada kegiatan Sekolah Lapang Mandiri Benih Padi. Pada
kegiatan tersebut dilakukan pengenalan varetas unggul baru hasil Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Pengenalan varietas unggul baru merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan produktivitas dengan menggunakan varietas spesifik lokasi dengan
produktivitas tinggi dan diminati oleh petani di wilayah setempat serta sesuai
dengan kondisi agroekosistem atau spesifik lokasi. Selain itu penggunaan varietas
unggul merupakan komponen teknologi budidaya padi yang mudah dan murah.
Dalam hal ini petani dapat mengganti varietas padi tanpa mengubah komponen
teknologi lainnya dan tidak memerlukan tambahan biaya produksi. Komponen
teknologi ini mampu menyumbangkan 75% dalam peningkatan produktivitas
apabila penerapannya diintegrasikan dengan komponen teknologi pengairan dan
pemupukan (Widyayanti et al., 2011).

164 Haryati et al.: Kajian Jarak Tanam Spesifik.....


Sifat varietas unggul baru dapat meningkatkan produktivitas karena
mempunyai sifat responsif terhadap pemupukan, umurnya genjah, mempunyai
anakan banyak, tahan terhadap hama penyakit, tanamannya kokoh, rendemen
berasnya tinggi dan disukai oleh konsumen (Sution, 2017). Setiap wilayah
memerlukan varietas spesifik lokasi, karena tidak semua varietas mempunyai
adaptasi yang baik di seluruh lokasi (Yahumri et al., 2015). Penyebaran Varietas
Inpari 32 di Kabupaten Majalengka mencakup wilayah Kecamatan Sukahaji,
Kertajati, Ligung, Sumber Jaya, Dawuan, Kadipaten, Palasah, Leuwimunding,
Rajagaluh, Jatiwangi dan Majalengka dengan perkiraan dominansi sekitar ±
60% (Haryati et al., 2018).
Dalam upaya optimalisasi peningkatan produktivitas Inpari 32 diperlukan
dukungan komponen teknologi yang lain, apabila diintegrasikan dapat
meningkatkan produktivitas sesuai potensi hasilnya. Salah satu teknologi yang
diterapkan dengan menggunakan jarak tanam yang sesuai dengan kondisi
setempat (spesifik lokasi) supaya dapat diterapkan sesuai dengan kondisi
setempat. Sistem jajar legowo mampu meningkatkan produksi padi apabila
dibandingkan dengan sistem non jajar legowo sebesar 16,44% (Witjaksono, 2018).
Penerapan jarak tanam legowo di suatu wilayah perlu disesuaikan dengan
jarak tanam yang sesuai dengan kondisi lingkungan tumbuh tanaman padi di
wilayah setempat. Prinsip tanam jajar legowo adalah meningkatkan populasi
dengan pengaturan jarak tanam dan efektivitas tanaman memperoleh sinar
matahari untuk proses fotosintesis supaya dapat tumbuh dan berproduksi dengan
baik, di mana pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu
antaranya suhu dan radiasi matahari (Shrestha et al., 2013; Li et al., 2015).
Dalam penerapannya perlu memperhatikan kondisi wilayah diantaranya
ketinggian tempat. Perbedaan ketinggian tempat berpengaruh pada suhu. Menurut
Sridevi dan Chellamuthu (2015), bahwa cuaca berperan dalam mempengaruhi
pertumbuhan dan hasil padi. Komponen cuaca merupakan merupakan kombinasi
radiasi matahari, suhu, curah hujan, kelembaban relatif, dan kecepatan angin.
Pengaturan jarak tanam untuk mengatur populasi tanaman yang disesuaikan
dengan sifat varietas merupakan cara pengelolaan yang masih dapat dioptimalkan
pada suatu wilayah (Pratiwi et al., 2010). Upaya peningkatan produktivitas
padi melalui penerapan cara tanam jajar legowo dapat menggunakan varietas
padi yang sesuai dengan ketentuan varietas tersebut tidak menurunkan
pertumbuhan tanaman walaupun dalam populasi tinggi (Ikhwani et al., 2013).
Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk mengetahui jarak tanam legowo
yang sesuai untuk optimalisasi produktivitas Inpari 32 di wilayah Kabupaten
Majalengka.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 165


BAHAN DAN METODE
Pengkajian dilaksanakan di Gapoktan Guna Tani, Desa Babakanmanjeti,
Kecamatan Sukahaji, Kabupaten Majalengka pada Bulan April-Juli 2018.
Kegiatan pengkajian menggunakan uji Varietas Inpari 32 dengan dua perlakuan
jarak tanam yaitu 1) jarak tanam legowo yaitu jarak tanam rekomendasi 40 x 30
x 17 cm dan 2) jarak tanam legowo cara petani 30 x 20 x 20 cm. Masing-
masing perlakuan diulang pada 15 petak lahan sawah milik petani dengan luasan
masing-masing sesuai petakan alami milik petani. Komponen teknologi yang
diterapkan yaitu menggunakan bibit muda dengan umur bibit 18 hari setelah
sebar, jumlah bibit 2-3 bibit per lubang tanam, pemupukan organik dengan dosis
2 ton/ha, pemupukan anorganik berdasarkan hasil analisis tanah dengan
menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS), di mana kandungan Nitrogen
rendah, Phospor sedang dan Kalium tinggi sehingga direkomendasikan
pemupukan dengan dosis NPK Phonska (15:15:15) 200 kg/ha dan Urea 180 kg/
ha, pengendalian gulma pada umur tanaman 14 dan 30 HST, pengendalian hama
dan penyakit berdasarkan konsep PHT, panen pada saat bulir padi hampir
keseluruhan telah menguning dan pasca panen. Data yang diamati pertumbuhan
tanaman yaitu tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif dan komponen hasil
yaitu panjang malai, jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa dan hasil. Metode
pengumpulan data yang digunakan adalah Independen Sampel t-test dan dianalisis
menggunakan uji t, analisis menggunakan SPSS for windows 20.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Wilayah
Potensi Desa Babakanmanjeti mempunyai jumlah penduduk 4.199 jiwa dengan
komposisi mata pencaharian 80% sebagai petani dan buruh tani, dan 20% sektor
lainnya yang terbagi bekerja sebagai pegawai negeri, pegawai swasta,
wiraswasta, pedagang dan lain-lain.
Kondisi biofisik mempunyai ketingggian tempat 8-250 m dpl, rata-rata curah
hujan 350 mm, suhu rata-rata 26o-28oC, dengan kondisi wilayah datar. Kesuburan
tanah dengan warna tanah sebagian besar coklat, tekstur lempung. Rata-rata
panen 3 kali pertahun dan luas areal sawah 116 ha di MT I dan MT II dan 75 ha
di MT III.

166 Haryati et al.: Kajian Jarak Tanam Spesifik.....


Tabel 1. Jumlah hari hujan dan curah hujan di Desa Babakanmanjeti, Kecamatan
Sukahaji, Kabupaten Majalengka. Tahun 2018.

Bulan Curah hujan Jumlah Rata-rata


(mm) hari hujan (mm)

Januari 198 6 33,00


Februari 520 17 30,58
Maret 589 22 26,77
April 289 8 36,13
Mei 16 3 5,33
Juni 40 2 20,00
Juli 0 0 0,00
Agustus 0 0 0,00
September 3 2 1,50
Oktober 0 0 0,00
Nopember 202 14 14,43
Desember 334 14 23,86

Jumlah 2.191 88 191,60

Sumber data: PSDA Sukahaji, Majalengka

Curah hujan pada saat pelaksanaan kegiatan (April-Juli) rendah, tetapi


pengairan bersumber dari saluran irigasi pedesaan dari bendungan Cikeruh yang
bersumber dari Gunung Argalingga sehingga kebutuhan air untuk pertumbuhan
tanaman padi dapat terpenuhi. Berdasarkan hasil penelitian Agustiani et al.,
(2018), bahwa di dataran rendah cara tanam legowo memberikan laju
pertumbuhan tanaman dan laju asimilasi yang baik.

Keragaan Agronomis
Berdasarkan nilai standar deviasi pertumbuhan tanaman dan komponen hasil
Varietas Inpari 32 dengan menggunakan jarak tanam legowo rekomendasi (40
x 30 x 17 cm) lebih stabil dibandingkan dengan menggunakan jarak tanam legowo
cara petani (30 x 20 x 20 cm). Hal ini dapat dilihat dari nilai standar deviasi
bahwa keragaman jarak tanam 40 x 30 x 17 cm lebih kecil dibandingkan jarak
tanam 30 x 20 x 20 cm. Menurut Sohel et al., (2009), jarak tanam yang optimum
berdampak positif terhadap pertumbuhan bagian atas tanaman dan pertumbuhan
akar, dengan demikian tanaman dapat memanfaatkan lebih banyak cahaya
matahari dan unsur hara.
Jarak tanam yang lebar akan meningkatkan penangkapan radiasi sinar
matahari oleh tajuk tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman seperti

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 167


jumlah anakan produktif, volume dan panjang akar total, meningkatkan bobot
kering tanaman dan bobot gabah per rumpun (Hatta, 2012).
Tinggi tanaman padi Inpari 32 dengan jarak tanam legowo 40 x 30 x 17 cm
lebih tinggi dibandingkan jarak tanam legowow cara petani (30 x 20 x 20 cm).
Pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif dipengaruhi oleh faktor
genetik dan lingkungan. Tinggi tanaman merupakan sifat keturunan, apabila
terdapat perbedaan tinggi dari satu varietas disebabkan oleh faktor lingkungan
dan sifat genetik dan didukung oleh daya adaptasi terhadap lingkungan tumbuh.
Tinggi tanaman tidak berpengaruh langsung terhadap produktivitas tanaman
padi tetapi berpengaruh terhadap panjang malai dan kerebahan tanaman (Sution,
2017). Pertumbuhan vegetatif yang lebih baik pada sistem tanam jajar legowo
diduga akan meningkatkan laju fotosintesis tanaman padi, sehingga akan
menghasilkan karbohidrat yang lebih banyak selama fase reproduktif.
Penerapan sistem tanam jajar legowo akan memberikan hasil maksimal
dengan memperhatikan arah barisan tanaman dan arah datangnya sinar matahari
(Saeroji, 2013). Varietas yang mempunyai sifat genetik dengan produktivitas
tinggi ditunjukkan dengan sifat responsif terhadap pemupukan, umurnya genjah,
mempunyai anakan banyak, tahan terhadap hama penyakit, tanamannya kokoh
serta rasanya disukai oleh konsumen, dan rendemen berasnya tinggi (Sutaryo
et al., 2014).

Tabel 2. Analisa deskriptif masing-masing variabel.

Perlakuan Parameter yang diamati Mean Standar deviasi

Jarak tanam 40 x 30 x 17 cm Tinggi tanaman 98,00 2,55


Jumlah anakan produktif 21,05 4,54
Panjang malai 41,47 36,98
Jumlah gabah isi 132,75 25,69
Jumlah gabah hampa 8,00 2,65
Hasil 7,86 0,33
Rata-rata 12,12
Jarak tanam 30 x 20 x 20 cm Tinggi tanaman 95,75 2,57
Jumlah anakan produktif 20,50 5,31
Panjang malai 27,95 61,27
Jumlah gabah isi 120,50 29,86
Jumlah gabah hampa 7,70 3,13
Hasil 5,79 0,52
Rata-rata 17,11

Sumber: Output SPSS 20..0 for windows

168 Haryati et al.: Kajian Jarak Tanam Spesifik.....


Tabel 3. Pertumbuhan Inpari 32 pada jarak Tanam Legowo yang berbeda di Gapoktan Guna
Tani, Desa Babakanmanjeti, Kecamatan Sukahaji, kabupaten Majalengka, MK II 2018.

Jarak tanam legowo


Peubah t hit
40 x 30 x 17 cm 30 x 20 x 20 cm

Tinggi tanaman (cm) 98,00 95,75 *


Jumlah anakan produktif (batang) 22,05 20,50 *

Keterangan: * = berbeda nyata, tn = tidak berbeda nyata

Sistem tanam jajar legowo menghasilkan rumpun tanaman yang optimal


sehingga menghasilkan lebih banyak malai per satuan luas dan berpeluang
memberikan hasil lebih tinggi. Selain itu, pertumbuhan tanaman yang sehat dan
seragam mempercepat penutupan permukaan tanah sehingga dapat menekan
pertumbuhan gulma dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap hama dan
penyakit. Sistem tanam legowo juga dapat meningkatkan populasi tanaman.
Pengosongan satu baris tanaman bukan berarti membuang satu baris tanaman
yang mengakibatkan berkurangnya populasi namun menambahkannya pada
barisan pinggir dari legowo tersebut pada setengah jarak tanamnya. Efektivitas
penyerapan hara lebih tinggi mengakibatkan tanaman padi bisa tumbuh dengan
optimal pada kondisi lahan tersebut. Pada lahan yang lebih terbuka karena adanya
lorong pada baris tanaman, serangan hama dapat berkurang dan dengan
terciptanya kelembapan lebih rendah, perkembangan penyakit juga dapat
berkurang (Giamerti and Yursak, 2013).
Jumlah anakan produktif akan tumbuh maksimal didukung oleh sifat genetik
tanaman yang baik dan keadaan lingkungan yang menguntungkan untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Anakan produktif merupakan salah
satu komponen hasil yang berpengaruh langsung terhadap tinggi rendahnya hasil
gabah. Pembentukan anakan produktif sangat menentukan jumlah malai dari
tanaman padi (Edi dan Gusfarina, 2013). Selain itu didukung oleh jarak tanam
yang sesuai, karena jarak tanam menentukan jumlah sinar matahari yang dapat
diterima oleh tanaman dan ketersediaan hara mineral yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan tanaman. Anakan produktif merupakan anakan yang berkembang
lebih lanjut dan menghasilkan malai. Jumlah anakan yang terbentuk akan lebih
banyak karena berkurangnya persaingan dalam mendapatkan cahaya matahari
dan unsur hara (Husna, 2010).

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 169


Komponen Hasil
Hasil analisa statistik bahwa komponen hasil (panjang malai, jumlah gabah isi
per malai dan hasil) menunjukkan beda nyata antara jarak tanam legowo 40 x
30 x 17 cm dan cara petani (30 x 20 x 20 cm). Dengan jarak tanam legowo 40
x 30 x 17 cm mempunyai panjang malai lebih panjang, jumlah gabah isi per
malai lebih banyak dan hasil lebih tinggi. Penerapan pengaturan jarak tanam
legowo pada budidaya padi di lahan sawah cukup optimal dalam upaya
peningkatan produktivitas.
Jumlah gabah isi per malai pada sistem tanam jajar 2: 1 lebih banyak
dibandingkan dengan sistem tegel , hal ini karena adanya kecendrungan bahwa
semakin panjang malai tanaman akan memberikan jumlah gabah per malai lebih
banyak dan sebaliknya malai tanaman yang pendek memberikan jumlah gabah
per malai lebih sedikit (Babihoe and Jumakir, 2011).
Salah satu faktor yang berperan terhadap peningkatan hasil gabah adalah
komponen hasil tanaman yang terdiri dari jumlah anakan produktif, panjang
malai, jumlah gabah per malai, dan persentase gabah bernas (Atman et al.,
2013).
Berdasarkan hasil penelitian Mareza et al., (2017), menunjukkan bahwa
budidaya padi dengan menggunakan cara tanam sistem tanam jajar legowo
memiliki jumlah anakan yang lebih banyak dan pertumbuhan daun yang lebih
luas, menghasilkan komponen produksi yang lebih tinggi, dengan malai yang
lebih panjang dan jumlah gabah per malai yang lebih banyak. Panjang malai
berkaitan dengan hasil tanaman padi.

Tabel 4. Komponen hasil dan hasil Inpari 32 pada jarak tanam legowo yang berbeda di Gapoktan
Guna Tani, Desa Babakanmanjeti, Kecamatan Sukahaji, Kabupaten Majalengka, MK II
2018.

Jarak tanam legowo


Peubah t hit
40 x 30 x 17 cm 30 x 20 x 20 cm

Panjang malai (cm) 41,47 27,95 *


Jumlah gabah isi per malai (buah) 132,75 120,50 *
Jumlah gabah hampa per malai (buah) 8,00 7,70 tn
Hasil (t/ha) GKP 7,86 5,79 *

Keterangan: * = berbeda nyata, tn = tidak berbeda nyata

170 Haryati et al.: Kajian Jarak Tanam Spesifik.....


Jumlah gabah isi per malai berkorelasi positif dengan produksi, semakin
banyak jumlah gabah isi per malai maka semakin tinggi varietas tersebut dalam
menghasilkan produksi. Hasil penelitian Husna (2010), perlakuan sistem tanam
jajar legowo memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase gabah isi,
karena pada fase generatif proses pengisian biji dapat berkembang dengan
optimal.
Pada cara tanam sistem legowo memberikan banyak baris kosong, sehingga
semakin banyak tanaman yang berada pada barisan pinggir akibatnya tanaman
mendapatkan pengairan dan sinar matahari optimal yang diperlukan dalam proses
fotosintesis, pada gilirannya berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.
Pengaruh tanaman pinggir pada sistem tanam jajar legowo dapat meningkatkan
ruang kosong untuk mengatur masuknya air dan meningkatkan tanaman dalam
menerima sinar matahari secara optimal untuk proses fotosintesis, sehingga
diharapkan berpengaruh terhadap produksi dan kualitas gabah yang lebih baik
(Pangerang, 2013).
Hasil penelitian Giamerti dan Yursak (2013), cara tanam sistem legowo 2:
1 dengan jarak tanam 50 x 25 x 12,5 cm menggunakan varietas Inpari 13
menunjukkan pertumbuhan yang lebih optimal dan produktivitas yang tinggi (6,57
ton/ha) dibandingkan dengan sistem tanam jajar legowo 4:1 (5,57 ton/ha) dan
sistem tegel (5,09 ton/ha).

KESIMPULAN
Jarak tanam legowo 40 x 30 x 17 cm pada Varietas Inpari 32 memberikan hasil
yang cukup tinggi 7,86 t/ha GKP sehingga cocok untuk dikembangkan sebagai
rekomendasi jarak tanam legowo yang sesuai di wilayah Kabupaten Majalengka.

DAFTAR PUSTAKA
Agustiani, N., Sujinah, dan Hikmah, Z., M. 2018. Kesesuaian Cara Tanam
Menurut Elevasi pada Ekosistem Padi Sawah Irigasi. Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan, 2 (3): 145-153. DOI: http//dx.doi.org/10.21082/
jpptp.v2n3.2018.
Atman., N. Chairuman, & Dahono. 2013. Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru
Padi Sawah Berbasis Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu di
Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pertanian
Spesifik Lokasi. “Percepatan dan Perluasan Inovasi Pertanian Spesifik

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 171


Lokasi Mendukung Empat Sukses Pembangunan Pertanian”. Buku 1.
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan
Penelitian dan pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Medan.
258-262.
Babihoe, J. and Jumakir. 2011. Uji adaptasi beberapa varietas unggul baru (VUB)
padi sawah di Provinsi Jambi. Prosiding Seminar Nasional Pengkajian
dan Diseminasi Inovasi Pertanian Mendukung Program Strategis
Kementerian Pertanian. BBP2TP. Badan Litbang Pertanian. Cisarua 9-
11 Desember 2010. Buku 3: 1106-1111.
Edi, S., and Gusfarina, D., S. 2013. Kajian Beberapa Varietas Unggul Baru
Dan Sistem Tanam Jajar Legowo Padi Sawah Di Dataran Tinggi Sungai
Penuh Jambi, Jurnal Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian
Universitas Jambi, 2 (4): 185-191.
Giamerti, Y., dan Yursak, Z. 2013. Keragaan Komponen Hasil dan Produktivitas
Padi Sawah Varietas Inpari 13 Pada Berbagai Sistem Tanam. Widyariset,
16 (3): 481-488.
Hatta, M. 2011. Pengaruh Tipe Jarak Tanam Terhadap Anakan, Komponen
Hasil, dan Hasil Dua Varietas Padi Pada Metode SRI. Jurnal Floratek, 6
(2): 104-113.
Haryati, Y., Nurbaeti B, Noviana, I., dan Safei, A.M., Laporan Akhir Model
Sekolah Lapang Kedaulatan Pangan Mendukung Swasembada Pangan
Terintegrasi Desa Mandiri Benih, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Jawa Barat, Balai Besar Pengembangan dan Pengkajian Teknologi
Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian
Pertanian.
Husna, Y. 2010. Pengaruh Penggunaan Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan
dan Produksi Padi Sawah (Oryza sativa L.)Varietas IR 42 dengan Metode
SRI (System of Rice Intensification). Jurnal. Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Riau, 9: 2-7.
Ikhwani., G.R. Pratiwi, E.Paturrohman dan A.K. Makarim. 2013. Peningkatan
produktivitas padi melalui penerapan jarak tanam jajar legowo. Iptek
Tanaman Pangan. Pusat penelitian dan pengembangan Tanaman Pangan.
Badan Litbang Pertanian. ISSN, Hal: 190-4263. 115 hlm.
Li Yuejiau., X. Yang, H. Cai, L. Xao, X. Xu, and L. Liu. 2015. Topographical
characteristics of agricultural potential productivity during cropland
transformation China.Sustainability 7: 96-220. doi:10.3390/su7010096.

172 Haryati et al.: Kajian Jarak Tanam Spesifik.....


Mareza, Evriani, Kalsum, U., Yursida , Wulandari, M. 2017. Pertumbuhan dan
Produksi Padi (Oryza sativa L.) pada Berbagai Sistem Tanam di Lahan
Pasang Surut. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2017,
Palembang 19-20 Oktober 2017 “Pengembangan Ilmu dan Teknologi
Pertanian Bersama Petani Lokal untuk Optimalisasi Lahan Suboptimal”.
Pangerang. 2013. Keuntungan dan kelebihan sistem jarak tanam jajar legowo
padi sawah. Kabupaten Maros. http://cybex.pertanian.go.id. Diakses pada
tanggal 7 Oktober 2019.
Pratiwi, G.R., E. Suhartatik, dan A.K. Makarim. 2010. Produktivitas dan dan
komponen hasil tanaman padi sebagai fungsi dari populasi tanaman.
Dalam: S. Abdulrachman, H.M.Toha dan A.Gani (Eds.). Buku 2: Inovasi
Teknologi padi untk mempertahankan swasembada dan mendorong ekspor
Beras. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi 2009. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi. Hlm. 443-450.
Saeroji. 2013. Sistem Jajar Legowo Dapat Meningkatkan Produktivitas Padi.
Balai Besar Pelatihan Pertanian. Malang.
Sutaryo, B., Sudarmaji, & Sarjiman. 2014. Penampilan Fenotipik Empat Varietas
Unggul Baru Padi Pada Tiga Sistem Tanam Yang Berbeda. Prosiding
Seminar Nasional 2013. Inovasi Teknologi Padi Adaptif Perubahan Iklim
Global Mendukung Surplus 10 Juta Ton Beras Tahun 2014. Buku 2. Badan
Penelitian dan pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
Sukamandi. 575-584.
Sution. 2017. Keragaan Lima Varietas Unggul Baru Terhadap Pertumbuhan
dan Produktivitas Padi Sawah Irigasi. Jurnal Pertanian Agros, 19 (2):
179-185.
Sohel, M .A.T., M.A.B. Siddique, M. Asaduzzaman, M. N.Alam, and A.K.
Makarim. 2009. Varietal Perfomance of Transplant Aman Rice Under
Different Hill Densities. Bangladesh J. Agric. Res. 34 (1): 33-39.
Shrestha, S., F. Asch, H. Brueck, M. Giese, J. Dusserre, and A.
Ramanantsoanirina. 2013. Phenological responses of uplandrice brown
along an altitudinal gradient. Environmental and Experimental Botany,
89: 1-10.
Sridevi, V dan V. Chellamuthu. 2015. Impact of weather on rice-A review.
International Journal of Applied Research. 1(9): 825-831.
Widyayanti, S., Kristamtini, dan Sutarno. 2011. Daya Hasil Tiga Varietas Unggul
Baru Padi Sawah di Kebon Agung-Bantul. Widyariset, 14 (3): 559-564.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 173


Witjaksono, J. 2018. Kajian Sistem Tanam Jajar Legowo untuk Peningkatan
Produktivitas Tanaman Padi di Sulawesi Tenggara, Pangan, 27(1): 1-8.
Yahumri., A. Damiri, Yartiwi & Afrizon. 2015. Keragaan Pertumbuhan dan
Hasil Tiga Varietas Unggul Baru Padi Sawah di Kabupaten Seluma,
Bengkulu. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversity
Indonesia, 1(5): 1217-1221.
Haryati, Y., Nurbaeti, B., Safei, A., M., 2018. Laporan Tahunan Kegiatan Model
Sekolah Lapang Kedaulatan Pangan Mendukung Swasembada Pangan
Terintegrasi Desa Mandiri Benih. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementrian Pertanian.

174 Haryati et al.: Kajian Jarak Tanam Spesifik.....


Penampilan Beberapa Padi Varietas Unggul Baru
di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat
Ratna Sari, Irma Noviana dan Oswald Marbun
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat
Jl. Kayuambon No. 80 Lembang, Telp: 082227378182, Faks: 022-2789846
Email: ratnasari@gmail.com

ABSTRAK
Jawa Barat merupakan salah satu kontributor produksi padi terbesar
di Indonesia dengan salah satu sentra produksinya ialah Kabupaten
Indramayu. Kabupaten Indramayu menghadapi permasalahan
pengurangan lahan pertanian karena adanya konversi lahan. Untuk
itu, untuk menjaga produksi beras, sangat penting untuk melakukan
intesifikasi budidaya padi dengan cara menggunakan Varietas Unggul
Baru (VUB). Penelitian dilakukan di Kabupaten Indramayu pada
tahun 2017 dengan menggunakan varietas Inpari 32, Inpari 42, dan
Inpari 43. Ketiga varietas ini di tanam dengan rancangan acak
kelompok (RAK) yang diulang sebanyak tiga kali. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa varietas Inpari 32 memiliki produktivitas tertinggi
bila dibandingkan dengan Inpari 42 dan Inpari 43.
Kata kunci: VUB, dataran rendah, penampilan, produktivitas.

ABSTRACT
West Java is one of the biggest contributors to rice production
in Indonesia, with one of its production centers is Indramayu
Regency. However, Indramayu Regency have faced decreasing
amount of agricultural land due to land conversition. To maintan
rice production it is very important to intensify rice cultivation
using high yielding new varieties (VUB). The study was conducted
at Indramayu Regency in the 2017 using Inpari 32, Inpari 42,
and Inpari 43 varieties. These three varieties were planted in a
randomized block design (RBD) repeated three times. The
observations showed that the Inpari 32 variety had the highest
productivity compared to Inpari 42 and Inpari 43.
Keywords: High yield variety, lowland, performance, productivity.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 175


PENDAHULUAN
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi padi dengan kontribusi
terbesar terhadap produksi beras nasional dengan kontribusi rata-rata 11.61%
selama kurun waktu 2010-2015 (BPS Jawa Barat, 2019). Sebagai salah satu
sentra produksi padi di Jawa Barat, peningkatan produksi padi di Kabupaten
Indramayu akan berpengaruh terhadap produksi beras nasional.
Pengurangan lahan sawah di Kabupaten Indramayu menjadi ancaman
terhadap peningkatan produksi hasil padi. Murdaningsih, et al., (2017) dalam
penelitiannya menunjukkan bahwa lahan sawah di Kabupaten Indramayu
berkurang 1.21% dari 133.716 ha pada tahun 1994 menjadi 132.097 ha pada
tahun 2015. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa salah satu penyebab
dari berkurangnya lahan pertanaman ialah perubahan lahan menjadi pemukiman.
Pertambahan penduduka menyebabkan kebutuhan lahan untuk pemukiman yang
pada tahun 1994 sebesar 16.627 ha meningkat menjadi 18.625 ha pada tahun
2015. Perubahan penggunaan lahan ini diproyeksikan akan terus bertambah
seiring dengan penambahan jumlah penduduk. Penyebab lain dari penurunan
luas tanam padi adalah intrusi air laut yang menyebabkan tingginya tingkat
salinitas di lahan pertanaman. Hal ini, mendorong petani yang memiliki lahan
dekat dengan pantai beralih menjadi petambak udang yang dirasakan lebih
menguntungkan. Dengan kondisi seperti ini, intensifikasi padi di Indramayu
menjadi penting untuk dilakukan.
Salah satu upaya intensifikasi peningkatan produksi padi ialah penggunaan
varietas unggul (Sembiring dan Wirajaswadi, 2001; Nugraha dan Sitaresmi, 2018).
Aakan tetapi, walaupun varietas unggul dapat meningkatkan produktivitas
sebesar 56,1% (Las, et al., 2004), lingkungan yang tidak sesuai dapat menurunkan
produktivitas. Hal ini dikarenakan, keragaan suatu tanaman dipengaruhi oleh
genetik yang menyusunnya dan lingkungan dimana tanaman itu tumbuh.
Walaupun varietas unggul memiliki karakteristik berdaya hasil tinggi, namun
apabila kondisi lingkungan tidak sesuai maka produksi hasil akan rendah.
Sehingga, mengetahui adaptabilitas dari suatu varietas memegang peranan
penting dalam pemilihan varietas yang akan ditanam agar bisa menetahui varietas
mana yang berpotensi besar untuk dikembangkan.
Varietas Inpari 32, Inpari 42 dan Inpari 43 merupakan salah satu varietas
VUB (Varietas Unggul Baru) yang baru diliris oleh BBPadi. Akan tetapi penampilan
dari ketiga VUB tersebut di Kabupaten Indramayu masih belum diketahui.
Sehingga, kegiatan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penampilan varietas
VUB tersebut pada kondisi lingkungan di Kabupaten Indramayu.

176 Sari et al.: Penampilan Beberapa Padi Varietas Unggul Baru.....


BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Kecamatan Widasari Kabupaten Indramayu yang terletak
pada ketinggian antara 7-9 mdpl. Varietas yang digunakan ialah Inpari 32, Inpari
42, Inpari 43 dengan kelas benih yang digunakan ialah FS (Foundation Seed).
Bibit padi yang digunakan berumur 14-15 hari di persemaian sebelum ditanam
di lahan sawah pada bulan April-Mei 2017. Sistem tanam yang digunakan ialah
Legowo 2:1 dengan jarak tanam 20 x 15 x 40 cm. Pupuk dasar diberikan saat 1-
2 MST (Minggu setelah tanam) dengan dosis NPK Phonska 250 kg/ha.
Pemupukan susulan I pada 3-5 MST dan pemupukan susulan II pada 6-7 MST
dengan dosis Urea 85 kg/ha pada tiap pemupukan.
Rancangan percobaan menggunakan Rancangan acak kelompok (RAK)
dengan tiga ulangan. Jumalah anakan produktif dihitung pada saat 60 HST (Hari
Setelah Tanam). Pengukuran produktivitas gabah kering panen (GKP) dilakukan
dengan mengkonversi hasil ubinan pada petakan seluas 14.73 m2. Bobot 1.000
butir diukur dengan menimbang bobot 1.000 butir gabah isi. Data pengamatan
diolah dengan menggunakan Microsoft excel.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penampilan varietas Inpari 32, Inpari
42 dan Inpari 43 dengan kondisi lingkungan di Kabupaten Indramayu. Jenis
tanah pada lokasi penelitian ialah Alluvial kelabu. Status hara selama musim
tanam dari hasil pengujian PUTS (Perangkat Uji Tanah Sawah) menunjukkan
bahwa kadar nitrogen dan fosfor termasuk rendah, sedangkan kalium termasuk
sedang dengan pH Netral. Pemupukan yang dilakukan disesuaikan dengan status
hara dan kebutuhan tanaman padi sesuai rekomendasi PUTS. Selama musim
tanam, serangan OPT yang terjadi masih dalam taraf ringan dan dikendalikan
dengan mengaplikasikan pestisida dan fungisida. Suhu rata-rata harian selama
penelitian berlangsung ialah berkisar antara 32-38 0C. Dengan demikian kondisi
lingkungan masih dalam kategori mendukung untuk pertumbuhan dan
perkembangan padi sawah yang optimal.
Hasil pengamatan pada saat fase vegetatif (Tabel 1) menunjukkan bahwa
varietas Inpari 43 memiliki tinggi tanaman paling tinggi pada saat panen bila
dibandingkan dengan varietas Inpari 32 dan Inpari 42. Berdasarkan Standard
Evaluation System for Rice (SES), tinggi varietas Inpari 43 masuk dalam
katagori sedang (110-130 cm) sedangkan varietas Inpari 32 dan Inpari 42
tergolong pendek (<110 cm) (IRRI, 2002). Tinggi tanaman yang tidak terlalu

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 177


Tabel 1. Rata-rata pertumbuhan tanaman padi di Kecamatan Widasari Kabupaten
Indramayu pada MK 1/2017.

Tinggi tanaman (cm)


No Varietas Jumlah Panjang malai
30 hst 60 hst anakan produktif (cm)

1 INPARI 32 58.8 106.7 26.8 23,0


2 INPARI 42 66.5 106.0 24.9 24,5
3 INPARI 43 61.7 116.8 22.6 25,6

tinggi dapat meminimalisir terjadinya kerebahan akibat cuaca atau penyakit yang
menyebabkan kehilangan hasil (Sutaryo dan Sudaryono, 2012). Sehingga jika
dilihat dari tinggi tanaman, varietas Inpari 43 memiliki peluang kerebahan lebih
besar dari varietas VUB lainnya.
Jumlah anakan produktif Inapri 32 menunjukkan tren yang lebih banyak
bila dibandingkan dengan varietas lain. Jumlah anakan produktif selain dipengaruhi
oleh genetik, Teknik budidaya juga mempengaruhi. Pemberian pupuk yang
seimbang dapat merangsang tanaman untuk memproduksi lebih banyak anakan.
Selain itu, jarak tanam juga dapat mendorong pertumbuhan anakan. Jarak tanam
jajar legowo yang digunakan dalam penelitian ini telah dibuktikan dapat
mendorong pertumbuhan anakan pada penelitian sebelumnya.
Panjang malai padi sangat dipengaruhi oleh genetik dengan sedikit pengaruh
lingkungan (Sutoro et al. 2016). Dengan demikian, panjang malai tiap varietas
akan berbeda tergantung dari genetik yang menyusun varietas tersebut. Panjang
malai merupakan salah satu komponen penting yang mempengaruhi hasil
produksi. Semakin Panjang malai, maka akan semakin banyak bulir gabah yang
dihasilkan sehingga hasil produksi bisa lebih tinggi. Bila dibandingkan dengan
varietas lain, varietas Inpari 43 memiliki panjang malai terpanjang.
Tabel 2 menunjukkan bahwa penampilan tiap varietas berbeda bila dilihat
dari perbedaan produktivitas. Inpari 32 menunjukkan tren produktivitas lebih
tinggi (8,6 t/ha) bila dibandingkan dengan varietas Inpari 42 (7,2 t/ha) dan Inpari
43 (7,6 t/ha). Tingginya produktivitas Inpari 32 ini juga dipengaruhi oleh bobot
1000 butir yang lebih tinggi (28,1 g) bila dibandingkan dengan varietas lain.
Hal yang menarik adalah rendahnya produktivitas Inpari 43 bila bila
dibandingkan dengan Inpari 32. Inapri 43 memiliki jumlah gabah total per rumpun
lebih tinggi dan persentase gabah hampa yang lebih rendah bila dibandingkan
dengan Inpari 32. Karekteristik dua komponen hasil ini memberikan peluang

178 Sari et al.: Penampilan Beberapa Padi Varietas Unggul Baru.....


Tabel 2. Rata-rata produktivitas dan komponen hasil tanaman padi di Kecamatan
Widasari Kabupaten Indramayu pada MK 1/2017.

Produk- Jumlah % gabah Bobot


No Varietas tivitas total gabah hampa 1000 butir
(t/ha GKP) per rumpun (g)

1 INPARI 32 8,6 3,2 13,9 28,1


2 INPARI 42 7,2 3,5 16,9 22,3
3 INPARI 43 7,6 3,7 8,7 24,2

bagi Inpari 43 untuk memiliki produktivitas yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan varietas VUB yang lain. Lebih rendahnya produktivitas Inpari 43
disebabkan adanya kehilangan hasil.
Kehilangan hasil saat panen merupakan salah satu penyebab terbesar dari
rendahnya hasil produksi. Ada banyak penyebab dari kehilangan hasil saat panen.
Pertama, kondisi cuaca yang tidak mendukung. Angin yang kencang atau hujan
lebat saat tanaman siap panen dapat menyebabkan rebah. Kerebahan akibat
cuaca menyebabkan kehilangan hasil sebesar 11.89% (Dulbari, et. al., 2017).
Penyebab lainnya adalah penanganan pasca panen. Pemanenan dengan cara
konvensional (dirontokkan dengan cara dibanting) dapat menurunkan hasil
sebesar sebesar 4,07 -2,54% (Guisse, 2010). Gabah yang sulit rontok juga dapat
mengurangi hasil produksi terutama pemanenan dengan cara konvensional.
Namun pada penelitian ini, penyebab dari kehilangan hasil pada Inpari 43 adalah
bulir yang mudah rontok bila dibandingkan dengan Inpari 32 dan Inpari 42.

KESIMPULAN
Produktivitas varietas Inpari 32 yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan varietas
Inpari 42 dan Inpari 43. Hal ini menunjukkan bahwa varietas Inpari 32 memiliki
performa yang lebih baik. Varietas Inapri 43 jika dilihat dari komponen hasil
seperti jumlah anakan produktif, panjang malai, persentase gabah hampa dan
bobot 1000 butir memiliki potensi untuk hasil produksi yang lebih tinggi. Lebih
rendahnya produktivitas Inapri 43 disebabkan adanya kehilangan hasil saat panen.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 179


DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2016. Jawa Barat Dalam Angka
2009. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. https://jabar.bps.go.id/
statictable/2016/10/17/136/produksi-padi-sawah-menurut-kabupaten-
kota-di-jawa-barat-ton-2010-2015.html [Desember, 2019]
Dulbari, Edi S., Yonny K., dan Eko S.. 2017. Pendugaan Kehilangan Hasil pada
Tanaman Padi Rebah Akibat Terpaan Angin Kencang dan Curah Hujan
Tinggi. Jurnal Agronomi Indonesia 46(1):17-23.
Guisse R. 2010. Post-Harvest Losses of Rice (Oryza spp) From Harvesting to
Milling: A Case Study In Besease and Nobewam In the Ejisu Juabeng
District In the Ashanti Region of Ghana. Thesis. Ghana: Kwame Nkrumah
University. 94 hlm.
IRRI. 2002. Rice Standard Evalution System for Rice (SES). An International
Rice Research Institute Book. 56 pp.
Las, I., B. Suprihatno., A. A. Daradjat, Suwarno, B. Abdullah, Satoto. 2004.
Inovasi Teknologi Varietas Unggul Padi Perkembangan, Arah, dan Strategi
ke Depan. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Eds. Kasryno et. al. Badan
Litbang Pertanian. p:375-396.
Murdaningsih, W., Khursatul M., dan Wiwin A. 2017. Analisis Spasial Perubahan
Penggunaan Lahan Pertanian untuk Mendukung Kemandirian Pangan
di Kabupaten Indramayu. Majalah Ilmiah Global 19 (2): 175-184.
Nugraha, Y dan Sitaresmi T. 2018. Upaya peningkatan produktivitas padi dari
sisi pendekatan genetik. Iptek Tanaman Pangan 13(1): 1-10.
Sembiring, H., L. Wirajaswadi, 2001. Penampilan Beberapa Varietas Unggul
Baru Padi di Sentra Produksi Gogorancah di Lombok Tengah. BPTP
NTB.
Sutaryo, B. dan Tri S. 2012. Tanggap sejumlah genotype padi terhadap tiga
tingkat kepadatan tanaman. Jurnal Ilmiah Pertanian AGROS. 14(1):48-
58.
Sutoro, T., Tintin S., Mamik S., dan Kurniawan R. T. 2016. Keragaman malai
anakan dan hubungannya dengan hasil padi sawah (Oryza sativa L.).
Buletin Plasma Nutfah 21(1): 9-16.

180 Sari et al.: Penampilan Beberapa Padi Varietas Unggul Baru.....


Adaptasi Teknologi Largo Super pada Lahan Kebun
Kelapa Sawit Belum Menghasilkan di Provinsi Riau
Nana Sutrisna, Dahono, Empersi, dan Rizqi, S., Agraini
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
Jl. Kayuambon No. 80, Lembang, Bandung
E-mail: natrisna@yahoo.co.id

ABSTRAK
Provinsi Riau setiap tahun selalu mengalami defisit beras sekitar 69%.
Pemerintah Daerah (Pemda) telah berupaya untuk mengatasi
kekurangan tersebut melalui progam ekstensifikasi, yaitu menanam
padi gogo pada lahan kebun kelapa sawit belum menghasilkan. Namun
demikian, hasilnya belum optimal karena petani belum sepenuhnya
menerapkan teknologi budidaya padi gogo. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian telah menghasilkan teknologi inovatif
budidaya padi gogo di lahan kering termasuk di lahan kebun kelapa
sawit belum menghasilkan, yaitu LARGO Super. Sebelum teknologi
tersebut dikembangkan perlu dilakukan penelitian. Penelitian bertujuan
mengetahui kinerja teknologi LARGO Super yang diadaptasikan pada
lahan kebun kelapa sawit belum menghasilkan dilihat dari aspek teknis,
sosial, dan ekonomi. Penelitian dilaksanakan pada Musim Kemarau
(MK) 2018 di Kelompok Tani Setia Rukun, Kabupaten Siak, Provinsi
Riau. Pengkajian menggunakan pendekatan On Farm Client Oriented
Adaptive Research (OFCOAR) atau Penelitian Adaptif di lahan petani
Berorientasi Pengguna (PAOP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kinerja teknologi LARGO Super secara teknis cukup baik yang
ditunjukkan dengan keragaan pertumbuhan dan produktivitas
meningkat hingga 41,3% dari hasil yang diperoleh sebelumnya, yaitu
dari 2,76 t/ha GKG menjadi 3,90 t/ha GKG. Secara finansial teknologi
LARGO Super yang diadaptasikan pada budidaya padi gogo di lahan
kebun sawit belum menghasilkan menguntungkan dengan RC Ratio
> 1, dengan Imbalan Tenaga Kerja lebih dari upah buruh harian lepas
di wilayah setempat.
Kata kunci: Adaptasi, LARGO Super, kebun kelapa sawit, belum
menghasilkan.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 181


ABSTRACT
Riau Province remains experience a rice deficit of around 69%
every year. The Regional Government has tried to overcome these
shortcomings through the extensification program, which is
planting upland rice on oil palm plantations that have not yet
produced. However, the results are not optimal because farmers
have not yet fully implemented the upland rice cultivation
technology. The Agency for Agricultural Research and
Development has produced innovative technologies for upland
rice cultivation in dry lands including in the areas of immature
oil palm plantations, namely LARGO Super. Before the technology
is developed it needs to do research. The aim of this research is
to find out the performance of the LARGO Super technology
that is adapted to oil palm plantation land that has not been
produced, seen from the technical, social and economic aspects.
The study was conducted in the 2018 Dry Season (DS) in the
Setia Rukun Farmer Group, Siak Regency, Riau Province. The
assessment used the On Farm Client Oriented Adaptive Research
(OFCOAR). The results showed that the LARGO Super technology
performance was technically quite good as indicated by the
growth performance and productivity increased to 41.3% from
the previous results, from 2.76 t / ha grain to 3.90 t / ha grain.
Financially, the Super LARGO technology that is adapted to the
cultivation of upland rice in oil palm land is not yet profitable
with RC Ratio> 1, with Labor Benefits more than the wages of
casual daily laborers in the local area.
Keywords: Adaptation, LARGO Super, oil palm plantation, not
produce.

PENDAHULUAN
Pengembangan lahan kering untuk usaha pertanian tanaman pangan khususnya
padi pada saat ini dan masa yang akan datang merupakan pilihan strategis bagi
Provinsi Riau dalam menghadapi tantangan peningkatan produksi padi dan
mewujudkan ketahanan pangan. Provinsi Riau masih mengalami kekurangan
beras sekitar 528.706 ton atau sebesar 69,28% dari kebutuhan beras per tahun.
Untuk mencukupi kebutuhan tersebut harus mendatangkan dari luar provinsi
seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Lampung.

182 Sutrina et al.: Adaptasi Teknologi Largo Super.....


Provinsi Riau memiliki lahan kering cukup luas yaitu 3.676.348,31 ha (BPS,
2017). Lahan kering terluas berada di Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten
Siak, dan Kota Pekanbaru masing-masing seluas 33.457,53 ha; 28.590,12 ha;
dan 28.542,54 ha (BPS 2017). Penggunaan lahan kering di Provinsi Riau saat
ini, sekitar 56% atau seluas 2,062.145 ha (BPS, 2015), merupakan lahan
perkebunan kelapa sawit, baik yang belum menghasilkan maupun yang telah
menghasilkan. Setiap tahun terjadi peremajaan kebun kelapa sawit hingga 20%.
Kondisi lahan kebun sawit yang belum menghasilkan selama ini dibiarkan
semak belukar, ditumbuhi berbagai jenis gulma. Alasan petani belum
memanfaatkan lahan kering yang sudah ditanami sawit dengan tanaman sela
padi gogo antara lain: tingkat kesuburan tanahnya relatif rendah dan teknis
budidayanya belum dikuasai petani (PKS, 2012). Ada petani yang sudah mencoba
menanam padi gogo varietas lokal namun produktivitasnya masih rendah yaitu
rata-rata 2,72 t/ha (BPS Propinsi Riau, 2012).
Lahan kebun kelapa sawit yang belum menghasilkan dan dibiarkan semak
belukar sesungguhnya akan menghambat pertumbuhan tanaman sawit itu sendiri
karena terjadi persaingan penggunaan unsur hara di dalam tanah. Oleh karena
itu perlu upaya untuk menjaga tanah tetap subur dan pertumbuhan sawit lebih
pesat serta petani memperoleh tambahan pendapatan. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan antara lain menanam tanaman sela atau tumpangsari dengan
padi gogo sebelum kelapa sawit menghasilkan, yaitu sekitar 3-4 tahun. Dengan
demikian, lahan tersebut menjadikan potensi sumberdaya lahan yang sangat
besar untuk pengembangan tanaman padi gogo.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), Kementerian
Pertanian telah menghasilkan inovasi teknologi budidaya padi di lahan kering,
yaitu Larikan Gogo (LARGO) Super. Hasil penelitian Yanto et.al. (2017),
kombinasi rekayasa jumlah populasi per hektar minimal 200.000 rumpun dengan
cara tanam jajar legowo dan penggunaan varietas unggul padi gogo serta
ditambah penggunaan pupuk hayati, pestisida nabati dan biodekomposer dapat
meningkatkan produktivitas padi gogo dari rata-rata 2,8 t/ha menjadi 5,6 t/ha.
Diharapkan dengan pengembangan LARGO Super di lahan kebun kelapa
sawit belum menghasilkan akan meningkatkan produksi padi di Provinsi Riau.
Jika produktivitas saat ini 2,76 t/ha (BPS Propinsi Riau, 2012), meningkat menjadi
5,6 t/ha, maka akan terjadi peningkatan produktivitas sebesar 2,44 t/ha. Asumsi
lahan perkebunan kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman padi
gogo seluas 30% atau seluas 600 ribu hektar, maka akan terjadi peningkatan
produksi padi sebesar 1,464 juta ton atau beras sebesar 878,4 ribu ton per tahun.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 183


Atas dasar itu, pengembangan LARGO Super pada lahan kebun sawit yang
belum menghasilkan sangat berpeluang di Provinsi Riau.
Namun demikian agar teknologi inovatif LARGO Super dapat dikembangkan
pada lahan kebun kelapa sawit belum menghasilkan di Provinsi Riau perlu
dilakukan pengkajian. Tujuan pengkajian adalah mengetahui kinerja teknologi
LARGO Super yang diadaptasikan pada lahan kebun kelapa sawit belum
menghasilkan dilihat dari aspek teknis, sosial, dan ekonomi.

BAHAN DAN METODE


Pengkajian dilaksanakan di lahan kebun petani peserta program peremajaan, di
Kelompok Tani Setia Rukun, Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Pada tahun 2018,
Kabupaten Siak melakukan peremajaan kebun kelapa sawit sekitar 400 ha dan
merupakan areal peremajaan terluas di Provinsi Riau. Kegiatan dilaksanakan
pada musim kemarau (MK) tahun 2018, yaitu pada bulan April s.d Juli 2018.
Untuk menunjang pelaksanaan kegiatan pengkajian digunakan bahan dan
alat sebagai berikut: benih padi gogo, pupuk kandang, kapur dolomite, decomposer,
pupuk (Urea, SP-36, KCl, pestisida (Insektisida, fungisida dan herbisida), cangkul,
sabit dan alat penunjang lainnya.
Kegiatan lebih diarahkan pada uji adaptasikan teknologi LARGO Super
pada lahan kebun kelapa sawit berumur 2 tahun. Aspek yang dikaji meliputi:
aspek teknis, sosial, dan ekonomi. Aspek teknis memverifikasi teknologi LARGO
Super untuk mengetahui kinerja teknologi dan memperoleh modifikasi paket
teknologi LARGO Super sesuai dengan kondisi spesifik lokasi. Aspek sosial
untuk melihat respons petani di lokasi pengkajian yang digunakan sebagai
percontohan. Aspek ekonomi untuk melihat kelayakan finansial penerapan
telnologi LARGO Super pada lahan perkebunan. Ketiga aspek tersebut akan
sangat menentukan apakah teknologi dengan cepat diadospi oleh petani.
Pengkajian menggunakan pendekatan On Farm Client Oriented Adaptive
Research (OFCOAR) atau Penelitian Adaptif di lahan petani Berorientasi
Pengguna (PAOP) (Sumarno dan Kasdi, 2013). Penelitian adaptif melibatkan
partisipatif petani kooperator, Dinas Pertanian Kabupaten Siak, dan Penyuluh
Pertanian Lapang.
Inovasi teknologi LARGO Super diadaptasikan pada hamparan lahan seluas
5 ha berupa demfarm dengan melibatkan beberapa petani pemilik kebun sawit
yang diremajakan. Jumlah petani yang dilibatkan sesuai dengan luas kepemilikan

184 Sutrina et al.: Adaptasi Teknologi Largo Super.....


Gambar 1. Rancangan pengkajian.

lahan dan merupakan anggota kelompok tani “Setia Rukun” sebanyak 25 orang.
Rancangan penelitian disajikan pada Gambar 1.
Komponen teknologi LARGO Super yang diadaptasikan pada budidaya
padi gogo di lahan kebun sawit belum menghasilkan/masih muda dimodifikasi
disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi, yaitu pupuk organik dan pengendalian
gulma pada budidaya. Secara rinci komponen teknologi LARGO Super yang
diadaptasikan disajikan pada Tabel 1.
Variabel data yang diamati terdiri atas:
a. Sifat kimia tanah dan karakteristik sosial lokasi pengkajian serta kandungan
unsur hara pupuk kandang (pH, N, P, K, Ca, dan Mg, kandungan C-organik).
b. Tinggi tanaman dan jumlah anakan pada umur 14, 28, dan 35 Hari Setelah
Tebar (HSTr) serta menjelang panen.
c. Produktivitas hasil panen satu hektar.
d. Penggunaan tenaga kerja dan sarana produksi (benih, pupuk organik, pupuk
anorganik, pupuk hayati, dekomposer, dan biohayati).
e. Data sosial antara lain: respons/persepsi stakeholders melalui temu lapang.
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui beberapa cara, yaitu:
a. Menganalisis tanah dan pupuk kandang di Laboratorium Balai Penelitian
Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang, untuk mengetahui ketersediaan unsur
hara tanah dan pupuk organik yang akan digunakan menggunakan metode
pH meter, Spektro FM, Kjadahl, Olsen, dan Eks. Amonium Asetat.
b. Mengukur tinggi tanaman dan jumlah anakan padi gogo sebanyak 10 tanaman
pada setiap perlakuan pada umur 14, 28, dan 35 HSTr serta menjelang
panen.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 185


Tabel 1. Komponen teknologi LARGO Super yang diadaptasikan.

Komponen teknologi LARGO


No Komponen Komponen teknologi Teknologi SUPER yang diadaptasikan
Teknologi LARGO SUPER petani
I II II

1. Pengelolaan lahan
Pengolahan tanah Olah tanah sempurna    
Pembenah tanah Dolomite 2,0 t/ha -   
Pupuk Organik 3,0 t/ha PK. Ayam PK. Ayam PK. Sapi PK. Ayam +
Sapi
Dekomposer M-Dec 4 kg/ha -   
2. Varietas Inpago 9 Lokal   
3. Cara tanam Jajar legowo larikan Tegel   
(Atabela)
4. Pupuk hayati Agrimeth 50 kg/ha -   
5. Pupuk anorganik
Urea 250 kg/ha 200   
SP36 200 kg/ha 100   
KCl 150 kg/ha 0-50   
6. Pengendalian gulma Menual + Menual + Menual + Menual +
Herbisida Herbisida Herbisida Herbisida
7. Pengendalian OPT Biohayati    
8. Pengelolaan air
Musim Kemarau Pompa Sumur Dangkal   
Luas (ha) 2,0 2,0 1,0

c. Menimbang hasil ubinan kemudian dikonversi ke dalam satuan hektar.


d. Pencatatan pengeluaran sarana produksi oleh masing-masing petani dan
curahan tenaga kerja serta harga gabah pada saat panen.
e. Wawancara dengan pengunjung baik pada saat panen dan temu lapang.
Untuk menunjukkan keunggulan teknologi LARGO Super dan mempercepat
proses diseminasi sampai kepada petani dan pengguna teknologi lainnya
dilaksanakan temu lapang. Pada saat Temu Lapang diundang petani lain disekitar
lokasi, stakeholder, dan pejabat yang berkepentingan dengan program
peningkatan produktivitas padi pada lahan kering. Pada saat temu lapang
dikumpulkan data dan informasi antara lain:
a. Data sosial yang meliputi: respons/persepsi stakeholders dan efektifitas
diseminasi melalui temu lapang.
b. Umpan balik dari pengunjung acara panen dan temu lapang.
Data teknis komponen pertumbuhan dan hasil yang diperoleh dianalisis
secara deskriptif dengan membandingkan terhadap kegiatan sebelumnya, untuk
mengetahui tingkat kelayakan teknis penerapan teknologi LARGO Super. Data
input produksi dan penerimaan usahatani dianalisis pendapatan usahataninya,

186 Sutrina et al.: Adaptasi Teknologi Largo Super.....


Benefit Cost Ratio (BCR), dan Marginal Banefit Cost Ratio (MBCR) untuk
mengetahui tingkat kelayakan finansialnya. Untuk mengetahui respons
stakeholders terhadap Sistem Usahatani dianalisis Granger Causality.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Gambaran Umum Lokasi (Potensi, Masalah, dan Peluang)
Desa Teluk Merbau, Kecamatan Dayun merupakan salah satu wilayah
administratif di Kabupaten Siak. Pada tahun 2018 telah dilaksanakan peremajaan
kebun sawit seluas 400 ha dan merupakan terluas di Provinsi Riau.
Jenis tanah sebagian bergambut dengan ketebalan sekitar 20-40 cm dan
tanah mineral berpasir. Pada tanah bergambut, tingkat kematangan gambutnya
tergolong saprik, sehingga sangat potensial untuk ditanami padi gogo. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Perwira dan Armaini (2017), padi gogo varietas
Situ Bagendit dengan pemberian abu sekam padi 7,5 t/ha dam pemupukan Urea,
SP 36, dan KCl masing-masing 200-100-100 kg/ha dapat tumbuh dengan baik
pada tanah gambut dan memberikan hasil sebesar 3.32 t/ha. Hasil penelitian
lain menunjukkan bahwa beberapa varietas unggul dan lokal padi gogo juga
dapat beradaptasi dengan baik pada tanah gambut yang diberi perlakuan bahan
pembenah tanah seperti tanah mineral, kapur, dan pupuk organik (Maslaita et
al., 2017).
Tingkat kesuburan tanah di lokasi pengkajian tergolong cukup baik seperti
di tunjukkan pada Tabel 2.
Kondisi lahan sebelum dilaksanakan pengkajian ditumbuhi gulma. Petani
melakukan penyiangan hanya di sekitar tanaman sawit menggunakan herbsida.
Pemanfaatan lahan kebun sawit selama ini hanya ditanami pisang di dalam
barisan tanaman sawit sebagai tanaman sela, sedangkan pada gawangannya
tidak dimanfaatkan dan banyak ditumbuhi gulma liar (Gambar 2).
Tabel 2 juga menunjukkan bahwa kualitas tanah di lokasi pengkajian rendah
sehingga kurang mendukung untuk usaha pertanian tanaman pangan. Petani
pernah menanam padi gogo pada tahun 2016 (awal penanaman sawit)
menggunakan varietas lokal namun produktivitasnya masih rendah, yaitu 2,76 t/
ha. Hasil tersebut secara finansial tidak menguntungkan sehingga petani tidak
menanam lagi. Oleh karena itu, perlu inovasi teknologi dan membuat percontohan
agar cepat dipahami dan diyakini sehingga jika hasilnya baik dapat segera diadopsi
oleh petani.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 187


Tabel 2. Hasil analisis tanah sebelum pengkajian, Desa Teluk Merbau, Kecamatan Dayun,
Kabupaten Siak, tahun 2018.

No Parameter Satuan Nilai Kriteria*

1. pH-H 2O 4,20 Sangat masam


2. pH-KCl 3,30 Sangat masam
3. C-Organik % 1,74 Rendah
4. N-Total % 0,12 Rendah
5. C/N Ratio 14,00 Sedang
6. P-Total ppm 17,10 Sedang
7. K-Total ppm 19,70 Rendah
8. P2O5 mg/100g 5,48 Sangat rendah
9. K2O mg/100g 2,73 Sangat rendah
10. Al-dd cmol(+)/kg 1,93
11. H-dd cmol(+)/kg 0,64
12. Kandungan basa-basa
Ca cmol(+)/kg 0,99 Sangat rendah
Mg cmol(+)/kg 0.27 Sangat rendah
K cmol(+)/kg 0,01 Sangat rendah
Na cmol(+)/kg 0,03 Sangat rendah
Basa-basa Total cmol(+)/kg 1,3
13. Kapasitas Tukar Kation (KTK) cmol(+)/kg 7,42 Rendah
14. Kejenuhan Basa (KB) % 14,00 Sangat rendah
15. Kadar Air (KA) % 21,85
16. Praksi
Pasir % 36,00
Debu % 43,00
Liat % 22,00

Keterangan: *Kriteria penilaian kesuburan tanah (LPT, 1984).

Gambar 2. Kondisi Lahan Kebun Sawit sebelum Penelitian, Desa Teluk


Merbau, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, tahun 2018.

188 Sutrina et al.: Adaptasi Teknologi Largo Super.....


Keragaan Pertumbuhan Tanaman
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa keragaan pertumbuhan tanaman padi
gogo dengan menerapkan teknologi LARGO Super sangat baik, seperti
ditunjukkan pada Gambar 3.
Pemberian pupuk organik yang berasal dari pupuk kandang kotoran ayam
dan kotoran sapi sangat mempengaruhi pertumbuhan padi gogo yang di tanam
pada tanah yang banyak mengandung pasir (Tabel 2). Menurut Afandi et al.
(2015), pemberian bahan organik dapat meningkatkan kandungan C-organik
tanah dan juga dengan peningkatan C-organik tanah juga dapat mempengaruhi
sifat tanah menjadi lebih baik secara fisik, kimia dan biologi. Karbon merupakan
sumber makanan mikroorganisme tanah, sehingga keberadaan C-organik dalam
tanah akan memacu kegiatan mikroorganisme sehingga meningkatkan proses
dekomposisi tanah dan juga reaksi-reaksi yang memerlukan bantuan
mikroorganisme, misalnya pelarutan P, dan fiksasi N.
Hasil pengukuran tinggi tanaman dan jumlah anakan (Tabel 3) menunjukkan
bahwa pemberian pupuk kandang dari sumber yang berbeda memberikan
pengaruh yang berbeda terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan.
Pemberian pupuk kandang kotoran ayam yang dikombinasikan dengan pupuk
kandang kotoran sapi, menunjukkan peningkatan tinggi tanaman dibandingkan
dengan hanya diberi pupuk kandang kotoran ayam atau kotoran sapi saja. Kotoran
ayam dan kotoran sapi merupakan sumber pupuk organik yang mengandung
unsur hara N, P, dan K. Pupuk kandang kotoran ayam mengandung N 6,27%,
P2O5 5,92% dan K2O 3,27, kelembaban 56%, sedangkan kotoran sapi
mengandung N 1,67%, P2O5 1,11%, K2O 0,56%, kelembaban 80% (Aji, 2016).

Gambar 3. Keragaan pertumbuhan tanaman pada fase vegetatif dan generatif, Desa Teluk Merbau,
Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, tahun 2018 (MK 2018).

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 189


Tabel 3. Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah anakan padi gogo dengan perlakukan pupuk kandang
yang berbeda pada kajian pengembangan LARGO Super di Lahan Kebun Sawit, Desa
Teluk Merbau, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Tahun 2018 (MK
2018).

Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan


Jenis pupuk Panen
kandang 14 hst 28 hst 35 hst Panen 14 hst 28 hst 35 hst (produktif)

Kotoran ayam 30,25 57,22 93,24 106,70 7,19 13,43 15,10 15,58
Kotoran sapi 36,03 65,25 99,93 113,20 5,98 14,08 13,50 11,48
Kotoran ayam + 34,30 65,70 119,00 120,65 5,35 13,45 12,85 13,90
sapi

Hasil kajian juga menunjukkan bahwa pada fase vegetatif rata-rata tinggi
tanaman dan jumlah anakan padi gogo yang menggunakan pupuk kandang
kotoran sapi relatif lebih baik dibandingkan dengan pupuk kandang kotoran ayam.
Pupuk kandang mengandung unsur hara nitrogen yang berfungsi untuk
pembentukan asimilat, terutama karbohidrat dan protein serta sebagai bahan
penyusun klorofil yang dibutuhkan dalam proses fotosintesis. Adanya nitrogen
yang cukup pada tanaman akan memperlancar proses pembelahan sel dengan
baik karena nitrogen mempunyai peranan utama untuk merangsang pertumbuhan
secara keseluruhan khususnya pertumbuhan batang sehingga memicu pada
pertumbuhan tinggi tanaman (Yuliana et al. (2015).
Pada fase generatif jumlah anakan produktif padi gogo yang menggunakan
pupuk kandang kotoran ayam lebih baik dibandingkan dengan pupuk kandang
kotoran sapi dan kombinasi pemberian pupuk kandang kotoran ayam dan sapi.
Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Adil et al. (2006) yang menjelaskan bahwa
pupuk yang berasal dari kotoran ayam lebih baik dari kotoran sapi (mudah terurai
didalam tanah sehingga dapat lebih mudah diserap oleh tanaman).

Produktivitas
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penerapan LARGO Super pada budidaya
padi gogo di lahan kebun sawit muda memberikan hasil yang lebih tinggi
dibandingan dengan hasil petani sebelumnya yang ditanam di lahan yang sama
dengan teknologi petani pada musim tanam MK 2017 (Tabel 4).
Tabel 4 juga menunjukkan bahwa penerapan LARGO Super memberikan
hasil yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil sebelumnya yang diperoleh
petani pada tahun 2016. Hal ini membuktikan bahwa komponen teknologi pada

190 Sutrina et al.: Adaptasi Teknologi Largo Super.....


Tabel 4. Rata-rata produktivitas padi gogo dengan perlakukan pupuk kandang yang berbeda
pada kajian pengembangan LARGO Super di lahan kebun sawit, Desa Teluk Merbau,
Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Provinsi Riau Tahun 2018 (MK 2018).

Produktivitas Hasil
Jenis pupuk kandang hasil pengkajian sebelumnya % peningkatan
(t/ha) GKG* (t/ha) GKG* hasil

Kotoran ayam 3,90 2,76 41,30


Kotoran sapi 3,25 17,75
Kotoran ayam + sapi 3,78 36,96

Keterangan: *GKG = Gabah Kering Giling

Tabel 5. Hasil analisis kandungan unsur hara pupuk kandang yang dikaji.

Jenis Unsur Makro (%)


pupuk KA C- C/N
kandang organik ratio N P K Ca Mg Na

Ayam 22,57 6,16 12 0,55 1,56 0,74 0,57 0,33 0,06


Sapi 27,61 7,94 15 0,52 0,21 0,29 0,40 0,19 0,01

Sumber: Hasil analisis Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang, Bandung
Barat.

LARGO Super yang diterapkan dapat mengatasi permasalahan kesuburan tanah.


Penggunaan bahan amelioran dolomite dapat mengatasi pH tanah yang sangat
masam. Demikian juga dekomposer M-Dec dan pupuk hayati Agrimeth dapat
meningkatkan kesuburan tanah, antara lain meningkatkan ketersediaan unsur
hara dalam tanah. M-Dec mempercepat pelapukan bahan organik yang berasal
dari pupuk kandang dan Agrimeth meningkatkan ketersediaan usur hara
terutama P dalam tanah Ariyanto et al., 2015).
Hasil pengkajian juga menunjukkan bahwa produktivitas tertinggi diperoleh
pada penggunaan pupuk kandang kotoran ayam, meningkat sebesar 41,30%,
lebih tinggi disbanding dengan kotoran sapi dan campuran kotoran sapi dengan
ayam. Hal ini karena pupuk kandang kotoran ayam memiliki kandungan unsur
hara makro P, K, Ca, dan Mg lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk kandang
kotoran sapi (Tabel 5).

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 191


PK kotoran ayam PK kotoran sapi

Gambar 4. Keragaan tanaman pada fase generatif Desa Teluk Merbau, Kecamatan Dayun,
Kabupaten Siak, Provinsi Riau Tahun 2018 (MK 2018).

Tabel 5 juga menunjukkan bahwa C/N ratio pupuk kandang kotoran ayam
lebih mendekati 10, artinya pupuk kandang kotoran ayam lebih matang
dibandingkan dengan kotoran sapi. Tingkat kematangan pupuk organik sangat
menentukan ketersediaan unsur hara di dalam tanah. Hal ini juga yang
menyebabkan perbedaan, sehingga pupuk kandang kotoran ayam lebih baik
hasilnya dibandingkan dengan kotoran sapi.
Secara visual keragaan tanaman padi gogo varietas Inpago 9 pada fase
generatif dengan menerapkan teknologi LARGO Super pada lahan kebun sawit
yang belum menghasilkan sangat baik, malainya panjang, biji bernas seperti
ditunjukkan pada Gambar 4.

Kelayakan Finansial
Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa penerapan teknologi LARGO Super
pada tanaman padi gogo di lahan kebun sawit belum menghasilkan, di Desa
Teluk Merbau, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Provinsi Riau
menguntungkan dengan RC Ratio lebih besar dari satu. Dengan demikian,
teknologi tersebut layak untuk dikembangkan (Tabel 6). Layak tidaknya suatu
kegiatan atau proyek antara lain dapat dilihat dari nilai R/C  1 (Swastika, 2004).
Tabel 6 juga menunjukkan bahwa penerapan sistem LARGO Super
meskipun memerlukan biaya lebih tinggi, namun lebih menguntungkan
dibandingkan cara budidaya padi gogo yang dilakukan petani setempat pada
tahun-tahun sebelumnya. Bahkan jika hasilnya dijual dalam bentuk benih lebih
menguntungkan lagi hiingga 2-5 kali lipat keuntungan yang diperoleh jika dijual
dalam bentuk gabah konsumsi.

192 Sutrina et al.: Adaptasi Teknologi Largo Super.....


Tabel 6. Kelayakan finansial budidaya padi gogo LARGO Super di lahan kebun sawit masih
muda Desa Teluk Merbau, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Tahun
2018 (MK 2018).

LARGO Super
No. Perlakuan Cara Petani
PK Ayam PK. Sapi PK. Ayam (Eksisting)
+ Sapi

1. Biaya Produksi
a. Sarana Produksi 8.084.800 7.791.500 7.938.175 3.663.970
- Benih 320.000 320.000 320.000 320.000
- Pupuk Urea 845.250 845.250 845.250 1.408.750
- Pupuk TSP 1.292.600 1.292.600 1.292.600 646.300
- KCl 588.800 588.800 588.800 588.800
- Pupuk Organik 1.380.000 1.086.750 1.233.375
- Kapur Dolomit 2.300.000 2.300.000 2.300.000
- Pupuk Hayati 184.000 184.000 184.000
- Dekomposer 299.000 299.000 299.000
- Pestisida 875.150 875.150 875.150 700.120
b. Tenaga Kerja 7.824.000 7.824.000 7.824.000 6.880.000
HOK 122 122 122 108
Jumlah 15.908.800 15.615.500 15.762.175 10.543.970
2. Penerimaan
Jual benih 31.200.000 26.000.000 30.240.000
Jual gabah 20.646.000 17.208.000 20.011.500 12.420.000
3. Keuntungan
Jual benih 15.291.200 10.384.450 13.477.825
Jual gabah 4.737.200 1.592.450 3.249.325 1.876.030
4. RC Ratio
Jual benih 1,96 1,67 1,80
Jual gabah 1,30 1,10 1,19 1,18
5. Imbalan TK (Rp/HOK)
Jual benih 255.700 213.100 247.850
Jual gabah 169.200 141.000 164.000 115.000
6. BC Ratio
Jual benih 0,96 0,67 0,80
Jual gabah 0,30 0,10 0,19 0,18
7. MBCR
Jual benih 2,50
Jual gabah 0,53

Hasil pengkajian juga menunjukkan bahwa imbalan tenaga kerja yang


diperoleh petani berkisar Rp. 141.000 sampai dengan Rp. 255.700/HOK, lebih
besar dari upah harian lepas (UHL) diwilayah tersebut, yaitu Rp. 80.000/HOK.
Dengan demikian, petani lebih baik mengerjakan lahannya daripada bekerja di
tempat lain sebagai buruh tani. Jika dibandingkan dengan kegiatan yang pernah

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 193


dilakukan petani kooperator sebelumnya, penerapan LARGO Super dapat
menambah keuntungan dengan nilai MBCR sebesar 2,5. Hal ini berarti bahwa
penerapan atau penambahan satu satuan input paket teknologi LARGO Super
pada budidaya padi gogo di lahan kebun sawit muda mampu meningkatkan
produktivitas dan pendapatan/keuntungan sebesar 2,5 kali dibandingkan dengan
cara budidaya padi gogo yang biasa dilakukan oleh petani setempat.

Kajian Sosial
Kajian sosial lebih diarahkan untuk melihat persepsi petani dan stakeholders
lainnya terhadap inovasi teknologi budidaya padi gogo LARGO Super pada
lahan kebun sawit yang masih muda. Persepsi diartikan sebagai proses
pemahaman ataupun pemberian makna atas suatu informasi terhadap stimulus.
Stimulus didapat dari proses penginderaan terhadap obyek, peristiwa, atau
hubungan-hubungan antar gejala yang selanjutnya diproses oleh otak. Proses
kognisi dimulai dari persepsi baru memberikan respons (Solso et al., 2009).
Untuk memperoleh data dan informasi persepsi petani dan stakeholders
dilakukan dengan mengisi kuesioner pada saat temu lapang. Pada saat temu
lapang, selain petani dan stakeholders dapat memperoleh informasi dan
penjelasan tentang inovasi teknologi budidaya padi gogo LARGO Super di lahan
kebun sawit masih muda juga dapat melihat langsung keragaan pertanaman di
lapang.
Persepsi petani positif menunjukkan bahwa petani respons untuk menerapkan
inovasi teknologi budidaya padi gogo LARGO Super. Dengan demikian, besar
kemungkinan petani akan menerapkan di lahannya. Hal ini terbukti dengan
berkembangnya luas lahan padi gogo yang dusahakan petani, tidak hanya di
lahan kebun sawit yang diremajakan tetapi juga di lahan pekarangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi petani terhadap inovasi
teknologi LARGO Super termasuk kriteria positif, kecuali menghemat
penggunaan sarana produksi dan mengurangi penggunaan tenaga kerja (Tabel
7). Persepsi yang baik dari petani diharapkan dapat mempercepat proses adopsi
inovasi LARGO SUPER.

194 Sutrina et al.: Adaptasi Teknologi Largo Super.....


Tabel 7. Persepsi Petani terhadap Aspek Teknis dan Ekonomis Penerapan Teknologi LARGO
Super pada Budidaya Padi di lahan Kebun Sawit yang Belum Menghasilkan Desa Teluk
Teluk erbau, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Tahun 2018 (MK
2018).

Frekuensi Prosentase
No Variabel Uraian tertinggi
STS TS S SS

1. Teknis Tanah lebih subur 1 4 32 3 P = 87,5


Pertumbuhan 2 2 28 8 P = 90,0
tanaman lebih baik
Jumlah anakan 3 7 20 10 P = 75,0
produktif lebih banyak
Gangguan hama/ 8 10 12 10 P = 55,0
penyakit kurang
Produktivitas lebih tinggi 0 3 35 2 P = 92,5
2. Ekonomis Menghemat penggunaan 3 29 5 3 N = 80,0%
sarana produksi
Mengurangi jumlah 6 28 5 1 N = 85%
tenaga kerja
Aplikasinya mudah 5 8 16 11 P = 67,5%
Pendapatan usahatani 1 2 28 9 P = 92,5%
meningkat

Keterangan:
STS = Sangat tidak setuju (negatif = N)
TS = Tidak setuju (negatif = N)
S = Setuju (positif = P)
SS = Sangat setuju (positif = P)

KESIMPULAN
Teknologi LARGO Super yang diadaptasikan pada budidaya padi gogo di lahan
kebun sawit belum menghasilkan, secara teknis kinerjanya baik yang ditunjukkan
dengan keragaan petumbuhan dan produktivitas gabah meningkat hingga 41,3%
dari hasil yang diperoleh sebelumnya.
Secara finansial teknologi LARGO Super yang diadaptasikan pada budidaya
padi gogo di lahan kebun sawit belum menghasilkan menguntungkan dengan
RC Ratio > 1, dengan Imbalan Tenaga Kerja lebih dari upah buruh harian lepas
di wilayah setempat.
Paket teknologi LARGO Super yang komponen teknologinya menggunakan
pupuk kandang kotoran ayam layak untuk dikembangkan pada budidaya padi
gogo di lahan kebun sawit belum menghasilkan. Penambahan satu satuan input

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 195


komponen teknologi LARGO Super dapat meningkatkan pendapatan 2,5 kali
dari cara budidaya padi gogo yang biasa dilakukan petani.
Persepsi petani dan stakeholdes sebagian besar positif dengan skor 67,5-
90,0%, sehingga teknologi ini berpeluang untuk diadopsi. Hal ini dibuktikan di
lapangan pada MH 2018/2019 LARGO Super berkembang, selain di wilayah
Kecamatan Dayun, juga berkembang ke Kecamatan Lubuk Dalam, Kabupaten
Siak. Tolah luas pengembangan LARGO Super 35 ha.

DAFTAR PUSTAKA
Adil, W. H., N. Sunarlim, dan I. Roostika. 2006. Pengaruh Tiga Jenis Pupuk
Nitrogen terhadap Tanaman Sayuran. Biodiversitas, 7(1): 77-80.
Afandi, FN., Bambang Siswanto,YuliaNuraini. 2015. Pengaruh Pemberian
Berbagai Jenis Bahan Organik terhadap Sifat Kimia Tanah pada
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Ubijalar di Entisol, Ngrangkah
Pawon, Kediri. Jurnal Tanahdan Sumberdaya Lahan Vol 2 No 2: halaman
237-244.
Aji Waryana, 2016. Macam-macam Kandungan pupuk kandang dan manfaatnya
bagi tanaman. Kabar Tani. https://kabartani.com/macam-macam-
kandungan-pupuk-kandang-dan-manfaatnya-bagi-tanaman.html.
Aryanto A, Triadiati, Sugiyanta, 2015. Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah
dan Gogo dengan Pemberian Pupuk Hayati Berbasis Bakteri Pemacu
Tumbuh di Tanah Masam (Lowland and Upland Rice Growth and
Production with Application of Biofertilizer Based on Plant Growth
Promoting Bacteria in Acid Soil). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI),
Desember 2015 Vol. 20 (3): 229.235 ISSN 0853-4217
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi Tanaman Padi dan Palawija. Badan
Pusat Statistik Jakarta. Hal. 21
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Riau Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Provinsi Riau.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2017. Riau Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Provinsi Riau.
Maslaita, Abdul Rauf, dan Edison Purba. 2017. Respons Pertumbuhan dan
Produksi Beberapa Varietas Padi Gogo (Oriza sativa L.) dengan
Ketebalan Tanah Mineral pada Lahan Gambut. Jurnal Pertanian Tropik.
Vol.4, No.1. Hal. 40-46.

196 Sutrina et al.: Adaptasi Teknologi Largo Super.....


Perwira S.S. dan Armaini. 2017. Pertumbuhan dan Produksi Padi Gogo (Oryza
sativa L. ) melalui Aplikasi Beberapa Dosis Abu Sekam Padi dan
Perbedaan Komposisi Pupuk Di Lahan Gambut. JOM FAPERTA Vol. 4
No. 2. Hal. 1-14.
[PPKS] Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2012. Sistem Peremajaan Kelapa Sawit
untuk Kebun Rakyat. Medan
Sumarno dan Kasdi Subagyono. 2013. Penelitian Adaptif. Panduan Kegiatan.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Swastika, D.K.S. 2004. Beberapa Teknik Analisis Dalam Penelitian dan
Pengkajian Teknologi Pertanian. Jurnal Pengkajian dan pengembangan
Teknologi Pertanian Pertanian 7: 90-103.
Solso R.L., Otto H. Maclin, M. Kimberly Maclin. 2009. Psikologi Kognitif.
Erlangga. Jakarta. 541 halaman.
Yanto, S., Kurnia, Teami, F., dan Bambang, S. 2017. Peningkatan Indeks
Pertanaman dengan Teknologi LARGO Super di Lahan Kering,
Kabupaten Sumedang. Laporan Teknis Internal.
Yuliana, Elfi., R., dan Indah, P. 2015. Aplikasi Pupuk Kandang Sapi dan Ayam
terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jahe (Zingiber officinale Rosc.)
di Media Gambut. Jurnal Agroteknologi. Vol 5 No. 2: halaman 37-42.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 197


198 Sutrina et al.: Adaptasi Teknologi Largo Super.....
Kajian Sistem Tanam Jajar Legowo terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Inpari 30
di Sulawesi Tenggara
Samrin1, Yuliani Zainuddin1 dan Aida Fitri Viva Yuningsih2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawes Tenggara
2
Balai Besar Penelitian Padi
Email: samrinkdi@gmail.com

ABSTRAK
Kabupaten Konawe merupakan daerah utama penghasil padi utama
di Sulawesi Tenggara. Dengan luas panen padi yaitu 49.858 ha, produksi
233.935 ton atau produktivitas 46,92 kuintal per hektar. Produktivitas
tersebut masih termasuk rendah, karena hasil kajian BPTP Sultra tahun
2012 sudah mampu diperoleh nilai produktivitas antara 6-7 t/ha. Senjang
hasil tersebut antara lain disebabkan penerapan teknologi usahatani
padi di tingkat petani masih belum optimal, cara tanam yang belum
sesuai anjuran teknologi, selain hambatan lahan dan iklim. Tujuan kajian
ini untuk mengetahui pengaruh sistem tanam terhadap pertumbuhan
dan produksi padi sawah di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara.
Kegiatan dilaksanakan di Kelurahan Inolobu, Kecamatan Wawotobi,
Kabupaten Konawe. Waktu pelaksanaan mulai bulan Agustus sampai
dengan bulan Desember 2016. Kajian ini menggunakan rancangan acak
kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan, Sebagai perlakuan 4 sistem
tanam yaitu tanam pindah jajar legowo 2:1, tanam pindah jajar legowo
6:1, transplanter jarwo 2:1 dan tegel sebagai pembanding. Setiap
perlakuan di ulang sebanyak tiga kali, sehingga terdapat 12 petak
pengamatan. Sampel pengamatan diambil secara diagonal pada tiap
petak sebanyak 10 rumpun per petak. Sehingga didapatkan 120 sampel/
rumpun pengamatan. Hasil menunjukkan bahwa sistem tanam jajar
legowo 2:1 merupakan sistem tanam yang terbaik dibandingkan dengan
sistem tanam lainnya. Sistem tanam jajar legowo 2:1 meningkatkan
komponen pertumbuhan tanaman (jumlah anak maksimum, jumlah
anakan produktif, dan tinggi tanaman dan komponen hasil (panjang
malai, jumlah gabah per malai, bobot 1000 butir dan hasil gabah kering
panen) (6,66 t/ha GKP).
Kata kunci: Sistem jajar legowo, padi sawah, produksi tinggi.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 199


ABSTRACT
Konawe Regency is the main rice producing area in Southeast
Sulawesi. With a rice harvest area of 49,858 ha, production of
233,935 tons or productivity of 46.92 quintals per hectare. The
productivity is still low, because the results of the 2012 Southeast
Sulawesi AIAT study were able to obtain productivity values
between 6-7 t/ha. The gap between the results is partly due to
the application of rice farming technology at the farm level is
still not optimal, the way of planting that is not in accordance
with the recommended technology, in addition to land and climate
obstacles. The purpose of this study is to determine the effect of
the planting system on the growth and production of lowland
rice in Konawe Regency, Southeast Sulawesi. The activity was
carried out in Inolobu Village, Wawotobi District, Konawe
Regency. The implementation time starts from August to December
2016. This study uses a randomized block design (RBD) with 4
treatments, as a treatment of 4 planting systems, namely
transplanting transplanting 2: 1 legowo, transplanting transiting
6: 1 legowo transplants, jarwo 2: 1 transplants and tiles for
comparison. Each treatment was repeated three times, so there
were 12 observation plots. Observation samples were taken
diagonally in each plot of 10 clumps per plot. So that 120 samples/
clumps of observations are obtained. The results show that the
Legowo row 2: 1 planting system is the best planting system
compared to other planting systems. Legowo row 2: 1 cropping
system increases plant growth components (maximum number of
children, number of productive tillers, and plant height and yield
components (panicle length, number of grains per panicle, weight
of 1000 grains and yield of dried grain harvest) (6.66 t/ha GKP).
Keywords: Legowo row system, paddy rice, high production.

PENDAHULUAN
Pada awal tahun 2015 Kementerian Pertanian menargetkan swasembada
pangan (padi, jagung dan kedelai) tiga tahun mendatang. Dalam mencapai target
ini, maka dibutuhkan dukungan semua pihak termasuk penyediaan inovasi
teknologi sesuai kondisi masing-masing wilayah. Pemanfaatan teknologi
berpeluang untuk menjadi daya ungkit utama peningkatan produksi dan

200 Samrin et al.: Kajian Sistem Tanam Jajar Legowo.....


produktivitas. Peluang pemanfaatan teknologi tersebut telah mendapat apresiasi
dan diakui berbagai pihak, serta menjadi tumpuan harapan era pemerintah baru
saat ini. Oleh karena itu, pengakuan dan harapan ini harus bisa dimanfaatkan
seluruh jajaran Balitbangtan untuk menghasilkan dan membuktikan kontribusi
nyata Balitbangtan sebagai penghasil teknologi utama di sektor pertanian
(Balitbangtan, 2015).
Sulawesi Tenggara juga memiliki peluang yang besar dalam mendukung
program pembangunan pertanian nasional antara lain daya dukung lahan masih
cukup luas. Laporan BPS Sultra (2014) menunjukkan lahan sawah di Sultra
terbagi atas irigasi teknis seluas 37.013 ha, irigasi setengah teknis 13.433 ha,
irigasi sederhana 14.130 ha, irigasi desa 30.345 ha, tadah hujan 24.446 ha, dan
pasang surut 1.855 ha, sehingga luas keseluruhan adalah 121.222 ha,dimana
sekitar 94.921 ha (78,31%)merupakan irigasi dan sekitar 26.301 ha (21,69%)
merupakan non irigasi.
Penggunaan lahan pada sektor tanaman pangan menunjukkan luas lahan
sawah yang sudah ditanami sekitar 95.933 ha dan terbagi atas tanam satu kali
seluas 26.633 ha dan tanam dua kali seluas 69.300 ha, sedangkan lahan kering
2.630.490 ha. Namun yang masih potensi untuk ditanami dan statusnya belum
ditanami ada seluas 25.289 ha, yang disebabkan adanya kerusakan jaringan
irigasi. Luas panen padi tahun 2013 132.945 ha dengan produktivitas 561,362
ton, rata-rata produktivitas petani untuk padi yaitu 42,23 ku/ha, jagung 25 ku/ha
dan kedelai 9,63 ku/ha (Dinas Pertanian dan Peternakan Sultra, 2015). Sasaran
tanam tahun 2015 padi sawah 154.713 ha dengan produksi 47,70 ku, jagung
57,885 ha produksi 26,90 ku/ha, dan rencana pengembangan kedelai 18.295 ha
produksi 12 ku/ha.
Kabupaten Konawe merupakan daerah utama penghasil padi utama di
Sulawesi Tenggara. Luas sawah di Kabupaten Konawe Tahun 2015 yaitu 34.040
ha, terdiri dari sawah irigasi 31.858 ha dan sawah non irigasi 2.182 ha. Luas
panen padi tahun 2015 yaitu 49.858 ha, dengan produksi 233.935 ton atau
produktivitas 46,92 kuintal per hektar (BPS Sultra, 2016). Produktivitas tersebut
masih termasuk rendah, karena hasil kajian BPTP Sultra tahun 2012 sudah
mampu diperoleh nilai produktivitas antara 6-7 t/ha (BPTP Sultra, 2013). Melihat
masih senjangannya hasil tersebut antara lain disebabkan penerapan teknologi
usahatani padi di tingkat petani masih belum optimal, cara tanam yang belum
sesuai anjuran teknologi, selain hambatan lahan dan iklim. Tujuan kajian ini yaitu
untuk mengetahui pengaruh sistem tanam terhadap pertumbuhan dan produksi
padi sawah di kabupaten konawe sulawesi tenggara

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 201


METODE PENGKAJIAN
Lokasi dan Waktu
Kegiatan dilaksanakan di Kelurahan Inolobu, Kecamatan Wawotobi, Kabupaten
Konawe. Waktu pelaksanaan mulai bulan Agustus sampai dengan bulan
Desember 2016.

Rancangan Pengkajian
Kajian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan,
Sebagai perlakuan 4 sistem tanam yaitu tanam pindah jajar legowo 2:1(20 cm
x10 cm x40 cm), tanam pindah jajar legowo 6:1(20 cm x10 cm x 40 cm),
transplanter jarwo 2:1(20 cm x10 cm x40 cm) dan tegel (20 cm x 20 cm) sebagai
pembanding. Setiap perlakuan di ulang sebanyak tiga kali, sehingga terdapat 12
petak pengamatan. Varietas yang digunakan adalah Inpari 30. Sampel
pengamatan diambil secara diagonal pada tiap petak sebanyak 10 rumpun per
petak. Sehingga didapatkan 120 sampel/rumpun pengamatan.

Pengumpulan dan Analisis data


Variabel yang diamati adalah jumlah anakan maksimum (batang), tinggi tanaman
(cm), jumlah anakan produktif (batang), panjang malai (cm), jumlah gabah isi
per malai, Jumlah gabah hampa per malai, berat 1000 biji (gram), produksi (ton/
ha). Analisis data dilakukan dengan analisis statistik Anova dan uji lanjut Duncan
(DMRT) pada taraf kepercayaan 5% untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap
setiap komponen pertumbuhan maupun komponen hasil yang diamati.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Umum Lokasi


Letak Geografis Kelurahan Inolobu berada kurang lebih 2 Km dari Ibu Kota
Kecamatan, 8 Km dari Ibu Kota Kabupaten dan ± 69 Km dari Ibu Kota Provinsi,
dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
 Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Palarahi
 Sebelat Timur berbatasan dengan Kelurahan Palarahi
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Inalahi
 Sebalah Barat berbatasan dengan Kelurahan Kulahi

202 Samrin et al.: Kajian Sistem Tanam Jajar Legowo.....


Jenis tanah di Kelurahan Inolobu terdiri dari jenis-jenis tanah podsolik merah
kuning (tanah Utisol) dengan PH (Agak masam) 5,5-6, berdasarkan hasil PUTS
(Prangkat Uji Tanah Tanah Sawah) di rekomendasi pemupukan N Tinggi yaitu
200 Kg Urea/Ha, P Sedang dengan rekomendasi 75 Kg SP-36/Ha, K Tinggi
dengan rekomendasi pemupukan 50-75 Kg KCL/ha.

Analisis Pertumbuhan Tanaman


Komponen pertumbuhan tanaman yang diamati adalah tinggi tanaman dan jumlah
anakan (maksimum dan produktif). Hasil kajian menunjukkan bahwa sistem
tanam berpengaruh secara nyata terhadap tinggi tanaman, anakan maksimum
dan anakan produktif, hal ini disajikan dalam Tabel 1.
Pada Tabel 1 terlihat bahwa sistem tanam jajar legowo 2:1 menghasilkan
rata-rata tinggi tanaman tertinggi (103,00 cm), berbeda tidak nyata dengan
perlakuan sistem tanam transplanter 2: 1 (101,50 cm), dan Jajar legowo 6: 1
(100,00 cm), tetapi berbeda nyata dengan perlakuan sistem tegel (97,00 cm).
Dengan sistem tanam jajar legowo semua barisan tanaman berada dipinggir
sehingga menunjukkan hasil lebih tinggi dari tanaman yang ada dibagian dalam
barisan, tanaman pinggir juga menunjukan pertumbuhan yang lebih baik karena
kurangnya persaingan tanaman antara barisan. Jarak tanam yang lebih rapat
setiap tanaman akan berdampak pada kompetisi untuk mendapatkan sinar
matahari yang cukup untuk pertumbuhannya (Putra, 2011) Selain itu menurut
Djairin et al (2014) pergerakan angin memberikan efek terhadap tinggi tanaman,
karena ketika ada pergerakan tersebut akan mempercepat pembukaan stomata
yang akan mengefisienkan proses fotosintesis.

Tabel 1. Rataan anakan maksimum, anakan produktif, dan tinggi tanaman, padi sawah
varietas Inpari 30.

Jumlah anakan Jumlah anakan Tinggi


Sistem tanam maksimum/rumpun produktif/rumpun tanaman
(batang) (batang) (cm)

Legowo 2:1 14,33 a 14,00 a 103,00 a


Transplanter 13,00 b 13,00 b 101,50 ab
Legowo 6:1 12,25 b 12,00 c 100,00 ab
Tegel 12,50 b 11,50 c 97,00 b

Keterangan: angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 203


Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jumlah anak maksimum
dan produktif lebih banyak pada perlakuan jajar legowo 2:1 yang berbeda nyata
dengan perlakuaan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa respon tanaman
terutama jumlah anak maksimum dan anakan produktif terhadap sistem tanam
padi sawah dipengaruhi oleh sifat genetik tanaman. Sistem tanam jajar legowo
memberikan ruang yang berbeda dalam memperoleh cahaya matahari yang
dipergunakan dalam proses fotosintesis. Semakin banyak cahaya matahari yang
bisa diserap tanaman semakin cepat proses fotosintesis berlangsung dan pada
akhirnya mempercepat pertumbuhan tanaman. Jarak tanam yang lebar pada
sistem jajar legowo mengakibatkan tanaman dapat tumbuh lebih leluasa sehingga
ketersediaan unsur hara dapat diserap lebih optimal oleh tanaman (Misran, 2014).

Analisis Komponen Hasil


Komponen hasil tanaman yang diamati adalah panjang malai, jumlah gabah per
malai, persentase gabah hampa, berat 1000 butir dan produktifitas. Hasil analisis
sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan sistem tanam mempengaruhi secara
nyata terhadap panjang malai, jumlah gabah per malai, gabah hampa, berat
1000 butir dan produktivitas (Tabel 2).
Pada Tabel 2 terlihat bahwa panjang malai berkisar 23,00-27,66 cm, dimana
malai terpanjang didapat pada jajar legowo 2:1 (27,66 cm) yang tidak berbeda
nyata dengan perlakuan transplanter (26,50 cm) dan jajar legowo 6:1 (25,50
cm) tetapi berbeda nyata dengan perlakuan sistem tanam tegel (23,00 cm).
Jumlah gabah isi per malai berkisar 94,75-130,66 butir, dimana yang terbanyak
didapat pada perlakuan jajar legowo 2:1 (130,66 butir) dan berbeda nyata dengan
perlakuan tegel (94,75 butir), tidak berbeda nyata dengan jajar legowo 6:1 (122,75
butir) dan transplanter (121,00 butir). Jumlah gabah hampa permalai berkisar

Tabel 2. Rataan panjang malai, gabah isi, gabah hampa, bobot 1000 biji dan produktivitas padi
sawah varietas Inpari 30.

Panjang Jumlah gabah Jumlah gabah Bobot


Varietas malai isi per malai hampa per malai 1000 biji Produksi
(cm) (butir) (butir) (t/ha)

Legowo 2:1 27,66 a 130,66 a 18,00 b 32,33 a 6,66 a


Transplanter 26,50 a 121,00 a 20,75 ab 30,75 ab 6,00 b
Legowo 6:1 25,50 a 122,75 a 30,00 a 29,50 bc 5,50 c
Tegel 23,00 b 94,75 b 25,00 ab 27,75 c 5,50 c

Keterangan: angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

204 Samrin et al.: Kajian Sistem Tanam Jajar Legowo.....


18,00-30,00 butir, jumlah gabah hampa yang banyak ditunjukkan pada perlakuan
jajar legowo 6:1 (30,00 butir), tidak berbeda nyata dengan tegel (25,00 butir),
dan transplanter (20,75 butir), berbeda nyata dengan perlakuan jajar legowo 2:1
(18,00 butir). Ada kecendrungan bahwa semakin banyak populasi tanaman maka
jumlah gabah juga semakin meningkat. Hal ini disebabkan makin banyak lorong
yang terdapat pada sistem tanam jajar legowo mengakibatkan intensitas cahaya
matahari yang sampai ke permukaan daun lebih banyak terutama pada pinggir
lorong sehingga meningkatkan efisiensi fotosintesa (Abdullah., 2000). Selanjutnya
Fagi dan De Datta (1981) serta Darwis (1982), menyatakan bahwa laju serapan
hara oleh akar tanaman cenderung meningkat dengan meningkatnya intensitas
cahaya matahari.
Rata-rata hasil gabah yang diperoleh pada perlakuan jajar legowo 2:1 (6,66
ton per hektar), berbeda nyata dengan transplanter (6,00), jajar legowo 6:1 (5,50
ton per hektar), dan tegel (5,50 ton per hektar). Menurut Hamzah dan Atman
(2000), peningkatan hasil gabah ini antara lain disebabkan oleh meningkatnya
populasi tanaman padi. Selain pengaruh populasi tanaman, peningkatan hasil
gabah juga disebabkan oleh meningkatnya nilai komponen hasil.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Sistem tanam jajar legowo berpengaruh nyata terhadap komponen agronomis
tanaman, terutama pada jumlah anak maksimum dan jumlah anakan produktif
serta tinggi tanaman. Sistem tanam jajar legowo berpengaruh nyata terhadap
komponen hasil, terutama pada panjang malai, jumlah gabah per malai, bobot
1000 butir dan hasil gabah kering panen.
Saran
Sistem tanam pindah jajar legowo 2:1 dapat meningkatkan hasil produktivitas
padi sawah sehingga harus terus diperkenalkan di tingkat petani melalui kegiatan
diseminasi dan pengkajian.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S. 2000. Teknologi P-starter Dengan Sistem Tanam Legowo (Shaf)
Pada Budidaya Padi Sawah. Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil
Penelitian dan Pengkajian Pertanian. Buku I. Sukarami, 21-22 Maret
2000. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian Bogor; 76-81 hlm.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 205


BPS Sultra 2016. Sulawesi Tenggara Dalam Angka Tahun 2016
Balitbangtan. 2016. Petunjuk Teknis Budidaya Padi Jajar Legowo Super. Badan
Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian.
Darwis, S. N. 1982. Efisiensi Pemupukan Nitrogen Terhadap Padi Sawah Pada
Berbagai Lokasi Agroklimat. Desertasi Doktor, Fakultas Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor.
Deptan, 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Departemen Pertanian Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2014. Upaya
Khusus (UPSUS) Swasembada Padi, Jagung, dan Kedelai. Disampaikan
pada acara Koordinasi UPSUS di BPTP Sulawesi Tenggara, Desember
2015.
Djairin., Sugianti, T., Fidiawati, E. 2014. Pengaruh Jajar Legowo Terhadap
Karalteristik Pertumbuhan Padi Sawah di Dataran Rendah.Makalah
Seminar Nasional BB Padi Agustus 2014.
Fagi, A. M. dan S. K. De Datta. 1981. Environmental Factors Affecting Nitrogen
Efficiency In Flooded Tropical Rice. Fertilizer Research 2:52-67 p.
Hamzah, Z. dan Atman. 2000. Pemberian Pupuk SP36 dan System Tanam
Padi Sawah Varietas Cisokan. Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil
Penelitian dan Pengkajian Pertanian. Buku I. Puslitbang Sosial Ekonomi
Pertanian Bogor; 89-92 hlm.
Misran, 2014. Studi Sistem Tanam Jajar Legowo terhadap Peningkatan
Produktivitas Padi Sawah. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 14
(2): 106-110
Putra, S. 2011. Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Peningkatan Hasil Padi Gogo
Varietas Situ Patenggang. Agrin. 15 (1): 54 - 63.

206 Samrin et al.: Kajian Sistem Tanam Jajar Legowo.....


Aplikasi Macam Pupuk Organik dan Pupuk N, P, K
terhadap pH, K-dd, K-potensial, KTK dan Hasil Padi
Hitam (Oryza sativa L. Indica) pada Inceptisols
Anni Yuniarti*1, Yuliati Machfud1, dan Yogi Dheoksa Falma
1
Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung Sumedang km 21 Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat 45363
*
Email: anni_yuniarti@yahoo.com atau anni.yuniarti@unpad.ac.id

ABSTRAK
Padi hitam memiliki kandungan antosianin tinggi yang telah diakui
sebagai bahan pangan fungsional untuk kesehatan karena aktivitas
antioksidan, anti kanker, hipoglekimia. Pigmen antosianin juga efektif
mengurangi kadar kolesterol. Disamping kelebihan yang dimiliki,
pengembangan padi hitam di Indonesia belum terlalu berkembang
dikarenakan masyarakat Indonesia yang masih mengkonsumsi beras
putih sebagai makanan pokok. Salah satu ordo tanah yang tersebar
secara luas di Indonesia yang dapat diupayakan untuk budidaya
tanaman yaitu Inceptisols. Oleh karena itu, pada Inceptisols diperlukan
penanganan yang tepat yaitu pemberian pupuk organik dan anorganik
yang seimbang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis pupuk
organik dan dosis N,P,K terbaik terhadap pH tanah, K-dd, K-potensial,
Kapasitas Tukar Kation (KTK), dan hasil padi hitam (Oryza sativa
L.). Penelitian dilakukan di kebun percobaan Ciparanje, Jatinangor,
dan proses analisis di Laboratorium Kimia Tanah dan Nutrisi Tanaman
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian
Universitas Padjadjaran. Rancangan percobaan yang dilakukan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari
10 perlakuan dengan tiga ulangan. Jenis pupuk organik terdiri dari
kompos jerami, kotoran hewan ayam, kotoran hewan sapi, dan kotoran
hewan domba dengan dosis 10 ton/ha. Dosis pupuk N,P,K yang
digunakan adalah 1/2 dan 1 (Urea 300; TSP 50; KCl 50 kg/ha). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemberian kotoran hewan ayam + 1
N,P,K memberikan hasil yang terbaik terhadap pH tanah, K-dd, K-
potensial, KTK dan hasil padi hitam (Oryza sativa L.) sebesar 55,40
g/tanaman atau 7,09 ton/ha.
Kata kunci: Padi hitam, pupuk organik, pupuk N,P,K, tanah Inceptisols,
kalium.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 207


ABSTRACT
Black rice has a high anthocyanin content which is owned as a
functional health food due to its antioxidant, anti-cancer,
hypoglychemical activity. Anthocyanin pigments are also effective
in reducing cholesterol levels. Besides the advantages, the
development of black rice in Indonesia has not been too developed.
Indonesian people still consume white rice as primary food. One
of the land orders that is widely distributed in Indonesia that can
be sought for plant cultivation is Inceptisols.. Therefore, Inceptisols
needed a proper handling, such as balanced application of organic
and inorganic fertilizers. The aim of this research is to know the
best type of organic fertilizer and the best dosage of N,P,K on soil
pH, K-dd, potencial K, Cation Exchange Capacity (CEC) and result
of black rice (Oryza sativa L.). This research was held in Ciparanje
experiment field, Jatinangor, and the analysis process in the
Laboratory of Soil Chemistry and Plant Nutrition, Department of
Soil Science and Land Resources, Faculty of Agriculture,
Padjadjaran University. The experimental design used was
Randomized Block Design (RBD) with 10 treatments, three
replications and two units. The type of organic fertilizer consisted
of rice straw compost, chicken manure, cow manure, and sheep
manure with doses 10 t/ha. The N,P,K fertilizer that used has a
dosage of 1/2 and 1 (Urea 300; TSP 50; KCl 50 kg/ha). The results
showed that the application of chicken manure + 1 N,P,K gave
the best result on soil pH K-dd, potencial K, CEC and black rice
(Oryza sativa L.) yield of 55.40 g/plant or 7.09 ton/ha.
Keywords: Black rice,organic fertilizer, N,P,K fertilizer, Inceptisols,
Potassium.

PENDAHULUAN
Tanaman Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu komoditas tanaman
yang paling banyak dibudidayakan di dunia, termasuk di Indonesia. Hal ini
dikarenakan padi mempunyai peranan sebagai pemenuh kebutuhan pokok
karbohidrat bagi penduduk di Indonesia. Seiring dengan bertambahnya penduduk
maka kebutuhan tanaman padi di masyarakat semakin meningkat serta
perubahan makanan pokok dari masyarakat sekitar yang sebelumnya bukan
mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok menjadi beralih ke beras (Yusuf,
2010).

208 Yuniarti et al.: Aplikasi Macam Pupuk Organik.....


Di Indonesia, umumnya masyarakat mengkonsumsi beras putih, beras merah
dan beras hitam namun beras yang paling dominan dikonsumsi adalah beras
putih. Beras yang berwarna seperti beras hitam umumnya bertekstur kasar
dibandingkan beras putih yang dikarenakan beras berwarna memiliki zat warna
atau biasa disebut dengan pigmen yang termasuk dalam kelompok flavonoid
yang biasa kita sebut dengan antosianin (Yodmanee et al., 2011).
Beras hitam (Oryza sativa L.indica) merupakan salah satu jenis beras
yang ada di dunia, di samping beras putih, beras cokelat, dan beras merah.
Akhir-akhir ini beras hitam mulai populer dan dikonsumsi oleh sebagian
masyarakat sebagai bahan pangan fungsional karena secara alami atau melalui
proses tertentu mengandung satu atau lebih senyawa yang dianggap mempunyai
fungsi fisiologis yang bermanfaat bagi kesehatan. Beras hitam memiliki
kandungan antosianin tinggi yang terletak pada lapisan perikarp, yang
memberikan warna ungu gelap. Antosianin telah diakui sebagai bahan pangan
fungsional kesehatan karena aktivitas antioksidan, anti kanker, antioksidan,
hipoglekimia. Pigmen antosianin juga efektif mengurangi kadar kolesterol. Di
samping kelebihan yang dimiliki, padi beras hitam umumnya mempunyai umur
tanaman yang panjang, habitus tanaman yang tinggi, dan produktivitas rendah
yang menjadi kendala dalam usaha budidayanya (Kristamtini et al., 2014).
Pengembangan padi hitam di Indonesia belum terlalu berkembang
dikarenakan masyarakat Indonesia yang masih mengkonsumsi beras putih
sebagai makanan pokok serta ketidaktahuan masyarakat Indonesia dengan padi
hitam. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2018), produksi padi pada tahun
2018 sebesar 32,42 juta ton dengan konsumsi beras mencapai 33,47 juta ton.
Kebutuhan masyarakat sangat tinggi terhadap tanaman padi untuk dijadikan
sebagai bahan makanan pokok. Maka produksi padi dari para petani juga harus
tinggi agar terjadi keseimbangan antara kebutuhan dan hasil produksi dari para
petani. Banyak cara yang dapat digunakan para petani untuk mempercepat dan
meningkatkan hasil dari budidaya padi, yaitu melakukan program intensifikasi
penanaman padi, salah satunya pemupukan yang didasarkan pada rekomendasi
pemerintah dan ekstensifikasi pada Inceptisols.
Inceptisol merupakan ordo tanah yang belum berkembang lanjut dengan
ciri-ciri bersolum tebal antar 1.5-10 m di atas bahan induk, bereaksi masam
dengan pH 4.5-6.5, kejenuhan basa rendah sampai sedang. Di Indonesia
Inceptisols mempunyai cakupan yang luas pada lahan pertanian yaitu sekitar
70,52 juta ha (37,5%) yang berpotensi untuk budidaya tanaman padi dan jagung
apabila dikelola dengan sesuai. Peningkatkan unsur hara pada Inceptisols dapat
dilakukan pemupukan dan penambahan bahan organik (Puslittanak, 2000).

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 209


Kandungan K tanah pada lahan pertanian pangan cukup beragam, tetapi
pada umumnya lahan sawah lebih banyak mengandung K dibandingkan dengan
lahan kering. Di Indonesia, perhatian terhadap pemberian hara K untuk komoditas
pangan relatif rendah dibandingkan dengan pemberian hara N dan hara P. Hal
ini dikarenakan pupuk K sulit diperoleh serta harganya mahal, serta kurangnya
pemahaman petani mengenai peran hara K dalam produksi tanaman. Tanaman
yang kekurangan unsur hara K biasanya mudah rebah, sensitif terhadap penyakit,
hasil dan kualitas hasil rendah, dan dapat menyebabkan gejala keracunan
amonium, sedangkan kelebihan K menyebabkan tanaman kekurangan hara Mg
dan Ca (Jones et al. 1991).
Pemupukan yang sesuai dapat diterapkan untuk meningkatkan produktivitas
padi hitam. Unsur hara yang diberikan merupakan hal yang penting untuk
mengukur produktivitas tanaman padi. Unsur hara yang diperlukan oleh tanaman
adalah Nitrogen, Fosfor dan Kalium.
Tanah sawah umumnya memiliki nilai pH yang relatif netral karena adanya
proses penggenangan. Menurut Hardjowigeno et al. (2005), penggenangan
mengakibatkan pH tanah mendekati netral (6,5-7,0) kecuali pada gambut masam
atau tanah dengan kadar Fe aktif (Fe2+) yang rendah.
Lahan sawah umumnya berupa wilayah pengendapan sehingga bahan induk
tanahnya berupa Aluvial yang relatif subur. Kadar K pada sumber air irigasi
menjadi tolak ukur jumlah suplai hara K pada air irigasi tersebut (Subandi, 2013)
Sumber hara kalium di dalam tanah adalah berasal dari kerak bumi. Kadar
kalium dari kerak bumi diperkirakan lebih dari 3,11% K2O, sedangkan air laut
mengandung kalium sekitar 0,04 K2O. Rata-rata kadar kalium pada lapisan
olah tanah pertanian lima kali lebih besar daripada kadar nitrogen dan dua belas
kali lebih besar daripada kadar fosfor adalah berkisar 0,83%. Mineral-mineral
primer sebagai sumber utama kalium adalah mineral biotit
(H,K)2(Mg,Fe)2Al2(SiO4)3, muskovit H2Kal(SiO4)3, dan felspart KalSi3O8.
Kalium dapat bertambah kedalam tanah melalui berbagai sumber sisa tanaman,
hewan, pupuk kandang dan pelapukan mineral kalium. Pertambahan kalium
dari sisa tanaman dan hewan merupakan sumber yang penting dalam menjaga
keseimbangan kadar kalium di dalam tanah (Damanik, et al., 2011).
Menurut Aisyah dkk (2019) umumnya kadar Kdd kurang dari 2% dari Kt
tanah atau berkisar antara 10-400 ppm. Namun demikian tanah-tanah yang
ditanami secara intensif mengandung Kdd yang bervariasi sekitar 1-5% dari Kt
tanah. K-dapat dipertukarkan (Kdd) didefinisikan sebagai K yang dijerap pada

210 Yuniarti et al.: Aplikasi Macam Pupuk Organik.....


kompleks permukaan koloid tanah. Kirkman et al. (1994) menyatakan bahwa
aplikasi pemupukan K dapat diduga berdasarkan tingkat kadar Kdd tanah.
Semakin tinggi kadar Kdd tanah maka semakin sedikit jumlah pupuk yang perlu
ditambahkan dan begitu pula sebaliknya. Peranan utama dari Kdd adalah untuk
mempertahankan kadar K dalam larutan (Leiwakabessy, 2003).
Peningkatan Kapasitas Tukar Kation dapat dilakukan dengan cara
penambahan pupuk organik yaitu pupuk kandang sapi/domba yang bermuatan
negatif. Pupuk kandang sapi/domba memberikan pengaruh yang nyata bagi
peningkatan Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah yang berkisar antara 20-
70% KTK yang pada umumnya bersumber dari koloid humus, sehingga
menimbulkan kolerasi antara pupuk kandang sapi dengan KTK tanah (Stevenson,
1994).
Penambahan pupuk kandang pada tanah Inceptisols mampu meningkatkan
pH tanah dan mampu menurunkan Al tertukar dalam tanah. Dekomposisi lanjut
pada pupuk kandang yang ditambahkan juga dapat mengakibatkan peningkatan
pH tanah dikarenakan pupuk kandang sapi yang telah termineralisasi akan
melepaskan mineralnya, berupa kation-kation basa (Soepardi, 1999).
Rekomendasi dari Permentan No. 40/2007 yaitu pemberian pupuk organik
yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik dengan tujuan untuk memperbaiki
kondisi dan kesuburan tanah, sekaligus meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk
anorganik (Badan Litbang Pertanian, 2010). Oleh karena itu, pemberian pupuk
organik sebaiknya dikombinasikan dengan pupuk N, P, K dengan dosis anjuran
agar dapat memperbaiki kondisi serta kesuburan tanah.
Berdasarkan uraian mengenai pengaruh macam aplikasi pupuk organik dan
pupuk N,P,K pada tanaman padi hitam maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut: (1) apakah macam pupuk organik dan pupuk N,P,K berpengaruh
terhadap pH, Kdd, KTK dan hasil padi hitam; (2) pupuk organik yang mana dan
pupuk N,P,K berapa yang dapat memberikan hasil terbaik pada budidaya padi
hitam.
Tujuan penelitian secara umum dari hasil penelitian ini adalah dapat
memberikan informasi tentang manfaat macam pupuk organik dan pupuk N,P,K
terhadap pH, Kdd, KTK dan hasil padi hitam sebagai daya dukung
pengembangan Agroindustri. Selain itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan
dapat meningkatkan pemanfaatan kotoran hewan dan jerami padi yang selama
ini masih dianggap sebagai limbah.
Penelitian mengenai pupuk organik dan pupuk NPK diharapkan dapat

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 211


memberikan sumbangan terhadap kemajuan teknologi pertanian khususnya dalam
pertimbangan dosis pemupukan yang efektif dan efisien bagi tanaman budidaya.
Selanjutnya, rekomendasi pemupukan yang disusun atas dasar perilaku dan
reaksi tanah dapat diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pembentukkan
sistem usahatani yang berkelanjutan, cermat dan berwawasan lingkungan.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen
dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 10
perlakuan dengan tiga ulangan, terdapat dua unit percobaan (vegetatif maksimum
dan generatif). Jumlah keseluruhan terdapat 2x30= 60 pot. Benih padi hitam
yang digunakan adalah varietas lokal Tasik. Penelitian dilakukan di rumah kasa
di Jatinangor. Data penunjang yaitu analisis pupuk organik dan analisis tanah.
Perlakuan yang diberikan dalam percobaan ini adalah aplikasi macam pupuk
organik dan pupuk N,P,K. Kombinasi masing-masing perlakuannya adalah
sebagai berikut: (A) Kontrol (Tanpa pupuk organik dan tanpa pupuk N,P,K);
(B) Kompos jerami + 1/2 N,P,K; (C) Kompos jerami + 1 N,P,K ; (D) pupuk
kohe ayam + 1/2 N,P,K; (E) Pupuk kohe ayam + 1 N,P,K; (F) Pupuk kohe sapi
+ 1/2 N,P,K; (G) Pupuk kohe sapi + 1 N,P,K; (H) Pupuk kohe domba + 1/2
N,P,K; (I) Pupuk kohe domba + 1 N,P,K; (J) pupuk N,P,K 100%. Dosis 1 NPK
yaitu 300 kg Urea ha-1; 50 kg SP-36 ha-1; 50 kg KCl ha-1 (Balittanah, 2013) dan
Pupuk organik masing-masing 10 ton/ha (perhitungan berdasarkan kandungan
C-organik pada tanah).
Variabel yang diamati meliputi karakteristik/variabel pertumbuhan (Tinggi
Tanaman; Jumlah Anakan per Rumpun). Komponen Hasil {Berat Gabah Kering
Panen (GKP) dan Gabah Kering Giling (GKG) per pot dan dikonversi ke ton
per ha}. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis varians
(ANAVA) dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf
95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pelaksanaan penelitian dimulai dari analisis tanah awal, analisis pupuk organik

212 Yuniarti et al.: Aplikasi Macam Pupuk Organik.....


kemudian persemaian persiapan media tanam, penanaman, pemupukan,
pemeliharaan dan pemanenan
Analisis awal tanah, sampel tanah yang digunakan pada penelitian merupakan
ordo Inceptisols asal Ciparanje. Sampel yang digunakan komposit dari beberapa
titik yang diambil secara diagonal, kemudian ditimbang masing-masing 10 kg
masukan ke dalam pot dan lakukan pelumpuran. Hasil analisis menunjukkan
tanah tersebut kesuburannya rendah dengan dicirikan pH yang agak masam
(5,58), C-organik rendah (1,89%), N-total sedang (0,24%), K-dd rendah (0,37
cmol/kg), Na-dd rendah (0,11 cmol/kg) namun KTK sedang (20,76 cmol/kg)
dan P-tersedia tinggi (19,08 ppm)
Sampel pupuk organik diaduk hingga homogen dan diayak dengan ayakan
2 mm. Bahan yang tidak lolos ayakan merupakan bahan ikutan (plastik, kaca,
kerikil dan lain-lain) dipisahkan, sampel pupuk ditimbang. Semua analisis
menggunakan sampel pupuk yang lolos ayakan 2 mm (contoh halus) kecuali
kadar air awal sampel dan kadar bahan ikutan. Simpulan dari hasil analisis
sebagai berikut C-organik tertinggi pada kohe domba (31,34%), C/N tertinggi
pada kohe sapi (11), pH tertinggi pada kompos (8,93), N-total tertinggi pada
kompos (2,68%), P2O5 total, K2O total dan Si tertinggi terkandung pada kohe
ayam masing-masing (14,90%, 1,35% dan 12,50 ppm), secara keseluruhan maka
kohe ayam kandungan haranya lebih baik daripada pupuk organik lainnya.
Sebelum penanaman maka terlebih dahulu lakukan persemaian, benih
padi hitam varietas asal Tasikmalaya yang digunakan dalam persemaian diseleksi
terlebih dahulu dengan cara dimasukkan ke dalam air. Benih yang tenggelam
selanjutnya direndam di dalam air selama 24 jam. Media semai yang digunakan
adalah tanah dan kompos dengan perbandingan 1:2. Media semai dicampur
sampai homogen kemudian dimasukkan ke dalam wadah/baki. Benih padi
ditaburkan di atas media semai. Persemaian dilakukan sampai bibit berumur 14
Hari Setelah Semai (HSS).
Media tanam yang digunakan adalah tanah Inceptisol di sekitar Kebun
Percobaan Ciparanje. Tanah yang diambil kemudian dikeringanginkan selama
satu minggu, dihaluskan dan disaring. Sebanyak 10 kg tanah hasil penyaringan
kemudian dicampurkan dengan pupuk organik sesuai dengan perlakuan dan
dimasukkan ke dalam pot serta ditambahkan air sampai tergenang. Setelah
tanah tergenang, dilakukan pelumpuran dengan cara diaduk berulang-ulang
hingga terbentuk kondisi lumpur.
Setelah siap media tanam selanjutnya dilakukan penanaman, dengan
menanam satu bibit padi hitam untuk tiap pot. Bibit yang digunakan adalah yang

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 213


mempunyai tinggi seragam, bibit tampak sehat dengan tampilan daun tidak
berwarna kuning, dan tidak terdapat gejala serangan penyakit. Penanaman
dilakukan pada kedalaman 3-5 cm.
Kegiatan pemeliharaan mencakup pengaturan air, pemupukan sesuai
perlakuan dan pengamatan berupa tinggi tanaman dan jumlah anakan. Pemberian
air dilakukan saat tanaman berumur 1 hari. Pot diairi sampai ketinggian 3 cm
dan selama 2 hari berikutnya tidak ada penambahan air. Pemberian air dilakukan
lagi pada hari ke-4 sampai tinggi genangan 3 cm. Cara ini dilakukan terus-
menerus sampai fase vegetatif akhir. Mulai fase pembentukan malai sampai
pengisisan biji, tanah dijaga dalam kondisi macak-macak. Selama ±15 hari
sebelum panen, pemberian air dihentikan dan dibiarkan mengering secara alami
(BPTP, 2009).
Pemupukan anorganik (Urea, SP-36 dan KCl) dilakukan sesuai dengan
masing-masing perlakuan. Pemberian pupuk SP-36 dan KCl diberikan pada
saat tanaman berumur 7 hari setelah tanam (HST), sedangkan pupuk Urea
dilakukan pada umur 7 HST, 21 HST dan 42 HST, pupuk Urea perlu diberikan
sebanyak tiga kali, agar pemberian pupuk N menjadi lebih efisien terserap oleh
tanaman padi. Pemberian pupuk Urea dilakukan dengan menaburkan di sisi
tanaman, sedangkan untuk pupuk SP-36 dan KCl ditaburkan pada sisi yang
berbeda. Beberapa hari sebelum pemupukan tidak dilakukan pemberian air agar
tanah dalam kondisi macak-macak saat pemupukan.
Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan berupa pengaturan air, penyiangan
gulma, penyulaman, dan pengamatan serta pengendalian OPT. Penyiangan
dilakukan dengan cara membenamkan gulma ke dalam media tanam.
Penyulaman dilakukan sampai tanaman berumur 12 HST. Hama utama yang
mengganggu tanaman adalah belalang, hama penggerek batang dan ulat
penggerek batang. Upaya pengendalian hama belalang dilakukan dengan
menangkap belalang kemudian dilepaskan ke lokasi yang jauh dari tanaman
padi. Pengendalian pada hama penggerek batang dengan penyemprotan pestisida
dilakukan apabila populasi atau kerusakan sudah melebihi ambang batas. Ambang
batas untuk penggerek batang adalah 6% (sundep pada fase vegetatif) dan 9%
(beluk pada fase generatif), sedangkan untuk ulat penggerek batang, ambang
batasnya adalah 25% daun rusak (fase vegetatif) dan 15% daun rusak (fase
generatif). Jenis pestisida yang dilakukan adalah Decis 25 EC dengan melarutkan
2-4 mL ke dalam 1 L air.
Pengamatan tinggi tanaman (cm), dan jumlah anakan dilakukan setiap
minggu sampai masa vegetatif akhir. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dengan

214 Yuniarti et al.: Aplikasi Macam Pupuk Organik.....


menggunakan meteran yang dimulai dari bagian tanaman yang berada tepat di
atas media tanam sampai bagian daun paling tinggi saat diluruskan secara
vertikal. Penghitungan jumlah anakan dilakukan dengan menghitung jumlah
anakan tanaman padi yang yang terdapat dalam satu rumpun. Apabila dalam
rumpun terdapat 20 batang, maka jumlah anakan tanaman padi adalah 19 karena
satu batang sisanya adalah tanaman padi induk (Kaderi,2004). Penghitungan
jumlah malai tiap rumpun dilakukan saat seluruh bagian malai sudah muncul.

Reaksi tanah (pH), Kdd, K potensial dan KTK


Berdasarkan hasil uji statistik akibat pemberian macam pupuk organik dan pupuk
N,P,K menunjukkan adanya peningkatan pH, Kdd, K-potensial dan KTK. Rata-
rata hasil analisis uji statistik nilai kemasaman tanah (pH) meningkat pada
perlakuan pemberian pupuk kandang. Hal ini disebabkan pupuk kohe (kotoran
hewan) yang ditambahkan ke tanah akan terdekomposisi lanjut atau
termineralisasi melepaskan mineral-mineral berupa kation-kation basa (Ca, Mg,
Na, K) yang menyebabkan konsentrasi ion OH-meningkat mengakibatkan pH
naik (Kaya, 2014).
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik dan pupuk
N,P,K meningkatkan kesuburan tanah (unsur N, P dan K). Perlakuan E (Pupuk
kohe Ayam + 1 N, P, K) memberikan hasil K-potensial tanah paling tinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu sebesar 44,23 mg K2O/100 g.
Nilai K-potensial tersebut termasuk dalam kategori tinggi berdasarkan kriteria
penilaian sifat kimia tanah. Rata-rata nilai K-potensial tanah pada perlakuan H
(Pupuk kohe domba + ½ N, P, K) dan G (Pupuk kohe sapi + 1 N, P, K), yaitu
masing-masing sebesar 40,70 dan 41,15 mg K2O/100 g, dalam kriteria penilaian
sifat kimia tanah juga termasuk dalam kategori tinggi. Hasil uji lanjut menunjukkan
bahwa perlakuan E (Pupuk kohe ayam + 1 N, P, K) memberikan pengaruh
yang paling baik terhadap rata-rata nilai K-potensial tanah Inceptisols Jatinangor.
Pada perlakuan A (kontrol) menunjukkan nilai K-dd dan K-potensial terendah
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh tidak
adanya pemberian unsur hara tambahan sehingga unsur K yang dibutuhkan
dalam jumlah besar tidak terpenuhi. Jumlah unsur hara K yang dibutuhkan
berkisar 0,1% agar dapat tumbuh dengan baik (Hanafiah, 2007). Sementara
perlakuan D (Kotoran hewan ayam + ½ N, P, K), E (Kotoran hewan ayam + 1
N, P, K), G (Kotoran hewan sapi + 1 N, P, K), H (Kotoran hewan domba + ½
N, P, K) dan I (Kotoran hewan domba + 1 N, P, K) memiliki nilai K-dd cenderung
lebih tinggi dibandingkan perlakuan B (Kompos jerami + ½ N, P, K) dan

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 215


perlakuan C (Kompos jerami + ½ N, P, K), F (Kotoran hewan sapi + ½ N, P, K)
dan J (1 N, P, K).
Pemberian pupuk organik ditambah pupuk N, P, K dapat berpengaruh
terhadap peningkatan K-dd dan K-potensial. Menurut Hanafiah (2007), untuk
meningkatkan ketersediaan hara kalium tanah perlu upaya untuk
ketersediaannya, salah satunya yaitu dengan penambahan pupuk organik yang
berasal dari kotoran hewan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dosis pupuk
kotoran hewan dan pupuk N,P.K dapat meningkatkan nilai K-dd dan K-potensial.
Perlakuan E (Kotoran hewan ayam + 1 N, P, K) menunjukkan nilai Kapasitas
Tukar Kation (KTK) berbedanyata dibandingkan dengan perlakuan A (kontrol),
C (Kompos jerami + 1 N, P, K), D (Kotoran hewan ayam + ½ N, P, K), I
(Kotoran hewan domba + 1 N, P, K) dan J (1 N, P, K), namun tidak berbedanyat
bila dibandingkan dengan perlakuan B (Kompos jerami + ½ N, P, K), F (Kotoran
hewan sapi + ½ N, P, K), G (Kotoran hewan sapi + 1 N, P, K) dan H (Kotoran
hewan domba + ½ N, P, K).
Kapasitas tukar kation menunjukkan kemampuan tanah untuk menahan
kation-kation dan mempertukarkan kation-kation tersebut. Tanah-tanah dengan
kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi
daripada tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah
berpasir (Hanafiah, 2007). Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa pemberian

Tabel 1. Pengaruh pemberian macam pupuk organik dan pupuk N,P,K terhadap kesuburan tanah
(pH, Kdd, K potensial dan KTK tanah).

Kesuburan tanah
Perlakuan
pH Kdd K-potensial KTK
(cmol/kg) (mg/100g) (cmol/kg)

A (tanpa pupuk) 6,55 ab 0,12 a 3,07 a 19,07 abc


B (Kompos jerami + 1/2 N,P,K) 6,48 a 0,51 c 20.04 d 20,22 cd
C (Kompos jerami + 1 N,P,K) 6,62 abc 0,39 b 15,97 bc 19,16 abc
D (ppk kohe ayam + 1/2 N,P,K) 6,76 bc 0,67 d 18,92 cd 18,59 ab
E (ppk kohe ayam + 1 N,P,K) 6,86 c 0,72 d 44,23 f 21,17 d
F (ppk kohe sapi + 1/2 N,P,K) 6,85 c 0,40 b 16,04 bc 19,94 bcd
G (ppk kohe sapi + 1 N,P,K) 6,79 bc 0,71 d 41,15 e 20,37 cd
H(ppk kohe domba + 1/2 N,P,K) 6,87 c 0,72 d 40,70 e 20,45 cd
I (ppk kohe domba + 1 N,P,K) 6,85 c 0,67 d 18,83 cd 17,61 a
J (ppk 1 N, P, K) 6,85 c 0,40 b 13,65 b 17,92 a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji
Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

216 Yuniarti et al.: Aplikasi Macam Pupuk Organik.....


pupuk organik dan anorganik memberikan pengaruh pada KTK tanah. Hal ini
diduga karena terjadi dekomposisi bahan organik yang telah menghasilkan asam-
asam organik yang memberikan muatan negatif pada koloid tanah sehingga
memiliki daya jerap kation yang tinggi (Hanafiah, 2007).

Tinggi Tanaman, Jumlah anakan dan Berat Gabah Kering Panen


Berdasarkan hasil uji statistik secara keseluruhan menjelaskan bahwa pemberian
macam pupuk organik (kompos, pupuk kohe ayam, sapi dan domba) serta pupuk
anorganik (N, P dan K) terhadap tinggi tanaman pada umur 2,4,6,8 dan 10 MST
(Minggu Setelah Tanam) menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar
perlakuan. Secara rinci hasil uji statistik dapat dilihat pada Tabel 2.
Begitu juga halnya pengaruh macam pupuk organik yang dikombinasikan
dengan pupuk N, P dan K terhadap jumlah anakan menunjukkan berbeda nyata
berdasarkan uji jarak berganda Duncan. Secara rinci hasil uji statistik dapat
dilihat pada Tabel 3.
Hasil uji statistik pengaruh kombinasi macam pupuk dan pupuk N, P, K
terhadap Berat Gabah Kering Giling menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata
antara kontrol dengan perlakuan lainnya, dapat dilihat pada Tabel 4.

Tinggi Tanaman

Tabel 2. Pengaruh pemberian macam pupuk organik dan pupuk N,P,K terhadap tinggi tanaman
pada umur 2,4,6,8 dan10 MST.

Tinggi tanaman (cm) pada umur


Perlakuan
2 MST 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST

A (tanpa pupuk) 39.25 ab 62.17 a 68.42 ab 68.83 a 71.75 a


B (Kompos jerami + 1/2 N,P,K) 40.83 b 64.25 ab 70.92 b 72.50 ab 77.92 ab
C (Kompos jerami + 1 N,P,K) 38.92 ab 66.67 ab 74.42 c 77.42 b 81.75 b
D (ppk kohe ayam + 1/2 N,P,K) 40.58 ab 67.50 ab 72.92 bc 75.25 ab 78.50 ab
E (ppk kohe ayam + 1 N,P,K) 44.50 c 70.17 b 76.58 c 79.17 b 86.00 b
F (ppk kohe sapi + 1/2 N,P,K) 40.50 ab 63.83 ab 70.58 b 72.83 ab 80.08 ab
G (ppk kohe sapi + 1 N,P,K) 39.25 ab 65.33 ab 73.83 bc 75.92 ab 82.58 b
H(ppk kohe domba + 1/2 N,P,K) 39.58 ab 63.83 ab 71.42 bc 77.50 b 80.25 ab
I (ppk kohe domba + 1 N,P,K) 36.92 a 61.58 a 67.72 a 73.83 ab 84.08 b
J (ppk 1 N, P, K) 40.42 ab 66.83 ab 74.17 c 80.75 b 86.75 b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji
Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 217


Pada Tabel 2 terlihat bahwa tinggi tanaman padi saat umur 2, 4,6 dan 8 MST
yang paling tinggi adalah akibat pemberian kombinasi pupuk kohe ayam dan 1
N,P,K, sedangkan tinggi tanaman yang paling rendah adalah akibat pemberian
kombinasi kohe domba dan 1 N,P,K. Hal ini bisa terjadi karena kohe ayam
kandungan haranya lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk organik lainnya.
Pada Tabel 2 terlihat bahwa tinggi tanaman padi saat umur 2, 4,6 dan 8
MST yang paling tinggi adalah akibat pemberian kombinasi pupuk kohe ayam
dan 1 N,P,K, sedangkan tinggi tanaman yang paling rendah adalah akibat
pemberian kombinasi kohe domba dan 1 N,P,K. Hal ini bisa terjadi karena kohe
ayam kandungan haranya lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk organik lainnya.
Tinggi tanaman tertinggi dipengaruhi oleh kombinasi kohe ayam dan pupuk
N,P,K 1 rekomendasi namun tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan
perlakuan lainnya kecuali dengan pemberian kombinasi kohe domba dan pupuk
N,P,K 1 rekomendasi. Pada umur 6 MST baru terlihat pengaruh dari pemberian
kompos jerami dan pupuk N, P, K satu rekomendasi serta pemberian pupuk
N,P,K satu rekomendasi, terlihat bahwa tinggi tanaman umur 10 MST pemberian
pupuk N,P,K 1 rekomendasi tidak berbeda nyata dibandingkan dengan semua
perlakuan kecuali dengan kontrol (tanpa pupuk) terlihat berbeda nyata.
Simpulannya pemberian pupuk organik (kompos jerami, kohe ayam, kohe domba
dan kohe sapi) dengan penambahan pupuk N,P,K ½ rekomendasi dapat menyamai
dengan hanya pemberian pupuk N,P,K 1 rekomendasi.

Jumlah anakan
Pada Tabel 3 menunjukkan jumlah anakan pada umur 2 dan 4 MST masih
belum terlihat perbedaan yang nyata antar perlakuan tapi ada kecenderungan
peningkatan jumlah anakan bila ada pemberian pupuk N,P,K. Jumlah anakan
tertinggi diakibatkan pemberian pupuk N,P,K satu rekomendasi (perlakuan J).
Pada Tabel 3 pengaruh macam pupuk organik dan pupuk N,P,K terhadap jumlah
anakan menunjukkan perlakuan J (pupuk N,P,K 1 rekomendasi) jumlah anakan
tertinggi dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan kontrol (tanpa pemupukan).

218 Yuniarti et al.: Aplikasi Macam Pupuk Organik.....


Tabel 3. Pengaruh macam pupuk organik dan N,P,K terhadap jumlah anakan pada umur 2,4, 6, 8
dan 10 MST.

Jumlah anakan pada umur


Perlakuan
2 MST 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST

A (tanpa pupuk) 2.00 ab 12.17 ab 21.17 a 22.83 a 23.83 a


B (Kompos jerami + 1/2 N,P,K) 2.17 ab 12.50ab 20.83 a 24.17 ab 26.83 ab
C (Kompos jerami + 1 N,P,K) 2.00 ab 12.83 ab 26.83 ab 35.17 c 38.50 c
D (ppk kohe ayam + 1/2 N,P,K) 1.67 a 12.33 ab 24.50 ab 30.17 abc 31.50 abc
E (ppk kohe ayam + 1 N,P,K) 2.17 ab 13.33 ab 27.83 b 34.17 c 36.83 bc
F (ppk kohe sapi + 1/2 N,P,K) 2.17 ab 13.00 ab 24.67 ab 27.83 abc 29.33 abc
G (ppk kohe sapi + 1 N,P,K) 1.83 ab 11.67 ab 24.83 ab 33.00 bc 34.67 bc
H(ppk kohe domba + 1/2 N,P,K) 1.83 ab 10.17 a 22.50 ab 29.83 abc 32.67 abc
I (ppk kohe domba + 1 N,P,K) 1.83 ab 12.67 ab 23.17 ab 28.83 abc 27.83 ab
J (ppk 1 N, P, K) 2.50 b 14.00 b 28.17 b 35.83 c 38.50 c

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji
Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Bobot Gabah Kering Giling


Berdasarkan hasil uji statistik pada Tabel 4 menjelaskan bahwa pemberian
macam pupuk organik dan pupuk N,P,K terhadap bobot gabah kering giling padi
hitam menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan. Bobot gabah
terendah terlihat pada perlakuan A (kontrol atau tanpa pemupukan), sedangkan
yang tertinggi pada perlakuan E (kombinasi pupuk kohe ayam+pupuk 1 N,P,K)
sebesar 55,40 g/rumpun tidak berbeda nyata dengan perlakuan J (pemberian
pupuk 1 N,P,K).
Perlakuan pemberian pupuk kandang ayam dan satu dosis pupuk N, P, dan
K memberikan nilai terbaik terhadap K-potensial tanah dan serapan K pada
tanaman. Dobermann and Fairhurst, 2000 menyatakan bahwa kalium dapat
meningkatkan jumlah gabah/malai, jumlah gabah isi/malai dan gabah kering giling
(GKG). Beberapa hasil penelitian aplikasi pupuk kandang ayam selalu
memberikan respon tanaman yang terbaik pada musim pertama. Hal ini terjadi
karena pukan ayam relatif lebih cepat terdekomposisi serta mempunyai kadar
hara yang cukup pula jika dibandingkan dengan jumlah unit yang sama dengan
pupuk kandang lainnya (Widowati, et al., 2006).
Komponen hasil dan hasil gabah dipengaruhi oleh fotosintesis tanaman,
dimana proses ini dipengaruhi oleh unsur hara N, P, dan K. Pemberian N 60%
pada tahap awal dan 40% tahap akhir menyebabkan meningkatnya ketersediaan

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 219


Tabel 4. Pengaruh pemberian macam pupuk organik dan pupuk N,P,K
terhadap berat gabah kering giling padi hitam.

Perlakuan Berat gabah kering giling


(g/rumpun)

A (tanpa pupuk) 18,33 a


B (Kompos jerami + 1/2 N,P,K) 49,00 c
C (Kompos jerami + 1 N,P,K) 41,77 b
D (ppk kohe ayam + 1/2 N,P,K) 42,70 b
E (pupuk kohe ayam + 1 N,P,K) 55,40 d
F (pupuk kohe sapi + 1/2 N,P,K) 38,17 b
G (pupuk kohe sapi + 1 N,P,K) 37,77 b
H (pupuk kohe domba + 1/2 N,P,K) 40,77 b
I (pupuk kohe domba + 1 N,P,K) 42,30 b
J (pupuk 1 N, P, K) 49,17 c

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata
menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

N pada tahap pertumbuhan akhir yang dapat mempengaruhi metabolisme daun


selama pengisian biji. Unsur P berperan dalam suplai dan transfer energi seluruh
proses biokimia padi, salah satunya yaitu mempercepat pemasakan dan
perkembangan gabah sehingga bobot gabah meningkat. Unsur K berfungsi untuk
pembentukan gula, zat tepung dan berbagai macam enzim sehingga jumlah gabah
per malai dan persen gabah isi dapat ditingkatkan (Siswanto, et al., 2015).

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama, dapat diambil simpulan sebagai
berikut:
Pemberian macam pupuk organik dan pupuk N,P,K berpengaruh terhadap
peningkatan pH, Kdd, Kpotensial, KTK tanah, pertumbuhan tanaman (tinggi
tanaman, jumlah anakan) dan hasil padi hitam (Bobot Gabah Kering Giling).
Pemberian pupuk kohe ayam yang ditambahkan pupuk N,P,K satu rekomendasi
memberikan Bobot Gabah Kering Giling sebesar 55,40 g/rumpun (7,09 ton/ha)
dengan asumsi populasi per ha adalah 128 000 rumpun.
Dari hasil penelitian maka dapat disarankan untuk dilakukan penelitian
lanjutan di lapangan dengan menggunakan pupuk organik dan pupuk N,P,K
dengan setengah dosis rekomendasi.

220 Yuniarti et al.: Aplikasi Macam Pupuk Organik.....


DAFTAR PUSTAKA
Aisyah D.S., Yuniarti A, dan Damayani M. 2019. Pemupukan dan Pengapuran
untuk Kesuburan Tanah. Penerbit CV Duta Media Tama
Badan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2016. Petunjuk Teknis
Budidaya Padi Jajar Legowo Super. Kementerian Pertanian. Jakarta
Badan Pusat Statistik. 2018. Produksi Padi dan Palawija di Indonesia. Badan
Pusat Statistik. Jakarta
Balittanah (Balai Penelitian Tanah). 2013. Rekomendasi Pemupukan N, P, dan
K pada Padi Sawah Spesifik Lokasi. Tersedia online di http://balittanah
.litbang .pertanian .go.id/pupuk/index.php/perangkat-uji/80-rekomendasi-
pemupukan-padi-sawah-spesifik-lokasi (diakses pada tanggal 15 Mei
2018)
BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian). 2009. Budidaya Tanaman Padi.
Nanggroe Aceh Darussalam. Tersedia online di www.nad.litbang.
pertanian .go.id (Diakses pada tanggal 24 Mei 2018).
Damanik, M. M. B., Bachtiar, E.H., Fauzi., Sariffudin dan Hanum, H. 2011.
Kesuburan Tanah dan Pemupukan. USU Press, Medan
Dobermann, A. and Fairhurst TH. 2000. Nutrient disorders and nutrient
managemen. IRRI and Potash and PPI/PPIC. Manila, Philipina.
Hanafiah, K. A. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Jones, JB, Wolf, B & Mills, HA 1991, Plant analysis hand book, Micro-macro
Publishing, Inc.
Kaderi, H. 2004. Pengamatan Percobaan Bahan Organik terhadap Tanaman
Padi di Rumah Kaca. Banjarbaru: Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa.
Kaya, Elizabeth. 2014. Pengaruh Pupuk Organik dan Pupuk NPK terhadap pH
dan K-Tersedia Tanah serta Serapan-K, Pertumbuhan, dan Hasil Padi
Sawah (Oryza sativa L). Maluku. Buana Sains Vol.14, No.2: 113-122.
Kirkman JH, A Basker, A Surapaneni, AA Macgregor. 1994. Potassium in the
soils of New Zealand a review. New Zealand Journal of Agricultural
Research 37: 207-227.
Kristamtini, Taryono, Basunanda, P., dan Murti, R. H. 2014. Keragaman Genetik
dan Korelasi Parameter Warna Beras dan Kandungan Antosianin Total
Sebelas Kultivar Padi Beras Hitam Lokal. Ilmu Pertanian, 17(1), 90-
103.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 221


Leiwakabessy FM, UM Wahjudin, Suwarno. 2003. Kesuburan Tanah. Bogor:
Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Siwanto, T., dan Melati, M. 2011. Peran Pupuk Organik dalam Peningkatan
Efisiensi Pupuk Anorganik pada Padi Sawah (Oryza sativa L .) The
Role of Organic Fertilizer in Increasing Efficiency of Inorganic Fertilizer
onn Paddy Rice (Oryza sativa L.), 43(1), 8–14.Bogor.
Soepardi, G. 1999. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor, Bogor
Stevenson, F. J. 1994. Humus chemistry; Genesis, composition, reactions. 2th.
Editi-on. John Wiley and Sons, tnc. New York
Subandi. 2013. Peran dan pengelolaan hara kalium untuk produksi pangan di
Indonesia Malang. Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.
Widowati, L.R. Widati, S. Jaenudin, U. dan Hartatik, W. 2006. Pengaruh Kompos
Pupuk Organik yang Diperkaya dengan Bahan Mineral dan Pupuk Hayati
terhadap Sifat-sifat Tanah, Serapan Hara dan Produksi Sayuran Organik.
Laporan Proyek Penelitian.
Yodmanee, S., Karrila, T.T. dan Pakdeechanuan, P. 2011. Physical, chemical
and antioxidant properties of pigmented rice grown in Southern Thailand.
International Food Research Journal 18: 901-906.
Yusuf, A dan Harnowo, D. 2010. Teknologi Budidaya Padi sawah Mendukung
Sl-PTT. BPTP. Sumatera Utara.

222 Yuniarti et al.: Aplikasi Macam Pupuk Organik.....


Variabel Kritis Morfofisiologi Tanaman Padi pada
Kondisi Cekaman Rendaman
N. Agustiani*, Sujinah, dan I. A. Rumanti
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat
*Email: wulan_bbpadi@yahoo.co.id

ABSTRAK
Kejadian cekaman kekeringan dan rendaman secara silih berganti
memberikan pengaruh terhadap penurunan produksi gabah. Penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui variabel-variabel kritis selama
pertumbuhan yang mempunyai korelasi positif terhadap capaian hasil
baik pada kondisi normal maupun tercekam rendaman. Perlakuan
dirancang menggunakan rancangan acak kelompok empat ulangan
untuk menguji 10 varietas/galur padi (Inpari 30 Ciherang Sub-1, Inpara
3, Inpara 4, Inpara 8, IRRI119, IRRI154, IR42, IR14D121, IR14D157,
dan Tapus). Pengaturan air di lahan sawah dilakukan sesuai praktek
petani pada umumnya, sementara untuk perlakuan perendaman dari
0 hingga 35 HST air dinaikkan secara bertahap kemudian
dipertahankan pada ketinggian 50 cm sejak 35 HST hingga panen,
sementara itu. Untuk mengetahui variabel-variabel kritis selama
pertumbuhan tanaman padi pada masing-masing kondisi lingkungan
tumbuh (lahan sawah maupun cekaman rendaman), digunakan uji
korelasi Spearman pada masing-masing kondisi lingkungan tumbuh
pada semua variabel yang diamati. Dari penelitian ini diketahui bahwa
karakter tinggi tanaman, kehijaun daun terutama saat awal vegetatif,
laju asimilasi bersih saat primordial hingga pengisian, jumlah malai
per rumpun, dan persentase pengisian gabah merupakan variabel kritis
pertumbuhan yang mempengaruhi hasil gabah pada kondisi sawah
optimal. Sementara itu, jumlah malai per rumpun yang merkorelasi
dengan kemampuan pembentukan anakan tanaman merupakan
variabel kritis yang mempengaruhi tingkat hasil pada pertanaman padi
dengan cekaman rendaman.
Kata kunci: Padi, rendaman, karakter pertumbuhan.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 223


ABSTRACT
The challenges of drought and submergence stress alternately have
been contributed on decreasing of rice production in Indonesia.
This experiment was to explore about critical variables during
rice plant growth that have a positive effect on yield both in normal
and submergence conditions. A randomized completely block
design (RCBD) with four replications was used to test of 10 rice
varieties, namely Inpari 30 Ciherang Sub-1, Inpara 3, Inpara 4,
Inpara 8, IRRI119, IRRI154, IR42, IR14D121, IR14D157, and
Tapus. Those materials was planted in control and submergence
plot. The depth of water was managed according to the farmers’
practices for a control plot, while for submergence stress plot the
depth of water was gradually increased starting from 35 day after
planting and maintained at the depth of 50 cm to harvesting
(stagnant flooding). The critical variables during the growth of
rice plants was measured by the Spearman correlation test. The
study shown that the character of plant height, leaf greenness
mostly at the beginning of vegetatif, net assimilation rate when
primordial upon filling, number of panicles per hill, and number
of filled grains which had significant correlation with grain yields
at optimal paddy fields. The number of panicles per hill in
accordance with the panicle ability was a variable that affects the
grain yield under submergence stress.
Keywords: Rice, submergence, growth character.

PENDAHULUAN
Banjir merupakan salah satu hambatan yang dapat menurunkan produksi padi.
Seluas 102.000 ha lahan sawah terendam banjir pada periode pertanaman
Oktober-Maret 2015 dan 31.900 ha pada tahun 2016 (Rachman, 2016). Hal ini
semakin menunjukkan peningkatan tantangan cekaman rendaman yang dihadapi
pertanian Indonesia, terlebih karena cekaman ini dilaporkan memberikan
penurunan hasil yang signifikan (Singh et al., 2011, Nugraha et al., 2013).
Penurunan hasil ini merupakan akumulasi pengaruh cekaman rendaman pada
fase pertumbuhan tanaman (Sarkar et al., 2009, Vergara et al., 2014). Kondisi
terendam menghambat terjadinya fotosintesis dan respirasi aerobic pada
tanaman, sehingga memaksa tanaman untuk merubah proses respirasi menjadi
anaerob sebagai mekanisme untuk bertahan hidup (Fakao dan Bailey-Serres,

224 Agustiani et al.: Variabel Kritis Morfofisiologi Tanaman Padi.....


2004). Kekurangan molekul oksigen (O2) menyebabkan perubahan metabolisme
sel dan lebih lanjut dilaporkan menurunkan produktivitas hasil. Berbagai karakter
morfologi dan fisiologi memberikan kontribusi terhadap capaian hasil yang tinggi
seperti besarnya “zink” yang ditunjukkan melalui jumlah spikelet, besarnya luas
daun dan tingginya indeks luas daun, tingginya laju asimilasi bersih, lambatnya
senesence, ketahanan terhadap kerebahan, tingginya akumulasi biomas sebelum
fase bunting dan lebih banyaknya karbohidrat yang mampu ditranslokasikan
dari bagian vegetatif ke malai selama fase pengisian gabah (Zhang et al., 2009).
Perakitan varietas unggul tahan rendaman telah menghasilkan berbagai
produk seperti Inpari 30 Ciherang Sub1 (Nugraha et al., 2017), maupun varietas-
varietas Inpara seperti Inpara 1-8 (BBPadi, 2015). Namun demikian belum ada
informasi terkait dengan varieable kritis yang menyebabkan varietas tersebut
dapat beradaptasi pada kondisi rendaman, Informasi variabel-variabel kritis
selama pertumbuhan yang mempunyai korelasi positif terhadap capaian hasil
dari berbagai varietas/galur yang di uji berguna bagi pemulia sebagai kriteria
seleksi untuk mendapatkan galur adaptif terhadap lingkunagn tercekaman
rendaman dan rekomendasi awal untuk merancang teknik budidaya dalam
menekan dampak cekaman rendaman.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan dalam bak semen rendaman dan lahan sawah sebagai
pembanding di Kebun Percobaan Balai Besar (BB) Padi Sukamandi Subang
Jawa Barat (Lintang: 6°21’1.71"S dan Bujur: 107°39’ 17.44"E) pada musim
tanam 2 (MT2) tahun 2015-2016 menggunakan rancangan percobaan acak
kelompok (RAK) dengan empat kali ulangan. Perlakuan yang diuji adalah 10
varietas/galur padi rakitan BBPadi, introduksi IRRI maupun varietas local (Inpari
30 Ciherang Sub-1, Inpara 3, Inpara 4, Inpara 8, IRRI119, IRRI154, IR42,
IR14D121, IR14D157, dan Tapus). Ukuran plot yang digunakan setiap perlakuan
berukuran 2,8 x 5 meter. Bibit padi ditanam pada umur 21 hari setelah sebar
dengan 2-3 bibit per lubang dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Dosis pupuk yang
diaplikasikan terdiri atas 90 kg/ha N, 22 kg/ha P2O5, dan 41 kg/ha K2O. Pupuk
P dan K diaplikasikan seluruhnya pada pemupukan pertama (7-10 hari setelah
tanam/HST) sementara pupuk N55% diaplikasikan pada pemupukan pertama
dan 45% pada pemupukan kedua (30 HST). Pengaturan air di lahan sawah
dilakukan sesuai praktek petani pada umumnya, sementara untuk perlakuan
perendaman dilakukan pada ketinggian 50 cm dimulai sejak 35 HST hingga
panen, sementara itu dari 0 hingga 35 HST air dinaikkan secara bertahap seperti
pada Gambar 1.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 225


Gambar 1. Grafik pengaturan tinggi muka air rendaman (cm), Sukamandi 2015-2016.

Berbagai pengamatan yang dilakukan meliputi: (1) respon pertumbuhan


tanaman (tinggi tanaman, jumlah anakan, kehijauan daun, ruas batang, luas daun,
bobot kering, ketebalan daun melalui bobot daun khas, (2) respon fisiologis
tanaman (laju pertumbuhan, dan laju asimilasi bersih), dan (3) komponen hasil
(jumlah malai per rumpun, jumlah gabah per malai, persen gabah isi, dan bobot
1000 butir), dan hasil. Pengamatan dilakukan pada 20 rumpun setiap satuan
percobaan. Bobot daun khas, laju pertumbuhan, dan laju asimilasi bersih dihitung
berdasarkan rumus berikut:
Bobot daun khas =

W2 - W1 ln La 2 - ln La 1
LAB = x g/dm2/minggu ......................... (1)
T 2 - T1 La 2 - La 1

1 W2 - W1
LPT = x g/dm2/minggu ........................................... (2)
Ga T2 - T1
Dimana W2 dan W1 masing-masing adalah bobot kering tanaman akhir dan awal.
La2 dan La1 masing-masing adalah luas daun tanaman akhir dan awal. T2 – T1
adalah selang waktu pengamatan bobot kering tanaman, dan Ga adalah luas
kanopi tanaman. Perbedaan capaian hasil kondisi lahan sawah dan rendaman
diuji menggunakan T test (Gomez dan Gomez, 2010), Untuk mengetahui variabel-
variabel kritis selama pertumbuhan tanaman padi pada masing-masing kondisi
lingkungan tumbuh (lahan sawah maupun cekaman rendaman), maka dilakukan
uji korelasi Spearman pada masing-masing kondisi lingkungan tumbuh pada semua
variabel yang diamati.

226 Agustiani et al.: Variabel Kritis Morfofisiologi Tanaman Padi.....


HASIL DAN PEMBAHASAN
Penurunan Produksi akibat Cekaman Rendaman
Cekaman rendaman terus menerus hingga ketinggian 50 cm sampai dengan
panen nyata menurunkan produktivitas padi dibanding pertanaman di lahan
sawah pada umumnya. Hasil Uji T menyatakan bahwa rata-rata produktivitas
10 varietas/galur yang diuji sebesar 4,49 ton/ha nyata lebih rendah dibanding
rata-rata hasil produksi di lahan sawah sebesar 6,70 ton/ha (Tabel 1).
Namun demikian, diperoleh beberapa varietas/galur yang mampu
memberikan hasil yang relatif setara antara kondisi lahan sawah maupun kondisi
dengan cekaman rendaman terus menerus, sebagaimana terlihat pada grafik 1.
Pada diagram 1:1 terlihat bahwa Inpara 3 yang paling toleran terhadap cekaman
rendaman sehingga capaian hasil pada kondisi normal maupun dalam cekaman
relatif setara. Sementara itu, varietas/galur lainnya bervariase dengan penurunan
25-50% sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.
Variabel Kritis Tanaman pada Lahan Sawah. Berdasarkan uji kolerasi
Spearman diketahui bahwa karakter tinggi tanaman, kehijaun daun terutama
saat awal vegetatif, laju asimilasi bersih saat primordial hingga pengisian, jumlah
malai per rumpun, dan persentase pengisian gabah nyata mempunyai korelasi
positif terhadap hasil gabah yang diperoleh (Tabel 2). Lebih lanjut ternyata
variabel tinggi tanaman juga nyata mempunyai korelasi positif terhadap
kemampuan pembentukan anakan hingga jumlah malai per rumpun dan tingkat
kehijauan daunnya. Kondisi lingkungan mikro akan sangat penting mempengaruhi
proses kerja tanaman selama pertumbuhan yang dapat dilihat dalam perbedaan

Tabel 1. Hasiluji T terhadap capaian produksi padi di lahan sawah dan lahan tercekam
rendaman pada penelitian, 2015.

Rendaman Kontrol

Mean 4.489990142 6.705038


Variance 0.284754302 1.272669
Observations 10 10
Hypothesized Mean Difference 0
df 13
t Stat -5.61280305
P(T<=t) one-tail 4.22058E-05
t Critical one-tail 1.770933383
P(T<=t) two-tail 8.44115E-05
t Critical two-tail 2.160368652

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 227


Gambar 2. Perbandingan produksi padi pada kondisi lahan sawah dan cekaman rendaman, 2015.

postur, akumulasi bahan kering, kehijaun daun, dan sebagainya (Badano et al.
2005; Michael, 2008; dan Moles et al., 2009). Tingkat kehijauan daun pada
awal fase vegetatif ternyata mempunyai hubungan posisitf terhadap tingkat
kehijauan daun pada umur tanaman setelahnya. Kehijauan daun banyak
dilaporkan berkorelasi terhadap ketersediaan hara Nitrogen (N). Pada daun,
Nitrogen mengambil fungsi mempromosikan sintesis klorofil dan menunda
degradasi. Hasil padi yang ditargetkan hanya bisa dicapai bila hara (nutrisi)
yang diberikan jumlahnya sesuai dan pemberiannya tepat waktu sehingga
memenuhi kebutuhan tanaman padi selama masa pertumbuhan (De Datta, 1989;
Fairhurst et al., 2007).
Laju asimilasi bersih saat primordial hingga pengisian berkorelasi dengan
hasil gabah. Dalam usaha untuk peningkatan akumulasi asimilat yang terbentuk,
daun dan malai merupakan “source” dan “sink” terpenting, khususnya pada
fase pengisian hingga matang (Kato et al., 2004). Lebih lanjut, variabel ini
menunjukkan secara positif dipengaruhi oleh karakter laju pertumbuhan pada
fase yang sama, bobot daun khas atau ketebalan daun terutama pada saat
primordial, luas daun pada fase inisiasi malai (LD40), dan kehijauan daun pada
kisaran fase tersebut. Ketebalan daun berkaitan dengan sensitivitas tanaman
terhadap intensitas cahaya. Intensitas cahaya tinggi menyebabkan sel-sel daun
lebih kecil, tilakoid mengumpul, dan klorofil lebih sedikit, sehingga ukuran daun
lebih kecil dan tebal. Selain itu jumlah daun lebih banyak dengan stomata lebih
kecil ukurannya dan tekstur daun lebih keras (Buntoro et al., 2014).

228 Agustiani et al.: Variabel Kritis Morfofisiologi Tanaman Padi.....


Tabel 2. Hasil uji korelasi Spearman pada berbagai variabel pertumbuhan tanaman padi pada kondisi lahan sawah, 2015.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan


229
Sementara itu, jumlah malai per rumpun dan persentase pengisian gabah
diketahui berkorelasi dengan hasil gabah. Jumlah malai per rumpun yang terbentuk
secara linier akan dipengaruhi oleh karakter jumlah anakan pada fase anakan
aktif, jumlah gabah per malai, bobot daun khas atau ketebalan daun terutama
pada saat primordial, dan tinggi tanaman. Sementara itu, tinggi rendahnya tingkat
pengisian gabah akan berbanding lurus dipengaruhi oleh bobot daun khas atau
ketebalan daun terutama pada saat primordial, luas daun pada fase inisiasi malai
(LD40), dan kehijauan daun pada kisaran fase tersebut.

Variabel Kritis Tanaman pada Lahan Tercekam Rendaman.


Satu-satunya variabel yang secara signifikan menunjukkan korelasi terhadap
hasil yaitu jumlah malai per rumpun (Tabel 3). Variabel ini berkorelasi positif
terhadap tingkat produksinya, sehingga penurunan produksi pada kondisi
terendam terus menerus secara nyata disebabkan karena penurunan kemampuan
rumpun membentuk malai produktif (Reddy et al., 1985). Selain itu, diketahui
pula bahwa jumlah malai yang sedikit akan signifikan diikuti oleh peningkatan
jumlah gabah per malai. Jumlah gabah per malai merupakan salah satu indek
penting dalam screening pemuliaan varietas baru (Gong et al., 2018). Lebih
lanjut, variabel ini juga nyata dipengaruhi secara liniear oleh kemampuan
pembentukan anakan selama masa pertumbuhan. Interaksi antara faktor
lingkungan dan teknik budidaya dilaporkan signifikan mempengaruhi jumlah
anakan yang optimal (Koesmaryono, 1996; Anggraini et al., 2013; Moeller et
al., 2014; Agustiani et al., 2018).
Oleh karena itu faktor kunci yang menjadi penentu besar kecilnya penurunan
hasil pada kondisi tanaman padi dengan cekaman rendaman terus menerus
sejak vegetatif hingga panen adalah kemampuan pembentukan anakan dan
jumlah malai per rumpunnya. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan pembentukan jumlah anakan dan jumlah malai per
rumpun adalah (1) pengaturan populasi melalui jarak tanam. Di Cina dilaporkan
bahwa teknik budidaya untuk produksi hasil tinggi salah satunya dilakukan dengan
merubah pola jarak tanam rapat menjadi jarak tanam lebar sehingga diharapkan
dapat meningkatkan laju fotosintesa dengan peningkatan persentase malai
produktif dan jumlah gabah per malai (Defeng et al., 2002). (2) Mengurangi
tinggi malai tanaman. Setter et al. (1995) melaporkan bahwa pengurangan tinggi
malai tanaman dapat meningkatkan intersepsi cahaya oleh daun selama fase
pengisian gabah dan mengurangi kemungkinan terjadinya kerebahan menjelang
panen.

230 Agustiani et al.: Variabel Kritis Morfofisiologi Tanaman Padi.....


Tabel 3. Hasil uji korelasi Spearman pada berbagai variabel pertumbuhan tanaman padi pada kondisi lahan tercekam rendaman, 2015.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan


231
KESIMPULAN
Karakter tinggi tanaman, kehijaun daun terutama saat awal vegetatif, laju asimilasi
bersih saat primordial hingga pengisian, jumlah malai per rumpun, dan persentase
pengisian gabah merupakan variabel kritis pertumbuhan yang mempengaruhi
hasil gabah pada kondisi sawah optimal. Sementara itu, jumlah malai per rumpun
yang merkorelasi dengan kemampuan pembentukan anakan tanaman merupakan
variabel kritis yang mempengaruhi tingkat hasil pada pertanaman padi dengan
cekaman rendaman.

DAFTAR PUSTAKA
Agustiani, N., Sujinah, dan Z. M. Hikmah., 2018. Kesesuaian Cara Tanam
Menurut Elevasi pada Ekosistem Padi Sawah Irigasi. Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan. 2(3): 145-153.
Anggraini, Fita., A. Suryanto, N. Aini. 2013. Sistem tanam dan umur bibit pada
tanaman padi sawah (Oryza sativa L) varietas Inpari 13. Jurnal Produksi
Tanaman. 1(1): 52-61.
Badano, E. I., L. A. Cavieres, M. A. Molina-Montenegro, and C. L. Quiroz.
2005. Slope aspect influences plant association patterns in the
Mediterranean matorral of central Chile. Journal of Arid Environments.
62(1): 93-108.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2015. Deskripsi Varietas Padi. Badan
Litbang Pertanian. Jakarta.
Buntoro, B.H., Ching Su, J., 2000. Starch synthesis and grain filling in rice.
Carbohydrate Reserves in Plants: Synthesis and Regulation. p107-124.
De Datta, S.K. 1989. Rice. In D.L. Plucknett & H.B. Sprague (Eds.) Detecting
Mineral Nutrient Deficiencies in Tropical and Temperate Crops.
Westview Press, Inc.
Defeng, Z., C. Shihua, Z. Yuping, and L. Xiaqing., 2002. Tillering patterns and
the contribution of tillers to grain yield with hybrid rice and wide spacing.
Research Report: China. Cornell International Institute for Food,
Agriculture and Development; http://ciifad.cornell.edu/sri.
Fairhurst T, Witt C, Buresh R, dan Dobermann A (eds) (2007) Rice: a practical
guide tonutrient management, 2nd edn. Los Baños (Philippines):
International Rice Research Institute and (Singapore) International Plant

232 Agustiani et al.: Variabel Kritis Morfofisiologi Tanaman Padi.....


Nutrition Institute and International Potash Institute. http://
w w w. e s e a p . o r g / p p i w e b / s e a s i a . n s f / $ w e b i n d e x /
article=872632A9482570760008A05FC76C1813. Diakses 22 November
2016
Fukao, T and Bailey-Serres., 2004.Plant responses to hypoxia—is survival a
balancing act? Trends in Plant Science. 9(9):449-456.http://www.cell.com/
trends/plant-science/fulltext/S1360-1385(04)00176-1?large_figure=true.
Diaksespadatanggal 12 Januari 2017.
Gomez, K.A dan A.A. Gomez., 2010.Prosedur Statistik untuk Penelitian
Pertanian Edisi Kedua. Bahasa Indonesia. Jakarta: UI Press.
Gong, L., K.Lin, T. Wang, C. Liu, Z. Yuan, D. Zhang, dan J. Hong., 2018.
Image-based on panicle rice (Oryza sativa L.) grain conting with a prior
edge wavelet correction model. Agronomy. 8:91.14p. doi:10.3390/
agronomy8060091
Kato, M., K. Kobayashi, E. Ogiso, and M. Yokoo. 2004. Photosynthesis and
dry-matter production during ripening stage in a female-sterile line of
rice. Plant Production Science. 7(2): 184-188.
Koesmaryono, Y. 1996. Studies on photosynthesis, growth and yield of Soybean
(Glycine max (L.) Merr.) in relation to climatological
environtment. Dissertation. United Graduated School of Agricultural
Science.Matsuyama (Japan): Ehime University.
Michael, R. A. A. 2008. Studies on some agronomic traits of Nerica 1 and
Nerica 5 under upland and irrigated lowland environments: Characteristics
of Nerica in two different ecosystem. Master Degree Dissertation.
Utsunomiya University. 1-78.
Moles, A.T., D. I. Warton, L. Warman, N.G. Swenson, S. W. Laffan, A. E.
Zanne, A. Pitman, F.A. Hemmings, and M.R. Leishman. 2009. Global
pattern in plant height. Journal of Ecology. 10p. doi: 10.1111/j.1365-
2745.2009.01526.
Moller, C., J. B. Evers, and G. Rebetzke. 2014. Canopy architectural and
physiological characterization of near isogenic wheat lines differing in
the tiller inhibition gene tin. Frontiers in Plant Science 5 (617): 1-14. doi:
10.3389/fpls.2014.00617
Nugraha, Y et al. 2013 Response of Sub1 introgression lines of rice to various
flooding conditions. Indonesian Journal of Agricultural Science 14(1): 15-
26.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 233


Nugraha, Y et al. 2017 . Phenotypic performance of Ciherang SUB1 near
isogenic line as an adaptive variety for flooding conditions.” Indonesian
Journal of Agricultural Science 18(1): 7-16.
Rachman, T., 2016. Kementan: Sawah banjir belum tentu puso.
www.republika.co.id. Diakses pada tanggal 12 Januari 2017.
Reddy, B.B., B.C. Ghosh, dan M.M. Panda. 1985. Flood tolerance of rice at
diferent crop growth stages as affected by fertilizer application. Plant
and Soil. 85(2):255-263.
Sarkar,R.K., D. Panda, J.N. Reddy, S.S.C. Patnaik, D.J. Mackill, and A. M.
Ismail. 2009. Performance of submergence tolerant rice (Oryza sativa)
genotypes carrying the Sub1 quantitative trait locus under stressed and
non-stressed natural field conditions. Indian Journal of Agricultural
Sciences 79 (11): 876-83.
Setter, T.L., E.A. Conocono, J.A. Egdane, and M.J. Kroff. 1995. Possibility of
Increasing Yield Potential of Rice by Reducing Panicle Height in the
Canopy. I. Effects of Panicles on Light Interception and Canopy
Photosynthesis. Aust. J. Plant Physiol (22): p441-51.
Singh, S., D.J. Mackill, and A.M. Ismail. 2011. Tolerance of longer-term partial
stagnant flooding is independent of the Sub1 locus in rice. Field Crops
Research 121 (2011) 311-323.
Vergara, GV., et al 2014. Variation in tolerance of rice to long-term stagnant
flooding that submerges most of the shoot will aid in breeding tolerant
cultivars.” AoB Plants 6.
Zhang, Hao.,Y.Xue, Z. Wang, J. Yang, J. Zhang. 2009. Morphological and
physiological traits of roots and their relationships with shoot growth in
‘‘super’’ rice. Field Crops Research 113: 31-40.

234 Agustiani et al.: Variabel Kritis Morfofisiologi Tanaman Padi.....


Pengaruh Sistem Tanam dan Dosis Pemupukan Padi
Sawah Varietas Inpari 36 terhadap Intensitas
Penyakit Blas di Kabupaten Bangka Selatan
Fitria Yuliani dan Ahmadi
Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bangka Belitung
fitriayuliani1989@gmail.com/Ahmadibabel43@gmail.com

ABSTRAK
Penyakit blas yang disebabkan oleh jamur P. grisea merupakan salah
satu masalah utama dalam peningkatan produksi padi. Cendawan
patogen P. grisea mampu menyerang tanaman padi pada berbagai
stadia pertumbuhan mulai dari benih sampai fase pertumbuhan malai
(generatif). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dosis
pupuk dan system tanam padi varietas inpari 36 terhadap intensitas
serangan penyakit Blas di Kabupaten Bangka Selatan Penelitian
dilakukan di sawah milik petani di Desa Rias, Kecamatan Toboali,
Kabupaten Bangka Selatan dari bulan Januari - April 2019. Rancangan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Kelompok (RAK) faktorial yang terdiri dari 2 faktor dengan 10
ulangan, yaitu faktor system tanam jajar legowo 4:1 dan jajar legowo
2:1. Faktor kedua yaitu dosis pemupukan terdiri dari 3 taraf yaitu: (1)
pemberian dosis Katam + 50%, (2) pemberian dosis Katam + 25%,
(3) pemberian pupuk sesuai dosis Katam. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa system tanam terbaik adalah sistem jarwo (4:1) dengan dosis
pemupukan sesuai dengan dosis Katam/anjuran dengan intensitas
penyakit 15.11% dan persentase gabah bernas 92.29%. Penggunaan
dosis pemupukan sesuai anjuran dengan sistem tanam jarwo (4:1)
dianjurkan untuk dapat diaplikasikan di lapang khususnya di Desa
Rias. Intensitas serangan penyakit Blas di Desa Rias masuk dalam
kategori sedang hingga rentan, sehingga penyakit blas ini harus menjadi
perhatian kita untuk mencegah terjadi ledakan penyakit Blas.
Kata kunci: Pupuk, intensitas penyakit blas, sistem tanam dan varietas
padi.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 235


ABSTRACT
Blas disease caused by Pyricularia grisea is main problem in
increasing rice production Pathogenic fungi P. grisea are able
to attack rice plants in various stages of growth from vegetative
to the growth stage of generative. This study aims to determine
the effect of fertilizer dosage and rice planting system in inpari
36 variety on the intensity of Blas disease in the South Bangka
distric. Field experiement was conducted in farmers’ fields in
Rias Village, Toboali District, South Bangka Regency from
January - April 2019. Factorial Randomized Block Design (RBD)
consisting of 2 factors with 10 replications was used in the
arrangement of plant materials. The first factor was planting
system factor of jajar legowo 4: 1 and jajar legowo 2: 1. The
second factor was the fertilizing dose consisting of 3 levels,
namely; (1) Katam dose + 50%, (2) Katam dose + 25%, (3) giving
Katam dosage fertilizer. The results showed that the best planting
system was the Jarwo (4:1) system with fertilizing doses
accordingly to the Katam dosage / recommended which had lesser
disease intensity (15,11%) and he highest grain filling percentage
(92,29%). The use of fertilizer dosage as recommended by the
jarwo planting system (4: 1) is recommended to be applied in the
field, especially in Rias Village., Blas disease intensity in Rias
Village falls into the category of being moderate susceptible
tosusceptible, so this Blas disease must be our concern to prevent
Blas disease outbreaks.
Keywords: Fertilizers, intensity of Blas, planting systems and rice
varieties.

PENDAHULUAN
Produksi beras di Kabupaten Bangka Selatan (Basel) padatahun 2018 mengalami
peningkatan yang cukup signifikan mencapai 15.652 ton jika dibandingkan dengan
tahun 2017 yaitu10.120 ton. Meskipun demikian jumlah produksi beras ini hanya
dapat mencukupi 67 persen kebutuhan masyarakat Basel dan sisanya masih
didatangkan dari luar pulau Bangka seperti pulau Jawa dan Sumatera. Luas
panen di Basel juga diketahui ada sekitar 7.204 hektar dan sawah yang gagal
panen pada tahun 2018 sekitar 1.042 hektar (Dinas pertanian dan peternakan
Bangka Selatan, 2018). Data tersebut menunjukkan bahwa masih sangat perlu

236 Yuliani dan Ahmadi: Pengaruh Sistem Tanam dan Dosis Pemupukan.....
dilakukan upaya peningkatan ketersedian pangan diantaranya dengan
memperhatikan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi padi seperti
pengendalian terhadap organisme penganggu tanaman.
Salah satu faktor pembatas peningkatan produksi padi adalah penyakit blas
yaitu penyakit yang disebabkan oleh serangan cendawan Pyricularia grisea
yaitu penyakit blas. Penyakit blas merupakan salah satu penyakit penting pada
pertanaman padi Indonesia. Cendawan patogen P. grisea mampu menyerang
tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan dari stadium vegetatif sampai
stadium generatif. Pada tanaman stadium vegetatif biasanya patogen menginfeksi
bagian daun, disebut blas daun (leaf Blas). Pada stadium generatif selain
menginfeksi daun juga menginfeksi leher malai disebut blas leher (neck Blas).
Infeksi patogen juga dapat terjadi pada bagian buku tanaman padi yang
menyebabkan batang patah dan kematian yang menyeluruh pada batang atas
dari buku yang terinfeksi. Patogen ini selain menyerang tanaman padi juga dapat
menyerang serealia lain seperti gandum, sorgum dan lebih dari 40 spesies
graminae (Santoso dan Anggiani, 2008).
Kerugian hasil akibat penyakit blas sangat bervariasi tergantung kepada
varietas yang ditanam, lokasi, musim, dan teknik budi daya. Pada stadium
vegetatif penyakit blas dapat menyebabkan tanaman mati dan pada stadium
generatif dapat menyebabkan kegagalan panen hingga 100% (Sobrizal et al.,
2007). Kerusakan penyakit blas di Indonesia pada tahun 2013 mencapai 1.285
juta ha atau 12% dari total luas areal pertanaman padi dan diramalkan serangan
akan terus mengalami peningkatan (Kharisma et.al., 2013). Wilayah dominan
penyebaran blas yang telah dilaporkan di Indonesia meliputi Provinsi Jawa Barat,
Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Bali dan Nusa Tenggara
Barat sekitar (Hasanuddin, 2004).
Pengendalian penyakit blas yang dianjurkan adalah pengendalian secara
terpadu yaitu dengan memadukan berbagai teknik pengendalian yang dapat
menekan perkembangan penyakit, diantaranya teknik budi daya, penanaman
varietas tahan, dan penggunaan fungisida bila diperlukan. Salah satu varietas
tahan blas adalah Inpari 36 yang tahan terhadap ras 033 dan ras 073, agak
tahan blas ras 133 dan ras 173 (Balitbangtan, 2015). Penanaman varietas tahan
merupakan komponen utama dan cara yang paling efektif, ekonomis, dan mudah
dilakukan, namun dibatasi oleh waktu dan tempat, artinya tahan di satu waktu
dan tempat, bisa rentan di waktu dan tempat lain. Hal ini disebabkan patogen
penyakit blas, memiliki keragaman genetik dan kemampuan beradaptasi yang
tinggi sehingga dengan cepat mematahkan ketahanan varietas yang baru
diperkenalkan.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 237


Aplikasi pupuk yang tidak tepat diyakini dapat menghambat produksi dan
kerentanan tanaman terhadap penyakit (Suprihanto et al., 2008). Dosis
pemupukan yang tepat sesuai dengan kebutuhan akan meningkatkan daya tahan
tanaman terhadap infeksi patogen. Kurangnya dosis pemupukan akan
meyebabkan penurunan produksi sedangkan kelebihan pemupukan juga akan
menyebabkan ketahanan tanaman terhadap penyakit menurun, terutama pada
keadaan kekurangan unsur kalium. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian
dalam kegiatan budidaya. Pada aplikasi tanam (KATAM) telah disediakan
informasi yang dapat membantu petani dalam kegiatan budidaya di lapangan
salah satunya adalalah dosis pemupukan yang spesifik lokasi.
Pola tanam juga dapat mempengaruhi perkembangan dan penyebaran
penyakit karena organisme penggangu tanaman cenderung menyukai kondisi
yang lembab dan terlindung dari cahaya matahari sehingga kondisi di sekitar
pertanaman harus terjaga. Oleh karena itu, penanaman varietas tahan harus
didukung oleh komponen teknik pengendalian lain seperti dosis pupuk dan pola
tanam agar dapat menekan tingkat serangan organisme penganggu tanaman.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh dosis pupuk dan pola
sistem tanam padi varietas Inpari 36 terhadap perkembangan penyakit blas di
Bangka Selatan agar dapat memberikan informasi strategi dalam melakukan
pengendalian.

METODOLOGI
Penelitian dilakukan di sawah milik petani di Desa Rias, Kecamatan Toboali,
Kabupaten Bangka Selatan dari bulan Januari - April 2019. Bahan yang digunakan
adalah padi varietas Inpari 36, pupuk urea, pupuk ponska, pestisida pengendali
hama. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera, meteran,
timbangan analitis dan alat tulis menulis.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Kelompok (RAK) faktorial yang terdiri dari 2 faktor dengan 10 ulangan. Faktor
sistem tanam yang meliputi tanam jajar legowo 4:1 dan jajar legowo 2:1. Faktor
kedua adalah pemupukan terdiri dari 3 taraf yaitu: (1) pemberian dosis Katam +
50%, (2) pemberian dosis Katam + 25%, (3) pemberian pupuk sesuai dosis
Katam. Dengan demikian terdapat 6 kombinasi perlakuan dengan 60 satuan
percobaan. Data diolah menggunakan program analisis satistik (SPSS) dan uji
lanjut Tukey 5%. Peubah yang diamati adalah intensitas penyakit blas, persentase
anakan produktif per rumpun, persentase gabah bernas per malai dan berat
1000 bulir.

238 Yuliani dan Ahmadi: Pengaruh Sistem Tanam dan Dosis Pemupukan.....
Tabel 1. Kategori Skala Serangan pada Daun berdasarkan Standard Evaluation
System for Rice (IRRI, 2014).

Skala Kategori serangan Keterangan

0 Tidak ada gejala Sangat tahan


1 1-6% Infeksi dari luas daun Tahan
3 > 6-12% Infeksi dari luas daun Agak Tahan
5 >12- 25% Infeksi dari luas daun Sedang
7 >25-50% Infeksi dari luas daun Agak Rentan
9 >50-100% Infeksi dari luas daun Rentan

Pengamatan intensitas serangan menurut skala klasifikasi serangan P.


oryzae berdasarkan “Standard Evaluation System for Rice” (IRRI, 2014)
menggunakan rumus:

I=

dengan: I = Intensitas serangan penyakit (%); n = Jumlah tanaman yang


terserang; v = Nilai skala yang terserang; N = Jumlah seluruh daun yang diamati;
V = skala tertinggi dari kategori skala serangan
Persentase anakan produktif dihitung menggunakan rumus:

AP = x 100

dengan: AP= anakan produktif, JAP = jumlah anakan produktif perumpun dan
JAT= jumlah anakan total perumpun. Persentase gabah bernas per malai dihitung
menggunakan rumus:

GB = x 100

dengan: GB= gabah bernas, JGB = jumlah gabah bernas per malai dan JBT =
jumlah gabah total per malai.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Cendawan P. grisea menyerang tanaman padi memperlihatkan gejala bercak
yang khas. Pada awalnya gejala seperti bintik kecil berwarna cokelat kemudian
membesar berbentuk belah ketupat dengan kedua sisi ujung meruncing. Bercak

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 239


ini terus membesar pada varietas yang rentan, khususnya apabila dalam kondisi
lembab. Pada gejala lanjut bagian tengah bercak berwarna putih keabu-abuan
dengan tepi berwarna cokelat tua. Bercak pada daun yang rentan tidak
membentuk tepi yang jelas. Bercak dikelilingi warna kuning (halo) terutama
pada lingkungan yang lembab dan dipengaruhi juga oleh kerentanan varietas.
Jika beberapa bercak daun tumbuh meluas dan menyatu maka daun padi yang
terinfeksi menjadi kering.
Beberapa bagian tanaman yang menunjukkan gejala penyakit blas
diantaranya daun(leaf blast), buku batang (node blast), leher malai (neck
blast), bulir padi (spikelet blast), dan kolar daun (collar rot). Gejala khas pada
malai yang sering ditemukan berupa bercak kehitaman dengan malai yang patah,
bulir yang mengering dan hampa. Kondisi ini menyebabkan persentase gabah
berisi sangat rendah (Yuliani dan Maryana, 2014). Gejala penyakit blas yang
parah di bagian buku tanaman padi dapat menyebabkan batang patah dan
kematian pada bagian batang di atas buku yang terinfeksi (Sudir et al., 2014).
Infeksi pada daun setelah fase anakan maksimum biasanya hanya menyebabkan
sedikit kehilangan hasil, namun infeksi pada awal pertumbuhan sering
menyebabkan tanaman puso, terutama jika ditanam varietas rentan (Yulianto
dan Subiharta, 2009).
Hasil analisis statistik ragam memperlihatkan interaksi antara sistem tanam
dengan dosis pemupukan memberikan pengaruh nyata terhadap intensitas

1 1

a b c
Gambar 1. Gejala penyakit blas pada tanaman padi varietas Inpari 36, a. pada daun (leaf blast)
yang membentuk tepian yang tidak jelas, b1. pada leher malai(neck blast), b2. pada
bulir padi (spikelet blast), c1. pada batang dan c2. pada buku batang (node blast).

240 Yuliani dan Ahmadi: Pengaruh Sistem Tanam dan Dosis Pemupukan.....
Tabel 2. Interaksi antara pola tanaman dengan dosis pemupukan terhadap intensitas penyakit
blas pada padi varietas Inpari 36 di Bangka Selatan, Januari-April 2019.

Sistem Intensitas Jumlah anakan Gabah Berat


tanam Dosis pupuk penyakit produktif/malai bernas/malai 1000 gabah
Jarwo (rekomendasi) (%) (%) (%) (g)

4:1 Katam+50% 24,44 ab 87,98 a 70,59 b 28,50


4:1 Katam+25% 16,00 b 87,78 a 75,08 b 26,28
4:1 Katam 15,11 b 88,44 a 92,29 a 28,72
2:1 Katam+50% 29,76 a 88,29 a 61,06 b 26,40
2:1 Katam+25% 24,44 ab 85,89 a 67,01 b 27,76
2:1 Katam 27,55 a 85,20 a 76,02 b 26,96

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama (ab) berbeda
tidak nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf kepercayaan 95%

penyakit blas pada padi varietas Inpari 36. Pada Tabel 2. terlihat bahwa sistem
tanam jajar legowo (jarwo) 4:1 dengan dosis pemupukan sesuai dengan
rekomendasi Katam memperlihatkan intensitas penyakit yang paling rendah
dari semua perlakuan yang berbeda nyata dengan sistem tanam jarwo 2:1 dengan
dosis pemupukan sesuai dengan rekomendasi Katam. Kondisi ini menunjukkan
bahwa dosis pemupukan yang direkomendasikan Katam merupakan anjuran
dosis pemupukan yang dapat diaplikasikan di lapangan yang salah satunya dapat
meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan OPT. Dalam penyusunan
anjuran dosis pemupukan ini telah dilakukan pengkajian pendahulu terhadap
kondisi tanah. Produk Katam ini dapat diakses melalui http://katam.litbang.
deptan.go.id/ dan menjadi pedoman bagi pengguna sebelum memasuki musim
tanam ke depan. Informasi kalender tanam terpadu yang tersedia sampai tingkat
kecamatan dan meliputi prediksi awal waktu tanam, estimasi luas tanam, potensi
wilayah rawan banjir dan kekeringan, potensi serangan organisme pengganggu
tanaman, rekomendasi varietas, serta rekomendasi dosis dan kebutuhan pupuk
(Ramadhani et al., 2013).
Peningkatan populasi tanaman dengan sistem tanam jarwo (2: 1) adalah
100% X 1(1 + 2) = 30% dan jarwo (4: 1) adalah 100% X 1 (1 + 4) = 20%
dibandingkan tegel 25 cm x 25 cm) (Jamil et al., 2016). Berdasarkan uraian
diatas terlihat bahwa sistem tanam dengan sistem jarwo (2:1) menyebabkan
peningkatan kerapatan populasinya lebih tinggi dibandingkan dengan jarwo (4:1).
Kondisi ini menyebabkan kelembaban disekitar pertanaman pada jarwo (2:1)
lebih tinggi yang mendukung perkembangan patogen sehingga intensitas penyakit
pun terlihat lebih tinggi pada sistem tanam jarwo 2:1. Sistem tanam jarwo (4:1)

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 241


memberikan peluang bagi tanaman untuk mendapatkan cahaya matahari yang
cukup pada bagian bawah tajuk sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik.
Interaksi dosis pemupukan dengan pola tanaman memperlihatkan bahwa
kelebihan dosis pemupukan dari dosis pemupukan yang dianjurkan akan
meningkatkan intensitas serangan penyakit blas. Hal ini menunjukkan bahwa
dosis yang dianjurkan merupakan dosis anjuran yang terbaik. Kekurangan dan
kelebihan penggunaan dosis pupuk akan meningkatkan serangan OPT di
lapangan sehingga penggunanaa dosis yang tepat sangat penting diperhatikan.
Harun et al., 2013 melaporkan bahwa interaksi antara sistem tanam jajar legowo
(2:1) dan kombinasi pemupukan terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi
sawah Inpari 13 yang terbaik adalah dengan kombinasi pupuk Urea 180 kg/ha
+ Phonska 190 kg/ha dibandingkan dosis pupuk normal yaitu urea 200 kg/ha +
phonska 300 kg/ha. Tanaman yang kekurangan Urea (zat hara N) akan
menyebabkan tanaman tumbuh kerdil, anakan sedikit dan daunnya berwarna
kuning pucat, terutama daun tua, sebaliknya tanaman yang diberikan pupuk
secara berlebihan maka tanaman tumbuh subur, daunnya hijau, jumlah anakan
banyak tetapijumlah malai sedikit, mudah rebah, pemasakan lambat dan dapat
memicu perkembangan penyakit blas (Hasfiah et al., 2012).
Persentase jumlah anakan produktif dan gabah bernas/malai padi varietas
Inpari 36 juga memperlihatkan bahwa pola tanam jarwo (4:1) dengan dosis
pemupukan sesuai rekomendasi memperlihatkan hasil yang paling baik diantara
semua perlakuan. Hal yang sama juga terlihat pada berat 1000 gabah. Pada
persentase gabah bernas/malai terlihat hasil perlakuan tanam jarwo 4:1 dengan
dosis pupuk sesuai dengan rekomendasi memperlihatkan hasil yang berbedanyata
diantara semua perlakuan. Berdasarkan Tabel 2. salah satu faktor penyebab
rendahnya jumlah gabah bernas/malai adalah tingkat keparahan penyakit blas.
Serangan cendawan P. grisea pada pangkal malai menyebabkan terhambatnya
pengisian bulir sehingga jumlah bulir yang hampa akan bertambah banyak. Pada
tingkat serangan yang parah akan mempengaruhi produktiftas padi.
Pada penelitian ini, inokulum atau sumber penyakit berasal dari alam tanpa
dilakukan inokulasi buatan. Dengan demikian, intensitas penyakit dalam
percobaan ini merupakan hasil infeksi alami. Intensitas penyakit yang terjadi
adalah intensitas yang mungkin diperoleh sebagai infeksi alami pada daerah
endemik. Jika kita lihat dari Tabel. 1, intensitas penyakit blas pada pertanaman
padi di desa Rias masuk dalam kategori sedang hingga rentan. Kondisi ini harus
menjadi perhatian kita agar berupaya untuk mencegah dan menekan peledakan
penyakit blas ini, karena serangan parah dari penyakit ini dapat menyebabkan
tanaman puso atau gagal panen.

242 Yuliani dan Ahmadi: Pengaruh Sistem Tanam dan Dosis Pemupukan.....
KESIMPULAN
Dari hasil penelitianini diperoleh simpulan sebagai berikut:
1. Sistem tanam dan dosis pemupukan mempengaruhi intensitas penyakit blas
di lapangan.
2. Sistem tanam terbaik pada penelitianini adalah sistem jarwo (4:1) dengan
dosis pemupukan sesuai anjuran.
3. Intensitas serangan penyakit blas di Desa Rias masuk dalam kategori sedang
hingga rentan, sehingga penyakit blas ini harus menjadi perhatian kita untuk
mencegah kemungkinan peledakan penyakit melalui dosis pemupukan
berimbang.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2015. Varietas Inpari 36
Lanrang. http://www.litbang.pertanian.go.id/varietas/1203/. (Diakses pada
hari Senin 29 April 2019).
Dinas Pertanian, Pangan dan Perikanan Kabupaten Bangka Selatan. 2018. Re:
Produksi beras petani Bangka Selatan 15.652 ton. https://
babel.antaranews.com/berita/90262/produksi-beras-petani-bangka-
selatan-15652-ton. (Diakses pada tanggal 15 April 2019)
Kharisma, S.D., Cholis, A & Qurata’aini, L. 2013. Ketahanan beberapa genotif
padi hibrida (Oryza Sativa L.) terhadap P. oryzae Cav. penyebab penyakit
blas daun padi. Jurnal HPT. 1(2): 19-21.
Harun R, Pormalingo N, Zakaria F. 2013. Sistem tanam jajar legowo dengan
kombinasi dosis pupuk phonska dan urea terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman padi sawah (Oryza sativa L.) varietas Inpari 13. Seminar Hasil
Penelitian dibawakan pada Forum Seminar Program Studi Agroteknologi
Jurusan Agroteknologi Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian Universitas Negeri
Gorontalo.
Hasanuddin A. 2004. Pengendalian hama dan penyakit padi: upaya tiada henti.
Kumpulan makalah inovasi pertanian. Bogor (ID). Puslitbangtan. hlm
45-61.
Hasfiah, Taufik M, Wijayanto T. 2012. Uji daya hasil dan ketahanan padi gogo
lokal terhadap penyakit blas (Pyricularia oryzae) pada berbagai dosis
pemupukan. . Berkala Penelitian Agronomi April 2012. Vol. 1 No. 1 Hal.
26-36. ISSN: 2089-9858. PS Agronomi Pps Unhalu: Indonesia.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 243


International Rice Recearh Institute. 2014. Standard evaluation system for rice.
Los Banos, Philippines: International Rice Recearh Institute. 57 p.
Jamil A, Priatna A, Samita, Zaini Z, et al. 2016. Petunjuk teknis budidaya padi
jajar legowo super. Badan Penelitian dan pengkajian teknologi pertanian:
Indonesia. ISBN 978-979-540-102-5.
Ou, SH. 1985. Rice disease 2nd ed. CMI, England.58
Santoso dan A. Nasution. 2008. Pengendalian penyakit blas dan penyakit
cendawan lainnya. Buku Padi 2. hlm. 531-563.
Kharisma SD, Cholil A dan Aini LQ. 2013. Ketahanan beberapa genotipe padi
hibrida (Oryza Sativa L.) terhadap Pyricularia oryzae Cav. penyebab
penyakit blas daun Padi. Jurnal HPT Volume 1 Nomor 2 Juni 2013.
Ramadani F, Runtunuwu E, Syahbuddin H. 2013. Sistem informasi kalender
tanam terpadu. Informatika Pertanian, Vol. 22 No.2, Desember 2013:
103 - 112
Sobrizal, Santoso, Anggiani, and Suwarno. 2007. Rice blast disease in Indonesia.
p. 71-80. In Yoshimichi Fukuta, Casiana M. Vera Crus and N. Kabayashi
(Ed.). A Differential System for Blast Resistance for Stable Rice
Production Environment. JIRCAS Working report No. 53. Tsukuba, Japan.
Sudir AN, Santoso, dan Nuryanto B. 2014. Penyakit blas Pyricularia grisea
pada tanaman padi dan strategi pengendaliannya. IPTEK Tanaman
Pangan 9 (2): 85–96.
Suprihanto, Guswara A, Satoto. 2008. Pengaruh dosis pupuk itrogen terhadap
beberapa penyakit pada varietas hibrida. Balai Besar Penelitian Tanaman
Padi. Sukamandi: subang. Indonesia.
Yuliani D. dan Maryana YE. 2014. Integrasi teknologi pengendalian penyakit
blas pada tanaman padi di lahan sub-optimal. prosiding seminar nasional
lahan sub optimal. Palembang 22-27 September 2014. p.835–845.
Yulianto dan Subiharta. 2009. Ketahanan padi varietas unggul baru terhadap
penyakit blas (Magnaporthe gricea (T.T. Hebert) M.E. Barr) di lahan
sawah tadah hujan Kabupaten Pemalang. Prosiding Seminar Ilmiah
Nasional. BBP2TP dan UPN.

244 Yuliani dan Ahmadi: Pengaruh Sistem Tanam dan Dosis Pemupukan.....
Daya Adaptasi VUB Padi Sawah pada Lahan
Bukaan Baru di Bangka Selatan
Muzammil, Ahmadi, dan Sigit Puspito
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bangka Belitung
Jl. Mentok KM.4 Pangkalpinang
Email: muzammil.skb@gmail.com

ABSTRAK
Lahan sawah yang baru dibuka mempunyai berbagai kendala mulai
dari kendala fisik, kimia, dan biologi, serta berbagai kendala sosial,
kelembagaan, infrastruktur, dan rendahnya tingkat keuntungan. Pada
kondisi lahan seperti ini diperlukan varietas padi yang toleran terhadap
cekaman biotik dan abiotik serta memiliki potensi hasil yang cukup
tinggi. Pengkajian dilakukan di lahan sawah bukaan baru berpengairan
tadah hujan di Bangka Selatan. Perlakuan disusun mengacu pola
rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Perlakuan dengan
menggunakan empat jenis varietas padi, yaitu Inpari 31, Inpari 43,
Mekongga, dan Inpago 8, masing-masing varietas ditanam dengan
luasan 0,25 hektar dan penanaman menggunakan jarak tanam 20 cm
x 20 cm. Kapur dan pupuk organik diberikan dengan dosis masing-
masing 1 t/h pada saat pengolahan tanah. Pupuk susulan diberikan
berupa Urea 150 kg/ha, SP-36 100 kg/ha, dan Phonska 150 kg/ha.
Pupuk urea diberikan 3 (tiga) kali masing-masing pada saat tanaman
berumur 7 HST, 25 HST, dan 45 HST sebanyak 25%, 50%, dan 25%
dosis berturut-turut. Pupuk Phonska dan SP-36 diaplikasikan umur 7
HST. Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah anakan,
jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah permalai, jumlah
gabah bernas per malai, berat bulir per malai, kadar air, dan berat
1000 butir. Data dianalisis dengan analisis sidik ragam dan dilanjutkan
dengan DMRT pada taraf 5%. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa
Inpari 43 memiliki hasil tertinggi yang ditunjukkan dengan jumlah
anakan, jumlah anakan produktif, jumlah bulir, bulir bernas, dan bobot
bulir per malai lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan
varietas padi yang lain. Dapat disimpulkan bahwa Inpari 43 paling
adaptif pada lahan sawah bukaan baru di Bangka Selatan.
Kata kunci: Kepulauan Bangka Belitung, lahan bukaan baru, VUB,
padi.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 245


ABSTRACT
The newly opened paddy field has various constraints such as
physical, chemical, and biological constraints, as well as various
social, institutional, infrastructure, and low profit levels. In such
land conditions needs varieties that are tolerant to biotic and
abiotic stresses as well as high yield. Here we studied the
assessment of the new paddy fields of rainfed lowland in South
Bangka using four types of varieties, namely Inpari 31, Inpari
43, Mekongga, and Inpago 8, using planting space of 20 x 20
cm. Fertilizers was given using Urea 150 kg / ha, SP-36 100 kg
/ ha, and Phonska 150 kg / ha. Application of Urea fertilizer
was splited into 3 (three) times, at 7 days after planting (HST),
25 HST,and 45 HST as much as 25%, 50%, and 25% of dosage
respectively. Phonska and SP-36 fertilizers were applied at 7
days after planting (HST). The observed parameters were plant
height, number of tillers, number of productive tillers, panicle
length, number of grains per panicle, number of rice grains per
panicle, grain weight per panicle, water content, and weight of
1000 grains. The results of the study showed that Inpari 43 had
the highest results as indicated by the number of tillers, the
number of productive tillers, the number of grains, number of
filled grain, and grain weight per panicle that were higher and
significantly different compared to other rice varieties. It can be
concluded that Inpari 43 is the most adaptive of the new open
paddy fields in South Bangka.
Keywords: Kepulauan Bangka Belitung, newly establish rice
field, VUB, paddy.

PENDAHULUAN
Beras merupakan bahan pangan pokok yang merupakan kebutuhan dasar Bangsa
Indonesia. Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, produksi beras sampai
dengan tahun 2015 telah mampu mencukupi kebutuhan 13,88% dibanding tahun
sebelumnya yang hanya mencapai 13,5%, dan sisanya masih disuplay dari luar
Kepulauan Bangka Belitung. Penyebab utamanya adalah masalah lahan, irigasi,
benih, serangan hama penyakit, serta mahalnya upah tenaga kerja (Ahmadi,
2016). Sebagian besar lahan sawah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
merupakan lahan sawah cetak baru, salah satu kabupaten yang banyak memiliki

246 Muzammil et al.: Daya Adaptasi VUB Padi Sawah pada Lahan Bukaan Baru.....
sawah cetak baru adalah Kabupaten Bangka Selatan. Bangka Selatan merupakan
Kabupaten yang memiliki lahan cetak sawah terbesar dibandingkan kabupaten
lain. Menurut data BPS Babel (2018), luas sawah di Bangka Selatan mencapai
13 ribu hektar. Cetak sawah tersebut tersebar diberbagai kecamatan, salah
satunya ada di Kecamatan Payung, Bangka Selatan.
Peningkatan produksi nasional saat ini mengalami hambatan karena banyak
lahan sawah produktif di Pulau Jawa yang mengalami konversi menjadi
pemukiman, pabrik, tempat hiburan dan lainnya (Agus et al., 2006). Untuk
mengimbangi penyusutan lahan sawah di Pulau Jawa maka dicetaklah sawah-
sawah di luar Pulau Jawa, salah satunya di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Namun lahan sawah yang baru dibuka mempunyai berbagai kendala mulai dari
kendala fisik, kimia, dan biologi, serta berbagai kendala sosial, kelembagaan,
infrastruktur, dan rendahnya tingkat keuntungan. Dengan demikian sebagian
lahan yang baru dibuka tidak dapat digunakan secara optimal oleh petani setempat
untuk menanam padi, sehingga beralih fungsi untuk penggunaan lain seperti
perkebunan lada, sawit, dan karet. Pembukaan sawah baru di luar pulau Jawa
untuk memenuhi kebutuhan pangan umumnya dilaksanakan pada jenis tanah
yang didominasi oleh jenis Oksisol dan Ultisol yang memiliki sifat masam dan
rendah akan kandungan unsur hara yang dibutuhkan tanaman (Suharta et al.,
1994). Sedangkan Kasno et al. (1994) memberikan keterangan bahwa tanah
jenis Oksisol dan Ultisol memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah terutama
unsur hara makro seperti N, P, dan K sehingga menjadi pembatas bagi
pertumbuhan dan hasil tanaman padi.
Ketersediaan varietas unggul spesifik agroekosistem telah banyak dihasilkan
oleh Badan Litbang Pertanian sehingga penggunaan varietas unggul yang toleran
terhadap lahan sawah yang baru dibuka merupakan salah satu upaya untuk
mengatasi dampak negatif dari pengaruh lahan yang baru dibuka tersebut, serta
keberadaan BPTP disetiap Provinsi juga akan menjadi pendorong dalam
pemanfaatan teknologi spesifik lokasi dan pemberdayaan sumber daya manusia
pertanian. Berkaitan dengan hal tersebut maka dilakukan pengkajian daya
adaptasi varietas unggul baru padi berupa demplot pada lahan sawah bukaan
baru yang berlokasi di Desa Ranggung, Kecamatan Payung, Kabupaten Bangka
Selatan. Hasil dari kegiatan ini adalah akan didapatkan informasi VUB padi
sawah yang adaptif dan berproduksi tinggi pada lahan sawah bukaan baru.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 247


METODOLOGI PENGKAJIAN

Tempat dan Waktu


Pengkajian ini dilaksanakan di lokasi persawahan bukaan baru Desa Ranggung,
Kecamatan Payung, Kabupaten Bangka Selatan dimulai dari bulan September
sampai Desember 2018.

Bahan dan Alat Pengkajian


Dalam kegiatan ini bahan yang digunakan adalah benih padi varietas unggul
baru (VUB) Inpari 31, Inpari 43, Mekongga, dan Inpago 8. Pupuk kandang atau
kompos, dolomit, pupuk anorganik, fungisida, insektisida, serta bahan penunjang
lainnya. Alat yang dipergunakan dalam pengkajian ini adalah cangkul, parang,
timbangan, oven, meteran, ember, tanki semprot, alat tulis, serta alat penunjang
lainnya.

Pelaksanaan Pengkajian
Pelaksanaan pengkajian diawali dengan persiapan lahan sampai siap tanam
dengan cara membalik tanah dengan menggunakan cangkul serta meratakannya.
Pada lahan sawah bukaan baru ini alat-alat pengolah tanah seperti traktor tangan
(TR 2) atau traktor roda empat (TR 4) belum dapat dipakai di dalam lahan
karena masih banyak sisa-sisa batang pohon dan tunggul kayu dari proses land
clearing (LC). Penanaman tanaman padi menggunakan empat jenis varietas,
yaitu Inpari 31, Inpari 43, Mekongga, dan Inpago 8, masing-masing varietas
ditanam dengan luasan 0,25 hektar dan penanaman menggunakan jarak tanam
20 cm x 20 cm. Pupuk yang digunakan adalah Urea 150 kg/ha, SP-36 100 kg/
ha, dan Phonska 150 kg/ha. Pupuk urea diberikan 3 (tiga) kali masing-masing
pada saat tanaman berumur 7 hari setelah tanam (HST) sebanyak 25%, 25
HST sebanyak 50%, dan 45 HST sebanyak 25% dosis. Pupuk Phonska dan
SP-36 diaplikasikan umur 7 hari setelah tanam (HST). Sedangkan kapur dan
pupuk organik di berikan saat pengolahan tanah awal dengan dosis masing-
masing 1 t/ha Pengendalian hama dan penyakit dilakukan bila terdapat serangan
pada tanaman dengan menggunakan pendekatan PHT.

Pengamatan dan Analisis Data


Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan penunjang. Data primer
meliputi: (1) tinggi tanaman, (2) Jumlah anakan (3) jumlah anakan produktif, (4)

248 Muzammil et al.: Daya Adaptasi VUB Padi Sawah pada Lahan Bukaan Baru.....
Panjang malai, dan (5) jumlah gabah, (6) jumlah gabah bernas, (7) kadar air, (8)
Bobot 1000 butir. Data penunjang meliputi data curah hujan.
Data dianalisis dengan analisis sidik ragam menggunakan aplikasi SPSS
23, apabila uji F pada analisis sidik ragam menunjukkan pengaruh nyata, maka
dilanjutkan dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada pada taraf
5%.

HASIL PENGKAJIAN DAN PEMBAHASAN


Kondisi Tanah
Kondisi tanah di daerah Kabupaten Bangka Selatan mempunyai pH rata-rata
di bawah 5, di dalamnya mengandung mineral biji timah dan bahan galian lainnya
seperti: pasir kwarsa, kaolin, batu gunung dan lain-lain, dengan jenis tanah asosiasi
alluvial hidromorfik dan glei humus serta regosol kelabu muda berasal dari
endapan pasir dan tanah liat (BPS Babel, 2018).

Curah Hujan
Kabupaten Bangka Selatan dalam klasifikasi iklim Schimd Ferguson termasuk
kedalam katagori berikilim tropis tipe A dengan variasi curah hujan tahunan
sekitar 56,2 mm hingga 292 mm tiap bulannya, dengan curah hujan terendah
terjadi pada bulan Agustus dan tertinggi pada bulan Januari. Suhu rata-rata
berada pada kisaran 25,90 C sampai 280 C, sedangkan tingkat kelembabannya
bervariasi antara 76 sampai 88%. Tingkat intensitas penyinaran matahari
berkisar antara 2,4 hingga 7,6 jam dengan tekanan udara antara 1009,2 sampai
1011,1 milibar.

Data Pertumbuhan Bagian Vegetatif VUB Tanaman Padi


Tanaman padi dapat dikelompokkan dalam dua bagian yaitu bagian vegetatif
dan generatif. Bagian-bagian vegetatif meliputi akar, batang, dan daun sedangkan
bagian generatif terdiri dari malai, bunga, dan gabah. (Manurung dan Ismunadji,
1988). Pada fase vegetatif anakan tumbuh dengan cepat,, tanaman bertambah
tinggi, dan daun tumbuh secara regular. Fase vegetatif pada tanaman padi
menyebabkan perbedaan umur panen sehingga lamanya fese tersebut tidak
sama untuk setiap varietas. Menurut Makarim dan Suhartatik (2007), sebagian
besar varietas padi di daerah tropik, lama fase produktif umumnya 35 hari dan
fase pematangan sekitar 30 hari. Setiap fase pertumbuhan tanaman sangat

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 249


Tabel 1. Kondisi iklim di Kabupaten Bangka Selatan.

Tekanan Suhu udara (0C) Kelembaban Curah


No Bulan udara udara hujan Hari
(mB) Min Max Rerata (%) (mm) hujan

1 Januari 1.011,10 30,10 23,50 26,20 88 233,5 26


2 Pebruari 1.010,10 30,20 23,30 26,10 57 255,1 18
3 Maret 1.010,10 31,70 23,70 26,90 85 292,0 17
4 April 1.009,40 31,60 23,90 26,80 87 280,7 17
5 Mei 1.009,20 32,20 24,90 28,00 80 78,3 17
6 Juni 1.009,60 32,40 24,40 27,00 76 78,7 9
7 Juli 1.010,30 31,60 24,50 27,50 77 192,2 6
8 Agustus 1.010,10 32,00 24,40 27,60 76 56,2 6
9 September 1.010,50 31,90 24,20 27,40 79 97,2 12
10 Oktober 1.010,30 31,40 23,80 26,80 82 283,6 17
11 November 1.009,80 31,10 23,80 26,78 85 188,1 17
12 Desember 1.010,50 29,90 23,30 25,90 88 237,9 24

Sumber: Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Kabupaten Bangka Selatan

Tabel 2. Rerata komponen pertumbuhan vegetatif VUB tanaman padi.

Varietas Tinggi tanaman Jumlah anakan Jumlah anakan


(cm) produktif

Inpari 31 93 a 21,6 ab 21,2 ab


Inpari 43 105,6 b 23,8 a 22,2 a
Mekongga 117,8 c 10,4 c 10 c
Inpago 8 124,6 c 16,2 b 16,2 b

Keterangan: Angka yang yang diikuti dengan hurup yang sama yang terletak pada
kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan menggunakan uji DMRT pada taraf 5%,

dipengaruhi oleh lingkungannya, sehingga masing-masing tanaman akan


mengekspresikan pertumbuhan dan perkembangannya. Berikut ini adalah hasil
pengamatan bagian vegetatif VUB tanaman padi yang meliputi tinggi tanaman,
jumlah anakan, dan jumlah anakan produktif yang diamati menjelang panen
pada lahan sawah bukaan baru yang disajikan pada Tabel 2.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan terhadap VUB padi yang
diujikan pada lahan sawah bukaan baru terlihat bahwa varietas Inpago 8 memiliki
postur tanaman paling tinggi dan tidak berbeda nyata dengan varietas Mekongga.
Untuk jumlah anakan, varietas Inpari 43 memiliki jumlah anakan terbanyak dan
tidak berbeda nyata dengan varietas Inpari 31. Dari data yang didapat

250 Muzammil et al.: Daya Adaptasi VUB Padi Sawah pada Lahan Bukaan Baru.....
menunjukkan bahwa pertumbuhan vegetatif antar VUB masih menunjukkan
performa yang baik, hal tersebut ditunjukan dengan nilai tinggi tanaman, jumlah
anakan dan panjang malai yang masih sesuai dengan deskripsi varietasnya
(Wahab et al., 2017). Hanya varietas Mekongga yang menunjukan nilai
pertumbuhan vegetatif yang lebih rendah dibandingkan varietas lainnya.
Lahan sawah bukaan baru masih memiliki banyak kendala yang dihadapi,
seperti pernyataan Prasetyo et al. (2006), yang menerangkan bahwa pada tanah
sawah bukaan baru yang berasal dari lahan basah berupa lahan pasang surut,
lahan rawa lebak maupun lahan aluvial umumnya dicirikan oleh lapisan tanah
glei yang berwarna keabu-abuan yang disebabkan oleh kondisi awalnya yang
selalu tergenang air dalam kurun waktu yang sangat lama sehingga terjadi reduksi
besi ferri menjadi besi ferro. Selain itu yang perlu diwaspadai adalah lahan
rawa yang mengandung bahan sulfidik (FeS2), karena bahan ini bila teroksidasi
akan menyebabkan terjadinya penurunan pH tanah hingga mencapai pH2. pH
tanah yang sangat rendah dapat pula menyebabkan pelapukan mineral 2:1 jenis
smektit, yang menghasilkan penambahan konsentrasi Al dalam larutan. Bila
tidak dilakukan pengaturan air yang tepat tanaman padi dapat keracunan Fe
maupun Al.
Agar hasil produksi padi yang ingin dicapai saat ini dapat optimal, maka
pengelolaan lahan dan tanaman diterapkan secara terpadu yang meliputi
perbaikan varietas, perbaikan teknologi budidaya, dan lokasi penanaman dibuat
dengan baik sehingga sesuai dengan syarat tumbuh tanaman. Badan Litbang
Pertanian telah banyak merilis varietas unggul baru dan telah di diseminasikan
ke seluruh petani yang ada di Indonesia, agar petani dapat memilih varietas
yang sesuai dengan agroekosistem ditempat mereka menanam serta kesukaan
petani terhadap rasa nasinya. Varietas unggul baru merupakan salah satu
teknologi utama yang mampu meningkatkan produktivitas sampai 50%.
Contohnya Varietas Ciherang dengan umur tanaman 121 dapat mencapai hasil
8 t/ha sementara varietas lokal hanya mampu menghasilkan rata-rata 4 t/ha,
dan masih banyak lagi VUB padi yang telah dihasilkan Badan Litbang Pertanian,
sehingga hanya dengan mengganti varietas VUB padi maka produksi dapat
ditingkatkan (Sirrapa et al., 2006; Polakitan et al., 2011). Namun setiap fase
pertumbuhan VUB tanaman padi harus selalu diperhatikan, dengan melakukan
perbaikan budidaya tanaman padi, agar supaya lingkungan hidup untuk VUB
padi menjadi optimal sehingga pertumbuhan dan produksinya turut meningkat.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 251


Data Pertumbuhan Bagian Generatif VUB Tanaman Padi
Pertumbuhan tanaman padi dibagi atas 3 fase penting antara lain fase vegetatif,
fase generatif, dan fase pemasakan. Fase vegetatif meliputi pertumbuhan
tanaman yaitu dari mulai berkecambah hingga memasuki inisiasi primordia malai.
Fase generatif dimulai dari inisiasi primordia malai sampai berbunga (heading).
Fase terakhir yaitu fase pemasakan terjadi dari berbunga sampai masak panen.
Fase generatif tanaman ditandai dengan memanjangnya beberapa ruas teratas
pada batang, berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting,
dan pembungaan. Fase pemasakan terdiri dari masak susu, menguning, dan
masak panen (Manurung dan Ismunadji, 1988).
Tanaman padi akan menunjukkan hasil pertumbuhan dan produksinya yang
optimal jika lingkungan yang ada disekitarnya sesuai, baik itu lingkungan biotik
dan abiotik yang sesuai dengan kebutuhan hidup tanaman itu sendiri. Suhu rendah
atau suhu tinggi, curah hujan, serta kelembaban dan faktor-faktor lainnya akan
sangat berpengaruh terhadap hasil yang ditunjukkan oleh tanaman. Hasil
pengamatan pertumbuhan bagian generatif tanaman padi meliputi panjang malai,
jumlah bulir/malai, jumlah bulir bernas/malai, bobot bulir/malai, bobot 1000 bulir
gabah, dan kadar air panen pada sawah bukaan baru disajikan pada Tabel 3.
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan terlihat bahwa VUB Inpari 43
memiliki jumlah bulir, bulir bernas, dan bobot bulir per malai lebih tinggi dan
berbeda nyata dibandingkan varietas lainnya. Faktor lingkungan memiliki andil
yang sangat besar dalam menentukan setiap fase pertumbuhan tanaman padi,
sehingga teknik budidaya yang dilakukan perlu melalui perbaikan-perbaikan agar
lingkungan tumbuh bagi tanaman padi menjadi optimal. Menurut Djafar (2002),
benih merupakan salah satu faktor penting dalam usaha budidaya tanaman padi,

Tabel 3. Rerata komponen generatif VUB tanaman padi.

Panjang  Bulir Bobot Berat


Varietas malai  Bulir/ bernas/ bulir/ Kadar 1000
(cm) malai malai malai air butir

Inpari 31 26,48 ab 121,2 a 92,88 a 9,2 a 22,86 a 29,13 a


Inpari 43 29,1 a 212,2 b 178,26 b 15,7 b 24,26 a 26,42 a
Mekongga 24,82 b 132,4 a 108,92 a 9,1 a 23,54 a 27,83 a
Inpago 8 25,88 ab 166 a 81,96 a 7,6 a 22,8 a 34,43 b

Keterangan: Angka yang yang diikuti dengan hurup yang sama yang terletak pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata dengan menggunakan uji DMRT pada taraf 5%,

252 Muzammil et al.: Daya Adaptasi VUB Padi Sawah pada Lahan Bukaan Baru.....
namun teknik budidaya yang dilakukan secara konvensional merupakan salah
satu penyebab tanaman padi belum dapat mengekspresikan kemampuan
genetiknya.
Varietas merupakan teknologi yang paling mudah dan paling cepat diadopsi
oleh petani. Varietas unggul padi berperan besar dalam mengubah sistem
pertanian subsistem menjadi usaha pertanian komersial karena kemampuan
produksinya tiga kali lipat lebih tinggi dibanding varietas lokal. Namun pemupukan
spesifik lokasi serta pengendalian hama dan penyakit merupakan komponen
teknologi yang harus terlebih dahulu dilakukan di lahan petani agar didapatkan
paket teknologi spesifik lokasi, dengan berlandaskan pada hubungan sinergis
antara dua atau lebih komponen teknologi produksi seperti adaptasi varietas
unggul baru, sistem tanam legowo, intermitten irigasi, bahan organik, dan bagan
warna daun (BWD) yang telah dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian
(Sumarno et al., 2000). Dari hasil pengamatan yang didapat menunjukkan VUB
Inpari 43 memiliki jumlah gabah bernas terbanyak serta berbeda nyata dengan
varietas lainnya. Hasil yang didapatkan oleh tanaman tersebut merupakan hasil
kinerja dari source dan sink tanaman, maka perbaikan lingkungan tumbuh yang
dilakukan melalui teknik budidaya yang sesuai bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman perlu dilakukan, karena melalui pengelolaan ruang,
cahaya, air, dan unsur hara yang optimal bagi tanaman padi, maka dapat
meningkatkan hasil (Ikhwani et al., 2013). Peningkatan hasil tersebut dapat
juga terlihat dari meningkatnya jumlah anakan total, sehingga luas daun meningkat,
dengan meningkatnya luas daun maka penyerapan cahaya matahari oleh daun
menjadi lebih besar yang menyebabkan meningkatnya produktivitas tanaman
(Lestari, 2012). Menurut peneliti BPTP Bali, IB Suryawan menjelaskan bahwa
VUB Inpari 43 masih mampu berproduksi tinggi pada kondisi sub optimal seperti
kondisi kekeringan atau kebanjiran, serta varietas ini tahan penyakit tungro,
blas, dan hawar daun bakteri (HDB), serta rasa nasinya pulen. Selain itu pada
VUB Inpari 43 juga melekat kata GSR, istilah Green Super Rice (GSR) diberikan
karena Inpari 43 ramah lingkungan (Green) sebab mampu mengurangi
penggunaan input seperti pestisida, pupuk kimia, dan air (Technology-
Indonesia.com). Sedangkan menurut Santoso dan Suprihatno (1998), Perbedaan
komponen hasil pertumbuhan vegetatif dan generatif VUB padi yang diujikan
selain disebabkan oleh kondisi lahan bukaan baru juga disebabkan oleh sifat
karakteristik/fisik dari masing-masing varietas. Keragaman sifat tanaman padi
ditentukan oleh keragaman lingkungan dan keragaman genotype serta interaksi
keduanya.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 253


KESIMPULAN
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa Inpari 43 paling adaptif pada lahan sawah
bukaan baru berpengairan tadah hujan, yang ditunjukkan dengan jumlah anakan,
jumlah anakan produktif,jumlah bulir, bulir bernas, dan bobot bulir per malai
lebih tinggi dan berbeda nyata di bandingkan dengan varietas padi yang lain.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi. 2016. Pendampingan teknologi upsus dan komoditas utama kementan.
Laporan Akhir Tahun. BPTP Balitbangtan Kepulauan Bangka Belitung.
Pangkalpinang.
Agus, F. dan Irawan. 2006. Agricultural land conversion as a threat to food
security and environmental quality. Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Pertanian 25(3): 90-98.
Badan Pusat Statistik Bangka Belitung. 2018. Bangka Belitung dalam Angka
Tahun 2018. Badan Pusat Statistik Bangka Belitung. Pangkalpinang.
Djafar, Z.R. 2002. Pengembangan dan pengelolaan lahan rawa untuk ketahanan
pangan yang berkelanjutan. Pelatihan Nasional Manajemen Daerah Rawa
untuk Pembangunan Berkelanjutan. Palembang.
Ikhwani, G.R. Pratiwi, E. Paturrohman, A.K. Makarim. 2013. Peningkatan
Produktivitas Padi Melalui Penerapan Jarak Tanam Legowo. Puslitbang
Tanaman Pangan, Bogor
Kasno, A., Alkusuma, dan N. Suharta. 1994. Evaluasi Kesuburan Tanah di
Daerah Kesie II. Hal: 127-136. Dalam Karama, A.S. (Eds). Risalah
Hasil Penelitian Sumber Daya Lahan untuk Pengembangan Sawah Irigasi
di Sumatera. Puslittanak. Bogor.
Lestari, A. 2012. Uji Daya Hasil Beberapa Varietas Padi (Oryza sativa L.)
Dengan Metode SRI (The System Of Rice Intensification) di Kota Solok.
Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang.
Manurung, S. O dan Ismunadji. 1988. Morfologi dan fisiologi padi. Padi Buku 1.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor
Makarim, A. K. dan E. Suhartatik. 2007. Morfologi dan fisiologi tanaman padi.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Hal: 295–330.

254 Muzammil et al.: Daya Adaptasi VUB Padi Sawah pada Lahan Bukaan Baru.....
Prasetyo, B. H. dan Suriadikarta, D. A. 2006. Karakteristik, Potensi, Dan
Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol Untuk Pengembangan Pertanian
Lahan Kering di Indonesia. Litbang Pertanian. 2(25). 39 hal.
Polakitan, A., L.A Taulu, dan D. Polakitan. 2011. Kajian beberapa varietas
unggul baru padi sawah di Kabupaten Minahasa. Seminar Nasional
Serealia. Sulawesi Selatan.
Rencana Program Investasi Jangka Menengah Kabupaten Bangka Selatan.
2018.http://sippa.ciptakarya.pu.go.id/sippa_online/ws_file/dokumen/
rpi2jm/DOCRPIJM_e6a506b29c_BAB%20IIBAB%202.pdf. Diunduh
tanggal 30 November 2019.
Suharta, N., Alkusuma, dan H. Suhendra. 1994. Karakteristik Tanah dan
Penyebarannya di Daerah Irigasi Air Kesie II Lubuk Linggau, Sumatera
Selatan. Hal: 15-30. Dalam Karama, A.S (Eds). Risalah Hasil Penelitian
Sumber Daya Lahan untuk Pengembangan Sawah Irigasi di Sumatera.
Puslittanak. Bogor.
Sirappa, M.P., A. N. Susanto, dan Y. Tolla. 2006. Kajian Usahatani Padi Varietas
Unggul Tipe Baru (VUB) Dengan Pendekatan Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT). Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian. 9(1):18-28.
Santoso dan Suprihatno. 1998. Heterosis dan Stabilitas Hasil Hibrida-Hibrida
Padi Turunan Galur Mandul Jantan IR62829A dan IR58025A. Penelitian
Pertanian. 17(1): 3-17.
Sumarno, I. G. Ismail, dan S. Partohardjono. 2000. Konsep usahatani ramah
lingkungan. Dalam Prosiding Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi
Tanaman Pangan. Konsep dan Strategi Peningkatan Produksi Pangan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang
Pertanian. Hal. 55-74.
Teknologi Indonesia. 16 Januari 2018. http://technology-indonesia.com/pertanian-
dan-pangan/inovasi-pertanian/petani-bali-mulai-panen-inpari-43-agritan-
gsr/. Diunduh tanggal 30 November 2019.
Wahab, M.I., Satoto., R. Rachmat., A. Guswara. & Suharna. 2017. Deskripsi
Varietas Unggul Baru Padi. Balai Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Sukamandi. Jawa Barat.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 255


256 Muzammil et al.: Daya Adaptasi VUB Padi Sawah pada Lahan Bukaan Baru.....
Varietas Lokal Sulawesi sebagai Sumber Ketahanan
terhadap Penyakit Blas
Anggiani Nasution, Santoso, Rahmini dan Nani Yunani
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi
Jl. Raya 9, Sukamandi, Subang, Jawa Barat
E-mail: anggianina@gmail.com

ABSTRAK
Plasma nutfah tanaman pangan merupakan aset yang sangat penting
sehingga harus dilestarikan. Pemuliaan tanaman padi dengan
memanfaatkan varietas lokal dengan memperhatikan keunggulan
spesifik yang dimiliki varietas lokal tersebut diharapkan dapat
meningkatkan keunggulan varietas padi yang dibudidayakan di daerah
tertentu, pemanfaatan sumber daya genetik sangat diperlukan dalam
menghadapi perubahan lingkungan dan dinamika permintaan
konsumen, serta sebagai cadangan sumber daya genetik bagi
pemuliaan tanaman. Uji ketahanan plasma nutfah terhadap penyakit
blas dilakukan pada MT I tahun 2018 sebanyak 114 aksesi dan 2
varietas pembanding yaitu Kencana Bali sebagai cek rentan dan
Situpatenggang sebagai cek tahan. Tujuan dari uji ketahanan ini adalah
mencari varietas lokal yang tahan terhadap penyakit blas . Hasil
pengujian menunjukan adanya keragaman ketahanan antar aksesi
dimana yang tahan terhadap 1 ras blas ada sebanyak 43 aksesi
(37,7%), tahan terhadap dua ras blas ada sebanyak 15 aksesi (13,2%),
tahan terhadap 3 ras blas ada sebanyak 13 aksesi (11,4%) dan 1
aksesi (0,9%) tahan terhadap 4 ras blas yaitu varietas lokal Galesong
Takdir asal Sulawesi Selatan kabupaten Takalar, sedang sisanya
sebanyak 42 aksesi (36,8%) bereaksi agak tahan sampai rentan.
Kata kunci: Varietas lokal, penyakit blas, Pyricularia oryzae, ras.

PENDAHULUAN
Lumbung padi Indonesia terbesar yang menjadi tumpuan produksi beras nasional
terdapat di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Nusa Tenggara
Barat, Sulawesi Selatan, Lampung dan Sumatera Selatan, Kepulawan Sulawesi
merupakan lumbung padi nasional untuk wilayah Indonesia Bagian Timur.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 257


Namun demikian,sumber daya genetik tanaman padi sangat terbatas akibat
rendahnya per-hatian terhadap sumber daya genetic lokal serta berubahnya
praktik pertanian tradisional (Rais, 2004). Pemuliaan tanaman padi yang
memanfaatkan varietas lokal dengan keunggulan spesifik diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas padi yang dibudidayakan di daerah tertentu. Bakhtiar
et al. (2011) menambahkan bahwa pemanfaatan sumber daya genetik sangat
diperlukan dalam menghadapi perubahan lingkungan dan dinamika permintaan
konsumen, serta sebagai cadangan sumber daya genetik bagi pemuliaan
tanaman. Menurut Sitaresmi et al. (2013) bahwa plasma nutfah berguna dalam
donor gen untuk karakter tanaman dalam perbaikan varietas.Terutama perbaikan
ketahanan tanaman terhadap suatu penyakit.
Varietas lokal secara alami telah teruji ketahanannya terhadap berbagai
tekanan lingkungan serta hama dan penyakit sehingga merupakan kumpulan
sumberdaya genetik yang berharga. Usaha manusia untuk menanam atau
memperluas jenis-jenis varietas unggul baru mengakibatkan jenis-jenis lokal yang
amat berguna akan terdesak bahkan dapat lenyap. Keadaan ini dapat
menimbulkan kerugian serius karena mengurangi ragam genotipa yang penting
bagi pemuliaan (Nafisah, 2008).
Penyakit blas yang disebabkan oleh cendawan Pyricularia grisea (Cooke)
Sacc. (Rossman et al. 1990) merupakan salah satu kendala utama dalam upaya
peningkatkan produksi, terutama pada pertanaman padi gogo. Penyakit blas
menyerang tanaman padi mulai dari persemaian sampai pengisian bulir padi.
Gejala penyakit blas dapat muncul pada daun, buku batang dan leher malai.
Secara umum ada dua jenis serangan blas yaitu blas daun yang menyerang
tanaman pada persemaian dan blas leher malai yang menyerang pada awal
pembungaan (Bonman, 1992).
Serangan yang serius pada fase vegetatif dapat menyebabkan matinya
tanaman dan pada fase generatif dapat menyebabkan patahnya leher malai dan
bulir padi yang hampa (Ou, 1985). Pada varietas yang rentan seperti PB36 dan
PB50, serangan blas leher mencapai 90% dan kehilangan hasil pada varietas
rentan Bicol dapat mencapai 50-90% (Amir dan Kardin, 1991).
Pengendalian blas dengan merakit varietas padi yang memiliki ketahanan
“durable” dan bersifat poligenik adalah salah satu cara untuk menghadapi patogen
blas yang bersifat “multiraces” dan sangat dinamik. Usaha pemuliaan untuk
mendapatkan varietas padi yang unggul melalui beberapa tahap, yaitu menentukan
tetua yang akan digunakan sebagai sumber gen ketahanan, melakukan persilangan
antar dua atau lebih tetua dan mengevaluasi hasil persilangan.

258 Nasution et al.: Varietas Lokal Sulawesi sebagai Sumber Ketahanan Blas.....
Penyebaran penyakit blas sudah mulai menyerang pertanaman padi sawah
(Amir et al. 2000). Untuk mengantisipasi meluasnya penyebaran penyakit blas
pada padi sawah, usaha perakitan varietas padi sawah sebaiknya mempunyai
ketahanan terhadap penyakit blas. Dengan demikian perlu dilakukan pengujian
galur-galur padi terhadap penyakit blas, terutama ras-ras P. grisea yang dapat
menyerang padi sawah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi ketahanan galur-galur padi lokal
Sulawesi terhadap penyakit blas ras 033, 073, 133 dan ras173.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di rumah kaca KP Muara Bogor MT I tahaun2018.
Varietas/galur ditanam pada pot-pot plastik persegi panjang dengan ukuran
20x10x10 cm, ditanam secara gogo dengan pemupukan 5 g Urea, 1,3 g TSP
dan 1,2 g KCl untuk setiap 10 kg tanah kering. Masing-masing ras P. grisea
diperbanyak pada media kentang dekstrose agar pada cawan petri selama 7
hari. Biakan murni selanjutnya dipindahkan ke media agar tepung gandum selama
12 hari. Pada hari ke-10 setelah pemindahan diadakan penggosokan koloni
cendawan dengan menggunakan air steril yang ditambah 0,2 g streptomycin/
liter. Setelah digosok disimpan dalam inkubator bercahaya dengan lampu neon
20 watt selama 48 jam. Pada hari ke-12 diadakan penggosokan ulang dengan
menggunakan kuas gambar no.10 dan air steril yang mengandung Tween 20
sebanyak 1cc untuk mendapatkan larutan spora. Kerapatan spora yang digunakan
sebesar 3 x 105 spora/ml.

Tabel 1. Skala penyakit blas berdasarkanmetode SES IRRI, 2014.

Skala Luas serangan Keterangan

0 Tidak ada gejalaserangan Sangat Tahan ST


1 Terdapat bercak-bercak sebesar ujung jarum Tahan T
2 Bercak nekrotik keabu-abuan, berbentuk bundar Tahan T
dan agak lonjong, panjang 1-2 mm dengan tepi coklat
3 Bercak khas blas, panjang 1-2 mm Agak Tahan AT
4 Luas daun terserang kurang dari 4% Agak Rentan AR
5 Bercak khas blas luas daun terserang 4-10% Rentan R
6 Bercak khas blas luas daun terserang 11-25% Rentan R
7 Bercak khas blas luas daun terserang 26-50% Rentan R
8 Bercak khas blas luas daun terserang 51-75% Sangat Rentan SR
9 Bercak khas blas luas daun terserang 76-100% Sangat Rentan SR

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 259


Inokulasi dilakukan dengan cara penyemprotan pada tanaman berumur 18
hari atau stadia 4-5 daun. Tanaman yang telah diinokulasi diinkubasikan selama
2 x 24 jam dalam ruang lembab, kemudian dipindahkan ke rumah kaca. Untuk
memelihara kelembaban selama di rumah kaca dilakukan pengembunan.
Pengamatan evaluasi ketahanan dilakukan mulai hari ke-7 setelah inokulasi
dengan menggunakan standar evaluasi IRRI (2014) yaitu:

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari 114 padi lokal Sulawesi yang diuji dengan 4 ras blas ternyata hasilnya
bervariasi dari yang tahan sampai rentan. Tahan terhadap 1 ras blas ada sebanyak
43 aksesi (37,7%) yaitu 1 aksesi tahan terhadap ras 033, 25 aksesi tahan terhadap
ras 073, 13 aksesi tahan terhadap ras 133, dan 4 aksesi tahan terhadap ras 173
(Tabel 2).
Tahan terhadap 2 ras blas ada sebanyak 15 (13,2%) aksesi yaitu 2 aksesi
tahan terhadap ras 033 dan ras 133, 5 aksesi tahan terhadap ras 073 dan ras133,
4 aksesi tahan terhadap ras 073 dan ras 173, dan 4 aksesi tahan terhadap ras
133 dan ras 173 (Tabel 3).
Tahan terhadap 3 ras ada sebanyak 13 (10,5%) aksesi yaitu 11 aksesi tahan
terhadap ras 073, 133 dan ras 173. Sedang 1 aksesi tahan terhadap ras 033, 073
dan ras 173. Tahan terhadap 4 ras ada 1 aksesi yaitu varietas lokal Galesong
takdir asal Sulawesi Selatan kabupaten Takalar yang tahan terhadap ras 033,073,
133 dan ras 173 (Tabel 4). Sedang sisanya sebanyak 42 aksesi (36,8%) bereaksi
agak tahan sampai rentan.
Ketahanan galur padi yang mempunyai respon tahan dan atau agak tahan
terhadap 3 ras tersebut diduga mempunyai ketahanan horisontal. Ketahanan
horisontal merupakan ekspresi dari banyak gen (poligenik) dan mampu mengatasi
beberapa ras patogen. Ketahanan horisontal ini bersifat tidak spesifik terhadap
ras tertentu. Ketahanan yang bersifat horisontal tidak sepenuhnya memberikan
pertahanan tanaman yang tinggi terhadap suatu ras tetapi mencegah
perkembangan lanjut dari berbagai ras suatu patogen (Jean Guyot 1994).
Di samping itu Ou (1985) menyatakan bahwa respon ketahanan varietas
padi terhadap penyakit blas sangat dipengaruhi oleh adanya gen ketahanan yang
dimiliki varietas padi, tingkat virulensi dan jumlah inokulum cendawan P. grisea
serta faktor lingkungan terutama kelembaban dan suhu yang sesuai untuk
pertumbuhan dan perkembangan penyakit blas.

260 Nasution et al.: Varietas Lokal Sulawesi sebagai Sumber Ketahanan Blas.....
Tabel 2. Varietas-varietas lokal yang tahan terhadap 1 ras blas (Pyricularia grisea) di rumah kaca KP Muara MT I 2019.

Reaksi ketahanan Pyricularia grisea


No. No. Nama aksesi Propinsi Kabupaten
urut aksesi Ras 033 Ras 073 Ras 133 Ras 173

1 50 3 Asemandi Sulawesi Selatan Gowa (Kab) 3 AT 1 T 3 AT 5 R


2 61 8 Lapang Sulawesi Selatan Maros (Kab) 3 AT 1 T 5 R 3 AT
3 3027 Bulang Sulawesi Selatan Gowa (Kab) 5 R 1 T 3 AT 1 T
4 3629 Lapang Sulawesi Selatan Maros (Kab) 5 R 3 AT 1 T 5 R
5 4675 Pulu Palapa Sulawesi Selatan Pinrang (Kab) 3 AT 3 AT 1 T 3 AT
6 4676 Ase Puteh Sulawesi Selatan Pinrang (Kab) 3 AT 1 T 5 R 5 R
7 7929 Pare Pulu Sulawesi Selatan Toraja Utara 5 R 3 AT 1 T 5 R
8 7933 Kantuna Sulawesi Selatan 3 AT 3 AT 1 T 5 R
9 9755 Pare Bau Busa Sulawesi Selatan Tana Toraja 1 T 3 AT 5 R 5 R
10 9757 Pare Ambo Sulawesi Selatan Tana Toraja 7 R 1 T 5 R 3 AT
11 9758 Pare Lea Sulawesi Selatan Tana Toraja 5 R 1 T 3 AT 5 R
12 9759 Pare Tallang Sulawesi Selatan Tana Toraja 3 AT 1 T 3 AT 5 R
13 9760 Pare Pulu seba Sulawesi Selatan Tana Toraja 3 AT 1 T 5 R 5 R
14 9762 Pare Pulu Kombong Sulawesi Selatan Tana Toraja 3 AT 1 T 3 AT 7 R
15 9763 Pare Mansur Putih Sulawesi Selatan Tana Toraja 3 AT 5 R 1 T 5 R
16 9765 Pare Jawa Sulawesi Selatan Tana Toraja 3 AT 1 T 3 AT 7 R
17 9766 Pare Tina Sulawesi Selatan Tana Toraja 3 AT 1 T 5 R 5 R
18 9767 Pare Lotto-Lotto Sulawesi Selatan Tana Toraja 3 AT 1 T 5 R 5 R
19 9768 Pare Mansur Putih Sulawesi Selatan Tana Toraja 5 R 3 AT 1 T 3 AT
20 9770 Pare Lanti Sulawesi Selatan Tana Toraja 5 R 1 T 5 R 4 AR
21 72 6 Sereh Sulteng Sulawesi Tengah 5 R 1 T 3 AT 7 R
22 4650 Tebar Sulawesi Tengah 5 R 1 T 3 AT 5 R
23 4653 Tangkawa Sulawesi Tengah 5 R 5 R 5 R 1 T
24 4654 Kahuyut Sulawesi Tengah 4 R 1 T 5 R 5 R
25 4656 Lenden Sulawesi Tengah 5 R 1 T 5 R 4 AR
26 4657 Tidore Sulawesi Tengah 7 R 5 R 5 R 1 T

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan


27 4658 Mangkana Sulawesi Tengah 5 R 5 R 3 AT 1 T
28 4660 Kamba Sulawesi Tengah 3 AT 3 AT 1 T 1 T

261
Tabel 2. Lanjutan.

262
Reaksi ketahanan Pyricularia grisea
No. No. Nama aksesi Propinsi Kabupaten
urut aksesi Ras 033 Ras 073 Ras 133 Ras 173

29 7914 Pae Biu (Beras Merah) Sulawesi Tengah Konawe Selatan 5 R 1 T 5 R 3 AT


30 7918 Pae Ndopeleoa Sulawesi Tengah Konawe Selatan 7 R 1 T 3 AT 3 AT
31 7922 Warumbia Sulawesi Tengah Buton Utara 5 R 3 AT 1 T 5 R
32 7923 Watanta Sulawesi Tengah Buton Utara 5 R 3 AT 1 T 5 R
33 8812 Padi Raki Sulawesi Tengah Sigi 5 R 1 T 3 AT 5 R
34 8818 Padi Kamba Sulawesi Tengah 7 R 3 AT 1 T 3 AT
Mete
35 8819 Kamba Kalori Sulawesi Tengah Poso 9 R 1 T 3 AT 3 AT
36 4972 Nda Bulu Sulawesi Tenggara 7 R 1 T 5 R 5 R
37 4978 Pae Biju Nggalopua Sulawesi Tenggara Kendari (Kab) 5 R 1 T 5 R 5 R
38 7936 Sekrit Sulawesi Tenggara 5 R 5 R 1 T 5 R
39 73 6 Super Win Sulawesi Utara Minahasa (Kab) 5 R 3 AT 1 T 5 R
40 1588 Pae Bilu Hitam Sulawesi Utara 5 R 1 T 3 AT 5 R
41 1590 Pae Nggomu Mu Sulawesi Utara 5 R 5 R 1 T 7 R
42 1592 Pae Doiy Sulawesi Utara 5 R 3 AT 1 T 5 R
43 8229 Burungan Sulawesi Utara Minsel 7 R 1 T 5 R 5 R
Kencana Bali 9 R 7 R 7 R 7 R
(cek rentan)
Situ Patenggang 1 T 0 T 0 T 0 T
(cek tahan)

Ket: T:Tahan; R:Rentan; AT:Agak Tahan dan AR:Agak Rentan, SR: Sangat Rentan

Nasution et al.: Varietas Lokal Sulawesi sebagai Sumber Ketahanan Blas.....


Tabel 3. Varietas-varietas lokal yang tahan terhadap 2 ras blas (Pyricularia grisea) di rumah kaca KP Muara MT I 2019.

Reaksi ketahanan Pyricularia grisea


No. No. Nama aksesi Propinsi Kabupaten
urut aksesi Ras 033 Ras 073 Ras 133 Ras 173

1 3628 Banda Sulawesi Selatan Pangkajene 5 R 1 T 1 T 3 AT


Kepulauan (Kab)
2 7928 Pare Lottong Sulawesi Selatan Toraja Utara 5 R 1 T 1 T 5 R
3 9769 Pare sisaling Sulawesi Selatan Tana Toraja 3 AT 1 T 5 R 1 T
4 9772 Pare Lotong Tanduk Sulawesi Selatan Tana Toraja 7 R 1 T 4 AR 1 T
5 50 2 Ase Bukne Sulawesi Tengah Poso (Kab) 5 R 1 T 4 R 1 T
6 56 1 Gonggoi Sulawesi Tengah Poso (Kab) 1 T 7 R 7 R 1 T
7 4652 Seseka Kalendro Sulawesi Tengah 3 AT 1 T 5 R 1 T
8 4659 Tambena Sulawesi Tengah 1 T 4 R 5 R 1 T
9 7915 Pae Dai (Ketan) Sulawesi Tengah Konawe Selatan 5 R 3 AT 1 T 1 T
10 7920 Wakombe Sulawesi Tengah Buton Utara 5 R 5 R 1 T 1 T
11 8808 Padi Halaka (k 3) Sulawesi Tengah 5 R 1 T 1 T 3 AT
12 8815 Karia Sulawesi Tengah Poso 7 R 3 AT 1 T 1 T
13 8820 Kamba Wuasa Sulawesi Tengah 5 R 5 R 1 T 1 T
14 7935 Jata Sulawesi Tenggara 3 AT 1 T 1 T 5 R
15 1735 Pae Doiy Sulawesi Utara 5 R 1 T 1 T 5 R
Kencana Bali 9 R 7 R 7 R 7 R
(cek rentan)
Situ Patenggang 1 T 0 T 0 T 0 T
(cek tahan)

Ket : T:Tahan; R:Rentan; AT:Agak Tahan dan AR:Agak Rentan, SR: Sangat Rentan

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan


263
Tabel 4. Varietas-varietas lokal yang tahan terhadap 3 ras dan 4 blas (Pyricularia grisea) di rumah kaca KP Muara MT I 2019.

264
Reaksi ketahanan Pyricularia grisea
No. No. Nama aksesi Propinsi Kabupaten
urut aksesi Ras 033 Ras 073 Ras 133 Ras 173

1 54 4 Celebes Maros Sulawesi Selatan Maros (Kab) 3 AT 1 T 1 T 1 T


2 1347 Pare Lalari Sulawesi Selatan 5 R 1 T 1 T 1 T
3 1582 Galesong Takdir Sulawesi Selatan Takalar (Kab) 1 T 1 T 1 T 1 T
4 1583 Galesong Takalar Sulawesi Selatan Takalar (Kab) 5 R 1 T 1 T 1 T
5 2043 Mei Wuwu Sulawesi Selatan 5 R 1 T 1 T 1 T
6 3030 Pulut Pagae Sulawesi Selatan Gowa (Kab) 5 R 1 T 1 T 1 T
7 3031 Padi Elo Sulawesi Selatan Gowa (Kab) 5 R 1 T 1 T 1 T
9 27 8 Sri Tumpuk Sulawesi Tengah Poso (Kab) 1 T 1 T 5 R 1 T
9 4661 Kamba Coklat Sulawesi Tengah 3 AT 1 T 1 T 1 T
10 7917 Pae Ndina Ana Sulawesi Tengah Konawe Selatan 5 R 1 T 1 T 1 T
11 7919 Pae Ura Sulawesi Tengah Konawe Selatan 5 R 1 T 1 T 1 T
12 8817 Kamba Bulili Sulawesi Tengah Poso 9 R 1 T 1 T 1 T
13 67 0 Pae Daya Ndabye Sulawesi Tenggara Kendari (Kab) 7 R 1 T 1 T 1 T
Kencana Bali 9 R 7 R 7 R 7 R
(cek rentan)
Situ Patenggang 1 T 0 T 0 T 0 T
(cek tahan)

Ket: T:Tahan; R:Rentan; AT:Agak Tahan dan AR:Agak Rentan, SR: Sangat Rentan

Nasution et al.: Varietas Lokal Sulawesi sebagai Sumber Ketahanan Blas.....


KESIMPULAN
Dari 114 aksesi yang diuji ketahanannya dengan 4 ras bias ternyata yang tahan
terhadap 1 ras bias ada sebanyak 43 aksesi (37,7%), tahan terhadap dua ras
bias ada sebanyak 15 aksesi (13,2%), tahan terhadap 3 ras bias ada sebanyak
12 aksesi (10,5%) dan 1 aksesi (0,9%) tahan terhadap 4 ras bias yaitu varietas
lokal Galesong Takdir asal Sulawesi Selatan kabupaten Takalar sisanya sebanyak
42 aksesi (36,8%) bereaksi agak tahan sampai rentan.

DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, E Kesumawati, T Hidayat, dan M Rahwmawati 2011 Karakterisasi
plasma nutfah padi lokal aceh untuk perakitan varietasadaptif pada tanah
masam Jurnal Agrista 15(3) 79-86.
IRRI 2014 Standard evaluation system for rice 5th eds IRRI Los Banos,
Phillippines 56p
Jean Guyot M 1994 Rice blast and its control Memories Et Travanx dell IRAT
No 3 11-42.
International Rice Research Institute 2014 Standard Evalution System IRTP
4rd IRRI Los Banos, Philippines.
Nafisah, A A Daradjat, dan S Silitonga 2008 Keragaman Genetik dan Upaya
Pemanfaatannya dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional dalam
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perhndungan Sumberdaya Genetik
di Indonesia Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertaman Subang
Ou SH. 1985. Rice diseases 2nd ed Kew, England Commonw Mycology institute,
Surrey, England p 125-132.
Rais, S.A. 2004. Eksplorasi plasma nutfah tanaman pangan di Provinsi
Kalimantan Barat Buletin Plasma Nutfah 10(1): 23-27.
Silitonga, T.S. 1988 Konservasi dan Pemanfaatan Plasma Nutfah Padi dalam
Padi Buku 1 Badan Penelitian dan Pengemabangan pertaman, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Bogor.
Sitaresmi, T., R.H. Wening, A.T. Rakhmi, N. Yunam dan U. Susanto 2013.
Pemanfaatan Plasma Nutfah Padi Varietas Lokal dalam Perakitan
Varietas Unggul IPTEK Tanaman Pangan 8(1) 22-30.
Takahashi, Y., 1963. Genetic of resistance of to the rice blast disease p 303-329
In Proceeding of Simposium of IRRI July 1963 The John Hopkins Press
Baltimore, Maryland.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 265


Lampiran

266
Reaksi ketahanan Pyricularia grisea
No. No. Nama aksesi Ket. Propinsi Kabupaten Kecamatan
urut aksesi Ras 033 Ras 073 Ras 133 Ras 173

1 50 3 Asemandi Lokal Sulawesi Selatan Gowa (Kab) 3 AT 1 T 3 AT 5 R


2 54 4 Celebes Maros Lokal Sulawesi Selatan Maros (Kab) 3 AT 1 T 1 T 1 T
3 61 8 Lapang Lokal Sulawesi Selatan Maros (Kab) 3 AT 1 T 5 R 3 AT
4 1347 Pare Lalari Lokal Sulawesi Selatan 5 R 1 T 1 T 1 T
5 1582 Galesong Takdir Lokal Sulawesi Selatan Takalar (Kab) 1 T 1 T 1 T 1 T
6 1583 Galesong Takalar Lokal Sulawesi Selatan Takalar (Kab) 5 R 1 T 1 T 1 T
7 2043 Mei Wuwu Lokal Sulawesi Selatan 5 R 1 T 1 T 1 T
8 3027 Bulang Lokal Sulawesi Selatan Gowa (Kab) Paliangga 5 R 1 T 3 AT 1 T
9 3030 Pulut Pagae Lokal Sulawesi Selatan Gowa (Kab) Bajang 5 R 1 T 1 T 1 T
10 3031 Padi Elo Lokal Sulawesi Selatan Gowa (Kab) Bontonompo 5 R 1 T 1 T 1 T
11 3044 Nippong Lokal Sulawesi Selatan Maros (Kab) Camba 3 AT 1 T 3 AT 1 T
12 3620 Nippon Lokal Sulawesi Selatan Maros (Kab) Camba 3 AT 3 AT 3 AT 3 AT
13 3628 Banda Lokal Sulawesi Selatan Pangkajene Bungoro 5 R 1 T 1 T 3 AT
Kepulauan (Kab)
14 3629 Lapang Lokal Sulawesi Selatan Maros (Kab) 5 R 3 AT 1 T 5 R
15 3630 Mawo Lokal Sulawesi Selatan Maros (Kab) Camba 5 R 3 AT 3 AT 5 R
16 4675 Pulu Palapa Lokal Sulawesi Selatan Pinrang (Kab) 3 AT 3 AT 1 T 3 AT
17 4676 Ase Puteh Lokal Sulawesi Selatan Pinrang (Kab) 3 AT 1 T 5 R 5 R
18 4677 Ase Andele Lokal Sulawesi Selatan Pinrang (Kab) 5 R 3 AT 5 R 5 R
19 4678 Pulu Banda Lokal Sulawesi Selatan Pangkajene 7 R 3 AT 3 AT 7 R
Kepulauan (Kab)
20 7927 Pare Lottong Lokal Sulawesi Selatan Toraja Utara 7 R 3 AT 3 AT 7 R
21 7928 Pare Lottong Lokal Sulawesi Selatan Toraja Utara 5 R 1 T 1 T 5 R
22 7929 Pare Pulu Lokal Sulawesi Selatan Toraja Utara 5 R 3 AT 1 T 5 R

Nasution et al.: Varietas Lokal Sulawesi sebagai Sumber Ketahanan Blas.....


23 7930 Pare Pulu Mandoti Lokal Sulawesi Selatan Toraja Utara 3 AT 5 R 3 AT 7 R
24 7931 Getik Lokal Sulawesi Selatan 7 R 5 R 3 AT 7 R
25 7932 Gundil Lokal Sulawesi Selatan 9 R 5 R 3 AT 5 R
26 7933 Kantuna Lokal Sulawesi Selatan 3 AT 3 AT 1 T 5 R
Lampiran

Reaksi ketahanan Pyricularia grisea


No. No. Nama aksesi Ket. Propinsi Kabupaten Kecamatan
urut aksesi Ras 033 Ras 073 Ras 133 Ras 173

27 8418 ASE PUTE Lokal Sulawesi Selatan Sidrap 7 R 3 AT 3 AT 5 R


28 8420 MANDI Lokal Sulawesi Selatan Pangkep 7 R 3 AT 5 R 5 R
29 9754 Pare Pulu Lallodo Lokal Sulawesi Selatan Tana Toraja 5 R 3 AT 5 R 5 R
30 9755 Pare Bau Busa Lokal Sulawesi Selatan Tana Toraja 1 T 3 AT 5 R 5 R
31 9756 Pare Bau Lokal Sulawesi Selatan Tana Toraja 3 AT 3 AT 5 R 3 AT
32 9757 Pare Ambo Lokal Sulawesi Selatan Tana Toraja 7 R 1 T 5 R 3 AT
33 9758 Pare Lea Lokal Sulawesi Selatan Tana Toraja 5 R 1 T 3 AT 5 R
34 9759 Pare Tallang Lokal Sulawesi Selatan Tana Toraja 3 AT 1 T 3 AT 5 R
35 9760 Pare Pulu seba Lokal Sulawesi Selatan Tana Toraja 3 AT 1 T 5 R 5 R
36 9761 Pare Barri Rarang Lokal Sulawesi Selatan Tana Toraja 5 R 3 AT 3 AT 5 R
37 9762 Pare Pulu kombong Lokal Sulawesi Selatan Tana Toraja 3 AT 1 T 3 AT 7 R
38 9763 Pare Mansur Putih Lokal Sulawesi Selatan Tana Toraja 3 AT 5 R 1 T 5 R
39 9764 Pare pulu Tille Lokal Sulawesi Selatan Tana Toraja 5 R 5 R 3 AT 7 R
40 9765 Pare Jawa Lokal Sulawesi Selatan Tana Toraja 3 AT 1 T 3 AT 7 R
41 9766 Pare Tina Lokal Sulawesi Selatan Tana Toraja 3 AT 1 T 5 R 5 R
42 9767 Pare Lotto -Lotto Lokal Sulawesi Selatan Tana Toraja 3 AT 1 T 5 R 5 R
43 9768 Pare Mansur Putih Lokal Sulawesi Selatan Tana Toraja 5 R 3 AT 1 T 3 AT
44 9769 Pare sisaling Lokal Sulawesi Selatan Tana Toraja 3 AT 1 T 5 R 1 T
45 9770 Pare Lanti Lokal Sulawesi Selatan Tana Toraja 5 R 1 T 5 R 4 AR
46 9771 Pare kaloko Lokal Sulawesi Selatan Tana Toraja 7 R 3 AT 5 R 5 R
47 9772 Pare Lotong Tanduk Lokal Sulawesi Selatan Tana Toraja 7 R 1 T 4 AR 1 T
48 27 8 Sri Tumpuk Lokal Sulawesi Tengah Poso (Kab) 1 T 1 T 5 R 1 T
49 50 2 Ase Bukne Lokal Sulawesi Tengah Poso (Kab) 5 R 1 T 4 R 1 T
50 56 1 Gonggoi Lokal Sulawesi Tengah Poso (Kab) 1 T 7 R 7 R 1 T
51 68 3 Pulut Tomene Lokal Sulawesi Tengah Palu (Kodya) 5 R 7 R 3 AT 4 AR
52 68 4 Pulut Dopi Lokal Sulawesi Tengah Poso (Kab) 5 R 5 R 5 R 7 R

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan


53 72 6 Sereh Sulteng Lokal Sulawesi Tengah 5 R 1 T 3 AT 7 R
54 79 8 Sereh Sulteng Lokal Sulawesi Tengah 5 R 7 R 5 R 5 R

267
Lampiran

268
Reaksi ketahanan Pyricularia grisea
No. No. Nama aksesi Ket. Propinsi Kabupaten Kecamatan
urut aksesi Ras 033 Ras 073 Ras 133 Ras 173

55 1056 Hawara Bunar Lokal Sulawesi Tengah Poso (Kab) 5 R 5 R 5 R 5 R


56 1346 Aromatik Palu Lokal Sulawesi Tengah Palu (Kodya) 7 R 3 AT 5 R 5 R
(W. Kaki Hijau)
57 1581 Super Win Aromatik Lokal Sulawesi Tengah Palu (Kodya) 3 AT 5 R 5 R 5 R
58 4650 Tebar Lokal Sulawesi Tengah 5 R 1 T 3 AT 5 R
59 4651 Tarin Lokal Sulawesi Tengah 3 AT 3 AT 3 AT 3 AT
60 4652 Seseka Kalendro Lokal Sulawesi Tengah 3 AT 1 T 5 R 1 T
61 4653 Tangkawa Lokal Sulawesi Tengah 5 R 5 R 5 R 1 T
62 4654 Kahuyut Lokal Sulawesi Tengah 4 R 1 T 5 R 5 R
63 4655 Ketan Putih Lokal Sulawesi Tengah 7 R 5 R 5 R 5 R
64 4656 Lenden Lokal Sulawesi Tengah 5 R 1 T 5 R 4 AR
65 4657 Tidore Lokal Sulawesi Tengah 7 R 5 R 5 R 1 T
66 4658 Mangkana Lokal Sulawesi Tengah 5 R 5 R 3 AT 1 T
67 4659 Tambena Lokal Sulawesi Tengah 1 T 4 R 5 R 1 T
68 4660 Kamba Lokal Sulawesi Tengah 3 AT 3 AT 1 T 1 T
69 4661 Kamba Coklat Lokal Sulawesi Tengah 3 AT 1 T 1 T 1 T
70 4977 Ganggoi Lokal Sulawesi Tengah Poso (Kab) 5 R 5 R 5 R 5 R
71 4983 Aromatik Palu Lokal Sulawesi Tengah Palu (Kodya) 7 R 3 AT 5 R 5 R
(w. kaki hj)
72 7914 Pae Biu Lokal Sulawesi Tengah Konawe Selatan 5 R 1 T 5 R 3 AT
(Beras Merah)
73 7915 Pae Dai (Ketan) Lokal Sulawesi Tengah Konawe Selatan 5 R 3 AT 1 T 1 T
74 7916 Pae Loio Lokal Sulawesi Tengah Konawe Selatan 5 R 5 R 3 AT 5 R
75 7917 Pae Ndina Ana Lokal Sulawesi Tengah Konawe Selatan 5 R 1 T 1 T 1 T

Nasution et al.: Varietas Lokal Sulawesi sebagai Sumber Ketahanan Blas.....


76 7918 Pae Ndopeleoa Lokal Sulawesi Tengah Konawe Selatan 7 R 1 T 3 AT 3 AT
77 7919 Pae Ura Lokal Sulawesi Tengah Konawe Selatan 5 R 1 T 1 T 1 T
78 7920 Wakombe Lokal Sulawesi Tengah Buton Utara 5 R 5 R 1 T 1 T
79 7922 Warumbia Lokal Sulawesi Tengah Buton Utara 5 R 3 AT 1 T 5 R
Lampiran

Reaksi ketahanan Pyricularia grisea


No. No. Nama aksesi Ket. Propinsi Kabupaten Kecamatan
urut aksesi Ras 033 Ras 073 Ras 133 Ras 173

80 7923 Watanta Lokal Sulawesi Tengah Buton Utara 5 R 3 AT 1 T 5 R


81 8475 PINGKAN Lokal Sulawesi Tengah Donggalai 9 R 7 R 3 AT 5 R
82 8476 PIMPIN Lokal Sulawesi Tengah Donggalai 9 R 5 R 3 AT 5 R
83 8808 Padi Halaka (k 3) Lokal Sulawesi Tengah 5 R 1 T 1 T 3 AT
84 8812 Padi Raki Lokal Sulawesi Tengah Sigi Kulawi 5 R 1 T 3 AT 5 R
85 8814 Pancasila Lokal Sulawesi Tengah Poso Lore Tengah 7 R 5 R 4 AR 3 AT
(Beras Merah)
86 8815 Karia Lokal Sulawesi Tengah Poso Lore Tengah 7 R 3 AT 1 T 1 T
87 8817 Kamba Bulili Lokal Sulawesi Tengah Poso Lore Selatan 9 R 1 T 1 T 1 T
88 8818 Padi Kamba Mete Lokal Sulawesi Tengah 7 R 3 AT 1 T 3 AT
89 8819 Kamba Kalori Lokal Sulawesi Tengah Poso Lore Selatan 9 R 1 T 3 AT 3 AT
90 8820 Kamba Wuasa Lokal Sulawesi Tengah 5 R 5 R 1 T 1 T
91 66 4 Pae Wita II Lokal Sulawesi Tenggara Kendari (Kab) 7 R 5 R 3 AT 3 AT
92 67 0 Pae Daya Ndabye Lokal Sulawesi Tenggara Kendari (Kab) 7 R 1 T 1 T 1 T
93 67 1 Pae Daya Ule-ule Lokal Sulawesi Tenggara Kendari (Kab) 5 R 5 R 7 R 7 R
94 67 4 Pare Pulut Bolong Lokal Sulawesi Tenggara Kendari (Kab) 7 R 5 R 7 R 7 R
95 4972 Nda Bulu Lokal Sulawesi Tenggara 7 R 1 T 5 R 5 R
96 4978 Pae Biju Nggalopua Lokal Sulawesi Tenggara Kendari (Kab) Lambuya 5 R 1 T 5 R 5 R
97 4979 Pae Wita I A Lokal Sulawesi Tenggara Kendari (Kab) Lambuya 5 R 5 R 4 AR 5 R
98 4980 Pae Wita I B Lokal Sulawesi Tenggara Kendari (Kab) Lambuya 5 R 3 AT 3 AT 5 R
99 7935 Jata Lokal Sulawesi Tenggara 3 AT 1 T 1 T 5 R
10 0 7936 Sekrit Lokal Sulawesi Tenggara 5 R 5 R 1 T 5 R
10 1 73 6 Super Win Lokal Sulawesi Utara Minahasa (Kab) Danau Tondano 5 R 3 AT 1 T 5 R
10 2 1588 Pae Bilu Hitam Lokal Sulawesi Utara 5 R 1 T 3 AT 5 R
10 3 1589 Pae Momea Lokal Sulawesi Utara 5 R 7 R 7 R 7 R
10 4 1590 Pae Nggomu Mu Lokal Sulawesi Utara 5 R 5 R 1 T 7 R

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan


10 5 1591 Pae Rambu Beke Lokal Sulawesi Utara 7 R 3 AT 3 AT 9 R
10 6 1592 Pae Doiy Lokal Sulawesi Utara 5 R 3 AT 1 T 5 R

269
Lampiran

270
Reaksi ketahanan Pyricularia grisea
No. No. Nama aksesi Ket. Propinsi Kabupaten Kecamatan
urut aksesi Ras 033 Ras 073 Ras 133 Ras 173

10 7 1735 Pae Doiy Lokal Sulawesi Utara 5 R 1 T 1 T 5 R


10 8 2765 Burana Lokal Sulawesi Utara Bolaang 7 R 3 AT 3 AT 5 R
Mongondow (Kab)
10 9 2771 Sehe Lokal Sulawesi Utara Bolaang 5 R 5 R 5 R 7 R
Mongondow (Kab)
11 0 4711 Pae Milo Lokal Sulawesi Utara Gorontalo (Kab) 5 R 5 R 5 R 7 R
11 1 4713 Samuntai Lokal Sulawesi Utara Minahasa (Kab) 5 R 3 AT 5 R 3 AT
11 2 8229 Burungan Lokal Sulawesi Utara Minsel Tenga 7 R 1 T 5 R 5 R
11 3 8565 IDEN Lokal Sulawesi Utara 5 R 5 R 7 R 7 R
11 4 9325 Panter/Pemburu Lokal Sulawesi Utara 3 AT 3 AT 3 AT 3 AT
11 5 Kencana Bali 9 R 7 R 7 R 7 R
(cek rentan)
11 6 Situ Patenggang 1 T 0 T 0 T 0 T
(cek tahan)

Ket : T:Tahan; R:Rentan; AT:Agak Tahan dan AR:Agak Rentan, SR: Sangat Rentan

Nasution et al.: Varietas Lokal Sulawesi sebagai Sumber Ketahanan Blas.....


Identifikasi Tetua Baru untuk Sifat Ketahanan
terhadap Hawar Daun Bakteri Melalui Pengujian
Aksesi Plasma Nutfah Padi
Celvia Roza*, N. Usyati, Ade Ruskandar, Rina Hapsari Wening, dan Heryanto
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Jl. Raya 9, Sukamandi, Subang, Jawa Barat
*
Email: celvia.roza@gmail.com

ABSTRAK
Identifikasi tetua baru untuk sifat ketahanan terhadap hawar daun
bakteri melalui pengujian aksesi plasma nutfah telah dilakukan di
rumah kaca BB Padi Sukamandi pada MT-1 dan MT-2 Tahun 2012.
Tujuan kegiatan ini untuk mengidentifikasi tingkat ketahanan aksesi
plasma nutfah padi terhadap penyakit hawar daun bakteri (HDB).
Metode yang digunakan adalah metode skrining baku dari IRRI tahun
2002. Aksesi plasma nutfah yang diuji sebanyak 89 aksesi, dan diuji
pada stadia vegetatif dan generatif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa aksesi plasma nutfah padi yang teridentifikasi tahan terhadap
penyakit hawar daun bakteri (HDB) patotipe III pada fase vegetatif
maupun fase generatif ialah Dekor (5759), NH-2-92 (5895), Pete
Lambeun (5928), Ekor Hitam (1053), Padi Durian A (6162), Ketan
Wuluh (6128), dan Tomas (7938). Aksesi plasma nutfah padi yang
teridentifikasi bereaksi agak tahan terhadap HDB patotipe IV adalah
NH-2-92 (5895), dan Padi Jambai (6630), sedangkan yang
teridentifikasi tahan terhadap HDB patotipe VIII adalah NH-2-92
(5895) dan yang bereaksi agak tahan terhadap HDB patotipe VIII
adalah Lampung Kuning (1070) dan Lumbu (2203).
Kata kunci: Xanthomonas oryzae pv. oryzae, ketahanan aksesi.

ABSTRACT
The identification for new parent for resistance to bacterial leaf
blight through germplasm accession testing was conducted in a
greenhouse of Indonesian Center for Rice Research (ICRR)
Sukamandi during the MT-1 and MT-2 planting season in 2012.
The objective of this study was to identify the resistance of rice

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 271


germplasm accessions to disease bacterial leaf blight (BLB). The
method used was the standard screening by IRRI in 2002.
Germplasm accessions were tested for 89 accessions, and tested
on vegetative and generative stages.The results showed that the
rice germplasm accessions showed to be resistance to bacterial
leaf blight (BLB) pathotype III both at vegetative and generative
phase were Dekor (5759), NH -2-92 (5895), Pete Lambeun
(5928), Black Tail (1053), Rice Durian A (6162), Ketan Wuluh
(6128) and Thomas (7938) . The resistance rice germplasm
identified resistant to pathotype BLB IV is NH-2-92 (5895), and
Rice Jambai (6630), while the unidentified to be rather resistant
to pathotype BLB VIII were NH-2-92 (5895) and the resistance
that were known to be moderate resistance pathotype HDB VIII
were Lampung Yellow (1070) and Lumbu (2203).
Keywords: Xanthomonas oryzae pv. oryzae, resistance

PENDAHULUAN
Penyakit Hawar daun bakteri (HDB) disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv.
oryzae (Xoo), yang dapat menginfeksi tanaman padi pada semua fase
pertumbuhan mulai dari pesemaian sampai menjelang panen. Hawar daun bakteri
tergolong penyakit penting di sebagian besar negara penghasil padi. Resiko
kehilangan hasil akibat hawar daun bakteri bervariasi antara 15-80%, tergantung
pada stadia tanaman saat terserang (Lalitha et al., 2010). Patogen ini memiliki
tingkat virulensi yang bervariasi berdasarkan kemampuannya menginfeksi varietas
padi yang mempunya gen dengan gen resistensi berbeda dan interaksi antara gen
virulen patogen dan gen tahan tanaman (Jha et al., 2007).
Gejala tanaman padi yang terserang HDB diawali dengan bercak kebasahan
berwarna keabu-abuan pada satu atau kedua sisi daun. Bercak tersebut biasanya
dimulai dari pucuk daun atau beberapa sentimeter dari pucuk daun. Bercak ini
kemudian berkembang ke ujung dan pangkal daun. Bagian daun yang terinfeksi
berwarna hijau keabu-abuan dan agak menggulung, kemudian mengering dan
berubah warna menjadi abu-abu keputihan (Sudir et al., 2012).
Pengendalian penyakit hawar daun bakteri secara kimiawi sering tidak
efektif, sehingga perlu dicari teknik pengendalian lain yang lebih efektif.
Penggunaan varietas tahan diketahui menjadi salah satu teknik pengendalian
yang efektif. Varietas dan galur padi dengan tingkat ketahanan yang berbeda
terhadap HDB telah dikembangkan (Sudir et al., 2013). Namun ini dihambat

272 Roza et al.: Identifikasi Tetua Baru untuk SIfat Ketahanan HDB.....
oleh adanya kemampuan patogen HDB dalam membentuk patotipe baru yang
lebih virulen, sehingga sifat ketahanan pada suatu varietas mudah patah
(Suparyono et al., 2004). Kondisi ini mendorong para pemulia untuk tetap
melanjutkan perakitan varietas yang tahan terhadap hawar daun bakteri.
Salah satu konsekuensi dari perakitan varietas tahan adalah ketersediaan
plasma nutfah dengan keragaman genetik yang luas untuk dapat digunakan
sebagai tetua persilangan. Keragaman genetik merupakan faktor penting dalam
pemuliaan tanaman. Sifat-sifat gen tanaman padi dari koleksi plasma nutfah
perlu diketahui melalui karakterisasi morfologi, fisiologi, dan evaluasi toleransi
terhadap cekaman biotik maupun abiotik (Suhartini et al., 2003). Plasma nutfah
yang berupa varietas lokal merupakan donor gen dalam membentuk keragaman
genetik tanaman yang menjadi target perbaikan varietas mutlak diperlukan
(Sitaresmi et al., 2013).
Tujuan penelitian ini ialah mengidentifikasi tingkat ketahanan aksesi plasma
nutfah terhadap penyakit hawar daun bakteri, sehingga diperoleh tetua sebagai
pendonor gen tahan hawar daun bakteri yang akan digunakan dalam perakitan
varieats Unggul Baru padi yang tahan terhadap hawar daun bakteri.

BAHAN DAN METODE


Identifikasi ketahanan koleksi plasma nutfah padi terhadap penyakit hawar daun
bakteri (HDB) dilakukan di rumah kaca pada MT-1 dan MT-2 tahun 2012.
Sebanyak 89 nomor aksesi diidentifikasi pada stadia bibit dan stadia dewasa
(primordia). Patotipe yang digunakan adalah patotipe III, IV, dan VIII.

A. Identifikasi ketahanan koleksi plasma nutfah padi terhadap


penyakit HDB pada stadia bibit di rumah kaca
Aksesi ditanam dalam kotak plastik berukuran 35 x 26 x 10 cm dengan
menggunakan tanah gembur dari Sukamandi. Setiap aksesi ditanam dalam
barisan, setiap baris berisi 20 tanaman. Pada setiap pengujian disertakan varietas
differensial IRBB5 dan IRBB7 sebagai kontrol tahan, serta IR64 dan TNI
sebagai kontrol rentan. Varietas kontrol tahan (IRBB5 dan IRBB7) ditanam di
tengah dan kontrol rentan (IR64 dan TN1) ditanam di tengah dan di pinggir.
Pada hari ke-15 dilakukan penjarangan dengan menyisakan 10 batang tanaman.
Semua perlakuan diulang tiga kali dengan keputusan penilaian diambil skor
tertinggi. Perlakuan dilakukan dengan menginokulasi tanaman pada saat padi
berumur 15-21 hari setelah sebar (untuk stadia bibit) menggunakan suspensi

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 273


Xanthomonas oryzae pv. oryzae konsentrasi 108 cfu (colony forming unit).
Teknik inokulasi dilakukan dengan menggunakan gunting yang dicelup pada larutan
inokulum. Pengamatan dilakukan pada saat TN1 sebagai kontrol rentan
menunjukkan keparahan maksimum atau pada 14 hari setelah inokulasi (HSI).
Dengan mengukur panjang luka dan panjang daun. Intensitas penyakit dihitung
berdasarkan panjang gejala serangan (cm) dibagi dengan panjang daun secara
keseluruhan (cm) dan dikalikan 100%. Penentuan ketahanan (reaksi) dilakukan
dengan skoring berdasarkan Standard Evaluation System for Rice (IRRI 2002)
yang telah dimodifikasi (Tabel 1). Metode pengujian berdasarkan Standar
operasional prosedur (SOP) pengujian ketahanan galur/varietas padi terhadap
hawar daun bakteri (Kadir 2012).

B . Identifikasi ketahanan koleksi plasma nutfah padi terhadap


penyakit HDB pada stadia dewasa (generatif) di rumah kaca
Aksesi yang diuji disemai dalam nampan plastik, kemudian dipindah tanam pada
pot berdiameter 15 cm sebanyak 1 batang/pot, Masing-masing patotipe ditanam
dalam 2 pot dan diulang 3 kali. Pada setiap pengujian perlu disertakan varietas
differensial IRBB5, IRBB7 (kontrol tahan), IR64 dan TN1 (kontrol rentan).
Perlakuan dilakukan pada saat primordia tanaman diinokulasi dengan patotipe
Xoo dengan konsentrasi 108 cfu menggunakan metode gunting yang dicelup
pada larutan inokulum. Pengamatan dilaksanakan 14 hari setelah inokulasi.
Pengamatan dilakukan dengan mengukur panjang luka dan panjang daun.
Intensitas penyakit dihitung berdasarkan panjang gejala serangan (cm) dibagi
dengan panjang daun secara keseluruhan (cm) dan dikalikan 100%. Penentuan
ketahanan (reaksi) dilakukan dengan skoring berdasarkan Standard Evaluation
System for Rice (IRRI 2002) yang telah dimodifikasi (Tabel 1).

Tabel 1. Skala pengamatan keparahan penyakit berdasarkan SES IRRI (2002).

Skala hawar daun bakteri Luas luka Kriteria


di rumah kaca (%)

1 0-3 ST = Sangat Tahan


2 4-6 T = Tahan
3 7-12 AT = Agak Tahan
4 13-25 AR = Agak Rentan
5 26-50 R = Rentan
6 51-75 R = Rentan
7 76-87 SR = Sangat Rentan
8 88-94 SR = Sangat Rentan
9 95-100 SR = Sangat Rentan

274 Roza et al.: Identifikasi Tetua Baru untuk SIfat Ketahanan HDB.....
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil uji ketahanan plasma nutfah padi terhadap patotipe III pada stadia bibit/
vegetatif yang menunjukkan reaksi sangat tahan terdapat 1 aksesi yaitu Pasir
Honje 2 (1516). Aksesi yang bereaksi tahan terhadap patotipe III pada stadia
yang sama tercatat 25%. Daftar plasma nutfah padi yang tahan terhadap patotipe
III pada stadia bibit ialah: Mundam Paya Kumbu (646), Parosi (678), Rojolele
Subang (703), Toliwang (791), Sereh Sulteng (798), Mongkar (1074), Padi Merah
(1079), Padi Wangi (1396), Lambur (1471), Kasumba (1787), Segajah (2363),
Gojo (2413), Pulut Merah (3909), Genjah Arum (5140), Dekor (5759), Pepe
(5893), NH-2-92 (5895), Nuri Bura (5926), Pete Lambeun (5928), Ekor Hitam
(1053), Padi Durian A (6162), Ketan Wuluh (6182), Rampur Masuli (7736),
Tomas (7938), dan Siam Lantik (7949). Reaksi berkebalikan terjadi pada plasma
nutfah padi terhadap patotipe IV dan VIII pada stadia bibit yang menunjukkan
reaksi 100% rentan (Tabel 2).

Tabel 2. Reaksi aksesi plasma nutfah padi terhadap HDB patotipe III, IV, dan VIII pada stadia vegetatif,.

Patotipe III Patotipe IV Patotipe VIII


No No, Nama Aksesi
aksesi KP (%) Skor Kriteria KP (%) Skor Kriteria KP (%) Skor Kriteria

1 562 Grogol 17,77 4 AR 86,77 7 SR 54,43 6 R


2 591 Ketalun Balo 6,23 3 AT 49,75 5 R 29,86 5 R
3 646 Mundam Paya Kumbu 4,827 2 T 50,50 6 R 34,85 5 R
4 678 Parosi 5,66 2 T 100 9 SR 99,44 9 SR
5 690 Rakot 15,05 4 AR 44,30 5 R 29,65 5 R
6 703 Rojolele Subang 5,94 2 T 46,17 5 R 36,52 5 R
7 791 Toliwang 5,02 2 T 44,96 5 R 40,44 5 R
8 798 Sereh Sulteng 5,43 2 T 50,92 6 R 34,10 5 R
9 1070 Lampung Kuning 28,17 5 R 42,21 5 R 23,67 4 AR
10 1005 Ketan Garut 14,70 4 AR 100 9 SR 97,5 9 SR
11 1074 Mongkar 5,48 2 T 51,96 6 R 33,74 5 R
12 1079 Padi Merah 5,27 5 T 53,63 6 R 36,78 5 R
13 1143 Ketonggo 8,61 3 AT 53,86 6 R 39,26 5 R
14 1149 Padi Jaro 8,57 3 AT 51,71 6 R 35,79 5 R
15 1159 Hamalucao 6,31 3 AT 54,08 6 R 36,92 5 R
16 1227 Anak Daro 7,71 3 AT 57,85 6 R 36,79 5 R
17 1245 Rangkat 7,46 3 AT 46,29 5 R 33,70 5 R
18 1260 Ketan Kelapa 7,31 3 AT 46,84 5 R 33,37 5 R
19 1396 Padi Wangi 4,73 2 T 54,82 6 R 23,38 4 AR
20 1471 Lambur 5,45 2 T 51,13 6 R 32,10 5 R
21 1516 Pasir Honje 2 2,7 1 ST 47,69 5 R 29,23 5 R
22 1773 Padi Cere (Indica Gintung) 9,25 3 AT 51,52 6 R 40,58 5 R
23 1787 Kasumba 5,37 2 T 59,30 6 R 40,91 5 R
24 1789 Ketan Banjar 7,98 3 AT 50,88 6 R 31,80 5 R
25 1798 Tamai Saru Gunung Mas 7,63 3 AT 50,02 6 R 27,14 5 R
26 1816 Nobu bisara 7,16 3 AT 55,56 6 R 32,18 5 R
27 1844 Porong 8,03 3 AT 54,86 6 R 36,60 5 R
28 1882 Sedayang 7,33 3 AT 47,55 5 R 29,10 5 R
29 2043 Mey Wuwu 7,37 3 AT 54,43 6 R 31,57 5 R
30 2203 Lumbu 8,44 3 AT 31,91 5 R 30,11 5 R

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 275


Tabel 2. Lanjutan.

Patotipe III Patotipe IV Patotipe VIII


No No, Nama Aksesi
aksesi KP (%) Skor Kriteria KP (%) Skor Kriteria KP (%) Skor Kriteria

31 2208 Ketan Ulis 7,81 3 AT 51,82 6 R 32,64 5 R


32 2363 Segajah 5,05 2 T 38,77 5 R 27,89 5 R
33 2413 Gojo 4,69 2 T 44,64 5 R 30,86 5 R
34 3189 Padi Wane 8,88 3 AT 42,26 5 R 36,93 5 R
35 3609 Lumbuk 9,08 3 AT 68,43 6 R 31,15 5 R
36 3909 Pulut Merah 5,52 2 T 57,64 6 R 31,42 5 R
37 3938 Mengkuang Merah 12,29 4 AR 72,79 6 R 42,43 5 R
38 4086 Atomita 2 12,31 4 AR 64,82 6 R 51,01 6 R
39 4180 Mahakam 8,577 3 AT 57,67 6 R 37,72 5 R
40 4676 Ase Puteh 8,67 3 AT 65,99 6 R 30,44 5 R
41 4726 Goci - - - - - - - - -
(benih tidak tumbuh)
42 4920 Selasih 7,65 3 AT 67,22 6 R 26,89 5 R
43 4937 Ranau 6,78 3 AT 62,46 6 R 33,09 5 R
44 5070 Tetep 11,69 3 AT 58,20 6 R 51,78 6 R
45 5140 Genjah Arum 4,74 2 T 50,09 6 R 33,05 5 R
46 5759 Dekor 3,509 2 T 60,91 6 R 29,50 5 R
47 5762 Segri Gogo 9,264 3 AT 50,68 6 R 35,91 5 R
48 5781 Gebang 7,718 3 AT 52,72 6 R 46,10 5 R
49 5798 Salak - - - - - - - - -
(benih tidak tumbuh)
50 5834 Rampak 11,32 3 AT 48,09 5 R 42,87 5 R
51 5839 Nol-Nol - - - - - - - - -
(benih tidak tumbuh)
52 5862 Rotan 8,72 4 AR 55,79 6 R 36,87 5 R
53 5865 Ketan Ganggarangan 8,722 4 AR 52,26 6 R 40,18 5 R
54 5886 Kali bagor 6,101 3 AT 53,91 6 R 41,18 5 R
55 5888 Si Macan 8,244 3 AT 44,97 5 R 31,61 5 R
56 5893 Pepe 4,14 2 T 52,51 6 R 28,41 5 R
57 5895 NH-2-92 4,79 2 T 37,66 5 R 31,60 5 R
58 5906 Mira 6,88 3 AT 45,85 5 R 29,51 5 R
59 5926 Nuri Bura 5,05 2 T 50,82 6 R 35,39 5 R
60 5928 Pete Lambeun 5,16 2 T 55,05 6 R 36,95 5 R
61 1053 Ekor Hitam 4,73 2 T 54,73 6 R 42,79 5 R
62 1054 Genjah Arak - - - - - - - - -
(benih tidak tumbuh)
63 6162 Padi Durian A 4,15 2 T 56,88 6 R 35,21 5 R
64 6182 Ketan Wuluh 4,82 2 T 43,04 5 R 40,86 5 R
65 6190 Ketan Gajih 13,34 4 AR 54,73 6 R 41,48 5 R
66 6229 Dolar - - - - - - - - -
(benih tidak tumbuh)
67 6511 Rana 29 - - - - - - - - -
(benih tidak tumbuh)
68 6577 Tukad Balian 25,04 4 AR 53,63 6 R 46,69 5 R
69 6609 Putri Siam 8,61 3 AT 49,69 5 R 36,70 5 R
70 6630 Padi Jambai 13,66 4 AR 45,41 5 R 32,54 5 R
71 7064 MAYANGSARI 15,55 4 AR 49,35 5 R 41,27 5 R
72 7069 OM 3536 14,13 4 AR 49,62 5 R 36,44 5 R
73 7090 RANDA KUNINGAN 13,60 4 AR 47,30 5 R 38,63 5 R
74 7092 RONDO JEBLOK 9,23 3 AT 47,39 5 R 35,52 5 R
75 7106 SEMBADRA 11,57 3 AT 52,30 6 R 29,92 5 R
76 7361 RP 4075-135-35-5 7,19 3 AT 49,49 5 R 38,34 5 R
77 7572 PR 26703-3B-PJ 7 7,61 3 AT 55,29 6 R 46,27 5 R
78 7736 RAMPUR MASULI 4,62 2 T 48,10 5 R 35,99 5 R
79 7764 OM 6161 8,299 3 AT 52,05 6 R 39,33 5 R
80 7937 Ajir Wulung 9,36 3 AT 52,55 6 R 33,56 5 R

276 Roza et al.: Identifikasi Tetua Baru untuk SIfat Ketahanan HDB.....
Tabel 2. Lanjutan.

Patotipe III Patotipe IV Patotipe VIII


No No, Nama Aksesi
aksesi KP (%) Skor Kriteria KP (%) Skor Kriteria KP (%) Skor Kriteria

81 7938 Tomas 5,60 2 T 47,35 5 R 39,69 5 R


82 7949 Siam Lantik 5,13 2 T 48,37 5 R 37,85 5 R
83 7955 Mutiara 14,46 4 AR 52,99 5 R 43,01 6 R
84 7969 Padi Merah Putih 8,15 3 AT 49,5 5 R 39,24 5 R
85 7977 Ciganjur 15,04 4 AR 64,59 6 R 43,08 5 R
86 7990 Kutuk 10,63 3 AT 59,80 6 R 51,21 6 R
87 7992 Cempo Merah 10,41 3 AT 57,47 6 R 47,55 5 R
(beras merah)
88 8182 Jarey 18,08 4 AR 51,79 5 R 48,77 6 R
89 8187 Segreng 17,93 4 AR 50,52 5 R 50,17 6 R
Cek IR64 9,63 3 AT 62,26 6 R 56,52 6 R
IRBB5 13,08 4 AR 18,35 4 AR 14,78 4 AR
IRBB7 5,192 2 T 9,600 3 AT 8,085 3 AT
TN1 4,45 2 T 88,09 8 SR 62,25 7 SR

Keterangan: T = tahan, AT = agak tahan, AR = agak rentan, R = rentan, SR = sangat rentan

Reaksi plasma nutfah padi terhadap patotipe III pada stadia generatif
menunjukkan reaksi sangat tahan (31%) tahan (43%), agak tahan (14%), dan
rentan (2%). Plasma nutfah padi yang bereaksi sangat tahan terhadap patotipe
III pada stadia generatif adalah: Mey Wuwu (2043); Lumbu (2203); Atomita 2
(4086); Mahakam (4180); Ase Puteh (4676); Selasih (4920); Ranau (4937);
Genjah Arum (5140); Dekor (5759); Gebang (5781); Rampak (5834); Rotan
(5862); Ketan Ganggarangan (5865); Si Macan (5888); NH-2-92 (5895); Pete
Lambeun (5928); Ekor Hitam (1053); Padi Durian A (6162); Ketan Wuluh (6182);
Ketan Gajih (6190); Mayangsari (7064); Randa Kuningan (7090); Sembadra
(7106); Ajir Wulung (7937); Tomas (7938); Mutiara (7955); Ciganjur (7977);
dan Kutuk (7990) (Tabel 3).
Hasil identifikasi aksesi plasma nutfah pada stadia vegetatif dan stadia
generatif yang menunjukkan reaksi sangat tahan dan tahan terhadap patotipe
III diduga memiliki gen tahan berupa Xa-3, Xa-5, Xa-7, dan Xa-21. Hal ini
dibandingkan dengan reaksi galur isogenik IRRI yaitu IRBB3 yang mengandung
gen tahan Xa-3, IRBB5 yang mengandung gen tahan Xa-5, IRBB7 yang
mengandung gen tahan Xa-7, dan IRBB21 yang mengandung gen tahan Xa-21
(Hifni dan Kardin, 1998). Gen tahan Xa7 merupakan salah satu gen tahan
terhadap patogen HDB yang bersifat dominan (Ogawa, 1993). Gen ketahanan
terhadap Ras Xoo dikendalikan oleh gen R mayor dan suatu tanaman akan
menjadi tahan karena tanaman tersebut menghasilkan fitoaleksin sebagai hasil
interaksi inang patogen yang berfungsi untuk menghambat perkembangan bakteri
(Liu et al., 2006).

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 277


Tabel 3. Reaksi aksesi plasma nutfah padi terhadap HDB patotipe III, IV, dan VIII pada stadia generatif.

Patotipe III Patotipe IV Patotipe VIII


No No, Nama Aksesi
aksesi KP (%) Skor Kriteria KP (%) Skor Kriteria KP (%) Skor Kriteria

1 562 Grogol 4,27 2 T 35,79 5 R 23,81 4 AR


2 591 Ketalun Balo 3,23 2 T 40,80 5 R 37,13 5 R
3 646 Mundam Paya Kumbu 3,12 2 T 22,91 4 AR 18,51 4 AR
4 678 Parosi 5,75 2 T 25,95 5 R 20,26 4 AR
5 690 Rakot 6,80 3 AT 34,13 5 R 30,61 5 R
6 703 Rojolele Subang 5,80 2 T 24,51 4 AR 36,83 5 R
7 791 Toliwang 6,13 3 AT 27,38 5 R 22,32 4 AR
8 798 Sereh Sulteng 2,44 2 T 29,05 5 R 25,84 5 R
9 1070 Lampung Kuning 6,32 3 AT 12,40 4 AR 12,08 3 AT
10 1005 Ketan Garut 4,51 2 T 22,72 4 AR 19,19 4 AR
11 1074 Mongkar 6,10 3 AT 27,75 5 R 23,00 4 AR
12 1079 Padi Merah 3,96 2 T 20,37 4 AR 15,95 4 AR
13 1143 Ketonggo 7,00 3 AT 20,98 4 AR 18,01 4 AR
14 1149 Padi Jaro 15,53 4 AR 30,30 5 R 23,67 4 AR
15 1159 Hamalucao 5,38 2 T 33,06 5 R 31,60 5 R
16 1227 Anak Daro 3,28 2 T 34,53 5 R 32,69 5 R
17 1245 Rangkat 13,48 4 AR 31,45 5 R 21,83 4 AR
18 1260 Ketan Kelapa 3,88 2 T 37,79 5 R 35,00 5 R
19 1396 Padi Wangi 3,89 2 T 40,50 5 R 21,31 4 AR
20 1471 Lambur 7,18 3 AT 31,71 5 R 21,57 4 AR
21 1516 Pasir Honje 2 9,40 3 AT 24,28 4 AR 20,89 4 AR
22 1773 Padi Cere 15,38 3 AT 42,01 5 R 33,37 5 R
(Indica Gintung)
23 1787 Kasumba 6,56 3 AT 42,70 5 R 25,61 5 R
24 1789 Ketan Banjar 10,65 3 AT 33,30 5 R 19,37 4 AR
25 1798 Tamai Saru Gunung Mas 6,11 3 AT 39,70 5 R 26,23 5 R
26 1816 Nobu bisara 7,90 3 AT 36,96 5 R 22,76 4 AR
27 1844 Porong 5,23 2 T 25,56 5 R 29,24 5 R
28 1882 Sedayang 5,28 2 T 23,89 4 AR 17,50 4 AR
29 2043 Mey Wuwu 2,078 1 ST 33,50 5 R 16,14 4 AR
30 2203 Lumbu 2,43 1 ST 21,51 4 AR 7,652 3 AT
31 2208 Ketan Ulis 3,15 2 T 13,85 4 AR 20,02 4 AR
32 2363 Segajah 4,38 2 T 16,90 4 AR 19,25 4 AR
33 2413 Gogo 4,07 2 T 34,92 5 R 23,44 4 AR
34 3189 Padi Wane 4,09 2 T 38,77 5 R 29,41 5 R
35 3609 Lumbuk 3,89 2 T 25,53 5 R 26,90 5 R
36 3909 Pulut Merah 3,61 2 T 28,69 5 R 27,30 5 R
37 3938 Mengkuang Merah 9,38 3 AT 37,81 5 R 26,19 5 R
38 4086 Atomita 2 2,04 1 ST 27,60 5 R 27,16 5 R
39 4180 Mahakam 2,32 1 ST 29,93 5 R 25,48 5 R
40 4676 Ase Puteh 2,09 1 ST 27,82 5 R 26,11 5 R
41 4726 Goci - - - - - - - - -
(benih tidak tumbuh)
42 4920 Selasih 2,30 1 ST 18,76 4 AR 23,02 4 AR
43 4937 Ranau 2,78 1 ST 29,12 5 R 15,48 4 AR
44 5070 Tetep 3,69 2 T 30,68 5 R 24,90 4 AR
45 5140 Genjah Arum 2,29 1 ST 25,88 5 R 20,29 4 AR
46 5759 Dekor 1,87 1 ST 22,01 4 AR 21,70 4 AR
47 5762 Segri Gogo 5,12 2 T 23,90 4 AR 25,19 5 R
48 5781 Gebang 1,89 1 ST 24,88 4 AR 18,55 4 AR
49 5798 Salak - - - - - - - - -
(benih tidak tumbuh)
50 5834 Rampak 1,93 1 ST 24,49 4 AR 20,81 4 AR
51 5839 Nol-Nol - - - - - - - - -
(benih tidak tumbuh)
52 5862 Rotan 2,05 1 ST 24,03 4 AR 21,49 4 AR

278 Roza et al.: Identifikasi Tetua Baru untuk SIfat Ketahanan HDB.....
Tabel 3. Lanjutan.

Patotipe III Patotipe IV Patotipe VIII


No No, Nama Aksesi
aksesi KP (%) Skor Kriteria KP (%) Skor Kriteria KP (%) Skor Kriteria

53 5865 Ketan Ganggarangan 1,78 1 ST 23,53 4 AR 16,39 4 AR


54 5886 Kali bagor 3,09 2 T 34,09 5 R 31,17 5 R
55 5888 Si Macan 2,69 1 ST 24,20 4 AR 13,56 4 AR
56 5893 Pepe 3,04 2 T 28,53 5 R 18,47 4 AR
57 5895 NH-2-92 2,22 1 ST 8,75 3 AT 5,08 2 T
58 5906 Mira 3,47 2 T 27,27 5 R 22,64 4 AR
59 5926 Nuri Bura 3,47 2 T 32,34 5 R 20,29 4 AR
60 5928 Pete Lambeun 2,39 1 ST 39,02 5 R 25,30 5 R
61 1053 Ekor Hitam 2,43 1 ST 28,85 5 R 22,22 4 AR
62 1054 Genjah Arak - - - - - - - - -
(benih tidak tumbuh)
63 6162 Padi Durian A 2,40 1 ST 25,40 5 R 22,96 4 AR
64 6182 Ketan Wuluh 1,81 1 ST 15,66 4 AR- 19,56 4 AR
65 6190 Ketan Gajih 1,60 1 ST 16,21 4 AR 12,22 4 AR
66 6229 Dolar - - - - - - - - -
(benih tidak tumbuh)
67 6511 Rana 29 - - - - - - - - -
(benih tidak tumbuh)
68 6577 Tukad Balian 4,26 2 T 17,58 4 AR 18,83 4 AR
69 6609 Putri Siam 4,29 2 T 22,13 4 AR 24,80 4 AR
70 6630 Padi Jambai 3,46 2 T 11,01 3 AT 19,77 4 AR
71 7064 MAYANGSARI 2,77 1 ST 32,57 5 R 14,32 4 AR
72 7069 OM 3536 5,64 2 T 27,41 5 R 27,53 5 R
73 7090 RANDA KUNINGAN 2,44 1 ST 33,81 5 R 23,37 4 R
74 7092 RONDO JEBLOK 5,15 2 T 26,62 5 R 20,52 4 AR
75 7106 SEMBADRA 2,06 1 ST 19,67 4 AR 22,54 4 AR
76 7361 RP 4075-135-35-5 3,81 2 T 22,16 4 AR 23,94 4 AR
77 7572 PR 26703-3B-PJ 7 3,51 2 T 20,91 4 AR 19,97 4 AR
78 7736 RAMPUR MASULI 3,24 2 T 24,08 4 AR 19,55 4 AR
79 7764 OM 6161 5,89 2 T 27,42 5 R 20,47 4 AR
80 7937 Ajir Wulung 1,90 1 ST 19,05 4 AR 18,46 4 AR
81 7938 Tomas 1,92 1 ST 17,28 4 AR 15,94 4 AR
82 7949 Siam Lantik 3,14 2 T 27,26 5 R 16,62 4 AR
83 7955 Mutiara 2,77 1 ST 20,03 4 AR 19,83 4 AR
84 7969 Padi Merah Putih 3,06 2 T 36,46 5 R 24,83 4 AR
85 7977 Ciganjur 2,24 1 ST 26,09 5 R 17,20 4 AR
86 7990 Kutuk 1,71 1 ST 18,07 4 AR 15,95 4 AR
87 7992 Cempo Merah 3,60 2 T 25,11 5 R 27,03 5 R
(Beras merah)
88 8182 Jarey 4,63 2 T 22,53 4 AR 21,41 4 AR
89 8187 Segreng 8,10 3 AT 28,54 5 R 33,37 5 R
Cek IR64 10,64 3 AT 36,88 5 R 32,88 5 R
IRBB5 4,23 2 T 8,37 3 AT 4,966 2 T
IRBB7 1,83 1 ST 5,96 2 T 2,425 1 ST
TN1 27,74 5 R 67,68 6 R 51,77 6 R

Keterangan: T = tahan, AT = agak tahan, AR = agak rentan, R = rentan, SR = sangat rentan

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 279


Sebagian besar plasma nutfah padi bereaksi rentan terhadap patotipe IV
dan VIII pada stadia generatif. Reaksi tahan terhadap patotipe VIII hanya
ditunjukkan oleh satu aksesi yaitu NH-2-92 (5895). Dua aksesi tercatat agak
tahan terhadap patotipe VIII yaitu Lampung Kuning (1070) dan Lumbu (2203).
Reaksi agak tahan terhadap patotipe IV hanya ditunjukkan oleh 2 aksesi yaitu
NH-2-92 (5895) dan Padi Jambai (6630) (Tabel 3).
Aksesi yang bereaksi tahan sampai dengan agak tahan terhadap patotipe
VIII diduga mengandung gen tahan Xa-5 dan Xa-21. Hal ini juga ditunjukkan
oleh reaksi IRBB5 dan IRBB21 pada pengujian patotipe bakteri Xoo dengan
galur isogenik IRRI. Aksesi yang bereaksi agak tahan terhadap patotipe IV
diduga mengandung gen tahan Xa-3, Xa-5, dan Xa-21 (Hifni dan Kardin, 1998).
Varietas IR64 sebagai cek rentan terhadap patotipe III, IV, dan VIII
menunjukkan reaksi agak tahan terhadap patotipe III pada fase vegetatif dan
generative. Hal ini terjadi karena adanya faktor perubahan virulensi yang
ditentukan oleh tiga komponen, yaitu patogen, inang (tanaman padi), dan
lingkungan biotik dan abiotik. Setiap komponen dapat mengalami perubahan,
sehingga berdampak terhadap tingkat virulensi patogen (Kadir, 2009).
Pengendalian penyakit HDB sampai saat ini masih menggunakan varietas tahan
yang sering berpacu dengan perubahan ras patogen Xoo, sehingga ketahanan
tanaman seringkali terpatahkan (Hifni et al.,1996).
Varietas IRBB5 sebagai cek tahan terhadap patotipe III, IV, dan VIII
menunjukkan reaksi agak rentan pada fase vegetatif. Reaksi berbeda terjadi
pada fase generatif yang tercatat tahan terhadap patotipe III dan VIII dan
agak tahan terhadap patotipe IV. Fenomena ini diduga disebabkan adanya
pengaruh stadia tanaman padi. Menurut Suparyono et al (2003), stadia tanaman
padi berpengaruh terhadap virulensi isolat bakteri Xoo. Bakteri Xoo patotipe
IV mempunyai gen virulensi yang dapat mematahkan gen ketahanan Xa1, Xa2,
Xa4, Xa-7, Xa-10, Xa-11, dan Xa-14 pada tanaman padi, sedangkan patotipe
VIII mempunyai gen virulensi yang dapat mematahkan gen ketahanan Xa-1,
Xa-2, Xa-3, Xa-4, Xa-7, Xa-10, Xa-11, dan Xa-14 (Yuriyah et al., 2013).

KESIMPULAN
1. Terdapat tujuh aksesi yang bereaksi tahan terhadap penyakit Hawar Daun
Bakteri (HDB) patotipe III yaitu Dekor (5759), NH-2-92 (5895), Pete
Lambeun (5928), Ekor Hitam (1053), Padi Durian A (6162), Ketan Wuluh
(6128) dan Tomas (7938).

280 Roza et al.: Identifikasi Tetua Baru untuk SIfat Ketahanan HDB.....
2. Terdapat dua aksesi yang bereaksi agak tahan terhadap HDB patotipe IV
yaitu NH-2-92 (5895), dan Padi Jambai (6630).
3. Terdapat satu aksesi yang bereaksi tahan terhadap bakteri patotipe VIII
yaitu NH-2-92 (5895), dan dua aksesi yang bereaksi agak tahan yaitu
Lampung Kuning (1070) dan Lumbu (2203).
4. Aksesi plasma nutfah padi yang teridentifikasi tersebut di atas prospektif
untuk dijadikan tetua persilangan dalam merakit VUB padi tahan HDB
spektrum luas.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi yang telah mendanai penelitian ini melalui DIPA tahun 2012,
serta saudari Lin Herlina yang telah membantu penelitian ini di laboratorium
dan rumah kaca.

DAFTAR PUSTAKA
Hifni HR dan Kardin MK. 1998. Pengelompokan isolate Xanthomonas oryzae
pv. oryzae dengan menggunakan galur isogenik IRRI. Hayati (5): 66-
72.
Hifni, H.R., S. Mihardja, E. Soetarwo, Yusida, dan M.K. Kardin. 1996. Penyakit
hawar daun bakteri pada padi sawah masalah dan pemecahannya. Bulletin
AgroBio. 1(1):18-23.
IRRI, 2002. Standard Evaluation System for Rice. IRRI. Philippines.
Jha, G., Rajeswhari, R. and R.V. Shonti. 2007. Functional interplay between
two Xanthomonas oryzae pv. oryzae secretion systems in modulating
virulence on rice. Mol. Plant-Microbe Interact. 20:31-40.
Kadir, T.S. 2012. Standar operasional prosedur (SOP) pengujian ketahanan
galur/varietas padi terhadap hawar daun bakteri, Xanthomonas oryzaepv.
oryzae (Xoo). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Kementrian Pertanian.
Kadir, T.S. 2009. Menangkal HDB dengan menggilir varietas. Warta Penelitian
dan Pengembangan Pertanian 31(5): 1-3.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 281


Lalitha, M.S., G. Lalitha Devi, G. Naveen Kumar, and H.E. Shashidhar. 2010.
Molecular marker-assisted selection: A tool for insulating parental lines
of hybrid rice against bacterial leaf blight. Int. Jour. of Plant Pathology
1: 114-123.
Niño-Liu, David O., Pamela C. Ronald, and Adam J. Bogdanove. 2006.
“Xanthomonas oryzae pathovars: model pathogens of a model crop.”
Molecular Plant Pathology. doi:10.1111/j.1364-3703.2006.00344.x.
Ogawa. 1993. Methods and strategy for monitoring rice distributions and
identifications of resitance genes to Bacterial Leaf Blight (Xanthomonas
campestris pv. oryzae) in rice. JARQ 27:71-80
Sitaresmi,T.Rina,H,W. Ami, T,R.Nani,N dan Untung,S. 2013. Pemanfaatan
plasma nutfah padi varietas lokal dalam perakitan varietas unggul. Jurnal
Penelitian Pertanian 8(1): 22–30.
Sudir, B. Nuryanto, dan T.S. Kadir. 2012. “Epidemiologi, patotipe, dan strategi
pengendalian penyakit hawar daun bakteri pada tanaman padi.” Jurnal
Iptek Tanaman Pangan 7(2): 79-87.
Sudir, Yoga. A, Yogi dan Syahri. 2013. Komposisi dan sebaran patotipe
Xanthomonas oryzae pv. oryzae di sentra produksi padi di Sumatera
Selatan. Jurnal Penelitian Pertanian 32(2): 98-108.
Suhartini, T. dan I.H. Somantri. B. Abdullah. 2003. Rejuvenasi dan karakterisasi
plasma nutfah spesies padi liar. Buletin Plasma Nutfah 9(1): 16-25.
Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2004. Pathotype profile of Xanthomonas
oryzae pv. oryzae, isolates from the rice ecosystem in Java Indonesia.
Journal of Agricultural Science 5(2): 63-69.
Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2003. Komposisi patotipe patogen hawar
daun bakteri pada tanaman padi stadium tumbuh berbeda. Jurnal
Penelitian Pertanian 22(1): 45-50.
Yuriyah. S, DW. Utami, dan I. Hanarida. 2013. Uji ketahanan galur-galur harapan
padi terhadap penyakit hawar daun bakteri (Xanthomonas oryzae pv.
oryzae) ras III,IV, dan VIII. Buletin Plasma Nutfah 19(2): 53-60.

282 Roza et al.: Identifikasi Tetua Baru untuk SIfat Ketahanan HDB.....
Tingkat Serangan Hama dan Penyakit pada Varietas
Unggul Baru Padi Sawah di Kabupaten Konawe
Samrin1 dan Aida Fitri Viva Yuningsih2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
2
Balai Besar Penelitian Tanaman padi
Email: samrinkdi@gmail.com

ABSTRAK
Hama dan penyakit tanaman bersifat dinamis dan perkembangannya
di pengaruhi oleh lingkungan biotik dan abiotik. Pada dasarnya semua
organisme dalam keadaan seimbang (terkendali) jika tidak terganggu
keseimbangan ekologinya. Di lokasi tertentu, hama dan penyakit tertentu
sudah ada sebelumnya atau datang (migrasi) dari tempat lain karena
tertarik pada tanaman padi yang baru tumbuh. Perubahan iklim stadia
tanaman, budidaya, pola tanam, keberadaan musuh alami, dan cara
pengendalian mempengaruhi di namika perkembangan hama dan
penyakit. Kegiatan di laksanakan di Kel. Lalosabila Kec. Wawotobi
Kabupaten Konawe Propinsi Sulawesi Tenggara mulai bulan Januari-
Juni 2016. Tujuan untuk mengetahui intensitas serangan hama dan
penyakit padi sawah di Sulawesi tenggara. Pengamatan hama dan
penyakit dengan intensitas serangannya, pertumbuhan tanaman, dan
produksi dilakukan dengan cara menentukan 10 rumpun contoh secara
diagonal pada tiap-tiap varietas di pertanaman. Hasil pengamatan
tercatat bahwa di lokasi pengkajian terdapat tujuh jenis hama dan
penyakit yang menyerang padi sawah mulai dari fase vegetatif sampai
fase generatif. Jenis-jenis hama tersebut adalah Rattus argentiventer
(tikus), Scirpophaga innotata (penggerek batang padi),
Cnaphalocrocis medinalis (hama putih palsu), Leptocorisa oratorius
(walang sangit) sedangkan untuk jenis penykait adalah Blast (Blas),
Bacterail leaf blight (hawar daun bakteri), Brown spot (bercak
coklat). Dari ketujuh jenis hama dan penyakit yang teramati hama tikus,
penggerek batang dan Penyakit blas merupakan jenis hama dan penyakit
yang menyerang semua jenis varietas unggul baru yang di uji. Produksi
gabah kering panen (GKP) tertinggi dihasilkan oleh varietas Inpari 6
(7,6 t/ha), Inpari 24 (7,1 t/ha), Inpari 15 (6,9 t/ha), Inpari 31 (6,9 t/ha),
Inpari 16 (6,6 t/ha), Ciherang (6,6 t/ha), Mekongga (5,9 t/ha), dan
terendah Inpari 30 (4,5 t/ha).
Kata kunci: OPT, Intensitas serangan, padi sawah.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 283


ABSTRACT
Plant pests and diseases are dynamic and their development is
influenced by the biotic and abiotic environment. Basically, all
organisms are in a balanced state (controlled) if their ecological
balance is not disturbed. In certain locations, certain pests and
diseases are pre-existing or coming (migrating) from other places
because they are interested in new rice growing. Climate change
in plant stadia, cultivation, cropping patterns, the presence of
natural enemies, and how to control affect the development of
pests and diseases. Activities carried out in Kel. Lalosabila Kec.
Wawotobi Konawe Regency, Southeast Sulawesi Province from
January to June 2016. The aim is to determine the intensity of
pests and diseases of paddy in southeast Sulawesi. Observation
of pests and diseases with the intensity of their attacks, plant
growth, and production was carried out by determining 10 clumps
of samples diagonally for each variety in the crop. The observations
noted that at the assessment site there were seven types of pests
and diseases that attacked lowland rice starting from the vegetative
phase to the generative phase. The types of these pests are Rattus
argentiventer (rat), Scirpophaga innotata (rice stem borer),
Cnaphalocrocis medinalis (fake white pest), Leptocorisa oratorius
(stinking bug) while for the types of penykait are Blast (Blas),
Bnaphalocrocis medinalis (fake white pest), Leptocorisa oratorius
(stinking bug) while for the types of disease are Blast (Blas), Bn.
bacteria), Brown spots (brown spots). Of the seven types of pests
and diseases observed by rat pests, stem borer and blast disease
are types of pests and diseases that attack all types of new superior
varieties tested. The highest production of harvested unhusked
rice (GKP) is produced by Inpari 6 (7.6 t/ha), Inpari 24 (7.1 t/ha),
Inpari 15 (6.9 t/ha), Inpari 31 (6.9 t/ha), Inpari 16 (6.6 t/ha),
Ciherang (6.6 t/ha), Mekongga (5.9 t/ha), and the lowest Inpari
30 (4.5 t/ha).
Keywords: OPT, attack intensity, paddy rice.

PENDAHULUAN
Padi merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Di
Sulawesi Tenggara tanaman ini menjadi tanaman pangan utama, sehingga

284 Samrin dan Yuningsih: Tingkat Serangan Hama dan Penyakit.....


peningkatan produktivitasnya sangat diperlukan untuk pencapaian swasembada
dan swasembada berkelanjutan .
Luas panen padi sawah di Sulawesi Tenggara Tahun 2014 adalah 133 550
ha yang tersebar di 13 Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Konawe, Konawe
Selatan, Kolaka, Kolaka Utara, Kolaka Timur, Bombana, Konawe Utara, Buton,
Muna, Buton Utara, Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Konawe Kepulauan
dengan produksi 636 028 ton atau produktivitas 4,8 t/ha (BPS Sultra, 2015)
Penerapan teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yang belum utuh
dan parsial serta perubahan lklim menyebabkan usahatam padi sawah belum
maksimal Hal ini sesuai laporan Abidin et. al (2014), bahwa ketersediaan bemh
bermutu, penggunaan pupuk, serangan organisma pengganggu tanaman (OPT)
dan ketersediaan air menjadi simpul permasalahan utama budidaya padi sawah
di Sulawesi Tenggara
Dampak langsung perubahan iklim terhadap sektor pertanian antara lain
meningkatnya luas dan frekuensi kegagalan panen. Perubahan pola hujan dan
peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan produksi. Sedangkan dampak
tidak langsung berupa perubahan dinamika serangan hama dan penyakit (Las
dan Surmani, 2011). Hama dan penyakit tanaman bersifat dinamis dan
perkembangannya di pengaruhi oleh lingkungan biotik (fase pertumbuhan
tanaman, populasi organisme lain, dsb) dan abiotik (iklim, agroekosistem, dll).
Pada dasarnya semua organisme dalam keadaan seimbang (terkendali) jika
tidak terganggu keseimbangan ekologinya.
Di lokasi tertentu, hama dan penyakit tertentu sudah ada sebelumnya atau
datang (migrasi) dari tempat lain karena tertarik pada tanaman padi yang baru
tumbuh. Perubahan iklim, budidaya tanaman, pola tanam, keberadaan musuh
alami, dan cara pengendalian mempengaruhi dinamika perkembangan hama
dan penyakit. Hal penting yang perlu di ketahui dalam pengendalian hama dan
penyakit adalah: jenis, kapan keberadaannya di lokasi tersebut, dan apa yang
mengganggu keseimbangannya sehingga perkembangannya dapat di antisipasi
sesuai dengan tahapan pertumbuhan tanaman (Makarim et al. 2003).
Pada musim hujan, hama dan penyakit yang biasa merusak tanaman padi
adalah tikus, wereng coklat, penggerek batang padi, lembing batu, penyakit tungro,
blas, dan hawar daun bakteri, serta berbagai penyakit yang disebabkan oleh
cendawan. Dalam keadaan tertentu, hama dan penyakit yang berkembang dapat
terjadi di luar kebiasaan tersebut. Misalnya, pada musim kemarau yang basah,
wereng coklat pada varietas rentan juga menjadi masalah (Hendarsih, et. al.,

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 285


1999). Pada musim kemarau hama yang merusak tanaman padi terutama adalah
tikus, penggerek batang padi dan walang sangit.
Pada fase vegetatif mulai terjadi peningkatan populasi hama dan penyakit
tertentu, misalnya tikus, penggerek batang, wereng hijau, wereng coklat,
penggulung daun, ulat grayak, tungro, penyakit hawar daun bakteri, dan blas
daun. Apabila kondisinya sesuai, hama mampu berkembang pesat, sejalan dengan
perkembangan hama, terjadi pula perkembangan musuh alami. Pada fase
generatif biasanya merupakan fase kritis terhadap serangan berbagai hama
dan penyakit, seperti tikus, walang sangit, wereng coklat dan berbagai penyakit
yang disebabkan oleh bakteri, dan cendawan lainnya. Pada fase ini, keseimbangan
hubungan antara berbagai komponen dalam ekosistem pertanian pada berbagai
stadia tumbuh tanaman sangat dibutuhkan untuk menghindari terjadinya lonjakan
populasi hama. Selain itu penggunaan pestisida yang tidak diperlukan sebaiknya
dihindari untuk memberi kesempatan berkembangnya musuh alami. (Atman
Roja, 2009)
Laporan direktorat perlindungan tanaman pada tahun 2018 luas serangan
OPT yaitu 267.905 ha dan di Sulawesi Tenggara luas serangan OPT mencapai
13.749 ha. Pengkajian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui intensitas
serangan hama dan penyakit padi sawah di Kab. Konawe Sulawesi Tenggara.

METODE PENGKAJIAN
Kegiatan ini dilaksanakan di Kelurahan Lalosabila Kecamatan Wawotobi
Kabupaten Konawe pada bulan Januari sampai dengan Juni 2016.
Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah enam varietas unggul
baru (VUB) yaitu Inpari 6, Inpari 15, Inpari 16, Inpari 24, Inpari 30, Inpari 31,
dan Mekongga (varietas existing), pupuk, pestisida, karung gabah, peralatan
lapang (hand tracktor, pacul, mistar panjang, caplak, sprayer, timbangan, tali
rapia, arit, tresher dan seed cleaner).
Kegiatan diawali dengan pengolahan lahan menggunakan hand traktor,
kemudian pembuatan tempat persemaian. Penanaman dilakukan pada saat bibit
telah berumur 15-20 hari setelah sebar (HSS). Cara tanam yang di gunakan
adalah sistem jajar legowo 2: 1 dengan jarak tanam 20 x 10 x 40 cm. Pemupukan
berdasarkan hasil analisis PUTS, yaitu pupuk urea 100 kg/ha dan NPK Phonska
350 kg/ha. Cara pemberian pupuk adalah semua dosis pupuk NPK Phonska
diberikan pada umur 7-14 hari setelah tanam (HST) dan pemupukan Urea pada

286 Samrin dan Yuningsih: Tingkat Serangan Hama dan Penyakit.....


25-30 HST. Pengendalian hama penyakit tanaman (OPT) di lakukan dengan
prinsip PHT.
Pengamatan hama dan penyakit dilakukan terhadap intensitas serangan,
pertumbuhan tanaman, dan produksi dilakukan dengan cara menentukan 10
rumpun contoh secara diagonal pada tiap-tiap varietas. Adapun luas tiap varietas/
perlakuan mengikuti luas petak alami. Data yang diperoleh dilapangan kemudian
ditabulasi secara rata-rata dan deskriptif.
Untuk menilai intensitas serangan hama dan penyakit yang menyebabkan
kerusakan pada tanaman padi di gunakan rumus:
a
I= x 100%
a+b
Keterangan:
I = Intensitas serangan (%)
a = Banyaknya rumpun/bagian tanaman yang menunjukkan gejala
serangan
b = Banyaknya rumpun/bagian tanaman yang tidak menunjukkan
gejala serangan
Adapun kategori serangan serangga hama dalam pengkajian ini digunakan
pedoman sebagai berikut:
 Serangan ringan bila tingkat serangan 0-25%
 Serangan sedang bila tingkat serangan > 25-50%
 Serangan berat bila tingkat serangan > 50-90%
 Puso bila tingkat serangan > 90%
Sedangkan kategori serangan untuk jenis penyakit adalah sebagai berikut:
 Serangan ringan bila tingkat serangan 11%
 Serangan sedang bila tingkat serangan 11-25%
 Serangan berat bila tingkat serangan 25-75%
 Puso bila tingkat serangan 75-100%

HASIL DAN PEMBAHASAN


Jenis Hama dan Penyakit
Hasil pengamatan tercatat bahwa di lokasi pengkajian terdapat tujuh jenis hama
dan penyakit yang menyerang padi sawah mulai dari fase vegetatif sampai fase
generatif. Jenis-jenis hama tersebut adalah Rattus argentiventer (tikus),

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 287


Scirpophaga innotata (penggerek batang), Cnaphalocrocis medinalis (hama
putih palsu), Leptocorisa oratorius (walang sangit). Jenis penyakit yang
menyerang Blast (Blas), Bacterail leaf blight (hawar daun bakteri), Brown
spot (bercak coklat). Dari ketujuh jenis hama dan penyakit yang teramati hama
tikus, penggerek batang dan Penyakit blas merupakan jenis hama dan penyakit
yang menyerang semua jenis varietas unggul baru yang di uji (Tabel 1).
Berdasarkan Tabel 1, tikus, penggerek batang padi, dan blas adalah hama
dan penyakit utama pada pertanaman padi sawah di Kabupatern konawe. Hama
lain juga menyerang, tetapi intensitas serangannya masih ringan. Hama tikus
dan penggerek batang padi menyerang semua varietas padi sawah yang ditanam
namun serangannnya masih dalam kategori ringan. Serangan tertinggi untuk
tikus (5,55%) pada varietas Mekongga dan penggerek batang (6,85%) pada
Varietas Inpari 6. Serangan tikus mulai teramati pada pengamatan ke-3 (42
HST).
Menurut Murakami (1992),Tikus sawah menyerang semua stadia padi, baik
pada saat stadia vegetatif (semai-anakan maksimal), stadia generatif (bunting-
panen), bahkan hingga pasca panen. Serangan tikus sawah pada stadia generatif
menimbulkan kerusakan fatal karena padi tidak dapat recovery membentuk
anakan baru. Rahmini dan Sudarmaji (1997), menambahkan bahwa padi bunting
merupakan pakan yang paling disukai tikus sawah.
Penyakit blas mulai teramati saat pengamatan ke-3 (35 HST) dan menyerang
semua varietas yang di tanam. Berdasarkan deskripsi varietas bahwa sebagian

Tabel 1. Rata-rata intensitas serangan hama dan penyakit padi sawah di Kel. Lalosabila Kec.
Wawotobi musim tanam pertama tahun 2016.

Rata-rata intensitas serangan (%)


Varietas
Tikus PB Blas BC WS HDB HPP

Inpari 6 0,37 6,85 1,11 0 0 0 5,37


Inpari 15 3,12 4,27 4,41 0 0,25 0,15 2,07
Inpari 16 0,7 3,07 1,61 0,52 0 0 4,45
Inpari 24 4,77 3,65 1,09 0 0,2 0,57 3,5
Inpari 30 2,63 5,59 0,32 0 0 0 2,27
Inpari 31 1,99 0,96 0,64 0 0 0,45 0
Mekongga 5,55 3,85 6,66 0 0 0 4,85

Ket:
PB = Penggerek Batang; BC = Bercak Coklat; WS = Walang sangit; HDB: Hawar Daun Bakteri
HPP: Hama Putih Palsu

288 Samrin dan Yuningsih: Tingkat Serangan Hama dan Penyakit.....


besar varietas yang ditanam tidak mempunyai gen ketahanan terhadap penyakit
blas, disamping itu juga merupakan varietas yang sudah lama dikembangkan
dan di tanam beberapa musim yang lalu.
Penggunaan varietas tahan harus disesuaikan dengan sebaran ras blas yang
dominan di suatu daerah. Penanaman padi sepanjang tahun menciptakan
lingkungan kondusif untuk perkembangan penyakit dan untuk mengendalikannya
harus disertai pergiliran varietas atau bahkan rotasi gen (Santoso dan Nasution,
2011). Curah hujan yang tinggi (terlampir) yang terjadi di kabupaten konawe,
diduga merupakan faktor pendukung berkembangnya penyakit. Menurut Qi dan
Mew (1989), pada varietas yang peka dan ditambah kondisi lingkungan yang
menguntungkan seperti pemupukan N dengan dosis tinggi disertai kelembaban
udara yang tinggi, terutama musim penghujan akan mendorong terjadinya infeksi
dari cendawan P. grisea.

Komponen Pertumbuhan Tanaman


Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara
umum menunjukkan hasil yang cukup baik. Rata-rata jumlah anakan maksimum,
Jumlah anakan produkti dan tinggi tanaman disajikan pada Tabel 2.
Pengamatan jumlah anakan maksimum dilakukan pada saat tanaman padi
sawah berumur 50 hari setelah tanam. Dari delapan varietas yang diuji diperoleh
jumlah anakan maksimum paling banyak pada Inpari 30 (15,4 batang), disusul
Inpari 16 (14,5 batang) ,Inpari 15 (13,3 batang), Mekongga (12,5 batang), Inpari
31(11,7 batang), dan Inpari 6 (9 batang). Pengamatan jumlah anakan produktif

Tabel 2. Rata-rata jumlah anakan maksimum, jumlah anakan produktif dan tinggi
tanaman varietas unggul baru, Kab. Konawe musim tanam pertama 2016

Jumlah anakan Jumlah anakan Tinggi


Varietas maksimum produktif tanaman
(batang) (batang) (cm)

Inpari 6 9 7,6 119,3


Inpari 15 13,3 10,7 116,6
Inpari 16 14,5 11,5 108,5
Inpari 24 13,6 13 101,9
Inpari 30 15,4 13,9 97,4
Inpari 31 11,7 11,2 113,2
Mekongga 12,5 10,3 106

Sumber: Data Primer diolah, 2016

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 289


dilakukan pada saat tanaman menjelang panen. Rata-rata jumlah anakan
produktif yang dicapai setiap varietas berbeda-beda. Jumlah anakan terbanyak
di peroleh Inpari 30 (13,9 batang), Inpari 24 (13 batang), Inpari 16 (11,5 batang),
Inpari 31 (11,2 batang), Inpari 15 (10,7 batang), Mekongga (10,3 batang) dan
Inpari 6 (7,6 batang). Bila dibandingkan antara jumlah anakan produktif dari
setiap varietas padi yang diuji nampaknya jumlah tersebut lebih rendah dari
yang di sebutkan dalam deskripsi varietas. Hal ini dimungkinkan karena faktor
lingkungan tumbuh dan pengelolaan tanaman. Menurut Gardner dalam Husna
(2010), anakan akan mencapai jumlah maksimal yang dipengaruhi oleh umur
benih, sistem tanam, kesuburan tanah dan lingkungan tumbuh. Jumlah anakan
produktif yang paling banyak adalah pada varietas Inpari 30 (13,9 batang).
Hal ini menunjukkan daya adaptasi varietas Inpari 30 pada musim hujan
cenderung lebih baik dibandingkan dengan varietas lainnya. Hasil yang diperoleh
merupakan interaksi genetik dan lingkungan tumbuh. Menurut Karim dan
Suhartatik (2009), tanam pindah pada tanaman padi dapat menghasilkan 10
sampai 30 anakan dan kapasitas anakan merupakan salah satu sifat utama
yang penting pada varietas-varietas unggul
Pengukuran tinggi tanaman dilakukan pada saat tanaman menjelang panen
karena pada umur tersebut, pertumbuhan tinggi tanaman telah mencapai ukuran
yang optimal. Varietas Inpari 6 mempunyai tinggi tanaman yang tertinggi diantara
7 varietas yang ditanam yaitu (119,3 cm), Inpari 15 (116,6 cm), Inpari 31 (113,2
cm), Inpari 16 (108,5 cm), Mekongga (106 cm), Inpari 24 (101,9 cm), dan Inpari
30 (97,4 cm). Keragaan tinggi tanaman dari beberapa varietas ini diduga karena
dipengaruhi oleh perbedaan varietas yang dikembangkan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Lukas (1999), bahwa komponen pertumbuhan tinggi tanaman erat
kaitannya dengan sifat genetik masing-masing varietas dan lingkungan dimana
tanaman tumbuh. Tanaman yang tumbuh dengan baik mampu menyerap hara
dari dalam tanah. Kemampuan tanaman memanfaatkan sinar matahari yang
lebih baik dapat meningkatkan aktivitas fotosintesis, sehingga dapat meningkatkan
pertumbuhan dan produksi tanaman (Yoshida 1981). Menurut Blum dalam
Ernawati (2009) pertumbuhan tanaman yang lebih tinggi menunjukkan besarnya
alokasi fotosintat terhadap pertumbuhan tanaman, selain itu juga dipengaruhi
oleh suhu terhadap proses-proses fisiologi tumbuhan. Suhu yang baik bagi
pertumbuhan tanaman adalah antara 22-370C. Suhu yang lebih atau kurang
dari batas normal dapat mengakibatkan pertumbuhan terhambat atau bahkan
berhenti.

290 Samrin dan Yuningsih: Tingkat Serangan Hama dan Penyakit.....


Komponen hasil
Hasil pengamatan terhadap komponen hasil disajikan pada Tabel 3. Komponen
hasil yang diamati adalah panjang malai, jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa,
bobot 1000 biji dan produktivitas.
Data panjang malai bervariasi antara 24-27,5 cm. Panjang malai tertinggi
di capai varietas Inpari 24 (27,5 cm), berikutnya Inpari 6 (27,2 cm), Inpari 31
(27,0 cm), Inpari 15 (26,4 cm), Inpari 16 (26,3 cm), Mekongga (24 cm), dan
Inpari 30 (23,6 cm). Keragaan panjang malai dari beberapa varietas ini diduga
karena dipengaruhi oleh perbedaan varietas yang dikembangkan. Menurut
Susanti et al. (2008) pembentukan malai sangat dipengaruhi ketersediaan unsur
hara dan air. Semakin tercukupinya kebutuhan hara dan air, proses pembentukan
malai semakin sempurna. Hal tersebut peluang terbentuknya bulir gabah per
malai akan semakin banyak. Jumlah bulir gabah akan mempengaruhi hasil panen.
Jumlah gabah isi tertinggi terdapat pada inpari 6 (116,5 bulir) dan terendah
pada Inpari 16 (99,7 bulir). Jumlah gabah isi diduga di pengaruhi oleh perbedaan
varietas. Virmani (1994) menyatakan bahwa perbedaan varietas akan
menyebabkan perbedaan jumlah gabah isi permalai. Karakter ini merupakan
faktor penting dalam menentukan hasil gabah. Kim (1985) juga melaporkan
bahwa faktor lingkungan seperti kepadatan tanaman berpengaruh nyata terhadap
jumlah gabah isi per malai.
Produksi gabah kering panen (GKP) tertinggi dihasilkan oleh varietas Inpari
6 (7,6 t/ha), Inpari 24 (7,1 t/ha), Inpari 15 (6,9 t/ha), Inpari 31 (6,9 t/ha), Inpari
16 (6,6 t/ha), Mekongga (5,9 t/ha), dan terendah di peroleh Inpari 30 (4,5 t/ha).

Tabel 3. Rata–rata panjang malai, gabah isi, gabah hampa, bobot 1000 biji dan produktivitas
masing-masing varietas unggul baru.

Panjang Jumlah gabah Jumlah gabah


Varietas malai isi per malai hampa per malai Bobot Produksi
(cm) (biji) (biji) 1000 biji (t/ha)

Inpari 6 27,2 116,5 22,9 27,13 7,6


Inpari 15 26,4 115,5 6,8 29,98 6,9
Inpari 16 26,3 99,7 22,9 27,10 6,6
Inpari 24 27,5 99,8 23,5 29,55 7,1
Inpari 30 23,6 107,8 7,8 27,26 4,5
Inpari 31 27,0 123,9 20,4 26,36 6,9
Mekongga 24110,7 15 26,73 5,9

Sumber: Data primer diolah, 2016

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 291


Perbedaan komponen pertumbuhan dan hasil dari masing-masing varietas erat
kaitannya dengan sifat genetik dan hasil interaksinya dengan lingkungan. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Karim dan Suhartatik (2009), bahwa produktivitas
suatu penanaman padi merupakan hasil akhir dari pengaruh interaksi antara
factor genetik dengan lingkungan dan pengelolaan melalui suatu proses fisiologik
dalam bentuk pertumbuhan tanaman.
Menurut Arifin, et al. (1999), jumlah butir isi permalai berkorelasi positif
dengan hasil tanaman. Jumlah butir hampa dan bobot butir gabah isi merupakan
salah satu penentu terhadap hasil. Penampilan pertumbuhan dan hasil suatu
tanaman dipengaruhi oleh faktor genotife, faktor lingkungan, dan interaksi genotife
x lingkungan. Beberapa genotife menunjukkan reaksi spesifik terhadap lingkungan
tertentu dan beberapa varietas yang diuji di berbagai lokasi menunjukkan daya
produksi yang berbeda pada setiap lokasi (Harsanti et al. 2003). Marzuki et al.
(1997) menambahkan bahwa faktor lokasi, musim, varietas berpengaruh nyata
terhadap hasil gabah, berat 1.000 butir, banyaknya malai/rumpun, jumlah gabah
isi dan hampa/malai.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Terdapat tujuh jenis hama dan penyakit yang menyerang padi sawah yaitu
Rattus argentiventer (tikus), Scirpophaga innotata (penggerek batang
padi), Nymphula depunctalis (hama putih), Leptocorisa oratorius (walang
sangit) sedangkan untuk jenis penyakit adalah Blast (Blas), Bacterail leaf
blight (Hawar Daun Bakteri), Brown spot (Bercak Coklat), tikus,
penggerek batang dan penyakit blas merupakan jenis hama dan penyakit
yang menyerang semua jenis varietas unggul baru yang di uji
2. Intensitas serangan tertinggi untuk hama tikus terdapat pada varietas
Mekongga (5,55%), tertinggi untuk hama penggerek batang pada varietas
Inpari 6 (6,85%) dan tertinggi untuk penyakit blas pada varietas Mekongga
(6,66%).
3. Produksi tertinggi dihasilkan oleh varietas Inpari 6 (7,6 t/ha), diikuti oleh
Inpari 24 (7,1 t/ha), Inpari 15 (6,9 t/ha), Inpari 31 (6,9 t/ha), Inpari 16(6,6 t/
ha), Mekongga (5,9 t/ha), dan terendah Inpari 30 (4,5 t/ha).

292 Samrin dan Yuningsih: Tingkat Serangan Hama dan Penyakit.....


Saran
Perlu dilakukan pengkajian tentang pengendalian hama dan penyakit melalui
penggunaan varietas unggul baru (VUB) padi sawah pada 2 musim yang berbeda
yaitu pada musim kemarau dan musim hujan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan sebesar-besarnya kepada Bapak Sapiuddin,
Paulus Milkiades, S.ST, Surahman dan Bahar yang telah banyak membantu
dalam pengumpulan data selama kegiatan pengkajian dilaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z., Hilman, Suharno, M. Rusman, M.A.Mustaha, Dahya, dan M.T.
Ratule. 2014. Identifikasi kebutuhan teknologi spesifik lokasi Sulawesi
Tenggara. Laporan Hasil Pengkajian di BPTP Sulawesi Tenggara.
Arifin, Z., Suwono, S. Roesmarkam, Suliyanto, dan Satino. 1999. Uji adaptasi
galur harapan padi sawah berumur genjah dan berumur sedang. Prosiding
Seminar hasil penelitian/pengkajian BPTP Karang Ploso. Malang. Badan
Litbang Pertanian hal. 8-13.
Atman roja. 2009. Pengendalian Hama dan penyakit secara terpadu (PHT)
pada padi sawah. Pelatihan Spesipik lokalita kabupaten 50 kota Sumatera
barat, Payakumbuh, 7-18 Oktober. Balai pengkajian Teknologi Pertanian
Sumbar.
BPS Sultra. 2015. Laporan Tahunan BPS Sultra tahun 2014.
Dirjen Perlindungan Tanaman Pangan. 2018. Laporan tahunan Dirjen
Perlindungan Tanaman Pangan.
Harsanti, L., Hanibal, dan Mugiono. 2003. Analisis daya adaptasi 10 galur mutan
padi sawah di 20 lokasi uji daya hasil pada dua musim. Zuriat (14) 1:1-7.
Husna, Y. dan Ardian. 2010. Pengaruh penggunaan jarak tanam terhadap
pertumbuhan dan produksi padi sawah (oryza sativa L) varietas IR 42
dengan metode SRI. Jurnal SAGU 9(1): 21-27.
Karim, M.A., dan E. Suhartatik, 2009. Morfologi dan Fisiologi tanaman padi.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 293


Padi Inovasi Teknologi dan ketahanan pangan. Balai Besar Penelitian
Tanamanpadi. Buku 1. Hal: 295-330.
Kim, C.H. 1985. Studies on heterosis in F, rice hybrids using cytoplasmic-genetic
male sterile lines in rice. Res. Rep. Rural Dev. Administration, Suweon,
Korea 27(1): 1-33.
Las, I. dan E. Surmaini. 2011. Variabilitas iklim dan perubahan iklim dalam
sistem produksi pertanian nasional: Dampak dan tantangan. Dalam:
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Balai
Besar Penelitian Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Lukas, S., 2007.Penampilan Beberapa Varietas unggul padi sawah di Nias
Selatan. dalam Arifin, Z., Sowono, S., Roesmarkam , Suliyanto dan
Satino.Prosiding seminar Nasional Inovasi dan Alih Teknologi Spesifik
lokasi Mendukung Revitalisasi Pertanian, BPTP Medan, Hal: 210-213.
Makarim, A.K., D. Pasaribu, Z. Zaeni and I.Las. 2003. Analisis dan Sintesis
Hasil Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) dalam
Program P3T. IAARD, Dept. of Agriculture.
Marzuki, A.R., A. Kartohardjono, dan H. Siregar 1997. Potensi hasil beberapa
galur padi resisten wereng coklat. Prosiding symposium nasional dan
kongres III Peripi, Bandung. Hal. 118-124.
Murakami,O. 1992. Tikus sawah. Laporan Akhir kerjasama Teknis Indonesia-
Jepang Bidang Perlindungan Tanaman Pangan (ATA-162). Ditlintan.p.
1-12.
Qi, Z. and T.W. Mew. 1989. Types resistance in rice to bacterial blight. In:
Bacterial Blight of Rice. IRRI. Manila. Philipines.
Rahmini dan Sudarmaji, 1997. Penelitian Variasi pakan tikus sawah pada berbagai
stadia pertumbuhan tanaman padi. Prosiding III Seminar Nasional Biologi
XV. Lampung.p.1525-1528.
Santoso dan A. Nasution. 2011. Seleksi galur-galur hasil pemuliaan untuk
ketahanan blas berbeda. Disampaikan pada Prosiding Seminar Nasional
Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Balai Besar Penelitian Padi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Sumadiningrat, G. 2007. Menuju Swasembada Pangan Revolusi Hijau. Jakarta:
RBI. Tanaman Pangan, Jakarta. 210 h.

294 Samrin dan Yuningsih: Tingkat Serangan Hama dan Penyakit.....


Virmani, S.S. 1994. Heterosis and hybrid rice breeding. In. Frankel et al. (Ed),
Monograph on Theoritical and Applied Genetic 22. Springer-Verlag, Berlin,
NY, London, Paris, Tokyo, Hongkong, Barcelona, Budapest-IRRI. Philipp.
189 p.
Yoshida, S. 1981. Fundamental of Rice Crop Science. IRRI. Manila, Philippines.
p. 111-176.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 295


LAMPIRAN

296 Samrin dan Yuningsih: Tingkat Serangan Hama dan Penyakit.....


Kajian Metode Inokulasi Penyakit Hawar Pelepah
untuk Skrining Katahanan Varietas Padi
Laila Nur Milati* dan Bambang Nuryanto
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang, Indonesia
*
E-mail: lailanur.milati@gmail.com

ABSTRAK
Penyakit hawar pelepah merupakan salah satu penyakit utama pada
tanaman padi (Oryza sativa) yang disebabkan oleh jamur
Rhizoctonia solani Kuhn. Varietas tahan hawar pelepah belum
ditemukan karena gen ketahanan diatur oleh banyak sifat. Penelitian
dilaksanakan di rumah kaca Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
tahun 2017. Penelitian bertujuan untuk mencari metode inokulasi yang
tepat dalam skrining ketahanan varietas padi. Varietas padi yang
digunakan adalah Ciherang, Hipa Jatim 2, dan Minghui 63. Penelitian
menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan empat
ulangan. Padi ditanam dalam pot berisi tanah steril. Budidaya padi
berdasarkan rekomendasi layanan konsultasi padi (LKP). Inokulasi
menggunakan agar blok, sklerosia, dan dedak sekam. Data hasil
analisis digambarkan dalam bentuk diagram batang dan dianalisis
lanjutan dengan uji Duncan’s multiple range test (DMRT). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa metode inokulasi Rhizoctonia solani
yang paling tepat adalah menggunakan dedak sekam. Dedak sekam
mengandung miselium aktif yang dapat menginfeksi varietas padi
dengan cepat.
Kata kunci: Padi, hawar pelepah, Rhizoctonia solani, skrining, dedak
sekam.

ABSTRACT
Sheath blight is one of the most destructive disesase in rice caused
by Rhizoctonia solani Kuhn. The resistant varieties have not been
found because resistant genes are regulated by many traits. This
research was conducted in screen house of Indonesian Center
for Rice Research in 2017. The research aim was to find out the

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 297


most suitable inoculation method for screening of rice varities
resistance to R. solani. Ciherang, Hipa Jatim 2, and Minghui 63
were used in this test. The experiment used randomized complete
block design with four replication. Rice was grown in a pot of
soil. Rice cultivation was based on recommendation of rice
consultation service (LKP). Inoculation was perform by using
agar block, uniform sclerotia, and rice hull. Data analysis were
performed in clustered chart and continued with Duncan’s
multiple range test (DMRT). The results showed that the most
suitable inoculation method is using rice hull. Rice hull contains
active mycelium which can infect rice variety quickly.
Keywords: Rice, sheath blight, Rhizoctonia solani, screening test,
rice hull.

PENDAHULUAN
Penyakit hawar pelepah merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman
padi yang disebabkan oleh jamur Rhizoctonia solani Kuhn. AG1-1A (Ou 1985;
Soenartiningsih et al. 2015; Molina et al. 2016). Tanaman padi yang terinfeksi
penyakit hawar pelepah menjadi mudah rebah dan memiliki kualitas gabah buruk
(Park et al., 2008; Shiobara et al. 2013; Nuryanto 2017; Turaidar et al. 2018).
Penyakit hawar pelepah di Amerika menyebabkan kerugian lebih dari 50% dan
mencapai 20%-30% di Asia (Richa et al. 2016; Turaidar et al. 2018). Di
Indonesia kehilangan hasil sangat variatif tergantung pada faktor lingkungan
dan sistem budidaya tanaman padi (Nuryanto 2017; Nuryanto 2018). Keparahan
penyakit yang ditimbulkan oleh gangguan R. solani antara 6,2% hingga 52,8%
(Nuryanto et al. 2011).
R. solani bertahan hidup di alam dengan membentuk miselium dan
sklerosium. Pengamatan di bawah mikroskop, miselium membentuk sudut 45o,
semakin dewasa percabangannya tegak lurus, kaku, dan mempunyai ukuran
seragam. Benang-benang miselium yang sudah tua berwarna coklat membentuk
agregasi massa yang kompak disebut sklerosium. Sklerosia dapat terbentuk
pada permukaan tanah atau batang padi. Sklerosia memiliki kulit tebal dan keras
sehingga tahan terhadap keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan
terutama kekeringan dan suhu tinggi (Sumartini 2012). Sklerosia pada awal
pertumbuhan berwarna putih dan setelah dewasa berubah menjadi coklat.
Sklerosia bisa berbentuk bulat atau tidak beraturan, ukurannya bervariasi,
tergantung pada jenis isolat dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi

298 Milati dan Nuryanto: Kajian Metode Inokulasi Penyakit Hawar Pelepah.....
(Soenartiningsih 2015). Keadaan lingkungan yang sesuai akan mempercepat
perkecambahan sklerosium. Sklerosium yang berkecambah selanjutnya
membentuk miselium aktif dan menginfeksi bagian tanaman padi. Jaringan
tanaman yang terinfeksi mengalami gejala nekrotropik yang diawali dengan
bentuk oval berwarna hijau keabuan. Gejala semakin meluas dengan bentuk
yang tidak beraturan. Semakin lama bagian yang sakit berwarna putih keabuan
dan bagian tepi berwarna coklat (Ou 1985). Infeksi R. solani di dalam jaringan
tanaman mengakibatkan proses fotosintesis terhambat, peningkatan respirasi,
dan terbentuknya metabolit sekunder pada tanaman padi (Ghosh et al. 2017).
Miselium biasa ditemukan berkembang pada seresah jerami atau pada gulma di
sekitar pertanaman padi, berbeda dengan sklerosium yang sering terdapat pada
permukaan air terbawa aliran irigasi.
Pengujian ketahanan terhadap penyakit hawar pelepah di lapangan sulit
dilakukan karena dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor tersebut antara lain
ketahanan varietas, kondisi lingkungan (unsur hara, cahaya, air, suhu, dan
kelembapan), serta keberadaaan inang alternatif. Penggunaan varietas tahan
hanya mampu menekan kehilangan hasil 5,1%-10,71% pada daerah endemis.
Hal ini karena ketahanan varietas padi terhadap penyakit hawar pelepah bersifat
poligenik (Shiobara et al. 2013; Wisser et al. 2005; Scholten et al. 2001).
Perubahan kondisi lingkungan menentukan keparahan penyakit dan penurunan
hasil di lapangan. Keberadaan inang alternatif berupa gulma menjadi tempat
tersedianya sumber inokulum R. solani sepanjang musim. Oleh karena itu perlu
dilakukan skrining ketahanan varietas padi di rumah kaca untuk mengurangi
berbagai macam perubahan lingkungan dan sebaran inang alternatif lain.

BAHAN DAN METODE


Percobaan dilakukan di rumah kassa Balai Besar Penelitian Tanaman Padi,
Subang, Jawa Barat pada tahun 2017. Penelitian ini menggunakan 3 varietas
padi yaitu Ciherang, Hipa Jatim 2, dan Minghui 63. Ciherang merupakan padi
sawah Inbrida dan Hipa Jatim 2 adalah padi sawah hibrida, sedangkan Minghui
63 merupakan varietas padi yang memiliki sifat ketahanan terhadap R. solani.
Ketiga varietas padi yang digunakan berasal dari koleksi plasma nutfah Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi.
Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan empat
ulangan. Padi disemaikan dengan menggunakan bak semai dan dilakukan pindah
tanam dalam pot pada umur 15-21 hari. Padi ditanam dalam pot berisi 5 kg
tanah steril. Masing-masing pot terdiri dari satu tanaman. Pemupukan tanaman

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 299


berdasarkan rekomendasi LKP (layanan konsultasi padi) yang telah dikonversi
ke dalam luasan tanah dalam pot. Pemupukan pertama menggunakan pupuk
NPK dengan dosis 0,5g/pot pada umur 0-10 HST (hari setelah tanam).
Pemupukan selanjutnya pada stadia anakan aktif menggunakan pupuk N dengan
dosis 0,25 g/pot. Pemupukan ketiga menggunakan pupuk N dengan dosis 0,25g/
pot pada stadia primordia. Pengaturan air dilakukan secara macak-macak.
Pengendalian OPT (organisme pengganggu tanaman) disesuaikan dengan kondisi
di rumah kassa.
Isolat yang digunakan untuk penelitian adalah isolat lokal yang diambil dari
tanaman padi terinfeksi penyakit hawar pelepah di kebun percobaan Sukamandi,
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Isolat lokal dipilih karena lebih adaptif
terhadap kondisi lingkungan (Jia et al., 2007). R. solani yang berasal dari
tanaman padi termasuk dalam kelompok anastomisis AG1-1A. Sampel tanaman
padi yang menunjukkan gejala penyakit hawar pelepah dipotong 2-3 cm. Sampel
tersebut selanjutnya diisolasi dan dimurnikan di laboratorium menggunakan media
PDA (potato dextrose agar) pada cawan petri. Biakan murni R. solani
ditumbuhkan selama 3 hari selanjutnya diperbanyak lagi menggunakan media
PDA dan gabah rebus steril. Isolat R. solani dalam media PDA tumbuh dalam
waktu 7 hari (Zuo et al., 2014). R. solani dalam media gabah rebus steril
ditumbuhkan selama 14 hari. Starter miselium selanjutnya digunakan untuk
perbanyakan massal menggunakan media sekam dedak steril (1:1). Inokulan R.
solani dalam media sekam dedak diinkbunasi selama 3 hari dalam suhu ruang
(Shiobara et al., 2013).. Perbanyakan isolat R. solani baik dengan PDA dalam
cawan petri maupun media sekam dedak sama-sama menghasilkan miselium
dan sklerosium. Miselium yang digunakan sebagai bahan inokulan berasal dari
biakan murni pada media PDA (agar blok) dan sekam dedak. Sklerosium yang
digunakan diperoleh dari biakan murni pada media PDA.
Inokulan R. solani yang digunakan ada 3 macam yaitu miselium dalam
media PDA, miselium dalam sekam dedak, dan sklerosia. Miselium dalam PDA
dipotong 2cm x 2cm kemudian disisipkan pada pelepah padi bagian bawah dan
diikat dengan karet. Inokulasi kedua menggunakan media dedak sekam yang
sudah ditumbuhi oleh miselium R. solani. Miselium dalam media dedak sekam
ditimbang sebanyak 5 gram kemudian disisipkan pada pelepah padi lalu diikat
dengan karet. Inokuasi ketiga menggunakan sklerosia yang diperoleh dari hasil
perbanyakan biakan murni sebanyak 5 sklerosia berukuran seragam. Waktu
inokulasi dipilih pada saat anakan maksimum (30-35 HST) (Rodrigues et al.,
2003; Moldenhauer et al., 2018) karena bertepatan dengan fotosintesis dan
pembentukan biomassa tahap optimal. Nutrisi untuk perkembangan R. solani

300 Milati dan Nuryanto: Kajian Metode Inokulasi Penyakit Hawar Pelepah.....
Tabel 1. Penghitungan persentase keparahan penyakit hawar pelepah (IRRI, 2014).

Skor Persentase keparahan Keterangan


penyakit hawar pelepah (%)

0 0 Tidak ada gejala


1 kurang dari 20% Tahan
3 20-30% Agak tahan
5 31-45% Agak rentan
7 46-65% Rentan
9 lebih dari 65% Sangat rentan

tersedia melimpah sehingga mempercepat infeks pada tanaman inang


(Yellareddygari et al., 2014). Tanaman sebagai kontrol perlakuan dipilih 1 plot
pada setiap varietas dan setiap perlakuan, dengan tidak diinokulasi R. solani.
Pengamatan keparahan penyakit dilakukan pada fase bunting, berbunga,
dan pengisian malai (70-80 HST). Penghitungan persentase keparahan penyakit
mengacu pada Standard Evaluation System (SES) International Rice
Research Istitute (IRRI, 2014) yang disajikan pada Tabel 1.
Panen dilakukan dengan pengambilan sampel tanaman padi sebanyak 10
malai per pot. kemudian dilakukan penimbangan berat gabah kering panen
(GKP). Kegiatan selanjutnya adalah penghitungan berat 1000 butir gabah, berat
gabah isi dan gabah hampa. Data hasil pengamatan keparahan penyakit
digambarkan dalam bentuk diagram batang. Keparahan penyakit dan hasil panen
dianalisis menggunakan program SAS versi 9,0. Perlakuan yang berpengaruh
nyata dianalisis lanjut dengan uji Duncan (DMRT) pada derajat kesalahan 0,05
(Gomes et al., 1984).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pemilihan metode inokulasi yang efektif penting dilakukan untuk mengukur
tingkat ketahanan varietas padi terhadap penyakit hawar pelepah. Jenis inokulum
yang digunakan dalam metode inokulasi menentukan efektivitas infeksi (Park
et al., 2008). Inokulum yang digunakan untuk pengujian adalah miselium dalam
agar (agar blok) (Park et al., 2008; Zuo 2014), sklerosia R. solani (Nuryanto et
al., 2010; Nagaraj et al.,2017), dan miselium dalam media sekam dedak
(Shiobara et al., 2013). Waktu infeksi beberapa sumber inokulum tersebut
bervariasi tergantung pada patogen (Nuryanto, et al., 2010) dan faktor
lingkungan (Shiobara et al., 2013; Nuryanto 2017; Liu et al., 2009).

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 301


Infeksi R. solani dari ketiga inokulum menunjukkan hasil yang berbeda
(Gambar 1). Inokulan berupa agar blok menginfeksi paling rendah dibandingkan
inokulan berupa sklerosia dan dedak sekam. Agar blok yang diinokulasi pada
varietas Ciherang menunjukkan reaksi tahan pada fase pembungaan dan agak
tahan pada fase pengisian malai. Minghui 63, dan Hipa Jatim 2 menunjukkan
perbedaan saat diinokulasi dengan agar blok, yaitu pada fase pembungaan
bereaksi agak rentan dan pada fase pengisian malai bereaksi tahan. Miselium
dalam agar blok tidak menginfeksi varietas dengan baik karena miselium hanya
terdapat pada permukaan agar. Jumlah massa miselium menentukan kecepatan
patogen untuk menginfeksi tanaman (Nuryanto et al., 2010). Selain itu agar
blok mudah terkontaminasi oleh patogen lain sehingga akan mengganggu
perkembangan R. solani (Park et al., 2008).
Inokulan berupa sklerosia menginfeksi varietas padi lebih baik daripada
agar blok. Sklerosia merupakan bentuk dorman dari R. solani sehingga
memerlukan waktu infeksi yang lebih lama daripada miselium. Bentuk dan ukuran
sklerosia tidak mempengaruhi infeksi. Sklerosia muda lebih cepat berkecambah
daripada sklerosia yang sudah matang (Jia et. al., 2007; Park et al., 2008).
Masa dorman sklerosia akan berakhir jika kondisi lingkungan cocok untuk
perkembangannya (Sumartini 2012). Ciherang menunjukkan reaksi rentan pada
fase pembungaan dan pengisian malai. Minghui 63 bereaksi agak rentan pada
fase pembungaan dan pengisian malai. Hipa Jatim 2 menunjukkan respon lebih
baik yaitu tahan pada fase pembungaan dan menjadi agak tahan pada fase
pengisian malai.

Gambar 1. Keparahan penyakit hawar pelepah pada fase bunting, berbunga, dan pengisian malai.

302 Milati dan Nuryanto: Kajian Metode Inokulasi Penyakit Hawar Pelepah.....
Inokulan yang menunjukkan hasil terbaik adalah dedak sekam. Dedak sekam
mengandung miselium yang aktif tumbuh sehingga dengan mudah dapat
menginfeksi varietas padi (Park et al., 2008). Inokulan dedak sekam
menunjukkan respon rentan terhadap R. solani pada ketiga varietas yang diuji.
Ciherang pada fase bunting sudah bereaksi rentan dan menjadi sangat rentan
pada fase pengisian malai. Minghui 63 dan Hipa Jatim 2 masih agak tahan pada
fase bunting dan menjadi retan pada fase pembungaan dan pengisian malai.
Inokulum yang seragam (miselium) yang aktif tumbuh akan menghasilkan infeksi
yang cepat serta meningkatkan kemampuan respon varietas terhadap patogen
(Jia et al., 2007).
Varietas Ciherang, Hipa Jatim 2, dan Minghui 63 berekasi rentan pada
semua perlakuan yang diujikan (Tabel 2). Penggunaan varietas yang mengandung
gen tahan hanya memberikan ketahanan secara parsial. Ketahanan tanaman
terhadap R. solani diatur oleh banyak gen (poligenik) (Jia et al., 2012).
Ketahanan tanaman lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. (Park et.
al., 2008; Nuryanto 2017; Nuryanto 2018).
Hasil skrining dari ketiga varietas menunjukkan bahwa Ciherang dapat
dijadikan sebagai kontrol rentan karena menunjukkan keparahan penyakit yang
tinggi secara nyata pada fase bunting, pembungaan, dan pengisian malai. Hal
ini sesuai dengan penelitian Muslim et al, (2012). Ciherang memiliki bentuk
tanaman yang pendek dan anakan banyak sehingga menciptakan iklim mikro
yang sesuai untuk perkembangan R. solani (Irawati et al., 2011; Nuryanto et
al., 2010; Nuryanto, 2017). Rata-rata keparahan penyakit varietas Ciherang
pada perlakuan agar blok, sklerosia, dan dedak sekam adalah 12,50% pada
fase bunting, 35,14% pada fase berbunga, dan 37,23% pada fase pengisian
malai. Varietas Minghui 63 merupakan kontrol tahan karena mengandung gen
tahan qSB5 dan qSB9 (Wisser et al., 2005, Han et al., 2003. Shiobara et al.,
2013; Zuo et al., 2014). Hipa Jatim 2 merupakan varietas unggul hibrida yang
memiliki produksi tinggi (Wahab et al., 2017). Minghui 63 dan Hipa Jatim 2
pada fase bunting tidak menunjukkan keparahan penyakit yang berbeda yaitu
10,0% dan 8,75%. Minghui 63 pada fase berbunga memiliki keparahan penyakit
34,17% tidak berbeda nyata dengan Ciherang tetapi berbeda nyata dengan Hipa
Jatim 2 yaitu 29,31%. Keparahan penyakit pada varietas Minghui 63 pada fase
pengisian malai turun menjadi 30,56% dan tidak berbeda nyata dengan Hipa
Jatim 2 yaitu 27,22%.
Infeksi R. solani selain mempengaruhi keparahan penyakit juga
menyebabkan pengisian malai tidak sempurna sehingga gabah menjadi hampa
(Yellareddygari et al., 2014; Nuryanto 2017; Turaidar et al., 2018). Penjelasan

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 303


Tabel 2. Interaksi antara perlakuan dan varietas padi pada pengamatan fase bunting, berbunga,
dan pengisian malai.

Varietas
Perlakuan Rata-rata
Ciherang Minghui 63 Hipa Jatim 2

Fase bunting
Kontrol 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 0,00 d
Agar blok 2,22 ± 2,56 6,11 ± 2,13 3,89 ± 2,80 4,07 c
Sklerotia 16,67 ± 7,59 10,56 ± 3,80 7,78 ± 2,87 11,67 b
Dedak sekam 31,11 ± 4,44 23,33 ± 2,22 23,33 ± 2,22 25,92 a
Rata-rata 12,50 a 10,00 b 8,75 b
DMRT (%) 2,37

Fase berbunga
Kontrol 1,11 ± 2,22 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 0,37 d
Agar blok 18,33 ± 4,93 33,34 ± 11,48 21,67 ± 4,93 24,45 c
Sklerotia 51,11 ± 6,28 40,00 ± 4,45 38,89 ± 6,67 43,33 b
Dedak sekam 70,00 ± 2,22 63,33 ± 4,26 56,67 ± 7,58 63,33 a
Rata-rata 35,14 a 34,17 a 29,31 b
DMRT (%) 4,56

Fase pengisian malai


Kontrol 1,11 ± 2,22 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 0,37 d
Agar blok 25,56 ± 4,26 25,56 ± 1,11 23,33 ± 4,26 24,82 c
Sklerotia 46,67 ± 3,63 36,67 ± 8,41 35,56 ± 8,51 39,63 b
Dedak sekam 75,56 ± 9,26 60,00 ± 3,62 50,00 ± 7,60 61,85 a
Rata-rata 37,23 a 30,56 b 27,22 b
DMRT (%) 5,24

Angka satu kelompok yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan
(DMRT) taraf 5%

tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang terdapat pada tabel 3. Hasil gabah
pada inokulasi dengan media dedak sekam menunjukkan hasil paling rendah
yaitu 26,94g dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan kontrol yaitu 32,28g.
hasil gabah rendah dapat dipengaruhi oleh pengisian gabah yang tidak sempurna
sehingga menyebabkan butir gabah tidak bernas. Hal ini diketahui dari bobot
1000 butir gabah. Kontrol menunjukkan bobot tertinggi yaitu 25.04g berbeda
nyata dengan perlakuan dedak sekam yaitu 23,45g. Perkembangan infeksi R.
solani dimulai pada saat tanaman padi memasuki fase anakan maksimum
(Turaidar et al., 2018). Kanopi tanaman yang menutup rapat menciptakan iklim
mikro yang sesuai untuk perkembangan dan penyebaran patogen. Patogen terus
berkembang hingga fase generatif akhir pertumbuhan padi. Infeksi R. solani

304 Milati dan Nuryanto: Kajian Metode Inokulasi Penyakit Hawar Pelepah.....
Tabel 3. Hasil produksi gabah terinfeksi penyakit hawar pelepah, Sukamandi, 2017.

No Perlakuan GKP 10 malai (g) Bobot 1000 butir (g)

1 Kontrol 32,28 a 25,04 a


2 Agar blok 30,31 ab 24,48 a
3 Sklerotia 28,69 ab 24,39 a
4 Dedak sekam 26,94 b 23,45 b
CV (%) 11,47 2,52

DMRT (g) 2,84 0,51

Angka satu kelompok yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut uji
Duncan (DMRT) taraf 5%

pada fase generatif mengakibatkan proses fotosintesis terganggu sehingga


produksi biomassa menurun (Yellareddygari et al., 2014).
Pengujian ketahanan varietas padi yang dilakukan di rumah kaca sangat
sesuai dilakukan. Faktor lingkungan di dalam rumah kaca dapat dikendalikan
sehingga hasil pengujian lebih stabil. Metode pengujian ketahanan yang sesuai
terhadap penyakit hawar pelepah yang sesuai sangat membantu proses pemuliaan
tanaman dalam perakitan varietas. Pengujian ketahanan penyakit hawar pelepah
tidak cukup hanya dengan penggunaan varietas tahan. Yellareddygari et al.,
2014 mengemukakan bahwa faktor lingkungan menjadi hal utama yang harus
diperhatikan dalam pengujian ketahanan varietas padi terhadap penyakit hawar
pelepah.

KESIMPULAN
Metode inokulasi yang paling efektif untuk skrining ketahanan varietas padi
terhadap penyakit hawar pelepah adalah menggunakan media sekam dedak.
Media sekam dedak mengandung miselium aktif yang dapat menginfeksi varietas
padi dengan cepat sehingga memberikan hasil yang lebih akurat dan stabil.

DAFTAR PUSTAKA
Ghosh,S., P. Kanwar, and G. Jha. 2017. Alteration in rice chloroplast integrity,
photosynthesis and metabolome associated with pathogenesis of
Rhizoctinia solani. Scientific Reports 7(41610): 1-12.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 305


Gomez, K. A., and Arturo, A. G., 1984. Prosedur Statistik untuk Penelitian
Pertanian. Jakarta. UI Press.
Han, Y.P., Xing Y.Z., Gu S.L., Chen Z.X., Pan X.B. and Chen X. L. 2003.
Effect of morphological traits on sheath blight resistance in rice. Acta
Botanica Sinica 45(7): 825-831.
International Rice Research Institute. 2014. Standard Evaluation System. IRRI.
Los Banos. Philippines.
Irawati, A. F. C., and S. Hartati. 2011. Seleksi ketahanan beberapa varietas
padi (Oryza sativa) terhadap patogen penyebab penyakit hawar pelepah
daun (Rhizoctonia solani). Buletin Pertanian Perkotaan 1(1): 27-36.
Jia, L., W. Yan, C. Zhu, H. A. Agrama, A. Jackson, K. Yeater, X. Li, B. Huang,
B. Hu, A. McClung, and D. Wu. 2007. Allelic analysis of sheath blight
resistance with association mapping in rice. Plos One 7(3): 1-10.
Liu, G., Y. Jia, F. J. Correa-Victoria, G. A. Prado, K. M. Yeater, A. McClung,
and J. C. Correll. 2009. Phytopatology 99(9): 1078-1084.
Moldenhauer, K. and N. Slaton. Rice growth and development.
www.agri.971.yolasite.com/resources/RICE%20GROWTH.pdf.
Diakses 14 September 2018.
Molina, L. M. R., E. C. Mesa, D. A. D. S. Pereira, M. D. R. S. Herrera, and P.
C. Ceresini. 2016. Rhizoctonia solani AG-1 IA infects both rice and
signalgrass in the colomian llanos. Presq. Agropec. Trop 46(1): 65-71.
Muslim A., R. Permatasari, and A. Mazid. 2012. Ketahanan beberapa varietas
padi rawa lebak terhadap penyakit hawar upih yang disebabkan oleh
Rhizoctonia solani. Jurnal Lahan Suboptimal 1(2): 163-169.
Nagaraj B. T., G. Sunkad, D. Pramesh, M. K. Naik, and M. B. Patil. 2017.
Host range of rice sheath blight fungus Rhizoctonia solani (Kuhn). Int.
J. Curr. Microbiol. App. Sci 6(11): 3856-3864.
Nuryanto, B. 2017. Penyakit hawar pelepah (Rhizoctonia solani) pada padi dan
tatik pengelolaannya. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 21(2):
63-71.
Nuryanto, B. 2018. Pengendalian penyakit tanaman padi berwawasan lingkungan
melalui pengelolaan komponen epidemik. Jurnal Litbang Pertanian
37(1): 1-12.
Nuryanto, B., A. Priyatmojo, B. Hadisutrisno, and B. H. Sunarminto. 2011.
Perkembangan penyakit hawar upih padi (Rhizoctonia solani Kuhn.) di

306 Milati dan Nuryanto: Kajian Metode Inokulasi Penyakit Hawar Pelepah.....
sentra-sentra penghasil padi jawa tengah dan daerah istimewa yogyakarta.
Jurnal Budidaya Pertanian 7(1): 1-7.
Nuryanto, B.. A. Priyatmojo., B. Hadisutrisno, and B.H. Sunarminto. 2010.
Hubungan antara inokulum awal patogen dengan perkembangan penyakit
hawar upih pada padi varietas ciherang. Jurnal Perlindungan Tanaman
Indonesia 16(2): 55-61.
Ou, S. H. 1985. Rice Disease. Commonwealth Mycological Institute. Cambrian
News. Great Britain.
Park, D. S., R. J. Sayler, Y. G. Hong, M. Han, and Y. Yang. 2008. A method for
inoculation and evaluation of rice sheath blight disease. Plant Dis. 92: 25-
29.
Richa, K., I. M. Tiwari, M. Kumari, B. N. Devanna, H. Sonah, A. Kumari, R.
Nagar, V. Sharma, J. R. Botella, and T. R. Sharma. 2016. Functional
characterization of novel chitinase genes present in the sheath blight
resistance QTL: qSBR11-1 in rice line tetep. Frontiers in Plant Science
7(244): 1-10.
Richa, K., I.M. Tiwari, M. Kumari, B.N. Devanna, H. Sonah, A.Kumari, R.
Nagar, V. Sharma, J.R. Botella, and T.R. Sharma. 2016. Functional
characterization of novel chitinase genes present in the sheath blight
resistance QTL: qSBR11-1 in rice line Tetep. Frontiers in Plant Science
7(244): 1-10.
Rodrigues, F. A., F. X. R. Vale, L. E. Datnoff, A. S. Prhabu, and G. H. Kordofer.
2003. Effect of rice growth stage and silicon on sheath blight development.
Phytopatology 93(3): 256-261.
Scholten, O. E, L. W. Panella., T. S. M. De Bock., and W. Lange. 2001. A
green house test for screening sugar beet (Beta vulgaris) for resistance
to Rhizoctonia solani. European Journal of Plant Pathology 107:
161-166.
Shiobara, F. T., H. Ozaki, H. Sato, H. Maeda, Y. Kojima, T. Ebitani, and M.
Yano. 2013. Mapping and validation of QTLs fr rice sheath blight
resistance. Breeding Science 63: 301-308.
Sooenartiningsih, M. Akil, and N. N. Andayani. 2015. Cendawan tular tanah
(Rhizoctonia solani) penyebab penyakit busuk pelepah pada tanaman
jagung dan sorgum dengan komponen pengendaliannya. IPTEK Tanaman
Pangan 10(2): 85-91.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 307


Sumartini. 2012. Penyakit tular tanah (Sclerotium rolfsii dan Rhizoctonia
solani) pada tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian serta cara
pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian 31(1): 27-34.
Turaidar, V., M. Reddy, R. Anantapur, K. N. Krupa, N. Dalawati, C. A. Deepak,
and K. M. H. Kumar. 2018. Rice sheath blight: major disease in rice. Int.
J. Curr. Microbiol. App. Sci 7: 976-988.
Wahab, M. I., Satoto, R. Rachmad, A. Guswara, and Suharna. 2017. Deskripsi
Varietas Unggul Baru Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Subang. Jawa Barat.
Wisser, R. J., Q. Sun, S. H. Hulbert, S. Kresovich, and R. J. Nelson. 2005.
Identification and characterization of regions of the rice ggenome
associated with broad-spectrum, quantitative disease resistance. Genetics
169: 2277-2293.
Yellareddygari S. K. R., M. S. Reddy, J. W. Kloepper, K. S. Lawrence, and H.
Fadamiro. 2014. Rice sheath blight: a review of disease and pathogen
management approaches. J. Plant. Pathol. Microb 5: 241.
Zuo, S. M., Y. J. Zhu, Y. J. Yin, H. Wang, Y. F. Zhang, Z. X. Chen, S. L. Gu, and
X. B. Pan. 2014. Comparison and confirmation of quantitative trait loci
conferring partial resistance to rice sheath blight on chromosome 9. Plant
Disease 98 (7):957-964.

308 Milati dan Nuryanto: Kajian Metode Inokulasi Penyakit Hawar Pelepah.....
Ketahanan Galur-Galur Padi Tadah Hujan terhadap
Wereng Coklat Biotipe 1
Dede Munawar, Rahmini, dan Untung Susanto
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Jl. Raya No. 9 Sukamandi Subang Jawa Barat 41256
Email: munawardede77@gmail.com

ABSTRAK
Uji massal ketahanan galur padi tadah hujan terhadap wereng coklat
biotipe 1 dilakukan dirumah kaca BB Padi pada tahun 2017. Galur
yang diuji terhadap wereng coklat biotipe 1 sebanyak 588. Untuk
mendapatkan nimfa wereng yang seragam, maka 25 pasang imago
wereng coklat dimasukkan pada satu rumpun padi dalam suatu
kurungan dengan waktu pemaparan selama 1-2 malam, setelah itu
wereng induknya diambil lagi, dan telur didalam tanaman dipelihara
sampai instar 2-3. Instar inilah yang akan dipakai untuk diinfestasikan
pada tanaman yang akan diuji. Dengan 3 varietas differensial TN1,
Rathu Heenati, PTB33, disemaikan dalam box berukuran 200 x 75 x
20 cm yang berisi tanah dari Lembang Jawa Barat. Tanah dalam
boks dibagi tiga sehingga setiap bagian ada 20cm. Tiap-tiap galur
disemaikan sebanyak 25 biji pada alur sepanjang 20cm. Dibaris pinggir
ditempatkan varietas TN1 yang rentan, Varietas diferensial yang tahan
ditempatkan dibaris tengah sebagai fokus tekanan wereng coklat.
Lima hari setelah semai diadakan penjarangan dengan disisakan 20
tanaman setiap galur/varietas. Bibit padi tersebut diinfestasi dengan
8 ekor wereng coklat instar 2-3. Perhitungan atau skoring kerusakan
dilakukan pada 7-10 hari setelah infestasi, sebab pada saat ini 90%
varietas cek rentan TN1 mati. Skor berdasarkan Standard Evaluation
System for Rice (2014) dari IRRI. Hasil pengujian menunjukan bahwa
dari 588 galur tadah hujan yang diuji ketahanannya terhadap wereng
coklat biotipe 1 menunjukan reaksi tahan sampai dengan sangat
rentan. Galur yang menunjukan skor 1 (tahan) sebanyak 16 galur (2,
72%), galur skor 3 (AT, agak tahan) sebanyak 309 galur (52, 04%),
galur skor 5 (AR, agak rentan) sebanyak 190 galur atau (32, 31%,
galur skor 7 R (rentan) sebanyak 68 galur (11, 56%, galur skor 9 (SR,
sangat rentan) 1 galur 0, 17%, dari 588 galur yang di uji, galur yang
tidak tumbuh sebanyak 3 galur.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 309


PENDAHULUAN
Wereng coklat saat ini merupakan hama wereng coklat global (The very
importance pest global = VIPG). banyak menyerang pertanaman padi di China,
Vietnam, Thailand, India, Pakistan, Malaysia, Filipina, Jepang, bahkan Korea
(Baehaki, 2010).
Pada kurun waktu 10 tahun terakhir, luas serangan wereng coklat di negara-
negara Asia Tenggara dan China berbeda satu sama lainnya. Di Indonesia
serangan wereng coklat tertinggi dicapai pada tahun 1998 seluas 120 000 ha,
kemudian menurun pada tahun 1999 sampai 2004 dan naik lagi seluas 50 000 ha
pada tahun 2005, sedangkan pada kurun waktu 2006-2008 luas serangannya
turun lagi. Di Negara China serangan wereng coklat terus berlangsung sejak
1998-2008, bahkan pada tahun 2006 dan 2007 luas serangannya mencapai 9
dan 8 juta ha. Pada tahun 2005, kehilangan hasil padi di China akibat serangan
wereng mencapai 2 770 000 tons. Di Vietnam serangan wereng coklat terus
berlangsung sejak 1998-2008 dan pada tahun 2007 serangannya mencapai 500
000 ha. Pada tahun 2006, kehilangan hasil padi di Vietnam akibat serangan
wereng mencapai 400 000 ton (Catindig et al., 2008).

BAHAN DAN METODE


Waktu dan Tempat Penelitian
Uji ketahanan galur padi tadah hujan terhadap wereng coklat biotipe 1 dilakukan
di rumah kasa Balai Besar Penelitian Tanaman Padi di Sukamandi pada MT
2017.
Perbanyakan wereng coklat
Untuk mendapatkan nimfa wereng coklat yang seragam, 25 pasang imago
wereng coklat dimasukkan pada satu rumpun padi dalam suatu kurungan dengan
waktu pemaparan selama 1-2 malam. Setelah itu wereng induknya diambil lagi,
dan telur yang diletakkan di dalam tanaman dipelihara sampai menetas menjadi
instar 2-3. Instar inilah yang dipakai untuk diinfestasikan pada tanaman yang
diuji.
Pelaksanaan pengujian
Sebanyak 588 galur tadah hujan dan 3 varietas differensial TN1, Rathu Heenati,
PTB33, disemaikan dalam box berukuran 200 x 75 x 20 cm yang berisi tanah
dari Lembang. Tanah dalam box dibagi tiga sehingga setiap bagian ada 20 cm.

310 Munawar et al.: Ketahanan Galur-Galur Padi Tadah Hujan.....


Tabel 1. Skoring ketahanan padi terhadap wereng coklat

Skor Gejala

0 Tidak ada kerusakan


1 Kerusakan ujung daun pertama sangat sedikit kurang dari 10%
3 Kebanyakan daun pertama dan kedua dari tanaman uji pada satu
aksesi menguning sebagian.
5 Tanaman menguning dan kerdil atau sekitar 10-25% tanaman layu.
7 Lebih dari setengah tanaman layu atau mati dan tanaman yang sisa
sangat kerdil atau mengering
9 Semua tanaman mati

Keterangan: Modus skor: 0=Sangat tahan (ST), 1 = Tahan (T),


3 = agak tahan (AT), 5 = Agak Rentan (AR), 7 = Rentan (R),
9 = Sangat Rentan (SR)

Tiap-tiap galur disemaikan sebanyak 25 biji pada alur sepanjang 20 cm. Dibaris
pinggir ditempatkan varietas TN1 yang rentan. Varietas diferensial yang tahan
ditempatkan dibaris tengah sebagai fokus tekanan seleksi terhadap wereng
coklat. Di lain pihak galur dan varietas lain ditempatkan acak diantara varietas
rentan.
Lima hari setelah semai diadakan penjarangan dengan disisakan 20 batang
setiap galur/varietas. Kemudian bibit tersebut diinfestasi dengan wereng biotipe
1 secara merata dan tiap-tiap batang diinfestasi dengan 8 ekor nimfa. Jumlah
nimfa yang diinfestasikan tergantung dari banyaknya galur yang diuji dan
banyaknya batang padi/bibit. Perhitungan atau skoring kerusakan dilakukan pada
7-10 hari setelah infestasi, atau pada saat 90% varietas cek rentan TN1 mati.
Skoring ditentukan berdasarkan Standard Evaluation System for Rice (2014)
dari IRRI sebagai berikut (Tabel 1).
Skrining massal galur tadah hujan terhadap wereng coklat biotipe 1 dilakukan
tanpa ulangan. Ketahanan galur padi terhadap wereng coklat ditentukan
berdasarkan hasil pengamatan atau skoring. Skor berada pada nilai 0=Sangat
tahan dengan kode ST, nilai 1 = Tahan dengan kode T, nilai 3 = agak tahan kode
AT, nilai 5 = Agak Rentan dengan kode AR, nilai 7 = Rentan dengan kode R,
dan nilai 9 = Sangat Rentan dengan kode SR.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 311


HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari 588 galur tadah hujan yang diuji ketahanannya terhadap wereng coklat
biotipe 1menunjukan reaksi tahan sampai dengan sangat rentan. Galur yang
menunjukan skor 1 (Tahan) sebanyak 16 galur (2, 72%), dan galur dengan skor
3 (AT Agak Tahan) sebanyak 309 galur (52, 04%), galur dengan skor 5 (AR
Aga Rentan) diperoleh sebanyak 190 galur atau (32, 31%), galur dengan skor 7
(R Rentan) sebanyak 68 galur (11, 56%), dan galur dengan skor 9 (SR Sangat
Rentan) sebanyak 1 galur atau (0, 17%), dan dari 588 galur yang di uji tidak
tumbuh sebanyak 3 galur.

Tabel 2. Galur-galur padi tadah hujan dengan respon Tahan (T) Sukamandi, 2017.

No. galur Galur/varietas Skor akhir Kriteria

12 BP18354-1-1-JK-1-IND-1-SKI-4-PWK-1-SKI-1-0 1 T
13 BP18354-2-3-JK-1-IND-1-SKI-2-PWK-2-SKI-3-0 1 T
14 BP18354-2-3-JK-1-IND-1-SKI-6-PWK-3-SKI-1-2 1 T
15 BP18354-2-3-JK-1-IND-1-SKI-6-PWK-3-SKI-1-1 1 T
16 BP18354-2-3-JK-1-IND-1-SKI-2-PWK-2-SKI-3-0 1 T
33 BP17580-2-0-JK-0-IND-2-SKI-1-PWK-1-SKI-1-2 1 T
63 BP17298M-14-1-4 1 T
105 PR40781b-3-4-SBY-0-CRB-1-SKI-1-2-PWK-3-SKI-1-1 1 T
106 PR40781b-3-4-SBY-0-CRB-1-SKI-1-7-PWK-1-SKI-2-1 1 T
107 PR40781b-3-4-SBY-0-CRB-1-SKI-1-7-PWK-2-SKI-5-1 1 T
110 PR40781b-3-4-SBY-0-CRB-1-SKI-1-7-PWK-3-SKI-4-1 1 T
111 PR40781b-3-4-SBY-0-CRB-2-SKI-0-3-PWK-3-SKI-5-1 1 T
115 BP29312-1-CRB-0-SKI-0-7-PWK-2-SKI-2-2 1 T
164 BP29312-1-CRB-0-SKI-0-7-PWK-2-SKI-3-2 1 T
165 BP29312-1-CRB-0-SKI-0-7-PWK-2-SKI-3-1 1 T
166 PR40781b-3-4-SBY-0-CRB-1-SKI-1-2-PWK-3-SKI-1-1 1 T

Keterangan: T = Tahan

312 Munawar et al.: Ketahanan Galur-Galur Padi Tadah Hujan.....


KESIMPULAN
Hasil skrining massal galur tadah hujan terhadap wereng coklat biotipe 1 dari
588 galur yang diuji diperoleh 16 galur padi bereaksi tahan (skor 1) 309 galur
padi bereaksi Agak Tahan (skor 3), 190 galur padi bereaksi Agak Rentan, 68
galur bereaksi Rentan, dan 1 galur bereaksi Sangat Rentan

DAFTAR PUSTAKA
Abadi, A. Latief. 2003. Ilmu Peyakit Tumbuhan. Bayumedia Publishing, Malang.
Baehaki, B.E, A. Kartohardjono, D. Munawar. 2011. Peran Varietas Tahan
dalam Menurunkan Populasi Wereng Coklat Biotipe 4 pada Tanaman
Padi. Penelitian Pertanian. Puslitbangtan, Badan Litbang Pertanian. Vol30,
No.3, 145-153p
Baehaki, B.E. 2010. Ledakan wereng coklat dan virus kerdil mengancam
peningkatan produksi padi nasional. Disampaikan pada Peringatan Ulang
Tahun Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) Ke-40 Tahun 2010.
Yogyakarta, 1-2 Oktober 2010
Baehaki, B.E. 2012. Perkembangan Biotipe Hama Wereng Coklat pada
Tanaman Padi. IPTEK Tanaman Pangan Vol. 7 No. 1 2012. Puslitbangtan.
Badan Litbang, p8-17.
Catindig, J.L.A, G.S. Arida, S.E. Baehaki, J.S. Bentur, L.Q. Cuong, M. Norowi,
W. Rattanakarn, W. Sriratanasak, J. Xia, and Z. Lu. 2008. Situation of
Planthoppers in Asia. International Conference on Planthopper-New
Threat to the Sustainability on Intensive Rice Production System in Asia.
Held at IRRI in 23-25 Juni 2008. 37p
Cheng. J. 2008. New Development of Rice Planthopper Problems and Relevant
Causes in China Institute of Insect Sciences Zhejiang University,
Hangzhou, China. International Conference on Planthopper-New Threat
to the Sustainability on Intensive Rice Production System in Asia. Held
at IRRI in 23-25 Juni 2008.
IRRI, 2014. Standard Evaluation System For Rice . IRRI. Manila, Philippines.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 313


Lampiran

No Galur/varietas Ulangan 1 Skor akhir Kriteria

1 BP29308-1-CRB-0-SKI-0-8-PWK-1-SKI-1-1 TT TT TT
2 BP18322-3-2-JK-0-IND-1-SKI-5-PWK-3-SKI-4-5 5 5 AR
3 BP18322-3-2-JK-0-IND-1-SKI-6-PWK-3-SKI-4-2 5 5 AR
4 BP18322-3-2-JK-0-IND-1-SKI-7-PWK-1-SKI-2-1 5 5 AR
5 BP18322-3-2-JK-0-IND-1-SKI-7-PWK-1-SKI-2-2 5 5 AR
6 BP18322-3-2-JK-0-IND-1-SKI-7-PWK-1-SKI-4-1 3 3 AT
7 BP18322-3-2-JK-0-IND-1-SKI-7-PWK-1-SKI-4-2 3 3 AT
8 BP18322-3-2-JK-0-IND-1-SKI-7-PWK-1-SKI-4-3 3 3 AT
9 BP18322-3-2-JK-0-IND-1-SKI-10-PWK-3-SKI-4-1 5 5 AR
10 BP18322-3-2-JK-0-IND-2-SKI-1-PWK-3-SKI-1-1 3 3 AT
11 BP18322-3-2-JK-0-IND-2-SKI-1-PWK-3-SKI-1-2 3 3 AT
12 BP18354-1-1-JK-1-IND-1-SKI-4-PWK-1-SKI-1-0 1 1 T
13 BP18354-2-3-JK-1-IND-1-SKI-2-PWK-2-SKI-3-0 1 1 T
14 BP18354-2-3-JK-1-IND-1-SKI-2-PWK-2-SKI-3-0 1 1 T
15 BP18354-2-3-JK-1-IND-1-SKI-6-PWK-3-SKI-1-1 1 1 T
16 BP18354-2-3-JK-1-IND-1-SKI-6-PWK-3-SKI-1-2 1 1 T
17 BP18358-1-3-JK-2-IND-3-SKI-6-PWK-1-SKI-1-1 3 3 AT
18 BP18360-1-3-JK-3-IND-1-SKI-3-PWK-1-SKI-1-0 3 3 AT
19 BP18360-1-3-JK-3-IND-1-SKI-3-PWK-1-SKI-2-0 3 3 AT
20 BP18360-1-3-JK-3-IND-1-SKI-3-PWK-1-SKI-3-0 3 3 AT
21 BP18360-1-3-JK-3-IND-1-SKI-3-PWK-2-SKI-1-0 3 3 AT
22 BP18360-1-3-JK-3-IND-1-SKI-3-PWK-2-SKI-4-0 5 5 AR
23 BP18360-1-3-JK-3-IND-1-SKI-3-PWK-2-SKI-5-0 3 3 AT
24 BP18360-1-3-JK-3-IND-1-SKI-3-PWK-3-SKI-1-0 3 3 AT
25 BP18360-1-3-JK-3-IND-1-SKI-3-PWK-3-SKI-3-2 3 3 AT
26 BP18360-1-3-JK-3-IND-1-SKI-3-PWK-3-SKI-3-3 3 3 AT
27 BP18360-1-3-JK-3-IND-1-SKI-3-PWK-3-SKI-5-0 3 3 AT
28 BP18360-2-1-JK-3-IND-1-SKI-8-PWK-3-SKI-5-3 3 3 AT
29 BP18360-2-3-JK-1-IND-1-SKI-7-PWK-3-SKI-1-1 5 5 AR
30 BP18360-2-3-JK-1-IND-1-SKI-7-PWK-3-SKI-1-2 3 3 AT
31 BP18360-3-2-JK-2-IND-2-SKI-3-PWK-3-SKI-1-2 3 3 AT
32 BP18360-3-2-JK-2-IND-2-SKI-6-PWK-2-SKI-1-2 3 3 AT
33 BP17580-2-0-JK-0-IND-2-SKI-1-PWK-1-SKI-1-2 1 1 T
34 BP17586-2-0-JK-3-IND-1-SKI-9-PWK-3-SKI-1-2 3 3 AT
35 BP17586-2-0-JK-3-IND-1-SKI-10-PWK-3-SKI-1-1 3 3 AT
36 BP17586-2-0-JK-3-IND-1-SKI-10-PWK-3-SKI-1-2 3 3 AT
37 BP18406c-JK-1-IND-0-SKI-4-PWK-3-SKI-4-1 5 5 AR
38 BP18322-1-3-JK-2-IND-0-SKI-6-PWK-1-SKI-1-1 5 5 AR
39 BP18322-3-2-JK-0-IND-2-SKI-10-PWK-2-SKI-1-1 3 3 AT
40 BP18354-1-2-JK-3-IND-1-SKI-3-PWK-2-SKI-1-0 5 5 AR
41 BP18356-3-1-JK-1-IND-1-SKI-2-PWK-3-SKI-5 5 5 AR
42 BP18360-2-3-JK-1-IND-1-SKI-4-PWK-1-SKI-1 5 5 AR
43 BP29790d-PWK-2-SKI-1-1 5 5 AR
44 BP29790d-PWK-2-SKI-1-12 5 5 AR
45 BP29790d-PWK-2-SKI-1-13 3 3 AT
46 BP29790d-PWK-2-SKI-1-14 3 3 AT
47 BP29790d-PWK-2-SKI-2-4 3 3 AT

314 Munawar et al.: Ketahanan Galur-Galur Padi Tadah Hujan.....


Lampiran (Lanjutan)

No Galur/varietas Ulangan 1 Skor akhir Kriteria

48 BP29790d-PWK-2-SKI-2-11 5 5 AR
49 BP29790d-PWK-2-SKI-2-12 5 5 AR
50 BP29790d-PWK-2-SKI-3-2 7 7 R
51 BP29790d-PWK-2-SKI-3-6 7 7 R
52 BP29790d-PWK-2-SKI-3-14 7 7 R
53 BP29793d-PWK-1-SKI-1-3 5 5 AR
54 CT 18491-7-3-1-4-1P-JK-0-SKI-1-1 3 3 AT
55 IR 55423-01 (NSIC RC9)-JK-0-SKI-1-1 5 5 AR
56 IR 04A117-JK-0-SKI-1-1 5 5 AR
57 IR 04A117-JK-0-SKI-1-2 3 3 AT
58 IR 04A117-JK-0-SKI-1-5 3 3 AT
59 BP17280M-50-2-3 3 3 AT
60 BP17298M-12-1-1 3 3 AT
61 BP17298M-14-1-2 3 3 AT
62 BP17298M-14-1-3 3 3 AT
63 BP17298M-14-1-4 1 1 T
64 BP17280M-15-1-2 3 3 AT
65 BP17280M-15-1-4 5 5 AR
66 BP17280M-15-2-5 5 5 AR
67 BP17280M-15-3-2 5 5 AR
68 BP17280M-15-3-3 3 3 AT
69 BP 30928-5-2-0-5 3 3 AT
70 BP29793d-WBC1-SKI-1-1 5 5 AR
71 BP29793d-WBC1-SKI-1-2 5 5 AR
72 BP29793d-WBC1-SKI-1-3 5 5 AR
73 BP29793d-WBC1-SKI-1-4 5 5 AR
74 BP29793d-WBC1-SKI-1-5 5 5 AR
75 BP19016b-JK-1-IND-1-SKI-0-WBC1-SKI-1-1 5 5 AR
76 BP19016b-JK-1-IND-1-SKI-0-WBC1-SKI-1-2 5 5 AR
77 BP19016b-JK-1-IND-1-SKI-0-WBC1-SKI-1-3 5 5 AR
78 BP19016b-JK-1-IND-1-SKI-0-WBC1-SKI-1-4 5 5 AR
79 BP19016b-JK-1-IND-1-SKI-0-WBC1-SKI-1-5 3 3 AT
80 BP19016b-JK-1-IND-1-SKI-0-WBC1-SKI-1-6 3 3 AT
81 BP19016b-JK-1-IND-1-SKI-0-WBC1-SKI-1-7 5 5 AR
82 BP19016b-JK-1-IND-1-SKI-0-WBC1-SKI-1-8 3 3 AT
83 BP19016b-JK-1-IND-1-SKI-0-WBC1-SKI-1-9 3 3 AT
84 BP19016b-JK-1-IND-1-SKI-0-WBC1-SKI-1-10 3 3 AT
85 SR34131(96)-1-1-1-7 5 5 AR
86 SR34131(96)-1-1-1-8 5 5 AR
87 SR34132(17)-1-1-1-1 5 5 AR
88 SR34132(17)-1-1-1-2 5 5 AR
89 SR34132(17)-1-1-1-6 5 5 AR
90 SR34132(17)-1-1-1-7 5 5 AR
91 SR34132(17)-1-1-1-8 5 5 AR
92 IR 77382-4-1-23-1-2-B-B-0-IND-0-SKI-2-PWK-2-SKI-1-1 3 3 AT
93 PR40780b-6-5-SBY-0-CRB-1-SKI-2-6-PWK-1-SKI-1-1 3 3 AT
94 PR40780b-6-5-SBY-0-CRB-1-SKI-2-6-PWK-1-SKI-3-1 3 3 AT

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 315


Lampiran (Lanjutan)

No Galur/varietas Ulangan 1 Skor akhir Kriteria

95 PR40780b-6-5-SBY-0-CRB-1-SKI-2-6-PWK-1-SKI-3-2 3 3 AT
96 PR40780b-6-5-SBY-0-CRB-1-SKI-2-8-PWK-3-SKI-3-1 3 3 AT
97 PR40780b-6-5-SBY-0-CRB-1-SKI-2-8-PWK-3-SKI-3-2 3 3 AT
98 PR40780b-6-5-SBY-0-CRB-2-SKI-2-6-PWK-3-SKI-1-1 3 3 AT
99 PR40780b-6-5-SBY-0-CRB-2-SKI-2-6-PWK-3-SKI-3-1 3 3 AT
100 PR40780b-6-5-SBY-0-CRB-2-SKI-2-6-PWK-3-SKI-4-1 3 3 AT
101 PR40780b-6-5-SBY-0-CRB-2-SKI-2-7-PWK-2-SKI-1-1 TT TT TT
102 PR40780b-6-5-SBY-0-CRB-2-SKI-2-7-PWK-2-SKI-3-1 3 3 AT
103 PR40780b-6-5-SBY-0-CRB-3-SKI-1-7-PWK-3-SKI-3-1 3 3 AT
104 PR40780b-6-5-SBY-0-CRB-3-SKI-1-7-PWK-3-SKI-5-1 3 3 AT
105 PR40780b-6-5-SBY-0-CRB-3-SKI-1-8-PWK-1-SKI-2-1 1 1 T
106 PR40781b-3-4-SBY-0-CRB-1-SKI-1-2-PWK-3-SKI-1-1 1 1 T
107 PR40781b-3-4-SBY-0-CRB-1-SKI-1-7-PWK-1-SKI-2-1 1 1 T
108 PR40781b-3-4-SBY-0-CRB-1-SKI-1-7-PWK-1-SKI-4-1 3 3 AT
109 PR40781b-3-4-SBY-0-CRB-1-SKI-1-7-PWK-1-SKI-5-1 3 3 AT
110 PR40781b-3-4-SBY-0-CRB-1-SKI-1-7-PWK-2-SKI-5-1 1 1 T
111 PR40781b-3-4-SBY-0-CRB-1-SKI-1-7-PWK-3-SKI-4-1 1 1 T
112 PR40781b-3-4-SBY-0-CRB-2-SKI-0-3-PWK-3-SKI-3-1 3 3 AT
113 PR40781b-3-4-SBY-0-CRB-2-SKI-0-3-PWK-3-SKI-3-2 3 3 AT
114 PR40781b-3-4-SBY-0-CRB-2-SKI-0-3-PWK-3-SKI-4-1 TA TA TA
115 PR40781b-3-4-SBY-0-CRB-2-SKI-0-3-PWK-3-SKI-5-1 1 1 T
116 PR40781b-3-4-SBY-0-CRB-3-SKI-1-9-PWK-1-SKI-4-1 3 3 AT
117 PR40781b-3-5-SBY-0-CRB-1-SKI-2-5-PWK-1-SKI-1-1 3 3 AT
118 PR40781b-3-5-SBY-0-CRB-1-SKI-2-5-PWK-2-SKI-4-1 3 3 AT
119 PR40781b-3-5-SBY-0-CRB-1-SKI-2-6-PWK-1-SKI-5-1 3 3 AT
120 PR40781b-3-5-SBY-0-CRB-3-SKI-1-5-PWK-3-SKI-5-1 3 3 AT
121 PR40781b-3-5-SBY-0-CRB-3-SKI-1-5-PWK-3-SKI-5-2 5 5 AR
122 PR40781b-3-5-SBY-0-CRB-3-SKI-1-6-PWK-1-SKI-1-0 5 5 AR
123 PR40781b-3-5-SBY-0-CRB-3-SKI-1-6-PWK-1-SKI-4-0 5 5 AR
124 PR40781b-3-5-SBY-0-CRB-3-SKI-1-6-PWK-2-SKI-1-0 5 5 AR
125 PR40781b-3-5-SBY-0-CRB-3-SKI-1-8-PWK-2-SKI-4-2 5 5 AR
126 PR40781b-5-3-SBY-0-CRB-1-SKI-1-2-PWK-1-SKI-4-0 3 3 AT
127 PR40781b-5-3-SBY-0-CRB-1-SKI-1-2-PWK-1-SKI-5-0 5 5 AR
128 PR40781b-5-3-SBY-0-CRB-1-SKI-1-5-PWK-1-SKI-1-1 3 3 AT
129 PR40781b-5-3-SBY-0-CRB-1-SKI-1-5-PWK-1-SKI-3-0 3 3 AT
130 PR40781b-5-3-SBY-0-CRB-1-SKI-1-5-PWK-2-SKI-3-0 3 3 AT
131 PR40781b-5-3-SBY-0-CRB-1-SKI-1-5-PWK-3-SKI-5-0 3 3 AT
132 PR40781b-9-5-SBY-0-CRB-1-SKI-1-1-PWK-3-SKI-1-0 5 5 AR
133 BP18360-4-3-JK-1-IND-1-SKI-10-PWK-2-SKI-1-0 5 5 AR
134 BP18358-2-1-JK-1-IND-2-SKI-4-PWK-2-SKI-1-1 3 3 AT
135 BP17606d-IND-1-SKI-2-PWK-1-SKI-1-1 3 3 AT
136 BP17226c-SKI-3-IND-0-SKI-3-PWK-1-SKI-1-0 3 3 AT
137 BP17226c-SKI-3-IND-0-SKI-3-PWK-1-SKI-2-0 3 3 AT
138 BP17226c-SKI-3-IND-0-SKI-3-PWK-1-SKI-3-0 3 3 AT
139 BP17226c-SKI-3-IND-0-SKI-3-PWK-1-SKI-5-1 3 3 AT
140 BP17226c-SKI-3-IND-0-SKI-3-PWK-3-SKI-1-1 5 5 AR
141 BP17226c-SKI-3-IND-0-SKI-3-PWK-3-SKI-4-1 5 5 AR

316 Munawar et al.: Ketahanan Galur-Galur Padi Tadah Hujan.....


Lampiran (Lanjutan)

No Galur/varietas Ulangan 1 Skor akhir Kriteria

142 BP17226c-SKI-3-IND-0-SKI-8-PWK-2-SKI-1-1 5 5 AR
143 BP17226c-SKI-3-IND-0-SKI-8-PWK-2-SKI-1-2 7 7 R
144 BP17226c-SKI-3-IND-0-SKI-8-PWK-3-SKI-3-1 7 7 R
145 BP17226c-SKI-3-IND-0-SKI-8-PWK-3-SKI-4-0 7 7 R
146 BP17226c-SKI-3-IND-0-SKI-8-PWK-3-SKI-5-0 7 7 R
147 BP17228c-SKI-2-IND-0-SKI-2-PWK-1-SKI-5-1 7 7 R
148 BP17228c-SKI-2-IND-0-SKI-2-PWK-3-SKI-3-0 7 7 R
149 BP17228c-SKI-2-IND-0-SKI-3-PWK-1-SKI-3-0 7 7 R
150 BP17228c-SKI-2-IND-0-SKI-4-PWK-1-SKI-1-1 7 7 R
151 BP17236c-SKI-1-IND-1-SKI-3-PWK-1-SKI-1-0 7 7 R
152 BP20104c-SKI-3-IND-2-SKI-6-PWK-2-SKI-2-0 7 7 R
153 BP20104c-SKI-3-IND-2-SKI-6-PWK-3-SKI-1-0 7 7 R
154 BP20098-5-SKI-2-IND-0-SKI-4-PWK-1-SKI-1-1 7 7 R
155 BP20098-5-SKI-2-IND-0-SKI-4-PWK-1-SKI-2-0 7 7 R
156 BP20098-5-SKI-2-IND-0-SKI-4-PWK-2-SKI-2-0 3 3 AT
157 BP20098-5-SKI-2-IND-0-SKI-4-PWK-3-SKI-1-0 7 7 R
158 BP20098-5-SKI-2-IND-0-SKI-4-PWK-3-SKI-2-0 5 5 AR
159 BP20098-5-SKI-2-IND-0-SKI-4-PWK-3-SKI-3-0 3 3 AT
160 BP17230c-SKI-1-IND-2-SKI-3-PWK-3-SKI-3-1 3 3 AT
161 BP20206-1-SBY-2-CRB-0-SKI-0-6-PWK-1-SKI-1-0 3 3 AT
162 BP20190-1-SBY-1-CRB-0-SKI-0-3-PWK-1-SKI-2-0 3 3 AT
163 BP29312-1-CRB-0-SKI-0-7-PWK-2-SKI-2-1 3 3 AT
164 BP29312-1-CRB-0-SKI-0-7-PWK-2-SKI-2-2 1 1 T
165 BP29312-1-CRB-0-SKI-0-7-PWK-2-SKI-3-1 1 1 T
166 BP29312-1-CRB-0-SKI-0-7-PWK-2-SKI-3-2 1 1 T
167 BP29312-1-CRB-0-SKI-0-8-PWK-1-SKI-2-1 3 3 AT
168 BP29312-1-CRB-0-SKI-0-8-PWK-1-SKI-3-2 3 3 AT
169 BP29337-2-CRB-0-SKI-0-7-PWK-1-SKI-3-1 3 3 AT
170 BP29337-2-CRB-0-SKI-0-7-PWK-1-SKI-3-3 3 3 AT
171 BP30074d-PWK-1-SKI-1-0 3 3 AT
172 HHZ 8-SAL6-SAL3-Y1-SKI-0-3-1-B-PWK-3-SKI-1-0 3 3 AT
173 HHZ 11-Y10-DT3-Y3-SKI-2-1-1-B-PWK-1-SKI-1-1 3 3 AT
174 HHZ 11-Y10-DT3-Y3-SKI-2-1-1-B-PWK-1-SKI-1-2 5 5 AR
175 HHZ 11-Y10-DT3-Y3-SKI-2-1-1-B-PWK-1-SKI-1-5 5 5 AR
176 HHZ 11-Y10-DT3-Y3-SKI-2-1-1-B-PWK-1-SKI-1-6 5 5 AR
177 HHZ 11-Y10-DT3-Y3-SKI-2-1-1-B-PWK-1-SKI-1-7 3 3 AT
178 HHZ 11-Y10-DT3-Y3-SKI-2-1-1-B-PWK-1-SKI-1-8 5 5 AR
179 HHZ 11-Y10-DT3-Y3-SKI-2-1-1-B-PWK-1-SKI-1-9 5 5 AR
180 HHZ 11-Y10-DT3-Y3-SKI-2-1-1-B-PWK-1-SKI-1-10 3 3 AT
181 BP20106c-SKI-1-2-7-1-PWK-2-SKI-1-1 3 3 AT
182 BP20106c-SKI-1-2-7-1-PWK-2-SKI-1-2 3 3 AT
183 BP20106c-SKI-1-2-7-1-PWK-2-SKI-1-4 3 3 AT
184 BP20106c-SKI-1-2-7-1-PWK-2-SKI-2-1 5 5 AR
185 BP20106c-SKI-1-2-7-1-PWK-2-SKI-2-2 5 5 AR
186 BP20106c-SKI-1-2-7-1-PWK-2-SKI-2-3 5 5 AR
187 BP20106c-SKI-1-2-7-1-PWK-3-SKI-2-1 3 3 AT
188 BP20106c-SKI-1-2-7-1-PWK-3-SKI-2-2 3 3 AT

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 317


Lampiran (Lanjutan)

No Galur/varietas Ulangan 1 Skor akhir Kriteria

189 BP20106c-SKI-1-2-7-1-PWK-3-SKI-2-3 3 3 AT
190 BP20106c-SKI-1-2-7-1-PWK-3-SKI-5-1 3 3 AT
191 BP20106c-SKI-1-2-7-1-PWK-3-SKI-5-2 5 5 AR
192 BP20106c-SKI-1-2-7-8-PWK-2-SKI-2-1 7 7 R
193 BP20106c-SKI-1-2-7-8-PWK-2-SKI-2-2 7 7 R
194 BP20106c-SKI-1-2-7-8-PWK-2-SKI-2-3 7 7 R
195 BP20106c-SKI-1-2-7-8-PWK-2-SKI-3-1 7 7 R
196 BP20106c-SKI-1-2-7-8-PWK-2-SKI-5-1 7 7 R
197 BP20106c-SKI-1-2-7-8-PWK-2-SKI-5-2 7 7 R
198 BP20106c-SKI-1-2-7-8-PWK-3-SKI-1-2 7 7 R
199 BP20106c-SKI-1-2-9-6-PWK-1-SKI-1-1 7 7 R
200 BP20106c-SKI-1-2-9-6-PWK-1-SKI-1-2 7 7 R
201 BP20106c-SKI-1-2-9-6-PWK-1-SKI-1-3 TT TT TT
202 BP20106c-SKI-1-2-9-6-PWK-1-SKI-3-1 7 7 R
203 BP20106c-SKI-1-2-9-6-PWK-1-SKI-3-2 7 7 R
204 BP20106c-SKI-1-2-9-6-PWK-1-SKI-3-3 7 7 R
205 BP20106c-SKI-1-2-9-6-PWK-1-SKI-4-1 7 7 R
206 BP20106c-SKI-1-2-9-6-PWK-1-SKI-4-2 7 7 R
207 BP20106c-SKI-1-2-9-6-PWK-1-SKI-4-3 7 7 R
208 BP20106c-SKI-1-2-9-6-PWK-3-SKI-1-1 5 5 AR
209 BP20106c-SKI-1-2-9-6-PWK-3-SKI-1-2 5 5 AR
210 BP20106c-SKI-1-2-9-6-PWK-3-SKI-1-3 5 5 AR
211 BP20106c-SKI-1-2-9-6-PWK-3-SKI-2-1 5 5 AR
212 BP20106c-SKI-1-2-9-6-PWK-3-SKI-2-2 5 5 AR
213 BP20106c-SKI-1-2-9-6-PWK-3-SKI-2-3 5 5 AR
214 BP20106c-SKI-1-2-9-6-PWK-3-SKI-3-1 5 5 AR
215 BP20106c-SKI-1-2-9-6-PWK-3-SKI-5-1 5 5 AR
216 BP20106c-SKI-1-2-9-6-PWK-3-SKI-5-2 5 5 AR
217 BP20106c-SKI-1-2-9-6-PWK-3-SKI-5-3 5 5 AR
218 BP20106c-SKI-2-1-5-2-PWK-2-SKI-1-2 5 5 AR
219 BP20106c-SKI-2-1-5-2-PWK-2-SKI-1-3 5 5 AR
220 BP20106c-SKI-2-1-5-2-PWK-2-SKI-3-1 5 5 AR
221 BP20106c-SKI-2-1-5-2-PWK-2-SKI-4-1 5 5 AR
222 BP20106c-SKI-2-1-5-2-PWK-2-SKI-5-1 5 5 AR
223 BP20106c-SKI-2-1-5-2-PWK-2-SKI-5-2 5 5 AR
224 BP20106c-SKI-2-1-5-2-PWK-2-SKI-5-3 5 5 AR
225 BP20106c-SKI-2-1-5-2-PWK-3-SKI-1-1 5 5 AR
226 BP20106c-SKI-2-1-5-2-PWK-3-SKI-1-2 5 5 AR
227 BP20106c-SKI-2-1-5-2-PWK-3-SKI-1-3 5 5 AR
228 BP20106c-SKI-2-1-9-4-PWK-1-SKI-1-1 5 5 AR
229 BP20106c-SKI-2-1-9-4-PWK-2-SKI-3-1 5 5 AR
230 BP20106c-SKI-2-1-9-4-PWK-2-SKI-3-2 5 5 AR
231 BP20106c-SKI-2-1-9-4-PWK-2-SKI-3-3 5 5 AR
232 BP20106c-SKI-2-1-9-4-PWK-2-SKI-4-1 5 5 AR
233 BP20106c-SKI-2-1-9-4-PWK-2-SKI-5-1 5 5 AR
234 BP20106c-SKI-2-1-9-4-PWK-3-SKI-2-2 7 7 R
235 BP20106c-SKI-2-1-9-4-PWK-3-SKI-2-3 5 5 AR

318 Munawar et al.: Ketahanan Galur-Galur Padi Tadah Hujan.....


Lampiran (Lanjutan)

No Galur/varietas Ulangan 1 Skor akhir Kriteria

236 BP20106c-SKI-2-1-9-4-PWK-3-SKI-3-2 5 5 AR
237 BP20106c-SKI-2-1-9-4-PWK-3-SKI-3-3 5 5 AR
238 BP20106c-SKI-2-1-9-4-PWK-3-SKI-4-1 5 5 AR
239 BP20106c-SKI-2-1-9-4-PWK-3-SKI-5-1 5 5 AR
240 BP20106c-SKI-2-1-9-4-PWK-3-SKI-5-2 7 7 R
241 BP20106c-SKI-2-1-9-4-PWK-3-SKI-5-3 7 7 R
242 BP17242c-SKI-1-3-2-5-PWK-1-SKI-1-1 7 7 R
243 BP17242c-SKI-1-3-2-5-PWK-1-SKI-1-2 7 7 R
244 BP17242c-SKI-1-3-2-5-PWK-1-SKI-1-3 5 5 AR
245 BP17242c-SKI-1-3-2-5-PWK-3-SKI-1-1 5 5 AR
246 BP17242c-SKI-1-3-2-5-PWK-3-SKI-1-2 7 7 R
247 BP20114c-SKI-1-1-1-2-PWK-1-SKI-1-1 7 7 R
248 BP20114c-SKI-1-1-1-2-PWK-1-SKI-1-2 5 5 AR
249 BP20114c-SKI-1-1-1-2-PWK-2-SKI-1-1 5 5 AR
250 BP20452e-PWK-0-SKI-1-2 5 5 AR
251 BP20452e-PWK-0-SKI-1-3 5 5 AR
252 BP20452e-PWK-0-SKI-1-5 5 5 AR
253 BP20452e-PWK-0-SKI-1-6 5 5 AR
254 BP20452e-PWK-0-SKI-1-7 5 5 AR
255 BP20452e-PWK-0-SKI-1-8 3 3 AT
256 BP20452e-PWK-0-SKI-1-9 3 3 AT
257 BP20452e-PWK-0-SKI-1-10 3 3 AT
258 BP20452e-PWK-0-SKI-1-11 3 3 AT
259 BP20452e-PWK-0-SKI-1-12 3 3 AT
260 BP20452e-PWK-0-SKI-1-13 3 3 AT
261 BP20452e-PWK-0-SKI-1-15 3 3 AT
262 BP20452e-PWK-0-SKI-2-4 3 3 AT
263 BP20452e-PWK-0-SKI-2-5 3 3 AT
264 BP20452e-PWK-0-SKI-2-6 3 3 AT
265 BP20452e-PWK-0-SKI-2-7 3 3 AT
266 BP20452e-PWK-0-SKI-2-8 3 3 AT
267 BP20452e-PWK-0-SKI-2-9 3 3 AT
268 BP20452e-PWK-0-SKI-2-10 3 3 AT
269 BP20452e-PWK-0-SKI-2-13 3 3 AT
270 BP20452e-PWK-0-SKI-3-6 3 3 AT
271 BP20452e-PWK-0-SKI-3-10 3 3 AT
272 BP20452e-PWK-0-SKI-3-11 3 3 AT
273 BP20452e-PWK-0-SKI-3-12 3 3 AT
274 BP20452e-PWK-0-SKI-3-13 3 3 AT
275 BP20452e-PWK-0-SKI-3-14 3 3 AT
276 BP29715d-PWK-2-SKI-2-2 3 3 AT
277 BP29715d-PWK-2-SKI-3-1 3 3 AT
278 BP29715d-PWK-2-SKI-3-2 5 5 AR
279 BP29720d-PWK-2-SKI-1-1 5 5 AR
280 BP29757d-PWK-1-SKI-3-1 5 5 AR
281 BP29757d-PWK-1-SKI-3-2 5 5 AR
282 BP29757d-PWK-1-SKI-3-3 5 5 AR

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 319


Lampiran (Lanjutan)

No Galur/varietas Ulangan 1 Skor akhir Kriteria

283 BP29760d-PWK-1-SKI-3-1 7 7 R
284 BP29760d-PWK-1-SKI-3-2 7 7 R
285 BP29760d-PWK-1-SKI-3-3 7 7 R
286 BP29762d-PWK-1-SKI-1-1 7 7 R
287 BP29762d-PWK-1-SKI-1-2 7 7 R
288 BP29762d-PWK-1-SKI-1-3 7 7 R
289 BP29762d-PWK-1-SKI-2-1 7 7 R
290 BP29762d-PWK-1-SKI-2-2 7 7 R
291 BP29762d-PWK-1-SKI-2-3 7 7 R
292 BP29762d-PWK-1-SKI-2-4 5 5 AR
293 BP29762d-PWK-1-SKI-3-1 7 7 R
294 BP29762d-PWK-1-SKI-3-2 7 7 R
295 BP29762d-PWK-1-SKI-3-3 7 7 R
296 BP29762d-PWK-1-SKI-3-5 7 7 R
297 BP29762d-PWK-3-SKI-3-1 7 7 R
298 BP29762d-PWK-3-SKI-3-2 7 7 R
299 BP29765d-PWK-1-SKI-1-1 7 7 R
300 BP29765d-PWK-1-SKI-1-2 7 7 R
301 BP29765d-PWK-1-SKI-2-1 TT TT TT
302 BP29765d-PWK-1-SKI-2-2 5 5 AR
303 BP29790d-PWK-1-SKI-1-5 5 5 AR
304 BP29790d-PWK-1-SKI-1-9 5 5 AR
305 BP29790d-PWK-1-SKI-1-10 3 3 AT
306 BP29790d-PWK-1-SKI-1-11 3 3 AT
307 BP29790d-PWK-1-SKI-1-13 3 3 AT
308 BP29790d-PWK-1-SKI-1-14 3 3 AT
309 BP29790d-PWK-1-SKI-1-15 3 3 AT
310 BP29790d-PWK-1-SKI-2-1 3 3 AT
311 BP29790d-PWK-1-SKI-2-3 3 3 AT
312 BP29790d-PWK-1-SKI-2-5 3 3 AT
313 BP29790d-PWK-1-SKI-2-6 3 3 AT
314 BP29790d-PWK-1-SKI-2-7 3 3 AT
315 BP29790d-PWK-1-SKI-2-11 3 3 AT
316 BP29790d-PWK-1-SKI-2-12 5 5 AR
317 BP29790d-PWK-1-SKI-2-13 3 3 AT
318 BP29790d-PWK-1-SKI-2-14 3 3 AT
319 BP29790d-PWK-1-SKI-3-3 3 3 AT
320 BP29790d-PWK-1-SKI-3-5 3 3 AT
321 BP29790d-PWK-1-SKI-3-6 5 5 AR
322 BP29790d-PWK-1-SKI-3-7 5 5 AR
323 BP29790d-PWK-1-SKI-3-8 3 3 AT
324 BP29790d-PWK-1-SKI-4-2 3 3 AT
325 BP29790d-PWK-1-SKI-4-4 3 3 AT
326 BP29790d-PWK-1-SKI-4-6 5 5 AR
327 BP29790d-PWK-1-SKI-4-8 3 3 AT
328 BP29790d-PWK-1-SKI-4-9 5 5 AR
329 BP29790d-PWK-1-SKI-4-10 3 3 AT

320 Munawar et al.: Ketahanan Galur-Galur Padi Tadah Hujan.....


Lampiran (Lanjutan)

No Galur/varietas Ulangan 1 Skor akhir Kriteria

330 BP29790d-PWK-1-SKI-5-1 3 3 AT
331 BP29790d-PWK-1-SKI-5-4 3 3 AT
332 BP29790d-PWK-1-SKI-5-7 3 3 AT
333 BP29790d-PWK-1-SKI-5-8 3 3 AT
334 BP29790d-PWK-1-SKI-5-9 3 3 AT
335 BP29790d-PWK-1-SKI-5-13 3 3 AT
336 BP29790d-PWK-3-SKI-2-8 3 3 AT
337 BP29790d-PWK-3-SKI-2-9 3 3 AT
338 BP29790d-PWK-3-SKI-2-10 3 3 AT
339 BP29790d-PWK-3-SKI-2-11 3 3 AT
340 BP29790d-PWK-3-SKI-2-12 3 3 AT
341 BP29790d-PWK-3-SKI-2-14 3 3 AT
342 BP29790d-PWK-3-SKI-2-15 5 5 AR
343 BP29790d-PWK-3-SKI-3-8 5 5 AR
344 BP29790d-PWK-3-SKI-3-14 3 3 AT
345 BP30288c-PWK-2-SKI-1-2 3 3 AT
346 BP30288c-PWK-2-SKI-3-1 3 3 AT
347 BP30295c-PWK-0-SKI-1-1 3 3 AT
348 BP30295c-PWK-0-SKI-2-1 3 3 AT
349 BP30295c-PWK-0-SKI-2-2 5 5 AR
350 BP30295c-PWK-0-SKI-3-1 5 5 AR
351 IR 77392-61-B-13-1-B-B-B-SKI-0-IND-2-SKI-10- 5 5 AR
PWK-3-SKI-1-1
352 IR 77392-61-B-13-1-B-B-B-SKI-0-IND-2-SKI-10- 5 5 AR
PWK-3-SKI-1-2
353 IR 77392-61-B-13-1-B-B-B-SKI-0-IND-2-SKI-10- 3 3 AT
PWK-3-SKI-5-0
354 IR 77390-49-B-11-1-B-B-B-SKI-0-IND-0-SKI-1- 5 5 AR
PWK-3-SKI-4-1
355 BP18316-3-3-JK-0-IND-0-SKI-1-PWK-1-SKI-3-0 5 5 AR
356 BP18316-3-3-JK-0-IND-0-SKI-1-PWK-1-SKI-5-0 5 5 AR
357 BP18316-3-3-JK-0-IND-0-SKI-7-PWK-2-SKI-1-1 5 5 AR
358 BP18316-3-3-JK-0-IND-0-SKI-7-PWK-2-SKI-1-2 5 5 AR
359 BP18316-3-3-JK-0-IND-0-SKI-7-PWK-3-SKI-1-0 5 5 AR
360 BP18316-3-3-JK-0-IND-0-SKI-9-PWK-3-SKI-1-1 5 5 AR
361 BP18316-3-3-JK-0-IND-0-SKI-9-PWK-3-SKI-1-2 5 5 AR
362 BP18316-3-3-JK-0-IND-0-SKI-9-PWK-3-SKI-1-3 5 5 AR
363 BP18316-3-3-JK-0-IND-0-SKI-9-PWK-3-SKI-1-4 5 5 AR
364 BP18316-3-3-JK-0-IND-0-SKI-9-PWK-3-SKI-1-5 5 5 AR
365 BP18336-2-1-JK-3-IND-2-SKI-5-PWK-1-SKI-1-0 5 5 AR
366 BP18352-1-1-JK-3-IND-2-SKI-8-PWK-3-SKI-1-1 3 3 AT
367 BP18352-1-1-JK-3-IND-2-SKI-8-PWK-3-SKI-1-2 3 3 AT
368 BP18356-3-1-JK-1-IND-1-SKI-3-PWK-3-SKI-4-0 3 3 AT
369 BP18356-3-1-JK-1-IND-1-SKI-3-PWK-3-SKI-5-1 3 3 AT
370 BP18356-3-1-JK-1-IND-1-SKI-3-PWK-3-SKI-5-2 3 3 AT
371 BP18356-3-1-JK-1-IND-1-SKI-5-PWK-1-SKI-3-0 3 3 AT
372 BP18360-1-1-JK-1-IND-3-SKI-2-PWK-3-SKI-1-1 TT TT TT

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 321


Lampiran (Lanjutan)

No Galur/varietas Ulangan 1 Skor akhir Kriteria

373 BP18360-1-1-JK-1-IND-3-SKI-2-PWK-3-SKI-1-2 3 3 AT
374 BP18360-1-1-JK-1-IND-3-SKI-2-PWK-3-SKI-1-3 3 3 AT
375 BP18360-1-1-JK-1-IND-3-SKI-2-PWK-3-SKI-1-4 3 3 AT
376 BP18360-1-1-JK-1-IND-3-SKI-2-PWK-3-SKI-1-5 3 3 AT
377 BP18360-1-2-JK-2-IND-1-SKI-2-PWK-3-SKI-1-1 3 3 AT
378 BP18360-1-2-JK-2-IND-1-SKI-2-PWK-3-SKI-1-3 3 3 AT
379 BP18360-1-3-JK-3-IND-1-SKI-2-PWK-1-SKI-1-1 3 3 AT
380 BP18360-1-3-JK-3-IND-1-SKI-2-PWK-1-SKI-1-3 3 3 AT
381 BP19974-JK-2-IND-1-SKI-0-PWK-2-SKI-2-2 3 3 AT
382 BP19974-JK-2-IND-1-SKI-0-PWK-2-SKI-2-3 3 3 AT
383 BP19978-JK-1-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-2-3 3 3 AT
384 BP19978-JK-1-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-4-1 3 3 AT
385 BP19978-JK-1-IND-2-SKI-0-PWK-3-SKI-2-1 3 3 AT
386 BP19978-JK-1-IND-2-SKI-0-PWK-3-SKI-3-1 3 3 AT
387 BP19978-JK-1-IND-2-SKI-0-PWK-3-SKI-3-2 3 3 AT
388 BP19978-JK-1-IND-2-SKI-0-PWK-3-SKI-3-3 3 3 AT
389 BP19980-JK-2-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-1-2 3 3 AT
390 BP19980-JK-2-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-2-2 3 3 AT
391 BP19980-JK-2-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-2-3 3 3 AT
392 BP19980-JK-2-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-3-1 3 3 AT
393 BP19980-JK-2-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-3-2 3 3 AT
394 BP19980-JK-2-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-3-3 3 3 AT
395 BP19980-JK-2-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-5-1 3 3 AT
396 BP19980-JK-2-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-5-2 5 5 AR
397 BP19980-JK-2-IND-2-SKI-0-PWK-1-SKI-5-3 5 5 AR
398 BP19990-JK-2-IND-1-SKI-0-PWK-3-SKI-1-1 7 7 R
399 BP19990-JK-2-IND-1-SKI-0-PWK-3-SKI-1-2 7 7 R
400 BP19990-JK-2-IND-1-SKI-0-PWK-3-SKI-1-3 3 3 AT
401 BP19990-JK-2-IND-1-SKI-0-PWK-3-SKI-2-1 TT TT TT
402 BP19990-JK-2-IND-1-SKI-0-PWK-3-SKI-2-2 3 3 AT
403 BP19990-JK-2-IND-1-SKI-0-PWK-3-SKI-2-3 5 5 AR
404 BP19990-JK-2-IND-1-SKI-0-PWK-3-SKI-3-1 3 3 AT
405 BP19990-JK-2-IND-1-SKI-0-PWK-3-SKI-3-2 3 3 AT
406 BP19990-JK-2-IND-1-SKI-0-PWK-3-SKI-4-1 3 3 AT
407 BP19990-JK-2-IND-1-SKI-0-PWK-3-SKI-4-2 3 3 AT
408 BP19990-JK-2-IND-1-SKI-0-PWK-3-SKI-5-1 5 5 AR
409 BP19990-JK-2-IND-1-SKI-0-PWK-3-SKI-5-2 5 5 AR
410 BP19990-JK-2-IND-1-SKI-0-PWK-3-SKI-5-3 5 5 AR
411 BP20014-JK-2-IND-1-SKI-0-PWK-1-SKI-1-1 5 5 AR
412 BP20014-JK-2-IND-1-SKI-0-PWK-1-SKI-1-2 5 5 AR
413 BP20014-JK-2-IND-1-SKI-0-PWK-1-SKI-2-1 5 5 AR
414 BP20014-JK-2-IND-1-SKI-0-PWK-1-SKI-3-1 7 7 R
415 BP20014-JK-2-IND-1-SKI-0-PWK-1-SKI-3-2 3 3 AT
416 BP20014-JK-2-IND-1-SKI-0-PWK-1-SKI-3-3 3 3 AT
417 BP17216c-SKI-0-IND-1-SKI-0-PWK-2-SKI-4-2 3 3 AT
418 BP17216c-SKI-0-IND-1-SKI-0-PWK-2-SKI-4-3 3 3 AT
419 BP17186c-SKI-3-IND-2-SKI-2-PWK-2-SKI-3-3 3 3 AT

322 Munawar et al.: Ketahanan Galur-Galur Padi Tadah Hujan.....


Lampiran (Lanjutan)

No Galur/varietas Ulangan 1 Skor akhir Kriteria

420 BP17186c-SKI-3-IND-2-SKI-2-PWK-2-SKI-4-1 5 5 AR
421 BP17186c-SKI-3-IND-2-SKI-2-PWK-2-SKI-4-2 3 3 AT
422 BP17186c-SKI-3-IND-2-SKI-2-PWK-2-SKI-5-1 5 5 AR
423 BP17186c-SKI-3-IND-2-SKI-2-PWK-3-SKI-2-2 5 5 AR
424 BP17186c-SKI-3-IND-2-SKI-2-PWK-3-SKI-3-1 3 3 AT
425 BP17186c-SKI-3-IND-2-SKI-2-PWK-3-SKI-4-1 5 5 AR
426 BP17186c-SKI-3-IND-2-SKI-2-PWK-3-SKI-4-2 5 5 AR
427 BP17186c-SKI-3-IND-2-SKI-2-PWK-3-SKI-4-3 5 5 AR
428 BP17186c-SKI-3-IND-2-SKI-2-PWK-3-SKI-5-1 5 5 AR
429 BP20104c-SKI-3-IND-2-SKI-2-PWK-2-SKI-1-1 5 5 AR
430 BP17226c-SKI-3-IND-0-SKI-10-PWK-3-SKI-1-1 5 5 AR
431 BP17226c-SKI-3-IND-0-SKI-10-PWK-3-SKI-1-2 7 7 R
432 BP17226c-SKI-3-IND-0-SKI-10-PWK-3-SKI-1-3 7 7 R
433 BP17242c-SKI-3-IND-1-SKI-5-PWK-2-SKI-5-1 5 5 AR
434 BP17242c-SKI-3-IND-1-SKI-5-PWK-3-SKI-3-2 3 3 AT
435 BP17242c-SKI-3-IND-1-SKI-5-PWK-3-SKI-4-2 5 5 AR
436 BP17242c-SKI-3-IND-2-SKI-5-PWK-2-SKI-2-1 3 3 AT
437 BP17242c-SKI-3-IND-2-SKI-5-PWK-2-SKI-2-2 3 3 AT
438 BP17242c-SKI-3-IND-2-SKI-5-PWK-2-SKI-3-1 3 3 AT
439 BP17242c-SKI-3-IND-2-SKI-5-PWK-2-SKI-3-2 3 3 AT
440 BP17242c-SKI-3-IND-2-SKI-5-PWK-2-SKI-5-1 3 3 AT
441 BP17242c-SKI-3-IND-2-SKI-5-PWK-3-SKI-1-2 5 5 AR
442 BP17242c-SKI-3-IND-2-SKI-5-PWK-3-SKI-3-1 5 5 AR
443 BP17242c-SKI-3-IND-2-SKI-5-PWK-3-SKI-4-1 3 3 AT
444 BP17242c-SKI-3-IND-2-SKI-5-PWK-3-SKI-4-2 3 3 AT
445 BP17242c-SKI-3-IND-2-SKI-10-PWK-1-SKI-1-1 3 3 AT
446 BP17242c-SKI-3-IND-2-SKI-10-PWK-1-SKI-1-2 3 3 AT
447 BP17242c-SKI-3-IND-2-SKI-10-PWK-1-SKI-2-2 3 3 AT
448 BP17242c-SKI-3-IND-2-SKI-10-PWK-2-SKI-1-1 3 3 AT
449 BP17242c-SKI-3-IND-2-SKI-10-PWK-3-SKI-4-1 3 3 AT
450 BP17242c-SKI-3-IND-2-SKI-10-PWK-3-SKI-5-1 3 3 AT
451 BP17242c-SKI-3-IND-2-SKI-10-PWK-3-SKI-5-2 3 3 AT
452 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-1-PWK-1-SKI-1-1 3 3 AT
453 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-1-PWK-1-SKI-1-2 3 3 AT
454 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-1-PWK-1-SKI-1-3 3 3 AT
455 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-1-PWK-1-SKI-2-3 3 3 AT
456 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-1-PWK-1-SKI-4-1 3 3 AT
457 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-1-PWK-1-SKI-4-2 3 3 AT
458 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-1-PWK-2-SKI-1-1 5 5 AR
459 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-1-PWK-2-SKI-1-2 5 5 AR
460 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-1-PWK-2-SKI-2-1 3 3 AT
461 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-1-PWK-2-SKI-2-2 3 3 AT
462 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-1-PWK-2-SKI-3-1 3 3 AT
463 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-1-PWK-2-SKI-3-2 3 3 AT
464 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-1-PWK-2-SKI-5-1 3 3 AT
465 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-1-PWK-2-SKI-5-2 3 3 AT
466 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-5-PWK-1-SKI-1-1 3 3 AT

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 323


Lampiran (Lanjutan)

No Galur/varietas Ulangan 1 Skor akhir Kriteria

467 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-5-PWK-1-SKI-1-2 3 3 AT
468 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-5-PWK-1-SKI-2-2 3 3 AT
469 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-5-PWK-1-SKI-4-1 3 3 AT
470 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-5-PWK-1-SKI-4-2 3 3 AT
471 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-5-PWK-1-SKI-5-5 3 3 AT
472 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-5-PWK-1-SKI-5-6 3 3 AT
473 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-5-PWK-1-SKI-5-7 3 3 AT
474 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-5-PWK-1-SKI-5-8 3 3 AT
475 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-5-PWK-2-SKI-1-1 3 3 AT
476 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-5-PWK-2-SKI-1-2 3 3 AT
477 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-5-PWK-2-SKI-3-3 3 3 AT
478 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-5-PWK-3-SKI-2-2 3 3 AT
479 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-5-PWK-3-SKI-3-1 3 3 AT
480 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-5-PWK-3-SKI-3-2 3 3 AT
481 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-5-PWK-3-SKI-4-1 5 5 AR
482 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-7-PWK-1-SKI-4-2 5 5 AR
483 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-7-PWK-2-SKI-1-1 5 5 AR
484 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-7-PWK-2-SKI-1-2 5 5 AR
485 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-7-PWK-2-SKI-4-1 5 5 AR
486 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-7-PWK-2-SKI-4-2 5 5 AR
487 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-7-PWK-2-SKI-5-1 5 5 AR
488 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-7-PWK-3-SKI-1-1 5 5 AR
489 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-7-PWK-3-SKI-1-2 5 5 AR
490 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-7-PWK-3-SKI-1-3 5 5 AR
491 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-7-PWK-3-SKI-2-1 5 5 AR
492 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-7-PWK-3-SKI-2-2 5 5 AR
493 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-7-PWK-3-SKI-2-3 3 3 AT
494 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-7-PWK-3-SKI-4-2 3 3 AT
495 BP20116b-2-SKI-1-IND-2-SKI-7-PWK-3-SKI-5-2 3 3 AT
496 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-3-PWK-1-SKI-1-2 3 3 AT
497 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-3-PWK-1-SKI-1-3 3 3 AT
498 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-3-PWK-1-SKI-2-2 3 3 AT
499 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-3-PWK-1-SKI-4-1 3 3 AT
500 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-3-PWK-1-SKI-5-2 3 3 AT
501 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-3-PWK-2-SKI-3-2 TT TT TT
502 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-3-PWK-2-SKI-4-1 3 3 AT
503 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-3-PWK-2-SKI-5-1 3 3 AT
504 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-3-PWK-2-SKI-5-2 3 3 AT
505 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-3-PWK-2-SKI-5-3 3 3 AT
506 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-3-PWK-3-SKI-1-1 3 3 AT
507 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-3-PWK-3-SKI-1-2 3 3 AT
508 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-3-PWK-3-SKI-3-1 3 3 AT
509 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-3-PWK-3-SKI-3-2 3 3 AT
510 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-3-PWK-3-SKI-3-3 3 3 AT
511 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-3-PWK-3-SKI-4-1 3 3 AT
512 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-3-PWK-3-SKI-4-2 3 3 AT
513 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-3-PWK-3-SKI-5-2 3 3 AT

324 Munawar et al.: Ketahanan Galur-Galur Padi Tadah Hujan.....


Lampiran (Lanjutan)

No Galur/aarietas Ulangan 1 Skor akhir Kriteria

514 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-5-PWK-1-SKI-3-1 3 3 AT
515 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-5-PWK-2-SKI-5-1 3 3 AT
516 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-5-PWK-3-SKI-1-1 3 3 AT
517 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-5-PWK-3-SKI-1-2 3 3 AT
518 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-5-PWK-3-SKI-2-1 3 3 AT
519 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-5-PWK-3-SKI-2-2 3 3 AT
520 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-5-PWK-3-SKI-3-2 3 3 AT
521 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-5-PWK-3-SKI-3-3 3 3 AT
522 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-5-PWK-3-SKI-4-1 3 3 AT
523 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-5-PWK-3-SKI-4-2 3 3 AT
524 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-5-PWK-3-SKI-5-1 3 3 AT
525 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-5-PWK-3-SKI-5-2 3 3 AT
526 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-8-PWK-2-SKI-1-1 3 3 AT
527 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-8-PWK-2-SKI-2-1 3 3 AT
528 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-8-PWK-2-SKI-4-1 3 3 AT
529 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-8-PWK-2-SKI-5-1 3 3 AT
530 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-8-PWK-2-SKI-5-2 5 5 AR
531 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-8-PWK-3-SKI-1-1 5 5 AR
532 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-8-PWK-3-SKI-2-1 5 5 AR
533 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-8-PWK-3-SKI-3-1 5 5 AR
534 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-9-PWK-1-SKI-1-1 3 3 AT
535 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-9-PWK-1-SKI-1-2 3 3 AT
536 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-9-PWK-1-SKI-2-1 3 3 AT
537 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-9-PWK-1-SKI-3-1 3 3 AT
538 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-9-PWK-1-SKI-4-1 5 5 AR
539 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-9-PWK-1-SKI-5-1 5 5 AR
540 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-9-PWK-2-SKI-2-1 3 3 AT
541 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-9-PWK-2-SKI-3-2 3 3 AT
542 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-9-PWK-3-SKI-5-1 3 3 AT
543 BP20118c-SKI-1-IND-1-SKI-9-PWK-3-SKI-5-2 3 3 AT
544 BP17234d-SKI-2-IND-1-SKI-6-PWK-2-SKI-1-1 3 3 AT
545 BP17234d-SKI-2-IND-1-SKI-6-PWK-2-SKI-1-2 5 5 AR
546 BP17234d-SKI-2-IND-1-SKI-7-PWK-2-SKI-1-1 5 5 AR
547 BP17234d-SKI-2-IND-1-SKI-7-PWK-2-SKI-2-1 5 5 AR
548 BP17234d-SKI-2-IND-1-SKI-7-PWK-2-SKI-4-1 5 5 AR
549 BP17234d-SKI-2-IND-1-SKI-7-PWK-2-SKI-4-2 5 5 AR
550 BP17234d-SKI-2-IND-1-SKI-10-PWK-1-SKI-1-1 5 5 AR
551 BP17276b-PK2-B-SKI-1-IND-1-SKI-2-PWK-3-SKI-2-3 3 3 AT
552 BP17276b-PK2-B-SKI-1-IND-1-SKI-7-PWK-1-SKI-4-3 5 5 AR
553 BP17276b-PK2-B-SKI-1-IND-1-SKI-7-PWK-2-SKI-2-1 3 3 AT
554 BP17276b-PK2-B-SKI-1-IND-1-SKI-7-PWK-2-SKI-2-2 5 5 AR
555 BP17276b-PK2-B-SKI-1-IND-1-SKI-7-PWK-2-SKI-2-3 3 3 AT
556 BP17276b-PK2-B-SKI-1-IND-1-SKI-7-PWK-2-SKI-3-1 5 5 AR
557 BP17276b-PK2-B-SKI-1-IND-1-SKI-7-PWK-2-SKI-3-2 7 7 R
558 BP17276b-PK2-B-SKI-1-IND-1-SKI-7-PWK-2-SKI-4-1 7 7 R
559 BP17276b-PK2-B-SKI-1-IND-1-SKI-7-PWK-2-SKI-4-2 7 7 R
560 BP17276b-PK2-B-SKI-1-IND-1-SKI-7-PWK-2-SKI-5-1 7 7 R

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 325


Lampiran (Lanjutan)

No Galur/varietas Ulangan 1 Skor akhir Kriteria

561 BP17276b-PK2-B-SKI-1-IND-1-SKI-7-PWK-2-SKI-5-2 7 7 R
562 BP17276b-PK2-B-SKI-1-IND-1-SKI-7-PWK-3-SKI-1-1 7 7 R
563 BP17276b-PK2-B-SKI-1-IND-1-SKI-7-PWK-3-SKI-2-1 3 3 AT
564 IR 77390-37-B-17-2-B-B-B-SKI-1-IND-0-SKI-6- 5 5 AR
PWK-1-SKI-4-1
565 IR 77390-37-B-17-2-B-B-B-SKI-1-IND-0-SKI-6- 5 5 AR
PWK-1-SKI-5-1
566 IR 77382-4-3-6-1-B-B-B-SKI-2-IND-2-SKI-1- 5 5 AR
PWK-2-SKI-2-2
567 BP20558D-PWK-2-SKI-4-1 3 3 AT
568 CT 21408-26P-3P-1SR-1-JK-0-SKI-3-0 3 3 AT
569 CT 21408-26P-3P-1SR-1-JK-0-SKI-4-0 3 3 AT
570 CT 21408-26P-3P-1SR-1-JK-0-SKI-5-0 3 3 AT
571 Kuku Balam 5 5 AR
572 HHZ 5-SAL10-DT1-DT1-SKI-0-1-1-B-WBC1-SKI-1-1 5 5 AR
573 BP20451e-WBC1-SKI-2-2 5 5 AR
574 BP20451e-WBC1-SKI-2-3 3 3 AT
575 SR34131(3)-1-1-1-4 3 3 AT
576 SR34131(43)-1-1-1-6 3 3 AT
577 BP18354-1-1-JK-1-IND-2-SKI-1-PWK-2-SKI-5 3 3 AT
578 BP18354-2-3-JK-1-IND-1-SKI-2-PWK-2-SKI-2 3 3 AT
579 BP18354-2-3-JK-1-IND-1-SKI-2-PWK-3-SKI-2 3 3 AT
580 BP18358-2-2-JK-1-IND-3-SKI-9-PWK-2-SKI-1 3 3 AT
581 BP17586-2-0-JK-3-IND-1-SKI-9-PWK-2-SKI-2-1 3 3 AT
582 BP18322-1-3-JK-3-IND-3-SKI-1-PWK-1-SKI-1 3 3 AT
583 BP18352-1-1-JK-3-IND-2-SKI-8-PWK-3-SKI-4 3 3 AT
584 BP18356-3-1-JK-1-IND-1-SKI-3-PWK-3-SKI-3 3 3 AT
585 BP18322-1-3-JK-2-IND-0-SKI-6-PWK-3-SKI-1 3 3 AT
586 BP20118c-SKI-2-2-3-8-PWK-3-SKI-1-1 3 3 AT
587 BP18356-3-1-JK-1-IND-1-SKI-3-PWK-3-SKI-4-1 5 5 AR
588 BP18356-3-1-JK-1-IND-1-SKI-3-PWK-3-SKI-4-2 5 5 AR
589 TN 1 9 9 SR
590 RH 1 1 T
591 PTB 33 1 1 T

326 Munawar et al.: Ketahanan Galur-Galur Padi Tadah Hujan.....


Kajian Teknologi Penyosohan untuk Memperbaiki
Mutu dan Rendemen Beras
Suismono dan Ridwan Rahmat
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
Jl. Tentara Pelajar No. 12 Cimanggu Bogor Jawa Barat
E-mail:

ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas beras
dan rendemen beras melalui perbaikan teknologi penyosohan beras.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengembangan CFAMA,
Ansirabe, Madagascar tahun 2014. Penelitian dilaksanakan untuk
mengkaji secara empiris dengan trial and error terhadap tahap proses
penyosohan beras, yaitu konfigurasi proses, sistem penyosohan dan
bahan material penyosoh yang digunakan. Perbaikan proses
penyosohan beras dengan memodifikasi teknologi modifikasi yang
meningkatkan konfigurasi penggilingan, penggantian komponen alat
penyosoh besi baja biasa dengan bahan baja tahan karat dan
penambahan sistem pengkabutan air pada polisher. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kualitas beras yang dihasilkan dengan
menggunakan sistem konfigurasi proses: pembersih - Husker -
Pemisah - Polisher 1 - Polisher 2 (CHSPP) sistem double pass
dapat meningkatkan derajat pemolesan lebih dari 90%, penggantian
komponen penyosoh dari material logam baja biasa ke baja tahan
karat (stainless steel) dapat meningkatkan derajat sosoh (95%), lebih
tinggi dari pada bahan logam baja biasa derajat sosoh 90%).
Penambahan sistem pengkabutan air dapat meningkatkan penampilan
nasi yang lebih bersih dan mengkilap.
Kata kunci: Beras, mutu, konfigurasi penggilingan padi, sistem
pengkabutan.

ABSTRACT
The purpose of this study was to improve the quality of rice and
rice yield through improving rice polishing technology. This
research was conducted at CFAMA Development Laboratory,

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 327


Ansirabe, Madagascar in 2014. The study was conducted to
assess the stage of the process of rice polishing empirically by
trial and error. Namely the configuration of the process, the
polishing system and the polishing materials used. Improving
the process of grinding rice by modifying technology that
improves the milling configuration, replacing the polishing
component with stainless steel material and adding a water
fogging system in the polisher. The results showed that the quality
of rice was produced in the highlands of Madagascar is still
below the standard quality of codex rice. The percentage of
broken rice from samples of rice milling unit and rice traders in
5 areas over 20% (rice quality was low). Using a process
configuration system: cleaner - Husker - Separator - Polisher 1
- Polisher 2 (CHSPP) double pass system can increase polishing
degree more than 90%. Replacement of the component of the
material from steel to stainless steel can increase polishing degree
to be 95%. The addition of the water fogging system can improve
the appearance of cleaner and shiny rice.
Keywords: Rice, quality, rice milling configuration, water fogging
system.

PENDAHULUAN
Tuntutan konsumen terhadap mutu beras meningkat seiring dengan
meningkatnya pendapatan masyarakat. Makin tingginya tingkat pendidikan
masyarakat serta dengan mudahnya penyebaran informasi seiring kemajuan
teknologi, secara bertahap mengubah pola konsumsi dan cara pandang
masyarakat terhadap mutu (kualitas) pangan yang dikonsumsi. Perbaikan daya
beli masyarakat yang diharapkan meningkat setelah lndonesia keluar dari krisis
ekonomi akan menggeser peta permintaan ke arah beras bermutu tinggi
(Hasbullah dan Tajuddin, 2007).
Mutu beras di pasaran beragam karena beras yang ada di pasaran berasal
dari penggilingan PPK, PPM dan PPB yang teknologi proses penggilingannya
berbeda. Hal ini menyebabkan pelaku perdagangan beras sering melakukan
manipulasi mutu beras seperti pengoplosan antar kualitas, reprosesing beras
mutu rendah, kemasan tidak sesuai isinya, pemalsuan merk beras, penggunaan
bahan pemutih dan pewangi (Suismono dan Darniadi. 2011).

328 Suismono dan Rahmat: Kajian Teknologi Penyosohan.....


Mutu beras sangat ditentukan oleh faktor varietas, agroekosistem, teknik
budidaya, penanganan pascapanen, pengolahan dan distribusi pemasaran hasil
berasnya. Salah satu faktor yang menentukan kualitas beras adalah proses
pengolahan beras di penggilingan padi (Webb, 1990). Meskipun pengusaha
pengolahan padi di Indonesia telah mengetahui teknologi yang modern akan
menghasilkan beras berkualitas beras yang lebih baik dengan rendemen yang
lebih tinggi, namun pengolahan padi di Indonesia masih menggunakan teknologi
yang sederhana. Akibatnya beras yang dihasilkan memiliki kualitas yang rendah
dengan rendemen beras yang rendah pula (Waris, 2004). Demikian juga
penggilingan PPK di Madagascar mutu berasnya masih rendah terlihat pada
persentase beras patahnya lebih dari 20% dan derajat sosohnya kurang dari
90% (Suismono, 2015). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan
kualitas beras dan rendemen beras melalui perbaikan teknologi penyosohan
beras.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di lapang dan Laboratorium Pengembangan Centre De
Formation Et D’application Du Machinisme Agricole (CFAMA), Ansirabe,
Madagascar tahun 2014. Penelitian ini adalah bagian dari kegiatan Program
Japan International Coorporation Agency (JICA) Madagascar. Penelitian
dilaksanakan secara empiris dengan trial and error terhadap proses penyosohan
beras pada penggilingan padi, yaitu aspek konfigurasi proses, sistem penyosohan
dan bahan material penyosoh yang digunakan. Varietas yang digunakan adalah
Varietas Makalioka dan Chomrong Dhan yang berasal dari Madagascar
(Rasoazanakolona et al, 2016).
Lingkup penelitian proses penyosohan beras terdiri dari 3 kegiatan yaitu
(1) Kegiatan konfigurasi proses penyosohan (A) dengan perlakuan: a1. Secara
manual, a2. Penggilingan tipe Engleberg, a3. Penggilingan tipe one pass, a4.
Penggilingan double pass konfigurasi husker - polisher (HP), a5. Penggilingan
double pass konfigurasi husker-polisher-polisher (HPP), a6. Penggilingan
double pass konfigurasi. Cleaner-husker-separator-poliser 1 (CHSP), a7.
Cleaner- husker-separator-polisher 1 (CHSPP), a.6 Cleaner- husker-
separator-polisher 1-polisher 2- (CHSPP), diulang 5 kali, (2) Kegiatan jenis
bahan penyosohan (B), dengan perlakuan: b1. penggunaan alat penyosoh dari
bahan baja biasa dan b2. Baja tahan karat (stainless steel), diulang 5 kali dan
(3) Kegiatan penambahan alat pengkabut air (C), dengan perlakuan: c1.
Pengabutan air dan c2. tidak dikabut air, diulang 5 kali. Masing-masing kegiatan

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 329


diambil sampel dan diananalisi mutu fisik beras dengan parameter derajat sosoh
beras, persentase beras kepala, beras patah, menir (Suismono, 2013; BSN, 2015)
dan rendemen beras giling.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Perbaikan Konfigurasi Penyosohan Beras
Berdasarkan perkembangan teknologi penggilingan padi, konfigurasi penggilingan
padi dikelompokkan menjadi 4 teknologi penggilingan padi yaitu penggilingan
manual, Engelberg, One pass dan Double pass. Secara umum, proses
penggilingan padi terdiri dari proses pecah kulit dan proses penyosohan beras.
Perkembangan teknologi proses penggilingan padi dilengkapi dengan komponen
baru untuk memperbaiki mutu dan rendemen beras, sehingga menghasilkan
konfigurasi proses baru yang berbeda.
Penggilingan padi manual yaitu proses penggilingan padi dilakukan dengan
alat bahan batu atau kayu secara manual (tradisional). Penggilingan padi secara
manual masih berkembang di daerah marginal. Hasil mutu beras penggilingan
manual secara fisik tidak memenuhi standar mutu beras, tetapi memiliki nilai
gizi yang tinggi karena pada saat proses pecah kulit dan penyosohan tidak optimal
sehingga masih tertinggalnya lapisan bekatul yang kaya akan kadar serat dan
protein. Hal ini terlihat dari penampakan tidak putih dengan derajat sosoh kurang
dari 90%.
Penggilingan padi konfigurasi sistem sekali proses (One Pass) yaitu proses
penggilingan padi dimana proses pecah kulit dan penyosohan dalam satu mesin.
Tipe penggilingan One pass di lapang ada dua tipe yaitu penggilingan tipe
Engleberg dan tipe Satake. Penggilingan Engleberg yaitu penggilingan padi dimana
proses pecah kulit dan penyosohan dilakukan dalam satu komponen alat dalam
satu mesin. Penggilingan one pass yaitu penggilingan padi dimana proses pecah
kulit dan penyosohan dilakukan oleh komponen alat yang berbeda tapi dalam
satu mesin.
Penggilingan padi konfigurasi sistem dua proses (Double Pass) yaitu proses
penggilingan padi dimana proses pecah kulit dan penyosohan dilakukan oleh
mesin terpisah. Tipe penggilingan double pass di lapang ada tujuh tipe konfigurasi
yaitu tipe konfigurasi husker - polisher (HP), konfigurasi husker-husker-
polisher (HHP), Cleaner-husker-separator-poliser 1 (CHSP), Cleaner-
husker-separator-polisher 1 (CHSPP) dan Cleaner- husker-separator-

330 Suismono dan Rahmat: Kajian Teknologi Penyosohan.....


polisher 1-polisher 2- (CHSPP). Pengaruh konfigurasi terhadap mutu dan
rendemen beras ditunjukkan pada Gambar 1, 2 dan 3. Konfigurasi proses
berpengaruh terhadap persentase beras kepala. Persentase beras kepala untuk
beras butir panjang (long grains) varietas Makalioka dan varietas butir pendek
(short grains) varietas Chomrong Dhan masih dibawah 80% untuk semua
perlakuan, kecuali pada perlakuan CHSP dan CHSPP. Persentase beras kepala
terendah pada penggilingan sistem manual dan engleberg kurang dari 50% dan
tertinggi pada pada perlakuan CHSP (lebih dari 80% (Gambar 1). Persentase
beras kepala untuk varietas buitr bulat lebih tinggi dibanding varietas butir
panjang. Sebaliknya dengan persentase beras patah dan beras menir semakin
menurun (Gambar 2 dan 3). Persentase beras patah semua perlakuan lebih dari
20%, kecuali pada perlakuan CHSP dan CHSPP persentase beras patahnya
kurang dari 10%.

Gambar 1. Pengaruh konfigurasi proses penggilingan terhadap persentase baras kepala.

Gambar 2. Pengaruh konfigurasi proses penggilingan terhadap persentase beras patah.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 331


Gambar 3. Pengaruh konfigurasi proses penggilingan terhadap persentase beras menir.

Gambar 4. Pengaruh konfigurasi proses penggilingan terhadap derajat sosoh beras.

Hasil uji coba menunjukkan bahwa konfigurasi proses penggilingan


menggunakan penggilingan manual, engelberg dan one pass menunjukkan
derajat sosoh masih kurang dari 90%. Ini berarti kualitas beras rendah karena
kualitas beras di bawah standar. Semua konfigurasi proses double pass
menghasilkan derajat sosoh lebih dari 90% (Gambar 4).
Rendemen beras giling dipengaruhi oleh berbagai faktor dan konfigurasi
proses penggilingan. Secara umum, rendemen beras giling varietas butir bulat
(varietas Chomrong Dhan) adalah 60-74% lebih tinggi dari varietas butir panjang
(varietas Makalioka) sebesar 57-67%. Rendemen beras giling varietas Makalioka
dengan proses konfigurasi secara manual, one pass dan penggilingan engelberg
sebesar 64-67%, lebih tinggi dari hasil penggilingan double ganda pass dengan

332 Suismono dan Rahmat: Kajian Teknologi Penyosohan.....


Gambar 5. Pengaruh konfigurasi proses penggilingan terhadap rendemen beras

57-63%. Sedangkan varietas Chomrong Dhan dengan konfigurasi proses manual


dan penggilingan engelberg menghasilkan rendemen 61-62%, lebih rendah dari
hasil penggilingan double-pass yaitu 60-67%. Ini berarti sistem double-pass
dapat meningkatkan mutu dan rendemen varietas biji-bijian pendek (varietas
Chomrong Dhan) dan untuk varietas biji-bijian panjang (varietas Makalioka)
hanya meningkatkan kualitas, tetapi tidak meningkatkan rendemen beras giling
(Gambar 5). Konfigurasi CHSP dapat meningkatkan kualitas dan rendemen
beras giling.

2. Perbaikan Jenis Bahan Penyosohan Beras


Berdasarkan tipe alat penyosoh, alat penyosoh beras dikelompokkan menjadi 2
tipe yaitu penyosoh tipe abrasive dan tipe friksi. Penyosoh tipe abrasif adalah
penyosohan dengan pengikisan permukaan beras menggunakan komponen batu
gurinda, sehingga dihasilkan beras dengan penampakan putih. Sedangkan
Penyosoh tipe friksi adalah penyosohan dengan gesekan antar butiran beras
yang didorong dengan alat menggunakan komponen besi, sehingga dihasilkan
beras dengan penampakan bening. Komponen besi metal tersebut semakin lama
dipakai akan menimbulkan karat dan aus di permukaannya.
Untuk meningkatkan kualitas beras telah dicoba dengan mengganti
komponen logam baja dengan polisher stainless steel. Dengan bahan baja tahan
karat pada proses pemolesan beras akan lebih cepat karena lebih licin
dibandingkan dengan besi baja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan
peralatan stainless steel pada alat poles menghasilkan derajat sosoh 95%, lebih
tinggi daripada penggunaan bahan besi baja derajat sosoh 90%) (Gambar 6).

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 333


Gambar 5. Pengaruh bahan pemoles terhadap mutu dan rendemen beras.

3. Penambahan Komponen Pengkabut (Water Fogging) Pada Alat


Penyosoh Beras
Hasil pemolesan beras sering menghasilkan penampilan putih yang kurang cerah,
membuat kurang disukai oleh konsumen. Hal itu bisa disebabkan oleh (1) alat
penyosoh yang digunakan tidak memenuhi syarat, seperti penyosohan secara
manual dengan tangan, pemoles tipe engelberg, tipe one pass dengan kondisi
alat lama, (2) bekatul masih menempel pada permukaan hasil penyosohan beras
menggunakan alat penyosoh tipe abrasif yang tidak dilengkapi pengkabut. Jenis
poles abrasif menggunakan alat poles dari bahan batu kasar, (3) konsumen
yang menginginkan rendemen yang tinggi telah melakukan penyosohan tanpa
menekan. Untuk menghasilkan permukaan yang lebih bersih dan berkilau dengan
menggunakan teknologi pemolesan (mencuci permukaan bekatul dengan
pengkabutan air berlangsung selama proses pemolesan beras).
Proses pengkabutan air (water fogging) dapat menggunakan 2 metode:
menggunakan Gravitation injector (sistem gravitasi) dan menggunakan injector
compressor (sistem tekanan air) (Thahir et al. 199) . Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam proses pengkabutan air adalah:
(1) Kadar air gabah / beras 14%
(2) Kebutuhan air yang dihasilkan oleh nozzel 10 lubang: debit air 5 liter / jam
akan menghasilkan tetesan / kabut partikel air yang baik untuk pemolesan
beras.

334 Suismono dan Rahmat: Kajian Teknologi Penyosohan.....


Gambar 6. Pengaruh proses pengkabutan air terhadap mutu dan rendemen beras.

(3) Air yang efisien dan efektif dalam pengkabutan air ketika diberikan teknan
50 psi akan menghasilkan partikel air yang merata dan halus 1000 poin /
cm2, dengan konsumsi air rata-rata 0,19 liter/menit. Kebutuhan air dengan
volume dari 0,3 hingga 0,4% dari berat bahan yang digunakan untuk
melunakkan dan mengikat debu halus dari permukaan beras, dan mengurangi
tekanan dan suhu pada permukaan gesekan selama pemolesan beras,
sehingga menghasilkan beras dengan kualitas yang lebih baik.
(4) Putaran silinder Kecepatan 800-1000 rpm pemolesan optimal.
(5) Alat penggilingan tipe yang digunakan adalah kombinasi dari tipe abrasive
- friction -fogging.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa tingkat penggilingan pada beras kristal
lebih tinggi (putih dan mengkilap) daripada beras non-kristal pada varietas yang
sama, sedangkan persentase beras pecah dan hasil tidak berbeda nyata
(Gambar 6).

KESIMPULAN
1. Melalui penyempurnaan proses sistem double pass dengan konfigurasi
CHSP dan CHSPP dapat meningkatkan kualitas beras dilihat dari persentase
beras kepala lebih dari 80% dan persentase beras patah kurang dari 10%,
derajat sosoh lebih dari 90% dan rendemen beras giling 62-67%.
2. Penggantian komponen material dari material besi baja ke besi tahan karat
(stainless steel) dapat meningkatkan tingkat pemolesan (derajat sosoh)

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 335


menjadi 95%, lebih tinggi dari pada bahan logam/besi (tingkat pemolesan/
derajat sosoh 90%).
3. Penambahan sistem pengkabutan air dapat meningkatkan penampilan beras
yang lebih bersih dan mengkilap.

DAFTAR PUSTAKA
BSN, 2015. Standar Nasional (SNI) Beras. Badan Standardisasi Nasional.
Jakarta.
Hasbullah R. dan Tajuddin Bantacut, 2007. Tekmologi Pengolahan Beras Ke
Beras (Rice To Rice Processing Technology) .Prosiding Lokakarya
Nasional Peningkatan Daya Saing Beras Melalui Perbaikan Kualitas.
Journal Pangan. Bulog. Jakarta
Rasoazanakolona V., Rabealaina B.B., Andrianjaka A., Rakotonjanahary X.,
Sangwan R.S., and Rakotoarisoa N.V.. 2016. Evaluation Of Grain Quality
And Nutritional Quality of Double Haploid Dhp 6, An Elite Rice Line In
Madagascar Proceedings of The Latvian Academy of Sciences. Section
B, Vol. 70, No. 6 (705), Pp. 378-383.
Suismono dan Sandi Darniadi, 2011. Prospek Beras Berlabel SNI. Majalah
Pangan. No. 57/XIX/Januari-Maret/2010. Jakarta.
Suismono. 2013. Analysis Of Paddy Grain and Rice Quality In Madagascar.
Final Report, on Project For Productivity Improvement In Central Highland
In The Republic of Madagascar . Papriz - Japan International Cooperation
Agency (JICA). Antanariva, Madagascar.
Suismono. 2015. Perbaikan Teknologi Penyosohan untuk Meningkatkan Mutu
dan endemen Beras. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman
Padi. BB Padi. Sukamandi, Subang.
Thahir, R., S. Lubis, Y. Setiawati, dan A. Prabowo. 1999.Teknik Penyosohan
Beras dengan Pengkabut Air. Warta Litbang pertanian, Vol.21, No.6,
Warris P.A. 2004. Kondisi dan Permasalahan Pengolahan Padi di Indonesia.
Dalam Prosiding Lokakarya nasional: Upaya Peningkatan Nilai Tambah
Pengolahan Padi. Kerjasama Perum Bulog dengan Fateta IPB. Bogor.
Webb. 1990. Rice Quality and Grades. P.89-119, In: B.S. Luh (ed) Rice, Vol. II:
Utilization A.U. Pub. Co.Conn.

336 Suismono dan Rahmat: Kajian Teknologi Penyosohan.....


Teknologi Budidaya Padi Jarwo Super dan Itik
di Lahan Sawah Pasang Surut Mendukung
Pertanian Berkelanjutan di Provinsi Riau
Rathi Frima Zona1, Rizqi Sari Anggraini1, Oni Ekalinda1 dan Nana Sutrisna2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau
Jl. Kaharuddin Nasution No 341 Km 10, Pekanbaru, Riau, Indonesia
Email: zona_riau@yahoo.com
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat
Jl. Kayuambon No 80 Lembang Jawa Barat Indonesia

ABSTRAK
Fenomena degradasi kesuburan lahan dan konversi lahan pertanian
menjadi penyebab berkurangnya luas lahan sawah irigasi di Indonesia.
Hal ini mengakibatkan penurunan produktivitas padi sawah yang
berdampak pada pemenuhan kebutuhan beras. Salah satu upaya untuk
meningkatkan produktivitas padi sawah adalah dengan melakukan
pengembangan lahan pasang surut. Pulau Sumatera memiliki lahan
pasang surut sekitar 7,1 juta ha, dan 4 juta ha berpotensi untuk
pengembangan pertanian, salah satunya di Kabupaten Indragiri Hilir,
Provinsi Riau. Saat ini, produktivitas padi sawah di Kabupaten Indragiri
Hilir sekitar 3,9 ton/ha. Rendahnya produktivitas ini disebabkan
terbatasnya informasi teknologi budidaya padi sawah di lahan pasang
surut. Tujuan dari penelitian adalah (a) untuk mengetahui produksi
padi dengan teknologi budidaya padi jarwo super di lahan sawah
pasang surut Provinsi Riau dan (b) untuk mengetahui produksi telur
itik yang dipelihara secara terintegrasi dengan padi jarwo super.
Penelitian dilakukan di Desa Kempas Jaya, Kabupaten Indragiri Hilir,
Provinsi Riau dari Januari - Desember 2018. Penelitian menggunakan
teknologi budidaya padi jarwo super yang di integrasikan dengan itik
dan teknologi budidaya padi existing (teknologi petani). Varietas padi
yang digunakan adalah Batang Piaman dan jenis itik yang digunakan
adalah Itik Dara (Pitalah). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
teknologi budidaya padi jarwo super yang di integrasikan dengan itik
memberikan hasil yang lebih baik untuk tinggi tanaman (118,4 cm),
jumlah anakan (22 rumpun), dan produksi padi (6,50 ton/ha GKP),
dibandingkan dengan teknologi budidaya padi existing. Selain itu,
teknologi budidaya padi jarwo super dan itik mampu menghasilkan
telur itik sebanyak 120 butir/hari pada puncak produksi.
Kata kunci: Sawah, lahan pasang surut, padi, itik.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 337


ABSTRACT
Degradation of soil fertility and conversion of agricultural land
is the cause of the decrease in irrigated rice fields in Indonesia.
Developing tidal swamp area become promising effort to increase
rice productivity. Sumatra Island has a tidal land around 7.1
million ha, which 4 million ha is the potential area for
agricultural development, such as Indragiri Hilir Regency, Riau
Province. At present, the productivity of rice in Indragiri Hilir
Regency is 3.9 tons/ha. The low productivity is due to the limited
information about rice cultivation technology in tidal land. The
objectives of the study were (a) to determine the production of
rice with jarwo super rice cultivation technology in the tidal
rice field of Riau Province and (b) to determine the production
of duck eggs integrated with jarwo super rice system. This study
was conducted in Kempas Jaya Village, Indragiri Hilir Regency,
Riau Province from January to December 2018. This study was
compare jarwo super rice cultivation technology integrated with
ducks and existing rice cultivation technology (farmer practice)
using Batang Piaman rice variety and Dara (Pitalah) duck
spesies. The results showed that jarwo super rice cultivation
technology integrated with ducks gave better results for plant
height (118.4 cm), the number of tillers (22 clumps), and rice
production (6.50 tons/ha) compared to the existing rice
cultivation technology. Besides, jarwo super rice cultivation
technology integrated with ducks can produce 120 eggs/day at
the peak of the production season.
Keywords: Rice fields, tidal land, rice, ducks.

PENDAHULUAN
Indonesia memiliki sumber daya lahan yang sangat luas untuk peningkatan
produkivitas tanaman pangan, khususnya tanaman padi. Beras sebagai salah
satu sumber pangan utama penduduk Indonesia dan kebutuhannya terus
meningkat karena selain penduduk terus bertambah dengan laju peningkatan
sekitar 1,49% per tahun, juga adanya perubahan pola konsumsi penduduk dari
non beras ke beras. Disamping itu terjadinya penciutan lahan sawah irigasi
akibat konversi lahan untuk kepentingan non pertanian dan munculnya penomena
degradasi kesuburan lahan menyebabkan produktivitas padi sawah irigasi

338 Zona et al.: Teknologi Budidaya Padi Jarwo Super dan Itik.....
cenderung melandai (Anonimous, 2017). Berkaitan dengan perkiraan terjadinya
penurunan produksi tersebut maka perlu diupayakan penanggulanggannya melalui
peningkatan produktivitas lahan sawah yang ada, intensitas pertanaman,
pencetakan lahan irigasi baru dan pengembangan lahan potensial lainnya
termasuk lahan marginal seperti lahan rawa pasang surut.
Lahan pasang surut mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan
menjadi lahan pertanian berbasis tanaman pangan dalam menunjang ketahanan
pangan nasional. Saat ini, Indonesia memiliki sekitar 9.3 juta lahan pasang surut
yang berpotensi untuk pengembangan tanaman pangan (Ismail et al. 1993).
Pulau Sumatera diperkirakan memiliki lahan pasang surut seluas 7,1 juta ha,
yang berpotensi untuk pengembangan pertanian adalah sekitar 4 juta ha, termasuk
lahan pasang surut di Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik Provinsi Riau (2017), produktivitas padi
di Kabupaten Indragiri Hilir adalah 3.9 ton/ha. Produktivitas ini termasuk rendah
bila dibandingkan dengan kabupaten lain. Beberapa hal yang menjadi penyebab
rendahnya produktivitas ini adalah penggunaan benih yang belum bersertifikat/
benih unggul, jenis lahan pasang surut yang dikategorikan lahan marginal,
terbatasnya pengetahuan petani tentang budidaya padi di lahan pasang surut
serta adanya serangan hama, penyakit dan gulma di pertanaman padi.
Khusus untuk pengendalian hama, penyakit dan gulma, petani di Kabupaten
Indragiri Hilir masih sangat tergantung pada penggunaan bahan-bahan kimia.
Sedangkan untuk peningkatan produksi, petani masih menggunakan pupuk
anorganik dengan dosis yang cukup tinggi dan tidak sesuai dengan rekomendasi
pemupukan di daerah tersebut.
Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk peningkatan produktivitas
padi di lahan sawah pasang surut adalah dengan menggunakan teknologi jarwo
super padi yang memiliki beberapa komponen teknologi yaitu (a) penggunaan
Varietas Unggul Baru (VUB) potensi hasil tinggi, (b) penggunaan biodekomposer
secara insitu sebelum pengolahan tanah, (c) penggunaan pupuk hayati dan
pemupukan berimbang berdasarkan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS), (d)
pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dengan pestisida nabati
dan pestisida anorganik berdasarkan ambang kendali, serta (e) penggunaan
alat mesin pertanian (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2016).
Selain itu, untuk mencapai pertanian berkelanjutan dalam penerapan
teknologi jarwo super padi di lahan sawah pasang surut serta berdasarkan
komponen teknologi pada teknologi jarwo super yang membatasi penggunaan

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 339


bahan-bahan kimia, maka teknologi budidaya padi jarwo super yang di
integrasikan dengan itik dapat menjadi salah satu alternatif teknologi budidaya
padi yang meminimalisir penggunaan bahan-bahan kimia. Hal ini sesuai dengan
pendapat Lu et al (2005) yang menyatakan bahwa budidaya padi dan itik
merupakan salah sat.u teknologi ramah lingkungan yang mengurangi penggunaan
bahan-bahan kimia. Selain itu, Wang et al. (2003) juga menyatakan bahwa
budidaya padi dan itik secara bersama-sama mampu mengurangi efek dari
budidaya padi secara konvensional yang menggunakan bahan kimia dengan
dosis yang tinggi,
Beberapa keuntungan dalam budidaya padi dan itik secara bersama adalah
(a) itik dapat mengendalikan jumlah hama dan gulma di areal persawahan dengan
cara mengkonsumsinya, (b) itik juga dapat mengurangi penggunaan pestisida,
herbisida dan pupuk dengan cara menggunakan kotoran itik sebagai pupuk organik
untuk pertumbuhan tanaman padi, sehingga bisa mengurangi penggunaan pupuk
kimia, (c) itik juga dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan gerakan itik
yang berjalan di areal persawahan yang secara tidak langsung berkontribusi
terhadap pertumbuhan padi (Long et al., 2013).
Tujuan dari penelitian ini adalah (a) untuk mengetahui produksi padi dengan
teknologi budidaya padi jarwo super di lahan sawah pasang surut Provinsi Riau
dan (b) untuk mengetahui produksi telur itik yang dipelihara secara terintegrasi
dengan padi jarwo super

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini dilakukan di Desa Kempas Jaya, Kabupaten Indragiri Hilir dari
bulan Januari sampai dengan Desember 2018. Lahan sawah di Desa Kempas
Jaya termasuk kategori lahan sawah pasang surut tipe C atau pasang surut
tidak langsung, yang ditanami padi satu kali dalam setahun.
Penelitian ini membandingkan 2 (dua) teknologi budidaya tanaman padi
yaitu teknologi budidaya padi jarwo super yang diintegrasikan dengan itik,
dibandingkan dengan teknologi budidaya padi yang saat ini dilakukan oleh petani
(existing). Ulangan pada penelitian ini adalah petani sebanyak 10 orang per
masing-masing perlakuan dengan luas lahan 1 ha.
Budidaya padi menggunakan teknologi jarwo super yang meliputi: (a)
penggunaan Varietas Unggul Baru (VUB) yaitu Batang Piaman, (b) penanaman
dengan sistem Legowo 2:1, (c) penggunaan Agrimeth sebagai pupuk organik

340 Zona et al.: Teknologi Budidaya Padi Jarwo Super dan Itik.....
yang diaplikasikan ke benih padi, (d) penggunaan M-Dec sebagai biodecomposer
yang diaplikasikan pada olah tanah pertama, (e) penggunaan pupuk kandang,
(f) penggunaan Urea, TSP dan KCl sesuai dengan rekomendasi PUTS, dan (f)
pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan bioprotektor.
Walaupun dikategorikan sebagai lahan rawa pasang surut tipe C, namun teknologi
yang digunakan tetap mengacu kepada teknologi jarwo super di lahan irigasi.
Hal ini karena sifat lahan rawa tipe pasang surut tipe C yang tidak diluapi oleh
air pasang, namun air pasang hanya mempengaruhi kedalaman muka air tanah
kurang dari 50 cm dari permukaan tanah, sehingga penanaman masih bisa
dilakukan sesuai dengan kondisi di lahan sawah irigasi.
Itik yang dibudidayakan adalah Itik Dara (Pitalah), itik lokal yang berasal
dari Sumatera Barat. Itik Dara (Pitalah) yang dipelihara berumur 4 bulan dan
digembalakan di areal sawah pasang surut yang sudah ditanami padi. Itik
diberikan pakan tambahan berupa konsentrat N544 dan dedak. Petani
memelihara sebanyak 136 itik yang terdiri dari 16 itik jantan dan 120 itik betina
di lahan seluas 1 ha.
Tahapan pelaksanaan kegiatan adalah (1) pembibitan, benih padi direndam
selama 24 jam, kemudian dicampur dengan Agrimeth dan kemudian disemaikan
di tempat persemaian, (2) persiapan lahan dengan cara membersihkan areal
sawah dari gulma, pohon, dan sisa-sisa tanaman, kemudian dilakukan pengolahan
tanah, (3) pemberian pupuk organik dari kotoran sapi sebanyak 2 ton/ha, (4)
penggunaan biodekomposer M-Dec sebanyak 4 kg/ha untuk pengomposan
jerami, (5) penanaman menggunakan sistem Jajar Legowo 2:1 dengan jarak
tanam 25x12,5x40 cm dan penggunaan bibit yang berumur 18 hari setelah semai,
(6) itik dilepas di sawah 15 hari setelah padi ditanam, (7) penyiangan dilakukan
secara manual dan menggunakan herbisida, (8) pemupukan berdasarkan
rekomendasi PUTS menggunakan Urea 200 Kg/ha, TSP 100 Kg/ha dan KCl
100 Kg/ha, (9) pengendalian hama dan penyakit, dan (10) panen dilakukan ketika
tanaman 90-95% matang.
Budidaya padi menggunakan teknologi yang dilakukan oleh petani (existing)
meliputi (a) penggunaan VUB yaitu Batang Piaman, (b) penanaman dengan
sistem tegel dengan jarak tanam 25x25 cm dan (c) penggunaan pupuk anorganik
berupa Urea sebanyak 300 Kg/ha, TSP 100 Kg/ha dan KCl sebanyak 100 Kg/
ha.
Data yang dikumpulkan adalah tinggi tanaman (cm), jumlah anakan produktif
(rumpun), produksi (ton/ha) dan produksi telur itik (butir/hari). Pengamatan data
tinggi tanaman dilakukan 1x1 bulan dengan memilih 10 tanaman sampel per

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 341


petani. Pengamatan data jumlah anakan produktif dilakukan pada saat panen
dengan cara menghitung jumlah malai yang ada pada setiap rumpun sampel.
Sementara itu data untuk produksi padi diperoleh dengan cara menimbang hasil
panen padi setelah dirontokkan. Sedangkan untuk data produksi telur itik
dikumpulkan setiap hari, kemudian diambil rata-ratanya untuk mendapatkan
produksi telur itik per bulan. Data yang dikumpulkan dianalisa secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tinggi Tanaman (cm)
Berdasarkan hasil penelitian, tinggi tanaman pada teknologi budidaya padi jarwo
super dan itik (118,4 cm) lebih baik bila dibandingkan dengan teknologi budidaya
padi existing (teknologi petani) (117 cm). Hal ini disebabkan karena dengan
keberadaan itik di areal persawahan mampu meningkatkan kesuburan tanah
melalui gerakan itik yang berjalan di sekitar areal persawahan. Pergerakan itik
ini membuat tanah menjadi dibolak balik seperti diolah dengan menggunakan
cangkul, sehingga mampu memperbaiki struktur tanah. Dengan adanya perbaikan
struktur tanah ini, maka proses penyerapan unsur hara juga menjadi lebih optimal,
dan akhirnya berkontribusi terhadap pertumbuhan tanaman. Tinggi tanaman
dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tinggi tanaman pada teknologi budidaya padi existing dan teknologi budidaya padi
jarwo super dan itik di Kabupaten Indragiri Hilir, Mei- Agustus 2018.

342 Zona et al.: Teknologi Budidaya Padi Jarwo Super dan Itik.....
Jumlah Anakan Produktif (rumpun)
Berdasarkan hasil penelitian, teknologi budidaya padi jarwo super dan itik
memberikan jumlah anakan produktif lebih banyak (22 rumpun) bila dibandingkan
dengan teknologi budidaya padi existing (19 rumpun). Hal ini disebabkan karena
adanya tambahan nutrisi bagi pertumbuhan tanaman padi yang berasal dari
kotoran itik yang berada di areal persawahan. Kotoran itik menjadi salah satu
alternative pupuk organik tambahan yang secara tidak langsung menyediakan
nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman sehingga berkontribusi terhadap
pertumbuhan tanaman padi menjadi lebih baik. Jumlah anakan produktif dapat
dilihat pada Gambar 2.

Produksi Padi (ton/ha)


Berdasarkan hasil penelitian, teknologi budidaya padi jarwo super dan itik di
lahan sawah pasang surut memberikan produksi padi yang lebih baik (6.50 ton/
ha GKP) bila dibandingkan dengan teknologi budidaya padi existing (5.20 ton/
ha GKP). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mofidian dan Sadeghi (2015)
yang menyatakan bahwa keberadaan itik di lahan sawah mampu meningkatkan
produksi padi sekitar 10%. Peningkatan produksi padi ini karena adanya kontribusi
kotoran itik sebagai salah satu sumber pupuk tambahan untuk pertumbuhan

Gambar 2. Jumlah anakan produktif pada teknologi budidaya padi existing dan teknologi budidaya
padi jarwo super dan itik di Kabupaten Indragiri Hilir, Mei- Agustus 2018.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 343


padi, yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kesuburan tanah dan
ketersediaan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman. Selain itu, hal ini juga
disebabkan karena berkurangnya jumlah hama dan gulma pada areal pertanaman
karena dikonsumsi oleh itik.

Gambar 3. Produksi padi teknologi budidaya padi existing dan teknologi budidaya padi jarwo
super dan itik di Kabupaten Indragiri Hilir, Mei- Agustus 2018.

Gambar 4. Produksi telur itik pada teknologi budidaya padi jarwo super dan itik di Kabupaten
Indragiri Hilir, Mei- Desember 2018.

344 Zona et al.: Teknologi Budidaya Padi Jarwo Super dan Itik.....
Produksi Telur Itik (butir/hari)
Berdasarkan Gambar 4 di atas, produksi telur itik menunjukkan tren terus
meningkat dari bulan pertama produksi sampai bulan ke enam. Hal ini sesuai
dengan informasi yang disampaikan oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan Provinsi Sumatera Barat (2017) yang menyatakan bahwa Itik Dara
(Pitalah) mulai bertelur pada umur 6 bulan, dan akan mencapai puncak produksi
pada umur 10-12 bulan. Itik Dara (Pitalah) yang dipelihara pada penelitian ini
dilepas ke areal persawahan pada Bulan Mei 2018 pada umur 4 bulan, dan
pada Bulan Juli 2018 atau pada umur 6 bulan, itik sudah mulai menghasilkan
telur. Idealnya, Itik Dara (Pitalah) mampu menghasilkan telur sebanyak 180
butir secara intensif tergantung kepada nutrisi yang diberikan.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa teknologi budidaya padi
jarwo super yang di integrasikan dengan itik memberikan produksi padi lebih
baik bila dibandingkan dengan teknologi budidaya padi existing (teknologi petani)
yaitu 6.50 ton/ha GKP, dan produksi telur itik yang di integrasikan dengan padi
jarwo super mencapai 120 butir per hari pada puncak produksi.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2017. Kondisi dan Potensi Lahan Rawa di Indonesia. [7 Oktober
2019]
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2016. Petunjuk Teknis Budidaya
Padi Jajar Legowo Super. Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Jakarat. 44 hal
Badan Pusat Statistik. 2017. Provinsi Riau dalam Angka.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Barat. 2017. Itik
Pitalah: http://www.sumbarprov.go.id/details/category/197. [9Oktober
2019].
Ismail, I.G., Trip A., IPG Widjaja Adhi, Suwarno, Tati Herawati, Ridwan T. dan
DE. Sianturi. 1993. Sewindu penelitian pertanian di lahan rawa: Kontribusi
dan prospek pengembangan. Proyek Penelitian Pertanian Lahan Pasang
Surut dan Rawa-SWAMPS II. Badan Litbang Pertanian.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 345


Long, P., Huang, H., Liao, X., Fu, Z., Zheng,H., Chen, A. and Chen, C. 2013.
Mechanism and capacities of reducing ecological cost through rice-duck
cultivation. Journal of the Science of Food and Agriculture, 93:2881-2891.
Lu, J. X., Zhang, J. E. and Huang, Z.X. 2005. Anauxiliary control method of
rice-duck farming system leafroller:the rope scraping of rice tail. China
Rice, 3: 39-46.
Mofidian, Saleh and Sadeghi, Sayyed Mostafa. 2015. Evaluation of Integrated
Farming of Rice and Duck on Rice Grain Yiled in Gilan, Iran. Acta
Universitatis Agricultutre et Silviculturae Mendelianae Brunensis, 63(4):
1161-1168.
Wang, H., Hunag, H., Yang, Z., H. and Liao, X. L. 2003. Integrated benefits of
rice-duck complex ecosystem. Rural Ecosystem and Environment, 19:
23-26.

346 Zona et al.: Teknologi Budidaya Padi Jarwo Super dan Itik.....
Produksi dan Penyebaran Benih Varietas Unggul
Baru Padi Melalui Pendampingan Kawasan Padi
Lahan Sawah Irigasi Provinsi Jambi
Jumakir, Marlina SR dan Julistia Bobihoe
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi
Jl. Samarinda, Paal V, Kota Baru, Jambi
Email: jumakirvilla@yahoo.co.id

ABSTRAK
Upaya untuk meningkatkan produktivitas padi secara berkelanjutan
dengan meyediakan varietas yang mampu beradaptasi dengan baik,
produksinya tinggi dan disukai petani dan konsumen. Tujuan pengkajian
ini adalah untuk memproduksi dan penyebaran benih varietas unggul
baru padi melalui pendampingan kawasan padi lahan sawah irigasi
Provinsi Jambi. Pengkajian dilaksanakan di Desa Seling, Kecamatan
Tabir, Kabupaten Merangin pada Musim Kemarau (MK) 2018 dari
bulan April sampai Agustus. Varietas yang ditanam yaitu Inpari 30,
dan Inpara 3. Teknologi budidaya padi melalui PTT dengan luas 2 ha,
sistem tanam jajar legowo 4: 1, dosis pupuk Urea 150 kg/ha, 100 kg/
ha SP36 dan 50 kg/ha KCl. Kelompok tani yang terlibat dalam
pendampingan adalah Tunas Muda dengan luas tanam 25 ha dan
varietas padi yang ditanam adalah Inpari 30. Produktivitas padi kedua
varietas tersebut masing-masing 5,50 t/ha GKP dan 5,20 t/ha GKP.
Pendapatan usahatani padi dengan pendekatan teknologi PTT Rp.
9.825.000 dan cara petani Rp 6.920.000 (Peningkatan pendapatan
sebesar 29,57 persen).Varietas-varietas yang diintroduksikan telah
menyebar dan dikembangkan di Kecamatan Tabir dan Kecamatan
Pangkalan Jambu sebanyak 2.500 kg Inpari 30 dan 1.250 kg Inpara
3. Pendampingan penangkaran benih padi Inpari 30 secara swadaya
penyebaran benihnya di Kecamatan Jangkat sebanyak 7.000 kg dan
Kecamatan Pamenang sebanyak 750 kg. Pemasaran benih padi
bemitra dengan PT. Shang Hyang Sri (SHS) dan Dinas Tanaman
Pangan dan Hortikutura.
Kata kunci: Pendampingan, produksi, dan penyebaran varietas padi .

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 347


ABSTRACT
Efforts to increase rice productivity in a sustainable manner by
providing varieties that are able to adapt well, high production
and preferred by farmers and consumers. The purpose of this
study is to produce and distribute seeds of new superior varieties
of rice through the assistance of the irrigated paddy field in
Jambi Province. The assesment was carried out Seling Village,
Tabir Subdistrict, Merangin District in the dry season (DS) 2018
from April to August. The varieties planted are Inpari 30, and
Inpara 3. Rice cultivation technology through ICM with an area
of 2 ha, 4: 1 legowo row planting system, Urea fertilizer dosage
of 150 kg/ha, 100 kg/ha SP36 and 50 kg/ha KCl. The farmer
groups involved in the mentoring are Tunas Muda with a planting
area of 25 ha and the rice variety planted is Inpari 30. The
productivity of both varieties is 5.50 t/ha HDG and 5.20 t/ha
HDG. Rice farming income using ICM technology approach Rp.
9,825,000 and the way to farmers Rp 6,920,000 (Increase in
income by 29.57 percent). The varieties introduced were spread
and developed in the Tabir District and the Pangkalan Jambu
District by 2,500 kg Inpari 30 and 1,250 kg Inpara 3. Inpari 30
rice seed breeding assistance is independently distributed in the
Jangkat District as much as 7,000 kg and Pamenang District as
much as 750 kg. Marketing of partner rice seeds with PT. Shang
Hyang Sri (SHS) and the Department of Food and Horticultural
Plants.
Keywords: Assistance, production, and distribution of rice variety.

PENDAHULUAN
Provinsi Jambi memiliki luas panen padi mencapai 122.214 ha dan pertanamannya
tersebar di 11 kabupaten/kota dengan rata-rata produktivitas 4,75 ton/ha. Daerah
sentra produksi padi di Provinsi Jambi adalah Kabupaten Tanjung Jabung Timur
dan Kabupaten Kerinci dengan luas masing-masing 31.284 ha dan 28.252 ha.
Kabupaten Merangin, luas panen padi sawah 8.482 ha dengan rata-rata
produktivitas 4,85 ton/ha, luas panen padi ladang 4.396 ha dengan rata-rata
produktivitas 3,26 ton/ha (BPS, 2016). Rendahnya produktivitas tersebut
disebabkan oleh pengelolaan komoditas belum terpadu dari aspek teknis dan
non-teknis pada suatu kawasan.

348 Jumakir et al.: Produksi dan Penyebaran Benih Varietas Unggul Baru Padi.....
Menurut Makarim et al. (2004), bahwa salah satu penyebab penurunan
produkivitas padi sawah adalah adanya penggunaan varietas yang sama pada
suatu wilayah dengan kurun waktu yang lama, sehingga tidak mampu lagi
berproduksi lebih tinggi karena kemampuan genetiknya terbatas. Selanjutnya
Abdullah et al. (2008), mengatakan bahwa penyebab rendahnya produksi padi
diantaranya adalah telah tercapainya potensi hasil optimum dari varietas unggul
baru (VUB) yang ditanam oleh petani atau terbatasnya kemampuan genetik
varietas unggul yang ada untuk berproduksi lebih tinggi (Balitpa, 2003). Oleh
karena itu perlu adanya varietas unggul baru sebagai pengganti varietas unggul
lama yang sudah mengalami penurunan produktivitas. Upaya untuk
meningkatkan produktivitas padi secara berkelanjutan dengan meyediakan
varietas yang mampu beradaptasi dengan baik, produksinya tinggi dan disukai
petani dan konsumen. Padi VUB merupakan salah satu teknologi inovatif yang
dihasilkan Badan Litbang Pertanian yang memberikan kontribusi cukup besar
bagi peningkatan produktivitas padi secara nasional. Badan Litbang Pertanian
telah melepas beberapa varietas unggul baru padi irigasi dan rawa diantaranya
Inpari 30 dan Inpara 3. Varietas Inpari 30 merupakan padi sawah irigasi, cocok
ditanam di sawah dataran rendah sampai ketinggian 400 m dpl di daerah luapan
sungai, potensi hasil 9,6 t/ha dan rata-rata hasil 7,2 t/ha serta tekstur nasi pulen.
Varietas Inpara 3 dapat beradaptasi di lahan rawa pasang surut dan rawa lebak,
toleran terhadap keracunan Fe dan Al dan potensi hasil 5,6 t/ha GKG (Badan
Litbang Pertanian, 2013 dan Jamil et al., 2016).
Salah satu penyebab rendahnya produksi padi adalah terbatasnya
ketersediaan benih bermutu dan varietas unggul baru. Oleh karena itu, upaya
untuk meningkatkan produksi padi, menyediakan benih padi unggul bermutu
dan sekaligus kesejahteraan petani, perlu suatu strategi/program pemberdayaan
mengarah pada upaya memandirikan dan meningkatkan kemampuan masyarakat
serta membangkitkan kesadaran akan kemampuan yang dimiliki untuk maju ke
arah kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan (sustainable). Untuk itu,
implementasi dari pemberdayaan masyarakat salah satunya dilakukan melalui
kegiatan pendampingan dan pengawalan teknologi sehingga usaha masyarakat/
petani dapat berkembang secara mandiri (Semiaji, 2011).
Kegiatan pendampingan dan pengawalan teknologi ini merupakan
implementasi teknologi hasil dari paket teknologi budidaya tanaman padi dengan
pendekatan PTT, dan diharapkan dapat meningkatkan kapasitas dan keterampilan
kelompok tani, memperkenalkan dan mempromosikan teknologi baru yang akan
dikembangkan pengguna kepada kelompok tani, memberikan akses kepada
kelompok tani untuk berinteraksi dengan sumber–sumber teknologi, memperkaya

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 349


pilihan teknologi, dan mengetahui informasi pasar (Kementan, 2014). Kegiatan
pendampingan merupakan hal yang sangat penting dalam upaya untuk mengatasi
permasalahan dan memanfaatkan peluang yang ada. Pendampingan
pengembangan kawasan padi merupakan upaya pemberdayaan petani dalam skala
kawasan, kearah peningkatan adopsi inovasi teknologi usahatani menuju capaian
produksi padi sesuai target (Badan Litbang Pertanian, 2016). Tujuan pengkajian
ini adalah untuk memproduksi dan penyebaran benih varietas unggul baru padi
melalui pendampingan kawasan padi lahan sawah irigasi Provinsi Jambi.

METODOLOGI
Pendampingan Pengembangan Kawasan Padi dilaksanakan di lahan sawah irigasi
Desa Seling, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin pada musim kemarau (MK)
bulan April sampai Agustus 2018. Varietas padi yang ditanam yaitu Inpari 30
dan Inpara 3. Teknologi budidaya padi melalui pendekatan pengelolaan tanaman
terpadu dengan luas 2 ha. Komponen teknologi adalah pengolahan tanah
sempurna, varietas unggul baru, penggunaan pupuk hayati Agrimeth sebagai
seed treatment (500 gr/ha), sistem tanam jajar legowo 4: 1. Dosis pupuk Urea
150 kg/ha, 100 kg/ha SP36 dan 50 kg/ha KCl, pengendaliaan hama penyakit,
panen dan pasca panen. Pendampingan kawasan padi gapoktan Bina Bersama
dengan luas sawah 369 ha terdiri dari 12 kelompok tani. Kelompok tani yang
terlibat dalam pendampingan adalah Tunas Muda dengan luas tanam 25 ha dan
varietas padi yang ditanam adalah Inpari 30, sedangkan pendampingan
penangkaran benih padi Inpari 30 seluas 5 ha. Pada pengkajian ini, selain
gapoktan /kelompok tani juga dilibatkan aparat desa/Kepala Desa, PPL, BP3K,
Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura dan BPSB Kabupaten Merangin.
Sebelum pengkajian dilakukan sosialisasi pendampingan kawasan padi
bersama gapoktan, aparat desa, PPL, BPP, BP3K, petani penangkar, BPSB
dan Dinas TPH Kabupaten. Selanjutnya dilakukan komunikasi ke Dinas Pertanian
Provinsi (BPSB Provinsi), Dinas TPH Kabupaten Merangin (BPSB Kabupaten),
dan mengajukan permohonan sertifikasi benih dan menjelaskan cakupan kegiatan
pengkajian perbenihan di lahan petani yang bersifat terapan dan berskala luas
serta pembinaan/pendampingan gapoktan. Pemantauan secara bertahap oleh
BPSB yaitu saat tanam dilapangan, panen dan pasca panen sampai benih diuji
di laboratorium BPSB untuk dijadikan benih bersertifikat. Komponen teknologi
perbenihan padi lahan sawah tertera pada Tabel 1 (Badan Litbang Pertanian,
2007 dan BBP2TP, 2013.). Untuk proses pembuatan benih dan sertifikasi, petani
penangkar telah mempunyai izin sebagai penangkar benih.

350 Jumakir et al.: Produksi dan Penyebaran Benih Varietas Unggul Baru Padi.....
Tabel 1. Acuan teknologi perbenihan padi di Desa Seling, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin,
Provinsi Jambi pada MK 2018.

No Komponen Teknologi perbenihan


teknologi

1 Varietas • VUB Inpari 30


2 Pemilihan lokasi • Lahan subur dengan air irigasi dan saluran drainase yang
baik
• Bersih dari sisa-sisa tanaman/varietas lain
• Bersih dari gangguan hama/penyakit
• Jarak minimal antar varietas yang berbeda 3 m
3 Penyiapan lahan • Lahan terbaik untuk produksi benih sumber adalah lahan
bekas varietas yang sama musim sebelumnya atau lahan bera
4 Pesemaian • Buat bedengan persemaian dengan tinggi 5-10 cm, lebar
sekitar 110 cm, panjang sesuai kebutuhan
• Luas lahan untuk persemaian sekitar 4% dari luas areal
produksi (400 m2 per hektar pertanaman)
• Tabur benih secara merata pada persemaian
• Pupuk Urea, SP 36 dan KCl masing-masing 15 g/m2
• Aplikasi pestisida bila diperlukan.
5 Penanaman • Bibit dipindahkan ke lapangan saat berumur 10-15 HSS
• Bibit yang ditanam sebaiknya mempunyai umur fisiologis
yang sama (dicirikan oleh jumlah daun yang sama,
misalkan bibit dengan 2 atau 3 daun)
• Penanaman dilakukan dengan 2-3 bibit/lubang tanam
• Jarak tanam 25x25 cm atau 20x20 cm tergantung varietas
• Sisa dari bibit yang telah dicabut disimpan di dalam petak
untuk bahan menyulam pertanaman
• Penyulaman dilakukan pada 7 HST dengan menggunakan
bibit dari varietas dan umur yang sama
6 Pengaturan irigasi • Setelah tanam, ketinggian air sekitar 3 cm dipertahankan
sampai 3 hari
• Pada fase primordia bunga sampai bunting, ketinggian air
dipertahankan sekitar 5 cm untuk menekan anakan baru
• Pada fase bunting sampai fase berbunga, lahan secara
periodik diairi dan dikeringkan secara bergantian (selang-
seling, intermitten)
• Petakan diairi setinggi 5 cm kemudian dibiarkan sampai
kondisi sawah kering selama 2 hari dan kemudian diairi
kembali setinggi 5 cm dan seterusnya
• Setelah selesai fase berbunga sampai masa pengisian biji,
ketinggian air pada lahan sipertahankan setinggi 3 cm
• Fase pemasakan biji pengairan intermitten, kemudian 7 hari
menjelang lahan mulai dikeringkan untuk memudahkan saat
panen

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 351


Tabel 1. Lanjutan.

No Komponen Teknologi perbenihan


teknologi

7 Pemupukan • Pada pengolahan tanah I dilakukan aplikasi bahan organik


(pupuk kandang 1 ton/ha)
• Pada saat tanam atau maksimal 1 MST, aplikasi 75 kg
Urea/ha, 100 kg SP 36/ha dan 50-100 kg KCl/ha
• 4 MST dilakukan pemupukan susulan 75 kg Urea/ha
8 Pengendalian • Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
hama/penyakit
9 Pengendalian gulma • Pengendalian gulma dapat dilakukan secara manual dengan
tangan maupun menggunakan gasrok ataupun dengan
menggunakan bahan kimia (herbisida)
10 Roguing • Roguing adalah kegiatan untuk membuang tipe simpang
(rumpun-rumpun tanaman yang ciri-ciri morfologinya
menyimpang dari ciri-ciri rumpun tanaman varietas yang
sedang diproduksi), campuran varietas lain dan membuang
tanaman lain
• Tanaman yang terinfeksi oleh stem borer atau penyakit
tanaman lainnya seperti tungro juga harus dibuang pada
saat roguing.
11 Panen • Sebelum panen dimulai, beberapa peralatan yang akan
digunakan untuk panen (thresher), pengeringan (lantai
jemur, mesin pengering) harus disiapkan dan dibersihkan
agar tidak menjadi sumber kontaminasi. Untuk karung
sebaiknya digunakan karung yang baru
• Sebelum panen juga harus dipastikan bahwa di areal yang
akan dipanen tidak ada sisa malai yang tertinggal di
pertanaman yang dibuang saat roguing, terutama saat
roguing terakhir (1 minggu sebelum panen)
• Panen sebaiknya dilakukan per varietas. Calon benih
kemudian dimasukkan ke karung dengan diberi label (nama
varietas, tanggal panen dan lokasi produksi)
12 Pengolahan benih • Pemeriksaan alat-alat pengolahan sebelum pengolahan benih
dimulai harus dilakukan
• Pengolahan benih mencakup pengeringan, pembersihan,
grading (bila perlu) dan pengemasan
• Bila pengeringan dengan cara penjemuran, maka lantai jemur
sebaiknya diberi lamporan untuk mencegah suhu yang terlalu
tinggi pada lantai jemur
• Bila menggunakan mesin pengering, suhu pengeringan harus
mempertimbangkan kadar air benih awal

352 Jumakir et al.: Produksi dan Penyebaran Benih Varietas Unggul Baru Padi.....
Tabel 1. Lanjutan.

No Komponen Teknologi perbenihan


teknologi

• Hal lain yang perlu diperhatikan adalah: usahakan benih


tidak tercampur selama pengeringan dan penjemuran
sebaiknya dilakukan 4-5 jam/hari (tidak melampaui jam 12
siang
• Hindari benih tercampur/tertukar dengan varietas lain selama
pengeringan dan pengolahan
• Penjemuran sebaiknya dilakukan 4-5 jam/hari (tidak
melampaui jam 12 siang)
• Benih yang telah diproses dimasukkan dalam karung baru
dan diberi label yang jelas di dalam dan di luar karung
• Bila alat pengolahan akan digunakan untuk varietas lain,
maka alat tersebut harus dibersihkan dari sisa-sisa benih
varietas lain.
13 Penyimpanan benih • Penyimpanan benih sementara (menunggu sertifikat benih)
dapat menggunakan karung plastik dan diletakkan dalam
ruang ber-AC
• Pengemasan benih sudah dilengkapi dengan sertifikat harus
mempertimbangkan beberapa hal diantaranya: lama
penyimpanan, kadar air benih saat simpan dan kondisi (RH
dan suhu) ruang simpan
• Penyimpanan untuk tujuan komersiil sebaiknya
menggunakan kantong plastik ketebalan 0,8 mm yang di-seal
rapat
• Gudang penyimpanan benih sebaiknya memenuhi
persyaratan
• Tidak bocor, lantai harus padat dan ventilasi yang cukup
• Cara penumpukan hendaknya diatur sedemikian rupa agar
tumpukan rapih, mudah dikontrol, tidak mudah roboh dan
barang dapat keluar masuk dengan mudah
• Pada setiap tumpukan benih tersedia kartu pengawasan yang
memberikan informasi, nama varietas, tanggal panen, lokasi,
jumlah asal dan jumlah stock akhir).

Parameter yang diamati pada pengkajian ini meliputi aspek agronomis dan
aspek usahatani. Aspek agronomis meliputi keragaan tanaman dan hasil. Aspek
analisis usahatani yaitu input, output, harga benih dan gabah. Analisis yang
digunakan adalah analisis penerimaan dan pendapatan, analisis imbangan
penerimaan atas biaya (R/C) dan MBCR (Swastika 2004 dan Malian 2004).

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 353


1. Analisis pendapatan usahatani:
n
 = Y.Py –  Xi.Pxi – BL
I=1
Dimana:
 = Pendapatan bersih usahatani (Rp/ha)
Y = Total produksi (kg/ha)
Py = Harga jual padi (Rp/kg)
Xi = Tingkat penggunaan input usahatani (Rp/ha)
Pxi = Harga input usahatani (Rp/kg)
BL = Biaya lainnya (Rp/ha)
2. Kelayakan usahatani (R/C)
R/C = NPT/BT
Dimana:
R/C = Nisbah penerimaan dan biaya
NPT = Nilai produksi total (Rp/ha)
BT = Nilai biaya total (Rp/ha)
Dengan ketentuan:
R/C > 1, usahatani secara ekonomi menguntungkan
R/C = 1, usahatani secara ekonomi berada pada titik impas (BEP)
R/C < 1, usahatani secara ekonomi tidak menguntungkan (rugi)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Lokasi
Desa Seling merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah kerja
penyuluh pertanian (WKPP) Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, Provinsi
Jambi dengan luas wilayah 3.208 ha. Tata guna lahan sebagai lahan sawah 369
ha, kebun 1.600 ha, topografi datar terletak pada ketinggian 70-75 m dpl dan
rata-rata curah hujan 2.400-2.600 mm/tahun (Tabel 2). Tanah di Desa Seling
memiliki karakterisik antara lain berwarna hitam kelabu sampai coklat tua karena
bahan organiknya sudah berkurang, berstruktur remah dan tekstur lempung
berpasir, kandungan unsur hara rendah dan pH tanah agak masam. Kondisi
tanah tersebut memerlukan perbaikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan
hasil padi. Penambahan bahan organik berupa pupuk kandang/kompos dapat
menambah unsur hara, memperbaiki sifat fisik tanah dan dapat mengikat unsur
hara mikro yang berlebihan (Buckman dan Brady, 1982). Selanjutnya Sanchez
(1976) mengatakan unsur hara yang paling banyak dibutuhkan tanaman adalah

354 Jumakir et al.: Produksi dan Penyebaran Benih Varietas Unggul Baru Padi.....
Tabel 2. Karakteristik Desa Seling, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin
Provinsi Jambi.

No Karakteristik Desa Seling

1. Sumber daya lahan


- Luas 3.208 ha
2. Tata guna lahan
- Sawah 369 ha
- Kebun 1.600 ha
3. Kondisi lahan
- Elevasi 70-75 m dpl
- Topografi Datar bergelombang
- Kesuburan Rendah-sedang
- Jenis tanah/Tipologi lahan Podsolik Merah Kuning
4. Pola tanam
- Musim hujan (MH) Padi
- Musim kemarau (MK) Padi
5. Iklim
- Tipe B
- Curah hujan 2.400-2.600 mm/tahun
6. Kelembagaan
- Kelompok tani 12
- Kios saprotan 1
- RMU 10
- Hand traktor 14
- Gapoktan Bina Bersama

nitrogen, fosfor dan kalium. Menurut Anwar et al. (2007), bahwa lahan sawah
yang diusahakan untuk pertanaman padi tergolong kelas kesesuaian lahan dengan
kategori S1 yaitu sangat sesuai untuk padi sawah dan kategori S3 yaitu sesuai
marginal, mempunyai faktor pembatas ketersediaan oksigen sehingga untuk
memperoleh produktivitas optimal diperlukan drainase yang baik dan
penambahan input berupa pupuk organik dan pupuk anorganik. Berdasarkan
hasil analisis tanah, beberapa sifat tanah dan ciri tanah yang optimal untuk
mendukung pertumbuhan tanaman padi adalah: 1) pH antara 5,5-6,5, 2) tekstur
tanah lempung, berdrainase baik 3) tipe mineral liat 1:1 dan bahan induk kaya
akan hara, 4) kandungan bahan organik sedang, 5) ketersediaan hara dan mikro
cukup (Makarim, 2004).
Secara umum sistem usahatani yang berkembang di Desa Seling adalah
sistem usahatani berbasis tanaman pangan dengan pola tanam: Padi-Padi. Padi
sawah biasanya ditanam pada musim hujan, waktu tanamnya pada awal musim
hujan yaitu bulan Oktober/November dan panen dilakukan pada bulan Januari/

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 355


Tabel 3. Kalender musim dan pola tanam di Desa Seling, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin,
Jambi.

Bulan
Variabel
10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kalender Musim:
- Musim Hujan (MH)
- Musim Kemarau (MK)

Pola Tanam:
- Padi
- Padi

Pebruari. Pada musim kemarau, waktu tanam padi setelah panen padi musim
hujan yaitu bulan Januari/Pebruari dan panen pada bulan Mei.
Pola curah hujan di Desa Seling hampir merata sepanjang tahun dengan
curah hujan bulanan tertinggi umumnya terjadi bulan Desember/Januari dan
curah hujan terendah bulan Agustus. Musim hujan di Desa Seling dimulai bulan
September/Oktober dan musim kemarau pada bulan April/Mei.

Pertumbuhan Agronomis dan Produktivitas Padi


Keragaan tanaman padi varietas Inpari 30 dan Inpara 3 menunjukkan
pertumbuhan yang cukup baik. Inpari 30 pertumbuhannnya lebih baik dibanding
varietas Inpara 3. Produktivitas Inpari 30 adalah 5,5 t/ha dan Inpara 3 adalah
5,2 t/ha (Tabel 4). Kendala pertanaman padi musim kemarau adalah curah
hujan rendah pada saat tanaman padi fase vegetatif, sehingga dilakukan
pengaturaan air disesuaikan kebutuhan tanaman pada masing-masing kelompok
tani sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman padi. Respon petani
terhadap ke dua varietas tersebut menunjukkan Inpari 30 lebih disenangi oleh
petani karena rasa nasi yang pulen dan akan ditanam pada musim berikutnya.
Salah satu peluang peningkatan produktivitas padi dengan menggunakan varietas
unggul seperti Inpari 30 dan didukung curah hujan yang optimal. Taryat et al.
(2000) bahwa Varietas unggul padi sawah akan berkembang di masyarakat
apabila memiliki tiga faktor yaitu potensi hasil tinggi, tahan terhadap hama
penyakit serta memiliki mutu yang baik. Selain itu rasa nasi akan mempengaruhi
perkembangan varietas padi tersebut. Menurut Bachrein (2008) bahwa

356 Jumakir et al.: Produksi dan Penyebaran Benih Varietas Unggul Baru Padi.....
Tabel 4. Pertumbuhan dan produktivitas beberapa VUB padi di Desa Seling Kecamatan Tabir
Kabupaten Merangin MK 2018.

Keragaan Tinggi Jumlah Hasil


Varietas tanaman anakan (t/ha) Keterangan
Veg Gen (cm) produktif GKP

Inpari 30 3 3 95,5 16,8 5,50 PTT


Inpara 3 3 3 93,0 14,6 5,20 PTT
Inpari 30 3-5 3-5 90,7 11,9 4,20 Petani

Keterangan: keragaan: 1 = sangat baik, 3 = baik, 5 = sedang

penerapan inovasi teknologi seperti penggunaan varietas unggul perlu dilakukan


koordinasi dengan Dinas Pertanian agar penyebaran varietas unggul tersebut
masuk ke dalam program Pemda.

Analisis Usahatani
PTT Padi
Untuk mengukur tingkat kemampuan pengembalian atas biaya usahatani padi,
dihitung nisbah penerimaan atas biaya input yang digunakan sedangkan
pendapatan usahatani merupakan selisih antara nilai hasil dan biaya produksi.
Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa penerimaan dan pendapatan
usahatani padi tertera pada Tabel 5.
Penerimaan yang diperoleh dengan pendekatan teknologi PTT lebih besar
23,64 persen dibandingkan cara petani, sedangkan pendapatannya lebih besar
29,57 persen. Rendahnya pendapatan yang diperoleh cara petani disebabkan
hasilnya lebih rendah dibanding teknologi PTT. Bila dilihat dari efisiensi usahatani
yaitu R/C ratio usahatani padi masing-masing teknologi dengan nilai 2,04 (PTT),
dan 1,89 (Petani). Hal ini menunjukkan bahwa usahatani padi dengan ke dua
teknologi tersebut memberikan keuntungan, namun pertanaman padi dengan
teknologi pendekatan PTT lebih menguntungkan dibanding cara petani. Teknologi
budidaya padi dengan pendekatan PTT secara ekonomis cukup layak dan
kelayakan usahataninya lebih baik dari pada teknologi petani. MBCR 2,77
menunjukkan bahwa untuk setiap tambahan biaya yang dikeluarkan satu unit
memberikan tambahan pendapatan sekitar 2,77 kali.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 357


Tabel 5. Analisis usahatani padi dengan pendekatan PTT per hektar Desa Seling, Kecamatan
Tabir, Kabupaten Merangin. MK 2018.

PTT Petani
Uraian
Volume Nilai (Rp) Volume Nilai (Rp)

INPUT (Rp)
I. Sarana Produksi
- Benih 25 kg 250.000 25 kg 250.000
- Urea 150 kg 360.000 50 kg 120.000
- SP 36 100 kg 260.000 - -
- KCl 50 kg 400.000 - -
- NPK Phonska - - 300 kg 450.000
- M Dec 2 kg 35.000 - -
- Agrimeth 500 gr 135.000 - -
- Pestisida 500.000 400.000
Jumlah 1.940.000 1.220.000

II. Tenaga Kerja


- Olah tanah Borongan 2.160.000 Borongan 2.160.000
- Semai Borongan 100.000 Borongan 100.000
- Cabut bibit 2 OH 300.000 2 OH 300.000
- Tanam Borongan 1.500.000 Borongan 1.500.000
- Pemupukan 3 OH 225.000 2 OH 150.000
- Penyiangan 4 OH 300.000 4 OH 300.000
- Pengendalian hapen 2 OH 150.000 2 OH 150.000
- Panen/Prosesing Borongan 2.750.000 Borongan 1.900.000
Jumlah 7.485.000 6.560.000

Total (I+II) 9.425.000 7.780.000

OUTPUT
- Hasil (kg) 5.500 4.200
- Harga (Rp) 3.500 3.500
- Penerimaan (Rp) 19.250.000 14.700.000
- Pendapatan (Rp) 9.825.000 6.920.000
- R/C 2,04 1,89
- MBCR 2,77

Perbenihan Padi
Hasil analisis usahatani padi benih dan padi konsumsi terdapat perbedaan
terutama untuk biaya tenaga kerja. Perbenihan padi memerlukan biaya tambahan
rouging dan prosesing benih sesuai jumlah yang dijadikan benih (Tabel 6).

358 Jumakir et al.: Produksi dan Penyebaran Benih Varietas Unggul Baru Padi.....
Tabel 6. Analisis usahatani padi konsumsi dan padi benih per hektar Desa Seling, Kecamatan
Tabir, Kabupaten Merangin. MK 2018.

Padi konsumsi Padi benih


Uraian
Volume Nilai (Rp) Volume Nilai (Rp)

INPUT (Rp)
I. Sarana Produksi
- Benih 25 kg 250.000 25 kg 250.000
- Urea 150 kg 360.000 150 kg 360.000
- SP 36 100 kg 260.000 100 kg 260.000
- KCl 50 kg 400.000 50 kg 400.000
- M Dec 2 kg 35.000 2 kg 35.000
- Agrimeth 500 gr 135.000 500 gr 135.000
- Pestisida 500.000 500.000
Jumlah 1.940.000 1.940.000

II. Tenaga Kerja


- Olah tanah Borongan 2.160.000 Borongan 2.160.000
- Semai Borongan 100.000 Borongan 100.000
- Cabut bibit 300.000 300.000
- Tanam Borongan 1.500.000 Borongan 1.500.000
- Pemupukan 3 OH 225.000 3 OH 225.000
- Penyiangan 4 OH 300.000 4 OH 300.000
- Pengendalian hapen 2 OH 150.000 2 OH 150.000
- Rouging - - 10 OH 750.000
- Panen/Prosesing Borongan 2.750.000 Borongan 2.750.000
- Prosesing benih - - (2500 kg) 750.000
(pembersihan dan paking) 10 OH
Jumlah 7.485.000 8.985.000
Total (I+II) 9.425.000 10.925.000

OUTPUT
- Hasil (kg) 5.500 2.500
- Harga (Rp) 3.500 9.000
- Penerimaan (Rp) 19.250.000 22.500.000
- Pendapatan (Rp) 9.825.000 11.575.000
- R/C 2,04 2,06
- MBCR 1,86

Biaya tenaga kerja perbenihan padi 82,24 persen lebih tinggi dibandingkan
padi konsumsi yaitu 79,42 persen. Penggunaan saprodi perbenihan padi sama
dengan padi konsumsi sebesar Rp 1.940.000. Total biaya yang dikeluarkan
perbenihan padi lebih besar dari padi konsumsi sebesar 13,73 persen. Pendapatan
yang diperoleh padi benih sebesar Rp 11.575.000 sedangkan pendapatan yang

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 359


diperoleh padi konsumsi adalah Rp 9.825.000. Hal ini menunjukkan pendapatan
padi benih terjadi peningkatan sebesar 15,12 persen dibandingkan padi konsumsi.
Perbedaan pendapatan yang diperoleh dipengaruhi oleh produksi padi yang
dijadikan benih serta harga benih. MBCR 1,86 menunjukkan bahwa untuk setiap
tambahan biaya satu unit yang dikeluarkan memberikan tambahan pendapatan
sekitar 1,86 kali (Tabel 6).

Kelembagaan dan Penyebaran Varietas


Dari aspek kelembagaan perbenihan padi yang dilakukan gapoktan masih
diperlukan pembinaan dan pendampingan yang lebih intensif. Kendala kelompok
penangkaran benih padi diantaranya modal, dengan kondisi ekonomi anggota
kelompok sangat beragam sehingga tidak setiap anggota kelompok mau menunda
penjualan hasil panen sampai menjadi benih artinya sebagian dijual untuk
konsumsi yang digunakan untuk membayar pinjaman baik berupa sarana produksi
seperti pupuk maupun biaya pengolahan tanah. Gapoktan/penangkar sendiri
belum mampu untuk menampung hasil panenan karena modalnya terbatas.
Respon petani dan kelompok tani terutama pada varietas Inpari 30, karena
pertumbuhan dan hasilnya cukup baik serta rasa nasi pulen. Penyebaran varietas-
varietas tersebut telah menyebar atau dikembangkan di lokasi Kecamatan Tabir
dan Kecamatan Pangkalan Jambu sebanyak 2.500 kg Inpari 30 dengan label
biru. Selain itu pendampingan penangkaran benih padi Inpari 30 dan penyebaran
benihnya di Kecamatan Jangkat sebanyak 7.000 kg dengan label biru dan
Kecamatan Pamenang sebanyak 750 kg dengan label biru (Tabel 7). Untuk
pemasaran benih padi bekerjasama atau mitra dengan pihak swasta yaitu PT.
Shang Hyang Sri (SHS) dan Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura
Kabupaten.

Tabel 7. Luas tanam, hasil benih dan penyebaran VUB padi.

Varietas Luas tanam Hasil benih Peyebaran varietas Keterangan


(ha) (kg)

Inpari 30 6 2.500 Kec. Tabir, Sawah irigasi


Kec. Pangkalan Jambu
7.000 Kec. Jangkat Sawah irigasi
750 Kec. Pamenang Sawah irigasi
Inpara 3 1 1.250 Kec. Tabir Sawah irigasi/rawa

360 Jumakir et al.: Produksi dan Penyebaran Benih Varietas Unggul Baru Padi.....
KESIMPULAN
1. Keragaan tanaman padi varietas Inpari 30 dan Inpara 3, pertumbuhannya
cukup baik dengan produktivitas 5,5 t/ha GKP dan 5,2 t/ha GKP. Pendapatan
usahatani padi dengan pendekatan teknologi PTT Rp. 9.825.000 dan cara
petani Rp 6.920.000 (peningkatan pendapatan sebesar 29,57%).
2. Hasil benih padi varietas Inpari 30 sebanyak 10.250 kg, dan Inpara 3
sebanyak 1.250 kg. Penyebaran varietas di lokasi Kecamatan Tabir dan
kecamatan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah B, S Tjokrowidjojo dan Sularjo. 2008. Perkembangan dan prospek
perakitan padi tipe baru di Indonesia. Jurnal penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Indonesian Agricultural Research and Development Journal.
Volume 27, Nomor 1. 2008. Badan Litbang Pertanian. Deptan. Bogor
Anwar K, Suratman dan A Kasno. 2007. Identifikasi dan evaluasi potensi lahan
untuk mendukung primatani di desa Sri Agung Kecamatan Tungkal Ulu
Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor
Badan Litbang Pertanian. 2007. Pedoman Umum Produksi Benih Sumber Padi.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Badan Litbang Pertanian, 2013. Deskripsi varietas unggul baru padi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanan. Kementerian Pertanian.
Badan Litbang Pertanian. 2016. Petunjuk Pelaksanaan Pendampingan Pengem-
bangan kawasan Padi, Jagung dan Kedelai. Badan Litbang Pertanian.
Kementerian Pertanian.
Balitpa. 2003. Penelitian padi menuju revolusi hijau lestari. Balitpa. Puslitbangtan.
Badan Litbang. Jakarta
Bachrein, S. 2008. Pengkajian pengembangan model agribisnis jagung pada
lahan kering di Kabupaten Ciamis. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian. Volume 11, Nomor 13, Maret 2008. BBP2TP Bogor
BBP2TP. 2013. Petunjuk Teknis Produksi Benih Padi. Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Kementerian Pertanian
BPS. 2016. Jambi dalam angka. BPS Provinsi Jambi. Jambi

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 361


Buckman Harry O dan Nyle C Brady. 1982. Ilmu tanah. Bharata Karya Aksara.
Jakarta
Jamil A, Satoto, Sasmita P, Baliadi Y, Guswara A dan Suharna. 2016. Deskripsi
varietas unggul baru padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kementerian Pertanian. Balai Besar Penelitian. Tanaman Padi.
Sukamandi.
Kementan. 2014. Rancangan Model Pengembangan Kawasan Pertanian 2015-
2019. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Makarim AK. 2004. Teknik identifikasi wilayah sesuai untuk pengembangan
varietas unggul tipe baru. Makalah Pelatihan Pemasyarakatan dan
Pengembangan Padi VUTB. Sukamandi, 31 Maret-3 April 2004
Makarim AK, Irsal Las, AM Fagi, IN Widiarta dan D Pasaribu. 2004. Padi tipe
baru, budidaya dengan pendekaan pengelolaan tanaman terpadu. Pedoman
bagi penyuluh pertanian. Balitpa. Sukamandi.
Malian AH. 2004. Analisis ekonomi usahatani dan kelayakan finansial teknologi
pada skala pengkajian. Makalah disajikan dalam pelatihan Analisis
Finansial dan Ekonomi bagi Pengembangan Sistem dan Usahatani
Agribisnis Wilayah, Bogor, 29 November- 9 Desember 2004.
Sanchez, P.A. 1976. Properties and management of soil in the tropic. John
Wiley and sons,Inc. New York
Semiaji. 2011. Strategi pembangunan pasyarakat melalui pelibatan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan. Bunga Rampai Administrasi Publik.
Lembaga Administrasi Negara. Jakarta.
Swastika DKS. 2004. Beberapa teknik analisis dalam penelitian dan pengkajian
teknologi pertanian. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian. Volume 7 Nomor 1 Puslitbang Sosial Ekonomi. Bogor.
Taryat T, ZA Simanulang dan E Sumadi. 2000. Keragaan padi unggul varietas
Digul, Way Apo Buru dan Widas di lahan potensial dan marginal. Paket
dan komponen teknologi produksi padi. Simposium Penelitian Tanaman
Pangan IV di Bogor tanggal 23-24 November 1999. Puslitbangtan. Bogor.

362 Jumakir et al.: Produksi dan Penyebaran Benih Varietas Unggul Baru Padi.....
Integrasi Budidaya Padi Sawah Irigasi dengan Itik
di Kabupaten Subang
Agus Nurawan*, Kiki Kusyaeri Hamdani, Heru Susanto, dan Yanto Surdianto
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat
Jl. Kayuambon No. 80 Lembang, Kab. Bandung Barat
*
Email: agusnurawan@gmail.com

ABSTRAK
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) menjadi salah satu kendala
dalam budidaya tanaman padi sawah irigasi. Salah satu cara
pengendalian OPT pada budidaya padi sawah irigasi adalah penerapan
pertanian terpadu antara tanaman dan ternak seperti sistem integrasi
padi-itik. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui peran integrasi
padi-itik terhadap pengendalian OPT pada budidaya padi di lahan
sawah irigasi. Pengkajian dilaksanakan di wilayah endemik hama
keong mas yaitu kelompok tani Sabilulungan, Desa Gunungsari,
Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang pada bulan April - Desember
2016. Lokasi pengkajian merupakan wilayah endemik hama keong
mas.Perlakuan terdiri atas: 1) integrasi padi + itik pedaging Serati, 2)
integrasi padi + itik petelur, dan 3) padi tanpa itik. Hasil pengkajian
menunjukkan bahwa tanaman padi yang diintegrasikan dengan itik
dapat mengurangi serangan hama khususnya keong mas.Tanaman
padi yang diintegrasikan dengan itik pedaging Serati menghasilkan
produktivitas padi, pendapatan, dan nilai R/C rasio paling tinggi.
Kata kunci: Itik, keong mas, OPT, R/C rasio.

ABSTRACT
Plant Pests is one of the obstacles in the cultivation of irrigated
rice. One way to control pests in irrigated rice cultivation is the
application of integrated farming between crops and livestock
such as the integrated rice-duck system. This study aims to
determine the role of integration of paddy-duck to pest control
in rice cultivation in irrigated paddy fields. The assessment was
carried out in the endemic area of the golden snail pest, namely
the Sabilulungan farmer group, Gunungsari Village, Pagaden

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 363


District, Subang Regency in April - December 2016. The study
location was an endemic area of the golden snail pest Treatment
consists of: 1) integration of rice + Serati broiler ducks, 2)
integration of rice + laying ducks, and 3) rice without ducks.
The results of the study showed that rice plants integrated with
ducks could reduce pest attacks, especially golden snails. Rice
plants that were integrated with Serati broiler produce the highest
rice productivity, income, and R/C ratio values.
Keywords: Ducks, golden snails, OPT, R/C ratio.

PENDAHULUAN
Serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) berupa hama menjadi salah
satu kendala dalam budidaya tanaman padi di lahan sawah irigasi. Sampai saat
ini petani lebih suka menggunakan pestisida kimiawi yang cenderung berlebihan
sehingga berdampak negatif seperti terjadinya pencemaran lingkungan,
mengganggu kesehatan manusia, menyebabkan resistensi dan resurgensi
terhadap OPT sasaran, terbunuhnya musuh alami, dan meningkatnya biaya
produksi.
Semakin mahalnya biaya pengendalian OPT secara kimiawi menyebabkan
pendapatan petani jadi menurun. Cara pengendalian OPT pada budidaya padi
diantaranya dapat dilakukan melalui penerapan sistem pertanian terpadu antara
tanaman dan hewan/ternak dalam suatu lahan yang sama diantaranya adalah
sistem integrasi padi-itik.Integrasi antara padi dengan itik yang memiliki hubungan
yang saling menguntungkan. Keuntungan bagi itik adalah tersedianya pakan
seperti serangga, rumput, katak, siput, keong, lembing dan biota lain yang
ditemukan di sawah, sedangkan bagi tanaman padi yaitu mengurangi penggunaan
pestisida karena hama dimakan itik sehingga biaya produksi berkurang. Beberapa
keuntungan lainnya adalah meningkatnya efisiensi dan produktivitas lahan,
menghasilkan diversifikasi produk, menekan gulma, mengurangi hama dan
penyakit, memperbaiki kesuburan dan sifat fisik tanah (Schroder and Munch
2008) dan menghasilkan sumber nutrisi berupa kotoran ternak itik (Hossain et
al. 2005). Populasi itik pada lahan padi sawah bisa mencapai 1000-1500 ekor
per hektar (Goh et al. 2001). Populasi itik 600 ekor per hektar menghasilkan
pertumbuhan dan produksi padi sawah tertinggi (Sumini et al. 2019). Sistem ini
prinsipnya memanfaatkan sifat itik yang menyukai lingkungan berair dan
memakan berbagai tumbuhan dan hewan kecil yang hidupnya di sekitar batang
bawah padi (Murtidjo 1993). Kombinasi usahatani tanaman dan ternak telah

364 Nurawan et al.: Integrasi Budidaya Padi Sawah Irigasi dengan Itik.....
terbukti sebagai salah satu sistem produksi yang mengarah pada pertanian
berkelanjutan (Adiyoga et al. 2008) serta memaksimalkan pemanfaatan
sumberdaya (Balitbangtan 2010). Sistem pertanian terpadu antara tanaman
dengan hewan ternak menjadi salah satu sistem ramah lingkungan yang
menjanjikan (Januartha et al. 2012). Sistem pertanian terpadu memiliki prospek
dapat meningkatkan pendapatan petani yang tidak hanya berasal dari padi tapi
juga komoditas lain seperti ikan, bebek dan azolla. Menurut Polakitan et al.
(2015) usahatani padi yang dikombinasikan dengan ternak itik memberikan
keuntungan baik dari penjualan hasil padi maupun telur itik dan itik afkir dan
memiliki nilai R/C rasio > 1.
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui peran integrasi padi-itik terhadap
pengendalian OPT pada budidaya padi di lahan sawah irigasi.

BAHAN DAN METODE


Pengkajian dilaksanakan di kelompok tani Sabilulungan, Desa Gunungsari,
Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang pada bulan April - Desember 2016.
Lokasi pengkajian merupakan wilayah endemik hama keong mas.
Perlakuan pada pengkajian ini terdiri atas: 1) integrasi padi + itik pedaging
Serati, 2) integrasi padi + itik petelur, dan 3) padi tanpa itik. Setiap perlakuan
diberikan pembatas (barrier) berupa plastik dengan tinggi 75 cm. Luas areal
percobaan masing-masing perlakuan adalah 0,2. Varietas padi yang digunakan
adalah Ciherang dengan cara tanam jajar legowo 4:1. Itik pedaging Serati pada
saat awal dilepas di sawah berumur 6 minggu sedangkan itik petelur 10 bulan
(dara). Kedua jenis itik tersebut mulai dilepas pada saat umur tanaman padi 15
HST dan lama pemeliharaannya selama 75 hari. Pelepasan itik dilakukan mulai
pagi (jam 7.00) sampai sore (jam 16.00). Kepadatan populasi itik pedaging Serati
dan itik petelur pada lahan sawah irigasi yaitu 115 ekor/2.000 m2. Pakan untuk
itik pedaging Serati berupa pakan komersial yang diberikan pada fase starter
sebanyak 90 gram/ekor/hari dan fase grower/finisher sebanyak 200 gram/
ekor/hari sedangkan untuk itik petelur diberikan pakan dedak lokal yang tersedia
di lokasi. Jumlah pakan yang diberikan untuk kedua jenis itik tersebut 50%dan
diberikan pada waktu siang hari dengan tujuan untuk memancing itik agar mau
memangsa OPT.
Peubah yang diamati yaitu bobot badan itik, populasi hama, intensitas
serangan hama, kelimpahan OPT di dalam tembolok dan ampela itik, serta hasil
dan analisis usahatani. Analisis data dilakukan secara deskriptif.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 365


HASIL DAN PEMBAHASAN
Bobot itik
Itik ditimbang secara berkala setiap 2-3 minggu sekali dan bobot masing-masing
tahapan diperlihatkan pada Tabel 1. Awalnya terlihat bobot itik petelur cenderung
lebih tinggi dibandingkan itik Serati namun pada umur 45 HST (umur tanaman
padi) yang terjadi sebaliknya yaitu bobot itik Serati terlihat lebih tinggi dibandingkan
itik petelur. Hal ini terjadi karena itik Serati pada umumnya dipelihara di dalam
kandang dan tidak digembalakan sedangkan pada pengkajian ini itik Serati dan
petelur digembalakan sehingga tidak mencapai bobot yang optimal seperti halnya
yang dipelihara secara intensif. Proses aktivitas itik seperti bergerak, bermain,
dan berenang sangat membutuhkan energi. Energi yang banyak dikeluarkan
selama beraktivitas di sawah menjadi penyebab kurangnya energi untuk
pertumbuhan. Namun, dalam pemeliharaan yang digembalakan memiliki
keuntungan yaitu terdapat efisiensi dalam penggunaan pakan. Efisiensi pakan
hingga 50%, dari aspek ekonomi sangat menguntungkan. Menurut Mahfudz et
al. (2001) itik akan lebih aktif bergerak ke seluruh sudut petakan yang luas
untuk mencari berbagai jenis tumbuhan dan hewan yang dapat dimakan walaupun
disediakan pakan yang cukup.

Populasi hama
Keong mas merupakan jenis hama yang paling banyak dikonsumsi oleh itik baik
itik Serati maupun itik petelur. Hal ini dibuktikan dengan semakin menurunnya
populasi hama keong mas di lahan sawah seiring dengan bertambahnya umur
tanaman padi (Tabel 2) dan yang ditemukan di dalam tembolok dan ampela itik
(Tabel 5). Pada tanaman padi tanpa itik, populasi keong mas terus meningkat
hingga umur 30 HST dan jumlahnya masih jauh lebih banyak dibandingkan
tanaman padi yang terintegrasi dengan itik. Pada umur tanaman padi 70 HST,
terjadi peningkatan populasi keong mas pada perlakuan padi-itik walaupun
jumlahnya tidak terlalu signifikan. Hal tersebut diduga jumlah pakan itik sudah

Tabel 1. Perkembangan bobot itik pedaging Serati dan itik petelur.

Bobot (kg/ekor)
Jenis itik
15 HST 30 HST 45 HST 70 HST

Itik Serati 0,87 1,18 1,39 1,60


Itik petelur 1,05 1,30 1,33 1,46

366 Nurawan et al.: Integrasi Budidaya Padi Sawah Irigasi dengan Itik.....
Tabel 2. Populasi keong mas.

Populasi keong mas (ekor/0,2 ha)


Perlakuan
15 HST 30 HST 45 HST 70 HST

Padi + itik Serati 211 52 0 10


Padi + itik petelur 68 43 16 27
Padi tanpa itik 171 261 205 200

Tabel 3. Jenis serta populasi hama dan musuh alami.

30 HST (ekor/0,2 ha) 45 HST (ekor/0,2 ha) 70 HST (ekor/0,2 ha)


Perlakuan
WBC LB PB MA WBC LB PB M A WBC LB PB MA

Padi + itik Serati 0,80 0,00 0,00 0,80 1,06 7,30 1,06 0,00 0,80 5,00 0,00 0,00
Padi + itik petelur 3,00 2,30 0,00 0,00 3,00 0,70 0,50 2,10 2,00 6,00 0,00 0,20
Padi tanpa itik 4,30 2,06 0,00 0,13 1,80 3,60 2,02 0,00 4,50 3,00 0,00 0,50

Keterangan: WBC = Wereng Batang Coklat; LB= Lembing Batu; PB= Penggerek Batang;
MA= Musuh Alami

ditingkatkan, sehingga daya memangsanya terhadap hama mulai berkurang.


Menurut Basuki dan Setyapermas (2012) keberadaan itik selama 24 jam per
hari di lahan sawah menyebabkan perkembangan gulma dan berbagai OPT
terhambat dan berbeda halnya dengan tanaman padi monokultur yang
perkembangan OPT nya cenderung melewati ambang ekonomi sehingga
diperlukan pengendalian secara kimiawi.
Jenis hama lainnya yang ditemukan yaitu wereng coklat, lembing batu, dan
penggerek batang padi dengan jumlah yang fluktuatif (Tabel 3). Itik memakan
serangga, wereng, keong, dan sebagainya yang ada di sawah karena itik memiliki
sifat lebih menyukai pakan yang hidup sehingga populasi hama dapat ditekan
tanpa menggunakan pestisida. Dengan adanya pemangsaan itik terhadap
berbagai jenis hama tersebut dapat menghemat pakan itik sebesar 50%.Berbeda
dengan hama lainnya, terjadi peningkatan populasi lembing batu. Hal ini diduga
hama tersebut tidak disukai oleh itik karena memiliki bau yang menyengat. Itik
tidak hanya memangsa hama tetapi juga musuh alami. Hal ini dibuktikan dengan
populasi musuh alami yang semakin menurun pada perlakuan padi-itik.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 367


Intensitas serangan keong mas
Intensitas serangan keong mas pada perlakuan padi-itik menurun (Tabel 4).
Hal ini disebabkan keong mas merupakan hama yang paling banyak dimakan
oleh itik sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 5. Keberadaan keong mas
di lahan sawah dapat merusak tanaman padi bahkan serangan yang parah dapat
mengakibatkan tanaman padi yang masih muda habis tidak tersisa. Keong mas
dapat merusak tanaman padi dengan cara memakan bagian pangkal batang
tanaman yang baru pindah tanam serta menghancurkan tanaman muda (Widiarta
dan Suharto 2008). Dengan menurunnya populasi keong mas akan mengurangi
intensitas serangannya terhadap tanaman padi dan sebaliknya pada perlakuan
padi-tanpa itik intensitas serangannya meningkat. Introduksi ternak itik pada
pertanaman padi sistem IP 300 dapat mengurangi serangga tanaman padi, keong
penggangu, menekan gulma, dan dapat memberikan pupuk serta menstimulir
pertumbuhan padi (Abduh et al. 2003).

Kelimpahan OPT di dalam tembolok dan ampela itik


Hasil pembedahan tembolok dan ampela baik pada itik Serati maupun itik petelur
yang paling banyak ditemukan adalah keong mas kemudian gulma, hama (wereng
batang coklat, penggerek batang padi, dan lembing batu),dan hewan lainnya
(lalat dan kerang) (Tabel 5). Untuk memenuhi kebutuhan pakannya, itik tidak

Tabel 4. Intensitas serangan keong mas pada tanaman padi

Intensitas serangan keong mas (%)


Perlakuan
15 HST 30 HST 45 HST 70 HST

Padi + itik Serati 33,33 11,11 11,11 0


Padi + itik petelur 11,11 11,11 11,11 0
Padi tanpa itik 33,33 33,33 55,55 55,55

Tabel 5. Kelimpahan OPTdi dalam tembolok dan ampela itik.

Jenis itik KM WBC PBPm LB K L G

Itik Serati +++ + + + + - ++


Itik petelur +++ + + + + + ++

Keterangan:KM = Keong Mas; WBC = Wereng Batang Coklat; PB = Penggerek Batang Padi;
LB = Lembing Batu; K= kerang; L = lalat; G = gulma;
+++ = banyak; ++ = sedang; + = sedikit; - = tidak ada

368 Nurawan et al.: Integrasi Budidaya Padi Sawah Irigasi dengan Itik.....
hanya memakan hama, akan tetapi juga memakan benih dan bibit gulma. Dengan
demikian, fungsi lainnya dari keberadaan itik dengan berbagai aktivitasnya di
sawah dapat menekan pertumbuhan gulma. Hasil penelitian Murtisari dan Evans
(1982) melaporkan bahwa itik yang digembalakan mengkonsumsi siput sebanyak
17% dari total pakan yang ditemukan di dalam temboloknya. Menurut Mahfudz
et al. (2004) ternak itik yang diintegrasikan dengan tanaman padi mempunyai
fungsi ganda yaitu sebagai fertilisator, pestisidator dan sekaligus sebagai
herbisidator.

Hasil dan analisis usahatani


Hasil analisis usahatani pada luasan 0,2 ha selama satu musim tanam, diperoleh
R/C rasio > 1 artinya semua perlakuan layak untuk diusahakan. Integrasi tanaman
padi-itik memperoleh hasil padi dan pendapatan lebih besar dibandingkan eksisting
petani yaitu padi-tanpa itik (Tabel 6). Kotoran yang dihasilkan dari itik menjadi
tambahan pupuk organik bagi tanaman padi. Kemudian aktivitas itik di lahan
sawah dapat memperbaiki pertukaran oksigen di dalam tanah sehingga
mendorong akar tanaman tumbuh dengan optimal yang selanjutnya berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Adanya tambahan biaya
untuk pembelian itik dan pakan menyebabkan biaya produksi pada perlakuan
padi-itik lebih besar dibandingkan dengan padi-tanpa itik. Pada saat pengkajian,
itik petelur belum menghasilkan telur yang semestinya bisa menjadi tambahan
pendapatan sedangkan hasil penjualan itik pedaging Serati menjadi sumber
tambahan pendapatan. Keuntungan lainnya dari segi pemeliharaan itik yaitu
berkurangnya biaya produksi itik karena sebagian sumber pakan berasal dari
areal sawah. Menurut Mahfudz dan Prasetya (2005) integrasi antara tanaman
padi dengan pemeliharaan itik di sawah dapat meningkatkan efisiensi teknis
dan ekonomis serta pendapatan petani meningkat. Hasil penelitian Basuki dan
Setyapermas (2012) menunjukkan bahwa introduksi pembesaran itik pada per
tanaman padi sawah dapat menekan biaya penyiangan dan biaya pengendalian
OPT hingga 100%, pertumbuhan itik normal, meningkatkan produksi padi dan
secara finansial dapat meningkatkan pendapatan petani sebesar 86,39% yang

Tabel 6. Hasil dan analisis usahatani integrasi padi dengan itik pada luasan 0,2 ha.

Perlakuan Hasil Biaya produksi Penerimaan Pendapatan R/C


(ton/0,2 ha) (Rp) (Rp) (Rp) rasio

Padi + itik Serati 1,6 9.307.000 15.975.000 6.668.000 1,72


Padi + itik Petelur 1,3 4.627.000 7.600.000 2.973.000 1,64
Padi tanpa itik 1,2 3.241.000 4.400.000 1.159.000 1,36

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 369


berasal dari peningkatan produksi padi dan nilai jual itik. Selanjutnya penelitian
dari Hossain et al. (2005) melaporkan bahwa integrasi antara padi dengan itik
tidak hanya menurunkan populasi serangga hama, tetapi juga meningkatkan
kandungan N, P, K, S, dan Ca dalam tanah. Abu et al. (2017) serta Wahyuni
dan Suryati (2018) menyatakan bahwa pola usahatani padi sawah yang
terintegrasi dengan ternak itik, lebih efisien dan menguntungkan dari pada
usahatani tunggal. Begitu juga dengan hasil penelitian Nurawan dan Sunandar
(2012) yang menunjukkan bahwa produktivitas padi yang terintegrasi dengan
itik petelur lebih tinggi yaitu 7,68 ton/ha dibandingkan dengan tanpa terintegrasi
dengan itik yang hanya 6,00 ton/ha.

KESIMPULAN
1. Tanaman padi yang diintegrasikan dengan itik dapat mengurangi serangan
hama pada tanaman padi khususnya keong mas.
2. Tanaman padi yang diintegrasikan dengan itik pedaging Serati menghasilkan
produktivitas padi, pendapatan, dan nilai R/C rasio paling tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Abduh, U., A. Ella, A. Nurhayu. 2003. Integrasi ternak itik dengan sistem
usahatani berbasis padi di Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan. Hlm. 234-
239. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak.
Andita, R.P., U. Khumairoh, B. Guritno, N. Aini. 2016. Kajian pertumbuhan
vegetatif tanaman padi (Oryza sativa L.) terhadap tingkat kompleksitas
system pertanian yang berbeda. Jurnal Produksi Tanaman 4(8):624-630.
Abu, M., A.S. Aku, D. Zulkarnain, L.O. Jabuddin. 2017. Pengembangan usaha
terpadu padi sawah dan ternak ungags alternatif kecukupan pangan dan
pendapatan bagi masyarakat di wilayah Peri Urban. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Peternakan Tropis 4(2):49-61.
Adiyoga, T., A. Soetiarso, M. Meriana. 2008. Interaksi komponen dalam sistem
usahatani tanaman-ternak pada ekosistem dataran tinggi di Jawa Barat.
Jurnal Hortikultura 8(2):234-248.
[Balitbangtan] Badan Pengkajian dan Pengembangan Pertanian. 2010. Prospek
dan Arah pengembangan Agribisnis Unggas. Jakarta: Departemen
Pertanian. 40 hlm.

370 Nurawan et al.: Integrasi Budidaya Padi Sawah Irigasi dengan Itik.....
Basuki, S., dan M.N. Setyapermas. 2012. Pemanfaatan cuaca ekstrim dengan
pembesaran itik dalam sistem usahatani padi (studi kasus di Kabupaten
Brebes). hlm. 159-168. Dalam: S. Subari, M. Effendi, S. Suryawati, D.
Hidayati, A. Kisroh, E. Murnianto (eds). Prosiding Seminar Nasional:
Kedaulatan Pangan dan Energi. Madura: Fakultas Pertanian Universitas
Trunojoyo.
Goh, B.D., Y.H. Song, M. Manda. 2001. Effect of duck free-ranging density on
duck behavior patterns, and rice growth and yield under a rice-duck
farming system in paddy field. Korean Journal of Environmental
Agriculture 20(2):86-92.
Hossain, S.T., H. Sugimoto, J.U.H. Gazi, M.I. Rafiqul. 2005. Effect of integrated
rice-duck farming on ice yield, farm productivity an rice provisioning,
ability of farmers. Asian Journal Of Agriculture and Development 2(1):79-
86.
Januartha, I.G., I.W. Budiasa, M. Handayani. 2012. Optimasi Sistem Usahatani
Campuran Pada Anggota Kelompok Tani Catur Amerta Sari Di Desa
Sebudi, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem. Jurnal Agribisnis dan
Agrowisata 1(1):16-22.
Mahfudz, L.D., dan E. Prasetya. 2005. Tingkat efisiensi teknis dan ekonomis
pada system pemeliharaan terpadu antara tanaman padi dengan itik lokal
jantan. Jurnal of Indonesian Tropical Animal Agriculture 30(1):42-46.
Mahfudz, L.D., A.M. Umiyati, S. Warsono, S.Y. Nuniek. 2001. Pengaruh luas
lahan pada sistem integrasi padi dengan itik terhadap performans itik
lokal jantan. Animal Production. Edisi khusus. Purwokerto: Unsoed Press.
Mahfudz, L.D., W. Sarengat, S.M. Adiningsih, E. Sijpriatna, B. Srigandono.
2004. Pemeliharaan sistem terpadu dengan tanaman padi terhadap
performans dan kualitas karkas itik lokal jantan umur 10 minggu. hlm.
548-553. Prosiding Seminar dan Ekspose Nasional Sistem Integrasi
Tanaman-Ternak. Bali: BPTP Bali, Puslitbang Peternakan, dan CASREN.
Murtidjo, B.A. 1993. Mengelola Itik. Jakarta: Kanisius. 126 hlm.
Murtisari, T., dan A.J. Evans. 1982. The importance of aquatic snails in the diet
of fully herded ducks. Research Report 1982. Bogor: Balai Pengkajian
Ternak Ciawi. pp. 75-86.
Nurawan, A., dan N. Sunandar. 2012. Integrasi itik pada sistem usahatani padi
sawah di Kabupaten Subang. hlm. 333-340. Dalam: R.H. Murti, T. Joko,
A. Wibowo, E. Ambarwati, D. Indradewa, N.W. Yuwono, E. Hanudin,

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 371


Subejo, Jamhari (eds). Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian
Pertanian dan Perikanan. Yogyakarta: Fakultas Pertanian Universitas
Gadjah Mada.
Polakitan, D., A.D. Mirah, F.H. Elly, V.V.J. Panelewen. 2015. Keuntungan
usahatani padi sawah dan ternak itik di pesisir Danau Tondano Kabupaten
Minahasa. Jurnal Zootek 35(2):361-367.
Schroder, P., J. Pfadenhauer, J. Munch. 2008. Perspectives for agroecosystem
management: balancing environmental and socio-economic demands.
USA: Elsevier Science. 456 p.
Sumini, Holidi, Widiyanto. 2019. Peningkatan produktivitas tanaman padi sawah
irigasi terintegrasi populasi itik. Jurnal Agrotek Tropika 7(1):203-209.
Wahyuni, N., dan N. Suryati. 2018. Analisis kelayakan finansial usahatani terpadu
padi-itik di Kabupaten Musi Rawas. Societa 7(1):17-24.
Widiarta, I.N., dan H. Suharto. 2008. Pengendalian hama dan penyakit tanaman
padi secara terpadu. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Jawa Barat.

372 Nurawan et al.: Integrasi Budidaya Padi Sawah Irigasi dengan Itik.....
Respon Petani terhadap Peningkatan Indeks
Pertanaman (IP) Melalui Tumpangsari Tanaman
Jagung-Padi di Kabupaten Pemalang
Endah Nurwahyuni, Forita Dyah Ariyanti, Sherly Sisca Piay
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
Jalan Soekarno-Hatta KM.26 No.10, Bergas, Kab. Semarang
Email: nurwahyuni.endah@gmail.com

ABSTRAK
Sistem tanam tumpangsari merupakan metode yang dilakukan sebagai
upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan dari dimensi waktu
maupun ruang khususnya di daerah yang sering mengalami
keterbatasan sumber daya air pada musim kemarau. Sistem ini dipercaya
dapat meningkatkan populasi padi dan jagung sebesar 150% dibanding
monokultur, sehingga pengkajian ini ditujukan untuk mengetahui respon
petani di kabupaten Pemalang terhadap teknologi tumpangsari jagung-
padi gogo serta mendapatkan umpan balik untuk mengetahui respon
petani terhadap hasil pengkajian. Pengkajian dilakukan di lahan seluas
dua hektar di Desa Kwasen, Kecamatan Bodeh, Kabupaten Pemalang
yang melibatkan dua petani kooperator pada MT II (Maret-September
2019. Padi yang digunakan yaitu varietas Inpari 40, Inpari 42, Inpago 9,
Inpago 10 dan Biopatenggang. Sedangkan varietas jagung yang ditanam
adalah Bisi 18, Nasa P29, NK Sumo dan Pioner. Jarak tanam yang
dicoba meliputi jagung: legowo 2: 1 jarak tanam (40 x 140) x 12,5 cm,
padi: legowo 6: 1 jarak tanam (20 x 80) x 10 cm dan jagung: legowo 2:
1: 2 jarak tanam (40 x 110) x 20 cm, padi: legowo 4: 1 jarak tanam (20
x 90) x 20 cm. Variabel respon yang diukur meliputi keragaan
tumpangsari, keragaan tanaman, kemudahan penerapan tumpangsari
di luar musim dan kemudahan penerapan masing-masing komponen
teknologi. Kuisioner diberikan kepada 30 responden bersamaan dengan
pengamatan langsung ke lapangan. Hasil menunjukkan bahwa respon
petani cukup (48,33%) terhadap keragaan tumpangsari dan baik
(75,67%) terhadap keragaan tanaman. Sedangkan respon petani cukup
(66,67%) terhadap kemudahan tumpangsari di luar musim dan baik
(68%-92,33%) pada penerapan masing-masing komponen tumpangsari.
Kata kunci: Luar musim, jarak tanam, Inpari, Inpago, Bisi, Nasa, Pioner

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 373


ABSTRACT
Intercropping system is a method that is carried out as an effort to
increase land productivity from the dimensions of time and space,
especially in areas that often experience limited water resources
in the dry season. This system was believed to be able to increase
rice population by 70% and maize by 20%, so the study was aimed
to identifying farmers ‘perceptions in Pemalang district of the maize
– padi gogo intercropping technology and getting feedback to
determine farmers’ responses to the results of the assessment. The
assessment was carried out on a two-hectare land in Kwasen,
Bodeh, Pemalang, which involved two farmers in MT-II (March-
September 2019. The varieties of rice used were Inpari 40, Inpari
42, Inpago 9, Inpago 10 and Biopatenggang. While the maize
varieties planted were Bisi 18, Nasa P29, NK sumo and Pioner.
The assesment used two kind of planting distance included maize:
legowo 2: 1 ((40 x 140) x 12.5 cm), rice: legowo 6: 1 ((20 x 80) x
10 cm) and maize: legowo 2: 1: 2 ((40 x 110) x 20 cm), rice:
legowo 4: 1 ((20 x 90) x 20 cm). The variable of response included
intercropping performace, crop performance, easibility of
application of intercropping out of season and easibility of
application of each component of technology. Questionnaire was
given to 30 respondents together with direct observations to the
field. The results showed that farmers’ perceptions were sufficient
(48.33%) on intercropping performance and good (75.67%) on
crop performance. Farmers’ perceptions are sufficient (66.67%)
on the easibility of intercropping in out of season and good (68%-
92.33%) on the application of each intercropping component.
Keywords: off season, planting distance, Inpari, Inpago, Bisi,
Nasa, Pioner

PENDAHULUAN
Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki lahan
kering dan sawah tadah hujan sangat luas. Upaya peningkatan produktivitas
dan produksi padi di agroekosistem yang miskin sumber daya perlu mendapat
perhatian yang lebih besar, karena penduduk di kawasan tersebut sering
mengalami kekurangan pangan (Badan Litbang Pertanian 2009). Pemanfaatan
lahan kering dan lahan sawah tadah hujan merupakan alternatif yang potensial

374 Nurwahuni et al.: Respon Petani tehadap Peningkatan Indeks Pertanaman.....


dan realistis untuk pengadaan pangan di masa depan melalui peningkatan IP
dan pengembangan padi gogo (Toha, 2008).
Di beberapa daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan
Lombok sebagian petani mengusahakan padi lima kali dalam 2 tahun (IP 250) dan
di lokasi tertentu bahkan tiga kali per tahun (IP 300) karena air tersedia sepanjang
musim. Program intensifikasi padi selama ini terutama diarahkan pada lahan irigasi
dengan suplai air yang terjamin. Meskipun tidak dianjurkan, lahan sawah dengan
IP padi 200 dapat ditingkatkan menjadi IP padi 300 apabila air hujan mencukupi
(Hasanuddin, 2005). Hasil inventarisasi potensi lahan sawah tadah hujan untuk
peningkatan indeks pertanaman (IP) pada lima belas Kabupaten di Propinsi Jawa
Tengah didapatkan seluas 14.325,3 ha (Samijan et al., 2017). Berdasarkan hasil
inventarisasi lahan tadah hujan diwilayah Propinsi Jawa Tengah potensinya
mencapai seluas 126.385 Ha (Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian, 2017).
Peluang untuk melanjutkan inventarisasi potensi lahan tadah hujan yang didukung
sumber air yang belum termanfaatkan di wilayah propinsi Jawa Tengah masih
terbuka lebar. Hasil Pengkajian Samijan et al., (2017) menunjukkan bahwa
penanaman padi pada MT III dengan inovasi teknologi penggunaan Varietas Unggul
Baru (VUB) umur genjah, penggunaan komponen teknologi jarwosuper dan
pemberian air yang cukup dapat meningkatkan produktivitas panen padi.
Respon petani dapat diartikan sebagai perubahan sikap petani yang
diakibatkan adanya rangsangan atau stimulus dari luar dan dari dalam diri petani,
dalam wujud melaksanakan program, memperluas areal tanam, pengorganisasian
kelompok, dan mengumpulkan serta menyebarluaskan informasi teknologi
(Anggoro, 2004). Respon petani terhadap peningkatan IP melalui tumpangsari
padi-jagung adalah tanggapan atau reaksi yang dilakukan oleh petani berupa
jawaban terhadap obyek demplot tumpangsari padi-jagung yang ditanam di luar
musim kebiasaan petani.

METODE
Pengkajian ini dilaksanakan di Desa Kwasen, Kecamatan Bodeh, Kabupaten
Pemalang dari bulan Maret hingga September 2019. Padi yang digunakan yaitu
varietas Inpari 40, Inpari 42, Inpago 9, Inpago 10 dan Biopatenggang. Sedangkan
varietas jagung yang ditanam adalah Bisi 18, Nasa 29, NK Sumo dan Pioner.
Jarak tanam yang dicoba meliputi jagung: legowo 2: 1 jarak tanam (40 x 140) x
12,5 cm, padi: legowo 6: 1 jarak tanam (20 x 80) x 10 cm dan jagung: legowo 2:
1: 2 jarak tanam (40 x 110) x 20 cm, padi: legowo 4: 1 jarak tanam (20 x 90) x
20 cm.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 375


Pengkajian menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif
dan kuantitatif secara survei. Sampel ditentukan secara purposif melibatkan
petani yang memiliki usahatani di wilayah tadah hujan. Data respon diperoleh
melalui pengisian kuisioner. Variabel respon yang diukur meliputi keragaan
tumpangsari, keragaan tanaman, kemudahan penerapan tumpangsari di luar
musim dan kemudahan penerapan masing-masing komponen teknologi. Penilaian
dilakukan dengan metode skoring kemudian ditentukan respon rendah, sedang
dan tinggi menggunakan skala likert dan dilanjutkan dengan uji proporsi dengan
menggunakan formula sebagai berikut:

Keterangan:
z adalah z hitung
X adalah rerata petani yang merespon tinggi
Xo adalah 50% populasi
n adalah banyaknya sampel

Hipotesis yang diuji adalah H0: P < 50%; H: P > 50%, dimana H0 =
Diduga kurang dari atau sama dengan 50% petani di Kecamatan Bodeh memiliki
respon tinggi terhadap setiap komponen tumpangsari jagung – padi. Há = Diduga
lebih dari atau sama dengan 50% petani di Kecamatan Bodeh memiliki respon
tinggi terhadap komponen tumpangsari jagung – padi. Data dianalisis dengan
tingkat signifikansi 95% ( = 0,5), n = 22 dan uji Z untuk mengetahui menentukan
hipotesis yang diterima.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Desa Kwasen terletak di Kecamatan Bodeh, Kabupaten Pemalang, yang secara
umum memiliki banyak kawasan tadah hujan. Luas sawah tadah hujan di Desa
Kwasen sebesar 43,32% dari luas total sawah yang dimiliki. Sementara menurut
jenisnya, Desa Kwasen memiliki lahan kering enam kali lebih luas dibanding
lahan sawah yaitu 723,95 ha. Sebagian besar mata pencaharian di Desa Kwasen
37,8% merupakan petani dan 40,86% buruh tani. Tingkat pendidikan mayoritas
(63,6%) adalah pendidikan 9 tahun. Rentang usia petani 86,4% berkisar 28
hingga 64 tahun yang artinya masih termasuk usia produktif dan 13,6% sisanya

376 Nurwahuni et al.: Respon Petani tehadap Peningkatan Indeks Pertanaman.....


adalah usia non produktif (>64 tahun) (Nurhasikin, 2013). Hal ini berarti bahwa
petani memiliki potensi untuk dikembangkan lagi kapasitasnya melalui pengenalan
maupun penyegaran teknologi baru dan inovasinya. Menurut Novia (2011)
tingkat pendidikan dan umur mempengaruhi respon dan sikap petani pada
teknologi yang diperkenalkan.
Berdasarkan usahatani yang dimiliki, petani terdiri atas 31,8% petani padi,
13,6% petani jagung, 40,9% petani padi-jagung dan 13,6% mengusahakan
komoditas lainnya. Kondisi ini menggambarkan secara umum bahwa petani di
Desa Kwasen memiliki variasi yang cukup beragam dalam hal pengambilan
keputusan komoditas yang diusahakan. Variasi ini mungkin menyesuaikan kondisi

Tabel 1. Sebaran petani berdasarkan respon terhadap komponen teknologi tumpang sari di
Pemalang.

Komponen teknologi Respon (%) Z hit/Z tab Hipotesis

Keragaan pada MK Rendah 68,18 -3,414 < 0,999 H0 diterima;


Sedang 18,18 H ditolak
Tinggi 13,64
Kemudahan penerapan Rendah 13,64 -3,414 < 0,999 H0 diterima;
di off season Sedang 72,72 H ditolak
Tinggi 13,64

Kemudahan seed Rendah 4,55 3,405 > 0,999 H0 ditolak;


treatment Sedang 9,09 H diterima
Tinggi 86,36
Kemudahan jarak tanam Rendah 27,27 -0,853 < 0,802 H0 diterima;
Sedang 27,27 H ditolak
Tinggi 40,91
Keragaan tanaman Rendah 27,27 -0,853 < 0,802 H0 diterima;
Sedang 27,27 Hditolak
Tinggi 40,91
Kemudahan pemeliharaan Rendah 4,54 -0,853 < 0,802 H0 diterima;
Sedang 54,54 H ditolak
Tinggi 40,90
Kesesuaian varietas Rendah 4,54 -3,414 < 0,999 H0 diterima;
Sedang 81,81 Hditolak
Tinggi 13,63
Kemudahan pemberian Rendah 0 -2,56 < 0,994 H0 diterima;
pupuk sebagai penutup Sedang 77,27 H ditolak
lubang tanam Tinggi 22,72
Kemudahan penggunaan Rendah 40,90 -3,414 < 0,999 H0 diterima;
pupuk kandang 2-3 ton/ha Sedang 77,27 H ditolak
Tinggi 13,63

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 377


eksternal seperti agroekosistem lahan, akses sumber air, akses saluran irigasi,
akses jalan usahatani serta akses penjualan hasil panen dan internal seperti
pengalaman, pengetahuan dan motif ekonomi petani (Permana et al., 2016).
Respon petani terhadap komponen keragaan tanaman pada tumpangsari
padi-jagung pada kodisi iklim musim kemarau sebagian besar rendah (68,18%),
meskipun respon terhadap keragaan tanaman lebih banyak yang tinggi (40,91%)
dan 81,81% respon petani terhadap kesesuaian varietas padi-jagung termasuk
kategori sedang/cukup. Hal ini menunjukkan bahwa petani belum semuanya
mengetahui dan setuju bahwa lahan kering di wilayahnya dapat dimanfaatkan
untuk ditanami di musim kemarau, meskipun melihat kondisi pertanaman cukup
baik. Hal ini berhubungan dengan kendala yang ditemui karena minimalnya
ketersediaan sumber daya air dimana satu-satunya sumber air adalah sungai
yang secara kontur berada di bawah lahan. Berdasarkan pendalaman informasi,
dengan alat yang dimiliki petani rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk mengairi
satu hektar lahan adalah lima hari. Sementara tanaman membutuhkan air dalam
jumlah besar untuk menunjang pertumbuhan di fase vegetatifnya hingga panen.
Kendala lain yang ditemui di saat lahan terlalu kering adalah tumbuhnya gulma
berdaun sempit maupun berdaun lebar yang pengendaliannya membutuhkan
tenaga kerja tambahan dan herbisida yang cukup efektif. Kondisi yang sangat
berbeda ditemui saat musim hujan, dimana bendungan yang terbangun di posisi
yang lebih tinggi dapat mengairi lebih dari sepuluh hektar lahan. Bendungan
tersebut menampung air hujan maupun air sungai yang mengalir dari kecamatan
Watukumpul yang letaknya lebih tinggi.
Respon terhadap kemudahan pemeliharaan tanaman padi dan jagung 54,54%
petani tergolong sedang dan 40,90% petani tergolong tinggi. pengalaman dan
pengetahuan petani cukup tinggi dalam pemeliharaan padi dan jagung lahan
kering. Namun demikian teknologi ini kurang diminati untuk dilakukan di luar
musim. Hal ini dibuktikan oleh respon terhadap kemudahan penerapan
tumpangsari di musim lain (luar kebiasaan) yang pada umumnya sedang
(72,72%). Diduga, faktor keterbatasan sumber daya air mempengaruhi respon
petani. Hal ini sangat berkaitan dengan kendala yang muncul di tengah
pertanaman, dimana terdapat potensi peningkatan biaya tenaga kerja pengairan
maupun biaya pengendalian gulma. Respon petani terhadap kemudah
tumpangsari di luar musim yang tidak cukup tinggi didukung oleh pendapat petani
yang sebagian besar (59%) menyatakan bahwa musim yang paling cocok untuk
pola tanam tumpangsari adalah musim hujan I (MH I). Dengan demikian, potensi
penerapan tumpangsari pada musim kemarau di Desa Kwasen kurang.

378 Nurwahuni et al.: Respon Petani tehadap Peningkatan Indeks Pertanaman.....


Sebanyak 86,36% petani memiliki respon tinggi pada kemudahan teknologi
penggunaan AGRIMETH untuk seed treatment yang dicobakan pada demplot
tumpangsari padi-jagung. Seed treatment dilakukan dengan tujuan agar benih
terhindar dari serangan cendawan, virus dan serangga sebelum tumbuh. Tingginya
respon petani terhadap komponen ini diduga karena petani selalu melakukan
seed treatment pada saat tanam monokultur maupun tumpangsari, sehingga
dianggap mudah dilakukan. Hal ini diperkuat dengan informasi bahwa petani
lebih mementingkan daya tahan benih terhadap hama karena perlakuan insektisida
(Isaskar, et al., 2010).
Kemudahan penggunaan pupuk kandang sebanyak 2-3 ton/ha dan kemudahan
penggunaan pupuk kandang sebagai penutup lubang tanam direspon cukup oleh
72,27% petani. Aplikasi pupuk kandang sebagai penutup lubang tanam lebih mudah
dilakukan dibanding harus membuat lubang baru disamping lubang tanam, selain
juga menghemat waktu juga tenaga kerja. Hal ini sejalan dengan studi (Mappigau,
et al., 2017) yang menyimpulkan bahwa tingkat penggunaan pupuk kandang pada
usahatani jagung berkisar dari sedang ke tinggi sehingga dapat dikatakan ada
peluang besar bagi peningkatan penggunaan pupuk kandang pada usahatani jagung.
Adapun kemudahan penerapan jarak tanam direspon tinggi oleh lebih banyak
petani (40,91%) meskipun hipotesis Há ditolak. Hal ini berkaitan dengan
kemudahan pembuatan lubang tanam padi yang relatif lebih sedikit pada plot
jarak tanam Jagung: legowo 2:1 jarak tanam (40 x 110) x 20 cm, padi: legowo
4:1 jarak tanam (20 x 90) x 20. Pada plot jarak tanam tersebut tanaman terlihat
tidak terlalu rapat. Beberapa faktor yang mempengaruhi diterapkannya suatu
jarak tanam oleh petani di suatu wilayah disebutkan oleh Ikhwani et al, (2013)
meliputi ketersediaan tenaga kerja, ketersediaan benih, kemudahan operasional
di lapang (ada/tidak ada lorong), penyuluhan tentang jarak tanam, dan kondisi
wilayah seperti keadaan drainase, endemik keong mas, dan lain-lain. Faktor
kemudahan merupakan faktor internal yang sangat mempengaruhi persepsi dan
respon petani dalam proses adopsi teknologi (Greenley, 2014).

Tabel 2. Sebaran petani berdasarkan respon terhadap prospek teknologi tumpangsari Pemalang.

Komponen teknologi Respon (%) Z hit/Z tab Hipotesis

Prospek tumpangsari Rendah 0 3,405 > 0,999 H0 ditolak;


di daerah lain Sedang 13,63 H diterima
Tinggi 86,36
Prospek pola turiman Rendah 0 3,836 > 0,999 H0 ditolak;
dalam meningkatkan IP Sedang 9,09 H diterima
Tinggi 90,90

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 379


Prospek berkaitan dengan penilaian petani terhadap teknologi yang memiliki
potensi untuk diterima, diadopsi dan dikembangkan di suatu daerah. Berdasarkan
informasi yang dihimpun, prospek pola tumpangsari dalam peningkatan indeks
pertanaman dinilai tinggi oleh sebagian besar petani (90,90%). Hal ini sejalan
dengan prospek penerapan tumpangsari di daerah lain yang menurut 86,36%
petani terukur tinggi. Hal ini menggambarkan bahwa respon petani terhadap
teknologi tumpangsari relatif postif apabila penerapannya di Desa Kwasen di
waktu yang tepat (MH) ataupun dilakukan di luar Desa Kwasen.

KESIMPULAN
Lebih dari 50% petani memiliki respon tinggi terhadap komponen teknologi seed
treatment menggunakan AGRIMETH. Sedangkan terhadap komponen teknologi
lain, respon petani rendah hingga sedang. Hal ini berkaitan dengan sumber daya
air dan keterbatasan sarana dan infrastruktur sehingga memerlukan lebih banyak
pengorbanan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Namun demikian,
prospek tumpangsari di daerah lain direspon tinggi oleh lebih dari 50% petani
demikian pula prospek tumpangsari sebagai langkah peningkatan IP.

DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, N. 2004. Respons Petani Terhadap Program Konservasi Tanah di
Kabupaten Klaten. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada.
Badan Litbang Pertanian, 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP). 2017. Sebaran Potensi
Lahan Tadah Hujan di wilayah Pulau Jawa. BBSDLP. Bogor. 25 Halaman.
Greenley, N. F. 2014. Driving and Inhibiting Factors in the Adoption of Open
Source Software in Organisations. Disertation.
Hasanuddin, A. 2005. Peranan Proses Sosialisasi terhadap Adopsi Varietas
Unggul Padi Tipe Baru dan Pengelolaannya. Lokakarya Pemuliaan
Partisipatif dan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB).
Sukamandi 2005.
Ikhwani, Pratiwi, G. R., Paturrohman, E. Makarim, A.K. 2013. Peningkatan
Produktivitas Padi melalui Penerapan Jarak Tanam Jajar Legowo. Iptek
Tanaman Pangan. 8(2): 72–79.

380 Nurwahuni et al.: Respon Petani tehadap Peningkatan Indeks Pertanaman.....


Isaskar, R., Wahib, A. dan Afriana, R. 2010. Analisis Preferensi Petani Jagung
terhadap Insektisida Seed Treatment. Agrise. 10(3): 226–237.
Mappigau, P., Jamil, M. H. and Ruka, R. M. 2017. Penentu Perilaku Petani
dalam Penggunaan Pupuk Kandang/ : Studi Empirik pada Usatani Jagung.
http://digilib.unhas.ac.id/. [30 Juli 2019]
Novia, R. A. 2011. Respon Petani terhadap Kegiatan Sekolah Lapangan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) di Kecamatan Ajibarang
Kabupaten Banyumas. Mediagro. 7(2): 48–60.
Nurhasikin. 2013. Penduduk Usia Produktif dan Ketenagakerjaan. http://
kepri.bkkbn.go.id/. [19 Oktober 2019]
Permana, H., Sativa, F. dan Nurfathiyah, P. 2016. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Keputusan Petani dalam Pemanfaatan Lahan Rawa
Lebak pada Usahatani Padi Sawah di Desa Pasar Terusan Kecamatan
Muara Bulian Kabupaten Batanghari. Sosio Ekonomika Bisnis. 19(1): 1-
11
Samijan, T.R. Prastuti, Karyaningsih., N. Ridha., Sodiq., SR. Anggi., Warsito &
Abadi. 2017. Dukungan Inovasi Teknologi Pertanian Terhadap
Peningkatan IP Pajale (Laporan Intern). BPTP Jawa Tengah
Toha, H. M. 2008. Pengembangan Padi Gogo Menunjang Program P2BN.
Seminar Apresiasi. Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN. Buku 1. Balai
Besar Penelitian Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
2008. hal 295-323.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 381


382 Nurwahuni et al.: Respon Petani tehadap Peningkatan Indeks Pertanaman.....
Evaluasi Galur-galur Padi Toleran Salin di Tingkat
Petani Melalui Participatory Variety Selection (PVS)
Ade Ruskandar, Zakiah M.H, T. Rustiati, Nafisah, Ali Imamuddin,
Trias Sitaresmi, Aris Hairmansis, dan S. Deny WP.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat
E-mail:

ABSTRAK
Lahan salin mempunyai peranan penting dalam upaya
mempertahankan swasembada beras dan mengingat semakin
berkurangnya lahan subur untuk area pertanian di Pulau Jawa akibat
alih fungsi lahan. Lahan salin di Jawa Tengah tersebar di sembilan
kabupaten dengan luasan bervariasi. Luasan terkecil lahan salin di
Jawa Tengah terdapat di Pekalongan (668 ha), sedangkan yang terluas
di Cilacap (63 318 ha). Tingkat kepemilikan lahan salin di Jawa Tengah
adalah 0,3 ha. Batas toleransi padi untuk ditanam di lahan salin adalah
60-100 ppm. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Cilacap pada
Musim Kering 2018. Sejumlah 14 galur/varietas ditanam di lahan salin
dengan model mother dan baby trial. Pada saat menjelang panen
dilakukan field day dengan melibatkan panelis untuk menilai galur/
varietas yang mereka sukai dan tidak disukai. Dari hasil pilihan panelis
didapatkan bahwa galur/varietas yang disukai berdasarkan
penampilan/morfologisnya adalah BP14092-2b-2-2-TRT-17-3-SKI-
1-B dan yang tidak disukai adalah galur HHZ5-Sal9-Y3-Y1. Dengan
terpilihnya galur oleh panelis, diharapkan galur ini dapat berkembang
di daerah tersebut setelah dilakukan perilisan varietas.
Kata kunci: Galur, padi, salin, PVS.

ABSTRACT
Saline land has a role in the effort to maintain rice self-sufficiency
and given the decreasing lowland for agricultural areas in Java
due to land conversion. Saline land in Central Java is spread
over nine regencies with varying size. The smallest area of saline
land in Central Java is in Pekalongan (668 ha), while the largest

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 383


is in Cilacap (63 318 ha). The average of saline ownership in
Central Java is 0.3 ha. The tolerance limit for rice to be planted
in saline land is 60-100 ppm. The study was conducted in Cilacap
Regency in MK 2018. A total of 14 lines/varieties were planted
in saline land with a mother and baby trial model. At generative
stage, a field day is conducted by involving farmers to choose
genotipe that they like and dislike. Based on farmers’s selection,
the preferred genotipe was BP14092-2b-2-2-TRT-17-3-SKI-1-B
and that which was not preferred was HHZ5-Sal9-Y3-Y1. With
the selection of lines by panelists, it is hoped that these lines can
be adopt easily by farmer.
Keywords: Lines, rice, saline, PVS.

PENDAHULUAN
Sejak tahun 1940-an Kementerian Pertanian telah melepas sekitar 233 varietas
unggul (VU), namun banyak diantaranya yang tidak berkembang di petani
(Deptan, 2008). Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pertanaman petani
di lapang umumnya didominasi oleh 7-8 varietas saja yang ditanam lebih dari
300.000 ha, dan itupun diperkirakan masih banyak areal pertanaman IR64 yang
dilepas pada tahun 1986 (Ruskandar et al., 2006, dan Suprihatno et al. 2011).
Oleh karena itu ada anggapan bahwa banyak varietas unggul yang dilepas kurang
dimanfaatkan oleh petani.
Walaupun telah terjadi pergeseran popularitas IR64 dengan VUB lain seperti
ditemui di beberapa kabupaten seperti Indramayu, Subang, dan Karawang,
namun laju adopsi VUB masih lambat. Penyebab utama lambatnya pergeseran
tersebut erat kaitannya dengan potensi hasil dari VUB (Las et al., 2003).
Persepsi atau alasan petani mengadopsi varietas unggul baru bervariasi
antar lokasi, iklim dan tipe agroekosistem. Oleh karena itu dalam introduksi
varietas unggul baru terutama harus diperhatikan dan diuji coba lebih dulu di
tingkat petani. Faktor-faktor psikologis serta sosial dalam membuat keputusan
tampaknya lebih mendominasi cara berpikir petani dibandingkan faktor teknis
dan ekonomi (Sayuti et al., 1998; Wahyuni et al., 2008). Namun demikian sejauh
mana kebenaran anggapan tersebut perlu dikaji secara kuantitatif di lapangan
melalui evaluasi pemanfaatan varietas unggul di berbagai daerah sentra produksi
padi.

384 Ruskandar et al.: Evaluasi Galur-galur Padi Toleran Salin.....


Dalam dekade terakhir, petani dihadapkan pada masalah peningkatan produksi
tanaman padi yang antara lain disebabkan oleh stagnasi tingkat hasil varietas
unggul, degradasi lahan, penyimpangan iklim, dan serangan hama penyakit (Las
et al., 2004). Salah satu upaya potensial untuk meningkatkan produksi padi adalah
merakit dan mengembangkan berbagai varietas unggul berdaya hasil tinggi dan
berumur genjah, serta tahan cekaman lingkungan biotik dan abiotik.
Menyadari bahwa tuntutan dan tekanan terhadap sistem produksi padi pada
masa datang makin berat, maka diperlukan upaya terobosan yang jitu dan
spektakuler untuk mempertahankan dan meningkatkan kapasitas sistem produksi
padi nasional. Tekanan utama muncul akibat makin tingginya laju konversi lahan
sawah irigasi yang tidak mudah dikendalikan, terutama di Jawa, serta adanya
ancaman fenomena perubahan iklim, terutama akibat peningkatan suhu udara,
cekaman kekeringan, dan banjir (Irawan, 2004). Sementara itu, perluasan lahan
baru sulit dilakukan.
Lahan salin mempunyai peranan dalam upaya mempertahankan
swasembada beras dan mencapai swasembada bahan pangan lainnya, mengingat
semakin berkurangnya lahan subur untuk area pertanian di Pulau Jawa akibat
alih fungsi lahan ke perumahan dan keperluan non pertanian lainnya. Lahan
salin di Jawa Tengah tersebar di sembilan kabupaten dengan luasan bervariasi.
Luasan terkecil lahan salin di Jawa Tengah terdapat di Pekalongan (668 ha),
sedangkan yang terluas di Cilacap (63 318 ha). Tingkat kepemilikan lahan salin
di Jawa Tengah adalah 0,3 ha. Batas toleransi padi untuk ditanam di lahan salin
adalah 60-100 ppm. Upaya pengelolaan lahan salin secara terintegrasi meliputi:
pengelolaan air (pencucian), penggunaan varietas toleran salin, dan pengelolaan
lahan (misal penambahan bahan organik atau pemberian pembenah tanah)
(BPTP Jateng. 2015).
Peningkatan produksi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
varietas. Dalam melepas suatu varietas diharapkan dapat beradaptasi luas
sehingga akan baik jika ditanam pada berbagai wilayah. Lahan salin memerlukan
varietas yang spesifik karena karakteristik daerah salin/pantai yang berbeda
dengan lahan sawah irigasi. Agar varietas yang dilepas disukai/diadopsi petani
maka seleksi varietas dengan melibatkan petani adalah salahsatu jalan agar
varietas tersebut dapat diadopsi petani. Hal ini dimungkinkan karena petani
sendiri yang melakukan pemilihan galur langsung di lapangan. Lambatnya adopsi
terhadap varietas unggul, kemungkinan karena sulitnya akses untuk mendapatkan
benih varietas baru, atau kurangnyan adaptasi varietas unggul dengan kondisi
wilayah (Hairmansis et al. 2008). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
galur-galur harapan yang sesuai dengan preferensi petani.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 385


METODOLOGI
Penelitian ini sebagai salah satu upaya untuk memperkenalkan calon varietas
spesifik lokasi yang sesuai dengan keinginan petani setempat. Penelitian
menggunakan galur/kultivar padi untuk lahan salin. Pendekatan partisipatif di
lahan petani dapat mengakomodasi interaksi positif antardisiplin, antara peneliti,
petani dan penyuluh pertanian dalam mengadopsi suatu teknologi baru.
Pada musim tanam 2018, materi galur-galur padi lahan salin atau galur-
galur unggulan padi lahan salin ditanam di sentra produksi padi daerah salin di
daerah Cilacap (Jateng) sebagai Percobaan Induk (Mother Trials). Sebanyak
14 galur ditanam dalam percobaan induk. Tanah diolah sempurna dengan
menggunakan traktor tangan, sebelum tanam dilakukan pengendalian gulma
dengan herbisida. Tanam pindah pada umur bibit 21 hss dengan jarak tanam
tegel 25 x 25 cm. Pemupukan diberikan pada saat tanaman berumur 14 hst, 35
hst, dan 50 hst dengan dosis 200 kg Urea/ha, NPK Phonska 300 kg/ha.
Pengendalian OPT dilakukan hanya pada saat ada gejala serangan, umumnya
wereng dan tikus. Percobaan Induk terdiri dari satu unit yang ditempatkan pada
satu desa, dirancang menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 4
ulangan. Masing-masing ukuran plotnya seluas ±20 m2. Percobaan induk
dirancang, dilakukan, dan dipanen dengan supervisi penuh oleh peneliti.
Pengamatan dilakukan terhadap sejumlah karakter morfologi, komponen hasil
dan hasil. Pada fase generatif/menjelang panen, sebanyak 25 orang petani di
sekitar sentra produksi padi lahan salin diundang ke lapangan percobaan untuk
menilai penampilan galur-galur yang di uji tersebut. Di samping itu ditunjukkan
pula penampilan gabah/beras dari galur-galur yang di tanam di lapangan.
Penilaian dilakukan dengan memberikan kuisioner terstruktur dan sederhana
kepada petani.
Bersamaan dengan penanaman Percobaan Induk, ditanam juga Percobaan
Anak (Baby Trial). Percobaan anak ditanam di petani sekitar mother trial,
sebanyak 14 petani. Masing-masing petani diberi benih 1 galur, dan diminta
untuk menanamnya bersama dengan varietas lokal atau varietas yang biasa
mereka tanam. Masing-masing galur ditanam seluas ±100 m2. Semua galur
ditanam menggunakan metode yang biasa digunakan oleh petani, tanpa ada
campur tangan dari peneliti.

386 Ruskandar et al.: Evaluasi Galur-galur Padi Toleran Salin.....


Babytrial
Mother trial
14 genotipe
Babytrial

Babytrial Babytrial
Babytrial

Babytrial Babytrial Babytrial


Babytrial Babytrial
Babytrial

Babytrial Babytrial

Babytrial

Gambar 1. Lay out mother dan baby trials.

Metode Pelaksanaan Kegiatan


Data preferensi dikumpulkan dengan pendekatan analisis preferensi. Sekelompok
petani (25 orang) dipersilahkan untuk memilih galur yang disukai pada percobaan
induk selama sesi “field day”. Pada proses penilaian itu, masing-masing petani
sebagai panelis diberikan kuisioner dengan format sederhana. Kuisioner berisi
parameter dan karakter yang disukai petani terhadap tanaman padi yang akan
diamati. Karakter dan parameter tersebut telah diberi skor dan bobot nilai untuk
proses penghitungan. Kuisioner tersebut dimasukkan kedalam amplop yang ada
di depan masing-masing galur. Nama-nama galur telah ditutup sehingga penilaian
petani hanya berdasarkan pada penampilan tanaman dari galur yang diuji. Hasil
penilaian petani dituangkan dalam skor dan dihitung. Hasil perhitungan diurutkan,
skor terbesar menunjukkan preferensi petani tinggi terhadap galur harapan
tersebut dan sebaliknya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Budidaya eksisting baby trial/petani
Pertanaman baby trial sejumlah 14 galur/varietas sama jumlahnya dengan
pertanaman mother trial. Pada pertanaman baby trial budidaya sepenuhnya
diserahkan kepada petani yaitu bergantung kepada kebiasaan petani (eksisting)
sedangkan pertanaman mother trial cara budidayanya sepenuhnya berdasarkan
rekomendasi peneliti. Masing-masing petani diberi satu galur/varietas, sehingga
ada 14 petani yang melakukan pertanaman baby trial. Nama-nama petani yang
melaksanakan baby trial ada dalam lampiran. Petani melakukan pindah tanam
saat tanaman berumur 18-23 HSS. Pupuk yang digunakan oleh petani yaitu

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 387


Urea 150 kg/ha, ZA 200 kg/ha dan NPK Phonska 200 kg/ha. Beberapa petani
melalukan aplikasi pemupukan sebanyak dua kali yaitu saat tanaman berumur
8-10 HST dan saat tanaman berumur 60 HST. Namun ada petani yang melakukan
pemupukan hanya satu kali saat tanaman berumur 8 HST.

1. Karakteristik petani
Pengumpulan data petani dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran umum
petani melalui teknik wawancara secara langsung terhadap petani yang menanam
galur padi. Adapun data petani yang di peroleh meliputi data umur petani, luas
lahan, dan varietas benih yang pernah ditanam. Data tersebut disajikan pada
Tabel 1.
Pelaksanaan dan hasil PVS
PVS diikuti oleh 25 orang petani termasuk ketua kelompok tani dan kepala
dusun serta ditambah dari unsur penyuluh dan mahasiswa STPP Magelang
yang sedang melakukan PKL. Sebelum panelis melakukan penilaian di lapangan,
terlebih dahulu diberi penjelasan maksud dan tujuan PVS serta teknis pemilihan
galur oleh panelis di lapangan. Panelis diminta untuk memilih genotipe yang
disukai dan tidak disukai masing-masing 2 (dua) genotipe. Pemilihan genotipe
oleh peserta PVS dengan menggunakan dua warna kartu yaitu kartu hijau untuk
memilih genotipe yang disukai dan warna merah untuk genotipe yang tidak
disukai. Sebelum kartu tersebut diberikan, panelis diminta untuk berkeliling terlebih
dahulu yaitu mencermati genotipe mana yang menurut mereka disukai dan tidk
disukai dari ke 14 genotipe yang ada di lapangan. Setelah selesai berkeliling,
baru panelis diberi kartu untuk dimasukkan ke kotak yang telah tersedia di
masing-masing nomor galur/genotipe sesuai dengan pilihannya masing-masing.
Setelah selesai pemilihan di lapangan, kotak yang telah diisi kartu tersebut di
bawa ke tenda tempat berkumpul dan dihitung warna kartu tiap kotaknya.
Penghitungan disaksikan oleh seluruh panelis. Hasil perhitungan genotipe terpilih
(suka dan tidak suka) seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Karakteristik petani pelaksana “baby trial”, Cilacap 2018.

Karakterstik Kisaran

Umur (tahun) 47-77


Pendidikan (thn) 2-6
Luas lahan (ha) 0,14- 0,75
Varietas yang ditanam tahun lalu Inpari 32, Cilamaya muncul, IR64
Hasil (t/ha) 6-7

388 Ruskandar et al.: Evaluasi Galur-galur Padi Toleran Salin.....


Tabel 2. Hasil pilihan panelis terhadap beberapa genotipe (Adipala, Cilacap MK 2018).

No urut Genotipe Disukai Tidak Alasan


galur disukai

1 BP14092-2b-2-2-TRT-17-3-SKI-1-B 19 1 Tahan salin, malai


banyak, tidak rebah
2 BP14080-5b-6-5-TRT-27-4-SKI-5-B 5 7 Kurang tahan salin
3 BP14082-2b-2-3-TRT-23-1-SKI-1-B 3 2 Tidak tahan salin
4 IR11T184 1 9 Tidak tahan salin
5 BP14082-2b-2-5-TRT-36-2-SKI-3 0 0 Tidak tahan salin,
batang kecil
6 HHZ 14-SAL19-Y1 6 8 Kurang tahan salin
7 BP14082-2b-2-5-TRT-35-5-SKI-2 0 0 Tidak tahan salin,
batang kecil
8 BP14092-2B-1-1-TRT-14-1-4-B 1 2 Tidak tahan salin
9 IR86385-38-1‘-1-B 0 0 Tidak tahan salin
10 HHZ5-Sal9-Y3-Y1 0 11 Tidak tahan salin
11 HHZ5-Sal10-DT2-DT1 2 1 Tidak tahan salin
12 BP14092-2b-2-1-TRT-17-2-SKI-1-B 3 0 Tidak tahan salin
13 Inpari 35 0 19 Tidak tahan salin
14 Mekongga 20 0 Tahan salin

Dari hasil pilihan panelis ternyata yang disukai adalah nomor 1 dan 14 yaitu
BP14092-2b-2-2-TRT-17-3-SKI-1-B dan Mekongga (cek) sedangkan yang tidak
disukai adalah nomor 10 dan 13 yaitu HHZ5-Sal9-Y3-Y1 dan Inpari 35 (cek).
Hasil diskusi dengan panelis, alasan mereka untuk genotipe yang disukai antara
lain batang yang “besar” sehingga tidak mudah rebah, jumlah gabah per malai
tinggi dibandingkan dengan yang lain. Sedangkan kebalikannya yang tidak disukai
karena batangnya kecil dikawatirkan mudah rebah. Selain lahan salin, didaerah
ini juga termasuk lahan tadah hujan, dan panelis menghendaki adanya varietas
yang dicoba di lahan mereka (tadah hujan).
Pada pertanaman baby trial, terdapat beberapa genotipe yang
pertumbuhannya kurang baik. Misalnya genotipe nomor 2 (BP14080-5b-6-5-
TRT-27-4-SKI-5-B) tanaman mengering. Hal ini diduga karena kadar garamnya
yang cukup tinggi di lokasi tersebut (lokasi ada di pinggir sungai). Pada
pertanaman mother trial pun pertumbuhannya agak berbeda antar ulangan.
Keadaan ini diduga kadar garam tiap blok berbeda, dimana blok yang dekat
dengan saluran/sungai kadar garamnya tertinggi dan kebalikannya yang agak
jauh dari saluran kemungkinan kadar garamnya rendah. Namun hal ini perlu
dianalisis di lab untuk tanah tiap blok nya.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 389


Hasil dan komponen hasil
Percobaan dilakukan di desa Karang Benda, kecamatan Adipala kabupaten
Cilacap dari bulan Maret sampai dengan Juli 2018. Pada fase vegetative,
pertumbuhan tanaman dalam kondisi baik, karena ketersediaan air irigasi yang
mencukupi. Namun pada fase generative, air tawar kurang tersedia di lapangan,
karena curah hujan semakin berkurang, sehingga kejadian pasang air laut yang
mempengaruhi salinitas air sungai juga berdampak pada pertanaman, terutama
pada blok 1 dan 3. Cekaman salinitas yang tinggi ditandai dengan performa
tanaman yang kering dan rusak pada saat menjelang panen. Kehampaan malai
sangat tinggi sehingga menyebabkan hasil gabah sangat rendah. Oleh karena
itu, dalam analisis hasil percobaan, percobaan dibuat menjadi dua set, yaitu dua
ulangan pada kondisi salin, dan dua ulangan pada kondisi normal (Tabel 3).
Kuadrat tengah galat variabel tinggi tanaman, jumlah anakan, umur
berbunga, jumlah gabah isi dan gabah hampa, bobot 1000 butir pada blok salin
tinggi menunjukkan keragaman yang lebih tinggi dibanding blok agak salin.
Demikian juga koefisien keragaman pada blok salin lebih tinggi daripada blok
agak salin. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan kondisi dari kedua set blok
tersebut cukup signifikan. Genotipe berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman,
jumlah anakan, jumlah gabah isi per malai, dan bobot 1000 butir pada kondisi
agak salin. Pada kondisi salin tinggi, genotipe hanya berpengaruh nyata pada
jumlah gabah hampa dan hasil GKG.

Tabel 3. Analisis ragam variabel tinggi tanaman, jumlah anakan, umur berbunga, komponen hasil,
dan hasil galur-galur toleran salinitas di Cilacap, 2018.

Kondisi agak salin


Sumber
varians DB TT JA UB GI GH B1000B Hasil

Ulangan 1 92,89** 78,89** 0,14ns 401,29ns 60,04ns 18,89** 2,7846


Genotipe 13 33,97** 7,74* 7,15ns 586,21* 74,40ns 1,65* 1,5648
Galat 13 7,20 2,35 4,30 270,13 30,27 0,51 0,768
CV (%) 2,70 7,08 2,67 17,17 25,72 2,91 20,00

Kondisi salin tinggi

DB TT JA UB GI GH B1000B Hasil

Ulangan 1 6,04ns 0,32ns 0,57ns 1905,75ns 1372* 771,75* 0,10


Genotipe 13 244,01ns 27,14ns 5,22ns 1001,74ns 829,68* 53,98ns 3,18**
Galat 13 260,19ns 19,71 5,26 828,44 279,46 49,83 0,74
CV (%) 20,26 20,89 2,96 60,19 41,20 34,86 42,54

Keterangan: TT = tinggi tanaman (cm); JA = jumlah anakan; UB = umur berbunga;


GI = gabah isi; GH = gabah hampa: Hasil = t/ha GKP

390 Ruskandar et al.: Evaluasi Galur-galur Padi Toleran Salin.....


Berdasarkan phenotypic acceptability, secara penampilan tanaman pada
kondisi agak salin terlihat lebih baik daripada kondisi salin. HHZ 14-SAL19-Y1,
HHZ5-Sal9-Y3-Y1, dan Inpari 35 memiliki penampilan konsisten lebih baik
daripada galur lain, baik di kondisi salin tinggi maupun agak tinggi. Penampilan
galur-galur yang diuji pada blok salin sangat tinggi memiliki postur lebih pendek
secara signifikan. Hal ini disebabkan oleh stress kadar garam mempengaruhi
pertumbuhan tanaman. Respon jumlah anakan produktif terhadap kondisi stress
bervariasi diantara genotipe yang diuji, ada yang berkurang atau bertambah
secara relatif. Pada kondisi salin tinggi, Inpari 35 memiliki jumlah anakan yang
relatif lebih banyak daripada galur-galur yang diuji. Galur-galur yang memiliki
jumlah anakan relatif lebih banyak pada kondisi salin tinggi adalah BP14080-
5b-6-5-TRT-27-4-SKI-5-B, HHZ 14-SAL19-Y1, dan HHZ5-Sal10-DT2-DT1.
Umur berbunga bervariasi antargalur yang diuji baik pada kondisi agak
salin mapun kondisi salin tinggi. Akan tetapi secara umum perbedaan umur
antara kondisi salin tinggi dan agak salin tidak terlalu signifikan, kecuali untuk
galur HHZ5-Sal10-DT2-DT1 yang lebih genjah 5 hari pada kondisi salin tinggi.
Jumlah gabah isi secara umum berkurang dari kondisi agak salin ke salin tinggi,
demikian juga untuk bobot 1000 butir. Sebailknya jumlah gabah hampa bertambah
dari kondisi agak salin ke salin tinggi.
Hasil gabah kering giling galur-galur yang diuji pada kondisi agak salin
berkisar antara 3,39-6,04 t/ha. Varietas Inpari 35 memiliki hasil 4,4 t/ha sedangkan
Mekongga memiliki hasil 4,82 t/ha. Galur BP14092-2b-2-1-TRT-17-2-SKI-1-
B, BP14092-2b-2-1-TRT-17-3-SKI-1-B, IR11T184 memiliki hasil relatif lebih
tinggi daripada Inpari 35. Galur-galur yang diuji pada kondisi salin tinggi memiliki
hasil GKG berkisar antara 0,39-4,14 t/ha. Varietas Inpari 35 memiliki hasil relatif
lebih tinggi daripada Mekongga. Galur-gaur yang memiliki hasil relatif lebih
tinggi daripada Inpari 35 adalah BP14092-2b-2-1-TRT-17-3-SKI-1-B, IR11T184,
HHZ 14-SAL19-Y1, dan HHZ5-Sal9-Y3-Y1. Selain hasil relatif lebih baik,
dua diantara galur tersebut juga memiliki penampilan yang konsisten bagus (skor
5) yaitu HHZ 14-SAL19-Y1 (4,14 t/ha) dan HHZ5-Sal9-Y3-Y1 (3,38 t/ha).

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 391


Tabel 4. Hasil dan komponen hasil.

392
Vigor TT JA UB GI GH B1000B Hasil
No Galur
MS S MS S MS S MS S MS S MS S MS S MS S

1 BP14092-2b-2-1-TRT-17-3-SKI-1-B 5 4 103 96 24 22.5 78 76 95 74 12 14 2 5 23,5 5,92 3,12


2 BP14080-5b-6-5-TRT-27-4-SKI-5-B 4 5 98 83 19 25 77 80 85 34 28 35 23 2 2 3,63 0,95
3 BP14082-2b-2-3-TRT-23-1-SKI-1-B 5 4 101 87 24 21 77 77 79 30 22.5 5 6 24,5 22,5 4,02 0,39
4 IR11T184 3 4 93 80 24 22 75 77 10 0 73 13.5 13,5 2 4 22,5 5,09 3,56
5 BP14082-2b-2-5-TRT-36-2-SKI-3 3 4 98 81 19 21 77 75 90 72 23 74,5 2 4 1 3 3,48 1,53
6 HHZ 14-SAL19-Y1 5 5 100 94 21 25 79 78 15 1 90 18.5 21,5 2 4 2 4 5,08 4,14
7 BP14082-2b-2-5-TRT-35-5-SKI-2 3 4 94 71 20 20 77 79 90 39 25 55,5 2 4 11,5 3,39 2,24
8 BP14092-2B-1-1-TRT-14-1-4-B 3 3 99 78 22 18 76 79 87 25 24.5 53,5 2 4 1 3 3,96 1,9
9 IR86385-38-1-1-B 4 3 100 69 22 17 74 77 88 35 33 54,5 2 4 20,5 3,72 1,48
10 HHZ5-Sal9-Y3-Y1 5 5 99 82 21 18 80 79 97 49 13.5 14 26 2 3 3,52 3,38
11 HHZ5-Sal10-DT2-DT1 4 4 98 80 25 27 80 75 99 52 15.5 26,5 24,5 23,5 4,34 2,54
12 BP14092-2b-2-1-TRT-17-2-SKI-1-B 4 4 100 64 22 17 79 77 93 28 22.5 54,5 2 5 2 6 6,04 0,42
13 Inpari 35 5 5 111 93 24 28 80 79 90 57 26 33,5 26,5 25,5 4,4 2,46
14 Mekongga 3 5 101 59 20 18 80 79 10 1 15 22 61,5 2 5 1 3 4,82 0,2

Keterangan: MS=moderate salin, s=salin


TT = tinggi tanaman, JA = jumlah anakan, UB = umur berbunga, GI = gabah isi, GH = gabah hampa, B1000B = bobot 1000 B, Hasil = hasil gabah (t/ha)

Ruskandar et al.: Evaluasi Galur-galur Padi Toleran Salin.....


KESIMPULAN
Sebagian besar pertanaman baby trial nampaknya kurang baik pertumbuhannya
(mengering walaupun ada malainya). Hal ini diduga karena letak lokasi
pertanaman yang dekat dengan saluran/sungai yang memang airnya asin.
Informasi dari beberapa petani, bahwa air yang terdapat di saluran tersebut
cukup asin pada musim kemarau padahal tidak dalam keadaan pasang.
Hasil pilihan panelis, genotipe yang disukai adalah Mekongga dan BP14092-
2b-2-2-TRT-17-3-SKI-1-B sedangkan yang tidak disukai adalah HHZ5-Sal9-
Y3-Y1 dan Inpari 35. Alasan yang dikemukakan panelis bahwa mereka
menyukai dan tidak menyukai antara lain batang yang “besar” sehingga tidak
mudah rebah, jumlah gabah per malai tinggi dibandingkan dengan yang lain
(untuk genotipe yang disukai). Sedangkan kebalikannya yang tidak disukai karena
batangnya kecil dikawatirkan mudah rebah. Kadar garam tiap blok berbeda,
hal ini terlihat dari keadaan pertanaman yang tidak sama tiap ulangan.
Pelaksanaan PVS dilakukan sebelum panen, sehingga yang dinilai oleh
panelis adalah penampilan/morfologisnya. Namun demikian panelis dapat
menduga bahwa pilihannya juga akan baik hasilnya. Hal ini terbukti bahwa
pilihan panelis adalah galur BP14092-2b-2-2-TRT-17-3-SKI-1-B menghasilkan
tonase yang relatif lebih tinggi dari varietas cek (Inpari 35).

DAFTAR PUSTAKA
BPTP Jawa Tengah. 2015. Loka karya Strategi pengelolaan lahan salin
mendukung peningkatan produksi padi di Jawa Tengah, 17-18 November
2015. Kerjasama BPTP Jawa tengah dengan mahasiswa angkatan X
program studi magister abdibisnis fakultas peternakan dan pertanian
UNDIP
Deptan. 2008. Peningkatan Produksi Padi Menuju 2020: Memperkuat
kemandirian pangan dan peluang ekspor. Departemen Pertanian. Jakarta.
Hairmansis, A., B. Kustianto, E.Lubis, and Suwarno. 2008. Increasing genetic
diversity throuht participatory varietal selection of upland rice in Lampung.
Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol 27 No. 1. 2008
Irawan B., 2004. Dinamika produktivitas dan kualitas budidaya padi sawah.
Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, pp:179-200.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 393


Las, I., Ruskandar, A., Mulya, S.H., Djatiharti, A., Purboyo, I. B., Susanto, U.,
2003. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian (ROPP): Evaluasi Pemanfaatan
dan Dampak Varietas Unggul Baru Padi.
Las, I., Suprihatno, B., Daradjat, A.A., Suwarno, Abdullah B., Satoto, 2004.
Inovasi Teknologi Varietas Unggul Padi: Perkembangan, Arah, dan Strategi
ke Depan., Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, pp:375-396.
Ruskandar, A., Mulya, S.H., Djatiharti, A., Wardana, I.P., Las, I., Suprihatno,
B., 2006. Distribution of high yielding rice varieties in Indonesia. Book 2.
Proceeding of the International Rice Conference 2005. Bali, Indonesia,
12-14 September 2005. IAARD-IRRI.
Sayuti, Djulin, A.M., Iqbal, M., 1998. Analisis pendekatan penyuluhan,
pembentukan persepsi petani serta pengaruhnya terhadap adopsi teknologi
inovasi: Kasus introduksi teknologi baru program SUTPA di Propinsi Jawa
Timur dan Lampung. Prosiding Dinamika Ekonomi Pedesaan dan
Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian. Buku II. Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Suwarno, E.Lubis, Baehaki, Sudir, S.D.
Indrasari, I.P. Wardana, dan M.J. Mejaya. 2011. Deskripsi varietas padi.
Balai Besar penelitian Tanaman padi. Badan Litbang Pertanian.
Wahyuni S., Ruskandar, A., Mulsanti, I.W., 2008. Peran produsen benih dalam
diseminasi varietas unggul padi di Jawa Barat,. Prosiding Seminar
Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN. Buku 2. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi, pp:882-889.

394 Ruskandar et al.: Evaluasi Galur-galur Padi Toleran Salin.....


Lampiran 1.
Daftar nama-nama petani dusun congot desa Karang Benda
Kec Adipala- Cilacap

(Baby Trial)
Jumlah galur salin : 14
Semai : 30 Maret 2018
Tanam : 19 April 2018

No. Nama petani Nomor galur Genotipe

1 Riyadi 1 BP14092-2b-2-2-TRT-17-3-SKI-1-B
2 Fatoni 2 BP14080-5b-6-5-TRT-27-4-SKI-5-B
3 Tarno 3 BP14082-2b-2-3-TRT-23-1-SKI-1-B
4 Marno 4 IR11T184
5 Madlukin 5 BP14082-2b-2-5-TRT-36-2-SKI-3
6 Yanto 6 HHZ 14-SAL19-Y1
7 Sukasri 7 BP14082-2b-2-5-TRT-35-5-SKI-2
8 Yanti 8 BP14092-2B-1-1-TRT-14-1-4-B
9 Puji 9 IR86385-38-1‘-1-B
10 Andi 10 HHZ5-Sal9-Y3-Y1
11 Tini 11 HHZ5-Sal10-DT2-DT1
12 Turiyem 12 BP14092-2b-2-1-TRT-17-2-SKI-1-B
13 Likin 13 Inpari 35
14 Marji 14 Mekongga

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 395


396 Ruskandar et al.: Evaluasi Galur-galur Padi Toleran Salin.....
Peluang Usahatani Padi-Ikan untuk Meningkatkan
Tambahan Pendapatan Petani
Widyantoro
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat
E-mail:

ABSTRAK
Usahatani padi-ikan merupakan salah satu bentuk diversifikasi
usahatani yang diyakini dapat mengurangi risiko usahatani dan
memberikan tambahan penghasilan. Usahatani padi-ikan bisa
dilakukan bila didukung oleh lingkungan usahatani, ketersediaan air,
dan jaminan pasar. Penelitian usahatani padi-ikan sebagai tambahan
pendapatan dan diversifikasi pangan dilakukan di Kabupaten Subang
pada MH 2017/2018 dan MK 2018 dengan tujuan untuk mengetahui
pendapatan, kelayakan dan alasan petani melakukan usahatani padi-
ikan. Metode survey dengan wawancara langsung ke responden
digunakan untuk pengumpulan data. Analisis usahatani dan kelayakan
digunakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan
Usahatani padi-ikan lebih efisien dalam penggunaan benih padi, pupuk,
dan biaya pestisida dibandingkan monokultur padi namun tidak
demikian dalam penggunaan tenagakerja. Usahatani padi-ikan
memberikan tambahan hasil gabah setara ikan antara 1.394-1.539
kg/ha dan meningkatkan hasil total setara gabah antara 23,72-25,76%
dibandingkan monokultur padi. Selain itu pendapatan usahatani padi-
ikan juga lebih tinggi 25,20-30,14% dan lebih layak bila dibandingkan
dengan monokultur padi. Alasan lebih menguntungkan dan mengikuti
kelompok menjadi landasan petani untuk mengusahakan usahatani
padi-ikan.
Kata kunci: Usahatani, padi-ikan, kelayakan.

ABSTRACT
Rice-fish farming is a farm diversification that can reduce the
risk of farming and provide additional variation. Rice-fish
farming can be carried out if supported by the farming

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 397


environment, approved by water irrigation, and market
guarantees. Research on rice-fish farming as additional income
and food diversification was carried out in Subang Regency on
RS 2017/2018 and DS 2018 with the aim of obtaining the
information on income, feasibility and the reasons for farmers
doing rice-fish farming. The survey method with direct interviews
with respondents was used to collect data. Farming analysis and
feasibility are used in this study. The results showed that rice-
fish farming was more efficient in the use of rice seeds, fertilizer,
and the cost of pesticides compared to rice monoculture. Rice-
fish farming gave additional grain yields higher between 1.394-
1.539 kg/ha and increased total grain yields between 23.72-
25.76% compared to rice monoculture. In addition, rice-fish yields
were also 25.20-30.14% higher and more feasible compared to
rice monoculture. Higher profit and join the farmer group were
the reasons for farmers to work on rice-fish farming.
Keywords: Farming, rice-fish, feasibility

PENDAHULUAN
Sistem usahatani padi-ikan atau minapadi merupakan salah satu bentuk usaha
diversifikasi usahatani yang telah lama dikembangkan Kementerian Pertanian
melalui program intensifikasi pertanian yang tersebar di beberapa wilayah
Indonesia. Ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dari sistem minapadi,
diantaranya: a) memberi kemungkinan untuk terpenuhinya dua jenis pangan
pokok yaitu beras sebagai sumber karbohidrat dan ikan sebagai sumber protein,
b) membuka kemungkinan bagi petani untuk meningkatkan pendapatannya
karena mendapat nilai tambah dari hasil penjualan ikan, c) termanfaatkannya
lahan dan air secara optimal, d) menambah kesuburan tanah, e) memutus siklus
biologis hama karena ikan, dan f) menekan tumbuhnya gulma (Ardiwinata, 1987
dan Lutoni, 1991 dalam Suhadjadinata, 1994).
Pemikiran untuk mengetengahkan pendekatan diversifikasi usahatani melalui
sistem usahatani minapadi ini, terkait dengan upaya peningkatan pendapatan
petani, kesempatan kerja, dan penanganan stagnasi produksi padi melalui
intensifikasi minapadi (Nurhayati et al. 2016; Sularno dan Jauhari 2014). Namun
yang lebih penting lagi, upaya peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja
ini sekaligus ditujukan juga untuk optimalisasi pemanfaatan sumber daya pertanian
terutama lahan dan air (Damayanti, 2012).

398 Widyantoro: Peluang Usahatani Padi-Ikan.....


Hasil penelitian Adnyana dan Swastika (1991) tentang studi dampak sistem
usahatani minapadi di Kecamatan Binong, Subang menunjukkan, bahwa sistem
usahatani tersebut dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk terutama
fosfat, menekan penggunaan herbisida dan insektisida dibanding dengan pola
tanam dua kali monokultur padi. Sistem usahatani minapadi – minapadi – ikan
dan padi – padi – ikan memberikan hasil setara beras, masing-masing sebesar
51% dan 27% lebih tinggi dibandingkan dengan pola padi – padi – bera. Lebih
lanjut dari hasil penelitian tersebut juga dilaporkan bahwa petani minapadi
mengkonsumsi ikan 80% lebih tinggi dibandingkan dengan petani monokultur
padi. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Fagi (1989) di Desa Nangerang,
Subang menunjukkan bahwa produktivitas usahatani setara beras 19 t/ha/tahun
dapat diperoleh dari sistem usahatani minapadi – minapadi – ikan atau minapadi
– ikan – minapadi – ikan.
Petani juga mempunyai tanggapan yang positip terhadap budidaya minapadi
dan dapat menciptakan kesenangan tersendiri bagi petani minapadi (Ariyanto,
1991). Walaupun rumpun padi sedikit berkurang karena digunakan untuk
pembuatan parit untuk ikan, namun hasil padi yang diperoleh lebih tinggi 5-15%
dibandingkan dengan monokultur padi (Huat dan Tan 1981).
Secara umum penerapan sistem usahatani minapadi bertujuan untuk
memperbaiki dan meningkatkan efisiensi usahatani pada lahan sawah irigasi
guna meningkatkan pemanfaatan sumberdaya lahan dan air, pendapatan petani
dan kesempatan kerja, serta menjaga keberlanjutan produksi padi. Tujuan yang
ingin diketahui dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pendapatan,
kelayakan dan alasan petani melakukan usahatani padi-ikan.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan Juni 2018 pada periode MT 2017/2018. Metode dasar yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis, sedangkan
untuk pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode survey.
Penentuan lokasi penelitian (kabupaten dan kecamatan) dilakukan secara sengaja
(purposive sampling), dengan pertimbangan lokasi penelitian merupakan salah
satu sentra kegiatan usahatani padi-ikan serta mudah diakses dengan transportasi
darat. Berdasarkan pertimbangan tersebut dipilih Kecamatan Tanjungsiang dan
Cijambe, Kabupaten Subang. Petani padi-ikan di lokasi penelitian tersebar di
beberapa desa, untuk itu ditentukan wilayah pengambilan sampel responden
mengikuti sebaran lokasi desa setempat. Pengambilan sampel responden
dilakukan dengan cara acak sederhana dengan memperhatikan jarak lokasi.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 399


Jumlah seluruh responden yang diambil ditetapkan secara quota sampling
sebanyak 15 responden, terdiri dari 7 responden petani padi-ikan dan 8 responden
petani monokultur padi.
Untuk mendapatkan data yang diperlukan digunakan teknik pengumpulan
data berupa wawancara, observasi, dan pencatatan terhadap hal-hal yang
dianggap penting terutama sumber informasi yang berasal dari key informan.
Semua data yang diperoleh dikumpulkan, ditabulasi dan dianalisis serta disajikan
dalam bentuk tabel silang sederhana.
Metode analisis yang digunakan adalah pendapatan usahatani dan benefit
cost ratio (BCR) dan marginal benefit cost ratio (MBCR). BCR merupakan
perbandingan antara pendapatan atau keuntungan dengan biaya total, sedangkan
MBCR merupakan perbandingan antara pendapatan atau keuntungan marginal
dengan biaya total marginal (Hariadi dan Suratiyah, 1997; Husnan dan Suwarsono,
2000; Soekartawi et al., 1986). Pendapatan usahatani diperoleh dari selisih antara
penerimaan total dan biaya total usahatani, secara matematis dirumuskan:
Y = TR – TC(eksp)  Y = P.Q- ri.xi
dimana, Y = pendapatan (Rp/ha); TR = total revenue (penerimaan total Rp/
ha); TC(eksp) = total cost eksplisit (biaya total yang dikeluarkan Rp/ha); P =
harga hasil produksi (Rp/kg); Q = hasil produksi (kg/ha); ri= harga faktor produksi
ke-i (Rp/kg); dan xi = faktor produksi ke-i.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Padi musim hujan (MH) umumnya di tanam pada awal sampai pertengahan
bulan Nopember hingga Desember dan panen pada pertengahan bulan Maret/
April. Setelah panen padi MH kemudian dilanjutkan dengan pengolahan lahan
untuk persiapan tanaman padi musim kemarau (MK). Padi musim kemarau
umumnya di tanam pada pertengahan bulan April sampai Mei dan panen pada
bulan Agustus/September.
Pengolahan lahan dan pembuatan pesemaian (pembibitan) dilakukan kurang
lebih satu bulan sebelum penanaman padi. Sumber air irigasi berasal dari air
sungai yang bersumber dari pegunungan. Pengolahan lahan dengan menggunakan
tenaga kerja traktor dengan sistem upah borong. Pembuatan pematang
(galengan) dan parit atau caren (Sunda: kamalir), yaitu suatu tempat yang letaknya
lebih dalam dari permukaan lahan untuk tempat ikan berlindung bila sawah
kekurangan air. Ukuran parit ini adalah lebar 40-50 cm dan kedalaman 30 cm

400 Widyantoro: Peluang Usahatani Padi-Ikan.....


memanjang atau melintang di pinggir atau tengah petakan sawah. Pembuatan
parit ini dimaksudkan agar genangan air lebih dalam dari permukaan air, sehingga
ikan lebih leluasa bergerak dan memudahkan pemanenan ikan. Pada ujung parit
biasanya dibuatkan parit pengungsian (sunda: pengungsen) dengan ukuran 1
m2 sehingga pada saat air di petakan sawah dikeluarkan ikan akan mengumpul
di parit pengungsian tersebut. Pakan tambahan ikan umumnya berupa campuran
pelet dan dedak yang diperoleh dari penggilingan beras maupun kios pasar.
Padi ditanam setelah bibit padi di pesemaian telah mencapai umur siap
tanam. Rata-rata umur bibit padi di daerah penelitian 23 hari umur semai. Padi
ditanam dengan jarak tanam (25 x 25) cm atau ada yang (27 x 27) cm tergantung
varietas padi yang ditanam. Varietas padi yang ditanam pada musim hujan dan
musim kemarau didominasi varietas Ciherang dan IR-64. Petani sudah
menggunakan benih berlabel karena percaya akan kualitas benih yang digunakan
dengan alasan tumbuh rata dan hasil tinggi (Tabel 1).

Tabel 1. Varietas, kelas benih dan jarak tanam yang digunakan petani padi-ikan
dan petani mono-kultur padi. Subang. MH 2017/2018 dan MK 2018.

Responden petani
Uraian
Padi-ikan (%) Monokultur padi (%)

MH 2017/2018
1. Varietas
a. Ciherang 70,0 53,3
b. IR-64 13,3 23,3
c. Lainnya 16,7 23,4
2. Kelas benih
a. Berlabel 73,3 66,7
b. Tidak berlabel 26,7 33,3
3. Jarak tanam (cm)
a. 25 x 25 63,33 60,0
b. 27 x 27 36,67 40,0
MK 2018
1. Varietas
a. Ciherang 60,0 43,3
b. IR-64 20,0 30,0
c. Lainnya 20,0 26,7
2. Kelas benih
a. Berlabel 76,7 66,7
b. Tidak berlabel 23,3 33,3
3. Jarak tanam (cm)
a. 25 x 25 63,33 63,33
b. 27 x 27 36,67 36,67

Sumber: Data primer

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 401


Penanaman padi dilakukan secara manual dengan sistem upah borong,
sedangkan untuk penanaman atau penebaran ikan (sistem minapadi) dilakukan
pada saat umur padi 14-21 HST. Ukuran panjang ikan yang ditebar rata-rata
berukuran 8-10 cm (ngramo – nelu) dengan berat 1 kg berisi sekitar 30-40 ekor
ikan. Jenis ikan yang ditebar umumnya ikan mas (Cyprinus carpio) namun
ada juga yang menanam jenis ikan nila. Pemeliharaan ikan di sawah bersama
dengan padi umumnya dilakukan sampai 14-21 hari menjelang panen padi.
Rata-rata penggunaan benih petani padi-ikan lebih sedikit dibanding petani
monokultur padi, hal ini bisa dimengerti mengingat pada petani padi-ikan ada
sebagian lahan yang tidak ditanami padi dan digunakan untuk caren atau parit
keliling yang jarak dari batas pinggir galengan sampai tanaman padi bisa mencapai
60-90 cm sehingga populasi padi juga sedikit berkurang. Rata-rata padat
penebaran ikan adalah 0,32 ekor/m2 atau 3.200 ekor/ha pada MH maupun MK
dengan berat sekitar 1 ku.
Rata-rata jumlah pupuk urea, SP36 dan NPK yang diberikan petani padi-
ikan juga lebih sedikit bila dibandingkan dengan petani monokultur padi (Tabel
2). Nampaknya pada petani padi-ikan penggunaan pupuk sengaja dikurangi
karena sudah terbantu dengan adanya kotoran ikan yang dipelihara selama
penanaman padi. Hasil ini sejalan dengan Adnyana dan Swastika (1991) yang
mengatakan bahwa usahatani padi-ikan lebih efisien dalam penggunaan pupuk.
Demikian pula biaya penggunaan pestisida petani padi-ikan lebih hemat bila
dibandingkan dengan petani monokultur padi. Hal ini bisa dimengerti mengingat
pada usahatani padi-ikan dalam penggunaan pestisida harus lebih selektif. Adanya
ikan di sawah juga diyakini dapat menekan hama di pertanaman padi.
Rata-rata pengeluaran biaya untuk upah tenaga kerja pada petani padi-
ikan lebih besar bila dibandingkan dengan petani monokultur padi (Tabel 3). Ini
disebabkan karena pada usahatani padi-ikan terdapat beberapa kegiatan teknis
yang tidak dijumpai di monokultur padi. Pada kegiatan pengolahan tanah usahatani
padi-ikan terdapat biaya upah tenagakerja pembuatan caren atau parit, selain
itu juga terdapat biaya upah pemberian pakan ikan yang dilakukan hampir setiap
hari. Pemberian biaya upah bawon pada usahatani padi-ikan juga lebih besar
dibanding usahatani monokultur padi. Ini disebabkan karena adanya upah bawon
panen padi dan ikan yang disetarakan dalam biaya upah kerja. Dengan demikian
meskipun untuk pengeluaran biaya upah tenagakerja penyiangan dan
penyemprotan pada usahatani padi-ikan lebih sedikit, namun dengan adanya
penambahan biaya pada kegiatan pembuatan caren, pemberian pakan ikan, dan
panen pada akhirnya menyebabkan total biaya pengeluaran upah tenagakerja
pada usahatani padi-ikan lebih besar dibanding usahatani monokultur padi.

402 Widyantoro: Peluang Usahatani Padi-Ikan.....


Tabel 2. Rata-rata penggunaan sarana produksi petani padi-ikan dan petani monokultur padi,
Subang, MH 2017/2018 dan MK 2018.

Padi-ikan Monokultur padi


Saprodi
Unit/ha Rp/ha Unit/ha Rp/ha

MH 2017/2018
1. Benih 18,6 kg 225.060 22,8 kg 275.880
2. Bibit ikan 3.205 ekor 1.282.000 - -
3. Urea 177,3 kg 343.962 188,5 kg 365.690
4. SP36 90,4 kg 194.360 98,2 kg 211.130
5. NPK 125,5 kg 308.730 132,7 kg 326.442
6. Pestisida - 331.200 - 880.200
7. Pakan ikan 215 kg 967.500 - -
Jumlah - 3.652.812 - 2.059.342
MK 2018
1. Benih 18,2 kg 220.220 22,5 kg 272.250
2. Bibit ikan 3.115 ekor 1.246.000 - -
3. Urea 182,6 kg 354.244 190,3 kg 369.182
4. SP36 91,2 kg 196.080 97,5 kg 209.625
5. NPK 125,7 kg 309.222 134,3 kg 330.378
6. Pestisida - 334.800 - 873.000
7. Pakan ikan 232 kg 1.044.000 - -
Jumlah - 3.704.566 - 2.054.435

Keterangan: Harga benih padi Rp 12.100/kg; bibit ikan Rp 400/ekor; pupuk Urea Rp 1.940/kg;
SP36 Rp 2.150/kg; NPK Rp 2.460/kg, pakan ikan Rp 4.500/kg

Rata-rata hasil gabah petani padi-ikan dan monokultur padi per satuan luas
lahan yang sama tidak banyak berbeda, namun dengan adanya ikan di sawah
ternyata memberikan tambahan hasil gabah setara ikan yang tinggi. Hasil ikan
yang dipelihara selama pertumbuhan padi memberikan hasil panen sebanyak
236 kg/ha ikan pada MH 2017/2018 dan 223 kg/ha ikan pada MK 2018. Dengan
harga jual ikan sebesar Rp 30.000/kg serta harga gabah Rp 4.600/kg pada MH
2017/2018 dan Rp 4.800/kg pada MK 2018, maka petani padi-ikan akan
memperoleh tambahan hasil gabah setara ikan sebanyak 1.539 kg/ha pada MH
2017/2018 dan 1.394 kg/ha pada MK 2018, sehingga total hasil gabah yang
diperoleh petani padi-ikan sebesar 7.319 kg/ha pada MH 2017/2018 dan 6.879
kg/ha pada MK 2018 (Tabel 4). Dibandingkan dengan hasil gabah petani
monokultur padi, maka terdapat perbedaan hasil gabah sebanyak 1.499 kg/ha
atau 25,76% pada MH 2017/2018 dan 1.319 kg/ha atau 23,72% pada MK 2018.

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 403


Tabel 3. Rata-rata penggunaan tenagakerja pada usahatani padi petani padi-ikan dan petani
monokultur padi, Subang MH 2017/2018 dan MK 2018.

Padi-ikan Monokultur padi


Penggunaan tenaga kerja
HOK/ha Rp/ha HOK/ha Rp/ha

MH 2017/2018
1. Pengolahan tanah (borong) - 1.470.000 - 1.200.000
2. Pesemaian 2,31 207.900 2,23 200.700
3. Tanam (borong) - 1.200.000 - 1.200.000
4. Pemupukan 3,45 310.500 3,33 299.700
5. Penyiangan 10,52 946.800 13,79 1.241.100
6. Penyemprotan 5,37 483.300 8,23 740.700
7. Pengairan 4,28 385.200 3,4 306.000
8. Pemberian pakan 6,56 590.400 - -
9. Panen (bawon) - 5.069.967 - 4.656.000
Jumlah 35,49 10.664.067 30,98 9.844.200
MK 2018
1. Pengolahan tanah (borong) - 1.470.000 - 1.200.000
2. Pesemaian 2,29 206.100 2,23 200.700
3. Tanam (borong) - 1.200.000 - 1.200.000
4. Pemupukan 3,53 317.700 3,05 274.500
5. Penyiangan 11,19 1.007.100 12,86 1.157.400
6. Penyemprotan 5,35 481.500 8,26 743.400
7. Pengairan 4,49 404.100 3,79 341.100
8. Pemberian pakan 6,45 580.500 - -
9. Panen (bawon) - 4.782.467 - 4.448.000
Jumlah 36,3 10.449.467 30,19 9.565.100

Keterangan: Upah kerja setara pria Rp.90.000/HOK (7 jam)

Tabel 4. Rata-rata hasil gabah dan hasil gabah setara ikan pada usahatani padi petani padi-ikan
dan petani monokultur padi, Subang MH 2017/2018 dan MK 2018

Padi-ikan Monokultur padi


Uraian
kg/ha Rp/ha kg/ha Rp/ha

MH 2017/2018
- Hasil gabah 5.780 26.588.000 5.820 26.772.000
- Hasil gabah setara ikan 1.539 7.079.400 - -
MK 2018
- Hasil gabah 5.485 26.328.000 5.560 26.688.000
- Hasil gabah setara ikan 1.394 6.691.200 - -

Keterangan: Harga gabah MH 2017/2018 Rp 4.600/kg; harga gabah MK 2018 Rp 4.800/kg;


harga ikan konsumsi Rp 30.000/kg.

404 Widyantoro: Peluang Usahatani Padi-Ikan.....


Hasil analisis usahatani padi-ikan menunjukkan dengan adanya ikan yang
diusahakan secara bersama dengan padi di sawah dapat memberikan tambahan
penerimaan petani sebesar Rp 7.079.400/ha atau 21,0% dari penerimaan total
pada MH 2017/2018 dan Rp 6.691.200/ha atau 20,3% dari penerimaan total
pada MK 2018 (Tabel 5). Jika dibandingkan dengan usahatani monokultur padi,
maka pendapatan usahatani padi-ikan lebih tinggi 30,14% pada MH 2017/2018
dan 25,20% pada MK 2018. Hasil penelitian ini sejalan dengan Nuryasri (2015),
yang mengatakan pendapatan total usahatani minapadi di lahan sawah irigasi
lebih menguntungkan dan memberikan nilai total gizi lebih tinggi dibandingkan
dengan usahatani monokultur padi.
Rasio pendapatan dengan total biaya atau BCR pada petani padi-ikan dan
monokultur padi pada MH 2017/2018 adalah 1,35 dan 1,25. Ini berarti setiap
pengeluaran biaya usahatani sebesar Rp 100 akan mendapatkan tambahan
keuntungan atau pendapatan sebesar Rp 135 pada petani padi-ikan dan Rp 125
pada petani monokultur padi pada situasi dan kondisi yang berlaku pada saat
tersebut. Dapat juga diartikan keuntungan usahatani padi-ikan lebih layak bila
dibandingkan dengan usahatani monokultur padi. Hal ini juga diperkuat dengan
nilai marginal B/C antara usahatani padi-ikan dengan monokultur padi sebesar
1,86 pada MH 2017/2018 dan 1,50 pada MK 2018.

Tabel 5. Analisis usahatani padi-ikan dan monokultur padi. Subang MH 2017/2018 dan
MK 2018.

Uraian Padi-ikan Monokultur padi

MH 2017/2018
1. Biaya total (Rp/ha) 14.316.879 11.903.542
- Biaya sarana produksi (Rp/ha) 3.652.812 2.059.342
- Biaya tenagakerja (Rp/ha) 10.664.067 9.844.200
2. Penerimaan total (Rp/ha) 33.667.400 26.772.000
3. Pendapatan (Rp/ha) 19.350.521 14.868.458
BCR 1,35 1,25
MBCR 1,86 -
MK 2018
1. Biaya total (Rp/ha) 14.154.033 11.619.535
- Biaya sarana produksi (Rp/ha) 3.704.566 2.054.435
- Biaya tenagakerja (Rp/ha) 10.449.467 9.565.100
2. Penerimaan total (Rp/ha) 33.019.200 26.688.000
3. Pendapatan (Rp/ha) 18.865.167 15.068.465
BCR 1,33 1,30
MBCR 1,50 -

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 405


Tabel 6. Alasan utama petani padi-ikan dan petani monokultur padi menanam padi, Subang
MH 2017/2018 dan MK 2018.

Responden petani
Alasan utama
Padi-ikan Monokultur padi
(%) (%)

1. Hasilnya pasti, resiko panen kecil 10,0 6,7


2. Biaya/modal sedikit, mudah menjual hasil 6,6 13,3
3. Mengikuti lingkungan tetangga/kelompok 26,7 23,3
4. Lebih menguntungkan 40,0 16,6
5. Kebiasaan 16,7 40,0

Jumlah 100,0 100,0

Sumber: Data primer

Ada beberapa alasan penting yang mendorong petani bersedia berusahatani


di lahan usahataninya. Alasan-alasan tersebut jika di kelompokkan akan menjadi
bahan informasi penting di dalam melakukan pendekatan dan kegiatan
pengembangan usahatani. Beberapa alasan utama petani bersedia menanam
padi selengkapnya disajikan dalam Tabel 6. Sebanyak 40% petani padi-ikan
menyatakan tertarik menanam padi karena lebih menguntungkan, 26,67% karena
mengikuti lingkungan tetangga/kelompok, dan hanya 16,67% karena kebiasaan.
Pada petani monokultur padi justru terjadi sebaliknya, dimana 40% petani
menyatakan tertarik menanam padi karena kebiasaan, 23,33% karena mengikuti
lingkungan tetangga/kelompok, dan hanya 16,67% yang mengatakan lebih
menguntungkan. Dengan demikian alasan petani padi-ikan tertarik menanam
padi karena lebih menguntungkan lebih banyak disebabkan karena adanya ikan
di sawah yang diusahakan secara bersama dengan padi.

KESIMPULAN
Usahatani padi-ikan lebih efisien dalam penggunaan benih padi, pupuk, dan biaya
pestisida dibandingkan monokultur padi namun tidak demikian dalam penggunaan
tenagakerja. Usahatani padi-ikan memberikan tambahan hasil gabah setara ikan
antara 1.394-1.539 kg/ha dan meningkatkan hasil total setara gabah antara 23,72-
25,76% dibandingkan monokultur padi. Selain itu pendapatan usahatani padi-
ikan juga lebih tinggi 25,20-30,14% dan lebih layak bila dibandingkan dengan
monokultur padi. Marginal B/C dari kedua cara usahatani padi ini adalah 1,50.

406 Widyantoro: Peluang Usahatani Padi-Ikan.....


Ini berarti setiap tambahan pengeluaran biaya usahatani padi ikan sebesar Rp.100
akan mendapat imbalan tambahan keuntungan sebesar Rp.150 pada situasi dan
kondisi yang berlaku pada saat itu. Alasan lebih menguntungkan dan mengikuti
kelompok menjadi alasan petani untuk mengusahakan usahatani padi-ikan.

DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, M.O. and D.K.S. Swastika. 1991. The Impact Study of Rice-fish
Farming System Research in Indonesia. CRIFC, Bogor.
Ardiwinata, R.O. 1987. Rice-fish Culture on Paddy Fields in Indonesia.
Proceeding of Indofacific Fish Coun. J.(II-II).119-154.
Ariyanto, A. 1991. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Budidaya
Minapadi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis S2 UGM. Tidak
dipublikasi
Damayanti, Y. 2012. Potensi dan Peluang Pengembangan Sistem Minapadi
sebagai Upaya Penanganan Dampak Perubahan Iklim di Provinsi Jambi.
J. Ekonomika Bisnis. Vol.15 No.1. Januari 2012.
Fagi, A.M., S. Suriapermana and I. Syamsiah. 1989. Rice-fish Farming Systems
in Lowland Areas The West Java Case. Report of The ARFS Working
Group Meeting. AARD-IRRI.
Hariadi, M. dan Suratiyah, K. 1997. Manajemen finansial. Jur.Sosial Ekonomi
Pertanian. Fak.Pertanian. UGM. Yogyakarta. (unpublished).
Huat, K. K., and E.SP. Tan. 1981. Review of Rice-fish Culture in Southeast
Asia. INCLARM, Manila. Philippines.
Husnan, S dan Suwarsono M. 2000. Studi kelayakan proyek. UPP AMP YKPN.
Yogyakarta.
Nurhayati, A., W.Lili,, T. Herawati and I. Riyantini. 2016. Derivatif Analysis of
Economic and Social Aspect of Added Value Minapadi (Paddy-fish
Integrative Farming) a Case Study in the Village of Sagaracipta Ciparay
Sub District, Bandung West Java Province, Indonesia. J.Aquatic Procedia.
Vol.7 August 2016. p:12-18.
Nuryasri, S., R. Badrudin, dan M. Suryanti. 2015. Kajian Pengembangan Usaha
Budidaya Ikan Air Tawar dalam Minapadi di Desa A. Widodo
Kec.Tugumulyo Kab.Musi Rawas. J. Agrisep. Vol.14. No.1.2015

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 407


Soekartawi, A. Soeharjo, J.L. Dillon, dan J.B. Hardaker. 1986. Ilmu Usahatani
dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. UI Press. Jakarta.
Suhadjadinata dan E. Surtika. 1994. Ikan Mas (Cyprinus carpio) Sebagai
Pengendali Gulma pada Pertanaman Padi. Proc. Konferensi HIGI XII.
Padang.
Sularno dan S. Jauhari. 2014. Peluang Usaha melalui Agribisnis Minapadi untuk
Meningkatkan Pendapatan Petani. J. Sosial Ekonomi Pertanian dan
Agrobisnis. Vol.10 No.2. 2014.

408 Widyantoro: Peluang Usahatani Padi-Ikan.....


Lampiran: Daftar Hadir Peserta Seminar Nasional 2019
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
No Nama Instansi

1 Ade Abdul Halim BB Padi


2 Ade Ruskandar BB Padi
3 Afriyagung Saputra JFE Steel
4 Agus Nurawan BPTP Jabar
5 Agus Suryati FMC, Jabar
6 Ahmad Rifki BB Padi
7 Ahmad Yajid BB Padi
8 Aida Fitri Viva Yuningsih BB Padi
9 Akbar Anugrah Unpad
10 Ali Iamanuddin BB Padi
11 Aman R BB Padi
12 Ana Aina BB Padi
13 Andrias Kapila HPPB Jatim
14 Angelita P.L BB Padi
15 Anggiani Nst BB Padi
16 Anindita F BB Padi
17 Anjung W DKP Kab. Tangerang
18 Anton Yustiano BBPOPT
19 Apsari Idha H DKP Kab. Tangerang
20 Aris Hairmansis Pemuliaan, BB Padi
21 Asep RTV
22 Asep Anwar Nugraha DKP Kab Bandung Barat
23 Asep Dedi PHP
24 Asep Faize Diperta Prov Jabar
25 Asep M. Yusup KP. Pusakanegara
26 Asre Jhonta Tarigan Poltek SHS
27 Atin Yuyatin BPTP Jabar
28 Awaludin BPP Karangampel - Lm
29 Awang BB Padi
30 Badi BB Padi
31 Bambang Nuryanto BB Padi

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 409


No Nama Instansi

32 Bayu Pramono BB Padi


33 Bram K BB Padi
34 Carum KT. Teguh Karya
35 Casim BB Padi
36 Cecep S BB Padi
37 Celvia Roza BB Padi
38 Chairil Ezward UNSIKA
39 Cucu Gunarsih BB Padi
40 CV. Deka Agro P BB Padi
41 D. Kusdiaman BB Padi
42 Dadang Gusjam Sirius Minerals
43 Dadang K BB Padi
44 Darwan BB Padi
45 Dedan FMC
46 Dede Marety BB Padi
47 Dedi M Sri Rejeki
48 Desy Prastika BB Padi
49 Dewi Putri H FJFE Steel
50 Diah Arismiati BB Padi
51 Didi BP2TP
52 Dody D. H BB Padi
53 Doni BPTP Jabar
54 Drikarsa BB Padi
55 Edi Hikmat Puslitbangtan
56 Edi Mulyana Dinas TPH Jabar
57 Edi S BB Padi
58 Ekp S. Dini BB Padi
59 Elah Nurul H. BB Padi
60 Elia Azizah UNSIKA
61 Elis Septianingrum BB Padi
62 Elvita Dwi J Agh IPB
63 Emita Br P Poltek SHS
64 Endah Nurwahyuni BPTP Jateng

410 Peserta.....
No Nama Instansi

65 Endang Data Proteksi, BB Padi


66 Endang MT Panca Karya
67 Endin Agronomi, BB Padi
68 Enok Sumarsih Univ Siliwangi
69 Erna Herlina BB Padi
70 Estetika Ratna Dinas Pertanian dan Ketahanan
Pangan Kab. Tangerang
71 Etti Swasti BB Padi
72 Euis BB Padi
73 Evelin Muldawati PT Enigna Saintia Solusindo
74 Fitri Nurhasanah Dinas Pertanian Kab. Bandung Barat
75 Fodli KP. Pusakanagara
76 Gustav Ibrahim Adam Universitas Muhammadiyyah Yogya
77 H. Inang L Dinas TPH Prop Jabar
78 Hajrial A Agh IPB
79 Hambari KP. Sukamandi
80 Hendra Suryana BB Padi
81 Heni Safitri BB Padi
82 Hilman BB Padi
83 Holil Munawarahman BB Padi
84 Imamuddin Firmansyah BB Padi
85 Iman Segara FMC
86 Indra Gunawan BB Padi
87 Indra S Unand Padang
88 Indria Wahyu Mulsanti BB Padi
89 Ipuk Syarifah BB Padi
90 Irfan Afandi Dinas Pertanian Kab. Tangerang
91 Irma Noviana BPTP Jabar
92 Isni Nasrifah Unpad
93 Jaja BB Padi
94 Jajuli KP. Muara, BB Padi
95 Jenniah Mosi Br. Karo
96 John Hansen Bangun Poltek SHS

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 411


No Nama Instansi

97 Jum UNSIKA
98 Jumakir BPTP Jambi
99 Jumali BB Padi
100 Karta Supriatna BB Padi
101 Kasim PM
102 Kiki Kusyaeri BPTP Jabar
103 Kinkin Zaenal M. UPT Pertanian Kec. Lemah Abang
104 Kusnadi BB Padi
105 L. M. Zarwazi BB Padi
106 Laila Nur Milati BB Padi
107 Laswini BB Padi
108 Lavyina Br Bangun Poltek SHS
109 Leadg Faperta Unpad
110 Leni Marliani, SP BPP Ciasem
111 Lilis Nurdiani BB Padi
112 Liswan Nurjaman DKP Kab. Tangerang
113 Liyanan BB Padi
114 Luh Putu Yuni W Agh IPB
115 M. Enang Slamet Pemuliaan
116 M. Hari Rabuka BB Padi
117 Madesa Prisma
118 Maesti M BBP2TP
119 Margareta Sri Wahyuni Poltek SHS
120 Marijono CV. Sri Rejeki
121 Michael Theo Pamungkas Poltek SHS
122 Mira Landep Widiastuti BB Padi
123 Muharram Faperta, UNSIKA
124 Muryono ITS, Biologi
125 Mustika Prisma
126 N. Agustiani BB Padi
127 N. Lesmanah Dinas Pertanian
128 N. Usyati BB Padi
129 Nafisah BB Padi

412 Peserta.....
No Nama Instansi

130 Nana Sutrisna BPTP Jabar


131 Nandariyah UNS
132 Nani BB Padi
133 Nia Kurniawati BB Padi
134 Nia Rachmawati Pustaka, Setjen
135 Niki Habibi ITS
136 Nofriadi Bappenas
137 Nono S BB Padi
138 Noverina Chaniago UISU
139 Nunciptono BPTP Jateng
140 Nur ‘Aini H Proteksi, BB Padi
141 Nur Dini Lestari DKP Kab. Tangerang
142 Nurmili Yuliani BPTP Kalsel
143 Nurwahidin BB Padi
144 Oco Rumasa BB Padi
145 Oma KP. Muara, BB Padi
146 Oswald BPTP Jabar
147 Rachmawati BB Padi
148 Rahmini BB Padi
149 Ramdan BB Padi
150 Rantan Krisnan Balitnak
151 Rathi Frisma Zora BPTP Riau
152 Ratna Sari BPTP Jabar
153 Ratna Sari Dewi BB Padi
154 Ratnawati BPP Susukan
155 Reagan R Puslitbangtan
156 Rifka Agh IPB
157 Riswanto BB Padi
158 Riyatun Universitas Sebelas Maret Solo
159 Rizka Ayu Khaerunnisa Universitas Wiralodra
160 Rizqi Sari Anggraini BPTP Riau
161 Rohman Wartawan
162 Rohyani BPP Ciasem

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 413


No Nama Instansi

163 Ronald Hutapea Puslitbangtan


164 Rukadi BB Padi
165 Rusep BB Padi
166 Saeka Unoki Nagoya University, Jepang
167 Samsul Arifin BB Padi
168 Sandi Setiadi BB Padi
169 Sandri Pangemanan PT Enigna Saintia Solusindo
170 Santoso BB Padi
171 Sarmadi BB Padi
172 Seni Kania Marselina Dinas Pertanian
173 Shanti Agustianingsih Dinas Pertanian
174 Simon Priambudi D BNI
175 Siswono PT Pupuk Kujang
176 Sri Ayu La Aji BB Padi
177 Sri Wahyuni BB Padi
178 Sriyana Agronomi, BB Padi
179 Sudrajat BB Padi
180 Sugeng BB Padi
181 Suismono BB Pasca panen
182 Sukarsa BB Padi
183 Sukarya BB Padi
184 Sukirman BB Padi
185 Sunoto KP. Pusakanagara
186 Suprihanto BB Padi
187 Surya Adiwijaya Poltek SHS
188 Suryana Adiwijaya
189 Swisci Margaret BB Padi
190 Syaharani Politeknik Agroindustri
191 Tarmudi BB Padi
192 Tedi Purnawan Proteksi, BB Padi
193 Tetti Maysari br Sitepu Poltek SHS
194 Tika Inggriani DKP Kab. Tangerang
195 Tirta Supriatna KP. Sukamandi
196 Tita R BB Padi
197 Tomi KP. Muara, BB Padi

414 Peserta.....
No Nama Instansi

198 Tori BB Padi


199 Tovika Berlwasari ITS
200 Tri Hastini BPTP Jabar
201 Trisnaningsih BB Padi
202 Ujang Nurdin BB Padi
203 Ujang Suryadi Puslitbangtan
204 Umi kulsum BBPOPT
205 Umin Sumarlin BB Padi
206 Untung Susanto BB Padi
207 Vallin PT NPI
208 Wahyu Rianto CV. Anisa Benih Prima
209 Wahyudin SP, MMH HPPB Jatim
210 Waluyo BPTP Sumsel
211 Wasta BB Padi
212 Wawan Erawan KP. Pusakanagara
213 Widyantoro BB Padi
214 Willy B. Suwarno Agh IPB
215 Winda Purnamasari Dinas Pertanian dan Ketahanan
Pangan Kab. Tangerang
216 Wisnu B. Putra DKP Kab. Tangerang
217 Wratsongko Puslitbangtan
218 Yahya KP. Pusakanagara
219 Yani Aryani Agronomi, BB Padi
220 Yati Haryati BPTP Jabar
221 Yayat S CV PTSC
222 Yogi Dheoksa Falma Unpad
223 Yudhistira BB Padi
224 Yudi BB Padi
225 Yulfa Kelompok Tani
226 Yullianida BB Padi
227 Zulfa Afifah Unpad
228 Zulfriandi Bappenas
229 Zuziana Susanti Agronomi, BB Padi

Teknologi Padi Inovatif Mendukung Pertanian Presisi dan Berkelanjutan 415


416 Peserta.....

Anda mungkin juga menyukai