27 Juli 2016
The Margo Hotel
Depok, Indonesia
Tema: Penguatan Kemandirian IPTEK dan Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Mendukung
Pengelolaan Sumber Daya Alam, Lingkungan, dan Mitigasi Bencana
Prosiding ini berisi makalah-makalah yang telah dipresentasikan pada Seminar Nasional
Penginderaan Jauh yang diselenggarakan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional pada
tanggal 27 Juli 2016 di The Margo Hotel, Depok - Indonesia. Prosiding dicetak pada November
2016.
Mitra Bestari*):
1. Dr. Erna Sri Adiningsih, M.Si. (Ketua)
2. Ir. Mahdi Kartasasmita, MS, Ph.D.
3. Dr. Ir. Katmoko Ari Sambodo, M.Eng.
4. Dra. Ratih Dewanti, M.Sc.
5. Dr. Bidawi Hasyim, M.Si.
6. Dr. Ir. Dony Kushardono, M.Eng.
7. Dr. Dra. Wikanti Asriningrum, M.Si.
8. Dr. Ety Parwati, M.Si.
9. Ir. Wawan K. Harsanugraha, M.Si.
10. Dr. Ir. Indah Prasasti, M.Si.
11. Dr. Ir. Dede Dirgahayu Domiri, M.Si.
Dipublikasikan oleh:
Panitia Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2016
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Jl. LAPAN No 70
Pekayon, Pasar Rebo Jakarta 13710
Indonesia
Telephone: 021-8710786, Fax: 021 8717715
Website: http://sinasinderaja.lapan.go.id
ISBN : 978-979-1458-99-3
*) : Berdasarkan Surat Keputusan Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN No.216A Tahun 2016
-ii-
TIM PENYUSUN PROSIDING*)
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2016
(SINAS INDERAJA 2016)
*) : Berdasarkan Surat Keputusan Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN No.216A Tahun 2016
-iii-
TIM PELAKSANA KEGIATAN*)
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2016
(SINAS INDERAJA 2016)
THE MARGO HOTEL DEPOK, 27 JULI 2016
I. Panitia
a. Pembina : Dr. Orbita Roswintiarti, M.Sc.
b. Pengarah : 1. Ir. Dedi Irawadi
2. Dr. M. Rokhis Khomarudin, M.Si.
c. Ketua Pelaksana : Ir. Rubini Jusuf, M.Si.
d. Sekretaris : Parwati, S.Si., M.Si.
e. Sekretariat : 1. Dinari Nikken, S.S., S.T.
2. Syifa W. Adawiyah, S.Pi.
3. Tri Astuti Pandansari, A.Md.
f. Seksi Makalah dan Proceeding : 1. Dr. Rahmat Arief, Dipl. Ing.
2. Mukhoriyah, S.T., M.Si.
3. Gusti Darma Yudha, S.Kom.
4. Yennie Marini, S.Si., M.Eng.
g. Seksi Acara : 1. Muchammad Soleh, S.T., M.Eng.
2. Rita Silviana Arlis, S.T.
3. Esthi Kurnia Dewi, S.Kom.
4. Sayidah Sulma, S.Pi., M.Si.
5. Liana Fibriawati, S.Si.
6. Destri Yanti Hutapea, S.T.
h. Seksi Keuangan : 1. Suhartono
2. Noersyamsu, S.Sos.
3. Yeni Ikawati, A.Md.
4. Ari Mutia Tantri, S.E.
5. Noor Janah, S.Sos.
6. Hana Listi Fitriana, S.T.
i. Seksi Akomodasi, Perlengkapan:1. Aby Al Khudri, S.Kom
dan Transportasi 2. Aries Maulana
3. Sulis Darmanto, S.Kom
j. Seksi Publikasi dan : 1. Nurwita Mustika Sari, S.Si.
Dokumentasi 2. Taufik Aulia Rahmat, S.T.
k. Seksi Pameran dan Poster : 1. Mega Mardita, S.Sos., M.Si.
-iv-
2. Bambang Haryanto, S.E.
II. Reviewer
a. Ketua : Dr. Ir., Erna Sri Adningsih, M.Si.
b. Anggota : 1. Ir. Mahdi Kartasasmita, MS., Ph.D
2. Dr. Ir. Katmoko Ari Sambodo, M.Eng.
3. Dra. Ratih Dewanti, M.Sc.
4. Dr. Bidawi Hasyim, M.Si.
5. Dr. Ir. Dony Kushardono, M.Eng.
6. Dr. Dra. Wikanti Asriningrum, M.Si.
7. Dr. Ety Parwati, M.Si.
8. Ir. Wawan K. Harsanugraha, M.Si.
9. Dr. Ir. Indah Prasasti, M.Si.
10. Dri. Ir. Dede Dirgahayu Domiri, M.Si.
-v-
22. Dr. Ir. Dede Dirgahayu Domiri, M.Si. (Moderator)
23. Dr. Rahmat Arief, Dipl. Ing. (Moderator)
*) : Berdasarkan Surat Keputusan Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN No.62A Tahun 2016
-vi-
KATA PENGANTAR DEWAN PENYUNTING
(KETUA MITRA BESTARI)
Pada tanggal 27 Juli 2016 telah diselenggarakan Seminar Nasional Penginderaan Jauh (Sinas Inderaja) 2016
di The Margo Hotel, Depok, Indonesia, dengan tema “Penguatan Kemandirian IPTEK dan Pemanfaatan
Penginderaan Jauh untuk Mendukung Pengelolaan Sumber Daya Alam, Lingkungan dan Mitigasi Bencana”.
Tema ini melandasi Program Teknis Sinas Inderaja 2016 yaitu mendorong dan memperkuat kemampuan
penelitian, pengembangan, dan kerekayasaan (litbangyasa) dalam bidang teknologi dan pemanfaatan
penginderaan jauh untuk mencapai kemandirian dalam rangka implementasi Undang-Undang Nomor 21
tahun 2013 tentang Keantariksaan, khususnya kegiatan penginderaan jauh.
Penyelenggaraan kegiatan penginderaan jauh yang dimaksud meliputi perolehan, pengolahan, penyimpanan,
pendistribusian, dan pemanfaatan data, serta diseminasi informasi. Kegiatan perolehan (akuisisi) data
dengan menggunakan dan termasuk pengembangan serta pembangunan beberapa jenis sensor dan wahana
pembawanya seperti satelit, pesawat terbang dan lain-lain untuk mengindera bumi. Pembangunan,
pengembangan serta pengoperasian ruas (stasiun) bumi inderaja agar dapat melaksanakan fungsi menerima
data di bumi. Kegiatan pengolahan data yang secara sederhana dapat dikategorikan dalam koreksi data, baik
yang bersifat geometris maupun radiometris. Selain itu, pengolahan data mencakup pula pengenalan kelas
atau pola-pola yang berbeda di bumi secara tepat, pendeteksian atau pengestimasian parameter geobiofisik
dari data inderaja pada daerah yang luas pada waktu secara cepat dan berkesinambungan. Yang tidak kurang
pentingnya adalah pengelolaan data dan informasi untuk didiseminasikan kepada pengguna secara cepat
efektif dan efisien.
Perkembangan kegiatan penginderaan jauh, khususnya di LAPAN, tidak terlepas dari sejarahnya
yang dimulai dengan tahap eksperimental sejak tahun 1978 dengan pengoperasian sistem penerima
data satelit resolusi rendah dan dilanjutkan dengan pengoperasian stasiun bumi satelit resolusi
menengah sejak tahun 1983. Kegiatan operasional dimulai sejak tahun 1993 setelah upgrading
stasiun bumi dan penyediaan data satelit resolusi menengah, yang ditandai dengan kegiatan
pelayanan data untuk pengguna yang semakin meningkat baik pada tingkat pusat maupun di
daerah.
Peningkatan layanan data dan informasi penginderaan jauh tidak terlepas dari peran dan kontribusinya dalam
pengelolaan sumberdaya alam, perlindungan lingkungan yang berkelanjutan dan mitigasi bencana di
Indonesia. Oleh sebab itu, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sensor, platform, baik satelit
maupun pesawat terbang, serta akuisisi datanya melalui stasiun bumi menjadi landasan penting dalam
pengembangan produk data dan sistem pengolahan data maupun pengelolaan data menuju ketersediaan dan
aksesibilitas data yang handal bagi seluruh pengguna di Indonesia.
Permasalahan utama yang dihadapi dalam kegiatan penginderaan jauh operasional untuk kondisi
geografis Indonesia antara lain menyangkut kesinambungan dalam perolehan data, pengelolaan dan
pengolahan data bervolume besar (big data management), serta produksi informasi geo-bio-fisik
secara cepat dan akurat untuk berbagai aplikasi. Kemampuan data penginderaan jauh resolusi
rendah yang memiliki temporal tinggi untuk pemantauan bencana dan lingkungan juga tidak kalah
pentingnya dengan kemampuan data resolusi menengah dan tinggi untuk pemetaan sumberdaya
alam serta perencanaan pembangunan. Kondisi alam di sebagian besar wilayah Indonesia dengan
liputan awan tinggi juga membutuhkan solusi alternatif, baik dengan penggunaan data radar yang
dikombinasikan dengan data optik maupun pengoperasian wahana pesawat terbang.
Dengan demikian, tantangan bagi penelitian, pengembangan, dan kerekayasaan (litbangyasa) dalam
penginderaan jauh adalah penguasaan IPTEK penginderaan jauh untuk mencapai kemandirian nasional
sebagaimana amanat Undang-Undang nomor 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan. Dengan latar belakang
permasalahan tersebut, maka topik makalah yang dicakup dalam seminar ini meliputi hasil-hasil litbangyasa
penginderaan jauh yang diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam operasionalisasi maupun
implementasi dari Undang-Undang tersebut. Makalah yang diterima berupa hasil-hasil litbangyasa murni
maupun ulasan mendalam (in depth review) di bidang teknologi sensor dan platform, stasiun bumi dan
komunikasinya, sistem pengolahan dan pengelolaan data, serta informasi geobiofisik dan aplikasi
penginderaan jauh di berbagai sektor.
-vii-
Kriteria dalam seleksi makalah yang dipresentasikan pada Sinas Inderaja 2016 dibangun
berdasarkan pemikiran di atas yaitu dengan urutan dari bobot tertinggi adalah yang mengusulkan
suatu metode baru atau adaptasi/modifikasi metodologi (relatif baru digunakan di Indonesia atau
digunakan pada data jenis yang baru diperkenalkan Indonesia) yang sudah dikembangkan di luar
negeri dan berdasarkan analisis ilmiah yang kuat agar dapat digunakan pada keadaan geografis
Indonesia. Pada urutan kedua adalah kajian ilmiah (scientific critical review) yang mendalam dan
rinci dan/atau membandingkan beberapa metodologi yang telah dikembangkan di luar negeri untuk
pada akhirnya dapat diadaptasikan di Indonesia. Selanjutnya ketiga adalah validasi metode yang
digunakan untuk mengetahui secara empiris dan eksperimental kualitas dari informasi keluarannya.
Keempat adalah implementasi/aplikasi metodologi dimana implementasi/aplikasi metodologi ini
telah dilakukan di Indonesia.
Berdasarkan urutan kriteria di atas maka telah dilakukan seleksi abstrak/makalah untuk
dipresentasikan di Sinas Inderaja 2016, yang hasilnya sebagai berikut. Abstrak yang diterima oleh
penyelenggara berjumlah 212 buah dan setelah seleksi jumlah makalah lengkap yang diterima
adalah 141 buah. Dari jumlah makalah tersebut, sebanyak 51 makalah berasal dari LAPAN dan 90
makalah dari luar LAPAN antara lain KKP, KLHK, Kementerian ESDM, Kementerian PUPR,
Kementan, LIPI, BIG, BPPT, BMKG, BPS, UGM, UI, IPB, ITB, ITS, UIN, Universitas Brawijaya,
Universitas Hasanuddin, Universitas Jambi, UNILA, UII, Institut Teknologi Padang, dan Bappeda
Provinsi Provinsi Jawa Barat. Hal ini menunjukkan bahwa Sinas Inderaja mulai dikenal dan
diminati oleh para peneliti, akademisi, dan pelaku dalam kegiatan penginderaan jauh. Dari
keseluruhan makalah yang diterima dan diseleksi lebih lanjut, sebanyak 76 makalah dipresentasikan
secara lisan (oral) dan 44 makalah dipresentasikan secara poster.
Presentasi makalah secara lisan dibagi dalam lima kelompok utama, yaitu: Sesi Teknologi dan
Koreksi Data Penginderaan Jauh, Sesi Pengolahan Data Penginderaan Jauh, Sesi Deteksi Parameter
Geo-bio-fisik, Sesi Aplikasi Penginderaan Jauh, serta Sesi Pengelolaan Data, Informasi, dan
Diseminasi Penginderaan Jauh, yang kesemuanya telah dilaksanakan pada 27 Juli 2016 di The
Margo Hotel, Depok. Sebanyak lima makalah yang dipresentasikan dalam seminar ini telah dipilih
dan dianggap layak untuk diterbitkan di jurnal IJReSES, sehingga makalah tersebut tidak
diterbitkan di dalam prosiding. Makalah yang diterbitkan dalam prosiding telah diperbaiki dengan
mengakomodasi seluruh hasil diskusi dan tanya jawab, sedangkan substansi makalah tetap menjadi
tanggung jawab penulis.
Melalui semua usaha di atas, diharapkan tema Sinas Inderaja 2016 ini dapat dicapai sehingga
penguasaan IPTEK dari segala aspek penyelenggaraan penginderaan jauh dapat memperkuat
implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan dan menjadi bagian
yang nyata dari kemandirian masyarakat, bangsa dan budaya Indonesia.
Terima kasih atas partisipasi dan perhatiannya.
-viii-
KATA PENGANTAR DEWAN REDAKTUR
Dari 122 makalah yang dipresentasikan baik secara oral (76) maupun poster (44) kemudian
diterbitkan di dalam Prosiding Sinas Inderaja 2016 ini. Penyajian makalah tersebut dikelompokkan
ke dalam sembilan (9) topik Penginderaan Jauh dari hulu sampai hilir antara lain:
1. Teknologi Sensor dan Stasiun Bumi Penginderaan Jauh (9 makalah)
2. Teknologi dan Koreksi Data Penginderaan Jauh (6 makalah)
3. Pengolahan Data Penginderaan Jauh (16 makalah)
4. Deteksi Parameter Geo-bio-fisik (17 makalah)
5. Pengelolaan Data, Informasi dan Diseminasi Penginderaan Jauh (11 makalah)
6. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Sumber Daya Wilayah Darat (6 makalah)
7. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Laut (15 makalah)
8. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Lingkungan dan Mitigasi Bencana (13 makalah)
9. Aplikasi Penginderaan Jauh Atmosfer (20 makalah)
Berdasarkan hasil diskusi interaktif antara Tim Penyusun Prosiding Sinas Inderaja 2016 dengan
Tim Pengelola International Journal of Remote Sensing and Earth Sciences (IJReSES), atas
permintaan dari Editor-in-Chief IJReSES tertanggal 8 November 2016, ada 5 makalah yang telah
dipresentasikan dalam seminar ini dipilih dan dianggap layak untuk dilakukan elaborasi lebih lanjut
guna diterbitkan di IJReSES, di samping itu, ada 2 makalah yang ditarik diri oleh pemakalah yang
bersangkutan karena suatu alasan, sehingga 7 makalah yang sudah dipresentasikan tersebut tidak
diterbitkan di dalam prosiding ini.
Lima (5) makalah yang akan diterbitkan di IJReSES tersebut antara lain berjudul:
1. Pemanfaatan Luaran Satelit NOAA-AVHRR Near Real Time untuk Analisis Kekeringan Akibat El Nino
di Indonesia (Studi Kasus: Kekeringan akibat El Nino 2015 di Sulawesi Selatan), oleh Amsari Mudzakir
Setiawan, Yonny Koesmaryono, Akhmad Fakih, dan Dodo Gunawan
2. Uji Komparatif Teknik Estimasi Curah Hujan dengan Data Satelit Himawari-8, oleh Nanda Alfuadi dan
Agie Wandala
3. Ekstraksi Informasi Kerapatan Kelurusan (Lineament Density) Menggunakan Data DEM SRTM, oleh
Udhi C. Nugroho, Arum Tjahjaningsih, dan Ahmad Sutanto
4. Perbandingan Beberapa Metode Koreksi Atmosferik untuk Data Landsat 8, oleh Esthi Kurnia Dewi, dan
Bambang Trisakti
5. Identifikasi dan Klasifikasi Beberapa Tipe Hutan Menggunakan Data Landsat-8 (Studi Kasus Hutan di
Provinsi Sumatera Utara), oleh Heru Noviar, dan Tatik Kartika
-ix-
Terima kasih atas kontribusi, kerja keras, dan kekompakan seluruh anggota tim Dewan Redaktur
dan Penyunting/Editor serta arahan dan dukungan dari Pimpinan.
Semoga, prosiding yang merupakan dokumen karya tulis ilmiah dan diseminasi hasil proses
kegiatan litbangyasa ini, menjadi dokumen yang bermanfaat dan dapat menambah semangat bagi
para stakeholder guna peningkatan kemajuan IPTEK di Penginderaan Jauh di Indonesia.
-x-
SAMBUTAN KETUA PANITIA SINAS INDERAJA 2016
Yang kami hormati Bapak Kepala LAPAN, Prof. Dr. Thomas Djamaluddin, atau yang mewakili
Yang kami hormati para pembicara Sesi Pleno, yaitu:
- Kepala Bappeda Prov Jawa Barat, Bapak Ir. Yerry Yanuar, MM, atau yang mewakili
- Kepala Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian, Bapak Dr. Dedi Nursyamsy,
- Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN, Ibu Dr. Orbita Roswintiarti, M.Sc
- Serta Ibu Dr. Erna Sri Adiningsih, M.Si
Yang kami hormati, Sekretaris Utama LAPAN, Bapak Drs. Il Arisdiyo, M.Si, atau yang mewakili
Yang kami hormati pula Deputi Bidang Teknologi Penerbangan dan Antariksa, Ibu Dr. Rika
Andiarti, atau yang mewakili
Yang kami hormati pula Deputi Bidang Sains Antariksa dan Atmosfer, Bapak Drs. Afif Budiyono,
MT
Yang kami hormati para Kepala Pusat di lingkungan LAPAN, para utusan dari kementerian dan
lembaga serta pemerintah daerah,
Bapak Dr. Mahdi Kartasasmita dan Bapak Drs. Bambang S. Tejasukmana, Dipl.Ing, para Kepala
LAPAN periode sebelumnya,
Serta para peserta seminar yang berbahagia,
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas terselenggaranya acara seminar pada hari ini.
Seminar Nasional Penginderaan Jauh ini atau kita singkat Sinas Inderaja merupakan rangkaian dari
kegiatan Hari Antariksa Nasional dan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional ke-21/2016.
Sinas Inderaja ini merupakan kegiatan ilmiah tahunan ke-3 yang diselenggarakan Deputi Bidang
Penginderaan Jauh LAPAN sebagai sarana bertukar informasi, ilmu pengetahuan, dan pengalaman
di antara para pemangku kebijakan dan praktisi penginderaan jauh terhadap berbagai perkembangan
terkini di bidang Iptek dan pemanfaatan penginderaan jauh.
Dia merupakan rangkaian acara yang berkesinambungan sejak tahun 2014, dan tahun ini merupakan
tahun ke-3 penyelenggaran Sinas Inderaja. Tahun 2014, Sinas Inderaja mengambil tema Penguatan
Kemandirian melalui Peningkatan Kualitas Penyelenggaraan Penginderaan Jauh untuk
Mendukung Pembangunan Nasional, tahun 2015 tema yang diambil adalah Kemampuan Iptek
dan Pemanfaatan Penginderaan Jauh dalam Mendukung Kemandirian Pemerintah Daerah
dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Dan pada tahun 2016 tema yang
diusung adalah Penguatan Kemandirian Iptek dan Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk
Mendukung Pengelolaan Sumberdaya Alam, Lingkungan dan Mitigasi Bencana
Bapak Kepala LAPAN yang kami hormati, Sinas Inderaja 2016 ini diadakan dalam 2 sesi besar,
pleno sesi akan diadakan pada pagi hari dengan pembicara dari LAPAN, dari Bappeda Provinsi
Jawa Barat dan dari Kementerian Pertanian. Kemudian siang nanti adalah sesi presentasi hasil-hasil
penelitian/perekayasaan di bidang penginderaan jauh.
Pada Sinas Inderaja 2016 ini panitia menerima 144 makalah ilmiah. Dari 144 makalah tersebut 84
makalah akan disampaikan dalam bentuk presentasi oral pada 6 sesi paralel, serta 57 makalah akan
disampaikan dalam bentuk presentasi poster.
Subtema yang akan disampaikan pada presentasi sesi paralel siang nanti antara lain: teknologi
sensor penginderaan jauh; teknologi stasiun bumi penginderaan jauh; teknologi dan koreksi data
penginderaan jauh; pengolahan data penginderaan jauh untuk citra satelit resolusi rendah, menengah
-xi-
dan tinggi; pengelolaan data, informasi, dan diseminasi penginderaan jauh; deteksi parameter geo-
bio-fisik; aplikasi penginderaan jauh untuk sumberdaya wilayah darat, serta sumberdaya wilayah
laut dan pesisir; aplikasi penginderaan jauh untuk mitigasi bencana; dan aplikasi penginderaan jauh
untuk sains atmosfer.
Perkiraan peserta yang hadir pada seminar ini adalah sekitar 380 orang yang terdiri dari
peneliti/perekayasa dari internal LAPAN, para undangan yang mewakili Kementerian dan
Lembaga, utusan dari 17 Pemerintah Provinsi yang memiliki kerjasama dengan LAPAN, peserta
dari universitas serta peserta umum lainnya. Selain itu, kami juga mengadakan pameran yang diisi
oleh LAPAN, Digital Globe, dan Airbus Defence and Space. Pameran menampilkan hasil-hasil
litbang yang terkait dengan penginderaan jauh.
Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan berkontribusi demi
terselenggaranya acara ini dan mohon maaf jika terdapat kekurangan.
Kami memohon Ibu Deputi Bidang Penginderaan Jauh mewakili Bapak Kepala LAPAN berkenan
untuk memberikan sambutan dan arahan sekaligus membuka acara Seminar Nasional Penginderaan
Jauh tahun 2016 ini.
Kepada peserta seminar, selamat mengikuti seminar, selamat berdiskusi, semoga mendapatkan
manfaat dan hasil yang maksimal.
Terimakasih,
Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh
-xii-
SAMBUTAN KEPALA LAPAN
Para perwakilan Kementerian, Lembaga, Daerah, dan Perguruan Tinggi, peserta Seminar Nasional
Penginderaan Jauh yang berbahagia.
Alhamdulillah, pada hari ini komunitas penginderaan jauh dapat berkumpul untuk berbagi informasi
dan hasil penelitian serta upaya pengembangan pemanfaatannya di berbagai sektor. Tema seminar
nasional “Penguatan Kemandirian IPTEK dan Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Mendukung
Pengelolaan Sumber Daya Alam, Lingkungan dan Mitigasi Bencana” juga relevan dengan visi
LAPAN sebagai Lembaga yang mendapat amanat Undang-undang Keantariksaan sebagai
penyelenggara keantariksaan terkait dengan penginderaan jauh. LAPAN mempunyai visi “menjadi
pusat unggulan penerbangan dan antariksa untuk mewujudkan Indonesia yang maju dan mandiri”.
Tentu saja visi tersebut disertai tekad untuk terus bersinergi dengan semua Kementerian, Lembaga,
dan Daerah serta Perguruan Tunggi dalam lingkup penelitian dan pengembangan serta pemanfaatan
teknologi dan data penginderaan jauh.
Penguatan kemandirian IPTEK penginderaan jauh dimulai dengan penguasaan teknologi akuisisi
data satelit serta berbagai metode analisis dan interpretasinya. LAPAN sudah menguasai akuisisi
data satelit untuk resolusi rendah, menengah, dan tinggi sampai resolusi 1,5 meter untuk
pemantauan sumber daya alam, lingkungan, dan mitigasi kebencanaan. Kini sedang mengupayakan
terwujudnya stasiun penerimaan langsung (Direct Receiving Station) untuk citra resolusi sangat
tinggi dengan resolusi sampai sekitar 60 cm. Kemandirian teknologi satelit pencitra juga terus
diupayakan dengan pembuatan dan peluncuran satelit mikro dengan misi yang semakin meningkat.
Satelit LAPAN A2/LAPAN-Orari telah memberikan citra yang cukup baik, walaupun belum sebaik
citra satelit yang selama ini diterima dari satelit internasional. Satelit LAPAN A3/LAPAN-IPB
dilengkapi dengan kamera pencitra multi-spektral yang terutama dimaksudkan untuk pemanfaatan
di sektor pertanian bersama dengan IPB.
Penguatan pemanfaatan penginderaan jauh dilakukan dengan dua program utama. Pertama,
pengembangan Bank Data Penginderaan Jauh Nasional (BDPJN). BDPJN ditargetkan menjadi
penyedia data citra satelit untuk berbagai kebutuhan sektor di Kementerian, Lembaga, dan Daerah
(antara lain untuk pembuatan RDTR–Rencana Detil Tata Ruang) serta perguruan tinggi. Kedua,
pengembangan Sistem Pemantauan Bumi Nasional (SPBN). SPBN ditargetkan untuk menjadi
penyedia informasi sumber daya alam, lingkungan, dan kebencanaan yang cepat dan akurat.
Layanan data dan informasi ke daerah ditargetkan mencapai seluruh wilayah Indonesia melaui
provinsi yang diteruskan oleh Bappeda ke kota dan kabupaten di wilayahnya.
Beberapa terobosan sudah dilakukan untuk memberikan manfaat penginderaan jauh yang lebih baik
kepada Kementerian, Lembaga, dan Daerah. Pemantauan pertumbuhan padi diharapkan dapat
memberikan informasi yang lebih akurat oleh Kementerian Pertanian untuk mengelola distribusi
pupuk dan prakiraan produksi padi. Pemantauan hotspot dan luas daerah terbakar diharapkan
memberikan informasi yang akurat dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan serta
rehabilitasinya. Beberapa daerah memanfaatkan data dan informasi penginderaan jauh untuk
meningkatkan pendapatan pajak, selain untuk menghitung secara lebih akurat luas perkebunan
unggulan daerah. Identifikasi ladang ganja merupakan terobosan baru untuk memerangi masalah
narkotika. Layanan informasi Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI) dapat memacu peningkatan
produktivitas perikanan tangkap. Informasi citra pra- dan pasca-bencana telah membantu BNPB dan
BPBD dalam operasi tanggap darurat bencana.
-xiii-
Kita terus berupaya dengan sinergi untuk terus memperkuat kemandirian penguasaan IPTEK
penginderaan jauh serta pemanfaatannya untuk mendukung pengelolaan sumber daya alam,
lingkungan, dan kebencanaan. Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2016 saat ini semoga makin
memperkuat sinergi nasional komunitas penginderaan jauh untuk memberi manfaat yang semakin
besar bagi pembangunan bangsa.
Akhirnya, dengan mengucapkan “Bismillahi Rahmaanir Rahiim”, saya nyatakan Seminar Nasional
Penginderaan Jauh 2016 secara resmi dibuka. Semoga Allah meridhoi upaya kita.
Kepala LAPAN,
-xiv-
DAFTAR ISI
8. OTOMATISASI SISTEM PENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA 18/19 DAN METOP A/B DI
STASIUN BUMI PENGINDERAAN JAUH PAREPARE
Agus Suprijanto, Sutan Takdir Ali Munawar, dan Ardiansyah ............................................................... 81
-xv-
11. KOREKSI RADIOMETRIK DATA CITRA LANDSAT MENGGUNAKAN SEMI AUTOMATIC
CLASSIFICATION PLUGIN PADA SOFTWARE QGIS
Ahmad Sutanto dan Arum Tjahjaningsih ................................................................................................ 105
12. PENERAPAN METODE MPCA PADA CITRA LANDSAT MENGGUNAKAN PCA PLUGIN
PADA SOFTWARE QGIS
Ahmad Sutanto dan Arum Tjahjaningsih ................................................................................................ 111
17. IDENTIFIKASI DEBU VULKANIK MENGGUNAKAN METODE SPLIT WINDOWS DAN TVAP
PADA CITRA SATELIT CUACA MTSAT DAN HIMAWARI-8 (STUDI KASUS: ERUPSI
GUNUNG KELUD 13 FEBRUARI 2014 DAN GUNUNG RINJANI 31 OKTOBER-5 NOVEMBER
2015)
Ilham Rosihan Fachturoni ....................................................................................................................... 155
18. UJI SKEMA DUST RGB DAN ASH RGB UNTUK INFORMASI SEBARAN DEBU VULKANIS
MENGGUNAKAN SATELIT HIMAWARI-8 (STUDI KASUS: ERUPSI GUNUNG BARUJARI 04
NOVEMBER 2015)
Pande Putu Hadi Wiguna dan Kadek Setiya Wati .................................................................................. 163
22. METODE CLASSIFICATION AND TREE METHOD (CART) DAN GEOSTATISTIK UNTUK
ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI SUB DAS RAWAN BANJIR CIHEULEUT-
CILUAR
Revi Hernina dan Arif Wicaksono .......................................................................................................... 211
-xvi-
24. HASIL AWAL ANALISIS CITRA BERBASIS OBJEK PADA DATA TERRASAR-X
POLARISASI GANDA DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITMA FUZZY UNTUK DETEKSI
FASE PERTUMBUHAN PADI
Zylshal, Nurwita Mustika Sari, Galdita Aruba Chulafak, Randy Prima Brahmantara, dan Wolfgang
Koppe ....................................................................................................................................................... 227
28. RANCANG BANGUN SISTEM PENGOLAHAN DATA LIGHT DETECTION AND RANGING
(LIDAR) AIRBONE LASER SCANNING UNTUK EKSTRAKSI DIGITAL TERAIN MODEL (DTM)
STUDI KASUS KALIMANTAN TENGAH
Kuncoro Adi Pradono dan Katmoko Ari Sambodo ................................................................................. 264
30. UJI AKURASI FOTO UDARA DENGAN MENGGUNAKAN DATA UAV PADA KAWASAN
PADAT PEMUKIMAN PENDUDUK (STUDI KASUS: KAWASAN PADAT SAYIDAN,
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA)
Anggara Setyabawana Putra, Edwin Maulana, Aries Dwi Wahyu Rahmadana, Theresia Retno
Wulan, I Wayan Wisnu Yoga Mahendra, dan Mega Dharma Putra ........................................................ 278
40. METODE EXTRACT MULTI VALUE POINT UNTUK PEMANTAUAN ANOMALI SUHU
PERMUKAAN LAUT TAHUNAN
Ummu Kultsum ........................................................................................................................................ 362
42. VALIDASI ESTIMASI BERBAGAI SKALA WAKTU CURAH HUJAN PRODUK SATELIT
UNTUK TOPOGRAFI YANG BERAGAM DI PROVINSI KALIMANTAN UTARA
Abdurahman, dan Amsari Mudzakir Setiawan ........................................................................................ 373
Topik 5: Pengelolaan Data, Informasi dan Diseminasi Penginderaan Jauh (11 Makalah)
-xviii-
51. KAJIAN AWAL PUSAT DATA PENGINDERAAN JAUH MASA DEPAN DI INDONESIA:
REVIEW RANCANGAN SISTEM LAPAN SIMAC DAN IMPLEMENTASINYA
Erna Sri Adiningsih, Andie Setiyoko, Riyan Mahendra Saputra, Gusti Darma Yudha, Ogi Gumelar,
Yayat Hidayat, Destri Yanti Hutapea, Anis Kamilah Hayati, dan Rahmat Rizkiyanto ........................... 437
Topik 6: Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Sumber Daya Wilayah Darat (6 Makalah)
62. VERIFIKASI MODEL FASE PERTUMBUHAN TANAMAN PADI BERBASIS CITRA MODIS
MENGGUNAKAN ANALISIS CITRA LANDSAT MULTIWAKTU (STUDI KASUS PULAU
LOMBOK)
Johannes Manalu dan I Made Parsa ......................................................................................................... 549
63. IDENTIFIKASI FASE PERTUMBUHAN TANAMAN PADI DARI DATA CITRA LANDSAT-8
MENGGUNAKAN PARAMETER NORMALIZE DIFFERENCE VEGETATION INDEX
R. Johannes Manalu dan Nana Suwargana .............................................................................................. 558
-xix-
65. PEMANFAATAN CITRA LANDSAT 8 OLI UNTUK PEMETAAN KERAPATAN DAN
BIOMASSA ECENG GONDOK (EICHHORNIA CRASSIPES) (STUDI KASUS: RAWA PENING
KECAMATAN AMBARAWA KABUPATEN SEMARANG)
Agil Rizki Tidar, Prima Dinta Rahma Syam, dan Pramaditya Wicaksono ............................................. 578
Topik 7: Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Laut (15 Makalah)
70. PENDUGAAN INTRUSI AIR ASIN MENGGUNAKAN CITRA ALOS AVNIR-2 DI MUARA
SUNGAI JAJAR, KABUPATEN DEMAK, JAWA TENGAH
Vina Nurul Husna .................................................................................................................................... 623
73. ANALISIS SUHU PERMUKAAN LAUT AIR BAHANG PLTU TANJUNG JATI B DI
PERAIRAN JEPARA DARI DATA LANDSAT 8 MENGGUNAKAN ALGORITMA SPLIT
WINDOW
Maryani Hartuti, Anneke K. S. Manoppo, dan Emiyati .......................................................................... 651
74. KAJIAN KENAIKAN MUKA AIR LAUT DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI SADENG
YOGYAKARTA BERDASARKAN DATA MULTI SATELIT ALTIMETRI
Isna Uswatun Khasanah, Leni S. Heliani, dan Abdul Basith .................................................................. 657
78. DISTRIBUSI SEBARAN KAPAL IKAN DAN KAITANNYA DENGAN DAERAH POTENSIAL
PENANGKAPAN IKAN BERDASARKAN CITRA SATELIT DI WPP-NRI 711
Amandangi Wahyuning H, Komang Iwan Suniada, Eko Susilo, dan Aldino Jusach Saputra................. 691
-xx-
79. VARIASI SUHU PERMUKAAN LAUT, KLOROFIL-A DAN NPP PADA LOKASI DAERAH
PENANGKAPAN IKAN (STUDI KASUS : WPP 714, 716 DAN 718)
Rizki Hanintyo, Aldino Jusach, Fikrul Islamy, R M Putra Mahardhika, dan Sri Hadianti ..................... 700
80. APLIKASI CITRA NOAA UNTUK PENDUGAAN POTENSI TITIK SEBARAN IKAN STUDI
KASUS: PELABUHAN PERIKANAN PANTAI (PPP) TEGALSARI KOTA TEGAL, JAWA
TENGAH
Dwi Sri Wahyuningsih, Theresia Retno Wulan, Farid Ibrahim, Edwin Maulana ................................... 709
Topik 8: Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Lingkungan dan Mitigasi Bencana (13 Makalah)
81. PEMETAAN RISIKO BENCANA DI KOTA BOGOR TAHUN 2015 (BENCANA BANJIR,
TANAH LONGSOR, KEBAKARAN, DAN ANGIN PUTING BELIUNG
Dwi Santy Ratnasari, dan Puspa Kusumawardani ................................................................................... 720
87. ANALISIS BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SATAID (STUDI KASUS: BANJIR ENDE, 31
JANUARI 2016)
Anggi Dewita dan Khafid Dwicahyo ....................................................................................................... 781
89. PEMANFAATAN DATA CITRA MODIS NRT UNTUK ANALISIS KEJADIAN BANJIR DI
PULAU JAWA BAGIAN BARAT (STUDI KASUS: MARET 2016)
Shailla Rustiana, Sinta Berliana Sipayung, Adi Witono, dan Eddy Hermawan ...................................... 794
-xxi-
92. APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK PENENTUAN TITIK LOKASI VEKTOR DAN
RESERVOIR PENYAKIT MENULAR (STUDI KASUS: NYAMUK, TIKUS DAN
KELELAWAR)
Samsul Arifin, Ita Carolita, Tatik Kartika, Nanik Suryo, Sri Harini, dan Ristiyanto ............................. 822
95. PEMANFAATAN CITRA VIIRS DAN ANALISIS SPASIAL UNTUK PENENTUAN LOKASI
POTENSIAL PENGEMBANGAN WISATA ASTRONOMIS
Mousafi Dimas Afrizal, Ruwanda Prasetya, Febrina Ramadhani Yusuf, Wahyu Nurbandi, dan
Muhammad Kamal .................................................................................................................................. 846
99. PEMANFAATAN RADAR CUACA UNTUK IDENTIFIKASI SQUALL LINE (STUDI KASUS
TARAKAN, PROVINSI KALIMANTAN UTARA 17 JULI 2014)
Muhammad Hermansyah ......................................................................................................................... 882
-xxii-
106. OPTIMALISASI PENINJAUAN LOKASI PUSAT AWAN CB DAN PERLUASAN LANDASAN
CB BERDASARKAN HASIL PANTAUAN SATELIT HIMAWARI -8, STUDI KASUS: CURAH
HUJAN KONVEKTIF TINGGI TANGGAL 3APRIL 2016 DI SEMARANG
Anistia Malinda Hidayat .......................................................................................................................... 932
110. ANALISIS KONDISI ATMOSFER UNTUK PREKURSOR PUTING BELIUNG (STUDI KASUS
TANGGAL 26 FEBRUARI 2013 DI KEDIRI - LOMBOK BARAT)
Annisa Fauziah dan Bastian Andarino .................................................................................................... 962
112. THERMAL FRONT PADA MUSIM TIMUR DI LAUT SAWU TAHUN 2015 BERDASARKAN
CITRA SATELIT AQUA-TERRA MODIS LEVEL 2
Riski Hanintyo, Fikrul Islamy, Sri Hadianti, Aldino Jusach , dan R.M. Putra Mahardhika .................... 981
113. IDENTIFIKASI AWAN CUMULONIMBUS DENGAN CITRA RADAR CUACA SAAT HUJAN
LEBAT DI JAKARTA (STUDI KASUS TANGGAL 20 APRIL 2016)
Rahmatia Dewi Ariyanti, Dian Asmarani, Umi Sa’adah, dan Muclishin Pramono Guntur Waseso …... 988
-xxiii-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
ABSTRACT-Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dikenal pula sebagai negara maritim. Wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia terdiri dari 13.466 buah pulau. Kondisi ini merupakan anugrah yang sangat
besar bagi pemerintah sebagai salah satu aset kekayaan alam. Penginderaan Jauh merupakan salah satu teknologi yang
dapat digunakan untuk menentukan luasan dari pulau-pulau kecil. Tujuan penelitian ini adalah menentukan luas wilayah
di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu DKI Jakarta dengan menggunakan data citra Landsat 8. Citra satelit Landsat 8
sangat potensial bila digunakan untuk menentukan daerah pulau-pulau kecil. Metode yang digunakan adalah rasio kanal
antara kanal NIR dan kanalHijau dari citra Landsat 8 yang diakuisisi tahun 2015.Berdasarkan metode tersebut luas
wilayah Pulau Pramuka Kepulauan Seribu DKI Jakarta teridentifikasi sebesar 27,27 Ha.
ABSTRACT-As the world’s largest archipelago nation, Indonesia is also known as a maritime nation. Coastal areas
and small islands in Indonesia consists of 13.466 islands. This condition is a huge boon for the government as one of
the assets of natural resources. Remote sensing is a technology that can be used to define the extents of the small
islands. The purpose of this study was to determine the total area in Pramuka Island in Thousand islands Jakarta.
Landsat 8 satellite imagery potential when used to determine the area of small islands. The method used in this
research is the band ratio between the NIR band and Green band of Landsat 8. We used Landsat 8 data which was
acquired in 2015. The result showed that the extent of Pramuka Island in Jakarta was 27.27 Ha.
1. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 13.466 buah pulau (Yusuf, 2014) yang
tersebar dari Sabang sampai Marauke. Luasnya wilayah Indonesia serta banyaknya jumlah pulau tersebut
menyebabkan kesulitan untuk menghitung dan mengetahui luas dari masing-masing pulau (Gambar 1).Salah
satu solusi yang dapat digunakan untuk deteksi dan identifikasi pulau-pulau kecil tersebut adalah dengan
memanfaatkan teknologi pengideraan jauh. Selain untuk deteksi pulau, teknologi penginderaan jauh yang
telah berkembang pesat dapat digunakan untuk mengidentifikasi luas suatu daratan. Teknologi ini akan
sangat mendukung untuk kegiatan pengelolaan kawasan pesisir, salah satu contoh kajian yang memanfaatkan
data inderaja adalah Kajian Pemanfaatan Ruang Pulau Natuna oleh Candra (2003).
Salah satu data satelit yang dapat digunakan untuk menghitung luas daratan adalah Landsat Data
Continuity Mission (LDCM) atau lebih dikenal dengan Landsat 8. Landsat 8 sebagai satelit lingkungan
memiliki 11 kanal dengan sensor Onboard Operational Land Imager (OLI: kanal 1-9) dan Thermal Infrared
Sensor (TIRS: kanal 10 dan 11) dengan tiga jenis resolusi spasial. Kanal 1, 2, 3, 4, 5, 6,7 dan kanal 9
memiliki resolusi spasial 30 m, sedangkan kanal panchromatic memiliki resolusi spasial 15 m. Selain
resolusi spasial 30 m dan 15 m, kanal TIR-1 dan TIR-2 (10 dan 11) memiliki resolusi spasial 100 m
(Acharya dan Yang, 2015). Generasi baru dari Landsat ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan
Landsat sebelumnya.
Keunggulan khusus Landsat 8 adalah rentang panjang gelombang yang ditangkap serta spesifikasi dari
masing-masing kanal. Kanal 1, 9, 10, dan 11 adalah kanal-kanal dengan spesifikasi baru yang lebih sensitif.
Kanal 1 (coastal/aerosol) mampu menangkap panjang gelombang yang lebih rendah sehingga lebih sensitif
pada perbedaan reflektan air laut atau aerosol. Kanal ini mampu mengidentifikasi karakteristik tampilan air
laut pada kedalaman yang berbeda. Kanal 9 dapat digunakan untuk deteksi awan cirrus dan kanal 10-11
dengan resolusi 100 m bermanfaat untuk mendeteksi perbedaan suhu permukaan bumi (Sugiarto,
-294-
Estimasi Perhitungan Luas Daerah di Pulau-pulau Kecil Menggunakan Data Citra Satelit Landsat 8 Studi Kasus:Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Setiawan, K.T., dkk.)
2013).Banyaknya kanal serta rentang panjang gelombang yang pendek menjadikan Landsat 8 sebagai pilihan
menarik untuk digunakan sebagai alat monitoring permukaan bumi. Kelebihan lainnya dari citra Landsat 8
adalahadanya citratime series dengan liputan wilayah yang luas sehingga dapat digunakan untuk deteksi
perubahan suatu wilayah. Selain untuk identifikasi daratan dan perairan, Landsat 8 telah banyak digunakan
untuk pemukiman (Bhatti dan Tripathi, 2014; Alhawiti dan Mitsova, 2016), suhu permukaan (Avdan dan
Jovanovska, 2016; Rajeshwari, 2014)
Pulau-pulau kecil meliputi 7% dari wilayah dunia, dan merupakan entitas daratan yang memiliki
karakteristik dan kerentanan khusus sehingga pengelolaan pulau kecil memerlukan format yang berbeda
dengan wilayah daratan lain, khususnya pulau besar (mainland). Menurut definisi yang dikeluarkan oleh
PBB dalam UNCLOS tahun 1982 dalam Jaelani dkk (2012), definisi pulau adalah massa daratan yang
terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada di atas permukaan saat air pasang tertinggi.
Dengan kata lain, sebuah pulau tidak boleh tenggelam pada saat air pasang naik. Implikasinya, ada empat
syarat yang harus dipenuhi agar dapat disebut sebagai 'pulau' (Retraubun, 2009), yakni:
memiliki lahan daratan
terbentuk secara alami, bukan lahan reklamasi
dikelilingi oleh air, baik air asin (laut) maupun tawar
selalu berada di atas garis pasang tinggi.
Mangrove, gosong, batu tidak dapat dikategorikan sebagai pulau karena tidak memenuhi kriteria
tersebut. Namun, definisi pulau kecil masih dalam pengembangan sampai saat ini. Hess (1990) menyatakan
pulau kecil adalah pulau dengan jumlah penduduk sama atau kurang dari 200.000 orang. Alternatif batasan
pulau kecil juga dikemukakan pada pertemuan CSC (1984) yang menetapkan luas pulau kecil maksimum
5.000 km (Bengen dan Retraubun 2006). Di Indonesia, pulau kecil merupakan pulau yang mempunyai luasan
kurang atau sama dengan 10.000 km² (KepMen KKP,2000). Menurut UU No.27 Tahun 2007, pulau kecil
adalah pulau dengan luas area ≤ 2000 km2, dan pulau sangat kecil adalah pulau dengan luas area ≤ 100 km2.
Pemanfaatan pulau-pulau kecil Indonesia diprioritaskan untuk tujuan konservasi; pendidikan dan
pelatihan; penelitian dan pengembangan; budidaya laut; pariwisata; usaha perikanan/kelautan dan industri
perikanan secara lestari; dan untuk pertanian organik dan/atau peternakan. Dalam kaitannya dengan
pembangunan pulau-pulau kecil skala dan lokasi pulau di Indonesia sangat berpengaruh, namun hal tersebut
tidak menjadi kendala untuk negara maju seperti Hawai dan Singapura (Brookfield, 2002). Informasi luas
suatu pulau menjadi satu kebutuhan dalam mengidentifikasi suatu pulau dan peruntukan yang tepat untuk
masing-masing pulau. Tujuan dari penulisan ini adalah menentukan luas wilayah pulau kecil di Indonesia
menggunakan data citra Landsat 8, dengan studi kasus di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu DKI Jakarta.
2. METODE
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data Landsat 8 terkoreksi tanggal 15 Agustus 2015
dengan path/row 122/64. Wilayah kajian yang menjadi studi kasus adalah Pulau Pramuka yang termasuk
dalam gugusan Kepulauan Seribu di DKI Jakarta (Gambar 2).
-295-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Langkah awal yang dilakukan adalah penggabungan kanal dari citra Landsat 8 tanpa melakukan koreksi
baik geometrik maupun radiometrikkarena data Landsat 8 yang digunakan sudah terkoreksi
keduanya.Selanjutnya dilakukan pembuatan komposit citraRed Green Blue (RGB) untuk mempermudah
identifikasi pulau.Kombinasi kanal yang digunakan adalah Natural Color CompositRGB: kanal Red (4),
Green (3), Blue (2)sehingga dapat terlihat lebih jelas antara daratan dan perairan.
Proses selanjutnya adalah pemisahan daratan dan perairan dengan menggunakan rasio kanal. Kanal yang
digunakan untuk algortima band ratio adalah kanal 5 (Near Infra Red- NIR) dan 3 (Green ). Kanal NIR
Landsat 8 memiliki fungsi untuk deteksi biomassa serta garis pantai sedangkan kanal 3 memiliki panjang
gelombang yang mampu mempertegas puncak vegetasi (Widjaja, 2014). Algoritma yang digunakan adalah
penyederhanaan dari formula yang digunakan oleh Winarso et al, 2001, yaitu:
dimana:
B3 : Kanal 3
B5 : Kanal 5
X : Nilai threshold slicing
Setelah citra telah terpisahkan antara daratan dan perairan, proses selanjutnya adalah klasifikasi untuk
mendapatkan dua kelas yaitu kelas daratan dan kelas perairan. Metode klasifikasi yang digunakan adalah
metode klasifikasi unsupervised. Tahapan terakhir dari penelitian ini adalah penghitungan luas pulau.
Diagram alur penelitian disajikan pada Gambar 3.
-296-
Estimasi Perhitungan Luas Daerah di Pulau-pulau Kecil Menggunakan Data Citra Satelit Landsat 8 Studi Kasus:Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Setiawan, K.T., dkk.)
3. HASILDAN PEMBAHASAN
Data citra yang digunakan adalah citra reflektansi terkoreksiLandsat 8 path/row 122/64 hasil perekaman
tanggal 15 Agustus 2015 yang diterima dari Pustekdata LAPANh. Oleh karena itu pada penelitian ini tidak
dilakukan lagi proses koreksi data, baik koreksi radiometrik, maupun koreksi geometrik karena data yang
digunakan sudah terkoreksi keduanya. Proses penelitian ini diawali dengan penggabungan kanal dari citra
reflektansi Landsat 8.
Penggabungan kanal dari data citra Landsat 8 dilakukan untuk membantu pembuatan komposit RGB:
kanal Red (4), Green (3), Blue (2). Pemilihan RGB komposit 432 dilakukan untuk menunjukkan kondisi
Pulau Pramuka dengan jelas seperti disajikan pada Gambar 4. Gambar 4memperlihatkan dengan jelas
perbedaan antara daratan dan perairan.Wilayah daratan ditunjukkan pada daerah yang berwarna kemerahan
dan hijau yang berasosiasi dalam satu daerah tengah. Wilayah perairan dangkal yang didalamnya ada obyek
pasir, lamun, karang hidup dan karang mati terlihat dalam warna yang tercampur, diantaranya adalah cyan,
putih, hijau dan merah kecoklatan yang tersebar mengelilingi daratan. Kemudian wilayah perairan laut dalam
yang ditunjukkan oleh warna biru tua yang tersebar mengelilingi perairan dangkal.
Hasil pembuatan komposit RGB 432 dilakukan untuk pembanding sekaligus penentu dalam pemisahan
antara peraiaran dan daratan. Pemisahan antara daratan dan perairan menggunakan metode rasio kanal antara
b5 dan b3 sesuai dengan algoritma yang dikembangkan oleh Winarso et al. (2001). Dasar penentuan kanal
adalah karakter dari masing-masing kanal pada Landsat 8. Kanal 5 (NIR) dengan panjang gelombang 1,55 –
1,75 mm memiliki informasi mengenai perbedaan warna antara tanah terbuka dengan objek-objek lain.
Kanal ini sesuai untuk studi kandungan air tanah, air pada tanaman, formasi batu-batuan dan geologi pada
umumnya. Kanal 3 (Green) dengan panjang gelombang 0,63 – 0,69 mm memiliki informasi mengenai
perbedaan antara vegetasi dan non vegetasi, misalnya dapat dilihat adanya perbedaan antara vegetasi dengan
tanah khususnya pada daerah urban.Dengan menggunakan rasio antara kanal 5 dan 3 maka diharapkan dapat
memisahkan antara daratan dan perairan.
-297-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pengaturan nilaithreshold slicing yang digunakan diatur sedemikian rupa sehingga mendapatkan daratan
yang terpisah dengan perairan. Penentuan nilai threshold slicing inilah yang menjadi kunci dalam penelitian
ini. Pada penelitian ini penentuan nilai threshold slicing tersebut dilakukan berdasarkan teknik visual yang
membandingkan secara langsung antara dua gambar antara hasil rasio kanal dengan komposit RGB 432 pada
beberapa posisi disekitar daerah bibir pantai. Hasil maksimal yang diperoleh untuk menentukan nilai
threshold slicing pada penelitian ini adalah 0,83. Hasil algoritma tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 5.
Nilai threshold 0,83 hanya berlaku pada citra yang digunakan pada penelitian ini. Standart trehshold
yang digunakan pada citra yang berbeda tanggal akuisisi maupun perbedaan musim tentunya tidak bisa
dipastikan sama dengan nilai thresholdpenelitian ini, karena nilai threshold yang diperoleh sangat
bergantung dari perbandingan nilai kanal yang dimiliki citra pada saat itu. Oleh karena itu penentuan
threshold mengacu pada nilai reflektansi dari citra yang digunakan pada saat itu.
Setelah proses pemisahan antara wilayah daratan dan perairan dengan menggunakan rasio kanal antara
kanal 5 dan kanal 3 selanjutnya dilakukan proses klasifikasi. Proses klasifikasi dilakukan untuk membuat
citra menjadi 2 kelas yaitu daratan dan perairan dengan menggunakan metode klasifikasi unsupervised. Hasil
klasifikasi dari citra Landsat 8 untuk wilayah daratan Pulau Pramuka ditunjukkan pada Gambar 6. Setelah
dilakukan klasifikasi selanjutnya dilakukan proses kalkulasi statistika sehingga dihasilkan informasi luasan
untuk kelas daratan yang terbentuk. Luasan daratan untuk Pulau Pramuka Kepulauan Seribu berdasarkan
citra Landsat 8 dengan menggunakan nilai threshold slicing 0,83 adalah sebesar 27,27Ha. Pada penelitian ini
perlu dilakuan validasi dengan menggunakan informasi data lapangan dan info pasang surut terkait
penentuan nilai threshold slicing karena penentuan nilai tersebut yang menjadi kunci keakuratan hasil
penelitian ini. Selain itu, diperlukan adanya penelitian dengan menggunakan data multitemporal sehingga
dapat diketahui perubahan luasan serta dapat menentukan nilai threshold yangtepat sehingga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi perubahan luas pada pulau yang lain.
-298-
Estimasi Perhitungan Luas Daerah di Pulau-pulau Kecil Menggunakan Data Citra Satelit Landsat 8 Studi Kasus:Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Setiawan, K.T., dkk.)
4. KESIMPULAN
Penginderaan Jauh merupakan salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk menentukan luasan dari
pulau-pulau kecil. Salah satu metode yang digunakan adalah rasio kanal antara kanal 5(NIR) dengan kanal
3(Green). Berdasarkan hasil pengolahan data dari citra reflektansi Landsat 8 yang diakuisisi tahun 2015
menggunakan nilai threshold slicing 0,83, maka teridentifikasi luas dari Pulau Pramuka adalah 27,27 Ha.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih kepada Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional untuk fasilitas penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Acharya, T.D., dan Yang, I., (2015). Exploring Landsat 8. International Journal of IT, Engineering and Applied
Sciences Research (IJIEASR), 4(4).
Alhawiti, R. H., dan Mitsova, D., (2016). Using Landsat-8 Data To Explore The Correlation Between Urban Heat
Island And Urban Land Uses. International Journal of Research in Engineering and Technology, 5(3).
Avdan, U., dan Jovanovska, G., (2016). Algorithm for Automated Mapping of Land Surface Temperature Using
LANDSAT 8 Satellite Data. Journal of Sensors.http://dx.doi.org/10.1155/2016/1480307.
Rajeshwari, A. dan Mani, N.D., (2014). Estimation Of Land Surface Temperature of Dindigul District Using Landsat 8
Data.International Journal of Research in Engineering and Technology. 3(5).
Bengen, D.G., dan Retraubun, A.,(2006). Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-sosio Sistem
Pulau-Pulau Kecil. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut. Bogor.
Bhatti, S.S., dan Tripathi, N.K., (2014). Built-up area extraction using Landsat 8 OLI imagery. GIScience & Remote
Sensing, 51(4):445–467. http://dx.doi.org/10.1080/15481603.2014.939539
Brookfield, H.C.,(2002). An approach to islands. In W. Beller, P. d’Ayala and P. Hein (eds). Sustainable Development
and Environmental Management of Small islands. The Partenon Publishing Group, Paris, France, New Jersey,
USA. pp. 23-34.
Candra, A.,(2003). Kajian Pemanfaatan Ruang Pulau Natuna, Kabupaten Natuna. Tesis. Tidak dipublikasikan. Program
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hess, A.L., (1990). Overview: sustainable development and environmental management of small islands.In Beller, et
al.Sustainable development and environmental management of small islands. Man and The Biosphere Series, Vol.
5, UNESCO and The Parthenon Publishing Group.
Jaelani (2012). Konsep Pengembangan Minasata Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Direktorat Pendayagunaan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia. Jakarta.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia No. 41 (2000).Bappenas: Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil.
Retraubun, A.,(2009). Mengidentifikasi Pulau, artikel Harian Kompas 06/07/2009:14.
Sugiarto, D.P.,(2013). Landsat 8. Spesifikasi, Keunggulan dan Peluang Pemanfaatan Bidang Kehutanan.
https://tnrawku.wordpress.com/2013/06/12/landsat-8-spesifikasi-keungulan-dan-peluang-pemanfaatan-bidang-
kehutanan/ (20 Juni 2016: 10.04).
-299-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah : Estimasi Perhitungan Luas Daerah di Pulau-Pulau Kecil Menggunakan Data Citra
Satelit Landsat 8 Studi Kasus: Pulau Pramuka Kepulauan Seribu DKI Jakarta
Nama Pemakalah : Kuncoro Teguh Setiawan (LAPAN)
Diskusi :
Jawaban:
1. Dasar penentuan band adalah dengan memperhatikan karakter dari masing-masing band pada Landsat 8.
Band 3 (Red) dengan panjang gelombang 0.63 – 0.69 mm memiliki informasi mengenai perbedaan antara
vegetasi dan non vegetasi, misalnya dapat dilihat adanya perbedaan antara vegetasi dengan tanah
khususnya pada daerah urban. Band 5 (NIR) dengan panjang gelombang 1.55 – 1.75 mm memiliki
informasi mengenai perbedaan warna antara tanah terbuka dengan objek-objek lain. Band ini sesuai untuk
studi kandungan air tanah, air pada tanam-tanaman, formasi batu-batuan dan geologi pada umumnya.
Dengan menggunakan ratio antara band 3 dan 5 maka diharapkan dapat memisahkan antara daratan dan
perairan.
2. Standart trehshold yang digunakan pada citra yang berbeda tanggal akuisisi maupun perbedaan musim
tentunya tidak bisa dipastikan sama dengan nilai threshold dipenelitian ini, karena nilai threshold yang
kita dapat sangat bergantung dari perbandingan nilai band yang dimiliki citra pada saat itu. Begitu pula
bila kita terapka di pulau-pulau kecil lainnya. Oleh karena itu penentuan threhold mengacu pada nilai
reflektansi dari citra yang digunakan pada saat itu.
3. Verifikasi dan validasi: masih belum dilakukan, sehingga kita sangat berharap metode ini diteruskan
dengan melakukan validasi dan verifikasi terkait penentuan nilai threshold yang kita gunakan untuk
memastikan posisi dititik-titik perbatasan darat dan air itu tepat, dan pada penelitian ini kita
mengandalkan tampilan visual dari RGB untuk memisahkan daerah tersebut daratan atau perairan. Terima
kasih atas pertanyaannya yang sangat bagus dan menjadi inspirasi bagi kita.
Jawaban:
Penelitian dengan menggunakan data multitemporal 1 tahun belum dicoba, ini merupakan masukan buat kita
untuk melakukannya sehingga kita bisa mendapatkan batasan interval nilai threshold yang bisa dijadikan
acuan untuk digunakan di Pulau lainnya. Terima kasih atas pertanyaannya yang sangat bagus dan menjadi
inspirasi bagi kita.
-300-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
ABSTRAK-Teknologi penginderaan jauh mengalami perkembangan yang semakin pesat karena saat ini data
penginderaan jauh semakin mudah didapat. Land Surface Temperature (LST) merupakan salah satu parameter kunci
keseimbangan energi dan variabel klimatologis yang utama. LST dapat diekstraksi dari citra Landsat 8 melalui
pemrosesan citra digital. Split Window Algorithm adalah algoritma yang mampu mengekstraksi informasi suhu
permukaan lahan pada suatu daerah melalui nilai brightness temperature yang dihitung dari band 10 dan band 11 pada
sensor TIRS citra Landsat 8 serta nilai LSE (land surface emissivity) yang dihitung dari band 4 dan band 5 pada sensor
OLI citra Landsat 8. Hasil penelitian menunjukkan dua data LST dalam periode berbeda pada tanggal 24 Juni 2013
memiliki suhu rata-rata 30,2 oC, suhu minimum 24,3 oC, dan suhu maksimum 41,6 oC, sedangkan pada tanggal 30
Agustus 2014 memiliki suhu rata-rata 28,9 oC, suhu minimum 20,1 oC, dan suhu maksimum 42,5 oC. Perbandingan dua
data LST pada periode berbeda menunjukkan bahwa hasil estimasi LST memiliki persebaran nilai suhu yang detail,
variatif, dan dinamis karena dipengaruhi oleh berbagai faktor kondisi alam, iklim dan cuaca, seperti elevasi, tutupan
vegetasi, penutup lahan, dan tutupan awan serta dipengaruhi juga oleh ketersediaan dan kualitas citra satelit.
Kata kunci: Penginderaan Jauh, Landsat 8, Inframerah Termal, Suhu Permukaan Lahan, Split Window Algorithm
ABSTRACT-Remote sensing technology has developed rapidly since the current remote sensing data is easily
obtainable. Land Surface Temperature (LST) is one of the main parameters in the energy balance and climatological
variables. LST can be extracted from Landsat 8 through digital image processing. Split Window Algorithm (SWA) is an
algorithm that can extract information of LST in a region through brightness temperature values that is calculated from
band 10 and band 11 on the TIRS sensor of Landsat 8 and land surface emissivity values that is calculatedfrom band 4
and band 5 on the OLI sensor of Landsat 8.The result showed two LST data in different periods. LST on June 24 of
2013 has an average temperature of 30,2 oC, minimum temperatureof 24,3 oC, and maximum temperatureof 41,6oC.
While, LST onAugust 30 of 2014 has an average temperature of 28,9 oC, minimum temperatureof 20,1 oC, and
maximum temperatureof 42,5oC. Comparison of two LST data in different periodsshowed that the estimated
temperature has detail, varied, and dynamic distribution of values. Because it is influenced by various factors including
natural conditions, climate and weather, elevation topography, vegetation cover, land cover, and cloud cover. In
addition, it is influenced also by the availabilty and quality of remote sensing satellite imagery.
Keywords: Remote Sensing, Landsat 8 Imagery, Thermal Infrared, Land Surface Temperature, Split Window Algorithm
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Teknologi penginderaan jauh k8mengalami perkembangan yang semakin pesat dewasa ini. Data
penginderaan jauh semakin mudah didapat dan mudah dijangkau oleh kalangan umum. Mulai dari data
penginderaan jauh dengan skala detail hingga skala tinjau sudah banyak tersedia secara gratis. Data tersebut
dapat diunduh gratis atau diakses bebas secara online.
Citra Landsat merupakan data penginderaan jauh hasil perekaman satelit Landsat yang dapat diunduh
secara gratis dan diakses secara bebas. Landsat dikembangkan oleh Amerika Serikat melalui dua instansinya
yaitu NASA (The National Aeronautics and Space Administration atau Departemen Penerbangan dan
Antariksa Amerika Serikat) dan USGS (United States Geological Survey atau Departemen Geologi dan
Survei Amerika Serikat).
-301-
Pemanfaatan Citra Landsat 8 untuk Mengestimasi Suhu Permukaan Lahan Menggunakan Algoritma Split Window (Studi Kasus:
Kabupaten Bantul) (Guntara, I.)
TIRS (Thermal Infrared Sensor) merupakan satu dari dua instrumen sensor Landsat 8 yang memiliki
banyak manfaat dan keunikan tetapi masih jarang diberdayakan oleh penggunanya terutama di Indonesia.
Salah satu aplikasi dari citra Landsat 8 TIRS atau saluran inframerah termal adalah untuk mengestimasi LST
(land surface temperature / suhu permukaan lahan).
LST dapat diestimasi dari citra satelit Landsat 8. LST dapat didefinisikan sebagai suhu permukaan rata-
rata dari suatu permukaan yang digambarkan dalam cakupan suatu piksel dengan berbagai tipe permukaan
yang berbeda (Faridah dan Krisbiantoro, 2014)
Proses ekstraksi suhu permukaan lahan dari citra Landsat 8 menggunakan perhitungan algoritma
matematika. Salah satu algoritma yang cukup populer adalah Split Window Algorithm (SWA). SWA
membutuhkan band 10 dan band 11 serta band 4 dan band 5 dari citra Landsat 8 untuk menyajikan informasi
suhu permukaan lahan (Latif, 2014).
Hasil estimasi LST dapat dibandingkan antara dua data dalam periode waktu perekaman yang berbeda.
LST hasil estimasi dari Citra Landsat 8 pada waktu perekaman 24 Juni 2013 dibandingkan dengan LST hasil
estimasi dari citra Landsat 8 pada waktu perekaman 30 Agustus 2014 di Kabupaten Bantul. Perbandingan
tersebut dilakukan untuk mengetahui keunggulan penggunaan data penginderaan jauh citra Landsat 8 dalam
mengetimasi LST secara regional di wilayah Kabupaten Bantul.
1.3 Tujuan
1) Memetakan distribusi hasil estimasi suhu permukaan lahan (land surface temperature) secara
regional di Kabupaten Bantul dengan citra Landsat 8 menggunakan Split Window Algorithm.
2) Menganalisis perbandingan dua data penginderaan jauh citra Landsat 8 pada periode waktu
perekaman yang berbeda dalam mengetimasi suhu permukaan lahan (land surface temperature)
menggunakan Split Window Algorithm.
2. METODE
2.1 Alat dan Bahan
2.1.1 Alat
1) Seperangkat laptop
2) Perangkat lunak ArcGIS 10.1
3) Perangkat lunak Ms. Office 2013
2.1.2 Bahan
1) Citra Landsat 8 waktu perekaman 24 Juni 2013 path 120 row 65.
2) Citra Landsat 8 waktu perekaman 30 Agustus 2014 path 120 row 65.
3) Data digital shapefile (.shp) peta administrasi Kabupaten Bantul.
Lλ = MLQcal + AL (1)
Keterangan:
Lλ : TOA spectral radiance (Watts/(m2 * srad * μm))
-302-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Tabel 2.1 Nilai Radian dan Konstanta Termal Band pada Landsat 8
Keterangan Band 10 Band 11 Band 4 Band 5
Radiance 0,0003342 0,0003342 Lihat pada Lihat pada
Multiplier metadata metadata
Radiance 0,1 0,1 Lihat pada Lihat pada
Add metadata metadata
K1 774,89 480,89 - -
K2 1321,08 1201,14 - -
Sumber:(Rajeshwari & Mani, 2014)
Band 5 - Band 4
(3)
NDVI =
Band 5 + Band 4
Keterangan:
NDVI : Normalized Difference Vegetation Index
Band 4 : Saluran merah pada Landsat 8
Band 5 : Saluran inframerah dekat pada Landsat 8
NDVI - NDVIsoil
(4)
FVC =
NDVIveg - NDVIsoil
Keterangan:
FVC : Fractional Vegetation Cover
NDVI : Nilai NDVI yang sebelumnya telah diperoleh
NDVIsoil: Nilai NDVI untuk tanah = 0,2 (Latif, 2014)
NDVIveg: Nilai NDVI untuk vegetasi = nilai terbesar NDVI
-303-
Pemanfaatan Citra Landsat 8 untuk Mengestimasi Suhu Permukaan Lahan Menggunakan Algoritma Split Window (Studi Kasus:
Kabupaten Bantul) (Guntara, I.)
Keterangan:
LSE : Land Surface Emissivity
FVC : Nilai FVC yang sebelumnya telah diperoleh
εs : Emisivitas tanah band 10 dan band 11 (lihat pada Tabel 2.2)
εv : Emisivitas vegetasi band 10 dan band 11 (lihat pada Tabel 2.2)
Keterangan:
m : mean of LSE / nilai rata-rata LSE
Δm : difference of LSE / nilai selisih LSE
LSE B10 : Nilai LSE band 10 yang telah diperoleh
LSE B11 : Nilai LSE band 11 yang telah diperoleh
Keterangan:
LST : Land Surface Temperature (K)
C0 – C6 : Split Window Coefficient (lihat tabel 2.3)
TB10, TB11 : nilai BT (K) band 10 dan band 11
m : rata-rata nilai LSE band 10 dan band 11
W : Atmospheric Water Vapour Content = 0,013 (Latif, 2014)
Δm : selisih nilai LSE band 10 dan band 11
-304-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Constant Value
C0 -0,268
C1 1,378
C2 0,183
C3 54,300
C4 -2,238
C5 -129,200
C6 16,400
Sumber: (Rajeshwari & Mani, 2014)
-305-
Pemanfaatan Citra Landsat 8 untuk Mengestimasi Suhu Permukaan Lahan Menggunakan Algoritma Split Window (Studi Kasus:
Kabupaten Bantul) (Guntara, I.)
Gambar 3.1 Peta Land Surface Temperature Kabupaten Bantul Tahun 2013
Ada 8 kelas kelas suhu permukaan lahan yang menyusun Peta Land Surface Temperature Kabupaten
Bantul Tahun 2013 (lihat Gambar 3.1). Jumlah kelas suhu yang banyak tersebut menandakan bahwa variasi
suhu permukaan lahan di Kabupaten Bantul cukup beragam. Perekaman citra Landsat 8 yang digunakan
adalah 24 Juni 2013.
Bulan Juni di Indonesia termasuk dalam musim kemarau di mana matahari bersinar hampir sepanjang
siang pada setiap hari sehingga distribusi sinar matahari bisa optimal di seluruh wilayah Kabupaten Bantul.
Radiasi sinar matahari yang optimal membuat estimasi LST juga bisa optimal.
Gambar 3.2 Peta Land Surface Temperature Kabupaten Bantul Tahun 2014
-306-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Peta Land Surface Temperature Kabupaten Bantul Tahun 2014 (lihat pada Gambar 3.2) memiliki 9
kelas suhu. Jumlah kelas suhu yang banyak tersebut menandakan bahwa LST tahun 2014 lebih variatif dan
beragam dibanding LST tahun 2013. Tanggal perekaman citra yang digunakan pada LST tahun 2014 adalah
30 Agustus 2014.
Peta LST Kabupaten Bantul tahun 2014 tidak full-area seperti pada peta LST tahun 2013. Terdapat
area berawan pada peta LST tahun 2014. Area tersebut merupakan area yang sengaja dihilangkan karena
area tersebut tertutup atau terlapisi awan. Lapisan awan yang tipis pun pada citra Landsat dapat
mengakibatkan anomali pada perhitungan suhu, akibatnya suhu bisa turun drastis daripada keadaan suhu
yang sebenarnya.
Rata-rata nilai LST Kabupaten Bantul tahun 2014 berkisar pada suhu 27,6-30,0 oC atau tepatnya
28,91 C. Nilai rata-rata tersebut tidak berbeda jauh dengan rata-rata nilai LST tahun 2013 yaitu 30,2 oC.
o
LST tertinggi bernilai 40,1-42,5 oC atau tepatnya 42,5 oC, tidak berbeda jauh dengan LST tahun 2013 yaitu
41,6 oC. Perbedaan terletak pada lokasi LST tertinggi di mana pada LST tahun 2014 terdapat di sebagian
kecil bagian utara Kecamatan Sewon yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta, sedangkan LST
tertinggi tahun 2013 terletak di sebagian kecil bagian selatan Kecamatan Kretek. LST terendah berkisar pada
kelas suhu 20,1-22,5 oC atau tepatnya 20,1 oC, berbeda cukup jauh dengan LST tahun 2013 yaitu 24,3 oC.
Lokasi LST terendah tahun 2014 berada di Kecamatan Dlingo dan Kretek berbeda dengan LST terendah
tahun 2013 yang terletak di Kecamatan Imogiri.
LST Kabupaten Bantul tahun 2014 lebih bervariasi dibandingkan LST tahun 2013 (lihat pada Tabel
3.1). LST tahun 2014 memiliki rentang suhu minimum ke suhu maksimum 20,1-42,5 oC, sedangkan LST
tahun 2013 hanya memiliki rentang suhu minimum ke suhu maksimum antara 24,3-41,6 oC. Secara
keseluruhan LST tahun 2014 memiliki suhu rata-rata sebesar 28,9 oC yang artinya lebih rendah daripada LST
tahun 2013 dengan suhu rata-rata sebesar 30,2 oC. Namun selisih suhu rata-rata kedua LST tersebut tidak
jauh berbeda, hanya sebesar 1,3 oC.
Persebaran nilai suhu pada LST tahun 2013 dan 2014 menunjukkan bahwa hasil yang tergolong detail
dan dinamis. Data hasil estimasi LST menyajikan persebaran suhu regional bahkan bisa per kecamatan atau
per desa. Hasil dua data LST dalam periode berbeda tersebut menggambarkan bahwa persebaran suhu pada
-307-
Pemanfaatan Citra Landsat 8 untuk Mengestimasi Suhu Permukaan Lahan Menggunakan Algoritma Split Window (Studi Kasus:
Kabupaten Bantul) (Guntara, I.)
suatu wilayah bersifat dinamis dan dapat berubah sesuai kondisi alam, iklim, dan cuaca. Persebaran data
suhu yang detail dan dinamis akan sangat berguna sebagai data masukan berbagai penelitian.
4. KESIMPULAN
1) Hasil estimasi LST Kabupaten Bantul dengan Citra Landsat 8 dan Split Window Algorithm pada
tanggal 24 Juni 2013 memiliki suhu rata-rata 30,15 oC, suhu minimum 24,28 oC, dan suhu
maksimum 41,63 oC, sedangkan pada tanggal 30 Agustus 2014 memiliki suhu rata-rata 28,91 oC,
suhu minimum 20,05 oC, dan suhu maksimum 42,50 oC.
2) Perbandingan dua data LST pada periode berbeda menunjukkan bahwa hasil estimasi LST memiliki
persebaran nilai suhu yang detail, variatif, dan dinamis karena dipengaruhi oleh berbagai faktor
kondisi alam, iklim dan cuaca, seperti elevasi, tutupan vegetasi, penutup lahan, dan tutupan awan
serta dipengaruhi juga oleh ketersediaan dan kualitas citra satelit .
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu penelitian ini baik dalam
penyediaan data maupun pengerjaan data sebagai berikut:
1) Program Diploma Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi, Sekolah Vokasi, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta sebagai instansi yang telah menaungi penelitian ini, membantu
penyediaan data, membantu pengerjaan data, danmemberikan izin penelitian.
2) Dr. Retnadi Heru Jatmiko, M.Sc. dan Dr. Emilya Nurjani, S.Si., M.Sc. (Dosen Fakultas Geografi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) sebagai pihak-pihak yang telah membimbing dan menguji
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Faridah, S.N., dan Krisbiantoro, A., (2014). Analisis Distribusi Temperatur Permukaan Tanah Wilayah Potensi Panas
Bumi Menggunakan Teknik Pendinderaan Jauh di Gunung Lamongan, Tiris-Probolinggo, Jawa Timur.
Berkala Fisika, 17(2):67-72.
Jiménez-Muñoz, J.C., dan Sobrino, J.A., (2008). Split-Window Coefficients for Land Surface Temperature Retrieval
From Low-Resolution Thermal Infrared Sensors. IEEE Geoscience and Remote Sensing Letters, 5(4):806-809.
Latif, M.S., (2014). Land Surface Temperature Retrival of Landsat-8 Data Using Split Window Algorithm- A Case
Study of Ranchi District. International Journal of Engineering Development and Research (IJEDR),
2(4):3840-3849.
Prasasti, I., dkk. (2007). Pengkajian Pemanfaatan Data TERRA-MODIS untuk Ekstraksi Data Suhu Permukaan Lahan
(SPL) Berdasarkan Beberapa Algoritma. Jurnal Penginderaan Jauh Lapan, 1-8.
Rajeshwari, A., dan Mani, N.D., (2014). Estimation of Land Surface Temperature of Dindigul District Using Landsat 8
Data. International Journal of Research in Engineering and Technology (IJRET).3(5):122-126.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016
Jawaban :
-308-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Langkah pertama yang dilakukan adalah menurunkan Brightness Temperature. LST ini sudah
mempertimbangkan OLI dan memperhitungkan emisivitas tanah dan juga NDVI. Selain itu juga merubah
resolusi di mana pada TIRS 100 meter dan OLI 30 meter.
Jawaban :
Land Surface merupakan suhu permukaan, kalau terdapat vegetasi ya suhu vegetasinya.
-309-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
ABSTRAK - Kebutuhan akan lahan pemukiman yang semakin tinggi, pada akhirnya banyak mengubah daerah hutan
menjadi lahan pemukiman. DA Ci Liwung merupakan daerah yang mengalami perubahan penggunaan tanah sangat
cepat. Dahulu DA Ci Liwung merupakan daerah sangat hijau yaitu hulunya merupakan daerah puncak, namun karena
daerah DA Ci Liwung (dari hulu sampai hilir) yang melingkupi Kab. Bogor, Kodya Bogor, Kota Depok, dan Propinsi
DKI Jakarta yang merupakan daerah perkotaan sehingga lahan hijau di DAS ini menurun sangat drastis. Penelitian ini
bertujuan mengetahui bagaimana perubahan nilai indeks vegetasi pada penggunaan tanah tahun 2005 dan 2015 dengan
menggunakan metode perhitungan NDVI di tahun yang berbeda. Hasil dari penelitian ini akan menggambarkan
perubahan jumlah area wilayah hijau yang berada di DAS Ci Liwung dengan metode perhitungan NDVI
ABSTRACT – Residential land requirements will be higher, many eventually change the forest area to settlement.
Ciliwung watershed is an area of land use changes very fast. Formerly Ciliwung watershed is a very green area is the
upper reaches of the summit area, but due to Ciliwung watershed area (upstream and downstream) surrounding
district. Bogor, Bogor District, Depok City, and DKI Jakarta which are urban areas that green land in the watershed is
decreasing drastically. This study aims to determine how changes in vegetation indices on the use of land in 2005 and
2015 using the method of calculation of NDVI in different years. The results of this study will describe the changes in
the number of areas that are in the green area of Ciliwung with NDVI calculation method
1. PENDAHULUAN
Kebutuhan akan udara yang bersih dan oksigen yang cukup sangat penting untuk keberlangsungan hidup
manusia. Parameter udara yang bersih dan oksigen yang dihasilkan dapat dilihat dari jumlah dan kerapatan
vegetasi yang tersedia di kawasan tersebut. Namun, jumlah penduduk yang semakin banyak saat ini
membutuhkan lahan untuk membangun permukiman yang banyak pula. Kebutuhan akan lahan permukiman
yang semakin banyak akhirnya banyak mengubah daerah hutan menjadi lahan permukiman DAS Ci Liwung
merupakan Serah yang mengalami perubahan penggunaan tanah sangat cepat. Luas areal DAS Ci Liwung
sebesar 347 km2. Panjang sungai utamanya adalah kurang lebih 117 kilometer. Dahulu DAS Ci Liwung
merupakan daerah yang sangat hijau. Hulunya berada di daerah puncak, namun karena daerah DAS Ci
Liwung (dari hulu sampai hilir) melingkupi Kab. Bogor, Kodya Bogor, Kota Depok, dan Provinsi DKI
Jakarta yang merupakan daerah perkotaan sehingga lahan hijau di DAS ini menurun sangat drastis. Dari
kajian di atas tentunya perkembangan penduduk juga harus diimbangi dengan persediaan udara dan oksigen
yang cukup. Sehingga menarik untuk dilihat bagaimana perbedaan kondisi penggunaan tanah di DAS Ci
Liwung dan bagaimana perbedaan nilai indeks vegetasinya dalam jangka waktu 10 tahun. Pengambilan
jangka waktu 10 tahun ini beralasan karena pertumbuhan kota di DAS Ci Liwung dan pertumbuhan di
pariwisata di DAS Ci Liwung Hulu cukup pesat.
Indeks vegetasi merupakan nilai yang diperoleh dari gabungan beberapa spektral band spesifik dari citra
penginderaan jauh. Gelombang indeks vegetasi diperoleh dari energi yang dipancarkan oleh vegetasi pada
citra penginderaan jauh untuk menunjukkan ukuran kehidupan dan jumlah dari suatu tanaman. Tanaman
memancarkan dan menyerap gelombang yang unik sehingga keadan ini dapat di hubungakan dengan
pancaran gelombang dari objek-objek yang lain sehingga dapat di bedakan antara vegetasi dan objek selain
vegetasi (Horning, 2004). Algoritma Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) yang dipublikasikan
-310-
Analisis Perubahan Nilai Indeks Kerapatan Vegetasi Kaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ci Liwung (Kurnia,
A., dkk.)
oleh Deering (1978) memanfaatkan fenomena fisik pantulan gelombang cahaya yang berasal dari dedauman.
Nilai kehijauan vegetasi suatu wilayah yang diamati berupa skala antara -1 (minimum) hingga 1
(maksimum) yang diperoleh dengan membandingkan reflektansi vegetasi yang diterima oleh sensor pada
panjang gelombang merah (RED) dan infra merah dekat (NIR). Secara ringkas NDVI dapat dirumuskan
sebagai (NIR-RED)/(NIR+RED) (Sudiana, 2008). Saat ini, banyak sensor satelit yang digunakan untuk
melihan kondisi kehijauan vegetasi bumi, seperti NOAA/AVHRR dan TERRA/AQUA-MODIS (Sudiana,
2008), serta Landsat (Purwanto, 2016).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi dan perkembangan penggunaan tanah di DAS Ci
Liwung pada tahun 2005 dan 2015 serta nilai jumlah dan kerapatan vegetasi yang tersedia dengan
menggunakan metode NDVI. Hasil dari kedua analisis tersebut dapat digunakan untuk mengetahui seberapa
parah perubahan penggunaan tanah di DAS Ci Liwung serta dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengambil
kebijakan dalam pembangunan di DAS Ci Liwung
2. METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Landsat 7 ETM + SLC off yang bersumber dari
NASA dengan path/row 122/064 dan 122/065 pada tahun 2005 dan 2015 dan data Landsat 8 ETM dari
NASA path/row 122/064 dan 122/065 pada tahun 2005 dan 2015. Dalam proses pengolahan data digunakan
perangkat lunak ENVI 5.1 dan Arc Map GIS 10.3.
Setelah mendapatkan citra Landsat 7 ETM+SLC Off pada tahun 2005 dan citra landsat 8 pada tahun
2015, selanjutnya dilakukan pengolahan awal di software Envi 5.1. Pengolahan awal pada citra landsat 7 +
SLC Off berupa gapfill, mosaiking citra, pemotongan citra, koreksi geometrik dan radiometrik serta
dilakukan penajaman baik spektral maupun spasial. Sementara pada landsat 8 pemrosesan awal yang
dilakukan adalah mosaiking citra, pemotongan citra, koreksi geometrik dan radiometrik serta dilakukan
penajaman baik spektral maupun spasial. Pengolahan awal ini bertujuan untuk menghasilkan citra DAS Ci
Liwung yang sesuai wilayahnya dmaupun segi kualitas gambarnya. Setelah citra siap, pengolahan
selanjutnya adalah klasifikasi Tutupan Lahan dan Perhitungan Indeks Vegetasi.
-311-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
-312-
Analisis Perubahan Nilai Indeks Kerapatan Vegetasi Kaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ci Liwung (Kurnia,
A., dkk.)
-313-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Setelah dilakukan proses pengklasifikasian rentang nilai NDVI, proses selanjutnya adalah menampilkan
klasifikasi NDVI yang sudah dibuat menjadi sebuah Peta Persebaran Nilai NDVI di DAS Ci Liwung dengan
menggunakan menu density slice di software Envi 5.1
Gambar 3.Peta NDVI DAS Ci Liwung tahun 2005 (kiri) dan 2015 (kanan)
Pada tahun 2005, indeks vegetasi NDVI pada hulu, tengah dan hilir DAS Ci Liwung masih di dominasi oleh
warna hijau dan kuning. Kerapatan vegetasi di bagian hulu dan tengah tinggi yang teramati dominasi warna
hijau. Tingkat kerapatan vegetasi rendah hanya mendominasi di barat daya dan sebagian kecil di utara DAS
-314-
Analisis Perubahan Nilai Indeks Kerapatan Vegetasi Kaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ci Liwung (Kurnia,
A., dkk.)
Ci Liwung. Sedangkan pada tahun 2015, indeks vegetasi NDVI pada tengah dan hilir DAS Ci Liwung telah
di dominasi oleh warna merah, yang menunjukkan tingkat vegetasi yang rendah. Sementara itu tingkat
vegetasi tinggi hanya terdapat di bagian DAS Ci Liwung hulu.
Hasil statistik dari perhitungan indeks vegetasi NDVI pada tahun 2005 dan 2015 dapat dilihat pada
Gambar 4.
Gambar 4. Hasil Perhitungan Indeks NDVI Tahun 2005 (Kiri) Dan Tahun 2015 (Kanan)
Selama 10 tahun terakhir, kerapatan vegetasi di DAS Ci Liwung terlihat dari nilai rata-rata NDVI. Nilai rata-
rata NDVI pada tahun 2005 dan 2015 terjadi penurunan sebesar 0,1254 yang menunjukkan semakin
rendahnya tingkat kerapatan di DAS Ci Liwung. Penurunan nilai NDVI dari tahun 2005 ke tahun 2015 juga
dapat dilihat dari penurunan nilai maksimum dan nilai minimum NDVI di DAS Ci Liwung seperti yang
terdapat pada Tabel 2.
-315-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 5. Tutupan Lahan DAS Ci Liwung Tahun 2005 (Kiri) dan Tutupan Lahan DAS Ci Liwung Tahun 2015
(Kanan)
Pada Gambar 5 telah terlihat adanya perubahan tutupan lahan yang terjadi di DAS Ci Liwung. Perubahan
penggunaan tanah yang terjadi dari vegetasi menjadi lahan terbangun terbilang cukup pesat, mencapai >50%
dalam waktu 10 tahun. Penggunaan tanah berupa lahan terbangun meningkat 60,9% dari 19.358,5 hektar
pada tahun 2005 menjadi 31.151,2 hektar pada tahun 2015. Sementara itu, luasan vegetasi pada DAS Ci
Liwung mengalami penurunan sebesar 61,9% dari 19.050,2 hektar pada tahun 2005 menjadi hanya seluas
7.257,49 hektar pada 2015. Perubahan tutupan lahan terutama terjadi pada daerah tengah dan sebagian hulu
DAS Ci Liwung seperti yang terlihat pada Gambar 5.
Tabel 3. Luas tutupan lahan di DAS Ci Liwung tahun 2005 dan 2015
Pada Tabel 3, dapat dilihat pula kaitan dari perubahan nilai NDVI dengan tutupan lahan, dimana seiring
dengan bertambahnya luas lahan terbangun, luas tutupan vegetasi pada DAS Ci Liwung semakin berkurang
pada tahun 2015, yang menyebabkan nilai indeks vegetasi NDVI semakin menurun.
4.KESIMPULAN
Kondisi dan perkembangan penggunaan tanah di DAS Ci Liwung pada tahun 2005 dan 2015 telah
mengalami perkembangan yang sangat pesat yang terlihat dari bertambahnya luas lahan terbangun pada
tahun 2015 yang luasnya mencapai >50% dibandingkan dengan luas lahan terbangun pada tahun 2005.
-316-
Analisis Perubahan Nilai Indeks Kerapatan Vegetasi Kaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ci Liwung (Kurnia,
A., dkk.)
Sementara itu, jumlah dan kerapatan vegetasi yang tersedia di DAS Ci Liwung dengan menggunakan metode
NDVI mengalami penurunan dari tahun 2005 ke tahun 2015. Teramati bahwa penurunan jumlah dan
kerapatan vegetasi di DAS Ci Liwung dipengaruhi oleh pertumbuha lahan terbangun selama 10 tahun
terakhir. Kedua hasil analisis tersebut menunjukan perubahan tutpan lahan yang cukup parah di DAS Ci
Liwung, terutama pada bagian tengah dan hilir DAS Ci Liwung. Semakin menurunnya tingkat vegetasi dan
semakin meningkatnya lahan terbangun tersebut tentu dapat menimbulkan dampak-dampak yang dapat
merugikan masyarakat yang hidup di sekitar DAS Ci Liwung, seperti berkurangnya udara bersih serta dapat
pula menimbulkan dampak luas bagi masyarakat, dengan menurunnya vegetasi di DAS Ci Liwung dan
bertambahnya lahan terbangun tentu dapat meningkatkan resiko banjir.
5.UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga
penulis mampu menyelesaikan penelitian ini. Tidak lupa juga kepada para keluarga dan orang-orang
tersayang yang telah atas dukungannya, baik moril maupun materiil yang telah membantu menyemangati
penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. Terimakasih juga kepada para peneliti yang tulisannya sangat
bermanfaat untuk digunakan sebagai bahan studi literatur dan menambah pemahaman mengenai tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Danoedoro, P.,(1996).Pengolahan Citra Digital, Teori dan Aplikasinya dalam Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada.
Horning, N.,(2004). Global Land Vegetation; An Electronic Textbook:NASGoddard Space Flight Center Earth Sciences
Directorate Scientifix and Educational Endeavors (SEE).
Hidayati, I.N., (2012). Ekstraksi Data Indeks Vegetasi Untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau di Kabupaten Sleman
Berdsarkan Citra Penginderaan Jauh.Laporan Akhir Hibah Penelitian Dosen Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta:
Fakultas Geografi UGM
Howard, A.D.,(1996). Penginderaan Jauh untuk Sumberdaya Hutan (Teori dan Aplikasinya): Gadjah Mada University
Press.
Prasasti, I., (2014). Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Analisis Pengaruh Perubahan lahan Terhadap
Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di DKI Jakarta dan Koefisien Aliran Permukaan. Diunduh 6 Juni 2016
dari sinasinderaja.lapan.go.id/.../bukuprosiding_577-587.p...
Susiana, D., dan Diasmara, E.,(2008). Analisis Indeks Vegetasi menggunakan Data Satelit NOAA/AVHRR dan
TERRA/AQUA-MODIS. Diunduh 6 Juni 2016 dari staff2.ui.ac.id/upload/dodi.sudiana/.../dodi2.pdf
Sutanto.,(1992). Penginderaan Jauh Jilid 1: Gadjah Mada University Press.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah : Analisis Perubahan Nilai Indeks Kerapatan Vegetasi Kaitannya Dengan
Perubahan Penggunaan Lahan Di DAS Ci Liwung
Nama Pemakalah : Adib Ahmad Kurnia (UI)
Diskusi :
Jawaban:
Resolusi landsat 30m x 30m sehingga banyak terjadi generalisasi tutupan lahan dan beberapa vegetasi ada
yang tidak bernilai tinggi pada saat dilakungan perhitungan. Dikarenakan NDVI adalah sistem otomatis dari
software ENVI yaitu perhitungan selisih band 4 atau near infrared (NIR) dan band 3 (red). maka perhitungan
dilakukan adalah per piksel
-317-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
ABSTRAK -Evaporasi merupakan proses penguapan air dari permukaan bumi menuju atmosfer. Evaporasi menjadi
potensial ketika faktor pembatasnya hanya berasal dari faktor cuaca dan iklim saja tanpa mempertimbangkan jumlah air
yang tersedia di permukaan. Berdasarkan konsep neraca air, evaporasi merupakan nilai kehilangan air permukaan
sehingga parameter ini berperan penting dalam menduga kebutuhan air tanaman, penentuan cekaman air suatu tanaman,
dan analisis kekeringan. Lisimeter digunakan untuk mengukur nilai evaporasi secara observatif. Namun, biaya
operasional yang mahal dan hanya menghasilkan data titik menjadi masalah dalam analisis data evaporasi. Oleh karena
itu, pemanfaatan data penginderaan jauh dilakukan dalam menduga nilai evaporasi sehingga pengukuran lebih efisien.
Karakteristik evaporasi terhadap tutupan lahan tertentu pun dapat dianalisis apabila pendugaan dilakukan menggunakan
citra satelit. Citra satelit Landsat 8 OLI/TIRS digunakan dalam menduga nilai evaporasi. Kombinasi antara neraca
radiasi dengan neraca energi digunakan dalam memperoleh nilai panas laten yang selanjutnya akan dikonversi menjadi
nilai evaporasi. Karawang digunakan sebagai wilayah kajian karena daerah ini merupakan salah satu daerah penghasil
padi yang berpengaruh di Jawa Barat sehingga informasi kebutuhan air sangat penting bagi wilayah tersebut. Hasil
penelitian menunjukkan nilai evaporasi minimum sebesar 1.2 mm hari-1 dan nilai evaporasi maksimum sebesar 15.4
mmhari-1 di wilayah Kabupaten Karawang secara umum pada tanggal 15 Agustus 2015. Nilai evaporasi pada tutupan
lahan badan air berkisar antara 6.2 mm hari-1 hingga 15.4 mm hari-1, lahan terbangun berkisar antara 1.2mm hari-
1
hingga 3.1mm hari-1, dan vegetasi berkisar antara 6.4mm hari-1hingga 10.4 mm hari-1. Hal ini berkaitan erat dengan
karakteristik permukaan dalam menghambat evaporasi.
Kata kunci:evaporasi, Landsat-8 OLI/TIRS, neraca energi, neraca radiasi, pendugaan cepat
ABSTRACT - Evaporation is a physical process – through which, water from the earth surface is vapoured and
transmitted to the atmosphere. Evaporation is termed as ‘potential’, if it only considers weather and climate as the
limiting factors – without taking water quantity, available on the earth surface, into account. In a water balance model,
evaporation is considered as the water loss from the earth surface – thus, estimating the amount of water loss due to
evaporation is therefore very crucial, in order to further assess: (1) crops’ water demand; (2) crops’ water stress; and
(3) other impacts of drought. Lysimeter is conventionally used for measuring evaporation on the field – however, since
one lysimeter can only measure evaporation at one particular point of location; thus, in order to obtain and analyse
evaporation data of a relatively large area – using lysimeter is therefore cost-inefficient. Hence, estimating
evaporation on a large area using remotely sensed data should offer a more efficient approach. In addition, remote
sensing also offers a rapid method for assessing evaporation from various types of land cover. Landsat 8 satellite
image OLI/TIRS used in predicting the value of evaporation. The combination between the radiation balance and the
energy balance used to obtain the value of the latent heat, which would then be converted into evaporation. Karawang
is used as a study area because this area is one of the influential producer of rice in West Java, so the information of
the water needs for crop is very important for this region. Findings of the study indicated daily evaporation in
Karawang as observed on 15 August 2015 was ranging from 1.2 mm day-1 to 15.4 mm day-1 –, which varied among
various types of land cover – i.e.: water body, built-up area, and vegetation – of about 6.2-15.4 mm day-1, 1.2-3.1 mm
day-1, and 6.4-10.4 mm day-1 respectively. It suggests that each land cover type has different surficial properties –
functioning as constraining factors to evaporation.
Keywords: evaporation, Landsat-8 OLI/TIRS, energy balance, radiation balance, rapid assessment
1. PENDAHULUAN
Evaporasi merupakan proses fisik yang terjadi di atas permukaan dimana air diubah menjadi uap air dan
dipindahkan ke atmosfer dengan laju yang ditentukan oleh faktor-faktor cuaca. Proses fisik serupa terjadi
pada vegetasi yang sangat ditentukan oleh faktor-faktor fisiologis vegetasi tersebut. Dalam analisis neraca air,
kedua parameter tersebut seringkali dikombinasikan dan disebut evapotranspirasi. Ketika nilai leaf area
index (LAI) suatu wilayah rendah, proses evaporasi mengambil proporsi lebih banyak dibandingkan dengan
-318-
Pendugaan Evaporasi Berdasarkan Konsep Neraca Energi Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 (Studi Kasus: Kabupaten
Karawang) (Condro, A.A.)
transpirasi. Sebaliknya, ketika nilai LAI tinggi, proses transpirasi akan mengambil peran dominan terhadap
kehilangan air dari permukaan suatu wilayah tersebut (Allen dkk., 1998). Pendugaan nilai evaporasi dalam
aplikasi neraca air menjadi sangat penting dalam melakukan kajian irigasi tanaman, pembangunan model
kekeringan, analisis cekaman air terhadap suatu tanaman, serta kajian-kajian lainnya yang berhubungan
dengan neraca air.
Pengukuran evaporasi secara observatif dapat dilakukan menggunakan panci kelas A standar, atmometer,
dan lisimeter. Lisimeter merupakan alat yang standar dalam pengukuran evaporasi karena proses transpirasi
berdasarkan tanaman acuan dimasukkan ke dalam pengukuran. Namun, banyak ditemukan kesulitan dalam
operasional lisimeter tersebut. Beberapa hambatan dalam pengukuran lisimeter secara observatif diantaranya:
biaya perawatan dan operasional alat cukup mahal, sampel tanah pada lisimeter mudah terganggu sehingga
pengisian air pada tanah harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghasilkan nilai evaporasi yang
representatif dengan lingkungan, lisimeter dapat rusak akibat tutupan salju dan es pada musim dingin di
wilayah subtropis, dan pengukuran nilai evaporasi potensial pada musim kering dan panas dapat
menghasilkan data yang overestimate (Shaw dkk., 2011). Pendekatan empiris dalam menduga nilai evaporasi
digunakan untuk menghindari kesulitan yang dihadapi dalam melakukan observasi sehingga pendugaan
evaporasi menjadi lebih efisien. Beberapa pendekatan empiris yang dapat digunakan antara lain: pendekatan
neraca air, metode Penman atau metode kombinasi, transfer massa, korelasi eddy, dan neraca energi
(Dingman, 2015).Penelitian ini menggunakan metode neraca energi dalam menduga nilai evaporasi dengan
pendekatan penginderaan jauh.
Absorpsi radiasi matahari dan pancaran radiasi gelombang panjang dari permukaan bumi merupakan
faktor penggerak dinamika atmosfer sehingga akan mempengaruhi karakteristik dan proporsi energi di bumi.
Satelit pasif seperti Landsat 8 dapat menangkap pancaran objek-objek dari permukaan bumi dalam bentuk
reflektansi. Nilai reflektansi tersebut dapat dikonversi ke dalam parameter-parameter radiasi dan energi
dengan metode-metode tertentu. Energi input ke dalam bumi (radiasi netto) terdistribusi dalam bentuk panas
terasa, panas laten, panas tanah, dan sebagian kecil digunakan untuk proses fotosintesis. Panas laten
merupakan energi yang dapat dikonversi menjadi nilai evaporasi sehingga citra satelit Landsat 8 dapat
digunakan untuk mengestimasi nilai evaporasi di wilayah tertentu.
Penelitian ini bertujuan untuk menduga nilai evaporasi di wilayah kajian berdasarkan konsep neraca
energi menggunakan citra satelit Landsat 8 OLI/TIRS serta membandingkan distribusi nilai evaporasi di
tutupan lahan tertentu di Kabupaten Karawang.Kabupaten Karawang memberikan kontribusi kebutuhan
beras nasional rata-rata setiap tahunnya mencapai 865000 ton/tahunberdasarkan data RPJMD Kabupaten
Karawang tahun 2011-2015. Pengaruh ketersediaan air bagi tanaman padi di wilayah kajian perlu
diperhatikan sehingga pendugaan parameter neraca air menggunakan penginderaan jauh diharapkan mampu
memberikan data secara efisien untuk pembangunan model neraca air.
2. METODE
2.1 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan citra satelit Landsat 8 sensor OLI/TIRS dengan
level koreksi L1T yang dapat diunduh secara dari laman (earthexplorer.usgs.gov). Path/Row wilayah kajian
adalah 122/64 yang diakuisisi pada tanggal 15 Agustus 2015. Hanya citra satelit yang berasal dari kanal 2, 3,
4, 5, 6, 10, dan 11 yang digunakan dalam pengolahan data. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah
seperangkat komputer, perangkat lunak Ms. Office 2016, ERDAS Imagine 9.1, serta ArcMap 10.3.
-319-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
respon energi yang diterima. Kelas tutupan lahan terdiri dari badan air, vegetasi, dan lahan terbangun. Selain
proses klasifikasi, cloud removal pada citra dilakukan sehingga piksel awan dihilangkan dari data raster.
2.3.2 Perhitungan suhu permukaan
Suhu permukaan berguna untuk menentukan radiasi gelombang panjang yang keluar dari permukaan
bumi. Kanal termal Landsat 8 dari sensor TIRS (kanal 10 dan kanal 11) digunakan dalam perhitungan suhu
permukaan. Berikut merupakan langkah-langkah dalam menentukan nilai suhu permukaan.
Nilai spektral radians diperoleh dari persamaan konversi yang terdapat dalam Landsat 8 Data users
handbook. Berikut adalah persamaan spektral radians yang digunakan.
= + ………………………………………………………………………………….(1)
= − 273.15………………………………………………………………………………...(2)
( )
dimana Tb merupakan suhu kecerahan (oC) yang merupakan suhu efektif yang ditangkap oleh satelit dengan
asumsi emisivitas yang seragam di setiap permukaan, K1dan K2 merupakan konstanta konversi termal untuk
kanal tertentu, dan Lλmerupakan nilai spektral radians (Wm-2sr-1μm-1). Suhu permukaan diperoleh dengan
mengoreksi suhu kecerahan dengan nilai emisivitas yang berbeda pada setiap tutupan lahan. Berikut adalah
persamaan suhu permukaan (Weng, 2001).
= …………………………………………………………………………………..……...(3)
( )
dimana Ts merupakan suhu permukaan (oC), Tb merupakan suhu kecerahan (oC), λmerupakan panjang
gelombang yang diemisikan (11.5 μm), ∂merupakan yang bernilai 1.438x10-2 mK, dan εmerupakan nilai
emisivitas permukaan. Badan air memiliki nilai εsebesar 0.98, untuk vegetasi sebesar 0.95, dan non-vegetasi
(lahan terbangun) sebesar 0.92 (Weng, 2001).
=( + )−( + )……………………………………………………….…….(4)
dimana Qn merupakan radiasi netto (Wm-2), RSinmerupakan radiasi gelombang pendek yang masuk menuju
bumi (Wm-2), RLin merupakan radiasi gelombang panjang yang masuk ke dalam bumi (Wm-2), RSout
merupakan radiasi gelombang pendek yang keluar dari bumi (Wm-2), dan RLout merupakan radiasi
gelombang panjang yang keluar dari permukaan bumi (Wm-2). Berikut merupakan langkah-langkah dalam
menentukan komponen neraca radiasi.
Radiasi gelombang pendek yang keluar menuju atmosfer dan albedo dapat dihitung melalui persamaan
sebagai berikut menggunakan citra kanal 4, kanal 3, dan kanal 2 (USGS, 2013).
= ……………………………………………………………………….………..(5)
. . .
= ……………..…………………………………………………………………………..(6)
. ( )
dimana dmerupakan jarak bumi-matahari pada julian datetertentu, Esunmerupakan exoatmospheric solar
irradiance kanal tertentu (Wm-2μm-1), dan θs merupakan sudut zenith matahari. Albedo dan radiasi
gelombang pendek yang keluar tersebut digunakan untuk menghitung radiasi gelombang pendek yang masuk
ke permukaan bumi. Berikut adalah persamaan radiasi gelombang pendek yang masuk.
-320-
Pendugaan Evaporasi Berdasarkan Konsep Neraca Energi Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 (Studi Kasus: Kabupaten
Karawang) (Condro, A.A.)
= ………………………………………………………………………….…………………(7)
RLin memiliki nilai yang sangat kecil sehingga pada perhitungan neraca radiasi nilai radiasi gelombang
panjang yang masuk ke bumi dapat diasumsikan bernilai nol. Selanjutnya, radiasi gelombang panjang yang
keluar dari permukaan bumi dihitung berdasarkan hukum Stefan-Boltzmann.
= …………………………………………………………………………………….(8)
dimana σ merupakan konstanta Stefan-Boltzmann dengan nilai sebesar 5.67x10-8 Wm-2K-4, dan Ts
merupakan suhu permukaan (K).
= + + + …………………………………………………………………………………(9)
dimana H merupakan panas terasa (Wm-2), G merupakan panas tanah (Wm-2), P merupakan energi yang
digunakan untuk fotosintesis (Wm-2), dan LE merupakan panas laten (Wm-2).
Energi yang digunakan untuk fotosintesis sangat rendah sehingga dalam persamaan neraca energi dapat
diasumsikan bernilai nol. Panas tanah diperoleh dari nilai radiasi netto, suhu permukaan, albedo, dan NDVI.
Berikut adalah persamaan panas tanah yang digunakan (Allen dkk., 2001).
Panas terasa dan panas laten dapat diperoleh dengan menggunakan metode Bowen Ratio. Berikut adalah
persamaan perhitungan panas terasa dan panas laten.
( )
= ……………………………………………………………………………………………(11)
( )
= atau = − − ………………………………………………………………...(12)
Bowen ratio merupakan rasio antara panas terasa dengan panas laten. Rasio tersebut relatif konstan pada
setiap tutupan lahan tertentu sehingga nilai β untuk badan air sebesar 0.1, nilai β untuk vegetasi sebesar 0.5,
dan untuk lahan terbangun sebesar 4.
= 1000 86400…………………………...……….………………………………….(14)
dimana Emerupakan evaporasi harian (mm hari-1), ρ merupakan kerapatan air sebesar 1000 kgm-3, dan L
merupakan latent heat vaporization (Jkg-1).
-321-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Berdasarkan Gambar 1, tutupan lahan di Kabupaten Karawang dibagi menjadi tiga: badan air, lahan
terbangun, serta vegetasi. Kelas yang dibangun merupakan generalisasi dari tutupan lahan tertentu karena
hanya diperlukan tutupan lahan dengan perbedaan karakteristik dan sifat permukaan yang signifikan.
Wilayah utara Kabupaten Karawang didominasi oleh badan air. Lahan terbangun mendominasi wilayah
selatan Kabupaten Karawang. Penggunaan lahan sawah bera dan lahan terbuka memiliki karakteristik yang
relatif sama dengan lahan terbangun sehingga sawah bera dan lahan terbuka diklasifikasikan ke dalam lahan
terbangun.
Tabel 1.Luasan Tutupan Lahan di Kabupaten Karawang
Tutupan Lahan Luas (%) Luas (ha)
Tutupan lahan di Kabupaten Karawang didominasi oleh badan air sebesar 39.2 % dari total wilayah
Kabupaten Karawang. Lahan tambak dan sawah tergenang digolongkan ke dalam kelas badan air sehingga
tutupan lahan badan air memiliki luasan yang cukup besar. Lahan terbangun memiliki luasan sebesar 38.2 %
dari total wilayah, sedangkan vegetasi memiliki luas sebesar 22.6 % dari total wilayah.
Perhitungan komponen neraca radiasi dilakukan untuk menghasilkan nilai radiasi netto sehingga nilai
panas laten dan komponen energi lainnya dapat diketahui. Berikut ini adalah data komponen neraca radiasi,
neraca energi, dan evaporasi harian di setiap tutupan lahan pada tanggal 15 Agustus 2015 di Kabupaten
Karawang.
-322-
Pendugaan Evaporasi Berdasarkan Konsep Neraca Energi Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 (Studi Kasus: Kabupaten
Karawang) (Condro, A.A.)
Kelas tutupan lahan vegetasi memiliki nilai radiasi netto rata-rata yang paling tinggi dari tutupan lahan
lainnya, yaitu sebesar 413.5 W m-2. Lahan terbangun memiliki radiasi netto rata-rata sebesar 377.7 W m-2
sedangkan badan air memiliki radiasi netto rata-rata sebesar 369.6 W m-2. Berdasarkan konsep neraca radiasi,
nilai radiasi netto yang tinggi merepresentasikan lebih banyak radiasi yang diterima permukaan bumi
dibandingkan dengan radiasi yang keluar dari bumi. Vegetasi memiliki albedo rata-rata terendah dari tutupan
lahan lainnya sehingga radiasi gelombang pendek yang masuk ke dalam vegetasi sangat tinggi, yaitu
mencapai 912.9 W m-2.Berbeda dengan lahan terbangun, albedo rata-rata dari lahan terbangun memiliki nilai
yang paling tinggi sehingga nilai radiasi gelombang pendek yang masuk ke dalam lahan terbangun menjadi
rendah, yaitu sebesar 897 W m-2.Albedo memiliki hubungan terbalik dengan radiasi gelombang pendek yang
masuk ke permukaan bumi. Berdasarkan hukum Stefan-Boltzmann, suhu permukaan mempengaruhi
besarnya radiasi gelombang panjang yang diemisikan melalui objek di permukaan bumi. Flux panas
permukaan tanah (soil heat flux) memiliki nilai yang berkisar antara 39 – 43 W m-2. Lahan terbangun
memiliki rata-rata fluks panas permukaan tanah tertinggi dan badan air memiliki rata-rata fluks panas
permukaan terendah. Nilai fluks panas permukaan tanah relatif konstan sehingga karakteristik radiasi netto
dan komponen energi lainnya biasanya dinyatakan dalam rasio per fluks panas permukaan tanah. Rasio
tersebut dapat menggambarkan karakteristik energi pada tutupan lahan yang berbeda.
Panas laten merupakan energi yang digunakan untuk proses evaporasi. Badan air memiliki nilai panas
laten rata-rata tertinggi, yaitu sebesar 300.6 W m-2. Kandungan air pada badan air sangat melimpah sehingga
sebagian besar energi atau radiasi netto (Qn) akan diubah menjadi panas laten (LE). Vegetasi memiliki nilai
panas laten rata-rata sebesar 248.5 W m-2. Cadangan air yang cukup banyak pada vegetasi serta proses
konduktivitas stomata menyebabkan nilai panas laten di tutupan lahan vegetasi juga cukup tinggi. Tumbuhan
memperoleh CO2(g) sebagai reaktan dalam proses fotosintesis dari stomata. Pembukaan stomata akan diikuti
dengan masuknya CO2(g) dan keluarnya H2O dari dalam tumbuhan ke atmosfer sehingga akan terjadi proses
transpirasi. Hal ini juga dipengaruhi oleh perbedaan nilai tekanan uap antaraatmosfer dengan tumbuhan
(Jones, 2014). Lahan terbangun memiliki nilai panas laten terendah, yaitu 66.9 W m-2. Potensi penguapan
yang dimiliki tutupan lahan terbangun sangat rendah. Hal ini dipengaruhi oleh sifat permukaan dan
ketersediaan air di lahan tersebut. Berikut ini merupakan persentase alokasi radiasi netto menjadi panas
terasa, panas laten, dan panas permukaan tanah.
Gambar 2. Persentase Alokasi Energi. (a) Badan Air, (b) Lahan Terbangun, dan (c) Vegetasi
Pie chartdi atas merupakan persentase alokasi energi dari radiasi netto pada tutupan lahan berbeda.Panas
laten memiliki alokasi energi tertinggi di tutupan lahan badan air dan vegetasi. Sedangkan, lahan terbuka
memiliki persentase energi panas laten yang lebih rendah dibandingkan dengan kedua tutupan lahan lainnya.
-323-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Radiasi netto pada lahan terbangun paling tinggi dialokasikan menjadi energi panas terasa sehingga pada
tutupan lahan tersebut sering terjadi proses pemanasan lokal atau urban heat island.
Berdasarkan Gambar 3, dapat terlihat distribusi evaporasi di Kabupaten Karawang pada tanggal 15
Agustus 2015. Rentang nilai evaporasi berada di antara 1.2 – 15.4 mm hari-1 dengan variasi pada tutupan
lahan yang berbeda. Nilai evaporasi pada tutupan lahan badan air berkisar antara 6.2 - 15.4 mm hari-1, lahan
terbangun berkisar antara 1.2 - 3.1 mm hari-1, dan vegetasi berkisar antara 6.4 - 10.4 mm hari-1. Evaporasi
tinggi di wilayah utara Kabupaten Karawang dan rendah di bagian selatan dan barat daya Kabupaten
Karawang. Berdasarkan kelas tutupan lahan, wilayah utara Kabupaten Karawang didominasi oleh badan air
berupa tambak dan sawah tergenang. Cadangan air di tutupan lahan tersebut relatif berlimpah sehingga
potensi evaporasi di wilayah tersebut juga tinggi. Wilayah selatan dan barat daya Kabupaten Karawang
didominasi oleh lahan terbangun sehingga memiliki nilai evaporasi yang relatif rendah dari wilayah
Kabupaten Karawang lainnya. Karakteristik statistik nilai evaporasi di setiap tutupan lahan dapat dilihat
dalam distribusi frekuensi.
Gambar 4. Histogram Nilai Evaporasi pada Setiap Tutupan Lahan di Kabupaten Karawang.
-324-
Pendugaan Evaporasi Berdasarkan Konsep Neraca Energi Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 (Studi Kasus: Kabupaten
Karawang) (Condro, A.A.)
Distribusi nilai evaporasi pada setiap tutupan lahan relatif menyebar secara normal. Perbedaan nilai rataan
evaporasi pada setiap tutupan lahan terlihat dalam posisi histogram pada sumbu axis. Besarnya frekuensi
merepresentasikan luasan tutupan lahan tertentu di Kabupaten Karawang. Badan air memiliki nilai evaporasi
yang tinggi dengan luasan wilayah yang tinggi pula sehingga badan air menyumbangkan evaporasi terbesar
di Kabupaten Karawang. Lahan terbangun memiliki nilai rataan evaporasi terendah tetapi memiliki luasan
wilayah yang cukup tinggi.
4. KESIMPULAN
Evaporasi harian pada tutupan lahan tertentu secara spasial dapat diduga menggunakan citra satelit
Landsat 8 OLI/TIRS. Rentang nilai evaporasi berada di antara 1.2 – 15.4 mm hari-1 dengan variasi pada
tutupan lahan yang berbeda. Evaporasi rata-rata tertinggi berada di tutupan lahan badan air, yaitu sebesar
10.6 mm hari-1, evaporasi rata-rata di tutupan lahan vegetasi sebesar 8.8 mm hari-1, dan evaporasi rata-rata
terendah berada di lahan terbangun, yaitu sebesar 2.4 mm hari-1. Perbedaan nilai evaporasi pada tutupan
lahan yang berbeda sangat dipengaruhi oleh karakteristik permukaan seperti emisivitas permukaan, bowen
ratio, dan cadangan air yang tersedia di permukaan.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih saya haturkan kepada Bapak Idung Risdiyanto, S.Si., M.Sc. dan Bapak Dr. Yudi
Setiawan, S.P., M.Sc., Ph.D. atas saran dan bimbingannya, serta rekan-rekan Departemen Geofisika dan
Meteorologi IPB angkatan 50 atas dukungannya selama penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, R.G., Morse, A., Tasumi, M., Bastiaansen, W., dan Anderson, H., (2001). Evapotranspiration from Landsat
(SEBAL) for water right management and compliance with ulti-state water compact. University of Idaho Kimberly.
Allen, R.G., Pereira L.S., Raes, D., dan Smith, M., (1998). Crop Evapotranspiration Guidelines Computing Crop Water
Requirements, FAO Irrigation and Drainage.
Arya, S.P., (2001). Intoduction to Micrometeorology, Second Edition: Academic Press.
Bappeda Karawang. (2011). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Karawang Tahun
2011-2015. Karawang: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Bappeda Karawang.
Dingman, S.L., (2015). Physical Hydrology, Third Edition: Waveland Press, Inc.
Dwijayanto, A., (2015). Intensitas Kebakaran Hutan dan Estimasi Heat Production Menggunakan Citra Landsat.
(Skripsi), IPB (Bogor Agricultural University), Bogor.
Jones, H.G., (2014). Plant and Microclimate: A Quantitative Approach to Environmental Plant Physiology, Third
Edition: Cambridge University Press.
Lillesand, T.M., Kiefer, R.W., dan Chipman, J.W., (2004). Remote Sensing and Image Interpretation, Fifth Edition:
John Wiley & Sons, Inc.
Setiawan, R., (2006). Metode Neraca Energi untuk Perhitungan Leaf Area Index (LAI) di Lahan Bervegetasi
Menggunakan Data Citra Satelit. Skripsi, IPB (Bogor Agricultural University), Bogor.
Shaw, E.M., Beven, K.J., Chappell, N.A., dan Lamb, R., (2011). Hydrology in Practice, Fourth Edition: Spon Press.
United State Geological Survey., (2013). Landsat 8 (L8) Data User Handbook, diunduh 19 April 2016
darihttp://landsat.usgs.gov/documents/Landsat8DataUsersHandbook.pdf
Weng, Q., (2001). A Remote Sensing: GIS Evaluation of Urban Expansion and Its Impact on Surface Temperature in
The Zhujiang Delta, China. Int. J. Remote Sensing, 22(10):1999-2014.
Yudiansyah, T.R., (2010). Pendugaan Nilai Komponen Neraca Energi di Kanopi Hutan Tanaman Agathis Loranthifolia
dengan Menggunakan Satelit Optik (Studi Kasus Hutan Gunung Walat Sukabumi). Skripsi, IPB (Bogor Agricultural
University), Bogor.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016
Diskusi:
-325-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Jawaban:
Untuk masalah wording antara evaporasi dan evapotranspirasi itu dikarenakan yang dijadikan penelitian
tidak hanya tutupan lahan vegetasi, tetapi saya juga menggunakan non vegetasi, sehingga menggunakan kata
yang lebih umum yaitu evaporasi. Mungkin memang diperlukan data citra yang lebih relevan lagi sesuai
dengan jamnya. Karena saat ini memiliki keterbatasan data observasi, sehingga untuk saat ini validasi belum
dilakukan.
-326-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
*)
E-mail: ferman.setia@lapan.go.id
ABSTRAK – Primary Product adalah merupakan level pemrosesan yang paling mendekati dengan gambaran alami
yang diperoleh dari sensor. Pada proses produksi data primary, terdapat berbagai macam metode resampling yang dapat
digunakan. Dari berbagai macam metode resampling tersebut belum diketahui seberapa besar perubahan nilai
spektralnya. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui besar perubahan nilai spektral dari berbagai metode untuk
resamplingPrimary Product SPOT 6/7. Dengan mengetahui besar perubahan nilai spektral setelah proses resampling,
maka akan dapat diketahui metode resampling yang konsisten dalam mempertahankan nilai spektral yang penting pada
saat akan melakukan proses transformasi citra ataupun klasifikasi citra digital. Pada Penelitian ini, korelasi antara citra
resampling menggunakan metode bicubic optimized dan bicubic bilinear dengan near neighbour dapat dibandingkan
untuk memperoleh kesimpulan tentang konsistensi metode tersebut dalam mempertahankan nilai spektral citra asli.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa korelasi sangat tinggi antar berbagai metode resampling sehingga bisa dipilih
salah satu dari berbagai metode resampling untuk memproduksi Primary Products pada SPOT 6/7. Namun lebih
disarankan untuk menggunakan metode resamplingnear neighbour karena lebih mempertahankan nilai spektral citra
asli.
ABSTRACT Primary product is the closest processing level to the raw image acquired by sensor. In the process of
generating Primary Product, there are various methods of resampling used to generate this product. Among these
various methods of resampling, it is not yet known how much of these resampling methods change the spectral value of
the final resampled product. This study aims to determine the changes in the spectral value of the final resampled
products for the Primary Product of SPOT 6/7. By knowing how spectral value changes in the final product, the
consistency of the resampling methods can be concluded which is important to be considered when performing digital
classification or spectral transformation. In this research, the correlation of the resampled imagery using Bicubic
Optimized and Bicubic Bilinear methods was compared with Near Neighbour method to conclude which one is the most
spectral-consistent method. Based on the analysis, the result indicated that there is a very high correlation between the
various resampling methods with near neighbour method so that based on the final correlation analysis, whatever
resampling methods can be used for generating primary products of SPOT 6/7. However it is advisable to use near
Neighbour resampling method considering that this method retains most of the original spectral values.
1. PENDAHULUAN
Pada tahun 2008, SPOT Image (yang sekarang menjadi Geo Intelligence program line of Airbus Defence
and Space) di Toulouse, Perancis memulai inovasi untuk membangun kelanjutan dari misi SPOT, yang akan
diberi nama SPOT 6/7 untuk melanjutkan misi mendapatkan citra resolusi tinggi dengan cakupan yang lebar
seperti pada generasi sebelumnya yaitu SPOT5. Mendapatkan dukungan penuh dari Airbus Group,
pengerjaan satelit konstelasi SPOT6/7 diumumkan resmi pada pertengahan 2009 oleh Airbus Defence and
Space. SPOT 6 diluncurkan oleh India’s Polar Satellite Launch Vehicle flight C21 pada jam 04:23 UTC
tanggal 9 September 2012, sedangkan SPOT 7 diluncurkan PSLV flight C23 pada jam 04:42 UTC tanggal 30
Juni 2014. Kedua satelit tersebut akan berkonstelasi untuk melanjutkan misi mendapatkan citra resolusi
tinggi dengan cakupan yang lebar sampai dengan tahun 2024.
SPOT 6/7 tersedia dalam dua tingkat pengolahan yang berbeda: Primary dan Ortho. Kedua tingkat
pengolahan tersebut telah dikoreksi radiometrik dan koreksi distorsi sensor, menggunakan parameter
-327-
Perbandingan Nilai Spektral Berbagai Metode Resampling Pada Proses Pembuatan Primary Product SPOT 6/7 (Nugroho, F.S,
dkk.)
kalibrasi internal, pengukuran ephemeris dan attitude. SPOT 6 dan SPOT 7 memiliki saluran Pankromatik
(resolusi produk: 1.5m), dan saluran Multispektral (4 band, resolusi produk: 6m).
Primary Product adalah merupakan level pemrosesan yang paling mendekati dengan gambaran alami
yang diperoleh dari sensor. Produk ini mengembalikan citra pada kondisi sempurna: sensor ditempatkan
dalam geometri bujursangkar, dan gambar terlihat jelas dari semua distorsi radiometrik. Primary Product
sangat sesuai dengan pengguna yang paham dengan pengolahan citra satelit yang ingin menerapkan metode
produksi sendiri (orthorectification atau modeling 3D misalnya). Untuk tujuan ini, Rational Polynomial
Coefficient (RPC) dan model sensor disediakan bersama dengan produk untuk memastikan otonomi penuh
dan kesederhanaan bagi pengguna.
Proses penyiapan data citra SPOT membutuhkan beberapa proses untuk rektifikasi geometrik dan
penajaman radiometrik contohnya adalah proses resampling geometri. Proses resampling ini mengubah
geometri citra original yang terdistorsi menjadi terkoreksi dengan menghitung nilai pixel baru pada citra
terkoreksi (Baboo dkk., 2010). Proses resampling ini diketahui dapat membawa efek penurunan kualitas citra
hasil yang tidak diinginkan (Tauch dan Kaehler, 1988). Sehingga perlu ada kajian untuk menguji konsistensi
proses geometrik resampling pada citra hasil. Pada citra SPOT, proses resampling dapat menggunakan
beberapa metode seperti bicubic bilinear, bicubic optimized and near neighbour.
Dari berbagai macam metode resampling tersebut belum diketahui seberapa besar perubahan nilai
spektralnya. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui besar perubahan nilai spektral dari berbagai
metode untuk resampling Primary Product SPOT 6/7. Dengan mengetahui besar perubahan nilai spektral
setelah proses resampling, maka akan dapat diketahui metode resampling yang konsisten dalam
mempertahankan nilai spektral yang penting pada saat akan melakukan proses transformasi citra ataupun
klasifikasi citra digital.
-328-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pada proses ini diperlukan informasi Gain dan Bias dari sensor di setiap band. Transformasi dilakukan
berdasarkan kurva kalibrasi nilai digital ke radian yang telah dihitung secara sistematik. Kalibrasi dilakukan
sebelum sensor diluncurkan dan tingkat akurasi menurun seiring dengan sensitivitas sensor yang berubah
sepanjang waktu, sehingga diperlukan kalibrasi ulang sensor. Metode untuk mengkalibrasi nilai digital
menjadi nilai spektral radian (Lλ) adalah sebagai berikut:
(1)
Gain dan offset dalam unit W/(m2 * sr * µm). Sehingga nilai radian juga dalam unit W/(m2 * sr * µm).
B. Mengkonversi nilai spektral radian ke nilai spektral reflektan
Langkah selanjutnya adalah menormalisasi nilai irradian dengan mengkonversi nilai spektral radian
dengan mempertimbangkan nilai cosinus akibat dari perbedaan sudut matahari dan nilai exoatmospheric
irradian dari perbedaan nilai spektral di setiap band. Dengan demikian nilai reflektan exoatmospheric adalah
kombinasi faktor kelengkungan permukaan dan reflektan atmosfer yang dihitung menggunakan persamaan
berikut
(2)
dimana:
= Radiance dengan satuan unit W/(m2 * sr * µm)
= Jarak Bumi-Matahari dalam satuan astronomical.
= Solar irradiance dalam satuan W/(m2 * µm)
= Sun elevation dalam derajat
Gambar 2. Ilustrasi Metode Resampling (A) Near Neighbour (B) Bicubic Bilinear (C) Bicubic Optimized
fusi (Panchal dkk., 2015). Nilai koefisien korelasi juga dianggap mewakili tingkat kemiripan citra
secara umum antara citra hasil dan citra referensi (Javan dkk., 2013). Dengan asumsi tersebut,
maka untuk menguji nilai koefisien korelasi dapat digunakan untuk menguji integritas spectral data
hasil proses resampling yang berbeda.
SPOT6 Multispektral
Level 0
PerbandinganNilaiSpektralBerbaga
iMetode Resampling
3. HASIL PEMBAHASAN
3.1. Pra Pemrosesan Data
Nilai digital dikonversikan ke nilai reflektansi dengan menggunakan metode koreksi radiometrik Top
of Atmosfer, dimana dalam statistik nilai digital range data mulai dari 0 sampai dengan maksimal 4096,
sedangkan setelah dikoreksi radiometrik ToA range data mulai 0 sampai dengan 1. Adapun nilai minimum,
maksimum, rata-rata, dan standar deviasi dari tiap band baik masih berupa nilai digital ataupun nilai
reflektasi akan disajikan dalam tabel berikut:
-330-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Tabel 2.Tabel Korelasi Bicubic Bilinear dan Bicubic Optimized terhadap Near Neighbour Tiap Band pada Berbagai
Lokasi
korelasi bicubic bilinear terhadap near neighbour korelasi bicubic bilinear terhadap near neighbour
B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4
0.994244 0.995281 0.991908 0.979041 0.966206 0.965920 0.973680 0.969486
korelasi bicubic optimized terhadap near neighbour korelasi bicubic optimized terhadap near neighbour
B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4
0.994705 0.995759 0.992860 0.980810 0.970690 0.969601 0.976084 0.972328
korelasi bicubic bilinear terhadap near neighbour korelasi bicubic bilinear terhadap near neighbour
B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4
0.983708 0.983424 0.984128 0.973649 0.979583 0.985703 0.984803 0.995908
korelasi bicubic optimized terhadap near neighbour korelasi bicubic optimized terhadap near neighbour
B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4
0.985218 0.984944 0.985616 0.976294 0.981200 0.986783 0.985704 0.996331
-331-
Perbandingan Nilai Spektral Berbagai Metode Resampling Pada Proses Pembuatan Primary Product SPOT 6/7 (Nugroho, F.S,
dkk.)
korelasi bicubic bilinear terhadap near neighbour korelasi bicubic bilinear terhadap near neighbour
B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4
0.965892 0.958659 0.972729 0.959801 0.998024 0.997439 0.997023 0.996942
korelasi bicubic optimized terhadap near neighbour korelasi bicubic optimized terhadap near neighbour
B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4
0.970025 0.963240 0.975648 0.964374 0.998187 0.997681 0.997271 0.997284
Hasil koefisien korelasi citra dengan proses resampling yang berbeda menunjukkan tingginya integritas
citra hasil proses resampling yang berbeda. Rata - rata koefisien korelasi mempunyai korelasi yang positif
dan tinggi ditunjukkan dengan nilai yang mendekati nilai maksimum 1. Proses resampling bicubic optimized
mempunyai korelasi yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan proses resampling menggunakan bicubic
bilinear terhadap resampling hasil near neighbours. Hasil ini menunjukkan hasil yang mirip dengan
penelitian serupa oleh (Studley dan Weber, 2011) yang mendapatkan koefisien korelasi yang mendekati 1
dengan membandingkan koefisien korelasi bicubic bilinear dan bicubic optimized dengan agregated
average(aa). Dengan begitu, tingginya hasil proses resampling geometrik yang berbeda ini menunjukkan
bahwa metode resampling yang berbeda dapat digunakan untuk rektifikasi geometrik dan penajaman
radiometrik dengan penurunan kualitas data yang minimal.
Penurunan kualitas data yang minimal dan tingginya konsistensi dari hasil proses resampling yang
berbeda ini membuat citra hasil proses resampling masih dapat digunakan untuk pemrosesan citra digital.
Pemrosesan citra digital ini meliputi proses transformasi citra seperti raster algebra dan juga proses
klasifikasi digital contohnya untuk klasifikasi penutup lahan. Dengan tingginya konsistensi antar proses
resample, maka informasi yang diturunkan melalui pemrosesan citra digital menggunakan citra hasil
resample dengan metode yang berbeda diharapkan akan memiliki informasi yang sama atau tidak jauh
berbeda.
4. KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa korelasi sangat tinggi antar berbagai metode resampling
sehingga bisa dipilih salah satu dari berbagai metode resampling untuk memproduksi Primary Products pada
SPOT 6/7. Bicubic bilinear dan bicubic optimized yang masing - masing menggunakan 4 dan 16 nilai
spektral piksel sekitarnya untuk menghitung nilai piksel baru pada citra terkoreksi masing - masing dapat
digunakan untuk proses resample geometrik. Namun lebih disarankan untuk menggunakan metode
resampling near neighbour karena lebih mempertahankan nilai spektral citra asli dan juga lebih hemat
komputasi karena tidak menggunakan proses perhitungan rata-rata dalam menghitung nilai piksel hasil
pemrosesan.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh personil Stasiun Bumi Penginderaan Jauh Parepare
yang telah memberikan masukan dan bantuan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada Tim Redaksi dan Mitra Bestari atas masukan dan koreksinya.
-332-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
DAFTAR PUSTAKA
Astrium (2015). SPOT6|SPOT7 Technical Sheet. Cited in http://www2.geo-airbusds.com/files/pmedia/public/r12317
_9_spot6-7_technical_sheet.pdf .
Baboo, Santhosh, S., dan Devi M.R., (2010). An Analysis of Different Resampling Methods in Coimbatore, District’,
Global Journal of Computer Science and Technology, 10: 61–66
Javan, Farzaneh, D., Farhad, S., dan Peter, R., (2013). Spatial Quality Assessment of Pan-Sharpened High Resolution
Satellite Imagery Based on an Automatically Estimated Edge Based Metric, Remote Sensing.
<http://dx.doi.org/10.3390/rs5126539>
Panchal, Shailesh, dan Rajesh, T., (2015). Implementation And Comparative Quantitative Assessment Of Different
Multispectral Image Pansharpening Approaches. Signal & Image Processing : An International Journal, 6:50–52
Palsson, Frosti, Johannes, R.,S., Magnus, O.U., dan Jon, A.B., (2016). Quantitative Quality Evaluation of Pansharpened
Imagery : Consistency Versus Synthesis’, IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing.
Ruediger, Tauch, dan Martin, K., (1988). Improving the Quality of Satellite Image Maps by Various Processing
Techniques, Proceedings of ISPRS. http://dx.doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Studley, H., dan Weber, K.T., (2011). Comparison of Image Resampling Techniques for Satellite Imagery. Final
Report: Assessing Post-Fire Recovery of Sagebrush-Steppe Rangelands in Southeastern Idaho.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Jawaban :
Penelitian yang dilakukan sangat singkat sehingga hanya menggunakan 5 lokasi sample. Kedepan memang
lebih baik menggunakan image yang displit.
Jawaban :
Untuk metode korelasi sendiri masih banyak perdebatan mengenai apakah nilai korelasi bisa menunjukan
keterkaitan antara variable a dan variable b. Metode yang paling mudah adalah membandingkan korelasi
tinggi atau rendah, karena hasilnya sama-sama mendekati satu maka dikatakan sama. Keterbatasan waktu
dan kemampuan dalam mengetahui metode selain korelasi, apakah ada metode lain selain korelasi untuk
membandingkan var a dan var b. Karena yang diketahui sebatas korelasi dan hasilnya sama-sama tinggi jadi
tidak ada masalah. Maka dari itu jika dilihat dari kesimpulan yang diambil terlihat tidak ada perbedaan.
-333-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
*)
E-mail : sutanto_ahmad@yahoo.com
ABSTRAK – Provinsi Aceh merupakan provinsi yang banyak memiliki sumberdaya mineral , karena faktor geologi
yaitu Aceh terletak pada jalur Patahan Semangko. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) adalah perhitungan
citra yang digunakan untuk mengetahui tingkat kehijauan, yang sangat baik sebagai awal dari pembagian daerah vegetasi.
NDVI dapat menunjukkan parameter yang berhubungan dengan parameter vegetasi, antara lain, biomass dedaunan hijau,
daerah dedaunan hijau yang merupakan nilai yang dapat diperkirakan untuk pembagian vegetasi. Disparitas indeks
vegetasi (VIDN), metode ini umum digunakan untuk tujuan analisis perubahan atau change detection. Deteksi perubahan
merupakan suatu proses mengindetifikasi perubahan-perubahan suatu objek atau fenomena melalui pengamatan pada
berbagai waktu yang berbeda. Terjadinya pengurangan biomassa merupakan salah satu indikasi terjadinya suatu perubahan
tutupan lahan yang pada penelitian ini, perubahan lahan yang dimaksud adalah terjadinya lahan terbuka pada areal
tambang emas. Pembuatan citra sintetik VIDN berasal dari nilai NDVI antara 2 waktu yang berbeda. Pada kegiatan ini
telah dilakukan perhitungan NDVI pada citra satelit Landsat 8 tahun 2014 dan 2015, citra Landsat 7 tahun 2000, citra
Landsat 5 tahun 2009, 2010 dan 2011 wilayah Aceh bagian selatan scene path/row: 131/057. Dari penelitian menggunakan
metode VIDN menghasilkan nilai ambang batas bawah (Td) -0,249238 dan nilai ambang batas atas (Tu) 0,115725
ABSTRACT - Aceh province has numerous mineral resources, due to geological factors as this province laid over
Semangko Fault. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) is a calculation of the imagery used to determine the
level of greenness, which is very good as the beginning of the division of areas of vegetation. NDVI can show the
parameters associated with vegetation parameters, that is green foliage biomass. Green foliage area is the value that can
be estimated for the distribution of vegetation. Vegetation index disparities (VIDN) method is commonly used for analysis
purposes alteration or change detection. Change detection is a process of identifying changes of an object or phenomenon
by observing at various different times. A reduction in biomass is one indication of the occurrence of a change land cover
in this field, changes in the land is the open land in the gold mine area. VIDN synthetic image derived from NDVI values
between two different times. This studies carried out NDVI calculations for Landsat 8 images in 2014 and 2015, Landsat 7
in 2000, Landsat 5 in 2009, 2010 and 2011 Aceh southern scene path / row: 131/057. Calculations using methods VIDN
produce lower threshold values (Td) -0.249238 and upper threshold values (Tu) 0.115725
1. PENDAHULUAN
Provinsi Aceh merupakan provinsi yang banyak memiliki sumberdaya mineral, karena faktor geologi yaitu
Aceh terletak pada jalur Patahan Semangko. Aceh memiliki cadangan dan penghasil emas di 7 (tujuh)
kabupaten yaitu: Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Pidie, Aceh Tengah, Aceh Besar.
Penambangan emas tanpa ijin (PETI) merupakan penambangan emas yang dilakukan oleh masyarakat tanpa
didasari oleh data eksplorasi, sehingga memicu terjadinya kerusakan lingkungan. Adanya permasalahan
terkontaminasinya air sungai akibat limbah berbahaya dari pengolahan emas sehingga menyebabkan jutaan ikan
mati. Undang-Undang Nomor. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam menuntut Pemda bisa lebih pro-aktif melakukan inventarisasi dan eksplorasi emas di wilayahnya.
Perlu dipetakan daerah yang berpotensi mineral emas bernilai ekonomi. Lokasi tambang emas ada yang di atas
bukit sehingga sulit untuk dilakukan pengecekan. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Nangro
Aceh Darussalam bermaksud untuk menginventarisasi lokasi PETI di wilayahnya.
Data penginderaan jauh berkembang sangat pesat, baik resolusi spasial, temporal maupun spektralnya,
sehingga aplikasinya menjadi lebih luas. Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk sektor geologi dapat
digunakan untuk inventarisasi lahan bekas tambang, identifikasi parameter geologi (kelurusan, pola aliran dan
-334-
Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode Vegetation Index Differencing Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang,
Aceh (Sutanto A., dkk.)
lain-lain). Data citra satelit resolusi tinggi dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk pemantauan aktivitas
penambang (secara visual), sedangkan untuk citra resolusi menengah memerlukan pengolahan lanjut.
2. TEORI DASAR
Dalam aplikasi penginderaan jauh, indeks vegetasi merupakan cerminan tingkat kehijauan vegetasi yang juga
dapat digunakan sebagai parameter kondisi kekeringan. Indeks vegetasi dapat berubah disebabkan oleh kondisi
ketersediaan air akibat pergantian musim. Kondisi indeks vegetasi rendah mengakibatkan penurunan produksi
pangan, kebakaran, dan lain sebagainya. Untuk mengantisipasi akibat buruk tersebut, upaya pemantauan indeks
vegetasi perlu dilakukan.
Indeks vegetasi merupakan nilai yang diperoleh dari gabungan beberapa spektral band spesifik dari citra
penginderaan jauh. Gelombang indeks vegetasi diperoleh dari energi yang dipancarkan oleh vegetasi pada citra
penginderaan jauh untuk menunjukkan ukuran kehidupan dan jumlah dari suatu tanaman. Tanaman
memancarkan dan menyerap gelombang yang unik sehingga keadan ini dapat di hubungakan dengan pancaran
gelombang dari objek-objek yang lain sehingga dapat di bedakan antara vegetasi dan objek selain vegetasi
(Pettorelli dkk., 2005). Tanaman hidup menyerap gelombang tampak (visible) biru dan merah serta
memantulkan gelombang hijau, oleh karena itulah kenapa mata manusia melihat daun-daun tanaman yang hidup
adalah berwarna hijau. Akan tetapi ada satu jenis gelombang lain yang juga di pantulkan oleh tanaman selain
gelombang hijau, akan tetapi gelombang ini tidak dapat di lihat oleh mata (invisible), gelombang ini adalah
gelombang infra merah dekat.
NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) adalah perhitungan citra yang digunakan untuk mengetahui
tingkat kehijauan, yang sangat baik sebagai awal dari pembagian daerah vegetasi. NDVI dapat menunjukkan
parameter yang berhubungan dengan parameter vegetasi, antara lain, biomass dedaunan hijau, daerah dedaunan
hijau yang merupakan nilai yang dapat diperkirakan untuk pembagian vegetasi.Seperti perhitungan pada citra
rasio, pada citra normalisasi juga menggunakan data kanal1 dan kanal2. Kanal1 terdapat dalam bagian dari
spektrum dimana klorofilmenyebabkan adanya penyerapan terhadap radiasi cahaya yang datang yang dilakukan
saat fotosintesis, sedangkan kanal 2 terdapat dalam daerah spektral dimana struktur daun spongy mesophyll
menyebabkan adanya pantulan terhadap radiasi cahaya. Perbedaan respon dari kedua kanal ini dapat diketahui
dengan transformasi rasio perbandingan satu kanal dengankanalyang lain.
Perbandingan antara kedua kanal adalah pertimbangan yang digunakan untuk mengurangi variasi yang
disebabkan oleh topografi dari permukaan bumi. Hal ini merupakan kompensasi dari variasi pancaran sebagai
fungsi dari elevasi matahari untuk daerah yang berbeda dalam sebuah citra satelit. Perbandingan ini tidak
menghilangkan efek additive yang disebabkan oleh atmospheric attenuation, tetapi komponen dasar untuk
NDVI dan vegetasi saling berhubungan. Latar belakang daratan berfungsi sebagai pemantul sinyal yang terpisah
dari vegetasi, dan berinteraksi dengan vegetasi melalui hamburan yang sangat banyak dari energi radiasi.
Rentang nilai NDVI adalah antara -1.0 hingga +1.0. Nilai yang lebih besar dari 0.1 biasanya menandakan
peningkatan derajat kehijauan dan intensitas dari vegetasi. Nilai diantara 0 dan 0.1 umumnya merupakan
karakteristik dari bebatuan dan lahan kosong, dan nilai yang kurang dari 0 kemungkinan mengindikasikan awan
es, awan uap air dan salju. Permukaan vegetasi memiliki rentang nilai NDVI 0.1 untuk lahan savanna (padang
rumput) hingga 0.8 untuk daerah hutan hujan tropis. Nilai NDVI dapat diperoleh yaitu dengan membandingkan
pengurangan data kanal 2 dan kanal 1 dengan penjumlahan dari kedua kanal tersebut. Berikut ini rumus NDVI :
= ...................................................................................................................... ………………….(1)
Nilai NDVI menggunakan nilai reflektansi dari kanal NIR ( Near Infra Red ) dan kanal Red pada citra satelit
untuk perhitungannya.Disparitas indeks vegetasi (VIDN), metode ini umum digunakan untuk tujuan analisis
perubahan atau change detection. Deteksi perubahan merupakan suatu proses mengindetifikasi perubahan-
perubahan suatu objek atau fenomena melalui pengamatan pada berbagai waktu yang berbeda. Lau dkk. (2005);
Sitorus (2006); Jensen (2005) menyebutkan salah satu metode yang digunakan untuk analisis perubahan di
antaranya adalah metode Image Differencing atau metode pengurangan citra. Jaya (2005) menjelaskan bahwa
nilai VIDN berkisar -2 – 2 dengan nilai negatif menyatakan adanya pengurangan biomassa atau vegetasi hijau.
Terjadinya pengurangan biomassa merupakan salah satu indikasi terjadinya suatu perubahan tutupan lahan yang
pada penelitian ini, perubahan lahan yang dimaksud adalah terjadinya lahan terbuka pada areal tambang emas.
Pembuatan citra sintetik VIDN berasal dari nilai NDVI antara 2 waktu yang berbeda.
Pada citra Landsat 5 dan 7 saluran inframerah dekat terdapat pada saluran 4 sedangkan saluran merah
terdapat pada saluran 3. Pada citra Landsat 8 saluran inframerah dekat terdapat pada saluran 5 sedangkan
-335-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
saluran merah terdapat pada saluran 4. Nilai VIDN dapat diperoleh yaitu dengan pengurangan data NDVI tahun
n dengan data NDVI tahun m. Berikut ini rumus NDVI :
= − ........................................................................................................ ………………….(2)
(a) (b)
Gambar 1. Hasil NDVI Wilayah Geumpang, Aceh (a) Hasil NDVI dari Landsat 7 Tanggal 5 Maret 2000, (b) Hasil NDVI
dari Landsat 5 Tanggal 18 Februari 2009.
(a) (b)
Gambar 2. Hasil NDVI Wilayah Geumpang, Aceh (a) Hasil NDVI dari Landsat 5 Tanggal 20 Januari 2010, (b) Hasil
NDVI dari Landsat 5 Tanggal 8 Februari 2011.
-336-
Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode Vegetation Index Differencing Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang,
Aceh (Sutanto A., dkk.)
Gambar 3. Hasil NDVI wilayah Geumpang dari Landsat 8 tanggal 23 Mei 2014
Pembuatan citra sintetik VIDN berasal dari nilai NDVI antara 2 waktu yang berbeda. Pembuatan citra VIDN
pada kegiatan ini menggunakan :
citra NDVI Landsat 8 tahun 2014 dan citra Landsat 7 tahun 2000.
citra NDVI Landsat 8 tahun 2014 dan citra Landsat 5 tahun 2009.
citra NDVI Landsat 8 tahun 2014 dan citra Landsat 5 tahun 2010.
citra NDVI Landsat 8 tahun 2014 dan citra Landsat 5 tahun 2011.
Pada citra Landsat 5 dan 7 saluran inframerah dekat terdapat pada saluran 4 sedangkan saluran merah terdapat
pada saluran 3. Pada citra Landsat 8 saluran inframerah dekat terdapat pada saluran 5 sedangkan saluran merah
terdapat pada saluran 4.
(a) (b)
Gambar 4. Hasil VIDN Wilayah Geumpang, Aceh (a) Hasil VIDN dari data NDVI Landsat 8 Tanggal 23 Mei 2014 dan
Data NDVI Landsat 7 Tanggal 5 Maret 2000, (b) Hasil VIDN dari Data NDVI Landsat 8 Tanggal 23 Mei 2014 dan Data
NDVI Landsat 5 Tanggal 18 Februari 2009.
-337-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
(a) (b)
Gambar 5. Hasil NDVI Wilayah Geumpang, Aceh (a) Hasil VIDN dari data NDVI Landsat 8 Tanggal 23 Mei 2014 dan
Data NDVI Landsat 5 Tanggal 20 Januari 2010, (b) Hasil VIDN dari Data NDVI Landsat 8 Tanggal 23 Mei 2014 dan Data
NDVI Landsat 5 Tanggal 8 Februari 2011.
Pelaksanaan komputasi numerik berupa perhitungan statistik data citra sintetik VIDN (Vegetation Index
Differencing (VIDN)) yang terdapat di dalam polygon sample lahan terbuka tambang. Perhitungan nilai statistik
ini dibutuhkan untuk menentukan nilai Threshold maksimum dan minimum dari nilai piksel citra VIDN. Nilai
threshold ini kemudian bisa digunakan untuk identifikasi lahan terbuka pertambangan.Pada kegiatan ini
dilakukan perhitungan statistik data citra sintetik VIDN (Vegetation Index Differencing (VIDN)) yang terdapat
di dalam polygon sample lahan terbuka tambang. Data citra sintetik VIDN yang digunakan adalah
citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2000.
citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2009.
citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2010.
citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2011.
Perhitungan numerik nilai statistik VIDN ini dapat lakukan dengan menggunakan tools yang tersedia pada
software QGIS 2.8.1. Tools tersebut bernama Zonal Statistics.Berikut ini tampilan hasil perhitungan statistik
data citra sintetik VIDN (Vegetation IndexDifferencing (VIDN)) yang terdapat di dalam polygon sample lahan
terbuka tambang.untuk wilayah Geumpang, Aceh.
Tabel 1. Hasil Perhitungan Statisik Citra Sintetik VIDN yang Berada dalam Polygon Sample Lahan Terbuka Tambang
Nilai Statistik
Data VIDN
Standart
Min Max Mean Varians Range Count
Deviation
Pelaksanaan komputasi numerik berupa thresholding citra sintetik VIDN untuk identifikasi lahan terbuka
tambang. Thresholding ini menggunakan nilai statistik VIDN di dalam polygon sample lahan terbuka tambang.
Nilai statistik yang digunakan yaitu nilai Threshold maksimum dan minimum dari nilai piksel citra VIDN yang
terdapat dalam polygon sample lahan terbuka tambang. Nilai threshold inilah yang kemudian digunakan untuk
identifikasi lahan terbuka pertambangan untuk keseluruhan wilayah yang terdapat di citra. Nilai Tu (Threshold
Up) dan Td (Threshold Down) dari masing-masing treshold ditentukan berdasarkan nilai piksel contoh pada
-338-
Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode Vegetation Index Differencing Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang,
Aceh (Sutanto A., dkk.)
areal-areal lahan tambang. Nilai Tu diambil dari nilai maksimum, sedangkan nilai Td diambil dari nilai
minimum hasil perhitungan statistik VIDN dalam polygon sample. Proses tresholding dilakukan dengan kaidah
pengambilan keputusan seperti pada persamaan berikut.
......................................................................................................................................... ………………….(3)
Dalam kaidah tersebut, I(x,y) adalah nilai piksel yang dibuat dari indeks terpilih. Pembuatan treshold dilakukan
dengan membuat training area pada citra sintetik yang telah dihasilkan. Pada kegiatan ini data citra sintetik
VIDN yang digunakan adalah :
citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2000.
citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2009.
citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2010.
citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2011.
Berikut ini adalah tabel yang menyajikan nilai Tu dan Td untuk data-data VIDN yang digunakan :
Tabel 2. Nilai Threshold Citra Sintetik VIDN yang Berada dalam Polygon Sample
Nilai Threshold
Data VIDN
Td Tu
VIDN tahun 2014 dan tahun 2000 -0,249238 0,115725
VIDN tahun 2014 dan tahun 2009 -0,232959 0,121008
VIDN tahun 2014 dan tahun 2010 -0,238905 0,118355
VIDN tahun 2014 dan tahun 2011 -0,223731 0,140553
Pelaksanaan komputasi numerik berupa filtering hasil thresholding citra sintetik VIDN untuk identifikasi
lahan terbuka tambang. Jaya (2005) menyebutkan bahwa hasil thresholding pada umumnya masih mengandung
noise yang tampak seperti noktah-noktah atau sering disebut salt and pepper. Untuk menghilangkan kesalahan
ini dilakukan filtering menggunakan lowpass filter yaitu filter median. Filter median merupakan salah satu
filtering non-linear yang mengurutkan nilai intensitas sekelompok piksel, kemudian mengganti nilai piksel yang
diproses dengan nilai mediannya. Data hasil thresholding citra sintetik VIDN yang digunakan yaitu VIDN tahun
2000-2014, tahun 2009-2014, tahun 2010-2014, tahun 2011-2014 wilayah Aceh bagian selatan.
Citra (image) atau istilah lain untuk gambar sebagai salah satu komponen multimedia memegang peranan
sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Meskipun sebuah citra kaya akan informasi, namun sering kali
citra yang dimiliki mengalami penurunan mutu, misalnya mengandung cacat atau noise. Tentu saja citra
semacam ini menjadi lebih sulit untuk diinterpretasikan karena informasi yang disampaikan oleh citra tersebut
menjadi berkurang. Untuk mengatasi noise tersebut perlu dilakukan usaha untuk memperbaiki kualitas citra itu.
Salah satunya adalah dengan filtering citra baik secara linear maupun secara non-linear. Median filter adalah
salah satu filtering non-linear yang mengurutkan nilai intensitas sekelompok pixel, kemudian mengganti nilai
pixel yang diproses dengan nilai mediannya. Median filter telah digunakan secara luas untuk memperhalus dan
mengembalikan bagian dari citra yang mengandung noise yang berbentuk bintik putih.
-339-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Berikut ini tampilan hasil thresholding data citra sintetik VIDN (Vegetation Index Differencing (VIDN)) untuk
mengidentifikasi lahan terbuka tambang.untuk wilayah Geumpang, Aceh.
(b)
(a)
Sesuai dengan namanya, median filter merupakan suatu metode yang menitik beratkan pada nilai median
atau nilai tengah dari jumlah total nilai keseluruhan pixel yang ada di sekelilingnya. Dimisalkan terdapat data
A=1, B=5, C=2, D=9, dan E=7, maka median filter akan mencari nilai tengah dari semua data yang telah
diurutkan terlebih dahulu dari yang paling kecil hingga pada data yang paling besar dan kemudian diambil nilai
tengahnya (1, 2, 5, 7, 9). Median dari deret tersebut adalah 5. Pemrosesan median filter ini dilakukan dengan
cara mencari nilai tengah dari nilai pixel tetangga yang mempengaruhi pixel tengah. Teknik ini bekerja dengan
cara mengisi nilai dari setiap pixel dengan nilai median tetangganya. Proses pemilihan median ini diawali
dengan terlebih dahulu mengurutkan nilai-nilai pixel tetangga, baru kemudian dipilih nilai tengahnya (Sulistyo,
dkk., 2009). Block Diagram Alur Kerja Median Filter terlihat sebagai berikut :
-340-
Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode Vegetation Index Differencing Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang,
Aceh (Sutanto A., dkk.)
Pengurutan akan menghasilkan nilai dari yang terkecil sampai nilai yang terbesar sesuai dengan P (1)< P(2)<
P(3)< P(n), sedangkan nilai m sesuai dengan rumus = dimana n bernilai ganjil. Contoh Penerapan Median
Filter terlihat sebagai berikut :
Hasil dari pengurutan data pada contoh didapatkan urutan 25, 33, 38, 45, 45, 45, 54, 57, 98. Dari hasil ini
akan diambil nilai median yang memiliki nilai 45. Filtering hasil thresholding citra sintetik VIDN pada kegiatan
ini menggunakan jendela filtering 3x3 piksel. Data hasil thresholding citra sintetik VIDN yang digunakan pada
kegiatan ini :
Hasil thresholding citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2000.
Hasil thresholding citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2009.
Hasil thresholding citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2010.
Hasil thresholding citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2011.
Berikut ini tampilan hasil thresholding data citra sintetik VIDN (Vegetation Index Differencing (VIDN))
sebelum dan setelah filtering untuk mengidentifikasi lahan terbuka tambang untuk wilayah Geumpang, Aceh.
(a) (b)
(c) (d)
= Lahan Tambang ;
= Lahan Non Tambang
Gambar 9. Hasil Thresholding Data Citra Sintetik VIDN Wilayah Geumpang, Aceh Setelah Dilakukan Median Filtering
(a) Tahun 2014 dan Tahun 2000, (b) Tahun 2014 dan Tahun 2009, (c) Tahun 2014 dan Tahun 2010, (d) Tahun 2014 dan
Tahun 2011.
-341-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pelaksanaan komputasi numerik berupa perhitungan akurasi hasil thresholding data citra sintetik VIDN
(Vegetation Index Differencing) pada lahan terbuka tambang. Perhitungan akurasi ini dilakukan untuk
mengukur seberapa akurat hasil thresholding data VIDN yang mengidentifikasikan area tambang dan non-
tambang. Untuk pengukuran akurasi ini digunakan acuan/referensi berupa hasil klasifikasi visual lahan tambang
dari citra resolusi tinggi yaitu citra SPOT-6 pansharpening dengan resolusi spasial 1,5 meter. Nilai VIDN ini
merupakan nilai yang diperoleh dari pengurangan nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dua
waktu yang berbeda.
Nilai NDVI diperoleh dari perhitungan menggunakan data citra satelit. Data citra satelit yang digunakan
adalah citra satelit Landsat 8 tahun 2014, citra Landsat 7 tahun 2000, citra Landsat 5 tahun 2009, 2010 dan 2011
wilayah Aceh bagian selatan. Data citra sintetik VIDN yang digunakan yaitu VIDN tahun 2000-2014, tahun
2009-2014, tahun 2010-2014, tahun 2011-2014. Berikut ini tampilan hasil perhitungan akurasi dari identifikasi
area tambang menggunakan hasil thresholding data citra sintetik NDVI (Normalized Difference Vegetation
Index) wilayah Geumpang, Aceh.
Pelaksanaan komputasi numerik berupa perhitungan statistik data citra sintetik VIDN (Vegetation Index
Differencing (VIDN)) yang terdapat di dalam polygon hasil identifikasi lahan terbuka tambang. Polygon hasil
identifikasi lahan terbuka tambang didapatkan dari proses thresholding dan filtering data VIDN. Perhitungan
nilai statistik ini dibutuhkan untuk melihat perbandingan antara nilai standar deviasi data VIDN dalam polygon
hasil identifikasi lahan tambang dengan nilai standar deviasi data VIDN dalam polygon sample lahan tambang.
Bila nilai standar deviasi hasil identifikasi lebih kecil atau sama dengan 2 kali nilai standar deviasi data VIDN
yang terdapat dalam polygon sample maka hasil identifikasi lahan terbuka tersebut bagus hasilnya (tingkat
kepercayaannya baik). Pada kegiatan ini dilakukan perhitungan statistik data citra sintetik VIDN (Vegetation
IndexDifferencing (VIDN)) yang terdapat di dalam polygon hasil identifikasi lahan terbuka tambang. Data citra
sintetik VIDN yang digunakan adalah :
citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2000.
citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2009.
citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2010.
citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2011.
Berikut ini tampilan hasil perhitungan statistik data citra sintetik VIDN (Vegetation Index Differencing
(VIDN)) yang terdapat di dalam polygon hasil identifikasi lahan terbuka tambang untuk wilayah Geumpang,
Aceh. Sebagai perbandingan, ditampilkan pula hasil perhitungan statistik data citra sintetik VIDN (Vegetation
Index Differencing) yang terdapat di dalam polygon sample lahan terbuka tambang untuk wilayah Geumpang,
Aceh. Dari data tersebut terlihat bahwa nilai standar deviasi data VIDN yang terdapat dalam polygon hasil
identifikasi lebih kecil dari 2 kali nilai standar deviasi data VIDN yang terdapat dalam polygon sample.
-342-
Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode Vegetation Index Differencing Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang,
Aceh (Sutanto A., dkk.)
Tabel 4. Hasil Perhitungan Nilai Statistik Citra Sintetik VIDN yang Berada dalam Polygon Hasil Identifikasi Lahan
Terbuka Tambang
Nilai Statistik
Data VIDN
Standart
Min Max Mean Varians Range Count
Deviation
VIDN 2014_2000 -0.367714 0.212982 0.008050 0.097142 0.009437 0.580696 911
VIDN 2014_2009 -0.343684 0.227428 0.011915 0.092294 0.008518 0.571112 791
VIDN 2014_2010 -0.337490 0.244597 0.009002 0.096268 0.009268 0.582087 883
VIDN 2014_2011 -0.317526 0.250306 0.029022 0.096242 0.009263 0.567832 875
Tabel 5. Hasil Perhitungan Nilai Statistik Citra Sintetik VIDN yang Berada dalam Polygon Sample Lahan Terbuka
Tambang
Nilai Statistik
Data VIDN Standart
Min Max Mean Varians Range Count
Deviation
VIDN 2014_2000 -0.249238 0.115725 -0.053729 0.086644 0.007507 0.364964 92
VIDN 2014_2009 -0.232959 0.121008 -0.031151 0.083375 0.006951 0.353967 92
VIDN 2014_2010 -0.238905 0.118355 -0.045971 0.085164 0.007253 0.357260 92
VIDN 2014_2011 -0.223731 0.140553 -0.027479 0.083550 0.006981 0.364284 92
Tabel 6. Rasio Nilai Standar Deviasi Citra Sintetik VIDN yang Berada dalam Polygon Hasil Identifikasi Lahan Terbuka
Tambang dan Nilai Standar Deviasi Citra Sintetik VIDN yang Berada dalam Polygon Sample Lahan Terbuka Tambang
-343-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 10. Visualisasi VIDN, Polygon Sample dan Polygon Hasil Identifikasi
Berdasarkan hasil nilai akurasi untuk data VIDN , maka kami dapat menentukan model yang optimal untuk
mengidentifikasi lahan terbuka tambang. Dari hasil akurasi maka model yang paling baik adalah hasil
threholding tahun 2000 dan 2014 untuk data VIDN. Berikut model tersebut berdasarkan hasil thresholding nilai
bawah (Td) dan nilai atas (Tu) :
Model Untuk VIDN
1, ≥ −0.249238 ≤ 0.115725
( , )= …………….. .......................... ………………..(4)
0,
I(x,y) = 1 diidentifikasikan sebagai lahan terbuka tambang, sedangkan I(x,y) = 0 diidentifikasikan sebagai lahan
non-tambang.
4.2 Saran
Pada penelitian selanjutnya diharapkan bisa menggunakan beberapa indeks lain seperti indeks lahan terbuka
untuk lebih memperkaya indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi lahan terbuka tambang. Dapat juga
menggunakan algoritma pengklasifikasi citra untuk membantu identifikasi lahan terbuka tambang.
-344-
Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode Vegetation Index Differencing Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang,
Aceh (Sutanto A., dkk.)
DAFTAR PUSTAKA
Pettorelli, N., Vik, J.O., Mysterud, A., Gaillard, J. M., Tucker, C.J., dan Stenseth. N.C., (2005). Using The Satellite-
Derived Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) to Assess Ecological Effects of Environmental Change.
Trends in Ecology and Evolution, 20(9):503-510.
Jaya, I.N.S., (2005). Teknik Mendeteksi Lahan Longsor Menggunakan Citra SPOT Multi Waktu, Studi Kasus di
Teradomari, Tochio dan Shidata Mura, Niigata, Jepang. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 10:31–48.
Jensen, J.R., (2005). Introductory to Digital Image Processing:A Remote Sensing Perspectiv. New Jersey: Prentice Hall.
Inc.
Sitorus, J., Purwandari, Luwin, E.D., Widyastuti, R., dan Suharno (2006). Kajian model deteksi perubahan penutup lahan
menggunakan data inderaja untuk aplikasi perubahan lahan sawah. http://www.lapanrs.or.id [6 Maret 2009].
Lau, W.Y., Linlin, G., dan Jia, X. (2005). The Possibility of Using Multitemporal Landsat Images for Mining Monitoring:
A Preliminary Study. Di dalam: The 3rd International Symposium on Future Intelligent Earth Observation Satellites
2006. http://www.crcsi.com.au/ [3 Maret 2009].
Sulistyo, W., Bech, R.Y, dan Frans F., (2009). Analisis Penerapan Metode Median Filter untuk Mengurangi Noise Pada
Citra Digital. Konferensi Nasional Sistem dan Informatika.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Jawaban:
Sebenarnya kegiatan ini sudah mengerjakan beberapa metode, sebelumnya sempat terpikir untuk menggunakan
indeks lahan terbuka yaitu tanah, namun belum terpikir menggunakan indeks air. Kami juga mengerjakan
metode principal component analysis (PCA) untuk data multi temporal. Disitu hasilnya agak lebih bagus, jika
tadi daerah terbuka tambang mirip dengan sawah, namun dengan menggunakan metode PCA, bisa terbedakan
antara sawah dengan tambang.
Jawaban :
Menggunakan band NIR dan RED, jadi pertama kali dihitung NDVI nya. Kegiatan ini hanya mendeteksi daerah
terbuka bukan mendeteksi potensi, hal ini bertujuan karena biasanya tambang berada di daerah pedalaman yang
tidak bisa dijangkau dengan perjalanan darat.
-345-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
ABSTRAK - Digital Elevation Model (DEM) merupakan salah satu data yang digunakan untuk proses ortorektifikasi.
Ortorektifikasi dengan menggunakan data DEM dilakukan untuk menghilangkan kesalahan yang disebabkan adanya
ketinggian pada objek di permukaan bumi (relief displacement). Semakin teliti DEM yang digunakan maka semakin
baik pula citra terortorektifikasi yang didapatkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh
ketelitian DEM terhadap citra terortorektifikasi pada permukaan datar dan miring. Area penelitian adalah kota Surabaya
sebagai daerah dengan permukaan datar dan kota Tasikmalaya sebagai daerah dengan permukaan miring.
Ortorektifikasi dilakukan dengan menggunakan beberapa Ground Control Point (GCP) dari pengukuran dengan
menggunakan GPS Geodetic metode Statik. Metode ortorektifikasi yang dilakukan adalah rigorous model. Evaluasi
ketelitian dilakukan pada rentang kepercayaan 90% dengan menggunakan beberapa titik uji. Hasil evaluasi ketelitian
menunjukkan terdapat perbedaan ketelitian pada setiap citra terortorektifikasi yang dihasilkan.
ABSTRACT - Digital Elevation Model (DEM) is one of the data used to process orthorectification. Orthorectification
using DEM data is performed to eliminate errors caused by objects elevation on the earth's surface (relief
displacement). The more precision DEM used the better orthorectified image obtained. This study was conducted to
determine how much the effect of DEM accuracy to the accuracy of orthoimage on flat and slope surface. The study
area is Surabaya city as area with flat surface and Tasikmalaya city as area with slope surface. Orthorectification
performed using several Ground Control Point (GCP) from GPS Geodetic measurements using static method.
Orthorectification method used is rigorous models. Evaluation of accuracy performed at 90% confidence range by
using multiple test points. The evaluation results shows that there are differences accuracy for each orthorectified
imagery produced.
1. PENDAHULUAN
Ortorektifikasi citra dilakukan untuk menghilangkan kesalahan yang disebabkan oleh objek di permukaan
bumi memiliki ketinggian. Jenis kesalahan ini hanya bisa dihilangkan dengan proses ortorektifikasi, dan
tidak bisa hilang dengan proses rektifikasi biasa. Ortorektifikasi dilakukan dengan menggunakan data Digital
Elevation Model (DEM) dan Titik Kontrol Tanah (TKT). DEM memiliki ketelitian yang berbeda-beda,
tergantung pada bagaimana akuisisi dan proses pengolahan datanya. Akusisi DEM radar secara spaceborne
ada 2 cara yakni single pass dan repeat pass. Tipe single pass dilakukan oleh satu wahana satelit dengan 2
antena pemancar dan penerima, sedangkan tipe repeat pass dilakukan oleh dua wahana satelit yang terbang
tak berjauhan dimana masing-masing satelit membawa antenanya sendiri. Semakin baik resolusi spasial
DEM dan semakin teliti DEM maka semakin baik pula DEM tersebut dapat merepresentasikan permukaan
bumi asli.
Penelitian tentang pengaruh ketelitian DEM dalam proses ortorektifikasi citra telah banyak dilakukan.
Pembuatan citra SPOT 5 yang terortorektifikasi pada daerah Bavaria dan Catalonia menggunakan DEM
European Remote Sensing Satellite (ERS) 1/2 Tandem dengan ketelitian vertikal DEM yakni 5-10m
menghasilkan citra yang terortorektifikasi dengan ketelitian horisontal 10-20m (Amato, dkk., 2004).
Penggunaan DEM yang lebih teliti yakni DEM yang dihasilkan dari peta digital skala 1 : 5000 pada daerah
Korea dapat meningkatkan ketelitian horisontal citra SPOT 5 yang terortorektifikasi hingga mencapai 5-7m
-346-
Pengaruh Ketelitian DEM terhadap Ketelitian Citra Terortorektifikasi pada Permukaan Datar dan Miring (Studi Kasus: Kota
Surabaya dan Kota Tasikmalaya) (Octariady, J., dkk)
(Kang, dkk., 2008). Hasil yang sama juga didapatkan dari citra SPOT 5 yang terortorektifikasi pada daerah
Badia di Saudi Arabia (Al-Rousan, dkk., 1997). Citra SPOT 5 yang terortorektifikasi pada daerah Badia di
Saudi Arabia dibuat dengan menggunakan DEM yang dihasilkan dari citra SPOT 5 yang bertampalan. Hasil
evaluasi menunjukkan bahwa citra terortorektifikasi yang dihasilkan memiliki ketelitian horisontal sebesar
8,8m (Al-Rousan, dkk., 1997).
Pembuatan citra yang terortorektifikasi dengan menggunakan citra resolusi spasial tinggi dan DEM yang
bervariasi juga telah banyak dilakukan. Citra yang terortorektifikasi pada daerah El Paso di United States
America (USA) memiliki ketelitian horisontal sebesar 1,4m. Citra yang terortorektifikasi ini dibuat
menggunakan Quickbird level Basic dan United Stated Geological Survey (USGS) Digital Terrain
Elevation Data(DTED) versi dua dengan ketelitian vertikal 10m serta 6TKT hasil pengukuran Differensial
Global Positioning System(DGPS) (Toutin dan Cheng, 2002). Pembuatan citra yang terortorektifikasi
menggunakan DEM yang lebih teliti yakni hasil ekstraksi dari peta digital skala 1 : 2000 dan citra Quickbird
dapat meningkat ketelitian horisontal citra yang terortorektifikasi menjadi 1,06m (Amato, dkk., 2004). Hasil
yang lebih baik didapatkan apabila DEM yang digunakan adalah DEM yang dihasilkan dari akuisisi
airborne LIDAR.
Citra yang terortorektifikasi pada daerah Genewa dan Thun adalah salah satu contoh citra
terortorektifikasi yang dibuat dengan menggunakan citra resolusi tinggi dan DEM hasil akuisisi airborne
LiDAR. Citra resolusi tinggi yang digunakan adalah citra Quickbird level 1B. Hasil evaluasi menunjukkan
bahwa citra terortorektifikasi yang dihasilkan memiliki ketelitian horisontal yang mencapai 50-80cm.
Mengacu pada National Map Accuracy Standards (NMAS), citra yang terortorektifikasi ini bisa digunakan
untuk pembuatan peta skala 1 : 1200(Eisenbeiss, dkk., 2004).
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu tersebut, diketahuilah bahwa memang benar ketelitian DEM
akan mempengaruhi hasil dari ortorektifikasi citra. Namun, penelitian-penelitian terdahulu belum ada yang
mengkaji bagaimana pengaruh ketelitian DEM pada kondisi permukaan yang datar dan miring. Apakah DEM
berpengaruh besar pada ketelitian citra terortorektifikasi pada daerah yang datar dan miring belum diketahui
dengan pasti. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana pengaruh dari ketelitian DEM terhadap hasil
dari ortorektifikasi citra pada daerah datar dan miring.
2. METODE
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 6 buah data, yakni Citra Satelit Worldview-2 yang
meliputi daerah Kota Surabaya, Citra Satelit Quickbird yang meliputi daerah Kota Tasikmalaya, DEM
Terrasar-X, DEM ASTERGDEM, DEM SRTM 30m dan TKT.
-347-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
-348-
Pengaruh Ketelitian DEM terhadap Ketelitian Citra Terortorektifikasi pada Permukaan Datar dan Miring (Studi Kasus: Kota
Surabaya dan Kota Tasikmalaya) (Octariady, J., dkk)
Gambar 3. Kenampakan DEM Terrasar X 9m pada daerah Kota Surabaya (kiri) dan Kota Tasikmalaya (kanan).
-349-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 5. Kenampakan DEM ASTERGDEM pada daerah Kota Surabaya (kiri) dan Kota Tasikmalaya (kanan).
Gambar 6. Kenampakan DEM SRTM 30m daerah Kota Surabaya (kiri) dan Kota Tasikmalaya (kanan).
-350-
Pengaruh Ketelitian DEM terhadap Ketelitian Citra Terortorektifikasi pada Permukaan Datar dan Miring (Studi Kasus: Kota
Surabaya dan Kota Tasikmalaya) (Octariady, J., dkk)
Banyaknya titik kontrol tanah (GCP dan ICP) yang digunakan pada proses ortorektifikasi citra daerah
Kota Surabaya adalah 19GCP dan 21ICP, sedangkan untuk daerah Kota Tasikmalaya sebanyak 16GCP dan
13ICP. Sebaran dari masing-masing GCP ditunjukkan pada gambar 7.
Gambar 7. Sebaran GCP daerah Kota Surabaya (kiri) dan Kota Tasikmalaya (kanan)
-351-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Tabel 1. Hasil evaluasi ketelitian citra terortorektifikasi daerah datar (Kota Surabaya)
Tabel 2. Hasil evaluasi ketelitian citra terortorektifikasi daerah miring (Kota Tasikmalaya)
4. KESIMPULAN
Kualitas DEM tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketelitian citra terortorektifikasi untuk kasus
daerah datar di Kota Surabaya. Kualitas DEM lebih berpengaruh terhadap daerah yang miring seperti
pegunungan yang mana dalam penelitian ini ditunjukkan dari pergeseran yang terjadi pada area di kaki
gunung di Kota Tasikmalaya.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, Michael, Hook, S., dan Ramachandran, B., (2002). ASTER user Handbook Version 2. Jet Propulsion
Laboratory 4800.
Aguilar, M.A., Saldana, M.D.M., dan Aguilar, F.J., (2012). Assessing Geometric Accuracy of the Orthorectification
Process from GeoEye-1 and WorldView-2 Panchromatic Images. International Journal of Applied Earth
Observation and Geoinformation, 21:427–435.
Al-Rousan, N., Cheng, P., Petrie, G., Toutin, T., dan Zoej, M.J.V., (1997). Automated DEM Extraction and Orthoimage
Generation from SPOT Level 1B lmagery. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing, 63(8): 965-975.
Amato, R., Dardanelli, G., Emmolo, D., Franco, V., Lo, B.M., Midulla, P., Orlando, P., dan Villa, B., (2004). Digital
Orthophotos at A Scale Of 1:5000 From High Resolution Satellite Images. XXth ISPRS Congress Technical
Commission IV, 35(B4):593-598.
BIG (2013). Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 14 Tahun 2013 Tentang Norma, Standar, Prosedur,
dan Kriteria Pemutakhiran Informasi Geospasial Dasar. Cibinong.
CGIARCSI., (2012). SRTM 90m Digital Elevation Database v4.1, diakses 18 Juni 2016 dari http://www.cgiar-
csi.org/data/srtm-90m-digital-elevation-database-v4-1
Chmiel, J., Kay, S., dan Spruyt, P., (2004). Orthorectification and Geometric Quality Assessment of Very High Spatial
Resolution Satellite Imagery for Common Agricultural Policy Purposes. XXth ISPRS Congress Technical
Commission IV, 35(B4):1019-1024.
Eisenbeiss, H., Baltsavias, E., Pateraki, M., dan Zhang, L., (2004). Potential of IKONOS and Quickbird Imagery for
Accurate 3D Point Positioning, Orthoimage And DSM Generation. XXth ISPRS Congress Technical Commission
VII, 35(B7):1250-1256.
Farr, T.G., dan Kobrick, M., (2000). Shuttle Radar Topography Mission produces a wealth of data. Union Eos, 81:583-
585.
Farr, T.G., Rosen, P.A., Caro, E., Crippen, R., Duren, R., Hensley, S., dan Kobrick, M., (2007). The Shuttle Radar
Topography Mission. American Geophysical Union, 45.
-352-
Pengaruh Ketelitian DEM terhadap Ketelitian Citra Terortorektifikasi pada Permukaan Datar dan Miring (Studi Kasus: Kota
Surabaya dan Kota Tasikmalaya) (Octariady, J., dkk)
FGDC (1998). Geospatial Positioning Accuracy Standards. National Standard for Spatial Data Accuracy.
Gesch, D., Oimoen, M., Zhang, Z., Meyer, D., dan Danielson, J., (2012). Validation Of The ASTER Global Digital
Elevation Model Version 2 Over The Conterminous United States. International Archives of the Photogrammetry,
Remote Sensing and Spatial Information Sciences, 39(B4):281-286.
http://srtm.usgs.gov/data/interferometry.php
Jarvis, A., Rubiano, J., Nelson, A., Farrow, A., dan Mulligan, M., (2004). Practical Use of SRTM Data in the Tropics –
Comparisons with Digital Elevation Models Generated from Cartographic Data. Working Document, 198:1-35.
Kang, J.M., Yoon, H.C., dan Park, J.K. (2008). Evaluation of Possibility of Ortho Imagery Production Using SPOT 5
Single Image. XXIst ISPRS Congress Technical Commission IV, 37(B4):1279-1282.
NASA. (2009a). ASTER Imagery, diakses 18 Juni 2016 dari http://www.nasa.gov/topics/earth/features/20090629.html
NASA. (2009b). Shuttle Radar topography Mission the mission to Map the World, diakses 18 Juni 2016 dari
http://www2.jpl.nasa.gov/srtm/
Oliveira, C.G.D., dan Paradella, W.R., (2009). Evaluating the Quality of the Digital Elevation Models Produced from
ASTER Stereoscopy for Topographic Mapping in the Brazilian Amazon Region. Annals of the Brazilian Academy of
Sciences, 81(2):217-225.
Reuter, H.I., Nelson, A., dan Jarvis, A., (2007). An Evaluation of Void Filling Interpolation Methods for SRTM Data
International Journal of Geographic Information Science, 21(9):983-1000.
Tachikawa, T., Hato, M., Kaku, M., dan Iwasaki, A., (2011a). Characteristics of ASTER GDEM Version 2. Geoscience
and Remote Sensing Symposium (IGARSS), 3657-3660.
Tachikawa, T., Kaku, M., Iwasaki, A., Gesch, D., Oimoen, M., Zhang, Z., Danielson, J., Krieger, T., Curtis, B., Haase,
J., Abrams, M., Crippen, R., dan Carabajal, C., (2011b). ASTER Global Digital Elevation Model Version 2 –
Summary of Validation Results. NASA Land Processes Distributed Active Archive Center and the Joint Japan-US
ASTER Science Team.
Tarecha, M.A., dan Crysdian, C., (2013). Visualisasi 3D Rupa Bumi berbasis Data GDEM ASTER 30 Meter. Seminar
Nasional Matematika dan Aplikasinya.
Toutin, T., (2002). Three-Dimensional Topographic Mapping With ASTER Stereo Data in Rugged Topography.
Geoscience and Remote Sensing, 40(10):2241-2247.
Toutin, T., dan Cheng, P., (2002). QuickBird – A Milestone for High Resolution Mapping. Earth Observation
Magazine, 11(4):14-18.
USGS. (2008). Interferometry and SRTM - An Overview, diakses 18 Juni 2016 dari
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah : Pengaruh Ketelitian Dem Terhadap Ketelitian Citra Terortorektifikasi Pada Permukaan
Datar Dan Miring (Studi Kasus: Kota Surabaya dan Kota Tasikmalaya)
Pemakalah : Jali Octariady
Diskusi :
Jawaban:
Sampai dengan saat ini, dan sejauh kami meneliti, belum ada informasi mengenai berapa nilai batas slope
minimum sehingga DEM tidak berpengaruh. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan fokus mengkaji
berbagai macam kondisi slope pada suatu daerah yang di ortorektifikasi sehingga akan didapatkan informasi
mengenai ambang batas dimana angka kemiringan slope dari DEM akan tidak berpengaruh.
-353-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Hamdi Eko Putranto1, Maryani Hartuti1, Rosita A.E. Putri2*), Siti Gora K.R. Putri2,
dan Retno A. Pratiwi2
1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN
1
Teknik Geodesi, Universitas Gadjah Mada
*)
E-mail: rositaandari@gmail.com
ABSTRAK - Perairan Indonesia yang begitu luas dan memiliki peran besar bagi dunia tidak terhindar dari berbagai
permasalahan, salah satunya adalah fenomena tumpahan minyak. Fenomena tumpahan minyak dapat terjadi akibat
adanya kebocoran pada kapal maupun kebocoran pipa minyak bawah laut. Kondisi seperti ini mengakibatkan terjadinya
pencemaran perairan Indonesia yang merugikan berbagai sektor, utamanya sektor kelautan. Suatu metode khusus
diperlukan untuk mendeteksi adanya tumpahan minyak sekaligus mengetahui luasan area yang tercemar, misalnya
menggunakan metode penginderaan jauh. Tujuan dari penelitian ini adalah mengamati kondisi tumpahan minyak di
perairan utara Jawa Timur secara multitemporal dari 3 waktu yang berbeda yaitu 18 Juni 2015, 29 Agustus 2015, dan 22
September 2015 dengan memanfaatkan data sentinel-1A. Metode yang digunakan untuk mendeteksi tumpahan minyak
dalam penelitian ini adalah metode dark spot detection dengan algoritma adaptive threshold. Hasil pengolahan data dan
analisis menunjukkan bahwa terjadi perbedaan luasan tumpahan minyak dari ketiga data tersebut. Tumpahan minyak
dengan luas tertinggi ditemukan pada data sentinel-1A tanggal 29 Agustus 2015. Diperkirakan telah terjadi peristiwa
tumpahan minyak berlebih pada kurun waktu mendekati tanggal 29 Agustus 2015 yang mengakibatkan peningkatan
luasan tumpahan minyak di perairan utara Jawa Timur.
ABSTRACT - Indonesian seas, which is wide and have a big influence to the world, are not free from various
problems. One of the problem is the phenomenon of oil spills. The phenomenon of oil spills may occur as a result of any
leakage on the ship or leakage of oil pipeline under the sea. These conditions could cause pollution on Indonesian seas
and bring disadvantage to the various sectors, mainly maritime sector. A special method is required to detect any oil
spills as well as know the widespread polluted area, for example using remote sensing method. The purpose of this
research is to observe the condition of the oil spills in the North-sea of East Java through multi-temporal image data.
The image data is Sentinel-1A acquired in 3 different acquisition time, those are on 18 June 2015, 29 August 2015, and
22 September 2015. The method to detect oil spills in this research is the dark spot detection method with the adaptive
threshold algorithm. The result of the data processing and analysis shows the differences of the oil spills from the three
imaging data. The widest spread of oil spills are found on the data Sentinel-1A that acquired on 29 August 2015. It is
estimated that there have been a large oil spills event on the time frame of the approaching 29 August 2015 that
resulted in the improvement of widespread oil spills in the North-sea of East Java.
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah perairan sebesar 3.257.483 km² atau
sekitar dua pertiga luas wilayah Negara Kepulauan Republik Indonesia. Wilayah perairan yang begitu luas
dan posisi geografisnya yang strategis menjadikan Indonesia sebagai jalur transportasi kapal-kapal
penumpang dan barang serta jalur pipa dan kabel bawah laut.
Peran perairan Indonesia yang begitu besar bagi dunia tidak terhindar dari berbagai permasalahan, salah
satunya fenomena tumpahan minyak. Fenomena tumpahan minyak banyak terjadi akibat adanya kebocoran
pada kapal maupun kebocoran pipa minyak bawah laut. Kondisi seperti ini mengakibatkan terjadinya
pencemaran perairan Indonesia. Hal tersebut menimbulkan keresahan bagi nelayan karena kegiatan
perekonomian di pesisir pantai seperti rumput laut dan jumlah tangkapan ikan menjadi berkurang, selain itu
jika tumpahan minyak tidak segera ditangani dapat mengakibatkan rusaknya ekosistem laut seperti alga,
mangrove, dan terumbu karang. Untuk itu diperlukan suatu metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi
-354-
Pemanfaatan Data Sentinel-1 untuk Analisis Tumpahan Minyak secara Multi-Temporal di Perairan Utara Jawa Timur (Putranto, H
E., dkk)
adanya tumpahan minyak sekaligus mengetahui luasan area yang tercemar, misalnya menggunakan metode
penginderaan jauh.
Penginderaan jauh sebagai ilmu yang mampu menunjang kegiatan deteksi tumpahan minyak di atas laut
merupakan solusi yang efektif dan efisien. Citra yang digunakan adalah citra Sentinel-1 yang diolah
menggunakan perangkat lunak Sentinel-1 Toolbox. Citra Sentinel-1 memiliki karakteristik yang cocok untuk
deteksi tumpahan minyak dilihat dari resolusi temporal selama 10 hari, kemampuan sensor dalam
menangkap gelombang elektromagnetik, dll. Hasil akhir berupa peta lokasi sebaran tumpahan minyak
beserta informasi mengenai koordinat dan luasan area yang tercemar. Peta ini dapat digunakan pihak terkait
untuk melakukan penanggulangan terhadap fenomena tumpahan minyak.
2. METODE
Lokasi Penelitian
Lokasi kajian dalam analisis tumpahan minyak secara multitemporal ini adalah di perairan Tuban.
Lokasi kajian tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Metode
Metode penelitian ini diilustrasikan dalam diagram alir pada Gambar 2. Metode yang diilustrasikan
dalam diagram alir diterapkan pada ketiga data citra satelit Sentinel-1A. Cakupan area pengolahan pada
koordinat 6.633˚ LS sampai 6.99˚ LS dan 112.004˚BT sampai 112.57˚BT.
Tahap awal pengolahan data dilakukan dengan melakukan pemilihan data Sentinel-1A yang merekam
perairan utara Jawa Timur dan pada tanggal yang bersesuaian dengan kejadian tumpahan minyak. Dari hasi
seleksi, didapatkan data yang paling baik adalah data Sentinel-1A pada tanggal 18 Juni 2015 sebagai asumsi
data pembanding sebelum kejadian, 29 Agustus 2015 sebagai data saat kejadian, dan 22 September 2015
sebagai data setelah kejadian. Selanjutnya dilakukan pengolahan data awal yang meliputi koreksi radiometrik
dan geometrik dengan tujuan untuk mengurangi noise pada data citra satelit dan mendefinisikan system
koordinat data citra satelit.
-355-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
⋯
= ............................................................................................................................ (I.1)
Dimana nilai R adalah rata-rata dari nilai DN speckle dengan area di sekelilingnya. Nilai n adalah jumlah
dari piksel yang dihitung.
Land Masking
Land Masking ditujukan untuk menyeleksi wilayah kajian pada data citra satelit secara spesifik sesuai
dengan karakteristik yang dibutuhkan untuk mendeteksi tumpahan minyak. Pada tahap ini dilakukan masking
untuk menentukan area mana yang akan dipertahankan (darat atau air) dan area mana yang akan dinyatakan
nilai DN nya sebagai no data value sehingga nilai DN tidak diperhitungkan dalam proses pendeteksian
tumpahan minyak. Pada penelitian ini dilakukan deteksi tumpahan minyak di wilayah perairan/laut sehingga
dipilih proses Land-masking, dimana nilai DN dari wilayah darat akan diubah menjadi no data value. Proses
masking sendiri dilakukan dengan melibatkan bantuan DEM SRTM dengan resolusi 5 menit untuk
menentukan wilayah mana yang merupakan darat dan mana yang merupakan laut.
-356-
Pemanfaatan Data Sentinel-1 untuk Analisis Tumpahan Minyak secara Multi-Temporal di Perairan Utara Jawa Timur (Putranto, H
E., dkk)
Gambar 3. Sebaran tumpahan minyak pada tanggal 18 Juni 2015 (skala ilustrasi)
Informasi yang didapat dari hasil deteksi tumpahan minyak Gambar 3 dan Gambar 4 adalah terdapat
tumpahan minyak seluas 5.267 km2 yang terdeteksi pada koordinat 639790 mT dan 9240081 mU.
Gambar 1. menunjukkan hasil perhitungan luasan tumpahan minyak pada citra secara keseluruhan.
-357-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Informasi yang didapat dari hasil deteksi tumpahan minyak Gambar 5 adalah terdapat tumpahan
minyak seluas 7.057 km2 yang tersebar pada beberapa koordinat yang ditunjukkan pada Tabel 1.
-358-
Pemanfaatan Data Sentinel-1 untuk Analisis Tumpahan Minyak secara Multi-Temporal di Perairan Utara Jawa Timur (Putranto, H
E., dkk)
Gambar 4. Sebaran tumpahan minyak pada tanggal 22 September 2015 (skala ilustrasi)
Hasil analisis menunjukkan, pada tanggal 22 September 2015 telah terjadi penurunan luas tumpahan
minyak dari tanggal 29 Agustus 2015, yaitu sebesar 0.955 km2. Hal tersebut diakibatkan sebagian tumpahan
minyak telah terbaur bersama air laut dan berpindah mengikuti arah arus.
-359-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 5. Sebaran tumpahan minyak dari tiga waktu yang berbeda (skala ilustrasi)
4. KESIMPULAN
Data Sentinel-1 dapat dimanfaatkan untuk melakukan analisis tumpahan minyak secara multi-temporal
di perairan utara Jawa Timur. Metode yang digunakan untuk mendeteksi tumpahan minyak yakni melalui
Dark Spot Detection dengan algoritma Adaptive Threshold. Pada penelitian ini didapatkan informasi bahwa
terjadi fluktuasi luasan tumpahan minyak di perairan utara Jawa Timur pada 3 waktu yang berbeda. Hasil
analisis menunjukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah luasan tumpahan minyak dari data pada tanggal 18
Juni 2015 ke tanggal 29 Agustus 2015, dan penurunan luasan tumpahan minyak dari tanggal 29 Agustus
2015 ke tanggal 22 September 2015. Diperkirakan telah terjadi peristiwa tumpahan minyak berlebih pada
kurun waktu mendekati tanggal 29 Agustus 2015 yang mengakibatkan peningkatan luasan tumpahan minyak
di perairan utara Jawa Timur. Tumpahan minyak tersebut kemungkinan berasal dari kapal-kapal yang
berlabuh dan berlayar dari Pelabuhan Brondong, Kabupaten Lamongan.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini merupakan bagian dari hasil kegiatan analisis sebaran tumpahan minyak di perairan utara
Jawa Timur yang melibatkan pihak penelitia dari Bidang Sumberdaya dan Wilayah Pesisir dan Laut, Pusat
Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN dengan mahasiswa Program Studi Teknik Geodesi, Departemen
Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 2016. Terima kasih kami
ucapkan kepada Harintaka, DR., S.T., M.T., atas arahan dan bimbingannya.
6. DAFTAR PUSTAKA
Brekke, C., (2007). Automatic screening of Synthetic Aperture Radar imagery for detection of oil pollution in the
marine environment. Ph. D. dissertation, Faculty of Mathematics and Natural Science, Univ. Oslo.
Frost, V.S., Stiles, J.A., Shanmugan, K.S., dan Holtzman, J.C., (1982). A model for radar images and its application to
adaptive digital filtering of multiplicative noise. Pattern Analysis and Machine Intelligence, IEEE
Transactions on, 2:157-166.
Mansourpour, M., Rajabi, M.A., dan Blais, J.A.R., (2006). Effects and performance of speckle noise reduction filters on
active radar and SAR images. In Proc. ISPRS, pp. 14-16.
Snoeij, P., Attema, E., Davidson, M., Floury, N., Levrini, G., Rosich, B., dan Rommen, B., (2008). Sentinel-1, the
GMES radar mission. In Radar Conference, RADAR'08. IEEE, pp. 1-5
-360-
Pemanfaatan Data Sentinel-1 untuk Analisis Tumpahan Minyak secara Multi-Temporal di Perairan Utara Jawa Timur (Putranto, H
E., dkk)
Solberg, A.S., Brekke, C., Solberg, R., dan Husoy, P.O., (2004). Algorithms for oil spill detection in Radarsat and
ENVISAT SAR images. In International Geoscience and Remote Sensing Symposium.
Solberg, Anne H.S., Dokken, T.S., Solberg, dan Rune. (2012). Automatic detection of oil spills in Envisat, Radarsat,
and ERS SAR Images, Oslo, Norwegian Computing Center.
Solberg, A.H.S., Storvik, G., Solberg, R., dan Volden, E., (1999). Automatic detection of oil spills in ERS SAR
images. Geoscience and Remote Sensing, IEEE Transactions on, 37(4):1916-1924.
The Sentinel-1 Toolbox, diakses 19 Februari 2016 dari https://sentinel.esa.int/web/sentinel/toolboxes/sentinel-1,
Van der Sanden, J.J., (1997). Radar remote sensing to support tropical forest management. Georgetown. Tropenbos-
Guyana Programme.
What is Sentinel-1?, diakses 10 Februari 2016 dari https://earth.esa.int/web/guest/missions/esa-operational-eo-
missions/sentinel-1
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah : Pemanfaatan Data Sentinel-1 Untuk Analisis Tumpahan Minyak Secara Multi Temporal
Di Perairan Utara Jawa Timur
Pemakalah : Rosita Andari Eka Putri
Diskusi :
Jawaban:
Tidak ada jawaban dari penulis.
-361-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
ABSTRAK – Pemetaan suhu permukaan laut dalam jangka waktu satu tahun yang diolah lebih lanjut dapat
menghasilkan sebuah data anomali suhu tahunan. Maka dari itu diperlukan suatu metode yang efektif dalam mengolah
data suhu permukaan laut. Dalam penelitian ini dilakukan pengambilan data variasi suhu dalam jangka waktu satu tahun
dengan menggunakan citra satelit Aqua MODIS level 3 dengan studi kasus di perairan dekat Pelabuhan Mayangan,
Probolinggo, Jawa Timur. Metode Exctract Multi Value Point sebagai salah satu metode dari analisis spasial merupakan
metode yang efektif dalam pengolahan data citra sehingga didapatkan data variasi suhu yang kemudian dapat diolah
lebih lanjut menjadi data anomali suhu tahunan.
Kata kunci:Pemetaan suhu permukaan laut, Aqua MODIS 3, Exctract Multi Value Point
ABSTRACT -The mapping of sea surface temperature within a period of one year which may further processed to
produce an annual temperature anomaly data. Therefore we need a method that is effective in processing sea surface
temperature data. In this research, data collection temperature variations within a period of one year using Aqua
MODIS satellite imagery level 3 with a case study in the waters near Port Mayangan, Probolinggo, East Java. Methods
Exctract Multi Value Point as one of the methods of spatial analysis is an effective method of processing image data so
that the data obtained temperature variations which can then be further processed into annual temperature anomaly
data.
Keywords: Sea surface temperature mapping, Aqua MODIS level 3, Exctract Multi Value Point
1. PENDAHULUAN
Suhu adalah faktor yang sangat penting di perairan. Suhu Permukaan Laut (SPL) merupakan salah satu
parameter oseanografi yang dapat digunakan untuk menganalisis fenomena-fenomena yang terjadi dilaut,
karena suhu permukaan laut mencirikan massa air di lautan dan berhubungan dengan keadaan lapisan air laut
yang terdapat di bawahnya (Hutabarat dan Evans, 1986).SPL dapat digunakan dalam menganalisis
fenomena-fenomena yang terjadi di lautan seperti fenomena arus, upwelling, front (pertemuan dua massa air
yang berbeda), dan aktifitas biologi di laut (Robinson, 1985).
Penelitian yang berkaitan dengan fenomena oseanografi baik skala global maupun mesoscale memerlukan
pengamatan suhu permukaan laut (SST) dan ocean color imagery dari satelit. Keberadaan data citra satelit
bagi pengamatan parameter dan/atau fenomena oseanografi dapat memberikan keuntungan dari aspek
efisiensi waktu dan biaya serta akurasi yang cukup tinggi. Data penginderaan jauh menggunakan citra satelit
Aqua-Modis dapat berguna menganalisis baik secara visual maupun raw-data parameter suhu permukaan.
Sehingga memudahkan dalam mempelajari berbagai fenomena terkait lainnya yang berlangsung di lautan
(Kasim, 2010). Wahana satelit yang memiliki sensor termal telah mengalami perkembangan yang pesat,
ditandai dengan diluncurkannya satelit sensor Aqua MODIS dan sensor NPP menjadikan penginderaan laut
baik siang maupun malam hari dapat dilakukan sehingga tersedia data SPL baik pada waktu siang maupun
malam hari (Gaol dkk., 2014).
Informasi SPL dalam bidang kelautan dan perikanan memiliki peran yang sangat penting. Data satelit
Aqua-MODIS sangat baik untuk pemantauan perubahan SPL secara berkala (Hamuna dkk., 2015).
Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis persebaran suhu permukaan laut yang
diperlukan dalampemantauan anomali suhu permukaan laut tahunan. Banyaknya data variasi suhu yang
diperlukan untuk mengetahui adanya anomali suhu di suatu perairan, maka diperlukan metode yang efektif
dalam memperoleh data variasi suhu tersebut. Metode Exctract Multi Value Point sebagai salah satu metode
-362-
Metode Extract Multi Value Point Untuk Pemantauan Anomali Suhu Permukaan Laut Tahunan (Kultsum, U.)
dari analisis spasial merupakan metode yang efektif dalam pengolahan data citra sehingga didapatkan data
variasi suhu yang kemudian dapat diolah lebih lanjut menjadi data anomali suhu tahunan.
2. METODE
2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di -7,4380110 BT - 7,6860960 BB serta 113,3333940 LU - 113,1380190 LS seperti
pada Gambar 1. Data yang digunakan dalam penelitian ini data SST (Sea Surface Temperature) dari sensor
satelit Aqua MODIS Level 3 11 µ daytime dengan resolusi 4 km mulai bulan Januari hingga Desember 2015
dengan Lokasi di perairan dekat Pelabuhan Mayangan, Probolinggo, Jawa Timur. Data MODIS tersebut
diperoleh dari web: http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/l3.
-363-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
3. HASILDAN PEMBAHASAN
3.1 Persebaran Suhu
Metode Exctract Multi Value Point yang telah dilakukan untuk ke-16 titik dengan data raster SST di
tahun 2015 didapatkan hasil sebagai berikut:
-364-
Metode Extract Multi Value Point Untuk Pemantauan Anomali Suhu Permukaan Laut Tahunan (Kultsum, U.)
Gambar 2. Peta Persebaran Suhu di periaran dekat Pelabuhan Mayangan Tahun 2015
Bersadarkan gambar peta diatas, persebaran warna SPL pada bulan Mei mengalami perubahan dan
konstan hingga bulan November. Akan tetapi memasuki bulan Desember, sebaran warna SPL mulai
bervariasi kembali. Adapu grafik nilai variasi suhu dari ke-16 titik pada peta diatas terdapat dalam grafik
berikut:
-365-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Titik Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
1 30,87 31,07 31,51 31,15 29,94 29,70 28,35 28,51 28,82 29,49 31,18 32,06
2 30,71 30,95 31,35 30,97 29,97 29,74 28,26 28,53 28,84 29,53 31,12 31,48
3 30,70 30,74 30,42 30,74 30,00 29,88 28,34 28,52 28,83 29,41 31,05 31,50
4 30,11 30,72 30,61 31,57 30,05 30,14 28,39 28,52 28,94 29,37 31,12 31,20
5 30,32 30,70 30,84 31,67 30,17 30,29 28,36 28,51 29,03 29,34 30,49 30,76
6 30,43 30,98 31,23 30,98 30,02 29,87 28,52 28,45 28,87 29,13 30,26 30,67
7 30,70 30,99 31,41 31,27 29,99 29,74 28,33 28,45 28,83 29,10 30,41 31,78
8 31,00 31,11 31,52 28,61 29,97 29,74 28,45 28,45 28,82 29,27 30,69 31,07
9 30,61 31,09 31,50 31,84 30,21 29,81 28,69 28,44 28,82 29,35 30,61 31,02
10 30,44 31,02 31,34 31,04 29,98 29,69 28,43 28,32 28,59 29,05 30,12 31,23
11 30,36 30,69 31,16 30,73 30,09 29,66 28,49 28,21 28,55 29,04 30,15 30,19
12 30,24 30,62 29,92 31,38 30,21 30,04 28,56 28,35 28,98 28,89 30,04 30,14
13 30,25 30,44 30,96 30,19 30,23 29,82 28,28 28,17 28,71 28,95 30,01 30,49
14 30,28 30,05 30,95 31,35 30,11 29,72 28,38 28,15 28,37 28,90 29,76 31,04
15 30,55 30,77 31,06 31,82 30,01 29,55 28,29 28,23 28,43 29,06 29,97 30,73
16 30,55 31,28 30,65 31,96 30,33 29,53 28,58 28,39 28,81 29,43 30,43 31,31
Berdasarkan tabel diatas, suhu pada bulan Mei-Oktober rata-rata mengalami penurunan, namun
pada bulan November-Desember mengalami penaikan.Suhu terendah dalam tabel persebaran suhu
diatas adalah sebesar 28,150C, sedangkan suhu tertinggi adalah 32,070C. Suhu yang terdapat di
perairan dekat Pelabuhan Mayangan, Probolinggo tidak mengalami penurunan dan kenaikan yang
begitu signifikan. Pada dasarnya keadaan sebaran mendatar suhu permukaan laut di perairan Indonesia
memiliki variasi tahunan yang kecil, akan tetapi masih memperlihatkan adanya perubahan. Hal ini
disebabkan oleh sinar matahari dan oleh massa air dari lintang tinggi. Posisi Indonesia yang terletak pada
garis ekuator mengakibatkan aliran panas dari radiasi matahari dapat diterima sepanjang tahun sehingga suhu
mempunyai fluktuasi yang kecil. Akan tetapi disisi lain dengan posisi tersebut mengakibatkan transport
massa air banyak dipengaruhi oleh angin munson yang berganti dua kali dalam setahun. Kondisi ini
berakibat pada pergantian musim dengan karakteristik tersendiri yang berbeda antara keduanya (Hutabarat
dan Evans, 1986).
28,00 Apr
Mei
26,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Jun
Titik Sampel Jul
Gambar 2. Grafik Anomali Suhu di perairan dekat Pelabuhan Mayangan Tahun 2015
-366-
Metode Extract Multi Value Point Untuk Pemantauan Anomali Suhu Permukaan Laut Tahunan (Kultsum, U.)
Grafik diatas memberikan sebuah visualisasi bahwa persebaran SPL di perairan dekat Pelabuhan
Mayangan, Probolinggo cenderung konstan, hanya saja terdapat anomali suhu yang ditujunkan oleh
titik sampel ke-8 pada bulan April, dimana SPL pada titik sampel ke-7 dengan besar suhu 31,270C
dengan titik sampel ke-8 dengan besar suhu 28,610C mengalami penurunan sekitar 2,920C.
4. KESIMPULAN
Persebaran nilai SPL di perairan dekat Pelabuhan Mayangan pada tahun 2015 mengalami fluktuasi setiap
bulannya. Meskipun fluktuasi tersebut tidak begitu signifikan, akan tetapi perubahan nilai suhu yang terjadi
di perairan tersebut menunjukkan adanya suatu anomali yang terjadi di bulan Mei-Oktober. Nilai sebaran
SPL pada bulan Mei-Oktober rata-rata mengalami penurunan, namun pada bulan November-Desember
mengalami penaikan dengan bobot nilai suhu yang hampir sama pada bulan Januari-April.
Data variasi suhu yang didapatkan secara cepat dengan metode Exctract Multi Value Point sangat efektif
diaplikasikan dalam pengolahan data dan pemantuan anomali SPL dengan jangka waktu lebih dari satu
tahun.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Tim Asisten Laboratorium Eksplorasi Sumberdaya Perikanan
dan Kelautan Universitas Brawijaya yang telah memberikan masukan dan bantuan dalam penulisan karya
tulis ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Gaol, J.L., Arhatin, R.E., dan Ling, M.M., (2014). Pemetaan suhu permukaan laut dari satelit di perairan Indonesia
untuk mendukung “One Map Policy”, dalam Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh, Bogor April 2014, hal
433-442.
Hamuna, B., Paulangan, Y.P, dan Lisiard, D. (2015). Kajian Suhu Permukaan Laut Mengunakan Data Satelit Aqua-
MODIS di PerairanJayapura, Papua. Depik, 4(3):160-167, doi: http://dx.doi.org/10.13170/depik.4.3.3055.
Hutabarat, S. dan Evans, S.M. (1986). Pengantar Oseanografi. Cetakan ke-3. UI Press. Jakarta. ix + 159 h.
Kasim, F., (2010). Analisis Distribusi Suhu Permukaan Menggunakan Data Citra Satelit Aqua-Modis dan Perangkat
Lunak Seadas di Perairan Teluk Tomini. Jurnal Ilmiah Agropolitan, 3(1):270-276.
Robinson, I.S., (1985). Satelite Oceanography On Introduction for Oceanographer and Remote Sensing Scientist. Ellis
Harwood Ltd: New York.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah : Metode Extract Multi Value Point Untuk Pemantauan Anomali Suhu Permukaan Laut
Tahunan
Pemakalah : Ummu Kultsum
Diskusi :
-367-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh – 2016
ABSTRAK- Salah satu cara yang memadai untuk mengobservasi gelombang laut adalah citra synthetic aperture radar
(SAR). Makalah ini bertujuan untk mempelajari dinamika gelombang laut dengan menggunakan citra SAR polarimetri.
Filter lowpass akan dikenakan pada citra untuk mereduksi noise dan diskontinuitas di suat citra dapat dihilangkan.
Setelah itu spektrum gelombang dengan asumsi fungsi transfer linier diterapkan untuk mendapatkan spektrum
gelombang dua dimensi dengan menghitung fast fourier transform (FFT). Spektrum frekuensi diperoleh melalui relasi
dispersi gelombang air. Dengan melakukan bandpass filter maka penerapan invers FFT, dapat diperoleh amplitudo
gelombang. Hasil menunjukkan bahwa di Teluk Jakarta gelombang permukaan didominasi oleh gelombang angin dan
alun.
ABSTRACT–A sophisticated way for spatial observation of the sea state is the use of SAR image. Paper aims to
studying the dynamics of ocean waves using SAR image with single polarization and double polarizations. The use of
two polarizations in the form of polarization ratio intended to reduce radar scattering cross section dependency only
hanging from the incident angle. After cropping the interest areas in the Jakarta Bay, the low pass filter was done so that
the noise can be reduced and the discontinuity in wave images can be removed as well. Fast Fourier Transform (FFT)
two dimensional was applied and uses the dispersion relation to get the wave spectrum. By implementing band-pass
filter and IFFT the amplitude of ocean wave will be obtained. The result shows that swell and wind sea are dominant
wave in Jakarta bay.
1. INTRODUCTION
When the SAR wavelength and Ocean surface wave wavelength satisfy the Bragg scattering law then the
ocean wave can be detected from SAR images (Alpers 2011). The advantage of SAR observation especially
in tropical ragion is the images free of cloud cover. Due to the ocean wave has very dynamics properties so
that the intensive observation is needed. Ocean wave pheomenon have temporal order from second (intra
gravity waves) to month (long waves) and spatal variation from mm (capillary) scale to km (planetary) scale.
In situ measurement by using wave gauge will very detail times series data but poor in spatial variability.
The other hands, the spatial variation can be observed by using SAR images. The combination between
insitu measurement and SAR measurement will give a good result in spatio-temporal observation.
The Jakarta bay is very interseted area due to many activity occur in that bay. This is part of Java sea
when the mosoon effect is dominant (Wyrtki 1961). The bay has average depth is about 25m with wind sea,
swell and tidal currents are dominant. The tidal type is mixed tide prevailing diurnal. There are many river
flow to Jakarta bay which makes river outflow plays a great role in transporting of suspended sediment and
the existence of seawall will modify the behavior of incident wave in the shoreline. The other hands,
domestic sewage, industrial effluent and urban runoff from big cities treathen the southernmost portion of
this bay. The ocean wave observation is very important to manage this bay. The paper is organized as follow,
the Data and Methods are presented in sec-2. The data analysis and discussion is described in sec-3. The
paper will e ended y a conclusion.
downloaded via ALOS-2 User Interface Gateway (AUIG) website. The SAR data were processed by using
SNAP-SITBX software (Veci dkk 2014). The SAR images of Jakarta ay is depicted in Figure-1. The area of
interest is represented in white box is depicted in Figure-2.
2 gh tanh( kh ) (2)
The band pass filter is contructed based on the Eq. (2). Invers Fourier transform are applied to get the wave
amplitude.
-369-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh – 2016
Figure 1. Alos II images with polarization. The white box represents area of study.
Figure 2. The lowpass filter by moving average methods of the interest area. The dot line is plot of pixel and pixel
value which is represented in the next figure.
0.55
0.5
0.45
0.4
Intensity
0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
pixel
Figure 3. Variation of wave signal (backscatter value) of SAR in x direction of the image where the location is
described in Fig-2..
-370-
Studi Pengukuran Gelombang Samudera dari Citra SAR (Sulaiman, A., dkk)
Figure 4. 2D FFT from SAR images of interest area where the amplitude represented in Ψ(kx,ky)=log(1+abs(Ψ)).
Figure 5. The ocean surface wave height obtained by applying invers Fourier transform of a bandpass filter ocean
surface wave spectrum.
4. CONCLUSION
The observation of ocean surface wave in the Jakarta Bay by using SAR image has been investigated.
Assuming the modulation transfer function linear then the SAR spectrum is proportional to ocean wace
spectrum. The dispersion relation of water wave is used as a basis of bandpass filter construction. The wave
amplitude is obtained by applying invers Fourier transform of wave spectrum. The result show that the
average of wave height is aout 1.5m with the wavelength 650m. This is typical of swell.
5. ACKNOWLEDGEMENT
This reseach is part of JAXA -ALOS Research Announcement Project number PI417002 and funded by
DIPA PTPSW in fiscal years 2016.
REFERENCE
Alpers, W., (2011). On the discriminaion of Radar signatures of atmospheric gravity waves and internal waves on
synthetic aperture radar images of the sea surface, IEEE Transaction on Geoscience and Remote Sensing,
49(3):1114-1127.
Apel, J.R, (1988), Principles of Ocean Physics, Academic Press, New York.
Kuo, Y.Y., Leu, G., dan Kao, I.I., (1999). Directional spectrum analysis and statistics otained from ERS-1 SAR wave
images, Ocean Engineering, 26:1125-1144.
Veci, L., Lu, J., Prats-Iraola,P., Scheiber,R., Collard, F., Fomferra, N., and Engdajl, M., (2014). The sentinel-1 Toolox.
Proceedings of the IEEE International Geoscience and Remote Sensing Symposium (IGARSS), 1-3, IEEE.
Wyrtki, K,. (1961). Physical Oceanography of The Southeast Asian Water, Naga Report, Scripps Institute of
Oceangraphy, University of California.
-371-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh – 2016
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Jawaban :
1. Data yang digunakan sudah langsung siap olah.
2. Kalau tidak ada direction-nya ya hilang.
3. Ke depan akan mem-propose KKP untuk menambah buoy.
-372-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
ABSTRAK – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)hanya memiliki empat Unit Pelaksana Teknis
(UPT) di provinsi Kalimantan Utara yang melakukan kegiatan observasi curah hujan. Observasi hujan dilakukan di
Stasiun Meteorologi (Stamet)Juata Tarakan, Tanjung Harapan (Tanjung Selor), Nunukan, dan Juvai Semaring
(Longbawan) yang berlokasi di sekitar bandar udara dengan topografi yang bervariasi. Keterbatasannya penakar hujan
tersebut menyebabkan data curah hujan pun terbatas sehingga diperlukan adanya alternatif data observasi sebagai
informasi tambahan untuk keperluan analisa cuaca. Estimasi produk satelit dari data CPC MORPHing technique
(CMORPH), Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMAP) dan Climate Hazards group Infrared Precipitation
with Stations (CHIRPS) digunakan sebagai alternatif data observasi untuk analisis berbagai skala waktu, seperti harian,
dasarian, bulanan, danmusiman (tiga bulanan). Validasi dengan hasil observasi harian dilakukan untuk mengukur
ketepatan estimasi curah hujan, terutama saat intensitas curah hujan tinggi yang dapat meningkatkan potensi bencana.
Validasi terhadap data curah hujan menunjukkan bahwa CMORPH, CHIRPS, maupun GSMaP secara umum memiliki
hasil yang baik pada skala waktu harian bergantung lokasi stasiun yang menjadi objek penelitian. Estimasi curah hujan
CHIRPS pada skala waktu harian, dasarian, maupun bulanan diwilayah Longbawan memiliki nilai yang kurang baik
jika dibandingkan dengan produk citra satelit lainnya. Pada skala waktu dasarian, bulanan, ataupun tiga bulanan,
CHIRPS memiliki hasil validasi terhadap data curah hujan lebih baik dibandingkan CMORPH dan GSMaP dalam
estimasi curah hujan diwilayah Tarakan, Tanjung Selor, dan Nunukan. Dalam estimasi curah hujan harian pada saat
kejadian cuaca ekstrim yaitu hujan dengan intensitas ≥ 50 mm/hari, CMORPH pada lokasi penelitian di Tarakan
memiliki hasil validasi yang lebih baik dibandingkan produk citra satelit lainnya.
Kata kunci:validasi, produk satelit,estimasi curah hujan, berbagai skala waktu, cuaca ekstrim
ABSTRACT –Indonesia Agency for Meteorology,Climatology,and Geophysics (BMKG) in North Kalimantan Province
had only four Operational Meteorological Office (Met Office) equipped with in situ observation. Rainfall observation
conducted by Juata (Tarakan Met Office), Tanjung Harapan (Tanjung Selor Met Office), NunukanMet Office, and Juvai
Semaring (Longbawan Met Office) located near the airport with varied topography. Limited rain gauged observation
lead to lack of precipitation data for weather and climate analysis. Additional information from alternatives
observation data source are needed. CPC MORPHing technique (CMORPH), Global Satellite Mapping of
Precipitation (GSMAP) and Climate Hazards Group Infrared Precipitation with Stations (CHIRPS) can be used as an
alternative observation data for multiple time scale (e.g. daily, 10-days (dasarian), monthly, and seasonal (3-monthly)
analysis. Daily in situ–based rainfall observation used to measure the accuracy of rainfall estimation, especially when
high intensity rainfall occursand lead to increase the potential for disastrous events. Validation of rainfall data shows
that CMORPH, CHIRPS, and GSMaP generally have good results on a daily time scale depends on the station location
for the study area. Estimated rainfall CHIRPS on a daily time scale, dasarian, and monthly Longbawan region have a
value less well when compared to other satellite imagery products. At the time scale dasarian, monthly, or quarterly,
CHIRPS have the results of the validation of rainfall data better than CMORPH and GSMaP in rainfall estimation
region Tarakan, Tanjung Selor, and Nunukan. In the estimation of daily rainfall during extreme weather events, which
is intensity rainfall ≥ 50 mm/day, CMORPH research sites in Tarakan have better validation results than the other
satellite imagery products.
Keywords: validation, satellite products, rainfall estimate, multiple time scale, extreme weather
1. PENDAHULUAN
Provinsi Kaltara secara resmi terbentuk sejak ditandatanganinya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012
tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara pada tanggal 16 November 2012 oleh Presiden Republik
-373-
Validasi Estimasi Berbagai Skala Waktu Curah Hujan Produk Satelit untuk Topografi yang Beragam di Provinsi Kalimantan Utara
(Abdurahman, dkk.)
Indonesia dengan luas wilayah Provinsi Kalimantan Utara sebesar 72.567,49 km². Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di wilayah Kalimantan Utara memiliki empat buah penakar hujan yang
lokasinya berada di bandar udara Juata Tarakan, bandar udara Nunukan, bandar udara Yuvai Semaring
Longbawan, dan bandar udara Tanjung Selor. Keterbatasannya data curah hujan yang ada, maka diperlukan
adanya data alternatif, misalnya data produk citra satelit sebagai informasi tambahan untuk keperluan analisa
cuaca ketika terjadi cuaca ekstrim diwilayah yang tidak terdapat penakar hujan.
Adapun data maupun produk citra satelit yang dapat digunakan dalam estimasi presipitasi antara lain:
CPC MORPHing technique (CMORPH) (Joyce dkk., 2004), Global Satellite Mapping of Precipitation
(GSMAP) (Okamoto dkk., 2005), dan Climate Hazards group Infrared Precipitation with Stations
(CHIRPS) (Funk dkk., 2014).Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui data produk citra satelit
manakah yang lebih baik digunakan untuk analisa cuaca dalam estimasi presipitasi di Provinsi Kalimantan
Utara berdasarkan skala waktu yang berbeda, misalnya data harian, dasarian, bulanan, atau 3 bulanan.
2. METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data curah hujan harian, dasarian, bulanan, dan 3 bulanan
stasiun meteorologi di Provinsi Kalimantan Utara, data estimasi curah hujan harian CMORPH yang diunduh
dari http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.NOAA/.NCEP/.CPC/.CMORPH /.daily/.mean/.morphed/,
data estimasi curah hujan harian CHIRPS yang diunduh dari
http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.UCSB/.CHIRPS/.v2p0/.daily-improved/.global/.0p05/ dan data
estimasi curah hujan GSMaP yang diunduh dari ftp://hokusai.eorc.jaxa.jp/realtime/daily/00Z-23Z/periode
tahun 2009-2015.
Gambar 1 merupakan peta lokasi penakar hujan di Unit Pelaksana Teknis BMKG Kalimantan Utara. Pada
Gambar tersebut terlihat bahwa wilayah Longbawan memiliki elevasi paling tinggi dibandingkan tiga lokasi
penelitian lainnya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu validasi produk citra satelit (CMORPH, GSMaP, dan
CHIRPS) sesuai lokasi stasiun meteorologi di Provinsi Kalimantan Utara berdasarkan skala waktu tertentu,
misalnya data harian, dasarian, bulanan, maupun 3 bulanan dengan tahapan awal penentuan nilai estimasi
curah hujan produk citra satelit sesuai lokasi stasiun.Penentuan nilai estimasicurah hujan pada penelitian ini
-374-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
menggunakan metode rata-rata (mean). Menurut Pribadi (2012), adapun persamaan dari rata – rata (mean)
adalah:
= ∑ ..........................................................................................................................(1)
dimana X adalah nilai rata-rata, n adalah banyaknya data, danXi adalah data ke i , i=1,2,3,..., n.
Adapun teknik validasi yang digunakan yaitu dengan melakukan perhitungan nilai Mean Error, Root
Mean Square Error (RMSE), Mean Absolute Error (MAE), Correlation Coefficient (CC), dan Relative Bias
(BIAS).
Tabel 2. Validasi Stastistik untuk data produk cita satelit estimasi curah hujan dan data pengamatan curah hujan
Pada Tabel 2 menjelaskan tentang persamaan teknik validasi secara statistik yang disertai dengan nilai
terbaiknya.Koefisien korelasi Pearsondigunakan untuk menilai skala kesesuaian yang mencerminkan tingkat
korelasi linear.Selain itu,terdapat empat indeks statistik yang digunakan untuk validasi dalam memeriksa
error dan bias antara curah hujan satelit dan observasi.Root mean square error (RMSE) mengevaluasi
besarnya rata-rata error dan mean error (ME) menentukan nilai rata-rata varians yang berkaitan dengan
estimasi dan data observasi.Sementara itu, mean absolute error (MAE) menunjukkan berarti besarnya
kesalahan. Sementara, RMSE juga menghitung besarnya kesalahan, tetapi lebih ditekankan pada kesalahan
besar karena dibandingkan dengan berarti kesalahan mutlak. Relative Bias (BIAS) memberikan informasi
tentang besarnya perbedaan antara dua dataset (Khan,dkk. 2014).
Nilai validasi berdasarkan perhitungan tersebut akan ditampilkan dalam tabel atau grafik. Perhitungan
nilai koefisien korelasi antara produk citra satelit dan data observasi berdasarkan skala waktu tertentu akan
ditampilkan dalam bentuk diagram taylor.
Pada Gambar 2 terlihat berbagai macam bentuk dan warna pada diagram taylor. Bentuk dan warna pada
objek diagram taylor tersebut menunjukkan nilai koefisien korelasi, RMS difference, dan Standar Deviasi
antara produk citra satelit dan data observasi pada lokasi tertentu. Bentuk kotak ( ) pada penelitian ini
dimaksudkan untuk menjelaskan produk citra satelit GSMaP, segitiga ( ) untuk produk citra satelit
CHIRPS, dan bentuk lingkaran ( ) untuk produk citra satelit CMORPH. Pada Gambar diatas, terdapat
empat macam warna untuk menjelaskan lokasi penelitian, yaitu warna biru untuk lokasi stasiun di Tarakan,
-375-
Validasi Estimasi Berbagai Skala Waktu Curah Hujan Produk Satelit untuk Topografi yang Beragam di Provinsi Kalimantan Utara
(Abdurahman, dkk.)
warna merah untuk lokasi stasiun di Tanjung Selor, warna hijau untuk lokasi stasiun di Nunukan, dan warna
hitam untuk lokasi stasiun di Longbawan. Jika pada Gambar di atas terdapat bentuk segitiga dengan warna
merah ( ) berarti menjelaskan koefisien korelasi antara produk citra satelit CHIRPS dan data observasi
pada lokasi penelitian di Tanjung Selor.
3. HASILDAN PEMBAHASAN
3.1 Data curah hujan berdasarkan skala waktu
Pada Gambar 3 terlihat pola sebaran data estimasi curah hujan harian produk citra satelit terhadap data
observasi. Dari beberapa stasiun yang menjadi lokasi pengamatan, terlihat bahwa Unit Pelaksana Teknis
yang berada di Tarakan memiliki pola sebaran data yang berbeda dengan lokasi pengamatan lainnya. Pada
wilayah Tarakan, kategori hujan lebat berdasarkan data pengamatan lebih banyak terjadi jika dibandingkan
dengan wilayah lainnya. Pola sebaran seperti itu disebabkan karena nilai estimasi curah hujan produk citra
satelit (CHIRPS, CMORPH, dan GSMaP) yang sangat rendah nilainya jika di bandingkan curah hujan
berdasarkan pengamatan.
Gambar 3. Perbandingan sebaran data curah hujan harian pada empat lokasi stasiun antara data produk citra satelit
CHIRPS, CMORPH, dan GSMaP dengan data observasi
Gambar 4(a), 4(b), 4(c), dan 4(d) merupakan grafik nilai rata-rata curah hujan dasarian produk citra satelit
dan observasi pada empat lokasi stasiun. Pada wilayah Tarakan, Tanjung Selor, dan Nunukan, rata-rata
estimasi curah hujan dasarian produk citra satelit CHIRPS memiliki nilai yang mendekati observasi jika
dibandingkan dengan dua produk citra satelit lainnya. Tetapi, rata-rata estimasi curah hujan dasarian produk
citra satelit CHIRPS pada wilayah Longbawan memiliki rata-rata estimasi curah hujan paling tinggi di atas
nilai observasi dibandingkan GSMaP dan CMORPH. Pada produk citra satelit CMORPH dan GSMaP
diwilayah Tarakan, secara umum nilai rata-rata curah hujan dasarian berada dibawah nilai observasi. Tetapi,
kedua produk citra satelit tersebut menunjukkan pola yang hampir sama dengan pola curah hujan dasarian
berdasarkan data pengamatan.
-376-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 4. Rata-rata curah hujan dasarian produk citra satelit dan data observasi pada empat lokasi stasiun
(a) Tarakan, (b) Tanjung Selor, (c) Nunukan, dan (d) Longbawan
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 5. Rata-rata curah hujan bulanan produk citra satelit dan data observasi pada empat lokasi stasiun
(a) Tarakan, (b) Tanjung Selor, (c) Nunukan, dan (d) Longbawan
Pada Gambar 5 terlihat bahwa pada skala waktu bulanan ,produk citra satelit estimasi curah hujan yang
nilainya mendekati observasi curah hujan stasiun yaitu produk citra satelit CHIRPS, kecuali untuk wilayah
longbawan memiliki nilai yang kurang baik jika dibandingkan dengan CMORPH dan GSMaP.
-377-
Validasi Estimasi Berbagai Skala Waktu Curah Hujan Produk Satelit untuk Topografi yang Beragam di Provinsi Kalimantan Utara
(Abdurahman, dkk.)
Validasi produk citra satelit berdasarkan skala waktu harian, dasarian, bulanan, maupun 3 bulanan dapat
dilihat pada Gambar 5 dan 6.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar6. Perbandingan validasi statistik berdasarkan skala waktu tertentu pada empat lokasi stasiun.
(a) Mean Error, (b) Root Mean Square Error, (c) Mean Absolute Error, dan (d) Relative Bias.
Gambar 6(a) menunjukkan nilai Mean Error (ME) produk citra satelit CHIRPS, CMORPH, dan GSMaP
pada empat lokasi stasiun berdasarkan skala waktu tertentu. Secara umum, nilai ME produk citra satelit pada
semua lokasi stasiun dalam skala waktu harian memiliki nilai yang kecil. CHIRPS diwilayah Tarakan
memiliki nilai ME paling baik yaitu sebesar -0,06136. Akan tetapi, nilai ME untuk produk citra satelit
CMORPH dan GSMaP di wilayah Tarakan memiliki nilai paling besar jika dibandingkan dengan lokasi
stasiun lainnya masing-masing yaitu sebesar -2,90551 dan -3,22175. Pada skala waktu dasarian, bulanan,
maupun 3 bulanan, CHIRPS diwilayah Tarakan memiliki nilai ME paling kecil jika dibandingkan produk
citra satelit lainnya.Akan tetapi, nilai ME untuk produk citra satelit CMORPH dan GSMaP diwilayah
Tarakan memiliki nilai paling besar pada skala dasarian, bulanan, maupun 3 bulanan.
Gambar 6(b) menunjukkan nilai Root Mean Square Error (RMSE) produk citra satelit CHIRPS,
CMORPH, dan GSMaP. Secara umum, nilai RMSE pada skala waktu harian berkisar antara 12 sampai
dengan 20 pada semua lokasi stasiun, kecuali pada lokasi pengamatan di Longbawan. CHIRPS pada wilayah
Longbawan juga memiliki nilai RMSE paling besar pada skala waktu bulanan dan 3 bulanan. Sedangkan
GSMaP dan CMORPH memiliki nilai RMSE paling besar di wilayah Tarakan pada skala dasarian, bulanan,
maupun 3 bulanan.
Gambar 6(c) menunjukkan nilai Mean Absolute Error (MAE) produk citra satelit CHIRPS, CMORPH,
dan GSMaP. Nilai MAE pada wilayah maupun skala waktu yang ada, memiliki pola yang hampir sama
dengan RMSE. Hal itu terlihat pada produk citra satelit CHIRPS pada wilayah Longbawan yang memiliki
nilai MAE paling besar pada skala waktu harian, bulanan, maupun 3 bulanan. Pada produk citra satelit
-378-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
GSMaP dan CMORPH, nilai MAE paling besar berada pada lokasi pengamatan di wilayah Tarakan pada
skala waktu dasarian, bulanan, maupun 3 bulanan.
Gambar 6(d) menunjukkan nilai Relative Bias produk citra satelit CHIRPS, CMORPH, dan GSMaP. Pada
wilayah Tarakan, produk citra satelit CHIRPS memiliki nilai Relative Biaspaling kecil pada seluruh skala
waktu berdasarkan penelitian ini. Akan tetapi, pada lokasi pengamatan di wilayah Longbawan memiliki nilai
yang paling besar pada skala waktu harian, dasarian, bulanan, maupun 3 bulanan. Pada gambar tersebut juga
terlihat bahwa produk citra satelit GSMaP dan CMORPH di wilayah Tarakan dan Nunukan memiliki nilai
Relative Bias sedikit lebih rendah dari CHIRPS diwilayah Longbawan pada seluruh skala waktu.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar7. Diagram Taylor berdasarkan skala waktu tertentu di empat lokasi stasiun.
(a) Harian,(b) Dasarian, (c) Bulanan, dan (d) 3 Bulanan
Pada Gambar 7, terlihat nilai korelasi antara produk citra satelit CHIRPS, CMORPH, dan GSMaP pada
beberapa lokasi pengamatan berdasarkan skala waktu tertentu. Gambar 7(a) menunjukkan nilai koefisien
korelasi tertinggi pada produk citra satelit CMORPH di wilayah Tarakan sebesar 0,51945 dan nilai koefisien
korelasi terendah di wilayah Tanjung Selor sebesar 0,10732. Gambar 7(b) menunjukkan skala waktu
dasarian yang menunjukkan korelasi tertinggi pada produk citra satelit CHIRPS di wilayah Tanjung Selor
sebesar 0,6365 dan nilai koefisien korelasi terendah pada produk citra satelit GSMaP di wilayah Longbawan
sebesar 0,3418. Koefisien korelasi produk citra satelit pada skala waktu bulanan terlihat pada Gambar 7(c).
Pada Gambar tersebut terlihat bahwa nilai koefisien korelasi tertinggi terdapat pada produk citra satelit
CMORPH di wilayah Nunukan sebesar 0,6053 dan nilai koefisien korelasi terendah terdapat pada produk
citra satelit GSMaP di wilayah Longbawan sebesar 0,1624.Gambar 7(d) menunjukkan nilai koefisien
korelasi pada skala waktu tiga bulanan. Nilai koefisien korelasi produk citra satelit tertinggi dan terendah
yaitu pada produk citra satelit CMORPH dengan nilai koefisien korelasinya masing-masing yaitu sebesar
0,61309 pada wilayah Nunukan dan 0,0098 pada wilayah Longbawan.
-379-
Validasi Estimasi Berbagai Skala Waktu Curah Hujan Produk Satelit untuk Topografi yang Beragam di Provinsi Kalimantan Utara
(Abdurahman, dkk.)
Tabel 2. Validasi stastistik data produk citra satelit dan data Observasi pada kejadian cuaca ekstrim
(hujan lebat ≥ 50 mm) periode tahun 2009-2015
Pada Tabel 2 terlihat nilai validasi statistikestimasi curah hujan produk citra satelit dan observasi pada
kejadian cuaca ektrim di lokasi stasiun. Pada wilayah Tarakan, produk citra satelit CMORPH memiliki nilai
korelasi paling besar dan nilai ME, RMSE, MAE, dan BIAS paling kecil jika dibandingkan dengan produk
citra satelit lainnya. Kondisi yang hampir sama terjadi pada wilayah Nunukan, perhitungan nilai ME, RMSE,
MAE, dan BIAS paling kecil jika dibandingkan dengan produk citra satelit CHIRPS dan GSMaP. Akan
tetapi, koefisien korelasi CMORPH pada wilayah Nunukan lebih rendah dari koefisien korelasi CHIRPS.
Pada wilayah Tanjung Selor, perhitungan nilai validasi statistik berdasarkan kejadian hujan lebat memiliki
nilai terbaik pada produk citra satelit CHIRPS. Walaupun estimasi curah hujan produk citra satelit GSMaP
memiliki nilai koefisien korelasi yang lebih tinggi dari produk citra satelit lainnya, perhitungan nilai ME,
RMSE, MAE, dan BIAS pada produk citra satelit ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan CHIRPS. Di
wilayah Longbawan, validasi menggunakan data produk citra satelit GSMaP memiliki hasil yang kurang
baik jika dibandingkan dengan CHIRPS maupun CMORPH.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa secara umum produk citra
satelit CMORPH, CHIRPS, maupun GSMaP memiliki hasil yang baik pada skala waktu harian. Tetapi,
estimasi curah hujan harian, dasarian, maupun bulanan CHIRPS diwilayah Longbawan memiliki nilai yang
kurang baik jika dibandingkan dengan produk citra satelit lainnya. Pada skala waktu dasarian, bulanan,
ataupun tiga bulanan, CHIRPS memiliki nilai lebih baik dibandingkan CMORPH dan GSMaP dalam
estimasi curah hujan diwilayah Tarakan, Tanjung Selor, dan Nunukan. Dalam estimasi curah hujan harian
pada saat kejadian hujan ≥ 50 mm/hari, produk citra satelit CMORPH pada lokasi penelitian Tarakan lebih
baik dibandingkan produk citra satelit lainnya.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pegawai Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) di Provinsi Kalimantan Utara yang terlibat dalam ketersediaannya data pengamatan curah hujan
yang terdapat pada penelitian ini.
-380-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
DAFTAR PUSTAKA
Funk,C., Peterson,P., Landsfeld,M., Pedreros,D., Verdin,J., Rowland,J., Romero,B., Husak,G., Michaelsen,J., dan
Verdin,A., (2014). A quasi-global precipitation time series for drought monitoring. U.S. Geological Survey Data
Series,http://dx.doi.org/10.3133/ds832
Joyce, R.J., Janowiak, J.E., Arkin, P.A., dan Xie,P., (2004). CMORPH: A Method that Produces Global Precipitation
Estimates from Passive Microwave and Infrared Data at High Spatial and Temporal Resolution. Journal of
Hydrometeorology, 5:487-503.
Khan, S.I., Hong,Y., Gourley.J.J., Khattak, M.U.K., Yong, B., dan Vergara,H.J., (2014). Evaluation of three high-
resolution satellite precipitation estimates: Potential for monsoon monitoring over Pakistan. Advances in Space
Research, 54:670–684.
Pribadi, Y.H., (2012). Variabilitas Curah Hujan dan Pergeseran Musim Di Wilayah Banten Sehubungan Dengan Variasi
Suhu Muka Laut Perairan Indonesia, Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Tesis, Program Magister Ilmu
Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok.
Okamoto,K., Iguchi,T., Takahashi,N., Iwanami,K., dan Ushio,T. (2005).The Global Satellite Mapping of Precipitation
(GSMaP) project. Proc. of IGARSS 2005, 3414-3416.
http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.NOAA/.NCEP/.CPC/.CMORPH /.daily/.mean/.morphed/
http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.UCSB/.CHIRPS/.v2p0/.daily-improved/.global/.0p05/
ftp://hokusai.eorc.jaxa.jp/realtime/daily/00Z-23Z/
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016
Jawaban:
Data QMORPH diambil dari sumber JAXA Jepang. Ya hasilnya sama untuk setiap skala waktu baik yang
ekstrim maupun yang biasa.
Jawaban:
Ya dari waktu yang sama yaitu tahun 2009.Resolusi GSMAP 0.25, QMORPH 0.25 dan CHIPS 0.5. Pada
penelitian ini menggunakan metode rata-rata untuk mengatasi perbedaan resolusi satelit.
-381-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
ABSTRAK –Salah satu indikasi dari adanya MCS (Mesoscale Convective System) adalah kemunculan sambaran petir
CG+ (Cloud to Ground Positive) dalam jumlah yang sangat banyak pada daerah stratiform. Pada tanggal 9-10 Maret
2015 Lightning Detector yang terpasang di Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar mencatat rekaman CG+ 99.387
sambaran dan rekaman CG- sebanyak 70.034 sambaran. Jumlah sambaran CG- umumnya lebih banyak daripada
sambaran CG+ karena pada awan cumulonimbus umumnya muatan positif lebih banyak berada pada atas awan dan
muatan negatif berkumpul pada bagian dasar awan. Hal ini merupakan indikasi adanya MCS pada wilayah Bali dan
sekitarnya pada tanggal tersebut dan area Bali berada pada daerah stratiform dari MCS. Tujuan dari penulisan ini adalah
membandingkan antara data rekaman CG+ dengan gambar citra satelit NOAA (18 dan 19) dan MTSAT sebagai validasi
kejadian MCS di sekitar daerah Bali. Dari gambar citra satelit terlihat adanya kumpulan awan di wilayah Bali. Kejadian
MCS ini berkaitan dengan pola tekanan rendah di Laut Coral yang menimbulkan Siklon Tropis Nathan yang terbentuk
pada 10 Maret 2015.
ABSTRACT -One indication of the MCS (Mesoscale Convective System) is the lightning occurrence of +CG (positive
cloud to ground) in the stratiform region. On 9th-10th March 2015Lightning Detector installed in Geophysical Station
Sanglah Denpasar recorded 99.387 strikes of CG+ and 70.034 strikes of CG-. Number CG- lightning strikes are
generally more than CG+ because the cumulonimbus clouds generally have more positive charges gather in the top of
the clouds and negative chargse gatherin the base of the clouds.This is an indication of MCS in Bali and surrounding
area on that date and Bali region is in the stratiform region of MCS.The purpose of this paper is to compare between
the data recording CG+ with images of NOAA satellite imagery (18 and 19) and MTSAT as a validation of MCS event
around Bali region. From satellite imagery data, we can see the a number of clouds over Bali region. MCS incident is
related to the pattern of low pressure in the Coral Sea which raises Tropical Cyclone Nathan formed on 10thMarch
2015.
1. PENDAHULUAN
Mesoscale Convective Systems(MCS)merupakan suatu sistem awan guruh terbesar yang memiliki daerah
konvektif dan stratiform dalam satu awan yang kompleks(Hodapp, 2007).MCS mampu menyebar mencapai
lebih dari 100 km secara horizontal dan mempunyai masa hidup mencapai sekitar 10 jam (Houze, 2004).
MacGorman dan Morgenstern (1998) mendefinisikan MCS sebagai sistem badai yang berumur panjang
yang merupakan gabungan dari badai-badai kecil yang saling berinteraksi dengan lingkungan lokal. MCS
juga berperan dalam beberapa kejadian curah hujan tinggi dan sebagian besar cuaca buruk (Maddox, 1980).
Selain menimbulkan dampak cuaca buruk, MCS juga membangkitkan sambaran petir yang sangat tinggi.
Sifat petir dari MCS telah menjadi pusat perhatian banyak penelitian dimana sebagian besar memfokuskan
penelitian pada petir jenis awan ke tanah (cloud-to-ground (CG))yang dikaitkan dengan citra radar atau
satelit (Mattos dan Machado, 2011; Correoso dkk., 2006).
Salah satu indikasi dari kemunculan MCS adalah kejadian petir CG+ pada daerah stratiform. Rutledge
dan MacGorman (1988), telah mencatat pola horizontal yang berbeda dari petir CG dalam garis badai
dimana sebagian besar sambaran CG- terjadi dalam daerah konvektif (bipole) dansambaran petir CG+
sebagian besar terjadi pada daerah stratiform. Sebagian besar dari penelitian menyatakan bahwa MCS
menghasilkan persentase sambaran CG+ yang lebih tinggi (MacGorman dan Morgenstern, 1998; Parker
dkk., 2001).
-382-
Mendeteksi MCS Menggunakan Data Lightning Detector dan Citra Satelit (Studi Kasus: MCS di Daerah Bali Tanggal 9-10 Maret
2015) (Pratama, I P. D., dkk)
Bali termasuk dalam Kepulauan Indonesia yang merupakan wilayah benua maritim karena sebagian
besar terdiri atas lautan. Wilayah benua maritim ini mencakup Indonesia, Filipina, dan Papua Nugini.
Terletak di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, benua maritim berada di wilayah lautan hangat
yang dikenal sebagai Kolam Hangat Tropis. Wilayah benua maritim merupakan wilayah yang paling sering
terjadi MCS dibandingkan dengan daerah Samudera Hindia, Pasifik Barat, dan Zona Konvergen Pasifik
Selatan (Virts dan Houze, 2015).
Pada tanggal 9-10 Maret 2015 Lightning Detector yang terpasang di Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar
mencatat rekaman CG+ 99.387 sambaran dan rekaman CG- sebanyak 70.034 sambaran. Tingginya sambaran
petir baik CG+ dan CG- pada dua hari tersebut merupakan kejadian sambaran tertinggi pada bulan Maret
2015. Terjadi anomali dimana CG+ lebih banyak daripada CG- pada dua hari tersebut mengindikasikan
kejadian MCS di sekitar daerah Bali. Selain itu adanya Siklon Tropis Nathan di Laut Coral yang terbentuk
pada 10 Maret 2015 mengindikasikan tingginya pertumbuhan awan di daerah Bali.
Kajian terhadap kejadian petir CG+ terkait keberadaan MCS merupakan topik kajian yang menarik dan
relatif baru untuk studi di Indonesia (Kurniawan dan Pratama, 2014). Hal ini karena pada umumnya
pengetahuan mengenai MCS serta mekanisme dan penyebab petir CG+ masih sangat kurang dan masih
relatif baru di Indonesia. Fenomena petir CG+ terkait keberadaan MCS merupakan suatu sistem yang sangat
kompleks sehingga sulit untuk dianalisis. Berangkat dari pemikiran tersebut maka pemanfaatan Lightning
Detector dan citra satelit cuaca dalam menganalisis kejadian petir diharapkan dapat membantu dalam
menganalisis kejadian sambaran petir di Bali.
Untuk memastikan apakah kejadian anomali jumlah CG+ yang lebih banyak daripada CG- pada dua hari
tersebut perlu dibuat perbandingan secara spasial dan temporal. Untuk itu perlu data pembanding yaitu citra
satelit untuk memplot lokasi dan waktu sambaran kejadian petir CG+ maksimum yang di-overlay dengan
data citra satelit.
2. METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sambaran petir jenis CG pada tanggal 9 dan 10
Maret 2015 yang terekam pada sensor Boltek Storm Tracker yang terpasang di Stasiun Geofisika Sanglah
Denpasar. Koordinat sensor berada pada 8,68o LS dan 115,21o BT. Sebagai data pendukung digunakan data
citra satelit perjam dari Multifunctional Transport Satellites (MTSAT) yang diperoleh dari halaman web
BMKG. Selain itu juga digunakan data citra satelit National Oceanic and Atmospheric Administration
(NOAA) 18 dan 19 yang diterima oleh Ground Satellite Receiver (GSR) NOAA yang juga terpasang di
Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar.
Pengolahan data petir menggunakan perangkat lunak Lightning/2000. Tahapan pengolahannya adalah
dengan mengubah rekaman alat dari format .ldc menjadi .kml kemudan dikonversi menjadi format .csv
dengan Microsoft Excel 2007. Data format .csv ini kemudian dipetakan dengan Surfer 12 selanjutnya
diperoleh sebaran petir untuk wilayah Bali. Data format .csv ini dibuat grafik secara temporal perjam untuk
kejadian sambaran tanggal 9 dan 10 Maret 2015 untuk mengetahui waktu puncak kejadian sambaran CG+
dan CG-. Kemudian dilakukan pemisahan antara CG+ dan CG- untuk memetakan sambaran CG+ sehingga
diketahui lokasi sambaran CG+ terhadap sebaran awan yang diperoleh dari citra satelit MTSAT dan NOAA.
-383-
Mendeteksi MCS Menggunakan Data Lightning Detector dan Citra Satelit (Studi Kasus: MCS di Daerah Bali Tanggal 9-10 Maret
2015) (Pratama, I P. D. dan Negara, P. K. G.A.)
Gambar 1. Grafik Rasio Jumlah Sambaran Terhadap Kilatan Petir CG Bulan Maret 2015
Pada tanggal 9 Maret 2015, puncak sambaran CG+ terjadi pada pukul 02:59:22 WITA dengan catatan
sambaran mencapai 106 kali sambaran. Pada tanggal 10 Maret 2015 puncak sambaran CG+ terjadi pada
pukul 01:48:00 WITA yang mencapai 107 kali sambaran. Puncak kejadian sambaran CG+ diawali dengan
peningkatan sambaran CG- kemudian saat sambaran CG- telah melewati fase puncak CG+ semakin
meningkat hingga melewati jumlah sambaran CG-. Adanya fase disipasi yang didominasi oleh pergerakan
massa udara turun dari awan cumulonimbus meningkatkan jumlah sambaran CG+. Hal ini karena muatan
positif pada awan cumulonimbus umumnya berkumpul pada puncak awan.
Gambar 2. Grafik Perbandingan Jumlah Sambaran CG+ dan CG- Tanggal 9 Maret 2015 (Kiri) dan 10 Maret 2015
(Kanan)
Hasil penelitian ini sesuai dengan Correoso, dkk. (2006) yang menyatakan bahwa sambaran petir CG+
umumnya mencapai maksimum setelah puncak CG-. Gambar 1 menunjukan bahwa sambaran CG positif
lebih tinggi setelah CG- mencapai puncaknya dan selanjutnya berkurang. Kedua kejadian petir terjadi pada
dini hari. Hal ini disebabkan oleh proses pembentukan MCS pada wilayah perairan memerlukan waktu dari
proses pemanasan muka laut hingga pengangkatan udara ke atas dan pembentukan daerah stratiform.
Proses ionisasi pada awan cumulonimbus mengakibatkan adanya muatan dipole pada awan. Awan dengan
muatan positif berada pada puncak awan dan awan dengan muatan negatif berada pada dasar awan. Oleh
karena itu pada saat pergerakan naik pada proses pembentukan MCS didominasi oleh petir CG-. Ketika awan
semakin membesar dan membentuk stratiform sambaran CG+ semakin meningkat. Semakin luas wilayah
stratiform maka semakin meningkat persentase sambaran CG+ (Liu dkk., 2011). Kemudian sambaran CG+
akan mencapai maksimum saat proses musnahnya MCS.
Terdapat kesulitan dalam mendeteksi wilayah stratiform disebabkan oleh heterogenitas substansial (Lang,
dkk., 2011). Oleh karena itu, diperlukan overlay data antara citra satelit dan petir CG+ (Gambar 3 dan 4).
Dalam proses dipole muatan pada awan cumulonimbus, muatan positif awan akan terkumpul pada bagian
puncak awan. Kemudian, saat pembentukan stratiform muatan positif akan ikut menyebar secara horizontal.
-384-
Mendeteksi MCS Menggunakan Data Lightning Detector dan Citra Satelit (Studi Kasus: MCS di Daerah Bali Tanggal 9-10 Maret
2015) (Pratama, I P. D., dkk)
Gambar 3. Citra Satelit MTSAT IR Enhance Pukul 02:00 WITA Tanggal 9 Maret 2015 (kiri) dan 10 Maret 2015
(kanan) yang di-overlay dengan Sambaran Petir CG+ (tanda positif hitam)
Puncak kejadian CG+ dijadikan acuan untuk memilih waktu citra satelit MTSAT IR Enhance (Gambar 3)
dengan data sambaran CG selama dua jam. Hasil overlay sambaran petir tanggal 9 Maret 2015 menunjukan
sebaran petir berada di barat daya dan barat laut Pulau Bali. Sebaran signifikan yang menunjukan kejadian
MCS adalah pada lokasi barat daya dimana terdapat awan dengan suhu puncak di bawah -40oC. Sedangkan
untuk kejadian tanggal 10 Maret 2015 dini hari sebaran petir berada di atas pulau Bali dengan sebaran
mencapai bagian utara dan tenggara. Terdapat kumpulan CG+ di wilayah tepian awan di bagian barat laut
dan tenggara.
Menurut Correoso, dkk. (2006) sebagian besar sambaran petir CG yang berhubungan dengan MCS terjadi
sebelum sistem mencapai ukuran maksimum yaitu perisai maksimum awan dalam isoterm kecerahan -52,8oC
dan tingkat sambaran puncak CG+ sedikit. Menggunakan data rekaman CG+ dengan sinyal radio frekuensi
rendah dapat digunakan untuk mendeteksi MCS. Hal ini sesuai dengan penggunaan alat Lightning Detector
yang terpasang di Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar.
Gambar 4. Citra Satelit NOAA Tanggal 9 Maret 2015 Pukul 02:49 WITA (kiri) dan 10 Maret 2015 Pukul 02:37
WITA (kanan) yang di-overlay dengan Sambaran Petir CG+ (tanda positif hitam)
Berdasarkan hasil overlay sambaran CG+ dengan citra satelit NOAA (Gambar 4) diperoleh hasil bahwa
sambaran CG+ terjadi pada stratiform awan yang terdeteksi sebagai “Layer Cloud” pada citra klasifikasi
awan NOAA. Lokasi sambaran tidak tepat berada pada awan cumulonimbus (titik merah) karena kejadian
CG+ lebih banyak terjadi pada daerah stratiform.
Pada kejadian tanggal 9 Maret 2015 dini hari, lokasi pusat MCS berada pada daerah tenggara dan barat
daya Pulau Bali. Titik merah mengindikasikan lokasi awan cumulonimbus sebagai pusat dari MCS. Sebaran
CG+ yang berhasil dideteksi merupakan wilayah stratiform. Sebaran petir yang membentuk garis berarah
-385-
Mendeteksi MCS Menggunakan Data Lightning Detector dan Citra Satelit (Studi Kasus: MCS di Daerah Bali Tanggal 9-10 Maret
2015) (Pratama, I P. D. dan Negara, P. K. G.A.)
barat laut – tenggara di atas Pulau Bali mengindikasikan kejadian lokal pada daerah tersebut karena terpisah
dengan stratiform baik pada citra satelit MTSAT dan NOAA.
Pada kejadian tanggal 10 Maret 2015 dini hari sebaran petir sebagian besar membentuk kumpulan.
terdapat tiga kelompok petir yaitu di wilayah barat laut, tenggara, dan di atas Pulau Bali. Jika dilihat pada
Gambar 4, sebaran awan cumulonimbus berada pada barat laut dan barat daya Pulau Bali. Jadi terdapat dua
pusat MCS pada kejadian tanggal 10 Maret 2015 dimana MCS pertama berada di barat laut Pulau Bali yang
stratiformnnya mencapai atas Pulau Bali. Sedangkan MCS kedua berada di barat daya pulau bali yang
menimbulkan stratiform menyembar sepanjang selatan Pulau Bali. Namun, untuk kejadian ini sambaran
CG+ hanya terdeteksi pada bagian tenggara Pulau Bali saja.
Proses dipole dari awan konvektif menyebabkan muatan positif berkumpul di bagian atas awan
cumulonimbus yang dikenal sebagai daerah stratiform. Seluruh sambaran ini berasal dari daerah konvektif
dan menyebar secara horizontal sekitar puluhan hingga ratusan kilometer dalam daerah stratiform dan
sambaran petir CG+ terjadi di bawah wilayah stratiform (Lu, G., dkk., 2009). Peningkatan luasan stratiform
meningkatkan jumlah sambaran CG+ (Azambuja, R. R. dkk., 2014).
Tekanan rendah di wilayah selatan yang membangkitkan Siklon Tropis Nathan pada 10 Maret 2015
memicu cuaca buruk di sekitar Pulau Bali. Kondisi ini membuat munculnya MCS di sekitar Pulau Bali.
Percobaan numerik oleh Yamasaki (2013) menyatakan bahwa terdapat kaitan antara klaster awan dengan
kejadian siklon tropis. Kumpulan-kumpulan klaster awan ini kemudian berkumpul pada suatu tekanan
membentuk siklon tropis.
4. KESIMPULAN
Perbedaan siginfikan rasio CG+ mengindikasikan adanya kejadian MCS di sekitar Bali. MCS dapat
dideteksi menggunakan rekaman CG+ oleh sensor Boltek Storm Tracker. Indikasi ini di-overlay dengan citra
satelit MTSAT dan NOAA untuk mengetahui lokasi sebaran CG+ sehingga dapat diketahui bahwa sebaran
tersebut berada pada wilayah stratiform.
Adanya beberapa MCS di wilayah Bali pada tanggal 9 dan 10 Maret 2015 sangat berkaitan dengan
kejadian Siklon Tropis Nathan yang muncul pada 10 Maret 2015. Klaster-klaster MCS pada tanggal 9 Maret
215 berkaitan dengan tumbuhnya Siklon Tropis Nathan keesokan harinya.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pegawai fungsional PMG di Stasiun Geofisika Sanglah
Denpasar atas pengumpulan data dan diskusi dalam pembuatan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Azambuja, R.R., Zepka, G.S., Vargas Jr.V.R., dan Pinto Jr.O., (2014). Lightning Activity in Mesoscale Convective
System associated with Different Synoptic Situations over Southern South America. Paper presented at the 23rd
International Lightning Detection Conference, 18 – 19 Mare 2014, Tucson, Arizona, USA.
Correoso, J.F., Hernandez, E., Garcia-Herrera, R., Barriopedro, D., dan Paredes, D., (2006). A 3-year Study of Cloud-
to-ground Lightning Flash Characteristics of Mesoscale Convective Systems Over the Wetern Mediterranean Sea.
Atmospheric Research 79 doi:10.1016/j.atmosres.2005.05.002, 89-107
Hodapp, C.L. (2007). The Evolution Of Total Lightning And Radar Reflectivity Characteristics Of Two Mesoscale
Convective Systems Over Houston, Texas. (Thesis, Major Subject Atmospheric Sciences), Texas A&M University,
Texas.
Kurniawan, P.M.R., dan Pratama, I.P.D. (2014). Kejadian Petir Jenis CG+ Di Bali Akibat Mesoscale Convective
System (MCS). Prosiding Bidang MIPA BKS-PTN-BARAT, ISBN 978-602-70491-0-9, 384-389, Bogor, Indonesia.
Lang, T.J., Li, J., Lyons, W.A., Cummer, S.A., Rutledge, S.A., dan MacGorman, D.R., (2011). Transient luminous
events above two mesoscale convective systems: Charge moment change analysis. J. Geophys. Res., 116, A10306,
doi:10.1029/2011JA016758.
Liu, D., Qie, X., Xiong, Y., dan Feng, G. (2011). Evolution of the Total Lightning Activity in a Leading-Lineand
Trailing Stratiform Mesoscale ConvectiveSystem over Beijing. Advances in Atmospheric Sciences, 28(4):866-878
Lu, G., dkk. (2010).Lightning Mapping Observation of a Terrestrial Gamma-ray Flash, Geophys. Res. Lett., 37, L11806,
doi:10.1029/ 2010GL043494.
MacGorman, R.D., Morgenstern, C.D. (1998). Some Characteristics Of Cloud-To-Ground Lightning In Mesoscale
Convective Systems. J. Geophys. Res. 103:14011– 14023.
Maddox, R.A., (1980). Mesoscale Convective Complexes. Bull. Amer. Meteorol. Soc., 61:1374-1387
Mattos, E.V., dan Machado, L.A.T. (2011). Cloud-to-ground lightning and Mesoscale Convective Systems.
Atmospheric Research 99 doi:10.1016/j.atmosres.2010.11.007, 377-390
Parker, M.D., Rutledge, S.A., dan Johnson, R.H. (2001). Cloud-to-Ground Lightning in Linear Mesoscale Convective
Systems. Mon. Weather Rev. 129:1232–1242.
-386-
Mendeteksi MCS Menggunakan Data Lightning Detector dan Citra Satelit (Studi Kasus: MCS di Daerah Bali Tanggal 9-10 Maret
2015) (Pratama, I P. D., dkk)
Virts, K.S. dan Houze Jr.,R.A., (2015). Variation of Lightning and Convective Rain Fraction in Mesoscale Convective
System of the MJO. Journal of the Atmospheric Sicences 72doi: http://dx.doi.org/10.1175/JAS-D-14-0201.1, 1932-
1944
Yamasaki, M., (2013). Toward an Understanding of Tropical Cyclone Formation with a Nonhydrostatic, Mesoscale-
Convection-Resolving Model. The Open Atmospheric Science Journal 7, 37-50
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah : Mendeteksi Mcs Menggunakan Data Lightning Detector Dan Citra Satelit (Studi Kasus:
MCS Di Daerah Bali Tanggal 9-10 Maret 2015)
Pemakalah : I Putu Dedy Pratama (Bmkg)
Diskusi :
-387-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Danang Eko Nuryanto1,2*), Hidayat Pawitan2, Rahmat Hidayat2, dan Edvin Aldrian1
1
Departement Geophysics and Meteorology, FMIPA Bogor Agricultural University,
Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, West Java, Indonesia
2
Research and Development Center, The Indonesian Agency for Meteorology Climatology and Geophysics,
Jl Angkasa I No 2 Kemayoran Jakarta Pusat 10720, Indonesia
*)
E-mail: danang.eko@bmkg.go.id
ABSTRAK - Suatu sistem awan konvektif besar, lama hidupnya dan menunjukkan bentuk awan mendekati lingkaran
disebut sistem mesoscale convective complexes (MCC). Sistem ini menghasilkan beragam cuaca buruk misalnya hujan
lebat. Pada 15 Januari 2013, Jakarta mengalami kejadian hujan lebat yang luarbiasa. Pada penelitian ini, diselidiki
propagasi sistem MCC tersebut yang memicu hujan lebat di kawasan JABODETABEK, menggunakan data pengamatan
satelit Multi-functional Transport Satellite (MTSAT)-1R dan data sinoptik. Sistem tesebut terbentuk dari tengah malam
14 Januari hingga pagi 15 Januari, dan diperkuat oleh pengaruh angin baratan lapisan bawah. Ada dua sistem konvektif
yang terbentuk pada 14 -15 Januari. Pertama, sistem konvektif terbentuk pada siang hari tanggal 14 Januari 2013 di
utara JABODETABEK di atas Laut Jawa, dan berpropagasi ke arah Timur Laut dari Laut Jawa. Kedua, sistem
konvektif yang terbentuk pada tengah malam tanggal 14 Januari di atas Sumatera dan berpropagasi ke arah Tenggara
melalui Laut Jawa hingga pantai utara JABODETABEK pada pagi hari tanggal 15 Januari 2013. Sistem konvektif
kedua memberikan curah hujan lebat hingga rata-rata 10 mm/jam di atas kawasan JABODETABEK pada 04.00 WIB.
ABSTRACT - A convective cloud system that large, long lived, and exhibits a quasi-circular cloud shield could be
called a mesoscale convective complexes (MCC) system. These systems produce a wide variety of severe convective
weather such as heavy rainfall. On 15 January 2013, Jakarta experienced an extraordinary heavy rainfall event. In this
study, we examined the propagation of the convective complexes system that trigering heavy rainfall occurred in the
Great Jakarta area, using observations from the Multi-functional Transport Satellite (MTSAT)-1R and the synoptic
data. The convective complexes system developed from midnight on 14 January until the morning of 15 January, and it
was intensified by the influence of low-level westerly winds. There are two convective systems developed during 14 – 15
January. First a convective system was generated during the daytime of 14 January 2013 of the northern Great Jakarta
over Java Sea, and they propagate to the Northeast of Java Sea. Second a convective system was generated during the
nighttime of 14 January 2013 of over Sumatera, and they propagate to the Southeast through the Java Sea until the
northern coast of Great Jakarta the morning of 15 January 2015. The second convective systems give heavy rainfall up
to 10 mm h−1 average over the Great Jakarta area at 04.00 LT.
1. PENDAHULUAN
Istilah mesoscale convective complexes(MCC) dapat didefinisikan sebagai sistem awan konvektif yang
besar, berumur lama dan menunjukkan tutupan awan cenderung berbentuk lingkaran. MCC merupakan salah
satu mesoscale convective systems (MCS) terbesar yang dapat diidentifikasi berdasarkan kriteria Maddox.
Fenomena MCC pertama kali diteliti oleh Maddox 1980 berdasarkan ciri-ciri yang ditunjukkan citra satelit
infrared kanal 1 (IR1) di Amerika Serikat bagian Tengah selama 1978, hasilnya ditemukan bahwa fenomena
MCC ini memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan fenomena-fenomena cuaca skala meso yang
lain. Sehingga Maddox membuat batasan dan definisi umum dari MCC, antara lain: memiliki inti awan
dengan suhu puncak awan lebih kecil atau sama dengan -52oC dengan area lebih besar atau sama dengan
50.000 km2, memiliki selimut awan dengan suhu puncak awan lebih kecil atau sama dengan -32oC dengan
luasan area lebih besar atau sama dengan 100.000 km2 dan cenderung berbentuk lingkaran dengan masa
hidup lebih besar atau sama dengan 6 jam, dan yang terakhir selimut awan harus mempunyai tingkat
kelonjongan (eccentrisity) = 0.7 saat luasan areanya mencapai maksimum.
-388-
Identifikasi Sistem Mesoscale Convective Complexes Pemicu Hujan Lebat JABODETABEK Menggunakan Data Satelit (Nuryanto,
D.E., dkk.)
Sistem MCC dapat menghasilkan cuaca buruk dan hujan yang terus menerus (Maddox 1980; Fritsch
dkk.., 1986; McAnelly dan Cotton 1989) tapi juga menghasilkan curah hujan yang intens di atas wilayah
hujan yang luas (Blamey dan Reason, 2013). MCC yang terjadi di Lautan Hindia juga diketahui telah
menyebabkan curah hujan deras di pantai barat Sumatera pada tanggal 28 Oktober 2007 (Trismidianto dkk.,
2016). Hujan seperti ini dapat menyebabkan banjir diberbagai tempat, misalnya: Amerika Serikat (Maddox,
1981), Amerika Selatan (Durkee dan Mote, 2009), dan Asia Timur (Chen dan Li, 1995). Hasil penelitian
Durkee dkk. (2009) juga menunjukkan secara substansi kontribusi MCC terhadap total curah hujan
sepanjang subtropik Amerika Selatan, dimana MCC mempunyai peran penting dalam anomali curah hujan
musim panas. Secara rata-rata MCC di Amerika Selatan mendistribusikan 15.7 mm curah hujan sepanjang
381.000 km2, menghasilkan volume 7.0 km3. Sedangkan sistem MCC di Benua Maritim Indonesia hanya
muncul di Kalimantan, Papua dan wilayah utara Australia (Miller dan Fritsch, 1991).
Demikian halnya fenomena banjir pada beberapa wilayah di Indonesia menjadi telah perhatian banyak
pihak mengingat terkait dengan kenyamanan bertempat tinggal. Semakin sering terjadinya banjir pada
musim hujan ini ditunjukkan dengan peningkatan frekuensi kejadian banjir tersebut disaat hujan lebat.
Ketika bencana banjir sering terjadi tentunya akan menimbulkan permasalahan turunan lainnya, misalnya
pengungsian penduduk, gangguan kesehatan, adanya korban jiwa hingga terganggunya aktivitas ekonomi di
suatu wilayah dampak banjir. Berdasarkan data yang dihimpun BNPB (2016) selama kurun waktu 1985 –
2015 telah terjadi 6.229 kejadian banjir di wilayah BMI. Sedangkan wilayah JABODETABEK sebagai salah
satu tujuan kaum urban dalam beberapa dekade terakhir mengalami permasalahan banjir. Jika musim hujan
tiba maka masalah banjir akan menjadi topik utama di wilayah JABODETABEK. Hal ini terlihat nyata pada
beberapa banjir dasawarsa tahun terakhir di JABODETABEK telah melumpuhkan perekonomian.
Permasalahan hujan lebat tersebut sudah dikaji oleh beberapa peneliti yang bertepatan dengan kejadian
banjir di JABODETABEK. Hujan lebat di JABODETABEK pada Januari – Februari 2007 terkait dengan
kejadian cold surge dari Borneo vortex (Trilaksono dkk., 2012). Selanjutnya hujan lebat di JABODETABEK
bulan Januari – Februari 2010 terkait dengan penguatan angin laut yang paralel dengan aliran Sungai
Ciliwung (Sulityowati et al., 2014). Sedangkan hujan lebat di JABODETABEK bulan Januari 2013 terkait
dengan fase aktif Madden Julian Oscillation (MJO) (Wu dkk., 2013). Penelitian terbaru tentang hujan lebat
di JABODETABEK bulan Januari 2014 memberikan bukti bahwa jumlah curah hujan maksimum tahunan
tahun 2014 mempunyai kemiripan dengan jumlah curah hujan harian dan dua harian pada 115 tahun terakhir
(Siswanto dkk., 2015). Berdasarkan hasil kajian sebelumnya (Trilaksono dkk., 2012; Wu dkk., 2013;
Sulityowati dkk., 2014; Siswanto dkk., 2015) menunjukkan bahwa saat kejadian banjir di JABODETABEK
terjadi hujan lebat dengan berbagai faktor yang menyebabkannya. Dalam penelitian tersebut belum
disinggung sistem awan konvektif yang terjadi pada saat kejadian hujan lebat tersebut. Artinya belum ada
penelitian yang mengindikasikan adanya banjir tersebut akibat hujan lebat yang terkait dengan kejadian
MCC.
Penelitian ini ditekankan pada fakta adanya curah hujan lebat yang berpotensi mengakibatkan banjir,
dimana curah hujan lebat yang demikian memiliki karakter durasi lama dan area yang luas. Curah hujan lebat
yang memiliki karakter tersebut dihasilkan dari sistem awan-awan konvektif dengan durasi lama dan area
juga luas. Sistem awan konvektif yang demikian dikenal dengan MCC seperti yang diuraikan
sebelumnya.Pada paper ini dilakukan identifikasi sistem MCC yang memicu terjadinya hujan lebat di
kawasan JABODETABEK menggunakan data satelit. Adanya fakta curah hujan lebat pada tanggal 15
Januari 2013 menarik untuk dipelajari apakah ada kaitannya dengan sistem awan yang disebut MCC ataukah
ada sistem lain yang menyebabkannya.
2. METODE
Data awan yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan hasil citra satelit Multi-functional
Transport SATellite (MTSAT), citra suhu IR dengan kanal IR1 dengan panjang gelombang 11 µm yang
menunjukkan suhu permukaan tanah, permukaan laut atau puncak awan di atasnya. Data yang dipergunakan
mempunyai resolusi horizontal 0.08 x 0.08 derajat dan resolusi temporat jam-jaman yang dapat di akses pada
http://database.rish.kyoto-u.ac.jp/arch/ctop/index_e.html (Hamada & Nishi, 2010). Pada IR1 emisivitas tipe
awan mendekati satu kecuali awan cirrus. Sehingga tingkat kecerahan citra yang dideteksi satelit sebanding
dengan suhu sesungguhnya pada puncak awan selain awan cirrus (Adler dan Negri, 1988).Sedangkan untuk
verifikasi kejadian hujan lebat digunakan data pengamatan curah hujan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data curah hujan dari titik stasiun pengamatan sekitar JABODETABEK antara lain: Cengkareng,
Serang, Curug, Tanjung Priok, Kemayoran dan Citeko yang dihimpun oleh BMKG (Gambar 1). Wilayah
studi dapat diperhatikan pada Gambar 1, dengan kotak merah merupakan wilayah JABODETABEK sebagai
wilayah yang terdampak dengan curah hujan lebat.
-389-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 1. Wilayah studi dalam penelitian dengan wilayah terdampak curah hujan lebat sekitar JABODETABEK
dengan kotak merah
Dalam Tabel 1 menunjukkan ambang batas minimal kriteria yang harus dipenuhi menurut beberapa
peneliti sebelumnya untuk dapat menyebutkan bahwa sistem itu merupakan MCC.Ambang batas minimal
kriteria tersebut awal mulanya diperkenalkan oleh Maddox (1980) yang selanjutnya oleh beberapa peneliti
mengalami beberapa modifikasi, dan modifikasi yang dilakukan adalah terkait dengan suhu puncak awan.
Teknik identifikasi MCC menggunakan definisi yang digunakan oleh Blamey & Reason(2012) ditunjukkan
pada Tabel 1. Secara umum data citra satelit IR1 yang mempunyai nilai suhu puncak awan dipilih yang
mempunyai nilai lebih kecil dari 221 K sebagai inti awan dingin (IA). Tiap grid yang memenuhi nilai suhu
puncak awan tersebut selanjutnya nilainya diganti dengan “1” dan yang tidak memenuhi nilai gridnya diganti
dengan angka “0”, proses ini akan merubah data satelit yang sebelumnya dalam suhu (satuan Kelvin)
menjadi data biner. Data biner tersebut kemudian dicari luasan area yang memenuhi syarat suhu (piksel yang
mempunyai nilai “1”) dengan menghitung jumlah piksel yang saling terhubung dengan 4 koneksi grid
disekitarnya. Untuk menentukan luasan area tersebut jumlah grid piksel tersebut dikalikan dengan 78.8544
(artinya 1 grid data mewakili luasan 78.8544 km2. Seleksi selanjutnya hanya dipilih area yang memiliki
luasan IA ≥ 50.000 km². Selanjutnya mencari titik pusat dari area yang terpilih dari prosedur di atas. Titik
pusat ini merupakan pusat massa dari area yang saling terkoneksi. Untuk mencari titik pusat dapat dilakukan
dengan formula Carvhalo dan Jones (2001) menggunakan persamaan (1) berikut:
, dan ..............................................(1)
dimana:
Xiadalah posisi piksel ke-i pada sumbu X,
Yi adalah posisi piksel ke-i pada sumbu Y,
X0 dan Y0 adalah titik pusat dan
N adalah luasan area (total piksel).
-390-
Identifikasi Sistem Mesoscale Convective Complexes Pemicu Hujan Lebat JABODETABEK Menggunakan Data Satelit (Nuryanto,
D.E., dkk.)
Tabel 1. Ambang batas minimal kriteria yang harus dipenuhi menurut beberapa peneliti sebelumnya untuk dapat
menyebutkan bahwa sistem itu merupakan MCC
Karakteristik Maddox (1980) Miller dan Laing dan Fritsch Laurent dkk Blamey dan
Fisis Fritsch (1991) (1993) (1998) Reason (2012)
Suhu Puncak A ≤ 241 K A ≤ 240 K A ≤ 233 K
≤ 217 K ≤ 221 K
Awan B ≤ 221 K B ≤ 219 K B ≤ 213 K
Ukuran A 100000 km2 A 100000 km2 A 80000 km2
50000 km2 50000 km2
B 50000 km2 B 50000 km2 B 30000 km2
Bentuk- 0.7 pada saat 0.7 pada saat 0.7 pada saat 0.7 pada saat 0.7 pada saat
eccentricity fase maksimum fase maksimum fase maksimum fase maksimum fase maksimum
Durasi 6 jam 5 jam 6 jam 6 jam 6 jam
Inisiasi Ketika ukuran Ketika ukuran Ketika ukuran Ketika ukuran Ketika ukuran
dan suhu ambang dan suhu dan suhu ambang dan suhu ambang dan suhu ambang
batas terpenuhi ambang batas batas terpenuhi batas terpenuhi batas terpenuhi
pertama terpenuhi pertama pertama
Maksimum Suhu tutupan Suhu tutupan Suhu tutupan Suhu tutupan Suhu tutupan
awan ≤ 241 K awan ≤ 217 K awan ≤ 240 K awan ≤ 233 K awan ≤ 221 K
mencapai ukuran mencapai ukuran mencapai ukuran mencapai ukuran mencapai ukuran
maksimum maksimum maksimum maksimum maksimum
Berakhir Definisi ukuran A Definisi ukuran Definisi ukuran A Ukuran definisi Definisi ukuran
dan B tidak tidak terpenuhi dan B tidak A dan B tidak tidak terpenuhi
terpenuhi lagi lagi terpenuhi lagi terpenuhi lagi lagi
Lokasi studi AS tengah Pasifik Barat Afrika Barat Afrika Barat Afrika Selatan
Dalam kriteria MCC menurut Maddox (1980) harus mempunyai eksentrisitas ≥ 0.7, sehingga perlu
dilakukan terlebih dahulu pengujian terhadap suatu data biner contoh ideal MCC untuk memastikan batas
eksentrisitas tersebut (menggunakan persamaan 2, 3, 4, 5 dan 6). Pada penelitian ini nilai eksentrisitas ≤ 0.7
tetap digunakan untuk dilihat setiap kemungkinan sistem konvektif yang ada. Metode dikembangkan oleh
Machado et al (1998) pada prinsipnya menghitung sebaran tiap grid data (yang menjadi sistem awan) antara
sumbu x dan sumbu y. Prosesnya adalah pertama-tama dari sebaran grid sistem awan (xi,yi) dihitung
kecenderungan garis lurus dengan least square seluruh posisi piksel dalam sistem awan, garis ini menjadi
sumbu koordinat baru. Sedangkan proses selanjutnya dilakukan proyeksi masing-masing piksel lintang dan
piksel bujur kedalam koordinat baru (Machado et al, 1998):
…............................................(2)
...........................................................................(3)
...................................................(4)
...................................................(5)
.................................................................(6)
dimana:
adalah eccentricity,
loniadalah posisi piksel dalam koordinat ke-i pada sumbu X,
lati adalah posisi piksel dalam koordinat ke-i pada sumbu Y,
xxi dan yyiadalahpanjang minimal dan panjang maksimal luasan awan dan
N adalah luasan area (total piksel).
Pada penelitian kali ini dilakukan plot suhu puncak awan yang direpresentasikan TBB dengan beberapa
definisi pada Tabel 1. Hal ini dilakukan untuk melihat seberapa perbedaan masing-masing definisi dalam
mendefinisikan MCC. Langkah selanjutnya menggunakan salah satu definisi terbaru, diambil Blamey dan
Reason (2012), untuk menghitung dan mengidentifikasi MCC. Setelah diperoleh beberapa kriteria MCC
hasil perhitungan lalu dilakukan penentuan apakah sistem tersebut termasuk dalam sistem MCC atau tidak
setelah di bandingkan dengan data curah hujan pada tanggal 14 – 15 Januari 2013 pada wilayah
JABODETABEK untuk melihat kontribusinya terhadap curah hujan lebat wilayah.
-391-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Tabel 2. Karakteristik Awan-awan Konvektif yang diduga sebagai MCC di Daerah Penelitian
Gambar 2 menunjukkan sistem pertama tanggal 14 Januari 2013 pada saat fase awal, maksimum dan
akhir sistem. Sistem konvektif terbentuk pada pagi hari tanggal 14 Januari 2013 (Gambar 2a) di utara
JABODETABEK di atas Laut Jawa, berkembang dan berpropagasi ke arah Timur Laut dari Laut Jawa.
Sistem ini mencapai luasan maksimum pada pukul 1500 WIB di atas Laut Jawa dengan sebagian kecil
berada di wilayah JABODETABEK (Gambar 2b). Sistem ini berakhir pada pukul 1500 WIB dengan indikasi
sistem awan mulai menghilang (Gambar 2c).
Gambar 2. Suhu puncak awan yang direpresentasikan dengan TBB pada saat fase (a) awal, (b) maksimumdan (c)
akhir sistem awan konvektif pada wilayah studi tanggal 14 Januari 2013. Warna merah merupakan suhu selimut
awan dan warna biru menunjukkan suhu inti awan seperti didefinisikan pada Tabel 1.
Gambar 3 menunjukkan sistem kedua tanggal 14/15 Januari 2013 pada saat fase awal, maksimum dan
akhir sistem. Sistem konvektif terbentuk pada sore hari pukul 1600 WIB tanggal 14 Januari 2013 (Gambar
3a) di utara JABODETABEK di atas Sumatera dan Laut Jawa, berkembang dan berpropagasi ke arah Timur
Laut dari Laut Jawa. Sistem ini mencapai luasan maksimum pada pukul 0200 WIB di atas Laut Jawa, Jawa
Barat dengan wilayah JABODETABEK dan sebagian Lampung (Gambar 3b). Hal ini sesuai dengan sistem
MCC secara umum bahwa MCC mencapai maksimum pada malam dini hari (Maddox, 1980). Sistem ini
berakhir pada pukul 1500 WIB dengan indikasi sistem awan mulai menghilang (Gambar 3c).
-392-
Identifikasi Sistem Mesoscale Convective Complexes Pemicu Hujan Lebat JABODETABEK Menggunakan Data Satelit (Nuryanto,
D.E., dkk.)
Gambar 3. Suhu puncak awan yang direpresentasikan dengan TBB pada saat fase (a) awal, (b) maksimum dan (c)
akhir sistem awan konvektif pada wilayah studi tanggal 14/15 Januari 2013. Warna merah merupakan suhu selimut
awan dan warna biru menunjukkan suhu inti awan seperti didefinisikan pada Tabel 1.
Kedua sistem konvektif yang terbentuk tanggal 14 Januari 2013 pada pagi hari di atas Laut Jawa dan
berpropagasi ke arah Tenggara melalui Laut Jawa hingga pantai utara JABODETABEK pada siang hari,
terbentuk lagi tanggal 15 Januari 2013 pada sore hari di atas Sumatera dan Laut Jawa dan berpropagasi ke
arah Tenggara melalui Laut Jawa hingga pantai utara JABODETABEK pada pagi hari. Sistem konvektif
kedua memberikan curah hujan lebat hingga rata-rata 10 mm/jam di atas kawasan JABODETABEK pada
04.00 WIB.Sedangkan pada sistem pertama tidak memberikan curah hujan (< 1 mm/jam) yang cukup lebat
di atas kawasan JABODETABEK. Secara lengkap curah hujan per tiga jam wilayah sekitar
JABODETABEK dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Curah hujan per 3 jam tanggal 14 – 15 Januari 2013 pada wilayah sekitar JABODETABEK.
Pada Gambar 4 terlihat curah hujan maksimum terjadi di Citeko pada pukul 0700 WIB tanggal 15 Januari
2013 dengan curah hujan hampir 90 mm/3 jam. Sedangkan secara rata-rata wilayah curah hujan maksimum
terjadi pada pukul 0400 WIB tanggal 15 Januari 2013. Hal ini mengindikasikan sistem konvektif yang
mencapai maksimum pada pukul 0200 WIB tanggal 15 Januari 2013 menghasilkan curah hujan lebat secara
wilayah pada antara pukul 0200 – 0400 WIB tanggal 15 Januari 2013. Sementara itu sistem konvektif yang
mencapai maksimum pada pukul 1300 WIB tanggal 14 Januari 2013 tidak menghasilkan curah hujan lebat.
Pada Gambar 4 juga menunjukkan adanya curah hujan lebat pada pukul 1400 – 2200 WIB tanggal 15 Januari
2013 namun tidak terlihat sistem konvektif yang menunjukkan MCC. Gambar 5 adalah suhu puncak awan
yang direpresentasikan TBB pada pukul 1400 WIB, 1700 WIB dan 2000 WIB tanggal 15 Januari 2013
dimana menunjukkan curah hujan lebat seperti terlihat pada Gambar 4.
-393-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 5. Suhu puncak awan yang direpresentasikan dengan TBB pada pukul (a) 1400 WIB, (b) 1700 WIB dan
(c) 2000 WIB sistem awan konvektif pada wilayah studi tanggal 15 Januari 2013. Warna merah merupakan suhu
selimut awan dan warna biru menunjukkan suhu inti awan seperti didefinisikan pada Tabel 1.
Pada Gambar 5 menunjukkan sistem awan konvektif pada saat curah hujan lebat antara pukul 1400 –
2200 WIB tanggal 15 Januari 2013 wilayah JABODETABEK. Hasil tersebut menunjukkan bahwa curah
hujan lebat tidak berasal dari sistem awan kompleks seperti pada kasus kedua tanggal 14/15 Januari 2013.
Demikian juga pada kasus pertama sistem konvektif pada tanggal 14 Januari menunjukkan adanya sistem
awan kompleks namun tidak menghasilkan curah hujan lebat. Pada tahap selanjutnya akan ditunjukkan
properti sistem awan konvektif yang diduga merupakan MCC.
-394-
Identifikasi Sistem Mesoscale Convective Complexes Pemicu Hujan Lebat JABODETABEK Menggunakan Data Satelit (Nuryanto,
D.E., dkk.)
Pada Tabel 3 merupakan properti 2 sistem awan konvektif per jam-nya yang diduga merupakan MCC
pada wilayah studi. Ada dua properti penting yang ditunjukkan pada Tabel 3 itu luasan dan
eccentricity.Secara keseluruhan tidak ada nilai eccentricity yang 0.7 tiap jamnya. Selanjutnya akan dilihat
nilai eccentricity pada fase maksimum sistem tersebut. Pada tanggal 14 Januari 2013 terdapat sistem awan
konvektif dengan eccentricity<0.7yaitu 0.523285, dimana bukan termasuk dalam definisi MCC meskipun
durasinya > 6 jam. Sedangkan pada tanggal 15 Januari 2013 terdapat sistem awan konvektif dengan dengan
eccentricitylebih kecil dari sistem pertama (<0.7)yaitu 0.463322, juga bukan termasuk dalam definisi MCC
meskipun durasinya mencapai 14 jam.
Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa kedua sistem awan konvektif yang teridentifikasi bukan
termasuk MCC seperti yang telah dedefinisikan pada Tabel 1. Kedua sistem awan konvektif tersebut
mempunyai respon yang berbeda terhadap curah hujan, dimana sistem yang pertama tidak menghasilkan
curah hujan deras sedangkan sistem yang kedua menghasilkan curah hujan deras. Menariknya lagi ada sistem
awan yang tidak diduga sebagai MCC namun menghasilkan curah hujan lebat pada wilayah studi. Dalam
studi selanjutnya dapat dilakukan identifikasi sistem awan konvektif tersebut, bisa jadi merupakan definisi
tersendiri yang berbeda dari sistem MCC.
4. KESIMPULAN
Pada penelitian ini, diselidiki propagasi sistem MCC tersebut yang memicu hujan lebat di kawasan
JABODETABEK, menggunakan data pengamatan satelit Multi-functional Transport Satellite (MTSAT)-1R
dan data sinoptik. Sistem tesebut terbentuk dari tengah malam 14 Januari hingga pagi 15 Januari, dan
diperkuat oleh pengaruh angin baratan lapisan bawah. Ada dua sistem konvektif yang terbentuk pada 14 -15
Januari. Pertama, sistem konvektif terbentuk pada siang hari tanggal 14 Januari 2013 di utara
JABODETABEK di atas Laut Jawa, dan berpropagasi ke arah Timur Laut dari Laut Jawa. Kedua, sistem
konvektif yang terbentuk pada tengah malam tanggal 14 Januari di atas Sumatera dan berpropagasi ke arah
Tenggara melalui Laut Jawa hingga pantai utara JABODETABEK pada pagi hari tanggal 15 Januari 2013.
Sistem konvektif kedua memberikan curah hujan lebat hingga rata-rata 10 mm/jam di atas kawasan
JABODETABEK pada 04.00 WIB.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis yang tidak bisa kami
sebutkan satu persatu. Terutama sekali penulis ucapkan terimakasih kepada Allah SWT, orang tua kami dan
keluarga serta rekan-rekan BMKG.
DAFTAR PUSTAKA
Adler, R.F., dan Negri, A.J., (1988). A Satellite Infrared Technique to Estimate Tropical Convective and Stratiform
Rainfall. Journal of Applied Meteorology, 27:30 – 51.
Blamey, R.C., dan Reason, C.J.C., (2012). Mesoscale Convective Complexes over Southern Africa,Journal of Climate,
25:753 – 766.
Blamey, R.C., dan Reason, C.J.C., (2013). The Role of Mesoscale Convective Complexes in Southern Africa Summer
Rainfall, Journal of Climate, 26:1654 – 1668.
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana,(2016). http://dibi.bnpb.go.id/data-bencana/statistik, Diakses tanggal
28 Maret 2016.
Carvalho, L.M.V., dan Jones, C., (2001). A Satellite Method to Identify Structural Properties of Mesoscale Convective
Systems Based on the Maximum Spatial Correlation Tracking Technique (MASCOTTE),Journal of Applied
Meteorology, 40:1683 – 1701.
Chen, Y.-L., dan Li, J., (1995). Large-scale conditions favorable for the development of heavy rainfall during TAMEX
IOP 3, Monthly Weather Review, 123:2978 – 3002.
Durkee, J.D., dan Mote, T.L., (2009). A climatology of warm-season mesoscale convective complexes in subtropical
South America,International Journal of Climatology, 30(3):418 – 431.
Durkee, J.D., Mote, T.L., dan Shepherd, J.M., (2009). The Contribution of Mesoscale Convective Complexes to
Rainfall across Subtropical South America,Journal of Climate, 22:4590 – 4605.
Fritsch, J.M., Kane, R.J.,dan Chelius, C.R., (1986). The Contribution of Mesoscale Convective Weather Systems to the
Warm-Season Precipitation in the United States, Journal of Climate and Applied Meteorology, 25:1333 – 1345.
Hamada, A., dan Nishi, N., (2010). Development of a Cloud-Top Height Estimation Method by Geostationary Satellite
Split-Window Measurements Trained with CloudSat Data, Journal of Applied Meteorology dan Climatology,
49:2035 – 2049.
Laing, A.G., dan Fritsch, J.M., (1993). Mesoscale Convective Complexes in Africa,Monthly Weather Review, 121:2254
– 2263.
-395-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Laurent, H., D’Amato, N., dan Lebel, T., (1998). How important is the contribution of the mesoscale convective
complexes to the Sahelianrainfall?, Physics and Chemistry of the Earth, 23(5–6):629–633, DOI: 10.1016/S0079-
1946(98)00099-8.
Machado, L.A.T., Rossow, W.B., Guedes, R.L., dan Walker, A.W., (1998). Life Cycle Variations of Mesoscale
Convective Systems over the Americas,Monthly Weather Review, 126(6):1630–1654.
Maddox, R,A., (1980). Mesoscale Convective Complexes,Bulletin American Meteorological Society, 61(11):1374 –
1387.
Maddox, R.A., (1981). Picture of the Month: Satellite Depiction of the Life Cycle of a Mesoscale Convective
Complex,Monthly Weather Review, 109:1583 – 1586.
McAnelly, R.L., dan Cotton, W.R., (1989). The Precipitation Life Cycle of Mesoscale Convective Complexes over the
Central United States, Monthly Weather Review, 117:784 – 808.
Miller, D., dan Fritsch, J.M., (1991). Mesoscale Convective Complexes in the Western Pacific Region,Monthly Weather
Review, 119:2978 – 2992.
Siswanto, van Oldenborgh, G.J., van der Schrier, G., Lenderink, G.,dan van den Hurk, B., (2015). Trend in High-Daily
Precipitation Events in Jakarta and the Flooding of January 2014, Bulletin of American Meteorological Society,
DOI:10.1175/BAMS-D-15-00128.1.
Trilaksono, N.J., Otsuka, S., dan Yoden, S., (2012). A Time-Lagged Ensemble Simulation on the Modulation of
Precipitation over West Java in January–February 2007, Monthly Weather Review, 140:601 – 616.
Trismidianto, Hadi, T.W., Ishida, S., Manda, A., Iizuka, S., dan Moteki, Q., (2016). Development processes of oceanic
convective systems inducing the heavy rainfall over the western coast of Sumatra, SOLA, 12:6 –11.
Wu. P., Arbain, A.A, Mori, S., Hamada, J., Hattori, M., Syamsudin, F., dan Yamanaka, M.D., (2013). The Effects of an
Active Phase of the Madden-Julian Oscillation on the Extreme Precipitation Event over Western Java Island, SOLA,
9:79 - 83, doi:10.2151/sola.2013-018.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah : Identifikasi Sistem Mesoscale Convective Complexes Pemicu Hujan Lebat Jabodetabek
Menggunakan Data Satelit
Pemakalah : Danang Eko Nuryanto
Diskusi :
Jawaban:
1. Belum ada penelitian yg secara spesifik menunjukkan ambang minimum intensitas curah hujan rata-rata
yang menimbulkan banjir secara merata di Jakarta, namun peneliti sebelumnya menyebut 10 mm/jam
(Kahlig, 1993) dan 12 mm/jam (Cole dan Moore, 2008) disebut sebagai heavy rainfall. Dalam penelitian
ini mengacu pada Kahlig (1993) untuk ambang batas minimal disebut sebagai heavy rainfall.
2. Data MTSAT langsung menunjukkan kondisi awan terkini bahkan kejadian banjirnya. Namun dengan
mengetahui life cycle sistem tersebut kita dapat memprediksi kpn terjadi hujan lebat yg berpotensi banjir,
dmn dalam 3-6 jam sebelum fase mature sistem dpt kita jadikan sbg indikator terjadinya curah hujan lebat
berpotensi banjir.
-396-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
ABSTRAK - Erupsi gunung berapi aktif dengan formasi sebaran debu vulkanik merupakan salah satu ancaman
bencana di Indonesia. Radar cuaca memiliki kemampuan mendeteksi partikel awan debu vulkanik akibat letusan
gunung berapi, memiliki resolusi spasial dan temporal yang tinggi untuk mengidentifikasi material dan arah sebaran
debu vulkanik. Penelitian ini menggunakan Radar Doppler C-Band untuk memantau debu vulkanik dalam erupsi
Gunung Bromo di Jawa Timur pada tanggal 5 Januari 2016. Analisis menggunakan produk CAPPI V untuk
memprediksi arah sebaran debu vulkanik dan MAX dBZ yang kemudian akan dilakukan cross section untuk melihat
nilai reflektifitas debu vulkanik, mengidentifikasi tinggi kolom letusan, pola sebaran, dan klasifikasi material debu
vulkanik. Nilai indeks reflektifitas diganti pada tampilan produk radar sehingga sesuai dengan klasifikasi material awan
debu vulkanik dilihat dari nilai dBZ-nya. Hasil dari identifikasi menunjukkan material vulkanik saat erupsi primer
Gunung Bromo mencapai nilai maksimum 55 dBZ dan tinggi kolom erupsi hingga 17 km, dengan arah sebaran yang
berbeda pada tiap lapisan ketinggiannya, namun dominan ke arah barat dan barat laut.
Kata kunci: debu vulkanik, radar cuaca, CAPPI V, MAX dBZ, cross section
ABSTRACT - Active volcanic eruptions with spread of volcanic ash formation is one of the hazards in Indonesia.
Weather radar has the ability to detect particles of volcanic ash cloud from the eruption of the volcano, has a high
spatial and temporal resolution to identify the material and the direction of the spread of volcanic ash. This study uses
the C-band Doppler radar to monitor volcanic ash in the eruption of Mount Bromo in East Java on January 5th, 2016.
The analysis using Cappi V to predict the direction of the spread of volcanic ash and MAX which will then be ‘cross-
section’ to see the value of the reflectivity of volcanic ash, identifying the eruption column height, the distribution
pattern, and classification of volcanic ash material. Reflectivity index value is replaced on the display so that the radar
products in accordance with the classification of a volcanic ash cloud material seen from its dBZ value. Results of
identification showing the volcanic material during primary eruption of Bromo reach maximum value 55 dBZ and
eruption column height up to 17 km, with different direction spreads on each layer height, but dominantly are to the
west and northwest.
Keywords: volcanic ash, weather radar, CAPPI V, MAX dBZ, cross section
1. PENDAHULUAN
Erupsi gunung berapi aktif dengan formasi sebaran debu vulkanik merupakan salah satu ancaman
bencana di Indonesia. Pemantauan areal erupsi gunung berapi secara real time dan kontinyu diperlukan
untuk memberikan informasi cepat kepada masyarakat dan pengguna informasi terkait sehingga dapat
diminimalisir dampak dan kerugian harta dan jiwa terhadap masayarakat sekitar. Pada tanggal 5 Januari 2016
letusan Gunung Bromo membuat aktifitas penerbangan Bandar Udara Abdul Rachman Saleh dari dan ke
Malang ditutup sementara hingga aktifitas Gunung Bromo dinilai aman.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sesuai amanat Undang-Undang bertugas untuk
mengamati pergerakan debu vulkanik di atmosfer dan berkoordinasi dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi (PVMBG) terkait aktifitas geologis dari gunung serta Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) terkait tindakan cepat mitigasi. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi material debu vulkanik dan mendeteksi sebarannya adalah radar cuaca. Radar cuaca dapat
memberikan informasi pada area yang relatif luas, pengamatan yang real time dengan resolusi spasial dan
temporal yang tinggi, serta dapat melakukan pengamatan yang berkelanjutan (Marzano dkk., 2006).
Radar cuaca menghasilkan informasi yang detail terkait wilayah jangkauannya, yaitu informasi lintang
dan bujur serta ketinggian elevasi yang beragam. Kelebihan-kelebihan ini dapat digunakan untuk
mengidentifikasi material erupsi gunung berapi dan mendeteksi arah sebaran dari debu vulkanik (Wardoyo
-397-
Identifikasi Awan Debu Vulkanik Menggunakan Radar Cuaca(Studi Kasus Letusan Gunung Bromo 5 Januari 2016)(Setyawan, T.)
dan Matondang, 2014).Zulqisthi (2015) mengkaji sebaran debu vulkanik saat kejadian meletus Gunung
Bromo5 Januari 2016 dan berhasil mengidentifikasi material serta arah sebaran debu vulkanik menggunakan
radar cuaca dengan memanfaatkan produk reflectivity dan velocity.
Radar memancarkan pulsa berupa gelombang elektromagnetik melalui antena dengan arah lurus dan
kecepatan tetap. Setelah gelombang elektromagnetik mengenai objek, maka akan dipantulkan dan
pantulan tersebut akan diterima radar (Rinehart, 2010). Radar cuaca jenis Doppler menghasilkan 3 jenis
output data, yaitu reflektifitas (Z), kecepatan radial (V), dan lebar spektrum (W).
Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan analisis debu vulkanik menggunakan radar cuaca untuk
mengetahui pola, karakteristik, dan sebaran debu vulkanik pada saat erupsi Gunung Bromo di Jawa Timur
pada tanggal 5 Januari 2016. Hasil penelitian ini dapat menjadi pegangan bagi prakirawan cuaca dalam
mengidentifikasi dan menganalisis serta memberikan informasi arah sebaran debu vulkanik sesaat setelah
terjadi erupsi gunung berapi dalam cakupan wilayah pengamatan radar cuaca. Selain itu, informasi jenis
material debu vulkanik yang keluar dapat menjadi informasi yang bermanfaat serta mendukung tumbuhnya
perekonomian rakyat.
2. METODE
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah rawdata radar cuaca Gematronik di Stasiun Meteorologi
Juanda Surabaya. Data yang diambil adalah data scanning radar tanggal 5 Januari 2016 jam 04.00 -04.30
WIB. Radar cuaca tersebut merupakan radar cuaca Doppler single polarization yang dapat menghasilkan
tiga produk data yaitu reflektifitas (reflectivity), kecepatan radial (radial velocity), dan lebar spektral
(spectral width). Objek penelitian adalah Gunung Bromo yang dilaporkan oleh BNPB Jawa Timur sudah
mulai aktif sejak pertengahan bulan Desember 2015. Rawdata radar cuaca akan diolah menggunakan
software Rainbow5 sehingga dihasilkan produk MAX dBZ, vertical cut(V CUT), dan CAPPI V.
Diagram alir pada penelitian berikut adalah sebagai berikut pada Gambar 1:
-398-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 2. Citra produk MAX dBZ pada saat erupsi (pukul 04.00-04.30 WIB)
Citra produk MAX dBZ menunjukkan adanya pola echo yang cukup signifikan di area Gunung Bromo
antara jam 04.00 WIB hingga jam 04.30 WIB diikuti pola perubahan sebaran nilai echo. Nilai echo
maksimum berada di titik pusat Gunung Bromo, semakin menjauh dari titik pusat gunung maka nilai echo
semakin kecil. Sebaran nilai echo yang bervariasi menunjukkan sebaran jenis dan ukuran material yang
dilontarkan oleh erupsi Gunung Bromo. Material yang memiliki ukuran besar cenderung terisolir di area
dekat gunung, sedangkan material yang berukuran lebih kecil dapat mencapai jarak yang lebih jauh karena
terbawa angin. Dari Gambar 1 di atas, terlihat bahwa arah sebaran material cenderung ke arah Barat Daya
dan Selatan.
Gambar 3. Potongan vertikal produk MAX dBZ pada area Gunung Bromo saat keadaan erupsi primer
(pukul 04.10-04.20 WIB)
Pada Gambar 3 didapatkan informasi dari hasil vcut terhadap produk MAX dBZ pada jam 04.10
WIBbahwa ketinggian maksimum kolom erupsi mencapai kurang lebih 6 km. Dapat disimpulkan bahwa
erupsi primer terjadi antara jam 04.10 WIB hingga 04.20 WIB. Pada saat erupsi primer tersebut lontaran
material berukuran sedang mencapai 2 km di atas permukaan laut yang direpresentasikan dengan adanya
-399-
Identifikasi Awan Debu Vulkanik Menggunakan Radar Cuaca(Studi Kasus Letusan Gunung Bromo 5 Januari 2016)(Setyawan, T.)
nilai echomaksimum sebesar 25 dBZ. Semburan material yang lebih halus mencapai hingga ketinggian 6 km
di atas permukaan laut.
Gambar 5.Potongan vertikal produk MAX dBZ pada area Gunung Bromo saat keadaan erupsi primer
pukul 04.10WIB
Berdasarkan tabel 1, irisan vertikal pada saat puncak erupsi dapat dikelompokkan berbagai jenis material
gunung berapi sebagai berikut:
Area nomor 1 (satu) dan 3 (tiga)merupakan campuran antara coarse ash (debu kasar) dengan fine ash
(debu halus) dengan kisaran nilai antara 5-10 dBZ. Material ini tersebar hingga puncak kolom erupsi dan
-400-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
mencapai jarak 6 km. Debu halus dapat tersebar hingga jarak yang lebih jauh bergantung kepada faktor
angin dan cuaca (hujan).
Area nomor 2 (dua) merupakan sebaran material jenis coarse ash (debu kasar). Material ini memiliki
kisaran nilai antara 15-20 dBZ. Material jenis debu kasar ini mencapai ketinggian 6 km pada saat erupsi
primer.
Area nomor 4 (tiga) merupakan campuran antara coarse ash (debu kasar) dengan fine ash (debu halus)
dengan kisaran nilai antara 20-30 dBZ. Material jenis debu kasar ini mencapai ketinggian 2 km.
Gambar 6. Potongan vertikal produk MAX dBZ pada area Gunung Bromo saat keadaan erupsi primer
pukul 04.20 WIB
Irisan vertikal pada jam 04.20 WIB atau 10 menit setelah erupsi puncak dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
Area nomor 1 (satu) dan 3 (tiga) merupakan campuran antara coarse ash (debu kasar) dengan fine ash
(debu halus) dengan kisaran nilai antara 5-10 dBZ. Material ini tersebar hingga puncak kolom erupsi dan
mencapai jarak 7 km. Debu halus dapat tersebar hingga jarak yang lebih jauh bergantung kepada faktor
angin dan cuaca (hujan).
Area nomor 2 (dua) merupakan sebaran material jenis coarse ash (debu kasar). Material ini memiliki
kisaran nilai antara 15-20 dBZ. Material jenis debu kasar ini mencapai ketinggian 6 km pada saat erupsi
primer.
Area nomor 4 (tiga) merupakan campuran antara coarse ash (debu kasar) dengan fine ash (debu halus)
dengan kisaran nilai antara 20-30 dBZ. Material jenis debu kasar ini mencapai ketinggian 3 km.
Tabel 1. Pengelompokkan Jenis Material Debu Vulkanik Berdasarkan Nilai dBZ (Zulqisthi, 2015)
-401-
Identifikasi Awan Debu Vulkanik Menggunakan Radar Cuaca(Studi Kasus Letusan Gunung Bromo 5 Januari 2016)(Setyawan, T.)
4. KESIMPULAN
Berdasarkan dari analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
Radar cuaca memiliki kemampuan cukup baik untuk memberikan informasi tentang erupsi gunung berapi
secara real time dan aktual meliputi pola dan karakteristik erupsi, sebaran debu vulkanik, dan arah
pergerakannya.
Identifikasi material dan arah sebaran debu vulkanik menggunakan radar cuaca dapat dilakukan dengan
memanfaatkan produk reflectivity dan velocity.
Berdasarkan penelitian, erupsi Gunung Bromo menghasilkan material dengan nilai reflektifitas
maksimum sebesar 30 dBZ dan ketinggian kolom letusan mencapai 7 km. Namun radar cuaca belum
mampu mendeteksi partikel jenis fine ash yang memiliki nilai reflektifitas dibawah 0 dBZ.
Radar cuaca mampu mengidentifikasi arah dan pola sebaran debu vulkanik menggunakan produk
velocitydengan cukup baik.
Penelitian yang telah dilakukan dan tertuang dalam tulisan ini merupakan langkah awal dalam
mengoptimalkan fungsi radar cuaca sesuai dengan kebutuhan dan fenomena yang terjadi di area cakupan
radar yang salah satunya adalah debu vulkanik yang dihasilkan oleh erupsi gunung berapi. Namun karena
karakteristik yang berbeda antara debu vulkanik dengan partikel air hujan, maka dibutuhkan sistem scanning
dan konfigurasi yang tepat pada radar cuaca agar lebih optimal dalam mendeteksi partikel debu vulkanik.
Penggunaan clear air mode scanning dianjurkan untuk mendapatkan data debu vulkanik yang lebih detail.
Selain itu, dapat pula dikombinasikan dengan elevation scan pada radar dengan difokuskan pada area gunung
berapi untuk mendapatkan profil data vertikal yang lebih rinci.
Dari penelitian ini, diharapkan mampu dihasilkan suatu pedoman standar untuk memasukkan deteksi abu
vulkanik menggunakan radar cuaca single polarization dalam prosedur operasional standar untuk
mendukung pelayanan informasi dan menunjang keselamatan masyarakat khususnya terkait dunia
penerbangan di Indonesia. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan dengan menggunakan radar
cuaca dual polarization sehingga dapat diperoleh informasi yang lebih detail terkait debu vulkanik.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini tidak akan selesai tanpa data radar cuaca Gematronik milik Stasiun Meteorologi Juanda,
Surabaya. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada teman-teman BMKG di Stasiun
Meteorologi Juanda atas dukungan data dan support kepada penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Lacasse, C., dkk.,(2003). Weather Radar Observations of The Hekla 2000 Eruption Cloud, Iceland. Bull Volcanol,
66:457-473.
Marzano, dkk.,(2006). Can We Use Weather Radar to Retrieve Volcanic Ash Eruption Clouds? A Model and
Experimental Analysis. Paper presented at the Proceedings of ERAD 2006.
Marzano, dkk.,(2010). Monitoring Volcanic Ash Eruption Using Ground-Based C-Band Weather Radar and Model-
Based Techniques. ERAD 2010-The Fifth European Conference on Radar in Meteorology and Hydrology.
Mosher, F.R., (2010). Global Composite of Volcanic Ash “Split Window” Geostationary Satellite Images. P3.13.
Nugraheni, I.R., (2014). Kajian Kejadian Puting Beliung di Sumatera Selatan dengan Memanfaatkan Data Radar
Cuaca (Studi Kasus Januari 2013 - Maret 2014). (Skripsi Diploma IV), STMKG (School of Meteorology
Climatology and Geophysics), Jakarta.
Rinehart, R.E.,(2010). Radar for Meteorologist - Fifth Edition. Nevada, Missouri: Rinehart Publications.
Wardoyo, E.,(2013). Detecting Volcanic Ash with C-Band Weather Radar (Case Study Eruption of Mount Lokon
December 6, 2012).Paper presented at the 1st Asian Conference on Radar Meteorology. Jeju Island, South Korea.
Wardoyo, E., dan Matondang, C.A.,(2014). Identifikasi Debu Vulkanik pada Kejadian erupsi Gunung Sinabung 24
Oktober 2013, 14 dan 18 November 2013. Jurnal Meteorologi dan Geofisika. Jakarta: Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika.
Zulqisthi, H.T.,(2015). Pemanfaatan Radar Cuaca Dalam Mengidentifikasi Awan Debu Vulkanik (Studi Kasus Letusan
Gunung Kelud 13 Februari 2014).(Skripsi Diploma IV), STMKG (School of Meteorology Climatology and
Geophysics), Jakarta.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
-402-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Jawaban:
1. Identifikasi material debu vulkanik untuk mengetahui penyebaran debu secara realtime sesuai dengan
kejadian letusan gunung berapi. Juga berpengaruh dengan dampak kesehatan dan penerbangan pesawat.
2. Scanning adalah proses radar memindai objek. Konfigurasi yang dimaksud adalah setting operasional
radar. Single polarisasi ialah satu jenis polarisasi radar. Dual polarisasi ialah dua jenis polarisasi radar.
-403-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
ABSTRAK-Asap (Smoke) merupakan partikel kering yang melayang-layang di udara, bersumber dari sisa pembakaran
pabrik-pabrik industri ataupun hasil kebakaran hutan dan lahan. Dengan klasifikasi yang merupakan partikel kering,
maka asap tidak mudah hilang dan dapat bertahan lama serta menyebar luas di atmosfer. Salah satu dampak yang sangat
signifikan ialah dapat menggangu jarak pandang (visibility) khususnya pada saat take off dan landing pesawat terbang.
Pada wilayah Indonesia asap yang sering menyelimuti atmosfer ialah asap hasil kebakaran hutan dan lahan. Pada bulan
Oktober 2015, khususnya pada wilayah Maluku yakni Pulau Ambon asap hasil kebakaran hutan dan lahan yang terjadi
pada wilayah Papua bagian selatan. Hal ini tentunya sangat beresiko dan berdampak terhadap aktivitas penerbangan,
oleh karena itu diperlukan alat yang dapat memantau pergerakan dan sebaran asap secara simultan. Salah satu alat yang
dapat dimanfaatkan ialah citra satelit cuaca geostationer (GEO) Himawari-8. Hal ini dikarenakan himawari-8 memiliki
posisi yang tetap berada pada satu titik yang terletak 36.000 km dari permukaaan bumi di atas garis equatorial dan
memiliki kecepatan yang sama dengan kecepatan rotasi bumi. Dengan demikian pemantauan secara simultan dapat
dilakukan dan data yang didapat juga tidak terputus-putus, sesuai area yang kita inginkan. Kemudian dengan
menggunakan software SATAID (SATellite Animation and Interactive Diagnosis) maka data satelit dapat dianalisis
dengan teknik RGB (Red, Green and Blue) dengan menggabungkan channel yang tersedia pada data satelit tersebut.
Dengan demikian dapat memberikan informasi secara cepat, tepat dan akurat.
ABSTRACT - Smoke is a dry particle that floats in the air, comes from the combustion of industrial plants or the result
of land and forest fires. With classification which is dry particle, smoke can not easily lost and last long time,
widespread in the atmosphere. One of very significant impact is that it can interfere with visibility, especially during
take off and aircraft landing. On Indonesian territory, smoke from forest fires and land often surrounds the atmosphere.
In October 2015, particularly on Ambon Island of Maluku, smoke of forest and land fires that occurred is from the
southern region of Papua. This is certainly very risky also effect on flight activity. Therefore, the necessary tools to
monitor the movement and spread of smoke simultaneously is very needed. One of the tools that can be utilized is
weather satellite image geostationary (GEO) Himawari-8. This is because Himawari-8 has a fixed position at a point,
located 36.000 km on the surface of the earth above the equatorial line and has the same speed as the speed of Earth's
rotation. Thus, simultaneous monitoring can be performed also the data obtained does not falter, according to the area
where we want. Then, using software SATAID (Satellite Animation and Interactive Diagnosis), the satellite data can be
analyzed by using RGB (Red, Green and Blue) combining channels available on the satellite data so that it can provide
information quickly and accurately.
1. PENDAHULUAN
Bulan Oktober 2015 pada wilayah Maluku khususnya pulau Ambon dilanda salah satu fenomena
meteorologi yakni asap (smoke). Asap merupakan partikel kering yang mengambang di udara, disebabkan
oleh hasil kebakaran hutan dan lahan. Fenomena asap termasuk kedalam fenomena meteorologi yakni
fenomena Lithometeor (Maynard, 2010). Kondisi ini menyebabkan berkurangnya jarak pandang (visibility)
secara signifikan, yang sangat berdampak terhadap take off dan landing pesawat udara. Sangatlah jelas
bahwa fenomena asap yang tejadi merupakan fenomena yang tidak lazim, khususnya pada wilayah Indonesia
bagian timur yakni Pulau Ambon, sehingga menimbulkan tanda tanya besar bagi sebagian masyarakat. Jika
diteliti berdasarkan ilmu meteorologi dan informasi yang telah dikeluarkan oleh Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa pada tahun 2015 kita juga dihampiri oleh fenomena elnino.
Fenomena elnino yang terjadi pada tahun 2015 berdampak terhadap pengurangan curah hujan pada
sebagian besar wilayah Indonesia memiliki peran yang begitu besar terhadap kondisi kekeringan yang terjadi
-404-
Pemanfaatan Satelit (Himawari-8) Untuk Mendeteksi Sebaran Asap (Smoke) Pada Wilayah Maluku (Studi Kasus : 21 Oktober 2015)
(Salman, R., dkk)
(Salman, 2015). Pada tahun-tahun Elnino, kasus kebakaran lahan dan hutan meningkat tajam (Aldrian,
dkk.,2011). Dengan kekeringan yang berkepanjangan maka semakin besar pula potensi kebakaran hutan
akan terjadi. Selain itu, dengan menguatnya fenomena elnino ini pada fase sedang hingga kuat maka semakin
berkurang pula penguapan yang terjadi sehingga pembentukan awan-awan hujan pun akan berkurang (Zakir,
2010). Tentu saja hal ini berindikasi terhadap kecendurungan curah hujan yang berkurang, sehingga asap
yang tersebar dari kebakaran hutan dan lahan tidak mudah untuk menghilang.
Secara alamiah, asap di atmosfer yang tersebar dapat bertahan berpuluh-puluh tahun karena termasuk
partikel kering (Aldrian, dkk., 2011). Begitu pula sebaliknya, asap yang tersebar di atmosfer pun dapat
menghilang jika terjadi hujan pada wilayah tersebut. Oleh karena itu diperlukan alat pemantau yang dapat
kita gunakan untuk menganalisis arah gerak asap secara cepat, tepat dan akurat. Salah satu alat yang dapat
dimanfaatkan ialah satelit cuaca, yakni satelit cuaca Geostasionary (GEO). Satelit cuaca GEO dapat
dimanfaatkan secara baik untuk memantau pergerakan sebaran asap dikarenakan memiliki posisi yang tetap
berada pada satu titik yang terletak 36.000km dari permukaaan bumi di atas garis equatorial, dan memiliki
kecepatan yang sama dengan kecepatan rotasi bumi (Shimoji, 2015). Dengan demikian pemantauan secara
simultan dapat dilakukan dan data yang didapat juga tidak terputus-putus.
Dalam tulisan ini data satelit cuaca GEO yang digunakan untuk memantau keadaan atmosfer khususnya
sebaran asap yakni citra satelit cuaca milik Japan Meteorological Agency (JMA) himawari-8. Citra satelit
himawari-8 mulai beroperasi pada pertengahan tahun 2015. Himawari-8 dilengkapi dengan 16 channel lebih
banyak dari pada pendahulunya MTSAT yang hanya memiliki 5 channel. 16 channel himawari-8
diantaranya yakni V1, V2, VS, N1, N2, N3, I4, WV, W2, W3, MI, O3, IR, L2, I2, dan CO. Namun dalam
menganalisis sebaran asap yang terjadi pada tanggal 21 Oktober 2015 hanya menggunakan data channel IR,
I2 , VS, N1, dan N3. Data channel VS, N1 dan N3 digunakan untuk membuat citra komposit dengan teknik
Red, Green and Blue (RGB) untuk melihat sebaran asap. Sedangkan data channel S2 (IR-I4) untuk
menganalisis titik kebakaran hutan (Fire Forest).
Interpretasi dengan metode teknik RGB merupakan salah satu cara penggabungan channel yang
diinginkan menggunakan SATAID, untuk dapat mengnalisis suatu fenomena dan mempermudah untuk
menentukan fenomena yang terjadi pada saat itu di atmosfer. Berdasarkan hasil analisis RGB citra satelit
cuaca (himawari-8) tanggal 21 Oktober 2015, jam 07.00 hingga 11.00 WIT menunjukan adanya sebaran asap
(smoke) yang bergerak dari arah tenggara tepatnya pada wilayah Papua bagian selatan meluas ke wilayah
Maluku. Hasil analisis juga menunjukan bahwa asap yang terdeteksi berwarna kemerahan. Pada jam 07.00 -
07.30 WIT terlihat asap masih terbatas hanya pada wilayah Papua bagian selatan hingga laut Aru. Kemudian
pada jam 08.00 WIT – 11.00 WIT sebaran asap hampir menyeluruh menyelimuti wilayah Maluku, seperti :
Kepulauan Aru, Kepulauan Kai, Pulau Banda, Pulau Seram, Pulau Ambon hingga Pulau Buru.
2. METODE
Data yang digunakan ialah data citra satelit cuaca himawari-8 pada tanggal 21 Oktober 2015 data channel
IR, I2 , VS, N1, dan N3. Data channel VS, N1 dan N3digunakan untuk membuat citra komposit dengan
teknik Red, Green and Blue (RGB) untuk melihat sebaran asap. Selanjutnya, didukung dengan data channel
S2 (IR-I4) untuk menganalisis titik kebakaran hutan (Fire Forest).
Sedangkan metode yang digunakan yakni interpretasi citra berdasarkan hasil analisis RGB menggunakan
software SATAID (SATellite Animation and Interactive Diagnosis) versi 300. Dengan Data channel VS
(red) nilai gamma 2.50, N1(green) nilai gamma 1.50 dan N3(blue) nilai gamma 3.00.
-405-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 1. Peta sebaran asap pada wilayah Maluku hasil analisis teknik RGB.
-406-
Pemanfaatan Satelit (Himawari-8) Untuk Mendeteksi Sebaran Asap (Smoke) Pada Wilayah Maluku (Studi Kasus : 21 Oktober 2015)
(Salman, R., dkk)
Gambar 2. Peta titik kebakaran hutan (Fire Forest) wilayah Papua Bagian selatan.
Peta titik kebakaran hutan (Fire Forest) diatas menunjukan bahwa titik kebakaran yang terjadi pada
wilayah Papua bagian selatan. Berdasarkan analisis mengunakan channel S2 (IR-I4) menunjukan bahwa
pada tanggal 21 jam 09.00 hingga 11.30 WIT terdapat 10 titik kebakaran hutan. Hal ini tentu merupakan data
pendukung yang sangat akurat karena dengan pasti menunjukan titik hasil kebakaran hutan di wilayah Papua
bagian selatan. S2 memungkinkan kita untuk dapat melihat titi panas yang terpantau oleh satelit dengan
tanda titik hitam yang muncul secara tetap dan konstan.
4. KESIMPULAN
1. Dengan memanfaatkan data citra satelit himawari-8 yang diolah menggunakan software SATAID
(SATellite Animation and Interactive Diagnosis) yang dianalisis dengan teknik RGB khususnya channel
VS, N1 dan N3, memudahkan kita untuk memantau pergerakan dan arah sebaran asap secara simultan
khususnya terhadap infomasi penerbangan. Kemudian data pendukung seperti titik kebakaran hutan
(Fire Forest) yang juga diolah menggunakan software SATAID (SATellite Animation and Interactive
Diagnosis) sangat membantu untuk memberikan peringatan bahwa pada tanggal 21 Oktober 2015 telah
terjadi kebakaran hutan di wilayah Papua bagian selatan.
2. Pemanfaatan data citra satelit cuaca himawari-8 yang merupakan satelit cuaca geostasioner secara tepat
guna, maka akan sangat membantu kita dalam penyampaian informasi secara cepat, tepat dan akurat
-407-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
kepada masyarakat maupun instansi terkait. Hal ini diharapkan dapat meminimlisir kerugian jiwa, harta
dan benda.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian, E., dkk., (2011). Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia (pp. 89,131). Pusat Perubahan Iklim dan
Kualitas Udara Kedeputian Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. Jakarta
Maynard (2010). Hazardous Lithometeor Threshold. Meteorological Warnings Study Group (METWSG) third
Meeting. ICAO. Montreal.
Salman, R., (2015). Pemanfaatan Data Advance Very Height Radiometer (AVHRR) Citra Satelit Cuaca untuk
Pemantauan Sea Surface Temperature (SST) Selama Periode Elnino Tahun 2015 di Wilayah Maluku. Laporan
Workshop Operasional Satelit Cuaca 2015. Makassar.
Shimoji, K., (2015). Introduction To Remote Sensing. The Meteorological Satellite Center of the Japan Meteorological
Agency. Makassar.
Zakir, A., dkk., (2010). Perspektif Operasional Cuaca Tropis. (pp.211-212). Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kedeputian Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. Jakarta
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah : Pemanfaatan Satelit (Himawari-8) untuk Mendeteksi Sebaran Asap (Smoke)
pada Wilayah Maluku (Studi Kasus: 21 Oktober 2015).
Pemakalah : Rion Salman
Diskusi :
Jawaban:
Tidak ada jawaban dari penulis.
-408-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
ABSTRAK - Analisis kondisi awal tahun (Januari-Februari-Maret,JFM) 2016 merupakan kajian yang sangat menarik
karena munculnya berbagai fenomena di Benua Maritim Indonesia (BMI). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
kondisi atmosfer BMI dengan memanfaatkan data The Japanese 55-year Reanalysis (JRA-55). Data JRA-55 merupakan
seperangkat data produk Japan Meteorology Agency (JMA) yang menggabungkan data observasi, radiosonde, satelit
dan data observasi lainnya selama kurun waktu 55 tahun (1958-2012). Analisis pengaruh kondisi atmosfer BMI
terhadap curah hujan menunjukkan terjadi pengurangan curah hujan selama JFM khususnya di Pulau Jawa dan sebagian
besar Pulau Sumatera. Pengurangan curah hujan ini terjadi akibat berkurangnya proses pembentukan awan di BMI.
Penggunaan data JRA-55 cocok untuk studi tentang perubahan iklim, variabilitas multi-dekade dan monitoring sistem
iklim khususnya di BMI.
Kata kunci: Benua Maritim Indonesia (BMI), ERA-40, JRA-55, The Japanese 55-year Reanalysis
ABSTRACT - Analysis of the conditions in the beginning of year (January-February- March, JFM) 2016 is a very
interesting study for the emergence of various phenomena in Indonesian Maritime Continent (IMC). This study aimed to
analyze the atmospheric conditions of IMC uses data from the Japanese 55-year reanalysis (JRA-55). The JRA-55 is a
dataset from Japan Meteorology Agency (JMA), which combines observational data, radiosonde, satellite and other
observation data for a period of 55 years (1958-2012). Analysis of the influence of atmospheric conditions on IMC
rainfall showed a reduction in rainfall during JFM especially in Java and most of the island of Sumatra. Reduction of
rainfall occurs due to reduced cloud formation processes in IMC. Data usage of JRA-55 is suitable for the study of
climate change, multi-decadal variability and climate system monitoring, especially in IMC.
Keywords: ERA-40, Indonesia Maritime Continent (IMC), JRA-55, The Japanese 55-year Reanalysis
1. PENDAHULUAN
Analisis kondisi atmosfer awal tahun 2016 yaitu pada bulan Januari- Februari-Maret (JFM) merupakan
kajian yang sangat menarik karena fenomena cuaca yang terjadi menyebabkan bencana yang menimpa
sebagian besar wilayah Indonesia. Bencana alam yang mendominasi tersebut diantaranya banjir, puting
beliung dan tanah longsor (BNPB, 2016). Analisis kondisi atmosfer di suatu lokasi sangat penting untuk
memahami fenomena-fenomena alam yang terjadi. Salah satu nya adalah pengaruh El Nino yang berdampak
pada curah hujan di Indonesia. Fenomena El Nino ditandai dengan peningkatan temperatur di sebagai besar
wilayah Indonesia. Peningkatan temperatur ini dirasakan oleh sebagian besar masyarakat dan berpengaruh
terhadap sektor pertanian. Berbagai sirkulasi yang terjadi di atmosfer juga menjadi kajian oleh beberapa
ilmuwan. Salah satunya adalah sirkulasi Brewer-Dobson. Analisis sirkulasi Brewer-Dobson menggunakan
JRA-55 telah dilakukan oleh Kobayashi dkk (Kobayashi dkk, 2016). Sirkulasi Brewer-Dobson merupakan
model sirkulasi sederhana atmosfer, yang diusulkan oleh Alan Brewer dan Gordon Dobson masing-masing
pada tahun 1949 dan 1956. Model sirkulasi atmosfer ini menjelaskan keberadaan arus lambat di musim
dingin belahan bumi yang meredistribusi udara dari daerah tropis ke extratropis. Selain itu, model ini
menjelaskan konsentrasi ozon tropis yang lebih besar dibanding daerah kutub walaupun ozon yang
dihasilkan diumumnya di lapisan stratosfer. Sirkulasi Brewer-Dobson digerakan oleh gelombang atmosfer
dan dapat mengalami percepatan karena perubahan iklim. Fenomena lainnya adalah analisis Madden–Julian
oscillation (MJO) yang juga menggunakan tiga data reanalisis [Japanese 55-year Reanalysis Project (JRA-
55), Japanese 25-year Reanalysis Project (JRA-25), and ECMWF Interim Re-Analysis (ERA-Interim) (Dee
dkk, 2011)] dengan fokus pada variabilitas kolom uap air (Yokoi, 2014).
-409-
Analisis Kondisi Atmosfer di Benua Maritim Indonesia Menggunakan JRA-55 (Kadarsah)
Selain itu, dalam prediksi cuaca numerik operasional, model yang dipergunakan untuk memprediksi
atmosfer didasarkan pada sistem iklim pada saat kondisi awal. Kondisi awal yang diberikan digunakan
sebagai masukan prediksi terdiri dari data untuk berbagai parameter prognostik meteorologi - yaitu,
parameter yang menentukan hasil prediksi model. Parameter meteorologi spasial juga sangat diperlukan oleh
model, misalnya data di setiap titik grid harus sesuai dengan kondisi sekarang dan sebelumnya. Sebaliknya,
data pengamatan yang tersedia biasanya tidak mencakup semua parameter prognosis model, dan beberapa
parameter lainnya. Data pengamatan juga memiliki distribusi spasial yang berbeda dari model grid, yang
hanya berlaku selama rentang waktu tertentu, dan memiliki error pengamatan. Untuk mengatasi hal tersebut
maka dilakukan berbagai teknik asimilasi data. Teknik asimilasi ini digunakan untuk menghasilkan analisis
kondisi awal, yang merupakan input untuk model numerik , dan dengan mempertimbangkan error dalam
model dan data. Luasnya penggunaan data reanalisis tersebut diberbagai bidang, maka analisis kondisi
atmosfer pada bulan Januari-Februari-Maret 2016 menggunakan JRA-55 merupakan sesuatu yang sangat
bermanfaat dan menarik.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi atmosfer saat periode awal tahun 2016 selama
Januari-Maret dengan menggunakan data JRA-55. Hasilnya diharapkan dapat membantu memahami kondisi
atmosfer dan antisipasi bencana alam yang akan terjadi di Indonesia.
-410-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Ozon Pra-1978:klimatologi
1979-sekarang : T42l68 MRI CCM1 (Shibata
dkk.2005)
2.2 Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengumpulkan parameter yang diperlukan
untuk analisis. Parameter tersebut adalah : presipitasi, tekanan dan angin . Selanjutnya dilakukan analisis
anomali presipitasi, tekanan dan angin pada bulan Januari-Februari –Maret (JFM) 2016. Data klimatologi
normal yang digunakan adalah 1981-2010. Selain itu, dilakukan analisis anomali standar deviasi dan rata-
rata curah hujan spasial untuk analisis yang lebih mendalam.
-411-
Analisis Kondisi Atmosfer di Benua Maritim Indonesia Menggunakan JRA-55 (Kadarsah)
turut menambah pasokan uap air khususnya di wilayah Indonesia bagian Barat. Selain itu, indeks seruak
dingin atau cold surge terlihat meningkat yang juga mengindikasikan peningkatan potensi pertumbuhan
awan hujan yang signifikan di wilayah Indonesia bagian barat.
-412-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 3. Rata-rata Anomali Curah Hujan Yang Meliputi Wilayah Dalam Luasan -150 LS s.d 100 LU
Analisis rata-rata anomali curah hujan melintang yang meliputi area -150 LS s.d 100 LU, juga jelas
terlihat menunjukkan kenaikan curah hujan . Kenaikan curah hujan yang menonjol di Januari (terlihat puncak
grafik, Gambar 3) terjadi pada daerah 950 BT. Kenaikan curah hujan secara signifikan disumbang oleh
curah hujan yang terjadi di Sumatera Utara bagian barat. Curah hujan Februari memiliki kondisi curah hujan
yang sama dengan Januari tetapi dengan penambahan curah hujan di longitude 110-1150 BT. Lokasi lainnya
walaupun memili puncak tetapi nilainya masih negatif atau dibawah 0 mm/hari. Nilai yang negatif juga
menunjukkan pengurangan curah hujan di beberapa kawasan tertentu khususnya di lautan. Pengurangan
curah hujan ini relatif konsisten selama JFM khususnya pada kawasan sekitar 1250 BT atau wilayah Nusa
Tenggara Timur dan Maluku. Secara klimatologis kawasan ini merupakan kawasan dengan pola curah hujan
yang mencapai nilai minimum dibanding bulan-bulan lainnya. Kawasan ini memiliki pola curah hujan anti-
monsoon atau Indonesian throughflow (Aldrian dan Susanto, 2003). Pola curah hujan ini disebut juga dengan
pola hujan lokal, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola monsun. Pola
lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi bentuknya berlawanan dengan
tipe hujan monsun. Tetapi pada awal 2016 ini curah hujan yang sudah rendah ini terlihat lebih rendah lagi
dibanding dengan kondisi normalnya.
Selanjutnya analisis kondisi atmosfer atas di Wilayah Indonesia selama JFM (Gambar 4) menunjukkan
bahwa angin bertiup dari bagian timur Indonesia menuju bagian barat dan mengalami kenaikan pada
longitude 95-1000 BT pada Januari. Pola sedikit berbeda terjadi bulan Februari dan Maret, terjadi kenaikan
pada130-145 BT selain kenaikan pada longitude 95-1000 BT. Akibatnya disekitar lokasi ini terjadi konveksi
yang menyebabkan peningkatan potensi terbentuknya awan. Potensi awan yang terbentuk lebih besar
dibanding sekitarnya ini menyebabkan kenaikan curah hujan yang lebih besar dibanding kawasan lainnya.
Kondisi atmosfer yang sesuai menyebabkan proses konveksi dapat terjadi dengan baik dan kemudian
membentuk awan yang pada akhirnya meningkatkan curah hujan di lokasi tersebut.
-413-
Analisis Kondisi Atmosfer di Benua Maritim Indonesia Menggunakan JRA-55 (Kadarsah)
Gambar 4. Penampang Melintang Atmosfer dari 1000 mbar-100 mbar Dalam Area -150 LS s.d 100 LU. Pola
Angin Zonal Ditunjukkan Garis Putus-Putus dan Kelembapan Spesifik Positif (Negatif) Ditunjukkan Warna Biru
(Merah) Selama Januari-Februari-Maret 2016.
-414-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 5. Penampang Melintang Atmosfer dari 1000 mbar-100 mbar Dalam Area -150 LS s.d 100 LU. Kecepatan
Tekanan Vertikal dan Divergensi Selama Januari s.d Maret 2016.
Gambar 5 menunjukkan kondisi atmosfer diatas BMI khususnya mengenai kecepatan tekanan vertikal
dan divergensi saat JFM 2016. Kecepatan tekanan vertikal ini dan divergensi membantu analisis curah hujan
yang terjadi di beberapa lokasi BMI. Terlihat ketika kecepatan tekanan vertikal ini negatif (positif) maka
akan meningkatkan (mengurangi) curah hujan yang terjadi di lokasi tersebut.
4. KESIMPULAN
Analisis kondisi atmosfer di Benua Maritim Indonesia dengan menggunakan data reanalisis JRA-55
dapat membantu untuk memahami kondisi atmosfer dan implikasinya di Benua Maritim Indonesia. Data
reanalisis JRA-55 merupakan data reanalisis variasional 4 dimensi (4D-Var) produk Japan Meteorological
Agency yang memiliki rentang 55 tahun (1958-2012) serta menggabungkan data observasi, radiosonde,
satelit dan data observasi. JRA-55 dapat digunakan untuk studi tentang perubahan iklim, variabilitas multi-dekade
dan monitoring sistem iklim khususnya di BMI. Kondisi awal tahun 2016 ditandai dengan curah hujan yang
relatif lebih tinggi dibanding kondisi normal klimatologinya. Tetapi dibeberapa lokasi terjadi pengurangan
curah hujan khususnya Pulau Jawa dan sebagian besar Sumatera hal ini disebabkan pengaruh El Nino masih
terjadi. Pengurangan curah hujan dibeberapa lokasi tersebut akibat berkurangnya pembentukan awan.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih diberikan untuk Dr.Ardhasena Sopaheluwakan atas berbagai petunjuk dan saran
dalam penggunaan JRA-55.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian, E., dan Susanto, D., (2003). Identification of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia and Their
Relationship to Sea Surface Temperature. International Journal of Climatology , 23:1435-1452.
Anonim (2016). Jumlah Kejadian Bencana, Korban, dan Dampaknya sampai bulan Januari 2016, diunduh 8 Juni 2016
dari .htpp:/bnpb.go.id
Ebita, A., dan Coauthors (2011). The Japanese 55-year reanalysis ‘‘JRA-55’’: An interim report. SOLA, 7:149–152,
doi:10.2151/sola.2011-038.
-415-
Analisis Kondisi Atmosfer di Benua Maritim Indonesia Menggunakan JRA-55 (Kadarsah)
Haiberger, L., Tavolato, C., dan Sperka, S., (2008). Toward elimination of the warm bias in historic radiosonde
temperature records—some new results from a comprehensive intercomparison of upper air data. J Climate,
21:4587–4606
Harada, Y., Kamahori, H., Kobayashi, C., Endo, H., Kobayashi, S., Ota, Y., Onoda, H., Onogi, K., Miyaoka, K., dan
Takahashi, K., (2016). The JRA-55 Reanalysis: Representation of atmospheric circulation and climate variability. J
Meteor. Soc. Japan, doi:10.2151/jmsj.2016-015.
Haiberger, L., Tavolato, C., dan Sperka, S., (2012). Homogenization of the Global Radiosonde Temperature Dataset
through Combined Comparison with Reanalysis Background Series and Neighboring Station. J Climate, 25:8108-
8131
Hodges, K.I, Lee R.W, dan Bengtsson L., (2011). A Comparison of Extratropical Cyclones in Recent Reanalyses ERA-
Interim, NASA MERRA, NCEP CFSR, and JRA-25. J Climate, 24:4888-4960
Kobayashi, S., Ota, Y., Harada, Y., Ebita, A., Moriya, M., …, dan Takahashi, K., (2015). The JRA-55 Reanalysis:
General specifications and basic characteristics. J Meteor. Soc. Japan, 93:5-48, doi:10.2151/jmsj.2015-001
Laffineur, T., Claud, C., Chaboureau, J.P., dan Noer, G., (2014). Polar lows over the Nordic seas: Improved
representation in ERA-Interim compared to ERA-40 and the impact on downscaled simulations. Mon. Wea. Rev.,
142:2271–2289, doi:10.1175/MWR-D-13-00171.1.
Onogi, K., Tsutsui, J., Koide, H., Sakamoto, M., Kobayashi, S., Hatsushika, H., Matsumoto, T., …, dan Taira, R.,
(2007). The JRA-25 Reanalysis. J Meteor. Soc. Japan, 85:369-432, doi:10.2151/jmsj.85.369.
Shunichi, I.W., Hiroshi, N., Wataru, Y., (2016). Climatology of Polar Mesocyclones over the Sea of Japan Using a New
Objective Tracking Method. Monthly Weather Review, 144(7):2503-2515.,
Uppala, S. M., dan Coauthors (2005). The ERA-40 Re-Analysis. Quart. J. Roy. Meteor. Soc., 131:2961–3012.
Yanase, W., Niino, H., Watanabe, S., Hodges, K., Zahn, M., dan Gurvich, I.A., (2015). Climatology of Polar Lows over
the Sea of Japan Using the JRA-55 Reanalysis , J Climate, 29:419-437
Yokoi, S., (2014). Multireanalysis Comparison of Variability in Column Water Vapor and Its Analysis Increment
Associated with the Madden–Julian Oscillation. J Climate, 28:793-808.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
DAFTAR ACARA
PRESENTASI POSTER SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah : Analisis Kondisi Atmosfer Di Benua Maritim Indonesia Menggunakan JRA-55
Pemakalah : Kadarsah (BMKG)
Diskusi :
Jawaban:
1. Terimakasih atas saran gambar, akan diperbaiki.
2. JRA merupakan data reanalisis selama 55 tahun (sebelumnya JRA-25, data reanalisis 25 tahun) produk
JMA (Japan Meteorology Agency). Data ini setelah melalui proses menggunakan asimilasi, ddln
mengabungkan data observasi, radiosonde, satelit. Data observasi yang mereka peroleh dari data WMO
(data WMO ini merupakan kumpulan dari data anggotanya termasuk Indonesia). Detail tentang sumber,
proses asimilasi dlln dijelaskan dalam referensi mengenai JRA-55.(Kobayashi, S., Y. Ota, Y. Harada, A.
Ebita, M. Moriya, H. Onoda, K. Onogi, H. Kamahori, C. Kobayashi, H. Endo, K. Miyaoka, and K.
Takahashi , (2015). The JRA-55 Reanalysis: General specifications and basic characteristics. J. Meteor.
Soc. Japan, 93, 5-48, doi:10.2151/jmsj.2015-001). Grafik yang digambarkan jelas memiliki hubungan
dengan kondisi atmosfer khususnya di BMI (Benua MAritim Indonesia). Kondisi curah hujan yang
terjadi dibeberapa wilayah BMI dipengaruhi atau ada variabel lain yang terlihat berubah misalnya
kecepatan vertikal, divergensi, arah dan kecepatan angin. Yang ditunjukkan disini hanya contoh untuk
kecepatan vertikal dan divergensinya.
-416-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
ABSTRAK –Teknologi penginderaan jauh telah banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan berbagai bidang, salah satunya
adalah estimasi curah hujan. Hingga saat ini teknik estimasi curah hujan khususnya dengan pemanfaatan data citra
satelit banyak dilakukan dengan metode matematis dan deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk membuat klasifikasi
intensitas hujan dari satelit Himawari-8 dengan resolusi spasial mencapai 4 km untuk kanal infra merah. Model estimasi
yang digunakan adalah pendekatan metode Support Vector Machine (SVM) yang merupakan cabang ilmu dari Artificial
Neural Network (ANN). Perhitungan matematis dengan metode ini menghasilkan output dengan meminimalkan nilai
error sehingga model estimasi memiliki performa yang baik dalam mengklasifikasi kejadian hujan. Wilayah yang
digunakan dalam eksperimen ini yaitu pulau Jawa dengan menggunakan lima kanal dari Himawari-8, yaitu kanal-kanal
7 (3,85 µm), kanal 8 (6,25 µm), kanal 13 (10,45 µm), dan kanal 15 (12,35 µm). Data GSMaP (Global Satellite Mapping
of Precipitation) digunakan sebagai data pembanding sekaligus menjadi data training eksperimen klasifikasi curah
hujan. Batasan klasifikasi target antara lain: A (0 mm), B (0,01-0.5 mm), C (0,5-1 mm), D (1-2 mm), E (2-4 mm), F (4-
8 mm), G (8-12 mm), H (12-20 mm), dan I (≥20 mm). Teknik yang dibangun menghasilkan estimasi klasifikasi daerah
hujan yang cukup baik, dilihat dari sebaran hujan pada tanggal 14 Desember 2015 yang mendekati kondisi aktual. Nilai
Root Mean Squared Error (RMSE) 0,2187, Mean Absolute Error (MAE) 0,0478 dan akurasi hingga 70 %
mengindikasikan bahwa performa model estimasi curah hujan dengan SVM menunjukan bias yang cukup kecil dan
kemampuan estimasi area hujan yang cukup akurat.
Kata kunci: Estimasi Curah Hujan, Himawari-8, Support Vector Machine (SVM)
ABSTRACT - Remote sensing technology has been largely used for the needs of various fields includes the rainfall
estimation problems. Recently, rainfall estimation techniques using satellite imagery data are mostly developed by
mathematical and descriptive methods. This research purposed to classify the rainfall intensity from Himawari-8
satellite data with a spatial resolution up to 4 km for infrared channels. The numerical model to solve the problems is
Support Vector Machine algorithm (SVM), which is a branch of Artificial Neural Network (ANN). Mathematical
calculations with this method generates output by minimizing the error value so that the estimation models have good
performance in classifying rainfall event. The area of experiment is Java island by using five channels of Himawari-8,
the image of channel 13 (11 µm), the image of channel 15 (12 µm), the image of channel 8 (6,7 µm) and the image of
the channel 7 (3,9 µm). GSMaP (Global Satellite Mapping of Precipitation) data is used as the comparative data and a
training data of experiments rainfall classification. Limitation of the target classification among others: 0 mm, 0.01-1
mm, 1-5 mm, 5-10 mm, 10-20 mm > 20 mm. This technique showed a good estimation of area rainfall classification,
indentified from the distribution of rainfall on December 14, 2015 that approached an actual conditions. The value of
Root Mean Squared Error (RMSE) 0,2401 and the accuracy up to 82,4% indicated that the performance of rainfall
estimation model with SVM showed small bias and accurate result.
1. PENDAHULUAN
Hujan menjadi salah satu fenomena penting dalam kajian meteorologi karena merupakan suatu kejadian
yang paling sering menjadi sorotan akibat dampak yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Dalam
beberapa tahun terakhir, bencana yang diakibatkan oleh tingginya curah hujan semakin meningkat, hal ini
menjadi tantangan tersendiri untuk selalu memperbaharui dan menyempurnakan metode prakiraan curah
hujan. Kondisi cuaca Indonesia yang cenderung terpangaruh oleh fenomena lokal membuat metode untuk
prakiraan curah hujan menjadi sangat beragam, tergantung dari letak geografis, kondisi topografi serta
kondisi iklim daerah tersebut.
-417-
Klasifikasi Intensitas Hujan dari Data Himawari-8 menggunakan Algoritma Support Vector Machine (SVM) (Triyoga, R.D.,dkk)
Hujan merupakan hal yang penting dalam siklus hidrologi dan memiliki variasi spasial serta temporal
yang sangat besar. Curah hujan juga penting dalam prediksi cuaca dan iklim di mana diperlukan cakupan
data yang luas dan akurat, sehingga pengetahuan tentang jumlah curah hujan pada suatu daerah menjadi
sangat penting. Data curah hujan yang ada di Indonesia saat ini masih terbatas dari alat penakar hujan
konvensional manual dan/atau dari data Automatic Weather Station (AWS) yang tersebar di Indonesia.
Namun untuk daerah kepulauan terutama daerah yang terpencil masih jauh dari jangkauan alat penakar
hujan, baik konvensional maupun otomatis. Oleh karena itu pengembangan estimasi curah hujan sangat
diperlukan. Salah satunya adalah estimasi curah hujan dengan menggunakan data dari citra satelit.
Tulisan ini bertujuan menguji metode estimasi curah hujan dengan menggunakan nilai klasifikasi pada
data satelit Himawari-8 menggunakan perhitungan matematis Support Vektor Machine (SVM) Algorithm.
Penggunaan metode ini didasarkan pada kelebihannya yang mampu menghitung pola data dalam jumlah
yang besar dengan meminimalkan nilai error sehingga dapat memaksimalkan hasil yang akan dicapai
nantinya.
2. METODE
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental. Dimana sampel tempat dan waktu
diambil secara subjektif sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan
tujuan penelitian ini.
Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel wilayah pulau Jawa dengan koordinat 105o – 114oE dan
4.5 – 9oS untuk waktu kejadian hujan tanggal 14 Desember 2015 untuk jam 01-23 UTC. Data yang
o
digunakan adalah data olahan per grid dengan rentang 0.10 untuk spasial wilayah penelitian.
Data utama yang digunakan merupakan data dari hasil olahan citra infrared satelit Himawari-8 yang
terdiri dari kanal 7 (3.85 µm), kanal 8 (6.25 µm), kanal 13 (10.45 µm), dan kanal 15 (12.35 µm).
Penggunaan hanya kanal infrared saja didasarkan pada fungsi dari masing masing kanal yang berkaitan satu
sama lain sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam penerapannya dalam penelitian ini. Selain itu,
penggunaan kanal infrared saja bertujuan untuk mendapat pola data dengan distribusi data yang seimbang
karena seluruh nilai dari data kanal infrared cenderung memiliki besaran nilai yang sama.
Himawari-8 merupakan satelit cuaca dengan orbit geostasioner yang dioperasikan oleh Japan
Meteorological Agency (JMA) dengan koordinat orbit 140oE yang melewati wilayah Jepang, Papua dan
Australia bagian tengah. Himawari-8 merupakan penerus dari satelit cuaca sebelumnya yaitu Multi-
functional Transpotr Satellite (MTSAT-2). Satelit Himawari-8 telah mengalami pengembangan yang
signifikan dengan menawarkan kelebihan pada frekuensi dan resolusi dari citra yang dihasilkan.
Data yang digunakan sebagai data truth atau data pembanding untuk mendapatkan pola klasifikasi hasil
estimasi potensi hujan berdasarkan data citra satelit Himawari-8 adalah dari data GSMaP. Data GSMaP
digunakan karena data tersebut merupakan data observasi curah hujan menggunakan satelit sehingga jenis
data ini dianggap cocok untuk dijadikan sebagai data pembanding dengan data dari citra Himawari-8.
GSMaP atau Global Satellite Mapping of Precipitaion,merupakan sebuah projek yang dipromosikan oleh
JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency) pada tahun 2007 yang bertujuan untuk mempromosikan
kajian tentang produk peta curah hujan global yang akurat dengan resolusi tinggi menggunakan data satelit.
Data ekstraksi hasil olahan awal dari GSMaP diklasifikasikan berdasarkan pola data yang tersedia,
eksperimen dilakukan menggunakan klasifikasi nilai dengan rentang antara lain: A (0 mm), B (0,01-0,5
mm), C (0,5-1 mm), D (1-2 mm), E (2-4 mm), F (4-8 mm), G (8-12 mm), H (12-20 mm), dan I (≥20 mm).
Komputasi dilakukan dengan data permulaan waktu sekarang untuk membangun sebuah model estimasi
yang digunakan untuk perhitungan estimasi potensi curah hujan satu jam yang akan datang, pola perhitungan
ini dilakukan secara berkelanjutan. Sebagai contoh, untuk melakukan estimasi hujan jam 01 Z, maka data
yang digunakan untuk membangun model estimasi adalah data jam 00 Z.
Data olahan citra satelit, data curah hujan GSMaP dan data klasifikasi curah hujan kemudian digabung
dalam sebuah file dengan format baris dan kolom dengan posisi lintang dan bujur yang sama. Data gabungan
tersebut kemudian dikomputasi lebih lanjut dengan perhitungan algoritma SVM menggunakan program
analisis numerik untuk memperoleh hasil estimasi potensi hujan berdasarkan klasifikasi rentang nilai yang
telah ditentukan.
SVM (Support Vector Machine) merupakan proses perhitungan matematika yang meniru sistem kerja
jaringan saraf otak manusia atau yang biasa dikenal dengan istilah Artificial Neural Network (ANN). Dengan
sistem kerja ini, komputasi dapat dilakukan dengan menggunakan banyak data dengan hasil perhitungan
yang memiliki nilai error yang relatif kecil.
-418-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Data Olahan
Algoritma
SVM
Model Estimasi
Estimasi
Potensi Hujan
Gambar 1. Alur Pengolahan Data.
SVM merupakan sebuah algoritma pelatihan yang memaksimalkan margin antara pola pelatihan dan
batas keputusan yang disajikan. Jumlah efektif parameter diatur secara otomatis agar sesuai dengan
kompleksifitas masalah. Secara prinsip, SVM merupakan sebuah klasifikasi data linier yang solusinya
dinyatakan sebagai kombinasi linear dari pola pendukung (Boser, 1994).
Data output hasil prediksi potensi curah hujan yang telah dihasilkan dari perhitungan model estimasi
tersebut kemudian dipetakan berdasarkan wilayah penelitian menggunakan perangkat lunak sistem informasi
geografis untuk mendapatkan sebuah gambaran wilayah yang memiliki potensi hujan.
Gambar 2. Peta Hujan Aktual Jam 14 UTC Gambar 3. Peta Estimasi Potensi Hujan Jam 14 UTC
-419-
Klasifikasi Intensitas Hujan dari Data Himawari-8 menggunakan Algoritma Support Vector Machine (SVM) (Triyoga, R.D.,dkk)
Pada peta hujan aktual jam 14 UTC (Gambar 2), menunjukan sebaran hujan yang paling banyak dengan
intensitas di atas 8 mm terdapat pada bagian tengah dari pulau Jawa yang mencakup hampir seluruh bagian
tengah wilayah pulau Jawa. Untuk peta estimasi potensi hujan jam 14 UTC (Gambar 3), terdapat wilayah
overestimate di bagian perairan selatan pulau Jawa. Sebaran intensitas hujan di atas 8 mm sedikit bergeser ke
arah utara bila dibandingkan dengan peta hujan aktualnya.
Nilai akurasi peta estimasi potensi hujan jam 14 UTC yaitu sebesar 40,83% bila dibandingkan
dengan hujan aktualnya.
Gambar 6. Peta Hujan Aktual Jam 16 UTC Gambar 7. Peta Estimasi Potensi Hujan Jam 16 UTC
Peta Hujan Aktual jam 16 UTC (Gambar 6) memiliki sebaran hujan sama seperti pada Peta Hujan Aktual
jam 15 UTC (Gambar 4) dengan sebaran hujan di wilayah perairan utara, bagian tengah pulau, dan wilayah
perairan bagian selatan pulau Jawa dengan sebaran hujan mencapai lebih dari 12 mm hingga lebih dari 20
mm. terdapat juga wilayah sebaran hujan pada lebih dari 8 mm hingga di atas 20 mm untuk perairan sebelah
timur laut pulau Jawa.
Pada Peta Estimasi Potensi Hujan jam 16 UTC (Gambar 7), didominasi oleh wilayah overestimate dengan
sebaran potensi hujan yang hampir sama dengan hujan aktualnya. Nilai intensitas lebih dari 20 mm pada
sebaran potensi hujan terlihat lebih banyak dibandingkan dengan sebaran hujan aktualnya.
Nilai akurasi untuk Peta Estimasi Potensi Hujan jam 16 UTC mencapai 50,67% dari sebaran hujan
aktualnya.
Tingkat akurasi yang dihasilkan dari hasil estimasi potensi hujan terhadap hujan aktualnya dengan
validasinya (Tabel 1) memiliki keterkaitan, semakin besar nilai tingkat akurasi maka semakin kecil nilai dari
RMSE dan MAE artinya hasil estimasi yang dihasilkan semakin mendekati kondisi aktualnya.
Tingkat Akurasi
78,48%
100,00%
76,33%
57,38%
80,00%
53,15%
53,03%
52,96%
52,94%
Nilai Akurasi
50,79%
50,67%
50,91%
50,48%
49,79%
49,47%
49,52%
49,40%
46,58%
41,73%
40,83%
60,00%
35,69%
31,37%
30,63%
29,53%
23,41%
40,00%
20,00%
0,00%
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Jam (UTC)
Estimasi Potensi Hujan pada tanggal 14 Desember 2015, menunjukkan ada variasi tingkat akurasi yang
terjadi selama 23 Jam (Gambar 8). Pada jam 01 UTC hingga 07 UTC, tingkat akurasi masih relatif sama
yaitu di kisaran 46 – 53 %. Kemudian tingkat akurasi tersebut turun hingga menyentuh angka 23 % pada jam
08 UTC. Namun setelah jam 08 UTC, trend tingkat akurasinya naik secara berkala hingga nilai 78 % pada
jam 23 UTC.
Secara keseluruhan, nilai akurasi estimasi potensi hujan bernilai positif. Hasil estimasi yang dihasilkan
memiliki nilai akurasi yang bertambah hingga mencapai puncaknya pada jam 23 UTC yaitu 78,48 %.
Dengan nilai akurasi ini, estimasi yang dihasilkan oleh perhitungan menggunakan komputasi algoritma SVM
dengan data satelit Himawari-8 selalu menunjukkan hasil yang relatif baik dengan nilai akurasi yang
mencapai lebih dari 70%.
-421-
Klasifikasi Intensitas Hujan dari Data Himawari-8 menggunakan Algoritma Support Vector Machine (SVM) (Triyoga, R.D.,dkk)
Validasi menggunakan nilai RMSE dan MAE bertujuan untuk menghitung keakuratan sebuah model
terhadap nilai aktualnya. Nilai RMSE dan MAE memiliki nilai semakin rendah, maka model tersebut
semakin valid dan mendekati keadaan aktualnya.
Nilai RMSE dan MAE untuk estimasi hujan tanggal 14 Desember 2015 jam 01 – 23 UTC (Gambar 9),
menunjukkan hasil yang positif. Nilai validasi yang dihasilkan paling tinggi yaitu RMSE mencapai 0,2187
dan MAE mencapai 0,0478. Hal ini menunjukkan bahwa model estimasi potensi hujan yang dihasilkan
dengan komputasi Algoritma SVM menggunakan data citra satelit Himawari-8, secara berkala mampu
mendekati kondisi aktualnya.
4. KESIMPULAN
Model estimasi potensi hujan dengan komputasi Algoritma SVM menggunakan data citra satelit
Himawari-8 menunjukan hasil yang positif dengan tingkat akurasi lebih dari 70%. Peta Estimasi Potensi
Hujan yang dihasilkan secara umum memiliki pola sebaran hujan yang hampir sama dengan hujan aktualnya.
Sedangkan intensitas pada peta estimasi potensi hujan cenderung overestimate dari hujan aktualnya.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya ditujukan kepada Sub Bidang Pengelolaan Citra Satelit
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) atas bantuannya dalam menyediakan data satelit
Himawari-8 untuk tanggal 14 Desember 2015.
DAFTAR PUSTAKA
Adler, R. F., dan Negri, A. J. (1988). A satellite technique to estimate tropical convective and stratiform rainfall. J.
Appl. Meteor., 27:30–51.
Ahrens, D.C. (2012). Tenth edition of Meteorology Today : An Introduction To Weather, Climate, And The
Environment. Brooks/Cole, USA.
Boser, Benhard E., Isabelle, M., Guyon, Vladimir, N., dan Vapnik (1992). A Train Algortihm for optional margin
classifiers. Proceeding of the fifth annual workshop on Computational learning theory, USA.
Kidd, C., dan George, H. (2011). Global Precipitation Measurement. Meteorol. Appl., 18:334-353.
Kubota, Takuji, Ken’ichi, O., Shige, Ushio, T., …, dan Oki, R. (2007). Presentasi The Global Satellite Mapping of
Precipitation (GSMaP) Project. The 7th GPM International Planning Workshop. BellesaleKudan, Tokyo, Japan.
Sembiring, K., (2007). Penerapan Teknik Support Vector Machine untuk Pendeteksian Instruksi pada Jaringan. Tugas
Akhir. Teknik Elektro dan Informatika ITB, Bandung.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah : Klasifikasi Intensitas Hujan Dari Data Himawari-8 Menggunakan Algoritma Support
Vector Machine (SVM)
Nama Pemakalah : Raafi'i Darojat Triyoga
-422-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Diskusi :
Jawaban:
Resolusi yang digunakan dalam olahan data 0,10 sebagai eksperimen awal untuk mendapatkan resolusi data
yang seimbang dengan data GSMaP sebagai data pembanding. Metode yang digunakan untuk mengubah
resolusi tersebut adalah metode upscaling. Pemilihan metode ini untuk mendapatkan nilai yang sesuai antara
kedua jenis data tersebut untuk selanjutnya dapat dilakukan komputasi untuk menghasilkan estimasi hujan.
Jawaban:
1. Penggunaan metode komputasi SVM pada penelitian ini bukan ditunjukan untuk mengklasifikasikan
jenis awan. Namun untuk mengklasifikasikan hujan dengan menggunakan data dari satelit Himawari-8.
Estimasi yang dilakukan lebih kepada sifat dari setiap kanal yang digunakan untuk langsung dapat
menghasilkan estimasi hujan dengan mengabaikan jenis awan.
2. Untuk akurasi, penggunaan metose komputasi SVM memiliki tingkat akurasi mencapai 70% (untuk
eksperiman kejadian selama periode 23 jam)
-423-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh-2016
Agenda Acara
Waktu Agenda
Sesi Pleno
Menyanyikan Lagu Indonesia
09.00 – 09.05 Paduan suara dan seluruh peserta
Raya
Laporan Ketua Panitia
09.05 – 09.10 Ir. Rubini Jusuf, M.Si (Ketua Penyelenggara)
Pelaksana Sinas Inderaja 2016
09.10 – 09.20 Sambutan Pembukaan Prof. Dr. Thomas Djamaluddin (Kepala LAPAN)
Peluncuran Buku
09.20 – 09.25 Drs. Bambang S.Tedjasukmana, Dipl.Ing.
Keantariksaan Indonesia
Sesi Presentasi 1.
“Peran LAPAN dalam
penyediaan dan pemanfaatan Dr. Orbita Roswintiarti (Deputi Bidang Penginderaan
09.25 – 09.40
penginderaan jauh untuk Jauh LAPAN)
mendukung pembangunan
nasional”
Sesi Presentasi 2.
“Pemanfaatan data Ir. Yerry Yanuar, M.M. (Kepala Bappeda Provinsi
09.40 – 09.55
penginderaan jauh di Jawa Barat)
Provinsi Jawa Barat”
Sesi Presentasi 3.
“Peran data penginderaan Dr. Ir. Dedi Nursyamsi, M.Agr. (Kepala Balai Besar
09.55– 10.10 jauh dalam pengelolaan Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Kementerian
sumberdaya lahan Pertanian)
pertanian”
-998-
Agenda Acara Sinas Inderaja 2016
10.40– 11.30 Kunjungan Pameran dan Sesi poster 1 dilanjutkan dengan Konferensi Pers
-999-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh-2016
-1000-
Agenda Acara Sinas Inderaja 2016
-1001-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh-2016
-1002-
Agenda Acara Sinas Inderaja 2016
Kekeringan Akibat El
Nino 2015 di
Sulawesi Selatan
(Amsari Mudzakir
Setiawan/IPB)
-1003-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh-2016
-1004-
Agenda Acara Sinas Inderaja 2016
-1005-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh-2016
-1006-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh-2016
DAFTAR PESERTA
Peserta Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2016 berjumlah 352 orang yang terdiri dari para peneliti, perekayasa,
praktisi dan pemerhati penginderaan jauh, juga dari beberapa perwakilan Kementerian, Lembaga, Universitas,
Pemerintah Daerah dan lain-lain. Daftar nama dan asal instansi peserta disajikan pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Daftar nama dan instansi peserta Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2016
NO NAMA INSTANSI
1 A. Hadi Syafrudin Pusteksat LAPAN
2 A. Luthfi Hadiyanto LAPAN
3 A. Naufal Pusfatja LAPAN
4 A. Riza Farhan KKP
5 Abdul Asyiri, Drs., M.Si Pustekdata LAPAN
6 Abdul Rahman PUSTEKSAT LAPAN
7 Abdurahman STMKG
8 Aby Al Khudri, S.Kom Pusfatja LAPAN
9 Achmad LAPAN
10 Achmad Ardy UNILA
11 Achmad Raflie Pahlevi STMKG
12 Achmad Rifani STMKG
13 Adib Ahmad Kurnia Universitas Indonesia
14 Adityo Mega Anggoro STMKG
15 Afif Budiyono LAPAN
16 Agie Wandala STMKG
17 Agus Hidayat PUSKKPA LAPAN
18 Agus Ismail Bappeda Jabar
19 Agus Suprijanto LAPAN
20 Ahmad B. Usman KLHK
21 Ahmad Maryanto, S.Si., M.T Pustekdata LAPAN
22 Ahmad Supriyono Pusfatja LAPAN
23 Ahmad Sutanto, S.Si, M.Si Pusfatja LAPAN
24 Akhmad Solikhin Kementerian ESDM
25 Alafi Hidayatuna Pusfatja LAPAN
26 Albert Sulaiman BPPT
27 Aldino Jusach Saputra Kementerian Kelautan dan Perikanan
28 Alex Tan Digital Globe
29 Ali Syahputra Nasution, ST Pustekdata LAPAN
30 Alia Saskia P. ITB
31 Amandangi Wahyuning Hastuti Kementerian Kelautan dan Perikanan
32 Ambirani Rachmi Putri STMKG
33 Aminah Pustekdata LAPAN
34 Amsari Mudzakir Setiawan IPB
35 Anang Dwi Purwanto, S.T Pusfatja LAPAN
36 Andie Setiyoko, S.T., M.Tech Pustekdata LAPAN
37 Andri Yudiantoro DPK-DKI Jakarta
38 Andriani Agustina KSHU LAPAN
39 Andy Indradjad, S.Si., M.Eng Pustekdata LAPAN
40 Anggara Setyabawana Putra Universitas Islam Indonesia
41 Ani Zubaedah, Dra., M.Si Pusfatja LAPAN
42 Anie Retnowati LAPAN
43 Anis Kamilah Hayati, S.T. Pustekdata LAPAN
44 Anistia Hidayat BMKG
45 Anjar Heriwaseso PVMBG
46 Anneke K.S. Mannopo, S.Pi Pusfatja LAPAN
47 Annisa Fauziah BMKG
48 Annisa Nazmi Azzahra STMKG
49 Aprian Rizki Fauzi KSHU LAPAN
50 Ari Ariandi Pustekdata LAPAN
51 Ari Mutia Tantri, SE Pusfatja LAPAN
52 Aria Jati Kusuma, S.Kom KKP
-1007-
Daftar Peserta Sinas Inderaja 2016
NO NAMA INSTANSI
53 Aries Maulana Pustekdata LAPAN
54 Arif Hidayat LAPAN
55 Ariyanto Airbus
56 Arum Tjahjaningsih, Ir., M.Si Pusfatja LAPAN
57 Aryo Adhi Condro IPB
58 Astri R. PUSKKPA LAPAN
59 Atriyon Julzarika, S.T., M.Eng Pusfatja LAPAN
60 Ayom Widipaminto, S.T., M.T Pustekdata LAPAN
61 Ayuningtyas Nirmala Subandi, S.E Pustekdata LAPAN
62 B. Pratiknyo Adi Mahatmanto, S.T Pustekdata LAPAN
63 Badruzaman Digital Globe
64 Bambang Haryanto, S.E Pustekdata LAPAN
65 Bambang Tedja Kusmana, Dipl. Ing LAPAN
66 Bambang Trisakti, Dr. Pusfatja LAPAN
67 Bayu Sukarta Universitas Hasanuddin
68 Bidawi Hasyim, Dr., M.Si. LAPAN
69 Bintang Media Indonesia
70 BM. Riyanto Subowo, S.T Pusfatja LAPAN
71 Bony Septian Pandjaitan BMKG
72 Budi Rakiso, S.Kom Pusfatja LAPAN
73 Cholifah D. PUSKKPA LAPAN
74 Chris Dewanto KSHU LAPAN
75 Cindy Selly S.D. STMKG
76 Citra Rawena Pusfatja LAPAN
77 Clara Avila Dea Permata STMKG
78 D. Heri Yuli Sulyantara, S.Si., M.Sc Pustekdata LAPAN
79 Dadang Subarna PSTA LAPAN
80 Danang Budi Susetyo BIG
81 Danang Eko Nuryanto IPB
82 Dani Citra Bhumi Indonesia
83 Dani Pamungkas Pusfatja LAPAN
84 Daniel Sande Bona LAPAN
85 Darrin Firda Universitas Indonesia
86 Dasuki Inspektorat LAPAN
87 Davitra Eka Pusfatja LAPAN
88 Dede Dirgahayu Domiri, Dr. Pusfatja LAPAN
89 Dedi Irawadi, Ir. Pustekdata LAPAN
90 Dedi Nursyamsu BBSDCP
91 Destri Yanti Hutapea, S.T. Pustekdata LAPAN
92 Devy Monica, S.Si Pustekdata LAPAN
93 Dewi Indriyati, S.T., M.T.I. Pusdatin Kementerian PUPR
94 Dewi Iva Muzdalifah, SE Pustekdata LAPAN
95 Dhika Pratama Universitas Indonesia
96 Dhita Rahmawati STMKG
97 Dian Asmarani BMKG
98 Dianovita, S.Si Pustekdata LAPAN
99 Dikjiratmi PUSKKPA LAPAN
100 Dimas Kompas
101 Dinari Nikken Sulastrie Sirin, S.T Pustekdata LAPAN
102 Dipo Yudhatama, S.T., M.Si Pusfatja LAPAN
103 Djakno Prakoso Bappeda Provinsi Jawa Tengah
104 Dony Kushardono, Dr. Pusfatja LAPAN
105 Dwi Budi Utami, Ir., M.Si Pusdatin Kementerian PUPR
106 Dwi Budi Wibowo, A.Md Pustekdata LAPAN
107 Dwi Haryanto KSHU LAPAN
108 Dwi Nur Cahyo, A.Md Pustekdata LAPAN
109 Dwi Santy Ratnasari UGM
110 Ediyanta Purba, Drs. Pustekdata LAPAN
111 Eko Susilo Kementerian Kelautan dan Perikanan
112 Eko Yunianto LAPAN
113 Ema Alemima, Dr., Ir., M.P. Bappeda Aceh
-1008-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh-2016
NO NAMA INSTANSI
114 Emalia Efendi, A.Md. Pustekdata LAPAN
115 Emiyati, S.Si, M.Sc Pusfatja LAPAN
116 Endang Purwanti, Dra. Pustekdata LAPAN
117 Erika Dwi Candra UGM
118 Erna Sri Adiningsih, Dr., Ir., M.Si Pustekdata LAPAN
119 Esthi Kurnia Dewi, S.Kom Pusfatja LAPAN
120 Estu Hadi W. Bappeda Provinsi Jawa Barat
121 Ety Parwati, Dr. Pusfatja LAPAN
122 Fadila Muchsin, S.T., M.Si Pustekdata LAPAN
123 Fajar Yulianto, S.Si., M.Si Pusfatja LAPAN
124 Faris S.P. Sains Indonesia
125 Fatah Asep, S.Sos Pusfatja LAPAN
126 Fathurrofi Braharsyah Habibi UGM
127 Febrina Ramadhani Yusuf UGM
128 Ferman Setia Nugroho LAPAN
129 Fikrul Islamy Kementerian Kelautan dan Perikanan
130 Fitra Saleh Universitas Halu Oleo
131 Gagat Nugroho, S.Kom Pusfatja LAPAN
132 Galdita Aruba Chulafak, S.T Pusfatja LAPAN
133 Gathot Winarso, S.Pi., M.Sc Pusfatja LAPAN
134 GH Anto Digital Globe
135 Gunawan Airbus
136 Gusti Darma Yudha, S.Kom Pustekdata LAPAN
137 Hadi Arnowo Kementerian Agraria dan Tata Ruang
138 Hafish Pusfatja LAPAN
139 Hana Listi Fitriana, S.T Pusfatja LAPAN
140 Haris Benediktus, S.E Pusfatja LAPAN
141 Haris Suka Dyatmika, S. Si Pustekdata LAPAN
142 Hasna Apriliyah, A.Md Pustekdata LAPAN
143 Hedy Izmaya, Drs. Pustekdata LAPAN
144 Hendayani, S.Kom., M.Si Pustekdata LAPAN
145 Hendra Pertanian
146 Henny S. LAPAN
147 Henny Sulistyawati LAPAN
148 Hermawan Digital Globe
149 Heru Noviar, S.,Si., M.Si Pusfatja LAPAN
150 Herwan Nur P. Pusfatja LAPAN
151 Hesi Pramuwidita, A.Md. Pustekdata LAPAN
152 Hidayat Gunawan, M.Eng Pustekdata LAPAN
153 I Gusti Ayu Putu Putri Astiduari STMKG
154 I Made Parsa, Ir., M.Si Pusfatja LAPAN
155 I Putu Dedy Pratama BMKG
156 Ida Bappeda
157 Iis Sofiati LAPAN
158 Ilham Guntara UGM
159 Ilham Rosihan Fachturoni STMKG
160 Indah Prasasti, Dr., Ir., M.Si Pusfatja LAPAN
161 Indra Yudha, S.E Pustekdata LAPAN
162 Indri Pratiwi LAPAN
163 Intan Prayuda Wulandari BMKG
164 Irfan Fauzan P. Pusfatja LAPAN
165 Iskandar Effendy, S.Si Pusfatja LAPAN
166 Islam Widia Bagdja, Drs. Pustekdata LAPAN
167 Isna Uswatun Khasanah Institut Teknologi Padang
168 Ita Carolita, Ir., M.Si Pusfatja LAPAN
169 Iwan Ridwansyah, Dr., S.T., M.Sc. LIPI
170 Iwan Sobirin, A.Md Pusfatja LAPAN
171 Jali Octariady BIG
172 Jalu Tejo Nugroho, S.Si., M.T Pusfatja LAPAN
173 Jansen Sitorus, Drs. Pusfatja LAPAN
174 Jhony Siregar LAPAN
-1009-
Daftar Peserta Sinas Inderaja 2016
NO NAMA INSTANSI
175 Kadarsah BMKG
176 Kadek Setiya Wati BMKG
177 Khafid Dwicahyo STMKG
178 Komang Iwan Suniada Kementerian Kelautan dan Perikanan
179 Krisna Indriyawan Pusfatja LAPAN
180 Kuncoro Adi Pradono, S.T Pustekdata LAPAN
181 Kuncoro Teguh Setiawan, S.Si., M.Si Pusfatja LAPAN
182 Kurnia Robiansyah, A.Md Pustekdata LAPAN
183 Kustiyo, Drs., M.Si. Pustekdata LAPAN
184 Lalu Wima R.P Pusfatja LAPAN
185 Laode Muhammad Golok Jaya Universitas Halu Oleo Kendari
186 Liana Fibriawati, S.Si Pustekdata LAPAN
187 Liberson Pakpahan Pustekdata LAPAN
188 Lidya N.H. LAPAN
189 M. Damanhuri DPK-DKI Jakarta
190 M. Irwan Haryono BIG
191 Mafazi Rachman Universitas Brawijaya
192 Mahdi Kartasasmita, MS, Ir., Ph.D. LAPAN
193 Marindah Yulia Iswari LIPI
194 Marlinis BPBD
195 Maryani Hartuti, Dra., M.Sc Pusfatja LAPAN
196 Masagus Zulfikar Rasyidi, S.Si Pusdatin Kementerian PUPR
197 Masita Dwi Mandini Manessa Yamaguchi University
198 Mega Saputra LAPAN
199 Melati Y.F. Media Indonesia
200 Mellisa R.K. PUSKKPA LAPAN
201 Mirzha Hanifah IPB
202 Mitra BPBD
203 Mousafi Dimas Afrizal UGM
204 Muchammad Muchlis, Ir., M.Si Pustekdata LAPAN
205 Muchammad Soleh, S.T., M.Eng Pustekdata LAPAN
206 Muchlisin Arief, Dr. Pusfatja LAPAN
207 Muhammad Hafizt LIPI
208 Muhammad Syamsudin BMKG
209 Mukhoriyah, S.T., M.Si Pusfatja LAPAN
210 Mukodas Bappeda Provinsi Jawa Barat
211 Mulyadi Pustekdata LAPAN
212 Mustofa LAPAN
213 Nadia E.S. Pusfatja LAPAN
214 Nana Suwargana, Drs., M.Si Pusfatja LAPAN
215 Nanda Alfuadi STMKG
216 Nanda Alfuadi STMKG
217 Nanik Suryo Harjani, Dra., M.Si Pusfatja LAPAN
218 Nanin Anggraini, S.Si., M.Si Pusfatja LAPAN
219 Nessia Marga L. PUSKKPA LAPAN
220 Netro Handaru Universitas Brawijaya
221 Ngadino, Drs. Pustekdata LAPAN
222 Ni Made Kusuma Astuti, I.P., S.T. BNPB
223 Ninong Komala LAPAN
224 Noer Syamsu, S.Sos Pusfatja LAPAN
225 Noor Janah, S.Sos Pustekdata LAPAN
226 Noriandini Dewi Salyasari, S.Kom Pustekdata LAPAN
227 Novita Ambarsari LAPAN
228 Nugroho Widi Jatmiko, S.T., M.Eng Pustekdata LAPAN
229 Nur Siti Zulaichah STMKG
230 Nur Febrianti, S.Si., M.Si Pusfatja LAPAN
231 Nur Setiawan BMKG
232 Nursanti Gultom Pusfatja LAPAN
233 Nurwita Mustika Sari, S.Si Pusfatja LAPAN
234 Ogi Gumelar, S.Si Pustekdata LAPAN
235 Orbita Roswintiarti, Dr., M.Sc LAPAN
-1010-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh-2016
NO NAMA INSTANSI
236 Pande Putu Hadi Wiguna STMKG
237 Pandu Adi Minarno Kementerian ESDM
238 Parwati, S.Si., M.sc Pusfatja LAPAN
239 Patria Rachman Hakim Pusteksat LAPAN
240 Priyatna, S.Si., M.T Pusfatja LAPAN
241 Puspa Kusumawardhani UGM
242 R. Johannes Manalu, Ir., M.Si Pusfatja LAPAN
243 Raafi'i Darojat Triyoga STMKG
244 Raa'ina Farah Nur Annisa STMKG
245 Rahayu Trisna Dewi, S.E. Pustekdata LAPAN
246 Rahmadi, S.T Pusfatja LAPAN
247 Rahmat Arief, Dr., Dipl. Ing. Pustekdata LAPAN
248 Rahmat Rizkiyanto, S.Kom Pustekdata LAPAN
249 Rahmatia Dewi Aryanti BMKG
250 Randy Prima Brahmantara, S.T Pustekdata LAPAN
251 Rasyid Airbus
252 Ratih Dewanti, Dra., M.Sc Pustekdata LAPAN
253 Ratih P. LAPAN
254 Renny Agustina LAPAN
255 Revi Hernina UI
256 Reza Digital Globe
257 Riadi Citra Bhumi Indonesia
258 Riris Adriyanto BMKG
259 Rita Silviana Arlis, S.T. Pustekdata LAPAN
260 Riyan Mahendra Saputra, S.T., M.Kom Pustekdata LAPAN
261 Rizal Hidayat BMKG
262 Rizatus Shofiyati Kementan
263 Rizka Aulia, S.E Pustekdata LAPAN
264 Rizki Akbar BIG
265 Rizki Fajar S. Bappeda Provinsi Jawa Tengah
266 Rizky Hanintyo Kementerian Kelautan dan Perikanan
267 Rodhi Janu Aldilla Putri STMKG
268 Rokhis Khomaruddin, Dr. Pusfatja LAPAN
269 Rosita Andari Eka Putri UGM
270 Rossi Noor Pratiwi Pustekdata LAPAN
271 Ruandha KLHK
272 Rubini Jusuf, Ir., M.Si Pustekdata LAPAN
273 Ruwanda Prasetya UGM
274 Saeful Azis Biro Renkeu LAPAN
275 Sagita Wartabone Kepala UPTB Data dan Analisa Pembangunan
276 Samsul Arifin, S.Si., M.Si Pusfatja LAPAN
277 Saprudin, A.Md Pusfatja LAPAN
278 Sarno, Drs., M.Si Pusfatja LAPAN
279 Sartika PSTA LAPAN
280 Sartono Marpaung, S.Si Pusfatja LAPAN
281 Sarwono Pusfatja LAPAN
282 Satrio Fatturahman Universitas Indonesia
283 Sayidah Sulma, S.Pi., M.Si Pusfatja LAPAN
284 Selvy Yolanda BMKG
285 Septian Dwi Cahyani BIG
286 Shailla Rustiana IPB
287 Shinta R.D. PUSKKPA LAPAN
288 Sigid Nurtito LAPAN
289 Sigit Julimantro Pusfatekgan
290 Silvia, Ir. Pusfatja LAPAN
291 Siska Anggraeni STMKG
292 Siti Gora Krisdhi UGM
293 Siti Rahmi Pratiwi, S.T Pustekdata LAPAN
294 Sodikin UIN Jakarta
295 Soko Budoyo, S.Kom Pusfatja LAPAN
296 Sri Hadianti Kementerian Kelautan dan Perikanan
-1011-
Daftar Peserta Sinas Inderaja 2016
NO NAMA INSTANSI
297 Sri Harini, Dra. Pusfatja LAPAN
298 STA Munawar LAPAN
299 Sucipto Pusfatja LAPAN
300 Sugih
301 Sugiyanto, S.Kom Pustekdata LAPAN
302 Suhartono Pustekdata LAPAN
303 Sulastri Husain Bappeda Provinsi Gorontalo
304 Sulis Darmanto, S.Kom Pustekdata LAPAN
305 Sunaryo, Drs. Pusfatja LAPAN
306 Suprihatin, S.Sos Pusfatja LAPAN
307 Susanto, Drs., M.Si Pusfatja LAPAN
308 Suwarsono, S.Si., M.Si Pusfatja LAPAN
309 Syaiful Muflichin Purnama, S.Si Pustekdata LAPAN
310 Syarif Budhiman, S.Pi., M.Sc Pusfatja LAPAN
311 Syifa Wismayati Adawiah, S.Pi Pusfatja LAPAN
312 Tatik Kartika, Dra., M.Si Pusfatja LAPAN
313 Taufik Aulia Rahmat, ST Pustekdata LAPAN
314 Taufik Hidayat, S.Si Pusfatja LAPAN
315 Taufik Maulana, Drs., M.BA Pusfatja LAPAN
316 Teguh Prayogo, S.T., M.Si Pusfatja LAPAN
317 Teguh Setyawan STMKG
318 Titin Suhartini Pusfatja LAPAN
319 Tival Godoras Pusfatja LAPAN
320 Totok Suprapto, Ir., M.T Pusfatja LAPAN
321 Tri Astuti Pandansari, A.Md Pustekdata LAPAN
322 Tri Muji Susantoro ITB
323 Trisna Bappeda Jabar
324 Trisna Subarna, Ir., M.M. Bappeda Provinsi Jawa Barat
325 Tuti Gantini, Ir. Pustekdata LAPAN
326 Udhi Catur Nugroho, S.T Pusfatja LAPAN
327 Umi Sa'adah BMKG
328 Ummu Kultsum Universitas Brawijaya
329 Vidya Nahdhiyatul Fikriyah UGM
330 Vina Nurul Husna IPB
331 Viradhea Gita Rista Laksawana, S.T Pustekdata LAPAN
332 Wahyu Nurbandi UGM
333 Wahyu Putra Pratama Pusfatja LAPAN
334 Wawan K. Harsanugraha, Ir., M.Si Pusfatja LAPAN
335 Widia Siska Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera
336 Widodo BPS
337 Wiji, Ir. Pustekdata LAPAN
338 Wikanti Asriningrum, Dr. Pusfatja LAPAN
339 Winanto, S.T Pusfatja LAPAN
340 Wismu Sunarmodo, S.T Pustekdata LAPAN
341 Wisnu Aji Nugroho Kementerian Agraria dan Tata Ruang
342 Yayat Hidayat, S.Kom Pustekdata LAPAN
343 Yedi G. KLHK
344 Yeni Ikawati, A.Md Pustekdata LAPAN
345 Yennie Marini, S.Pi., M.Eng Pusfatja LAPAN
346 Yosie A.V. Pusfatja LAPAN
347 Yuliantini LAPAN
348 Yulius Kementerian Kelautan dan Perikanan
349 Yunia Sinta, S.E. Pustekdata LAPAN
350 Yusron, S.Kom Pustekdata LAPAN
351 Zain Digital Globe
352 Zylshal, S.Si Pusfatja LAPAN
-1012-