Anda di halaman 1dari 10

Apr 21, '09

Memerangi Orang Kafir Adalah Karena Mereka Memerangi Kaum


1:51 AM
Muslimin
for everyone
Mengapa Kita Memerangi Orang Kafir (Apakah karena kekafiran
mereka atau karena permusuhan mereka?)

Oleh: Farid Nu’man Hasan

Mukadimah

Telah terjadi perselisihan para ulama tentang masalah ini, apakah sebab peperangan kita dengan
orang kafir; apakah karena kekafiran mereka semata, atau karena sikap permusuhan mereka terhadap kaum
muslimin. Namun, sayang perselisihan ini oleh sebagian orang dijadikan sebagai ajang untuk memusuhi
dan memfitnah sesama muslim dan ulama. Syaikh Hasan Al Banna dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi yang
memandang bahwa peperangan dengan Yahudi adalah karena sikap mereka yang memusuhi, mengusir, dan
memerangi umat Islam. Fatwa ini disebut oleh Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhali sebagai pendapat
dan fatwa yang jahat. Lalu, diaminkan oleh yang sepemikirann dengannya. Masih bagus seandainya
dikatakan, “ Ada dua pendapat dalam masalah ini, pendapat yang kuat adalah ini dan yang itu lemah.”
Apa perlunya dibubuhi dengan istilah ‘fatwa yang jahat’? bukankah itu juga difatwakan oleh para imam
seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan
inilah pendapat yang benar. Maka, jahatkah fatwa para imam ini?

Ada sebagian kaum muslimin, meyakini bahwa memerangi orang kafir adalah karena
kekafirannya, bukan karena permusuhan mereka terhadap kita. Inilah pandangan Imam Asy Syafi’i
Radhiallahu ‘Anhu, dan Syaikh Sayyid Quthb Rahimahullah. Sikap ini tentu membawa konsekuensi bahwa
orang kafir di muka bumi ini harus binasa tanpa sisa. Namun, kadang terjadi sikap yang kontradiksi, ketika
mereka meyakini bahwa orang kafir harus diperangi karena faktor aqidah mereka yang kafir, namun dalam
kehidupan keseharian, orang-orang ini justru jauh dari sikap keras terhadap orang kafir.

Ketika para ulama, seperti Syaikh Farid Washil, Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Syaikh Sayyid Ath
Thanthawi, Syaikh Ali Jum’ah, Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, dan lain-lain, memfatwakan boikot produk
Yahudi dan Amerika, justru mereka melecehkan fatwa ini, dan ‘melawan’ fatwa tersebut dengan fatwa
Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin tentang hukum jual beli dengan orang kafir (Yahudi), yang pada
dasarnya adalah mubah. Lucunya, mereka bersemangat menghajr (boikot) sesama muslim, bahkan sesama
mereka sendiri, hanya karena berbeda pendapat dengan mereka, hanya karena berhubungan dengan
organisasi dakwah Islam atau yayasan Islam tertentu. Sementara memboikot penjajah kafir mereka tidak
mau. Wallahul Musta’an!

Ketika ramai segenap umat Islam mengecam Yahudi, atas serangannya ke Jalur Gaza, dan
memberikan dukungan moril dan materil terhadap pejuang Palestina, khususnya HAMAS, justru anehnya
sebagian dari mereka menyalahkan HAMAS. Bahkan menyebarkan tulisan di internet tentang kesesatan
HAMAS yang ditulis oleh beberapa masyayikh mereka, serta ada beberapa SMS gelap yang diterima
beberapa ikhwah bahwa menurut mereka HAMAS lebih Yahudi dibanding Yahudi!. Walau ini hanyalah
oknum, tetapi ada apa sebenarnya ini?

Maka, inilah kenyataan, sedangkan sebelumnya hanyalah teori belaka. Dan Allah Ta’ala
berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu
kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan.” (QS. Ash Shaff (61): 2-3)
Peperangan Terjadi Karena Adanya Permusuhan

Inilah pendapat yang benar. Berdasarkan nash-nash yang jelas, dan dikuatkan oleh pemahaman
para ulama, dan didukung sejarah Islam dalam pensyariatan jihad.

Allah Ta’ala berfirman:

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang Berlaku adil.

Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang
memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang
zalim.” (QS. Al Mumtahanah (60): 8-9)

Dua ayat yang mulia ini, menerangkan bahwa tidak ada larangan berbuat baik dan adil kepada:
orang kafir yang tidak memerangi dan mengusir kaum muslimin.

Sedangkan Allah Ta’ala melarang berkawan dengan: orang kafir yang memerangi dan mengusir
kaum muslimin, dan pihak membantu pengusiran kaum muslimin. Bahkan Allah Ta’ala menyebut sebagai
perbuatan zalim jika kita berkawan dengan orang kafir seperti ini.

Ada sebagian orang membantah ayat ini dijadikan sebagai dalil, alasan mereka karena ayat ini
(ayat 8) hanya berlaku ketika awal Islam saja, dan telah di nasakh (dihapus) dengan ayat: faqtuluu
musyrikina haitsu wajadtumuuhum .. “bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian bertemu
dengan mereka ...” . Demikianlah pendapat Ibnu Zaid dan Qatadah.

Sedangkan Imam Al Qurthubi mengatakan, ayat ini merupakan rukhshah dari Allah Ta’ala bagi
orang kafir yang tidak memusuhi dan memerangi orang beriman. Ada juga yang mengatakan, ayat ini
berlaku karena adanya ‘illah (alasan) yakni perjanjian damai, maka ketika perjanjian damai sudah tidak
berlaku dengan adanya penaklukan kota Mekkah, maka ayat ini tinggal tulisannya saja. Ada pula yang
mengatakan ayat ini khusus orang kafir dari kalangan wanita dan anak-anak, karena mereka tidak
memerangi kaum beriman. Namun kebanyakan ahli tafsir mengatakan, hukum ayat ini masih berlaku,
dengan alasan kisah Asma binti Abu Bakar yang diizinkan Rasulullah untuk bergaul dengan baik dengan
ibunya yang masih musyrik. (Imam Al Qurthubi, Jami’ Li Ahkamil Quran, Juz. 18, Hal. 15)

Benarkah ayat ini telah mansukh? Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari menyebutkan ada tiga
tafsir para ulama terhadap ayat ini.

Pertama, ayat ini bercerita tentang orang-orang beriman di Mekkah dan tidak berhijrah, maka
Allah Ta’ala izinkan mereka untuk berbuat baik dan ihsan kepada orang kafir. Inilah pendapat Mujahid.

Kedua, ayat ini bercerita tentang orang-orang beriman di luar Mekkah dan tidak berhijrah, maka
Allah Ta’a izinkan mereka berbuat baik dan ihsan kepada orang kafir.

Ketiga, ayat ini bercerita tentang orang musyrik yang tidak memerangi orang-orang beriman, dan
mereka juga tidak mengusir orang beriman dari negerinya, namun ayat ini telah di nasakh setelah itu,
dengan ayat perintah memerangi orang musyrik. Inilah pendapat Ibnu Zaid dan Qatadah. Ibnu Zaid berkata:
“Ayat ini telah di nasakh, dengan perintah berperang dan kembali dengan pedang-pedang mereka, berjihad
melawan mereka dengannya, dan memenggal mereka.
Imam Ibnu Jarir mengatakan, yang benar adalah pendapat yang pertama. Tidak benar dikatakan
bahwa ayat ini telah mansukh. Kaum beriman tidak dilarang untuk berbuat baik dan adil terhadap orang-
orang yang tidak memerangi dan mengusir mereka, apa pun millah dan agama mereka, tetap dibolehkan
berbuat baik (Al Birr), berhubungan, dan berbuat adil kepada mereka. Hal ini dikuatkan dengan riwayat
Ibnu Zubeir tentang Asma’ bin Abu Bakar yang ingin menemui ibunya yang masih jahiliyah (musyrik),
dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengizinkan Asma untuk menemuinya dan berbuat baik
kepadanya. (Imam Abu Ja’far Ath Thabari, Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran, Juz. 23, Hal. 322-323)

Imam Asy Syaukani mengatakan bahwa Allah Ta’ala tidak melarang berbuat baik dan adil
kepada orang kafir yang telah membuat perjanjian (damai) dengan orang beriman untuk meninggalkan
perang. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, Juz. 7, Hal. 205. Al Maktabah Asy Syamilah) Artinya,
perang baru ada lagi setelah mereka melanggar perjanjian dengan menyerang kaum muslimin.

Asbabun Nuzul ayat di atas pun, menolak pemahaman mereka. Ayat ini turun karena Asma binti
Abu Bakar ingin memberikan hadiah kepada ibunya yang masih musyrik, tetapi dia tidak berani
melakukannya sebelum ada izin dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hal itu diadukan kepada
‘Aisyah, lalu turunlah ayat di atas: ““Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu ..dst.” Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
memerintahkan Asma untuk memberikan hadiah kepada ibunya dan masuk ke rumahnya. (Imam Abu
Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran, Juz. 23, Hal. 322. Imam Ibnu Katsir,
Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz. 8, Hal. 90)

Dari keterangan ini, menunjukkan bahwa peperangan kita melawan orang kafir, bukan karena
semata-mata kekafiran mereka, melainkan karena perbuatan jahat mereka seperti yang diterangkan dalam
ayat 9. Jika mereka berbuat baik, mau berdamai, tidak mengajak berperang, tidak mengusir, maka ada tidak
larangan berbuat baik dan adil terhadap mereka. Namun, jika mereka memerangi dan mengusir orang
beriman –seperti yang dilakukan Zionis Yahudi terhadap umat Islam Palestina- maka tidak boleh berbuat
baik dengan mereka, apa lagi kerja sama dengan mereka, dan tetap membeli produk-produk mereka dengan
alasan jual beli dengan orang hukumnya mubah!

Jika benar bahwa memerangi orang kafir adalah karena kekafirannya, maka tidak akan ada izin
dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk berbuat baik kepada orang tua yang masih musyrik.
Bahkan Allah Ta’ala tetap memerintahkan untuk berbakti kepada orang tua, walau mereka kafir, selama
tidak diperintah dalam maksiat dan kekafiran. Jika benar bahwa memerangi orang kafir adalah karena
kekafirannya, maka tidak akan ada izin dari Allah Ta’ala atas pembolehan kaum laki-laki beriman
menikahi dengan wanita ahli kitab, dan dalam pandangan kita, ahli kitab juga kafir bukan? Seharusnya
mereka pun juga diperangi bukan dinikahi, karena mereka kafir.

Maka, bagaimana mungkin memerangi orang kafir beralasan karena kekafirannya, padahal Allah
Ta’ala tetap mengizinkan berbuat baik (Al Birr) kepada orang tua walau pun kafir? Seharusnya – jika
konsisten dengan pendapat mereka- maka konsekuensinya orang tua pun harus diperangi karena
kekafirannya itu. Ternyata Allah Ta’ala tetap mengizinkan berbuat baik kepada mereka.

Akhirnya, tidak ada manfaatnya pula para ulama membagi-bagi orang kafir menjadi kafir
dzimmi dan kafir harbi, sebab baik itu dzimmi atau harbi, keduanya tetaplah beraqidah kafir yang harus
diperangi.

Selain ayat di atas, ayat-ayat berikut ini pun menunjukkan bahwa peperangan terjadi karena
penyerangan orang kafir terhadap umat Islam, yakni:

“Dan perangilah fisabilillah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui
batas” (QS. Al Baqarah (22):190)
Ada dua pendapat dalam memahami ayat ini, sebagian ahli tafsir mengatakan surat Al Baqarah
ayat 190 ini telah di nasakh oleh surat Al Bara’ah (At Taubah). Inilah pendapat Ar Rabi’ dan Ibnu Zaid.
Namun yang lain mengatakan ayat ini tidak di nasakh oleh ayat mana pun. Peperangan dibolehkan untuk
yang memerangi saja, bagi yang tidak ikut memerangi kita, seperti anak-anak, wanita, orang tua, dan rahib,
orang yang tidak ikut memerangi, tidak boleh diperangi, jika diperangi juga maka itu melampaui batas.
inilah hukum yang berlaku hingga hari ini. Perang terjadi karena adanya penyerangan, jika mereka diam
kita pun diam. Demikianlah pendapat Ibnu Abbas, Umar bin Abdul Aziz, dan Imam Ibnu Jarir mengatakan
inilah pendapat yang benar. (Jami’ Al Bayan, Juz. 3, Hal. 361-363)

Lebih jelasnya, saya kutip ucapan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma:

‫ فإن َفعلتم هذا فقد‬،‫ف َيده‬


ّ ‫سَلَم وك‬
ّ ‫ن ألقى إليكم ال‬
ْ ‫صبيان ول الشيخ الكبير َول م‬
ّ ‫ل تقتلوا النساء ول ال‬
.‫اعتديتم‬

“Jangan kalian memerangi kaum wanita, anak-anak, orang tua, orang yang menemuimu dengan
salam, dan orang yang menahan tangannya (dari memerangimu, pen). Jika kalian melakukan itu, maka
kalian telah melampaui batas.” (Ibid, Juz. 3, Hal. 563)

Adapun ayat tentang Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), “Perangilah orang-orang yang tidak
beriman kepada Allah dan hari Akhir, tidak mengharamkan apa-apa yang Allah dan RasulNya haramkan,
serta tidak beragama dengan agama yang haq dari kalangan yang telah diberikan kepada mereka Al
Kitab” ..dst (QS. At Taubah: 29) oleh Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid Ridha dikatakan
bukan memerangi semua Ahli Kitab, melainkan mereka yang memerangi kaum muslimin saja.

Selanjutnya, pada ayat lainnya:

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka
telah dianiaya” (QS. Al Hajj (22):39)

Ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa, izin perang melawan orang musyrik baru ada karena
kaum beriman dizalimi dan diperangi. Imam Ibnu Jarir Rahimahullah berkata:

.‫أذن ال للمؤمنين الذين يقاتلون المشركين في سبيله بأن المشركين ظلموهم بقتالهم‬

“Allah Ta’ala mengizinkan orang-orang beriman untuk berperang fisabilillah terhadap orang-
orang musyrik, lantaran orang-orang musyrik telah menzalimi mereka dengan memerangi mereka.”
(Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran, Juz. 18, Hal. 642)

Hal ini juga di tegaskan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu setelah ayat ini turun,
katanya:

‫فعرفت أنه سيكون قتال‬


“Maka, aku tahu bahwa akan terjadi perang.” (Ibid, Juz. 18, Hal. 644)

Sementara Mujahid Radhiallahu ‘Anhu berkata:


‫ فتتأذن ال ت للمتتؤمنين بقتتتال‬،‫ فكتتانوا يمنعتتون‬،‫أناس مؤمنون خرجوا مهاجرين من مكة إلى المدينتتة‬
.‫ فقاتلوهم‬،‫الكفار‬
“Orang-orang beriman keluar untuk hijrah dari Mekkah ke Madinah, tetapi orang-orang kafir
mencegahnya, maka Allah Ta’ala mengizinkan bagi orang-orang beriman untuk memerangi orang kafir,
maka mereka pun memeranginya.” (Ibid, Juz. 18, Hal. 645)

Sekali lagi apa yang dikatakan oleh Imam Mujahid – juga Imam Ibnu Jarir- menunjukkan bahwa
orang beriman memerangi orang kafir karena dilatarbelakangi permusuhan, kezaliman, dan penyerangan
mereka terhadap kaum mukminin. Maka kaum mukminin pun membalasnya, bukan karena faktor
kekafiran mereka semata-mata. Betul, bahwa orang-orang kafir membenci, menganiaya, mengusir dan
memerangi kaum mukmimin karena faktor agama (lihat Al Mumatahanah ayat 9), tetapi tidak sebaliknya
kita terhadap mereka. Ini menunjukkan keluhuran agama Islam dan keunggulan Islam dibanding mereka.

Namun pada kenyataannya nanti, peperangan tersebut pun berimplikasi pada perang agama,
sebab pada akhirnya simbolisasi dan syiar agama tidak bisa dielakkan, seperti yang terjadi antara mujahidin
Palestina melawan Zionis Yahudi. Tujuan peperangan pun bukan karena semata-mata faktor sebidang tanah
yang bernama Palestina, atau karena membela sebuah bangsa dan ras, tetapi lebih dari itu adalah
mempertahankan eksistensi umat Islam, meninggikan kalimat Allah Ta’ala di sana, dan inilah yang
fisabilillah.

Dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:

‫جّل‬
َ ‫عّز َو‬
َ ‫ل‬
ِّ ‫سِبيِل ا‬
َ ‫ي اْلُعْلَيا َفُهَو ِفي‬
َ ‫ل ِه‬
ِّ ‫ن َكِلَمُة ا‬
َ ‫َمنْ َقاَتَل ِلَتُكو‬
“Barangsiapa yang berperang dengan tujuan meninggikan kalimat Allah, maka itulah yang
fisabilillah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Bukhari, Kitab Al ‘Ilmu Bab Man Sa’ala wa Huwa Qa’imun ‘Aliman
Jalisan, Juz. 1, Hal. 209, No. 120. Muslim, Kitab Al Imarah Bab Man Qaatala Litakuna Kalimatallah
Hiyal ‘ulya Fahuwa fi sabilillah, Juz. 10, Hal. 6, No. 3525)

Ayat yang paling tegas dan jelas dalam menguatkan pendapat ini adalah sebagai berikut:

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang
yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. dan Sesungguhnya kamu dapati yang
paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata:
"Sesungguhnya Kami ini orang Nasrani". yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-
orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena Sesungguhnya mereka tidak
menymbongkan diri.” (QS. Al Maidah (5): 82)

Lihat, perangnya kita dengan orang kafir Yahudi, adalah karena kerasnya permusuhan mereka
terhadap orang-orang beriman. Karena inilah kita memerangi mereka. Kita tidak memerangi meraka
dengan alasan mereka menyembah sapi betina, tidak memerangi mereka dengan alasan mereka membunuh
para nabi, tidak memerangi mereka dengan alasan mereka telah merubah taurat, tetapi memerangi mereka
dengan alasan kerasnya permusuhan mereka terhadap kaum muslimin.

Bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Diantara ulama Ahlus Sunnah yang berpendapat bahwa memerangi orang kafir adalah
disebabkan permusuhan dan penindasan mereka terhadap kaum muslimin, adalah Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah Rahimahullah, dalam dalam buku kecil Risalah Al Qital, pada kompilasi Majmu’ Ar Rasail An
Najdiyyah.

Imam Ibnu Taimiyah membahas masalah ini bahwa asal diwajibkannya perang dan apa yang
menjadi menyebabnya. Dia menegaskan bahwa secara realitas pendapat yang mengatakan kewajiban
perang adalah disebabkan adanya tindakan orang kafir yang melakukan tindakan permusuhan keras
terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Mereka dikeluarkan dari negeri
dan tempat tinggal mereka. Lalu apakah yang menjadi penyebab peperangan itu? Apakah karena mereka itu
orang kafir atau karena mereka melakukan permusuhan? Jika jawabannya yang pertama, maka boleh saja
memerangi orang kafir kapan saja dan di mana saja. Jika jawabannya yang kedua, maka sesungguhnya
tidak boleh bagi siapa pun untuk memerangi orang kafir kecuali jika dia melakukan permusuhan. Sebab
tidak semua orang kafir bisa diperangi. Jika sebab perang karena seseorang statusnya yang kafir, maka
hubungan antara kaum muslimin dan orang kafir adalah hubungan perang hingga ada satu perjanjian dan
kesepakatan. Dan tentu saja setiap negeri yang tidak beragama Islam adalah negeri perang (Darul Harb)
sebelum adanya kesepakatan.

Namun jika sebab perang adalah karena permusuhan mereka terhadap kaum muslimin, maka
dasar hubungan kaum muslimin dan non muslim adalah damai, hingga adanya hal-hal yang mendorong
terjadinya perang. Dan jika dasar hubungan kaum muslimin dan non muslim adalah damai, maka boleh saja
melakukan perjanjian yang sifatnya abadi. Sebab, makna kesepakatan tersebut adalah kesepakatan untuk
tidak saling mengganggu. Jika asal hubungan kaum mslimin dan non muslim adalah perang, maka tidak
boleh mengadakan suatu perjanjian kecuali dalam batas tertentu.

Dengan demikian ada tiga masalah yang saling berhubungan. Pertama, masalah perang, apakah
karena kekafiran atau karena permusuhan mereka. Kedua, dasar hubungan antara kaum muslimin dan non
muslim, apakah damai atau perang. Ketiga, boleh tidaknya mengadakan perjanjian damai yang permanen.

Kita akan membahas masalah pertama saja. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan ada dua
pendapat tentang apakah peperangan kita dengan orang kafir karena kakafiran mereka, atau karena mereka
memusuhi kaum muslimin.

Pertama, pendapat jumhur seperti Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan yang
lainnya yang mengadakan bahwa asal diperangi orang kafir adalah karena mereka melakukan permusuhan.
Konsekuensi dari pendapat ini adalah bahwa tidak ada perang jika tidak permusuhan. Sebab perang itu
hanyalah untuk membela diri dan bukan untuk melakukan sergapan dan penyerangan. Dan jika perang
bergolak maka tidak boleh ada pembunuhan kecuali terhadap orang-orang yang ikut berperang dan para
ahli strategi mereka. Tidak diperkenankan membunuh para wanita, pendeta ahli ibadah, orang jompo, dan
yang berpenyakit parah karena mereka tidak ikut memerangi kaum muslimin dan tidak memiliki
pengalaman perang yang bisa diambil manfaatnya oleh mereka sendiri. Ringkasnya adalah, orang-orang
yang tidak ikut berperang dan tidak memerintahkan orang lain untuk berperang, serta tidak bisa diambil
manfaatnya dalam perang, mereka tidak boleh dibunuh.

Kedua, sesungguhnya yang membolehkan seseorang itu diperangi adalah karena dia memiliki
sifat kafir dan bukan karena mereka melakukan tindakan permusuhan. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i.
Dengan demikian, maka setiap orang kafir yang telah baligh boleh diperangi, baik yang mampu berperang
atau tidak, baik dia seorang yang terlibat perang atau tidak, baik yang membantu atau tidak.

Imam Ibnu Tamiyah mengatakan pendapat jumhur adalah pendapat yang benar, yang memiliki
dasar dan sandaran kuat dari Al Quran dan As Sunnah. Beliau berkata, “Perkataan jumhur ulama dalah
pendapat yang ditetapkan oleh Al Quran dan As Sunnah.” (Risalah Al Qital, Hal. 116)

Imam Ibnu Taimiyah memaparkan beberapa dalil Al Quran, di antaranya:


“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat
mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan
janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu.
jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka bunuhlah mereka. Demikanlah Balasan bagi orang-
orang kafir. kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan
(sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu),
Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. Bulan Haram dengan bulan
haram , dan pada sesuatu yang patut dihormati , Berlaku hukum qishaash. oleh sebab itu Barangsiapa
yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. bertakwalah
kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah (2):
191-194)

Beliau membahas, bahwa ayat ini menunjukkan atas disyariatkannya perang untuk membela diri
bisa dilihat dari beberapa sisi.

Pertama: sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Dan perangilah di jalan Allah terhadap orang-
orang yang memerangi kamu,” dengan demikian kebolehan berperang untuk kaum muslimin adalah karena
adanya serangan dari pihak lain. Inilah alasan dibolehkannya perang itu.

Kedua: firman Allah Ta’ala dalam ayat itu yang mengatakan, “dan janganlah kamu melampaui
batas ,” ayat ini menerangkan bahwa memerangi orang yang tidak memerangi kita, atau orang-orang yang
tidak pantas diperangi, adalah tindakan permusuhan yang terlarang.

Ketiga: seseungguhnya Allah Ta’ala menjadikan puncak dari perang adalah mencegah fitnah.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga)
ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.” Dengan demikian, jelas bagi kita semua, tentang pendorong
dan tujuan akhir dari perang. Pendorongnya adalah permusuhan yang menimbulkan fitnah, sedangkan
tujuan akhirnya adalah penghentian fitnah. Demikian.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantah pihak yang menilai bahwa ayat in telah di nasakh
(dihapus hukumnya dan telah diganti dengan hukum lain), beliau membantah satu persatu alasan mereka,
hingga akhirnya dia mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan ayat ini telah di nasakh adalah
pendapat yang lemah. Beliau berkata: “Sesungguhnya anggapan bahwa ayat ini mansukh adalah
perkataan yang membutuhkan dalil. Sebab di dalam Al Quran tidak ada satu ayat pun yang bertentangan
dengan ayat ini. Semua ayatnya sepakat dengan ayat ini. Lalu manakah ayat yang menghapusnya
(nasikh)?” (Ibid, Hal. 118)

Menurutnya adalah hal yang aneh, jika larangan ‘jangan melampaui batas’ di hapus, tetapi mereka
justru mengatakan, “Sesungguhnya melampaui batas itu adalah satu kezaliman dan Allah tidak menyukai
kezaliman.”

Imam Ibnu Taimiyah juga berdalil dengan ayat lain, yakni:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat. “ (QS. Al Baqarah (2): 256)

Ayat ini bersifat umum. Seandainya perang itu adalah karena kekafiran seseorang, maka pastilah
perang merupakan paksaan untuk masuk Islam. Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya kami tidak
pernah memaksa orang lain untuk masuk Islam. andai seseorang diperangi agar dia masuk Islam, maka hal
itu merupakan pemaksaan paling besar terhadap orang lain untuk masuk Islam.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantah pihak yang mengatakan bahwa ayat ini telah di nasakh.
Beliau mengatakan: “Semua ulama salaf mengatakan bahwa ayat ini tidak bersifat khusus dan tidak pula
mansukh. Bahkan mereka mengatakan bahwa kami tidak pernah melakukan pemaksaan kepada orang lain
untuk masuk ke dalam Islam. Kami akan memerangi orang-orang yang memerangi kami, dan jika mereka
masuk Islam, maka darah dan harta mereka terlindungi. Jika dia bukan dari orang yang pantas untuk
diperangi, maka kami tidak akan memeranginya dan kami tidak akan memaksakannya untuk masuk ke
dalam Islam.” (Ibid, Hal. 123)

Syaikhul Islam juga memaparkan dalil-dalil dari As Sunnah. Dikisahkan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam penah melewati seorang wanita yang terbunuh. Saat itu Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak sepantasnya wanita ini diperangi dan dibunuh.” Dari sini
jelaslah bahwa sebab larangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membunuh wanita itu adalah
karena dia tidak ikut perang. Dengan demikian, perang yang mereka lakukanlah sebagai pendorong bagi
kita untuk memerangi mereka.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu memperingatkan kepada tentaranya yang akan
berangkat perang agar tidak membunuh siapa pun kecuali mereka yang ikut berperang. Beliau bersabda:
“Berangkatlah kalian dengan menyebut nama Allah, bersama Allah dan selalu tetap di atas agama
Rasulullah. Jangan membunuh orang jompo, anak-anak, dan wanita. Janganlah kalian melampaui batas,
kumpulkanlah harta rampasan kalian, berbuat baiklah sesungguhnya Allah senang terhadap orang yang
berbuat baik.”

Nabi juga pernah menawan laki-laki dan perempuan musyrikin, tetapi beliau tidak pernah
memaksa mereka untuk masuk agama Islam. Bahkan Rasulullah pernah berbuat baik kepada musyrikin
yang ditawan, Tsumamah bin Utsal. Rasulullah tidak memaksanya untuk masuk Islam, hingga akhirnya ia
sadar sendiri untuk masuk Islam. Hal ini juga dilakukan Rasulullah dalam menyikapi tawanan perang
Badar.

Syaikhul Islam mengatakan, “Sirah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menunjukkan


kepada kita, bahwa siapa saja yang mengangkat kesepakatan dengannya, maka dia tidak akan pernah
memeranginya. Kitab-kitab sirah, hadits, tafsir, dan kisah-kisah peperangan Rasulullah membuktikan hal
itu, berita tentang hal ini telah menjadi berita yang hampir semua orang tahu. Bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah memulai peperangan dengan siapa pun.” (Ibid, Hal. 125)

Demikianlah. Maka, pendapat yang menyebutkan bahwa peperangan umat Islam dengan orang
kafir (termasuk Yahudi), adalah karena faktor permusuhan dan penyerangan mereka terhadap kaum
muslimin, adalah pendapat yang kuat. Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, seperti Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal, lalu dikuatkan oleh Imam Ibnu Taimiyah. Pendapat
inilah yang difatwakan oleh Syaikh Hasan Al Banna dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, namun sayangnya
pendapat ini disebut oleh sebagian mereka sebagai fatwa yang jahat. Laa haulaa walaa quwwata illa
billah...

Berperang Karena Membela Palestina dan Al Aqsha

Sebagian manusia juga ada yang melecehkan hal ini, kata mereka, perang saat ini karena
sebidang tanah! Kami sudah katakan sebelumnya, peperangan kita adalah lebih tinggi dari itu yaitu
mempertahankan eksistensi umat Islam dan meninggikan kalimat Allah Ta’ala di sana.

Namun, perang karena membela Palestina dan Al Aqsha juga bukan kesalahan, dan tidak juga
dikatakan bukan jihad, dan jika terbunuh bukan syahid. Tidak demikian! Sebab Allah Ta’ala telah
memuliakan wilayah tersebut, memberkahinya, serta tempatnya para nabi dan shalihin.

Allah Ta’ala berfirman:


“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil
Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.” (QS. Al Isra’ (17): 1)

Berkata Imam Ali Asy Syaukani Rahimahullah tentang makna “telah Kami berkahi
sekelilingnya”:

‫ فقد بارك ال سبحانه حول المستتجد القصتتى ببركتتات التتدنيا‬، ‫بالثمار والنهار والنبياء والصالحين‬
‫والخرة‬
“Dengan buah-buahan, sungai, para nabi dan shalihin, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
memberikan keberkahan di sekitar masjid Al Aqsha dengan keberkahan dunia dan akhirat.” (Imam Asy
Syaukani, Fathul Qadir, Juz. 4, Hal. 280)

Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:

‫صى‬
َ ‫جِد اَْلْق‬
ِ‫س‬
ْ ‫حَراِم َواْلَم‬
َ ‫جِد اْل‬
ِ‫س‬
ْ ‫جِدي َهَذا َواْلَم‬
ِ‫س‬
ْ ‫جَد َم‬
ِ ‫سا‬
َ ‫لَثِة َم‬
َ ‫حاَل ِإّل ِإَلى َث‬
َ ‫شّدوا الّر‬
ُ ‫َل َت‬
“Janganlah kalian bersungguh-sungguh untuk melakukan perjalanan kecuali menuju ke tiga
masjid: masjidku ini (masjid nabawi), masjid Al Haram, dan masjid Al Aqsha.” (HR. Muslim, Kitab Al
Hajj Bab Safar Al Mar’ah ma’a Mahram ilaa Hajji wa Ghairih, Juz. 7, Hal. 46, No. 2383)

Maka, berperang mempertahankan bumi Palestina, yang di dalamnya terdapat Al Aqsha yang
diberkahi sekelilingnya, shalat di dalamnya lebih utama 500 kali dibanding di masjid lain (kecuali Masjidl
Haram dan Masjid An Nabawi), kiblat pertama umat Islam, bumi dilahirkannya para nabi, dan tanah waqaf
Umar bin Al Khathab kepada umat Islam, jelas adalah suatu kemuliaan. Jadi, sungguh keterlaluan dan
melampaui batas jika ada orang yang melecehkan perjuangan saudaranya karena membela bumi Palestina
dengan alasan ini.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menetapkan, orang yang mempertahankan harta
pribadi dan membela keluarga adalah syahid, maka apalagi mempertahankan bumi yang diberkahi ini,
milik kaum muslimin -bukan milik pribadi- dan segudang keutamaan lainnya.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‫شِهيٌد‬
َ ‫ن َماِلِه َفُهَو‬
َ ‫َمنْ ُقِتَل ُدو‬

“Barangsiapa yang dibunuh karena hartanya, maka dia syahid.” (HR. Bukhari, Kitab Al
Mazhalim wal Ghashbi Bab Man Qaatala Duuna Malihi, Juz. 8, Hal. 377, No. 2300)

Dari Sa’id bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:

‫ن ُقِتتَل‬
ْ ‫شِهيٌد َوَمت‬
َ ‫ن َدِمِه َفُهَو‬
َ ‫ن ُقِتَل ُدو‬
ْ َ‫شِهيٌد َوم‬
َ ‫ن ِديِنِه َفُهَو‬
َ ‫ن ُقِتَل ُدو‬
ْ ‫شِهيٌد َوَم‬
َ ‫ن َماِلِه َفُهَو‬
َ ‫َمنْ ُقِتَل ُدو‬
‫شِهيٌد‬
َ ‫ن َأْهِلِه َفُهَو‬َ ‫ُدو‬
“Barangsiapa yang dibunuh karena hartanya maka dia syahid, barangsiapa dibunuh karena
agamanya maka dia syahid, barangsiapa yang dibunuh karena darahnya maka dia syahid, barangsiapa yang
dibunuh karena membela keluarganya maka dia syahid.” (HR. At Tirmidzi, Kitab Ad Diyat ‘An
Rasulillah Bab Maa Ja’a fiman Qutila Duuna Malihi fahuwa Syahid, Juz. 5, Hal. 315, No. 1341,
katanya: hasan shahih. Abu Daud, Kitab As Sunnah Bab Fi Qitaalil Lushush, Juz. 12, Hal. 388, No.
4142. An Nasa’i, Kitab Tahrim Ad Dam Bab Man Qaatala Duuna Diinihi, Juz. 12, Hal. 465, No. 4027.
Ahmad, Juz. 4, Hal. 76, No. 1565. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat
Tarhib, Juz. 2, Hal. 75, No. 1411)

Para ulama mengomentari hadits ini:

‫ أنهم يكون لهم في الخرة ثواب‬،‫ غير المقتول في سبيل ال‬،‫المراد بشهادة هؤلء كلهم‬:‫قال العلماء‬
.‫ ويصلى عليهم‬،‫ فيغسلون‬،‫ وأما في الدنيا‬،‫الشهداء‬

“Yang dimaksud adalah syahadah (mati syahid) bagi mereka semua, bukan karena terbunuh di
jalan Allah, dan sesungguhnya bagi mereka di akhirat akan mendapatkan ganjaran syuhada, ada pun di
dunia mereka tetap dimandikan dan dishalatkan.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 2, Hal.
633)

Maka, beberapa keterangan dari Al Quran, Al Hadits, dan para ulama, menunjukkan bahwa
bukan aib dan cela, bahkan merupakan sebuah keutamaan dan tidak mengurangi nilai kesyahidan, jika
seorang mujahidin berperang karena membela bumi yang diberkahi, Al Aqsha dan disekitarnya (Palestina),
bumi para nabi dan kiblat pertama umat Islam. Tentunya, lebih utama hendaknya dibarengi niat li i’la
kalimatillah (demi meninggikan kalimat Allah Ta’ala). Memang demikianlah perjuangan para mujahidin.

Wallahu A’lam

Anda mungkin juga menyukai