UMI MAHARANI
ii
ABSTRAK
UMI MAHARANI. Pemanfaatan Oleoresin Cabai untuk Film Antimikroba
Penghambat Pertumbuhan Escherichia coli. Dibimbing oleh ENDANG
WARSIKI.
Oleoresin cabai mengandung senyawa aktif berupa capsaicin yang dapat
menghambat pertumbuhan mikroba. Oleoresin ini digunakan sebagai agen
antimikroba pada pembuatan film antimikroba (AM). Penelitian ini bertujuan
untuk (i) menghasilkan film antimikroba dengan memanfaatkan oleoresin cabai;
(ii) mengetahui pengaruh tiga jenis oleoresin cabai terhadap aktifitas
penghambatan E. coli; (iii) mengetahui pengaruh konsentrasi oleoresin cabai
dalam film AM terhadap aktifitas penghambatan E. coli; dan (iv) mengetahui nilai
pH, ketebalan, kekuatan tarik, dan persentase pemanjangan film AM terpilih.
Penelitian ini terdiri atas: pembuatan oleoresin cabai, pengujian aktifitas
antimikroba oleoresin cabai, pembuatan film AM dengan tiga macam oleoresin
cabai, pengujian aktifitas antimikroba film AM, pengujian pH, kekuatan tarik film
AM, dan persentase pemanjangan. Hasil uji aktifitas antimikroba oleoresin cabai
menunjukan bahwa CapsicumTM memiliki aktifitas penghambatan terhadap E. coli
lebih besar dibandingkan dengan PaprikaTM dan Capsicum varietas Bara. Film
AM dengan penambahan CapsicumTM juga memiliki aktifitas penghambatan lebih
besar dibandingkan dengan PaprikaTM dan Capsicum varietas Bara. Film AM
dengan oleoresin 0.6% dan pH rendah juga memiliki aktifitas penghambatan lebih
besar dibandingkan film AM konsentrasi 0.2% dan 0.4%. Film AM Capsicum
varietas Bara memiliki ketebalan, kekuatan tarik dan persentase pemanjangan
lebih besar dibandingkan film AM PaprikaTM.
Kata kunci: capsaicin, film antimikroba, oleoresin cabai
ABSTRACT
UMI MAHARANI. Utilization of Chilli Oleoresin for Growth Inhibitor of
Escherichia coli Antimicrobial Film. Supervised by ENDANG WARSIKI.
Chilli oleoresin contain active compounds such as capsaicin which can
inhibit the growth of microbes. This oleoresin was used as an antimicrobial agent
in the making of the film antimicrobial (AM). This research was aimed to (i)
produce antimicrobial packaging by utilizing chilli oleoresin; (ii) determine the
effect of the three types of oleoresin toward E. coli inhibitor activity; (iii)
determine the effect of three types of chilli oleoresin in the AM films toward E.
coli inhibitor activity; and (iv) determine pH, thickness, tensile strength, and
elongation percentage of AM films selected. This study consist of: chilli oleoresin
extracting, testing the antimicrobial activity of oleoresins, manufacturing AM
films with three type of chilli oleoresin, testing of antimicrobial activity of AM
films, testing of pH, tensile strength, and elongation percentage AM film. The test
results showed that CapsicumTM had activity against Escherichia coli greater than
PaprikaTM and Capsicum varieties Bara. CapsicumTM films had also the largest
inhibition activity compare to PaprikaTM and Capsicum Bara variety. AM films
with 0.6% oleoresin and low pH also had inhibition activity greater than AM films
with 0.2% and 0.4% concentration. Film with capsicum Bara variety had
thickness, tensile strength and elongation percentage greater than PaprikaTM
films.
Keywords: capsaicin, antimicrobial film, chilli oleoresin
UMI MAHARANI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian
Judul
Nama
NIM
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
Antimikroba
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 sampai Agustus 2014, yaitu
Pemanfaatan Oleoresin Cabai untuk Film Antimikroba Penghambat
Pertumbuhan Escherichia coli.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Endang Warsiki, S.TP,
M.Si selaku dosen pembimbing atas bimbingan selama penelitian dan
penyelesaian skripsi, Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si. dan Dr. Ir. Liesbetini
Haditjaroko M.S. atas masukan dan saran yang diberikan. Mamah, papah (alm),
kakak, dan adik yang selalu memberikan doa, dukungan, dan semangat kepada
penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ibu Ega, Bapak
Gunawan, Teh Eti, Bapak Edi, Ibu Dyah, Ibu Rini, Ibu Sri, Bapak Sugi, Roseiga
Retno, Eka Nurazmi, Elok Pratiwi, Tenti Rahmawati, Lisa Adiyanti, teman satu
bimbingan, teman-teman proses, teman kost Windy, dan TIN 47 yang tidak dapat
disebutkan satu persatu atas bantuan dan semangat kepada penulis dalam
menyelesaikan penelitian. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Kemasan Antimikroba
Oleoresin Cabai dan Capsaicin
Escherichia coli
Media Eosin Methylene Blue
METODE PENELITIAN
Bahan
Alat
Prosedur
Pembuatan Oleoresin Cabai
Pengujian Aktifitas Antimikroba Oleoresin Cabai
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Pembuatan Film AM dengan Tiga Jenis Oleoresin Cabai
Pengujian Aktifitas Antimikroba Film AM
Pengujian pH Film AM Terpilih
Pengujian Ketebalan Film AM Terpilih
Pengujian Kekuatan Tarik dan Persentase Pemanjangan Film AM Terpilih
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Oleoresin Cabai
Aktifitas Antimikroba Oleoresin Cabai
Film AM Oleoresin Cabai
Aktifitas Antimikroba Film AM
Nilai pH Film AM Terpilih
Ketebalan Film AM Terpilih
Kekuatan Tarik dan Persentase Pemanjangan Film AM Terpilih
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vi
vi
vi
1
1
2
2
2
2
3
4
5
6
6
7
7
7
8
9
10
12
13
13
13
13
13
15
16
18
20
21
22
23
23
24
24
27
29
10
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Hasil uji aktifitas antimikroba pada CapsicumTM (A1), PaprikaTM (A2),
dan Capsicum varietas Bara (A3)
15
TM
Tabel 2 Zona bening film kontrol (K), film AM Capsicum (A1), film AM
PaprikaTM (A2), dan film AM Capsicum varietas Bara (A3)
18
Tabel 3 Hasil uji pH larutan film
20
Tabel 4 Hasil uji ketebalan film
21
Tabel 5 Hasil uji kuat tarik dan elongasi
22
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Penampang media EMB yang ditumbuhi E. coli (Thrmo Fischer
Scientific 2013)
5
Gambar 2 Diagram alir pembuatan oleoresin cabai (Setyaningrum 2013)
8
Gambar 3 Diagram alir uji aktifitas antimikroba oleoresin cabai
9
Gambar 4 Ilustrasi gambar pembentukan zona bening
9
Gambar 5 Diagram alir pembuatan film antimikroba (AM) (Lestari 2013)
11
Gambar 6 Diagram alir pengujian aktifitas antimikroba film AM (Li et al. 2006)
12
Gambar 7 (a) Cabai segar; (b) Cabai bubuk; (c) Oleoresin cabai
14
Gambar 8 Penampang zona bening yang terbentuk di sekitar oleoresin. DL adalah
diameter luar dan DD adalah diameter dalam
15
TM
Gambar 9 Penampang: (a) Film kontrol; (b) Film Capsicum ; (c) Film
PaprikaTM; (d) Film Capsicum varietas Bara
17
Gambar 10 Penampang zona bening hasil uji aktifitas antimikroba film AM
18
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
27
27
27
28
28
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan inovasi dalam pembuatan kemasan pangan semakin
meningkat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain
itu, maraknya penggunaan bahan kimia berbahaya, seperti boraks, formalin, dan
rhodamin B, juga mengkhawatirkan konsumen. Berdasarkan hasil pengawasan
Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM) sepanjang tahun 2006
sampai 2010 ditemukan sebanyak 40 sampai 44 persen jajanan anak di sekolah
mengandung bahan pengawet kimia berbahaya. Dalam mengatasi hal tersebut,
muncullah berbagai jenis kemasan pangan berbahan alami yang dibuat untuk
meminimalisir penggunaan bahan kimia berbahaya. Salah satu jenis kemasan
adalah kemasan antimikroba untuk meminimalkan penggunaan bahan pengawet
kimia. Kemasan antimikroba merupakan sistem kemasan yang dapat
mengendalikan, menghambat atau memperlambat pertumbuhan mikroorganisme
patogen, dan mengurangi kontaminasi pada permukaan makanan. Senyawa
antimikroba yang digunakan berasal dari bahan pengawet alami berupa ekstrak
tumbuh-tumbuhan yang dicampurkan ke dalam bahan kemasan atau film (Maizura
2008). Salah satu ekstrak tumbuhan yang digunakan, yaitu oleoresin cabai.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Setyaningrum (2013),
oleoresin cabai terbukti mengandung senyawa antimikroba, tetapi belum diketahui
secara pasti keefektifan senyawa antimikroba jika diaplikasikan ke dalam film.
Penelitian ini juga merupakan penelitian lanjutan dalam hal aplikasi oleoresin
cabai dalam pembuatan film antimikroba. Oleoresin cabai adalah campuran alami
yang homogen dari resin-resin dan minyak atsiri yang terkandung dalam cabai.
Oleoresin cabai mengandung senyawa aktif yang dikenal dengan capsaicin.
Kandungan capsaicin dalam oleoresin cabai digolongkan sebagai salah satu bahan
pengawet alami. Senyawa aktif ini berfungsi sebagai agen antimikroba, sehingga
dapat mencegah pertumbuhan mikroba.
Mikroba rentan tumbuh pada produk pangan dan seringkali menimbulkan
keracunan pangan. Keracunan pangan terutama disebabkan oleh bakteri patogen,
seperti: Staphylococcus aureus, Salmonella, dan Escherichia coli. Pada umumnya,
air merupakan pembawa E. coli patogen atau yang biasa disebut
Enterohaemorragic E. coli (EHEC). E. coli O157:H7 merupakan tipe EHEC yang
berbahaya bagi kesehatan manusia (Fardiaz 1989). Keberadaan E. coli O157:H7
dalam pangan kemungkinan karena sanitasi yang rendah. E. coli tipe ini biasanya
menyerang produk daging, sayuran, makanan beku, dan makanan mentah,
sehingga diperlukan kemasan atau film yang mengandung senyawa antimikroba
untuk menghambat pertumbuhan E. coli. Berkaitan dengan hal tersebut, maka
dilakukan aplikasi oleoresin cabai ke dalam film untuk mengetahui keefektifan
oleoresin cabai menghambat pertumbuhan E. coli.
Penggunaan oleoresin cabai sebagai agen antimikroba dilakukan dengan
menambahkan oleoresin cabai ke dalam larutan film. Pembuatan dan pengujian
film AM mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Zainab (2009) tetapi
penggunaan bahan khitosan diganti dengan tepung tapioka seperti pada penelitian
Lestari (2013). Penambahan oleoresin dapat dilakukan dengan beberapa
2
konsentrasi untuk mengetahui pengaruh konsentrasi oleoresin cabai terhadap
aktifitas mikroba. Selain itu, pembuatan film AM ini hanya menggunakan agen
antimikroba dari oleoresin cabai agar dapat mengetahui pengaruh spesifik
oleoresin cabai terhadap aktifitas mikroba. Oleoresin cabai yang digunakan terdiri
dari dua jenis, yaitu Capsicum dan Paprika. Capsicum adalah oleoresin yag
berasal dari cabai rawit, sedangkan Paprika adalah oleoresin yang berasal dari
cabai merah atau cabai besar. Pemilihan jenis oleoresin berdasarkan perbedaan
kandungan capsaicin pada Capsicum lebih besar (14%) dibandingkan Paprika
(kurang dari 3.9%) (Purseglove et al. 1981).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk (i) menghasilkan film antimikroba dengan
memanfaatkan oleoresin cabai; (ii) mengetahui pengaruh tiga jenis oleoresin cabai
terhadap aktifitas penghambatan Escherichia coli; (iii) mengetahui pengaruh
konsentrasi oleoresin cabai dalam film AM terhadap aktifitas penghambatan
Escherichia coli; serta (iv) mengetahui nilai pH, ketebalan, kekuatan tarik, dan
persentase pemanjangan film AM terpilih.
TINJAUAN PUSTAKA
Kemasan Antimikroba
Kemasan antimikroba merupakan salah satu jenis kemasan aktif karena
bahan kemasan memiliki interaksi aktif dengan bahan yang dikemas untuk
mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan, sehingga
dapat mempertahankan kualitas produk (Julianti dan Nurminah 2006). Bahan
kemasan yang berinteraksi aktif adalah senyawa antimikroba. Senyawa ini yang
berfungsi sebagai pengawet atau penghambat pertumbuhan mikroba tertentu
dengan memperlama fasa lag atau adaptasi, sehingga dapat memperpanjang umur
simpan produk terkemas. Sanyawa antimikroba yang digunakan berasal dari
ekstrak rempah-rempah. Senyawa ini dapat langsung dicampur ke dalam bahan
kemasan yang dalam jumlah kecil akan bermigrasi ke dalam bahan pangan. Cara
3
tersebut efektif untuk dilakukan pada kemasan vakum karena bahan kemasan
dapat bersentuhan langsung dengan permukaan pangan. Penggunaan kemasan
antimikroba dilakukan secara pelapisan atau lebih dikenal dengan edible coating.
Kemasan antimikroba dilapiskan pada permukaan produk. Keunggulan dari
kemasan antimikroba adalah penggunaan zat antimikroba dalam kemasan dapat
dilakukan seminimal mungkin, memperpanjang umur simpan produk tanpa
menggunakan bahan pengawet kimia, dan kemasan aman untuk dikonsumsi
(Krochta et al. 1994).
Pelepasan senyawa antimikroba ke dalam kemasan dapat diperoleh dengan
beberapa cara, yaitu (i) secara tradisional dengan menambahkan sachet berisi
senyawa antimikroba dan bersifat permiabel ke dalam kemasan; (ii) bahan-bahan
pengawet dikombinasikan pada bagian permukaan atau ke dalam bahan kemasan
polimer dengan pencampuran atau pelapisan; (iii) bahan antimikroba
dienkapsulasi atau diletakkan di antara lapisan, sehingga secara perlahan lahan
akan keluar menuju bahan pangan; dan (iv) penggunaan enzim yang diimobilisasi
dan bahan yang mempunyai gugus fungsional antimikroba yang terikat secara
kimia pada permukaan bahan. Beberapa gugus fungsional yang memiliki aktifitas
antimikroba telah ditambahkan dan diimobilasi pada permukaan film polimer
dengan modifikasi metode kimia yaitu: (i) peptida yang terikat secara kovalen
dengan resin tidak larut air dan mempunyai aktifitas antimikroba; serta (ii)
polimer yang permukaanya disinari dengan sinar laser merupakan cara yang
efektif untuk memperbaiki sifat-sifat adhesi dari polimer, memodifikasi sifat
penghambatan, dan memberikan aktifitas antimikroba pada polimer (Julianti dan
Nurminah 2006). Beberapa penelitian kemasan antimikroba telah dikerjakan
dengan memanfaatkan ekstrak daun sirih, kunyit, dan bawang putih (Warsiki et al.
2009), aplikasi kemasan antimikroba (AM) untuk bakso (Warsiki et al. 2013), dan
kemasan AM dari kitosan (Warsiki et al. 2009).
4
sintesis protein serta merusak DNA (Pamungkas 2008). DNA akan mengalami
kerusakan dan pita DNA akan terpotong melalui mekanisme oksidatif. Sifat
capsaicin yang mudah larut dalam lemak dan dinding sel bakteri gram negatif
yang terdiri dari 80% lemak akan mempermudah penetrasi capsaicin ke dalam
dinding sel bakteri gram negatif, sehingga capsaicin dapat menghambat
pertumbuhan sel bakteri negatif.
Escherichia coli
Escherichia coli merupakan bakteri fakultatif anaerob, kemoorganotropik,
dan mempunyai tipe metabolisme fermentasi dan respirasi, tetapi pertumbuhannya
di bawah keadaan anaerob. E. coli yang anaerob akan memfermentasi laktosa,
sehingga menyebabkan perubahan warna laktos broth menjadi kuning akibat
terbentuknya senyawa asam hasil fermentasi laktosa yang mengubah warna
indikator. Kemampuan E. coli mengubah warna indikator telah dimanfaatkan
untuk membuat label cerdas pendeteksi E. coli (Lestari 2013). Pada media Eosin
Methylene Blue (EMB), E. coli juga akan memberikan warna khas yaitu koloni
berwarna gelap dan metalik (Lestari 2013). Beberapa uji biokimia untuk E. coli
yaitu: indol positif, reduksi nitrat positif, fermentasi manitol positif, fermentasi
laktosa positif, H2S negatif, sitrat negatif, Voges-Proskauer negatif, memproduksi
gas dari glukosa, dan metil merah positif. Bakteri ini juga termasuk dalam
kelompok Enterobacteria, bersifat Gram-negatif, oksidase negatif, laktosa dan
katalase positif, berbentuk batang pendek, dan tidak membentuk spora. Sel ini
biasanya bergerak dengan flagella. E. coli memproduksi macam-macam phili
yang berbeda, banyak macamnya pada struktur dan sensitifitas antigen, antara lain
filamentus dan proteinaceus (Lay dan Hastowo 1992).
E. coli berbentuk besar (2 sampai 3 m), circular, konveks, dan koloni tidak
berpigmen pada nutrient dan media darah. Mikroorganisme ini tumbuh baik pada
suhu optimal 37oC pada media yang mengandung 1% pepton sebagai sumber
karbon dan nitrogen serta dapat bertahan hingga suhu 60oC selama 15 menit atau
pada 55oC selama 60 menit. Kisaran suhu pertumbuhan E. coli adalah 10 sampai
40oC dengan suhu optimum 30oC dan kisaran pH antara 7 sampai 7.5 dengan nilai
Aw (aktivitas air) minimum untuk pertumbuhan adalah 0.96. Bakteri ini sangat
sensitif terhadap panas, sehingga inaktivitasi dapat dilakukan pada suhu
pasteurisasi (70oC sampai 80oC) (Fardiaz 1989).
E. coli secara normal berada di usus besar manusia untuk membantu
membusukkan sisa makanan dan memproduksi vitamin K dan B yang diperlukan
tubuh. Bakteri ini juga digunakan sebagai indikator sanitasi, artinya keberadaan E.
coli dapat digunakan untuk mengindikasi adanya kontak dengan kotoran manusia
Ada beberapa golongan E. coli yang bersifat patogen, yaitu: Enteropathogenic E.
coli (EPEC), Enteroaggregative E. coli (EAEC), Enterotoxigenic E. coli (ETEC),
Enteroinvasive E. coli (EIEC), dan Enterohaemorrhagic E. coli (EHEC). Pada
umumnya, air merupakan pembawa E. coli patogen. Keberadaan E. coli dalam
pangan kemungkinan karena sanitasi yang rendah (Fardiaz 1989). E. coli dapat
masuk ke dalam tubuh manusia melalui konsumsi pangan yang tercemar,
misalnya daging mentah, daging yang dimasak setengah matang, susu mentah,
5
dan cemaran fekal pada air dan pangan (Sentra Informasi Keracunan Nasional
2014).
Gambar 1
Komposisi dari EMB Agar secara umum terdiri dari sumber nutrisi atau zat
makanan dan komposisi media pertumbuhan. Salah satu media EMB Agar yang
diproduksi oleh pabrik dan biasa digunakan di laboratorium adalah media EMB
Agar dengan merk Oxoid CM0069 yang terdiri dari komponen: pepton (10.0 g/L),
laktosa (10.0 g/L), dipotassium hydrogen phosphate (2.0 g/L), eosin (0.4 g/L),
methylene blue (0.065 g/L), dan agar (15.0 g/L). Pepton adalah produk hidrolisis
protein hewani atau nabati seperti otot, liver, darah, susu, kasein, lactalbumin,
gelatin, dan kedelai. Komposisi pepton tergantung pada bahan asalnya dan cara
memperolehnya. Pepton juga sebagai sumber protein untuk mikroorganisme yang
akan dibiakkan. Laktosa berfungsi untuk mendiferensiasi bakteri yang
memfermentasikan laktosa seperti E. coli, dengan bakteri yang tidak
memfermentasi laktosa seperti Proteus vulgaris, Pseudomonas aeruginusae, dan
6
Salmonella typhimurium. Laktosa juga berfungsi sebagai sumber karbohidrat
untuk pertumbuhan mikroorganisme. Dipotassium hydrogen phosphate
merupakan garam yang sangat larut dalam air. Bahan ini berfungsi sebagai pupuk,
makanan aditif, dan zat penyangga. Eosin dan methylene blue berfungsi sebagai
Indikator warna. Agar (dari rumput laut) berfungsi untuk pemadat media. Agar
sulit didegradasi oleh mikroorganisme pada umumnya dan mencair pada suhu
45C (Thrmo Fischer Scientific 2013).
EMB merupakan media selektif dan diferensial. EMB disebut media selektif
karena mengandung pewarna methylene blue yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri gram positif. Selain itu, EMB juga disebut media diferensial
karena memiliki indikator warna untuk membedakan bakteri gram negatif yang
dapat memfermentasi laktosa dengan bakteri gram negatif yang tidak dapat
memfermentasi laktosa. Bakteri gram negatif yang dapat memfermentasi laktosa
akan mengubah suasana EMB menjadi asam, sehingga pewarna eosin akan
merespon dengan menghasilkan warna hijau metalik kemudian pewarna ini akan
diserap oleh bakteri, sehingga bakteri akan berwarna hijau metalik. Bakteri gram
negatif yang tidak dapat memfermentasi laktosa, akan meningkatkan pH media
dengan memecah protein, sehingga bakteri tidak dapat menyerap pewarna eosin
dan koloni akan tampak tidak berwarna (Thrmo Fischer Scientific 2013).
EMB Agar adalah media yang digunakan untuk mengetahui ada atau
tidaknya bakteri coliform di dalam suatu sampel. Media ini sangat baik untuk
mengkonfirmasi bahwa kontaminan adalah E. coli karena E. coli termasuk bakteri
gram negatif yang dapat memfermentasi laktosa. Pada masa inkubasi, E. coli akan
memfermentasi zat untuk kelangsungan hidupnya. E. coli memiliki enzim galaktosidase yang akan memecah laktosa dalam EMB menjadi glukosa dan
galaktosa (Anonim 2008). Proses fermentasi terjadi saat semua gula terdegradasi
dalam bentuk yang lebih sederhana. Fermentasi tersebut akan menghasilkan asam
organik berupa asam laktat. Adanya asam laktat akan mengubah pH EMB
menjadi asam. Dalam kondisi asam, eosin akan merespon perubahan pH, sehingga
menghasilkan warna hijau metalik dan E. coli akan menyerap pewarna eosine
tersebut, sehingga pertumbuhan E. coli dapat dideteksi dengan adanya warna hijau
metalik. Media ini juga berbentuk padat berguna untuk menjaga sel tidak
berpindah tempat, sehingga akan mudah dihitung dan dipisahkan jenisnya ketika
tumbuh menjadi koloni. Media padat juga menampakkan difusi hasil metabolit
bakteri, sehingga memudahkan dalam pengujian suatu hasil metabolit (Fardiaz
1992).
METODE PENELITIAN
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitan ini terdapat dua macam, yaitu bahan
untuk pembuatan oleoresin cabai serta bahan untuk pembuatan film AM dan
pengujian aktifitas antimikroba. Bahan untuk pembuatan oleoresin cabai,
meliputi: cabai segar dan etanol 96%. Bahan untuk pembuatan film dan pengujian
7
aktifitas antimikroba adalah akuades, agar bubuk, tapioka, gliserin, oleoresin
cabai, kultur bakteri Escherichia coli, Laktose Broth, dan EMB. Oleoresin yang
digunakan ada tiga macam, yaitu: CapsicumTM, PaprikaTM, dan Capsicum varietas
Bara.
Alat
Alat-alat yang digunakan yaitu: timbangan digital, baskom, blower,
alumunium foil, penggiling, saringan 40 mesh, jar, cawan alumunium,
termometer, sumbat, labu Erlenmeyer, corong vakum, labu Erlenmeyer vakum,
kertas saring, alat Rotary Evaporator, gelas piala, sudip, gelas ukur, hot stirrer,
cawan petri, plat kaca, oven, desikator, jarum ose, mikropipet, kertas pH,
inkubator, mikrometer skrup, dan alat Tensil Strength and Elongation Tester
Industries.
Prosedur
Pembuatan Oleoresin Cabai
Pembuatan oleoresin cabai bertujuan mendapatkan senyawa aktif
antimikroba dalam cabai yang disebut capsaicin. Pada tahap ini disiapkan cabai
rawit segar varietas Bara. Cabai dicuci bersih untuk menghilangkan kotoran,
kemudian cabai dikeringkan dalam blower sampai kadar air 6%. Cabai yang telah
kering digiling dan disaring dengan saringan 40 mesh, sehingga dihasilkan bubuk
cabai. Bubuk cabai diekstraksi dengan etanol 96% dengan perbandingan bahan
dan pelarut sebesar satu berbanding lima. Maserasi dilakukan dengan pengadukan
selama 4 jam dan suhu 50oC. Hasil maserasi disaring dengan bantuan pompa
vakum untuk memisahkan filtrat dengan ampas. Ampas diekstrak kembali dengan
etanol sampai filtrat jernih, sebagai tanda bahwa sudah tidak mengandung
oleoresin, sedangkan filtrat diuapkan dengan rotary evaporator. Hasil penguapan
filtrat adalah oleoresin cabai berbentuk pasta, berwarna merah pekat, dan berbau
khas cabai. Oleoresin ini disebut Capsicum varietas Bara. Berikut ini diagram alir
pembuatan oleoresin cabai.
Cabai Segar
Pengeringan
Penggilingan
Bubuk Cabai
Penyaringan
Ampas
Filtrat
Penguapan
Pemekatan
Oleoresin Cabai
9
tengah agar cawan disedot dengan menggunakan pipet khusus, sehingga
membentuk lubang sampai terlihat bagian dasar cawan petri. Pada bagian yang
berlubang dimasukkan oleoresin, kemudian cawan diinkubasi pada suhu 37oC
selama 24 jam. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dengan melihat dan
mengukur zona bening yang terbentuk di sekitar oleoresin. Berikut ini diagram
alir pengujian aktifitas antimikroba oleoresin dan ilustrasi gambar pembentukan
zona bening.
Oleoresin
EMB
DL
DD
Zona bening
Sampel
Cawan
petri
10
kode A3. Faktor kedua adalah tingkat konsentrasi oleoresin cabai yang terdiri atas
tiga taraf, yaitu 0.2% (b/v) diberi kode B1, 0.4% (b/v) diberi kode B2, dan 0.6%
(b/v) diberi kode B3. Rancangan percobaan ini akan memperlihatkan pengaruh
faktor tersebut terhadap aktifitas antimikroba film AM yang ditunjukan dengan
luas zona bening terbentuk. Model matematika RAL Faktorial dirumuskan
sebagai berikut:
Yijk = + Ai + Bj + (AB)ij + ijk
Yijk adalah nilai pengamatan pada faktor jenis oleoresin cabai taraf ke-i dan
konsentrasi oleoresin cabai taraf ke-j pada ulangan ke-k. Nilai adalah nilai
tengah populasi (rata-rata yang sesungguhnya). Ai adalah pengaruh jenis oleoresin
cabai taraf ke-i, Bj adalah pengaruh konsentrasi oleoresin cabai taraf ke-j, (AB)ij
adalah pengaruh jenis oleoresin cabai taraf ke-i dan konsentrasi oleoresin cabai
taraf ke-j, dan ijk adalah pengaruh acak kombinasi faktor jenis oleoresin cabai
taraf ke-i dan konsentrasi oleoresin cabai taraf ke-j pada ulangan ke-k.
Data yang diperoleh dilakukan analisis ragam (ANOVA). Perlakuan
memberikan pengaruh nyata jika F hitung lebih besar dari F tabel, kemudian
dilakukan uji lanjut Duncan. Software yang digunakan dalam pengolahan data
adalah Microsoft Excel dan SPSS 22.
Selanjutnya, pada hasil uji ANOVA akan diketahui film AM dengan zona
bening terbesar dari setiap jenis oleoresin cabai. Film AM tersebut dilakukan
pengujian pH, ketebalan, kekuatan tarik, dan persentase pemanjangan film. Hasil
dari uji ketebalan, kekuatan tarik, dan persentase pemanjangan film AM dilakukan
analisis dengan Rancangan Acak Lengkap dengan tiga pengulangan. Pemberian
kode sampel yang diberikan sama dengan RAL Faktorial. Model matematika RAL
dirumuskan sebagai berikut:
Yij = + Ti + ij
Yij adalah nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-i (ketebalan/kekuatan
tarik/persentase pemanjangan film), ulangan ke-j. adalah nilai tengah umum, Ti
adalah perlakuan ketebalan/kekuatan tarik/persentase pemanjangan film, dan ij
adalah pengaruh acak (kesalahan percobaan) pada perlakuan ketebalan/kekuatan
tarik/persentase pemanjangan film dan ulangan ke-j. Data yang diperoleh di
analisis ragam (ANOVA). Perlakuan memberikan pengaruh nyata jika F hitung
lebih besar dari F tabel, kemudian dilakukan uji lanjut Duncan. Software yang
digunakan dalam pengolahan data adalah Microsoft Excel dan SPSS 22.
Pembuatan Film AM dengan Tiga Jenis Oleoresin Cabai
Dalam pembuatan film AM ditentukan terlebih dahulu komposisi bahan dan
teknologi proses pembuatan film AM. Komposisi bahan seperti agar bubuk,
gliserol, dan tapioka sesuai dengan penelitian Lestari (2013), sedangkan
komposisi oleoresin sesuai dengan penelitian Zainab (2009). Teknologi proses
pembuatan film AM merupakan modifikasi dari penelitian Lestari (2013) dan
Zainab (2009). Akuades sebanyak 150 mL dipanaskan sampai suhu 50oC,
kemudian dimasukkan agar bubuk sebanyak 2% (b/v) dan diaduk sampai
homogen. Pada suhu 70oC, tapioka sebanyak 0.5% (b/v) dicampurkan ke dalam
11
larutan tersebut sambil tetap dilakukan pemanasan. Pemanas dimatikan setelah
larutan homogen, kemudian gliserol sebanyak 1% (v/v) ditambahkan pada kisaran
suhu 60 sampai 70oC dan diaduk sampai homogen selama kurang lebih lima
sampai sepuluh menit. Pada akhir proses (suhu 50oC), oleoresin cabai
ditambahkan ke dalam larutan film dan dilakukan pengadukan selama lima menit.
Tiga jenis oleoresin cabai yang digunakan adalah CapsicumTM, PaprikaTM, dan
Capsicum varietas Bara. Setiap jenis oleoresin cabai ditambahkan ke dalam
larutan film dengan tiga tingkatan konsentrasi sebesar 0.2%, 0.4%, dan 0.6%
(b/v).
Selanjutnya, larutan film dicetak pada plat kaca atau cawan petri yang telah
disterilkan. Film yang telah dicetak dibiarkan 10 menit pada suhu ruang kemudian
dikeringkan pada suhu 50oC di dalam oven selama 24 jam. Film yang telah kering
dilepaskan dari cawan petri dan plat kaca. Film yang dicetak dengan cawan petri
untuk keperluan uji antimikroba, sedangkan film yang dicetak dengan plat kaca
untuk keperluan uji kekuatan tarik dan persentase pemanjangan. Pada tahap ini
juga dibuat film kontrol. Film kontrol adalah film tanpa penambahan oleoresin
cabai. Proses pembuatan film Antimikroba dapat dilihat pada Gambar 5.
Air Destilata
Homogenisasi dan
pemanasan
Agar Bubuk
2% (b/v)
Gliserol 1% (v/v)
Homogenisasi dan
Pemanasan (50oC, 15 menit)
Oleoresin cabai
0.2%; 0.4%; 0.6%
(b/v)
Larutan film
Pencetakan
Film AM
12
Pada tahap ini dihasilkan sembilan film AM. Kesembilan film ini
dilakukan pengujian aktifitas antimikroba terhadap E. coli dengan tiga
pengulangan dan secara triplo.
Pengujian Aktifitas Antimikroba Film AM
Film yang telah dilepas dari cawan petri dilakukan pengujian aktifitas
antimikroba. Pada tahap ini dilakukan pengujian pada film AM dengan metode
difusi agar (Li et al. 2006) dengan tiga jenis oleoresin dan konsentrasi yang
berbeda. Pengujian aktifitas antimikroba bertujuan melihat zona bening atau zona
penghambatan terhadap pertumbuhan Escherichia coli pada ketiga jenis film
tersebut. Kultur murni mikroba pada agar miring diinokulasikan sebanyak satu
ose ke dalam laktos broth, kemudian dikocok sampai homogen. Inkubasi
dilakukan pada suhu 37oC selama 24 jam. Film AM disterilisasi dengan UV
selama 2 menit, kemudian diletakkan di atas cawan agar yang telah ditaburi
inokulum sebanyak 0.1 mL. Cawan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.
Zona bening yang terbentuk di sekitar film diukur. Zona bening tersebut
merupakan area penghambatan film AM terhadap E. coli. Berikut ini diagram alir
pengujian aktifitas antimikroba film AM.
Biakan Escherichia
coli sebanyak 0.1 mL
Film AM
Cawan diinkubasi
(37oC; 24 jam)
Gambar 6 Diagram alir pengujian aktifitas antimikroba film AM (Li et al. 2006)
Hasil uji aktifitas antimikroba film AM adalah diameter zona bening dari
sembilan film AM. Diameter zona bening diperoleh dari selisih diameter luar
dengan diameter dalam (Gambar 4). Film AM dengan zona bening terbesar dari
setiap jenis oleoresin cabai berdasarkan hasil uji analisis ragam (ANOVA) dipilih
13
untuk dilakukan pengujian pH, ketebalan, kekuatan tarik, dan persentase
pemanjangan film.
Pengujian pH Film AM Terpilih
Pengujian derajat keasaman (pH) dilakukan pada tiga film AM yang terpilih
dari hasil uji aktifitas antimikroba film. Pengujian pH dilakukan dengan
menggunakan kertas pH. Kertas pH dicelupkan pada larutan film AM kemudian
perubahan warna pada kertas pH dibandingkan dengan indikator pH untuk dilihat
nilai pH larutan film. Pengujian ini dilakukan dengan tiga pengulangan untuk
setiap jenis film yang diuji.
Pengujian Ketebalan Film AM Terpilih
Ketebalan film AM diukur dengan alat Mikrometer Skrup. Alat ini memiliki
ketelitian sebesar 0.01 mm. Pengukuran dilakukan pada lima tempat yang
berbeda. Pengukuran ini dilakukan dengan dua pengulangan secara triplo. Nilai
ketebalan film AM adalah hasil rata-rata triplo dari kelima tempat yang diukur.
Pengujian Kekuatan Tarik dan Persentase Pemanjangan Film AM Terpilih
Pengujian kekuatan tarik film dilakukan dengan menggunakan alat Tensil
Strength and Elongation Tester Industries. Sebelum dilakukan pengukuran, film
dikondisikan dalam suhu ruang selama 24 jam. Kekuatan tarik ditentukan
berdasarkan beban maksimum pada saat film putus atau pecah, sedangkan
persentase pemanjangan (elongasi) berdasarkan pemanjangan film saat pecah.
Perhitungan kekuatan tarik film dan persentase pemanjangan film dapat dihitung
menggunakan rumus di bawah ini:
Kekuatan tarik (
kg
m
)=
nilai e an ta ik kg )
N
. m t
Pe anjangan
Panjang
nt h uji mm)
nt h uji
mm)
100%
Nilai beban tarik adalah nilai yang terbaca pada alat saat sampel putus. Nilai
N adalah banyaknya contoh setiap kali pengujian dan t adalah tebal contoh uji.
Nilai 180 mm adalah jarak antara kedua klem penjepit (atas dan bawah), sehingga
contoh uji yang mendapat beban tarik adalah sepanjang 180 mm. Pengujian
dilakukan dua pengulangan.
14
capsaicinoid. Menurut Witt (2007), senyawa capsaicinoid terdiri dari capsaicin
(69%), dihydrocapsaicin (22%), dan tiga komponen kecil (9%). Tiga komponen
kecil, meliputi: nordihydrocapsaicin (7%), homocapsaicin (1%), dan
homodihydrocapsaicin (1%). Capsaicin adalah Capsaicinoid utama di dalam
cabai karena mempunyai persentase kandungan paling besar dibandingkan jenis
Capsaicinoid yang lain. Capsaicin tidak terpengaruh oleh pemanasan maupun
pendinginan. Selain itu, senyawa ini juga tidak berasa, berwarna, dan berbau, serta
kurang dapat larut dalam air (bersifat nonpolar) tetapi capsaicin sangat larut di
dalam alkohol, lemak, dan minyak.
Cabai yang digunakan untuk pembuatan oleoresin adalah cabai rawit
varietas Bara. Pemilihan cabai didasarkan atas kandungan capsaicin yang lebih
tinggi dalam Capsicum (14%) dibandingkan dengan Paprika (kurang dari 3.9%)
(Purseglove et al. 1981). Berdasarkan Pandji (2013) juga diketahui bahwa
kandungan capsaicin dalam Capsicum sebesar 28.80% sedangkan pada Paprika
sebesar 6.93%. Tahapan ekstraksi dilakukan sesuai dengan penelitian
Setyaningrum (2013). Dalam pembuatan oleoresin cabai, pengeringan merupakan
faktor penting untuk menghasilkan mutu oleoresin yang baik. Pengeringan
dilakukan untuk menghasilkan cabai dengan kadar air cabai sebesar 6% sesuai
dengan ketetapan untuk perdagangan cabai. Pengeringan cabai tersebut juga akan
mempermudah proses penggilingan dan penyaringan cabai menjadi cabai bubuk.
Pada penelitian ini, pengeringan cabai dilakukan dalam keadaan utuh untuk
mencegah penurunan kadar minyak atsiri dalam cabai. Berdasarkan hasil
penelitian Yuliana et al. (1991), diketahui bahwa cabai yang dikeringkan dalam
kondisi buah dibelah akan menyebabkan penurunan kadar minyak atsiri. Selain
itu, pengeringan yang terlalu lama juga dapat menurunkan kadar minyak atsiri dan
mempengaruhi warna cabai kering. Oleoresin yang dihasilkan disebut Capsicum
varietas Bara. Selain oleoresin yang diekstrak sendiri, pada penelitian ini juga
digunakan dua jenis oleoresin yang dijual di pasaran, yaitu: CapsicumTM dan
PaprikaTM. CapsicumTM berasal dari cabai rawit atau cabai berukuran kecil,
sedangkan PaprikaTM berasal dari cabai merah. Berikut ini gambar cabai segar,
cabai bubuk, dan Capsicum varietas Bara.
(a)
(b)
(c)
Gambar 7 (a) Cabai segar; (b) Cabai bubuk; (c) Oleoresin cabai
15
Aktifitas Antimikroba Oleoresin Cabai
Pada tahap selanjutnya dilakukan pengujian aktifitas antimikroba oleoresin
dengan metode difusi sumur. Prinsip metode ini adalah mengetahui ada tidaknya
aktifitas antimikroba dari oleoresin cabai. Adanya aktifitas antimikroba dapat
diketahui dengan terbentuknya zona bening di sekitar oleoresin cabai, sedangkan
tidak terbentuknya zona bening menunjukkan oleoresin cabai tidak mempunyai
aktifitas antimikroba. Zona bening merupakan daerah penghambatan oleoresin
cabai terhadap mikroba. Mikroba yang digunakan adalah Escherichia coli karena
mikroba tersebut merupakan salah satu mikroba patogen yang sering ditemukan
pada makanan. Hasil uji aktifitas antimikroba oleoresin cabai yang telah dilakukan
adalah terbentuk daerah yang tidak ditumbuhi E. coli dan berwarna bening di
sekitar oleoresin. Daerah tersebut adalah zona bening. Zona bening yang
terbentuk dapat dilihat pada Gambar 8.
Agar
EMB
DD
DL
Zona
bening
Oleoresin
16
dibandingkan Paprika. Hal itu sesuai dengan literatur yang menyatakan
kandungan capsaicin dalam Capsicum mencapai 14%, sedangkan dalam Paprika
mencapai kurang dari 3.9% (Purseglove et al. 1981). CapsicumTM memiliki zona
bening lebih besar dibandingkan Capsicum varietas Bara disebabkan oleh
penggunaan cabai rawit lebih dari satu varietas, sehingga kandungan capsaicin
lebih tinggi. PaprikaTM memiliki zona bening terkecil menunjukkan bahwa
kandungan capsaicin rendah (Purseglove et al. 1981).
Pada penelitian Adila (2013), digunakan ekstrak segar rimpang temulawak,
kunyit, temu putih, dan temu hitam dengan zona bening hasil uji aktifitas
antimikroba terhadap E. coli berurutan sebesar 31.56 mm, 10.16 mm, 10.27 mm,
dan 9.92 mm. Ekstrak segar temulawak mempunyai zona bening terbesar
dibandingkan ketiga jenis rimpang lainnya dan juga lebih besar dibandingkan
CapsicumTM, sehingga diketahui bahwa senyawa antimikroba yang terkandung
juga lebih besar. Ekstrak segar kunyit, temu putih, dan temu hitam juga memiliki
zona bening yang lebih besar dibandingkan Capsicum varietas Bara dan
PaprikaTM. Senyawa antimikroba utama yang terkandung dalam rimpang adalah
xhantorrizol.
Kedua hasil penelitian tersebut berdasarkan kategori daya hambat (Davis
dan Stout 1971), yang termasuk daya hambat sangat kuat (lebih dari 20 mm)
adalah ekstrak segar temulawak. CapsicumTM, ekstrak segar kunyit, dan ekstrak
segar temu putih termasuk dalam daya hambat kuat (10 sampai 20 mm),
sedangkan Capsicum varietas Bara dan temu hitam termasuk dalam kategori daya
hambat sedang (5 sampai 10 mm). PaprikaTM termasuk dalam daya hambat sangat
lemah karena memiliki zona bening dibawah 5 mm.
17
zona bening yang terbentuk dapat diamati. Berikut ini gambar film yang
dihasilkan.
(a)
Gambar 9
(b)
(c)
(d)
18
serat. Warna dan aroma dari bahan yang ditambahkan ke dalam film akan
mempengaruhi sifat optis dan sensori jika film diaplikasikan pada produk pangan.
Zona
bening
Film
Konsentrasi oleoresin
B1
B2
B3
1.10.1
1.80.1
6.10.5
0.30
2.30.1
3.00.2
0.50
0.90
4.30.2
Rataan zona
bening (mm)
3.00.3
1.90.1
1.90.2
K
A1
A2
A3
Rataan zona
bening (mm)a
0.60b
1.60.1b
4.50.2a
a
Nilai a menunjukan berbeda nyata dan b menunjukan tidak berbeda nyata pada
taraf 5% berdasarkan hasil uji lanjut Duncan
19
Berdasarkan hasil uji ANOVA (Lampiran 1 dan 2) diketahui bahwa jenis
oleoresin cabai yang ditambahkan ke dalam film tidak memberikan pengaruh
nyata (p>0.05) terhadap luas zona bening (aktifitas penghambatan film AM),
sehingga tidak dapat dilakukan uji lanjut, tetapi masih dapat terlihat zona bening
film AM dari terbesar sampai terkecil berurutan adalah CapsicumTM, Capsicum
varietas Bara, dan PaprikaTM. Hasil tersebut sama dengan hasil uji aktifitas
antimikroba pada oleoresin yang menunjukan bahwa Capsicum mempunyai zona
bening yang lebih besar dibandingkan Paprika. Zona bening disekitar film AM
menunjukkan film AM mempunyai aktifitas penghambatan terhadap E. coli.
Mekanisme penghambatan senyawa antimikroba dapat terjadi dengan cara
(i) bereaksi dengan membran sel; (ii) inaktivasi enzim-enzim esensial; dan (iii)
destruksi atau inaktivasi fungsi dan materi genetik (Davidson dan Branen 1993).
Capsaicin sebagai senyawa antimikroba bercampur dengan materi film. Saat film
AM menempel pada media yang telah diinokulasi E. coli, capsaicin akan berdifusi
dari film ke dalam dinding sel E. coli karena dinding sel E. coli mengandung 80%
lemak dan capsaicin memiliki sifat larut dalam lemak (Jawetz et al. 2005).
Peristiwa larutnya capsaicin dalam dinding sel E. coli disebut penetrasi. Penetrasi
tersebut akan menghambat sintesis protein dan merusak pita DNA sel bakteri.
Kerusakan DNA sel bakteri menyebabkan bakteri tidak dapat berkembang biak,
sehingga pada film AM dan daerah sekitar film AM tidak tumbuh E. coli. Daerah
yang tidak ditumbuhi E. coli akan tampak berwarna bening atau tidak berwarna
hijau metalik karena tidak ada pertumbuhan E. coli, sehingga warna EMB tidak
terserap oleh E. coli (Krishna dan Amit 2003).
Selain itu, hasil uji ANOVA juga menunjukkan bahwa konsentrasi oleoresin
cabai dalam film berpengaruh nyata (p<0.05) pada taraf 5% terhadap luas zona
bening (aktifitas antimikroba) film AM, sehingga dilakukan uji lanjut Duncan.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukan bahwa film AM dengan konsentrasi oleoresin
0.6% berbeda nyata dengan film AM dengan konsentrasi oleoresin 0.2% dan
0.4%, sedangkan film AM dengan konsentrasi oleoresin 0.2% tidak berbeda nyata
dengan konsentrasi oleoresin 0.4%.
Zona bening yang dihasilkan dari oleoresin cabai lebih besar dibandingkan
dengan zona bening yang dihasilkan dari ekstrak sirih, kunyit, dan bawang putih.
Pada penelitian Parhusip et al. (2005), zona bening ekstrak sirih pada konsentrasi
10% terhadap E. coli sebesar 10 mm, sedangkan pada penelitian Zainab (2009)
dengan ekstrak sirih dan kunyit konsentrasi 0.6% menghasilkan zona bening
masing-masing sebesar 2.56 mm dan 2.58 mm. Selain itu, pada penelitian Warsiki
et al. (2007), zona bening film AM ekstrak sirih antara 1.41 mm sampai 2.22 mm
dan zona bening film AM ekstrak bawang putih antara 0.9 sampai 2.6 mm. Zona
bening yang dihasilkan oleh ketiga penelitian tersebut lebih kecil dibandingkan
zona bening oleoresin cabai karena oleoresin cabai konsentrasi 0.6% dapat
menghasilkan zona bening sebesar 4.46 mm. Hal itu menunjukkan oleoresin cabai
efektif sebagai antimikroba dan dapat diaplikasikan menjadi film AM.
Pada penelitian ini juga dibuat film kontrol (film tanpa oleoresin).
Berdasarkan hasil uji aktifitas antimikroba film diketahui bahwa film kontrol tidak
memiliki aktifitas antimikroba karena tidak terbentuk zona bening dan film
ditumbuhi E. coli, sedangkan film AM memiliki aktifitas antimikroba karena
terbentuk zona bening di sekitar film AM, sehingga terbukti bahwa oleoresin
cabai mempunyai daya penghambatan terhadap E. coli. Selanjutnya, film AM
20
dengan zona bening terbesar dari setiap jenis oleoresin cabai yaitu film AM
dengan konsentrasi oleoresin cabai 0.6% dilakukan pengujian pH, ketebalan,
kekuatan tarik, dan persentase pemanjangan film.
pH
4.50
5.30.3
5.50
Berdasarkan hasil uji derajat keasaman (pH) diketahui bahwa ketiga film
AM dengan konsentrasi oleoresin cabai 0.6% mempunyai nilai pH di bawah 7.0,
sedangkan pH pertumbuhan E. coli berkisar 7.0 sampai 7.5 (Fardiaz 1989). Hal
tersebut menunjukan bahwa adanya daya antimikroba film AM dipengaruhi oleh
pH film. Film CapsicumTM mempunyai nilai pH yang paling rendah dibandingkan
film PaprikaTM dan Capsicum varietas Bara. Hal itu sesuai dengan hasil uji
aktifitas antimikroba yang menunjukan bahwa film CapsicumTM mempunyai daya
antimikroba yang paling besar. Derajat keasaman dapat mempengaruhi aktifitas
antimikroba pada mikroba tertentu (Jay 1997). Derajat keasaman (pH) yang lebih
rendah dari pH pertumbuhan dapat menghambat pertumbuhan E. coli.
Medium harus mempunyai pH yang tepat, yaitu tidak terlalu asam atau basa.
Kebanyakan bakteri tidak tumbuh dalam kondisi terlalu basa, dengan
pengecualian basil kolera (Vibrio cholerae). Pada dasarnya tak satupun yang dapat
tumbuh baik pada pH lebih dari 8. Kebanyakan patogen, tumbuh paling baik pada
pH netral (pH 7) atau pH yang sedikit basa (pH 7.4). Beberapa bakteri tumbuh
pada pH 6 dan tidak jarang dijumpai organisme yang tumbuh baik pada pH 4 atau
5. Suatu organisme sangat jarang dapat bertahan dengan baik pada pH 4, bakteri
autotrof tertentu merupakan pengecualian karena banyak bakteri menghasilkan
produk metabolisme yang bersifat asam atau basa (Volk dan Wheeler 1993).
Semakin rendah pH, semakin tinggi aktifitas antimikroba film. Ketahanan setiap
bakteri tehadap pH film berbeda. Menurut Jay (1997), pada pH asam, senyawa
antimikroba dapat memasuki sel, sehingga dapat merusak sel.
21
Mekanisme penghambatan pada pH disebabkan pada kondisi tersebut sel
mempertahankan pH konstan dalam sel. Jika pH rendah, proton yang terdapat
dalam jumlah tinggi dalam medium akan masuk ke dalam sitoplasma sel (Ray
2001). Hal ini menyebabkan pH sitoplasma menurun. Penurunan tersebut
menyebabkan enzim-enzim akan bekerja untuk mengembalikan pH internal sel
menjadi pH normal (Booth 1985). Proton ini harus dikeluarkan untuk mencegah
terjadinya pengasaman dan denaturasi komponen-komponen sel. Aktifitas
mengembalikan pH internal sel menjadi pH normal menggunakan banyak energi,
sehingga akan menggangu metabolisme sel dan lama kelamaan sel mengalami
kematian (Fardiaz 1992). Pada penelitian Parhusip et al. (2005), ekstrak sirih pada
pH 4 paling efektif menghambat E. coli. Hasil tersebut tidak berbeda terhadap
hasil pada penelitian ini karena oleoresin cabai dengan pH 4.5 juga mempunyai
aktifitas penghambatan E. coli terbesar.
22
besar. Ketebalan film akan berpengaruh pada kekuatan tarik dan persentase
pemanjangan film (Park et al. 1996).
23
dibandingkan Nofrida et al. (2013). Hal tersebut dapat disebabkan oleh komposisi
bahan yang digunakan berbeda. Film kitosan dan film kitosan ditambah ekstrak
bawang putih (EBP) yang dihasilkan Warsiki et al. (2011) memiliki kekuatan
tarik berurutan sebesar 4.569 N/mm2 dan 3.409 N/mm2 atau setara dengan 46.591
kgf/cm2 dan 34.762 kgf/cm2 dengan elongasi sebesar 107.897% dan 176.530%.
Kekuatan tarik film indikator Lestari (2013), film kitosan, dan film kitosan
ditambah EBP lebih kecil dibandingkan film Capsicum varietas Bara, sedangkan
persentase pemanjangannya lebih besar dibandingkan film oleoresin cabai.
Persentase pemanjangan film dengan sorbitol sebesar 16.6% (Purwanti
2010), film pati ubi jalar 9.002.70%, film pati ubi kayu 10.672.39%, film pati
kentang 4.671.55%, film pati garut 4.331.555, dan film pati jagung
25.336.29% (Ardian 2011). Persentase pemanjangan film pati jagung lebih besar
dibandingkan film oleoresin cabai. Berdasarkan literatur standar nilai kekuatan
tarik dan persentase pemanjangan edible film, berurutan sebesar 10 sampai 100
kgf/cm2 dan 10 sampai 50% (Krochta dan Johnson 1997), sehingga nilai kekuatan
tarik dan persentase pemanjangan yang sudah sesuai standar adalah film AM
Capsicum varietas Bara dan film indikator Lestari (2013).
24
Saran
Perlu penelitian lebih lanjut tentang aplikasi film AM dari oleoresin cabai
pada pelapisan bahan atau produk pangan, seperti makanan beku, daging, dan
sayuran segar, sehingga dapat memperbaiki sifat fisis mekanis film.
DAFTAR PUSTAKA
Adila R. 2013. Uji Antimikroba Curcuma spp. Terhadap Pertumbuhan Candida
albicans, Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli. J Bio Universitas
Andalas. 2(1):1-7.
Anonim. 2008. EMB Agar [Internet]. [diunduh 2014 September 12]. Tersedia
pada: http://iws2.collin.edu/dcain/CCCCD%20Micro/embagar.htm.
Appendini P, Hotchkiss JH. 2002. Innovative Food Science & Emerging
Technologies. 3(2002):113-126.
Ardian FN. 2011. Pengaruh Jenis Pati terhadap Kuat Tarik dan Persentase
Pemanjangan Plastik Biodegradable dengan metode grafting [Internet].
[diunduh
2014
Agustus
31].
Tersedia
pada:
http://elibrary.ub.ac.id/handle/123456789/26342.
Bakar A, Mulyono E, Yulianingsih. 2005. Prospek Oleoresin dan Penggunaanya
di Indonesia. Bogor: Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian.
Booth IR. 1985. Regulation of Cytoplasmic pH in Bacteria. Microbial rev.
49:359-378.
Chen HC, Chang MD, Chang TJ. 1985. Antibacterial Properties of Some Spice
Plants before and after Heat Treatment. Chin J Microbial and Immunol.
18(2):190-195.
Davidson PM, Branen AL. 1993. Antimicrobial in Food. New York: Marcel
Dekker.
Davis WW, Stout TR. 1971. Disc Plate Methode Microbiological Antibiotic
Assay. J Microbiology. 22(4):666-670.
Fardiaz D. 1989. Mikrobiologi Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Jawetz E, Melnick JL, Aldenberg EA. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta:
Salemba Medika.
Jay JM. 1997. Modern Food Microbiology 5thed. New York: Chapman and hall.
Julianti E, Nurminah M. 2006. Teknologi Pengemasan. Medan: Universitas
Sumatera Utara.
Kilham C. 2004. Chiles, The Hottest Health Promotor [Internet]. [diunduh 2014
April 11]. Tersedia pada: http://medicinehunter.com/nfm.htm
Krishna De, Amit. 2003. Capsicum, The Genus Capsicum. New York: Tailor &
Francis.
Krochta M, Baldwin EA, Nisperos-Carriedo M. 1994. Edible Coating and Film to
Improve Food Quality. Lancaster,Basel: Technomic.
Krochta JM, DeMulder-Johnson C. 1997. Edible and Biodegradable Polymer
Films; Challenges and Opprtunities. Food Technology. 51(2):61-74.
25
Lay BW, Hastowo S. 1992. Mikrobiologi Edisi ke-1. Jakarta: Rajawali.
Lestari IA. 2013. Pembuatan Label Cerdas Pendeteksi Escherichia coli [skripsi].
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Li B, Kennedy JF, Peng JL, Yie X, Xie BJ. 2006. Preparation and Performance
Evaluation of Glucommannan-Chitin-Nisin Ternary Antimicrobial Blend
Film. J of Carbohydrate Polymers. 65(4):488-494.
Maizura M, Fazillah A, Norziah MH, Karim AA. 2008. Antibacterial Ativity of
Modified Sago Starch Alginate Based Edible Film Incorporated with
Lemongrass (Cymbopogon citrates) boil. International Food Reseach
Journal. 15(2):233-236.
Nofrida R, Warsiki E, Yuliasih I. 2013. Pengaruh Suhu Penyimpanan terhadap
Perubahan Warna Label Cerdas Indikator Warna dari Daun Erpa (Aerva
sanguinolenta). J teknol Indust Pert. 23(3):232-241.
Pandji C, Warsiki E, Purnawati R, Setyaningrum LW. 2013. Tenik Ekstraksi
Oleoresin dari Berbagai Jenis Cabai. Prosiding Seminar Hasil-hasil
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat IPB 2013. ISBN: 978-6028853-19-4 Vol 1. hlm 177-187.
Parhusip AJN, Anugrahati NA, Nathalia T. 2005. Aktivitas Antimikroba Ekstrak
Sereh (Cymbopogon citrarus DC Stapf) terhadap Bakteri Patogen. Jurnal
Ilmu dan Teknologi Pangan. 3(2):27-28.
Park JW, Testin RF, Vergano DJ, Park HJ, Weller CL. 1996. Application of
Laminated Edible Film to Potato Chip Packaging. J of Food Scince.
61(4):766.
Purseglove JW, Brown EG, Green CL, Robins SRJ. 1981. Spices Vol I. New
York: Longman.
Purwanti A. 2010. Analisis Kuat Tarik dan Elongasi Plastik Kitosan Terplastisasi
Sorbitol. J Teknol Pagan. 3(2):99-106.
Ray B. 2001. Fundamental Food Microbiology Edisi ke-2. New York: CRC Pr.
Sentra Informasi Keracunan Nasional. 2014. Keracunan Pangan Akibat Bakteri
Patogen [Internet]. [diunduh 2014 September 12]. Tersedia pada:
https://ik.pom.go.id/Keracunan-Pangan-Akibat-Bakteri-Patogen.
Setyaningrum LW. 2013. Ekstraksi Oleoresin Capsaicin dari Cabai Merah,
Cabai Keriting, dan Cabai Rawit [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Thrmo Fischer Scientific Inc. 2013. Dehydrated Culture Media Eosin Methylene
Blue Agar (Modified) Levin Code: CM0069 [Internet]. [diunduh 2014
Agustus
16].
Tersedia
pada:
http://www.oxoid.com/UK/BLUE/prod_detail/prod_detail.asp?pr=CM0069
&c=UK&lang=EN.
Volk &Wheeler. 1993. Mikrobiologi Dasar Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Warsiki E, Sunarti TC, Martua RD. 2009. Pengembangan Kemasan Antimikroba
untuk Memperpanjang Umur Simpan Produk Pangan. Prosiding Seminar
Hasil-hasil Penelitian IPB. hlm 579-588.
Warsiki E, Sianturi J, Sunarti TC. 2011. Evaluasi Sifat Fisis Mekanis dan
Permeabilitas Film Berbahan Kitosan. J Teknol Indust Pert. 21(3):139-145.
Warsiki E, Sunarti TC, Nurmala L. 2013. Kemasan Antimikroba untuk
Memperpanjang Umur Simpan Bakso Ikan. JIPI. 18(2):125-131.
Witt DD. 2007. Capsaicin [Internet]. [diunduh 2014 April 11]. Tersedia pada:
http://www.fiery_foods.com/dave/capsaicin.asp
26
Yuliana N, Hanum T, Karyono. 1991. Pengaruh Pembelahan Buah Cabai terhadap
Rendemen dan Mutu Oleoresin. Jurnal Hortikultura. 1(4):3 39.
Zainab F. 2009. Pengembangan Kemasan Antimikrobial Berbahan Alami untuk
Memperpajang Umur Simpan Produk [tesis]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
27
Lampiran 1 ANOVA Hasil uji aktifitas antimikroba film AM
Source
Corrected Model
Intercept
Jenis_oleoresin
Konsentrasi_oleoresin
Jenis_oleoresin*Konsentrasi
_oleoresin
Error
Total
Corrected Total
a
Nilai Sig (p-value) lebih kecil
sedangkan nilai Sig (p-value)
berpengaruh nyata pada taraf 5%
Mean
Square
df
88.528
137.048
7.186
70.457
8
1
2
2
10.885
11.066 2.556
137.048 31.658
3.593 0.830
35.229 8.138
2.721
0.629
Sig.
0.047
0.000
0.452a
0.003a
0.648
77.921
18
4.329
303.497
27
166.449
26
dari 0.05 menunjukan berpengaruh nyata
lebih besar dari 0.05 menunjukan tidak
Sig.
0.300a
nyata
tidak
28
Lampiran 4 ANOVA uji kekuatan tarik film AM terpilih
Sum of
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
178.958
1
178.958
0.044
0.854a
Within Groups
8221.178
2
4110.589
Total
8400.136
3
a
Nilai Sig (p-value) lebih kecil dari 0.05 menunjukan berpengaruh nyata
sedangkan nilai Sig (p-value) lebih besar dari 0.05 menunjukan tidak
berpengaruh nyata pada taraf 5%
29
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cilacap pada tanggal 11 Juli 1992 dari pasangan Sarno
(alm) dan Suharni. Penulis adalah putri ketiga dari lima bersaudara. Tahun 2010,
penulis lulus dari SMA Negeri 3 Cilacap dan pada tahun yang sama penulis lulus
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan diterima di
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi, yaitu pernah
menjadi sekretaris departemen Public Relation Himpunan Mahasiswa Teknologi
Industri Pertanian (HIMALOGIN) Teknologi Industri Pertanian IPB tahun 20112012. Selain itu, penulis juga aktif menjadi asisten praktikum Bioproses pada
tahun ajaran 2014.
Penulis melakukan Praktik Lapangan di PT Frisian Flag Indonesia, Jakarta
Timur pada bulan Juli sampai Agustus 2013. Judul Praktik Lapangan yang
diambil adalah Teknologi Pengemasan dan Penggudangan Produk Susu Ultra
High Temperature (UHT) di PT Frisian Flag Indonesia-Plant Ciracas, Jakarta
Timur. Selain itu, pada bulan Maret sampai Agustus 2014, penulis melakukan
penelitian dengan judul Pemanfaatan Oleoresin Cabai untuk Kemasan
Antimikroba Penghambat Pertumbuhan Escherichia Coli. Penelitian tersebut di
lakukan di Laboratorium DIT, Laboratorium Pengawasan Mutu, dan
Laboratorium Bioindustri.