Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Ginjal merupakan salah satu organ vital tubuh. Ginjal memiliki berbagai macam fungsi. Fungsi
utamanya adalah filtrasi plasma dan eksresi produk sisa, mempertahankan homestasis air,
osmolalitas, elektrolit dan asam basa. Ginjal mensekresi renin yang berperan pada pengaturan
tekanan darah dan keseimbangan cairan, dan juga mensekresi eritropoietin. Ginjal berperan besar
dalam eksresi berbagai macam obat-obatan.

Adanya gangguan ginjal atau penyakit ginjal mencakup spektrum yang luas dari suatu penyakit.
Hal ini berkisar dari pasien tanpa gejala dengan kreatinin serum sedikit meningkat pada pasien
dengan gagal ginjal kronis (CRF) yang merupakan yang bergantung pada terapi hemodialisa.
Spektrum yang luas membuat pengelolaan pasien dengan penyakit ginjal selama periode
perioperatif cukup penting.
Dalam makalah ini kita meninjau definisi dan klasifikasi penyakit ginjal, prevalensi penyakit
ginjal pada populasi Amerika Serikat, patofisiologi, penilaian pra operasi termasuk penyelidikan,
dan strategi risiko dalam mengurangi resiko perioperatif.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Definisi
Sejumlah istilah dari literatur mengacu pada tahapan yang berbeda dari berbagai macam penyakit
ginjal, sebagian karena nomenclatures berbeda yang digunakan di Amerika Serikat dan Eropa.
Penting untuk memahami tahapan untuk stratifikasi risiko perioperatif . Berikut ini adalah
definisi beberapa dari literatur:

Renal Impairment: Blood urea nitrogen (BUN) atau kadar kreatinin serum meningkat >
50% sebelum menjalani pengobatan, untuk tingkat> 30 mg / dL atau 1,5 mg / dL

Chronic Kidney Disease (CKD): Ditandai dengan adanya tanda kerusakan ginjal, seperti
proteinuria (rasio> 30 mg albumin 1 g kreatinin pada tes urin), atau filtrasi glomerulus
rate menurun (GFR) selama 3 bulan (GFR <60 mL/minute-1/1.73 m-2)

Gagal ginjal akut (GGA): Penurunan fungsi ginjal tiba-tiba yang mengakibatkan retensi
nitrogen (urea dan kreatinin) dan produk limbah nonnitrogenous (untuk memenuhi syarat
untuk dimasukkan dalam kategori ini pasien harus memiliki output urin <0,5 mL/kg-1 /
jam-1) (2)

Gagal ginjal kronis: GFR <15 mL/minute-1/1.73 m-2, biasanya disertai dengan tanda dan
gejala uremia, atau dibutuhkan untuk memulai terapi transplantasi ginjal untuk
pengelolaan komplikasi GFR yang menurun

Stadium akhir penyakit ginjal (ESRD): Kehilangan fungsi ginjal selama> 3 bulan

Acute Renal Failure

Intrinsic renal causes


(40%)

Pre-renal causes (55%)

Post-renal causes (5%)


BPH
Prostate / Cervical
Cancer
Neurogenic bladder

Hypovolemia
Hypontension
Renal artery stenosis
Glomerular Disease

Tubular injury

Vascular Disease
Interstitial Nephritis

2.2.Prevalensi
Lebih dari 20 juta orang dewasa di Amerika Serikat menderita CKD, dengan jutaan lebih
memiliki resiko. Seperti kejadian hipertensi (bertanggung jawab untuk 27%) dan diabetes
(bertanggung jawab atas 45,5% dari ESRD), demikian juga prevalensi CKD. AS populasi pasien
hemodialisis meningkat 3% menjadi 5% per tahun. Skrining berbasis populasi untuk
mengidentifikasi individu dengan GFR yang rendah masih kontroversial . Skrining target dari
mereka dengan hipertensi atau diabetes saat ini diterima dalam praktek klinik. Berdasarkan
populasi skrining, terbatas pada mereka dengan hipertensi, diabetes, atau usia> 55 tahun, secara
potensial dapat mengidentifikasi 93,2% (95% confidence interval [CI], 92,4% sampai 94%)
pasien dengan CKD (GFR <60 mL / minute-1/1.73 m-2) . Dalam studi Norwegia berbasis sama,
20% dari individu dengan estimasi GFR <30 mL/minute-1/1.73 m-2 berkembang ke ESRD lebih
dari 8 tahun masa tindak lanjut, dibandingkan dengan 1% sampai 2% dari mereka dengan GFR
30 sampai 60 mL/minute-1/1.73 m-2.
Table 8.1. Stages of chronic kidney disease and prevalence of renal disease in the U.S.
population (19881998)

Stage

Definition

U.S. Prevalence

GFR 90 mL/min-1/1.73 m-2 with evidence of kidney damagea 5.9 million

GFR = 6089 mL/min-1/1.73 m-2 with evidence of kidney

5.3 million

damagea
3

GFR = 3059 mL/min-1/1.73 m-2

7.6 million

GFR = 1529 mL/min-1/1.73 m-2

0.4 million

GFR <15 mL/min-1/1.73 m-2 or dialysis dependent

0.3 million

GFR, glomerular filtration rate.


a

Kidney damage defined as pathologic abnormalities or markers of damage, including

abnormalities of blood or urine tests or imaging studies.


Adapted from Palevsky MP. Perioperative management of patients with chronic kidney disease
or ESRD. Best Pract Res Clin Anesthesiol. 2004;18:129144; and from National Kidney
Foundation, K/DOQI Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation,
classification and stratification. Am J Kidney Dis. 2002;39(2 suppl 1):S19.

a. Chronic Kidney Disease


Secara keseluruhan tingkat mortalitas perioperatif pada pasien dengan CKD berkisar dari 1%
menjadi 4%. Pada pasien yang menjalani operasi jantung, tingkat kematian diperkirakan lebih
besar (10% sampai 20%). Mortalitas pada pasien hemodialisa bergantung setelah operasi
penggantian katup darurat dilaporkan menjadi 57%. Penyebab umum kematian pada kelompok
ini termasuk sepsis, perdarahan, gagal jantung kongestif (CHF), hipotensi, dan hiperkalemia.
b. Acute Renal Failure
ARF menyulitkan 2% sampai 5% dari seluruh penerimaan rawat inap. Tabel 8.2
menguraikan penyebab ARF di rumah sakit dan kematian yang terkait. Pasien sakit kritis,
5% sampai 20% mengalami episode GGA selama perjalanan penyakitnya. GGA terjadi
pada sekitar 19% pasien dengan sepsis moderat, 23% dari mereka dengan sepsis berat,
dan 51% dari mereka dengan syok septik ketika kultur darah positif

Table 8.2. Causes of hospital-acquired acute renal failure: Associated frequency and
mortality
Cause

Frequency Mortality

Decreased renal perfusion

39%

13.6%

Medications

16%

15%

Radiographic contrast media

11%

14%

Surgery

9%

2.8%

Sepsis

6.5%

76%

Postliver transplant

<5%

28.6%

Postheart transplant

<5%

35%

Obstruction

<5%

28.6%

Hepatorenal syndrome

<1%

71.4%

Rhabdomyolysis, artifact, glomerulonephritis, nephrectomy, atheroemboli, <1%


hypercalcemia, unknown
Adapted from Nash OK, Hafeez A, Hou S. Hospital-acquired renal insufficiency. Am J Kidney
Dis. 2002;3:930936.
2.3.Patofisiologi
Pada orang dewasa sehat, aliran darah ginjal (RBF) adalah sekitar 1,2-1,3 L/minute-1 darah atau
20% dari cardiac output . Darah memasuki arteriola aferen dan proporsi plasma disaring di
membran basal glomerulus dan ke dalam tubulus proksimal untuk reabsorpsi dan sekresi.
Komponen disaring dari plasma disebut sebagai filtrat glomerular. GFR pada pria 70-kg rata-rata
adalah 125 mL/minute-1 atau sekitar 10% dari RBF tersebut. Hampir semua (99%) dari filtrat ini
biasanya diserap kembali. Dalam waktu 24-jam, ginjal menyaring sejumlah cairan sama dengan
empat kali total body water (TBW) atau 60 kali volume plasma.
Pembentukan fraksi filtrasi glomerulus yang memadai (GFR / RBF) tergantung pada RBF dan
integritas glomerulus, termasuk kapiler dan membran basal. RBF adalah autoregulasi antara
tekanan arteri rata-rata 60 dan 150 mm Hg. Autoregulasi dicegah dengan obat yang
melumpuhkan otot polos. Autoregulasi terjadi pada tingkat arteriola aferen, di mana oksida nitrat
(NO) menengahi respon otot polos untuk peregangan. Pada tekanan perfusi rendah, angiotensin

II mengkonstriksi arteriole eferen, dengan demikian mempertahankan tekanan filtrasi melewati


membran glomerulus. Obat yang mengganggu mediator ini termasuk obat anti-inflammatory
drugs (NSAID), siklooksigenase 2 (COX-2) inhibitor, angiotensin-converting enzyme (ACE)
inhibitor, dan antagonis reseptor angiotensin II. Obat ini dapat memicu gagal ginjal selama
hipoperfusi. Banyak pasien dengan penyakit ginjal yang sudah ada yang hadir untuk operasi akan
mengambil inhibitor ACE. ACE inhibitor sekarang pengobatan lini pertama untuk pencegahan
diabetes nefropati pada pasien diabetes. Mereka juga memberikan manfaat besar pada pasien
tanpa diabetes tapi dengan insufisiensi ginjal (CKD stadium 4, pengurangan 43% pada kejadian
ESRD dan kematian pada 3,4 tahun masa tindak lanjut)
Di bawah ini hal-hal yang dapat mempertahankan homeostasis ginjal:
Renin angiotensin-aldosteron
Angiotensin II
hormon antidiuretik (ADH)
Atrial natriuretik peptida
Prostaglandin E2 dan I2 dan kinins
Ginjal excretes produk akhir dari metabolisme (urea dan asam), mempertahankan nutrisi (asam
amino dan glukosa), dan mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh. Gangguan
fungsi-fungsi ini dapat bermanifestasi sebagai berikut:
sindrom nefrotik
Asam-basa gangguan
Gangguan homeostasis kalium
Gangguan homeostasis natrium
Ginjal melakukan sejumlah fungsi sekunder bersama dengan fungsi utamanya untuk buangan air
produk akhir metabolisme. Di antara fungsi sekunder adalah sebagai berikut:
Produksi erythropoietin

Konversi vitamin D menjadi bentuk aktifnya


Konservasi kalsium melalui aktivitas hormon paratiroid (PTH)
Peptida dan protein hormon metabolisme (misalnya, metabolisme insulin)
Sindrom nefrotik
Sindrom nefrotik ditandai dengan hilangnya protein berat urin, hipoalbuminemia, dan edema.
Hiperkolesterolemia hampir selalu ada. Protein kehilangan urin 3 sampai 5 gram sehari
menyebabkan hipoalbuminemia. Kerusakan struktural pada membran basal glomerulus
menyebabkan peningkatan ukuran pori yang memungkinkan bagian dari molekul besar.
Penyebab umum termasuk diabetes dan glomerulosklerosis glomerulopathy membranous.

Gangguan Asam-Base
PH arteri normal dipertahankan antara 7,38 dan 7,42. Diet dewasa normal sehari-hari
mengandung lebih dari 70 sampai 100 mmol asam. Asam ini adalah buffered oleh protein
intraseluler seperti komponen hemoglobin dan jaringan seperti kalsium karbonat dan fosfat
kalsium dalam tulang. Paling penting dari semua adalah bikarbonat-asam karbonat penyangga
pasangan yang dihasilkan oleh hidrasi karbon dioksida (CO2):karbonat anhidrase
Acidemia merangsang peningkatan ventilasi untuk menghilangkan CO2, yang membatasi
penurunan pH. Ginjal menghasilkan kembali bikarbonat (HCO3-) digunakan dalam proses
buffering. Ginjal excretes ion H + dan menyerap kembali kemudian disaring HCO3-ion, menjaga
plasma HCO3-sekitar 25 mEq/L-1. Kegagalan mekanisme ini merupakan penyebab umum dari
asidosis metabolik, terutama di ARF. Asidosis tubulus ginjal (tipe 1 sampai 4) mengacu pada
sekelompok langka penyakit genetik dimana kemampuan tubulus ginjal untuk menjaga
keseimbangan asam-basa terganggu.
Gangguan Homeostasis Kalium
Hiperkalemia (K +> 4,9 mEq/L-1) disebabkan oleh ekskresi berkurang karena kerusakan tubulus
ginjal . Kombinasi ACE inhibitor dengan diuretik hemat K+(sekarang banyak digunakan dalam

pengobatan CHF) pada pasien dengan gangguan ginjal ringan dapat hiperkalemia endapan.
NSAID, yang mengganggu produksi prostanoid, dapat menekan produksi renin, menghasilkan
kadar aldosteron menurun dan jadi mengurangi ekskresi K +. Hiperkalemia berat menghasilkan
elektrokardiogram (EKG) perubahan termasuk T-gelombang elevasi dan dapat menyebabkan
kematian

mendadak

akibat

penangkapan

asystolic.

Hiperkalemia

menyebabkan

hyperpolarization membran sel, menyebabkan rangsangan menurun, hipotensi, bradikardia, dan


ada detak jantung akhirnya. Kelemahan otot kadang menjadi satu-satunya gejala.
Hipokalemia (K + <3,3 mEq/L-1) atau K + rugi melalui ginjal disebabkan oleh diuretik, kelebihan
mineralokortikoid, atau asidosis tubulus ginjal. Hipokalemia juga hasil dari cepat ion H + gerakan
ke dalam ruang ekstraselular dengan K + untuk H + penukar ion melintasi membran sel. Koreksi
asidosis dengan cepat hiperventilasi atau pemberian natrium bikarbonat (NaHCO3) dapat
memicu hipokalemia. Perubahan EKG termasuk gelombang T yang datar, ST-segmen depresi,
PR berkepanjangan dan interval QT, dan aritmia atrium dan ventrikel.
Gangguan Homeostasis Sodium
Volume intravaskular yang dilestarikan oleh aksi ADH dan aldosteron. Hipovolemia hasil dalam
rilis ADH dan stimulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron. ADH dilepaskan oleh kelenjar
hipofisis posterior dalam menanggapi osmolalitas meningkat atau penurunan volume
ekstraseluler dan meningkatkan permeabilitas duktus mengumpulkan air. Aldosteron merupakan
mineralokortikoid dirilis oleh korteks adrenal dalam respon terhadap angiotensin II. Aldosteron
bekerja pada tubulus distal untuk meningkatkan reabsorpsi natrium (Na +) dalam pertukaran
untuk K + dan H +.
Hipernatremia (Na +> 144 mEq/L-1) adalah yang paling umum akibat dari defisit TBW bukan
tubuh total + Na berlebih.
Hiponatremia (Na

<134 mEq/L-1) ini paling sering disebabkan oleh kelebihan TBW bukan

defisit + total tubuh Na. Dalam ARF dari nekrosis tubular akut (ATN), kegagalan untuk
menyerap kembali Na

(terutama fungsi dari tubulus proksimal berbelit-belit) dapat

mengakibatkan berlebihan ekskresi Na + (> 40 mEq/L-1) dalam urin.


2.4. Etiologi Gagal Ginjal Kronis

Penyebab CRF dapat dibagi menjadi lima kategori:


kongenital dan diwarisi penyebab
Penyakit glomerular primer dan sekunder
Vascular penyakit
Tubulointerstitial penyakit
Obstruksi saluran kemih
Table 8.3. Causes of chronic renal failure
Congenital and inherited disease
Polycystic kidney disease
Alport syndrome
Congenital hypoplasia
Glomerular disease
Primary:
Glomerulonephritides
Secondary:
Systemic lupus vasculitis
Diabetic glomerulosclerosis
Amyloidosis
Vascular disease
Arteriosclerosis
Microscopic polyarteritis
Systemic lupus
Systemic sclerosis with renal involvement
Tubulointerstitial disease
Tubulointerstitial nephritis
Reflux nephropathy
Tuberculosis
Schistosomiasis

Urinary tract obstruction


Urinary calculi
Prostate disease
Retroperitoneal fibrosis
Pelvic mass
Diabetes yang disertai hipertensi tidak terkontrol sekitar 70% kasus CRF. Nefropati diabetes
disebabkan oleh perubahan struktural ginjal. Pada nefropati terbuka, terdapat semua
kompartemen ginjal, glomeruli, tubuli, pembuluh darah extraglomerular, dan kelainan
interstitium. Pada hipertensi esensial salah satu manifestasi ginjal paling awal adalah
pengurangan RBF total. Hal ini diduga bahwa RBF berkurang mengarah pada penurunan
tekanan dan aliran dalam sirkulasi postglomerular. Penurunan ini dapat menyebabkan rentan
terhadap peningkatan reabsorpsi Na +, yang selanjutnya meningkatkan tekanan darah sistemik .
Hipertensi maligna disertai oleh perubahan patologis dan gangguan dalam fungsi ginjal. RBF
dan GFR yang sangat berkurang; pembuluh darah ginjal mungkin tidak lagi respon dengan
vasodilator.
Penyakit ginjal polikistik memiliki warisan dominan autosomal dalam 90% kasus dan
merupakan akuntansi gangguan yang paling umum diwariskan tubular untuk 10% dari ESRD di
Amerika Serikat.
Manifestasi Extrarenal termasuk aneurisma intrakranial pada 10% pasien dan prolaps katup
mitral pada 25%
2.5.Etiologi Gagal Ginjal Akut
GGA dapat terjadi langsung atau mempersulit CKD. Kategorisasi GGA prerenal ,renal, dan
postrenal, dokter untuk mengadopsi pendekatan yang sistematis untuk pasien dengan ARF
(Gambar 8.1). Penyebab prerenal sering dapat dengan cepat diperbaiki. Sejumlah tes sederhana
membedakan prerenal akibat penyebab lain.
Para BUN-kreatinin (Cr) rasio dapat dihitung. Sebuah rasio> 20 nikmat penyebab prerenal,
sedangkan rasio 10 sampai 20 terjadi dengan gagal ginjal atau postrenal. Perhitungan ekskresi
fraksional natrium (FEnA) berguna.

(PCR, plasma kreatinin; UCR, kreatinin urin; PNA, plasma natrium; Una, natrium urin)
Sebuah FEnA <1% dikaitkan dengan penyebab prerenal dari GGA. Sebuah FEnA> 1% paling
sering disebabkan dengan ATN tetapi dapat terlihat pada penurunan volume (10% dari waktu)
atau deplesi volume dengan terapi diuretik yang sedang berlangsung .
Pada GGA prerenal, koreksi hipovolemia dan hipotensi adalah satu-satunya alat perlindungan
ginjal. Diuretic furosemide yang loop kurang bermanfaat dalam mencegah atau mengobati ARF .
Jika pasien tetap oliguria (urin <0,5 mL/kg-1/hour-1) meskipun normovolemia dan mean arterial
pressure yang adekuat, langkah berikutnya adalah untuk membedakan antara penyebab patologi
dan obstruktif intrinsik. USG saluran ginjal diindikasikan untuk mengidentifikasi perubahan
(ginjal membesar atau melebar ureter) yang merupakan hasil dari obstruksi. Penyebab obstruksi
kalkuli meliputi ureter, pembekuan darah, fibrosis retroperitoneal, tumor mengompresi, dan
obstruksi kandung kemih outlet. Pengobatan ditujukan untuk dekompresi sistem arus keluar dan
mungkin memerlukan nefrostomi, stenting ureter, atau kateterisasi sederhana.
Bila penyebab ARF tidak jelas, maka penyakit ginjal intrinsik seperti nefritis interstisial alergi,
glomerulonefritis akut, dan vaskulitis harus dipertimbangkan. Penyebab yang jarang dari ARF
memerlukan penilaian spesialis (diagnosis sering dibuat setelah biopsi) dan pengobatan agresif.
Pengukuran klinis
Pada individu sehat GFR tetap konstan sebagai hasil dari mekanisme pengaturan intrarenal. GFR
menurun cedera ginjal berikut atau penurunan RBF. Secara tradisional, penurunan terkait usia
pada GFR telah dianggap "normal". Penurunan GFR, bagaimanapun, adalah prediktor
independen dari hasil buruk pada populasi lanjut usia .
Pengukuran atau perkiraan GFR (eGFR) diperlukan untuk menentukan fungsi ginjal. Bersihan
kreatinin (berdasarkan anggapan bahwa produksi kreatinin adalah konstan) adalah tanda
pengganti dari GFR. Generasi kreatinin sebanding dengan massa otot dan umumnya lebih besar
pada pria dibandingkan pada wanita. Individu keturunan Afrika biasanya memiliki konsentrasi

kreatinin serum lebih besar dibanding ras-ras lain. Kondisi pasca operasi (misalnya, hemodilusi
intravaskular, massa otot variabel, dan perubahan tingkat metabolisme) menyulitkan interpretasi
pengukuran kreatinin serum . GFR dapat dikurangi 50% sampai 70% tanpa perubahan kreatinin
serum. Penentuan klasik GFR memerlukan pengumpulan urin 24-jam. Bersihan kreatinin
(mL/minute-1) (CC) diperkirakan dengan rumus berikut:
CC = U V/P 100

U = urinary creatinine concentration (mmol/L-1)

V = urine volume (mL)

P = plasma creatinine concentration (mmol/L-1)

Jika koleksi 24-jam tidak layak, GFR dapat diperkirakan dari kreatinin serum, dengan
menggunakan persamaan dari Modifikasi Diet di Renal (MDRD) study:
2.6.Tinjauan Preanesthesia
Bagian ini menguraikan faktor penting anestesi harus mempertimbangkan sebelum operasi pada
pasien dengan penyakit ginjal.
Tahap awal gagal ginjal sering tanpa gejala sama sekali meskipun akumulasi metabolit limbah.
Gejala umum ketika BUN melebihi 40 mmol/L-1. Gejala ini meliputi:
Malaise, kehilangan energi
Insomnia
Pruritus
Mual dan muntah
Gejala anemia
Table 8.4. Urine and serum diagnostic indices for differential diagnosis between prerenal
and renal azotemia
Measure

Prerenal

Renal

Renal blood flow (mL/min-1)

Reduced

Urine output (mL/kg/hr-1)

<0.5

Creatinine clearance (mL/min-1)

Reduced

Reduced

Urine-specific gravity

>1.020

<1.010

Urine osmolality (mOsm/kg)

>500

<350

Urine/plasma osmolality

>1.3

<1.1

Urine sodium (mEq/L)

<20

>40

Urine/plasma urea

>8

<3

Urine/plasma creatinine

>40

<20

Fractional excretion of sodium (FENa)a

<1%

>2%

Reduced/normal

2.7.Evaluasi Fungsi Ginjal

Taksiran akurat pada fungsi ginjal tergantung pada determinasi laboratorium. Gangguan
renal (renal impairment) bisa mengarah pada disfungsi glomerulus, fungsi tubulus atau
obstruksi traktus urinarius.

Karena abnormalitas fungsi glomerulus disebabkan adanya gangguan yang hebat dan
dapat dideteksi, tes laboratorium yang dapat digunakan adalah yang berhubungan dengan
GFR (glomerular filtration rate).

a. BUN (Blood Urea Nitrogen)


Sumber utama urea dari tubuh adalah hati. Pada saat katabolisme protein, amonia diproduksi dari
deaminasi asam-asam amino. Konversi hati ke urea mencegah pembentukan dari toksik amonia :
2NH3 + CO2 H2N CO NH2 + H2O

BUN adalah berhubungan langsung dengan katabolisme protein dan berhubungan terbalik
dengan GF. Hasilnya, BUN bukanlah indikator yang bisa digunakan untuk perhitungan GFR

kecuali katabolisme protein normal dan konstan. Lebih lagi, 40%-50% dari filtrat secara normal
di reabsorpsi secara pasif oleh tubulus renal; hipovolemi meningkatkan fraksi ini (bawah)
Konsentrasui BUN normal adalah 10 20 mg/dl. Nilai yang lebih rendah bisa didapati pada
starvasi dengan penyakit hati. Peningkatan biasanya disebabkan oleh berkurangnya GFR atau
meningkatnya katabolisme protein. Selanjutnya mungkin berlanjut pada status katabolisme tinggi
(trauma atau sepsis), degradasi darah baik pada traktus digestif atau hepatoma besar, atau diet
tinggi protein. Konsentrasi BUN yang lebih besar dari 50 mg/dl biasanya berhubungan dengan
renal impairment.

b. Serum Kreatinin

Kreatinin adalah produk dari metabolisme otot yang tanpa enzim dikonversi ke kreatinin.
Produksi kreatinin pada sebagian besar orang adalah relatif konstan dan berhubungan
dengan massa otot.

Konsentrasi kreatinin serum berhubungan langsung dengan massa otot tubuh tapi
berkebalikan dengan GF. Oleh karena massa otot tubuh biasanya konstan, pengukuran
kreatinin serum biasanya berdasarkan indeks GFR. Makan daging dalam jumlah besar,
terapi simetidin, peningkatan asetoasetat (seperti pada ketoasidosis) meningkatkan
pengukuran pada kreatinin serum tanpa perubahan di GFR.

GFR menurun dengan meningkatnya umur pada sebagian besar orang (5% per dekade
setelah umur 20 tahun), tapi karena massa otot juga menurun, kreatinin serum tetap relatif
normal; produksi kreatinin bisa menurun sampai 10 mg/kg. Pada pasien yang tua,
peningkatan kecil dari kreatinin serum bisa menunjukkan perubahan besar pada GFR.
Menggunakan usia dan berat badan (dalam kg), GFR bisa diperkirakan dengan formula /
rumus untuk pria.

[( 140 umur ) x BB]


CrCl = ------------------------------------72 x kreatinin plasma

Untuk wanita, persamaan tadi dikali dengan 0,85 untuk mengkompensasi perbedaan kecil
pada massa otot.

Grouping of Patients According to Glomerular Function


Creatinine

Clearance

(mL/min)
Normal

100120

Decreased renal reserve

60100

Mild renal impairment

4060

Moderate

renal 2540

insufficiency
Renal failure

< 25

End-stage renal disease1

< 10

This term applies to patients with chronic renal failure.

c. BUN Rasio kreatinin

Aliran yang rendah dari tubulus ginjal membantu reabsorpsi urea namun tidak
mempunyai efek pada ketetapan kreatinin. Sebagai hasil, rasio BUN terhadap kreatinin
serum meningkat diatas 10:1. Penurunan aliran tubulus bisa disebabkan oleh penurunan
perfusi ginjal atau obstruksi traktus urinari. BUN : kreatinin rasio lebih dari 15:1 dapat
dilihat pada kekurangan volume dan pada edema dengan gangguan yang berhubungan
dengan berkurangnya aliran tubular (seperti pada gagal jantung, sirosis, nefrotik
sindrome) dan juga pada obstruksi uropati.

Peningkatan katabolisme protein bisa meningkatkan rasio ini.

d. Creatinin Clearance
Pengukuran CrCl adalah metode yang paling akurat untuk perkiraan klinis fungsi ginjal secara
keseluruhan CrCl < 25 mL/min indikasi dari gagal ginjal.

e. Urinalisis

Selanjutnya urinalisis adalah tes rutin yang paling biasa dilakukan untuk evaluasi fungsi
renal. Urinalisis bisa membantu untuk identifikasi beberapa gangguan pada disfungsi
tubulus ginjal maupun beberapa gangguan nonrenal. Urinalisis rutin termasuk pH, berat
jenis (BJ), deteksi dan kuantitas glukosa, protein, bilirubin dan pemeriksaan mikroskopik
terhadap sedimen urin.

pH urin membantu bila pH arteri diketahui. Bila pH urin lebih dari 7,0 pada sistemik
asidosis memberi kesan asidosis tubulus renal.

BJ (berat jenis) berhubungan dengan osmolalitas urin 1,010 biasanya berhubungan


dengan 290 mOsm/kg. BJ lebih dari 1,018 setelah puasa 1 malam merupakan indikasi
adekuatnya kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasi. BJ yang lebih rendah
memperlihatkan hiperosmolality dari plasma yang konsisten dengan diabetes insipidus.

Glikosuria adalah hasil dari ambang batas bawah glukosa pada tubulus rendah ( normal
180 mg/dl) atau hiperglikemia.

Proteinuri dideteksi dengan urinalisis rutin yang seharusnya dievaluasi pada


pengumpulan urin 24 jam. Ekskresi protein urin lebih dari 150 mg/dl adalah signifikan.

Peningkatan level bilirubin pada urin terlihat pada obstruksi biliari.

Analisa mikroskopik pada sedimen urin bisa mendeteksi adanya sel darah merah atau sel
darah putih, bakteri, cast, dan kristal.Sel darah merah mungkin mengindikasikan
perdarahan akibat tumor, batu, infeksi, koagulopati atau trauma.

Sel putih dan bakteria biasanya berhubungan dengan infeksi. Proses penyakit pada level
nefron membentuk tubular cast.

Kristal mungkin mengindikasikan abnormalitas pada asam oksalat, asam urat atau
metabolisme kistin.

2.8. Perubahan Fungsi Ginjal dan Efeknya Terhadap Agen-Agen Anestesi


Banyak obat-obatan sebagian tergantung pada ekskresi renal untuk eliminasi. Sehingga modifikasi
dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif.

Efek sistemik azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja farmakologikal dari agenagen ini. Observasi terakhir bisa disebabkan menurunnya ikatan protein dengan obat,

penetrasi ke otak lebih besar oleh karena perubahan pada blood brain barrier, atau efek
sinergis dengan toxin yang tertahan pada gagal ginjal.
a. Agen Intravena
Propofol & Etomidate

Secara Farmakokinetik tidak mempunyai efeknya secara signifikan pada gangguan fungsi
ginjal.

Barbiturat

Sering terjadi peningkatan sensitivitas terhadap barbiturat selama induksi. Mekanismenya


dengan peningkatan barbiturat bebas yang bersirkulasi karena ikatan dengan protein yang
berkurang.

Asidosis menyebabkan agen ini lebih cepat masuknya ke otak dengan meningkatkan
fraksi non ion pada obat.

Ketamin

Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal. Beberapa metabolit yang
aktif di hati tergantung pada ekskresi ginjal dan bisa terjadi potensial akumulasi pada
gagal ginjal. Hipertensi sekunder akibat efek ketamin bisa tidak diinginkan pada pasienpasien hipertensi ginjal.

Benzodiazepin

Benzodiazepin menyebabkan metabolisme hati dan konjugasi karena eliminasi di urin.


Karena banyak yang terikat kuat dengan protein, peningkatan sensitivitas bisa terlihat
pada pasien-pasien hipoalbuminemia.

Diazepam seharusnya digunakan berhati-hati pada gangguan ginjal karena potensi


akumulasi metabolit aktifnya.

Opioid

Opioid (morfin, meperidin, fentanil, sufentanil dan alfentanil) di inaktifasi oleh hati,
beberapa metabolitnya nantinya diekskresi di urin. Farmakokinetik remifentanil tidak
terpengaruh oleh fungsi ginjal karena hidrolisis ester yang cepat di dalam darah.

Kecuali morfin dan meferidin, Akumulasi morfin (morfin-6-glucuronide) dan metabolit


meperidine pernah dilaporkan memperpanjang depresi pernafasan pada beberapa pasien
dengan gagal ginjal.

Peningkatan level

normeperidine, metabolit meperidine,

dihubungkan dengan kejang-kejang.

Agonis-antagonis opioid (butorphanol nalbuphine dan buprenorphine) tidak terpengaruh


oleh gagal ginjal.

Agen-Agen Antikolinergik

Atropin dan glycopyrolate dalam dosis premedikasi, biasanya aman karena lebih dari
50% dari obat-obat ini dan metabolit aktifnya di ekskresi normal di urin, potensi
akumulasi terjadi bila dosis diulang.

Scopolamine kurang tergantung pada ekskresi ginjal, tapi efek sistem syaraf pusat bisa
dipertinggi oleh azotemia.

Phenothiazines, H2 Blockers Dan Agen-Agen Yang Berhubungan.

Phenothiazines, seperti promethazine bisa terjadi berpotensiasi dari depresi pusat oleh
azotemia. Kerja antiemetiknya bisa berguna untuk penanganan mual preoperatif.
Droperidol sebagian bergantung pada ekskresi ginjal. Akumulasi bisa dilihat pada dosis
besar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal, biasanya droperidol digunakan pada
dosis kecil (< 2,5 mg)

Semua H2 reseptor bloker sangat tergantung pada ekskresi ginjal. Metoclopramide


sebagian diekskresinya tidak berubah di urin dan akan diakumulasikan juga pada gagal
ginjal.

b.Agen-agen Inhalasi
Agen-agen volatile

Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien dengan disfungsi renal karena tidak
tergantungnya pada eliminasi ginjal, kemampuan untuk mengkontrol tekanan darah dan
biasanya mempunyai efek langsung minimal pada aliran darah ginjal.

Percepatan induksi dan timbulnya bisa dilihat pada anemis berat (Hb <5 g/dL) dengan
GGK; observasi ini bisa dijelaskan oleh turunnya blood gas portion coefficient atau
kurangnya MAC.

Enflurane dan sevoflurane (dengan aliran gas <2 L/min) tidak disarankan untuk pasienpasien dengan penyakit ginjal pada prosedur lama karena potensi akumulasi fluoride.

Nitrous Oxide

Banyak klinisi tidak menggunakan atau membatasi penggunaan NO2 sampai 50% dengan
tujuan untuk meningkatkan penggunaan O2 arteri pada keadaan anemia.

c. Pelumpuh Otot
Succinyl choline

5 mEq/L pada saat induksi. Bila K serum lebih tinggi, pelumpuh otot nondepol sebaiknya
digunakan

Cisatracurium, atracurium & Mivacurium


Mivacurium tergantung pada eliminasi ginjal secara minimal. Cisatracurium & atracurium
didegradasi di plasma oleh eliminasi hidrolisis ester enzymatik & nonenzymatik hofman. Agenagen ini mungkin merupakan obat pilihan untuk pelumpuh otot pada pasien-pasien dengan gagal
ginjal.

Vecuronium & Rucoronium


Eliminasi dari vecuronium secara primer ada di hati, tapi lebih dari 20% dari obat dieliminasi di
urine.

Efek dari dosis besar vecuronium (> 0,1 mg/kg) hanya memanjang sedikit pada pasien renal
insufisiensi. Perpanjangan kerja pada penyakit ginjal berat pernah dilaporkan.

Curare
Eliminasi dari curare tergantung baik pada ginjal maupun ekskresi empedu; 40-60% dosis
curare secara normal dieksresi di dalam urin. Dosis lebih rendah dan perpanjangan interval
pemberian dosis diperlukan untuk rumatan agar pelumpuh otot optimal

Pancuronium, Pipecuronium, Alcuronium, & Doxacurium


Obat-obat ini tergantung terutama pada ekskresi renal (60-90%). Walaupun pancuronium di
meta- bolisme di hati menjadi metabolit intermediate yang kurang aktif, eliminasi paruh
waktunya masih tergantung pada ekskresi ginjal (60-80%). Fungsi neuromuscular harus
dimonitor ketat jika obat-obat ini digunakan pada fungsi ginjal abnormal.

Metocurine, Gallamine & Decamethonium


Obat-obat ini hampir sepenuhnya tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi dan harus
dihindari peng gunaannya dari pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

Obat-obat Reversal
Ekskresi ginjal adalah rute utama eliminasi bagi edrophonium, neostigmine & pyridostigmine.
Waktu pa ruh dari obat-obat ini pada pasien dengan gangguan gagal ginjal memanjang
setidaknya sama dengan pelumpuh otot sebelumnya diatas.

2.9. Anestesi Pada Pasien dengan Gagal Ginjal Pertimbangan Pre Operasi
a. Gagal Ginjal Akut

Gagal ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal secara cepat yang menghasilkan
penumpukan dari sampah nitrogen (azotemia). Zat ini sebagian besar bersifat racun,
dihasilkan oleh metabolisme protein dan asam amino. Termasuk urea, senyawa guanidine
(termasuk creatin dan creatinin), asam urat, asam amino alifatik, berbagai jenis peptida
dan metabolisme dari asam amino aromatik.

Azotemia dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan penyebabnya yaitu prerenal,
renal, dan postrenal.

Penyebab oliguria
Pre renal

Renal

Post Renal

Hypovolemia

Hypoxia

Bladder neck

Hypotension

From pre renal causes

obstruction

Poor cardiac output Renal vein thrombosis

Blocked

Renal

system

Pre

Nephrotoxins system
existing

damage
Renal

renal Amphotericin

drainage

Pelvis surgery

Chemotherapeutic
vascular agents

Prostatic
enlargement

disease

NSAIDS

Raised

intra-

Renal

Contrast

vasoconstriction

(beware Renal or in Renal or ureteric

Sepsis

diabetes and multiple Calculi

media abdominalpressure

myeloma)

Clots

Tissue injury

Necrotic papillae

Haemoglobinuria

Haemoglobinuria

Myoglobinuria
Uric

Acid

(tumour

lysis)
Inflammatory
nephritides
Glomerulonephritis
Interstitial nephritis
Polyarteritis
Myeloma

Azotemia renal dan postrenal bersifat reversible pada tahap inisial namun jika dibiarkan
terus menerus akan menyebabkan azotemia renal. Kebanyakan pasien dewasa dengan
gagal ginjal akan terjadi oliguria.

Pasien yang nonoliguri (yaitu pasien dengan urin output >400mL/hari) terus menerus
membentuk urin yang secara kualitatif miskin, pada pasien ini cenderung memiliki
pemeliharaan yang cukup baik dari GFR. Walaupun filtrasi glomerulus dan fungsi
tubulus terganggu, kelainannya untuk cenderung buruk lebih sedikit pada gagal ginjal
nonoliguri.

Pembahasan mengenai gagal ginjal akut bervariasi, namun pada tipe oliguria bertahan
sampai 2 minggu dan diikuti oleh fase diuretik yang ditandai dengan adanya peningkatan
yang progresif pada urin output. Fase diuretik ini sering menghasilkan sangat banyaknya
urin output dan biasanya tidak ditemui pada gagal ginjal yang non oligurik. Fungsi urinari
semakin baik dalam beberapa minggu namun bisa tetap bertahan tidak kembali normal
sampai 1 tahun.

b.

Gagal Ginjal Kronis

Sindroma ini dikarakteristikkan oleh adanya penurunan fungsi ginjal yang progresif dan
irreversibel dalam waktu 3-6 bulan. Penyebab utamanya adalah hipertensi nefrosklerosis,
diabetik nefropati, glomerulonefritis kronis, dan penyakit ginjal polikistik.

Manifestasi penuh dari sindrom ini sering dikenal dengan uremia yang akan terlihat
setelah GFR menurun dibawah 25 mL/menit. Pasien dengan klirens dibawah 10
mL/menit (sering disebut dengan end stage renal disease) akan bergantung kepada
dialisis untuk bertahan sampai dilakukan transplantasi. Dialisis dapat berbentuk
intermittent hemodialysis melalui arteriovenous fistula atau dialisis terus menerus melalui
kateter yang diimplantasikan.

Manisfestasi of Uremia

Neurological

Cardiovascular

Peripheral neuropathy

Fluid overload

Autonomic neuropathy

Congestive heart failure

Muscle twitching

Hypertension

Encephalopathy

Pericarditis

Asterixis

Arrhythmia

Myoclonus

Conduction blocks

Lethargy

Vascular calcification

Confusion

Accelerated atherosclerosis

Seizures
Coma
Pulmonary

Metabolic
Metabolic acidosis
Hyperkalemia

Hyperventilation

Hyponatremia

Interstitial edema

Hypermagnesemia

Alveolar edema

Hyperphosphatemia

Pleural effusion

Hypocalcemia

Gastrointestinal

Hyperuricemia

Anorexia
Nausea and vomiting

Hypoalbuminemia
Hematological

Delayed gastric emptying

Anemia

Hyperacidity

Platelet dysfunction

Mucosal ulcerations

Leukocyte dysfunction

Hemorrhage
Adynamic ileus
Endocrine
Glucose intolerance
Secondary hyperparathyroidism
Hypertriglyceridemia

Skin
Hyperpigmentation
Ecchymosis
Pruritus
Skeletal
Osteodystrophy
Periarticular calcification

Efek yang meluas dari uremia biasanya dapat dikontrol dengan dialisis. Banyak pasien
yang menjalani dialisis setiap hari dengan normal dan mungkin tidak terjadi discoloration
yang terkait dengan end stage renal disease dan dialisis.

Mayoritas pasien di dialisis 3 kali perminggu. Sayangnya, semakin lama biasanya


komplikasi uremia sukar disembuhkan. Lebih lagi, beberapa komplikasi berhubungan
langsung dengan proses dialisis tersebut.

Hipotensi, neutropenia, hipoksemia, sindroma disequilibrium bersifat sementara dan


hilang beberapa jam setelah dialisis. Beberapa faktor yang menyebabkan hipotensi
selama dialisis termasuk efek vasodilatasi dari larutan asetat dialisat, neuropati otonom
dan pergerakan yang cepat dari cairan. Interaksi antara sel darah putih dengan membran
derivat dialisis cellophane akan mengakibatkan neutropenia dan leukocyte-mediated
pulmonary

disfunction

menyebabkan

hipoksemia.

Sindroma

disequilibrium

dikarakteristikkan oleh gejala neurologis sementara yang berhubungan dengan penurunan


dengan cepat osmolaritas ekstraselular dari osmolaritas intraselular.

Manifestasi dari Gagal Ginjal


A. Metabolik

Pasien dengan gagal ginjal dapat berkembang dengan abnormalitas dari metabolik yang
multipel termasuk hiperkalemia, hiperphospatemia, hipokalemia, hipermagnesemia,
hiperuricemia, dan hipoalbuminemia.

Retensi air dan natrium akan mengakibatkan pemburukan dari hiponatremia dan cairan
ekstra seluler yang berlebihan.

Kegagalan untuk mengekskresikan produksi asam yang non folatil mengakibatkan


asidosis metabolik dengan anion gap yang tinggi.

Hipernatremia dan hipokalemia adalah komplikasi yang jarang.

Hiperkalemia adalah abnormalitas yang paling mematikan karena memiliki efek pada
jantung. Hal ini biasanya ditemukan pada pasien dengan kreatinin klirens < 5 mL/menit,
namun dapat berkembang secara cepat pada pasien dengan klirens yang lebih tinggi oleh
karena dengan masukan kalium yang besar (trauma, hemolisis, infeksi atau konsumsi
kalium).

Hipermagnesia biasanya ringan kecuali masukan magnesium meningkat (umumnya dari


antasida yang mengandung magnesium).

Hipokalsemia terjadi dengan sebab yang tidak diketahui. Mekanisme yang diakibatkan
oleh deposit kalsium ke tulang secara sekunder oleh karena hiperphospatemia, resistensi
dari hormon paratiroid dan penurunan absorbsi usus halus secara sekunder menurunkan
sintesa renal dari 1,25-dihidroksi kolekalsiferol.Gejala dari hipokalsemia jarang
berkembang kecuali pasien dalam kondisi alkalosis.

Pasien dengan gagal ginjal juga secara cepat kehilangan protein jaringan sehingga
menyebabkan hipoalbuminemia. Anoreksia, restriksi protein dan dialisis (terutama
dialisis peritonium) juga berperan.

B. Hematologik

Anemia biasanya muncul jika kreatinin klirens dibawah 30 ml/menit. Konsentrasi


hemoglobin umumnya 6-8 gram/dl. Penurunan produksi eritropoetin menurunkan
produksi sel darah merah, dan menurunkan pertahanan sel. Faktor tambahan termasuk
perdarahan saluran cerna, hemodilusi, dan penekanan sumsum tulang dari infeksi
sebelumnya. Walaupun dengan transfusi, konsentrasi hemoglobin meningkat sampai 9
gram/dl sangat sulit untuk dipertahankan. Pemberian eritropoetin biasanya dapat
mengoreksi anemia. Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat bertanggung jawab dalam
penurunan kapasitas pembawa oksigen. 2,3-DPG memfasilitasi pelepasan oksigen dari
hemoglobin. Asidosis metabolik juga mengakibatkan pergeseran ke kanan pada kurva
oksigen-hemoglobin dissosiasi.

Fungsi platelet dan sel darah putih terganggu pada pasien dengan gagal ginjal. Secara
klinis, hal ini dimanifestasikan sebagai pemanjangan waktu perdarahan dan gampang
terkena infeksi. Pada pasien dengan penurunan aktivitas platelet faktor III, dan juga
penurunan ikatan dan agregrasi platelet. Pasien yang dihemodialisa juga memiliki efek
sisa antikoagulan dari heparin.

C. Kardiovaskuler

Cardiac Output dapat meningkat pada gagal ginjal untuk menjaga oksigen delivery pada
penurunan kapasitas pembawa oksigen.

Retensi natrium dan abnormalitas pada sistem renin angiotensin berakibat pada hipertensi
sistemik arteri. Left ventrikuler hipertropi umum dijumpai pada gagal ginjal kronis.
Cairan ekstraseluler yang berlebihan oleh karena retensi natrium bersamaan dengan
peningkatan

kebutuhan

yang

terganggu

oleh

karena

anemia

dan

hipertensi

mengakibatkan pasien gagal jantung dan edema pulmonum. Peningkatan permeabilitas


dari membran kapiler alveoli dapat menjadi faktor predisposisi.

Blok konduksi sering ditemukan mungkin diakibatkan oleh deposit kalsium dari sistem
konduksi.

Aritmia sering ditemukan dan mungkin berhubungan pada kelainan metabolik.

Perikarditis uremia dapat ditemukan pada beberapa pasien, pasien bisa asimptomatis ,
yang ditandai dengan adanya nyeri dada atau terbentuknya tamponade jantung.

Pasien dengan gagal ginjal kronis juga dikarakteristikan dengan peningkatan pembuluh
darah perifer dan penyakit arteri koroner.

Depresi volume intravaskuler dapat muncul pada fase diuretik pada gagal ginjal akut jika
replacement cairan tidak adekuat. Hipovolemi juga muncul jika terlalu banyak cairan
yang terlalu banyak dikeluarkan ketika dialisis.

D. Pulmonary

Tanpa dialisis atau terapi bikarbonat, pasien bergantung pada peningkatan ventilasi
permenit untuk mengkompensasikan asidosis metabolik.

Cairan ekstravaskular pulmonum biasanya meningkat dalam bentuk interstitial edema,


mengakibatkan perluasan gradien alveolar ke arterial oksigen yang menyebabkan
terjadinya hipoksemia. Peningkatan permeabilitas dari kapiler alveolar pada beberapa
pasien menyebabkan edema paru walaupun dengan tekanan kapiler paru yang normal,
karakteristik pada foto toraks menyerupai butterfly wings.

E. Endokrin

Toleransi glukosa yang abnormal ditandai dengan adanya gagal ginjal akut dari resistensi
perifer pada insulin, pasien mempunyai glukosa dalam darah dengan jumlah besar dan
jarang menggunakannya.

Hiperparatiroidisme yang sekunder pada pasien dengan gagal ginjal kronis dapat
mengakibatkan penyakit tulang metabolik, yang dapat menyebabkan fraktur.

Kelainan

metabolisme

lemak

sering

mengakibatkan

hipertrigliseridemia

dan

kemungkinan berperan dalam atherosklerosis.

Peningkatan dari tingkat protein dan polipeptida yang biasanya segera didegradasikan di
ginjal sering terlihat, hal ini berhubungan dengan hormon para- tiroid, insulin, glukagon,
growth hormon, luteinizing hormone, dan prolaktin.

F. Gastrointestinal

Anoreksia, nausea, vomiting dan ileus adinamik umumnya berhubungan dengan


azotemia.

Hipersekresi dari asam lambung meningkatkan insiden dari tukak peptik dan perdarahan
saluran pencernaan, yang muncul pada 10-30% dari pasien.

Penundaan pengosongan lambung secara sekunder pada neuropati autonom dapat


mencetuskan adanya aspirasi perioperatif.

Pasien dengan gagal ginjal kronis juga memiliki koinsiden terhadap virus hepatitis (tipe B
dan C), sering diikuti oleh disfungsi hepatik.

G. Neurologis

Tubuh kurus, letargi, confussion, kejang, dan koma adalah manifestasi dari uremik
encephalopathy. Gejala pada umumnya berhubungan dengan derajat azotemia.

Neuropati autonom dan perifer umumnya dijumpai pada pasien dengan gagal ginjal
kronis. Neuropati perifer bersifat sensoris dan melibatkan ekstremitas distal bagian
bawah.

2.10.Evaluasi Preoperatif
Gagal ginjalnya berhubungan dengan komplikasi post operatif atau trauma. Pasien dengan gagal
ginjal akut juga mempercepat pemecahan protein. Manajemen perioperatif yang optimal
tergantung dari dialisis preoperatif. Hemodialisis lebih efektif dari pada peritoneal dialisis dan
dapat dilakukan melalui internal jugular yang temporer, dialisis dengan kateter subklavia atau

femoral. Kebutuhan dialisis pada pasien nonoligurik dapat disesuaikan dengan kebutuhan
individual.

Indikasi Untuk Dialisis


Overload Cairan
Hiperkalemi
Asidosis Berat
Enselopaty Metabolik
Perikarditis
Koogulopati
Refraktory Gastrointestinal Symtom
Toksisitas Obat

Pasien dengan gagal ginjal kronis semua manifestasi yang reversibel dari uremia harus
dikontrol. Dialisis pre operatif pada hari pembedahan atau hari sebelumnya dibutuhkan.

Evaluasi fisik dan laboratorium harus di fokuskan pada fungsi jantung dan pernafasan.
Tandatanda kelebihan cairan atau hipovolemia harus dapat diketahui. Kekurangan
volume intravaskuler sering disebabkan oleh dialisis yang berlebihan. Perbandingan berat
pasien sebelum dan sesudah dialisis mungkin membantu.

Data hemodinamik, jika tersedia dan foto dada sangat bermakna dalam kesan klinis.

Analisa gas darah juga berguna dalam mendeteksi hipoksemia dan mengevaluasi status
asam-basa pada pasien dengan keluhan sesak nafas.

EKG harus diperiksa secara hati-hati sebagai tanda-tanda dari hiperkalimia atau
hipokalimia seperti pada iskemia, blok konduksi, dan ventrikular hipertropi.

Echocardiography sangat bermakna dalam mengevaluasi fungsi jantung pada pasien


dibawah prosedur pembedahan mayor karena hal ini dapat mengevaluasi ejeksi fraksi
dari ventrikel, seperti halnya mendeteksi dan kuantitatif hipertropi, pergerakan abnormal
pembuluh darah, dan cairan perikard adanya gesekan bisa tidak terdengar pada auskultasi
pada pasien dengan efusi perikard.

Transfusi pre operatif sel darah merah harusnya diberikan pada pasien dengan anemia
berat (hemoglobin <6-7 g/dL) atau ketika kehilangan darah sewaktu operasi diperkirakan.

Waktu perdarahan dan pembekuan dianjurkan, khususnya jika ada pertimbangan regional
anestesi. Serum elektrolit, BUN, dan pengukuran kreatinin dapat menentukan
keadekuatan dialisis.

Pengukuran glukosa dibutuhkan dalam mengevaluasi kebutuhan potensial untuk terapi


insulin perioperatif.

Perlambatan pengosongan lambung akibat sekunder dari neuropati otonom pada beberapa
pasien bisa mempengaruhi pasien-pasien GGK untuk terjadinya aspirasi pada perioperatif

Terapi obat preoperatif diberikan secara hati-hati pada obat yang dieliminasi di ginjal.
Penyesuaian dosis dan pengukuran kadar darah (jika memungkinkan) dibutuhkan untuk
mencegah toksisitas obat.

2.11. Obat yang berpotensial berakumulasi secara signifikan pada pada pasien dengan
gangguan ginjal

Muscle relaxants : Metocurine, Gallamine, Decamethonium, Pancuronium, Pipecurium,


Doxacurium, Alcuronium

Anticholinergics : Atropine, Glycopyrrolate

Metoclopramide

H2 reseptor antagonists : Cimetidine, Ranitidine

Digitalis

Diuretics

Calcium Channel antagonis : Nifedipine, Diltiazem

Adrenergic blockers : Propanolol, Nadolol, Pindolol, Atenolol

Anti Hipertensi : Clonidine, Methyldopa, Captporil, Enalapril, Lisinopril, Hydralazine,


Nitroprusside (Thiocyanate)

Antiarrhytmics : Procainamide, Disopyramide, Bretylium, Tocainide, Encainide


(Genetically determined)

Bronchodilators : Terbutalline

Psychiatric : Lithium

Antibiotics : Penicillins, Cephalosporin, Aminoglycosid, Tetracycline, Vancomycin

Anticonvulsants : Carbamazepine, Ethosuximide, Primidone

Premedikasi

Pada pasien yang relatif stabil dan sadar dapat diberikan pengurangan dosis dari opioid
atau benzodiazepin.

Profilaksis untuk aspirasi diberikan H2 blocker diindikasikan pada pasien mual, muntah
atau perdarahan saluran cerna.

Metoclopramide, 10 mg secara oral atau tetes lambat intra vena juga berguna dalam
mempercepat pengosongan lambung, mencegah mual dan menurunkan resiko aspirasi.

Pengobatan preoperatif terutama obat anti hipertensi harus dilanjutkan sampai pada saat
pembedahan.

Pertimbangan Intraoperatif
Monitoring

Prosedur pembedahan membutuhkan perhatian pada kondisi medis secara menyeluruh.


Karena bahaya dari adanya oklusi, tekanan darah sebaiknya tidak diukur dari cuff pada
lengan dengan fistula arteriovena.

Intra-arterial, vena sentral, dan arteri paru membutuhkan perhatian, terutama pada pasien
dibawah prosedur dengan pergeseran cairan yang luas, volume intravaskuler sering sulit
disesuaikan hanya dari tanda klinis.

Monitoring tekanan darah intra-arteri secara langsung diindikasikan pada pasien yang
hipertensinya tidak terkontrol.

Monitoring invasif yang agresif diindikasikan khususnya pada pasien diabetes dengan
penyakit ginjal berat yang sedang menjalani pembedahan mayor, pasien jenis ini
mungkin memiliki tingkat morbiditas 10 kali lebih banyak pada pasien diabetes tanpa
penyakit ginjal. Yang terakhir ini menunjukkan insiden yang tinggi pada komplikasi
kardiovaskular pada grup pertama.

Induksi

Pasien dengan mual, muntah atau perdarahan saluran cerna harus menjalani induksi cepat
dengan tekanan krikoid.

Dosis dari zat induksi harus dikurangi untuk pasien yang sangat sakit. Thiopental 2-3
mg/kg atau propofol 1-2 mg/kg sering digunakan. Etomidate, 0,2-0,4 mg/kg dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil.

Opioid, beta-bloker (esmolol), atau lidokain bisa digunakan untuk mengurangi respon
hipertensi pada intubasi.

Succinylcholine, 1,5 mg/kg, bisa digunakan untuk intubasi endotrakeal jika kadar kalium
darah kurang dari 5 meq/L. Rocuronium (0,6mg/kg),cisatracurium (0,15 mg/kg),
atracurium (0,4 mg/kg) atau mivacurium (0,15 mg/kg) dapat digunakan untuk
mengintubasi pasien dengan hiperkalemia. Atracurium pada dosis ini umumnya
mengakibatkan pelepasan histamin. Vecuronium, 0,1 mg/kg tepat digunakan sebagai
alternatif, namun efeknya harus diperhatikan.

Pemeliharaan

Tehnik pemeliharaan yang ideal harus dapat mengkontrol hipertensi dengan efek minimal
pada cardiac output, karena peningkatan cardiac output merupakan kompensasi yang
prinsipil dalam mekanisme anemia.

Anestesi volatil, nitrous oxide, fentanyl, sufentanil, alfentanil, dan morfin dianggap
sebagai agen pemeliharaan yang memuaskan.

Isoflurane dan desflurane merupakan zat yang mudah menguap pilihan karena mereka
memiliki efek yang sedikit pada cardiac output.

Nitrous oxide harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan fungsi ventrikel yang
lemah dan jangan digunakan pada pasien dengan konsentrasi hemoglobin yang sangat
rendah (< 7g/dL) untuk pemberian 100% oksigen.

Meperidine bukan pilihan yang bagus oleh karena akumulasi dari normeperidine. Morfin
boleh digunakan, namun efek kelanjutannya perlu diperhatikan.

Ventilasi terkontrol adalah metode teraman pada pasien dengan gagal ginjal. Ventilasi
spontan dibawah pengaruh anestesi yang tidak mencukupi dapat menyebabkan asidosis
respiratorik yang mungkin mengeksaserbasi acidemia yang telah ada, yang dapat
menyebabkan depresi pernafasan yang berat dan peningkatan konsentrasi kalium di darah

yang berbahaya. Alkalosis respiratorik dapat merusak karena mengeser kurva disosiasi
hemoglobin ke kiri, dan mengeksaserbasi hipokalemia yang telah ada, dan menurunkan
aliran darah otak.
Terapi Cairan

Operasi superfisial melibatkan trauma jaringan yang minimal memerlukan penggantian


cairan dengan 5 % dekstrosa dalam air. Prosedur ini berhubungan dengan kehilangan
cairan yang banyak atau pergeseran yang membutuhkan kristalloid yang isotonik, koloid,
atau keduanya.

Ringer laktat sebaiknya dihindari pada pasien hiperkalemia yang membutuhkan banyak
cairan, karena kandungan kalium (4 meq/L), normal saline dapat digunakan. Cairan bebas
glukosa digunakan karena intoleransi glukosa yang berhubungan dengan uremia.

Kehilangan darah diganti dengan packed red blood cells.

2.12. Anestesi Pada Pasien dengan Gangguang Ginjal Ringan sampai Sedang
Pertimbangan Preoperatif

Ginjal biasanya menunjukkan fungsi yang besar. GFR, yang dapat diketahui dengan
kreatinin klirens, dapat menurun dari 120 ke 60 mL/ menit tanpa adanya perubahan klinis
pada fungsi ginjal. Walaupun pada pasien dengan kreatinin klirens 40 -60 mL/menit
umumnya asimtomatik. Pasien ini hanya memiliki gangguan ginjal ringan namun harus
dipertimbangkan sebagai gangguan ginjal.

Ketika kreatinin klirens mencapai 25 40 mL/menit gangguan ginjal sedang dan pasien
bisa disebut memiliki renal insufisiensi. Azotemia yang signifikan selalu muncul, dan
hipertensi maupun anemia secara bersamaan. Manajemen anestesi yang tepat pada pasien
ini sama pentingnya pada pasien gagal ginjal yang berat. Yang terakhir ini terutama
selama prosedur yang berkaitan dengan insiden yang relatif tinggi dari gagal ginjal
postoperatif, seperti pembedahan konstruktif dari jantung dan aorta.

Kehilangan volume intravaskular, sepsis, obstruktif jaundice, kecelakaan, injeksi kontras


dan aminoglikosid, angiotensin converting enzim inhibitor, atau obat-obat terapi seperti
NSAID sebagai resiko utama pada perburukan akut pada fungsi ginjal.

Hipovolemia muncul khususnya sebagai faktor yang penting pada gagal ginjal akut
postoperatif. Penekanan manajemen pada pasien ini adalah pencegahan, karena angka
kematian dari gagal ginjal post operatif sebesar 50%60%.

Peningkatan resiko perioperatif berhubungan dengan kombinasi penyakit ginjal lanjut


dan diabetes.

Profilaksis untuk gagal ginjal dengan cairan diuresis efektif dan diindikasikan pada
pasien dengan resiko tinggi, rekonstruksi aorta mayor, dan kemungkinan prosedur
pembedahan lainnya.

Mannitol (0,5 g/kg) sering digunakan dan diberikan sebagai perioritas pada induksi.

Cairan intravena diberikan untuk mencegah kehilangan intra vaskular. Infus intravena
dengan fenoldopam atau dopamin dosis rendah memberikan peningkatan aliran darah
ginjal melalui aktivasi dari vasodilator reseptor dopamin pada pembuluh darah ginjal.

Loop diuretik juga dibutuhkan untuk menjaga pengeluaran urin dan mencegah kelebihan
cairan.

Pertimbangan Intraoperatif
Monitoring

Monitor standard yang digunakan untuk prosedur termasuk kehilangan cairan yang
minimal. Untuk operasi yang banyak kehilangan cairan atau darah, pemantauan urin
output dan volume intravaskular sangat penting.

Walaupun dengan urin output yang cukup tidak memastikan fungsi ginjal baik, namun
selalu diusahakan pencapaian urin output lebih besar dari 0,5 mL/kgBB/jam.

Pemantauan tekanan intra arterial juga dilakukan jika terjadi perubahan tekanan darah
yang cepat, misalnya pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol atau sedang dalam
pengobatan yang berhubungan dengan perubahan yang mendadak pada preload maupun
afterload jantung.

Induksi

Pemilihan zat induksi tidak sepenting dalam memastikan volume intravaskular yang
cukup terlebih dahulu. Anestesi induksi pada pasien dengan Renal Insuffisiensi biasanya
menghasilkan hipotensi jika terjadi hipovolemia. Kecuali jika diberikan vasopressor,
hipotensi biasanya muncul setelah intubasi atau rangsangan pembedahan. Perfusi ginjal,
yang dipengaruhi oleh hipovolemia semakin buruk sebagai hasil pertama adalah
hipotensi dan kemudian secara simpatis atau farmakologis diperantarai oleh
vasokonstriksi ginjal. Jika berlanjut, penurunan perfusi ginjal pengakibatkan kerusakan
ginjal postoperatif. Hidrasi preoperatif biasanya digunakan untuk mencegah hal ini.

Pemeliharaan

Semua zat pemeliharaan dapat diberikan kecuali Methoxyflurane dan Sevoflurane. Walau
enflurane bisa digunakan secara aman pada prosedur singkat, namun lebih baik dihindari
pada pasien dengan insuffisiensi ginjal karena masih ada pilihan obat lain yang
memuaskan. Pemburukan fungsi ginjal selama periode ini dapat menghasilkan efek
hemodinamik lebih lanjut dari pembedahan (perdarahan) atau anestesi (depresi jantung
atau hipotensi).

Efek hormon tidak langsung (aktifasi simpatoadrenal atau sekresi ADH), atau ventilasi
tekanan positif. Efek ini biasanya reversibel ketika diberikan cairan intravena yang cukup
untuk mempertahankan volume intravaskuler yang normal atau meluas.

Pemberian utama dari vasopresor adrenergik (phenyleprine dan norepineprine) juga


dapat mengganggu. Dosis kecil intermitten atau infus singkat mungkin bisa berguna
untuk mempertahankan aliran darah ginjal sebelum pemberian yang lain (seperti
transfusi) dapat mengatasi hipotensi. Jika mean tekanan darah arteri, cardiac output dan
cairan intravaskuler cukup, infus dopamin dosis rendah (2-5 mikrogram/kg/menit) dapat
diberikan dengan batasan urin output untuk mempertahankan aliran darah ginjal dan
fungsi ginjal.Dosis dopamin untuk ginjaltelah juga dapat menunjukkan setidaknya
sebagian membalikkan vasokonstriksi arteri ginjal selama infus dengan vasopresor
adrenergik (norepinephrine). Fenoldopam juga mempunyai efek yang sama.

Terapi Cairan

Perhatikan jika ditemukan pemberian cairan yang berlebihan, namun masalah biasanya
jarang dengan pasien yang urin outputnya cukup. Maka perlu dilakukan pemantauan pada
urin outputnya, jika cairan yang berlebihan diberikan maka akan menyebabkan edema
atau kongestif paru yang lebih mudah ditangani daripada gagal ginjal akut.

DAFTAR PUSTAKA

GE Morgan, MS Mikail. Anesthesia for Patien with Renal Disease,. Clinical


Anesthesiology. Lange Medical Books / Mc Graw-Hill, 4th ed. New York; 2006. p: 742754

Mahon Padraig, Shorten George D. Renal Disease. Preoperative Assesment and


Management. The Lippincot Williams and Wilkins, 2nd Edition. 2007.p : 197 - 219

Anda mungkin juga menyukai