Anda di halaman 1dari 29

PATOFISIOLOGI

Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura
melalui kapiler pada pleura parietalis tetapi cairan ini segera direabsorpsi
oleh saluran limfe, sehingga terjadi keseimbangan antara produksi dan
reabsorpsi, tiap harinya diproduksi cairan kira-kira 16,8 ml (pada orang
dengan berat badan 70 kg). Kemampuan untuk reabsorpsinya dapat
meningkat sampai 20 kali. Apabila antara produk dan reabsorpsinya tidak
seimbang (produksinya meningkat atau reabsorpsinya menurun) maka akan
timbul efusi pleura.
Diketahui bahwa cairan masuk kedalam rongga melalui pleura parietal dan
selanjutnya keluar lagi dalam jumlah yang sama melalui membran pleura
parietal melalui sistem limfatik dan vaskular. Pergerakan cairan dari pleura
parietalis ke pleura visceralis dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan
hidrostatik dan tekanan koloid osmotik. Cairan kebanyakan diabsorpsi oleh
sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang diabsorpsi oleh sistem kapiler
pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan pada pleura visceralis
adalah terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel-sel mesothelial.
Akumulasi cairan pleura dapat terjadi bila:
1. Meningkatnya tekanan intravaskuler dari pleura meningkatkan
pembentukan cairan pleura melalui pengaruh terhadap hukum
Starling.Keadaan ni dapat terjadi pada gagal jantung kanan, gagal jantung
kiri dan sindroma vena kava superior.
2. Tekanan intra pleura yang sangat rendah seperti terdapat pada atelektasis,
baik karena obstruksi bronkus atau penebalan pleura visceralis
3. Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura dapat menarik lebih
banyak cairan masuk ke dalam rongga pleura
4. Hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal bisa menyebabkan
transudasi cairan dari kapiler pleura ke arah rongga pleura
5. Obstruksi dari saluran limfe pada pleum parietalis. Saluran limfe
bermuara pada vena untuk sistemik. Peningkatan dari tekanan vena sistemik
akan menghambat pengosongan cairan limfe.
ETIOLOGI
A. Berdasarkan Jenis Cairan
Kalau seorang pasien ditemukan menderita efusi pleura, kita harus berupaya
untuk menemukan penyebabnya. Ada banyak macam penyebab terjadinya
pengumpulan cairan pleura. Tahap yang pertama adalah menentukan apakah
pasien menderita efusi pleura jenis transudat atau eksudat. Efusi pleura
transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang mempengaruhi pembentukan
dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan.
Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi
pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran kadar

Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan, pleura. Efusi


pleura eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria berikut
ini, sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga
kriteria ini :
1. Protein cairan pleura / protein serum > 0,5
2. LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6
3. LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang
normal di dalam serum.
PARAMETER
TRANSUDAT
EKSUDAT
Warna
BJ
Jumlah set
Jenis set
Rivalta
Glukosa
Protein
Rasio protein TE/plasma
LDH
Rasio LDH TE/plasma

Jernih
< 1,016
Sedikit
PMN < 50%
Negatif
60 mg/dl (= GD
plasma)
< 2,5 g/dl
< 0,5
< 200 IU/dl
< 0,6

Jernih, keruh,
berdarah
< 1,016
Banyak (> 500
sel/mm2)
PMN < 50%
Negatif
60 mg/dl (bervariasi)
< 2,5 g/dl
< 0,5
< 200 IU/dl
< 0,6

Efusi pleura berupa:


a. Eksudat, disebabkan oleh :
1. Pleuritis karena virus dan mikoplasma : virus coxsackie, Rickettsia,
Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 1006000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala, demam,
malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis. Diagnosa dapat
dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi terhadap virus dalam cairan
efusi.
2. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh
bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara
hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri aerob maupun
anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus, Pseudomonas,
Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan lainlain). Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika ampicillin dan
metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari
rongga pleura.
3. Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus,
Kriptococcus, dll. Efusi timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat
terhadap organisme fungi.

4. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi


melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat
juga secara hemaogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya
cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari jaringan
nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk
ke rongga pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi
yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan
jarang yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris,
penurunan berat badan, dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.
5. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paruparu, mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral
dengan ukuran jantung yang tidak membesar. Patofisiologi terjadinya efusi
ini diduga karena :
Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi
kebocoran kapiler.
Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,
bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan gangguan aliran
balik sirkulasi.
Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif
intra pleural, sehingga menyebabkan transudasi. Cairan pleura yang
ditemukan berupa eksudat dan kadar glukosa dalam cairan pleura tersebut
mungkin menurun jika beban tumor dalam cairan pleura cukup tinggi.
Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan sitologik cairan pleura dan tindakan
blopsi pleura yang menggunakan jarum (needle biopsy).
6. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia
bakteri, abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai
predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita cairannya berwarna
purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasus efusi parapneumonik ini
dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage kadang diperlukan pada
empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4
indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan efusi
parapneumonik:
Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura
Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura
Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah daripada
nilai pH bakteri
Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik
yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam saja.
7. Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid,
Skleroderma

8. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi


parapneumonik.
b. Transudat, disebabkan oleh :
1. Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab
lainnya adalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior.
Patogenesisnya adalah akibat terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik
dan tekanan kapiler dinding dada sehingga terjadi peningkatan filtrasi pada
pleura parietalis. Di samping itu peningkatan tekanan kapiler pulmonal akan
menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan aliran getah
bening juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongg
pleura dan paru-paru meningkat.
Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada dapat juga
menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang agak sulit menerangkan
adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi pada sisi kanan.
Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya teratasi
dengan istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga segera
menghilang. Kadang-kadang torakosentesis diperlukan juga bila penderita
amat sesak.
2. Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura
dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan
bilateral dan cairan bersifat transudat. Pengobatan adalah dengan
memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi pengobatan yang
terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.
3. Hidrothoraks hepatik
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui
lubang kecil yang ada pada diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi
biasanya di sisi kanan dan biasanya cukup besar untuk menimbulkan
dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak dapat mengontrol asites
dan efusi, tidak ada alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan yang dapat
dilakukan adalah pemasangan pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous
shunt, torakotomi) dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau
torakotomi pipa dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis.
4. Meigs Syndrom
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita
dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan
sindrom serupa : tumor ovarium kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor
ovarium ganas yang berderajat rendah tanpa adanya metastasis. Asites timbul

karena sekresi cairan yang banyak oleh tumornya dimana efusi pleuranya
terjadi karena cairan asites yang masuk ke pleura melalui porus di diafragma.
Klinisnya merupakan penyakit kronis.
5. Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi
unilateral ataupun bilateral. Perpindahan cairan dialisat dari rongga
peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma. Hal ini terbukti
dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan cairan dialisat.
c. Darah
Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb
pada hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah
hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini
mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya diambil
oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka biasanya
darah tersebut berasal dari trauma dinding dada.
B. Berdasarkan Kuman Penyebab
1. Mycobacterium Tuberculosis
a. Bakteriologi
Penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini adalah sejenis
kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 mm dan tebal 030,6 mm. Kuman ini tahan terhadap asam dikarenakan kandungan asam lemak
(lipid) di dindingnya. Kuman ini dapat hidup pada udara kering maupun
dingin. Hal ini karena kuman berada dalam sifat dormant yang suatu saat
kuman dapat bangkit kembali dan aktif kembali.
Kuman ini hidup sebagai parasit intraseluter didalam sitoplasma makrofag.
Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya karena
banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini
menunjukan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi
kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal
paru-paru lebih tinggi daripada bagian lain, sehingga bagian apikal ini
merupakan predileksi penyakit tuberkulosis.
b. Patogenesis
Tuberkulosis Primer
Penularan terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersihkan keluar menjadi
droplet nudei dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung dari ada
tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik dan kelembaban. Dalam
suasana lembab dan gelap, kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulanbulan. Bila partikel infeksi terhisap oleh oang sehat, ia akan menempel pada
jalan napas atau paru-paru. Kuman dapat masuk lewat luka pada kulit atau
mukosa tapi hal ini sangat jarang terjadi.

Kuman yang menetap di jaringan paru, ia tumbuh dan berkembang biak


dalam sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa ke organ tubuh lain.
Kuman yang bersarang tadi akan membentuk sarang tuberkulosis pneumonia
kecil dan disebut sarang primer atau afek primer. Dari sarang primer akan
timbul peradangan saluran getah bening menuju illus (limfangitis lokal), dan
juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hillus (limfadenitis regional).
Sarang primer + limfangitis lokal + limfadenitis regional = kompleks primer.
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas, berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hillus atau kompleks (sarang) Ghon
3) Berkomplikasi dan menyebar secara:
- Per kontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya
- Secara bronkogen pada paru ysng bersangkutan maupun paru yang di
sebelahnya. Dapat juga kuman tertelan bersama tertelan besama sputum dan
ludah sehingga menyebar ke usus
- Secara limfogen, ke organ tubuh lainnya
- Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya
Semua kejadian diatas tergolong ke dalam perjalanan tuberklosis primer.
Tuberkulosis Post-Primer
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (PostPrimer). Tuberkulosis Post-Primer ini dimulai dengan sarang dini yang
berlokasi di regio atas paru-paru (bagian apikal posterior lobus superior atau
inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus
hiller paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia
kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma
yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan
banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan bermacam-macam
jaringan ikat.
Bergantung dari imunitas penderita, virulensi, jumlah kuman, sarang dapat
menjadi :
1) Diresorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut
2) Sarang yang mula-mula meluas, tapi segera menyembuh dan
menimbulkan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi lebih
keras, menimbulkan perkapuran dan akan sembuh delam bentuk perkapuran.
3) Sarang dini yang meluas dimana granuloma berkembang
menghancurkan jaringan sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami
nekrosis, dan menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju
dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding

tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas


dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik.
Kavitas dapat :
- Melus kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Sarang ini
selanjutnya mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan terdahulu.
- Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma.
Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali
menjadi cair dan jadi kavitas lagi.
- Bersih dan menyembuh, disebut open heated cavity. Dapat juga
menyembuh dengan membungkus diri dan menjadi kecil. Kadang-kadang
berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti
bintang disebut stellate shaped.
Pada penvakit TBC paru, efusi pleura diduga disebabkan oleh rupturnya
fokus subpleural dari jarngan nerotik perkijuan sehingga tuberkuloprotein
yang ada didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbulkan reaksi
hipersensitif tipe lambat. Hal ini didukung dengan ditemukannya limfossit T,
Interleukin-2 dan Interleukin reseptor pada cairan pleura.
Cara penyebaran lainnya diduga secara hematogen dan secara
perkontinuitatum dari kelenjar-kelenjar getah bening servikal, rnediastinal,
dan dari abses di vertebrae.
Efusi pleura yang disebabkan oleh TBC dapat juga berupa empyema, yaitu
buila terjadi infeksi sekunder karena adanya fitula bronchopulmonal, atau
berupa chylothoraxs yaitu bila terdapat penekanan kelenjar atau tarikan fibrin
pada duktus thoracicus. Efusi yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral
pada hemithoraxs kiri, jarang yang masif. Pada thoraxosentesis ditemukan
cairan berwarna kuning jernih, mengandung > 3 gr protein/ 100 ml, bila
cairan berupa darah, serosanguineous atau merah muda diagnosis TBC harus
diragukan.
c. Gejala-gejala Tuberculosis
Batuk berdahak 3 minggu atau lebih
Sering disertai darah, sesak nafas, nyeri dada.
Gejala umum: badan lemah, nafsu makan turun, berat badan turun,
malaise, berkeringat malam, demam hilang timbul tidak terlalu tinggi.
Bisa muncul gejala TBC ekstra paru: pembesaran kelenjar, gibus,
osteomielitis, meningitis.
d. Diagnosis Tuberculosis pada orang dewasa
Dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara
mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua
dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif.
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut
yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang.

Kalau hasil rontgen mendukung TBC, maka penderita didiagnosa


sebagai penderita TBC BTA positif.

Kalau hasil rontgen tidak mendukung TBC, maka pemeriksaan dahak


SPS diulangi.
Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektrum
luas (misalnya Kontrimoksazol atau Amoksisillin) selama 1-2 minggu. Bila
tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TBC, ulangi
pemeriksaan dahak SPS.

Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TBC BTA positif.

Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada,
untuk mendukung diagnosis TBC.

Bila hasil rontgen mendukung TBC, didiagnosis sebagai penderita TBC


BTA negatif, Rontgen positif.

Bila hasil rontgen tidak mendukung TBC, penderita tersebut bukan TBC.
e. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda infiltrat : redup, bronkial
Dahak di saluran napas : ronki basah, ronki kering
Penyempitan : wheezing, penarikan, pendorongan, kaviitas, atelektase
Efusi, pnemotoraks dan schwarte
Tanda-tanda kelainan ekstra paru seperti scrofuloderma, gibus,
osteomiditis, meningitis dan lain-lain.
f. Komplikasi TBC

Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat


menglakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan
nafas.

Kolaps dini lobus akibat retraksi broakial

Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan


jaringan ikat pada proses pemulihan atau reahtif) pada paru.

Pneumothorax (adanya udara didalam ronaga pleura) spontan kolaps


spontan karena kerusakan jaringan paru.

Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan


ginjal.

Insufislensi Kardiopulmoner (Cardiopulmonary Insuficiency).

Efusi pleura
Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) yang direkomendasikan
oleh WHO yang terdiri dari lima komponen yaitu:
1. Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambil keputusan
dalam penanggulangan TB.

2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik


langsung sedang pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan
radiologis dan kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang
memiliki sarana tersebut.
3. Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO)
khususnya dalam 2 bulan pertama dimana penderita harus minum
obat setiap hari.
4. Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang
cukup.
5. Pencatatan dan pelaporan yang baku.
Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi penimbunan cairan dalam
rongga pleura. (Price C Sylvia, 1995)
B.

Etiologi
1. Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya
bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor
mediatinum, sindroma meig (tumor ovarium) dan sindroma vena
kava superior.
2. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis,
pneumonia, virus), bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang
menembus ke rongga pleura, karena tumor dimana masuk cairan
berdarah dan karena trauma. Di Indonesia 80% karena tuberculosis.

Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses penyakit


neoplastik, tromboembolik, kardiovaskuler, dan infeksi. Ini disebabkan oleh
sedikitnya satu dari empat mekanisme dasar :
*

Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik

Penurunan tekanan osmotic koloid darah

Peningkatan tekanan negative intrapleural

Adanya inflamasi atau neoplastik pleura

Definisi Efusi Pleura Tuberkulosis


Efusi pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan
oleh M. TB yang dikenal juga dengan nama pleuritis TB.
27
Peradangan rongga pleura pada umumnya secara klasik berhubungan dengan
infeksi TB paru primer. Berbeda dengan bentuk TB di luar paru, infeksi TB
pada organ tersebut telah terdapat kuman M. TB pada fase
basilemia primer. Proses di pleura terjadi akibat penyebaran atau perluasan
proses peradangan melalui pleura viseral sebagai proses hipersensitiviti tipe
lambat. Mekanisme ini berlaku pada beberapa kasus tetapi data epidemiologi
terbaru pleuritis TB mengarahkan mekanisme patogenik lain pada sebagian
besar proporsi kasus. Pada pasien dewasa yang lebih tua kelainan pada pleura
berhubungan dengan reaktivasi TB paru. Efusi pleura harus dicurigai akibat
penyebaran infeksi sebenarnya ke ruang pleura dibandingkan prinsip reaksi
imunologi terhadap Ag M. TB.
Patogenesis
Efusi pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan oleh M. TB suatu
keadaan dimana terjadinya akumulasi cairan dalam rongga pleura.
35
Mekanisme terjadinya efusi pleura TB bisa denganbeberapa cara:

1.
Efusi pleura TB dapat terjadi dengan tanpa dijumpainya kelainan radiologi
toraks. Ini merupakan sekuele dari infeksi primer dimana efusi pleura TB
biasanya terjadi 6-12 minggu setelah infeksi primer, pada anak-anak dan
orang dewasa muda.
30,36
Efusi pleura TB ini diduga akibat pecahnya fokus perkijuan subpleura paru
sehingga bahan perkijuan dan kuman M. TB masuk ke rongga pleura dan
terjadi interaksi dengan Limfosit T yang akan menghasilkan suatu reaksi
hipersensitiviti tipe lambat. Limfosit akan melepaskan limfokin yang akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas dari kapiler pleura terhadap protein
yang akan menghasilkan akumulasi cairan pleura.
30,35,36,37
Cairan efusi umumnya diserap kembali dengan mudah. Namun terkadang
bila terdapat banyak kuman didalamnya, cairan efusi tersebut dapat menjadi
purulen, sehingga membentuk empiema TB.
36
2.Cairan yang dibentuk akibat penyakit paru pada orang dengan usia lebih
lanjut. Jarang, keadaan seperti ini bila berlanjut menjadi nanah (empiema).
36
Efusi pleura ini terjadi akibat proses reaktivasi yang mungkin terjadi jika
penderita mengalami imuniti rendah.
37
3.Efusi yang terjadi akibat pecahnya kavitas TB dan keluarnya udara ke
dalam rongga pleura. Keadaan ini memungkinkan udara masuk ke dalam
ruang antara paru dan dinding dada. TB dari kavitas yang memecah
mengeluarkan efusi nanah (empiema). Udara dengan nanah bersamaan
disebut piopneumotoraks.
36
2.4. Aspek Imunologis
2.4.1. Sitokin
Sitokin merupakan golongan protein yang diproduksi oleh makrofag,
eosinofil, sel mast, sel endotel, epitel, limfosit B, dan T yang diaktifkan yang
semuanya ini masuk dalam golongan protein sistem imun yang mengatur
interaksi antar sel yang memacu reaktivitas imun,baik pada imuniti nonspesifik maupun spesifik.
38
Sitokin yang penting pada imuniti spesifik:
1.IL-2
Sekresi berasal dari Sel T.Berperan dalam proliferasi sel T, prom
osi AICD, aktivasi dan proliferasi sel NK, proliferasi sel B.

2.IL-4
Sekresi berasal dari Th2, sel mast. Berperan dalam mempromosikan
diferensiasi Th2, pengalihan isotop ke IgE.
3.IL-5
Sekresi berasal dari Th2. Berperan dalam aktivasi dan pembentukan
eosinofil.
4.TGF-
Sekresi berasal dari sel T, makrofag, dan jenis sel lainnya. Sitokin ini
menghambat proliferasi dan fungsi efektor sel T, menghambat proliferasi sel
B, promosi pengalihan isotop ke IgA, menghambat makrofag.
5.IFN-
Sekresi berasal dari Th1, CD8+, sel NK. Sitokin ini bekerja mengaktivasi
makrofag, meningkatkan ekspresi MHC-I dan MHC-II, dan meningkatkan
presentasi Ag.Sitokin-sitokin ini dapat memberikan lebih dari satu efek
terhadap berbagai jenis sel (pleitropik).
38
Gambar 1. Aktifitas pleotropik IFN
Aktivasi makrofag yang diinduksi IFN
sangat berperan pada inflamasi kronis.
Sitokin tersebut disekresi sel Th1, sel
NK dan sel Tc dan bekerja terhadap
berbagai jenis sel.
38
Universitas
Sumatera
Utara
2.4.2. Efek Biologik Sitokin
Efek biologik sitokin timbul setelah d
iikat oleh reseptor spesifiknya yang
diekspresika
n pada membran sel organ sasaran. Pada imuniti nospesifik, sitokin
diproduksi makrofag dan sel NK, berper
an pada inflamasi dini, merangsang
proliferasi, diferensiasi dan aktivasi sel ef
ektor khusus seperti ma
krofag. Pada imuniti
spesifik sitokin yang diproduksi sel T mengak
tifkan sel-sel imun spesifik
(Gambar 2).
38

Gambar 2. Fungsi sitokin pada pertahanan penjamu.


Pada imuniti spesifik sitokin yang diproduksi sel T mengaktifkan sel-sel
imun spesifik.
2.4.3. Efek Biologik IFN-
Interferon ditemukan tahun 1957 oleh Isaa
cs dan Lindenmann sebagai protein yang pembentukannya diinduksi oleh sel
yang terinfeksi virus dan ia berperan mengganggu replikasi virus.
39
Di samping sifat antivirus, interferon terbukti
mempunyai fungsi pengatur imun seperti pe
nambahan produksi dan aktivasi sel NK
serta berfungsi sebagai pengatur sel,
misalnya penghambat pertumbuhan sel.
39,40
Berdasarkan sumber selnya interferon dikl
asifikasikan sebagai interferon fibroblas
dan interferon imun. Ada 3 jenis IFN yaitu alfa, beta dan gamma. IFN-
diproduksi oleh leukosit, IFN- oleh sel fibroblast yang bukan limfosit, dan
IFN- atau interferon imun yang dihasilkan oleh limfosit T.
38
Seperti halnya hormon, interferon dapat juga disebarkan ke seluruh tubuh
melalui aliran darah dan dapat berpengaruh pada tempat-tempat sebelah
distal dari tempat produksi.
39
IFN- yang diproduksi berbagai sel sistem imun merupakan sitokin utama
MAC (Macrophage Activating Cytokine) dan berperan terutama dalam
imuniti yang tidak spesifik dan spesifik seluler. IFN
adalah sitokin yang
mengaktifkan makrofag untuk me
mbunuh (fagosit) mikroba. IFN
merangsang
ekspresi MHC-I dan MHC-II dan kostimulator APC. IFN
meningkatkan perbedaan
sel CD4
+
naik ke subset sel Th1 dan me
ncegah proliferasi sel Th2. IFN
bekerja terhadap sel B dalam pengalihan subkelas IgG yang mengikat Fc

-R pada fagosit dan mengaktifkan komplemen. Kedua proses tersebut


meningkatkan fagositosis mikroba yang diopsonisasi. IFN- dapat
mengalihkan Ig yang berpartisipasi dalam eliminasi mikroba. IFN-
mengaktifkan neutrofil dan merangsang efek sitolitik sel NK
(Gambar 1). IFN-
mengaktifkan fagosit dan APC dan induksi pengalihan sel B (isotip antibodi
yang dapat mengikat komplemen dan Fc-R pada fagosit, yang berbeda
dengan isotip yang diinduksi IL-4), menginduksi tidak langsung efek Th1
atas peran peningkatan produksi IL-12 dan ekspresi reseptor.
2.4.4.
Sistem Imun pada TB
M.TB adalah patogen intraseluler ya
ng dapat bertahan hidup dan berkembang
biak di dalam m
akrofag. Makrofag dan
limfosit T sangat berperan penting dalam
respon imun terhadap TB. Makrofag
alveolar memiliki reseptor khusus
tool like
receptors
(TLRs) yang dapat mengenali bahanbahan asing sepe
rti lipoprotein
mikobakterium. Makrofag memangsa M.
TB dan menghasilkan sitokin, khususnya
IL-12 dan IL-18 yang akan merangsang pe
rtumbuhan limfosit T CD4+ melepaskan
IFN-. IFN- penting dalam aktivasi mekanisme mikrobisid makrofag dan
merangsang makrofag melepaskan TNF- yang diperlukan dalam
pembentukan granuloma. Makrofag akan memproses antigen (Ag) M.TB dan
mempresentasikannya ke limfosit T CD4+ (helper T cell) dan limfosit T
CD8+ (cytotoxic T-cell). Ini akan berbentuk ekspansi klonal dari limfosit T
yang spesifik. Responnya berupa tipe Th1 dengan sel CD4+, IFN-, dan IL-2
memainkan peranan penting.Reaksi hipersensitiviti jaringan menghasilkan
pembentukan granuloma yang akan membatasi replikasi dan penyebaran
mikobakteria. Granuloma perkijuan adalah lesi patologik klasik TB. Pada
individu dengan imunokompromis reaksi hipersensitiviti jaringan berkurang
sehingga terjadi respon inflamasi non spesifik dengan serbukan sedikit
leukosit polimor fonuklear dan monosit dan basil dalam jumlah besar tetapi
tanpa bentukan granuloma.
41,43,44,46
Sel-sel mesotel pleura bertanggungjawab

dan berperan terhadap terjadinya


penumpuka
n netrofil dan fagositosis mononuklear
dalam rongga pleura. Baru-baru ini
dikelompokkan famili sitokin-kemotaktik di
sebut famili kemokin yang terbentuk dari tiga subfamili polipeptida yang
berhubungan pada sel-sel mesotel. Subfamili ini secara generik dikenal
sebagai famili kemokin dan termasuk kemokin C-X-R, kemokin C-C, atau
kemokin C atauyang dikenal dengan limfotaktin.
Pada penyakit-penyakit granulomatous
pleura, cairan pleura paling banyak
mengandung sel-sel mononuklear. Pada hewa
n dengan pleuritis TB, netrofil lebih
dominan pada 24 jam pertama setelah masuknya BCG (
Bacillus Calmette Guerin
)
diikuti masuknya makrofag dalam jumlah yang banyak. Kemokin C-C yang
dinamai
Monocyte Chemotactic Protein
(MCP)-1, dijumpai dalam jumlah yang besar pada
cairan efusi TB.
Macrophage Inflammatory Protein
(MIP)-1 juga dijumpai pada
cairan pleura pasien-pasien efusi pleura
TB. Pada pasien-pasien dimana fungsi
kekebalan tubuhnya menurun seperti pada
pasien dengan AIDS, kadar monosit dan
kemokin monosit spesifik cairan pleura pa
sien efusi pleura TB lebih rendah. IFN
merupakan sitokin pertama ya
ng penting dan dijumpai dalam jumlah yang besar pada
cairan efusi pleura TB. Adanya IFN
ini sesuai dengan yang dilaporkan pada
Universitas
Sumatera
Utara
penelitian-penelitian sebelumnya yang memb
erikan kesan bahwa sel T helper tipe 1

(Th1) subset memperantarai limfosit dalam memberi respon terhadap infeksi


M.TB.
Saat terdapat pembagian sel-sel CD4 dalam
rongga pleura pasien
dengan efusi pleura
TB, terdapat peningkatan jumlah produksi IFN
. Netralisasi produksi IFN
menyebabkan penghapusan produksi kemoki
n lokal oleh sel-sel mesotel dan
penurunan pelepasan MIP-1 dan MCP-1.
28,47
2.5. Manifestasi Klinis
Kadang-kadang efusi pleura TB asimpt
omatik jika
cairan efusinya masih
sedikit dan sering terdeteksi
pada pemeriksaan radiologi
yang dilakukan untuk tujuan
tertentu.
48
Namun jika cairan efusi dalam jumlah
sedang sampai banyak maka akan
memberikan gejala dan kelain
an dari pemeriksaan fisik.
15
Efusi pleura TB biasanya memberikan ga
mb
aran klinis yang bervariasi berupa
gejala respiratorik, seperti nye
ri dada, batuk, sesak nafas.
15
Gejala umum berupa
demam, keringat malam, nafsu makan me
nurun, penurunan berat badan, rasa lelah
dan lemah juga bisa dijumpai. Gejala
yang paling sering dijumpai adalah batuk
(~70%) biasanya tidak berdahak, nyeri dada
(~75%) biasanya nye
ri dada pleuritik,
demam sekitar 14% yang subfebris,

penurunan berat badan dan malaise.


30
Walaupun TB merupakan suatu penyakit ya
ng kronis akan tetapi efusi pleura
TB sering ma
nifestasi klinisnya
sebagai suatu penyakit yang akut.
30
Sepertiga
penderita efusi pleura TB sebagai suatu pe
nyakit akut yang geja
lanya kurang dari 1
minggu.
49
Pada suatu penelitian terhadap 71
penderita ditemukan 31% mempunyai
Universitas
Sumatera
Utara
gejala kurang dari 1 minggu durasinya da
n 62% dengan gejala kurang dari satu
bulan.
30
Umur penderita efusi pleura TB lebi
h muda daripada penderita TB paru.
Pada suatu penelitian yang dilakukan di
Qatar dari 100 orang yang menderita usia
rata-rata 31.5 tahun, sementara di
daerah industri seperti US
usia ini cenderung lebih
tua sekitar 49.9 tahun. Efusi pleura TB pa
ling sering unilateral dan biasanya efusi
yang terjadi biasanya ringan sa
mpai sedang dan jarang massif.
48
Pada penelitian
yang dilakukan Valdes dkk pada tahun 1989
sampai 1997 terhadap 254 penderita
efusi pleura TB ditemukan ju
mlah penderita yang mengalami efusi pleura di sebelah
kanan 55,9%, di sebelah kiri 42,5% dan bi
lateral efusi 1,6% penderita serta 81,5%

penderita mengalami efusi pleura kurang dari dua pertiga hemitoraks


Diagnosis
Diagnosis efusi pleura TB ditegakkan be
rdasarkan gejala klinis, peme
riksaan
fisik, pemeriksaan radiologi torak, peme
riksaan bakteri tahan asam sputum, cairan
pleura dan jaringan pleura, u
ji tuberkulin, biopsi pleura da
n analisis cairan pleura.
30
Diagnosis dapat juga ditegakkan be
rdasarkan pemeriksaan ADA, IFN
, dan PCR
cairan pleura.
Hasil darah perifer tidak berman
faat; kebanyakan pasien tidak
mengalami lekositosis.
30
Sekitar 20% kasus efusi pleu
ra TB menunjukkan gambaran
infiltrat pada foto toraks.
50
Kelainan yang dapat dijumpai pada pe
me
riksaan fisik sangat tergantung pada
banyaknya penumpukan cairan pleura yang terjadi.
Pada inspeksi dada bisa dilihat
kelainan berupa bentuk dada yang tidak sime
tris, penonjolan pada
dada yang terlibat, sela iga melebar, pergerakan tertingg
al pada dada yang terlibat. Pada palpasi
stem fremitus melemah sampai menghilang,
perkusi dijumpai redup pada daerah
yang terlibat, dari auskultasi akan dijumpai suara pernafasan vesikuler
melemah
sampai menghilang, suara gesekan pleura.
30
Berdasarkan pemeriksaan radiolog

is toraks me
nurut kriteria
American
Thoracic Society
(ATS), TB paru dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu lesi
minimal, lesi sedang, dan lesi luas.
46
Sedangkan efusi pleura TB pada pemeriksaan
radiologis toraks posisi
Posterior Anterior
(PA) akan menunjukkan gambaran
konsolidasi homogen dan meniskus, de
ngan sudut kostophrenikus tumpul,
pendorongan trakea dan mediastinum
ke sisi yang berlawanan.
30
2.6.1. Apusan dan Kultur Sputum, Cairan Pleura dan Jaringan Pleura
Diagnosis pasti dari efusi pleura TB
dengan ditemukan basil TB pada sputum,
cairan pleura dan jaringan pleura.
30
Pemeriksaan apusan cairan pleura secara
ZiehlNielsen
(ZN) walaupun cepat dan tidak mahal akan tetapi sensitivitinya rendah
sekitar 35%.
10,43,44,51
Pemeriksaan apusan secara ZN ini memerlukan konsentrasi
basil 10.000/ml dan pada cairan pleura pe
rtumbuhan basil TB biasanya sejumlah
kecil. Sedangkan pada kultur cairan pleura lebih sensitif yaitu 11-50% karena
pada
kultur diperlukan 10-100 basil TB. Akan tetapi kultur memerlukan waktu
yang lebih
lama yaitu sampai 6 minggu untuk menumbuhkan M.TB.
2.6.2. Biopsi Pleura
Biopsi pleura merupakan suatu tinda
kan invasif dan me
merlukan suatu
pengalaman dan keahlian yang baik kare
na pada banyak kasus, pemeriksaan

histopatologi dari biopsi spesimen pleu


ra sering negatif dan tidak spesifik.
52
Akan
tetapi, diagnosis histopatologis yang di
dapat dari biopsi pl
eura tertutup dengan
dijumpainya jaringan granulomatosa sekitar 60-80%.
34
Sementara pemeriksaan yang
dilakukan oleh A. H. Diacon dkk sensitiv
iti histologis, kultur dan kombinasi
histologis dengan kultur secara biopsi jaru
m tertutup mencapai 66%, 48%, 79% dan
pemeriksaann secara torakoskopi sensitivit
inya 100, 76%, 100% dan spesifisitinya
100%.
53
2.6.3. Uji Tuberkulin
Dulu tes ini menjadi pemeriksaan dia
gnostik yang penting pa
da pasien yang
diduga efusi pleu
ra TB. Test ini akan
memberikan hasil yang positif setelah
mengalami gejala > 8 minggu. Pada pende
rita dengan status gangguan kekebalan
tubuh dan status gizi buruk, tes ini akan memberikan hasil yang negatif.
2.6.4. Analisis Cairan Pleura
Analisis cairan pleura ini bermanfaat dalam menegakkan diagnosis efusi
pleura TB. Sering kadar protein cairan pleura ini meningkat > 5 g/dl. Pada
pasien kebanyakan hitung jenis sel darah putih cairan pleura mengandung
limfosit > 50%.Pada sebuah penelitian dengan 254 pasien dengan efusi
pleura TB, hanya (6,7%) yang mengandung limfosit < 50% pada cairan
pleuranya. Pada pasien dengan gejala < 2 minggu, hitung jenis sel darah
putih menunjukkan PMN lebih banyak.Pada torakosentesis serial yang
dilakukan, hitung jenis lekosit ini menunjukkan adanya perubahan ke
limfosit yang menonjol.
Pada efusi pleura TB kadar LDH cairan pleura > 200 U, kadar glukosa sering
menurun.Analisis kimia lain memberi nilai yang terbatas dalam menegakkan
diagnostik efusi pleura TB. Pada penelitian-penelitian dahulu dijumpai kadar

glukosa cairan pleura yang menurun, namun pada penelitian baru-baru ini
menunjukkan kebanyakan pasien dengan efusi pleura TB mempunyai kadar
glukosa diatas 60 mg/dl.Kadar pH cairan pleura yang rendah dapat kita
curigai suatu efusi pleura TB. Kadar CRP cairan pleura lebih tinggi pada
efusi pleura TB dibandingkan dengan efusi pleura eksudatif lainnya
KRITERIA SIRS DAN SEPSIS
SIRS adalah respon inflamasi sistemik terhadap suatu kondisi klinis yang
ditandai oleh 2 atau lebih gejala berikut ini
Suhu >38oC atau <36oC
Denyut Nadi >90 kali per menit
Respirasi >20 kali per menit
PaCo2 <32 mmHg
WBC Count >12.000 cells/mm3, <4.000 cells/mm3 atau >10% band cells
SEPSIS adalah adanya SIRS yang disebabkan oleh proses infeksi yang
dibuktikan dengan pemeriksaan kultur darah ataupun dengan pemeriksaan
prokalsitonin
Dikatakan SEPSIS Berat bila terdapat hipotensi yang berat atau tanda
sistemik hipoperfusi (asidosis laktat, oligouria, perubahan status mental)
Sumber : Critical Care And Cardiac Medicine_Current Medical Strategies;
Matthew Brenner, MD, p-67; 2006
Diagnostic Criteria for Sepsis
Infection,a documented or suspected, and some of the following: b
General variables

Fever (core temperature >38.3C)

Hypothermia (core temperature <36C)

Heart rate >90 /min or >2 SD above the normal value for age

Tachypnea

Altered mental status

Significant edema or positive fluid balance (>20 mL/kg over 24 hrs)

Hyperglycemia (plasma glucose >120 mg/dL or 7.7 mmol/L) in the


absence of diabetes
Inflammatory variables

Leukocytosis (WBC count >12,000 /mm3)

Leukopenia (WBC count <4000 /mm3)

Normal WBC count with >10% immature forms

Plasma C-reactive protein >2 SD above the normal value

Plasma procalcitonin >2 SD above the normal value


Hemodynamic variables

Arterial hypotensionb (SBP <90 mm Hg, MAP <70, or an SBP


decrease >40 mm Hg in adults or <2 SD below normal for age)

SvO2 >70%b

Cardiac index (CI) >3.5 L.min -1.M-23


Organ dysfunction variables

Arterial hypoxemia (PaO2/FIO2 <300)

Acute oliguria (urine output <0.5 mL.kg -1.hr-1 or 45 mmol/L for at


least 2 hrs)

Creatinine increase >0.5 mg/dL

Coagulation abnormalities (INR >1.5 or aPTT >60 secs)

Ileus (absent bowel sounds)

Thrombocytopenia (platelet count <100,000 /mm3)

Hyperbilirubinemia (plasma total bilirubin >4 mg/dL or 70 mmol/L)


Tissue perfusion variables

Hyperlactatemia (>1 mmol/L)

Decreased capillary refill or mottling


WBC, white blood cell; SBP, systolic blood pressure; MAP, mean arterial
blood pressure; SvO2, mixed venous oxygen saturation; INR, international
normalized ratio; aPTT, activated partial thromboplastin time.
a
Infection defined as a pathologic process induced by a microorganism;
b
SvO2 sat >70% is normal in children (normally, 7580%), and CI 3.55.5 is
normal in children; therefore, NEITHER should be used as signs of sepsis in
newborns or children;
c
diagnostic criteria for sepsis in the pediatric population are signs and
symptoms of inflammation plus infection with hyper- or hypothermia (rectal
temperature >38.5 or < 35C), tachycardia (may be absent in hypothermic
patients), and at least one of the following indications of altered organ
function: altered mental status, hypoxemia, increased serum lactate level, or
bounding pulses.
Related Criteria
Definitions for the Terms Bacteremia, Sepsis, Severe Sepsis, Septic Shock,
and Other Related Disorders
Diagnostic Criteria for Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

Diagnostic Criteria for Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS)


More...

sepsis berat dan syok septik digunakan untuk menghitung besarnya sistemik reaksi

References:

peradangan (misalnya, demam,leukositosis dan takikardia). Hipoperfusion dengan

1. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, Abraham E, Angus D, Cook D,


Cohen J, Opal SM, Vincent JL, Ramsay G;
SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS. 2001
SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions
Conference. Crit Care Med. 2003 Apr;31(4):1250-6. [Medline]

radang. Pasien dengan sepsismemiliki bukti dari infeksi, serta sistemik tanda-tanda dari
tanda-tanda disfungsi organ disebut sepsisberat. Syok septik memerlukan kehadiran di
atas, terkait dengan bukti-bukti yang lebihsignifikan jaringan hipoperfusion dan
hipotensi sistemik. Di samping hipotensi, maldistribusidari aliran darah dan shunting di
mikrosirkulasi, lebih lanjut yaitu terganggunya pengirimannutrisi untuk jaringan sekitar.

disebut penyakit infeksi yang terjadi jejas sehingga timbul reaksi inflamasi. Meskipun

11

dasarproses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas

Mengenali sepsis dimulai dengan mendefinisikan pasien berisiko. Manifestasi klinis

jejas dan reaksitubuh. Inflamasi akut dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala

sepsisbiasanya akan menjadi jelas dan meminta inisiasi perawatan sebelum konfirmasi

sistemik.Inflamasi ialah reaksi jaringan vaskuler terhadap semua bentuk jejas. Pada

bakteriologik organisme atau sumber organisme diidentifikasi. Selain demam,

dasarnyainflamasi adalah suatu reaksi pembuluh darah, syaraf, cairan dan sel tubuh di

takikardia, dan takipnoe, tanda-tanda hipoperfusi seperti kebingungan, malaise, oliguria,

tempat jejas.Inflamasi akut merupakan respon langsung yang dini terhadap agen

atau hipotensi mungkin ditemukan.Karena hal-hal ini maka kita harus agresif mencari

penyebab jejas dan kejadianyang berhubungan dengan inflamasi akut sebagian besar

adanya kemungkinan infeksi termasuk melalui pemeriksaan fisik yang menyeluruh,

dimungkinkan oleh produksi danpelepasan berbagai macam mediator kimia.

inspeksi dari semua luka, evaluasi kateter infus ataubadan-badan asing lainnya,

Meskipun jenis jaringan yang mengalami inflamasiberbeda, mediator yang dilepaskan

mendapatkan kultur sesuai, dan terapi ajuvan sebagaimanadiperlukan.

adalah sama.Sepsis merupakan SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui

Pemeriksaan Penunjang

( ditentukan denganbiakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut ). Meskipun

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:*Laboratorium: Kultur darah

SIRS, sepsis dan syok septicbiasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus

dengan mengambil specimen darah pasien denganmengisolasi mikroorganisme darah

terdapat bakteriemia. Bakteriemiaadalah keberadaan bakteri hidup dalam komponen

atau situs lokal infeksi.

cairan darah, bersifat sepintas, dijumpaisetelah jejas berada dipermukaan mukosa

Penatalaksanaan

primer ( tanpa fokus infeksi intravaskuler atauekstravaskuler ). Sepsis berat adalah

Dasar pengelolaan :Dasar strategi pengelolaan meliputi

sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainanhipoperfusi atau hipotensi.


Diagnosa Klinis

:1.Mencari dan memberantas kuman penyebab infeksi dengan memberi antibiotik

Upaya untuk membakukan terminologi telah mengakibatkan pembentukan kriteria

adekuatmenghilangkan fokal infeksi dengan tindakan bedah.2.

untuk diagnosis sepsis dalam dewasa dirawat di rumah sakit. Kriteria ini meliputi
manifestasi daripejamu menanggapi infeksi, selain identifikasi organisme. Istilah sepsis,

Memulihkan hemodinamik dengan resusitasi cairan 10-20 ml/kgBB kristaloid


maupunkoloid. Perbaikan tekanan perfusi dan fungsi jantung dapat dilakukan dengan
pemberianvasoaktif dan inotropik.3.
Memulihkan fungsi organ.Untuk mencapai tujuan diatas diperlukan pemberian
antibiotika walaupun hasil kulturkuman belum ditemukan. Tindakan menghilangkan
sumber infeksi dikerjakan dengandrainase eksudat, eksisi nekrosis, ekstirpasi .
Menghilangkan perubahan hemodinamik dan pemulihan perfusi jaringan dengan
cepat. Memperbaiki pernapasan, pemberiancairan adekuat, pemberian kortikosteroid
masih kontroversi, penggunaan vasoaktif dengan memperbaiki aliran darah dan perfusi
jaringan dan memulihkan tekanan darah.4.
Memulihkan fungsi organ tubuh vital terutama jantung, paru, ginjal.
Penggunaan antiendotoksin dan antimediator : antibodi anti TNF , antibodi anti IL1,IGM, IGA, IGG, Ep5, HA-1A, interferon gamma.6.
Pengelolaan lain : nutrisi, perawatan intensif, monitoring ketatTatalaksana yang dapat
diberikan antara lain pemberian antibiotika, dimana pemberianantimikroba harus
diberikan secepatnya setelah darah dan specimen lainnya dikultur. Apabilahasilnya
belum dapat ditentukan dapat diberikan pengobatan secara empirik yang
efektif melawan bakteri gram positif dan gram negatif. Pemilihan antimikroba dapat
merupakan halyang kompleks, maka harus memperhatikan riwayat pasien,
komorbiditas, sindroma klinis, datapewarnaan gram, dan pola resistensi lokal. Dosis
maksimal antimikroba yang dianjurkan dapatdiberikan secara intrvena, dengan
penyesuaian pada gangguan renal jika dibutuhkan. Apabilahasil kultur telah didapatkan,
maka regimen dapat lebih disederhanakan, karenaseringkaliantimikroba tunggal dapat
adekuat untuk pengobatan pathogen yang diketahui.

Antibiotik
2.1.1. Definisi
Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba yang dapat
menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain (Gunawan, Setiabudy,
Nafrialdi, Elysabeth, 2007).
2.1.2. Aktivitas dan spektrum
Antibiotik mempunyai aktivitas spektrum sempit dan luas. Antibiotik
spektrum yang luas aktif terhadap banyak spesies bakteri manakala antibiotik
spektrum sempit hanya aktif terhadap satu atau beberapa bakteri (Dawson,
Taylor,
Reide, 2002). Antibiotik spektrum sempit seperti penisilin8G, eritromisin dan
klindamisin hanya bekerja terhadap bakteri gram positif manakala
streptomisin,
gentamisin dan asam nalidiksat khusus aktif terhadap bakteri gram negatif.
Antibiotik spektrum luas seperti sulfonamida, ampisilin dan sefalosporin
bekerja
terhadap lebih banyak bakteri gram positif maupun gram negatif (Tan,
Rahardja,
2007).
2.1.3. Mekanisme kerja
Antibiotik menghambat mikroba melalui mekanisme yang berbeda yaitu
(1) mengganggu metabolisme sel mikroba; (2) menghambat sintesis dinding
sel
mikroba; (3) mengganggu permeabilitas membran sel mikroba; (4)
menghambat
sintesis protein sel mikroba; dan (5) menghambat sintesis atau merusak asam
nukleat sel mikroba.
Antibiotik yang menghambat metabolisme sel mikroba ialah sulfonamid,
trimetoprim, asam p8aminosalisilat (PAS) dan sulfon. Dengan mekanisme
kerja
ini diperoleh efek bakteriostatik.
Universitas
Sumatera
Utara
16
Antibiotik yang merusak dinding sel mikroba dengan menghambat sintesis
enzim atau inaktivasi enzim, sehingga menyebabkan hilangnya viabilitas dan
sering menyebabkan sel lisis meliputi penisilin, sepalosporin, sikloserin,
vankomisin, ristosetin dan basitrasin. Antibiotik ini menghambat sintesis
dinding

sel terutama dengan mengganggu sintesis peptidoglikan.


Obat yang termasuk dalam kelompok yang mengganggu permeabilitas
membran sel mikroba ialah polimiksin, golongan polien serta berbagai
antimikroba kemoterapeutik umpamanya
antiseptic surface active agents
.
Polimiksin sebagai senyawa ammonium8kauterner dapat merusak membran
sel
setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran sel mikroba.
Antibiotik yang menghambat sintesis protein sel mikroba ialah golongan
aminoglikosid, makrolid, linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. Sel
mikroba
perlu mensintesis berbagai protein untuk kehidupannya. Penghambatan
sintesis
protein terjadi dengan berbagai cara. Streptomisin berikatan dengan
komponen
30S dan menyebabkan kode pada mRNA salah dibaca oleh tRNA pada waktu
sintesis protein. Akibatnya akan terbentuk protein yang abnormal dan
nonfungsional bagi sel mikroba. Antibiotik aminoglikosid dan lainnya yaitu
gentamisin, kanamisin dan neomisin memiliki mekanisme kerja yang sama
namun
potensinya berbeda.
Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba termasuk
rifampisin dan kuinolon. Rifampisin adalah salah satu derivat rifamisin,
berikatan
dengan enzim polymerase8RNA sehingga menghambat sintesis RNA dan
DNA
oleh enzim tersebut. Golongan kuinolon menghambat enzim DNA girase
pada
kuman yang fungsinya menata kromosom yang sangat panjang menjadi
bentuk
spiral sehingga bisa muat dalam sel kuman yang kecil (Gunawan, Setiabudy,
Nafrialdi, Elysabeth, 2007).
Universitas
Sumatera
Utara
17
2.1.4. Golongan antibiotik
Menurut Stephens (2011), walaupun terdapat hampir 100 antibiotik namun
mayoritasnya terdiri dari beberapa golongan. Golongan8golongan tersebut
adalah :
1. Golongan penisilin.

Penisilin merupakan antara antibiotik yang paling efektif dan paling


kurang toksik. Penisilin mengganggu reaksi transpeptidasi sintesis dinding
sel
bakteri. Golongan penisilin dapat terbagi menjadi beberapa kelompok yaitu :
8
Penisilin natural yaitu yang didapat dari jamur Penicillium chrysogenum.
Yang termasuk di sini adalah penisilin G dan penisilin V.
8
Penisilin antistafilokokus, termasuk di sini adalah metisilin, oksasilin dan
nafsilin. Penggunaan hanya untuk terapi infeksi disebabkan
penicillinase3
producing staphylococci
.
8
Penisilin dengan spektrum luas yaitu ampisilin dan amoksisilin. Ampisilin
dan amoksisilin mempunyai spektrum yang hampir sama dengan penisilin
G tetapi lebih efektif terhadap basil gram negatif.
8
Penisilin antipseudomonas yaitu termasuk karbenisilin, tikarsilin dan
piperasilin. Ia dipanggil begitu karena aktivitas terhadap Pseudomonas
aeruginosa (Harvey, Champe, 2009).
2. Golongan sefalosporin.
Golongan ini hampir sama dengan penisilin oleh karena mempunyai cincin
beta laktam. Secara umum aktif terhadap kuman gram positif dan gram
negatif,
tetapi spektrum anti kuman dari masing8masing antibiotik sangat beragam,
terbagi
menjadi 3 kelompok, yakni:
8
Generasi pertama bertindak sebagai subtitut penisilin G. Termasuk di sini
misalnya sefalotin, sefaleksin, sefazolin, sefradin. Generasi pertama
kurang aktif terhadap kuman gram negatif.
8
Generasi kedua agak kurang aktif terhadap kuman gram positif tetapi lebih
aktif terhadap kuman gram negatif, termasuk di sini misalnya sefamandol
dan sefaklor.
Universitas
Sumatera
Utara
18
8
Generasi ketiga lebih aktif lagi terhadap kuman gram negatif, termasuk

Enterobacteriaceae
dan kadang8kadang peudomonas. Termasuk di sini
adalah sefoksitin (termasuk suatu antibiotik sefamisin), sefotaksim dan
moksalatam.
8
Generasi keempat adalah terdiri dari
cefepime
.
Cefepime
mempunyai
spektrum antibakteri yang luas yaitu aktif terhadap
streptococci
dan
staphylococci
(Harvey, Champe, 2009).
3. Golongan tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan antibiotik spektrum luas yang bersifat
bakteriostatik yang menghambat sintesis protein. Golongan ini aktif terhadap
banyak bakteri gram positif dan gram negatif. Tetrasiklin merupakan obat
pilihan
bagi infeksi
Mycoplasma pneumonia
,
chlamydiae
dan
rickettsiae
. Tetrasiklin
diabsorpsi di usus halus dan berikatan dengan serum protein. Tetrasiklin
didistribusi ke jaringan dan cairan tubuh yang kemudian diekskresi melalui
urin
dan empedu (Katzung, 2007).
4. Golongan aminoglikosida
Aminoglikosida termasuk streptomisin, neomisin, kanamisin dan
gentamisin. Golongan ini digunakan untuk bakteri gram negatif enterik.
Aminoglikosida merupakan penghambat sintesis protein yang ireversibel
(Katzung, 2007).
5. Golongan makrolida
Golongan makrolida hampir sama dengan penisilin dalam hal spektrum
antikuman, sehingga merupakan alternatif untuk pasien8pasien yang alergi
penisilin. Bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Antara obat
dalam

golongan ini adalah eritromisin. Eritromisin efektif terhadap bakteri gram


positif
(Katzung, 2007).
6. Golongan sulfonamida dan trimetropim
Universitas
Sumatera
Utara
19
Sulfonamida menghambat bakteri gram positif dan gram negatif.
Trimetropim menghambat asam dihidrofolik reduktase bakteri. Kombinasi
sulfamektoksazol dan trimetoprim untuk infeksi saluran kencing,
salmonelosis
dan prostatitis (Katzung, 2007).
7. Golongan
flurokuinolon
Flurokuinolon merupakan golongan antibiotik yang terbaru. Antibiotik
yang termasuk dalam golongan ini adalah ciprofloksasin (emedicineheath,
2011).

Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)


Water Seal Drainage (WSD) adalah Suatu sistem drainage yang
menggunakan water seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari cavum
pleura ( rongga pleura)
TUJUANNYA :
Mengalirkan / drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk
mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut
Dalam keadaan normal rongga pleura memiliki tekanan negatif dan hanya
terisi sedikit cairan pleura / lubrican.
Perubahan Tekanan Rongga Pleura
Tekanan Istirahat Inspirasi Ekspirasi
Atmosfir 760 760 760
Intrapulmoner 760 757 763
Intrapleural 756 750 756
INDIKASI PEMASANGAN WSD :
Hemotoraks, efusi pleura
Pneumotoraks ( > 25 % )

Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk


Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator
KONTRA INDIKASI PEMASANGAN :
Infeksi pada tempat pemasangan
Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol.
Indikasi :
Pneumothorak
Hemothorak
Thorakotomy
Efusi pleura
Empyema
Tujuannya :
1. Mengalirkan / drainage udara atau cairan dari rongga pleura
untuk mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut
2. Dalam keadaan normal rongga pleura memiliki tekanan negatif
dan hanya terisi sedikit cairan pleura / lubrican.
Kontra indikasi pemasangan :
-Infeksi pada tempat pemasangan
-Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol

Indikasi menghentikan WSD :


Jika alat tersebut tidak bermanfaat lagi, yaitu :
1. Paru telah kembali mengembang yang ditandai oleh :
Tidak
ada
undulasi
Cairan
yang
keluar
tidak
ada
Tidak
ada
gelembung
udara
yang
keluar
Kesulitan bernafas tidak ada
Pemeriksaan fisik tidak ada cairan atau udara
Rontgen foto tidak ada cairan atau udara
2.Tube tidak berfungsi atau tersumbat

EMPIEMA

Empiema merupakan keadaan terdapatnya nanah dalam rongga pleura


yang biasanya merupakan kelanjutan proses efuis parapneumonia.
Efusi parapneumonia adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia
bakteri, abses paru dan bronkiektasis. Empiema dapat juga terjadi
akibat komplikasi torakotomi, trauma toraks, perforasi esophagus,
torakosentesis (aspirasi cairan pleura), proses keganasan dan infeksi
kuman tuberculosis.
Rerata kematian akibat empiema sekitar 20-70%, meningkat pada usia
lanjut, malnutrisi, penyakit kronik dan faktor sosial ekonomi yang
menyebabkan pasien terlambat untuk mendapatkan antibiotik.
Pathogenesis
Pleura merupakan membran permeabel yang menjaga keseimbangan
antara cairan masuk dan keluar rongga pleura. Cairan masuk ke rongga
pleura melalui filtrasi dari ujung kapiler arteri kemudian sebagian
besar direabsorbsi kembali oleh ujung jaringan vena. Akumulasi cairan
rongga pleura dapat terjadi karena gangguan hukum Starling yang
mengatur filtrasi dan absorbsi, gangguan drainase limfatik atau
keduanya.
Cairan pleura dibagi menjadi 2 kelompok yaitu transudat dan eksudat
seperti terlihat pada tabel berikut.
Transudat
Negative
< 3 g/dL
protein < 0,5

Tes Rivalta
Protein
Rasio dengan
plasma
Berat jenis
Laktat
dehidrogenase
(LDH)
Rasio dengan LDH
plasma
Lekosit

Eksudat
Positif
> 3 g/dL
> 0,5

< 1,016
< 200 IU

> 1,016
> 200 IU

< 0,6

> 0,6

<
50% > 50% limfosit (TB,
limfosit
/ keganasan)
mononuclear
> 50% polimorfonuklear
(radang akut)

pH
Glukosa

> 7,3
< 7,3
=
glukosa < glukosa darah (< 40)
darah

Transudat terjadi bila kekuatan mekanik tekanan hidrostatik dan


onkotik menyebabkan terjadinya filtrasi cairan melebihi absorbsi.
Permukaan pleura pada keadaan ini tidak terlibat secara langsung,
sebaliknya pada eksudat terjadi karena peningkatan permeabiliti
kapiler misalnya pada penyakit inflamasi yang melibatkan permukaan
pleura atau gangguan yang menghambat drainase limfatik.
Perkembangan efusi parapneumonia dibagi menjadi 3 fase yaitu fase
eksudatif, fibropurulen dan organisasi. Pada fase eksudatif terjadi
peningkatan cairan paru interstisial, perpindahan cairan melalui pleura
visceral yang menyebabkan penimbunan cairan steril. Cairan ini
adalah suatu eksudat dengan lekosit PMN, kadar glukosa dan pH
normal. Selanjutnya akan menjadi fase fibropurulen yang merupakan
cirri khas infeksi cairan pleura. Cairan pleura menjadi keruh dan
terkontaminasi bakteri dan berlanjut menjadi fase organisasi atau
kronik.
Empiema yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis
mempunyai kadar glukosa rendah, pemeriksaan hapus darah tepi lebih
banyak ditemukan limfosit serta peningkatan kadar adenosine
deaminase > 30 IU/L.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis,
pemeriksaan radiologis dan analisis cairan pleura yang diambil saat
torasentesis. Gambaran klinis empiema biasanya gabungan tanda dan
gejala pneumonia seperti batuk, badan lemah dan panas sampai
menggigil. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai suara napas dan
fremitus melemah pada sisi yang sakit. Pasien dengan empiema
anaerob biasanya mempunyai riwayat aspirasi, kondisi komorbid yang
mendasari, hygiene mulut yang buruk dan sisa makanan yang dapat
menjadi sumber penyakit. Sputum yang purulen biasanya dapat
diidentifikasi kuman penyebab dan hasil pemeriksaan leukosit
biasanya didapatkan peningkatan di atas 15.000/L.

Pemeriksaan foto toraks posteroanterior (PA) dan lateral mempunyai


arti penting untuk diagnosis empiema. Pasien yang difoto dengan
posisi berdiri, cairan pleura bebas akan terakumulasi di bagian
terendah hemitoraks dan sudut kostofrenikus. Foto toraks dengan
diafragma normal tetapi tampak gambaran berkantong yang
terlokalisir sebaiknya juga diperiksa ultrasonografi (USG) toraks atau
computed tomography scan (CT scan), terlebih bila terlihat gambaran
efusi. Selanjutnya dilakukan torakosentesis, cairan yang didapat
diperiksa warna, purulensi, viskositas, bau dan analisis cairan pleura.
Cairan pleura berupa transudat tidak dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut.
Tatalaksana
Tujuan utama penatalaksanaan empiema adalah mengembalikan fungsi
paru secepatnya dengan cara membersihkan rongga pleura dengan
pemberian obat yang tepat, cepat dan adekuat serta drainase cairan dan
pengembangan paru.
Obat-obatan
Antibiotik dapat mengurangi progresifitas efusi parapneumonia dan
empiema. Biakan kuman hendaknya dilakukan sehingga bisa diberikan
antibiotik yang sesuai. Pemilihan obat harus mempertimbangkan
fungsi hati dan ginjal pasien. Jika hasil kultur negatif, antibiotik yang
dipilih harus dapat melindungi masuknya kuman yang banyak di
masyarakat dan kuman aerob. Sedang empiema yang didapat selama
perawatan di rumah sakit, antibiotik harus berspektrum luas. Antibiotik

dapat memberikan hasil yang baik pada cairan empiema stadium awal
ketika pleura parietal dan visceral masih dapat bergerak bebas,
viskositas rendah, jumlah sel darah putih sedikit dan belum terjadi
adesi pleura.
Antibiotik yang sesuai untuk terapi tunggal yaitu golongan betalaktam
dengan penghambat beta laktamase (seperti amoksisilin-klavulanat,
tikarsilin-klavulanat,
piperasilin-tazobaktam
atau
ampisilinsulbaktam), golongan quinolon dan imipenem atau meropenem. Obat
golongan sefalosporin perlu ditambah dengan metronidazol atau
klindamisin jika dicurigai terdapat bakteri anaerob. Antibiotic
diberikan selama 2-4 minggu, dapat diperpanjang bila drainase tidak
maksimal. Selama pemberian antibiotik perlu dipantau keadaan klinis
dan laboratorium.
Torasentesis
Untuk menentukan lokasi torasentesis dapat digunakan USG toraks
sebagai guide marker, namun jika tidak ada maka foto toraks dan
perkusi dinding dada dapat pula dijadikan pedoman. Tindakan
selanjutnya berupa asepsis, anestesi daerah tindakan serta penyedotan
cairan pleura dengan menggunakan jarum dan kateter.
Fibrinolisis cairan pleura
Selain antibiotik dapat pula diberikan terapi fibrinolisis cairan pleura
dengan injeksi streptokinase 250.000 IU 2 kali sehari atau urokinase
100.000 IU sekali sehari melalui drainase yang sudah terpasang
sehingga diharapkan dapat membatasi terbentuknya lokulasi pleura.
Terapi ini sekarang sudah mulai ditinggalkan karena dapat
menimbulkan efek sistemik seperti panas, lemas dan leukositosis.
Penyaliran selang dada / Water Seal Drainage (WSD)
Keputusan kapan kita akan menggunakan WSD berdasarkan pada
karakteristik cairan pleura, dapat juga beredasarkan foto toraks atau
CT scan toraks. Indikasi pemasangan WSD jika terdapat pus,
pemeriksaan gram dan pewarnaan dengan hasil positif, glukosa cairan
pleura < 40 mg/dL, LDH > 1000 IU atau pH < 7,1. Efektifitas drainase
dinilai dengan menlihat kurve panas harian selama 5 8 hari setelah
pemasangan.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kegagalan

penanganan empiema tuberkulosis dengan penyaliran selang dada bisa


anda baca pada penelitian berikut ini:
Tindakan bedah
Pasien dengan empiema fibropurulen atau organisasi memerlukan
intervensi bedah karena viskositas cairan pleura dan lokasi yang
multipel dapat menghalangi pipa drainase. Hal ini penting dilakukan
karena keterlambatan pemasangan drain dapat menimbulkan
penebalan pleura, waktu penyembuhan dan perawatan yang lama.
Tindakan bedah yang dilakukan dalam tatalaksana empiema adalah
Video-asisted thoracic surgery (VATS), dekortikasi dan torakoplasti.
Fisioterapi
Penanganan rehabilitasi medis diperlukan pada empiema untuk
mencapai perbaikan fungsi dan kualitas hidup. Penanganann fisioterapi
pascabedah berhubungan dengan mobilisasi tubuh dan fungsi
pernapasan, upaya ini ditekankan pada pemeliharaan postur yang baik
dan pengembangan paru yang optimal. Mobilisasi dini dipengaruhi
oleh motivasi dan kerjasama penderita untuk mencapai keberhasilan
fisioterapi.
Empiema adalah pengumpulan cairan purulen (pus) dalam cavitas
pleural. Pada awalnya cairan pleura sedikit, dengan hitung leukosit
rendah. Tetapi, sering kali cairan ini berkembang ke tahap fibropurulen
dan akhirnya ke tahap dimana cairan tersebut membungkus paru dalam
membrane eksudatif yang tebal.
Kondisi ini dapat terjadi jika abses paru meluas sampai cavitas
pleural. Meskipun empiema bukan merupakan komplikasi lazim
infeksi paru, empiema dapat terjadi jika pengobatan terlambat.
1. ETIOLOGI
Empiema disebabkan oleh infeksi yang mennyebar dari paruparu dan terus mengakumulasi nanah di rongga pleura. Tempat yang
terinfeksi bias membengkak dan memberikan tekanan pada paru-paru,
lalu bisa menyebabkan napas menjadi pendek dan sakit pada saat
bernapas. Biasanya, empiema tidak menyebabkan kerusakan yang
permanent pada system pernapasan.

1. PATOFISIOLOGI

BRONKIEKTASIS (BE)

Empiema telah menjadi penyebab dari beberapa kasus


penyakit, tapi ini akan berkomplikasi dan dominant komplikasi dari
pneumonia. Perkembangan empiema dapat dikelompokkan menjadi
tiga bagian :

sebuah fase akut yang mengisi rongga tubuh dengan seseuatu


cairan yang mengandung nanah
fase yang kedua, pada rongga tersebut cairannya akan
mengental dan berserat, koagulasi protein (fibrin) mulai bersatu
dengan rongga
fase yang ketiga atau tingkat kronik dimana paru-paru atau
organ lain terbungkus tipis dengan benda yang berserat.

1. MANIFESTASI KLINIS
Pasien mengalami penurunan berat badan. Selain itu, pasien
juga mengalami demam, berkeringat malam, Dispnea, Anoreksia, dan
Nyeri pleural. Auskultasi dada memperlihatkan tidak terdengarnya
bunyi napas dan terdapat bunyi datar saat perkusi dada, juga
penurunan fremitus (fibrasi fokal terdeteksi saat palpasi). Jika pasien
telah mendapatkan terapi anti mikroba, manifestasi klinis dapat
berubah. Diagnosis ditegakkan dengan dasar hasil rontgen dada dan
torasentesis.
1. KOMPLIKASI
Kemungkinan komplikasi yang terjadi adalah pengentalan pada
pleura. Jika inflamasi telah berlangsung lama, eksudat dapat terjadi di
atas paru yang menganggu ekspansi normal paru.
Dalam keadaan ini diperlukan pembuangan eksudat melalui
tindakan bedah (dekortasi). Selang drainase dibiarkan ditempatnya
sampai pus yang mengisi ruang pleural dipantau melalui roentgen dada
dan pasien harus diberitahu bahwa pengobatan ini dapat membutuhkan
waktu lama.

Bronkiektasis (BE)adalah penyakit saluran napas kronik ditandai


dengan dilatasi abnormal yang permanen disertai rusaknya dinding
bronkus. Biasanya pada daerah tersebut ditemukan perubahan yang
bervariasi termasuk di dalamnya inflamasi transmural, edema mukosa
(BE silindris), ulserasi (BE kistik) dengan neovaskularisasi dan timbul
obstruksi berulang karena infeksi sehingga terjadi perubahan arsitektur
dinding bronkus serta fungsinya.
Keadaan yang sering menginduksi terjadinya BE adalah infeksi,
kegagalan drainase sekret, obstruksi saluran napas dan atau gangguan
mekanisme pertahanan individu.
Di seluruh dunia angka kejadian BE tinggi, biasanya terjadi pada
negara terbelakang atau berkembang. BE kebanyakan terjadi pada
penduduk usia pertengahan sampai lanjut, sedangkan akibat penyakit
kongenital terjadi pada usia muda. Tingkat sosial ekonomi yang
rendah, nutrisi buruk, perumahan yang tidak memadai dan sulit
mendapatkan fasilitas kesehatan karena alasan finansial atau
jangkauan fasilitas kesehatan mempermudah timbulnya infeksi
tersebut.
PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
BE adalah dilatasi abnormal bronkus, pada daerah proksimal bronkus
(diameter > 2 mm) disertai destruksi komponen otot dan jaringan
elastik dinding bronkus yang dapat terjadi secara kongenital ataupun
didapat karena sebab infeksi kronik saluran napas. BE kongenital
terjadi pada bayi dan anak sebagai akibat kegagalan pembentukan
cabang-cabang bronkus. Kerusakan komponen otot dan jaringan
elastik dinding bronkus merupakan respon tubuh terhadap infeksi

berupa proses inflamasi yang melibatkan sitokin, oksida nitrit dan


neutrofil protease sehingga terjadi kerusakan pada jaringan alveolar
peribronkial dan selanjutnya terjadi fibrosis peribronkial. Akhirnya
terjadi kerusakan dinding bronkus dan inflamasi transmural sehingga
terjadi dilatasi abnormal bronkus. Pada keadaan ini biasanya
ditemukan gangguan pembersihan sekresi (mucous clearance) pada
bronkus dan cabang-cabangnya. Kegagalan proses pembersihan
sekresi menyebabkan kolonisasi kuman dan timbul infeksi oleh kuman
pathogen yang ikut berperan dalam pembentukan mucus yang purulen
pada penderita BE.

2. Bentuk varikosa (fusiform)


Pelebaran bronkus lebih lebar dari bentuk silindrik dan bersifat
irregular. Gambaran garis irregular dan distal bronkus yang
mengembang adalah gambaran khas pada bentuk varikosa.
3. Bentuk sakuler (kistik)
Dilatasi bronkus sangat progresifmenuju ke perifer bronkus. Pelebaran
bronkus ini terlihat sebagai balon, kelainan ini biasanya terjadi pada
bronkus besar, pada bronkus generasi ke 4. Bentuk ini juga terdapat
pada BE congenital.

Gambaran patologi
1.

2.

BE lebih sering ditemukan di paru kiri daripada kanan, mungkin


karena diameter bronkus utama kiri lebih kecil daripada kanan.
Kelainan lebih sering ditemukan di lobus bawah khususnya segmen
basal. Lynne Reyd membagi BE menjadi 3 bentuk berdasarkan
pelebaran bronkus dan derajad obstruksi, sebagai berikut:
1. Bentuk silindrik (tubular)
Seringkali dihubungkan dengan kerusakan parenkim paru, terdapat
penambahan diameter bronkus yang bersifat regular, lumen distal
bronkus tidak begitu melebar.

3.

4.

5.

Etiologi dan faktor predisposisi


Banyak penyebab yang menjadi etiologi maupun faktor predisposisi
terjadinya BE antara lain:
Infeksi primer (bakteri, jamur dan virus)
BE mungkin sebagai sequel dari nekrosis setelah infeksi akibat
pengobatan yang buruk atau tidak diobati sama sekali. Infeksi dapat
disebabkan oleh kuman tipikal seperti Klebsiela, Staphilococcus
aureus, Mycobacterium tuberculosis, Mycoplasma pneumonia,
measles, pertusis, influenza, herpes simplex dan beberapa tipe
adenovirus. Pada anak respiratory syncytial virus dapat menyebabkan
BE. BE juga bisa juga disebabkan oleh Mycobacterium avium complex
(MAC) yang terjadi pada penderita HIV dan imunokompremis.
Obstruksi bronkus
Tumor endobronkial, benda asing atau stenosis bronkus karena
penekanan akibat kelenjar getah bening leher yang membesar dapat
menyebabkan BE. Sindrom lobus tengah kanan merupakan bentuk
spesifik obstruksi bronkus yang akhirnya akan menyebabkan BE
karena angulasi abnormal lobus tersebut. Timbulnya obstruksi bronkus
dan infeksi kronik merupakan faktor predisposisi terbentuknya BE.
Fibrosis kistik
Ini merupakan penyakit autosomal resesif dengan kelainan utama pada
paru dengan gambaran umum BE. BE berhubungan dengan fibrosis
kistik terjadi secara sekunder karena terkumpulnya mucus pada jalan
napas bagian atas dan terjadinya infeksi kronis.
Sindroma Young
Gambaran klinis sama denga fibrosis kistik. Sindrom ini ditemukan
BE disertai sinusitis dan azoospermia, sering terjadi pada pria usia
pertengahan.
Diskinesia siliar primer

Manifestasinya adalah immotile dan/atau diskinetik silia dan


spermatozoa. Keadaan ini menyebabkan gangguan bersihan mukosilier
infeksi berulang dan akhirnya terjadi BE. Sindrom Kartagener dengan
triad gambaran klinik berupa situs inversus, sinusitis dan BE adalah
sebagai akibat immobility silia pada saluran napas.
6. Aspergilosis bronkopulmoner alergi
Merupakan reaksi hipersensitiviti terhadap inhalan antigen Aspergilus
dengan gambaran bronkospasme, BE dan reaksi imunologi oleh
spesies Aspergilus. Dikatakan aspergilus bronkopulmoner alergi
adalah apabila pada penderita tersebut ditemukan batuk produktif dan
juga memiliki riwayat asma yang tidak respons dengan terapi
konvensional.
7. Keadaan imunodefisiensi
Imunodefisiensi dapat terjadii secara congenital maupun didapat.
Imunodefisiensi ini melibatkan gangguan gangguan fungsi limfosit B.
penderita dengan hipogammaglobulinemia biasanya muncul saat anak
dengan riwayat sinusitis atau infeksi paru berulang. Penderita
HIV/AIDS merupakan implikasi terjadinya BE dan digambarkan
dengan timbulnya percepatan kerusakan bronkus karena infeksi
berulang.
8. Defek anatomi kongenital
Skuester bronkopulmoner, sindroma Williams-Campbell (defisiensi
congenital kartilago), Sindrom Mounier-Kuhn (tracheobronkomegali),
Sindrome Swyer-Jamer (unilateral hyperlucent lung) dan sindrom
yellow-nail mempermudah timbulnya BE.
9. Defisiensi alpha 1-antitripsin
Patogenesisnya belum jelas
10. Penyakit reumatik
Komplikasi rheumatoid arthritis dan sindrom Sjogren dapat terjadi
BE, tetapi patogenesisnya belum jelas.
11. Traksi bronkiektasis
Ini merupakan distorsi jalan napas sekunder karena distorsi parenkim
paru dari fibrosis pulmoner.
12.
Merokok
Bagaimana merokok dapat menyebabkan terjadinya BE masih belum
jelas namun demikian asap rokok dan infeksi berulang dapat
mempercepat kerusakan dinding bronkus.
Gambaran klinis

Tanda dan gejala yang timbul tergantung dari beratnya penyakit,


penyebaran, lokasi, ada tidaknya komplikasi dan penyakit yang
mendasarinya. Gejala pada BE dapat disebabkan karena BE-nya saja
atau karena penyakit dasarnya. Gejala akibat BE-nya saja dapat berupa
batuk kronik, dahak purulen, panas, lemah dan berat badan menurun.

Pada penderita BE sering ditemukan batuk dengan banyak dahak


bersifat purulen terutama terjadi setelah istirahat lama terlentang yaitu
pada pagi hari. Secara makroskopik dapat dijumpai sputum 3 lapis
yaitu lapisan busa, lapisan purulen (hijau, kuning) dan lapisan mukoid.
Dapat juga dijumpai BE yang kering tidak banyak dahak, hal ini
tergantung pada lokasi BE, misalnya pada tempat yang alirannya baik.
Dengan mengitung volume dahak/24 jam dapat ditentukan berat
ringannya penyakit. Ellis dkk mengelompokkan BE menjadi BE
ringan (volume dahak <10 ml/hari), BE sedang (10-150 ml/hari) dan
BE berat (>150 ml/hari)
Batuk darah jarang terjadi pada BE kering, lebih banyak terjadi pada
BE dewasa. Gejala sesak napas banyak ditemukan pada BE luas yang
telihat pada gambaran foto toraks. Pemeriksaan fisik kadang tidak
dijumpai kelainan. Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik
tergantung pada luas, derajat dan ada tidaknya obstruksi saluran napas.
Pada auskultasi sering dijumpai ronki basah, biasanya pada basal paru
dan sering dijumpai jari tabuh.
Riwayat penyakit

Batuk dan produksi sputum mukopurulen selama beberapa bulan


sampai tahun merupakan gambaran yang spesifik. Gejala yang kurang
spesifik adalah dispneu, nyeri dada pleuritik, mengi, batuk darah,
demam, lemah dan kehilangan berat badan. BE kering
manifestasinya adalah batuk darah secara episodic dengan sedikit atau
tanpa sputum dan biasanya merupakan gejala sisa tuberkulosis dan
ditemukan pada lobus atas paru. Penderita mungkin secara episodik
terkena bronkitis atau infeksi paru sehingga terjadi eksaserbasi dalam
bentuk BE dan sering memerlukan antibiotik. Infeksi bakterial akut
biasanya terjadi karena peningkatan produksi sputum, peningkatan
kekentalan sputum dan tidak jarang menghasilkan sputum yang
berbau.
GAMBARAN KLINIS
Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis
tergantung pada luas dan beratnya penyakit, lokasi kelainannya dan
ada atau tidak adanya komplikasi lanjut. Ciri khas penyakit ini adalah
adanya batuk kronik disertai produksi sputum, adanya hemoptisis dan
pneumonia berulang. Gejala dan tanda klinis tersebut dapat demikian
hebat pada penyakit yang berat, dan dapat tidak nyata atau tanpa gejala
pada penyakit yang ringan.
Bronkiektasis yang mengenai bronkus pada lobus atas sering dan
memberikan gejala, sebagai berikut :
a. Batuk
Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk produktif
berlangsung kronik dan frekuensi mirip seperti pada bronkitis kronik,
jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak terutama pada
pagi hari sesudah ada perubahan posisi tidur atau bangun. Kalau tidak

ada infeksi sekunder sputumnya mukoid, sedang apabila terjadi infeksi


sekunder sputumnya purulen, dapat memberikan bau mulut yang tidak
sedap. Apabila terjadi infeksi sekunder oleh kuman anaerob akan
menimbulkan sputum sangat berbau busuk. Pada kasus yang ringan,
pasien dapat tanpa batuk atau hanya timbul batuk apabila ada infeksi
sekunder. Pada kasus yang sudah berat, misalnya pada sacular type
brokiektasis, sputum jumlahnya banyak sekali, purulen dan apabila
ditampung beberapa lama, tampak terpisah jadi tiga lapisan: 1. Lapisan
teratas agak keruh terdiri atas mukus, 2. Lapisan tengah jernih terdiri
atas saliva dan 3. Lapisan terbawah keruh terdiri atas nanah dan
jaringan nekrosis dari bronkus yang rusak.
b. Hemoptosis
Hemoptisis atau hemoptoe terjadi kira-kira pada 50% kasus
bronkiektasis. Keluhan ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi
mukosa bronkus mengenai pembuluh darah dan timbul perdarahan.
Perdarahan yang terjadi bervariasi mulai yang paling ringan sampai
perdarahan yang cukup banyak apabila nekrosis yang mengenai
mukosa amat hebat atau terjadi nekrosis yang mengenai cabang arteri
bronkialis (darah berasal dari peredaran darah sistemik).
Pada bronkiektasis kering, hemoptisis justru merupakan gejala satusatunya, karena jenis ini letaknya di lobus atas paru, drainasenya baik,
sputum tidak pernah menumpuk dan kurang menimbulkan reflek
batuk. Pasien tanpa batuk atau batuknya minimal. Dapat diambil
pelajaran, bahwa apabila kita menemukan kasus hemoptisis hebat
tanpa adanya gejala-gejala batuk sebelumnya atau tanpa kelainan fisis
yang jelas hendaknya diingat dry bronciektasis ini. Hemoptisis pada
bronkiektasis walaupun kadang-kadang hebat jarang fatal. Pada
tuberkulosis paru, bronkiektasis (sekunder) ini merupakan penyebab
utama komplikasi hemoptisis.
c. Sesak nafas (dispnea)
Pada sebagian besar pasien (50% kasus) ditemukan keluhan sesak
nafas. Timbul dan beratnya sesak nafas tergantung pada seberapa
luasnya bronkitis kronis yang terjadi serta seberapa jauh timbulnya
kolaps paru dan destruksi jaringan paru yang terjadi sebagai akibat
infeksi berulang (ISPA), yang bisanya menimbulkan fibrosis paru dan
emfisema yang menimbulkan sesak nafas tadi. Kadang-kadang
ditemukan wheezing, akibat adanya obstruksi bronkus. Wheezing
dapat lokal atau tersebar tergantung pada distribusi kelainannya.
d. Demam berulang

Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering


mengalami infeksi berulang pada bronkus maupun pada paru, sehingga
sering timbul demam.
Kelainan Fisik
Pada saat pemeriksaan fisis, mungkin pasien sedang mengalami batukbatuk dengan pengeluaran sputum, sesak nafas demam atau sedang
batuk darah. Tanda-tanda fisis umum yang dapat ditemukan meliputi
sianosis, jari tabuh, manifestasi klinis komplikasi bronkiektasis. Pada
kasus yang berat dan lebih lanjut dapat ditemukan tanda-tanda kor
pulmonal kronik maupun payah jantung kanan. Kelainan paru yang
timbul tergantung pada beratnya serta tempat kelainan bronkiektasis
terjadi dan kelainannya apakah lokal atau difus. Pada pemeriksaan fisis
paru, kelainannya harus dicari pada tempat predisposisi. Pada
bronkiektasis biasanya ditemukan ronkhi basah yang jelas pada lobus
bawah paru yang terkena dan keadaannya menetap dari waktu ke
waktu, atau ronkhi basah ini hilang sesudah pasien mengalami
drainase postural dan timbul lagi di waktu yang lain. Apabila bagian
paru yang diserang amat luas serta kerusakannya hebat, dapat
menimbulkan kelainan berikut: terjadi retraksi dinding dada dan
berkurangnya gerakan dada daerah yang terkena serta dapat terjadi
penggeseran mediastinum ke daerah paru yang terkena. Bila terdapat
komplikasi pneumonia akan ditemukan kelainan fisis sesuai dengan
pneumonia. Wheezing sering ditemukan apabila terjadi obstruksi
bronkus.
Sindrom Kartagener
Sindrom ini terdiri atas gejala-gejala berikut: (1) Bronkiektasis
kongenital, sering disertai dengan silia bronkus imotil, (2) Situs
invertus atau pembalikan letak organ-organ dalam, dalam hal ini
terjadi dekstrokardia, left sided gall bladder, left sided liver, right sided
spleen dan sebagainya, dan (3) Sinusitis paranasal atau tidak
terdapatnya sinus frontalis. Semua elemen gejala sindrom kartagener
ini adalah kelainan kongenital (suatu kebersamaan). Bagaimana
asosiasi tentang keberadaannya yang demikian ini belum diketahui
dengan jelas.
Bronkolitiasis
Kelainan ini merupakan kalsifikasi kelenjar limfe yang biasanya
merupakan gejala sisa kompleks primer tuberkulosis paru primer.

Kelainan ini bukan merupakan tanda klinis bronkiektasis. Kelainan ini


sering mengakibatkan erosi bronkus di dekatnya dan dapat masuk ke
dalam bronkus menimbulkan sumbatan dan infeksi. Selanjutnya
terjadilah bronkiektasis. Erosi dinding bronkus oleh bronkus tadi dapat
mengenai pembuluh darah di situ dan dapat merupakan penyebab
timbulnya hemoptisis hebat.
Kelainan Laboratorium
Umumnya tidak khas. Pada keadaan lanjut dan sudah mulai ada
insufisiensi paru dapat ditemukan polisitemia sekunder. Bila
penyakitnya ringan gambaran darahnya normal. Sering-sering
ditemukan anemia, yang menunjukkan adanya infeksi kronik, atau
ditemukannya leukositosis yang menunjukkan adanya infeksi
supuratif.
Urin umumnya normal, kecuali bila sudah ada komplikasi amiloidosis
akan ditemukan proteinuria. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan
langsung dapat dilakukan untuk menentukan kuman apa yang terdapat
dalam sputum. Pemeriksaan kultur sputum dan uji sensitivitas terhadap
antibiotik perlu dilakukan, apabila ada kecurigaan adanya infeksi
sekunder. Perlu segera dicurigai adanya infeksi sekunder apabila
misalnya dijumpai sputum pada hari-hari sebelumnya warnanya putih
jernih, yang berubah menjadi warna kuning atau hijau.
Kelainan Radiologis
Gambaran foto dada (plain film) pasien bronkiektasis posisi berdiri
sangat bervariasi, tergantung berat ringannya kelainan serta letak
kelainannya. Dengan gambaran foto dada tersebut kadang-kadang
dapat ditemukan kelainannya, tetapi kadang-kadang sukar. Gambaran
radiologis khas untuk bronkiektasis biasanya menunjukkan kista-kista
kecil dengan fluid level, mirip seperti gambraran sarang tawon pada
daerah yang terkena. Gambaran seperti ini hanya dapat ditemukan
pada 13% kasus. Kadang-kadang gambaran radiologis paru
menunjukkan adanya bercak-bercak pneumonia, fibrosis atau kolaps
(atelektasis), bahkan kadang-kadang gambaran seperti pada paru
normal (7% kasus). Gambaran bronkiektasis akan jelas pada
bronkogram.
Kelainan Faal Paru
Tergantung pada luas dan beratnya penyakit. Fungsi ventilasi dapat

masih normal bila kelainannya ringan. Pada penyakit yang lanjut dan
difus, kapasitas vital (KV) dan kecepatan aliran udara ekspirasi satu
detik pertama (FEV1) terdapat tendensi penurunan, karena terjadinya
obstruksi aliran udara pernafasan. Pada bronkiektasis dapat terjadi
perubahan gas darah berupa penurunan PaO2 derajat ringan sampai
berat, tergantung pada beratnya kelainan. Penurunan PaO2 ini
menunjukkan adanya abnormalitas regional (maupun difus) distribusi
ventilasi, yang berpengaruh pada perfusi paru.
Tingkatan Beratnya Penyakit
Tingkatan beratnya penyakit bervariasi mulai dari yang ringan sampai
berat. Brewis membagi tingkatan beratnya bronkiektasis menjadi
derajat ringan, sedang dan berat.
1. Bronkiektasis Ringan
Ciri klinis: batuk-batuk dan sputum warna hijau hanya terjadi sesudah
demam (ada infeksi sekunder), produksi sputum terjadi dengan adanya
perubahan posisi tubuh, biasanya ada hemoptisis sangat ringan, pasien
tampak sehat dan fungsi paru normal. Foto dada normal.
2. Bronkiektasis sedang
Ciri klinis: Batuk-batuk produktif terjadi tiap saat, sputum timbul
setiap saat (umumnya warna hijau dan jarang mukoid, serta bau mulut
busuk), sering-sering ada hemoptisis, pasien umumnya masih tampak
sehat dan fungsi paru normal, jarang terdapat jari tabuh. Pada
pemeriksaan fisis paru sering ditemukan ronkhi basah kasar pada
daerah paru yang terkena, gambaran foto dada boleh dikatakan masih
normal.
3. Bronkiektasis berat
Ciri klinis: Batuk-batuk produktif dengan sputum banyak berwarna
kotor dan berbau. Sering ditemukan adanya pneumonia dengan
hemoptisis dan nyeri pleura. Sering ditemukan jari tabuh. Bila ada
obstruksi saluran nafas akan dapat ditemukan adanya dispnea, sianosis
atau tanda kegagalan paru. Umumnya pasien mempunyai keadaan
umum kurang baik. Sering ditemukan infeksi piogenik pada kulit,
infeksi mata dan sebagainya. Pasien mudah timbul pneumonia,
septikemia, abses metastasis, kadang-kadang terjadi amiloidosis. Pada
pemeriksaan dapat ditemukan ronkhi basah kasar pada daerah yang
terkena. Pada gambaran foto dada ditemukan kelainan: (1)
penambahan bronchovascular marking, (2) multiple cysts containing
fluid levels (honey comb appearance).

Perjalanan Klinis Penyakit


Sesudah seseorang menderita bronkiektasis, perjalanan klinis penyakit
selanjutnya tergantung pada luasnya penyakit, efektivitas drainase
sputum dan efektivitas pengobatan infeksi. Kalau penyakitnya luas
atau pengobatannya tidak memuaskan, dapat timbul beberapa
komplikasi lanjut yang tidak menyenangkan. Apabila penyakit ini
berlanjut terus, keadaan umum pasien dapat menjadi sangat menurun.
Sebagai akibat daya tahan tubuh yang menurun mudah timbul infeksi
berulang, nafsu makan berkurang menimbulkan malnutrisi dan
sebagainya. Dalam keadaan yang sangat jarang, pada pasien dapat
timbul perubahan degeneratif yaitu terjadi amiloidosis.
II.7. DIAGNOSIS
Diagnosis pasti bronkiektasis dapat ditegakkan apabila telah
ditemukan adanya dilatasi dan nekrosis dinding bronkus dengan
prosedur pemeriksaan bronkografi dan melihat bronkogram yang
didapatkan. Bronkografi tidak selalu dapat dikerjakan pada tiap pasien
bronkiektasis, karena terikat oleh adanya indikasi, kontra indikasi,
sarat-sarat kapan melakukannya dan sebagainya. Oleh karena pasien
bronkiektasis umumnya memberikan gambaran klinis yang dapat
dikenal, penegakan diagnosis bronkiektasis dapat ditempuh melewati
proses diagnosis yang lazim dikerjakan di bidang kedokteran,
meliputi: (1) anamnesis, (2) Pemeriksaan fisis, (3) Pemeriksaan
penunjang, terutama pemeriksaan radiologik1,2.
Tanda-tanda penting :
1. Sputum dan napas berbau.
2. Rhonki (+).
3. Kadang disertai bunyi wheezing.
4. Jari tabuh.
5. Jantung dan trakea tertarik pada daerah yang terkena(IPD Kecil)
.
II.8. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit yang perlu diingat atau dipertimbangkan kalau kita
berhadapan dengan bronkiektasis:
1. Bronkitis kronis (ingatlah definisi klinik bronkitis kronik).
2. Tuberkulosis paru (penyakit ini dapat disertai kelainan anatomis
paru berupa bronkiektasis).
3. Abses paru (terutama bila telah ada hubungan dengan bronkus

besar).
4. Penyakit paru penyebab hemoptisis, misalnya: karsinoma paru,
adenoma paru dan sebagainya.
5. Fistula bronkopleural dengan empiema2,3.
II.9. KOMPLIKASI
Ada beberapa komplikasi bronkiektasis yang dapat dijumpai pada
pasien, antara lain:
1. Bronkitis kronik.
2. Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis. Bronkiektasis sering
mengalami infeksi berulang, biasanya sekunder terhadap infeksi pada
saluran nafas bagian atas, hal ini sering terjadi pada mereka yang
drainase sputumnya kurang baik.
3. Pleuritis. Komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya
pneumonia. Umumnya merupakan pleuritis sicca pada daerah yang
terkena.
4. Efusi pleura atau empiema (jarang).
5. Abses metastasis di otak. Mungkin akibat septikemia oleh kuman
penyebab infeksi supuratif pada bronkus. Sering menjadi penyebab
kematian.
6. Hemoptisis. Terjadi karena pecahnya pembuluh darah cabang vena
(arteri pulmonalis), cabang arteri bronkialis atau anastomosis
pembuluh darah. Komplikasi hemoptisis hebat dan tidak terkendali
merupakan indikasi tindakan bedah gawat darurat. Sering pula
hemoptisis masif yang sulit diatasi ini merupakan penyebab kematian
utama pasien bronkiektasis.
7. Sinusitis. Keadaan ini sering ditemukan dan merupakan bagian dari
komplikasi bronkiektasis pada saluran nafas.
8. Kor-pulmonal kronik (KPK). Komplikasi ini sering terjadi pada
pasien bronkiektasis yang berat dan lanjut atau mengenai beberapa
bagian paru. Pada kasus ini bila terjadi anastomosis cabang-cabang
arteri dan vena pulmonalis pada dinding bronkus (bronkiektasis, akan
terjadi arteriovenous shunt, terjadi gangguan oksigenasi darah, timbul
sianosis sentral, selanjutnya terjadi hipoksemia. Pada keadaan lanjut
akan terjadi hipertensi pulmonal, kor pulmonal kronik. Selanjutnya
dapat terjadi gagal jantung kanan.
9. Kegagalan pernafasan. Merupakan komplikasi paling akhir yang
timbul pada pasien bronkiektasis yang berat dan luas.
10. Amiloidosis. Keadaan ini merupakan perubahan degeneratif,

sebagai komplikasi klasik dan jarang terjadi. Pada pasien yang


mengalami komplikasi amiloidosis ini sering ditemukan pembesaran
hati dan limpa serta proteinuria.
II.10. PENGOBATAN
Pengobatan pasien bronkiektasis terdiri atas dua kelompok, yaitu
sebagai berikut :
Pengobatan Konservatif
1. Pengelolaan Umum
Pengelolaan umum ini ditujukan terhadap semua pasien bronkiektasis,
meliputi:
a. Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien. Contoh:
membuat ruangan hangat, udara ruangan kering,
mencegah/menghentikan merokok, mencegah atau menghindari debu,
asap dan sebagainya.
b. Memperbaiki drainase postural. Tindakan ini merupakan cara yang
paling efektif untuk mengurangi gejala, tetapi harus dikerjakan secara
terus-menerus. Pasien diletakkan dengan posisi tubuh sedemikian rupa
sehingga dapat dicapai drainase sputum secara maksimal. Tiap kali
melakukan drainase postural dikerjakan selama 10-20 menit dan tiap
hari dikerjakan 2-4 kali. Prinsip drainase postural ini adalah usaha
mengeluarkan sputum (sekret bronkus) dengan bantuan gaya gravitasi.
Untuk keperluan tersebut, posisi tubuh saat dilakukan drainase
postural harus disesuaikan dengan letak kelainan bronkiektasisnya.
Tujuan membuat posisi tubuh seperti yang dipilih tadi adalah untuk
menggerakkan sputum dengan pertolongan gaya gravitasi agar menuju
ke hilus paru bahkan mengalir sampai ke tenggorok sehingga mudah
dibatukkan keluar. Drainase postural tiap kali dikerjakan selama 10-20
menit atau sampai sputum tidak keluar lagi. Apabila dengan mengatur
posisi tubuh pasien seperti tersebut di atas belum diperoleh drainase
sputum secara maksimal dapat dibantu dengan tindakan memberikan
ketukan dengan jari pada pumggung pasien (Tabotage).
c. Mencairkan sputum yang kental. Hal ini dapat dilakukan dengan
jalan, misalnya: inhalasi uap air panas atau dingin (menurut
kesadaran), menggunakan obat-obatan mukolitik dan sebagainya.
d. Mengatur posisi tempat tidur pasien. Posisi tempat tidur pasien
sebaiknya diatur sedemikian rupa sehingga posisi tidur pasien dapat
memudahkan drainase sekret bronkus. Hal ini dapat dicapai misalnya
dengan mengganjal kaki tempat tidur bagian kaki pasien (disesuaikan

menurut kebutuhan) sehingga diperoleh posisi pasien yang sesuai


untuk memudahkan drainase sputum.
e. Mengontrol infeksi saluran nafas. Adanya infeksi saluran nafas akut
(ISPA) harus diperkecil dengan jalan mencegah pemajanan kuman.
Apabila telah ada infeksi (ISPA) harus diberantas dengan antibiotik
yang sesuai agar infeksi tidak berkelanjutan. Apabila ada sinusitis
harus disembuhkan.
2. Pengelolaan Khusus
a. Kemoterapi pada bronkiektasis
Kemoterapi pada bronkiektasis dapat digunakan: (1) secara kontinyu
untuk mengontrol infeksi bronkus (ISPA), (2) Untuk pengobatan
eksaserbasi infeksi akut pada bronkus/paru, (3) Atau keduanya.
Kemoterapi disini menggunakan obat antibiotik tertentu. Sebaiknya
harus berdasarkan hasil uji sensitivitas kuman terhadap antibiotik
secara empirik. Walaupun kemoterapi jelas kegunaannya pada
pengelolaan bronkiektasis, tidak setiap pasien harus diberikan
antibiotik. Antibiotik hanya diberikan kalau diperlukan saja, yaitu
apabila terdapat eksaserbasi infeksi akut. Antibiotik diberikan selama
7-10 hari, terapi tunggal atau kombinasi beberapa antibiotik sampai
kuman penyebab infeksi terbasmi atau sampai terjadi konversi warna
sputum yang semula berwarna kuning/hijau menjadi mukoid (putih
jernih). Selanjutnya ada yang memberikan dosis pemeliharaan. Ada
yang berpendapat bahwa kemoterapi dengan antibiotik ini apabila
berhasil akan dapat mengurangi gejala batuk, jumlah sputum dan
gejala lainnya terutama pada saat ada eksaserbasi infeksi akut, tetapi
keadaan ini hanya bersifat sementara.
b. Drainase sekret dengan bronkoskop
Cara ini penting dikerjakan terutama pada permulaan perawatan
pasien. Keperluannya adalah antara lain untuk: (1) menentukan dari
mana asal sekret (sputum), (2) mengidentifikasi lokasi stenosis atau
obstruksi bronkus, (3) menghilangkan obstruksi bronkus dengan
suction drainage daerah obstruksi tadi (misalnya pada pengobatan
atelekasis paru).
3. Pengobatan Simptomatik
Pengobatan ini hanya diberikan kalau timbul simptom yang mungkin
mengganggu atau membahayakan pasien.

ABSES PARU
Abses paru adalah pengumpulan setempat cairan terinfeksi, berupa pus
atau jaringan nekrotik supuratif, dalam suatu kaviti yang terbentuk
akibat penghancuran jaringan sekitarnya (parenkim paru). Defnisi
abses paru tidak termasuk pengumpulan pus dalam ruang atau rongga
yang sudah ada sebelumnya seperti kista bronkogenik terinfeksi atau
bula.
Abses paru dapat terjadi secara akut atau kronik. Abses paru akut
terjadi dalam 2 minggu atau kadang lebih yang disebabkan oleh infeksi
bakteri aerob yang virulen sedang abses paru kronik terjadi dalam
waktu lebih dari 4-6 minggu dengan penyakit dasar neoplasma atau
infeksi dengan bakteri yang kurang virulen dan anaerob.
Etiologi
Penyebabnya adalah infeksi bakteri pyogenik terutama anaerob,
mikobakteria, jamur, parasit dan komplikasi penyakit paru lain seperti
keganasan primer atau metastasis. Saat ini abses paru lebih banyak
disebabkan oleh kuman anaerob (89%) dan aspirasi materi orofaring
merupakan penyebab tersering. Bakteri anaerob tersering adalah
Peptostreptococcus,
Bacterioides,
Fusabacterium
dan
Microaerophylic streptococcus. Penyebab abses lain adalah parasit
(Paragonimus, Entamoeba), jamur (Aspergillus, Criptococcus,
Histoplasma, Blastomyces, Coccidioides) dan Mycobacterium.
Penyakit dasar neoplasma yang tersering adalah kanker paru jenis sel
squamosa.
Faktor predisposisi
Faktor predisposisi terbentuknya abses paru adalah keadaan sebagai
berikut: kebersihan gigi buruk, seizure disorder, pengguna alcohol dan
pengguna obat. Pasien lain yang berisiko terbentuk abses paru yaitu:
Individu dengan penurunan kesadaran, koma, anestesi umum dan
sedasi
Pasien dengan gangguan paru priimer seperti emboli septic yang
berasal dari endokarditis tricuspid, gangguan vaskulitis, keganasan
paru dengan kaviti, penyakit kistik paru penyakit esophageal seperti
akalasia, refluks, penurunan reflex batuk dan vagal serta obstruksi
esophageal.
Individu dengan keadaan immunocompromised seperti kemoterapi
steroid, malnutrisi dan trauma multiple.

Pathogenesis
Patogenesis abses merupakan paduan interaksi agen infeksius
(terutama bakteri anaerob) dengan berbagai faktor predisposisi abses
melalui mekanisme aspirasi sehingga berbagai materi infeksius masuk
ke dalam paru. Aspirasi merupakan penyebab tersering. Aspirasi
materi orogingival yang mengandung sejumlah besar bakteri akan
berperan dalam pembentukan abses paru terutama bila jumlah bakteri
meningkat akibat kebersihan gigi buruk atau penyakit gusi. Tidak
semua pasien dengan faktor risiko aspirasi akan membentuk abses
paru, faktor lain khususnya penyakit komorbid dan kerusakan sistem
pertahanan tubuh juga berperan penting terhadap pembentukan abses
paru. Aspirasi sejumlah besar bakteri anaerob dan kombinasi multipel
mikroorganisme dapat menyebabkan necrotizing pneumonitis yang
secara progresif dapat membentuk abses paru. Infeksi primer atau
reaktivasi Nocardia sp, Actinomyces dan mycobacteria dapat
menstimulasi pembentukan abses paru primer.
Lokasi terbentuknya abses ditentukan oleh gravitasi dan posisi tubuh
saat terjadi aspirasi. Posisi terbanyak saat aspirasi terutama pada posisi
tegak dan posisi terlentang (supine) sehingga abses paru secara khas
menempati lokasi pada segmen basal dan superior lobus bawah dan
segmen posterior lobus atas terutama pada paru kanan.
Diagnosis
manifestasi klinik abses paru mungkin mirip dengan gejala awal
pneumonia atau kondisi penyakit dasar yang lain. Secara perlahanlahan akan muncul gejala demam, batuk produktif, kehilangan berat
badan, nyeri dada, rasa berat di dada dan malaise. Gejala paling
spesifik dan petanda patognomonik infeksi kuman anaerob adalah
napas berbau atau sputum berbau busuk meskipun hanya ditemukan
pada 50-60% pasien. Hemoptisis didapatkan pada 25% pasien. Infeksi
oleh jamur, Nocardia dan Mycobacteria perjalanan penyakit
cenderung lambat dan secara perlahan terjadi perburukan gejala.
Hasil pemeriksaan fisik dapat bervariasi dan berhubungan dengan
kondisi penyakit sekunder yang mendasari misalnya pneumonia atau
efusi pleura. Juga bergantung pada mikroorganisme yang terlibat, berat
dan perluasan penyakit serta kondisi komorbid yang ada. Demam
terjadi pada 60-90% pasien. Suhu badan rendah ditemukan pada
infeksi anaerob sedang suhu yang tinggi (>38,5 oC) terjadi pada infeksi
mikroorganisme lainnya dan biasanya terdapat bukti penyakit gusi.
Apabila terjadi konsolidasi akan ditemukan penurunan suara napas,

perkusi paru redup, suara napas bronchial dan ronki saat inspirasi.
Setelah kaviti terbentuk dapat muncul suara napas amforik pada
daerah paru yang terkena. Pada abses paru kronik akan
memperlihatkan clubbing fingers (jari tabuh), efusi pleura dan
kakeksia. Jari tabuh dapat terjadi pada 20% pasien.
Laboratorium darah dapat ditemukan lekositosis, peningkatan laju
endap darah (LED) dan pergeseran hitung jenis ke kiri. Foto toraks
secara khas memperlihatkan kaviti dengan bentuk tak teratur dengan
gambaran air-fluid level. Diagnosis dibuat paling banyak berdasarkan
pemeriksaan foto toraks. Kelainan radiologis yang sama dapat terlihat
pada cairan yang terdapat pada kista atau bleb berisi cairan. Abses di
perifer dengan foto toraks biasa kemungkinan sulit dibedakan dengan
empiema terlokalisir dengan fistula bronkopleural sehingga diperlukan
pemeriksaan CT-scan toraks.
Diagnosis penyebab spesifik abses paru tergantung pada pemeriksaan
mikrobiologi. Kultur sputum yang dibatukkan tidak dapat digunakan
untuk konfirmasi karena kemungkinan kontaminasi kuman gram
negative dan Staphylococcus aureus yang berkolonisasi di orofaring
sehingga kultur sputum sulit dipercaya dalam menentukan kuman
penyebab. Untuk memperoleh hasil analisis mikrobiologi yang bebas
kontaminasi bisa dilakukan kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar
lavage=BAL),
protected
specimens
bronchoscopy
(PSB),
transthoracal aspiration (TTA), percutaneus lung aspiration dan
percutaneus transtracheal aspiration.
Penatalaksanaan meliputi pemberian antibiotik yang tepat, fisioterapi
dengan drainase postural dan tindakan bedah dilakukan pada kasus
yang tidak respons dengan pengobatan yang intensif, lama atau dengan
komplikasi hemoptisis, empiema atau keganasan.
Antibiotic
Pemberian antimikroba yang tepat merupakan terapi utama. Pemilihan
antibiotik yang tepat bergantung pada sumber infeksi dan hasil
pemeriksaan pewarnaan gram dan kultur spesimen sputum tidak
terkontaminasi. Sambil menunggu hasil kultur, agar terapi lebih
efektif, diberikan terapi beradasarkan data empiris dan terutama
ditujukan untuk melawan bakteri anaerob sebagai penyebab terbesar
abses paru. Lama terapi tergantung pada respons klinis dan radiologis
pasien, bisa diberikan 4-6 minggu kemudian dilanjutkan sampai
didapatkan perbaikan klinis dan radiologis. Pada tahap awal diberikan
antibiotik intravena sampai pasien tidak demam dan menunjukkan

perbaikan klinis (4-8 hari) diikuti terapi oral 6-8 minggu. Bila respons
terapi buruk, perlu dipertimbangkan penyebab lain misalnya obstruksi
benda asing, keganasan, infeksi bakteri resisten, mikobakteria atau
jamur.
Fisioterapi
Fisioterapi dada terdiri atas latihan pernapasan, latihan batuk, perkusi
dada, dan drainase postural. Drainase postural akan membantu pasien
membersihkan materi purulen sehingga mengatasi gejala dan
memperbaiki pertukaran gas. Fisioterapi sebaiknya dikerjakan pada
semua pasien terutama pasien dengan produksi sputum yang banyak
dan ukuran air-fluid level yang besar.
Drainase perkutan
Dilakukan apabila tidak berhasil dengan terapi medis dan drainase
postural. Tindakan lebih mudah bila abses terletak di perifer. Untuk
meningkatkan keberhasilan terapi, tindakan ini dapat dipandu dengan
CT-scan toraks, fluoroskopi atau ultrasonografi (USG). Antibiotik
intravena sebaiknya tetap dilanjutkan selama dan setelah drainase
perkutan. Indikasi khusus drainase perkutan adalah tension abses yaitu
perubahan mediastinal, pergeseran fisura, pergerakan diafragma ke
bawah, kontaminasi paru kontralateral, tanda sepsis setelah 72 jam
pemberian antibiotik, ukuran abses lebih dari 4 cm, peningkatan
ukuran abses, peningkatan fluid level dan ketergantungan ventilator
yang persisten.
Bronkoskopi
Dahulu bronkoskopi merupakan salah satu standar prosedur
penatalaksanaan abses paru. Saat ini bronkoskopi tidak lagi merupakan
prosedur rutin namun terapi alternative pada pasien dengan gambaran
klinis tidak khas, curiga keganasan atau mengambil benda asing yang
menyebabkan obstruksi.
Pembedahan
Sebelum era antibiotik ditemukan sebagai terapi abses paru, terapi
bedah sangat luas digunakan namun sekarang hanya sekitar 10%.
Intervensi bedah berupa reseksi atau lobektomi biasanya dilakukan
bila terdapat komplikasi misalnya ukuran abases > 6 cm, hemoptisis
massif, empiema, obstruksi bronchial, fistel bronkopleural, kecurigaan
kanker secara klinis dan kegagalan terapi konservatif (4-6 minggu).

ARUS PUNCAK EKSPIRASI atau Peak Expiratory Flow


(PEF)

Arus Puncak Ekspirasi (APE) atau Peak Expiratory Flow atau ada juga
yang menyebut Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) adalah kecepatan
ekspirasi maksimal yang bisa dicapai oleh seseorang, dinyatakan
dalam liter per menit (L/menit) atau liter per detik (L/detik). Nilai
APE didapatkan dengan pemeriksaan spirometri atau menggunakan
alat yang lebih sederhana yaitu peak expiratory flow meter (PEF
meter).
Alat ini mudah dibawa, tidak perlu sumber listrik dan harganya relatif
murah sehingga memungkinkan tersedia di berbagai tingkat layanan
kesehatan.

Laki-laki: PEFR (L/dtk) = - 10,86040 + 0,12766 x Umur +


0,11169 x TB - 0,0000319344 x Umur3 + 1,70935

Perempuan: PEFR (L/dtk) = - 5,12502 + 0,09006 x Umur +


0,06980 x TB - 0,00145669 x Umur2 + 1,77692

Keterangan:
- Umur dengan satuan tahun, TB (tinggi badan) dengan satuan cm
- Bila menginginkan hasil dengan satuan L/menit, hasil perhitungan
dikali 60
Manfaat APE dalam diagnosis asma:
Reversibilitas, yaitu perbaikan nilai APE > 15% setelah
inhalasi bronkodilator (disebut uji bronkodilator), atau
bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi kortikosteroid
(inhalasi/oral selama 2 minggu).
Variabilitas, menilai variasi diurnal APE yang dikenal sebagai
variabilitas APE harian selama 1-2 minggu. Variabilitas juga
dapat digunakan untukl menilai derajad berat penyakit
PEF
meter
relatif mudah digunakan baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya
tersedia di rumah untuk memantau keadaan asmanya. Nilai APE tidak
selalu berkorelasi dengan hasil pemeriksaan faal paru lainnya, selain
itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat beratnya
obstruksi. Karena itu pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan
dengan nilai terbaik sebelumnya (bukan nilai prediksi normal), kecuali
tidak diketahui nilai terbaik penderita yang bersangkutan.
Nilai prediksi normal faal paru setiap orang dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti gender, tinggi badan, berat badan usia, ras, dan lain-lain.
Tim Pneumobile Project Indonesia pada tahun 1992 melakukan
penelitian nilai faal paru rata-rata orang Indonesia. Salah satu hasil
penelitian tersebut adalah tabel nilai normal PEFR orang Indonesia.
Bila tidak tidak tersedia tabel tersebut, kita bisa menggunakan rumus
sebagai berikut:

Anda mungkin juga menyukai