Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura
melalui kapiler pada pleura parietalis tetapi cairan ini segera direabsorpsi
oleh saluran limfe, sehingga terjadi keseimbangan antara produksi dan
reabsorpsi, tiap harinya diproduksi cairan kira-kira 16,8 ml (pada orang
dengan berat badan 70 kg). Kemampuan untuk reabsorpsinya dapat
meningkat sampai 20 kali. Apabila antara produk dan reabsorpsinya tidak
seimbang (produksinya meningkat atau reabsorpsinya menurun) maka akan
timbul efusi pleura.
Diketahui bahwa cairan masuk kedalam rongga melalui pleura parietal dan
selanjutnya keluar lagi dalam jumlah yang sama melalui membran pleura
parietal melalui sistem limfatik dan vaskular. Pergerakan cairan dari pleura
parietalis ke pleura visceralis dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan
hidrostatik dan tekanan koloid osmotik. Cairan kebanyakan diabsorpsi oleh
sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang diabsorpsi oleh sistem kapiler
pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan pada pleura visceralis
adalah terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel-sel mesothelial.
Akumulasi cairan pleura dapat terjadi bila:
1. Meningkatnya tekanan intravaskuler dari pleura meningkatkan
pembentukan cairan pleura melalui pengaruh terhadap hukum
Starling.Keadaan ni dapat terjadi pada gagal jantung kanan, gagal jantung
kiri dan sindroma vena kava superior.
2. Tekanan intra pleura yang sangat rendah seperti terdapat pada atelektasis,
baik karena obstruksi bronkus atau penebalan pleura visceralis
3. Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura dapat menarik lebih
banyak cairan masuk ke dalam rongga pleura
4. Hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal bisa menyebabkan
transudasi cairan dari kapiler pleura ke arah rongga pleura
5. Obstruksi dari saluran limfe pada pleum parietalis. Saluran limfe
bermuara pada vena untuk sistemik. Peningkatan dari tekanan vena sistemik
akan menghambat pengosongan cairan limfe.
ETIOLOGI
A. Berdasarkan Jenis Cairan
Kalau seorang pasien ditemukan menderita efusi pleura, kita harus berupaya
untuk menemukan penyebabnya. Ada banyak macam penyebab terjadinya
pengumpulan cairan pleura. Tahap yang pertama adalah menentukan apakah
pasien menderita efusi pleura jenis transudat atau eksudat. Efusi pleura
transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang mempengaruhi pembentukan
dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan.
Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi
pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran kadar
Jernih
< 1,016
Sedikit
PMN < 50%
Negatif
60 mg/dl (= GD
plasma)
< 2,5 g/dl
< 0,5
< 200 IU/dl
< 0,6
Jernih, keruh,
berdarah
< 1,016
Banyak (> 500
sel/mm2)
PMN < 50%
Negatif
60 mg/dl (bervariasi)
< 2,5 g/dl
< 0,5
< 200 IU/dl
< 0,6
karena sekresi cairan yang banyak oleh tumornya dimana efusi pleuranya
terjadi karena cairan asites yang masuk ke pleura melalui porus di diafragma.
Klinisnya merupakan penyakit kronis.
5. Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi
unilateral ataupun bilateral. Perpindahan cairan dialisat dari rongga
peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma. Hal ini terbukti
dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan cairan dialisat.
c. Darah
Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb
pada hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah
hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini
mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya diambil
oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka biasanya
darah tersebut berasal dari trauma dinding dada.
B. Berdasarkan Kuman Penyebab
1. Mycobacterium Tuberculosis
a. Bakteriologi
Penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini adalah sejenis
kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 mm dan tebal 030,6 mm. Kuman ini tahan terhadap asam dikarenakan kandungan asam lemak
(lipid) di dindingnya. Kuman ini dapat hidup pada udara kering maupun
dingin. Hal ini karena kuman berada dalam sifat dormant yang suatu saat
kuman dapat bangkit kembali dan aktif kembali.
Kuman ini hidup sebagai parasit intraseluter didalam sitoplasma makrofag.
Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya karena
banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini
menunjukan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi
kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal
paru-paru lebih tinggi daripada bagian lain, sehingga bagian apikal ini
merupakan predileksi penyakit tuberkulosis.
b. Patogenesis
Tuberkulosis Primer
Penularan terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersihkan keluar menjadi
droplet nudei dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung dari ada
tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik dan kelembaban. Dalam
suasana lembab dan gelap, kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulanbulan. Bila partikel infeksi terhisap oleh oang sehat, ia akan menempel pada
jalan napas atau paru-paru. Kuman dapat masuk lewat luka pada kulit atau
mukosa tapi hal ini sangat jarang terjadi.
Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TBC BTA positif.
Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada,
untuk mendukung diagnosis TBC.
Bila hasil rontgen tidak mendukung TBC, penderita tersebut bukan TBC.
e. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda infiltrat : redup, bronkial
Dahak di saluran napas : ronki basah, ronki kering
Penyempitan : wheezing, penarikan, pendorongan, kaviitas, atelektase
Efusi, pnemotoraks dan schwarte
Tanda-tanda kelainan ekstra paru seperti scrofuloderma, gibus,
osteomiditis, meningitis dan lain-lain.
f. Komplikasi TBC
Efusi pleura
Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) yang direkomendasikan
oleh WHO yang terdiri dari lima komponen yaitu:
1. Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambil keputusan
dalam penanggulangan TB.
Etiologi
1. Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya
bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor
mediatinum, sindroma meig (tumor ovarium) dan sindroma vena
kava superior.
2. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis,
pneumonia, virus), bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang
menembus ke rongga pleura, karena tumor dimana masuk cairan
berdarah dan karena trauma. Di Indonesia 80% karena tuberculosis.
1.
Efusi pleura TB dapat terjadi dengan tanpa dijumpainya kelainan radiologi
toraks. Ini merupakan sekuele dari infeksi primer dimana efusi pleura TB
biasanya terjadi 6-12 minggu setelah infeksi primer, pada anak-anak dan
orang dewasa muda.
30,36
Efusi pleura TB ini diduga akibat pecahnya fokus perkijuan subpleura paru
sehingga bahan perkijuan dan kuman M. TB masuk ke rongga pleura dan
terjadi interaksi dengan Limfosit T yang akan menghasilkan suatu reaksi
hipersensitiviti tipe lambat. Limfosit akan melepaskan limfokin yang akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas dari kapiler pleura terhadap protein
yang akan menghasilkan akumulasi cairan pleura.
30,35,36,37
Cairan efusi umumnya diserap kembali dengan mudah. Namun terkadang
bila terdapat banyak kuman didalamnya, cairan efusi tersebut dapat menjadi
purulen, sehingga membentuk empiema TB.
36
2.Cairan yang dibentuk akibat penyakit paru pada orang dengan usia lebih
lanjut. Jarang, keadaan seperti ini bila berlanjut menjadi nanah (empiema).
36
Efusi pleura ini terjadi akibat proses reaktivasi yang mungkin terjadi jika
penderita mengalami imuniti rendah.
37
3.Efusi yang terjadi akibat pecahnya kavitas TB dan keluarnya udara ke
dalam rongga pleura. Keadaan ini memungkinkan udara masuk ke dalam
ruang antara paru dan dinding dada. TB dari kavitas yang memecah
mengeluarkan efusi nanah (empiema). Udara dengan nanah bersamaan
disebut piopneumotoraks.
36
2.4. Aspek Imunologis
2.4.1. Sitokin
Sitokin merupakan golongan protein yang diproduksi oleh makrofag,
eosinofil, sel mast, sel endotel, epitel, limfosit B, dan T yang diaktifkan yang
semuanya ini masuk dalam golongan protein sistem imun yang mengatur
interaksi antar sel yang memacu reaktivitas imun,baik pada imuniti nonspesifik maupun spesifik.
38
Sitokin yang penting pada imuniti spesifik:
1.IL-2
Sekresi berasal dari Sel T.Berperan dalam proliferasi sel T, prom
osi AICD, aktivasi dan proliferasi sel NK, proliferasi sel B.
2.IL-4
Sekresi berasal dari Th2, sel mast. Berperan dalam mempromosikan
diferensiasi Th2, pengalihan isotop ke IgE.
3.IL-5
Sekresi berasal dari Th2. Berperan dalam aktivasi dan pembentukan
eosinofil.
4.TGF-
Sekresi berasal dari sel T, makrofag, dan jenis sel lainnya. Sitokin ini
menghambat proliferasi dan fungsi efektor sel T, menghambat proliferasi sel
B, promosi pengalihan isotop ke IgA, menghambat makrofag.
5.IFN-
Sekresi berasal dari Th1, CD8+, sel NK. Sitokin ini bekerja mengaktivasi
makrofag, meningkatkan ekspresi MHC-I dan MHC-II, dan meningkatkan
presentasi Ag.Sitokin-sitokin ini dapat memberikan lebih dari satu efek
terhadap berbagai jenis sel (pleitropik).
38
Gambar 1. Aktifitas pleotropik IFN
Aktivasi makrofag yang diinduksi IFN
sangat berperan pada inflamasi kronis.
Sitokin tersebut disekresi sel Th1, sel
NK dan sel Tc dan bekerja terhadap
berbagai jenis sel.
38
Universitas
Sumatera
Utara
2.4.2. Efek Biologik Sitokin
Efek biologik sitokin timbul setelah d
iikat oleh reseptor spesifiknya yang
diekspresika
n pada membran sel organ sasaran. Pada imuniti nospesifik, sitokin
diproduksi makrofag dan sel NK, berper
an pada inflamasi dini, merangsang
proliferasi, diferensiasi dan aktivasi sel ef
ektor khusus seperti ma
krofag. Pada imuniti
spesifik sitokin yang diproduksi sel T mengak
tifkan sel-sel imun spesifik
(Gambar 2).
38
is toraks me
nurut kriteria
American
Thoracic Society
(ATS), TB paru dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu lesi
minimal, lesi sedang, dan lesi luas.
46
Sedangkan efusi pleura TB pada pemeriksaan
radiologis toraks posisi
Posterior Anterior
(PA) akan menunjukkan gambaran
konsolidasi homogen dan meniskus, de
ngan sudut kostophrenikus tumpul,
pendorongan trakea dan mediastinum
ke sisi yang berlawanan.
30
2.6.1. Apusan dan Kultur Sputum, Cairan Pleura dan Jaringan Pleura
Diagnosis pasti dari efusi pleura TB
dengan ditemukan basil TB pada sputum,
cairan pleura dan jaringan pleura.
30
Pemeriksaan apusan cairan pleura secara
ZiehlNielsen
(ZN) walaupun cepat dan tidak mahal akan tetapi sensitivitinya rendah
sekitar 35%.
10,43,44,51
Pemeriksaan apusan secara ZN ini memerlukan konsentrasi
basil 10.000/ml dan pada cairan pleura pe
rtumbuhan basil TB biasanya sejumlah
kecil. Sedangkan pada kultur cairan pleura lebih sensitif yaitu 11-50% karena
pada
kultur diperlukan 10-100 basil TB. Akan tetapi kultur memerlukan waktu
yang lebih
lama yaitu sampai 6 minggu untuk menumbuhkan M.TB.
2.6.2. Biopsi Pleura
Biopsi pleura merupakan suatu tinda
kan invasif dan me
merlukan suatu
pengalaman dan keahlian yang baik kare
na pada banyak kasus, pemeriksaan
glukosa cairan pleura yang menurun, namun pada penelitian baru-baru ini
menunjukkan kebanyakan pasien dengan efusi pleura TB mempunyai kadar
glukosa diatas 60 mg/dl.Kadar pH cairan pleura yang rendah dapat kita
curigai suatu efusi pleura TB. Kadar CRP cairan pleura lebih tinggi pada
efusi pleura TB dibandingkan dengan efusi pleura eksudatif lainnya
KRITERIA SIRS DAN SEPSIS
SIRS adalah respon inflamasi sistemik terhadap suatu kondisi klinis yang
ditandai oleh 2 atau lebih gejala berikut ini
Suhu >38oC atau <36oC
Denyut Nadi >90 kali per menit
Respirasi >20 kali per menit
PaCo2 <32 mmHg
WBC Count >12.000 cells/mm3, <4.000 cells/mm3 atau >10% band cells
SEPSIS adalah adanya SIRS yang disebabkan oleh proses infeksi yang
dibuktikan dengan pemeriksaan kultur darah ataupun dengan pemeriksaan
prokalsitonin
Dikatakan SEPSIS Berat bila terdapat hipotensi yang berat atau tanda
sistemik hipoperfusi (asidosis laktat, oligouria, perubahan status mental)
Sumber : Critical Care And Cardiac Medicine_Current Medical Strategies;
Matthew Brenner, MD, p-67; 2006
Diagnostic Criteria for Sepsis
Infection,a documented or suspected, and some of the following: b
General variables
Heart rate >90 /min or >2 SD above the normal value for age
Tachypnea
SvO2 >70%b
sepsis berat dan syok septik digunakan untuk menghitung besarnya sistemik reaksi
References:
radang. Pasien dengan sepsismemiliki bukti dari infeksi, serta sistemik tanda-tanda dari
tanda-tanda disfungsi organ disebut sepsisberat. Syok septik memerlukan kehadiran di
atas, terkait dengan bukti-bukti yang lebihsignifikan jaringan hipoperfusion dan
hipotensi sistemik. Di samping hipotensi, maldistribusidari aliran darah dan shunting di
mikrosirkulasi, lebih lanjut yaitu terganggunya pengirimannutrisi untuk jaringan sekitar.
disebut penyakit infeksi yang terjadi jejas sehingga timbul reaksi inflamasi. Meskipun
11
dasarproses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas
jejas dan reaksitubuh. Inflamasi akut dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala
sepsisbiasanya akan menjadi jelas dan meminta inisiasi perawatan sebelum konfirmasi
sistemik.Inflamasi ialah reaksi jaringan vaskuler terhadap semua bentuk jejas. Pada
dasarnyainflamasi adalah suatu reaksi pembuluh darah, syaraf, cairan dan sel tubuh di
tempat jejas.Inflamasi akut merupakan respon langsung yang dini terhadap agen
atau hipotensi mungkin ditemukan.Karena hal-hal ini maka kita harus agresif mencari
penyebab jejas dan kejadianyang berhubungan dengan inflamasi akut sebagian besar
inspeksi dari semua luka, evaluasi kateter infus ataubadan-badan asing lainnya,
Pemeriksaan Penunjang
SIRS, sepsis dan syok septicbiasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus
Penatalaksanaan
untuk diagnosis sepsis dalam dewasa dirawat di rumah sakit. Kriteria ini meliputi
manifestasi daripejamu menanggapi infeksi, selain identifikasi organisme. Istilah sepsis,
Antibiotik
2.1.1. Definisi
Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba yang dapat
menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain (Gunawan, Setiabudy,
Nafrialdi, Elysabeth, 2007).
2.1.2. Aktivitas dan spektrum
Antibiotik mempunyai aktivitas spektrum sempit dan luas. Antibiotik
spektrum yang luas aktif terhadap banyak spesies bakteri manakala antibiotik
spektrum sempit hanya aktif terhadap satu atau beberapa bakteri (Dawson,
Taylor,
Reide, 2002). Antibiotik spektrum sempit seperti penisilin8G, eritromisin dan
klindamisin hanya bekerja terhadap bakteri gram positif manakala
streptomisin,
gentamisin dan asam nalidiksat khusus aktif terhadap bakteri gram negatif.
Antibiotik spektrum luas seperti sulfonamida, ampisilin dan sefalosporin
bekerja
terhadap lebih banyak bakteri gram positif maupun gram negatif (Tan,
Rahardja,
2007).
2.1.3. Mekanisme kerja
Antibiotik menghambat mikroba melalui mekanisme yang berbeda yaitu
(1) mengganggu metabolisme sel mikroba; (2) menghambat sintesis dinding
sel
mikroba; (3) mengganggu permeabilitas membran sel mikroba; (4)
menghambat
sintesis protein sel mikroba; dan (5) menghambat sintesis atau merusak asam
nukleat sel mikroba.
Antibiotik yang menghambat metabolisme sel mikroba ialah sulfonamid,
trimetoprim, asam p8aminosalisilat (PAS) dan sulfon. Dengan mekanisme
kerja
ini diperoleh efek bakteriostatik.
Universitas
Sumatera
Utara
16
Antibiotik yang merusak dinding sel mikroba dengan menghambat sintesis
enzim atau inaktivasi enzim, sehingga menyebabkan hilangnya viabilitas dan
sering menyebabkan sel lisis meliputi penisilin, sepalosporin, sikloserin,
vankomisin, ristosetin dan basitrasin. Antibiotik ini menghambat sintesis
dinding
Enterobacteriaceae
dan kadang8kadang peudomonas. Termasuk di sini
adalah sefoksitin (termasuk suatu antibiotik sefamisin), sefotaksim dan
moksalatam.
8
Generasi keempat adalah terdiri dari
cefepime
.
Cefepime
mempunyai
spektrum antibakteri yang luas yaitu aktif terhadap
streptococci
dan
staphylococci
(Harvey, Champe, 2009).
3. Golongan tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan antibiotik spektrum luas yang bersifat
bakteriostatik yang menghambat sintesis protein. Golongan ini aktif terhadap
banyak bakteri gram positif dan gram negatif. Tetrasiklin merupakan obat
pilihan
bagi infeksi
Mycoplasma pneumonia
,
chlamydiae
dan
rickettsiae
. Tetrasiklin
diabsorpsi di usus halus dan berikatan dengan serum protein. Tetrasiklin
didistribusi ke jaringan dan cairan tubuh yang kemudian diekskresi melalui
urin
dan empedu (Katzung, 2007).
4. Golongan aminoglikosida
Aminoglikosida termasuk streptomisin, neomisin, kanamisin dan
gentamisin. Golongan ini digunakan untuk bakteri gram negatif enterik.
Aminoglikosida merupakan penghambat sintesis protein yang ireversibel
(Katzung, 2007).
5. Golongan makrolida
Golongan makrolida hampir sama dengan penisilin dalam hal spektrum
antikuman, sehingga merupakan alternatif untuk pasien8pasien yang alergi
penisilin. Bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Antara obat
dalam
EMPIEMA
Tes Rivalta
Protein
Rasio dengan
plasma
Berat jenis
Laktat
dehidrogenase
(LDH)
Rasio dengan LDH
plasma
Lekosit
Eksudat
Positif
> 3 g/dL
> 0,5
< 1,016
< 200 IU
> 1,016
> 200 IU
< 0,6
> 0,6
<
50% > 50% limfosit (TB,
limfosit
/ keganasan)
mononuclear
> 50% polimorfonuklear
(radang akut)
pH
Glukosa
> 7,3
< 7,3
=
glukosa < glukosa darah (< 40)
darah
dapat memberikan hasil yang baik pada cairan empiema stadium awal
ketika pleura parietal dan visceral masih dapat bergerak bebas,
viskositas rendah, jumlah sel darah putih sedikit dan belum terjadi
adesi pleura.
Antibiotik yang sesuai untuk terapi tunggal yaitu golongan betalaktam
dengan penghambat beta laktamase (seperti amoksisilin-klavulanat,
tikarsilin-klavulanat,
piperasilin-tazobaktam
atau
ampisilinsulbaktam), golongan quinolon dan imipenem atau meropenem. Obat
golongan sefalosporin perlu ditambah dengan metronidazol atau
klindamisin jika dicurigai terdapat bakteri anaerob. Antibiotic
diberikan selama 2-4 minggu, dapat diperpanjang bila drainase tidak
maksimal. Selama pemberian antibiotik perlu dipantau keadaan klinis
dan laboratorium.
Torasentesis
Untuk menentukan lokasi torasentesis dapat digunakan USG toraks
sebagai guide marker, namun jika tidak ada maka foto toraks dan
perkusi dinding dada dapat pula dijadikan pedoman. Tindakan
selanjutnya berupa asepsis, anestesi daerah tindakan serta penyedotan
cairan pleura dengan menggunakan jarum dan kateter.
Fibrinolisis cairan pleura
Selain antibiotik dapat pula diberikan terapi fibrinolisis cairan pleura
dengan injeksi streptokinase 250.000 IU 2 kali sehari atau urokinase
100.000 IU sekali sehari melalui drainase yang sudah terpasang
sehingga diharapkan dapat membatasi terbentuknya lokulasi pleura.
Terapi ini sekarang sudah mulai ditinggalkan karena dapat
menimbulkan efek sistemik seperti panas, lemas dan leukositosis.
Penyaliran selang dada / Water Seal Drainage (WSD)
Keputusan kapan kita akan menggunakan WSD berdasarkan pada
karakteristik cairan pleura, dapat juga beredasarkan foto toraks atau
CT scan toraks. Indikasi pemasangan WSD jika terdapat pus,
pemeriksaan gram dan pewarnaan dengan hasil positif, glukosa cairan
pleura < 40 mg/dL, LDH > 1000 IU atau pH < 7,1. Efektifitas drainase
dinilai dengan menlihat kurve panas harian selama 5 8 hari setelah
pemasangan.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kegagalan
1. PATOFISIOLOGI
BRONKIEKTASIS (BE)
1. MANIFESTASI KLINIS
Pasien mengalami penurunan berat badan. Selain itu, pasien
juga mengalami demam, berkeringat malam, Dispnea, Anoreksia, dan
Nyeri pleural. Auskultasi dada memperlihatkan tidak terdengarnya
bunyi napas dan terdapat bunyi datar saat perkusi dada, juga
penurunan fremitus (fibrasi fokal terdeteksi saat palpasi). Jika pasien
telah mendapatkan terapi anti mikroba, manifestasi klinis dapat
berubah. Diagnosis ditegakkan dengan dasar hasil rontgen dada dan
torasentesis.
1. KOMPLIKASI
Kemungkinan komplikasi yang terjadi adalah pengentalan pada
pleura. Jika inflamasi telah berlangsung lama, eksudat dapat terjadi di
atas paru yang menganggu ekspansi normal paru.
Dalam keadaan ini diperlukan pembuangan eksudat melalui
tindakan bedah (dekortasi). Selang drainase dibiarkan ditempatnya
sampai pus yang mengisi ruang pleural dipantau melalui roentgen dada
dan pasien harus diberitahu bahwa pengobatan ini dapat membutuhkan
waktu lama.
Gambaran patologi
1.
2.
3.
4.
5.
masih normal bila kelainannya ringan. Pada penyakit yang lanjut dan
difus, kapasitas vital (KV) dan kecepatan aliran udara ekspirasi satu
detik pertama (FEV1) terdapat tendensi penurunan, karena terjadinya
obstruksi aliran udara pernafasan. Pada bronkiektasis dapat terjadi
perubahan gas darah berupa penurunan PaO2 derajat ringan sampai
berat, tergantung pada beratnya kelainan. Penurunan PaO2 ini
menunjukkan adanya abnormalitas regional (maupun difus) distribusi
ventilasi, yang berpengaruh pada perfusi paru.
Tingkatan Beratnya Penyakit
Tingkatan beratnya penyakit bervariasi mulai dari yang ringan sampai
berat. Brewis membagi tingkatan beratnya bronkiektasis menjadi
derajat ringan, sedang dan berat.
1. Bronkiektasis Ringan
Ciri klinis: batuk-batuk dan sputum warna hijau hanya terjadi sesudah
demam (ada infeksi sekunder), produksi sputum terjadi dengan adanya
perubahan posisi tubuh, biasanya ada hemoptisis sangat ringan, pasien
tampak sehat dan fungsi paru normal. Foto dada normal.
2. Bronkiektasis sedang
Ciri klinis: Batuk-batuk produktif terjadi tiap saat, sputum timbul
setiap saat (umumnya warna hijau dan jarang mukoid, serta bau mulut
busuk), sering-sering ada hemoptisis, pasien umumnya masih tampak
sehat dan fungsi paru normal, jarang terdapat jari tabuh. Pada
pemeriksaan fisis paru sering ditemukan ronkhi basah kasar pada
daerah paru yang terkena, gambaran foto dada boleh dikatakan masih
normal.
3. Bronkiektasis berat
Ciri klinis: Batuk-batuk produktif dengan sputum banyak berwarna
kotor dan berbau. Sering ditemukan adanya pneumonia dengan
hemoptisis dan nyeri pleura. Sering ditemukan jari tabuh. Bila ada
obstruksi saluran nafas akan dapat ditemukan adanya dispnea, sianosis
atau tanda kegagalan paru. Umumnya pasien mempunyai keadaan
umum kurang baik. Sering ditemukan infeksi piogenik pada kulit,
infeksi mata dan sebagainya. Pasien mudah timbul pneumonia,
septikemia, abses metastasis, kadang-kadang terjadi amiloidosis. Pada
pemeriksaan dapat ditemukan ronkhi basah kasar pada daerah yang
terkena. Pada gambaran foto dada ditemukan kelainan: (1)
penambahan bronchovascular marking, (2) multiple cysts containing
fluid levels (honey comb appearance).
besar).
4. Penyakit paru penyebab hemoptisis, misalnya: karsinoma paru,
adenoma paru dan sebagainya.
5. Fistula bronkopleural dengan empiema2,3.
II.9. KOMPLIKASI
Ada beberapa komplikasi bronkiektasis yang dapat dijumpai pada
pasien, antara lain:
1. Bronkitis kronik.
2. Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis. Bronkiektasis sering
mengalami infeksi berulang, biasanya sekunder terhadap infeksi pada
saluran nafas bagian atas, hal ini sering terjadi pada mereka yang
drainase sputumnya kurang baik.
3. Pleuritis. Komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya
pneumonia. Umumnya merupakan pleuritis sicca pada daerah yang
terkena.
4. Efusi pleura atau empiema (jarang).
5. Abses metastasis di otak. Mungkin akibat septikemia oleh kuman
penyebab infeksi supuratif pada bronkus. Sering menjadi penyebab
kematian.
6. Hemoptisis. Terjadi karena pecahnya pembuluh darah cabang vena
(arteri pulmonalis), cabang arteri bronkialis atau anastomosis
pembuluh darah. Komplikasi hemoptisis hebat dan tidak terkendali
merupakan indikasi tindakan bedah gawat darurat. Sering pula
hemoptisis masif yang sulit diatasi ini merupakan penyebab kematian
utama pasien bronkiektasis.
7. Sinusitis. Keadaan ini sering ditemukan dan merupakan bagian dari
komplikasi bronkiektasis pada saluran nafas.
8. Kor-pulmonal kronik (KPK). Komplikasi ini sering terjadi pada
pasien bronkiektasis yang berat dan lanjut atau mengenai beberapa
bagian paru. Pada kasus ini bila terjadi anastomosis cabang-cabang
arteri dan vena pulmonalis pada dinding bronkus (bronkiektasis, akan
terjadi arteriovenous shunt, terjadi gangguan oksigenasi darah, timbul
sianosis sentral, selanjutnya terjadi hipoksemia. Pada keadaan lanjut
akan terjadi hipertensi pulmonal, kor pulmonal kronik. Selanjutnya
dapat terjadi gagal jantung kanan.
9. Kegagalan pernafasan. Merupakan komplikasi paling akhir yang
timbul pada pasien bronkiektasis yang berat dan luas.
10. Amiloidosis. Keadaan ini merupakan perubahan degeneratif,
ABSES PARU
Abses paru adalah pengumpulan setempat cairan terinfeksi, berupa pus
atau jaringan nekrotik supuratif, dalam suatu kaviti yang terbentuk
akibat penghancuran jaringan sekitarnya (parenkim paru). Defnisi
abses paru tidak termasuk pengumpulan pus dalam ruang atau rongga
yang sudah ada sebelumnya seperti kista bronkogenik terinfeksi atau
bula.
Abses paru dapat terjadi secara akut atau kronik. Abses paru akut
terjadi dalam 2 minggu atau kadang lebih yang disebabkan oleh infeksi
bakteri aerob yang virulen sedang abses paru kronik terjadi dalam
waktu lebih dari 4-6 minggu dengan penyakit dasar neoplasma atau
infeksi dengan bakteri yang kurang virulen dan anaerob.
Etiologi
Penyebabnya adalah infeksi bakteri pyogenik terutama anaerob,
mikobakteria, jamur, parasit dan komplikasi penyakit paru lain seperti
keganasan primer atau metastasis. Saat ini abses paru lebih banyak
disebabkan oleh kuman anaerob (89%) dan aspirasi materi orofaring
merupakan penyebab tersering. Bakteri anaerob tersering adalah
Peptostreptococcus,
Bacterioides,
Fusabacterium
dan
Microaerophylic streptococcus. Penyebab abses lain adalah parasit
(Paragonimus, Entamoeba), jamur (Aspergillus, Criptococcus,
Histoplasma, Blastomyces, Coccidioides) dan Mycobacterium.
Penyakit dasar neoplasma yang tersering adalah kanker paru jenis sel
squamosa.
Faktor predisposisi
Faktor predisposisi terbentuknya abses paru adalah keadaan sebagai
berikut: kebersihan gigi buruk, seizure disorder, pengguna alcohol dan
pengguna obat. Pasien lain yang berisiko terbentuk abses paru yaitu:
Individu dengan penurunan kesadaran, koma, anestesi umum dan
sedasi
Pasien dengan gangguan paru priimer seperti emboli septic yang
berasal dari endokarditis tricuspid, gangguan vaskulitis, keganasan
paru dengan kaviti, penyakit kistik paru penyakit esophageal seperti
akalasia, refluks, penurunan reflex batuk dan vagal serta obstruksi
esophageal.
Individu dengan keadaan immunocompromised seperti kemoterapi
steroid, malnutrisi dan trauma multiple.
Pathogenesis
Patogenesis abses merupakan paduan interaksi agen infeksius
(terutama bakteri anaerob) dengan berbagai faktor predisposisi abses
melalui mekanisme aspirasi sehingga berbagai materi infeksius masuk
ke dalam paru. Aspirasi merupakan penyebab tersering. Aspirasi
materi orogingival yang mengandung sejumlah besar bakteri akan
berperan dalam pembentukan abses paru terutama bila jumlah bakteri
meningkat akibat kebersihan gigi buruk atau penyakit gusi. Tidak
semua pasien dengan faktor risiko aspirasi akan membentuk abses
paru, faktor lain khususnya penyakit komorbid dan kerusakan sistem
pertahanan tubuh juga berperan penting terhadap pembentukan abses
paru. Aspirasi sejumlah besar bakteri anaerob dan kombinasi multipel
mikroorganisme dapat menyebabkan necrotizing pneumonitis yang
secara progresif dapat membentuk abses paru. Infeksi primer atau
reaktivasi Nocardia sp, Actinomyces dan mycobacteria dapat
menstimulasi pembentukan abses paru primer.
Lokasi terbentuknya abses ditentukan oleh gravitasi dan posisi tubuh
saat terjadi aspirasi. Posisi terbanyak saat aspirasi terutama pada posisi
tegak dan posisi terlentang (supine) sehingga abses paru secara khas
menempati lokasi pada segmen basal dan superior lobus bawah dan
segmen posterior lobus atas terutama pada paru kanan.
Diagnosis
manifestasi klinik abses paru mungkin mirip dengan gejala awal
pneumonia atau kondisi penyakit dasar yang lain. Secara perlahanlahan akan muncul gejala demam, batuk produktif, kehilangan berat
badan, nyeri dada, rasa berat di dada dan malaise. Gejala paling
spesifik dan petanda patognomonik infeksi kuman anaerob adalah
napas berbau atau sputum berbau busuk meskipun hanya ditemukan
pada 50-60% pasien. Hemoptisis didapatkan pada 25% pasien. Infeksi
oleh jamur, Nocardia dan Mycobacteria perjalanan penyakit
cenderung lambat dan secara perlahan terjadi perburukan gejala.
Hasil pemeriksaan fisik dapat bervariasi dan berhubungan dengan
kondisi penyakit sekunder yang mendasari misalnya pneumonia atau
efusi pleura. Juga bergantung pada mikroorganisme yang terlibat, berat
dan perluasan penyakit serta kondisi komorbid yang ada. Demam
terjadi pada 60-90% pasien. Suhu badan rendah ditemukan pada
infeksi anaerob sedang suhu yang tinggi (>38,5 oC) terjadi pada infeksi
mikroorganisme lainnya dan biasanya terdapat bukti penyakit gusi.
Apabila terjadi konsolidasi akan ditemukan penurunan suara napas,
perkusi paru redup, suara napas bronchial dan ronki saat inspirasi.
Setelah kaviti terbentuk dapat muncul suara napas amforik pada
daerah paru yang terkena. Pada abses paru kronik akan
memperlihatkan clubbing fingers (jari tabuh), efusi pleura dan
kakeksia. Jari tabuh dapat terjadi pada 20% pasien.
Laboratorium darah dapat ditemukan lekositosis, peningkatan laju
endap darah (LED) dan pergeseran hitung jenis ke kiri. Foto toraks
secara khas memperlihatkan kaviti dengan bentuk tak teratur dengan
gambaran air-fluid level. Diagnosis dibuat paling banyak berdasarkan
pemeriksaan foto toraks. Kelainan radiologis yang sama dapat terlihat
pada cairan yang terdapat pada kista atau bleb berisi cairan. Abses di
perifer dengan foto toraks biasa kemungkinan sulit dibedakan dengan
empiema terlokalisir dengan fistula bronkopleural sehingga diperlukan
pemeriksaan CT-scan toraks.
Diagnosis penyebab spesifik abses paru tergantung pada pemeriksaan
mikrobiologi. Kultur sputum yang dibatukkan tidak dapat digunakan
untuk konfirmasi karena kemungkinan kontaminasi kuman gram
negative dan Staphylococcus aureus yang berkolonisasi di orofaring
sehingga kultur sputum sulit dipercaya dalam menentukan kuman
penyebab. Untuk memperoleh hasil analisis mikrobiologi yang bebas
kontaminasi bisa dilakukan kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar
lavage=BAL),
protected
specimens
bronchoscopy
(PSB),
transthoracal aspiration (TTA), percutaneus lung aspiration dan
percutaneus transtracheal aspiration.
Penatalaksanaan meliputi pemberian antibiotik yang tepat, fisioterapi
dengan drainase postural dan tindakan bedah dilakukan pada kasus
yang tidak respons dengan pengobatan yang intensif, lama atau dengan
komplikasi hemoptisis, empiema atau keganasan.
Antibiotic
Pemberian antimikroba yang tepat merupakan terapi utama. Pemilihan
antibiotik yang tepat bergantung pada sumber infeksi dan hasil
pemeriksaan pewarnaan gram dan kultur spesimen sputum tidak
terkontaminasi. Sambil menunggu hasil kultur, agar terapi lebih
efektif, diberikan terapi beradasarkan data empiris dan terutama
ditujukan untuk melawan bakteri anaerob sebagai penyebab terbesar
abses paru. Lama terapi tergantung pada respons klinis dan radiologis
pasien, bisa diberikan 4-6 minggu kemudian dilanjutkan sampai
didapatkan perbaikan klinis dan radiologis. Pada tahap awal diberikan
antibiotik intravena sampai pasien tidak demam dan menunjukkan
perbaikan klinis (4-8 hari) diikuti terapi oral 6-8 minggu. Bila respons
terapi buruk, perlu dipertimbangkan penyebab lain misalnya obstruksi
benda asing, keganasan, infeksi bakteri resisten, mikobakteria atau
jamur.
Fisioterapi
Fisioterapi dada terdiri atas latihan pernapasan, latihan batuk, perkusi
dada, dan drainase postural. Drainase postural akan membantu pasien
membersihkan materi purulen sehingga mengatasi gejala dan
memperbaiki pertukaran gas. Fisioterapi sebaiknya dikerjakan pada
semua pasien terutama pasien dengan produksi sputum yang banyak
dan ukuran air-fluid level yang besar.
Drainase perkutan
Dilakukan apabila tidak berhasil dengan terapi medis dan drainase
postural. Tindakan lebih mudah bila abses terletak di perifer. Untuk
meningkatkan keberhasilan terapi, tindakan ini dapat dipandu dengan
CT-scan toraks, fluoroskopi atau ultrasonografi (USG). Antibiotik
intravena sebaiknya tetap dilanjutkan selama dan setelah drainase
perkutan. Indikasi khusus drainase perkutan adalah tension abses yaitu
perubahan mediastinal, pergeseran fisura, pergerakan diafragma ke
bawah, kontaminasi paru kontralateral, tanda sepsis setelah 72 jam
pemberian antibiotik, ukuran abses lebih dari 4 cm, peningkatan
ukuran abses, peningkatan fluid level dan ketergantungan ventilator
yang persisten.
Bronkoskopi
Dahulu bronkoskopi merupakan salah satu standar prosedur
penatalaksanaan abses paru. Saat ini bronkoskopi tidak lagi merupakan
prosedur rutin namun terapi alternative pada pasien dengan gambaran
klinis tidak khas, curiga keganasan atau mengambil benda asing yang
menyebabkan obstruksi.
Pembedahan
Sebelum era antibiotik ditemukan sebagai terapi abses paru, terapi
bedah sangat luas digunakan namun sekarang hanya sekitar 10%.
Intervensi bedah berupa reseksi atau lobektomi biasanya dilakukan
bila terdapat komplikasi misalnya ukuran abases > 6 cm, hemoptisis
massif, empiema, obstruksi bronchial, fistel bronkopleural, kecurigaan
kanker secara klinis dan kegagalan terapi konservatif (4-6 minggu).
Arus Puncak Ekspirasi (APE) atau Peak Expiratory Flow atau ada juga
yang menyebut Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) adalah kecepatan
ekspirasi maksimal yang bisa dicapai oleh seseorang, dinyatakan
dalam liter per menit (L/menit) atau liter per detik (L/detik). Nilai
APE didapatkan dengan pemeriksaan spirometri atau menggunakan
alat yang lebih sederhana yaitu peak expiratory flow meter (PEF
meter).
Alat ini mudah dibawa, tidak perlu sumber listrik dan harganya relatif
murah sehingga memungkinkan tersedia di berbagai tingkat layanan
kesehatan.
Keterangan:
- Umur dengan satuan tahun, TB (tinggi badan) dengan satuan cm
- Bila menginginkan hasil dengan satuan L/menit, hasil perhitungan
dikali 60
Manfaat APE dalam diagnosis asma:
Reversibilitas, yaitu perbaikan nilai APE > 15% setelah
inhalasi bronkodilator (disebut uji bronkodilator), atau
bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi kortikosteroid
(inhalasi/oral selama 2 minggu).
Variabilitas, menilai variasi diurnal APE yang dikenal sebagai
variabilitas APE harian selama 1-2 minggu. Variabilitas juga
dapat digunakan untukl menilai derajad berat penyakit
PEF
meter
relatif mudah digunakan baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya
tersedia di rumah untuk memantau keadaan asmanya. Nilai APE tidak
selalu berkorelasi dengan hasil pemeriksaan faal paru lainnya, selain
itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat beratnya
obstruksi. Karena itu pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan
dengan nilai terbaik sebelumnya (bukan nilai prediksi normal), kecuali
tidak diketahui nilai terbaik penderita yang bersangkutan.
Nilai prediksi normal faal paru setiap orang dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti gender, tinggi badan, berat badan usia, ras, dan lain-lain.
Tim Pneumobile Project Indonesia pada tahun 1992 melakukan
penelitian nilai faal paru rata-rata orang Indonesia. Salah satu hasil
penelitian tersebut adalah tabel nilai normal PEFR orang Indonesia.
Bila tidak tidak tersedia tabel tersebut, kita bisa menggunakan rumus
sebagai berikut: