Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan salah satu masalah
kesehatan di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kesakitan dan angka kematian karena ISPA khususnya pneumonia atau bronkopneumonia, terutama pada bayi dan anak balita1. Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution)[2]. Bronkopneumonia dapat disebabkan oleh Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus (RSV), Virus parainfluenza, virus influenza, Mycobacterium tuberculosa. Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40oC dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, namun batuk terjadi setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.3 Insidensi bronkopneumonia pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun. Menurut survey kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respirasi, terutama pneumonia. Angka kematian pneumonia pada balita di Indonesia diperkirakan mencapai 21 %.4 Ada beberapa cara untuk menurunkan mortalitas anak yang disebabkan oleh pneumonia, baik dengan cara pengobatan maupun dengan cara pencegahan terhadap faktor risiko bronkopneumonia pada balita. Banyaknya faktor risiko dan sedikitnya pengetahuan masyarakat mengenai faktor risiko inilah yang menjadi salah satu penyebab masih tingginya kasus bronkopneumonia di Indonesia.