Anda di halaman 1dari 17

dr.

Soetomo, Individu dan Manusia Sosial


Pada hari Senin Kliwon tanggal 30 Maulud tahun 1969, atau
tanggal 30 Mei 1938, dokter R. Soetomo telah wafat di C.B.Z.
Surabaya jam 4.15 sore setelah menderita sakit beberapa bulan
lamanya. Jenasahnya dimakamkan di Surabaya di pekarangan
G.N.I. Bubutan pada hari Rabu tanggal 1 Juni 1938, jam 3.30
siang.

dr. Soetomo

Dokter R. Soetomo dilahirkan pada tanggal 30 Juli 1888 di Desa


Ngepeh (Nganjuk) sebagai putera dari seorang guru sekolah, tuan
R. Soewadji. Beliau ini keluaran dari Kweekschool (Sekolah Guru)
Malang dan Bandung, teman sekolah dan teman se-jaman dengan
tuan R.W. Dwidjosewojo. R. Soewadji dari guru pindah pada
kalangan B.B. Tidak lama kemudian menjadi wedana di bawah
R.M.A.A. Koesoemo Oetojo. Pada waktu itu R.M.A.A. Koesoemo
Oetojo menjadi bupati di Nganjuk.
Setelah lulus dari sekolah rendah di Bangil ia masuk STOVIA.
Beberapa temannya pada waktu itu ialah dr. Soewarno (dokter
mata), dr. Andu (Menado), dr. Slamet, dr. Soeradji, almarhum dr.
Goenawan
Mangoenkoesoemo
(iparnya),
dr.
Budiardjo
Mangoenkoesoemo, dr. Latumeten, dr. Saleh, dll.

Pada tahun 1907 ayah Soetomo wafat. Sebagai putera yang paling
tua dengan mempunyai dua orang adik lelaki dan empat orang
adik perempuan, pada waktu itu ia duduk di kelas tiga di jurusan
kedokteran. R. Soetomo menyatakan akan meninggalkan
sekolahan dengan bermakud mau bekerja supaya dapat
membantu penghidupan dan pendidikan adik-adiknya. Tetapi
niatan ini telah dicegah oleh ibunya. Ibunya berpengharapan
supaya puteranya R. Soetomo terus belajar sampai dapat gelar
Ind. Arts. Setelah itu dapat memelihara putera-puteranya.
Nyonya R. Soewadji menarik diri pergi ke desa dan melakukan
pertanian kecil.
Mulai saat itu R. Soetomo kelihatan amat prihatin, mulai
memikirkan dan merasakan urusan sosial, memikirkan tentang ibu
dan adik-adiknya.
Berhubung dengan itu juga maka timbul perkumpulan Boedi
Oetomo yang didirikan di gedung sekolahan STOVIA, Kongres
yang pertama dari B.O. dilangsungkan di Yogya pada tahun 1908.

Perintis2 pergerakan kebangsaan Indonesia. Kongres Budi Utomo jang


pertama, diadakan dalam bulan Oktober 1908 digedung Kweekschool di
Jogja. Biaja kongres ini dikumpulkan dengan susah pajah oleh siswa2
dokter
itu.
Kemudian
pimpinan
diserahkan
kepada
kaum
tua, jakni kepada
dokter Wahidin Soedirohoesodo (duduk, ketiga dari kiri). Soetomo (baris
kedua, keempat dari kanan) menitikkan airmata dalam penjerahan ini,
kuatir, sebagai kekuatiran seorang bapak jang menjerahkan baji jang
baru terlahir kepada orang lain.
(dari arsip keluarga Soetomo)

Dalam tahun 1911 ketika pemerintah Hindia Belanda kekurangan


Ind. Arts (dokter Jawa), disebabkan timbulnya penyakit pes, R.
Soetomo dengan 6 temannya sekelas, 6 bulan sebelum ujian
penghabisan, diangkat sebagai Ind. Arts tanpa menempuh ujian.
Penempatan yang pertama di Semarang. Dari sana pindah di
Stadsverband (sekarang C.B.Z.) Betawi. Karena suka melihat halhal yang kurang adil atau tingkah yang sewenang-wenang, maka
ia telah bercekcokan dengan seorang jururawat bangsa Eropa,

karena yang disebut belakangan ini tidak menurut perintahnya


sebab ia cuma dokter Jawa saja. Perkara ini dimajukan oleh
nyonya Stokvis (Gouv Arts) dan dokter Soetomo di pihak yang
benar.
Pada tahun 1912 ia dipindahkan ke Tuban dan setelah itu ke
Lubuk Pakam di Sumatera Timur. Di tempat ini ia tidak sedikit
membangun pergerakan. Atas inisiatifnya telah didirikan suatu
perhimpunan Piroe Koeno. Selain itu ia mempelajari keadaan
pekerjaan
buruh
(arbeidstoestand)
di
kebun-kebun,
menyebabkan ia kemudian perlu untuk menceritakan tentang
pekerjaan buruh itu, keadaan dan tempat-tempatnya, dengan
jalan pidato atau menulis, dan juga melakukan kritik yang
bersifat membangun.
Pada tahun 1914 ia dipindah pada pemberantasan pes di Jawa
Timur dengan tempat jabatan Malang, Kepanjen dan Magetan. Di
kota yang paling belakangan ia telah berselisih faham dengan
bupati kota itu tentang perbaikan rumah-rumah kediaman
(woningverbetering).
Meskipun belakangan ternyata ia tidak bersalah, akan tetapi ia
terpaksa mesti meninggalkan kota Magetan. Sesudah tiga bulan
dapat uang tunggu, kemudian diangkat lagi di Blora, dikerjakan
di rumah sakit Zending. Waktu itu yang mengepalai rumah sakit
Zending ialah tuan van Engelen. Di Blora ia mendirikan kumpulan,
mempelajari Pergerakan Samin dan lain-lainnya.

Rumah bekas tempat tinggal dr. Soetomo di Jln. Lusi 21 Blora. Di sini beliau
pernah tinggal dengan ibunja dan kemudian istrinja, selama tahun 1917.
Rumah ini sudah mengalami banjak perubahan sedjak itu sehingga
bentuknja sudah tidak sama lagi dengan rumah jang dulu.

Dalam tahun 1917 ia dipindah ke Baturaja (Palembang) di mana


ia tinggal di situ sampai penghabisan tahun 1919. Di tempat itu
keadaan sunyi, sehingga ia selalu berhubungan dengan pulau
Jawa dengan menulis beberapa brosur.
Semenjak menjadi murid STOVIA, R. Soetomo ingin sekali
mendapat diploma dokter Eropa. Untuk mencapai cita-citanya,
maka ia berhubungan dengan almarhum Mr. Van Deventer dan
nyonyanya. Beberapa hal selalu merintangi cita-citanya untuk
meneruskan ke Eropa buat dapatkan apa yang dikehendakinya.
Tetapi niatan itu dilepaskan, dan ia bertekad terus supaya Dokter
Jawa dapat dikirim ke Eropa untuk melanjutkan pelajarannya
dengan beaya Pemerintah. Ia senantiasa mendesak ke jurusan itu
kepada kepala-kepala dari Burgelijke Geneeskundige Dienst
(Dinas Kedokteran Sipil) dengan berakhir dikabulkan juga yaitu
pada tahun 19191920. Tiga dokter Jawa, R. Soetomo, Sjaaf,
Sardjito dikirim ke Eropa. Belakangan banyak lagi dokter Jawa
yang dikirim ke Eropa dengan tugas belajar dari pemerintah dan
aturan ini juga berlaku kepada penasehat hukum dan dokter
hewan sampai adanya penghematan.

Selama ia belajar di Eropa dalam tahun 19191923, satu tahun ia


pegang pimpinan dari Indische Vereeniging yang sekarang
menjelma menjadi Perhimpunan Indonesia.
Di tiap-tiap kongres kaum mahasiswa, R. Soetomo selalu ambil
kedudukan di muka sebagai yang terpandang. Antaranya kongres
di Oeggeest, Hardebroek, Lunteren, dsb.
Setelah lulus dan mendapat diploma, ia bekerja pada Prof.
Mendes da Costa di Amsterdam lalu menjadi assisten dalam ilmu
dermatologi dari Prof. Dr. Unna di Hamburg--guru besar yang
terkenal seluruh dunia,-- pun lalu juga jadi pembantu Prof. Plaut
di Weenen dan Paris, buat ambil titel specialist ke jurusan
penyakit kulit dan geslachsziekten (huidziekten).
Pada permulaan tahun 1923 ia kembali dari tugas belajar ke
negerinya sendiri dan kemudian ia diangkat sebagai dokter kulit
pada C.B.Z. di Surabaya, merangkap memberi pelajaran di NIAS.

Gedung fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga di Karang Mendjangan,


Surabaya. Gedung ini dulu bekas tempat sekolah dokter (NIAS), dimana dr.
Soetomo pernah memberikan peladjaran sebagai guru.

Everdina Broering dan dr. Soetomo

Di Blora dalam tahun 1917 beliau kawin dengan seorang nyonya


Belanda yang amat dicintai olehnya, teman setia dalam
kesusahan maupun kegembiraan, yang malang bagi dr. Soetomo,
telah meninggal dunia lebih dulu dalam tahun 1934.
Dalam ilmu kesehatan, yang menjadi keahliannya, dr. Soetomo
menunjukkan kecakapan dan kepandaian yang telah diakui oleh
rekan-rekannya, dan sebagai pendidik dari murid-murid dokter
beliau juga terkenal baik pelajarannya.
Sebagai Manusia
dr. Soetomo adalah seorang yang baik budi terhadap siapa pun
juga, kawan, dari bangsanya sendiri maupun bangsa lain: seorang
yang jujur hati, suka berbicara terus terang, suka memberi
kepercayaan sepenuhnya kepada barang siapa yang telah
menunjukkan dapat dipercaya, tetapi juga sangat keras terhadap
orang-orang, yang biarpun telah menjadi sahabat karib,
menunjukkan budi kurang jujur.
Beliau amat suka menolong pada orang lain yang sedang dalam
keadaan melarat atau membutuhkan, malah sering melupakan
keadaan diri sendiri, hingga karena kebaikan itu kadang-kadang
juga diri sendiri mendapat susah! Tidak sedikit uangnya yang
dikeluarkan buat menolong teman-temannya dan orang lain yang
butuh pada pertolongan, apalagi buat keperluan pergerakan,
berpuluh ribu rupiah yang dikeluarkan dengan hati ikhlas.
Sebagai dokter beliau disukai banyak orang, baik antara sesama
rekannya sendiri maupun oleh pasien-pasiennya. Yang demikian
itu selain lantaran memang cakap dan pandai dalam ilmunya,
juga karena kehalusan budi. Ini tentu telah diakui terutama oleh
orang-orang yang pernah meminta pertolongan beliau sebagai
dokter. Kebiasaan kebanyakan dokter kalau memeriksa atau
mengobati orang selalu menarik biaya yang tinggi atau paling

tidak seringgit, tetapi dr. Soetomo berlainan sekali. Dia tidak


suka meminta, tentang pembayaran diserahkan pada sesukanya
orang yang akan bayar. Beliau adalah seorang dokter yang tidak
mempunyai ............. penagih biaya. Beliau cukup menaruh
kepercayaan pada budi baik dalam tiap-tiap manusia rata-rata,
yang tidak akan membalas kebaikan orang dengan kejahatan.
Maka dari itu bagi dirinya dr. Soetomo bukan saja berkorban
uang, akan tetapi fikiran dan tenanganya juga selalu disediakan
buat keperluan umum.
Begitulah jikalau ada orang yang boleh dikatakan benar-benar
menjadi abdi masyarakat, yang sungguh-sungguh mengabdikan
diri pada sesama manusia, kepada keperluan umum, maka orang
itu ialah dr. Soetomo.
Dalam Politik
Tetapi segala sifat baik dari dr. Soetomo itu, budi dan sepak
terjang yang bagus dan mulia tidak dapat cukup nampak
seterang-terangnya dalam kedudukan beliau sebagai dokter,
melainkan terutama sangat kentara dalam penghidupannya
sehari-hari sebagai politikus. Pun nama dr. Soetomo telah
menjadi sangat terkenal dan harum tak karena kepandaiannya
sebagai tabib, melainkan karena kedudukannya dan jasa-jasanya
sebagai politikus, terutama sebagai orang yang mengabdikan diri
ada nusa, bangsa dan sesamanya.
Umum untuk diketahui, bahwa dr. Soetomo bukan pendekar dan
pemimpin yang terbesar, setidak-tidaknya toh salah seorang
antara yang paling besar pada waktu ini. Sudah sejak masih
sangat muda dr. Soetomo telah menceburkan diri dalam politik.
Dan sampai pada hari wafatnya, yang utama menjadi pikirannya
ialah tidak lain daripada pergerakan kebangsaan pada umumnya
dan langkah partainya yaitu Parindra khususnya.
Sebagai murid sekolah dokter (Stovia) di Betawi dr. Soetomo pada
tgl 20 Mei 1908 bersama-sama dengan dr. Goenawan dll. telah
mendirikan perkumpulan Boedi Oetomo, perkumpulan yang
tertua, dan perintis jalan bagi pergerakan kebangsaan di negeri
ini. Maka ketika baru-baru ini pada tanggal 20 Mei tersebut, di
mana-mana telah diadakan peringatan untuk merayakan usia
pergerakan kebangsaan.

Sebuah foto jang bersedjarah, diambil digedung Stovia, Djakarta. Pengurus


Budi Utomo jang pertama, jang pada waktu itu dipelopori oleh siswa2
sekolah dokter itu. Antaranja terlihat ketuanja, Soetomo, duduk ketiga dari
kiri, keempat Soewarso, panitera, dan kelima, Goenawan. Berdiri kiri ke
kanan Soelaiman, wakil ketua dan Moh. Saleh. Ketua Soetomo pada waktu
itu baru berumur 20 tahun.
(dari arsip keluarga Soetomo)

Dalam Pergerakan Nasional


Mulai dari permulaan Boedi Oetomo beliau memegang pimpinan
dan orang tentu belum lupa segala usahanya dan contoh baik
sebagai pemuka B.O. di Betawi. Meskipun kemudian terpaksa
harus meninggalkan perkumpulan itu untuk memberikan
tenaganya pada gerakan yang lebih cocok dengan kemajuan dan
aliran zaman dan dirinya sendiri, akhirnya ia bergabung lagi
dengan anak kandungnya itu sesudah B.O. dan P.B.I. bersatu
menjadi Partai Indonesia Raya. Tetapi tentang dr. Soetomo harus
dikatakan, bahwa aliran apa pun juga yang pada suatu waktu
dipandang baik buat dianut, beliau tidak pernah meloloskan diri
dari politik, selalu berdiri di tengah-tengah perjuangan politik
dan turut dalam pergerakan untuk memajukan nusa dan bangsa.
Dapatkah itu dikatakan juga dari lain-lain orang, bahkan yang
kemajuan dan didikannya sama atau lebih tinggi daripada beliau?
Adakah seorang pencinta bangsa yang begitu ulet dan begitu
setia pada tujuannya dan tidak pernah terputus angan-angannya

dan cita-citanya, hingga mulai dari waktu masih murid sekolah


hingga pada saatnya pulang ke rahmatullah tetap siap dan
bersedia tidak berhenti menyediakan dirinya untuk perjuangan
politik guna kemuliaan negeri dan bangsanya.
Maka dari itu, kawan maupun lawan, dan rakyat mau tak mau
harus mengakui kebesaran beliau sebagai seorang politikus dan
pemimpin yang tetap setia, pantas dihormati sepak terjangnya,
yang pantas dicontoh. Terutama dan yang terpenting ialah
keperluan rakyat.
Ketika dr. Soetomo ada di Surabaya beliau diangkat menjadi
anggota dewan perwakilan kotapraja dengan kawan-kawannya
yang lain yang segolongan. Apabila terasa kedudukannya dalam
dewan itu seolah-olah berarti, lalu menolong memotong leher
rakyat, maka bersama-sama dengan 4 orang golongannya beliau
meletakkan jabatan (berhenti) sebagai angota dewan tersebut.
Keberhentian beliau ini disambut oleh beribu penduduk kota
Surabaya dalam satu rapat umum yang memberi persetujuan
pada dr. Soetomo dan lain-lainnya itu. Bandingkanlah itu dengan
sepak terjang sementara orang yang dalam keadaan demikian,
sekarang malah lebih suka melepaskan prinsip dan kehormatan
sendiri, asal kedudukannya dan ............. fulusnya masih bisa
tetap!
Pada tanggal 4 Juli 1924, dr. Soetomo turut mendirikan
Indonesische Studieclub di Surabaya yang mula-mula hanya
bermaksud supaya para intelektual jangan terlalu mejen, suka
memikirkan nasib rakyat, dan akhirnya juga benar-benar turut
membuktikan bahwa mereka dapat membela kepentingan rakyat
dalam praktek.
Dalam tahun 1926, ketika kota Surabaya terjadi pemogokan besar
di beberapa pabrik-pabrik dan perusahaan industri, lantaran
pengaruhnya kaum komunis yang begitu hebat, maka dr. Soetomo
dengan golongannya, telah diangkat menjadi hakim pemisah,
yaitu duduk dalam komisi yang memeriksa sebab-sebabnya
pemogokan itu dan mencari perdamaian dan keakuran. Hal ini
juga berhasil, hingga beberapa soal yang penting dapat
dipadamkan.
Begitu pula dr. Soetomo pernah menjadi hakim pemisah ketika

ada perselisihan antara perkumpulan kaum Islam, yaitu antara


Muhammadiyah dan Sarekat Islam. Pertengkaran dari dua
perhimpunan ini begitu hebat seakan-akan tak dapat
didamaikan. Berhubung dengan itu maka orang lalu menunjuk dr.
Soetomo cs. menjadi hakim pemisah. Begitulah setelah dr.
Soetomo mencampuri segala perselisihan menjadi beres dan
damai.
Maka tidak heran, bahwa kedudukan dr. Soetomo di Surabaya
mendapat perhatian orang banyak. Hal ini terbukti ketika
Studieclub mengadakan malam interinsuler pada tahun 1925. Di
situ segala perhimpunan menunjukkan perhatian dan simpatinya.
Karena dipandang perlu oleh pemerintah, maka dalam tahun
1927 dr. Soetomo diangkat menjadi anggota Volksraad (Dewan
Rakyat). Tetapi angkatan ini tidak dapat diterima olehnya, karena
Studieclub tidak menyetujuinya.
Dalam pertengahan bulan Desember tahun 1927 atas persetujuan
partai-partai politik yang besar telah dapat diadakan badan
Permupakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (P.P.P.K.I.). Badan permupakatan terdiri dari Boedi
Oetomo, P.N.I., P.S.I., Pasundan, Kaum Betawi, Sumatranenbond
dan berbagai Studieclub. Dari badan persatuan ini yang dipilih
menjadi ketua oleh kongres P.P.P.K.I. adalah dr. Soetomo.
Ketika Studieclub di Surabaya lantaran telah terang kemauannya,
garis-garis tujuan politiknya dsb.nya diganti Persatuan Bangsa
Indonesia pada tgl. 16 Oktober 1930, yang dipilih sebagai ketua
juga dr. Soetomo.
Bahwa kedudukannya sebagai politikus yang terkemuka itu tidak
jarang memikul padanya beban-beban yang amat berat, pun
sering menimbulkan kekecewaan yang besar bagi dirinya, itu
tentu dapat dikira-kira.
Tetapi dr. Soetomo selalu memberikan petuah pada kawankawannya yang sedang hampir putus asa atau kecewa. Bahwa
siapa yang bergerak di lapangan politik, sudah seharusnya berani
menanggung resikonya. Resiko yang paling kecil sekali ialah
pendakwaan palsu (insinuasi) guna menghilangkan pengaruh atau
kepercayaan yang tengah berkembang. Lagi pula bahwa dr.

Soetomo itu terang seorang orang yang tidak pernah putus asa,
selalu berdiri tegak, meskipun dengan terang-terangan atau
dengan cara gelap mendapat rintangan atau pun tamparan yang
sehebat mungkin, itu dapat dilihat dari segala sepak terjang
selama hidupnya.
Cita-cita dr. Soetomo yang tinggi tentang kemuliaan tanah air
hanya akan bisa tercapai dengan persatuan yang kekal dari
bangsa-bangsa di Indonesia, dapat berwujud sekedarnya dengan
lahirnya partai-partai yang tergabung menjadi Partai Indonesia
Raya. Maka hingga saat jiwa dr. Soetomo terlepas dari badan
jasmani, tiada berhentinya dia menumpahkan perhatiannya
kepada partainya itu.
Sebagai Penyusun
Jikalau ada orang yang menyebut dr. Soetomo itu tidak saja
seorang penganjur, pemuka dan pemimpin, tetapi juga seorang
penyusun (bouwer) yang kelihatan nyata segala perbuatannya,
tidak hanya cakap bicara, tetapi juga bisa bekerja, itu tentu
dapat dibenarkan apabila orang melihat berapa banyak pendirian
yang sekarang telah dapat didirikan atas usaha atau dengan
pertolongan beliau.
Kita catat saja pendirian-pendirian sebagai: Rukun Tani, Bank
Nasional Indonesia, Bank-bank Koperasi, Rukun Pelayaran
Indonesia, Rumah Piatu P.P.A.J., Badan Pengurus Pengangguran,
P.P.I., Weefschool, Vrouwentehuis, Rumah untuk memelihara
anak-anak supaya terhindari dari penyakit lepra, G.N.I., sekolahsekolah nasional, perusahaan surat kabat, dll.
Demikianlah tidak saja di lapangan politik, tetapi juga di
lapangan sosial beliau banyak sekali jasanya dan meninggalkan
nama harum pada tiap-tiap pendirian itu.
Di Lapangan Jurnalistik
Perhitungan tentang segala apa yang telah ditinggalkan oleh dr.
Soetomo sebagai barang warisan permai dan pusaka untuk
kemajuan bangsa dan nusa kita, tentu tidak lengkap apabila kita
belum menyebut pekerjaan dan jasa beliau di lapangan
jurnalistik dan persurat-kabaran; segala keluh-kesahnya untuk
memajukan dan menyentosakan pers Indonesia umunya; segala
cita-citanya buat menyempurnakan alat kemajuan bangsa kita

yang sangat penting dan senjata perjoangan yang paling tajam


ialah pers itu.
Untuk memberi keterangan kepada umum, ia mendirikan usaha
baru ialah surat kabar mingguan Soara Oemoem, diterbitkan
pula majalah mingguan Jawa Penjebar Semangat, dan harian
Tempo. Beberapa brosur sudah dikarang oleh dr. Soetomo,
diantaranya untuk penuntun dan penerangan rakyat yang
dikeluarkan oleh Balai Pustaka.
Selain itu beliau sehari-hari turut hidup dengan 3 surat kabar
yang ada di bawah pimpinannya, tidak mengenal susah atau
payah untuk memajukannya. Semua orang tentu mengetajui juga
apa yang dikerjakan olehnya buat mendapatkan keuntungan bagi
pers kita dengan selalu membela kepentingannya dan menggugat
segala rintangan bagi pers itu, di mana saja beliau mendapat
kesempatan untuk berbuat begitu. Perbaikan kedudukan suratsurat kabar, nasib dan penghidupan wartawan, terutama yang
bekerja pada surat kabarnya, itulah yang sehari-hari selalu
dipikirkan beliau daripada apa pun juga dengan tidak putusputusnya.
Sebagai ketua perkumpulan direktur surat kabar, beliau telah
berulang-ulang menyampaikan keinginan surat-surat kabar pada
pihak pemerintah, sekalipun pemerintah agung di Nederland.
Selalu siap mempertahankan hak-hak kemerdekaan pers dan
sebagainya.
Tiada saja sebagai redaktur yang mengurus penghidupan surat
kabar, tetapi juga sebagai wartawan, sebagai penulis, dr.
Soetomo terkenal baik, tajam dan jitu tulisan-tulisannya. Malah
banyak sekali orang heran ketika beliau mengirimkan suratsuratnya dari luar negeri buat surat kabar ketika mengadakan
perjalanan keliling dunia. Karena amat baiknya susunan tulisantulisan itu.
Bagi Kaum Tani
Juga kepada kaum tani ia selalu memperhatikannya. Telah
didirikan olehnya, yang sekarang sudah tersiar di seluruh Jawa
Timur. Untuk kepentingannya kaum tani, ia telah menerbitkan
mingguan Kromo Doeto dan kemudian menjadi Penjebar
Semangat.

Bagi Famili

Pekuburan keluarga di Ngepeh, dimana dikebumikan kakek dan nenek


dr. Soetomo jang sangat dikasihinja itu. Dalam hidupnja beliau tiap tahun
datang menjekar kesana. Kini pekuburan inipun dalam keadaan rusak. Djuga
rumah, halaman dan kolam2 ikan sudah tiadak lagi.
(dari album keluarga Soetomo)

Walaupun dokter R. Soetomo banyak kerja di kalangan sosial,


sebagai putera paling tua sendiri yang mulai mudanya sudah
kehilangan orang tuanya, ia tidak lupa juga melakukan
kewajibannya terhadap keluarganya dan saudara-saudaranya.
Oleh karena pimpinannyalah, maka saudara-saudara lelaki dan
perempuan dapat pendidikan yang sempurna dan pengajaran
yang cukup.
Tujuh putera dari almarhum R. Soewadji adalah sebagai berikut:
1.
dr. Soetomo, guru NIAS Surabaya.
2.
dr. R. Soesilo, Kepala Pemberantasan Malaria di Sumatera

3.
4.
5.
6.
7.

Selatan dan sebagai tempat jabatan di Palembang.


dr. R. Soeratno, Kepala Dinas Kedokteran Hewan di Betawi.
Nyonya dr. Goenawan Mangoenkoesoemo (dr. Goenawan
Mangoenkoesoemo wafat).
Nyonya Ir. Soerjatin, Yogyakarta.
Nona Sri Oemijati, Direktris dari sekolah Kartini di Cirebon.
Nona Mr. Siti Soendari, Direktris Bank Nasional di Malang.

Makam dr. Soetomo jang terletak dibelakang Gedung Nasional di Surabaja.


Makam ini beratap dan diteduhi dengan tirai2 bambu. Nisannja terbuat dari
batu pualam hitam ber-urat2. Sekelilingnja ditanamkan semak2 bunga melati,
bunga pudjaan almarhum.

Kisah cinta
Sosok Dr Soetomo tak bisa dilepaskan dari kisah perjalanan
bangsa Indonesia. Bersama EFE Douwes Dekker dan Dr Tjipto
Mangunkusumo, pria kelahiran 30 Juli 1888 itu mendirikan
organisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908.Akibat kegigihannya,
Indonesia mengalami tonggak baru dalam perjuangan
kemerdekaan. Meski pengabdiannya tercatat dalam sejarah,

mungkin tak banyak yang tahu kisah cinta tokoh Tiga Serangkai
itu dengan sang istri, Everdina Broering, yang merupakan seorang
perawat Belanda.Keduanya pertama kali bertemu pada 1917,
saat sama-sama bekerja di sebuah rumah sakit di Blora. Saat itu
Dr Soetomo diperbantukan sebagai dokter di RS itu, sementara
Everdina yang saat itu tengah sedih karena ditinggal mati sang
suami, tengah mengisi kekosongan tenaga perawat di RS itu.
"Romannya yang pucat geraknya yang kurang berdaya itu, telah
menarik perhatian saya. Saya ingin mengetahui penderitaan
apakah yang sedang diderita oleh suster itu. Ternyata suster ini
adalah orang yang lagi dirundung malang, sedang hidup dalam
kesusahan," kata Dr Soetomo dalam buku 'Kenang-kenangan
Dokter Soetomo', terbitan Penerbit Sinar Harapan, tahun 1984.
Sadar akan kesedihan yang tengah dialami Everdina, Dr Soetomo
yang saat itu sudah merasa tertarik terus berusaha menghibur
dan berusaha menghapus kesedihan wanita Belanda itu. Mereka
akhirnya menjalin hubungan pertemanan.Hubungan mereka terus
berlanjut dan akhirnya berubah menjadi hubungan asmara.
Keduanya kemudian sepakat untuk menikah. Namun, keputusan
mereka itu mendapat tentangan dari teman sepergerakan Dr
Soetomo dan keluarga Everdina. Sebagai tokoh pergerakan, Dr
Soetomo dianggap tak pantas menikahi seorang wanita Belanda.
Tentangan dan penolakan itu tak lantas membuat mereka
menyerah. Keduanya akhirnya tetap menikah. Kesetiaan,
kesederhanaan dan perilaku Everdina kepada suami yang mirip
seperti perempuan Jawa membuat Dr Soetomo semakin kagum
kepada sang istri. Pada 1919, Dr Soetomo mendapat beasiswa
dari pemerintah Belanda untuk mendalami ilmu penyakit kulit
dan kelamin di Belanda. Kesempatan itu tak disia-siakannya, Dr
Soetomo berusaha menjalin hubungan baik dengan keluarga sang
istri. Di Amsterdam, pasangan beda negara itu hidup dengan
segala suka duka selama empat tahun lamanya. Meski hidup paspas an, Everdina tak pernah mengeluh, padahal saat itu Dr
Soetomo kerap menjamu pemuda dan mahasiswa Indonesia di
rumah kecilnya untuk berdiskusi tentang nasionalisme Indonesia.
Empat tahun berlalu, Dr Soetomo dan Everdina akhirnya kembali
ke Indonesia. Meski belum juga dikarunia anak, keduanya tetap
harmonis dan bahagia. Setelah kembali ke Indonesia, kegiatan Dr
Soetomo semakin padat. Hal itu tentu saja ikut berpengaruh
kepada kegiatan sang istri yang semakin bertambah banyak dan
berat. Namun Everdina menjalaninya tanpa keluhan, Dr Soetomo
pun sering terharu melihat pengorbanan sang istri.Namun, dibalik

ketegarannya, Everdina akhirnya jatuh sakit. Mereka akhirnya


harus berpisah untuk sementara waktu karena saat itu Everdina
harus tinggal di lokasi sejuk. Dua minggu sekali Dr Soetomo
menjenguk sang istri di lereng Gunung Penanggungan, Celaket
Malang.Kondisi Everdina terus melemah. Wanita Belanda itu
akhirnya meninggal di pangkuan Dr Soetomo pada 17 Februari
1934. Kematian sang istri menimbulkan kesedihan yang
mendalam terhadap diri Dr Soetomo."Saya telah terserang
malapetaka yang sangat hebat karena kematian istri saya pada
hari bulan 17 Februari 1934," kata Dr Soetomo.Hingga akhir
hayatnya pada 29 Mei 1938, Dr Soetomo tidak pernah menikah

lagi.

Anda mungkin juga menyukai