dr. Soetomo
Pada tahun 1907 ayah Soetomo wafat. Sebagai putera yang paling
tua dengan mempunyai dua orang adik lelaki dan empat orang
adik perempuan, pada waktu itu ia duduk di kelas tiga di jurusan
kedokteran. R. Soetomo menyatakan akan meninggalkan
sekolahan dengan bermakud mau bekerja supaya dapat
membantu penghidupan dan pendidikan adik-adiknya. Tetapi
niatan ini telah dicegah oleh ibunya. Ibunya berpengharapan
supaya puteranya R. Soetomo terus belajar sampai dapat gelar
Ind. Arts. Setelah itu dapat memelihara putera-puteranya.
Nyonya R. Soewadji menarik diri pergi ke desa dan melakukan
pertanian kecil.
Mulai saat itu R. Soetomo kelihatan amat prihatin, mulai
memikirkan dan merasakan urusan sosial, memikirkan tentang ibu
dan adik-adiknya.
Berhubung dengan itu juga maka timbul perkumpulan Boedi
Oetomo yang didirikan di gedung sekolahan STOVIA, Kongres
yang pertama dari B.O. dilangsungkan di Yogya pada tahun 1908.
Rumah bekas tempat tinggal dr. Soetomo di Jln. Lusi 21 Blora. Di sini beliau
pernah tinggal dengan ibunja dan kemudian istrinja, selama tahun 1917.
Rumah ini sudah mengalami banjak perubahan sedjak itu sehingga
bentuknja sudah tidak sama lagi dengan rumah jang dulu.
Soetomo itu terang seorang orang yang tidak pernah putus asa,
selalu berdiri tegak, meskipun dengan terang-terangan atau
dengan cara gelap mendapat rintangan atau pun tamparan yang
sehebat mungkin, itu dapat dilihat dari segala sepak terjang
selama hidupnya.
Cita-cita dr. Soetomo yang tinggi tentang kemuliaan tanah air
hanya akan bisa tercapai dengan persatuan yang kekal dari
bangsa-bangsa di Indonesia, dapat berwujud sekedarnya dengan
lahirnya partai-partai yang tergabung menjadi Partai Indonesia
Raya. Maka hingga saat jiwa dr. Soetomo terlepas dari badan
jasmani, tiada berhentinya dia menumpahkan perhatiannya
kepada partainya itu.
Sebagai Penyusun
Jikalau ada orang yang menyebut dr. Soetomo itu tidak saja
seorang penganjur, pemuka dan pemimpin, tetapi juga seorang
penyusun (bouwer) yang kelihatan nyata segala perbuatannya,
tidak hanya cakap bicara, tetapi juga bisa bekerja, itu tentu
dapat dibenarkan apabila orang melihat berapa banyak pendirian
yang sekarang telah dapat didirikan atas usaha atau dengan
pertolongan beliau.
Kita catat saja pendirian-pendirian sebagai: Rukun Tani, Bank
Nasional Indonesia, Bank-bank Koperasi, Rukun Pelayaran
Indonesia, Rumah Piatu P.P.A.J., Badan Pengurus Pengangguran,
P.P.I., Weefschool, Vrouwentehuis, Rumah untuk memelihara
anak-anak supaya terhindari dari penyakit lepra, G.N.I., sekolahsekolah nasional, perusahaan surat kabat, dll.
Demikianlah tidak saja di lapangan politik, tetapi juga di
lapangan sosial beliau banyak sekali jasanya dan meninggalkan
nama harum pada tiap-tiap pendirian itu.
Di Lapangan Jurnalistik
Perhitungan tentang segala apa yang telah ditinggalkan oleh dr.
Soetomo sebagai barang warisan permai dan pusaka untuk
kemajuan bangsa dan nusa kita, tentu tidak lengkap apabila kita
belum menyebut pekerjaan dan jasa beliau di lapangan
jurnalistik dan persurat-kabaran; segala keluh-kesahnya untuk
memajukan dan menyentosakan pers Indonesia umunya; segala
cita-citanya buat menyempurnakan alat kemajuan bangsa kita
Bagi Famili
3.
4.
5.
6.
7.
Kisah cinta
Sosok Dr Soetomo tak bisa dilepaskan dari kisah perjalanan
bangsa Indonesia. Bersama EFE Douwes Dekker dan Dr Tjipto
Mangunkusumo, pria kelahiran 30 Juli 1888 itu mendirikan
organisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908.Akibat kegigihannya,
Indonesia mengalami tonggak baru dalam perjuangan
kemerdekaan. Meski pengabdiannya tercatat dalam sejarah,
mungkin tak banyak yang tahu kisah cinta tokoh Tiga Serangkai
itu dengan sang istri, Everdina Broering, yang merupakan seorang
perawat Belanda.Keduanya pertama kali bertemu pada 1917,
saat sama-sama bekerja di sebuah rumah sakit di Blora. Saat itu
Dr Soetomo diperbantukan sebagai dokter di RS itu, sementara
Everdina yang saat itu tengah sedih karena ditinggal mati sang
suami, tengah mengisi kekosongan tenaga perawat di RS itu.
"Romannya yang pucat geraknya yang kurang berdaya itu, telah
menarik perhatian saya. Saya ingin mengetahui penderitaan
apakah yang sedang diderita oleh suster itu. Ternyata suster ini
adalah orang yang lagi dirundung malang, sedang hidup dalam
kesusahan," kata Dr Soetomo dalam buku 'Kenang-kenangan
Dokter Soetomo', terbitan Penerbit Sinar Harapan, tahun 1984.
Sadar akan kesedihan yang tengah dialami Everdina, Dr Soetomo
yang saat itu sudah merasa tertarik terus berusaha menghibur
dan berusaha menghapus kesedihan wanita Belanda itu. Mereka
akhirnya menjalin hubungan pertemanan.Hubungan mereka terus
berlanjut dan akhirnya berubah menjadi hubungan asmara.
Keduanya kemudian sepakat untuk menikah. Namun, keputusan
mereka itu mendapat tentangan dari teman sepergerakan Dr
Soetomo dan keluarga Everdina. Sebagai tokoh pergerakan, Dr
Soetomo dianggap tak pantas menikahi seorang wanita Belanda.
Tentangan dan penolakan itu tak lantas membuat mereka
menyerah. Keduanya akhirnya tetap menikah. Kesetiaan,
kesederhanaan dan perilaku Everdina kepada suami yang mirip
seperti perempuan Jawa membuat Dr Soetomo semakin kagum
kepada sang istri. Pada 1919, Dr Soetomo mendapat beasiswa
dari pemerintah Belanda untuk mendalami ilmu penyakit kulit
dan kelamin di Belanda. Kesempatan itu tak disia-siakannya, Dr
Soetomo berusaha menjalin hubungan baik dengan keluarga sang
istri. Di Amsterdam, pasangan beda negara itu hidup dengan
segala suka duka selama empat tahun lamanya. Meski hidup paspas an, Everdina tak pernah mengeluh, padahal saat itu Dr
Soetomo kerap menjamu pemuda dan mahasiswa Indonesia di
rumah kecilnya untuk berdiskusi tentang nasionalisme Indonesia.
Empat tahun berlalu, Dr Soetomo dan Everdina akhirnya kembali
ke Indonesia. Meski belum juga dikarunia anak, keduanya tetap
harmonis dan bahagia. Setelah kembali ke Indonesia, kegiatan Dr
Soetomo semakin padat. Hal itu tentu saja ikut berpengaruh
kepada kegiatan sang istri yang semakin bertambah banyak dan
berat. Namun Everdina menjalaninya tanpa keluhan, Dr Soetomo
pun sering terharu melihat pengorbanan sang istri.Namun, dibalik
lagi.