Anda di halaman 1dari 3

Kisah Cinta Bung Tomo

Bung Tomo terkenal dengan sosok yang tangguh, heroik dan membela bangsa dan negara.
Walau begitu, ada saatnya pula Bung Tomo merasakan ketertarikan pada lawan jenis.

Sebagaimana manusia normal, perasaan jatuh cinta, cemburu, dan ingin diperhatikan adalah
hal yang wajar dialami. Begitu pula yang tejadi dalam diri Bung Tomo. Pria bernama Sutomo ini
menaruh rasa cintanya pada Sulistina. Ia adalah perempuan kelahiran Malang, Jawa Timur 25
Oktober 1925.

Bung Tomo mengenal Sulistina saat masa pergolakan revolusi Indonesia. Keduanya memiliki
dunia yang bersinggungan yakni sama-sama sebagai aktivis yang bergerak untuk kepentingan
dan kesejahteraan orang banyak. Namun, perbedaan antara keduanya tetap ada. Bung Tomo
lebih mengarah pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sedangkan pujaan hatinya lebih
mengarah pada kepentingan sosial.

Suatu hari, Sulistina sedang disibukkan sebagai anggota Palang Merah Indonesia (PMI) cabang
Malang, Jawa Timur. Kemudian, Ia ditugaskan oleh kantornya ke Surabaya. Di Surabayalah Ia
kemudian bertemu dengan Bung Tomo. Setelah berkenalan, Sulistina memanggil Bung Tomo
dengan panggilan “Mas Tomo”. Walau Sulistina melihat sikap Bung Tomo yang tegas, Ia tetap
menemukan sisi romantisme dari pria tersebut.

Sisi romantis tersebut terlihat saat Bung Tomo berani menyatakan cinta pada Sulistina. Dengan
berani Bung Tomo menyatakan ingin menjalin hubungan serius dan mengarah pada masa
depan dengan Sulistina. Tak lama setelah Bung Tomo mengutarakan rasanya, kedua insan itu
menjalin hubungan sebagai pasangan kekasih. Mereka menjalin hubungan dengan mesra dan
penuh kasih. Sejak saat itu Bung Tomo tak hanya merasakan semangat membela bangsa. Hari-
hari Bung Tomo kini dipenuhi juga dengan kasih sayang dari Sulistina. Bung Tomo menyebut
hidupnya sejak perkenalan dengan Sulistina dengan “Roman Perjuangan”.

Walau sudah resmi sebagai pasangan kekasih sejak 1946, Bung Tomo dan Sulistina jarang
bertemu. Hal ini karena keduanya memiliki kesibukannya masing-masing. Selain itu, keduanya
juga dipisahkan oleh dua kota yang cukup berjarak jauh yakni Surabaya dan Malang. Keadaan
semakin sulit, karena Surabaya sedang dikuasai sekutu. Terjadi bentrokan antar pemuda
pejuang RI dengan pasukan Sekutu. Bentrokan itu kemudian semakin membesar dan terkenal
dengan nama Pertempuran Surabaya.

Untuk itu, Bung Tomo disibukkan dengan perjuangannya. Pada masa awal hubungan keduanya
terjalin, Bung Tomo sedang menjadi sosok yang diburu sekutu. Hal ini dikarenakan sikap Bung
Tomo yang suka memberontak dan menjadi pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat
Indonesia (BPRI).

Bung Tomo dan Sulistina menjalin hubungan atas dasar saling percaya satu sama lain. Dari sifat
Sulistina yang penuh pengertian itulah yang membuat Bung Tomo semakin cinta pada
perempuan itu. Lamunan Bung Tomo tidak pernah lepas dari sosok Sulistina yang cerdas, baik,
ramah, dan bersahaja.

Sebenarnya, banyak laki-laki yang naksir dan tertarik dengan Sulistina. Namun, Sulistina adalah
sosok perempuan yang selektif dalam menentukan laki-laki untuk menjadi pendamping
hidupnya.

Hal ini membuat banyak laki-laki hanya sebatas mengagumi tapi tidak mendekati Sulistina
dengan berbagai alasan. Salah satunya mungkin dikarenakan Sulistina adalah sosok perempuan
yang disiplin dan selektif.

Hanya sedikit laki-laki yang berani mendekati perempuan berdarah Malang itu, salah satunya
adalah Bung Tomo. Disamping Bung Tomo cinta pada Sulistina, Ia juga mengagumi sosok
perempuan yang terpaut lima tahun dengannya tersebut dari banyak aspek. Dari sikap, sifat,
cara berbicara, kepintaran, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan Sulistina.

Bung Tomo melihat Sulistina sebagai sosok yang tiada duanya. Bisa dibilang Bung Tomo sudah
“cinta berat” dengan perempuan satu ini. Kecintaannya pada Sulistina kadang Ia tuangkan
dalam bentuk lisan dan tulisan, misalnya dalam puisi.

Setelah dirasa sudah menjalin hubungan cukup lama sebagai pasangan kekasih, akhirnya Bung
Tomo memutuskan untuk membawa jalinan ini ke jenjang pernikahan. Pernikahan Bung Tomo
dan Sulistina berlangsung pada 19 Juni 1947 di Malang.

Bukannya berbahagia, keputusan menikah saat masa revolusi menjadi rasa bersalah besar
dalam hati Bung Tomo. Saat itu, masyarakat Indonesia sedang dalam situasi genting dan penuh
tekanan dari penjajah. Pernikahan di masa tersebut bagai hanya memuaskan keinginan dan
kesenangan pribadi.
Pandangan banyak pemuda masa itu, perkawinan yang dilaksanakan di masa revolusi adalah
adat feodal dan ciri egoistis manusia untuk mengejar kebahagiaan pribadi. Revolusi menuntut
pengorbanan dalam segala hal, termasuk perkawinan.

Atas rasa berdosanya tersebut, Bung Tomo melangsungkan pernikahannya atas izin dan
persetujuan dari kelompok pemuda yang dipimpinnya yakni BPRI. Bung Tomo sangat
menghargai kelompoknya dan tidak ingin melangkahi serta mengesampingkan kelompoknya
demi kepentingan pribadinya.

Hal tersebut terlihat dari bahasa iklan pernikahannya di media. Dalam pengumuman tersebut,
Bung Tomo menyatakan meski perkawainan sudah dilangsungkan, mereka tidak menjalankan
kewajiban dan hak sebagai suami istri sebelum ancaman negara dan rakyat dapat dihalaukan.

Izin perkawinan itu diperoleh dari pimpinan BPRI. Bisa dibilang, Bung Tomo beruntung memiliki
teman seperjuangan di BPRI yang memberikan izin tersebut.

Hal yang memaksa Bung Tomo harus menikah pada saat itu adalah sosoknya yang dicari oleh
tentara sekutu. Sekutu yakin provokasi Bung Tomo untuk melawan Belanda pada rakyat telah
sampai pada puncaknya.

Untuk itu, pada 1947, pemerintah Indonesia ingin menerbangkan Bung Tomo ke Australia.
Namun, banyak pemimpin pejuang yang khawatir jika Bung Tomo justru menyukai perempuan
di sana atau terbawa pergaulan bebas di Australia.Atas dasar tersebutlah Bung Tomo
diharuskan menikah terlebih dahulu dengan Sulistina pada Juni 1947.

Akhirnya pernikahan tersebut dilangsungkan secara sederhana. Bung Tomo menyerahkan dua
kain batik kembar sebagai peningset. Peningset sendiri adalah hadiah yang dipersembahkan
untuk mempelai wanita sebagai bentuk penghargaan dan ikatan kasih sayang.

Dalam pernikahan tersebut, Bung Tomo tidak memakai beskap dan kain batik seperti yang
dibayangkan Sulistina. Lelaki itu justru menggunakan pakaian kebesarannya yang
mencerminkan seorang pejuang pembela bangsa. Bung Tomo menggunakan setelan tentara dril
warna hijau, dan topi tentara. Untuk menandakan seorang pengantin, terdapat serangkaian
bunga melati yang melingkar di lehernya.

Sebagai pasangan suami istri, keduanya benar-benar mematuhi syarat yang telah dibuat yakni
tidak berhubungan nsuami istri selama 40 hari. Malam pertama mereka pun diisi dengan canda
tawa dan bercerita tentang pengalaman selama perjuangan.

Anda mungkin juga menyukai