ISBN 978-602-19541-0-2
KATA PENGANTAR
Dengan Senantiasa mengharap rahmat dan ridho Allah S.W.T, atas karunianya Prosiding Seminar
Nasional Pendidikan Matematika I ini akhirnya dapat diselesaikan. Seminar Nasional Pendidikan
Matematika insya Allah merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Program Studi
Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung tiap tahun. Kegiatan ini merupakan sebuah
wadah bagi pendidik, peneliti dan pemerhati pendidikan matematika untuk mendifusikan kajian
ilmiah serta untuk meningkatkan kerjasama diantara peserta.
Persoalan budaya dan karakter bangsa belakangan ini menjadi sorotan masyarakat. Keprihatinan
terkait berbagai aspek kehidupan diungkap dan dibahas di media massa, Selain itu, para pemuka
masyarakat, ahli, pengamat pendidikan, dan pengamat sosial mengangkat persoalan budaya dan
karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun
internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, perilaku kekerasan dan
perusakan, kejahatan seksual, pola hidup yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif,
dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat. Berbagai alternatif penyelesaian telah diajukan
seperti peraturan, undang-undang, dan penegakan hukum yang lebih kuat. Alternatif lain yang
banyak dikemukakan untuk mengatasi atau mengurangi masalah budaya dan karakter bangsa
seperti itu adalah pendidikan. Oleh karena itu, Seminar nasional pendidikan matematika I
mengambil tema Membangun Pendidikan Karakter bagi Calon Pendidik yang diselenggarakan di
Kampus STKIP Siliwangi Bandung pada tanggal 7 Desember 2011.
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi atas
penyelenggaraan Seminar Nasional Pendidikan Matematika ini sehingga berhasil dengan baik,
khususnya kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Cimahi, Bapak Ketua STKIP Siliwangi Bandung
beserta jajarannya, Ketua dan Sekretaris Program Studi Pendidikan Matematika, Steering
Committee serta semua panitia yang telah membantu demi terselenggaranya kegiatan seminar ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kesalahan, dan kekhilafan dalam
penyelenggaraan seminar ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon keikhlasan
Bapak, Ibu Saudara/I peserta seminar untuk memaafkan kami.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. i
KATA SAMBUTAN ............................................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................................... iii
PEMBICARA UTAMA
NASKAH AKADEMIK MATEMATIKA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
OIeh : H.E.T. Ruseffendi .................................................................................................................... 1
PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh : Utari Sumarmo........................................................................................................................ 22
MEMBANGUN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN MATEMATIKA YANG BERKUALITAS
Oleh : Wahyudin ................................................................................................................................ 33
MATEMATIKA PENDIDIKAN
PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER ALA JEPANG DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA DI INDONESIA
Oleh : Euis Eti Rohaeti....................................................................................................................... 43
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Oleh : Asep Ikin Sugandi ................................................................................................................... 50
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR STATISTIS MAHASISWA S-1 MELALUI
PEMBELAJARAN MEAS
YANG DIMODIFIKASI
Oleh : Bambang Avip Priatna Martadiputra(1), Didi Suryadi(2) ................................................... 57
PENINGKATAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SMK MELALUI
PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (Studi Eksperimen pada Sekolah Menengah
Kejuruan Negeri Kelompok Pariwisata di kota Bandung
Oleh : Puji Lestari .............................................................................................................................. 64
KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PEMECAHAN MASALAH MELALUI KOLABORASI
PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN JIGSAW II PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH
KEJURUAN
Oleh : Rudy Kurniawan ..................................................................................................................... 73
PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PENALARAN MATEMATIK SISWA
SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING
Oleh : Masta Hutajulu ....................................................................................................................... 83
MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA DALAM MATEMATIKA MELALUI
PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK
Oleh Nur Izzati ................................................................................................................................... 91
PENERAPAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN STRATEGI REACT UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI DAN REPRESENTASI MATEMATIK SISWA
SEKOLAH DASAR (Studi Kuasi Eksperimen di Kelas V Sekolah Dasar Kota Cimahi)
Oleh : Yuniawatika ............................................................................................................................ 97
iii
iv
PENDAHULUAN
Naskah Akademik ini tidak memuat rasional umum dibuatnya Naskah Akademik itu, tetapi
langsung mengenai Pendidikan Matematika di jenjang SMP. Sebabnya ialah karena yang secara
umum itu sudah ditulis pada Naskah Akademik Satuan Pendidikan yang bersangkutan. Yang akan
diuraikan di bagian pendahuluan ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan dan
ketidakberhasilan siswa belajar. Faktor-faktor itu adalah: Tujuan Pendidikan Nasional sampai
dengan Tujuan Instruksional Khusus atau indikator, hakekat matematika, alasan matematika
diajarkan, matematika sekolah, yang berkepentingan dengan matematika, hakekat pendidikan
matematika, hakekat anak didik, teori belajar-mengajar matematika, guru dan LPTK, kebijaksanaan
penguasa, keadaan masyarakat umum, khususnya matematikawan dan pendidik matematika.
1.1. Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan Pendidikan Nasional kita sangat ideal sebab, selain agar manusia Indonesia sehat jasmani
dan rohani, cerdas, dan sebagainya tetapi juga agar manusia Indonesia bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Konsekuensinya, manusia Indonesia harus beragama. Sehingga bila hasil didikan
kita itu tidak berag:rma itu berarti pendidikan kita itu gagal. Bila manusia hasil didikan kita tidak
beragama, manusia-manusia Indonesia itu sama saja dengan hasil pendidikan yang sekuler.
Seperti kita ketahui, tujuan pendidikan nasional itu dijabarkan ke tujuan institusional, ke tujuan
kurikuler, dan ke tujuan instruksional; di yang lama tujuan instruksional umum dan khusus,
sedangkan di yang baru ke standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator. Kedua-duanya
sama saja merupakan jabaran dari aliran tingkah laku (behaviorist). Dalam tujuan institusional
mengenai satuan pendidikan itu semestinya tercantum apakah sampai dengan SMP itu merupakan
jenjang wajib belajar? Dan pada tujuan kurikulernya sudah tercantum tujuan pembentukan
sikapnya. Masalahnya instrumen untuk melihat hasil belajar itu hampir semuanya hanya mengukur
daerah pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan daerah efektif sering terlupakan.
1.2. Hakekat Matematika
Menunjukkan kebenaran jumlah sudut-sudut pada sebuah segitiga adalah bisa seperti di sekolah
dasar yaitu memotong-motong sudutnya lalu menyambung-nyambungnya pada sebuah garis lurus,
bisa juga dengan bukti formal secara deduktif. Matematika itu adalah seni, maksudnya ialah
matematika itu sesuatu yang indah. Indahnya itu bukan saja pada bentuk-bentuk geometri yang
indah seperti persegi atau persegipanjang padajendela, tabung pada penyanggah bangunan, bentuk
simetris pada pintu dan lain-lain juga pada pembuktian yang secara deduktif. Pembuktian secara
deduktif itu misalnya pembuktian jumlah sudut-sudut pada sebuah segitiga adalah 180o dan
pembuktian jumlah dua buah bilangan ganjil adalah bilangan genap. Pada kedua cara itu, bukti bisa
diselesaikan dalam satu-dua kalimat sedangkan dengan bukti cara biasa, sampai kiamat pun tidak
akan selesai. Bila kita berpendapat matematika itu sebagai seni, pembelajaran matematikanya bisa
tidak formal dan bisa formal juga.
Matematika adalah pelayan ilmu artinya matematika itu harus melayani bidang-bidang studi lain;
melayani fisika, kimia, akutansi, dan lain-lain. Dalam hal ini, matematika yang diberikan di sekolah
harus matematika sebagai ilmu terapan; bukan yang teori.
Kemudian matematika disebut kegiatan manusia karena matematika digunakan oleh manusia di
segala lini kehidupan, seperti orang awam di pasar, supir angkot, pengemudi beca, siswa,
mahasiswa, kantor-kantor, bidang studi lain, dan manusia dalam pengembangan teknologi tingkat
tinggi. Bila demikian maka pembelajaran matematika di tingkat bawah harus kontekstual seperti
PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia).
Demikian sedikit uraian mengenai hakekat matematika.
1.3. Alasan Makanya Matematika Diajarkan di Sekolah
benar lebih banyak daripada temannya, maka anak yang bisa menjawab lebih banyak benarnya itu
adalah anak yang lebih cerdas. Karena dari tujuh komponen itu paling tidak
empat buah mengenai matematika (penalaran, ingatan, kemampuan tilikan ruang, dan kemampuan
mengenai bilangan), maka dapat disimpulkan bahwa matematika itu diajarkan di sekolah adalah
untuk mencerdaskan bangsa.
1.4. Matematika untuk Sekolah Itu yang Mana?
Seperti dikatakan Doll (1993, h.I74), The three R's ... were late-nineteenth-and early twentieth
century creation to the needs of a developing industrial society. Sedangkan waktu itu (tahun 80an) keadaan di kita lain. Sehingga slogannya, tepatnya bukan CALISTUNG tetapi CALISMAT.
Akibat dari isu itu di kita terjadi perubahan ke Kurikulum 1984 kemudian ke Kurikulum 1994,
yang kekhasannya berbau matematika tradisional sehingga buku-buku lama yang sudah mati (tidak
dipakai), bermunculan kembali. Sedangkan di negara-negara maju waktu itu tetap pengajaran
matematika modern. Bahkan sudah dilibatkan kalkulator dalam pembelajaran matematika.
Mengingat telah ditemukannya hasil teknologi canggih seperti kalkulator dan komputer, pada tahun
80-an Amerika Serikat menerapkan kedua alat itu dalam pengajaran matematika. Menurut
ceriteranya hasil penelitian penggunaan kalkulator dalam pengajaran matematika sudah
dikumpulkan: oleh Suydam pada tahun 1977 sebanyak 40 buah, oleh Marylindquist pada tahun
1984 sebanyak 150 buah, dan oleh Reys pada tahun 1987 sebanyak 200 buah. Hasilnya konsisten:
47,5% keunggulan bagi pengguna kalkulator, 45% sama saja, dan hanya 7,5% keunggulan bagi
yang tidak menggunakan kalkultor (Ruseffendi, 1990a, h.74-75). Di Inggris pun demikian pula.
Linggard, Johnson, dan OBrien mengatakan, pada ulangan/ujian pada umunnya, kalkulator boleh
dipergunakan....Yang penting ialah kita harus menghasilkan anak-anak yang dapat berpikir, mampu
menyelesaikan soal pemecahan masalah (problem solving), kreatif dapat memilih matematika
mana yang diperlukan dan mara yang tidak, dan semacamnya. (Ruseffendi, 1990b, h. 38-39).
Mengenai penggunaan kalkulator dalam pengajaran matematika pernah timbul pro dan kontra
seperti dikemukakan oleh majalah Tempo dan Koran harian Pikiran Rakyat.
Majalah Tempo pada tanggal 16 Juli 1983 mengetengahkan pendapat dari beberapa guru SD,
Kepala Sekolah SD, dosen IKIP, dan dosen Non-IKIP. Mereka itu adalah: Lasmaria guru SD
simpang Limun Medan, purnomo sidi kepala SD Ungaran III Jawa Tengah, Wirasto dosen UGM,
Suwarsono dosen IKIP Sanata Dharma Andi Hakirn Nasution guru besar IPB, dan Gunarso guru
besar ITB. Tempo menyimpulkan,
Singkat kata yang cenderung pro maupun kontra pemakaian kalkulator terutama untuk siswa
SD masih mengajukan persyaratan. Ialah, minimal, para murid itu telah menguasai konsep
hitung-menghitung. Bila belum, tidak saja bisa membuat anak malas berpikir', tetapi bisa
mengacaukan konsep matematika pula. (1983, h.27).
Pada tanggal 24 Agustus 1987, Pikiran Rakyat mengemukakan pendapat yang berbeda dari
pendapat-pendapat di atas. Menurut Ruseffendi,
Kalkulator itu tidak akan membuat siswa malas berpikir, bodoh, tidak kreatif dan tidak
terampil berhitung. Tetapi sebaliknya akan membuat siswa menjadi cerdas, kreatif,
pengetahuannya menjadi lebih luas dan dalam, serta berjiwa eksploratif. Penggunaan
kalkulaior dapat dimulai di kelas 1 sekolah dasar (Pikiran Rakyat, l987).
Mengenai penggunaan komputer di Amerika Serikat, di Sekolah Dasar digunakan bahasa komputer
LOGO dan di sekolah lanjutannya dalam menyelesaikan soal-soal matematika waktu itu
menggunakan bahasa komputer Basic.
Selanjutnya, cirri-ciri pengajaran matematika tahun 80-an di Amerika Serikat itu (Ruseffendi,
2006, h. 80-81).
1. Masalah menjadi sentralnya pengajaran matematika.
2. Keterampilan dasar harus lebih daripada keterampilan berhitung.
3. Untuk semua tingkat, pengajaran matematika harus menggunakan kalkulator dan komputer
sedini mungkin.
4. Efektivitas dan efisiensi pengajaran matematika harus diterapkan.
5. Pengukuran hasil belajar siswa harus lebih daripada hanya dengan alat evaluasi yang
tradisional.
6. Semua siswa harus diberi matematika yang lebih banyak melalui program-program yang
lebih fleksibel.
4
6.
Geometry
20) The students have some basic cohcepts with which they can organize and describe space
in a geometiical way.
21) The students can reason geometrically using block building, ground plans, maps pictures,
and data about place, directions, distance, and scale.
22) The students can explain shadow images, can compound shape, and can divise and
identify nets of reguler objects.
Tujuan pembelajatan matematika di atas bukan untuk SMP tetapi untuk SD. Walaupun begitu kita
bisa memanfaatkannya.
1. Tujuan pembelajaran matematika disana ditulis secara sederhana; tidak menjelimet.
2. Kita akan mengetahui dimulainya topik-topik untuk SMp.
3. Siswa harus dapat menggunakan kalkulator.
4. Soal-soal/permasalahannya harus kontekstual
Mengapa mereka menerapkan PMR, karena menurut Treffers , dilihat dari segi matematisasi
horizontal dan vertikal, PMR itu memiliki kedua-duanya sedang yang mekanistik, empiristik dan
strukturalis tidak. Treffers menggambarkannya dalam sebuah bagan sebagai berikut. (1991, h. 32).
Matematisasi horizontal maksudnya ialah bila kita akan menanamkan konsep matematika, konsep
itu terwujud dalam dunia nyata. Contoh konsep pecahan dibawakan dengan menyajikan serabi
yang dipotong-potong. Sedangkan matematisasi vertical adalah penerapan sifat-sifat dari
matematika itu sendiri. Misalnya 2 + 3 = 3 + 2; 45 = 40 + 5.
Mekanistik
Empiris
Strukturalis
realistik
Catatan: + Artinya ada
- Artinya tidak ada
Matematisasi
horizontal
Vertical
+
+
+
+
Mengenai pengelompokan matematika sekolah yang lain adalah dari Keitel (dalam Ernest, 1991, h.
218). Menurut dia, penelompokan matematika sekolah itu,
1. New Math, concerned largely with the introduction of modern mathematical content into the
curriculum, pure or applied.
2. Behaviorist, based on behaviorist psychology, the analisys of content into behavioural
objectives, and in some cases, the use of program instruction.
3. Structuralist, based on the psychological acquisition of the structures and processes of
mathematics, typified by approaches of bruner and dienes.
4. Formative, based on the psychological structures of personal develovement (e.g. Piagets
theory).
5. Integrated-environment, an approach using a multi-disciplinary context, and using the
environment both as a resource and motivating factor.
Berdasarkan kapada pendapat Keitel itu kita melihat bahwa nomor 5 diatas sesuai dengan
pembelajaran tematik yang diterapkan di kelas 1, 2, dan 3 sekolah dasar. Jadi pembelajaran di kelas
1, 2 dan 3 itu harus tematik. Sedangkan dalam PMR (I) yang belum tentu sama dengan
pembelajaran yang tematik. Selain itu yang dimaksud dengan realistik pada PMR (I) itu tidak
selalu harus ada di dunia nyata seperti dikatakan heuvel-Panhuizen (1998),
...the Dutch reform of mathematics education was called realistic is not just connection with
the real-world, but related to the emphasis that RME puts on offering the students problem
situations which they can imagine....For the problems Jo be presented to the students this
means that the context can be a real-world context but this is not always necessary. The fantasy
world of fairy tales and even the formal world of mathematics can be very suitable contexts for
a problem, as long as they are real in the students mind.
Dari uraian yang agak panjang itu kita mengetahui bahwa matematika yang dapat diberikan itu
banyak; beragam. Mulai dari yang tidak formal sampai dengan yang sangat formal, mulai dari yang
penerapannya banyak sampai kepada yang penerapannya minim. Yang berikutnya yang akan
diuraikan itu adalah menganai yang berkepentingan dengan matematika.
1.5. Yang Berkepentingan dengan Matematika
Seperti telah disinggung pada sub judul alasan matematika diajarkan di sekolah, yang
berkepentingan itu banyak. Tetapi ada dua kelompok yang berkepentingan yang bisaaanya
terlupakan yaitu pemerintah dan matematika itu sendiri.
Di bagian depan sudah disampaikan yang berkepentingan dengan matematika yaitu manusia pada
umumnya atau orang awam, siswa, mahasiswa, bidang-bidang studi lain, petugas di kantor dan
lapangan, para peneliti, dan manusia di tingkat tinggi yang tugasnya mengembangkan teknologi
tingkat tinggi. yang dua lagi yang telah disebutkan di bagian atas adalah pemerintah dan
matematika itu sendiri.
Perhatikan sebuah hasil pertandingan intemasional tingkat SMP dalam matematika yang disebut
TIMSS. Peringkat Indonesia di lomba itu adalah 34 dari 38. Sedangkan peringkat 1 adalah
Singapur dan peringkat 5 adalah Jepang. Dan diantara kedua negara itu adalah Korea, Taiwan, dan
Hongkong.
Alasan apa pun untuk dapat diterima mengapa nilai matematika kita itu rendah dibandingkan nilai
mereka, tidak ada. Misalnya karena kita orangnya kecil dan pendek, bagitu pula mereka; karena
rambut kita berwama hitam, bagitu pula warna rambut mereka; karena kita makan nasi, bagitu pula
mereka. Berbeda dengan bila kita bermain sepak bola dengan orang bule dan kita kalah. Orangorang akan menerima alasan itu bila dikatakan karena orang kita kecil-kecil dan pendek.
Dalam keadaan seperti di atas karena secara internasional peringkat matematika anak-anak kita itu
rendah, yang berwajib (dalam hal ini pemerintah) harus segera mencari solusinya. Sebab selain
berkewajiban juga paling mungkin dan berwenang untuk berbuat. Jadi pemerintah termasuk yang
berkepentingan karena pemerintah harus memperbaikinya.
Terakhir yang berkepentingan itu matematika itu sendiri. Kata matematika, Agar aku tidak hilang
dari peredaran, pelajarilah aku. Bila tidak dipelajari, sesuatu itu bisa hilang. Sebagai contoh dulu
anak-anak SD di JABAR mengetahui Aksara Sunda. Sekarang hilang dari peredaran karena tidak
dipelajari. Contoh kedua, dulu kami siswa SMA mengetahui dan menguasai Ilmu Ukur Lukis.
Sekarang anak-anak SMA tidak mengetahuinya karena Ilmu Ukur Lukis itu tidak dipelajari.
Berikutnya yang akan diuraikan itu adalah pendidikan matematika. Apakah itu disiplin ilmu atau
ilmu rekayasa.
1.6. Apakah Pendidikan Matematika Itu Suatu Disiplin Ilmu?
Apakah pendidikan matematika itu suatu disiplin ilmu atau suatu ilmu rekayasa? Sesuatu itu
disebut ilmu rekayasa bila ilmu itu bisa dikaitkan dengan ilmu lain sehingga kombinasinya menjadi
serasi. Seperti arsitektur, adalah ilmu rekayasa. Dalam arsitektur, kita mengaitkan yang satu dengan
yang lain agar bentuknya atau profilnya menarik. Bagitu pula seorang disainer (designer). Ia bukan
seorang pengembang ilmu tetapi seorang perekayasa. Kembali kepada pertanyaan di atas apakah
pendidikan matematika itu disiplin ilmu atau ilmu rekayasa.
Bila pendidikan matematika itu ilmu rekayasa, maka seorang ahli pendidikan matematika itu
menghubungkan topik-topik matematika dengan cara mengajar, alat bantu dan lain-lain sehingga
pembelajarnya berhasil. Jaman dahulu, saya kira sebelum terwujudnya Kurikulum PGBK memang
pendidikan matematika itu seperti itu. Jadi pendidikan matematika itu suatu ilmu rekayasa. Tetapi
sekarang, dalam mengembangkan sesuatu, model pembelajaran misalnya, untuk dapat melihat
cocok tidaknya model pembelajaran itu kita harus melakukan penelitian; seperti kita ketahui. dalam
penelitian itu kita menggunakan metode ilmiah. Seperti kita ketahui juga sesuatu itu disebut metode
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
ilmiah bila ada masalah, studi literatur, hipotesis dan atau pertanyaan-pertanyaan yang operasional,
pengumpulan data, pengolahan data, dan kesimpulan. Jadi, karena dalam pengembangannya itu
pendidikan matematika memerlukan penelitian, pendidikan matematika itu suatu disiplin ilmu.
1.4. Hakekat Anak Didik
Berikutnya yang akan diuraikan, yang dapat mempengaruhi hasil belajar siswa adalah guru dan
LPTK-nya; termasuk di dalamnya siswa dan mahasiswa, dosen, dan sekolah sebagai lembaga.
1.9. Guru dan LPTK
Dalam suatu pembelajaran kita tidak bisa lepas dari kurikulum sekolah
yang direncanakan (C), kurikulum yang diajarkan guru (J), dan hasil
belajar siswa (kurikulum yang diserap siswa (S)). Begitu juga di LPTK
antara kurikulum yang direncanakan (C), kurikulum yang dosen
kuliahkan (J), dan yang mahasiswa peroleh (S). Hubungan antara C, J,
dan S dalam keadaan normal/baik pun dapat seperti di samping ini. Di
LPTK misalnya, tidak semua materi kurikulum bisa diajarkan dosen
kepada mahasiswa, dan tidak semua materi dapat dicernakan oleh calon
guru. Apalagi bila ada dalam keadaan tidak normal, misalnya dosen
tidak memberi kuliah sepenuhnya, cara mengevaluasinya asal-asalan,
dan mahasiswa calon gurunya tidak diseleksi secara ketat (seadanya). Bila demikian mutu guru
yang dihasilkan oleh LPTK seperti itu akan besar dampak negatifnya ke mutu siswa tamatan
sekolah.
Kurikulum LPTK yang betul-betul solid untuk pengembangan pendidikan bidang studi menurut
saya adalah PGBK yang disusun oleh dosen LPTK tahun 1980. Dengan kurikulum itu jelas LPTK
bukan pengembang ilmu rekayasa lagi. Tetapi sayang baru berusia lima tahun, yaitu baru
menghasilkan satu angkatan, kurikulum itu dituduh sebagai biang rendahnya mutu siswa SL.
Menurut saya, tuduhan itu salah sasaran. Kurikulum yang berpengaruh waktu itu adalah kurikulum
LPTK sebelumnya yang justru bobot bidang studinya sangat banyak.
Sebagai pengganti kurikulum PGBK adalah kurikulum Team Basic Science LPTK yang
diprakarsai oleh FMIPA ITB; kerjasama dengan IKIP Bandung. Bedanya antara Kurikulum PGBK
dengan Kurikulum Team Basic Science antara lain adalah: Kurikulum PGBK (KPGBK) memuat
mata kuliah Kapita Selekta Matematika SL sedangkan Kurikulum Team Basic Science (KTBS)
tidak; bobot bidang studi di KPGBK 40% sedangkan di KTBS 60% lebih; KTBS memuat mata
kuliah bersama dari matematika, fisika, kimia dan biologi, sedangkan KPGBK tidak. Tetapi KTBS
ydng dianggap sebagai penyelamat mutu hasil belajar MIPA di SL sampai sekarang belum ada
hasilnya padahal usianya sudah 20 tahun (sudah 15 angkatan).
Adanya perbedaan penekanan bidang studi.di negara lain pun ada misalnya di Negeri Belanda. Di
Twente, mahasiswa tamatan PGBK kita setelah mengambil beberapa mata kuliah-di sana yang non
matematika lanjut dibolehkan mengambil gelar doktor setelah menulis disertasi. Sedangkan di
Utrecht, syarat untuk menjadi mahasiswa 52 pendidikan matematika saja harus bergelar BA dalam
matematika. Materi di S2nya ialah dalam satu tahun hanya matematika, dalam satu semester
berikutnya masih matematika. Baru dalam semester berikutnya menempuh pendidikan matematika
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
yang tidak ada mata kuliah pendidikan umum. Barangkali itulah yang disebut demokrasi di sana;
kedua-duanya disebut ahli pendidikan matematika tetapi matematika yang dimilikinya jauh
berbeda.
sewaktu saya mengambil gelar doktor di osu Amerika Serikat, saya bercerita mengenai visi dan
misi IKIP-IKIP di Indonesia beserta perannya dibandingkan dengan Universitas. Ketua program
pendidikan matematika berkomentar, Bila Amerika Serikat memiliki IKIP-IKIP seperti Indonesia,
banyak masalah pendidikan matematika di Amerika Serikat yang bisa dipecahkan, katanya.
Sedangkan kebijaksanaan kita terbalik; IKIP-IKIP yang sudah ada dilebur menjadi Fakuitas
Pendidikan Bidang Studi atau Program Pendidikan Bidang Studi di Universitas. Tidaklah
kebijaksanaan kita itu akan bernasib sama seperti di Amerika Serikat?
Mengapa ketua program itu mengatakan begitu karena peran dan pendidikan guru di sana, menurut
saya menyedihkan seperti dikatakan Gardner,One-fifth of all 4 year colleges in the United
States must accept every high school graduate within the State regardless of program followed or
grade...even if they do not follow a demanding course of study in high school or perform well.
(1983, h. 20). Selanjutnya dikatakan, Too many teachers are being drawn from the bottom quarter
of graduating high school and colege students. (h.22).
Lebih-lebih, menurut saya, bila kepada tamatan Sl calon guru itu diembel-embeli dengan harus
menempuh pendidikan profesi dalam jangka waktu tertentu. Dan tamatan Sl murninya pun akan
diberi kesempatan mengambil sejumlah mata kuliah untuk bisa menjadi guru. Adilnya kepada
tamatan S1 LPTK pun harus diberi kesempatan untuk menjadi S1 matematikawan.
Alasan kepada diharuskannya Sl tamatan LPTK menempuh program khusus bila ingin menjadi
guru, mungkin karena tamatan fukuitu, kedokteran pun diharuskan seperti itu. Saya kira ini tidak
bisa disamakan sebab bila seorang dokter membuat kesalahan, akibalnya akan sangat fatal. Selain
itu, saya kira, pendidikan kedokteran Sl menjadi 7 tahun pun saya kira peminat menjadi dokter itu
tidak akan berkurang, sebab tamat fakultas kedokteran itu menjanjikan. Sedangkan tamat LPTK,
lain.
Menurut saya bila tamatan Sl LPTK itu tidak atau kurang menguasai bidang studi, solusinya bukan
ditambah jenjang untuk pendidikan profesi, tetapi pertama penggarapan Kapita Selektanya lebih
lama dan setiap calon guru itu sewaktu selesai SMP-nya harus nilainya baik dalam matematika
IPA, dan bahasa. Dididik bagaimana pun kalau tidak memiliki potensi, hasilnya akan tetap jelek.
Kemudian, menurut saya pendidikan matematika itu suatu disiplin ilmu bukan ilmu rekayasa
sehingga programnya itu mestinya menyatu (concurrent). Dan sebaiknya, selama waktu tertenfu
mereka (calon guru) itu harus diasramakan. Sehingga pembentukan kepribadian guru dan
pendidikan karakter budaya bangsa terwujud. Terwujudnya pendidikan karakter itu memerlukan
waktu yang lama. Jadi dalam program yang menyatu itu calon-calon guru akan melihat perilaku,
cara mengajar, cara penilaian, sikap, dan sebagainya yang baik dari seorang dosen yang baik.
Jangan seperti berikut. Kata Bapak dosen senior (alm), Saya menatar guru sekolah dasar mengenai
materi baru dalam matematika modern antara lain himpunan. Salah seorang guru bertanya kepada
saya bagaimana caranya mengajarkan himpunan di sekolah dasar. Kemudian beliau jawab sambil
marah, kok tanya sama saya, semestinya Anda yang seharusnya lebih mengetahui. Jawaban beliau
itu wajar sebab baliau tidak pernah memperoleh pendidikan guru yang sebenarnya.
Selain perlunya dimiliki kepribadian guru oleh seorang guru dan karakter budaya bangsa, yang
dihadapi guru sekarang-sekarang ini lebih berat. Sebab, yang bersekolah dan yang berkemampuan
kurang itu makin banyak. Bila jaman saya dulu yang diterima di SMP dari kelas VI SD yang
banyaknya sekitar 90 orang itu hanya 2 orang, sekarang?
Menurut saya selain karena kualitas tamatan yang masuk ke LPTK itu rendah, bisa jadi juga karena
ulah dari beberapa LPTK sendiri: lamanya/banyak kali kuliah dalam satu set4ester sering paling
lama 8X yang seharusnya 16X; karena kekurangan pelamar, ada yang menerima seluruhnya; dalam
UAS ada yang membiarkan mahasiswa saling meniru; dan ada yang meluluskan semua yang ikut
UAS dengan berpikir nanti pun kalau sudah jadi guru akan bisa. Benarkah itu?
10
1.10.
Kebijaksanaan Penguasa
Peran penguasa dalam pengambilan keputusan bagi pelaksanaan sesuatu itu sangat besar. Bahkan
sering lebih kuat daripada hasil penelitian. Sebagai contoh keunggulan siswa sebagai pengguna
kalkulator dalam pengajaran matematika dibandingkan dengan yang tidak, menurut penelitan
adalah 6:1. Walauprin begitu, karena penguasa tidiak memberi lampu hijau kalkulator boleh
digunakan di sekolah, di sekolah-sekolah kita kalkulator itu tidak digunakan, sampai sekarang.
Contoh kedua, pada tahun 80-an pemerintah menginginkan agar dalam kurikulum matematika itu
ada unsur Tung. Kebijaksanaan ini diambil dari slogan CALISTUNG. Saya kira, pemerintah
waktu itu terpengaruh oleh isu bahwa Amerika Serikat dan Inggris sudah meninggalkan
matematika modem. Padahal khususnya di Amerika Serikat hanya ada gerakan Back to the Basic
yang usianya hanya satu tahun. Dan di Inggris waktu itu tetap pengajaran matematika modern;
buku-buku yang kita sadur, waktu itu di sana tetap dipakai. Akibat dari kebijaksantan itu yang
mengrut saya keliru - buku-buku matematika lama dan buku-buku berhitung lama yang semasa
matematika modern sudah dikubur, bermunculan kembali.
Seperti sudah disampaikan peran penguasa (pemerintah) itu sangat penting dan menentukan.
Karena itu pembantu-pembantunya yang akan menjadi pembisik-pembisiknya harus orang-orang
yang ahli dalam bidangnya.
1.11.
Pendidikan matematika di kita itu sudah melalui berbagai jaman dan berbagai kebijaksanaan.
Tetapi apa yang sudah kita lakukan itu nampaknya tanpa bekas. Pengajaran matematika modern
yang menekankan kepada pengertian, proses, dan penemuan tidak berbekas. CBSA yang pernah
diproyekkan, dilupakan saja. Hasilnya, guru tetap mengajar dengan ceramah atau ekspositori, siswa
belajar pasif, dan hasil belajar siswa tetap minim. Mengapa? Mungkinkah karena: materi
matematikanya salah, gurunya kurang profesional, suasana belajar tidak konduksif, siswanya
kurang dibina, materi kurikulumnya tidak sesuai dengan kemampuan siswa atau mungkin karena
suasana masyarakat kita itu sedang kacau? Bila yang direncanakan dan dilaksanakan secara besarbesaran hasilnya seperti itu, bagaimana rencana kita dalam pemolesan kurikulum dengan sasaran
budaya karakter bangsa, kewirausahaan, manusia aktif dan ekonomi keratif? Nanti kita lihat
melalui uraian dengan butiran-butiran permasalahan di atas.
2.1. Salahkah Materi Matematika Sekolah Kita?
Perubahan yang paling besar dilihat dari berbagai segi termasuk materi matematika adalah pada
perubahan dari matematika tradisional ke matematika modern. Karena itu perubahan dari
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
11
matematika tradisional ke matematika modem itu sering disebut revolusi; revolusi pertama. Dan
sejak itu kurikulum matematika kita tidak banyak berubah. Yang terjadi adalah masuknya topiktopik geometri Euclids kedalam geometri transformasi yang sudah ada. Pemasukan itu sering
menyebabkan konsep dan pembelajaran geometri menjadi rancu. Sebagai contoh seorang pendidik
matematika secara kebetulan berkeliling ke beberapa kota besar di Indonesia dan pada setiap
kesempatan mengajukan pertanyaan, "Apakah setiap persegipanjang itu jajaran genjang?".
Katanya, tidak ada seorang pun yang menjawabnya ,,ya,,. Disimpulkan pemahaman
mahasiswa/guru matematika mengenai geometri itu sangat lemah. Benarkah kesimpulan itu?
Contoh kedua masih mengenai masalah ini.
Pada suatu waktu sekitar tahun 2009, seorang Dosen senior berceritera kirakira, "Pak Rus saya
mengajn mahasiswa ITB sebanyak 30 orang lalu saya menggambar sebuah lingkaran di papan tulis.
Saya penyuruh mereka mencari titik pusat. Seorang pun tidak ada yang bisa. Bila mahasiswa ITB
tidak bisa, apalagi mahasiswa PT lain", katanya. Dapatkah dari contoh 2 ini disimpulkan bahwa
mahasiswa kita makin bodoh?
Menurut saya yang salah di kedua contoh itu bukan mahasiswa atau yang menjawab, tetapi kedua
dosennya. Masalahnya, selama ini generasi muda itu belajar geometrinya terutama geometri
transformasi. Untuk pertanyaan yang pertama, bila dalam geometri Euclids benar bahwa setiap
persegipanjang itu adalah jajarangenjang. Tetapi dalam geometri rransformasi harus pikir-pikir
dulu.
Mengenai pertanyaan kedua juga sama, mereka (mahasiswa) itu tidak mengetahui geometri Euclids
apalagi yang deduktif seperti mencari pusat lingkaran. Generasi tua mengenai hal itu menguasai
karena sejak di SMP pun masalah itu sudah diterima.
Perubahan besar kedua walaupun tidak sebesar revolusi kesatu antara lain ialah mengenai
diterapkannya hasil teknologi canggih sedini mungkin dan masalah menjadi sentralnya pengajaran
matematika. Di negara asalnya revolusi itu terjadi pada awal tahun 80-an. Di kita tidak banyak
berubah karena pertama kalkulator tidak pemah secara resmj dibolehkan dipakai, kedua komputer
di sekolah-sekolah masih belum banyak.
Di negara-negara maju, penggunaan komputer dalam pengajaran matematika itu ada dampaknya
yaitu apakah batang tubuh matemaiika itu mau tetap kalkulus atau matematika diskret.
2.2. Gurunya Kurang Profesional
12
Gambaran dari guru efektif adalah seperti di bawah ini. (Ruseffendi, 206, h.42).
Jadi, menurut saya seseorang yang menguasai bidang studi tertentu dan memiliki sifat-sifat
keguruan serta pekerjaarulya mengajar ia dapat disebut guru professional, walaupun tidak
sempurna. Sedangkan seorang guru professional yang sempurna adalah guru pada tahap IV di
diagramkan di atas.
2.3. Suasana Belajar Kurang Kondusif
Suasana belajar kurang kondusif itu penyebabnya banyak, bisa: ruangannya panas, ruangannya
pengap, bising dari luar, bising dari dalam kelas, gurunya bukan guru yang efektif (profesional)
atau keprofesionalannya kurang, dan sekolahnya ada di lingkungan yang gersang. semuanya itu
akan mengurangi konsentrasi siswa belajar sehingga hasil belajar siswa tidak optimal. Suasana
yang demikian itu dampak jeleknya akan makin besar dalam pelajaran yang memerlukan
konsentrasi yang lebih tinggi seperti pelajaran matematika. Kita lihat beberapa saja yaitu yang
langsung bisa diatasi.
Pertama mengindarkan terjadinya kebisingan atau kegaduhan di dalam kelas. Kegaduhan di dalam
kelas itu bisa terjadi karena ucapan guru tidak jelas. Tidak jelasnya itu mungkin karena bakatnya
begitu (kurang lancar berbicara), ukuran kelasnya besar, dan karena adanya siswa yang suka
merusak suasana belajar mengajar Untuk mengatasinya guru harus pandai mengelola kelas:
memperbaiki diri dan menegur yang berulah tidak baik itu. Kedua, karena guru kurang menguasai
materi pelajaran. Mengatasinya ialah dengan mempelajari materi itu sebelumnya;
lebih lama, lebih luas, dan lebih dalam.
2.4. Siswa Kurang Dibina
Di SMP ini pembinaan siswa harus lebih efektif karena siswanya adalah siswa wajib belajar Besar
kemungkinan siswanya itu ada yang tidak mau melanjutkan bersekolah atau siswa yang bila dibina
secara biasa, belajarnya tidak berhasil. siswa pada kelompok wajib belajar itu mungkin ada yang
bila disuruh belajar itu akan menjawab, "saya ini dari dulu pun tidak mau belajar lagi. Kok
disuruh_suruh. Mau masuk sekolah pun, saya termasuk yang sudah berbuat baik.
Selain itu seperti sudah diuraikan, sejak rama prosentase yang masuk ke SMP dari SD itu makin
besar. Sehingga kemungkin annya, banyak siswa yang tidak mampu didik di SMP itu makin besar.
Agar berhasil belajar, pembinaannya harus khusus. Pembinaan khusus itu misalnya, guru
mengajarnya harus lebih lambat, guru harus lebih sabar dan setelah selesai pelajaran guru harus
menyediakan waktu khusus bagi mereka. waktu khusus itu dipakai oleh guru untuk menjelaskan
hal-hal yang belum dimengerti oleh siswa. Sehingga kumulatif karena tidak memahaminya tidak
terlalu bertumpuk.
13
Tidak cocoknya materi kurikulum matematika di SMP ini menurut saya disebabkan adanya wajib
belajar. Siswa SMP yang jaman dulu tidak memenuhi syarat untuk diterima di SMP menjadi
terpaksa/harus diterima. Seperti di negara-negara maju, usia wajib belajar itu makin tua.
Maksudnya, belajar di sekolahnya harus makin lama. Lebih jelas lagi, bila usia wajib belajar itu
sampai dengan di SMP, maka mereka yang usianya sekitar 15 tahun ke bawah harus bersekolah.
Sedangkan bila usia wajib belajar itu sampai dengan SMA maka mereka yang usianya 18 tahun ke
bawah harus bersekolah. Itu yang dimaksud usia belajar itu makin tua.
Mengingat hal itu makin maju suatu usia wajib belajar, prosentase siswa yang tidak mampu didik
di jenjang wajib belajar itu makin banyak. Seperti di Inggris misalnya, wajib belajar itu sampai
dengan usia 16 tahun. Ini menyebabkan makin banyak siswa yang kurang memahami topik
tertentu. Topik-topik atau tahap deduktif, di sana hanya dipahami oleh 5% siswa SMA. Karena itu
geometri yang diberikan di sana bukan geometri Euclids tetapi geometri Transformasi. (Elliott
dalam Ruseffendi, 1990c, h.l7). Untung di kita karena kita menggunakan buku mereka masalah itu
tidak begitu banyak terjadi.
Karena hadirnya siswa wajib belajar di SMP, apakah tidak lebih baik bila programnya dibagi dua?
Misalnya program akademik dan non akademik.
2.6. Suasana Masyarakat Luas
Masyarakat kita sekarang, menurut saya sedang sakit. Sedang menderita tekanan darah tinggi: lekas
tersinggung. Kalah bertanding sepak bola mengamuk; sampai-sampai wasitnya dikejar, kereta api
dilempari, dan stadionnya dibakar. Merasa diliciki dalam pemilihan, rakyat protes; panitia
pemilihan lurah misalnya, dikejar karena menghitung suaranya diduga tidak benar. Kampung
dengan kampong berkelahi karena masalah kecil. Dan kadang-kadang wakil rakyat pun bertengkar.
Keadaan seperti itu dapat memberi contoh yang tidak baik kepada generasi muda. Yang sering
dicontoh oleh manusia itu bukan perilaku baik tetapi perilaku yang jelek dan terutama yang bakal
menguntungkan. Perhalikan Percobaan Baruda. Pada percobaannya ia menyediakan 3 ruang
percobaan A, B, dan C dan sebuah ruangan lain D yang berisi orang-orangan; kecuali D isi ruangan
bisa dilihat dari luar.
Di ruang A ada orang yang sedang memukul-mukul orang-orangan. Di ruangan B ada orang dan
orang-orangan yang sama tetapi orang itu tidak memukulinya. Dan di raungan C tidak ada apa-apa
(kosong). Kemudian ada 3 kelompok siswa andaikan kelompok X, Y, dan Z. Mereka masingmasing dibawa untuk melihat dari luar ruangan A, B, dan C; X ke A saja, Y ke B saja, dan Z ke C
saja. Setelah itu masing-masing secara bergilir disuruh masuk ruangan D. Dari ketiga kelompok
siswa itu ada yang berbuat aneh yaitu kelompok X. Mereka memukuli orang-orangan yang ada di
ruangan D sedangkan kelompok Y dan Z tidak. Di situ kelihatan bahwa mereka berbuat itu karena
meniru. (dalam Ruseffendi 2006,h.171).
Jadi, agar peniruan itu terjadi kepada yang baik-baik, manusia-menusia di masyarakat itu harus
berperilaku baik.
2.7. Bagaimana Bisa Terwujudnya Pendidikan Karakter Budaya Bangsa, Kewirausahaan. Ekonomi
Kreatif dan kepribadian yang aktif?
Dalam Pendidikan Matematik a, adaobjek langsung dan objek tidak langsung. (Gagne dalam
Reseffendi 2006, h. 163). Objek langsung adalah materi matematika yang diberikan. Sedangkan
objek tidak langsung ialah perilaku atau sikap orang yang telah memperoleh objek langsung itu.
Karena matematika itu rasional, hemat, cermat, tepat, indah, dan tidak ambiguity, maka sifat yang
tumbuh itu yaitu objek tidak langsung pada orang yang memperoleh matematika itu. Selain seperti
itu yaitu rasional, hemat, dan sebagainya itu juga akan menjadi manusia yang kreatif dan mampu
memecahkan masalah.
Tentu saja, pembelajarannya pun harus mendorong terhadap terwujudnya objek tidak langsung itu.
Bila objek langsungnya matematika tradisional maka objek tidak langsung yang akan tumbuh itu
14
akan minim sekali. Begitu pula soal-soalnya harus yang menyebabkan manusia kita berpikir, bukan
dengan soal-soal rutin. Soal-soal yang sifatnya menantang terdapat antara lain pada soal-soal GRE.
Contoh-contoh soalnya seperti sebagai berikut. (Ruseffendi, l99l h.346-349).
cara menjawab: Tulis di titik-titik A bila bersama di A lebih besar, B bila besaran di B lebih besar,
C bila kedua besaran sarna, dan D bila hubungan tidak bisa ditentukan menurut informasi yang di
ketahui.
Soal No. 4-6 didasarkan kepada gambar kubus berikut. Isi titik-titik dengan nama gambar.
4.
5.
6.
Soal no. 7 - 8 didasarkan kepada uraian berikut. Isilah titik-titik. Andaikan kita menggunakan
sistem numerasi baru dengan angka-angka *, I, <, H, , E, , V, X, dan yang berturut-turut
sebagai pengganti 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9.
Jumlah dari V + + H = ....
<
Hitunglah I< +
Andaikan dari sekolah kita untuk menyebrang itu sukar karena banyak kendaraan yang lewat
dan jalannya cepat-cepat. Ditanyakan:
1) Bagaiman kita bisa meyakinkan petugas LLAJR bahwa di depan sekolah kita itu sudah
perlu dipasang jalan penyeberangan.
2) Jalan penyeberangan apa yang bisa kita buat? Beri alasan masing-masing.
10. Berapa cm kubik volum badan Anda? Bagaimana menghitungnya?
7.
8.
9.
Itulah beberapa contoh yang dapat membantu sifat kreatif siswa dalam mewujudkan ekonomi.
Berikutnya ialah bagaimana bisa membentuk budaya karakter bangsa.
Tujuan pendidikan nasional kita antata lain adalah membentuk manusia yang bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensinya orang-orang Indonesia itu harus beragama. Kemudian
demi mewujudkan manusia Indonesia yang beragama itu bisa melalui pendidikan pancasila dan
pendidikan agama. Jadi dengan berpegang kepada dua hal itu kepribadian bangsa kita yang agamis
dapat terbentuk. Apakah dengan kedua hal itu karakter budaya bangsa Indonesia dijamin bisa
terwujud? Menurut saya sudah sebab kepribadian kita yang diwujudkan oleh agama itu kepribadian
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
15
yang ideal bagi setiap bangsa mana pun. Jusku bila kita lterobsesi oleh kebudayaan bangsa kita,
kepribadian agama kita itu bisa tercemar, misalnya kita bisa menjadi syirik, kita bisa berbangga,
kita bisa mengutamakan urusan dunia daripada urusan akhirat, dan lain-lain.
Terakhir mengenai kewirausahaan. Kelihatannya masalah ini sukar dijangkau oleh pendidikan
matematika. Satu-satunya yang mungkin ada kontribusinya kepada kewirausahaan adalah
pembentukan sikap yang diharapkan terjadi pada para kewirausahaan agar kewirausahaannya itu
berhasil. Sifat-sifat itu, seperti sudah disampaikan, mampu memecahkan masalah, kreati{ cermat,
rasional/nalar, ekonomis, dan hemat. Ini sesuai dengan kepribadian yang tumbuh kepada mereka
yang mempelaj ari matematika.
Singkatnya uraian mengenai pembelajaran matematika di SMP sekarang adalah sebagai berikut.
Tetapi ini hanya berupa sinyalemen. Tidak bisa disimpulkan sebagai sesuatu yang kebenarannya
pasti. Sebab kesimpulan yang baik itu harus dilakukan berdasarkan penelitian. Kelihatannya adalah
sebagai berikut.
Permasalahan pembelajaran geometri itu terjadi karena adanya masukan topik-topik geometri
Euclids kepada geometri transformasi. Pembelajarannya seperti pembelajaran matematika
tradisional karena pemah ada kebijaksanaan TUNG pada Kurikulum 1984 dan terutama pada
Kurikulum 1994. Mutunya rendah disebabkan karena tidak sedikit guru dan siswanya kurang
berkualitas. Dan suasananya agar siswa belajar aktif tidak kondusif. Tetapi sebenarnya, sesuai
dengan hakekat matematika, bila pembelajarannya baik manusia aktif dan kreatif itu bisa terjadi.
III. BAGAIMANA PENDIDIKAN MATEMATIKA DI WAKTU YANG AKAN DATANG?
Bagaimana semestinya pendidikan matematika di SMP yang juga membawa empat buah misi itu
yaitu karakter budaya bangsa, kewirausahaan, ekonomi yang kreatif, dan kepribadian yang aktif.
Agar pendidikan matematika kita, khususnya di SMP, terwujud dengan baik terdapat empat pilar
yang harus diyakini bahwa semuanya itu benar. Pertama percaya kepada matematika untuk siswa
dan bahwa matematika itu benar dan berguna. Kedua percaya kepada pendidikan matematika yang
harus dikembangkan secara ilmiah. Ketiga percaya bahwa cara belajar siswa dan cara mengajar kita
itu benar. Dan keempat percaya bahwa kehidupan yang harus diutamakan itu kehidupan beragama.
Apakah setiap orang yang menjadi guru akan dapat berpikir seperti itu? Tentu saja tidak. Yang bisa
berpikir seperti itu hanya orang yang cukup pintar. Menurut saya harus orang yang nilai
matematika, IPA, dan bahasanya baik di jenjang sebelum adarrya pengelompokan ke dalam MIPA
dan NON-MIPA. Dengan singkat, calon guru itu harus orang yang nilai matematika, IPA, dan
bahasanya baik.
3.1. Percaya kepada Matematika yang Baik bagi Siswa
Dalam pendahuluan sudah diuraikan bahwa matematika sekolah itu beragam. Kita harus yakin
bahwa matematika sekolah yang kita pilih itu benar dan cocok bagi siswa kita. Sesuai dengan
keadaan siswa wajib belajar, matematikanya masih perlu ada yang tidak formal dan programnya
beragam atau terbagi dalam dua program; program akademik dan program non akademik.
Walaupun begitu untuk program akademik atau siswa pandai pendekatan deduktifnya yang secara
penuh harus dibatasi. Bila kita akan menerapkan PMRI misalnya maka matematisasi horizontal dan
vertical di SD, SLTP, dan SLTA adalah sebagai berikut.
16
Menurut saya bila kita akan menerapkan PMRI di sekolah, makin tinggi jenjangnya makin sedikit
matematisasi horizontal diperlukan. Dan bila ingin melihat dari segi keformalannya, pembelajaran
matematika di SMP itu campuran antara yang tidak formal dan yang formal. Di SD tidak formal
sedangkan di SMA formal setelah sistem aksiomatiknya dikeluarkan untuk jadi pelajaran pilihan.
Mengapa kita harus yakin bahwa matematika yang kita pilih itu benar dan berguna bagi siswa,
sebab bila tidak bisa salah seperti dalam contoh berikut.
Pertama seorang ahli PMR dari Negeri Belanda mengatakan dalam ceramahnya bahwa matematika
modern itu maia petaka. Padahal Bell (1978,h. 64) mengatakan, In balancing the positive and
negative assessments of the new math revolution, most well - informed people arrive at the
conclusion that new math is neither dismal failure nor an overwhelming success.
Ada lagi yang mengatakan, "Bila PMRI kita ingin berhasil kita harus membuang matematika
modern jauh-jauh". Padahal waktu saya menyajikan kegiatan lapangan yang topiknya dan
penyajiannya dari matematika modem (Ruseffendi, 2006, h. 536) seorang ahli PMR dari Belanda
memujinya.
Seorang lagi mengatakan, Dalam pengajaran matematika sebelum PMRI rumus-rumus seperti
rumus panjang keliling lingkaran 2R harus dihapalkan tanpa penjelasan sedangkan dalam PMRI
dijelaskan. Pernyataan itu benar, bila bicaranya di Negeri Belanda sebab sebelum PMR di Negeri
Belanda diterapkan pengajaran matematikanya'itu yang mekanistik (matematika lama). Sedangkan
di kita, yang begitu itu sejak pengajaran matematika modern sudah dijelaskan.
1
orang berikutnya dari Pusat (Jakarta). Katanya,siswa tidak bisa menyelesaikan soal seperti 4 : 2 2
Berarti penguasaan matematika dari siswa itu jelek. Kata Heuvel-Panhuizen, di Belanda operasi
hitung formal dengan pecahan tidak lagi termasuk dalam kurikulum inti. Tetapi operasi dengan
pecahan itu supaya terjadi pada masalah kontekstual yang sederhana. Bila dikontekstualkan tentu
1
saja bisa. Misalnya, ada karung pupuk. Lalu dimasukkan kedalam sebuah karung yang besarnya
1
2 kali lebih besar. Berapa bagian dari isi karung yang besarnya 2 kali itu? Tetapi menurut saya
2
2
itu adalah soal yang dibuat-buat sehingga menjadi kontekstual.
Berikutnya lagi, seorang doctor dan guru besar dari Negeri Belanda memberitahu saya bahwa ia
kedatangan orang kunci dalam kurikulum di DEPDIKNAS. Ia membawa sebongkah buku-buku
matematika yang pemah digunakan di kita (Indonesia) sewaktu jaman Belanda. Ia bilang, Saya
ingin agar matematika yang diberikan di sekolah Indonesia itu seperti ini (menunjuk kepada bukubuku yang dibawanya) sehingga siswa menjadi pandai dalam matematika seperti saya.
17
Jawabnya, "Saya tidak memberi komentar, tetapi saya berkata dalam hati,"orang ini tidak
mengetahui bahwa Belanda sendiri sudah berubah", katanya. Orang-orangyangdisebutkan di atas (5
orang) dan dua orang lagi yang sudah dibicarakan di bagian depan sama-sama menyukai
matematika. Yang keliru adalah pemahamannya tentang sesuatu dalam matematika. Dengan kata
lain premisnya salah.
Yang berikut ini dua orang yang cenderung untuk tidak menyukai matematika karena persepsinya
terhadap matematika dan matematikawan itu tidak benar.
Pertama seorang ahli agama terkenal yang bernama Al-Ghazali. Ia mengatakan, "Tidak satu pun
hasil-hasil matematika,katanya,terkait dengan agama. Karena itu, matematika bukanlah subjek
yang diharamkan. Walaupun demikian, kata Al-Ghazali, matematika menyebabkan banyak bahaya
dan sangat seling menjadi penyebab kekafrran". (dalam Hoodbhoy, 1996, h. 184).
Kedua adalah sikap seorang delegasi Saudi pada suatu konperensi tingkat tinggi di Kuwait pada
tahun 1983. Dikatakan, "Delegasi Saudi mengatakan bahwa sains murni condong menghasilkan
'kecenderungan Mu'tazilah' yang secara potensial merupakan keyakinan bid'ah. Sains adalah
sesuatu yang profane karena bersifat sekuler; menurut pendapat mereka, sains menentang
keyakinan Islam. Walaupun..., sains mumi seharusnya dihambat, demikian menurut
delegasi.Saudi". (Hoodbhoy, 1996, h. 66-67). Padahal mereka berbicaranya itu pada konperensi
mengenali dan menyingkirkan kemacetan perkembangan sains dan teknologi di dunia Arab.
Dari pendapat kedua orang terakhir itu kita bisa mengambil kesimpulan bagaimana orang akan
dapat berhasil membawakan pembelajaran matematika bila ia berpendapat seperti mereka di atas
atau meragukan kegunaannya.
3.2. Percaya bahwa Pendidikan Matematika itu Suatu Disiplin Ilmu
Bahwa pendidikan matematika itu adalah suatu disiplin ilmu dan bukan suatu ilmu rekayasa sudah
diuraikan. Dosen, guru, dan orang-orang yang berkepentingan harus mempercayainya. Dengan
demikian pengembangannya harus dilakukan secara ilmiah dan paling tidak melibatkan anak didik,
matematika yang diajarkan calon guru, guru, dan dosennya. Bahwa untuk menjadi guru yang
professional itu calon guru harus belpengalaman guru sedini mungkin dan terus menerus calon
guru itu memperoleh berbagai ilmu dan pengalaman sehingga ia menjadi seorang guru yang utuh.
Dan seperti sudah disampaikan, dalam jangka waktu tertentu, calon guru itu harus diasramakan.
Karena itu program gurunya bukan program konsekutif tetapi program simultan (concurrent).
Kita yang terlibat di dalamnya harus sepakat untuk melakukan pembelajaran pendidikan untuk
bangsa kita itu bukan hanya melalui impor saja sebab belum tentu hasil penelitian di sana akan
cocok bagi anak-anak kita. Misalnya: apakah perkembangan mental anak-anak kita sesuai dengan
hasil penelitian Piaget bagi bangsanya? Apakah tipe belajar anak-anak kita sesuai dengan yang
Gagne temukan? Apakah tahap-tahap pemaham siswa dalam geometri di kita sama dengan yang
ditemukan Van Hiele? Apakah prosentase siswa SMA yang dapat memahami sistem deduktif
hanya 50lo seperti di Inggris? dan lain-lain.
Masalahnya di kita, penguasa itu sering lebih percaya kepada pemikirannya sendiri daripada
kepada hasil penelitian. Mungkin hasil penelitian orang-orang kita itu dianggapnya belum benar?
3.3. Percaya bahwa Cara Siswa Belajar dan Cara Guru Mengajar yang Dilaksanakan adalah yang
Terbaik
Pada masa sekarang strategi pembelajaran yang guru bawakan itu sangat kurang yaitu: pembawa
materi adalah guru sendiri dengan materi pelajaran yang sempit, penyaji materinya adalah guru
sendiri, pendekatannya kalau tidak formal yang formal, dan ukuran kelasnya pada umumnya adalah
sangat besar. Padahal warna atau macam strategi belajar mengajar itu lebih dari 1400 macam.
Kemungkinannya makanya strategi pembelajaran yang guru gunakan itu hanya sebuah, mungkin
karena guru tidak megnetahui atau mengetahui hanya untuk melakukannya malas, tidak mau capecape. Bila alasannya yang kedua, itu berani strategi pembelajaran yang guru bawakan itu bukan
18
yang terbaik. Jadi semestinya warna strategi belajar-mengajar yang guru bawakan itu yang terbaik
dan guru yang bersangkutan harus yakin bahwa strategi yang dipilihnya benar.
Dalam melaksanakan tugasnya itu ada kekurangannya. Mungkin karena guru tidak diberi
peluangan untuk itu. Semestinya kalau tugas guru mengajar itu 24 jam per minggu, jangan
seluruhnya dipakai untuk mengajar. Tetapi sebagian daripadanya dipakai untuk responsl: Misalnya
18 jam mengajar dan 6 jam respons/ Enam jam untuk respong dipakai oleh guru setelah guru
memberi pelajaran dan digunakan oleh setiap siswa yang memerlukan. Jadi setelah guru itu
mengajar, waktu itu juga ia masuk kantor dan menerima siswa yang dalam pelajaran tadi siswa
belum mengerti. Dengan demikian ketidakmengertian siswa itu tidak akan kumulatif. Dan, bila
terjadi kumulatif, kemungkinan besar siswa yang bersangkutan menjadi tidak menguasai
matematika.
Kemudian dalam membawakan pembelajarannya guru tidak bisa lepas dari membuat instrumen
sebagai alat evaluasi. Di sini pun guru harus yakin bahwa instrumen yang dibuatnya itu benar dan
baik. Seperti sudah disampaikan untuk tumbuhnya sifat kreatif, nalar, dan mampu memecahkan
masalah siswa supaya diberi soal-soal yang menantang. Sedangkan di kita sering yang rutin-rutin
saja. Dalam menyelesaikan soal sebagai berikut 24 x 17 misalnya perhatikan perbedaan antara
anak-anak di kita pada umumnya dengan anak-anak di Inggris sewaktu saya berkunjung ke London
tahun 1994. waktu saya berkunjung ke sana itu saya
mempunyai kesempatan membuka-buka buku pekerjaannya. Tidak ada seorang pun yang
mengerjakannya seperti di kita. Nampak dengan cara di London itu siswa lebih tejadi mengerti
daripada cara-cara anak-anak kita. Selain itu di sana sudah jarang sekali mengerjakan soal-soal
rutin dalam operasi hitung dengan bilangan-bilangan besar. Sedangkan di kita sewaktu saya
berkunjung ke suatu sekolah dasar, banyak. siswa bedam-jam mengerjakannya sedangkan guru
bertugas sewaktu siswa menyerahkan jawabannya saja; di luar itu nganggur. soal-soal itu misalnya:
274+325+144=;315x86=; dan 39796 : 64
Mengenai tingkat kesukaran soal-soal pun harus dibedakan. Sesuai dengan normalnya kemampuan
sekelompok siswa, maka dalam satu set soal itu yang mudah, sedang, dan sukarnya masing-masing
sekitu 30%, 50%, dan 20%. Begitu pula masing-masing di setiap kelompok lemah, sedang, dan
kuat sekitar itu.
3.4. Dalam Hidup Ini Kita Harus Mendahulukan Kepentingan Agama daripada Urusan Dunia
Seperti sudah disampaikan Tujuan Pendidikan Nasional kita itu antara lain adalah membentuk
manusia yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Konsekuensinya manusia Indonesia itu
harus beragama. Dalam setiap hgama kita tidak boleh mencuri, membunuh, menyakiti makhluk
Tuhan dsb. tetapi harus sebaliknya kita harus menyayangi, membantu, menolong dsb. satu sama
lain. Di dunia, khususnya di kita sekarang-sekarang ini tidak sedikit ada pencurian, perampokan,
pembunuhan, tindakan anarkhis, perbuatan sadis, perbuatan tidak manusiawi, pengrusakan,
pembobolan uang Negara, dan lain-lain. Tindakan perbuatan yang jelek-jelek itu perbuatan orang
yang tidak beragama atau yang agamanya hanya pengakuan saja?
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
19
Mendahulukan urusan agama itu artinya bukan kita hanya melakukan urusan agama dan
meninggalkan urusan dunia, tetapi berbuat dalam urusan dunia itu karena amanah Tuhan. Dengan
kata lain bila kita menjabat, itu bukannya kita mendapat kekuasaan, tetapi memperoleh amanah
dari Tuhan.
Bila kita berpegang kepada prinsip itu dan melaksanakannya, insyaallah dunia ini akan aman.
Sebab bila orang memeluk agana dengan sebagaimana mestinya ia akan menjadi manusia yang
jujur, adil, akan acuh kepada orang lain, akan memegang jabatan sebagai amanah, akan berpikir
rasional dan objektif, dan sebagainya Adanya orang yang berpikir aneh seperti Al-Ghazali dan
wakil Saudi mengenai sains murni (termasuk matematika) adalah karena ketidakpahamannya.
orang-orang yang seperti itu pandangannya mengenai sains harus diluruskan.
Selain dari pihak agama yang berpandangan kolot, dari pihak komunis dan atheis pun harus dijaga.
Bila golongan agama yang berpandangan kolot cenderung untuk menghambat kemajuan
matematika, golongan komunis dan atheis menghalangi kita untuk beragama seperli disampaikan
oleh Habeyb,
Komunisme...paham yang menghendaki kehidupan manusia bersendikan kepunyaan bgrsama
dari segala sesuatunya (lanjutan dari sosialisme). . . .Ffikum-hukum alam, katanya, sudah
terkandung dalam cosmos dan tidak ada hubungannya sarirasekali dengan apa yang disebut
Tuhan. Segala sesuatu dan kepercayaan tentang Tuhan hanyalah khayalan manusia saja yang
harus dibasmi sampai ke akir-akamya. Karena ini adalah musuh besar dari ajaran Komunisme.
(1981, h. l98-199).
Selanjutnya dikatakan,
Dalam hubungannya dengan agama menurut Lenin, Marxisme memandang semua agama
modern dengan segala tempat ibadahnya dan semua organisasi agama sebagai alat-alat dari
kaum borjuis untuk mempertahankan penjajahan mereka dan untuk meracuni masyarakat kelas
buruh.
Agama sebagaimana di-definisikan oleh Marx adalah candu bagi rakyat. Setiap pikiran tentang
agama dan tentang Tuhan dan setiap detik sangkaan bahwa Tuhan itu ada merupakan suatu
kejahatan yang paling berbahaya, suatu penyakit yang paling gila di dunia ini... (1981 ,h.228).
Bila kita beragamanya dengan benar tentunya kita akan mampu menjelaskan kepada orang-orang
komunis dan atheis bahwa Tuhan itu ada. Bahwa agama samawi itu, paling tidak sumbernya adalah
Tuhan yang Maha Esa. Demikianlah sedikit uraian mengenai Naskah Akademik Matematika SMP.
Mudah-mudahan ada gunanya. Amin!
20
DAFTAR PUSTAKA
21
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh : Utari Sumarmo
Abstrak
Pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari
pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam
tujuan pendidikan nasional. Nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter meliputi: religius, jujur,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah
air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli
sosial, dan tanggung jawab. Pada dasarnya pendidikan karakter tidak diajarkan secara tersendiri namun
bersamaan waktu dengan pembelajaran tiap bidang studi termasuk matematika, melalui: pemahaman,
pembiasaan, keteladanan dan contoh, serta pembelajaran yang berkelanjutan. Pembelajaran tidak dapat
disederhanakan dalam bentuk resep, karena melibatkan beragam unsur antara lain: pengetahuan bidang studi
dan dan pedagogi pembelajarannya, siswa dan karakteristiknya, dan diskursus atau lingkungan belajar.
Melalui pendekatan pembelajaran apapun, perlu diupayakan agar siswa belajar secara aktif, mencapai belajar
matematika secara bermakna serta memiliki karakter yang terpuji.
Kata kunci: pendidikan karakter dan nilai, pemahaman, pembiasaan, keteladanan dan contoh, pembelajaran
yang berkelanjutan, belajar aktif, belajar bermakna, tugas matematik, diskursus
A. Pendidikan Budaya dan Karakter
Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan dan mengembangkan nilai-nilai
budaya dan prestasi masa lalu menjadi nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang sesuai dengan
kehidupan masa kini dan masa datang. Pendidikan juga merupakan usaha sadar suatu masyarakat
dan bangsa
dalam mempersiapkan generasinya untuk menghadapi tantangan demi
keberlangsungan hidup di masa datang. Proses di atas merupakan proses penting dan berkelanjutan
yang harus dilakukan dalam semua mata pelajaran.
Beberapa alasan esensialnya Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dikembangkan pada siswa
dikemukakan oleh Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Indonesia (ALPTKI)
sebagai berikut (Ghozi, 2010):
1) Karakter sebagai perekat kultural yang memuat nilai-nilai: kerja leras, kejujuran, disiplin, etika,
estetika, komitmen, rasa kebangsaan dll.
2) Pendidikan Karakter merupakan proses berkelanjutan
3) Pendidikan Karakter sebagai landasan legal formal untuk tujuan pendidikan dalam ketiga
ranah
4) Proses pembelajaran sebagai wahana pengembangan karakter dan IPTEKS
5) Melibatkan beragam aspek pengembangan peserta didik
6) Sekolah sebagai lingkungan pembudayaan peserta didik
Dalam konteks pembangunan nasional, pendidikan berfungsi: (1) pemersatu bangsa, (2)
penyamaan kesempatan, dan (3) pengembangan potensi diri. Dalam UU No 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3 tercantum sebagai berikut: Pendidikan Nasional
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Rumusan tujuan di atas
merupakan rujukan utama untuk penyelenggaraan pembelajaran bidang studi apapun, yang selain
memuat kemampuan kognitif yang disesuaikan dengan bidang studi juga menekankan pada
pengembangan budaya, dan karakter bangsa. Adapun nilai-nilai yang dikembangkan dalam
pendidikan budaya dan karakter bangsa meliputi: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras,
22
kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai
prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial,
dan tanggung jawab (Ghozi, 2010, Pusat Kurikulum).
Dalam menghadapi era informasi dan suasana bersaing yang semakin ketat, pengembangan
kemampuan dalam bidang studi dan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa di atas
merupakan suatu keniscayaan untuk dilaksanakan dalam pembelajaran setiap bidang studi
demikian juga dalam pembelajaran matematika. Pengembangan kemampuan matematika dan
nilai di atas termuat dalam rumusan tujuan pembelajaran matematika yaitu: a) memahami konsep
matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma
secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah, b) menggunakan penalaran
pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun
bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, c) memecahkan masalah; d)
mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas
keadaan atau masalah, dan e) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
sikap rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan
percaya diri dalam pemecahan masalah (KTSP, 2006).
Butir-butir a) sampai dengan d) dalam rumusan tujuan pembelajaran matematika di atas
menggambarkan kemampuan matematik dalam ranah kognitif, sedang butir e) melukiskan ranah
afektif yang harus dimiliki siswa yang belajar matematika. Dalam pembelajaran matematika
pembinaan komponen ranah afektif akan membentuk disposisi matematik yaitu: keinginan,
kesadaran, dedikasi dan kecenderungan yang kuat pada diri siswa untuk berpikir dan berbuat
secara matematik dengan cara yang positif dan didasari dengan iman, taqwa, dan ahlak mulia.
Pengertian disposisi matematik seperti di atas pada dasarnya sejalan dengan makna yang
terkandung dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. Dengan demikian pengembangan
budaya dan karakter, kemampuan berpikir dan disposisi matematik pada dasarnya dapat
ditumbuhkan pada siswa secara bersama-sama.
Polking (1998) mengemukakan bahwa disposisi matematik meliputi sikap atau sifat: 1) rasa
percaya diri dalam menerapkan matematika, memecahkan masalah, memberi alasan dan
mengkomunikasikan gagasan, 2) lentur dalam menyelidiki gagasan matematik dan berusaha
mencari beragam cara memecahkan masalah; 3) tekun mengerjakan tugas matematik; 4) minat,
rasa ingin tahu, dan dayatemu dalam melakukan tugas matematik; 5) cenderung memonitor dan
menilai penalaran sendiri; 6) mengaplikasikan matematika dalam bidang studi lain dan kehidupan
sehari-hari; 7) apresiasi terhadap peran matematika dalam kultur dan nilai, matematika sebagai alat,
dan sebagai bahasa. Hampir serupa dengan pendapat Polking (1998), Standard 10 (NCTM, 2000)
mengemukakan bahwa disposisi matematik menunjukkan: rasa percaya diri, ekspektasi dan
metakognisi, gairah dan perhatian serius dalam belajar matematika, kegigihan dalam menghadapi
dan menyelesaikan masalah, rasa ingin tahu yang tinggi, serta kemampuan berbagi pendapat
dengan orang lain.
Pengertian disposisi matematik di atas pada dasarnya sejalan dengan makna yang terkandung
dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pembelajaran matematika perlu
mengutamakan pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter, kemampuan
berpikir dan disposisi matematik yang terintegrasi dan dilaksanakan secara bersamaan.
Pengutamaan tersebut menjadi semakin penting manakala dihubungkan dengan upaya menyiapkan
lulusan yang kelak diharapkan dapat memenuhi tuntutan kemajuan IPTEKS dan suasana bersaing
yang semakin ketat, serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai.
23
Pembelajaran matematika merupakan suatu kegiatan yang kompleks, melibatkan berbagai unsur
seperti guru, siswa, matematika dan karakteristiknya, dan situasi belajar yang berlangsung. Oleh
karena itulah pembelajaran tidak dapat disederhanakan menjadi suatu resep untuk membantu siswa
belajar. Paling sedikit terdapat dua hal yang menjadi alasan bahwa pembelajaran tidak dapat
dirumuskan dalam bentuk resep. Pertama, pembelajaran melibatkan pengetahuan tentang: topik
matematika yang akan diajarkan, perbedaan siswa, cara siswa belajar, lingkungan kelas, lembaga
pendidikan dan masyarakat. Selain hal umum seperti di atas, guru juga harus mempertimbangkan
hal-hal khusus misalnya: karakteristik topik yang akan diajarkan dan pedagogi mengajarkannya.
Kedua, sebagai implikasi bahwa pembelajaran melibatkan berbagai domain, maka guru juga harus
menetapkan: cara mengajukan dan merespons pertanyaan, cara menyajikan idea matematika secara
tepat, berapa lama diskusi perlu dilaksanakan, jenis dan kedalaman tugas matematika, dan
keseimbangan antara tujuan dan pertimbangan.
Adalah rasional bahwa tak ada satu pembelajaran yang paling sesuai untuk mengembangkan
semua kemampuan, proses, dan disposisi matematik. Namun demikian, dalam pendekatan dan
strategi pembelajaran apapun yang perlu mendapat perhatian adalah ketercapaian belajar bermakna
pada siswa. NCTM (Webb dan Coxford, Eds, 1993) mengemukakan beberapa saran kepada guru
untuk melaksanakan pembelajaran matematika secara bermakna antara lain: memilih tugas
matematik yang tepat, mendorong berlangsungnya belajar bermakna, mengatur diskursus
(discourse), dan berpartisipasi aktif dalam pembelajaran sehingga tercipta suasana belajar yang
kondusif.
a)
b)
c)
d)
e)
24
Tabel 1
Perubahan Pandangan dalam Pembelajaran
No.
1.
2.
Dari pandangan
Kelas sebagai kumpulan individu
Melayani siswa secara serupa untuk
keseluruhan
No
1.
2.
3.
3.
4.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
5.
9.
10.
Ke arah pandangan
Kelas sebagai masyarakat belajar.
Melayani siswa sesuai dengan minat,
kekuatan, harapan, dan kebutuhan masingmasing
Seleksi dan menyesuaikan kurikulum secara
fleksibel.
Guru membimbing siswa berpikir logis
Guru sebagai pendidik, motivator, fasilitator,
dan manajer belajar
Menekankan pada pemahaman, penalaran dan
proses menemukan idea matematika secara
aktif
Menekankan pada menyusun konjektur,
menemukan, dan memecahkan masalah
Kerjasama antar guru untuk memajukan
program matematika
Masyarakat belajar dengan kerjasama dan
urunan tanggung jawab dan perhatian.
"Connecting mathematics, its ideas, and its
application..
Berman, (dalam Costa, Ed. 2001) menyarankan sembilan strategi pembelajaran untuk
mengembangkan berpikir terbuka dan pemahaman yang kritis pada siswa, yaitu: 1) Ciptakan
lingkungan yang aman, 2) Ikuti cara berpikir siswa, 3) Dorong siswa berpikir secara kolaboratif, 4)
Belajarkan cara bertanya dan bukan cara menjawab, 5) Belajarkan tentang keterkaitan, 6) Anjurkan
siswa berpikir dalam multi persepektif, 7) Dorong siswa agar sensitif, 8) Bantu siswa menetapkan
standar dan bekerja dalam pandangan positif untuk masa depan, dan 9) Berikan
kesempatan/peluang kepada siswa untuk berbuat sesuai dengan jalan pikirannya.
Saran lain dikemukakan Meissner (2006) yaitu agar guru memperhatikan perkembangan individual
dan sosial, menyajikan masalah yang menantang atau masalah berkenaan dengan penalaran, serta
mendorong siswa mengajukan idea secara spontan. Kemudian, Nicholl (2006) menyarankan
beberapa langkah agar individu menjadi kreatif yaitu: kumpulkan informasi sebanyak-banyaknya,
berpikir dari empat arah, ajukan beragam idea, cari kombinasi yang terbaik, dan sadari aksi yang
berlangsung.
Berkenaan dengan pendidikan budaya dan karakter, pada dasarnya nilai-nilai tidak dapat diajarkan
dalam satu bidang studi dan periode waktu tertentu, tetapi dikembangkan secara aktif dan
berkelanjutan dalam semua bidang studi melalui empat cara yaitu: 1) memberi pemahaman yang
benar tentang pendidikan karakter, 2) pembiasaan, 3) contoh atau teladan, dan 4) pembelajaran
bidang studi secara integral (Ghozi, 2010, Sauri, 2010). Berikut ini disajikan ilustrasi keempat cara
pengembangan karakter dalam pembelajaran matematika.
1) Memberi pemahaman yang benar tentang pendidikan karakter.
Pada dasarnya pemahaman terhadap nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter
serupa dengan penanaman pemahaman terhadap kemampuan dan disposisi matematik.
Misalnya dalam belajar matematika siswa tidak hanya untuk memiliki kemampuan ranah
kognitif yaitu berpikir matematik namun juga didukung dengan pemilikan disposisi matematik
sedemikian sehingga siswa berkeinginan untuk melaksanakan tugas-tugas matematik
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
25
2) Pembiasaan.
Pembiasaan diposisi matematik seperti halnya dengan pembiasaan karakter dan nilai
hendaknya dilakukan secara berkelanjutan melalui pembiasaan selama pembelajaran.
Misalnya pembiasaan bersikap jujur, disiplin, kerja keras/ulet, kritis, kreatif, mandiri dan rasa
ingin tahu dibangun melalui pembiasaan pemberian tugas matematik yang menantang sesuai
dengan kebutuhan dan tahap perkembangan intelektual siswa.
3) Contoh atau teladan.
Nilai dan karakter tidak diajarkan namun dikembangkan melalui teladan perilaku guru.
Andaikan diharapkan siswa bersikap jujur, disiplin, kerja keras/ulet, kritis, kreatif, mandiri
dan rasa ingin tahu maka guru harus memberi teladan bersikap yang sama. Misalnya: 1) Guru
adil dan jujur dalam menilai hasil belajar siswa, dan dalam menyusun karya ilmiah; 2) Guru
memberi pelayanan kepada siswa sesuai dengan kebutuhannya; 3) Guru kreatif menerapkan
berbagai pendekatan pembelajaran yang relevan disertai dengan tugas matematik yang kritis
dan kreatif dan tidak melaksanakan pembelajaran dan memberikan tugas yang rutin dari
tahun ke tahun
4) Pembelajaran matematika secara integral.
Dalam pembelajaran topik-topik matematika
pengembangan kemampuan, disposisi
matematik serta nilai-nilai dilaksanakan secara integral, tidak parsial, dan tidak terpisah-pisah
sehingga pengembangan ranah yang satu mendukung pengembangan nilai-nilai dan ranah
lainnya.
Memperhatikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter, isi Tujuan Pendidikan
Nasional dan Tujuan Pembelajaran Matematika, karakteristik disposisi matematik serta beberapa
saran untuk pembelajaran matematika dapat dirangkumkan kesetaraan nilai-nilai tersebut dan
contoh ilustrasi pembelajaran yang relevan seperti tercantum pada Tabel 2. Perlu diperhatikan
bahwa ilustrasi pembelajaran yang tercantum pada kolom terakhir pada Tabel 2 di bawah ini
diawali dengan pemberian pemahaman kepada siswa terhadap pentingnya pendidikan karakter dan
pemilikan kemampuan dan disposisi matematik. Selain itu, kegiatan yang tercantum dalam ilustrasi
pembelajaran tadi perlu dilaksanakan secara integral, saling berkaitan, dan berkelanjutan sesuai
dengan falsafah belajar sepanjang hayat. Dengan demikian diharapkan pembelajaran akan
menghasilkan siswa dengan kemampun dan disposisi matematik yang tinggi serta memiliki
karakter yang terpuji.
Tabel 2.
Kesetaraan Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter,
Tujuan Pendidikan Nasional, dan Disposisi Matematik dan
Ilustrasi Suasana Pembelajarannya
N
Pendidikan
karakter
No
1.
Religius
2.
3.
4.
Jujur
Disiplin
Toleransi
26
Nilai-nilai dalam
Tujuan Pendidikan Nasional,
Tujuan Pembelajaran dan
Disposisi Matematik
Beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa
No
N
Pendidikan
karakter
Nilai-nilai dalam
Tujuan Pendidikan Nasional,
Tujuan Pembelajaran dan
Disposisi Matematik
Mengapresiasi peran matematika
dalam kultur dan nilai,
matematika sebagai alat dan
bahasa, dan kegunaan
matematika dalam kehidupan
Bekerja dengan cakap, bergairah,
dan berpikir secara akurat,
efisien, dan tepat
5.
Menghargai
prestasi
6.
Kerja keras
7.
Kreatif
8.
Mandiri
9.
10.
Gemar
membaca
11.
Bersahabat/
komunikatif
12.
Peduli
lingkungan
27
Pendidikan
karakter
No
13.
Demokrasi
14.
15.
16.
Nilai-nilai dalam
Tujuan Pendidikan Nasional,
Tujuan Pembelajaran
Matematika dan Disposisi
Matematik
Menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung
jawab.
Pada dasarnya, untuk melaksanakan pembelajaran matematika berbasis pendidikan karakter dapat
dipilih beragam pendekatan pembelajaran yang inovatif berpandangan pada falsafah
konstruktivisma yang mengutamakan siswa belajar aktif dan bermakna, mengembangkan nilai-nilai
dalam pendidikan karakter serta beragam kemampuan dan disposisi matematik siswa. Namun,
komponen penting yang harus diperhatikan guru dalam merancang pembelajaran adalah
penyusunan bahan ajar dan pemilihan tugas latihan yang tepat.
Beberapa pendekatan pembelajaran matematika inovatif yang telah dilaksanakan dan memberikan
hasil kemampuan dan disposisi matematik siswa yang lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar
melalui pembelajaran konvensional di antaranya adalah sebagai berikut.
1) Gabungan pembelajaran tak langsung dan langsung untuk siswa SMP (Suryadi, 2005,
Sumarni, 2005) dan untuk siswa SMA (Maya, 2005). Dalam pendekatan ini
konsep/prinsip/teori disajikan dalam bentuk yang belum jadi, melalui kasus atau masalah
kontekstual yang kemudian secara bertahap siswa dibimbing menemukan konsep/prinsip/teori
secara bermakna yang dilanjutkan dengan pemecahan masalah yang lebih kompleks.
2) Pembelajaran berbasis masalah, penemuan, eksplorasi, kontekstual dan investigasi untuk siswa
SMP (Mahmudi, 2010, Rohayati, 2005, Rohaeti, 2009) dan untuk siswa SMA (Ratnaningsih
dan Herman, 2006, Sugandi, 2010, Syaban, 2008, Wardani, 2009). Pendekatan pembelajaran
di atas hampir serupa dengan pendekatan pada Butir 1) yang diawali dengan penyajian
masalah kontekstual yang tertutup dan yang open-ended.
3) Pendekatan IMPROVE untuk siswa SMP (Rohaeti, 2003), pendekatan metakognitif untuk
siswa SMA (Muin.2005, Nindiasari, 2004); pendekatan Analitik Sintetik pada siswa SMA
(Mulyana, 2008); pendekatan Model Eliciting Activities (Permana, 2010). Dalam pendekatan
ini kepada peserta didik diajukan sejumlah pertanyaan yang bukan sekadar hafalan namun
yang mendorong peserta didik memberikan jawaban disertai dengan alasannya.
4) Berbagai strategi belajar kooperatif untuk siswa SMP dan SMA (Kariadinata, 2002, Mudzakir,
2004, Pomalato, 2005, Sugandi, 2001, Wardani, 2002). Dalam strategi ini siswa belajar
menelaah bahan ajar yang didiskusikan dalam kelompok kecil, kemudian masing-masing
membuat laporan berdasarkan hasil diskusi dan atau merevisi laporan awalnya.
5) Pembelajaran dengan memanfaatkan ICT untuk siswa SMA (Kariadinata, 2001, 2005,
Rohendi, 2009, Yaniawati, 2005, Yonandi, 2009). Bahan ajar dalam pembelajaran ini dikemas
dengan memanfaatkan fasilitas ICT dan menggunakan bahasa pemograman tertentu atau
disajikan dalam website yang dapat diakses peserta didik di kelas atau di laboratorium
komputer.
28
Berikut ini disajikan beberapa contoh tugas latihan dalam kemampuan matematik tingkat tinggi
(tidak rutin), bersifat menantang dan mendorong tumbuhnya disposisi matematik dan
pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan karakter.
Contoh 1. Butir soal mengukur kemampuan pemahaman matematik siswa SMA (Permana, 2010)
Pak Aman memiliki kebun sperti pada gambar di bawah ini. Ukuran sudut BDA adalah
, BD = CD dan panjang sisi AB adalah a unit. Nyatakan panjang BC dalam a and .
B
A
D
C
a. Tulis semua konsep matematika yang digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
b. Nyatakan arti konsep tersebut dengan kata-katamu sendiri.
c. Tulis model matematika masalah tersebut dan selesaikanlah.
Contoh 2. Butir tes komunikasi matematik (Yonandi, 2010)
Sebuah kompleks perumahan mempunyai beberapa blok. Di sebuah blok yaitu blok melati terdapat
beberapa rumah bernomor terdiri dari tiga angka yang berbeda dan nilainya lebih besar dari 640
tetapi lebih kecil dari 860 serta hanya mengandung angka 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9.
a. Ilustrasikan permasalahan tersebut ke dalam bentuk bagan !
b. Dari gambar tersebut, buatlah model matematika kemudian selesaikanlah model yang kamu
buat untuk menentukan banyak rumah yang ada di blok melati !
Contoh 3. Butir tes pemecahan masalah matematik siswa SMP (Mahmudi, 2009)
Budi dan Adi berjalan dari rumahnya ke sekolah. Adi berangkat pukul 6 lebih a menit dan tiba di
sekolah pukul 7 kurang b menit Budi berangkat pukul 6 lebih b menit dan tiba di sekolah pukul 7
kurang a menit. Perjalanan Adi dan Budi dari rumah ke sekolah berturut-turut selama 25 menit dan
15 menit. Pukul berapa Adi dan Budi tiba di sekolah? Jelaskan jawabanmu.
Contoh 4: Butir tes mengukur kemampuan penalaran analogi matematik siswa SMA (modifikasi dari
Sumarmo, 1987)
E
F
Serupa
dengan
D
C
A
Contoh 5. Butir tes mengukur kemampuan penalaran generalisasi untuk siswa SMA, (Syaban, 2008).
29
B1
B2
B3
B4
B5
30
C1
A1
A2
A3
A4
A5
Dari gambar di atas diketahui panjang A1 B1 = 10 cm. Tentukan jumlah panjang garis A1B1 + A2B2
+ A3B3 + A4B4 + A5B5 + ... Sifat apa yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan tersebut?
Berikan penjelasan.
Contoh 6: Butir tes mengukur kemampuan berfikir kritis matematik. (untuk siswa SMA)
Jika fungsi g dua kali fungsi f, maka absis titik ekstrim g dua kali absis titik ekstrim fungsi f.
Benarkah pernyataan di atas? Berikan penjelasan disertai dengan ilustrasi/contoh yang relevan.
Contoh 7: Butir tes mengukur kemampuan berfikir kritis matematik
lim
sin 2x
2 cos 2x
- 4 sin 2x
lim
lim
x 0
x 0
3x
3
0
Cara kedua:
lim
sin 2x
sin 2x
2
2 2
lim
x
1 x
x
0
3x
2x
3
3 3
x 0
x 0
Analisislah tiap langkah kedua penyelesaian di atas! Kemudian tetapkan pada langkah mana terjadi
kesalahan pada masing-masing cara penyelesaian di atas. Sertakan teorema atau aturan yang
mendasari tiap langkah penyelesaian tersebut
Contoh 8. Butir tes mengukur kemampuan berfikir kreatif matematik siswa SMA
a)
b)
Diberikan fungsi g dengan persamaan g(x) = ax2 + bx + c dan garis y = mx +n. Susun
beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan grafik g dan grafik y = mx +n dan kemudian
selesaikanlah.
Nilai ulangan matematika siswa kelas I sebagai berikut:
5, 7, 8, 4, 7, 7, 9, 6, 7, 5, 6, 6, 8, 4, 4, 7, 8, 8, 6, 7, 5, 8, 6, 9, 8, 7, 7, 6, 8, 7, 8
i) Sajikan data tersebut dalam model matematika yang mudah dipahami, dan sertakan alasan
mengapa anda pilih model tersebut.
ii) Perkirakan apakah kelas tersebut memperoleh nilai yang baik? Jelaskan alasanmu
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Jakarta: BNSP.
Berman, S. (2001) Thinking in context: Teaching for Open-mindeness and Critical
Understanding dalam A. L. Costa,. (Ed.) (2001). Developing Minds. A Resource Book for
Teaching Thinking. 3 rd Edidition. Assosiation for Supervision and Curriculum
Development. Virginia USA
Ghozi, A. (2010). Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa dan Implementasinya dalam
Pembelajaran. Makalah disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Tingkat Dasar Guru
Bahasa Perancis Tanggal 24 Okober s.d 6 November 2010
Hendriana, H. (2009). Pembelajaran dengan Pendekatan Methaporical Thinking untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematik dan
Kepercayaan Diri Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi pada Sekolah Pasca
Sarjana UPI : tidak diterbitkan.
Herman, T. (2006) . Pengembangan Kemampuan Pemecahan Masalah, Penalaran, dan
Komunikasi Matematik Siswa SLTP melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi.
30
31
32
Pada peringatan hari Pendidikan Nasional tahun ini yang bertemakan "Pendidikan Karakter sebagai
Pilar Kebangkitan Bangsa dengan Subtema Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti," Menteri
Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh, mengatakan bahwa manusia dalam dunia pendidikan
merupakan subjek sekaligus objek. Keilmuan sebagai medianya, memanusiakan manusia sebagai
salah satu tujuannya. "Inilah yang membuat pendidikan itu kompleks, menantang namun sangat
mulia." Namun demikian, pendidikan karakter di Indonesia yang rencananya sudah mulai
diberlakukan tampaknya masih belum dapat dijalankan oleh kebanyakan sekolah dasar maupun
sekolah menengah. Beberapa alasan yang mungkin untuk keadaan tersebut antara lain sekolahsekolah belum sedemikian siap, dan masalah ketersediaan referensi yang memadai dan
komprehensif untuk pelaksanaan pendidikan karakter di lapangan. Peristiwa baru-baru ini terkait
perilaku kekerasan oleh sejumlah siswa SMA kembali menekankan perlunya pendidikan karakter
sebagai salah satu prioritas dalam bidang pendidikan.
Saat ini, buku pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang
dikeluarkan oleh pihak Balitbang Kemdiknas tampaknya masih menjadi satu-satunya acuan yang
dapat diakses secara mudah oleh banyak orang, selain, tentu saja, dokumen Desain Induk
Pendidikan Karakter Kementrian Pendidikan Nasional. Terkait pendidikan matematika, dalam
buku pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dicantumkan enam nilai
untuk diintegrasikan dan dikembangkan dalam mata pelajaran matematika, yaitu: kerja keras,
tekun, teliti, pantang menyerah, kreatif, dan rasa ingin tahu. Namun demikian, dokumen resmi dari
pemerintah yang cakupannya umum tersebut tidak mencantumkan referensi-referensi buku atau
pedoman lainnya yang mungkin membantu para pelaksana pendidikan karakter di lapangan,
terutama terkait bidang studi.
Dengan mengingat situasi dan kebutuhan pada periode awal pemberlakuan pendidikan karakter di
negara ini, tampaknya kita perlu secara terbuka mengangkat referensi-referensi yang memang telah
dikaji, diadopsi, dan digunakan oleh para penggagas dan pengembang program tersebut. Hal ini
dimaksudkan supaya para pengkaji dan pelaksana di lapangan dapat pula secara langsung
mengkaji, berwacana, serta memperkaya pengetahuan dan keterampilan mereka terkait
pengintegrasikan nilai-nilai ke dalam praktek pembelajaran yang sudah mereka biasa berlakukan
selama ini.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
33
Pendidikan karakter di Indonesia tampaknya tidak lepas dari pengaruh sejumlah program
pendidikan karakter yang telah lebih dahulu digagas dan diprogramkan di negara-negara lain,
misalnya Amerika Serikat. Program pendidikan karakter yang terkemuka di Amerika Serikat antara
lain adalah Character Counts yang mengangkat The Six Pillars of Character dan Character
Education Partnership yang mengangkat Eleven Principles of Effective Character Education dan
Character Education Quality Standards (ini dapat diakses melalui website: www.character.org).
Namun demikian, terdapat kenyataan bahwa bidang pendidikan karakter selama ini penuh dengan
kontroversi teoretis dan filosofis. Ini terutama terkait definisi karakter itu sendiri, fokus dari
pendidikan karakter, dan beragam pendekatan untuk implementasinya. Misalnya, sebagai refleksi
kemelut tersebut, Michael Davis (2003) dalam artikelnya Whats Wrong with Character
Education1 merangkumkan program-program pendidikan karakter yang dominan di Amerika
Serikat ke dalam: 1) pendidikan moral sederhana (esensinya, pendidikan moral Kohlbergian2 di
dalam kelas), di mana para siswa belajar bagaimana berpikir melalui situasi-situasi moral untuk
dapat tiba pada pertimbangan atau keputusan moral terbaik dari suatu situasi; (2) pendidikan moral
just-community (praktek pendidikan karakter berdasarkan pandangan Dewey yang menekankan
pengambilan keputusan demokratis di luar kelas), di mana para siswa diundang untuk ikut serta
dalam proses demokrasi untuk mendiskusikan semua aspek kehidupan sekolah; dan, (3) pendidikan
karakter sederhana (mencoba untuk membangun karakter baik di dalam maupun di luar kelas
dengan menekankan perilaku yang baik), di mana nilai-nilai tertentu telah ditetapkan sejak awal
dan para siswa diminta untuk mempraktekkannya secara berulang-ulang.
Dalam artikel tersebut, Davis menyatakan bahwa pendidikan moral sederhana hanya memiliki efek
kecil pada karakter, dan bahwa just-community tidak memiliki efek lebih besar, dibanding
pendidikan moral sederhana, meski memiliki resiko dan biaya jauh lebih tinggi. Senada demikian,
jenis pendidikan karakter yang paling dominan yaitu pendidikan karakter sederhana dipandang oleh
Davis memiliki tiga kelemahan yang mengarahkan kita untuk menolaknya: kelemahan dari segi
empirik (tidak adanya bukti bahwa pendidikan karakter jenis ini memang melakukan apa yang
diklaimnya), kelemahan dari segi konseptual (konflik antara apa yang dimaksud karakter yang baik
dan cara yang pendidikan karakter sederhana usulkan untuk mengajarkannya), dan kelemahan dari
segi moral (kegagalan untuk melakukan hal-hal yang benar untuk alasan-alasan yang benar).
Kritikan Davis berangkat dari posisi bahwa pendidikan karakter adalah sebarang upaya yang
dilakukan sekolah untuk meningkatkan karakter siswa sedemikian hingga mereka lebih cenderung
untuk melakukan apa yang sepantasnya dilakukanbukan hanya saat ini tetapi dalam rentang
waktu panjang di masa yang akan datang. Berdasarkan definisi yang diyakininya, efek-efek jangka
pendek bukan bagian dari karakter, dan karakter merupakan disposisi yang tertanamkan.
Secara umum, Davis (2003) melihat bahwa kebanyakan program pendidikan karakter
memperlakukan pendidikan karakter layaknya pendidikan yang bersifat fisik, dalam arti bahwa
semakin seseorang mengulang kata-kata terkait karakter, maka semakin mungkin seseorang itu
menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dengan penggunaan istilah moral
calisthenics, yang meliputi antara lain menyimak cerita-cerita tertentu, mengulang kata-kata
tertentu, melakukan sekian pengabdian kepada masyarakat yang disyaratkan, atau mematuhi
aturan-aturan tertentu untuk mendeskripsikan pendidikan karakter seperti itu, Davis mengkritik
bahwa kita tidak dapat memaksa siswa untuk menginternalisasikan karakter yang baik melalui
perulangan. Namun demikian, meski tidak ada evidensi yang kuat mendukung pendidikan karakter
sederhana, pendidikan karakter seperti demikian terus berkembang digunakan di Amerika Serikat.
Selain itu juga terdapat kritikan-kritikan lain mengenai hal bahwa pendidikan karakter di Amerika
1
M. Davis, Whats Wrong with Character Education dalam American Journal of Education, Vol. 110, No. 1 (The
University of Chicago, 2003): 32-57.
2
L. Kohlberg, The Psycology of Moral Development, Essays on Moral Development, Vol. 2 (New York: Harper and
Row, 1984).
34
Serikat bersifat mengurangi motivasi intrinsik, fokus pada perilaku bukan pada perkembangan
moral sebenarnya, kegagalan menyoroti realitas sosioekonomi, kurangnya asesmen, kurangnya
penyiapan guru, serta banyak argumen lain yang menempatkan keraguan kuat pada gerakan
pendidikan karakter secara keseluruhan (Noll, 2006; Burke, et al., 2001; Rossides, 2004; Colorado
Board of Education, 2000; Wakefield, 1997).
Namun demikian, pihak lain, misalnya Character Education Partnership (2005)3, mengemukakan
klaim sebaliknya bahwa terdapat banyak program pendidikan karakter yang efektif mengangkat
perkembangan karakter dalam diri siswa. Selain itu, Battistich4 merangkumkan sekumpulan
evidensi bahwa pendidikan karakter yang berkualitas tidak saja efektif untuk mengangkat
perkembangan karakter yang baik, tetapi juga merupakan pendekatan pencegahan yang
menjanjikan bagi berbagai masalah dewasa ini seperti perilaku agresif dan antisosial,
penyalahgunaan obat-obatan, perilaku seksual bawah umur, tindak kejahatan, prestasi akademik
yang buruk, dan kegagalan dalam persekolahan.
TREND PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA
Di dalam dokumen Desain Induk Pendidikan Karakter yang dikeluarkan oleh Kemdiknas (2010)
ditegaskan pandangan bahwa perilaku seseorang yang berkarakter pada hakekatnya merupakan
perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif,
afektif, konatif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosial kultural dalam konteks interaksi dan
berlangsung sepanjang hayat.
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat
dikelompokkan dalam: Olah Hati, Olah Pikir, Olah Raga dan Kinestetik, dan Olah Rasa dan Karsa.
Keempat proses psikososial ini secara holistik dan koheren memiliki saling keterkaitan dan saling
melengkapi yang bermuara pada pembentukan karakter yang menjadi perwujudan dari nilai-nilai
luhur. Secara diagramatik, koherensi keempat proses psikososial tersebut dapat digambarkan
menggunakan diagram Venn sebagai berikut.
OLAH PIKIR
Cerdas,
Kreatif
OLAH RAGA
Sehat dan
Bersih
Perilaku
Berkarakter
OLAH HATI
Jujur
Bertanggung
jawab
OLAH RASA
DAN KARSA
Peduli
Gotong
royong
jawab
Dokumen tersebut juga menegaskan bahwa Pendidikan karakter di Indonesia mempercayai adanya
keberadaan moral absolute, yakni bahwa moral absolute perlu diajarkan kepada generasi muda
agar mereka paham betul mana yang baik dan benar. Selain itu, pendidikan karakter kurang
sepaham dengan cara pendidikan moral reasoning dan value clarification yang digunakan sebagai
strategi dasar pendidikan karakter di Amerika Serikat, karena sesungguhnya terdapat nilai moral
3
M.W. Berkowitz, et al., What Works in Character Education: A research driven guide for educators (Character
Education Partnership, 2005).
4
Victor Battistich, Character Education, Prevention, and Positive Youth Development, (Univeristy of Missouri, St.
Louis. Character Education Partnership. Website.)
35
universal bersifat absolut yang bersumber dari agama-agama, disebut the golden rule. Misalnya,
berbuat hormat, jujur, bersahaja, menolong orang, adil dan bertanggung jawab. Selanjutnya
dinyatakan pula bahwa pendidikan karakter di Indonesia mempunyai makna lebih tinggi daripada
pendidikan moral, karena ia bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah,
tetapi lebih dari itu juga menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga
peserta didik menjadi paham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu
merasakan (domain afektif) nilai yang baik, dan biasa melakukannya (domain perilaku).
Dengan pandangan tersebut, pendidikan karakter di Indonesia tampaknya terkait erat dengan habit
atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan atau dilakukan. Dalam hal pembentukan dan
rekayasa lingkungan yang mencakup antara lain lingkungan fisik dan budaya sekolah, manajemen
sekolah, kurikulum, pendidik, dan metode mengajar, dokumen Desain Induk Pendidikan Karakter
menggariskan bahwa pembentukan karakter melalui rekayasa faktor lingkungan dapat dilakukan
melalui strategi: (1) keteladanan, (2) intervensi, (3) pembiasaan yang dilakukan secara konsisten,
dan (4) penguatan. Dengan kata lain dokumen itu menegaskan bahwa perkembangan dan
pembentukan karakter memerlukan pengembangan keteladanan yang ditularkan, intervensi melalui
proses pembelajaran, pelatihan, pembiasaan yang terus-menerus dalam jangka panjang secara
konsisten dan penguatan, serta harus dibarengi dengan nilai-nilai luhur.
Salah satu dokumen resmi lain yang penting terkait pendidikan karakter di Indonesia adalah
dokumen pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dari Puskur Balitbang
Kemdiknas (2010). Berdasarkan dokumen tersebut, pada prinsipnya pengembangan budaya dan
karakter bangsa, atau singkatnya pendidikan karakter, tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan
tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah.
Pada prinsipnya, pembelajaran yang digunakan dalam pendidikan karakter di Indonesia
mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa
sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan
mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai
sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip tersebut, peserta didik belajar melalui proses
berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan
peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk melihat diri
sendiri sebagai mahluk sosial.
Untuk lebih jelasnya, pada konteks makro, program pengembangan nilai/karakter dapat
dideskripsikan sebagai berikut:
Agama, Pancasila,
UUD 1945, UU No.
20/2003 tentang
Sisdiknas
Teori
Pendidikan,
Psikologi,
Nilai, Sosial
Budaya
Nilai-nilai
Luhur
Pengalaman terbaik
(best practices), dan
praktek nyata
SATUAN
MASYAPENDIDIKAN KELUARGA RAKAT
Perilaku
Berkarakter
HABITUASI
PERANGKAT PENDUKUNG
Kebijakan, Pedoman, Sumber Daya, Lingkungan,
Sarana dan Prasarana, Kebersamaan, Komitmen
pemangku kepentingan
36
Pada konteks mikro, pendidikan karakter berpusat pada satuan pendidikan formal dan nonformal
secara holistik. Secara mikro pengembangan karakter dibagi dalam empat pilar, yakni kegiatan
belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk pengembangan budaya satuan
pendidikan formal dan nonformal, kegiatan kokurikuler dan/atau ekstrakurikuler, serta kegiatan
keseharian di rumah dan masyarakat. Ini dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Integrasi ke dalam KBM
pada setiap Mapel
KBM
DI KELAS
BUDAYA SEKOLAH:
KEGIATAN
(KEGIATAN KEHIDUPAN
EKSTRA
KESEHARIAN DI SATUAN
KURIKULER
PENDIDIKAN)
KEGIATAN
KESEHARIAN
DI RUMAH
Penerapan pembiasaan
kehidupan keseharian
di rumah yang sama dengan
di satuan pendidikan
Di lingkup sekolah, ini menuntut para guru dan sekolah untuk mengintegrasikan nilai-nilai yang
dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), silabus, dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sudah ada.
Pelaksanaan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa memerlukan berbagai perubahan dalam
proses pendidikan yang sedang berlangsung di sekolah saat ini. Meski demikian, perubahan itu
tidak mengubah kurikulum yang berlaku, melainkan menghendaki sikap baru dan keterampilan
baru dari para guru, kepala sekolah, dan konselor sekolah.
Ringkasnya, dengan mengkaji pandangan dari kedua dokumen resmi di atas kita dapat
menggarisbawahi bahwa pendidikan karakter di Indonesia tidak menganjurkan penerapan moral
reasoning dan value clarification. Tampak pula kecenderungan ke arah penekanan habituation
dalam prosesnya, di mana karakter yang diuraikan sebagai nilai-nilai dikembangkan dalam mata
pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah.
PENDIDIKAN MATEMATIKA YANG BERKUALITAS
37
Di Amerika Serikat, salah satu peristiwa sejarah yang berpengaruh menentukan terhadap
matematika, dan pendidikan matematika khususnya, adalah peluncuran Sputnik 1 oleh Uni Soviet
pada tahun 1957. Peristiwa ini menandai dimulainya era ruang angkasa dan perlombaan ruang
angkasa di antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Keprihatinan bangsa Amerika Serikat bahwa
mereka telah tertinggal dalam bidang matematika dan sains memicu reformasi besar secara
nasional dalam kedua bidang tersebut.
Upaya reformasi pendidikan matematika ketika itu memunculkan program New Math pada tahun
1960 dan 1970-an. Penekanan New Math adalah pada bahasa dan sifat-sifat himpunan, bukti, dan
abstraksi. Namun demikian, kurikulum New Math ternyata gagal memenuhi tantangan untuk
meningkatkan kemampuan matematis bangsa Amerika Serikat secara utuh. Beberapa bahkan
menilai bahwa New Math malah menimbulkan lebih banyak kebingungan matematis, bukan
menghilangkannya, sehingga kemudian muncul trend Back to Basics pada akhir tahun 1970-an dan
awal 1980-an. Program Back to Basics ketika itu menekankan komputasi aritmetik dan
penghafalan semata algoritma dan fakta-fakta aritmetik dasar. Kemudian, pada rentang
selanjutnya di tahun 1980-an, fokus pendidikan matematika bergeser ke berpikir kritis.
Selanjutnya, suatu nuansa baru dalam pendidikan matematika di Amerika Serikat dimulai dengan
dipublikasikannya dokumen Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics oleh
NCTM pada tahun 1989. Dokumen ini menghimbaukan penekanan lebih besar pada pemahaman
konseptual dan pemecahan masalah (lengkapnya, pemecahan masalah, komunikasi, koneksi, dan
penalaran) yang diwarnai pemahaman konstruktivis tentang bagaimana para siswa belajar.
Selanjutnya, pada tahun 1991, NCTM mengeluarkan dokumen Professional and Assessment
Standards for Teaching Mathematics, seiring fokus utama dari reformasi pendidikan matematika
saat itu yang diarahkan pada pedagogi. Pada tahun 2000, dokumen Principles and Standards for
School Mathematics dipublikasikan oleh NCTM sebagai update terutama bagi dokumen NCTM
Standards tahun 1989. Akhirnya, pada tahun 2006 dipublikasikan dokumen Curriculum Focal
Points, di mana diidentifikasi apa yang diyakini sebagai topik-topik matematika paling penting
untuk tiap tingkat kelas, termasuk berbagai gagasan, konsep, skil, dan prosedur yang berkaitan
yang membentuk fondasi bagi pemahaman dan belajar yang langgeng.
Dari uraian singkat di atas kita dapat selintas melihat semangat dan bagaimana The National
Council of Teachers of Mathematics (NCTM) yang didirikan di Amerika Serikat pada tahun 1920
sebagai suatu organisasi profesional dapat terus berkembang dan memangku peran sebagai suara
publik pendidikan matematika, mendukung para guru untuk menjamin pembelajaran dan belajar
matematika berkualitas yang berkeadilan bagi semua siswa melalui visi, kepemimpinan,
pengembangan profesional, dan penelitian.
Dengan populasi umat manusia yang sedemikian besar di Bumi saat ini dan laju pertumbuhannya,
berikut juga kompleksitas kehidupan, dunia kerja, kebutuhan, dan tantangan, serta begitu cepatnya
perubahan, tidak berlebihan jika diangkat nilai penting matematika dan kesetaraan atau keadilan
terkait akses menuju matematika bagi semua orang. Selaras dengan realitas tersebut, pembelajaran
matematika berkualitas tentulah menyimpulkan perlunya sehimpunan prinsip dan standar kualitas
untuk pendidikan matematika yang teruji, terukur, dan diperkuat oleh penelitian yang memadai.
Sebagai contoh, terkait prinsip dan standar untuk mata pelajaran matematika yang berkualitas,
dokumen Principles and Standards for School Mathematics yang dikeluarkan oleh NCTM (2000),
menekankan bahwa matematika seharusnya untuk semua siswatanpa memperbedakan jenis
kelamin, ras, status sosioekonomi, atau faktor-faktor lain apa pun yang mungkin telah
menyebabkan ketidakadilan. NCTM menyatakan bahwa tercapainya visi yang dicurahkan dalam
dokumen tersebut tidak akan mudah, tetapi tugas tersebut sangat penting. Para siswa harus
mendapatkan pendidikan matematika yang terbaik yang mungkin diberikan, untuk memungkinkan
mereka mencapai ambisi pribadi dan sasaran-sasaran karier di dunia yang terus-menerus berubah
dengan cepat. Untuk mengilustrasikan suatu contoh struktur dan muatan dari prinsip dan standar
pendidikan matematika, berikut ini diberikan gambaran ringkas tentang dokumen Principles and
Standards for School Mathematics dari NCTM (2000) yang telah kita sebutkan lebih awal tadi.
38
Dokumen tersebut memiliki empat komponen utama. Pertama, Prinsip-prinsip untuk matematika
sekolah mencerminkan perspektif dasar pada mana para pendidik hendaknya mendasarkan
keputusan-keputusan yang mempengaruhi matematika sekolah. Prinsip-prinsip ini memberi fondasi
bagi program-program matematika sekolah dengan menyoroti isu-isu yang luas terkait
kesetaraan/keadilan, kurikulum, pengajaran, pembelajaran, penilaian, dan teknologi. Setelah
Prinsip-prinsip tersebut, Standar-standar matematika sekolah mendeskripsikan sehimpunan tujuan
yang ambisius dan komprehensif untuk pembelajaran matematika. Lima Standar pertama
menyajikan sasaran dalam area-area muatan matematika terkait bilangan dan operasi, aljabar,
geometri, pengukuran, serta analisis data dan probabilitas. Lima Standar yang kedua
mendeskripsikan sasaran untuk proses-proses pemecahan masalah, penalaran dan bukti, koneksi,
komunikasi, dan representasi. Secara keseluruhan, Standar-standar tersebut mendeskripsikan
keterampilan dan pemahaman dasar yang para siswa akan perlukan untuk berfungsi secara efektif
pada abad kedua puluh satu.
Selanjutnya, komponen utama ketiga, kesepuluh Standar tersebut dibahas secara lebih rinci dalam
empat bab menurut kelompok rentang kelas: TK-Kelas 2, Kelas 3-5, Kelas 6-8, dan Kelas 9-12.
Untuk tiap Standar Isi, masing-masing bab rentang kelas memberikan sekumpulan harapan yang
spesifik bagi rentang kelas tersebut. Akhirnya diuraikan isu-isu terkait pelaksanaan Prinsip-prinsip
ke dalam tindakan dan menguraikan peran-peran yang dimainkan berbagai kelompok dan
masyarakat dalam mewujudkan visi dari dokumen Principles and Standards for School
Mathematics tersebut.
Sementara itu, di Indonesia, pendidikan matematika yang berkualitas dibangun dengan bersandar
pada Standar Nasional Pendidikanyang meliputi: Standar Kompetensi Lulusan; Standar Isi;
Standar Proses; Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan; Standar Sarana dan Prasarana;
Standar Pengelolaan; Standar Pembiayaan Pendidikan; dan, Standar Penilaian Pendidikansebagai
upaya menjamin mutu pendidikan secara umum. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sejauh
ini tampaknya NCTM dengan berbagai dokumen dan rekomendasinya menjadi salah satu sumber
yang banyak dikutip sebagai tolak ukur terkait penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran
matematika yang berkualitas di Indonesia. Meski demikian, sekali lagi, semangat NCTM untuk
memberikan pendidikan matematika yang berkualitas dan upaya untuk menjadikan matematika
aksesibel bagi semua siswa tampaknya memang pantas dicatat untuk diperhatikan.
NILAI-NILAI YANG DIINTEGRASIKAN KE DALAM MATA PELAJARAN MATEMATIKA
Di dalam pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, kita melihat
kecenderungan bahwa pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran, termasuk
matematika, diarahkan pada nilai-nilai tertentu yang dipandang lebih potensial untuk
dikembangkan dalam mata pelajaran tertentu, atau mata pelajaran-mata pelajaran tertentu, bukan
dalam mata pelajaran-mata pelajaran lainnya. Saat ini, dalam pedoman tersebut dideskripsikan
secara eksplisit delapan belas nilai.
Untuk matematika kelas 1-12, yang dibagi ke dalam empat jenjang (yaitu, jenjang kelas 1-3, 4-6, 79, dan 10-12), teramati bahwa pedoman tersebut mengintegrasikan secara keseluruhan enam nilai
yang disebarkan untuk dikembangkan dalam matematika, yaitu kerja keras, tekun, teliti, pantang
menyerah, kreatif, dan rasa ingin tahu. Namun demikian, di dalam pedoman Pendidikan Budaya
dan Karakter Bangsa tersebut, nilai-nilai tekun, teliti, dan pantang menyerah belum tercantumkan
di antara delapan belas nilai yang dideskripsikan dan diuraikan ke dalam indikator-indikator.
Berdasarkan situasi pendidikan karakter yang tampak saat ini di Indonesia, terdapat beberapa
masalah yang mungkin muncul di lapangan terkait pengintegrasian nilai-nilai tersebut ke dalam
mata pelajaran matematika. Pertama, apakah keenam nilai tersebut bersifat wajib atau hanya
merupakan anjuran untuk diintegrasikan ke dalam mata pelajaran matematika? Kedua, apakah
terdapat pedoman baku atau sekedar contoh yang tegas, kuat, dan terdukung data, terkait
bagaimana keenam nilai tersebut hendaknya diintegrasikan ke dalam mata pelajaran matematika?
Dan, ketiga, apakah terdapat sumber-sumber atau referensi yang direkomendasikan untuk
membangun dan mengembangkan pemahaman dan keterampilan para guru terkait pengintegrasian
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
39
nilai-nilai tersebut ke dalam mata pelajaran matematika? Dilihat dari sifat dan otoritasnya, ketiga
pertanyaan tersebut mengharapkan jawaban, atau sekurang-kurangnya respon, dari pihak
penggagas dan pengembang pendidikan karakter di Indonesia (yaitu, pemerintah) terlebih dahulu,
demi terjalinnya keseragaman tataran untuk kajian, wacana, penelitian, dan penyelenggaraan
pendidikan karakter yang diintegrasikan ke dalam mata pelajaran matematika itu sendiri.
Tanpa adanya ketegasan dan keterbukaan terkait tiga perkara di atas, dikhawatirkan terjadi
akumulasi miskonsepsi dan kekaburan terkait arah dan pelaksanaan pendidikan karakter, dan
sebagai akibatnya, tidak efisiennya waktu dan sumber daya di tengah-tengah tuntutan implementasi
program pendidikan karakter yang efektif dan harapan-harapan yang telah mulai tertanamkan dari
berbagai kalangan.
POTENSI MEMBANGUN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN MATEMATIKA YANG
BERKUALITAS
Pada sekitar tiga dekade silam di Inggris telah disuarakan bahwa matematika adalah suatu mata
pelajaran yang sulit untuk diajarkan maupun untuk dipelajari (Cockcroft, 1982), dan bahwa
matematika adalah bidang studi yang sangat hirarkis (Romberg, 1983). Pada praktek pembelajaran
seringkali terungkap bahwa setiap orang memiliki langit-langit matematika yang tersendiri karena
kecepatan anak-anak maupun orang dewasa dalam mempelajari matematika sangat berbeda-beda.
Sebuah konsep yang bisa dikuasai dalam satu kali pertemuan saja oleh seseorang mungkin
memerlukan waktu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu untuk dikuasai oleh orang lainnya,
dan mungkin tidak dapat terpecahkan oleh mereka yang tidak memiliki pemahaman tentang
konsep-konsep prasyarat yang diperlukan untuk memahami konsep itu.
Di sisi lain, suatu keuntungan bagi matematika yang dipelajari dalam hirarki yang tepat, penelitian
menunjukkan bahwa suatu pendekatan bertahap, di mana konsep dan skil dibangun pada konsep,
skil, dan pengetahuan yang telah dibangun lebih awal, sangatlah efektif bagi daya ingat siswa
terhadap materi (Klingele & Reed, 1984).
Saat kita memegang keyakinan bahwa matematika untuk semua siswa, maka kita perlu
memperhatikan penelitian tentang pembelajaran matematika yang efektif. Di dalam kumpulan
penelitian tersebut terdapat banyak sekali evidensi tentang bagaimana mengatur kelas, bagaimana
mengangkat masalah-masalah yang bermakna dan memotivasi, serta bagaimana menggunakan
teknologi dan strategi-strategi pembelajaran seperti belajar kooperatif untuk mewadahi gaya belajar
dan tingkat kepercayaan diri para siswa yang sangat beragam di ruang kelas. Pada esensinya,
penekanan pembelajaran matematika masa kini hendaknya adalah pada aktivitas matematika,
doing mathematics, yang menyangkut kemampuan siswa dalam pemecahan masalah, penalaran,
komunikasi, koneksi, dan representasi. Kelima elemen ini tercantum dalam Principles and
Standards for School Mathematics (NCTM, 2000) sebagai standar-standar proses, yaitu metodemetode dengan mana pengetahuan muatan dapat diperoleh. Dari sinilah kita akan berangkat
melihat potensi membangun karakter melalui pendidikan matematika yang berkualitas.
Lickona5 menyebutkan, Karakter... memiliki tiga bagian yang saling berkaitan: pengetahuan
moral, perasaan moral, dan perilaku moral... kebiasaan pikiran, kebiasaan hati, dan kebiasaan
tindakan (51). Dengan memperhatikan deskripsi untuk karakter tersebut, bagaimanakah mata
pelajaran matematika yang hendaknya mengintegrasikan nilai-nilai kerja keras, tekun, teliti,
pantang menyerah, kreatif, dan rasa ingin tahu dapat membangun karakter? Selain itu, pertanyaan
kedua, yang lebih khusus, bagaimanakah matematika dapat memberikan konteks bagi
pengembangan nilai-nilai tersebut? Uraian di bawah ini akan mencoba untuk memberikan
pandangan ke arah jawaban bagi dua pertanyaan tadi.
Untuk pertanyaan pertama diajukan pandangan berikut. Dari dua sifat matematika yang telah
dikutip lebih awal, yaitu bahwa matematika sulit untuk diajarkan maupun untuk dipelajari dan
sangat hirarkis, kita melihat bahwa keenam nilai yang diintegrasikan ke dalam matematika tampak
jelas merupakan nilai-nilai yang diperlukan dalam diri seseorang untuk berhasil mempelajari
5
T. Lickona, Educating for character: How our schools can teach respect and Responsibility (New York: Bantam, 1991).
40
matematika. Selanjutnya, terkait pertanyaan kedua, matematika dapat memberikan konteks bagi
pengembangan keenam nilai yang diintegrasikan ke dalamnya saat matematika hadir sebagai
doing mathematics. Pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, koneksi, dan representasi
yaitu cara memperoleh pengetahuan matematis, sekaligus juga merupakan skil-skil matematis yang
hendaknya diasah, bukan muatan itu sendiridapat hadir dari waktu ke waktu dalam perjalanan
matematika seseorang dan menjadi konteks yang subur bagi pengembangan nilai-nilai tersebut.
Akhirnya, terdapat harapan bahwa pendidikan matematika berkualitas yang mengintegrasikan nilainilai kerja keras, tekun, teliti, pantang menyerah, kreatif, dan rasa ingin tahu6 dapat membentuk
tidak hanya para siswa yang memiliki daya matematis tetapi juga pribadi-pribadi masa depan yang
berorientasi kepada eksplorasi, penemuan, kemandirian, dan prestasi. (Simpulan ini diperoleh dari
analisis kategorisasi keenam nilai tersebut ke dalam tabel Value Content dari Schwartz & Sagie
(2000).7
SIMPULAN
Pendidikan karakter di Indonesia yang rencananya sudah mulai diberlakukan tampaknya masih
belum dapat dijalankan oleh kebanyakan sekolah dasar maupun sekolah menengah. Pada periode
awal pemberlakuan pendidikan karakter di negara ini, tampaknya kita perlu secara terbuka
mengangkat referensi-referensi yang memang telah dikaji, diadopsi, dan digunakan oleh para
penggagas dan pengembang program tersebut supaya para pengkaji dan pelaksana di lapangan
dapat pula secara langsung mengkaji, berwacana, serta memperkaya pengetahuan dan keterampilan
mereka terkait pengintegrasikan nilai-nilai ke dalam praktek pembelajaran yang sudah mereka
biasa berlakukan selama ini.
Pendidikan dan pembelajaran matematika yang berkualitas menyimpulkan perlunya sehimpunan
prinsip dan standar kualitas untuk pendidikan matematika yang teruji, terukur, dan diperkuat oleh
penelitian yang memadai. Saat disoroti dua sifat matematika yaitu bahwa matematika sulit untuk
diajarkan maupun untuk dipelajari dan sangat hirarkis, kita dapat melihat bahwa keenam nilai itu
juga merupakan nilai-nilai yang diperlukan dalam diri seseorang untuk mempelajari matematika
secara berhasil.
Dalam pendidikan matematika yang mengintegrasikan karakter, tampak suatu potensi bahwa
doing mathematics dapat menjadi konteks yang strategis untuk membangun karakter di
sepanjang perjalanan matematika siswa, sekaligus mengasah dari waktu ke waktu aspek-aspek dari
doing mathematics itu sendiri: pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, koneksi, dan
representasi.
6
7
Untuk deskripsi keenam nilai tersebut dan ceklis diri untuk masing-masingnya, lihat Lampiran 1a-f.
Lihat Lampiran 2.
41
DAFTAR PUSTAKA
Bell, E.T. (1986). Men of Mathematics. New York: Simon and Schuster.
Berkowitz, M.W. (1997). The Complete Moral Person: Anatomy and Formation dalam J.M.
Dubois, ed., Moral Issues in Psychology: Personalist Contributions to Selected Problems,
11-42. Lanham, Md.: University Press of America.
--------------------. (2002). The Science of Character Education dalam W. Damon, ed., Bringing in
a New Era in Character Education, 43-63. Stanford, Cal.: Hoover Institution Press.
Burke, Nancy, Cru, Sharon, Genzler, Mary, Shaub, Dee, & Sheets, Jayne. (2001). (ERIC Document
Reproduction Service No. ED453144).
Cockcroft, W.H. (1982). Mathematics Counts: Report of the Committee of Inquiry into the
Teaching of Mathematics in Schools. London: Her Majestys Stationery Office.
Colorado State Department of Education, Denver. (2000). Shaping the future through character
education: Colorado state conference on character education. (ERIC Document
Reproduction Service No. ED468627).
Damon, W. (1988). The Moral Child. New York: Free Press.
Davis, Michael. (2003). Whats wrong with character education. American Journal of Education,
110(1), 32-57.
Isaacs, D. (2006). Character Building. Portland, OR: Four Courts Press.
JIST. (2006) Young Persons Character Education Handbook. St. Paul, MN: JIST Publishing
Kail, R.V., & Zolner, T. (2005). Children. Toronto: Prentice Hall.
Kemdiknas. (2010). Desain Induk Pendidikan Karakter Kementrian Pendidikan Nasional. Jakarta:
Kemdiknas.
Klingele, W. E., & Reed, B. W. (1984). An examination of an incremental approach to
mathematics. Phi Delta Kappan, 65(10), 712-713.
Kohlberg, L. (1984). The Psycology of Moral Development, Essays on Moral Development, Vol. 2.
New York: Harper and Row.
Lickona, T. (1991). Educating for Character. New York: Bantam.
NCTM . (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM.
Noll, J. W. (2006). Taking sides: clashing views on controversial educational issues (13th ed.).
Guilford, CT: Dushkin/McGraw-Hill.
Nucci, L. (2001). Education in the Moral Domain. New York: Praeger.
Posamentier, A.S., & Stepelman, J. (2002). Teaching Secondary Mathematics. New Jersey:
Pearson Education.
Puskur. (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Puskur
Balitbang Kemdiknas.
Resnick, L.B., & Ford, W.W. (1981). The Psychology of Mathematics for Instruction. Hillsdale,
NJ: Erlbaum.
Reys, E.R. (1998). Helping Children Learn Mathematics. Boston: Allyn & Bacon.
Rossides, Daniel W. (2004). Knee-jerk formalism: Reforming American education. Journal of
Higher Education, 75(6), 667-704.
Schwartz, S.H., & Sagie, G. (2000). Value Consensus and Importance: A Cross National Study,
Journal of Cross-cultural Psychology 31, 465-70.
Wakefield, D. (1997). Whos teaching teachers about character education instruction? (ERIC
Document Reproduction Service No. ED 429068).
42
A. Pendahuluan
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang berbudi luhur yang memegang teguh nilai-nilai
budaya ketimuran yang terkenal ramah, santun, dan memiliki rasa kebersamaan yang
diimplementasikan dalam budaya gotong royong dan musyawarah untuk mufakat. Namun
fenomena yang terjadi pada saat ini, sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai yang selama ini
dikenal dimiliki oleh bangsa ini dan sudah menjadi ciri khas yang mencerminkan jati diri Bangsa
Indonesia. Di berbagai media massa kini dihiasi dengan berita maraknya tawuran, kasus bullying,
kasus siswa-siswi cacat moral seperti siswi married by accident, aksi pornografi, kasus narkoba,
plagiarisme dalam ujian, dan sejenisnya. Bukan hanya terbatas pada peserta didik, lembagalembaga pendidikan maupun instansi pemerintahan yang notabene diduduki oleh orang-orang
penyandang gelar akademis pun tak luput terjangkiti virus dekadensi moral. Hasil riset tahun 2004,
Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan adanya indikasi pola korupsi yang melibatkan
kepala sekolah bersama komite sekolah, dan pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan (Mayyadah,
2010).
Kasus-kasus tersebut sangatlah berbanding terbalik dengan fungsi Pendidikan Nasional,
sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003, dan tujuan Pendidikan
Nasional yang pada hakikatnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tampaknya tidak
berlebihan jika bangsa Indonesia selama ini digambarkan sebagai bangsa yang mengalami
penurunan kualitas karakter bangsa. Persoalan ini muncul karena lunturnya nilai-nilai karakter
bangsa yang mencakup perilaku, kebiasaan, kesukaan, kemampuan, bakat, potensi, nilai-nilai, dan
pola pikir yang dimiliki oleh bangsa ini.
Untuk mengatasi semua itu Pemerintah telah mencanangkan penerapan pendidikan karakter yang
menjadi fokus Kementerian Pendidikan Nasional di seluruh jenjang pendidikan. Pendidikan
karakter ini diharapkan mampu menjadi pondasi utama sebagai upaya penguatan jati diri generasi
bangsa menuju sukses Indonesia Emas 2025. Para penggagas kebijakan pendidikan di Indonesia
gencar menggaungkan pendidikan karakter ini sebagai penawar masalah pendidikan kita yang
dinilai telah salah arah. Dengan memprioritaskan pendidikan karakter, mereka berharap komunitas
pendidik dan masyarakat akan menggali sisi afektif siswa, dan pendidikan tidak melulu ditekankan
pada sisi kognitif untuk mengejar nilai semata. Dengan lebih memperhatikan karakter, diharapkan
sekolah bisa menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia, cerdas, dan kreatif.
Untuk membangun karakter bangsa tersebut , haruslah diawali dari lingkup yang terkecil.
Khususnya di sekolah, ada baiknya kita menganalogikan proses pembelajaran di sekolah dengan
proses kehidupan bangsa. Upaya mewujudkan nilai-nilai tersebut di atas dapat dilaksanakan
melalui pembelajaran. Tentu saja pembelajaran yang dapat mengadopsi semua nilai-nilai karakter
bangsa yang akan dibangun. (Mulyo, 2009).
43
serupa dengan kondisi masyarakat Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam suku, bahasa, dan
adat istiadat. Kedua, ketika gempa besar menghantam bagian timur laut Jepang, dunia dibuat
kagum dengan kekuatan mental masyarakat Jepang. Sekalipun dalam kondisi krisis akibat gempa
bumi dan tsunami, disusul radiasi nuklir akibat bocornya PLTN Fukushima Daiichi, masyarakat
Jepang menunjukkan kebersamaan dan kekuatan karakter untuk bangkit kembali. Sikap itu
berangkat dari kemauan melakukan otokritik atas apa yang sudah dipersiapkan dan apa yang
seharusnya dilakukan pada masa depan. Ketiga, Jepang tergolong sebagai negara maju tetapi
mampu bertahan dengan tradisi serta adat-istiadat ketimuran.
Untuk memberi gambaran tentang karakter masyarakat Jepang, penulis membaginya dalam dua
bagian yaitu:
1. Pada Saat Terjadi Gempa dan Tsunami di Jepang
Ketika gempa besar dan tsunami menghantam bagian timurJepang, masyarakat Jepang telah
menunjukkan kepada dunia sebagai bangsa yang berkarakter kuat yang ditunjukkan dengan sikap
sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
Mereka mampu menempatkan kepentingan umum dan keselamatan bersama jauh di atas
kepentingan pribadi dalam keadaan genting sekalipun. Pada malam setelah gempa, orangorang yang mengungsi di salah satu sekolah dasar, bisa tetap mengantre dengan sabar untuk
mendapatkan makanan dalam keadaan gelap gulita sekalipun (Christian, 2011)
Mereka memiliki kemauan melakukan otokritik untuk bangkit kembali dengan semangat
kebersamaannya tersebut sekalipun dalam kondisi krisis akibat gempa bumi dan tsunami,
disusul radiasi nuklir akibat bocornya PLTN Fukushima Daiichi. Pakar bencana dan gempa
Jepang mengakui setelah gempa dan tsunami mengakui, bencana kali ini melampaui perkiraan
dan antisipasi yang telah dilakukan. Mereka sudah menerapkan sistem pencegahan tsunami,
juga pendidikan kepada masyarakat agar waspada bencana. Ternyata bencananya lebih besar
dari perhitungan.Namun, mereka yakin mampu belajar dari bencana ini untuk bersiap diri
lebih baik mengantisipasi bencana berikutnya. (Patristik, 2011)
Masyarakat Jepang sangat kuat dan tidak mengeluh di saat distribusi bantuan datang tersendat.
Di beberapa titik pengungsian di Kesennuma, Miyagi, nyaris tak ada keluhan dari para
pengungsi sekalipun mereka dalam kondisi sulit, misalnya tak ada pemanas di tengah suhu di
bawah nol derajat celsius. Mereka bersikap tenang dan antre dengan tertib. (Patristik, 2011)
Media massa di Jepang juga kooperatif dan memiliki peran penting dalam membangun
karakter bangsa. Saat ada bencana besar, seluruh jam tayang iklan di televisi dibeli pemerintah
untuk menyiarkan layanan masyarakat perihal bagaimana seharusnya berbagi dan berbuat
baik. (Patristik, 2011)
44
b.
45
c.
d.
Ada kerjasama yang baik antara sekolah dan orang tua siswa dalam pendidikan karakter
Bersama dengan sekolah, keluarga merupakan faktor utama pengembangan karakter di
Jepang. Kerja sama dan komunikasi antara pihak keluarga dan sekolah dilakukan sangat
intensif melalui buku sekolah, surat elektronik, atau telepon. Meski orang Jepang terkenal
sangat sibuk, mereka merasa "wajib" menghadiri upacara hari pertama sekolah putra-putri
mereka. Hal ini menunjukkan perhatian orangtua terhadap pendidikan anak-anaknya serta
komitmen mereka terhadap budaya sekolah. Dari sinilah kerjasama, komunikasi serta harmoni
antara sekolah dan keluarga demi pendidikan anak mulai terbangun. Orangtua juga dengan
sukarela membuat sendiri, semacam tas kecil yang berisi bekal makan siang, sejenis celemek
untuk pelajaran memasak di sekolah, baju khusus untuk kegiatan souji (membersihkan kelas
setelah pulang sekolah), dan keperluan sekolah lainnya (Christian, 2011)
e.
Adanya penanaman faham kepada siswa untuk tidak memandang mulia satu jenis pekerjaan
dan memandang hina pekerjaan lainnya.
Hal ini dapat dilihat dari jawaban spontan anak-anak bila ditanya cita-cita mereka. Menjadi
juru masak, penjual bunga, penjual buku dan sejenisnya yang sederhana adalah cita-cita
mereka. Cita-cita seperti ini merupakan refleksi dan hanya dapat terjadi di masyarakat yang
tidak memandang mulia satu jenis pekerjaan dan hina pekerjaan lainnya. Berbeda dari bocah
Jepang yang umumnya bercita-cita sederhana, bocah Indonesia umumnya bercita-cita tinggi
seperti menjadi insinyur dan dokter. Tetapi tidak adanya character building dalam pendidikan
menyebabkan rendahnya kemauan serta semangat juang masyarakat maupun para petinggi
46
kita. Daya tahan lemah dan gampang menyerah. Akibatnya, cita-cita tinggi para bocah muncul
tanpa ruh dan di masa berikutnya menjadi keinginan sekadar bisa hidup. Celakanya, sekadar
hidup itupun seringkali juga ditempuh via jalan pintas (Setiawan, 2011).
f.
Adanya pendekatan kultural atau pendekatan budaya dalam membangun karakter individu dan
bangsanya.
Filosofinya sederhana, kalau seseorang mau aktif berolah budi dan berolah rasa melalui
budaya khususnya kesenian bangsanya maka secara otomatis akan tertanam karakter yang
baik dan mantap pada dirinya. Dalam skala bangsa juga demikian adanya, kalau suatu bangsa
mau aktif berolah budi dan berolah rasa maka akan tertanam karakter yang baik dan mantap
pada bangsanya. Pendekatan kultural tersebut terlihat pada beberapa sekolah di Jepang; mulai
masuk lingkungan sekolah sudah terasa nuansa budayanya. Dari segi fisik banyak meski tidak
semua sekolah yang dibangun dengan bangunan khas Jepang dengan segala asesorinya. Ketika
masuk di dalam bangunan sekolah banyak didapati aneka tulisan yang ditulis dengan tulisan
Jepang, Huruf Kanji, Huruf Hiragana dan/atau Huruf Katakana, yang disajikan secara artistik.
Umumnya tulisan itu berisi slogan yang melukiskan semangat berbakti kepada bangsa dan
negara. Di samping aneka tulisan juga terlihat banyak lukisan dinding (kake-jiku) serta aneka
tanaman bunga (chabana) yang memperindah suasana persekolahan. Kesenian tradisional
Jepang diajarkan di sekolah; misalnya saja seni merangkai bunga (ikebana), seni teater khas
Jepang (kabuki), seni lipat kertas dan kain (origami), seni lukis cukil kayu atau (ukiyo-e), seni
sandiwara boneka tradisional Jepang (bunraku), seni drama musik Jepang klasik atau (noh),
seni bercerita humor gaya Jepang (rakugo), permainan tradisional air atau (onsen), seni
upacara minum teh (chato atau cha no yu), dan masih banyak yang lain.
Ketika saya mengunjungi Showa University yang berada di Tokyo pun ternyata berbagai seni
tersebut, khususnya seni merangkai bunga dan seni upacara minum teh, juga dibelajarkan
kepada para mahasiswanya. Menurut pengampunya, merangkai bunga bukanlah sekadar seni
akan tetapi lebih daripada itu ialah merangkai kesinambungan antara batin seseorang dengan
keindahan alami (Supriyoko, 2011).
g.
Itulah pendidikan karakter ala Jepang yang langsung dipraktikkan. Pendidikan seperti itu pantas
kita jadikan referensi untuk mengembangkan dan membentuk karakter bangsa (Supriyoko, 2011).
47
2.
3.
4.
5.
6.
Mulailah dari diri kita sendiri sebagai seorang guru untuk menjadi model dan suri tauladan
bagi anak didik kita. Tidak ada salahnya kita sebagai seorang guru matematika memulai
pembelajaran dengan berdoa dan ceramah-ceramah singkat yang berisi pendidikan karakter,
kemaslah dengan mengaitkannya dengan materi matematika yang akan kita ajarkan. Awali
dan akhiri pembelajaran sesuai dengan waktu yang ditetapkan, dan berprilaku sesuai dengan
tuntutan professional seorang guru.
Untuk para siswa di pendidikan dasar (PAUD, TK, SD) sajikanlah pembelajaran matematika
dengan banyak menggunakan metode-metode permainan yang dikerjakan secara
berkelompok. Berilah mereka permasalahan-permasalahan kontekstual yang berhubungan
dengan materi matematika untuk dipecahkan bersama dalam kelompoknya. Agar
pembelajaran menjadi lebih menarik sajikan nuansa kompetisi dalam bentuk game yang
menyenangkan.
Sekali-kali tugaskanlah siswa untuk pulang atau pergi sekolah berjalan kaki dalam kelompok
tertentu. Kemudian kelompok tersebut diberi tugas-tugas tertentu yang berhubungan dengan
materi matematika. Misalnya mereka diminta untuk berangkat dari rumah seorang siswa
kemudian diminta menghitung jarak antara rumah dan sekolah, bagaimana mereka mengatur
waktu supaya bisa datang tepat waktu, bagaimana mereka mengatur uang jajan dari orang
tuanya, dan sebagainya. Kemudian mereka diminta berdiskusi untuk membuat laporan kepada
guru tentang pengalaman mereka selama berjalan kaki dan menuliskan kesan-kesan mereka
tersebut.
Kita juga bisa bekerja sama dengan para orang tua, untuk memberi tugas pada siswa pada saat
liburan. Misalkan mencuci piring dan belanja ke pasar menjadi tugas mereka selama libur.
Mintalah kepada orang tua untuk memberi sejumlah uang untuk belanja dalam seminggu,
biarkan anak itu menghitung dan mengatur uang belanjaan tersebut untuk keperluan rumahnya
selama seminggu. Kemudian diminta membuat laporan penggunaan uang tersebut.
Dalam memberikan masalah-masalah kontekstual ada baiknya pendekatan kultural untuk
memperkenalkan budaya-budaya kita kepada generasi muda menjadi salah satu alternatif cara
penyajian materi. Mulailah dari budaya lokal sesuai dengan domisili siswa atau sekolah kita,
kemudian bergerak kepada keanekaragaman budaya yang ada di negara kita, dan akhiri
dengan mengenalkan budaya dunia secara keseluruhan. Sajikan persoalan-persoalan
matematika dengan menyajikan muatan budaya tersebut di dalamnya.
Ajaklah sekali-kali para siswa ke tempat-tempat yang dapat memupuk kekayaan dan kekuatan
karakter mereka, seperti ke pesantren-pesantren, tempat-tempat bencana alam, panti-panti
sosial, tempat-tempat budaya, dan sebagainya. Berilah tugas-tugas yang menghubungkan
antara tempat yang dikunjungi dengan materi-materi matematika.
48
D. Penutup
Karakter adalah kemampuan untuk mengatasi secara efektif situasi sulit, tak enak, tidak nyaman,
atau berbahaya. Dengan pengertian tersebut karakter menuntut kecerdasan otak, kepekaan nurani,
kepekaan diri dan lingkungan, kecerdasan merespons, dan kesehatan, kekuatan, dan kebugaran
jasmani. Lingkungan sekolah berperan besar dalam pembentukan karakter pada anak. Intensitas
pertemuan yang hampir setiap hari dengan guru dan teman-teman sekolah tentunya membuat anak
mencari-cari jati dirinya melalui hal yang mereka lihat, rasakan, dengar dan tiru dari lingkungan
sekitar. Matematika sebagai salah mata pelajaran yang diajarkan di sekolah terbentuk sebagai hasil
pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran. Melalui matematika anak
bernalar untuk bisa membedakan yang baik atau buruk, bermanfaat atau tidak. Bahkan dengan
bernalar anak bisa mengambil tindakan dari permasalahan yang ada. Pendidikan karakter ala
Jepang dapat diintegrasikan dengan materi matematika sehingga tahap demi tahap perkembangan
karakter anak mulai terbentuk melalui pembelajaran matematika ini. Mudah-mudahan usaha ini
dapat membuat pembelajaran matematika lebih berwarna dan lebih memberikan sumbangsih bagi
pembentukan karakter generasi muda Bangsa Indonesia. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Christian, D dan Christian, N (2011). Pendidikan karakter: Berkaca dari Jepang. [Online].
Tersedia:http://ourstoryingod.blogspot.com/2011/08/pendidikan-karakter-berkaca-darijepang.html 10 September 2011)
Mayyadah(2010). Pendidikan Berbasis ESQ Sebuah Solusi Dekadensi Moral Bangsa. Kairo:
Fakultas Syariah Islamiah Universitas Al Azhar Mesir.
Mulyo, K (2009). Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Kontekstual. [Online].
Tersedia:http://agupenajateng.net/2009/06/06/membangun-karakter-bangsa-melaluipembelajaran-kontekstual/ (6 Januari 2010)
Patristik, E (2011). Bangsa Jepang, Bangsa Pembelajar. [Online]. Tersedia:
http://internasional.kompas.com/read/2011/03/22/07373026/Bangsa.Jepang.Bangsa.Pembela
jar. ( 5 Juli 2011)
Setiawan,
E
(2011).
Pendidikan
Karakter.
Online].
Tersedia:
http://www.facebook.com/topic.php?uid=95186059600&topic=8986 ( 1 September 2011)
Supriyoko,
K
(2011).
Pendidikan
Karakter
Ala
Jepang.
Online].
Tersedia:
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=241773&actmenu=39 ( 10 Juli 2011)
49
PENDAHULUAN
Persoalan budaya dan karakter bangsa belakangan ini menjadi sorotan masyarakat. Hal ini
disebabkan dari fenoma di masyarakat baik yang tampak maupun yang tidak, menunjukkan
fenomena yang menggelisahkan seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, pengrusakan,
perkelahian antar pelajar, perkelahian massal, kehidupan ekonomi yang konsumtif serta kehidupan
politik yang tidak produktif.
Disamping itu, pendidikan karakter ini menjadi penting dewasa ini didukung oleh amanat
mendiknas pada hardiknas 2 Mei 2011 menyangkut tema pendidikan yaitu : Pendidikan karakter
sebagai pilar kebangkitan bangsa dengan sub tema : raih prestasi, junjung tinggi budi pekerti,
pendidikan karakter di mulai semenjak pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi, pendidikan
formal dan non formal dan menyiapkan generasi 2045. Hal tersebut didukung oleh tujuan dan
fungsi pendidikan nasional pasal 3/UU.20/2003 pasca reformasi, yaitu berkembangnya potensi
peserta didik agar jadi manusia yang beriman dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrastis serta
bertanggung jawab.
Pengintegrasian pendidikan budaya dan karakter dewasa ini menuntut para guru khususnya untuk
mengintegrasikan nilai-nilai luhur yang dikembangkan dalam pendidika budaya dan karakter
bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), silabus dan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang sudah ada. Dengan demikian keberhasilan program tersebut bergantung
kepada kemampuan, sikap dan keterampilan yang dimiliki oleh guru. Oleh sebab itu para guru
dituntut untuk memiliki sikap dan keterampilan baru yang pada akhirnya dituntut adanya
keteladanan pada guru sebagai sebagai pesyaratan untuk keberhasilan implemntasi pendidikan dan
karakter bangsa pada mata pelajaran. Perubahan sikap dan penguasaan keterampilan yang
dipersayaratkan ini selanjutnya dapat dikembangkan melalui pendidikan dalam jabatan yang
terfokus, sistemik dan berkelanjutan.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Karakter
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008 (Samani dan Hariyanto, 2011 : 42) karakter
merupakan sifat-sifat kejiwaan , akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
yang lainnya. Dengan demikian karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik yang terpatri dalam diri
dan terenjawantahkan dalam prilaku.
Screrenko (Samani dan Hariyanto, 2011 : 42) mendefinisikan karakter sebagai atribut atau cirri-ciri
yang membentuk dan membedakan cirri pribadi, ciri ethis, dan kompleksitas mental dari seseorang,
50
suatu kelompok atau bangsa. Sebagai identitas atau jati diri suatu bangsa, karakter merupakan nilai
dasar perilaku yangbmenjadi acuan tata nilai interaksi antar manusia. Secara universal berbagai
karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama berdasarkan atas pilar : kedamaian, menghargai,
kerja sama, kebebasan, kebahagiaan, kejujuran, kerendahan hati, kasih saying, tanggung jawab,
kesederhanaan tleransi, dan persatuan (Samani dan Hariyanto, 2011 : 42).
Kementerian Pendidikan Nasional (2010) mendefinisikan karakter sebagai watak, tabiat, akhlak
atau kepribadian seserang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini
dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak
Mengacu pada berbagai pengertian dan definisi karakter tersebut di atas, serta factor-faktor yang
dapat mempengaruhi karakter, maka karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun
pribadi seserang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun p-engaru lingkungan, yang
membedakannya dengan rang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan prilakunya dalam kehidupan
sehari-hari.
B. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilainilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan
karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai
anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif .(Puskur
Balitbang kemendiknas, 2010)
Atas dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat strategis bagi
keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan
melalui perencanaan yang baik, pendekatan yangsesuai, dan metode belajar serta pembelajaran
yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha
bersama sekolah; oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh semua guru dan pemimpin
sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya
sekolah.
Untuk lebih jelasnya, pada konteks makro, pengembangan karakter dideskripsikan sebagai berikut :
PROSES PEMBUDAYAAN DAN
PEMBERDAYAAN MENUJU
PRILAKU BERKARAKTER
Agama, Pancasila,
UUD 1945,
UU No. 20/2003 ttg
Sisdiknas
Teori
Pendidikan,
Psikologi,
Nilai, Sosial
Budaya
Nilai-nilai
Luhur
Pengalaman terbaik
(best practices)dan
praktik nyata
PERAN
PENDIDIK
SATUAN
KELUARGA
PENDIDIKAN
MASYARAKAT
Perilaku
Berkarakter
PENDIDIKAN INFORMAL
PERANGKAT PENDUKUNG
Kebijakan, Pedoman, Sumber Daya,
Lingkungan, Sarana dan Prasarana,
Kebersamaan, Komitmen pemangku
kepentingan.
Gambar 1.
Konteks Makro Pengembangan karakter
(diadaptasi dari Desain IndukPendidikan Karakter Kemendiknas, 2010)
51
BUDAYA SEKOLAH:
(KEGIATAN/KEHIDUPAN
KESEHARIAN DI
SATUAN PENDIDIKAN)
KEGIATAN
EKSTRA
KURIKULER
KEGIATAN
KESEHARIAN
DI RUMAH DAN
MASYARAKAT
Penerapan pembiasaan
kehidupan keseharian di
rumah yang sama dengan
di satuan pendidikan
Gambar 2.
Kontek Mikro Pengembangan Karakter
(diadaptasi dari Desain IndukPendidikan Karakter Kemendiknas, 2010)
Berdasarkan Grand Design Pendidikan dari kemendiknas dapat digambarkan sebagai berikut :
KONFIGURASI NILAI (SOSIAL-KULTURAL-PSIKOLOGIS)
cerdas, kritis,
kreatif, inovatif,
ingin tahu, berpikir
terbuka, produktif,
berorientasi Ipteks,
dan reflektif
OLAH
PIKIR
OLAH
HATI
OLAH
RAGA
OLAH
RASA/
KARSA
Gambar 3.
Keterpaduan Olah Hati, Olah Pikir, Olah Ragadan Olah Rasa dan Karsa (diadaptasi dari Desain
IndukPendidikan Karakter Kemendiknas, 2010)
52
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
C.
Religius, adalah sikap dan perilaku patuh dalam melaksanakan ajaran agama
yangdianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun
dengan pemeluk agama lain.
Jujur, adalah perilaku yang menunjukkan dirinya sebagai orang yang dapatdipercaya,
konsisten terhadap ucapan dan tindakan sesuai dengan hati nurani. Pengembangan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Matematika di SD
Toleransi, adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan, baik perbedaan
agama, suku, ras, sikap atau pendapat dirinya dengan orang lain.
Disiplin, adalah tindakan yang menunjukkan adanya kepatuhan, ketertibanterhadap
ketentuan dan peraturan yang berlaku.
Kerja keras, adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh
dalammenghadapi dan mengatasi berbagai hambatan belajar, tugas atau yang lainnya
dengan sungguh-sungguh dan pantang menyerah.
Kreatif, adalah kemampuan olah pikir, olah rasa dan pola tindak yang dapat
menghasilkan sesuatu yang baru dan inovatif.
Mandiri, adalah sikap dan perilaku dalam bertindak yang tidak tergantung pada orang
lain dalam menyelesaikan suatu masalah atau tugas.
Demokratis, adalah cara berpikir, bersikap dan bertindak dengan menempatkanhak
dan kewajiban yang sama antara dirinya dengan orang lain.
Rasa ingin tahu, adalah sikap dan tindakan yang menunjukkan upaya untuk
mengetahui lebih dalam tentang sesuatu hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari.
Semangat kebangsaan, adalah cara berpikir, bertindak dan cara pandang yanglebih
mendahulukan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan
kelompok.
Cinta tanah air, adalah cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menunjukkan rasa
kesetiaan yang tinggi terhadap bangsa dan negara.
Menghargai prestasi, adalah sikap dan perilaku yang mendorong dirinya untuk
secara ikhlas mengakui keberhasilan orang lain atau dirinya.
Bersahabat/komunikatif, adalah tindakan yang mencerminkan atau memperlihatkan
rasa senang dalam berbicara, bekerja atau bergaul bersama dengan orang lain.
Cinta damai, adalah sikap perilaku, perkataan atau perbuatan yang membuat orang
lain merasa senang, tentram dan damai.
Gemar membaca, adalah sikap atau kebiasaan meluangkan waktu untuk membaca
buku-buku yang bermanfaat dalam hidupnya, baik untuk kepentingan sendiri atau
orang lain.
Peduli lingkungan, adalah sikap perlaku dan tindakan untuk menjaga, melestarikan
dan memperbaiki lingkungan hidup.
Peduli sosial, adalah sikap dan tindakan yang selalu memperhatikan
kepentinganorang lain dalam hidup dan kehidupan.
Tanggung jawab, adalah sikap dan perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.
Pengertian pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses pembelajaran adalah pengenalan
nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian
nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang
berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Dengan demikian, kegiatan
pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang
ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal,
menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.
53
Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Berikut adalah
deskripsi singkat cara integrasi yang dimaksudkan.
1.
Perencanaan Pembelajaran
Pada tahap ini silabus, RPP, dan bahan ajar disusun. Baik silabus, RPP, dan bahan ajar dirancang
agar muatan maupun kegiatan pembelajarannya memfasilitasi/berwawasan pendidikan karakter.
Cara yang mudah untuk membuat silabus, RPP, dan bahan ajar yang berwawasan pendidikan
karakter adalah dengan mengadaptasi silabus, RPP, dan bahan ajar yang telah dibuat/ada dengan
menambahkan/mengadaptasi kegiatan pembelajaran yang bersifat memfasilitasi dikenalnya nilainilai, disadarinya pentingnya nilai-nilai, dan diinternalisasinya nilai-nilai. Berikut adalah contoh
model silabus, RPP, dan bahan ajar yang telah mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalamnya.
a) Silabus
Silabus dikembangkan dengan rujukan utama Standar Isi (Permen Diknas nomor 22 tahun
2006). Silabus memuat SK, KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator
pencapaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar. Materi pembelajaran, kegiatan
pembelajaran, indikator pencapaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar yang
dirumuskan di dalam silabus pada dasarnya ditujukan untuk memfasilitasi peserta didik
menguasai SK/KD. Agar juga memfasilitasi terjadinya pembelajaran yang membantu peserta
didik mengembangkan karakter, setidak-tidaknya perlu dilakukan perubahan pada tiga
komponen silabus berikut:
(1) Penambahan dan/atau modifikasi kegiatan pembelajaran sehingga ada kegiatan
pembelajaran yang mengembangkan karakter
(2) Penambahan dan/atau modifikasi indikator pencapaian sehingga ada indikator yang terkait
dengan pencapaian peserta didik dalam hal karakter
(3) Penambahan dan/atau modifikasi teknik penilaian sehingga ada teknik penilaian yang dapat
mengembangkan dan/atau mengukur perkembangan karakter
b) RPP
RPP disusun berdasarkan silabus yang telah dikembangkan oleh sekolah. RPP secara umum
tersusun atas SK, KD, Indikator, materi pembelajaran, metode pembelajaran, langkah-langkah
pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian. Seperti yang terumuskan pada silabus, tujuan
pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran,
sumber belajar, dan penilaian yang dikembangkan di dalam RPP pada dasarnya dipilih untuk
menciptakan proses pembelajaran untuk mencapai SK dan KD. Oleh karena itu, agar RPP
memberi petunjuk pada guru dalam menciptakan pembelajaran yang berwawasan pada
pengembangan karakter, RPP tersebut perlu diadaptasi.
c) Bahan/buku ajar
Bahan/buku ajar merupakan komponen pembelajaran yang paling berpengaruh terhadap apa
yang sesungguhnya terjadi pada proses pembelajaran. Banyak guru yang mengajar dengan
semata-mata mengikuti urutan penyajian dan kegiatan-kegiatan pembelajaran (task) yang telah
dirancang oleh penulis buku ajar, tanpa melakukan adaptasi yang berarti.
2.
Pelaksanaan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dari tahapan kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup, dipilih dan
dilaksanakan agar peserta didik mempraktikkan nilai-nilai karakter yang ditargetkan
sebagaimana disebutkan di depan.
3.
Teknik dan instrumen penilaian yang dipilih dan dilaksanakan tidak hanya mengukur
pencapaian akademik/kognitif siswa, tetapi juga mengukur perkembangan kepribadian siswa.
Bahkan perlu diupayakan bahwa teknik penilaian yang diaplikasikan mengembangkan
kepribadian siswa sekaligus.
54
Doing mathematics:
Pemecahan masalah,
penalaran, komunikasi,
koneksi, representasi dan
pemahaman konseptual;
Silabus dan RPP yang
mengintehrasikan pendidikan
karakter.
Nilai-nilai yang Di
Integrasikan ke dalam Mata
Pelajaran Matematika (teliti,
tekun, kerja keras, rasa ingin
tahu, pantan gmenyerah &
kreatif)
Pembelajaran Matematika
Guru Mata Pelajaran Matematika
Pembangunan sikap dan
keterampilan baru;
Pemahaman pendidikan
karakter secara umum dan
khusus dalam matematika;
Refleksi dan pengembangan
karakter dirinya sebagai teladan
bagi siswa;
Ketekunan, kesabaran,
optimisme.
55
DAFTAR PUSTAKA
56
Abstrak
Makalah ini berisi hasil penelitian tentang peningkatan kemampuan berpikir statisis mahasiswa S1 melalui
pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) yang dimodifikasi dari MEAs yang telah dikembangkan
oleh Garfield, delMas dan Zieffler (2010) dengan memasukan Didactical Design Research (DDR) pada
saat pembuatan bahan ajar. Dalam penelitian ini dilakukan metode kuasi eksperimen dengan disain pretespostes. Penelitian dilakukan terhadap seluruh mahasiswa S1 Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI
yang sedang mengikuti perkuliahan Statistika Dasar pada semester ganjil tahun akademik 2011/2012. Pada
kelas kontrol (mahasiswa kelas A prodi Pend. Mat angkatan 2010/2011 sebanyak 39 orang) diberi
pembelajaran konvensional sedangkan pada kelas eksperimen 1 (mahasiswa kelas B prodi Pend. Mat
angkatan 2010/2011 sebanyak 41 orang) dan kelas eksperimen 2 (mahasiswa prodi Pend. Mat angkatan
2008/2009 yang mengulang Statistika Dasar sebanyak 12 orang) diberi pembelajaran MEAs yang
dimodifikasi. Selanjutnya pada masing-masing kelas, mahasiswa dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: tinggi,
sedang, dan rendah. Pengelompokkan didasarkan pada skor hasil tes kemampuan awal statistis (TKAS). Data
tentang kemampuan berpikir statistis mahasiswa diperoleh melalui tes kemampuan berpikir statistis (TKBS),
sedangkan data disposisi statistis mahasiswa diperoleh dengan menggunakan skala disposisi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang signifikan
antara kelas kontrol, kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2. Peningkatan kemampuan berpikir statistis
mahasiswa yang menggunakan pembelajaran MEAs yang dimodifikasi lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan dengan mahasiswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Ada perbedaan
peningkatan disposisi statistis mahasiswa yang signifikan antara kelas kontrol, kelas eksperimen 1 dan kelas
eksperimen 2. Peningkatan disposisi statistis mahasiswa yang menggunakan pembelajaran MEAs yang
dimodifikasi lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan mahasiswa yang menggunakan
pembelajaran konvensional.
Kata kunci: DDR, Kemampuan berpikir statistis, MEAs yang dimodifikasi.
A.
Pendahuluan
Berpikir statistis adalah kemampuan untuk mengerti dan memahami proses statistis secara
keseluruhan, serta mengaplikasikan pemahaman pada masalah nyata dengan memberikan kritik,
evaluasi, dan membuat generalisasi berkaitan dengan mendeskripsikan data; 2) mengorganisasikan
data; 3) merepresentasikan data; dan 4) menganalisis dan menginterpretasikan data. Berdasarkan
tahapan berpikir kognitif pada model SOLO (Structure of the Observed Learning Outcome)
dari Biggs dan Collis (1991), Jones, et.al (2000) membagi level berpikir statistis menjadi empat
yaitu: 1) Idiosyncratic; 2) Transitional; 3) Quantitative; dan 4) Analytical.
Dari hasil penelitian Martadiputra (2010) terhadap guru-guru matematika SMP/SMA yang
mengikut kegiatan PPM Dosen Jurdikamat UPI di Kabupaten Subang dan sebagian peserta PLPG
sertifikasi guru matematika SMP di BMI Lembang diperoleh informasi bahwa rata-rata
kemampuan berpikir statistis (statistical thinking) guru SMP/SMA baru mencapai 32,15 %,
sehingga dapat dikatagorikan rendah. Selanjutnya dari hasil penelitian Martadiputra (2010.a)
diperoleh informasi bahwa: 1) Secara umum, kemampuan berpikir statistis mahasiswa program
studi pendidikan maupun program studi non kependidikan, mahasiswa yang sudah lulus S1
maupun mahasiswa yang belum lulus S1 di Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI masih
rendah karena baru mencapai level transitional dan quantitative. Jadi belum memasuki level
analytical; 2) Nilai rata-rata kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang telah lulus S1 relatif
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
57
lebih tinggi daripada mahasiswa yang belum lulus S1; dan 3)Mata kuliah Statistika Dasar
mempunyai hubungan signifikan dengan kemampuan berpikir statistis mahasiswa, sedangkan mata
kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan Matematika, dan Pengolahan data tidak berhubungan
signifikan.
Selanjutnya dari hasil penelitian Martadiputra dan Tapilouw (2011) diperoleh informasi bahwa
kemampuan berpikir statistis mahasiswa S1 yang sedang mengikuti perkuliahan Statistika Dasar
masih belum optimal karena baru mencapai level transitional dan quantitative. Hanya sebagaian
kecil mahasiswa yang kemampuan berpikir statistisnya sampai pada level analytical. Khusus
untuk kemampuan berpikir statistis berkaitan dengan menganalisis dan menginterpretasikan data
ternyata tidak ada satu orangpun yang sampai pada level analytical.
Hasil-hasil penelitian Martadiputra (2010, 2010.a, dan 2011) tersebut sejalan dengan AEC (1994)
dan SCAA & CAAW (1996) (dalam Jones, et.al, 2000) bahwa dalam merespons pentingnya data
dan informasi dalam masyarakat di era globalisasi ini dibutuhkan adanya reformasi pendidikan
statistika secara internasional di semua tingkatan pendidikan. Alasan lain perlunya reformasi
pendidikan statistika dikemukakan oleh Ben-Zvi & Friedlander (2010) bahwa pembelajaran
statistika tradisional belum bisa mengoptimalkan kemampuan berpikir statistis siswa karena
biasanya hanya menekankan perhitungan dan mengabaikan pengembangan pandangan terpadu
yang lebih luas dari pemecahan masalah statistika. Siswa diwajibkan untuk menghafal fakta dan
prosedur. Konsep statistik jarang berasal dari masalah nyata, lingkungan belajar yang kaku, dan
secara umum hanya ada satu jawaban yang benar untuk setiap masalah yang diberikan. Ketika
diberikan masalah yang nyata, dalam pembelajaran statistika tradisional kegiatan cenderung
menjadi "tidak nyata" dan relatif dangkal. Selain itu, biasanya siswa mendapatkan statistika dari
kurikulum berbentuk sekumpulan materi yang terpisah-pisah, teknik pembelajaran tidak bermakna
dan tidak relevan, membosankan, dan bersifat rutin.
Pada tahun 2010 proyek CATALST (Change Agents for Teaching and Learning Statistics)
disponsori oleh the National Science Foundation yang dimotori oleh Joan Garfield, Robert
delMas and Andrew Zieffler mencoba memfokuskan penggunaan Model-Eliciting Activities
(MEAs) pada beberapa ide statistik dengan menggunakan data "realistis" dan fokus pada model
matematika yang mendasarinya. MEAs dengan sifat ini akan membantu siswa mempersiapkan diri
untuk mempelajari statistika yang mengarah pada pemahaman konseptual, pemecahan masalah,
retensi, dan transfer pengetahuan yang lebih baik. MEAs juga harus dapat membantu siswa
mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dan kemampuan untuk bekerja sama dalam
memecahkan masalah.
Pada penelitian ini, penulis memodifikasi. MEAs yang telah dikembangkan oleh Garfield, delMas
& Zieffler (2010) yang semula hanya untuk siswa menjadi untuk mahasiswa serta memasukan
Didactical Design Research (DDR) pada saat pendesainan MEAs yang selanjutnya penulis
sebut MEAs yang dimodifikasi. DDR adalah sebuah metodologi penelitian baru yang
dikembangkan oleh Suryadi sejak tahun 2005 yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu: 1) Analisis
situasi didaktis; 2) Analisis metapedadidaktik; dan 3) Analisis retrosfektif.
MEAs yang dimodifikasi adalah suatu pembelajaran untuk melihat masalah otentik, dunia nyata
yang mengharuskan mahasiswa untuk bekerja dalam suatu tim yang terdiri dari tiga sampai empat
orang untuk menghasilkan solusi masalah melalui deskripsi tertulis, penjelasan dan konstruksi
dengan cara mengungkapkan pengujian berulang kali, dan memperluas cara-cara berpikir mereka.
Ada enam prinsip dari MEAs, yaitu: (1) Prinsip konstruksi; (2) Prinsip realitas; (3) Prinsip selfassessment; (4) Prinsip dokumentasi; (5) Prinsip reusability dan berbagi-kemampuan; dan (6)
Prinsip prototipe yang efektif. Disamping keenam prinsip tesebut, MEAs juga mempunyai tiga sifat
tambahan, yaitu: (1) Mencerminkan masalah yang nyata; (2) Memiliki konteks saat ini dan
menarik; dan (3) Menggunakan data nyata. Dalam pembelajaran MEAs yang dimodifikasi
inipendekatan pembelajarannya berpusat pada mahasiswa, dosen hanya sebagai fasilitator.
58
Pembahasan
Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang telah penulis lakukan selama setengah semester
terhadap seluruh mahasiswa S1 Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI yang sedang
mengikuti perkuliahan Statistika Dasar pada semester ganjil tahun akademik 2011/2012. Dalam
penelitian ini digunakan metode kuasi eksperimen dengan desain pretes-postes. Pada kelas kontrol
(mahasiswa kelas A prodi Pend. Mat angkatan 2010/2011 sebanyak 39 orang) diberi pembelajaran
konvensional sedangkan pada kelas eksperimen 1 (mahasiswa kelas B prodi Pend. Mat angkatan
2010/2011 sebanyak 41 orang) dan kelas eksperimen 2 (mahasiswa prodi Pend. Mat angkatan
2008/2009 yang mengulang Statistika Dasar sebanyak 12 orang) diberi pembelajaran MEAs yang
dimodifikasi.
Selanjutnya pada masing-masing kelas, mahasiswa dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: tinggi,
sedang, dan rendah. Pengelompokkan didasarkan pada skor hasil tes kemampuan awal statistis
(TKAS). Data tentang kemampuan berpikir statistis mahasiswa diperoleh melalui tes kemampuan
berpikir statistis (TKBS), sedangkan data disposisi statistis mahasiswa diperoleh dengan
menggunakan skala disposisi.
B.1 Peningkatan Kemampuan Berpikir Statistis
Peningkatan kemampuan berpikir statistis dihitung dengan menggunakan gain ternormalisasi antara
skor pretes dengan skor postes yang diperoleh dengan menggunakan instrumen TKBS yang sama.
Dari hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data peningkatan kemampuan berpikir
statistis mahasiswa untuk kelas kontrol, kelas eksperimen 1, kelas eksperimen 2, kelompok tinggi,
kelompok sedang, dan kelompok rendah semuanya berdistribusi normal. Selanjutnya dari hasil uji
homogenitas variansi dengan menggunakan Levenes Test diketahui bahwa keseluruhan data
kemampuan berpikir statistis mahasiswa bervariansi homogen pada taraf signifikansi = 0,05.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
59
Berdasarkan hasil uji ANOVA dua jalur pada taraf signifikansi = 0,05 diketahui bahwa:
1)
Ada perbedaan rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang sifnifikan
antara kelas kontrol, kelas eksperimen 1, dan kelas eksperimen 2. Perlakuan yang diberikan
(pembelajaran MEAs yang dimodifikasi) berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan
kemampuan berpikir statistis mahasiswa sebesar 31,0 %. Selanjutnya dari hasil posthoc tes
diketahui:
a. Rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang menggunakan
pembelajaran MEAs lebih tinggi secara signifikan dari pada mahasiswa yang menggunakan
pembelajaran konvensional. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis tersebut
adalah sebesar 0,227.
b. Rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa (mengulang) yang
menggunakan pembelajaran MEAs lebih tinggi secara signifikan dari pada mahasiswa yang
menggunakan pembelajaran konvensional. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir
statistis tersebut adalah sebesar 0,295.
c. Rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa (reguler) yang
menggunakan pembelajaran MEAs tidak berbeda secara signifikan dengan mahasiswa
(mengulang) yang juga menggunakan pembelajaran MEAs. Perbedaan peningkatan
kemampuan berpikir statistis tersebut hanya sebesar 0,069.
2)
Tidak ada perbedaan rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang
signifikan antara kelompok tinggi, kelompok sedang, dan kelompok rendah. Pengaruh
pengelompokan (rendah, sedang, tinggi) terhadap peningkatan kemampuan berpikir statistis
mahasiswa tidak signifikan karena hanya sebesar 1,9 %. Selanjutnya dari hasil posthoc tes
diketahui:
a. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis antara mahasiswa kelompok rendah
dengan kelompok sedang hanya sebesar 0,048 (tidak signifikan).
b. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis antara mahasiswa kelompok rendah
dengan kelompok sedang hanya sebesar 0,075 (tidak signifikan).
c. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis antara mahasiswa kelompok sedang
dengan kelompok tinggi hanya sebesar 0,027 (tidak signifikan).
3)
Interaksi antara kelas (kontrol, eksperimen 1, eksperimen 2) dan kelompok (tinggi, sedang,
rendah) tidak berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa.
Pengaruh dari interaksi antara kelas dan kelompok berpengaruh terhadap peningkatan
kemampuan berpikir statistis mahasiswa hanya sebesar 3,5 %.
Gambar 1
60
Dari gambar 1 terlihat bahwa ada interaksi antara kelas dengan kelompok akan tetapi tidak
mempengaruhi peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa.
1)
2)
3)
Untuk kelompok kontrol, peningkatan kemampuan berpikir statistis tertinggi diperoleh oleh
kelompok tinggi, kemudian kelompok sedang, dan terakhir kelompok rendah. Akan tetapi
perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis antara kelompok rendah, kelompok
sedang, dan kelompok tinggi tidak berbeda secara signifikan.
Ini menunjukkan bahwa dengan pembelajaran konvensional tidak terjadi perubahan urutan
peningkatan kemampuan berpikir statistis. Artinya peningkatan kemampuan berpikir statistis
masih tetapi didominasi oleh kelompok tinggi, kemudian kelompok sedang, dan terakhir
kelompok rendah.
Untuk kelompok eksperimen 1, peningkatan kemampuan berpikir statistis tertinggi diperoleh
oleh kelompok sedang, kemudian kelompok tinggi, dan terakhir kelompok rendah. Akan tetapi
perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis antara kelompok rendah, kelompok
sedang, dan kelompok tinggi tidak berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa dengan
pembelajaran MEAs terjadi perubahan urutan peningkatan kemampuan berpikir statistis.
Artinya peningkatan kemampuan berpikir statistis tertinggi diperoleh oleh mahasiswa
kelompok sedang, kemudian kelompok tinggi, dan terakhir kelompok rendah. Jadi
pembelajaran MEAs dapat lebih meningkatkan kemampuan berpikir statistis mahasiswa
kelompok sedang.
Untuk kelompok eksperimen 2, peningkatan kemampuan berpikir statistis tertinggi diperoleh
oleh kelompok rendah, kemudian kelompok tinggi, dan terakhir kelompok rendah. Akan tetapi
perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis antara kelompok rendah, kelompok
sedang, dan kelompok tinggi tidak berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa dengan
pembelajaran MEAs terjadi perubahan urutan peningkatan kemampuan berpikir statistis.
Artinya peningkatan kemampuan berpikir statistis tertinggi diperoleh oleh mahasiswa
kelompok sedang, kemudian kelompok tinggi, dan terakhir kelompok rendah. Jadi
pembelajaran MEAs dapat lebih meningkatkan kemampuan berpikir statistis mahasiswa
kelompok sedang.
Peningkatan disposisi statistis dihitung dengan menggunakan gain ternormalisasi antara skala
disposisi awal dengan skala disposisi akhir yang diperoleh dengan menggunakan skala disposisi
statistis yang sama. Dari hasil statistika deskriptif diketahui bahwa:
1)
2)
Rata-rata peningkatan disposisi statiistis (N-Gain disposisi) mahasiswa kelas kontrol, kelas
eksperimen1, dan kelas eksperimen 2 masing-masing adalah: 0,1328; 0,3444; dan 0,3342.
Jadi peningkatan disposisi statiistis mahasiswa kelas kontrol, kelas eksperimen 1, dan kelas
eksperimen 2 masing-masing dapat dikatagorikan: rendah; sedang; dan sedang. Peningkatan
terbesar diperoleh oleh mahasiswa kelas eksperimen 1 sedangkan yang terendah diperoleh
oleh kelas kontrol.
Rata-rata peningkatan disposisi statiistis (N-Gain KBS) mahasiswa kelompok tinggi,
kelompok sedang, dan kelompok rendah masing-masing adalah: 0,2776; 0,2679; dan 0,1607.
Jadi peningkatan disposisi statiistis mahasiswa kelompok rendah, kelompok sedang, dan
kelompok tinggi masing-masing dapat dikatagorikan: rendah; rendah; dan rendah. Peningkatan
terbesar diperoleh oleh mahasiswa kelompok rendah sedangkan yang terendah diperoleh oleh
kelompok tinggi.
Dari hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa diketahui bahwa data peningkatan disposisi
statistis mahasiswa untuk kelas kontrol, kelas eksperimen 1, kelas eksperimen 2, kelompok tinggi,
kelompok sedang, dan kelompok rendah semuanya berdistribusi normal. Selanjutnya dari hasil uji
homogenitas variansi dengan menggunakan Levenes Test diketahui bahwa keseluruhan data
disposisi statistis mahasiswa bervariansi homogen pada taraf signifikansi = 0,05.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
61
Berdasarkan hasil uji ANOVA dua jalur pada taraf signifikansi = 0,05 diketahui bahwa:
1)
Ada perbedaan rata-rata peningkatan disposisi statistis mahasiswa antara kelas kontrol, kelas
eksperimen 1, dan kelas eksperimen 2. Pembelajaran MEAs berpengaruh secara signifikan
terhadap peningkatan disposisi statistis mahasiswa sebesar 19,0 %. Selanjutnya dari hasil
posthoc tes diketahui:
a. Rata-rata peningkatan disposisi statistis mahasiswa (reguler) yang menggunakan
pembelajaran MEAs lebih tinggi secara signifikan dari pada mahasiswa yang
menggunakan pembelajaran konvensional. Perbedaannya sebesar 0,2116.
b. Rata-rata peningkatan disposisi statistis mahasiswa (mengulang) yang menggunakan
pembelajaran MEAs lebih tinggi secara signifikan dari pada mahasiswa yang
menggunakan pembelajaran konvensional. Perbedannya sebesar 0,2013.
c. Rata-rata peningkatan disposisi statistis mahasiswa (reguler) yang menggunakan
pembelajaran MEAs tidak berbeda secara signifikan dengan mahasiswa (mengulang)
yang juga menggunakan pembelajaran MEAs.
2)
Tidak ada perbedaan rata-rata peningkatan disposisi statistis mahasiswa yang signifikan antara
kelompok tinggi, kelompok sedang, dan kelompok rendah. Pengaruh pengelompokan
mahasiswa menjadi kelompok tinggi, kelompok sedang, dan kelompok rendah terhadap
peningkatan disposisi statistis mahasiswa tidak signifikan karena hanya sebesar 1,4 %.
Selanjutnya dari hasil posthoc tes diketahui:
a. Perbedaan peningkatan disposisi statistis antara mahasiswa kelompok rendah dengan
kelompok sedang hanya sebesar 0,098 (tidak signifikan).
b. Perbedaan peningkatan disposisi statistis antara mahasiswa kelompok rendah dengan
kelompok sedang hanya sebesar 0,1169 (tidak signifikan).
c. Perbedaan peningkatan disposisi statistis antara mahasiswa kelompok sedang dengan
kelompok tinggi hanya sebesar 0,1072 (tidak signifikan).
3)
Interaksi antara kelas (kontrol, eksperimen 1, eksperimen 2) dan kelompok (tinggi, sedang,
rendah) tidak berpengaruh terhadap peningkatan disposisi statistis mahasiswa. Pengaruh
interaksi antara kelas dan kelompok terhadap peningkatan disposisi statistis mahasiswa hanya
sebesar 5,5 %.
Dari gambar 2 terlihat bahwa ada interaksi antara kelas dengan kelompok akan tetapi tidak
mempengaruhi peningkatan disposisi statistis mahasiswa.
1)
Untuk kelompok kontrol, peningkatan disposisi statistis tertinggi diperoleh oleh kelompok
sedang, kemudian kelompok rendah, dan terakhir kelompok rendah. Akan tetapi perbedaan
peningkatan disposisi statistis antara kelompok rendah, kelompok sedang, dan kelompok
tinggi tidak berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa dengan pembelajaran
konvensional terjadi perubahan urutan peningkatan disposisi statistis. Artinya peningkatan
disposisi statistis didominasi oleh kelompok rendah, kemudian kelompok sedang, dan terakhir
kelompok tinggi.
62
2)
3)
C.
Kemampuan berpikir statistis mahasiswa S1 dapat ditingkatkan lebih optimal dengan menggunakan
pembelajaran MEAs yang dimodifikasi dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.
Pembelajaran MEAs yang dimodifikasi juga dapat disposisi statistis mahasiswa. MEAs yang
dimodifikasi ini merupakan suatu pembelajaran statistika dasar yang relatif baru di Indonesia
bahkan di dunia. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam pada semua
jenjang pendidikan. Peneliti selanjutnya dapat mengaplikasikan MEAs yang dimodifikasi ini pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah. Hasil-hasil penelitian tersebut tentulah sangat diperlukan
dalam mereformasi pendidikan statistika sehingga pembelajaran statistika menjadi lebih bermakna
bagi siswa dan siswa dapat diaplikasikannya dalam memecahkan permasalahan dalam kehidupan
nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Ben-Zvi, D., & Friedlander, A. (1997). Statistical investigations with spreadsheets (in
Hebrew). Rehovot, Israel: Weizmann Institute of Science.
Biggs, J. B., & Collis, K. F. (1982). Evaluating the quality oflearning: The SOLO taxonomy
(Structure of the Observed Learning Outcome). New York: Academic
Garfield, delMas & Zieffler. (2010). Developing Tertiary-Level Students Statistical Thinking
Through the Use of Model-Eleciting Activities. ICOTS8 (2010) Invited Paper
Jones, Thornton, Langrall & Mooney. (2000). A Framework for Characterizing Childrens
Statistical Thinking. Mathematical Thinking and Learning, 2(4), 269307 Copyright
2000, Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Martadiputra. (2010). Diklat Kemampuan Melek Statistis (Statistical literacy), Penalaran Statistis
(Statistical Reasoning) dan Berpikir Statistis (Statistical Thinking) Guru SMP/SMA.
Bandung: Jurnal Albamas tahun 10, No. 10, Oktober 2010, ISSN 1412-1891.
Martadiputra. (2010.a). Hasil Uji Coba Instrumen Kemampuan Berpikir Statistis (Statistical
Thinking). Bandung: PPs UPI, Tugas Mata Kuliah MT. 911 Studi Individual.
Martadiputra dan Tapilouw.(2011). Kajian tentang Kemampuan Berpikir Statistis Mahasiswa S1
Jurusan Pendidikann Matematika FPMIPA UPI. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika
FPMIPA UPI. Laporan Penelitian.
Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta
PendekatanGabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Matematika Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Bandung: SPS UPI.
Suryadi, D. (2010). Didactical Design Researh (DDR) dalam Pengembangan Pembelajaran
Matematika I. Bandung: Seminar Nasional Pembelajaran MIPA di UM Malang, 13
November 2010.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
63
Sekolah Menengah Kejuruan yang merupakan salah satu lembaga pendidikan formal di bidang
kejuruan yang menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan (diklat) dalam berbagai program
keahlian yang disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja, menyiapkan para siswa menjadi manusia
produktif yang mengutamakan pengembangan kemampuan peserta didik untuk dapat bekerja dalam
bidang tertentu. Agar hal tersebut dapat dicapai dengan baik maka para siswa harus dapat
menyelesaikan seluruh mata pelajaran dan program diklat dengan berbagai macam standar
kompetensi yang telah ditetapkan. Matematika adalah salah satu pelajaran yang bertujuan untuk
menyiapkan lulusan menjadi tenaga kerja terampil dan memiliki bekal penunjang bagi penguasaan
keahlian profesi, sehingga matematika mempunyai peranan dalam pengembangan diri siswa dan
menunjang penguasaan keahlian profesi. Dalam tujuan kurikulum SMK, siswa diharapkan mampu
mengembangkan diri untuk bekerja di dalam suatu bidang keahlian, maka siswa dituntut untuk
selalu siap dan terampil dalam berbagai situasi. Sedangkan pada kenyataannya, situasi yang terjadi
dalam setiap bidang keahlian selalu menghadapi masalah-masalah yang relatif baru yang selalu
memerlukan penyelesaian.
Kondisi serupa juga dialami oleh Rusgianto (2002) juga menunjukkan bahwa kemampuan siswa
mengaplikasikan pengetahuan matematika yang dimilikinya dalam kehidupan yang nyata masih
belum memuaskan. Ruspiani (dalam Kurniawan, 2007) mengungkap bahwa rata-rata nilai
kemampuan koneksi matematik siswa sekolah menengah masih rendah, nilai rata-ratanya kurang
dari 60 pada skor 100, yaitu sekitar 22.2% untuk koneksi matematik dengan pokok bahasan lain,
44.9% untuk koneksi matematik dengan bidang studi lain, dan 67.3 % untuk koneksi matematik
dengan kehidupan keseharian. Kenyataan ini memberi isyarat bahwa tujuan pembelajaran
matematika seperti yang digariskan dalam kurikulum SMK sebagai pelajaran adaptif yang
diharapkan dapat membantu siswa dalam menyelesaikan permasalahan produktifnya dan
permasalahan sehari-hari masih belum tercapai.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah terdapat peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat
pembelajaran kontekstual ?
64
2.
3.
65
METODE PENELITIAN
Keseluruhan hipotesis diatas akan diuji dengan melihat nilai rata-rata gain ternormalisasi.
Pengujian dilakukan berdasarkan hipotesis statistik berikut:
H0 : postes-pretes = 0
H1 : postes-pretes 0
g-postes-pretes > 0
Hipotesis 1 :
H0
H1
Untuk menguji hipotesis ke-2 dilakukan analisa dengan menggunakan nilai rata-rata gain
ternormalisasi serta pengujian rerata 3 variabel.
H0 : g-atas = g-tengah = g-bawah
H1 : minimal satu pasangan tidak sama
Hipotesis 2 :
H0 : tidak ada perbedaan rerata peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa kelompok
atas, tengah, dan bawah setelah mendapat pembelajaran kontekstual.
H1 : terdapat perbedaan rerata peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa kelompok
atas, tengah, dan bawah setelah mendapat pembelajaran kontekstual.
Untuk menguji hipotesis ke-3 dilakukan analisa dengan uji perbedaan dua rata-rata kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Pengujian dilakukan berdasarkan hipotesis statistik berikut:
H0 : eksperimen = kontrol
H1 : eksperimen kontrol
eksperimen > kontrol
Hipotesis 3 :
H0
H1
Statistik Deskriptif Skor Pretes & Postes Kemampuan Koneksi Matematis Siswa Kelas Eksperimen
Skor Pretes
Aspek
Skor
Ideal
Kemampuan
Koneksi
Matematis
17
Skor Postes
Asymptotic
Significance
1,87
0,115
16
2,42
14,24%
Asymptotic
Significance
3,02
0,005
12,69
74,65%
Dengan menggunakan taraf signifikansi 0,05 maka untuk skor pretes berditribusi normal sedangkan
skor pretes berdistribusi tidak normal, sehingga untuk melihat adanya peningkatan kemampuan
koneksi matematis siswa kelas eksperimen setelah pembelajaran kontekstual tidak dapat
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
67
menggunakan uji-t data berpasangan, melainkan menggunakan uji non parametrik untuk menguji
perbedaan rerata.
Uji Non Parametrik untuk Perbedaan Rerata
Uji non Parametrik yang akan digunakan adalah uji non parametrik Mann-Whitney. Hasil Uji
Mann-Whitney Kemampuan Koneksi Matematis Siswa Kelas Eksperimen ditampilkan pada tabel
berikut :
Aspek
Asymptotic
significance
Taraf
Signifikansi
Kemampuan Koneksi
matematis
0,05
Karena nilai probalitas kemampuan ini lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05 ini berarti 0 ditolak,
artinya ada perbedaan kemampuan koneksi matematis siswa setelah mendapat pendekatan dengan
pembelajaran kontekstual.
Kelas Eksperiman
Aspek
Kemampuan
Koneksi
Matematis
Rata-rata Gain
Ternormalisasi
Kategori
0,70
Sedang
Angka tersebut menunjukkan bahwa kualitas peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa
setelah diberikan pembelajaran kontesktual tidak terlalu tinggi. Peningkatan kemampuan koneksi
matematis kelas eksperimen secara rinci dapat dilihat dari skor gain ternormalisasi per butir soal
seperti yang terlihat pada Tabel berikut :
Rekapitulasi Rata-rata Gain Ternormalisasi Kemampuan Koneksi Kelas Eksperimen
Nomor
Soal
Rata-rata
Skor
Pretes
Rata-rata
Skor
Postes
Rata-rata Skor
Gain
Ternormalisasi
Kategori
1,22
3,5
0,80
Tinggi
0,42
2,53
0,45
Sedang
0,67
3,58
0,84
Tinggi
0,11
3,08
0,76
Tinggi
Rata-rata
0,61
3,17
0,71
Tinggi
68
Aspek Kemampuan
Koneksi
Menerapkan
secara
matematika
pada
kehidupan sehari-hari
Mengenali
dan
menerapkan
konsepkonsep
matematika
untuk
menentukan
keserupaan
hubungan
dari
konsep-konsep
tersebut
Menghubungkan
prosedur matematis pada
konsep dasar siswa
Menerapkan
secara
matematika
didalam
konteks
berdasarkan
pekerjaan (karier)
Gabungan
Dari Tabel dapat dilihat bahwa besarnya peningkatan dari rata-rata skor gain dari keempat soal tes
kemampuan koneksi matematis yang diberikan, rata-rata berada pada kategori tinggi, dimana nilai
rata-rata skor gain ternormalisasi berkisar antara 0,45 sampai dengan 0,84. Hal ini menunjukkan
bahwa kemampuan koneksi siswa setelah mendapat pembelajaran kontekstual mengalami
peningkatan yang sangat baik.
4.2. Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Berdasarkan Tingkat Kemampuan
S
Aspek
Kelompok
Tengah
xmin
xmaks
7
4,90
1,20
16
12,1
3,67
3
2,06
0,68
15
13,13
2,85
1
0,50
0,53
15
12,6
2,80
min
maks
3
1
1
0
Bawah
Postes
ideal
Atas
Kemampuan
Koneksi
Matematis
Pretes
Skor
Untuk kemampuan koneksi matematis skor rata-rata kemampuan awal siswa kelompok atas adalah
4,90 yaitu 28,82% skor ideal, kelompok tengah 2,06 sebesar 12,12% skor ideal dan kelompok
bawah 0,50 sebesar 2,94% skor ideal. Sedangkan kemampuan koneksi matematis setelah
mendapatkan pembelajaran kontekstual untuk kelompok atas rata-ratanya bernilai 12,1 yaitu
sebesar 71,18% skor ideal, kelompok tengah 13,13 yaitu 77,24% skor ideal dan kelompok bawah
12,6 yaitu sebesar 74,12% skor ideal. Terdapat perbedaan kemampuan koneksi matematis sebelum
dan sesudah mendapatkan pembelajaran kontekstual yaitu untuk kelompok atas sebesar 42,36%,
kelompok tengah 65,12%, dan kelompok bawah sebesar 71,18%. Dari nilai tersebut, terlihat bahwa
terdapat perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis setelah mendapatkan pembelajaran
kontekstual.
Perbedaan Skor Pretes dan Postes Kemampuan Koneksi Matematis Siswa
Kelompok Atas, Tengah, dan Bawah
15
10
pretes
postes
0
atas
tengah bawah
Aspek
Kelompok
Kemampuan
Koneksi
Matematis
Atas
Tengah
Bawah
Kriteria
0,59
0,74
0,73
Sedang
Tinggi
Tinggi
Pada kemampuan koneksi matematis, peningkatan dengan kriteria sedang diperoleh kelompok atas,
sedangkan kelompok tengah dan kelompok bawah peningkatannya berada pada kategori tinggi.
69
Uji perbedaan rerata untuk melihat adanya perbedaan peningkatan koneksi matematis berdasarkan
tingkat kemampuan siswa menggunakan perhitungan Anova Satu Jalur oleh program SPSS secara
lengkap ditampilkan pada tabel berikut :
Perhitungan Anova Satu Jalur Kemampuan Koneksi Siswa Kelas Eksperimen
Aspek
Significance
Significance
Kelompok
uji Scheffe
Kesimpulan
Tengah
0,243
H0 diterima
Bawah
0,352
H0 diterima
Atas
0,243
H0 diterima
Bawah
0,996
H0 diterima
Atas
0,352
H0 diterima
Tengah
0,996
H0 diterima
Atas
Kemampuan
Koneksi
Matematis
0,204
Tengah
Bawah
Dari Tabel terlihat bahwa kolom signifikansi kemampuan koneksi matematis seluruh kelompok
menunjukkan skor masing-masing 0,204. Karena taraf signifikansi yang digunakan adalah =
0,05 dan probabilitasnya lebih besar dari taraf signifikansi, maka 0 diterima.
Selanjutnya untuk melihat adanya perbedaan rerata peningkatan kemampuan koneksi matematis
berdasarkan tingkat kemampuan siswa digunakan uji Scheffe. Untuk kemampuan koneksi
matematis, kelompok atas-tengah memiliki probabilitas 0,243; kelompok atas-bawah 0,352 dan
kelompok tengah-bawah probabilitas 0,996. Masing-masing kelompok untuk kemampuan koneksi
matematis memiliki probabilitas lebih besar dari taraf signifikasi 0,05. Ini berarti 0 diterima,
artinya tidak ada perbedaan rerata peningkatan kemampuan koneksi matematis berdasarkan tingkat
kemampuan setelah siswa mendapat pembelajaran kontekstual.
4.3. Hasil Pengolahan Data Kemampuan Koneksi Matematis Siswa kelas Eksperimen dan Kelas
Kontrol
Karena desain yang digunakan adalah Perbandingan Kelompok Statik, maka kemampuan awal
siswa kelas eksprimen maupun kelas kontrol diasumsikan sama. Asumsi tersebut berdasarkan
kepada skor pretes kelas eksperimen dan nilai rata-rata harian kelas kontrol.
Skor Postes Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Aspek
Kemampuan
Pemahaman
Matematis
Kemampuan
Koneksi
Matematis
Kelompok Eksperimen
Kelompok Kontrol
Skor
Ideal
xmin
xmaks
xmin
xmaks
20
20
15,44
2,43
17
10,55
3,69
17
16
12,54
3,04
13
9,88
2,13
Dari Tabel diatas diketahui bahwa kemampuan koneksi matematis, skor rata-rata siswa kelas
eksperimen adalah 12,54 yaitu sebesar 73,77% skor ideal sedangkan kelas kontrol adalah 9,88 yaitu
sebesar 58,12% skor ideal.
Hasil perhitungan uji normalitas postes kemampuan koneksi matematis siswa kelas eksperimen dan
kelas kontrol ditampilkan dalam Tabel berikut ini
70
Hasil Uji Normalitas Postes Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Aspek
Asymptotic
significance
Kemampuan
Koneksi
Matematis
0,005
Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol
Taraf
Taraf
Asymptotic
Kesimpulan
Kesimpulan
Signifikansi
significance Signifikansi
0,05
Tidak
Normal
0,180
0,05
Normal
Dengan demikian, karena terdapat kemampuan yang tidak berdistribusi normal, maka pengujian
perbedaan dua rata-rata kemampuan koneksi matematis antara kelas eksperimen dan kelas kontrol
menggunakan uji non parametrik.
Uji Perbedaan Rerata Kemampuan Koneksi Matematis antara Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Uji perbedaan rerata kemampuan koneksi matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol
adalah uji non parametrik yaitu uji U dari Mann-Whitney. Uji Mann-Whitney dilakukan
menggunakan program SPSS dengan hasil perhitungan sebagai berikut :
Aspek
Asymptotic
significance
Taraf
Signifikansi
Kemampuan
Koneksi
Matematis
0,0
0,05
Dari hasil uji Mann-Whitney, untuk kemampuan koneksi matematis kolom Asymptotic significance
dua sisi menunjukkan nilai 0,0 ini berarti 0 ditolak. Artinya terdapat perbedaan kemampuan
koneksi matematis yang cukup signifikan antara siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol.
V.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengolahan data dan temuan yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1.
2.
3.
71
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, M. 2007. Memahami Matematika SMK 2. Armico: Bandung.
-----------------. Dukungan Media Pembelajaran Matematika Berbasis TIK Untuk Peningkatan Pemahaman
Konsep Keliling dan Luas Segi Empat.
Tersedia Online :
Http://4riif.wordpress.com/2008/07/10/proposal-penelitian-dukungan-media-pembelajaran-matematikaberbasis-tik-untuk-peningkatan
Departemen Pendidikan Nasional. Pembelajaran Berbasis Kontekstual 1. Sosialisasi KTSP.
Hutagaol, K. (2007). Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Matematis
Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis UPI Bandung. Tidak dipublikasikan.
Killen, R. (1998). Effective Teaching Strategies. Lesson from Research and Practise. Second Edition.
Australia : Social Science Press.
Krismanto, A. (2003). Beberapa Tehnik, Model, dan Strategi Dalam Pembelajaran Matematika. Makalah.
PPPG Matematika Yogyakarta.
Kurniawan, R. (2007). Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Koneksi
Matematik Siswa SMK. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika:
Yogyakarta.
Laily, A. H. (2007). Pendekatan Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa
Mengaplikasikan Konsep Matematika. Tesis UPI Bandung. Tidak dipublikasikan.
New Jersey State Board of Education. (1996). The New Jersey Mathematics Curriculum Framework was
developed to provide information, guidance, and assistance to teachers and curriculum
developers in implementing the mathematics standars.
Tersedia online :
Http://dimacs.rutgers.edu/nj_math_coalition/framework/acrobat/chap01-4.pdf. Diakses pada tanggal 21
Maret 2009.
Nugroho, S. Statistik Non Parametrik. Makalah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi. Dinas Pendidikan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Dinas
Pendidikan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Ruseffendi, H. E. T. (2003). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non eksaksta Lainnya.
Semarang : UNNES Press.
Rusgianto. (2002). Contextual Teaching and Learning. Disajikan dalam Seminar Pendidikan Matematika 3
November 2002. FMIPA UNY: tidak diterbitkan.
-----------------------. Statistik Uji Non Parametrik Uji Data Dua Sampel Independent. Makalah.
Siegel, S. dkk. (2000). Tata Hidangan dan Minuman untuk edisi Indonesia. S. Trauner : Austria.
Stewart, J. Correcting The Normalized Gain. University of Arkansas.
Sudjiono, A. (1998). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Suhendar. (2007). Meningkatkan Komunikasi dan Koneksi Matematis siswa SMP yang berkemampuan
Rendah melalui Pendekatan Kontekstual dengan Pemberian Tugas Tambahan. Tesis UPI
Bandung. Tidak dipublikasikan.
Suherman, E. dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. FMIPA-JICA UPI Bandung :
Tidak diterbitkan.
Sumarmo, U. & Permana, Y. 2007. Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi matematik Siswa
SMA melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal. EDUCATIONIST.
Suparno, P. (2001). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius.
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Wahyudin. 2008. Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Tidak Dipublikasikan.
---------------------------------. What is contextual teaching and learning?. TeachNET.
Tersedia Online :
http://www.cew.wisc.edu/teachnet/ctl/ diakses pada tanggal 5 Juni 2009.
Van de Wall, J., A. (2008). Pengembangan Pengajaran Matematika Sekolah Dasar dan Menengah Edisi
Keenam. Jakarta : Erlangga.
72
Pendidikan yang baik dan tepat dipandang sebagai aset sektor yang strategis dalam mempersiapkan
SDM yang berbudi pekerti luhur dan mumpuni dalam menyelesaikan setiap permasalahan, harus
benar-benar ditangani secara profesional. Dengan demikian, usaha-usaha yang intensif dalam
meningkatkan kualitas proses dan hasil pendidikan sudah selayaknya lebih diperhatikan, karena
melalui pendidikan diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan potensi siswa sebagai calon
SDM yang handal untuk dapat bersikap dan berprilaku kritis, kreatif, logis dan inovatif dalam
menghadapi serta menyelesaikan setiap permasalahan. Hal tersebut senada dengan pendapat
Ruseffendi (1991) yang menyatakan bahwa hasil dari pendidikan matematika yaitu siswa
berpeluang memiliki kepribadian yang kreatif, kritis, berpikir ilmiah, jujur, hemat, disiplin, tekun,
berprikemanusiaan, mempunyai perasaan keadilan, dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
bangsa dan negara.
Oleh karena itu salah satu tujuan pembelajaran matematika tingkat SMK kelompok teknologi
(Depdiknas: 2008) untuk mencetak SDM yang handal adalah:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan
konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah
2. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model
matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
Dengan demikian, salah satu tujuan yang harus menjadi prioritas dalam pembelajaran matematika
adalah kemampuan pemahaman matematis (KPM) dan pemecahan masalah matematis (KPMM).
Namun berdasarkan kenyataan di lapangan pendidikan menunjukkan indikasi yang berbeda, guru
terbiasa melakukan pembelajaran secara konvensional, sehingga KPM dan KPMM belum dapat
diperoleh sebagaimana mestinya. Hal tersebut, didukung fakta belum memuaskannya KPM terlihat
dalam nilai rata-rata matematika siswa SMK pada Ujian Nasional lima tahun terakhir, relatif
merupakan nilai terendah dari semua mata pelajaran yang diujiankan (Depdiknas, 2008),
sedangkan rendahnya KPMM siswa terlihat juga dari rendahnya prestasi kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa di ajang Program for International Student Assesment (PISA) tahun 2003
bahwa Indonesia masih berada pada peringkat ke 38 dari 40 negara yang berpartisipasi (Syaban,
2008).
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
73
Salah satu pembelajaran yang diduga berpeluang untuk mencapai KPM dan KPMM adalah
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual
(Contextual Teaching and Learning, CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai
dengan mengambil, mensimulasikan, menceritakan, berdialog, bertanya jawab atau berdiskusi pada
kejadian dunia nyata kehidupan sehari-hari yang dialami siswa, kemudian diangkat kedalam
konsep yang akan dipelajari dan dibahas. Menurut Berns dan Ericson (2001), pembelajaran dengan
pendekatan kontekstual adalah suatu konsep pembelajaran yang dapat membantu guru
menghubungkan materi pelajaran dengan situasi nyata, dan memotivasi siswa untuk membuat
koneksi antara pengetahuan dan penerapannya dikehidupan sehari-hari dalam peran mereka sebagai
anggota keluarga, warga negara dan pekerja, sehingga mendorong motivasi mereka untuk bekerja
keras dalam menerapkan hasil belajarnya.
Salah satu kekuatan CTL yaitu pada awal pembelajarannya siswa diberi permasalahanpermasalahan situasional yang dikemas dalam bentuk basis-basis konteks permasalahan yang
berkaitan dengan konsep matematika, ilmu pengetahuan lain atau kehidupan nyata, dimana cara
penyelesaiannya dapat dilakukan secara mandiri atau melalui diskusi, sharing idea dengan teman,
melakukan ekplorasi, investigasi serta pemecahan masalah yang dapat melibatkan bukan saja satu
bidang studi tetapi bila diperlukan mungkin bidang studi lain, sehingga proses kegiatan tersebut
akan merangsang siswa menggunakan segala kemampuannya dalam mengkonstruksi pengetahuan
untuk menyelesaikan permasalahan. Sebagaimana Sabandar (2006) menyatakan bahwa situasi
pemecahan masalah merupakan tahapan dimana ketika individu dihadapkan kepada suatu masalah
ia tidak serta merta mampu menemukan solusinya, bahkan dalam proses penyelesaiannya ia masih
mengalami kebuntuan. Pada saat itulah terjadi konflik kognitif yang berpeluang memaksa siswa
untuk berpikir matematis. Berpikir matematis tersebut diantaranya yaitu kemampuan pemahaman
dan pemecahan masalah matematis.
Seting pembelajaran kontekstual melalui diskusi kelompok dapat dikolaborasikan dengan metode
jigsaw II (CTLJ). Dengan kolaborasi metode pembelajaran jigsaw II, selain siswa mempunyai
kelebihan kerjasama tim dalam kelompok, mereka juga dituntut untuk memahamai spesialisasi
tugas/suatu materi yang berbeda-beda dalam memecahkan suatu permasalahan dengan berdiskusi
atau mempelajari suatu materi pelajaran lebih dari dua kali. Dengan demikian, pembelajaran
dengan kolaborasi pendekatan kontekstual dan jigsaw II, selain siswa digiring menuju
pengkontruksian pengetahuannnya dengan permasalahan-permasalahan kontekstual, juga mereka
dituntut harus mampu memahami materi secara keseluruhan dan menyampaikan suatu
materi/permasalahan hasil diskusi di kelompok ahli pada teman-teman anggota kelompok asalnya.
Penelitian dengan subjek populasi siswa SMK, khususnya pada SMK kelompok teknologi harus
segera dilaksanakan, hal tersebut karena berdasarkan pada program pemerintah bidang
kependidikan yang akan membuka sekolah kejuruan, sehingga prosentase antara sekolah kejuruan
dan sekolah umum adalah 70% berbanding 30%. Bahkan menurut Sabandar (Kurniawan, 2006)
penelitian dengan subjek siswa-siswa SMK perlu segera dilakukan, karena penelitian-penelitian
pada sekolah kejuruan masih sedikit, yaitu sekitar 5% dari penelitian-penelitian yang sudah
dilakukan mahasiswa. Oleh karena itu maka penulis termotivasi untuk meneliti tentang kemampuan
pemahaman dan pemecahan masalah matematis melalui pembelajaran dengan pendekatan
kontekstual dan implementasinya pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan, maka rumusan dan batasan masalah yang
diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah ada perbedaan KPM atau KPMM siswa yang mendapatkan CTLJ, CTL dan PK
ditinjau dari siswa secara keseluruhan?
2. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan PAM terhadap KPM atau KPMM
siswa secara keseluruhan?
3. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah terhadap KPM atau
KPMM siswa secara keseluruhan?
74
Slavin (2008) menggambarkan pembelajaran dengan metode jigsaw II adalah pembelajaran dalam
sebuah tim yang heterogen sebagaimana pembelajaran kooperatif yang biasa. Namun saat
pembelajaran dengan menggunakan metode jigsaw II, para siswa diberi tugas untuk membaca dan
mempelajari beberapa bab atau unit yang berisi suatu lembar ahli. Suatu lembar ahli berisi suatu
materi yang terdiri atas topik-topik berbeda yang harus menjadi fokus perhatian masing-masing
anggota tim saat mereka membaca dan mempelajari materi yang diberikan. Setelah semua siswa
selesai membaca dan mempelajari materi yang diberikan, siswa-siswa dari tim yang berbeda yang
mempunyai fokus topik materi yang sama bertemu dalam kelompok ahli untuk mendiskusikannya
sekitar 30 menit. Para ahli tersebut kemudian kembali pada tim mereka masing-masing dan secara
bergantian mengajari dan sharing dengan teman satu timnya mengenai topik mereka. Sebagai
langkah terakhir, para siswa menerima penilaian yang mencakup seluruh topik, dan skor kuis akan
menjadi skor tim, artinya setiap perolehan nilai/skor kuis dari masing-masing anggota tim
berkontribusi pada perolehan skor timnya secara keseluruhan. Para siswa yang memperoleh skor
tim yang tertinggi akan memperoleh suatu penghargaan berupa penghargaan/sertifikat ataupun
bentuk-bentuk rekognisi yang lainnya.
Dengan memperhatikan penjelasan pembelajaran tersebut di atas, maka setting pembelajaran CTLJ
pada penelitian ini adalah :
1. Saat pembelajaran dimulai, guru memberikan apersepsi dan motivasi tentang materi yang akan
diberikan. Siswa duduk sesuai dengan teman sebangkunya.
2. Saat kegiatan inti pembelajaran, siswa dibuat kelompok kecil sekitar 4-5 orang dengan
kemampuan yang heterogen. Tidak ada siswa yang duduk membelakangi papan tulis.
3. Kelompok siswa diberikan permasalahan dalam bentuk kontekstual atau yang disimulasikan.
Permasalahan dipilih yang menantang siswa untuk mencari solusinya, dalam bentuk LKS.
4. Siswa mengeksplorasi pengetahuan dengan cara mengkonstruksi, asimilasi serta akomodasi
pengintegrasian pengetahuan yang ia miliki dalam menyelesaikan/mempelajari semua
permasalahan yang dihadapi dengan kelompok asalnya.
5. Siswa berdiskusi tentang satu segmen permasalahan dengan kelompok/tim ahlinya masingmasing.
6. Setelah tim ahli mempelajari dan berdiskusi pada segmennya masing-masing, maka setiap
anggota dalam tim ahli kembali pada kelompok jigsaw asalnya masing-masing.
7. Setiap siswa mempresentasikan hasil diskusi di kelompok ahli pada kelompok jigsawnya
masing-masing.
8. Guru hendaknya berkeliling kelas, guru menjadi fasilitator, motivator, dan negoisator, serta
memperhatikan setiap kelompok jigsaw dan memberikan bantuan seperlunya pada kelompok
yang bermasalah.
9. Setelah diskusi pada kelompok asal jigsaw selesai, guru mengadakan kuis. Setiap siswa
mengerjakan soal kuis secara mandiri.
10. Pada akhir kegiatan dilakukan refleksi terhadap pembelajaran yang sudah berlangsung. Siswa
dibimbing agar mampu menyimpulkan hasil pembelajaran, kemudian siswa diberi pekerjaan
rumah berupa soal-soal latihan atau mempelajari materi yang akan datang.
Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematis
Menurut Anderson dan Krathwohl (2001), jika siswa memahami sesuatu objek matematika maka ia
mampu mengkontruksi dan mengkomunikasikan
pesan-pesan intruksional tentang objek
matematika dengan kata-kata, tulisan atau grafik. Dari pengertian tersebut ada enam indikator KPM
yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu menginterpretasikan, memberikan contoh,
mengklasifikasikan, merangkum, membandingkan dan menjelaskan.
Sumarmo (2004) menjelaskan pemecahan masalah sebagai kemampuan adalah suatu kemampuan
mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan serta kecukupan unsur yang diperlukan,
merumuskan masalah dari situasi sehari-hari dalam matematika, menerapkan strategi untuk
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
75
menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) di dalam atau di luar matematika,
menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, menyusun model
matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan menggunakan matematika secara
bermakna (meaningful).
Metode
Penelitian eksperimen ini menggunakan teknik analisis data yang diolah secara kuantitatif. Tiga
kelompok siswa dipilih secara acak kelas, yaitu kelompok eksperimen-1 memperoleh perlakuan
berupa pembelajaran CTLJ, kelompok eksperimen-2 memperoleh perlakuan pembelajaran CTL
dan kelompok kontrol menggunakan PK. Sebelum perlakuan, kedua kelompok diberi tes PAM, dan
setelah perlakuan diadakan postes.
Disain penelitian ini adalah:
A X1 O
A X2 O
A
O
Keterangan: A = Pengambilan sampel secara acak
O = Postes kompetensi Bilangan Real dan Program Linier
X1 = Perlakuan berupa pembelajaran dengan pendekatan CTLJ
X2 = Perlakuan berupa pembelajaran dengan pendekatan CTL
Populasi dan Sampel
Populasi yang terlibat dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMK kelompok teknologi seKabupaten Majalengka. Pemilihan subyek sekolah diambil secara purposive sampling untuk
memilih satu sekolah level atas (SA) dan satu sekolah level tengah (ST). Level SA adalah SMKN 1
Panyingkiran, dan level ST adalah SMK PUI Majalengka. Selanjutnya dari tiap level sekolah
dipilih sampel secara acak kelas sebanyak tiga kelas. Jumlah sampel penelitian yang terlibat adalah
201 siswa.
Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data yang diperlukan, penelitian ini menggunakan instrumen penelitian berupa
tes PAM, Tes KPM dan tes KPMM. Untuk patokan kegiatan pembelajaran dibuat rencana
pembelajaran dengan pendekatan CTLJ dan CTL serta bahan ajar yang disertai soal-soal yang
berpeluang menumbuhkan kemampuan pemahaman, pemecahan masalah dan disposisi matematis.
1. Tes Pengetahuan Awal Matematis (PAM)
Tes pengetahuan awal adalah tes yang memuat soal-soal yang dapat menunjang pemahaman dan
pemecahan masalah dari konsep materi Bilangan Real dan Program Linier. Tes PAM berbentuk
uraian sebanyak 15 buah soal. Sebelum digunakan pada subyek penelitian, tes PAM divalidasi
terlebih dahulu secara logis.
2. Tes KPM dan Tes KPMM
Tes KPM dan tes KPMM berupa uraian sebanyak 9 buah soal, sedangkan skor rubrik jawabannya
disesuaikan dari skala Evaluating Problem Solving in Mathematics (Chicago Public Schools
Bureau of Student Assesment: 2009), namun sebelum digunakan instrumen tes divalidasi secara
logis dan empirik.
Pengembangan Bahan Ajar dan Validasinya
Pembelajaran dalam penelitian ini disusun dalam bentuk lembar kerja siswa (LKS). Penyusunan
LKS mempertimbangkan tugas, partisipasi, dan motivasi siswa yang dirancang dalam pembelajaran
dengan pendekatan kontekstual sesuai materi ajar yang akan diteliti. Validasi LKS dilakukan secara
logis oleh pakar pendidikan.
76
Seluruh perhitungan statistik menggunakan SPSS-16, dengan tingkat kepercayaan 95%. Analisis
pengolahan data rerata kemampuan PAM, KPM dan KPMM menggunakan uji Anova satu jalur,
Anova dua jalur. Namun sebelumnya, normalitas data diuji dengan menggunakan uji KolmogorovSmirnov Z (K-S-Z) dan homogenitas data diuji dengan menggunakan uji Levene.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
1.
Tujuan tes kemampuan PAM adalah untuk mengetahui pengetahuan awal siswa sebelum proses
pembelajaran berlangsung dan untuk mengetahui kesetaraan sampel penelitian serta menentukan
peringkat siswa (tinggi, sedang dan rendah).
Berdasarkan hasil analisis uji Anova 1 jalur terhadap rerata skor tes PAM siswa yang mendapatkan
CTLJ, CTL dan PK siswa ST, SA dan keseluruhan, ternyata semua kelompok pembelajaran
memiliki kemampuan PAM yang setara. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan matematis
seluruh kelompok pembelajaran berasal dari kelompok yang sama.
2.
Deskripsi statistik rerata KPM siswa dari setiap pembelajaran berdasarkan level sekolah disajikan
sesuai Tabel 1. Dari tabel tersebut memberikan gambaran bahwa rerata KPM kelompok siswa
peringkat tinggi dari setiap pembelajaran (CTLJ, CTL, PK) lebih besar dibandingkan dengan
kelompok sedang dan rendah, serta rerata KPM kelompok siswa peringkat sedang dari setiap
pembelajaran lebih besar dibandingkan dengan kelompok rendah.
Tabel 1
Deskripsi Statistik Rerata KPM dan KPMM
CTLJ
Level
Sekolah
Atas
(SA)
Tengah
(ST)
SA+ ST
PAM
CTL
Postes
Postes
n
KPM
KPMM
Tinggi
52,923
58,000
Sedang
45,200
Rendah
PK
Postes
n
KPM
KPMM
13
53,667
53,444
46,800
15
39,190
38,833
40,917
12
Total
45,800
48,675
Tinggi
40,220
Sedang
n
KPM
KPMM
40,600
43,000
10
42,286
21
31,471
41,176
17
35,625
39,250
25,250
33,750
12
40
41,868
44,290
38
31,897
39,359
39
35,560
46,830
42,670
33,750
32,620
39,450
33,090
11
39,240
37,410
17
31,700
35,200
10
Rendah
37,430
35,140
39,500
38,170
31,800
33,800
10
Total
39,185
34,440
27
40,862
38,660
29
32,320
33,964
28
Tinggi
51,313
56,190
16
49,600
49,130
15
35,920
41,292
24
Sedang
41,971
39,030
35
39,889
40,810
36
31,650
36,450
20
Rendah
37,500
38,250
16
37,250
37,380
16
28,430
33,304
23
Total
43,134
42,940
67
41,433
41,850
67
32,070
37,104
67
Keterangan: Skor maksimum tes KPM adalah 70 dan skor maksimum tes KPMM adalah 90
Deskripsi hasil uji Anova dua jalur untuk mengetahui interaksi pembelajaran dengan PAM
terhadap KPM siswa, disajikan pada Tabel 2.
77
Tabel 2
Hasil Uji Anova Dua Jalur Interaksi Pembelajaran dengan PAM terhadap KPM Siswa
Source
Pembelajaran
PAM
Interaksi
Sum of
Squares
1531,389
3671,832
239,374
Df
Mean Square
Sig.
2
2
4
765,694
1835,916
59,843
19,209
46,058
1,501
0,000
0,000
0,203
Tabel 2 menunjukkan bahwa faktor pembelajaran (CTLJ, CTL dan PK) dan faktor PAM
memberikan perbedaan yang signifikan terhadap KPM siswa. Hal ini ditunjukkan dengan nilai
signifikansinya (0,000) lebih kecil dari 0,05. Namun berdasarkan nilai probabilitas interaksinya
(0,203) lebih besar dari 0,05, hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara
pembelajaran dengan PAM terhadap kemampuan pemahaman matematis siswa.
Secara grafis, gambaran interaksi antara pembelajaran dan PAM terhadap KPM disajikan pada
Gambar.1.
Pada Gambar 1 tampak bahwa ditinjau berdasarkan PAM siswa ternyata rerata KPM seluruh
kelompok siswa yang mendapatkan CTLJ dan CTL lebih besar dari pada PK. Artinya secara
keseluruhan pembelajaran berbasis kontektual dapat diterapkan pada semua siswa.
Deskripsi hasil uji Anova dua jalur untuk mengetahui interaksi pembelajaran dengan level sekolah
terhadap KPM siswa, disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3
Hasil Uji Anova Dua Jalur Interaksi Pembelajaran dengan Level Sekolah terhadap KPM Siswa
Source
Pembelajaran
Level Sekolah
Interaksi
Sum of
Squares
1244,261
919,766
284,312
Df
Mean Square
Sig.
2
1
2
622,130
919,766
142,156
11,882
17,566
2,715
0,000
0,000
0,069
Tabel 3. menunjukkan bahwa faktor pembelajaran dan faktor level sekolah memberikan perbedaan
yang signifikan terhadap KPM siswa. Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansinya (0,000)
lebih kecil dari 0,05. Namun berdasarkan nilai probabilitas interaksinya (0,069) lebih besar dari
0,05, hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dengan PAM
terhadap kemampuan pemahaman matematis siswa.
78
Secara grafis, gambaran interaksi antara pembelajaran dan level sekolah terhadap KPMM disajikan
pada Gambar.2.
Atas
Tengah
Dari gambar 2, terlihat bahwa pada level ST pembelajaran CTL lebih baik dalam mencapai KPM,
sedangkan pada level SA CTLJ lebih baik dilakukan dibandingkan kedua pembelajaran yang
lainnya.
3.
Deskripsi statistik rerata KPMM siswa dari setiap pembelajaran berdasarkan level sekolah
disajikan sesuai Tabel 1 (hal.9). Tabel tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan masing-masing
peringkat siswa, ternyata rerata KPMM siswa yang mendapatkan CTLJ atau CTL lebih tinggi dari
pada kelompok PK.
Deskripsi hasil uji Anova dua jalur untuk mengetahui interaksi pembelajaran dengan PAM
terhadap KPMM siswa, disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 menunjukkan bahwa faktor pembelajaran dan faktor PAM memberikan perbedaan yang
signifikan terhadap peningkatan KPMM. Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikan sebesar 0,000
lebih kecil dari 0,05. Selain itu, berdasarkan nilai probabilitas interaksi (0,002) lebih kecil dari
0,05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara pembelajaran dengan PAM terhadap
pencapaian KPMM.
Tabel 4
Hasil Uji Anova Dua Jalur Interaksi Pembelajaran dengan PAM terhadap KPMM Siswa
Source
Pembelajaran
PAM
Interaksi
Sum of
Squares
5690,814
4710,517
1027,050
Df
2
2
4
Mean
Square
2845,407
2355,258
256,763
Sig.
49,523
40,992
4,469
0,000
0,000
0,002
Secara grafis, gambaran interaksi antara pembelajaran dan PAM terhadap KPMM disajikan pada
Gambar 3.
79
Pada Gambar 3, ditinjau dari PAM siswa ternyata tampak bahwa rerata KPMM seluruh kelompok
siswa yang mendapatkan CTLJ atau CTL lebih besar dari pada PK.
Deskripsi hasil analisis uji Anova dua jalur interaksi pembelajaran dengan level sekolah terhadap
KPMM siswa, disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5
Hasil Uji Anova Dua Jalur Interaksi Pembelajaran dengan Level Sekolah
terhadap KPMM Siswa secara Keseluruhan
Source
Pembelajaran
Level Sekolah
Interaksi
Sum of
Squares
3844,464
2051,932
1756,898
Df
Mean Square
Sig.
2
1
2
1922,232
2051,932
878,449
29,386
31,369
13,429
0,000
0,000
0,000
Dari Tabel 5 tersebut tampak bahwa nilai signifikansi faktor pembelajaran, faktor level sekolah
maupun faktor interaksi (0,000) lebih kecil dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran
dan level sekolah membawa dampak perbedaan terhadap KPMM siswa, selain itu terdapat interaksi
antara kedua faktor tersebut terhadap KPMM siswa secara keseluruhan.
Secara grafis, gambaran interaksi antara pembelajaran dan level sekolah terhadap KPMM disajikan
pada Gambar 4.
Atas
Tengah
80
PEMBAHASAN
Hasil Anova dua jalur seperti tersaji pada Tabel 2 menunjukkan bahwa faktor pembelajaran (CTLJ,
CTL dan PK) dan faktor PAM memberikan perbedaan yang signifikan terhadap KPM siswa.
Namun berdasarkan nilai probabilitas interaksinya (0,203) lebih besar dari 0,05, hal ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dengan PAM terhadap
kemampuan pemahaman matematis siswa. Artinya bahwa pembelajaran CTLJ dan CTL dapat
diterapkan pada semua jenjang PAM siswa dalam mencapai KPM.
Tabel 3. menunjukkan bahwa nilai probabilitas interaksinya (0,069) lebih besar dari 0,05, hal ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dengan PAM terhadap KPM
siswa. Artinya bahwa pembelajaran CTLJ dan CTL dapat diterapkan pada siswa di semua level
sekolah. Selain itu, untuk siswa level SA dan secara keseluruhan CTLJ lebih baik daripada CTL
maupun PK, namun untuk level ST ternyata CTL lebih baik daripada CTLJ ataupun PK. Hal ini
sesuai dengan pendapat Kurniawan (2006) bahwa CTL lebih cocok dilakukan pada siswa dengan
kemampuan sedang dan rendah dibandingkan siswa kelompok tinggi, karena pada sebagian siswa
kelompok tinggi bila pengkonstruksian konsep selalu menggunakan basis-basis masalah
kontekstual dapat membuat mereka bosan.
Berdasarkan hasil uji Anova dua jalur pada Tabel 4, diketahui bahwa terdapat interaksi antara
pembelajaran dengan PAM terhadap pencapaian KPMM, tetapi karena nilai Fhitung untuk faktor
pembelajaran lebih besar dari pada Fhitung faktor PAM, artinya bahwa pembelajaran CTLJ atau CTL
lebih dominan terhadap KPMM siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Johson (Kurniawan, 2006)
yang menyatakan bahwa orang yang sering mendapat stimulus respon saat pembelajarannya maka
akan berpeluang lebih besar dalam meningkatkan kemampuan matematisnya.
Selain itu dari gambar 4, terlihat bahwa pada level ST pembelajaran CTL lebih baik dalam
mencapai KPMM, sedangkan pada level SA CTLJ lebih baik dilakukan dibandingkan kedua
pembelajaran yang lainnya. Dengan demikian, berdasarkan Level sekolah secara keseluruhan maka
CTLJ dan CTL lebih baik dari pada PK. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarmo (2005:3) bahwa
pembelajaran matematika untuk berpikir kreatif dan berpikir tinggkat tinggi dapat dilakukan
melalui belajar dalam kelompok kecil, menyajikan tugas non rutin dan tugas yang menuntut
strategi kognitif dan metakognitif peserta didik serta menerapkan pendekatan scaffolding.
KESIMPULAN
Pembelajaran CTLJ dan CTL secara signifikan lebih baik dalam mencapai kemampuan
pemahaman ataupun kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dibandingkan dengan
pembelajaran konvensional.
Tidak terdapat interaksi pembelajaran dengan PAM siswa atau level sekolah terhadap kemampuan
pemahaman matematis, hal ini menunjukan bahwa untuk mencapai KPM maka pembelajaran CTLJ
ataupun CTL dapat diterapkan untuk seluruh siswa ataupun seluruh level sekolah.
Terdapat interaksi pembelajaran dengan PAM siswa atau level sekolah terhadap kemampuan
pemecahan masalah matematis. Artinya, untuk mencapai KPMM maka penerapan pembelajaran
CTLJ ataupun CTL perlu memperhatikan PAM siswa ataupun level sekolah. Walaupun demikian
faktor pembelajaran lebih dominan dalam pencapaian KPMM.
SARAN
Mengingat bahwa sekolah kejuruan bertujuan untuk mempersiapkan siswa agar dapat menerapkan
semua pengetahuan yang didapat dari sekolah pada kehidupan nyata sehingga siswa akan siap
bekerja sesuai dengan bidang yang digelutinya, maka pembelajaran CTLJ ataupun CTL sangatlah
potensial untuk segera diimplementasikan di lapangan.
81
Agar dapat mencapai hasil yang maksimal, maka penerapan pembelajaran CTLJ atau CTL perlu
mempersiapkan PAM siswa, serta kerangka teoritik model pembelajaran berbasis kontesktual yang
sudah ada. Selain itu, agar siswa tidak merasa bosan hendaknya guru dalam pelaksanaan
pembelajarannya dapat mengkombinasikan pembelajaran CTLJ, CTL maupun PK.
Untuk para pengambil kebijakan pendidikan, kiranya pembelajaran CTLJ ataupun CTL menjadi
salah satu alternatif model pembelajaran matematika di SMK yang ditindak lanjuti dengan
pelatihan-pelatihan yang lebih intensif tentang pembelajaran ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson dan Krathwohl (2001). The Cognitive Process Dimension of The Revised Version of
Blooms Taxonomy in The Cognitive Domain. The Lost Journal of Ven Polypheme.
Tersedia: http://www.. enpolypheme.com/bloom.htm. (Mei 2008)
Berns, R.G and Erickson, P.M. (2001). Contextual Teaching and Learning. The Highlight Zone :
Research a Work No. 5 (Online) Available: http:
//www.ncte.org/publications/infosyntesis/highlight 05/index.asp ?dirid = 145 & dspid =1.
Chicago Public Schools Bureau of Student Assesment (2009). Analytical Scale for Problem
Solving. Tersedia: http://intranet.cps.kl2.il.us/ Assesment/Ideas and Rubrics/Rubrics
Bank/Math Rubrics.pdf. (1 April 2009).
Departemen Pendidikan Nasional (2008). KTSP SMK Edisi 2008. Jakarta : Dirjen Dikmenjur
Kurniawan, R (2006). Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan
Kemampuan Koneksi Matematik Siswa SMK. Tesis. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan.
Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya
dalam Pengajaran Matematika CBSA. Bandung: Tarsito.
Sumarmo (2004). Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Makalah. Bandung: Program Pascasarjana UPI. Makalah Disajikan Pada
Pertemuan MGMP Matematika SMP Tasikmalaya.
Sumarmo, U (2005). Pengembangan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU
serta Mahasiswa Strata Satu melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Laporan
Penelitian. Bandung: Lemlit UPI. Tidak diterbitkan.
Syaban, M (2008). Menumbuhkembangkan Daya dan Disposisi Matematis Siswa Sekolah
Menengah Atas melalui Pembelajaran Investigasi. Desertasi. Bandung: UPI. Tidak
diterbitkan.
Sabandar, J (2006). Pertanyaan Tantangan dalam Memunculkan Kemampuan Berpikir Kritis dan
Kreatif dalam Pembelajaran Matematika. Artikel Ilmiah. Bandung: UPI. Jurnal
Pendidikan No 2 Thn XXV 2006.
Slavin, R.E (2008). Cooperative Learning. Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.
82
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern dan
berbanding lurus dengan kemajuan sains dan teknologi. Sehingga matematika mempunyai peran
penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir manusia untuk menguasai dan
menciptakan teknologi di masa depan. Sumarmo (2005) mengemukakan bahwa pendidikan
matematika hakikatnya mempunyai dua arah pengembangan yaitu untuk memenuhi kebutuhan
masa kini dan kebutuhan masa yang akan datang. Kebutuhan masa kini yang dimaksud yaitu
mengarahkan pembelajaran matematika untuk pemahaman konsep dan ide matematika yang
kemudian diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematika dan ilmu pengetahuan lainnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan kebutuhan masa yang akan datang adalah pembelajaran
matematika memberikan kemampuan menalar yang logis, sistematik, kritis dan cermat,
menumbuhkan rasa percaya diri, dan rasa keindahan terhadap keteraturan sifat matematika, serta
mengembangkan sikap objektif dan terbuka yang sangat diperlukan dalam menghadapi masa depan
yang senantiasa berubah.
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) merekomendasikan beberapa tujuan umum
siswa belajar matematika, yaitu: (1) belajar akan nilai-nilai matematika, memahami evolusi dan
peranannya dalam masyarakat dan sains, (2) percaya diri pada kemampuan yang dimiliki, percaya
pada kemampuan berpikir matematis yang dimiliki dan peka terhadap situasi dan masalah, (3)
menjadi seorang problem solver, menjadi warga negara yang produktif dan berpengalaman dalam
memecahkan berbagai permasalahan, (4) belajar berkomunikasi secara matematis, belajar tentang
simbol, lambang dan kaidah matematik, (5) belajar bernalar secara matematis yaitu membuat
konjektur, bukti dan membangun argumen secara matematik.
83
Tujuan tersebut menunjukkan betapa pentingnya belajar matematika, karena dengan belajar
matematika sejumlah kemampuan dan keterampilan tertentu berguna tidak hanya saat belajar
matematika namun dapat diaplikasikan dalam memecahkan berbagai masalah sehari-hari. Menurut
Wahyudin (2008:392) bahwa pada masa sekarang ini para siswa sekolah menengah mesti
mempersiapkan diri untuk hidup dalam masyarakat yang menuntut pemahaman dan apresiasi yang
signifikan terhadap matematika. Kita akan mengalami kesukaran, jika memang bisa mustahil,
untuk bisa berhasil dalam dunia nyata, tanpa memiliki pengetahuan, skills, dan aplikasi matematika
yang perlu.
Uraian di atas menggambarkan pentingnya usaha mengembangkan dan meningkatkan kemampuan
pemahaman konsep dan penalaran matematik siswa. Kemampuan pemahaman dan penalaran
matematik membantu siswa senantiasa berpikir secara sistematis, mampu menyelesaikan masalah
matematika dalam kehidupan sehari-hari dan mampu menerapkan matematika pada displin ilmu
lain serta mampu meminimalisir gejala-gejala pada siswa yang dapat membuat kemampuan
matematikanya rendah.
Menyadari keadaan tersebut maka menggali dan mengembangkan kemampuan pemahaman dan
penalaran matematik siswa perlu mendapat perhatian guru dalam pembelajaran matematika. Siswa
mestinya mendapat kesempatan yang banyak untuk menggunakan pemahaman dan kemampuan
bernalarnya, berlatih, merumuskan, berkecipung dalam memecahkan masalah yang kompleks yang
menuntut usaha-usaha yang sangat besar dan kemudian didorong untuk merefleksi pada pemikiran
mereka.
Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini permasalahan dibatasi pada pengembangan dua aspek kemampuan
pemahaman dan penalaran matematik siswa SMA melalui pembelajaran dengan metode inkuiri
terbimbing. Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Hipotesis Penelitian
1.
2.
3.
84
4.
II.
METODOLOGI
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian semu (quasi eksperimen).
Desain penelitian ini digunakan karena penelitian ini menggunakan kelompok kontrol,
adanya dua perlakuan yang berbeda. Pengamatan dilakukan dua kali yaitu sebelum proses
pembelajaran, yang disebut pretes dan sesudah proses pembelajaran, yang disebut postes.
Untuk melihat secara lebih mendalam pengaruh penggunaan pendekatan inkuiri terbimbing
terhadap kemampuan pemahaman dan penalaran matematik dan sikap positif siswa
terhadap matematika, maka dalam penelitian ini dilibatkan kategori kemampuan siswa
(tinggi, sedang dan rendah).
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X di SMA Negeri 15 Bandung tahun
ajaran 2009-2010 yang terdiri dari 9 kelas. Sedangkan sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah 2 kelas atau 70 siswa. Dan yang menjadi kelas eksperimen adalah
kelas X6 dan kelas kontrol kelas X7.
Instrumen yang dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu tes tulis
dalam bentuk uraian dan non tes dalam bentuk angket (skala sikap). Perangkat
pembelajaran yang dikembangkan dan digunakan dalam penelitian ini berupa Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kegiatan Siswa (LKS).
Teknik analisis data yang diguanakan teknik analisis data kuantitatif berupa hasil tes
kemampuan pemahaman dan penalaran matematik siswa, dan data kualitatif berupa hasil
observasi, angket untuk siswa, dan angket untuk guru berkaitan dengan pandangan guru
terhadap pembelajaran yang dikembangkan. Uji yang digunakan adalah uji perbedaan ratarata, yang kemudian dilanjutkan dengan anova dua jalur.
III.
A.
Hasil Penelitian.
1.
85
Tabel 1.
Hasil Tes Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik berdasarkan
Model Pembelajaran dan Kemampuan Awal Matematik Siswa
Jenis
Kemampuan
Kemampuan
Matematika
Awal*
Kelompok Atas
Pemahaman
Matematik
Kelompok
Tengah
Kelompok
Bawah
N
9
17
9
35
Total
1.264
N
9
17
11
35
1.091
Model Konvensional
Tes
Tes
Awal
Akhir
4.889
12.111
1.027
0.884
4.941
9.647
1.094
0.838
6.111
7.778
1.240
0.816
5.229
9.800
1.153
Gain
0.647
0.419
0.159
0.411
1.315
Kelompok Atas
Penalaran
Matematik
3.436
6.567
0.683
Kelompok
Tengah
17
Kelompok
Bawah
Total
35
2.656
5.622
0.979
0.682
3.389
5.249
0.987
0.702
4.522
5.094
0.895
0.763
3.492
5.305
1.064
0.733
1.110
0.705
3.920
6.105
0.947
5.111
0.535
0.686
5.967
0.398
17
0.293
0.157
9
s
0.903
0.756
4.101
6.188
1.064
0.733
0.511
*Skor Ideal Pemahaman 16, Skor ideal Penalaran 8. Gain yang dimaksud adalah gain
Ternormalisasi Pengelompokan siswa (kelompok atas, tengah dan bawah) berdasarkan nilai harian
siswa yang berasal dari guru matematika.
Dari Tabel 1 dapat disimpulkan secara keseluruhan kemampuan pemahaman matematik siswa
(ditinjau dari hasil tes akhir/postes) mempunyai rerata 13,371 (atau sebesar 83,569% dari skor
ideal). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman siswa secara keseluruhan termasuk
kategori tinggi. Tetapi kemampuan penalaran matematik tergolong pada kemampuan kategori
cukup karena keseluruhan 6,188 (atau sebesar 77,350% dari skor ideal).
Peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa berdasarkan model pembelajaran inkuiri
terbimbing adalah 0.678. Sedangkan peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa
berdasarkan model pembelajaran konvensional adalah 0,411. Artinya peningkatan kemampuan
pemahaman siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing
lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional.
Peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa berdasarkan model pembelajaran inkuiri
terbimbing adalah 0.511. Sedangkan peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa
berdasarkan model pembelajaran konvensional adalah 0.375.
86
0.550
0.375
2.
Adapun sikap yang diamati pada penelitian ini adalah sikap siswa terhadap pembelajaran
matematika, terhadap pembelajaran matematika dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing,
dan terhadap belajar kelompok. Dari 24 pernyataan, secara umum respon yang diberikan siswa
dalam hal kesukaan, kesungguhan, minat, dan belajar berkelompok, siswa terhadap pembelajaran
dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah positif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
siswa memberikan sikap positif terhadap model pembelajaran inkuiri terbimbing dalam upaya
meningkatkan kemampuan pemahaman dan penalaran matematik siswa.
3. Hasil Observasi
Observasi dilakukan untuk menginventarisasikan data tentang aktivitas siswa dan guru dalam
pembelajaran, interaksi antara siswa dan guru dalam pembelajaran, dan interaksi antar siswa dalam
pembelajaran matematika dengan menggunakan model inkuiri terbimbing. Dalam observasi
diperoleh data dengan harapan agar hal-hal yang tidak teramati oleh peneliti ketika penelitian
berlangsung dapat ditemukan. Observasi yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah sebanyak
enam kali, yaitu satu kali observasi untuk setiap pertemuan. Adapun yang menjadi observer atau
pengamat dalam penelitian ini adalah guru matematika pengampu kelas eksperimen dan Guru
matematika kelas XII_IPA
Secara umum, pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran berjalan
dengan baik. Pada awal pembelajaran, guru menjelaskan mengenai model pembelajaran yang akan
dilaksanakan dan menjelaskan tentang tujuan pembelajaran. Kemudian guru membagi siswa
kedalam kelompok-kelompok. Guru menggali pengetahuan prasyarat siswa mengenai materi yang
akan dipelajari. Dengan demikian terjadi proses komunikasi antar siswa dan guru. Agar proses
komunikasi antar siswa terjadi, guru mengarahkan siswa untuk berdiskusi dalam menyelesaikan
permasalahan yang diberikan.
Setelah bahan ajar yang berupa Lembar Kerja Siswa (LKS) yang berisi permasalahan matematik
dibagikan, guru memberikan petunjuk dan membimbing siswa dalam menyelesaikan permasalahan
dan memilih strategi untuk menyelesaikan masalah matematik. Untuk menyelesaikan permasalahan
yang terdapat di lembar kerja siswa (LKS), siswa berdiskusi dengan teman sekelompoknya. Setelah
seluruh kelompok menemukan solusi dari permasalahan matematik, guru membimbing siswa untuk
berdiskusi dan guru mengarahkan siswa lain untuk berkomentar terhadap jawaban teman.
Pada bagian akhir, guru meminta siswa untuk menarik kesimpulan dari materi yang yang telah
dipelajari. Kemudian guru menyarikan kesimpulan-kesimpulan yang telah diberikan siswa. Pada
bagian akhir pula, guru memberikan kesempatan bagi murid untuk bertanya mengenai materi yang
belum dipahami .
B.
Hasil pretes kemampuan pemahaman matematik antara kelompok kontrol dan eksperimen memiliki
perbedaan yang tidak terlalu mencolok. Dari skor maksimum 16, kelompok kontrol memperoleh
rerata 5,229, sementara kelompok eksperimen memperoleh rerata 7,486. Kelas kontrol perolehan
skor pretes yang berkisar pada sepertiga bagian atau hanya 32,681% dari nilai total yang
seharusnya. Dan Kelas eksperimen memperoleh skor pretes yang berkisar 46,787% dari nilai total
yang seharusnya, dan menunjukkan bahwa secara umum kemampuan pemahaman matematik
kelompok kontrol dan kelompok eksperimen berada pada rentang yang rendah.
Selanjutnya, terhadap kelompok kedua tersebut diberikan perlakuan yang berbeda. Kelompok
eksperimen mendapatkan perlakuan berupa pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran inkuiri terbimbing, sedangkan kelompok kontrol mendapatkan pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran konvensional (ekspositori).
Rerata perolehan skor postes dari kemampuan pemahaman matematik kelompok kontrol adalah
9,800, sementara perolehan rerata skor skor kelompok eksperimen adalah 13,371 Secara deskriptif,
hal ini mengindikasikan terjadinya peningkatan pada kedua kelompok kelas. Pertanyaan yang
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
87
muncul selanjutnya adalah peningkatan kelompok manakala yang lebih baik di antara kedua
kelompok tersebut?
Berdasarkan hasil perhitungan gain normalisasi, secara keseluruhan kelompok eksperimen
menunjukan peningkatan kemampuan pemahaman sebesar 67,800%, sedangkan kelompok kontrol
mendapat 41,100%. Ini berarti, peningkatan kemampuan pemahaman yang dialami oleh kelompok
kelas eksperimen lebih baik dibandingkan dengan peningkatan kemampuan pemahaman kontrol.
Kondisi serupa juga terjadi pada kemampuan penalaran matematik siswa kelompok kelas kontrol
dan kelas eksperimen, di mana perolehan rerata skor pretes kelompok kontrol sebesar 3,492 dan
5,305 untuk rerata skor postesnya (dengan skor maksimum). Untuk kelas eksperimen, perolehan
rerata skor pretes kemampuan penalaranya 4,101 sedangkan skor postesnya adalah 6,188. Di
kelompok kontrol, kenaikan nilai rerata setelah diberikan perlakuan adalah sekitar 22,663%, di
kelompok eksperimen kenaikan rerata skor mencapai 26,086% Hal ini mengiindikasikan bahwa
perlakuan pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing
mampu memberikan peningkatan yang lebih baik daripada pembelajaran dengan metode
konvesional.
Simpulan tersebut juga didukung oleh hasil perhitungan terhadap gain ternormalisasi skor
kemampuan penalaran kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dimana nilai rerata gain
ternormalisasi untuk kelompok kelas kontrol adalah sebsar 37,500% sedangkan nilai rerata gain
ternormalisasi kelompok eksperimen adalah 51,100%.
Simpulan tersebut juga didukung oleh hasil perhitungan terhadap gain ternormalisasi skor
kemampuan penalaran kelompok kontrol dan kelompok eksperimen,di mana nilai rerata gain
ternormalisasi untuk kelompok kelas kontrol adalah sebesar 46% sedangkan nilai rerata gain
ternormalisasi kelompok eksperimen adalah 59%.
Dengan adanya peningkatan kemampuan pemahaman dan penalaran matematik pada siswa
kelompok eksperimen,selain dikarenakan oleh model pembelajaran yang dilakukan, yaitu dengan
menggunakan model inkuiri terbimbing juga diakibatkan oleh iklim belajar yang tercipta di dalam
kelas. Pada kelas eksperimen,dominasi siswa dalam proses belajar mengajar sangatlah
optimal.mereka terlibat hampir dalam semua tahapan pembelajaran. Sehingga peran guru selaku
fasilitator untuk memberikan stimulant belajar sangat diringankan. Berbeda dengan kelas
kontrol,siswa berada dikelas kontrol adalah siswa yang pasif dalam belajar. Mereka cenderung
diam dalam sesi tanya jawab atau bahkan tidak mengetahui bagian mana dari matematika yang
dapat dijadikan sebagai materi belajar. Dalam sesi Tanya jawab, paling tidak hanya terdapat 6
orang siswa yang memberikan respon yang positif. Guru harus terus memberikan intervensi agar
materi prasyarat yang dibutuhkan dapat benar-benar optimal digunakan.mengenai kondisi ini, guru
mata pelajaran matematika kelas kontrol pun menyatakan hal yang sama.dalamsuatu sesi
wawancara, terungkap bahwa siswa kelas kontrol cenderung sulit belajar. Kondisi ini kemudian
menjadi alasan dilakukannya analisa lajutan terhadap peningkatan gain ternormalisasi kelompok
eksperimen dari kemampuan pemahaman dan penalaran matematik, yaitu dengan mencoba
membandingkan model pembelajaran yang diberikan terhadap klasifikasi kemampuan awal
matematika siswa.klasifikasi kemampuan ini diambil dari nilai rata-rata ulangan harian siswa yang
diminta dari guru mata pelajaran matematika di kelas eksperimen. Kemudian dikelompokkan
menjadi siswa kelompok atas,tengah dan bawah. Secara deskriptif, dapat diketahui bahwa siswa
kelompok tengah dari kelompok eksperimen memiliki rerata gain ternormalisasi yang lebih tinggi
jika dibandingkan dengan siswa yang berada pada siswa kelompok atas. Begitupula dengan siswa
yang berada pada kelompok atas, memiliki rerata gain ternormalisasi yang lebih tinggi dari siswa
kelompok rendah.
Secara inferensial, dengan menggunakan uji ANOVA Dua-Jalur, dapat diketahui bahwa pada
kemampuan pemahan matematik, jika ditinjau dari sudut pandang model pembelajaran, terdapat
perbedaan yang signifikan antara peningkatan kemampuan pemahaman siswa yang dalam
pembelajarannya digunakan model inkuiri terbimbing dan siswa yang dalam pembelajarannya
digunakan model konvensial. Begitu pula dengan klasifikasi kemampuan awal matematika dari
88
kemampuan pemahaman matematik siswa. Pengujian yang dilakukan menyatakan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara siswa yang berada pada kelompok atas, tengah, dan bawah dari
kelompok eksperimen. Dari sudut pandang klasifikasi kemampuan awal matematika dari
kemampuan penalaran matematik siswa, pengujian yang dilakukan menyatakan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara siswa yang berada pada kelompok atas,tengah dan bawah dari
kelompok eksperimen. Artinya, peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa di kelompok
atas lebih baik dibandingkan dengan peningkatan kemampuan penalaran siswa kelompok tengah,
begitu pula dengan peningkatan kemampuan penalarah kelompok bawah.
Penelitian ini juga membuat pengujian perbedaan rerata penigkatan antara kelompok siswa yang
mendapatkan pembelajaran dengan model inkuiri terbimbing dengan siswa yang mendapatkan
pembelajaran dengan model konvensional berdasarkan pembagian klasifikasi kemampuan awal
matematika. Hasil pengujian ini menyatakan bahwa model inkuiri terbimbing cenderung lebih
meningkatkan kemampuan pemahaman dan penalaran pada kelompok atas.
Sehubungan dengan sikap siswa yang menjadi subyek dalam penelitian ini, secara umum memiliki
sikap yang positif terhadap pembelajaran matematika. Tentu saja sikap ini didukung oleh faktor
keberadaan guru yang tidak statis dalam mengembangkan konsep belajar dan mengajar.
Aktivitas siswa selama proses pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, diskusi awal,
kemandirian dan penarikan kesimpulan. Kegiatan pendahuluan dilakukan untuk mengetahui konsep
prasyarat yang dimiliki oleh siswa, yaitu dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan dan
memancing siswa untuk bertanya mengenai konsep prasyarat yang belum dikuasai. Dengan
demikian, pada awal pembelajaran terjadi proses pengembangan kesadaran metakognisi.
Dalam tahap kemandirian, siswa diberikan persoalan dengan topik yang sama untuk kemudian
diselesaikan secara perseorangan. Guru berkeliling untuk memberikan feedback secara individual.
Pada tahap kemandirian ini, karakteristik khas yang terlihat adalah aktivitas pembelajaran dengan
melatihkan metakognisi, memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar mandiri, di mana setiap
siswa mengisi lembar kerja yang diberikan.
Dalam tahap penyimpulan, siswa merekapitulasi apa yang dilakukan di kelas dengan cara menulis,
merangkum dan membuat kesimpulan. Di pertemuan-pertemuan awal, banyak siswa yang bingung
terhadap apa yang harus disimpulkan dari keseluruhan aktivitas kelas. Namun pada akhirnya
seiring berjalannya diskusi, sedikit demi sedikit mereka mampu membuat simpulan sesuai dengan
materi yang telah diberikan.
Secara keseluruhan aktivitas pembelajaran matematika dengan menggunakan model inkuiri
terbimbing dapat dijadikan rujukan untuk dapat lebih memberdayakan ruangan kelas dan lebih
memotivasi siswa. Hal ini sangat beralasan karena pembelajaran dengan menggunakan model
inkuiri terbimbing menyajikan bahan ajar yang melatih metakognisi, intervensi guru dan interaksi
kelas.
IV. Kesimpulan
89
3.
V.
siswa yang berada pada kelompok atas mengalami peningkatan yang lebih baik dibandingkan
dengan siswa yang berada pada kelompok tengah dan bawah. Begitupula siswa yang berada
pada kelompok tengah mengalami peningkatan yang lebih baik dibandingkan dengan siswa
yang berada pada kelompok bawah.
Secara umum, siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model inkuiri terbimbing
memiliki sikap yang positif terhadap pembelajaran yang menggunakan model konvensional.
Saran-saran
90
Abstrak
Kemandirian belajar dalam matematika merupakan salah satu faktor penting dari keadaan individu yang
mempengaruhi belajar matematika. Kemandirian belajar mempunyai pengaruh positif terhadap pembelajaran
dan pencapaian hasil belajar. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa kegagalan terhadap kemandirian
dalam proses belajar menjadi penyebab utama dari rendahnya prestasi belajar. Selain itu, adanya pergeseran
paradigma pendidikan turut menuntut siswa untuk menjadi pebelajar yang mandiri. Dimana sebelumnya
proses belajar mengajar sepenuhnya menjadi tanggungjawab guru, namun sekarang cenderung menjadi
tanggungjawab bersama antara guru dan siswa. Karena itu, kemandirian belajar dalam matematika perlu
dikembangkan pada peserta didik. Sehubungan dengan itu, makalah ini bertujuan untuk memaparkan secara
teoritis tentang kemandirian belajar siswa dalam matematika dan memuat kajian tentang pendekatan
pendidikan matematika realistik sebagai pendekatan pembelajaran yang diduga kuat dapat memberikan
kontribusi terhadap pengembangan kemandirian belajar siswa dalam matematika.
Kata Kunci: kemandirian belajar siswa dalam matematika, pendidikan matematika realistik
A.
LATAR BELAKANG
Salah satu faktor yang turut menentukan keberhasilan belajar adalah kemandirian belajar. Banyak
data hasil penelitian menunjukkan bahwa kemandirian belajar mempunyai pengaruh positif
terhadap pembelajaran dan pencapaian hasil belajar. Seperti temuan dari studi Darr dan Fisher
(2004), Reyero dan Tourn (dalam Mantalvo dan Torres, 2004), Pintrich dan Groot (1990), dan
Zimerman dan Martinez-Pons (dalam Abdullah, 2007), yang menunjukkan bahwa kemampuan
belajar mandiri berkorelasi tinggi dengan keberhasilan belajar siswa. Sebaliknya, hasil studi yang
dilakukan oleh Schloemer dan Brenan, Borkowski dan Thorpe, Zimmerman (dalam Abdullah,
2007) menunjukkan bahwa kegagalan terhadap kemandirian dalam proses belajar menjadi
penyebab utama dari rendahnya prestasi belajar.
Hal serupa, dikemukakan oleh Long (dalam Sumarmo, 2006), ia memandang belajar sebagai proses
kognitif yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti; keadaan individu, pengatahuan
sebelumnya, sikap, pandangan individu, konten, dan cara penyajian. Satu diantara sub-faktor
penting dari keadaan individu yang mempengaruhi belajar adalah kemandirian belajar.
Akhir-akhir ini terjadi pergeseran paradigman pendidikan, dimana sebelumnya proses belajar
mengajar sepenuhnya menjadi tanggungjawab guru, namun sekarang cenderung menjadi
tanggungjawab bersama antara guru dan siswa. Konsep ini, menuntut siswa untuk menjadi
pebelajar yang mandiri, misalnya dalam hal menentukan strategi belajar, mamantau kemajuan
pencapaian akademik, mengevaluasi diri, dll. Karena itu, tidaklah heran kalau Pintrich, Reynolds
dan Miller (dalam Montalvo dan Torres, 2004) sepakat menyatakan bahwa akhir-akhir ini,
kemandirian belajar telah menjadi fokus penelitian dan merupakan salah satu akses penting
pelaksanaan pendidikan.
B.
PEMBAHASAN
1.
Kemandirian belajar dalam matematika yang dimaksud pada makalah ini adalah kemandirian
belajar pada pembelajaran matematika. Siswa-siswa yang mandiri dalam belajar matematika,
mengerjakan tugas-tugas matematika dengan percaya diri, rajin, dan cerdik. Mereka secara proaktif
mencari informasi ketika dibutuhkan dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
91
menguasainya. Ketika mereka menghadapi kesulitan seperti kondisi belajar yang buruk, guru yang
membingungkan, buku teks yang sulit dipahami, mereka tidak lantas putus asa. Menurut
Zimmerman (1990), siswa mandiri memandang kemahiran sebagai suatu proses sistematik dan
dapat dikontrol, serta mereka menerima tanggungjawab yang lebih besar untuk mencapai hasil
yang baik.
Secara umum, studi menunjukkan bahwa karakteristik berikut membedakan siswa yang belajar
mandiri dengan siswa yang tidak (Corno, 2001; Weinstein, Husman dan Dierking, 2000;
Zimmerman, 1998, 2000, 2001, 2002; dalam Montalvo dan Torres, 2004):
a) Mereka mengenal dan mengetahui bagaimana menggunakan serangkaian strategi kognitif
(repetisi, elaborasi, dan pengorganisasian), yang membantu mereka untuk menghadirkan,
mengubah, mengatur, mengelaborasi, dan memperoleh informasi.
b) Mereka mengetahui bagaimana merencanakan, mengontrol dan mengatur proses-proses
mental mereka kepada pencapaian tujuan personal (metacognition).
c) Mereka menunjukkan serangkaian keyakinan motivasi dan meyesuaikan emosi, seperti
pemahaman yang tinggi tentang self-efficacy akademik, menerima tujuan pembelajaran,
pengembangan emosi positif terhadap tugas (misalnya; sukacita, rasa puas, antusiasme), serta
kemampuan untuk mengontrol dan memodifikasi ini, menyesuaikannya untuk persyaratan
tugas dan juga situasi belajar tertentu.
d) Mereka merencanakan serta mengontrol waktu dan usaha untuk menyelesaikan tugas-tugas,
dan mereka mengetahui bagaimana mengkondisikan lingkungan belajar yang menguntungkan,
seperti menemukan tempat yang cocok untuk belajar, dan mencari bantuan dari guru dan
teman sekelas ketika mereka mengalami kesulitan.
e) Sedapat mungkin mereka menunjukkan usaha yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam
mengontrol dan mengatur tugas-tugas akademik, struktur kelas dan iklim (misalnya,
bagaimana seseorang akan dinilai, persyaratan tugas, desain tugas kelas, mengatur kerja
kelompok).
f) Mereka dapat menerapkan serangkaian strategi-strategi berkenaan dengan kemauan, dengan
tujuan untuk menghindari ganguan internal dan eksternal, untuk menjaga konsentrasi, usaha,
dan motivasi mereka ketika melakukan tugas akademik.
Dapat disimpulkan bahwa karakteristik siswa mandiri adalah siswa yang mampu melihat diri
mereka sebagai agen dari perilaku mereka sendiri, mereka percaya bahwa belajar adalah sebuah
proses proaktif, mereka memotivasi diri sendiri, dan mereka menggunakan strategi-strategi yang
memungkinkan mereka untuk mencapai hasil akademik yang diinginkan.
Berikut ini adalah beberapa definisi kemandirian belajar yang dikemukakan oleh sejumlah pakar,
diantaranya Corno dan mardiah (dalam Cho, 2003), mendefinisikan kemandirian belajar sebagai
proses perencanaan dan monitoring yang disengaja dan menekankan pada pentingnya aktifitas
kognitif dan metakognitif dalam kemandirian belajar.
Lebih luas dari Corno dan mardiah, Zimmerman mendefinisikan kemandirian belajar sebagai
kemampuan menjadi siswa yang aktif dalam proses pembelajaran ditinjau dari sudut metakognitif,
motivasi, dan perilaku (dalam Zimmerman, 1990 dan Cobb, 2003). Dari sudut metakognitif, siswa
yang mandiri merencanakan, menentukan tujuan, mengatur, memonitor diri, dan mengevaluasi diri
terhadap berbagai hal selama proses memperoleh kemahiran. Dari sudut motivasi, siswa mandiri
menyadari kompetensinya, memperlihatkan keyakinan yang tinggi terhadap dirinya (high selfefficacy), dan ketertarikan terhadap tugas.
Siswa yang menyadari kompetensinya, memiliki self- efficacy yang tinggi dan mempunyai
ketertarikan terhadap tugas, memulai pembelajaran dengan menampilkan usaha yang luar biasa
dan tekun selama belajar. Dari segi perilaku, siswa mandiri memilih, menyusun, dan menciptakan
lingkungan mereka untuk bisa belajar optimal. Mereka mencari petunjuk, informasi dan tempat
dimana mereka paling suka belajar.
92
Sementara, Pintrich dan Zusho (dalam Nicol dan Dick, 2005), mengemukakan definisi operasional
kemandirian belajar sebagai suatu proses konstruktif aktif dimana siswa menentukan tujuan belajar
mereka, mengamati, mangatur, dan mengontrol prilaku, motivasi dan kognisi mereka, dipandu dan
dikendalikan oleh tujuan mereka dan fitur-fitur kontekstual dari lingkuangan.
Dari berbagai definisi tentang kemandirian belajar, Pintrich dan Groot (1990) menyimpulkan hanya
tiga komponen penting untuk kecakapan di kelas. Pertama, kemandirian belajar meliputi strategi
metakognitif siswa untuk merencanakan, memonitor dan memodifikasi kognisi mereka. Kedua,
manajemen dan pengontrolan siswa terhadap usaha mereka pada tugas-tugas akademik di kelas.
Misalnya, siswa yang cakap bertahan pada tugas-tugas sulit, mereka tidak cepat menyerah, dan
mereka tetap konsentrasi dalam tugasnya, walaupun ada gangguan di kelas, sehingga
memungkinkan mereka untuk melakukan yang lebih baik. Ketiga, aspek penting kemandirian
belajar meliputi konsep keberadaan strategi kognitif yang digunakan siswa untuk belajar,
mengingat dan memahami materi. Lebih jauh Pintrich dan Groot (1990) mengemukakan bahwa
pengetahuan strategi kognitif dan metakognitif saja tidaklah cukup untuk meningkatkan
kemampuan siswa. Siswa juga harus dimotivasi untuk menggunakan strategi-strategi itu, dan juga
mengatur kongisi dan usaha mereka.
Menurut Eccles, ada tiga komponen motivasi yang berhubungan dengan komponen-komponen
kemandirian belajar, yaitu; komponen pengharapan, komponen penilaian, dan komponen sikap
(Pintrich dan Groot, 1990). Komponen pengharapan meliputi keyakinan siswa tentang kemampuan
mereka untuk melakukan tugas, seperti kesadaran terhadap kemampuan, self-efficacy, attibutional
style, dan keyakinan mengendalikan. Komponen pengharapan melibatkan jawaban dari pertanyaan,
Dapatkah saya melakukan tugas ini?"
Komponen penilaian meliputi keyakinan dan tujuan siswa tentang pentingnya dan ketertarikan
terhadap tugas. Meskipun komponen ini telah dibentuk dalam berbagai cara, (misalnya: tujuan
melakukan atau belajar, orientasi instrinsik dan ekstrinsik, penilaian tugas dan ketertarikan
instrinsik) esensi komponen motivaasi ini adalah alasan siswa untuk melakukan tugas. Dengan kata
lain, merupakan jawaban dari pertanyaan, Mengapa saya melakukan tugas ini?
Komponen sikap meliputi reaksi emosi siswa terhadap tugas. Persoalan penting bagi siswa
berhubungan dengan komponen ini melibatkan pertanyaan, Bagaimana perasaan saya tentang
tugas ini? Ada berbagai reaksi sikapyang mungkin relevan, misalnya; rasa marah, bangga, rasa
bersalah, tapi dalam konteks belajar di sekolah, kelihatannya ada satu yang paling penting yaitu tes
anxiety. Tes anxiety berkaitan dengan persepsi terhadap kemampuan.
2.
Relaistik
Terhadap
Pengembangan
Kemandirian belajar bukan merupakan keterampilan yang secara otomatis berkembang seiring
dengan bertambahnya usia siswa, namun kemandiriran belajar ini perlu diajarkan dan dipelihara.
Schunk and Zimmerman (dalam Abdullah, 2007), menekankan bahwa latihan kemandirian belajar
dapat meningkatkan semangat siswa dan guru dengan meningkatkan partisipasi siswa dalam kelas,
kualitas diskusi, dan ketertarikan siswa terhadap warga sekolah. Konsekwensinya adalah membuat
proses pembelajaran yang lebih nyaman untuk setiap siswa.
Lebih rinci, De corte, dkk. (dalam Dar dan Fisher, 2004), mengemukakan komponen-komponen
pengajaran yang membantu perkembangan kemandirian, yaitu: 1) Memberikan tugas-tugas realistik
dan menantang. 2) Adanya variasi dalam metode pengajaran, latihan terbimbing, bekerja dalam
kelompok kecil dan pengajaran klasikal. 3) Menciptakan ruang kelas yang membantu
perkembangan disposisi positif terhadap pembelajaran matematika.
Hal senada juga dikemukakan oleh Montalvo dan Torres, (2004). Menurut mereka
pengajaran dalam mengajar kemandirian menekankan pada pentingnya praktek
scaffolding dan pembelajaran kolaboratif. Lebih jauh, ditekankan bahwa intervensi
pengajaran harus difokuskan pada pengadaan lingkungan belajar yang alami, tidak
model-model
refleksi diri,
dalam model
ada paksaan,
93
menggunakan tugas-tugas kontekstual yang menarik dan diperlukan siswa, karena ini akan
memungkinkan mereka untuk menggeneralisasikan apa yang telah mereka pelajari.
Menggunakan tugas-tugas kontekstual dan berdiskusi dalam proses pembelajaran (interaktif)
merupakan karakteristik pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Karakteristik PMR
lainnya adalah menggunakan kontribusi siswa (menggunakan sumbangan pemikiran dari siswa),
karakteristik ini merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya diskusi kelas yang hangat. Tiga
dari lima karateristik PMR ini diduga mempunyai korelasi positif terhadap perkembangan
kemandirian belajar siswa dalam matematika. Karena itu kuat dugaan kemandirian belajar siswa
dalam matematika dapat ditingkatkan melalui pembelajaran dengan pendekatan PMR. Kaitan
ketiga karakteristik PMR ini dengan pengembangan kemandirian belajar siswa dalam matematika
disajikan berikut ini.
a.
Menggunaan masalah kontekstual yang ada kaitan dengan kehidupan siswa ataupun yang riil dalam
pikiran siswa, akan memicu hasrat dan kesediaan siswa untuk memecahkannya, sehingga siswa
dapat berkontribusi dalam pembelajaran. Dengan demikian siswa mempunyai pengalaman belajar,
dengan kata lain matematika diperoleh siswa tidak karena diberi tahu tetapi melalui pengalaman,
sehingga matematika akan lebih melekat pada pikirannya. Jika hasrat dan kesediaan siswa untuk
memecahkan persoalan matematika dapat ditumbuhkan terus menerus, tentunya sifat tersebut akan
menjadi kepribadian siswa. Ini menjadi modal dasar siswa untuk menjadi pribadi yang mandiri di
dalam belajar matematika.
b.
Pembelajaran dengan metode interaktif ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih
keberaniannya untuk mengemukakan pendapat. Apalagi pada PMR, konsep-konsep matematika
ditemukan kembali oleh siswa dengan memanfaatkan sumbangan pemikiran dari siswa tersebut.
Tentunya siswa merasa bangga karena ide-idenya berguna, hal ini diharapkan mampu memicu
perkembangan motivasi dan self-efficacy siswa. Kedua aspek ini merupakan karakteristik dari
kemandirian belajar siswa. Dengan demikian diharapkan penerapan pendekatan PMR pada
pembelajaran matematika dapat memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan
kemandirian belajar siswa dalam matematika.
C.
Kemandirian belajar siswa dalam matematika dinilai melalui angket yang terdiri dari pernyataanpernyataan yang dikembangkan dari indiktor-indikator kemandirian belajar dalam matematika.
Indikator-indikator tersebut diantaranya adalah (1) menggunakan strategi metakognitif (seperti:
memonitor dan mengevaluasi diri, dan memonitor serta mengevaluasi diri), (2) menggunakan
strategi kognitif (seperti: membaca ulang/latihan, mengelaborasi, dan mengorganisasikan), (3)
memanajemen sumber daya (seperti: manajemen waktu belajar, mendiagnosis kebutuhan belajar
dan mencari serta memanfaatkan sumber belajar yang relevan), (4) Keyakinan motivasi (seperti:
keyakinan akan pentingnya matematika dan ketertarikan terhadap matematika, self efficacy, dan
orientasi instrinsik dan ekstrinsik).
Berikut ini diberikan contoh angket skala kemandirian belajar siswa SMP dalam matematika. Skala
tersebut berupa pernyataan positif dan negatif dengan lima kategori pilihan, yaitu SS (Sangat
Setuju), S (Setuju), TY (bila tidak yakin/ragu-ragu atau tidak tahu), TS (Tidak Setuju), dan STS
(Sangat Tidak Setuju).
94
NO
Nama
No.Urut Absen
Kelas
Nama sekolah
:
PERNYATAAN
PILIHAN JAWABAN
SS S TY TS STS
Saya ingin mendapatkan nilai matematika yang lebih bagus dari sebagian
besar teman sekelasku.
Pada matematika banyak ditemui soal-soal yang menantang, hal ini
2
mendorong saya untuk belajar lebih giat lagi.
Matematika adalah pelajaran yang paling saya takuti, karena itu saya
3
tidak yakin mampu mengerjakan soal-soal matematika.
Penggunaan LKS dalam pembelajaran matematika, sangat membantu
4
saya untuk memahami matematika.
1
NO
PERNYATAAN
PILIHAN JAWABAN
SS S TY TS STS
95
Kemandirian belajar siswa dalam matematik perlu dikembangkan pada peserta didik, karena
kemandirian belajar tersebut tidak akan berkembang sendirinya seiring dengan bertambahnya usia.
Ditambah lagi, kemandirian belajar mempunyai korelasi positif terhadap hasil belajar. PMR
merupakan pendekatan pembelajaran yang diduga sangat cocok diterapkan pada pembelajaran
matematika untuk mengembangkan kemandirian belajar siswa dalam matematika.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.N.L. Y. (2007). Exploring Childrens Self-Regulated Learning Skills. The 1st
International Conferences on Eductional Reform November 9-11, 2007. Thailand:
Mahasarakham University.
Cho, M. H. (2003). The Effects of Design Strategies for Promoting StudentsSelf-Regulated
Learning Skill on StudentsSelf-Regulation and Achievements in Oline Learning
Environments [online]. Tersedi: http://www.eric.ed.gov [29 Mei 2010].
Cobb, R. (2003). The Relationship between Self-Regulated Learning Behaviors and Academic
Performance in Web-Based Courses. Disertasi. State University: Tidak diterbitkan.
Darr, C. Dan Fisher, J. (2004). Self-Regulated Learning In The Mathematics Class. [online].
Tersedia: http://www.nzcer.org.nz/pdfs/13903.pdf [15 Maret 2010].
Montalvo, F.T. dan Torres, M.C.G. (2004). Self-Regulated Learning: Current and Future
Directions. Electronic Journal of Research Psychology, 2 (1), 1-34.
Nicol, D.J. dan Dick, D.B. (2005). Formative Assessment and Self-Regulated Learning: A Model
and seven Principles of Good Feedback Practice. [online]. Tersedi:
http://www.psy.gla.ac.uk/~steve/rap/docs/nocol.feedback.pdf [12 Maret 2010].
Pintrich, P. R. dan Groot, E. V. D. (1990). Motivational and Self-Regulated Learning Components
of Classroom Academic Performance. Journal of Education Psychology, 82 (1), 33-34.
Somarmo, U. (2006). Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada
Peserta Didik. [online]. Tersedia: http://math.sps.upi.edu/wp-content [6 Maret 2010]
Zimmerman, B. J. (1990). Sel-Regulated Learning and Academic Achievement: An Overview.
Journal of Education Psychology, 25 (1), 3-17.
96
PENDAHULUAN
1.
97
perlunya representasi, yaitu: memberi kelancaran siswa dalam membangun suatu konsep dan
berpikir matematik serta untuk memiliki kemampuan dan pemahaman konsep yang kuat dan
fleksibel yang dibangun oleh guru melalui representasi matematik. Wahyudin (2008) juga
menambahkan bahwa representasi bisa membantu para siswa untuk mengatur pemikirannya.
Penggunaan representasi oleh siswa dapat menjadikan gagasan-gagasan matematik lebih konkrit
dan membantu siswa untuk memecahkan suatu masalah yang dianggap rumit dan kompleks
menjadi lebih sederhana jika strategi dan pemanfaatan representasi matematika yang digunakan
sesuai dengan permasalahan.
Menurut penjelasan di atas, kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa perlu
dikembangkan melalui proses pembelajaran khususnya dalam materi pelajaran yang berisi
pengetahuan dan logika berpikir yaitu matematika tentu saja dengan mempertimbangkan tahap
perkembangan khususnya bagi siswa SD yang sedang memasuki fase operasional kongkrit.
Namun permasalahan yang terjadi adalah kemampuan koneksi dan representasi matematik di
tingkat pendidikan dasar belum tertangani akibatnya kemampuan koneksi dan representasi
matematik siswa rendah. Salah satu indikasi rendahnya kemampuan koneksi matematik siswa yaitu
berdasarkan beberapa hasil penelitian, Kusuma (2003) menyatakan tingkat kemampuan siswa kelas
III SLTP dalam melakukan koneksi matematik masih rendah. Ruspiani (2000) mengungkap bahwa
rata-rata nilai kemampuan koneksi matematik siswa sekolah menengah masih tegolong rendah.
Selanjutnya, berkenaan dengan rendahnya kemampuan representasi matematik, Hutagaol (2007)
menyatakan bahwa terdapatnya permasalahan dalam penyampaian materi pembelajaran
matematika, yaitu kurang berkembangnya daya representasi siswa, khususnya pada siswa SMP,
siswa tidak pernah diberi kesempatan untuk menghadirkan representasinya sendiri tetapi harus
mengikuti apa yang sudah dicontohkan oleh gurunya. Kemudian, hasil studi Hudiono (2005)
menunjukkan bahwa terjadinya kelemahan representasi siswa seperti tabel, gambar, model
disampaikan kepada siswa karena hanya sebagai pelengkap dalam penyampaian materi.
Keadaan yang terjadi di lapangan dalam hal kemampuan koneksi dan representasi matematik yaitu
guru terbiasa melakukan pembelajaran secara konvensional atau menurut Turmudi (2008) proses
pembelajaran yang disampaikan selama ini menggunakan sistem transmission of knowledge. Hal
ini membuat kelas hanya terjadi interaksi satu arah. Begitu pula dengan pengetahuan yang dimiliki
oleh siswa hanya terbatas pada apa yang telah diajarkan oleh guru saja. Oleh karena itu,
kemampuan berpikir tingkat tinggi yang seharusnya berkembang dalam diri siswa, menjadi tidak
berkembang secara optimal.
Berdasarkan fenomena dan pendapat di atas kemudian muncul pertanyaan: strategi apa yang cocok
untuk siswa agar memperoleh kemampuan koneksi dan representasi matematik yang baik
melibatkan aktivitas siswa secara optimal, dan membuat pelajaran matematika menjadi lebih
bermakna dan menyenangkan. Karena matematika harus dipelajari dalam konteks yang bermakna
yang mengaitkannya dengan subyek lain dan dengan minat dan pengalaman siswa. Alternatif
strategi pembelajaran dalam upaya untuk menumbuhkembangkan kemampuan koneksi dan
representasi matematik siswa dalam penelitian ini adalah pendekatan pembelajaran kontekstual
melalui strategi REACT.
Strategi REACT ini dijabarkan oleh COR (Center of Occupational Research) di Amerika yang dari
lima strategi yang harus tampak yaitu: Relating (mengaitkan), Experiencing (mengalami), Applying
(Menerapkan), Cooperating (Bekerjasama), Transferring (Mentransfer) (Muslich, 2008). Relating
(mengaitkan) adalah pembelajaran dengan mengaitkan materi yang sedang dipelajarinya dengan
konteks pengalaman kehidupan nyata atau pengetahuan yang sebelumnya. Experiencing
(mengalami) merupakan pembelajaran yang membuat siswa belajar dengan melakukan kegiatan
matematika (doing math) melalui eksplorasi, penemuan dan pencarian. Berbagai pengalaman
dalam kelas dapat mencakup penggunaan manipulatif, aktivitas pemecahan masalah, dan
98
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
99
4.
Hipotesis Penelitian
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, subjek yang akan diteliti merupakan siswa-siswa yang sudah terdaftar dengan
kelasnya masing-masing, sehingga tidak dimungkinkan untuk membuat kelompok baru secara
acak. Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi
eksperimen, dan desain yang digunakan adalah Disain kelompok kontrol non-ekivalen
(Ruseffendi, 1994:47). Pada desain ini, peneliti memilih dua kelompok secara acak. Satu kelompok
dijadikan sebagai kelompok eksperimen dan satu kelompok dijadikan kelompok kontrol. Kedua
kelompok diberikan tes awal dan tes akhir. Pada kelompok eksperimen diberikan perlakuan yang
berbeda dengan kelompok kontrol. Penggunaan strategi ini bertujuan untuk mengetahui sejauh
mana pengaruh variabel bebas dan variabel terikat. Dalam penelitian ini, variabel bebasnya adalah
pembelajaran dengan strategi REACT dan variabel terikatnya adalah kemampuan koneksi dan
representasi matematik siswa SD.
Diagram desain penelitiannya sebagai berikut:
O
X
O
-----------------O
O
(Ruseffendi, 1994:47)
Keterangan:
O = Pretes = Postes Kemampuan koneksi dan representasi matematik
X = Pembelajaran matematika dengan menggunakan strategi REACT
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif digunakan
untuk memperoleh gambaran tentang sikap siswa secara umum terhadap pembelajaran matematika
dengan menggunakan strategi REACT terhadap koneksi dan representasi matematik siswa selama
penelitian. Sedangkan pendekatan kuantitatif dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang
kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa berdasarkan hasil tes.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kota Cimahi.
Dari sebanyak 118 sekolah, terlebih dahulu digolongkan sekolah ke dalam 4 kategori, yaitu sekolah
dengan kualifikasi sangat baik, baik, sedang, dan rendah berdasarkan urutan hasil perolehan nilai
rata-rata UASBN tahun 2010, dari setiap level baik dan sedang dipilih satu sekolah. Sampel
penelitian terdiri dari 56 orang siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi REACT dan
56 orang siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi konvensional (tanpa perlakuan).
100
C. HASIL PENELITIAN
1. Hasil Pretes dan Postes
Sebelum pembelajaran diberikan dilakukan pretes untuk mengukur kemampuan awal siswa dan
setelah pembelajaran dilakukan diberikan postes. Dari hasil analisis data dan uji statistik dengan
taraf signifikansi 5% terhadap data pretes diperoleh bahwa hasil pretes di kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol secara signifikan tidak terdapat perbedaan baik ditinjau dari level sekolah
maupun kemampuan matematika siswa, sedangkan pada hasil postes kedua kelompok
menunjukkan perbedaan yang signifikan baik ditinjau dari level sekolah maupun kemampuan
matematika siswa.
2. Peningkatan Kemampuan Koneksi dan Kemampuan Representasi Matematik
Peningkatan pada penelitian ini menggunakan normalisasi gain, berikut penyajian normalisasi gain:
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
Baik
Sedang
REACT
Konvensional
Gambar 1
Diagram Batang Rerata N-Gain Kemampuan Koneksi Matematik Menurut Level Sekolah
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
Tinggi
Sedang
Rendah
Baik
Tinggi
Sedang
Rendah
Sedang
REACT
Konvensional
Gambar 2
Diagram Batang N-Gain Kemampuan Koneksi Matematik Berdasarkan
Level Sekolah, Strategi Pembelajaran, dan KMA Siswa
101
0,8
0,6
0,4
0,2
0
Baik
Sedang
REACT
Konvensional
Gambar 3
Diagram Batang Rerata N-Gain Kemampuan Representasi Matematik Menurut Level Sekolah
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
Tinggi
Sedang
Rendah
Baik
Tinggi
Sedang
Rendah
Sedang
REACT
Konvensional
Gambar 4. Diagram Batang N-Gain Kemampuan Representasi Matematik Berdasarkan Level Sekolah, Strategi
Pembelajaran, dan KMA Siswa
Untuk mengetahui apakah perbedaan peningkatan hasil belajar antara kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol berbeda secara signifikan ditinjau dari level sekolah maupun kemampuan
matematika siswa, dilakukan uji Anova dua jalur.
Berdasarkan perhitungan uji Anova dua jalur diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan
peningkatan kemampuan koneksi dan representasi matematik antara siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan strategi REACT dan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional
ditinjau dari level sekolah (baik dan sedang) maupun kemampuan matematika siswa (tinggi,
sedang, dan rendah).
Untuk mengetahui pembelajaran mana yang lebih baik dalam kemampuan koneksi dan representasi
matematik siswa, dilakukan uji statistik lanjutan melalui uji-t. Berdasarkan perhitungan uji-t
diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa
yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan strategi REACT secara signifikan lebih baik
daripada kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan strategi konvensional ditinjau dari keseluruhan, level sekolah (baik dan sedang) dan tingkat
kemampuan matematika siswa (tinggi, sedang dan rendah).
102
3.
Berdasarkan tanggapan siswa melalui skala sikap dan wawancara diperoleh temuan bahwa secara
umum tanggapan siswa terhadap pembelajaran matematika dengan strategi REACT cukup positif.
Tanggapan para siswa tentang strategi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, LAS yang diberikan,
dan soal-soal kemampuan koneksi dan representasi matematik menunjukkan suatu persetujuan dan
minat serta motivasi yang tinggi terhadap pembelajaran yang dikembangkan.
D.
PEMBAHASAN
Dilihat dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan, dibandingkan dengan pembelajaran
konvensional, pembelajaran dengan strategi REACT menunjukkan peran yang berarti dalam
meningkatkan kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa. Hal ini dimungkinkan
karena dalam pembelajaran strategi REACT, fokus kegiatan belajar sepenuhnya berada pada siswa
yaitu berpikir menemukan solusi dari suatu masalah matematika termasuk proses untuk memahami
suatu konsep dan prosedur matematika. Karena kekuatan dari pembelajaran melalui REACT
terletak pada memotivasi dan memfasilitasi siswa belajar secara aktif. Untuk itu guru menjadi
instrumen pembelajaran yang utama yaitu sebagai fasilitator terjadinya aktivitas belajar di kelas
dalam upaya untuk mengarahkan siswa agar dapat membuat siswa belajar aktif.
Keberhasilan pembelajaran dengan strategi REACT dalam meningkatkan kemampuan koneksi dan
representasi siswa terjadi karena pada pembelajaran dengan stratgi REACT siswa terstimulus
secara aktif dalam kegiatan pembelajaran sehingga kemampuan matematika siswa berkembang dan
meningkat. Temuan ini sesuai dengan pernyataan Crawford (2001) yang menyatakan bahwa
strategi REACT memiliki kelebihan diantaranya dapat memperdalam pemahaman siswa serta
membuat belajar menyeluruh dan menyenangkan.
Kemampuan koneksi merupakan tingkatan kedua dari berpikir matematik. Terdapat temuan yang
diperoleh penulis ketika melaksanakan pretes yaitu kemampuan siswa dalam menemukan dan
menggunakan kemampuan koneksi matematik sangat rendah. Berdasarkan kajian penulis terhadap
masalah ini, penyebab rendahnya hasil pretes ini adalah karena pembelajaran yang berlangsung
selama ini mengabaikan aspek keterkaitan matematik dengan topik matematik sebelumnya, dengan
disiplin ilmu lain dan dengan masalah-masalah nyata di sekitar kehidupan sehari-hari siswa.
Selanjutnya, jika dilihat dari skor hasil postes dalam penelitian ini menunjukkan terjadi
peningkatan kemampuan koneksi matematik setelah perlakuan, baik pada kelompok eksperimen
maupun kelompok kontrol. Dari jawaban yang diberikan siswa, terlihat bahwa yang paling
membingungkan siswa adalah soal yang berkaitan dengan antar pokok bahasan lain. Hal ini
dimungkinkan karena masih lemahnya kemampuan koneksi siswa atau siswa masih menganggap
tiap pokok bahasan dalam pelajaran matematika merupakan bagian-bagian yang saling lepas. Salah
satu penyebabnya dikarenakan mereka belum terbiasa dengan soal-soal seperti itu. Penemuan ini
diperkuat pula dari hasil penelitian Ruspiani (2000) yang mengungkap bahwa kemampuan koneksi
terendah ada pada kemampuan koneksi antar topik matematika.
Temuan terakhir yang menjawab rumusan masalah adalah hasil tes koneksi pada siswa kelas
eksperimen yang memperoleh pembelajaran matematika dengan strategi REACT, menunjukkan
peningkatan kemampuan koneksi secara signifikan yang lebih baik dibandingkan dengan siswa
kelas kontrol yang memperoleh pembelajaran biasa. Hal ini jelas menunjukkan bahwa siswa-siswa
yang pembelajarannya dengan strategi REACT pada umumnya lebih mengutamakan proses
penyelesaian dengan cara mengkaitkan pengetahuan yang berbeda-beda untuk menyelesaikan
setiap permasalahan, dan tidak mengutamakan hasil/jawaban akhir saja, sedangkan siswa-siswa
yang pembelajarannya secara konvensional lebih mengutamakan hasil akhir.
Dari hasil penelitian di lapangan, didapat bahwa pembelajaran dengan strategi REACT kemampuan
koneksi siswa meningkat lebih baik dibandingkan dengan kemampuan koneksi yang menggunakan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
103
pembelajaran dengan strategi konvensional, pertama karena dalam proses pembelajaran terdapat
kegiatan relating dimana siswa dapat menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang
sebelumnya yang didapatkan siswa juga dapat menghubungkan ide yang berkaitan dengan objek
tertentu.
Selain itu dengan pembelajaran dengan strategi REACT telah merubah paradigma pembelajaran
yang berpusat pada guru kepada pembelajaran yang menekankan pada keaktifan siswa untuk
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri yang secara tidak langsung siswa mengkonstruksi
pengetahuannya dengan mengaitkan pengetahuan atau konsep yang telah dimiliki sebelumnya.
Temuan ini melengkapi temuan-temuan sebelumnya yaitu mengenai penerapan REACT yang telah
dilakukan di SMP dan di perguruan tinggi.
Kemampuan representasi matematik adalah salah satu keterampilan proses yang berkaitan dengan
kemampuan siswa menyampaikan laporan, gagasan, dan ide. Berdasarkan hasil tes representasi
pada siswa kelas eksperimen yang memperoleh pembelajaran matematika dengan strategi REACT,
menunjukkan peningkatan kemampuan representasi yang lebih baik secara signifikan dibandingkan
dengan siswa kelas kontrol yang memperoleh pembelajaran biasa. Hal ini jelas menunjukkan
bahwa siswa-siswa yang pembelajarannya dengan strategi REACT pada umumnya lebih
mengutamakan proses penyelesaian dengan cara merepresentasikan suatu masalah dengan berbedabeda untuk membantu proses menyelesaikan setiap permasalahan, dan tidak mengutamakan
hasil/jawaban akhir saja, sedangkan siswa-siswa yang pembelajarannya secara konvensional lebih
mengutamakan hasil akhir.
Dalam strategi REACT siswa diberi alat bantu berupa benda-benda konkrit. Menurut Herman
(2004), benda konkrit dapat berperan sebagai representasi alternatif yang menghubungkan
representasi suatu konsep yang baru terhadap konsep sebelumnya, sehingga representasi terkoneksi
dalam jaringan dengan struktur yang lebih terorganisasi. Jadi, dengan menggunakan bantuan benda
konkrit, sifat matematika yang abstrak dapat lebih mudah diterima oleh siswa, khususnya siswa
sekolah dasar yang kemampuan berpikirnya berada pada tahap berpikir konkrit.
Selain itu, pada kelas eksperimen siswa diberikan kesempatan untuk merepresentasikan suatu
permasalahan secara bebas tanpa dibatasi sehingga siswa menjadi lebih kreatif untuk
merepresentasikan suatu permasalahan. Hal ini berbeda yang terjadi di kelas kontrol dimana siswa
harus melakukan prosedur atau langkah-langkah yang baku yang telah ditetapkan oleh guru
kelasnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa secara umum siswa yang pembelajarannya
dengan strategi REACT menunjukkan kemampuan representasi yang lebih baik dibandingkan
dengan siswa yang pembelajarannya dengan strategi konvensional.
E.
KESIMPULAN
Peningkatan kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa yang mendapat pembelajaran
dengan menggunakan strategi REACT secara signifikan lebih baik daripada kemampuan koneksi
dan representasi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional
ditinjau dari level sekolah (baik dan sedang) dan ditinjau dari tingkat kemampuan matematika
siswa (tinggi, sedang, rendah).
Sebagian besar siswa menunjukkan respon yang positif terhadap pembelajaran yang telah
dilakukan. Dengan kata lain, pembelajaran matematika dengan menggunakan strategi REACT
dapat meningkatkan sikap positif terhadap matematika. Hal ini ditunjukkan melalui pendapat siswa
dalam angket maupun pada hasil wawancara serta dari aktivitas siswa seperti siswa terlihat lebih
aktif dan memiliki semangat yang lebih baik dalam menyelesaikan permasalahan, berdiskusi antar
sesama siswa, bertanya pada guru dan terjadi interaksi multi arah.
104
F.
SARAN
105
DAFTAR PUSTAKA
106
Matematika selalu berkembang sesuai dengan dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga
sekarang ini matematika dipandang sebagai suatu ilmu yang terstruktur dan terpadu, ilmu tentang
pola dan hubungan, dan ilmu tentang cara berpikir untuk memahami dunia sekitar. Oleh karena itu,
untuk menjawab berbagai tantangan dan tuntutan pada era seperti sekarang ini, kemampuan
berpikir tingkat tinggi siswa seperti kemampuan memecahkan masalah, berargumentasi secara
logis, bernalar, menjelaskan dan melakukan justification, memanfaatkan sumber informasi,
berkomunikasi, bekerja sama, menyimpulkan dari berbagai situasi, pemahaman instrumental, dan
pemahaman fungsional, perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika.
Matematika pada dasarnya adalah ilmu yang abstrak dan bersistem deduktif-aksiomatik, yang
dimulai dengan unsur-unsur yang tidak terdefinisi. Hal ini berarti bahwa matematika merupakan
aktivitas mental, sehingga kegiatan berpikir matematika tidak dapat dilepaskan dari kegiatan
kognitif (Akib, 2003: 1). Sejalan dengan pendapat Ruseffendi (1991: 260) yang mengatakan bahwa
matematika timbul karena pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan idea, proses, dan
penalaran.
Menurut Hirdjan (2000), matematika tidak diajarkan secara terpisah antartopik. Masing-masing
topik dapat dilibatkan atau terlibat dengan topik lainnya. Oleh karena itu, pemahaman siswa pada
satu topik akan membantu untuk memahami topik yang lain, tetapi hal ini dapat terjadi jika siswa
mampu mengkoneksikan topik-topik tersebut.
Pendapat di atas sesuai dengan standar NCTM (2000: 274):
Thinking mathematically involves looking for connections, and making connections
builds mathematical understanding. Without connections, students must learn and
remember too many isolated concepts and skills. With connections, they can build new
understandings on previous knowledge.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
107
Dengan koneksi, siswa mampu membangun pemahaman baru berdasarkan pada pengetahuan
sebelumnya.
Agar proses pembelajaran matematika dapat bermakna bagi siswa, maka diperlukan perencanaan
yang sistematis dari guru sehingga siswa dapat memahami dan mengkoneksikan berbagai topik
secara lebih baik dan efisien. Bruner (TIM MKPBM, 2001: 43) menyatakan bahwa belajar
matematika akan lebih berhasil jika proses pembelajarannya diarahkan pada konsep-konsep dan
struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, di samping hubunganhubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur. Dengan kata lain, belajar
matematika akan berhasil jika siswa dapat melihat koneksi antartopik dalam matematika. Konsep
atau topik yang dia pelajari sebelumnya harus dapat dijadikan sebagai modal untuk mempelajari
topik yang sedang dan akan dipelajari. Hal ini dapat tercapai bila dalam pembelajaran siswa diberi
kesempatan untuk memahami konsep secara mendalam dan mencoba untuk mengembangkan
konsep baru dari konsep yang telah ia ketahui.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang tampaknya dapat mengembangkan kemampuan
pemahaman dan koneksi matematis adalah pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaran berbasis
masalah menuntut aktivitas mental siswa dalam memahami suatu konsep, prinsip dan kompetensi
matematis melalui situasi atau masalah yang disajikan di awal pembelajaran. Ruspiani (2000)
mengatakan bahwa pada saat siswa mampu memahami suatu permasalahan, maka siswa mampu
membuat koneksi dengan topik-topik yang terkait. Jadi dalam pembelajaran ini situasi atau masalah
menjadi titik tolak untuk memahami konsep, prinsip, dan mengembangkan kompetensi matematis.
Berbeda dengan pembelajaran pada umumnya, masalah disajikan pada akhir pembelajaran setelah
memahami konsep, prinsip dan kompetensi matematis, pendekatan ini mencakup pengumpulan
informasi yang berkaitan dengan pertanyaan, mensintesis, dan mempresentasikan penemuannya
terhadap situasi atau masalah yang dijumpai orang lain.
Agar pembelajaran berbasis masalah berjalan secara optimal, perlu diciptakan suatu kondisi yang
memungkinkan siswa lebih aktif dalam melakukan eksplorasi, investigasi, mengemukakan
pendapat, saling membantu dan berbagi pendapat dengan teman untuk menyelesaikan masalah
yang diberikan dalam pembelajaran. Kondisi yang memungkinkan timbulnya hal-hal tersebut yaitu
melalui belajar dengan kelompok-kelompok kecil yang disebut belajar kooperatif (cooperative
learning) (Slavin,1995).
Dalam pembelajaran kooperatif terdapat beberapa tipe. Salah satunya yaitu belajar kooperatif tipe
Jigsaw yang dikemukakan oleh Arronson (1978). Scott (dalam Hariyanto, 2000: 3) menyatakan
bahwa Jigsaw merupakan salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang sangat fleksibel
(cocok) untuk semua kelas/tingkatan. Dalam model pembelajaran ini, setiap siswa ditugaskan
mempelajari sebuah topik/masalah tertentu. Siswa-siswa bertemu dengan anggota dari kelompok
lain yang mempelajari masalah yang sama. Setelah bertukar pendapat dan informasi, para siswa
tersebut kembali ke kelompoknya masing-masing untuk mendiskusikan atau menjelaskan apa yang
telah dipelajarinya kepada anggota kelompok sendiri. Dengan demikian, pembelajaran berbasis
masalah dengan menggunakan strategi kooperatif tipe Jigsaw memberi peluang untuk
menumbuhkembangkan kemampuan siswa dalam koneksi matematis.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis melakukan penelitian yang berjudul Pembelajaran Berbasis
Masalah dengan Strategi Kooperatif Jigsaw untuk Meningkatkan Koneksi Matematis Siswa
Sekolah Menengah Pertama.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada uraian latar belakang, masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran
berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw lebih baik daripada siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensional?
2. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran yang digunakan dengan kualifikasi sekolah
dalam peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa?
108
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Koneksi Matematis
Koneksi matematis berasal dari bahasa Inggris Mathematical Connection yang kemudian
dipopulerkan oleh NCTM yang mengulas masalah ini untuk pembelajaran matematika dari tingkat
dasar sampai menengah. Koneksi dengan kata lain dapat diartikan sebagai keterkaitan.
Menurut NCTM (2000), terdapat tiga tujuan koneksi matematis di sekolah. Pertama, memperluas
wawasan pengetahuan siswa. Kedua, memandang matematika sebagai suatu keseluruhan yang
terpadu bukan sebagai materi yang berdiri sendiri. Ketiga, menyatakan relevansi dan manfaat baik
di sekolah maupun di luar sekolah.
Berdasarkan tujuan yang telah dikemukakan di atas, koneksi matematis diklasifikasikan menjadi
tiga macam yang meliputi:
a. Koneksi antartopik dan proses matematika;
b. Koneksi antara konsep matematika dengan disiplin ilmu lain;
c. Koneksi antara konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari.
Dari klasifikasi tersebut, dapat dikatakan bahwa ruang lingkup matematika tidak hanya mencakup
permasalahan yang berkaitan dengan bidang studi matematika saja, tetapi meliputi bidang studi lain
dan dengan kehidupan sehari-hari. Representasi pemikiran yang berbeda dari suatu permasalahan
yang dikemukakan, merupakan suatu sudut pandang siswa yang sesuai dengan interpretasi siswa
terhadap masalah dan penyelesaiannya. Bila siswa menjadi lebih memahami secara matematis,
maka mereka akan lebih fleksibel untuk mendekati situasi dalam berbagai cara dan mampu
mengenal cara pandang yang berbeda.
Pengalaman koneksi matematis siswa memiliki karakteristik dasar sebagai berikut:
a. Menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
b. Menghubungkan kemampuan prosedural dan konseptual.
c. Melihat matematika secara keseluruhan yang saling berkaitan.
d. Menerapkan berpikir matematis dan membuat model pemecahan masalah yang berasal dari
disiplin ilmu lain.
e. Menggunakan nilai-nilai yang berkaitan di antara topik-topik matematika.
f. Mengenali kesamaan representasi dari konsep yang serupa (Coxford dalam Juandi, 2006: 44).
Sumarmo (2002: 15) menyatakan bahwa beberapa indikator kemampuan koneksi matematis
diantaranya adalah: mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur; memahami
hubungan antartopik matematis; menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan
sehari-hari; memahami relevansi ekuivalensi konsep atau prosedur yang sama; mencari koneksi
satu prosedur ke prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen; menggunakan koneksi antartopik
matematika dan antara matematika dengan topik lain.
Kemampuan koneksi matematis yang akan dikaji dalam penelitian ini akan terfokus pada
kemampuan memahami relevansi ekuivalensi konsep atau prosedur yang sama, mencari koneksi
satu prosedur ke prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen, dan menggunakan matematika
dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning) adalah sebuah pendekatan yang lahir
dari adanya perubahan yang sangat mendasar disebabkan pergeseran pandangan dalam memahami
bagaimana siswa belajar matematika. Belajar tidak lagi dipandang sebagai proses menerima
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
109
informasi untuk disimpan pada memori siswa yang diperoleh melalui pengulangan praktek dan
penguatan, namun siswa belajar dengan mendekati setiap persoalan baru dengan pengetahuan yang
telah ia miliki, mengasimilasi informasi baru dan membangun pengertian sendiri. Sebagaimana
diungkapkan oleh Duch (1995) bahwa,
Problem-based learning (PBL), at its most fundamental level, is instructional method
characterized by the use of real world problem as a context for student to learn
critical thinking and problem solving skill, and acquire knowledge of the essential
concept of the course.
Ini mengandung arti bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan metode pengajaran yang
mempunyai ciri menggunakan masalah nyata sebagai konteks bagi siswa untuk belajar berpikir
kritis, keterampilan pemecahan masalah, dan memperoleh pengetahuan mengenai esensi konsep.
Ibrahim dan Nur (2000) memberikan karakteristik masalah yang diketengahkan dalam PBM
sebagai berikut:
1. Autentik, yaitu masalah harus lebih berakar pada pengalaman dunia nyata siswa daripada
berakar pada prinsip-prinsip dasar disiplin ilmu tertentu.
2. Tidak terdefinisi dengan baik, maksudnya adalah masalah tidak terspesifikasikan dan kurangnya
informasi yang diberikan sehingga memungkinkan siswa untuk melakukan investigasi,
eksplorasi, konjektur sebelum pemecahan masalah.
3. Sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual.
4. Konsisten dengan tujuan kurikulum.
Secara garis besar langkah-langkah dalam PBM ditinjau dari indikator kegiatan siswa dan aktivitas
guru adalah sebagai berikut (Ibrahim dan Nur, 2000: 13):
Fase
1
2
3
3.
Tabel 1
Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah
Indikator
Kegiatan Guru
Mengorientasikan siswa
Menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik
pada masalah
yang diperlukan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas
pemecahan masalah yang dipilihnya.
Mengorganisasikan siswa
Membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan
untuk belajar
tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Membimbing penyelidikan Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang
mandiri dan kelompok
sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk penjelasan dan
pemecahan masalah.
Mengembangkan dan
Membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan
menyajikan hasil karya
karya yang sesuai seperti laporan, dan membantu mereka
untuk berbagi tugas dengan temannya.
Menganalisis dan
Membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi
mengevaluasi proses
terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang
pemecahan masalah
mereka gunakan.
Salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam
menguasai materi atau konsep untuk mencapai pemahaman yang maksimal adalah pembelajaran
kooperatif Jigsaw. Adapun tahap-tahap pembelajarannya sebagai berikut:
a. Tahap pertama, pembentukan kelompok-kelompok kecil dengan kriteria setiap kelompok
heterogen terdiri dari empat sampai enam orang. Pembentukan kelompok ini disebut sebagai
kelompok asal.
b. Tahap kedua, setiap anggota kelompok ditugaskan untuk memecahkan masalah tertentu yang
diberikan pada pembelajaran. Kemudian siswa-siswa dari kelompok lain yang memiliki masalah
yang sama berkumpul untuk secara bersama-sama melakukan investigasi, memunculkan atau
110
2
3
4.
Indikator
Mengorientasikan siswa
pada masalah
Mengorganisasikan siswa
untuk belajar
Membimbing penyelidikan
mandiri dan kelompok
Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya
Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah
Kegiatan Guru
Mengajukan masalah (melalui soal), selanjutnya guru
meminta siswa untuk mengemukakan ide, teori yang dapat
digunakan dalam memecahkan masalah tersebut.
Mengorganisir siswa untuk belajar melalui model
kooperatif Jigsaw.
Pada tahap ini siswa melakukan pemecahan masalah
bersama kelompok ahli kemudian menerangkan kembali
kepada teman kelompoknya di kelompok asal. Guru
sifatnya membantu dan mendorong siswa sehingga benarbenar mengerti permasalahannya.
Menyuruh
salah
satu
kelompok
ahli
untuk
mempresentasikan hasil pemecahan masalah di depan
kelas, diberikan kesempatan kepada kelompok ahli lain
untuk mengajukan pertanyaan atau komentar, guru
membantu jika siswa mengalami kesulitan.
Membantu menganalisis dan mengevaluasi hasil
pemecahan masalahnya sehingga ditemukan suatu formula
atau definisi yang diinginkan.
Indikator keberhasilan siswa dalam belajar tidak hanya dilihat dari nilai tes yang diperolehnya.
Sikap siswa dalam proses belajar pun merupakan salah satu indikator keberhasilan siswa dalam
belajar. Oleh karena itu, sikap siswa dalam belajar matematika menjadi penting karena matematika
akan dapat dipahami dengan baik oleh siswa, apabila siswa memiliki sikap yang positif. Sikap
terbentuk dari adanya interaksi yang dialami individu. Azwar (1995: 30) menyatakan bahwa dalam
interaksinya, individu membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologi yang
dihadapinya.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain kelompok control pretest-posttest.
Unit-unit eksperimen dilakukan di dua kelas yang masing-masing menggunakan pembelajaran
berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw dan pembelajaran konvensional. Kategori
sekolah ditetapkan menurut kualifikasi sekolah dari Departemen Pendidikan Nasional setempat.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara stratified sampling. Instrumen yang digunakan adalah
tes dan non tes.
111
Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh hasil sebagai berikut. Nilai pretest menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan awal koneksi matematis antara
kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.
Hasil perhitungan uji rerata gain ternormalisasi kemampuan koneksi matematis, disajikan pada
Tabel berikut.
Tabel 3
Hasil Perhitungan Uji Rerata Gain Ternormalisasi Kemampuan Koneksi Matematis
berdasarkan Pendekatan Pembelajaran
Test Statisticsa
KONEKSI
Mann-Whitney U
4221.500
Wilcoxon W
10326.500
Z
-4.734
Asy mp. Sig. (2-tailed)
.000
a. Grouping Variable: KELOMPOK
Tabel 4
Hasil Uji Chi-Kuadrat ( ) Gain Kemampuan Koneksi Matematis
berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan Kualifikasi Sekolah
2
Kualifikasi Sekolah
Atas
Tengah
Bawah
Asym.Sig.
0,008
1,000
0,008
0,05
0,05
0,05
Kesimpulan
Tolak H0
Terima H0
Tolak H0
Dari skor gain ternormalisasi secara keseluruhan diperoleh hasil bahwa peningkatan kemampuan
koneksi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif
Jigsaw lebih baik secara signifikan daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional.
Namun, berdasarkan kualifikasi sekolah kemampuan koneksi matematis siswa yang mengikuti
pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw lebih baik secara signifikan
daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional hanya terjadi pada kualifikasi sekolah
atas dan bawah. Sedangkan pada kualifikasi sekolah tengah tidak terdapat perbedaan peningkatan
secara signifikan antara kemampuan koneksi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran
berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw dan siswa yang mengikuti pembelajaran
konvensional.
Selanjutnya untuk interaksi pendekatan pembelajaran yang digunakan dengan kualifikasi sekolah
dalam peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kualifikasi sekolah dalam peningkatan kemampuan
koneksi matematis. Hal tersebut ditunjukkan pada tabel berikut.
Tabel 5
Hasil Uji Anova Dua Jalur Perbedaan Kemampuan Koneksi Matematis
berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan Kualifikasi Sekolah
Sumber
Pembelajaran
Kualifikasi Sekolah
Interaksi
Total
112
Jumlah
Kuadrat
5,735
14,725
0,346
749,219
Df
1
2
2
230
Rerata
Kuadrat
5,735
7,363
0,173
Sig
H0
34,799
44,674
1,050
0,000
0,000
0,474
Tolak
Tolak
Terima
Peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah
dengan strategi kooperatif Jigsaw lebih baik secara signifikan daripada siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensional.
Tidak terdapat interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan kualifikasi sekolah dalam
peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa. Secara umum pendekatan pembelajaran tidak
berkaitan dengan kualifikasi sekolah dalam peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa.
Terdapat perbedaan sikap siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif
Jigsaw berdasarkan kualifikasi sekolah. Semakin tinggi kualifikasi sekolah, sikap siswa semakin
positif.
SARAN
113
DAFTAR PUSTAKA
Akib, I. (2003). Pembelajaran Matematika dalam Perspektif Budaya Lokal. Makalah. Makassar:
UNM.
Azwar, S. (1995). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta; Pustaka Pelajar
Duch, B. J. (1995). What is Problem-Based Learning. [Online]. Tersedia:
http://www.undel.edu/pbl/cte/jan95-what.html.[10 Maret 2008].
Hariyanto, (2000). Perbandingan Hasil Belajar Matematika antara siswa yang Pembelajarannya
Menggunakan Model Kooperatif Jigsaw dan Model Konvensional. Tesis UPI: Tidak
Diterbitkan
Ibrahim, M. dan Nur, M. (2000). Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: UNESA
University Press.
Juandi, D. (2006). Meningkatkan Daya Matematik Mahasiswa Calon Guru Matematika Melalui
Pembelajaran Berbasis Masalah). Disertasi UPI: Tidak Diterbitkan.
NCTM. (2000). Professional Standard School Mathematics. Reston, Virginia: NCTM
Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya
dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Ruspiani. (2000). Kemampuan Siswa dalam Melakukan Koneksi matematis. Tesis. UPI: Tidak
diterbitkan.
Slavin, R.E. (1995). Cooperative Learning: Theory, Research and Practice. Boston: Allyn and
Bacon.
Sumarmo, U. (2002). Alternatif Pembelajaran Matematika dalam Menerapkan Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Makalah pada Seminar Matematika Tingkat Nasional yang Diselenggarakan
BEM Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA Bandung: Bandung.
TIM MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika UPI, (2001). Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung: JICA UPI Bandung.
114
Pendahuluan
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 1989) mengungkapkan bahwa belajar dan
menggunakan matematika adalah aspek yang penting dari keseluruhan kurikulum sekolah. Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan bila matematika merupakan mata pelajaran yang terdapat dalam
setiap jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal. Adapun tujuan matematika
diberikan kepada siswa menurut NCTM (2000) yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan:
belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication); belajar untuk bernalar (mathematical
reasoning); belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving); belajar untuk
mengkaitkan ide (mathematical connections); dan pembentukan sikap positif terhadap matematika
(positive attitudes toward mathematics).
Hal tersebut menjadi acuan Depdiknas (2006) dalam menyusun tujuan pembelajaran matematika di
Indonesia yaitu diantaranya adalah agar peserta didik memiliki kemampuan memahami konsep
matematika; mampu menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi; mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel,
diagram, atau media lain serta memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan.
Upaya untuk mewujudkan tercapainya tujuan pembelajaran matematika bukanlah hal yang mudah.
Diperlukan suatu usaha dari semua pihak, baik dari guru maupun dari siswa itu sendiri. Salah satu
aspek penting yang tertera dalam tujuan pembelajaran matematika adalah kemampuan penalaran.
Aplikasi penalaran sering ditemukan dalam proses pembelajaran matematika, karena materi
matematika dan penalaran matematika adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini
menunjukkan bahwa matematika dipahami melalui penalaran, sedangkan penalaran dipahami dan
dilatihkan melalui belajar matematika (NCTM, 1989). Nasoetion (Priatna, 2003) menyebutkan
bahwa manfaat melakukan penalaran dalam pembelajaran matematika yaitu, dari hanya yang
sekedar mengingat fakta, aturan, prosedur kepada kemampuan pemahaman.
Masih rendahnya kualitas kemampuan penalaran dalam hal ini kemampuan generalisasi matematis
merupakan indikasi bahwa tujuan pembelajaran matematika belum tercapai secara optimal. Agar
tujuan tersebut dapat tercapai dengan optimal, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan
melaksanakan proses pembelajaran yang berkualitas.
115
Salah satu model pembelajaran yang dipandang dapat mengembangkan keterlibatan siswa secara
aktif adalah model pembelajaran inkuiri. Pada model pembelajaran inkuiri pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh oleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta,
tetapi hasil dari menemukan sendiri (Trianto, 2007). Hal ini sejalan dengan pendapat Hutabarat
(2009) yang menyatakan bahwa sebagai ciri khas dari inkuiri adalah induktif, karena pembuktian
rumus tanpa dipengaruhi oleh teori-teori yang sudah ada. Siswa diharapkan dapat mencari dan
menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan dengan cara melakukan
pengamatan, mengumpulkan data, menganalisis dan menarik kesimpulan. Dengan demikian model
pembelajaran inkuiri terbimbing diharapkan dapat meningkatkan kemampuan generalisasi
matematis, dimana generalisasi merupakan bagian dari penalaran induktif.
B.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.
Apakah peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh model
pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional?
2.
Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa dilihat
dari kategori kemampuan siswa tinggi, sedang, dan rendah?
C.
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan temuan-temuan yang dapat memberikan masukan
yang berarti dalam memperbaiki mutu pendidikan matematika di kelas, khususnya dalam
mempertajam kemampuan generalisasi matematis. Masukan-masukan yang dapat diperoleh sebagai
berikut :
a.
Memberi informasi tentang pengaruh penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing
terhadap peningkatan kemampuan generalisasi matematis.
b.
Jika ternyata terdapat pengaruh yang positif, maka model pembelajaran inkuiri terbimbing
dapat dijadikan sebagai salah satu pembelajaran yang bermanfaat dalam pembelajaran
matematika di sekolah.
c.
Melatih siswa untuk terlibat secara aktif dalam pembelajaran serta melatih siswa dalam
menemukan konsep matematika dengan cara bereksplorasi sendiri.
d.
Menjadi bahan rujukan untuk melakukan penelitian selanjutnya mengenai penerapan
pembelajaran matematika dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing di sekolah.
E.
1.
Begitu juga dengan Rahman (2004) mengungkapkan bahwa generalisasi adalah proses penarikan
kesimpulan dimulai dengan memeriksa keadaan khusus menuju kesimpulan umum. Penalaran
tersebut mencakup pengamatan contoh-contoh khusus dan menemukan pola atau aturan yang
melandasinya. Proses generalisasi matematika menurut Mason (Rahman, 2004) terdiri dari 4 tahap
yaitu:
(1)
(2)
(3)
(4)
Perception of generality
Pada tahap ini siswa baru sampai pada tahap mengenal sebuah aturan/pola.
Expression of generality
Pada tahap ini siswa telah mampu menguraikan sebuah aturan atau pola, baik secara numerik
maupun verbal.
Symbolic expression of generality
Pada tahap ini siswa telah mampu menghasilkan sebuah aturan dan pola umum.
Manipulation of generality
Pada tahap ini siswa telah mampu menerapkan aturan atau pola dari berbagai persoalan.
Pola-pola dalam matematika sangat membantu anak di dalam membuat generalisasi. Ada beberapa
pola yang dapat digunakan diantaranya pola tumbuh, pola berulang. Pola-pola tersebut dinyatakan
dengan gambar (geometri) dan bilangan (aritmatika). Kemampuan untuk melakukan generalisasi
adalah sangat penting dalam pembelajaran matematika, sebagaimana dikatakan Hudoyo (Rahman,
2004) bahwa proses generalisasi merupakan aspek atau bagian yang esensial dari berpikir
matematik.
Dari beberapa pengertian generalisasi yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa
generalisasi adalah kemampuan untuk mempersepsi (menyatakan pola), menentukan
struktur/data/gambaran/suku berikutnya, dan memformulasikan keumuman secara simbolis.
2.
Gulo (2002) mendeifinisikan strategi inkuiri merupakan suatu rangkaian kegiatan belajar yang
melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara
sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan
penuh percaya diri. Hal senada juga diungkapkan oleh Sanjaya (2009) strategi pembelajaran inkuiri
adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan
analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.
Sund, Trowbridge dan Leslie (Gani, 2007) menjelaskan bahwa model pembelajaran inkuiri
terbimbing yaitu model pembelajaran inkuiri dimana guru membimbing siswa melakukan kegiatan
dengan memberi pertanyaan awal dan mengarahkan pada suatu diskusi. Guru mempunyai peran
aktif dalam menentukan permasalahan dan tahap-tahap pemecahannya. Model pembelajaran inkuiri
terbimbing ini digunakan bagi siswa yang kurang berpengalaman belajar dengan model
pembelajaran inkuiri. Dengan model pembelajaran ini siswa belajar lebih beorientasi pada
bimbingan dan petunjuk dari guru hingga siswa dapat memahami konsep-konsep pelajaran. Pada
model pembelajaran inkuiri terbimbing ini siswa akan dihadapkan pada tugas-tugas yang relevan
untuk diselesaikan baik melalui diskusi kelompok maupun secara individual agar mampu
menyelesaikan masalah dan menarik suatu kesimpulan secara mandiri.
Langkah-langkah dalam pendekatan inkuiri dalam penelitian ini adalah:
a.
Merumuskan masalah
b.
Mengembangkan hipotesis
c.
Mengumpulkan data
d.
Menguji hipotesis
e.
Menarik kesimpulan
117
F.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain penelitiannya sebagai berikut :
Kelas Eksperimen :
O
X
O
Kelas Kontrol
:
O
O
Keterangan :
O:
X:
Subyek populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di
Kecamatan Dayeuhluhur Kabupaten Cilacap. Kemudian dari sekolah tersebut diambil siswa kelas
VIII sebagai subyek sampel.
G.
Instrumen Penelitian
Tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan generalisasi matematis terdiri dari 5 butir soal
yang berbentuk uraian. Dalam penyusunan soal tes kemampuan generalisasi, diawali dengan
penyusunan kisi-kisi soal yang dilanjutkan dengan menyusun alternatif jawaban untuk masingmasing butir soal.
Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa sebelum
dan setelah kegiatan pembelajaran, dilakukan analisis sebagai berikut:
Gain ternormalisasi (g) = skorpostes skorpretes (Hake, 1999)
skorideal skorpretes
Tabel G.1
Tingkat Perolehan Skor Gain Ternormalisasi
H.
Interpretasi
0,7 1
Tinggi
Sedang
0 < 0,3
Rendah
Untuk mengetahui peningkatan kemampuan generalisasi matematis, antara siswa yang memperoleh
model pembelajaran inkuiri terbimbing dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional,
maka dilakukan analisis terhadap kelompok data gain ternormalisasi siswa yang memperoleh
model pembelajaran inkuiri terbimbing dan gain ternormalisasi siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional. Berikut ini disajikan statistik deskriptif data gain ternormalisasi
menurut model pembelajaran dan kategori kemampuan siswa di kelas eksperimen dan kelas
kontrol.
118
Tabel H.1
Statistik Deskriptif Gain Ternormalisasi Kemampuan Generalisasi Matematis Menurut
Model Pembelajaran dan Kategori Kemampuan Siswa
Pembelajaran
MPIT
PK
Total
Kategori_siswa
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
Mean
0,786
0,634
0,313
0,587
0,591
0,449
0,263
0,437
0,688
0,541
0,288
0,512
Std. Deviation
0,108
0,130
0,084
0,213
0,123
0,104
0,066
0,158
0,150
0,149
0,078
0,201
N
11
18
11
40
11
18
11
40
22
36
22
80
Beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan kemampuan komunikasi matematis yang dapat
diungkap dari Tabel H.1, yaitu:
a.
b.
c.
d.
Rataan gain kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh MPIT (0,587)
terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan PK (0,437) atau MPIT > PK
Untuk siswa berkemampuan tinggi, rataan gain kemampuan generalisasi matematis siswa
yang memperoleh MPIT (0,786) terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan PK (0,591) atau
MPIT > PK
Untuk siswa berkemampuan sedang, rataan gain kemampuan generalisasi matematis siswa
yang memperoleh MPIT (0,634) terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan PK (0,449) atau
MPIT > PK
Untuk siswa berkemampuan rendah, rataan gain kemampuan generalisasi matematis siswa
yang memperoleh MPIT (0,313) terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan PK (0,263) atau
MPIT > PK
Untuk mengetahui perbedaan rataan data skor gain kemampuan generalisasi matematis siswa yang
memperoleh MPIT dengan siswa yang memperoleh PK digunakan uji analisis varians pada General
Linear Model (GLM)-Univariate. Dilakukan pada taraf signifikansi 5% ( = 0,05), rangkumannya
dapat dilihat pada Tabel H.2 berikut ini:
Tabel H.2
Analisis Varians Gain Kemampuan Generalisasi Matematis Menurut Model Pembelajaran dan Kategori
Kemampuan Siswa
Sumber
Model Pembelajaran
Kategori Siswa
Model Pembelajaran *
Kategori Siswa
Inter
Total
Jumlah
Kuadrat
(JK)
0,388
1,823
df
Rataan JK
Sig.
1
2
0,388
0,911
33,384
78,508
0,000
0,000
0,076
0,038
3,278
0,043
0,859
24,223
74
80
0,012
119
Hipotesis penelitian untuk melihat peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa dengan
faktor kategori kemampuan siswa adalah, Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan
generalisasi matematis siswa dilihat dari kategori kemampuan siswa tinggi, sedang, dan rendah.
Untuk menguji hipotesis tersebut, dirumuskan hipotesis statistik sebagai berikut:
Ho : 1 = 2 = 3
H1 : Paling sedikit satu tanda sama dengan tidak berlaku.
Setelah dilakukan perhitungan ANOVA dua jalur, hasilnya dapat dilihat pada Tabel H.2 yang
diperoleh nilai signifikansi (sig.) sebesar 0,000 lebih kecil dari = 0,05, sehingga hipotesis nol
ditolak. Artinya terdapat perbedaan peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa dilihat
dari kategori kemampuan siswa tinggi, sedang, dan rendah.
Karena peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa berbeda pada faktor kategori
kemampuan siswa, maka untuk mengetahui rataan mana saja yang berbeda secara signifikan, akan
dilihat hasil Post Hoc Multiple Comparison dengan uji Scheffe yang disajikan pada Tabel H.3
berikut.
Tabel H.3
Perbedaan Rataan Gain Kemampuan Generalisasi Matematis Berdasarkan Kategori Kemampuan Siswa
(I) kategori
Tinggi
Sedang
Rendah
120
(J) kategori
Mean Difference
(I-J)
Std. Error
Sig.
95% Confidence
Interval
Lower
Upper
Bound
Bound
Sedang
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Sedang
,14690*
,40068*
-,14690*
,25378*
-,40068*
-,25378*
,029155
,032484
,029155
,029155
,032484
,029155
,000
,000
,000
,000
,000
,000
,07407
,31953
-,21974
,18095
-,48183
-,32661
,21974
,48183
-,07407
,32661
-,31953
-,18095
Tabel H.3 memperlihatkan perbedaan rataan di antara masing-masing kemampuan. Sebagai contoh,
perbedaan rataan antara kemampuan tinggi dan kemampuan sedang adalah 0,146 dengan standar
kesalahan 0,029, dan signifikansinya 0,000 (kurang dari 0,05), maka kesimpulannya adalah
terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kemampuan tinggi dan rata-rata kemampuan sedang.
Pada post hoc, variabel yang diberi tanda * berarti ada perbedaan yang signifikan, sehingga
berdasarkan Tabel H.3 dapat disimpulkan bahwa diantara masing-masing kemampuan terdapat
perbedaan yang signifikan pada peningkatan generalisasi matematis.
I.
Kesimpulan
Berdasarkan data penelitian dan hasil analisis data diperoleh beberapa kesimpulan terkait dengan
hipotesis-hipotesis penelitian, antara lain:
1.
2.
121
Kemajuan dan ekses globalisasi di seluruh dunia pada berbagai bidang saat kini tidak dapat
dielakkan, baik dalam bidang perdagangan, komunikasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, begitu
pula dalam bidang pendidikan. Satu sisi globalisasi telah menuntut adanya inovasi-inovasi dalam
berbagai bidang, tetapi sisi lain juga telah memberikan permasalahan yang makin kompleks dan
rumit sehingga dituntut adanya kemampuan-kemampuan yang tinggi dan kreatif untuk dapat
memecahkan masalah tersebut. Seperti diungkapkan di dalam NCTM (1989) dan National
Research Council (1989), tuntutan dunia yang semakin komplek menuntut individu yang memiliki
kemampuan berpikir tingkat tinggi dan kreatif, kepribadian yang jujur dan mandiri (berjiwa
independen), serta sikap responsive terhadap perkembangan yang terjadi di sekelilingnya.
Kurikulum Matematika sekarang ini, pemecahan masalah (problem solving) merupakan fokus
dalam pembelajaran matematika. Namun kenyataannya sering sekali pembelajaran matematika di
kelas menghadapkan siswa pada suatu situasi atau permasalahan yang justru menimbulkan ambigu
bagi diri siswa, keambiguan dapat terjadi karena memiliki dua pengertian yang munculnya secara
bersamaan tetapi keduanya saling bertentangan ataupun karena memiliki ketidaksesuaian intuisi
yang dimiliki siswa dengan pemahaman konsep yang sudah atau sedang dipelajarinya.
Secara historis alur berpikir para ahli matematika pada awalnya bukanlah sebagai ilmu deduktif
tetapi diawali dengan adanya pengamatan dan dugaan kuat (berupa intuisi) terhadap fenomena
yang dihadapinya yang mengawali untuk membuat hipotesis dan seterusnya melakukan konjektur
dan terus berkembang menjadi suatu struktur yang logis dan deduktif berdasarkan eksperimen serta
pemikiran kritis dan kreatif yang dilakukan oleh para ahli matematika. Artinya intuisi dapat
menjadi gerbang pembuka bagi proses berpikir kritis dan kreatif dari para ahli matematika,
sebagaicontoh, Geometri Euclide didasarkan pada lima dugaan kuat yang jelas dengan sendirinya
bagi Euclide tanpa perlu adanya pembuktian (merupakan intuisi) yang kemudian disebut postulat
yang dibangun berdasarkan pada pengalamannya sehari-hari. Contoh lain, Blaise Pascal menduga
kuat bahwa sifat-sifat segitiga ada kaitannya dengan barisan dan deret, dan berdasarkan usaha keras
pemikiran kritisnya dan kreatifitasnya, Pascal dapat menunjukkan adanya pola-pola istimewa
dalam segitiga yang dikenal dengan Segitiga Pascal (Byers, 2007, h.88-96).
Fischbein (1987) intuisi merupakan cara berpikir khusus yang terutama dicirikan oleh immediacy
dan self-evidence (jelas dengan sendirinya). Istilah lain yang sepadan dengan intuisi diantaranya
common sense, nave reasoning, interpretasi empiris dan insight untuk mengindikasikan
suatu pemahaman yang datangnya tiba-tiba, penyusunan kembali data menyeluruh di dalam
kognitif yang akan membawa pada suatu pandangan baru, interpretasi baru atau penyelesaian
terhadap situasi yang diberikan. Bahkan psikologi terkenal Perancis M. Reuchelin mengatakan
122
natural thinking memiliki fungsi penting sebagai immediacy, kekongkritan, kemampuan yang
tiba-tiba dan evaluasi yang bersifat global berpadanan dengan intuisi. Sedangkan Piaget
menggunakan istilah natural thinking tersebut sebagai self-evidence (Beth dan Piaget dalam
Fischbein, 1987, h.5).
Mengapa intuisi perlu dilibatkan di dalam proses pembelajaran? Ada hal menarik dari cara berpikir
seorang pengintuitif yaitu cara berpikir global yang mengerahkan segala sudut pandang berpikirnya
dan pengalamannya yang dipadu secara koheren namun munculnya secara cepat dan tidak
memerlukan jastifikasi terperinci terlebih dahulu (spontan). Berbeda dengan cara berpikir analitik
atau algoritmik yang terjadi melalui suatu rentetan langkah yang bersifat eksplisit dan biasanya
dapat disampaikan kepada orang lain. Peranan intuisi di dalam pembelajaran matematika menurut
Fischbein (1987), Keith (1993), Stavy dan Tirosh (2000), Khazanov (2008), intuisi berperan disaat
seseorang harus memilih dan mengambil keputusan kritis. Misal, ketika seorang siswa harus
menentukan pilihan yang tepat dari option-option yang diberikan untuk menentukan nilai perkalian
dari 1.804 2,98 tanpa menggunakan kalkulator dan harus dijawab dalam waktu yang sangat
singkat. Ilustrasi, Manakah jawaban yang tepat dari perkalian 1804 2,98. Apakah (A) 54,0602 ;
(B) 50,7596 ; (C) 37,7342. Jawaban yang tepat dari seorang pengintuitif adalah (A) 54,0602,
jawaban ini didasarkan pada pemilihan akan adanya petunjuk-petunjuk praktis yang seolah adanya
pembatas (boarder) angka yaitu 1804 lebih dekat ke angka 1800 dan angka 2,98 lebih dekat ke
angka 3, sehingga pemikir intuitif akan memusatkan perhatiannya untuk mengalikan 18 dengan 3
yaitu sekitar 54 untuk susunan angka paling depan dan angka akhir adalah 2.
Seorang pemikir intuitif yang baik mempunyai kekhususan tertentu yang sifatnya inheren, tetapi
kadar efektifitas intuisinya dilandasi oleh pengetahuan yang kuat tentang bidang yang berhubungan
dengan kekhususan tersebut. Pengetahuan yang secara sistematis telah dikuasainya dapat
menunjang terbentuknya intuisi, atau variabel-variabel yang mempengaruhi
kemampuan
intuitifnya. Melalui berpikir intuitif, seseorang mungkin sampai pada jawaban atau pemecahan
yang sama sekali tak dapat dipecahkan atau lambat sekali bila ia menggunakan langkah pemecahan
melalui proses analitik. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah bahwa pada suatu saat seorang
pemikir intuitif dapat menemukan masalah yang sama sekali tak dapat ditemukan oleh pemikir
analitik.
Pengetahuan yang dibangun secara intutitif dapat disajikan dalam dua ilustrasi berikut ini. Ilustrasi
pertama, seseorang telah cukup lama menghadapi suatu persoalan, tiba-tiba ia menemukan
pemecahannya walaupun belum memperoleh pembenaran secara formal, misal ketika siswa novice
atau seseorang yang sebelumnya belum pernah menemukan menghadapi permasalahan di bawah,
1 1 1 1 1
diminta oleh gurunya untuk mencari nilai suku ke-50 dari barisan berikut: 2 , 6 , 12 , 20 , 30 ,
Setelah sekian lama memikirkan dan mencari jawabnya, tiba-tiba dia mengatakan oh aku tahu
1
sekarang jawabnya
walaupun jawaban formal belum diperolehnya. Ilustrasi kedua, seorang
50(51)
dapat dengan cepat memberikan jawaban dalam bentuk dugaan terhadap sesuatu persoalan secara
benar dan spontan, misal seseorang diberikan barisan sebagai berikut : 4,7,10,13, kemudian
diminta untuk menentukan suku ke-n. Seorang pengintuitif yang baik akan dengan segera
menjawab bahwa suku ke-n adalah 3n + 1.
Berdasarkan kaitan antara intuisi dan jawaban (Fischbein, 1987, h.201-202), jenis intuisi terbagi
atas : (a) affirmatory intuition, yaitu representasi-representasi atau interpretasi-interpretasi dari
berbagai fakta yang diterima sebagai sesuatu yang pasti, self-evident (jelas dengan sendirinya), dan
self-consistent (konsisten diri) yang berkaitan dengan kebermaknaan konsep, pernyataan, dan
inferensi; (b) anticipatory intuition, yaitu konjektur-konjektur yang muncul karena adanya
aktivitas problem solving. dan (c) intuisi conclusive, yaitu pandangan global ide-ide penting untuk
mencari penyelesaian yang sebelumnya dielaborasi.
123
Berdasarkan pernyataan tersebut di atas, tampaknya intuisi dapat hadir secara spontan pada diri
seseorang sebagai akibat seseorang telah memperoleh pemahaman konsep yang mendalam, serta
dapat menginterpretasi pernyataan-pernyataan (statements) secara self-evident (jelas dengan
sendiriya) dan self-consistent (konsisten diri). Ilustrasi intuisi affirmatory yang berkaitan dengan
konsep dapat dilihat pada contoh berikut, ketika siswa diminta untuk menyusun besarnya peluang
anak panah akan menancap pada sasaran A, B, dan C seperti pada gambar di bawah,
A
B
C
Gambar (i)
C
B
A
Gambar (ii)
Siswa yang telah memiliki konsep mendalam tentang peluang akan secara spontan dan jelas bagi
dirinya bahwa pada Gambar (i) urutan besarnya peluang P(A)P(B)P(C). Meskipun tampilan
Gambar (i) diubah menjadi tampilan Gambar (ii) seorang pengintuitif akan tetap konsisten (selfconsistent) dengan pemahaman konsepnya bahwa P(A)P(B)P(C). Sedangkan ilustrasi intuisi
affirmatory yang berkaitan dengan suatu statement dan inferensi, misalkan seorang siswa
dihadapkan pada pernyataan berikut, A = B dan B = C. Jika terhadap pernyataan ini siswa
kemudian secara spontan dan self-evidence mengklaim bahwa A = C, maka hal ini dapat dipandang
sebagai suatu bentuk intuisi.
Selain kehadiran intuisi yang dapat muncul langsung secara spontan dan
self-evident seperti
pada intuisi affirmatory di atas, kehadiran intuisi juga dapat muncul ketika seseorang berhadapan
dengan masalah yang sama sekali baru bagi dirinya (novice) atau problem solving. Namun
kehadiran intuisinya tidak langsung muncul sebagai
self-evidence tetapi dipicu kehadirannya
melalui adanya noticing, kegiatan inquiri, observasi, membuat hipotesis, konjektur, dan penarikan
kesimpulan terhadap masalah yang dihadapinya. Menurut Fischbein (1987, h. 61) Intuisi
antisipatory merupakan perasaan yakin yang mendalam pada diri seseorang yang hadir sebelum
munculnya konjektur yaitu semacam evaluasi dan prediksi pasti terhadap masalah tadi sebagai
akibat pengalaman yang dilaluinya setelah observasi yang digabungkan dengan perasaan
confidence. Tidak setiap hipotesis merupakan intuisi, hanya hipotesis yang digabungkan dari sejak
awal dengan perasaan pasti dan jelas merupakan intuisi anticipatory. Sedangkan intuisi konklusi
merupakan ringkasan secara global akan pandangannya yang terstruktur terhadap penyelesaian
masalah yang sebelumnya dielaborasi secara terus menerus disertai perasaan yakin sehingga
membawa seseorang pada konklusi.
Dalam memandang kaitan antara berpikir kreatif, berpikir kritis dan intuisi terdapat dua pandangan.
Pertama memandang berpikir kreatif bersifat intuitif yang berbeda dengan berpikir kritis (analitis)
yang didasarkan pada logika, dan kedua memandang berpikir kreatif merupakan kombinasi berpikir
yang analitis dan intuitif. Berpikir yang intuitif artinya berpikir untuk mendapatkan sesuatu dengan
menggunakan naluri atau perasaan (feelings) yang tiba-tiba (insight) tanpa berdasar fakta-fakta
yang umum. Pandangan pertama cenderung dipengaruhi oleh pandangan terhadap dikotomi otak
kanan dan kiri yang mempunyai fungsi berbeda, sedang pandangan kedua melihat dua belahan otak
bekerja secara sinergis bersama-sama yang tidak terpisah.
Johnson (2002) membedakan antara berpikir Kritis dan berpikir kreatif. Berpikir kritis merupakan
pengorganisasian proses yang digunakan dalam aktifitas mental seperti pemecahan masalah,
pengambilan keputusan, meyakinkan, menganalisis asumsi-asumsi dan penemuan ilmiah. Berpikir
kritis adalah suatu kemampuan untuk bernalar (to reason) dalam suatu cara yang terorganisasi.
Berpikir kritis juga merupakan suatu kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematik kualitas
pemikiran diri sendiri dan orang lain. Sedangkan berpikir kreatif merupakan suatu aktifitas mental
124
yang memperhatikan keaslian dan wawasan (ide). Sedangkan berpikir kreatif melibatkan pencarian
kesempatan untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Berpikir kreatif tidak secara tegas
mengorganisasikan proses, seperti berpikir kritis. Berpikir kreatif merupakan suatu kebiasaan dari
pemikiran yang tajam dengan intuisi, menggerakkan imaginasi, mengungkapkan (to reveal)
kemungkinan-kemungkinan baru, membuka selubung (unveil) ide-ide yang menakjubkan dan
inspirasi ide-ide yang tidak diprediksikan sebelumnya. Berpikir dengan kritis dan kreatif
memungkinkan siswa mempelajari masalah secara sistematik, mempertemukan banyak sekali
tantangan dalam suatu cara yang terorganisasi, merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang inovatif
dan merancang/mendesain solusi-solusi yang asli.
De Bono (dalam Barak dan Doppelt, 2000) membedakan antara 2 tipe berpikir, yaitu berpikir
lateral dan berpikir vertikal. Berpikir lateral mengacu pada penemuan petunjuk-petunjuk baru
dalam mencari ide-ide, sedang berpikir vertikal berhadapan dengan perkembangan ide-ide dan
pemeriksaannya terhadap suatu kriteria objektif. Pemikiran vertikal adalah selektif dan berurutan
yang bergerak hanya jika terdapat suatu petunjuk dalam gerakannya. Pemikiran lateral adalah
generatif yang dapat meloncat dan bergerak agar dapat membangun suatu petunjuk baru. Pemikiran
lateral tidak harus benar pada setiap langkah dan tidak menggunakan kategori-kategori, klasifikasi
atau label-label yang tetap. Pemikiran vertikal memilih pendekatan-pendekatan yang sangat
menjanjikan pada suatu masalah selama pemikiran lateral membangun banyak alternatif
pendekatan. Berpikir kreatif merupakan suatu sintesis antara berpikir lateral dan vertikal yang
saling melengkapi. Pengertian ini mengindikasikan bahwa dalam berpikir kreatif melibatkan
berpikir logis ataupun analitis sekaligus intuitif, seperti pada pandangan kedua dalam pengertian
berpikir kreatif.
ANALISIS PENDAHULUAN
Analisis pendahuluan dilakukan terhadap salah seorang siswa SMA kelas 2 untuk melihat cara
berpikir siswa melalui rangkaian berpikir intuitif, berpikir kritis, dan berpikir kreatif pada konsep
Geometri dalam mencari luas daerah segitiga.
Situasi :
Sebuah segitiga sebarang akan dibagi menjadi tiga bagian yang sama luas
daerahnya.
a) Dugalah terlebih dahulu bagaimana kamu akan membagi segitiga
sebarang tersebut agar memperoleh tiga bagian segitiga yang sama luas
daerahnya.
b) Setelah kamu menduganya, gunakan perhitungan secara rinci untuk
memperoleh masing-masing luas daerahnya.
c) Apakah kamu punya cara lain untuk menunjukkannya?
Tampilan jawaban siswa, awalnya siswa menduga (intuisi awal) akan mencari sumbu simetri
dengan menarik garis tegak lurus dari salah satu titik dari segitiga ABC untuk memperoleh tinggi
ABC kemudian mencari luas daerah segitiga kecil ditengah yang akan memberikan luas daerah
1
= 3 luas daerah ABC sehingga tak perlu lagi mencari luas daerah segitiga lainnya. Namun, tibatiba mengganti strateginya setelah dia mencermati kembali kata-kata segitiga sebarang serta
menggambarkan segitiga lain (tampilan 2) yang berbeda dengan tampilan pertama. Karena dia
menduga kalo mencarinya seperti pada tampilan 1, tidak akan mungkin memperoleh luas segitiga
kecil lainnya sama besar luasnya.
125
1
C
B
Tampilan 1
C
B
Tampilan 2
Dia memutuskan untuk memisalkan luas daerah ABC 300 cm2 pada tampilan ke 2. Selanjutnya
melakukan perhitungan untuk masing-masing segitiga yang telah diasumsikan seperti tampak pada
pekerjaannya di bawah. Dia berkeyakinan bahwa dengan menentukan luas daerah segitiga kecil I
dan luas daerah segitiga kecil III, tidak perlu lagi mencari luas daerah segitiga II, karena luas
daerahnya pasti sama dengan luas daerah ke I dan ke III. Untuk mencari alas dan tinggi masing1
1
masing segitiga I dan III, yaitu dengan = = = 1 1 = 2 2 =
2
2
100 2 . Untuk luas daerah segitiga I dicari perkalian alas dan tingginya harus menghasilkan nilai
200, sehingga diperoleh banyak kemungkinan, bisa alasnya 50 cm dan tingginya 4 cm, alas 100 cm
dan tinggi 2 cm, alasnya 20 cm tinggi 10 cm dan lain-lain. Begitupun untuk menentukan luas
daerah segitiga III.
C
100
50
B
A
Kemudian dia menduga bahwa untuk mencari luas daerah dari segitiga sebarang yang paling aman
adalah dengan mencari perbandingan alas AB dan BC serta tinggi tAB dan tAC yang menghasilkan
2
nilai 3 .
Kemudian dia juga mencoba menunjukkan cara lain yaitu dengan menggeser-geser penggaris tegak
lurus terhadap alas AB dan BC dengan membuat segitiga sebarang seperti di bawah, dan
menentukan tABC dengan menggunakan penggaris tegak lurus dari terhadap sisi AB, diperoleh t ABC
2
= 6 cm, sehingga luas segitiga kecil harus 3 = 24 . Karena panjang sisi AC
= 6 maka tAC = 4 cm . Karena panjang sisi BC = 10 cm maka tBC = 2.4 cm
126
C
10
6
4
2.4
2
12
Selanjutnya siswa juga diberikan pertanyaan lain, apakah masih ada cara yang lebih efisien untuk
mencari jawaban tadi? Siswa menjawab saya yakin pasti ada, dengan mencari titik di dalam
segitiga ABC yang bisa membagi menjadi tiga bagian segitiga lainnya sama besar, tapi secara
detail saya belum bisa menunjukkan perhitungan matematisnya kemudian siswa tersebut mencoba
melipat-lipat kertas untuk mencari titik (dalam bayangan pikiran siswa) yang diduganya akan
memberikan tiga buah luas daerah segitiga yang sama, dan kemudian dia menarik garis dari
perpotongan jejak lipatan seperti gambar di bawah,
Setelah menggarisi jejak lipatan seperti di atas dan memperhatikan terus gambar tersebut, tiba-tiba
dia tergugah pula untuk menarik garis dari salah satu titik ke sisi yang berada dihadapan titik tadi,
sisinya dibagi menjadi tiga bagian sama besar dan mengukur dengan menggunakan dua buah
penggaris untuk mencari tinggi dan alas dari masing-masing segitiga.
127
C
B
E
D
Dari hasil pengukuran dengan penggaris diperoleh tinggi segitiga ABC tABC = 5 cm dan alasnya =
10.8 cm, sehingga diperoleh luas ABC = 27 cm2 .Karena luas ABC = 27 cm2 maka luas ABD
= luas ADE = luas AEC = 9 cm2. Berdasar pengukuran diperoleh luas ABD = 9.005 9 cm2 ;
luas ADE = 8.985 9 cm2 ;
luas AEC = 9.01 cm2 9 cm2 . Setelah melakukan perhitungan,
dia juga bertanya apa cara ini bisa berlaku untuk penarikan garis dari titik lain? Dia berintuisi
bisa namun untuk lebih meyakinkan dugaannya, dia juga mencoba menarik garis dari salah satu
titik lainnya ke sisi yang berada dihadapannya dan melakukan perhitungan seperti cara
sebelumnya.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis pendahuluan, kegiatan berpikir yang diawali dengan intuisi dapat mendorong
siswa untuk megevaluasi apa yang diduganya dengan melakukan pengecekan jawaban dari
berbagai sudut pandang terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Dengan bantuan pertanyaan
serta arahan dari guru, memicu siswa untuk merinci lebih dalam analisisnya dengan cara
mengeksplorasi dan mengobservasi setiap kemungkinan jawaban atau data/informasi yang
diperolehnya, siswa tersebut berangsur-angsur menjadi lebih sensitive, kritis dalam mengecek
kemungkinan-kemungkinan jawaban lain yang muncul, serta lebih kreatif untuk mecari jalan/cara
menyelesaikan jawaban.
Melalui kegiatan tersebut, secara tidak disadarinya akan memunculkan pertanyaan baru dan
dugaan/intuisi baru, sebagai misal adakah cara lain yang lebih efisien untuk mencari jawabannya?
Berdasar jawaban siswa yang diperoleh melalui analisis pendahuluan ini, pada akhiir kegiatan dia
memperoleh jawaban lain yang dianggapnya lebih praktis dan diyakininya benar namun dia tidak
mengetahui bagaimana mencari perhitungan matematisnya (intuisi baru). Dengan hadirnya intuisi
baru ini, mendorong siswa untuk mencari lebih lanjut keinginannya memecahkan permasalahan
tersebut.
Berdasar analisis pendahuluan yang penulis kaji, tampak bahwa keterlibatan intuisi mendorong
untuk berpikir kritis selanjutnya mendorong siswa untuk berintuisi kembali dalam mencari cara lain
untuk memperoleh jawaban (berpikir kreatif). Rangkaian kegiatan berpikir siswa yang terjadi
seperti tampak pada gambar berikut,
Intuisi
Berpikir
Kreatif
Berpikir
Kritis
Intuisi
Intuisi di dalam pembelajaran matematika perlu mendapat perhatian, namun intuisi janganlah
hanya terhenti sebagai tujuan saja tetapi harus terus dikembangkan dan dibudayakan
keterlibatannya di dalam proses berpikir sehinga dapat memicu dan mengembangkan kemampuan
berpikir tingkat tinggi. Kebiasaan cara berpikir melalui intuisi, berpikir kritis dan berpikir kreatif
yang terus menerus digunakan sehingga membudaya di dalam cara berpikir siswa, lama kelamaan
akan menumbuhkan belief seseorang.
128
DAFTAR PUSTAKA
Barak, Moses. & Doppelt, Yaron. (2000). Using Portfolio to Enhance Creative Thinking. The
Journal of Technology Studies Summer-Fall 2000, Volume XXVI, Number 2.
http://scholar.lib.vt.edu/ejournals.
Developing Mathematical reasoning in Grades K-12. 1999 Year book. h.138-145. Reston: The
National Council of teachers of Mathematics, Inc.
Evans, James R. (1991). Creative Thinking in the Decision and Management Sciences. Cincinnati:
South-Western Publishing Co.
Fischbein, E. (1987). Intuition in Science and Mathematics. Dordrecht:Reidel
Infinite
innovation.
Ltd.
2001.
(2001).
Creativity
and
Creative
Thinking.
http://www.brainstorming.co.uk/tutorials/tutorialcontents.html.
Johnson, Elaine B. (2002). Contextual Teaching and Learning: What it is and why its here to stay.
Thousand Oaks: Corwin Press,Inc
Keith, J. (1993). Researching Geometrical Intuition. http://mat.coe.uga.edu/
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006 tentang Standar
Isi.
Stavy, R dan Tirosh, D. (2000). How students (mis-) understandscience and mathematics: intuitive
rules. New York:Teachers College Press
Silver, Edward A. (1997). Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem
Solving
and
Thinking
in
Problem
Posing.
http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm. ZDM Volum 29 (June 1997) Number
3. Electronic Edition ISSN 1615-679X.
129
Perkembangan teknologi komputer yang demikian cepat serta penerapannya yang semakin luas ke
berbagai bidang tak terkecuali dalam pengajaran, menjadikan komputer mendapat perhatian besar
untuk digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Komputer memiliki kemampuan untuk secara cepat
berinteraksi dengan individu, menyimpan dan memproses sejumlah besar informasi, dan mampu
digabung dengan piranti lain seperti: proyektor dan sound system, yang menjadikan komputer
sebagai media potensial dalam bidang pembelajaran.
Dengan menggunakan pembelajaran komputer yang interaktif, dapat mempermudah pemahaman
materi matematika bagi sebagian besar siswa masih dirasakan sulit. Hal ini dikarenakan objekobjek matematika bersifat abstrak. Menurut Suharta (2001), banyak siswa mengalami kesulitan
dalam matematika karena objek matematika bersifat abstrak. Penggunaan metode-metode
pembelajaran yang bervariasi sangat perlu dilakukan guru di dalam memberikan pengertian dan
pemahaman konsep matematika kepada siswa.
Piaget menegaskan, pengetahuan dibentuk seseorang melalui interaksi dengan pengalaman
terhadap objek (Suparno, 1997), sehingga penting mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak
dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran dikelas (Soedjadi, 2000; Price, 1996; Zamroni,
2000 dalam Suharta, 2001). Kaitannya dengan pembelajaran matematika, guru (calon guru)
hendaknya dapat menguasai perangkat lunak yang mendukung bidang matematika seperti MS
Word, MS PowerPoint, MS Exel, MS FrontPage, Turbo Pascal, Visual Basic, MATLAB, MApple,
Mathcad, atau program aplikasi lainnya. Hal ini dimaksudkan para pendidik matematika dapat
menyiapkan sendiri bahan pembelajaran berbasis komputer.
Menurut Sabandar (2002) Pengajaran geometri di sekolah diharapkan akan memberikan sikap dan
kebiasaan sistematik bagi siswa untuk bisa memberikan gambaran tentang hubungan-hubungan di
antara bangun-bangun geometri serta penggolongan-penggolongan diantara bangun-bangun
tersebut. Karena itu perlu disediakan kesempatan serta peralatan yang memadai agar siswa bias
mengobservasi, mengeksplorasi, mencoba, serta menemukan prinsip-prinsip geometri lewat
aktivitas informal untuk kemudian meneruskannya dengan kegiatan formal dan menerapkannya apa
yang mereka pelajari.
130
Eric Bainville (2005) menyatakan, bahwa Cabri Geometry II menawarkan suatu dimensi
keseluruhan baru dalam membangu objek-objek geometris di suatu komputer, seperti menggambar,
menarik, dan mengolah figur-figur dari yang paling sederhana ke yang paling rumit pada tahap
yang manapun untuk menguji kontruksi, membuat dugaan, mengukur, menghitung, menghilangkan
objek, membuat peruahan atau mengembalikan gambar semula secara lengkap. Cabri Geometry II
adalah alat untuk mengajar dan belajar ilmu ukur, yang dirancang untuk para guru seperti juga
untuk para siswa pada semua tingkat, dari sekolah dasar ke universitas.
Bagaimana kaitan pemecahan masalah geometri dengan pembelajaran berbantuan program Cabri
Geometry II? Pembelajaran berbantuan program Cabri Geometry II haruslah konsisten dengan
prinsip pemecahan masalah geometri, yaitu : (1) Membangun pengetahuan matematika yang baru
melalui pemecahan masalah, dengan menggunakan pembelajaran berbantuan Cabri Geometry II
yang dilakukan identifikasi terhadap situasi yang dikatakan sebagai suatu masalah dengan
memformulasikan masalah tersebut; (2) Memecahkan masalah yang ada dalam matematika
maupun dalam konteks lain, dengan menggunakan pembelajaran berbantuan Cabri Geometry II
dapat memberikan informasi-informasi yang lebih geometris dan eksak; (3) Menerapkan dan
menggunakan berbagai strategi yang tepat untuk memecahkan masalah, dengan menggunakan
pembelajaran berbantuan Cabri Geometry II dapat menemukan beberapa alternatif jawaban soal.
Dalam tahap ini juga dilakukan pemecahan masalah berdasarkan penelitian yang telah dilakukan;
(4) Mengamati dan merefleksikan dalam proses pemecahan masalah matematika, dengan
menggunakan pembelajaran berbantuan Cabri Geometry II dapat dilakukan pengecekan terhadap
jawaban sesuai dengan apa yang ditanyakan.
B.
PEMBAHASAN
Cabry geometry II adalah suatu software yang sangat membantu kita yang ingin mempelajari
konstruksi geometri. Dengan Cabri Geometry II kita bisa membuat konstruksi berbagai bangunbangun geometri (dimensi 2) beserta hubungan di antara mereka. Di Cabri Geometry II tersedia
berbagai menu menggambar, mulai dari menggambar garis (dan ruas garis) sampai menggambar
konflik antara lingkaran dan garis (yang akan menghasilkan dua buah parabola). Walaupun terlihat
sederhana karena banyaknya menu yang disediakan, tetapi untuk mengkonstruk gambar ternyata
tidak sederhana karena kita masih harus berpikir berbagai macam konsep geometri.
Salah satu media pembelajaran yang kiranya tepat digunakan dalam pembelajaran berbasis
komputer di sekolah dikategorikan oleh Alessi dan trollip (2001) adalah berbentuk tools. Dalam
pendidikan matematika dengan menggunakan tools seperti program Cabri Geometri II, maka siswa
dapat melakukan pengamatan dan investigasi berbagai konsep matematika seperti geometri. Guru
dapat menggunakan tools yang ada pada program Cabry Geometry II untuk membantu siswa
mempelajari matematika melalui proses berpikir siswa.
Cabri Geometry II memberikan kesempatan bagi siswa dalam mengkonstruksi obyek-obyek
geometris, bereksplorasi, serta melakukan proses penemuan (Eric Bainville, 2005). Cabri Geometri
II menawarkan suatu dimensi keseluruhan baru dalam membangun obyek-obyek geometris di suatu
komputer, seperti menggambar, menarik, dan mengolah figur-figur dari yang paling sederhana ke
yang paling rumit pada tahap yang manapun untuk menguji konstruksi, membuat dugaan,
mengukur, menghitung, menghilangkan obyek, membuat perubahan atau mengembalikan gambar
semula secara lengkap.
Program Cabri geometry II berguna untuk memfasilitasi siswa dalam mengkonstruksi obyek-obyek
geometri, akan tetapi kurang efektif apabila guru tidak mengontrol kegiatan belajar karena siswa
cenderung membuang-buang waktu. Hal ini dapat diatasi dengan meminta siswa mengkonstruksi
obyek-obyek geometri sesuai dengan langkah-langkah konstruksi yang telah disiapkan.
131
Secara umum program Cabri Geometry II terdiri dari Menu, Toolbar, dan Drawing Area. Pada
bagian Menu ditampilkan File, Edit, Option, Window, dan Help. Pada bagian Menu ditampilkan
File, Edit, Option, Window, dan Help. Pada bagian Toolbar ditampilkan toolbox yang bisa
digunakan untuk menciptakan dan memodifikasi satu figure. Toolbox terdiri dari Pointer, Points,
Lines, Curves, Construct, Transform, Macro, Check Property, Measure, Display, Draw. Bagian
Drawing Area adalah Screen tempat menggambar. Tampilan Program Cabri Geometry II dapat
dilihat pada gambar berikut ini :
Dalam melaksanakan pembelajaran dengan fasilitas Cabri Geometry II ada beberapa yang perlu
diperhatikan, yaitu :
a.
Persiapan
Pada tahap persiapan ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh guru diantaranya ; (a)
memilih jenis pokok bahasan; (b) mempersiapkan komputer dengan fasilitas Cabri Geometry
II; (c) menyusun bahan ajar; (d) mengidentifikasi tingkat kesiapan dan potensi yang dimiliki
siswa berkaitan dengan implementasi penggunaan software dalam pembelajaran.
b.
Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru yaitu (a)
melaksanakan rencana pembelajaran yang telah disusun; (b) mengidentifikasi kelebihan dan
kelemahan dari program Cabri Geometry II; (c) melaksanakan bimbingan kepada siswa yang
memerlukan.
1.
Berdasarkan hasil analisis terhadap pretes, ternyata tidak ada perbedaan pada kemampuan
pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa pada kelas dengan pembelajaran berbasis
masalah berbantuan Cabri Geometry II dibandingkan dengan pembelajaran biasa. Sedangkan hasil
analisis terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif setelah
pembelajaran dilakukan, ditemukan bahwa siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah
berbantuan Cabri Geometry II mempunyai peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan
berpikir kreatif geometri lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Hal ini
menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II lebih efektif
untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif pada siswa.
Temuan ini memperkuat, bahwa pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II
memiliki kekuatan yaitu siswa lebih aktif dalam pembelajarannya, siswa memahami benar bahan
pelajaran karena siswa mengalami sendiri proses menemukannya, mengasimilasi secara mental dan
mengakomodasi informasi, melatih siswa untuk belajar sendiri (Suherman, 2001).
Dilihat dari rentang postes, standar deviasi postes, rata-rata postes, dan standar deviasi gain
kemampuan pemecahan masalah pada kedua kelompok pembelajaran adalah 25, 7,36, 60,78, dan
7,98 pada pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II, sedangkan pada
pembelajaran biasa adalah 27, 7,69, 28,66, dan 7,71. Kemudian rentang postes, standar deviasi
postes, rata-rata postes, dan standar deviasi gain kemampuan berpikir kreatif pada kedua kelompok
pembelajaran adalah 18, 5,45, 41,55, dan 4,76, pada pembelajaran berbasis masalah berbantuan
Cabri Geometry II, sedangkan pada pembelajaran biasa adalah 16, 5,44, 22,22, dan 6,02. Artinya
bahwa kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa pada kelompok
pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II lebih menyebar dibandingkan
dengan kelompok pembelajaran biasa. Temuan kemampuan ini menunjukkan bahwa perbedaan
antara siswa yang pandai dan lemah mencolok pada pembelajaran berbasis masalah berbantuan
Cabri Geometri II. Walaupun demikian, secara umum gain kemampuan pemecahan
masalah(54,05) dan gain kemampuan berpikir kreatif (32,27) pada siswa yang memperoleh
pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II lebih baik daripada gain kemampuan
pemecahan masalah (25,05) dan gain kemampuan berpikir kreatif (15,5) pada siswa yang
memperoleh pembelajaran biasa. Hal ini juga dapat dilihat normal gain kemampuan pemecahan
masalah kelompok pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II (0,65) lebih baik
daripada pembelajaran biasa (0,28). Normal gain kemampuan berpikir kreatif kelompok
pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II adalah 0,63 lebih baik daripada
pembelajaran biasa yakni 0,28.
133
2.
Pertemuan kedua, pembelajaran sudah bisa terlaksana dengan optimal, justru pada pertemuan
kedua ini siswa meminta untuk mendiskusikan tugas-tugas yang belum selesai didiskusikan pada
pertemuan sebelumnya dan mereka siap menyajikan hasil kerjanya. Permintaan ini peneliti penuhi
melihat keinginan mereka yang cukup besar untuk menyajikan hasil kerja mereka didepan kelas.
Dari hasil diskusi ini siswa memberikan respon yang sangat positif terhadap soal-soal yang ada.
Berikut ini gambaran umum respon siswa terhadap soal-soal pemecahan masalah dan berpikir
kreatif, soal-soal ini diberikan setelah pembelajaran berbasis masalah dilaksanakan:
Pada pertunjukkan sirkus, seorang anak berjalan di atas bambu yang disandarkan
dari lantai ke atas bola besar sedemikian sehingga ujung bambu menyinggung bola
tersebut. Diameter bola 5 meter sedangkan jarak dari ujung bamboo yang berada di
lantai dengan pusat bola 4 meter. Dapatkah kalian menghitung panjang bambu yang
digunakan? Namun sebelumnya kalian harus membuktikan terlebih dahulu bahwa
bambu (garis AB) tegak lurus dengan jari-jari (OB) !
B
O
A
Berdasarkan hasil kerja yang disajikan siswa untuk membuktikan bahwa panjang AB, Pertama,
siswa menyatakan bahwa sudut OBA adalah siku-siku maka dapat menggunakan teorema
phytagoras. Kedua siswa juga dapat menyebutkan ciri-ciri sebuah garis disebut garis singgung
lingkaran. Dan siswa dapat menggunakan Cabri Geometry II dapat menemukan beberapa bentuk
gambar yang memungkinkan terjadi.
Pertemuan ketiga penulis menyajikan persoalan mengenai lingkaran dalam segitiga, di dalam
pembelajaran ini siswa dituntut untuk dapat menggambar sebuah lingkaran dalam segitiga dengan
menggunakan Cabri Geometry II. Berdasarkan pengamatan penulis siswa sangat berkreatif dalam
melakukan pengerjaannya, mereka menyajikannya dalam beberapa bentuk dan model yang
berbeda-beda. Sehingga siswa dapat menemukan beberapa garis singgung lingkatan yang mungkin
dapat terbentuk, dan siswa juga menemukan kesalahan-kesalahan yang terjadi.
Pertemuan keempat penulis masih melanjutkan materi lingkaran dalam segitiga akan tetapi
disajikan dalam bentuk masalah sebagai berikut :
Permasalahan 1
Gambarlah pola segitiga berikut di bawah, dengan menggunakan Cabri Geometry II.
....
Pola ke-1
Pola ke-2
Pola ke-3
135
Dari dua permasalahan yang disajikan penulis, siswa sangat antusias mengerjakannya, dan sangat
terlihat siswa berusaha dapat menemukan penyelesaiannya, yaitu antara lain dengan berdiskusi
dengan teman ataupun bertanya kepada guru. Permasalahan yang harus diselesaikan oleh siswa
membutuhkan penguasaan-pengusaan materi sebelumnya. Selain itu juga membutuhkan
pengetahuan pola bilangan untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang ke dua. Walaupun hanya
beberapa anak yang berhasil menyelesaikan permasalahan yang ke dua, akan tetapi rasa ingin tau
siswa yang lain sangat besar, terlihat terjadi diskusi antar siswa sangat tinggi pada permasalahan
ini.
Waktu yang tersedia 2 x 45 menit setiap satu kali pertemuan dirasakan kurang oleh siswa pada
pertemuan-pertemuan awal, sedangkan untuk pertemuan berikutnya dalam berjalan dengan lancar
dan siswa semakin termortivasi dalam belajarnya. Menurut siswa, diskusi sangat membantu mereka
untuk bisa saling berbagi, saling membantu dalam memecahkan masalah dan berpikir kreatif.
Keberanian untuk mengemukakan ide atau gagasan mulai tampak, dan siswa bisa menikmati
pembelajaran yang sedang berlangsung.
3.
Tanggapan atau pendapat guru mengenai pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri
Geometry II diperoleh melalui daftar isian yang telah disediakan. Daftar isian ini diberikan kepada
guru matematika yang menjadi pengamat dalam pembelajaran. Berikut ini beberapa tanggapan dari
guru tersebut:
a. Guru mengatakan belum mengenal pembelajaran berbasis masalah apalagi berbantuan Cabri
Geometry II. Namun kegiatan diskusi sesekali pernah dilakukan tetapi tidak dalam tahapan
seperti pembelajaran dalam pembelajaran berbasis masalah. Biasanya yang didiskusikan adalah
penerapan atau latihan soal-soal. Guru juga tertarik untuk mengetahui dan menerapkan
pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II dalam pembelajaran geometri.
b. Pembelajaran ini mempunyai kelebihan: siswa memiliki kesempatan untuk terlibat secara aktif
dalam menyelidiki ide-ide geometri, pengetahuan yang diperoleh lebih bertahan lama, anak
terampil dalam memecahkan masalah, dan dengan diskusi memberikan kesempatan kepada
anak untuk saling berbagi. Sedangkan kekurangan dari pembelajaran ini: sulit dilaksanakan jika
dibatasi oleh target pencapaian dan sedikitnya waktu yang tersedia, kurang berhasil jika
persiapan anak tidak memadai, dan memerlukan persiapan yang matang dari guru untuk
menyiapkan LKS
c. Secara umum guru memberikan respon yang positif terhadap pembelajaran berbasis masalah
berbantuan Cabri Geometry II. Pembelajaran ini melatih anak mengerjakan soal-soal yang
menantang, bekerjasama, berbagi dan mandiri dalam belajar.
d. Soal-soal pemecahan masalah dan berpikir kreatif sangat membantu dan melatih kemampuan
berpikir geometri siswa dalam memecahkan masalah. Selama ini soal-soal pemecahan masalah
dan berpikir kreatif geometri jarang diberikan dan soal-soal seperti ini kemungkinan
menyulitkan bagi anak.
Berdasarkan analisis data ini dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah berbantuan
Cabri Geometry II secara signifikan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir
kreatif geometri siswa dibandingkan dengan kelompok kontrol yang memperoleh pembelajaran
biasa. Untuk mendukung hasil analisis dan kesimpulan ini, tampaknya terdapat beberapa alasan
yang dapat dikemukakan sehubungan kontribusi pembelajaran berbasis masalah yang
menyebabkan peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa
kelompok eksperimen lebih baik daripada kelompok kontrol.
Temuan ini didukung pula hasil analisis skala sikap siswa bahwa secara umum siswa memberikan
tanggapan yang positif terhadap pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II dan
soal-soal yang sifatnya menantang. Dengan demikain, maka berdasarkan uraian diatas, diperoleh
kesimpulan bahwa pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II menyebabkan
peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa pada kelas
136
eksperimen relatif lebih baik dibanding dengan kelas kontrol. Meskipun demikian, terjadinya
peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa pada kelas
eksperimen menunjukkan hasil yang belum optimal. Hal ini tampak dari hasil analisis data tes
akhir kelas eksperimen, bahwa skor rata-rata kemampuan pemecahan masalah geometri siswa
hanya sebesar 60,7 dari skor ideal 90 Sedangkan pada rata-rata kemampuan berpikir kreatif
geometri siswa hanya sebesar 41,5 Dari skor ideal 60
Terdapat beberapa kemungkinan yang menurut peneliti menjadi penyebab belum optimalnya hasil
peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa kelompok
eksperimen. Pertama adalah faktor lamanya siswa dalam belajar menggunakan pendekatan
pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II yang relatif tidak terlalu lama
sehingga siswa masih belum terbiasa dengan pendekatan berbasis masalah atau siswa baru terbiasa
belajar pembelajaran berbasis masalah pada waktu memasuki fase akhir penelitian. Pembelajaran
berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II memerlukan waktu yang cukup lama agar bisa
dijalani siswa dengan baik, sebab memerlukan pengenalan yang matang terhadap program Cabri
Geometry II. Hal ini sejalan dengan Burkhardt (Herman, 2006) yang menyatakan bahwa secara
matematik dan pedagogis, pembelajaran dengan penyelesaian masalah sangatlah sukar, karena
menuntut keahlian guru dalam memberikan stimulus yang tepat pada saat siswa menyelesaikan
masalah.
C.
Kesimpulan
1.
Siswa kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pembelajaran berbasis masalah berbantuan Program Cabri Geomety II
lebih baik daripada kemampuan siswa tinggi yang memperoleh pembelajaran secara
konvensional.
Dalam kelas dengan pembelajaran menggunakan pembelajaran berbasis masalah berbantuan
Cabri Geometry II, siswa yang memiliki rasa antusias dan minat untuk lebih mendalami lebih
lanjut matematika, selain itu berdasarkan slaka sikap siswa, siswa lebih tertarik dengan
pembelajaran-pembelajaran yang baru.
2.
DAFTAR PUSTAKA
Duch, B.J., Groh, S.E., dan Allen, D.E. (2001). Why Problem-Based Learning: A Case Study of
Institutional Change in Undergraduate Education. Dalam B.J. Duch, S.E. Groh, dan D.E.
Allen (Eds): The Power of Problem-Based Learning. Virginia, Amerika: Stylus Publishing.
Erickson, D.K. (1999). A Problem-Based Approach to Mathematics Instruction. The Mathematics
Teacher. Vol. 92, No. 6, pp. 516-521
Hackett, G. dan Betz, N. E. (1989). An Exploration of the Mathematics Self-Efficacy/Mathematics
Performance Correspondence. Journal for Research in Mathematics Education, 20.
Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir
Tingkat Tinggi Siswa SMP. Bandung: Disertasi UPI. Tidak dipublikasikan.
http://www.chartwellyorke.com/gettingstarted.pdf
http://www.pf.jcu.cz/cabri/examples/index.html
Sabandar, J. 2002. Pembelajaran Geometri Dengan Menggunakan Cabri Geometry II. Kumpulan
Makalah, Pelatihan. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.
Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruksivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
137
Menurut hasil studi Trends in International Mathematics and Sciences Study (TIMSS) yang
diselenggarakan International Association for Evaluation of Educational Achievement (IEA) yang
diumumkan secara internasional pada 14 Desember 2004 menunjukkan bahwa kemampuan
matematika siswa kelas dua (eight grade) Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia berada
di peringkat ke-35 dari 46 negara dan soal-soal matematika tidak rutin yang memerlukan
kemampuan berpikir tingkat tinggi pada umumnya tidak berhasil dijawab dengan benar oleh
sampel siswa Indonesia (Suryadi, 2005). Fakta tersebut menunjukan bahwa kemampuan berpikir
tingkat tinggi siswa diantaranya kemampuan berpikir kritis dalam matematika masih rendah.
Salah satu kecakapan hidup (life skill) yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan adalah
keterampilan berpikir (Depdiknas, 2003). Kemampuan seseorang untuk dapat berhasil dalam
kehidupannya antara lain ditentukan oleh keterampilan berpikirnya, terutama dalam upaya
memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya. Keterampilan berpikir dapat
dibedakan menjadi berpikir kritis dan berpikir kreatif. Kedua jenis berpikir ini disebut juga sebagai
keterampilan berpikir tingkat tinggi (Liliasari, 2000).
Ennis (1985) memberikan definisi berpikir kritis adalah berpikir reflektif yang berfokus pada pola
pengambilan keputusan tentang apa yang harus diyakini dan harus dilakukan. Berdasarkan definisi
tersebut, maka kemampuan berpikir kritis menurut Ennis terdiri atas dua belas komponen yaitu: (1)
merumuskan masalah; (2) menganalisis argumen; (3) menanyakan dan menjawab pertanyaan; (4)
menilai kredibilitas sumber informasi; (5) melakukan observasi dan menilai laporan hasil
observasi; (6) membuat deduksi dan menilai deduksi; (7) membuat induksi dan menilai induksi;
(8) mengevaluasi; (9) mendefinisikan dan menilai definisi; (10) mengidentifikasi asumsi; (11)
memutuskan dan melaksanakan; (12) berinteraksi dengan orang lain.
138
Kusumah (2008) berpendapat bahwa kemampuan berpikir kritis, sebagai bagian dari kemampuan
berpikir matematis, amat penting, mengingat dalam kemampuan ini terkandung kemampuan
memberikan argumentasi, menggunakan silogisme, melakukan inferensi, melakukan evaluasi, dan
kemampuan menciptakan sesuatu dalam bentuk produk atau pengetahuan baru yang memiliki ciri
orisinalitas. Kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan untuk menghadapi berbagai
permasalahan dalam kehidupan. Seseorang dapat mengatur, menyesuaikan proses berpikirnya
untuk dapat mengambil keputusan secara tepat.
Menurut Ennis (1985) indikator kemampuan berpikir kritis dibagi menjadi 5 kelompok yaitu: (1)
memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification), (2) membangun keterampilan dasar
(basic support), (3) membuat kesimpulan (inferring), (4) membuat penjelasan lebih lanjut
(advanced clarification), (5) mengatur strategi dan taktik (strategies and tactics).
Seiring dengan perkembangan psikologi kognitif, maka berkembang pula cara guru dalam
mengevaluasi pencapaian hasil belajar, terutama untuk domain kognitif. Saat ini, guru dalam
mengevaluasi pencapaian hasil belajar hanya memberikan penekanan pada tujuan kognitif tanpa
memperhatikan dimensi proses kognitif, seperti memperhatikan apa yang perlu dipelajari,
memantau ingatan siswa tentang apa yang sedang dipelajari, merangsang siswa untuk berusaha
mengetahui yang mana konsep-konsep yang belum dipahami, akibatnya upaya-upaya untuk
melihat kemampuan kognitif dalam menyelesaikan masalah matematika kepada siswa sangat
kurang atau bahkan cenderung diabaikan. Proses yang dilakukan siswa untuk menyadari
kemampuan kognitifnya merupakan keterampilan metakognitif. Siswa dipandu untuk dapat
menyadari apa yang mereka ketahui dan apa yang mereka tidak ketahui serta bagaimana mereka
memikirkan hal tersebut agar dapat diselesaikan. Menurut Nitko (Nindiasari, 2004) metakognitif
mencakup kemampuan untuk mengembangkan sebuah cara yang sistematik selama memecahkan
masalah dan membayangkan serta mengevaluasi produktivitas dari proses berpikir.
Menurut Suherman dkk (2001), metakognitif ialah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada
diri sendiri sehingga apa yang dilakukan dapat terkontrol secara optimal. Metakognitif merupakan
kata sifat dari metakognisi, Istilah tersebut berkaitan dengan apa yang diketahui oleh seseorang
tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana mengontrol serta menyesuaikan
prilakunya. Siswa perlu menyadari akan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Metakognisi
adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dilakukan dapat
terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini seseorang dimungkinkan memiliki
kemampuan tinggi dalam pemecahan masalah, karena dalam setiap langkah yang dikerjakan
senantiasa muncul pertanyaan: Apa yang saya kerjakan?, Mengapa saya mengerjakan ini?,
Hal apa yang bisa membantu saya dalam menyelesaikan masalah ini? Menurut Hetler, Child, dan
Walberge (Nindiasari, 2004), kegiatan metakognitif dibagi dalam tiga kelompok yaitu:
1.
2.
3.
Guru dalam pembelajaran dengan pendekatan metakognitif di dalam kelas harus berusaha
mengajari siswa untuk merencanakan, memantau, dan merevisi pekerjaan mereka sendiri termasuk
tidak hanya membuat siswa sadar tentang apa yang mereka tahu tapi juga apa yang bisa mereka
lakukan ketika mereka gagal untuk memahami. Dengan demikian guru harus terfokus dalam
mengembangkan kemampuan siswa untuk memecahkan soal serta rasa percaya diri siswa di dalam
kemampuan memecahkan soal (Nindiasari, 2004).
139
Diskusi Awal
Guru memberikan soal, siswa dibimbing untuk bertanya pada diri sendiri dalam menyelesaikan
soal tersebut.
contohnya:
a.
Apakah saya memahami semua kata dalam soal ini?
b.
Apakah saya mempunyai semua informasi untuk menyelesaikannya?
c.
Apakah saya mengetahui bagaimana saya harus mengatur informasi ini?
d.
Apakah saya tahu bagaimana menghitung penyelesaiannya?
2.
Kemandirian
Siswa bekerja sendiri dan guru berkeliling kelas, memberikan pengaruh timbal balik (feedback)
secara individual.
3.
Penyimpulan
Penyimpulan yang dilakukan oleh siswa merupakan rekapitulasi dari apa yang telah dilakukan di
kelas. Contoh pertanyaan yang ditanyakan oleh guru :
a.
b.
Metode
Tujuan penelitian ini, adalah untuk mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa
yang memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif dan siswa yang
memperoleh pembelajaran biasa, serta untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan
berpikir kritis siswa subkelompok tinggi, sedang, dan rendah pada kelompok siswa yang
memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif.
Eksperimen dilaksanakan pada satu SMP Negeri di Cianjur, disain eksperimen berbentuk disain
kelompok kontrol pretes-postes dengan menggunakan dua kelompok. Kelompok pertama sebagai
kelompok eksperimen dan kelompok kedua sebagai kelompok kontrol. Semua kelompok diberi
pretes dan postes. Kelompok eksperimen memperoleh pembelajaran melalui pendekatan
metakognitif sedangkan kelompok kontrol memperoleh pembelajaran secara biasa, dengan
ilustrasi desain sebagai berikut.
A
O
X
O
A
O
O
Keterangan:
A = Pengambilan sampel secara acak menurut kelas
O = Pretes = Postes
X = Pembelajaran melalui pendekatan metakognitif.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
140
Rerata skor pretes kelas eksperimen dan kelas kontrol yang merupakan kemampuan awal berpikir
kritis siswa sebelum mendapatkan pembelajaran matematika disajikan pada Tabel 1, di bawah.
Tabel 1.
Rerata dan Simpangan Baku Skor Pretes
Perlakuan
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Mean
Eksperimen
Kontrol
30
29,33
5,868
1,071
30
30,47
7,176
1,310
Berdasarkan Tabel 1, hasil uji kesamaan rerata skor pretes kelas kontrol dan kelas eksperimen
diperoleh
, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan awal berpikir kritis
kelas eksperimen dibandingkan dengan kelas kontrol.
Hasil Postes Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
Postes dilakukan untuk mengetahui perbedaan kemampuan akhir berpikir kritis siswa antara siswa
yang memperoleh pembelajaran melalui pendekatan metakognitif dan siswa yang memperoleh
pembelajaran biasa. Rerata dan simpangan baku skor postes kelas eksperimen dan kelas kontrol
adalah sebagai berikut:
Tabel 2.
Rerata dan Simpangan Baku Skor Postes
Perlakuan
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Mean
Eksperimen
Kontrol
30
68,03
8,373
1,529
30
53,37
5,780
1,055
Berdasarkan Tabel 2, hasil uji perbedaan rerata skor postes kelas kontrol dan kelas eksperimen
diperoleh :
thitung = 7,896 dan P-Value (Sig 2-tailed) = 0,000. Serta P-Value (Sig 1-tailed) = 0, 000 = 0,000.
2
Sehingga Dengan = 0,05 ternyata P-Value (Sig 1-tailed) < . Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan
dengan siswa kelas kontrol. Ini berarti bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh
pembelajaran melalui pendekatan metakognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran biasa.
Analisis Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas Eksperimen
Sebelum dilakukan analisis peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen,
terlebih dahulu siswa pada kelas tersebut dibagi menjadi tiga subkelompok yaitu subkelompok
tinggi, sedang, dan rendah dengan persentase berturut-turut adalah 27%, 46%, dan 27% dari jumlah
seluruh siswa yang diurutkan berdasarkan nilai rerata harian (Suherman dan Kusumah, 1990).
Tabel 4 berikut adalah hasil uji perbedaan rerata peningkatan kemampuan berpikir kritis (normal
gain %) subkelompok tinggi, sedang, dan rendah kelas eksperimen.
141
Tabel 4.
Hasil Uji Perbedaan Rerata Normal Gain % Kemampuan Berpikir Kritis Subkelompok Tinggi,
Sedang, dan Rendah Kelas Eksperimen
Sum of Squares
df
Mean Square
Sig.
Between Groups
1307,349
653,675
9,563
,001
Within Groups
1845,610
27
68,356
Total
3152,960
29
Jadi berdasarkan Tabel 4 diperoleh F hitung = 9,563 dan P-Value (Sig) = 0,001. Sehingga dengan
= 0,05 ternyata P-Value (Sig) < , sehingga dapat disimpulkan bahwa paling sedikit ada satu
kelompok yang reratanya berbeda dari yang lain. Setelah dilakukan uji perbedaan rerata normal
gain% antara ketiga subkelompok tinggi, sedang, dan rendah pada kelas eksperimen dengan
menggunakan ANOVA satu jalur, ternyata paling tidak ada satu kelompok yang reratanya berbeda
dari yang lain. Untuk melihat perbedaan rerata normal gain% antara ketiga subkelompok tersebut
dan variansinya homogen maka dilakukan Uji Scheffe. Uji Scheffe merupakan uji lanjutan untuk
melihat perbedaan rerata yang telah dilakukan dengan ANOVA satu-jalur. Perhitungan uji Scheffe
menggunakan sofware SPSS-16.
Tabel 5.
Hasil Uji Scheffe Subkelompok Tinggi, Sedang, dan Rendah Kelas Eksperimen
(I) Keterangan
Tinggi
Sedang
Rendah
Mean
(J) Keterangan Difference (I- Std. Error
J)
Lower Bound
Upper Bound
Sedang
14,61036*
3,66430
,002
5,1197
24,1010
Rendah
15,43000*
4,13388
,004
4,7231
26,1369
3,66430
,002
-24,1010
-5,1197
Tinggi
-14,61036
Rendah
,81964
3,66430
,975
-8,6710
10.3103
Tinggi
-15,43000*
4,13388
,004
-26,1369
-4,7231
Sedang
-,81964
3,66430
,975
-10,3103
8,6710
Berdasarkan Tabel 5, P-Value (Sig) antara siswa subkelompok tinggi dan siswa subkelompok
sedang pada kelas eksperimen adalah 0,002. Pada taraf signifikan = 0,05 maka P-Value (Sig) <
, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan rerata normal gain% antara siswa
subkelompok tinggi dan siswa subkelompok sedang. Rerata normal gain% subkelompok tinggi
lebih besar daripada subkelompok sedang. P-Value (Sig) antara siswa subkelompok tinggi dan
siswa subkelompok rendah pada kelas eksperimen adalah 0,004. Pada taraf signifikan = 0,05
maka P-Value (Sig) < , sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan rerata normal gain%
antara siswa subkelompok tinggi dan siswa subkelompok rendah. Rerata normal gain%
subkelompok tinggi lebih besar daripada subkelompok rendah. P-Value (Sig) antara siswa
subkelompok sedang dan siswa subkelompok rendah pada kelas eksperimen adalah 0,975. Pada
taraf signifikan = 0,05 maka P-Value (Sig) > , sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat
perbedaan rerata normal gain% antara siswa subkelompok sedang dan siswa subkelompok rendah.
Dari uji rerata gain ternormalisasi kemampuan berpikir kritis di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa subkelompok tinggi lebih tingi dari pada
siswa subkelompok sedang dan rendah. Sedangkan pada subkelompok sedang dan rendah tidak
terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis. Jadi pembelajaran melalui pendekatan
metakognitif baik diterapkan kepada siswa subkelompok tinggi.
142
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pretes kemampuan awal berpikir kritis siswa terhadap kelas eksperimen dan
kelas kontrol, diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan awal berpikir kritis antara
kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hal ini dapat dilihat dari rerata skor pretes kelas eksperimen
sebesar 29,33 dengan simpangan baku 5,87 sedangkan rerata kelas kontrol sebesar 30,47 dengan
simpangan baku 7,18. Dari hasil pengujian data rerata skor pretes kelas eksperimen dan kelas
kontrol dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok memiliki kemampuan awal yang sama atau
tidak terdapat perbedaan yang signifikan.
Setelah kelas eksperimen mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif dan kelas
kontrol mendapatkan pembelajaran biasa, selanjutnya diberikan postes untuk mengetahui
kemampuan berpikir kritis siswa, diperoleh bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis
siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hal ini dapat dilihat dari rerata skor postes kelas
eksperimen sebesar 68,03 dengan simpangan baku 8,37 sedangkan rerata kelas kontrol sebesar
53,37 dengan simpangan baku 5,78. Berdasarkan data tersebut kemampuan awal kelas eksperimen
lebih merata dan kelas kontrol lebih beragam, namun setelah kelas eksperimen mendapatkan
pembelajaran dengan pendekatan metakognitif dan kelas kontrol mendapatkan pembelajaran biasa
diperoleh hasil bahwa kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen lebih beragam
dibandingkan kelas kontrol. Dari hasil pengujian perbedaan dua rerata skor postes dapat
disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan
metakognitif lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya secara biasa.
Dari hasil analisis terhadap perbedaan rerata gain ternormalisasi siswa subkelompok tinggi, sedang,
dan rendah pada kelas eksperimen diperoleh bahwa rerata gain ternormalisasi kemampuan berpikir
kritis siswa subkelompok tinggi berbeda dengan siswa subkelompok sedang, rerata gain
ternormalisasi kemampuan berpikir kritis siswa subkelompok tinggi berbeda dengan siswa
subkelompok rendah, tetapi tidak terdapat perbedaan rerata gain ternormalisasi kemampuan
berpikir kritis antara siswa subkelompok sedang dan siswa subkelompok rendah. Penyebab
perbedaan itu dimungkinkan oleh kemampuan mengolah dan memonitor proses berpikir siswa
yang diterapkan dalam pendekatan metakognitif berpengaruh terhadap kecepatan siswa dalam
mengenali permasalahan dan informasi yang dihadapinnya, sehingga kemampuan metakognitif
lebih dirasakan oleh siswa kelompok atas.
Berdasarkan hasil analisis perbedaan rerata gain ternormalisasi subkelompok tinggi, sedang, dan
rendah pada kelas eksperimen dengan menggunakan uji Scheffe diperoleh hasil bahwa peningkatan
kemampuan berpikir kritis siswa subkelompok tinggi lebih tinggi daripada siswa subkelompok
sedang dan rendah. Sedangkan tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis
antara siswa subkelompok sedang dan rendah. Berdasarkan hasil temuan tersebut bahwa
pembelajaran dengan pendekatan metakognitif cocok diterapkan pada siswa yang berkemampuan
di atas rerata. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa
subkelompok tinggi lebih tinggi daripada siswa subkelompok sedang dan rendah.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan kemampuan berpikir kritis siswa melalui
pembelajaran dengan pendekatan metakognitif didapat beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika antara siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metakognitif dan siswa yang memperoleh
pembelajaran biasa. Hal ini ditunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang
pembelajarannya dengan pendekatan metakognitif lebih tinggi dibandingkan dengan siswa
yang memperoleh pembelajaran biasa. Pembelajaran matematika dengan pendekatan
metakognitif baik untuk diterapkan dalam rangka meningkatkan kemampuan berpikir kritis
siswa.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
143
2.
Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika antara
siswa subkelompok tinggi dan siswa subkelompok sedang, terdapat perbedaan peningkatan
kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika antara siswa subkelompok tinggi dan
siswa subkelompok rendah, dan tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir
kritis siswa dalam matematika antara siswa subkelompok sedang dan siswa subkelompok
rendah yang memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif.
DAFTAR PUSTAKA
144
Kemampuan berpikir kreatif penting bagi setiap orang dalam menjalani kehidupan ini terutama
dalam era globalisasi dan informasi seperti saat ini. Kemajuan teknologi seperti yang kita rasakan
sekarang ini adalah berkat pemikiran orang-orang yang kreatif. Orang yang kreatif mempunyai
potensi untuk sukses dalam hidupnya. Oleh karena itu berpikir kreatif perlu dikembangkan bagi
setiap orang. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Munandar (1999) bahwa salah satu alasan
mengapa kreativitas penting dipupuk dan dikembangkan pada diri anak adalah karena
kreativitaslah yang memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya. Jadi kemampuan
berpikir kreatif perlu dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah.
Berpikir kreatif telah didefinisikan dengan berbagai cara yang berbeda-beda. Filsaime (2008)
menyatakan belum ada satu pun teori berpikir kreatif yang betul-betul diterima oleh semua peneliti.
Pengertian yang paling sederhana dari kreativitas menurut Evans (1991) adalah kemampuan
menemukan hubungan atau keterkaitan baru untuk melihat subjek dari perspektif baru, dan untuk
membentuk kombinasi baru dari dua atau lebih konsep yang ada dalam pikiran.
Terkait dengan aspek-aspek atau komponen-komponen berpikir kreatif, dari sejumlah ahli seperti
Torrance (dalam Silver, 1997; Filsaime, 2008), Guilford (dalam Ratnaningsih, 2007), Evans
(1991), dan Williams (dalam Killen, 1998) telah mengidentifikasi aspek-aspek kemampuan
berpikir kreatif. Aspek-aspek kemampuan berpikir kreatif yang telah dijelaskan mereka tersebut
dapat dirangkum menjadi lima aspek yaitu aspek kelancaran, keluwesan, keaslian, elaborasi, dan
sensitivitas. Hal ini juga sesuai dengan Holland (dalam Mann, 2005) mengidentifikasi aspek-aspek
kemampuan berpikir kreatif matematis, yaitu kelancaran, keluwesan, keaslian, elaborasi, dan
kepekaan.
Kreativitas dalam matematika lebih ditekankan pada prosesnya, yakni proses berpikir kreatif. Oleh
karena itu kreativitas dalam matematika lebih tepat diistilahkan sebagai berpikir kreatif matematis.
Kemampuan berpikir kreatif dalam matematika selanjutnya disebut kemampuan berpikir kreatif
matematis.
145
Meskipun kemampuan berpikir kreatif matematis telah dinyatakan sebagai salah satu tujuan dalam
kurikulum KTSP yang harus dicapai siswa melalui pembelajaran matematika, namun kompetensi
tersebut belum berkembang secara optimal.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan di dua Sekolah Menengah Atas di kota Pekanbaru diperoleh
bahwa siswa mengalami kesulitan menyelesaikan soal-soal yang tidak rutin. Ketika siswa
berhadapan dengan soal seperti itu, siswa tidak tahu harus berbuat apa dan tidak berani mencoba
karena takut salah. Kebanyakan di antara mereka tidak menjawab atau meninggalkan soal-soal
yang demikian. Mereka kelihatan kesal karena soal-soal seperti itu belum pernah diberikan di
kelas. Mereka hanya mengerjakan soal-soal yang rutin dan menyelesaikannya dengan cara yang
telah diberikan oleh guru di kelas. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan berpikir kreatif
matematis siswa masih rendah.
Berdasarkan hasil obervasi dan wawancara dengan beberapa orang guru SMA di kota Pekanbaru
diperoleh bahwa dalam melaksanakan pembelajaran matematika, guru menjelaskan materi dan
memberikan beberapa contoh soal, kemudian siswa mengerjakan latihan. Guru cenderung
memberikan soal-soal rutin saja dan lebih menekankan pada hasil daripada proses. Akibatnya,
siswa kurang berkesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematisnya.
Hal ini sebagaimana dinyatakan (Meissner, 2007) bahwa pembelajaran konvensional tidak
memungkinkan untuk mengembangkan kreativitas dalam matematika.
Keterbatasan pengetahuan guru tentang cara meningkatkan kemampuan tersebut dan kebiasaan
belajar di kelas dengan cara konvensional belum memungkinkan untuk menumbuhkan atau
mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa secara optimal. Selain itu, guru lebih
memfokuskan pada penyelesaian materi yang telah ditetapkan oleh kurikulum. Hal ini sejalan
dengan Munandar (1999) bahwa perhatian sekolah terhadap potensi belajar siswa masih terbatas
pada aspek berpikir konvergen dan masih kurang memperhatikan proses berpikir divergen atau
berpikir kreatif dalam pembelajarannya. Akibatnya kemampuan berpikir kreatif matematis siswa
tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan.
Kemampuan berpikir kreatif matematis akan tumbuh dan berkembang pada lingkungan
pembelajaran yang kondusif. Hal ini sebagaimana dinyatakan Ruseffendi (2006) bahwa kreativitas
siswa akan tumbuh apabila dilatih untuk melakukan eksplorasi, inkuiri, penemuan, dan
memecahkan masalah. Selain itu, menurut (Fisher, 1995) untuk dapat berpikir kreatif, perlu adanya
stimulus untuk memicu siswa berpikir. Stimulus dapat berupa pemberian masalah yang menantang
di awal pembelajaran. Oleh karena itu, guru dapat menunjang perkembangan berpikir kreatif siswa
dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pembelajaran seperti demikian.
Salah satu pembelajaran yang memenuhi kriteria tersebut adalah pembelajaran inkuiri. Karena
pembelajaran inkuiri adalah suatu rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses
berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu
masalah yang dipertanyakan (Sanjaya, 2008). Selain itu Ernest (1991) juga menyatakan bahwa
inkuiri dan investigasi seharusnya menempati posisi sentral dalam kurikulum matematika sekolah.
Ia menambahkan bahwa objek atau fokus dari inkuiri adalah adanya masalah atau diawali dengan
proses investigasi. Oleh karena itu pembelajaran inkuiri menyebabkan siswa berkembang potensi
intelektualnya. Dengan menemukan hubungan dan keteraturan dari materi yang sedang dipelajari,
siswa menjadi lebih mudah mengerti struktur materi yang dipelajari. Siswa lebih mudah mengingat
konsep, struktur atau rumus yang telah ditemukan.
Selain itu, dalam pembelajaran inkuiri materi pelajaran (konsep dan prosedur) yang akan dipelajari
merupakan hal yang baru bagi siswa atau belum diketahui sebelumnya, dan tidak diberikan secara
langsung. Untuk itu siswa berperan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Oleh karena itu
beberapa petunjuk perlu diberikan kepada siswa apabila mereka belum mampu menunjukkan ide
atau gagasan yang dipelajari. Sebaiknya siswa tidak dilepas begitu saja bekerja untuk menemukan
atau menyelidiki, tetapi diberikan bimbingan atau scaffolding agar siswa tidak putus asa.
Kemudian, untuk sampai kepada konsep atau masalah yang harus ditemukan, sangat tergantung
146
kepada pengetahuan siswa sebelumnya dan pengetahuan siswa yang baru saja diperolehnya. Oleh
karena itu metode inkuiri yang lebih tepat diterapkan dalam proses pembelajaran di sekolah adalah
metode inkuiri yang telah dimodifikasi yang dapat membimbing siswa menemukan konsep dengan
bimbingan guru dan melalui diskusi kelompok. Hal ini sejalan dengan pemikiran dan penelitian
Gani (2007). Pembelajaran inkuiri yang dimaksud adalah pembelajaran inkuiri model Alberta.
Pembelajaran inkuiri model Alberta menurut Donham (dalam Alberta Learning, 2004) terdiri dari
tahap-tahap yaitu merencanakan (planning), mengingat kembali (retrieving), menyelesaikan
(processing), mencipta/menghasilkan (creating), memberi dan menerima (sharing), dan
mengevaluasi (evaluating). Pada tahap planning, siswa diarahkan agar memahami permasalahan
yang diberikan dengan jelas dengan cara membaca dan memahami masalah secara sendiri-sendiri,
membuat pertanyaan, dan merencanakan pemecahan masalah tersebut. Tahap retrieving, siswa
diminta untuk mengingat kembali materi-materi yang relevan dengan masalah yang akan
diselesaikan dengan cara menyimak dan memahami materi yang relevan, kemudian memilih
informasi mana yang sesuai dengan permasalahan. Kemudian masalah diselesaikan sendiri-sendiri
terlebih dahulu pada tahap processing. Pada tahap creating, siswa menghasilkan sesuatu atau
mendapatkan solusi dari permasalahannya dan siswa diarahkan untuk kreatif sehingga dapat
menyelesaikan lebih dari satu cara. Selanjutnya pada tahap sharing, secara bergantian masingmasing kelompok mempresentasikan hasil kelompoknya dan siswa yang lain
memeriksa/mengoreksi, membandingkan dan menanggapi. Pada tahap terakhir yaitu evaluating,
masing-masing siswa memeriksa kembali hasil yang telah diperolehnya, memperbaiki,
menambahkan jika ada kesalahan atau belum lengkap.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap-tahap pembelajaran tersebut dapat melatih siswa
mengeksplorasi ide-ide matematis sehingga dapat memicu siswa untuk mencoba berbagai
kemungkinan alternatif penyelesaian masalah sesuai dengan kemampuan logika dan nalarnya. Dari
berbagai alternatif penyelesaian masalah tersebut sangat memungkinkan menghasilkan cara
penyelesaian masalah yang unik atau baru bagi siswa. Dengan demikian kebiasaan tersebut dapat
mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.
Selain itu, faktor level sekolah juga perlu diperhatikan dalam meningkatkan kemampuan berpikir
kreatif matematis siswa. Karena kemampuan berpikir kreatif akan berkembang dalam suatu
lingkungan belajar yang mendukung, maka level sekolah akan mencerminkan suatu lingkungan
belajar tertentu. Oleh karena itu level sekolah diduga dapat mempengaruhi dalam peningkatan
kemampuan berpikir kreatif matematis.
Berdasarkan uraian di atas, maka pembelajaran Inkuiri Model Alberta (IMA) diduga dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa Sekolah Menengah Atas.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah (1) Apakah peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang
mendapat pembelajaran IMA lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional
ditinjau dari:
a) keseluruhan, b) faktor level sekolah (tinggi dan sedang)? (2) Pada level
sekolah yang manakah implementasi pembelajaran IMA memberikan dampak peningkatan KBKM
yang paling tinggi? (3) Apakah terdapat interaksi antara faktor pembelajaran dengan level sekolah
terhadap peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa?
Dari permasalahan yang telah dirumuskan, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah
(1) Menganalisis peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang mendapat
pembelajaran IMA dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari: a)
keseluruhan, b) faktor level sekolah (tinggi dan sedang); (2) Menganalisis dampak implementasi
pembelajaran IMA terhadap peningkatan KBKM siswa ditinjau dari level sekolah; (3)
Menganalisis interaksi antara faktor pembelajaran dengan level sekolah terhadap peningkatan
kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
147
B. METODE PENELITIAN
Populasi pada penelitian ini adalah semua siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Kota
Pekanbaru. Sampel penelitian ini adalah siswa SMAN kelas X dari level sekolah tinggi dan sedang
di Pekanbaru.
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi-eksperimen dengan desain kelompok kontrol nonekivalen (Ruseffendi, 2005: 52) dan melibatkan dua kategori kelas sampel, yaitu kelas eksperimen
dan kelas kontrol. Di kelas eksperimen dan kelas kontrol berturut-turut dilaksanakan pembelajaran
inkuiri model Alberta dan pembelajaran konvensional. Pada awal dan akhir pembelajaran, siswa
kedua kelas diberi tes, yaitu tes kemampuan berpikir kreatif matematis.
Untuk melihat secara lebih mendalam dampak pembelajaran inkuiri model Alberta terhadap
kemampuan berpikir kreatif matematis siswa maka dalam penelitian ini dilibatkan faktor level
sekolah (tinggi dan sedang) sebagai variabel kontrol. Variabel terikatnya adalah kemampuan
berpikir kreatif matematis siswa. Sedangkan variabel bebasnya adalah pembelajaran inkuiri model
Alberta dan pembelajaran konvensional.
Instrumen dalam penelitian ini adalah seperangkat tes kemampuan awal matematika, tes
kemampuan berpikir kreatif matematis, lembar observasi aktivitas guru dan siswa dalam
pembelajaran inkuiri model Alberta.
Data dianalisis dengan menggunakan uji ujit dan ANAVA. Untuk persyaratan ujit dan ANAVA
dilakukan uji normalitas distribusi data dan uji homogenitas data. Peningkatan kemampuan
berpikir kreatif matematis siswa dapat diketahui dengan analisis skor gain dinormalisasi (N-gain)
dari skor pre-test dan post-test. Uji normalitas distribusi data dilakukan dengan menggunakan uji
normalitas Lilliefors (Kolmogorov-Smirnov) yang terdapat dalam prosedur SPSS Explor (Uyanto,
2009), sedangkan uji homogenitas data dilakukan dengan menggunakan uji Levene (uji-F).
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambaran umum mengenai rata-rata KBKM siswa sebelum dan setelah penelitian serta N-gain
berdasarkan kelompok pembelajaran dan level sekolah disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1
Skor Pre-test, Post-test, dan N-gain KBKM Siswa
Berdasarkan Pembelajaran dan Level Sekolah
P-KV
Posttest
28
N-gain
31
Pretest
28
0,289
2,536
9,500
0,132
9,646
0,164
1,795
3,448
0,050
38
38
38
40
40
40
Rerata
1,474
13,000
0,198
1,500
7,500
0,111
SB
1,370
5,643
0,087
1,783
2,918
0,040
69
69
69
68
68
68
Rerata
1,565
14,899
0,239
1,927
8,324
0,120
1,510
7,928
0,134
SB
Keterangan: Skor ideal maksimal pretest dan posttest adalah 56.
N-gain maksimal adalah 1.
1,847
3,276
0,045
Kategori
Tinggi
Level
Sekolah
Sedang
Keseluruhan Siswa
P-IMA
Posttest
31
N-gain
Pretest
31
Rerata
1,677
17,226
SB
1,681
Stat
28
Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa pada masing-masing level sekolah dan secara
keseluruhan, siswa yang mendapat pembelajaran IMA memiliki rata-rata skor KBKM yang lebih
tinggi daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional (KV). Begitu juga dengan ratarata N-gain KBKM siswa yang mendapat pembelajaran IMA lebih tinggi daripada N-gain KBKM
siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
148
Sebelum menganalisis data peningkatan KBKM siswa, terlebih dahulu dilakukan uji persyatan
analisis data. Hasil uji normalitas distribusi data peningkatan KBKM siswa menunjukkan bahwa
data peningkatan KBKM siswa kelas eksperimen (pembelajaran IMA) dan kelas kontrol
(pembelajaran konvensional) berdistribusi normal pada taraf signifikansi = 0,05. Sedangkan
hasil uji homogenitas data peningkatan KBKM menunjukkan bahwa kedua kelompok data tidak
homogen atau memiliki varians yang tidak sama. Oleh karena itu untuk menguji perbedaan
peningkatan KBKM siswa antara yang mendapat pembelajaran IMA dan yang mendapat
pembelajaran KV menggunakan ujit' atau ujit tanpa asumsi kesamaan varians.
Hasil uji perbedaan peningkatan KBKM siswa antara yang mendapat pembelajaran IMA dan yang
mendapat pembelajaran KV dengan menggunakan ujit' disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2
Uji Perbedaan Peningkatan KBKM Siswa
Kedua Kelompok Pembelajaran
Pembelajaran
IMA
Rata-
Beda
rata
Rata-rata
69
68
dk
Sig.
H0
6,98
83
0,000
Ditolak
0,239
0,091
KV
0,120
Hasil pada Tabel 2, menunjukkan bahwa peningkatan KBKM siswa yang mendapat pembelajaran
IMA lebih baik daripada peningkatan KBKM siswa yang mendapat pembelajaran KV. Hasil ini
menyatakan bahwa pembelajaran IMA berperan dalam meningkatkan KBKM siswa.
Sebelum melakukan uji perbedaan peningkatan KBKM siswa setiap level sekolah antara yang
mendapat pembelajaran IMA dan yang mendapat pembelajaran konvensional terlebih dahulu
dilakukan uji normalitas dan homogenitas varians kedua kelompok data. Hasil uji normalitas data
adalah bahwa kedua kelompok data berdistribusi normal, sedangkan uji homogenitas varians
diperoleh bahwa kedua kelompok data tersebut tidak homogen. Oleh karena itu untuk menguji
perbedaan rata-rata peningkatan KBKM siswa antara kedua kelompok pembelajaran untuk setiap
level sekolah menggunakan ujit'.
Hasil uji perbedaan peningkatan KBKM siswa setiap level sekolah antara yang mendapat
pembelajaran IMA dan yang mendapat pembelajaran KV disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3
Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan KBKM
Siswa Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Level Sekolah
Level Sekolah
Pembelajaran
Rata-
Beda
rata
Rata-rata
IMA
31
0,289
KV
28
0,132
IMA
38
0,197
KV
40
0,111
Tinggi
Sedang
dk
Sig.
H0
0,157
5,09
36
0,000
Ditolak
0,087
5,61
51
0,000
Ditolak
149
Hasil pada Tabel 3, menunjukkan bahwa peningkatan KBKM siswa yang mendapat pembelajaran
IMA lebih baik daripada peningkatan KBKM siswa yang mendapat pembelajaran KV pada setiap
level sekolah (tinggi dan sedang).
Berdasarkan hasil uji normalitas data sebelumnya bahwa kedua kelompok data yakni data N-gain
KBKM siswa dari level sekolah tinggi dan sedang yang mendapat pembelajaran IMA berdistribusi
normal. Selanjutnya, hasil uji homogenitas varians diperoleh bahwa kedua kelompok data tersebut
tidak homogen. Oleh karena itu, untuk menguji perbedaan peningkatan KBKM siswa kedua level
sekolah setelah mendapat pembelajaran IMA menggunakan ujit'. Hasil uji - t' tersebut disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4
Uji Perbedaan Peningkatan KBKM Siswa Kedua Level Sekolah
Setelah Mendapat Pembelajaran IMA
Level Sekolah
Ratarata
Tinggi
31
0,289
Sedang
38
0,197
Beda
t
dk
Sig.
H0
2,80
43
0,004
Ditolak
Rata-rata
0,091
Tabel 4, menunjukkan bahwa nilai probabilitas (sig.) lebih kecil dari 0,05 sehingga H0 ditolak.
Dengan demikian, terdapat perbedaan rata-rata peningkatan KBKM yang signifikan antara siswa
level sekolah tinggi dan sedang setelah mendapat pembelajaran IMA. Karena rata-rata peningkatan
KBKM siswa level sekolah tinggi yang mendapat pembelajaran IMA lebih besar daripada KBKM
siswa level sekolah sedang yang juga mendapat pembelajaran IMA, maka dapat disimpulkan bahwa
peningkatan KBKM siswa level sekolah tinggi yang mendapat pembelajaran IMA lebih baik daripada
peningkatan KBKM siswa level sekolah sedang yang juga mendapat pembelajaran IMA. Implikasi
dari temuan ini adalah bahwa pembelajaran IMA lebih cocok digunakan pada sekolah level tinggi
di SMAN Kota Pekanbaru guna meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.
Untuk mengetahui ada atau tidak adanya interaksi antara pembelajaran dengan level sekolah
terhadap peningkatan KBKM siswa digunakan ANAVA dua jalur. Interaksi tersebut disajikan pada
Tabel 5.
Tabel 5
Uji Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan Level Sekolah
terhadap Peningkatan KBKM
Sumber
Pembelajaran
Level Sekolah
Interaksi
Total
Jumlah
Kuadrat
0,499
0,106
0,042
6.265
dk
1
1
1
137
Rata-rata
Kuadrat
0,499
0,106
0,042
Sig.
H0
54,726
11,581
4,588
0,000
0,001
0,034
Ditolak
Ditolak
Ditolak
Secara grafik, interaksi antara pembelajaran dengan level sekolah dalam peningkatan KBKM
diperlihatkan pada Diagram 1.
150
0,350
N-gain KBKM
0,300
0,250
0,200
P-IMA
0,150
P-KV
0,100
0,050
0,000
Sekolah Tinggi
Sekolah Sedang
Pada Tabel 5, terlihat bahwa ada perbedaan peningkatan KBKM siswa yang signifikan berturutturut berdasarkan perbedaan pembelajaran dan level sekolah. Begitu juga, terdapat interaksi antara
pembelajaran (IMA dan KV) dengan level sekolah (tinggi dan sedang) dalam peningkatan KBKM
siswa.
Pada Diagram 1, nampak adanya interaksi antara pembelajaran (IMA dan KV) dengan level
sekolah. Hal ini dapat dilihat dari selisih peningkatan KBKM siswa pada sekolah tinggi antara yang
mendapat pembelajaran IMA dan yang mendapat pembelajaran konvensional lebih besar
dibandingkan dengan siswa sekolah level sedang. Implikasi dari temuan ini adalah bahwa
pembelajaran IMA lebih tepat digunakan pada siswa level sekolah tinggi daripada siswa level sekolah
sedang dalam peningkatan KBKM siswa di kota Pekanbaru.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa penerapan pembelajaran IMA
dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Siswa yang mendapat
pembelajaran IMA memiliki peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis lebih tinggi
daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional, baik ditinjau secara keseluruhan siswa,
maupun setiap level sekolah (tinggi dan sedang). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
Kuhne bahwa pembelajaran berbasis inkuiri dapat membantu siswa menjadi lebih kreatif, lebih
positif, dan lebih mandiri. Ini berlaku untuk semua siswa, termasuk mereka yang membutuhkan
perhatian yang lebih individu selama proses (dalam Alberta Learning, 2004).
Berdasarkan hasil penelitian di atas juga ditemukan bahwa peningkatan KBKM siswa level sekolah
tinggi yang mendapat pembelajaran IMA lebih baik daripada siswa level sekolah sedang yang juga
mendapat pembelajaran IMA. Berarti level sekolah berpengaruh terhadap peningkatan KBKM siswa.
Hasil yang demikian tidaklah mengherankan, karena berdasarkan hasil pengamatan selama proses
pembelajaran IMA ditemukan bahwa siswa sekolah level tinggi lebih mandiri dan bantuan guru lebih
sedikit daripada siswa di sekolah level sedang. Hal ini karena jumlah siswa berkemapuan atas pada
sekolah level tinggi lebih banyak daripada di sekolah level sedang dan jumlah siswa berkemampuan
bawah pada sekolah level sedang lebih banyak daripada di sekolah level tinggi, sehingga tiap
kelompok yang dibentuk secara heterogen pada sekolah level tinggi, terdapat siswa berkemampuan
atas yang bisa memimpin diskusi dan membantu siswa berkemampuan tengah dan bawah.
Akibatnya, diskusi kelompok di sekolah level tinggi lebih efektif dan efisien daripada di sekolah
level sedang.
Selain itu, aspek lingkungan dan disiplin sekolah juga memberikan dampak terhadap pencapaian
belajar siswa, dalam hal ini pencapaian KBKM. Pada sekolah level tinggi, lingkungan sekolahnya
luas, nyaman dan tenang, sehingga kondusif untuk belajar. Sebaliknya, pada sekolah level sedang
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
151
tidak demikian, lingkungan sekolahnya agak sempit sehingga suara ribut dari luar lapangan olahraga
yang berada di depan ruang kelas mengganggu konsentrasi belajar siswa. Pada sekolah level tinggi
lebih disiplin daripada sekolah level sedang. Akibatnya, siswa di sekolah level tinggi sudah terbiasa
disiplin dan patuh kepada guru, lebih mudah untuk diarahkan dan diatur, sehingga belajar lebih tertib
daripada sekolah level sedang.
Berdasarkan analisis data ditemukan bahwa terdapat interaksi antara pembelajaran (IMA dan KV)
dengan level sekolah (tinggi dan sedang) terhadap peningkatan KBKM siswa. Dengan kata lain,
terdapat pengaruh bersama (simultan) antara level sekolah dan model pembelajaran terhadap
peningkatan KBSM dan KBKM siswa.
Hal ini berarti pembelajaran IMA lebih tepat digunakan pada siswa level sekolah tinggi daripada
siswa level sekolah sedang dalam peningkatan KBKM siswa. Hasil penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian Ratnaningsih (2007) yang menemukan bahwa terdapat interaksi yang signifikan
antara pembelajaran (kontekstual dan konvensional) dengan level sekolah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh beberapa kesimpulan berikut : (1) Peningkatan kemampuan
berpikir kreatif matematis siswa yang mendapat pembelajaran IMA lebih baik daripada yang
mendapat pembelajaran konvensional baik secara keseluruhan siswa maupun pada setiap level
sekolah (tinggi dan sedang). (2) Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa level
sekolah tinggi yang mendapat pembelajaran IMA lebih baik dari peningkatan kemampuan berpikir
kreatif matematis siswa level sekolah sedang yang juga mendapat pembelajaran IMA. (3) Terdapat
interaksi antara faktor pembelajaran dengan level sekolah terhadap peningkatan kemampuan berpikir
kreatif matematis.
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan bahwa pembelajaran IMA dapat digunakan sebagai salah
satu model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa terutama
pada siswa level sekolah tinggi. Sebelum melaksanakan pembelajaran IMA sebaiknya guru
memperhatikan masalah yang akan diberikan kepada siswa, agar masalah yang diberikan merupakan
masalah yang menantang dan membuat siswa penasaran ingin menyelesaikannya. Guru juga perlu
memperhatikan kesulitan siswa terhadap materi-materi yang terkait dengan penyelesaian masalah
tersebut dan membuat suatu antisipasi nya. Hal ini diperlukan terkait dengan pemberian scaffolding
kepada siswa dalam proses pembelajaran.
152
DAFTAR PUSTAKA
153
Tidak bisa dipungkiri sebuah ungkapan matematika merupakan bagian tak terpisahkan dalam
kehidupan seseorang. Karena setiap aktivitas yang dilakukan seseorang, tentu tidak akan terlepas
dari matematika. Matematika merupakan aspek penting untuk membentuk sikap, demikian menurut
Ruseffendi (1991), sehingga tugas pengajar selain menyampaikan materi matematika dengan baik
juga harus dapat membantu pembentukan sikap peserta didiknya. Budaya kita telah lama ada,
namun banyak siswa kita yang tidak tahu budayanya sendiri. Pembelajaran berbasis budaya dalam
pembelajaran matematika merupakan salah satu inovasi dalam menghilangkan anggapan bahwa
matematika itu kaku.
Ethnomathematics adalah studi matematika yang mempertimbangkan budaya di mana matematika
muncul . Etnomatematika adalah sebuah pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan realitas
hubungan antara budaya lingkungan dan matematika saat mengajar. (Kurumeh, 2004). Jika kita
tengok negara-negara lain, keberhasilan negara Jepang dan Tionghoa dalam pembelajaran
matematika
karena
mereka
menggunakan
Etnomatematika
dalam
pembelajaran
matematikanya.(Tereziaha, 1999; Obodo, 2000; Kurumeh, 2004; Uloko dan Imoko, 2007).
Isu pendidikan berbasis karakter menjadi tujuan utama dalam penelitian pendidikan matematika
saat ini. Menurunnya karakter mahasiswa terlihat dari nilai kognitif yang rendah, kemampuan
kreatif yang rendah. Walaupun penggunaan tekhnologi komputer, internet sudah dipenuhi oleh
mahasiswa, namun kemampuan masih rendah.Itu terlihat dari rata-rata nilai UTS dan UAS yang
rendah. Mahasiswa yang beragam dalam perkuliahan dari latarbelakang yang berbeda seperti
IPA,IPS dan bahasa turut mempengaruhi akan rendahnya prestasi tersebut (Supriadi,2005)
Pemahaman budaya daerah yang dimiliki mahasiswa PGSD masih rendah, banyak yang lebih
mengetahui budaya asing sampai penampilan seseorang mahasiswa dalam perkuliahan banyak
yang dipengaruhi budaya asing. Seperti nilai budaya sunda yang banyak melekat di kehidupan
mahasiswa, banyak yang tidak memahaminya.
Karakter mahasiswa PGSD berdasarkan pengamatan Supriadi (2005) adalah pertama, mahasiswa
PGSD cenderung menyenangi soal-soal yang berbentuk rutin sehingga saat diberikan soal-soal
yang bersifat tidak rutin mereka cenderung kesulitan, suasana kegiatan belajar mengajar mahasiswa
PGSD cenderung tidak terlalu aktif dan kumunitas belajar yang saling belajar yang belum
terbentuk secara optimal.
154
Dengan adanya sejumlah informasi permasalahan tersebut memunculkan pemikiran dari pengajar
untuk mencari solusi yaitu diperlukannya suatu strategi pembelajaran yang dapat menciptakan
suasana saling belajar antara dosen dengan mahasiswa dan mahasiswa dengan mahasiswa.
Pendekatan etnomatematika (Pembelajaran Matematika Berbasis Budaya) dapat dijadikan untuk
mengatasi permasalahan di atas.
KAJIAN PUSTAKA
Pembelajaran berbasis budaya merupakan suatu model pendekatan pembelajaran yang lebih
mengutamakan aktivitas siswa dengan berbagai ragam latar belakang budaya yang dimiliki,
diintegrasikan dalam proses pembelajaran bidang studi tertentu, dan dalam penilaian hasil belajar
dapat menggunakan beragam perwujudan penilaian (Sardjiyo Paulina Pannen, 2005). Pembelajaran
berbasis budaya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu belajar tentang budaya, belajar dengan
budaya, dan belajar melalui budaya (Goldberg, 2000). Teori Konstrukstivisme dalam pendidikan
terutama berkembang dari hasil pemikiran Vygotsky (Social and Emancipatory Contructivism).
Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran berbasis budaya, yaitu substansi dan
kompetensi bidang ilmu/bidang studi, kebermaknaan dan proses pembelajaran, penilaian hasil
belajar, serta peran budaya .Pembelajaran berbasis budaya lebih menekankan tercapainya
pemahaman yang terpadu (integrated understanding) dari pada sekedar pemahaman mendalam
(inert understanding) (Krajcik, Czemiak, Berger,1999.
Proses penciptaan makna melalui proses pembelajaran berbasis budaya memiliki beberapa
komponen, yaitu tugas yang bermakna, interaksiaktif, penjelasan dan penerapan ilmu secara
kontekstual, dan pemanfaatan beragam sumber belajar (diadaptasi dari Brooks & Brooks,1993, dan
Krajcik, Czerniak Berger, 1999).
Penilaian hasil belajar tidak semata-mata diperoleh dari
siswa dengan mengerjakan tes akhir atau tes hasil belajar yang berbentuk uraian (terbatas) atau
objektif saja. Konsep penilaian hasil belajar dalam pembelajaran berbasis budaya adalah beragam
perwujudan (multiplerepresentations). Dalam pembelajaran berbasis budaya, budaya menjadi
sebuah metode bagi siswa untuk mentransformasikan hasil observasi mereka ke dalam bentuk dan
prinsip yang kreatif tentang bidang ilmu Salah satu wujud pembelajaran berbasis budaya adalah
etnomatematika (Ethnomathematics).
Ethnomathematics adalah studi tentang matematika yang memperhitungkan pertimbangan budaya
di mana matematika muncul dengan memahami penalaran dan sistem matematika yang mereka
gunakan. (Ubiratan D'Ambrosio,1985). Kajian etnomatematika dalam pembelajaran matematika
mencakup segala bidang:arsitektur, tenun, jahit, pertanian, hubungan kekerabata, ornamen, dan
spiritual dan praktik keagamaan sering selaras dengan pola yang terjadi di alam atau
memerintahkan sistem ide-ide abstrak.
Lidi merupakan perkakas budaya sunda yang banyak digunakan dalam filosofi-filosofi budaya.
Media lidi sudah bersahabat dengan guru dan siswa SD di kelas rendah saat mempelajari operasi
penjumlahan dan pengurangan. Lidi dapat digunakan juga dalam operasi perkalian yang dapat
digunakan dalam mengamati kemampuan kreatif siswa dan mahasiswa PGSD pada khususnya.
Penggunaan tekhnologi yang berasal dari luar dan dari dalam harus saling mengimbangi dalam
pembelajaran matematika. Penggunaan lidi bukan berarti kita kembali ke tradisional material,
namun bertujuan untuk menggali aspek kecintaan budaya local dalam pembelajaran matematika.
PROSEDUR, HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
Penelitian ini bermanfaat untuk mengkaji substansi yang mendalam pada penelitian ini, Pendekatan
ethnomatematika dirancang dalam suatu pembelajaran matematika, yaitu pada operasi perkalian
dengan cara yang tidak biasa dilakukan di SD. Media yang digunakan adalah lidi yang dikaitkan
dengan perkakas budaya sunda. Filosofi-filosofi dalam perkakas lidi banyak dijelaskan seperti
makna persatuan, adat, dan lain-lain.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
155
Metode penelitian adalah penelitian tindakan kelas, yaitu pada kelas semester VII pada matakuliah
pemecahan masalah sebanyak dua siklus pembelajaran. Menurut data yang diperoleh oleh para
mahasiswa adalah para guru pada umumnya kurang memiliki cara atau strategi yang lain dalam
mengajarkan operasi perkalian pada siswa. Kemudian, dosen dengan mahasiswa merancang suatu
strategi yang lain. Suatu strategi yang menghubungkan budaya setempat, yaitu dikhususkan pada
perkakas budaya sunda yaitu sapu lidi. Kemudian strategi tersebut diberi nama perkalian
lidimatika.
Contoh: 11 x 11=
1
1
2
Kemudian dosen membuat kelompok-kelompok belajar yang terdiri dari mahasiswa PGSD, yang
semuanya terdiri dari 12 kelompok. Satu kelompok terdiri dari 3 orang. 1 orang akan menjadi
guru model dan 2 orang akan menjadi observer. Tahap perencanaan yang ditekan kan adalah posisi
duduk awal siswa yang konvensional . Lembar kerja siswa terdiri satu soal agar lebih mudah dalam
menganalisis hasil pekerjaan siswa. Setelah tahap perencanaan (plan) dianggap selesai, minggu
depannya para mahasiswa mengimplementasikan rancangan pembelajaran pada setiap sekolah
dasar yang di pilih oleh setiap kelompok. Jenjang kelas yang diobservasi adalah kelas tinggi, yaitu
kelas 6 Pada tahap pelaksanaan ini (do) para mahasiswa diharapkan dapat menemukan temuantemuan yang berharga terhadap semua aktivitas siswa terutama permasalahan, apakah siswa
mengalami kesulitan dalam menggunakan strategi yang tidak biasa? Bagaimana guru memberikan
perbaikan terhadap permasalahan tersebut. Setelah setiap pembelajaran selesai, maka tahap refleksi
dilakukan di kelas saat perkuliahan selanjutnnya berlangsung. Pada tahap refleksi ini sejumlah
temuan ditemukan:
1. Strategi ini sangat di senangi oleh siswa yang belum mahir dengan cara perkalian bersusun.
Namun bagi siswa yang sudah terbiasa dengan cara perkalian bersusun siswa kurang
menyenanginya.
2. Sebagian siswa mengalami kesulitan dalam menentukan posisi satuan, puluhan, ratusan dst.
3. Siswa kurang bisa berdiskusi dengan teman-teman lainnya, karena dengan posisi duduk yang
konvensional
Para mahasiswa membahas hasil temuan-temuan di atas dengan tetap fokus pada aktivitas siswa.
Hasil rangkuman refleksi diperoleh: Siswa yang belum menyesuaikan pada strategi perkalian
garis belum tentu karena tidak senang dengan strategi yang diberikan oleh Guru model, karena
boleh jadi penyajian strategi perkalian lidimatika tersebut kurang jelas untuk lebih mudah dipahami
oleh pemahaman siswa. Sehingga diperlukan suatu perubahan terhadap penyajian strategi perkalian
garis tersebut agar lebih mudah dipahami oleh siswa. Kesulitan seperti letak garis dan titik potong
yang berfungsi sebagai satuan,puluhan atau ratusan? Kemampuan berpikir kreatif dalam kasus ini
ditekankan pada proses berpikir mahasiswa dalam membuat sesuatu yang baru dan original.
156
Dari hasil diskusi antar mahasiswa dengan dosen, diperoleh beberapa perbaikan untuk kegiatan
pembelajaran berikutnya yaitu: posisi duduk diubah dengan huruf U dengan dibagi kelompok
dengan 4 orang tiap kelompok, LKS diberikan 1 soal yaitu tetap. Strategi operasi perkalian
dimodifikasi dengan diberikan nama lambang bilangannya seperti satuan,puluhan atau ratusan dan
diberikan narasi agar siswa masih bisa mengingat penjelasan guru. Seperti pada gambar di bawah
ini: 11 x 11=121
Narasi Guru:
1 puluhan
1 satuan
Bilangan 11 pertama
Pertama: Buatlah 1 ruas garis horizontal sejajar yang
kita beri jarak saling berjauhan dengan 1 garis
horizontal lainnya
1 titik
1 puluhan
potong
2 titik
potong
1 satuan
1 titik
potong
Bilangan 11 kedua
Kedua: Buatlah 1 ruas garis vertical sejajar yang kita
beri jarak saling berjauhan dengan 1 gari vertikal
lainnya
Ketiga: Lihatlah ada 1 titip potong untuk satuan,2 titik
potong untuk ratusan dan 1 titik potong untuk ratusan.
Sehingga 11x11=121
Kemudian dalam tahap perencanaan untuk siklus 2 dipersiapkan langkah-langkah dalam perbaikan
pembelajaran berikutnya:1. Guru model bergantian 2. Posisi duduk 3. LKS 4. Modifikasi strategi
operasi perkalian 5. Untuk open lesson 2 di tentukan kelas yang berbeda walaupun masih satu
tempat. Kemudian pada tahap implementasi (do), semua rancangan dalam tahap perencanaan
dilakukan oleh guru model. Selanjutnya dalam tahap refleksi (see) semua permasalahan dapat
teratasi dengan baik. Siswa SD sebagian besar lebih mudah memahami dan tertarik untuk
menggunakan cara perkalian karena unik.
Penggunaan media lidi yang berasal dari perkakas budaya sunda dapat menjadi awal kecintaan
mahasiswa dalam memahami hasil budaya daerahnya sendiri. Kerjasama, gotong royong antar
mahasiswa merupakan karakter bangsa Indonesia yang harus selalu ditanamkan.
KESIMPULAN
157
DAFTAR PUSTAKA
Kurumeh
MSC
(2004).
Pengaruh
pendekatan
pengajaran
ethnomathematics
pada prestasi siswa dan minat dalam geometri dan pengukuran. Tesis Ph.D yang tidak
dipublikasikan. Universitas Nigeria, Nsukka.
Ruseffendi, E.T. (1984). Dasar-Dasar Matematika Modern untuk Guru. Bandung: Tarsito.
Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya
dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Sardjiyo Paulina Pannen (2005). Pembelajaran Berbasis Budaya: Model Inovasi Pembelajaran
dan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi:Universitas Terbuka. Makalah
Supriadi (2005). Pengamatan Kemajuan Pembelajaran Matematika PGSD UPI Serang. Makalah.
Uloko ES, Imoko BI (2007). Pengaruh ethnomathematics mengajar pendekatan dan jenis
kelamin terhadap prestasi siswa dalam Lokus. J. Natl. Assoc. Sci. Humanit. Educ.
Res. 5 (1): 31-36.
158
Intuisi merupakan istilah yang sudah tidak asing digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat
namun dimaknai sangat beragam. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendesripsikan intuisi sebagai:
(1).kemampuan untuk mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari, (2).
bisikan hati. Sedangkan Macquarie Encyclopedic Dictionary mendeskripsikannya: Direct
perception of truths, facts, etc. Independently of any reasoning process. A truth or fact thus
perceived. The ability to perceive in this way. Deskripsi-deskripsi tersebut kiranya sejalan dengan
pemahaman masyarakat umumnya bahwa intuisi tidak dihasilkan melalui proses berpikir atau
penalaran, melainkan hasil dari suatu proses yang unik. Sampai saat ini belum ada definisi tegas
dan definitif mengenai intuisi dan juga bagaimana proses intuisi bekerja, definisi intusi masih
sangat bergantung pada ranah yang dikaji (Burton, 1999; Ben-Zeev & Star, 2001; Blacker, 2006:
17).
Disisi yang lain Matematika dikenal memiliki karateristik pola pikir deduktif yang bertumpu pada
penalaran dan logika, sehingga menyandingkan intuisi dengan matematika nampaknya seperti
sesuatu yang dipaksakan. Namun dugaan tersebut dibantah oleh beberapa peneliti diantaranya Van
Dooren, De Bock, & Verschaffel (2007) melalui makalahnya Intuties en wiskunde: een
verstandshuwelijk? Mereka mencari jawaban atas keraguan apakah intuisi dan matematika dapat
disandingkan dengan serasi, khususnya pada pemecahan masalah matematik.
Selanjutnya
pembahasan intuisi dalam makalah ini dibatasi pada kegiatan bermatematika, atau disebut intuisi
matematik.
Intuisi matematik menurut Reuben Hersh (1997: 61-62) memiliki karakteristik antara lain :
1. Intuitif lawan dari rigorous (arti harafiah: teliti, ketat, tepat). Makna rigorous tidak pernah
didefinisikan dengan tepat dan cenderung intuitif;
2. Intuitif bermakna visual;
3. Intuitif bermakna masuk akal, dapat dipercaya, dapat diterima (plausible) sebagai sebuah
konjektur tanpa melalui kehadiran suatu bukti;
4. Intuitif bermakna tidak lengkap (incomplete);
5. Intuitif bermakna didasarkan pada model atau beberapa contoh khusus, dan dekat dengan
perngertian heuristik;
6. Intuitif bermakna holistik atau integratif sebagai lawan dari rinci (detailed) atau analitik.
159
Meskipun uraian karakteristik intuisi tersebut masih samar, tetapi cukup memberikan gambaran
mengenai intuisi matematik yang akan dikaji dalam makalah ini.
Makalah ini merupakan paparan hasil kajian terhadap beberapa sumber pustaka mengenai
bagaimana peranan intuisi menurut beberapa matematikawan dalam proses bermatematika mereka
dan bagaimana implikasinya pada kegiatan dan penelitian pembelajaran matematika.
Pembahasan diawali dengan mengutip beberapa pandangan dan kisah matematikawan terkemuka
mengenai keterlibatan intusi dalam kegiatan bermatematika yang mereka rasakan, kemudian
pandangan umum kelompok berdasarkan hasil penelitian. Selanjutnya akan dibahas beberapa
implikasinya pada pembelajaran matematika dari aspek teoritis dan praktis.
PANDANGAN MATEMATIKAWAN MENGENAI INTUISI
Pandangan beberapa orang matematikawan terkenal, seperti: Albert Einstein (1879-1955), Jules
Henri Poincar (1854-1912), Christian Felix Klein (1849-1925), dan Srnivsa Aiyangr
Rmnujam (1887-1920) mengenai bagaimana keterlibatan intuisi dalam kegiatan bermatematika
mereka dapat disimak melalui kisah-kisah berikut:
Albert Einstein (1879-1955) melalui sebuah suratnya (dapat dibaca pada:
http://www.dialogus2.org/EIN/intuition.html) mengemukakan pernyataan terkenal mengenai
intuisi: La seule chose qui vaille au monde, c'est l'intuition (satu-satunya yang berharga di
dunia ini adalah intuisi). Pernyataan tersebut dikemukakanya ketika menjawab pertanyaan
apakah intuisi telah memandunya untuk memperoleh capaian dalam penelitian yang
dilakukannya. Didalam surat tersebut, Einstein menceriterakan sebuah pengalaman bagaimana
intuisinya berperan ketika ia meneliti ruang pseudo-Euclidean Minkowski pada teori relativitas
umum. Menurut Einstein bisa saja sebuah penemuan lahir melalui intuisi. Ketika suatu
pengamatan atau observasi tidak dapat dilanjutkan dengan deduksi logis karena nampaknya
tidak ada jalur logis yang menghubungkan fakta dengan ide teoritis, untuk itu diperlukan
suatu lompatan imajinasi bebas melampaui suatu fenomena yang disebut intuisi.
Matematikawan Perancis Jules Henri Poincar (1854-1912) saat menyampaikan kuliahnya yang
terkenal dihadapan para anggota Socit de Psychologie pada tahun 1908 di Paris juga
memaparkan bahwa proses penemuan teorema-teoremanya tidak lepas dari peran intuisi.
Poincar memaparkan pengalamannya bagaimana kehadiran intuisi ketika ia sedang mengalami
kebuntuan dalam memecahkan sebuah masalah Matematika:
Disgusted at my want of succes, I went away to spend a few days at the seaside, and
thought of entirely different things. One day, as I was walking on the cliff, the idea came
to me, again with the same characteristics of brevity, suddenness, and immediate
certainty .... (Poincar, 1914/ 2009: 53-54)
Poincar menceriterakan bahwa sebuah gagasan hadir secara tiba-tiba dalam benaknya justru
ketika ia tidak sedang memikirkannya, tapi ia tetap meyakini kebenaran gagasan tersebut yang
kemudian telah memandunya kearah penemuan fungsi Fuchsian, itulah yang menurutnya
sebuah intuisi. Demikian pentingnya intuisi bagi Poincar, menurutnya: It is by logic that we
prove. It is by intuition that we invent ... logic remains barren unless fertilized by intuition
(Raidl & Lubart, 2000: 217). Tidak akan ada aktivitas kreatif sejati dalam Matematika dan Sains
tanpa intuisi. Meskipun matematika dikenal deduktif, banyak gagasan matematika dari Poincar
diawali proses berfikir pada tingkat bawah sadar unconscious level (Van Moer, 2007: 172-173).
Kajian terhadap gagasan Poincar dan tentang intuisi matematis dibahas antara lain oleh
Godlove (2009).
Christian Felix Klein (1849-1925) menuturkan pengalamannya mengenai penemuan sebuah
teorema yang gagasan awalnya diperoleh melalui intuisi dalam bukunya (Klein, 1928/1979:
360):
But during my last night, the 22- 23 of March, [1882] -- which I spent sitting on the sofa
because of asthma -- at about 3:30 there suddenly arose before me the Central
Theorem, as it has been prefigured by me through the figure of the 14-gon in (Ges.
160
Abh., vol. 3, p. 126). The next afternoon, in the mail coach (which then ran from Norden
to Emden) I thought through what I had found, in all its details. Then I knew I had a
great theorem.
Meskipun gagasan intuitif mengenai teorema tersebut telah ia peroleh dan yakini kebenarannya,
namun ternyata cukup sulit untuk membuktikannya. Bahkan pembuktian lengkap teorema
tersebut baru terpecahkan tuntas 40 tahun kemudian oleh Koebe, dikenal dengan Teorema
Klein-Koebe.
Srnivsa Aiyangr Rmnujam (1887-1920) matematikawan India menulis surat kepada
beberapa matematikawan besar pada masanya mengenai rumus-rumus yang menakjubkan untuk
penjumlahan, perkalian, pecahan, dan akar takberhingga yang dikemukakannya secara intuitif.
Namun tidak ada seorangpun meresponnya kecuali G. H. Hardy seorang matematikawan
Inggris. Hardy dapat menerima kebenaran rumus-rumus tersebut tanpa melalui proses
pembuktian formal yang biasa dipergunakan dalam matematika, yang dikenal sebagai intuisi
matematik. Kejeniusan Rmnujam tercermin dari gagasan-gagasannya tersebut, dan telah
memberikan kontribusi besar pada matematika meskipun beberapa gagasannya tidak sempat ia
buktikan sebelum meninggal dunia pada usia 32 tahun.
Dari paparan kisah tersebut tampaknya beberapa temuan penting dalam matematika oleh
matematikawan besar ternyata diperoleh melalui proses yang tidak biasa: (i). Mereka melakukan
lompatan-lompatan pemikiran ketika tidak/ belum ditemukan jalur logis yang menghubungkan
antara fakta baru dengan gagasan teoritis yang ada, seperti yang dilakukan oleh Einstein, Klein,
ataupun Ramanujam; atau (ii). Mereka memperoleh gagasan secara spontan atau ketika tidak
sedang mencurahkan pikirannya untuk menyelesaikan masalah matematika yang mereka hadapi.
Selanjutnya, bagaimana pendapat matematikawan kini yang tidak sekaliber Einstein, Poincar,
Klein, dan Ramanujam? Mungkin mereka tidak berada pada aras menemukan teori-teori tetapi
lebih pada pengembangan teori yang sudah ada dalam Matematika. Penelitian Leone Burton (1999)
dan Liljedahl (2004) akan diulas untuk tujuan tersebut.
Leone Burton (1999) melakukan penelitian mengenai bagaimana keterlibatan intuisi dalam
kegiatan bermatematika para matematikawan dengan meminta pendapat 70 orang subyek
penelitian. Seperti telah diduga sebelumnya terjadi pro dan kontra mengenai hal ini karena intuisi
masih merupakan sesuatu yang kontroversial. Menurut hasil penelitian Burton, ternyata cukup
banyak subyek (yaitu 83%) yang mengakui bahwa kehadiran intuisi telah membantu mereka dalam
kegiatan bermatematika mereka meskipun dengan kadar yang beragam. Dua contoh pernyataan
berikut mewakili pendapat mereka yang mengakui adanya keterlibatan intuisi dalam kegiatan
bermatematika: ...the ability to pick up that kind of connection in mathematics is mathematical
intuition and is a central feature, dan I dont think you would ever start anything without
intuition. Sedangkan dari mereka yang menyatakan tidak ada keterlibatan intuisi, contohnya
adalah: there is no such thing as intuition in mathematics. Penelitian Burton berhasil menggali
pemahaman matematikawan mengenai intusi matematik sebagai upaya
mereka untuk
menghubungkan / membuat lompatan ketika mereka tidak/belum menemukan adanya jalur
logis yang menghubungkan beberapa fakta/gagasan teoritis.
Penelitian Peter Gunnar Liljedahl (2004) yang ditulis dalam disertasinya mengarah kepada
pemahaman bahwa intuisi matematik sebagai suatu gagasan spontan yang biasa disebut sebagai
Aha! Experience. Liljedahl memberikan ilustrasi bagaimana Aha! Experience ia alami ketika
dihadapkan pada penyelesain permasalahan matematika yang sudah diupayakan dalam jangka
waktu lama, namun gagasan luar biasa ia dapatkan seketika saat dosennya meminta penjelasan
mengenai penyelesain yang ia peroleh padahal saat itu dia sedang memikirnya. Gagasan seketika
tersebut samasekali berbeda dengan yang sudah ia pikirkan sebelumnya. Gagasan seketika tersebut
baginya adalah Aha! Experience. Kisah ini mirip dengan yang dialami oleh Poincar, dan
mendorongnya untuk mengkaji lebih lanjut mengenai Aha! Experience dalam pemecahan masalah
matematika. Liljedahl melakukan penelitian terhadap 64 orang subyek. Aha! Experience
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
161
berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukannya (Liljedahl, 2004: 196-197) ternyata berada
dalam ranah afektif dan kalaupun ada aspek kognitifnya tidak berada dalam peranan yang penting,
hal ini berbeda dengan kebanyakan yang mengasumsikan bahwa gagasan takbiasa dari Aha!
Experience merupakan hasil dari proses-proses kognitif yang tersembunyi (hidden cognitive
processes). Aha! Experience atau intuisi secara umum melibatkan rasa dan emosi dari pelaku
matematika.
Dari paparan-paparan tersebut tampak bahwa banyak matematikawan yang mengakui kehadiran
intuisi dalam kegiatan bermatematika mereka. Para matematikawan besar cukup banyak yang
mengandalkan intuisi dalam proses penemuan teori yang mereka jalani. Ternyata keterlibatan
intuisi dalam kegiatan menyelesaikan masalah matematika juga diakui oleh banyak matematikawan
lain setidaknya berdasarkan hasil penelitian Burton (1999) dan Liljedahl (2004).
INTUISI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Telah dipaparkan cukup banyak matematikawan mengakui pentingnya peranan intuisi dalam
kegiatan bermatematika mereka. Persoalannya adalah seperti yang dipertanyakan oleh Burton:
Why is intuition so important to mathematicians but missing from mathematics education?,
menurutnya intuisi telah hilang dan diabaikan dalam pembelajaran matematika. Jauh sebelum
Burton mempertanyakan hal tersebut, Albert Einstein juga pernah menyampaikan keprihatinan
serupa melalui pernyataannya yang terkenal dan menginspirasi penelitian mengenai intuisi : The
intuitive mind is a sacred gift and the rational mind is a faithful servant. We have created a society
that honors the servant and has forgotten the gift (dalam Waks, 2006: 386). Ia mengingatkan
bahwa berpikir intuitif merupakan suatu karunia mulia (a sacred gift) yang dianugerahkan Tuhan
kepada setiap individu, namun berpikir intitif cenderung diabaikan dalam masyarakat yang lebih
menghargai berpikir rasional.
Kurangnya perhatian terhadap intuisi dalam pembelajaran matematika didukung oleh Waks (2006:
386) dan untuk memperkuat argumennya tersebut ia menunjukkan bahwa unsur atau entri
mengenai intuisi tidak dijumpai pada beberapa ensiklopedia pendidikan, seperti: Encyclopedia of
Education (New York: Macmillan Reference Library, 2002) dan Encyclopedia of Educational
Research, 6th ed. (New York: Macmillan Reference Library, 1992). Dari berbagai sumber yang
tersedia nampak masih luasnya bagian dari intuisi matematik yang belum diteliti dan dikaji.
Setidaknya ada dua sumber utama yang mendorong minat mendalami intuisi dalam pembelajaran
matematika, yaitu:
1. Kecenderungan matematikawan untuk terus meningkatkan keketatan dan kemurnian
konseptual pada masing-masing domain. Kecenderungan dasarnya adalah untuk memurnikan
pengetahuan kita dari unsur-unsur: subyektifitas, interpretasi langsung dan keyakinan (belief)
serta menjadikannya sesuai dengan data objektif yang diperoleh secara ketat. Hal ini
menyebabkan meningkatnya kontradiksi antara apa yang tampaknya menjadi jelas dengan apa
yang didapatkan sebagai hasil yang diperoleh dari analisis 'ilmiah' terhadap data (Fischbein,
1999: 12). Sebelum abad 19 Geometri (Euclidean) didasarkan pada aksioma-aksioma yang
self-evidence tetapi kemudian muncul gagasan-gagasan dari Lobachevsky, Bolyai, Riemann
yang menunjukkan bahwa geometri lain (Geometri non-Eucledian) juga logis. Geometri nonEucledian tersebut menimbulkan konflik dengan intuisi kita mengenai gambaran alamiah
tentang dunia dan sifat-sifat ruangnya.
2. Kecenderungan adanya hambatan kognitif dalam mempelajari matematika karena pengetahuan
intuitif siswa seringkali berbeda dengan penafsiran ilmiah. Contohnya, gagasan sebuah
persegi adalah jajaran genjang secara intuitif dirasakan aneh oleh banyak siswa. Gagasan
mengalikan dua bilangan dapat memperoleh hasil yang lebih kecil dari salah satu atau kedua
bilangan yang dikalikan juga sulit diterima oleh siswa yang mengalami hambatan kognitif.
162
Berikut adalah gambaran beberapa situasi yang mendeskripsikan keadaan intusi dalam
pembelajaran matematika:
a. Pernyataan matematika dapat diterima tanpa memerlukan pembuktian lebih lanjut, hanya
berdasarkan pada intuitisi siswa saja. Misalnya pernyataan hanya ada tepat satu garis lurus
yang menghubungkan dua titik pada geometri Euclides (Fischbein, 1987, 1999).
b. Pernyataan matematika yang secara intuitif dapat diterima kebenarannya, namun demikian
diperlukan pembuktikan lebih lanjut. Misalnya pernyataan Sudut-sudut berhadapan dari dua
buah garis yang berpotongan adalah sama besar dalam geometri Euclides dapat diterima
kebenarannya dan kita perlu membuktikan kebenarannya (Fischbein, 1987, 1999).
c. Pernyataan matematika yang tidak serta merta dapat diterima dan memerlukan pembuktian
lebih lanjut agar dapat diterima. Misalnya teorema Phytagoras dalam geometri Euclides
(Fischbein, 1987).
d. Pernyataan matematika bertentangan dengan respon intuitif siswa. Situasi ini banyak dijumpai
dalam masalah probabilitas (Fischbein & Schnarch, 1997; Jun, 2000; Kahneman, 2002;
Sukmana & Wahyudin, 2011a).
e. Representasi yang berbeda untuk suatu permasalahan matematika yang sama memunculkan
pertentangan intuisi. Misalnya himpunan bilangan asli (1, 2, 3, 4, 5, 6. . .) secara intuitif tidak
ekivalen dengan himpunan bilangan genap, tetapi akan tampak ekivalen bila direpresentasikan
sebagai berikut:
(1, 2, 3, 4, 5, 6, ....)
(2, 4, 6, 8, 10, 12, ....)
karena setiap bilangan asli berpadanan dengan tepat satu bilangan genap (Fischbein, 1987,
1999).
Situasi-situasi tersebut memberikan implikasi terhadap pembelajaran matematika, antara lain:
a. Situasi yang paling menguntungkan dalam pembelajaran matematika adalah dimana intuisi
siswa dengan konsep matematika secara formal sejalan. Seringkali siswa dalam situasi trivial
menafsirkan fakta-fakta matematika dengan mengacu pada realitas konkret dan menganggap
bukti formal sebagai tuntutan yang berlebihan. Implikasinya siswa diarahkan untuk memahami
matematika yang berpola pikir deduktif formal. Penerimaan pernyataan matematika secara
intuitif tidak mengecualikan keharusan untuk memenuhi struktur deduktif matematika yang
formal, ketat sesuai dengan aksiomatik.
b. Situasi yang sering kali terjadi dalam pengajaran matematika adalah penerimaan siswa secara
intuitif bertentangan dengan konsep matematika secara formal dan mengakibatkan terjadinya
konflik kognitif bahkan bias kognitif yang dapat merintangi siswa untuk mempelajari
matematika. Dalam kasus ini pembelajaran harus dapat merekonstruksi intuisi matematik dan
pengetahuan awal siswa, hal ini dimungkinkan karena intuisi sekunder menurut (Fischbein,
1987) dapat direkonstruksi melalui pembelajaran yang sesuai. Membantu siswa mengatasi
kesulitan ini dengan membuatnya menyadari terjadinya konflik dan membantu untuk
memahami fakta-fakta dalam matematika yang mengarah pada pemahaman konsep yang
benar. Beberapa penelitian berupaya merekonstruksi intuisi sekunder siswa seperti:
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (Pfannkuch & Brown, 1996; Linchevski &
Williams, 1999; Sukmana & Wahyudin, 2011b), melalui pendekatan diskoveri dan ekspositori
(Schwartz & Bransford, 1998; delMas & Garfield, 1999; Swaak & De Jong, 2001; Swaak, De
Jong, & Van Joolingen, 2004; Kapur, 2010a, 2010b).
c. Situasi dimana intuisi tidak diperlukan atau tidak berkaitan dengan situasi formal, kebenaran
hanya memerlukan bukti formal.
Upaya untuk mengembangkan kemampuan berpikir intuitif siswa melalui proses pembelajaran
tampak telah dilakukan seiring dengan kajian mengenai intuisi dalam pembelajaran matematika.
Demikian pula secara filosofis Emmanuel Kant dan Charles Parsons memberikan dukungan teori
terhadap peranan intuisi dalam bermatematika maupun dalam pembelajaran matematika (Parsons,
1993; Sher & Tieszen, 2000; Marsigit, 2006; Chen, 2008; Folina, 2008; Godlove, 2009) ditengah
perbedaan yang takberkesudahan dikalangan para filsuf mengenai peranan intuisi dalam
membangun pengetahuan termasuk matematika(Fischbein, 1999: 11).
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
163
Secara umum dalam pengajaran matematika, sangatlah penting guru/dosen memahami interaksi
antara intuitif, formal dan aspek-aspek prosedural dalam proses memahami, bernalar dan
pemecahan masalah siswa. Jika kekuatan intuitif yang dimiliki siswa diabaikan bagaimanapun terus
mempengaruhi kemampuan siswa bermatematika. Bila berpikir intuitif tidak dikendalikan juga
dapat mengganggu proses berpikir matematis. Jika aspek formal diabaikan dan siswa akan
cenderung mengandalkan hanya pada argumen intuitif, dan apa yang akan diajarkan bukanlah
matematika.
PENUTUP
Keterlibatan dan pentingnya peranan intuisi dalam proses bermatematika faktanya diakui oleh
banyak matematikawan telah membantu mereka untuk memahami, mengembangkan dan
menemukan teori-teori baru dalam matematika. Banyak yang mempertanyakan mengapa
kemampuan berpikir intuitif justru tidak dikembangkan dalam pembelajaran matematika? Adanya
keraguan terhadap intuisi dalam membangun matematika adalah salah satu faktor penyebabnya.
Keraguan tersebut secara filosofis sudah dijawab oleh Emmanuel Kant dan Charles Parsons yang
memberikan dukungan terhadap pemanfaatan intuisi dalam mengembangkan matematika.
Kecenderungan untuk mengesampingkan peranan intuisi dalam bermatematika maupun upaya
untuk menekan intuisi siswa dalam pembelajaran matematika telah menimbulkan masalah bagi
siswa untuk mempelajari matematika pertentangan kognisi yang terjadi menjadi berlarut-larut dan
menjauhkan matematika dari aspek humanis.
Dari apa yang telah dipaparkan dalam makalah ini, diharapkan dapat menggugah penelitian
mengenai intuisi matematik yang masih jarang dilakukan agar dapat memberikan kontribusi pada
pembelajaran matematika. Dari aspek praktis diharapkan dapat menggugah guru atau dosen untuk
mulai memperhatikan interaksi intuisi dengan matematika formal, membangun jembatan diantara
keduannya, mengupayakan untuk merekonstruksi intuisi matematik yang keliru yang telah
terlanjur tertanam dalam pikiran siswa dan memperkuat intuisi matematik siswa melalui
pembelajaran matematika dikelas.
DAFTAR PUSTAKA
Ben-Zeev, T., & Star, J. (2001). Intuitive mathematics: Theoretical and educational implications.
Dalam B. Torff & R. J. Sternberg (Eds.), Understanding and teaching the intuitive mind :
student and teacher learning (pp. 29-56). Mahwah, N.J. : Lawrence Erlbaum Associates.
Blacker, A. (2006). Intuitive Interaction with Complex Arthefacts: Emperically-based research.
Berlin: VDM Verlag Dr. Muller.
Burton, L. (1999). Why is intuition so important to mathematicians but missing from mathematics
education? For the Learning of Mathematics, 19(3), 27-32.
Chen, H. (2008). The role of intuition in Kant's conceptualization of causality and purposiveness.
Disertasi, The Chinese University of Hong Kong, Hong Kong: tidak diterbitkan.
delMas, R. C., & Garfield, J. (1999). A Model of Classroom Research in Action: Developing
Simulation Activities to Improve
Students' Statistical Reasoning. Journal of Statistics Education, 7(3).
Fischbein, E. (1987). Intuition in science and mathematics : an educational approach Dordrecht D.
Reidel.
Fischbein, E. (1999). Intuitions and Schemata in Mathematical Reasoning. Educational Studies in
Mathematics, 38(1), 11-50.
Fischbein, E., & Schnarch, D. (1997). The Evolution with Age of Probabilistic, Intuitively Based
Misconceptions. Journal for Research in Mathematics Education, 28(1), 96-105.
Folina, J. (2008). Intuition Between the Analytic-Continental Divide: Hermann Weyl's Philosophy
of the Continuum. Philosophia Mathematica, 16(1), 25-55.
Godlove, T. F. (2009). Poincare, Kant, and The Scope of Mathematical Intution. The Review of
Metaphysics, 62(4), 779-801.
164
Hersh, R. (1997). What Is Mathematics, Really? New York: Oxford University Press.
Jun, L. (2000). Chinese Students Understanding of Probability. Disertasi, Nanyang Technological
University, Singapore: tidak diterbitkan.
Kahneman, D. (2002). Maps of Bounded Rationality: A Perspective on Intuitive Judgement and
Choices.
[Online].
Tersedia
di,
http://nobelprize.org/nobel_prizes/economics/laureates/2002/kahnemann-lecture.pdf
[21
Oktober, 2010]
Kapur, M. (2010a). Productive Failure in Learning the Concept of Variance. Working paper.
National Institute of Education, Singapore. tidak diterbitkan.
Kapur, M. (2010b). Productive failure in mathematical problem solving. Instructional Science,
38(6), 523-550.
Klein, F. (1928/1979). Development of Mathematics in the 19th Century (R. Hermann,
Terjemahan.). Brookline: Math Sci Press.
Liljedahl, P. G. (2004). The Aha! Experience: Mathematical Contexts, Pedagogical Implications
Disertasi, Simon Fraser University, Burnaby, BC Canada: tidak diterbitkan.
Linchevski, L., & Williams, J. (1999). Using Intuition From Everyday Life in 'Filling' the gap in
Children's Extension of Their Number Concept to Include the Negative Numbers.
Educational Studies in Mathematics, 39(1), 131-147.
Marsigit. (2006). Peranan Intuisi dalam Matematika Menurut Emmanuel Kant. Makalah disajikan
pada Konferensi Nasional Matematika XIII. Semarang,
Parsons, C. (1993). On Some Difficulties Concerning Intuition and Intuitive Knowledge. Mind,
102(406), 233-246.
Pfannkuch, M., & Brown, C. M. (1996). Building on and Challenging Students' Intuitions About
Probability: Can We Improve Undergraduate Learning? . Journal of Statistics Education,
4(1),
Poincar, H. (1914/ 2009). Science and Method (F. Maitland, Terjemahan.). New York: Cosimo
Classic.
Raidl, M.-H., & Lubart, T. I. (2000). An Emperical Study of Intuition and Creativity. Imagination,
Cognition and Personality, 20(3), 217-230.
Schwartz, D. L., & Bransford, J. D. (1998). A Time for Telling. Cognition and Instruction, 16(4),
475-522.
Sher, G., & Tieszen, R. L. (2000). Between logic and intuition : essays in honor of Charles Parsons
(C. Parsons, G. Sher & R. L. Tieszen, Terjemahan.). Cambridge, U.K. ; New York ::
Cambridge University Press.
Sukmana, A., & Wahyudin. (2011a). A Study of the Role of Intutition in Students' Understanding
of Probability Concepts. Proceeding of the International Conference on Numerical
Analysis and Optimization (ICeMATH2011): UAD
Sukmana, A., & Wahyudin. (2011b). A Teaching Material Development for Developing Students'
Intuitive Thinking Through REACT Contextual Teaching Approach. Mat Stat, 11(2), 7581.
Swaak, J., & De Jong, T. (2001). Discovery simulations and the assessment of intuitive knowledge.
Journal of Computer Assisted Learning, 17(3), 284-294.
Swaak, J., De Jong, T., & Van Joolingen, W. R. (2004). The effects of discovery learning and
expository instruction on the acquisition of definitional and intuitive knowledge. Journal of
Computer Assisted Learning, 20(4), 225-234.
Van Dooren, W., De Bock, D., & Verschaffel, L. (2007). Intuties en wiskunde: een
verstandshuwelijk? disajikan pada Internationaal symposium ter gelegenheid van de
100ste verjaardag van het Vliebergh, Leuven
Van Moer, A. (2007). Logic and Intuition in Mathematics and Mathematical Education. . Dalam K.
Franois & J. P. Van Bendegem (Eds.), Philosophical Dimensions in Mathematics
Education (pp. 157-179). New York: Springer.
Waks, L. J. (2006). Intuition in Education:Teaching and Learning Without Thinking. Dalam D.
Vokey (Ed.), Philosophy of Education (pp. 379-388).
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
165
Apakah matematika mencerminkan realitas? Pandangan bahwa matematika adalah ratu (queen) dan
pelayan (servant) menunjukkan bahwa matematika mempunyai kaitan dengan realitas atau dapat
melepaskan diri dari ikatannya dengan realitas. Tidak ada yang salah apabila para matematikawan
teoritik menyatakan bahwa pengetahuan matematika murni sama sekali tidak memiliki hubungan
apapun dengan dunia material. Beberapa fisikawan teoritik menyatakan dukungan terhadap
fenomena matematika yang melepaskan diri dari dunia fisik. Kesahihan model matematika mereka
tidaklah tergantung pada pembenaran yang diperoleh secara empirik, melainkan semata-mata pada
kualitas estetik dari persamaan-persamaan matematika yang menyusunnya (Woods dan Grant,
2006). Menurut J.P. Stewart (Widodo, 2010: 2), Mathematics is the logical and abstract study of
pattern. Ini berarti salah satu pengertian dari matematika adalah ilmu yang mempelajari logika
(cara berpikir) dan pola-pola yang abstrak. Matematika pada tingkat yang abstrak tidak bersedia
lagi berhubungan dengan realitas fisik. Namun demikian, matematika tetap didisain (secara
sembunyi-sembunyi) dengan harapan dapat membantu di dalam menyelesaikan seluruh masalah
yang terkait dengan beragam fenomena fisik yang terjadi.
Sama halnya dengan tidak ada yang salah apabila matematika dikenalkan melalui interaksinya
dengan hal-hal fisik yang nyata. Perkembangan matematika adalah hasil dari kebutuhan manusia
yang sangat material, sehingga matematika perlu diajarkan melalui pengamatan berbagai fenomena
alam semesta yang dekat dengan siswa. Aristoteles menulis (Woods dan Grant, 2006: 457), Objek
matematika tidak dapat hadir terpisah dari benda-benda yang dapat diraba (yaitu, material).
Fakta tak terbantahkan bahwa awal mula matematika terkait dengan fenomena fisik dan masa
dewasa matematika lebih disajikan sebagai proses abstraksi membawa gagasan perlunya
matematika dikenalkan kepada siswa dengan memulainya pada tingkat yang paling kongkret yaitu
mengajarkan matematika berdasarkan fenomena alam semesta. Dengan porsi yang lebih kecil,
siswa setingkat SLTP dan SLTA pun masih perlu untuk mengenal matematika dari fenomena alam.
Mereka perlu mengenal dan mengetahui atau mengalami secara fisik mengapa sin 45 0 =
sehingga mereka mengetahuinya bukan karena diberitahu oleh guru, tabel, alat hitung tetapi benarbenar tahu setelah membuktikannya. Dengan demikian, keyakinan mereka akan semakin kuat.
166
Semua siswa tentu saja belajar matematika baik di Indonesia maupun seluruh dunia, dengan porsi
jam belajar yang lebih besar dibanding mata pelajaran lainnya. Setelah mereka meninggalkan
bangku sekolah, jauh lebih banyak siswa yang tidak tertarik dengan matematika. Banyak siswa
yang kemudian tidak dapat memperoleh manfaat apapun sebagai hasil dari belajar matematika.
Bagi mereka matematika adalah aktifitas berpikir yang tidak dapat diikuti. Tidak ada kesan positif
yang terekam dalam benak mereka setelah 12 tahun belajar matematika. Bagi mereka, matematika
bukanlah kebutuhan. Padahal, hasil paling penting dari belajar matematika adalah cara berpikirnya
yang dapat diterapkan pada segala bidang sehingga lulusan prodi matematika yang bekerja di luar
bidang matematika dapat sukses dan berhasil berkat cara berpikir yang diperolehnya selama belajar
di prodi matematika.
Cara berpikir akan dapat diperoleh para siswa atau mahasiswa setelah mereka belajar matematika
apabila ada ketertarikan. Syarat utamanya adalah rasa tertarik, rasa ingin tahu (curiosity), kemudian
tumbuh minat dan akhirnya matematika akan menjadi kebutuhan. Apabila matematika telah
menjadi kebutuhan maka belajar matematika akan dilakukan dengan senang. Salah satu cara untuk
mengarahkan siswa kepada gagasan matematika sebagai kebutuhan adalah dengan
memperkenalkan siswa dengan berbagai fenomena alam sehingga mereka merasa tertarik dan
tumbuh rasa ingin tahunya untuk tujuan klarifikasi dan memuaskan rasa tersebut lebih dalam lagi.
Minat pada matematika, apabila selama ini sulit diwujudkan melalui pembelajaran matematika
dalam bentuk konsep matematika yang sudah jadi, maka konsep matematika dapat ditanamkan
dengan bantuan pengamatan terhadap berbagai fenomena alam semesta. Siswa dengan melalui
pengamatan dapat menemukan sendiri konsep matematika sehingga dapat membangkitkan minat
mereka pada matematika.
Makalah ini disusun dengan suatu rumusan masalah mengenai strategi atau cara yang dapat
digunakan oleh guru/calon guru dalam menanamkan konsep matematika pada diri siswa yang dapat
menanamkan karakter rasa ingin tahu, peduli lingkungan dan menghargai prestasi. Strategi atau
cara yang ditawarkan adalah dengan membelajarkan konsep-konsep matematika melalui fenomena
yang terjadi di sekitar siswa. Siswa diajak untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika
untuk selanjutnya menggunakan konsep yang telah diperolehnya tersebut pada masalah matematika
atau masalah di luar matematika. Keterkaitan dengan fenomena alam diharapkan dapat membantu
meningkatkan daya tarik dan minat siswa terhadap matematika, disamping memperluas wawasan
siswa bahwa matematika bukanlah pengetahuan yang berdiri sendiri, tetapi mempunyai kaitan
dengan berbagai bidang dan mata pelajaran lainnya. Dengan demikian, manfaat yang dapat diraih
setelah implementasi strategi atau cara di atas adalah tertanamnya beberapa karakter pada diri
siswa yaitu karakter rasa ingin tahu, peduli lingkungan, menghargai prestasi, tumbuhnya minat
pada matematika, dan tumbuhnya kesadaran adanya keterkaitan matematika dengan berbagai hal.
Makalah ini memaparkan konsep matematika mengenai pola abstrak dari suatu barisan bilangan.
Pola tersebut tidak langsung diperkenalkan dalam bentuk rumus matematika, tetapi diawali dari
fenomena yang akrab bagi siswa untuk kemudian dikembangkan menjadi pengetahuan matematika
formal. Siswa difasilitasi dengan menemukan keterkaitan pola barisan bilangan tersebut dengan
berbagai hal ada terjadi di alam semesta. Dengan demikian siswa akan mengerti bahwa matematika
berguna bagi dirinya, bermanfaat bagi bidang ilmu pengetahuan lainnya dan dapat memberikan
sumbangan bagi kesejahteraan umat manusia. Dari pola barisan tersebut juga dapat dikembangkan
konsep-konsep matematika lainnya, seperti konstanta Phi, Golden Rectangle, pentagram, dan lainlain
2. PEMBAHASAN
2.1
Karakter
Karakter merupakan identitas yang menggambarkan kualifikasi atau kualitas pribadi seseorang.
Pembentukan karakter dapat dilakukan dengan menyisipkan, melekatkan atau mengintegrasikannya
dalam setiap mata pelajaran yang sudah ada. Cukuplah apabila seorang siswa sudah benar-benar
meyakini dan mengalaminya sendiri, bahwa hari ini ternyata lebih baik dari hari kemarin, maka
kualifikasi pribadinya telah memperlihatkan keunggulan sebab secara internal siswa tersebut akan
selalu terdorong untuk berubah dari hari ke hari menjadi semakin baik. Juga harus ditanamkan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
167
bahwa pengembangan karakter pada akhirnya akan menjadi tanggung jawab pribadi. Karakter
tanpa disertai tanggung jawab pada pribadinya sendiri ibarat bulir padi yang hampa.
Menciptakan lebih banyak siswa yang menguasai matematika adalah penting. Namun demikian,
jika pengalaman sejak Indonesia merdeka hingga saat ini menunjukkan tidak ada peningkatan yang
berarti dalam hal jumlah/banyaknya siswa yang mampu belajar matematika, tidak ada salahnya jika
pembelajaran matematika sedikit digeser dengan tidak sekedar mengajarkan materi matematika,
tetapi juga mendidik untuk membangun dan memahat karakter (Prabowo dan Pramono, 2010).
Pembelajaran matematika dijadikan sebagai media dan wahana untuk pembentukan karakter
tersebut. Materi matematika dikemas sehingga karakter-karakter yang hendak ditanamkan dapat
muncul pada materi tersebut. Dengan melekatkan pendidikan karakter dalam pembelajaran
matematika, maka pembelajaran matematika tidak lagi untuk mendukung pengembangan ranah
kognitif saja tetapi juga mengembangkan ranah afektif dan psikomotorik.
Dalam buku Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dipaparkan 18 jenis karakter
yang harus ditumbuhkan dalam pembelajaran. Tiga dari delapan belas karakter tersebut yaitu rasa
ingin tahu, peduli lingkungan dan menghargai prestasi dicoba untuk dapat ditanamkan dalam
pembalajaran matematika dengan mengambil topik Barisan Bilangan Fibonacci. Menurut buku
tersebut, rasa ingin tahu adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan lebih luas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat dan didengar. Peduli lingkungan
berkaitan dengan upaya mencegah kerusakan alam dan mengembangkan upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang telah terjadi. Menghargai prestasi berkaitan dengan sikap dan tindakan yang
mendorong untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan mengakui serta
menghormati hasil karya orang lain. Apabila dikaitkan dengan atribut-atribut dalam penelitian
matematika yang meliputi PEACE-AG yaitu proof (bukti), extension (perluasan), application
(aplikasi-penerapan), characterization (karakterisasi-ciri), existence (eksistensi), abstraction
(abstraksi) dan generalization (generalisasi), maka menurut Widodo (2010), karakter rasa ingin
tahu dapat ditumbuhkan melalui atribut extension, existence, abstraction, dan generalization,
sedangkan karakter peduli lingkungan dapat diintegrasikan melalui application. Sementara itu
karakter semangat berprestasi dapat ditanamkan melalui proof dan characterization. Hal ini
menjelaskan bahwa pada tingkat selanjutnya, karakter-karakter yang telah ditanamkan juga
dibutuhkan dan dikembangkan terus melalui penelitian matematika.
Hal senada diungkapkan oleh Suryadi (2010), ...apabila materi ajarnya berkualitas dan metodenya
tepat, maka hasilnya tentu bisa diharapkan lebih optimal. Apalagi jika pembelajaran matematika
tidak hanya diarahkan pada penguasaan kemampuan matematikanya, melainkan juga pada
pembentukan karakter bangsa .... Pembelajaran matematika memerlukan metode yang tepat dan
materi ajar yang berkualitas yang juga diarahkan untuk pembentukan karakter.
2.2
Barisan Bilangan Fibonacci (BBF) diperkenalkan oleh Leonardo Fibonacci dalam karyanya
berjudul Liber Abaci yang diterbitkan pada tahun 1202 dengan maksud memperkenalkan bilangan
Hindu-Arab kepada masyarakat barat (Eropa). Dalam bukunya tersebut, Fibonacci
mempromosikan untuk meninggalkan sistem bilangan Romawi dan beralih ke sistem bilangan
Hindu-Arab yang sangat efisien. Dengan hanya 10 buah digit (0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9) dan
penggunaan sistem nilai tempat, sistem bilangan Hindu-Arab dapat mengungguli sistem bilangan
Romawi. Keunggulan lainnya adalah adanya bilangan 0 dan kemudahan dalam perhitungan
aritmatika. Atas jasanya ini, seluruh dunia dan matematika saat ini menggunakan sistem bilangan
Hindu-Arab dan nama Fibonacci tetap harum mewangi, tetap dikenal hingga hari ini.
Fibonacci tidak hanya dikenal dalam matematika. Bidang-bidang seperti arsitektur, psikologi, pasar
saham, botani, zoologi, biologi dan lain-lain mengenal Fibonacci melalui Barisan Bilangan
Fibonacci, Spiral Fibonacci, Persegi Panjang Emas (Golden Rectangle), Persegi Fibonacci, Sudut
Emas (Golden Angle), Segitiga Emas (Golden Triangle), Phi (Nisbah Emas/Golden Ratio) dan lainlain.
168
Dalam Liber Abaci juga terdapat permasalahan yang disebut The Reproductive Habits of Rabbits in
an Enclosed Area (Masalah Kelinci Fibonacci). Sepasang kelinci yang baru lahir (jantan dan
betina) segera menjadi dewasa sebulan kemudian dan melahirkan sepasang anak (jantan dan betina)
sebulan berikutnya dan tiap bulan selanjutnya akan melahirkan sepasang kelinci. Hal yang sama
berlaku untuk semua pasang anak kelinci. Proses perkembangan dan banyaknya pasang kelinci
pada bulan pertama, kedua dan seterusnya diberikan pada gambar di bawah ini :
Persoalan yang diajukan adalah berapakah jumlah pasang kelinci dalam tiap bulannya. Masalah
nyata ini (dengan sedikit rekayasa) dapat digunakan untuk memperkenalkan kepada siswa
mengenai pola bilangan. Siswa dapat diarahkan pada cara memperoleh bilangan selanjutnya dan
menemukan rumus (model) matematika dari Masalah Kelinci Fibonacci. Dengan cara seperti ini,
siswa disadarkan bahwa matematika dapat berasal dari masalah nyata sehari-hari. Dengan
demikian, dalam diri siswa akan tertanam karakter menemukan sesuatu dan menghargai hasil
penemuan orang lain.
Dari masalah yang diajukan Fibonacci dalam Liber Abaci, diperoleh barisan bilangan yang saat ini
disebut dengan namanya: Barisan Bilangan Fibonacci (Fibonaccis Sequence): 1, 1, 2, 3, 5, 8, 13,
21, 34, 55, 89, 144, 233, 377, 610, 987, .... Barisan bilangan Fibonacci sangat istimewa. Bilangan
berikutnya diperoleh dengan menjumlahkan dua buah bilangan sebelumnya yang berturutan.
Secara matematika, Fn Fn1 Fn2 dengan n 3,4,5,.... dan F1 1 , F2 1 . Tentu
saja, rumus (model) matematika tersebut harus ditemukan sendiri oleh siswa dengan mengamati
pola pada barisan bilangan tersebut. Guru dapat membantu dengan memberikan pertanyaan yang
mengarahkan siswa pada proses penemuan rumus tersebut.
2.3
Siswa dapat diajak untuk melakukan eksplorasi lebih dalam terhadap Barisan Bilangan Fibonacci
(BBF). Kepada siswa dapat diajukan pertanyaan membimbing berkaitan dengan rasio/perbandingan
dua buah bilangan yang berturutan dalam BBF, dengan tujuan siswa dapat menemukan kesimpulan
yang tepat dan menyadari keistimewaan BBF. Hasil eksplorasi siswa dapat dibuatkan dalam bentuk
tabel seperti pada tabel 1
Tabel 1.
Perbandingan Dua Buah Bilangan Fibonacci yang Berturutan
Bilangan
Fibonacci
1
1
2
3
5
8
dst
Perbandingan
Bilangan ke - (i 1)
Bilangan ke - i
1/1 = 1,000
2/1 = 2,000
3/2 = 1,500
5/3 = 1,667
8/5 = 1,600
dst
169
Perbandingan dua buah bilangan yang berturutan semakin lama semakin mendekati konstanta yang
dinamakan Golden Ratio (Nisbah Emas) yaitu 1,618 (pendekatan). Perhatikan bahwa 89/55 =
1,6182, 144/89 = 1,6180, 233/144 = 1,6181 dan seterusnya. Konstanta nisbah emas 1,618 saat ini
disebut Phi dan dilambangkan dengan huruf Yunani Phi yaitu (baca: vi). Phi tentu saja berbeda
dengan Pi (baca: pi) yang dilambangkan dengan dan bernilai 3,14. Inilah keistimewaan BBF.
Apabila siswa sudah belajar penyelesaian persamaan kuadrat, dapat diajukan masalah matematika
berupa penyelesaian persamaan kuadrat x2 x 1 = 0 yang seharusnya sudah dapat diselesaikan
oleh siswa SMP kelas 1. Solusi pertama disebut Phi yaitu = 1,618 dan solusi kedua disebut phi
yaitu = 0, 618. Hubungan keduanya adalah Phi = 1/phi. Konstanta Phi mempunyai beragam
nama, tergantung masa dan penggunaanya misalnya golden section dan divine proportion.
Konstanta phi juga mempunyai beragam nama yaitu mean ratio, golden mean, dan golden ratio.
Saat ini, semua istilah tersebut (golden section, divine proportion, mean ratio, golden mean, dan
golden ratio) tidak lagi dibedakan dan dinamakan Phi dengan nilai = 1,618, diambil dari nama
Phidias yang membangun Kuil Parthenon dan patung-patungnya.
2.4
Ekplorasi lebih lanjut mengenai BBF dapat dilakukan dengan cara mengajukan masalah di luar
matematika yang dapat mengantarkan siswa untuk memiliki rasa peduli pada lingkungan (alam
semesta). Tujuannya agar mereka dapat menyadari pentingnya merawat alam semesta, menjaga dan
tidak merusaknya. Seperti apa kaitan BBF dengan lingkungan tempat tinggal siswa? Ternyata,
bunga-bunga yang indah adalah bunga-bunga yang memiliki jumlah daun, kuntum atau kelopak
(petals) yang berupa bilangan Fibonacci. Sebutlah bunga-bunga tersebut sebagai bunga-bunga
Fibonacci. Siswa dapat diarahkan untuk secara langsung menyelidiki atau mencari bunga-bunga
yang jumlah kelopaknya 3, 5, 8, 13, 21, 34, 55, atau 89 dan selanjutnya. Bagian ini tentu saja dapat
dikaitkan dengan biologi khususnya botani, seperti nama-nama ilmiah untuk bunga-bunga
Fibonacci. Contoh bunga-bunga Fibonacci adalah (angka dalam kurung adalah jumlah
daun/kelopak) diberikan pada gambar 2.
Lily (3)
Delphiniums (8)
Iris (3)
Trilium (3)
Pyrethrum (34)
Pinks (5)
Buttercup (5)
Chamomile (21)
Langkah selanjutnya adalah mengarahkan dan mendorong siswa secara persuasif untuk bersedia
membuat Taman Bunga Fibonacci yaitu taman bunga yang khusus ditanami bunga-bunga
Fibonacci, baik di halaman sekolah maupun halaman rumah masing-masing. Siswa juga dapat
dibimbing untuk memahami kaitan matematika dengan biologi, khususnya zoologi yaitu dengan
beternak lebah. Isilah taman bunga Fibonacci dengan koloni-koloni lebah. Di masa dewasanya
siswa dapat mengembangkan gagasan ini dengan menjadi peternak/petani madu. Apa kaitannya
matematika dengan lebah? Dalam satu koloni lebah, jumlah lebah betina akan jauh lebih banyak
dibanding lebah jantan dan perbandingan keduanya adalah bilangan Nisbah Emas atau Phi yaitu
170
= 1,618. Masih ada lagi keistimewaan koloni lebah. Ternyata, proses perkembangbiakan lebah
mengikuti Barisan Bilangan Fibonacci. Perkembangan lebah pun seperti perkembangan kelinci
sehingga jumlah lebah pada setiap generasi merupakan barisan bilangan Fibonacci.
Generasi
1
2
3
4
5
6
Gambar
Jumlah Lebah
1
1
2
3
5
8
Keterangan
Jantan
Betina
Masalah Kelinci Fibonacci juga dapat didisain untuk menanamkan karakter menghargai prestasi
dengan mengajarkan siswa untuk menghargai hasil karya dan prestasi orang lain. Pengakuan ini
dapat didorong untuk menjadi semangat berprestasi dan berkontribusi yang dilakukan oleh diri
sendiri. Kepada siswa dapat ditanamkan sifat jujur dan menghindari plagiarisme, bangga, dan
keinginan untuk memberi kontribusi dalam hidup.
Banyak hasil karya seni dan budaya yang dalam disain pembuatannya menggunakan konsep
Nisbah Emas. Fakta-fakta yang akan dibeberkan dapat membantu para siswa untuk lebih
memahami peran matematika dalam arsitektur dan seni lukis. Tentu saja siswa sudah mengenal
piramida, tetapi sangat mungkin mereka belum mengetahui bahwa disain piramida Giza didasarkan
pada konsep Nisbah Emas 1,618. Masyarakat Yunani Kuno menyebutnya Golden Section. Plato
(~428 SM 347 SM) juga telah menggunakan Golden Section dalam bukunya, Timaeus. Euclid
dalam the Elements, membagi sebuah garis pada titik 0,6180399. Titik ini dinamakan Mean Ratio.
Euclid juga menggunakan Mean Ratio dalam pembuatan pentagram. Pada perkembangan
selanjutnya, istilah Mean Ratio diganti dengan Golden Mean. Istilah Golden Ratio juga digunakan
untuk menggantikan Mean Ratio. Phidias dari Yunani Kuno menggunakannya dalam kuil
Parthenon dan patung-patung di dalamnya.
Phidias (500 SM 432 SM) adalah seorang pematung (pemahat) dan matematikawan Yunani,
mempelajari Nisbah Emas 1,618 dan menggunakannya untuk membangun Kuil Parthenon dan
mendisain patung-patung yang ditempatkan dalam kuil tersebut. Sebagai penghargaan kepada
Phidias, konstanta 1,618 dinamakan Phi, diambil dari huruf pertama namanya.
Istilah lain untuk Phi adalah Divine Proportion (Proporsi Ilahi) yang diperkenalkan oleh Luca
Pacioli pada tahun 1509 dalam karyanya De Divine Proportione. Dalam karyanya tersebut, Pacioli
menjelaskan karya-karya Leonardo da Vinci yang dibuat dengan menggunakan Golden Section dan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
171
berdasarkan lima benda Platonic. Da Vinci adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah
Latin Sectio Aurea (Ing: Golden Section).
Lukisan Monalisa dan Perjamuan Terakhir The Last Supper (keduanya karya Leonardo da Vinci)
juga menggunakan konsep Nisbah Emas dalam pembuatannya. Di dalam ruang kelas dapat
dipajang beragam karya seni yang disain pembuatannya menggunakan konsep Nisbah Emas, agar
siswa terus menerus menyadari kaitan matematika dengan alam sekitar dan hasil karya manusia.
Johannes Kepler (1571-1630), menemukan orbit eliptik dari planet dengan memanfaatkan divine
proportion, seperti yang dikatakannya. "Geometry has two great treasures: one is the theorem of
Pythagoras; the other, the division of a line into extreme and mean ratio. The first we may compare
to a measure of gold; the second we may name a precious jewel."
(http://www.phiforex.com/en/phi_in_financial.html)
Masalah Kelinci Fibonacci pada akhirnya menghasilkan Barisan Bilangan Fibonacci, dan menjadi
sarana untuk memperoleh konstanta Nisbah Emas (Phi). Banyak bidang-bidang lain yang
memanfaatkan Barisan Bilangan Fibonacci maupun Phi dalam disain pembuatan atau
penciptaannya.
Bidang Matematika Lainnya (Golden Rectangle)
Persegi Panjang Emas (Golden Rectangle) diyakini sebagai bentuk persegi panjang dengan
proporsi yang indah. Rasio (perbandingan) antara panjang dan lebar pada Golden Rectangle adalah
Golden Ratio atau Phi = 1,6180339887.... Apabila sisi panjang dilambangkan dengan p dan sisi
lebar dengan l, maka pada Golden Rectangle berlaku
l
p
pl
p
atau
p
l
p
pl
Bagaimana cara memperoleh Golden Rectangle? Salah satu cara sederhana untuk memperoleh
Golden Rectangle adalah:
172
1.
2.
3.
4.
Secara umum, Golden Geometry akan diperoleh dengan melibatkan Golden Ratio dalam ukuranukuran yang digunakan. Salah satu penggunaannya adalah pada logo majalah National Geographic
yang berupa Golden Rectangle. Demikian juga dengan berbagai logo seperti logo Apple, Pepsi,
iCloud, dan Toyota juga dibuat berdasarkan Golden Ratio.
Gambar 7. Penggunaan Golden Ratio pada Logo National Geographic dan Apple
Sumber: http://www.google.com
Fenomea Phi juga ditemukan pada banyak benda yang sehari-hari digunakan. Benda-benda yang
mengambil bentuk persegi panjang banyak yang merupakan perwujudan dari Persegi Panjang
Emas (Golden Rectangle) misalnya kartu ATM, KTP, chips kartu HP, perangko, kartu pos, dan
lain-lain.
Bidang Matematika Lainnya (Pentagram)
Gagasan mengenai pentagram mengandung kesan mistik. Pentagram berupa bintang sehingga
secara matematika pentagram merupakan bentuk geometri. Tidak lebih. Matematika mempunyai
cara untuk membuat atau menggambar pentagram, tanpa perlu membawa penjelasan-penjelasan
yang bersifat mitos dan teologis.
Buatlah segilima sama sisi (regular pentagon), misalkan dengan panjang sisi 1 (gambar 8a).
Selanjutnya hubungkan titik-titik sudutnya dengan garis diagonal hingga diperoleh bentuk bintang
yang disebut pentagram (gambar 8b). Perbandingan antara diagonal dengan sisi regular pentagon
adalah Phi.
173
Pembuatan pentagram juga dapat dimulai dengan membuat lingkaran. Bagilah lingkaran tersebut
menjadi 5 juring lingkaran bersudut sama (720). Buatlah segilima sama sisi di dalam lingkaran
tersebut dan seperti cara sebelumnya, dapat diperoleh pentagram (gambar 12 a). Besar sudut setiap
ujung pentagram adalah 360. Apabila pentagram tersebut dipotong hingga diperoleh bentuk
segitiga, maka segitiga yang diperoleh disebut Segitiga Emas atau Golden Triangle (gambar 12 b)
(a)
(b)
Gambar 8. Pembuatan Pentagram dari Lingkaran (a) dan Segitiga Emas (b)
Biologi (khususnya Genealogi)
Untuk siswa tingkat SMA, Masalah Kelinci Fibonacci dapat diangkat menjadi contoh dalam
pembelajaran genealogi (ilmu pohon silsilah/keturunan) dalam biologi.
1.
Seluruh pasangan kelinci yang lahir pada bulan yang sama dikelompokkan dalam satu
generasi yang sama sehingga pada genealogi (pohon keturunan/pohon silsilah) ditempatkan
pada level yang sama.
Nenek moyang kelinci ditandai dengan angka 0
Pada bulan kesatu belum ada kelahiran
Pada bulan kedua terdapat 1 pasang kelahiran (ditandai dengan angka 1)
Pada bulan ketiga terdapat 1 pasang kelahiran (ditandai dengan angka 2)
Pada bulan keempat terdapat 2 pasang kelahiran (ditandai angka 3 dan 4)
Pada bulan kelima terdapat 3 pasang kelahiran (angka 5, 6, dan 7) dst
2.
Urutan penomoran untuk setiap pasang kelinci yang lahir pada generasi yang sama,
dilakukan berdasarkan urutan nomor induknya. Dengan demikian, kelinci dengan nomor 5, 6
dan 7 berturut-turut dilahirkan oleh induk dengan nomor 0, 1, dan 2
174
Dari pohon silsilah tersebut diperoleh beberapa pengetahuan berikut ini: (1) pasangan kelinci
dengan nomor berupa bilangan Fibonacci, semuanya dilahirkan oleh nenek moyang (nomor 0).
Perhatikan bahwa pasangan kelinci dengan nomor 0 melahirkan pasangan kelinci dengan nomor 1,
2, 5, 8, 13, 21; (2) pada setiap generasi yang sama, selalu terdapat pasangan kelinci dengan nomor
berupa bilangan Fibonacci; (3) jumlah pasangan kelinci pada satu generasi yang sama adalah
bilangan Fibonacci.
Struktur DNA yang ditemukan pada semua sel di tubuh manusia juga didasarkan pada bilangan
Fibonacci dan Golden Ratio. Jean-Claude Perez, penemu DNA menyatakan bahwa dalam DNA
setiap organisme hidup akan ditemukan Thiamine (T), Cytosine (C), Adenine (A), dan Guanine (G)
atau CTAG. Dalam 144 nukleotida yang berdekatan, akan ditemukan 55 basis T dan 89 basis CAG.
Angka 55 dan 89 merupakan bilangan Fibonacci. Selanjutnya, perbandingan Bobot Atom antara
Bio-Atom yang terdiri dari karbon, nitrogen, oksigen dan hidrogen yang menghasilkan basis-basis
nukleat TCAG dengan Bio-Atom yang menghasilkan junk DNA (DNA sampah) yang tidak dapat
diterjemahkan menjadi informasi genetik atau yang terkait dengan sintesa protein adalah Phi yaitu
Golden Ratio 1,618.
Sesungguhnya, untuk setiap segala sesuatu telah ada ketentuan-ketentuan yang berlaku baginya dan
tidak ada kreasi Sang Pencipta yang tidak seimbang. Jari tangan manusia juga memperlihatkan
adanya bilangan Fibonacci dalam disainnya, seperti dapat dilihat pada gambar :
Pembelajaran matematika memerlukan metode yang tepat dan materi ajar yang berkualitas yang
juga diarahkan untuk pembentukan karakter. Contoh materi ajar yang didisain dengan tujuan
menanamkan karakter rasa ingin tahu, peduli lingkungan dan menghargai prestasi dapat diambil
dari topik mengenai Masalah Kelinci Fibonacci. Pengembangan topik ini sangat luas, berkaitan
dengan berbagai bidang dan dapat diberikan pada jenjang SD, SMP maupun SMA. Masalah
Kelinci Fibonacci dapat digunakan untuk menanamkan karakter menemukan sesuatu dan
menghargai hasil penemuan orang lain. Karakter rasa ingin tahu dapat dikembangkan dengan
mendorong siswa mengekplorasi lebih jauh hasil yang diperoleh dari Masalah Kelinci Fibonacci
sehingga mereka menemukan sendiri konstanta Phi. Rasa ingin tahu yang lebih dalam dapat
dimunculkan dalam bentuk mengarahkan siswa untuk sampai pada bentuk persamaan kuadrat dan
menemukan solusinya. Dengan pengalaman ini siswa dapat menyadari bahwa Phi atau Golden
Ratio dapat diperoleh baik dari fenomena alam maupun permasalahan matematika. Dampaknya,
siswa mempunyai kesadaran bahwa matematika dan alam semesta mempunyai kaitan yang erat.
Selanjutnya, siswa dapat diarahkan untuk menikmati berbagai karya seni budaya yang didalamnya
menggunakan konstanta Phi sehingga pada diri siswa tertanam karakter menghargai hasil karya
orang lain serta keinginan untuk selalu jujur, menghindari sikap plagiat dan hasrat untuk
berkontribusi dengan menciptakan karyanya sendiri. Pemberian informasi mengenai penggunaan
Nisbah Emas dan bilangan Fibonacci pada Golden Rectangle, logo National Goegraphis dan Apple,
pentagram, genealogi, DNA dan jari manusia dapat membuka wawasan lebih jauh mengenai
manfaat matematika dalam kehidupan manusia.
Sebagai saran, perlunya diekplorasi berbagai materi matematika lainnya dan dikemas dalam bentuk
bahan ajar yang dapat digunakan untuk menanamkan berbagai karakter pada diri siswa.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
175
DAFTAR PUSTAKA
176
Pada dasarnya siswa memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memahami konsep pecahan
dibandingkan dengan materi matematika lainnya. Hal ini disebabkan ide-ide tentang pecahan sudah
dikenal dan diakrabi siswa sebelum mereka masuk sekolah. Anak-anak sering mendengar
penggunaan bilangan pecahan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, anak-anak sering disuruh
1
ibunya untuk membeli 2 kg minyak goreng. Namun kenyataan menunjukkan, materi pecahan
adalah topik yang sering sukar dipahami oleh kebanyakan siswa.
Menurut Hadi (2005:65), membangun pemahaman konsep pecahan bagi siswa SD tidaklah mudah
dilakukan. Hasil penelitian Sadijah (1989), tingkat penguasaan konsep pecahan dan pecahan
senilai siswa SD rendah. Sejalan dengan itu, Saxe dkk. (2005:137) mengemukakan, penguasaan
terhadap konsep pecahan adalah salah satu kesulitan terbesar bagi siswa sekolah dasar (SD).
177
DAugustine dan Smith (1992 : 72) mengemukakan, anak-anak masuk SD dengan miskonsepsimiskonsepsi tentang pecahan. Beberapa miskonsepsi berawal dari penggunaan pecahan dalam
bahasa sehari-hari. Misalnya, ketika orang tua mengatakan, Tolong berikan setengah gelas susu,
biasanya gelas tersebut tidak berisi setengah. Selanjutnya dikatakan, ungkapan-ungkapan seperti itu
seringkali mengundang rasa ingin tahu, namun itu mengaburkan konsep matematika pada anak.
Demikian juga, ketika seorang anak mengatakan ia makan apel setengah biasanya berarti
sebagian dari satu, bukan konsep matematika yakni satu dari dua bagian yang sama dari
keseluruhan.
Berdasarkan studi awal dan hasil wawancara dengan guru yang mengajar mata pelajaran
matematika SD Negeri Bastiong I Ternate, diperoleh informasi masih banyak siswa yang
mengalami kesulitan dalam mempelajari materi pecahan. Kesulitan-kesulitan tersebut antara lain
sebagai berikut. Siswa sering kesulitan memahami konsep pecahan sebagai bagian dari
2
4
keseluruhan. Siswa juga sering kesulitan menjelaskan mengapa 3 = 6 Disisi lain, guru menyajikan
soal-soal konsep pecahan, tidak mencantumkan bahwa satu daerah keseluruhan mewakili bilangan
satu. Dengan tidak mencantumkan bahwa satu daerah keseluruhan mewakili bilangan satu, siswa
sering memahami notasi pecahan sebagai bilangan cacah. Soal yang diberikan kepada siswa
misalnya, notasi pecahan untuk satu bagian yang diarsir dari empat bagian yang sama suatu
lingkaran adalah.... Menurut siswa, notasinya bisa ditulis 1, karena perhatian siswa hanya tertuju
1
pada satu bagian yang diarsir. Sebaliknya, beberapa siswa menulis notasi , menurut siswa 1
3
merujuk pada bagian yang diarsir dan 3 adalah bagian yang lain. Selanjutnya, siswa jarang
menggunakan representasi gambar untuk membantunya berpikir dalam menyelesaikan soal.
Dengan demikian, representasi tidak dipandang sebagai alat untuk berpikir dan alat untuk
memecahkan soal. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan representasi matematika siswa
masih kurang.
Kemampuan representasi adalah salah satu standar proses pembelajaran matematika yang perlu
ditumbuhkan dan dimiliki siswa. Standar proses ini hendaknya disampaikan tidak secara terpisah
dengan materi matematika. Sayang sekali, representasi sering diajarkan dan dipelajari seolah-olah
berdiri sendiri tanpa ada kaitan dalam matematika (Depkdiknas, 2005:51). Padahal, dengan
representasi diharapkan dapat menunjang pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika
dan hubungannya dalam mengkomunikasikan matematika, argumen, dan pemahaman seorang
terhadap ide lainnya, dalam mengenal hubungan antar konsep-konsep matematika (NCTM, 2000:
76).
Dalam belajar matematika dari TK sampai kelas XII siswa dimungkinkan melakukan representasi
matematis. Menurut NCTM (2000: 78), program pembelajaran matematika harus memungkinkan
semua siswa: (1) menciptakan dan menggunakan representasi untuk mengatur, mencatat, dan
mengkomunikasikan ide-ide matematika, (2) memilih, menerapkan dan menerjemahkan
representasi matematis guna memecahkan soal, (3) menggunakan representasi dengan model dan
menafsirkan fenomena fisik, sosial dan matematika.
Menurut Hudojo (2005 : 14) representasi menjadi penting sebagai alat komunikasi maupun alat
berpikir. Selanjutnya, representasi menjadikan matematika lebih konkret sehingga memudahkan
untuk melakukan refleksi. Di samping itu, siswa terbantu dalam mengembangkan penalaran, karena
siswa terbantu dalam mengorganisasikan berpikirnya sehingga memudahkan untuk
mengembangkan pendekatan yang bervariasi. Oleh karena itu, menurut Brener dkk., (1997 : 54),
pengajaran mengenai jenis-jenis representasi yang berbeda dapat meningkatkan keterampilan siswa
dalam memecahkan masalah.
Representasi di kelas-kelas awal sekolah dasar berbeda dengan representasi di kelas 3-5. Menurut
NCTM (2000 : 20), di kelas-kelas awal sekolah dasar siswa belajar dan mulai menggunakan
representasi berupa simbol dan grafik. Di kelas 3-5, siswa harus menciptakan representasi yang
lebih rinci dan akurat.
178
179
Melalui pendekatan ini siswa diberi kesempatan mengkonstruk sendiri pengetahuan berdasarkan
pengalaman sebelumnya untuk menemukan konsep pecahan dan pecahan senilai di bawah
bimbingan guru. Dalam konteks ini, peneliti melakukan penelitian untuk mengetahui kemampuan
representasi matematis Siswa SD Kelas IV melalui Pendidikan Matematika Realistik pada Konsep
Pecahan dan Pecahan Senilai.
METODE
HASIL
Berdasarkan hasil pengamatan dan catatan lapangan peneliti dan 2 orang pengamat selama kegiatan
penelitian diperoleh hal-hal sebagai berikut.
1. Siswa peringkat tinggi (S1), sejak awal tindakan I sampai akhir tindakan II, senang belajar
kelompok/berpasangan. Pada tindakan I persentase kemampuan representasi matematikanya
terhadap skor maksimal ideal adalah 100% baik pada saat mengerjakan LKS maupun pada tes
akhir tindakan I. Kemampuan representasinya berada pada level 4.
2. Siswa peringkat sedang (S2 dan S3), senang bekerja dalam kelompok. Rata-rata persentase
pencapaian skor kemampuan representasi matematis oleh S2 mengerjakan LKS 94% dan pada
tes akhir tindakan 100%. Rata-rata persentase pencapaian skor kemampuan representasi
matematis oleh S3 mengerjakan LKS 99,5% dan pada tes akhir tindakan 96%. Kemampuan
representasi matematis S2 dan S3 adalah berada pada level 4.
3. Siswa peringkat rendah (S4), cenderung bekerja sendiri. Rata-rata persentase pencapaian skor
kemampuan representasi matematis oleh S4 mengerjakan LKS 72% dan pada tes akhir
tindakan 78%. Kemampuan representasi matematis S4 berada pada level 2.
4. Bila dibandingkan persentase kemampuan representasi matematika dari keempat subyek
penelitian, S1 adalah yang paling konsisten menciptakan dan menggunakan representasi
dengan tepat.
5. Siswa senang mempelajari materi konsep pecahan dan pecahan senilai melalui pendidikan
matematika realistik. Penggunaan soal kontekstual dan penggunaan alat peraga model roti
untuk konsep pecahan dan konsep pecahan senilai membuat siswa senang mengikuti
pembelajaran.
6. Pada umumnya siswa aktif bekerja secara berpasangan. Menurut siswa, dengan bekerja sama
akan mudah menyelesaikan masalah karena dapat saling membantu, berdiskusi.
7. Siswa mampu menggunakan alat peraga model roti persegi untuk memecahkan soal.
8. Siswa mampu menggunakan manipulasi gambar untuk memecahkan soal. Dengan cara itu
siswa dapat menyelesaikan soal dengan benar.
PEMBAHASAN
Kemampuan representasi matematika S1, S2, dan S3 berada pada kategori sangat baik (90% RS
100%). Sedangkan kemampuan representasi matematis S4 berada pada kategori cukup (70%
RS 80%). Pencapaian kemampuan representasi oleh S1, S2, dan S3 berada pada taraf
perkembangan yang optimal. Dengan kata lain S1, S2, dan S3 memperoleh keuntungan yang
banyak melalui pembelajaran pendidikan matematika realistik. Sebaliknya, S4 hanya mendapat
keuntungan sedikit melalui pembelajaran pendidikan matematika realistik sehingga memerlukan
bantuan lebih banyak lagi dari guru atau teman sejawat. Keadaan ini sesuai dengan Vigotsky
(dalam Dworetzky, 1990) bahwa Zone of Proximal Development (ZPD) bersifat individual atau
khas untuk tiap-tiap siswa.
Kemampuan representasi matematika S1, S2, dan S3 yang berada pada kategori sangat baik
didukung oleh beberapa hal sebagai berikut. Siswa peringkat tinggi (S1) dan siswa peringkat
sedang (S2 dan S3) sejak awal tindakan I sampai akhir tindakan II, aktif dan senang belajar
kelompok/berpasangan. Sedangkan siswa peringkat sedang (S4) cenderung tidak aktif dan bekerja
sendiri.
Representasi yang diciptakan oleh S1, S2, dan S3 memudahkan mereka untuk aktif menyampaikan
pemikirannya kepada siswa lain dalam diskusi kelompok. Sedangkan, untuk S1 lebih banyak
bekerja sendiri. Keadaan tersebut sesuai dengan NCTM (2000 : 205), representasi membantu siswa
menyampaikan pemikirannya kepada siswa lain.
Keaktifan S1, S2, dan S3 juga didukung oleh keseriusan mereka memahami tujuan pembelajaran.
Berbeda dengan S4, pada awal pembelajaran, S1, S2, dan S3 serius memperhatikan penyampaian
tujuan pembelajaran oleh guru. Dengan memperhatikan tujuan pembelajaran, mereka mengetahui
tujuan pembelajaran yang akan dicapai, sehingga dapat memusatkan perhatian dalam belajar dan
terarah pada satu tujuan yang hendak dicapai. Hal ini sesuai dengan pendapat Dahar (1988 : 178)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
181
bahwa tujuan pembelajaran dapat membantu siswa untuk aktif dan dapat memusatkan perhatiannya
terhadap aspek yang relevan dalam pembelajaran.
Selanjutnya, S1, S2, dan S3 termotivasi dengan pembelajaran yang mengaitkan materi konsep
pecahan dan pecahan senilai dengan kehidupan sehari-hari. Orton (1992 : 10) menyatakan bahwa
siswa yang termotivasi, tertarik, dan mempunyai keinginan untuk belajar, akan belajar lebih
banyak.
S1, S2 dan S3 mampu mengaitkan materi yang dipelajari dengan pengetahuan sebelumnya.
Kegiatan siswa dalam mengerjakan LKS, dirancang agar siswa dapat mengaitkan materi yang
sedang dipelajari dengan pengetahuan sebelumnya. Misalnya, pada kegiatan II nomor 1c dan
nomor 2c LKS II, mengarahkan siswa mengaitkan materi konsep pecahan senilai dengan konsep
pecahan dan dengan konsep dua daerah yang sama. Berdasarkan penelitian, S1, S2 dan S3 mampu
mengerjakan LKS kegiatan II nomor 1c dan 2c. Representasi yang dibuat adalah tepat. Dapat
dikatakan S1, S2 dan S3 telah belajar secara bermakna, mengaitkan materi konsep pecahan senilai
dengan konsep pecahan dan dengan konsep dua daerah yang memiliki luas yang sama. Hal ini
sejalan dengan pendapat Ausubel (Orton, 1994:155), belajar bermakna terjadi jika siswa mampu
mengaitkan materi yang dipelajari dengan pengetahuan sebelumnya yang ada dalam struktur
kognitifnya.
S1, S2, dan S3 menfaatkan dengan sebaiknya-baiknya media yang diberikan guru untuk
menyelesaikan tugas kelompok. Media yang dibagikan berupa LKS dan alat peraga model roti
berbentuk persegi. Pemanfaatan media sesuai dengan pendapat Eggen dan Kauchak (1996 : 305)
bahwa siswa perlu diberi sumber-sumber belajar yang mendukung pelaksanaan kerja kelompok.
Baik tindakan I maupun tindakan II, S1, S2, dan S3 menunjukkan rasa percaya diri, mereka tampak
akrab dengan teman sekelompoknya, aktif bekerja berpasangan mengerjakan LKS, tukar pendapat
dengan pasangannya. Keadaan tersebut sesuai dengan pendapat Hadi (2005) bahwa dalam
pendidikan matematika realistik siswa harus lebih percaya diri. Sejalan dengan itu, Vygotsky
menekankan pentingnya interaksi sosial dengan orang lain terlebih yang punya pengetahuan lebih
baik dan sistem yang secara kultural telah berkembang dengan baik (Cobb dalam Suparno, 1997 :
46).
Representasi yang dibuat siswa melalui tahap menyelesaikan masalah, memberikan kemampuan
siswa untuk mengkonstruk pemahaman materi konsep pecahan dan pecahan senilai. Dengan
representasi memudahkan siswa mengkomunikasikan pemahamannya dalam diskusi. Hal ini
didukung oleh Hudojo (2005 : 44) bahwa representasi memberikan kemampuan siswa untuk
mengkonstruk pemahaman dengan penalarannya, yang kemudian mengkomunikasikan serta
mendemonstrasikan penalarannya.
Masalah yang diberikan kepada siswa adalah masalah kontekstual berupa aktivitas membagi roti
berbentuk persegi. Masalah kontekstual tersebut relevan dengan taraf berpikir siswa dan sesuai
dengan konteks kehidupan siswa. Hal ini didukung oleh Hadi (2005:80) bahwa masalah
kontekstual yang diberikan harus memenuhi syarat relevansi dan familiaritas, yaitu relevan dengan
taraf berpikir siswa dan sudah dikenal siswa karena diambil dari konteks kehidupan siswa.
Penggunaan soal kontekstual dan penggunaan alat peraga model roti untuk konsep pecahan dan
konsep pecahan senilai membuat siswa senang mengikuti pembelajaran. Kebanyakan siswa mampu
menggunakan alat peraga untuk menyelesaikan soal. Misalnya, pada tahap menyelesaikan LKS
1
2
konsep pecahan senilai, kebanyakan siswa mampu menunjukkan bahwa
senilai dengan .
3
6
Keadaan ini sesuai dengan pendapat Bruner, apabila di dalam mengkonstruk gagasan siswa
menggunakan benda-benda konkret, siswa akan cenderung ingat gagasan tersebut dan
mengaplikasikan ke dalam situasi yang tepat (Orton, 1994).
Kemampuan representasi matematika subyek penelitian pada tahap menyelesaikan soal kontekstual
menggunakan model roti persegi pada umumnya berada pada level 4. Beberapa siswa, termasuk
S1, S2, dan S3 mampu menggunakan manipulasi gambar untuk menyelesaikan soal. Hal ini dapat
dilihat pada hasil pekerjaan siswa mengerjakan soal nomor 4b tes akhir tindakan I. Para siswa
182
tersebut memutuskan bahwa mereka perlu memanipulasi gambar dalam membantu memecahkan
soal. Keadaan ini sesuai dengan NCTM (2000:206), representasi yang dibuat siswa akan
mendukung dan memperluas penalarannya sekaligus menjadi cara untuk menunjukkan jawaban
siswa dan untuk menjustifikasi jawabannya.
Dari hasil wawancara dengan subjek penelitian, diperoleh keterangan bahwa siswa senang materi
konsep pecahan dan konsep pecahan senilai dipelajari melalui pendidikan matematika realistik.
Siswa senang menemukan masalah sendiri dari pada diberitahukan langsung oleh guru. Mereka
beralasan bahwa dengan menemukan sendiri akan lebih mudah memahami materi pelajaran dan
dapat mengingat lebih lama. Sutawidjaja (2002 : 58) mengemukakan, guru dapat mengaktifkan
kegiatan siswa mengkonstruk, dengan memberi kesempatan untuk menyelesaikan soal yang
diberikan.
Pada saat bekerja untuk menyelesaikan soal kontekstual materi konsep pecahan dan konsep
pecahan senilai, siswa melewati dua bentuk pematematikaan, yaitu pematematikaan horisontal dan
vertikal. Pematematikaan horisontal terjadi ketika siswa: (1) menggunakan alat peraga model roti
untuk memecahkan masalah kontekstual materi konsep pecahan, dan (2) menggunakan alat peraga
model roti untuk memecahkan masalah kontekstual materi konsep pecahan senilai. Ketika siswa
diperhadapkan dengan soal/masalah konsep pecahan dan konsep pecahan senilai untuk diselesaikan
tanpa menggunakan alat peraga lagi, berarti sedang terjadi pematematikaan vertikal.
Pematematikaan horizontal dan pematematikaan vertikal yang dilakukan oleh siswa pada dasarnya
merupakan suatu reinvention. Siswa dibawa pada suatu situasi bagaimana siswa menemukan cara
menyelesaikan soal/masalah konsep pecahan dan konsep pecahan senilai.
Pembelajaran melalui pendidikan matematika realistik dapat membelajarakan siswa menciptakan
dan menggunakan representasi matematika siswa pada konsep pecahan dan pecahan senilai. Siswa
dengan mudah memahami materi konsep pecahan dan pecahan senilai. Hal ini sejalan dengan
pendapat ahli mengenai keuntungan dari pendidikan matematika realistik. Menurut Suwarsono
(2001:5-8) bahwa keuntungan dari pembelajaran melalui pendidikan matematika realistik, antara
lain sebagai berikut, (1) siswa menjadi lebih aktif dan kreatif. Mereka bertanya, mengungkapkan
ide-idenya untuk menyelesaikan soal yang diberikan, (2) pemahaman siswa terhadap konsep
matematika lebih kuat dan mendalam. Hal ini terjadi karena konsep-konsep tersebut dikonstruksi
sendiri oleh siswa, (3) siswa semakin tertarik untuk belajar karena materi yang dipelajari berkaitan
dengan pengalaman siswa, (4) pembelajaran matematika lebih bermakna, karena yang dipelajari
dikaitkan dengan pengetahuan siswa sebelumnya.
Pembelajaran yang dilaksanakan bercorak PAKEM. Berdasarkan hasil observasi pada umumnya
siswa aktif dan kreatif dalam pembelajaran. Hasil observasi juga menunjukkan bahwa guru kreatif
melaksanakan pembelajaran. Berdasarkan hasil tes akhir tindakan, pembelajaran efektif. Hasil
wawancara, siswa senang mengikuti pembelajaran yang dilaksanakan melalui PMR.
S4 paling lemah dalam representasi simbolik dan gambar. Kemampuan S4 dalam menciptakan dan
menggunakan representasi simbolik dan gambar, umumnya berada pada level 2. Level 2 artinya
lebih banyak tidak tepat menciptakan dan menggunakan representasi matematis. Pada tahap
menyelesaikan masalah, S4 cenderung bekerja sendiri dan tidak aktif dalam berdiskusi. Kelemahan
S4 dalam menciptakan dan menggunakan representasi dengan tepat sangat dimungkinkan oleh
karena S4 tidak aktif dalam berdiskusi. Artinya, S4 tidak memandang representasi sebagai alat
untuk berpikir dan menyampaikan pemikirannya kepada siswa lain. Padahal, representasi dapat
berperan sebagai alat berpikir, memecahkan soal dan membantu siswa
menyampaikan
pemikirannya (NCTM:2005).
Kelemahan siswa dalam representasi matematika melalui pendidikan matematika realistik yang
ditemukan oleh peneliti, sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tahir (2007:13), yaitu
sebagai berikut. (1) kebanyakan siswa masih kesulitan dalam menciptakan sendiri representasi
dengan tepat, (2) siswa yang pasif dan lemah cenderung semakin tertinggal dari kawannya yang
lebih aktif. Hal ini disebabkan para siswa terbiasa dengan pola pemberian informasi yang dominan
oleh guru, (3) proses pembelajaran membutuhkan waktu yang relatif lebih lama.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
183
KESIMPULAN
184
DAFTAR PUSTAKA
Brener dkk., 1999. Cross National Comparison of Representation Competence. Journal for
Research in Mathematics Education.
Dahar, R.W. 1998. Teori-teori Belajar. Jakarta:Depdikbud.
DAugustine, C dan Smith, Jr.C.W. 1991. Teaching Elementary School Mathematics. New York:
Harper Collins.
Depdiknas, 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Matematika. Jakarta:Depdiknas
Depdiknas, 2005. Pedoman Penulisan Buku Ajar. Jakarta:Pusat Perbukuan.
Dworetzky, P. 1990. Introduction to Child Development. New York West: Publishing Company.
Eggen, P.D.& Kauchak, D.P.1996. Strategies for Teachers, Teaching Content and Thinking Skill.
Boston: Allyn & Bacon.
Gravemeijer. 1991. An Instruction-Theoritical Reflection on The Use of Manipulatives. Freudenthal
Institute. Utrecht.
Gravemeijer. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Freudenthal Institute. Utrecht.
Hadi, S. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin: Tulip
Hudojo, H. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivistik. Makalah
Disajikan pada Seminar Nasional Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika dalam
Era Globalisasi. PPS IKIP Malang. 4 April
Jasmaniah, 2004. Pembelajaran Penjumlahan Pecahan melalui Open Ended Problem Dengan
Pendekatan Realistik di Kelas V SD Negeri percobaan Malang. Tesis. PPS UM.
NCTM, 2000. Principles and Standards for School Mathematics.United States of America.
NCTM, 2001. The Roles of Representations in School Mathematics. Reston Virginia.
Orton, 1994. Learning Mathematics(Issues, Theory and Classroom Practice). Cassell.
Sadijah, 1989. Hubungan Antara Penguasaan Konsep Pecahan dan Penguasaan Kesamaan
Pecahan dengan Penguasaan Penjumlahan Pecahan Siswa Kelas V dan VI SD N di Kec.
Lamongan, Tesis FPS IKIP Malang.
Suharta, 2001. Pembelajaran Pecahan dalam Matematika Realistik. Makalah Seminar Nasional.
FMIPA Unesa Surabaya. 24 Februari.
Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Sutawidjaja, A. 2001. Pendidikan Matematika Realistik. Makalah disajikan pada Stadium General,
Jurusan Tadris Matematika Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah. Jakarta. 27 Oktober.
Sutawidjaja, A. 2002. Konstruktivisme Konsep dan Implikasinya pada Pembelajaran Matematika.
Jurnal Matematika dan Pembelajarannya, tahun VIII (Edisi Khusus). Juli 2002. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Tahir, B. 2007. Meningkatkan Pemahaman Konsep Penjumlahan dan Pengurangan Pecahan
Melalui Pembelajaran Matematika Realistik Pada Siswa Kelas IV SD Donto-Dontoa
Kabupaten Goa. Tesis. PPS UM
Wiriaatmadja, R. 2007. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Remaja Rosdakarya
185
Abstrak
Penelitian ini untuk mengetahui hubungan dan pengaruh antara kecemasan matematika dengan kemampuan
pemecahan masalah dan koneksi matematis. Data diolah menggunakan metode regresi-korelasi ganda.
Sampel penelitian 72 siswa SMP kelas VII. Menggunakan instrumen angket kecemasan matematika yang
terbagi dalam tiga kriteria kecemasan matematika, tes kemampuan pemecahan masalah dan koneksi
matematis berbentuk soal uraian. Hasil analisis menunjukkan hubungan negatif antara kecemasan
matematika dengan kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis. Koefisien regresi menunjukkan
pengaruh negatif antara kecemasan matematika dengan kemampuan pemecahan masalah dan koneksi
matematis. Jika masing-masing jenis kecemasan matematika meningkat maka kemampuan pemecahan
masalah dan koneksi matematis turun sebesar koefisien regresinya dan sebaliknya.
Kata kunci : kemampuan pemecahan masalah, kemampuan koneksi matematis siswa, kecemasan matematika
PENDAHULUAN
Matematika seringkali dipandang sebagai bidang studi yang sangat obyektif serta bersih dari
perasaan (Wahyudin, 2010:5). Maksudnya karakteristik matematika yang dianggap kaku dan
teoritis menjadikan siswa merasa bahwa saat belajar matematika perasaan dan emosi mereka
terabaikan. Akibatnya, siswa merasakan ketidaknyamanan saat harus berhadapan dengan pelajaran
dan ujian matematika. Hal ini masih relevan dengan pendapat klasik bahwa matematika adalah
mata pelajaran yang sulit untuk dipelajari (Cockroft dalam Wahyudin, 1999).
Siswa yang mengalami masalah serius pada saat belajar matematika baik dikelas maupun saat
belajar diluar kelas akan mengalami kesulitan untuk menyelesaikan soal matematika sehingga
merasa frustasi, trauma dan tidak lagi bergairah dalam belajar matematika, bahkan menghindari
pelajaran matematika. Dalam teori prilaku, rasa frustasi dan trauma yang terus-menerus dan tidak
tertangani akan menyebabkan munculnya kecemasan dalam diri siswa (Prawirohusodo dalam Prie,
2009). Kecemasan itulah yang menyebabkan penghindaran terhadap sumber kecemasan. Jika hal
ini dibiarkan, maka akan mempengaruhi kondisi psikologi dan emosi siswa saat belajar
matematika. Kecemasan menurut Depkes RI (1990) adalah ketegangan, rasa tidak aman dan
kekhawatiran yang timbul karena dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Kecemasan
yang dialami siswa pada mata pelajaran matematika sering disebut sebagai kecemasan matematika
(Mathematics Anxiety). Kecemasan terhadap matematika tidak bisa dipandang sebagai hal biasa,
karena ketidak mampuan siswa memahami dan menguasai pelajaran menyebabkan siswa kesulitan
dalam menyelesaikan masalah matematis serta ketakutan dan fobia terhadap matematika yang pada
akhirnya menyebabkan hasil belajar dan prestasi siswa dalam matematika rendah.
Kecemasan matematika juga terlahir dari kondisi pembelajaran dikelas yang kurang menyenangkan
atau berasal dari guru pengajar matematika. Seperti dinyatakan oleh Wahyudin (2010:21) bahwa
kecemasan matematika seringkali tumbuh dalam diri para siswa di sekolah, sebagai akibat dari
pembelajaran oleh para guru yang juga merasa cemas tentang kemampuan matematika mereka
sendiri dalam area tertentu. Pada akhirnya, kecemasan matematika ini akan sangat berpengaruh
pada hasil belajar dan prestasi siswa dalam matematika. Menurut Ma (Zakaria & Nordin, 2007:27)
ada hubungan antara kecemasan matematika dengan prestasi siswa dalam matematika. Prestasi dan
hasil belajar matematika siswa secara terperinci dijabarkan dalam beberapa penguasaan
kemampuan matematis sesuai dengan jenjang pendidikan.
186
Menurut Soedjadi (Riajanto, 2010:3) pendidikan matematika memiliki dua tujuan besar yang
meliputi: 1) Tujuan yang bersifat formal, yang memberi tekanan pada penataan nalar anak serta
pembentukan pribadi anak; 2) Tujuan yang bersifat material, yang memberi tekanan pada
penerapan matematika serta kemampuan pemecahan masalah. Sehingga dengan tidak
mengesampingkan tujuan yang lain, dapat dikatakan bahwa belajar menyelesaikan masalah
merupakan tujuan utama dalam mempelajari matematika. Standar kompetensi dalam Kurikulum
2006 salah satunya menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran
matematika mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak
tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Menyelesaikan masalah matematis
dengan cara yang tidak rutin termasuk dalam kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa di tingkat
sekolah menengah selain kemampuan matematis yang lain. Untuk meningkatkan kemampuan
memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model
matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya. Hal ini menimbulkan keengganan
dan kecemasan pada siswa menghadapi soal-soal yang menurut mereka sulit. Sebenarnya hal ini
bukan disebabkan karena siswa tidak memiliki kemampuan pemecahan masalah tetapi lebih
disebabkan karena siswa belum dapat mengembangkan kemampuan matematikanya.
Kemampuan pemecahan masalah matematis dapat dikuasai siswa dengan baik jika siswa
menguasai kemampuan matematis yang lain, salah satunya adalah kemampuan koneksi matematis.
Hodgson (Herlan, 2006:2) mengutip bahwa dalam standar kurikulum NCTM, koneksi matematik
digolongkan sebagai alat bagi pemecahan masalah. Para pembaharu dalam pendidikan
matematika sepakat bahwa matematika hendaknya ditampilkan sebagai disiplin ilmu yang
berkaitan dan bukan sebagai sekumpulan topik yang terpisah-pisah baik antara topik-topik dalam
matematika itu sendiri maupun dengan topik-topik bahasan ilmu yang lain. Sehingga kemampuan
koneksi matematis dan kemampuan pemecahan masalah saling berkaitan dan saling
mempengaruhi.
Agar kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis siswa dapat dilatih dan
dikembangkan terutama dalam proses pembelajaran di kelas, guru perlu merancang sebuah
pembelajaran yang tepat sehingga meminimalkan munculnya kecemasan. Banyak usaha dilakukan
untuk mengembangkan model-model pembelajaran kontemporer sebagai usaha menjadikan
pelajaran matematika menjadi menyenangkan, berorientasi pada pengembangan proses berpikir dan
penguasaan konsep dan prosedur matematis, serta menunjukkan keindahan serta elegansi
matematika. Yang pada akhirnya dapat mengurangi tingkat kecemasan dan fobia terhadap
matematika. Seperti yang dianjurkan oleh NCTM (Wahyudin, 2010:23) dalam upaya yang dapat
dilakukan guru, yaitu : mengakomodasi gaya-gaya belajar yang berbeda, membuat suasana atau
lingkungan ujian yang beraneka ragam, merancang pengalaman-pengalaman positif diruang kelas
matematika, tidak mengikatkan harga diri dengan kesuksesan dalam matematika, menekankan
bahwa setiap orang melakukan kesalahan dalam matematika, membuat matematika lebih relevan,
membolehkan pendekatan-pendekatan sosial yang berbeda pada saat belajar matematika,
menekankan nilai penting dari berfikir yang berkualitas dan original dibanding manipulasimanipulasi rumus secara hafalan.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini ditujukan untuk menelaah hubungan dan pengaruh kecemasan matematika dengan
kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis siswa SMP. Pada akhirnya dapat
dihasilkan studi baru untuk memperkaya inovasi dalam pendidikan matematika yang dapat
dimanfaatkan oleh semua kalangan.
KECEMASAN MATEMATIKA
Taylor (1953) dalam Tailor Manifest Anxiety Scale (TMAS) mengemukakan bahwa kecemasan
merupakan suatu perasaan subyektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai
reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Terdapat
tiga komponen kecemasan menurut teori Dacey (dalam Anggreini, 2010:31), yaitu sebagai berikut :
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
187
1. Komponen psikologis, yaitu perasaan siswa berupa kegelisahan, gugup, tegang, cemas, rasa
tidak aman, takut dan cepat terkejut;
2. Komponen fisiologis, yaitu respon yang timbul melalui organ tubuh untuk merespon suatu
perasaan, misalkan : jantung berdebar, keringat dingin pada telapak tangan, tekanan darah
meninggi (mulai emosi), respon kulit terhadap sentuhan dari luar berkurang, gerak peristaltik
(gerakan berulang-ulang) tanpa disadari, gejala fisik berupa otot dan sensorik, gengguan
pernafasan, pencernaan dan urogenital (perkemihan dan kelamin);
3. Komponen sosial, yaitu sebuah prilaku yang ditunjukkan oleh individu dilingkungannya
berupa tingkah laku (sikap) yang ditunjukkan dan gangguan tidur.
Tobias (Wahyudin, 2010:7) mendefinisikan kecemasan matematika sebagai perasaan-perasaan
tegang dan cemas yang mencampuri manipulasi bilangan-bilangan dan pemecahan masalah
matematis dalam beragam situasi kehidupan sehari-hari dan situasi akademik. Siswa yang
mengalami kecemasan terhadap matematika merasa bahwa dirinya tidak mampu dan tidak bisa
mempelajari materi matematika dan mengerjakan soal-soal matematika. Ashcraft (2002: 1)
mendefinisikan kecemasan matematika sebagai perasaan ketegangan, cemas atau ketakutan yang
mengganggu kinerja matematika. Siswa yang mengalami kecemasan matematika cenderung
menghindari situasi dimana mereka harus mempelajari dan mengerjakan matematika. Sedangkan
Richardson dan Suinn (1972) menyatakan bahwa kecemasan matematika melibatkan perasaan
tegang dan cemas yang mempengaruhi dengan berbagai cara ketika menyelesaikan soal
matematika dalam kehidupan nyata dan akademik. Dalam The Revised Mathematics Anxiety Rating
Scale (RMARS) yang dikembangkan oleh Alexander & Martray (1989) skala kecemasan dibagi
dalam tiga kriteria, yaitu : kecemasan terhadap pembelajaran matematika, kecemasan terhadap tes
atau ujian matematika dan kecemasan terhadap tugas-tugas dan perhitungan numerikal matematika.
Dari ketiga kriteria tersebut, gejala-gejala kecemasan matematika yang muncul dapat terdeteksi
secara psikologis, fisiologis dan aktivitas sosial atau sikap dan tingkah lakunya.
Trujillo & Hadfield (Peker, 2009) menyatakan bahwa penyebab kecemasan matematika dapat
diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu sebagai berikut :
1.
Misalnya perasaan takut siswa akan kemampuan yang dimilikinya (self-efficacy belief),
kepercayaan diri yang rendah yang menyebabkan rendahnya nilai harapan siswa (expectancy
value), motivasi diri siswa yang rendah dan sejarah emosional seperti pengalaman tidak
menyenangkan dimasa lalu yang berhubungan dengan matematika yang menimbulkan trauma.
2.
Misalnya kondisi saat proses belajar mengajar matematika di kelas yang tegang diakibatkan
oleh cara mengajar, model dan metode mengajar guru matematika. Rasa takut dan cemas
terhadap matematika dan kurangnya pemahaman yang dirasakan para guru matematika dapat
terwariskan kepada para siswanya (Wahyudin, 2010:21). Faktor yang lain yaitu keluarga
terutama orang tua siswa yang terkadang memaksakan anak-anaknya untuk pandai dalam
matematika karena matematika dipandang sebagai sebuah ilmu yang memiliki nilai prestise.
Vann (dalam Sahin, 2008) menyatakan bahwa kecemasan matematika yang dialami seorang
ibu mempengaruhi secara signifikan terhadap kecemasan matematika yang dialami anak.
Lingkungan dan teman-teman bermain pun dapat menjadi penyebab bagaimana pandangan
dan anggapan seorang anak terhadap matematika.
3.
Faktor intelektual
Faktor intelektual terdiri atas pengaruh yang bersifat kognitif, yaitu lebih mengarah pada bakat
dan tingkat kecerdasan yang dimiliki siswa. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ashcraft &
Kirk (dalam Johnson, 2003) menunjukkan bahwa ada korelasi antara kecemasan matematika
dan kemampuan verbal atau bakat serta Intelectual Quotion (IQ).
188
Menurut Sumarmo (1994:8) pemecahan masalah dapat berupa menciptakan ide baru, atau
menemukan teknik atau produk baru. Sedangkan pemecahan masalah menurut Turmudi (2001:86)
adalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak
dengan segera dapat dicapai.
Branca (Krulik dan Reys, 1980:3) menyatakan bahwa klasifikasi aktivitas yang termasuk
pemecahan masalah dalam matematika meliputi memecahkan masalah sederhana yang muncul
dalam buku teks, memecahkan masalah teka-teki non rutin, menerapkan matematika pada masalah
dunia nyata, serta membuat dan menguji konjektur matematika yang mungkin mengarah pada
bidang kajian baru. Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah perlu dikembangkan
ketrampilan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah dan
menafsirkan solusinya dalam matematika. Sudjimat (Sukasno, 2002:18) menyatakan bahwa belajar
pemecahan masalah pada hakekatnya adalah belajar berpikir (learning to think) atau belajar
bernalar (learning to reason), yaitu berpikir atau bernalar mengaplikasikan pengetahuanpengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya untuk memecahkan masalah-masalah baru yang
belum pernah dijumpai sebelumnya. Karena itu pembelajaran yang bernuansa pemecahan masalah
harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu merangsang siswa untuk berpikir dan
mendorong siswa menggunakan pikirannya secara sadar untuk memecahkan masalah. Sabandar
(2005) mengemukakan bahwa situasi pemecahan masalah merupakan suatu tahapan di mana ketika
individu dihadapkan kepada suatu masalah ia tidak serta merta mampu menemukan solusinya,
bahkan dalam proses penyelesaiannya ia masih mengalami kebuntuan.
Woods (Stice, 1988) menyarankan bahwa keberhasilan dalam pemecahan masalah tergantung pada
sejauh mana memfungsikan unsur-unsur berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
NCTM (1989) merumuskan bahwa koneksi matematis atau mathematical connections merupakan
bagian penting yang harus mendapat penekanan di setiap jenjang pendidikan. Koneksi matematis
terbagi dalam tiga macam yaitu koneksi antar topik matematis, koneksi dengan disiplin ilmu
pengetahuan yang lain, dan koneksi dengan dunia nyata. NCTM juga menyebutkan tujuan siswa
memiliki kemampuan koneksi matematis agar siswa mampu untuk :
1.
2.
3.
189
Sedangkan tiga tujuan koneksi matematis di sekolah menurut NCTM (dalam Wahyuni, 2010:17)
yaitu :
1. Memperluas wawasan pengetahuan siswa. Dengan koneksi matematis, siswa diberi suatu
materi yang bisa menjangkau ke berbagai aspek permasalahan baik disalam maupun diluar
sekolah, sehingga pengetahuan yang diperoleh siswa tidak bertumpu pada materi yang sedang
dipelajari saja tetapi secara tidak langsung siswa memperoleh banyak pengetahuan yang pada
akhirnya dapat menunjang peningkatan kualitas hasil belajar secara menyeluruh;
2. Memandang matematika sebagai suatu keseluruhan yang padu bukan materi yang berdiri
sendiri;
3. Menyatakan relevansi dan manfaat baik disekolah maupun diluar sekolah.
Sumarmo (dalam Gordah, 2009:27) memberikan beberapa indikator koneksi matematis yang dapat
digunakan sebagai berikut :
1. Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur;
2. Memahami hubungan antar topik matematika;
3. Menerapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehari-hari;
4. Memahami representasi ekuivalen suatu konsep;
5. Mencari hubungan satu prosedur dengan prosedur lain dan representasi yang ekuivalen;
6. Menerapkan hubungan antar topik matematika dan antara topik matematika dengan topik yang
lain.
METODE DAN INSTRUMEN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan metode korelasi regresi untuk
melihat adanya hubungan dan pengaruh antara tingkat kecemasan matematika (Mathematics
Anxiety) dengan kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis siswa. Sampel dipilih
dengan metode purposive sampling pada siswa kelas VII Sekolah Menengah Pertama di SMP
Negeri 2 Panji. Diperoleh sampel sejumlah 72 siswa.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tes untuk mengukur tingkat kecemasan
matematika (Mathematics Anxiety), tes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah
matematis dan tes untuk mengukur kemampuan koneksi matematis. Tes mengukur kecemasan
matematika diadaptasi dari beberapa tes kecemasan matematika yang telah ada. adaptasi diambil
dari Mathematics Anxiety Rating Scale (MARS) (Richardson & Suinn, 1972), Mathematics Anxiety
Scale-Revised (MAS-R) adaptasi dari Betzs (1978), skala kecemasan dari The Revised
Mathematics Anxiety Rating Scale (RMARS) yang dikembangkan oleh Alexander & Martray
(1989), dan Mathematics Anxiety-Apprehension Survey (MAAS) yang dikembangkan oleh Ikegulu
(1998). Skala kecemasan tersebut dijawab dengan mengacu pada skala Likert. Selain itu juga
digunakan Mathematics Anxiety Questionnaire yang dikembangkan oleh Meece (1981) berbentuk
kuisioner terbuka sebagai tambahan. Siswa diminta untuk menjawab dengan memberi tanda
centang (checklist) pada hanya satu pilihan jawaban yang telah tersedia. Pemberian skor pada tiap
pilihan jawaban berpedoman pada skala Likert dengan empat opsi jawaban berupa sangat sering,
sering, jarang, dan tidak pernah sama sekali, yaitu sangat sering (SS) diberikan skor 4, sering
(S) diberikan skor 3, jarang (J) diberikan skor 2, dan tidak pernah (TP) diberikan skor 1.
Sedangkan tes mengukur kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis terdiri dari 8
soal uraian dengan materi bangun datar segiempat dan garis-garis pada segitiga.
ANALISIS DATA
Data diolah menggunan uji asumsi klasik atau uji prasyarat pada analisis data model regresi linier
ganda (Multiple Regression). Uji statistik menggunakan regresi linier berganda disebut sebagai
model yang baik jika memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) yang dicapai bila
memenuhi asumsi klasik yaitu : uji normalitas, uji linearitas, uji autokorelasi, uji multikolinieritas
dan uji heterokedastisitas. Pengolahan data berikutnya adalah uji koefisien korelasi sederhana dua
variabel, korelasi parsial dan korelasi ganda. Untuk mendapatkan model matematika di lakukan uji
regresi linier ganda. Model matematika yang diperoleh berupa model matematika untuk
kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis.
190
Pemecahan Masalah
Koneksi Matematis
Tinggi
15
14
(%)
20,83
19,44
Sedang
39
43
(%)
54,17
59,72
Rendah
18
15
(%)
25
20,83
Sedangkan uji koefisien korelasi ganda antara kecemasan matematika dengan kemampuan
pemecahan masalah dan koneksi matematis disajikan dalam tabel berikut :
Tabel 2
Hasil Uji Korelasi Ganda
Koefisien Korelasi
Dari tabel 2 tampak bahwa terdapat hubungan antara kecemasan matematika dengan kamampuan
pemecahan masalah sebesar 0,682, sedangkan hubungan antara kecemasan matematika dengan
kemampuan koneksi matematis ditunjukkan dengan koefisien korelasi sebesar 0,903 atau sangat
signifikan. Pola hubungan tidak searah ditunjukkan oleh tanda negatif pada koefisien korelasi yang
menunjukkan bahwa hubungan tidak searah antara kecemasan matematika dan kemampuan
pemecahan masalah dan koneksi matematika.
Model matematis yang terbentuk dari uji regresi linier ganda ditunjukkan sebagai berikut :
Y1 = 41,664 0,284 X1 0,300 X2 0,457 X3 + e1
Y2 = 19,178 0,191 X1 0,183 X2 0,173 X3 + e2
Y1 menunjukkan skor kemampuan pemecahan masalah dan Y2 menunjukkan skor kemampuan
koneksi matematis, sedangkan variabel X1 adalah kecemasan terhadap pembelajaran matematika,
X2 adalah kecemasan terhadap ujian matematika dan X3 adalah kecemasan terhadap perhitungan
numerikal.
Tanda koefisien regresi menunjukkan arah pengaruh antara kecemasan matematika dengan
kemampuan pemecahan masalah. Tanda positif (+) berarti bahwa ada hubungan searah antara
variabel bebas dan variabel terikatnya. Sedangkan tanda negatif (-) berarti bahwa ada hubungan
tidak searah antara variabel bebas dan terikatnya. Nilai error berasal daro kriteria kecemasan
matematikayang lain selain dari yang dikaji oleh peneliti atau berasal dari faktor-faktor lain diluar
kecemasan matematika.
Tampak dari koefisien regresi pada kemampuan pemecahan masalah bahwa pengaruh terbesar dari
tingkat kecemasan matematika ditunjukkan oleh kecemasan terhadap perhitungan numerikal. Yaitu
kecemasan siswa yang timbul saat harus berhubungan dengan bilangan-bilangan dan operasi
matematis yang ada didalamnya. dilihat dari kemampuan pemecahan masalah yang menuntut siswa
untuk mencari jalan keluar dari suatu permasalahan untuk mencapai tujuan yang tidak dengan
segera dapat dicapai (Turmudi, 2001:86). Kemampuan pemecahan masalah tidak hanya melibatkan
kecakapan siswa membuat prosedur penyelesaian masalah, namun juga pada kemampuan
merancang dan menemukan cara penyelesaian masalah hingga meninjau kembali jawabannya.
Sehingga siswa yang hanya menghafal rumus akan mengalami kesulitan untuk mencapai
kemampuan pemecahan masalah matematis.
Sedangkan kecemasan terhadap pembelajaran matematika menunjukkan koefisien regresi tertinggi
dibandingkan variabel kecemasan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran yang
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
191
dilakukan peneliti memberikan kontribusi lebih besar untuk menimbulkan kecemasan dalam diri
siswa. Hal ini tidak berarti bahwa pembelajaran yang dilakukan tidak berhasil, tetapi proses
pembelajaran yang baru dan siswa belum terbiasa dengan model pembelajaran tersebut. Hasil ini
juga menunjukkan bahwa selama ini siswa hanya terbiasa dengan satu pembelajaran yaitu
pembelajaran konvensional.
KESIMPULAN
Dari hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa setiap peningkatan skor kecemasan matematika
berupa kecemasan terhadap pembelajaran matematika, kecemasan terhadap ujian matematika dan
kecemasan terhadap perhitungan numerikal mengakibatkan menurunnya skor kemampuan
pemecahan masalah dan koneksi matematis siswa. Hal ini berarti pula bahwa penurunan tingkat
kecemasan matematika yang dialami siswa menyebabkan naiknya tingkat kemampuan pemecahan
masalah dan koneksi matematis siswa. Masing-masing kriteria kecemasan matematika memberikan
pengaruh negatif terhadap kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis, artinya setiap
kenaikan masing-masing skor kecemasan matematika kecemasan terhadap pembelajaran
matematika, skor kecemasan terhadap ujian matematika dan skor kecemasan terhadap perhitungan
numerikal berpengaruh pada penurunan skor kemampuan pemecahan masalah dan koneksi
matematis siswa.
Faktor kecemasan yang berpengaruh paling tinggi terhadap kemampuan pemecahan masalah
adalah kecemasan terhadap perhitungan-perhitungan numerikal, ini diakibatkan karena siswa
terbiasa menghafalkan rumus matematika dan kurang terlatih untuk mengerjakan soal tidak rutin
pada pembelajaran-pembelajaran konvensional yang dilakukan guru dan belum terbiasa dengan
pembelajaran yang dilakukan peneliti. Sedangkan kecemasan terhadap pembelajaran matematika
memberikan kontribusi paling tinggi terhadap kemampuan koneksi matematis, ini diakibatkan
karena pembelajaran yang dilakukan peneliti menuntut siswa untuk mengingat kembali materi yang
telah dipelajari dan mampu mengkoneksikannya dengan materi yang sedang dipelajari, pada
pembelajaran ini siswa dilatih untuk meninggalkan kebiasaannya untuk sekedar menghafalkan
rumus matematika dan menggantinya dengan belajar memahami dan memaknai konsep dan rumus
matematika serta lebih banyak melakukan latihan soal. Dan proses ini membutuhkan waktu untuk
siswa beradaptasi.
192
DAFTAR PUSTAKA
193
Sejak tahun akademik 2008/2009, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung
merupakan salah satu Perguruan Tinggi Negeri yang mengadakan seleksi penerimaan mahasiswa
baru dengan 3 jalur bagi para calon mahasiswanya yang berasal dari berbagai sekolah menengah
atas atau sederajatnya.
Seleksi penerimaan mahasiswa baru di UIN Sunan Gunung Djati Bandung dilakukan melalui tiga
jalur yaitu melalui : (1) Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), (2)
Penelusuran Potensi Akademik (PPA), dan (3) Ujian Lokal yang diselenggarakan oleh UIN
Bandung. Jalur PPA dan Ujian Lokal berlaku bagi para mahasiswa yang akan masuk ke semua
jurusan yang ada di universitas tersebut, namun pada Jalur SNMPTN hanya dilakukan pada
beberapa jurusan saja. Berikut ini daftar jurusan yang dapat ditempuh melalui jalur SNMPTN
194
Tabel 1.
Jurusan/Program Studi yang dapat ditempuh melalui jalur SNMPTN
pada tahun 2008/2009
No
Jurusan /Program Studi
Fakultas
1
Sosiologi
Ushuluddin
2
Pendidikan Matematika
Tarbiyah dan Keguruan
3
Ilmu Hukum
4
Administrasi Negara
Syariah dan Hukum
5
Manajemen
6
Ilmu Komunikasi Jurnalistik
Dakwah dan Komunikasi
7
Ilmu Komunikasi Humas
8
Sastra dan Bahasa Inggris
Adab dan Humaniora
9
Matematika
10
Biologi
11
Fisika
12
Kimia
Sains dan Teknologi
13
Teknik Informatika
14
Teknik Elektro
15
Teknologi Pertanian
16
Psikologi
Psikologi
Sumber : Bagian Akademik UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2011)
Tahun akademik 2008/2009 merupakan tahun pertama kalinya penerimaan mahasiswa Program
Studi (Prodi) Pendidikan Matematika melalui Jalur SNMPTN. Sebelumnya mahasiswa diterima
melalui Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal.
Untuk mahasiswa yang diterima melalui Jalur PPA adalah mahasiswa yang di jenjang pendidikan
sebelumnya yaitu Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajatnya dan Madrasah Aliyah (MA)
termasuk peringkat 10 besar dengan nilai rata-rata raport minimal 7. Calon mahasiswa yang masuk
melalui jalur ini tidak dibebankan untuk mengikuti tes namun mereka mengikuti penyeleksian
administrasi yang telah ditentukan yang dilanjutkan dengan tahap yaitu wawancara. Jalur PPA
dilakukan terlebih dahulu sebelum jalur-jalur yang lainnya, dengan tujuan apabila terdapat calon
mahasiswa yang tidak lulus pada jalur ini dapat mengikuti di jalur yang lainnya. Dalam hal ini yang
menjadi panitia adalah pihak UIN Bandung.
Sedangkan jalur Ujian Lokal calon mahasiswa harus mengikuti tes secara tertulis di UIN Bandung
secara serentak baik bagi calon mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika maupun prodi yang
lainnya. Sama halnya dengan Jalur PPA, jalur Ujian Lokal memiliki beberapa tahap yaitu setelah
penyeleksian administrasi kemudian pelaksanaan tes dan wawancara. Sama halnya pada jalur PPA,
panitia penyeleksian pada jalur Ujian Lokal adalah pihak UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Jalur SNMPTN adalah jalur masuk perguruan tinggi negeri yang dilakukan secara serentak di
seluruh Indonesia. Bagi yang memilih UIN Bandung, setelah lulus mereka diharuskan mengikuti
tahap wawancara.
Mahasiswa baru yang diterima di Prodi Pendidikan Matematika yang berasal dari SMA atau
sederajatnya dan MA serta lulus melalui ketiga jalur akan menerima pembelajaran berbagai mata
kuliah dari dosen. Mata kuliah yang disajikan dan diterima oleh mahasiswa tiap semester
tergantung pada prosedur yang berlaku atau yang ditetapkan oleh program studi yang
bersangkutan.
Dalam mengikuti perkuliahan setiap mahasiswa diharuskan mengikuti prosedur perkuliahan yang
diberikan oleh dosen dan tentunya berlaku di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Setelah
mengikuti perkuliahan dengan berbagai mata kuliah yang disajikan, tentunya akan diadakan
evaluasi baik itu berupa tugas individu, tugas kelompok, UTS dan UAS. Evaluasi tersebut pada
akhirnya akan menghasilkan sebuah penilaian terhadap kemampuan mahasiswa. Nilai-nilai mata
kuliah yang ada akan diakumulasikan menjadi sebuah indeks prestasi.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
195
Indeks prestasi adalah nilai atau angka yang menunjukan prestasi atau kemajuan belajar mahasiswa
dalam satu semester yang dihitung setiap akhir semester (Sudarman, 2004:71). Dengan adanya
indeks prestasi dapat diketahui kemampuan mahasiswa dalam satu semester atau lebih, sesuai
dengan perhitungan yang berlaku. Pada akhir kuliah atau pada akhir semester tertentu biasanya
indeks prestasi tersebut akan diakumulasikan menjadi indeks prestasi kumulatif (IPK). IPK
merupakan angka yang menunjukkan prestasi atau kemajuan belajar mahasiswa secara kumulatif
mulai dari semester pertama sampai semester tertentu atau sampai semester akhir termasuk skripsi
(Sudarman, 2004:71).
Berdasarkan uraian tersebut akan terdapat kemampuan yang bervariasi dari mahasiswa Pendidikan
Matematika pada tahun akademik tersebut yang dilatarbelakangi oleh asal sekolah yang beragam
serta jalur masuk yang bervariasi di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Sebagai gambaran tentang
IPK mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika, berikut ini disajikan IPK mahasiswa tahun
akademik 2006/2007 dan 2007/2008 yang penerimaannya hanya melalui Jalur PPA dan Jalur Ujian
Lokal.
2,96
2,82
2,99
2,84
3
2
Ujian
Lokal
1
0
PPA
2007/2008
2006/2007
Gambar 1. Rata-rata Perolehan IPK melalui Jalur PPA dan Ujian Lokal
Sumber: Bagian Administrasi Prodi Pendidikan Matematika
UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2011)
Pada Gambar 1, terlihat bahwa rata-rata IPK mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika yang
melalui jalur PPA dan Ujian Lokal tidak berbeda secara signifikan. Rata-rata IPK mahasiswa kedua
jalur tersebut apabila dikonversikan pada standar kelulusan di UIN keduanya mendapat predikat B.
Hasil IPK tersebut hanya di dasarkan pada jalur masuk yang ditempuh saja dan tidak
diklasifikasikan berdasarkan asal sekolah.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan mendorong peneliti untuk melakukan penelitian
tentang perbedaan IPK mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika berdasarkan asal sekolah dan
jalur masuk yang ditempuh. Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui IPK
mahasiswa yang masuk melalui jalur seleksi SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal dan asal
sekolah mereka (SMA atau sederajatnya dan MA) serta untuk mengetahui jalur masuk manakah
yang lebih unggul atau bahkan ada atau tidaknya interaksi antara jalur masuk dan asal sekolah
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini sebagai berikut:
1)
Apakah terdapat perbedaan IPK mahasiswa yang melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan
Jalur Ujian Lokal ditinjau dari : a) keseluruhan dan b) asal sekolah
2)
Apakah terdapat keterkaitan (interaksi) antara jalur masuk dan asal sekolah terhadap IPK
mahasiswa
196
2. Tujuan Penelitian
Kajian dalam penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, diantaranya:
1)
Bagi pihak UIN Sunan Gunung Djati Bandung penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi
dalam menjaring mahasiswa baru
2)
Bagi mahasiswa sebagai tolak ukur kemampuan dan dapat dijadikan motivasi untuk selalu
meningkatkan prestasi.
4. Batasan Masalah
Untuk mencegah meluasnya permasalahan, maka dalam penelitian ini bahasan dibatasi sebagai
berikut:
1)
Mahasiswa yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika
2)
Mahasiswa yang dijadikan subjek penelitian adalah mahasiswa angkatan 2008/2009, hal ini
dikarenakan seleksi melalui jalur SNMPTN baru diberlakukan di UIN Sunan Gunung Djati
pada tahun akademik 2008/2009.
3)
Rata-rata IPK yang dibicarakan dalam penelitian adalah rata-rata IPK mahasiswa angkatan
2008 semester I sampai semester V
B. Kajian Pustaka
1. Indeks Prestasi
Sistem pendidikan di Perguruan Tinggi di Indonesia adalah Sistem Kredit Semester (SKS) yang
merupakan sistem pendidikan yang menempatkan beban mengajar, beban belajar, serta praktikum
diatur sedemikian rupa sehingga dosen, mahasiswa maupun penyelenggara pendidikan mempunyai
tanggung jawab yang sama. (Sudarman, 2004:45)
Adanya SKS tentunya akan berpengaruh pada sistem penilaian yang berlaku di perguruan tinggi.
Sistem penilaian di perguruan tinggi tentunya berbeda dengan sistem penilaian yang ada di sekolah
dasar maupun sekolah menengah. Pada dasarnya sistem penilaian dalam pendidikan tidak terlepas
dari kemampuan menjawab soal ujian, kegiatan praktikum, kehadiran dalam mengikuti
pembelajaran dan pengerjaan tugas. Pemenuhan masing-masing bagian dari komponen sistem
penilaian tersebut di perguruan tinggi dapat menolong mahasiswa dalam kelulusan suatu mata
kuliah yang pada akhirnya disimbolkan dalam sebuah nilai. Nilai-nilai yang didapatkan oleh
mahasiswa akan digabungkan dalam sebuah indeks prestasi.
Indeks prestasi (IP) adalah nilai atau angka yang menunjukkan prestasi atau kemajuan belajar
mahasiswa dalam satu semester yang dihitung setiap akhir semester (Sudarman, 2004:71). IP dalam
perkuliahan merupakan hasil yang diperoleh tiap mahasiswa di universitas yang mempunyai sistem
administrasi berupa SKS. IP di bangku perkuliahan merupakan salah satu bukti adanya evaluasi
pembelajaran yang hasilnya berupa nilai/score. Di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, perhitungan
IP dapat dilakukan sebagai berikut:
IP =
Keterangan:
IP : Indeks Prestasi
X : Bobot nilai ujian mata kuliah
Y : Bobot kredit (sks) mata kuliah
: Jumlah sks
UIN (2008:60)
197
Penghitungan IP dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui prestasi mahasiswa ataupun kemajuan
belajar mahasiswa yang dapat dilihat tiap semester, sehingga mahasiswa dapat melihat hasil belajar
yang dilakukan selama satu semester atau beberapa semester sampai akhir perkuliahan.
2. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)
Indeks prestasi kumulatif (IPK) merupakan angka yang menunjukkan prestasi atau kemajuan
belajar mahasiswa secara kumulatif mulai dari semester pertama sampai semester tertentu atau
sampai semester akhir termasuk skripsi (Sudarman, 2004:71).
Pengertian lain dari IPK adalah gambaran kumulasi prestasi hasil studi mahasiswa dari keseluruhan
program kurikulum yang dihitung pada akhir program pendidikan. Adapun IPK yang dipakai
dalam penelitian ini adalah IPK semester yang merupakan gambaran kumulatif nilai prestasi yang
dicapai sampai dengan semester yang dilalui, yaitu gabungan seluruh nilai mata kuliah yang
ditempuh (termasuk yang bernilai E).
Selain menunjukkan prestasi mahasiswa, IPK pun dapat dijadikan sebagai salah satu acuan bagi
mahasiswa ketika mereka akan mengontrak mata kuliah semester berikutnya ataupun dapat
dijadikan sebagai salah satu nilai pokok yang akan dijadikan acuan untuk melanjutkan studi ke
jenjang yang lebih tinggi. Di bangku perkuliahan khususnya di UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, nilai setiap mahasiswa yang akan dijadikan IP sebelumnya berupa angka akan
dikonversikan ke dalam nilai yang berbentuk huruf A, B, C, D dan E masing-masing berbobot nilai
4, 3, 2, 1 dan 0. Standar rentang skor, nilai dan bobot penilaian hasil studi tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2.
Standar Rentang Skor, Nilai dan Bobot Penilaian Hasil Studi
No
Rentang Skor Nilai
Nilai
Bobot
1
80 100
A
4,00
2
70 79
B
3,00
3
60 69
C
2,00
4
50 59
D
1,00
5
0 49
E
0
Sumber : Pedoman Akademik UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2007: 54)
Akumulasi prestasi hasil studi mahasiswa dari keseluruhan program kurikulum dihitung pada akhir
program pendidikan. Standar predikat kelulusan UIN Sunan Gunung Djati Bandung tersaji pada
Tabel 3.
Tabel 3.
Standar Predikat Kelulusan UIN Sunan Gunung Djati Bandung
No
1
2
3
4
5
Indeks Prestasi
3,50 4,00
3,00 3,49
2,50 2,99
2,00 2,49
0,00 1,99
Predikat Kelulusan
Cumlaude
Amat Baik
Baik
Cukup
Tidak Lulus
Sumber : Pedoman Akademik UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2007: 61) \
3. Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru di UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Penerimaan mahasiswa baru tahun akademik 2008/2009 di UIN Sunan Gunung Djati Bandung
memiliki tiga jenis penyeleksian mahasiswa yaitu Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian
Lokal. Prodi Pendidikan Matematika merupakan salah satu Prodi di Jurusan Pendidikan MIPA
yang mulai tahun akademik 2008/2009 menerima mahasiswa dari tiga jalur tersebut.
198
Untuk mengetahui secara lebih jelas mengenai ketiga jalur penerimaan mahasiswa pada tahun
akademik 2008/2009 di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, berikut dipaparkan proses penerimaan
mahasiswa baru melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal.
a.
Jalur SNMPTN
Tahun
1976
1977
1983
1989
2001
2008
Nama
Sistem Penerimaan
Mahasiswa Baru (Sipenmaru)
diadakan secara resmi oleh
Depdikbud
Ujian Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (UMPTN)
Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB)
SNMPTN
199
Pada dasarnya adanya perubahan nama dari sistem penyeleksian mahasiswa baru di PTN tidak
mengubah tujuan dari pengadaan penyeleksian mahasiswa baru tersebut. Tujuan diadakannya
penyeleksian mahasiswa baru di PTN untuk menyeleksi dan memperoleh calon mahasiswa yang
memiliki kemampuan akademik guna mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Depdiknas, 2011:2)
UIN Sunan Gunung Djati Bandung merupakan universitas yang terdaftar dalam data Perguruan
Tinggi Negeri pada SNMPTN. Perguruan Tinggi Negeri yang menjadi anggota SNMPTN terdaftar
pada tiga regional yang tersebar di seluruh Indonesia. Adapun pembagian regional dari SNMPTN
(UIN, 2008: 62) yaitu:
a)
b)
c)
Regional I adalah PTN yang terletak di Sumatera, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta dan
Kalimantan Barat.
Regional II adalah PTN yang terletak di Jawa tengah, Yogyakarta, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Regional III adalahPTN yang terletak di Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, Sulawesi, Kepulauan
Maluku dan Papua.
Dari penjelasan di atas, UIN Sunan Gunung Djati Bandung masuk pada regional I dalam panitia
lokal bersama Universitas Padjadjaran (UNPAD), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan
Institut Teknologi Bandung (ITB).
b.
Calon mahasiswa yang akan memasuki UIN Sunan Gunung Djati Bandung melalui jalur PPA harus
memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh panitia penyelenggara penerimaan mahasiswa baru.
Biasanya mahasiswa yang masuk melalui jalur ini menjadikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung
sebagai universitas pilihan pertama yang akan dimasuki, karena jalur ini diadakan lebih awal dari
jalur-jalur yang lainnya.
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Program Reguler Sarjana (S-1) dan Diploma melalui jalur PPA
dimaksudkan pada upaya calon penjaringan mahasiswa unggul dari lulusan Sekolah Menengah
Atas/ Madrasah Aliyah dan Keagamaan yang diperkirakan akan dapat menyelesaikan pendidikan
tinggi dengan hasil yang lebih baik dalam waktu yang ditetapkan. Adapun persyaratan calon
mahasiswa yang masuk melalui jalur PPA harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
Siswa kelas 12 MAN,MAS, MAKS, SMAN dan SMAS tahun pelajaran 2007/2008 yang
selama sekolah memiliki rata-rata nilai raport minimal 7 (tujuh) setiap semester.
Pada semester 1 kelas 12 menduduki peringkat/ranking 1sd.10 di kelasnya.
Bagi yang memilih Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Prodi Pendidikan Matematika,
Pendidikan Biologi, Pendidikan Fisika, Pendidikan Kimia, dan Fakultas Sains dan Teknologi
Program Studi Teknik Informatika, Pertanaian, Matematika, Biologi, Fisika, Kimia di
utamakan jurusan IPA.
Lancar membaca dan menulis Al-Quran dan Hadits Nabi SAW.
Mengisi formulir yang di sediakan dengan melampirkan (masing masing rangkap dua);
a. Photo copy kartu UAN ,yang dilegalisir dengan menunjukkan asalnya;
b. Photo copy Raport setiap semester yang dilegalisir dengan menunjukkan asalnya;
c. Mengisi/menempel pas poto (hitam putih/berwarna) 3x4 pada kolom yang tersedia dalam
formulir.
Membayar uang pembayaran Rp.150.000,-(seratus lima puluh ribu rupiah).
Seluruh persyaratan dimasukkan dalam map.
200
c.
Calon peserta diberi kesempatan untuk memilih 2 (dua) pilihan Program studi/Jurusan yang
di minatinya. (Pilahan I dan Pilihan II).
Khusus Pilihan II dan dialokasikan kepada pemenuhan Formasi Program Studi/jurusan yang
belum terpenuhi dari Pilihan I, apabila ranking nya memungkinkan.
Jalur Ujian Lokal
Seleksi penerimaan mahasiswa melalui jalur Ujian Lokal diselenggarakan oleh UIN Sunan Gunung
Djati Bandung dalam upaya penjaringan calon mahasiswa unngul lulusan SMA/MA dan
Keagamaan. Mahasiswa-mahasiswa tersebut diperkirakan akan dapat menyelesaikan pendidikan
tinggi dengan hasil yang lebih baik dalam waktu yang telah ditetapkan. Selain itu Ujian Lokal
dilaksanakan dalam rangka asas pemerataan kesempatan belajar bagi putra-putri Indonesia.
Ujian Lokal diperuntukan bagi siswa-siswi lulusan SMA atau sederajatnya dan MA yang tentunya
harus memenuhi persyaratan yang berlaku. Banyaknnya lulusan disesuaikan dengan pengajuan
yang diajukan oleh fakultas dan jurusan masing-masing. Materi yang diujikan pada jalur ini terdiri
dari materi pengetahuan Agama Islam, pengetahuan Bahasa dan Pengetahuan Umum. Soal-soal
pada jalur ini dibuat oleh panitia yang terdiri dari dosen-dosen yang ahli dalam bidangnya.
Kelulusan peserta ujian Ujian Lokal ini disesuaikan dengan standar yang ditetapkan oleh pihak
universitas.
4.
Kurikulum dan Mata Kuliah pada Prodi Pendidikan Matematika UIN Sunan Gunung Djati
Bandung
Kurikulum UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada umumnya sejak tahun 2006/2007 dan
seterusnya diatur sesuai dengan Ketetapan Rektor. (UIN, 2007:19). Ketetapan Rektor yang
diberlakukan dalam penetapan kurikulum disesuaikan dengan kompetensi lulusan dengan
pencapaian tujuan Kurikulum Perguruan Tinggi Agama Islam.
Kompetensi tersebut terdiri atas kompetensi dasar, kompetensi utama, kompetensi pendukung dan
kompetensi lainnya. Adapun penjelasan mengenai empat kompetensi dasar yang mendukung
kurikulum perguruan tinggi sebagai berikut :
a)
b)
c)
d)
Kompetensi dasar adalah kompetensi yang dimiliki oleh setiap mahasiswa sebagai dasar bagi
kompetensi utama, kompetensi pendukung, dan kompetensi lainnya.
Kompetensi Utama adalah kompetensi yang dimiliki oleh setiap mahasiswa setelah
menyelesaikan pendidikannya pada suatu program pendidikan tertentu.
Kompetensi Pendukung adalah kompetensi yang dimiliki oleh setiap mahasiswa untuk
mendukung kompetensi utama dan kompetensi dasar.
Kompetensi lainnya adalah kompetemsi yang dianggap perlu dimilikioleh mahasiswa sebagi
bekal untuk mengabdi di masyarakat, baik yang terkait langsung maupun tidak.
Prodi Pendidikan Matematika UIN Sunan Gunung Djati Bandung menyajikan mata kuliah yang
sesuai dengan kurikulum yang berlaku dan empat kompetensi yang telah disebutkan. Empat
kompetensi mata kuliah tersebut tersaji pada Tabel 5.
201
Tabel 5.
Mata Kuliah Berdasarkan Kompetensi yang Disajikan di Prodi
Pendidikan Matematika UIN Sunan Gunung Djati Bandung
NO.
KODE
MATA KULIAH
KDU-0001
Al-Qur'an/Ilmu Tafsir
KDU-0002
Hadits/Ilmu Hadits
KDU-0003
Ilmu Fiqh
KDU-0004
Ilmu Tauhid/Aqidah
KDU-0005
Akhlak/Tasawuf
KDU-0007
KDU-0008
MATA KULIAH
BOBOT SKS
I. KOMPETENSI DASAR
KDU-0009
Bahasa Indonesia
10
KDU-0010
Bahasa Inggris
11
KDU-0011
Bahasa Arab
Jumlah
25
KU-40501
Landasan Pendidikan
KU-40502
KU-40503
Bimbingan Konseling
KU-40504
KU-40505
Pengelolaan Pendidikan
KU-40506
KU-40507
KU-40508
KU-40509
10
KU-40510
11
KU-40511
Micro Teaching
12
KU-40512
13
KU-40513
14
KU-40514
Statistik Dasar
15
KU-40515
Matematika Dasar
16
KU-40516
Geometri
17
KU-40517
Trigonometri
18
KU-40518
Teori Bilangan
19
KU-40519
20
KU-40520
21
KU-40521
22
KU-40522
23
KU-40523
24
KU-40524
Kalkulus I
25
KU-40525
Kalkulus II
202
26
KU-40526
Kalkulus III
27
KU-40527
Aljabar Matriks
28
KU-40528
Aljabar Linier
29
KU-40529
Geometri Analitik
30
KU-40530
Struktur Aljabar I
31
KU-40531
Geometri Transformasi
32
KU-40532
Statistik Matematika I
33
KU-40533
Persamaan Diferensial
35
KU-40535
Analisis Real I
36
KU-40536
Program Komputer
37
KU-40537
Komprehensif
38
KU-40538
Skripsi
Jumlah
105
KP-40540
KP-40541
Statistik Matematika II
KP-40542
KP-40543
KKN
KP-40544
Praktek Ibadah
KP-40545
Praktek Tilawah
KP-40546
Matematika Diskrit *
KP-40547
Program Linier *
10
KP-40548
Filsafat Matematika
Jumlah
17
KL-40549
Seminar Matematika
KL-40550
KL-40551
Sejarah Matematika *
KL-40552
KL-40553
Kewirausahaan *
Jumlah
11
Jumlah Total
158
Nb. *) Mata Kuliah Pilihan
No.
Jenis Kompetensi
SKS
Prosentasi/%
1
Kompetensi Dasar
25
15,82
2
Kompetensi Utama
105
66,46
3
Kompetensi Pendukung
17
10,76
4
Kompetensi Lainya
11
6,96
158
100,00
Sumber: Bagian Administrasi Prodi Pendidikan Matematika UIN Sunan Gunung Djati Bandung 4 Mei 2011)
Dari Tabel 5 dapat diketahui berbagai mata kuliah yang disajikan pada Prodi Pendidikan
Matematika sesuai dengan klasifikasi kompetensinya. Jumlah dari keseluruhan mata kuliah yang
disajikan adalah 58 mata kuliah dengan bobot SKS sebanyak 158.
203
5.
Keadaan mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika berasal dari calon mahasiswa yang mengikuti jalur-jalur
penyeleksian yang diadakan oleh UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Pada tahun akademik
2008/2009 Prodi Pendidikan Matematika merupakan salah saru program studi yang mahasiswa
didalamnya berasal dari tiga jalur seleksi yaitu Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal.
Mahasiswa yang lulus melalui tiga jalur tersebut, akan menerima pembelajaran berbagai mata
kuliah dari dosen. Mata kuliah yang disajikan dan yang diterima oleh mahasiswa tiap semester
tergantung pada prosedur yang berlaku atau yang ditetapkan oleh Prodi yang bersangkutan. Pada
mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika angkatan 2008 yang menjadi subyek dalam penelitian ini
telah melewati perkuliahan selama lima semester.
Dalam mengikuti perkuliahan setiap mahasiswa diharuskan mengikuti prosedur perkuliahan yang
diberikan oleh dosen dan tentunya berlaku di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Setelah
mengikuti perkuliahan dengan berbagai mata kuliah yang disajikan, tentunya akan diadakan
evaluasi baik itu berupa tugas individu, tugas kelompok, UTS dan UAS. Evaluasi tersebut pada
akhirnya akan menghasilkan sebuah penilaian terhadap kemampuan mahasiswa yang berupa nilai.
Nilai-nilai mata kuliah yang ada akan diakumulasikan menjadi sebuah indeks prestasi yang pada
akhirnya diakumulasikan menjadi IPK.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa mata kuliah yang disajikan dapat
diklasifikasikan ke dalam berbagai kompetensi. Adanya klasifikasi tersebut dapat menjadikan
bahan acuan untuk melihat keunggulan yang dimiliki oleh masing-masing mahasiswa. Keunggulan
tersebut berupa nilai yang dapat diakumulasikan berdasarkan kompetensi yang sudah ada.
6. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian pustaka yang telah diuraikan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1)
2)
3)
4)
5)
Terdapat perbedaan IPK antara mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA
dan Jalur Ujian Lokal ditinjau dari : a) keseluruhan dan b) asal sekolah.
Terdapat perbedaan IPK antara mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur
PPA ditinjau dari : a) keseluruhan dan b) asal sekolah
Terdapat perbedaan IPK antara mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur
Ujian Lokal ditinjau dari : a) keseluruhan dan b) asal sekolah
Terdapat perbedaan IPK antara mahasiswa yang masuk melalui Jalur PPA dan Jalur Ujian
Lokal ditinjau dari : a) keseluruhan dan b) asal sekolah
Terdapat keterkaitan (interaksi) antara jalur masuk dan asal sekolah terhadap IPK mahasiswa
C. Metode Penelitian
Definisikan masalah
Lakukan penelaahan pustaka
Rumusan hipotesis-hipotesis
Rumuskan asumsi-asumsi yang mendasari hipotesis-hipotesis itu serta prosedur yang akan
dikerjakan
204
5)
a.
Populasi
Menurut Asyari (dalam Suryana, 2009:175) populasi adalah keseluruhan obyek penelitian,
mungkin berupa manusia, gejala-gejala, benda-benda, pola sikap, tingkah laku dan sebagainya
yang menjadi obyek penelitian.
Sebagaimana yang telah diuraikan pada batasan masalah bahwa mahasiswa yang dijadikan subjek
penelitian adalah mahasiswa angkatan 2008/2009, hal ini dikarenakan seleksi melalui jalur
SNMPTN baru diberlakukan di UIN Sunan Gunung Djati pada tahun akademik 2008/2009.
Dengan demikian mahasiswa tersebut menjadi populasi dalam penelitian ini. Berdasarkan data dari
bagian akademik Prodi Pendidikan Matematika terdapat 114 orang mahasiswa angkatan 2008/2009
yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal serta berasal dari SMA dan
MA. Sebaran datanya tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6.
Sebaran Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika angkatan 2008
berdasarkan Jalur Masuk dan Asal Sekolah
No
1
2
3
Jalur Masuk
SNMPTN
PPA
Ujian Lokal
Jumlah
Asal sekolah
SMA
MA
27
3
18
19
36
11
81
33
Jumlah
30
37
47
114
Sumber : Bagian Administrasi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2011)
Pada Tabel 6, jumlah mahasiswa yang menjadi populasi adalah 114 orang. Jumlah tersebut
merupakan populasi yang heterogen, sehingga harus diubah menjadi bagian-bagian populasi yang
homogen. Setelah mendapatkan populasi yang homogen, selanjutnya untuk menentukan sampelnya
digunakan teknik Propotionates Stratified Random Sampling yaitu pengambilan sampel dari
anggota populasi secara acak dan berstrata secara proporsional. Teknik ini digunakan apabila
anggota populasi berkaitan dengan karakteristik. Dalam teknik ini terjadi proses pembentukan sub
populasi yang disebut strata.
b.
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel adalah suatu cara mengambil sampel yang representatif dari populasi.
Pengambilan sampel dari populasi yang homogen dapat dilakukan dengan cara terlebih dahulu
menentukan persentase ketidak-telitian yang akan dipakai. Langkah kerja teknik Stratified Random
Sampling adalah sebagai berikut :
1)
Tentukan anggota populasi secara keseluruhan (N)
2)
Berdasarkan variabel tertentu (kriteria tertentu), populasi dibagi ke dalam strata-strata.
205
3)
4)
5)
Satuan sampling untuk setiap strata didaftar sehingga diperoleh kerangka sampling untuk
masing-masing strata (N1, N2, dan seterusnya untuk setiap strata ke i) dimana N = N1 + N2 +
+ Ni
Dari sebuah populasi selanjutnya kita menentukan ukuran sampel keseluruhan yang disebut
overall sample size.
Ukuran sampel sebesar n selanjutnya dialokasikan ke setiap strata (n 1, n2, dan seterusnya)
dimana n = n1 + n2 + . + ni. Penyebaran ini disebut alokasi sampel yang bisa dilakukan
cara alokasi proporsional yaitu ukuran sampel untuk setiap strata sesuai dengan proporsi
c.
2 , .. dan seterusnya.
Ukuran Sampel
Dalam menentukan ukuran sampel ada 4 faktor yang harus dipertimbangkan, yaitu :
a)
Derajat keseragaman (degree of homogeneity) dari populasi.
b)
Presesi (ketelitian) yang dikehendaki oleh peneliti, makin tinggi tingkat presisi yang
dikehendaki, makin besar sampel yang diambil.
c)
Rencana analisis.
d)
Tenaga, biaya dan waktu.
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam penelitian ini penentuan sampel
menggunakan teknik Stratified Random Sampling, berikut perhitungannya
a)
Menentukan anggota populasi secara keseluruhan (N) : N = 114
b)
Populasi dibagi kedalam strata-strata, seperti yang terlihat pada Tabel 6, yaitu Jalur
SNMPTN yang berasal dari SMA (N1) = 27, Jalur SNMPTN yang berasal dari MA (N2) = 3,
Jalur PPA yang berasal dari SMA (N3) = 18, Jalur PPA yang berasal dari MA (N4) = 19,
Jalur Ujian Lokal yang berasal dari SMA (N5) = 36, dan Jalur Ujian Lokal yang berasal dari
MA (N6) = 11.
c)
Agar sampel yang diambil dalam penelitian ini dapat mewakili populasi maka jumlah sampel
dihitung dengan menggunakan rumus Slovin sebagai berikut :
n=
1
n
N
e
:
:
:
:
N
1 + Ne2
konstanta
ukuran sampel
ukuran populasi
persentase kelonggaran ketidak-telitian (presesi) karena
kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir
Dalam penelitian ini diketahui N = 114 ,tingkat kelonggaran ketidak-telitian ditetapkan sebesar 5%.
Dengan menggunakan rumus diatas, untuk menentukan sampel dari populasi awal yang masih
heterogen didapat:
N
1 + N(e)2
N = 114, ; e = 5% = 0,05
n =
114
1 114 0,05
88,71 89
Jadi jumlah minimal sampel yang diambil oleh peneliti adalah sebesar 89
Ukuran sampel sebesar n selanjutnya dialokasikan kesetiap strata yaitu mahasiswa Jalur SNMPTN
yang berasal dari SMA, Jalur SNMPTN yang berasal dari MA, Jalur PPA yang berasal dari SMA,
206
Jalur PPA yang berasal dari MA, Jalur Ujian Lokal yang berasal dari SMA dan Jalur Ujian Lokal
yang berasal dari MA. Selanjutnya dihitung secara proportional dengan menggunakan rumus :
1 =
1
:
Keterangan
n1 = banyaknya sampel
n = banyaknya populasi
N = banyaknya seluruh populasi
N1 = banyaknya sampel penelitian
Berikut perhitungan untuk mendapatkan sampel dari tiap-tiap Jalur masuk dan asal sekolah :
a.
Mahasiswa Jalur SNMPTN yang berasal dari SMA sebanyak 27 orang, pengambilan
sampelnya dihitung dengan rumus sebagai berikut:
1 =
1
Jadi banyaknya sampel mahasiswa Jalur SNMPTN yang berasal dari SMA (n1) adalah 21 orang
b.
Mahasiswa Jalur SNMPTN yang berasal dari MA sebanyak 3 orang, jumlah mahasiswa
tersebut akan dijadikan sampel semuanya ( n2 = 3 orang)
c.
Mahasiswa Jalur PPA yang berasal dari SMA sebanyak 18 orang, pengambilan sampelnya
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
3 =
1
Jadi banyaknya sampel mahasiswa Jalur PPA yang berasal dari SMA (n3) adalah 14 orang
d.
Mahasiswa Jalur PPA yang berasal dari MA sebanyak 19 orang, pengambilan sampelnya
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
4 =
1
207
n = 19 ; N = 114 dan N1 = 89
Sehingga diperoleh :
19
89 = 14,83 15
114
Jadi banyaknya sampel mahasiswa Jalur PPA yang berasal dari MA (n4) adalah 15 orang
e.
Mahasiswa Jalur Ujian Lokal dan berasal dari SMA sebanyak 36 orang, pengambilan
sampelnya dihitung dengan rumus sebagai berikut:
5 =
f.
Mahasiswa Jalur Ujian Lokal dan berasal dari MA sebanyak 11 orang, pengambilan
sampelnya dihitung dengan rumus sebagai berikut :
6 =
1
Jadi banyaknya sampel mahasiswa Jalur Ujian Lokal yang berasal dari MA (n6) adalah 9 orang
Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka didapatkan proporsi sampel (proportional sampling)
untuk masing-masing jalur masuk dan asal sekolah seperti pada Tabel 7.
Tabel 7.
Proporsi Sampel Mahasiswa berdasarkan
Jalur Masuk dan Asal Sekolah
Asal sekolah
SMA
MA
1
SNMPTN
21
3
2
PPA
14
15
3
Ujian Lokal
28
9
Jumlah
63
27
Sumber : Data Sekunder diolah 2011
No
Jalur Masuk
Jumlah
24
29
37
90
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a.
Wawancara
2.
Wawancara atau yang lebih sering dikenal dengan interview adalah sebuah dialog yang dilakukan
oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara (Arikunto, 2002:132). Pada
208
penelitian ini digunakan wawancara bebas terpimpin. Menurut Arikunto (2002:132), wawancara
bebas terpimpin adalah wawancara kombinasi antara wawancara bebas dan wawancara terpimpin.
Wawancara bebas terimpin dilakukan dengan alasan agar wawancara dapat bersifat santai, namun
terarah sesuai dengan garis pertanyaan yang dipersiapkan. Pelaksanaan wawancara dilakukan oleh
penulis kepada Bagian Akademik UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Wawancara dilakukan
dengan tujuan untuk memperoleh informasi tentang seleksi penerimaan mahasiswa baru yang
melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal dan yang berasal dari berbagai asal
sekolah pada tahun akademik 2008/2009.
b.
Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan pada subyek
penelitian namun melalui dokumen (Suryana, 2009:213). Dalam hal ini penulis mendapatkan
dokumentasi data mahasiswa yang masuk Prodi Pendidikan Matematika UIN Sunan Gunung Djati
Bandung melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal pada tahun akademik
2008/2009. Data tersebut penulis dapatkan saat melakukan survey ke bagian akademik UIN Sunan
Gunung Djati Bandung pada tanggal 16 Desember 2010.
Instrumen dokumentasi akan dijadikan sebagai alat bantu untuk menjawab rumusan masalah yaitu
pengumpulan data IPK mahasiswa semester I sampai V dan data asal sekolah yang diperoleh dari
bagian nilai Prodi Pendidikan Matematika serta dari data mahasiswa yang terdapat di bagian
akademik UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
3.
Analisis Data
Data IPK dan asal sekolah mahasiswa yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan
statistika untuk membuktikan apakah hipotesis penelitian diterima atau ditolak. Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan SPSS yaitu ANOVA (Analisys Of Variances) dua jalur 2 x 3 faktorial,
yaitu 2 kategori asal sekolah (SMA dan MA) dan 3 kategori jalur masuk UIN Bandung (Jalur
SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal). Analisis ini merupakan analisis yang digunakan
untuk menganalisis perbedaan tiga variabel atau lebih.
Untuk memudahkan maka data berupa IPK mahasiswa dikelompokkan berdasarkan jalur masuk
dan asal sekolah. Pengelompokkan tersebut tersaji pada Tabel 8.
Asal
Sekolah
SMA
MA
Total
Tabel 8.
Pengelompokkan Data IPK Mahasiswa
Berdasarkan Jalur Masuk dan Asal Sekolah
IPK Mahasiswa
Jalur Masuk
Jalur SNMPTN
Jalur PPA
Jalur Ujian Lokal
IPK SNMPTN -SMA
IPK PPA - SMA
IPK- Ujian Lokal - SMA
IPK SNMPTN -MA
IPK PPA - MA
IPK- Ujian Lokal - MA
IPK SNMPTN
IPK PPA
IPK- Ujian Lokal
Keterangan :
1) IPK SNMPTN : IPK Mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN
2) IPK PPA
: IPK Mahasiswa yang masuk melalui Jalur PPA
3) IPK Ujian Lokal : IPK Mahasiswa yang masuk melalui Jalur Ujian Lokal
Dalam penelitian ini ada dua macam tahapan pengolahan data untuk suatu masalah, yaitu : pertama,
menguji semua persyaratan statistik yang diperlukan sebagai dasar dalam rangka pengujian
hipotesis. Persyaratan statistik yang diuji terlebih dahulu adalah uji normalitas sebaran data subjek
sampel, baik untuk bagian-bagiannya maupun untuk gabungannya. Setelah itu dilanjutkan dengan
pengujian homogenitas varians antara kelompok sesuai permasalahannya. Kedua, menentukan
statistik tertentu sesuai permasalahannya, dalam rangka pengujian hipotesis. Pada langkah ini
digunakan ANOVA satu dan dua jalur. Keterkaitan antara permasalahan, hipotesis, kelompok data
yang diolah, dan jenis uji statistik yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 9
209
Tabel 9.
Keterkaitan Permasalahan, Hipotesis, Kelompok Data, dan Jenis Uji Statistik
yang digunakan dalam Analisis Data
Hipotesis
Jenis Uji
Permasalahan
Kelompok Data
Penelitian
Statistik
Perbedaan IPK Mahasiswa yang
masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur
PPA dan Jalur Ujian Lokal
1 (a)
2 (a)
3 (a)
4 (a)
IPK-SNMPTN
IPK-PPA
IPK-Ujian Lokal
ANOVA
satu jalur
1 (b)
2 (b)
3 (b)
4 (b)
IPK-SNMPTN-SMA
IPK-SNMPTN-MA
IPK-PPA-SMA
IPK-PPA-MA
IPK-Ujian Lokal SMA
IPK-Ujian Lokal -MA
ANOVA
dua jalur
ANOVA
dua jalur
Skema Penelitian
Alur penelitian yang akan penulis lakukan dapat digambarkan dalam sebuah skema yang ada pada
Gambar 2.
4.
Siswa Lulusan MA
PPA
Ujian
Lokal
210
D.
1.
Hasil Penelitian
a.
IPK yang diklasifikasikan merupakan akumulasi dari 39 mata kuliah yang terdiri dari 12 mata
kuliah kompetensi dasar, 22 mata kuliah kompetensi utama dan 5 kompetensi pendukung. Ke-39
mata kuliah tersebut yaitu Ulumulquran (UQ), Bahasa Inggris (BING), Bahasa Arab (BA1/BA2),
Pendidikan Kewarganegaraan (PKN), Bahasa Indonesia (BI), Ulumulhadis (UH), Ilmu Sosial
Dasar (ISD), Filsafat Matematika (FilM), Ilmu Ahlak (IA), Sejarah Peradaban Islam (SPI), yaitu
Landasan Pendidikan (LP), Perkembangan Peserta Didik (PPD), Matematika Dasar (MD),
Trigonometri (TRI), Kapita Selekta MI, MTs, MA (KSEL), Aljabar Matrik (AM), Perkembangan
Kepribadian Guru (PKG), Statistika dasar (SD), Kalkulus (KL 1/2/3), Aljabar Linier (AL),
Evaluasi (Eva), Bimbingan Konseling (BK), Belajar dan Pembelajaran Matematika (BPM),
Perencanaan Pembelajaran Matematika (PPM), Struktur Aljabar I (SAI), Analisis Vektor (AV),
Pengelolaan Pendidikan (PP), Program Linear (PL), Statistika Penelitian (SPP), Program Komputer
(PK), Struktur Aljabar 2 (SA2), Matematika Diskrit (MD). Berikut ini data rata-rata IPK
Mahasiswa berdasarkan Jalur masuk dan asal sekolah. Berikut statistik deskriptif tentang IPK
mahasiswa.
Tabel 10.
Statistik Deskriptif Rata-rata IPK mahasiswa
Berdasarkan Asal Sekolah Dan Jalur Masuk
Jalur masuk
Jalur SNMPTN
Jalur PPA
Total
Asal sekolah
Rata-rata
SMA
MA
Total
SMA
MA
Total
SMA
MA
Total
SMA
MA
Total
3,2881
3,0200
3,2546
2,9432
2,7080
2,7486
2,7921
2,7600
2,8838
3,0287
2,7600
2,9391
Standar Deviasi
(SD)
0,25294
0,73899
0,33365
0,49968
0,53061
0,50846
0,38571
0,45873
0,41357
0,42136
0,51166
0,46821
N
21
3
24
14
15
29
25
12
37
60
30
90
Berdasarkan Tabel 10 rata-rata IPK mahasiswa yang melalui ketiga jalur masuk dan berasal dari
SMA maupun SMA memiliki rata-rata IPK yang apabila dikonversikan dalam bentuk nilai yaitu
bernilai baik. Sedangkan rata-rata IPK yang melalui jalur SNMPTN dan berasal dari SMA maupun
MA memiliki rata-rata IPK yang apabila dikonversikan dalam bentuk nilai yaitu bernilai amat baik.
Selanjutnya berikut ini data tentang IPK mahasiswa berdasarkan jalur masuk.
Tabel 11.
Statistik Deskriptif IPK mahasiswa berdasarkan Jalur Masuk
Jalur masuk
IPK
terbesar
IPK
terkecil
Rata-rata
SD
SNMPTN
PPA
Ujian Lokal
3,67
3,42
3,44
2,18
1,34
1,74
3,2546
2,7486
2,8838
0,33365
0,50846
0,41357
211
Histogram dari statistika deskriptif berdasarkan data IPK yang diklasifikasikan berdasarkan jalur
masuk diperlihatkan pada Gambar 3, Gambar 4, dan Gambar 5.
Berdasarkan Gambar 3. pada mahasiswa jalur SNMPTN terdapat 1 orang yang mendapat IPK
antara rentang 2,10-2,39, 4 orang pada rentang 2,70-2,99, 5 orang pada rentang 3,00-3,29, 13 orang
pada rentang 3,30-3,59, 1 orang oada rentang 3,60-3,89.
Berdasarkana Gambar 4. pada mahasiswa jalur PPA terdapat 1 orang yang mendapat IPK antara
rentang 1,00-1,49, 1 orang pada rentang 1,50-1,99, 5 orang pada rentang 2,00-2,99, 12 orang pada
rentang 2,50-2,99, 9 orang oada rentang 3,00-3,49 dan 1 orang pada rentang 3,50-3,99
.
Berdasarkan Gambar 5 pada mahasiswa jalur Ujian Lokal terdapat 1 orang yang mendapat IPK
antara rentang 1,50-1,79, 2 orang pada rentang 2,10-2,39, 9 orang pada rentang 2,40-2,69, 9 orang
pada rentang 2,70-2,99, 10 orang oada rentang 3,00-3,29 dan 6 orang pada rentang 3,30-3,59.
Selanjutnya data tentang IPK mahasiswa berdasarkan asal sekolah diperlihatkan pada Tabel 8.
212
Tabel 8.
Statistik Deskripsi IPK mahasiswa berdasarkan Asal Sekolah
Asal Sekolah
IPK terbesar
IPK terkecil
Rata-rata
SD
SMA
MA
3,67
3,57
1,67
1,34
3,0287
2,7600
0,42136
0,51166
Histogram dari statistika deskriptif data IPK mahasiswa yang diklasifikasikan menurut asal sekolah
akan diperlihatkan pada Gambar 6 dan Gambar 7
Berdasarkan Gambar 6. Pada mahasiswa yang berasal dari SMA terdapat 1 orang yang mendapat
IPK antara rentang 1,60-1,89, 1 orang pada rentang 1,90-2,19, 6 orang pada rentang 2,20-2,49, 11
orang pada rentang 2,50-2,79, 15 orang pada rentang 2,80-3,09, 14 orang pada rentang 3,10-3,39,
dan 15 orang pada rentang 3,40-3,69.
Berdasarkan Gambar 7. Pada mahasiswa yang berasal dari MA terdapat 1 orang yang mendapat
IPK antara rentang 1,00-1,49, 1 orang pada rentang 1,50-1,99, 5 orang pada rentang 2,00-2,99, 9
orang pada rentang 2,50-2,99, 10 orang oada rentang 3,00-3,49 dan 1 orang pada rentang 3,50-3,99.
b.
Untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan rerata IPK mahasiswa berdasarkan ketiga jalur masuk
digunakan uji ANOVA satu jalur terlebih dahulu harus ditentukan hipotesis. Adapun hipotesis
dalam hal ini adalah sebagai berikut:
Ho: Tidak terdapat perbedaan IPK yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA, dan
Jalur Ujian Lokal.
Ha: Terdapat perbedaan IPK yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA, dan Jalur
Ujian Lokal.
Pengambilan keputusan dari hipotesis diatas yaitu:
- Jika nilai probabilitas > 0,05 maka Ho diterima.
- Jika nilai probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak.
(Kariadinata, 2010:69)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
213
Tabel 12.
Uji ANOVA satu Jalur
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
3.534
15.957
19.511
df
2
87
89
Mean
Square
1.767
.183
Sig.
9,689
.000
Pada Tabel 12, terlihat bahwa F hitung untuk jalur masuk yaitu 9,689 dengan probabilitas 0,000.
Karena probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak atau terdapat perbedaan IPK mahasiswa yang masuk
melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA, dan Jalur Ujian Lokal. Selanjutnya untuk melihat mana saja
kelompok pembelajaran yang berbeda dan mana saja yang tidak berbeda ? Masalah ini akan
dibahas pada analisis Scheffe dalam Post Hoc test yang terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 13.
Tabel Post Hoc Test
Multiple Comparisons
Dependent Variable:IPK
(I)
Jalur masuk
(J)
Jalur masuk
Mean
Difference
(I-J)
PPA
.5060*
Ujian Lokal
.3708*
PPA
SNMPTN
-.5060*
Scheffe
Ujian Lokal
-.1352
Ujian Lokal
SNMPTN
-.3708*
PPA
.1352
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
SNMPTN
Std.
Error
Sig.
.11833
.11238
.11833
.10635
.11238
.10635
.000
.006
.000
.449
.006
.449
95% Confidence
Interval
Lower
Upper
Bound
Bound
.2111
.8008
.0907
.6509
-.8008
-.2111
-.4002
.1299
-.6509
-.0907
-.1299
.4002
Berdasarkan table Post Hoc Test untuk melihat ada tidaknya perbedaan dapat dilihat dari ada atau
tidaknya tanda * di ujung bilangan pada kolom mean difference (perbedaan tara-rata). Dalam Post
Hoc Test tahap ini akan diuji signifikansi perbedaan rata-rata IPK mahasiswa berdasarkan jalur
masuk.
1)
Uji signifikansi IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur PPA
Pada kolom Mean Difference atau perbedaan rata-rata diperoleh 0,5060 dan pada kolom 95%
confidence interval terlihat perbedaan rata-rata tersebut berkisar antara 0,2111 sampai 0,8008
Selanjutnya dilakukan uji signifikansi perbedaan rata-rata IPK antara mahasiswa yang nasuk
melalui Jalur SNMPTN dan Jalur PPA. Berdasarkan probabilitas yang ada dapat ditarik hipotesis
sebagai berikut:
Ho: Tidak terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN
dan Jalur PPA.
Ha: Terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan
Jalur PPA.
Pengambilan keputusan dari hipotesis diatas yaitu:
Jika nilai probabilitas > 0,05 maka Ho diterima.
- Jika nilai probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak.
(Kariadinata, 2010:71)
Pada Tabel Post Hoc Test terlihat bahwa probabolitasnya adalah 0.000 < 0,05 maka Ho ditolak
atau terdapat perbedaan rata-rata IPK yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur PPA.
Perbedaan tersebut sangat signifikan karena pada perbedaan rerata terdapat tanda *. Perbedaan
rata-rata IPK mahasiswa jalur SNMPTN lebih besar dari jalur PPA. Dengan demikian IPK
mahasiswa jalur SNMPTN lebih unggul daripada mahasiswa jalur PPA.
214
2)
Uji signifikansi IPK mahasiswa yang masuk melalui jalur SNMPTN dan jalur Ujian Lokal
Pada kolom Mean Difference atau perbedaan rata-rata diperoleh 0,3708 dan pada kolom 95%
confidence interval terlihat perbedaan rata-rata tersebut berkisar antara 0,0907sampai 0,6509.
Selanjutnya dilakukan uji signifikansi perbedaan rata-rata IPK antara mahasiswa yang nasuk
melalui jalur SNMPTN dan Jalur Ujian Lokal. Berdasarkan probabilitas yang ada dapat ditarik
hipotesis sebagai berikut:
Ho: Tidak terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN
dan Jalur Ujian Lokal
Ha: Terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur
Ujian Lokal
Pengambilan keputusan dari hipotesis diatas yaitu:
- Jika nilai probabilitas > 0,05 maka Ho diterima.
- Jika nilai probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak.
(Kariadinata, 2010:72)
Pada Tabel Post Hoc Test terlihat bahwa probabolitasnya adalah 0.006 < 0,05 maka Ho ditolak
atau terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur
Ujian Lokal. Perbedaan tersebut sangat signifikan karena pada perbedaan rerata terdapat tanda *.
Perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari jalur SNMPTN lebih besar dari jalur Ujian
Lokal. Dengan demikian IPK mahasiswa Jalur SNMPTN lebih unggul daripada mahasiswa Jalur
Ujian Lokal.
3)
Uji signifikansi IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal.
Pada kolom Mean Difference atau perbedaan rata-rata diperoleh - 0,1352 dan pada kolom 95%
confidence interval terlihat perbedaan rata-rata tersebut berkisar antara -0,4002 sampai 0,1299.
Selanjutnya dilakukan uji signifikansi perbedaan rata-rata IPK antara mahasiswa yang masuk
melalui jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal. Berdasarkan probabilitas yang ada dapat ditarik hipotesis
sebagai berikut:
Ho: Tidak terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur PPA dan
Jalur Ujian Lokal
Ha: Terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur PPA dan Jalur
Ujian Lokal
Pengambilan keputusan dari hipotesis diatas yaitu:
- Jika nilai probabilitas > 0,05 maka Ho diterima.
- Jika nilai probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak.
(Kariadinata, 2010:71)
Pada Tabel Post Hoc Test terlihat bahwa probabilitasnya adalah 0,449 0,05 maka Ho diterima
atau tidak terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur PPA dan Jalur
Ujian Lokal.
c.
Perbedaan IPK Mahasiswa berdasarkan Jalur Masuk dan asal sekolah serta interaksinya.
Selanjutnya akan dilakukan analisis dengan menggunakan Uji ANOVA dua jalur yang bertujuan
untuk mengetahui apakah ada interaksi (hubungan) yang signifikan antara dua faktor, yang dalam
kasus ini akan diuji apakah ada interaksi antara Jalur masuk dan asal sekolah terhadap IPK
Mahasiswa .
Hipotesis dalam kasus ini sebagai berikut:
Ho: Tidak terdapat interaksi antara Jalur masuk UIN Bandung dengan asal sekolah terhadap
IPK Mahasiswa.
Ha: Terdapat interaksi interaksi antara Jalur masuk UIN Bandung dengan asal sekolah terhadap
IPK Mahasiswa.
215
df
2
Mean
Square
.038
Sig.
.208
.813
Pada Tabel 14 terlihat bahwa nilai F hitung untuk interaksi jalur masuk dan asal sekolah (Jalur
masuk * asal sekolah) adalah 0,208 dengan probabilitas 0,813. Karena probabilitas > 0,05 maka Ho
diterima atau tidak terdapat interaksi antara Jalur masuk dengan asal sekolah terhadap IPK
mahasiswa. Interaksi antara Jalur masuk dan asal sekolah tersaji pada Gambar 8
Gambar 8. Interaksi IPK mahasiswa berdasarkan Jalur masuk dan asal sekolah
Berdasarkan Gambar 8, terlihat bahwa tidak terdapat interaksi antara jalur masuk dan asal sekolah
terhadap IPK mahasiswa. Berikut ini uraian tentang grafik interaksi tersebut :
a)
Mahasiswa yang berasal dari SMA dan MA pada Jalur SNMPTN (garis putus-putus paling
atas), IPKnya lebih baik daripada mahasiswa yang berasal dari SMA dan MA pada Jalur PPA
(garis putus-putus yang tengah ) dan Jalur Ujian Lokal (garis paling bawah)
b)
Mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA, IPK nya lebih baik daripada mahasiswa
yang berasal dari SMA pada Jalur Ujian Lokal.
c)
Mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur PPA, IPK nya lebih baik daripada mahasiswa
yang berasal dari MA pada Jalur Ujian Lokal.
d)
Terlihat perbedaan yang sangat tipis antara IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur
Ujian Lokal dengan mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA.
Selanjutnya semua hipotesis yang telah diuji dirangkum dalam Tabel 15
216
Tabel 15.
Rangkuman Pengujian Hipotesis pada Taraf Signifikansi 5%
Permasalahan
Hipotesis
Penelitian
Jenis Uji
Statistik
Pengujian
Ho
Hasil Uji
1(a)
ANOVA satu
jalur
Ho ditolak
Berbeda
signifikan
1(b)
ANOVA dua
jalur
Ho ditolak
Berbeda
signifikan
2(a)
Scheffe
Ho ditolak
Berbeda
signifikan
2 (b)
ANOVA dua
jalur
Ho ditolak
Berbeda
signifikan
3(a)
Scheffe
Ho ditolak
Berbeda
signifikan
3 (b)
ANOVA dua
jalur
Ho ditolak
Berbeda
signifikan
4(a)
Scheffe
Ho diterima
Tidak berbeda
signifikan
4 (b)
ANOVA dua
jalur
Ho ditolak
Berbeda
signifikan
ANOVA dua
jalur
Ho ditolak
Tidak terdapat
interaksi
2.
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian perbedaan rata-rata IPK terjadi berdasarkan asal sekolah yang
menempatkan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA lebih unggul dari mahasiswa yang
berasal dari MA. Hal ini terjadi karena karakteristik mata pelajaran di SMA yang berbeda dengan
mata pelajaran di MA. Walaupun untuk mata pelajaran umum di MA kurikulumnya sama dengan
SMA. Di MA masih ada tambahan pelajaran Agama sedangkan di SMA cukup satu jenis pelajaran
agama yaitu Pendidikan Agama Islam (PAI). Sehingga jumlah mata pelajaran di MA lebih banyak
dibandingkan dengan di SMA.
Mata kuliah kematematikaan yang diberikan di Prodi Pendidikan Matematika merupakan
pengembangan mata pelajaran matematika yang ada di tingkat menengah atas. Sehingga apabila
kualitas penguasaan materi seorang siswa pada pelajaran matematika di tingkat menengah atas
kurang baik maka akan berpengaruh pada penguasaan materi siswa tersebut apabila menjadi
mahasiswa perkuliahan di Perguruan Tinggi. Sementara itu berdasarkan data empiris kualitas SMA
pada umumnya lebih baik daripada MA dari segi sarana, proses pembelajaran dan latar belakang
siswa yang masuk ke MA.
Berdasarkan data pada pembahasan sebelumnya IPK mahasiswa semester I sampai V pada
mahasiswa Jalur SNMPTN didapat rata-ratanya 3,25 (amat baik), Jalur PPA dengan rata-rata 2,75
dan Jalur Ujian Lokal dengan rata-rata 2,86. Jalur SNMPTN merupakan jalur yang memiliki ratarata IPK paling unggul dan berpredikat amat baik. Hal ini mengindikasikan bahwa mahasiswa yang
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
217
masuk ke Prodi Pendidikan Matematika di UIN Sunan Gunung Djati Bandung melalui jalur
SNMPTN adalah mahasiswa yang berprestasi dan berpotensi di bidang pendidikan matematika
sehingga mereka bisa lolos dalam SNMPTN. Berdasarkan data didapat pula bahwa mahasiswa
yang diterima melalui jalur SNMPTN dan berasal dari SMA, nilai mata kuliah yang termasuk
kelompok kompetensi utama (lihat Tabel 5) pada umumnya baik. Selain itu, kompetisi melalui
jalur ini sangat ketat dan berskala nasional, SNMPTN memang sarat dengan persaingan. Tingginya
persaingan, membuat calon mahasiswa harus pintar-pintar menetapkan strategi, baik pemilihan
jurusan maupun dalam pengerjaan soal. Persaingan untuk mendapatkan kursi melalui Jalur
SNMPTN dari tahu ke tahu tahun semakin ketat.
Tes tertulis pada SNMPTN tidak sama dengan ujian nasional maupun dengan ujian-ujian lainnya.
Jika menjawab soal benar memiliki bobot nilai 4, kalau kosong nilai 0. Sedangkan jika salah, nilai
akan dikurangi 1. Dengan demikian calon mahasiswa harus berhati-hati, tidak bisa asal jawab.
karena kalau salah berimbas pada nilai. Tingkat kesulitan pada soal SNMPTN lebih tinggi
dibandingkan ujian nasional. Terlebih, variasi soal yang diberikan, membuat calon mahasiswa
harus lebih cermat atau teliti. Soal-soal dalam SNMPTN adalah soal-soal yang dibuat oleh para
ahli yang tidak diragukan lagi kualitasnya. Sehingga mereka yang lolos Jalur SNMPTN adalah
calon mahasiswa yang unggul.
Pada urutan kedua jalur masuk Ujian Lokal merupakan jalur yang memiliki rata-rata IPK dengan
predikat baik. Hal ini mmengindikasikan bahwa kebanyakan mahasiswa yang masuk ke Prodi
Pendidikan Matematika di UIN Sunan Gunung adalah mahasiswa yang berprestasi dan berpotensi
dibidang pendidikan matematika sehingga mereka bisa lolos pada jalur Ujian Lokal. Soal-soal
dalam jalur Ujian Lokal adalah soal-soal yang dibuat oleh para ahli dicivitas akademika UIN
Sunan Gunung Djati Bandung yang tidak diragukan lagi kualitasnya. Hanya saja dalam soal-soal
pada jalur Ujian Lokal tidak di klasifikasikan sesuai dengan jurusan yang diambil oleh mahasiswa
melainkan disamaratakan, sehingga fakta dilapangan banyak calon mahasiswa yang mengeluhkan
penyamarataan soal-soal Ujian Lokal tersebut.
Pada urutan ketiga jalur masuk PPA merupakan jalur yang memiliki rata-rata IPK dengan predikat
baik. Hal ini mengindikasikan bahwa mahasiswa yang masuk ke Prodi Pendidikan Matematika di
UIN Sunan Gunung Djati Bandung melalui jalur PPA adalah mahasiswa yang berprestasi sehingga
mereka bisa lolos pada jalur PPA. Sebagaimana persyaratan mengikuti jalur ini. Mahasiswa yang
masuk melalui jalur ini adalah mahasiswa yang memiliki prestasi sepuluh besar disekolahnya.
Namun karena setiap sekolah memiliki kualitas yang berbeda baik itu dalam segi akademik
maupun sarana yang ada, sehingga meskipun mahasiswa bersangkutan memiliki prestasi sepuluh
besar dari asal sekolahnya tapi belum tentu akan memiliki prestasi yang sama di bangku
perkuliahan. Hal tersebut bergantung pada usaha yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut dalam
mempertahankan atau bahkan meningkatkan prestasi yang dimiliki.
Berdasarkan analisis didapat bahwa tidak terdapatnya keterkaitan (interaksi) antara jalur masuk dan
asal sekolah terhadap IPK mahasiswa. Hal ini mengindikasikan bahwa jalur masuk dan asal
sekolah tidak berpengaruh terhadap IPK mahasiswa. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi
keberhasilan akademik mahasiswa diantaranya motivasi, minat, kerja keras , lingkunga keluarga
dan lingkungan kampus.
E. Simpulan dan Saran
1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu,
maka penelitian ini disimpulkan sebagai berikut
1. IPK mahasiswa berdasarkan Jalur SNMPTN, Jalur PPA, dan Jalur Ujian Lokal ditinjau dari
a. Keseluruhan :
1) Terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur
PPA dan Jalur Ujian Lokal.
218
2) Terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara yang masuk melalui Jalur SNMPTN dengan
Jalur PPA.
(i) IPK mahasiswa Jalur SNMPTN lebih baik daripada IPK mahasiswa Jalur PPA.
(ii) Bila ditinjau dari rata-rata IPK, didapat rata-rata IPK mahasiswa Jalur SNMPTN
adalah 3,2546 sedangkan rata-rata IPK mahasiswa Jalur PPA adalah 2,7486.
3) Terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara yang masuk melalui Jalur SNMPTN dengan
Jalur Ujian Lokal.
(i) IPK mahasiswa Jalur SNMPTN lebih baik daripada IPK mahasiswa Jalur Ujian
Lokal.
(ii) Bila ditinjau dari rata-rata IPK, didapat rata-rata IPK mahasiswa Jalur SNMPTN
adalah 3,2546 sedangkan rata-rata IPK mahasiswa Jalur PPA adalah 2,8838
4) Tidak terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara yang masuk melalui Jalur PPA dengan
Jalur Ujian Lokal.
b. Asal sekolah :
1) Terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur
PPA dan Jalur Ujian Lokal berdasarkan asal sekolah.
2) Terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara mahasiswa Jalur SNMPTN yang berasal dari
SMA dan MA dengan mahasiswa Jalur PPA yang berasal dari SMA dan MA.
(i) Mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur SNMPTN, IPKnya lebih baik daripada
mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA.
(ii) Rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur SNMPTN adalah 3,2881
dan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA adalah 2,9432
(iii) Mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur SNMPTN, IPKnya lebih baik daripada
mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur PPA.
(iv) Rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur SNMPTN adalah 3,0200
dan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur PPA adalah 2,7080
(v) Mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur SNMPTN, IPKnya lebih baik daripada
mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal.
(vi) Rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur SNMPTN adalah 3,0200
dan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA dan Jalur Ujian
Lokal masing-masing adalah 2,9432 dan 2,7921
3) Terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara mahasiswa Jalur SNMPTN yang berasal dari
SMA dan MA dengan mahasiswa Jalur Ujian Lokal yang berasal dari SMA dan MA.
(i) Mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur SNMPTN, IPKnya lebih baik daripada
mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur Ujian Lokal.
(ii) Rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur SNMPTN adalah 3,2881
dan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur Ujian Lokal adalah
2,7921
(iii) Mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur SNMPTN, IPKnya lebih baik daripada
mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur Ujian Lokal.
(iv) Rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur SNMPTN adalah 3,0200
dan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur Ujian Lokal adalah
2,7600
4) Terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara mahasiswa Jalur PPA yang berasal dari SMA
dan MA dengan mahasiswa Jalur Ujian Lokal yang berasal dari SMA dan MA.
(i) Mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA, IPKnya lebih baik daripada
mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur Ujian Lokal.
(ii) Rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA adalah 2,9432 dan
rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur Ujian Lokal adalah
2,7921.
(iii) Mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur PPA, IPKnya lebih baik daripada
mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur Ujian Lokal
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
219
(iv) Rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur PPA adalah 2,7080 dan
rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur Ujian Lokal adalah
2,7600
(v) Perbedaan yang sangat tipis terlihat antara IPK mahasiswa yang berasal dari MA
pada Jalur Ujian Lokal dengan mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA.
5) Tidak terdapat keterkaitan (interaksi) antara jalur masuk dan asal sekolah terhadap IPK
mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa jalur masuk dan asal sekolah tidak memberikan
pengaruh terhadap IPK mahasiswa. Banyak faktor yang mempengaruhi IPK mahasiswa
diantara minat, motivasi, usaha dan lingkungan kampus serta lingkungan keluarga.
2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan poembahasan, maka dikemukakan saran sebagai berikut :
1. Bagi pihak UIN Sunan Gunung Djati Bandung seskiranya dapat terus meningkatkan kualitas
baik itu dalam segi penyeleksian calon mahasiswa yang berasal dari berbagai asal sekolah dan
jalur masuk. Terutama dalam pembuatan soal pada Ujian Lokal , diharapkan dapat disesuaikan
dengan Jurusan ataupun Program Studi yang dituju oleh calon mahasiswa.
2. Bagi pihak Prodi Pendidikan Matematika sekiranya dapat merekomendasikan kepada pihak
UIN Sunan Gunung Djati Bandung untuk memperbanyak mahasiswa yang berasal dari SMA
dan mahasiswa yang melalui jalur SNMPTN.
Daftar Pustaka
Arikunto Suharsimi. 2002. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Rhineka
Cipta
________________. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rhineka Cipta.
Depdiknas. 2011. Buku Panduan Peserta SNMPTN 2011. http://snmptn.ac.id. Akses tanggal 20
April 2011(11:15 AM)
Dimasheri. 2008. SNMPTN Dulu dan Kini. http://neutronik.wordpress.com. Akses tanggal 20 April
2011(11:45 AM)
Kariadinata Rahayu. 2010. Modul Praktikum Mengolah Data Statistik Inferensial dengan SPSS 17.
Bandung: Tidak dipublikasikan.
Nurgana Endi. 1985. Statistika untuk Penelitian. Bandung:Permadi.
Setiawan Beni. 2008. Agenda Pendidikan Nasional.Yogyakarta: Ar-Aruz Media Group.
Sudarman Paryati. 2004. Belajar Efektif di Perguruan Tinggi. Bandung: Simbiosa Rekatama
Media.
Sudjana Nana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar.Bandung: Remaja Rosda Karya
Sudjana. 2006. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
Sugiyono. 2005. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Suryabrata Sumadi. 2004. Metode Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Suryana Yaya dan Tedi Priyatna. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Azkia Pustaka
Utama.
UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 2008. Buku Panduan Penerimaan Mahasiswa
Baru UIN
Sunan Gunung Djati Bandung Tahun akademik 2008/2009. Bandung : UIN Sunan Gunung
Djati Bandung.
UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 2008. Petunjuk Penerimaan Calon Mahasiswa Melalui
Penelusuran Potensi Akademik. Bandung : UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 2007. Buku Panduan Akademik Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung Tahun akademik 2007/2008. Bandung : UIN
Sunan Gunung Djati Bandung.
UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 2007. Kurikulum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung
Djati bandung. Bandung : UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
UNSRI.
2008.
Seleksi
Masuk
Perguruan
Tinggi
Negeri
2008.
http://snmptn2008UNSRI.wordpress.com. Akses tanggal 20 April 2011(10:06 AM)
220
Pendahuluan
Pada era sekarang ini, pendidikan nasional sedang mengalami perubahan-perubahan ke arah yang
lebih baik. Salah satu faktor utama yang mendorong perubahan tersebut adalah perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Untuk itu, diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas dan
memiliki kemampuan untuk memproses informasi sehingga dapat digunakan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan serta dapat bersaing dalam menghadapi tantangan global.
Berbicara mengenai pendidikan, tidak lengkap bila tidak melibatkan matematika sebagai salah satu
mata pelajaran wajib yang diajarkan di sekolah dan memiliki peran besar dalam dunia pendidikan.
Keberadaan matematika menjadi posisi sentral karena dua alasan, yaitu (1) Ilmu Pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) sejak tahun 1940 menegaskan bahwa kita hidup di peradaban sains dan (2)
Perangkat keilmuan yang mendukung peradaban sains dan teknologi seperti fisika, kimia,
keteknikan, sains manajemen, ilmu ekonomi, sains biologi dan medis, serta sains behavorial, yang
kesemuanya memerlukan matematika untuk pemahaman dan pengembangan lebih lanjut
(Wahyudin, 2008). Senada dengan yang disampaikan di atas, Santosa (Hudojo, 2001) menyatakan
bahwa salah satu aspek pendorong negara-negara maju dapat berkembang hingga sekarang,
ternyata 60% - 80% karena menggantungkan pada matematika. Begitupun bagi Indonesia sebagai
negara yang sedang berkembang sudah seharusnya turut serta melibatkan matematika dalam dunia
pendidikan.
Dalam proses belajar-mengajar, matematika merupakan suatu arena bagi siswa-siswa untuk
menyelesaikan suatu masalah dan memperoleh kepercayaan bahwa untuk menghasilkan suatu
penyelesaian yang benar bukan hanya dari perkataan gurunya, tetapi karena logika berpikir dari
siswa tersebut dan proses memecahkan masalah yang dilaluinya. Menurut Sumarmo (1994)
kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu hasil belajar yang akan di capai dalam
pengajaran matematika di tingkat sekolah manapun.
Siswa yang dapat memecahkan masalah adalah siswa yang memiliki kemampuan memandang
sesuatu dengan cara yang berbeda sehingga siswa tersebut dapat memecahkan masalah secara
kreatif agar dapat bersaing secara adil dan mampu bekerja sama dengan siswa yang lain. Ironisnya
kemampuan pemecahan masalah siswa bahkan mahasiswa masih kurang. Hasil studi internasional
dalam bidang matematika dan IPA (TIMSS) untuk kelas dua SLTP, menunjukkan bukti bahwa
soal-soal matematika tidak rutin yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada
umumnya tidak berhasil dijawab dengan benar oleh sampel siswa Indonesia yang mengikuti studi
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
221
itu, prestasi Indonesia di bawah rata-rata (Gulo, 2009). Selain itu Hendrayana (2008) menyatakan
bahwa hasil nilai rata-rata kemampuan pemecahan masalah siswa SMP kurang dari 50% dari skor
maksimal. Dari data-data tersebut, dapat kita simpulkan bahwa, hal utama yang menjadi perhatian
saat ini adalah meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, salah satunya pemecahan masalah
matematis siswa.
Salah satu solusi yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan di atas adalah
pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran model CORE. Seperti yang
diungkap Calfee, et al (2004) bahwa yang dimaksud pembelajaran model CORE adalah model
pembelajaran yang mengharapkan siswa untuk dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri
dengan cara menghubungkan (connecting) dan mengorganisasikan (organizing) pengetahuan baru
dengan pengetahuan lama kemudian memikirkan konsep yang sedang dipelajari (reflecting) serta
diharapkan siswa dapat memperluas pengetahuan mereka selama proses belajar mengajar
berlangsung (extending). CORE diharapkan menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
B.
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1.
Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat
pembelajaran matematika melalui model CORE lebih baik daripada siswa yang mendapat
pembelajaran konvensional?
2.
Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat
pembelajaran matematika melalui model CORE lebih baik daripada siswa yang mendapat
pembelajaran konvensional jika dilihat dari peringkat sekolah?
C.
Tujuan Penelitian
yang
yang
yang
yang
Manfaat Penelitian
Dengan tercapainya tujuan penelitian dan diperoleh hasil yang baik, maka diharapkan penelitian ini
dapat memberikan manfaat pada pihak terkait, antara lain:
1.
Bagi peneliti: Penelitian ini dapat menjawab keingintahuan serta memberikan informasi
mengenai peningkatan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah matematis siswa
melalui pembelajaran model CORE.
2.
Bagi sekolah: Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk mengembangkan atau
menerapkan pembelajaran melalui model CORE di kelas-kelas lain, serta menjadi
pertimbangan bagi pihak sekolah untuk melengkapi fasilitas yang sudah ada agar
pembelajaran dapat berjalan dengan baik.
3.
Bagi guru: Jika pembelajaran model CORE ini berhasil maka model ini dapat menjadi
alternatif untuk pembelajaran matematika lainnya guna meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa.
4.
Bagi siswa: Melalui pembelajaran model CORE, siswa dapat lebih berpikir kritis dalam
memecahkan masalah, melatih siswa belajar dalam kelompok, menumbuhkan minat siswa
terhadap matematika.
5.
Bagi praktisi pendidikan: Mengenalkan model pembelajaran yang dapat dijadikan rujukan
untuk penelitian selanjutnya.
222
E.
1.
Suatu keadaan dapat dikatakan masalah jika seseorang menyadari bahwa keadaan tersebut
memerlukan tindakan dan orang tersebut tidak dapat menemukan pemecahannya saat itu juga.
Gaugh (Fatah, 2008) mendefinisikan masalah sebagai suatu tugas yang apabila kita membacanya,
melihatnya atau mendengarnya pada waktu tertentu, dan kita tidak mampu untuk segera
menyelesaikannya pada saat itu juga. Menurut Polya (1985) pemecahan masalah diartikan sebagai
suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan untuk mencapai suatu tujuan yang tidak
secara mudah dapat dicapai. Dari definisi itu dapat dikatakan bahwa pemecahan masalah sebagai
suatu pendekatan pembelajaran, yang digunakan untuk menemukan kembali (reinvention) dan
memahami materi, konsep, dan prinsip matematika. Pembelajaran diawali dengan penyajian
masalah atau situasi yang kontekstual kemudian melalui induksi siswa menemukan konsep/prinsip
matematika.
Sumarmo (1994) memaparkan ada beberapa indikator yang harus diperhatikan dalam pemecahan
masalah, diantaranya sebagai berikut:
a)
mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang
diperlukan;
b)
merumuskan masalah matematik atau menyusun model matematik;
c)
menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru)
dalam atau di luar matematika;
d)
menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal;
e)
menggunakan matematika secara bermakna.
Pembelajaran pemecahan masalah dijelaskan Cooney et al. (1975: 242) sebagai berikut ... the
action by which a teacher encourage students to accept a challenging question and guides them in
their resolution. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran pemecahan masalah adalah suatu
tindakan (action) yang dilakukan guru agar para siswanya termotivasi untuk menerima tantangan
yang ada pada pertanyaan (soal) dan mengarahkan para siswa dalam proses pemecahannya. Jadi
dalam kegiatan pemecahan masalah siswa haruslah memiliki keingintahuan, kemauan, dan merasa
tertantang untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Jika siswa merasa termotivasi untuk
menyelesaikan masalah yang diberikan, maka siswa dengan sendirinya dapat melakukan aktivitas
pemecahan masalah dan guru dapat memberikan bantuan sesuai dengan kebutuhan siswa, serta
pada saat itu secara bersamaan penilaian pemecahan masalah dapat dilakukan guru.
2.
CORE (Connecting, Organizing, Reflecting, Extending) adalah salah satu model pembelajaran yang
berdasarkan pada teori konstruktivisme bahwa siswa harus dapat mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri, melalui interaksi diri dengan lingkungannya.
a.
Connecting
Connecting berarti menghubungkan. Seperti yang dikemukakan oleh Dymock (2005) bahwa:
An effective lesson connects students to the topic. Connectedness is the link between what
the reader knows and what is being learned. Teachers should connect students to the
content and the text structure. Hal ini perlu diterapkan kepada siswa, karena dengan adanya
koneksi yang baik, maka siswa akan mengingat informasi dan menggunakan pengetahuan
metakognitifnya untuk menghubungkan dan menyusun ide-idenya. Sesuai dengan apa yang
dipaparkan Novak (Susanna, 2003) bahwa dalam belajar orang mengkonstruksi
pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi
sebelumnya.
223
b.
Organizing
Reflecting
Reflecting merupakan tahap saat siswa memikirkan secara mendalam terhadap konsep yang
dipelajarinya. Menurut Sagala (Tamalene, 2010) refleksi adalah cara berpikir ke belakang
tentang apa yang sudah dilakukan dalam hal belajar di masa lalu. Hal ini sejalan dengan
yang dikemukakan oleh Dymock (2005) bahwa: Reflect is where students explain or
critique content, structures, and strategies. Jadi siswa mengendapkan apa yang baru
dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau
revisi dari pengetahuan sebelumnya. Siswa menyimpulkan dengan bahasa sendiri tentang
apa yang mereka peroleh dari pembelajaran ini. Dengan proses ini dapat dilihat bahwa
kemampuan siswa menjelaskan informasi yang telah mereka peroleh dan akan terlihat bahwa
tidak setiap siswa memiliki kemampuan yang sama.
d.
Extending
Extending adalah tahap saat siswa dapat menggeneralisasikan pengetahuan yang mereka
peroleh selama proses belajar mengajar berlangsung. Sedangkan untuk perluasan
pengetahuan tersebut disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan siswa. Pengetahuan
deklaratif dan procedural siswa diperluas dengan cepat sehingga mereka meneliti tentang
jawaban atas pertanyan yang mereka miliki, pengetahuan metakognitif meningkat sehingga
mereka melakukan strategi berdiskusi untuk memperoleh informasi sesama temannya dan
guru serta mencoba untuk menjelaskan temuannya kepada teman-temannya di kelas.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pembelajaran model CORE adalah model pembelajaran yang
mengharapkan siswa untuk dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan cara
menghubungkan dan mengorganisasikan pengetahuan baru dengan pengetahuan lama
kemudian memikirkan konsep yang sedang dipelajari serta diharapkan siswa dapat
memperluas pengetahuan mereka selama proses belajar-mengajar berlangsung.
F.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain penelitiannya sebagai berikut :
Kelas Eksperimen :
O
X
O
Kelas Kontrol
:
O
-O
Keterangan :
O : Pretest dan posttest (tes kemampuan pemecahan masalah matematis)
X : Perlakuan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran Model CORE
Subyek dalam penelitian ini tiga sekolah, masing-masing mewakili karakteristik secara acak, yaitu:
satu sekolah peringkat baik, satu sekolah peringkat sedang dan satu sekolah peringkat rendah. Dari
level sekolah peringkat baik, peringkat sekolah sedang dan peringkat sekolah rendah dipilih satu
SMP secara acak sederhana. Kemudian dari sekolah tersebut dipilih siswa kelas VII sebagai subyek
sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling.
G.
Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, digunakan instrumen dalam bentuk tes yakni
seperangkat soal tes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis. Dalam
penyusunan soal tes diawali dengan penyusunan kisi-kisi soal yang dilanjutkan dengan menyusun
alternatif jawaban untuk masing-masing butir soal.
224
Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
sebelum dan setelah kegiatan pembelajaran, dilakukan analisis sebagai berikut:
Gain ternormalisasi (g) = skorpostes skorpretes (Hake, 1999)
skorideal skorpretes
Tabel G.1
Tingkat Perolehan Skor Gain Ternormalisasi
H.
Interpretasi
0,7 1
Tinggi
Sedang
0 < 0,3
Rendah
Untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis, antara siswa yang
memperoleh pembelajaran model CORE dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional,
maka dilakukan analisis terhadap kelompok data gain ternormalisasi siswa yang memperoleh
pembelajaran model CORE dan gain ternormalisasi siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional. Berikut ini disajikan statistik deskriptif data gain ternormalisasi menurut model
pembelajaran dan kriteria sekolah di kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Kriteria
Sekolah
Baik
Sedang
Rendah
Tabel H.1
Statistik Deskriptif Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Eksperimen
Kontrol
Pretes
Postes
Pretes
Postes
g
16
7,54
14
30
21,26
0,62
2
19
9.69
15
8,61
10
30
22,09
0,65
14
12
6,48
15
30
22,30
0,69
11
10
30
21,08
0,56
7,69
10
28
20,96
0,60
5,91
10
25
17,91
0,50
Skor ideal = 30
Dari tabel di atas, terlihat pola perbedaan skor prestasi belajar siswa memakai memakai model
kontrol dan eksperimen. Pada kriteria sekolah baik, rata-rata skor kontrol lebih rendah dari rata-rata
skor kontrol pada kriteria sekolah sedang. Namun pada kriteria sekolah sedang, rata-rata skor
kontrol lebih tinggi dari rata-rata skor kontrol pada kriteria sekolah baik dan rendah. Pola tersebut
tidak bersesuaian dengan pola rata-rata kelompok perlakuan eksperimen, dimana rata-rata skor
kriteria sekolah baik lebih rendah dari rata-rata skor kriteria sekolah sedang dan rata-rata skor
kelompok perlakuan eksperimen terus meningkat lebih tinggi seiring menurunnya kriteria sekolah.
Hal tersebut menunjukkan bahwa antara kriteria sekolah dengan kelompok perlakuan tidak
menunjukkan adanya interaksi yang saling mendukung. Artinya, setelah diberi perlakuan pada
kelas eksperimen, peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis pada tiap-tiap peringkat
sekolah berbeda, dan tidak sejalan dengan peringkat sekolah tersebut. Sekolah dari peringkat
rendah justru hasil peningkatannya jauh lebih tinggi daripada di sekolah dengan peringkat sedang
bahkan jika dibandingkan dengan sekolah peringkat baik. Jadi peringkat sekolah tidak memberikan
pengaruh terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Untuk
membuktikannya, maka selanjutnya akan dilakukan pengujan komparatif menggunakan Anova dua
jalur.
225
1.
Untuk melihat apakah ada atau tidaknya pengaruh faktor perlakuan dan faktor kriteria sekolah serta
interaksi antara kedua faktor tersebut terhadap aspek-aspek yang diteliti digunakan analisis
menggunakan Anova dua jalur. Jika terdapat perbedaaan yang signifikan, selanjutnya akan
dilakukan pengujian perbandingan berganda antar elemen di dalam masing-masing faktor tersebut.
Berikut akan ditampilkan tabel-tabel berikut sebagai hasil analisis Anova dua jalur untuk
kemampuan pemecahan masalah matematis.
Tabel H.2
Anova Dua Jalur Skor Aspek Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Sig.
Kelompok Perlakuan
Kriteria Sekolah
Interaksi Kelompok perlakuan dengan
kriteria sekolah
0,002
0,571
0,170
Dari Tabel di atas tampak bahwa faktor model perlakuan memperoleh nilai sig. sebesar 0,002, nilai
ini lebih kecil dari nilai = 0,05. Hal ini berarti faktor model perlakuan memberi pengaruh yang
signifikan terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Artinya,
terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis, jika siswa
dikelompokan berdasarkan model perlakuannya.
Berbeda halnya dengan faktor kriteria peringkat sekolah, dari data diketahui nilai sig. dari faktor
kriteria peringkat sekolah adalah 0,571. Nilai ini jauh lebih besar dari nilai = 0,05. Hal ini berarti
bahwa faktor kriteria peringkat sekolah tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Artinya, tidak terdapat perbedaan
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis, jika siswa dikelompokkan berdasarkan
kriteria peringkat sekolahnya.
Begitu pula pada faktor interaksi antara model perlakuan dengan kriteria peringkat sekolah yang
nilai sig. lebih besar dari nilai = 0,05, yakni 0,170. Hal ini juga berarti bahwa tidak terdapat
interaksi antara faktor model perlakuan dengan faktor kriteria peringkat sekolah terhadap
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Dengan kata lain, faktor model
perlakuan dan faktor kriteria peringkat sekolah secara bersama-sama tidak memberi pengaruh yang
signifikan terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
2.
Uji Perbandingan Rata-rata antara Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen pada Aspek
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Ada tidaknya perbedaan yang signifikan antara skor kelompok perlakuan kontrol dengan kelompok
perlakuan eksperimen pada aspek kemampuan pemecahan masalah matematis diuji menggunakan
uji t untuk sampel yang saling independen.
Pengujian hipotesis:
H0
: 1 2
H1
: 1 2
: 5%.
Kriteria pengujian:
H0 ditolak jika p-value < 0,05
H0 diterima jika p-value 0,05
Berikut disajikan tabel uji perbedaan rata-rata antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen
pada aspek kemampuan pemecahan masalah matematis.
226
Tabel H.3
Uji Perbandingan Rata-rata antara Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen pada Aspek Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematis
Kriteria Sekolah
Sig. (2 tailed)
Sig. (1 tailed)
0,272
0,397
0,000
0,136
0,198
0.000
Baik
Sedang
Rendah
Kesimpulan
H0 diterima
H0 diterima
H0 ditolak
Dari tabel di atas dapat dilihat pada kriteria sekolah berperingkat baik memiliki sig (1 tailed)
sebesar 0,136. Nilai ini lebih kecil dari =0,05 sehingga H0 diterima. Jadi untuk sekolah dengan
peringkat baik, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kontrol,
walaupun kelompok eksperimen yang lebih baik daripada kelompok kontrol.
Begitu pula pada kriteria sekolah berperingkat sedang yang memiliki sig (1 tailed) sebesar 0,198.
Nilai ini lebih besar dari =0,05 sehingga H0 diterima. Jadi untuk sekolah dengan peringkat
sedang, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kontrol,
walaupun kelompok eksperimen yang lebih baik daripada kelompok kontrol.
Lain halnya dengan sekolah peringkat rendah, nilai sig.( 1 tailed) sekolah ini sebesar 0,000. Nilai
ini kurang dari =0,05 sehingga H0 ditolak dan hipotesis diterima. Jadi untuk sekolah dengan
peringkat rendah, terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kontrol,
dimana kelompok eksperimen yang lebih baik daripada kelompok kontrol.
3.
Uji Perbandingan Berganda antara Kriteria Sekolah dengan Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis
Uji ini digunakan untuk mengetahui perbandingan skor antar peringkat sekolah mana yang lebih
baik dalam peningkatan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah matematis siswa.
Tabel H.4
Uji perbandingan Berganda Aspek Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Kriteria Sekolah
(I)
GamesHowell
Baik
Sedang
Rendah
Kriteria Sekolah
(J)
Sedang
Rendah
Baik
Rendah
Baik
Sedang
Mean Difference
(IJ)
-0,0376
-0,0027
0,0376
0,0349
0,0027
-0,0349
Sig.
0,610
0,997
0,610
0,620
0,997
0,620
Pada tabel di atas dapat kita lihat sekolah mana yang lebih baik peningkatannya dalam aspek
kemampuan pemecahan masalah. Pada kemampuan pemecahan masalah ini, sekolah peringkat baik
jika dibandingkan dengan sekolah peringkat sedang menempati peringkat terakhir. Hal ini karena
peningkatan pada sekolah peringkat baik lebih kecil dibanding dengan peningkatan pada sekolah
sedang dan rendah. Jika dilihat dari mean difference, sekolah peringkat sedang lebih baik dari
sekolah peringkat baik dengan mean difference 0,0376. Begitu pula jika dibandingkan dengan
sekolah peringkat rendah yang lebih baik dari sekolah peringkat baik dengan mean difference
sebesar 0,0027. Akan tetapi jika sekolah peringkat sedang dibandingkan dengan sekolah peringkat
rendah, masih jauh lebih baik sekolah peringkat sedang dengan mean difference 0,0349. Perbedaan
peningkatan antara semua sekolah tidak signifikan, karena nilai sig. lebih besar dari = 0,05.
227
I.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian selama pembelajaran matematika melalui model CORE dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis kelompok eksperimen, siswa yang
belajar dengan model CORE, lebih baik daripada kelompok kontrol, siswa yang belajar
melalui konvensional.
2.
Jika dilihat dari peringkat sekolahnya, baik sekolah dengan peringkat baik, sedang dan
rendah, peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat
pembelajaran matematika melalui model CORE lebih baik daripada siswa yang mendapat
pembelajaran konvensional.
DAFTAR PUSTAKA
Calfee, et al. (2004). Making Thingking Visible. National Science Education Standards.University
of California, Riverside
Cooney, et al. (1975). Dynamics of Teaching Secondary School Mathematics. Boston: Houghton
Mifflin Company.
Dymock, S. (2005). Teaching Expository Text Structure Awareness. New Zealand: School of
Education University of Walkato.
Fatah, A. (2008). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA Melalui
Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended. Tesis Magister pada SPs UPI Bandung:
Tidak diterbitkan.
Gulo.S. (2009). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa SMP dalam
Matematika melalui Pendekatan Advokasi. Tesis Magister pada SPs UPI Bandung: Tidak
diterbitkan
Hake,
R.R.
(1999).
Analyzing
Change/Gain
Scores.
[Online].
Tersedia:
http://www.physics.indiana.edu/sdi/Analyzingchange-Gain.pdf
Hendrayana, A. (2008). Pengembangan Multimedia Interaktif untuk Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa SMP dalam Matematika. Tesis Magister pada SPs UPI
Bandung: Tidak diterbitkan
Hudojo, H. 2001. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. JICA. Universitas
Negeri Malang. Malang
Polya, G.(1985). How to Solve It. A New Aspect of Mathematical Methods. New Jersey: Pearson
Education, Inc.
Sumarmo, U. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan
Masalah pada Guru dan Siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian IKIP
Bandung:tidak diterbitkan.
Susanna S. Epp. (2003) The American Monthly: The Role of Logic in Teaching Proof. Volume
110, number 10, December 2003
Tamalene, H. (2010). Pembelajaran Matematika dengan Model CORE melalui Pendekatan
Keterampilan Metakognitif untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis
Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis Magister pada SPs UPI Bandung: Tidak
diterbitkan.
Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran (Pelengkap Untuk
Meningkatkan Kompetensi Pedagogis Para Guru dan Calon Guru Profesional).
Bandung
228
Matematika memegang peran penting dalam kehidupan termasuk kemampuan berpikir tingkat
tinggi. Salah satu aspek berpikir matematis tingkat tinggi adalah penalaran adaptif. Namun pada
kenyataannya masih banyak siswa-siswa mengalami kesukaran dalam penalaran. Menurut laporan
hasil studi TIMSS 1999 yang dilakukan di 38 negara yang salah satunya termasuk Indonesia,
Mullis, dkk (dalam Suryadi, 2005:2) antara lain menjelaskan bahwa sebagian besar pembelajaran
matematika belum berfokus pada pengembangan penalaran matematik siswa. Belum banyak
pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan penalaran terutama
penalaran adaptif sehingga diperlukan alternatif pembelajaran yang dapat mengembangkan
kemampuan penalaran adaptif siswa.
RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah peningkatan kemampuan penalaran adaptif
siswa melalui pembelajaran matematika dengan metode TAPPS secara signifikan lebih baik
dibandingkan dengan metode non-TAPPS (pembelajaran biasa)?
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Secara umum, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah peningkatan kemampuan
penalaran adaptif siswa yang melalui pembelajaran matematika menggunakan metode
pembelajaran TAPPS secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan metode non-TAPPS
(pembelajaran biasa). Ada pun manfaat untuk berbagai pihak di antaranya pembelajaran
matematika dengan metode TAPPS diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penalaran adaptif
siswa. Selain itu metode pembelajaran ini dapat menjadi alternatif metode pembelajaran yang dapat
meningkatkan penalaran adaptif siswa di sekolah. Sekolah dapat merekomendasikan penggunaan
metode pembelajaran TAPPS sebagai aternatif pada materi yang lain atau bahkan pada mata
pelajaran yang lain dalam rangka meningkatkan prestasi di sekolah.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
229
TEORI
Kilpatrick, et al. (2001:116) menyimpulkan bahwa terdapat lima jenis kompetensi matematis yang
perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika di sekolah, di antaranya adalah Conseptual
understanding (Pemahaman Konsep), Procedural fluency (Kemahiran Prosedural) Strategic
competence (Kompetensi Strategis), Adaptive reasoning (Penalaran Adaptif), dan Productive
disposition (Sikap Produktif). Dari uraian di atas, nampak bahwa penalaran adaptif merupakan
salah satu bagian tak terpisahkan dari kompetensi matematik lainnya sekaligus memiliki peranan
penting dalam meningkatkan kemampuan berpikir matematika tingkat tinggi. Penalaran merupakan
salah satu aspek kompetensi dasar matematika. Dengan penalaran ini, siswa merasa yakin bahwa
matematika dapat dipahami, dipikirkan, dibuktikan dan dievaluasi. Penalaran merupakan tahapan
berpikir matematik tingkat tinggi, mencakup kapasitas untuk berpikir secara logis dan sistematis.
Salah satu kelebihan dari penalaran adaptif adalah kemampuan untuk memeriksa pekerjaan
seseorang. Pengertian memeriksa di sini maksudnya menyediakan untuk dinalar (Kilpatrick, et
al. 2001:130). Bukti adalah bentuk pemeriksaan, tetapi tidak semua pemeriksaan adalah
pembuktian. Pemeriksaan dan pembuktian adalah ciri khas matematika formal, yang seringkali
terlihat dimiliki siswa senior.
Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) pertama kali diperkenalkan oleh
Claparade, yang kemudian digunakan oleh Bloom dan Broder untuk meneliti proses pemecahan
masalah pada siswa SMA. Art Whimbey dan Jack Lochhead telah mengembangkan metode ini
pada pengajaran matematika dan fisika. Pada metode TAPPS, siswa di kelas dibagi menjadi
beberapa tim, setiap tim terdiri atas dua orang. Satu orang siswa menjadi Problem Solver dan satu
orang lagi menjadi Listener. Setiap anggota tim memiliki tugas masing-masing yang akan
mengikuti aturan tertentu (Stice, 1987).
Menurut Whimbey dan Lochhead (dalam Hartman, 1998), metode ini menggambarkan pasangan
yang bekerja sama sebagai Problem Solver dan Listener untuk memecahkan suatu permasalahan,
dan setelah selesai bertukar peran. Setiap siswa memiliki tugas masing-masing, dan guru
dianjurkan untuk mengarahkan siswa sesuai prosedur yang telah ditentukan. Satu orang siswa
menjadi Problem Solver. Hal yang pertama harus dia lakukan adalah membaca soal dan kemudian
dilanjutkan dengan mengungkapkan semua hal yang terpikirkan untuk menyelesaikan masalah
dalam soal tersebut. Satu orang lagi sebagai Listener. Seorang Listener harus membuat Problem
Solver tetap berbicara. Tugas utama seorang Listener adalah memahami setiap langkah maupun
kesalahan yang dibuat Problem Solver. Seorang Listener yang bagus tidak hanya mengetahui
langkah yang diambil Problem Solver tetapi juga memahami alasan yang digunakan untuk memilih
langkah tersebut. Listener harus berusaha untuk tidak menyelesaikan masalah Problem Solver.
Listener sebaiknya dianjurkan untuk menunjukkan bila telah terjadi kesalahan tetapi tidak
menyebutkan letak kesalahannya. Setelah suatu masalah selesai terpecahkan, kedua siswa saling
bertukar tugas. Sehingga semua siswa memiliki kesempatan untuk menjadi Problem Solver dan
Listener.
Terdapat nilai nyata menggunakan metode TAPPS ini di dalam kelas. Seperti yang diungkapkan
oleh Whimbey dan Lochhead bahwa metode ini telah diperagakan dan sangat efektif untuk
membantu siswa belajar. Selain itu, Kyungmoon Jeon (1995) mengatakan bahwa metode TAPPS
lebih efektif dalam mengembangkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah, terutama
dalam mengingat kembali konsep-konsep yang terkait serta dalam menyelesaikan soal matematika.
Sejalan dengan pendapat di atas, Caruso dan Tudge (Majumder, 2006) mengungkapkan bahwa
metode TAPPS adalah metode yang efektif dan efisien membangun kemampuan menjelaskan
analitis siswa karena metode ini melibatkan pertukaran konsepsi antar siswa, yang membantu
mereka meningkatkan pembelajaran dan pemahaman mereka terhadap materi pelajaran sehingga
membantu mereka dalam memahami konsep dengan pemahaman yang lebih baik.
230
Metode TAPPS ini mengacu pada dua teori yaitu teori interaksi sosial Piaget dan teori Vygotsky
tentang perkembangan sosial. Dalam teorinya, Piaget (Sujiono, 2009:58) percaya bahwa anak-anak
itu membangun pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungan. Sehubungan dengan hal
tersebut terdapat dua teori yang dikemukakan oleh Piaget, yaitu asimilasi dan akomodasi. Proses
asimilasi terjadi ketika seorang anak menerima konsep, keterampilan dan informasi yang diperoleh
dari pengalaman mereka dengan lingkungan dalam rangka mengembangkan pola atau skema
pemahaman, sedangkan proses akomodasi terjadi ketika skema mental harus diubah untuk
menyesuaikan dengan konsep, keterampilan dan informasi baru. Jika teori Piaget dikaitkan dengan
metode pembelajaran TAPPS yang terdapat kolaborasi antar siswa maka diharapkan dapat
meningkatkan pemahaman dan penalaran siswa terhadap suatu konsep serta lebih mampu
memecahkan masalah-masalah kompleks.
Selain Piaget, metode TAPPS juga berhubungan dengan teori Vygotsky. Vygotsky (Sujiono,
2009:60) berpendapat bahwa pengetahuan tidak diperoleh dengan cara dialihkan dari orang lain,
melainkan merupakan sesuatu yang dibangun dan diciptakan oleh anak. Vygotsky yakin bahwa
belajar merupakan suatu proses yang tidak dapat dipaksa dari luar karena anak adalah pembelajar
aktif dan memiliki struktur psikologis yang mengendalikan perilaku belajarnya. Metode TAPPS
mengharuskan siswa untuk mengartikulasikan pikiran mereka kepada seorang listener ketika
mereka memecahkan masalah yang diajukan. Dalam proses tersebut, siswa belajar untuk
mengorganisasikan dan menilai kualitas pemikiran mereka sendiri. Sebagai listener, siswa belajar
untuk menghargai berbagai cara logis yang digunakan oleh problem solver dalam memecahkan
suatu masalah.
HIPOTESIS
Hipotesis dalam penelitian ini adalah : Peningkatan kemampuan penalaran adaptif siswa SMA
melalui pembelajaran matematika menggunakan metode TAPPS (Thinking Aloud Pair Problem
Solving) secara signifikan lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran matematika
menggunakan metode non-TAPPS (pembelajaran biasa).
METODE DAN DESAIN PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen karena subjek yang
akan diteliti merupakan siswa-siswa yang sudah terdaftar dengan kelasnya masing-masing,
sehingga tidak dimungkinkan untuk membuat kelompok baru secara acak. Desain yang digunakan
adalah desain kelompok kontrol non-ekivalen. Pada desain ini, peneliti mengelompokkan tidak
secara acak, tetapi peneliti memilih dua kelompok secara acak. Satu kelompok dijadikan sebagai
kelompok eksperimen dan satu kelompok dijadikan kelompok kontrol. Kedua kelompok diberikan
tes awal dan tes akhir. Pada kelompok eksperimen diberikan perlakuan yang berbeda dengan
kelompok kontrol. Penggunaan metode ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh
variabel bebas dan variabel terikat. Dalam penelitian ini, variabel bebasnya adalah pembelajaran
dengan metode TAPPS dan variabel terikatnya adalah kemampuan penalaran adaptif siswa SMA.
Diagram desain penelitiannya sebagai berikut:
O
X
O
--------------------O
O
(Ruseffendi, 1994:47)
Keterangan:
O
= Pretes/Tes awal atau Postes/Tes akhir
X
= Pembelajaran matematika dengan menggunakan metode TAPPS
231
Dalam penelitian ini digunakan dua jenis instrumen sebagai alat pengumpul data, yaitu tes dan nontes. Instrumen soal tes untuk mengetahui kemampuan penalaran adaptif siswa yang memuat lima
butir soal uraian. Instrumen non-tes terdiri atas lembar observasi. Data yang diperoleh dari
instrumen tersebut akan diolah untuk dianalisis menyangkut data hasil tes awal, data hasil tes akhir,
pengamatan terhadap aktivitas siswa dan pengamatan terhadap pengelolaan metode TAPPS.
Tes penalaran matematik dilaksanakan dua kali, yaitu sebelum pembelajaran (tes awal) dan
sesudah pembelajaran (tes akhir). Tes ini diberikan kepada kelompok eksperimen yang
memperoleh pembelajaran dengan metode TAPPS dan kelompok kontrol yang memperoleh
pembelajaran biasa/konvensional. Tes kemampuan penalaran adaptif diberikan pada kelompok
eksperimen yang terdiri dari 36 siswa dan kelompok kontrol terdiri dari 36 siswa.
Pada tes awal kemampuan penalaran adaptif siswa diperoleh skor rata-rata kedua kelompok, yaitu
34,92 pada kelompok kontrol dan 38,61 pada kelompok eksperimen. Secara sekilas terlihat sedikit
perbedaan, namun perlu diuji secara statistik. Dalam pengujian statistik, kedua kelompok diuji
normalitas. Pada pengujian normalitas, diperoleh bahwa data tes awal kelompok kontrol tidak
berdistribusi normal, sedangkan data tes awal kelompok eksperimen berdistribusi normal dengan
taraf signifikan 5%. Karena salah satu data kelompok tidak berdistribusi normal, maka dilanjutkan
dengan uji perbedaan dua rata-rata dengan menggunakan uji non-parametrik yaitu uji MannWhitney U pada taraf signifikan 5%. Berdasarkan hasil perhitungan dengan software SPSS for
windows menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor-skor kedua
kelompok. Dengan kata lain, rata-rata skor kedua kelompok dapat dikatakan bernilai sama.
Cara selanjutnya untuk melihat pembelajaran dengan metode mana yang mengalami peningkatan
lebih baik adalah cukup dengan melihat perbedaan skor rata-rata tes kemampuan akhir penalaran
adaptif siswa kedua kelompok. Hal ini dilakukan karena skor rata-rata tes awal kemampuan
penalaran adaptif siswa adalah sama atau dengan kata lain, kondisi kemampuan penalaran adaptif
siswa-siswa pada kedua kelompok adalah sama. Lain hal jika skor rata-rata tes awal kedua
kelompok berbeda, maka perlu dilihat perbedaaan rata-rata indeks gain kedua kelompok untuk
diketahui kelompok mana yang mengalami peningkatan lebih baik secara signifikan.
Pada tes akhir kemampuan penalaran adaptif siswa diperoleh skor rata-rata kedua kelompok, yaitu
40,83 pada kelompok kontrol dan 51,33 pada kelompok eksperimen. Nampak adanya perbedaan
yang cukup besar antara rata-rata skor tes akhir kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen,
namun perlu diuji secara statistik. Kedua kelompok berdistribusi normal dan homogen dengan taraf
signifikan 5%. Uji selanjutnya adalah uji perbedaan dua rata-rata secara parametrik yaitu uji-t satu
pihak. Setelah melalui perhitungan, diperoleh hasil bahwa skor tes akhir rata-rata kelompok
ekpserimen secara signifikan lebih baik daripada kelompok kontrol dengan taraf signifikan 5%.
Berdasarkan pengolahan data hasil tes akhir, diperoleh kesimpulan bahwa kemampuan penalaran
adaptif matematik siswa SMA melalui pembelajaran matematika dengan menggunakan metode
TAPPS (Thinking Aloud Pair Problem Solving) lebih baik secara signifikan daripada siswa yang
mendapat pembelajaran matematika dengan menggunakan metode non-TAPPS (pembelajaran
biasa).
Berdasarkan pengolahan dan analisis data kedua tes masing-masing kelompok, yaitu kelompok
kontrol dan kelompok eksperimen, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran
adaptif siswa SMA yang memperoleh pembelajaran matematika dengan menggunakan metode
TAPPS (Thinking Aloud Pair Problem Solving) secara signifikan lebih baik daripada siswa yang
mendapat pembelajaran matematika dengan menggunakan metode non-TAPPS (pembelajaran
biasa). Dengan demikian penerapan metode TAPPS dapat meningkatkan kemampuan penalaran
adaptif siswa. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Whimbey dan Lochhead (1987) serta
Slavin (1995) bahwa metode ini terbukti efektif dalam membantu siswa belajar karena dapat
membentuk suatu pemahaman mendalam terhadap suatu konsep.
232
Selain itu, hasil penelitian metode TAPPS juga sejalan dengan teori interaksi sosial Piaget dan teori
Vygotsky tentang perkembangan sosial. Teori Piaget menyebutkan bahwa kolaborasi di antara
siswa sangat diperlukan karena kegiatan ini akan menunjukkan pandangan yang berbeda dari yang
lainnya agar dapat memperbaiki dan meningkatkan pemahaman siswa terhadap suatu konsep serta
lebih mampu memecahkan masalah-masalah kompleks dibandingkan dengan siswa yang belajar
secara individu. Selain Piaget, Vygotsky juga berpendapat bahwa pengetahuan tidak diperoleh
dengan cara dialihkan dari orang lain, melainkan merupakan sesuatu yang dibangun dan diciptakan
oleh anak. Vygotsky yakin bahwa belajar merupakan suatu proses yang tidak dapat dipaksa dari
luar karena anak adalah pembelajar aktif dan memiliki struktur psikologis yang mengendalikan
perilaku belajarnya.
Dari hasil observasi, baik terhadap aktivitas siswa, aktivitas guru dan proses pembelajarannya,
metode TAPPS telah berjalan dengan baik dan lancar, walau ada saja kendala-kendala kecil. Kelas
yang memperoleh pembelajaran dengan metode TAPPS, siswa lebih terlihat aktif, komunikatif dan
memiliki semangat yang tinggi dalam memecahkan masalah yang diberikan, meskipun awalnya
mereka terlihat pasif dan bingung. Pembelajaran matematika dengan metode TAPPS ini juga lebih
mudah diterapkan kepada kelas dengan kemampuan siswa yang cukup setidaknya setengah dari
jumlah siswa di kelas tersebut. Jika hal itu tidak terpenuhi maka dimungkinkan akan menemukan
kelompok-kelompok yang berkendala untuk memecahkan masalah yang diberikan. Akibatnya,
guru harus bekerja lebih untuk membantu kelompok-kelompok yang mengalami kesulitan.
Penerapan metode TAPPS ini memang cocok untuk kelas dengan siswa berjumlah genap sehingga
setiap kelompok memiliki anggota sepasang.
KESIMPULAN
Berdasarkan rumusan masalah dan hasil analisis data yang diperoleh, maka dapat disimpulkan
bahwa peningkatan kemampuan penalaran adaptif siswa SMA yang memperoleh pembelajaran
matematika dengan menggunakan metode TAPPS (Thinking Aloud Pair Problem Solving) secara
signifikan lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan
menggunakan metode non-TAPPS (pembelajaran biasa).
REKOMENDASI
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang diperoleh, maka diajukan beberapa rekomendasi
yaitu penelitian terhadap metode pembelajaran TAPPS ini disarankan untuk dilanjutkan dengan
aspek penelitian yang lain pada kajian yang lebih luas, misalnya pada materi, populasi, variabel
yang diperkirakan mempengaruhi kompetensinya ataupun kompetensi matematik lainnya. Selain
itu, metode pembelajaran TAPPS dianjurkan hanya untuk kelas dengan jumlah siswa genap,
sehingga setiap siswa memiliki pasangan.
233
DAFTAR PUSTAKA
Hartman. (1998). Improving Students Problem Solving Skills [Online]. Tersedia :
http://www.ccny.cuny.edu/ctl/handbook/hartman.html[16 Desember 2006]
Kilpatrick, J., Swafford, J., & Findell, B. (2001). Adding It Up: Helping Children Learn
Mathematics . Washington, DC: National Academy Press
Kyungmoon, Jeon. (2005). The Effects of Thinking Aloud Pair Problem Solving on High School
Students Chemistry Problem-Solving Performance and Verbal Interactions [Online].
Tersedia:
http://jchemed.chem.wisc.edu
/Journal/Issues/2005/OctACS/ACSSub/V82N10/p1558.pdf [16 Desember 2006]
Majumder, Towfiq. (2006). How do students learn to solve problems to develop conceptual
understanding
of
a
subject?
[Online].
Tersedia:
www.sci.
ccny.cuny.edu/~chemwksp/Posters-Spring2006/Majumder-poster-Sp-6.ppt [16 Desember
2006]
Ruseffendi, E.T. (1994). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya.
Semarang : CV. IKIP Semarang Press.
Slavin. (1995). Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) [Online]. Tersedia:
http://www.wcer.wisc.edu/archive/cl1/CL/doingcl/tapps.ht [16 Desember 2006]
Stice, J.E. (1987). Teaching Problem Solving [Online]. Tersedia: http://wwwcsi.
unian.it/educa/problemsolving/stice_ps.html [16 Desember 2006]
Sujiono, Yuliani N. (2009). Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta : Indeks.
Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung Serta Pendekatan
Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi PPS UPI Bandung: Tidak
diterbitkan.
234
Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak didik agar memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia serta
memiliki ketrampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga Negara (UU no. 20
tahun 2004).
Namun demikian mutu pendidikan matematika di Indonesia masih rendah. Sebagai contoh, seperti
yang diungkapkan oleh Sunardi (Purniati, 2004 : 2) bahwa dari 433 siswa kelas III SMP yang
diteliti terdapat 86,91% siswa yang menyatakan bahwa persegi bukan persegi panjang, 64,33%
yang menyatakan bahwa belah ketupat bukan jajar genjang, dan 36,34% siswa yang menyatakan
bahwa pada persegi dua sisi yang berhadapan saling tegak lurus.
Menurut Ruseffendi (1991): agar pembelajaran geometri lebih menarik bagi siswa dan konsepkonsep geometrinya lebih dapat dipahami siswa secara benar, kita dapat memanfaatkan hasil-hasil
penelitian dalam pembelajaran geometri, misalnya hasil penelitian Van Hiele, karena hasil
penelitian Van Hiele menunjukkan dapat mengatasi kesulitan belajar siswa dalam geometri.
Menurut Van Hiele (Suherman; 2001) tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu,
materi pengajaran dan metode pengajaran diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat
meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tingkatan berpikir yang lebih tinggi. Selanjutnya
Van Hiele menyatakan terdapat 5 tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu: tahap
pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi, dan tahap akurasi. Siswa dalam
belajar geometri harus melalui tahapan-tahapan tersebut dan tidak boleh ada tahapan yang
diloncati.
Teori Van Hiele (Tata; 2009) mengemukakan bahwa dalam mempelajari geometri para siswa
mengalami perkembangan kemampuan berpikir dengan melalui tingkat-tingkat berikut:
Tingkat 1 : Tingkat Visualisasi: Tingkat ini disebut juga tingkat pengenalan. Pada tingkat ini,
siswa memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan, sesuatu yang holistic. Pada
tingkat ini siswa belum memperhatikan komponen-komponen dari masing-masing bangun. Dengan
demikian meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum
mengamati cirri-ciri bangun dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa tahu bahwa
suatu bangun bernama persegipanjang, tetapi ia belum menyadari cirri-ciri dari bangun yang
bernama persegipanjang tersebut.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
235
Tingkat 2 : Tingkat Analisis: Tingkat ini sering disebut juga tingkat deskriptif. Pada tingkat ini
siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan cirri-ciri dari masing-masing bangun
dan siswa sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri. Dengan kata
lain, pada tingkat ini siswa sudah bisa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan
mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut. Sebagai contoh, pada tingkat ini
siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu bangun merupakan persegipanjang karena bangun itu
mempunyai empat sisi, sisi-sisi yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku.
Tingkat 3 : Tingkat Abstraks: Tingkat ini disebut juga pengurutan atau tingkat relasional. Pada
tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antara ciri yang satu dan ciri yang lain pada
suatu bangun. Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang
kita kenal dengan sebutan berfikir deduktif. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa
mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang
berhadapan itu juga sama panjang. Disamping itu pada tingkat ini siswa sudah memahami perlunya
definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tingkat ini siswa juga sudah bisa memahami hubungan antara
bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini siswa sudah bisa memahami
bahwa setiap persegi adalah juga persegipanjang karena persegi juga memiliki cirri-ciri
persegipanjang.
Tingkat 4 : Tingkat deduksi formal: Pada tingkat ini siswa sudah memahami peranan pengertiapengetian pangkat, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan teorema-teorema pada geometri. Pada
tingkat ini siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini bearti bahwa pada
tingkat ini siswa sudah memahami proses berfikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu
menggunakan proses berfikir tersebut.
Tingkat 5 : Tingkat Rigor: Tingkat ini disebut juga tingkat metamatematis. Pada tingkat ini siswa
mampu melakukan penalaran secara formal tentang system-sistem matematika (termasuk sistemsistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini
siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri.
Selain Pembelajaran geometri berdasarkan tahap Van Hiele, ada beberapa pendekatan
pembelajaran yang lain, salah satunya adalah pembelajaran berbasis masalah (PBM). Menurut
Herman (2007): Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan
siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat
mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki
ketrampilan untuk memecahkan masalah.
Karakteristik Pembelajaran berbasis masalah: 1) Belajar dimulai dengan suatu masalah, 2) Masalah
yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa. 3) Mengorganisasikan pelajaran diseputar
masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, 4) Memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa
dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, 5)
Menggunakan kelompok kecil. 5) Menuntut siswa untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka
pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja.
Metode dan Desain Penelitian
Metode dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, karena ada pemanipulasian perlakuan,
dimana kelas yang satu mendapat pembelajaran berdasarkan tahap-tahap Van Hiele dan kelas yang
lain mendapat pembelajaran berbasis masalah. Pada awal dan akhir pembelajaran kedua kelas
diberi tes sehingga disain penelitiannya adalah sebagai berikut.
A
A
O
O
X1
X2
O
O
Keterangan:
A
O
X1
X2
236
Berdasarkan hasil penelitian, tes kemampuan awal hasil belajar matematik terhadap kelas
eksperimen-1 dan kelas eksperimen-2 diperoleh kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan
kemampuan awal hasil belajar matematik antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
menggunakan tahap-tahap Van Hiele dan siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah,
hal ini dapat dilihat dari hasil tes kemampuan awal kelas eksperimen-1 dengan rerata sebesar 61,5
dan eksperimen-2 dengan rerata 62,6. Seperti pada Tabel 1 di bawah ini:
Tabel 1:
Uji Signifikansi Perbedaan Rata-rata Skor Tes Awal
Uji-t
StDev
61,5
8,84
39
62,6
7,21
36
thit
Interpretasi
-0,6
0,539
Tidak
terdapat
perbedaan
Uji-t
StDev
Menggunakan tahap-tahap
Van Hiele
75,2
7,33
39
Berbasis Masalah
69,3
7,44
36
thit
3,46
0,001
Interpretasi
Terdapat
perbedaan
Karena kelas eksperimen-1 yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan tahap-tahap Van
Hiele mempunyai rerata tes akhir 75,2 dan kelas eksperimen-2 yang memperoleh pembelajaran
berbasis masalah mempunyai rerata tes akhir 69,3, dan diperoleh nilai p = 0,001 lebih kecil dari =
0,05 berarti bahwa terdapat perbedaan rerata antara kelas eksperimen-1 dengan kelas eksperimen-2
pada = 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar matematik siswa
antara yang pembelajarannya menggunakan tahap-tahap Van Hiele dengan siswa yang
menggunakan pembelajaran berbasis masalah.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan perbandingan hasil belajar siswa antara yang
pembelajarannya menggunakan tahap-tahap Van Hiele dengan pembelajaran berbasis masalah,
diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar matematik siswa antara yang
pembelajarannya menggunakan tahap-tahap Van Hiele dengan siswa yang belajar dengan
pembelajaran berbasis masalah.
237
DAFTAR PUSTAKA
238
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam
mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan
mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan.
Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan
pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil
internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara
pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma,
seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang
dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu,
pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu
seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka
pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan
budaya yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
239
dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan
sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa.
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta
didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi
mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan.
Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat
dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi
generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan
kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Dalam proses pendidikan budaya
dan karakter bangsa, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses
internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat,
mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan
bangsa yang bermartabat.
Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu
ke generasi mendatang. Nilai-nilai dan prestasi itu merupakan kebanggaan bangsa dan menjadikan
bangsa itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi
untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai budaya
bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta
mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter baru bangsa. Oleh karena itu, pendidikan
budaya dan karakter bangsa merupakan inti dari suatu proses pendidikan. Adapun prinsip-prinsip
yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa yaitu berkelanjutan;
melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah; nilai tidak diajarkan tapi
dikembangkan; proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan.
Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa salah satu prinsip yang digunakan dalam
pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah melalui semua mata pelajaran
termasuk mata pelajaran matematika dalam pembelajaranya di sekolah. Disadari atau tidak,
beberapa sekolah cenderung lebih memperhatikan pembelajaran matematika serta memfasilitasi
proses belajar siswa untuk menguasai berbagai kompetensi matematis, lebih memikirkan ranking
sekolah dan prestasi akademik namun lalai dan cenderung mengabaikan pembentukan karakter
peserta didik. Sebaiknya, siswa bukan saja dapat menguasai berbagai kompetensi matematis namun
juga dapat mengembangkan dan mewujudkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Hal ini
memberi pengertian bahwa pembelajaran matematika dapat turut membangun budaya dan karakter
bangsa.
Para guru, termasuk guru-guru matematika, sebagai agen pembelajaran sekaligus agen perubahan,
dapat menjadi guru-guru terbaik bagi peserta didiknya. Untuk itu, guru dituntut menjadi sumber
inspirasi sekaligus menjadi inspirator bagi mereka. Untuk membentuk karakter setidaknya perlu
tiga hal, yaitu teladan, pembiasaan dan koreksi atau kontrol (Rachman, 2010). Hal ini
mengisyaratkan bahwa membangun karakter tidaklah dapat dilakukan hanya dengan memberikan
materi atau pengetahuan mengenai karakter, tetapi lebih ditekankan pada praktek langsung baik
oleh pendidik (guru) untuk kemudian ditiru oleh peserta didik. Dengan demikian, pendidikan
karakter tidak hanya sekedar lips-service, tetapi satunya kata, pikiran dan tindakan. Guru haruslah
mempunyai karakter tertentu yang dapat digugu (dipercaya) dan ditiru (diteladani) dan menjadi
contoh bagi siswa-siswanya. Berkaitan dengan uraian di atas, penulis akan mencoba untuk
mengupas mengenai Pendidikan Karakter Terintegrasi di dalam Pembelajaran Matematika di
Sekolah.
B.
Pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai,
fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke
240
dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di
dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran,
selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga
dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan
menginternalisasi nilai-nilai serta menjadikannya perilaku.
Keberhasilan Cina dalam menerapkan pendidikan karakter sejak awal 1980-an dicontohkan
Megawangi (2007). Terkandung pertanyaan, apakah pendidikan karakter menjadi satu-satunya
solusi atau minimal menjadi solusi yang paling mujarab bagi masalah-masalah tersebut? Dalam
masalah ini, tentunya bukan menjadi satu-satunya solusi tetapi dapat menjadi solusi yang mujarab
untuk menangani berbagai masalah tersebut. Keberhasilan Cina dalam pendidikan karakter untuk
mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, dan acting the good
(Megawangi, 2007) dapat menjadi teladan yang memberikan ekspektasi besar dalam menangani
krisis multidimensi di Indonesia.
Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran di sekolah (di dalam
kelas)dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembelajaran pada
semua mata pelajaran termasuk mata pelajaran matematika. Sebuah kegiatan belajar (task), baik
secara eksplisit atau implisit terbentuk atas enam komponen. Komponen-komponen yang dimaksud
adalah: tujuan, input, aktivitas, pengaturan (Setting), peran guru dan peran peserta didik.
Dalam hal tujuan, kegiatan belajar yang menanamkan nilai adalah apabila tujuan kegiatan tersebut
tidak hanya berorientasi pada pengetahuan, tetapi juga sikap. Oleh karenanya, guru perlu
menambah orientasi tujuan setiap atau sejumlah kegiatan belajar dengan pencapaian sikap atau
nilai tertentu, misalnya kejujuran, rasa percaya diri, kerja keras, saling menghargai, dan sebagainya.
Pembelajaran matematika dapat dikembangkan guru matematika dengan mengintegrasikan
dan/atau menekankan pentingnya nilai-nilai positif dari budaya dan karakter bangsa dalam kegiatan
pembelajaran. Sebagai contoh, guru dapat memulai dengan merencanakan proses pembelajaran
matematika yang mengintegrasikan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam penyusunan
silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Nilai-nilai itu dapat diintegrasikan dalam rancangan
kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, dan/atau tujuan pembelajaran.
Input dapat didefinisikan sebagai bahan/rujukan sebagai titik tolak dilaksanakannya aktivitas
belajar oleh peserta didik. Input tersebut dapat berupa teks lisan maupun tertulis, grafik, diagram,
gambar, model, charta, benda sesungguhnya, film, dan sebagainya. Input yang dapat
memperkenalkan nilai-nilai adalah yang tidak hanya menyajikan materi/pengetahuan, tetapi yang
juga menguraikan nilai-nilai yang terkait dengan materi/pengetahuan tersebut.
Satu hal yang mendukung adalah penggunaan BSE untuk pendidikan karakter. Buku-buku
pelajaran SMP yang telah masuk dalam daftar BSE (Buku Sekolah Elektronik) memenuhi
kelayakan isi, penyajian, bahasa, dan grafika. Dalam hal isi, setiap BSE memuat semua SK/KD
sebagaimana ditetapkan melalui Permen Diknas 22/2006 dengan cakupan dan kedalaman
pembahasan yang memadai. Selanjutnya isi/materi disajikan dan/atau dibelajarkan melalui
pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Banyak di antara kegiatan-kegiatan
pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai pelaku pembelajaran yang aktif. Bahasa
untuk menyajikan materi merupakan bahasa Indonesia yang baku, sesuai dengan tingkat
perkembangan kognitif siswa SMP, dan gagasan/pesan disajikan secara koheren. Dari sisi grafika,
BSE memenuhi berbagai ketentuan kegrafikaan. Jika diperhatikan ciri-ciri tersebut di atas, BSE
memiliki potensi yang sangat besar untuk digunakan mengembangkan karakter peserta didik secara
terpadu dalam pembelajaran. Hanya dengan melakukan sejumlah revisi, buku-buku tersebut dapat
digunakan untuk melaksanakan pendidikan karakter secara terintegrasi dalam pembelajaran.
241
Dalam hubungannya dengan aktivitas maka yang dimaksudkan adalah aktivitas belajar. Aktivitas
belajar adalah apa yang dilakukan oleh peserta didik (bersama dan/atau tanpa guru) dengan input
belajar untuk mencapai tujuan belajar. Aktivitas belajar yang dapat membantu peserta didik
menginternalisasi nilai-nilai adalah aktivitas belajar aktif yang berpusat pada siswa sedemikian
hingga secara otomatis akan membantu siswa memperoleh banyak nilai. Pembelajaran matematika
mulai banyak mengalami pergeseran paradigma, salah satunya dari paradigma teacher centered ke
paradigma student centered. Pergeseran paradigma ini membawa implikasi terhadap pengelolaan
pembelajaran matematika yang memberi kesempatan lebih luas bagi peserta didik untuk belajar
matematika. Contoh-contoh aktivitas belajar yang memiliki sifat-sifat demikian antara lain diskusi,
eksperimen, pengamatan/observasi, debat, presentasi oleh siswa, dan mengerjakan proyek.
Pengaturan (setting) pembelajaran berkaitan dengan kapan dan di mana kegiatan dilaksanakan,
berapa lama, apakah secara individu, berpasangan, atau dalam kelompok. Masing-masing setting
berimplikasi terhadap nilai-nilai yang terdidik. Setting waktu penyelesaian tugas yang pendek
(sedikit), misalnya akan menjadikan peserta didik terbiasa kerja dengan cepat sehingga menghargai
waktu dengan baik. Sementara itu kerja kelompok dapat menjadikan siswa memperoleh
kemampuan bekerjasama, saling menghargai, dan lain-lain.
Seorang guru matematika dituntut untuk mampu mengatasi setiap tantangan yang ditemuinya
dalam pembelajaran matematika. Guru matematika dapat mengupayakan beberapa hal seperti
mengubah model, strategi, pendekatan, metode, atau teknik pengelolaan pembelajaran sedemikian
hingga memungkinkan lebih berkembangnya segenap potensi belajar siswa, baik fisik maupun
mental. Penggunaan metode pembelajaran yang bervariasi, misalnya metode penemuan terbimbing,
tanya jawab, dan penugasan secara individu dan berkelompok, mungkin dapat lebih mengaktifkan
belajar siswa daripada hanya menggunakan metode ceramah, ekspositori, atau penugasan individu.
Penggunaan open-ended approach dalam pembelajaran matematika dapat lebih mengoptimalkan
berkembangnya inovasi dan kreasi siswa dalam menyelesaikan suatu masalah matematika di
samping mengoptimalkan berkembangnya kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis,
dan kreatif. Penggunaan berbagai model pembelajaran kooperatif dapat lebih mengoptimalkan
kemampuan bekerjasama antarsiswa daripada penggunaan model pembelajaran langsung. Namun
perlu dicatat, bahwa penggunaan model, strategi, pendekatan, metode, atau teknik pengelolaan
pembelajaran itu sangat tergantung pada kebutuhan pembelajaran matematika pada waktu dan
situasi tertentu di sekolah.
Selanjutnya peran guru dalam kegiatan belajar pada buku ajar biasanya tidak dinyatakan secara
eksplisit. Pernyataan eksplisit peran guru pada umumnya ditulis pada buku petunjuk guru. Karena
cenderung dinyatakan secara implisit, guru perlu melakukan inferensi terhadap peran guru pada
kebanyakan kegiatan pembelajaran apabila buku guru tidak tersedia.Peran guru yang memfasilitasi
diinternalisasinya nilai-nilai oleh siswa antara lain guru sebagai fasilitator, motivator, partisipan,
dan pemberi umpan balik. Mengutip ajaran Ki Hajar Dewantara, guru yang dengan efektif dan
efisien mengembangkan karakter siswa adalah mereka yang ing ngarsa sung tuladha (di depan
guru berperan sebagai teladan/memberi contoh), ing madya mangun karsa (di tengah-tengah
peserta didik guru membangun prakarsa dan bekerja sama dengan mereka), tut wuri handayani (di
belakang guru memberi daya semangat dan dorongan bagi peserta didik).
Dalam pelaksanaan proses pembelajaran, guru matematika dapat mengelola pembelajaran
matematika yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa, misalnya sikap jujur,
rasa ingin tahu, kreatif, inovatif, ulet, tekun, percaya diri, pantang menyerah, bertanggung jawab,
dan teguh dalam pendirian. Untuk itu, prasyarat yang harus dimiliki seorang guru matematika tentu
adalah penerapan nilai-nilai itu terlebih dahulu dan pola sikap, pola tutur, dan pola tingkah laku
sang guru sendiri. Ini artinya, guru perlu menjadi teladan terlebih dahulu bagi peserta didiknya!
Pendidikan karakter tentunya harus diberikan oleh guru yang berkarakter (mempunyai karakter).
Sebagai orang dewasa, pada diri guru tentulah sudah melekat sekian banyak karakter yang dapat
242
diwariskan kepada peserta didiknya sehingga untuk membangun karakter tidaklah perlu bagi guru
memperoleh pembelajaran terlebih dahulu mengenai pendidikan karakter. Cukuplah para guru
menguatkan niatnya untuk menjadi teladan dan diteladani para siswanya. Jika guru yang
diteladaninya sudah tidak dijumpainya lagi (misalnya karena siswa lulus atau guru pindah) maka
siswa tidak akan kehilangan orientasi dan siswa akan menjadikan dirinya sebagai teladan bagi
dirinya sendiri. Keyakinan dirinya akan tumbuh semakin kuat dan ia akan tahu ke arah mana mesti
melangkah.
Dalam membangun karakter tidak pernah ada yang instan, semuanya butuh proses panjang dan
pembiasaan. Pembiasaan tidak akan bisa terlaksana tanpa ada keteladanan. Jika seorang guru
mengatakan X tetapi berbuat Y, maka siswa pun akan dengan mudah tahu bahwa guru tersebut
kontradiktif. Dalam kasus seperti ini tidak akan ada pembiasaan sebab tidak ada teladan dan
karakter yang hendak diteladani dan dijadikan kebiasaan (habit) oleh siswa. Oleh karena itu,
pendidikan karakter harus ditekankan pada program pembiasaan yang mengarah pada aksi moral
dan keteladanan seluruh warga sekolah.
Seperti halnya dengan peran guru dalam kegiatan belajar pada buku ajar, peran peserta didik
biasanya tidak dinyatakan secara eksplisit juga. Pernyataan eksplisit peran peserta didik pada
umumnya ditulis pada buku petunjuk guru. Karena cenderung dinyatakan secara implisit, guru
perlu melakukan inferensi terhadap peran peserta didik pada kebanyakan kegiatan pembelajaran.
Agar peserta didik terfasilitasi dalam mengenal, menjadi peduli, dan menginternalisasi karakter,
peserta didik harus diberi peran aktif dalam pembelajaran. Peran-peran tersebut antara lain sebagai
partisipan diskusi, pelaku eksperimen, penyaji hasil-hasil diskusi dan eksperimen, pelaksana
proyek, dsb.
Berdasarkan pengalaman dan hasil observasi penulis terhadap beberapa guru mata pelajaran
matematika menunjukkan bahwa masih banyak siswa belum menyenangi atau menyukai bahkan
cinta terhadap matematika. Ketika mereka ditanya mengenai mata pelajaran apa yang paling
mereka senangi, umumnya, mereka tidak mengatakan bahwa mata pelajaran matematika
merupakan mata pelajaran yang paling mereka senangi. Hanya sebagian kecil siswa yang
mengatakan bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang mereka senangi.
Pembelajaran matematika di Indonesia masih belum seperti di Rumania seperti perasaan yang
diungkapkan seorang sopir taksi di sana (Preston, 2005: 83), Di Rumania, ketika orang tahu kau
seorang matematikawan, orang tersebut akan bilang, Aku pun dulu pintar matematika. Matematika
adalah mata pelajaran favoritku. Demikianlah keadaannya, maka membangun karakter melalui
pembelajaran matematika perlu dilakukan. Setidaknya, jika seorang siswa tidak begitu gemilang
dalam matematika, atau benar-benar gagal, siswa tersebut masih bisa menyerap karakter-karakter
yang dapat ditumbuhkan dalam pembelajaran matematika, dengan tetap percaya diri menyatakan
bahwa matematika bukanlah pelajaran yang tidak dapat diselesaikan, meskipun yang
menyatakannya pada akhirnya tidak harus menjadi matematikawan atau profesor matematika.
Kasus tersebut menggambarkan bagaimana pembelajaran matematika berhasil menanamkan
kepercayaan diri pada mereka yang pernah belajar matematika.
Jika selama ini pembelajaran matematika lebih dominan pada ranah kognitif, maka sudah saatnya
untuk mengeksplorasi ranah-ranah lainnya, salah satunya dapat dilakukan dengan membangun
karakter melalui pembelajaran matematika. Pembelajaran matematika di kelas dapat dilakukan
dengan mendorong siswa untuk melakukan refleksi dan penghayatan. Dengan cara seperti ini,
sesungguhnyalah pembelajaran matematika dapat menanamkan dan menguatkan motivasi,
apresiasi atau penghargaan siswa terhadap matematika, kontribusi siswa dalam pembelajaran,
interest (minat kuat), beliefs (sikap mental yakin), confidence (sikap mental percaya) dan
perseverance (ketekunan, kekuatan hati, kegigihan).
243
DAFTAR PUSTAKA
244
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
BERNUANSA GUIDANCE AND COUNSELING
Oleh : Sutirna
Dosen STKIP Siliwangi Bandung
Mahasiswa S-3 Bimbingan dan Konseling UPI Bandung
Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utama dalam
pendidikan secara sinergis, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau
pembelajaran, serta bidang pembinaan siswa (bimbingan dan konseling). Pendidikan yang hanya
melaksanakan bidang administratif dan pengajaran dengan mengabaikan bidang bimbingan
mungkin hanya akan menghasilkan individu yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi
kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek psikososiospiritual. (Djawad Dahlan &
Juntika, 2007: 173; Sunaryo, 2008: 185).
Dari pernyataan tersebut, kenyataan ini dengan tidak menyudutkan keadaan pembelajaran
matematika yang telah berjalan selama ini, hampir seluruhnya proses pembelajaran matematika
yang terjadi baru menjalankan bidang administrasi pembelajaran dan pembelajaran matematikanya
saja, sehingga aspek bimbingan dan konseling seharusnya masuk dalam proses pembelajaran
terabaikan bahkan berparadigma bahwa bimbingan dan konseling merupakan tugas guru bimbingan
dan konseling.
Kedaan nyata seperti inilah yang menjadi matematika oleh para peserta didik dianggap sulit dan
sukar bahkan menakutkan sehingga dari satu kelas sebanyak 40 siswa yang bisa menguasai
matematika tidak lebih dari 5 orang atau hanya rata-rata 12,5% bahkan guru matematikanya sendiri
belum memahami tentang bimbingan dan konseling secara menadalam sehingga berparadigma
bukan tugas dan tanggungjawabnya.
Mari kita perhatikan gambar berikut ini:
Wilayan
Manajemen
& Kepemimpinan
Manajemen
& Supervisi
Wilayah Pembe
lajaran yang men
didik
Pembelajaran Bidang
Studi
Wilayah Bimbing
an & Konseling
yang Memandirikan
Tujuan:
Perkembangan
Optimal
Setiap
Peserta
Didik
Bimbingan &
Konseling
Gambar 2.1:
Wilayah Pelayanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (Depdiknas, 2008)
Gambar tersebut dengan jelas bahwa tiga komponen yang tidak bisa ditinggalkan satu
komponenpun dalam melaksanakan PBM, ketika diabaikan salah satu dari ketiga komponen
tersebut, maka tujuan perkembangan yang optimal setiap peserta didik akan tidak tercapai.
Rochman Natawidjaja (1987:37) yang mengartikan bahwa bimbingan sebagai proses pemberian
bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat
memahami dirinya, sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar,
sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, dan kehidupan pada
umumnya. Dengan demikian dia akan dapat menikmati kebahagiaan hidupnya, dan dapat memberi
sumbangan yang berarti kepada kehidupan masyarakat pada umumnya. Bimbingan membantu
individu mencapai perkembangan diri secara optimal sebagai makhluk sosial.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
245
246
Tabel 2.1
Prinsip-Prinsip Bimbingan dan Konseling diaplikasikan
Dalam pembelajaran matematika
No
1
247
Berkaitan dengan pendidikan karakter yang sedang digalakan pemerintah dalam segala bidang
khususnya dalam bidang pendidikan, pembelajaran bernuansa bimbingan dan konseling sudah
sangat tepat dilakukan oleh semua tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, baik dia seorang yang
sudah menjadi guru maupun yang sedang menempuh pendidikan di kependidikan. Karena karakter
itu merupakan bagian dari kepribadian. Abin Syamsudin (2003) yang mengatakan bahwa karakter
yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang
pendirian atau pendapat. Dengan demikian pembelajaran yang menggunakan situasi bimbingan dan
konseling akan berkaitan erat dengan apa yang dinamakan karakter, oleh karena itu yang selama ini
karakter guru dan calon guru yang tidak konsekuen dengan etika, perilaku, dan tidak konsisten
dengan tugas tanggunggjawabnya selaku pendidik yang sudah mendarah daging harus segera
berbalik 1800 jika perubahan ingin kita raih demi masa depan pendidikan yang bermutu.
Selanjutnya dikaitan dengan peran guru sebagai pendidik, pengajar dan pembimbing masih berjalan
hanya dua yang dilakukan para guru, yaitu sebagai pendidik dan sebagai pengajar, sedangkan
sebagai pembimbing inilah yang hilang bahkan tidak dilakukan di dalam proses pembelajaran.
Oleh karena itu, tepatlah sekali bahwa dibagian pertama dikatakan bahwa pendidikan yang
bermutu, ketika ketiga komponen berjalan dengan sinergis dilakukan guru dalam proses
pembelajaran.
Dengan memperhatikan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang selama ini
pembelajaran matematika menakutkan, menyeramkan, dan tidak harmonis serta banyak persepsi
negatif terhadap matematika sehingga sangatlah wajar mutu pendidikan atau mutu matematika
selalu tidak ada perubahan yang sangat berarti bagi peserta didik maupun perkembangan
matematika. Oleh karena itu dengan moto Guru adalah Agen Perubahan atau Teacher is Agen
of The Change marilah kita berjalan bersama untuk memahami pentingnya aspek bimbingan dan
konseling pada saat proses pembelajaran dengan nuansa bimbingan dan konseling sehingga
pembelajaran konsep PAIKEM akan berjalan dan terlaksana dengan baik sehingga matematika
bukan lagi mata pelajaran yang menakutkan dan menyeramkan dikalangan peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Moh. Djawad Dahlan dan Juntika. (2007). Konsep Bimbingan dan Konseling. Bandung :
Pedagogia Press.
Sunaryo (2008). Kompilasi Materi Perkulihan Bimbingan dan Konseling Lintas Budaya. Bandung :
SPS UPI Bandung.
ABKIN (2008). Prinsip-prinsip pelaksanaan bimbingan dan konseling. Bandung : ABKIN
Bandung.
Wahyudin (2007). UNPAS Bandung
Ruseffendi (2008). Matematika Modern: untuk siswa dan guru. Bandung : Tarsito
Abin Syamsudin (2003). Kompilasi Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi. Bandung: UNPAD.
248
Karakter bangsa yang menjadi tujuan pendidikan nasional adalah karakter cerdas yang dilandasi
oleh nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia. Pembelajaran matematika yang
berorientasi pada potensi pengembangan potensi olah pikir siswa, sangat strategis berkontribusi
pada pencapaian tujuan tersebut. Salah satu alternatif pembelajaran yang dapat menumbuhkan
karakter bangsa adalah pembelajaran matematika dengan pendekatan Kontektual.
Kata kunci: Pendekatan , Kontektual, Karakter, Bangsa
I.
PENDAHULUAN
Pembelajaran merupakan hal yang penting dalam sistem pendidikan nasional. Dalam kurikulum
KTSP mengisyaratkan bahwa pembelajaran diharapkan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat,
minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Pada sisi lain, dalam proses
pembelajaran pendidik diharapkan dapat memberikan keteladanan bagi peserta didiknya.
Kemudian ditegaskan pula Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) serta Badan Standar
Nasional Pendidikan (2006: 1) bahwa peserta didik dari mulai sekolah dasar perlu dibekali dengan
kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan kemampuan bekerja sama.
Sejalan dengan hal itu, termasuk dengan penerapan KTSP, saat ini pemerintah memberikan
perhatian yang lebih terhadap dunia pendidikan dengan membuat beberapa program dengan skala
prioritas tertentu. Melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2010, pemerintah
mengeluarkan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Pendidikan budaya dan karakter
bangsa merupakan bagian dari program penguatan metodologi dan kurikulum dalam Prioritas
Pembangunan Nasional Tahun 2010 di atas. Upaya ini berupa penyempurnaan kurikulum dan
metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan
karakter bangsa.
Kondisi saat ini di lapangan pada umumnya pembelajaran matematika kurang melibatkan aktivitas
siswa secara optimal. Hal ini sesuai hasil studi Sumarmo (1993, 1994) terhadap siswa SMU, SLTP,
dan guru di Kodya Bandung yang hasilnya antara lain pembelajaran matematika pada umumnya
kurang melibatkan aktivitas siswa secara optimal sehingga siswa kurang aktif dalam belajar.
Temuan Sumarmo didukung pula oleh temuan Sutiarso (2000) dengan mengemukakan bahwa
kenyataan di lapangan justru menunjukkan siswa pasif dalam merespon pembelajaran. Siswa
cenderung hanya menerima transfer pengetahuan dari guru, demikian pula guru pada saat kegiatan
pembelajaran hanya sekedar menyampaikan informasi pengetahuan tanpa melibatkan siswa dalam
proses yang aktif dan generatif. Padahal menurut Darr dan Fisher (Ratnaningsih, 2007) jika siswa
diharapkan menjadi siswa yang mandiri, mereka perlu aktif dan dihadapkan pada kesempatankesempatan yang memungkinkan mereka berpikir, mengamati dan mengikuti pikiran orang lain.
Disamping itu, akhir-akhir ini makin marak muncul fenomena yang kurang mendidik, seperti
korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang
konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, dan sebagainya. Fenomena ini merupakan
tantangan yang besar dan kuat terhadap dunia pendidikan. Oleh karena itu, upaya mengembangkan
pendidikan budaya dan karakter bangsa di sekolah-sekolah merupakan sebuah keniscayaan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
249
Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut di atas adalah melalui pembelajaran matematika
melalui pendekatan Kontektual . Alasan mengapa memilih pembelajaran pendekatan kontektual
diantaranya dengan menyajikan masalah kontekstual pada awal pembelajaran merupakan salah satu
stimulus dan pemicu siswa untuk berpikir. Pada keadaan ini, masalah bertindak sebagai kendaraan
proses belajar untuk mencapai tujuan. Pembelajaran seperti itu, dapat memfasilitasi siswa
melakukan eksplorasi, investigasi dan pemecahan masalah. Sabandar (2005) mengemukakan
bahwa situasi pemecahan masalah merupakan suatu tahapan di mana ketika individu dihadapkan
kepada suatu masalah ia tidak serta merta mampu menemukan solusinya, bahkan dalam proses
penyelesaiannya ia masih mengalami kebuntuan. Pada saat itulah terjadi konflik kognitif yang tidak
menutup kemungkinan memaksa siswa untuk berpikir matematika tingkat tinggi. Hal ini
memungkinkan untuk menumbuhkan sifaf sabar, tekun dan menjadi manusia Indonesia yang
tangguh dalam menyelesiakan suatu masalah
Alasan lain, melalui pembelajaran dengan pendekatan kontektual, siswa juga belajar untuk
bertanggung jawab dalam kegiatan belajar, tidak sekedar menjadi penerima informasi yang pasif,
namun harus aktif mencari informasi yang diperlukan sesuai dengan kapasitas yang ia miliki.
Dalam PBM dengan pendekatan kontektual, siswa dituntut untuk terampil bertanya dan
mengemukakan pendapat, menemukan informasi yang relevan dari sumber yang tersembunyi,
mencari berbagai cara alternatif untuk mendapatkan solusi, dan menentukan cara yang paling
efektif untuk menyelesaikan masalah. Dalam situasi pemecahan masalah seperti ini tidak mustahil
siswa mengalami kebuntuan, sehingga mengharuskannya untuk meninjau ulang cara berpikir yang
telah ia gunakan. Dengan demikian, jelaslah bahwa melalui pembelajaran matematika berbasis
masalah, siswa dikondisikan untuk mampu berpikir fleksibel, mengajukan konjektur dan
menjustifikasinya, menyelesaikan masalah, dan menemukan aturan umum. Hal-hal tersebut
merupakan ciri dari karakter bangsa yang akan dibangun melalui pendidikan.
PBM dengan dengan pendekatan kontektual, siswa dimungkinkan terlibat aktif pada proses
pembelajaran sehingga memberikan dampak yang positif terhadap kemampuan siswa dalam
memehami suatu konsep. Hal ini sejalan dengan pendapat Hudoyo (1979), ... jika siswa aktif
melibatkan dirinya di dalam menemukan suatu prinsip dasar, siswa itu akan mengerti konsep
tersebut lebih baik, mengingat lebih lama, dan mampu menggunakan konsep tersebut dalam
konteks yang lain.
II. DISKUSI
1.
Dalam Undang-Undang (UU) nomor 20 tahun 2003 Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) maka pendidikan nasional bertujuan untuk berkembanganya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab. Pengembangan potensi peserta didik tersebut meliputi tataran individu, kolektif
maupun untuk kepentingan ekstensi bangsa.
Pada buku Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Budaya (Pusat Kurikulum,
2010) dijelaskan mengenai pendidikan adalah suatu usaha sadar dan sistematis budaya dan
karakter. Budaya adalah nilai, moral, norma dan keyakinan (belief), pikiran yang dianut oleh suatu
masyarakat atau bangsa dan mendasari perilaku seseorang sebagai dirinya, anggota masyarakat,
dan warga negara. Budaya mengatur perilaku seseorang mengenai sesuatu yang dianggap benar,
baik, dan indah. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak aatau kepribadian yang diyakini dan
digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berfikir, bersikap dan bertindak. Kebajikan terdiri
dari sejumlah nilai, moral, dan norma yang mendasari cara pandang, berfikir, bersikap, dan cara
bertindak seseorang serta yang membedakan dirinya dari orang lainnya. Karakter bangsa terwujud
dari karakter seseorang yang menjadi anggota masyarakat bangsa tersebut.
250
Buku tersebut lebih lanjut mendefinisikan Pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah
pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri peserta didik sehingga
menjadi dasar bagi mereka dalam berpikir, bersikap, dan bertindak dalam mengembangkan dirinya
sebagai individu, anggota masyarakat, dan warga negara. Nilai-nilai budaya dan karakter bangsa
yang dimiliki peserta didik tersebut menjadikan mereka sebagai warga negara Indonesia yang
memiliki kekhasan dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.
Terdapat cukup banyak nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang dapat diintegrasikan dalam
pembelajaran atau pendidikan di sekolah. Nilai-nilai itu adalah: 1) religius, 2) jujur, 3) toleransi, 4)
disiplin, 5) kerja keras, 6) kreatif, 7) mandiri, 8) demokratis, 9) rasa ingin tahu, 10) semangat
kebangsaan, 11) cinta tanah air, 12) menghargai prestasi, 13) bersahabat/komuniktif, 14) cinta
damai, 15) gemar membaca, 16) peduli lingkungan, 17) peduli sosial, dan 18) tanggung-jawab.
2.
Pendekatan Kontektual
Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar
yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa
dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Triato, 2007).
Menurut Trianto (2007) untuk penerapannya, pendekatan kontektual memiliki tujuah komponen
utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning),
masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan
penilaian yang sebenarnya (Authentic).
3.
Konstruktivisme (constructivism)
251
Dengan komponen penemuan seperti ini diharapkan siswa memiliki sikap sebagai berikut :
1) Tanggung jawab yaitu sikap dan prilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan
(Alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
2) Menumbuhkan rasa ingin tahu, kerja keras, kreatif, rasa ingin tahu dan pantang menyerah
c.
Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya merupakan strategi
utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk : 1) menggali informasi,
2) menggali pemahaman siswa, 3) membangkitkan respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh
mana keingintahuan siswa, 5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6) memfokuskan
perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan
dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
Dengan komponen bertanya seperti ini diharapkan siswa memiliki sikap sebagai berikut :
1) Toleransi, yaitu sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku etnis, pendapat,
sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dengan orang lain.
2) Demokratis, yaitu cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban
dirinya dan orang lain.
d.
Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari
orang lain. Hasil belajar diperolah dari sharing antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu
ke yang belum tahu. Masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau
lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.
Dengan komponen masyarakat belajar seperti ini diharapkan siswa memiliki sikap sebagai berikut:
1) Semangat Kebangsaan, yaitu cara berpikir, berindak, berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
2) Cinta tanah air, yaitu cara berpikir, cara bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetian,
kepedulian dan penghargaan yang tinggi dalam bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi dan politik bangsa.
3) Bersahabat, yaitu tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul dan bekerja
sama dengan orang lain.
4) Cinta damai, yaitu sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang
dan aman atas kehadiran dirinya.
5) Peduli sosial, yaitu sikap dan tindakan yang selalu ingim memberi bantuan kepada orang lain
dan masyarakat yang membutuhkan
e.
Pemodelan (Modeling)
Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari aau berpikir
kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru
menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang
apa yang diperoleh hari itu.
252
Dengan komponen Refleksi seperti ini diharapkan siswa memiliki sikap sebagai berikut:
1) Mandiri, yaitu sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas
2) Kerja keras, yaitu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
3) Kreatif, yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimilikinya.
g.
Penialaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai
perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar
siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang
benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian
dilakukan terhadap proses maupun hasil.
Dengan komponen Assemen Autentik seperti ini diharapkan siswa memiliki sikap sebagai berikut:
1) Mandiri, yaitu sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas
2) Jujur, yaitu perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan.
3) Kerja keras, yaitu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
4) Kreatif, yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimilikinya.
5) Menghargai prestasi, yaitu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan
sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain.
4) Gemar membaca, yaitu Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinya
5) Rasa ingin tahu, yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
III. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka penulis mempunyai kesimpulan
sebagai berikut :
1) Pembelajaran matematika melalui pendekatakan Kontektual diprediksi dapat membangun
karakter bangsa.
2) Dalam pelaksanaan Pembelajaran matematika melalui pendekatakan Kontektual dalam
membangun karakter bangsa diperlukan keteladanan para guru.
3) Pada prakteknya, dalam mata pelajaran matematika saat ini enam nilai diintegrasikan untuk
dikembangkan : teliti, tekun,kerja keras, rasa ingin tahu, pantang menyerah dan kreatif.
Selain itu, berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, maka penulis memberikan saran sebagai
berikut :
1) Keberhasilan peserta didik menyelesaikan pendidikannya di suatu satuan pendidikan lebih
diseimbangkan antara aspek kongnitif/psikomotor dengan aspek afektif.
2) Pembelajaran matematika yang kering nilai dapat dikembangkan guru matematika dengan
mengintegrasikan dan/atau menekankan pentingnya nilai-nilai positif dari budaya dan karakter
bangsa dalam kegiatan pembelajaran.
253
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar Nasional Pendidikan (2006). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Matematika SMA/MA. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Effendy. O. U. (1993). Dinamika Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Hamzah, (2003). Kemampuan pengajuan masalah dan pemecahan masalah siswa SMU melalui
teknik probing. Disertation at Post Graduate Studies, Indonesia University of Education,
Bandung. Not published.
Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir
Tingkat Tinggi Siswa SMP. Disertation at Post Graduate Studies at Indonesia University of
Education, Bandung , Indonesia, not published
Kemendiknas. (2010). Desain Induk Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan Nasional.
Jakarta : Kemendiknas.
NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standard for School Mathematics. Virginia : The
NCTM Inc.
NCTM. (2000). Principles and Standards for Schools Mathematics. USA : Reston. V.A
Puskur. (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta : Puskur
Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional.
Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir
Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas.
Disertation at Post Graduate Studies at Indonesia University of Education, Bandung ,
Indonesia, not published
Sumarmo, U. (1993). Peranan Kemampuan Logik dan Kegiatan Belajar terhadap Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa SMA di Kodya Bandung. Indonesia University
of Education, Bandung , not published
Sumarmo, U. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan
Masalah pada Guru dan Siswa SMA di Kodya Bandung. Research Report at Indonesia
University of Education, Bandung , not published
Suparno, P. (1997). Filsafat Kontruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Suryadi, D. (2004). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan
Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangkaian Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertation at Post Graduate Studies at
Indonesia University of Education, Bandung , Indonesia, not published
Trianto (2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontruktivistik. Jakarta : Prestasi
Pustaka Publisher.
254
Pendidikan Karakter
Sudah menjadi suatu topik pembahasan yang hangat di media massa, seminar, dan di berbagai
kesempatan bahwa persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, perusakan,
perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif,
dan sebagainya. Untuk itu berbagai alternatif penyelesaian diajukan seperti peraturan, undangundang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat.
Beberapa alternatif yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah
budaya dan karakter bangsa yang dibicarakan itu adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai
alternatif yang bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih
baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan
kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi
penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Memang diakui bahwa hasil dari
pendidikan akan terlihat dampaknya dalam waktu yang tidak segera, tetapi memiliki daya tahan
dan dampak yang kuat di masyarakat.
Kepedulian masyarakat mengenai pendidikan budaya dan karakter bangsa telah pula menjadi
kepedulian pemerintah. Berbagai upaya pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa
telah dilakukan di berbagai direktorat dan bagian di berbagai lembaga pemerintah, terutama di
berbagai unit Kementrian Pendidikan Nasional. Upaya pengembangan itu berkenaan dengan
berbagai jenjang dan jalur pendidikan walaupun sifatnya belum menyeluruh. Keinginan masyarakat
dan kepedulian pemerintah mengenai pendidikan budaya dan karakter bangsa, akhirnya
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
255
berakumulasi pada kebijakan pemerintah mengenai pendidikan budaya dan karakter bangsa dan
menjadi salah satu program unggulan pemerintah, paling tidak untuk masa 5 (lima) tahun
mendatang. Pedoman sekolah ini adalah rancangan operasionalisasi kebijakan pemerintah dalam
pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Fungsi pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
1. pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini
bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan
karakter bangsa;
2. perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam
pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan
3. penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
Salah satu program utama Kementerian Pendidikan Nasional dalam rangka meningkatkan mutu
proses dan output pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah pengembangan
pendidikan karakter. Sebenarnya pendidikan karakter bukan hal yang baru dalam sistem pendidikan
nasional Indonesia. Pembinaan watak melalui mata pelajaran di kelas belum membuahkan hasil
yang memuaskan karena beberapa hal. Pertama, di dalam mata pelajaran cenderung baru
membekali pengetahuan mengenai nilai-nilai melalui materi/substansi mata pelajaran. Kedua,
kegiatan pembelajaran pada mata pelajaran pada umumnya belum secara memadai mendorong
terinternalisasinya nilai-nilai oleh masing-masing peserta didik sehingga ia berperilaku dengan
karakter yang tangguh. Ketiga, menggantungkan pembentukan watak peserta didik di dalam
pembelajaran tidak cukup. Pengembangan karakter peserta didik perlu melibatkan lebih
terinntegrasi mata semua mata pelajaran. Selain itu, kegiatan pembinaan kesiswaan dan
pengelolaan sekolah dari hari ke hari perlu juga dirancang dan dilaksanakan untuk mendukung
pendidikan karakter.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang
meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilainilai tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan)
harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah,
pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan
ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai
sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan
harus
berkarakter.
Mengingat cukup banyaknya steakholder yang terlibat dalam mengembangkan pendidikan
karakter, maka penulis mencoba membatasinya dengan hanya mengemukakan mengenai guru dan
siswa yang berkarakter. Tiap guru memiliki cara sendiri-sendiri dalam mendidik dan mengajar ,
ada yang menjadi sosok teman dan sahabat yang sangat dekat dengan siswa-siswinya, ada yang
menjadi sosok galak hingga ditakuti siswa-siswinya, ada yang menjadi sosok yang sangat lucu
hingga para siswa pasti antusias saat pelajarannya, yang jelas mereka memiliki metode sendiri
sesuai karakter mereka. Yang penting outputnya adalah materi yang disampaikan dapat diserap
dengan baik oleh anak didiknya.
Seiring perkembangan jaman, pendidikan yang hanya bertumpu pada bagaimana menghasilkan
lulusan yang hanya memiliki prestasi dalam akademis, harus mulai dibenahi. Sekarang
pembelajaran juga harus berbasis pada pengembangan interaksi sosial sebab ini sangat penting
dalam pembentukan karakter anak bangsa sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan
santun dan berinteraksi dengan masyarakat.
256
B.
Hal yang menjadi perbincangan hangat hari-hari ini adalah Pendidikan karakter untuk menunjang
siswa menjadi sosok yang sopan dan bermoral. Sepintas penulis kemukakan satu kasus yang
menyangkut pernyataan salah seorang siswa pada jejaring sosial Facebook. Dalam satu kasus
ditemukan bahwa terdapat seorang siswa yang tidak menerima atas tugas yang diberikan oleh
gurunya. Dalam statusnya siswa tersebut memaki gurunya dengan perkataan menyakitkan dan
membuat sang guru meradang, ditambah bumbu dari rekan-rekannya (siswa) yang memberikan
jempol tanda setuju (menyukai) dan komentar-komentar lain yang mendukung atas perkataan tidak
senonoh (dengan bahasa yang tidak baik dan tidak sopan) dari siswa yang bersangkutan. Melihat
perilaku tersebut, pihak sekolah akhirnya membuat keputusan mengeluarkan siswa dari sekolah
tersebut karena selain menyangkut individu guru juga menyangkut lembaga sekolah yang terlibat.
Kasus seperti tersebut di atas secara nyata akan ditemui dilapangan, walaupun dengan kasus yang
berbeda. Perkara moral memang membuat merinding, apalagi akhir-akhir ini kelakuan brutal
praktis muncul dari kalangan terpelajar. Perkelahian pelajar, perusakan fasilitas publik oleh
demonstran-demonstran yang kurang menggunakan nalar budinya untuk menjalani hidup dalam
suasana demokrasi yang sopan dan santun. Rasanya semakin banyak anak muda yang kehilangan
identitas, ikut arus, terbawa emosi dalam suasana penuh aroma permusuhan.
Jika melihat kenyataan yang ada sampai saat ini, masih banyak sekolah yang terlalu trobsesi untuk
menaikkan peringkat sekolah, membangun sekolah bertaraf internasional, mendorong siswa aktif
hanya pada ranah kognitif. Beban siswa setiap hari terus bertambah saat guru-guru memasang
target tinggi nilai KKM dan kelulusan. Padahal sebenarnya sekolah adalah tempat siswa berproses
merumuskan jati dirinya menjadi manusia yang berwatak sosial dan toleran. Pengetahuan yang
diserap adalah pengetahuan riil yang bisa menjadi pemecah masalah masyarakat sekitarnya. Setelah
siswa keluar dari lingkungan sekolah dia menjadi dirinya sendiri yang harus mampu menjadi
bagian dari masyarakat seutuhnya. Kiranya amat disayangkan apabila ada guru yang memang
pandai secara akademik, tetapi mereka tidak pandai dalam menyampaikan pengetahuannya kepada
para siswa. Akibatnya anak didik tidak antusias saat kelas berlangsung, tidak paham materi yang
disampaikan dan banyak yang nyontek saat ujian.
Berikut ini penulis sampaikan temuan yang didapat saat berbincang-bincang dengan salah seorang
guru SMP di salah satu kota di Jawa Barat. Guru tersebut menceritakan bahwa ada salah satu siswa
yang telah diberi pelajaran cara-cara menyontek oleh salah satu gurunya sejak kelas 1 sampai kelas
5 Sekolah Dasar (saat itu SD nya di daerah Jawa Tengah) sehingga ia terbiasa untuk
melakukannya. Siswa tersebut mengaku bahwa kebiasaannya tersebut selalu ia lakukan meskipun
sekolahnya pindah ke salah satu kota di Jawa Barat semenjak kelas 6 SD sampai di bangku kelas 7
SMP. Namun setelah kebiasaannya diketahui dan dipergoki oleh rekan penulis tersebut (guru)
maka siswa tersebut berjanji tidak akan mengulangi kembali kebiasaannya dalam hal mencontek,
dan Alhamdulillah menurut pantauan beberapa guru di sekolah tersebut sampai saat ini siswa yang
bersangkutan dapat merubah kebiasaan buruknya.
Apabila kita perhatikan kasus di atas, tentunya sangat erat berhubungan dengan pendidikan
karakter. Pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu
mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini
mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi,
bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan
pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang
baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga
masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara
umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
257
bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di
Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya
bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Setidaknya terdapat dua pertanyaan mendasar yang perlu diperhatikan kaitannya dengan proses
pembelajaran, yaitu: (1) sejauhmana efektivitas guru dalam melaksanakan pengajaran, dan (2)
sejauhmana siswa dapat belajar dan menguasi materi pelajaran seperti yang diharapkan. Proses
pembelajaran dikatakan efektif apabila guru dapat menyampaikan keseluruhan materi pelajaran
dengan baik dan siswa dapat menguasai substansi tersebut sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Dewasa ini dikenal berbagai istilah mengenai pembelajaran, antara lain: pembelajaran kontekstual,
pembelajaran PAIKEM, pembelajaran tuntas, pembelajaran berbasis kompetensi, dan sebagainya.
Pembelajaran profesional pada dasarnya merupakan pembelajaran yang dirancang secara sistematis
sesuai dengan tujuan, karakteristik materi pelajaran dan karakteristik siswa, dan dilaksanakan oleh
Guru yang profesional dengan dukungan fasilitas pembelajaran memadai sehingga dapat mencapai
hasil belajar secara optimal. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran profesional menggunakan
berbagai teknik atau metode dan media serta sumber belajar yang bervariasi sesuai dengan
karakteristik materi dan peserta didik.
Dalam hubungannya dengan nilai karakter, maka ada banyak nilai (80 butir) yang dapat
dikembangkan pada peserta didik. Menanamkan semua butir nilai tersebut merupakan tugas yang
sangat berat. Oleh karena itu, perlu dipilih nilai-nilai tertentu sebagai nilai utama yang
penanamannya diprioritaskan. Untuk tingkat SMP, nilai-nilai utama tersebut disarikan dari butirbutir SKL, yaitu: Religius, Jujur, Cerdas, Tangguh, Bertanggung jawab, Bergaya hidup sehat,
Disiplin, Kerja keras, Berjiwa wirausaha, Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, Mandiri, Ingin
tahu, Cinta ilmu, Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, Patuh pada aturan-aturan
sosial, Menghargai karya dan prestasi orang lain, Santun, Demokratis, Peduli lingkungan,
Nasionalis, Menghargai keberagaman.
Di antara butir-butir nilai tersebut di atas, enam butir dipilih sebagai nilai-nilai pokok sebagai
pangkal tolak pengembangan, yaitu: Religius, Jujur, Cerdas, Tangguh, Peduli dan Demokratis.
Keenam butir nilai tersebut ditanamkan melalui semua mata pelajaran dengan intensitas
penanaman lebih dibandingkan penanaman nilai-nilai lainnya. Adapun untuk mata pelajaran
matematika di SMP karakter yang dikembangkan adalah Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,
demokratis, berpikir logis, kritis, kerja keras, ingin tahu, mandiri, percaya diri.
Terkait dengan pendidikan karakter, maka sekali lagi bahwa kunci utama dalam penyelenggaraan
dan proses pendidikan itu justru pada aktor-aktornya. Mereka ini adalah guru-guru yang tidak
sekadar profesional di bidangnya, namun mereka juga sebagai guru yang berkarakter. Dengan kata
lain, karakter itu diasumsikan sudah melekat di dalam pribadi guru-guru di sekolah di di negeri ini.
pembentukan karakter seseorang bisa di dalam tiga wadah proses, yaitu, alam, forma pendidikan,
dan kebiasaan-kebiasaan hidup seseorang itu dalam sejarah kehidupannya. Dengan melalui tiga
wadah itu, maka seseorang bisa menjadi orang berkarakter. Kumpulan serangkain nilai atau
beberapa kualitas hidup yang baik dan melekat pada diri seseorang ini yang membentuk karakter
seseorang.
Nah, sekarang timbul pertanyaan bagaimanakah guru yang berkarakter itu? Untuk menjawabnya,
kita bisa mulai dahulu dari definisi guru yang terdapat dalam UU no 14 tahun 2005, Pasal 1, ayat
(1) yaitu guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada usia dini jalur pendidikan
formal, dasar, dan menengah. Selanjutnya tugas utama guru adalah memiliki kualitas hidup atau
nilai-nilai baik yang berguna untuk dirinya, orang lain (peserta didik) lingkungannya dan
masyarakat luas.
258
Dalam UU tersebut guru diharapkan memiliki empat keterampilan yaitu keterampilan pedagogik,
keterampilan kepribadian, keterampilam sosial, dan keterampilan profesional. Dengan demikian,
empat kompetensi itu sebagai kompetensi yang bisa membentuk nilai dan kualitas hidup seorang
guru. Guru berkarakter bisa saja sosok guru dengan kualitas hidup baik dengan empat kompetensi
itu. Adapun cara memperoleh kualitas dan nilai hidup yang baik itu bisa diperoleh melalui alam
lingkungan kehidupannya, pendidikan, dan kebiasaan. Jika dirinci, maka, lingkungan kehidupan
tidak hanya di sekolah saja melainkan dalam kehidupan sehari-hari melalui kebisaan hidup seharihari pula. Karakter seperti di dalam definisi di atas, diperoleh dan kahirnya melekat secara koheren
di dalam diri seorang guru.
Dengan demikian jelaslah bahwa pendidikan karakter yang dicuatkan pada fenomena kahir-akhir
ini memerlukan kunci utama dalam penggerak proses pendidikan. Mereka itulah guru-guru yang
berkarakter dan digembleng di dalam wadah tidak hanya formal saja melainkan alam lingkungan
dan kebiasaan-kebiasaan. Pendidikan karakter bisa dibangun melalui kinerja sistem pendidikan dan
instrumen pemerintah lainnya yang sama-sama sinergis. Dalam arti bahwa, guru merupakan kunci
utama, sehingga yang lebih penting adalah kebutuhan guru berkarakter baru kemudian mendidik
peserta didik menjadi insan-insan berkarakter.
Sebagai seorang guru hendaklah kita berusaha untuk menjadi yang terbaik. Meski dengan tugas
berat, karena guru selain sebagai pengajar juga sebagai mendidik. Dengan tugas ini hendaknya
mengajar dimaknai sebagai sebuah amanah bukan sekedar tugas sampingan yang ringan. Untuk itu
kerja ikhlas dan keras hendaknya senantiasa menyemangati hati dan jiwa kita sebagai pendidik.
Pembentukan jiwa dengan semangat tinggi akan mewujud dan membentuk seorang guru yang
Berkarakter. Karakteristik yang humble dapat dengan mudah membawa siswa untuk tunduk dan
patuh pada perintah yang baik. Mereka membutuhkan guru yang pantas menjadi suri tauladan
baginya. Rasa penasaran, haus akan ilmu pengetahuan menjadi terpuaskan tatkala seorang guru
dengan sikap lemah lembutnya mampu menenagkan siswa di saat yang tepat.
Oleh karena itu guru harus memiliki karakter karena tugas guru sebagai pembentuk karakter.
Bagaimana nasib bangsa ini kelak sangat dipengaruhi oleh bagaimana karakter guru dalam
mendidik. Apabila gurunya memiliki sifat temperamental dan suka melakukan kekerasan, maka
jangan salahkan siswanya kalau mereka senang tawuran, anarki dan emosional. Pembentukan
karakter dan watak atau kepribadian ini sangat penting dan mutlak. Adanya krisis yang terus
berkelanjutan melanda bangsa dan negara kita sampai saat ini jelas menunjukkan bahwa bangsa
kita masih belum memiliki karakter yang kuat dalam menyelesaikan permasalahannya.
Guru sebagai bagian dari orang tua siswa di sekolah perlu mewujudkan agar siswanya menjadi
manusia-manusia shaleh yang bertaqwa. Fitrah kecintaan guru kepada siswa membuat segala upaya
telah dilakukan agar siswa menjadi jauh lebih baik. Banyak guru mencita-citakankan agar siswanya
menjadi shaleh, namun tidak mendukung support system yang bisa mendukung tumbuh
kembangnya keshalihah ini. Misalnya siswa diharapkan rajin beribadah, berakhlak mulia, tetapi
gurunya tidak mencontohkan dirinya menjadi sosok yang rajin beribadah. Tentu saja sulit bagi
siswa untuk membentuk karakter yang shaleh tersebut. Orang yang berperilaku tidak jujur, rakus,
atau kejam dikatakan sebagai orang yang berkaraktek jelek, sementara orang yang berperilaku
jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Pendidikan karakter akan
menumbuhkan kecerdasan emosi siswa yang meliputi kemampuan mengembangkan potensi diri
dan melakukan hubungan sosial dengan manusia lain.
Berikut ini penulis sampaikan Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
yang tertuang dalam Panduan guru Mata Pelajaran mengenai Pendidikan Karakter di Sekolah
Menengah Pertama yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama
Kementerian Pendidikan Nasional.
259
NILAI
1. Religius
2. Jujur
3. Toleransi
4. Disiplin
5. Kerja Keras
6. Kreatif
7. Mandiri
8. Demokratis
9. Rasa Ingin Tahu
13. Bersahabat/
Komuniktif
14. Cinta Damai
DESKRIPSI
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup
rukun dengan pemeluk agama lain.
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan
sebaik-baiknya.
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru
dari sesuatu yang telah dimiliki.
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan
didengar.
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan
bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan
fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati
keberhasilan orang lain.
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja
sama dengan orang lain.
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa
senang dan aman atas kehadiran dirinya.
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinya.
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan.
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya,
yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan
(alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
DAFTAR PUSTAKA
Pendahuluan
Usaha berbagai pihak dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan terutama hasil belajar siswa
dalam mata pelajaran matematika terus menerus dilakukan, seperti penyempurnaan kurikulum,
materi pelajaran, dan proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soedjadi
(1994: 36) bahwa kegiatan pembelajaran matematika di jenjang persekolahan merupakan suatu
kegiatan yang harus dikaji terus menerus dan jika perlu diperbaharui agar dapat sesuai dengan
kemampuan murid serta tuntutan lingkungan.
Salah satu reformasi pembelajaran (di Indonesia) yang gaungnya sudah semakin dirasakan di
sekolah-sekolah adalah pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme. Pendekatan ini pada
awalnya begitu monumental bahkan terus menerus diperbincangkan setiap pelaku dan pemerhati
pendidikan. Akan tetapi, bagi para guru yang belum banyak mendapat informasi tentang inovasi
pembelajaran, pendekatan ini menjadi barang mewah yang sukar diraih bahkan sukar ditiru seperti
apa melaksanakannya di depan kelas.
Konstrutivisme berawal dari aliran kognitifisme, oleh karena itu sering juga disebut
konstruktivisme kognitif. Aliran inilah yang pertama kali menyatakan bahwa siswa (anak) adalah
mahluk aktif, ia dapat mengkonstruk sendiri pengetahuan dari informasi-informasi yang
didapatkannya atau dari pengalamannya. Salah satu pencetus dari aliran ini adalah Piaget, yang
terkenal dengan teorinya bahwa konstruksi pengetahuan yang dilakukan oleh anak melalui fase
perkembangan kognitif. Fase perkembangan kognitif anak oleh Piaget dibagi menjadi empat, yaitu
sensori motorik (0-2 tahun), pra operasional konkrit (3-6 tahun), operasional konkrit (7-12 tahun),
dan operasional formal (> 12 tahun). Siswa usia sekolah dasar menurut Piaget berada pada fase
operasional konkrit.
Konstruktivisme kemudian berkembang menjadi konstruktivisme sosial yang dimotori oleh
Vygosky, dan konstruktivisme emosional yang dimotori oleh Kohlberg. Pengusung
konstruktivisme kognitif pun bertebaran, diantaranya Ausuble, dan Bruner.
Vygotsky menawarkan suatu teori yang mengatakan bahwa potensi untuk perkembangan kognitif
dibatasi oleh suatu rentang tertentu dan bersifat unik bagi setiap individu belajar. Teori itu Zone of
Proximal Development (ZPD), dapat didefinisikan sebagai rentang antara tingkat perkembangan
kecerdasan aktual dan kecerdasan potensial. Teori Vygotsky juga mengklaim bahwa pembelajaran
akan sangat efektif ketika individu belajar ditempatkan dalam suatu lingkungan belajar yang
supportive dan ketika mereka menerima bimbingan yang sesuai. Peran bimbingan yang dilakukan
adalah untuk mengorganisasikan dukungan dinamis yang dapat digunakan pembelajar dalam
menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan sampai pada batas atas ZPD yang dimiliki pembelajar.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
261
Interpretasi akan optimal dan sesuai dengan harapan tujuan pembelajaran ketika mendapatkan
dukungan dari lingkungan, dan ia dapat mengkaitkan pengetahuan yang dimiliki dengan apa yang
diberi interpretasi. Dalam menciptakan suasana lingkungan yang dapat mendukung interpretasi
siswa dalam pembelajaran, peran guru pada saat ini sangat dibutuhkan. Guru tidak hanya berperan
sebagai fasilitator namun dapat lebih dari itu, yang dapat membangkitkan motivasi, dan dapat
mendorong siswa untuk membangun pengetahuan baru.
Pengetahuan dapat dibangun apabila pembelajaran itu memiliki makna bagi siswa, seperti yang
dikatakan Ausubel, bahwa dalam belajar bermakna, materi yang diperolehnya dimengerti dan
siswa mampu mengembangkan ke dalam keadaan lain. Selanjutnya, Ausubel membedakan antara
belajar menerima dan menemukan. Belajar menerima, maksudnya siswa hanya menerima materi
dan menghapalkannya. Adapun belajar menemukan menurut Ausubel penting karena dengan
memberikan pengulangan secara garis besar tentang apa-apa yang akan dipelajari mengarahkan
siswa kepada proses pemahaman.
Sejalan dengan teori konstruktivisme yang mengatakan bahwa pengetahuan baru dibangun atas
dasar pengalaman dan pengetahuan yang ada sebelumnya, prinsip-prinsip pembelajaran
menganggap bahwa sistem memori yang paling krusial untuk memindahkan informasi menjadi
berbagai pengetahuan yang bermakna ke dalam memori jangka panjang (long term memory) adalah
memori jangka pendek. (short term memory). Seluruh informasi yang masuk ke otak manusia
diorganisasikan dan diproses dalam memori jangka pendek melalui proses interaksi dengan memori
jangka panjang. Tetapi mengingat memori jangka pendek hanya mampu mengolah informasi antara
8 11 unit informasi (psychological unit) setiap proses dilakukan (Schenck, J., Building Memory
Bank), maka untuk membangun pengetahuan dalam jumlah yang besar pemrosesan informasi
semestinya dilakukan secara bertahap.
Pada makalah ini, penulis mencoba memberikan alternatif pembelajaran seperti apa yang
diinginkan dalam konstruktivisme, khususnya dalam pembelajaran matematika sehingga
pembelajaran dapat bermakna. Akan tetapi, penulisannya dibatasi hanya pada pengembangan dan
penerapan prinsip-prinsip pembelajaran yang sesuai dengan kaidah-kaidah konstruktivisme.
Prinsip-prinsip yang dikemukakan para pengembang konstruktivis pada umumnya belum secara
operasional seperti apa pembelajarannya di depan kelas. Karena itu, dalam makalah ini penulis
mencoba menafsirkannya melalui beberapa contoh pembelajaran matematika.
2.
Konstruktivisme sebagai salah satu paradigma dalam teori belajar telah banyak mempengaruhi
pembelajaran matematika, terutama pendekatan mengajar yang disampaikan guru serta posisi dan
peran guru dalam proses pembelajaran matematika. Sebagaimana pernyataan Suparno (1997:12),
konstruktivisme sangat mempengaruhi praktek pendidikan sains dan matematika, banyak cara
mengajar di sekolah didasarkan pada konstruktivisme seperti cara belajar yang menekankan
peranan murid dalam membentuk pengetahuannya sedangkan guru lebih berperan sebagai
fasilitator yang membantu keaktifan murid tersebut dalam pembentukan pengetahuannya.
Pembelajaran matematika yang konstruktivis dapat dikembangkan dengan mengacu pada prinsipprinsip pembelajaran yang relevan. Dari sekian banyak teori yang dikemukakan para konseptor
dan pengembang konstruktivisme, penulis mencatat beberapa prinsip pembelajaran konstruktivis,
seperti apersepsi, peragaan, motivasi, aktivitas, kerjasama, mandiri, penyesuaian dengan
individu, korelasi, dan evaluasi yang teratur. Prinsip didaktisasi matematika yang dikemukakan di
atas sangat dipengaruhi oleh filsafat dan psikologi pembelajaran matematika.
Filsafat berpengaruh pada didaktisasi matematika, terutama dalam menentukan tujuan pendidikan
matematika serta menentukan pandangan kita sebagai anak manusia serta hubungan antara guru
dan siswa. Salah satu filsafat yang banyak mempengaruhi pendidikan matematika saat ini adalah
filsafat konstruktivisme. Implikasi konstruktivisme dalam pembelajaran matematika adalah
perlunya guru meyakini perannya sebagai fasilitator dalam membuat siswa aktif
mengkonstruksikan sendiri ide, konsep, prosedur, dan prinsip matematika.
262
Psikologi memberikan sumbangan di dalam didaktisasi dari segi perkembangan anak dan
bagaimana anak belajar, termasuk bagaimana anak belajar matematika serta bagaimana guru dapat
memberikan bimbingan yang efektif sehingga hasil belajar siswa menjadi optimal. Salah satu
psikologi yang kini sangat berpengaruh dalam pendidikan matematika adalah aliran psikologi
kognitif yang lebih mengutamakan proses berpikir dalam memahami realitas dan kebenaran.
Tokohnya seperti Piaget, Bruner, Vygotsky, dan Van Hiele.
a.
Prinsip Apersepsi
Apersepsi digunakan dalam mengajar dengan maksud untuk membangun pemahaman ide yang
baru dipelajari dengan mengaitkan pada pemahaman ide yang telah dimiliki siswa. Apersepsi
diperlukan untuk menafsirkan tanggapan-tanggapan baru. Apersepsi juga digunakan untuk
membangkitkan minat dan perhatian terhadap sesuatu berdasarkan pengetahuan yang ada. Contoh
apersepsi yang dapat dikembangkan guru di antaranya sebagai berikut.
Contoh 1
Pada pembelajaran dengan materi fungsi linear dan grafiknya (Puskur, 2002), pada saat hendak
masuk ke pembicaraan tersebut perlu diawali dengan kegiatan apersepsi seperti :
Menugasi siswa untuk menggambar titik-titik A(2,5), B(-3,5), C(0,4), D(6,6) pada bidang
koordinat Cartesius
Mengisi tabel yang memenuhi persamaan y
x
= x untuk (x,y) bilangan bulat antara -5 dan
5, kemudian menggambarkannya pada
y
bidang koordinat Cartesius.
Kegiatan apersepsi dapat dilanjutkan dengan kegiatan menggambar 2 titik sembarang pada bidang
koordinat dan menghubungkannya menjadi sebuah segmen garis.
Contoh 2
Untuk memasuki pelajaran tentang mencari luas daerah lingkaran yang diketahui panjang jarijarinya, digunakan apersepsi di antaranya sebagai berikut.
Tanya jawab dengan siswa tentang konsep unsur-unsur lingkaran seperti jejari, diameter,
sektor, keliling.
Tanya jawab tentang pemahaman mencari luas daerah lingkaran yang diketahui panjang dan
lebarnya. Konsep-konsep terebut diperlukan untuk memahami luas daerah lingkaran secara
informal.
Dibuat daerah lingkaran dari kertas manila dengan panjang jejarinya tertentu, dipotong-potong
menurut sektor-sektornya dan dibentuk menyerupai persegi panjang seperti gambar di bawah
ini.
1
1
keliling l = 2 r r
2
2
263
b. Prinsip Peragaan
Banyak ahli psikologi belajar, terutama penganut psikologi kognitif mengajarkan kepada kita
bahwa untuk mengajarkan konsep yang abstrak harus dimulai dari sesuatu yang konkrit lalu
semikonkrit, kemudian abstrak. Salah satunya yang dikembangkan oleh Bruner, yaitu dengan
mengkonstruksi (enactive, iconic, simbolik), menyusun notasi, dan mengkontraskan. Misalnya pada
teori menyusun notasi, siswa mempelajari matematika yang menggunakan begitu banyak simbol,
hendaknya memahami secara bertahap mulai dari yang paling sederhana sesuai dengan tingkat
pemahamannya.
Contoh 3.
Untuk mengajarkan notasi fungsi linear (Puskur, 2002), tidak diajarkan dengan serta merta melalui
pendekatan f : x f(x), tetapi dimulai dari diagram Venn terlebih dahulu.
.
4 .
10 .
n .
x .
2
. 5
.7
. 13
. n+3
. x+3
B
Prinsip Motivasi
Salah satu fungsi yang melekat pada diri guru adalah peran sebagai motivator, yang mampu
mendorong siswa memiliki semangat dan kemauan belajar yang lebih tinggi. Motivasi yang dapat
ditanamkan bisa berupa motivasi intrinsik (yang didorong oleh cita-cita, harapan pribadi dari
siswa) atau motivasi ekstrinsik (tumbuh dari luar diri siswa). Misalnya, guru dapat melakukan
beberapa tindakan seperti memberi nilai secara obyektif, memberi hadiah dan penghargaan,
menumbuhkan rasa sukses, membiasakan sikap bekerja sama, membangun suasana kelas yang
menyenangkan.
d.
264
Contoh 4.
Prinsip Kerjasama
Di dalam pembelajaran siswa perlu diberikan kesempatan untuk berlatih belajar bagaimana hidup
dalam kelompok. Wujud nyatanya, siswa diharapkan terlibat dalam tugas-tugas kelompok. Guru
bertugas memfasilitasi kegiatan kelompok agar berlangsung produktif dan dinamis. Untuk
mengefektifkan kerja kelompok dapat digunakan pendekatan cooperative learning tipe jigsaw.
Pelaksanaan diskusi tipe jigsaw akan dapat menghilangkan ketergantungan kelompok pada
anggota tertentu saja, dan semua anggota dapat berpartisipasi aktif. Kegiatan diskusi model jigsaw
yang bisa disarankan untuk pembelajaran matematika di sini seperti contoh berikut ini.
Contoh 5
Misalkan satu kelas yang terdiri atas 30 siswa dibagi ke dalam 3 kelompok sebut kelompok
Pythagoras (P), Euclid (E), dan Cartesius (C). Masing-masing anggotanya sebanyak 10 orang.
Kelompok P terdiri atas P1, P2, P3, ... P10. Kelompok E terdiri atas E1, E2, E3, ... E10. Kelompok
C terdiri atas C1, C2, C3, ... C10.
Guru menyiapkan 10 macam tugas yang berbeda antara tugas yang satu dengan yang lainnya.
Kemudian anggota ke-1 dari setiap kelompok (P1, E1, C1) mengerjakan tugas 1, anggota ke-2
dari setiap kelompok kelompok (P2, E2, C2) mengerjakan tugas 2, dan seterusnya hingga tugas
10 oleh anggota ke-10 setiap kelompok (P10, E10, C10)
Setelah selesai menyelesaikan tugas di kelompok kecil, setiap anggota menjadi narasumber di
kelompok besar mengenai soal atau tugas yang dikerjakan pada kelompok kecil. Misalnya, P1
sebagai nara sumber pada kelompok P dalam memecahkan soal/tugas 1. E1 sebagai nara
sumber pada kelompok E dalam memecahkan soal/tugas 1, dan seterusnya hingga C10 sebagai
nara sumber pada kelompok C dalam memecahkan soal/tugas 10.
Diskusi pada kelompok besar (P, E, dan C) berupa pembahasan soal/tugas 1 , soal/tugas 2, dan
seterusnya hingga soal/tugas 10.
Gambaran prosedur kegiatan di atas seperti diperlihatkan skema berikut ini.
265
30 siswa disebar
P6
P5
P7
E6
E7
P4
P3
P8
E10
C4
C3
C8
E2
E9
C5
C7
E4
E3
P1
P10
C6
E8
P2
P9
E5
C2
C9
E1
C1
C10
P1
C1
E1
P10
P2
......
C2
E2
C10
E10
30 siswa disebar
P6
P5
P7
E6
E7
P4
P3
P8
P2
P9
P1
P10
E5
C6
C7
E4
E3
E8
E2
E9
E10
E1
C5
C4
C3
C8
C2
C9
C1
C10
P1
E1
C1
P10
P2
E2
f.
C2
......
E10
C10
Prinsip Mandiri
Paham konstruktivisme merupakan paham yang sesuai untuk mengembangkan kemandirian pada
proses berpikir siswa karena esensi konstruktivisme mampu mengkonstruk ide berdasarkan
pengetahuan/pengalaman yang pernah didapatkan tanpa terlalu banyak menggantungkan diri pada
penjelasan guru sebagai salah satu nara sumber. Menurut penulis tugas-tugas membaca dan
metode proyek dapat dijadikan sarana untuk memupuk kemandirian siswa. Berikut ini contoh yang
dapat diterapkan guna memupuk kemandirian belajar siswa.
266
Contoh 6
Kelas : 1
Kompetensi matematika
Topik
Kompetensi dasar
Hasil belajar
Indikator
Model Pembelajaran
Penilaian
5
3
gambar
dst
dst
g. Prinsip Korelasi
Prinsip korelasi yang penulis dimaksudkan di sini adalah upaya mengaitkan satu topik matematik
dengan topik lain dalam matematika juga atau dengan mata pelajaran lain serta dengan kehidupan
keseharian. Tujuannya agar selama mengkonstruk pengetahuan yang baru siswa mendapatkan
kesenangan dan kemanfaatan dari pengetahuan yang dipelajarinya itu.
Contoh 7
Ketika guru mengajarkan basis bilangan perlu dijelaskan betapa peran pentingnya perubahan basis
decimal ke sistem biner sehingga kemudian dapat diterapkan untuk menyusunkan kode-kode
atau simbol-simbol ke dalam rangkaian angka 0 dan 1 yang dikaitkan dengan rangkaian arus
listrik, kemudian menjadi sistem pengolahan informasi yang dikenal dalam komputer.
267
h.
Model asessmen yang dikembangkan adalah penilaian yang sesungguhnya (assessmen authentic).
Maksudnya, penilaian terhadap hasil kerja siswa saat berlangsung proses kegiatan siswa belajar dan
di akhir pembelajaran. Jadi, tidak hanya pada saat siswa mengerjakan tes akhir suatu pokok
bahasan saja. asesmen otentik yang dikembangkan meliputi Paper and Pencil Tes, Performance
Assessment, Project Assessment, Product Assessment, Portfolio. Berikut beberapa contoh asesment
tersebut yang dapat dikembangkan para guru matematika.
Contoh 8 Asesmen Kinerja
Kelas : 3 (tiga)
Kompetensi matematika
Topik
Kompetensi dasar
Hasil belajar
Indikator
Model pembelajaran
Penskoran
SOAL 1
a. Guntinglah seutas benang menjadi tiga potong yang berbeda panjangnya.
b. Tanpa menggunakan alat ukur panjang, carilah rata-rata panjang ketiga benang tersebut.
c. Tulislah rumus yang mungkin untuk menyatakan rata-rata panjang ketiga benang tersebut.
SOAL 2
Siswa berkumpul dalam kelompok masing-masing
Dalam setiap kelompok siswa dibagi permen/kerikil/kelereng atau yang sejenisnya dengan
jumlah permen/kerikil/kelereng yang berbeda setiap orangnya.
a. Hitunglah jumlah permen/kerikil/kelereng yang kamu dapatkan dan ingat baik-baik jumlah
permen/kerikil/kelereng tersebut.
b. Pilihlah seorang teman dalam kelompokmu, tanya berapa jumlah permen/kerikil/kelereng
yang ia dapat. Jumlah permen/kerikil/kelereng yang paling banyak dari pasanganmu itu
berikan pada teman pasanganmu yang memiliki permen/kerikil/kelereng lebih sedikit,
sehingga jumlah permen/kerikil/kelereng yang kamu miliki dengan pasanganmu sama atau
lebihnya satu.
c. Pilih kembali teman yang lain sebagai pasanganmu dan lakukan seperti langkah b di atas.
Demikian seterusnya sampai setiap orang dalam kelompokmu memiliki jumlah permen
yang sama.
d. Tulislah rumus yang mungkin untuk menyatakan rata-rata dari banyaknya permen yang
didapat setiap orang dalam kelompokmu.
Lembar Penilaian Rubriks
Nama
Siswa
Kelompok
Jumlah skor
268
Kelas : 3 (tiga)
Kompetensi matematika
Topik
Kompetensi dasar
Hasil belajar
Indikator
Model pembelajaran
Penskoran
..........
Semester : 1 (satu)
: Pengukuran dan Geometri
: Kesebangunan
: Menerapkan konsep kesebangunan
: Menentukan perbandingan kesebangunan dua bangun datar
: Menggambar bangun-bangun yang sebangun dengan
menggunakan bidang koordinat
: cooperative learning
: Rubriks
Kisi-Kisi Pertanyaan
Nomor Soal
1a
1b
1c
1d
1e
1f
1g
Jenis Pertanyaan
reasoning, connecting
measuring, using tools
Visualizing
measuring, using tools
comparing, reasoning, counting
comparing, reasoning, counting
comparing, reasoning, connecting
Langkah Kerja
Kelompok
Titik
Sudut
Wajah
A
B
C
D
E
F
G
H
...
...
dst
Mulut
...
dst
Tabel 1
Bangun 1
Bangun 2
Koordinat
Besar
Koordinat Besar
(x,y)
sudut
(x+2,y+2) Sudut
(2,12)
...........
...........
...........
(1,10)
153o43
...........
...........
(1,4)
153o43
...........
...........
(2,2)
153o43
...........
...........
(10,2)
...........
...........
...........
(11,4)
...........
...........
...........
(11,10)
...........
...........
...........
(10,12)
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...
...
...
...
dst
Dst
dst
dst
Bangun 3
Koordinat Besar
(x-2,y-2)
Sudut
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...
...
Dst
dst
269
Kelas : 3
Kompetensi matematika
Topik
Kompetensi dasar
Hasil belajar
Indikator
Model pembelajaran
Penskoran
..........
Semester : 2
: Penalaran
: Pembuktian induktif dan deduktif
: Menerapkan konsep barisan/deret bilangan
: Menentukan banyak loncatan minimal pada permainan menara
Hanoi
: Menemukan rumus untuk banyak loncatan minimal pada
permainan menara Hanoi
: permainan
: kartu evaluasi
Soal
Berikut ini dua model penalaran dalam matematika untuk menentukan banyak loncatan minimal
pada permainan menara Hanoi.
Lengkapilah langkah-langkah tersebut dengan cara mengisi titik-titik a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, dan k
yang ada
Loncatan
21 1 = 1
Selisih Loncatan
2
22 1 = 3
23 1 = 7
15
......(a)......
5
.
.
.
k1
31
25 1 = 31
4
8
.......(b)......
........(c).......
2k-1
k
2 -1
k+1
.
.
.
N
2k+1 1
.......(d).....
.......(e).......
3.
Penutup
271
MENINGKATKAN KEMAMPUAN
BERPIKIR KREATIF MATEMATIK
SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS
MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF
THINK-TALK-WRITE (TTW)
Oleh: Wahyu Hidayat
Jurusan Pendidikan Matematika - MIPA
STKIP Siliwangi Bandung
Abstrak
Penelitian ini merupakan kuasi eksperimen berbentuk kelompok kontrol pretes-postes, dengan perlakuan
pendekatan pembelajaran kooperatif Think-Talk-Write (TTW) dan pembelajaran konvensional.Berdasarkan
hasil analisis data, diperoleh kesimpulan bahwa: (1) Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik
siswa yang memperoleh pembelajaran dengan kooperatif Think-Talk-Write (TTW) lebih baik daripada siswa
yang memperoleh pembelajaran dengan cara konvensionalberdasarkan tingkat kemampuan siswa tinggi,
sedang, dan kurang ( = 5%); (2) Tidak terdapat efek interaksi antara pendekatan pembelajaran dan TKAS
dalam menghasilkan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa ; (3) Faktor Pendekatan Pembelajaran
memiliki peran yang lebih besar dalam pencapaian kemampuan berpikir kreatif matematik siswa dibanding
faktor Tingkat Kemampuan Awal Siswa (TKAS).
Kata kunci : berpikir kreatif matematik, Think-Talk-Write (TTW)
A.
Pendahuluan
272
Hasil studi awal di Kota Cimahi terhadap siswa SMA, kecenderungan mereka menganggap bahwa
matematika adalah pelajaran yang sulit untuk dipelajari dan jika diperbolehkan mereka berusaha
menghindar dari bidang studi matematika.Kecenderungan ini berakibat pada motivasi siswa untuk
belajar matematika sangat rendah.Ini juga berakibat pada tingkat Kemampuan Awal Siswa
terhadap matematika (TKAS) yang rendah.
Tingkat Kemampuan Awal Siswa terhadap Matematika (TKAS) memberi pengaruh langsung atau
tidak terhadap kemampuan matematika selanjutnya. Karena orang yang belajar matematika harus
memiliki pengetahuan matematika sebelumnya (Sumarmo, 2002). Ada kemungkinan kemampuan
siswa baik, sedang ataupun kurang berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kreatif matematik
siswa.
Salah satu solusi dari permasalahan-permasalahan di atas adalah pembelajaran matematika di
sekolah dengan menggunakan pembelajaran kooperatif Think-Talk-Write (TTW) yang diupayakan
dapat membuat siswa lebih aktif terlibat dalam proses pembelajaran matematika di kelas. Melalui
keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran matematika tersebut, maka diharapkan
kemampuan berpikir kreatif matematik siswa akan dapat terlatih dengan baik. Pembelajaran
Kooperatif TTW diharapkan dapat memicu keaktifan siswa di dalam kelas yang sasarannya dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa.
B.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Apakah peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan kooperatif Think-Talk-Write (TTW) lebih baik daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan cara biasa berdasarkan tingkat kemampuan siswa tinggi,
sedang, dan kurang?
2. Apakah terdapat efek interaksi antara pendekatan pembelajarandan Tingkat Kemampuan Awal
Siswa (TKAS)dalam menghasilkan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa?
3. Mana di antara pendekatan pembelajaran dan Tingkat Kemampuan Awal Siswa (TKAS) yang
lebih berperan dalam menghasilkan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa?
C.
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
273
2.
E.
dengan tidak menganggap lagi matematika sebagai pelajaran yang sulit dan siswa sebenarnya
memiliki kemampuan untuk mempelajari mata pelajaran ini sehingga pada akhirnya siswa
diharapkan lebih mempunyai kepercayaan diri dalam belajar matematika.
Bagi peneliti, merupakan pengalaman yang berharga sehingga dapat dijadikan bahan
pertimbangan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematik pada
berbagai jenjang pendidikan.
Berpikir Kreatif Matematik dan Think-Talk-Write (TTW)
1. Berpikir KreatifMatematik
Pembelajaran TTW dimulai dengan bagaimana siswa memikirkan penyelesaian suatu tugas atau
masalah, kemudian diikuti dengan mengkomunikasikan hasil pemikirannya melalui forum diskusi,
dan akhirnya melalui forum diskusi tersebut siswa dapat menuliskan kembali hasil pemikirannya.
Aktivitas berpikir, berbicara, dan menulis adalah salah satu bentuk aktivitas belajar-mengajar
matematika yang memberikan peluang kepada siswa untuk berpartisipasi aktif.Melalui aktivitas
tersebut siswa dapat mengembangkan kemampuan berbahasa secara tepat, terutama saat
menyampaikan ide-ide matematika.
a.
Think
Menurut Marzuki (2006 : 27) bahwa berpikir yang dilakukan manusia meliputi lima dimensi yaitu :
1) Metakognisi, merupakan kesadaran seseorang tentang proses berpikirnya pada saat melakukan
tugas tertentu dan kemudian menggunakan kesadaran tersebut untuk mengontrol apa yang
dilakukan.
2) Berpikir kritis dan kreatif, merupakan dua komponen yang sangat mendasar. Berpikir kritis
merupakan proses penggunaan kemampuan berpikir secara efektif yang dapat membantu
seseorang untuk membuat, mengevaluasi, serta mengambil keputusan tentang apa yang
diyakini serta dilakukan. Sedangkan berpikir kreatif merupakan kemampuan yang bersifat
spontan, terjadi karena adanya arahan yang bersifat internal dan keberadaannya tidak bisa
diprediksi.
3) Proses berpikir, memiliki delapan kompenen utama yaitu pembentukan konsep, pembentukan
prinsip, pemahaman, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, penelitian, penyusunan,
dan berwacana secara oral.
274
4)
5)
b.
Diskusi dapat menguntungkan pendengar yang baik, karena dapat memberi wawasan baru baginya.
Baroody (Ansari, 2003:25) menguraikan beberapa kelebihan dari diskusi kelas, yaitu :
1) Dapat mempercepat pemahaman materi pembelajaran dan kemahiran menggunakan strategi.
2) Membantu siswa mengkonstruksi matematika.
3) Menginformasikan bahwa para ahli matematika biasanya tidak memecahkan masalah sendirisendiri, tetapi membangun ide bersama pakar lainnya dalam satu tim.
4) Membantu siswa menganalisis dan memecahkan masalah secara bijaksana.
c.
Write
Aktivitas menulis berarti mengonstruksi ide, karena setelah berdiskusi antar teman kemudian
mengungkapkannya melalui tulisan. Shield dan Swinson(Ansari, 2003:39)menyatakan, bahwa
menulis dalam matematika membantu merealisasikan salah satu tujuan pembelajaran, yaitu
pemahaman siswa tentang materi yang ia pelajari.Aktivitas selama tahap ini adalah :
1) Menulis solusi terhadap masalah yang diberikan termasuk perhitungan.
2) Mengorganisasikan semua pekerjaan langkah demi langkah.
3) Mengoreksi semua pekerjaan sehingga yakin tidak ada pekerjaan yang tertinggal.
4) Meyakini bahwa pekerjaannya lengkap, mudah dibaca dan terjamin keasliannya.
F. Metode dan Prosedur Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan disain penelitiannya sebagai berikut :
O X O
(Ruseffendi, 2005 : 53)
O
O
Keterangan :
O
: Tes Kemampuan berpikir kreatifmatematik
X
: Perlakuan dengan pembelajaran Kooperatif TTW
Subyek populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota
Cimahi. Kemudian dari sekolah tersebutdiambil siswa kelas XI sebagai subyek sampel.Disamping
skenario pembelajaran untuk pendekatan TTW, dalam penelitian ini digunakan Instrumen berupa
tes kemampuan berpikir kreatif matematik.
G. Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini digunakan beberapa macam instrumen, yaitu
seperangkat tes kemampuan berpikir kreatifmatematik.Didalam penelitian ini disamping tes awal,
kedua sampel dikelompokkan berdasarkan Tingkat Kemampuan Awal Siswa (TKAS) yang data
kuantitatifnya diperoleh dari data nilai guru pada tiga standar kompetensi terakhir. Untuk
mengetahui seberapa besar peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa sebelum dan
setelah kegiatan pembelajaran, dilakukan analisis skor gain ternormalisasi yang dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
skor tes akhir skor tes awal
maksimum ideal skor tes awal
g = skor
275
Tingkat perolehan skor gain ternormalisasi dikelompokkan kedalam tiga kategori, yaitu :
0,70
< g
: Tinggi
0,30
g 0,70
: Sedang
g
< 0,30
: Rendah
H. Analisis Data dan Pembahasan
KONV
TKAS
TINGGI
SEDANG
KURANG
TOTAL
TINGGI
SEDANG
KURANG
TOTAL
Skor
Min.
0,63
0,53
0,59
0,53
0,38
0,25
0,31
0,25
Maks.
0,83
0,82
0,76
0,83
0,61
0,53
0,59
0,61
Rata-rata
0,75
0,71
0,68
0,72
0,51
0,39
0,47
0,44
Simp.
Baku
0,07
0,10
0,07
0,08
0,08
0,09
0,10
0,10
5)
Dari faktor pendekatan pembelajaran dan TKAS maka faktor pendekatan pembelajaran lebih
berperan daripada faktor TKAS dalam pencapaian kemampuan berpikir kreatifmatematik
siswa. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan kemampuan berpikir kreatifmatematik siswa
TKAS sedang yang pembelajarannya menggunakan kooperatif TTW lebih baik daripada
peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa TKAS tinggi yang
pembelajarannya menggunakan carakonvensional. Begitu pula peningkatan kemampuan
berpikir kreatif matematik siswa TKAS kurang yang pembelajarannya menggunakan
kooperatif TTW lebih baik daripada peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik
siswa TKAS sedang yang pembelajarannya menggunakan cara konvensional. Dengan
demikian dari kedua faktor yaitu pendekatan pembelajaran dan TKAS maka faktor
pendekatan pembelajaran yang lebih berperan dalam pencapaian peningkatan kemampuan
berpikir kreatifmatematik siswa.
JK
dk
RJK
1,051
0,079
0,030
0,402
1
2
2
57
1,051
0,039
0,018
0,007
F h it
149,246
5,573
2,624
Sig
0,000
0,006
0,081
Pendekatan Pembelajaran
H0 : e = k
H : e k
A
Kriteria pengujian :
Jika sig> 0,05 maka H0 diterima
Dari Tabel E.2 diperoleh nilai sig = 0,000; atau dengan kata lain sig< 0,05. Hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan berpikir kreatif
matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran kooperatif TTW dengan yang
pembelajarannya menggunakan cara konvensional pada taraf signifikansi 5%.
b)
Peringkat Sekolah
277
Tabel E.3
Uji Scheffe Skor Rerata Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik
Berdasarkan TKAS
TKAS (I)
TKAS(J)
Tinggi
Sedang
Sig
0,000
H0
Ditolak
Sedang
Kurang
0,359
Diterima
Tinggi
Kurang
0,024
Ditolak
Dari Tabel E.3 disimpulkan bahwaterdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan berpikir
kreatif matematik siswa pada TKAS tinggi dan kurang dibandingkan siswa dengan TKAS sedang
pada taraf signifikansi 5%. Dalam hal ini kemampuan berpikir kreatif matematik siswa dengan
TKAS tinggi dan kurang lebih baik daripada siswa dengan TKAS sedang. Implikasinya
Kemampuan berpikir kreatif matematik siswa pada TKAS tinggi dan kurang lebih berkembang dari
TKAS sedang.
c)
2.
3.
278
DAFTAR PUSTAKA
Ansari, B. I. (2003). Menumbuhkembangkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematik Siswa
Sekolah Menengah Umum (SMU) melalui Strategi Think Talk Write. Disertasi Sekolah Pasca
Sarjana UPI. Bandung : Tidak diterbitkan.
Hendriana, H. (2009). Pembelajaran Dengan Pendekatan Metaphorical Thinking Untuk Meningkatkan
Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematik Dan Kepercayaan Diri Siswa
Sekolah Menengah Pertama. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UPI. Bandung : Tidak diterbitkan.
Marzuki, A. (2006). Implementasi Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Dalam Upaya
Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa. Tesis pada PPS
UPI. Bandung : Tidak diterbitkan.
Nurlaelah, E. (2009). Pencapaian Daya dan Kreativitas Matematik Mahasiswa Calon Guru Melalui
Pembelajaran Berdasarkan Teori APOS. Disertasi pada SPS UPI. Bandung : Tidak diterbitkan.
Rohaeti, E. E. (2008). Pembelajaran Dengan Pendekatan Eksplorasi Untuk Mengembangkan Kemampuan
Berpikir Kritis Dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi Sekolah
Pasca Sarjana UPI. Bandung : Tidak Diterbitkan.
Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung :
Tarsito
Sukmadinata, N.S (2004). Kurikulum
Karya.
dan
Pembelajaran
Kompetensi.
279
Menurut National Research Council (1989), bahwa sebenarnya semua keterampilan matematis itu
didasarkan pada pemahaman matematis. Siswa yang memiliki kemampuan pemahaman dapat
membantunya mengembangkan bagaimana untuk berfikir dan bagaimana untuk membuat
keputusan (Allen, 1992; Borasi & Rose, 1989; Burton & Morgan, 2000; Countryman, 1992;
Noraini, 2009). Dengan demikian, membangun pemahaman matematis dapat mengembangkan
kemampuan matematis lainnya.
Menurut Sardiman (2006), dalam interaksi belajar mengajar yang terpenting adalah guru sebagai
pengajar tidak mendominasi kegiatan, tetapi membantu menciptakan kondisi yang kondusif serta
memberikan motivasi dan bimbingan agar siswa dapat mengembangkan potensi dan kreatifitasnya
melalui kegiatan belajar. Untuk itu, perlu suatu rancangan model pembelajaran yang
dapatmengaktifkan siswa, menarik minat siswa, serta mengajak siswa untuk terlibat saat proses
pembelajaran.
Model pembelajaran ARIAS dikembangkan oleh Keller dan Thomas (1987) yang merupakan
modifikasi dari model ARCS (attention, relevance, convidence, satisfaction). Model pembelajaran
ARIAS terdiri dari lima komponen yaitu assurance (percaya diri), relevance (relevan), interest
(minat/perhatian),
assessment
(evaluasi),
dan
satisfaction(kepuasan/rasa
bangga).
Modelpembelajaran ARIAS merupakan acuan kegiatan guru dalam proses belajar mengajar yang
dirancang untuk memotivasi siswa serta mengaktifkan siswa saat proses pembelajaran berlangsung.
Namun pada umumnya, siswa dengan Intelligence Quotient (IQ) tinggi hasil belajarnya akan
tinggi. Sehingga banyak orang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar,
seseorang harus memiliki IQ yang tinggi. Inteligensi dianggap merupakan satu-satunya bekal
potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi
belajar yang optimal. Di lain pihak, Goleman (2000) menyatakan bahwa tidak sedikit orang yang
280
memiliki IQ tinggi namun tidak sesukses orang yang memiliki IQ sedang bahkan IQ rendah
sekalipun. Dengan kata lain, taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang
menentukan keberhasilan seseorang, namun kecerdasan emosional juga diperlukan.
Berdasarkan uraian di atas,maka judul pada penelitian ini yaitu Pengaruh model pembelajaran
ARIAS terhadap kemampuan pemahaman matematis siswa SMP ditinjau dari tingkat kecerdasan
emosional.
B.
Masalah Penelitian
TujuanPenelitian
Hipotesis
Definisi Operasional
281
2.
3.
4.
F.
Kajian Pustaka
1.
Pemahaman Matematis
Menurut Bloom (dalam Anderson & Krathwohl, 2001), pemahaman adalah kemampuan untuk
menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari. Sedangkan menurut Driver (1993),
pemahaman adalah kemampuan untuk menjelaskan suatu situasi atau suatu tindakan. Ruseffendi
(1991) mengemukakan tiga jenis pemahaman yaitu translation (pengubahan), interpretation
(pemberian arti), dan extrapolation (pembuatan ekstrapolasi). Jadi pemahaman merupakan
kemampuan menerangkan sesuatu dengan kata-kata sendiri, mengenali, menafsirkan, dan menarik
kesimpulan dari informasi yang didapat.
2.
Model pembelajaran ARIAS terdiri dari lima komponen (assurance, relevance, interest,
assessment, dan satisfaction). Kelima komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang diperlukan
saat kegiatan pembelajaran dalam upaya menciptakan pembelajaran yang dapat memotivasi dan
mengaktifkan siswa.
3.
Kecerdasan Emosional
G.
Metode Penelitian
1.
Desain Penelitian
Penelitian ini berbentuk kuasi eksperimen dengan desain faktorial (factorial design). Factorial
design dapat dilihat interaksi antara variabel bebasnya (X) dengan variabel kontrol (Y), yang dalam
hal ini adalah kecerdasan emosional (Fraenkel & Wallen, 1993). Berdasarkan hal tersebut maka
desain penelitiannya adalah sebagai berikut.
Eksperimen :
Y
O
X
O
Kontrol
:
Y
O
O
2.
SubjekPenelitian
Subjek pada penelitian ini dilakukan dengan purpose yang didasarkan kepada kelompokyaitusiswa
kelas VIII di salah satu SMP Negeridi Bandung.
3.
InstrumenPenelitian
Berdasarkan jenis data yang diharapkan dalam penelitian ini, maka untuk memperoleh data
digunakan empat instrumen yaitu tes kemampuan pemahaman matematis, tes kecerdasan
emosional, observasi aktivitas, dan angket respon siswa.
4.
Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan bantuan software SPSS dan software Micosoft
Excel dengan kriteria untuk menolak atau menerima
berikut:
a.
yaitu sebagai
H O ditolak,
H O diterima.
Data yang diperoleh dari tes kecerdasan emosional dikategorikan berdasarkan tingkatnya yaitu
tinggi, sedang, dan rendah.
b.
Data yang diperoleh dari hasil pretes, dihitung perbedaan reratanya. Tujuannya adalah untuk
mengetahui kemampuan awal kedua kelas apakah sama atau berbeda. Untuk mengetahui statistik
apa yang digunakan untuk menguji perbedaan rerata, dilakukan uji normalitas dan homogenitas
dengan bantuan software SPSS pada taraf signifikansi 5%. Jika hasil menunjukkan data
berdistribusi normal dan homogen, selanjutnya dilakukan uji parametrik yaitu uji-t, namun jika data
berdistribusi normal tapi tidak homogen digunakan uji- t ' . Selanjutnya, jika salah satu data atau
keduanya tidak berdistribusi normal dilakukan uji non parametrik Mann Whitney. Perhitungan
dilakukan dengan bantuan software SPSS.
c.
Menganalisis data postes sesuai untuk menjawab pertanyaan penelitian, digunakan teknik statistika
ANOVA (Analysis of variance), dan apabila diperoleh hasil ada perbedaan pengaruh maka untuk
menentukan signifikansinya digunakan Post HocMultiple Comparison yaitu uji Bonferroni. Namun
jika datanya tidak berdistribusi normal, maka dilakukan Uji Friedman untuk Desain Acak Blok.
283
H.
1.
Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data, diketahui bahwa kemampuan pemahaman
matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model ARIAS memiliki perbedaan yang
signifikan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran tradisional. Lebih lanjut, ditemukan
bahwa kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan model
ARIAS lebih baik dari siswa yang mendapat pembelajaran tradisional. Hal ini dikarenakan
pembelajaran dengan model ARIAS dirancang untuk memotivasi dan mengaktifkan siswa selama
pembelajaran berlangsung. Lima komponen dalam model ARIAS masing-masing memberi
kontribusi yang besar dalam membangun kemampuan pemahaman matematis siswa.
Secara keseluruhan, kontribusi model pembelajaran ARIAS terhadap pemahaman matematis siswa
adalah bahwa model pembelajaran ARIAS dirancang untuk memotivasi dan mengaktifkan siswa
dalam pembelajaran. Dengan motivasi dapat mendorong aktivitas belajar siswa dan dengan
motivasi dapat memupuk optimisme siswa dalam belajar. Lebih lanjut, menarik minat siswa untuk
terlibat dan memperhatikan pada saat proses pembelajaran. Sikap seperti ini jika dipertahankan
pada saat pembelajaran akan sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam memahami materi
yang sedang disampaikan. Sehingga mampu memberikan kemampuan pemahaman matematis yang
baik kepada siswa yang mendapat pembelajaran dengan model ARIAS.
2.
Hasil pengolahan dan analisis data menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman matematis siswa
ditinjau dari tingkat kecerdasan emosional memiliki perbedaan. Hasil analisa lebih lanjut,
menunjukkan bahwa untuk semua pasangan kelompok tingkat kecerdasan emosional memiliki
perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan pemahaman matematisnya. Hal ini
mengindikasikan bahwa kecerdasan emosional siswa secara signifikan berpengaruh terhadap
peningkatan kemampuan pemahaman matematis.
Hasil diketahui bahwa rata-rata kemampuan pemahaman matematis kelompok siswa tingkat
kecerdasan emosional tinggi lebih baik daripada rata-rata kemampuan pemahaman matematis
kelompok siswa tingkat kecerdasan emosional sedang dan rendah. Lebih lanjut, diketahui juga
bahwa rata-rata kemampuan pemahaman matematis kelompok siswa tingkat kecerdasan emosional
sedang lebih baik daripada rata-rata kemampuan pemahaman matematis kelompok siswa tingkat
kecerdasan emosional rendah. Hasil ini menggambarkan bahwa semakin tinggi kecerdasan
emosional siswa maka kemampuan pemahaman matematisnya semakin baik.
3.
Kemampuan Pemahaman Matematis Ditinjau dari Interaksi antara Jenis Pembelajaran dan
Kecerdasan Emosional
Hasil ANOVA 2-jalur, menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis pembelajaran dan
tingkat kecerdasan emosional siswa. Selisih kemampuan pemahaman matematis antara
pembelajaran tradisional dan pembelajaran ARIAS pada setiap tingkat kecerdasan emosional tidak
menunjukkan perbedaan yang jauh. Lebih lanjut, hasil uji Scheffe menunjukkan bahwa pada
masing-masing pasangan jenis pembelajaran berdasarkan kemampuan pemahamannya ditinjau dari
tingkat kecerdasan emosional tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini menunjukkan
bahwa pembelajaran dengan model ARIAS dapat diberikan kepada siswa yang kecerdasan
emosional tinggi, sedang, ataupun rendah. Karena yang diteliti adalah siswa sekolah
berkemampuan sedang, sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model ARIAS
dapat diterapkan di sekolah berkemampuan sedang baik untuk siswa yang memiliki kecerdasan
emosional tinggi, sedang, maupun rendah.
284
4.
Hasil korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan linier yang signifikan antara kecerdasan
emosional dan pemahaman matematis siswa di kelas eksperimen dan kontrol. Selanjutnya diketahui
bahwa hubungan antara kecerdasan emosional dan pemahaman matematis siswa di kelas
eksperimen tergolong cukup. Sedangkan di kelas kontrol hubungan antara kecerdasan emosional
dan kemampuan pemahaman matematisnya tergolong kuat.
5.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa secara rata-rata, pembelajaran dengan model ARIAS belum
optimal dalam meningkatkan kemampuan pemahaman matematis siswa dalam aspek menggunakan
model untuk memecahkan persoalan matematis. Hal ini disebabkan, pembelajaran lebih sering
mengajak siswa untuk berdiskusi dan menyelesaikan masalah dengan mengidentifikasi sifat-sifat
atau menggunakan hubungan antar konsep dalam memecahan persoalan matematis, namun kurang
mengajak siswa untuk mengotak-atik model atau menyelesaikan masalah matematis dengan
menggunakan model.
6.
Secara keseluruhan hasil menunjukkan bahwa rata-rata aktivitas siswa meningkat dalam setiap
pertemuan yaitu dalam melakukan aktivitas yang relevan dengan pembelajaran yaitu aktif menulis,
berdiskusi, dan membaca yang diberikan pada 8 pernyataan observasi. Dengan kata lain, siswa
menunjukkan sikap yang aktif dan relatif meningkat saat diberikan model pembelajaran ARIAS.
7.
Selama 14 kali pertemuan, siswa diberikan pembelajaran dengan model ARIAS. Lampiran F.1
menunjukkan rata-rata siswa merespon positif terhadap pembelajaran yang diberikan. Rata-rata
keseluruhan indikator menunjukkan respon positif yang diberikan siswa terhadap pembelajaran
dengan kriteria tergolong kuat.
I.
Kesimpulan
285
J.
Anderson, O. W dan Krathwohl. (2001). A Taxonomy For Learning, Teaching, and Assessing. New
York. Addison Wesley Longman, Inc.
Allen, N. B. R. (1992). A Study of Metacognitive Skills as Influenced by Expressive Writing in
College Introductory Algebra Classes. Dissertation Abstract International, 53, 432A.
Borasi, R. dan Rose, B. J. (1989). Educational Studies in Mathematics. Journal Writing and
Mathematics Instruction, 20, 347-365.
Burton, L., dan Morgan, C. (2000). Mathematics Writing. Journal for Research in Mathematics
Education, 31, 420-453.
Countryman, J. (1992). Writing to Learn Mathematics. Portsmouth: Heinemann.
Driver, R., Leach, J. (1993). A constructivist view of learning: Childrens conceptions and nature
of science. In what research says to science teacher. 7, 103-112. Washington: National
Science Teachers Assosiation.
Fraenkel, J. R. dan Wallen, N. E. (1993). How to Design and Evaluate Research in Education
(secon ed.). Singapore: McGraw-Hill.
286
Abstrak
Banyak siswa mengalami kesulitan belajar matematika. Faktor-faktor yang mempengaruhinya mungkin
antara lain masih adanya anggapan bahwa matematika itu pelajaran yang sulit, abstrak, kurang sinergisnya
unsur-unsur penunjang lainnya. Oleh karena itu, perlu dicarikan metode yang cocok agar matematika mudah
dipahami dan mudah dimengerti. Metode pembelajaran SAVI dengan pendekatan induktif bisa dipilih
menjadi alternatif untuk memudahkan siswa belajar matematika dan akhirnya kemampuan berfikir kreatif
matematis bisa berkembang dengan baik. Metode pembelajaran SAVI mampu mengaktifkan seluruh
komponen yang ada pada diri siswa yaitu menggabungkan semua gerak fisik, intelektual, dan aktivitas
intelektual yang mengaktifkan semua indera. Dalam makalah ini akan dikaji lebih mendalam tentang apa dan
bagaimana metode pembelajaran SAVI dengan pendekatan induktif bisa diterapkan dalam meningkatan
berfikir kreatif matematis.
Kata kunci: Metode SAVI, kemampuan berfikir kreatif matematis
A. PENDAHULUAN
Menurut pengamatan dan diskusi dengan beberapa guru matematika di Kota Bandung, terlihat
bahwa sebagian besar siswa prestasi belajar matematiknya masih rendah. Salah satu penyebab
rendahnya prestasi belajar matematika adalah siswa kurang berpartisipasi dalam aktivitas
pembelajaran di kelas, sehingga siswa kurang aktif dalam mengikuti pelajaran matematika.
Hasil belajar siswa selain dipengaruhi oleh metode pembelajaran juga dipengaruhi oleh partisipasi
siswa. Jika siswa aktif dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran maka bukan hanya aspek
prestasi saja yang dapat diraihnya namun ada aspek lain yang diperoleh yaitu aspek afektif dan
aspek social. Mengingat pentingnya partisipasi siswa dalam pembelajaran, maka guru diharapkan
bisa menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif yang memberikan lebih banyak partisipasi
siswa, sedangkan siswa hendaknya dapat memotivasi dirinya sendirinya agar aktif di dalam proses
pembelajaran. Dengan meningkatnya partisipasi siswa dalam pembelajaran maka diharapkan
prestasi belajar siswa semakin meningkat dan kemampuan berfikir kratif semakin terlatih.
Salah satu metode pembelajaran yang dapat mengatasi masalah rendahnya partisipasi siswa adalah
dengan metode pembelajaran SAVI dengan pendekatan induktif. Hernowo (2004: 13-14)
mengatakan, SAVI ini adalah semacam metode belajar yang jika diterapkan secara serempak akan
memfungsikan seluruh indera dan otak. Jadi metode SAVI adalah metode pembelajaran yang
melibatkan seluruh anggota tubuh dari gerakan tubuh, pendengaran, kemampuan membayangkan,
dan mampu bersifat cendikia atau berkait dengan kemampuan merenungkan, merumuskan, dan
mengait-ngaitkan dengan memfungsikan pikiran secara baik dan benar.
Pendekatan induktif adalah salah satu pembelajaran yang bersifat langsung tapi sangat efektif
untuk membantu siswa mengembangkan ketrampilan berfikir tingkat tinggi, berfikir kreatif, dan
kritis. Tujuannya adalah melatih siswa untuk belajar mengumpulkan, mengorganisasikan,
kemudian membuat suatu kesimpulan berdasarkan hasil pengamatan.
Jadi metode SAVI dengan pendekatan induktif bisa diartikan suatu proses pembelajaran yang
melibatkan gerak fisik, indera, dan intelektualitas untuk memahami, mempelajari, dam mengambil
kesimpulan dari apa yang telah
diamati.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
287
Menurut Dave Meier (2002: 91),Pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh orang
berdiri dan bergerak kesana kemari. Akan tetapi, menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas
intelektual dan pengunaan semua indera dapat berpengaruh besar pada pembelajaran. Saya
namakan ini belajar SAVI. Unsur-unsurnya mudah diingat.
1.
Somatis
Belajar somatis berarti belajar dengan indera peraba, kinetis, praktis melibatkan fisik dan
menggunakannya serta menggunakan tubuh sewaktu belajar. Menurut penelitian, tubuh dan
pikiran bukan merupakan dua entitas yang terpisah. Keduanya adalah satu. Maksudnya tubuh
adalah pikiran dan pikiran adalah tubuh. Menghalangi fungsi tubuh dalam belajar berarti dapat
menghalangi fungsi pikiran sepenuhnya.
2.
Auditori
Belajar auditori berarti belajar dengan melibatkan kemampuan audotori (pendengaran). Ketika
telingan menangkap dan menyimpan informasi auditori, beberapa area penting di otak menjadi
aktif.dengan merancang pembelajaran matematika yang menarik saluran auditori
(pendengaran), guru bisa melakukan tindakan seperti membicarakan materi apa yangsedang
dipelajari. Siswa diharapkan mampu mengungkapkan pendapat atas informasi yang
didengarkan atas penjelasan guru.
3.
Visual
Belajar visual adalah belajar dengan melibatkan kemampuan visual (penglihatan), dengan
alasan bahwa di dalam otak terdapat lebih banyak perangkat memproses informasi visual
daripada indera yang lain. Dalam merancang pembelajaran yang menarik kemampuan visual,
seoarng gur dapat melakukan tindakan seperti meminta siswa menerangkan kembali
materi yang sudah diajarakan.
4.
Belajar intelektual berarti menunjukkan apa yang dilakukan siswa dalam pikiran mereka
secara internal ketika mereka menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman
dan menciptakan hubungan makna, rencana, dan nilai dari pangalaman tersebut. Belajar
intelektuan adalah bagian untuk merenung, mencipta, memecahkan masalah dan membangun
makna. dalam membangun proses belajar intelektual, siswa diminta mengerjakan soal-soal
dari materi yang sudah diajarkan dan dijelaskan oleh guru.
C. Pendekatan Induktif
Pendekatan induktif adalah salah satu pembelajaran yang bersifat langsung tapi sangat efektif
untuk membantu siswa mengembangkan ketrampilan berfikir tingkat tinggi, berfikir kreatif, dan
kritis. Pada pendekatan induktif guru langsung memberikan presentasi informasi-informasi yang
akan memberikan ilustrasi-ilustrasi tentang topik yang akan dipelajari siswa, selanjutnya guru
membimbing siswa untuk merumuskan pola-pola tertentu dari ilustrasi-ilustrasi yang diberikan
tadi.
Pada pendekatan induktif guru harus terampil dalam memberikan pertanyaan (questioning),
membimbing dan mengarahkan siswa dapat memahami materi pelajaran yang disampaikan, dan
mampu menumbuhkan dan membangun ide-ide kreatif kreatif siswa. Bagi siswa diberikan keluasan
bertanya tanpa takut salah dan malu saat memberikan pendapat, bertanya, bersikap kritis, atau
membuat konklusi dan jawaban.
288
b.
Definisi
Mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah, atau pertanyaan.
Memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan bebagai hal.
Selalu memikirkan lebih dari satu jawaban.
Perilaku siswa
Mengajukan banyak pertanyaan.
Menjawab dengan sejumlah jawaban jika ada pertanyaan.
Mempunyai banyak gagasan mengenai suatu masalah.
Lancar mengungkapkan gagasan-gagasannya.
Bekerja lebih cepat dan melakukan lebih banyak daripada anak-anak
yang lainnya.
Dapat dengan cepat melihat kesalahan atau kekurangan pada suatu obyek atau
situasi.
Definisi
Menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi.
Dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda.
Mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda-beda.
Mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran.
289
c.
d.
Definisi
Mempu melahirkan ungkapan yang baru dan unik.
Memikirkan cara yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri.
Mampu membuat kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian atau
unsur-unsur.
Prilaku Siswa
Memikirkan masalah-masalah atau hal-hal yang tidak pernah terpikirkan oleh orang
lain.
Mempertanyakan cara-cara yang lama dan berusaha memikirkan
cara-cara yang baru.
Memilih a-simetris dalam menggambar dan membuat desain.
Lebih senang mensintetis daripada menganalisa situasi.
e.
Perilaku Siswa
Memberikan aneka ragam penggunaan yang tidak lazim terhadap
suatu obyek.
Memberikan macam-macam penafsiran terhadap suatu gambar, cerita, atau masalah.
Menerapkan suatu konsep atau asas dengan cara yang berbeda-beda.
Memberikan pertimbangan terhadap situasi yang berbeda dari yang diberikan orang
lain.
Dalam membahas atau mendiskusikan suatu situasi mempunyai posisi yang berbeda
atau bertentangan dari mayoritas kelompok.
Jika diberikan suatu masalah biasanya memikirkan macam-macam cara yang
berbeda-beda untuk menyelesaikannya.
Menggolongkan hal-hal menurut pembagian (kategori) yang
berbeda-beda.
Mampu mengubah arah piker secara spontan.
Definisi
Mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk.
Menambah atau memperinci secara detail dari suatu objek, gagasan, atau situasi
sehingga menjadi lebih menarik.
Perilaku Siswa
Mencari arti yang lebih mendalam terhadap jawaban atau pemecahan
masalah dengan melakukan langkah-langkah terperinci.
Mengembangkan dan memperkaya gagasan orang lain.
Mencoba atau menguji secara detail untuk melihat arah yang akan ditempuh.
Mempunyai rasa keindahan yang kuat sehingga tidak puas dengan penampilan yang
kosong atau sederhana.
Menambah garis-garis,warna-warna, dan detail-detail, atau bagian bagian terhadap
gambarnya sendiri atau gambarnya orang lain.
290
Definisi
Menentukan patokan penilaian sendiri dan menentukan suatu
Metode pembelajaran SAVI dengan pendekatan induktif belum dikemukakan hasil penelitiannya
karena masih merupakan Proposal Skripsi yang sedang diajukan untuk diadakan penelitian lebih
lanjut. Tapi paling tidak telah memberikan gambaran yang baik sebagai masukan dan saran bagi
proses pembelajaran yang baik yang dapat meningkatkan berfikir kreatif matematis.
F.
Kesimpulan
Metode pembelajaran SAVI dengan pendekatan induktif merupakan metode yang mungkin bisa
digunakan untuk meningkatkan berfikir kreatif matematis. Membiasakan berfikir kreatif akan
menumbuhkan rasa keingintahuan dan banyak pertanyaan serta akan memberikan warna yang baru
dan bermakna bagi kehidupannya.
291
tidak efektif dan rutinitas. Hal ini dapat membahayakan dan merusak seluruh minat siswa (Sobel
dan Maletsky, 2004).
Realitas inilah yang terus mengukuhkan posisi pelajaran matematika sebagai pelajaran yang
menakutkan bagi sebagian siswa dan menggejala baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA
(Turmudi, 2008). Bagi banyak orang, nama matematika menimbulkan kenangan masa sekolah yang
merupakan beban berat. Bahkan Piaget mengungkapkan bahwa siswa cerdas sekalipun secara
sistematis menemui kegagalan dalam pelajaran matematika (Maier, 1985). Hal ini diperkuat oleh
Ruseffendi (1991) yang menyatakan bahwa matematika (ilmu pasti) bagi anak-anak pada
umumnya merupakan mata pelajaran yang tidak disenangi, kalau bukan mata pelajaran yang paling
dibenci. Hal ini terlihat dari rendahnya hasil belajar matematika yang diperoleh siswa. Lebih dari
itu suasana belajar menjadi tidak menarik, cenderung membosankan, dan rutinitas belaka (Asyhadi,
2005).
Keadaan ini sangat ironis dengan kedudukan dan peran matematika untuk pengembangan ilmu
pengetahuan. Ternyata matematika hingga saat ini belum menjadi pelajaran yang difavoritkan.
Faktor klasik yang menyebabkan rendahnya hasil belajar matematika siswa salah satunya adalah
pembelajaran yang diselenggarakan guru di sekolah. Widdiharto (2004) menyatakan bahwa
pembelajaran matematika di SMP cenderung berorientasi pada buku teks, guru mendominasi
pembelajaran, dan materi matematika kurang berkaitan dengan konteks dunia nyata siswa.
Kebanyakan guru dalam mengajar masih kurang memperhatikan kemampuan berpikir siswa, atau
dengan kata lain tidak mempertimbangkan tingkat kognitif siswa sesuai dengan perkembangan
usianya.
Berbagai penelitian terus dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa, yang
secara spesifik pada kemampuan matematisnya. Salah satu kemampuan matematis yang berperan
penting dalam keberhasilan siswa adalah kemampuan penalaran. Hal ini dikarenakan matematika
dan penalaran adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Matematika dipahami melalui penalaran,
sedangkan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar matematika. Hal ini diperkuat dengan
hasil penelitian yang dilakukan Prowsri dan Jearakul (Priatna, 2003) pada siswa sekolah menengah
Thailand, terdapat keterkaitan yang signifikan antara kemampuan penalaran dengan hasil belajar
matematika mereka. Hal ini menunjukkan kemampuan penalaran berperan penting dalam
keberhasilan siswa. Siswa dengan kemampuan penalaran yang baik diharapkan memiliki prestasi
belajar matematika yang baik pula.
Salah satu penalaran yang penting dikuasai oleh siswa adalah analogi. Sastrosudirjo (1988)
mengungkapkan bahwa analogi merupakan kemampuan melihat hubungan-hubungan, tidak hanya
hubungan benda-benda tetapi juga hubungan antara ide-ide, dan kemudian mempergunakan
hubungan itu untuk memperoleh benda-benda atau ide-ide lain. Soekadijo (1999) mengemukakan
bahwa analogi berbicara tentang dua hal yang berlainan, dari dua hal yang berlainan itu
dibandingkan satu sama lain. Dalam mengadakan perbandingan, dicari persamaan dan perbedaan di
antara hal-hal yang dibandingkan. Jika perbandingan itu hanya memperlihatkan persamaannya saja
tanpa melihat perbedaannya, maka timbulah analogi, yaitu persaman (keserupaan) di antara dua hal
yang berbeda.
Berdasarkan hasil penelitian, Wahyudin (1999) menemukan bahwa salah satu kelemahan yang ada
pada siswa adalah kurang memiliki kemampuan bernalar yang logis dalam menyelesaikan
persoalan atau soal-soal matematika. Sejalan dengan itu, hasil penelitian Rifat (Suzana, 2003) juga
menunjukkan kelemahan kemampuan matematika siswa dilihat dari kinerja dalam bernalar.
Misalnya, kesalahan dalam penyelesaian soal matematika disebabkan karena kesalahan
menggunakan logika deduktif. Hal senada juga dikemukakan oleh Matz (Priatna, 2003) bahwa
kesalahan yang dilakukan siswa sekolah menengah dalam mengerjakan soal matematika
dikarenakan kurangnya penalaran terhadap kaidah dasar matematika.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
293
Beberapa temuan di atas menunjukkan kemampuan penalaran siswa khususnya analogi masih
rendah. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Priatna (2003) yang
menemukan bahwa kualitas kemampuan penalaran (analogi) matematika siswa SMP masih rendah
karena skornya hanya 49% dari skor ideal. Kemampuan analogi matematis siswa yang rendah serta
sikap negatif siswa terhadap pelajaran matematika, tidak terlepas dari kegiatan pembelajaran yang
dilakukan di kelas. Siswa hendaknya diberi kesempatan untuk menggali dan menemukan sendiri
konsep-konsep matematika dengan lebih banyak terlibat di dalam proses pembelajaran.
Salah satu cabang matematika di sekolah yang memiliki ruang lingkup yang luas adalah geometri.
Berdasarkan penyebaran standar kompetensi untuk satuan pendidikan SMP, materi geometri
mendapatkan porsi yang paling besar (41%) dibandingkan dengan materi lain seperti aljabar (29%),
bilangan (18%), serta statistika dan peluang (12%). Namun, penguasaan siswa dalam memahami
konsep geometri masih rendah dan perlu ditingkatkan (Abdussakir, 2009). Begitu juga dengan
Jiang (2008) yang menuturkan bahwa salah satu bagian dari matematika yang sangat lemah diserap
oleh siswa di sekolah adalah geometri, di mana kebanyakan siswa yang memasuki sekolah
menengah atas memiliki pengetahuan ataupun pengalaman yang terbatas mengenai geometri.
Menurut Sabandar (2002) pengajaran geometri di sekolah diharapkan akan memberikan sikap dan
kebiasaan sistematik bagi siswa untuk bisa memberikan gambaran tentang hubungan-hubungan di
antara bangun-bangun tersebut. Oleh karena itu, perlu disediakan kesempatan serta peralatan yang
memadai agar siswa bisa mengobservasi, mengeksplorasi, mencoba, serta menemukan prinsipprinsip geometri lewat aktivitas informal untuk kemudian meneruskannya dengan kegiatan formal
menerapkannya apa yang mereka pelajari.
Mengingat pentingnya pembelajaran geometri di sekolah, tetapi kurangnya penguasaan konsep
geometri bagi siswa menyebabkan terhambatnya penguasaan materi ajar lainnya. Kemungkinan
terbesar penyebab dari permasalahan ini adalah cara pengajaran guru yang selalu berfokus pada
buku ajar dan kurangnya strategi atau pendekatan pembelajaran yang dapat memudahkan siswa
dalam belajar geometri. Ruseffendi (1991) menyatakan apabila menginginkan siswa belajar
geometri secara bermakna, tahap pengajaran disesuaikan dengan tahap berfikir siswa, sehingga
siswa dapat memahaminya dengan baik untuk memperkaya pengalaman dan berfikir siswa, juga
untuk persiapan meningkatkan berfikirnya pada tahap yang lebih tinggi.
NCTM (Siregar, 2009) menyatakan bahwa secara umum kemampuan geometri yang harus dimiliki
siswa adalah: (1) Mampu menganalisis karakter dan sifat dari bentuk geometri baik 2D atau 3D,
dan mampu membangun argumen-argumen matematika mengenai hubungan geometri dengan yang
lainnya, (2) Mampu menentukan kedudukan suatu titik dengan lebih spesifik dan gambaran
hubungan spasial dengan menggunakan koordinat geometri serta menghubungkannya dengan
sistem yang lain, (3) Aplikasi transformasi dan menggunakannya secara simetris untuk
menganalisis situasi matematika, (4) Menggunakan visualisasi, penalaran spasial, dan model
geometri untuk memecahkan permasalahan. Untuk itu NCTM (Mulyana, 2003) menganjurkan agar
dalam pembelajaran geometri siswa dapat memvisualisasikan, menggambarkan, serta
memperbandingkan bangun-bangun geometri dalam berbagai posisi, sehingga siswa dapat
memahaminya.
Salah satu pendekatan yang dipandang dapat memfasilitasi pembelajaran geometri adalah
pendekatan SAVI. Meier (2002) mengemukakan pembelajaran dengan pendekatan SAVI adalah
pembelajaran yang menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan
semua indra yang dapat berpengaruh besar pada pembelajaran. Unsur-unsur dari pendekatan SAVI
antara lain: Somatis (belajar dengan berbuat), misalnya siswa diminta menggambarkan bangun
geometri ruang. Auditori (belajar dengan mendengarkan), seperti siswa diminta mengungkapkan
pendapat atas informasi yang telah didengarkan dari penjelasan guru, misalnya siswa diminta
menjelaskan perbedaan persegi dengan belah ketupat. Visual (belajar dengan mengamati dan
menggambarkan), melalui bantuan program Wingeom siswa diharapkan dapat mengamati bangun294
bangun geometri secara jelas dan mampu menggambarkannya. Intelektual (belajar dengan
memecahkan masalah dan merenungkan), misalnya siswa diminta mengerjakan soal-soal latihan
dari materi yang telah dijelaskan oleh guru.
Menurut Meier (2002) pembelajaran geometri menjadi optimal apabila keempat unsur SAVI
tersebut terdapat dalam satu peristiwa pembelajaran. Siswa akan belajar sedikit tentang konsepkonsep geometri dengan menyaksikan presentasi (Visual), tetapi mereka dapat belajar lebih banyak
jika mereka dapat melakukan sesuatu (Somatis), membicarakan atau mendiskusikan apa yang
mereka pelajari (Auditori), serta memikirkan dan mengambil kesimpulan atau informasi yang
mereka peroleh untuk diterapkan dalam menyelesaikan soal (Intelektual).
Dalam pembelajaran dengan pendekatan SAVI digunakan dynamic geometry software, yaitu
Wingeom sebagai media visual bagi siswa. Program Wingeom memuat geometri dimensi dua dan
tiga dalam jendela yang terpisah. Salah satu fasilitas menarik yang dimiliki program ini adalah
fasilitas animasi yang begitu mudah, misalnya benda-benda dimensi dua atau tiga dapat diputar
sehingga visualisasinya akan tampak begitu jelas.
Menurut David Wees (Rahman, 2004) ada beberapa pertimbangan tentang penggunaan dynamic
geometry software seperti Wingeom dalam pembelajaran matematika, khususnya geometri, di
antaranya memungkinkan siswa untuk aktif dalam membangun pemahaman geometri. Program ini
memungkinkan visualisasi sederhana dari konsep geometris yang rumit dan membantu
meningkatkan pemahaman siswa tentang konsep tersebut. Siswa diberikan representasi visual yang
kuat pada objek geometri, siswa terlibat dalam kegiatan mengkonstruksi sehingga mengarah
kepada pemahaman geometri yang mendalam, sehingga siswa dapat melakukan penalaran yang
baik, terutama pada kemampuan analogi.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pendahuluan, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu:
1. Apakah kemampuan analogi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran geometri
dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional?
2. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran geometri dengan pendekatan SAVI berbantuan
Wingeom?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi tentang pembelajaran dengan
pendekatan SAVI berbantuan Wingeom terhadap kemampuan analogi matematis siswa. Secara
khusus, penelitian ini bertujuan:
1. Mengkaji kemampuan analogi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran geometri
dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom.
2. Mengkaji sikap siswa terhadap pembelajaran geometri dengan pendekatan SAVI berbantuan
Wingeom.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi yang berarti bagi pihakpihak tertentu yang berperan dalam dunia pendidikan, di antaranya:
1. Bagi guru, pembelajaran dengan pendekatan SAVI dapat menjadi alternatif pembelajaran
matematika lainnya dan memberikan pengalaman mengembangkan strategi dengan
menggunakan media komputer dalam pembelajaran.
2. Bagi siswa, pembelajaran dengan pendekatan SAVI memberikan pengalaman baru dalam
belajar matematika, mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran di kelas, serta
membantu siswa meningkatkan kemampuan bernalarnya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
295
3.
4.
E.
1.
Bagi sekolah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan masukan
dalam menerapkan inovasi model pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan
Wingeom guna meningkatkan mutu pendidikan.
Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan rujukan/referensi tambahan
untuk melakukan penelitian mengenai pembelajaran dengan pendekatan SAVI di sekolah.
Kemampuan Analogi Matematis dan Pendekatan SAVI
Kemampuan Analogi Matematis
Analogi dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai persamaan atau persesuaian antara dua
hal yang berbeda. Menurut Kane (Suriadi, 2006) analogi merupakan tipe khusus perbandingan,
subjek kedua dikenalkan untuk menunjukkan kemiripan yang dapat menjelaskan topik lama.
Menurut Shapiro (Suriadi, 2006) dalam pembelajaran analogi dapat memuat informasi baru lebih
konkrit dan lebih mudah untuk membayangkan.
Sastrosudirjo (1988) mengungkapkan bahwa analogi kemampuan melihat hubungan-hubungan,
tidak hanya hubungan benda-benda tetapi juga hubungan antara ide-ide, dan kemudian
mempergunakan hubungan itu untuk memperoleh benda-benda atau ide-ide lain. Alamsyah (2002)
juga mengungkapkan bahwa dalam analogi yang dicari adalah keserupaan dari dua hal yang
berbeda, dan menarik kesimpulan atas dasar keserupaan itu. Dengan demikian analogi dapat
dimanfaatkan sebagai penjelas atau sebagai dasar penalaran.
Analogi terdiri dari dua macam, yaitu: analogi induktif dan analogi deklaratif/penjelas (Mundiri,
2000). Analogi induktif yaitu analogi yang disusun berdasarkan persamaan prinsipal yang ada pada
dua fenomena, kemudian ditarik kesimpulan bahwa apa yang ada pada fenomena pertama terjadi
pula pada fenomena kedua. Misalnya, terdapat keserupaan antara Bumi dengan planet-planet lain
seperti Venus, Mars dan Jupiter. Planet-planet ini semuanya mengelilingi matahari sebagaimana
Bumi, berputar dalam porosnya, menjadi subjek gravitasi yang kesemuanya itu sama seperti Bumi.
Atas dasar keserupaan itulah tidak salah apabila kita menyimpulkan bahwa kemungkinan planetplanet tersebut dihuni oleh makhluk hidup sebagaimana Bumi. Analogi deklaratif/penjelas yaitu
metode untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang abstrak atau belum dikenal atau masih
samar, dengan menggunakan hal yang sudah dikenal sebelumnya. Misalnya, untuk menjelaskan
struktur ilmu yang masih samar bagi orang yang mendengarnya, dapat dijelaskan melalui sesuatu
yang sudah dikenalnya, yaitu dengan menganalogikan bahwa ilmu pengetahuan itu dibangun oleh
fakta-fakta, sebagaimana rumah itu dibangun oleh batu-batu. Meskipun tidak semua kumpulan
fakta itu ilmu, sebagaimana tidak semua kumpulan batu itu rumah.
Lawson (Suriadi, 2006) mengungkapkan keuntungan analogi dalam pengajaran antara lain: 1)
memudahkan siswa dalam memperoleh pengetahuan baru dengan cara mengaitkan atau
membandingkan pengetahuan analogi yang dimiliki siswa, 2) pengaitan tersebut akan membantu
mengintegrasikan struktur-struktur pengetahuan yang terpisah agar terorganisasi menjadi struktur
kognitif yang lebih utuh. Dengan organisasi yang lebih utuh akan mempermudah proses
pengungkapan kembali pengetahuan baru, dan 3) dapat dimanfatkan dalam menanggulangi salah
konsep.
2.
Pendekatan SAVI
Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang menyediakan kondisi yang merangsang dan mengarahkan
kegiatan belajar siswa sebagai subjek belajar untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai,
dan sikap yang dapat membawa perubahan tingkah laku maupun kesadaran diri sebagai pribadi
(Kamulyan dan Surtikanti,1999).
Pembelajaran dengan pendekatan SAVI merupakan pembelajaran dengan menggabungkan gerakan
fisik dan aktifitas intelektual serta melibatkan semua indera yang berpengaruh besar dalam
pembelajaran. Pendekatan SAVI dikembangkan oleh Dave Meier dalam bukunya The Accelerated
296
Learning Handbook, yang berpendapat bahwa manusia memiliki empat dimensi, yaitu tubuh atau
somatis (S), pendengaran atau auditori (A), penglihatan atau visual (V), dan pemikiran atau
Intelektual (I). Prinsip dasar pendekatan SAVI sejalan dengan gerakan Accelerated Learning, yaitu:
pembelajaran melibatkan seluruh pikiran dan tubuh, pembelajaran berarti berkreasi bukan
mengkonsumsi, bekerjasama membantu proses pembelajaran, pembelajaran berlangsung pada
banyak tingkatan secara simultan, belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri dengan
umpan balik, emosi positif sangat membantu pembelajaran, dan otak-citra menyerap informasi
secara langsung dan otomatis.
Pendekatan SAVI juga menganut aliran ilmu kognitif modern yang menyatakan bahwa belajar
yang paling baik adalah melibatkan emosi, seluruh tubuh, semua indera, dan segenap kedalaman
serta keluasan pribadi, menghormati gaya belajar individu lain dengan menyadari bahwa orang
belajar dengan cara-cara yang berbeda.
Unsur-unsur pendekatan SAVI adalah belajar Somatis, belajar Auditori, belajar Visual, dan belajar
Intelektual. Apabila keempat unsur ini berada dalam setiap pembelajaran, maka siswa dapat belajar
secara optimal. Berikut akan dijelaskan unsur-unsur pendekatan SAVI tersebut.
a.
Belajar Somatis
Belajar somatis berarti belajar dengan indera peraba, kinetis, praktis melibatkan fisik dan
menggunakan serta menggunakan tubuh sewaktu belajar. Menurut penelitian, tubuh dan pikiran
bukan merupakan dua bagian yang tak terpisahkan. Keduanya adalah satu. Intinya, tubuh adalah
pikiran dan pikiran adalah tubuh. Menghalangi fungsi tubuh dalam belajar berarti kita menghalangi
fungsi pikiran sepenuhnya. Untuk merangsang hubungan pikiran dan tubuh dalam pembelajaran
matematika, maka perlu diciptakan suasana belajar yang dapat membuat siswa bangkit dan berdiri
dari tempat duduk serta aktif secara fisik dari waktu ke waktu. Kegiatan dalam belajar somatis ini
misalnya, siswa diminta menggambarkan bangun geometri ruang.
b.
Belajar Auditori
Belajar auditori berarti belajar dengan melibatkan kemampuan auditori (pendengaran). Ketika
telinga menangkap dan menyimpan informasi auditori, beberapa area penting di otak menjadi aktif.
Dengan merancang pembelajaran matematika yang menarik saluran auditori, guru dapat melakukan
tindakan seperti mengajak siswa membicarakan materi apa yang sedang dipelajari. Siswa diminta
mengungkapkan pendapat atas informasi yang telah didengarkan dari penjelasan guru. Dalam hal
ini siswa diberi pertanyaan oleh guru tentang materi yang telah diajarkan. Misalnya, siswa diminta
menjelaskan perbedaan persegi dengan belah ketupat.
c.
Belajar Visual
Belajar visual adalah belajar dengan melibatkan kemampuan visual (penglihatan), dengan alasan
bahwa di dalam otak terdapat lebih banyak perangkat memproses informasi visual daripada indera
yang lain. Dalam merancang pembelajaran matematika yang menarik kemampuan visual,
digunakan program Wingeom agar siswa dengan jelas dapat mengetahui bangun-bangun geometri
yang dipelajari.
d.
Belajar Intelektual
Belajar intelektual adalah bagian untuk merenung, mencipta, memecahkan, masalah dan
membangun makna. Belajar intelektual berarti menunjukkan apa yang dilakukan siswa dalam
pikiran mereka secara internal ketika mereka menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu
pengalaman dan menciptakan hubungan makna, rencana, dan nilai dari pengalaman tersebut.
Dalam proses belajar Intelektual, siswa diminta mengerjakan soal-soal latihan dari materi yang
telah dijelaskan oleh guru.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
297
F.
Metode Penelitian
O
Keterangan:
O : Pretest dan posttest (tes kemampuan analogi matematis siswa).
X : Pembelajaran geometri dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 29 Bandung kelas VII pada
Semester II Tahun Pelajaran 2010/2011. SMP Negeri 29 Bandung dipilih sebagai tempat penelitian
karena merupakan sekolah dengan level menengah (sedang). Pengambilan sampel dalam penelitian
ini dilakukan dengan teknik purposive sampling (sampel acak bertujuan). Teknik purposive
sampling merupakan teknik pengambilan sampel secara sengaja dengan pertimbangan tertentu
(Sugiyono, 2008). Sampel yang nantinya terpilih tidak berdasarkan pengacakan, peneliti menerima
sampel yang sudah terbentuk sebelumnya. Hal ini dilakukan karena pada penelitian ini diperlukan
sekolah yang memiliki laboratorium komputer dan siswanya mampu mengoperasikan komputer.
G. Instrument Penelitian
Penelitian ini menggunakan tiga jenis instrumen, yaitu tes kemampuan analogi matematis, skala
sikap siswa, serta lembar observasi. Tes yang digunakan terdiri dari tes awal (pretest) dan tes akhir
(posttest). Tes yang diberikan pada setiap kelas eksperimen dan kontrol, baik soal-soal untuk
pretest maupun posttest adalah sama. Tes awal dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal
siswa pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol dan digunakan sebagai tolak ukur peningkatan
prestasi belajar sebelum mendapatkan pembelajaran dengan metode yang akan diterapkan,
sedangkan tes akhir dilakukan untuk mengetahui perolehan hasil belajar dan ada tidaknya pengaruh
yang signifikan setelah mendapatkan pembelajaran dengan metode yang telah diterapkan. Jadi,
pemberian tes pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar kemampuan
analogi matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan SAVI
berbantuan Wingeom dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
Skala sikap bertujuan untuk mengetahui sikap siswa terhadap proses pembelajaran dengan
pendekatan SAVI berbantuan Wingeom. Skala sikap ini berupa angket yang terdiri dari pernyataan
positif dan negatif. Pembuatan skala sikap berpedoman pada bentuk skala Likert dengan lima
option, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Netral atau ragu-ragu atau tidak tahu (N), Tidak Setuju
(TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).
Lembar observasi digunakan untuk mengetahui aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran
dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom berlangsung. Aktivitas guru yang diamati adalah
kemampuan guru melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom. Hal
ini bertujuan untuk memberikan refleksi pada pembelajaran, agar pembelajaran berikutnya menjadi
lebih baik. Aktivitas siswa yang diamati adalah keaktifan siswa dalam memperhatikan penjelasan
guru, bekerjasama dalam kelompok, menanggapi dan mengemukakan pendapat, serta keterampilan
dalam menggunakan program Wingeom. Observasi dilakukan oleh peneliti dan guru matematika.
298
Kelas
Eksperime
n
Kontrol
36
16
16
13,11
81,94 1,94
36
16
16
11,47
71,70 2,21
Berdasarkan Tabel H.1 terlihat bahwa rerata skor pretest kelas eksperimen dan kontrol berturutturut 5,56 dan 5,58. Hal ini menjukkant tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor
pretest kelas eksperimen dan kontrol. Sedangkan rerata skor posttest kelas eksperimen dan kontrol
berturut-turut 13,11 dan 11,47. Secara kasat mata, rerata skor posttest kelas eksperimen meningkat
sebesar 7,55 sedangkan kelas kontrol meningkat sebesar 5,59 dari skor pretest. Selisih perbedaan
rerata skor posttest kelas eksperimen dan kontrol sebesar 1,64. Selanjutnya diuji apakah perbedaan
rerata tersebut signifikan menggunakan uji-t. Hasil pengujiannya menunjukkan bahwa rerata kelas
eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
kemampuan analogi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan
SAVI berbantuan Wingeom lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional. Hal ini disebabkan karena pembelajaran dengan pendekatan SAVI membuat siswa
aktif dalam belajar. Selain daripada itu, dengan berbantuan program Wingeom siswa menjadi lebih
mudah memahami konsep matematika dengan mencari keserupaan dari bangun segiempat yang
ditampilkan pada layar komputer.
2.
Analisis sikap siswa meliputi sikap siswa terhadap pelajaran matematika, pembelajaran dengan
pendekatan SAVI, dan pembelajaran berbantuan Wingeom. Skor netral siswa adalah 3,00.
Berdasarkan Tabel H.2 di bawah ini, terlihat bahwa sikap siswa terhadap pelajaran matematika
menunjukkan rerata yang positif, karena skor sikap siswa berada diatas skor netralnya. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar siswa mempunyai sikap yang positif terhadap
pelajaran matematika.
Begitu juga dengan sikap siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan SAVI menunjukkan
rerata yang positif, karena skor sikap siswa berada diatas skor netralnya. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar siswa mempunyai sikap yang positif terhadap pembelajaran
dengan pendekatan SAVI.
Sama halnya dengan sikap siswa terhadap pembelajaran berbantuan Wingeom juga menunjukkan
rerata yang positif, karena skor sikap siswa berada diatas skor netralnya. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar siswa mempunyai sikap yang positif terhadap pelajaran
matematika, pembelajaran dengan pendekatan SAVI, dan pembelajaran berbantuan Wingeom.
299
Rerata/
Persentase
4,30
85,93%
4,09
81,85%
4,07
81,39%
4,38
87,59%
4,17
83,33%
4,14
82,78%
Indikator
Minat siswa terhadap pelajaran matematika
3.
3,82
76,39%
Aktivitas guru dan siswa diperoleh melalui pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dan seorang
guru matematika pada setiap pertemuan. Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis yang
dilakukan terhadap kegiatan siswa selama pembelajaran dengan pendekatan SAVI, menunjukkan
peningkatan rerata aktivitas dari pertemuan ke-1 s.d ke-6. Hal ini disebabkan karena pembelajaran
dengan pendekatan SAVI membuat siswa aktif dalam belajar. Keempat aspek SAVI dilakukan
siswa dengan baik. Siswa mendengarkan penjelasan guru (Auditori), siswa melihat dengan jelas
konsep bangun segiempat dengan jelas melalui program Wingeom (Visual), siswa berdiskusi dalam
kelompoknya membahas permasalahan dalam LKS dengan program Wingeom (Somatis), dan
siswa mengerjakan latihan untuk menguji pemahamannya (Intelektual).
Hasil pengamatan juga menunjukkan siswa menjadi lebih kreatif memanipulasi bangun segiempat
yang ada pada komputer mereka. Siswa bersemangat berdiskusi dengan temannya mencari solusi
dari permasalahan dalam LKS. Peran guru mulai berkurang dalam pembelajaran. Guru hanya
sebagai fasilitator, motivator, dan moderator bagi siswa. Pembelajaran tidak lagi terpusat pada
guru, siswa yang lebih aktif, keberhasilan siswa ditentukan oleh dirinya sendiri. Berikut ini
disajikan grafik peningkatan aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran dengan pendekatan
SAVI berbantuan Wingeom.
76% 80% 85%
Persentase
100%
50%
0%
84%
82%
80%
78%
76%
81%
82%
83% 83%
79% 79%
I.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan mengenai perbedaan kemampuan analogi matematis
antara siswa yang memperoleh pembelajaran geometri dengan pendekatan SAVI berbantuan
Wingeom dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
1. Siswa yang memperoleh pembelajaran geometri dengan pendekatan SAVI berbantuan
Wingeom memiliki kemampuan analogi matematis yang lebih baik daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
2. Setelah memperoleh pembelajaran geometri dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom,
siswa menunjukkan sikap positif. Aktivitas belajar siswa meningkat dari pertemuan ke-1 s.d
ke-6.
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah. (2002). Suatu Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Analogi
Matematika. Tesis UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Asyhadi, A. (2005). Pengenalan Laboratorium Matematika di Sekolah. IHT Media Bagi Staf
LPMP Pengelola Laboratorium Matematika Tanggal 5 s.d. 11 September 2005 di PPPG
Matematika Yogyakarta.
Fraenkel, J. R dan Wallen, N. (1993). How to Design and Evaluate Research in Education.
Singapore: Mc. Graw Hill.
Kamulyan, Mulyadi, S., dan Surtikanti. (1999). Belajar dan Pembelajaran. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Maier, H. (1985). Kompendium Didaktik Matematika. Bandung: CV Remaja Karya.
Mulyana, E. (2003). Masalah Ketidaktepatan Istilah dan Simbol dalam Geometri SLTP Kelas 1.
Makalah FPMIPA UPI.
Mundiri. (2000). Logika. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Priatna, N. (2003). Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa Kelas 3 SLTP di
Kota Bandung. Disertasi UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Rahman, A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Kemampuan Generalisasi Siswa
SMA melalui pembelajaran Berbalik. Tesis UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Ruseffendi, E. T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya
dan Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Sabandar, J. (2002). Pembelajaran Geometri dengan Menggunakan Cabri Geometry II. Kumpulan
Makalah, Pelatihan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Sastrosudirjo, S. S. (1988). Hubungan Kemampuan Penalaran dan Prestasi Belajar Untuk Siswa
SMP. Jurnal Kependidikan no.1 Tahun ke 18: IKIP Yogyakarta.
Siregar, N. (2009). Studi Perbandingan Kemampuan Penalaran Matematik Siswa Madrasah
Tsanawiyah Pada Kelas yang Belajar Geometri Berbantuan Geometers Sketchpad dengan
Siswa yang Belajar Geometri Tanpa Geometers Sketchpad. Tesis UPI Bandung: tidak
diterbitkan.
Sobel, M. A. dan Maletsky, E. M. terj. Dr. Suyono, M.Sc. (2004). Mengajar Matematika. Ed. 3.
Jakarta: Erlangga.
Soekadijo, G. R. (1999). Logika Dasar Tradisional, Simbolik, dan Induktif. Jakarta: Gramedia.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: CV. Alfabeta.
Suriadi. (2006). Pembelajaran dengan Pendekatan Discovery yang Menekankan Aspek Analogi
Untuk Menigkatkan Pemahaman Matematik dan Kemampuan Berfikir Kritis Siswa SMA.
Tesis UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Suzana, Y. (2003). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa
Sekolah Menengah Umum melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Kognitif. Tesis UPI
Bandung: tidak diterbitkan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
301
302