Chapter II
Chapter II
TINJAUAN PUSTAKA
untuk
akan
menghasilkan
pemecahan
yang
sesuai
dengan
fisika
potensial bersifat kekal, artinya tidak bergantung pada waktu maupun posisi.
Persamaan Schrdinger harus konsisten dengan hukum kekekalan energi . Secara
matematis, hukum kekekalan energi dapat diungkapkan dengan rumusan:
K + V = Etot
p2
+ V ( x) = E
2m
(2.1)
Suku pertama ruas kiri menyatakan energi kinetik, suku kedua menyatakan energi
potensial, dan ruas kanan menyatakan suatu tetapan yang biasanya disebut sebagai
energi total.
Dimana energi kinetik digunakan bukanlah dalam bentuk K =
1 2
mv . Karena
2
ini adalah sesuatu yang akurat dan pasti. Pada skala ini memberikan makna terhadap
gejala fisika dalam dunia atom. Dan karena momentum itu sebanding dengan
kecepatan. Ini berarti partikel tidak dapat memiliki posisi dan kecepatan yang akurat
mempunyai sifat
d 2 ( x)
2m
2m
= k 2 ( x) = 2 k ( x) = 2 ( E V ( x)) ( x)
2
dx
2 d 2 ( x)
+ V ( x) = E ( x)
2m dx 2
(2.2)
(2.3)
x2
P( x)dx = ( x) dx
2
x1
(2.4)
x1
Dari aturan ini, maka probabilitas untuk menemukan partikel disuatu titik sepanjang
sumbu x, adalah 100 persen, sehingga berlaku:
+
( x)
dx = 1
(2.5)
untuk
menemukan
partikel
pada
titik
manapun.
Maka
harus
+B
gaya apapun
dalam
suatu
bagian ruang,
yaitu,
2 2 ( x)
+ V ( x) = E ( x)
2m x 2
(2.6)
2 2 ( x)
= E ( x)
2m x 2
(2.7)
Atau:
2 ( x) 2mE
+ 2 ( x) = 0
x 2
(2.8)
Karena:
2mE
k = 2
atau
2k 2
E=
2m
(2.9)
2 ( x)
= k 2 ( x)
2
x
(2.10)
Persamaan (2.8) adalah bentuk umum dari persamaan differensial biasa berorde dua,
dengan k2 adalah positif, dimana (x) merupakan kuantitas kompleks yang memiliki
bagian real (nyata) dan bagian imajiner, sehingga pemecahannnya adalah:
(x)=Asinkx+ B cos kx
(2.11)
Pemecahan ini tidak memberikan batasan pada k, maka partikel yang diperkenankan
memiliki semua nilai (dalam istilah kuantum, bahwa energinya tidak terkuantisasi).
Sedangkan penentuan nilai A dan B mengalami beberapa kesulitan, karena integral
normalisasi tidak dapat dihitung dari - hingga + , bagi fungsi gelombang itu.
(Krane, 1992).
0xL
V(x) = ,
x < 0, x > L,
V (x)=
V(x)=
V(x)=0
2 2m
+
E ( x) = 0
x 2 2
(2.12)
(2.13)
=0 dan x = 0
Dari persamaan (2.13) diperoleh B = 0, maka:
(x) =Asinkx= 0
(2.14)
Pemecahan ini belum lengkap, karena belum ditentukan nilai A dan B, juga
belum menghitung nilai energi E yang diperkenankan. Untuk menghitungnya, akan
diterapkan persyaratan bahwa (x) harus kontinu pada setiap batas dua bagian ruang.
Dalam hal ini, akan dibuat syarat bahwa pemecahan untuk x < 0 dan x > 0 bernilai
sama di x = 0. Begitu pula pemecahan untuk x > L dan x < L haruslah bernilai sama
di x = L. Jika x = 0, Untuk x < 0 Jadi harus mengambil (x) = 0 pada x = 0.
(0) =Asin 0 + B sin 0
(0) = 0 + B.1 = 0
(2.15)
(2.16)
(2.17)
memberikan (x) = 0 dan
2(x) = 0, yang berarti bahwa dalam kotak tidak terdapat partikel (Pemecahan tidak
masuk akal) atau sin kL = 0, maka yang benar jika:
kL = ,2,3,
(2.18)
Dengan:
(2.19)
2mE
=k
partikel
mempunyai harga tertentu yaitu harga eigen. Harga eigen ini membentuk tingkat
energisitas yaitu:
n 2 2 2
En =
2mL2
(2.20)
n = A sin
2mE n
(2.21)
Untuk memudahkan E0 =22/2mL2, yang mana tampak bahwa unit energi ini
ditentukan oleh massa partikel dan panjang kotak. Maka E = n2E0 dan demikian
partikelnya hanya dapat ditemukan dengan energi
seterusnya. Karena dalam kasus ini energi yang diperoleh hanya pada laju tertentu
yang diperkenankan dimiliki partikel. Ini sangat berbeda dengan
kasus klasik,
pengukuran energi sebuah partikel dalam sebuah sumur potensial harus berada pada
salah satu keadaan stasioner, hasil yang lain tidaklah mungkin. Pemecahan bagi (x)
belum lengkap, karena belum ditentukan tetapan A. Untuk menentukannya, ditinjau
0 x Lsehingga berlaku:
L
sin 2
2mE n
2
xdx = 1
(2.22)
En =
n 2 2 2
2mL2
n =
2
nx
sin
L
L
n=1,2,3,
(2.23)
Dalam gambar 2.2 akan dilukiskan berbagai tingkat energi, fungsi gelombang
dan rapat probabilitas
energi terendah, yaitu pada n =1 , dikenal sebagai keadaan dasar dan keadaan dengan
energi yang lebih tinggi (n > 1) dikenal sebagai keadaan eksitasi.
n=1
n=3
n=2
x =0
x=a
Partikel itu memiliki peluang untuk didapatkan di luar sumur. Jika sebuah
partikel dengan energi E0 dalam suatu daerah (kawat untuk manik-manik) dan
kemudian akan diukur kedudukannnya dengan pengukuran dilakukan berulang kali.
Maka akan ditemukan distribusi hasil pengukuran yang sama seperti 2 ( x) untuk
kasus n=1 hingga probabilitas terbesar x=L/2 dan berangsur-angsur berkurang saat
menjauhi pusatnya yang akhirnya menuju nol pada ujung-ujungnya (jika
menggunakan fisika partikel klasik, takkuantum, maka probabilitasnya tetap pada
semua titik di dalam kotak).
Jika pengukuran diulangi kembali, dengan pengecualian bahwa partikelnya
diberi energi sebesar 4E0. Bila diulangi semua pengukuran terhadap kedudukannnya ,
akan didapati bahwa distribusi ini sesuai dengan 2 ( x)
untuk n = 2. Maksimum
probabilitas pada x = L/4 dan x = 3L/4, sedangkan probabilitas nol terjadi pada
x = L/2. Dengan demikian partikelnya harus bergerak sedemikian rupa sehinggga
suatu waktu dapat ditemukan di x = L/4 dan x = 3L/4 tanpa menemukan di x = L/2.
Ini merupakan ilustrasi grafis mengenai perbedaan antara fisika klasik dan kuantum.
Tetapi bagaimana mungkin terjadi suatu partikel mencapai 3L/4 dari L/4 tanpa
melewati L/2 ? Ini adalah hal yang sulit dijawab jika adanya kecenderungan hanya
pada partikel, karena fisika kuantum cenderung pada pandangan gelombang.
Berbicara tentang kedudukan, fokusnya pada partikel dan berbicara tentang
gerak dari L/4 ke 3L/4 fokusnya pada gelombang. Untuk lebih jelasnya dapat
memperhatikan gambar 2.3 tentang beberapa tingkat energi terendah yang
diperkenankan dari partikel yang terbatas geraknya dalam kotak.
20
n=4
15
n2E0 10
n=3
n=2
n=1
dengan
2.5
Sistem Tri-Diagonal
(2.24)
a 43 x3 + a 44 x 4 + a 45 = b4
a NN 1 x N 1 + a NN x N = bN
Dengan menggunakan notasi matriks, sistem persamaan (2.24) dapat dituliskan
a11
a
21
0
a12
0
0
a 22
a32
a 23
a33
a34
0
0
0
0
0
0
0 a N 1N 2
0
0
0
0
0
a N 1N 1
a NN 1
x1 b1
x b
2 2
x3 b3
a N 1N x N 1 bN 1
a NN x N bN
0
0
0
(2.25)
d1
a
2
0
d2
a3
0
c2
d3
0
c3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 a N 1
0 0
c1
d N 1
aN
0 x1 b1
0 x 2 b2
0 x3 b3
c N 1 x N 1 bN 1
d N x N bN
(2.26)
Pemecahan SPL dengan koefisien matriks tridiagonal didasari oleh metode doolittle.
Pertama-tama matriks A didekomposisi menjadi LU, yaitu matriks segitiga bawah
dan segitiga atas sesuai algoritma Doolittle. Setelah dekomposisi (2.26) menjadi:
2
0
0
1
0
0
0
0 N
0
0
1
0 1 c1
0 0 2
0 0
1 0 0
0 0
c2 0
0 N 1
0 0
U
0 x1 b1
0 x 2 b2
x 3 = b3
c N 1
N x N bN
x
(2.27)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
x1 b1
x b
0
0
0
2 2
x3 b3 (2.28)
0
0
0
=
N 1 N 2 N 1cN 2 + N 1
cN 1 xN 1 bN 1
N N 1
N cN 1 + N xN bN
Inti dari algoritma ini adalah mengubah elemen-elemen pada vektor a, d dan c dengan
vektor , dan c yang merupakan elemen-elemen dari L dan U, Jika dibandingkan
persamaan (2.28) dengan (2.26) maka tampak bahwa:
1 = d1 2 1 = a 2 2 = a 2 / 1
3 2 = a 3 3 = a 3 / 2
N N 1 = a N N = N / N 1
2 c1 + 2 = d 2 2 = d 2 2 c1
3c2 + 3 = d 3 3 = d 3 3c2
N c N 1 + N = d N N = d N N c N 1
Langkah-langkah di atas dapat dengan mudah diprogram, sebagai ilustrasi, 3 langkah
pertama program tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:
d(1) = d(1)
a(2) = a(2) / d(1)
Setelah elemen-elemen pada vektor a dan d dengan dan , persamaan (2.27) dapat
diproses lebih lanjut, jika Ux sebut saja g, maka persamaan (2.27) dapat dituliskan
2
0
0
1
0
L
0
0
1
0
0
0
0 N
0 g1 b1
0 g 2 b2
0 g 3 = b3
1 g N bN
g
(2.29)
2 g1 + g 2 = b2 g 2 = b2 2 g1
3 g 2 + g 3 = b3 g 3 = b3 3 g 2
(2.30)
N g N 1 + g N = bN g N = bN N g N 1
1 c1
0
2
0 0
0 0
0
c2
0
0
L
0
0
N 1
0
x1 g1
x g
2 2
x3 = g3
c N 1
N x N g N
0
0
(2.31)
xN = g N / N
N 1 x N 1 + c N 1 x N = g N 1 x N 1 = ( g N 1 c N 1 x N ) / N 1
N 2 x N 2 + c N 2 x N 1 = g N 2 x N 2 = ( g N 2 c N 2 x N 1 ) / N 2
(2.32)
1 x1 + c1 x 2 = g1 x1 = ( g1 c1 x 2 ) / 1
= b(N) / d(N)
2.6
Metode perbedaan hingga adalah metode yang digunakan mengubah problem PDB
nilai batas dari sebuah problem kalkulus menjadi sebuah aljabar. Dengan metode ini
persamaan differensial ' dan " akan diaproksimasikan dengan menggunakan deret
Taylor. Deret Taylor adalah representasi fungsi matematika sebagai jumlahan tak
hingga dari suku-suku yang nilainya dihitung dari turunan fungsi tersebut di suatu
titik. Bentuk deret taylor dapat dituliskan sebagai berikut:
n
( x + h) = k ( x)
k =0
Dengan: Rn =
( h)
+ Rn
k!
(2.33)
h n (n)
( x + h), dengan.0 < < 1
n!
Jika: n , Rn 0
Maka deret Taylor dapat dituliskan dalam bentuk:
(2.34)
( x + h ) = ( x ) + h ' ( x ) +
h2
" ( x) + ...
2!
(2.35)
(2.36)
h2
( x h) = ( x) h ' ( x) " ( x) + ...
2!
Jika dikurangi (2.35) dengan (2.36) dan nilai setelah pangkat 2 diabaikan atau
dianggap sangat kecil atau sama dengan nol (karena pada persoalan ini kita hanya
membutuhkan turunan pertama dan kedua sesuai dengan persamaan diffrensial orde
dua pada persamaan Schrodinger partikel bebas dan dalam kotak lihat persamaan
(2.8) dan (2.12) maka akan didapat:
' ( x) =
( x + h) ( x h)
(2.37)
2h
" ( x) =
( x + h) 2 ( x) + ( x h)
(2.38)
h2
diterapkan dengan
membagi [ x0 , x N ] (lihat
i=1
x N x0
N
i=2 i=3
(2.39)
i=N-1 i=N
(2.40)
' ( xi ) =
" ( xi ) =
( xi +1 ) ( xi 1 )
(2.41)
2h
( xi +1 ) 2 ( xi ) + ( xi 1 )
(2.42)
h2
d 2
d
+ p( x)
+ q ( x) = f ( x)
2
dx
dx
x0 x x n
(2.43)
d
( x0 ) =
dx
(2.44)
A2 ( x n ) + B2
d
( xn ) =
dx
(2.45)
Dimana : A1 + B1 0 dan A2 + B2 0
(2.46)
Dari kondisi batas (2.44) dan (2.45), ada 3 kemungkinan jenis kondisi batas yang
mungkin diterapkan dalam PDB ini
1.
2.
2 ( x)
= k 2 ( x)
2
x
Atau
2 ( x) 2mE
+ 2 ( x) = 0
x 2
Persamaan (2.8)
(2.43)
2 ( x) 2mE
+ 2 ( x) = 0 dikonversi ke persamaan umum PDB
x 2
2 ( x)
( x)
+ p( x)
+ q ( x) ( x) = f ( x) Sehingga diperoleh koefisien
2
x
x
Aproksimasi
' ( xi ) =
" ( xi ) =
beda
p(x) = 0 , q(x) =
hingga
( xi +1 ) ( xi 1 )
2h
2mE
dan f(x) = 0
2
turunan
dan
turunan
( xi +1 ) 2 ( xi ) + ( xi 1 )
h2
pertama
pada
persamaan
(2.41)
kedua
pada
persamaan
(2.42)
didapatkan:
2
2
1 2 hp( x) ( xi 1 ) 2 h q( x) ( xi ) + 1 + 2 hp ( x) ( xi +1 ) = h f ( x)
(2.47)
1
2
2
1 2 hp( x) i 1 2 h q( x) i + 1 + 2 hp ( x) i +1 = h f ( x)
(2.48)
Dengan memasukkan nilai p(x), q(x) dan f(x) pada langkah 1 ke persamaan
(2.48) maka diperoleh persamaan sebagai berikut:
2 2mE
2
1 2 h(0) i 1 2 h 2 i + 1 + 2 h(0) i +1 = h (0)
(2.49)
[1] i 1 2 h 2 2mE
+ [1] i +1 = 0
2 i
(2.50)
2mE
+ i +1 = 0
2 i
i 1 2 h 2
(2.51)
Persamaan (2.51) diterapkan pada setiap titik diskresitasi, yaitu i =1, 2,,N-1
Sehinggga terbentuk sistem persamaan linier (SPL) dengan bentuk tri-diagonal yang
dapat dipecahkan dengan algoritma Thomas.
2mE
2 h 2 2 1
2mE
2 h 2 2 2 +
i = 2: 1
i =N-1: 0
i = 3:
+ 2
= 0
= 0
= 0
0+
2mE
2 h 2 2 3
N 2
2mE
2 h 2 2 N 1
= N
Dari i=1 hingga i= N-1 persamaan linier diatas dapat dinyatakan dalam bentuk
matriks dimensi NxN Sebagai berikut:
Bila diambil: k 2 =
2 h 2 ( k 2 )
2mE
maka bentuk matriksnya menjadi:
2
1
2 h 2 (k 2 )
1
0
0
1 0
0
0
0
1
0
0
2 0
3 = 0
0
2 h 2 (k 2 ) 1
0
1 2 h 2 (k 2 ) N 1 N
(2.52)
Simbol
Contoh
Penambahan
2+3
Pengurangan
5-4
Perkalian
3*2
Pembagian
6/3
Pemangkatan
3^2
C.Variabel
Variabel pada MATLAB harus diberi nama.Nama variabel harus dimulai
dengan huruf, dan bisa diikuti dengan huruf lain atau angka maksimum 31 karakter.
Nama varibel dengan huruf besar (kapital) dianggap berbeda dengan nama variabel
yang ditulis dengan huruf kecil.
D.konstanta/tetapan
Beberapa tetapan yang berlaku pada Matlab adalah Sebagai berikut:
pi
nilai = 3,14452
eps
inf
E.Tanda baca
%
2.9.2 input-output
MATLAB juga menyediakan instruksi untuk menerima data dari keyboard (input)
dan menampilkan nilai variabel ke monitor (output) yaitu:
a.Melakukan input : x =input(masukkan nilai x:)
b.Menampilkan nilai:disp(nilai dari x adalah)
else if
instruksi-2
else
instruksi-3
end.
Pemilihan diatas digunakan untuk memilih satu diantara beberapa instruksi sesuai
dengan syarat yang dipenuhi. Bila syarat 1 dipenuhi maka laksanakan instruksi 1 ,
bila syarat 2 dipenuhi, maka laksanakan instruksi 2 bila tidak ada syarat yang
dipenuhi maka laksanakan instruksi-3.
b. Pemilihan kasus
switch variabel
case 1 {nilai-1} instruksi-1
case 2 {nilai-2} instruksi-2
case 3 {nilai-3} instruksi-3
Otherwise instruksi n
End.
Instruksi seleksi ini akan memilih satu instruksi berdasarkan nilai yang
diberikan pada variabel. Bila nilainya adalah nilai -1 maka instruksi 1 dilaksanakan.
Bila nilainya adalah 2 maka instruksi 2 yang dilaksanakan. Bila nilainya adalah 2
maka instruksi 2 yang dilaksanakan.
Instruksi perulangan
a. Perulangan dengan for
for var = n1:n2:n3
instruksi-instruksi
end
Perulangan yang dibatasi oleh nilai var, mulai dari n1 hingga n3 dengan
perubahan nilai sebesar n2 pada setiap putaran. Apakah n2=1 maka n2 tidak perlu
ditulis, sehingga bentuknya menjadi:
for var = n1: n3
instruksi-instruksi
end
b. Perulangan denganWhile
while (syarat)
insruksi-instruksi
end
Perulangan yang ditentukan oleh suatu syarat. Selama syarat terpenuhi maka
perulangan akan belangsung. (Suarga,2005).
Dan untuk menambahkan label sumbu x pada hasil plot harus mengggunakan skrip
berikut : xlabel(---labelnya--------);
Dan untuk menambahkan label sumbu y pada hasil plot harus mengggunakan skrip
berikut : ylabel(---labelnya--------);
2. Memunculkan Grid pada Grafik
Latar belakang grafik secara default berwarna putih dan polos. MATLAB
menyediakan fungsi untuk membuat grid pada latar belakang grafik dengan
menggunakan fungsi grid on dan grid off.
3. Mengubah garis, tanda dan warna pada Grafik
Jika diinginkan tampilan data tidak dalam bentuk garis tepi berupa titik,
lingkaran atau kotak dan mungkin saja dalam warna yang berbeda-beda. Maka
tekhnik yang digunakan adalah
dengan fungsi plot, seperti berikut: Plot (z,y,symbol). Dimana x dan y adalah variabel
data yang akan diplot.Simbol adalah karakter yang akan digunakan untuk
menggantikan format tampilan default grafik.
(Hartanto, dan Prasetyo, 2003)