Anda di halaman 1dari 39

- 14+1 DIKTUM FIKSIMINI

Published Maret 23, 2010 Fiksi Mungil 32 Comments


Tag:Fiksi Mini, Fiksimini

Bila Anda berkeliaran di Twiterland, cobalah follow @fiksimini


ini akun yang dimoderatori oleh saya dan dua sohib
yang menyenangkan: Eka Kurniawan dan Clara Ng. Sejak
saya mengintrodusir fiksimini, baru di Twiterland-lah respon
yang menggairahkan terjadi. Sampai saat ini, mungkin udah
ribuan fiksimini ditulis di sana. Cobalah cek hastag
#fiksimini, maka akan terhampar pesona fiksimini. Beberapa
fiksimini itu, akan saya kutip dan munculkan di sini. Oh ya, di
Twiterland, atau di Twitter, saya memakai akun @agus_noor.
Tak lupa, saya turunkan pula diktum-diktum fiksimini yang
saya tulis.

14+1
Diktum
Fiksimini
Oleh Agus Noor
Diktum
Fiksimini
1:
Menceritakan seluas mungkin dunia, dengan seminim
mungkin kata
Diktum
Fiksimini
2:
Ibarat dalam tinju, fiksimini serupa satu pukulan yang telak
dan menohok

Diktum
Fiksimini
3:
Kisahnya ibarat lubang kunci, yang justru membuat kita bisa
mengintip dunia secara berbeda
Diktum
Fiksimini
4:
Bila novel membangun dunia. Cerpen menata kepingan
dunia. Fiksimini mengganggunya
Diktum
Fiksimini
5
:
Fiksimini yang kuat ibarat granat yang meledak dalam kepala
kita
Diktum
Fiksimini
6:
Ia bisa berupa kisah sederhana, diceritakan dengan
sederhana, tetapi selalu terasa ada yang tidak sederhana di
dalamnya
Diktum
Fiksimini
7:
Alurnya seperti bayangan berkelebat, tetapi membuat kita
terus teringat
Diktum
Fiksimini
8:
Serupa permata mungil yang membiaskan banyak cahaya,
kita terus terpesona setiapkali membacanya.
Diktum
Fiksimini
9:
Seperti sebuah ciuman, fiksimini jangan terlalu sering
diulang-ulang
Diktum
Fiksimini
10:
Bila puisi mengolah bahasa, fiksimini menyuling cerita,
menyuling dunia.
Diktum
Fiksimini
11:
Ia tak semata membuat tawa. Karna ia adalah gema
tawanya.
Diktum
Fiksimini
12:
Kau kira fiksimini ialah kolam kecil, tapi kau tak pernah
mampu menduga kedalamanya.

Diktum
Fiksimini
13:
Di ujung kisahnya: kita seperti mendapati teka-teki abadi
yang tak bertepi.
Diktum
Fiksimini
14:
Pelan-pelan kau menyadari, ia sebutir debu yang mampu
meledakkan semesta.
Diktum
Fiksimini
terakhir:
Lupakan semua diktum itu. Mulailah menulis fiksimini!
Dan inilah beberapa fiksimini-fiksimini yang telah ditulis.
Anda akan bersua dengan beberapa nama penulis yang telah
populer namanya, seperti Eka Kurniawan, Clara Ng, Ratih
Kumala, Candra Malik, sampai penulis skenario Salman
Aristo, penyair Hasan Aspahani, sutradara Hanung
Bramantyo, dan yang lain. Dengan berbagai pertimbangan,
saya
memberi
judul
pada
fiksimini-fiksimini
itu.
Inilah kutipan fiksimini yang, setidaknya, mempesona saya:
@candramalik:
Telepon
Telepon berdering memecah malam. Dari ujung sana,
penelpon berteriak, Kubunuh kau! Si penerima mencekik
lehernya dengan kabel telepon.
@
dabgenthong:
Pada
Sebuah
Kecelakaan
Mobil itu ngebut dan tiba-tiba menabrak tiang listrik.
Supirnya keluar dan bertanya pada orang yang berkerumun,
Kepalaku dimana?
@dragunav:
Gadis
Penjual
Handphone
Ia cantik, mulus. Aku kagum, kuelus, kubelai, kutekantekan, lalu tiba-tiba ia berdering

@ekakurniawan:
Televisi
Televisi itu asyik sekali menonton diriku duduk di sofa
@salmanaristo:
Nama
di
Batu
Nisan
Bulan
purnama
di
atas
kuburan.
Seorang
kakek
membetulkan nisan. Ternyata namanya salah dituliskan.
@hasanaspahani:
Alamat
yang
Salah
Semua surat yang dia kirim kembali padanya dengan
catatan: salah alamat, juga surat yang ia kirim ke alamatnya
sendiri.
@ratihkumala:
Pengantin
Besok ia kawin, malam ini ia memutuskan bunuh diri.
@clara_ng:
Tita
Si kecil Tita berlari di kebun mengejar suaranya yang
barusan melompat dari bibirnya.
@agus_noor:
Kisah
Seorang
Reserse
Ia menyelidiki kematian janda yang mati dimutilasi. Tiga
bulan kemudian atasannya mendengar kabar kalo ia kawin
dengan janda itu.
@djenarmaesaayu:
Silsilah
Ia melahirkan seorang Bapak yang tak pernah bertemu Ibu.
@hanungbramantyo
Foto
Foto itu buram oleh darah. Saat kutatap lagi, ada wajah yang
sangat kukenal. Pucat dan buta. Diriku.

@frezask
Marionet
Kekasih
Aku mencintainya. Aku menyimpan mayatnya. Kumutilasi
dan kuberi tali. Kujadikan marionet. Kubuat pertunjukan
keliling.
@sammycalromance:
Semangka
di
Meja
Joni kelaparan. Saat menemukan semangka di meja,
langsung di lahapnya. Setelah habis ia baru sadar semangka
itu kepala ayahnya.

- FIKSI MINI: MENYULING CERITA, MENYULING DUNIA


Published November 21, 2009 Esai , Fiksi Mungil 37 Comments
Tag:Fiksi Mini, Micro Fiction

For sale: baby shoes, never worn.


Ernest Hemingway
Saya menyebutnya fiksi mini. Itulah bentuk fiksi mini yang
saya himpun dalam antara lain dalam Anjing & Fiksi Mini
Lainnya atau 35 Cerita untuk Seorang Wanita (Jawa Pos,
1 November 2009). Yakni fiksi, yang hanya terdiri dari secuil
kalimat. Mungkin empat sampai sepuluh kata, atau satu
paragrap. Tapi di sana kita beroleh keluasan dan kedalaman
kisah. Kutipan di awal tulisan, merupakan karya penulis
dunia, Hemingway, adalah salah satu contoh novel terbaik
dunia, yang ditulis hanya dengan beberapa patah kata.
Karya itu, ditulis di tahun 1920, karna Hemingway bertaruh
dengan rekannya: bahwa ia mampu nenulis novel lengkap
dan hebat hanya dengan enam kata. Dan penulis Amerika
itu menyatakan: itulah karya terbaiknya.
Tapi, bila kita mau melihat bentuk-bentuk karya sastra yang
sudah ada, fiksi mini sesungguhnya punya jejak sejarah yang
panjang. Artinya, tidak dimulai di tahun 1920, ketika
Hemingway menulsikan fiksi mininya itu. Kita ingat fabelfabel pendek yang ditulis Aesop (620-560 SM), adalah
sebuah
kisah
mini
yang
penuh suspensdalam
kependekannya. Kita bisa melihat pula kisah-kisah sufi dari
Timur tengah, yang turunannyapopuler sampai sekarang
dalam bentuk anekdot-anekdot semacam Narsuddin Hoja
atau Abunawas. Kisan-kisan kebajikan zen di Tiongkok, yang

bahkan seringkali lebih menggungah


panjang yang bertele-tele.

ketimbang

cerita

Di perancis, fiksi mini dikenal dengan nama nouvelles. Orang


Jepang menyebut kisah-kisah mungil itu dengan nama
cerita setelapak tangan, karena cerita itu akan cukup bila
dituliskan di telepak tangan kita.
Ada juga yang
mneyebutnya sebagai cerita kartu pos (postcard fiction),
karena cerita itu juga cukup bila ditulis dalam kartu pos. Di
Amerika, ia juga sering disebut fiksi kilat (flash fiction), dan
ada yang menyebutnya sebagai sudden fiction atau micro
fiction. Bahkan, seperti diperkenalkan Sean Borgstrom, kita
bise menyebutnya sebagai nanofiction. Apa pun kita
menyebutnya, saya pribadi lebih suka menamainya sebagai
fiksi mini.
Ada yang mencoba memberi batasan fiksi mini itu melalui
jumlah katanya. Misalkan, sebuah karya bisa disebut fiksi
mini bila ia terbentuk dari tak lebih 50 kata. Ada yang lebih
longgar lagi, sampai sekitar 100 kata. Dalam batasan
seperti ini, maka kita akan menemukan bahwa banyak
penulis dunia seperti Kawabata, Kafka, Chekov, O Henry,
sampai Ray Bradbury, Italio Calvino dan yang paling

mutakhir Julio Cortazar, menghasilkan fiksi mini yang


dahsyat. Kedahsyatan itu terasa, betapa dalam kisah yang
ditulis dengan beberapa kalimat saja, kita dibawa pada
petualangan imajinatif yang luar biasa. Dan inilah, memang,
yang membuat fiksi mini, terasa punya hulu ledak. Ia seperti
bom kecil, yang ditanamkan ke kepala kita, dan ledakannya
membuat otak kita berguncang. Ada gema panjang, yang
bahkan terus menggoda dan tak mudah hilang, setelah kita
membacanya dalam sekejap.
Sembari mengutip Cortazar, Hasif Amini pernah menyebut,
bila novel adalah pertandingan tinju dua belas ronde, maka
cerpen ibarat pertandingan tinju yang berakhir dengan KO
atau TKO mungkin di rondo ke empat atau ronde ke
enam.. Maka, fiksi mini ibarat pukulan telak yang langsung
membuat lawan terjengkang pada kesempatan pertama.
Atau, bayangkanlah sebuah ruang tunggu, begitu Amini
melukiskan. Novel ibarat kita tengah berbincang-bincang
secara panjang dengan seseorang yang kita jumpai di ruang
tunggu. Kita jadi merasa mengenal atau mengetahui
keseluruhan kisah hidup orang itu. Cerpen menjadi seperti
perbincangan singkat dengan seseorang di ruang tunggu,
dan kita merasa hanya mengetahui satu bagian dari kisah
hidup orang itu. Maka, fiksi mini, adalah seseorang yang
tiba-tiba saja datang, lalu berkata sepatah dua patah kata,
atau sekalimat, yang membuat kita terperangah. Dan orang
itu, mendadak sudah menghilang begitu saja. Meninggalkan
kita yang hanya terbelalak, digoda sejuta tanya, dan terusmenerus memikirkan apa yang tadi barusan dikatakan orang
itu? Begitu efek fiksi mini. Ia seperti satu tamparan yang
membuat kita kaget terbelalak.

Bila, saya disuruh menegaskan melalui jumlah kata, maka


saya akan membatasi pada jumlah 50 kata itu, untuk sebuah
karya bisa disebut fiksi mini. Tapi rumusannya adalah,
menceritakan sebuah kisah dengan seminim mungkin kata.
Maka, semakin sedikit jumlah kata itu, maka semakin
berhasil fiksi mini itu. Tapi, tentu saja, bukan cuma jumlah
kata itu yang membuat fiksi mini kuat. Dalam jumlah kata
yang secuil itu, tetap harus membayangkan sebuah kisah
panjang, atsmosfir kisah yang luas, bayangan karakter, ada
konnflik dan suspens, atau mungkin teka-teki yang tak
kunjung selesai. Semakin sedikit kata, tetapi semakin luas
membentang kisah di dalamnya, dalam koridor itulah
seorang pengarang ditantang untuk menghasilkan fiksi mini
yang kuat.
Saya menyebutnya fiksi mini (bukan prosa mini), karena fiksi
mini memang bisa juga berbentuk puisi. Tetapi, tentu saja,
bila menyangku urusan kategorisasi, fiksi mini tetap harus
memiliki
elemen
narataif
atau
penceritaan,
untuk
membedakannnya dengan puisi pendek (misalnya). Karena
kita tahu, ada bentuk-bentuk puisi yang sangat pendek,
seperti haiku, tetapi barangkali tetap lebih nyaman bila
disebut sebagai puisi pendek, bukan fiksi mini. Maka, dalam
fiksi mini itu, elemen dasar penceritaan atau naratif (yang
karenanya menjadi lebih dekat pada prosa) bisa ditemukan.
Kita mengenal element penceritaan seperti penokohan
(protagonis
dan
antagonis),
konflik, obstacles atau
juga complicationdan resolution. Barangkali, pada fiksi mini,
justru resolution itu yang dihindari, karena dalam fiksi mini,
akhir (ending) menjadi semcam gema, yang terus dibiarkan
tumbuh dalam imajinasi pembaca. Karakter menjadi
kelebatan tokoh yang seperti kita kenal, tetapi tak

mudahdipastikan, dan karenanya bergerak cepat. Itulah yang


justru membuat kita penasaran.
Saya akan kutipkan satu contoh. Berikut ini adalah karya
Joko Pinurbo, yang resminya oleh penulisnya sendiri,
disebut puisi. Tapi, menurut saya, ia bisa disebut fiksi mini:
Penjahat Berdasi
Ia mati dicekik dasinya sendiri.
Dalam karya itu, kita menemukan bayangan tokoh, yakni si
penjahat berdasi. Di sana suatu konflik yang membuat si
tokoh itu akhirnya mati secara mengerikan: dicekik oleh
dasinya sendiri. Perhatikan kata dicekik dan buka
tercekik, misalnya. Dalam kata dicekik itulah, kita
menemukan unsur plot arau alur: bagaimana suatu hari dasi
itu berubah seperti tangan hitam dan kasar yan jengkel dan
kemudian mencekik leher di tokoh itu. Memilih kata yang
tepat, efektif dan kuat secara imajinatif, menjadi kunci lain
bagi proses penulisan fiksi mini.
Saya sengaja mengutip fiksi mini Joko Pinurbo itu, sekadar
untuk memperlihatkan, betapa sesungguhnya, selama ini,
fiksi mini, banyak digarap oleh penulis kita. Puisi-puisi yang
menghadirkan dirinya menjadi semacam prosa, sebagaimana
yang
kerap
ditulis
oleh
Joko
Pinurbo
(seperti Celana atau Tukang Cukur) atau juga oleh Sapardi
Joko Damono (Perahu Kertas atau Mata Pisau). Dalam
pengantar kumpulan prosanya Pengarang Telah Mati,
Sapardi menegaskan kalau prosa-prosa pendek itu
disebutnya cerpen mini karena ia memang menyebutnya
prosa. Padahal, menurut saya, prosa-prosa pendek atau
fiksi mini dalam istilah saya telah banyak ditulis Sapardi,
seperti dalam sajak Tuan, meski ia menyebutnya puisi. Mari

kita kutip sajak Tuan itu, dan saya tulis ulang dengan gaya
prosa:
Tuan
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, saya sedang keluar.
Tidak bisa tidak, itu adalah bentuk fiksi mini, meski
penulisnya sendiri menyebutnya sebagai puisi. Barangkali,
karena saat puisi itu ditulis, istilah fiksi mini belum terlalu
ngetrend. Saat ini, ketika dunia semakin berkelebat, ketika
waktu kian bisa dilipat-lipat begitu kecil dan praktis, ketika
dunia seperti telepon genggam yang kita simpan dalam saku
celana, segala yang sekilas seperti telah menjadi nafas kita
sehari-hari, dan kita menjadi merasa penting segala macam
hal yang mesti serba sekilas, selintas, gegas dan ringkas.
Ketika intenet mulai mendominasi, maka fiksi mini menjadi
trend yang menggoda dan digandrungi. Kecepatan dan
keringkasan adalah ciri tulisan di internet. Barangkali, karena
itulah, fiksi mini seperti menemukan habitatnya yang pas di
laman internet. Kurnia Effendi, seorang penulis cerpen
Indonesia, saat saya membacakan dan mendiskusikan fiksi
mini di Warung Apresiasi Sastra Bulungan Jakarta, melihat
problem terbesar fiksi mini ketika ia bersinggungan dengan
media utama publikasi sastra kita, yakni koran. Fiksi mini
menjadi mustahil muncul di koran, kata Effendi, karena
ruang koran menjadi teralu luas untuk bentuk fiksi mini.
Maka
saya
mencoba
mensiasatinya
dengan
cara
menghimpun sekian fiksi mini, seperti dalam 35 Cerita
buat Seorang Wanita itu atau dalam 20 Keping Puzzle
Cerita. Pada dasarnya, itu adalah fiksi mini, yang tiap bagian
kisahnya berdiri sendiri. Menghimpunnya hanyalah menjadi
semacam strategi publikasi.

Ketika dunia makin pendek, pengarang pun ditantang untuk


menyuling cerita. Menyuling cerita, begitulah pada dasarnya
proses penulisan fiksi mini. Atau pengarang seperti ahli kimia
yang mencoba menemukan atom cerita. Ia membuang dan
mengurai detail yang kadaluarsa, yang hanya akan
mengganggu dan mengotori kemurnian imajinasi. Ketika
dunia sudah menjadi terlalu prosais, terlalu banyak
kehebohan cerita yang sesungguhnya hanya gegap-gempita
yang menyesatkan, yang terus menerus direproduksi hingga
tak lebih menjadi kisah-kisah yang yang mekanis dan
gampang kita duga, maka fiksi mini seperti sebuah jalan
spiritual untuk menemukan semua esensi cerita. Menyuling
cerita, menjadi pencarian spiritualitas cerita, sebagaimana
tersirat dalam fiksi mini-fiksi mini seputar zen budisme.
Barangkali, itulah teologi fiksi mini, yang membuatnya
menjadi penting dan relevan untuk kita yang megam-megam
dalam samudera cerita, dan kita justru terasing dari semua
cerita yang direproduksinya.
Saya ingin menutup esai ini dengan satu fiksi mini saya,
Sebutir Debu
Tepat, ketika sebutir debu itu jatuh menyentuh tanah,
semesta ini pun meledak.
Jagat raya ini hanyanya sebutir debu. Begitulah jagat raya di
mata Tuhan. Maka inilah akar teologis dari fiksi mini, bahwa
Tuhan menyusun jagat raya ini sebagai pengarang yang
telah menemukan esensi cerita. Jagat raya ini adalah fiksi
mini yang telah berhasil ditulis oleh Tuhan dengab piawai.
Sekarang, pejamkanlah mata. Biarkan segala hirup pikuk
cerita lenyap dari kepalamu, hingga yang tersisa adalah
bentangan kesunyian imajinasi yang paling ultim, sublim.

Itulah esensi cerita yang kini muncul dalam kemurnian


imajinasimu. Tidakkah kau ingin terus-menerus menyuling
dan menuliskannya?

- ANJING & FIKSI MINI LAINNYA


Published Oktober 18, 2009 Fiksi Mungil 11 Comments
Tag:Fiksi Mini

Anjing
Ia berubah jadi anjing. Itulah hari paling membahagiakan
dalam hidupnya. Anak istrinya yang kelaparan segera
menyembelihnya
Teka-teki Laki-laki yang Tak Kembali
Terkantuk-kantuk perempuan itu menunggu suaminya
pulang. Terdengar kunci pintu dibuka pelan. Sejak itu
suaminya tak pernah muncul.
Bayi

Tengah malam, bayi yang lapar itu terus menangis menjeritjerit. Pelan-pelan ia mulai memakan jari-jarinya, lengan dan
kakinya, melahap usus dan jantungnya, hingga tak bersisa.
Jangan Membunuh Ular di Hari Minggu
Kau bermimpi, seekor ular menyelusup masuk telinga ibumu.
Kau menjerit, dan cepat-cepat menghantamnya. Saat
terbangun, kau mendapati ibumu mati terkapar bersimbah
darah. Kepalanya pecah.
Misteri Mutilasi
Ia memotong-motong tubuhnya sendiri, dan membuangnya
ke kali. Polisi masih sibuk mencari pembunuhnya, sampai
kini.
Api Sinta
Sinta berdiri di tepi api penyucian yang berkobar.
Masuklah.., ujar Rama.Bila kau belum terjamah Rahwana,
api itu akan menyelamatkanmu.
Sinta menatap pangeran tampan itu dengan mata berkacakaca, sebelum akhirnya terjun dalam kobaran api. Semua
yang hadir begitu lega ketika menyaksikan api itu perlahan
padam: tubuh Sinta tak terbakar.
Hanya kedua payudaranya yang gosong.
Pengantin
Tak
pernah
ia
bertemu
perempuan
secantik
itu.
Mengingatkannya pada Putri Tidur jelita. Ia jatuh cinta pada
pandangan pertama dan meminangnya. Tak ada yang tahu
ketika ia membawa mayat itu ke kamarnya.
Kisah Seorang Psikopat

Sebelum polisi tiba ia bergegas mengemas koper yang berisi


potongan tubuhnya sendiri.
TKI yang Pulang Kampung
Ia dikabarkan mati. Saat ia kembali, keluarganya sedih.
Tengah malam ia pun menggantung diri.
Ulat dalam Kepala
Bocah itu begitu iba pada adiknya yang bertahun-tahun
terbaring sakit dengan kepala yang makin membengkak.
Seperti ada ribuan ulat di otakku, keluh adiknya selalu.
Suatu hari bocah itu melihat ibunya membelah apel, dan ada
ulat di dalamnya.
Tengah malam, diam-diam, ia mengambil pisau. Kini ia tahu
bagaimana menolong adiknya.
Mayat di Pinggir Kali
Mayat itu ditemukan telanjang di pinggir kali. Ia kemudian
dilaporkan ke polisi dan dihukum lima tahun penjara karena
dituduh melanggar Undang-undang Pornografi.
Sumur Tua di Belakang Rumah
Ada sumur tua di belakang rumahku. Setiap purnama air
sumur itu memerah. Dulu, cerita Nenek, puluhan orang
dibantai, dan dibuang ke dalamnya. Sejak itu, siapa pun
dilarang mendekat.
Tapi diam-diam aku suka ke sana. Menyaksikan bangkai
mayatku mengapung di dasar sumur itu.
Matinya Seorang Pelawak
Tak ada yang tersenyum menyaksikannya di panggung.
Ketika ia mati, semua orang tertawa.

Sarapan Pagi
Potongan daging busuk penuh belatung berceceran di lantai.
Bau busuk meruap kamar gelap itu. Sumanto menikmati
sarapan paginya dengan tenang.
Salju
Matahari begitu terik. Sebutir salju melayang jatuh di telapak
tangan. Ia berteriak gembira. Sejak itu orang-orang
menganggapnya gila.
Hari Paling Indah dalam Hidup Sepasang Suami Istri
Keduanya duduk di beranda, menikmati teh hangat,
memandang senja yang bagai usia perkawinan mereka.
Ceritakan kisah paling lucu dalam hidupmu, kata si istri.
Ialah ketika aku membunuhmu, jawab si suami.
Mereka pun tertawa.
Mudik Lebaran
Aneh sekali. Stasiun lengang dan sepi. Cuma ia sendiri.
Sesekali terdengar lengking peluit. Tapi kereta itu tak juga
muncul. Padahal ia sudah menunggu sejak lebaran bertahun
lalu.
Berita dari Koran Pagi
Ayahmu menggampar ibumu sampai mati karena ia telah
menggorok kamu yang dengan sadis membacok ayahmu
hingga tewas hanya karena tak membelikanmu mainan.
Tamasya Keluaga Seorang Kerani
Liburan sekolah ini ia ingin mengajak anak-anaknya
tamasya. Meski miskin, sesekali perlu juga kita rekreasi,
katanya. Anak-anak bersorak gembira.

Menyisihkan sedikit uang gaji, digoncengnya anak-anak ke


Kebun Binatang. Ia tersenyum menyaksikan mereka
berlarian, main prosotan.
Mendadak ponselnya berbunyi. Dari istrinya, Katanya mau
ngajak liburan. Anak-anak nunggu di rumah nih!
Buru-buru ia ngebut pulang. Tapi di tikungan sepeda
motornya terguling dan truk yang melaju kencang langsung
menyambarnya. Sedetik sebelum nyawanya melayang, ia
tiba-tiba teringat kalau istrinya sudah meninggal setahun
lalu.
Hiroko
Ia tak terbangun
sampingnya.

ketika

bom

atom

itu

meledak

di

Reinkarnasi
Setelah mati di masa depan, aku terlahir kembali di masa
silam sebagai diriku yang sekarang.
Pohon Hayat
Ketika kanak, kau mendengar kisah pohon rimbun di alunalun kotamu. Setiap selembar daunnya luruh, seseorang
akan mati. Pernah sebagian besar daunnya rontok ketika
terjadi pembantaian.
Saat ini kau gemetar memandangi satu-satunya daun yang
tersisa di pohon itu.
Ibu yang Menunggu
Anaknya hilang saat kerusuhan. Mungkin diculik. Mungkin
terpanggang api yang membakar pertokoan, kata orang-

orang. Sejak itu ia selalu duduk termangu di beranda, hingga


larut.
Bertahun-tahun kemudian para peronda masih sering
melihatnya duduk di situ, meski ia telah lama mati dan
rumah itu sepi.
Halte
Terkantuk-kantuk kau duduk di halte menunggu angkot yang
akan membawamu pulang. Begitulah, setiap hari, kau selalu
pulang kerja selarut ini.
Angkot datang. Kau segera masuk. Ketika angkot itu kembali
melaju, kau menegok ke jalanan sepi di belakangmu. Kau
melihat dirimu yang tengah terkantuk-kantuk menunggu di
halte itu.
Ramalan
Suatu kali seorang peramal mendatangi. Kau akan mati
ketabrak kereta api, katanya. Padahal ia tak pernah
dilahirkan.
Kasus Salah Tangkap
Kau tak pernah bisa mengerti, kenapa polisi menangkapmu.
Mereka terus menginterogasi. Menggertak dan memukulmu
berkali-kali. Memaksamu agar mengaku. Kau dituduh
membunuh kekasihmu. Padahal kekasihmu masih hidup.
Kaulah yang mati.
Lelucon Seorang Badut
Ia suka menghibur diri di depan kaca dengan gerakangerakan paling lucu yang tak pernah bisa membuatnya
tertawa.
Seusai Pemakaman

Seusai dikuburkan, ia pun kembali ke rumah. Ayah pulang!


Ayah pulang! anak-anaknya berlarian riang. Di pintu, mata
istrinya berlinang.
Di Kafe
Sembari menunggu ia bercakap-cakap dengan tamunya yang
tak pernah datang. Sampai kafe tutup. Dan ia pulang. Tapi
pelayan kafe masih melihatnya terus duduk di kursi itu.
Alibi
Kau merasa senang karna akhirnya kau dibebaskan dari
tuduhan. Polisi tak bisa mendakwamu, karna ketika kau
terbunuh dan mayatmu ditemukan malam itu, kau memang
tak ada di tempat kejadian.
Perempuan yang Mati Membakar Diri
Perempuan itu ditemukan mati gosong, sambil mendekap
bayi yang disusuinya. Orang-orang yang mengangkat
mayatnya bersumpah, kalau airsusu perempuan itu masih
menetes-netes dari putingnya.
Pada Sebuah Kuburan
Orang-orang bilang kuburan itu berhantu. Bila pulang
malam-malam, kau pasti merinding setiap melewatinya.
Seperti ada suara yang terus melolong. Kau sedih setiapkali
mendengar lolong itu. Lolong itu selalu mengingatkanmu
pada kejadian bertahun lalu, ketika kau dulu mati dipotongpotong dan dibuang ke kuburan itu.
Mati Sunyi Seorang Diktator
Diktator itu mati dipancung di tengah alun-alun. Keesokanya
ia terlihat duduk-duduk di balkon istananya yang sepi

menikmati secangkir kopi sembari membaca setumpuk koran


pagi. Ia termangu saat menyadari tak ada satu pun koran
yang memberitakan kematiannnya. Betapa sia-sia aku
menjadi diktator, keluhnya. Lalu segera menembak
kepalanya sendiri.
Paket Kilat
Suatu hari kau mendapat paket yang berisi kematianmu
sendiri. Mohon diterima dengan baik, tulis pesan yang
menyertai. Aneh sekali, gumammu, sambil memperlihatkan
paket itu pada istrimu, Siapa sih yang iseng ngirim
beginian? Istrimu tertawa, menganggapmu bercanda,
karena di alamat pengirim jelas tertera namamu.

- 20 Keping Puzzle Cerita


Published Maret 29, 2009 Cerpen , Fiksi Mungil 9 Comments
Tag:cerpen Agus Noor, Fiksi Mini, puzzle

Ambulan yang Lewat Tengah Malam


Ambulan yang membawa jenazahmu berkali-kali oleng karena sopirnya ngantuk. Aku tak mau mati
kecelakaan lagi, katamu. Sini, biar saya setir. Pak Sopir pun gantian istirahat di peti mati. Kulihat
ambulan itu melintas pelan menuju rumahmu.

Sirene
Kelak, sejak kematianmu itu, anak-anak di kampung kami selalu ketakutan bila mendengar sirene.
Bila ada anak yang rewel, si ibu akan menakut-nakuti, Nanti kau diculik ambulan Setiap ada
sirene melintas, anak-anak yang tengah bermain gobag sodor atau petak umpet buru-buru berlarian
masuk rumah. Mereka selalu ngeri membayangkan ambulan yang disetiri mayatmu, kataku.

Kau tersenyum mendengar kisah itu.

Kucing Hitam
Aku ingat, saat para tetangga datang melayat. Banyak yang penasaran kenapa kau mati begitu
mendadak. Mereka bercakap nyaris berbisik, menduga-duga mungkin ada juga yang diam-diam
menggunjingkanmu sementara jenazahmu berbaring tenang. Bau kematian seperti mengedap dalam
ruangan.
Saat itulah, mendadak, seseorang menjerit, ketika melihat seekor kucing hitam melompati jenazahmu.
Beberapa pelayat yakin: saat itu melihat matamu berkedip-kedip.

Kasus Salah Tangkap


Sampai kini, kematianmu masih misteri bagi kami.
Beberapa orang meyakini, hari itu kau diciduk polisi. Kau tak pernah bisa mengerti, kenapa polisi
menangkapmu. Mereka terus menginterogasi. Menggertak dan memukulmu berkali-kali. Memaksamu
agar mengaku. Kau dituduh membunuh istrimu. Padahal istrimu masih hidup. Kaulah yang mati.

Misteri Mutilasi
Tetapi beberapa orang yang lain bilang, kalau kau sesungguhnya mati bunuh diri. Kuperhatikan ia
tampak murung belakangan ini, seseorang berkata. Aku yakin ia memotong-motong tubuhnya
sendiri, dan untuk menghilangkan jejak, ia segera membuangnya ke pinggir kali.
Itulah sebabnya, kata orang itu melanjutkan, polisi masih sibuk mencari pembunuhmu, sampai kini!

Tentang Seorang Perempuan


Seminggu setelah pemakamanmu, seorang perempuan muncul di kampung kami. Ia menggendong
bayi mungil. Wajahnya gugup dan pucat, tetapi tak menghapus kecantikannya. Seolah takut ketahuan,
perempuan itu menanyakan di mana rumahmu. Sikapnya membuat kami curiga: jangan-jangan ia istri
kedua atau simpananmu.
Lalu seorang warga menjelaskan, kalau kau sudah mati.
Mati? ia terlihat tak percaya. Barusan tadi pagi ia mampir ke rumahku

Cerita Pelayan Kafe

Seorang tetangga, yang bekerja sebagai pelayan kafe, satu malam menemuiku. Ia bilang, ia juga
barusan melihatmu.
Ia melihatmu duduk di sudut remang kafe tempatnya bekerja. Memesan minuman ringan dan kentang
goreng. Katanya ia janjian mau ketemu dengan sampeyan.
Tapi semalaman aku lembur di kantor, tegasku.
Ya, ia memang terus sendirian, tapi seolah bercakap-cakap dengan sampeyan yang tak pernah
datang. Sampai kafe tutup. Namun para pelayan kafe masih melihatmu terus duduk di kursi itu.
Sebelum aku pulang, ia menitipkan ini padaku. Ia menyodorkan sekeping koin. Dan aku segera
mengenalinya.

Pada Sebuah Kuburan


Dulu, semasa kanak, kita menemukan sekeping koin perak berkarat di pekuburan. Kita memang
sering keluyuran ke pekuburan selatan kampung itu. Orang-orang bilang kuburan itu berhantu. Sering,
bila tengah malam, terdengar suara yang terus melolong. Aku selalu ketakutan. Seperti kudengar suara
lolong menyanyat orang sekarat. Tapi kau malah cekikikan.
Kelak, katamu, aku akan mati menjerit kesakitan seperti itu. Aku akan mati terpotong-potong, dan
dibuang ke kuburan ini

Kemenyan
Barangkali kamu memang tak pernah mati.
Para peronda sering melihatmu berkelebat pulang malam-malam. Mereka kadang juga samar-samar
melihatmu duduk-duduk di beranda rumahmu sesekali batuk-batuk kecil atau berdehem sembari
menikmati rokok kretek. Tapi para peronda itu mencium aroma kemenyan merebak di udara yang
seketika terasa menjadi lembab.
Para peronda juga sering melihat istrimu tengah malam berdiri di pintu menunggumu.

Seusai Pemakaman
Aku jadi ingat pada sore seusai pemakaman. Para pelayat baru saja menguburkanmu. Saat itu aku
melintas depan rumahmu, dan kulihat kau seperti baru saja pulang. Ayah pulang! Ayah pulang!
anak-anakmu berlarian riang menyambutmu. Bergelayutan manja pada lenganmu.
Di pintu, kusaksikan mata istrimu berlinang.

Koin Hitam
Kupandangi koin perak yang telah menghitam itu. Tergeletak di meja. Kau tahu, sejak dulu aku tak
mau keping koin itu. Tapi tiap kali aku datang ke rumahmu hendak mengembalikannya, yang ada
hanya istrimu. Senyumnya yang manis menyuruhku masuk, matanya yang gelisah melirik
ke halaman, takut ada yang memergoki.
Setelah kau mati, aku pun sudah berusaha membuang jauh-jauh koin itu berkali-kali. Membuangnya
ke selokan. Membuangnya ke tempat sampah. Bahkan sampai jauh ke luar kota. Tapi koin itu selalu
saja kembali. Begitu saja: tiba-tiba sudah tergeletak di meja.

Kapak
Aku mengingat malam itu sebagai malam mengerikan dalam hidupku. Kau muncul dan berkata, Kau
punya kapak?
Apakah kau akan membelah kayu malam-malam begini?
Lalu kau bercerita. Ada ular dalam kepala istriku. Ular itu datang setiap kali aku tak ada, menyelusup
lewat telinga, dan kini mendekam dalam kepalanya. Mungkin kapak ini ada gunanya

Tukang Ramal
Kita belum lagi genap tigabelas tahun ketika datang ke pasar malam itu. Keramaian dan lampu warnawarni seperti mimpi yang ganjil. Aku pingin gulali, tapi kau mengajakku ke tukang ramal bermata
juling. Kau ingin tahu, bagaimana nanti kita mati.
Tukang ramal itu menyeringai menatap kita Kalian memang sahabat yang luar biasa, katanya,
karena menyintai perempuan yang sama. Kita masih saling bertatapan, ketika tukang ramal itu
menarik tanganku. Dan kau, kau akan mati karna tabrak lari.

Alibi
Cerita ini kudengar dari para tetangga, karena saat itu aku memang sudah menjauh dari hidupmu.
Mereka mendengar suara istrimu menjerit kesakitan. Itulah jerit kematian paling mengerikan. Pagi
harinya, mereka menemukan istrimu mati dengan kepala pecah. Kapak itu tak pernah ditemukan.
Meski para tetangga curiga, polisi tak bisa mendakwamu, karna saat itu kau tak ada di tempat
kejadian. Kau juga sedang berada di tempat lain, ketika ketiga anakmu ditemukan mati mengenaskan.
Dan para tetangga yang keheranan kemudian mengatakan: ketika mayatmu ditemukan, polisi pun tak
bisa mendakwamu. Karna kau juga tak ada di tempat kejadian.

Saat itu kupikir mereka terlalu melebih-lebihkan.

Anjing
Kawan-kawan sepermainan sering bilang, kita pasangan serasi. Mereka tak tahu kalau kau tak
menyukaiku yang pendiam. Kau terlihat mengerikan bila sedang diam, katamu selalu. Seperti ada
seorang pembunuh yang diam-diam sedang menguasai tubuhmu. Kau mirip psikopat.
Suatu hari kau marah karena nyaris digigit anjing tetanggamu. Aku hanya diam mendengar ceritamu.
Dua hari kemudian kau mendapati anjing itu mati digorok dan digantung di pagar rumah tetanggamu.
Kau menatapku yang hanya diam.

Teka-teki Wajah Pembunuh


Inilah permainan yang kita sukai, menebak teka-teki: bila kelak kita mati terbunuh, seperti apakah
wajah pembunuh itu? Kemudian kita masing-masing mengambil kertas dan pensil, membayangkan
wajah itu, dan menggambarnya.
Kita melipat kertas itu setelah selesai. Memasukkannya ke amplop, lantas membakarnya, agar kita
bisa terus penasaran dan menebak-nebak wajah siapakah yang kau gambar dan aku gambar.
Menyimpan rahasia memang selalu mendebarkan.
Aku bisa menduga, wajah siapa yang kau gambar, katamu, sambil memandangi api yang melahap
kertas itu.
Kubayangkan wajah itu hangus dalam api.

Sumur Tua di Belakang Rumah


Ada sumur tua di belakang rumah kakekmu. Konon, airnya selalu berwarna merah setiap purnama. Di
jaman gestapu dulu, kakekmu dibantai dan dilempar ke sumur itu. Sejak itu, siapun tak berani
mendekat.
Tapi diam-diam kita suka ke sana, menjenguk ke dalamnya, berharap menyaksikan mayat kakekmu
mengapung. Airnya memang begitu bening. Yang kita lihat justru bayangan mayat kita sendiri:
memar, rusak dan berdarah karna kecelakaan. Meringkuk di dasar sumur itu.

Puisi Cinta Semasa Remaja

Kau tahu aku suka puisi. Karna itu, ketika kau jatuh cinta, kau memintaku menulis puisi. Kau sebut
nama gadis yang telah membuatmu jatuh cinta. Aku pun segera tahu: itulah puisi paling bagus yang
bakal berhasil aku tulis.
Kau senang sekali dengan puisi itu. Kamu benar-benar bisa melukiskan seluruh perasaanku,
katamu. Tidak, aku tak menuliskan perasaanmu, jawabku. Dalam diam tentu saja.

Mayat dalam Koper


Setelah kau menikah, aku memilih pergi mengembara. Ketika tak ada kabar, kau sering
membayangkanku sudah mati. Kemudian dari para tetangga aku mendengar, bila sedang ronda kau
suka cerita, kalau aku tak lain psikopat yang dicari-cari polisi. Suatu hari psikopat itu memotongmotong tubuhnya sendiri. Dan sebelum polisi tiba, ia bergegas mengemas koper yang berisi potongan
tubuhnya sendiri.
Mereka selalu tertawa mendengar cerita itu.

Tabrak Lari
Lalu hari sebagaimana diramalkan itu tiba.
Saat terburu berangkat kantor kau menabrak pejalan kaki. Tubuhnya terpelanting dan tergilas. Kau
terus tancap gas. Malam harinya, istrimu begitu sedih setelah mendapat kabar kamu mati tertabrak
ambulan yang langsung melarikan diri. Ambulan hantu, kata orang-orang. Ambulan yang disetiri
mayat yang dibawanya.
Kau menangis menceritakan semua kisah ini padaku yang tadi pagi mati karna tabrak lari.

- FIKSI MINI HASAN ASPAHANI


Published Maret 22, 2009 Fiksi Mungil 2 Comments
Tag:Fiksi Mini, Hasan Aspahani

Hasan Aspahani, menyebut dirinya pengrajin puisi. Sudah tentu, itu


semacam kerendahan hati. Ia, boleh dibilang, tak hanya penyair Indonesia terkini yang
produktif, tetapi juga selalu memperlihatkan kegelisahan estetiknya. Ketika kebanyakan
penyair (kita) cenderung untuk secepatnya menemukan rumah estetik-nya, Hasan
justru seolah menolak godaan untuk merasa mapan dalam sebuah rumah estetik.
Setiap sajak yang ditulisnya, seolah sebuah awal untuk menjelajah. Ia seorang
petualang estetis. Nyaris tanpa beban ia melenting dari suatu gaya ke gaya lainnya. Dan
inilah yang paling saya sukai: karena sebagai pembaca saya jadi selalu berdebar
menunggu karyanya: karya seperti apa lagi yang akan ia tulis? Itulah yang membuat
Hasan berbeda dengan para penyair Indonesia lain, yang sudah terlalu saya hafal gaya
penulisan puisinya, hingga saya sudah bisa menduga seperti apa sajak-sajak yang
bahkan belum dituliskannya.
Beberapa fiksi mini yang dihasilkannya, bisa menjadi contoh petualangan estetis Hasan Aspahani. Atas seijin
sang penyair, saya menurunkan karya-karyanya itu, supaya kita juga bisa ikut merasakan tamasya imaji-imaji
yang diolahnya itu, dan tentu agar sebagaimana Hasan dengan penuh ketekunan dan pergulatan mempelajari
karya-karya penulis lain kita juga bisa belajar dari karya-karnya.

Jam dan Kalender


KALENDER itu berusaha merontok-rontokkan angka-angka tanggal dan nama-nama hari pada bulan-bulannya.
Tapi, tak ada yang terlepas. Semua tetap terbaca, berurutan, satu hingga 28, 30 atau 31. Ha ha ha. Sia-sia saja,
Kawan, kata Jam di dinding itu.
Sejak itu, Kalender itu tak mau berusaha melepaskan diri dari angka tanggal dan nama hari yang melekat
padanya (Sia-sia saja, kawan.). Abadi, seakan.
Jam itu pun tak pernah bicara apa-apa lagi. Ia seakan menyesali kata-katanya kepada Kalender itu (Sia-sia saja,
Kawan.). Jam itu kini sadar, dengan atau tanpa angka padanya, ia tak pernah bisa mempercepat atau
memperlambat tik tak tik taknya sendiri. Suara detik itu dengan seksama disimak oleh si Kalender itu. Kalender
itu merasa seperti ada yang ikut berdetak pada angka-angka tanggal dan nama-nama hari bersama detak detik
itu.

Fiksi Mini Tentang Si Agus dan Si Noor


: untuk Agus Noor

Kematian Instan
SI Agus lapar. Lapar sekali. Ia pergi makan ke restoran cepat saji. Saat menyeberang ia ditabrak taksi. Sehabis
menabrak taksinya lari. Cepat sekali. Si Agus menggelepar sebentar, lalu dia sendiri memastikan dia sudah mati.
Cepat sekali.

Saat Dia tidak Menelpon ke Mana-mana


IA menelepon ke Gedung Putih, Amerika. Ketika ditanya (dalam bahasa sana), Ini siapa?, Agus menjawab,
Agus, Agus!
IA menelepon ke Menara Kembar di Malaysia. Waktu ditanya (dalam bahasa sana), Ini siapa? Agus
menjawab, Agus, Agus!
IA menelepon pemain Barongsai, di Tiongkok. Ketika ditanya (dalam bahasa sana), Ini siapa? Agus
menjawab, Agus, Agus
SAAT dia tidak menelepon ke mana-mana, Agus bertanya pada teleponnya, Kalau saya telepon Tuhan, apa dia
juga bertanya siapa saya?
Teleponnya bilang, Mungkin saja. Memangnya kenapa? Kau tinggal jawab saja: Agus, Agus!

Hari Pertama Kerja Si Noor


NOOR diterima kerja menjadi seorang detektif partikelir di sebuah kantor detektif. Tugas pertamanya, di hari
pertama bekerja adalah mencari di manakah gerangan kantornya berada.

Empat Fiksi Mini Tentang Seorang Penyair Tua


: SDD

Ia Tersesat di Sebuah Sajaknya


DIA masuki belantara sajaknya sendiri. Dia mulai dari kata pertama di sajaknya, sebuah kata yang berhuruf
awal A. Sajak yang dia kira sederhana itu ternyata menyesatkan. Di dalamnya banyak jalan setapak bersilangan
dan lorong-lorong berliku. Dia mula-mula tenang-tenang saja, tapi lama-lama risau, akhirnya cemas, dan bahkan
ketakutan.
Bagaimana caranya saya keluar dari bait-bait sajak sini? katanya, pada dirinya sendiri. Pertanyaan itu
menggema di dinding-dinding sajaknya, membuatnya semakin takut saja.
Bila akhirnya dia bisa bebas dari sajak itu, sajaknya sendiri itu, maka itu berkat bantuan sebuah kata yang ia
letakkan di akhir larik akhir bait akhir sajaknya. Sebuah kata yang dia beri tanda tanya.

Ia Takut Membaca Sajak-sajak Lamanya


DI usia tuanya dia suka membersihkan halaman rumah dinasnya (rumah dinas untuk penyair), membaca buku
(kadang ia merasa ditipu oleh kacamatanya), menulis sajak baru (susah sekali mencari waktu untuk diajak
menemukan sajak baru), menerima tamu (teman-temannya, mahasiswanya, dan penggemarnya), menerima
telepon dan membalas SMS (kadang ia mengirim SMS ke nomornya sendiri), sesekali ia masih mengajar juga
(meskipun ia pernah salah masuk ruangan lalu mengajar mahasiswa yang seharusnya tidak diajarnya).
Ia takut membaca sajak-sajak lama yang ia tulis dulu. Kenapa? Ia takut sebab kalau ia membaca sajak lamanya
maka ia sering bertanya, kok dulu saya bisa menulis sajak sebagus itu, ya? Kenapa sekarang susah sekali
Takutnya bertambah besar kalau ia membayangkan sajak-sajaknya itu menjawab, Apa betul kamu dulu yang
menuliskan kami? Ia takut sekali.

Gadis Kecil Itu Sudah Dewasa


GADIS kecil itu, Indah namanya, sudah dewasa. Pada suatu gerimis, yang tak juga menua, ia bertemu dengan
penyair yang dulu pernah menuliskannya dalam sajak bersama gerimis yang sama.
Saya gadis kecil yang diseberangkan gerimis itu, Pak Penyair, kata Indah.
Kamu?
Ya. Aku sudah bersuami, dan punya anak tiga
Ingin sekali Pak Penyair itu bertanya, apakah gadis yang kini dewasa itu bahagia, mana dulu tangis yang ia
kibaskan dengan tangan kanan, dan mana payung yang ia pegang dengan tangan kiri. Tapi, ia tidak bertanya,
justru ia yang ditanya.
Gerimis-gerimis begini Pak Penyair mau kemana?
Ah, di usia begini susah sekali menyeberangi Jakarta.
Oh, Pak Penyair mau menyeberangi gerimis ini? Pak Penyair mengangguk.
Maka, di gerimis yang sama dengan gerimis yang dulu ia sajakkan, Pak Penyair diseberangkan oleh si Gadis
yang dulu ada dalam sajaknya yang kini sudah dewasa itu.
Sayangnya, tak ada yang menyajakkan peristiwa itu. Sayang

Ia Tertidur di Depan Televisi


IA tertidur di depan televisi, dan televisi itu jengkel sekali. Buat apa aku dihidupkan kalau tidak ditonton, kata
televisi itu, Kalau memang tidak mau nonton, ya matikan saja.
Si Penyair tak mendengar gerutu si televisi itu. Ia tertidur pulas nafasnya menciptakan dengkuran tua.
Kalau dia tidak mematikan kamu, kamu saja yang mematikan dia, kata remote control (entah apa padanannya
dalam bahasa Indonesia?).
Si penyair terkejut. Memandangi remote control di tangannya. Saat itu televisi sedang menyiarkan tentang
sebuah bom yang dijatuhkan pesawat tempur Israel di sebuah sekolah di Palestina. 40 anak-anak tewas.
Kata penyair itu, Ah, Tuhan, apakah orang setua aku masih harus disiksa dengan mimpi buruk? Televisi itu
tidak juga ia matikan.

- INTERMEZO: LELUCON DALAM FIKSI MINI


Published Februari 1, 2009 Fiksi Mungil 19 Comments
Tag:Fiksi Mini, Humor, Lelucon, Penyair, Saut Situmorang

Buat Saut Situmorang

PENYAIR DAN MANTRA


Penyair Saut terpesona iklan obat kuat di pasar malam: Cukup oleskan sambil mengucapkan mantra pow,
seketika akan membesar dan kuat!! Bagaimana kalau sudah selesai? tanya Saut, yang langsung terkenang
pada sajak-sajak mantra Sutardji Calzoum Bachri. Cukup ucapkan mantra wow, maka akan mengecil
kembali, tukang obat itu menerangkan.
Saut pun membeli sebotol. Sesampai di kamar pelacur langganannya, segera ia mengoleskan obat itu sambil
merapal mantra pow. Ia kini begitu bangga karena burungnya seperti dalam sajak Joko Pinurbo bertenger
dengan gagahnya.
Kaget, karena melihat burung penyair itu tampak besar tidak sebagaimana biasanya, pelacur itu pun langsung
berteriak, Wow!

PAGI TERAKHIR SEPASANG SUAMI ISTRI


Seorang istri menemukan celana dalam yang bukan miliknya tergeletak di kolong tempat tidur. Ia pun curiga:
selama seminggu ia keluar kota, suaminya yang penyair itu pasti menyelingkuhi pembantunya. Ini pasti celana
dalam Iyem, kan?!!
Jangan main tuduh gitu dong, Ma, jawab si penyair kalem. Setahuku, Iyem nggak punya celana dalem kok.
Buktinya dia nggak pernah pakai

SEORANG PENYAIR DAN DUA ORANG RAHIB


Dalam kisah ini, penyair kita Saut, bersikeras ambil bagian, hanya karena ingin menunjukkan maqam
kepenyairannya. Saat berjalan mrncari inspirasi melintasi hutan cemara yang menderai seperti dalam sajak
Chairil Anwar, ia melihat dua rahib bermeditasi di tepi danau.

Ia kemudian menyaksikan rahib pertama bangkit, dan dengan tenang berjalan melintasi danau, seolah Yesus
yang berjalan di permukaan air. Rahib kedua lalu menyusul, melangkah ringan di permukaan danau bening itu,
bagai rase terbang di atas rerumputan yang membuat penyair Saut seketika teringat pada adegan dalam bukubuku silat yang pernah dibacanya.
Menganggap kedua rahib itu tengah unjuk kesaktian di hadapannya, penyair Saut yang semasa kecil merasa
pernah bercakap-cakap dengan Tuhan, segera ingin pamer: Aku juga bisa berjalan melintasi danau itu. Tapi
baru sekali melangkah, ia langsung kecebur. Ia terus berusaha meringankan tubuhnya, terus mencoba berjalan
melintasi permukaan danau, tetapi seketika itu juga selalu kembali tenggelam megap-megap.
Melihat itu, rahib pertama segera berkata pada rahib kedua, Mungkin sebaiknya kita beritahukan saja letak
batu-batunya

PENYAIR SELEBRITIS
Hanya karena merasa dirinya pemberontak, penyair kita Saut selalu menganggap dirinya selebitris yang dikenal
setiap orang. Makanya, ia tak heran ketika seorang gadis cantik tampak diam-diam memperhatikan dan
tersenyum-senyum kepadanya. Kayaknya kenal, deh ujar gadis itu malu-malu.
Pastilah kau kenal aku! ujar Saut mantap.
Ya, beneran kayak kenalpot! jawab gadis itu sambil mesam-mesam.

- 15 CERITA DARI SEORANG WANITA


Published Januari 17, 2009 Fiksi Mungil , Surat 11 Comments
Tag:Agus Noor, Ahmad Dani, Fiksi Mikro (Micro Fiction), Fiksi Mini, Selingkuh itu Indah

Saya mendapat email dari Resta Gunawan, nama yang tiba-tiba saja muncul dalam hidupku
melalui dunia elektrik. Ia mengirimiku 15 fiksi mini, yang ingin kubagi dengan kalian. Saya
senang dengan beberapa fiksi mini yang ditulisnya itu. Seperti fiksi mini ini misalnya:

Dresscode
Stop, kata malaikat di pintu surga, tempat ini khusus untuk wanita yang setia kepada suaminya. Wanita
bergincu tebal itu menunjukkan beha dan celana dalamnya. Malaikat mengijinkannya masuk.
Atas seiijin Resta, saya menampilkan 15 fiksi mini yang dikirimkannya melalui email itu.

15 CERITA DARI SEORANG WANITA


Oleh: Resta Gunawan
Yang terhormat Tuan Agus Noor ,
Saya diminta Ahmad Dani membalas kartu pos yang pernah anda kirimkan kepadanya. Katanya terima kasih
telah mengirim potongan cerita tersebut, tapi dia merasa kok mirip dengan hidupnya, ya? Ah, entahlah, saya
hanya disuruh saja. Cerita ini sebenarnya akan saya kirimkan juga melalui kartu pos kepada Anda. Tapi kok
seperti ketinggalan jaman ya, makanya saya kirim saja lewat email. Semoga cerita ini sampai kepada Anda,
Agus Noor yang asli, bukan Agus Noor yang lain

Telegram
Ia menerima telegram yang mengabarkan kematiannya.

Pesan Seorang Pembunuh


Seorang penembak jitu membunuh dirinya sendiri setelah tanpa sengaja membunuh anaknya. Pesan ini aku
sampaikan kepadamu setelah ia membunuhku.

Rendezvouz
Lelaki itu datang ke kafe tengah malam. Ia menemukan seorang perempuan cantik di sana; mereka berbincang
begitu lama. Meski kata pelayan, malam itu, tamu kafe hanya lelaki itu saja.

Mimpi Jadi Presiden


Seorang lelaki pengangguran punya mimpi menjadi presiden. Suatu malam dia bermimpi tentang bulan. Paginya
dia mendapati bulan tergeletak di bawah ranjangnya.

Perselingkuhan Pertama
Adam mengkhianati cinta Hawa demi maneken yang kesepian di etalse toko baju impor.

Seorang Tentara Menenteng Kepala


Kota kami gempar. Seorang tentara tua menenteng kepala berjalan memasuki kota. Kami ketakutan,
bersembunyi, dan hanya berani mengintip dari celah jendela; termasuk aku dan beberapa tukang kritik. Aku
asing dengan tentara itu, tapi rasanya kenal dengan raut muka kepala yang ditentengnya. Kata orang-orang, itu
wajahku.

Cinta Sepasang Maneken


Dipisahkan kaca etalase, sepasang maneken saling memandang diantara api yang membakar pertokoan di kota
ini. Mereka menitikkan air mata, sementara orang-orang di luar bersorak gembira.

Wajah
Sepulang kerja, dia masuk toko barang antik. Saat melihat deretan wajah yang dipajang di dalam kotak kaca,
ingatannya tertuju pada isteri dan anaknya yang selalu membantah kata-katanya. Dia segera pulang ke rumah
dengan gembira. Di dalam tas kerjanya tersimpan wajah Mao dan Soeharto yang baru dibelinya; untuk menganti
wajahnya sendiri.

Nasib Seorang Politisi


Ia mati keracunan bualannya sendiri.

Cerita Buat Bapak Presiden


Syahdan, Syahrazad harus bercerita seribu satu malam kepada patung batu yang gagah.

Pulang
Dia melanglang buana mencari wanita yang paling sempurna. Setelah lelah dan hampir menyerah, dia baru
sadar wanita yang selama ini dicarinya telah menunggu di rumah. Kembali ke rumah, ia melihat isterinya telah
menjadi pelacur.

Kaki Paling Indah di Surga


Kau memiliki kaki paling indah, rayu ular kepada Hawa. Tuhan yang marah mengusir ular ke dunia tanpa
kaki.

Bapak Termangu di Beranda


Ia menanti keadilan yang tak kunjung datang.

Dresscode
Stop, kata malaikat di pintu surga, tempat ini khusus untuk wanita yang setia kepada suaminya. Wanita
bergincu tebal itu menunjukkan beha dan celana dalamnya. Malaikat mengijinkannya masuk.

Kartu Pos dari Surga


Lelaki itu menerima kartu pos dari surga malam ini. Undangan dari Tuhan, kata Pak Pos padaku di warung
kopi. Tepat jam sembilan pagi, kami menemukan lelaki itu gantung diri di kamar kontrakannya.

Bantul, 15-16 Januari 2009


PS: Mas Agus Noor, fiksi mini ini saya buat berdasarkan beberapa cerpen Anda dalam buku Bapak Presiden
Yang Terhormat, Selingkuh Itu Indah, Rendezvouz, Potongan Cerita di Kartu Pos, dan cerpen Anda yang
berserakan di laman internet. Buku Memorabilia saya belum punya (susah carinya sih!). Sungguh saya jatuh
cinta dengan karya-karya Anda (untungnya gak jatuh cinta dengan And,. hehe) Moga-moga Mas gak marah
ya, karyanya dicuri orang (kan sudah saya kirim lagi ke Mas, hehe..)
Jujur saya baru tahu kalau dalam sastra ada yang namanya fiksi mini saya baru tahu setelah menjenguk situs
Anda. Maklum baru setahun ini tertarik dengan sastra, dulu hanya baca komik dan cerita erotis di internet saja
meski menurut pengertian denotatif, itu termasuk sastra juga (literature).
Kapan-kapan mampir ke blog saya di: http://www.restagunawan.wordpress.com bloger baru (^_^) . Oh ya,
minta ijin untuk upload fiksi mini di atas ke blog saya ya (entah cerita di atas sudah termasuk fiksi mini atau
belum).. sebenarnya kriteria fiksi mini apa sich? Apa yang membedakannya dengan puisi cerita, misal puisi
Sapardi (contohnya, Catatan Masa Kecil), atau sebagian besar puisi Joko Pinurbo?
Salam,
Resta Gunawan

-35 CERITA BUAT SEORANG WANITA


Published Januari 9, 2009 Fiksi Mungil 20 Comments
Tag:Fiksi Mikro (Micro Fiction), Fiksi Mini, Fiksi Mungil, Flashlit

Ini sehimpun fiksi mungil. Begitu, aku suka menyebutnya. Kau boleh menyebutnya fiksi
mikro (micro fiction), fiksi cepat atau flash literature, cerita mini, atau cerita setelapak tangan
atau nouvelles sebagaimana orang Perancis menyebutnya. Semua itu sesungguhnya merujuk
pada fiksi yang sangat-sangat pendek. Mungkin ia terdiri hanya beberapa patah kata,
sebaris kalimat atau beberapa baris kalimat. Kalau harus mengacu pada jumlah kata, saya
akan membatasi: tak lebih 50 kata. Dalam batasan itulah cerita mesti dihasilkan. Dimana
setidaknya tiga elemen penceritaan tetap terasa di sana. Tokoh, konflik dan alur. Tanpa itu, ia
bisa menjadi hanya semacam catatan impresi atau puisi. Setidaknya, itulah yang saya yakini
ketika menuliskan fiksi mungil.
Ambulan yang Lewat Tengah Malam
Ambulan yang membawa jenazahmu berkali-kali oleng karena sopirnya ngantuk. Aku tak mau mati kecelakaan
lagi, katamu. Sini, biar saya setir. Pak Sopir pun gantian istirahat di peti mati. Kulihat ambulan itu melintas
pelan menuju rumahmu.

Sebutir Debu
Tepat, ketika sebutir debu itu jatuh menyentuh tanah, semesta ini pun meledak.

Sumur Tua di Belakang Rumah


Setiap purnama airnya berwarna merah. Dulu, cerita Nenek, puluhan orang dibantai, dan dibuang ke
dalamnya. Siapa pun dilarang mendekat. Tapi diam-diam aku suka ke sana. Menyaksikan bangkai mayatku
mengapung di dasar sumur itu.

Bayi
Tengah malam, bayi yang lapar itu terus menangis menjerit-jerit. Pelan-pelan ia mulai memakan jari-jarinya,
lengan dan kakinya, melahap usus dan jantungnya, hingga tak bersisa.

Misteri Mutilasi
Ia memotong-motong tubuhnya sendiri, dan membuangnya ke kali. Polisi masih sibuk mencari pembunuhnya,
sampai kini.

Apel
Dipetiknya apel itu. Diberikannya buat Adam dan Tuhan. Kini ia sendirian di surga.

Pengantin
Tak pernah ia bertemu perempuan secantik itu. Mengingatkan pada Putri Tidur jelita. Ia jatuh cinta pada
pandangan pertama dan meminangnya. Tak ada yang tahu ketika ia membawa mayat itu ke kamarnya.

Teka-teki Pembunuhan
Ia dihukum karena membunuh. Ia bertemu dengan orang yang dibunuhnya dalam penjara. Keduanya terkejut
saat saling bertatapan. Ia pun segera mengenali: orang itulah yang dulu telah membunuhnya.

Jangan Membunuh Ular di Hari Minggu


Kau menjerit ketika seekor ular keluar dari mimpi, dan cepat-cepat menghantamnya. Saat terbangun, kau
mendapati ibumu mati terkapar bersimbah darah. Kepalanya pecah.

Pembohong Pertama
Mereka akhirnya tahu: Iblis ternyata benar. Tuhan yang bohong.

Sarapan Pagi

Potongan daging busuk penuh belatung berceceran di lantai. Bau busuk meruap dalam kamar gelap itu. Sumanto
menikmati sarapan paginya dengan tenang.

Matinya Seorang Pelawak


Tak ada yang tersenyum menyaksikannya di panggung. Ketika ia mati, semua orang tertawa.

Pada Sebuah Kuburan


Orang-orang bilang kuburan itu berhantu. Bila pulang malam-malam, kau pasti merinding setiap melewatinya.
Seperti ada suara yang terus melolong. Kau seperti mendengar suaramu yang menjerit keakitan ketika dulu kau
mati dipotong-potong dan dibuang ke kuburan itu.

Ramalan
Suatu kali seorang peramal mendatangi. Kau akan mati ketabrak kereta api, katanya. Padahal ia tak pernah
dilahirkan.

Alibi
Polisi tak bisa mendakwamu. Meski para tetangga curiga, kau memang tak di tempat kejadian saat istrimu mati
dengan delapan tusukan. Kau juga tak di tempat kejadian, ketika ketiga anakmu mati mengenaskan. Dan Polisi
makin tak bisa mendakwamu, ketika mayatmu ditemukan, kau pun tak ada di tempat kejadian.

Anjing
Ia berubah jadi anjing. Itulah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Anak istrinya yang kelaparan segera
menyembelihnya.

Mayat di Pinggir Kali


Mayat itu ditemukan telanjang di pinggir kali. Ia dihukum lima tahun penjara karena melanggar Undang-undang
Pornografi.

Ulat dalam Kepala


Bocah itu iba pada adiknya yang terbaring sakit. Kepalanya makin bengkak. Seperti ada ulat di otakku. Suatu
hari ia melihat ibunya membelah apel, dan ada ulat di dalamnya. Segera ia mengambil pisau. Kini ia tahu
bagaimana menolong adiknya.

TKI yang Pulang Kampung


Ia dikabarkan mati. Saat ia kembali, keluarganya sedih. Tengah malam ia pun menggantung diri.

Di Kafe
Sembari menunggu ia bercakap-cakap dengan tamunya yang tak pernah datang. Sampai kafe tutup. Dan ia
pulang. Tapi pelayan kafe masih melihatnya terus duduk di kursi itu.

Berita dari Koran Pagi


Ayahmu menggampar ibumu sampai mati karena ia telah menggorok kamu yang dengan sadis membacok
ayahmu hingga tewas hanya karena tak membelikanmu mainan.

Salju
Matahari begitu terik. Sebutir salju melayang jatuh di telapak tangan. Ia berteriak gembira. Sejak itu orangorang menganggapnya gila.

Tamasya Keluaga Seorang Kerani


Liburan sekolah ini ia ingin mengajak anak-anaknya tamasya. Meski miskin, sesekali perlu juga kita rekreasi,
katanya. Anak-anak bersorak gembira. Ia menyisihkan sedikit uang gaji. Digoncengnya anak-anak ke Kebun
Binatang. Ia tersenyum menyaksikan mereka berlarian, main prosotan. Handphone-nya berbunyi. Dari istrinya,
Katanya mau ngajak liburan. Anak-anak nunggu di rumah nih!

Seusai Pemakaman
Selesai orang-orang menguburkannya, ia pun kembali ke rumah. Ayah pulang! Ayah pulang! anak-anaknya
berlarian riang. Di pintu, mata istrinya berlinang.

Mudik Lebaran
Aneh sekali. Stasiun lengang dan sepi. Cuma ia sendiri. Menanti kereta api yang tak juga muncul. Meski ia
sudah di menunggu sejak lebaran bertahun lalu.

Saat Paling Indah dalam Hidup Sepasang Suami Istri


Keduanya duduk di beranda, menikmati teh hangat, memandang senja yang bagai usia perkawinan mereka.
Ceritakan kisah paling lucu dalam hidupmu, kata si istri. Ialah ketika aku membunuhmu, jawab si suami.
Istrinya pun tertawa.

Hiroko
Ia tak terbangun ketika bom atom itu meledak di sampingnya.

Teka-teki Laki-laki yang Tak Kembali


Terkantuk-kantuk perempuan itu menunggu suaminya pulang. Terdengar kunci pintu dibuka pelan. Sejak itu
suaminya tak pernah muncul.

Pohon Hayat

Ketika kanak, kau mendengar kisah pohon rimbun di alun-alun kotamu. Setiap selembar daunnya luruh,
seseorang akan mati. Pernah sebagian besar daunnya rontok ketika terjadi pembantaian. Kini kau gemetar
memandangi satu-satunya daun yang tersisa di pohon itu.

Ibu yang Menunggu


Anaknya hilang saat kerusuhan. Mungkin diculik. Mungkin terpanggang api yang membakar pertokoan, kata
orang-orang. Sejak itu ia selalu duduk termangu di beranda, hingga larut. Bertahun-tahun kemudian para
peronda masih sering melihatnya duduk di situ, meski ia telah lama mati dan rumah itu sepi.

Kisah Seorang Psikopat


Sebelum polisi tiba ia bergegas mengemas koper yang berisi potongan tubuhnya.

Tabrak Lari
Saat terburu berangkat kantor kau menabrak pejalan kaki. Tubuhnya terpelanting dan tergilas. Kau terus tancap
gas. Malam harinya, istrimu begitu sedih setelah mendapat kabar kamu mati tertabrak ketika menyeberang tadi
petang. Kau menangis menceritakan kisah itu padaku yang tadi pagi mati karna tabrak lari.

Reinkarnasi
Setelah mati di masa depan, aku terlahir kembali di masa silam sebagai diriku yang sekarang.

Kasus Salah Tangkap


Kau tak pernah bisa mengerti, kenapa polisi menangkapmu. Mereka terus menginterogasi. Menggertak dan
memukulmu berkali-kali. Memaksamu agar mengaku. Kau dituduh membunuh kekasihmu. Padahal kekasihmu
masih hidup. Kaulah yang mati.

Revolusi Terakhir
Setelah Tuhan ditumbangkan, dunia pun menjadi lebih baik.

- 6 FIKSI MINI
Published Oktober 28, 2008 Cerpen 8 Comments
Tag:Fiksi Mikro, Fiksi Mini, Flashlit, Micro Fiction

Untuk Meltarisa

Sebutir Debu
Tepat, ketika sebutir debu itu jatuh menyentuh tanah, semesta ini pun meledak.

Anjing
Ketika mendapati dirinya berubah jadi anjing, ia merasa itu kejadian paling membahagiakan dalam hidupnya.

Misteri Mutilasi
Ia memotong-motong tubuhnya sendiri, dan membuangnya ke tepi kali. Polisi masih sibuk mencari
pembunuhnya, sampai kini.

Dongeng Romeo & Juliet


Akhirnya Romeo dan Juliet menenggak racun bersama. Dan mereka pun bahagia selama-lamanya.

Wajah Seorang Pembunuh


Ia menggambar wajah. Ia merasa sangat mengenalinya. Itu wajah yang bertahun lalu membunuhnya.

Bayi
Tengah malam, bayi yang lapar itu terus menangis menjerit-jerit. Pelan-pelan ia mulai memakan jari-jarinya,
lengan dan kakinya, melahap usus dan jantungnya, hingga tak bersisa.

Anda mungkin juga menyukai