14+1
Diktum
Fiksimini
Oleh Agus Noor
Diktum
Fiksimini
1:
Menceritakan seluas mungkin dunia, dengan seminim
mungkin kata
Diktum
Fiksimini
2:
Ibarat dalam tinju, fiksimini serupa satu pukulan yang telak
dan menohok
Diktum
Fiksimini
3:
Kisahnya ibarat lubang kunci, yang justru membuat kita bisa
mengintip dunia secara berbeda
Diktum
Fiksimini
4:
Bila novel membangun dunia. Cerpen menata kepingan
dunia. Fiksimini mengganggunya
Diktum
Fiksimini
5
:
Fiksimini yang kuat ibarat granat yang meledak dalam kepala
kita
Diktum
Fiksimini
6:
Ia bisa berupa kisah sederhana, diceritakan dengan
sederhana, tetapi selalu terasa ada yang tidak sederhana di
dalamnya
Diktum
Fiksimini
7:
Alurnya seperti bayangan berkelebat, tetapi membuat kita
terus teringat
Diktum
Fiksimini
8:
Serupa permata mungil yang membiaskan banyak cahaya,
kita terus terpesona setiapkali membacanya.
Diktum
Fiksimini
9:
Seperti sebuah ciuman, fiksimini jangan terlalu sering
diulang-ulang
Diktum
Fiksimini
10:
Bila puisi mengolah bahasa, fiksimini menyuling cerita,
menyuling dunia.
Diktum
Fiksimini
11:
Ia tak semata membuat tawa. Karna ia adalah gema
tawanya.
Diktum
Fiksimini
12:
Kau kira fiksimini ialah kolam kecil, tapi kau tak pernah
mampu menduga kedalamanya.
Diktum
Fiksimini
13:
Di ujung kisahnya: kita seperti mendapati teka-teki abadi
yang tak bertepi.
Diktum
Fiksimini
14:
Pelan-pelan kau menyadari, ia sebutir debu yang mampu
meledakkan semesta.
Diktum
Fiksimini
terakhir:
Lupakan semua diktum itu. Mulailah menulis fiksimini!
Dan inilah beberapa fiksimini-fiksimini yang telah ditulis.
Anda akan bersua dengan beberapa nama penulis yang telah
populer namanya, seperti Eka Kurniawan, Clara Ng, Ratih
Kumala, Candra Malik, sampai penulis skenario Salman
Aristo, penyair Hasan Aspahani, sutradara Hanung
Bramantyo, dan yang lain. Dengan berbagai pertimbangan,
saya
memberi
judul
pada
fiksimini-fiksimini
itu.
Inilah kutipan fiksimini yang, setidaknya, mempesona saya:
@candramalik:
Telepon
Telepon berdering memecah malam. Dari ujung sana,
penelpon berteriak, Kubunuh kau! Si penerima mencekik
lehernya dengan kabel telepon.
@
dabgenthong:
Pada
Sebuah
Kecelakaan
Mobil itu ngebut dan tiba-tiba menabrak tiang listrik.
Supirnya keluar dan bertanya pada orang yang berkerumun,
Kepalaku dimana?
@dragunav:
Gadis
Penjual
Handphone
Ia cantik, mulus. Aku kagum, kuelus, kubelai, kutekantekan, lalu tiba-tiba ia berdering
@ekakurniawan:
Televisi
Televisi itu asyik sekali menonton diriku duduk di sofa
@salmanaristo:
Nama
di
Batu
Nisan
Bulan
purnama
di
atas
kuburan.
Seorang
kakek
membetulkan nisan. Ternyata namanya salah dituliskan.
@hasanaspahani:
Alamat
yang
Salah
Semua surat yang dia kirim kembali padanya dengan
catatan: salah alamat, juga surat yang ia kirim ke alamatnya
sendiri.
@ratihkumala:
Pengantin
Besok ia kawin, malam ini ia memutuskan bunuh diri.
@clara_ng:
Tita
Si kecil Tita berlari di kebun mengejar suaranya yang
barusan melompat dari bibirnya.
@agus_noor:
Kisah
Seorang
Reserse
Ia menyelidiki kematian janda yang mati dimutilasi. Tiga
bulan kemudian atasannya mendengar kabar kalo ia kawin
dengan janda itu.
@djenarmaesaayu:
Silsilah
Ia melahirkan seorang Bapak yang tak pernah bertemu Ibu.
@hanungbramantyo
Foto
Foto itu buram oleh darah. Saat kutatap lagi, ada wajah yang
sangat kukenal. Pucat dan buta. Diriku.
@frezask
Marionet
Kekasih
Aku mencintainya. Aku menyimpan mayatnya. Kumutilasi
dan kuberi tali. Kujadikan marionet. Kubuat pertunjukan
keliling.
@sammycalromance:
Semangka
di
Meja
Joni kelaparan. Saat menemukan semangka di meja,
langsung di lahapnya. Setelah habis ia baru sadar semangka
itu kepala ayahnya.
ketimbang
cerita
kita kutip sajak Tuan itu, dan saya tulis ulang dengan gaya
prosa:
Tuan
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, saya sedang keluar.
Tidak bisa tidak, itu adalah bentuk fiksi mini, meski
penulisnya sendiri menyebutnya sebagai puisi. Barangkali,
karena saat puisi itu ditulis, istilah fiksi mini belum terlalu
ngetrend. Saat ini, ketika dunia semakin berkelebat, ketika
waktu kian bisa dilipat-lipat begitu kecil dan praktis, ketika
dunia seperti telepon genggam yang kita simpan dalam saku
celana, segala yang sekilas seperti telah menjadi nafas kita
sehari-hari, dan kita menjadi merasa penting segala macam
hal yang mesti serba sekilas, selintas, gegas dan ringkas.
Ketika intenet mulai mendominasi, maka fiksi mini menjadi
trend yang menggoda dan digandrungi. Kecepatan dan
keringkasan adalah ciri tulisan di internet. Barangkali, karena
itulah, fiksi mini seperti menemukan habitatnya yang pas di
laman internet. Kurnia Effendi, seorang penulis cerpen
Indonesia, saat saya membacakan dan mendiskusikan fiksi
mini di Warung Apresiasi Sastra Bulungan Jakarta, melihat
problem terbesar fiksi mini ketika ia bersinggungan dengan
media utama publikasi sastra kita, yakni koran. Fiksi mini
menjadi mustahil muncul di koran, kata Effendi, karena
ruang koran menjadi teralu luas untuk bentuk fiksi mini.
Maka
saya
mencoba
mensiasatinya
dengan
cara
menghimpun sekian fiksi mini, seperti dalam 35 Cerita
buat Seorang Wanita itu atau dalam 20 Keping Puzzle
Cerita. Pada dasarnya, itu adalah fiksi mini, yang tiap bagian
kisahnya berdiri sendiri. Menghimpunnya hanyalah menjadi
semacam strategi publikasi.
Anjing
Ia berubah jadi anjing. Itulah hari paling membahagiakan
dalam hidupnya. Anak istrinya yang kelaparan segera
menyembelihnya
Teka-teki Laki-laki yang Tak Kembali
Terkantuk-kantuk perempuan itu menunggu suaminya
pulang. Terdengar kunci pintu dibuka pelan. Sejak itu
suaminya tak pernah muncul.
Bayi
Tengah malam, bayi yang lapar itu terus menangis menjeritjerit. Pelan-pelan ia mulai memakan jari-jarinya, lengan dan
kakinya, melahap usus dan jantungnya, hingga tak bersisa.
Jangan Membunuh Ular di Hari Minggu
Kau bermimpi, seekor ular menyelusup masuk telinga ibumu.
Kau menjerit, dan cepat-cepat menghantamnya. Saat
terbangun, kau mendapati ibumu mati terkapar bersimbah
darah. Kepalanya pecah.
Misteri Mutilasi
Ia memotong-motong tubuhnya sendiri, dan membuangnya
ke kali. Polisi masih sibuk mencari pembunuhnya, sampai
kini.
Api Sinta
Sinta berdiri di tepi api penyucian yang berkobar.
Masuklah.., ujar Rama.Bila kau belum terjamah Rahwana,
api itu akan menyelamatkanmu.
Sinta menatap pangeran tampan itu dengan mata berkacakaca, sebelum akhirnya terjun dalam kobaran api. Semua
yang hadir begitu lega ketika menyaksikan api itu perlahan
padam: tubuh Sinta tak terbakar.
Hanya kedua payudaranya yang gosong.
Pengantin
Tak
pernah
ia
bertemu
perempuan
secantik
itu.
Mengingatkannya pada Putri Tidur jelita. Ia jatuh cinta pada
pandangan pertama dan meminangnya. Tak ada yang tahu
ketika ia membawa mayat itu ke kamarnya.
Kisah Seorang Psikopat
Sarapan Pagi
Potongan daging busuk penuh belatung berceceran di lantai.
Bau busuk meruap kamar gelap itu. Sumanto menikmati
sarapan paginya dengan tenang.
Salju
Matahari begitu terik. Sebutir salju melayang jatuh di telapak
tangan. Ia berteriak gembira. Sejak itu orang-orang
menganggapnya gila.
Hari Paling Indah dalam Hidup Sepasang Suami Istri
Keduanya duduk di beranda, menikmati teh hangat,
memandang senja yang bagai usia perkawinan mereka.
Ceritakan kisah paling lucu dalam hidupmu, kata si istri.
Ialah ketika aku membunuhmu, jawab si suami.
Mereka pun tertawa.
Mudik Lebaran
Aneh sekali. Stasiun lengang dan sepi. Cuma ia sendiri.
Sesekali terdengar lengking peluit. Tapi kereta itu tak juga
muncul. Padahal ia sudah menunggu sejak lebaran bertahun
lalu.
Berita dari Koran Pagi
Ayahmu menggampar ibumu sampai mati karena ia telah
menggorok kamu yang dengan sadis membacok ayahmu
hingga tewas hanya karena tak membelikanmu mainan.
Tamasya Keluaga Seorang Kerani
Liburan sekolah ini ia ingin mengajak anak-anaknya
tamasya. Meski miskin, sesekali perlu juga kita rekreasi,
katanya. Anak-anak bersorak gembira.
ketika
bom
atom
itu
meledak
di
Reinkarnasi
Setelah mati di masa depan, aku terlahir kembali di masa
silam sebagai diriku yang sekarang.
Pohon Hayat
Ketika kanak, kau mendengar kisah pohon rimbun di alunalun kotamu. Setiap selembar daunnya luruh, seseorang
akan mati. Pernah sebagian besar daunnya rontok ketika
terjadi pembantaian.
Saat ini kau gemetar memandangi satu-satunya daun yang
tersisa di pohon itu.
Ibu yang Menunggu
Anaknya hilang saat kerusuhan. Mungkin diculik. Mungkin
terpanggang api yang membakar pertokoan, kata orang-
Sirene
Kelak, sejak kematianmu itu, anak-anak di kampung kami selalu ketakutan bila mendengar sirene.
Bila ada anak yang rewel, si ibu akan menakut-nakuti, Nanti kau diculik ambulan Setiap ada
sirene melintas, anak-anak yang tengah bermain gobag sodor atau petak umpet buru-buru berlarian
masuk rumah. Mereka selalu ngeri membayangkan ambulan yang disetiri mayatmu, kataku.
Kucing Hitam
Aku ingat, saat para tetangga datang melayat. Banyak yang penasaran kenapa kau mati begitu
mendadak. Mereka bercakap nyaris berbisik, menduga-duga mungkin ada juga yang diam-diam
menggunjingkanmu sementara jenazahmu berbaring tenang. Bau kematian seperti mengedap dalam
ruangan.
Saat itulah, mendadak, seseorang menjerit, ketika melihat seekor kucing hitam melompati jenazahmu.
Beberapa pelayat yakin: saat itu melihat matamu berkedip-kedip.
Misteri Mutilasi
Tetapi beberapa orang yang lain bilang, kalau kau sesungguhnya mati bunuh diri. Kuperhatikan ia
tampak murung belakangan ini, seseorang berkata. Aku yakin ia memotong-motong tubuhnya
sendiri, dan untuk menghilangkan jejak, ia segera membuangnya ke pinggir kali.
Itulah sebabnya, kata orang itu melanjutkan, polisi masih sibuk mencari pembunuhmu, sampai kini!
Seorang tetangga, yang bekerja sebagai pelayan kafe, satu malam menemuiku. Ia bilang, ia juga
barusan melihatmu.
Ia melihatmu duduk di sudut remang kafe tempatnya bekerja. Memesan minuman ringan dan kentang
goreng. Katanya ia janjian mau ketemu dengan sampeyan.
Tapi semalaman aku lembur di kantor, tegasku.
Ya, ia memang terus sendirian, tapi seolah bercakap-cakap dengan sampeyan yang tak pernah
datang. Sampai kafe tutup. Namun para pelayan kafe masih melihatmu terus duduk di kursi itu.
Sebelum aku pulang, ia menitipkan ini padaku. Ia menyodorkan sekeping koin. Dan aku segera
mengenalinya.
Kemenyan
Barangkali kamu memang tak pernah mati.
Para peronda sering melihatmu berkelebat pulang malam-malam. Mereka kadang juga samar-samar
melihatmu duduk-duduk di beranda rumahmu sesekali batuk-batuk kecil atau berdehem sembari
menikmati rokok kretek. Tapi para peronda itu mencium aroma kemenyan merebak di udara yang
seketika terasa menjadi lembab.
Para peronda juga sering melihat istrimu tengah malam berdiri di pintu menunggumu.
Seusai Pemakaman
Aku jadi ingat pada sore seusai pemakaman. Para pelayat baru saja menguburkanmu. Saat itu aku
melintas depan rumahmu, dan kulihat kau seperti baru saja pulang. Ayah pulang! Ayah pulang!
anak-anakmu berlarian riang menyambutmu. Bergelayutan manja pada lenganmu.
Di pintu, kusaksikan mata istrimu berlinang.
Koin Hitam
Kupandangi koin perak yang telah menghitam itu. Tergeletak di meja. Kau tahu, sejak dulu aku tak
mau keping koin itu. Tapi tiap kali aku datang ke rumahmu hendak mengembalikannya, yang ada
hanya istrimu. Senyumnya yang manis menyuruhku masuk, matanya yang gelisah melirik
ke halaman, takut ada yang memergoki.
Setelah kau mati, aku pun sudah berusaha membuang jauh-jauh koin itu berkali-kali. Membuangnya
ke selokan. Membuangnya ke tempat sampah. Bahkan sampai jauh ke luar kota. Tapi koin itu selalu
saja kembali. Begitu saja: tiba-tiba sudah tergeletak di meja.
Kapak
Aku mengingat malam itu sebagai malam mengerikan dalam hidupku. Kau muncul dan berkata, Kau
punya kapak?
Apakah kau akan membelah kayu malam-malam begini?
Lalu kau bercerita. Ada ular dalam kepala istriku. Ular itu datang setiap kali aku tak ada, menyelusup
lewat telinga, dan kini mendekam dalam kepalanya. Mungkin kapak ini ada gunanya
Tukang Ramal
Kita belum lagi genap tigabelas tahun ketika datang ke pasar malam itu. Keramaian dan lampu warnawarni seperti mimpi yang ganjil. Aku pingin gulali, tapi kau mengajakku ke tukang ramal bermata
juling. Kau ingin tahu, bagaimana nanti kita mati.
Tukang ramal itu menyeringai menatap kita Kalian memang sahabat yang luar biasa, katanya,
karena menyintai perempuan yang sama. Kita masih saling bertatapan, ketika tukang ramal itu
menarik tanganku. Dan kau, kau akan mati karna tabrak lari.
Alibi
Cerita ini kudengar dari para tetangga, karena saat itu aku memang sudah menjauh dari hidupmu.
Mereka mendengar suara istrimu menjerit kesakitan. Itulah jerit kematian paling mengerikan. Pagi
harinya, mereka menemukan istrimu mati dengan kepala pecah. Kapak itu tak pernah ditemukan.
Meski para tetangga curiga, polisi tak bisa mendakwamu, karna saat itu kau tak ada di tempat
kejadian. Kau juga sedang berada di tempat lain, ketika ketiga anakmu ditemukan mati mengenaskan.
Dan para tetangga yang keheranan kemudian mengatakan: ketika mayatmu ditemukan, polisi pun tak
bisa mendakwamu. Karna kau juga tak ada di tempat kejadian.
Anjing
Kawan-kawan sepermainan sering bilang, kita pasangan serasi. Mereka tak tahu kalau kau tak
menyukaiku yang pendiam. Kau terlihat mengerikan bila sedang diam, katamu selalu. Seperti ada
seorang pembunuh yang diam-diam sedang menguasai tubuhmu. Kau mirip psikopat.
Suatu hari kau marah karena nyaris digigit anjing tetanggamu. Aku hanya diam mendengar ceritamu.
Dua hari kemudian kau mendapati anjing itu mati digorok dan digantung di pagar rumah tetanggamu.
Kau menatapku yang hanya diam.
Kau tahu aku suka puisi. Karna itu, ketika kau jatuh cinta, kau memintaku menulis puisi. Kau sebut
nama gadis yang telah membuatmu jatuh cinta. Aku pun segera tahu: itulah puisi paling bagus yang
bakal berhasil aku tulis.
Kau senang sekali dengan puisi itu. Kamu benar-benar bisa melukiskan seluruh perasaanku,
katamu. Tidak, aku tak menuliskan perasaanmu, jawabku. Dalam diam tentu saja.
Tabrak Lari
Lalu hari sebagaimana diramalkan itu tiba.
Saat terburu berangkat kantor kau menabrak pejalan kaki. Tubuhnya terpelanting dan tergilas. Kau
terus tancap gas. Malam harinya, istrimu begitu sedih setelah mendapat kabar kamu mati tertabrak
ambulan yang langsung melarikan diri. Ambulan hantu, kata orang-orang. Ambulan yang disetiri
mayat yang dibawanya.
Kau menangis menceritakan semua kisah ini padaku yang tadi pagi mati karna tabrak lari.
Kematian Instan
SI Agus lapar. Lapar sekali. Ia pergi makan ke restoran cepat saji. Saat menyeberang ia ditabrak taksi. Sehabis
menabrak taksinya lari. Cepat sekali. Si Agus menggelepar sebentar, lalu dia sendiri memastikan dia sudah mati.
Cepat sekali.
Ia kemudian menyaksikan rahib pertama bangkit, dan dengan tenang berjalan melintasi danau, seolah Yesus
yang berjalan di permukaan air. Rahib kedua lalu menyusul, melangkah ringan di permukaan danau bening itu,
bagai rase terbang di atas rerumputan yang membuat penyair Saut seketika teringat pada adegan dalam bukubuku silat yang pernah dibacanya.
Menganggap kedua rahib itu tengah unjuk kesaktian di hadapannya, penyair Saut yang semasa kecil merasa
pernah bercakap-cakap dengan Tuhan, segera ingin pamer: Aku juga bisa berjalan melintasi danau itu. Tapi
baru sekali melangkah, ia langsung kecebur. Ia terus berusaha meringankan tubuhnya, terus mencoba berjalan
melintasi permukaan danau, tetapi seketika itu juga selalu kembali tenggelam megap-megap.
Melihat itu, rahib pertama segera berkata pada rahib kedua, Mungkin sebaiknya kita beritahukan saja letak
batu-batunya
PENYAIR SELEBRITIS
Hanya karena merasa dirinya pemberontak, penyair kita Saut selalu menganggap dirinya selebitris yang dikenal
setiap orang. Makanya, ia tak heran ketika seorang gadis cantik tampak diam-diam memperhatikan dan
tersenyum-senyum kepadanya. Kayaknya kenal, deh ujar gadis itu malu-malu.
Pastilah kau kenal aku! ujar Saut mantap.
Ya, beneran kayak kenalpot! jawab gadis itu sambil mesam-mesam.
Saya mendapat email dari Resta Gunawan, nama yang tiba-tiba saja muncul dalam hidupku
melalui dunia elektrik. Ia mengirimiku 15 fiksi mini, yang ingin kubagi dengan kalian. Saya
senang dengan beberapa fiksi mini yang ditulisnya itu. Seperti fiksi mini ini misalnya:
Dresscode
Stop, kata malaikat di pintu surga, tempat ini khusus untuk wanita yang setia kepada suaminya. Wanita
bergincu tebal itu menunjukkan beha dan celana dalamnya. Malaikat mengijinkannya masuk.
Atas seiijin Resta, saya menampilkan 15 fiksi mini yang dikirimkannya melalui email itu.
Telegram
Ia menerima telegram yang mengabarkan kematiannya.
Rendezvouz
Lelaki itu datang ke kafe tengah malam. Ia menemukan seorang perempuan cantik di sana; mereka berbincang
begitu lama. Meski kata pelayan, malam itu, tamu kafe hanya lelaki itu saja.
Perselingkuhan Pertama
Adam mengkhianati cinta Hawa demi maneken yang kesepian di etalse toko baju impor.
Wajah
Sepulang kerja, dia masuk toko barang antik. Saat melihat deretan wajah yang dipajang di dalam kotak kaca,
ingatannya tertuju pada isteri dan anaknya yang selalu membantah kata-katanya. Dia segera pulang ke rumah
dengan gembira. Di dalam tas kerjanya tersimpan wajah Mao dan Soeharto yang baru dibelinya; untuk menganti
wajahnya sendiri.
Pulang
Dia melanglang buana mencari wanita yang paling sempurna. Setelah lelah dan hampir menyerah, dia baru
sadar wanita yang selama ini dicarinya telah menunggu di rumah. Kembali ke rumah, ia melihat isterinya telah
menjadi pelacur.
Dresscode
Stop, kata malaikat di pintu surga, tempat ini khusus untuk wanita yang setia kepada suaminya. Wanita
bergincu tebal itu menunjukkan beha dan celana dalamnya. Malaikat mengijinkannya masuk.
Ini sehimpun fiksi mungil. Begitu, aku suka menyebutnya. Kau boleh menyebutnya fiksi
mikro (micro fiction), fiksi cepat atau flash literature, cerita mini, atau cerita setelapak tangan
atau nouvelles sebagaimana orang Perancis menyebutnya. Semua itu sesungguhnya merujuk
pada fiksi yang sangat-sangat pendek. Mungkin ia terdiri hanya beberapa patah kata,
sebaris kalimat atau beberapa baris kalimat. Kalau harus mengacu pada jumlah kata, saya
akan membatasi: tak lebih 50 kata. Dalam batasan itulah cerita mesti dihasilkan. Dimana
setidaknya tiga elemen penceritaan tetap terasa di sana. Tokoh, konflik dan alur. Tanpa itu, ia
bisa menjadi hanya semacam catatan impresi atau puisi. Setidaknya, itulah yang saya yakini
ketika menuliskan fiksi mungil.
Ambulan yang Lewat Tengah Malam
Ambulan yang membawa jenazahmu berkali-kali oleng karena sopirnya ngantuk. Aku tak mau mati kecelakaan
lagi, katamu. Sini, biar saya setir. Pak Sopir pun gantian istirahat di peti mati. Kulihat ambulan itu melintas
pelan menuju rumahmu.
Sebutir Debu
Tepat, ketika sebutir debu itu jatuh menyentuh tanah, semesta ini pun meledak.
Bayi
Tengah malam, bayi yang lapar itu terus menangis menjerit-jerit. Pelan-pelan ia mulai memakan jari-jarinya,
lengan dan kakinya, melahap usus dan jantungnya, hingga tak bersisa.
Misteri Mutilasi
Ia memotong-motong tubuhnya sendiri, dan membuangnya ke kali. Polisi masih sibuk mencari pembunuhnya,
sampai kini.
Apel
Dipetiknya apel itu. Diberikannya buat Adam dan Tuhan. Kini ia sendirian di surga.
Pengantin
Tak pernah ia bertemu perempuan secantik itu. Mengingatkan pada Putri Tidur jelita. Ia jatuh cinta pada
pandangan pertama dan meminangnya. Tak ada yang tahu ketika ia membawa mayat itu ke kamarnya.
Teka-teki Pembunuhan
Ia dihukum karena membunuh. Ia bertemu dengan orang yang dibunuhnya dalam penjara. Keduanya terkejut
saat saling bertatapan. Ia pun segera mengenali: orang itulah yang dulu telah membunuhnya.
Pembohong Pertama
Mereka akhirnya tahu: Iblis ternyata benar. Tuhan yang bohong.
Sarapan Pagi
Potongan daging busuk penuh belatung berceceran di lantai. Bau busuk meruap dalam kamar gelap itu. Sumanto
menikmati sarapan paginya dengan tenang.
Ramalan
Suatu kali seorang peramal mendatangi. Kau akan mati ketabrak kereta api, katanya. Padahal ia tak pernah
dilahirkan.
Alibi
Polisi tak bisa mendakwamu. Meski para tetangga curiga, kau memang tak di tempat kejadian saat istrimu mati
dengan delapan tusukan. Kau juga tak di tempat kejadian, ketika ketiga anakmu mati mengenaskan. Dan Polisi
makin tak bisa mendakwamu, ketika mayatmu ditemukan, kau pun tak ada di tempat kejadian.
Anjing
Ia berubah jadi anjing. Itulah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Anak istrinya yang kelaparan segera
menyembelihnya.
Di Kafe
Sembari menunggu ia bercakap-cakap dengan tamunya yang tak pernah datang. Sampai kafe tutup. Dan ia
pulang. Tapi pelayan kafe masih melihatnya terus duduk di kursi itu.
Salju
Matahari begitu terik. Sebutir salju melayang jatuh di telapak tangan. Ia berteriak gembira. Sejak itu orangorang menganggapnya gila.
Seusai Pemakaman
Selesai orang-orang menguburkannya, ia pun kembali ke rumah. Ayah pulang! Ayah pulang! anak-anaknya
berlarian riang. Di pintu, mata istrinya berlinang.
Mudik Lebaran
Aneh sekali. Stasiun lengang dan sepi. Cuma ia sendiri. Menanti kereta api yang tak juga muncul. Meski ia
sudah di menunggu sejak lebaran bertahun lalu.
Hiroko
Ia tak terbangun ketika bom atom itu meledak di sampingnya.
Pohon Hayat
Ketika kanak, kau mendengar kisah pohon rimbun di alun-alun kotamu. Setiap selembar daunnya luruh,
seseorang akan mati. Pernah sebagian besar daunnya rontok ketika terjadi pembantaian. Kini kau gemetar
memandangi satu-satunya daun yang tersisa di pohon itu.
Tabrak Lari
Saat terburu berangkat kantor kau menabrak pejalan kaki. Tubuhnya terpelanting dan tergilas. Kau terus tancap
gas. Malam harinya, istrimu begitu sedih setelah mendapat kabar kamu mati tertabrak ketika menyeberang tadi
petang. Kau menangis menceritakan kisah itu padaku yang tadi pagi mati karna tabrak lari.
Reinkarnasi
Setelah mati di masa depan, aku terlahir kembali di masa silam sebagai diriku yang sekarang.
Revolusi Terakhir
Setelah Tuhan ditumbangkan, dunia pun menjadi lebih baik.
- 6 FIKSI MINI
Published Oktober 28, 2008 Cerpen 8 Comments
Tag:Fiksi Mikro, Fiksi Mini, Flashlit, Micro Fiction
Untuk Meltarisa
Sebutir Debu
Tepat, ketika sebutir debu itu jatuh menyentuh tanah, semesta ini pun meledak.
Anjing
Ketika mendapati dirinya berubah jadi anjing, ia merasa itu kejadian paling membahagiakan dalam hidupnya.
Misteri Mutilasi
Ia memotong-motong tubuhnya sendiri, dan membuangnya ke tepi kali. Polisi masih sibuk mencari
pembunuhnya, sampai kini.
Bayi
Tengah malam, bayi yang lapar itu terus menangis menjerit-jerit. Pelan-pelan ia mulai memakan jari-jarinya,
lengan dan kakinya, melahap usus dan jantungnya, hingga tak bersisa.