Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Kehamilan Kembar (Gemelli)
Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dengan dua janin atau lebih. Kembar
dizigotik memiliki dua amnion (diamniotik) dan dua plasenta (dikorionik). Pada kembar
monozigot dapat terbentuk satu plasenta (monokorionik), satu amnion (monoamniotik)
atau bahkan satu organ fetal (kembar siam). (Gomella dkk, 2013; Cunningham dkk, 2014)

Gambar 2.1. Gambaran kehamilan kembar


(Sumber : Moses, 2000)
2.2. Klasifikasi Kehamilan Kembar
Kehamilan kembar dapat dibagi atas beberapa tipe (Moses, 2000; CDC, 2002):
a. Kembar dizigotik/binovular-fraternal twins (66%), yaitu:
1) Fertilisasi dari 2 ovum oleh 2 sperma
2) Dikorionik, korion yang terpisah memiliki 2 plasenta
3) Diamnotik, amnion terpisah (kantong amnion)
b. Kembar monozigtik/mono ovular identical twins (33%), yaitu:
1) Pembelahan dari 1 ovum, fertilisasi oleh 1 sperma
2) Jika pembelahan terjadi sebelum terbentuknya inner cell mass (morula) dalam 3
hari (72 jam pertama) dari fertilisasi, yang terjadi pada 1/3 dari kembar
monozigotik, maka setiap fetus akan memiliki kantong amnion dan plasenta
masing-masing (kembar dikorionik diamniotik) sekitar 96%.
3) Jika pembelahan embrio terjadi setelah 3 hari fertilisasi (antara 4-8 hari),
dimana morulla sudah terbentuk, makan akan terjadi komunikasi antara
sirkulasi plasenta sehingga terjadi kembar diamniotik monokorionik sekitar 4%.
4) Jika pembelahan ovum pada hari 8-13 hari setelah fertilisasi, dimana lapisan
amnion sudah terbentuk akan menjadi kembar monokorionik, monoamniotik.

5) Pembelahan ovum > 13 hari setelah fertilisasi, dimana segmentasi terhambat


dan setelah primitive streak terbentuk makan akan terjadi kembar dempet
(kembar siam), dan dapat dibagi sesuai anatomis dempetnya.
c. Fetus papyraceous
1) Salah satu fetus yang kembar tidak berkembang
2) Tak berbentuk, mengkerut dan rata.

Gambar 2.2. Beberapa tipe kehamilan kembar berdasarkan pembelahan ovum


(Sumber : Moses, 2000)
2.3. Epidemiologi
Angka kelahiran kembar dua antara tahun 1980 hingga 2009 meningkat 76% dari
18,9 menjadi 32,1 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan angka kelahiran kembar 3 atau
lebih, menurun sebanyak 10% dari 153 per 100.000 kelahiran pada tahun 2009 menjadi
138 per 100.000 kelahiran pada tahun 2010 (Martin dkk, 2012). Kenaikan prevalensi dari
kelahiran kembar menjadi perhatian karena berhubungan dengan kenaikan rata-rata
kelahiran preterm yang berkaitan dengan kemampuan neonatus bertahan hidup dan risiko
kecacatan seumur hidup. Rata-rata mortalitas kelahiran kembar 5 kali lebih tinggi dari
pada kelahiran tunggal (Mathews dkk, 2013). Morbiditas dan mortalitas dari ibu yang
melahirkan kembar juga meningkat. Pada suatu penelitian lebih dari 44.000 kelahiran
kembar, Walker dkk (2004) melaporkan bahwa risiko preeklamsia, perdarahan
postpartum, dan kematian maternal meningkat 2 kali atau lebih dibandingkan dengan
kelahiran tunggal. Risiko histerektomi peripartum juga meningkat, Francois dkk (2005)

melaporkan risiko histerektomi peripartum pada kehamilan kembar 3 kali lipat dan 24
kali lipat bagi kehamilan kembar 3 atau 4.
2.4. Faktor Risiko
2.4.1. Ras
Frekuensi kehamilan multipel bervariasi pada setiap ras. Abel dan Kruger (2012)
menganalisis lebih dari 8 juta kelahiran di Amerika Serikat antara tahun 2004-2008. Hasil
dari penelitian ini menunjukkan rata-rata kelahiran kembar pada wanita Afrika Amerika
3,5% dan pada wanita kulit putih 3%. Hasil survei pada salah satu komunitas di

Nigeria menunjukkan kehamilan multipel terjadi setiap 20 kehamilan. Perbedaan


ini mungkin merupakan akibat variasi ras terhadap tingkat follicle-stimulating
hormone (FSH) (Cunningham dkk, 2014)
2.4.2. Herediter
Pada kehamilan multipel, riwayat dari keluarga ibu lebih penting daripada ayah.
Pada sebuah penelitian terhadap suatu komunitas menemukan bahwa wanita yang
merupakan kembar dizigotik melahirkan anak kembar 1 kali per 58 kelahiran, sedangkan
wanita yang bukan anak kembar, tetapi bersuami yang merupakan kembar dizigotik
melahirkan anak kembar 1 kali per 116 kehamilan. Hal ini disebabkan oleh pelepasan
ovum multipel pada wanita sifatnya diturunkan (Cunningham dkk, 2014)
2.4.3. Usia ibu
Frekuensi kehamilan kembar dizigotik meningkat hampir 4 kali lipat diantara usia 15
sampai 37 tahun (Painter dkk, 2010). Hal ini karena pada rentang usia tersebut, stimulasi
hormon maksimal meningkatkan kemungkinan terjadinya pelepasan ovum ganda
(Beemsterboer dkk, 2006). Penurunan insidensi setelah usia ibu melewati 37 tahun
kemungkinan karena deplesi dari folikel Graaf (Cunningham dkk, 2014).

2.4.4.

Jumlah paritas
Meningkatnya jumlah paritas secara independen meningkatkan insidensi kelahiran

kembar pada seluruh populasi. Antsaklis dkk (2013) menemukan bahwa terjadi
peningkatan yang progresif kelahiran kembar pada multipara selama periode usia 30
tahun. Pada penelitian selama 2 tahun di Nigeria, Olusanya dan Solanke (2012)
mengkalkulasi terjadi kehamilan kembar meningkat 8 kali lipat ketika jumlah paritas 4

10

atau kurang dan 20 kail lipat ketika jumlah paritas 5 atau lebih dibandingkan pada
primipara.
2.4.5. Nutrisi
Menurut Cunningham dkk (2014) terdapat hubungan antara nutrisi ibu dan kejadian
kehamilan multipel. Wanita yang lebih tinggi dan berat mempunyai kemungkinan
mengalami kehamilan multipel 25-30% lebih tinggi daripada wanita yang pendek dengan
nutrisi kurang. Beberapa peneliti telah melaporkan kenaikan 40% insidensi kehamilan
kembar pada wanita yang mengkonsumsi suplemen asam folat (Hasbargen dkk, 2000;
Ericson dkk, 2001; Haggarty dkk, 2006).
2.4.6. Pituitary Gonadotropin
Faktor yang menghubungkan antara kehamilan multipel dengan ras, usia, berat
badan, dan kesuburan adalah level FSH, teori ini didukung dengan fakta meningkatnya
kehamilan multipel pada wanita yang berhenti menggunakan kontrasepsi oral selama 1
bulan tetapi tidak pada bulan selanjutnya. Hal ini disebabkan pelepasan pituitary
gonadotropin secara tiba-tiba dalam jumlah yang lebih tinggi daripada biasanya pada
siklus pertama setelah berhenti menggunakan kontrasepsi hormonal (Cunningham dkk,
2014).
2.4.7.

Terapi infertilitas
Induksi ovulasi dengan menggunakan FSH dengan korionik gonadotropin atau

clomiphene citrate meningkatkan kemungkinan terjadinya kehamilan multipel. Insidensi


kehamilan multipel pada terapi gonadotropin konvensional 16-40%. Terapi superovulasi
yang meningkatkan kemungkinan kehamilan dengan cara mengambil folikel multipel
menghasilkan 25-30% kehamilan multipel.
Faktor risiko fetus multipel setelah stimulasi ovarium dengan menggunakan hMG
yaitu peningkatan level estradiol pada hari penyuntikkan gonadotropin serta konsentrasi
dan pergerakkan sperma (Cunningham dkk, 2014).
2.4.8. Assisted reproductive technology
Teknik seperti ART yang dirancang untuk meningkatkan kemungkinan kehamilan
dapat pula meningkatkan kemungkinan kehamilan multipel. Mekanismenya masih

11

kontroversial, diantaranya termasuk beberapa faktor yaitu: induksi ovulasi, keadaan


kultur in vitro, mikromanipulasi terhadap zona pelusida dan riwayat pasien. Umumnya
pada pasien yang melakukan superovulasi, fertilisasi in vitro dimasukkan 2-4 embrio ke
dalam uterusnya sehingga semakin besar risiko terjadinya kehamilan multipel
(Cunningham dkk, 2014).

2.5. Patofisiologi
2.5.1. Patofisiologi fetus multipel
Fetus multipel umumnya disebabkan oleh fertilisasi dua ovum yang terpisah yang
disebut double-ovum, dizigotik, atau kembar fraternal. Sedangkan sebagian berasal dari
ovum tunggal yang difertilisasi yang kemudian berkembang menjadi dua struktur yang
serupa yang masing-masing mempunyai potensi untuk menjadi individu yang terpisah.
Kembar ini disebut single-ovum, monozigotik atau kembar identik. Kedua jenis proses
kehamilan kembar ini dapat melibatkan pembentukkan fetus yang lebih dari dua
(Cunningham dkk, 2014).
Kembar dizigotik sebenarnya bukan merupakan kembar sejati karena dihasilkan dari
fertilisasi dua ovum yang berbeda dalam satu siklus ovulasi. Selain itu juga kembar
identik atau monozigotik tidak selalu identik karena pembelahan dari satu ovum yang
difertilisasi tidak selalu menghasilkan pembagian material protoplasma yang seimbang.
Proses pembelahan pada kembar monozigotik merupakan suatu kejadian yang teratogenik
sehingga insidensi terjadinya malformasi meningkat (Cunningham dkk, 2014).
a. Kembar monozigotik
Terbentuknya kembar monozigotik diperkirakan merupakan hasil

dari

keterlambatan perkembangan normal pada ovum yang sudah dibuahi. Hal ini dapat
disebabkan oleh keterlambatan transpor ovum melalui tuba fallopi karena
penggunaan agen progestasional dan kontrasepsi kombinasi serta karena trauma
minor pada blastocyst selama during assisted reproductive technology (ART)
(Cunningham dkk, 2014). Hasil dari proses kembar ini tergantung kapan
pembelahannya terjadi.
1) Pembelahan terjadi dalam 72 jam setelah fertilisasi, morula belum terbentuk
dan blastocyst belum membentuk chorion. Terbentuklah dua embrio, dua
amnion dan dua chorion sehingga menjadi kehamilan kembar monozigotik,
diamnionik, dikhorionik. Plasenta dapat terbentuk tunggal maupun ganda
(Cunningham dkk, 2014).

12

2) Jika pembelahan terjadi antara hari keempat dan kedelapan morula sudah
terbentuk sedangkan sel yang akan menjadi chorion sudah berdiferensiasi
tetapi belum terbentuk amnion. Pada pembelahan ini terbentuklah dua embrio
yang berada pada dua kantung amnion yang dilapisi chorion sehingga
menghasilkan kehamilan kembar monozigotik, diamnionik, monokhorionik
(Cunningham dkk, 2014).
3) Jika sedemikian sehingga chorion dan amnion sudah berdiferensiasi pada
delapan hari setelah fertilisasi, pembelahan menghasilkan 2 embrio dalam satu
kantung

amnion,sehingga

menjadi

kehamilan

kembar

monozigotik,

monoamnionik, monochorionik (Cunningham dkk, 2014).


4) Jika pembelahannya terjadi setelah diskus embrionik telah terbentuk,
pembelahannya menjadi tidak sempurna dan terbentuklah kembar siam /
conjoined twins (Cunningham dkk, 2014).
Kembar monozigotik selalu mempunyai jenis kelamin yang sama, tetapi
perkembangannya

lebih

lanjut

dapat

berbeda

tergantung

dari

waktu

preimplantasinya. Biasanya, kembar monozigotik mempunyai karakteristik fisik


(kulit, warna mata dan rambut, bentuk tubuh) serta genetik (golongan darah, grup
serum, haptoglobin, kecocokan pada skin graft) yang sama dan terkadang mereka
merupakan gambaran cermin dengan yang lain (dominansi tangan kanan dan kiri,
dll). Meskipun demikian sidik jari pada anak kembar monozigotik tidak sama.
Triplet monozigot merupakan hasil dari pembelahan berulang dari satu ovum yang
disebut juga supertwinning. (Cunningham dkk, 2014).
b. Kembar dizigotik
Kembar dizigotik merupakan produk dari dua ovum dan dua sperma. Kedua ovum
dilepaskan dari folikel yang berbeda, atau dari satu folikel tetapi sangat jarang,
pada waktu yang hampir bersamaan. Kembar dizigotik atau fraternal dapat
mempunyai jenis kelamin dan golongan darah yang sama ataupun berbeda.
Kemiripan diantara kembar dizigotik menyerupai kemiripan pada saudara kandung
(Cunningham dkk, 2014).

13

Gambar 2.3. Mekanisme pembelahan kembar monozigotik


(Sumber : Cunningham dkk, 2014)
c. Kehamilan multipel bentuk lain
1) Superfetasi
Pada Superfetasi diperlukan interval antara fertilisasi sepanjang atau lebih
panjang dari siklus menstruasi. Superfetasi memerlukan ovulasi dan fertilisasi
pada saat terjadinya kehamilan yang secara teori mungkin dapat terjadi sampai
cavum uteri mengalami obliterasi akibat terjadinya fusi antara desidua
kapsularis dan vera. Namun teori lain mengatakan bahwa Superfetasi tidak
mungkin terjadi pada manusia karena diperlukan 2 ovum yang dilepaskan dari
dua siklus berbeda sedangkan hal ini tidak mungkin terjadi karena adanya
corpus luteum gravidarum. Meskipun sudah diketahui dapat terjadi pada kuda,
Superfetasi belum terbukti dapat terjadi pada manusia (Cunningham dkk,
2)

2014).
Superfekudasi

14

Superfekudasi adalah fertilisasi dua ovum dalam satu siklus menstruasi tetapi
pada coitus yang berbeda, tidak diperlukan sperma dari laki-laki yang sama.
Pada Superfekudasi fetus yang dihasilkan mempunyai ukuran tubuh, warna
kulit dan golongan darah yang sesuai dengan ibu dan ayahnya masing-masing
(Cunningham dkk, 2014)

Gambar 2.4. Kembar dizigotik yang merupakan superfekudasi


(Cunningham dkk, 2014)
3) Vanishing twin
Kemajuan teknologi telah memperbaiki kinerja ultrasonografi pada awal
kehamilan. Penelitian menunjukkan insidensi kehamilan kembar pada
trimester pertama lebih tinggi daripada saat kelahiran. Kembar monozigotik
berisiko abortus lebih tinggi daripada kembar dizigotik. Pada banyak kasus
hanya satu fetus yang meninggal sedangkan yang lainnya lahir sebagai
kelahiran tunggal. Pada penelitian oleh Doubilet M, dimana dilakukan
pemantauan fetus dengan USG menunjukkan satu dari fetus yang kembar
menghilang umumnya terjadi pada trimester pertama (Cunningham dkk,
2014).
2.5.2. Adaptasi maternal
Secara umum perubahan fisiologis maternal pada kehamilan multipel lebih besar
daripada kehamilan tunggal. Pada awal trimester pertama wanita dengan kehamilan
multipel sering mengalami mual dan muntah serta peningkatan volume darah pada
kehamilan mutipel yang lebih berat yaitu sekitar 50-60% sedangkan pada kehamilan
tunggal hanya 40-50% (penambahan 500cc). Jumlah eritrosit juga meningkat tetapi
tidak setinggi pada kehamilan tunggal sehingga terjadi anemia fisiologis. Perdarahan
saat persalinan pervaginam lebih kurang 935ml atau lebih banyak 500ml daripada

15

persalinan pada kehamilan tunggal. Hal ini dikompensasikan dengan peningkatan volume
darah maternal, dan peningkatan kebutuhan zat besi dan asam folat sehingga
memperbesar risiko anemia maternal (Cunningham dkk, 2014).
Penelitian menurut Cunningham menunjukkan adanya peningkatan cardiac output
sebesar 20% dibandingkan kehamilan tunggal. Terutama disebabkan oleh peningkatan
stroke volume dan frekuensi denyut jantung. sedangkan fungsi paru wanita dengan
kehamilan multipel sama dengan kehamilan tunggal (Cunningham dkk, 2014).
Pertumbuhan uterus pada kehamilan multipel dapat mencapai volume 10 L dengan
berat lebih dari 20 pon. Khususnya pada kembar monozigotik dapat terjadi akumulasi
cairan amnion yang tinggi (akut hidramnion). Pada keadaan seperti ini organ abdomen
dan paru-paru ibu dapat terkompresi oleh uterus. Pada kehamilan multipel dengan
komplikasi hidramnion, fungsi ginjal ibu dapat terganggu umumnya akibat terjadinya
obstructive uropathy sehingga terjadi oliguria dan azotemia. Urine output dan level
kreatinin plasma ibu akan kembali normal setelah persalinan. Pada hidramnion yang berat
dapat dilakukan amniocentesis terapeutik dapat membuat ibu lebih nyaman, mengurangi
obstructive uropathy, menurunkan risiko persalinan prematur dan KPSW. Tetapi
hidramnion umumnya cepat terjadi reakumulasi setelah amniosentesis (Cunningham dkk,
2014).
2.6. Patologi
Patologi yang dapat terjadi dapat dibagi tiga, yaitu patologi maternal, plasenta dan
tali pusat serta patologi fetal. Lebih jelasnya dibahas sebagai berikut.
2.6.1. Patologi maternal
Meskipun volume darah meningkat, pada kehamilan multipel sering terjadi anemia
maternal karena tingginya kebutuhan fetus akan zat besi serta peningkatan volume plasma
yang tidak sebanding dengan peningkatan sel darah merah mengakibatkan kadar
hemoblobin menjadi turun, keadaan ini berhubungan dengan kejadian edema pulmonum
pada pemberian tokolitik yang lebih tinggi dibandingkan kehamilan kembar. Angka
kejadian persalinan preterm ( umur kehamilan kurang 37 minggu ) pada kehamilan
kembar 43,6 % dibandingkan dengan kehamilan tunggal sebesar 5,6 % (Bush, 2013).
Volume tidal respirasi meningkat tetapi wanita dengan kehamilan multipel umumnya
breathless (kemungkinan karena peningkatan progesteron). Distensi uterus dan
peninggian tekanan pada organ viseral sekitar dan vaskularisasi pelvis umum terjadi pada
kehamilan multipel. Terkadang kista lutein bahkan asites dapat terjadi karena level
hormon korionik gonadotropin yang meninggi secara abnormal. Kemungkinan terjadinya

16

plasenta previa lebih tinggi karena ukuran plasenta lebih besar atau terdapat dua plasenta
(Bush, 2013).
Sistem kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, renal dan muskuloskeletal ibu
mengalami stress dikombinasikan dengan tingginya kebutuhan nutrisi maternal-fetal.
Frekuensi terjadinya hipertensi yang diperberat kehamilan, preklamsia dan eklamsia
meningkat pada kehamilan kembar. Pendarahan antepartum oleh karena solutio plasenta
disebabkan permukaan plasenta pada kehamilan kembar jelek sehingga plasenta mudah
terlepas. Perdarahan postpartum dalam persalinan kembar disebabkan oleh distensi uterus
yang berlebihan, meningkatkan risiko terjadinya atonia uterus (Bush, 2013).
2.6.2. Placenta dan tali pusat
Pada kembar monozigotik keadaan plasenta dan membrannya dapat bervariasi,
tergantung waktu mulainya pembelahan dari diskus embrionik. Variasi yang dapat terjadi
antara lain sebagai berikut (Bush, 2013):
a. Pembelahan pada stadium morula dan diferensiasi trofoblas (hari ke-3)
menghasilkan plasenta yang terpisah atau bersatu (fusi), 2 korion, 2 amnion. Proses
ini secara umum menyerupai kembar dizigotik dan terjadi 1/3 dari jumlah
kehamilan kembar monozigotik. Hal ini mendukung manifestasi klinik dimana
kembar dizigotik berisiko komplikasi klinik.
b. Pembelahan setelah diferensiasi trofoblas tetapi sebelum pembentukkan amnion
(hari ke 4-8) menghasilkan satu plasenta, korion dan 2 amnion. Hal ini terjadi
sekitar 2/3 dari jumlah kehamilan kembar monozigotik.
c. Pembelahan yang terjadi setelah diferensiasi dari amnion (hari 8-13) akan
menghasilkan plasenta, korion, dan amnion tunggal, tetapi hal ini jarang terjadi.
d. Pembelahan pada usia kehamilan >15 hari dapat mengakibatkan kembar yang
inkomplit, jika pembelahan terjadi pada usia 13-15 hari akan menghasilkan kembar
siam (conjoined twins).

Gambar 2.5. Variasi plasenta pada kehamilan multipel


(Sumber : Pernoll, 2001)

17

Saat persalinan, septum membranosa berbentuk T atau membran plasenta yang


membatasi antara kedua janin harus diinspeksi dan dipisahkan untuk menentukan tipe
kehamilan kembar. Kembar monozigotik umumnya memiliki septum transparan (<2mm)
yang tersusun dari 2 membran amnion (tanpa korion dan desidua). Kembar dizigotik
hampir selalu memiliki septum yang tebal dan opak yang terdiri dari 2 korion, 2 amnion
dan desidua diantaranya (Bush, 2013).
Pada plasenta monokorionik dapat diidentifikasi dengan memisahkan amnion
dengan amnion untuk melihat adanya korion tunggal dengan satu plasenta. Umumnya
plasenta monokorionik mempunyai anastomosis, sebaliknya pada plasenta dikorionik
jarang memiliki anastomosis di antara pembuluh darah fetus. Kembar monozigotik jarang
sekali memiliki fenotip jenis kelamin yang sama, hal ini dapat terjadi jika salah satu janin
berjenis kelamin wanita dengan sindrom Turner (45, XO) dan yang lain laki-laki (46,XY)
(Bush, 2013).
Plasenta monokorionik mempunyai masalah yang lebih rumit seperti gangguan
vaskularisasi plasenta yang dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin. Masalah
yang lebih berat adalah kemungkinan terjadinya kelainan yang disebut twin-twin
transfusion syndrome yang disebabkan oleh adanya anastomosis vaskuler antara janin
dapat berbentuk arteri-arteri, vena-vena atau kombinasi arteri-vena. Pada kasus yang
tidak terkompensasi, janin yang secara genetik identik berbeda jauh dalam bentuk dan
ukuran. Janin yang merupakan resipien mengalami plethoric, oedem, hipertensi, kern
ikterus, ascites, jantung, hati dan ginjal dapat membesar, hidramnion dapat terjadi akibat
poliuria. Meskipun terlihat sehat janin resipien dengan hipervolemik dapat meninggal
karena gagal jantung dalam 24 jam pertama kehidupan. Janin donor berukuran lebih kecil
dan dehidrasi karena pertumbuhan terhambat, malnutrisi dan hipovolemia dapat pula
disertai oligohidramnion, anemia berat yang berkembang menjadi gagal jantung.
Berbagai terapi untuk twin-twin transfusion syndrome telah dikembangkan antara lain
amnioreduction, amniotic septotomy dan ablasi laser pada pembuluh darah yang
berhubungan. Percobaan secara acak menunjukkan ablasi dengan laser memberikan hasil
yang lebih baik tetapi prosedur ini masih mempunyai keterbatasan dalam pengadaan alat
dan tenaga (Bush, 2013).
Kedua janin kembar berisiko mengalami prolaps tali pusat. Janin ke-2 terancam
karena pelepasan plasenta yang prematur, hipoksia, constriction ring dystocia, manipulasi
operatif atau prolonged anesthesia (Bush, 2013).
2.6.3. Fetus

18

Malformasi lebih banyak muncul pada bayi dengan kembar dibandingkan kehamilan
tunggal. Kembar monozigotik berisiko lebih besar dibandingkan kembar dizigotik.
Kembar siam atau conjoined merupakan hasil pembelahan yang tidak sempurna dari satu
ovum yang terjadi pada hari ke-13 dan ke-14. Jika pembelahan setelah itu akan terbentuk
kembar inkomplit (2 kepala, 1 badan). Kembar siam dapat dibagi berdasarkan tempat
bersatunya, yaitu: pygopagus (pada sacrum), thoracopagus (pada thoraks), craniopagus
(pada kepala), and omphalopagus (pada dinding abdomen) (Bush, 2013).
Bayi kembar dan plasentanya umumnya lebih ringan dari pada bayi tunggal.
Semakin besar jumlah bayi kembar, semakin berat tingkat gangguan pertumbuhannya.
Berat badan lahir rendah pada bayi kembar kemungkinan merupakan suatu bukti adanya
nutrisi yang tidak adekuat. Hal ini merupakan salah satu penyebab kematian bayi pada
kehamilan kembar. Pada usia kehamilan lanjut, fetus dapat mengalami kelahiran
prematur, kelainan letak, dan hidramnion (Bush, 2013).
Kematian satu janin pada kehamilan kembar dapat terjadi, penyebab kematian yang
umum adalah saling membelitnya tali pusat. Bahaya yang perlu dipertimbangkan pada
kematian satu janin adanya koagulopati konsumtif berat yang dapat mengakibatkan
terjadinya disseminated intravascular coagulopathy (Bush, 2013).
Fetus acardiacus adalah fetus monozigotik parasitik yang tidak mempunyai jantung
dan berkembang mengandalkan reversed circulation yang disuplai oleh 1 anastomosis
arteri-arteri dan 1 vena-vena. Hal ini disebut sindrom twin reversed arterial perfusion
(TRAP). Fetus donor berisiko mengalami hipertropi jantung bahkan dapat terjadi gagal
jantung dengan tingkat mortalitas 35%. Berbagai cara untuk menimbulkan oklusi tali
pusat dapat dilakukan dengan terapi in-utero (Bush, 2013).
Fetus papiraseous merupakan fetus yang kecil, termumifikasi umumnya ditemukan
saat persalinan bayi yang sehat. Insidensinya secara umum 1 dalam 17.000-20.000
kehamilan. Fetus papyraceous disebabkan kematian salah satu fetus yang kembar,
kehilangan cairan amnion, atau resorpsi dan kompresi oleh janin yang hidup (Bush,
2013).
2.7. Manifestasi Klinis
Kelahiran kembar lebih mudah mengalami prematuritas, intrauterine growth
restriction (IUGR), anomali kongenital dan twin-twin transfusion syndrome (TTTS)
(Gomella dkk, 2013).
2.7.1. Prematuritas dan insufisiensi uteroplasenta

19

Prematuritas dan insufisiensi uteroplasenta merupakan komplikasi perinatal utama.


Pada tahun 2008, 1% kelahiran tunggal, 10% kelahiran kembar 2, dan 36% kelahiran
kembar 3 memiliki berat badan lahir < 1.500 gr (Gomella dkk, 2013).

Gambar 2.6. Kurva pertumbuhan yang menunjukkan rata-rata berat badan anak dari
kehamilan tunggal dan multipel berdasarkan usia gestasi.
(sumber : Gomella dkk, 2013)
2.7.2. Intrauterine growth restriction (IUGR)
Insidensi berat lahir rendah pada kelahiran kembar sekitar 50-60% atau 5-7 kali lipat
lebih tinggi daripada kelahiran tunggal. Umumnya, semakin banyak fetus, semakin kecil
berat badan berdasarkan usia gestasi. Fetus yang kembar cenderung tumbuh dengan
kecepatan rata-rata normal sampai usia gestasi 30-34 minggu ketika berat total mereka
mencapai 4 kg. Setelah itu, tumbuh semakin lambat. 2/3 dari kelahiran kembar
menunjukkan beberapa gejala restriksi pertumbuhan saat lahir (Gomella dkk, 2013).
2.7.3. Insufisiensi uteroplasenta
Insidensi insufisiensi akut dan kronik uteroplasenta meningkat pada gestasi multipel.
Skor Apgar 0-3 pada menit ke-5 pernah dilaporkan pada 5-10% kelahiran kembar. Skor
yang rendah ini berhubungan dengan stress akut saat kelahiran, prolapse talipusat (5%)
atau trauma proses kelahiran (Gomella dkk, 2013).
2.7.4. Anomali kongenital
Defek saat lahir terjadi 2-3 kali lebih sering pada kembar monozigot dibandingkan
kelahiran tunggal atau kembar dizigot, dimana sekitar 2-3% defek utama didiagnosis saat

20

lahir. Tiga mekanisme yang diketahui meningkatkan frekuensi defek structural pada
kembar monozigot, yaitu deformitas disebabkan oleh adanya ruang pembatas intrauterine,
gangguan aliran darah normal akibat anastomosis vaskular plasenta, dan defek pada
morfogenesis. Kehamilan kembar secara fertilisasi in vitro memiliki risiko 2 kali lipat
mengalami anomaly kongenital dibandingkan kembar secara alami (Gomella dkk, 2013).
a. Anomali khas dari kehamilan multipel. Anomali tertentu, seperti kembar siam dan
acardia adalah anomali khas bagi kehamilan multipel.
b. Deformitas. Kehamilan kembar lebih sering mengalami keterbatasan gerak yang
menyebabkan synostosis, tortikolis, facial palsy, defek posisi kaki, dan defek
lainnya.
c. Gangguan vaskular. Gangguan ini berhubungan dengan aliran vaskular monozigot
yang menyebabkan defek saat lahir. Acardia terjadi dari aliran arteri plasenta satu
ke lainnya, yang dimana aliran balik menyebabkan perkembangan yang tidak
berbentuk pada kembar resipien. Kematian intra uterin dari salah satu kembar
mungkin menyebabkan fenomena tromboembolik, termasuk DIC, cutis aplasia,
porencephaly or hydanencephaly, defek berkurangnya ekstremitas, atresia intestinal
atau gastroschisis.

2.7.5. Twin-twin transfusion syndrome


a. Definisi
Twin to twin transfusion syndrome adalah suatu keadaan dimana terjadi transfusi
darah intrauterine dari janin satu ke janin yang lainnya pada kehamilan kembar.
TTTS merupakan komplikasi dari kehamilan kembar monochorionik dimana dari
gambaran sonografi terlihat ditemukan polihidroamnion pada satu kantong dan
oligohidroamnion

pada

kantong

lainnya

pada

suatu

kehamilan

ganda

monochorionik-diamniotik (Quintero dkk, 2002)


Darah ditransfusikan dari kembar donor ke kembarannya sebagai resipien
sedemikian rupa sehingga donor menjadi anemic dan pertumbuhannya terganggu,
sementara resipien menjadi polisitemik dan mungkin mengalami kelebihan beban
sirkulasi yang bermanifestasi sebagai hidrops (Gomella dkk, 2013).
b. Epidemiologi
Angka kejadian TTTS berkisar antara 4% sampai 35% dari seluruh kehamilan
kembar monochorionic dan menyebabkan kematian pada lebih dari 17% dari
seluruh kehamilan kembar (Blickstein dkk, 1999). Bila tidak diberikan penanganan

21

adekuat, > 80% janin dari kehamilan tersebut akan mati intrauterine atau mati
selama masa neonatus. Kematian dari satu janin intrauterine akan membawa
konsekuensi disseminated intravascular coagulation (DIC) (Neilson dan Bajoria,
2001).
c. Klasifikasi
Twin to twin transfusion syndrome (TTTS) berdasarkan berat ringannya penyakit
dibagi atas (Quintero dkk, 1999):
1) TTTS tipe berat, biasanya terjadi pada awal trimester ke II, umur kehamilan
16-18 minggu. Perbedaan ukuran besar janin lebih dari 1,5 minggu kehamilan.
Ukuran tali pusat juga berbeda. Konsentrasi Hb biasanya sama pada kedua
janin. Polihidroamnion terjadi pada kembar resipien karena adanya volume
overload dan peningkatan jumlah urin janin. Oligohidroamnion terjadi pada
kembar donor oleh karena hipovolemia dan penurunan jumlah urin janin.
Oligohidroamnion yang berat bisa menyebabkan terjadinya fenomena stucktwin dimana janin terfiksir pada dinding uterus.
2) TTTS tipe sedang, terjadi pada akhir trimester ke II, umur kehamilan 24-30
minggu. Walaupun terdapat perbedaan ukuran besar janin lebih dari 1,5
minggu kehamilan, polihidroamnion dan oligohidroamnion tidak terjadi.
Kembar donor menjadi anemia, hipovolemia dan pertumbuhan terhambat.
Sedangkan

kembar

resipien

mengalami

plethoric,

hipovolemia,

dan

makrosomia. Kedua janin bisa berkembang menjadi hidrops.


3) TTTS tipe ringan, terjadi secara perlahan pada trimester III. Polihidramnion
dan oligohdroamnion biasanya tidak terjadi. Konsentrasi Hb berbeda lebih
dari 5 gr%. Ukuran besar janin berbeda lebih drai 20%.
Twin to twin transfusion syndrome juga dapat diklasifikasikan menjadi akut dan
kronik. Patofisiologi yang mendasar penyakit ini, gambaran klinis, morbiditas dan
mortalitas pada kedua tipe ini sangat berbeda. Angka kematian perinatal yang
tinggi pada twin to twin transfusion syndrome terutama disebabkan oleh tipe yang
kronik (Quintero dkk, 1999).
1) Tipe akut jika terjadi transfuse darah secara akut/tiba-tiba dari satu janin ke
janin yang lain, biasanya pada trimester ke tiga atau selama persalinan dari
kehamilan

monokorionik

yang

tidak

berkomplikasi,

menyebabkan

hipovolemia pada kembar donor dan hipervolemia pada kembar resipien,

22

dengan berat badan lahir yang sama. Transfuse dari kembar pertama ke
kembar kedua saat kelahiran kembar pertama. Namun demikian, bila tali pusat
kembar pertama terlambat dijepit, darah dari kembar yang belum dilahirkan
dapat ditransfusikan ke kembar pertama. Diagnosis biasa dibuat pada saat
postnatal.
2) Tipe Kronik biasanya terjadi pada kehamilan dini (umur kehamilan 12-26
minggu). Kasus tipe ini merupakan yang paling bermasalah karena bayinya
masih imatur dan tidak dapat dilahirkan, sehingga dalam pertumbuhannya di
uterus, bisa mengalami kelainan akibat dari twin-to-twin transfusion syndrome
seperti hydrops. Tanpa terapi, sebagian besar bayi tidak dapat bertahan hidup
atau bila survival, akan timbul kecacatan. Walaupun arah transfuse darah
menuju kembar resipien, tetapi thrombus dapat secara bebas berpindah arah
melalui anstomosis pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan infark atau
kematian pada kedua janin.
d. Patofisiologi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi patofisiologi terjadinya TTTS, yakni
(Cunningham, 2014):
1) Tipe dan jumlah dari anstomosis yang ada, juga dipengaruhi letak yang sangat
bergantung pada ukuran zona plasenta dan insersi tali pusat (sentral, eksentrik,
marginal, velamentosa)
2) Tekanan yang abnormal pada insersi dari umbilical cord
3) Insufisiensi aliran uteroplasenta
Teori yang banyak dipahami adalah bahwa transfusi darah dari donor kepada
penerima kembar terjadi melalui anastomosis vaskular plasenta. Dimana koneksi
vaskuler antar janin kembar terdiri dari 2 tipe, yaitu: Pertama tipe superficial dan
kedua tipe profunda. Masing-masing tipe mempunyai karakteristik aliran, pola
resistensi tersendiri yang mempengaruhi pertumbuhan janin kembar monokorionik.
Koneksi tipe superficial seperti arterioarteriosa (aa); venovenosa (vv).
Gambaran ini terlihat jelas pertemuannya di atas lempeng korion, dimana
hubungan ini jarang menimbulkan antenatal TTS. Justru hubungan ini akan
melindungi supaya tidak berkembang menjadi TTS. Koneksi arterioarteriosa lebih
sering dibanding koneksi venavenosa. Dalam Shandra Rajene, 1999 Koneksi
arterioarteriosa dan venavenosa memberikan pembagian darah yang seimbang pada

23

kedua janin dan tidak ada anastomosis arteriovenosa. Koneksi tipe profunda atau
sirkulasi ketiga bersifat arteriovenosa (a-v) dimana salah satu janin bersifat sebagai
donor dan janin yang lain sebagai resipien. Anastomosis ini tidak tampak pada
lempeng korionik dikarenakan adanya perbedaan tekanan (gradien) yang terjadi
pada sirkulasi tersebut. Anastomosis ini jarang terjadi, kebanyakan jika terjadi
anastomosis arteriovenosa diikuti dengan anastomosis arterioarteriosa yang
melindungi

terjadinya

sirkulasi

ketiga.

Karena

sirkulasi

menghasilkan

keseimbangan dinamis dimana disamping terjadinya penurunan tekanan donor juga


terjadi peningkatan resipien (Cunningham, 2013).

Gambar 2.7. Anastomosis vaskular plasenta TTTS


(sumber : Cunningham dkk, 2013)
e. Diagnosis
Diagnosis prenatal TTTS dibuat dengan menggunakan ultrasonografi. Dengan
berbagai variasi, para ahli memberikan criteria untuk diagnosis TTTS antenatal
sebagai berikut (Rusda dan Roeshadi, 2005):
Tabel 1. Keadaan pada trimester I untuk diagnosis TTTS
1) Kehamilan monokorionik
2) Ukuran nuchal translucency > 3 mm pada umur kehamilan 10-14 minggu
3) Ukuran crown-rump length yang kurang pada satu janin
4) Membrane pemisah pada umur kehamilan 10-13 minggu
(Sumber : Rusda dan Roeshadi, 2005)
Kriteria diagnostik trimester kedua dan awal trimester ketiga termasuk, kehamilan
monochorionik, kembar dengan jenis kelamin sama, kombinasi polihidroamnion
pada satu kantong dan oligohidroamnion pada kantong yang lainnya, dan kecil atau

24

tidak terlihatnya kandung kemih pada donor sementara pada resipien memiliki
kandung kemih yang besar (Rusda dan Roeshadi, 2005). (Tabel. 2)
Tabel 2. Kriteria diagnostik TTTS pada trimester kedua atau awal trimester ketiga
(kriteria diagnostik ultrasonografi)
1) Kehamilan monokorionik
2) Jenis kelamin yang sama
3) Satu massa plasenta
4) Membrane pemisah yang tipis
5) Kelainan volume cairan amnion
a) Satu kantong amnion oligohidroamnion, ukuran vertical 2,0 cm
b) Satu kantong amnion polihidroamnion, ukuran vertical 8,0 cm
6) Kantung kencing yang persisten
a) Kantung kencing yang kecil atau tidak tampak pada kembar
oligohdroamnion
b) Tampak kantung kencing yang besar pada kembar polihidroamnion
c) Tambahan untuk membantu diagnosis
7) Perkiraan perbedaan berat janin (20% lebih berat kembar besar)
8) Adanya stuck twin
9) Hindrops fetalis (adanya satu atau lebih gejala: edema kulit [tebal 5 mm],
efusi pericardial, efusi pleura, dan ascites)
10) Membrane pembungkus pada umur kehamilan 14-17 minggu
(Sumber : Rusda dan Roeshadi, 2005)

25

Gambar 2.8. Alogaritma penatalaksanaan TTTS


(sumber : Rusda dan Roeshadi, 2005)
Diagnosis postnatal TTTS dapat ditegakkan dengan (Roberts dkk, 2003; Gomella
dkk, 2013):
1) Adanya perbedaan berat badan kedua janin yang > 500 g, atau perbedaan>20

f.

% pada janin pretemi (untuk TTTS yang kronis).


2) Terdapat perbedaan kadar Hemoglobin > 5 gr/dl
3) Perbedaan ukuran pada organ-organ jantung, ginjal, hepar dan thymus.
Tatalaksana
Beberapa jenis teknik terapi telah dilakukan dalam usaha memperbaiki hasil luaran
kehamilan kasus twin-to-twin transfusion syndrome. Pendekatan ini meliputi terapi
amniosentesis, septostomi, ablasi laser terhadap anastomosis pembuluh darah,
selektif feticide, dan terapi ibu dengan memakai digoksin (Blickstein dkk, 1999;
Roberts dkk, 2003).

Tabel 3. Pilihan Terapi

26

1) Pemeriksaan antenatal dengan ultrasonografi, analisa aliran darah dengan


Doppler, echokardiografi fetus dan kardiotokografi fetus atau non stress
test, pemberian tokolisis untuk mencegah partus prematurus.
2) Pengurangan volume cairan amnion secara serial (amnioreduksi)
3) Oklusi fetoskopik dengan penggunaan laser pada Pembuluh darah plasenta
4) Septostomi
5) Terminasi selektif
6) Histerotomi dengan mengangkat salah satu janin
7) Ligasi tali pusat secara endoskopi atau percutaneus
(Sumber : Rusda dan Roeshadi, 2005)
Terapi amniosentesis dilakukan dengan mengurangi cairan amnion yaug
berlebihan pada kantung amnion kembar resipien. Terapi ini mempunyai beberapa
keuntungan yaitu: memberi ruang yang lebih pada kembar yang lebih kecil (stuck
twin), menstabilkan kembar yang besar, mengurangi ketidaknyamanan ibu akibat
jumlah cairan amnion yang banyak, dan kehamilan dapat berlanjut lebih aman
dengan berkurangnya risiko persalinan prematur. Komplikasi terapi ini (sekitar 8%)
meliputi korioamnionitis, persalinan prematur, ketuban pecah dini, dan solusio
plasenta. Secara keseluruhan. keberhasilan terapi amniosintesis cukup baik.
Dengan sekitar 44% kehamilan kedua janin hidup. dan 66% satu janin hidup,
survival rate 30%-83%, namun kelainan neurologi masih tinggi 5%-32% (Rusda
dan Roeshadi, 2005)
Septostomi (diperkenalkan oleh Dr. George Saade dkk dari Amerika) dilakukan
dengan cara membuat lubang kecil pada membran pemisah, yang akan berfungsi
sebagai tempat lewatnya cairan amnion dari satu kantung amnion ke kantung
amnion yang lain sehingga terjadi keseimbangan cairan amnion. Komplikasi terapi
ini meliputi pecahnya selaput pemisah, terjadi pertautan tali pusat kedua janin dan
kematian janin (Rusda dan Roeshadi, 2005)
Terapi laser (dipelopori Dr. Julian De Lia dkk dari Amerika Serikat) dilakukan
dengan memasang endoskopi melalui perut ibu ke kantung amnion kembar
resipien. Fetoskop dan laser dilewatkan melalui endoskop. Dengan bantuan USG
dan petunjuk pada video realtime . laser digunakan untuk mengkoagulasi atau
merusak anastomosis pembuluh darah secara selektif (Rusda dan Roeshadi, 2005)
Selektif feticide dilakukan pada kronik twin-to-twin transfusion syndrome sebelum
umur kehamilan 25 minggu. Cara yang dipergunakan berupa ligasi tali pusat
dengan bantuan USG dan injeksi larutan NaCl kedalam kaviun pericardial sehingga
terjadi tamponade jantung. Pemakaian digoksin bertujuan mengatasi gagal jantung

27

kembar resipien, namun sering tidak berhasil oleh karena digoksin tidak dapat
melewati plasenta dalam jumlah yang cukup untuk terapi tersebut (Rusda dan
Roeshadi, 2005)
Pilihan penanganan kasus dengan kematian satu janin adalah persalinan preterm
elektif terhadap janin yang hidup (dengan steroid untuk mematangkan paru)
dengan segala risiko prematuritas atau konservatif yang juga berisiko kematian
janin dalam uterus dan kelainan neurologis (Rusda dan Roeshadi, 2005).
2.8. Diagnosis
2.8.1. Anamnesis dan manifestasi klinik
Riwayat kehamilan multipel dalam keluarga, usia ibu yang tua, paritas tinggi, ukuran
tubuh ibu yang besar dan riwayat kehamilan multipel pribadi merupakan petunjuk yang
mengarahkan diagnosis kehamilan multipel. Riwayat penggunaan clomiphene citrate,
gonadotropin dan kehamilan dengan ART

semakin memperkuat kemungkinan.

Manifestasi klinik pada kehamilan multipel pada umumnya sama dengan kehamilan
tunggal tetapi dengan intensitas yang lebih berat, seperti penekanan berat pada pelvis,
mual, nyeri punggung, varikosis, konstipasi, haemorrhoid, distensi abdominal dan
kesulitan bernapas (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013).
2.8.2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yaitu dengan pengukuran tinggi fundus yang akurat merupakan
salah satu petunjuk yang penting. Pada trimester ke-2 ukuran uterus membesar lebih dari
usia kehamilan yang ditentukan berdasarkan hari pertama haid terakhir (HPHT). Menurut
cunningham F tinggi fundus uteri pada 336 kehamilan, pada usia kehamilan 20-30
minggu tinggi fundus pada kehamilan kembar rata-rata lebih tinggi 5cm daripada
kehamilan tunggal dengan usia kehamilan yang sama (Bush, 2013; Cunningham dkk,
2013).
Pada palpasi uterus teraba 2 kepala janin yang biasanya terdapat pada kuadran uterus
yang berbeda. Diagnosis dengan palpasi ini sulit ditegakkan sebelum trimester ketiga,
bahkan jika posisi janin bertumpuk, ibu obesitas dan adanya hidramnion palpasi
abdominal sulit untuk mengidentifikasi kehamilan multipel meskipun pada usia
kehamilan tua.
Pada timester pertama, denyut jantung janin dapat dideteksi dengan USG doppler.
Pemeriksaan teliti dengan aural fetal stethoscope dapat mengidentifikasi bunyi jantung
janin pada usia 18-20 minggu (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013).

28

Secara umum pemeriksaan fisik yang dapat mengarahkan diagnosis kehamilan


multipel, yaitu (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013):
a. Uterus yang lebih besar dari usia kehamilan.
b. Peningkatan berat badan ibu yang berlebihan tanpa adanya obesitas atau oedem.
c. Polihidramnion.
d. Terdapat ballotement yang lebih dari satu fetus.
e. Bagian kecil yang multipel.
f. Bunyi jantung yang berbeda dengan denyut jantung janin dan ibu, dengan
perbedaan 8 denyut per menit.
2.8.3. Pemeriksaan penunjang
a. USG
USG merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis kehamilan multipel dan
dapat ditentukan pada usia kehamilan 4 minggu dengan probe intravaginal. Selain
itu dapat ditentukan keadaan plasenta. Untuk dapat mengidentifikasi kehamilan
multipel USG rutin sebaiknya dilakukan pada usia kehamilan 18-20 minggu.
Diagnosis kehamilan multipel pada trimester pertama harus dilakukan dengan hatihati sampai dengan pasti dapat dua embrio yang viabel. Kesalahan diagnosis
dengan bekuan darah intrauterin atau koleksi cairan sebagai janin non-viabel dapat
menimbulkan trauma pada pasien (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013).
USG pada trimester pertama kehamilan penting untuk menentukan sifat korion.
Pada janin dikorionik biasanya ditemukan jenis kelamin yang berbeda, plasenta
yang berbeda, membran pembagi yang tebal (>2mm) atau adanya tanda twin peak
yaitu berupa membran yang menyusup diantara 2 plasenta yang berfusi.Bila salah
satu plasenta berada pada dinding bagian depan uterus sedangkan plasenta yang
lain pada dinding belakang, saat pencitraan dengan USG akan terlihat plasenta
yang menumpuk seperti satu plasenta. Pada kasus seperti ini akan terlihat bentuk
segitiga pada pertemuan membran dan plasenta disebut tanda lambda. Menurut
penelitian oleh Sepulveda W dan teman-teman, pemeriksaan dengan USG pada
usia kehamilan 10-14 dapat menentukan kehamilan multipel diklasifikasikan
sebagai monokorionik atau dikorionik. Kehamilan multipel diklasifikasikan
sebagai monokorionik jika terdapat satu plasenta tanpa tanda lambda pada
hubungan membran-plasenta diantara janin dan diklasifikasikan sebagai dikorionik
jika terdapat satu plasenta dengan tanda lambda atau terdapat dua plasenta. Cara ini
merupakan cara yang dapat diandalakan dan akurat dalam menentukan jenis
kehamilan multipel (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013).
Pada janin multipel monokorionik diamnionik, terdapat satu plasenta dan janin
dipisahkan hanya dengan membran amnion yang tipis sehingga akan terbentuk

29

tanda berbentuk huruf T. Kriteria USG untuk mendiagnosis sifat koriondan amnion
pada kehamilan ganda dapat dilihat pada tabel berikut ini (Bush, 2013;
Cunningham dkk, 2013).
Tabel 4. Kriteria USG untuk mendiagnosis sifat koriondan amnion pada kehamilan
ganda
Gambaran USG
Sifat korion dan amnion
Jenis kelamin fetus berbeda
Dikorionik/diamniotik
(dan
Plasenta yang terpisah
Tanda lambda atau twin peak
Membran
pembatas
yang
tebal
(subjektif)
Membran

pembatas

yang

(subjektif)
Tidak ada membran pembatas
Sumber: Cunningham dkk, 2013

dizigotik)
Dikorionik/diamniotik
Dikorionik/diamniotik
Dikorionik/diamniotik

tipis Monokorionik/diamniotik
Monokorionik/monoamniotik

Gambar 2.9. USG pada kehamilan 7 minggu, tampak dua kantong gestasi berisi
fetus
Sumber: Cunningham dkk, 2013

Gambar 2.10. Gambaran USG dari tanda twin peak (A) dan diagram skematik
tanda twin-peak (B)

30

Sumber: Cunningham dkk, 2013

Gambar 2.11. Gambaran USG dari tanda berbentuk huruf T (T shape) pada kembar
monokorionik diamnionik (panah menunjuk pada septum membran interfetal (<1,5
mm) pada kembar monokorionik yang membentuk huruf T pada dasarnya
Sumber: http://www.worldtttsawarenessday.org/pictures.php.
Pada kehamilan multipel yang lebih dari dua janin, evaluasi dengan USG untuk
menentukan jumlah janin dan posisinya terutama pada trimester pertama sulit
dilakukan. Pada 50% kasus kehamilan multipel ditemukan presentasi kepala untuk
kedua janin. Sedangkan 33% kasus presentasi janin A kepala dan janin B bokong,
pada 10% kasus kedua janin dalam presentasi bokong dan sisanya dapat salah satu
atau keduanya dalam posisi lintang (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013).

Gambar 2.12. Kiri: kedua janin presentasi kepala, kanan: presentasi kepala dan bokong
Sumber: Bush, 2013
b. Pemeriksaan darah
Nilai hematokrit, hemoglobin dan jumlah eritrosit biasanya menurun berhubungan
dengan peningkatan volume darah. Anemia hipokrom normositer sering terjadi

31

pada kehamilan multipel karena peningkatan kebutuhan zat besi pada trimester
kedua. Tes toleransi glukosa menunjukkan diabetes melitus gestasional dan
hipoglikemia gestasional meningkat pada kehamilan multipel daripada kehamilan
tunggal.
Jumlah korionik gonadotropin dalam plasma dan urine rata-rata lebih tinggi
daripada kehamilan tunggal, level alfa-fetoprotein juga dapat meningkat. Jumlah
rata-rata serum alfa-fetoprotein maternal 2,5 kali lebih tinggi pada kehamilan
multipel dibandingan kehamilan tunggal. Hal ini diduga disebabkan tingginya
tingkat protein yang dilepaskan oleh hati janin yang multipel dan ditemukan pada
darah ibu dibandingkan janin tunggal (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013).
c. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan dengan rontgen sudah jarang dilakukan untuk mendiagnosis
kehamilan ganda karena cahaya penyinaran berisiko menganggu perkembangan
janin (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013).
2.9. Penanganan
2.9.1. Prenatal care
Untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas dalam kehamilan multipel perlu
diperhatikan (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013):
a. Kontrol prenatal pada wanita dengan kehamilan multipel harus lebih sering
daripada kehamilan tunggal. Jadwal kontrol tergantung dari masalah obstetrik pada
masing-masing individu.
b. Umumnya mulai umur kehamilan 24 minggu pemeriksaan antenatal dilakukan tiap
2 minggu, dan sesudah usia kehamilan 36 minggu pemeriksaan dilakukan tiap
minggu.
c. Wanita dengan kehamilan multipel harus mengurangi aktivitasnya sehari-hari
terutama pada usia kehamilan 5-9 bulan sehingga aliran darah ke plasenta
meningkat agar pertumbuhan janin baik .
d. Untuk menghindari persalinan prematur, diagnosis dan pencegahannya harus
dilakukan sedini mungkin.
e. Pemantauan dengan USG harus dilakukan setiap 3-6 minggu, tes antenatal seperti
f.

Non-Stress Test (NST) dilakukan setiap minggu pada trimester ketiga.


Pemeriksaan volume cairan amnion penting untuk mendeteksi
oligohidramnion

yang

mengindikasikan

adanya

gangguan

adanya

uteroplasenta.

Pengukurannya dapat menggunakan amnionic fluid index (AFI).


g. Jika terdapat risiko kelahiran prematur, pada minggu ke-34 sebaiknya diberikan
kortikosteriod untuk mengurangi risiko respiratory distress syndrome pada
neonatus dan perdarahan intraventrikular, berupa betamethsone 12 mg/hari , untuk
2 hari saja. Bila tak ada betamethasone dapat diberikan dexamethasone serta

32

pemberian tokolitik. Kortikosteroid mempercepat produksi surfaktan dari


pneumosit dan mengurangi insidensi kematian neonatus, perdarahan intraserebral,
dan enterokolitis. Dosis betametason yang dianjurkan adalah 12.0 mg
intramuskular, diulang dalam 24 jam. Deksametason diberikan dalam dosis 5 mg
dengan interval 6 jam hingga tercapai dosis total 20 mg. Pemberian kortikosteroid
harus dimulai 24-48 jam sebelum persalinan.8 Kortikosteroid diberikan untuk
menginduksi pematangan paru janin pada kehamilan 24 sampai 34 minggu jika
tidak ditemukan tanda-tanda infeksi. Pemberian kortikosteriod pada kehamilan
kurang dari 23 minggu masih kontroversi. Pemberian kortikosteroid pada
kehamilan kurang dari 23 minggu tidak berguna untuk memperbaiki keadaan
pernafasan karena pada janin kurang dari 23 minggu belum terbentuk sel
pneumosit yang memproduksi surfaktan.
h. Angka kelahiran prematur meningkat seiring dengan tingginya jumlah fetus,
sehingga reduksi pada kehamilan multipel yang lebih dari dua dapat
i.

dipertimbangkan.
Kebutuhan kalori, protein, mineral, vitamin dan asam lemak esensial sangat
meningkat pada wanita dengan kehamilan multipel. Konsumsi kalori harus
ditingkatkan 300Kcal/ hari. Menurut penelitian Brown dan Carlson pada tahun
2000 sebaiknya peningkatan berat badan wanita hamil disesuaikan dengan berat
badan sebelum hamil, tetapi wanita dengan kehamilan triplet (kembar tiga)
setidaknya mengalami peningkatan berat badan sebesar 50 pon. Peningkatan kalori
sebaiknya dilengkapi dengan suplemen zat besi 60-100mg/hari dan asam folat
1mg/hari.

2.9.2. Persalinan
Banyak komplikasi yang dapat terjadi pada kehamilan multipel, oleh karena itu
persiapan khusus diperlukan saat persalinan. Rekomendasi penanganan intrapartum yang
dapat dilakukan saat persalinan dengan janin lebih dari satu antara lain (Bush, 2013;
Cunningham dkk, 2013):
a. Penolong persalinan yang terlatih harus mengawasi pasien selama proses
persalinan disertai observasi pembukaan serviks dan keadaan janin.
b. Pemasangan infus intravena harus dilakukan untuk memasukkan cairan secara
cepat. Bila tidak terdapat perdarahan atau gangguan metabolisme selama persalinan
diberikan cairan infus dengan dextrose atau ringer laktat sebanyak 60-120ml/jam.
c. Seorang dokter spesialis kandungan yang terampil dalam mengidentifikasi bagianbagian janin dan dapat melakukan manipulasi intrauteri harus ada.

33

d. Mesin USG tersedia untuk megevaluasi posisi dan status janin yang kedua setelah
janin yang pertama lahir.
e. Seorang dokter spesialis anestesi harus siap bila diperlukan persalinan dengan
seksio sesarea.
f. Terdapat orang yang terlatih melakukan resusitasi untuk masing-masing janin.
g. Ruangan bersalin harus cukup luas untuk semua anggota tim agar dapat berkerja
dengan baik.
Presentasi janin berperan besar dalam dilatasi serviks dan jalan lahir. Jika presentasi
janin pertama adalah kepala maka persalinan dapat dilakukan secara spontan ataupun
dengan forceps. Bila presentasi janin pertama adalah bokong, masalah utama yang
biasanya muncul adalah (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013):
a. Janin biasanya besar dan kemungkinan terjadi aftercoming head.
b. Janin kecil sehingga lahirnya ektremitas tidak menyebabkan dilatasi yang adekuat
pada serviks dan jalan lahir sehingga kepala sulit lahir.
c. Terjadi prolaps tali pusat.
Jika muncul masalah, biasanya persalinan dengan seksio sesarea dipilih, kecuali
pada bayi yang prematur dengan kemungkinan bertahan hidup yang rendah. Pada janin
dengan presentasi kepala dan bokong dapat terjadi fenomena lock twin. Fenomena ini
terjadi saat penurunan janin dengan presentasi bokong melalui jalan lahir, dagu janin
pertama dan kedua terkunci. Bila terjadi fenomena lock twin teridentifikasi persalinan
dengan seksio saesaria direkomendasikan. (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013)

Gambar 2.13. Lock twin


Sumber: Bush dkk, 2013
Persalinan pervaginam janin kedua harus dilakukan secara tepat dan cepat. Setelah
janin pertama dilahirkan, presentasi, ukuran, dan hubungannya dengan jalan lahir harus
setelah ditentukan dengan mengkombinasikan pemeriksaan abdominal, vaginal dan

34

terkadang intrauterin. Jika kepala atau bokong sudah terfiksasi jalan lahir, dilakukan
penekanan fundus moderat dan membrannya akan ruptur. Segera setelah itu, pemeriksaan
digital serviks diulang terus untuk mencegah prolaps tali pusat. Persalinan akan segera
dimulai dan denyut jantung janin harus dimonitor. Induksi persalinan tidak perlu
dilakukan kecuali jika terjadi penurunan denyut jantung janin atau perdarahan.
Perdarahan menandakan pelepasan plasenta mulai terjadi, hal ini dapat membahayakan
ibu dan bayinya. Bila tidak ada kontraksi dalam 10 menit harus dilakukan stimulasi
dengan oxytocin yang diencerkan (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013).
Bila presentasi occipital atau bokong sudah masuk ke pintu atas panggul tetapi
belum terfiksasi, bagian terendahnya dapat diarahkan dengan satu tangan dari dalam
vagina dan tangan yang lain menekan fundus uteri dari luar. Pada janin kedua dengan
letak non-cephalic dapat dilakukan versi luar intrauterin. Prinsip penanganan kehamilan
ganda (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013):
a. Bayi I
1) Cek persentasi
a) Bila verteks lakukan pertolongan sama dengan presentasi normal dan
lakukan monitoring dengan partograf
b) Bila persentasi bokong, lakukan pertolongan sama dengan bayi tunggal
presentasi bokong
c) Bila letak lintang lakukan seksio sesaria
2) Monitoring janin dengan auskurtasi berkala DJJ
3) Pada kala II beri oksitosis 2,5 IU dalam 500 ml dekstrose 5% atau ringer
laktat/ 10 tts / mt.
b. Bayi II
1) Segera setelah kelahiran bayi I
a) Lakukan palpasi abdomen untuk menentukan adanya bayi selanjutnya
b) Bila letak lintang lakukan versi luar
c) Periksa DJJ
d) Lakukan pemeriksaan vaginal untuk : adanya prolaps funikuli, ketuban
pecah atau intak, presentasi bayi.
2) Bila presentasi verteks
a) Bila kepala belum masuk, masukan pada PAP secara manual
b) Ketuban dipecah
c) Periksa DJJ
d) Bila tak timbul konteraksi dalam 10 menit, tetesan oksitosin dipercepat
sampai his adekuat
e) Bila 30 menit bayi belum lahir lakukan tindakan menurut persyaratan
yang ada (vakum, forceps, seksio)
3) Bila presentasi bokong
a) Lakukan persalinan pervaginan bila pembukaan lengkap dan bayi tersebut tidak
lebih besar dari bayi I

35

b)

Bila tak ada konteraksi sampai 10 menit, tetesan oksidosin dipercepat sampai his

adekuat
Pecahkan ketuban
Periksa DJJ
Bila gawat, janin lakukan ekstraksi
Bila tidak mungkin melakukan persalinan pervaginam lakukan seksio secarea.
4) Bila letak lintang
a) Bila ketuban intak, lakukan versi luar
b) Bila gagal lakukan seksio secarea
5) Pasca persalinan berikan oksitosin drip 20 IU dalam 1 liter cairan 60
c)
d)
e)
f)

tetes/menit atau berikan ergometrin 0,2 mg IM 1 menit sesudah kelahiran anak


yang terakhir dan lakukan manajemen aktif kala II. Untuk mengurangi
perdarahan pasca persalinan.
Dulu umumnya interval persalinan antara janin kembar pertama dan kedua adalah 30
menit. Menurut penelitian oleh Rayburn dan kelompoknya (1984), jika monitoring fetus
dilakukan terus-menerus interval yang lebih panjang akan memberikan hasil yang lebih
baik. American College of Obstetricians and Gynecologists (1998) telah menetapkan
bahwa interval antara kelahiran janin multipel tidak mempengaruhi kesejahteraan janin.
Leung dan kelompoknya (2002) menggambarkan hubungan langsung antara penurunan
nilai gas darah dari tali pusat dengan interval persalinan (Bush, 2013; Cunningham dkk,
2013).

Anda mungkin juga menyukai