Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia
dan beberapa negara di dunia. Selain itu, penyakit kusta masih membuat masyarakat
takut. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya pemahaman dan kepercayaan yang
keliru terhadap penyakit kusta dan kecacatan yang ditimbulkannya.
Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta. Istilah reaksi kusta digunakan
untuk menggambarkan berbagai gejala dan tanda radang akut pada lesi dalam
perjalanan penyakit yang kronis. Reaksi ini menyebabkan gangguan dalam
keseimbangan sistem imunologi. Reaksi kusta dibagi menjadi dua yaitu reaksi tipe I
atau reaksi reversal yang disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler secara
cepat dan reaksi tipe II atau reaksi Erythema Nodosum Leprosum (ENL) yang
merupakan reaksi humoral yang ditandai dengan timbulnya nodul kemerahan,
neuritis, gangguan saraf, dll.
Beberapa factor risiko yang telah diketahui berpengaruh terhadap terjadinya
reaksi kusta diantaranya adalah umur saat didiagnosa kusta lebih dari 15 tahun, jenis
kelamin, tipe kusta MB, bakteri indeks (BI) positip, status nutrisi, lama pengobatan,
pembesaran saraf lebih dari 5, infiltrasi kulit, lesi diwajah, kelelahan, stress, laktasi,
kehamilan dan nifas.
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Brebes, diperoleh sampel
sebanyak 106 penderita. 53 orang sebagai control dan 53 orang adalah penderita

kusta. Responden yang mengalami reaksi kusta tipe I sebanyak 24,5 % dan tipe II
sebanyak 75,5%. Dari 53 penderita yang mengalami reaksi kusta, sebanyak 94,3 %
penderita mengalami reaksi kusta berat dan 5,7 % mengalami reaksi kusta ringan.
Berdasarkan status pengobatan MDT, sebanyak 5,7 % penderita belum mendapat
pengobatan, sedang dalam pengobatan sebanyak 52,8 % dan sesudah pengobatan
sebanyak 41,5 %.
Dari angka tersebut kita tahu bahwa reaksi kusta hampir selalu terjadi pada
penderita kusta baik sebelum pengobatan, sedang dalam pengobatan dan sesudah
pengobatan. Hal ini membuat kami tertarik untuk membahas mengenai reaksi kusta.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

PENYAKIT KUSTA

2.1

Definisi
Kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium

leprae yang pertama kali menyerang system saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang
kulit, mukosa, saluran napas bagian atas, system retikulo endothelial, mata, otot,
tulang, dan testis.
2.2

Etiologi
Penyebab Kusta adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh warga

Norwegia, G.A Armauer Hansen pada tahun 1873. Mycobacterium leprae hidup
intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan cell) dan
system retikulo endothelial.
2.3

Diagnosis Kusta
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis, bakteriologis, dan

histopatologis. Dari ketiga kategori tersebut, diagnosis klinis nerupakan yang


terpenting dan paling sederhana. Untuk menetapkan diagnosis klinis kusta harus ada
minimal satu tanda utama atau cardinal sign, yaitu :
a. Lesi kulit yang mati rasa
Kelainan dapat berbentuk bercak keputihan (hipopigmentasi) atau kemerahmerahan (eritematosa) yang mati rasa (anestesi).
b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf akibat
peradangan saraf (neuritis perifer), bias berupa :
1) Gangguan fungsi sensoris
2) Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot, atau kelumpuhan.
3) Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak.
3

c. Adanya kuman tahan asam di dalam pemeriksaan kerokan jaringan kulit (BTA
positif).
B. REAKSI KUSTA
2.1

Definisi
Reaksi Kusta merupakan gambaran dari episode akut hipersensitifitas

terhadap M. Leprae yang menyebabkan gangguan dalam keseimbangan system


imunologi. Sedangkan Reaksi ENL adalah suatu reaksi antigen-antibodi komplemen
yang ditandai dengan nodus eritematosa yang nyeri, terutama diekstremitas, neuritis,
arthritis, dll. Reaksi ini terutama terjadi pada tipe lepromatosa (LL) dan borderline
lepromatosa (BL).
2.2

Epidemiologi
Menurut data kusta nasional tahun 2000, sebanyak 5% penderita kusta

mengalami reaksi kusta. Penderita tipe PB (Pausibasiler) dapat mengalami reaksi


kusta sebanyak 1 kali dan penderita tipe MB sebanyak 2 kali. Menurut Pieter A.M
Schreuder (1998), sebanyak 12% penderita kusta mengalami reaksi tipe I selama
masa pengobatan dan 1,6% terjadi setelah penderita RFT (Release From Treatment).
Frekuensi kejadian reaksi kusta menurut jenis kelamin adalah pada wanita 47% dan
laki-laki 26%.
Reaksi kusta dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan
dapat berakibat kecacatan yang permanen. Pencegahan, penemuan, dan management
dari gangguan fungsi saraf menjadi prioritas utama dalam pemberantasan penyakit
kusta.
2.3

Etiologi
4

Hingga saat ini, penyebab pasti timbulnya ENL belum diketahui secara pasti.
Faktor pencetus yang dapat menyebabkan timbulnya ENL ialah infeksi, stress mental
dan fisik, kehamilan , vaksinasi, faktor hormonal dan nutrisi.
2.4

Patofisiologi ENL
Mekanisme imunopatologi ENL masih kurang jelas. ENL diduga merupakan

manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada pembuluh darah. Perlu


ditegaskan bahwa pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya dengan reaksi
reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga
dapat disebut reaksi borderline.
Diperkirakan

reaksi

pada

ENL

ada

hubungannya

dengan

reaksi

hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil


lepra berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan
pertama.
Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, yang berarti
banyak pula antigen yang dilepaskan. Adanya faktor pencetus seperti infeksi virus,
stress, vaksinasi dan kehamilan menyebabkan terjadinya infiltrasi sel T helper 2 yang
menghasilkan berbagai sitokin yaitu IL-4 yang menginduksi sel B menjadi sel plasma
yang kemudian memproduksi antibodi. Konsentrasi antigen dan presipitasi antibodi
tersebut akan bereaksi dan membentuk kompleks imun yang terus beredar dalam
sirkulasi darah yang akhirnya dapat diendapkan dalam berbagai organ atau jaringan
yang kemudian mengaktifkan sistem komplemen.

Secara ringkasnya fenomena ini berupa kompleks imun akibat reaksi antara
antigen M.leprae + antibody ( IgM, IgG ) + komplemen kompleks imun.
Komplemen akan bergabung dengan kompleks imun dan akhirnya akan membentuk
endapan kompleks imun dan menghasilkan polimorfonuklear leukotaktik factor.
Itulah sebabnya penimbunan kompleks imun pada pembuluh darah dan lesi
merupakan karakteristik reaksi ENL.
Fagositosis kompleks imun oleh neutrofil yang terakumulasi menimbulkan
pelepasan atau produksi sejumlah substansi proinflamasi tambahan, termasuk
proataglandin, peptida vasodilator, dan substansi kemotaksis,serta enzim lisosom
yang mampu mencerna membran basalis, kolagen, elastin, dan kartilago yang
menyebabkan inflamasi dan nekrosis jaringan.
Terdapat juga penelitian yang mempelajari peranan tumor nekrosis faktor alfa
(TNF-a) pada patogenesiss ENL. Penderita LL yang menunjukkan reaksi ENL setelah
terapi MDT juga menunjukkan kadar TNF-a yang tinggi. Data ini menunjukkan
eratnya hubungan antara TNF-a dengan patogenesis ENL.
Faktor nekrosis tumor ini bisa menimbulkan kerusakan langsung pada sel dan
jaringan, mengaktifkan makrofag, memacu makrofag memproduksi IL-1 dan IL-6
dan memacu sel hepar menghasilkan protein reaktif C (PRC). Peninggian
konsenterasi TNF-a dan PRC dalam serum penderita ENL yang berkorelasi positif
sekitar 95% apabila dibandingkan dengan penderita kusta lepromatosa non reaksi.
2.5.

Gejala Klinis
Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada:

multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae

respons imun penderita terhadap kuman M. leprae

komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer

Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit,
saraf, dan membran mukosa. Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi
menjadi 'kusta tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit
Hansen multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy).
Penilaian untuk tanda-tanda fisik terdapat pada 3 area umum: lesi kutaneus,
neuropathi, dan mata. Untuk lesi kutaneus, menilai jumlah dan distribusi lesi pada
kulit. Makula hipopigmentasi dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi
kutaneus yang pertama kali muncul. Sering juga berupa plak. Lesi mungkin atau tidak
mungkin menjadi hipoesthetik. Lesi pada pantat sering sebagai indikasi tipe
borderline.
Tanda-tanda umum dari neuropati lepra :

neuropati sensoris jauh lebih umum dibandingkan neuropathy motorik,

tapi neuropati motorik murni dapat juga muncul.


mononeuropati dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf

ulna dan peroneal yang lebih sering terlibat


neuropati perifer simetris dapat juga timbul

Gejala dari neuropati lepra biasanya termasuk berikut:

anesthesia, tidak nyeri, patch kulit yang tidak gatal,: pasien dengan lesi
kulit yang menutupi cabang saraf perifer mempunyai resiko tinggi untuk
berkembangnya kerusakan motoris dan sensoris.
7

deformitas yang disebabkan kelemahan dari otot-otot yang diinervasi oleh


saraf perifer yang terpengaruh (claw hand atau drop foot menyusul

kelemahan otot)
gejala sensoris yang berkurang untuk melengkapi hilangnya sensasi,
paresthesia dalam distribusi saraf-saraf yang terpengaruh, nyeri neuralgia

saat saraf memendek atau diregangkan


lepuh yang timbul spontan dan ulcus tropik sebagai konsekuensi dari
hilangnya sensoris

Gejala yang terlihat pada suatu reaksi

reaksi reversal onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan
munculnya lesi-lesi kulit yang baru

Gejala

Reaksi Ringan

Lesi Kulit

Tambah aktif, menebal, Lesi bengkak sampai


merah,
macula

panas,

Reaksi Berat

nyeri,

pecah, merah, panas,

membentuk

nyeri, kaki dan tangan

plaque

bengkak, ada kelainan


kulit baru

Saraf tepi

Tidak ada nyeri tekan dan

Nyeri tekan dan atau

gangguan fungsi

gangguan fungsi

reaksi ENL nodul pada kulit yang multiple, demam, nyeri sendi, nyeri
otot, dan mata merah.Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa
nodus eritema,dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dantungkai.
Bila mengenai organ lain dapat menimbulkangejala seperti iridosiklitis,

neuritis akut,limfadenitis,arthritis,or kitis, dan nefritis yang akut dengan


adanya proteinuria.Ia juga dapat disertai gejala konstitusi dari ringan
sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula.
Gejala
Lesi Kulit

Reaksi Ringan
Nodul nyeri

Reaksi Berat
tekan, Nodul nyeri

tekan,

jumlah sedikit, hilang pecah, jumlah banyak,


Keadaan umum

sendiri 2-3 hari


berlangsung lama
Tidak demam/demam Demam ringan sampai

Saraf tepi

ringan
Tidak ada

Organ tubuh

saraf
Tidak ada gangguan

berat
gangguan Ada nyeri saraf atau
gangguan fungsi
Peradangan pada mata,
testis, gangguan tulang
hidung dan tengkorak.

Nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf
perifer yang menghasilkan claw hand atau drop foot.
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.
Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis
N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus
yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian bagian mata lainnya. Secara
sendirian atau bersama sama akan menyebabkan kebutaan.

10

Gambar 2.1 Sebelum reaksi

Gambar 2.2 Ketika reaksi

Gambar 2.3 Contoh contoh reaksi ENL

11

2.6.

Fenomena Lucio
Fenomena Lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada

kusta tipe lepromatosa non-nodular difus. Kista tipe ini terutama ditemukan di
Meksiko dan Amerika Tengah, namun dapat juga dijumpai dinegeri lain dengan
prevalensi rendah. Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna
merah muda, bentuk tak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas,
kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematosa, disertai
purpura, dan bula, kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri.
Lesi lambat menyembuh dan akhimya terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endotelial pembuluh
darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M. leprae di endotel kapiler. Walaupun
tidak ditemukan infiltrat polimorfonuklear seperti pada E.N.L., namun dengan
imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding
pembuluh darah. Titer kompleks imun yang beredar dan krioglobulin sangat tinggi
pada semua penderita.
2.7

Pengobatan
Prinsip terapi lepra, yaitu :

Menghentikan Infeksi.

Mencegah dan mengobati reaksi dan mengurangi resiko kerusakan saraf.

Mengobati komplikasi kerusakan saraf.

Rehabilitasi pasien.

12

a.

Pengobatan E.N.L
Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain

prednisone. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednisone


15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya,
tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan
perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali.
Perhatikan kontraindikasi pemakaian kortikosteroid. Dapat ditambahkan obat
analgetik-antipiretik dan 13eversib atau bila berat penderita dapat menjalani rawat
inap. Ada kemungkinan timbul ketergantungan terhadap kortikosteroid, E.N.L. akan
timbul kalau obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu, sehingga
penderita ini harus mendapatkan kortikosteroid terus menerus.
Ada lagi obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu thalidomide,
90% pasien dengan rekasi ENL menunjukkan perbaikan tetapi harus berhati-hati
karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan kepada orang hamil
atau masa subur. Di Indonesia obat ini tidak didapat dan sudah tidak diproduksi lagi.
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai
antireaksi E.N.L. tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat
ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg
sehari. Khasiatnya lebih lambat dari pada kortikosteroid. Juga dosisnya diturunkan
secara bertahap disesuaikan dengan perbaikan E.N.L. Keuntungan lain klofazimin
dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah
sate efek samping yang tidak dikehendaki oleh banyak penderita ialah bahwa kulit
menjadi berwarna merah kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tetapi masih bersifat
13

reversible, meskipun menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Masih ada


obatobat lain, tetapi tidak begitu lazim dipakai. Selama penanggulangan E.N.L. ini,
obatobat antikusta yang sedang diberikan diteruskan tanpa dikurangi dosisnya.
b.

Pengobatan Reaksi Reversal


Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau

tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut,
obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan
berat ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan
prednison 40-60 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus
secepat-cepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya
kerusakan saraf secara mendadak. Jarang terjadi ketergantungan terhadap
kortikosteroid. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan.
Analgetik dan sedativa kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi
reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang atau tidak pernah dipakai, begitu juga
talidomid tidak efektif terhadap reaksi reversal.
2.8

Pencegahan Cacat
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT

mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita
dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf
yang membesar atau nyeri juga memiliki risiko tersebut.
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan
berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya

14

perubahan sensibilitas atau kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka
yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan
sensibilitasnya saja. Juga ditemukan keluhan sukarnya melakukan aktivitas
seharihari, misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen atau mengambil
benda kecil, atau kesukaran berjalan. Semua keluhan tersebut harus diperiksa dengan
teliti dengan anamnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan, sebab
pengobatan dini dapat mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan menjadi
berlanjut.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of
disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian
pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan
tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan
kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi
petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah
terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas,
dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara
perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar,
luka, atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar
tidak kering dan pecah.
WHO Expert Committee on Leprosy dalam laporan yang dimuat daiam WHO
Technical Report Series No.607 (1977) telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita
kusta. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.1.
2.9

Rehabilitasi
15

Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara
lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali
ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki.
Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang
sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa
percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).

Tabel 2.1 Klasifikasi Cacat


Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang
terlihat.
Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang
terlihat.
Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas.
Cacat pada mata
Tingkat 0 : tidak ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan
penglihatan.
Tingkat 1 : ada gangguan mata akibat kusta; tidak ada gangguan yang berat pada
penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak
6 meter).
Tingkat 2 : gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak dapat
menghitung jari pada jarak 6 meter).

16

BAB III
KESIMPULAN
3.1

Kesimpulan
Reaksi kusta hampir selalu terjadi pada penderita kusta baik sebelum

pengobatan, sedang dalam pengobatan dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta ini
dibagi menjadi 2, yaitu : reaksi tipe I atau reaksi reversal dan reaksi tipe II atau reaksi
ENL dengan manifestasi klinis yang jelas.
Walaupun reaksi kusta ini sangat sering ditemukan namun etiologinya masih
belum jelas. Beberapa factor pencetus diduga berkaitan dengan angka kejadian reaksi
ini, seperti : setelah pengobatan antikusta yang intensif, stress fisik / psikis, imunisasi,
kehamilan, persalinan, menstruasi, infeksi, trauma, dll.

17

Reaksi ENL terutama terjadi pada tipe lepromatosa (LL) dan borderline
lepromatosa (BL). Reaksi ini ditandai dengan adanya nodus eritematosa yang nyeri,
terutama di ekstremitas, dan beberapa gejala prodormal dan gejala sistemik.
Penatalaksanaan dari reaksi ini ditujukan untuk mengatasi neuritis, mencegah
paralisis dan kontraktur, mengatasi gangguan mata, dan disarankan untuk istirahat
atau imobilisasi. Diharapkan dengan penatalaksanaan yang baik dan cepat, dapat
mengurangi kecacatan permanen yang dapat terjadi pada penderita kusta.

DAFTAR PUSTAKA

1. Murtiastutik, D, Ervianti E. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. DEP/SMF


Kesehatan Kulit Kelamin FK Unair/RSUD dr.Soetomo Surabaya. Ed 2.
2009;47-48.
2. Kosasih, A, Wisnu,M, Sjamsoe,E, dkk. Kusta. buku ilmu penyakit kulit dan
kelamin FKUI edisi kelima, 2007. Hlm.82-88.
3. Pedoman Diagnosis Dan Terapi, BAG/SMF Ilmu penyakit kulit dan kelamin.
2005. RSUD dr. Soetomo Surabaya.
4. Prawoto. 2008. Faktor-faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Terjadinya
Reaksi Kusta. Universitas Diponegoro Semarang.

18

5. Thomas, R, Robert, L. Leprosy. Fitzpatricks Dermatology In General


Medicine. Ed sevent, vol 2, 2008, Chapter 189; 1786-1796

19

Anda mungkin juga menyukai