PENDAHULUAN
kusta. Responden yang mengalami reaksi kusta tipe I sebanyak 24,5 % dan tipe II
sebanyak 75,5%. Dari 53 penderita yang mengalami reaksi kusta, sebanyak 94,3 %
penderita mengalami reaksi kusta berat dan 5,7 % mengalami reaksi kusta ringan.
Berdasarkan status pengobatan MDT, sebanyak 5,7 % penderita belum mendapat
pengobatan, sedang dalam pengobatan sebanyak 52,8 % dan sesudah pengobatan
sebanyak 41,5 %.
Dari angka tersebut kita tahu bahwa reaksi kusta hampir selalu terjadi pada
penderita kusta baik sebelum pengobatan, sedang dalam pengobatan dan sesudah
pengobatan. Hal ini membuat kami tertarik untuk membahas mengenai reaksi kusta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
PENYAKIT KUSTA
2.1
Definisi
Kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
leprae yang pertama kali menyerang system saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang
kulit, mukosa, saluran napas bagian atas, system retikulo endothelial, mata, otot,
tulang, dan testis.
2.2
Etiologi
Penyebab Kusta adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh warga
Norwegia, G.A Armauer Hansen pada tahun 1873. Mycobacterium leprae hidup
intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan cell) dan
system retikulo endothelial.
2.3
Diagnosis Kusta
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis, bakteriologis, dan
c. Adanya kuman tahan asam di dalam pemeriksaan kerokan jaringan kulit (BTA
positif).
B. REAKSI KUSTA
2.1
Definisi
Reaksi Kusta merupakan gambaran dari episode akut hipersensitifitas
Epidemiologi
Menurut data kusta nasional tahun 2000, sebanyak 5% penderita kusta
Etiologi
4
Hingga saat ini, penyebab pasti timbulnya ENL belum diketahui secara pasti.
Faktor pencetus yang dapat menyebabkan timbulnya ENL ialah infeksi, stress mental
dan fisik, kehamilan , vaksinasi, faktor hormonal dan nutrisi.
2.4
Patofisiologi ENL
Mekanisme imunopatologi ENL masih kurang jelas. ENL diduga merupakan
reaksi
pada
ENL
ada
hubungannya
dengan
reaksi
Secara ringkasnya fenomena ini berupa kompleks imun akibat reaksi antara
antigen M.leprae + antibody ( IgM, IgG ) + komplemen kompleks imun.
Komplemen akan bergabung dengan kompleks imun dan akhirnya akan membentuk
endapan kompleks imun dan menghasilkan polimorfonuklear leukotaktik factor.
Itulah sebabnya penimbunan kompleks imun pada pembuluh darah dan lesi
merupakan karakteristik reaksi ENL.
Fagositosis kompleks imun oleh neutrofil yang terakumulasi menimbulkan
pelepasan atau produksi sejumlah substansi proinflamasi tambahan, termasuk
proataglandin, peptida vasodilator, dan substansi kemotaksis,serta enzim lisosom
yang mampu mencerna membran basalis, kolagen, elastin, dan kartilago yang
menyebabkan inflamasi dan nekrosis jaringan.
Terdapat juga penelitian yang mempelajari peranan tumor nekrosis faktor alfa
(TNF-a) pada patogenesiss ENL. Penderita LL yang menunjukkan reaksi ENL setelah
terapi MDT juga menunjukkan kadar TNF-a yang tinggi. Data ini menunjukkan
eratnya hubungan antara TNF-a dengan patogenesis ENL.
Faktor nekrosis tumor ini bisa menimbulkan kerusakan langsung pada sel dan
jaringan, mengaktifkan makrofag, memacu makrofag memproduksi IL-1 dan IL-6
dan memacu sel hepar menghasilkan protein reaktif C (PRC). Peninggian
konsenterasi TNF-a dan PRC dalam serum penderita ENL yang berkorelasi positif
sekitar 95% apabila dibandingkan dengan penderita kusta lepromatosa non reaksi.
2.5.
Gejala Klinis
Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada:
Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit,
saraf, dan membran mukosa. Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi
menjadi 'kusta tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit
Hansen multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy).
Penilaian untuk tanda-tanda fisik terdapat pada 3 area umum: lesi kutaneus,
neuropathi, dan mata. Untuk lesi kutaneus, menilai jumlah dan distribusi lesi pada
kulit. Makula hipopigmentasi dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi
kutaneus yang pertama kali muncul. Sering juga berupa plak. Lesi mungkin atau tidak
mungkin menjadi hipoesthetik. Lesi pada pantat sering sebagai indikasi tipe
borderline.
Tanda-tanda umum dari neuropati lepra :
anesthesia, tidak nyeri, patch kulit yang tidak gatal,: pasien dengan lesi
kulit yang menutupi cabang saraf perifer mempunyai resiko tinggi untuk
berkembangnya kerusakan motoris dan sensoris.
7
kelemahan otot)
gejala sensoris yang berkurang untuk melengkapi hilangnya sensasi,
paresthesia dalam distribusi saraf-saraf yang terpengaruh, nyeri neuralgia
reaksi reversal onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan
munculnya lesi-lesi kulit yang baru
Gejala
Reaksi Ringan
Lesi Kulit
panas,
Reaksi Berat
nyeri,
membentuk
plaque
Saraf tepi
gangguan fungsi
gangguan fungsi
reaksi ENL nodul pada kulit yang multiple, demam, nyeri sendi, nyeri
otot, dan mata merah.Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa
nodus eritema,dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dantungkai.
Bila mengenai organ lain dapat menimbulkangejala seperti iridosiklitis,
Reaksi Ringan
Nodul nyeri
Reaksi Berat
tekan, Nodul nyeri
tekan,
Saraf tepi
ringan
Tidak ada
Organ tubuh
saraf
Tidak ada gangguan
berat
gangguan Ada nyeri saraf atau
gangguan fungsi
Peradangan pada mata,
testis, gangguan tulang
hidung dan tengkorak.
Nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf
perifer yang menghasilkan claw hand atau drop foot.
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.
Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis
N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus
yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian bagian mata lainnya. Secara
sendirian atau bersama sama akan menyebabkan kebutaan.
10
11
2.6.
Fenomena Lucio
Fenomena Lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada
kusta tipe lepromatosa non-nodular difus. Kista tipe ini terutama ditemukan di
Meksiko dan Amerika Tengah, namun dapat juga dijumpai dinegeri lain dengan
prevalensi rendah. Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna
merah muda, bentuk tak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas,
kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematosa, disertai
purpura, dan bula, kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri.
Lesi lambat menyembuh dan akhimya terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endotelial pembuluh
darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M. leprae di endotel kapiler. Walaupun
tidak ditemukan infiltrat polimorfonuklear seperti pada E.N.L., namun dengan
imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding
pembuluh darah. Titer kompleks imun yang beredar dan krioglobulin sangat tinggi
pada semua penderita.
2.7
Pengobatan
Prinsip terapi lepra, yaitu :
Menghentikan Infeksi.
Rehabilitasi pasien.
12
a.
Pengobatan E.N.L
Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain
tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut,
obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan
berat ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan
prednison 40-60 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus
secepat-cepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya
kerusakan saraf secara mendadak. Jarang terjadi ketergantungan terhadap
kortikosteroid. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan.
Analgetik dan sedativa kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi
reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang atau tidak pernah dipakai, begitu juga
talidomid tidak efektif terhadap reaksi reversal.
2.8
Pencegahan Cacat
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita
dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf
yang membesar atau nyeri juga memiliki risiko tersebut.
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan
berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya
14
perubahan sensibilitas atau kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka
yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan
sensibilitasnya saja. Juga ditemukan keluhan sukarnya melakukan aktivitas
seharihari, misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen atau mengambil
benda kecil, atau kesukaran berjalan. Semua keluhan tersebut harus diperiksa dengan
teliti dengan anamnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan, sebab
pengobatan dini dapat mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan menjadi
berlanjut.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of
disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian
pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan
tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan
kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi
petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah
terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas,
dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara
perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar,
luka, atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar
tidak kering dan pecah.
WHO Expert Committee on Leprosy dalam laporan yang dimuat daiam WHO
Technical Report Series No.607 (1977) telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita
kusta. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.1.
2.9
Rehabilitasi
15
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara
lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali
ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki.
Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang
sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa
percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).
16
BAB III
KESIMPULAN
3.1
Kesimpulan
Reaksi kusta hampir selalu terjadi pada penderita kusta baik sebelum
pengobatan, sedang dalam pengobatan dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta ini
dibagi menjadi 2, yaitu : reaksi tipe I atau reaksi reversal dan reaksi tipe II atau reaksi
ENL dengan manifestasi klinis yang jelas.
Walaupun reaksi kusta ini sangat sering ditemukan namun etiologinya masih
belum jelas. Beberapa factor pencetus diduga berkaitan dengan angka kejadian reaksi
ini, seperti : setelah pengobatan antikusta yang intensif, stress fisik / psikis, imunisasi,
kehamilan, persalinan, menstruasi, infeksi, trauma, dll.
17
Reaksi ENL terutama terjadi pada tipe lepromatosa (LL) dan borderline
lepromatosa (BL). Reaksi ini ditandai dengan adanya nodus eritematosa yang nyeri,
terutama di ekstremitas, dan beberapa gejala prodormal dan gejala sistemik.
Penatalaksanaan dari reaksi ini ditujukan untuk mengatasi neuritis, mencegah
paralisis dan kontraktur, mengatasi gangguan mata, dan disarankan untuk istirahat
atau imobilisasi. Diharapkan dengan penatalaksanaan yang baik dan cepat, dapat
mengurangi kecacatan permanen yang dapat terjadi pada penderita kusta.
DAFTAR PUSTAKA
18
19