Anda di halaman 1dari 20

DAFTAR ISI

BAB I LAPORAN KASUS.......................................................................................................2


BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................5
A. DEFINISI........................................................................................................................5
B. EPIDEMIOLOGI............................................................................................................5
C. ETIOLOGI......................................................................................................................5
D. GEJALA KLINIS............................................................................................................7
E. KLASIFIKASI................................................................................................................8
F.

DIAGNOSIS BANDING................................................................................................9

G. PENGOBATAN..............................................................................................................9
H. PROGNOSIS.................................................................................................................13
BAB III PEMBAHASAN........................................................................................................14
BAB IV KESIMPULAN..........................................................................................................16
BAB V DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................17

BAB I
LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

Nama

: Ainal Fadly

NIM

: 20090310115

Pembimbing

: dr. Dwi Rini Marganingsih, M.Kes, Sp.KK

Tanggal Presentasi

: 4 Mei 2015

A. Identitas Pasien

Nama

: Ny. M
2

Jenis Kelamin

: Perempuan

Umur

: 53 thn

Alamat

: Derman Gresik RT 4 Sumbermulyo Bambanglipuro Bantul

Tanggal periksa

: 27 April 2015

No RM

: 552411

B. Anamnesis

Keluhan Utama:

Warna kulit berubah menjadi pucat dan putih di tangan, badan, kaki.

Keluhan Tambahan:
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Pasien perempuan Ny. M 53 tahun, datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
dengan keluhan warna kulit berubah menjadi pucat dan putih di tangan, badan, kaki
sejak 10 tahun yang lalu. Awalnya keluar pertama kali di bagian lengan, kemudian kaki,
dan badan. Keluhan tak disertai rasa gatal, nyeri, ataupun panas.

Riwayat Penyakit Dahulu:

- Riwayat kontak dengan bahan kimia tertentu disangkal

- Riwayat penyakit kelenjar tiroid dan diabetes melitus disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga:

- Tidak ada anggota keluarga yang sedang mengalami keluhan dan gejala serupa

Riwayat Pengobatan

OS pernah memeriksakan keluhan kulit nya ini dan mendapatkan pengobatan dari dokter
spesialis kulit dan kelamin di RSPS.

C. Status Generalis

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan darah

: Tidak dilakukan

RR

: 22 x/menit

HR

: 88 x/menit

: Afebris

Mata

: Conjunctiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-

THT

: Faring hiperemis

Leher

: Pembesaran limfonodi

Thorax

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Abdomen

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstrimitas atas

: akral hangat (+)

Ekstrimitas bawah: akral hangat (+)

D. Status Dermatologis

Trunchus (badan)

: Tampak patch depigmentasi bentuk bulat hingga lonjong,

batas tegas, tersebar badan, ukuran bervariasi.

Ekstrimitas superior : Tampak patch depigmentasi bentuk bulat hingga lonjong,


batas tegas, tersebar di kedua ekstremitas, ukuran bervariasi.

Ekstrimitas Inferior

: Tampak patch depigmentasi bentuk bulat hingga lonjong,

batas tegas, tersebar di kedua ekstremitas, ukuran bervariasi.

E. Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

F. Diagnosis

Diagnosis Kerja

: Vitiligo

Diagnosis Banding

o Tinea Versicolor

o Pytiriasis Alba

G. Penatalaksanaan

Medikamentosa:

Kortikosteroid : Triamsinolon topikal / Hidrokortison topikal / Clobetasol

Non medikamentosa:

Edukasi pasien mengenai perjalanan kesembuhan penyakit vitiligo

Edukasi untuk berjemur di bawah matahari pagi/sore hari


6

H. Prognosis
Ad vitam
Ad sanam
Ad fungsionam
Ad kosmetikam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Sejak zaman dahulu vitiligo telah dikenal dengan beberapa istilah yakni
shwetekusta, suitra, behak, dan beras. Kata vitiligo sendiri berasal dan bahasa latin,
yakni vitellus yang berarti anak sapi, disebabkan karena kulit penderita berwarna
putih seperti kulit anak sapi yang berbercak putih. Istilah vitiligo mulai diperkenalkan
oleh Celsus, ia adalah seorang dokter Romawi pada abad kedua. Vitiligo adalah
gangguan depigmentasi idiopatik didapat yang ditandai dengan gambaran makula
putih tidak bersisik, hasil dari hancurnya melanosit kulit secara selektif (Djuanda,
2007).

B. EPIDEMIOLOGI
Vitiligo terjadi di seluruh dunia, dengan prevalensi mencapai 1%. Survey
epidemiologi pada kepulauan Bornholm di Denmark menemukan prevalensi vitiligo
mencapai 0,38%. Kemungkinan bahwa angka ini juga berlaku untuk negara-negara
lain di utara-barat Eropa (Djuanda, 2007).
Vitiligo pada umumnya dimulai pada masa anak-anak atau usia dewasa muda,
dengan puncak onsetnya (50% kasus) pada usia 10-30 tahun, tetapi kelainan ini dapat
terjadi pada semua usia.Tidak dipengaruhi oleh ras, dengan perbandingan laki-laki
sama dengan perempuan. Pernah dilaporkan bahwa vitiligo yang terjadi pada
perempuan lebih berat daripada laki-laki, tetapi perbedaan ini dianggap berasal dari
banyaknya laporan dari pasien perempuan oleh karena masalah kosmetik (Djuanda,
2007).

C. ETIOLOGI
Penyebab vitiligo yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Namun, diduga
ini adalah suatu penyakit herediter yang diturunkan secara poligenik atau secara
autosomal dominan. Berdasarkan laporan, didapatkan lebih dari 30% dari penderita
vitiligo mempunyai penyakit yang sama pada orangtua, saudara, atau anak mereka.
8

Pernah dilaporkan juga kasus vitiligo yang terjadi pada kembar identik (Djuanda,
2007).
Walaupun penyebab pasti vitiligo belum diketahui sepenuhnya. Namun,
beberapa faktor diduga dapat menjadi pencetus timbulnya vitiligo pada seseorang :
1. Faktor mekanis
Pada 10-70% penderita vitiligo timbul lesi setelah trauma fisik, misalnya setelah
tindakan bedah atau pada tempat bekas trauma fisik dan kimiawi
2. Faktor sinar matahari atau penyinaran ultra violet A
Pada 7-15% penderita vitiligo timbul lesi setelah terpajan sinar matahari atau
UVA dan ternyata 70% lesi pertama kali timbul pada bagian kulit yang terpajan
3. Faktor emosi / psikis
Dikatakan bahwa kira-kira 20% penderita vitiligo berkembang setelah mendapat
gangguan emosi, trauma atau stres psikis yang berat
4. Faktor hormonal
Diduga vitiligo memburuk selama kehamilan atau pada penggunaan
kontrasepsi oral. Namun pendapat tersebut masih diragukan.
Masih sedikit yang diketahui tentang patogenesis vitiligo, sehingga
patofisiologi penyakit ini masih menjadi teka-teki. Sampai saat ini terdapat 4 hipotesis
utama tentang mekanisme penghancuran melanosit pada vitiligo, yang masing-masing
mempunyai kekuatan dan kelemahan, yaitu:
Hipotesis autoimun, adanya hubungan antara vitiligo dengan tiroiditis Hashimoto,
anemia pernisiosa dan hipoparatiroid melanosit dijumpai pada serum 80% penderita
vitiligo.
Hipotesis neurohormonal, karena melanosit terbentuk dari neural crest, maka diduga
faktor neural berpengaruh. Tirosin adalah substrat untuk pembentukan melanin dan
katekol. Kemungkinan adanya produk intermediate yang terbentuk selama sintesis
katekol yang mempunyai efek merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan
keringat dan pembuluh darah terhadap respons transmiter saraf, misalnya asetilkolin.
Autositotoksik, sel melanosit membentuk melanin melalui oksidasi tirosin ke DOPA
dan DOPA ke dopakinon. Dopakinon akan dioksidasi menjadi berbagai indol dan
radikal bebas. Melanosit pada vitiligo dirusak oleh penumpukan prekursor melanin.
Secara in vitro dibuktikan tiroksin, dopa, dan dopakrom merupakan sitotoksik
terhadap melanosit.
9

Pajanan terhadap bahan kimiawi, depigmentasi kulit dapat terjadi terhadap pajanan
Mono Benzil Eter Hidrokinon dalam sarung tangan atau detergen mengandung fenol
(Djuanda, 2007).

D. GEJALA KLINIS
Vitiligo merupakan anomali pigmentasi kulit didapat. Kulit vitiligo menunjukan
gejala . Pada vitiligo, ditemukan makula dengan gambaran seperti Kapur atau putih
pucat dengan tepi yang tajam (Wolff & Johnson, 2009).
Progres dari penyakit ini bisa merupakan suatu pengembangan bertahap dari makula
lama atau pengembangan dari makula baru. Trichrome vitiligo (tiga warna: putih,
coklat muda, coklat tua) mewakili tahapan yang berbeda dalam evolusi vitiligo (Wolff
& Johnson, 2009).

Gambar 1. Vitiligo
Tangan, pergelangan tangan, lutut, leher dan daerah sekitar lubang
(misalnya mulut) merupakan daerah-daerah yang sering ditemukan vitiligo.
Kadang dapat juga ditemukan gambaran rambut yang memutih atau uban
prematur. Gambaran rambut putih pada vitiligo, dianalogikan dengan makula
putih, disebut dengan poliosis (Wolff & Johnson, 2009).

E. KLASIFIKASI

10

Bermacam-macam klasifikasi dikemukakan oleh beberapa ahli. Koga


membagi vitiligo dalam 2 golongan yaitu (Gawkrodger, 2003):
1. Vitiligo dengan distribusi sesuai dermatom.
2. Vitiligo dengan distribusi tidak sesuai dermatom.
Berdasarkan lokalisasi dan distribusinya, Nordlund membagi menjadi:
1. Tipe lokalisata, yang terdiri atas:
a) Bentuk fokal : terdapat satu atau lebih makula pada satu daerah dan tidak
segmental.
b) Bentuk segmental : terdapat satu atau lebih makula dalam satu
atau lebih daerah dermatom dan selalu unilateral.
c) Bentuk mukosal : lesi hanya terdapat pada selaput lendir (genital dan
mulut).
2. Tipe generalisata, yang terdiri atas:
a) Bentuk akrofasial : lesi terdpat pada bagian distal
ekstremitas dan muka.
b) Bentuk vulgaris : lesi tersebar tanpa pola khusus.
c) Bentuk mixed : lesi campuran segmental dan vulgaris atau akrofasial
3. Bentuk universalis : lesi yang luas meliputi seluruh atauhampir seluruh tubuh.

Gambar 2. Gambaran lokasi predileksi vitiligo

F. DIAGNOSIS BANDING
11

Berikut beberapa penyakit yang memiliki lesi seperti vitiligo (Boisy & Manga,
2004) :

Piebaldism

Tinea Vesicolor

Pytiriasis Alba

Leukodermal chemical

Post inflammatory Hypopigmentation

G. PENGOBATAN
Prinsip penatalaksanaan pada vitiligo yaitu repigmentasi dan menstabilkan
proses depigmentasi. Proses repigmentasi yang dimaksud yaitu membentuk cadangan
baru melanosit yang diharapkan akan tumbuh dalam kulit dan menghasilkan pigmen
melanin. Ada banyak pilihan terapi yang dapat memberikan hasil cukup memuaskan
pada sebagian besar pasien. Walaupun begitu, pengobatan vitiligo membutuhkan
waktu, karena sel yang baru terbentuk akan berproliferasi dan bermigrasi ke daerah
yang mengalami depigmentasi. Oleh karenanya 3 bulan merupakan waktu minimal
untuk melihat derajat respon terhadap pengobatan yang diberikan (Majid, 2010).
Metode pengobatan vitiligo dapat dibagi atas:
1. Pengobatan secara umum yaitu (James et al, 2006).:
Memberikan keterangan mengenai penyakit, pengobatan yang diberikan dan
menjelaskan perkembangan penyakit selanjutnya kepada penderita maupun

orang tua
Penggunaan tabir surya (SPF12-30) pada daerah yang terpapar sinar matahari.
Melanosit merupakan pelindung alami terhadap sinar matahari yang tidak
dijumpai pada penderita vitiligo. Penggunaan tabir surya mempunyai beberapa
alasan yaitu:
Kulit yang mengalami depigmentasi lebih rentan terhadap sinar matahari
(sunburn) dan dapat mengakibatkan timbulnya kanker kulit
Trauma yang diakibatkan sinar matahari (sunburn) selanjutnya dapat
memperluas daerah depigmentasi (Koebner phenomenon)
Pengaruh sinar matahari dapat mengakibatkan daerah kulit normal
menjadi lebih gelap
12

Dianjurkan menghindari aktivitas diluar rumah pada tengah hari dan

menggunakan tabir surya yang dapat melindungi dari sinar UVA dan UVB
Kamuflase kosmetik
Tujuan penggunaan kosmetik yaitu menyamarkan bercak putih sehingga tidak
terlalu kelihatan. Yang biasa digunakan adalah Covermark dan Dermablend.

2. Repigmentasi vitiligo, dapat dilakukan dengan berbagai cara dan melihat usia penderita
yaitu (James et al, 2006).:
A. Usia dibawah 12 tahun
Steroid topikal

Penggunaan steroid diharapkan dapat meningkatkan mekanisme pertahanan


terhadap autodestruksi melanosit dan menekan proses immunologis. Steroid topikal
merupakan bentuk pengobatan yang paling mudah. Steroid yang aman digunakan
pada anak adalah yang potensinya rendah. Respon pengobatan dilihat minimal 3
bulan. Pengguaan steroid topikal yang berpotensi kuat dalam jangka waktu lama,
dapat menimbulkan efek samping yaitu terjadinya atrofi pada kulit, telengiektasis

(James et al, 2006).


Tacrolimus topikal
Berdasarkan penelitian tacrolimus topikal 0.1% dapat digunakan sebagai
pengobatan alternatif vitiligo pada anak. Tacrolimus adalah makrolid lakton yang
diisolasi dari hasil fermentasi streptomyces tsukubaensis. Merupakan suatu
immunosupressor yang poten dan selektif. Mekanisme kerja berdasarkan inhibisi
kalsineurin yang menyebabkan supresi dari aktivasi sel T dan inhibisi pelepasan
sitokin. Berdasarkan penelitian, penggunaan tacrolimus topical 0.1% memberikan
hasil yang baik pada daerah wajah dan memiliki efek samping yang lebih minimal
dibandingkan dengan steroid topikal poten yaitu adanya rasa panas atau terbakar
dan rasa gatal, namun biasanya menghilang setelah beberapa hari pengobatan

(James et al, 2006).


PUVA topikal
Diindikasikan pada anak yang berusia lebih dari 10 tahun dengan vitiligo tipe
lokalisata atau pada lesi yang luasnya kurang dari 20% permukaan tubuh.
Digunakan cream atau solution Methoxsalen (8-Methoxypsoralen, Oxsoralen)
dengan konsentrasi 0,1-0,3%. Dioleskan 12-30 menit sebelum pemaparan pada lesi
yang dpigmentasi. Pemaparan menggunakan UV-A dengan dosis awal 0,12 joule
dan pada pemaparan berikutnya dosis dapat ditingkatkan sebanyak 0,12 joule
sampai terjadi eritema yang ringan. Pemaparan dapat juga menggunakan sinar
13

matahari. Lamanya pemaparan pada awal pengobatan selama 5 menit pada


pengobatan berikutnya dapat ditambahkan 5 menit dan maksimum selama 15-30
menit. Pengobatan diberikan satu atau dua kali seminggu, tetapi tidak dalam 2 hari
berturut turut. Setelah selesai pemaparan, daerah tersebut dicuci dengan sabun
dan dioleskan tabir surya. Efek samping yang dapat timbul adalah photoaging,
reaksi fototoksik dan penggunaan yang lama dapat meningkatkan timbulnya resiko
kanker kulit. Respon pengobatan dilihat selama 3-6 bulan (James et al, 2006).
B. Usia lebih dari 12 tahun (remaja)

SISTEMIK PUVA

Indikasi penggunaan sistemik psoralen dengan pemaparan UV-A yaitu pada

vitiligo tipe generalisata. Obat yang digunakan yaitu Methoxsalen (8-MOP, Oxsolaren),
bekerja dengan cara menghambat mitosis yaitu dengan berikatan secara kovalen pada dasar
pyrimidin dari DNA yang difotoaktivasi dengan UV-A. dosis yang diberikan 0,2 0,4
mg/kg/BB/oral, diminum 2 jam sebelum pemaparan. Pemaparan menggunakan UV-A yang
berspektrum 320-400 nm. Dosis awal pemberian UV-A yaitu 4 joule. Pada setiap pngobatan
dosis UV-A dapat ditingkatkan 2-3 joule sehingga lesi yang depigmentasi akan berubah
menjadi merah jambu muda. Dosis tersebut akan dipertahankan pada level yang konstan pada
kunjungan yang berikutnya, sehingga terjadi repigmentasi pada kulit. Pemaparan dapat juga
menggunakan sinar matahari. Lamanya pemaparan pada awal pengobatan selama 5 menit,
pada pengobatan berikutnya dapat ditambahkan 5 menit sehingga dicapai eritema ringan dan
maksimum 30 menit. Terapi ini biasanya diberikan satu atau dua kali seminggu tetapi tidak
dilakukan 2 hari berturut-turut (Majid, 2010)

Efek samping yang dapat timbul yaitu mual, muntah, sakit kepala, kulit
terbakar dan meningkatnya resiko terjadinya kanker kulit. Penderita mendapat pengobatan
dengan psoralen secara sistemik, sebaiknya sewaktu dilakukan pemaparan menggunakan
kacamata pelindung terhadap sinar matahari hingga sore hari, untuk menghindari terjadinya
toksisitas pada mata. Terapi dilanjutkan minimum 3 bulan untuk menilai respon pengobatan
(Majid, 2010)
TERAPI BEDAH

Pasien dengan area vitiligo yang tidak luas dan aktivitasnya stabil, dapat dilakukan
transplantasi secara bedah, yaitu (Majid, 2010) :
1. Autologous skin graft
Sering dilakukan pada pasien dengan bercak depigmentasi yang tidak luas. Tehnik
ini menggunakan jaringan graft yang berasal dari pasien itu sendiri dengan
14

pigmen yang normal, yang kemudian akan dipindahkan ke area depigmentasi pada
tubuh pasien itu sendiri. Repigmentasi akan menyebar dalam waktu 4-6 minggu
setelah dilakukan graft. Komplikasi yang dapat terjadi pada tempat donor yang
resipien yaitu infeksi, parut, cobblestone appearance ataupun dijumpainya bercakbercak pigmentasi atau tidak terjadi samasekali repigmentasi.
2. Suction Blister

Prosedur tekhnik ini yaitu dibentuknya bulla pada kulit yang pigmentasinya
normal menggunakan vakum suction dengan tekanan 150 Hg ataupun
menggunakan alat pembekuan. Kemudian atap bula yang terbentuk dipotong dan
dipindahkan ke daerah depigmentasi. Komplikasi tekhnik ini adalah timbulnya
jaringan parut, cobble stone appearance ataupun terjadi repigmentasi yang tidak
sempurna. Tetapi dengan tekhnik ini, resiko timbulnya jaringan parut lebih sedikit

dibandingkan prosedur graft yang lain.


DEPIGMENTASI

Terapi ini merupakan pilihan pada pasien yang gagal terapi PUVA atau pada

vitiligo yang luas dimana melibatkan lebih dari 50% area permukaan tubuh atau mendekati
tipe vitiligo universal. Pengobatan ini menggunakan bahan pemutih seperti 20% monobenzyl
ether dari hydroquinone (benzoquin 20%), yang dioleskan pada daerah normal (dijumpai
adanya melanosit). Dilakukan sekali atau dua kali sehari. Efek samping yang utama adalah
timbulnya iritasi lokal berupa kemerahan ataupun timbul rasa gatal. Oleh karena itu
dilakukan test pengolesan hanya pada satu lengan bawah yang dioleskan sehari sekali.
Apabila dalam 2 minggu tidak terjadi iritasi selanjutnya cream dapat dioleskan sehari 2 kali.
Kemudian setelah 2 minggu pengolesan tidak terjadi iritasi maka krim tersebut dapat
dioleskan pada tempat dimana saja pada tubuh. Bahan ini bersifat sitotoksik terhadap
melanosit dan menghancurkan melanosit. Depigmentasi bersifat permanen dan irreversibel.
Kulit penderita akan menjadi albinoid dan membutuhkan tabir surya (Shimizu, 2007).
TATTO (MIKROPIGMENTASI)
Tatto merupakan pigmen yang ditanamkan dengan menggunakan peralatan
khusus yang bersifat permanen. Tehnik ini memberikan respon yang terbaik pada
daerah bibir dan pada daerah yang berkulit gelap. Efek sampingnya yaitu terdapat
herpes simplex labialis (Shimizu, 2007).

H. PROGNOSIS
Perkembangan penyakit vitiligo sulit diramalkan, dimana lesi depigmentasi
dapat menetap, meluas atau bahkan mengalami repigmentasi. Biasanya perkembangan
15

penyakit vitiligo bertahap dan pengobatan dapat mencegah menetapnya lesi seumur
hidup pada penderita. Perkembangan lesi depigmentasi sering kali responsif pada
masa awal pengobatan. Repigmentasi spontan terjadi pada 10-20% penderita
walaupun secara kosmetik hasilnya kurang memuaskan (Djuanda, 2007).

16

BAB III
PEMBAHASAN

Penegakan Diagnosis
Diagnosis vitiligo pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala
klinis. Pasien adalah wanita usia 53 tahun, onset usia 43 tahun. Onset dimulai saat pasien
pada usia 43 tahun dan sudah berlangsung selama 10 tahun. Keluhan yang dirasakan
pasien tidak disertai dengan adanya rasa gatal, terbakar maupun pegal. Keluhan hanya
berupa perubahan warna kulit yang tidak merata. Pasien mengaku tidak ada keluarga
yang menderita hal yang sama (Wollf & Johnson, 2009).
Pemeriksaan fisik ditemukan lesi pada regio antebrachii et manus dextra et
sinistra, regio cruris et pedis dextra et sinistra dan thorakalis. Efloresensi berupa makula
hipopigmentasi dengan batas tegas, rata sama dengan kulit di sekitarnya, berukuran
polimorfik. Hal ini sesuai dengan teori yang sudah ada, bahwa pasien vitiligo akan
mengalami perubahan warna menjadi lebih pucat dari kulit awalnya, berbatas tegas, rata,
dan tidak terdapat keluhan seperti gatal, panas dan sebagainya (Djuanda, 2007). Tempat
predileksi yang khas adalah pada wajah, tangan terutama jari-jari, kaki, lutut, pantat,
daerah punggung dan dada.
Terapi vitiligo pada prinsipnya adalah repigmentasi dan memperlambat
depigmentasi. Respon terapi biasanya buruk. karena memang penyakit ini sukar sekali
untuk disembuhkan dan kembali seperti awal. Pada dasarnya, terapi dari vitiligo adalah
untuk memperbaiki kosmetik pasien saja, bukan untuk penyembuhan. Terapi vitiligo
meliputi terapi topikal yang dapat menggunakan steroid, trimetilpsoralen dan tabir surya.
Selain terapi farmakologis tadi, terapi dengan cara paparan ultraviolet juga dapat
membantu menyamarkan area lesi vitiligo supaya dapat lebih mirip dengan kulit
sekitarnya.
B. Eliminasi Diagnosis Banding
Diagnosis banding dengan tinea versicolor dan pitiriasis alba dapat disingkarkan
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang ditemukan. Tanda dan gejala yang sangat
khas dari tinea maupun penyakit infeksi lainnya adalah terdapatnya rasa gatal, sedangkan
di vitiligo pasien sama sekali tidak mengeluhkan adanya rasa gatal. Eliminasi tinea
versicolor juga dapat dilakukan dengan finger-nail sign, yaitu dengan menggaruk pada
17

lesi dengan ujung kuku, di mana pada tinea versicolor akan meninggalkan bekas warna
putih.
C. Penatalaksanaan
Pada kasus ini penatalaksanaan diberikan baik secara nonfarmakologi dan
farmakologi. Penatalaksanaan nonfarmakologi adalah berupa edukasi. Edukasi kepada
pasien berupa penjelasan kepada pasien mengenai penyakit dan perjalanan penyakit.
Pengobatan pada vitiligo juga dijelaskan bahwa prinsipnya adalah hanya menyamarkan
lesi yang ada supaya dari segi kosmetik pasien dapat lebih percaya diri. Edukasi yang
tidak kalah pentingnya adalah mengenai kepatuhan pengobatan dengan memperhatikan
cara penggunaanya. Pada pasien ini digunakan hidrokortison topikal.
D. Prognosis
Perkembangan penyakit vitiligo sulit diramalkan, dimana lesi depigmentasi dapat
menetap, meluas atau bahkan mengalami repigmentasi. Biasanya perkembangan
penyakit vitiligo bertahap dan pengobatan dapat mencegah menetapnya lesi seumur
hidup pada penderita. Perkembangan lesi depigmentasi sering kali responsif pada masa
awal pengobatan. Repigmentasi spontan terjadi pada 10-20% penderita walaupun secara
kosmetik hasilnya kurang memuaskan.

18

BAB IV
KESIMPULAN
Vitiligo adalah gangguan depigmentasi idiopatik didapat yang ditandai dengan
gambaran makula putih tidak bersisik,hasil dari hancurnya melanosit kulit secara selektif.
Penyebab vitiligo yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Namun, diduga ini
adalah suatu penyakit herediter yang diturunkan secara poligenik atau secara autosomal
dominan.
Masih sedikit yang diketahui tentang patogenesis vitiligo, sehingga patofisiologi
penyakit ini masih menjadi teka-teki. Sampai saat ini terdapat 4 hipotesis utama tentang
mekanisme penghancuran melanosit pada vitiligo.
Prinsip penatalaksanaan pada vitiligo yaitu repigmentasi dan menstabilkan proses
depigmentasi. Ada banyak pilihan terapi yang dapat memberikan hasil cukup memuaskan
pada sebagian besar pasien. Walaupun begitu, pengobatan vitiligo membutuhkan waktu,
karena sel yang baru terbentuk akan berproliferasi dan bermigrasi ke daerah yang
mengalami depigmentasi. Oleh karenanya 3 bulan merupakan waktu minimal untuk
melihat derajat respon terhadap pengobatan yang diberikan
Perkembangan penyakit vitiligo sulit diramalkan, dimana lesi depigmentasi dapat
menetap, meluas atau bahkan mengalami repigmentasi. Biasanya perkembangan penyakit
vitiligo bertahap dan pengobatan dapat mencegah menetapnya lesi seumur hidup pada
penderita. Perkembangan lesi depigmentasi sering kali responsif pada masa awal
pengobatan. Repigmentasi spontan terjadi pada 10-20% penderita walaupun secara
kosmetik hasilnya kurang memuaskan.

19

BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Boissy RE, Manga P. 2004. Review On the Etiology of Contact/Occupational Vitiligo.
Pigment Cell Res. 17: 208214.
Djuanda, A. 2007. Dermatosis Eritoskuamosa. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi kelima, Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Gawkrodger DJ. 2003. Dermatology an Ilustrated Colour Text. 3rd ed. London: Churchill
Livingstone.
James WD, Berger TG, Elston DM. 2006. Andrews Disease of The Skin. 10th ed.
Philadelpia: Saunders Elsevier 860-862.
Majid I. 2010. Vitiligo Management : an Update. BJMP. 3(3): a332.
Shimizu H. 2007. Shimizu's Textbook of Dermatology. Japan: Hokkaido University Press. 9.
Wolff, Klause, RA Johnson. Vitiligo. 2009. Dalam: Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. Sixth Edition. Newyork: Mc Graw-Hill Medical Publishing
Division.

20

Anda mungkin juga menyukai