Diajukan Oleh:
Ayu Ardilla Andromeda S.Ked
J 500100043
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014
CASE REPORT
APPENDICITIS
Diajukan Oleh :
Ayu Ardilla Andromeda S.ked
J500100043
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari, 5 Mei 2014
Pembimbing :
dr. Hariyono Sp. B
(.................................)
(.................................)
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Agama
Suku
Alamat
Tanggal MRS
No. RM
: Ny. S
: 42 tahun
: Perempuan
: Ibu Rumah Tangga
: Islam
: Jawa
: Cangakan timur 2/1, Karanganyar
: 29 April 2014
: 25.20.90
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri pada perut kanan bawah.
: disangkal
: disangkal
: disangkal
d. Riwayat hipertensi
: diakui
: disangkal
f. Riwayat DM
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
b. Riwayat hipertensi
: diakui
c. Riwayat DM
: disangkal
5. Keluhan Sistemik
a.Cardio
debar (-)
b. Pulmo
e.Musculoskeletal
sendi (+)
BAK lancar
:
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : Baik
b. Kesadaran
: Compos Mentis
c. Vital Sign
Tekanan Darah
Nadi
Respirasi
Suhu
: 120/80 mmHg
: 70x/menit
: 20x/menit
: 37oC
2. Status Interna
a. Pemeriksaan Kepala
Normocephal
Pupil isokhor, 3 mm
Konjungtiva anemis (-/-)
Sklera ikhterik (-/-)
b. Pemeriksaan Leher
KGB
JVP
c. Pemeriksaan Thorax
1. Paru
Inspeksi : simetris kanan kiri, tidak terdapat massa
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
sinistra
jantung kanan, SIC IV LPS dextra, batas jantung kiri SIC IV LMC
sinistra
Auskultasi: Bunyi jantung I-II murni, reguler, bising
jantung (-)
3. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
Perkusi
: Suara tympani
Palpasi
d. Pemeriksaan Ekstremitas
Superior
Inferior
Akral
: Hangat
3. Status Lokalis
-
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah
No
1
2
3
4
5
6
Parameter
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
MCV
MCH
Jumlah
8400
5,11 jt
14,8
43,1
84,3
29,0
Satuan
uL
uL
Gr/dl
%
Femtoliter
Pikogram
Nilai Rujukan
5000-10000/uL
4,0-5,0 juta/uL
12,00 16,00 g/dl
37,00 47,00 %
82-92 fl
27-31 pg
7
8
9
10
11
MCHC
Trombosit
Limfosit
Monosit
Neutrofil
34,3
171.000
25,7
2,9
68.6
s
g/dl
uL
%
%
%
32-37 g/dl
150.000-300.000/uL
25 - 40%
3,0 9,0%
33-70%
12
13
HBS Ag
GDS
negative
97
mg/dl
70 150
14
Ureum
11
mg/dl
10 50
15
Creatinin
0,51
Mg/dl
0,5 0,9
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Appendiks
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kirakira 10 cm dan berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak saat
perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari
protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum
yang berlebih akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial menuju
katup ileocaecal.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan
menyempit kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens
appendicitis pada usia tersebut. Appendiks memiliki lumen sempit di bagian
proksimal dan melebar pada bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea
coli yang menyatu dipersambungan sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi
appendiks. Gejala klinik appendicitis ditentukan oleh letak appendiks. Posisi
appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul)
31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%,
dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%.
Gambar 1.1. Appendiks pada saluran pencernaan
menimbulkan
gangguan
sirkulasi
darah
sehingga
terjadi
Pada
kultur
ditemukan
kombinasi
antara
Bacteriodes
fragililis
dan
rendah
serat.
Penelitian
epidemiologi
disebabkan
obstruksi.
Sekresi
mukosa
b.
infiltrat
adalah
proses
radang
appendiks
yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan
peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat
satu dengan yang lainnya.
f. Appendicitis Abses
Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal,
subcaecal, dan pelvic.
g. Appendicitis Perforasi
Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren
yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi
peritonitis umum. Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi
oleh jaringan nekrotik.
2. Appendicitis Kronis
Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut supuratif
sebagai proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan
virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa appendicitis
kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan
bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan
mikroskopik. Secara histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan
muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan
eosinofil pada submukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa
tampak dilatasi.
G. Gejala Appendicitis
Beberapa gejala yang sering terjadi yaitu:
lain
yang
memberikan
gambaran
klinis
yang
hampir
sama
denganappendicitis, diantaranya:
Gastroenteritis ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare mendahului rasa
sakit. Sakit perut lebih ringan, hiperperistaltis sering ditemukan, panas dan
tekan perut.
Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh hasil
infeksi urin.
Gangguan alat reproduksi perempuan, folikel ovarium yang pecah dapat
memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Tidak
ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam.
Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan
yang tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di luar rahim disertai
pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvic dan bisa terjadi syok
hipovolemik
Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan appendicitis jika isi
E. Diagnosa Appendicitis
Diagnosa yang dilakukan antara lain:
1. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi pada appendicitis akut tidak ditemukan gambaran yang spesifik dan terlihat
distensi perut.
Palpasi pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan akan terasa nyeri dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan
kunci diagnosa appendicitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri
pada perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Apabila
tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan
di daerah pelvic.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui letak appendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan
otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul
kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di
m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akanmenimbulkan nyeri. Pada uji obturator
dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila
appendiks yang meradang kontak dengan obturator internus yang merupakan
dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.
2. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP).
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.00018.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein
fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat
dilihat melalui proses elektroforesis serum protein.Angka sensitivitas dan spesifisitas
pemeriksaan
ultrasonografi
(USG)
dan
Computed
Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85%
dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan
kemungkinan kehamilan.
Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan
karsinoma colon.
Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti appendicitis, tetapi
mempunyai arti penting dalam membedakan appendicitis dengan obstruksi usus
halus atau batu ureter kanan.
F. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita appendicitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis perforasi,
sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian
antibiotik sistemik.
2. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan
perforasi.mPada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
G. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan appendicitis. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita
meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan
diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat
melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas
dan mortalitas. Proporsi komplikasi appendicitis 10-32%, paling sering pada anak
kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-
75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang
tua. Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih pendek
dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi,sedangkan pada
orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa
flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila
appendicitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal
sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. 19 Perforasi dapat diketahui praoperatif
pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit,
panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis
terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupunmikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritonitis
Peritonitis
merupakan
komplikasi
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar
luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan leukositosis.
H. Prognosis
Prognosis mortalitas adalah 0,1 % jika appendicitis tidak pecah, dan 15% jika
pecah pada orang tua. Kematian biasanya akibat adanya sepsis, emboli paru, atau
aspirasi. Prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum ruptur dan antibiotik.
I. Pencegahan Appendicitis
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap
kejadian appendicitis. Upaya pencegahan primer dilakukan secara menyeluruh
kepada masyarakat. Upaya yang dilakukan antara lain:
a. Diet tinggi serat
Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan
insidens timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan bahwa
diet tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran
pencernaan. Serat dalam makanan mempunyai kemampuan mengikat air, selulosa,
dan pektin yang membantu mempercepat sisi-sisa makanan untuk diekskresikan
keluar sehingga tidak terjadi konstipasi yang mengakibatkan penekanan pada
dinding kolon.
b. Defekasi yang teratur
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces.
Makanan yang mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces dan
makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada waktu
yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada
pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di kolon. Frekuensi
defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi feces yang lebih padat
sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi menaikkan tekanan intracaecal sehingga
terjadi sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora
normal kolon. Pengerasan feces memungkinkan adanya bagian yang terselip masuk
ke saluran appendiks dan menjadi media kuman/bakteri berkembang biak sebagai
infeksi yang menimbulkan peradangan pada appendiks.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder meliputi diagnosa dini dan pengobatan yang tepat
untuk mencegah timbulnya komplikasi.
3. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi
DAFTAR PUSTAKA
Birnbaum and Wilson S. Appendicitis At the Millenium. 2006. Available from:
http://radiology.rsnajnls.org/cgi/content/full/215/2/337 [Accessed on May 2th, 2014].
Craig, S., 2010. Acute Appendicitis. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview [Accessed on Mays, 2th 2014].
Hartman, G. E., 2000. Apendisitis Akut. In: Nelson, W.E., Behrman, R.E., Kliegman, R.M.,
and Arvin, A.M., ed. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. 2. Edisi 15. Jakarta: EGC, 13641366.
Itskowits, M. S., and Jones, S. M., 2010. Appendicitis. Available from:
http://www.emedmag.com/html/pre/gic/consults/101504.asp [Accessed on May, 5th 2014].
Kartono. D., 1995. Apendisitis Akuta. In: Reksoprodjo, S., dkk., ed. Kumpulan Kuliah Ilmu
Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara, 109-113.
Katz,
M.
S.,
dkk.,
2009.
Appendicitis.
Medscape.
Available
from: