Catatan Pinggir PDF
Catatan Pinggir PDF
Posted
trackback
by
anick
in
All
Posts,
Kapitalisme,
Pepeling.
Dengan beras kasar yang kumakan, dengan air yang kuminum, seraya lenganku bertelekan ke sebuah bantal
masih kurasakan sukacita pada benda-benda ini.
Konghucu
Benda-benda makin lama makin membuat jarak dari kita. Beras, air minum, dan bantal itu
kita konsumsi dan kita pakai setiap harimungkin kita nikmatitapi di manakah kita?
Hari ini kita pergi ke sebuah mall di Jakarta. Di deretan etalase yang gilang-gemilang itu
benda-benda diletakkan dengan jarak tertentu. Kalau bukan jarak fisik, ia jarak dari
keseharian kita. Mereka tampak mengimbau karena mereka, seperti satu adegan film Avatar,
bukan bagian dari malam dan siang kita yang lazim. Dan ketika kita ketahui harga mereka
yang tak dapat diraih kebanyakan orang, makin jelas bagaimana benda-benda itu telah
berubah.
Marx pernah berbicara tentang festishisme komoditas: ketika komoditas jadi jimat, benda
yang dianggap punya kesaktian, atau, dalam bahasa Portugis, feitio.
Pada waktu ia menulis itu, dalam jilid pertama Kapital, Marx belum melihat gaun Max Mara,
tas Louis Vuitton, stoking Pierre Mantoux, jaket Gucci, yang dipamerkan dengan iklan besar
atau dipasang di tubuh manekin langsing. Marx baru berbicara tentang beberapa potong kayu
yang dijadikan meja, dan meja yang dijual di pasar. Syahdan, meja itu kemudian terlepas dari
tangan sang pembuat yang berkeringat. Si meja kini seakan-akan berjalan sendiri, tampil
untuk dipertukarkan dengan benda lain yang juga lepas dari tenaga sang produsen. Pada saat
itu, hubungan yang terjadi praktis bukan lagi hubungan antara manusia. Manusia di luarnya.
Di depan etalase Emiglio Zegna, yang memajang kemeja dan pantalon yang necis, kita tak
tahu siapa Emiglio Zegna. Kita tak peduli apakah itu nama sang desainer atau nama seorang
aktor yang dipinjam untuk jadi merek. Kita mungkin kagum kepada desainnya, tapi tak
peduli siapa yang merancang. Kita bahkan tak merasa perlu tahu siapa yang punya toko. Di
pikiran kita hanya sederet pantalon, sederat jas, sederet hem. Apa yang dikatakan Marx tepat
di sini: benda-benda itu kini menampilkan sifat metafisik yang halus dan kesantunan
theologis.
Tapi ada yang tak disebut Marx: kita datang ke mall itu bukan dengan kepala kosong. Kita
bukan tabula rasa. Kita memilih pergi ke sana dan tertarik karena kita hidup di antara fantasi,
mimpi, hasrat, yang sudah mengisi diri kita, bertaut dengan hal-hal yang telah membentuk
impian sosial. Antara aku dan benda dalam etalase itu ada satu proses perantaraan, terutama
oleh mediamajalah Dewi, Esquire, Kosmopolitan, film ala Hollywood, sinetron ala Raam
Punjabi, dan entah apa lagiyang membentuk pelbagai markah: merek, gaya, potongan
bentuk, bahkan mall itu seluruhnya menandai kecantikan atau kegantengan atau
kepatutan.
Berangsung-angsur, markah-markah itu jadi bagian dari kesadaran kita. Merekalah wakil atau
representasi dari hal-hal yang sebenarnya tak akan dapat dihadirkan (bagaimana kita bisa
menghadirkan kecantikan?), tapi terus-menerus kita hendak menjangkau. Dengan kata lain,
markah-markah itu jadi penanda yang tak dihadiri oleh yang ditandai. Tapi mereka begitu
kuat hingga kita ingin menyatukan diri dengan mereka. Penyatuan itu terjadi dalam milik:
kita ingin memiliki mereka, sementara kita juga dimiliki mereka.
Artinya, kita bukan dalam situasi Konghucu. Beras, air minum, dan bantal itu sudah berubah.
Apa yang dulu dialami dalam hidup secara langsung kini telah hanya jadi representasi, tulis
Guy Debord, seorang Marxis yang masygul. Baginya, sejarah kehidupan sosial adalah sejarah
merosotnya ada jadi milik dan milik jadi penampilan. Kita hidup, kita ada, tetapi
dalam kenyataannya kita dibentuk oleh penampilan yang mendorong kita memiliki.
Kita hidup dalam masyarakat tontonan, la socit du spectacle. Tontonan, yang punya
akar pada kata Jawa ton, menemukan contohnya pada mall itu. Tontonan, tulis Debord,
bukanlah sebuah himpunan imaji, melainkan persesuaian sosial antara orang-orang, yang
diperantarai oleh imaji-imaji.
Debord, seperti saya singgung tadi, menilai keadaan ini sebagai kemerosotan. Bukunya, La
socit du spectacle, adalah tafsir yang lebih jauh atas sinyalemen Marx bahwa di bawah
kapitalisme, manusia sebenarnya hidup dalam alienasi, dalam keterasingan: aku terasing
dari tenaga kerjaku sendiri ketika tenaga kerja itu jadi komoditas yang tak aku kuasai; aku
terasing dari benda yang aku hasilkan, ketika benda itu diperjualbelikan; aku terasing dari
orang lain yang akan membeli dan menggunakan benda itu.
Dalam analisis Debord, keterasingan manusia, sebagai penonton, ada dalam posisi yang agak
berbeda: ketika sang penonton (alias sang konsumen) makin meletakkan diri dalam dominasi
markah-markah yang menandai kebutuhan, ia akan makin kurang ada bersama eksistensinya
sendiri. Ia minum kopi, baca koran, mengunyah kue, pergi main golf, pergi ke mall: tontonan
itu ada di mana-mana. Dan sang penonton? Ia bersama mereka, di mana-mana. Ia tak
berumah.
Tapi saya tak bisa mengatakan ia tak bersukacita. Mungkin tak seperti Konghucu. Mungkin
itu kebahagiaan hidup yang palsu. Tapi adakah yang asli yang bisa kita temui tanpa
representasi? Terutama ketika kapitalisme membangun markah terus-menerus untuk
menunjukkan tentang apa yang kita butuhkan?
Kita boleh berharap kapitalisme akan runtuh kelak. Tapi harus diakui, harapan itu makin
tipis. Maka apa yang harus dilakukan? Mungkin bersahaja: kita harus ingat, kita punya
subyektivitas yang cukup untuk mencoba merebut kembali ada dari milik dan
penampilan.
Kita sesekali perlu sejenak jadi Konghucu.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 15 Februari 2010~
anick
in
All
Posts,
Identitas,
Indonesia,
Sejarah.
Di hotel dengan gaya art deco yang elegan dari masa sebelum perang itu, sebuah tim AngloDutch Country Section menempati kamar No. 33.
Di jalanan, juga di Jalan Tunjungan itu, Surabaya serak oleh suara kemerdekaan. Republik
Indonesia baru berdiri, dengan bangga, yakin, nekat, cemas. Ini revolusi, Bung, kita tak akan
biarkan kolonialisme kembali! Surabaya mendengus siap perang. Sebuah transisi besar terasa
tegang sampai ke saraf kaki.
Bisa diduga kenapa tim yang terdiri atas sekitar 20 orang asing itu ada di sana. ADCS adalah
organisasi intelijen gabungan Inggris-Belanda yang berpusat di Kolombo, Sri Lanka. Kamar
No. 33 hotel itu jadi kantor mereka untuk beroperasi. Mereka harus bekerja agar Indonesia
tak lepas dari kekuasaan Belanda.
Ada yang simbolik dari hotel yang kini bernama Majapahit itu. Saya coba bayangkan hari
itu perasaan orang-orang Belanda yang ada dalam Kamar No. 33. Ketika mereka datang,
hotel yang dibangun di tahun 1910 oleh Lucas Sarkies, orang Armenia, itu telah berubah
nama; sampai tahun 1943, namanya Oranje. Kemudian Jepang datang, pemerintahan
Hindia Belanda bertekuk lutut, dan hotel itu jadi Yamatoyang juga markas tentara.
Militer Jepang telah mengambil alih semuanya, juga nostalgia. Dan ketika di bulan
September 1945 Jepang tak berkuasa lagi, Nederlandsche Indie juga sudah tak ada. Di
mana-mana terdengar pekik Merdeka, dan ribuan orang siap mati untuk kemerdekaan itu.
Saya bayangkan perasaan orang-orang Belanda itu: mereka tak hendak ditampar ketiga
kalinya oleh sejarah. Maka pagi-pagi sekali, pukul enam, di atas hotel itu (ingat, namanya
Oranje!), mereka kibarkan Merah-Putih-Biru. Mereka berharap Surabaya akan bangun dari
tidur dan melihat: Belanda tetap di sini.
Apakah sebuah bendera, sebenarnya? Selembar kain yang diberi harga untuk menandai
kami yang bukan-mereka dan mereka yang bukan-kami. Bendera adalah saksi
sejarah bahwa identitasku punya arti karena ada perbatasan dengan dia yang di luar diriku.
Dalam arti itu, yang di luar itu jugalah yang membentuk diriku, hingga aku jadi sebuah
totalitas yang seakan-akan utuh. Tapi sementara itu, yang di luar itu pula yang selalu
mengancam akan melenyapkan aku. Identitas selamanya genting.
Pagi itu, bendera di atas Hotel Oranje itu menegaskan kembali perannya dalam suasana
genting. Di tahun 1572 ia bagian dari perlawanan orang Belanda menghadapi penjajahan
Spanyol. Di tahun 1945, di Surabaya, ia bagian dari ingin kembalinya daulat Belanda yang
terancam oleh para inlander yang mau memberontak.
Tapi yang memberontak juga punya bendera. Mereka punya sebuah penanda yang maknanya
secara a priori tak ada, dan sebab itu bisa disambut pelbagai unsur dan interpretasi yang
berbeda-beda. Ketika pagi itu orang Surabaya melihat Sang Tiga Warna berkibar, mereka
tahu: ada penanda lain, bukan milik mereka, yang dipasang oleh mereka yang mengancam
kami.
Maka sebelum hari siang, Sudirman, residen Surabaya, wakil Republik, datang. Ia merasa
punya otoritas dan kewajiban meminta agar bendera Belanda itu diturunkan. Tapi ia
ditampik; konon seorang Belanda dalam tim ADCS itu bahkan mencabut pistolnya.
Di luar, berpuluh-puluh pemuda tak sabar lagi. Bentrokan tak dapat dielakkan. Seorang
Belanda tewas ditikam. Empat orang pemuda Surabaya mati. Beberapa orang memasang
tangga dan mencapai tempat tiang dipasang. Merah-Putih-Biru itu pun diturunkan. Warna
birunya digunting, lalu dibuang. Sisanya, kini jadi Merah-Putih, dikibarkan di tempat yang
semula. Di Jalan Tunjungan orang ramai menyaksikan bendera itu naik. Dengan mata yang
jadi basah, mereka berseru, Merdeka! Indonesia merdeka!
Apakah selembar bendera sebetulnya? Sesuatu yang mewakili sebuah wacana yang disebut
Indonesia. Sebuah signan yang dipilih untuk mematok wacana itu: dengan itulah,
Indonesia, sepatah kata yang tak henti-hentinya melahirkan arti, telah terpacak (setidaknya
dalam satu atau beberapa jenak) dalam lambang Sang Merah Putih.
Yang menarik dari insiden itu ialah bahwa Indonesia tak dipacak oleh konsep yang jelas
dan lengkap, melainkan oleh perbuatan orang-orang yang tiba-tiba jadi dahsyat, seakan-akan
tiwikrama, seakan-akan berubah dalam sebuah proses di mana kebenaran menggugah. Hari
itu Indonesia lahir dalam sebuah kejadian yang transformatif: untuk meminjam kata Alain
Badiou, karena subyek yang bangkit oleh lvnement.
Tapi kebangkitan itu bukanlah suatu mukjizat. Ia tak datang dari langit. Merah-Putih itu
beberapa menit yang lalu adalah Merah-Putih-Biru. Sebagaimana Merah-Putih-Biru itu juga
lahir dari sejarah, dan sebab itu sebenarnya tak kekal (dulu ia disebut Oranje-Wit-Blau),
Indonesia muncul bukan dari ketiadaan total. Ada masa lalu yang tetap membayang.
Tapi pada sisi lain, Indonesia berkibar setelah sebuah pemotongan. Ada yang ditiadakan
dari bendera yang terpasang di atas Hotel Oranje jam 6 pagi tadi. Itu sebabnya saya selalu
ingat: peristiwa di Hotel Oranje itu sesuatu yang heroik, tapi para pahlawan memberi kita
sebuah warisan yang terbelah dan kurang.
Ia terbelah, karena di satu pihak ia lahir dari sebuah kejadian yang transformatif. Tapi di lain
pihak, masa lalubahkan masa lalu yang traumatikterus-menerus membayanginya. Ia
kurang, karena memang begitulah ia dibentuk: dari pemotongan.
Maka Indonesia tak akan henti-hentinya mendamba, berhasrat, agar dirinya utuh. Ia punya
utopianya sendiri yang tak akan pernah ada: Indonesia sebagai sebuah harmoni yang lengkap.
Tapi utopia itu bukanlah khayal tempat kita lari menghibur diri dari pedihnya ketakutuhan
dan kekurangan. Utopia itu, untuk meminjam kata Paul Ricoeur, adalah satu tangan kritik.
Dengan itu kita tahu, kerja belum selesai, belum apa-apa, tapi tiap kali kita bisa
memberinya arti.
~Majalah Tempo Edisi. 39/XXXVI/19 25 November 2007 ~
menghadiahi mereka bila patuh dan menghukum mereka bila melanggar, tulis Spinoza.
Tuhan bukan person. Sebagaimana Ia tak bisa diwujudkan dalam arca, Ia tak bisa
dibayangkan secara antroposentris. Siapa yang memandang Tuhan dengan memakai sifat dan
fiil manusia sebagai model akhirnya membuat iman jadi absurd: bagaimana Tuhan cemburu
dan menuntut dipatuhi bila Ia mahakuasa?
Bagi Spinoza, Tuhan itu substansi. Substansi itu mengambil modus, dan Tuhan
mengambil modus sebagai Natura naturans, Alam kreatif yang membuahkan alam yang dialam-kan, Natura naturata. Ada kesatuan ontologis antara Tuhan dan ciptaannya.
Tapi dengan demikian Tuhan bagi Spinoza bukanlah Tuhan yang akan mencintai, atau
membenci, atau membuat mukjizat. Pada saat yang sama, Tuhan ada di mana-mana, dalam
segala yang ada.
Suara Spinoza tak akan diberangus seandainya ia hidup di zaman lain. Tapi seperti
dikisahkan dengan mengasyikkan oleh Matthew Stewart dalam The Courtier and the Heretic,
tentang pertemuan dan konflik pemikiran Leibnitz dan Spinoza, Tuhan adalah nama
persoalan abad ke-17.
Waktu itu Gereja telah dijatuhkan monopolinya oleh banyak aliran protestanisme; ilmu
pengetahuan mulai mengguncang Kitab Suci; ekonomi dan politik mulai bebas dari intervensi
lembaga agama.
Ada kebebasan berpikir, tapi juga rasa cemas menghadapi kebebasan. Spinoza sejenak
merasakan kemerdekaan justru ketika ia dikeluarkan dari jemaat Yahudidan bersyukur ia
hidup di negeri yang tak akan membinasakan orang murtad. Namun pada akhirnya ia tahu:
tak akan ada rasa aman begitu ia jadi duri bagi iman orang ramai.
Pada suatu hari seorang fanatik mencoba menusuknya dengan belati. Ia selamat. Tapi ia tahu
ia harus berhati-hati. Ia, yang tinggal menumpang di Rhinsburg, dekat Leiden, dan di Den
Haag, praktis menghabiskan waktunya menulis di kamarnya sambil tak henti-hentinya
merokokdan menyelesaikan beberapa buku. Tapi selama 10 tahun Spinoza tak berusaha
menerbitkannya. Seorang penerbit yang mencetak pendapat yang dianggap berbahaya bagi
iman telah dipenjarakan 10 tahun. Di tahun 1675, ketika Spinoza ke Amsterdam untuk
mencetak satu karyanya, ia dengar desas-desus tersebar di kalangan para pakar theologi
Kristen bahwa buku itu berusaha membuktikan Tuhan tak ada. Spinoza pun membatalkan
niatnya.
Baru setelah ia meninggal karyanya yang penting, Ethica, terbit di tahun 1677. Sementara itu
Tractacus-Theologico-Politicus yang terbit di tahun 1670, ketika ia masih hidup, muncul
dengan tanpa namadan segera masuk buku terlarang.
Tak mengherankan, bila sejalan dengan pikirannya tentang Tuhan yang terpaut erat dengan
manusia dan semestaartinya Tuhan tak bisa digambarkan sebagai raja yang bertakhta
Spinoza menganggap kekuasaan politik para ulama dan pendeta harus ditiadakan. Iman yang
tulus hanya tumbuh dalam kebebasandan justru pada kisah Bento yang diusir, kita tahu
Spinoza benar.
~Majalah Tempo Edisi. 47/XXXVI/14 20 Januari 2008~
Dengan gotongroyong postmodern itulah lahir Wikipedia, sebuah ensiklopedia yang bisa
dibaca dan dikutip bebas tanpa bayar. Didirikan pada 2001, ensiklopedia lewat Internet ini
kini sudah terbit dalam 266 bahasa, isinya ditulis oleh 75 ribu penyumbang aktif. Siapa saja
sebenarnya dapat mengisi dan mengedit isinyadan dengan demikian diasumsikan ada
saling koreksi dalam proses berbagi informasi itu. Dalam komunitas yang terbentuk oleh
Wikipedia initiap bulan ia dikunjungi 65 juta orang sebuah dunia baru tengah mendesak
dunia ensiklopedia lama, yang disusun dengan biaya besar, dan membutuhkan Modal Besar.
Hal yang mirip terjadi dalam gerakan yang dirintis Richard Stallman untuk menyediakan
peranti lunak gratis bagi siapa saja. Beriburibu pengembang software pun bekerja sebagai
sukarelawan bersamasama dan berhasil menciptakan GNU/Linux, sebuah pesaing serius bagi
Sang Modal Besar di belakang Microsoft. Sebanyak 4,5 juta sukarelawan lain menciptakan
sebuah superkomputer paling kuat di muka bumi, SETI@Home.
Melihat gejala ini, Yochai Benkler, guru besar dari Yale itu, menulis The Wealth of
Networks, merasa yakin bahwa kita tengah menyaksikan bangkitnya produksi nonpasar. Ia
menyebutnya produksi sosialyang tak berdasarkan klaim dengan tujuan dijual ke pasar. Tak
ada pula dasar hak milik, misalnya atas paten.
Dalam buku yang dikirimkan Antyo ke saya itu saya temukan suatu totokan ke dalam pikiran
kita yang mulai beku: kapitalisme memang tidak matimati, seperti Vampir pengisap darah,
tapi akhirnya ada cara untuk menegaskan bahwa cengkeraman Sang Modal Besar tak bisa
menaklukkan seantero kehidupan. Kapitalisme tak 100 persen memaksakan komodifikasi
semua hal. Kini Wikipedia, GNU/Linux, dan SETI@Home menunjukkan itu. Subyek,
meskipun dalam kehadirannya yang tak kukuh, tak seluruhnya ditelan hiduphidup.
Maka para pemikir muram (dan mereka yang mimpi jadi Che Guevara di ruangruang
akademi) tak boleh mengatakan dengan geraham gemeretak bahwa kapitalisme adalah sistem
yang menelan ruang kehidupan.
Tapi benarkah Benkler? Tidakkah Modal Besar akan punya kemampuan untuk
memanfaatkan hasil produksi sosial itumisalnya IBM bisa mendapatkan keuntungan dari
jasa merawat Linux? Bagaimana dengan persaingan?
Barangkali masih terlampau pagi untuk menyimpulkan bahwa telah kita temukan alternatif
baru. Tapi dunia maya telah memperkenalkan kemungkinan lahirnya kehidupan yang lebih
menarik: kehidupan di mana individu ternyata bisa menjalankan kebebasan tapi pada saat
yang sama memilih untuk berbagi.
Manusia sebenarnya tak terlampau buruk.
~Najalah Tempo Edisi 15 Juni 2009~
anick
in
Agama,
All
Posts,
Film,
Tokoh,
Tuhan.
Tuhan pernah jadi beban bagi Ingmar Bergman. Tapi kemudian beban itu lepas, bahkan jauh
sebelum sutradara film ini meninggal dalam usia 89dengan nama harum ke seluruh
duniadi Pulau Far di Laut Baltik, 30 Juli yang lalu. Superstruktur keagamaan saya yang
berat ke atas telah runtuh, katanya pada suatu kalidan ia merasa lega.
Tuhan pernah jadi beban bagi Bergman karena dalam hidupnya, Yang Maha Kuasa diwakili
sosok angker seorang ayah. Ayah itu pendeta Lutheran Swedia yang keras, yang tak jarang
mengurung Ingmar kecil di ruang gelapseperti yang bertahun-tahun kemudian
digambarkannya dalam tokoh Pendeta Edvard Vergerus, ayah tiri yang tanpa belas kasih itu,
dalam film Fanny och Alexander (1983).
Film ini adalah kisah Alexander, bocah berumur 10 tahun. Ia anak yang peka rasa, agak
pelamun, dan terbuka pada khayal yang hidup. Dibesarkan dalam keluarga Ekhdal yang
longgar, sensual, gembira, dan artistik, ia kemudian masuk ke dunia Pendeta Vergerus,
setelah rohaniwan Lutheran ini menikahi ibunya: sebuah dunia dengan iman yang teguh,
puritan, represif, dan bengis.
Di sela-sela itu, Alexander menemukan dunia yang magis dan remang di antara bonekaboneka antik sebuah keluarga Yahudi. Satu dimensi lain pun muncul: dalam hidup ada
sesuatu yang ajaib dan mempesona, sesuatu yang bukan duniawi, tapi jauh dari akidah
agama.
Fanny och Alexander, yang mengandung anasir otobiografis yang tebal, praktis sebuah
gugatan kepada ruang terkunci yang bernama akidah agama. Masa kecil Bergmanseperti
dalam kisah si Alexanderadalah tahun-tahun yang dirundung trauma dalam ruang terkunci
itu. Salah satu perasaan yang paling menusuk, bagi Bergman, adalah perasaan direndahkan.
Kini ia melihatnya sebagai salah satu sebab ia memandang muram ajaran agama. Ia
menentang agama Kristen dengan sangat, katanya dalam Bergman on Bergman, Interviews
with Ingmar Bergman, karena agama ini dilekati motif penghinaan yang sangat ganas. Bagi
ajaran agama Kristen yang ia warisi, manusia adalah pendosa sejak lahir. Ia selalu berada
dalam posisi untuk diawasi.
Memang agak aneh, Bergman tak melihat segi lain dari iman Kristen: adanya keyakinan akan
Kasih dan Penebusan. Mungkin karena dalam hidup Bergman Tuhan hadir lebih sebagai
tirandan teramat kuat pula pembangkangannya lantaran itu. Dalam The Magic Lantern,
otobiografinya, ia mengatakan: Saya telah bergulat seumur hidup saya dengan sebuah
hubungan yang menyakitkan dan tanpa suka cita dengan Tuhan.
Hubungan yang menyakitkan itu pula yang agaknya mendasari film Der Sjunde Inseglet
(versi Inggris, The Seventh Seal, 1957). Dalam film ini aktor Max von Sydow memainkan
peran kesatria Antonius Block yang pulang dari Perang Salib, letih, murung, dan guncang
iman. Diiringi pembantunya, Jns, ia kembali ke negerinya yang dikerkah wabah. Di tengah
jalan, Ajal menjemputnya. Block mencoba menawar dengan menantang bermain catur: jika ia
kalah, ia bersedia dibawa Ajal pergi. Di sela-sela permainan itu, ia masuk ke sebuah gereja
kecil. Ia pun mengutarakan kerisauan hatinya kepada seorang pastoryang ternyata sang
Maut sendiri.
Ajal: Apa yang kau tunggu?
Block: Pengetahuan.
Ajal: Kamu mau jaminan.
Dengan kata lain, Block perlu kepastianyang ia beri nama pengetahuankarena ia
berpijak di sebuah dasar yang sudah guyah. Aku ingin Tuhan ulurkan tangan-Nya,
tunjukkan paras-Nya, bicara padaku.
Block memang di ambang murtad. Tapi siapa yang gandrung kepada pengetahuan yang
menjamin adanya Tuhan sebenarnya menanggungkan Tuhan sebagai obsesi. Tak
mengherankan bila di depan seorang perempuan yang dihukum bakar karena dituduh jadi
dukun penyebar sampar, Block hanya tertarik pada persoalan adakah pada saat kematiannya
wanita itu melihat Tuhan. Sang kesatria tak tergerak membawakan air untuk si terhukum.
Justru Jns yang tak beriman yang punya belas.
Dengan kata lain, antara soal Tuhan dan manusia, mana yang lebih didahulukan? Di satu sisi,
kita saksikan Block dengan obsesi mendapatkan jaminan tentang Tuhan. Di sisi lain, di
bawah matahari yang cerah, kita lihat hidup sederhana dan bahagia keluarga Jof, si pemain
akrobat, yang tak memerlukan itu.
Saya selalu bersimpati kepada orang seperti Jns dan Jof, kata Bergman. Sebaliknya, ia
memandang obsesi Block sebagai fanatisme: orang yang pikirannya mengabaikan manusia di
dekatnya.
Mungkin itu sebabnya, ketika membuat Vargtimmen (The Time of the Wolf, 1968) Bergman
merasa menemukan makna kesucian yang lain: dalam manusia sendiri. Pengertian cinta,
katanya, adalah satu-satunya bentuk kesucian yang bisa kita pikirkan.
Di sekitar masa itulah ia merasakan struktur keagamaan dalam dirinya, yang berat ke
atas, telah digantikan dengan apresiasi kepada yang ada di bawah: hidup di bumi yang
fana dan penuh salah, tapi mengandung sesuatu yang suci dan mempesona.
Ia merasa lega. Ketika segi religius dari kehidupanku terhapus, katanya, hidup terasa lebih
mudah dijalani.
Agaknya kesimpulan yang mirip bisa ditarik dari trilogi keimanannya, Ssom I en Spegel
(Through a Glass Darkly, 1961), Nattvardsgsterna (Winter Light, 1962), dan Tystnaden
(The Silence, 1963).
Dalam Ssom I en Spegel, Karin yang menderita skizofrenia adalah fokus cinta yang tak
mudah dari ayahnya, David. Tapi dengan itu David juga yang bisa mengatakan bahwa cinta
ada di dunia nyata. Dalam Nattvardsgsterna, Pastor Tomas Ericsson yang susut imannya
akhirnya menjalankan ritual di gereja kosong itu untuk Marta, kekasihnya, yang konkret hadir
di bangku sunyi itu.
Tanpa persentuhan hati semacam itu, kita akan hidup dalam keterpisahan, seperti kakak
beradik Ester dan Anna yang menginap di sebuah kota asing dalam Tystnaden. Artinya,
sekali kita memutuskan Tuhan tak menjawab lagi, neraka adalah orang lain yang tak peduli.
~Majalah Tempo, Edisi. 24/XXXIIIIII/06 12 Agustus 2007~
Tentu, India juga mengandung sejarah kekerasan dan pembunuhan politik. Tapi sampai hari
ini demokrasi di India bisa bertahan, (meskipun terkadang dengan ledakan yang menakutkan
seperti bengisnya fundamentalisme Hindu), seraya membuktikan dapat menaikkan
pertumbuhan ekonomi sampai 9% setahun.
Pertumbuhan ekonomi Pakistan sendiri tak buruk amat, sampai 7%. Aktifitas politik dan pers
di negeri itu lebih bebas ketimbang di Malaysia atau Singapura yang tenang bak akuarium.
Tapi lembaga yang menopang struktur politiknya dijalari ketak-pastian. Tiap rezim yang
dijaga bedil tentara adalah sebuah rezim yang diam-diam meragukan legitimasinya sendiri.
Maka berkecamuklah politik paranoia. Pintu dan saluran dijaga ketat. Dalam keadaan
bumpet, desakan mudah jadi eksplosi.
Kenapa? Karena Islam?
Saya kira bukan. Islam adalah sebuah nama yang maknanya dirumuskan dengan beberapa
patokan yang tetap. Yang sering diabaikan ialah bahwa patokan itu katakanlah hukum
syariat tak selamanya mampu mewakili Islam yang dianggit, yang diimajinasikan
secara sosial dalam sejarah imajinasi yang berlapis, beragam dan mengalir terus seperti,
untuk memakai istilah Castoriadis, magma.
Di tahun 1930, ketika Mohammad Iqbal, penyair dan filosof itu, merumuskan argumennya
agar minoritas Muslim di India punya tanahairnya sendiri, ia tampak berpikir bahwa
pengertian tentang identitas Islam adalah realitas yang sudah siap pakai seperti briket bata.
Iqbal menganggap gampang dan jelas agenda mendirikan negeri kaum Muslimin tersendiri.
Ia tak melihat bahwa tiap wacana tentang identitas sosial selalu mengandung konstruksi atas
arus yang magmatik. Konstruksi itu ditentukan oleh sebuah pusat. Pusat itu adalah
sang pemenang dalam pergulatan mencapai posisi hegemonik.
Saya katakan pergulatan: ada gerak politik di dalam tiap perumusan identitas sosial. Itulah
yang tak dilihat Iqbal. Ketika Pakistan dimaklumkan kelahirannya bersama India, dengan
segera tampak jarak antara niat luhur seorang filosof dan politik paranoia yang
mencemaskan.
Politik punya sejarah yang tak hanya terdiri dari membangun imajinasi bersama dan memberi
makna bersama. Machiaveli mengingatkan hal ini sebenarnya: ia berbicara tentang kekuasaan
bukan sebagaimana seharusnya, melainkan sebagaimana adanya. Politik sebagaimana
adanya adalah yang kemudian dirumuskan dengan brutal oleh Carl Schmitt sebagai das
Politische: di dasarnya adalah antagonisme.
Itu sudah tampak sebenarnya ketika perpisahan India-Pakistan dilaksanakan. Tapal batas
digariskan terkadang dengan seenaknya dari meja para administratior Inggris. Syahdan,
sebanyak 14,5 juta manusia bertukar tempat. Karena kedua republik baru itu belum siap
mengelola sebuah migrasi besar-besaran, kebingungan yang meresahkan berakhir dengan
bentrokan yang meluas. Tanah berpindah tangan, keluarga terpisah, komunitas asal retak
dan sekitar 500 ribu manusia mati hari-hari itu.
Lahirnya Pakistan dan India memang bukan kisah yang suci murni. Tapi bila India lahir tanpa
memakai label agama, dan sebab itu mengakui dirinya tak sempurna hingga lebih siap
menghadapi apa yang busuk, brutal, dan bingung dalam tubuhnya dalam kasus Pakistan
label Islam telah menutupi apa yang cacat dan yang celaka juga menyembunyikan yang
retak. Bertahun-tahun orang hidup dengan ideologi keutuhan itu. Akhirnya adalah
kekerasan atau ledakan amarah yang mencoba menolak apa yang tak bisa ditolak, bahwa
Islam dan Pakistan, (ya, bahkan Bhutto), adalah nama tentang sesuatu yang tak pernah
utuh.
Semoga Tuhan menjaga keselamatan Pakistan dan berkali-kali pembunuhan terjadi di
Rawalpindi.
~Majalah Tempo Edisi. 45/XXXVI/31 Desember 06 Januari 2008~
kapitalisme, kita tahu betapa saktinya dia: segala ikhtiar sejak abad ke-18 untuk
meruntuhkannya gagal. Slavoj Zizek mengingatkan bahwa Marx menyamakan kekuasaan
modal dengan vampir; kini salah satu persamaannya yang mencolok adalah bahwa vampir
selalu bangkit lagi setelah ditikam sampai mati.
Apa yang bisa dilakukan menghadapi itu?
Ada yang memutuskan untuk keluar dari medan pergulatan, dan memilih sikap seperti para
nabi yang aktif bersuara tapi menjauhi istana, memperingatkan bahaya keserakahan bagi
kebaikan bersama. Ada pula yang jadi semacam rahib: setengah mengasingkan diri dan
menolak menjunjung akal instrumental yang selama ini dipakai untuk memanipulasikan
orang lain dan dunia. Tapi tak jelas, apa yang berubah karena itu.
Mereka yang lebih marah dan lebih ganas akan meledakkan bom, menebar takut dan maut,
seperti Al-Qaidah. Tapi kini kita tahu, Al-Qaidah tak menghasilkan sesuatu yang lebih hebat
ketimbang banyaknya kematian. Sang Iblis yang dimusuhinya tak musnah. Jaringan teror itu
tak sebanding dengan Partai Komunis internasional yang juga gagalmeskipun dulu lengkap
punya sebuah organisasi untuk memobilisasi massa, merebut kekuasaan, dan membangun
sebuah negeri, bukan hanya menambah jumlah musuh yang mati.
Maka ada yang berkesimpulan, terhadap ketidakadilan yang bertahan itu, kita mengubah
politik jadi parodi terhadap politik itu sendiri. Parade bintang sinetron itu, apalagi bintang
porno, adalah contoh parodi yang tak disengaja: partai-partai berpura-pura menjalankan
politik, tapi sebenarnya melecehkannya sebagai sesuatu yang layak diremehkan. Dengan
bintang-bintang dan pesohor lain, yang esensial adalah kemasan. Partai jadi komoditas,
lengkap dengan khayalan yang muncul: seakan-akan partai punya nilai dalam dirinya, tanpa
proses kerja keras di jalan dan medan perjuangan.
Kini kita punya media massa yang mempermudah parodi itu. Terutama televisi, sumber
informasi utama dan pabrik (juga ajang) fantasi orang Indonesia sekarang. Kita tahu televisi
perlu menjangkau khalayak seluas-luasnya; kalau tidak, ia akan gagal sebagai bisnis. Untuk
itu ia membuat soal hidup dan mati sebagai sesuatu yang gampang dan sedap dipandang,
acap kali menyentuh hati, tapi selamanya bisa dipecahkan dan segera dilewatkan. Sinetron
tak ingin membuat kita seperti Pangeran Siddharta yang tertegun melihat bahwa dunia
ternyata sebuah sengsara yang layak direnungkan terus-menerus. Sinetron adalah sebuah
statemen bahwa serius itu tak bagus.
Ketika politik jadi versi lain dari sinetron, ia menjangkau orang ramaitapi bukan karena
sesuatu imbauan yang menggugah secara universal. Kalaupun ia berseru mengutuk
ketidakadilan, itu pun hanya berlangsung untuk satu episode. Sejarah manusia yang dulu
terdiri atas kemarahan dan pembebasan diganti dengan sesuatu yang jinak. Kini cerita
manusia tetap masih gaduh, tapi itu kegaduhan suara merdu, tangis + ketawa galak yang
palsu, dan bentrokan yang akan selesai ketika sutradara (atas titah produser, tentu saja),
berseru, Cut!
Nihilisme itu memang bisa asyik. Ia memperdaya.
~Majalah Tempo Edisi. 25/XXXVIII/25 31 Agustus 2008~
anick
in
All
Posts,
Indonesia,
Kisah,
Pepeling,
Sejarah.
Apa yang kita ingat tentang 20 Mei 1908? Potret Mas Wahidin Sudirohusodo. Sang dokter
Jawa ini mengenakan blangkon di atas raut mukanya yang tenang; ia lulusan STOVIA pada
awal abad ke-20 yang bertahun-tahun jadi ikon kebangkitan nasionalisme Indonesia.
Tapi ingatan orang ramai tak pernah lengkap. Dalam catatan sejarah Indonesia pada masa itu
disebutkan bahwa blangkon, surjan, dan kaindan semua pakaian daerah laindikenakan
para siswa sekolah kedokteran itu praktis bukan sebagai pernyataan kebanggaan. Blangkon
itu penanda inlander; baju dan songkok itu atribut pribumi. Peraturan sekolah
menentukan, kecuali yang beragama Kristen, anak-anak muda itu dilarang mengenakan jas
dan pantalon.
Mereka boleh mendapatkan pendidikan Barat, tapi tak boleh tampak seperti orang Barat.
Mereka tak disebut dokter penuh. Mereka hanya dokter Hindia atau Jawa. Gaji mereka
di dinas pemerintah dan perkebunan jauh lebih rendah ketimbang para dokter Belanda. Jika
bepergian, mereka tak boleh naik kereta api kelas Isementara orang Eropa yang
berpendidikan lebih rendah boleh duduk di sana.
Kolonialisme telah menggabungkan apartheid dengan dalih orientalisme yang
kedengarannya murah hati: penguasa Hindia-Belanda, kata mereka, hendak melindungi keasli-an para pemuda pribumi.
Tapi para pemuda STOVIA itu merasakan, dari ulu hati sampai ujung kaki, betapa palsunya
sikap murah hati itu. Mereka pun berontak. Sebab memang tak ada diskriminasi tanpa represi,
dan tak ada represi yang tanpa diskriminasi.
Syahdan, tiap malam, di kamar-kamar asrama mereka, mereka bertemu. Di sana dengan
sepenuh hati mereka nyanyikan lagu Revolusi Prancis, dan kata-kata sihir Revolusi itu
agaknya telah terpahat: librt, galit, fraternit ou la mort.
Mereka memang mengaduh. Mereka memang terkungkung dalam ketiadaan kemerdekaan,
kesederajatan, persaudaraan. Dan dari protes mereka, mereka ada: mereka jadi subyek.
Mereka lemah, tapi tekad mereka sebenarnya tak mengherankan. Bung Karno berkata dua
dasawarsa kemudian: cacing pun tentu bergerak berkeluget-keluget kalau merasakan
sakit!
Nasionalisme 20 Mei 1908 adalah bagian dari subyek yang berkeluget-kelugetsubyek
sebagai trauma karena rasa sakit, subyek yang bergerak untuk menjawab ketiadaan librt,
galit, dan fraternit. Dengan kata lain, subyek yang lahir karena mencoba lepas dari megapmegap oleh putusnya hubungan dengan yang-lain, dengan liyan, manusia yang berbeda tapi
disebut sesama.
Maka nasionalisme 20 Mei itu bukanlah sebuah solipsisme; ia bukan kesibukan yang hanya
mengakui diri sendiri.
Tentu, nasionalisme itu sikap yang berpihak. Ia partisan. Tapi di sebuah dunia di mana ada
sesama yang diperlakukan sebagai makhluk yang tak sederajat dan bahkan disisihkan,
keberpihakan itu tak terelakkan: para nasionalis itu berpihak kepada sebuah masa depan
ketika tak ada seorang pun yang dihinakan.
Itu sebabnya mereka mengulangi seruan Revolusi Prancis tentang kemerdekaan,
kesederajatan, dan persaudaraan yang mencakup semua orang. Itu sebabnya Revolusi
Indonesia melahirkan sebuah mukadimah Konstitusi yang menyebut hak semua bangsa
untuk merdeka. Mereka menyuarakan tuntutan universal. Seperti kaum buruh dalam tesis
Marx: proletariat adalah sebuah kelas yang, dari situasinya yang terbatas dan tertentu,
mengusahakan pembebasan tanpa batas, bagi siapa saja dan di mana saja. Dalam arti ini,
Marxisme adalah sebuah humanisme universaltapi universalitas yang lahir dari konteks
yang spesifik.
Semangat universal ini membuat politik, sebagai perjuangan, jadi panggilan yang
menggugah. Sebab bukan aku berontak, maka aku ada, melainkan, seperti tulis Albert
Camus dalam lHomme Rvolt, aku berontak, maka kita ada.
Dalam bahasa Indonesia, kita lebih inklusif ketimbang kami. Bila pengertian kita lebih
menggugah ketimbang aku atau kami, itu karena subyek, sebagai trauma, merindukan
liyan sebagai saudara yang sederajat dalam kemerdekaan. Dengan kata lain, merindukan agar
kita ada.
Dari sini solidaritas lahir dan politikselamanya sebuah gerak bersamabangkit.
Sejarah menunjukkan bahwa solidaritas itu bisa beragam dan berubah-ubah, sebab kita
adalah pertautan aku/kami dengan engkau dalam multiplisitas yang tak terhingga.
Aku/kami dan engkau masing-masing hanya seakan-akan tunggal pada waktu ke waktu,
tapi sebenarnya tak pernah utuh dan selesai dimaknai. Kita tak bisa sepenuhnya terwakili
dalam organisasi dan identitas apa pun.
Itu sebabnya dari STOVIA, pemberontakan tak berhenti. Budi Utomo dibentuk sebagai
aku/kami, tapi sejarah pergerakan nasional berlanjut setelah itu. Sebab aku/kami bukan
hanya dokter-dokter yang diremehkan. Kemudian muncul juga marhaen, proletariat,
pedagang kecil, dan entah apa lagi. Nasionalisme sebagai perjuangan pembebasan tak
hanya terbatas pada satu kelompok. Bahkan nasionalisme yang merupakan perlawanan
terhadap imperialisme (dan di sini ia berbeda dari nasionalisme Hitler) hanya bisa setia
sebagai perlawanan jika ia jadi bagian dari emansipasi duniaseperti semangat yang tersirat
dalam lagu Internationale.
Sebab politik pembebasan adalah sebuah proses: ia lahir dari aku/kami yang bukan apa-apa
menjadi aku/kami yang harus merupakan segalanya. Ich bin nichts, und ich mte alles
sein, kata Marx. Dengan kata lain, subyek sebagai trauma yang berontak itu harus mencakup
semua, siapa saja. Bukan hanya para pribumi alias inlander. Bukan hanya mereka yang harus
pakai blangkon dengan wajah yang kalem.
~Majalah Tempo Edisi 25 Mei 2009~
bocah
in
All
Posts,
Demokrasi,
Kekerasan,
Tuhan.
Kita tahu sebabnya: ada orang yang percaya bahwa pembunuhan, bahkan
pembantaian
anak-anak,
bisa
halal.
Ada orang yang percaya bahwa mereka yang tewas itu adalah korban yang diperlukan
untuk memperoleh sebuah efek.
Barang siapa yang kecewa kepada ketidaksempurnaan akan kecewa kepada demokrasi.
Sejumlah bom meledak hampir serentak di beberapa gereja di Indonesia, dan sekitar 20 orang
dibunuh di malam Natal 2000. Kita tahu sebabnya: ada orang yang percaya bahwa
pembunuhan, bahkan pembantaian anak-anak, bisa halal.
Ada orang yang percaya bahwa mereka yang tewas itu adalah korban yang diperlukan untuk
memperoleh sebuah efek. Ada yang bahkan percaya bahwa mereka memang bersalah:
mereka (yang mengikuti misa Natal atau cuma berdiri di dekat gereja), sengaja atau tidak,
telah mengabaikan satu hal yang pokok, yakni mutlaknya permusuhan. Mungkin itu
permusuhan
terhadap
orang
Kristen.
Mungkin
permusuhan
terhadap
Indonesia sebagai sebuah ide persaudaraan. Mungkin permusuhan terhadap kebutuhan untuk
saling menjaga dan mengajak hidup.
Sebuah permusuhan mutlak: sebuah keadaan yang tak memungkinkan momen apa pun untuk
berunding. Sebuah perang habis-habisan, karena yang dibinasakan adalah orang yang tak
sedang dalam keadaan berperang, bahkan juga seorang anak yang sedang bergembira. Sebuah
permusuhan yang mutlak, sebab segala hal diletakkan di bawah pandangan sengit yang
menjangkau ke seluruh penjuru, dan membentuk sebuah panorama yang total.
Gairah untuk membentuk sebuah panorama yang total itu adalah gairah untuk kesempurnaan.
Yang diabaikan ialah kenyataan bahwa kesempurnaan itu mustahil. Dunia selalu menampik
untuk sempurna, sebab sebuah negeri atau sebuah komunitas bukanlah sebuah karya seni
arsitektur. Tiap kali akan selalu ada yang ganjil, yang tak pas, dan gawal. Sebab tiap kali akan
ada seseorang yang mengeluh, menanyakan, atau menulis. Dunia selalu terbuka, atau terusik,
karena akan selalu datang teks yang lain dan juga berjuta-juta tulisan. Tiap tulisan adalah
sebuah coretan atas selembar kertas polossebuah interupsi terhadap kesatuwarnaan. Tiap
tulisan adalah sebuah kehadiran yang tak selamanya bisa diduga sebelumnya pada sebuah
dataran yang rata. Tiap tulisan bisa menghadirkan makna yang tak bisa sepenuhnya diringkus
dalam sebuah desain. Singkatnya, (saya kutip dari sebuah buku) tiap tulisan adalah
perlawanan terhadap arsitektur. Tiap tulisan adalah ribuan subversi terhadap panorama yang
mengklaim diri sempurna.
Demokrasi lahir dengan memenggal paradigma kesempurnaan itu. Ia memang lahir dengan
memenggal kepala yang dipertuan. Claude Lefort menampilkan demokrasi dengan melihat
Revolusi Prancis: sebuah tata kerajaan yang absolut ditumbangkan dengan memotong leher
sang raja. Apa yang sebelumnya berlaku di hari itu pun berakhir. Dulu sang raja adalah dua
tubuh: ia sebuah penjelmaan kekuasaan sekuler dan kekuasaan Tuhan sekaligus, ia fana tapi
juga abadi. Ia adalah pucuk dan batu penyangga tata sosial. Maka ketika Revolusi Prancis
memotong lehernya, yang dibangun sebagai sebuah arsitektur itu pun runtuh. Sejak itu ada
yang gerowong dalam tubuh politik.
Tata yang kemudian disusun adalah tata dengan kekuasaan sebagai sebuah tempat kosong
(un lieu vide). Ia tak diisi lagi oleh siapa pun yang bisa diakui sebagai kekuasaan yang
menjelma ke dunia. Sebab itu dalam demokrasi, sumber kekuasaan, tempat kosong itu,
didapat melalui persaingan, dan terbatas masanya. Tapi tempat yang kosong itu juga
membawa kekosongan yang lain: demokrasi adalah sebuah sistem yang didasarkan atas tak
adanya sebuah dasar. Setelah yang abadi terpotong dari tubuh politik, dasar yang ada hanya
bisa dianggap bersifat sementara, dan selamanya bisa digugat. Dengan kata lain: ia
sebenarnya bukan dasar, sebab dasar itu absen. Maka barang siapa yang cemas untuk hidup
tanpa sebuah dasar akan cemas pula terhadap demokrasi.
Rasa cemas itu terkadang menyebabkan orang mencari sesuatu yang bisa jadi fondasi yang
kukuh kekal. Di Jakarta, Juli 1945, sebuah panitia persiapan mendirikan Republik
Indonesia tak merasa cukup hanya menyusun sebuah konstitusi. Salah satu anggotanya,
Radjiman Widiodiningrat, yang terpengaruh filsafat Kant dan Hegel, meminta agar konstitusi
itu punya sebuah dasar. Usulnya disetujui. Pancasila pun dirumuskan.
Dari catatan sejarah kita tahu bahwa ia sebenarnya satu rumusan yang terdiri atas tak lebih
dari lima kalimat, sebuah ide yang ditawarkan Bung Karno kepada sebuah rapat terbatas,
sebuah gagasan yang disetujui oleh tak sampai 50 orang anggota panitia persiapan
kemerdekaan. Dan semuanya berlangsung di sebuah Juli yang penuh dengan ketidakpastian.
Dengan kata lain, dasar itu sebenarnya tentatif, terpaut erat pada sebuah insiden sejarah.
Tapi rasa cemas kalau harus hidup tanpa dasar akhirnya membuat rumusan itu jadi sakti.
Tapi apa yang sakti? Tak ada. Bahkan tak ada yang sakti dari sebuah tafsir, biarpun oleh para
aulia, tentang wahyu Tuhan. Demokrasi lahir justru karena kepala, yang dianggap inkarnasi
dari Yang Abadi, ternyata bisa dipenggal, dan tak bisa digantikan. Siapa yang merasa bisa
menggantikannya, dan jadi wakil dari Yang Kekal, akan cenderung merasa sah untuk
memenggal kepala orang lain. Atau meledakkan bom ke tubuh anak kita.
by
anick
in
All
Posts,
Identitas,
Politik.
Karena kau bukan orang Jawa, kata orang itu kepada saya dengan senyum mengasihani.
Karena itu kau tak mengerti.
Pertunjukan telah selesai. Saya merasa lega. Terus terang, saya tak menyukai tarian itu
sebuah karya abad ke18 yang tak menggugah. Mungkin sebab itu orang itu, yang duduk di
sebelah saya, menyimpulkan saya tak mengerti.
Ia (seorang tokoh setengah fiktif) seorang Eropa yang sudah 20 tahun hidup di Solo,
berbahasa Jawa dengan bagus, pandai memainkan saron dan rebab. Komentarnya
mengingatkan saya akan katakata seorang jurnalis Belanda kepada Minke, tokoh Bumi
Manusia Pramoedya Ananta Toer: seorang Eropa yang merasa lebih kenal rakyat di Jawa
lebih baik ketimbang Minke, sang inlander.
Dalam novel Pramoedya, Minke merasa bersalah. Dalam kasus saya, saya bingung: apa
artinya saya bukan orang Jawa? Apa itu Jawa?
Kata ini telah lama beredar, dan makin lama makin dianggap jelas, padahal tak pernah
dipertanyakan. Kini orang mengatakan Sultan Hamengku Buwono X itu raja Jawa,
sementara kita dengan sah juga bisa mengatakan bahwa iadengan segala hormattak lebih
dari seorang sultan dari separuh Yogyakarta. Orang juga mengatakan Bung Karno Jawa,
tetapi bisa juga dikatakan sebenarnya bukan; ia seperti halnya sekarang Boediono, calon
wakil presiden yang mendampingi SBY: seorang yang lahir dan besar di Blitar, Jawa Timur,
dan sangat mungkin bahasa masa kanaknya bukan bahasa Surakarta.
Sebutan Jawa barangkali seperti sebutan Padang bagi siapa saja yang datang dari
Sumatera Barat, atau Ambon bagi siapa saja yang datang dari Maluku: sebutan yang
sebenarnya tak mengacu ke sesuatu yang tetap.
Saya pernah masuk ke sebuah penjara di Wamena, Papua, tempat sejumlah orang yang
dianggap penggerak separatisme disekap. Untuk mengelabui polisi, saya menyamar jadi
pastor Katolik dari Bali; teman saya, seorang Amerika yang ingin menulis laporan buat
sebuah lembaga hak asasi manusia, mengaku utusan dari sebuah gereja Kristen di Boston. Di
hadapan kami, salah seorang tahanan menyatakan kesalnya kepada orang Jawa yang telah
banyak membunuh orang Papua.
Waktu itu saya mencoba meluruskan. Kekerasan itu, kata saya, tak bisa dijelaskan dengan
dasar kesukuan. Kekerasan itu dilakukan oleh sebuah pemerintahan militer, yang pada
19651966 juga telah membunuhi orang Jawa, bahkan dalam jumlah yang jauh lebih besar.
Tapi saya tak yakin apakah tahanan Papua yang penuh kemarahan itu mengerti. Kata,
sebutan, bahasa, pada akhirnya punya kekerasan dan penjaranya sendiri.
Sepulang dari sana, saya baca kembali buku John Pemberton On the Subject of Java. Buku
itu membantu saya yang sudah agak lama mencoba melacak dari mana Jawa, sebagai
identifikasi, berasal. Saya merasa perlu melacak itu. Saya dibesarkan di pesisir utara Jawa
Tengah di mana orang menggunakan bahasa yang berbedabeda, dan di antaranya jauh dari
bahasa yang dipakai di Surakarta dan Yogyakarta, di mana orang lebih sering menonton
wayang golek dengan lakon Umar Maya ketimbang wayang kulit dengan lakon Mahabharata,
dan di mana orang tak mengenal serimpi melainkan sintren. Bagaimana jutaan orang dengan
keragaman yang tak tepermanai itu dimasukkan ke satu kelompok dan dengan gampangan
disebut Jawa?
Buku Pemberton terkadang terasa terlampau panjang, tapi saya menyukai telaahnya yang
dengan tajam melihat hubungan lahirnya wacana tentang Jawa dengan modernitas. Wacana
itu dan keinginan membentuk identitas itumuncul justru ketika modernitas, dalam bentuk
tatapan orang Eropa, masuk menerobos pintu gerbang dua istana yang terpisah dan bersaing
di Surakarta: Keraton Sunan Pakubuwono, yang biasa disebut Kesunanan, dan istana yang
biasa disebut Mangkunegaran.
Dari keduanyalah mulamula orang bicara tentang Jawa. Dunia Kesunanan adalah dunia
Jawa yang cenderung bergerak ke pinggir, ke luar dari tatapan dan pemahaman para
pengelola kolonialisme Belanda. Dunia Mangkunegaran, yang lebih muda umurnya, punya
kecenderungan sebaliknya: ada keinginan bergerak ke tengah pemahaman itu. Contoh yang
tak mudah dilupakan diberikan Pemberton: busana resmi yang disebut Langenharjan adalah
kombinasi yang pintar yang diciptakan Mangkunegara IV pada 1871: paduan antara busana
formal Belanda (rokkie Walandi) yang dipotong ekornya dengan keris dan kain batik.
Berangsurangsur, rokkie Jawi itu diterima sebagai pakaian resmi Jawa bahkan di upacara
pernikahan orang di luar istana.
Jawa dengan demikian tak merupakan sesuatu yang kuno, permanen, dan utuh. Namun
bukan hanya itu. Di balik dinding tinggi kedua istana di Surakarta itu tersimpan apa yang
oleh Pemberton disebut sebagai the sense of hidden Java. Ada yang kemudian membuatnya
sebagai misteri yang memikat tentang Jawa. Tapi, bagi saya, janganjangan yang disebut
oleh Mangkunegara IV sebagai (dalam bahasa Belanda!) kawruh rahasia Jawa atau de
geheime Javaansche wetenschap itu satu pengakuan akan tak mungkinnya bahasa mana pun
merumuskan Jawa. Jawa, sebagaimana identitas mana pun, sebagiannya selalu berada di
negeri Antah Berantah.
Mungkin itu sebabnya saya tak mengerti, kenapa orang Eropa itu menganggap sayayang
berbahasa Jawa dengan baik dan benar, tapi kecewa kepada satu nomor tarian klasik bukan
orang Jawa. Sebagaimana saya tak mengerti kenapa dia merasa mengerti apa itu Jawa
sebuah sebutan yang, seperti umumnya nama, hanya untuk memudahkan percakapan, atau
permusuhan, atau pertalian.
~Majalah Tempo Edisi 01 Juni 2009~
by
anick
in
All
Posts,
Ekonomi,
Kapitalisme.
DI tiap pasar selalu ada yang bukan-pasar. Dan itu dibutuhkan. Ada pohon-pohon yang
meneduhi kaki lima. Ada sumur di halaman belakang yang dipakai ramai-ramai. Ada
peturasan untuk buang air siapa saja. Dan tak jauh dari sana, ada jalan raya dengan ramburambu lalu lintas.
Semua itu menopang kehidupan pasar itu, meskipun tak jadi bagian yang dikendalikan pasar
dan kesibukannya: tak seorang pun bisa mengklaim pohon, kakus, dan rambu-rambu itu
sebagai milik sendiri untuk dipertukarkan dengan milik orang lain.
Dengan cara yang sama, kita juga bisa bicara tentang apa yang pernah disebut sebagai pasar
metaforik: kegiatan yang tak terbatas pada sebuah lokasi, ketika barang jadi komoditas dan
hubungan antarmanusia adalah hubungan jual-beli.
Dalam pasar metaforik ini pun (yang selanjutnya akan ditulis dengan P) diperlukan hal-hal
yang tak seharusnya diubah jadi benda yang nilainya lahir lewat perdagangan. Ada kebutuhan
akan barang yang bukan benda, yang tak ditentukan oleh harga: hal-hal di luar jangkauan
Pasar, meskipun ada di dalam tubuh Pasar itu sendiri.
Tapi sejak 1980-an, orang mulai lupa akan hal itu. Bersama menonjolnya pengaruh Milton
Friedman, sebuah dikotomi ditegakkan dan bergema: di satu sisi ada Pasar, di sebelah sana
ada Negara. Pasar bahkan berdiri tampak lebih luhur ketimbang Negara. Seri ceramah TV
Friedman, Free to Choose, jadi alkitab bagi mereka yang ogah atau jera akan campur tangan
Jelas, akibatnya bukanlah cuma uang yang raib. Yang tak kalah rusak adalah sikap percayamempercayai. Bank kini ragu meminjamkan uang, investor ragu menanam dana. Sekarang
terasa betapa perlunya nilai-nilai institusional di luar Pasar. Mereka perlu dijaga.
Tapi tak mudah. Problem besar dewasa ini: dari mana nilai-nilai itu akan datang lagi dan
bagaimana akan dilembagakan. Siapa yang akan secara sistematis menanam pohon,
menegakkan rambu jalan, membuat perigi bersama? Bukankah kini public spirit nyaris tipis
dan pengertian bebrayan dirusak oleh ketimpangan sosial dan korupsi? Apa gerangan yang
harus dilakukan?
Saya ingin sekali bisa menjawab itu. Sungguh, saya ingin sekali bisa menjawab itu.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 16 Maret 2009~
by
anick
in
All
Posts,
Pepeling.
Pertama, ilustrasi yang teliti mirip foto, yang menggambarkan seorang lelaki tertidur dengan
pakaian lengkap, sementara dua lelaki bermantel merah berdiri menatap wajahnya yang
pulas. Waktu itu saya menafsirkannya sebagai gambar seorang lelap yang dikunjungi dua
hantu. Setelah saya bisa membaca bahasa Inggris, saya tahu, itu adalah adegan dari sejarah
Inggris abad ke-17: Raja Charles I semalam sebelum dibawa ke Menara London untuk
dipenggal. Salah satu hantu dalam gambar itu mungkin kepala penjara.
Gambar kedua: seorang lelaki tergeletak di sebuah medan yang sunyi. Seorang perempuan
duduk di sampingnya; tangannya yang satu menahan darah ke luar dari luka lelaki yang
telentang itu, tangannya yang lain mengepalkan tinju kemarahan. Bercak darah merah
tampak. Kemudian saya tahu, itu adalah lukisan pembantaian orang Skot oleh pasukan
Inggris di wilayah Glen Coe pada 13 Februari 1692. Wanita itu meneriakkan dendam.
Pembantaian, amarah, orang yang didatangi hantu, empat pengusung mayat, buku-buku yang
dibuang ke sumur sementara ayah diikatSaya tak tahu sedalam apa trauma itu membekas.
Mungkin ia memperoleh ekspresi lain: rasa gairah saya kepada buku dengan sampul tebal.
Saya dan kakak juga menemukan buku-buku bersampul kukuh karya Karl May tentang
Winnetou. Kami tak tahu milik siapa, sebab ayah agaknya lebih suka Karl Marx ketimbang
Karl May. Di dalamnya ada ilustrasi tokoh Apache itu di tengah rimba yang magis danidyllic.
Tergerak oleh bentuk buku yang mengesankan tapi tak bisa kami nikmati isinya itulah kami
mulai memesan Winnetou Gugur dan Suku Mohawk Tumpas (yang terakhir ini terjemahan
atas karya James Fennimore Cooper The Last of the Mohicans ) dari Noordoff Kolff di
Jakarta, cabang dari penerbit yang berkantor di Groningen, Belanda.
Hari datangnya buku pesanan lewat pos selalu hari yang ditunggu dengan tegang: kami
hampir selalu berebut siapa yang akan membaca lebih dulu.
Seperti halnya pada anak lain, pada saya buku adalah pesawat ajaib: tinggal di kota kecil
tanpa gedung bioskop, hanya dengan buku saya memasuki dunia lain yang sebenarnya tak
pernah tertembus. Tiap kali, dunia itu berubah, berbeda, berkembang, namun selalu terasa
akrab.
Saya tak pernah bisa sepenuhnya membayangkan sosok Winnetou, tapi saya menangis ketika
menjelang pertempuran terakhir, ia tahu ia akan pergi ke padang perburuan yang kekal.
Saya menangis untuk Si Jamin dan Si Johan yang teraniaya di sebuah sudut Batavia yang
jauh. Saya sedih untuk Si Dul yang hidup di Jakarta yang belum pernah saya lihat, ketika
ayahnya, seorang sopir, mati kecelakaan dan ketika ia dicerca habis-habisan oleh engkongnya
karena di hari Lebaran ia berpakaian pandu, dengan topi dan sepatu, bukan sarung dan
songkok. Air mata saya keluar untuk Sampek dan Engtai yang mati dalam cerita yang saya
ikut dengarkan waktu beberapa buruh pabrik rokok di rumah sebelah membacanya dalam
bahasa Jawa bergiliran dari sebuah buku tulis.
Setelah saya dewasa, saya bisa mengaitkan trauma masa lalu itu dengan pengalaman
selanjutnya dengan buku. Saya bisa menyimpulkan: buku mati karena ia dihentikan di
perjalanan ke dalam hidup kita, seperti ketika ia hilang dilemparkan ke dalam sumur. Tapi
cerita tak berakhir.
Sejak 1958, Presiden Sukarno mengubah Indonesia jadi demokrasi terpimpin dan
ekonomi terpimpin. Atas nama Revolusi (kata yang memukau itu), Negara mengambil
alih dunia penerbitan. Apalagi yang terkait dengan modal asing. Oktober 1962 penerbit
seperti Noordoff Kolff dihentikan; ia digantikan perusahaan negara yang disebut Noor
Komala. Yang memimpin seorang birokrat. Balai Pustaka, yang bisa bersaing dengan bagus
menghadapi penerbit milik asing, sejak itu dikendalikan seorang jenderal. Ketika kertas,
percetakan, transportasi dan hampir seluruh kehidupan ekonomi jadi terpimpin, banyak hal
macet. Usaha penerbitan dalam negeri yang terkemuka, seperti Djambatan, yang menerbitkan
sebuah atlas yang monumental, terjerembab dan tak pernah bisa pulih lagi sejak itu.
Arus buku berantakan. Tak ada lagi buku yang sampulnya terasa hangat dan bau kertasnya
berwibawa tapi ramah. Jenisnya kian kehilangan ragam. Demokrasi Terpimpin juga
memulai sejarah kekuasaan yang dengan sekali gebrak melarang sederet buku sejarah yang
berlanjut hingga kini.
Waktu itu, satu-satunya penghibur adalah karya berjilid tebal terbitan Uni Soviet yang dijual
murah di toko buku milik PKI. Masih ada Dostoyewski, Turgenev dan Tolstoy dalam
terjemahan Inggris dan diterbitkan oleh Moscow Foreign Publishing House tapi tak
lengkap. Tak saya dapatkan The Brothers Karamasov atau Fathers and Sons. Moskow punya
sensornya sendiri.
Saya teringat pagi di tahun 1947 itu: dua tentara pendudukan membuang sejumlah jilid ke
sumur. Tapi saya juga tak bisa melupakan para buruh rokok yang membaca cerita bergiliran
dari sebuah buku tulis. Buku mati, tapi tak bisa mati semuanya. Ia punya trauma dan
nostalgianya sendiri. Ia punya cerita yang selalu muncul kembali.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 26 April 2010~
lamatapi ia telah telanjur masuk ke dalam sebuah adegan yang bersejarah. Setelah Bendera
Bintang-dan-Garis dicopot, selembar bendera Irak berkibartapi di sana tak ada lagi tulisan
tangan Saddam yang menyebut Allahu Akbar.
Di momen itu, apa yang tak ditendang: tulisan tangan Saddam, monumennya, sejarahnya,
rasa takut orang kepada pembalasannya, sisa-sisa kekuasaannya? Dengan tali dan rantai
patung itu pun dibetot. Sebuah mobil peralatan marinir Amerika membantu. Tak mudah.
Agak alot. Beberapa belas menit lamanya berhala itu bertahan; tangannya masih terangkat
menunjuk ke kaki langit. Akhirnya roboh.
Rakyat Irak pun bersorak.
Dengan rasa campur aduk saya menyaksikan semua itu di layar TV: di Lapangan Firdaus,
saat bersejarah kemenangan Amerika bertaut dengan saat bersejarah kegembiraan rakyat
Bagdad.
Monumen Saddam yang ditumbangkan itu punya cerita yang berbeda dari patung yang
runtuh di Taman Zarwa tiga hari sebelumnya. Di taman pahlawan tak dikenal ini, patung
Saddam Berkuda dijungkirkan oleh peluru tank Amerika; bagian kepalanya yang lepas dibuat
suvenir oleh pasukan Charlie Company Task Force dari Divisi Infanteri ke-3. Di Lapangan
Firdaus, amarah penduduk Bagdadlah yang menjalankan eksekusi. Kini dunia tahu bahwa
Saddam Hussein hanya menimbulkan benci.
Begitulah akhir seorang tiran. Ia ditinggalkan siapa saja, juga oleh prajuritnya. Bagdad tak
dipertahankan sampai titik darah terakhir. Orang tak bertempur untuk membela sebuah tanah
air. Saddam telah menelan Irak ke dalam perutnya dan mengubah patriotisme menjadi
penghambaan. Memang ada yang menyedihkan di hari itu: kita menyaksikan sebuah bangsa
yang tak merasa perlu, juga tak mampu lagi, untuk gagah berani.
Dan kita pun mendengar suara orang-orang Irak bersemangat, Bush! Bush! Bush! Terima
kasih! Kita bisa melihat seorang ayah membopong anaknya untuk mencium pipi seorang
marinir. Apa yang dulu diperhitungkan orang di Pentagon ternyata benar: para penyerbu itu,
para agresor itu, disambut sebagai sang pembebas.
Saya terhenyak. Saya kira tiap orang yang menentang perang Bush atas Irak patut terhenyak.
Kegembiraan di Bagdad hari itu memergoki kita dengan pertanyaan: akan adakah suka cita
semeriah itu, seandainya perang ini tak dilancarkan, seandainya Bush mendengarkan seruan
kita? Tidakkah kita yang menentang perang berdosa, karena kita tidak melakukan sesuatu
untuk mengakhiri penindasan?
Saya terdiam. Dua momen itubendera Amerika berkibar di patung Saddam, dan berhala
Sang Pemimpin yang dijungkirkantampil seakan-akan tanda dua kekalahan. Yang pertama
kekalahan rezim Partai Baath Irak. Yang kedua adalah kekalahan sebuah argumen bahwa
perang ini tak bisa dibenarkan. Dengan kata lain, kita kalah.
Dan bila kitalah yang kalah, apa yang akan dapat kita katakan melihat orang-orang congkak
di Pentagon merasa lebih berhak untuk terus congkak? Kita akan mengunci mulut bila Sang
Super-Kuat seterusnya merasa beralasan jika mengabaikan semua ikhtiar multilateral. Dan
kita akan terpaksa membisu ketika si lemah disisihkan sebagai pigmi yang tak berarti.
Ada seorang pengarang yang pernah menulis bahwa politik internasional mau tak mau
tumbuh dari Realpolitik: bahwa tata yang berlaku adalah sebuah tata yang dibentuk
secara brutal oleh yang kuat. Jangan disamakan, katanya, nilai-nilai itu dengan nilai-nilai
dalam kehidupan antarmanusia di sebuah civil society. Keadilan tak boleh berlaku dalam
percaturan antarbangsa.
Tapi, jika begitulah seharusnya, kita akan hidup di dalam dua jenis ethos. Yang satu datang
dari Sun Tzu, yang berarti perang dan penaklukan. Yang lain Gandhi, yang berarti
satyagraha dan kebersamaan.
Saya ragu, bagaimana ukuran ganda itu akan bisa bertahan. Mungkin Sun Tzu pada akhirnya
akan mendesak dan menyingkirkan Gandhi dari kesadaran kitadan kita akhirnya setuju
bahwa hasil yang baik akan menghalalkan cara apa pun, termasuk cara yang merusak dan tak
adil. Kita akan semakin bersedia untuk mengakui bahwa sebuah niat yang culas akan
disucikan oleh sebuah akhir yang bahagia. Di Bagdad, di Irak, kita telah diberi tauladan: di
dunia nyata, orang-orang yang tertindas membutuhkan kekuatan dari mana sajabahkan dari
Neraka sekalipunagar bisa tak tertindas.
Tapi begitukah seharusnya? Saya terdiam. Saya jeri. Saya melihat ke luar jendela: ada sebuah
kebun, dan di sana anak muda saling menyapa di bawah pohon-pohon. Apa yang akan terjadi
pada mereka, jika pada akhirnya kita hidup seraya berkata, seraya percaya, bahwa semuanya
adalah teror, dan itulah jalan yang benar?
~Majalah Tempo, Edisi. 07/XXXII/14 20 April 2003~
anick
in
All
Posts,
Identitas,
Pepeling,
Politik,
Sejarah.
KADANG-KADANG orang menjepit orang lain dengan kata, menjerat diri dengan kata.
Sejarah politik Indonesia modern bisa ditulis sebagai sejarah bekerjanya jepit dan jerat kata
dari masa ke masa.
Pada tahun 1960-an, di bawah demokrasi terpimpin, jepit dan jerat itu misalnya terbentuk
dalam kata kontra-revolusioner. Kata ini, bila dikenakan kepada seseorang, satu kelompok,
atau satu pola sikap, dapat membuat yang dikenai seakan-akan tertangkap. Dalam posisi itu,
ia berubah jadi sasaran untuk diserang atau dalam kata yang dominan waktu itu diganyang.
Kata kontra-revolusioner sama artinya dengan musuh Republik, pengkhianat tanah air,
penentang Revolusi, dan segala usaha yang sedang digerakkan oleh Sang Pemimpin Besar
Revolusi yang tak bisa dibantah.
Dalam varian kontra-revolusioner ini ada kata PSI dan Masyumidua partai politik yang
dibubarkan Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi. Kedua partai itu juga dimusuhi oleh dua
kekuatan pendukung, PKI dan ABRI. Para pemimpin PSI dan Masyumi dipenjarakan. Surat
kabar mereka ditutup. Dan melalui serangan verbal lewat media massa, PSI dan Masyumi
(kemudian juga Manikebu) segera jadi kata yang menjepit dan menjerat siapa saja yang
dianggap musuh politik. Buat digebuk.
Pada tahun 1970-an, di bawah Orde Baru, kata yang dengan lebih buas menjepit dan menjerat
adalah PKI dan G30S atau Gestapu. Dengan kata itu, orang langsung tak dapat bergerak dan
tak mungkin bicara. Acap kali mereka dipenjarakan dan dibunuh, tanpa bekas.
Seperti pada masa sebelumnya, daya jerat dan jepit kata PKI dan lain-lain itu juga dilahirkan
oleh kampanye media massa, yang dikobarkan dengan penuh kebencian. Dengan teror dan
ketakutan. Demikianlah sepatah kata menjadi stigma.
Stigma adalah cap. Kata ini berasal dari bahasa Yunani untuk menyebut semacam tanda yang
diterakan dengan luka bakar atau tato ke kulit seorang hukuman, pelaku kriminal, budak, atau
pengkhianat. Dengan cap yang melekat di jangat itu, stigma akan menandai orang yang tak
diinginkan. Stigmatisasi terjadi bersama penyingkiran.
Pada zaman komunikasi kata-kata ini, cap itu tak melekat di jangat. Ia hanya jadi metafor. Ia
berbentuk bunyi, penanda yang dikumandangkan ke dalam bahasa. Sebagai bagian dari
bahasa, ia masuk ke kepala dan hati orang ramai, membentuk persepsi dan bahkan sikap dan
laku mereka. Kata sebagai stigma berkembang dalam pusaran kesadaran kita bagaikan racun.
Racun ini kemudian bisa disemburkan ke tiap sosok yang jadi sasaran.
Sebagai racun, ia bergabung dengan racun jiwa yang lain: purbasangka dan paranoia. Maka
dengan mudah ia bisa dipergunakan untuk menyebarkan permusuhan. Yang menakjubkan,
stigma bisa bertahan lama.
Setelah demokrasi terpimpin runtuh, kata PSI dan Masyumi masih merupakan stigma yang
berlanjut. Ketika pada Januari 1974 terjadi gerakan yang membakar dan merusak mobil,
motor, dan gedung di jalan-jalan Jakarta, pihak penguasa menggunakan media untuk
menuduh bahwa yang jadi dalang kekerasan itu PSI dan Masyumi. Sejumlah orang yang
sering diberi label PSI dan Masyumi dipenjarakan. Banyak di antaranya tanpa diadili. Segera
sesudah itu, sebuah buku propaganda diterbitkan dalam bentuk mewah, ditulis oleh seorang
wartawan, Marzuki Arifin. Dakwaan terhadap PSI dan Masyumi, dua partai yang sudah
dibubarkan 14 tahun sebelumnya, dikumandangkan lagi.
Bahasa membentuk endapannya sendiri. Kata-kata ikut bercampur dengan bawah-sadar, dan
diubah-ubah maknanya oleh apa yang bergolak dalam percampuran itu. Oleh hasrat dan
dalam hasrat. Oleh kengerian dan dalam kengerian. Makna tak lagi jelas dan transparan. Dan
tak ingin untuk demikian.
Apa arti PSI? Masyumi? Manikebu? PKI? Gestapu? Tak penting lagi dikaji apa sebenarnya
arti kata-kata itu. Orang tak peduli lagi apa yang terkandung dan tak terkandung di dalamnya.
Sebagai salah satu perumus Manifes Kebudayaan (yang diubah jadi Manikebu, sebagai
langkah awal stigmatisasi), saya sering takjub: sampai hari ini manifesto yang diganyang
habis-habisan pada tahun 1960-an itu masih dianggap mendukung paham seni untuk seni.
Endapan racun itu memang berumur panjang. Tak mengherankan jika paranoia masih
mencengkam ketika orang dengar kata komunis dan Marxis, juga 20 tahun setelah Partai
Komunis terbesar di dunia jatuh.
Agaknya kini pun orang sedang memproduksi dan mengawetkan stigma sendiri: neoliberal,
liberal, sekuler, fundamentalis dan dengan itu pertukaran pendapat tak bisa lagi jernih,
bahkan jadi mustahil. Akhir-akhir ini, dalam kasus Bank Century, bahkan meningkat suasana
yang mempermudah stigmatisasi itu: orang bicara, dan racun bertaburan di antara tiap bunyi,
tiap rangkaian huruf, tiap penanda.
Stabilitas yang dikukuhkan pada stigma seperti itu berbareng dengan berlanjutnya politik
sebagai ajang kebencian dan intoleransi. Bahasa adalah arus yang tak henti-hentinya
memelesetkan makna, dan orang memerlukan apa yang disebut psikoanalisis Lacan point de
capiton agar ada pegangan, biarpun sementara, untuk mematok makna kata. Tapi point de
capiton itu bisa menjepit dan menjerat bukan hanya musuh kita, tapi juga kita sendiri.
Pada saat itulah bermula kecurigaan jadi rumus, kebencian jadi doktrin. Kita hanya bisa
membebaskan diri dari jerat dan jepit itu bila kita ingat bahwa pada tiap stigma ada racun
yang melumpuhkan semuanya.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 08 Februari 2010~
by
anick
in
All
Posts,
Kisah,
Seni.
Teater itu bernama Slamet Gundono. Dengan tubuh 300 kilogram lebih ia tetap bisa bergerak
ritmis seperti penari. Suaranya mengalun, bisa gagah bisa sayu, terkadang dramatik terkadang
kocak, sebagaimana laiknya seorang dalang. Tapi ia lebih dari itu. Di pentas itu ia juga
seorang aktor penuh. Dialog diucapkannya dengan diksi yang menggugah dan pause yang
pas. Ia bisa membawakan lagu, ia bisa menggubah lagu dengan cepat, seraya memelesetkan
melodi, tapi pada saatnya, ekspresinya bisa tangis.
Gundono adalah gunungan dalam pertunjukan wayang kulit yang tanpa jejer. Ia pusat. Tapi
ia bergerak dari pelbagai posisi, dan dengan asyik berpindah dari idiom seni pertunjukan
yang satu ke idiom yang lain.
Tentu saja karena ia, lebih dari seniman teater yang manapun kini, adalah sosok yang
dibentuk oleh aneka khasanah. Tubuh dengan lapisan lemak yang seperti unggunan bantal itu
sebuah keistimewaan yang terkadang ia tertawakan sendiri adalah sebuah sedimentasi
dari sejarah kebudayaan yang panjang.
Sejarah kebudayaan itu dapat disebut Jawa, tapi yang tak dapat ditentukan batas-batasnya.
Gundono bisa menembangkan pangkur dan melantunkan suluk, mengalir luwes dari nada
diatonik ke pentatonik, tapi ia juga bisa menyerukan azan dan mengutip Quran dengan gaya
qiraat Mesir. Ia memetik ukulele seakan-akan seorang penyanyi Hawaii, dan yang terdengar
adalah kasidah. Di sana-sini dalam narasinya bahasa Jawa literer dari tradisi Surakarta
berbaur seperti tak sadar dengan bahasa Tegal yang sering dianggap kasar dan kurangJawa.
Ya, Gundono sebuah teater tanpa definisi. Ia lahir di kota Slawi di pantai utara Jawa Tengah,
anak seorang dalang dengan 12 keturunan yang tak dipedulikan. Suwati, sang ayah, hampir
tak pernah berada di rumah. Ia mendalang di mana saja, terkadang tanpa dibayar.
Sebab itu anak-anaknya, khususnya yang laki-laki, mencari bapak sendiri. Slamet
mendapatkan bapak angkatnya seorang kiyai desa. Dari sinilah ia masuk jadi santri. Ia
seorang santri yang keras.
Tapi mimpinya adalah jadi aktor. Ini yang mendorongnya berangkat untuk jadi mahasiswa
Institut Kesenian Jakarta. Ia tak bertahan lama di sana. Ia banyak dimusuhi teman, katanya,
sebab ia gemar mengkhotbahi orang. Baru setelah ia pindah ke Solo dan kuliah di STSI,
sikapnya berubah: di sekolah kesenian itu, di mana seni tradisi mau tak mau bersua dengan
yang di luar wilayahnya, Gundono lebih bisa menerima hal-hal yang dulu ditampiknya.
Selain mendalang dan jadi penerus ayahnya ia ikut dalam pentas karya Sardono W.
Kusumo dan akrab dengan Rendra.
Saya ini seperti Karna, katanya pada suatu ketika Tak punya bapak yang jelas. Bapak
biologis saya Suwati, bapak spiritual saya pak kiyai, dan kemudian saya dibesarkan bapakbapak lain.
Tapi Gundono, kini 43 tahun, bukan sebuah ensiklopedia; di pentas itu ia sebuah kejadian. Di
dalam teaternya definisi dan identitas luruh dan puisi timbul: puisi sebagai jejak kebenaran
yang lewat, sejenak, menyentuh, tak terhingga.
Mungkin itu sebabnya ia menemui tempat yang tepat di lantai Teater Salihara, Jakarta,
malam itu: ia memainkan satu fragmen dari Serat Centhini, teks bahasa Jawa abad ke-19
yang berkisah tentang pengembaraan dua putra Kerajaan Giri yang mearikan diri ketika
pasukan Sultan Agung (1613-46) dari Mataram menyerbu.
Gundono beruntung. Centhini karya 4200 halaman, 722 tembang, 2000 bait itu tak jauh
dari dunia yang amat dikenalnya: yang santri dan yang abangan. Di sana ritual dan mistik
Islam berbaur dengan kegembiraan dan keleluasan erotik di pedudunan Jawa dan
membentuk sebuah dokumen kebudayaan yang padat dan mengasyikkan, puitis dan jenaka,
ganjil dan sehari-hari.
Lebih beruntung lagi, Gundono memakai versi yang berkisah, dengan judul Cebolang
Minggat. Centhini-nya bukan seperti mummi di museum. Sang dalang bekerja sama dengan
Elizabeth D. Inandiak, seorang sastrawan Prancis yang menyadur Serat Centhini dan
mengatakan: Ini adalah Centhini abad ke-21.
Inandiak, seperti diakuinya sendiri, bukan seorang pakar bahasa Jawa. Ia, tulisnya, seorang
petualang dan pencinta Jawa. Ia menggubah kembali karya panjang yang di sana-sini
membosankan itu jadi narasi yang berjalan dengan kiasan dan pencandraan yang puitis dan
tak terduga, bertaut tapi tak terikat dengan teks asli. Terkadang Inandiak meringkas,
terkadang mengubah. Dan terkadang ia menggerakkan puisi Jawa itu dengan potongan sajak
Victor Hugo dan Baudelaire. Di bagian tertentu, juga masuk anasir yang kocak dari
Gargantua Rabelais. Centhini, cest Rabelais! kata Sejarawan Onghokham kepada sang
penyadur.
Dengan kata lain, ia sebenarnya meneruskan proses semula lahirnya Centhini teks yang
merupakan pertemuan berbagai alir. Dua ribu bait itu terjadi karena dorongan keasyikan,
nostalgia, dan kreatifitas bermacam-macam orang. Centhini-nya, seperti dikatakan dalam
pengantar, adalah pengembaraan edan luar batas.
Malam itu, di kanan pentas yang mirip panggung pertunjukan dusun itu Inandiak duduk di
depan laptop. Ia membaca dengan tenang, mula-mula frase pembukaan dalam bahasa Prancis,
lalu segera kalimat berbahasa Indonesia: Cebolang bertubuh luwes dan licin layaknya
penari Ramayana
Teks yang diterjemahkan dari bahasa Prancis itu di sana-sini agak kikuk, dan Ianindak
melafalkannya dengan aksen asing yang menghidupkan konsonan akhir tapi itu justru yang
menyebabkan bunyinya menarik. Apalagi segera setelah itu Gundono meningkahi suasana
dengan janturan seperti dalam wayang, nyanyian seperti dalam orkes kampung, kasidah
seperti dalam upacara santri, dan gamelan, dan joged, dan suara bariton yang berkisah
Kisah itu, sebagaimana terkenal dari Centhini, terkadang sangat erotis: deskripsi
persetubuhan dalam puisi. Tapi tak berhenti di sana. Cebolang yang melarikan diri dari
rumah, setelah menempuh dosa tubuh dan pengalaman mistis, akhirnya pulang. Ayahnya
menyambutnya. Sang anak disuruhnya menjalankan ilmu yang paling dasar yang akan
mengantarmu ke semua lainnya.
Ayahanda, ilmu apa itu?
Cinta.
~Majalah Tempo Edisi 23 Februari 2009~
by
anick
in
All
Posts,
Identitas,
Pepeling.
Tahun adalah cermin. Di depannya, setiap sehabis 31 Desember, akan saya lihat: guratan
umur makin mengeras. Keriput makin banyak. Pori-pori kulit membesar. Rambut rontok.
Dan waktu kembali jadi angka: jika tahun ini kau rayakan ulangtahun ke-50, atau ke-60, atau
lebih, kita tahu jangka waktu hidup yang sama tak akan tercapai lagi. Ujung jalan itu sudah
tampak.
Dalam arti itulah masa depan jadi lebih tertentu: hidup akan berakhir. Saya pasti tak akan
menyaksikan 7000.000 batang muda yang ditanam tahun lalu tumbuh jadi pohon-pohon
tinggi dan rimbun, seperti deretan pokok asam dan mahoni di tepi jalan di kota saya masa
kecil. Saya tak akan lihat tanahair kaya kembali dengan hutan tropis yang lebat. Saya pasti
tak akan merasakan jalan-jalan tak lagi macet, polusi udara berkurang karena bensin tak lagi
dipakai, dan bulan tak kusam ketika malam purnama, dan di Jakarta, di ibukota, sesuatu yang
lebih manusiawi hadir bahkan di rumah sakit umum, di penjara, di kakilima, dan museum dan
teater dikunjungi, bangunan baru terawat dan bangunan lama selesai dipugar, dan stasiun
kereta api gaya Art Deco di wilayah Kota yang sudah lama tak terawat itu mempersona
kembali. Ya, banyak sekali yang pasti tak akan saya alami.
Tapi siapa yang dapat mengatakan, hal-hal indah itulah yang akan terjadi? Bagaimana bila
sebaliknya? Bagaimana jika kelak ribuan dusun dan kota hilang tenggelam oleh laut yang
menggelegak karena kutub utara jadi cair? Bagaimana jika yang terjadi adalah bentrokan
berdarah yang tak henti-hentinya, karena masyarakat jadi amat timpang antara kaya dan
miskin, dan sumber-sumber alam kikis, dan orang marah kehilangan rasa keadilan?
Bagaimana jika mereka yang lemah terus tertekan oleh kemahakuasaan uang, ketidak-jujuran
pejabat negara, dan sifat represif dari lembaga-lembaga adat dan agama?
Saya, seperti anda, tak tahu bagaimana menjawab itu. Orang mampu meyusun statistik,
membuat prediksi, memperkirakan probabilitas. Tapi kita tahu hidup tak bisa distatistikkan,
karena yang tak lazim selamanya bisa terjadi atau memang selalu terjadi.
Ada sebuah sajak Chairil Anwar:
Kalau
datang
menggulingkan
gundu,
memacu
kuda-kudaan,
aku sudah lebih dulu kaku
nanti
topan
memutarkan
menghembus
ajaib
gasing
kapal-kapalan
Ketika aku jadi kaku, ketika kematian itu datang, itu adalah ketika yang probablilitasnya
praktis 100%. Tapi tak urung, ada kemungkinan yang menakjubkan akan terjadi: topan
ajaib yang menggulingkan gundu, memutarkan gasingBahwa kita bisa merasakan yang
ajaib itu sebetulnya sebuah keajaiban tersendiri. Bahwa kita bisa menghayati, bahkan
menghasilkan, sesuatu yang tak disangka-sangka, itu menunjukkan betapa hidup tak
semuanya buah sebab dan akibat, tapi juga kejutan demi kejutan.
Determinisme selamanya meleset. Ada yang dalam filsafat kini disebut sebagai kejadian,
setidaknya semenjak Heidegger menyebutnya sebagai Eregnis: sesuatu yang terjadi di luar
hubungan kausal. Seperti ketika sederet nada muncul dalam sebuah komposisi musik: nada
yang satu tak disebabkan, atau menyebabkan, nada yang di sebelahnya; masing-masing hadir,
terdengar, entah dari mana. Di situ kita tahu, hidup bergerak didorong oleh lan vital yang
kreatif, dan yang tak terduga-duga datang, memukau, bukan oleh satu titik yang kukuh di
ujung sana dari sebuah garis lurus. Tak ada garis lurus. Kita tak tahu dari mana sajak Chairil,
komposisi Cornel Simanjuntak, dan kanvas Zaini mulai. Semuanya kejadian. Itu sebabnya
dalam pemikiran Deleuze, kejadian sama saja maknanya dengan penciptaan.
Maka tahun tak hanya ibarat cermin tempat kita berkaca melihat proses keuzuran. Tahun juga
sebuah tanda waktu yang tak sempurna, titimangsa yang hanya satu sisi.
Sebab jika kita teruskan meminjam uraian Deleuze, (yang mengembangkan buah pikir
para filosof sebelumnya) ada waktu sebagai Chronos, ada waktu sebagai Aion. Yang
pertama adalah waktu yang merupakan satu rangkaian kini yang bisa diukur, diingat, dan
disusun sebagai urutan. Yang kedua adalah waktu kreatif, waktu kejadian, waktu kejutan.
Dikatakan secara lain, itulah waktu yang copot dari sendi, time out of joint, untuk memakai
kata-kata Hamlet kepada sahabatnya, Horatio, setelah (demikianlah tersebut dalam lakon
Shakespeare) hantu ayahnya datang memberitahu rahasia yang mengerikan di tahta Denmark.
Waktu yang copot dari sendi memang terasa mencemaskan. Tapi rasa cemas itu tak
melumpuhkan manusia. Dalam waktu sebagai Aion, manusia seakan-akan terlontar. Ia
mengalami kebebasan dari hukum sebab dan akibat, tapi dengan itu ia masuk di dalam
momen kejadian. Seperti nada do dalam B minor yang muncul dalam harmoni, kejadian
tak berlangsung dalam waktu yang sudah disusun; ia justru membuka waktunya sendiri.
Bahkan pada akhirnya kejadian atau penciptaan tak bisa selamanya berada dalam
by
anick
in
All
Posts,
Hukum,
Politik.
Dan metafor pun menang. Mungkin itu tak disadari ketika kata cicak melawan buaya dipakai
pertama kalinya dalam pertentangan yang kini disebut sebagai konflik antara KPK dan Polisi.
Saya yakin Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji tak memperhitungkan betapa ampuhnya
perumpamaan yang dipakainya dalam majalah Tempo, 16 Juni 2009:
Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya, di situ cicak. Cicak kok melawan buaya.
Dari sana, muncullah dalam gambaran pikiran kita dua pelaku yang bertentangan dan tak
seimbang.
Yang satu reptil kecil. Ia tak lebih dari 10 sentimeter panjangnya, hidup di celah-celah rumah
kita, tak mengganggu, dengan suaranya yang berbisik. Ia bahkan menyenangkan: mangsanya
nyamuk-nyamuk yang menggigiti jangat kita. Anak-anak menyanyikan lagu yang riang
tentang dia, (Cicak-cicak di dinding) dan pada umumnya ia tak membuat takjub siapa pun,
kecuali orang dari Eropa yang tak pernah melihat kadal kecil dari khatulistiwa itu.
Yang seekor lagi reptil besar. Ia bisa sampai 8 meter panjangnya. Kulitnya kasar keras,
moncongnya menakutkan, dan meskipun matanya seakan-akan tertidur, ia mendadak bisa
menyerang. Kecuali ketika diternakkan atau dikurung di kebun binatang, habitatnya jarang
didatangi manusia. Ia pembunuh. Mangsanya hewan lain, juga kita.
Dalam bahasa Indonesia, buaya umumnya sebuah metafor untuk sesuatu yang punya sifat tak
baik: buaya darat, misalnya. Ada memang kata buaya kroncong, yang barangkali dipakai
untuk mengesankan sifat penggemar yang amat doyan jenis musik itu dan penggemar itu tak
gampang puas.
Maka memang aneh, kenapa justru seorang jenderal polisi mengumpamakan dirinya
mungkin juga korpsnyadengan seekor reptil yang ganas. Besar kemungkinan ia hanya
melihat dalam diri buaya faktor kekuatan yang handal. Atau mungkin juga kepintaran yang
agresif. Dalam wawancara yang saya kutip tadi, Susno Duadji melihat pihak sana, yakni
KPK, sebagai cicak yang masih bodoh. Pihaknya, si buaya, sebenarnya sudah berusaha
memintarkan, tapi sang cicak tak kunjung pandai. Si kecil itu telah diberi kekuasaan, kata
Susno Duadji, tapi malah mencari sesuatu yang enggak dapat apa-apa.
Dari semua itu tampak, metafor Susnoseperti halnya metafor pada umumnyatidak berperan
sebagai ornamen. Memang ada yang menganggap sebuah metafor cuma sebingkai hiasan,
karena selalu mengandung sesuatu yang penuh warna dan rupa (dengan kata lain: sesuatu
yang tercerap pancaindra). Tapi orang yang menganggap bahasa metaforik hanyalah hiasan
untuk memperindah sebuah gagasan sebenarnya tak tahu, bahwa bahasa tak dimulai dari ide.
Bahasa bermula dari tubuh. Bahasa berpangkal dari proses indrawi.
Itu sebabnya acap kali bunyi mendahului pemberian arti. Dan ini berlaku sejak kata seru
seperti Wah! sampai kata benda yang mengandung bunyi yang menimbulkan imaji dan
asosiasi tertentu di dalam pikiran kita. Kata sulur, misalnya, mengandung bunyi lur yang kita
dapatkan dalam julur, salur, balur: sebuah bunyi yang menimbulkan imaji tentang sesuatu
yang memanjang tapi tak meregang.
Dari sesuatu yang konkret seperti itulah (bunyi dan imaji), dan bukan sesuatu yang rasional
dan kognitif, metafor dilahirkan dan dipergunakan. Metafor memang mirip simbol. Baik
metafor maupun simbol memakai sesuatu yang konkret untuk menyampaikan sebuah
pengertian. Tapi antara keduanya ada beda yang fundamental.
Simbol: kita menemukannya dalam pohon beringin yang dipilih untuk merumuskan cita-cita
Partai Golkar; atau palu-arit untuk menghadirkan dasar kelas sosial dan ideologi PKI. Tapi
bila simbol dipilih dengan rencana yang sadar, metafor lahir lebih spontan; ia lebih bergerak
ke arah asosiasi ketimbang ke arah konsep. Pungguk merindukan bulan adalah sebuah
metafor, bukan simbol, sebab yang muncul dari kalimat itu adalah imaji seekor burung buruk
muka yang hinggap di sebuah dahan ketika malam mengagumi purnama. Antara si pungguk
dan rembulan itu ada kontras yang jelasjuga jarak yang tak akan terjangkau. Metafor itu
lebih memantulkan situasi yang melankolis ketimbang mengikhtisarkan sebuah ide tentang
cinta yang tak sampai.
Juga ketika kata cicak dan buaya dengan spontan dipakai: saya kira yang berperan bukan
sebuah konsep yang dipikirkan. Bahkan ada anasir dari bawah sadar yang bekerja.
Dipakai dalam sebuah suasana konflik, kedua kata itu menyugestikan bahwa yang terjadi tak
berbeda dari perseteruan di alam bebas, di mana penyelesaiannya bukanlah atas dasar hukum
sebagai aturan bersama, melainkan ditentukan oleh kekuatan. Memang Susno Duadji tak
melanjutkan cerita tentang cicak-lawan-buaya itu dengan cerita bentrokan. Ia mengatakan,
sang buaya tak marah, cuma menyesalkarena menurut penilaiannya si cicak masih tetap
saja bodoh. Namun dengan mengambil ibarat dari dunia hewan, kekerasan dan kebuasan jadi
demikian tampak penting ketika sebuah pertentangan harus diputuskan.
Mungkinkah itu yang sebenarnya tersimpan di kepala: bahwa konflik antarlembaga negara
hanya selesai karena kekuatan fisik, bukan karena aturan yang sudah ada dan rasionalitas
dalam manajemen pemerintahan? Ataukah metafor yang kini dipakai secara luas itu memang
menunjukkan sebuah pengakuan bahwa hukum selalu punya dimensi konflik politik? Bahwa
pengertian keadilan sesungguhnya ditentukan melalui sebuah persaingan hegemoni atas
bahasa dan makna?
Apa pun jawabnya, sebuah metafor telah menang. Ia bahkan lepas dari keinginan sang
pemakai pemula. Ia ramai-ramai dipungut, mungkin karena imaji yang muncul dari dunia
hewan itu mengasyikkan seperti sebuah fabel. Tapi bukankah dongeng yang kita sukai bisa
bercerita tentang hasrat dan cemas kita yang tersembunyi?
~Majalah Tempo Edisi Senin, 09 November
Cala Ibi Nukila Amal atau Menggarami Burung Terbang Sitok Srengenge, dua novel yang,
dengan bahasa yang puitik, tak hendak mengubah pandangan kita tentang hal-ihwal.
Lady Chatterleys Lover memang sebuah kritik sosial; ia hendak meyakinkan kita tentang
muramnya masyarakat Inggris sehabis perang pada 1920-an. Zaman kita pada hakikatnya
zaman yang tragis, maka kita menolak untuk menyikapinya dengan tragis, begitulah novel
ini dimulai. Kita ada di tengah puing, kita mulai membangun habitat baru kecil-kecilan,
untuk mendapatkan harap baru sedikit-sedikit.
Dalam novel itu, puing itu sampai ke pedalaman. Masyarakat terjebak lapisan-lapisan kelas,
dan industrialisasi yang mulai merasuk, juga peran uang, membuatnya lebih buruk.
Kritik novel ini tersirat dalam tokoh Constance Chatterley. Ia kawin dengan Sir Clifford, tuan
tanah dan bangsawan pemilik tambang. Lelaki ini luka dalam perang. Ia bukan saja lumpuh,
juga impoten, dan hanya menunjukkan kelebihannya bila ia mulai memimpin bisnisnya.
Tampaknya perang, industrialisasi, kapitalismedan patriarkimenebarkan racunnya dan
membuat hidup perempuan itu, Lady Constance (Connie), terpojok. Kesepian, bosan,
hampa, dan tertindas, ia akhirnya menemukan kembali gairah hidup sebagai perempuan
ketika ia disetubuhi Melleors, game keeper Sir Clifford, lelaki yang tinggal menyendiri di
sebuah gubuk di tanah luas itu, mengurusi burung-burung yang esok pagi akan dilepaskan
terbang untuk jadi sasaran tembak sang majikan.
Connie hamil dari hubungan gelap itu. Tapi ia tak takut. Ia memang menghendaki seorang
anak, meskipun percintaannya dengan lelaki kelas bawah itu bukan dimaksudkannya hanya
untuk beroleh keturunan. Aku bukan hendak memperalatmu, bisiknya di tempat tidur.
Mereka saling mencintai. Pada akhirnya Connie meminta cerai dari Sir Clifford, tapi
ditampik. Kisah ini selesai seperti tak selesai: Connie dan Melleors menanti.
Agaknya apa selanjutnya tak penting lagi: protes sudah disampaikan, bahkan dijalani dengan
perbuatan, dan tak seorang pun dihukum. Bukan salah perempuan, bukan salah percintaan,
bukan salah seks, begitulah novel ini bicara. Kesalahan itu di sana, di luar sana, dalam sinar
keji cahaya listrik dan gemeretak iblis mesin-mesin. Di sana, di dunia di mana kerakusan
bergerak seperti mesin dan kerakusan menghasilkan mesin di sanalah terhampar mala
yang luas itu, siap untuk menghancurkan apa saja yang tak mau menyesuaikan diri. Ia akan
segera menghancurkan hutan, dan bunga kecubung ini tak akan bersemi lagi.
Dibaca pada awal abad ke-21, protes seperti iniketika yang erotik, yang lemah, dan yang
halus dalam diri manusia diancam dunia moderntak mengejutkan lagi. Bahkan bahasa
Lawrence juga segaris dengan kehendak dunia modern yang ditentangnya, yang serba
mengutamakan pikiran dan hasil, bukan persentuhan yang melibatkan tubuh dalam
pengalaman. Tapi juga ketika dibaca pada awal abad ke-20: Lady Chatterleys Lover hanya
dianggap karya pornografis. Ditolak di mana-mana, pada 1928, hanya seorang penerbit Italia
yang menerimanya; ia tak begitu paham bahasa Inggris.
Dengan segera novel ini laris dan dikejar-kejar. Yang paling ramai di AS, dengan warisan
puritanisme Kristen yang awet dan semangat kapitalisme yang, seperti digambarkan
Lawrence, rakus seperti mesin itu, yang melihat tubuh perlu berdisiplin baja dan gairah
seks sebagai dosa, yakni energi yang tak produktif.
Maka pemilik toko buku yang menjual Lady Chatterleys Lover pun dibui, kantor pos
menolak mengirimkan novel itu, dan Presiden Eisenhower menganggapnya bacaan yang
dreadful. Baru pada akhir 1950-an pengadilan menganggap karya itu tak pornografis.
Anehkah bila bertemu agama dan kapitalisme, juga komunisme, yang rezim-rezimnya
melarang Lady Chatterleys Lover? Tidak. Bagi mereka, tubuh kita hanya penting sepanjang
bisa dibuat berguna bagi yang mahakuasa, apa pun namanya.[]
~Majalah Tempo Edisi 37/XXXVII 03 November 2008~
Naskah ini pernah dimuat di Tempo edisi 26 Maret 2006
by
anick
in
All
Posts,
Kisah,
Politik,
Sejarah.
Teks bersejarah itu sederet kata yang bergegas. Tak panjang. Seluruhnya terekam di atas
secarik kertas separuh folio. Kita mengingatnya kembali saban 17 Agustus, sebab hampir di
tiap hari kemerdekaan itu koran dan majalah memuat kembali foto dokumen ringkas itu, atau
orang mereproduksinya dalam ukuran besar pada papan untuk diarak dalam pawai: Kami,
bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Huruf-huruf itu jelas tulisan tangan Bung Karno yang kita kenal coraknya dari dokumendokumen lain. Mungkin kalimatnya diguratkan dengan sebuah pena yang kasar. Ada coretan
dan perbaikan lebih di satu tempat.
Gugupkah ia waktu menuliskannya? Kita tak tahu. Yang kita hanya dapat bayangkan: sebuah
suasana tegang. Di satu ruangan di kota yang masih dikuasai tentara Jepang, Bung Karno dan
Bung Hatta dikelilingi para pemuda yang tak sabar. Semua telah mendengar dari radio
rahasia bahwa tiga hari yang lalu, 14 Agustus 1945, kemaharajaan Nippon telah kalah perang.
Maharaja Hirohito telah menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Artinya
kekuasaan itu ambruk dan tak punya dayaapalagi hakuntuk mengklaim bahwa ia
berdaulat di Indonesia. Jika Jepang sudah takluk, itulah saat yang baik untuk merebut posisi.
Kekuasaan harus dipindahtangankan. Kapan lagi? Ayo, Bung, ayo! Sekarang juga kita
merdeka!
Bung Karno pun menulis. Waktu sempit. Keadaan mendesak. Para pemuda mendesak.
Momentum tak boleh dilepaskan.
Tapi setelah itu, apa? Setelah kekuasaan berada di tangan bangsa Indonesia, apa yang akan
dilakukan? Teks itu tak sempat menjelaskan. mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l.,
akan diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Malam itu, dan 61 tahun kemudian, kita tahu bahwa bangsa ini harus merdeka; sudah
berpuluh-puluh tahun ia ingin bebas dari penjajahan. Tapi agaknya tak ada yang tahu
bagaimana caranya menyelenggarakan pelbagai hal dengan cara seksama dan dalam
tempo sesingkat-singkatnya. Apa pula yang dimaksud dengan kata d.l.l. di dalam kalimat
itu? Apa saja yang tergolong dan lain-lain?
Tak ada jawab. Mungkin belum perlu ada jawab. Keputusan untuk memerdekakan diri malam
itu tidak berasumsi bahwa segalanya sudah tergambar persis, tinggal dikerjakan. Keputusan
itu sadar, mungkin dengan gemetar, bahwa semua dalam keadaan serba mungkindan
betapa mustahilnya mengelakkan momen kehidupan yang tak hanya terbuka untuk pelbagai
kesempatan, tapi juga untuk pelbagai bencana. Keputusan malam itu bukan aplikasi sebuah
program.
Dalam arti itu ia cermin kebebasan bertindak, keberanian, juga kerendahan hati. Sebab di
situlah para pendiri Republik, yang tak 100 persen tahu apa yang akan terjadi, seraya
mengakui ketaktahuan itu melompat masuk ke dalam sejarah. Jika ada di antara mereka yang
seperti Hamlet, yang bimbang dan tak henti-hentinya merenung, akhirnya toh berkesimpulan,
bahwa berlarut-larut dalam pikiran, sebagian membuat kita arif, dan tiga bagian membuat
kita pengecut, seperti kata pangeran Denmark dalam lakon Shakespeare itu.
Di dalam huruf d.l.l. itulah tampak revolusi Indonesia bukanlah sebuah revolusi Leninis. Ia
tak bertolak dari teori. Ia juga bukan seperti Revolusi Iran, yang berangkat dari ajar-an dan
petuah Ayatullah Khomeini. Bahkan jika proklamasi itu bisa dianggap bagian penting dari
revolusi kita, ia ekspresi sebuah pragmatisme yang lebih radikal ketimbang Revolusi
Amerika. Pada tanggal 17 Agustus itu, para pendiri Republik kita menampik teori penonton
tentang pengetahuan.
Teori itu, kata pelopor pragmatisme modern, Dewey, memanjakan ilusi ini: menganggap
manusia, dari tempat duduknya di ketinggian, bisa menentukan kebenaran abadi tentang
perikehidupannya. Padahal yang benar tak dapat dipisahkan dari laku. Bagi kaum
pragmatis, hanya dengan laku kita dapat menemukan pijakan pengetahuan tentang dunia.
D.l.l adalah pengakuan, jika kemer-de-ka-an adalah sebuah wacana, ia sebuah wacana
yang belum selesai. Tapi lebih penting lagi naskah proklamasi itu seluruhnya mengisyaratkan, bahwa tak ada wacana yang bisa selesai dan memadai merangkum hal-ihwal.
Kita baca: tak ada pelaku atau subyek dalam kalimat akan diselenggarakan dengan cara
seksama itu. Siapa yang akan menyelenggarakan? Mungkinkah Soekarno-Hatta, seba-gai
dua orang yang menuliskan teks itu atas nama bangsa Indonesia? Bagaimana hal itu terjadi,
sementara bangsa Indonesia belum memilih mereka? Dan bagaimana di malam dan pagi
yang tegang itu, ketika dunia sedang berubah dahsyat begitu Perang Dunia II berhenti, orang
merumuskan apa itu bangsa Indonesia?
Pada mulanya adalah logos, kata Alkitab. Tapi hari itu bukan: pada mulanya bukanlah sabda,
bukan kebenaran, melainkan tindakan. Tak berarti proklamasi itu sebuah loncatan maut
dari kekosongan penuh, tanpa bayangan apa pun mengenai tujuan.
Pada bulan sebelumnya sudah ada rapat-rapat panitia persiapan kemerdekaan. Tanggal 1 Juli
1945 Bung Karno merangkum kesepakatan mereka yang ikut dalam rapat persiapan itu ke
dalam sebuah kata: Pancasila. Tapi Pancasila pun, sebagai hasil rembukan, mengandung
apa yang kemudian tersirat dalam huruf d.l.l itu: tak ada asas yang layak meniadakan asas
yang lain, sebab di dalam kehidupan bersama yang lebih bebas dan lebih adil, selalu ada
dan-lain-lain yang muncul, tak terduga-duga, terkadang terasa ganjil. Tak ada wacana yang
tak akan digugat oleh mereka yang tak tertampung.
Teks proklamasi itu sederet kata yang bergegas. Tapi keadaan genting yang melahirkannya
mengingatkan: hidup, juga hidup sebuah bangsa, terdiri dari saat-saat yang tak pernah
sempurna. Hidup selalu mengandung dan lain-lain yang belum tercatat. Sebab itu kita harus
terbuka, berseru kepada Republik ini, bangunlah jiwanya, bangunlah jiwanya.
~Majalah Tempo Edisi. 26, 21 27 Agustus 2006~
anick
in
Agama,
All
Posts,
Sejarah,
Seni,
Tokoh,
Tuhan.
Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau
yang ada di bumi bawah, atau yang ada di dalam air.
Sejak itu haramlah patung atau gambar, apalagi yang disembah. Tapi tak mudah firman Allah
itu dipatuhi. Bahkan ketika Musa masih di puncak Sinai, dan belum ada tanda-tanda akan
turun, Bani Israel membuat sebuah patung lembu emas yang mereka sembah sebagai
pengganti Tuhan yang tak kunjung tampak. Tak ayal, Musa pun turun dan menjatuhkan
hukuman yang mengerikan: mereka yang memihak kepada Tuhan harus membunuh
saudara, teman, dan tetangga mereka sendiri. Tertulis dalam Keluaran 32: 28: Pada hari itu
tewaslah kira-kira tiga ribu orang.
Sejarah ikonoklasmeyang kelak akan dipraktekkan dengan garang ketika orang-orang
Kristen dan Islam menghancurkan patung dan gambar sebagai berhalamendapatkan
momen dramatisnya di kaki Sinai hari itu.
Tapi apa sebenarnya yang dilarang: membuat patung dan gambar, atau membuat berhala
untuk disembah? Dalam sejarah Gereja, Yesus dan Maria dan bahkan Allah bisa dilukis, tapi
gambar-gambar itu tak diperlakukan sebagai sesembahan. Seni Michel Angelo dan Da Vinci
tak dilihat sebagai ikhtiar mimetik, usaha meniru sang sosok yang dilukis. Mereka tak
diperlakukan sebagai re-presentasi, melainkan sebagai ekspresi.
Ekspresi itu tentu saja ekspresi manusia di suatu masa, di suatu tempat. Apalagi di zaman
ketika, seperti kata Leonardo, Manusia hadir sebagai tauladan, juga dalam imajinasi.
Itu sebabnya ketika Da Vinci ingin menghidupkan suasana adegan Perjamuan Terakhir dalam
Injil, iayang hidup beratus-ratus tahun setelah peristiwa di Yerusalem itumenampilkan
Al Masih dengan menggunakan seorang bangsawan dari keluarga Kardinal Mortaro sebagai
model. Latar dan alam benda yang tergambar dengan tempera itu bertaut erat bukan dengan
kemelaratan para rasul di Palestina, tapi dengan zaman Italia abad ke-15: gelas anggur, pisau,
garpu, dan keramik cantik terletak di taplak meja yang bersulam. Semuanya mirip benda
yang digunakan para penghuni biara Santa Maria delle Grazie di Milano, tempat lukisan itu
muncul di dinding batu.
Memang ada ambiguitas di sini: kekekalan itu disampaikan dalam kekiniansatu hal yang
juga dilakukan oleh Emil Nolde, pelukis ekspresionis Jerman di awal abad ke-20, yang
melukis Perjamuan Terakhir dengan goresan kuas yang kasar, warna merah yang pedih, garis
yang bersahaja, dan suasana persatuan penuh tekad seperti dalam poster perjuangan buruh.
Leonardoyang melukis adegan Injil di biara itu bukan atas pesanan Gereja, melainkan
penguasa Milano, Ludovico Sforzatentu juga sadar bahwa karyanya hidup dalam zaman
yang disebut Walter Benjamin sebagai masa pasca-aura. Ia, yang juga seorang ilmuwan,
tak hendak membuat berhala, tak ingin membuat aikon.
Beda antara berhala (lidole) dan aikon (licne) seperti yang dipaparkan Jean-Luc Marion,
filosof Katolik dari Prancis itu, pada dasarnya beda cara bersikap terhadap Tuhan. Berhala
adalah ketika tatapan dan konsep manusia merasa mampu merumuskan-Nya. Aikon adalah
peristiwa ketika Allah memberikan diri-Nya sebagai karunia cahaya yang demikian
berlimpah, hingga manusia tak mampu melihat-Nya, dan yang terasa adalah gelapya, gelap
yang gemilang.
Di situlah manusia ada dalam kerinduannya yang tak sampai. Leonardo telah mencatat hal itu
pada suatu hari di abad ke-15.
~Majalah Tempo, Edisi. 52/XXXVI/18 24 Februari 2008~
by
anick
in
Agama,
All
Posts,
Pepeling.
Puasa: perut yang harus dibiarkan lapar, tenggorokan yang menahan haus selama 12 jam, alat
kelamin yang tak tersentuh syahwat. Demikianlah yang jasmani dikendalikan: daging harus
dituntun oleh roh. Kalau tidak: dosa.
Maka dari waktu ke waktu, seraya menolak yang jasmani, kita dianjurkan hanya menerima
yang rohani. Sejak pukul 4 dini hari, masjid dan surau penuh suara orang menyebut Tuhan,
menganjurkan ibadat, meneguhkan iman, menjalankan syariat. Kita dilengkapi dengan
banyak penangkal: kita harus bisa menolak gado-gado, soto, video porno.
Tapi bisakah daging diasingkan? Bisakah tubuh dilihat terpisah? Tampaknya ada yang luput
dilihat di sini. Justru pada bulan Ramadan, yang jasmani diam-diam menyiapkan resistansi.
Mari datang ke pusat-pusat perbelanjaan mewah dan angkringan sederhana di kaki lima. Kita
akan melihat semarak pelbagai penganan lezat yang tak lazim sehari-hari. Ramadan telah jadi
sebuah paradoks: ketika orang diharuskan menahan nafsu, kreativitas menyiapkan hidangan
justru meningkat; omzet perdagangan makanan naik sampai 60 persen. Orang ramai
berbelanja untuk membuat meriah meja berbuka puasa dan sahur mereka.
Ramadan agaknya telah jadi sebuah periode ketika orang berusaha memperoleh kompensasi
istimewa. Tampaknya kuat anggapan bahwa pengekangan atas tubuh kita selama 30 hari itu
adalah sebuah deprivasi, sebuah perenggutan dari hidup yang normal, dan kita, yang merasa
harus menanggungkan itu, menginginkan imbalan yang memuaskan.
Di atas semua itu, setidaknya di Indonesia, orang-orang yang menganggap puasa sebagai
deprivasi yang berat akan bersikap seakan-akan anak manja atau si korban yang dendam:
mereka minta diperlakukan dengan kelas tersendiri. Hormatilah orang yang berpuasa! seru
pengumuman di mana-mana. Maksudnya: jangan menggoda atau merayu orang yang
berpuasa untuk batal.
Barangkali berpuasa telah berubah: menahan haus dan lapar tidak lagi ditandai tekad
melawan godaan, tapi sikap ketakutan akan godaan. Pada bulan ini orang-orang yang
mengatakan bahwa niat mereka berpuasa adalah untuk Allah (dengan kata lain: ikhlas)
ternyata juga orang-orang yang merasa berhak mengklaim proteksi dari kekuatan di luar diri
mereka: Negara.
Maka rumah-rumah hiburan malam pun diharuskan tutup sepanjang bulan. Bahkan panti pijat
yang biasanya dipergunakan keluarga (termasuk anak-anak) tak boleh buka. Tak urung, para
juru pijat, umumnya ibu-ibu yang bekerja untuk menambah nafkah keluarga, berkurang
pendapatan. Di Bekasi, para pemilik dan buruh industri entertainment kecil atau menengah
mengeluh (ya, mereka akhirnya berani mengeluh) bahwa setiap tahun nafkah mereka putus
selama 30 hari. Padahal mereka juga harus ikut mengumpulkan pendapatan lebih untuk
bersenang-senang pada hari Lebaran.
Dengan kata lain, puasa telah jadi semacam privilese. Orang-orang yang berpuasa bukan saja
harus dihormati secara istimewa, tapi juga orang lain harus bersedia berkorban untuk mereka.
Persoalannya akan berbeda jika kita menganggap berpuasa dengan sikap lain: puasa bukan
sebagai deprivasi, melainkan sebagai ikhtiar kita untuk mengurangi apa yang dirasakan
berlebih dan berlebihan dalam diri. Dengan kata lain, inilah puasa sebagai pilihan laku yang
menangkis keserakahan. Bahkan inilah puasa sebagai reduksi agresivitas menghadapi
duniaagresivitas yang meringkus dunia jadi milik dan bagian dari sasaran konsumsi.
Dalam puasa reduktif itu, kita sebenarnya melanjutkan pesan Nabi untuk berhenti makan
sebelum kita kenyang dan juga pesan Gandhi untuk menyadari betapa dunia terbatas: bumi
cukup untuk kebutuhan tiap orang, namun tak akan cukup untuk ketamakan tiap orang.
Puasa yang macam itu tentu saja tak akan diakhiri dengan kemenangan yang dirayakan
dengan Idul Fitri yang pongah. Puasa yang menampik keserakahan dan agresivitas tak akan
meneriakkan kemenangan, terutama kemenangan diriku sebagai subyek yang perkasa yang
telah mengalahkan tubuh sendiri. Bahkan dalam puasa yang seperti itu, aku, seperti
dikatakan Chairil Anwar di pintu Tuhan, hilang bentuk, remuk.
Tak berarti hilang bentuk, remuk itu menunjukkan wajah manusia yang tertindas dan jadi
asing bagi dirinya sendiri.
Marx memang pernah menganggap, dalam agama (sebagai bentuk alienasi), wujud manusia
hilang: semakin banyak yang dicurahkan manusia ke Tuhan, semakin sedikit yang ia sisakan
bagi dirinya sendiri.. Tapi di situ Marx salah. Pada abad ini yang kita saksikan justru
sebaliknya: semakin banyak yang dicurahkan manusia ke Tuhan, semakin menggelembung ia
jadi subyek yang penuh dan perkasa. Dan agresif.
Mungkin itu sebabnya mereka yang berpuasa juga tampak seperti orang yang ingin berkuasa.
Kecuali jika puasa membuat kita sadar bahwa kita tak pernah bisa tegak utuh sendiri. Kita,
roh yang juga daging, terbentuk oleh zat-zat yang sama dengan zat-zat duniameskipun
kesatuan antara roh dan daging itu menyebabkan manusia tak seluruhnya bisa dirumuskan.
Kita ada di bumi, di bawah langit, di antara makhluk lain yang fana, di hadapan Tuhan
sebuah variasi dari das Geviert Heidegger. Dalam posisi itu, aku bisa merasakan bumi, langit,
sesama makhluk dan rahmat Tuhan mengasuhku. Dalam posisi itu, aku bisa menghilangkan
ketamakan dan agresivitasku.
Di situ, puasa tak akan disertai hasrat mendapatkan kompensasi yang memuaskan buat tubuh
yang merasa tertindas dan terasing oleh Ramadan. Di situ, puasa tak dimulai dengan merasa
telah direnggutkan, hanya karena mulut tak boleh menelan, lidah tak boleh mencicip. Di situ,
puasa adalah pertemuan kembali dengan tubuh yang sebenarnya lumrah dan patut disyukuri.
Bukan tubuh yang dikurung untuk diwaspadai.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 16 Agustus 2010~
by
anick
in
All
Posts,
Kisah,
Tokoh.
Empat bulan sebelum meninggal, Dan Lev menjemput saya di tempat saya menginap di
University District, Seattle. Ia masih melangkah gagah pada umur 72. Ia mengenakan jas abuabu dan pull-over putih. Hari itu di musim semi, Seattle agak dingin.
Kami berpelukan. Saya lihat rambutnya menipis dan ia pucat.
Saya ingat sepucuk sur-el yang ia kirim di pekan ketiga Januari 2006: Baru saja, sesudah
biopsi, ternyata saya kena kanker paru-paru. Belum terang apakah para dokter bisa berbuat
apa-apa. Akibatnya, saya nggak bisa ke Indonesia tahun ini. Macam-macamlah.
Seakan-akan kanker itu gangguan yang sepele. Tipikal Dan: ia tak hendak membuat
persoalannya dramatis. Hari itu dibawanya saya ke sebuah restoran dim-sum di International
District.
Sambil menyetir mobilnya memasuki 24th Avenue East ia mengatakan kemo- dan radioterapi
pada paru-parunya telah dihentikan. Tumornya hanya susut sedikit. Dokter bilangkatanya,
sambil terus memandang ke jalan di depannyaia akan hidup mungkin hanya enam bulan
sampai setahun lagi. Ia ucapkan itu seperti ia mengulang ramalan cuaca.
Ia tak ingin siapa pun sedih. Terutama hari itu: ia bebas dari kemo- dan radioterapi. Dalam
salah satu surat-elnya ia memang menyebut: Kemo itu racun memang campuran radiasi
semacam penyiksaan yang mungkin bisa saja dalam imajinasi Bush cs. Ia masih melucu
seraya menyodok Presiden Amerika yang tak pernah disukainya itu. Dan saya pura-pura tak
murung.
Di restoran yang tak saya ingat namanya itu ia makan tujuh potong dim-sum tanpa sambal.
Ada yang terasa sakit jika ia menelan yang pedas, katanya. Saya terdiam mendengar itu. Tapi
ia tak melanjutkan. Ia hanya bicara tentang topik yang disukainya akhir-akhir ini: lahirnya
sebuah generasi muda Indonesia yang bagi-nya mengagumkan.
Ia menyebut dua kelompok: pertama, mereka yang bergerak di sekitar Islam liberal dalam
berbagai variasinya, yakni anak-anak muda yang seraya berangkat dari latar sejarah Indonesia
telah membuka cakrawala pemikiran yang tak terjadi di tempat lain di Dunia Ketiga. Kedua,
yang ia kenal lebih dekat, anak-anak PSHKPusat Studi Hukum & Kebijakanyang
bekerja di sebuah kantor di wilayah Kuningan, Jakarta.
Sejak 1999, tiap kali Dan ke Jakarta, ia akan berjam-jam di situ, berdiskusi, menolong
mahasiswa yang perlu dibantu, minum kopi tubruk, merokok, mendengarkan. Bagi Dan
mereka ini harapan masa depan: mereka bukan saja penelaah kehidupan hukum di Indonesia,
tapi juga aktivis yang memperjuangkan perbaikan peradilan seraya menyiarkan informasi
tentang hukum tak henti-hentinya, antara lain dalam satu situs di internet. Bagi Dan,
merekalah contoh bahwa tak semua orang Indonesia menyerah kepada air busuk dunia
yudikatif Indonesia selama ini, tempat polisi, jaksa, hakim, advokat, sipir bui, dan entah apa
lagi, berkubang dalam uang suap, akal-akalan, dan pemerasan.
Sambil mendengarkan itu saya sadar: Dan tak pernah bicara tentang dirinya sendiri. Rasanya
ia tak pernah memikirkan dirinya sendiri. Ia menahan rasa sedih dan cemasnya entah di
mana. Ketika beberapa tahun yang lalu Arlene, istrinya yang lembut hati itu, sakit, ia berada
di sampingnya dengan tekun, tapi Dan tak pernah menunjukkan wajah waswas. Seakan-akan
ini juga kewajibannya: membuat hidup orang lain tak muram, sebab kita perlu bekerja untuk
sebuah dunia yang tak jadi gila.
Khususnya ia ingin mengabarkan berita baik tentang Indonesia.
Indonesia, bagi Dan Lev, bukanlah sebuah karier akademis. Seperti banyak Indonesianis,
Dan begitu dekat dengan negeri ini; suka-duka yang terjadi di sini seakan-akan ikut
mempengaruhi pandangan tentang diri sendiri dan tentang dunia. Dengan kata lain, Indonesia
bukan hanya satu persoalan pengetahuan.
Ia tetap seorang ilmuwan yang tangguh dari sebuah universitas Amerika. Kelebihannya
adalah, sebagaimana dikatakan sahabatnya, Benedict Anderson, pengarang The Imagined
Communities yang termasyhur itu, kepada The Seattle Times, Dan mau go down the
trenches, turun ke dalam parit-parit pergulatan, bersama orang seperti Yap Thiam Hien,
Adnan Buyung Nasution, Marsillam Simanjuntak, Nursyahbani Kacasungkana, dan sederet
nama lain yang nekat bekerja untuk sebuah dunia yang tak jadi gilakhususnya untuk
sebuah Indonesia di mana hukum tegak dan hukum adil.
Dan tentu saja sadar ia bukan seorang Indonesia. Yang mengagumkan, ia bisa mengambil
jarak yang pas. Ia tak berteriak-teriak di jalan dan di media massa. Tapi, karena ia ikut
tergerak lan perjuangan di negeri ini, secara tak sengaja ia menularkan semangat itu
kembali. Ia tak melihat Indonesia seperti sepetak kelam.
Ia, penelaah sejarah politik dan hukum Indonesia modern, terpesona akan suasana demokratis
1950-an, ketika perdebatan tentang hal-hal yang fundamental berlangsung matang dan
cemerlang, ketika perbedaan sikap politik tak menyebabkan bunuh-membunuh dan buimembui. Salah seorang dari PSHK yang dekat dengannya mengatakan sesuatu yang penting:
dengan mengacu ke tahun 1950-an, Dan sebenarnya menunjukkan bahwa cara penyelesaian
konflik yang baik tak perlu dicari dari pengalaman negeri lain. Orang Indonesia sendiri
pernah melakukannya.
Ini tentu karena Dan punya kelebihan: ia kenal pribadi para pejuang demokrasi Indonesia
yang lahir di awal abad ke-20yang aktif di tahun 1950-andan ia juga bergaul dengan
mereka yang kini belum berumur 40.
Hanya tiga hari setelah ia meninggal, Selasa 1 Augustus, dengan cepat sekitar dua ratus
sahabatnya berkumpul di sebuah auditorium Hotel Santika, Jakarta. Di sudut kiri, sepasang
pemain musik memainkan lagu duka pada piano dan biola. Di sudut kanan dipasang layar, di
mana diproyeksikan foto-fotonya, juga rekaman video ketika ia berceramah, dalam bahasa
Indonesia yang amat bagus, tentang sejarah pemikiran hukum di Indonesia.
Seakan-akan ia ada di ruang itu.
~Majalah Tempo Edisi. 24, 07 13 Agustus 2006~
seharusnya menumbuhkan kerendah-hatian justru jadi dalih bagi sikap aku-yang-tahu-danbenar-dan-suci, ketika iman berangsur-angsur berubah jadi identitas sosial dan umat
sebuah sosok manusia kolektifjadi demikian penting, lebih penting ketimbang kebenaran.
Ironi menunjukkan, sebenarnya ada yang tak pas dalam posisi seperti itu. Dengan mengambil
jarak, kita akan menemukan bahwa tiap identitas sosial sebenarnya tak pernah siap
dirumuskan. Umat Islam atau umat Kristen dapat berarti macam-macam, sebab di
dalamnya ada perbedaan-perbedaan yang tak hendak diakui. Di dalam tiap pembentukan
identitas sosial, juga ketika kita bicara umat, sebenarnya terkandung represi.
Kekerasan sudah berbenih sejak represi itu: pada gilirannya, yang dianggap tak sesuai dengan
kami yang kolektif akan dilenyapkan. Di Ambon, 27 April 2001, Radio Suara Perjuangan
Muslim Maluku dikutip menyiarkan peringatan ini: Jika masih terdapatlah di antara orang
muslim yang ingin berbicara tentang rekonsiliasi, bunuhlah dia! Di wilayah Kudamati, dua
kelompok Kristen saling bermusuhan, saling menyerang, dan rumah-rumah dibakar.
Mungkin itu sebabnya tiap identitas sosial mengandung luka, dan sebab itu retak. Bahkan
identitas itu dicoba dibentuk justru karena retakan-retakan itu. Pada saat yang sama, ia
merumuskan diri atau dirumuskan, menamai diri atau dinamai, oleh sebuah bahasayakni
bahasa yang tak ia bangun sendirian. Ia memasuki sebuah konvensi. Ia pun bergabung ke
dalam sebuah sistem; sebenarnya ia hanya sebuah penanda. Tak ada yang secara utuh dan
tetap hadir sebagai sesuatu yang ditandainya (apa sebenarnya yang disebut umat?).
Maknanya hanya muncul ketika ia disandingkan dengan identitas sosial lain dan diberi batas
oleh identitas lain itu. Ia berbeda, tentu, dari yang-lain, tapi karena berada dalam sebuah
sistem pemaknaan, ia tak sepenuhnya tertutup; ia tak secara radikal berbeda dari yang-lain.
Bagaimana mungkin ia bisa meniadakan yang-lain?
Kita mesti saling mencintai, atau mati, tulis Auden.
Mungkin mencintai bukan kata yang menggelembung. Mencintai berarti terpesona
kepada yang-beda, menyentuh apa yang terbatas dalam diri sendiri pada saat bersua dengan
yang-lain, dan sadar bahwa bahasa tak bisa menangkap apa yang ada dalam diriku dan yanglain itu. Dalam kalimat Auden, Each language pours its vain, competitive excuse.
Mencintai adalah sebuah laku sederhana.
***
Saya pernah menempuh laut dari Pulau Buru ke Ambon di atas sebuah kapal kecil yang
disebut Landing Craft Material pada tahun 1969. Ombak mengguncang hampir selama 11
jam di dek sempit yang pengap bau minyak kayuputih. Pada akhir Juli 2006 saya kembali
menempuh laut itu, dengan kapal cepat yang lancar selama sekitar tiga jam.
Rantau hampir tak pernah tak terjangkau. Berada di Maluku kita akan menyadari itu dan
menyadari apa arti rantau: tempat yang jauh dari rumah, tapi tak sama sekali asing. Bahasa
Melayu menyebut negeri lain sebagai seberang.
Dengan demikian laut mempunyai dua sisi yang bertentangan, tapi juga bertaut: sebuah
pemisah dan juga perangkai, sebuah antara dan sebuah lokus tersendiri. Ia penuh suspens, ia
memukau.
Dalam salah satu puisinya yang terkenal, Cerita Buat Dien Tamaela, Chairil Anwar
menghadirkan satu suara sosok mithologis dari Malukukita tak tahu persisnya dari mana
yang menyebut diri, Beta Pattirajawane. Suaranya gemuruh; ia dengan agung
memaklumkan, bahwa ketika ia lahir, orang membawakan kepadanya dayung dan sampan.
Dan ia pun mengajak:
Mari menari!
Mari beria!
Mari berlupa!
Dengan kata lain, laut menandai petualangan yang gairah, kebebasan untuk lupa, kepergian
dari rumah. Terkadang laut adalah zona di antara rumah dan rantau, sebuah transito.
Terkadang ia rantau itu sendiri. Laut tak pernah kosong: ia sumber hidup dan perangkai
perniagaan, perang, pengungsian, dan peradaban.
Dengan itulah terjadi sebuah rumah baru, rumah bukan sebagai tempat asal yang tertutup,
melainkan yang tumbuh justru karena pertemuan dengan yang-beda dan tak disangka-sangka.
Saya ingat apa yang dikatakan Heidegger (yang berbicara tentang arus Sungai Danube yang
disebut dalam sajak Hlderlein, der Ister): Pulangadalah sebuah transit melalui keberbeda-an.
Mungkin itulah Indonesia, mungkin itulah takdirnya: tempat kita pulang, juga serangkaian
rantau, sebuah tempat yang dijelang tapi juga rumah yang meriah dan rumit dalam
kebhinekaan.
Jakarta, 8 Agustus 2006.
~Majalah Tempo Edisi. 25, 14 20 Agustus 2006~
anick
in
Agama,
All
Posts,
Kisah,
Revolusi,
Sejarah,
Tokoh.
Lukisan yang dicuri dari museum di Oslo di tahun 2004 itu tak akan mudah dilupakan orang
Di tengah kanvas, dalam garis yang tergurat kasar tapi terasa ngilu, tampak sebuah sosok
yang ketakutan. Mukanya pucat, mirip mayat tapi juga mirip bayi yang gagal lahir.
Mulutnya terbuka, menjerit. Matanya membeliak. Tangannya memagut kuping. Ia berdiri di
sebuah jembatan kayu yang tak tampak ujungnya. Di latar belakang kelihatan dua orang lain
berdiri seperti bayang-bayang. Dan tak kurang memukau adalah gelombang warna merah di
angkasa yang terbentang di atas permukaan air fyord yang luas.Edvard Munch menamai
karyanya yang termashur ini Jerit. Di sudut tampak angka tahun ketika sang pelukis
menyelesaikannya: 1893. Kemudian kita tahu ada beberapa baris dalam catatan hariannya
dari tahun 1892. Saya kutip:
Aku tengah berjalan di belakang dua orang teman. Matahari turun di punggung sebuah
bukit yang menjulang melatari kota dan fyord. Kurasakan selintas rasa sedih; langit itu
mendadak berubah merah darah. Aku berhenti melangkah, bersandar pada terali, letih
habis. Kedua temanku memandangiku tapi berjalan terus. Kusaksikan mega yang seperti api
di atas fyord dan kota ituAku berdiri di sana gemetar oleh rasa takut, dan kurasakan jerit
dahsyat yang tak henti-hentinya menembus alam yang terbentang tak putus-putusnya.
Lebih seabad kemudian, lukisan itu, lanskap Norwegia yang murung itu, dan terutama langit
di
atas
kota
Oslo itu, yang menampakkan darah dan lidah api di atas permukaan air fyord yang hitambiru, menarik perhatian para ahli astronomi. Mereka datang dengan sebuah teori.
The New York Times melaporkannya: dalam jurnal Sky & Telescope nomor Pebruary 2004,
Donald Olson dan rekan-rekannya dari Universitas Negara Texas mengemukakan apa
sebenarnya yang tampak di langit senja hari itu. Di tahun 1883 Krakatau meletus.
Guncangan hebat terjadi di sekitar Indonesia, dan kurang-lebih 30 ribu manusia tewas oleh
tsunami yang menggebrak, tapi yang juga menakutkan ialah bahwa bahkan di Eropa,
senjakala tak putus-putusnya menghadirkan langit merah yang terang sejak November 1883
sampai dengan Pebruari 1884. Olson berpendapat, sangat mungkin itu juga yang terjadi di
Norwegia, dan Munch adalah salah seorang yang menyaksikannya.
Tak begitu jelas bagi saya kenapa baru 10 tahun kemudian sang pelukis menuangkannya di
atas kanvas, dengan tempera, cat minyak, dan pastel di atas karton. Tapi setidaknya teori
Olson telah menjadikan Jerit sebuah pengingat: begitu jauh jarak antara Selat Sunda dan
Skandinavia, begitu berbeda, tapi semua ada di satu bumi, hanya satu bumi. Telah terjadi
bencana besar di sebuah selat, tapi bahkan di abad ke-19, ketika teknologi belum
mempercepat kabar, rasa ngeri di satu tempat bisa menjangkau pelbagai daratan, dan abu
letusan yang membara bisa menjelajah merasuki rembang petang beratus-ratus
kota.
Mungkin Munch melihat itu, mungkin juga tidak. Tapi apapun yang menggerakkan hatinya,
kanvas itu mencuatkan rasa jeri yang sama-sama kita kenal: pekik tersekat di mulut ketika
menghadapi maut, wajah pucat di tengah alam yang, pada saat yang menakutkan, tak
sepenuhnya menjelaskan diri, dan hati ketir-ketir karena kefanaan kita. Di mana pun kita
berada, kita merasakan diri melangkah di sebuah jembatan yang genting; di ujung yang satu
kita adalah sebentuk fetus, di ujung lain kita sebuah jenazah.
Tak ada yang kecil, tak ada yang besar, tulis Munch. Dalam diri kita adalah dunia. Apa
yang kecil membagi diri jadi apa yang besar, apa yang besar membagi diri jadi apa yang
kecil.
Mungkin itulah yang bisa dikatakan tentang manusia. Bencana alam datang seperti hantaman
raksasa di punggung Krakatau di tahun 1883 dan di daratan Aceh di tahun 2004, dan beriburibu nyawa punah, dan pada saat seperti itu, apa lagi beda besar dan kecil dalam nasib?
Saya teringat akan Bazarov, tokoh yang paling menarik dalam novel Turgenev, Para Ayah
dan Putra Mereka. Ia merenung: Di sini, aku berbaring di bawah tumpukan jerami. Ruang
sejentik yang kutempati ini begitu tak tepermanai kecilnya dibandingkan dengan ruang
selebihnya, di mana aku tak adadan jangka waktu yang tersedia untuk hidupku begitu
sepele disandingkan dengan keabadian yang belum dan tak akan pernah kuhuni
Bazarov melihat dirinya praktis tanpa arti. Novel itu menampilkannya sebagai seorang
nihilis yang bertanya tentang hidup kecil manusia: Bukankah ini memualkan?.Tapi
dengan itu sebenarnya ia sendiri melupakan apa yang dikatakannya di ujung renungan itu:
dalam zarah ini, dalam titik matematik ini, darah mengalir, otak bekerja dan
berkeinginan.
Maka Munch benar: tak ada yang kecil, tak ada yang besar. Kita bisa menghina diri dan
merasa terhina, atau tidak.Memang pada kita bisa terbit gentar ketika memandang langit
senjakala seakan-akan tengah dijilat lidah api, kita terpesona dan sadar, seperti pada Bazarov,
akan betapa kecilnya bumi di tengah alam semesta. Pada saat seperti itu kita mungkin akan
teringat bahwa sejak Kopernikus di abad ke-15 ilmu telah menjelaskan bumi bukan lagi
sebagai pusat; bahkan ia kini diketahui cuma senoktah planet di antara bermilyar-milyar yang
lain. Tapi soalnya: bagaimana kita memandang apa yang ditemukan Kopernikus.
Ada yang menyimpulkan, sejak itu manusia berhenti jadi angkuh. Nietzsche termasuk yang
berpendapat bahwa sejak itu pengkerdilan-diri manusia maju pesat. Tapi sebaliknya ada
juga anggapan bahwa sejak itu maju pesat pula sikap keilmuan: taklid kepada wejangan
agama bahwa pusat alam semesta adalah bumi, tempat lahir Kristus, telah digantikan oleh
pandangan yang meletakkan akal manusia, bukan kitab suci, sebagai pemegang suluh.
Syahdan, dunia modern pun menyingsing, humanisme berkibar.
Humanisme ini terutama berporos pada keyakinan, bahwa manusia mampu dan mempunyai
kebebasan untuk menemukan kebenaran. Kopernikus berpegang pada pandangan ini. Tentu
saja di abad ke-16, ia harus berhati-hati. Dalam keadaan ketika wejangan agama dijaga ketat
Gereja, karyanya, De Revolutionibus, yang terbit di tahun 1543, ia antar dengan sebuah
persembahan bagi Paus Paulus III.Di sana ia mengingatkan bahwa pandangan yang
menganggap bumi sebagai pusat alam semesta sebenarnya hanya berdasarkan otoritas ilmu
dan filsafat Yunani, bukan otoritas Alkitab. Pandangan geosentris itu salah, kata Kopernikus,
dan yang benar adalah teori yang dikemukakannya: matahari itulah sang pusat. Kitab
Kejadian memang tak tampak sesuai dengan teorinya ini, tapi Kopernikus toh bisa mengutip
Mazmur dan menyebut perlunya izin Tuhan bagi manusia untuk menggunakan nalar.
Paus Paulus III kebetulan seorang yang menerima humanisme dengan tenang. Namun
perdamaian antara Kopernikus dan Gereja tak bertahan sampai akhir.Sebab dasar
pendapatnya tetap: bagi Kopernikus, manusia-lah tolok ukur sebenarnya, sebab ia subyek
yang bebas dan mampu menemukan kebenaran, dan dengan metode ilmu yang pasti mampu
mengetahui sesuatu secara obyektif. Tak ayal, Gereja menampik pandangan manusia-sentris
ini. De Revolutionibus pun digolongkan ke dalam Indeks buku yang haram dibaca, satu
ketentuan yang baru dicabut di tahun 1822. Dengan catatan: itu terjadi 70 tahun setelah buku
itu terbit. Juga bukan Paus yang memulai serangan agama Kristen atas Kopernikus,
melainkan Luther, sang pelopor Protestantisme. Ketika itu sang astronom Polandia itu telah
lama wafat.Bentrok yang lebih dramatis terjadi kemudian. Teori Kopernikus berbenturan
sengit dengan Gereja dalam kasus Giordano Bruno. Pebruari 1600, setelah delapan bulan
dipenjara, bekas padri itu dihukum mati di Campo di Fiore di Roma: lidahnya ditusuk
tembilang dan tubuhnya dibakar hidup-hidup.Memang tak cukup bukti bahwa ia dipidana
karena keyakinannya mengikuti Kopernikus. Tapi seperti dikatakan Karsten Harris dalam
Infinity and Perspective, sebuah uraian historis yang jernih dan mendalam tentang pemikiran
manusia Eropa menghadapi infinitas, yang tak terhingga, pandangan Bruno tentang kosmos
bertaut dengan penampikannya atas dogma utama agama Kristen.
Dalam arti tertentu, yang diyakini Bruno adalah konsekuensi lanjut dari pandangan yang
menganggap bumi hanya satu noktah di antara jutaan noktah lain di alam semesta hingga
mungkin tak begitu penting planet tempat Yesus dilahirkan ini. Bumi bukan titik dari mana
kehidupan di luarnya diukur. Bagaimana pusat bisa ditentukan? Matahari juga hanya salah
satu penghuni sebuah galaksi, terselip di antara berjuta galaksi lain.Walhasil, bagi Bruno, tak
ada pusat. Kopernikus cuma mengganti satu pusat (bumi) dengan pusat lain (matahari). Ia
juga keliru.. Tak pasti pula mana awal dan mana akhir, dalam ruang dan dalam waktu.
Kosmos, menurut Bruno, adalah sesuatu yang tak terhingga, reproduksi diri Tuhan
sepenuhnya. Tuhan dan kosmos membaur.
Di sini teori Kopernikus diteruskan secara radikal, tapi sebenarnya ada yang gagal.
Kopernikus mengklaim telah membuka kemungkinan manusia untuk menangkap kebenaran
tanpa dibatasi sudut pandang yang sepihak, tapi ternyata Nietszche benar: justru karena
Kopernikus, proses peng-kerdil-an diri manusia berlangsung..Bagi Nietszche manusia
akhirnya hanya makhluk di sebuah bintang kecil nun jauh. Manusia `merasa menemukan apa
artinya mengetahui dan ia hidup dalam satu menit yang takabur yang disebut sejarah
dunia. Tapi hanya satu menit. Kemudian bintang itu jadi dingin dan sang makhluk pintar itu
punah.
Hanya begitukah manusia? Kita tahu Nietzsche memaparkannya dengan berlebihan, dan tak
berarti nihilisme ala Bezarov bisa membuat kita arif.Mungkin kearifan datang justru dari
lukisan Munch itu: di kepungan semesta yang perkasa itu, wajah kita guyah, lemah. Tapi apa
salahnya? Telah sering terbukti fatwa agama ternyata salah, penemuan ilmu keliru,
kesimpulan filsafat tak bisa bertahan; maka mengakui kelemahan adalah sebuah kekuatan.
Gianni Vattimo pun bicara tentang il pensiore debole, pemikiran lemah.
Bagi Vattimo, seraya menyadari pemikiran lemah itu, sebuah kesimpulan, meskipun
ditawarkan agar diterima orang lain, tetap sadar bahwa ia dinamis tapi tak kekal, ia terbuka
tapi penuh risiko. Ia ditawarkan sekedar sebagai tasfir, yang menyingkirkan tafsir lain tapi tak
menghapuskannya habis.
Artinya kita selalu berada di tengah jembatan, bukan di ujung tujuan. Ilham kita bukan Tuhan
yang segagah dalam lukisan Micheangelo, tapi tubuh yang terbungkuk kena dera yang pada
saat yang genting ditinggalkan Bapanya, tanpa sebab, tanpa jawab. Tapi kita tahu, ia tak
sendiri, kita tak sendiri.
~Majalah Tempo Edisi 44/XXXIV/26 Desember 2005 01 Januari 2006~
by
anick
in
Agama,
All
Posts,
Tokoh,
Tuhan.
Darwin, lelaki pemalu itu, tak ingin membunuh Tuhan. Ini agaknya yang sering dilupakan
orang sampai hari ini, ketika dunia memperingati 200 tahun hari lahirnya, 12 Februari.
Menjelang akhir hidupnya, ia hanya mengatakan bahwa ia harus puas untuk tetap jadi
seorang agnostik. Teori evolusinya yang mengguncangkan dunia pada akhirnya bukanlah
penerang segala hal. Ketika ditanya mengapa manusia percaya kepada Tuhan, Darwin hanya
mengatakan, Misteri tentang awal dari semua hal tak dapat kita pecahkan.
Dia sendiri pernah jadi seorang yang alim, setidaknya jika dilihat di awal perjalanannya
mengarungi laut di atas kapal HMS Beagle dari tahun 1831 sampai 1836. Pemuda berumur
22 tahun itu, yang pernah dikirim ayahnya untuk jadi pastor (setelah gagal bersekolah
dokter), dan di penjelajahan itu diajak sebagai pakar geologi, amat gemar mengutip Alkitab.
Terutama untuk menasihati awak kapal yang berfiil buruk. Selama belajar di Christs
College di Cambridge, sebuah sekolah tua yang didirikan pada abad ke-15, Darwin memang
terkesan kepada buku seperti Evidences of Christianity karya William Paley, pemikir yang
gigih membela ajaran Kristen pada zaman ketika rasionalitas dan otonomi manusia
dikukuhkan tiap hari.
Tapi Darwin pelan-pelan berubah pandangan. Otobiografinya mengatakan, ketika ia menulis
karyanya yang termasyhur, On the Origin of Species, yang terbit pada 1859, ia masih seorang
theis. Sampai akhir hayatnya ia tak pernah jadi atheis. Namun, setelah lima tahun
penjelajahan menelaah kehidupan satwa liar dan fosil, ditanggalkannya argumen Paley.
Bagi seorang apologis, segala hal di alam semesta adalah hasil desain Tuhan yang
mahasempurna. Tapi Darwin menemukan bahwa tak ada satu spesies pun yang bisa
dikatakan dirancang sempurna; makhluk itu berubah dalam perjalanan waktu,
menyesuaikan diri dengan kondisi tempatnya hidup.
Darwin juga menemukan hal yang lain. Ia tak hanya menyiasati hidup alam di pantai
Amerika Selatan dan ceruk Pulau Galapagos. Ia memandang juga ke dunia manusia di
zamannya, dan bertanya: bagaimana desain Tuhan dikatakan sempurna bila ketidakadilan
begitu menyakitkan hati? Darwin melihat kejamnya perbudakan. Ia, yang pernah bersahabat
dengan seorang bekas budak dari Guyana yang mengajarinya teknik taksidermi ketika ia
bersekolah kedokteran di Edinburgh, menganggap perbudakan sebagai skandal bagi bangsabangsa yang beragama Kristen. Dalam perjalanan dengan HMS Beagle itu ia juga
menyaksikan nestapanya manusia yang jadi pribumi Tierra del Fuego.
Tak bisa diterangkan dengan cara Paley mengapa Tuhan yang adil dan maha-penyayang
menghasilkan desain yang melahirkan keadaan keji itu. Tentu ia bisa menemukan tema ini
dalam kisah kesengsaraan Ayub dalam Alkitab, tapi bagaimana keadilan Tuhan di situ bisa
diterima seseorang yang berpikir kritis dan tak takut?
Bagi Darwin, apologia ala Paley gagal. Darwin tak melihat ada desain dalam
keanekaragaman makhluk hidup dan kerja seleksi alamiah. Lingkungan hidup yang mengontrol nasib kehidupan di alam semesta bekerja tak konsisten dan tanpa tujuan. Alam
memecahkan problemnya dengan cara yang berantakan dan tak optimal, dan tiap
penyelesaian tergantung pada keadaan ketika itu.
Mau tak mau, pandangan itu merisaukan. Darwinisme adalah bagian dari sejarah yang ikut
menenggelamkan apa yang disebut penyair Yeats sebagai ceremony of innocenceyang
terutama dijunjung oleh lembaga agama. Di Amerika Serikat, lebih banyak orang tak percaya
kepada teori evolusi. Di sana pula, para pengkritik Darwin mengibarkan teori tentang adanya
desain yang pintar di alam semesta. Mereka mengatakan, ada kecerdasan yang datang
dari luar alam yang campur tangan ke kancah hidup di sini, hingga, misalnya, bakteria bisa
berpusar pada flagellum yang strukturnya begitu rumit hingga tak teruraikan.
Tapi kaum penerus Darwin bisa menunjukkan ada ribuan jenis flagella yang terbangun dari
protein yang sebagian besar berbeda, dan jejak evolusi tampak jelas di dalamnya. Sebagian
besar komponen yang membentuk flagella diperkirakan sudah ada dalam bakteria sebelum
struktur yang dikenal kini muncul.
Artinya, tak ada desain, kata para penerus Darwin. Teori evolusi menunjukkan ketidaktetapan
dan kontingensi: hal ihwal selamanya berubah, meskipun tak terus-menerus, dan perubahan
itu bergantung pada konteks yang ada, dan konteks itu pun terbangun tanpa dirancang.
Bahkan terjadi karena koinsidensi. Stephen Jay Gould mengiaskannya sebagai spandrel, satu
bagian dari plengkung dalam gereja gothis yang tak dirancang oleh arsitek tapi terjadi secara
kebetulan ketika, dan karena, plengkung yang direncanakan itu rampung dibangun.
Memang dengan demikian tak ada lagi narasi besar. Kita hidup dengan apa yang dalam
bahasa program komputer disebut kluge, himpunan yang kacau dari macam-macam anasir
yang terjadi dalam proses menyelesaikan satu masalah. Tak ada flow-chart yang bisa
segalanya dan lengkap, tak ada resep yang akan siap.
Itulah sejarah: dibangun dari praxis, laku, keputusan setelah meraba-raba, dan mungkin juga
loncatan ke dalam gelap di depan. Tapi tak semuanya gagal. Alam penuh dengan perabot
yang ganjil dan awut-awutan, tapi makhluk hidup juga punya keterampilan dan kreativitas di
tengah keserbamungkinan itu. Nature is as full of contraptions as it is if contrivance, kata
Darwin.
Mungkin Tuhanlah yang menyiapkan itu, mungkin juga Ia tak ada. Mungkin tak ada apa pun
sebelumnya. Bagi Darwin itu bukan persoalan. Yang penting adalah mengakui pengetahuan
kita yang guyah, rumus kita yang coba-coba, tapi pada saat yang sama kita bilang ya
kepada hidup.
Orang beragama akan menyebutnya syukur. Juga tawakal.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 16 Februari 2009~
anick
in
All
Posts,
Indonesia,
Kisah,
Sejarah,
Tokoh.
Orang kelahiran Pasuruan itu selalu mengingatkan saya apa arti sebuah tanah air. Ia Ernest
Franois Eugene Douwes Dekker. Ia mengingatkan apa arti Indonesia bagi saya.
Sekitar akhir Juli 1913 ia disekap di sebuah penjara di Jakarta Pusat. Waktu itu umurnya 33
tahun. Pemerintah kolonial menuduhnya telah membangkitkan rasa benci dan penghinaan
terhadap pemerintah Belanda dan Hindia Belanda. Tuduhan itu tak benar; tapi ia memang
tak menyukai kekuasaan itu, yang, seperti dikatakannya kepada para hakim kolonial,
bertakhta di negeri kami ini, di bumi orang-orang yang tak menikmati kebebasan.
Dari sebuah berita acara yang bertanggal 11 Agustus kita tahu apa yang ia perbuat
sebenarnya. Partai politik yang didirikannya, Indische Partij, tak diakui sebagai badan
hukum. Tapi Douwes Dekker terus menulis dalam surat kabar De Expres dan lain-lain
sejumlah artikel yang oleh Residen Betawi, yang menginterogasinya hari itu, dianggap
melanjutkan membuat propaganda tentang cita-cita partai itu.
Tapi dapatkah itu dielakkan? Dalam sebuah memori pembelaan Douwes Dekker menjawab:
Adakah kemungkinan saya tak lagi berbuat propaganda? Apakah hati seseorang ibarat jas
luar yang dapat sesuka hati dipakai atau disimpan? Tidakkah seseorang akan merupakan
propaganda bagi dirinya sendiri selama ia hidup?
Saya tak dapat berbuat lain. Kecuali saya dalam sebuah toko barang loakan dapat
memperoleh watak yang sudah usang, semangat yang telah luntur, dan kedok yang
kelihatannya tak mengerikan.
Kalimat itu menggugah, meskipun bukan bagian sebuah prosa yang gemilang. Douwes
Dekker ini bukan Douwes Dekker yang lebih termasyhur, yang terbilang masih kakeknya:
penulis Max Havelaar yang memakai nama samaran Multatuli. Douwes Dekker dari Pasuruan
ini bahkan agak enggan dikaitkan dengan sang kakek.
Dalam biografi yang ditulis Paul W. Van der Veur, The Lion and the Gadfly (KITLV Press,
2006)sebuah buku yang layak dibaca orang Indonesiadapat kita temukan rasa
enggannya. Mengapa saya dibandingkan dengan Multatuli? Ia merasa itu tak adil. Eduard
Douwes Dekker, sang Multatuli, seorang sastrawan cemerlang. Sedangkan dia, Ernest
Franois Eugene, cuma seorang jurnalis rata-rata.
Lagi pula, katanya pula, Multatuli seorang Belanda.
Jika Multatuli orang Belanda, orang apakah Ernest, yang oleh Van der Veur disebut DD?
Yang jelas, ia Indo. Ia lahir pada 8 Oktober 1879, anak ketiga dan putra kedua Auguste Henri
Edouard Douwes Dekker dan Louisa Margaretha Neumann. Ibunya putri seorang Jerman
yang kawin dengan seorang wanita Jawa.
Posisi seorang Indo cukup galau masa itu. Dalam negara taksonomi (istilah Ann Laura
Stoler, dalam telaahnya tentang kekuasaan dan klasifikasi sosial di Hindia Belanda) seorang
Indo akhirnya tak diterima oleh mereka yang mengagungkan yang asli dan murni. Orang
Indo, kata DD, adalah makhluk yang nestapa.
Tapi justru sebab itu DD bisa berdiri memandang negara taksonomi dengan hati kesal dan
mata nyalang: ia tahu, taksonomi manusia adalah laku yang sewenang-wenang.
Maka ia bisa cepat merasakan ketidakadilan dengan tajam. Pada pertengahan 1898 ia selesai
sekolah menengah dan bekerja di perkebunan kopi Soember Doeren, di lereng selatan
Gunung Semeru, Jawa Timur. Ia akrab dengan para buruh. Seorang kuli tua pernah
mengatakan kepadanya, Tuan muda, tuan memperlakukan kami sebagai manusia. Tapi
majikannya menilai DD tak selamanya tahu bagaimana membuat batas.
Ia pun berhenti bekerja. Ia pindah ke pabrik gula Padjarakan di dekat Probolinggo. Pada masa
itu di Jawa selalu ada sengketa pembagian air irigasi antara pabrik gula dan para petani di
sekitarnya. Ketika DD menemukan bahwa Padjarakan merebut hak petani, ia menyatakan itu
kepada atasannya. Ia diperingatkan. Dari sini ia juga berhenti.
Mungkin juga karena ibunya, yang amat dicintainya, wafat.
Dalam keadaan kehilangan, ia memutuskan meninggalkan Hindia Belanda: ia bergabung
dalam sukarelawan untuk Perang Boer di Afrika Selatan, yang pecah pada awal abad ke-20
itu, ketika orang keturunan Belanda bertempur melawan ekspansi Inggris. Syahdan, Februari
1900, ia naik kapal S.S. Caldonien ke medan perang.
Pertalian dengan yang Belanda tampaknya masih kuat dalam diri DD pada masa itu. Dalam
perjalanan ke Afrika Selatan itu, DD berhenti di Bombay. Seperti dikutip dalam The Lion and
the Gadfly, ia begitu bahagia bertemu dengan konsul Belanda, mendengar suara seseorang
yang bicara dalam bahasa Belanda murni di depan potret Ratu Belanda yang tercinta.
Tapi dalam perang itu DD tertangkap pasukan Inggris. Ia dibuang ke Sri Lanka. Pada 1903, ia
kembali ke Jawatapi dengan sikap yang makin berjarak, dan akhirnya sengit, menyaksikan
keserakahan Belanda. Pada 1904 ia menulis: rakyat Jawa dirampok; pada 1908 ia menulis:
api besar yang membakar desa-desa Aceh telah membuat terang kebangkrutan moral
Kristiani pemerintah kolonial.
Akhirnya kita tahu, DD bergerak. Rumahnya di Jakarta jadi tempat para mahasiswa STOVIA
berkunjungpara pemuda yang di asrama mereka gemar menyanyikan lagu Revolusi
Prancis: semangat untuk kemerdekaan, persamaan, persaudaraan. Ketika dua aktivis asal
STOVIA, Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo, ditangkap pemerintah kolonial,
DD menulis: kedua sahabatnya itu, dengan sikap perkasa yang tak bisa ditaklukkan di dalam
penjara, telah mempersatukan kita semua.
Dari sanalah Indonesia lahir. Indonesia adalah sebuah sejarah kerja ke masa depan yang
berharga bukan untuk diri sendiridan dengan demikian memberi makna bagi hidup kita.
Indonesia adalah sebuah sejarah harapan dan pengorbanandari orang yang berbeda-beda,
bagi orang yang berbeda-beda. Cipto dan Suwardi dibuang, dan DD menulis: Anak-anak
berkulit cokelat dan putih akan menaburkan bunga di atas jalan yang mereka berdua lalui.
~Majalah Tempo Edisi. 19/XXXVII/30 Juni 06 Juli 2008~
by
anick
in
All
Posts,
Demokrasi,
Politik.
Saya malas berdebat. Tiap debat mengandung unsur berlaga, ujian, dan telaah. Memang, dulu
ketika Socrates menanyai seseorang, menggunakan teknik eclenchus, menyoal dan meminta
jawab dan siap dibantah serta membantah, ia tak bermaksud mengalahkannya hingga takluk.
Ia menggugah orang untuk berpikir, menilik hidup, terutama hidupnya, dan menjadi lebih
bijaksana sedikit. Tapi tidak setiap orang seperti Socrates. Dan saya cepat lelah dengan
berujar lisan.
Pengalaman saya mengajari saya bahwa debat, seperti umumnya dialog, acap kali berakhir
dengan dua-log: saya dan lawan bicara saya akan seperti dua pesawat televisi yang disetel
berhadap-hadapan. Dia tak mencoba mengerti saya dan saya tak mencoba mengerti dia.
Bahasa punya problem. Kata yang kita ucapkan atau kita tulis tidak jatuh persis di sebelah
sana dalam makna yang seperti ketika ia keluar dari kepala saya.
Pengalaman saya juga membuat saya bertanya: apa tujuan sebuah perdebatan? Untuk
menunjukkan bahwa saya tak kalah pintar ketimbang lawan itu? Kalah pintar tidak
selamanya mudah diputuskan, kalaupun ada juri yang menilai. Atau untuk meyakinkan orang
di sebelah sana itu, bahwa pendirian saya benar, dan bisa dia terima? Saya tak yakin.
Kita tak bisa untuk selalu optimistis, bahwa sebuah diskusi yang rasional akan
menghasilkan sebuah konsensus. Bahkan Mikhail Bakhtin cenderung menganggap bahwa
debat yang terbuka dan kritis tidak dengan sendirinya akan membuka pintu ke sebuah ruang
di mana orang bisa bertemu dan bersepakat. Justru sebaliknya: yang akan terjadi adalah
makin beragamnya pendapat dan pendirian.
Bagi Bakhtin, orang yang berbeda punya pandangan dunia yang berbeda pula, dan pada saat
mereka sadar bahwa intuisi mereka tentang realitas berbedadan teknik Socrates akan
menimbulkan kesadaran itumereka akan makin ketat dalam pilihan posisi mereka. Ada
yang selamanya tak terungkap, juga bagi diri sendiri, dalam kalimat.
Di manakah peran percakapan? Buat apa dialog dilakukan? Mungkin jawabnya lebih
sederhana dari yang diharapkan seorang Socrates: percakapan punya momen persentuhan
yang tak selamanya bisa dibahasakanmomen ketika tubuh jadi bagian dari keramahan dan
redanya rasa gentar.
Tapi orang senang menonton debat, apalagi debat para calon presiden. Saya tidak tahu
apakah setelah menonton itu, orang akan mengambil keputusan mana yang lebih baik dia
pilih. Saya duga lebih sering yang terjadi adalah pilihan sudah dijatuhkan sebelum debat
mulaidan orang menonton sebagai pendukung atau penggembira, seperti orang menonton
pertandingan badminton atau tinju. Maka saya lebih cenderung menganggap, debat
diselenggarakan lebih untuk jam-jam hiburandengan segala ketegangan yang dirasakan
dalam menonton itu. Kita tegang, maka kita senang. Juga debat calon presiden. Pendek kata,
debat itu tidak untuk meyakinkan. Debat itu untuk membuat kita bertepuk.
Tidak mengherankan bila televisi mengambil peran besar dalam debat politik. Sementara
mereka yang berdebat mempersiapkan diri baik-baik dengan mengumpulkan bahan serta
mempertajam argumen dan juga berlatih menyusun kata, tuan rumah dari acara itu
sebenarnya punya tujuan yang tak ada hubungannya dengan discourse. Sang tuan rumah
hanya menginginkan sesuatu untuk ditonton khalayak seperti orang Roma dulu
menyelenggarakan pertandingan gladiator.
Suka atau tidak suka, politik kini terjebak dalam sebuah arena apa yang disebut Milan
Kundera sebagai imagologi. Politik telah jadi sebuah tempat bertarung yang dibangun oleh
media massa, di mana wajah, sosok, artikulasi, dan janji diperlakukan sebagai komoditas
yang ditawarkan ke konsumen yang sebanyak-banyaknya. Makin banyak calon pembeli yang
dibujuk, makin ditemukan titik pertemuan yang paling dangkal. Dan ketika televisidengan
kebiasaannya untuk gemebyar, dengan ongkos mahaljadi makin komersial, pendangkalan
itu makin tak terelakkan.
Tidak mengherankan bila setelah debat calon presiden, disusul debat para komentator
debatyang umumnya seru, bisa lebih kasar, lebih tak sabar, dan lebih tak berpikir. Kini
para komentator hampir sudah seperti pesohor: yang terpenting adalah bahwa mereka
dikenal, atau bisa menarik perhatian. Mengapa harus digubris adakah pendapat mereka punya
dasar yang bisa dipertanggungjawabkan? Dan karena air time mahal, jawaban cepat lebih
diperlukan ketimbang jawaban masuk akal. Socrates dan eclenchus-nya sudah lama
dikuburkan.
Saya malas berdebat. Meskipun seperti banyak orang, saya tak malas menonton para calon
presiden berdebat. Saya tahu apa yang mereka lakukan di sana itu tak banyak manfaatnya
bagi mereka sendiri. Tapi setidaknya saya mendapatkan hiburan. Dan mungkin juga
komodifikasi yang terjadi pada acara yang seolah-olah serius itu punya manfaat lain, punya
peran lain: proses itu membuat para calon pemegang jabatan tertinggi Republik itu lebih
menarik, dan tidak lebih angker, apalagi menakutkan, ketimbang komoditas lain yang
ditebarkan televisi.
Tampaknya demokrasi bisa juga dibangun dari perdagangan.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 22 Juni 2009~
by
anick
in
All
Posts,
Amerika.
Dinihari, pukul 3. Anak-anak sedang tidur tenteram di seluruh Amerika. Tiba-tiba telepon
berdering di Gedung Putih. Sesuatu tengah terjadi di dunia. Tampaknya gawat. Siapa
gerangan yang mampu memberi respons yang tepat?
Pertanyaan itu sah, tapi ini baru sebuah pengandaian yang dibawakan sebuah iklan: sebuah
film pendek yang dimulai dengan cahaya biru yang suram, dengan dinihari yang sunyi, anakanak yang nyenyak, dan kamar tidur bersih: imaji-imaji yang menyarankan sesuatu yang
tanpa dosa, tapi rapuh, di tengah gelap yang menyembunyikan ancaman.
Dipasang Hillary Clinton di televisi menjelang pemungutan suara untuk melawan
saingannya, Barrack H. Obama, pesan iklan itu jelas: yang bisa menghadapi ancaman itu
hanya seorang presiden Amerika yang kenal para pemimpin dunia, kenal dunia militer,
seorang yang sudah diuji bisa memimpin di dunia yang berbahaya
Bagi para juru kampanye Hillary Clinton, sifat-sifat itu tentu tak ada pada Obama, seorang
yang belum pernah memimpin negeri dalam ancaman perang.
Tiap propaganda memaafkan sendiri keculasannya. Iklan itu tak menyebut bahwa sebenarnya
Hillary juga belum diuji. Ia memang pernah di Gedung Putih, tapi sebagai isteri seorang
Presiden. Ia memang kemudian jadi seorang Senator, tapi satu-satunya keputusan penting
adalah dukungannya kepada Perang Irak Presiden Bush yang ternyata sebuah keputusan
yang celaka.
Tapi bahwa iklan semacam itu ditayangkan dan berhasil meyakinkan pemilih di dua
negara bagian menunjukkan bahwa pada mulanya bukanlah Hillary atau Obama. Pada
mulanya adalah paranoia.
Kita ingat empat patah kata dalam iklan itu: dunia yang berbahaya Di sana tak ada
kemungkinan lain dalam dering telepon pada jam 3 pagi itu. Tak mungkin pesan itu ternyata
sebuah kabar gembira, misalnya kabar perdamaian yang solid antara Palestina dan Israel, atau
pesawat ruang angkasa Amerika yang menemukan sebuah dataran yang subur di sebuah
planet.
Sebab kabar baik bukanlah yang diharapkan. Iklan itu hendak menampilkan suasana gawat di
mana Hillary Clinton berperan besar; sebab ia kenal betul dunia militer.
Saya tertegun. Dengan propaganda macam itu, Amerika macam inikah yang akan tercermin
dalam pemilihan umum 2008: Amerika sebagai kekuatan militer yang memandang dengan
suram sekitarnya yang tak ramah? Bukan Amerika yang dulu pernah membentuk PBB di
dunia yang penuh harapan damai dan kemerdekaan?
Jika demikian, kita pantas murung.
Bush-dan-Cheney memang segera tak akan berkuasa lagi. Negeri yang ditinggalkannya
memang telah jadi negeri yang dibenci di seluruh dunia, yang angkuh ke seluruh dunia, yang
tanpa mengerdipkan mata menyerbu negeri lain dengan alasan yang palsu, seraya tak peduli
melanggar hak-hak asasi manusia di Guantanamo dan di tempat-tempat interogasi yang
disembunyikan. Sungguh buruk peninggalan itu, tapi tampaknya tetap terbuka kemungkinan
Amerika mengukuhkan politik paranoia yang dilembagakan sejak 11 September 2001.
Politik paranoia adalah politik nasionalisme yang gelap. Hari itu, ketika para teroris Al
Qaedah menabrakkan dua pesawat terbang ke dua menara tinggi di New York dan
membunuh hampir 3000 orang, seluruh Amerika terkejut dan ngeri. Tapi Tuan Cheney
menemukan apa yang dicarinya: sebuah musuh baru, setelah Uni Soviet dan Cina mundur.
Dengan musuh itu Amerika dapat memiliki arah yang tegas dan satu.
Nasionalisme, apalagi yang gelap, punya gairah dan daya tersendiri untuk mengukuhkan
kekuasaan yang brutal. Maka perang anti terorisme dari Gedung Putih bukanlah perang untuk
mengakhiri terorisme, melainkan untuk menyambutnya. Tak mengherankan bila sampai hari
ini Al Qaedah belum dihabisi dan Osamah bin Laden masih tersembunyi. Tak mengherankan
bila empat tahun yang lalu Bush-dan-Cheney dipilih lagi.
London, 3 November 2004. Koran Daily Mirror terbit menyambut pilihan rakyat Amerika
yang mendukung kembali Presiden Bush dengan bersemangat, meskipun begitu jelas ia
menyerbu Irak dengan dalih yang bohong. Di halaman depan tabloid itu tampak wajah
George W. Bush melambai. Di bawahnya sebuah kalimat: How can 59,054,087 people be so
DUMB?
Saya ingat seorang Amerika tertawa pahit membacanya. Saya tak tahu lagi, di mana tanah
air saya, katanya sedih.
Tapi itu empat tahun yang lalu. Kini ia tak merasa sedih lagi, ketika bersama ribuan orang
muda setanahairnya ia ikut berkampanye untuk Obama dan merayakan kemenangan di
sebelas negara bagian. Anak-anak muda ini, tulisnya, telah menemukan kembali indahnya
kehidupan berpolitik; kami telah menemukan keberanian untuk berharap. Di hatinya, judul
buku Obama, the Audacity of Hope, terasa begitu kena. Dengan mata yang berkaca-kaca
karena bangga ia kini bisa mengatakan, The Daily Mirror tak benar, setidaknya di tahun 2008
ini: jutaan pemilih Amerika ternyata tak bodoh.
Mereka bahkan tengah merintis sebuah zaman baru zaman yang bisa menyambut seorang
Obama, yang bukan 100% pribumi, yang tak memamerkan bendera Amerika di lencana
jasnya tapi yang percaya bahwa ada patriotisme lain yang bisa menggugah: patriotisme
yang membuat sebuah bangsa bersama-sama melepaskan rasa saling curiga dan benci yang
tumbuh di bawah politik paranoia. Juga patriotisme yang bangga kepada tanah air yang bisa
membawa damai ke dunia.
Tapi mungkinkah? Sepekan setelah dering seram di iklan itu, pada pukul 3 pagi sebuah
ledakan terdengar di Times Square, New York. Letupan kecil, dengan kerusakan kecil, dari
sebuah alat sederhana yang dipasang di gedung milik Angkatan Bersenjata. Tak ada yang
terbunuh. Tapi dengan segera keluar statemen Hillary Clinton: Apapun yang kita ketahui
dari serangan ini, itu sebuah pengingat akan ancaman yang terus menghadang tanah air kita.
Ancaman. Dering lewat tengah malam
Kita cemas. Kita cemas memandang Amerika.
~Majalah Tempo Edisi. 03/XXXVII/10 16 Maret 2008~
by
anick
in
All
Posts,
Sejarah,
Tokoh.
Des Alwi adalah seonggok sejarah Indonesia dalam miniatur yang padat. Juga berwarnawarni. Jika kita lihat lelaki ini duduk di bawah pohon ketapang berumur 100 tahun yang
menaungi halaman hotelnya di Bandaneira, jika kita ingat sosok yang tambun tinggi itu (kini
dalam umur 83 tahun) sudah ada di tempat itu pada 1936 dan, sebagai anak kecil, melihat
Hatta dan Syahrir jadi orang buangan yang turun dari kapal dengan paras pucat, kita bisa iri
kepadanya: begitu banyak yang telah dilihatnya, begitu beragam pengalamannya, begitu pas
ia di pulau Maluku itu. Begitu Indonesia.
Des Alwi seperti Bandaneira: elemen yang sering tak diingat, tapi saksi penting dari riwayat
Indonesiadalam hal ini Indonesia sebagai sebuah perjalanan kemerdekaan. Di sini, kata
Rizal Mallarangeng, yang telah dua kali ke Bandaneira dengan rasa kagum kepada para
perintis kemerdekaan yang dibuang ke pulau itu, bermula apa yang kemudian menjadikan
Indonesia. Dia benar: di sini berawal kolonialisme dan antitesisnya.
Kita bisa baca: di Banda-lah pada 1529 usaha kolonisasi Eropa dipatahkan; di sini kontingen
orang Portugis terus-menerus diserang hingga mereka batal membangun sebuah benteng.
Hampir seabad kemudian, pada 1609, ketika sepasukan Belanda mencoba memperkuat
Benteng Nassau, para pemimpin Banda, disebut orang kaya, membunuh laksamana asing
itu dengan segenap stafnya.
Banda mencatat konflik seperti itu sampai ke dalam abad ke-20: para penentang VOC
(kemudian Hindia Belanda) diasingkan ke sini silih berganti. Kita tahu sebabnya: pada
mulanya adalah rempah-rempah, terutama pala, yang di dunia hanya ditemukan di Banda,
yang menggerakkan perdagangan internasional paling awal, seperti minyak bumi pada zaman
ini. Dan bersama perdagangan, datang peradaban. Juga kebiadaban.
Sebelum orang Portugis masuk ke Maluku pada abad ke-16, letak Banda yang kaya rempah
itu dirahasiakan para saudagar Arab (atau Mur) yang membawa barang berharga itu ke
Eropa. Kemudian penakluk dari Semenanjung Iberia masuk, kemudian Belanda dan Inggris.
Perjalanan jauh dan berbahaya, tapi mereka selalu datang. Untuk laba yang 300 kali lipat dari
jual-beli pala, bahkan yang bengis siap dihadapi dan diberlakukan.
Di Bandaneira ada sebuah monumen kecil. Di Parigi Rante itu ada sebuah sumur di sepetak
halaman. Di sanalah, 8 Mei 1621, seregu samurai Jepang didatangkan Jan Pieterszoon Coen
(Gubernur Jenderal VOC yang terkenal itu) ke Neira. Mereka disewa untuk menyembelih 40
orang pemuka masyarakat Banda yang menolak klaim Belanda dalam monopoli niaga pala.
Tubuh ke-40 orang itu dicincang, kepala mereka dipancangkan di deretan tiang.
Di dinding di belakang perigi itu juga tertulis sederet nama orang dari pelbagai penjuru
Nusantara yang dibuang ke pulau itu sejak abad ke-19: dari Pontianak, Yogya, Kutaraja,
Cirebon, Serang, Blitar. Pada abad ke-20 ada nama yang kini lebih dikenal: Cipto
Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, Hatta, Syahrir.
Tak akan mengherankan bila dari kepulauan ini sejarah tampak berbeda: kita tak akan
mengatakan bahwa yang berlangsung selama lebih dari 350 tahun di Nusantara adalah 350
tahun penjajahan. Dari Banda kita jadi tahu: sejarah Nusantara adalah 500 tahun perlawanan.
Dan Des Alwi, yang lahir 7 November 1927 di Neira dan sejak kecil mengenal Cipto, Hatta,
dan Syahrirorang-orang hukuman yang mengubah hidup Desmungkin saksi terakhir dari
rangkaian perjuangan panjang itu. Saya menyadari itu ketika sore itu saya dan beberapa
teman duduk di dekatnya, mendengarkan ceritanya, di petak atap Benteng Belgica yang
berumur 400 tahun. Seakan-akan pada sore itu, sejumlah abad bertemu.
Benteng yang menjulang hitam di bukit ini dibangun Belanda pada 1611. Letaknya dipilih
pada posisi yang bisa mengawasi seantero selat dan laut. Sejak didirikan, empat menara
pengintainya menyaksikan armada-armada Eropa datang, meriam-meriam ditembakkan,
destruksi dan pembunuhan berkecamuk: 200 orang Belanda dihabisi pasukan Inggris di Pulau
Ai pada 1615, ratusan orang Inggris dibantai Belanda sebagai pembalasan. Dari sini pula
tampak kapal-kapal Inggris meninggalkan Pulau Run setelah pulau itu ditukar-guling dengan
Pulau Manhattan milik Belanda di New York pada 1667. Tapi seratus tahun lebih kemudian,
pada 1810, marinir Inggris merebut Benteng Belgica.
Abad demi abad, energi dicurahkan, dan uang diperebutkan dengan gigih dan ganas hingga
dunia berubah. Kekuasaan pun tegak dan runtuh, kemerdekaan ditindas atau dilahirkan.
Hari mulai gelap ketika Des berkisah tentang kemerdekaan yang dicoba digagalkan tapi
dilahirkan kembali: Indonesia yang tak mudah. Des bukan sejarawan, bukan pula pelaku
utama, tapidan ini lebih menarikia saksi yang terlibat. Jika kita baca bukunya yang baru,
Friends and Exiles, yang diterbitkan Cornell University, kita dapatkan bukan saja kisah
kelahiran Indonesia, tapi juga kisah seorang yang menjadi Indonesia, sejak dari darah dan
dagingnya, sampai dengan ketika ia terlibat, sengaja atau tidak, dalam peristiwa-peristiwa
besar yang mengguncang dan membentuk tanah airnya.
Des Alwi Baadilayang orang tuanya berdarah Cina dan Mur (nama Baadila ditemukan
di Maroko dan Spanyol), yang masa kecilnya dibentuk Hatta dan Syahrir, yang masa
mudanya ikut bertempur dan terluka di Surabaya 10 November 1945adalah contoh bahwa
Indonesia men-jadi dengan riwayat seperti pantai pulau-pulau Banda: kekerasan bisa
meletup, tapi inilah negeri yang tak merasa perlu memberi batas mutlak tentang luar dan
asing. Kecuali ketika yang luar dan asing itu menegaskan diri dengan senjata dan
pemaksaan. Dan kita melawan.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 19 Oktober 2009~
anick
in
All
Posts,
Amerika,
Bencana,
Ekonomi,
Tokoh.
KATA sebuah kisah, John Maynard Keynes pernah membuang sebakul handuk kamar mandi
ke lantai di tengah sebuah pembicaraan yang serius. Orang-orang terkejut. Tapi begitulah
agaknya ekonom termasyhur itu menjelaskan pesannya: Jangan takut berbuat drastis, untuk
menciptakan keadaan di mana bertambah kebutuhan akan kerja. Dengan itu orang akan dapat
nafkah dan perekonomian akan bisa bergerak.
Waktu itu Keynes sedang berceramah di Washington DC pada 1930-an. Krisis ekonomi yang
bermula di Amerika Serikat pada 1929 telah menyebar ke seluruh dunia. Depresi Besar
dengan suasana malaiseberkecamuk di mana-mana. Di Indonesia orang menyebutnya
zaman meleset.
Kata meleset sebenarnya tak salah. Prediksi yang dibuat, juga oleh para pakar ekonomi,
terbentur dengan kenyataan bahwa dasarnya sebenarnya guyah. Kenyataan yang sangat
menonjol, tulis Keynes, adalah sangat guyah-lemahnya basis pengetahuan yang mendasari
perkiraan yang harus dibuat tentang hasil yang prospektif. Kita menyamarkan ketidakpastian
dari diri kita sendiri, dengan berasumsi bahwa masa depan akan seperti masa lalu. Ilmu
ekonomi, kata pengarang The General Theory of Employment, Interest, and Money yang
terbit pada 1936 itu, hanyalah teknik yang cantik dan sopan yang mencoba berurusan
dengan masa kini, dengan menarik kesimpulan dari fakta bahwa kita sebetulnya tahu sedikit
sekali tentang kelak.
Yang menarik di situ adalah pengakuan: manusiajuga para pakartak tahu banyak tentang
perjalanan hidupnya sendiri. Kita ingat ucapan Keynes yang terkenal bahwa yang pasti
tentang kelak adalah bahwa kita semua akan mati. Hidup dan sejarah, menurut Keynes, terdiri
dari proses jangka pendek, short runs.
Ada seorang mantan redaktur The Times yang pernah menulis bahwa kesukaan Keynes akan
jangka pendek hanya akibat ketakmampuannya menghargai nilai yang berlanjut beberapa
generasi. Dan ini, kata penulis itu, disebabkan sifat seksualitasnya: Keynes seorang gay.
Memang benar, sejak muda, terutama ketika ia masih bersekolah di Eton, Keynes hanya
berpacaran dengan sesama pria, meskipun ia kemudian menikah dengan Lydia Lopokova,
balerina asal Rusia. Tapi tak jelas benarkah ada hubungan antara tendensi seksual itu dan
teori ekonominyayang sebenarnya juga sebuah teori tentang manusia.
Manusia adalah makhluk yang bisa meleset dalam memperkirakan, tapi dalam teori Keynes,
manusia bukan peran yang pasif. Sejak Adam Smith memperkenalkan pengertian tentang
Tangan yang Tak Tampak, yang mengatur permintaan dan penawaran, para ekonom
cenderung memberikan peran yang begitu dominan kepada Sang Pasar. Tapi Keynes ragu.
Sejak 1907, sejak ia bekerja untuk urusan koloni Inggris terbesar, India, Keynes tak begitu
percaya bahwa dengan mekanisme yang tak terlihat, pasar akan bisa memecahkan
problemnya sendiri. Pasar, kata Keynes, akan tergantung oleh gelombang perasaan
optimistis atau pesimistis, yang tak memakai nalar tapi sah juga ketika tak ada dasar yang
solid untuk sebuah perhitungan yang masuk akal.
Tapi kemampuan untuk bertindak tak memakai nalar adalah satu sisi dari manusia. Sisi lain
adalah kapasitasnya untuk mengendalikan pasar. Abad ke-20 bagi Keynes adalah era
stabilisasi yang mencoba mengganti anarki perekonomian dengan pengarahan dan kontrol
atas kekuatan-kekuatan ekonomi, agar tercapai keadilan dan stabilitas sosial. Keynes percaya:
kekuatan politik, khususnya Negara, bisa berperan besar ke arah sebuah hasil yang positif,
dan perencanaan ekonomi sedikit banyak diperlukan.
Adakah ia seorang etatis? Saya pernah membaca seorang penulis yang menunjukkan
bagaimana Keynes, dalam kata pengantar untuk terjemahan Jerman atas bukunya, The
General Theory, menyatakan bahwa teorinya lebih mudah disesuaikan kepada kondisi
sebuah negara totaliter, ketimbang ke sebuah Negara yang pasarnya dibiarkan bebas, laissez
faire. Ini karena, kata Keynes, dalam negara totaliter kepemimpinan nasional lebih
mengemuka.
Keynes memang menyaksikan bagaimana Jerman, di bawah Nazi, bisa mengelakkan
empasan Depresi Besar. Tapi tentu berlebihan untuk menyimpulkan Keynes percaya akan
sebuah sistem yang mengklaim punya jalan keluar yang benar selama-lamanya. Ketika para
intelektual Inggris yang kekiri-kirian pada mengagumi Uni Soviet dan Perencanaan Lima
Tahun ala Stalin, Keynes tak ikut arus.
Suatu hari ia berkunjung ke Rusia dan bertemu dengan sanak keluarga istrinya di St.
Petersburg. Mereka melarat dan menderita. Keynes melihat bagaimana ajaran Stalin gagal.
Ajaran ini tak bisa dikritik, meskipun hanya sebuah buku teks yang sudah kedaluwarsa
tentang ekonomi.
Manusia adalah kecerdasan yang bisa mengatasi keterbatasanseraya menyadari
keterbatasan kecerdasan itu sendiri. Manusia bisa merancang dan mengendalikan pasar tapi
juga ia bisa bikin rusakdan kemudian bisa mengenal dan mengoreksi kesalahan dalam
pengendalian itu. Ada kepercayaan diri yang luar biasa pada Keynes.
Dengan penampilan yang rapi dan dengan perilaku yang khas warga elite masyarakat
Inggrislebih karena kepiawaian pikirannya ketimbang karena asal-usul sosialnyaKeynes
lahir di Cambridge pada 1883 di keluarga akademisi yang bukan bagian pucuk kehidupan
intelektual di sana. Tapi itu sudah cukup membuat John Maynard seorang pemuda cemerlang
yang tertarik akan rangsangan hidup yang luas. Ia tak hanya seorang ekonom. Ia kolektor seni
rupa kontemporer, pencinta balet, penggerak kehidupan kesenian; ia juga pemain pasar modal
dan valas yang, meskipun pernah gagal, bisa makmur dan dengan itu membantu rekanrekannya yang satu lingkungan.
Di kebun halamannya di Tilton, di wilayah Sussex yang tak jauh dari London, ia adalah tuan
rumah untuk saat-saat minum teh seraya berdiskusi dengan teman-temannya yang terdekat,
semuanya anggota kalangan cendekiawan Inggris yang terkenal. Di sana secara teratur datang
Leonard dan Virginia Woolf, Mary MacCarthy, dan E.M. Foster. Dalam Bloomsbury
Group ini, ekonomi, sastra, dan estetika dibicarakan dengan cemerlang; novel dan teori-teori
terkenal ditulis.
Saya tak tahu apakah dari kalangan ini semacam aristokrasi jiwa tumbuh pada Keynes. Ada
sebuah kritik yang datang dari Friedrich von Hayek, guru besar asal Austria yang mengajar di
London School of Economics. Hayek menyaksikan bagaimana Negara yang gagal mengatur
dananya akan rudin terlanda inflasi. Kekayaan akan menciut habis. Tapi juga Hayek punya
kritik yang lebih mendasar: pandangan Keynes yang meningkatkan jangkauan tangan Negara
akan mematikan kebebasan, dan akan membuat borjuasi terhambat.
Tapi bagi Keynes, jangkauan yang seperti itu tak sepenuhnya berbahaya, kalau dilakukan
oleh satu lapisan elite yang progresif dan cerdas, seperti para lulusan Oxford, Cambridge,
atau Harvard. Aristokrasi ini diharapkan akan bisa merencanakan perekonomian ke arah
terbangunnya Negara kesejahteraan. Setidaknya, dengan kepemimpinan yang pintar dan
bisa dipercaya, Negara sanggup memberikan stimulus yang kuat bukan saja untuk keadilan,
tapi juga untuk pertumbuhan. Contoh handuk yang dilemparkan Keynes ke lantai itu bisa
terus diingat: perlu keberanian para pengambil keputusan politik buat melakukan sesuatu di
luar formula kapitalisme.
Tapi tentu saja bahkan Keynes tak selamanya benar. Pada 1980-an, formula kapitalisme
kembali menguat. Para pemimpin tak mau lagi mencoba menegakkan Negara
kesejahteraan. Niat menyebarkan kesejahteraan ke seluruh masyarakat telah melahirkan
sebuah perekonomian yang terancam inflasi tapi sementara itu hampir mandek. Untuk
kesejahteraan yang menyeluruh dan merata di masyarakat, pajak harus ditarik agar Negara
punya uang untuk bekerja. Tapi dengan demikian orang enggan meraih hasil sendiri. Negara,
sebagai lembaga publik, merasa wajib mengatur perilaku ekonomi, termasuk modal. Tapi
dengan demikian inisiatif melemah dan dinamisme pertumbuhan terganggu.
Pada saat itulah Reagan jadi Presiden Amerika Serikat dan Thatcher jadi Perdana Menteri
Inggris. Kedua pemimpin ini memulai revolusi: pajak diturunkan, regulasi diminimalkan,
dan intervensi Negara praktis diharamkan.
Tapi bila Keynes bisa dibantah oleh dua dasawarsa kemakmuran yang tampak di bawah
perekonomian ala Reagan dan Thatcher, Keynes juga bisa dibenarkan di sisi lain: bukankah
ia pernah mengatakan hidup dan sejarah terdiri dari proses jangka-pendek? Ketika
pemecahan soal di sebuah saat dikukuhkan jadi obat mujarab sepanjang masa, manusia lupa
akan keterbatasan kecerdasannya sendiri.
Itu juga yang ditunjukkan Francis Fukuyama ketika ia menyebutkan di mana salahnya
Revolusi Reagan. Sebagaimana semua gerakan perubahan, tulis Fukuyama, Revolusi
Reagan sesat jalan karena ia jadi sebuah ideologi yang tak dapat digugat, bukan sebuah
jawaban pragmatis terhadap ekses-ekses Negara kesejahteraan.
Kini tampaknya sejarah jadi jera. Krisis yang sekarang melanda dunia mengingatkan orang
pada Keynes lagi dan bahwa ada keyakinan yang austerutama di tengah penderitaan
manusia.
Tahun 2008 ini zaman meleset lagi. Usaha sulit dan para penganggur kian bertambah. Kita
membaca angka-angka itu. Kita cemas. Tapi mungkin kita masih memerlukan pengingat lain
tentang bengisnya keadaanseperti Amerika merekam pahitnya hidup dilanda Depresi Besar
dalam novel termasyhur John Steinbeck, The Grapes of Wrath, yang terbit pada 1936.
Dalam cerita rekaan ini, sosok Tom Joad dan sanak saudaranya telah jadi orang-orang yang
terusir, kehilangan tanah, kehilangan kerja, bermigrasi ke wilayah jauh. Semuanya
membangun murung yang tak terhindarkan, ditingkah topan debu yang merajalela bersama
putus asa.
Tapi tak semuanya patah. Dalam kesetiakawanan, terbit harapan. Menjelang akhir novel,
Tom Joad menghangatkan hati kita karena tekadnya menyertai mereka yang berjuang dalam
kekurangan: Kapan saja orang berantem supaya yang lapar bisa makan, aku akan di
sana.
Mungkin ini awal semacam sosialismeyang tak harus datang dari atas.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 24 November 2008~
by
anick
in
All
Posts,
Bencana,
Sastra.
Tahun akan menghadapi krisis, kata para pakar, tapi kita tahu, nasib adalah sebuah cerita
yang senantiasa datang terlambat. Kita baru dapat menyimpulkannya setelah perjalanan
selesai.
Bagaimana sejarah akan usai, itu tak mudah dijawab. Sebab kita adalah anjing diburu dalam
tamsil Catetan Th. 1946 Chairil Anwar, yang
hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang.
Pernah ada optimisme bahwa kita bisa menyusun sebuah tambo tentang perubahan, ketika
Lahir orang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatat, keduanya dapat tempat.
Pernah juga ada harapan bahwa nanti, jika kegaduhan selesai, gejolak reda dan rusuh hati
berhenti, jika bencana, jatuh bangunnya kekuasaan, perang dan huru-hara yang berkecamuk
sudah lewat dan hanya tersisa sebagai ingatan yang kaburjika nanti tiada sawan lagi
diburu/ Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebukita akan bisa mencoba
menemukan makna dari semua itu: Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir
setempat.
Tapi pada awal abad ke-21 kita tahu bahwa menyusun kembali kenangan berdebu, dan
memberi arti dari pengalaman itusemua itu tak mudah. Kita, selamanya dibentak oleh batas
ruang dan waktu, makin tak tahu apa sebenarnya yang terjadi. Sandiwara sekarang kian
lama kian hanya secara fragmentaris tampak. Informasi datang lekas dan segera pula berubah.
Perubahan itu meningkat terus tinggi velositasnya: benda-benda teknologi ditemu-ciptakan
dan disebarkan kian cepat dan tanpa istirahat, begitu juga halnya kesimpulan ilmu kian
mudah jadi basi, jumlah dan keanekaan penerima informasi pesat meluas, dan berubah pula
ekologi manusia yang merespons informasi itu.
Semua memergoki kita sebelum kita siapseakan-akan pada tiap jam berita pagi masa-depan
melewati ambang pintu tanpa mengetuk, mengambil alih masa-kini. Perubahan berarti
keragaman, kompleksitas, inkonsistensi, bahkan chaos, dan apa yang pernah disebut sebagai
kejutan masa-depan, the future shock, kini jadi sebuah masalah epistemologis: bagaimana
kita tahu atau tak tahu. Kita tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di
ranjang, tapi juga banyak hal lain tak kita ketahui. Kejutan masa-depan mempercepat
masa-kini jadi masa-lalu, dan menyebabkan masa-lalu berubah dalam gudang kenangan kita,
makin tak stabil dan makin tak mudah diidentifikasi.
Maka jadi problematis pula kesatu-paduan kesadaran kita, dan goyah pula posisi kita sebagai
subyek yang mengetahui. Apa artinya mengetahui? Alain Badiou mencerminkan suasana
zaman ini ketika ia membedakan pengetahuan dari kebenaran.
Pengetahuan bersifat melanjutkan, mengulang, menerapkan. Sebaliknya kebenaran
bercirikan sifat baru, sesuatu yang kawedarsesuatu yang kita temui ketika kita
misalnya membaca puisi, menyaksikan karya seni rupa. Badiou mengutip Heidegger tentang
penyair dan kebenaran: Penyair selalu bicara seakan-akan ada diekspresikan buat pertama
kalinya.
Badiou berbicara tentang proses kebenaran.
Proses itu menyebabkan pengetahuan tak begitu penting dibandingkan pengalaman dan
perbuatan.
Dua abad yang lalu, para literati Jawa membedakan (dan kemudian mencoba mempertautkan)
antara nglmu dan laku, antara tahu (dari mana kata pengetahuan berasal) dan perjalanan
dalam hidup dan pengalaman. Jika kini kita memakai dikotomi ini, dalam arus deras
informasi yang berubah terus dengan cepat ini sejauh manakah nglmu membentuk laku dan
sebaliknya laku membentuk nglmu?
Hubungan antara pengetahuan, isi kognitif kesadaran kita, dan pengalaman jasmaniah, punya
sejarah sendiri. Ada masanya nglmu diasumsikan datang dari Tuhan atau sumber ekstra-
empiris lain, ada masa lain ketika nglmu dianggap berasal dari perjalanan di dunia,
kalakon kanti laku, seperti ditulis dalam syair Wedatama yang terkenal.
Dalam sejarah, manusia tak putus-putusnya terlibat dalam ambivalensi. Di satu pihak ada
dorongan untuk melihat kesadaran, sang subyek, sebagai pembentuk pengalaman. Di lain
pihak ada dorongan semangat empiris untuk melihat pengetahuan sebagai sesuatu yang
berakar pada dan dibentuk oleh pengalaman itu.
Di satu pihak, ada pengakuan bahwa pengalaman empiris hanya mampu menyajikan
sebagian dari sandiwara sekarangdengan kata lain: sesuatu yang niscaya terbatas. Di lain
pihak ada keyakinan bahwa kita mampu melintasi, dengan transendensi, batas itu.
Di satu pihak, ada pengakuan bahwa tak mungkin kita mempunyai sebuah pandangan yang
total, yang menyeluruh, tentang hal ihwal. Pada akhirnya kita akan mengakui bahwa ketika
manusia menulis sejarahmencatat, menyusun nglmuia menjalani sebuah laku, sebuah
perjalanan dalam hidup. Di lain pihak, ada kepercayaan bahwa manusia, dengan bantuan
Kitab Suci atau ilmu pengetahuan, melihat pengalaman itu bagian dari totalitas yang belum
diungkapkan kepada kita.
Tapi semakin lama semakin kita tahu, seperti terbersit dari Catetan Th. 1946, kita selalu
mencoba berdiri dari sejarah yang terguncang. Yang tercatat adalah sesuatu yang tak stabil
tapi itulah bagian yang tak tercampakkan dari diri manusia: laku, terkadang dengan kreatif,
dalam dunia fisik yang rapuh, sementara, kekurangan.
Pada tahun 2009 yang sulit, haruskah kita jeri? Ada satu baris dari Chairil lagi yang bisa
menjawab:
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!
~Majalah Tempo Senin, 05 Januari 2009~
anick
in
All
Posts,
Identitas,
Indonesia,
Nasionalisme.
Di hari ketika Aimee Dawis meluncurkan buku Orang Indonesia Tionghoa-Mencari Identitas
pekan lalu di Jakarta, saya berada di Singapura.
Tuan rumah saya, seorang pebisnis, berbicara tak henti-henti. Saya diam dengan sopan.
Akhirnya pada menit ke-40 ia minta pendapat saya. Dengan catatan: Anda ini orang Jawa,
tentu Anda akan mengatakannya tak terus terang.
Saya ketawa masam. Jawab saya: Saya tak tahu apa kah saya orang Jawa, atau bukan orang
Jawa.
Dia bingung. Tapi saya mengerti kenapa dia bingung. Berada di Singapura (atau Malaysia)
saya sering sekali menemui percakapan macam itu: orang akan secara tersirat atau tersurat
menyebut seseorang dan mengaitkannya dengan bangsa Cina atau bangsa Melayu atau
bang sa apa saja dengan suatu sifat yang mereka anggap khas pada bangsa itu.
Berada di dua negeri ini, di mana ethnisitas menguasai kebijakan politik dan kehidupan
sehari-hari, tendensi itu tampak sudah jadi bagian bahasa yang otomatis. Tak mengherankan
bila di sana saya selalu dipandang dan diletakkan dalam satu kotak identitas. Khususnya yang
terkait de ngan perkauman. Kalau saya bergerak dari kotak itu, orang hilang akal. Seperti
halnya tuan rumah saya malam itu.
Di Indonesia agak lain soalnya. Bagi saya, yang mengganggu di sini adalah bagaimana
identitas diterjemahkan dengan istilah yang seakan-akan keramat, yakni jati diri. Saya
selalu berkeberatan tentang ini, karena tak ada yang keramat di dalamnya. Bahkan ketika
orang mengatakan telah menemukan jati diri, orang sebenarnya tak tahu bahwa diri yang
(se)-jati mustahil didapat.
Diri atau aku lahir selamanya tak pas, bahkan terbelah. Pendekar psikoanalisis Prancis,
Lacan, menemukan bahwa kesadaran akan aku dimulai ketika seorang bocah berada dalam
tahap cermin. Si bocah melihat bayangannya di cermin, dan ia diberi tahu bahwa itulah
dirinya: utuh, rata, stabil. Padahal, pada ketika itu juga, dan untuk seterusnya, ada yang tak
tampak pada cermin: bawah-sadarnya, gejolak biologisnya, kedalaman impian dan
traumanya.
Cermin mengeliminasi itu semua. Sebuah kesatuan atau Gestalt pun muncul. Itulah yang,
kata Lacan, melambangkan posisi permanen dari aku. Ketika kemudian si bocah diberi
nama oleh si ayah bapak yang menguasai bahasa identitas pun dikukuhkan.
Tapi dengan itu identitas sebenarnya tak pernah datang sendiri. Ia dirumuskan oleh nama dan
bahasa sebuah bangunan simbol yang disusun masyarakat. Identitas tam pak sebagai
perbedaan, dan perbedaan tampak karena perbandingan. Perbandingan selamanya mirip mata
rantai yang tak putus-putusnya antara X dan lain-lain di dunia.
Di sini, saya selalu ingat James Baldwin. Pengarang da ri New York ini ia hitam, gay, dan
melarat mening galkan Amerika dan hidup selama 10 tahun di Eropa. Kemudian tulisnya:
Aku bertemu dengan banyak sekali orang selama di Eropa. Aku bahkan berjumpa dengan
diriku sendiri.
Kesadaran akan diri sendiri itu sekaligus kesadaran akan orang lain. Bahkan sifatnya
mengandung antagonisme. Identitas ditanya hanya ketika ia terancam, kata Baldwin,
atau ketika si orang asing datang memasuki gerbang.
Dalam Mein Kampf, ada satu cerita Hitler. Ketika ia masih muda, pada suatu malam ia
berjalan di pusat kota Wina. Di sana ia bertemu dengan sesosok bayangan berkaftan hitam
dan berambut hitam dikepang. Yahudikah ini? Hitler bertanya pada diri sendiri. Setelah ia
amati lebih jauh, ia bertanya kembali dalam hati: Orang Jermankah ini?
Hitler tak bertanya apakah si bayangan itu seorang seniman atau seorang profesor. Ia
mempersoalkan identitas ethnisnya karena baginya itulah yang terpenting. Tapi dengan itu ia
menganggap identitas adalah sesuatu yang dibawa dari lahir karena antagonisme yang
diyakininya adalah sesuatu yang permanen.
Baldwin, yang terlunta-lunta, orang yang dipojokkan dalam kerangkeng identitas (hi tam,
gay, asing), menampik itu. Baginya iden titas lebih mirip garmen yang menutupi
ketelanjangan diri. Baginya, lebih baik gar men itu dikenakan dengan agak longgar, seperti
pakaian di padang pasir: akan tampak, atau akan dapat diperkirakan, diri yang telanjang yang
terbungkus di sana. Bahkan bagi Baldwin, orang harus punya kekuatan untuk mengganti
jubahnya.
Anda orang Jawa, kata tuan rumah saya, dan saya tersenyum masam. Saya seperti
Baldwin: bagi saya, yang penting bukanlah identitas, yang menyetrap saya dalam sebuah
kotak dan seperangkat baju resmi. Bagi saya, yang penting adalah manusia sebagai agency,
pelaku.
Politik identitas sejak 1970-an punya peran dalam pembebasan orang hitam dan perempuan
dan mungkin minoritas lain yang tak diakui. Tapi politik identitas selamanya mengacaukan
kenyataan bahwa identitas itu se sekali perlu (ketika ia terancam) tapi tak pernah benarbenar hadir.
Ia konstruksi atas multiplisitas yang inkonsisten, yang serabutan. Untuk meminjam kata-kata
Alain Badiou da lam konteks lain, identitas adalah hasil compter-pou run, menghitung
buat jadi satu. Dengan kata lain, dengan meneguhkan identitas, aku meletakkan diri sebagai
pemersatu dari segala yang carut-marut dan tak terduga dalam diriku.
Maka aku pun jadi Sang Tunggal: di luarku, terkadang terasa mengancam, bergelombang
perbedaan-perbedaan yang membentuk hidup nun di sana dan hidup dalam hidupku. Dan
identitas itu adalah bagian dari paranoiaku.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 19 April 2010~
by
anick
in
All
Posts,
Kisah,
Tokoh.
SIAPAKAH yang mendengar suara Drupadi ketika ia diseret pada rambutnya yang panjang
ke balairung perjudian itu? Semua. Semua mendengar. Tapi tak ada yang menolongnya.
Yudhistira, suaminya, yang telah kalah dalam pertaruhan, membisu. Juga Arjuna. Juga
Nakula dan Sadewa. Hanya Bima yang menggeratakkan gerahamnya dalam rasa marah yang
tertahan, hanya Bima yang berbisik, bahwa Yudhistira telah berbuat berlebihan, karena
bahkan pelacur pun tak dipertaruhkan dalam pertandingan dadu. Ketika kau jadikan kami,
adik-adikmu, barang taruhan, aku diam, karena kau, kakak sulung, adalah tetua kami. Kami
bahkan rela jadi budak ketika kau kalah. Ketika kau jadikan dirimu sendiri barang
pembayaran, kami juga diam, karena kau sendirilah yang menanggungnya. Tapi apa hakmu
mengorbankan Drupadi di tempat ini? Apa hakmu, Kakakku?
Yudhistira membisu. Semua hanya menyimak, juga para pangeran di arena itu, juga Baginda
Destarastra yangdalam gelap matanya yang butatoh pasti mendengar, dan menyaksikan,
malapetaka yang tengah terjadi: para Pandawa telah menerima tantangan berjudi para
Kurawa, dan Yudhistira yang lurus hati itu dengan mudah kalah, oleh Sangkuni yang pintar,
sampai milik penghabisan. Harta telah ludes. Kerajaan telah terambil. Adik-adiknya telah
tersita. Juga dirinya sendiri, yang kini duduk bukan lagi sebagai orang merdeka. Lalu
Drupadi, putri dari Kerajaan Pancala yang terhormat itu.
Bersalah apakah wanita ini, kecuali bahwa ia kebetulan dipersunting putra Pandu? Dursasana,
yang matanya memerah saga oleh mabuk, oleh kemenangan dan berahi, menyeretnya pada
rambut. Budak! seru bangsawan Kurawa itu seraya mencoba merenggutkan kain Drupadi.
Hayo, layani aku, budak! Suara tertawakasar dan aneh karena gugupterdengar di
antara hadirin. Sangkuni ketawa. Duryudana ketawa. Karna ketawa.
Bima, mendidih sampai ke ruas jantungnya, gemetar, mencoba menahan katup amarah,
menyaksikan adegan kemenangan dan penghinaan itu. Api seperti memercik dari wajahnya,
dan tinjunya yang kukuh mengencang di ujung lengan, tapi Arjuna menahannya. Apa boleh
buat, Bima, kata kesatria tengah Pandawa ini, merekalah yang menang, mereka tak menipu,
dan Yudhistira tahu ituperjudian ini juga sejak mula tak ditolaknya.
Baiklah, baiklah, sahut Bima. Jangan tegur aku lagi. Tapi dengarlah sumpahku (dan ia
tiba-tiba berdiri, mengeraskan suaranya hingga terdengar ke segala penjuru). Hai, kalian,
dengarlah sumpahku: kelak, dalam perang yang menentukan antara kita di sini, akan kurobek
dada Dursasana dengan kuku-kuku tanganku (dan suara Bima terdengar seperti raung,
muram, menggeletar), lalu akan kuminum darahnya, kuminum!
Balairung seolah baru mendengarkan petir menggugur. Beberapa bangsawan Kurawa
mendeham mengejekbukankah ancaman Bima itu omong kosong, karena ia secara sah
telah jadi budaktapi sebagian tiba-tiba merasa ngeri: rasanya memang sesuatu yang tak
pantas telah terjadi di tempat terhormat ini.
Tapi, siapakah yang akan menolong Drupadi?
Sekali lagi, Dursasana mencoba menanggalkan kain dari tubuh istri Yudhistira itu. Kain
terlepas. Tapi entah mengapa, laki-laki perkasa itu tak kunjung berhasil menelanjangi
wanita yang bingung dan pasrah itu. Mungkin ada keajaiban dari langit, mungkin Dursasana
terlalu meradang oleh nafsu, mungkin anggur telah memuncak maraknya di kepala: di
depannya, ia seakan-akan menghadapi berlapis-lapis kain yang menjaga kulit yang lembut
itu. Tiap kali selembar terenggut oleh tangannya yang gemetar, tiap kali pinggul Drupadi
seolah tertutup kembali. Dan Dursasana, pada klimaksnya, terkapar.
Ruangan agung itu seolah-olah melepas napas: memang ada sesuatu yang melegakan ketika
adegan yang menekan saraf itu berakhir begitu hambar. Tapi tidak: persoalan Drupadi belum
selesai. Dan kini wanita itu datang, setengah merangkak, ke hadapan para bangsawan tua
yang selama ini menyaksikan semuanya dengan mata sedih tapi mulut tertutup.
Paduka, berhakkah Yudhistira mempertaruhkan diri hamba, berhakkah dia merasa memiliki
diri hamba, ketika ia tidak memiliki lagi diri dan kemerdekaannya?
Kali ini Resi Bhismayang termasyhur arif dan ikhlas itumenjawab, Aku tak tahu,
Anakku. Jalan darma sangat subtil. Mana yang benar, mana yang tidak, bahkan orang yang
paling bijaksana pun kadang-kadang hanya menduga. Cobalah kau tanya Yudhistira sendiri.
Tapi tak ada ucapan yang terdengar. Hanya, saat itu, di luar menggores jerit burung, dan
suara anjing menyalak, dan langit malam seperti retak. Agaknya sesuatu, yang bukan
termasuk dalam ruang judi para raja itu, yang bisa menjawab: tak seorang pun dapat memiliki
orang lain, juga dalam kemenangannya yang sah. Berlapis-lapis batas tetap memisahkan
antara Drupadi dan penaklukan, antara hamba dan tuan.
~Majalah
Tempo
Edisi.
10/XXXIIIIII/30
April
06
Catatan: Naskah ini pernah dimuat di Tempo edisi 24 Januari 1987
Mei
2007~
Politik,
Tokoh.
anick
in
All
Posts,
Amerika,
Demokrasi,
Akhirnya, Obama kembali ke dalam kisah yang biasa: sejarah politik adalah sejarah kembang
api.
Pada suatu hari yang gelap, sebuah partai atau seorang tokoh politik dengan cepat terlontar
bercahaya ke angkasa, bak bintang luncur dengan suara riuh. Tapi tak lama kemudian, ia tak
tampak. Ia malah mungkin jatuh sebagai arang yang getas.
Ketika Obama masuk ke gelanggang persaingan untuk jadi calon presiden, ia seperti
kembang api. Ia berseru, Change!dan sebagai orang kulit berwarna pertama dalam posisi
itu sejak Amerika berdiri pada abad ke-18, ia seakan-akan pengejawantahan perubahan itu
sendiri.
Tapi benarkah? Waktunya memang tepat. Amerika Serikat kini dalam titik terburuk. Presiden
Bush hanya bisa mengulang kata-kata klise untuk kebijakan yang kuno dan keliru: jingoisme
ala Perang Dingin, paranoia politik ala tahun 1950-an, dan ekonomi pasar yang memproduksi
pengangguran seakan-akan John Maynard Keynes belum lahir. Perang antiterorisme-nya
gagal menyetop bom yang diledakkan dengan pekik anti-Amerika. Perang Irak-nya
berangkat dengan kebohongan besar dan berlanjut tanpa diketahui kapan selesai. Amerika tak
lagi punya wibawa moral dalam perjuangan demokrasi: ia melanggar hak asasi manusia tanpa
malu-malu bertahun-tahun di Guantanamo.
Dengan latar seperti itu, Obama menggugah. Tapi benar dahsyatkah perubahan yang
disuarakannya?
Demokrasi adalah sistem dengan rem tersendirijuga ketika keadaan buruk dan harus
dijebol. Pemilihan umum adalah mesin yang mengikuti statistik. Tiap pemungutan suara
terkurung dalam kurva lonceng: sebagian besar orang tak menghendaki perubahan yang
ekstrem. Statistik menunjukkan ada semacam tendensi bersama untuk tak memilih hal yang
mengguncang-guncang. Terutama di masyarakat yang melihat diri sendiri dengan puas dan
menyanyi God Bless America tanpa jemu. Statistik itu status quo.
Dalam haribaan kurva lonceng, Obama jinak. Ia tak akan bersedia mengubah politik
Amerika dengan yang baru yang menggebrak. Akan sulit kita menemukan perbedaan
pandangannya tentang Palestina dari posisi Bush. Ia, yang harus mencari dukungan lobi Israel
di Amerika, tak akan nekat bilang akan mengajak Hamas ke meja perundingan. Ia tak akan
berani menampik sepenuhnya hak orang Amerika memiliki senjata api pribadi, meskipun
korban kekerasan di negeri itu tak kunjung reda. Ia tak akan bertekad mengubah sikap orang
Amerika yang cenderung memandang perang sebagai kegagahan patriotik, bukan kekejaman.
Seraya bersaing ketat dengan McCain, iayang memproklamasikan diri sebagai pemersatu
Amerika, negarawan yang akan menyembuhkan negeri yang terbelah antara biru dan
merahakan tampil sebagai si pembangun konsensus.
Tapi konsensus tak akan mudah jadi wadah bagi the audacity of hope. Saya teringat Spanyol
pada 1982, ketika kediktatoran Franco sedang digantikan dengan demokrasi yang gandrung
perubahan. Felipe Gonzles Mrquez, waktu itu 40 tahun, memikat seluruh negeri. Partai
Sosialisnya menawarkan lambang kepalan tangan yang yakin dan mawar merah yang segar.
Semboyannya: Por El Cambio. Ia menang. Ia bahkan memimpin Spanyol sampai empat masa
jabatan. Tapi berangsur-angsur, partai yang berangkat dari semangat kelas buruh yang radikal
itu kian dekat dengan kalangan uang dan modal. Di bawah kepemimpinan Gonzles, Spanyol
jadi anggota NATO dan mendukung Amerika dalam Perang Teluk 1991. Politik jadi biasabiasa saja. Sebagai tanda bagaimana demokrasi tak menginginkan yang luar biasa, Partai
Sosialis menang berturut-turut. Kini orang melucu dengan mengatakan, kata cambio
(perubahan) berakhir di kios Cambio, penukaran mata uang.
Mungkin itu indikasi bahwa perubahan pada akhirnya harus dibatasi oleh sinkronisasi pengalaman orang ramai dan diatur oleh logika toko serba ada. Tiap kampanye politik kian
mirip dengan advertensi makanan-cepat saji: kita tak tahu persis apa beda isi daging McDonalds dan Burger King; kita hanya menikmatinya karena melihat banyak orang merasa
menikmatinya; dan kita pun merasa kenyang dan sedikit keren.
Itulah haribaan kurve loncengdi mana tiap Obama akhirnya akan turun dari ketinggian
gemebyar kembang api. Dalam arti tertentu ia bintang. Tapi ia seperti planet mati: bercahaya,
jika dilihat dari jauh. Dari dekat, ia bukan lagi sebuah otoritas. Kehidupan politik yang
melahirkannya kehilangan greget yang subyektif. Keberanian disimpan dalam laci.
Dengan kata lain, kita hidup dalam masa pasca-politik, seperti kata Agamben. Dengan
tontonan yang digelar oleh dan lewat media massa, satu kenyataan telah disamarkan: tiap
orang telah jadi obyek biopolitik. Cacah jiwa berubah jadi cacah badan; dengan itu
seorang warga dikemas dan dikelola administrasi negara, jadi satuan yang diperlakukan
sekadar hidup.
Tentu, ada yang dilebih-lebihkan dalam diagnosis sosial ala Agamben. Tapi itu indikasi
bahwa kita kini perlu memikirkan lagi bagaimana menghadapi demokrasi.
Kita bisa memilih bersikap pragmatis: kita terima cacat demokrasi sebagai yang tak
terelakkan dan kita manfaatkan kelebihannya. Sikap pragmatis bisa menenangkan hati, tapi ia
akan mudah menghalalkan penyumbatan darah dalam tubuh sosial. Artinya akan tertutup luka
dan sakit, dan akan tersingkir hasrat, harapan, dan imajinasi yang berani menuntut sesuatu
yang radikal.
Sebab sejarah politik sebenarnya tak selalu hanya sejarah kembang api. Kita bahkan bisa
membacanya sebagai perjalanan antariksa dalam kisah Star Trek yang belum pernah ditulis:
penjelajahan mendapatkan Ratu Adil dalam ketak-berhinggaan semesta. Kita yakin kita akan
menemuinya, seraya berusaha mengerti kenapa Kafka berkata: Sang Juru Selamat hanya
akan datang ketika ia tak dibutuhkan lagi.
~Majalah Tempo Edisi. 24/XXXVII/04 10 Agustus 2008~
by
anick
in
Agama,
All
Posts,
Kebebasan.
11 Juni 1762, di halaman Gedung Mahkamah Pengadilan, Paris, sebuah buku dibakar. Karya
itu berbentuk novel, tapi sebenarnya ditulis untuk membahas soal pendidikan anak. Dengan
mile itu Jean-Jacques Rousseau dinilai telah bersalah karena menganggap semua agama
sama-sama baik.
Seorang pejabat berpidato di depan Parlemen untuk melontarkan tuduhan itu; dalam ini buku,
ujarnya, Rousseau telah berani mencoba menghancurkan kebenaran Kitab Suci dan
nubuatnya. Ia mengejek dan menghujat agama Kristen.
Maka Parlemen memutuskan agar bukan saja buku itu dirobek dan dibakar, tapi juga agar
Rousseau ditangkap.
Sang pengarang melarikan diri ke Swiss. Dua hari sebelum bukunya dibakar, Rousseau sudah
meninggalkan Prancis dengan bantuan teman-temannya. Setiba di wilayah Bern ia turun dari
kereta, bersujud dan mencium tanah: Yang Maha Tinggi, pelindung kebajikan, terpujilah
tuan; hamba menyentuh sebuah negeri kebebasan!.
Tapi betapa cepatnya ia berharap. Ia menetap sebulan lamanya di rumah seorang teman di
wilayah Bern itu. Ia berpikir untuk pindah ke Jenewa. Tapi di kota yang dikuasai 25
aristokrat adminstrator itu disebut Dewan Yang Duapuluh-Lima karya Rousseau juga
dinyatakan dilarang. mile dan Du contrat social dianggap penuh dengan hujatan dan
cercaan terhadap agama.
Dan sebagaimana Parlemen Paris yang menyuarakan kuasa Katolik mengutuknya, di Jenewa
penguasa kota yang Protestan Calvinis itu juga memerintahkan agar buah pikiran Rousseau
itu dibasami. Pengarangnya, yang sesungguhnya seorang warga Jenewa, harus ditangkap.
Rousseau pun tetap tinggal di wilayah Bern. Tapi tak lama. Sebulan kemudian Senat wilayah
itu memerintahkannya untuk pergi. Rousseau pun pindah ke sebuah dusun di gunung-gunung
Swiss, Mtiers-Travers.
Ia ingin hidup damai di sini, tak hendak menulis apa-apa lagi kecuali surat-menyurat. Ia
bahkan masuk ke dalam jemaat Protestan setempat. Ia menyambung hidupnya dengan jadi
penyalin partitur musik dan menyulam. Seraya demikian ia tampil tak biasa: ia memilih
berpakaian Armenia, juga ketika ke gereja.
Tak jelas apakah orang percaya betul kepada Rousseau sebagai seorang Krsiten yang alim.
Suatu hari ia mengunjungi seorang aristokrat. Tuan rumahnya menyambutnya dengan
ucapan, Assalamualaikum. Para pastor Calvinis di ibukota daerah itu telah memaklumkan
pengarang mile sebagai orang murtad.
Di saat itu pun gereja Protestan dan Katolik bertemu menghadapinya. Agustus 1762, Uskup
Agung Paris menulis 29 halaman kutukan terhadap mile.
Tapi benarkah buku itu menodai agama?
Dalam prakatanya, Rousseau mengatakan, tujuan mile adalah untuk menawarkan sebuah
sistem pendidikan, buat jadi pertimbangan para aulia, bukan untuk para ayah dan ibu. Seperti
Plato, Rousseau ingin memisahkan anak dari pengaruh orang tua yang datang dari generasi
yang salah didik. Tapi pendekatannya tak radikal. Seraya meyakini seperti kalimatnya yang
termashur dalam Du contrat social bahwa manusia dilahirkan merdeka dan di mana-mana
ia terikat rantai dalam mile Rousseau menunjukkan jalan agar manusia bisa menerima
ikatan sosial dengan bebas.
Di situlah peran agama. Ketika Si mile, tokoh anak yang jadi pusat cerita ini berumur 18, ia
mulai bisa diberi pendidikan agama. Rousseau mengecam atheisme.
Dalam novel ini ada seorang padri dusun, vicaire savoyard, dari pegunungan Alpen Italia,
yang sebenarnya meragukan wahyu para nabi dan mukjizat para santo. Tapi padri dusun itu
tak mau menuturkan keraguannya kepada jemaat. Dengan taat ia jalani ritual Gereja Roma.
Sementara itu ia terus berbuat yang sebaik-baiknya kepada orang lain. Ia menolak doa yang
meminta-minta; doa baginya adalah lagu puja bagi Tuhan dan ekspresi kita yang merunduk
pada Iradat-Nya. Sang padri tahu, meskipun agama melahirkan kekejaman dan represi,
manfaatnya lebih besar. Agama adalah sebuah karunia.
Tapi justru sebab itu tak perlu kita risau melihat perpecahan dalam agama Kristen. Semua
agama baik sepanjang ia memperbaiki fiil manusia dan merawat harapan. Sungguh
menggelikan untuk menganggap iman, sesembahan, dan kitab suci yang berbeda dari agama
kita sebagai hal yang terkutuk. Kata sang padri: Seandainya hanya ada satu agama saja di
muka bumi, dan semua yang di luar pengaruhnya akan dijatuhi hukuman abadimaka Tuhan
dari agama itu akan merupakan Tuhan yang paling kejam dan tak adil..
Di sini kita temukan kembali, dalam ekspresi yang lebih lunak, pandangannya dalam Du
contrat social.
Dalam uraiannya tentang negara imajiner yang diidamkannya, Rousseau menyatakan diri
yakin akan kepercayaan dasar Kristen dan ia tak berkebaratan bila ada agama yang jadi
dogma positif bagi masyarakat. Tapi ia hanya akan mentolerir agama yang menunjukkan
toleransi kepada agama lain. Bagi Rousseau, siapa yang mengatakan di luar Gereja tak ada
penyelamatan siapa yang mempersetankan agama lain harus dibuang ke luar dari
negerinya.
Dibaca di abad ke-21, apa yang dicita-citakan Rousseau tak mengejutkan lagi; kini makin
tampak bagaimana tak adilnya (dan juga tak mudahnya ) manusia membersihkan sebuah
negeri dari perbedaan iman dan tafsir. Di abad ke-18, ketika ia hidup sebagai orang yang
terusir dari kota ke kota, pendirian Rousseau memang sebuah pengganggu bagi mereka yang
bertopang pada iman sebagai kekuasaan.
Tapi berangsur-angsur sang pengganggu itu makin tampak tak bisa lagi dibantah. Makin
tampak pula bukan dia yang menodai agama, melainkan lawan-lawannya.
by
anick
in
Agama,
All
Posts,
Tokoh.
Ini akhir pekan Erasmus. Saya diminta bicara tentang humanisme dalam pandangan
Indonesia untuk ulang tahun tokoh humanisme Eropa yang lahir 27 Oktober 1466 itu di
Erasmus Huis, Jakarta. Saya tak tahu banyak tentang humanisme abad ke-15 Eropa, dan yang
pertama kali saya ingat tentang Erasmus adalah apa yang dikatakan Luther tentang dia. Bagi
Luther, pemula Protestantisme yang pada akhirnya mengambil posisi yang tegas keras
menghadapi Gereja itu, Erasmus ibarat belut. Licin, sukar ditangkap.
Erasmus memang tak selamanya mudah masuk kategori, tak mudah menunjukkan di mana ia
berpihak, ketika zaman penuh hempasan pertentangan keyakinan theologis. Pada mulanya ia
membela Luther, ketika pembangkang ini diserang dan diancam, tapi kemudian ia
menentangnya, ketika Luther dianggapnya semakin mengganas dalam menyerang Roma.
Dalam sepucuk suratnya kepada Paus Adrianus VI, Erasmus sendiri mengatakan, Satu
kelompok mengatakan hamba bersetuju dengan Luther karena hamba tak menentangnya;
kelompok lain menyalahkan hamba karena hamba menentangnya.
Bagi Erasmus, sikapnya menunjukkan apa yang disebut di zamannya sebagai civilitas. Dalam
kata-kata sejarawan Belanda terkemuka, Huizinga, itulah kelembutan, kebaikan hati, dan
moderasi.
Perangai tokoh humanisme abad ke-15 ini agaknya seperti sosok tubuhnya. Kita hanya bisa
melihat wajahnya melalui kanvas Holbein di Museum Louvre: kurus, pucat, wajah filosof
yang meditatif dan sedikit melankolis. Tetapi iayang merupakan pengarang terlaris di
masanya ini (seorang penjual buku di Oxford pada 1520 mengatakan, sepertiga bukunya yang
terjual adalah karya-karya Erasmus)juga seorang yang suka dipuji. Dan di balik sikapnya
yang santun, ada kapasitas untuk menulis satire yang sangat berat sebelah yang menyerang
Paus Julius II. Dalam satire ini, Santo Petrus bertanya kepada Julius di gerbang akhirat: Apa
ada cara mencopot seorang Paus yang jahat? Jawab Julius: Absurd!
Pada akhirnya memang tak begitu jelas bagaimana ia harus diperlakukan. Ia meninggal di
Basel, Swiss, pada 1536, tanpa disertai seorang pastor, tanpa sakramen Gereja. Tapi ia dapat
kubur di katedral kota itu.
Agaknya itu menggambarkan posisinya: seorang yang meragukan banyak hal dalam agama
Kristen, tapi setia kepada Gereja. Aku menanggungkan Gereja, katanya, sampai pada
suatu hari aku akan menyaksikan Gereja yang jadi lebih baik.
Mungkin itulah sebabnya yang selalu dikagumi orang tentang pemikir ini adalah seruannya
untuk menghadapi perbedaan pikiran dengan sikap toleran dan mengutamakan perdamaian.
Tak ada damai, biarpun yang tak adil sekalipun, yang tak lebih baik ketimbang kebanyakan
perang.
Dari sini agaknya orang berbicara tentang humanisme Kristen bila berbicara tentang
Erasmusatau, dalam perumusan lain, rasionalisme religius. Dalam jenis rasionalisme
ini, skeptisisme dan rasa ingin tahu, curiositas, diolah dengan baik, tapi pada akhirnya tetap
dibatasi oleh apa yang ditentukan agama. Tak mengherankan bila Ralf Dahrendorf menyebut
posisi Erasmus sebagai leise Passion der Vernunft, gairah yang lembut untuk akal budi.
Dalam hal itu, Erasmus memang tak bisa diharapkan akan mengatasi pikiran yang umum di
zamannyayang tak amat leluasa dan luas. Di abad ke-21 sekarang, rasa ingin tahu yang
dikendalikan oleh iman bukanlah sikap ilmiah maupun filsafat. Itu hanya sikap yang
membuat pemikiran buntu.
Dalam kasus lain, Erasmus juga bisa tidak konsisten. Pernah untuk menghadapi kritik pedas
Ulrich von Huttenseorang tokoh Reformasi Jerman yang teguh tapi sengsaraErasmus
ikut bersama para tokoh Gereja di Basel untuk mengusir orang itu dari kota. Dalam kasus
lain, Erasmus memang penganjur jalan damai menghadapi Turki, tapi ia tetap memandang
Turki sebagai yang tak setara dengan Eropa yang Kristen.
Pendek kata, pada diri Erasmus ada nilai-nilai yang mengagumkan dari humanisme, tapi juga
ada unsur yang menyebabkan humanisme itu dikecam. Humanisme ini sejak muladengan
kegairahannya mempelajari khazanah yang tak hanya terbatas pada kitab agama, tapi juga
karya-karya Yunani kuno yang kafiryakin bahwa kita, sebagai manusia, dapat
menangkap dunia obyektif dengan menggunakan akal budi. Di dalamnya tersirat asumsi
bahwa (tiap) manusia adalah identitas yang tetap, atau diri dan subyek yang utuh dan tak
berubah. Subyek ini menentukan makna dan kebenaran. Pikiran manusia menangkap dunia
sebagaimana adanya dan bahwa bahasa merupakan representasi dari realitas yang obyektif.
Dalam perkembangannya kemudian, pandangan seperti ini terbentur kepada apa yang jadi
tajam sejak abad ke-19 Eropa. Dan itu ketika manusia, sebagai subyek yang ulung, jadi
penakluk yang-lain di sekitarnya. Ternyata sang subyek tak seluruhnya bisa dikatakan utuh,
tetap, dan rasional. Tak berarti manusia sia-sia.
Erasmus sendiri menulis sebuah karya satire yang termasyhur, Encomium Moriae, yang
dalam bahasa Inggris terkenal sebagai The Praise of Folly. Di dalamnya, folly atau laku yang
gebleg, yang tak masuk akal, dipujikan. Tak ada masyarakat, tak ada kehidupan bersama,
yang dapat jadi nyaman dan awet tanpa sikap gebleg. Dengan sikap gebleg itulah manusia
mencintai, bertindak berani, termasuk berani menikah, apalagi cuma sekali, dan dengan sikap
yang tak masuk akal pula ia percaya kepada apa yang diajarkan agama.
Mungkin manusia selalu harus mengakui ada yang lain yang menyertai satu sisi dari dirinya
dan satu bagian dari dunianya. Yang lain dan yang tak cocok bahkan tak senonoh itu tak
dapat dibungkamatau manusia hilang dalam kepongahan dan ketidakadilan.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 26 Oktober 2009~
setelah ucapannya yang menyakitkan hati tentang Islam, kunjungan Paus punya sisi lain yang
mendesak.
Dan di Masjid Biru, Sri Paus Benediktus XVI bergandengan tangan dan berdoa dengan Mufti
Besar Istanbul.
Adakah Paus ini kembali ke semangat Nostra Aetate? Dokumen itu, yang disusun semasa
Paus Yohanes XXIII dan ditandatangani Paus penggantinya pada tahun 1965, sebuah
dokumen bersejarah. Buat pertama kalinya Gereja menyatakan rasa hormat kepada kaum
muslimin, sebab mereka memuja Tuhan yang Esa, yang rahman dan mahakuasa,
pencipta langit dan bumi.
Kita tak tahu, pernahkah Benediktus yang naik ke Takhta Suci pada tahun 2005 itu antusias
terhadap Nostra Aetate. Dalam sebuah tulisan yang terbit di The New Yorker, 2 April 2007,
Jane Kramer menelaah dengan cermat posisi Benediktus XVI dalam menghadapi Islam.
Benediktus, menurut Kramer, tak amat percaya dialog theologis dengan mereka yang bukan
Kristen akan bergunabahkan malah mustahil. Baginya, Islam tak mudah dimasukkan ke
dalam wilayah bebas masyarakat pluralistik. Maka tak mengherankan bila sepuluh bulan
setelah ia jadi Paus, Benediktus XVI menggeser dialog antaragama (khususnya dengan Islam)
menjadi dialog kebudayaan.
Ia sangat ragu Islam layak diajak bicara perkara theologis.
Tapi jangan-jangan itulah yang seharusnya terjadi. Muhammad Javad Fariszadeh, duta besar
Iran di Vatikanseorang filosof yang fasih mengutip Nietzsche, Ricoeur, dan Foucault
mendukung langkah Benediktus. Dialog theologis antaragama akan mati begitu ia lahir,
katanya sebagai dikutip Kramer. Bahasa theologis akan jadi militan ketika harus
mempertahankan agamanya. Maka dalam dialog, kata Fariszadeh, lebih baik tinggalkan
theologi di pintu dan kita datang dengan bungadan itu bisa berupa kebudayaan.
Dalam hal inilah Eropa satu saksi yang penting. Tapi ini Eropa yang tak dibayangkan
Benediktus XVI. Ini bukan sebuah ruang yang ditopang satu atau dua sistem kepercayaan,
bukan sebuah kehidupan yang hanya dibaca secara theologis. Ini Eropa yang mau tak mau
jadi tempat orang saling menawarkan bunga.
Sebab kebudayaan, juga di sini, terbentuk oleh laku, oleh hal yang sepele dan sekuler
dengan atau tanpa Nostra Aetate: pertandingan sepak bola, lagu pop, film televisi, lotere, dan
perdebatan bagaimana menyehatkan pohon di taman. Itulah yang sebenarnya terjadi di Eropa
berabad-abad: yang disebut Eropa adalah sebuah lalu lintas perdagangan dan pengetahuan,
yang selalu membuka ruang yang kemudian disebut kebebasan, biarpun terkadang susah
payah.
Saya tak tahu bagaimana ia akan runtuh, Bouyeri.
~Majalah Tempo Edisi. 07/XXXIIIIII/09 15 April 2007~
Posted
by
trackback
anick
in
All
Posts,
Elegi,
Fasisme,
Pepeling.
misalnya, mengambil asal-usul pada Stabat Mater dalam C minor yang digubah Pergolesi,
menjelang komponis ini meninggal dalam umur 26 tahun pada abad ke-18. Kata-katanya
berasal dari lagu puja seorang rahib Fransiskan pada abad ke-13 tentang penderitaan di
Golgotha: Stabat Mater dolorosa iuxta crucem lacrimosa dum pendebat FiliusIbu itu
di sana, berdiri, berkabung, di sisi salib tempat sang anak tergantung.
Dan ketika dua orang dari para ibu Argentina itu pekan lalu datang ke Indonesia, mereka pun
menghubungkan kisah mereka dengan apa yang terjadi di sini, di antara keluarga Indonesia
yang hilang.
Tentu ada beda antara Sang Ibu dalam Stabat Mater dan para ibu di Plaza de Mayo: tak ada
tubuh sang anak yang mati di Argentina. Dalam pentas Estaba la Madre, kita akan
menemukan Sara, ibu Si Samuel. Ia dan suaminya menanti anaknya. Kamis, mereka
menunggunya untuk makan malam di rumah, demikianlah paduan suara meningkah. Tapi
Samuel tak kembali.
Ini pukul sembilan.
Ini pukul 10.
Tengah malam
Fajar datang,
dan ia tak pernah pulang.
Sampai hari ini orang masih bertanya, kenapa itu mesti terjadi. Mungkinkah sebuah
kekuasaan yang dijaga ribuan tentara bisa begitu ketakutan?
Saya tak tahu jawabnyameskipun saya menyaksikannya juga di Indonesia, di tahun di
pertengahan 1990-an, ketika Tim Mawar dibentuk untuk menculik dan menyiksa, mungkin
sekali membunuh, sejumlah anak muda yang sebenarnya tak cukup kuat untuk menjatuhkan
rezim Soeharto. Barangkali paranoia adalah bagian utama dari kekuasaan yang bertolak dari
kebrutalan dan pembasmiankekuasaan yang selamanya merasa tak yakin akan
legitimasinya sendiri.
Mungkin sekali para petinggi tentara itu tak bisa lagi membedakan khayalan dengan
keinginan. Dalam Estaba la Madre ada adegan yang tak mudah dilupakan, baik di Argentina
maupun di Indonesia: tiga jenderal muncul di pentas atas, suara mereka mengancam si lemah
dan mengajukan dalih kebersamaanhingga terdengar menggelikan:
Hidup kemerdekaan!
Kemerdekaan bicara dan membuat orang bicara.
Hidup kemerdekaan mengaku dan membuat orang
mengaku.
Hidup kemerdekaan menjerit dan membuat mereka
menjerit.
Yang tak mereka sangka: yang menjerit tak akan bisu. Kekuasaan militer Argentina akhirnya
runtuh. Dan di tembok jalan layang, di dinding kios koran, di pelbagai sudut di Buenos Aires,
kata-kata ini tertulis, bukan hanya dari Renee, tapi dari mana-mana yang dianiaya: Kami tak
memaafkan. Kami tak melupakan.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 20 April 2009~
by
anick
in
All
Posts,
Hukum.
Kita kira-kira tahu dari mana datangnya hukum, tapi tahukah kita dari mana datangnya
keadilan?
Hukum memang dimaksudkan sebagai aktualisasi dari rasa keadilan. Kata rasa di sini
sebenarnya lebih dekat ke arah kesadaran. Dengan catatan: kesadaran akan keadilan itu tak
hanya sebuah produk kognitif, hasil proses pengetahuan, melainkan juga tumbuh melalui
proses penghayatan. Dengan kata lain, sebagai aktualisasi, hukum adalah ibarat realisasi dari
hasrat yang kita sebut rasa keadilan itu.
Tapi rasa keadilan punya sejarah yang rumit, separuhnya gelap yang mungkin belum juga
selesai.
Ada masanya keadilan kurang-lebih sama dengan pembalasan simetris, sesuatu yang kita
dapatkan dalam cerita silat Hong Kong abad ke-20 atau riwayat Keris Empu Gandring dari
Jawa abad ke-11: Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, dan atas nama keadilan, Ken
Arok dibunuh Anusapati, kemudian Anusapati dibunuh Tohjaya. Pendek kata, pelbagai versi
lex talionis yang mengharuskan, untuk memakai rumusan Perjanjian Lama, satu mata
dibalas satu mata.
Tapi jika keadilan yang sama artinya dengan dendam itu kita temukan dalam pelbagai
cerita, juga dalam Mahabharata, agaknya hanya dalam sebuah karya Aeschylus di Yunani
abad ke-5 Sebelum Masehi kita temukan bagaimana keadilan itu mengalami transformasi.
Dalam lakon Oresteia yang terdiri dari tiga bagian itu, Agamnenon membunuh anaknya yang
perempuan, dan sebagai pembalasan ia dibunuh isterinya sendiri, ibu si gadis. Dalam kisah
berikutnya, si ibu dibunuh oleh Orestes, anak kandungnya.
Memang kepada sahabatya, Pylades, ia bertanya: Apa yang kulakukan? Membunuh ibu
sendiri, betapa mengerikan!. Tapi atas nama hukum Zeus dan Apollo, ia akhirnya
melakukan hal yang mengerikan itu juga.
Tak ayal, para dewi pembalasan yang disebut ?????? yang dalam bahasa Inggris disebut
the furies mengejarnya. Orestes harus membayar perbuatannya dengan nyawanya.
Namun trilogi ini berakhir dengan sebuah transformasi yang radikal: lex talionis digantikan
dengan sebuah proses peradilan. Dewi Athena datang dan memanggil sebuah dewan juri buat
mengambil keputusan dengan pemungutan suara. Athena sendiri memberikan suara untuk
membebaskan Orestes. Lalu diubahnya para peri pembalasan jadi peri budi baik, eumenides.
Dalam kisah ini, mereka ditanam di bawah gedung pengadilan untuk selama-lamanya.
Boleh dikatakan ini adalah lakon lahirnya hukum yang proses dan sikapnya berbeda sama
sekali: prosedur hukum inilah (yang mencoba menterjemahkan keadilan) yang agaknya
yang jadi tauladan di Eropa dan Amerika kemudian, sampai hari ini
Tapi di situ tampak juga, betapa hukum meringkas dan meringkus. Hukum yang diletakkan
dasarnya oleh Athena memotong ingatan; kejahatan masa lampau tak bisa dikenang terus
sepenuhnya. Tak ada dendam tujuh turunan.
Hukum itu juga meringkus: ia tak mengijinkan perasaan pribadi seseorang bergejolak jadi
pedoman memutuskan pembalasan. Inilah awal pandangan yang disebut positivisme
hukum: para hakim tak boleh menggunakan perasaan dan nilai-niai pribadinya. Mereka
hanya harus mengikuti apa yang digariskan undang-undang biarpun itu dirasakan tak adil.
Dalam sebuah lakon terkenal Sophocles di masa sesudah Aeschylus, Antigone, positivisme
itulah yang jadi prinsip Raja Kreon. Ia melarang salah seorang putra Oedipus yang tewas
dikuburkan di dalam makam Thebes. Pemuda itu mati dalam peperangan yang melawan
tanahairnya sendiri. Ia pengkhanat. Menurut undang-undang yang berlaku, mayatnya harus
dibiarkan tergeletak dimakan gagak di luar dinding kota.
Bagi Antigone, saudara sekandung pemuda yang mati itu, hal itu tak bisa diterima. Untuk itu
Antigone siap melawan dan mengorbankan diri, karena ia percaya ada hukum yang lebih
luhur, yakni hukum dari dewa-dewa. Sebaliknya bagi Kreon, yang baru saja selesai
berperang: negara tak akan kukuh hukumnya bila ia guyah meskipun putranya sendiri,
tunangan Antigone, membela gadis yang membangkang itu.
Tapi dari kedua lakon Yunani kuno itu kita bisa tahu: di dasar hukum, di awal hukum, ada
kekerasan yang disembunyikan. Para dewi pembalasan yang tertanam di bawah mahkamah
adalah semacam bawah-sadar hukum positif. Dan kita lihat: hukum Kreon adalah kelanjutan
dari peperangan.
Bahkan hukum mengandung kekerasan sejak awal, ketika undang-undang mereduksikan
hidup seseorang yang unik dan khas jadi oknum yang bisa dikenai hukum yang berlaku
umum. Derrida menyebut reduksi ini kekerasan klasifikasi.
Dengan kekerasan itu, di manakah keadilan? Jika keadilan telah diubah jadi sesuatu yang tak
lagi pembalasan dendam, dari manakah keadilan datang? Antigone berbicara tentang hukum
dewa-dewa yang lebih adil, sebab para dewa tahu bahwa seorang manusia tak bisa dianggap
sebagai sekedar sebuah kasus legal.
Tapi pada saat yang sama kita tahu para dewa Yunani kuno ikut dalam percaturan yang
berdarah antara manusia. Rasanya tak ada mereka digerakkan oleh rasa keadilan. Dalam
agama Abrahami, Tuhan disebut maha adil, tapi kita tak paham mengapa, dalam Alkitab,
Tuhan menyengsarakan Ayub walaupun lelaki yang baik dan soleh ini tak berbuat aniaya.
Persoalan seperti ini menyebabkan riwayat keadilan tak selamanya jelas, dan mungkin
memang tak akan jelas. Tapi tiap kali kita tahu, ketika rasa keadilan kita terkoyak, kita
melihat ke sebuah arah, sebuah cakrawala, yang mengimbau kita dan mungkin mengubah kita
jadi seseorang yang berteriak: Keadilan, atau kehancuran!.
Seakan-akan keadilan punya dewi pembalasan yang tak bisa dibenamkan oleh bangunan
mahkamah manapun. Hukum selamanya sebuah kekurangan.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 02 November 2009~
yang lebih: bila kekerasanlah yang terjadi, Fitna, yang ingin menunjukkan betapa brutalnya
ajaran Islam, akan dikukuhkan.
Saya menonton film ini di Internet. Saya tak menikmatinya. Isinya repetitif. Apa maunya
sudah dapat pula diperkirakan. Dimulai dengan karikatur terkenal dari Denmark, karya Kurt
Westergaard itugambar seorang berpipi tambun dengan bom di kepala sebagai sorban
hitam, yang dikesankan sebagai potret Nabi Muhammadfilm ini adalah kombinasi antara
petilan teks Quran dalam terjemahan Inggris, suara qari yang fasih membacakan ayat yang
dimaksud, dan klip video tentang kekerasan atau kata-kata benci yang berkobar-kobar.
Ayat 60 dari Surat Al-Anfal yang ditampilkan pada awal Fitna, misalnyaperintah Allah
agar umat Islam menghimpun kekuatan dan mendatangkan rasa takut ke hati musuhdiikuti
oleh potongan film dokumenter ketika pesawat terbang itu ditabrakkan ke World Trade
Center New York, 11 September 2001. Kemudian tampak pengeboman di kereta api di
Madrid. Setelah itu: seorang imam yang tak disebutkan namanya bangkit dari asap,
menyatakan: Allah berbahagia bila orang yang bukan-muslim terbunuh.
Pendek kata, dalam Fitna, Quran adalah buku yang mengajarkan khotbah kebencian yang
memekik-mekik dan tindak biadab yang berdarah. Wilders sebenarnya hanya mengulang
pendapatnya. Pada 8 Agustus 2007, ia menulis untuk harian De Volkskrant: Quran, baginya,
adalah buku fasis yang harus dilarang beredar di Negeri Belanda, seperti halnya Mein
Kampf Hitler. Buku itu merangsang kebencian dan pembunuhan.
Salahkah Wilders? Tentu. Penulis resensi dalam Het Parool konon menyatakan, setelah
membandingkan film itu dengan Quran secara keseluruhan, Saya lebih suka bukunya. Sang
penulis resensi, seperti kita, dengan segera tahu, Wilders hanya memilih ayat-ayat Quran
yang cocok untuk proyek kebenciannya. Semua orang tahu, Quran tak hanya deretan pendek
petilan itu. Dan tentu saja tiap petilan punya konteks sejarahnya sendiri.
Tapi Wilders tak hanya sesat di situ. Ia juga salah di tempat yang lebih dasar: ia berasumsi
bahwa ayat-ayat itulah yang memproduksi benci, amarah, dan darah. Ia tak melihat
kemungkinan bahwa Al-Qaidah yang ganas, Taliban yang geram, imam-imam dengan mulut
yang penuh apimereka itulah yang mengkonstruksikan Quran hingga jadi sehimpun kata
yang berbisa. Ajaran tak selamanya membentuk perilaku; perilaku justru yang tak jarang
membentuk ajaran.
Tapi dalam hal itu Wilders tak sendiri. Kaum Islamis juga yakin, ajaranlah yang mampu
membentuk manusia. Dan seperti Wilders, mereka juga memilih ayat-ayat yang cocok untuk
agenda kebencian mereka. Dan seperti Wilders, mereka tak mengacuhkan konteks sejarah
ketika sebuah ayat lahir.
Benci memang bersifat substraktif. Benci membuat pelbagai hal jadi ringkasdan membuat
sang pembenci tegas, jelas, menonjol. Benci adalah advertensi Wilders dan iklan para imam
dengan demagogi Islam.
Itulah sebabnya Wilders salah tapi dibenarkan. Ia salah, bila ia hendak menunjukkan
hubungan antara Surat Al-Anfal ayat 39 dan pemenggalan leher wartawan Eugene Armstrong
menjelang akhir film. Tapi bukankah para algojo itu melakukannya karena merasa mengikuti
firman Tuhan?
Apa mau dikata: inilah zaman ketika firman berkelindan dengan fitnah, ketika yang sakral
bertaut dengan yang brutal. Kita hidup pada masa ketika Jonathan Swift, satiris penulis
Gullivers Travels dari abad ke-17 itu, terdengar kembali arif dan sekaligus menusuk: Kita
punya agama yang cukup untuk membuat kita membenci, tapi tak cukup untuk membuat kita
mencintai.
~Majalah Tempo Edisi. 37/VII/07 13 April 2008~
anick
in
Agama,
All
Posts,
Demokrasi,
Nasionalisme.
Tiap gagasan luhur butuh sebuah cemooh. Dalam rekaman sejarah, manusia berkali-kali
menggagas sebuah masyarakat yang sempurna, tapi akhirnya ia perlu sepotong khayal yang
agak lucu. Ia perlu Raja Utopus.
Kini kita akan berpihak pada fantasi Thomas More itu. Utopus berhasil membangun sebuah
negeri yang tanpa sengketa, tanpa ketimpangan, dan tanpa keserakahantapi untuk itu ia
harus menggali sebuah kanal dan menegakkan tembok tinggi. Negeri yang sehat walafiat itu
mesti dipisahkan dari negeri lain agar tak kena pengaruh buruk. Kesempurnaan hanya bisa
terjadi dalam isolasi, dan isolasi hanya bisa dengan paksa. Sebelum Kim Il-sung dan anaknya
di Korea Utara, Raja Utopus tahu akan hal itu.
Utopia, negeri itu, akhirnya bukan sesuatu yang layak diidamkanatau sebuah
kesempurnaan yang mustahil. Dalam kata Utopia (yang bergerak antara uo-topos yang
berarti tak bertempat dan eu-topos yang berarti tempat yang baik) terkandung ironi.
Dalam hal ini, Utopia Thomas More, yang diterbitkan pada awal abad ke-16, telah
mendahului suara akhir abad ke-20.
Pada akhir abad yang lalu, terbukti pelbagai angan-angan luhur telah gagal untuk membuat
manusia bahagia. Terbitlah keperluan buat mengambil jarak dari cita-cita kita sendiri; kita
harus meledeknya sedikit. Keraguan sebaiknya terbit sekali-sekali. Ironi itu sehat.
Tapi ironi mudah mati. Sampai sekarang pun tiap hari ia dihukum gantung di lapangan
umum. Derap langkah mereka yang marah, yang penuh keluh dan protes kepada keadaan,
dengan cepat akan membabatnya. Di pihak lain, mereka yang meluap-luap memimpikan
dunia baru yang bagai surga juga akan memberantasnya. Benar, tiap gagasan luhur butuh tak
hanya doa, tapi juga cemooh, namun cemooh selalu dicap subversi, pengkhianatan, atau
paling sedikit pemborosan waktu.
Saya kira tak adanya ironi itulah yang tampak mencolok ketika Hizbut Tahrir menghimpun
70 ribu orang di Jakarta pekan lalu. Organisasi ini mencita-citakan berdirinya kembali
khilafah di dunia Islam, dan sekaligus ia menolak demokrasi. Tak tampak usaha
mengambil jarak dari desain besar itu, tak terdengar selintas pun keraguanapalagi
cemoohyang dibiarkan mengganggu. Tampaknya tak diperlukan segera renungan dan
jawaban: Bagaimana sang khalifah di pucuk pimpinan ditentukan? Oleh siapa? Bagaimana
membentuk kekuatan yang bisa menghapus dan mengatasi kedaulatan nasional yang
terbangun selama ini?
Ironi bukan kenakalan. Ia menandai sebuah kearifan. Sebenarnya kearifan itu bisa datang dari
sejarah dunia muslim sendirijika sejarah ditafsirkan sebagai jalan hidup manusia yang
banyak salah, proses di mana kesucian berhenti.
Tapi dengan sikap jiwa yang merasa terpuruk di jurang yang ruwet, para ideolog Islamisme
hanya melihat masa lalu seperti langit jernih penuh bintang. Seakan-akan di sana tak pernah
ada prahara, bahkan hujan darah. Seakan-akan tak pernah ada Murad III (1574-95) yang
punya 103 anak dari sederet istrisebuah keadaan yang menyulitkan soal kekuasaan dalam
khilafah Usmani. Anaknya, Muhammad III (1595-1603), memulai bertakhta dengan
membunuh 19 orang saudaranya sendiri. Murad IV (1623-40) melakukan hal yang sama, dan
hanya membiarkan seorang adik hidup hanya karena si adik lemah mental.
Pendek kata, sejarahyang selamanya penuh dengan ketidakpastiantak diantisipasi
dengan sebuah sistem yang dapat mengelola ketidakpastian secara teratur, tanpa kekerasan,
tanpa darah. Islamisme gagal belajar dari kondisi itu. Yang dijalankannya adalah politik
kesempurnaan: karena Islam dianggap sebagai jawaban yang sempurna untuk membangun
sebuah masyarakat yang sempurna, ada usaha menghapus wajah hidup yang tragis dan
cela. Yang tragis, yang kurang, yang negatif, dianggap tak punya peran dalam politik.
Tak mengherankan bila Hizbut Tahrir, didirikan oleh Taqiuddin al-Nabhani, seorang qadi
dari Yerusalem, pada tahun 1953, menampik demokrasi. Demokrasi berdiri dari kesadaran
akan kondisi yang tragis: luruhnya marka-marka kepastian, seperti dikatakan Claude
Lefort. Dengan catatan: la dissolution des repres de la certitude itu tak hanya disadari sejak
Revolusi Prancis. Masa lalu Islam telah memaparkan itu. Setelah Nabi wafat, terbuka tempat
yang kosong yang mau tak mau minta diisitapi untuk mengisinya tak seorang pun yang
akan setara Rasulullah. Tak seorang pun, tak satu golongan Islam pun, yang dapat
mengartikulasikan ke-Islam-an secara sempurna. Si pengisi harus bersedia diganti, atau akan
terpaksa diganti. Tempat kosong itu tak akan kunjung penuh.
Hidup memang tak cocok buat politik kesempurnaan. Hidup adalah tempat politik
kedaifanpolitik yang lebih tawakal dan tak cepat marah. Manusia berubah tapi
keterbatasan menyertainya. Ia makhluk yang dilahirkan kurang. Peradaban justru lahir dari
keadaan kurang yang tragis itu. Dostoiwesky benar ketika dalam catatan hariannya ia
menulis: Semut tahu formula bukit semut mereka, lebah punya formula sarang mereka.
Tapi manusia tak punya formulanya sendiri.
Sebuah formula memang ditawarkan Raja Utopus. Tapi ia makhluk khayal yang tak dengan
sendirinya menyenangkan bila malam tiba. Di Utopia, bunyi trompet akan terdengar pada
jam-jam tertentu, isyarat bahwa 30 keluarga akan bersantap bersama-sama dalam sebuah
komunitas. Dunia privat praktis hilang. Keseragaman memerintah. Rumah dan kota semua
tampak mirip. Kalau kamu sudah melihat satu, kamu sudah melihat semuanya, kata tokoh
dalam Utopia yang mengisahkan negeri ajaib itu, Raphael Hythloday.
Dalam bahasa Yunani, konon hythloday berarti pembicara omong-kosong. Kita geli. Tapi
bukankah di awal dan di akhir, ironi tak bisa diabaikan, dan cemooh bagian dari jalan ke
kebenaran?
~Majalah Tempo Edisi. 26/XXXIIIIII/20 26 Agustus 2007~
anick
in
All
Posts,
Kisah,
Sastra,
Sejarah,
Tokoh.
DI tiap tikungan sejarah, orang akan menemukan seorang Fortinbras. Pangeran Norwegia
yang masih muda ini hanya punya peran kecil dalam Hamlet Shakespeare, tapi dalam
dirinyalah tindakan adalah keluhuran tapi juga absurditas.
Pada suatu hari, di sebuah padang rumput di luar kota, Hamlet menyaksikan pangeran itu
menggelar pasukan: 20 ribu prajurit yang siap masuk ke kubur seakan-akan hendak
berangkat tidur. Dan semua itu hanya untuk merebut beberapa hasta tanah yang tak berarti,
petak yang begitu kecil hingga tak cukup untuk jadi makam tempat mereka yang terbunuh
[akan] disembunyikan.
Tapi agaknya itulah yang membedakan manusia dari hewan: bahkan demi sekerat cangkang
telur pun orang macam Fortinbras siap menantang nasib dan ajal, menyepelekan apa yang
tak dapat diramalkan, untuk mempertaruhkan martabat diri.
Tentu, ada yang gila, dahsyat, dan merisaukan dalam tiap kepahlawanan. Tapi kegilaan dan
kedahsyatan Fortinbras menggugah Hamlet. Akhirnya pangeran perenung dari Istana Elsinore
ini menyimpulkan betapa salahnya orang yang larut dalam pikiranyang sebagian membuat
kita arif, dan tiga bagian membuat kita pengecut. Sejak hari itu, Hamlet menentukan sikap:
ia akan bikin pikirannya berlumur darahatau sama sekali tak berharga.
Demikianlah yang fana dan tak pasti pun bersiap, nasib dan kemungkinan mati dihadapi.
Orang tak perlu lagi memikirkan terlalu persis apa yang terjadi. Sebab kita tahu
sebagaimana Hamlet tahu: kepastian tentang apa yang benar dan tak benar, adil dan tak adil,
patut atau tak patut, adalah garis-garis yang tak dapat sepenuhnya tajam dan dapat
dikekalkan. Momen keputusan, seperti kata Derrida, selalu merupakan momen yang
mendesak, momen yang digegas. Saat keputusan adalah sebuah kegilaan (ia mengutip
Kierkegaard). Di saat itu yang terjadi adalah interupsi atas pertimbangan pengetahuan, politis,
hukum, dan ethistapi itulah kebebasan.
Tapi kita tahu, sejarah juga sebuah sejarah malapetaka. Orang takut akan kegilaan, waswas
akan pikiran berlumur darah dan sikap yang hanya memuliakan tindakan. Tindakan tak
selamanya dihargai sebagai sesuatu yang murni, sepi dari pamrih dan luhur dalam niat.
Dalam salah satu kuliahnya tentang filsafat politik Immanuel Kant, Hannah Arendt menyebut
sebuah parabel Pythagoras tentang festival, yang membedakan sang penonton dari sang
pelaku dalam sebuah pertunjukan pertandingan. Sang pelaku pertandingan tak akan bisa
melihat dari luar gelanggang dan kesibukan dirinya; ia sibuk dengan niatnya memperoleh
kemasyhuran.
Sebaliknya sang penonton: ia melihat semuanya, dan dapat mengambil jarak dari laku yang
terjadi di arena itu. Dialah tamsil sang filosof, orang yang menjalani hidup dengan
mengamati dan merenungkan, bios thertikos. Arendt juga mengatakan bahwa dalam risalah
Plato tentang negarawan, seorang penguasa yang ideal dikatakan tak bertindak sama sekali.
Ia berada di atas perbuatan. Ia ibarat kepala yang sadar bahwa ada kaki-tangan yang bekerja,
ada bagian yang harus tetap tak tercemar, dan ada bagian yang bila perlu menempuh air yang
bacin dan lumpur yang bernajis.
Tapi bukankah itu menyebabkan Hamlet tak putus dirundung bimbang? Pangeran Denmark
ini, mahasiswa yang perenung ini, harus membalas pembunuhan ayahnya: sebuah kewajiban
yang mengerikan, ketika Denmark berada dalam keadaan seperti sebuah penjara.
Shakespeare menggambarkan anak muda itu berdiri sendiri di salah satu sudut Istana
Elsinore, bergumam dalam solilokui yang paling dikenang dari karya besar inigumam
bimbang seseorang yang tiba-tiba mengetahui hal-hal yang dirahasiakan, tapi juga tahu apa
yang mungkin terjadi. Hamlet berdiri di antara nasib dan keputusan, di antara amarah dan
kematian,
Dan rona asli yang mewarnai tekad
jadi kuyu dan lesi, tersaput pikiran pucat
Dan ikhtiar yang bergelora di saat utama
Jadi surut, berpaling jalan
Tak lagi bernama tindakan
Sampai dengan babak penghabisan, Hamlet tetap tidak bertindak. Tekadnya masih saja
tersaput pikiran pucat. Satu hal besar yang berhasil yang dilakukannya justru sebagai
penontonatau membuat tontonan sebagai substitusi dari tindakan. Di babak III karya
Shakespeare ini tampak ia mengatur sebuah pertunjukan sandiwara yang menyindir Raja,
orang yang kini bertakhta dan mengawini Sri Ratu dan menggantikan ayah Hamlet yang dua
bulan sebelumnya ia bunuh. Tapi salah satu kalimatnya di malam itu, seperti dikatakannya
kepada sahabatnya, Horatio, adalah Aku harus seperti tak berbuat apa-apa.
Saya tak tahu pasti, adakah jalan ini yang dianjurkan Hamlet sebenarnya. Ia telah
menyaksikan Fortinbras. Ia telah merenungkan, dalam hidup sehari-hari, banyak laku
berlangsung tanpa kita mengetahui sepenuhnya apa yang akan terjadi, apa yang sebelumnya
ada, dan sejauh mana yang kita lakukan benar. Agama, ideologi, dan ilmu-ilmu acap kali
menganggap itu sebagai cela. Tapi benarkah itu sebuah cela, bukannya malah sebuah
kebebasan?
Mungkin itu sebabnya di tiap tikungan sejarah, kita akan digerakkan seorang Fortinbras. Pada
akhirnya, di satu ujung jalan, kita akan tahu, tiap proyek manusia selalu serba-mungkin, labil,
dan rentan. Tiap pemecahan masalah kehidupan senantiasa bersifat coba-coba; tak ada yang
untuk selama-lamanya. Kita mungkin hanya selamat kalau kita sadar bahwa yang kekal
adalah ilusi.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 08 Desember 2008~
Posted by anick in Agama, All Posts, Buku, Elegi, Fundamentalisme, Islam, Kebebasan,
Kekerasan,
Kisah,
Tokoh,
Tuhan.
trackback
Pada tanggal 8 Juni 1992, mereka bunuh Farag Fouda di Madinat al-Nasr, Kairo. Dua orang
bertopeng menyerangnya. Fouda tewas tertembak, anaknya luka-luka parah. Kelompok
Jamaah Islamiyah mengatakan: Ya, kami membunuhnya.
Bagi kelompok itu, tak ada dosa bila Fouda dibinasakan. Bukankah lima hari sebelum itu
sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar memaklumkan bahwa cendekiawan ini telah
menghujat agama, dan sebab itu boleh dibunuh? Seorang ulama, Muhammad al-Ghazali,
membela para algojo: tindakan mereka adalah pelaksanaan hukuman yang tepat bagi seorang
yang murtad.
Tapi tak seorang pun tahu sebenarnya, benarkah Fouda, yang tewas pada umur 46, orang
yang murtad. Terutama jika kita baca buku yang baru-baru ini diterbitkan Badan Litbang dan
Diklat Departemen Agama, Kebenaran Yang Hilang, yang juga memuat kata pengantar
Samsu Rizal Panggabean.
Lima bulan sebelum ia dibunuh, Fouda ikut dalam perdebatan di Pameran Buku Kairo.
Dalam acara yang konon diikuti 30.000 orang itu ia menghadapi ulama macam Muhammad
al-Ghazali. Perdebatan berkisar pada masalah hubungan antara agama dan politik, negara dan
agama, penerapan syariat Islam dan lembaga khilafah.
Pendirian Fouda dikemukakan dengan gamblang dalam serangkaian bab al-Haqiah alGhaybah-nya yang diterjemahkan oleh Novriantoni. Ia memang bisa mengguncang sendisendi pemikiran kaum Islamis: mereka yang ingin menegakkan negara Islam berdasarkan
ingatan tentang dunia Arab di abad ke-7 ketika para sahabat Nabi memimpin umat.
Bila kaum Islamis menggambarkan periode salaf itu sebagai zaman keemasan yang patut
dirindukan, Fouda tidak. Baginya, sebagaimana ditulis Samsu Rizal Panggabean, periode itu
zaman biasa.
Bahkan sebenarnya tidak banyak yang gemilang dari masa itu, demikian kesimpulan
Samsu Rizal Panggabean. Malah, ada banyak jejak memalukan.
Contoh yang paling tajam yang dikemukakan Fouda ialah saat kejatuhan Usman bin Affan,
khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang diangkat ke kedudukan pemimpin umat pada tahun 644
itumelalui sebuah musyawarah terbatas antara lima orangberakhir kekuasaannya 12 tahun
kemudian. Ia dibunuh. Para pembunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang yang
murtad, tapi orang Islam sendiri yang bersepakat memberontak.
Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya terpaksa
bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan. Ketika mayat itu disemayamkan, tak
ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja dilarang menyalatinya. Jasad orang tua
berumur 83 itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat
dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah
pekuburan Yahudi.
Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada seseorang yang oleh
Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda mengutip kitab al-Tabaqt al-Kubr
karya sejarah Ibnu Saad, yang menyebutkan satu data yang menarik: khalif itu agaknya
bukan seorang yang bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya
terdapat 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar.
Kaum Islamis tak pernah menyebut peristiwa penting itu, tentu. Dan tentu saja mereka tak
hendak mengakui bahwa tindakan berdarah terhadap Usman itu menunjukkan ada yang
kurang dalam hukum Islam: tak ada pegangan yang mengatur cara mencegah seorang
pemimpin agar tak menyeleweng dan bagaimana pergantian kekuasaan dilakukan.
Ketika Usman tak hendak turun dari takhta (ia mengatakan, Demi Allah, aku tidak akan
melepas baju yang telah disematkan Allah kepadaku!), orang-orang Islam di bawahnya pun
menemui jalan buntu. Sebagaimana disebut dalam Kebenaran Yang Hilang, para pemuka
Islam waktu itu mencari-cari contoh dari masa lalu bagaimana memecahkan soal suksesi.
Mereka gagal. Mereka juga mencari kaidah dalam Islamtapi mereka tak menemukannya,
tulis Fouda. Maka perkara jadi runcing dan mereka mengepung Usmanlalu membunuhnya,
lalu menistanya.
Tampak, ada dinamika lain yang mungkin tak pernah diperkirakan ketika Islam bertaut
dengan kekuasaan. Dinamika itu mencari jalan dalam kegelapan tapi dengan rasa cemas yang
sangat. Orang memakai dalih agama untuk mempertahankan takhta atau untuk menjatuhkan
si penguasa, tapi sebenarnya mereka tahu: tak ada jalan yang jelas, apalagi suci. Di satu
pihak, mereka harus yakin, tapi di lain pihak, mereka tahu mereka buta.
Itu sebabnya laku mereka begitu absolut dan begitu bengis. Pada tahun 661, setelah lima
tahun memimpin, Ali dibunuh dengan pedang beracun oleh seorang pengikutnya yang
kecewa, Ibnu Muljam. Khalifah ke-4 itu wafat setelah dua hari kesakitan. Pembunuhnya
ditangkap. Sebagai hukuman, tangan dan kaki orang ini dipenggal, matanya dicungkil, dan
lidahnya dipotong. Mayatnya dibakar.
Ketika pada abad ke-8 khilafah jatuh ke tangan wangsa Abbasiyah, yang pertama kali muncul
al-Saffah, Si Jagal. Di mimbar ia mengaum, Allah telah mengembalikan hak kami. Tapi
tentu saja ia tahu Tuhan tak pernah menghampirinya. Maka ia ingin tak ada lubang dalam
keyakinannya sendiri (juga keyakinan orang lain) tentang kebenaran kekuasaannya. AlSaffah pun mendekritkan: para petugas harus memburu lawan politik sang khalif sampai ke
kuburan.
Makam pun dibongkar. Ketika ditemukan satu jenazah yang agak utuh, mayat itu pun didera,
disalib, dibakar. Musuh yang telah mati masih terasa belum mutlak mati. Musuh yang hidup,
apa lagi.
Itu sebabnya, bahkan sekian abad setelah Si Jagal, orang macam Fouda harus dibunuh. Ia
mempersoalkan keabsahan posisi khilafah. Ia pengganggu kemutlakan. Tapi itu terjadi di
Mesir lebih dari 10 tahun yang silambukan di Indonesia. Mungkin ini ciri Islam yang
mengagumkan di sini: justru Departemen Agama-lah yang menerbitkan Kebenaran Yang
Hilang.
~Majalah Tempo Edisi. 03 09 Maret 2008~
anick
in
All
Posts,
Kisah,
Perang,
Perempuan.
Ia bisa diselamatkan dari para penujum, tapi bisakah ia dibela dari nasib? Sejak Raja Subala
mendengar ramalan buruk itu, ia perintahkan agar siapa saja yang hendak membaca masa
depan tak diperkenankan masuk ke istana. Baginda tak akan lupa ucapan brahmana yang
datang di musim semi itupenujum terakhir yang diantar dengan bergegas ke luar balairung:
Kelak, putri Paduka akan hidup dalam gelap, mungkin karena getir.
Tentu saja Gandhari tak mendengar kata-kata itu.
Tapi ia praktis hidup dengan sejenis tabir. Ayahnya, Raja Subala yang lembut hati,
memerintah sebuah kerajaan kecil yang tenang nun di utara, di bagian bumi yang kini disebut
Kandahar. Tapi itu ketenangan yang rapuh. Ketika pada suatu hari datang utusan dengan
sepucuk surat yang ditulis Bhisma, sang wali penjaga takhta kerajaan Hastina, Raja Subala
tak bisa menampik. Kerajaan Hastina di seberang itu begitu kuat. Lagi pula surat itu sebuah
pinangan. Siapa tak akan terbujuk jika Bhisma menyatakan Gandhari akan dipersandingkan
dengan raja muda Destarastra dari wangsa Bharata?
Yang waktu itu tak diberitahukan kepada Gandhari dan keluarga kerajaan Gandara ialah
bahwa sang calon mempelai seorang yang buta; Destarastra seorang yang lemah. Kerajaan
Hastina praktis diperintah Pandu, adiknya yang lahir dari ibu yang berbeda. Si muka pucat
yang jadi pendekar perang dan penakluk wilayah inilah yang memegang tampuk, sampai
akhirnya ia meninggalkan takhta, hidup di hutan dan meninggal sebagai resi. Sejak itu
Destarastra memerintah sendiri.
Gandhari berjumpa pertama kalinya dengan calon suaminya, raja muda yang dituntun itu, di
kursi pelaminan. Ia terkejut. Bukan kebutaan itu yang terutama mengganggunya, tapi sikap
laki-laki itu yang seakan-akan selamanya bingung, setengah pasrah setengah degilseorang
muda yang jadi ringkih di bawah bayang-bayang keagungan Bhisma dan keperkasaan
Pandu.
Tapi bisakah ia ditampik? Beranikah Gandhari membuat murka Bhisma hingga
membahayakan kerajaan ayahnya?
Ah, aku bukan kakakmu, ia pun menulis surat ke adik-adiknya di Gandara. Aku hanya
sebaris tugas. Aku bukan perempuan. Aku perpanjangan dari takhta kita yang ringkih.
Adik-adiknya, terutama Sengkuni, marah mendengar penderitaan kakak mereka, tapi mereka
tak mampu berbuat banyak. Hanya Sengkuni yang kelaksetelah ia berhasil mendapatkan
posisi penting di Hastinadengan cerdiknya membalas dendam: dengan tipu muslihat ia
mempercepat meletusnya perang saudara yang membunuh mati Bhisma dan membinasakan
keluarga Bharata.
Tapi sebelum itu, di kamarnya di Hastina, Gandhari hidup seperti murai yang terjepit.
Dayang tua yang mendampinginya sejak kecil menangis. Ia teringat bisik-bisik yang
didengarnya dulu: ada nujum seorang suci dari selatan yang tak boleh disiarkan.
Tapi nujum bisa dibungkam, nasib tidak. Dan yang tak adil tiap kali datang.
Kita bisa mengatakan, Gandhari adalah sebuah cerita tentang datangnya yang tak adil. Yang
jarang ditafsirkan dari Mahabharata ialah bahwa perempuan ini justru yang menunjukkan apa
yang cela dalam diri Bhisma, tokoh agung itu. Bhismasebuah sumpah yang dahsyat.
Bhismaputra mahkota yang berjanji berkorban bagi ayahnya, untuk tak akan pernah
memegang tampuk kekuasaan dan tak akan pernah menurunkan anak yang kelak akan
berkuasa. Bhismayang bersedia membiarkan Hastina diperintah anak-cucu Setiawati,
permaisuri baru yang telah memikat hati si ayah, sang baginda tua. Bhismasebuah sikap
mulia yang diberkati para dewa dengan Ichcha Mrityu, kemampuan menentukan saat
kematiannya sendiri. Bhismasebuah tauladan gilang-gemilang.
Tapi bukankah ia sebenarnya juga satu kekuatan yang memaksa? Bukankah dulu patriarkh ini
juga yang memperlakukan Ambika dan Ambalika, dua perempuan yang ketakutanyang
masing-masing melahirkan Destarastra dan Panduhanya sebagai hasil sayembara
ketangkasan? Hadiah yang perlu didapat untuk memproduksi anak?
Bhisma: sebuah kontradiksi. Yang agung dan gilang-gemilang ternyata menyimpan yang
brutal dan timpang. Memang mulia keputusannya untuk tak mau duduk di takhta, tapi ia
sebenarnya berkorban untuk seorang ayah yang tak mau berkorban. Ia meneguhkan sebuah
egoisme. Ia memang teguh memegang sumpah, tapi dengan demikian ia tak mencegah ketika
Hastina harus dipecah jadi dua untuk memuaskan para pangeran keluarga Bharata yang
berasal dari rahim dua ibu.
Gandhari memang tak menggugat itu. Tapi ia, si pelengkap penderita dalam epos keluarga
Bharata, justru mengungkap banyak hal. Ini dimulai ketika ia memutuskan untuk menutup
kedua matanya dengan seuntai kain hitam, sampai mati, agar tak melihat apa-apa.
Aduhai, ia istri yang setia, puji sebagian orang: perempuan yang bersedia mengorbankan diri
agar senasib suaminya yang tunanetra.
Bukan, ia perempuan yang getir, cela sebagian yang lain: ia tak hendak melihat bagaimana
anak-anak pasangan Pandu dan Kuntipara Pandawajauh cemerlang ketimbang para
Kurawa, anak-anak Gandhari sendiri, yang bebal dan dengki.
Tapi mungkinkah hanya itu? Bagi saya tidak. Gandhari melakukan itu karena ia, yang
menanggungkan kesewenang-wenangan nasib dan sejarah, menemukan satu cara melawan.
Saya bayangkan ia berkata kepada dayangnya yang setia: Emban, kututup mataku karena
aku tak ingin hidup hanya mengutamakan penglihatan yang tajam dan cahaya cemerlang
memuja keunggulan memanah, kemilau baju zirah, berkibarnya panji-panji, tegasnya tapal
batas. Mata dan terang bisa menghadirkan benda di ruang yang jauh, di dalam dan di luar
peta, tapi rabaanku menghargai apa yang dekat dan akrab, telingaku bertaut dengan bunyi
dalam waktu.
Dengarkan Emban, derap perang besar itu, seakan-akan ada garis yang lurus yang jelas
antara yang adil dan tidak. Tapi benarkah? Cahaya memang menerangi dunia, tapi ia tak
pernah memperjelas dirinya sendiri. Aku ingin hidup tanpa cahaya.
~Majalah Tempo, Edisi. 45/XXXV/01 7 Januari 2007~
anick
in
Agama,
All
Posts,
Nasionalisme,
Tokoh.
menentukan kemurnian itu, apalagi jika itu didasarkan atas ukuran yang transendental. Apa
yang harus dilakukan terhadap anasir yang tak murni, selain dibabat dan dicerabut?
Rasa cemas akan ditindas memang menyebabkan Pakistan berdiri. Kehendak untuk jadi
sebuah negeri yang murni menyebabkan Pakistansebuah republik Islam dengan hak-hak
istimewa bagi orang muslimseakan-akan mereproduksi perlakuan tak adil yang dulu
ditakutkan orang Islam sendiri.
Tapi bukan tanpa akibat buruk. Ketika ketakadilan terletak di dasar sebuah sistem politik,
kekerasan pun akan tumbuh di atasnya. Mungkin itu sebabnya dalam empat dasawarsa
terakhir ini problem politik Pakistan selalu diselesaikan tangan-tangan yang bersenjata.
Dengan atau tanpa senjata, kekerasan pula yang sebenarnya jadi dasar nasionalisme Hindu,
dulu dan kini. Mereka juga hendak menegakkan negeri yang murni. Bila bagi mereka
Hindu identik dengan India, dan India hanya murni bila ia Hindu, Islam akan dianggap
sebagai pendatang yang merusak. Maka najis itu harus ditiadakan.
Demikianlah, 6 Desember 1992, kaum militan Hindu menghancurkan Masjid Babri di kota
Ayodhya dan menyerang penduduk muslim di wilayah itu. Tak urung, bentrokan meledak di
seluruh India.
Kaum nasionalis Hindu punya dalih: Masjid Babri dibangun di atas tempat kelahiran
Rama. Kata mereka, sebuah candi Hindu di situs itu dihancurkan orang Islam di bawah titah
Sultan Babur, pendatang dari Asia Pusat di abad ke-16. Maka aksi kekerasan di hari itu
adalah tindakan menuntut hak kembali, dan juga pemurnian.
2.000 orang tewas.
Saya kira suara Gandhi tentang agama akan terdengar lebih masygul seandainya ia masih
hidup dan menyaksikan kekerasan di Ayodhya itusebagaimana ia saksikan kerusuhan di
sekitar Pemisahan (Partition) India-Pakistan di tahun 1947, ketika tapal batas dibangun dan
dijaga, ribuan keluarga digusur atau memilih pindah, tanah ladang dipecah,. kekerasan
meledak, dan ribuan korban mati. Orang Islam, orang Hindu.
Tuhan tak punya agama, kata Gandhi.
Tapi yang menarik ialah bahwa, berbeda dari Nehru, Gandhi tak hendak membuang agama
ke masa lalu. Baginya, agama adalah sumber nilai untuk membangun kehidupan bersama.
Yang tak diuraikan Gandhi ialah kemungkinan agama jadi sumber kekuatan yang tak
mengatasi kekerasan dan ketakadilan, malah justru jadi kekuatan yang memperkukuhnya.
Tapi mungkin Gandhi tak perlu menjawab. Kematiannya telah bicara penuh: pembunuhnya
seseorang yang tak segan-segan menumpahkan darah, karena dalam dirinya datang sebuah
kekuatan: fanatisme.
Tuhan tak punya agama, Gandhi berkata. Hari itu ia rubuh dengan tubuh berdarah dan
mulut yang menyebut nama Tuhan, tapi mungkin sebenarnya ia mengatakan, Pengorbanan
tak punya agama.
Ia memang seorang sekuler yang unik: politiknya berangkat dari nilai-nilai yang terhimbau
oleh Yang Maha Adil, tapi justru itu ia mengambil jarak yang sama dari tiap agama yang
hidup di dekatnya. Ia tak hendak berat sebelah. Keadilan yang mengusik hatinya tak memilih
sebuah
ajaran,
sebuah
sekte,
atau
sebuah
tempat
ibadah.
~Majalah Tempo Edisi. 03/XXXIIIIII/12 18 Maret 2007~
anick
in
All
Posts,
Demokrasi,
Indonesia,
Politik.
Kini sejumlah partai baru muncul bagaikan lapak dan gerai, kios dan show-room. Inilah
zaman ketika advertensi tak henti-hentinya menyusupi ruang kehidupan. Inilah masa ketika
hasil jajak pendapat umum jadi ukuran yang lebih penting ketimbang kebenaran, ketika
penampilan yang atraktif dan riuh-rendah di televisi lebih efektif ketimbang prestasi dan
gagasan sosial yang menggugah. Berangsur-angsur, dalam lapak dan gerai itu yang lebih
menentukan bukanlah benda yang ditawarkan. Yang lebih penting: kemasan.
Sebuah parodi yang tak disengaja naik pentas: politik jadi pekan raya. Tiap tauke kios akan
berusaha mendapatkan pembeli sebanyak-banyaknya. Tapi ketegangan hanya terbatas di situ:
tak akan ada yang menggugat wacana yang mendukung (dan didukung) pekan raya itu
sendiri.
Jika dulu lahirnya partai politik adalah isyarat tentang apa yang berlubang dalam situasi di
mana ia lahir, kini partai berdiri sebagai indikator sebaliknya: terbukanya peluang untuk
investasiyang hanya bisa dilakukan mereka dengan kekayaan yang surplus.
Di sini memang politik tampak sebagai jalan yang aman. Partai tak akan jadi pembelot. Tapi
saya kira sebetulnya sebuah fragmentasi diam-diam berlangsung. Sebab inilah politik tanpa
imajinari sosial, tanpa gelora hati, tanpa militansi. Inilah politik yang tak membentuk
subyektivitas yang lahir karena terpanggil oleh yang universal.
Memang ada niat menjangkau pelanggan di mana saja, kapan saja. Tapi ini cuma
universalitas sebagai faade. Dalam percakapan para juru kampanye partai, seperti di kantor
perdagangan, orang bicara bukan jangkauan yang tanpa batas, melainkan tentang segmen
pasar.
Tentu, di pekan raya, para tauke memang bisa membuat usaha patungan. Tapi pada awal dan
akhirnya yang berlaku adalah ke-masing-masing-an. Para pemilih akan datang bak
konsumen. Tapi sejauh mana mereka yakin? Inilah zaman ketika kita tahu bahwa iklan
mengandung dusta tapi kita toh membiarkan diri terpikatzaman berkuasanya perangai
akal yang sinis, der Zynischen Vernunft, dalam diagnosis Peter Sloterdijk.
Mungkin kita tak akan punya lagi gelora hati dalam politik. Tapi kita tak bisa mengelakkan
keniscayaan hadirnya partai di sebuah demokrasi. Haruskah kita jadi ronin di luar dinding
Negara? Jangan-jangan. Bagaimanapun, sebuah masyarakat tak akan dapat mengelakkan
dimensi politiknyapolitik sebagai pertarungan: konsensus akan selalu berlubang,
ketakadilan akan menimbulkan jerit.
Saya masih percaya, di dalam dan di luar partai, jerit itu tak akan jadi bisu. Akan selalu
muncul mereka yang setia kepada gelora hati para penggugat, segumpal subyektivitas yang
terbit dalam militansi, sujet fidle dalam pengertian Alain Badiou.
Saya teringat pada senja 22 Juni 1996. Di satu ruang kantor Lembaga Bantuan Hukum di
Jalan Diponegoro, Jakarta, di bawah lampu neon yang tak terang, sejumlah pemuda duduk.
Kurus, lusuh, tapi intens. Di leher mereka terkalung bandana merah. Mereka memaklumkan
berdirinya Partai Rakyat Demokratik, sebuah partai kiriketika suasana tambah represif di
bawah Orde Baru dan apa saja yang merah dan kiri dihabisi dan tiap partai alternatif akan
dibabat.
Di ruang itu saya duduk bersama Pramoedya Ananta Toer memandangi mereka. Kami tahu,
ke sana mata-mata penguasa mengintip, senjata disiapkan, penjara dicadangkan. Tapi anakanak muda tetap saja dengan upacara sederhana yang bersejarah itu.
Bersejarah, apalagi bila dibandingkan dengan pesta kelahiran partai-partai hari ini.
~Majalah Tempo, Edisi. 22/XXXVII/21 27 Juli 2008~
anick
in
All
Posts,
Demokrasi,
Indonesia,
Marxisme,
Sejarah.
Tiap 30 September dan 1 Oktober kita teringat pembunuhan. Di tahun 1965-1966 itu, mulamula sejumlah jenderal, kemudian berpuluh ribu orang Indonesia yang bukan jenderal dan
tak bersalah bergelimpangan dibantai. Atau disiksa.
Sejak itu, di tanah tumpah darah ini, kita begitu takut, pedih, dan malu mengaku bersalah
oleh keganasan itu. Semuanya kita masukkan ke dalam sebuah kata, Gestapu, seperti kita
menyembunyikan sesuatu di dalam kotak. Kita gagap bila kita harus mengenangnya.
Maka tiap 30 September dan 1 Oktober ada keinginan yang saya kira terpendam di hati orang
banyak: keinginan untuk mampu mengenang horor itu, tapi juga berharap ia tak akan
berulang. Indonesia tak boleh lagi mengelola konflik lewat darah dan besi.
Keinginan itu tampak mudah dipenuhi setelah Orde Baru runtuh, setelah sebuah
pemerintahan yang stabiltapi bersandar pada kapasitasnya membangun rasa takut
ambruk. Tapi segera terbukti kita gampang terbuai ilusi. Prasangka rasial, rasa curiga
antarkelompok, kebencian, paranoia, dan waswas yang diperkuat oleh agama seakan-akan
malah bergelombang datang. Indonesia nyaris habis harapan. Semuanya seakan-akan mesti
berakhir dengan membunuh.
Tapi mungkinkah ada sebuah lingkungan hidup bersamabisa disebut masyarakat,
komunitas, atau bangsayang akan memilih khaos dan kekerasan sebagai satu-satunya
cara bersaing dan bersengketa? Para optimis mengatakan, tak mungkin. Sengketa dan
kekerasan bukanlah pola dalam sejarah. Tiap kehidupan bersama selalu mengandung
keinginan bersama untuk masyarakat yang baik dan kapasitas untuk mencapai mufakat.
Bahkan binatang buas berdamai dalam puaknya.
Tapi benarkah selalu? Benarkah kita senantiasa bergerak untuk mufakat? Katakanlah tiap
orang, tiap kelompok, memang menghendaki masyarakat yang baik, tapi apa gerangan
yang baik? Selalukah yang baik bagi kami juga baik bagi mereka?
Zaman ini yang berbeda dan ganjil berduyun-duyun masuk ke dalam pengalamandan kita
ragu adakah nilai yang universal. Kondisi pasca-modernis datang. Seorang pemikir seperti
Richard Rorty bahkan menunjukkan, nilai-nilai selamanya contingent, tergantung, kepada
waktu dan tempat. Apa yang baik selamanya dipengaruhi konteks. Sebab itu jangan
dipaksakan. Bahkan keyakinan kita sendiri tentang baik dan buruk perlu dicampur
dengan satu dosis besar ironi.
Pandangan seperti ini memang membuka ruang luas toleransi. Kita tak bisa jadi fanatik
memeluk ide-ide besar. Tapi ada yang boyak; ia tak cukup memberi dasar bagi langkah
politik untuk membangun kebaikan bagi sesama. Tentu, Rorty tak menganggap kita bisa
selamanya berdiri di tepi dengan senyum ironis. Baginya, tak ada alasan untuk berpangku
tangan ketika kekejaman terjadi.
Rorty memang tak menampik tumbuhnya rasa solidaritas antarmanusia. Tapi bagaimana rasa
solidaritas itu mungkin? Bagaimana ia bisa memadai untuk membentuk sebuah kekuatan
pembebas, jika keyakinan tentang nilai-nilai yang universal, yang menggerakkan siapa saja,
cair oleh ironi?
Memang, liberalisme Rorty bukan formula untuk bunuh-membunuh. Tapi ia tak bisa
memberi jawab bagi keadaan yang mungkin tak dialaminya. Rorty begitu betah dengan hidup
nyaman Amerika-nya. Tapi ada kondisi lain, di mana politik bergerak bukan karena
keinginan, melainkan oleh kemestian, di mana gagasan tentang masyarakat yang baik
bukan imajinasi waktu senggang, melainkan karena rasa lapar yang akut akan keadilan.
Di sini liberalisme ala Rorty bisa semacam skandal. Tak mengherankan dalam latar umum
Afrika, Asia, dan Amerika Latin, orang pernah dengan bahagia mendapatkan analisis dan
inspirasi dari yang lain: Marxisme. Marxisme punya satu imbauan universal: cita-cita tentang
masyarakat tanpa kelas. Tapi juga Marxisme bisa ampuh karena melihat nilai-nilai sebagai
sesuatu yang tak datang dari luar sejarah. Marxisme merayakan dinamika dan perubahan.
Tak mengherankan bila beribu-ribu orang pun bergerak, dengan sakit dan miskin, dengan
jiwa dan raga. Yang tragis ialah bahwa Marxismesebuah alat diagnostik yang cemerlang
ternyata sebuah terapi yang gagal. Bahkan Cina murtad. Apa yang tersisa dari Marxisme di
sana sekarang, dengan kemajuan ekonomi yang membuat orang terkesima? Hanya sebuah
partai komunis yang tak percaya kepada imannya sendiri.
Maka pada suatu saat orang pun membaca Habermas. Ia meyakinkan kita bahwa ada
rasionalitas yang bisa membawa apa yang baik melintasi batas ruang-dan-waktu.
Komunikasi adalah laku yang tak asing. Dalam situasinya yang ideal, komunikasi dapat
menghasilkan mufakat tentang masyarakat yang baik.
Tapi tiap 30 September dan 1 Oktober kita teringat bahwa dorongan untuk bermufakat
berakhir dengan pembunuhan. Indonesia adalah sebuah republik yang luka ketika bersikeras
membentuk konsensus. Kini kita takut berilusi: bisakah kita sepakat tentang masyarakat
yang baik? Akan adakah situasi percakapan yang ideal?
Siapa yang takut mimpi perlu memanggil mambang Marxisme. Kita akan bisa melihat
seperti Laclau memanggil roh Gramcibahwa mufakat tak datang dengan sendirinya. Ia
hasil pergulatan hegemoni. Dan dengan Marxisme yang radikal yang memandang sejarah
sebagai perubahan, kita akan mengakui bahwa hegemoni itu tak akan abadi. Pengertian dan
konsensus tentang masyarakat yang baik tak akan kekal. Kekuasaan yang menjaga
konsensus itu tak akan selamanya bisa memenuhi cita-cita.
Itu sebabnya kita memilih demokrasi sebagai sistem yang mengakui kekurangan manusia.
Kita lebih berendah hati. Maka sambil mengakui pergulatan politik akan berlangsung terusmenerus, kita tak perlu bersiap dengan darah dan besi. Ongkos akan terlalu mahalseperti
30 September dan 1 Oktober 1965untuk sesuatu yang tak akan sempurna dan selamalamanya.
~Majalah Tempo Edisi. 31/XXXVI/24 30 September 2007~
by
bocah
in
All
Posts,
Bencana,
Tuhan.
Bola api tampak di langit Pangandaran, suara glung dan bleg terdengar di bawah bumi
Yogya.- Orang pun gentar, setengah terkesima: apa arti semua itu?
Barangkali itu isyarat, bisik sebagian mereka, entah dari angkasa luar, entah dari palung
lautan. Barangkali itu waham, kata yang lain. Barangkali alam dan rasa takut telah berkait,
barangkali alam dan suasana berkabung tumpang-menumpang, dan tak jelas lagi mana yang
menyebabkan dan mana pula yang disebabkan.
Apa boleh buat: bencana menghantam kita berturut-turutdua kali tsunami dalam jarak
waktu belum dua tahun, dua kali gempa yang membunuh ratusan manusia, Gunung Merapi
yang memuntahkan lumpur panas ber-hari-hari. Dengan kata lain, kesadaran kita dengan
serta-merta digebrak oleh sesuatu yang tak dapat sepenuhnya dijinakkan penjelasan ilmu, tak
dapat ditata oleh wacana, tak terjangkau utuh oleh tata simbolik. Bahasa kita jadi gagap, dan
bola api itu terasa semakin besar, suara glung dan bleg itu terasa semakin menakutkan,
dan kita semakin berkabung.
Amir Hamzah pernah menggambarkan situa-si manusia dan alam yang dilimbur bencana
dalam sebuah puisi yang dengan plastis memantulkan bunyi-bunyi yang mengerikan bahkan
sejak dari konsonan dan aliterasi kata-kata yang dibariskannya: terban hujan, ungkai badai,
terendam karam, runtuh ripuk tamanmu rampak.
Dan
nun
Manusia
kecil
lari
terbang
air
naik
tumbang bungkar pokok purba
Teriak
riuh
dalam
gagap
kilau
kilat
Lidah api menjulang tinggi
di
sana
lintang
jatuh
tetap
redam
gempita
membelah
tampak
pukang
duduk
terus
terbelam
guruh
gelap
Sajak itu sebenarnya bercerita tentang air bah yang didatangkan Tuhan untuk
menenggelamkan dan menghabisi manusia yang tak hendak mengikuti jalan Nuh. Apabila
yang dilukiskan Amir Hamzah terasa relevan se-karang, itu karena di sana juga tergambar
bukan orang-orang yang berdosa, melainkan orang-orang yang tak berdayamanusia kecil
yang dilihat dari atas yang jauh.
Hanya Nuh yang disebut bebas lepas dan lapang. Hanya ia yang dikatakan duduk dalam
kepastian, bisa bersuara sentosa ketika manusia lain di tengah gelisah.
Sang penyair sendiri tak seperti nabi itu.. Ia bimbang dan galau: kekuatan destruktif Tuhan
bisa demikian menakutkan demi menegakkan kepastian, tapi tetap saja sang penyair tak dapat
memutuskan mana yang harus dipilihnya di tengah sistem kepastian yang berbeda-beda.
Akhirnya ia mengatakan, semua itu tak ada gunanya. Akhirnya hanya satu kutunggu hasrat,
katanya, yakni merasa dekat rapat dengan Tuhan sendiri.
Bola api, suara gemuruh yang ganjil, lahar yang mengancam, kematian yang menyebar
alam dan ketakutan jemput-menjemput, bersama kemurungan. Para pakar g-eologi,
klimatologi, dan psikologi dapat berbicara fasih men-jelaskan semua itu, tapi benarkah
mereka bisa menjangkau alam itu sendiri? Bukankah ilmu-ilmu pengetahuan tak pernah
menangkap alam itu an sich, melainkan hanya menangkapnya sesudah dijinakkan dalam
kerangka sebuah wacana, dalam keadaan disetel (Gestell, kata Heidegger)? Dengan kata lain
sebenarnya tak ada yang dapat de-kat rapat dengan yang dirindukan untuk dijangkau itu
yakni yang benar, yang memukau, yang membuat gentar?
Bahkan saat Musa di pucuk Tursina (yang oleh Amir Hamzah dianggap sebagai momen yang
dihasratkannya, momen dekat rapat dengan Tuhan) manusia itu tetap mustahil menangkap
Wajah itu..
Mungkin ada yang dapat memberi kita kearifan dari tsunami di Aceh dan Pangandaran serta
gempa dan ancaman magma di Yogyakarta: kita sadar akan kemustahilan seperti itu dan
sebab itu kita berkabung, seperti saya katakan tadi. Kita berkabung karena kita merasa
bersatu dengan yang ditinggal mati dan hilang. Kita juga berkabung karena kita tak bisa
merasa bebas lepas, lapang, dan sentosa di tengah sesama yang gelisah ketika bahkan
ilmu tak dapat lagi bicara pasti.
Berkabung itu memberi kita kearifan, sebab dari sanalah kita sadar betapa mustahil kita untuk
tak menjadi manusia kecil. Kita akan senantiasa lintang pukang. Tapi pada saat yang
sama, justru karena itulah kita merindukan itu: bisa bersentuhan dengan yang abadi, biarpun
sejenak. Aku berkabung untuk keabadian, aku berkabung untuk ia yang dalam dirinya
kutanam dan kupupuk keabadian, tulis Hlne Cixous dalam Deluge.
Dikatakan secara lain, justru karena kita tak kunjung mendapatkan kepastian, justru karena
kita terbatas, kita punseperti Amir Hamzahmenunggu hasrat untuk d-ekat rapat
dengan yang sama sekali lain: yang Maha Tak Terbatas, transcendens yang mutlak.
Kata maha menegaskan betapa radikalnya sifat lain di situ: sifat lain yang tak dapat
dirumuskan, tak dapat dibandingkan, yang hanya dapat disebut, meskipun de-ngan
menyebutnya kita sadar kita hanya mencoba sejenak menafsirkannya. Sebab sifat lain yang
radikal itulah yang menyebabkan kita tak akan pernah rampung dan usai menerjemahkannya:
kita tak akan mungkin membuatnya sedemikian rupa sehingga sama dengan kita.
Agaknya itulah yang membentuk sikap ethis kita: berhadapan dengan yang berbeda, kita
tergetar, tak akan jumawa, bahkan kita menatapnya dengan hormat yang berkabung.
Sebab kita tahu ada yang tetap tersembunyi. Ada misteri yang tak mungkin dianggap sekadar
sebagai problem untuk kecerdasan kita. Dunia tak pernah merupakan sebuah obyek yang
tegak di depan kita dan dapat disimak, kata Heidegger. Dunia selalu tak berlaku jadi sasaran
subyektif kita, selama jalan kelahiran dan kematian, rahmat dan kutuk, tetap membawa kita
ke dalam ada.
Maka bola api itu mungkin tampak mungkin tidak di langit Pangandaran, bunyi glung itu
mungkin terdengar mungkin tidak di bawah Yogya.
~Majalah Tempo Edisi 22, 24-30 Juli 2006~
by
anick
in
All
Posts,
Seni,
Tokoh.
Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: Grrr, Dor, Blong, Los. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: Aduh, Anu. Di depan kita: panggung Teater
Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahunsebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir
semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting
sebagai bagian dari cerita pem-bangun-anbangun dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur.
Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pem-bangun-an ini sebagai
terordengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan
tersendiri kepada kata.
Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah
ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat
yang besar.
Ini terutama hadir dalam teaternyayang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai
contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda
itu sekaleng kecil balsem. Atau selimuthal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap
sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
Bagi saya, teater ini adalah teater miskin dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan
Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin; Putu Wijaya tak
tertarik untuk berbicara tentang lapisan-lapisan sosial. Teater Mandiri adalah teater miskin
karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, bertolak
dari yang ada.
Saya ingat bagaimana pada 1971 Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu
redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai
yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan.
Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus
itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu muda yang di
waktu siang memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam
istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka untuk
berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi bagian teater
sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.
Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun
dari dialektik antara peristiwa dan cerita, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang
hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai
benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari tarik-menarik antara pathos dan humor, antara
suasana yang terbangun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu.
Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu
Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite
yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah bangunan, sebuah tata, bahkan
tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa ke-bangun-an adalah kebangkitan dari
ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata teror dalam hubungan dengan karya
kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa
pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu
tersembunyi ketidaksadaran.
Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah memperkenalkan tata
di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal.
Saya kira ia salah. Ia mungkin berpikir tentang keindahan dalam pengertian klasik, di mana
tata amat penting. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di
mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian
klasik itu yang berlaku.
Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa kata adalah aksi. Prosa,
menurut Sartre, terlibat dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat
mengkomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Tapi di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat,
prosa dan puisi bisa bertautdan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi
dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam
puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir
dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi
khotbah. Dan ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal
yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang
kian asing.
Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahasa bukan alat yang
siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa
mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas
Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya
daya teror ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan
dalam hidup.
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari yang ada. Dan dari sana kreativitas yang sejati
bertolak.
Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011
anick
in
Agama,
All
Posts,
Identitas,
Islam,
Kisah.
Iman selamanya akan bernama ketabahan. Tapi iman juga bertaut dengan antagonisme. Kita
tahu begitu dalam makna keyakinan kepada yang Maha Agung bagi banyak orang, hingga
keyakinan itu seperti tambang yang tak henti-hentinya memberikan ilham dan daya tahan.
Tapi kita juga akan selalu bertanya kenapa agama berkali-kali menumpahkan darah dalam
sejarah, membangkitkan kekerasan, menghalalkan penindasan.
Hari-hari ini, ketika orang-orang Ahmadiyah terpojok di beberapa kota di Indonesia, dua sisi
itu muncul di kepala saya kembali.
Tiga tahun yang lalu seorang teman di Eropa bercerita tentang sepucuk surat yang ia terima
dari adiknya di Basra, Irak. Si adik mengenangkan apa yang dipikirkannya ketika ia, seorang
perempuan keluarga Sunni, bersembunyi di sebuah lubang di lapangan agak jauh dari rumah,
sementara di luar, di jalanan, para anggota milisia Syiah lalu-lalang bersenjata. Bunuhmembunuh telah beberapa hari berlangsung. Paman mereka dan kedua anaknya tak pernah
kembali.
Saya bayangkan, saya adalah seorang penganut Islam pada tahun-tahun menjelang Hijrah
seorang yang ikut bersembunyi dalam gua bersama Rasulullah, ketika orang-orang Quraisy
bersimaharajalela, demikian si adik menulis. Apakah saya akan setakut diri saya hari itu,
tak putus-putusnya menanti hari jadi gelap agar saya, penganut Muhammad saw, akan bisa
bebas dari pembantaian? Ataukah saya akan tabah, karena saya ada di dekat Nabi?
Dan si adik menjawab pertanyaannya sendiri: Benar, Rasulullah tak berada di Basra, tapi
saya tetap merasa di dekat beliau. Karena seperti orang-orang Islam pertama, saya dalam
posisi yang lemah, tapi tahu tak merasa bersalah. Saya tak bersalah bahkan kepada orangorang yang ingin membinasakan kami di luar ituapalagi kepada Tuhan. Saya hanya
berbeda. Saya hanya dilahirkan berbeda.
Si kakak, teman saya orang keturunan Irak yang sudah hidup di Amsterdam itu, yang seperti
hafal benar dengan surat itu, tak bercerita apa selanjutnya yang ditulis adiknya. Kami berdua
sedang menyeberangi Vondelpark, di sebuah awal musim panas. Orang-orang berbaring atau
duduk membaca di bawah pohon, di atas rumput. Dua pemuda Cina sedang membuat sketsa.
Seorang hitam memukul perkusi, sendirian.
Teman saya tak memperhatikan itu semua. Ia hanya berkata, seperti kepada dirinya sendiri:
Bedaitu perkara besar pada zaman kita. Terutama karena beda tak lagi dilihat dari luar,
dari kulit tubuh dan pakaian, tapi dari dalam, dari iman.
Saya coba membantah. Surat adikmu menunjukkan bahwa itu bukan hanya perkara besar
buat zaman kita. Itu sudah sedemikian penting dan sedemikian genting sejak manusia
mengenal agama-agama.
Betul. Tapi pada zaman ini perkara itu tak hanya persoalan lokal. Iman jadi penggerak
antagonisme di mana-mana di dunia. Terus terang saya tak tahu apa desain Tuhan sebenarnya
dengan manusia. Beda adalah sesuatu yang Ia kehendaki. Iman adalah sesuatu yang Ia
kehendaki. Tapi permusuhan?
Iman: antagonisme? Atau iman sama dengan perisai pelindungyang juga berarti suatu
kekuatan yang bertolak dari asumsi bahwa kehidupan beragama adalah semacam perang?
Saya ingat, seraya bercakap-cakap itu kami berjalan ke arah halte trem di tepi kanal. Saya
ingat, saya mendegar suara jengkerik di sebuah semak. Tiba-tiba teman saya berkata, Mengapa kita harus memakai perisai?
Saya diam tak tahu apa yang dimaksudkannya.
Surat adik saya itu, katanya. Surat itu mengingatkan saya akan cerita yang saya dengar
ketika saya anak-anak. Rasulullah bersembunyi di gua itu, ketika orang-orang Quraisy
mencarinya untuk dibinasakan. Mereka tak curiga bahwa di dalamnya Muhammad putra
Abdullah bersembunyi, sebab di pintu gua itu Tuhan meletakkan seekor laba-laba, yang menyusun jaringnya, dan dengan begitu membuat sebuah kamuflase: gua itu tak dimasuki siapa
pun.
Bukankah itu sesuatu yang inspiratif, tanya teman saya itu.
Apa yang inspiratif?
Laba-laba, katanya pula. Dari cerita itu kita tahu, tak salah bila kita melihat dunia di luar itu
dengan sadar, bahwa yang memisahkan kita dengan mereka cukup benang-benang tipis
laba-laba. Bukan pintu besi sebuah benteng. Bukan sebuah tameng. Batas itu mengubah sikap
antagonistis dengan sikap tabah, mengubah yang agresif ke luar dengan yang tenang dan
yakin dalam batin.
Tentu. Mereka yang agresif dan penuh kekuatan tak dengan sendirinya akan berhenti. Batas
itu memang bisa dikoyak dengan gampang; laba-laba itu makhluk yang lemah. Tapi
bukankah kisah Rasulullah itu juga mengajari kita bahwa tiap iman punya guanya sendiri?
Dan gua itu tak akan terjangkau bahkan oleh kebengisan apa pun?
Saya termenung. Saya dengar lagi suara jengkerik. Saya pun ingat serangga yang gampang
terinjak, burung yang gampang diusir, semut yang gampang dibasmi, juga laba-laba yang
mudah diterjang. Betapa rapuh. Tapi mereka punya ruang sendiri, mungkin gua, mungkin
liang, mungkin sarang, yang mengandung rahasiasebagai bagian dari desain Tuhan yang
juga sebuah rahasia.
~Majalah Tempo Edisi. 18/XXXVII/23 29 Juni 2008~
by
anick
in
All
Posts,
Tokoh.
Pernahkah kau terima hutan seperti aku terima hutan, sebagai rumah tinggal, bukan istana
Pernahkah kau buat rumput jadi ranjang dan berselimutkan luasnya ruang,
merasa daif di hadapan yang kelak, dan lupa akan waktu silam yang hilang
Sering saya berpikir kenapa Gus Dur dengan tanpa ragu tak ikut mengutuk novel Salman
Rushdie, The Satanic Verses.
Saya duga karena ia menemukan dalam novel itu empat unsur yang tak terpisahkan:
kenakalan, kecerdasan, provokasi, dan humor.
Gus Dur tak keberatan dengan keempat unsur itu karena ia yakin Tuhan tak sama dengan
mereka yang terusik oleh kenakalan dan humor. Saya kira Tuhan bagi Gus Dur bukanlah
Tuhan yang terbayang dalam Perjanjian Lama, Tuhan yang menggelisahkan puisi Amir
Hamzah: Tuhan yang ganas dan cemburu.
Yang ganas dan cemburu akan menampik kenakalan dan humor. Tuhan yang antihumor
itulah yang diyakini Jorge, kepala biara dalam novel Umberto Eco, Il nome della Rosa. Di
biara Italia abad ke-14 itu beberapa rahib ditemukan tewas. Kemudian diketahui bahwa
mereka telah terkena racun ketika membuka sebuah buku terlarang di dalam perpustakaan;
sebuah buku tentang tertawa.
Satu paragraf yang tak terlupakan: Mungkin misi mereka yang mencintai umat manusia
adalah untuk membuat orang menertawakan kebenaran, untuk membuat kebenaran tertawa,
sebab satu-satunya kebenaran terletak dalam belajar membebaskan diri kita dari
kegandrungan gila-gilaan kepada kebenaran.
Saya lebih bangga punya seorang Gus Dur yang bukan presiden, ketimbang seorang Gus Dur
di atas takhta.
Betapapun keinginannya, ia tak pernah cocok di sana. Sebab ia bagian yang wajar dari
sesuatu yang bagi saya sangat berhargaketidakmauan untuk tunduk kepada yang kuasa dan
yang beku semacam anarkisme yang jinak dan jenaka.
Seorang intelektual publik terkadang yakin bahwa memasuki kehidupan politik (dan
memperoleh kekuasaan) itu perlu. Yang sering dilupakan ialah bahwa yang perlu belum
tentu yang niscaya, dan bahwa politik, sebagai panggilan, sebenarnya sebuah panggilan
yang muram, sedih.
Dalam kesedihan itu kita seharusnya bertugas.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 11 Januari 2010~
by
anick
in
All
Posts,
Kisah,
Politik,
Tokoh.
Syahdan, dua hari setelah Harmoko berhenti dari jabatannya sebagai Menteri Penerangan
Orde Baru, datanglah seorang perempuan ke kantor departemen itu. Wajahnya manis,
senyumnya tulus meski samar-samar. Di meja penerima tamu, ia berkata, Saya datang untuk
menghadap Pak Harmoko, Pak Menteri Penerangan.
Petugas penerima tamu itu berkata dengan sopan, Maaf, Bu, Pak Harmoko sudah bukan
Menteri Penerangan lagi.
Oh, begitu, jawab perempuan tamu itu. Dan ia pun pergi.
Tapi esoknya ia datang lagi. Ia menuju meja penerima tamu itu pula dan berkata, dengan
nada suara yang sama dan senyum samar-samar yang sama, Saya datang untuk menghadap
Pak Harmoko, Pak Menteri Penerangan.
Petugas itu (orang yang juga sama seperti kemarin) sejenak terhenyak. Ia ingat, ini tamu yang
kemarin juga. Tapi ia menjawab sabar, Maaf, Bu, Pak Harmoko sudah bukan Menteri
Penerangan lagi.
Dan perempuan itu pun pergi.
Tapi esoknya dan esoknya lagi ia kembali, dan adegan, ucapan, dan senyum itu berulang lagi.
Sampai lima kali.
Tak urung, para petugas penerima tamu bingung, kemudian curiga, lalu melapor ke bagian
keamanan dan protokol. Dengan cepat cerita ini menyebar ke seluruh lantai Departemen
Penerangan.
Syahdan, pada hari keenam, para pegawai (yang umumnya memang hanya pura-pura banyak
kerja) pun menunggu. Dengan mengintip-intip. Betul juga: perempuan misterius itu datang
lagi.
Langsung ia dibawa ke lantai ke-3. Sang Sekretaris Jenderal sendiri, dengan didampingi dua
direktur jenderal, duduk menemuinya. Perempuan itu tak tampak gugup atau gentar.
Senyumnya tetap, juga ketika salah seorang direktur jenderal bertanya:
Ibu sudah lima kali ke kantor ini untuk menghadap Pak Harmoko. Petugas kami sudah
memberi tahu bahwa Pak Harmoko sudah bukan Menteri Penerangan lagi. Tapi Ibu datang
lagi, datang lagi. Kan sudah jelas bahwa Pak Harmoko tak menjabat lagi? Apa maksud Ibu,
sebenarnya?
Oh, saya tak bermaksud apa-apa, Pak, jawab perempuan itu. Saya datang berkali-kali
kemari karena saya senang mendengar kabar baik itu berkali-kali.
Cerita inisebuah fiksi, tentuhanya lucu jika kita letakkan dalam latar masa Orde Baru,
ketika ada ketaksukaan yang meluas kepada Harmoko: Menteri Penerangan yang tak hentihentinya muncul di layar TV, yang tak habis-habisnya omong yang itu-itu juga, seraya tak
putus-putusnya bermulut manis kepada Presidendi masa ketika media massa dikekang dan
orang takut membantah kebohongan para pembesar.
Cerita ini hanya lucu jika orang ingat masa itu, ketika keajaiban bisa sangat sederhana:
seorang menteri berhenti.
Kini hal seperti itu tak akan ada lagi. Demokrasi adalah sistem politik yang meniadakan
keajaiban. Ada yang lugas di sini: berhentinya seorang yang berkuasa adalah bagian dari
regularitas.
Tapi kita tahu, proses yang teratur dan ajek itu bukan sekadar tour of duty seperti yang harus
dijalani para birokrat sipil dan militer. Sebab itu kejutan bukan mustahil. Pergantian masih
bisa jadi berita baik. Regularitas dalam demokrasi adalah sebuah struktur yang agonistik:
yang naik dan yang berhenti bergerak dalam sebuah bangunan politik dengan ketegangan,
perjuangan, persaingan, pertentangan. Ada kalah dan menang.
Tapi dalam kondisi seperti itu, struktur itu dibayang-bayangi oleh hantu yang sesekali
memperlihatkan diri, seperti hantu sang raja dalam lakon Hamlet. Ia datang dari Antah
Berantah. Ketika ia muncul, kita sadar bahwa sebuah negeri tak pernah bisa benar-benar jelas
bagi dirinya sendiri.
Tapi sebenarnya tak hanya itu: Antah Berantah itu, yang tak bisa diterangkan dan ditangkap
oleh bahasa dan sistem, oleh artikulasi dan proses politik, bukanlah sekadar bagian yang
turah tak tertampung sistem. Ia lebih mendasar. Bahkan bisa dikatakan tiap negeri berada
dalam orbitnya. Berpusar di sekitar Antah Berantah, tiap negeri sebenarnya genting dan tak
tuntas disalin dalam satu wacana.
Itu sebabnya, meskipun regularitas adalah bagian yang produktif dalam demokrasi, kita tak
akan memandangnya sebagai sebuah kehadiran yang tak bergeming. Kita tak akan lupa
bahwa justru regularitas lahir karena ada yang tak hadir, ada yang negatif, yang traumatis, di
sekitarnya.
Itu sebabnya pemilihan umum, pergantian pemimpin dan manajemennya, perubahan para
legislator dan undang-undangnyasemuanya adalah regularitas yang terjadi dari paradoks
demokrasi: inilah sistem yang (seperti telah saya sebut tadi) meniadakan keajaiban, tapi pada
saat yang bersamaan inilah sistem yang mengakui bahwa ada yang sesekali muncul dari
Antah Berantah.
Itu sebabnya kita selalu perlu risau melihat ke Senayan. Di sana duduk orang-orang yang
dengan yakin, mungkin sedikit pongah, memandang diri sebagai intan dua cahaya: cahaya
pertama adalah cahaya wakil suara rakyat; cahaya kedua, pembuat undang-undang.
Mereka bisa mengatakan, dari tangan merekalah undang-undang sah dan adekuat untuk
kepentingan umum.
Tapi benarkah? Undang-undang pada akhirnya hanya akan mencapai apa yang normatif. Ia
terbatas. Masih ada sesuatu yang tiap kali bisa hilang dalam kehidupan sebuah negeri di mana
yang normatif tak bisa digugatyakni keadilan.
Sebab keadilan lebih dari norma. Ia tak pernah secara lengkap dipenuhi. Ia juga berada dalam
Antah Berantah. Ia seperti hantu yang sesekali datang sesekali hilang dan, seperti hantu
dalam Hamlet, begitu penting dalam menggerakkan lakon.
Tapi analogi itu perlu stop di situ. Demokrasi bukanlah sebuah tragedi. Kalaupun keadilan
mirip hantu, ia bukan mukjizat. Ia bisa kita panggil dan bisa kita datangkan sekali-sekali
dan ia bisa jadi kabar baik yang kita suka mendengarnya berkali-kali.
~Majalah Tempo Edisi. 05/XXXVII/24 30 Maret 2008~
by
anick
in
All
Posts,
Kisah.
Jalan aspal yang telah gripis. Deret bangunan yang tak pernah lagi digilapkan cat. Tembok
yang dilapukkan sawang dan debu. Gedung tepi pantai yang mungkin berumur 100 tahun tapi
kini seakan hanya duduk, seperti kakek yang melamun, mungkin tentang masa silam yang
pernah rapi, mungkin tentang engsel-engsel yang telah lekang, jendela yang sudah kehilangan
kejutan.
Havana. Sedan-sedan tahun 1950-an. Orang yang berkerumun, duduk di bus kota, atau berdiri
lusuh. Havana. Dinding dengan poster Che Guevara. Slogan lama yang yakin, Revolusi
itu abadi, Kami percaya pada mimpi. Rel sepur yang berkarat. Sekolah balet dengan
keramahan kekal anak-anak, para penari kecil di ruang luas yang sepi, seorang pianis tua
yang memainkan Ravel di sudut dan berjalan pulang dengan kaki pincang.
Havana. Penjara yang sudah ditinggalkan, pintu-pintu sel yang bernomor tinta hitam. Havana,
Kuba. Jika kemajuan adalah kapitalisme, Kuba sebuah masa lalu. Ia seakan-akan sebuah
pulau ganjil, dalam tudung sosialisme yang kuno, terpisah dari ekonomi pasar yang global,
gigih, ganas. Milenium akan berakhir, sebuah abad akan hilang, dan masa lalu acap kali sama
dengan sesuatu yang mati.
Tapi Walter Benjamin benar ketika ia menulis tentang Trauerspiel: Kematian adalah sebuah
keabadian yang ironis. Mungkin sebab itu kita punya nostalgia. Nostalgia menghibur kita
dari rasa cemas, dari hidup yang ternyata hanya numpang lewat. Nostalgiaitulah yang
mungkin menyebabkan film terakhir Wim Wenders Buena Vista Social Club jadi memikat.
Dalam film ini seakan-akan masa silam hidup kembali, tanpa luka, kepedihan, kekejian.
Film ini dibuka dengan adegan seorang tokoh yang amat tua tapi periang dan debonair,
Compay Segundo. Pemusik berusia 90 tahun itu datang ke sebuah sudut Havana. Ia mencari
gedung yang dulu jadi tempat Buena Vista Social Club, sebuah klub eksklusif di bukit
sebelah timur kota. Tapi adegan pembuka ini tak berlanjut. Kita tak tahu apakah Compay
berhasil menemukan lokasi itu. Kita tak tahu adakah klub itu masih diingat orang karena ia
mungkin termasuk yang harus hancur oleh sosialisme yang menang di Kuba sejak 1959.
Yang kita tahu akhirnya ialah bahwa Buena Vista Social Club, dalam film ini, hanya
mengacu ke sebuah kehidupan musik yang telah dilupakan di Kuba sendiri (tanpa kita
ketahui kenapa dilupakan). Masa lalu itulah yang disusun kembali oleh seorang pemain gitar
musik blues dari New York, Ry Cooder. Di tahun 1996, Cooder mengumpulkan sejumlah
musisi tua Kubaumur antara 70 dan 80-an tahununtuk sebuah proyek rekaman. Hasilnya
laku keras. Dua tahun kemudian Cooder datang bersama Wenders. Sebuah film dokumenter
pun lahir.
Tapi film ini tak disajikan sebagai ekspresi seorang sineas. Wenders tak mencuri pentas dari
sejumlah seniman musik tua yang seakan-akan balik dari kematian, dan menemukan dunia
kembali buat pertama kalinya: begitu antusias, begitu gembira, dan sebab itu mengharukan.
Laki-laki hitam yang pesek dan bertopi pet seperti Putu Wijaya itu, misalnya. Ibrahim Ferrer
lahir di Santiago 72 tahun yang lalu. Ia tinggal di sebuah kamar di apartemen yang apak
bersama istrinya. Ruang itu agak gelap. Di atas lemari, ada sebuah patung dan altar bagi
Santo Lazarus yang diberi sesaji sebatang cerutu dan segelas rum. Ibrahim seorang religius.
Ia menyanyikan ciptaannya, De Camino a La Vereda, dengan sajak yang tanpa arah tapi
selalu berseru, !Oigame compay! No deje el camino por coger la (Dengar kawan! Jangan
lepas dari jalan yang benar).
Di film itu, duduk di kamar tamunya yang reyot, Ibrahim mengatakan sesuatu yang mungkin
akan disetujui Castro dan para rahib: Kami telah diselamatkan dari milik. Kalau tidak, kami
sudah akan musnah. Selintas kita dengar ia memuji masyarakat yang lahir setelah Revolusi,
dan satu baris dalam lagunya memang merekam kembali ketertindasan si kecil dari majikan
perkebunan di masa lalu: Ay, hyanle, hyanle, hyanle al mayoral! (Lari, lari, larilah
dari si pengawas), sebab al mayoral suka merampas jatah harian buruh pemotong tebu.
Namun akhirnya bahkan Ibrahim sendiri tak bisa lari. Ia mungkin tak sadar sepenuhnya:
seluruh usaha Ry Cooder dan Wenders menunjukkan bagaimana ia diproses kembali oleh
kapitalisme. Ia sudah dilupakan orang di Kuba, tetapi ada bisnis rekaman yang membiayai
perjalanan nostalgia itu. Ada investasi, pemasaran, perencanaan laba-rugi. Di toko-toko
Towers Records di New York, kini kita akan lihat dua CD dengan gambar wajah Ferrer.
Dalam satu adegan akhir film Wenders, penyanyi miskin itu melihat-lihat New York setelah
sebuah konser yang sukses di Carnegie Hall. Ia berjalan di senjakala Avenue of the Americas,
di antara kilauan etalase dan lampu reklame. Ia terpesona. Masa lalu itu kalah sakti dibanding
masa depan. Ada yang mengatakan, nostalgia menyenangkan karena masa lalu adalah sesuatu
yang aman. Ia bisa kita atur bagaimana ia tampil di dunia kita. Dulu sosialisme juga yakin
bahwa masa depan bisa kita atur, untuk melahirkan dunia yang lebih baik, dan sebab itu
banyak orang yang bersedia gugur, dibunuh, dipenjarakan, dibuang. Tetapi Buena Vista
Social Club mengusik hati karena Havana justru menunjukkan bahwa sosialisme bisa
menyentuh karena ia sesuatu yang nostalgik. Havana seperti ikut menyanyikan Veinte Aos
Hoy represento al pasado No me puedo conformar Lagu itu dibawakan oleh Omara
Portuando, satu-satunya perempuan dalam album Buena Vista Social Club. Di studio
rekaman yang sederhana, paras Omara tampak seperti lanskap kota Havana, anggun tapi
sayu: Aku wajah masa lalu. Aku tak berani hadapi perubahan.
13 September 1999
banyak lagi informasi. Wilson, aktivis PRD yang juga sejarawan, menulis kenangan tentang
kawannya ini dan mengakui: Menulis tentang Herman Hendarwan bukanlah hal yang
mudah. Banyak sekali aktivitas politiknya yang dilakukan secara rahasia dan tersembunyi.
Rahasia dan tersembunyi: saya dan Herman bertemu dalam beberapa rapat seperti itu. Itu
tahun 1998, pada hari-hari ketika tentara Soeharto menangkap dan memburu para anggota
PRD, setelah rezim itu memenjarakan anggota-anggota AJI (Aliansi Jurnalis Independen),
setelah orang-orangnya menduduki dengan kekerasan Kantor PDI-P. Beberapa orang
sudah dilenyapkan. Dan Herman salah satu buron, seperti halnya Andi Arif, Nezar Patria,
Bimo Petrus, dan lain-lain.
Dari bangunan di Jalan Utan Kayu 68-H, saya dan teman-teman aktivis lain tahu kami
dimata-matai. Di tempat yang kini dikenal sebagai Komunitas Utan Kayu, kami belajar
bagaimana mengamankan diri, setelah markas AJI, organisasi kami, digerebek polisi dan tiga
anggota ditangkap. Satu tim dari kamiIrawan Saptono, Ging Ginanjar, Stanley Adi
Prasetya, Tedjobayumengatur cara pengamanan itu, yang kadang membingungkan karena
tiap kali diubah.
Itu tak bertambah gampang ketika kami harus berhubungan dengan lingkaran yang lebih luas.
Tapi waktu itu kalangan pergerakan perlu membentuk jaringan, bahkan front bersama, secara
pelan-pelan. Soeharto terlampau kuat, dan kami hanya sekelompok aktivis dengan jangkauan
terbatas. Di luar pelbagai gerakan pro-demokrasi bergerak, diam-diam atau terbuka, dan kami
saling mendukung, tapi tak ada front persatuan untuk perlawanan.
Selebihnya gagu. Soeharto berhasil menundukkan Indonesia dengan cara yang efisien:
menyebarkan ketakutan. Rezim itu punya modal teror yang amat cukup, setelah pada 1965-66
puluhan ribu orang dibunuh, dibui, dan dibuang. Dalam keadaan itu, membentuk kerja sama
dengan kalangan lain dalam pergerakan pro-demokrasi perlu didahului dengan mematahkan
teror itu. Dengan menjajal keberanian.
PRD ada di garis depan keberanian itu. Saya mulai bekerja sama dengan mereka secara lebih
dekat sejak saya mengetuai Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP)sebuah langkah
ke arah pembentukan front bersama dan sekaligus sebuah siasat untuk mendelegitimasi
pemilihan umum Soeharto (kami pura-pura memantau pemilu, karena rezim ini juga purapura mengadakan pemilu). Harus saya katakan sekarang: para anggota PRDmereka
umumnya sadar arti gerakan politik, bersemangat, dan tak gentaradalah sayap yang paling
saya andalkan dalam KIPP.
Tapi sebelum KIPP bekerja penuh, PRD digerebek. Pimpinan mereka, antara lain Budiman
Sudjatmiko, kemudian tertangkap. Kami terpukul, tentu: seluruh daya harus dibagi. Sebagian
untuk meningkatkan perlawananla lutta continua!dan sebagian menggagalkan usaha
tentara Soeharto mematahkan bagian gerakan yang tersisa. Langkah baru harus diatur.
Sejak itu hubungan kami berlangsung makin berahasia, termasuk membangun kontak ke
tempat tahanan. Dari Utan Kayu 68-H, operasi seperti ini, termasuk operasi penyebaran
informasi dan disinformasi, dikerjakan oleh yang kami sebut Tim Blok M. Lewat jaringan
yang dibentuk Irawan kami secara periodik bertemu dengan link PRD: Andi Arif dan
Bambang Ekalaya. Kemudian Hermanmeskipun saya tak mengenalnya betul sebagaimana
ia tak akan mengenal saya betul. Ada yang harus dijaga, karena bisa saja suatu hari kami
tertangkap dan dipaksa buka mulut.
Dan benar: pada Maret itu Herman tertangkap. Atau lebih tepat, diculik. Tak hanya dia; Andi
Arief, Faisol Reza, Waluyo Jati, Mugianto, Nezar Patria, Aan Rusdiantosemua aktivis PRD
yang diangkut dengan paksa, dalam mobil yang tertutup rapat, dengan mata yang diikat dan
kepala yang diselubungi seibo, dan dimasukkan ke dalam yang oleh Nezar Patria disebut,
dalam testimoninya kemudian, sebagai kuil penyiksaan Orde Baru.
Sebagian mereka kemudian dilepas. Tapi Herman tidak. Ia hilang. Juga dua nama lain Bimo
Petrus dan Suyat. Wiji Thukul, yang untuk beberapa lama dapat disembunyikan satu tim
teman-teman, juga kemudian lenyap.
Tak ada alasan untuk tak menduga mereka dibunuh. Setidaknya mati dalam penyiksaan.
Nezar pernah menggambarkan bagaimana tentara Soeharto menganiaya mereka: pada satu
bagian dari interogasi, kepalanya dijungkirkan. Listrik pun menyengat dari paha sampai dada.
Allahu akbar! ia berteriak. Tapi mulutnya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu setruman di
dada membuat napasnya putus. Tersengal-sengal.
Saya bayangkan Herman di ruang itu. Mungkin ia lelap selamanya setelah tersengal-sengal.
Mungkin ia langsung dibunuh. Yang pasti, ia tak pernah pulang. Para pejuang dalam sajak
Hr. Bandaharo berkata tak berniat pulang, walau mati menanti. Dan Herman pernah
menulis surat ke orang tuanya: Herman sudah memilih untuk hidup di gerakan, sebab
Indonesia, tanah airnya, membutuhkan itu. Tapi haruskah kekejian itu?
Saya memandang potret-potret pemilihan umum itu, ada orang-orang keji yang saya kenal.
Tak ada Herman.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 06 April 2009~
anick
in
All
Posts,
Identitas,
Modernisme,
Sastra.
Di dunia yang letih, orang sering mengutip sebaris sajak Federico Garcia Lorca: Verde que te
quiero verde
Hijau,
Bintang
Tiba
Yang merintis fajar
kumau
agung
dengan
engkau
beku
bayang
hijau:
dingin
ikan
Puisi Lorca mempesona karena loncatan-loncatannya warna hijau, bintang agung, bayang
ikan, hari fajar yang tak pernah bisa dipertalikan rapi dalam satu tafsir, tapi memperkaya
kita dengan imaji-imaji yang mengejutkan, baru, segar, tak terulangi, seperti dalam mimpi.
Maka di dunia yang mulai lelah, puisi, atau imaji yang menari, segar, meloncat-loncat, dan
tak disangka-sangka ya, juga warna hijau jadi alternatif (yang tak diakui) bagi sebuah
kehidupan yang mengabaikan itu semua. Modal, mesin dan birokrasi telah membuat sistem
yang meringkus tarian seperti itu, sistem yang hanya kenal persisnya lajur laporan keuangan
dan bagan eksak di buku-buku teknik. Baik kapitalisme (digerakkan orang Eropa dan
Amerika) maupun sosialisme (dimulai di Uni Soviet dan Cina) sama-sama membentuk dunia
dalam garis lurus itu garis modernitas dan kemajuan, garis nalar yang menghitung,
mencapai, dan menghasilkan. Itulah garis penaklukan dunia. Puisi yang menari, sebaliknya,
tak hendak menaklukkan. Ia tak hendak memaksa apa yang di luar dirinya, elemen hidup
yang tak terduga. Le pote ne force pas le rel, kata Ren Char.
Sudah lama sebenarnya masalah ini dikemukakan. Tapi sebagaimana Lorca hanya
mengutarakan hasratnya di antara lanskap yang memukau tapi tragis di Andalusia, puisi
dan pelbagai suara yang gundah menyaksikan modernitas dan kemajuan hanya bisa
bicara secara terbatas.
Memang suara yang menghendaki hijau itu terkadang membingungkan. Ia tak menawarkan
cara bagaimana menghentikan keniscayaan pertumbuhan ekonomi dan perlunya kemajuan
teknologi. Sesekali bahkan ia mengandung racun kecurigaan dan kebencian: di tahun 1930an, di Jerman, pemujaan akan Blut und Boden (darah dan tanah) dikobarkan para penganjur
Naziisme, yang ingin menjaga kemurnian Jerman dengan tradisi dan alamnya yang perawan,
agar Volk, bangsa atau ras, tak tercemar oleh persentuhan dengan yang-asing dan yangborjuis di kota besar.
Memang ada yang indah, tapi kuno, juga konyol, atau reaksioner dalam seruan hijau di
masa lampau.
Tapi abad ke-21 mengubah semua itu. Sambutan kepada film dokumenter An Incovenient
Truth adalah indikasinya: film dokumenter yang dibuat dengan ongkos satu juta dollar in
begitu laris di mana-mana; ia dapat menghjimpun dana 49 juta dollar lebih. Al Gore, tokoh di
pusat film yang memperingatkan perubahan iklim global itu, mendapatkan Hadiah Nobel
Perdamaian tahun 2007. Berjuta-juta penonton akan selalu ingat suaranya:
Anda pandang sungai yang lembut mengalir melintasi itu. Anda perhatikan daun berkerisik
pada angin. Anda dengar suara burung; anda dengar katak pohon. Di kejauhan ada lenguh
seekor lembu. Anda rasakan rerumputan itu.Hening; damai. Dan tiba-tiba, ada yang
bergerak berubah dalam diri anda. Rasanya seperti menarik nafas dalam-dalam dan berbisik,
Ah, ya, aku telah lupa semua ini.
Kata-kata itu tak istimewa, sebenarnya. Tapi mau tak mau, bersama itulah hasrat Lorca,
kumau engkau hijau, menemukan makna dan wibawa lain. Hijau telah jadi hasrat untuk
menggapai sesuatu yang terasa begitu menggerakkan hati tapi tak hadir: bumi yang tak rusak
oleh polusi dan keserakahan.
Hijau, melalui proses percakapan dan pergulatan kepentingan, berangsur-angsur telah jadi
kepentingan umum. Ia jadi pesan yang universal.
Dalam arti tertentu, di sini telah berlangsung globalisasi yang berbeda dengan globalisasi
kapital, justru ketika bangunan global satu-satunya ini terancam musnah. Kini yang diserukan
Barbara Ward dan Ren Dubos dalam buku mereka yang terkenal, Only One Earth (dalam
bahasa Indonesia, Hanya Satu Bumi), yang ditulis buat Konferensi PBB di Stockholm di
tahun 1972, mendapatkan pendengar. Pelbagai identitas yang berbeda-beda yang ditandai
nama negara, bangsa, kelompok etnis, kelas sosial, gender berada dalam posisi setara, di
bulatan bumi yang satu, di sebutir planet yang genting.
Di saat seperti ini, identitas makin tak bisa berlaku seperti benteng tertutup. Dalam diri tiap
negara, atau bangsa, atau kelompok etnis, atau kelas, atau gender, ada anasir yang akan
membuka diri ke luar, memahami nasib hanya satu bumi ini. Tapi ada juga yang justru
akan melihat hanya satu bumi hanyalah ilusi; mereka akan kembali menutup pintu,
bersiaga. Dengan kata lain, globalisasi kecemasan ini tak berarti akan menghasilkan sebuah
dunia yang tanpa konflik tak peduli betapa bersemangat, tulus, dan sopannya para kepala
negara berbicara di Bali.
Tapi tak bisakah kita berharap? Saya kira bisa. Justru kini harapan lebih punya sandaran
ketimbang di masa lampau.
Dulu pesan yang universal itu datang secara menakutkan dan mencurigakan, seperti ketika
Eropa mengkristenkan orang Amerika Selatan atau ketika Pencerahan-nya mengubah muka
bumi dengan kolonialisme dan kemajuan yang sebenarnya satu ekspansi peradaban
sekelompok manusia ke kelompok-kelompok manusia lain.
Kini, apa yang universal adalah sebuah utopia hijau melawan kematian yakni kematian
yang akan mengenai siapa saja. Juga melawan ketidak-adilan, karena mereka yang kaya
adalah yang paling merusak bumi, sementara yang miskin akan jadi korban pertama kali.
Walhasil, pesan yang universal kali ini datang bukan dari si kuasa, tapi praktis dari siapa saja
yang hidup di bawah lapisan ozon yang berlubang, cemas kehilangan.
Kini
Rumahku
Biarkan
aku
Biarkan
aku
Ke
Tempat
Di balustrada bulan
aku
bukan
bukan
naik
sebentar
pergi!
ke
Biarkan
beranda
aku
beranda
air
bergema
diriku
rumahku
tinggi
naik
hijau
pelan
anick
in
All
Posts,
Buku,
Islam,
Sastra,
Sejarah,
Tokoh.
AGUSTUS adalah bulan Asia Tenggara, dan kita layak mengenang seorang yang lahir di
Malaka, jadi termasyhur sejak di Singapura, dan dikenal sehagai salah seorang pelopor
sampai ke Indonesia. Orang itu adalah Abdullah bin Abdulkadir Munsyi.
Kita tahu, orang ini, satu setengah abad yang lalu, menuliskan Hikayat Abdullah. Tapi karya
ini bukan otobiografi biasa. Hikayat Abdullah, yang rampung ditulis pertengahan 1840-an,
bukan cuma sebuah soal kesusastraan.
A.H. Hill, yang menerjemahkan karya besar Abdullah bin Abdulkadir itu ke dalam bahasa
Inggris sekitar 30 tahun yang silam, menegaskan bahwa Abdullah-lah orang pertama yang
memperkenalkan realisme ke dalam penulisan Melayu. Pelbagai kejadian, dalam Hikayat
Abdullah, tampil sebagai kejadian faktual. Buku itu bukan rangkaian dongeng.
Dalam hal itu Ahdullah memang bisa disebut sebagai reporter pertama. Ketika api
memusnahkah Market Street, di selatan Sungai Singapura, di Hari Raya Tmlek 1830, rumah
Abdullah juga ikut terbakar. Tapi yang dilakukan Abdullah ialah lari ke sana
kemari, dengan pensil dan kertas di tangan, mencacat apa saja yang disaksikan.
Tentu saja, waktu itu, ia tak tahu buat apa catatan itu. Tapi agaknya bukan soal kegunaan
yang mendorong orang seperti ini: Abdullah hanya menginginkan kebenaran sebagai sesuatu
yang didukung pengalaman empiris. Dan itu berarti mengecek pelbagai hal dengan kesaksian
mata dan kepala sendiri.
Itu pula yang mendorongnya menempuh sebuah perjalanan yang berbahaya, menyamar
sebagai pengemis, memasuki tempat pertemuan serikat Thian Tai Huey. Ia pernah mendengar
desas-desus tentang organisasi gelap ini, yang mengerahkan pelbagai perampokan ke
wilayah-wilayah permukiman di Singapura. Dan benar: di sebuah hutan di pedalaman, ia
menyaksikan sendiri dengan risiko terhunuh bagaimana serikat rahasia ini menyumpah
para anggotanya yang baru dan menyiksa mereka yang menentang. Abdullah kemudian
melaporkan kesaksiannya ke Residen Crawfurd. Tapi motifnya bukanlah untuk jadi matamata. Motifnya hanya sebuah rasa ingin tahu.
Antara lain berkat itulah ia tak tumbuh dalam tempurung purbasangka atau hentuk
purbasangka yang lain: takhayul. Dengan setengah ketakutan, misalnya, ia mencoha
pengobatan cara Barat: ia membiarkan diri dioperasi oleh seorang dokter Pasukan India, yang
kebetulan singgah di Singapura. Abdullah, dalam hidupnya, memang sempat menyaksikan
sendiri pelbagai kejutan teknologi dari Barat: kamera, kapal pengukur dalamnya laut, kapal
api.
Tak heran bila ia kemudian menampilkan diri sebagai seorang modernis, dalam bentuknya
yang paling awal. Ia menangkis kecenderungan orang-orang Melayu untuk hanya berpegang
kepada apa yang diketahui nenek moyang mereka. Sebaliknya, ia juga
dikecam: akalnya menerima cara orang putih, kata orang. Bahkan ayahnya melarangnya
belajar berbahasa Inggris. Kemudian, Abdullah melanggar larangan itu. Dan tak cuma itu ia
juga membantu kaum misionaris menerjemahkan Injil.
Yang menakjubkan ialah, bahwa dalam Hikayat Abdullah, tak tampak ada pergolakan batin
yang gemuruh dan menguncangkan, sebelum tersusunnya sikap seperti itu. Padahal, Abdullah
dibesarkan, dan kemudian dikenal dan akhirnya meninggal, sebagai wakil dari tradisi yang
bukan Barat. Hari-hari masa kanaknya diisi dengan inspeksi yang ketat dari ayahnya,
pembacaan quran, dan pemahaman bahasa Arab. Hikayat Abdullah sendiri, terutama dalam
mengecam peri laku raja-raja Melayu, menggunakan referensi Islam. Di sana-sini Abdullah
juga menyelipkan pantun, petuah, peribahasa. Dan sang pengarang, yang digelari munsy
(guru bahasa) pada usia muda, oleh para tentara India Muslim yang
diajarinya soal agama, di ujung hayatnya berada di Jeddah, dalam perjalanan haji.
Barangkali memang Abdullah adalah tanda pertama zaman ini: ketika pengaruh asing hisa
bergabung dengan pegangan yang dibawa dari rumah, dalam suatu proses yang tak saling
menyobek. Abdullah sendiri, yang penuh semangat untuk bahasa Melayu, lahir dari ayah
Arab dan ibu Tamil suatu indikator Asia Tenggara yang baru, di mana asal-usul ras tak
menentukan kesetiaan kepada budaya setempat.
Dan ia juga sebuah petunjuk lain abad ke-20, ketika ia memuji cara Lord Minto dan penguasa
Inggris memperlakukan para hukuman dan ketika ia mengecam sikap sewenang-wenang para
Sultan. Kini memang ada yang menganggap Abdullah terlampau silau kepada para penjajah
putih. Ia tampaknya memang ia tak ikut merasakan kebencian orang setempat kepada bangsa
asing itu. Toh apa yang dipuji Hikayat Ablullah bukanlah hal-hal yang tak bisa kita puji.
~Majalah Tempo Edisi. 23/XIIIIII/02 8 Agustus 1986~
by
anick
in
Sastra,
Tokoh.
berdiri
merentak
Kehendak menggugah (me-rentak dan mem-bentak) itu bagian dari yang disebutnya
sebagai vitaliteit atau tenaga hidup. Dalam seni, menurut Chairil, tenaga hidup itu
selalu muncul sebelum keindahan, berupa chaotisch voorstadium, tahap pendahulu yang
galau, yang khaotis.
Kreativitas memang diawali rasa gelisah mencari, kegalauan ingin menemukan, juga niat
merombak. Sesuatu yang destruktif tersirat di dalamnya. Seorang pujangga, kata Chairil
(pada 1943 itu ia masih menyebut sastrawan demikian) tak gentar akan apa pun. Pohonpohon beringin keramat ia panjat. Bahkan ia akan memotong cabang-cabang yang
merindang-merimbun tak perlu.
Inilah statemen Chairil: Aku berani memasuki rumah suci hingga ruang tengah! Tidak
tinggal di pekarangan saja.
Dengan keberanian menerobos itu ia pun mempertanyakanbahkan sedikit mencemooh
ajaran agama.
Kita ingat sajak Sorga. Sang penyair mula-mula mengikuti tradisi orang tua: ia berdoa agar
masuk surga. Sebab, kata Masyumi + Muhammadiyah, surga itu bersungai susu dan
bertaburan beribu-ribu bidadari. Tapi dalam diri sang penyair ada suara yang nekat
mencemooh: benarkah dengan demikian surga lebih asyik ketimbang dunia? Tidakkah
kehidupan yang berlimpah itu justru membuat manusia kehilangan gairah seperti ketika
pelaut melihat gamitan dari tiap pelabuhan?
Dalam pertanyaan itu, Tuhan praktis mati: tak ada lagi satu sumber yang diakui sebagai
maha-penjamin segalanya, juga hal yang paling ganjil.
Atau Tuhan telah redup: caya-Mu panas suci/tinggal kerdip lilin di kelam sunyi, demikian
kita temukan dalam sajak Doa. Atau Tuhan jadi penyebab tamatnya pengembaraan: sang
kelana tak lagi menemui dunia dengan takjub dan cemas seperti di sebuah negeri asing. Aku
mengembara di negeri asing, kata Chairil. Tapi kemudian, ketika di pintu-Mu aku
mengetuk/ aku tidak bisa berpaling.
Dengan kata lain, setelah pintu itu, tenaga hidup kehilangan rangsang untuk mencari, untuk
gelisah, untuk berbeda. Tiap kekuasaan yang mengontrol cenderung membuat hidup terbatas
pada yang hadir dan dikenali, berpegang pada satu ensiklopedia yang sudah tersusun rapi.
Dengan demikian, pintu ditutup bagi kebenaran yang tak terduga-duga.
Tapi bisakah pengembaraan yang membuka diri bagi yang tak pernah dikenal itu dihabisi?
Dalam adaptasinya atas sajak Hsu-Chih Mo (1897-1931), A Song of the Sea, Chairil
menghadirkan seorang dara yang sendiri, berani mengembara/Mencari di pantai senja.
Ketika si gadis diseru agar pulang, ia menolak:
Tidak,
aku
Biar
angin
Menyapu
pasir,
Dan
sejenak
pula
Aku mengembara sampai menemu.
tidak
malam
menyapu
halus
menyisir
mau!
menderu
gelombang
rambutku
Penolakan itu menegaskan kebebasan. Tak mengherankan bila Chairil menyambut jatuhnya
kekuasaan Jepang dengan teriakan, Hoppla! Di bawah fasisme Jepang, yang tumbuh adalah
kebudayaan paksaan. Diawasi oleh sensor dan doktrin, sastra dan seni harus mengikuti
arahan tertentu. Pada masa pendudukan Jepang, yang harus dipatuhi adalah garis-garis Asia
Raya, seruan agar rakyat menanam pohon jarak, melipatgandakan panen, menabung, bikin
kapal. Banyak seniman yang patuh. Bagi Chairil, mereka telah mendurhaka kepada Kata.
Kata dalam pengertian Chairil bukanlah Logos. Kata tak dibentuk oleh aku-yangberpikir, tapi aku-yang-ada-di-dunia. Dalam pemikiran Chairil, Kata adalah yang menjalar
mengurat, hidup dari masa ke masa, terisi padu dengan penghargaan, mimpi, pengharapan,
cinta, dan dendam.
Artinya Kata praktis sama dengan hidup. Maka ia tak bisa diperbudak; ia bebas-lepas.
Tapi hidup juga selamanya riskan, bisa tak disangka-sangka, bisa gelap. Manusia dan Katanya bukanlah makhluk yang transparan, lurus, dan koheren. Dalam satu coretan pendeknya
yang dikutip H.B. Jassin dalam Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45, Chairil menyebut
bahwa dalam diri manusia ada gedong besar dan gelap tempat jiwa kita yang sejati
bersembunyi.
Itu sebabnya Kata atau hidup punya sifatnya yang tak cerah, bahkan tragis. Dalam sajak
Chairil yang terkenal, Aku, kita dapatkan manusia yang terbuang dan luka. Ia berlari,
kesakitan, berteriak, aku ingin hidup 1000 tahun lagi, tapi keinginan itu justru
menunjukkan kekurangannya. Ia fana. Ia terbatas.
Mungkin itu sebabnya sajak Hsu-Chih Mo oleh Chairil diberi judul Datang Dara, Hilang
Dara. Di balik kehadiran itu ada ketiadaan. Di akhir sajak, terdengar suara yang memanggil si
dara dari tepi laut yang hampir gelap itu. Tapi ternyata
Di
pantai,
di
Tidak ada dara, tidak ada, tidak.
senja,
tidak
ada
dara
Sang penyair mengakui yang ganjil, yang misterius, dan tak terpahami di luar sana. Puisi jadi
berarti bukan karena menjejalkan isi, melainkan karena menemui sebuah pantai senja yang
kehilangan. Aku, kata Chairil kepada Ida [Nasution?], bukan pendeta atau kiai tentang
sesuatu.
Sajak-sajak Chairil terus-menerus mempesona kita justru karena itu.
~Majalah Tempo Edisi. 37/IX/21 27 April 2008~
by
anick
in
Bencana,
Elegi.
Di situlah kekonyolan: ada kombinasi antara kebakhilan dan ketamakan yang menyebabkan
hujan membawa kerugian di kota semegah Jakarta. Para pemilik hotel, kantor besar,
apartemen tinggi di wilayah Kuningan, misalnya, pernah dirugikan miliaran rupiah oleh air
bah, tapi saya tak melihat ada investasi yang disiapkan untuk mencegah bencana itu berulang.
Yang kelihatan: dengan pesat manusia memperbesar tempatnyakarena keserakahan atau
karena beranak-pinak seperti marmuttapi pada saat itu pula ia kehilangan dunung-nya.
Kata dunung saya pinjam dari bahasa Jawa. Dalam kamus yang disusun Empu Bahasa
termasyhur itu, W.J.S. Purwadarminta, Baoesastra Djawa, yang terbit pada tahun 1939,
dunung tak cuma berarti tempat (enggon) atau wilayah (wewengkon), tapi juga posisi yang
pas (prenah).
Orang kehilangan dunung ketika ia mengutamakan tempat. Dengan membangun tempat, atau
kavling, kita memang menerangi ruang, mengukurnya, memetakannya dan memilikinya
untuk digunakan. Duniayang sebenarnya berisi keragaman yang tak tepermanai, juga khaos
yang rumit dan endapan sejarah yang dalamtelah direduksi jadi petak yang jinak. Dunia
jadi sebuah gambar.
Tapi gambar dunia itu (Weltbild, konon kata Heideg-ger) bukanlah gambar tentang dunia,
melainkan dunia yang ditatap, disetel, dan dikonsep sebagai gambar. Kita tak akan dan
tak pernah tinggal di sana sebenarnya. Bahkan di sanalah awal kita jadi terasing.
Sebab di manakah posisi yang pas bagi kita? Karena kita terbiasa mengukur ruang yang bak
gambar itu dengan angkadengan hektare, volume, dan rupiahkita pun terbiasa
menyangka bahwa yang pas adalah yang harus dapat dibandingkan dengan posisi orang lain,
atau posisi kita sendiri sebelumnya, sementara perbandingan itu berlangsung tak habishabisnya.
Ada sebuah cerita Leo Tolstoy tentang seseorang yang terus-menerus membeli tanah dan tak
pernah kenyang memperluas milik. Pada suatu hari ia mencoba mengukur wilayah
kekuasaannya. Ia membawa meteran, berjalan kaki menghitung petak demi petak. Perjalanan
itu tentu saja jauh sekali, karena tanah itu nyaris tanpa batas. Pada suatu titik, ia lelah, rubuh,
mati, dan dikuburkan. Akhirnya tempatnya adalah sebidang tanah yang tak lebih luas
ketimbang balai-balai si miskin. Di situlah ia di-prenah-kan. Di situlah dunung-nya.
Dunung adalah pengertian yang lahir dari kesadaran akan kefanaan. Meskipun terasa sangat
romantis, ada yang layak direnungkan ketika Heidegger berbicara tentang hubungan kata
Gothis wunian dengan kata Jerman lama bauen. Keduanya berarti tinggal, menghuni.
Tapi kata wunian juga berarti ada dalam damai. Damai berarti tak tersentuh bahaya dan
gejolak. Dari kedamaian itulah kita bisa menilai posisi yang pas bagi kita.
Posisi yang pas itu, dunung, adalah posisi dalam apa yang disebut Heidegger empat lipatan:
di atas bumi, di bawah langit, di antara makhluk yang fana, di hadapan yang ilahi. Di sanalah
manusia tak terasing, sebab ia tak melepaskan diri dan tegak sendiri sebagai sang penakluk.
Ia tahu ia tak akan pernah selesai merengkuh. Rakustak hanya dalam hal tanah, tapi dalam
segala halhanya akan membawanya kepada ilusi tentang kenyang, yang bersifat sementara,
setelah ia memperkosa bumi.
Bumi seperti seorang anak yang kenal sajak, kata Rainer Maria Rilke dalam Soneta Buat
Orfeus. Bumi, tanpa kita sadari, mengenal ritme, kejutan, keakraban, keterpautan yang intens
by
anick
in
Agama,
All
Posts,
Kisah.
Menyembelih seorang anak yang tak berdosa, menyembelih anak sendiri yang tak bersalah,
sanggupkah engkau? Ibrahim telah mendengar suara itu. Ia yakin itu titah Tuhan, agar itulah
yang harus dikerjakannya. Ia sedang diuji, sedekat manakah dirinya dengan Tuhan yang
harus ditaati. Ia berangkat.
Seandainya saya yang diberi perintah, mungkin sekali saya akan menolak. Dengan takzim
dan takut. Saya akan katakan, biarlah saya masuk neraka. Biarlah saya dikutuk, asal anak itu
selamat. Belas kasih kepada bocah yang tak berdaya itu lebih mengguncang diri saya
ketimbang kehendak Yang Maha Kuasa.
Tapi saya bukan Ibrahim. Saya bukan tokoh Kitab Suci. Dalam Frygt og Bven (Gentar dan
Gementar) yang terbit tahun 1843, Kierkegaard, pemikir Denmark itu, menggambarkan iman
Ibrahim sebagai sesuatu yang mengatasi nilai kebaikan yang universal, yang berlaku buat
siapa saja, di mana saja, kapan saja. Ibrahim bukan siapa saja. Ia unik, tersendiri, bersendiri.
Tindakannya di Bukit Muriah itu tak dapat dibenarkan oleh nilai dan hukum apa pun.
Tindakan itu hanya bisa dilakukan karena Ibrahim menaruh kepercayaan kepada kekuatan
dari sesuatu yang absurd. Kierkegaard menyebutnya bukan tokoh tragis. Ibrahim bukan
seperti Kaisar Brutus yang dengan sedih harus membunuh anaknya demi hukum Romawi
yang harus ditegakkannyahukum untuk siapa saja, di mana saja, kapan saja. Ibrahim, bagi
Kierkegaard, seorang ksatria iman.
Tapi tetap saja tak mudah membayangkan seorang ksatria iman harus memotong leher
anaknya sendiri. Mungkinkah ia sampai hati benar?
Agaknya sebab itu Quran menggambarkan Ibrahim meletakkan anaknya dengan muka yang
menelungkup. Dalam tafsir Al-Tabari disebutkan bahwa si bocah (Quran tak menyebutkan
namanya, Ismail atau Ishak) berkata kepada ayahnya: Bila ayah baringkan aku untuk jadi
kurban, telungkupkan wajahku, jangan ayah letakkan miring ke samping; sebab aku khawatir,
bila ayah melihat wajahku, rasa belas akan merasuki diri ayah, dan ayah akan batal
melaksanakan perintah Allah.
Ada sebuah lukisan Rembrandt, perupa Belanda yang termasyhur itu, yang bertahun 1635.
Judulnya Pengurbanan Ishak. Saya pernah melihatnya di Museum Hermitage di St.
Petersburg. Saya masih ingat: di kanvas itu tampak Ibrahim menutup wajah anaknya seraya ia
menghunus pisaunya. Ia tak akan tega melihat mata si bocah dalam kesakitan.
Tapi yang menarik, Rembrandt tak melukiskan rasa gentar dan gementar Ibrahim
sebagaimana diuraikan Kierkegaard. Dalam mengutip kisah Kitab Suci itu, sang pemikir
Kristen Denmark itu lebih memilih fokus pada perintah Tuhan yang pertama: Ibrahim, atau
Abraham, harus menyembelih anaknya. Kierkegaard tak melanjutkan bacaannya ke perintah
Tuhan yang kedua. Rembrandt, sebaliknya, justru menangkap momen itu. Sebagaimana
ditulis dalam Kitab Kejadian:
22:10 Sesudah itu Abraham mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk
menyembelih anaknya.
22:11 Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepadanya: Abraham, Abraham.
Sahutnya: Ya, Tuhan.
22:12 Lalu Ia berfirman: Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia.
Dalam kanvas itu, tampak tangan kanan Ibrahim dipegangi dan dicegah oleh tangan malaikat.
Pisau itu terjatuh. Tangan kirinya masih menutupi wajah si bocah. Matanya menatap ke arah
sang malaikat yang lembut: biji matanya yang hitam itu tampak sebagai bagian dari senyum
yang belum merekah.
Menurut catatan, Rembrandt melukis adegan itu ketika ia, dalam usia 29, baru saja kematian
anaknya yang masih bayi. Agaknya ini membuat lukisannya lebih peka kepada kepedihan
atas hilangnya nyawa seorang anak yang direnggutkan tanpa dosa, tanpa sebab. Ibrahim-nya
bukan yang sedang mematuhi titah pertama Tuhan.
Rembrandt mungkin akan lebih suka membaca tafsir Emmanuel Lvinas. Filosof Prancis
yang erat dengan tradisi Yahudi itu mengkritik pengutaraan Kierkegaard tentang Ibrahim.
Dalam esainya, A propos Kierkegaard Vivant, ia menulis, bahwa Abraham mematuhi
suara yang pertamaitu menakjubkan: bahwa ia punya cukup jarak dengan kepatuhan itu
hingga bisa mendengar suara keduaitu esensial.
Sebab, di saat itulah ia melihat kembali wajah nyaris seorang kurban. Wajah bocah. Wajah
manusia. Wajah yang tak tepermanai. Yang tak bisa jadi obyek. Wajah yang menyebabkan
perintah Tuhan punya makna: Jangan engkau membunuh.
Dan bagi Lvinas, sebagaimana halnya bagi kita, tiap wajah mengetuk diri kita. Kita pun
memberi respons, bertanggung jawab, tak mudah sewenang-wenang. Kita ingat Ibrahim di
saat itu. Ia jadi berarti karena itu.
Majalah Tempo Edisi Senin, 22 November 2010
anick
in
Agama,
All
Posts,
Identitas,
Indonesia.
Di luar sel kantor Kepolisian Daerah Jakarta Raya itu sebuah statemen dimaklumkan pada
pertengahan Juni yang panas: SBY Pengecut!
Yang membacakannya Abu Bakar Baasyir, disebut sebagai Amir Majelis Mujahidin
Indonesia, yang pernah dihukum karena terlibat aksi terorisme. Yang bikin statemen Rizieq
Shihab, Ketua Front Pembela Islam, yang sedang dalam tahanan polisi dan hari itu
dikunjungi sang Amir.
Dari kejadian itu jelas: mencerca Presiden dapat dilakukan dengan gampang. Suara itu tak
membuat kedua orang itu ditangkap, dijebloskan ke dalam sel pengap, atau dipancung.
Sebab ini bukan Arab Saudi, wahai Saudara Shihab dan Baasyir! Ini bukan Turki abad ke17, bukan pula Jawa zaman Amangkurat! Ini Indonesia tahun 2007.
Di tanah air ini, seperti Saudara alami sendiri, seorang tahanan boleh dikunjungi ramai-ramai,
dipotret, didampingi pembela, tak dianggap bersalah sebelum hakim tertinggi memutuskan,
dapat kesempatan membuat maklumat, bahkan mengecam Kepala Negara.
Di negeri ini proses keadilan secara formal dilakukan dengan hati-hatikarena para polisi,
jaksa, dan hakim diharuskan berendah hati dan beradab. Berendah hati: mereka secara
bersama atau masing-masing tak boleh meletakkan diri sebagai yang mahatahu dan mahaadil.
Beradab: karena dengan kerendahan hati itu, orang yang tertuduh tetap diakui haknya untuk
membela diri; ia bukan hewan untuk korban.
Keadilan adalah hal yang mulia, Saudara Shihab dan Baasyir, sebab itu pelik. Ia tak bisa
digampangkan. Ia tak bisa diserahkan mutlak kepada hakim, jaksa, polisijuga tak bisa
digantungkan kepada kadi, majelis ulama, Ketua FPI, atau amir yang mana pun. Keadilan
yang sebenarnya tak di tangan manusia.
Itulah yang tersirat dalam iman. Kita percaya kepada Tuhan: kita percaya kepada yang tak
alang kepalang jauhnya di atas kita. Ia Yang Maha Sempurna yang kita ingin dekati tapi tak
dapat kita capai dan samai. Dengan kata lain, iman adalah kerinduan yang mengakui
keterbatasan diri. Iman membentuk, dan dibentuk, sebuah etika kedaifan.
Di negeri dengan 220 juta orang ini, dengan perbedaan yang tak tepermanai di 17 ribu pulau
ini, tak ada sikap yang lebih tepat ketimbang bertolak dari kesadaran bahwa kita daif.
Kemampuan kita untuk membuat 220 juta orang tanpa konflik sangat terbatas. Maka amat
penting untuk punya cara terbaik mengelola sengketa.
Harus diakui (dan pengakuan ini penting), tak jarang kita gagal. Saya baca sebuah siaran pers
yang beredar pada Jumat kemarin, yang disusun oleh orang-orang Indonesia yang prihatin:
ternyata, sejarah Indonesia tidak bebas dari konflik dengan kekerasan. Sejarah kita
menyaksikan pemberontakan Darul Islam sejak Indonesia berdiri sampai dengan pertengahan
1960-an. Sejarah kita menanggungkan pembantaian 1965, kekerasan Mei 1998, konflik
antargolongan di Poso dan Maluku, tindakan bersenjata di Aceh dan Papua, sampai dengan
pembunuhan atas pejuang hak asasi manusia, Munir.
Ingatkah, Saudara Baasyir dan Saudara Shihab, semua itu? Ingatkah Saudara berapa besar
korban yang jatuh dan kerusakan yang berlanjut karena kita menyelesaikan sengketa dengan
benci, kekerasan, dan sikap memandang diri paling benar? Saudara berdua orang Indonesia,
seperti saya. Saya mengimbau agar Saudara juga memahami Indonesia kita: sebuah rahmat
yang disebut bhineka-tunggal-ika. Saya mengimbau agar Saudara juga merawat rahmat itu.
Merawat sebuah keanekaragaman yang tak tepermanai sama halnya dengan meniscayakan
sebuah sistem yang selalu terbuka bagi tiap usaha yang berbeda untuk memperbaiki keadaan.
Indonesia yang rumit ini tak mungkin berilusi ada sebuah sistem yang sempurna. Sistem yang
merasa diri sempurnadengan mengklaim diri sebagai buatan Tuhanakan tertutup bagi
koreksi, sementara kita tahu, di Indonesia kita tak hidup di surga yang tak perlu dikoreksi.
Itulah yang menyebabkan demokrasi penting dan Pancasila dirumuskan.
Demokrasi mengakui kedaifan manusia tapi juga hak-hak asasinyadan itulah yang
membuat Saudara tak dipancung karena mengecam Kepala Negara.
Dan Pancasila, Saudara, yang bukan wahyu dari langit, adalah buah sejarah dan geografi
tanah air inidi mana perbedaan diakui, karena kebhinekaan itu takdir kita, tapi di mana
kerja bersama diperlukan.
Pada 1 Juni 1945, Bung Karno memakai istilah yang dipetik dari tradisi lokal, gotongroyong. Kata itu kini telah terlalu sering dipakai dan disalahgunakan, tapi sebenarnya ada
yang menarik yang dikatakan Bung Karno: gotong-royong itu paham yang dinamis, lebih
dinamis ketimbang kekeluargaan.
Artinya, gotong-royong mengandung kemungkinan berubah-ubah cara dan prosesnya, dan
pesertanya tak harus tetap dari mereka yang satu ikatan primordial, ikatan kekeluargaan.
Sebab, ada tujuan yang universal, yang bisa mengimbau hati dan pikiran siapa sajayang
kaya dan yang tidak kaya, kata Bung Karno, yang Islam dan yang Kristen, yang bukan
Indonesia tulen dengan yang peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.
Gotong-royong itu juga berangkat dari kerendahan hati dan sikap beradab, sebagaimana
halnya demokrasi. Itu sebabnya, bahkan dengan membawa nama Tuhanatau justru karena
membawa nama Tuhansiapa pun, juga Saudara Baasyir dan Saudara Shihab, tak boleh
mengutamakan yang disebut Bung Karno sebagai egoisme-agama.
Bung Karno tak selamanya benar. Tapi tanpa Bung Karno pun kita tahu, tanah air ini akan
jadi tempat yang mengerikan jika egoisme itu dikobarkan. Pesan 1 Juni 1945 itu patut
didengarkan kembali: Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya
dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa.
Dengan begitulah Indonesia punya arti bagi sesama, Saudara Shihab dan Baasyir. Ataukah
bagi Saudara ia tak punya arti apa-apa?
~ Majalah Tempo Edisi. 17/XXXVII/16 22 Juni 2008~
anick
in
All
Posts,
Identitas,
Indonesia,
Nasionalisme,
Sejarah.
KADANG-KADANG saya berpikir, apa gerangan yang ada dalam pikiran bapak saya
beberapa saat sebelum ia ditembak mati. Kadang-kadang saya ingin membayangkan, ia
menyebut nama Indonesia di bibirnya, atau Indonesia merdeka, tapi tentu saja ini satu
imajinasi klise, dan sebab itu tiap kali muncul cepat-cepat saya stop. Bukan mustahil bapak
ketakutan di depan regu tembak pasukan pendudukan Belanda itu. Atau ia pasrah? Yang
agaknya pasti, beberapa puluh menit, atau beberapa puluh detik kemudian, seluruh ketakutan
(atau sikap pasrah, atau jangan-jangan kecongkakan yang tampil seperti keberanian) pun
punah: peluru-peluru menembus batok kepalanya. Darah muncrat, ia roboh, tak akan pernah
pulang lagi.
Di tengah perkabungan, seluruh keluarga kami ketakutan dan menangis. Hanya ibu yang
teguh: seperti tiang rumah yang ajaib. Ia menangis tapi ia menenangkan kami semua dan
mengambil alih persiapan pemakaman dan perkabungan yang tergesa-gesa itu.
Kini saya mencoba mengerti kenapa ibu dapat demikian kuat. Ia mungkin sudah tahu, hidup
suaminya akan berakhir seperti itu, atau sedikit lebih baik ketimbang ditembak mati. Ibu telah
menyaksikan bapak keluar-masuk penjara; ia bahkan menyertai bapak ke pembuangan nun di
Digul, di Papua, yang tak terkirakan jauhnya. Adakah ia ikhlas? Ibu tak pernah berbicara
tentang suaminya dengan kekaguman kepada seorang pejuang; ia hanya sesekali berbicara
tentang sikap keras hati laki-laki itu: ada saat-saat ia seperti bertapa buat menetralisir musuhmusuhnya (yang tak pernah dijelaskan kepada saya siapa), ada saat-saat ia meninggalkan
rumah untuk sebuah rapat gelap di atas perahu, ada saat-saat ia tak putus-putusnya
mendengarkan radio. Selama itu, ibu tak pernah berbicara tentang Indonesia.
Barangkali karena bagi generasi aktivis politik masa ituyang terlibat langsung dalam
pergerakan nasional sejak awal abad ke-20Indonesia sudah dengan sendirinya hadir
dalam pikiran, sehingga mulut tak perlu mengucapkannya lagi. Atau kata Indonesia dengan
sendirinya sebuah perlawanan bagi kata Hindia Belanda. Karena setiap saat dalam aktivitas
politik masa itu adalah perlawanan, kata Indonesia sudah tersirat ketika orang siap masuk
penjara. Atau dibuang. Atau ditembak mati.
Ibu membesarkan sisa anak-anaknya yang belum dewasa dengan praktis: mereka harus
makan dan bersekolah. Hampir hanya itu. Dalam percakapan keluarga kami sama sekali tak
ada pesan untuk cinta tanah air. Tapi saya tumbuh, dan saya kira juga saudara-saudara
sekandung saya, dengan ingatan tentang bapakdan bersama itu, diam-diam, Indonesia
pun menongkrongi diri kami, melibatkan kami. Artinya jadi sangat berarti. Setidaknya saya
tak bisa membayangkan diri saya hidup tanpa pertautan dengan Indonesia.
Saya yakin, saya tak sendirian. Bersama yang lain-lain, saya tak akan bisa merumuskan
dengan fasih apa arti Indonesia bagi saya. Tapi saya melihat teman-teman saya yang tanpa
merumuskan apa pun berdiri menyanyikan Padamu Negeri seraya siap untuk melakukan
tindakan besar bagi orang banyak di negerinyamisalnya melawan mereka yang menindas.
Saya melihat Upik dan Udin yang berangkat ke Aceh untuk membantu mereka yang
terhantam tsunami dan memasang bendera merah-putih kecil di ransel mereka. Saya
mengenal Tati dan Toto yangmeskipun tak menyukai apa saja yang politikberkacakaca matanya ketika mendengar Indonesia Raya dengan musik yang agung.
Apa yang mendorong mereka demikian? Mungkin karena tanah air adalah ingatan dan
harapan yang menyangkut tubuh: harum padi yang terkenang, rasa rempah yang membekas,
deras arus yang tak bisa dilupakan, suara ayah yang memuji, lagu ibu yang sejuk, batuk
kakek, dan cerita-cerita kanak yang mengendap dalam kesadaran. Juga harapan: rumah kelak
akan dibangun, anak-anak akan beres bersekolah, karier akan dicapai. Juga harapan akan
melakukan sesuatu yang berarti.
Tapi tentu saja ada mereka yang menolak itu semuaatau tak merasa terpaut dengan tanah
air yang mana pun. Saya kira, mereka yang bersetia kepada gagasan Darul Islam yang tak
berpeta bumi itu adalah contoh yang baik; mereka berpindah dari satu wilayah ke wilayah
lain, tanpa bertaut ke masing-masing tempat. Mereka tak bertanah air, sebab tanah air adalah
bagian dari bumi dan badan, sedang mereka yakin bahwa hukumyang bagi mereka adalah
segala-galanyatak terpaut pada bumi dan badan, ruang dan waktu tertentu. Tak akan
mengherankan bila Indonesia bagi mereka tak berarti apa-apa. Geografi mereka sederhana:
sebuah tempat adalah bagian dari wilayah musuh atau wilayah diri. Tak ada yang lain.
Kita tahu mereka siap untuk mati, untuk ditembak mati. Tapi betapa berbedanya dengan
mereka yang merasa terpaut dengan sebuah tempat hidup dan tempat mati. Mungkin sekali di
depan regu tembak itu bapak saya tak menyebut nama Indonesia dengan tekad utuh.
Mungkin sekali ibu saya bekerja dengan tekad untuk anak-anaknya bukan untuk masa depan
negeri ini. Tapi bagi saya mereka seperti kebanyakan kita: bagian dari sesama, yang hidup
fana, di sebuah masa, di sebuah tempat, dan tak pernah bisa ditiadakan dengan hukum dan
senjata.
~Majalah Tempo Edisi 17 Agustus 2009~
by
anick
in
Agama,
All
Posts,
Multikulturalisme.
Jauh di balik dendam dan perdamaian, terhantar ingatan. Seperti sebuah samudra. Di
sana Tuan memilih mana lokan yang ingin Tuan takik dari dalam laut yang menyimpan masa
lalu itu, dan mana yang ingin Tuan campakkan. Ingatan tak pernah utuh. Masa silam tak
pernah satu. Ada kenangan yang memilih damai. Ada waktu lampau yang mendorong Tuan
berseru: Kami ingin menuntut balas. Ada politik ingatan, ada politik melupakan. Keduanya
menganggap bahwa sejarah adalah semacam fotokopi dari pengalaman yang telah
tersimpan. Tapi bisakah?
Siapa pun yang menengok kembali sebenarnya tak pernah sepenuhnya kembali. Saya tak
berbicara tentang Ambon di hari ini, tapi tentang sebuah wilayah lain yang juga mengalami
trauma: Rwanda, di tahun 1994, di mana dalam seratus hari sekitar 800 ribu orang Tutsi
dibunuh oleh orang Hutu karena sejarah yang terasa pahit.
Sejarah yang terasa pahittapi di sini pun orang tak bisa sepenuhnya menengok kembali.
Dunia luar memang bisa bicara bahwa, di negeri yang belum modern ini, dendam
antarkedua suku itu tertanam akarnya berabad-abad. Tapi cerita Philip Gourevitch dalam We
Wish to Inform You that Tomorrow We Will Be Killed with Our Families, sebuah buku yang
memukau tentang kekejaman di negeri Afrika itu, menunjukkan bahwa akar permusuhan itu
punya umur dan bentuk yang lain: sebuah gabungan antara kenyataan sosial-ekonomi dan
sebuah mitos yang belum tua beredar.
Sejarah Rwanda, tulis Gourevitch, mengandung bahaya. Tak ada tradisi historiografi, tak
ada peninggalan alfabet; kisah turun-menurun adalah cerita lisan. Yang direkonstruksi para
peneliti di universitas selamanya bersifat dugaan. Maka, tak ada sebenarnya yang tahu pasti
siapa yang lebih asli di antara orang Tutsi dan orang Hutu. Tak jelas siapa yang datang
lebih dulu ke wilayah yang semula dihuni orang Twa, yang kini tersisih itu.
Dalam kenyataannya, kedua kelompok itu memakai bahasa yang sama, memeluk agama yang
sama (sebagian besar, 65 persen, Katolik, dan 17 persen menganut agama nenek-moyang,
selebihnya adalah Protestan dan Islam), dan antarkedua suku itu telah terjadi percampuran
sehingga ada etnografer yang menyimpulkan bahwa sebenarnya keduanya tak bisa disebut
sebagai dua kelompok etnis yang jelas bedanya.
Tapi ada sesuatu yang menyebabkan mereka memilih politik ingatan yang berbeda. Terutama
karena orang Tutsi umumnya hidup beternak, dan orang Hutu berladang, dan yang pertama
dikaitkan dengan posisi yang lebih tinggi sedang yang kedua lebih jelata. Dalam sejarah
kerajaan lama Rwanda, yang jejaknya konon sampai ke akhir abad ke-14 dengan seorang raja
yang disebut sebagai Mwami, orang Tutsi memang menduduki jabatan politik dan militer,
sementara orang Hutu jadi bawahan. Konflik pernah meledak di tahun 1959 ketika seorang
aktivis politik Hutu diserang orang Tutsi dan dikabarkan mati. Segera, sebuah revolusi
sosial meletus. Orang Tutsi diserbu, rumah-rumah dibakarsementara pasukan Belgia,
wakil kolonialisme yang ada di sana, tak melindungi mereka.
Dalam proses itu, akhirnya beda antara Hutu dan Tutsi lebih ditentukan oleh hubungan
dengan kekuasaan negara. Untuk mengukuhkannya, keduanya mengembangkan kebudayaan
yang makin berbeda secara negatif: apa yang Hutu hanya baru jelas bila ditampilkan
sebagai bukan Tutsi, dan sebaliknya. Ingatan akan perbedaan pun kian dipertebal, juga
dalam soal jasmani: orang Hutu umumnya tambun dan berparas bulat, orang Tutsi ramping
berparas panjang; orang Hutu berkulit gelap, orang Tutsi kurang hitam. Meskipun
perkecualian tak sedikit didapatkan, beda itu akhirnya dibuat sah oleh sebuah kekuatan yang
ekspansif dengan pretensi ilmiah dari luar: orang Eropa. Mereka masuk ke suku-suku Afrika,
menulis etnografi, mengukur panjang hidung mereka, dan memilihkan ingatan untuk
mendefinisikan mereka.
Di tahun 1863, seorang Inggris bernama John Hanning Speke datang ke wilayah itu, dan
pulang dengan sebuah teori yang sebenarnya mengulang purbasangka Barat: bahwa
peradaban di Afrika Tengah adalah berkat jasa bangsa yang lebih tinggi tubuhnya, lebih
runcing bentuknya, yang mirip dengan orang Eropa, yakni suku yang berasal dari Ethiopia,
anak-cucu Daud dalam Injil. Mereka, misalnya orang Tutsi, tentu saja lebih unggul
ketimbangi ras Negroid yang pribumi.
Dalam karyanya, Journal of the Discovery of the Source of the Nile, bahkan Speke punya
rujukan yang ajaib: cerita dalam Kitab Kejadian, tentang Kanaan, anak Ham, yang dikutuk
Nuh untuk menurunkan para budak. Bagi Speke, seperti bagi banyak orang Eropa semasanya,
kutukan Nuh itu adalah awal nasib orang Negroid. Hanya peradaban dari luar yang bisa
menyelamatkan mereka. Ia tentu saja berbicara tentang peradaban Eropa. Tapi ia juga
menyebut peran suku Tutsi, misalnya, yang dianggapnya sebagai (dalam kutipan Gourevitch)
orang Nasrani yang hilang.
Ini, tentu, sebuah fantasi kolonialisme. Tapi kolonialisme membubuhkan luka yang dalam ke
dalam ingatan mereka yang pernah dijajah. Di tahun 1992, Leon Mugesera, juru bicara Kuasa
Hutu, menyerukan agar orang Tutsi kembali saja ke Ethiopia, melalui Sungai Nyabarongo.
Ketika mereka tak kembali, pembantaian dimulai. Di bulan April 1994, tulis Gourevitch,
Sungai itu sesak oleh mayat orang-orang Tutsi, dan puluhan ribu tubuh hanyut sampai ke
tepi Telaga Victoria.
Kita tak tahu adakah juga hanyut rasa dendam. Sebab, jauh di balik pembantaian atau salam
damai, tersembunyi ingatan, yang tak pernah berdiri utuh, bersih, sendirian.
by
anick
in
All
It
is
morning,
Senlin
says,
Should I not pause in the light to remember God?
Posts,
and
in
Sejarah,
Tokoh.
the
morning
Conrad Aiken.
Ini pagi, kata Kartini, dan bila pagi seperti ini, ia akan berangkat kerja, naik ojek dengan
motor yang guncang, terpekur di sadel plastik yang gelap, mungkin mengingat ujung mimpi,
mungkin mimpi.
Ini pagi, kata Kartini, dan bila pagi seperti ini, ia akan turun di pengkol gang yang patah,
sebuah lorong dengan nama seorang haji, dan akan menyusuri aspal kusam, dan akan
membayangkan dirinya menyanyi, mungkin sebuah lagu Dewi Persik, mungkin sejumlah
goyang, sejumlah angan-angan, mungkin fantasi.
Ini pagi, kata Kartini, dan bila pagi seperti ini, di tempat kerja itu, di sebuah panti pijat, si
asisten pemilik usaha akan berkata kepadanya: Jangan lupa gembok. Dan ia akan
mengambil di lokernya celana-dalam seragam yang hijau itu, dengan retsliting mengkilap,
dengan gembok kecil yang merah.
Jangan lupa gembok. Aku tak akan lupa, tak akan lupa. Gembok itu melindungi perempuan
pemijat dari dosa, kata pegawai jawatan agama kabupaten; gembok adalah teknologi
kealiman, peranti iman, pelindung harmoni keluarga, perisai kesehatan jasmani & rohani.
Tentu, tentu, tentu. Amin, amin, amin, kata Kartini, kata Kardinah, kata perempuanperempuan pemijat, kata asisten pemilik usaha, dan tak seorang pun yang tak patuh.
Ini pagi, kata Kartini, dan tiap pagi di tempat ini selalu dimulai dengan ingatan tentang dosa,
kekotoran manusia, atau najis, Tuhan yang mengirimkan sifilis, insan yang menyembunyikan
kemungkinan-kemungkinan jorok, syahwat yang hanya sedetik dirasakannya, dan fatwa yang
menyuntikkan ke jantungnya segumpal rasa bersalah seperti dokter menyuntikkan serum
kuda.
Siapa yang bersalah? Ini pagi, kata Kartini, jam-jam pertama ia mencari upah, tak mencari
laki-laki. Ini pagi, kata Kartini, benarkah ia selamanya paham apa yang dikehendaki lakilaki? Suaminya yang cemburu tapi lapar dan malas mengantar si Ujang ke sekolah; pak cik
yang tiap Jumat datang menagih utang karena ia sendiri hidup dari utang; satpam yang selalu
sangat ramah kepada istri pemilik warteg di pinggir jalan, dan tukang ojek yang selalu
berkata lewat kaca spion sepeda motornya, seperti mau mengejek, Aku tak suka bau badan.
Siapa yang bersalah? Laki-laki yang tak mau memakai gembok di celana-dalam, kata
Kardinah: bupati yang selalu berpikir tentang seks; anggota dewan yang percaya ada gerakan
pengedar syahwat di selatan khatulistiwa; komandan koramil yang punya senyum mesum;
nyonya kepala jawatan agama yang kalang-kabut mengintip film begituan dan merasa
betapa gemuruhnya godaan dan asyiknya kenikmatan, astaghfirullah, astaghfirullah.
Jangan lupa gembok. Laki-laki adalah otak, kata ketua Majelis Ulama setempat, perempuan
adalah badan. Laki-laki matahari, perempuan bumi, katanya lagi. Yang di dekat langit dekat
pula dengan sumber terang dan wahyu, yang dekat bumi mudah tersenggol lendir dan
gonorea. Surya melahirkan tenaga, bumi melahirkan bahan. Memang dari sini datang bau
harum, tapi juga racun. Jangan lupa gembok. Jangan lupa penutup rambut di kepala. Jangan
lupa penutup lengan dan tungkai kaki. Wahai, jangan lupa dari mana datangnya dosa: dari
mata turun ke vagina. Jangan lupa gembok, jangan lupa kunci. O, ya. Jangan lupa celanadalam.
Ini pagi, kata Kartini. Pagi adalah menunggu tamu. Pagi adalah dag-dig-dug. Pagi adalah
suara tokek di dinding yang ditebak seperti ramalan feng-sui: rezeki rugi rezeki rugi
rezeki tidak. Dan Kardinah, dan Rukmini, dan Badriyah, dan Sri Urip, dan Zakiyah, dan
seluruh tim pemijat itu, mereka tahu bahwa di antara mereka cemas adalah sesuatu yang sah
dan terduga: para tamu tak akan gampang dan tenang datang ke sini, sebab para tamu adalah
orang yang terhormat, dan orang yang terhormat tak mau dituduh mendekati sesuatu yang
harus diproteksi dengan sepotong logam berwarna merah.
Ini pagi, kata Kartini. Ini pagi, Stellaataupun siapa nun di luar sana. Di ruang ini hari
dimulai dengan kewaspadaan. Atau kecurigaan. Atau penghinaan. Dan kaum yang lapar,
kaum yang terhina, berderet termangu, duduk, bersalah sebelum diupah.
Ini
pagi,
kata
Kartini,
aku
turun
dari
gelap
dan
dengan
angin
yang
menghuni,
aku
berangkat,
entah
ke
mana.
Sepucuk
kunci
di
kantungku,
arlojiku
kuputar
siap.
Langit
menyuram,aku
turun
tangga.
Ada
bayang-bayang
di
jendela,
melintas,
juga sepotong awan di atas,dan sesosok tuhan di antara bintangaku akan pergi
~Majalah Tempo, Edisi. 38/IX/28 April 04 Mei 2008~
anick
in
All
Posts,
Buku,
Identitas,
Islam,
Kisah,
Sastra.
ANAK muda itu, yang diberi nama Irfantokoh dalam novel Mehmet Efe, Mizraksis
Ilmihal bercerita tentang sebuah gairah yang menghidupkan pelbagai hal besar dan
mematikan beberapa hal kecil. Ia adalah mahasiswa Fakultas Sejarah Universitas Istanbul.
Tapi ia datang dari sebuah kota agak di udik. Ia datang dari keluarga lapisan bawah kelas
menengah. Ia orang pertama dalam keluarganya yang masuk ke universitas, anjungan
pertama untuk naik jenjang sosial di Turki. Dan di Kota Istanbul yang hiruk, beragam,
membingungkan, mempesona, dan sekaligus melelahkan itu, ia menemukan sebuah
komunitas: sebuah jemaah, juga sebuah cita-cita yang agung.
Inilah definisi dirinya yang ia nyatakan sendiri: Seorang muslim, soleh, Islamis, pejuang
revolusi yang radikal, fundamentalis, pro-Iran, sufi, dsb. seseorang yang ada di antara
semua itu. Ia ikut dalam pertemuan-pertemuan agama, dalam demonstrasi anti-Israel dan
anti-Amerika, mendengarkan diskusi panel, mendatangi toko buku Islam, dan di koridor
universitasnya menyatakan, Kamilah pelaku, pahlawan dari citra yang tumbuh dalam mimpi
kami, yang dibangkitkan oleh revolusi Iran.
Anak muda itu, yang diberi nama Irfan (yang saya ketahui dari tulisan Nilfer Gle dalam
jurnal Ddalus nomor musim dingin tahun 2000), agaknya bukan orang yang sangat asing
bagi kita. Mungkin iaseperti layaknya tokoh novel gagal yang cuma menarik untuk jadi
sebuah tesisadalah sebuah contoh soal. Nilfer Gle, guru besar sosiologi di Universitas
Bogazici di Istanbul, memang tidak sedang membahas sebuah karya sastra. Dan tampaknya
Mizraksis Ilmihal juga lebih sesuai untuk jadi sarana bagi sebuah risalah: bagaimana politik
Islamis hidup di tepian modernitas.
Dalam novel Mehmet Efe ini, Irfan semula hanya memautkan diri dengan hal-hal besar:
pembebasan, perubahan masyarakat secara revolusioner, keselamatan dunia dan akhirat, citacita tentang dunia yang ideal. Baginya, gairah untuk itu begitu penting, hingga kenikmatankenikmatan diri terasa mengganggu. Dirinya sendiri dalam ruang privat harus ditiadakan.
Hubungan yang dekat jadi soal yang kecil. Mungkin mengacau. Tapi novel menjadi novel
karena sesuatu berubah. Irfan ketemu seorang gadis.
Sudah bisa diduga: Irfan akan tertarik dan ia akan terganggu. Bukankah baginya seorang
muslim tidak jatuh cinta kepada seorang perempuan, melainkan kepada Allah?
Tapi ada yang penting dalam Mizraksis Ilmihal: mahasiswa yang baru datang itu, juga
seorang muslimah, bukan saja menggugat Irfan karena soal lelaki dan perempuan, tapi juga
menjadi soal antara cita-cita besar dan diri yang kecil. Ia datang ke kampus buat mendaftar.
Hari itu para aktivis Islamis sedang memprotes larangan atas jilbab. Irfan mengajaknya
untuk ikut dalam aksi boikot. Tapi gadis itu menolak. Pernahkah kalian sebelumnya tanya
pendapatku? Kalian laki-laki yang berpidato, dan kami cuma dekor, he?
Kemudian kita tahu lebih banyak tentang gadis itu, dari catatan hariannya. Ia melihat para
aktivis itu berlalu-lalang di koridor seakan-akan revolusi akan terjadi besok. Ada yang
menyesalkan bahwa laki-laki muslim terlalu pasif. Tiap orang dengan segera siap
melakukan penjantanan atau maskulinisasi (erkekselesiyor). Mereka pun memberinya
buku-bukuyang menyerukan agar ia jadi idealis, pejuang, gerilyawan, untuk mengubah
segala hal dari dasar. Dan tiba-tiba ia seperti dituding: Saya kecil. Saya lemah. Saya cewek.
Saya cewek. CEWEK.
Tiba-tiba pula ia menemukan kembali identitasnya. Cewek, lemah, kenapa tidak? Dari sini, ia
pun menampik peran kolektif yang disiapkan di pundaknya. Secara ironis, ketika ia kembali
menemukan kelemahannya, ia menemukan dirinya, dan juga sebuah daya. Dari sini ia
mampu mengecam ambisi Islamis untuk mengubah dunia secara radikal.
Irfan juga berubah. Cinta dan soal-soal kecil bukan lagi mengacaunya. Justru sebaliknya:
membebaskan. Aku akan hidup bukan dengan permusuhanku, tapi dengan
persahabatanku. Aku akan puas dengan hal-hal kecil. Aku tak sanggup menanggungkan
hal-hal universal lagi.
Dengan itu, dunia tak hendak diubahnya lagi dengan akar yang dicabut. Persoalan yang
belum dikemukakan Irfan adalah bagaimana dengan teman-temannya dulu, yang militan itu.
Ketika Islam hidup di sebuah ruang yang plural, orang-orang sekuler memang sering
mencemooh, seperti ketika mereka mencibir jilbab. Tapi haruskah Islam menampik dunia
yang sekuler itu, yang plural itu, dengan mempertahankan batas yang gagah dan total?
Bukankah hidup tak bisa mengelakkan hal-hal kecil, yang wajar tapi juga sering tak diduga
dan sebab itu batas yang total hanya garis imajiner yang datang karena ketakutan?
Di akhir novel, Irfan punya imajinasi lain: ia membelikan saputangan sutra buat si pacar, ia
menikahinya, memasak bersama dengannya, membaca bersama. Yang dibangunnya
akhirnya sebuah hidup yang bersahaja tapi berarti, bukan sebuah kanal besar untuk ke
kesempurnaan, seperti Kanal Laut Putih yang dibangun Stalin, sebuah saluran untuk
membuktikan bahwa alam bisa dikalahkan oleh idedan untuk itu ratusan ribu orang bisa
dikorbankan.
~Majalah Tempo, Edisi. 09/XXIX/01 7 Mei 2000~
Banyak yang cemerlang, banyak yang membosankan, tapi sedikit yang segalak pidato Isa
Anshary dalam majelis yang bersidang di Bandung itu:
Kalau saudara-saudara mengaku Islam, sembahyang secara Islam, puasa secara Islam, kawin
secara Islam, mau mati secara Islam, saudara-saudara terimalah Islam sebagai Dasar Negara.
[Tapi] kalau saudara-saudara menganggap bahwa Pancasila itu lebih baik dari Islam, lebih
sempurna dari Islam, lebih universal dari Islam, kalau saudara-saudara berpendapat ajaran
dan hukum Islam itu tidak dan tidak patut untuk dijadikan Dasar Negara orang demikian
itu murtadlah dia dari Agama, kembalilah menjadi kafir, haram je-nazahnya dikuburkan
secara Islam, tidak halal baginya istri yang sudah dikawininya secara Islam.
Pidato itu, dicatat dalam salah satu dari 17 jilid Risalah Perundingan Tahun 1957, yang
diterbitkan Sekretariat Konstituantedan dikutip dalam buku Adnan Buyung Nasution,
Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesiasebenarnya tak menunjukkan
perkembangan baru dalam sikap Isa Anshary. Sudah pada tahun 1951, dalam majalah
Hikmah, ia menyatakan, Hanya orang yang sudah bejat moral, iman dan Islamnya, yang
tidak menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia.
Tentu harus dicatat bahwa Isa Anshary, Napoleon itu, tak memilih jalan perjuangan
bersenjata untuk itu; ia dan partainya, Masyumi, membedakan diri dari cara Darul Islam yang
pada masa itu bergerilya hendak merobohkan Republik dari hutan-hutan Jawa Barat. Namun
mungkinkah sikap yang demikian mutlakyang mengutuk siapa saja yang tak sependirian
dengan kata murtad, kafir, atau setidaknya bejat moralpada akhirnya bisa
menghindar dari kehendak menampik dan menyingkirkan secara mutlak pula?
Jarak antara kekerasan dan sikap yang tak mengizinkan perbedaan hanya terbentang beberapa
sentiseperti terbukti dalam sejarah ketika dalil yang absolut dipergunakan dalam bertikai.
Kita tahu, riwayat agama-agama tak bersih dari darah dan kebengisan. Tentu saja tak hanya
agama: yang brutal terjadi tiap kali doktrin tergoda jadi totaliter, ketika ajaran dijejalkan ke
segala pojok hidup dan lubuk jiwa, ketika para ahli agamasebagaimana kaum ideolog
merasa diri jadi penyambung lidah Yang Maha Sempurna.
Yang sering diabaikan ialah bahwa tiap godaan totaliter, yang bermula dari bayangan tentang
kesempurnaan, selalu berakhir sia-sia. Bayangan tentang yang sempurna iniyang oleh
para psikoanalis akan disebut sebagai fantasipada hakikatnya lahir dan tumbuh dari rasa
risau tentang dunia yang apa boleh buat cacat. Ketika yang cacat tak kunjung dapat
dihilangkan, doktrin pun membentuk diri dengan menciptakan apa saja yang harus dikutuk
dan akhirnya dibinasakan: si bejat moral, si fasik, si murtad, si kontrarevolusioner, si
revisionis, si komunis, si teroris.
Tapi kita tahu, daftar itu tak akan habis. Masyarakat yang total tak akan pernah tercapai.
Negara Islam telah dicoba dalam sejarah, tapi jawaban selalu hanya sebuah iktikad baik
yang mencoba-coba.
Sebenarnya Isa Anshary tahu, dunia tak akan bisa dibereskan sekali pukul dan buat selamalamanya. Ia menganggap haram pandangan Bung Karno yang melihat gotong-royong
sebagai hakikat Pancasila. Sebab di sini, menurut dia, Tuhan yang Maha Esa dilebur dalam
kata gotong-royong.
Dengan kata lain, Tuhan yang Maha Sempurna tak sepatutnya dipertautkan dengan ikhtiar
bersama manusia yang masing-masing terbatas dan daif dan cacat. Tapi jika demikian,
bagaimana mungkin Tuhan diturunkan dari takhta kegaiban dan kesucian untuk mengurus
kehidupan politik yang mau tak mau harus dikerjakan oleh tangan-tangan yang terbatas,
terkadang cela?
~Majalah Tempo Edisi. 27/XXXV/28 Agustus 03 September 2006~
by
anick
in
All
Posts,
Indonesia,
Kisah.
Hutan tipis yang cuma sisa, burung penghabisan yang bersarang di tebing kering, dan
manusia terakhir yang terdesak di sebuah bumi yang kian panasimajinasi ini memang muram,
menakutkan. Tapi imajinasi ini juga bisa memudarkan ilusi: hidup ternyata bukan seperti
yang dibayangkan George W. Bush. Dengan mesin perang yang besar dan tiap kali
menghancurkan, dengan emisi karbon dioksida yang menghambur dari jutaan knalpot tak
henti-hentinya, dunia tak selamanya secerah, seramah, dan setenang gambar-gambar Norman
Rockwell atau iklan rokok Marlboro.
Tapi sebenarnya bukan hanya hari ini dipersoalkan apa yang terjadi.
Semenjak para ksatria dalam cerita wayang mbabat alas wanamerta membuka hutan dan
memperluas wilayah kekuasaan merekadan dengan ekspansi itu mempersempit daerah yang
dihuni para pertapa untuk bersemadi, telah muncul sebuah tema perseteruan dua sisi, atau dua
impuls, dalam sejarah.
Di satu sisi dorongan untuk merapatkan diri dengan gunung dan rimba, seperti ketika Arjuna
bertapa dalam lakon Begawan Mintaraga. Di sisi lain dorongan menang dan menaklukkan,
seperti ketika Arjuna mencari senjata terdahsyat untuk perang memperebutkan kerajaan. Di
satu sisi muncul kemampuan berempati kepada makhluk yang lain di tengah alam, seperti
ketika Rama bersahabat dengan Kera Sugriwa. Di sisi lain menonjol keampuhan destruktif
tanpa perasaan benci, seperti ketika Rama membunuh Kera Subali yang tak bersalah apa pun
kepadanya.
Di khazanah lain, dalam perumpamaan yang datang dari sejarah pemikiran Yunani, kedua
dorongan itu jadi keyakinan sejak orang membaca kalimat Heraklaitos di abad ke-5 sebelum
Masehi: phusis kruptesthai philei.
Dalam The Veil of Isis versi Inggris dari buku Pierre Hadot yang memaparkan sejarah
perkembangan pengertian alam dalam sejarah pemikiran Barat, diuraikan bahwa kalimat
termasyhur itu sebenarnya punya beberapa arti. Heraklaitos konon bermaksud berkata, Alam
suka menyembunyikan diri. Tapi ia juga bisa bermaksud mengatakan, Apa yang dilahirkan,
ia akan menghilang. Dalam tafsir Hadot, ketidakpastian makna itu khas pemikiran
Heraklaitos, yang keseluruhannya menunjukkan ketakjuban di depan misteriusnya
metamorfosis dalam alam, juga ketakjuban dalam menemukan hidup dan kematian. Alam
yang tak sepenuhnya dapat ditebak dan dipahami menyebabkan kita terkesima dan merunduk
takzim. Alam yang bisa berubah-ubah, bahkan punah, dan menunjukkan betapa fananya dia,
bisa
menguasainya
atau,
kalau
tidak,
merasa
perlu
Ada dalam diri manusia sesuatu yang bisa dilambangkan dalam sosok akan Prometheus.
Tokoh mitologi setengah dewa ini sering dikisahkan sebagai makhluk yang mencuri api yang
disembunyikan Mahadewa Zeus agar tak terjangkau oleh pengetahuan insani. Prometheus
membangkang dan memberikan rahasia itu kepada manusia. Dalam interpretasi Hadot, tokoh
inilah model semangat untuk meraih dan mengetahui apa yang paling dalam dan jauh,
sekaligus lambang kekuatan yang menyelidiki, menginterogasi, dan bahkan menyiksa. Di sini
kita temukan kutipan dari sepucuk surat Francis Bacon: Saya sebenar-benarnya
mendatangkan Alam dan anak-anaknya kepadamu, agar ia diikat untuk melayanimu dan
membuatnya jadi budakmu.
Dari kebrutalan itulah ilmu dan teknologi lahir dan tumbuh. Air gerimis dihentikan alirnya
dan diurai jadi H2SO4. Sugriwa abad ke-20 dimasukkan ke dalam kandang laboratorium
untuk jadi bahan eksperimen kimia, dengan nasib yang tak berbeda dari Subali yang dibantai
di hutan-hutan.
Namun ada juga sifat manusia yang seperti Orfeus, yang dengan nyanyi dan puisi merayakan
pohon hijau, bulan yang jernih, dan sungai deras di kaki bukit. Di sinilah kaum Romantik dan
para penyair seperti Goethe berdiri. Hadot pun mengutip sastrawan Jerman itu: Misterius
bahkan di terang siang, Alam tak membiarkan cadarnya ditanggalkan, dan apa yang tak
diinginkannya untuk terbentang di pikiranmu, tak dapat kau paksa.
Di kalangan para penyair ini alam dilambangkan sebagai Isis, dewi yang bertetek banyak,
yang bercadar. Sungguh menarik untuk mengetahui, dari penuturan The Veil of Isis, bahwa
Goethe meskipun ia menggemari eksperimen ilmu membenci Newton yang menyiksa cahaya
dengan membelah-belahnya jadi satuan-satuan warna. Cadar Isis telah dicoba direnggutkan,
sang Dewi hendak ditelanjangi.
Tentu saja tema pertentangan antara tauladan Prometheus dan Orfeus ini bukan sesuatu yang
baru dan dalam hal ini The Veil of Isis tak menyajikan wawasan yang segar. Bahkan agak
terbatas. Risalah sejarah pemikiran ini kurang mengemukakan pilihan-pilihan sulit yang
dihadapi manusia di benua di mana kelangkaan sesuatu yang lebih mendasar ketimbang
kemiskinan bukan saja membentuk ekonomi, tapi juga perilaku dan kebudayaan.
Kelangkaan pangan dan tempat hidup mendorong manusia membuat sawah dan rumah. Tapi
seakan-akan hendak menebus apa yang direnggutkan oleh cangkul, bajak, gergaji, dan
parang, manusia mencoba mengembalikan bayang-bayang keindahan pada teras sawah Bali,
jejak keabadian pada padi yang disebut sebagai Dewi Sri, gema suara alam pada bunyi merdu
yang ditiup dari bangsi. Rumah pun dibangun, tapi akhirnya tak hanya atap, dinding, dan
pintu. Ada arsitektur, cat merah daun jendela, dan kembang leli di dalam bokor. Yang terluka
hendak dipupus.
Tapi memang ada suatu dinamika lain yang datang, yang membuat kelangkaan seakan-akan
sisi yang tragis dari keserakahan. Itu agaknya yang menyebabkan Indonesia sebuah republik
yang bukan bagian dunia yang kaya jadi negeri No. 3 di dunia dalam menyumbang besarnya
emisi kotor yang mengganggu udara. Mereka yang pernah punya pengalaman traumatik
dalam kelangkaan, telah dengan cemas meraih, meraih, meraih. Dan hutan-hutan terbakar,
dan kota-kota cemar.
by
anick
in
All
Posts,
Bencana.
JIKA kota ini runtuh, pelan-pelan, dan air bah yang mengepungnya selama berhari-hari ini
datang sebagai perusak terakhir yang dingin dan diam, kota ini akan jadi sebuah cerita
tentang negeri yang dihabisi oleh kekuatan jahat yang tak tampak tapi ganas.
Jika hujan tak punya lagi bukit dan hutan, jika curah air tak punya tempat yang menyerap dan
menyimpannya, pasti ada kekuatan keji yang bekerja. Bidang bumi yang vital itu telah
direbut oleh para pembangun perumahan, dan segala aturan yang dibuat untuk mencegah
perebutan itu dilanggar dengan jelas setiap hari, dengan terang, seperti ayam putih terbang
siang. Maka jika kota ini runtuh, ia adalah sebuah kisah tentang para pejabat penjaga
peraturan yang telah tidur selama bertahun-tahun, gubernur-gubernur yang tak bergerak
karena kekenyangan suap, pejabat yang bodoh atau abai, tak melakukan apa-apa.
Jika kota ini runtuh, saya tak tahu bagaimana orang akan bertindak setelah ini. Mungkin
mereka akan kembali mengais-ngais nafkah dari apa saja yang tersisa dari kerusakan ini, dan
bekerja, makan, beribadah, nonton TV, mendengarkan radio, bersetubuh, jalan kaki, tanpa
menyalahkan siapa pun. Lalu lupa. Mungkin akan ada orang yang marah, tahu bahwa banjir
ini adalah anak haram birokrasi yang busuk dan bisnis yang tamak, tapi mereka marah
bersendiri. Mereka akan memaki-maki di gagang telepon atau di pinggir gang yang becek
dengan sejumlah kenalan dan, setelah itu, merasa tak berdaya dan terdiam.
Jika kota ini runtuh, mungkin karena orang-orang tak mengharap bahwa polisi, jaksa, dan
hakim akan menghukum sejumlah penjahat yang mendapat uang berlebihan seraya
menghancurkan Jakarta. Tak ada yang melihat ada jalan yang bisa ditempuh yang
menyelamatkan. Semua tahu bahwa untuk menghentikan persekutuan jahat itu akhirnya harus
ada sebuah alat: kekuasaan. Tapi sudah bertahun-tahun kita hidup dengan asumsi bahwa
kekuasaan adalah sesuatu yang jauh dan ajaib, bukan sesuatu yang bisa diproduksi oleh
proses politik.
Maka di bawah mistifikasi kekuasaan, orang pun mencari jalan lain dengan mistifikasi
ketidakkuasaan. Terkadang dalam bentuk doa, terkadang dalam petuah budi pekerti. Seakanakan banjir di hari ini adalah sesuatu yang tak bisa diterangkanyakni ia bukan sebuah
problem, melainkan sebuah misteri. Seakan-akan penyelewengan dan korupsi tak bisa
ditelaah sebab dan strukturnya, tapi diduga bersembunyi, sebagai akhlak yang bernoda, di
lubuk hati. Seakan-akan untuk lepas dari rawa-rawa sekarang kita hanya bisa dibisiki dan
diangkat oleh Yang Gaib.
Jika kota ini runtuh, pelan-pelan, kehancuran itu mungkin ditandai dengan hadirnya kembali
rasa tak berdaya di depan Yang Gaib: kita ketakutan mendengar petir dan memandang
mendung, seolah-olah itu adalah isyarat buruk dari kahyangan. Sebab setiap kali hujan turun
baru, kita tahu apa yang akan terjadi: jalan jadi sungai kembali, mungkin lebih luas dan deras.
Rumah, toko, bengkel, tempat kerja, akan musnah. Listrik mungkin akan mati. Telepon akan
rusak. Bandara akan tak terjangkau. Bus dan truk antarkota tak akan datang. Tak akan ada
konsumen, tak ada buruh, tak ada pedagang. Yang ada para pengungsi dan, di sana-sini,
pencoleng kecil di jalan di mana ribuan mobil merayap, dikepung air.
Air, ketakutan, kelumpuhan. Bayangkan: sebuah ibu kota republik, sebuah kota
metropolitan, sebuah ruang hidup dengan gedung-gedung pemerintah yang megah, dengan
bank-bank yang rajin, dengan Pasar Modal dan World Trade Center, dengan perguruan tinggi
yang bangga, dengan rumah sakit yang beperkakas piawai, dengan ratusan ribu lulusan
universitas, dengan para teknokrat yang pintar, dengan komputer yang tak kenal lelah
dengan kata lain: sebuah kota pada abad ke-21ternyata sebuah kota yang rentan dan
ketakutan di bawah hujan. Dusun-dusun yang primitif memang layak gentar kepada alam
yang masih agung dan misterius. Tapi Jakarta: ia lumpuh bukan di hadapan gempa tektonik
yang besar, bukan puting beliung yang bengis, bukan tsunami.
Dengan kata lain, ini adalah sebuah kota yang telah dibuat tak berdaya. Jakarta adalah sebuah
kota di mana korupsi bukan sekadar mencolong. Di kota ini, korupsi bukanlah sekadar
perbuatan jahat para gubernur atau para birokrat yang membangun wilayah dengan
menyulap biaya sampai melambung. Bukan sekadar pembuatan proyek fiktif atau tanpa guna
untuk mendapatkan anggaran. Bukan sekadar perilaku rutin para petugas izin bangunan yang
minta sogok dan dengan itu membiarkan lingkungan hancur. Bukan sekadar polisi dan jaksa
dan hakim yang buncit oleh bayaran mereka yang seharusnya dihukum karena penghancuran
itu. Korupsi adalah jumlah dari semua itu ditambah dengan hasil sampingnya yang tak
terelakkan: kelumpuhan di tengah krisis.
Sebuah krisis memerlukan kekuatan bersama untuk mengatasinya. Tapi korupsi telah
menghancurkan apa saja yang bersama itu: korupsi adalah sejenis privatisasi dalam jenis
yang menyimpang. Kejahatan ini telah membuat kekuasaan yang lahir dari proses politik
(dengan kata lain: proses bersama) menjadi wilayah dan alat privat orang yang berkuasa.
Korupsi juga melahirkan fragmentasi: sebuah masyarakat yang bukan masyarakat, sehimpun
orang ramai yang berhubungan satu sama lain tapi saling tak mempercayai, karena bahkan
kepercayaan telah jadi komoditi. Maka bisakah mereka akan saling mempercayai ketika krisis
merundung dan harus diatasi?
Tidak. Dan kota pun akan runtuh, pelan-pelan.
by
anick
in
All
Posts,
Elegi,
Tokoh.
- sepucuk surat untuk Sultan Alief Allende dan Diva Suki Larasati, yang ditinggalkan ayah
mereka.
Kelak, ketika umur kalian 17 tahun, kalian mungkin baru akan bisa membaca surat ini, yang
ditulis oleh seorang yang tak kalian kenal, tiga hari setelah ayahmu meninggalkan kita semua
secara tiba-tiba, ketika kalian belum mengerti kenapa begitu banyak orang berkabung dan
hari jadi muram. Kelak kalian mungkin hanya akan melihat foto di sebuah majalah tua:
ribuan lilin dinyalakan dari dekat dan jauh, dan mudah-mudahan akan tahu bahwa tiap lilin
adalah semacam doa: Biarkan kami melihat gelap dengan terang yang kecil ini, biarkan
kami susun cahaya yang terbatas agar kami bisa menangkap gelap.
Ayahmu, Alief, seperti kami semua, tak takut akan gelap. Tapi ia cemas akan kelam. Gelap
adalah bagian dari hidup. Kelam adalah putus asa yang memandang hidup sebagai gelap yang
mutlak. Kelam adalah jera, kelam adalah getir, kelam adalah menyerah.
Dengan tubuhnya yang ringkih, Diva, ayahmu tak hendak membiarkan kelam itu berkuasa.
Seakan-akan tiap senjakala ia melihat di langit tanah airnya ada awan yang bergerak dan di
dalamnya ada empat penunggang kuda yang menyeberangi ufuk. Ia tahu bagaimana mereka
disebut. Yang pertama bernama Kekerasan, yang kedua Ketidakadilan, yang ketiga
Keserakahan, dan yang keempat Kebencian.
Seperti kami semua, ia juga gentar melihat semua itu. Tapi ia melawan.
Di negeri yang sebenarnya tak hendak ditinggalkannya ini, Nak, tak semua orang melawan.
Bahkan di masa kami tak sedikit yang menyambut Empat Penunggang Kuda itu, sambil
berkata, Kita tak bisa bertahan, kita tak usah menentang mereka, hidup toh hanya sebuah
rumah gadai yang besar. Dan seraya berujar demikian, mereka pun menggadaikan bagian
dari diri mereka yang baik.
Orang-orang itu yakin, dari perolehan gadai itu mereka akan mencapai yang mereka
hasratkan. Sepuluh tahun yang akan datang kalian mungkin masih akan menyaksikan hasrat
itu. Terkadang tandanya adalah rumah besar, mobil menakjubkan, pangkat dan kemasyhuran
yang menjulang tinggi. Terkadang hasrat kekuasaan itu bercirikan panji-panji kemenangan
yang berkibar?yang ditancapkan di atas tubuh luka orang-orang yang lemah.
Ya, ayah kalian melawan semua ituEmpat Penunggang Kuda yang menakutkan itu, hasrat
kekuasaan itu, juga ketika hasrat itu mendekat ke dalam dirinya sendiridengan jihad yang
sebenarnya sunyi. Seperti anak manusia di padang gurun. Ia tak mengenakan sabuk seorang
samseng, ia tak memasang insinye seorang kampiun. Ia naik motor di tengah-tengah orang
ramai, dan bersama-sama mereka menanggungkan polusi, risiko kecelakaan, kesewenangwenangan kendaraan besar, dan ketidakpastian hukum dari tikungan ke tikungan. Mungkin
karena ia tahu bahwa di jalan itu, dalam kesunyian masing-masing, dengan fantasi dan arah
yang tak selamanya sama, manusia pada akhirnya setara, dekat dengan debu.
Alief, Diva, kini ayah kalian tak akan tampak di jalan itu. Ada yang terasa kosong di sana.
Jika kami menangis, itu karena tiba-tiba kami merasa ada sebuah batu penunjang yang
tanggal. Sepanjang hidupnya yang muda, Munir, ayahmu, menopang sebuah ikhtiar bersama
yang keras dan sulit agar kita semua bisa menyambut manusia, bukan sebagai ide tentang
makhluk yang luhur dan mantap, tapi justru sebagai ketidakpastian.
Ayahmu, Diva, senantiasa berhubungan dengan mereka yang tak kuat dan dianiaya; ia tahu
benar tentang ketidakpastian itu. Apa yang disebut sebagai hak asasi manusia baginya
penting karena manusia selalu mengandung makna yang tak bisa diputuskan saat ini.
Ada memang yang ingin memutuskan makna itu dengan menggedruk tanah: mereka yang
menguasai lembaga, senjata, dan kata-kata sering merasa dapat memaksakan makna dengan
kepastian yang kekal kepada yang lain. Julukan pun diberikan untuk menyanjung atau
menista, label dipasang untuk mengontrol, seperti ketika mereka masukkan para tahanan ke
dalam golongan A, B, dan C dan menjatuhkan hukuman. Juga mereka yang merasa diri
menguasai kebenaran gemar meringkas seseorang ke dalam arti kafir, beriman,
murtad, Islamis, fundamentalis, kontra-revolusioner, Orde Baru, ekstrem
kiri?dan dengan itu membekukan kemungkinan apa pun yang berbeda dari dalam diri
manusia.
Ayah kalian terus-menerus melawan kekerasan itu, ketidakadilan itu. Tak pernah terdengar ia
merasa letih. Mungkin sebab ia tahu, di tanah air ini harapan sering luput dari pegangan, dan
ia ingin memungutnya kembali cepat-cepat, seakan-akan berseru, Jangan kita jatuh ke dalam
kelam!
Tapi akhirnya tiap jihad akan berhenti, Alief. Mungkin karena tiap syuhada yang hilang akan
bisa jadi pengingat betapa tinggi nilai seorang yang baik.
Apa arti seorang yang baik? Arti seorang yang baik, Diva, adalah Munir, ayahmu. Kemarin
seorang teman berkata, jika Tuhan Maha-Adil, Ia akan meletakkan Munir di surga. Yang
pasti, ayahmu memang telah menunjukkan bahwa surga itu mungkin.
Adapun surga, Alief dan Diva, adalah waktu dan arah ke mana manusia menjadi luhur. Dari
bumi ia terangkat ke langit, berada di samping Tuhan, demikianlah kiasannya, ketika
diberikannya sesuatu yang paling baik dari dirinya?juga nyawanya?kepada mereka yang
lemah, yang dihinakan, yang ketakutan, yang membutuhkan. Diatasinya jasadnya yang
terbatas, karena ia ingin mereka berbahagia.
Maka bertahun-tahun setelah hari ini, aku ingin kalimat ini tetap bertahan buat kalian:
ayahmu, syuhada itu, telah memberikan yang paling baik dari dirinya. Itu sebabnya kami
berkabung, karena kami gentar bahwa tak seorang pun akan bisa menggantikannya. Tapi tak
ada pilihan, Alief dan Diva. Kami, seperti kalian kelak, tak ingin jatuh ke dalam kelam.
~Majalah Tempo Edisi. 29/XXXIII/13 19 September 2004~
by
anick
in
All
Posts,
Identitas,
Pepeling,
Seni.
Jalan juga sebuah laku. Di sana orang ambil keputusan, ambil risiko, hanya mengulang tapi
bisa juga melakukan yang tak terduga-duga. Di sana ia bisa menemui rezeki atau ajal. Dan
jika kita bicara tentang lingkungan kota besar, jalan bisa juga berarti satu wilayah untuk
mengelak.
Ada sepatah kata bahasa Indonesia yang sering dipakai tapi tak menarik perhatian:
kluyuran. Dalam kata ini tergambar bagaimana ruang yang sambung-menyambung dan
berkelok-kelok itu dapat merupakan tempat kita iseng, main-main, atau mengikuti rasa ingin
tahu. Saya kluyuran jika saya berjalan menyusuri kota besar ini, tanpa ingin menghasilkan
apa-apa, tanpa didesak waktu, tapi asyik mengamat-amati seraya terus-menerus mengalihkan
fokus.
Laku semacam itu bukanlah laku yang cocok dengan apa yang dikehendaki sebuah kota
besar: rasionalitas, efisiensi, produktivitas. Baudelaire, penyair Les Fleurs du Mal (Bunga
Mala) dan Le Spleen de Paris (Limpa Paris), telah membuat kata flneuryang artinya
tak jauh dari Bung Kluyurjadi begitu penting dalam telaah ilmu sosial dan filsafat,
karena ia dapat menggambarkan bagaimana kluyuran di kota yang telah diubah jadi
modern merupakan sebuah sikap politik dan estetik. Flneurie seakan-akan menampik
rasionalitas yang diterapkan di Paris mengikuti planologi Baron Georges-Eugne Haussman
selama dua dasawarsa sejak 1852. Sang flneur menjelajah secara acak, santai, dan
seenaknya sebuah metropolis, semacam ikhtiar mempertahankan yang sepele, percuma,
lemah, dan kuno. Sang flneur, seraya tampil sebagai pesolek yang keren, merayakan tapi
sekaligus memandang dengan berjarak dunia Paris yang berubah secara menakjubkan dan
mencemaskan itu.
Di Indonesia, kluyuran tentu saja tak sepenuhnya sama dengan flneurie. Di sini kontras
antara kota dan udik bisa begitu besar, tapi kota tak terputus secara radikal dari yang bukankota. Seperti pernah dikatakan seorang pakar sosiologi perkotaan, Jakarta tak cuma
mengalami urbanisasi, tapi juga ruralisasi. Rancangan yang rasional, ketertiban yang
efisien, kapital yang mencoba menguasai pembagian ruang dengan perhitungan laba-rugi, tak
henti-hentinya berbenturan dengan arus deras dari bawah yang datang dari desa-desa, barisan
yang tiap kali kalah tapi tiap kali menyerbu kembali.
Kota ini sendiri bukanlah tauladan rasionalitas. Birokrasi begitu korup dan tak becus hingga
planologi tak ada artinya. Kelas menengah tak secara serius menegakkan hukum. Kemiskinan
begitu luas dan juga pengangguran, hingga bukan efisiensi yang terjadi, melainkan involusi.
Involusi adalah cara kelas bawah kota besar berbagi hidup: dalam ruang yang sempit, dalam
pekerjaan yang terbatas, dalam milik yang tak seberapa. Involusi adalah sebuah kiat hidup
dalam keadaan berjejal.
Ketika saya menonton Je.ja.l.an yang dipentaskan Teater Garasi di Teater Luwes Taman
Ismail Marzuki, Jakarta, 25 Mei yang lalu, saya merasa seakan-akan saya ikut dalam sebuah
kluyuran: menyusur jalan-jalan kota, mengamati involusi yang terjadi di sana, terpisah tapi
terpaut.
Jarak antara pentas dan penonton dibuat demikian rapat, hingga mereka yang duduk di meja
VIP (dengan gelas berisi anggur dan bir) juga tak bisa mengelak. Seperti di rumah makan tepi
jalan, pengamen, penjaja kitab dan lain-lain mudah masuk ke sela-sela tamu. Hanya setengah
meter dari sana: barisan drum band, pekerja seks, orang mati melarat, orkes keliling,
perempuan berdandan keren, pengkhotbah yang marah, petugas ketertiban kota yang hendak
menegakkan tertib, banci yang hidup di luar tata. Je.ja.l.an bagi saya mengandung makna
jejalan.
Memang banyak adegan yang tak baru: kita telah sering melihatnya, setidaknya di berita
televisi dan koran. Tapi itu justru menunjukkan bahwa yang terpapar bukanlah sesuatu yang
eksotis, bukan pula yang dramatis. Di kota-kota besar Indonesia, kita menemukannya tiap
kali di tiap sudut. Kluyuran bukanlah sebuah darmawisata: karya teater Yudi Ahmad Tajudin
dan kawan-kawan menegaskan hal itu karena ia tak mengajak menyaksikan hal yang
menakjubkan.
Namun tiap karya teater adalah sebuah intervensi terhadap apa yang tak menakjubkan yang
kita temukan di tiap sudut. Realisme dalam teater pada akhirnya mengakui bahwa realitas
bukanlah das Ding an sich. Realitas mengandung sejarah sosial: ia dihadirkan oleh bahasa
dan percakapan. Maka di pentas, kluyuran merupakan konstruksi ganda. Di pentas, ia diberi
bentuk jadi sesuatu yang lebih intens. Demikianlah teater lahir, membuka peluang bagi dunia
yang tampil sebagai beda, juga ketika ia seakan-akan menampilkan yang itu-itu juga.
Dalam beda itulah hadir sebuah tamasyatapi bukan tamasya yang tertangkap secara
panoptik, bukan gambaran utuh yang hanya bisa dilihat dari atas. Justru ambisi kota besar
untuk mengikuti sebuah rencana agung terbentur oleh centang-perenang yang mencemooh
perubahan budaya dalam urbanisasi.
Itu sebabnya bagi saya Je.ja.l.an bukan hendak terdiri dari satu statemen, misalnya sebuah
protes sosial karena kemiskinan. Pidato Bung Karno berapi-api, tapi rekamannya yang
diputar tak mendominasi ruang. Kisah seorang miskin yang bunuh diri dibacakan, tapi si
pembaca seperti lelah di ujungnya. Keduanya tak menimbulkan perubahan di pentas itu.
Dialektik antara beda dan sama, antara yang menusuk dan yang banal, antara teriak dan sikap
acuh tak acuh, memantulkan kembali yang kita alami kini: sebuah fragmentasi pengalaman,
sebuah khaos dalam perhatian.
Michel de Certeau, yang juga merenungkan makna kluyuran dalam hidup sehari-hari, seakanakan berbicara tentang jalanan kota yang terpapar di pentas malam itu: Pengguna kota
memungut fragmen tertentu dari statemen itu, dan dengan demikian mengaktualisasikannya
dalam rahasia.
~Majalah Tempo Edisi. 15/XXXVII/02 8 Juni 2008~
by
anick
in
All
Posts,
Revolusi,
Sejarah.
Revolusi Prancis memang tak tampak berangkat dari program apa pun, tapi, seperti
dikatakan Lenin, itu juga sebuah revolusi besar: dengan itu dasar baru masyarakat diletakkan
dan tak bisa diubah lagi. Perebutan kekuasaansang raja dipenggalbahkan jadi tanda
zaman baru: tak ada lagi yang kekal di takhta itu.
Revolusi Prancis juga tak hanya meletus dari konflik sosial, dan sebab itu melibatkan orang
ramai. Ia sambungan cita-cita yang lahir dari konflik sosial itu, yang dirumuskan oleh para
pemikir dan disaripatikan dalam semboyan libert, egalit, fraternit.
Dengan sedikit penyesuaian, kita bisa mengatakan, yang terjadi di tahun 1945 di Indonesia
(dan 17 Agustus hanya salah satu penanda waktu yang penting) juga sebuah revolusi.
Sebab sejak itu, sejak kekuasaan berpindah tangan dari Hindia Belanda dan Jepang, Indonesia
tak bisa ditarik kembali ke kerangkeng kolonialisme. Bertahun-tahun sebelumnya, gagasan
tentang sebuah bangsa dicanangkan dan sejak 1945 bangsa itu bersedia mati untuk merdeka.
Dari kancah mereka yang bersedia mati itu Pramoedya Ananta Toer, dalam Di Tepi Kali
Bekasi, bersaksi tentang sebuah epos revolusi jiwa. Revolusi: awal transformasi yang tak
dapat dibalikkan.
Januari 1966. Saya tak tahu bagaimana keadaan waktu itu. Saya tak ada di Indonesia. Dari
sebuah kota kecil di Eropa saya hanya dapat kabar secara sporadis (antara lain dari surat-surat
almarhum Soe Hok Gie, salah satu aktivis yang militan masa itu) tentang aksi mahasiswa
yang tak henti-hentinya.
Sekembali di Tanah Air, saya kemudian tahu bahwa ada kerja sama para mahasiswa itu
dengan militer; ada pembantaian dengan korban para anggota PKI atau yang dicurigai jadi
pendukung. Ya, ada hal-hal yang mengerikan dan busuk. Pelan-pelan tampak bahwa militer
mengambil alih gerak perubahan politik yang dipelopori mahasiswa ke arah sebuah rezim
baru yang antidemokrasi. Tapi membaca surat kabar waktu itu, terutama Kompas dan Harian
Kami, saya bisa tahu, ada hasrat demokratisasi yang kuat di tahun 1966, ketika para aktivis
merobohan sistem demokrasi terpimpin Bung Karno. Suara untuk mengukuhkan hak-hak
asasi manusia terdengar nyaring, usaha menegakkan kemerdekaan pers dan rule of law serius.
Apa yang dicita-citakan itu kemudian memang dikhianati. Namun yang terjadi bukan hanya
kemarahan. Juga bukan hanya rencana perubahan kekuasaan. Yang terjadi adalah gerakan
untuk gagasan yang datang dari mulut yang tercekik, perut yang tak tenang. Setelah 1966,
demokrasi memang dibalikkan jadi kediktatoran, tapi ada yang sejak itu tak dapat dibalikkan
lagi: sistem ekonomi terpimpin ditinggalkan30 tahun lebih sebelum Cina dan Vietnam
meninggalkan sistem ekonomi sosialis.
Revolusi? Mungkin ya, mungkin bukan. Kata itu barangkali tak disebut. Tapi ia punya
pukaunya sendiri: dalam historiografi populer Indonesia, revolusi dikaitkan dengan sepatah
kata yang ganjil tapi mempesona: angkatan. Kata ini tak jelas asal-usulnya dan sebetulnya
membingungkan maknanya. Namun ia dipakai terus. Ia berarti generasi, tapi ia
mengandung juga kesan perjuangan dan kekuatan yang gagah (yang juga kita temukan
dalam angkatan bersenjata). Maka Angkatan 45 disebut, dan orang pun latah:
Angkatan 66 menyusul.
Untung, setelah 15 Januari 1974, tak ada lagi yang ditahbiskan dengan sebutan angkatan.
Peristiwa yang disebut Malari itu tak punya dampak sosial yang berlanjut. Bahkan bisa
disebut, amuk hari itu hanya bagian sebuah operasi intelijen, selapis tabir untuk menutupi
dan
Tapi bahwa itu terjadi, di sebuah Januari, menunjukkan betapa mudahnya revolusi ditiru.
Meskipun harus dicatat: revolusi seperti puisi: sekali dilahirkan, ia tak bisa diulang. Amarah
yang meledakkannya dan gairah yang menyertainya tak bisa cuma repetisi. Tiap usaha
mengulangnya akan tampak sok-pahlawan dan absurd. Saya teringat kalimat Marx dalam
Brumaire Ke-18 Louis Bonapartedan di sini saya ubah sedikit: Kejadian besar dalam
sejarah bisa diulangi; kali pertama berupa tragedi, kali kedua berupa banyolan.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 18 Januari 2010~
anick
in
All
Posts,
Bencana,
Ekonomi,
Kisah,
Tokoh.
Jasih mati membakar diri, dan kita bersalah. Kita harus mengaku. Kita mungkin ikut
membunuhnya, atau kita berdiri di kamar kita dengan dosa sejenis itu, karena kita sampai tak
tahu bahwa ada ibu berumur 39 tahun yang begitu berputus asa hingga ia menghabisi
nyawanya sendiri dan nyawa Galuh, anaknya yang berumur 4 tahun, yang terserang kanker
otak dan tak ada lagi biaya untuk mengobatinya. Kita bersalah karena Jasih begitu miskin
utangnya yang lima juta rupiah kepada para tetangga itu begitu menekandan kita selama ini
ingkar. Kita tak pernah menengok. Kita tak pernah ingat.
Malapetaka itu tak dapat kita cegah, dan kita bersalah. Jasih tak hidup di negeri yang jauh. Ia
mati tak di tempat yang jauh. Kejadian itu, di Kelurahan Lagoa, Kecamatan Koja, Jakarta
Utara, pada pertengahan Desember 2004. Artinya, bukan masa lalu. Artinya, sebenarnya
terjangkau dari tempat saya. Juga terjangkau dari tempat Anda. Lagoa bukan di seberang
lautan dan di balik benua. Kecamatan itu hanya beberapa puluh kilometer saja dari orangorang (mungkin teman-teman kita) yang baru membeli sebuah apartemen di Paris,
menikahkan anak di Convention Hall Jakarta, memberi kado istri dengan berlian 500 juta,
menyogok rekanan dengan 3 miliar, menyumbangkan uang untuk gereja sebesar 70 juta, naik
haji ketiga kalinya seraya mentraktir 10 orang teman ke Mekkah, berjudi di London sampai
kalah 1.000 poundsterling, atau hanya menyimpan uang beberapa miliar di bank seraya
menunggui bunga sekian persen?. Daftar itu bisa diperpanjang. Dan bersama itu, kesalahan
kita kian jelas.
Tuan akan berkata, tentu, Ah, tidak jelas! Tuan akan bertanya kenapa Tuan disangkutkan
ke dalam salah. Maaf, beribu-ribu maaf. Saya punya bahasa yang kasar kali ini: jika kita
(Tuan dan saya) tidak tahu, jika kita (Tuan dan saya) tidak merasa bersalah karena kematian
di Lagoa itu, jika kita merasa tak berurusan dengan Jasih dan Galuh yang putus asa, itu
berarti kita dungu atau tak punya hati. Tuan tahu bahwa sebuah kota, sebuah negeri, bukanlah
tempat yang selama-lamanya longgar, dengan kekayaan yang berlimpah-ruah. Tak ada bagian
dunia yang bebas dari kelangkaan dan kekurangan; itulah sebabnya ekonomi terjadi: orang
berproduksi terus, tukar-menukar tak henti-henti. Dan jika kita berbicara tentang Indonesia,
kita akan lebih tahu apa artinya kelangkaan dan kekurangan itu. Bahkan kita akan tahu apa
yang ada di baliknya: kekayaan yang begitu timpang, kesempatan yang begitu selisih. Dari
sini Tuan tahu apa yang menyebabkan tak ada pengobatan yang murah bagi Galuh. Inilah
daftarnya, meskipun tak lengkap: karena dokter-dokter yang tak pernah mengulurkan bantuan
ke rumah orang miskin, karena industriawan obat yang hanya memikirkan the bottom line,
karena pejabat Departemen Kesehatan yang mencolong dana buat pelayanan medis dan
pencegahan penyakit di kampung-kampung, karena wartawan-wartawan (rekan-rekan saya)
yang menerima suap dari dokter, industriawan obat atau pejabat dan sebab itu lalai untuk
menceritakan putus asa di kekumuhan itu kepada publik, juga karena para wakil rakyat
yang?setelah beranjangsana ke luar negeri dengan uang ribuan dolar?tak menegur kepala
daerah yang tak banyak berbuat. Tuan dan saya tambah bersalah bila Tuan dan saya tak tahu
itu?apalagi berpura-pura tidak tahu itu. Tuan bersalah, tapi harus saya tambahkan memang:
kesalahan Tuan lebih kecil sedikit ketimbang dosa saya, yang menulis tulisan ini dan sudah
terlambat, yang menulis dan mendapatkan nama, yang ingin menangis untuk Jasih dan Galuh
tapi kemudian merasa bahwa saya juga yang akhirnya mendapatkan manfaat, juga dari tangis
itu. Jasih, Galuh, dan kakaknya, Galang, yang luka-luka, dan Mahfud, bapak anak-anak itu,
yang kehilangan segala yang berarti baginya, tetap tak tertolong. Miskin. Berutang. Hari-hari
yang sudah cacat.
Mereka itu yang benar mengalami: kota begini sempit. Tiap jengkal yang kita miliki berarti
tiap jengkal yang tak dimiliki orang lain. Saya kira itulah yang traumatis dalam sebuah
masyarakatapalagi masyarakat ini. Ada seorang yang mengatakan bahwa pada saat
seseorang memaklumkan, Inilah tempatku di bawah cahaya matahari, itulah bermula
perebutan tak sah seluruh muka bumi. Kematian orang lain memanggilku untuk ditanyai,
kata Emannuel Levinas, seakan-akan, karena sikap acuh tak acuh yang mungkin aku ambil
kelak, aku bersekongkol dengan kematian yang dihadapkan kepada orang lain, kematian yang
tak dapat diketahuinya.
Jasih, saya tak berharap saya layak kamu maafkan.
~Majalah Tempo Edisi. 43/XXXIII/20 26 Desember 2004~
by
anick
in
All
Posts,
Buku,
Musik.
Salena Jones menyanyi ke udara Jakarta dalam Jakjazz 2006. Dalam rasa asyik, tiba-tiba kita
merasakan seakan-akan kota ini sedang menopang sebuah musik yang menjerit, terkadang
serak, melankolik. Kota ini jadi ruang di mana ada yang menjulang tak kunjung terjangkau,
tapi juga ada liang di jalan yang tak diingat, gorong-gorong yang pada saat yang sama
menyembunyikan celurut, sampah, dan mungkin sampar. Kota ini setengahnya sebuah tempat
ekspresi, setengahnya yang lain sebuah ujian stamina.
Kota seperti ini membuatku bermimpi muluk dan merasa dekat pada hal ihwal, kata sang
pembawa cerita dalam Jazz, novel Toni Morrison tahun 1992. Baja cerah yang bergoyang di
atas keteduhan di bawahnya itulah yang membuatnya demikian.
Sang kota, the City, dalam novel yang seakan-akan terdiri dari cetusan improvisasi dengan
pelbagai peserta ini, adalah Harlem, New York, pada tahun 1920-an. Meskipun punya sejarah
yang berbeda dengan kota mana pun, apalagi Jakarta, ia punya pola seperti Jakarta: kota yang
merangsang dan sekaligus membatalkan impian.
Ia adalah tempat pelarian yang menyingkir dari muramnya hidup di pedalaman. Di Amerika
Serikat masa itu, muram berarti hitam yang dianiaya oleh orang-orang kulit putih di
wilayah Selatan. Di Indonesia masa kini, muram berarti si muda yang terimpit miskin dan
pengangguran. Kedua-duanya berbeda, dan perbedaan itu amat penting, tapi pada akhirnya
kedua-duanya mengiris dan menorehkan kepedihan. Juga kebengisan.
Dalam Jazz, Joe Trace menyingkir dari kota kelahirannya di bagian Selatan itu, Vienna, yang
habis terbakar. Api merah itu bergerak cepat, mengosongkan kami dari tempat kami
sedemikian lekas hingga kami lari dari satu bagian ke bagian lain negeri iniatau tak ke
mana pun. Dengan kata lain, Joe jadi bagian dari 900 Negro, digalakkan oleh bedil dan
kanabi, yang meninggalkan Vienna, naik kereta atau berjalan kaki keluar kota itu, menuju
entah ke mana.
Dengan latar Indonesia, kita bisa bayangkan sebuah eksodus yang mirip: ribuan orang yang
masuk dari pedalaman, bukan karena api yang membuat habis ludes se-buah tempat, tapi
karena sang Nasib seolah-olah membuat mereka terhenyak di sekitar sawah ladang yang
makin sempit. Mereka datang dengan kereta api, bus, kapal, motor, truk, dan entah apa lagi,
untuk kemudian menumpang tinggal di sebuah kamar dan pada esok harinya menyusuri jalan.
Cari kerja, kata mereka, tapi sebenarnya juga cari diri dan kemerdekaan.
Ya, Jakarta punya Joe Trace-nya sendiri. Namanya mungkin Mat Tilas: ia yang muncul di
kota inidengan jejak yang kumuh dan penuh lumpur dari masa lalu pedalaman
menjajakan tahu goreng Sumedang atau air minum di jalan-jalan yang macet, menawarkan
parfum palsu kepada para penumpang di bandara, berjalan kaki dari kecamatan yang satu ke
kecamatan lain di siang yang terik mencoba jadi juru jual pisau dapur yang tak diketahui
siapa yang akan membeli, atau menyediakan jasa yang sebenarnya tak perlu untuk mengatur
lalu-lintas di pengkolan yang ruwetdan tentu saja mereka yang jadi pelacur di tepi rel
kereta api di Jalan Latuharhary.
Para pembaca akan berkata, ini sebuah cerita yang begitu biasa hingga tak diacuhkan lagi
dan benar: ini sebuah klise yang, seperti tiap klise, kehilangan daya pukaunya dan tenggelam
dalam bawah sadar seperti manusia-manusia yang tenggelam dari catatan kita seakan-akan
ditelan gorong-gorong kota.
Tidak berarti Jakarta selamanya menakutkan. Malam hari akan datang, cahaya jalanan dan
gedung-gedung akan melipur, dan sang Kota seakan-akan menyediakan sebuah musik lain:
musik yang menjerit, terompet yang ditiup serak, tapi memukau, meskipun mungkin dengan
tenggorokan yang berdarah.
Ada yang menyentuh, mengejutkan, dan mempesona di sana.
Dalam arti itu, riwayat seorang migran dari pedalaman mengingatkan kita akan hasrat
menjangkau sesuatu dari keadaan patah harapan, sebagaimana seorang pemain musik meniti
melodi melalui improvisasi, untuk mendapatkan yang paling memuaskan hati dari kepastian
yang absen.
Sebab begitu pentingkah kepastian? Di kota ini, kepastian hanya terhantar pada kaki lima dan
aspal jalanan. Bagi si Mat Tilas, seperti Joe Trace, seperti bagi jutaan pendatang yang lain,
begitu sol sepatu menapak trotoar, tak ada jalan berbalik lagi Di sana, di sebuah kota,
mereka mungkin bukan diri-diri baru, tapi diri yang lebih kuat, lebih punya risiko. Bisakah
kita di sini bicara tentang kota sebagai arah yang dituju sebuah eksodus, Tanah Yang
Dijanjikan oleh Tuhan bagi hamba-Nya yang dianiaya? Tidak, meskipun novel Toni
Morrison agak menyarankan demikian.
Riwayat urbanisasi adalah riwayat sebuah hijrah yang sekuler, dengan hewan korban,
harapan mukjizat, dan keinginan mendapat pahala yang tak henti-hentinya mengisi hidup.
Seperti hijrah atau eksodus dalam agama-agama Ibrahimi, ada tujuan yang meskipun samarsamar, amat memukau. Memang yang sekuler itu sangat bertaut dengan keinginan akan
perbaikan hidup jasmani, tapi bukankah pahala dalam kosakata keagamaan juga
mengandung hasrat jasmani, semacam hadiah Lebaran?
Maka jika ada yang menonjol dalam hijrah sekuler itu bukanlah adanya keyakinan, tapi
tiadanya teks suci dan kekuasaan mereka yang menjaganya. Bahkan teks suci apa pun tak
akan dapat menguasai sepenuhnya liku-liku hidup orang seperti Joe Trace di New York atau
Mat Tilas di Jakartasebagaimana halnya tak ada ortodoksi yang dapat mengendalikan
nada-nada yang muncul dalam karya Theolinus Monk.
Tapi pada akhirnya, itulah yang akan selalu terjadi.
Maka ketika Salena Jones melantunkan lagu, kita tahu jazzmasih sebuah benda asing di
Jakartadi sana-sini terasa pas dengan kota ini. Jeritnya, paraunya, risaunya, khaosnya,
elannya, gairahnya, juga ketidakpastiannya.
~Majalah Tempo, Edisi. 41/XXXV/04 10 Desember 200~
Indonesianya akan terbit awal tahun ini, dan dari sana dapat kita peroleh amsal yang menarik
setidaknya dari dua cerita: pembunuhan Jenar dan pembangunan Masjid Demak.
Syahdan, begitu kepala Jenar terpenggal, darah pun mengalir dalam beberapa warna. Tokoh
ini pernah dianggap tiruan Al-Hallaj, yang juga dihukum mati karena pendirian tasawufnya.
Tapi, sementara dalam cerita dari Baghad abad ke-10 itu darah yang tumpah dikatakan
membentuk 84 tetes yang menulis kata Allah, dalam kisah Jenar adegan yang menakjubkan
ialah ketika kepala yang copot itu tertawa. Ia berseru agar darahnya segera kembali ke tubuh,
sebab kalau tidak, akan gagal mereka masuk surga. Maka darahnya pun cepat mengalir balik
ke urat nadi, dan bercaknya tak tampak lagi.
Setelah itu, kepala Jenar pun mengitari jasadnya tiga kali, dan akhirnya bertaut pas kembali
ke tubuhnya. Tak ada bekas luka. Bahkan cahaya paras Jenar berpendar dan bersalam:
Assalamualaikum. Tampak bahwa hukuman mati oleh Sunan Kudus itu hanyalah sikap
sewenang-wenang yang sia-sia. Kepala, lambang pemikiran, dan tubuh, lambang
pengalaman, tak akan bisa ditundukkan oleh pedang, syariat, dan kekuasaan mana pun. Lagi
pula tubuh Jenar raib, gaib. Momen itu adalah isyarat bahwa apa pun kekerasan yang
dilakukan, ada yang tak bisa mati dan bahkan luput dari rumusan kata dan pikiran (lenyep
ing kawekasane/pan tan kena winuwus). Jenar bukanlah sebuah subyek yang terpasung
dalam identitas. Ia bergerak tak tertangkap, tak dapat dipetik (kesit datan kena pinethik).
Dengan kata lain, ia sebenarnya seorang manusia pada umumnya. Ia jatimurti, atau sukmadalam-wadag, roh-di-dunia, der Geist-im-Welt. Dalam keseluruhan itu, ia hadir dalam rasa
yang sebenarnya hanya bisa dikemukakan dalam bahasa yang tak diverbalkan, dudu
rerasan. Ia tak bisa dijabarkan dalam kaidah hukum, sebab hukum membuat manusia
dilepaskan dari konteks. Hukum bertolak dari asumsi bahwa dalam menjalankan imannya,
manusia bisa diseragamkan.
Tapi tidak. Iman manusia adalah ibarat Masjid Demak. Babad Jaka Tingkir membuat
pembangunan masjid tertua di Jawa itu sebagai alegori yang sarat makna: bangunan itu
didirikan tanpa lebih dahulu dipastikan arah kiblatnya. Baru setelah rampung, delapan orang
wali yang mengerjakannya berdebat sengit (pradongdi). Akhirnya wali kesembilan yang
dapat menyelesaikan perkara pelik itu. Ia Sunan Kalijaga.
Wali ini, yang dalam pelbagai karya sastra Jawa dianggap wakil warna lokal dalam Islam,
tafakur sebentar. Kemudian tangan kanannya menjangkau Kabah di Mekah dan tangan
kirinya merengkuh pucuk (sirah gada) Masjid Demak. Ditariknya keduanya hingga akhirnya
bertemu, sewujud, bertaut:
Payok
Kakbah
Dn-nyataken
Cples kenceng datan mnggok
lawan
sirah
gada
masjid
sawujud
Dengan kata lain, sebagaimana diuraikan Florida, Islam yang universal (Kabah) bertaut
dengan Islam yang partikular (Masjid Demak). Yang satu tak menghilangkan yang lain;
selamanya ada latar sejarah setempat dalam tafsir.
Ortodoksi mencoba menampik unsur sejarah setempat itu, tapi sebenarnya Islam tak lahir
dengan ortodoksi. Seperti ditulis M. Jadul Maulana dalam Syariat (Kebudayaan) Islam:
Lokalitas dan Universalitas, sebuah esai pendek yang tersiar dua tahun yang lalu dalam
website LKiS dari Yogya, ortodoksi bermula baru setelah Nabi tak ada lagi. Dalam
memperebutkan pengganti Rasulullah, tiap kubu menghadapi persoalan: bagaimana Nabi,
terasa hadir secara asli? Untuk mendapatkan yang asli itulah kemudian agama dibersihkan
dari jejak sejarah, dari lokalitas. Yang dekat pun dihilangkan, yang jauh jadi idaman, sebagai
yang tegar dan tunggal. Masjid Demak tak mengacu kepada semua itu. Imajinasi para aulia di
masa itu membuat Mekah dan Kabah jadi dekat, bahkan tampak dalam jarak tiga mil (among
tigang ngeml tinon). Dan dengan alegori tiang keempat, yang menakjubkan bukanlah yang
tegar dan tunggal. Kalijaga membuat tiang itu bukan dari batu, bata, ataupun balok, tapi dari
tatal. Adapun tatal adalah lapis kayu yang mengeriting yang terbuang ketika permukaan
papan diratakan dengan ketam. Maka masjid dengan tiang tatal ini adalah masjid yang
didukung oleh mereka yang dibuang, mereka yang bukan lapisan yang bisa disamaratakan.
Masjid itu juga bukan rumah Tuhan yang kukuh karena pokok yang solid, lurus, perkasa
pokok Sunan Kudus, pokok kekerasan dan kekuasaan.
by
anick
in
All
Posts,
Amerika,
Novel,
Tokoh.
ditahan pemerintah Zedekiah. Tapi sang nabi benar. Nebuchadnezar menduduki Yerusalem,
Kenisah Sulaiman dihancurkan, dan bangsa Yahudi dibuang. Konon Jeremiah kemudian
diculik ke Mesir dan dibunuh kaumnya sendiri.
Aku Jeremiah, kata Vonnegut, meskipun ia tak disingkirkan. Hanya di awal tahun 1970-an,
Slaughterhouse-Five dilarang di beberapa sekolah dan di sebuah kota di Dakota Utara novel
itu dibakar.
Tapi tindakan itu sudah cukup jadi cacat yang serius di negeri yang konstitusinya menjaga
kebebasan bersuara. Tampaknya, Amerika yang dibanggakan si Kurt kecil dulu telah hilang.
Dan makin hilang. Setahun setelah AS menyerbu Irak, kata-kata Vonnegut brutal: Aku tahu
sekarang, tak ada satu kemungkinan di neraka sekalipun Amerika akan jadi manusiawi dan
memakai nalar. Baginya para pemimpin Amerika seperti simpanse yang mabuk kuasa.
Prosanya memang punya gaya tembak-langsung. Kata-kata yang dipilihnya terasa diulang
dari amarah lama. Tapi Vonnegut memang tak punya pretensi membawa sastra yang tinggi.
Dalam wawancaranya yang terbit dalam Paris Review di musim semi 1977, ia anggap dirinya
penuh berisi vulgaritas; itu sebabnya ia dulu menulis buat majalah macam Cosmopolitan
dan Saturday Evening Post.
Agaknya ia akan geli jika harus berbicara khidmat tentang proses kreatif. Ia lihat dirinya
sendiri seorang teknokrat yang barbar. Ia memperlakukan cerita seperti mobil Ford: bisa
dikotak-katik. Tujuannya: memberi kenikmatan kepada pembaca.
Dengan kata lain, Jeremiah Amerika ini ingin juga menghibur. Di masa tuanya ia merasa tak
mampu melucu lagi, tapi yang sepenuhnya saya inginkan adalah mem-buat orang merasakan
lega karena ketawa. Humor seperti tablet aspirin, kata Vonnegut. Dan seperti Mark Twain
yang dikaguminya, ia tangkas membagikan obat itu. Kata-katanya bisa cerdas, mencemooh,
jenaka.
Cerita Harrison Bergeron, misalnya, dimulai dengan kalimat: Tahun itu 2081, dan tiap orang
akhirnya setara sama rata. Mereka tak hanya setara di depan Tuhan dan hukum. Mereka
setara dalam segala hal. Tak ada yang lebih pintar ketimbang yang lain. Tak ada yang lebih
rupawan ketimbang yang lain.
Kisah ini bisa seperti novel 1984 Orwell. Salah satu tokohnya, George, hidup dengan kuping
yang dipasangi radio kecil. Pesawat ini dihubungkan dengan stasiun pemerintah yang tiap 20
detik mengirim suara untuk mengingatkan George agar tak menggunakan kecerdasannya
yang lebih buat menang atas orang lain.
Cerita yang suram, tapi membuat kita terbahak-bahak, setidaknya ketika kita menemukan ada
kantor yang bernama United Stated Handicapper General alias Kantor Negara untuk
Pengelolaan Perbedaan Kemampuan yang para agennya selalu waspada mengawasi para
warga.
Dengan kombinasi geli-dan-ngeri ini, hidup tergambar absurdmungkin sebuah parodi atas
masyarakat Amerika yang memuja kesetaraan tapi menyangka kesetaraan sama artinya
dengan mediocrity. Sebab itu, orang seperti Bush, sibakat-kodian, tauladan mediocrity, dapat
naik ke Gedung Putih. Jika kau orang yang terdidik dan berpikir, kau tak akan diterima di
Washington, DC, tulis Vonnegut dalam A Man Without a Country: A Memoir of Life in
George W. Bushs America.
Tapi benarkah hidup akan mengikuti ramalan mendiang Jeremiah dari zaman Bush dan bumiyang-memanas ini? Apa yang jadi penawar agar hidup layak dipertahankan? Vonnegut
sendiri, pada umur lanjut, menjawab: ia menunggu janji pabrik rokok. Sejak dulu, Brown &
Williamson Tobacco Company yang menghasilkan Pall Mall sudah berjanji akan
membunuh saya.
Humornya gelap di kalimat itu, tapi itu tanda bahwa Maut bukan satu-satunya penebus.
Vonnegut masih memberi kita aspirin. Ia juga masih punya penawar lain: musik, terutama
blues, satu-satunya bukti bahwa Tuhan ada. Dengan kata lain: perlawanan kecil-kecilan
terhadap apokalipse yang mendekat.
Kalau tidak, masih ada fantasi tentang planet Tralfamadore, yang menolong Billy Pilgrim di
tengah ganas dan sia-sianya penghancuran Kota Dresden dalam Slaughterhouse-Five.
Tralfamadore: alternatif bagi dunia para nabi yang bermuram durja.
Sebab Jeremiah toh tak melihat semuanya.
~Majalah Tempo Edisi. 08/XXXIIIIII/16 22 April 2007~
Yang menarik kisah Bung Karno tentang hari pernikahan itu. Sang mempelaiseorang yang
suka berdandandatang dengan mengenakan jas, pantalon, dan dasi. Melihat itu, penghulu
berkeberatan. Anak muda, katanya, dasi adalah pakaian orang yang beragama Kristen
tidak sesuai dengan kebiasaan kita dalam agama Islam.
Soekarno membela diri. Cara berpakaian kini sudah diperbaharui.
Sang penghulu membentak, pembaharuan itu hanya terbatas pada pantalon dan jas buka,
katanya.
Menghadapi suara keras itu, Soekarno membalas. Ia tak sudi. Tuturnya: biar Nabi sendiri
sekalipun tak kan sanggup menyuruhku untuk menanggalkan dasi. Maka ia bangkit dari
kursi dan mengancam membatalkan akad nikah, jika ia harus mencopot dasi. Ketika penghulu
tak mau mundur, mempelai yang kelak jadi tokoh utama pergerakan politik untuk
kemerdekaan itu berkata: Persetan, tuan-tuan semua. Saya pemberontak dan saya akan
selalu memberontak. Saya tak mau didikte orang di hari perkawinan saya.
Suasana tegang. Tapi akhirnya akad nikah dilakukan bukan oleh si penghulu, melainkan oleh
seorang alim yang ada di antara tamu.
Insiden ini bukan hanya menunjukkan watak Bung Karno, melainkan juga problem Indonesia
zaman itu: bagaimana membebaskan diri dari penjajahan dan sekaligus dari apa yang disebut
Bung Karno pendirian yang kolot.
Orang ada yang melawan para penjajah Eropa dengan ambil posisi kembali ke akar yang
tertanam di masa lalu. Tapi pemuda Soekarno tak begitu. Juga Hatta, Tan Malaka, dan
sebelumnya Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaningrat. Pergerakan menentang
kolonialisme Belanda telah melahirkan sebuah nasionalisme yang lain: melihat ke depan.
Nasionalisme itu berkait dengan agenda modernitas.
Bung Karno, dengan prosanya yang penuh api, pernah mencemooh para oude-cultuur
maniak yang pikiran dan angan-angannya hanya merindui candi-candi, Negarakertagama,
Empu Tantular dan Panuluh, dan lain-lain barang kuno.
Tan Malaka menegaskan bahwa pendapatnya yang dirumuskan sebagai Madilog
(Materialisme, Dialektika, Logika) berlawanan dengan segala yang berhubungan dengan
mistik dan kegaiban. Tan Malaka, seorang Marxis yang bertahun-tahun mengembara di
Eropa, menyebut semua yang ditentangnya itu ketimuran.
Bagi Hatta, sebagaimana dikatakannya pada 1924 di Belanda, Indonesia yang muda harus
memutuskan semua hubungan dengan masa lampau untuk membangun kehidupan nasional
baru yang sesuai dengan tuntutan peradaban modern.
Sebuah konfrontasi tak bisa dielakkan. Nasionalisme itu tak hanya memutuskan kaitan
dengan masa silam yang setengah feodal, yang sering disebut kebudayaan daerah atau
segala yang dikibarkan sebagai bendera identitas lokal. Nasionalisme itu juga ingin
melepaskan diri dari adat yang mengikat kebebasan, lembaga lama yang menindas
perempuan, keyakinan yang tak membuat orang mencari informasi baru. Bagi nasionalisme
ini, kolonialisme harus dihadapi dengan cara yang jadi sumber kekuatan Barat. Para
perintis kemerdekaan Indonesia melihat Jepang sebagai tauladan dan Turki baru sebagai
inspirasi. Dalam sebuah tulisan panjang tentang Turki pada 1940, Bung Karno mengutip
sebagai pembuka: Kita datang dari Timur. Kita berjalan menuju Barat.
Syahdan, pada 1939 ada sebuah berita tentang Bung Karno: ia meninggalkan sebuah rapat
Muhammadiyah sebagai protes. Bung Karno tak setuju karena ada tabir yang dipasang di
sana untuk membatasi tempat perempuan dengan tempat laki-laki.
Maka koresponden Antara pun mewawancarainya. Bung Karno menegaskan: tabir
tampaknya soal kecil, soal kain yang remeh. Tapi sebenarnya soal mahabesar dan
mahapenting, sebab menyangkut posisi sosial perempuan. Saya ulangi: tabir adalah simbol
dari perbudakan kaum perempuan!
Bagi Bung Karno, tabir adalah aturan agama yang lahir dalam sejarah sosial. Seperti halnya
kolonialisme, perbudakan seperti itu bukan hasil dari sabda yang kekal. Ia akan berubah. Ia
bisa diubah.
Itu sebabnya nasionalisme Indonesia mengandung optimisme. Hatta, misalnya, percaya
kepada dialektika sejarah yang berakar pada Marxisme: tiap keadaan menimbulkan syarat
yang mesti mengubah keadaan itu sendiri.
Tentu, optimisme semacam ini tak selamanya terbukti benar. Tapi sejak awal abad ke-20
zaman terasa bergerak. Entah ke mana, tapi banyak hal yang tak tumbuh jadi membatu, jadi
benda antik atau ditinggalkan.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 14 Juni 2010~
Lagu itu, yang sampai hari ini dinyanyikan dengan penuh nostalgia dan keharuan,
memaparkan gambar sebuah senja di Stasiun Tugu di Yogya: sepur dari Jakarta datang,
penuh orang yang mengungsi dari pendudukan Belanda. Di antara kerumunan itu tampak
para prajurit muda, dengan senjata dan sikap yang siap. Tiba-tiba sebuah wajah hadir, dan
cerita pun terjadi.
Dalam lirik lagu ini, wajah itu ditandai tatapan mata seorang yang seakan-akan minta
dilindungi dari ancaman si angkara murka. Tak jelas sebenarnyadalam lirik Ismail
Marzuki inisiapa yang berangkat perang, yang datang dari Jakarta/nuju medan
perwira. Tapi terasa ada getaran hati pada sebuah pertemuan, pada sebuah perpisahan,
dalam suasana ketika kata pahlawan disebut, dan semangat mempertahankan Republik
terasa bertaut dengan ketidakpastian. Semoga kelak kita berjumpa pula.
Kereta api datang, kereta api pergi, apa yang memberikan arti di situ? Bukan Stasiun Tugu,
yang menetap seakan-akan prasasti yang dipatok, melainkan perjalanan dan perpindahan
dan tentu saja keberangkatan untuk mati. Yang sementara, yang fana, justru jadi yang amat
penting.
Itu juga yang terasa dalam lagu Juwita Malam, juga ciptaan Ismail Marzuki: akhir sebuah
perjalanan bukannya melegakan, melainkan menimbulkan rasa sayu.
Kereta kita, segera tiba
di Jatinegara kita kan berpisah
Kita berpisah, akhirnya, tapi tiap perpisahan terjadi karena pertemuan. Yang menarik dalam
Juwita Malam ialah bahwa pertemuan itu adalah pertemuan dengan seseorang yang tak
dikenal: Siapakah gerangan tuan? Dari bulankah tuan?
Dalam kereta api, itulah memang yang sering terjadidan itulah yang membuat hidup
menegangkan tapi juga memikat. Dari cerita detektif Agatha Christie Murder at the Orient
Express sampai dengan travelog Paul Theroux The Great Railway Bazaar, ruang kereta api
yang bergerak itu adalah ruang orang-orang yang mungkin ingin saling bertanya kepada
orang segerbong: Dari bulankah tuan?
Ada rasa takjub dan juga rasa ingin tahu di hadapan sesama manusia yang bedayang
menyebabkan sebuah cerita detektif mendapatkan suspens-nya dan cerita perjalanan
menemukan bumbunya. The Great Railway Bazaar yang terbit pada tahun 1977 adalah
perjalanan panjang dari London, lewat Iran, ke Asia. Tapi kita akan kecewa jika kita
mengharapkan di buku ini akan ada uraian yang rinci tentang tempat-tempat perhentian.
Bahkan terkadang Theroux tak tertarik (misalnya ketika tiba di Teheran) dan terganggu
(ketika memasuki Afganistan). Yang ia tangkap adalah apa yang berlain-lainan pada suatu
momen: lanskap di luar jendela, bau sardin, kubis, dan tembakau, orang Georgia itu, orang
Kanada yang berduka itu, dua pustakawan Australia itu.
Ketika kereta api sampai ke tujuan, semua yang asyik pun usaiseakan-akan hendak
menunjukkan bahwa tempat di luar kereta terlampau luas bagi sebuah pengalaman manusia
yang terbatas.
Dalam film Tickets, apa yang terjadi dalam sebuah kereta api menuju Roma sanggup
berbicara tentang kehidupan sosial-politik Eropa secara lebih jelas dan tajam ketimbang yang
disiarkan di televisi mengenai dunia di luar gerbong.
Disutradarai bersama oleh Abbas Kiarostami, Ermanno Olmi, dan Ken Loach, film tahun
2005 ini adalah kisah kebersamaan antar-orang-orang asing, justru di suatu masa yang
terganggu oleh kekerasan, paranoia, dan ketimpangan kekuasaandunia setelah 11
September.
Ada seorang profesor yang pergi ikut pesta ulang tahun cucunya, dan mengkhayalkan sebuah
hubungan romantik dengan seorang perempuan yang nyaris tak dikenalnya. Ada seorang
pemuda yang dengan sabar tapi akhirnya sebal mengawal janda cerewet seorang jenderal.
Ada tiga pemuda pecandu bola dari Skotlandia yang riuh. Ada sebuah keluarga imigran
Albania yang tak punya uang untuk beli tiket. Terhadap yang terakhir inilah para penumpang
tadi jadi kontras tapi sekaligus bagian dari sebuah solidaritas. Si profesor mengantarkan
segelas susu panas bagi si bayi imigran yang terusir dari bordes, trio penggemar bola itu
merelakan tiketnya dicuri si anak Albania.
Dan kereta api pun berhenti di Roma.
Apa yang tersisa? Ingatan tentang sebuah perjalanan yang tanpa suspens karena arahnya
pasti, tapi memukau karena ini cerita orang-orang asing yang punya momen jadi manusia.
Kita jadi manusia ketika kita merasakan ketakutan dan kehilangan orang lain yang tak kita
kenal, dan bersedia ikut menanggungkannya. Di situlah, yang fanaderak dan peluit kereta
yang berjalan di atas rel menuju ke satu titik yang sudah dirancangadalah yang membuat
kita seakan abadi.
~Majalah Tempo Edisi. 37/XXXV/06 12 November 2006~
Maka bila kahyangan digambarkan sebagai suwung dan tak ada rasa pribadi, yang
dimaksudkan bukanlah sebuah gambaran kekurangan. Bahkan sebaliknya. Cipta, rasa dan
karsa tak ada karena tak dibutuhkan. Keheningan itu total yang juga berarti kebebasan dari
pengaruh perasaan suka dan sedih: datan kaprabawaning rasa bungah lan susah.
Mungkin pengaruh Budhisme ikut membentuk imajinasi para pencipta wayang purwa dalam
adegan Alang-Alang Kumitir: surga adalah sesuatu yang berada di luar wilayah
pancaindera, seperti yang dilambangkan dengan stupa di pucuk Borobudur itu polos,
ugahari, tanpa ruang, tanpa celah.
Saya ingat Sanusi Pane. Dalam perjalanannya di India, ia mengagumi Syiwa Nataraja, dewa
yang menari dalam lingkaran api. Beginilah dilukiskannya dalam sebuah puisi panjang dalam
Madah Kelana:
Natsa berdiri
Di atas buta, kanan memegang gendang, kiri
Memegang api bernyala-nyala. Sikap badan, tangan
Dan kaki, wajah muka amat permainya: angan-angan
Keindahan Patung Syiwa itu dalam dirinya bergerak dan beredar, tidak terperi, dan di
hadapan Natsa itulah Sanusi menemukan satu kearifan, tatkala sesaat seakan-akan
didengarnya sebuah suara halus-merdu yang menyeru:
Tujuan sekalian ada dalam diri sendiri
Tidak ada asal tujuan, pangkal ujung, yang diberi
Dari luar Maka tarian Syiwa-Nataraja bagi Sanusi Pane adalah jalan ringkasmencapai
kemerdekaan. Jiwa akan merdeka jika kita membiarkan diri menari dan membakar segala
ikatan buta yang kita bikin, jika dalam gerak itu, sang penari tak dijajah oleh hasil, oleh
tujuan. Seperti ketika, dalam sebuah sajaknya yang lain, ia merasa di atas biduk dan merasa
hening dan tenteram, dibawa gelombang tanpa kehendak tanpa arah, menyimak getar
keabadian di langit dan melenyapkan diri ke dalam alam
Di sini, tindakan berada di titik nol. Diam, hatiku, jangan bercita, tulis Sanusi dalam Candi
Mendut, Jangan kau lagi mengandung rasa/Mengharap bahagia dunia Maya.
Maka tindakan jadi laku: ada di antara posisi yang bukan pasif dan juga bukan aktif. Sajak
Syiwa-Nataraja melukiskan dua gerakan untuk mencapai kemerdekaan: yang satu dengan
metafora menari, dan pada saat yang sama juga tinggal samadi.
Tapi persoalannya tetap: bagaimana laku ini menyiapkan sesuatu yang berarti bagi sejarah.
Di dunia, manusia ada dalam keadaan terlempar. Ia tak siap, ia sebuah kekurangan: ikan
langsung dapat berenang begitu ke luar dari indung telur, tapi manusia tidak.
Sebab itulah ia merasa terancam terhimpit oleh dunia sekitarnya. Ia pun mencoba
mengendalikan alam, termasuk jasmaninya sendiri. Untuk itu ia harus berada di atasnya dan
membebaskan diri darinya.
Maka kebudayaan pun terbentuk, dengan produksi dan teknik yang diperbaiki terus menerus.
Tapi juga dengan kesengsaraan dan penindasan.
Dan di koloni orang-orang yang tertindas, seperti Indonesia di tahun 1930-an ketika Sanusi
Pane menuliskan sajak-sajak yang terkumpul dalam Madah Kelana, tampaknya harus diakui
bahwa konflik-lah yang membentuk manusia. Mungkin sebab itu penyair penganut theosofi
ini tertumbuk pada ruang buntu. Baru beberapa tahun kemudian ia menemukan sebuah jalan
keluar.
Di tahun 1940 ia menulis lakon Manusia Baru, sebuah cerita tentang perjuangan buruh di
Madras,
India. Surendranath Dash, aktivis dari Benggali itu datang membantu para buruh tekstil untuk
menuntut perbaikan nasib. Di sana ia bertemu dengan anak-anak muda kelas menengah,
Sarawaswati Wadia, misalnya. Karena kata-katanya yang menggugah untuk membangun
sebuah India yang baru, yang tak lagi bersifat tenang tapi bergerak dalam ketenangan,
Dash mengubah pandangan orang-orang itu..
Dalam keadaan tertindas, orang memang tak bisa menjalani laku sang kelana yang hanyut
dalam keheningan laut. Ia harus meletakkan diri sebagai subyek. Ia bukan hanya laku. Ia
tindakan.
Dalam proses itu pula, sang kelana tak lagi menggunakan bahasa pemikiran meditatif dan
tak pula memakai bahasa pemikiran puitis bentuk-bentuk yang dipujikan Heidegger
sebagai alternatif bagi pemikiran kalkulatif. Telah ditinggalkannya bahasa yang selaras
dengan suara angin di daun-daun. Surendranath Dash tak menulis sajak..
Tapi hidup di tengah dunia yang belum berubah, manusia baru hanyalah sekedar model.
Lakon Sanusi Pane tak melukiskan liku-liku psikologi yang pelik dan pergulatan jasmani
yang pasang surut dalam proses transformasi dari yang lama menjadi baru. Manusia Baru
praktis sebuah lakon tanpa tubuh tanpa laku.
Di saat itu Sanusi lupa bahwa hidup adalah hidup dalam keterbatasan jasmani dan keasyikan
tubuh. Dash jadi seperti Faust, yang berkata kepada Ruh: Aku, aku Faust, sejawatmu! Ia tak
mau mengaku, bahwa ia berada dalam sejarah.
Di dalam sejarah, di luar surga, manusia harus siap kecewa, tapi mensyukuri apa yang fana..
~Majalah Tempo Edisi. 45/XXXIV/02 8 Januari 2006~
Barangkali sebuah bangsa memang harus selalu menyediakan ruang kosong untuk sebuah
cita-cita. Seperti kita memandang ke kaki langit yang sebenarnya tak berwujud, tapi kita
ingin jelang. Sekaligus, barangkali sebuah bangsa membutuhkan bayangan yang bagai hantu
tentang dirinya: antara jelas dan tak jelas.
Pahlawan Tak Dikenal. Pahlawan Kita. Antara tak dikenal dan kita ada pertautan dan
juga jarak. Ia yang gugur itu adalah seorang yang sebenarnya asingbukan yang dalam
bahasa Inggris disebut foreigner, melainkan strangertapi ia juga bagian terdalam dari aku
dan engkau. Jika tampak ada yang bertentangan di sini, mungkin itu juga menunjukkan
bahwa sebuah bangsaseperti yang dimaklumkan oleh Sumpah Pemuda pada 1928 itu
memang mengandung ketegangan dan keterpautan antara yang asing dan yang tak asing
dalam dirinya sendiri.
Seperti sang pahlawan yang tak dikenal itu: yang termasuk dalam kita tak selamanya
datang dari puak kita. Salah satu anasir dalam bangsa bisa bekerja untuk unsur yang lain,
meskipun keduanya tak saling kenal betul, bahkan ada saat-saat ketika yang satu disebut
asing oleh yang lain. Itulah sebabnya kepeloporan para pendiri Indische Partij tak dapat
dilupakan: orang Indonesia adalah orang yang bisa melintasi batas, menemui yang asing,
untuk jadi satutapi di situ satu sebenarnya sama dengan yang tak terhingga. Sebab
sebuah bangsa yang tak didefinisikan oleh ikatan darah adalah sebuah bangsa yang selalu
siap menjangkau yang bedadan yang beda tak bisa dirumuskan lebih dulu, tak bisa
dikategorisasikan kemudian. Ia tak tepermanai.
Seperti pahlawan tak dikenal itu: ia memberikan hidupnya buat kau dan aku, tapi ia bukan
bagian kau dan aku.
Maka tak aneh jika dalam semangat kebangsaan, tersirat sebuah paradoks: sesuatu yang
universal ada di dalamnya. Sebab sebuah bangsa pada akhirnya hanya secara samar-samar,
seperti hantu, bisa merumuskan dirinya sendiri. Yang penting akhirnya bukanlah definisi,
melainkan hasrat. Renan menyebut bahwa bangsa lahir dari hasrat buat bersatu, tapi seperti
halnya tiap hasrat, ia tak akan sepenuhnya terpenuhi dan hilang. Hidup tak pernah berhenti
kecuali mati.
Dalam hal itu, orang sering lupa bahwa bangsa sebenarnya bukan sebuah asal. Ia sebuah citacitadan di dalamnya termaktub cita-cita untuk hal-hal yang universal: kebebasan dan
keadilan. Bangsa adalah kaki langit.
Kaki langit: impian yang mustahil, sulit, tapi berharga untuk disimpan dalam hati. Sebab ia
impian untuk merayakan sesuatu yang bukan hanya diri sendiri, meskipun tak mudah.
Sebuah bangsa adalah sebuah proses. Jangan takut dengan proses itu, kata orang yang arif.
Tak jarang datang saat-saat yang nyaris putus harapan, tapi seperti kata Beckett dalam
Worstward Ho, Coba lagi. Gagal lagi. Gagal dengan lebih baik lagi.
~Majalah Tempo Edisi 36/XXXVII 27 Oktober 2008~
Sepotong sajak Turki dari zaman Usmani tertulis di antara bingkai yang dilukis dengan warna
keemasan: sebuah sajak yang cantik dan sebuah karya kaligrafi yang piawai. Di sudut
disebutkan: inilah buah tangan Rikkat Kunt (1903-1986).
Penjelasan lain menyusul: Rikkat adalah seorang perempuan juru kaligrafi Turki yang
terkemuka justru di masa ketika Kemal Attaturk mendekritkan bahwa Turki baru harus
mengganti huruf Arab dengan huruf Latin. Artinya, para seniman kaligrafi adalah makhluk
yang terpencil dan hampir punah, dan Rikkat Kunt lolos dari keterpencilan.
Ia menang dalam kompetisi nasional seni kaligrafi dan dapat posisi mengajar di Akademi
Seni Rupa Istanbul. Tapi ia tak akan diingat orang seandainya karyanya tak ikut dipamerkan
di Museum Louvre pada tahun 2000. Dan seandainya tak ada Yasmine Ghata.
Pada 2004, dari perempuan yang waktu itu berumur 31 itu terbit sebuah novel pertama, La
Nuit des Caligraphes.
Hidupku berakhir pada 26 April 1986: umurku delapan puluh tiga. Istanbul sedang
merayakan Pesta Kembang Tulip di Emirgan. Kematian tak membuatku takut. Ajal hanya
kejam terhadap mereka yang takut kepadanya.
Dengan kalimat pembuka seperti itu, novel inibertolak dari riwayat hidup Rikkat Kunt
memang mempesona. Dunia sastra Prancis menyambutnya dengan hangat.
Bisa dimengerti kenapa. Prancis, seperti halnya seluruh Eropa, sedang sibuk dengan dua
nama: Turki dan Islam. Imigran Turki ada di mana-mana, Turki ingin jadi bagian dari
Uni Eropa, dan Islam dilihat terkait dengan kekerasan dan ketidakbebasan perempuan, tapi
juga sebagai bagian dari nasib si miskin yang menanggung sebuah peradaban yang terluka.
Pendeknya, Turki dan Islam adalah nama kini bagi Si Lain. Bagaimana
memperlakukan Si Lain dalam sebuah demokrasi? Sebagai sesuatu yang harus dibuat
tidak beda, agar tak membelah masyarakat? Atau ditoleransi sebagaimana dia adanya, agar
tak terjadi kesewenang-wenangan?
La Nuit des Caligraphes tak bermaksud menjawab persoalan itu. Yasmine Ghata, anak
seorang novelis dan penyair Libanon, lahir di Prancis dan hidup di negeri itu. Ia tergerak
menulis karena satu hal yang intim: Rikkat Kunt adalah neneknya sendiri.
Tapi novel tentang nenek sendiri ini justru menarik bagi pembaca Eropa karena dari
dalamnya Turki dan Islam tetap ajaib: Si Lain yang tak mudah dijelaskan. Nostalgia
kepada sesuatu yang eksotis terasa meruap dalam prosa Yasmine Ghata: daya imajinatif,
yang selalu menghidupkan prosanya, menyebabkan La Nuit des Caligraphes seakan-akan tak
bercerita tentang abad ke-20 melainkan bagian dari dongeng 1001 malam. Tapi dengan itu
pula kisah Rikkat Kunt menunjukkan bahwa sejarah adalah proses yang tak mudah, tak
gampang diputus-putus. Kaligrafiseni tua yang tak juga punah, goresan tinta yang mengalir
membentuk kata dari hurufadalah perumpamaan yang baik tentang kontinuitas.
Sejarah dalam kontinuitas itulah yang menyebabkan masalah besar seperti agama dan
modernisasiyang membayang di belakang novel initak tampil bagaikan dua tenaga
yang berhadap-hadapan dan tak kait berkait. Ini agaknya nilai tambah ketika La Nuit des
Caligraphes diterjemahkan ke bahasa Indonesia (dengan judul Seniman Kaligrafi Terakhir,
oleh Ida Sundari Husen, terbitan Serambi, 2008). Di Indonesia, sebagaimana di Turki, orang
berada di tengah masalah yang sama: konflik atas nama kemajuan, dan konflik atas nama
Tuhan.
Tuhan tak tertarik abjad Latin, kata Rikkat. Napas Tuhan, katanya pula, tak dapat meluncur
di atas huruf-huruf yang pendek, tambun, dan terpisah-pisah itu. Kemal, yang memimpin
Turki agar negerinya maju seperti Eropa, hendak membuat masa lalu lenyap dan membuat
masa depan lekas datang: ia memaksakan penggunaan alfabet Latin ke seluruh negeri. Istilah
lama dari bahasa Arab terkadang diganti dengan istilah Prancis. Para seniman kaligrafi
terluka, kata Rikkat.
Luka itu bukan karena kehilangan posisi, tapi karena sebab yang lebih dalam: seni kaligrafi
adalah ibadah yang tulus dan tragis. Semua seniman kaligrafi berusaha menangkap
kehadiran Ilahi, tapi tak seorang pun berhasil. Tapi mereka ingin terus.
Maka kata malam (la nuit) dalam judul asli novel ini mengandung kiasan untuk suasana
sunyi dalam ibadah itu dan juga suasana gelap karena terancam. Dalam arti tertentu, Seniman
Kaligrafi Terakhir mengandung sebuah pembelaan bagi sikap religius di hadapan sekularisasi
yang agresif.
Dengan latar Eropa sekarang, pleidoi itu punya nilai yang penting. Novel ini jadi suara
pengimbang di tengah sebuah masyarakat yang memandang iman dengan cemooh atau
curiga. Tapi perlu dicatat: dalam novel ini, iman dan agama dan Islam dijalani dengan
imajinasi yang subur.
Rikkat percaya pada hantu Selim (seniman kaligrafi yang berumur 100 tahun, yang
menulis di bawah pengawasan ketat Rasulullah), percaya pada patung-patung kecil darwis
yang bergerak tiap kali mendengar suara orang mengaji, percaya bahwa alat-alat tulis bisa
bergerak sendiri, terkadang menari erotis, juga dalam memuja Yang Maha Suci.
Di hadapan imajinasi yang subur, yang hidup, yang mesra kepada fantasi seperti itu, dan
fantasi yang tumbuh terus dalam kreasi, apa yang lebih yang diberikan modernisasi?
Sesuatu yang terasa terlalu datar, dangkal, dan hanya memikirkan guna dan hasil.
Tapi demikian juga yang diberikan agamajika agama adalah keyakinan yang cuma
mengerti hukum, yang lurus, kering, dan kaku. Menarik bahwa bukan jalan yang lurus yang
diingat Rikkat menjelang akhir. Ia malah bicara tentang zigzag, labirin, dan spiral
yang mengembalikannya kepada yang membahagiakan dan menyusahkan dalam hidupnya.
Ya, hidupnya.
~Majalah Tempo Edisi. 08/XXXVII/14 20 April 2008~
Dalam sajak itu pula Chairil Anwar melukiskan kemurungan dan kelesuan kamar itu dengan
sederet imaji yang makin lama makin dramatis. Sang ibu tertidur dalam tersedu. Sang
bapak terbaring jemu. Mata lelaki tua itu menatap ke sesuatu yang mungkin hanya sebuah
citra ketidak-berdayaan: gambaran orang tersalib di batu. Cahaya terbatas. Malam itu bulan
mengirimkan sinarnya sedikit untuk mengintip, dan tanpak sudah lima anak bernyawa di
sini.
Suasana represif, seperti sel-sel bui yang padat tapi kehilangan suara. Keramaian penjara
sepi selalu.
Chairil menuliskan baris-baris itu sekitar setengah abad yang lalu, di Jakarta yang
penduduknya belum lagi empat juta. Kini kota ini yang baru saja berulangtahun ke-482
dihuni 12 juta orang, dan membaca sajak itu kita terpekur: apa makna sebuah ruang (mungkin
sebuah rumah) di kota seperti ini? Bagaimana pula kelak, di tahun 2025, ketika
diperhitungkan hampir 70% penduduk Indonesia hidup di kota-kota? Apa yang tengah kita
saksikan: sebuah progresi kepadatan dan ketercekikan?
Kecemasan atas kota-kota yang padat tak hanya terbatas di Dunia Ketiga. Di pertengahan
abad ke-20, ada sebuah keluhan tentang Paris: Di Paris tak ada rumah. Itu tulis Gaston
Bachelard, filosof Prancis itu, dalam La potique de lespace. Penduduk kota-kota besar
tinggal di dalam kotak-kotak yang dipasang-susun. Akhirnya rumaha hanya terbangun
horisontal; ia kehilangan kosmisitas-nya. Tak ada lagi pertautannya dengan yang kosmis,
sebagaimana ia kehilangan angkasa, terlepas ari misteri keagungan.
Keluhan Bachelard memang menyiratkan sebuah nostalgia, kerinduan kembali kepada
suasana tempat tinggal yang dengan nyaman dihuni bertahun-tahun di pedusunan dan kota
kecil di pedalaman sesuatu yang tentu saja tak bisa berlaku dalam latar sejarah sosialekonomi Indonesia.
Di Indonesia, terutama di Jawa, kepadatan penduduk sudah lama merampas pedusunan dari
suasana sejuk-tenteram seperti yang dulu diidealkan lukisan Dazentje. Petani miskin tak
mampu lagi punya rumah yang layak dirindukan. Tanah yang kian sempit diolah dan
dimanfaatkan oleh penghuni yang kian lama kian banyak. Sebuah involusi pertanian
(dalam istilah terkenal Clifford Geertz) terjadi: bukan kekayaan dan keluasan yang dibagibagi, melainkan kemelaratan dan kesempitan. Kamar yang dilukiskan Chairil bisa juga
berlaku bagi ruang di rumah-rumah dusun.
Keadaan memang sedikit berubah sekarang, setelah program pengendalian pertumbuhan
penduduk dua dasawarsa yang lalu berhasil. Pertumbuhan kini tinggal 1,3%. Tapi jika lihat
Jakarta, kepadatan tetap sebuah kenyataan yang menyebabkan hubungan antara manusia dan
tempat tinggalnya demikian tak membekas. Kita mengalami, dan menyaksikan, sejenis neonomadisme: orang berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain; rumah bukanlah faktor penting
dalam stabilitas.
Orang hidup dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lain. Orang tak lagi mengenal
tempat sebagai dunung, sebuah kata Jawa yang bukan saja menunjukkan sebuah situs fisik,
tetapi juga afeksi, sentuhan perasaan yang positif, ruang yang pas untukku. Tempat telah jadi
komoditi. Ia bukan lagi bagian dari pengalamanku yang tak bisa dipertukarkan. Ia bukan lagi
mendapatkan wujudnya sesuai dengan wujud diriku; ia tidak lahir dari prosesku mengureg
(burrow, bahasa Inggrisnya), proses seperti ketika tikus tanah membuat ruang hidupnya
dengan membuat liang yang cocok. Para nomad baru tak membangun liangnya; ia masuk ke
sebuah geografi yang sudah disiapkan untuk siapa saja. Di sana, ia hanya seorang tamu.
Neo-nomadisme itu juga lahir dari jarak: di Jakarta, rumah dan tempat kerja seringkali begitu
jauh, lalulintas begitu padat, hingga lebih lama orang hidup di jalanan ketimbang di
kamarnya sendiri. Ia akan berangkat pukul enam pagi, sampai di rumah kembali pukul tujuh
malam, untuk kemudian duduk menonton televisi tentang dunia jauh, sebelum tidur, mungkin
mimpi. Dan pada pukul lima
Tapi tetap ada benarnya, bahwa seorang nomad tak pernah sempurna sebagai seorang nomad.
Pada tiap kesempatan, manusia mencoba membentuk dunung-nya. Juga di Jakarta. Ada
tempat-tempat yang kita bangun dan tempati dengan betah, juga di luar apa yang biasa
disebut rumah. Ada ruang, sebagiannya tersembunyi dalam hati, yang tak hendak dan tak
bisa diperjual-belikan: sebuah pojok di taman, sebuah sudut kota yang menyimpan kenangan,
sebuah pasar yang menambat hati, sebuah kedai, sebuah stasiun bis, sebuah tempat
pertemuan
Di ruang-ruang yang jadi dunung, ada tenaga yang menarik kita ke dalam, membentuk setitik
pusat, membangun dunia yang seakan-akan tanah yang kita ureg. Tapi di zaman ini, ada
tenaga yang juga menarik kita ke luar, karena tempat apapun pada akhirnya hanya sebuah
ruang transit. Barangkali yang akan tetap akhirnya hanya nomor HP atau alamat e-mail. Dan
kita tak menyebut diri tuna-wisma.
Hari ini dan mungkin nanti, Jakarta adalah arus di mana wisma tak lagi relevan. Yang ada
adalah kemah dalam hidup yang tak bisa mandeg. Ada yang hilang dalam kepadatan itu. Tapi
manusia berjalan terus, terengah-engah makin tua, mencoba bisa hidup walaupun dengan selsel sempit yang kehilangan suara, dalam keramaian penjara sepi selalu.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 29 Juni 2009~
Tapi juga keindahan bisa mengalahkan dirinya sendirijika keindahan diartikan seperti yang
tampak di deretan patung di Istana Bogor itu. Bentuk-bentuk itu dimaksudkan sebagai karya
artistik. Tapi ketika yang artistik hanya berarti cantik, yang indah pun jadi sesuatu yang
tunggal. Kecantikan, kerapian, dan keapikan akan menguasai total bentuk-bentuk, dan apa
yang tak cantik, tak rapi, dan tak apik adalah sesuatu yang lainyang harus dilenyapkan.
Agaknya itu sebabnya selalu ada pemberontakan terhadap keindahan yang seperti itu. Pernah
ada masa ketika seni rupa Indonesia didominasi oleh kanvas-kanvas yang menyajikan gunung
yang biru, sawah yang menguning, sungai yang tenang, petani-petani yang tenteram.
Awalnya bisa ditarik ke masa kolonial, ke awal abad ke-19. Dalam Cultivated Tastes:
Colonial Art, Nature and Landscape in the Netherlands Indies (sebuah disertasi yang layak
dibaca para penelaah sejarah seni rupa Indonesia), Susie Protschky menyebut nama seorang
pelukis amatir, Abraham Salm (1801-1876), yang hidup makmur dari perkebunan tembakau
di Malang. Dialah yang praktis mengedepankan lukisan panorama. Suku kata pan dalam
kata itu (pan + horama, kombinasi dua kata Yunani yang berarti pandangan yang
menangkap semua) menunjukkan kehendak untuk mencapai satu totalitas dalam satu kanvas.
Ada hasrat penguasaan terhadap apa yang tampak di luar sana. Dan dalam hal panorama
Salm, penguasaan itu dikukuhkan oleh gambar lanskap yang elok, damai, tertib, sejahtera.
Bagi sang pelukis, yang juga pemilik perkebunan, keindahan hanya punya tempat bagi rust
(ketertiban), dan tidak bagi onrust (kekacauan).
Kecenderungan panorama ini tak terbatas pada Salm. Dalam kanvas, keindahan praktis
diwakili karya Willem Bleckmann (1853-1952), Leo Eland (1884-1952), Ernest Dezentj
(1885-1972), Abdullah Suriosubroto (1878-1941), Mas Pirngadie (1865-1936), dan Wakidi
(1889-1980). Di sebuah masyarakat yang pasaran seni bergerak terbatas di antara pejabat
kolonial dan pengusaha yang ingin ketenteraman, karya para pelukis itulah yang dikenal di
dinding dan di penerbitan masa itu.
Begitu dominan kecenderungan itu hingga ia tak berhenti di masa silam. Bung Karno
menggemari Dezentj, sebagaimana ia menggemari patung perempuan yang bertubuh
harmonis, berwajah siap pasrah, tak menunjukkan pembangkanganapalagi kekacauan. Juga
sebagaimana ia menggemari karya Basuki Abdullah.
Terhadap keindahan yang menampik onrust itulah sejak 1930-an perupa S. Sudjojono
berontak. Ia mencemooh panorama ala Dezentj sebagai lukisan Mooie Indie, Hindia
Molek. Dalam buku yang baru saja terbit, Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar & Pemikiran
S. Sudjojono oleh Aminudin T.H. Siregar, disebutkan bagaimana pelukis itu memandang
kanvas Basuki Abdullah. Lukisan Basuki, kata Sudjojono, cenderung mengutamakan
artistieke plekken, lokasi dan tempat yang memang sudah bagus. Yang demikian bukanlah
Indonesia. Sebab Indonesia, menurut Sudjojono, berarti bersatu, bangun, bekerja, jatuh,
berkorban, dan berjuang terus-menerus.
Sudjojono, tentu saja, bukan seorang penyusun teori yang siap. Cetusan pikirannya tak
sistematis, sering tanpa argumen yang kukuh. Tapi agaknya bisa diduga, ia menghendaki
sebuah kanvas yang tak cuma berisi panorama dan paras yang elok karena terkendali. Katakata bangun, bekerja, jatuh, berkorban, berjuang mengarah ke pengertian sesuatu yang
dinamis, terkadang sakit dan tak menyenangkan, dan tak seluruhnya dapat dipastikan, karena
selamanya ada perubahan, ada perbedaan.
Kreativitas, yang menciptakan sesuatu yang esthetis, dengan demikian mengandung sesuatu
yang lebih dalam ketimbang hanya indah, jika makna indah cuma berarti picturesque.
Dalam sesuatu yang esthetis selamanya tersirat sesuatu yang-tak menyenangkan, yang lain,
yang beda, dan sebab itu bisa mengejutkan. Dalam apa yang esthetis bisa terdapat apa yang
grotesque, mungkin mengerikan, rusuh, ganjil, bahkan menjijikkan: dan itulah sebabnya
karya Picasso atau Frida Kahlo, karya Bacon atau Bosch, karya Affandi atau Masriadi, karya
Edi Hara atau Heri Donountuk menyebut beberapa saja di ruang sempit initidak saja
memukau, tapi juga mengandung sesuatu yang ethis: kesediaan menampung apa yang tak
lazim, yang diabaikan, bahkan ditolak.
Itu sebabnya saya tak begitu berminat menikmati patung-patung molek di Istana Bogor.
Diberi baju atau tidak.
~Majalah Tempo, Edisi Senin, 01 November 2010~
Di sinilah yang absurd berlangsungsesuatu yang dibuat alegorinya oleh Kafka dalam cerita
pendeknya yang termasyhur, Di Koloni Hukuman.
Di pulau itu, seorang opsir menjelaskan kepada seorang pengunjung tentang proses eksekusi
yang akan dijalani seorang terhukum. Ia akan diletakkan telungkup di bawah sebuah mesin
yang bekerja seperti sehimpun jarum tato raksasa, mesin yang akan menusuki si terhukum
dan dengan itu akan tertulis sebuah kalimat perintah di tubuhnya. Setelah 12 jam, si terhukum
mati.
Yang menarik dari penceritaan Kafka adalah bahwa yang jadi fokus bukan si terhukum;
orang ini cuma diam saja, bahkan tak tahu atau peduli apa kesalahannya. Melalui sang Opsir,
tokoh utama yang muncul adalah mesin yang ganjil, brutal, dan rumit itu. Ketika sang Opsir
yang mengoperasikan mesin itu tahu penggunaannya tak akan diizinkan lagi, ia membiarkan
dirinya jadi korban. Mesin ada, dan sebab itu harus didapatkan sasarannya.
Birokrasi juga menyatakan diri perlu, tapi kita tak tahu apa fungsinya ketika ia hadir, dalam
jumlah yang berlebih dan tak bekerja untuk satu hasil. Dalam aturan yang berlaku, sang wali
kota tak boleh memecat pegawainyameskipun ia sanggup bekerja dengan 20% saja dari
tenaga yang ada. Bahkan tiap tahun ia harus menerima 700 pegawai baru.
Memang harus ditambahkan di sini: berbeda dari mesin yang digambarkan Kafka, aparat
pemerintahan di kantor-kantor negara tak tampak mengerikan. Bahkan mungkin alegori Di
Koloni Hukuman tak tepat dipakai. Mereka yang duduk menganggur di kantor wali kota itu
tak punya ciri-ciri mesin yang efektif. Jika kita harus memakai kiasan Kafkamungkin satusatunya novelis yang dengan imajinatif menggambarkan dunia modern yang harus
menanggungkan organisasimaka birokrasi kita lebih mirip sebuah kastil.
Dalam novel Das Schlo, (artinya kastil dan juga gembok), kita dipertemukan dengan
sebuah konstruksi yang mendominasi lanskap desa. Kastil itu menguasai wilayah itu, tapi tak
tampak siapa yang punya. Ketika K datang untuk menghadap, yang disebut hanya seorang
administrator yang bernama Klamm (dalam bahasa Cek berarti ilusi) yang tak pernah bisa
ditemuinya.
Kekuasaan itu tak jelas, tapi terasa, kadang-kadang muncul, melalui lapisan staf dan telepon
yang berdering dan tak disahut. Birokrasi yang impersonal itu pada akhirnya tak menjawab
dan tak jelas kepada siapa ia bertanggung jawab. Di balik bangunan besar itu, mungkin
sebenarnya hanya ada khaos. Gubernur itu menyerah. Wali kota itu menyerah.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 12 Oktober 2009~
dan hancur-menghancurkan telah jadi kenangan yang berdebu, kita akan melihat bahwa
masyarakat manusia juga mengandung benih-benih perkawanan. Tak cuma antagonisme.
Sebab itu, Kita memburu arti, kata Chairil Anwar dalam sajak yang saya kutip di
pembuka tulisan ini.
Memburu arti dalam hal ini mencoba mencari makna dan nilai dari luka dan rasa terhina,
dari pengalaman brutal dan getir yang telah terjadi. Perbuatan baik atau burukkah yang telah
kita lakukan? Untuk sesuatu yang berhargakah ia atau cuma sia-sia? Berharga buat apa, buat
siapa?
Kita pun bergulat untuk menjawab deretan pertanyaan itu. Kekerasan dalam bentuk
pengalaman pra-diskursif kita ganti dengan wacana.
Discourse, atau wacana, yang menggunakan kata-kata, merupakan pilihan yang lebih sedikit
ongkosnya ketimbang mesin kekuasaan dan senjata. Orang tak bisa selamanya dan
sepenuhnya akur dengan orang lain hanya karena ia tunduk kepada aura sebuah otoritas. Atau
ia tunduk karena takut dibinasakan. Setelah bedil disimpan, orang hanya bisa setuju karena
pada saling bicara.
Dalam sajaknya di atas Chairil berseru kepada zaman pasca-perang:
jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,
Tulis!
Tapi benarkah saling bicara, dengan tatapan mata yang lurus dan dengan pena yang baru
diasah itu, bisa menjawab problem dasar politikpolitik dalam arti proses
penyelenggaraan kehidupan manusia sebagai makhluk sosial?
Dalam catatan sejarah, komunikasi memang bagian dari kelahiran demokrasi. Ketika para
penghulu agama dan raja bukan lagi otoritas yang menguasai wacana, di tempat yang kosong
itu yang berperan adalah percaturan pendapat. Muncul kelompok-kelompok yang kian leluasa
mengajukan pikiran alternatif, dengan media massa jadi perantaranya. Ini terutama terjadi di
Eropa, tapi juga kita mengalaminya: ketika pemegang monopoli kebenaran runtuh, orang
memburu, dan bukan hanya menerima, arti.
Tapi betapa tak mudah. Demokrasi adalah sistem yang membuat mereka yang pegang
kekuasaan dan hegemoni menyadari bahwa status mereka tergantung-gantung dalam
kontingensi. Dalam keadaan yang tak permanen itu, bagaimana arti yang tetap dapat
ditegakkan, dan bagaimana arti itu dirumuskan sebagai kaidah?
Dalam ketiadaan tempat berpegang itu orang umumnya menunjuk kepada kebenaran.
Veritas non auctoritas facit legem. Kebenaran, bukan auctoritas, itulah yang membuat
kaidah.
Tapi tak dengan sendirinya itu gampang. Persoalan klasik kita, bagaimana sanggup
kebenaran jadi kaidah, bila kebenaran itu sendiri jangan-jangan dibentuk oleh
kekuasaan? Bagaimana menetapkan kebenaran itu, bila ibarat kata pepatah, kepala sama
berbulu, pendapat berlainan?
Ada yang percaya, mengikuti Habermas, aksi komunikatif akan mencapai konsensus. Ada
yang percaya, terdapat hubungan yang lempang antara rasionalitas, rembukansebagai
proses pertimbangandengan kebenaran.
Pandangan ini optimistis sekali. Katakanlah ini optimisme epistemik: ia berpegang pada satu
premis bahwa ada sesuatu dalam bahasa manusia yang menyebabkan sebuah argumen dapat
berpengaruh tanpa dipaksakan. Itulah daya komunikatif. Habermas mengibaratkan daya
komunikatif sebagai sebuah kekuatan yang mengepung, bukan mengambil alih: daya itu
hanya mempengaruhi sekeliling arena tempat berlangsungnya penilaian dan keputusan politik
dan bukan menaklukkan arena itu. Daya aksi komunikatif yang sejati menang tanpa
ngasorak. Bahkan kata menang itu tak pas untuk dipakai, sebab tak ada yang dikalahkan.
Konsensus bukanlah kekalahan.
Saya tak seoptimistis itu. Tentu saja saya mengakui, konsensus bukan sesuatu yang mustahil
di akhir sebuah proses politik. Demokrasi deliberatifyang membuka diri pada rembukan
dan saling mempertimbangkandengan prosedur yang benar akan bisa mencapai mufakat.
Setidaknya mufakat dalam pengertian bereinstimmung yang dipakai Habermas: bukan
sepaham, tapi mencapai titik pertemuan yang cocok.
Tapi saya tak yakinseraya mengasah pena dan menulis, seraya menggunakan bahasa
dengan sendirinya kita melakukan aksi komunikatif ke titik pertemuan itu. Kita tak bisa jadi
pengarah. Justru kata dan bahasa itulah yang mempergunakan kita, bukan sebaliknya. Seperti
dikatakan sebuah sajak Subagio Sastrowardojo:
Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata
Dengan kata lain, dalam bahasa, kita terbelah.
Kita hanya mengulangtermasuk mengulang sebutan dari praduga masa lalu, ide yang sudah
lama atau bahkan mati, acuan yang telah lewat. Tapi pada saat itu pula, dalam berkomunikasi
kita ingin semua signatum yang sudah ada mengutarakan apa yang sedang ada pada saat ini.
Makna pun berubah tiap kali. Tak ada yang siap.
Sebab itu aksi komunikatif bukanlah untuk menyampaikan makna, melainkan untuk
membentuknya. Rasionalitas yang komunikatif sekalipun ikut terperangkap dalam kata.
Maka berbahaya bila politik dalam demokrasi dikerahkan untuk merumuskan kebenaran
dan dengan kebenaran itu disusun akidah. Politik dalam demokrasi pada akhirnya harus
mengakui bahwa aksi komunikatif yang terbaik bukanlah dengan bahasa yang sudah terangbenderang, tapi bahasa yang terbentuk karena krisis, konflik, kekurangan, dalam kehidupan.
Sebaris lagi dari Chairil: Tulis karena kertas gersang dan tenggorokan sedikit mau basah.
~Majalah tempo Edisi Senin, 25 Januari 2010~
Kurawa tak dapat memilih untuk mati dengan cara lain. Apa arti pilihan dan keputusan
manusia di bawah Nasib dan Kutuk yang permanen?
Pada akhirnya memang tak pernah bisa jelas, dalam waktu yang manakah manusia ketika ia
menanggung sengsara atau berlaku buas, merasa bahagia atau lupa daratan. Ada waktu dari
Nasib, waktu sebagai Kala, yang tak berubah dan tak mengubah. Di dalam Kala, manusia tak
dapat lepas memilih dan memutuskan masa depannya dengan bebas. Tapi sementara itu ada
waktu sehari-hari: waktu ketika manusia menyakiti dan disakiti, membunuh dan dibunuh,
rindu dan bahagia, heroik dan culas. Itulah waktu ketika manusia jadi subyek, biarpun
sejenak, biarpun tak utuh.
Persoalannya tentu: mungkinkah subyek lahir, subyek yang melawan situasi tempat ia hidup,
merombak kondisi yang membentuknya, subyek yang terlepas dari posisi obyek di bawah
Sang Kala? Dalam Bharatayudha, contoh yang utama bahwa hal itu mungkin adalah Karna.
Ia anak seorang sais. Ia anak sudra, tapi ia berani maju menandingi para ksatria. Ia, seorang
pendekar yang diklaim sebagai saudara seibu para Pandawa, tetap memilih berpihak kepada
Kurawameskipun tahu pihak yang dipilihnya akan hancur. Tapi ia bebas.
Mungkin ada saat-saat yang tak dikisahkan ki dalang ketika Karna berdiri sendiri memandang
ke arah kayon. Wilayah itu tak akan pernah dijangkaunya: pohon-pohon dengan cabang yang
agung, gapura yang selalu siap menyambut dan mengunci rahasia, sepasang raksasa yang
berjaga entah atas titah siapa, dan macan, dan banteng, dan kera, dan burung merak
semuanya suasana angker yang tak mempunyai bahasa.
Pada saat seperti itu ia sadar, ia jauh dari sana, ia hidup dengan waktunya sendiri. Lebih
radikal lagi, iayang merasa ada misteri yang membayang dari gunungan itumemutuskan
untuk bertindak, tanpa merasa siap mengetahui rahasia hidup. Nasib? Sang Kala? Baginya
semua itu lebih baik ia tinggalkan. Terlalu pahit untuk ditanggung. Ia tak terikat dengan
sebuah masa lalu dan sebuah masa depan. Ia hanya punya masa kini dan sebuah pertalian
dengan orang lain: para Kurawa.
Dengan itulah Karna jadi subyekjustru karena ia, seraya melepaskan diri dari Waktu, Kala,
menjangkau orang lain dan bertanggung jawab kepada mereka. Pada dirinyalah sebenarnya
Bharatayudha jadi kisah kepahlawanan dan sekaligus tragedi.
Tapi entah kenapa, para dalang tak pernah mengatakan itu. Karna tewas dihunjam panah
Arjuna, tapi tak ada yang bercerita bagaimana ia dikuburkan. Yang pasti bukan sebagai
pahlawan. Mungkin sebab itu tiap kali gunungan ditancapkan, dan suara gamelan menghilang
dari cerah pagi, kita tahu ada sesuatu yang belum diutarakan dan kita tak mengerti.
~Majalah Tempo, Edisi. 50/XXXVI/04 10 Februari 2008~
Pada kesan pertama, orang Norwegia itu memang ganjil. Kekerasan dengan darah dingin di
sebuah negeri tempat pemberian Hadiah Nobel Perdamaian? Gerakan sayap Kanan? Begitu
kuatkah gerakan itu di bagian dunia yang pernah dianggap tauladan sosialis-demokrat ini?
Tapi zaman berubah. Sosialisme, dan bersama paham ini semangat yang lebih toleran, tengah
surut di Skandinavia. Juga di seluruh Eropa. Tembakan Breivik yang membunuh para kader
Partai Buruh itu berbareng dengan keruwetan jiwa yang setengah tersembunyi di
masyarakatnya. Sinting atau tidak, apa yang dilakukannya sebuah isyarat: kita tengah
memasuki zaman kebakhilan. Eropalah yang memulainya.
Breivik tak sendirian, meskipun tak semua orang yang sepaham akan mau membunuhi
sejumlah pemuda yang kesalahannya hanya karena mereka pendukung Partai Buruh. Bagi
Breivik, Partai Buruh harus dihabisi; partai inilah yang dengan mudah membiarkan kaum
imigran, terutama yang muslim, masuk ke Norwegia.
Breivik dulu anggota Partai Kemajuan Norwegia, Fremskrittspartiet. Partai ini tak jauh
pandangannya dari sang pembantai, meskipun pemimpinnya, Siv Jensen, menyatakan merasa
sedih bahwa bekas anggotanya bertindak demikian. Yang menegaskan bahwa Breivik tak
sendirian: Partai Kemajuan kini berada dalam posisi yang naik.
Di bagian Eropa lain, seorang tokoh politik sayap Kanan Italia, Francesco Speroniyang
pernah duduk dalam kabinet Berlusconi yang berkuasamenyebut gagasan Breivik
bertujuan membela peradaban Barat. Eropa sedang terancam oleh Islam, kata mereka,
Eropa sedang berubah jadi Eurabia.
Kecemasan itu adalah ekspresi kebakhilanyang membuat pandangan Kanan kembali jadi
antitesis gerakan Kiri. Inti pandangan ala Breivik dan Speroni adalah eksklusivisme. Bagi
mereka, pelbagai hal di dalam hiduplapangan kerja, bantuan sosial, peradaban Barat
adalah milik eksklusif.
Eksklusivisme atau kebakhilan menampik orang lain ikut dalam ruang dan waktu, di sebuah
wilayah yang batasnya mereka tentukan dan tutup sepihak.
Batas itu mereka beri dasar agama; mereka menyebutnya Kristen. Seperti halnya di
sementara kalangan Islam, mereka anggap kebenaran dan Tuhan milik eksklusif mereka.
Batas itu mereka beri wilayah: Eropa. Dan waktu mereka adalah waktu yang dulu
artinya terbatas, bukan waktu yang berlanjut dan membawa perubahan.
Itu sebabnya mereka konservatif. Konservatisme juga eksklusivisme. Bila pemikiran Breivik
hendak mengembalikan perempuan ke status yang lebih rendah ketimbang yang telah berlaku
sejak akhir abad ke-20, itu juga menunjukkan bahwa konservatisme itu bergabung dengan
kebakhilan: bagi mereka, hak-hak tertentu hanya hak kaum lelaki. Orang harus kembali
seperti dulu, kata mereka. Yang tak mereka sebut, dulu itu adalah dulu dalam ingatan
yang eksklusif. Ingatan pihak lain, misalnya ingatan kaum perempuan, tak boleh ikut.
Dibandingkan dengan itu semua, kaum Kiri punya tradisi anti-kebakhilan. Tradisi itu bisa
ditarik ke gagasan komunisme awal. Dalam The Idea of Communism (editor: Slavoj Zizek
dan Costas Douzinas), Jean-Luc Nancy menyebut the Diggers di Inggris abad ke-16, yang
menganggap tanah sebagai common treasure atau harta bersama. Dari sini pula kata
commonwealth lahir dan dibawa oleh Republik pertama.
Tapi jika horor selalu berkait dengan yang aneh dan tak terjangkau, bukan berarti ia tak bisa
berupa kejadian sehari-hari. Ia bahkan bisa terasa banal; kita ingat Hannah Arendt pernah
berbicara tentang the banality of evil.
Mungkin itulah yang terjadi kini. Tiap malam kabar datang dari Irak tentang bom yang
meledak dan orang terbunuh berpuluh-puluh, dan kita baca dalam Lancet, jurnal kedokteran
Inggris yang ternama itu, 650.000 jiwa mati selama empat tahun sejak Amerika menyerbu
Bagdad. Berarti, 450 nyawa putus saban hari.
Jika tak ada yang terasa mengerikan dalam the deadliest international conflict of the 21st
century inibegitulah Perang Irak disebut dalam Lancetmungkin karena kita telah
tumpul hati. Tapi lebih mungkin karena kebuasan itu telah ditampilkan sebagai bagian dari
ikhtiar orang yang normal.
Di belakang ikhtiar yang membawa kematian itu memang tak ada tokoh yang ganjil. Tak ada
lelaki tambun berambut disasak seperti Kim. Yang ada mereka yang berjas-dan-dasi seperti
para eksekutif di kantor yang bersih. Bahkan paras para jenderal mereka tak menakutkan,
tentara mereka tampan seperti di film Hollywood, percakapan mereka hidup, terkadang
disertai humorpenampilan yang tersiar ke seluruh dunia dari waktu ke waktu. Mereka
bukan Kaisar Ming, bukan Dr. No. Mereka Bush, Cheney, Rumsfeld, Blairorang-orang
yang tampak rukun beranak-istri, punya waktu senggang untuk berburu, rajin beribadat.
Tapi tidakkah yang normal sesungguhnya menutupi sesuatu dengan lupa? Lupa, dalam hal
ini, mencoba menenggelamkan ke bawah-sadar segala hal yang tak pas bila kita hendak
tampil jadi orang. Jadi orang artinya mengikuti pola yang dikehendaki Mereka (dengan
M), kekuatan-kekuatan efektif yang menyusun tata dan menentukan wacana. Dari wacana
M itulah terbentuk yang normal. Orang pun ramai-ramai ikut, meskipun (atau justru
karena) di dalamnya terkandung lupa dan represi.
Membentuk yang normal memang punya kekerasan tersendiri. Sebanyak 650.000 orang
mati di Irak, dan itu bagian dari usaha Tuan Bush untuk membuat negeri itu normal;
350.000 orang mati hampir sekaligus di Nagasaki dan Hiroshima, dan itu karena yang
berkuasa di Amerika ingin membentuk dunia seperti wajah mereka. Dan kita, yang menerima
itu sebagai sesuatu yang wajar, alpa bahwa ada yang mengerikan dari lupa.
Kata yang-mengerikan-dari-lupa, lhorreur de loubli, saya pinjam dari Hiroshima Mon
Amour. Film Alain Resnais dari tahun 1960 dengan teks Margaret Duras iniyang sarat
dengan ingatan tentang bom ganas yang meledak pada pagi 6 Agustus 1945 itumemang
menghadirkan ketegangan antara kehancuran perang dan percintaan, lupa dan trauma, tempat
dan saat, 14 tahun setelah Hiroshima luluh-lantak dan bangun kembali.
Seorang perempuan datang dari Prancis ke kota itu. Ia bertemu seorang lelaki Jepang, dan
mereka bercinta. Perempuan itu hanya disebut elle, pria itu lui. Kemudian kita tahu: elle
bergulat pedih dengan masa lalunya di Neverskekasihnya seorang prajurit Jerman, musuh
yang akhirnya ditembak matidan lui dengan ingatan tentang Hiroshima yang binasa. Tapi
hanya itu yang kita tahu. Biodata mereka seakan terhapus.
Hiroshima, itu namamu, kata perempuan itu.
Namamu, untukmu, Nevers, kata lelaki itu.
Mereka berpelukan.
Mereka mencoba melupakan, mereka ingin lumat. Tapi justru dalam ke-terhapus-an mereka,
masa lalu tambah mengiris, dengan cara yang sederhana. Lupa, seperti ingat, adalah memilih
mana yang disimpan dan dibuang. Tapi tak urung, yang disimpan dan yang terhapus susupmenyusupi: Seperti kau, juga akukucoba sekuat tenaga melawan lupa. Seperti kau, aku
melupakan. Seperti kau, kuinginkan kenangan yang tak mungkin terhibur, kenangan tentang
batu dan bayang-bayang.
Kepedihan, kontradiksi, dan keretakan diri itulah yang menjadikan mereka tanda luka sejarah
yang dalam, saksi horor 1.000 batu dan bayang-bayang. Justru Hiroshima yang tidak. Kota
itu telah dipermak jadi ruang yang melupakan apa yang terbelah dalam dirinyaruang yang
normal dan banal.
Banalitu juga yang bisa dikatakan tentang dalih Bush dan orang sejenisnya. Ketika ribuan
kematian hanya mereka anggap statistik, ketika lupa menghapusnya sebagai tragedi, ketika
kebuasan itu tak diingat sebagai akibat kesalahan fatal mereka sendiri, yang normal dan yang
ab-normal tak bisa lagi dibedakan.
Maka dunia pun seperti menemukan kembali horor yang disangka tak ada lagi, ketika Kim
muncul tak bisa ditebak, menyeringai ke Amerika yang kewalahan, dan menggertak. Ia
memang aneh, dan senjata itu membuat kita jerimeskipun sebenarnya belum tercatat sudah
berapa ribu orang yang mati.
~Majalah Tempo Edisi. 36/XXXV/30 Oktober 05 November 2006~
Siapa pula yang menentukan bahwa mereka mewakili rakyat Indonesia? Penguasa militer
Jepang yang waktu itu sedang akan kalah dalam Perang Pasifik tentu mendengarkan sejumlah
penasihattermasuk Bung Karno dan Bung Hattatentang siapa saja yang harus diundang
ke rapat persiapan itu. Tapi pada akhirnya kekuasaan de facto itulah yang menentukan,
lengkap dengan unsur pemaksaan yang entah harus dipertanggungjawabkan kepada siapa,
sesuatu yang lazim terjadi di masa genting dan tergopoh-gopoh seperti itu.
Dengan kata lain, Indonesia adalah persilangan dua jenis waktu. Yang pertama waktu yang
tak dapat ditandaiwaktu yang berlangsung bersama tumbuhnya keinginan kita dan para
pendahulu kita untuk jadi satu bangsa. Yang kedua waktu yang bisa ditandai dalam sebuah
titimangsa, misalnya 17 Agustus 1945.
Bahwa waktu yang kedua itu kemudian melampaui batasnya sendiri17 Agustus 1945
hanya berlangsung selama 24 jam, tapi ia seakan-akan berlangsung terus hingga 2007itu
berarti bahwa waktu yang pertama itulah yang menentukan. Keinginan jadi satu bangsa
tumbuh sebelum hari itu, dan terus tumbuh setelah hari itu. Angka 45 yang sering kalian
anggap keramat itu jadi berarti justru karena ada sesuatu yang tak stop di sana.
Para jenderal yang kehilangan kekuasaan dan kenikmatan, tahukah kalian, konstitusi yang
disebut UUD 45 itu hanyalah satu formulasi dari pelbagai keinginan yang belum terpenuhi
semuanya? Angka 45 hanyalah sebuah momen; naskah yang ditandatangani di hari itu juga
hanya sebuah momen. Waktunya terbatas. Memang momen pada gilirannya dapat berubah
bagaikan sebuah monumen. Tapi itu terjadi ketika dalam keterbatasannya sang momen
mendapatkan peran dan makna karena bertaut dengan waktu yang tak dapat ditandai, waktu
yang datang sebelumnya dan sesudahnya, waktu yang entah di mana berawal dan berakhir,
waktu yang menyebabkan bangsa ini ada dalam sejarahdan ada dalam keadaan yang serba
mungkin.
Monumen, kita tahu, bukan barang mati. Ia jadi barang mati jika ia tak lagi ditafsirkan terusmenerus.
Sebuah konstitusiberbeda dengan sebuah puisimemang berniat membatasi penafsiran
yang nyaris tak terbatas. Tetapi sebuah konstitusi akan jadi sesuatu yang segera usang jika ia
tak dilihat sebagai teks yang terbatas dan bersifat membatasidan dalam posisi itu ia
sebenarnya merupakan momen dari kehendak akan keadilan yang tak kunjung padam
dalam hati manusia. Tiap konstitusi hanyalah jawaban di suatu saat atas imbauan keadilan
yang selalu dijanjikan, keadilan yang selalu akan datang.
Dengan kata lain, wahai para jenderal yang kehilangan kekuasaan, tiap undang-undang dasar
adalah undang-undang dasar sementara. Sebagai tanda bahwa para anggota panitia persiapan
kemerdekaan dan perumus UUD 45 bukanlah sejumlah makhluk ajaib, mereka
mencantumkan satu kalimat yang sederhana, rendah hati dan arif: di sana dibuka
kemungkinan bahwa kelak konstitusi ini dapat direvisi. Jangan sekali-kali menyembah
aksara! kata Bung Karno suatu kali.
Jenderal, kini tahun 2007. Setelah melalui waktu yang lamadengan rekaman kesalahan
yang panjang pulaaksara itu sebagian diubah dengan drastis. Dalam amendemen yang telah
berlaku kini, seorang presiden tak lagi dibiarkan terus-menerus berkuasa; kita telah melihat
akibatnya di bawah Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Hak-hak asasi manusia
dicantumkan dengan tegas, setelah begitu banyak manusia kalian bunuh dan penjarakan
hanya karena berbeda pendapat dengan yang berkuasa. Diskriminasi rasial ditiadakan.
Presiden dipilih langsung rakyat. Pemilihan umum berlangsung bebas. Genggaman
sentralistis ke daerah praktis dilepaskan.
Para jenderal yang kehilangan kekuasaan, amendemen itu tak sempurna memang. Tapi ingat:
mereka yang melakukan perubahan itu adalah legislator yang dipilih rakyatyang memang
tak perlu peduli akan suara orang tua yang jadi cengeng. Dan akan lupakah kita bahwa
sejumlah mahasiswa telah tewas buat membuka jalan bagi para legislator itu untuk bisa
bekerja di Senayan, hingga UUD 45 diperbaiki dan demokrasi ditegakkan?
Para jenderal yang kehilangan kekuasaan dan kenikmatan, tahu dirilah kalian! Darah yang
mengalir di kampus Trisakti, di kampus Atmajaya, di pelbagai petak jalan di seluruh Tanah
Air, menunjukkan bahwa amendemen konstitusi itu juga datang bukan dari langit, melainkan
dari marah dan kepedihan. Sekali lagi keadilan mengimbau, dan hari mengandung janji
dalam pergulatan yang bahkan lebih sengit ketimbang ketika UUD 45 dirumuskan di gedung
yang tenang di Menteng yang nyaman, di Jakarta yang dijaga tentara Jepang.
~Majalah Tempo, Edisi. 49/XXXV/29 Januari 04 Februari 2007~
Namun saya mengerti kenapa Si Mamad merasa bersalah dan Havelaar marah. Bukan sebab
kesadaran modern rasanya, tapi karena di situ ada sesuatu yang lebih tua dan lebih dalam,
yakni soal adil dan tak adilihwal yang telah merisaukan manusia sejak sebelum datang
negara modern dengan legislasinya. Saya kira dari situlah lahirnya garis batas yang saya
sebut tadi.
Korupsi dianggap salah karena ia tak adil: perbuatan itu menghasilkan sesuatu yang
berlebihanuang, kekuasaan, nama baik, juga kekejamanyang secara berlebihan pula
merugikan orang lain yang sedang ada dalam status dan posisi lain. Maka bisa dimengerti
kenapa bukan cuma Havelaar yang marah. Seperti ditulis sejarawan Sartono Kartodirdjo
dalam karyanya yang terkenal tentang pemberontakan petani Banten pada abad ke-19, orangorang udik itu pun melawan, seraya berharap datangnya Ratu Adil.
Angan-angan atau bukan, ratu yang adil tak selamanya dianggap berasal dari seberang
samudra dongeng. Dulu saya pernah membaca satu fragmen sejarah Jawa Tengah abad ke-7,
tentang Ratu Sima yang melarang orang mengganggu barang yang bukan miliknya. Syahdan,
suatu hari seorang pangeran melihat sekantong emas di jalan. Ia menyepaknya. Baginda Ratu
pun menghukum anak kandungnya itu. Dongeng atau bukan dongeng, cerita ini
mencerminkan hasrat untuk yang adil: di sana hukum berlaku bagi siapa saja, dan ada
penangkalan terhadap nepotismebiarpun ini abad ke-7.
Kemudian lahir negara modern. Juga di Indonesia. Negara modern sesungguhnya adalah
sebuah bangunan yang berusaha agar soal adil dan tak adil tidak diputuskan hanya
karena kebetulan dan karena nasib. Seperti dibayangkan Hegel (dari Eropa yang dirundung
perang dan persengketaan), Negara (dieja dengan N) berarti Negara Rasional, yang
mengelola kebersamaan tanpa anarki ataupun tirani. Di sana hukum dipatuhi sebagai
pengejawantahan akal budi yang universal, bukan karena dorongan nafsu dan kepentingan
tertentu. Di sana birokrasi digambarkan sebagai struktur yang ajek dan mengikuti nalar.
Marx memang kemudian menunjukkan bahwa Hegel hanya menutup-nutupi fiil yang buruk.
Bagi Marx, Negara adalah sesuatu yang menindas. Baru ketika tak ada lagi kelas sosial
yang punya kebutuhan untuk represif, Negara akan lingsir. Tapi seperti Hegel, Marx
membayangkan Negara sebagai suatu kehadiran, utuh, kompak, bergemingseakan-akan tak
akan pernah terjadi saling terobos antara yang Negara dan yang bukan-Negara, antara
yang publik dan yang privat. Hegel dan Marx tak membayangkan Negara sebagai
sesuatu yang tak kunjung selesai.
Seandainya mereka melihat Indonesia sekarang.
Di negeri ini, Negara adalah sebuah paradoks: ia represif dan sekaligus rentan, cerewet dan
sekaligus ceroboh. Polisi yang dengan rajin menyetop sopir yang dianggap melanggar aturan
Negara adalah juga polisi yang siap menerima sogok. Birokrasi yang dengan produktif
mengeluarkan regulasi adalah juga birokrasi yang mengharap agar peraturan pemerintah
sering dilanggar, dan dengan itu si pelanggar akan membayar.
Dengan kata lain, korupsi bukanlah tanda bahwa Negara kuat dan serakah. Korupsi adalah
sebuah privatisasitapi yang selingkuh. Kekuasaan sebagai amanat publik telah
diperdagangkan sebagai milik pribadi, dan akibatnya ia hanya merepotkan, tapi tanpa
kewibawaan. Keadilan yang dikelola oleh kejaksaan dan kehakiman bisa dibeli dengan harga
tertentu, maka ia berperan tapi tak menjadi keadilan. Kekerasan yang dimonopoli Negara,
dan dipegang oleh polisi dan tentara, bisa jadi komoditas seperti jasa tukang pijat, ketika
seorang marinir bisa disewa untuk membunuh dan seorang anggota Kopassus bisa dibayar
untuk jadi bodyguard.
Berangsur-angsur, korupsi, yang melintasi sebuah garis batas, berakhir jadi cerita hantu.
Hantu itu bernama Negara Kesatuan Republik Indonesiasesuatu yang sebenarnya bukan
100 persen Negara, bukan pula kesatuan, sesuatu antara ada dan tiada, seram dan tak
menentu.
~Majalah Tempo, Edisi. 34/XXXII/20 26 Oktober 2003~
prinsip jadi bengkok. Tapi mau apa lagi? Kau bayangkan orang bisa mengatur kekuasaan
dengan tanpa dosa? tanya Hoederer kepada Hugosebuah tanya yang tak bertanya.
Mengatur kekuasaan adalah sebuah posisi dan tugas yang pada akhirnya diarahkan kepada
sebuah efek. Hasil adalah yang terpenting, dan segala hal lain dinilai berdasarkan itu. Semua
cara dinilai baik, kata Hoederer, bila efektif.
Itu sebabnya ia tak ragu untuk menajiskan tangannya. Tapi apa yang najis dan kurang najis
telah diporak-porandakan Sartre dengan menampilkan Hoederer. Pada akhirnya Hugo
menembak mati Hoederer. Tapi bukan karena dorongan tugasnya. Ia cemburu. Jessica,
istrinya, jatuh hati kepada Hoederer yang jauh lebih tua, lebih matang, dan sebenarnya orang
baik yang gampang mempercayai orang lain.
Yang ironis ialah bahwa akhirnya Partai mengakui benarnya strategi Hoederer dalam
membentuk front bersama dengan partai-partai borjuis. Hoederer dibersihkan namanya. Ia
dinyatakan sebagai pahlawan, bukan seorang yang dibunuh karena telah menyalahi garis
politik, bukan pula karena soal cinta dan cemburu.
Ia akhirnya juga bagian dari dusta, bahkan ketika ia tak berada di kancah perjuangan lagi.
Mungkin Jessica benar ketika ia berkata, Indah sekali, manusia yang bersendiri. Tapi
dengan itu sebuah dilema tak terelakkan. Dalam kesendiriannya, manusia tak perlu
mempengaruhi, menguasai, atau bersekutu dengan orang yang berfiil jahat, tak perlu pula
menggunakan siasat setengah atau 100 persen menipu, tak perlu menyogok dan tak usah
menakut-nakuti. Tapi dalam kesendirian itu bagaimana ia akan mengerti yang baik dan
buruk, dan mengubah hidup? Bagaimana, seperti kata Hoederer, orang bisa mengatur
kekuasaan dengan tanpa dosa?
Makna tangan kotor dalam lakon Sartre memang harus dibedakan dengan cara mereka
yang bergelimang najis untuk kepentingan diri sendiri. Tentu saja tak selamanya jelas, sejauh
mana seseorang tahu, atau tulus, ketika ia mengatakan bahwa ia berbuat sesuatu dengan
tangan kotor untuk kepentingan yang lebih besar. Di Indonesia, bahkan tentara yang
dikerahkan atas nama keamanan nasional atau keutuhan teritorial mungkin hanya berdasarkan
perhitungan dana anggaran yang akan dicuri sejumlah jenderal yang gemar bicara tentang
patriotisme.
Itu sebabnya ada kehendak yang sah agar mana yang najis, mana yang mulia, tak ditentukan
berdasarkan tujuan sebuah tindakan. Ada yang, seperti Kant, menegaskan utamanya dasar
nilai yang deontologis: kita berbuat baik karena kewajiban moral, bukan karena akibatnya
yang bermanfaat. Jika seorang pembunuh datang ke Anda dan bertanya di mana orang yang
akan dibunuhnya bersembunyi, Anda tak boleh bohong, bila Anda tahu. Bohong, biarpun
untuk tujuan baik, adalah sesuatu yang secara moral tak bisa dibenarkan.
Saya tak tahu akankah saya berbuat begitu. Ada yang menakutkan dalam tiap pemutlakan.
Apalagi dasar nilai deontologis bisa merupakan problem, karena dalam hal menentukan apa
yang kotor dan suci mungkin terlibat sebuah proses politik yang diam-diam menentukan
siapa yang menang untuk didengar. Hoederer mencoba membongkar konstruksi itu. Ia punya
alasan yang kuat. Tapi ia salah ketika menyimpulkan bahwa dunia diciptakan buruk.
Sebab, jika demikian, yang baik harus dibangun dari titik nolsementara yang baik
bukan hal yang mustahil ada di antara dan di dalam kita. Bukankah kejahatan selalu
berhadapan dengan kata tidak?
sebelum bertugas mematikan api; ada pula para pelayan rumah sakit yang di tiap sudut, dari
ruang ke ruang, meminta uang.
Dalam situasi itu, kejahatan terbesar korupsi adalah menghancurkan modal sosialsebuah
sikap masyarakat yang percaya bahwa orang lain bukanlah buaya. Korupsi menyebabkan
kepercayaan itu rusak. Ejekan yang memelesetkan singkatan ICAC (jadi I can accept cash,
atau I corrupt all cops) adalah indikasi hancurnya modal sosial. Negeri telah jadi sederet
labirin yang membusuk.
Maka ICAC, terlebih lagi KPK, lahir dengan kekuasaan yang abnormal: ia mekanisme
penyembuhan yang juga sebuah perkecualian. Kekuasaannya lain dari yang lain. Wewenang
KPK bahkan lebih besar ketimbang ICAC. Di Hong Kong komisi itu tak punya wewenang
menuntut. Di sini, KPK mempunyainya.
KPK juga tak hanya harus bebas penuh dari dikte kekuasaan mana pun. Di Hong Kong,
ICAC bekerja secara independen namun bertanggung jawab kepada Chief Executive, yang
dulu disebut Governor. Di Indonesia, KPK tak bertanggung jawab kepada Presiden.
Keluarbiasaan itu mungkin kini tak hendak dibicarakan. Tapi mungkin tak bisa dilupakan:
keadaan yang melahirkan kekuasaan sebesar itu ibarat (untuk memakai kata-kata Agamben)
daerah tak bertuan antara hukum publik dan fakta politik. Dengan kata lain, kekuasaan itu
lahir dari kehendak subyektif yang menegaskan kedaulatan.
Tapi pada akhirnya kedaulatan itu bertopang pada legitimasi yang contingent. Tak ada dasar
yang a priori yang membuat kedaulatan itu, dan para pemegang kekuasaan istimewa itu,
datang begitu saja.
Dengan kata lain, di daerah tak bertuan, kekuasaan justru semakin perlu pembenaran.
Apalagi kekuasaan yang diperoleh ICAC dan KPK bersifat derivatif: bukan datang dari
pilihan rakyatsumber mandat sebuah demokrasimelainkan dari badan-badan yang dipilih
rakyat. Ia terus-menerus butuh pihak di luar dirinya. Ia butuh sekutu, dengan segala
risikonya. Bahwa tugas ICAC maupun KPK merupakan tugas luhur yang mengatasi
kepentingan sepihak, tak berarti politik (the political) berhenti. Kekuasaan selalu ada
bersama resistansi terhadap dirinya.
Maka konflik bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Sengketa bahkan bisa lebih panjang
ketimbang sebuah cerita film Hong Kong. Adegannya mungkin kurang brutal dan dramatis,
tapi akan ada korban manusia yang bersalah atau tak bersalah. Sebab, di daerah tak
bertuan, perjuangan melawan korupsi adalah perebutan tiap jengkal ruang strategis yang
tersedia. Tiap benteng harus dikuasai, bukan dikosongkan. Tiap langkah adalah kesetiaan,
dengan kegemasan, tapi juga dengan organisasi yang dipersiapkan untuk perang 100 tahun.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 05 Oktober 2009~
menyembunyikan diri di bawah batu-batu karang yang menjorok melampaui tebing. Tak ada
cerah yang tersisa, rasanya.
Deretan pertapaan hancur; begitu brutal tentara Raja Bhoma memporakpandakan wilayah itu.
Di tepi hutan, ladang-ladang telah binasa bersama benih kering yang tertanam di antara
pematang. Ilalang hangus, rata. Sebuah padepokan yang asri musnah; dindingnya tak
berbekas. Hari-hari murung. Dan di pohon-pohon beringin, capung pun bertangis-tangisan
sedih ditinggalkan oleh mereka yang mencintai keindahan.
Itulah kalimat penyair penggubah Bhomantaka, puisi naratif Jawa Kuno yang ditulis di abad
ke-12. Diterjemahkan oleh A. Teeuw dan S.O. Robson, puisi yang terdiri dari 118 canto ini
mengisahkan perang antara pasukan Kreshna dan balatentara Raja Bhoma yang menyerbu
dan merusak pusat-pusat pertapaan di sekitar Dwarawati.
Syahdan, tak lama setelah para pertapa datang meminta perlindungan, Kreshna pun
mengirimkan Samba, putra mahkota, ke wilayah yang kena gempur. Canto 7 yang saya kutip
di atas adalah adegan ketika Samba dan pasukannya tiba.
Perang yang segera terjadi melawan pasukan gergasi Raja Bhoma itu memang dahsyat,
dengan ribuan gajah, kuda, dan manusia bertabrakan. Di mana-mana leher putus tertebas,
perut robek, jantung tercincang. Samba sempat terluka parah dalam sebuah pertempuran
malam hari yang tak terduga; ia akhirnya gugur. Juga Arjuna, dengan kematian yang diikuti
pekik bumi dan gemuruh laut yang berkabung.
Tak urung, Kreshna pun turun gelanggang. Berhadapan dengan Bhoma yang ganas dan tak
terkalahkan, ia dengan serta merta mengubah diri jadi Wishnu dalam bentuk yang
mengerikan, yang dalam Bhomantaka digambarkan dengan fantastis: Monster dari tiga
dunia bergantungan dari tiap helai rambutnya, menghitam bagaikan semut, menghunus
berbagai senjata, di antara gelimang darah dan untaian usus manusia
Di hadapan wujud yang luarbiasa itu, Bhoma pun kalah, tewas. Kisah telah mencapai dan
melampaui klimaksnya.
Sampai akhir, deskripsi Bhomantaka tak tertandingi indahnya oleh kesusastraan Jawa setelah
abad ke-18; Ranggawarsita hanya akan tampak gagap bila dibandingkan dengan penyair yang
tak bernama yang hidup di masa Jawa Hindu itu.
Tapi bagi saya yang menarik adalah adegan-adegan terakhir cerita ini. Di dua bagian
dikisahkan dengan khidmat bagaimana para dewa memberi Kreshna yang telah rela
mengorbankan anaknya untuk melindungi para pertapa yang tak bersenjata sebuah
anugerah.
Di canto 101-102, segera setelah Arjuna tewas, datanglah tawaran kepada Kreshna yang
berduka cita: ia boleh memilih seseorang di antara yang tewas dalam perang itu untuk
dihidupkan kembali. Pilihan itu harus segera diambil. Samba, putranya sendiri? Atau Raja
Basudewa? Atau Arjuna?
Ternyata, tanpa bimbang, Raja Dwarawati ini tak memilih sanak saudaranya sendiri. Yang
dimintanya kembali dari pelukan Maut adalah Raja Druma. Raja pendatang itu seorang yang
tak punya apa-apa lagi. Ia terusir dari tahtanya, menghadap ke Kreshna untuk meminta
perlindungan, tapi ia tewas bersama anaknya dalam peperangan di sekitar Gunung Rewata
itu.
Di canto 111 kembali para dewa memberi Kreshna anugerah. Kali ini Kreshna minta lebih:
agar semua dihidupkan kembali termasuk musuh-musuhnya. Katanya:
Cedi, Karna, dan Jarasandha
Semua jelas musuh hamba
Tapi kembalikanlah juga mereka dari kematian
Bersama keluarga mereka
Permintaan Kreshna dikabulkan. Dengan permintaan itu, ia sebenarnya mengingatkan: tiap
perang, tiap perjuangan untuk pembebasan, mengandung pengakuan bahwa ada yang
universal dalam hidup manusia yang tak dapat diabaikan.
Bhoma, najis pada seantero bumi, kalngka ning rat, harus disingkirkan. Tapi bukan agar
mampu meyakinkan secara universal tentang apa yang najis maka Kreshna menjelma jadi
Wishnu. Ia jadi Wishnu, jadi subyek yang menakjubkan dan perkasa itu, justru karena
Kebenaran tentang keangkara-murkaan Bhoma menggugah dan mengubah dirinya. Itulah saat
tiwikrama. Dalam arti itu Kebenaran yang dialami Kreshna adalah subyektif: ia jadi kukuh.
Tapi juga universal: perang itu, kematian Bhoma itu, bukan buat dirinya sendiri, melainkan
buat semua, juga musuh-musuhnya.
Sesuatu yang subyektif, namun juga universal itulah paradoks tiap perjuangan politik. Di
awal perjuangan itu harus ada garis yang tegas dan kubu yang tertutup yang memisahkan
kawan dengan lawan. Tapi mungkinkah ketertutupan itu hakiki? Dalam saat tiwikrama,
ketika Kebenaran menggugahku, dan aku jadi perkasa, perjuanganku mendapatkan
maknanya. Tapi pada saat yang sama, sifat universal dari Kebenaran itulah yang membuat
makna itu begitu penting.
Tak berarti yang universal sudah ada rumusnya sebelum perjuangan dimulai. Justru yang
universal berangkat dari ketiadaan sebuah situasi di mana aku tak punya apapun yang
membebani identitas diriku. Ada sebaris kata-kata Marx di tahun 1843 ketika ia mencoba
merumuskan arti proletariat: Aku bukan apa-apa, dan [sebab itu] aku harus jadi
segalanya. Dari situasi ketiadaan itulah perjuangan ke pembebasan dimulai, tapi bukan
pembebasan untuk satu kelas semata, melainkan untuk hilangnya semua kelas sebagai
perumus identitas.
Dalam Bhomantaka, ada sebuah nasihat Patih Uddawa yang didengarkan Kreshna: Jangan
bersikukuh ketika si lemah datang kepada Paduka. Maka mantan raja Druma, yang tak
punya apa-apa lagi, pun dipilih untuk dibebaskan dari kematian. Sebab si lemah, si bukan
apa-apa, mengingatkan kita bahwa jika ada yang universal dalam manusia, itu adalah karena
ia bisa hadir sebagai segalanya. Ia tak hanya sebagai wakil satu satuan yang akan selamalamanya dirumuskan oleh kubunya sendiri.
~Majalah Tempo Edisi. 36/XXXVI/05 11 November 2007~
Syahdan, Riziq mengunjungi sebuah sekolah di Aceh, setahun setelah Meulaboh dihancurkan
tsunami. Ia dipersilakan bicara di depan sebuah kelas yang baru dibangun kembali. Ia senang,
sebab dulu, sebelum jadi anggota DPR, ia seorang dosen jurusan sastra Inggris.
Ia pun maju. Sambil mengingat bencana yang terjadi di Aceh, ia menulis di papan tulis: T-RA-G-E-D-I.
Anak-anak, katanya kepada murid-murid sekolah menengah itu, kalian tahu apa arti
tragedi?
Tahu, Pak! jawab para murid hampir serentak.
Bagus! Coba beri contoh bagaimana sebuah tragedi terjadi!
Murid A: Apabila seorang tua memanjat pohon mangga untuk memetik sebuah buat
cucunya yang sakittapi ia terjatuh dan mati.
Riziq: Oh, itu bukan tragedi. Itu kecelakaan.
Murid B: Apabila sebuah asrama yang dihuni serombongan olahragawan nasional kena
gelombang tsunami dan semuanya tewas.
Riziq: Oh, itu bukan tragedi. Itu namanya kehilangan besar yang menyedihkan bangsa.
Murid C: Apabila Bapak dan tujuh orang anggota DPR lain terbang dengan sebuah
helikopter, dan tiba-tiba pesawat terguncang, terbalik, dan bapak semua jatuh ke dalam
jurang.
Riziq: Nah, itu yang benaritulah contoh tragedi. T-R-A-G-E-D-I! Coba kamu terangkan
kepada teman-temanmu, kenapa itu bisa disebut tragedi.
Murid C: Pertama, karena itu pasti bukan kecelakaan. Kedua, karena itu pasti bukan sebuah
kehilangan besar yang menyedihkan bangsa.
Satire yang mencemooh para politikus legislator macam ini pasti kini mulai bermunculan.
Mungkin lucu, mungkin pahit, atau kasar, tapi semuanya sebuah gejala krisis kepercayaan
yang gawat: politik telah kehilangan makna sosialnya.
Bila beberapa orang anggota DPR ditahan karena menerima suap, bila partai didirikan hanya
untuk mengusung pemimpinnya agar jadi presiden, bila mereka yang ingin jadi presiden tak
jelas apa maunya selain mengelus-elus ego sendiri, orang Indonesia akan memandang ke
pemilihan umum pada 2009 dengan angkat bahu: apa gunanya ramai-ramai itu buatku?
Nila setitik memang membuat susu sebelanga rusak. Dari sekian ratus anggota DPR, tentu
banyak yang tak terima suap. Pasti ada yang rajin membahas rencana undang-undang dengan
serius dan tekun mengunjungi orang-orang yang memilih mereka, untuk tahu apa yang
diinginkan agar keadaan bisa lebih baik.
Tapi tampaknya tak terelakkan: persoalan besar Indonesia, satu dasawarsa setelah kembali ke
demokrasi dengan pemilihan bebas, adalah bagaimana merawat kepercayaan bahwa
pemilihan bebas itu diperlukan.
Tanpa kepercayaan itu, apa jadinya Indonesia? Negeri ini sebuah bangunan dalam waktu: ia
berubah, bersama penghuninya, dengan kelemahan, kekuatan, dan harapan mereka.
Semuanya tak bisa mandek. Bila Indonesia belum berniat bunuh diri, pemilihan bebas adalah
satu cara yang baik untuk mengikuti niat hidup itu. Kalau tidak, tubuh sosial akan kaku-beku
oleh usiadan mudah retak, bahkan patah.
Tubuh sosial itu diwakili Parlemen. Tapi dengan itu Parlemen tak bisa menganggap diri
identik dengan masyarakat: wakil adalah hanya wakil. Sementara ia tak bisa jadi tempat yang
sanggup menyelesaikan tuntas soal keadilan, ia tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa
dalam tubuh sosial selalu bersembunyi apa yang disebut Rancire la police: struktur yang
diam-diam mengatur dan menegakkan tubuh itu.
La police itu (mungkin ada hubungan kata ini dengan polis sebagai negeri dan polisi
sebagai penjaga ketertiban) bersifat oligarkis. Tubuh sosial mengandung ketimpangan yang
tak terelakkan; selamanya ada yang kuat dan ada yang lemah, yang menguasai dan dikuasai.
Tapi yang kuat hanya kuat jika ia diakui demikian oleh yang lemahmeskipun dengan
mengeluh dan marah. Dengan kata lain, si kuat diam-diam mengasumsikan adanya posisi dan
potensi si lemah untuk memberi pengakuan. Bagi Rancire, itu berarti nun di dasar yang tak
hendak diingat, ada kesetaraan di antara kedua pihak.
Di situ kita menemukan bagaimana di sebuah negeri, polis, hidup: ada la logique du tort. Ada
sesuatu yang salah dan sengkarut tapi dengan begitu berlangsunglah sejarah sosial. Di dalam
logika itu, ketegangan terjadi, sebab hierarki yang membentuk masyarakat justru mungkin
karena mengakui kesetaraan. Ketegangan dalam salah dan sengkarut itulah yang melahirkan
konflik, guncangan pada konsensus, dan polemik yang tak henti-hentinya.
Itulah la politique: sebuah pergulatan. Ia bukan seperti aksi komunikasi ala Habermas: di
arena itu tak ada tujuan untuk bersepakat; di medan itu yang hadir bukanlah sekadar usul dan
argumen yang berseberangan, tapi tubuh dan jiwa, perbauran dua dunia, di mana ada
subyek dan obyek yang tampak, ada yang tidak.
Agaknya yang tak tampak itulah yang menyebabkan la politique, atau politik sebagai
perjuangan, mendapatkan makna sosial. Sebab, yang menggerakkan adalah mereka yang
bukan apa-apa, yang tak punya hakikat dan asal-usul untuk menang. Rancire menyebut kata
skandal demokrasi: ia agaknya mau menunjukkan bahwa kehormatan para tulang
punggung la police pada gilirannya akan diguncang oleh demos, mereka yang bukan apa-apa
itu.
Satire adalah usaha skandalisasi yang dicetuskan si lemah. Mereka cuma bisa mengejek.
Tapi, bila lelucon di atas membuat kita prihatin, itu karena di sana tersirat sepotong harap:
proses parlementer akan mewakili perjuangan, terutama perjuangan mereka yang bukan apaapa.
Tapi itu ilusi yang terbentur. Pada akhirnya Parlemen hanyalah sebuah konsensus darurat. Ia
penting. Tapi seperti dikatakan Rancire: Konsensus mengacu kepada apa yang disensor.
Ataukah lelucon di atas mencerminkan sesuatu yang lain? Jangan-jangan kita menghasratkan
ini: mereka yang hidup nyaman dari konsensus dan sensor insya Allah akan jatuh ke dalam
jurang.
~Majalah Tempo Edisi. 21/XXXVII/14 20 Juli 2008~
Dalam sebuah wawancara, Bernard Lietaer, pengarang The Future of Money: Beyond Greed
and Scarcity, menawarkan satu teori yang diambilnya dari psikoanalisis Jung: 5.000 tahun
sebelum zaman ini, manusia di Barat menyimpan Bunda Agung sebagai archetype, sebagai
citra yang terawat dalam jiwa individual maupun kolektif yang menggerakkan orang ke suatu
arah tertentu. Dalam Sang Bunda Agungagaknya sama dengan Ibu Pertiwiada citra
tentang kesuburan yang berlimpah dan karunia yang rela dan pemurah. Tapi archetype itu
kemudian tersingkir oleh citra Tuhan sebagai Bapa yang membatasi manusia dengan hukum
dan pembalasan. Lima ribu tahun lamanya Sang Bunda Agung tenggelam. Ketika manusia
tak percaya lagi akan kedermawanan semesta, muncullah bayangan Langka dan Rakus.
Puncaknya, kata Lietaer, terjadi di masa puritanisme Inggris. Di masa itulah Adam Smith
merumuskan pemikirannya tentang ekonomi: pada mulanya adalah Langka, dan Langka pun
jadi gerak, dan gerak menuju ke kekayaan. Ekonomi berjalan dari premis itu. Apalagi dari
Langka pula lahir nilai. Ketika kemudian yang berkuasa adalah nilai tukar, uang dan bank
pun kian berperan. Bank, yang memproduksi uang, sekaligus membuat uang sebagai sesuatu
yang terbatas jumlahnya. Dengan memberikan pinjaman seraya memungut bunga, bank akan
memperoleh lebih banyak uang tanpa ia harus memperbanyak uang yang beredar.
Bagi Lietaer, (ia pernah bekerja di bank sentral Belgia), uang dan sistem peredarannya itulah
yang membuat Langka dan Rakus terus menerus diciptakan dan diperbesar. Bank Sentral,
yang merawat langkanya uang dengan menjaga suku bunga, secara tak langsung
menguntungkan mereka yang menyimpan uang di bank. Investasi di sektor riil jadi tak selalu
memikatterutama ketika dana bisa dengan cepat melintasi batas nasional dalam rangkaian
pinjam meminjam dengan bunga berbunga. Lapangan kerja makin sedikit. Ketimpangan pun
menajam, seperti di Indonesia kini, dan kita tahu apa akhirnya bagi sebuah bangunan politik.
Lietaer mencoba menawarkan alternatif. Ia menganjurkan pemakaian uang lokal dan
menyebut sistem Silvio Gesel di tahun 1890: dalam sistem ini si penyimpan uang bukannya
mendapatkan bunga, melainkan harus membayar ongkos simpan kepada pemerintah. Dengan
demikian, bank tak memberi kesempatan bagi si kaya untuk bertambah kaya seraya tidur.
Tapi mungkinkah pemikiran alternatif itu akan disambut? Mungkin, tapi entah kapan. Uang,
seperti kata Lietaer, telah jadi sebuah cincin besi yang dipasang di cuping hidung manusia,
dan menyeret manusia ke mana sajajuga ke arah menajamnya Langka dan kehancuran
sosial.
Sejauh ini, kita masih terhibur, sebab memberi masih tetap mungkin. Memberi
membebaskan manusia dari cincin besi itu, yang mengikatnya, kata George Bataille, di dalam
keadaan yang tak hidup dari dunia yang profan. Hanya dalam memberi, dalam berkorban,
orang menemukan sesuatu yang suci, justru dalam tak adanya faedah.
Mungkin seperti Ibrahim di Moriah: ia tak tahu apa faedah perbuatannya bagi dirinya sendiri
atau bagi Tuhan, tapi di saat ia membebaskan diri pamrih, ia tak terperangkap oleh Rakus,
mengatasi rasa takut akan Langka di dunia yang profan.
~Majalah Tempo Edisi. 44/XXXVI/24 30 Desember 2007~
Ikada, Jakarta, September 1945. Wenceslas, Praha, Januari 1969. Tiananmen, Beijing, Juni
1989. Midan Tahrir, Kairo, Februari 2011.
Di lapangan-lapangan ibu kota, politik dalam pelbagai bentuknya bertemu. Berbenturan.
Orang meriskir diri untuk pembebasan. Atau sebaliknya: orang berjudi dengan represi,
mempertaruhkan masa depan seraya menaklukkan para pembangkang dengan senjata. Atau
kata-kata.
Di Jakarta 1945, sebuah rapat umum digelar untuk mendukung proklamasi yang sebulan
sebelumnya dimaklumkan. Di tengah ketakpastian tentang apa yang akan terjadi, Bung Karno
dan Bung Hatta menyatakan bahwa Indonesia memasuki sebuah posisi baru sama sekali,
yakni merdeka. September itu, di Lapangan Ikada tak ada tentara Jepang yang menembak
orang ramai. Tapi suasana panas, bergelora.
Di Praha 1969, di Lapangan Wenceslas, seorang mahasiswa filsafat membakar diri. Jan
Palach mati pada umur 21. Ia memprotes pendudukan Soviet yang dengan mengirim tank dan
tentara hendak meneguhkan sistem komunisme kembali di Cekoslovakia dan membungkam
rakyat yang menginginkan liberalisasi.
Di Beijing 1989. Puluhan ribu anak muda menuntut. Di tengah-tengah protes yang berharihari itu, di Lapangan Tiananmen sebuah patung Dewi Demokrasi setinggi 10 meter
didirikan tepat berhadap-hadapan dengan gambar besar Mao Zedong. Beberapa hari
kemudian, bentrok terjadi. Anak-anak muda itu diserbu dan ditembaki. Diperkirakan ratusan
yang tewas, tapi tak tercatat.
Hari-hari ini, Februari 2011, di Kairo, Lapangan (Midan) Tahrir menyaksikan thema yang
sama dalam sejarah yang tak sama.
Lapangan, tampaknya, bukan sekadar ruang yang terbentang horizontal. Lapangan adalah
sebuah endapan sejarah politik yang tak selamanya teringat. Sejak ia dikonstruksikan.
Ikada (akronim dari Ikatan Atletik Djakarta) tak dimulai oleh para penggemar olahraga.
Bentangan hijau di pojok timur dari tempat yang kini dikenal sebagai Monas itu didirikan
di awal abad ke-18. Yang punya ide Herman Willem Daendels. Ia ingin merayakan
kemenangan Napoleon Bonaparte di Belanda dengan mendirikan Champ de Mars itu. Setelah
Napoleon kalah, lapangan itu diubah namanya jadi Koningsplein.
Lapangan Wenceslas, yang lebih mirip sebuah boulevard ketimbang alun-alun, bermula
sebagai pasar kuda di abad ke-14. Tapi di sini pun kemudian kekuasaan dilembagakan dan
simbol ditegakkan: sebuah nama baru jadi resmi (dengan nama orang suci), dan sebuah
monumen dibangun.
Terlebih lagi Tiananmen. Didesain di tahun 1651, namanya mengisyaratkan sebuah energi
politik yang mengacu ke stabilitas: ia praktis bagian dari Gerbang Kedamaian Surgawi.
Juga Midan Tahrir Kairo. Ia semula bernama Lapangan Ismailiyah, mengikut nama penguasa
Mesir abad ke-19, Khedive Ismail, yang bertakhta di sana sebagai wakil kekuasaan Turki.
Ketika Mesir jadi republik melalui sebuah revolusi di tahun 1952, lapangan itu diganti
namanya jadi Lapangan Pembebasan.
Pergantian nama seperti itu mengisyaratkan bahwa tak ada fondasi yang kekal dalam simbol
macam itu. Lapangan adalah konstruksi kekuasaan, tapi samar-samar di balik hasratnya yang
monumental, kekuasaan yang menghadirkannya sepenuhnya bersifat contingent, serba
mungkin, bergantung pada dua energi politik yang bertabrakan. Di satu sisi, energi politik
yang membangun institusi dan kemapanan. Di sisi lain, energi politik yang menjebol
mengguncangkan.
Itulah sebabnya tiap lapangan mengandung sebuah ilusi. Pada mulanya ia impian tentang
sebuah pusat. Tiap lapangan juga hasil impian untuk mencapai yang kekal, yang utuh
berbentuktapi yang sebenarnya tak punya dasar. Sebab itu tiap lapangan mencerminkan
politik sebagai Polizei, untuk meminjam istilah Carl Schmitt: daya untuk menjaga tata yang
hendak ditegakkan. Maka tiap lapangan ditandai batas: ada pagar kadang-kadang, ada papan
nama. Pada gilirannya, tiap lapangan hendak mewujudkan politik sebagai Politesse: politik
yang berusaha menutup-nutupi antagonisme yang berlangsung di masyarakat.
Maka lapangan pun jadi tempat bercengkerama dan bermain yang sopan santun. Atau sekadar
wadah pertemuan sengaja atau tak sengaja. Masyarakat akan tampak sudah jadi. Harmoni
seakan-akan sifat dasarnya.
Tapi politik bukanlah gambaran yang sudah jadi. Apa yang bergelora di Ikada, Wenceslas,
Tiananmen, dan Midan Tahrir mengungkapkan bahwa di balik batas-batas lapangan,
selamanya bergerak energi yang tak dapat ditangkap oleh tata simbolik yang dijaga polisi.
Adat-istiadat yang berkuasa tak juga bisa menjinakkannya. Di atas saya sebut energi politik
yang menjebol: energi yang gerah, geram, bergerak dengan gairah, dan mengguncangkan.
Itu sebabnya sejarah lapangan di pusat ibu kota selalu bisa diguncangkan: karena kekuasaan
yang abadi tak diakui lagi (juga di Tiananmen), orang bergulat menempatkan simbol-simbol
baru. Tapi mengubah nama dan membangun patung hanyalah sebagian dari proses itu.
Bagian yang lebih luas adalah laku pertunjukan, act of performance. Lapangan adalah sebuah
teater, karena hanya dengan itu lambang itu punya makna.
Teater itu bisa pedihseperti yang disaksikan dunia di Lapangan Wenceslas tahun 1969: Jan
Palach, di tengah hari musim dingin di Januari, datang. Ditanggalkannya jas panjang yang ia
pakai, disiramkannya bensin ke seluruh tubuhnya, lalu dinyalakannya korek api. Dalam
beberapa detik, api membakar badannya. Tiga hari kemudian ia mati. Di saku jasnya ada
secarik kertas, dengan tulisan: ini dilakukan untuk menyelamatkan Cekoslovakia dari
pinggir jurang ketiadaan harapan.
Majalah Tempo Edisi Senin, 07 Februari 2011
Saya tak tahu lagi apa peran sebuah khotbah. Saya tidak tahu apa peran dusta. Saya tidak tahu
untuk apa fitnahterutama dari sebuah posisi, tempat ayat suci dikutip, pesan Rasulullah
diulang, dan yang benar dan yang adil diimbaukan berabad-abad.
Yang terasa bagi saya, khotbah itu adalah sebuah onggokan sampah. Sampah itu bernama
kebencian: buangan dari zaman ini. Salah satu ciri zaman ini: iman menemukan saat-saat
guyah, penuh cemas, dan gentingdan kebencian, biarpun berbau busukadalah sebuah
mantra untuk menemukan kekuatan yang melenyapkan kerapuhan itu. Hidup di sebuah dunia
yang tidak bisa mereka kendalikan, ada orang-orang yang merasa hanya patut beriman bila
mereka tampil dengan wajah sengit. Marah terus-menerus kepada sekitar telah jadi semacam
perisai, dan kata-kata telah jadi lembing. Chairil Anwar pernah menulis tentang para ahli
agama dan lembing katanya.
Ketika kata menjadi lembing, hidup menjadi perang yang percuma. Lawan dalam pikiran,
sengketa dalam pendapat, bentrok dalam keyakinan, adalah bagian dari ketegangan yang tak
pernah dapat diselesaikan dalam hidup. Tuhan tak bermaksud membuat perbedaan tak pernah
ada. Ketika kata menjadi lembing, apa yang bisa dirobohkan? Apa yang bisa dibinasakan?
Bahkan sejarahdan dalam hal ini kita bisa berbicara tentang sejarah agama-agamaadalah
sejarah pembantaian yang tak menyebabkan satu pihak menjadi benar dan diterima di mana
saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Syiah dan Sunni tak bisa saling melenyapkan, Katolik
dan Protestan tak kunjung mampu saling meyakinkan.
Setiap usaha untuk meyakinkan sebenarnya membutuhkan tidak adanya ilusi. Tidak ada
paksaan dalam agama, demikian kata Quran: tidak ada kekerasan, dalam laku dan ucapan,
yang akan dapat membuat keyakinan berubah. Kebenaran adalah hal yang selalu bergerak
antara tertangkap-menangkap dan terlepas-melepas. Yang universal tampak sebagai kaki
langit yang bila digapai selalu menjauhtak henti-hentinya. Tiap konsensus mengandung
ketidakbulatan. Manusia berpikir, berbicara, dan menafsir apa sajajuga Sabda Tuhan
senantiasa dalam waktu dan dalam cacat.
Bahwa tak ada pintu yang satu ke arah satu keyakinan agama pada akhirnya melahirkan
kesadaran, bahwa tidak ada satu kepala yang bisa menentukan arah apa yang terbaik dari
yang ada. Pemimpin dan khalifah berganti dengan atau tanpa dikecam. Bertahun-tahun
kemudian, setelah pengalaman yang lama, demokrasi datang sebagai cara mengatasi
kekosongan itu. Demokrasi adalah hal yang tak bisa diingkari jika kita sadar akan kefanaan.
Demokrasi sebab itu bagian dari ketegangan, tapi ia tidak akan bisa berjalan dengan
kebencian, jika kebencian membuat yang nisbi menjadi seakan-akan mutlak, tak berubah dan
kekal.
Ada banyak peninggalan kearifan Nurcholish Madjid untuk orang Indonesia, dan salah
satunya adalah bagaimana memahami dan menghadapi ketidak-kekalan. Ketika Golkar begitu
dominan, ia memihak Partai Persatuan Pembangunan. Ketika di bawah Presiden Soeharto dan
kekuasaannya pemilihan umum begitu kotor dan kasar, ia mendukung gagasan Komite
Independen Pemantau Pemilu. Ketika pada tahun 1998 Soeharto akhirnya bertanya kepada
sejumlah tokoh muslim tak lama sebelum ia turun takhta, Nurcholish juga yang mengatakan
bahwa sang Presiden yang telah berkuasa sejak 1966 itu lebih baik turun. Yang berkuasa atau
tidak, akan selalu bertemu dengan batas.
Ada hubungan yang tak selalu tampak antara kearifan tentang ketidak-kekalan manusia dan
toleransi kepada iman dan pendapat orang lain. Kesulitan para penganut agama ialah ketika
mereka menduga bahwa ketidak-kekalan mereka akan ditiadakan dengan ajaran yang kekal
yang mereka anut. Yang mustahil dan yang mutlak memang sangat menggugah, tapi selalu ia
di masa depan, dan masa depan juga tidak abadi. Nurcholish adalah guru tentang kerendahan
hati.
Kerendahan hati adalah bagian terdalam dari hasrat berjabatan tangan. Kebencian selalu
menjadi angkuhtetapi kali ini angkuh itu menjadi angkuh karena sebenarnya ada yang
membuat ragu, cemas, dan rapuh. Kebencian yang mengerahkan fitnah adalah tanda putus
asa, tapi sekalipun tanpa putus asa, ia tidak akan menyebabkan keyakinan-keyakinan
berubah. Kekuatan sebuah firman tidak datang dari kata yang terhunus bagaikan lembing. Ya,
Nurcholish adalah guru tentang kata-kata yang tidak menusuk, tidak berteriak.
~Majalah Tempo, Edisi. 28/XXXIV/05 11 September 2005~
Dari sini juga dapat dilihat makin meluasnya dukungan terhadap Hizbullah di negeri-negeri
Arab, di kalangan Sunni atau bukanbahkan juga di kalangan pengikut Michael Aoun, tokoh
Kristen yang pernah menentang kehadiran pasukan Suriah di Libanon.
Itu berarti pertahanan telah jadi sesuatu yang demikian mendesak tapi sekaligus demikian
tak jelas; inilah sebuah periode sejarah dengan sebuah khaos yang destruktif. Pertahanan
telah jadi sebuah struktur yang begitu kaya artinya tapi sekaligus begitu terbatas: ia bisa
ditafsirkan tak habis-habis, tapi pada saat yang sama bisa mengimbau segala golongan hingga
tak terasa perlu dipikirkan lagi.
Apa gerangan yang dipertahankan? Bagaimana mempertahankannya? Ketika satu kekuatan
militer yang tak terkait dengan satu wilayah resmi dan tak mewakili satu bangsa (dan
Hizbullah adalah salah satu contohnya) berhasil mengobarkan perang dengan sebuah bangsa
yang mendefinisikan dirinya dengan posisi teritorial, perbedaan antara perang dan terorisme
pun luruh. Akhirnya Israel menerobos perbatasan Libanon seakan-akan garis itu tak ada,
sebagaimana Amerika Serikat menggebuk Afganistan untuk menghancurkan Al-Qaidah yang
entah di mana. Perang adalah terorisme dengan anggaran yang lebih tinggi, demikian
tertulis dalam salah satu poster protes di Tel Aviv.
Perang pertahanan memang bukan lagi mengenai terra dan territorium, ketika batas wilayah
dinafikan. Pertahanan jadi sejenis tata yang menggantikan pengertian perdamaiania
diimpikan dan tak kunjung tercapaiketika tata yang ada terus-menerus dianggap tak adil
tapi tak dapat diruntuhkan.
Berangsur-angsur, di wilayah tempat para Nabi pernah bicara dan berjanji itu, tata yang
diimpikan itu telah jadi eskatologi: pengharapan akan sebuah surga di masa ketika dunia
berhenti sebagai dunia. Akhirnya tata itu tak sekadar sebuah kata yang ditafsirkan dengan
perspektif yang terbatas, dan sebab itu nisbi. Ia telah jadi penanda yang isinya terpatri di
langit, absolut tapi tak teruraikan.
Pada saat itu pula tata ituyang telah identik dengan pertahananmembuat perang jadi
semacam ritual pengorbanan: darah dan nyawa dipersembahkan, keabadian diseru.
Demikianlah semakin jauh tata itu tercapai, semakin besar peran agama-agamaterutama
Islam dan Yudaismedi Palestina, Israel, dan Libanon. Nasionalisme yang bicara soal
wilayah di permukaan bumi telah digantikan oleh sebuah semangat yang didasarkan pada
asumsi tentang langit yang menjamin.
Tentu saja dengan begitu tata itu jadi bagian sesuatu yang tak dapat ditawar-tawar. Ia bukan
lagi ada di dunia yang ruwet tempat manusia, dalam kondisi yang serba terbatas, bertindak
dan memutuskan. Eskatologi dan kesiapan menyelenggarakan ritual pengorbanan bahkan
membuat manusia seakan-akan jadi anasir yang suci, pasti, dan tegak di tataran yang tinggi
seperti pesawat-pesawat tempur pertahanan yang digambarkan Brecht: Hingga busuk
serakah dan nestapa/Tak bisa menggapai mereka.
Mereka yang angkuh. Mereka yang tak peduli akan cacat dunia dan retaknya gading dalam
diri sendiri. Kehidupan politik pun digantikan pembinasaan. Tak ada negosiasi. Tak ada
penyelesaian konflik yang dilakukan dengan keadilan yang diakui sebagai genting. Sebab
keadilan telah jadi sesuatu yang begitu lurus, keras, dan menakutkan.
Tragis, memang. Sebab dulu di wilayah ini pernah ada berita bahwa Yang Suci bisa merasuk
ke dalam yang sehari-hari dan Yang Kekal datang di tengah yang temporalbukan
sebaliknyadan bahwa keadilan digantikan dengan sesuatu yang tak keras dan menakutkan,
yakni cinta kasih dan kemampuan merasakan nasib mereka yang dinestapakan.
~Majalah Tempo Edisi 23, 31 Juli-6 Agustus 2006~
Sejak menjelang akhir abad ke20, kian kuat desakan untuk mengakui bahwa satu memang
bisa palsu dan kaku. Logos digugat. Rasionalitas yang tersirat di dalamnya mulai dilihat
sebagai alat untuk mengkotak-kotakkan, mengontrol dan menguasai dunia dan orang lain.
Weber dengan muram menyebutnya sebagai nalar instrumental, bagian dari modernitas
yang akhirnya akan membawa manusia ke dalam kerangkeng besi. Kaum feminis, seperti
Hlne Sixous, melihat ada hubungan antara logosentrisme dan kecenderungan patriarki
yang menindas, dan sebab itu memperkenalkan kata phallogosentrisme. Gilles Deleuze
memuji karya termasyhur Marcel Proust, A la recherche du temps perdu, sebagai pembawa
Antilogos: berbeda dari kecenderungan Yunani yang meletakkan tanda di bawah kendali
logos dan membentuk sesuatu yang sebenarnya telah rusak karena dipermak, dalam novelnya
Proust menghidupkan keragaman yang tak bisa diringkus ke dalam Kesatuan.
Salahkah Kesatuan? Mungkin tidak dengan sendirinya. Tapi Kesatuan bisa terasa sebagai
horor di sebuah zaman yang telah menyaksikan ngerinya totalitarianisme Hitler, Stalin, dan
Mao. Kesatuan bisa terasa sebagai palu godam yang menghantam mereka yang disingkirkan
karena dianggap tak satu golongan, tak cocok untuk berSatu: perempuan, orang hitam,
orang kiri, orang kanan, gay, dan entah apa lagi.
Yang jarang diingat ialah bahwa Kesatuan itu tak sekadar hasil pemikiran metafisik. Ketika
Kesatuan ditandai dengan satu benderamanusia, Kristen, Islam, Barat, Asia
yang jarang ditanyakan ialah siapa yang memilih bendera itu dan memancangkannya. Kita
lupa ada unsur proses kekuasaan di dalamnya, kita tak melihat the political terpaut erat di
situ. Kita tak selalu sadar bahwa tiap proses kekuasaan adalah bagian dari dunia yang tak
kekal, terbatas, dan tergantung.
Memang ada yang merisaukan dalam pandangan yang menggugat Kesatuan itu, yang tak
mengakui fondasi bersama manusia yang kekal dan dapat dijadikan pegangan semua. Ketika
Paus dua pekan lalu mengingatkan bahwa pada mulanya adalah logos, ia sebenarnya
mengungkapkan sebuah peringatan dan kecemasan: bagaimana dialog antarmanusia
mungkin, jika Kesatuan itu ditampik? Tidakkah ada sesuatu yang lain yang bukan
mengkotakkotakkan dan mengontrol, dalam logos, ketika kita menghimpun, legein
dan itu hanya bisa dimengerti bila logos, seperti dalam iman Kristen, juga diartikan Kasih
Allah yang turun ke bumi?
Maka Paus pun menganjurkan perluasan makna kata Vernunft, (yang dalam bahasa Indonesia
lebih dekat ke akal budi ketimbang nalar yang instrumental). Bukan penyempitan,
apalagi penampikan.
Kita bisa memahami Paus di sini. Namun tentu saja jadi soal bila pada saat yang sama
Eropalah yang dinilai mewakili akal budi yang seperti itu. Di Indonesia kita tak perlu
membaca kritik Adorno dan Horkheimer (dua pemikir yang pada suatu saat tersingkir dari
Eropa) untuk melihat Eropa juga bisa berarti penjajahan, ketika pada mulanya logos,
kemudian kita tak bisa lolos.
~Majalah Tempo Edisi. 31/XXXV/25 September 01 Oktober 2006~
Ada protes Aceh 1999. Ada juga protes Aceh 1932. Pada bulan Maret 1932, di Kutaraja
orang berapat akbar. Mereka menentang keputusan pemerintah Hindia-Belanda untuk
menggunakan bahasa Aceh di sekolah bumiputra. Rakyat yang serta dalam pertemuan besar
itu justru menghendaki bahasa Indonesia.
Seperti dipaparkan oleh seorang penulis dalam Soeara Oemoem yang terbit di Surabaya pada
bulan Maret itu, protes yang sama terjadi juga di Padang dan Surakarta.
Bukan karena di Kutaraja orang Aceh ingin mencampakkan bahasa Aceh. Bukan karena di
Padang orang Minang ingin meniadakan bahasa Minang dan di Surakarta bahasa Jawa
hendak dimatikan. Tetapi itu tahun 1932. Nasionalisme Indonesia sedang pasang perbani.
Empat tahun sebelumnya, bulan Oktober yang bersejarah itu, para pemuda berkumpul di
Batavia untuk memaklumkan bahwa mereka ingin punya satu bangsa, satu bahasa, dan satu
tanah air.
Tak ada seorang pun yang tahu persis dari mana sebenarnya Indonesia lahir. Namun, bisa
dikatakan bahwa dalam hal bahasasatu elemen penting dalam nasionalisme Indonesia
batu fondasinya adalah hasil persenyawaan antara impian dan kepahitan. Juga kebutuhan
untuk melupakan.
Drama ini dimulai dari kegandrungan orang Belanda yang berkuasa untuk menarik garis
pemisah yang lurus dan terang. Dalam desain mereka, ada sebuah batas kolonial buat
inlanders: mereka yang berkulit cokelat itu bukan saja tak boleh masuk ke kamar bola. Mulut
mereka yang berbau durian atau petai itu juga tak boleh mengucapkan bahasa yang dipakai
oleh para meneer dan mevrouw.
Memang luar biasa. Agaknya, hanya penguasa kolonial Belanda yang melarang orang
pribumi menggunakan bahasa sang penjajah. Tak mengherankan bila menurut sensus tahun
1930, hanya 0,3 persen dari orang bumiputra (yang merupakan 97 persen penduduk tanah
jajahan itu) yang bisa berbahasa Belandameskipun dengan terbatas, sekadar buat menulis
sepucuk surat yang sederhana.
Henk Maier, yang mengadakan penelitian tentang hal ini, pernah menulis dengan analisis
yang cemerlang dan bahasa yang tajam kenapa penguasa kolonial Hindia Belanda bersikap
demikian. Bagi tuan-tuan itu, tulis Maier, orang pribumi berbeda dari kitadan biarlah
perbedaan itu kekal. Si bumiputra harus sedapat-dapatnya tetap bumiputra. Argumen ini biasa
diberi kemasan yang bagus: kita harus menghormati keaslian pribumi.
Tapi, mau tak mau, tersingkap juga motif yang satu ini: apartheid. Kata dari bahasa Belanda
itu tak pernah dipergunakan oleh penguasa Hindia-Belanda (kita tahu, apartheid jadi istilah
yang terkenal busuk di Afrika Selatan), tetapi ujung-ujungnya adalah sejenis pemisahan rasial
juga.
Tak ayal, sebuah gelombang besar muncul. Orang bumiputra membangun bahasanya sendiri.
Tak sulit untuk itu. Menjelang akhir 1925, ada sekitar 200 surat kabar di Hindia Belanda
yang memakai bahasa Melayu, yang kemudian diberi nama bahasa Indonesia itu. Kaum
nasionalis bertekad bahwa dengan bahasa iniyang dengan mudah mempertautkan elite
yang terdidik dengan orang ramaiorang bumiputra akan mendapat dan membangun ilmu
pengetahuan yang setaraf dengan standar internasional.
Maka, ketika pada tahun 1932 pemerintah Hindia-Belanda hendak memotong elan
nasionalisme itu dengan mengharuskan pemakaian bahasa daerah di sekolah, kaum
pergerakan berteriak awas, divide et impera! Apalagi banyak bahasa daerah yang terkait erat
dengan struktur sosial yang represif, dan apa pula artinya sebuah bahasa daerah? Jawa,
misalnya, tak pernah merupakan sesuatu yang tunggal: ada orang Surakarta dan ada orang
Banyumas. Protes di Kutaraja, Padang, dan Surakarta itu adalah bagian dari kesadaran untuk
mencegah manipulasi kolonial dalam soal identitas.
Indonesia pun tumbuh sebagai sebuah proyek besar untuk memberi isi baru pada soal
identitas itu. Kata baru sangat menentukan di sini. Renan, pemikir Prancis itu, benar ketika
ia mengatakan bahwa lupa adalah sebuah faktor yang amat pokok dalam terciptanya sebuah
nasion. Lupa kepada ikatan lama setiap daerah, lupa kepada tradisi yang mengikat.
Indonesia lahir bersama semangat modernitas yang ingin membebaskan.
Tapi itu awal abad ke-20. Menjelang akhir abad, banyak hal berubah. Indonesia dengan
senjata memaksa orang Timor Timur menjadi bagian dari dirinyasebuah proyek ala
Bismarck melalui darah dan besi. Sejak itu, Indonesia tampak bukan sebagai sebuah proyek
bersama yang ikhlas. Militer tidak hanya membunuh orang tak bersalah di Timor Timur,
Irianjaya, dan Aceh. Militer telah membunuh impian nasionalisme sebagai pembebasan.
Kini sebuah generasi harus tumbuh dalam puing-puing kekerasan itu. Mereka akan dengan
berat dan luka-luka harus membangun sebuah visi baru tentang Indonesia, atau lebih tepat
Nusantara: sebuah kepulauan yang tidak lagi berada di satu atap, sebuah perpisahan yang
semoga tidak meneruskan kekerasan dan menghalalkan kebencian.
~Majalah Tempo Edisi. 36/XXIIIIIIII/08 14 November 1999~
To plague thinventor.
Kalimat itu diucapkan Macbeth, ketika tokoh lakon ini sendirian, merenung dalam
kebimbangan. Panglima perang itu berniat membunuh rajanya, Duncan, meskipun ia tahu
baginda menyayanginya dan mempercayainya: Duncan telah menghadiahinya wilayah kekuasaan yang lebih luas dan bersedia datang menginap di kastilnya. Tapi Macbeth berniat
membunuhnya, karena ada ramalan tiga nenek sihir bahwa ia akan jadi raja.
Dan tak kalah penting, karena Lady Macbeth, istrinya yang perkasa, mendesaknya,
meyakinkannya.
Malam itu Macbeth pun membunuh raja, ketika tamu agung itu tengah tidur. Untuk
menghapus jejak, ia tuduh dan ia bunuh para penjaga. Darah yang mengalir tak berhenti di
sana.
Tapi sesaat itu, ketika ia sangsi, ketika ia merasa berada di tebing dan laut waktu, Macbeth
bukan seorang yang keji. Ia merasa ada yang tak patut bila ia jalankan niatnya: ia
mengkhianati rajanya dan membantai seorang lemah lembut (meek), yang kebajikannya
akan mengimbau bagaikan malaikat, hingga akan jatuh kutuk ketika ia dipaksa
meninggalkan dunia.
Memang tak jelas benar apa yang membuat Macbeth bimbang: seperangkat nilai-nilai, sebuah
tatanan moral, atau hanya ketakutan pembalasan. Kita dengar baris yang dibacakan Clinton:
siapa yang membawa ajaran berdarah, kata Macbeth, akan mendapatkan yang sama, yang
berbalik, merongrong ia yang memulanya.
Mungkin dalam ambivalensi itu antara bisikan moral dan dag-dig-dug ketakutan dengan
mudah bujukan Lady Macbeth menjeratnya. Menjerat: sebab Duncan mati, Macbeth jadi raja,
tapi sejak itu yang ada hanya pembunuhan demi pembunuhan. Macbeth tragis karena kita
sebenarnya bisa melihat apa yang baik dalam dirinya tapi nujum dan nasib tak ditolaknya. Ia
jadi keji.
Bukan karena nujum dan nasib itu sebegitu sakti. Macbeth, dengan kemauannya sendiri,
memilih nujum dan nasib dan bukan yang lain. Dia juga yang bolak-balik datang meminta
nujum dari tiga nenek sihir itu, bahkan mencoba mengubah ramalan yang tak disukainya.
Macbeth tragis, sebab kita menyaksikan bagaimana kekuasaan meringkus semuanya.
Termasuk meringkus saat-saat sangsi di depan tebing dan laut waktu sebelum seseorang
meloncat ke masa depan saat-saat ketika bisikan yang lain masih bisa terdengar.
Saya tak kunjung takjub apa sebabnya hasrat ke kekuasaan mampu meringkus semua itu. Apa
yang istimewa dalam kekuasaan? Mengapa segala cara dikorbankan untuk mendapatkannya?
Akhirnya ada yang lebih destruktif ketimbang pembunuhanyakni sejenis nihilisme, yang
menegaskan bahwa kita tak perlu sangsi karena kita tak perlu nilai-nilai. Tak ada dorongan
yang gigih untuk mempertahankan apa yang baik. Seperti kita lihat di Indonesia kini, uang,
jual-beli pengaruh, lewat lobi dan media, itulah yang akhirnya menentukan apa dan siapa
yang salah dan apa dan siapa yang tidak. Selebihnya: nihil.
Apa lagi gerangan yang dikenang seorang presiden seperti Clinton setelah membaca
Macbeth? Clinton sendiri mungkin tak perlu merenungkan jauh; ia tak perlu bergulat dengan
dilema yang dahsyat. Ia seorang presiden yang dapat naik dan turun takhta tanpa melalui
pembunuhan.
Maka menarik untuk menyimak apa yang dikatakan Clinton kepada Stephen Greenblatt yang
kemudian menuliskan kesannya dari malam sastra di Gedung Putih itu dalam The New York
Review of Books, 12 April 2007. Karya Shakespeare itu, kata Clinton, adalah kisah tentang
seseorang dengan ambisi yang amat besar yang obyeknya secara ethis tak memadai.
Ada yang baru di sini: bukan si Macbeth yang secara ethis tak memadai, melainkan
sasarannya: kekuasaan. Mungkin yang dimaksud Clinton bukan kekuasaan pada umumnya
(rasanya ia tak hendak berpikir demikian tentang kekuasaan seorang Presiden Amerika),
melainkan kekuasaan yang direbut Macbeth. Dalam lakon ini, kekuasaan bukan saja tampak
tak sah, tapi juga tak ada tujuannya. Atau lebih tepat: kekuasaan dipertahankan demi
menyembunyikan sifatnya yang tak sah. Macbeth adalah cerita tentang nihilisme dalam
bentuknya yang mengerikan dan menyedihkan, karena seorang baik telah mengikuti nujum
dan nasib, dan tenggelam dalam kekejianseraya menyimpulkan bahwa hidup hanyalah
kisah yang dibawakan seorang dungu, penuh amarah dan suara seru, yang tak punya arti
apa-apa.
Suaranya sebenarnya murung. Di saat itu Macbeth justru menunjukkan: nihilisme tak bisa
mutlak. Dengan getir ia sendiri merasakan ada yang hilang di dunia ketika hanya kekuasaan
yang tak menyebabkannya hidup tenteram telah jadi satu-satunya perkara yang
dipertaruhkan.
Syahdan, di kamarnya yang gelap, setelah pembunuhan terjadi, Lady Macbeth tiba-tiba
merasa melihat ada darah di tangannya. Berjam-jam ia coba basuh, tapi tak terhapus juga.
Jejak kejahatan itu tetap bau. Dan akhirnya ia tahu: seluruh parfum dari Arabia tak akan
dapat mengharumkan tangan kecil ini.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 21 Desember 2009~
Jalan raya adalah sejarah politik dan kebrutalan. Di sanalah kekuasaan dikukuhkan, seperti
dilakukan Daendels dan para penguasa di abad ke-20 dan 21. Tapi di sana pula kekuasaan
disanggah. Di tahun 1966, di Jakarta, para mahasiswa turun ke jalan, sebuah istilah yang
kini masuk ke dalam kamus politik Indonesia, dan sejak itu aksi yang serupa berkali-kali
terjadi, menjatuhkan rezim Soeharto, menggagalkan rancangan undang-undang ini dan itu.
Selamanya dengan korban: ada yang mati ditembak, remuk dipukuli, ada bangunan yang
dirusak.
Ketika kota bertambah penting dalam percaturan politik, jalan raya jadi arena tersendiri. Di
sana mereka yang ingin mengubah kehidupan menemukan pengeras suara alternatif, ketika
forum yang tersedia (parlemen, mahkamah, media) tak punya sambungan lagi dengan orang
ramai.
Tema ini tak cuma ada dalam cerita Indonesia. Sejak jatuhnya monarki di Mesir, sejak Nasser
memimpin, di Timur Tengah para analis politik selalu memasang radar mereka ke arah the
Arab streets. Kata streets di sini sama dengan ruang tempat rakyat berdesak-desak, bersua,
bertemu, mendengar, bicara, bergembira, marah, benci, tentang segala sesuatu yang
menyangkut negeri mereka, bangsa mereka, kelas mereka. Mereka tak membentuk partai, tak
berwujud NGO. Tapi mereka sebuah faktor yang tak dapat diabaikan. Di Arab Streets, tak
ada tempat bagi para politikus di parlemen yang bukan dipilih, juga bagi kepala negara yang
kehilangan legitimasi. Revolusi bisa meletus dari kawahnya.
Sejarah politik tentu saja tak hanya terdiri dari kejadian yang gemuruh dan spektakuler. Asef
Bayat mengamati satu gejala dalam politik Iran yang tak banyak dilihat. Dalam Street
Politics: Poor Peoples Movements in Iran (terbit di tahun 1997), ia menyebutnya the quiet
encroachment of the ordinary. Dalam uraian Bayat, proses itu tak punya dampak politik yang
langsung. Tapi masuknya kaum miskin dari pedalaman ke Teheran, yang sering tak mendapat
tempat dalam lapangan hidup dan percakapan, diam-diam adalah sebuah perubahan
tersendiri. Para penguasa yang di atas tak dengan sendirinya guyah. Tapi di bawah, tulis
Bayat, praktek yang sehari-hari dan bersahaja itu mau tak mau akan beralih ke ranah
politik.
Saya ingat sebuah esai pendek Orhan Pamuk setelah ia berkunjung ke Teheran. Ia menyewa
mobil dengan seorang sopir. Di tengah lalu lintas yang kacau itu si sopir mengeluh di kota itu
semua orang tak patuh aturan. Tapi tak urung ia sendiri kemudian melanggar hukum dengan
memotong jalan, sebuah laku yang terlarang.
Begitulah, kata Pamuk, di arus lalu lintas Teheran itu justru kehadiran agama paling terasa:
tiap kali ribuan orang tak mematuhi hukum, tiap kali mereka berhadapan dengan para
ayatullah yang menerapkan dalil Kitab Suci buat segala segi kehidupan. Mereka sedang
berkonfrontasi dengan hukum syariah yang mengawasi perilaku mereka terus-menerus. Nah,
tatkala di belakang setir itulah, kata Pamuk, mereka mendapatkan satu-satunya saat untuk
bisa menafikan semua itusebagaimana orang-orang Teheran yang diam-diam menikmati
alkohol dan percakapan bebas di ruang privat mereka.
Dengan kata lain, Pamuk juga telah menunjukkan bagaimana jalan raya adalah sebuah arena
politiksetidaknya the politics of the ordinary. Sayang, Pamuk tak memandang perkara ini
lebih jauh; ia tak melihat bahwa politik dari hal-yang-biasa-saja itu adalah bagian dari gerak
sejarah yang selalu menggagalkan keserakahan. Ketika para sopir Teheran melanggar aturan
lalu lintas, mereka sebenarnya menunjukkan bahwa ambisi Negara untuk menertibkan hanya
sia-sia. Mereka sebenarnya menolak sikap para mullah yang tak puas-puasnya menghendaki
ketaatan atau kesucian. Tapi mereka juga memprotes sikap rakus para pengendara mobil
(ternyata juga mereka sendiri) untuk merebut tiap celah avenue.
Jalan raya adalah sejarah politikyang sebenarnya juga sejarah keserakahan dan perebutan.
Dengan kata lain, sejarah kelangkaan. Kota-kota di Indonesia kian lama kian dirundung
macetnya lalu lintas. Macet adalah indikasi bahwa ruas jalan tak cukupsebuah kelangkaan
akibat gagalnya para penghuni kota membebaskan diri dari jeratan empat-M yang
menggerakkan kota-kota Indonesia: modal, milik, mobil, dan mode.
Adapun modal juga yang membuat mobil berubah: ia tak sekadar sebuah alat transportasi; ia
juga sebuah pesona. Dari waktu ke waktu mobil tampil seakan-akan baru: ia berubah karena
sebuah musim berubah dan konon selera juga berubah. Pada saat yang sama, komoditi
yang memancarkan pesona itu bertaut dengan hasrat untuk memiliki. Dan karena pesona itu
selalu merangsang kekurangan, ada dorongan untuk terus-menerus memilikitak hanya satu.
Maka lahirlah kelangkaan. Sejarahnya belum selesai. Di jalan raya, keserakahan masih
berkibar, perebutan ruang masih berlangsung. Pergulatan politik untuk membebaskan diri
dari empat-M masih akan terus. Mungkin sampai akhirnya jalan raya musnah, lingkungan
runtuh, dan orang berteriak: Kita celaka!
~Majalah Tempo Edisi. 38/XXXVI/12 18 November 2007~
Tapi bukan kesengsaraan itu sebenarnya yang mengusik. Di dunia seperti yang menghuni
lorong Midaq, hidup bagaikan sepetak tanah genting. Ia terbentang di antara masa lampau
yang bak istana purba yang megah tapi berdebu dan masa depan yang tak jelas tapi gemilang,
karena apa pun bentuknya, yang akan datang niscaya lebih baik ketimbang yang ada
sekarang.
Hamidah, gadis cantik dalam novel ini, yang mendambakan lepas dari masa kininya, bersedia
diperistrikan Abbas, seorang pemuda yang tak menarik hatinya namun bisa menjanjikan jalan
ke luar. Lelaki itu bekerja jadi barbir bagi pasukan Inggris. Hamidah sendiri kemudian jadi
pelacur melayani tentara Sekutu yang bermarkas di Kairo pada masa perang melawan Hitler
itu. Germonya memberinya nama baru, Titi. Hamidah patuh. Nama, baginya, seperti
pakaian tua, dapat ditanggalkan dan dilupakan.
Tapi tak semua hal mudah dilupakan. Lorong Midaq, sebagaimana dilukiskan Naguib
Mahfouz, adalah permata dari zaman yang telah berlalu yang pernah bercahaya seperti
bintang berkilap dalam sejarah Kairo. Sejarah memang telah membentuk sedimen yang tebal
di kota itu. Pada 969 para pengikut Fatimah, putri Nabi, menaklukkan kota itu ketika mereka
hendak menegakkan daulat sendiri melawan Daulat Abbasiyah di Baghdad. Nama Kairo pun
dimulai. Al-Qahira berarti Yang Menang. Posisinya menanjak. Pada abad ke-13 ia jadi ibu
kota ketika kaum Mameluk berkuasa, dan begitulah seterusnya, juga ketika yang bertakhta
berganti-ganti.
Saya tak kenal pandangan Mahfouz dan tak tahu bagaimana ia memandang masa silam.
Seperti banyak orang, saya hanya menduga tiap imajinasi tentang Mesirnegeri yang begitu
erat di hati Mahfouz dan praktis tempat ia tak pernah beranjakdibentuk oleh sejarah yang
memberat di kepala, seperti mahkota yang berbobot. Dalam wawancaranya untuk buku
Mohamed Salmawy, Mon Egypt, sang sastrawan menekankan betapa besarnya sejarah dan
betapa tipisnya geografi Mesir: peradaban kuno itu bermula dari sebilah tanah sepanjang
Sungai Nil. Rasa bangga memandangnya, kata Mahfouz, mirip rasa bangga tentang orang tua
kita.
Tapi bukankah rasa bangga itu sebenarnya yang membuat orang tua kita, bukan sebaliknya?
Masa lalu, istana purba yang megah tapi berdebu itu, dibentuk karena sejenis kehilangan
dan kehilangan itulah yang tak pernah hilang.
Dalam novel yang kemudian diterjemahkan sebagai The Children of Gebelaawi, sang
patriarkh, Gebelaawi, membangun sebuah rumah agung di satu oasis di gurun gundul. Tapi
gedung itulah kemudian yang jadi sumber pertikaian keluarga. Kapan saja ada yang murung,
menderita atau terhina, ia akan menunjuk ke rumah di arah ke gurun itu, dan berkata, Itu
rumah nenek-moyang kita, kita semua anak-anaknya, dan kita punya hak memilikinya.
Kenapa kita kelaparan? Apa yang telah kita lakukan?
Novel ini, yang mulai ditulis pada 1957 dan diserialkan di koran Al Ahram, dilarang
diterbitkan di Mesir. Para ulama di Universitas Al Azhar mengharamkannya. Baru kemudian,
pada 1967, cerita yang tak dapat dibaca di seluruh dunia Arab itu terbit di Libanon dengan
judul Awlad Haratina (Anak-anak Gang).
Memang bukan persoalan tafsir terhadap masa lalu yang menyebabkan lembaga kekuasaan
agama itu murka, melainkan persoalan tafsir atas teks. Novel itu, yang bisa dibaca sebagai
alegori yang muram tentang Mesir di bawah kepemimpinan Nasser, oleh para ahli agama
dianggap penghinaan kepada Islam: jumlah bab dalam novel ini, kata mereka, sama dengan
jumlah surah Quran, dan Gebelaawi, yang dianggap lambang Tuhan, mati di bagian akhir.
Agaknya ketika Mahfouz luka parah setelah dicoba dibunuh pada 1994, tuduhan macam
itulah yang masih berdengung di kepala sang pembunuh.
Tapi bukankah masa lalu juga seperti novel: sebuah teks yang tak dapat dicopot, tapi selalu
dibaca dan dibentuk oleh rasa kehilangan? Dalam hal para ulama Al Azhar, rasa kehilangan
itu datang karena merasa iman terancam dan agama tak lagi utuh dan stabil.
Persoalannya: keadaan terancam itu akan selalu menyertai tiap iman, tiap dogma, karena
sumber Kata tak lagi terjangkau. Tapi anehnya manusia justru bisa nyaman dengan itu.
Seperti dikatakan Kirsha, si pemilik kedai, orang tak butuh lagi penyair yang menembangkan
selawat Nabi. Mereka butuh radio.
Seperti penyair tua di novel itu, Mahfouz pergi, bahkan sebelum ia meninggal pekan lalu.
Bunyi-bunyi lain telah meningkah suaranya yang kian lemah.
~Majalah Tempo Edisi. 28/XXXV/04 10 September 2006~
Syahdan, adegan dimulai dengan Miguel de Cervantes, penyair, pemungut pajak, dan prajurit,
yang ditangkap bersama bujangnya yang setia. Jawatan Inkuisisi, lembaga Gereja Katolik
Spanyol yang dengan tangan besi menjaga keutuhan umat dan iman, menjebloskan mereka ke
dalam kurungan di bawah tanah. Tak ayal, dalam calabozo yang seram itu mereka dikerubuti
para tahanan lain: semua milik yang mereka bawa harus diserahkan.
Cervantes mencoba mempertahankan satu naskah dan satu peti yang dibawanya. Ia siap
membela diri di depan mahkamah kurungan itu. Ia minta diizinkan menyajikan satu lakon.
Pemimpin para tahanan itu setuju. Dengan cepat, sang penyair membuka petinya. Ia kenakan
kostum dan tata rias, dan muncul sebagai Alonso Quijana, pak tua yang terkena delusi berat
dan membayangkan diri sebagai Don Quixote.
Ruang sempit yang pengap itu jadi pentas. Ksatria imajiner itu, dengan diiringi pelayannya,
kini disebut Sancho Panza, naik kuda imajiner. Pada detik-detik berikutnya, kamera
memindahkan adegan itu ke alam luas: kedua orang itu tampak menempuh plateau sunyi La
Mancha. Don Quixote tegak di atas pelana di punggung Rocinante.
Perjalanan mereka tentu saja tak sepanjang yang dikisahkan novel. Teks Wasserman (penulis
lakon yang juga membuat adaptasi karya Brecht, Die Dreigroschenoper) hanya menampilkan
beberapa bab yang penting dari narasi Cervantes.
Yang paling penting: pertemuan Don Quixote dengan pelacur Aldonza, di sebuah losmen.
Kita ingat sang majenun membayangkan losmen buruk itu sebuah kastil dan si pelacur
sebagai Dulceniaseorang putri bangsawan kepada siapa ia akan mempersembahkan hidup
dan cintanya.
Di sini kisah Don Quixote berhenti sebagai cemooh. Ia jadi sebuah alegori. Kita menyaksikan
wajah kegilaan yang luhur dan sosok bloon yang baik hati. Dalam kemajenunannya, orang
dari La Mancha itu ingin menyelamatkan dunia dari putus asa dan sinisme. I hope to add
some measure of grace to the world, katanya agak malu-malu, sambil memandang Aldonza
dengan lembut, mesra, tapi dengan sinar mata seorang gila.
Aldonza (diperankan Sophia Loren) tak mengerti semua itu. Ia selama itu jadi obyek nafsu
lelaki. Ia merasa nista dan tak pernah punya keyakinan bahwa berkah serta kelembutan bisa
tumbuh dari hidup. Dunia adalah seonggok tahi sapi, katanya ketus dan pahit, dan kita
belatung yang merayap di atasnya.
Don Quixote dengan halus membantah. Dalam hati, tuan putri tahu bahwa tak begitu
sebenarnya.
Aldonza meludah. Baginya, Don Quixote manusia sia-sia yang akan dihajar nasib. Tapi lakilaki tua yang kurus dan linglung itu menjawab: Akan kalah atau menangkah hamba, itu tak
penting.
Apa yang penting? Yang penting adalah perjuangan itu sendiri, bukan hasilnya: perjuangan
untuk membubuhkan yang mulia di dunia yang bobrok. Itu berharga. Sebab, bagi seorang
ksatria, itu sebuah privilese.
To dream the impossible dream,
Untuk mengubah hidup ini, untuk membebaskan semua, membangunkannya dari kematian,
sebagaimana aku dibangunkan, beberapa orang telah datang, mereka yang secara
bersembunyi-sembunyi telah menyaksikan kebenaran dalam hidup. Bersembunyi-sembunyi,
sebab, kalian tahu, tak seorang pun dapat mengucapkan kebenaran itu dengan lantang.
Sejauh ini kebenaran adalah musuh bebuyutan dari si kaya, musuh yang tak akan dapat diajak
damai selama-lamanya! Anak-anak kita tengah membawa kebenaran ke dunia.
Rangkaian kalimat itu mirip khotbah seorang nabi di depan kenisah: kata kebenaran disebut
berkali-kali. Dan ketika akhirnya polisi menyerbu, Pelagedia Nilovna tak berhenti.
Perempuan ini seakan-akan martir yang tak bisa luka.
Pendek kata, ia tokoh ideal; ia lahir dengan takdir yang didesain sang pengarang. Mungkin itu
sebabnya novel ini tak punya banyak kelok yang rumit tak disangka-sangka. Sekali kita tahu
pesan yang hendak disampaikan Gorky, kita segera temukan garis lurus antara bab pertama
yang melukiskan kehidupan kumuh kaum proletar dan bagian akhir yang menunjukkan
kegagahberanian.
Mungkin itu pula sebabnya novel yang begitu menggugah ketika dibaca di awal abad ke-20
di Rusia, di awal abad ke-21 ini akan disambut dengan satu tarikan napas: tak ada yang baru
di situ.
Zaman memang tak seperti dulu. Kini mitos kian goyah, realisme problematis. Kini manusia
adalah orang, makhluk yang lebih mengasyikkan tapi juga menjengkelkan. Lebih dari satu
dasawarsa setelah Gorky menuliskan novelnya, Freud menunjukkan bahwa kita semua (juga
para nabi dan pahlawan) punya bawah-sadar yang penuh nafsu, naluri, dan hasrat
kenikmatan. Kini kita lebih skeptis memandang pokok & tokoh.
Dan apa arti realisme, jika realitas kian disadari sebagai dunia hasil konstruksi yang
didukung bahasa sendiri?
Dalam Bab XIX, Pavel, buruh muda yang akhirnya jadi kebanggaan maknya, berdiri di
samping bendera merah yang berkibar: Kawan semua! Kita telah putuskan untuk
menyatakan secara terbuka siapa kita; kita junjung bendera kita hari ini, bendera nalar,
kebenaran, kebebasan!
Begitu meyakinkankah nalar?
Hidup rakyat pekerja! Pavel berseru pula, dan ratusan suara menyahut, Hidup Partai
Pekerja Sosial Demokrasi, partai kita ibu rohani kita.
Bagaimana mungkin Partai jadi ibu rohani?
Menjelang Revolusi Oktober 1917, nalar dan partai sebagai ibu rohani adalah bagian dari
iman gerakan Bolsyewik. Tapi, September 1980, kaum buruh Polandia mengibarkan gerakan
mereka, Solidarnosc, yang menentang Partai Komunis yang berkuasa atas nama proletariat.
Kita pun diingatkan kembali: kaum pekerja lahir dari kerjabukan dari ideologi. Ideologi
adalah hasil dari nalar. Kaum pekerja tumbuh dari bawah, dari otot dan peluh, sedangkan
Partai, sang ibu rohani, akhirnya tak bersentuhan dengan otot dan peluh, elemen jasmani
para proletar.
Bahkan sang buruh, yang bukan mitos, tak selamanya ingin menghabisi kapitalisme. Di
Indonesia, ada yang lebih menderita: para penganggur, yang tiap kali buruh memperoleh
upah minimum yang lebih tinggi, tiap kali pula para tunakarya itu kehilangan kesempatan
kerja.
Tapi Gorky bisa dimaafkan. Pada tahun 1907, ketika Mat terbit, Partai, si ibu rohani,
belum berkuasa dan berubah jadi Bapak yang streng. Baru pada 1918, setelah majalahnya,
Novaya Zhin, diberangus Partai, Gorky tahu apa yang ia hadapi; ia menulis sebuah buku yang
kritisyang baru bisa diterbitkan di Rusia setelah Uni Soviet runtuh.
Tapi mengherankan, hari-hari itu bahkan Gorky tak mengingat Engels (dalam Anti-Dhring)
yang menunjukkan pentingnya elemen jasmani dalam kerja dan sejarah.
Kerja, bukan karya, berasal dari badan yang tegak, ketika manusia tak lagi menggunakan
tangannya untuk merangkak. Tangan yang bebas itulah yang membentuk kerja: menenun dan
meniup serunai, menulis alkisah dan Alkitab. Otak pun berkembang amat jauh, hingga
nalar seakan-akan lepas dari jasmani.
Yang jasmani memang tak kekal dan tak pasti. Mungkin itu sebabnya dalam novel ini Si Rus
Kecil berseru: Kawan-kawan! Kita telah memulai sebuah prosesi suci atas nama Tuhan yang
baru, Tuhan Kebenaran dan Cahaya, Tuhan Nalar dan Kebaikan!
Jangan-jangan ini nostalgia tubuh kepada roh, agama yang ngumpet di balik materialisme
dialektik, mitologi yang berbaju realisme. Tak aneh jika para pejuang sering lupa: yang
merasa benar dan kekal akan terasing dari sejarah.
~Majalah Tempo Edisi. 11/XXXVII/05 11 Mei 2008~
menunjukkan, seperti juga yang hendak dikemukakan film Jacobovici dan Cameron, bahwa
bukan mustahil Yesus sebenarnya tak pernah diangkat langsung dengan seluruh tubuhnya ke
surga di hari ia disalibkan di bukit Golgotha.
Dengan kata lain: apa yang dituturkan dalam Perjanjian Baru dan dengan versi yang berbeda
dalam Quran bisa salah.
Tapi apakah salah, apakah benar? Makam di Talpiot itu memang membuat kita berdebardebar. Mungkin saja saya salah. Mungkin akhirnya tak akan ada suatu guncangan yang
dramatis dalam ketaatan religius di abad ke-21 ini. Apabila 10 ossuarium itu akhirnya
membuktikan bahwa keajaiban Tuhan tak terjadi di Golgotha dan sesudahnyaYesus
ternyata wafat sebagaimana manusia biasa, dengan tubuh yang dimakamkan di bumi
mungkin banyak orang akan kembali menemukan cara untuk terus tetap beriman. Seperti
dikatakan Jacobovici, orang akan percaya pada yang ia ingin percayai.
Yang kemudian akan tertinggal bagi mereka yang tak mau berhenti berpikir adalah ulangan
perdebatan klasik: mungkinkah mukjizat yang begitu dahsyattubuh manusia masuk ke
surga, yang selama ini dilukiskan sebagai bagian dari dunia rohbisa terjadi dan Tuhan bisa
mengalahkan hukum alam, juga hukum alam yang dikehendaki-Nya? Sejauh manakah beda
dan jarak antara Tuhan dan sejarah?
Betapa tak gampang untuk dijawab. Kehidupan Yesus memang mengundang ketakjuban dan
skeptisisme. Dalam Yesus, Maria Magdalena, Yudas, Ioanes Rakhmat mencoba menjelaskan
dimensi ke-tuhan-an Yesus dan ke-insaniah-annya, dari kata-kata Paulus: ada pembedaan di
antara Allah Sang Bapa dan Tuhan sebagai sebutan Yesus. Ada kontinuitas dan
diskontinuitas antara kedua entitas itu. Dalam diskontinuitas, dengan sendirinya Yesus
sejarah akan didekati sebagai sosok dalam ruang dan waktu.
Itulah sebabnya, sejak abad ke-18 di Eropa, ketika Zaman Pencerahan mulai membuka jalan
seluas-luasnya bagi rasio persisnya sejak Hermann Samuel Reimarus (1694-1768)para
penelaah mencoba menjelaskan Yesus sejarah itu dengan bersemangat. Reimarus,
misalnya, melihat pada diri Yesus dari Nazareth seorang revolusioner yang menjanjikan
datangnya Messiah, yang karena kegagalannya menyebabkan para pengikutnya mencuri
tubuhnya sehabis disalibkan, dan dari sini kisah kebangkitan kembali mulaijuga kelanjutan
hidup sebuah agama baru.
Reimarus hanyalah pemula. Dan tak semua yang berbicara tentang Yesus sejarah
berkehendak menggugat iman. Bahkan seperti disebutkan dalam karya Albert Schweitzer
yang terkenal, Von Reimarus zu Wrede (dalam versi Inggris: The Quest of the Historical
Jesus ), para pakar theologi Kristen mencoba mendekati kesejarahan Yesus dalam usaha
mereka menjawab apa yang jadi kecenderungan zaman, ketika mukjizat tak dapat lagi
diterima sebagai mukjizat, melainkan sebagai gejala alamiah.
Pleidoi itu bisa dimengerti, dan bukan mustahil. Kekristenan sendiri, tulis Ioanes Rakhmat,
sebenarnya mengakui bahwa Yesus itu seorang manusia juga. Dari dasar ini rasionalisme
abad ke-19 melahirkan pemikir dan theolog yang, seperti Schleiermacher, seorang penerus
Kant, berusaha keras dengan nalar membela agama Kristen dari para pengecamnya.
Tapi tak berarti Yesus sejarah memadai. Schweitzer mengungkapkan hal ini dengan
mengingatkan akan keimanan Paulus, seseorang yang, berbeda dengan rasul-rasul lain, tak
pernah bertemu dengan Yesus sendiri. Kita mengalami apa yang dialami Paulus, tulis
Schweitzer, ketika kita datang lebih dekat ke Yesus sejarah bahkan sudah mengulurkan
tangan untuk menariknya ke dalam zaman kita, kita harus menyerah dan mengakui kegagalan
kita. Ia mengingatkan pesan Paulus yang paradoksal: mengenal Kristus dalam daging
sebenarnya tak mengenalnya lagi.
Jarak atau dalam kata Ioanes Rakhmat diskontinuitas itu agaknya harus ditekankan
kembali. Di abad ke-20, sehabis Perang Dunia I, Karl Barth adalah suara yang menegaskan
ini. Tuhan dan manusia berbeda secara radikal. Manusia tak akan mengetahui-Nya. Manusia
hanya bisa menunggu, dalam agama, datangnya wahyu.
Tapi jika jarak antara Tuhan dan manusia begitu mutlak, bila antara keduanya tak ada
dialektika, hanya mungkin ada diastatasis, bagaimana Ia bisa menggerakkan hati kita,
bagaimana pula kita memahami-Nya? Bukankah akan lebih mudah bila kita bayangkan
seorang manusia, yang kesakitan dan mati sebagai manusia, karena ia tahu betapa dekatnya
Tuhan dengan kita yang fana?
Terus terang, saya tak berani menjawab.
~Majalah Tempo, Edisi. 14/XXXIIIIII/28 Mei 03 Juni 2007~
Saya merasa bodoh, mungkin juga merasa salah. Seandainya bisa saya hitung berapa kilowatt
energi yang ditelan oleh sebuah mall di Jakarta, di mana saya duduk minum kopi dengan
tenang, mungkin saya akan tahu seberapa timpang jumlah itu dibandingkan dengan seluruh
tenaga listrik buat sebuah kabupaten nun di pedalaman Flores.
Tapi tak hanya itu sebenarnya. Kini banyak orang tahu, ketimpangan seperti itu hanya satu
fakta yang gawat dan menyakitkan. Ada fakta lain: kelak ada sesuatu yang justru tak timpang,
sesuatu yang sama: sakit dan kematian.
Konsumsi energi berbeda jauh antara di kalangan yang kaya dan kalangan miskin, tapi bumi
yang dikuras adalah bumi yang satu, dan ozon yang rusak karena polusi ada di atas bumi
yang satu, dengan akibat yang juga mengenai tubuh siapa sajatermasuk mereka yang tak
pernah minum kopi dalam mall, di sudut miskin di Flores atau Bangladesh, orang-orang yang
justru tak ikut mengotori cuaca dan mengubah iklim dunia.
Dengan kata lain, tak ada pemerataan kenikmatan dan keserakahan, tapi ada pemerataan
dalam hal penyakit kanker kulit yang akan menyerang dan air laut yang menelan pulau ketika
bumi memanas dan kutub mencair. Orang India, yang rata-rata hanya mengkonsumsi energi
0,5 kW, akan mengalami bencana yang sama dengan orang Amerika, yang rata-rata
menghabisi 11,4 kW.
Saya tak lagi berpikir tentang keadilan dunia, kata teman Jepang itu pula, terlalu sulit,
terlalu sulit.
Beberapa tahun kemudian ia meninggalkan negerinya. Saya dengar ia hidup di sebuah dusun
di negeri di Amerika Latin, membuat sebuah usaha kecil dengan mengajak penduduk
menghasilkan sabun yang bukan jenis detergen, mencoba menanam sayuran organik sehingga
tak banyak bahan kimia yang ditelan dan dimuntahkantapi kata-katanya masih terngiangngiang, terlalu sulit, terlalu sulit.
Mungkin memang terlalu sulit untuk menyelamatkan dunia. Saya baca hitungan itu: dalam
catatan tahun 2002, emisi karbon dioksida dari seluruh Amerika Serikat mencapai 24% lebih
dari seluruh emisi di dunia, sedangkan dari Vanuatu hanya 0,1%, tapi naiknya permukaan
laut di masa depan akibat cairnya es di kutub utara mungkin akan menenggelamkan negeri di
Lautan Teduh itudan tak menenggelamkan Amerika.
Ingin benar saya tak memikirkan ketidakadilan dunia, tapi manusia juga menghadapi
ketidakadilan antargenerasi. Mereka yang kini berumur di atas 50 tahun pasti telah lama
menikmati segala hal yang dibuat lancar oleh bensin, batu bara, dan tenaga nuklir. Tapi
mungkin sekali mereka tak akan mengalami kesengsaraan masa depan yang akan dialami
mereka yang kini berumur 5 tahun. Dalam 25 tahun mendatang, kata seorang pakar, emisi
C02 yang akan datang dari Cina bakal dua kali lipat emisi dari seluruh wilayah Amerika,
Kanada, Eropa, Jepang, Australia, Selandia Baru. Apa yang akan terjadi dengan bumi bagi
anakcucu kita?
Terlalu sulit, terlalu sulit, kata teman Jepang itu.
Ekonomi tumbuh karena dunia didorong keinginan hidup yang lebih layak. Lebih layak
adalah sesuatu yang kini dikenyam dan sekaligus diperlihatkan mereka yang kaya. Kini satu
miliar orang Cina dan satu miliar orang India memandang mobil, televisi, lemari es, mungkin
juga baju Polo Ralph Lauren dan parium Givenchy sebagai indikator kelayakan, tapi kelak,
benda-benda seperti itu mungkin berubah artinya. Jika 30% dari orang Cina dan India
berangsur-angsur mencapai tingkat itu seperempat abad lagi, ada ratusan juta manusia yang
selama perjalanan seperempat abad nanti akan memuntahkan segala hal yang membuat langit
kotor dan bumi retak. Seperempat abad lagi, suhu bumi akan begitu panas, jalan akan begitu
sesak, dan mungkin mobil, lemari es, baju bermerek, dan perjalanan tamasya hanya akan jadi
benda yang sia-sia.
Mungkin orang harus hidup seperti di surga. Konon, di surga segala sesuatu yang kita
hasratkan akan langsung terpenuhi. Itu berarti, tak akan ada lagi hasrat. Atau hasrat jadi
sesuatu yang tak relevan; ia tak membuat hidup mengejar sesuatu yang akhirnya sia-sia.
Tapi akankah saya mau, seperti teman Jepang itu, pergi ke sebuah dusun di mana tak ada
mall, tak ada bujukan untuk membeli, dan hidup hampir seperti seorang rahib? Di mall itu,
saya melihat ke sekitar. Terlalu sulit, terlalu sulit, pikir saya.
~Majalah Tempo Edisi Edisi. 10/XXXIIIIIII/07 13 Mei 2007~
mati yang, menurut Marx, memberat di pikiran generasi yang masih hidup bagaikan mimpi
buruk.
Manifes agaknya sebuah dokumen pemikiran pertama yang waktu itu mengakui
keterbatasan manusia dalam mengubah sejarah itu. Teks itu menampik utopianisme. Bagi
para penandatangannya, masyarakat yang sempurna tak akan pernah ada:
Kami tidak mungkin menerima setiap bentuk utopia karena kami menyadari bahwa dunia ini
bukan sorga. Karena berfikir secara dialektik, maka kami mengakui kenyataan-kenyataan
bahwa lingkungan sosial kami senantiasa mengandung masalah-masalah, dan setiap
tantangan yang kami jawab akan menimbulkan tantangan-tantangan baru.
Dengan menyebut kami berfikir secara dialektik, Manifes ingin menegaskan bahwa
dialektik tak akan berhenti dalam satu tujuan tertentu. Dengan demikian, sejarah adalah
sebuah proses yang terbuka. Sejarah tak pernah terbentuk sebagai lingkaran totalitas, karena
tak akan ada sebuah kekuasaan yang bisa menguasai masa lalu, masa kini, dan masa depan
sepenuhnya. Kebudayaan dari suatu periode adalah senantiasa kebudayaan dari kelas yang
berkuasa, kata Manifes, mengutip Marx. Tapi sejarah juga mengajarkan: Justru karena
tidak termasuk dalam kelas yang berkuasa, maka orang berhasil membentuk kekuatan baru.
Kekuasaan selalu terbatas. Hegemoni kebudayaan tak akan bisa penuh. Ada gema pemikiran
Gramsci, pemikir Marxis Italia itu, dalam teks Manifes: ia sebenarnya berbicara tentang
keniscayaan munculnya kontrahegemoni.
Di sana, ada dua wajah dalam gerak kehidupan politik yang mengisi ruang hegemoni dan
kontrahegemoni itu. Di satu sisi, antagonisme politik menarik garis antara kawan dan
lawan. Namun di sisi lain, gerak politik juga mengandung acuan ke sesuatu yang universal.
Manifes dikecam karena di dalamnya termaktub kata humanisme universal. Dalam
suasana politik yang mengagungkan konfrontasi yang militanketika sikap memihak adalah
mestipengertian universal dianggap mengaburkan sasaran perlawanan. Tapi saya kira
ada salah paham di sini. Semangat untuk yang universal justru bisa bertaut erat dengan
semangat untuk memihak.
Jauh setelah Manifes Kebudayaan, pemikir yang pernah jadi aktivis buruh Argentina,
Ernesto Laclau, mengambil contoh seorang pejuang revolusioner yang militan: jika aku ikut
dalam aksi menduduki pabrik dengan tujuan memperjuangkan kenaikan gaji, hari libur
tambahan, dan yang semacam itu, keterlibatanku akan berakhir bila tuntutan setempat itu
terpenuhi.
Sebaliknya jika partisipasiku dalam aksi-aksi itu dilihat lebih luas: sebagai bagian dari
perjuangan revolusioner yang hendak mencapai cita-cita yang universal. Di situ aku mungkin
tak akan terpaut penuh dengan tuntutan kenaikan gaji dan tambahan hari libur, tapi justru
sebab itu aku akan lebih militan: perjuanganku adalah untuk sesuatu yang lebih luas
masyarakat sosialis, misalnyayang akan dinikmati siapa saja, di mana saja.
Di mana saja, siapa saja: kita ingat, 17 Agustus 1945 tak bisa dipisahkan dari kalimat terkenal
ini: bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak semua bangsa.
Tapi senantiasa, perjuangan untuk sesuatu yang universal hanya bisa terlaksana dalam
kondisi yang terbatas. Kemerdekaan yang harus diisi untuk siapa saja dan di mana saja
akhirnya hanya diisi oleh (dan untuk) manusia-manusia di ruang dan waktu tertentu. Itu
agaknya bulan Agustus adalah bulan ketika orang mengeluhseraya mungkin tahu, atau tak
tahu, bahwa tiap keluhan sebenarnya menyembunyikan harapan.
Sejarah adalah dialektika antara keluhan dan harapan, sebab, seperti tertulis dalam Manifes
Kebudayaan, dunia ini bukan sorga.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 09 Agustus 2010~
menaklukkan bumi. Kesadaran modern menganggap alam sebagai materi yang mati. Tak ada
peri menghuni samudra, tak ada raksasa menjaga Merapi.
Di abad ke-18, di Jerman, penyair Schiller menyebut arus modern ini sebagai die
Entgtterung der Natur, lepasnya dewa-dewa dari alam.
Tapi tak hanya di Jerman di zaman Schiller dan Goethe tumbuh kesadaran hilangnya sifat
yang magis dari alam. Animisme, yang menganggap benda-benda sekitar punya sukma,
tergusur di Yunani sejak Sokrates dan Plato. Sejak abad ke-5 Sebelum Masehi, rasionalitas
disambut. Sokrates tak menyukai mereka yang bekerja hanya berdasarkan naluri. Plato tak
menghendaki penyair yang memandang alam sebagai sesuatu yang senyawa dengan manusia.
Tak dapat dilupakan: alam jadi mati, sebagaimana animisme terusir, sejak monotheisme
ditegakkan. Pada mulanya adalah agama Yahudi. Yahweh adalah Tuhan yang cemburu,
demikian disebut dalam Perjanjian Lama. Janganlah ada padamu allah lain di hadapan-Ku,
begitu sabda-Nya. Maka sebagaimana orang-orang penyembah patung lembu dibinasakan,
segala sikap yang menganggap benda apa pun sebagai sesuatu yang punya anima dianggap
menyembah berhala.
Monotheisme yang mengharamkan animisme itu berlanjut dalam agama Kristen dan Islam.
Pada satu titik, agama Ibrahim ini bertemu dengan semangat modern: saat lepasnya dewadewa dari alam. Tak mengherankan bila tendensi anti-takhayul tumbuh misalnya di
kalangan Muhammadiyah, yang lazim disebut sebagai pembawa modernitas dalam Islam di
Indonesia. Tak mengherankan bila orang Muhammadiyah (seperti halnya HB X) cenderung
menampik adat nyadran di Merapi dan di mana saja. Nyadran adalah pemberhalaan.
Tapi ada yang sebenarnya hilang ketika adat itu disingkirkan. Max Weber, sosiolog itu, telah
termasyhur dengan telaahnya tentang proses hilangnya yang magis dari dunia, yang terjadi
sejak modernitas berkembang biak. Manusia sejak itu hanya menggunakan akal
instrumental, memperlakukan alam sebagai sesuatu yang bisa diperalat, dengan hasil yang
bisa diarahkan. Dunia modern dan kerusakan ekologi cepat bertaut.
Yang tak disebutkan Weber: agama-agama pun kehilangan kepekaannya kepada yang
sesungguhnya mendasari imankepekaan kepada yang menggetarkan dari kehadiran Yang
Suci, yang dalam kata-kata Rudolf Otto yang terkenal disebut sebagai mysterium,
tremendum, et fascinans. Yang Suci membangkitkan pada diri kita rasa gentar dan takjub
karena misterinya yang dahsyat. Tapi ketika alam dipisahkan dari Yang Suci (karena tak
boleh di-sekutu-kan), Tuhan pun berjarak. Ia tak membuat kita luruh. Kita hanya
berhubungan dengan-Nya lewat hukum. Tuhan pun mudah ditebak. Hukuman dan pahalanya
dapat dikalkulasi.
Maka ketika gunung meletus dan tsunami menggebuk, mereka yang merasa bisa
memperhitungkan maksud Tuhan dengan cepat bisa menjelaskan: bencana itu azab, ia terjadi
untuk tujuan tertentu. Dalam hal ini agama mirip dengan ilmu-ilmu yang merasa bisa
menjelaskan & menguasai alamdan membuat manusia bersujud kepada Tuhan yang
sebenarnya tak akrab.
Saya kira Mbah Maridjan meninggal dengan bersujud kepada Tuhan yang sama. Tapi Tuhan
itu masih membuatnya gentar, takjub, dan bertanya.
di tahun 1969, Jokes are grievances: lelucon adalah keluhan. Sadar atau tak sadar, kita
mengeluh kepada beban sebuah dunia yang persegi empat, dan kita melucu.
Tapi Indonesia kini mungkin justru tak sangat membutuhkan itu. Humor memang bagus
untuk menghadirkan sebuah sikap yang lebih leluasa dan tanpa hierarkidan ini sangat
penting bagi sebuah republik yang selama 32 tahun dipimpin oleh seorang bekas jenderal
yang meskipun sering tersenyum, di balik senyum itu orang lain cemas karena tampaknya si
Boss ada maksud. Humor justru bisa membuka hubungan manusia menjadi tanpa maksud
yang tertentu. Tapi pada sisi lain humor juga bisa dipakai untuk menampik apa yang terarah
dan berfokus. Di bawah kepresidenan Gus Dur, bahkan lelucon tampaknya telah jadi cara
melepaskan diri dari tuntutan dan bantahan. Jika Anda datang ke Presiden Republik
Indonesia yang ke-4 dan mengutarakan kritik atau saran, Anda tak akan diberangus. Tapi
Anda akan dijawab dengan penggeli hatidan semua arah awal pembicaraan pun buyar.
Dalam hal ini, Gus Dur boleh dikatakan seorang Marxis: ia mengikuti gaya Groucho Marx
dan saudara-saudaranya. Tentu saja dengan jauh lebih cerdas. Tapi saya pernah mendengar
seorang wartawan Inggris yang berkata: Seandainya ekonomi Indonesia bisa ditolong
dengan mengeskpor lelucon, Gus Dur akan berhasil.
Sayangnya lelucon tak sama dengan barang non-migas, dan seperti dalam canda Marx
bersaudara, ada yang ganas di sana: keganasan mencemooh semua niat untuk efisien dan
efektif, keganasan untuk menafikan keharusan mempunyai rencana. Hidup di Indonesia, kita
tahu, tak semuanya sebuah karnaval ala Bakhtin, ketika banyak orang mati dan jutaan
manusia cemas. Bahkan bagi seorang badut pun kita harus meminta jeda. Seorang perempuan
konon pernah mendengar lelucon Groucho selama tiga hari tanpa putus. Merasa tak bisa lagi
bicara dan tukar-menukar pikiran, ia pun berteriak: Please, Groucho, stop! Lets have a nice
quiet normal conversation.
Agaknya kita juga harus berteriak yang sama kepada Presiden: kita perlu percakapan yang
tenang, enak dan, maaf, produktif.
~Majalah Tempo, Edisi. 19/XXIX/10 16 Juli 2000~
imaji seekor kuda berwarna putih pucat yang berderap datang, dan Maut duduk
menungganginya.
Di situ Ajal datang dari jauh. Ia datang dengan deras.
Tapi kalimat puisi Subagio tak aneh, bila, dalam meditasi yang senyap, kita bisa merasakan
betul bahwa ajal sebenarnya tak datang dari ufuk nun di sana. Kematian tersemat dalam
hidup. Ketiadaan berada di dasar ada.
Mungkin jarak antara ajal dan kehidupan adalah beda yang dirumuskan nenek-moyang kita
ketika mereka kemekmek, ngeri, tapi tak mampu memecahkan misteri asal dan akhir
manusia. Bahasa pun memberi nama Maut, dan kita bayangkan ia sebagai satu sosok yang
mengancam: satu makhluk lain dari benua yang terpisah dan tak diketahui.
Dalam pewayangan Jawa, sang Maut adalah Yamadipati, putra Sang Hyang Ismaya dan Dewi
Sanggani. Asal-usulnya dapat ditemukan pada keyakinan Hindu, yang menggambarkan
Yama dalam bentuk buruk dan ganjil dengan kulit yang berwarna hijau atau merah. Ia duduk
di atas punggung kerbau, memegang seutas jerat di tangan kirinya. Dengan jerat itu, ia
sambar nyawa manusia.
Kematian adalah kekerasanbegitulah agaknya yang tersirat dalam citra jerat itu. Sama
dengan yang kita temukan dalam tradisi Eropa: maut adalah sosok yang membawa sabit
panjang, dan dengan itulah kehidupan ditebang dan nyawa dibabat.
Kematian sebagai sesuatu yang datang dari luar diri kita, dan cepat mencekik atau menebas
lehersemua itu menunjukkan penolakan manusia atas ajal. Tapi penampikan yang percuma.
Manusia akan senantiasa kalah. Di situ pula rasa murung merebak ke dalam pelbagai
ekspresidalam bentuk doktrin agama, upacara persembahan dan korban, ukiran pagoda,
lukisan gereja, doa di depan altar, kata-kata dalam mantra, kisah sastra, bahkan gambar dalam
sinema.
Kita ingat film Ingmar Bergman yang dibuat pada tahun 1957 itu, Tera Ketujuh: kesatria
Antonius Block pulang dari Yerusalem yang jauh setelah Perang Salib; di negeri Utara itu,
ketika penduduk diserang wabah, ia bertemu dengan Maut. Ia menantangnya bermain catur;
jika ia menang, hidupnya akan lepas dari akhir itu.
Tapi kita tahu apa yang kemudian terjadi. Yang menarik dari karya Bergman inidengan
gambaran Maut yang diambilnya dari sebuah lukisan abad ke-15 di gereja di Tby, Swedia
adalah kehendak untuk membuat kematian merupakan negasi ganda: manusia dikalahkan
olehnya, tapi juga manusia direnggutkan dari arti hidup.
Di sebuah gereja kecil Block membuat pengakuan di depan satu sosok berjubah: Aku
berseru kepada Tuhan dalam gelap, tapi kadang-kadang seakan tak ada siapa pun di sana.
Bisa saja tak ada siapa pun di sana, jawab sosok berjubah itu.
Jika begitu, seluruh hidup hanya horor tanpa makna. Tak seorang pun dapat hidup dengan
maut sebelum ia mati, jika ia merasa bahwa akhirnya ia hanya tak diacuhkan.
Yang tak diketahui Block ialah bahwa si sosok berjubah adalah Sang Maut sendiri.
Bagi saya, Bergman melukiskan Maut sebagai sebuah kekuatan yang julig: dengan muslihat
ia kabarkan betapa tak pastinya arti hidup, sebelum ia mengakhiri hidup itu. Memang dalam
agama orang menemukan sebuah penangkal bagi gambaran yang merisaukan itu, tapi justru
itu yang hendak digugat Bergman: dengan agama kita sebenarnya mencoba menutupi
keraguan kita, benarkah ada Tuhan yang memberi makna, bukan hanya Tuhan yang berkuasa.
Tera Ketujuh menandaskan rasa jeri kita.
Tapi di sini Bergman, sang atheis, akhirnya hanya mereproduksi bayangan umum yang
dibawa agama Kristen sejak Abad Pertengahan: Maut memberat bagai kutukan. Bayangan itu
tak universal. Di Bali, misalnya, upacara ngaben mengandung suasana kebersamaan yang
meriah. Dengan kata lain, ada masyarakat yang menerima kematian dengan hati lebih ringan.
Di Indonesia, kita menyebut orang mati dengan eufemisme: meninggal(kan) dunia,
sebagaimana orang Romawi dulumenurut mereka yang mengetahuimemakai kata
discessit e vita, ia telah meninggalkan kehidupan.
Bahkan di Eropa yang Kristen pun orang tak selamanya mau menanggungkan kemuraman ala
Bergman. Di sebuah kuburan di perbatasan Rumania dan Rusia, ada sebuah dusun yang
punya tempat pemakaman yang unik: tiap kubur diberi nisan salib dari kayu yang digambari
secara lucu satu corak penting hidup si mendiang.
Ada juga sebuah anekdot
biara. Di sana dilihatnya
hidupsatu model yang
Maximilian tak berkenan.
dengan gambar badut.
Syahdan, sejak itu, gambar tentang Maut berubah. Agaknya dari sini pula terbit citra tentang
maut yang menari-nari, danse macabre: yang mengerikan bertaut dengan yang grotesk dan
kocak.
Dan kematian makin akrab. Bila kita dengan pilu mengalami serta menyaksikan beratus
orang meninggal seketika pada hari-hari ini, mungkin kita bisa ingat, Maut tak pernah jauh.
Ia bukan oposan, tapi bagian dari hidup yang juga bisa meriah. Bukankah sebelum Ada,
sesungguhnya Ketiadaan?
~Majalah Tempo, Edisi. 48/XXXV/22 28 Januari 2007~
1650-an berkembang jadi kota yang terbangun oleh apartheid: di satu sisi dibatasi tembok
tempat orang Belanda hidup, di sisi lain Ommelanden, tempat yang lain diletakkan.
Dari pemisahan macam ini sang penjajah membangun identitas etnis untuk memudahkan
kontrol dan pembagian kerja. Dengan itu juga berlangsung divide et impera. Dalam telaah
Brown dikutip keputusan VOC di Cirebon, misalnya, untuk memperkukuh batas etnis agar
bisa mengisolasi orang peranakan, keturunan Cina yang semula hidup berbaur sebagai
penasihat politik sultan. Dengan itu, kompeni bisa memperlemah posisi kedua-duanya.
Maka tak mengherankan bila pembebasan dari kolonialisme bertaut dengan kehendak
melepaskan diri dari tatapan yang membekukan itu. Amir Hamzah dan puisinya adalah
bagian dari pembebasan itu: ia tak lagi bisa disebut Melayu. Sejak tahun 1930-an, puisi
Indonesia adalah puisi para musyafir lata, para pejalan yang tak punya apa-apa selain
kebebasannya dalam menjelajah. Indonesia lahir dari penjelajahan itu.
Sebab itulah nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme yang mengangkut milik yang
diwariskan masa lalu, baik dalam wujud candi maupun ketentuan biologi. Mungkin itu
sebabnya Indonesia dan ke-Indonesia-an selalu terasa genting, tapi dengan itu justru
punya makna yang tak mudah disepelekan.
Baru-baru ini saya dengar cerita sejarawan Taufik Abdullah ketika ia di Mekkah. Di kota suci
itu seorang Malaysia bertanya kepadanya apakah ia orang Indonsebutan yang sering
dipakai orang Malaysia untuk menyebut Indonesia. Taufik Abdullah marah. Jangan sebut
Indon, katanya, tapi Indonesia.
Ia menjelaskan kenapa ia marah. Saya penelaah sejarah. Saya tahu nama Indonesia
diperjuangkan dengan tidak main-main, sejak awal abad ke-20.
Sungguh tak main-main: berapa puluh, berapa ratus, berapa ribu orang dipenjara dan mati
untuk nama itu? Bisakah kita melupakannya?
Ada sebuah sajak Rivai Apin pada tahun 1949:
Ingatlah bila angin bangkit
Ingatlah bila angin bangkit
Bahwa daerah yang kita mimpikan
Telah bermayat, banyak bermayat
Sajak itu ditulis tiga tahun setelah Amir Hamzah dibunuh. Tampaknya memang hanya
dengan tragedi kita tahu apa yang seharusnya kita hargai.
~Edisi. 04/XXXVII/17 23 Maret 2008~
Tapi menarik bahwa dalam sajak yang ditulisnya tentang kejadian itu ia memakai kata
malam hari, la noche, untuk menggambarkan buta. Borges yang lahir di akhir abad ke-19
mungkin lupa: abad ke-20 telah memperkenalkan sisi lain dari malam, yaitu cahaya. Bahkan
cahaya itu berpendar mewah, atau bertebar di mana-mana, dan gelap menjadi minoritas.
Malah sebuah cacat. Terutama di kota-kota besar.
Kota kini telah membawa iman modernitas yang tak selamanya dirumuskan: bahwa dunia
bisa dijinakkan karena manusia bisa mengetahuinya dengan benar, dan mengetahui dengan
benar berarti melihat. Bukan mendengar, mencicip, menghidu, atau meraba. Yang
visual memimpin pengenalan kita kepada dunia.
Tentu saja akan berlebihan bila kita pisahkan masa kini dari masa lalu. Dalam kondisi
pramodern, orang juga sudah menganggap sejarah bergerak karena penglihatan. Melalui
ilmu, misalnya. Orang Jawa menyebut ilmu sebagai kawruh. Kata ini punya akar dalam
kata weruh, yang dalam kamus Jawa susunan W.J.S. Poerwadarminta tahun 1939 berarti
bisa menggunakan penglihatan dan juga berarti mengerti. Dan bila benar wayang adalah
sumber kearifan, makin jelas bagaimana cahaya (dan akibatnya: bayangan) adalah teknologi
purba untuk pen-cerah-an.
Kecenderungan mengutamakan mata, oculus, sebagai sumber pengetahuan (dan penguasaan)
itu bahkan sudah ada di Yunani Kuno: peradaban yang oculocentric dimulai jauh sebelum
Plato. Plato pernah menyebutkan satu upacara purba, satu milenium sebelum dia, yang
berlangsung di Eleusis: tiap musim semi ratusan orang berkumpul di sebuah kuil yang gelap
pekat bagaikan gua, menantikan ajaran tentang kematian, kelahiran kembali, dan keabadian.
Mereka ingin mengetahui hal-hal itu agar dapat mengatur hidup. Nah, Dewi Demeter akan
tampil dalam sinar yang terang. Kebenaran akan disampaikan.
Kini jutaan orang, berkelompok atau menyendiri, menantikan informasi. Bukan di Eleusis,
tapi melalui sinar di televisi, film, layar komputer di mana saja. Aku melihat, maka aku ada.
Bisa kita bayangkan bagaimana terasingnya Borgesapalagi ketika bahkan buku-buku juga
sedang meninggalkannya. Sejak ia kecil deretan jilid berbaris di rumahnya. Bertahun-tahun ia
sentuh kertas yang membentuk pagina itu dan ia hidu aroma tintanya. Tapi hari ini Kindle
dan iPad dan entah apa lagi sedang menghapus sumber informasi (bahkan kebenaran) itu.
Di pertengahan abad ke-20 Tuhan memberi Borges buku dan malam hari. Kini sejarah
teknologi merenggutkan keduanya. Beruntung ia tak menyaksikan babak baru ini. Ia
meninggal pada 1986.
Saya kira saat itu ia bebas. Maksud saya, ia tak akan digedor iklan yang tanpa jeda. Ia tak
akan dijepit etalase-etalase mal yang memamerkan tubuh peraga yang rupawan, busana
berpotongan memukau. Atau ratusan botol parfum yang lebih enak dilihat bentuknya
ketimbang dicium harumnya. Atau makanan yang mengimbau lidah lewat fotografi. Dan di
atas semua itu: logo, logo, logo. Dengan desain yang tak ingin terabaikan.
Kapitalisme, dengan kemampuannya merayakan apa yang visual, mencoba menebus sesuatu
yang hilang. Ia bagian dari modernitas yang lahir bersama penaklukan dunia dan kehidupan,
yang menghabisi sihir, pesona, dan aura yang dulu dirasakan hadir dalam alamgejala yang
terkenal dalam sebutan Max Weber sebagai Entzauberung der Welt. Tapi sejak awal abad ke19, ketika benda-benda dipajang di toko-toko besar, orang pun jadi konsumen yang
ternganga-nganga takjub. Dengan teknik pemasaran yang piawai, lewat komoditas, pesona
dikembalikan ke dunia.
Modernitas, yang semula membangun dan dibangun dari perhitungan rasional, kini
menghidupkan lagi sesuatu yang tak sepenuhnya dikuasai akal: pesona itu bekerja karena
bergolaknya hasrat. Ada yang akan menyebutnya nafsu: bagian dari bawah-sadar yang
hanya kita temui di saat yang tak bisa direncanakan, yang tentang sumbernya kita cuma bisa
bilang, Entah.
Tapi satu catatan perlu ditambahkan: sebagaimana sihir dan pesona alam di zaman kuno bisa
menyesatkan, pesona visual dari kapitalisme-lewat-etalase itu juga demikian. Bedanya: di
zaman dulu apa yang menampakkan diri dan menyihir manusia bisa datang dan menghilang
ke dalam misteri; kini, yang secara visual mempesona itu punya dua sifat. Yang pertama, ia
tak punya kedalaman. Ia datar seperti etalase, tanpa misteri. Yang kedua, ia dibebani
kesementaraan. Bentuk gaun, ukuran dasi, warna kain harus berganti terus, selalu sementara,
tiap musim. Hasrat disebut hasrat karena ia tak terpuaskan.
Itulah yang saya maksud: mungkin yang didapat Borges sebuah magnfica irona yang
membebaskan.
Ia beroleh buku: tempat tersimpannya apa yang tak ada di dunia etalase, ruang visual yang
rata. Buku Borges sendiri contohnya: di dalam cerita-ceritanya, fantasi lebih berperan,
bahkan mengecoh fakta. Di sana datang hal yang tak pernah dilihat: Borges menulis The
Book of Imaginary Beings. Di situlah ia hidup bersama malam: fantasi & imajinasi meriah
justru ketika kita tak tergoda untuk melihat. Mata adalah peranti yang rapuh, kata Borges
dalam satu sajaknya.
Artinya, jauh di dalam diri yang tak tampak, ada yang tak tertaklukkan. Kapitalisme mencoba
menangkapnya, tapi kata + kisah yang fantastis, yang gelap, menyembunyikannya kembali.
Mungkin itu sebabnya kita selalu cemas akan kehilangan puisi.
~Majalah Tempo, Edisi Senin, 11 April 2011~
melodrama bergantung pada permusuhan dengan sesuatu yang di luar sanasi jahat atau
bakhil, ideologi yang memusuhi atau kekuasaan yang akan menindas, alam yang destruktif,
dan lain-lain. Dalam melodrama, dunia hanya hitam atau putih.
Maka benar juga jika dikatakan, melodrama mirip politik, tragedi mirip agamakecuali bila
agama pun jadi proyek politik, bukan lagi merupakan ruang persentuhan aku dan Tuhan,
melainkan ruang persaingan atau benturan antara kami dan mereka.
Revolusi adalah model yang bisa jadi acuan jika kita bicara tentang politik sebagai
melodrama. Dramawan Peter Brooks menunjukkan hal ini. Melodrama, katanya, adalah
genre dan ucapan dari moralisme revolusi. Dalam revolusi pesan moral diutarakan tanpa
ambiguitas: di sini kaum revolusioner yang mulia, di sana kaum kontrarevolusioner yang keji.
Tiap revolusi menyangka, atau menyatakan diri, membawa sesuatu yang baru. Revolusi
Prancis menyatakan tahun permulaan kekuasaan baru sebagai tahun nol. Revolusi Rusia
mengubah nama-nama kota terkenal (St. Petersburg jadi Leningrad), juga Revolusi
Indonesia menolak nama Batavia dan menjadikannya Jakarta. Bahkan Bung Karno
mengubah nama orang yang mengandung nama Belanda: Lientje Tambayong jadi Rima
Melati, Jack Lemmers jadi Jack Lesmana.
Para sejarawan mungkin tak akan melihat apa yang baru bisa sedemikian absolut. Tarikh
baru bisa dimaklumkan, nama baru bisa diterima umum, tapi senantiasa akan ada endapan
dari masa lampau dalam peristiwa revolusioner yang mana pun. Lagu Revolusi Oktober yang
dinyanyikan dengan menggetarkan oleh paduan suara Tentara Merah menggunakan melodi
yang sama dengan nyanyian Selamat Tinggal, Slavianka yang digubah pada 1912yang juga
dinyanyikan untuk membangkitkan semangat pasukan Tsar menjelang perang di Balkan.
Sudah tentu, bagi kaum militan yang muncul menegaskan diri dalam revolusi, apa yang
baru itulah yang menyebabkan mereka maju dan yakin. Badiou, yang menyebut Revolusi
Prancis dan Rusia sebagai kejadian, levnement, mengklaim bahwa kejadian itu adalah
sebuah proses kebenaran, dan kebenaran, (berbeda dari pengetahuan) bersifat baru.
Mungkin seperti puisi yang lahir danmeskipun menggunakan bahasa yang adabisa
dihayati sebagai baru sama sekali.
Persoalannya, sebuah revolusi (sebagai kejadian yang dahsyat sekalipun) bukan hanya
menerobos sebuah situasi, bukan sesuatu yang datang dari luar sejarah, melainkan juga
datang dari sebuah situasi, dari sebuah keadaan yang terkadang disebut status quo. Saya
kira Marx lebih benar ketimbang Badiou: revolusi bagi Marx tak akan terjadi bila tak ada
keadaan obyektif, bila tak terjadi penguasaan total alat produksi di masyarakat oleh kaum
borjuis dan makin meluasnya mereka yang tak punya apa pun, kecuali tenaga.
Dengan kata lain, politik dan revolusi sebagai melodrama bukanlah lakon seru yang tak
dirundung ambiguitas dalam dirinya. Tiap perubahan besar sebuah masyarakat selamanya
mengandung sifat yang tragis: kita bersengketa dengan diri kita sendiri, gerak terasa mundur
dan jadi antiperubahan, tak pastinya proses yang biasa dibayangkan dalam pidato-pidato
moralisme revolusioner.
Politik yang tetap tak ingin melihat diri sebagai melodrama akan dengan cepat jadi komedi
atau bahkan farce. Para pejuang yang bukan lagi pejuang tapi terus mengklaim kesucian
motif dalam dirinya dan kemurnian semangat dalam kepejuangannya, akan tampak
menggelikan, atau semakin tak meyakinkan para penonton. Terutama dalam keadaan ketika
elan perubahan telah bercampur dengan rasa kecewa dan hilangnya keyakinan yang meluas.
Tapi melodrama selalu tersimpan dalam sebuah masyarakat. Hidup terkadang terlalu penuh
warna abu-abu hingga orang menginginkan gambar yang tegas dan sederhana. Yang tragis
menakutkan. Kita pun membuat kisah seperti Ramayana dengan akhir yang jelas dan
bahagia: Sita kembali mendampingi suaminya setelah Dasamuka yang jahat itu mati. Tak ada
dalam cerita kita bahwa Sita harus dibakar untuk membuktikan dirinya suci setelah
bertahun-tahun hidup di bawah kuasa lelaki lain.
Melodrama, dalam pentas dan dalam politik, memang mengasyikkan, dengan atau tanpa air
mata. Tapi memandang politik dengan sikap pengarang sinetron akan cenderung menampik
kesadaran akan yang tragis dalam sejarahdan kita hanya akan jadi anak yang abai dan
manja.
Hidup tak bergerak dengan monopati.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 30 November 2 009~
Namun pada saat yang sama, ada faset lain yang bisa dicatat: apa yang dipangku dan dijaga
dengan sendirinya sesuatu yang dianggap stabil, tak lasaksesuatu yang betah dengan wadah
tempat ia berada. Dengan kata lain, negeri atau masyarakat yang ada di haribaan raja
diharapkan tak punya antagonisme dalam diri mereka dan dengan sang raja.
Tentu saja, seperti saya sebut di atas, itu hanya sebuah idaman. Simbol punya peran lain:
bukan representasi sesuatu, melainkan sebuah ikhtiar untuk mencapai sesuatu yang tak ada.
Dalam sejarah Mataram, yang tak ada itu justru harmoni antara yang memangku dan yang
dipangku. Sejak Amangkurat I, kekerasan berkecamuk. Raja ini membantai 3.000 ulama di
alun-alun dalam waktu setengah jam. Raja ini pula yang akhirnya menimbulkan
pemberontakan Trunojoyo; ia bahkan disanggah anaknya sendiri hingga lari dari istana. Ia
meninggal jauh di pesisir utara.
Kasus Amangkurat I menunjukkan, ikhtiar simbolisme itu lahir bersama kondisi raja sebagai
sosok yang terbelah. Ia bertaut dengan sesuatu yang mithologis; sebagai pemangku bumi ia
tak merupakan bagian dari bumi itu. Dengan posisi itulah ia diharapkan (dan mengharap) jadi
pemersatu alam. Tapi pada saat yang sama, ia berada di dalam kegalauan bumi. Harapan
untuk jadi pemersatu itu berlebihan. Selisih pun timbul.
Amangkurat adalah contoh betapa sebenarnya sang pemangku bukan fondasi stabilitas. Ia
sendiri tak punya penopang. Ia tumbuh dari konflik dan kekerasan yang membentuk sejarah:
sejak Majapahit runtuh, sejak Kesultanan Demak lenyap dan Jipang hilang. Bahkan agaknya
jauh sebelum Ken Arok membangun Tumapel dengan keris dan darah.
Juga sampai hari ini: kita harus mengakui, idaman akan stabilitas adalah idaman yang bagus
tapi sia-sia. Tiap negeri, kerajaan, atau republik, bagaimanapun, terbentuk lewat bentrokan,
persaingan, dan pergulatan hegemoni. Antagonisme tak pernah berakhir. Sejak Kautilya
menulis Arthasastra di India di abad ke-4 sebelum Masehi, sejak Machiavelli menulis Il
Principe di Italia di abad ke-16, sampai dengan kompetisi demokratik abad ke-21, para
pemikir dan pelaku politik sadar: politik itu sejenis perang.
Apa boleh buat. Orang meciptakan kekuasaan untuk dirinya, tapi ia tak dapat menjadikan
kekuasaan itu identik dengan dirinya: kita ingat Amangkurat yang lari dari keraton, raja-raja
yang dimakzulkan dan dipenggal, khalif-khalif yang dibunuh dan dicemarkan. Yang penting
tentu saja bukanlah mengakui kebrutalan itu sebagai sesuatu yang sah. Yang penting adalah
meniadakan ilusi bahwa bumi akan berhenti gonjang-ganjing setelah dipangku dan dipaku.
Kekuasaan selalu bergeser. Orang yang menciptakannya, dalam kata-kata Ernesto Laclau,
akan sia-sia mendapatkan hari ketujuh untuk beristirahat.
Kita, di Indonesia, mudah merindukan hari ketujuh itu: tercapainya konsensus. Saya tak
sepenuhnya sepaham dengan Laclau bahwa antagonisme adalah satu-satunya dasar yang
membentuk sebuah masyarakat. Tapi memang tak dapat diasumsikan bahwa konsensus pasti
datang. Para pihak dalam kehidupan politik tak dengan sendirinya akan menemukan
rasionalitas dan dengan itu bermufakat. Dalam sejarah Indonesia, dengan atau tanpa
demokrasi, tak ada persaingan tanpa perlawanan. Politik tak mungkin hanya mengejar koalisi
tanpa konfrontasi.
Dalam salah satu kitab Jawa abad ke-19 disebutkan agar para calon pemimpin berlapang hati,
serba memuat dan memangku, bagaikan lautanden ajembar, momot lan mengku, den
kaya segara. Petuah itu tampaknya dirumuskan seseorang yang merasa diri aman dari politik
dan ditujukan kepada para pewaris sebuah kekuasaan yang sedang tenteram. Tapi di tanah air
kita, laut bukanlah tasik yang tenang tak beriak. Ia punya prahara dan tsunami.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 14 Maret 2011~
diperebutkan dan dibanggakan? Saya mendengarkan tutur pemilik warung itu dan tiba-tiba
merasa: hidup bisa sangat berbeda, jika pusat dunia tidak ada lagi. Kita tahu pusat itu
biasanya dilekatkan dengan tapal batas yang sempit di dekat diri sendiri. Dan saat itu rasanya
tapal batas dan pusat raib, dan ruang yang soliter pun digantikan oleh yang solider. Dunia
jadi ramah. Bahkan yang menderita ingin menjaga perasaan orang yang tak menderita,
sebagaimana juga sebaliknya. Ada yang agak ajaib di sini: ternyata beberapa saat lamanya di
Aceh, ekonomi bisa berhenti.
Ekonomi: sebuah proses yang bertolak bukan saja dari kelangkaan, tapi juga dari pertukaran,
daur mengambil-menerima. Pasar membuat prosedurnya. Di sana pusat hadir dalam bentuk
pamrih. Kepentingan diri dianggap patut. Hubungan berlangsung seperti kontrak. Tapi
mungkinkah itu segala-galanya? Kontrak mengandung asumsi bahwa yang-lain akan
menerima yang-seimbang. Tapi hal itu tak akan pernah terjadi. Sebab akan selalu ada bendabenda yang tak bisa dipindahtangankanjimat, pusaka, kenangan, harapan, yang terkadang
tersemat dalam benda-benda. Marx mungkin akan menyebutnya lebih mendasar: tiap benda
tak hanya punya nilai-tukar.
Pernah ada cita-cita untuk membangun pilihan lain, agar manusia bisa kembali menikmati
hidup bukan sebagai komoditas belaka. Tapi kini pasar menang, dan cita-cita untuk
menggantikan ruang yang soliter dengan yang solider disisihkan bagaikan barang yang
apak dan lapuk. Memang ia tampak lapuk. Ia cita-cita yang lama. Berabad-abad manusia
telah mendengar petuah kebajikan ini: jika tangan kananmu memberi, jangan sampai tangan
kirimu mengetahuinya. Lebih tua lagi Jainisme dan cerita tentang sang rahib yang
menghilang begitu ia menerima amal (atau dan) di depan pendermanya. Sebab amal akan
hilang maknanya sebagai amal bila hal itu membuat si pemberi tergoda oleh perasaan mulia.
Derma juga akan hilang maknanya sebagai keikhlasan bila si penerima dibebani utang budi.
Tak ada resiprositas yang harus kelak dilakukan.
Waktu harus seakan-akan tak ada. Tapi betapa penuh paradoks semua itu: si pemberi harus
merasa mampu melepaskan sesuatu dari dirinya, tapi pada saat yang sama ia harus
memandang sesuatu dari dirinya itu bagian sebuah konsep yang tak ada artinyakonsep
mi-lik. Ia juga harus ikhlas untuk tak menerima balasan, tapi agar tak direndahkan, si
penerima harus punya kesempatan untuk membalas dengan sesuatu yang baginya bernilai.
Memberi akhirnya berlangsung sebagai sebuah enigma. Ia seperti sesuatu yang mustahil,
tapi betapa besar artinya. Setidaknya di kedai itu saya tahu, bahwa dunia bisa tetap ramah,
dalam kesedihan, dengan kesedihan. Memberi berarti saling memberi, menerima berarti
saling menerima, dan tolong-menolong adalah sebuah parodi bagi proses yang digerakkan
oleh pasar.
Parodisebuah selingan yang sehat, bukan? Tak jauh dari kedai itu ada sebuah kedai kopi
lain, lebih sederhana, setengah ditutup oleh robekan tenda Unicef. Seseorang telah
menggantungkan sebuah papan nama di salah satu tiang bambunya: Warkop Starbucks.
~Majalah Tempo, No. 04, 21 27 Maret 2005~
terutama berlaku bagi tiap intelektual publik artinya seseorang yang dengan tulisan dan
ucapannya berbicara ke orang ramai, mengetengahkan apa yang sebaiknya dan yang tak
sebaiknya terjadi bagi kehidupan bersama.
Niehbuhr (dan saya mengikutinya) memakai kata tugas. Kata yang aneh, memang. Sebab
tugas itu bukan karena komando sebuah partai atau kekuasaan apapun. Tugas itu muncul, di
dalam diri kita, karena ada sebuah luka. Kita merasa harus melakukan sesuatu karena itu.
Luka itu terjadi ketika pada suatu hari, dalam kehidupan sosial kita, ada liyan yang dianiaya,
ada sesama yang berbeda dan sebab itu hendak dibinasakan. Luka itu ketidak-adilan.
Saya menyebutnya luka karena persoalan ketidak-adilan bukanlah sesuatu yang abstrak,
tapi konkrit, menyangkut tubuh, melibatkan perasaan, membangkitkan trenyuh dan juga
amarah: Munir yang dibunuh tapi kasusnya tak terungkap tuntas, ribuan orang yang
dilenyapkan di masa Orde Baru dan tak pernah diusut, Prita Mulyasari, si ibu, yang
dimasukkan sel oleh jaksa secara seenaknya, atau Prabangsa, wartawan Radar Bali, yang
dibunuh dengan brutal karena ia mengritik orang yang berkuasa.
Ada luka, dan aku ada: pada momen itu aku tahu apa yang terasa tak adil. Meskipun aku
belum bisa merumuskan seluruhnya apa yang adil, aku terpanggil.
Di situlah seorang intelektual publik berbeda dengan seorang clerc dalam pengertian Julien
Benda. Dalam versi Inggris, kata clerc disebut sebagai intelektuil, tapi itu adalah padanan
yang tak tepat. Benda menggunakan kata itu untuk mengacu ke zaman lama Eropa, ke
kalangan rohaniawan yang semata-mata mengutamakan nilai-nilai universal, hidup jauh dari
pertikaian politik. Mereka tak memihak; mereka jaga kemurnian akal budi. Dalam La
Trahison des Clercs Benda mengecam para intelektual yang turun ke keramaian pasar,
memihak kepada satu kelompok dan mengobar-ngobarkan nafsu politik.
Harus dicatat: Benda seorang rasionalis sejati. Ia tak mengakui bahwa nilai-nilai universal
datang dari pergulatan manusia sebagai mahkluk-di-bumi, yang terbatas, yang hidup dengan
liyan, yang fana. Benda memisahkan rasionalitas dari dunia, sebagaimana ia menghendaki
siapapun yang setara dengan clerc tak memasuki arena pergulatan politik di mana nilai-nilai
universal konon ditampik.
Memang harus diakui, di masa Benda, sebagaimana di masa kini, ada perjuangan politik yang
hanya memenangkan cita-cita yang tertutup: kaum Nazi hanya hendak membuat dunia baru
bagi ras Arya, kaum Islamis hanya untuk menegakkan supremasi umat sendiri.
Tapi kita ingat Nelson Mandela. Ia berjuang sebagai pemimpin kaum kulit hitam, tapi
akhirnya ia tak berbuat hanya untuk kebaikan kaumnya. Ia menang untuk meruntuhkan
kekuasaan apartheid yang memperlakukan orang secara menghina berdasarkan warna kulit.
Maka kemenangan Mandela baru berarti kemenangan bila ia mengalahkan apartheid juga
dalam bentuk baru. Demikianlah Mandela tak mendiskriminasikan orang kulit putih di bawah
pemerintahannya. Di dalam cerita Afrika Selatan, luka ketidak-adilan itu memanggil keadilan
dalam arti yang sebenarnya: keadilan hanya adil bila keadaan itu berlaku bagi siapa saja.
Itulah sifat universal yang berbeda dengan universalitas seorang rasionalis. Universalitas
seperti dalam politik Mandela tumbuh dari trauma. Tapi tak hanya itu. Kepedihan itu diakui
sebagai sebuah mala yang tak dapat dibiarkan bercokol di sebuah masyarakat jika masyarakat
itu ingin hidup. Dengan kata lain, politik, sebagaimana dijalankan Mandela, adalah
perjuangan ke sesuatu yang universal, dari sebuah situasi yang partikular.
Di situlah seorang intelektual publik seharusnya terpanggil untuk memihak. Dengan itu ia
memandang politik sebagai sebuah tugas, bukan untuk sebuah ambisi. Ia tak duduk di tepi
ongkang-ongkang, merasa harus bermartabat di mahligai. Ia tak berbeda dengan seorang
tetangga yang ikut memadamkan api bila rumah di sudut sana terbakar, bukan hanya untuk
menyelamatkan kampung seluruhnya (dan tentu saja rumahnya sendiri), tapi juga karena ia
terpanggil untuk tak menyebabkan orang lain menderita.
Tapi, seperti disebut di atas, dunia memang berdosa. Penderitaan dan kekejian tak pernah
hilang dari dalamnya. Maka perjuangan, atau pergulatan politik, akan selalu dibayangi cacat.
Kita tak bisa menerima politik sebagai panglima bila di sana tak ada kebebasan lagi untuk
mengakui cacat itu, bila pertimbangan kalah dan menang menelan secara total seluruh sudut
hidup kita, selama-lamanya. Sebab tiap perjuangan politik akan terbentur pada
keterbatasannya sendiri.
Maka bila aku memilih A hari ini, aku memilihnya dengan bersiap untuk kecewa. Aku juga
memilihnya bukan untuk selama-lamanya. Aku hanya memilihnya sebagai sarana yang saat
ini kurang cacat di antara yang amat cacat sarana sementara untuk mencegah luka lagi,
meskipun pencegahan itu tak pernah pasti.
Saya katakan tadi: kita bersiap kecewa. Tapi kita tak menyerah. Sebab kita tak akan bisa lupa
Munir: kita tak akan menghalalkan ketak-adilan sebagai kewajaran hidup. Pengalaman
sejarah menunjukkan, di tengah ketidak-adilan yang akut, yang kita derita, manusia selalu
menghendaki keadilan yang entah di mana, yang entah kapan datang.
Dari perspektif ini, Ratu Adil bukanlah takhayul. Ia sebuah ideal yang tak hadir. Politik
adalah tugas merambah jalan di belukar membuka celah agar keadilan itu datang. Terkadang
tangan jadi kotor, hati jadi keras dan itu menyebabkan rasa sedih tersendiri.
Di depan belukar itu, kita berjudi dengan masa depan. Siapa yang menuntut kepastian penuh
dari sejarah akan mendustai diri sendiri. Selalu ada saat untuk bertindak dan memihak juga
ketika kita menolak untuk bertindak dan memihak.
Tapi pada saat yang sama juga ada saat untuk berdiri agak menjauh. Terkadang dengan ironi,
terkadang dengan penyesalan, tapi selamanya dengan kesetiaan: di dunia yang berdosa,
pilihan kita bisa salah, tapi tugas tak henti-hentinya memanggil dan politik selamanya
meminta. Kita mungkin gagal. Meski demikian, tetap ada yang berharga yang kita
perkelahikan.
~versi yang berbeda dengan Majalah Tempo, 08 Juni 2009~
Jika revolusi bukanlah sebuah jamuan makan, demokrasi bukanlah sebuah lapo tuak.
Aforisme itu tentu saja tak amat segar, tapi kadang-kadang kita perlu ingat lagi bahwa
demokrasibetapapun ia sebuah cita-cita yang memikatadalah seonggok beban. Sistem
(ataukah proses?) ini bukan sebuah ruang tempat orang bisa asyik berdebat, berembuk,
minum-minum, main catur, kalah dengan sebal, dan menang dengan riang, asal membayar.
Ketika sejumlah orang berada bersama di suatu tempat dan hendak mengupayakan hidup
yang tanpa penindasan, mereka akan segera tahu bahwa dalam sebuah demokrasi, politik
adalah sebuah jalan yang musykil. Bahkan kadang-kadang agak aib, menjengkelkan, dan
membosankan.
Demokrasi, kata Jean Baudrillard, adalah menopause masyarakat Barat. Pemikir Prancis
ini mengatakannya di sebuah tulisan yang terbit pada 1987, hanya dua tahun sebelum
seantero Eropa Timur lebih baik memilih menopause itu, setelah partai-partai komunis
lumpuh. Saya tak tahu adakah Baudrillard sekadar mau kedengaran kontroversial, ataukah
ucapannya menunjukkan kejemuan umum para intelektual Eropa terhadap sebuah sistem
yang membuat politik mereka kurang seru ketimbang pertandingan cricket. Tapi jika
demokrasi adalah sebuah menopause, bagaimana dengan yang lain dari demokrasi?
Fasisme, kata Baudrillard, adalah nafsu syahwat [masyarakat Barat] di usia separuh baya.
Kiasan seperti itu bisa menjerumuskan, terutama jika kita membayangkan bahwa syahwat
separuh baya juga bisa merupakan syahwat orang yang berpengalaman, sesuatu yang lebih
terkendali dan bertahan. Dengan kata lain: fasisme bisa lebih mengasyikkan, terutama ketika
demokrasi tak lagi sesuatu yang menggairahkan. Dan di bayangan kita pun tampak Mussolini
di atas sebuah balkon di Kota Roma: gundul, gempal, bagaikan sebuah lingga yoni, dan
gemuruh. Di jalanan berbaris pengikutnya, ribuan orang yang militan, laskar berseragam
yang galak dan meneriakkan permusuhan kepada siapa saja yang bukan-kita. Seakan-akan
hidup adalah gelora yang penuh, kejantanan yang berotot, dan keberanian vivere pericoloso,
hidup secara berbahaya. Seakan-akan perang pasti sebuah kebajikan. Tak jadi soal siapa
yang menang, ujar Il Duce, (seperti ditemukan dalam catatan harian menantunya), untuk
membuat satu bangsa jadi besar, perlu untuk mengirim mereka ke peperangan. Sebulan
sesudah itu ia membawa Italia ke dalam pertempuran dengan Sekutu pada tahun 1940.
Dari sini kita tahu apa yang dibawakan oleh politik fasisme: serangkaian pengganyangan
yang bertalu-talu. Memang ada godaan dari politik yang seperti itubaik kita seorang fasis
atau bukan. Sebab, di sana banyak hal jadi tegas, lurus, tak bisa ditawar-tawar. Seperti halnya
pertempuran: ketika dua seteru berhadapan dengan bayonet terhunus, yang menentukan
bukanlah debat dan pertimbangan benar atau tidak, melainkan kemurnian tekad dan tindakan.
Sering, bahwa yang lurus, tegas, dan murni itu bisa terdengar gagah, dan anehnya juga
moral.
Politik dalam sebuah demokrasi justru acap kali tak bisa lurus, tegas, ataupun murni.
Prosesnya seperti tak pernah mengalami klimaks: omong, omong, omong, antara pihak sini
dan pihak sana. Dan jika demokrasi adalah seonggok beban, beban yang terberat adalah
keniscayaan kompromi. Bahkan dengan orang yang paling memuakkan sekalipun. Memang
ada yang memalukan, ada yang terasa aib, dan ada yang kurang bersifat moral.
Di Indonesia, proses yang begitu telah jadi sesuatu yang dianggap negatifdan mungkin itu
sebabnya demokrasi harus mengalami tahap yang sakit. Bertahun-tahun lamanya orang hidup
dengan politik yang haus akan klimaks berkali-kali. Antara 1958 dan 1965, di bawah
Sukarno, politik jadi satu dengan pekik revolusi, yang mengganyang dan mengremus
musuh. Konfrontasi adalah sesuatu yang bagus. Antara 1965 dan 1998, di bawah Soeharto,
politik jadi satu dengan kekerasan (juga pembunuhan) dan korupsi. Keputusan diambil
setelah pihak sana, lawan bersaing, diancam atau dihancurkan. Atau disuap. Bukan saja
harga diri hancur, tapi juga sisa-sisa yang moral dalam hidup rusak. Nilai-nilai yang
ditawarkan agar bisa diterima dengan martabat yang utuh oleh pihak
sanasesuatu yang universaltak berlaku. Pada dasarnya: sebuah politik penaklukan.
Bisakah sebuah negeri hidup terus dengan politik seperti itu? Jika kompromi dianggap
mengalah, dan kalah dianggap bukan saja kehilangan harga diri, tapi juga punahnya ruang
hidup, fasisme akan jadi sebuah gaya bersama, disadari atau tidak. Dalam fasisme, sini
secara hakiki berlawanan dengan sana.
Demokrasi, dan negosiasi, sebaliknya mengandalkan sebuah proses ketika hakikisme
seperti itu tak berlaku. Ketika dua kubu (atau lebih) berunding dan bersaing, mereka tak
sekadar perlu mengemukakan kepentingan yang diwakili oleh sini, tapi juga
mengemukakan sebuah wacana yang lebih universal, dan sebab itu bisa diterima oleh sana.
Dan dengan itu pula kubu sini pun membuat pengalamannya sendiri sesuatu yang
universal. Proses ini, seperti dikatakan Ernesto Laclau, memang merupakan satu wahana
bagi universalisasi.
Dan kita tahu, universalisasi adalah juga jalan ke arah pembebasankarena tak ada lagi politik
penaklukan, karena tak akan ada Tuan yang menindas Budak, tak akan ada yang terpasung
sebagai budak atau yang memperbudak. Di sini tampak demokrasi bukanlah sebuah
menopause. Ia juga bukan sebuah proses berahi yang asyik. Ia sebuah alternatif, yang
mungkin hambar, tapi tak bisa dielakkanketika kita tak bisa mencintai yang sana habishabisan, tapi juga tak bisa berperang habis-habisan. Ketika kita mendapatkan kesadaran akan
batas, di hadapan.
kini sebuah bentuk kekayaan demokratikyang diharapkan akan bisa dimiliki siapa saja.
Contoh terakhir: mobil murah Tata Nano di India.
Semangat kesetaraan sosial abad ke-20 punya dampak di sini: tiap orang punya hak sama
untuk punya benda-benda yang dulu bukan dianggap bagian hidup kelas bawah.
Tapi tak cuma itu. Perluasan pasar kapitalisme tak putus-putusnya menebarkan impian baru.
Masyarakat pun membiasakan hasrat untuk punya. Berkecamuklah sikap yang dungu dan
satu-sisi, untuk meminjam kata-kata Marx: orang anggap sebuah barang hanya jadi bagian
dari diri bila langsung dimiliki untuk jadi modal, atau langsung dimakan, diminum,
dikenakan, dihuni. Sebuah sejarah yang muram sebenarnya: seluruh hasrat dan kapasitas
manusia, kata Marx, digantikan oleh kesadaran akan punya, der Sinn des Habens.
Mobilyang di Jakarta lebih dari 80% milik pribadikian menunjukkan sejarah yang
muram itu ketika ia jadi contoh gejala kongesti. Mobil saya terenyak di antara sekitar lima
setengah juta kendaraan pribadi di Jakarta, yang jumlahnya bertambah rata-rata 9,5% per
tahun, ketika panjang jalan hanya bertambah 0,1%.
Macet, kongesti, mandek. Tampaknya tak ada satu kekuasaan yang bisa menyetop
kecenderungan itu. Negara bukan saja dikacau birokrasinya sendiri, tapi juga dilumpuhkan
persekongkolan gelap yang membuat apa yang publik dicincang-cincang kepentingan
privat yang terpisah-pisah.
Pilihan yang ditawarkan pasar memang mampu membebaskan individu dalam mengambil
keputusan. Sayangnya, sebagaimana dikatakan Hirsch dalam The Social Limits to Growth,
buku lama yang masih saya anggap penting, pembebasan individual tak membuat
kesempatan-kesempatan itu akhirnya membebaskan semua individu bersama-sama.
Demikianlah kita beli motor, mobil, sesuai dengan hak dan kemampuan kita. Tapi akhirnya
kita tak jadi lebih bebas. Macet pada tiap kilometer, mustahil kita mencapai tujuan dengan
waktu yang kita pilih.
Tapi sebenarnya saya capek mengeluh. Apa yang bisa dilakukan?
Mungkin kita perlu menghitung. Juga mengenang. Kita menghitung apa yang terbuang.
Berapa jam dalam sehari sebenarnya kita perlu mobil di kota ini dalam keadaan normal?
Kira-kira kurang dari 5 jam. Tapi kita ingin menguasai milik itu 24 jam. Berapa ruang yang
diambil satu mobil di jalan dan di tempat parkir, sementara pengendaranya hanya dua
manusia? Sekitar 12 meter persegi. Kepentingan privat yang terpisah-pisah akhirnya telah
membuang begitu banyak dana, waktu, ruang bersama. Sebuah telaah memperkirakan, jika
sampai tahun 2020 tak ada perbaikan dalam sistem transportasi di Jakarta-Bogor-DepokTangerang-Bekasi, kerugian ekonomi akan mencapai Rp 65 triliun per tahun, termasuk
kerugian nilai waktu perjalanan: Rp 37 triliun.
Maka kita perlu mengenang: bukan ke masa ketika mobil belum ditemukan, tapi ke masa
ketika orang masih bisa berbagi. Saya teringat lagu itu: kalau ada sumur di ladang.
Bukan saja sumur masih terletak di tempat terbuka, tapi juga orang masih bisa menumpang
mandi.
Yang tersirat dari pantun itu adalah sesuatu yang dulu lumrah tapi kini terasa luar biasa: jika
sumuratau mobil, atau kamar apartemen, atau rumah peristirahatanhanya dipakai
sesekali oleh yang punya, alangkah baiknya jika di saat sisanya orang lain juga bisa
memakainya. Ini bukan cuma sebuah pesan moral. Ini pesan cara survival.
Di Jakarta, di mana ada orang bisa punya banyak mobil dan banyak tempat tinggal (yang tak
mereka pakai), keserakahan dan kemubaziran pun bertaut. Kita bukan saja hidup dengan
ketimpangan sosial. Kita juga makin membuang ruang untuk hal yang tak banyak
digunakanhingga kita tak punya taman, wilayah pohon-pohon, arena bertemu dan bermain.
Itu sebabnya gagasan yang dirintis di tahun 2005 oleh Rudyanto, seorang warga Lippo
Village, Karawaci, Tangerang, dengan membuat komunitas online yang ia beri nama
nebeng.com, bisa jadi model untuk membangun cara dan sikap hidup alternatif. Bergabung
untuk nebeng satu mobil mungkin satu jalan kecil ke arah kebebasan dari sikap dungu dan
satu-sisi, dari cengkeraman der Sinn des Habens.
Lisa Gansky, penulis dan entrepreneur yang menunjukkan pentingnya sharing (bukan
owning), akan menamai ide Rudyanto sebagai contoh mesh: jalinan saling berbagi pelbagai
hal, sebuah ekonomi yang dibangun oleh sikap yang tak biasa dianggap ekonomi. Di situ
berbagi tak berarti mengurangi kekayaan, tapi justru mengembalikan kekayaan: hidup di
dunia yang lebih sehat dalam sikap saling mempercayai, sikap yang selama ini dilupakan.
Jika itulah yang akan saya dapatkan di Jakarta, saya pasti tak akan mengutuk lagi.
Majalah Tempo Edisi Senin, 07 Maret 2011
Taman Monumen Nasional, setelah sejumlah orang dari mereka yang sedang akan
memeriahkan Hari Lahir Pancasila diserbu dan dipukuli sampai berdarah-darah oleh
sepasukan orang seakan-akan hendak menunjukkan, Kami Islam, sebab itu Kami berhak
memukul!
Hari itu Rahman di tengah orang-orang yang dipukuli itu. Ia tak kelihatan letih. Ini tahun
2008.
Saya coba mengingat, kapan saya bertemu pertama kali dengan dia. Mungkin pada 1962.
Seingat saya, ia muncul di halaman sebuah hotel besar di Bandung yang lampunya hanya
setengah menerangi ruang. Kami diperkenalkan oleh seorang teman. Saya mahasiswa baru
dari Jakarta. Ia sudah aktivis terkemuka Gerakan Mahasiswa Sosialis di Bandung. Tahuntahun itu ia harus setengah bersembunyiterutama karena ia tak mau dibungkam. GMSOS
organisasi yang dekat rapat dengan Partai Sosialis Indonesia yang dilarang Presiden
Soekarno. Para pemimpinnya dipenjarakan.
Setelah itu saya jarang sekali melihatnya. Beberapa orang teman, antara lain Soe Hok Gie (ia
juga aktivis GMSOS), memberi tahu saya bahwa Rahman terus menghimpun dan
memproduksi tulisan yang diam-diam diedarkan dan didiskusikan di antara mahasiswa di
Bandung. Ketika pada 1966 mahasiswa di Bandung dan Jakarta turun ke jalan, mengguncang
demokrasi terpimpin yang melahirkan otokrasi, Rahman tak lagi besembunyi. Ia memimpin
mingguan Mahasiswa Indonesia.
Dari sini pula saya menduga apa gerangan yang menyebabkan ia bergerak, menulis,
membentuk kelompok. Politik, baginya, adalah sebuah tugas.
Tapi itu tugas yang murung, agaknya. Seperti tiap orang segenerasinya, Rahman Tolleng tahu
yang terjadi pada 1908 sampai 2008: gerakan antikolonial yang terkadang menyempit jadi
xenofobia, revolusi yang meletus dan segera jadi Negara yang mau mengendalikan segala
hal, perubahan yang berakhir jadi teror, reformasi yang melambungkan harapan tapi segera
kelihatan betapa terbatas jangkauannya. Adakah harapan?
Setelah 1998, kita berusaha percaya bahwa demokrasi konstitusional, dengan parlemen yang
dipilih, adalah jalan perbaikan yang pantas dan rendah hati. Radikalisme hanya bagus buat
pidato.
Tapi kini perangai partai-partai politik mirip tikus besar-kecil yang merusak padi di sawah
kita. Atau, lebih buruk lagi, mirip vampir, seperti kata editorial Media Indonesia, pelesit
yang menghisap darah dari tubuh demokrasi.
Kini parlemen, pengadilan, polisi, kejaksaan, dan media nyaris jadi sederet bordello, di mana
si kaya bisa membeli sukma dan raga manusia. Kini suara rakyat yang diberikan kepada sang
presiden seakan-akan sia-sia: sang presiden tetap tak yakin dan terus-menerus menunggu
mandat. Kini para mahasiswa mencoba mengulang heroisme angkatan sebelumnya, seakanakan sejarah bisa diulangi. Di manakah harapan?
Tapi siapa yang menggantungkan politik pada harapan lupa bahwa harapan tak pernah datang
sebelum perbuatan. Siapa yang menggantungkan politik pada harapan akhirnya hanya akan
terpekur, karena harapan selalu samar. Atau sebaliknya, ia akan membuat harapan sebuah
obat yang serba mujarab, dan membikin agenda melambung-lambung.
Dengan modal harapan semacam itu, politik justru akan matipolitik dalam arti the
political: gerak dan gairah melawan kebekuan yang represif.
Saya melihat ke Rahman Tolleng: politik adalah tugas, sering murung karena fana tapi juga
tak terhingga. Saya ingat anjuran Alain Badiou: Dalam politik, mari kita berusaha jadi orang
militan dari aksi yang terbatas. Kita tahu dunia tak akan jadi surga; hanya di surga kita bisa
tahu apa yang akan kita capai. Tapi sebab itu kita tak bisa berhenti.
Bukan karena kita Sisiphus yang perkasa. Kita bukan si setengah dewa yang dengan gagah
menanggungkan hukuman itu: mengangkut batu besar ke puncak gunung, dan segera sesudah
itu akan menggelundung kembali. Kita hanya makhluk yang dituntut, dipanggil, terusmenerus oleh sesuatu yang tiap saat menyatakan diri berharga. Dalam hal ini, berharga bagi
harkat liyan, bagi liyan yang juga sesama. Simon Critchley menyebut sesuatu yang infinitely
demanding, dan saya kira dengan itulah politik adalah ethik dalam perbuatan.
Di situlah mikropolitik punya makna: ia militansi dari aksi yang terbatas. Ia bukan
rencana mengubah semesta berdasarkan wajah sendiri. Tapi ia tak takut kepada yang
mustahil.
Dan harapan? Mungkin bukan itu soalnya. Politik bisa dengan harapan, bisa tidak. Sebab ia
perlawanan yang membuat hidup kitadi sebuah tempat, di suatu waktu, bersama yang
laintak sia-sia.
Juga pada usia 70.
~Majalah Tempo Edisi. 20/XXXVII/07 13 Juli 2008~
Kata asing juga rancu. Seorang Tionghoa atau Arab yang nenek moyangnya 400 tahun
yang lalu sudah beranak-pinak di Singkawang atau Demak sama sekali tak asing bila
dibanding seorang Melayu yang 10 tahun sebelumnya baru pindah dari Malaka ke Medan.
Dan apa sebenarnya suku? Kata ini tampaknya dipakai untuk membuat satu kategori baru
di bawah pribumi dan Timur Asing. Ada kesan bahwa satu suku mengandung satu
identitas budaya, tapi bagaimana menentukan identitas itu tak jelas: jika bahasa dipakai
sebagai cirinya, maka suku Jawa tak pernah ada. Sebab yang disebut bahasa Jawa, yang
diajarkan di sekolah, sebenarnya hanya bahasa yang dipakai di Surakarta dan Yogyakarta,
tapi tidak di Tegal dan di wilayah Banyumas.
Maka tak bisa dikatakan suku Jawa adalah satu mayoritas. Sama tak masuk akalnya
menyebut orang Indonesia keturunan Cina minoritas: pemakai bahasa Hokian agaknya
lebih banyak ketimbang pemakai bahasa Osing di Jawa Timur.
Dengan kata lain, kita sebenarnya mewarisi ambisi mengatasi kekacauan yang ternyata
menghasilkan kekacauan baru. Dengan kata lain, kita harus bongkar Hindia-Belanda dari
bahasa dan manajemen perbedaan kita. Menghadapi apa yang diduga sebagai khaos, menatap
tantangan dari apa yang tak diketahui, merasa cemas dengan yang lain yang mengancam
kerapian yang palsu, sebenarnya kita justru menemukan sebuah kearifan: Indonesia adalah
bangunan minoritas-minoritas.
Atau serangkaian non-identitas: totem-totem gelap bertutul putih yang bergerak antara
yang biasa dan tak terduga.
~Majalah Tempo Edisi. 42/XXXVI/10 16 Desember 2007~
Di catatan di Pulau Buru bertanggal akhir Januari 1973, yang dimuat dalam Nyanyi Sunyi
Seorang Bisu jilid I, ia anggap wayangjuga gamelan dan tembangmembawa orang
tertelan oleh dunia ilusi yang menghentikan segala gerak.
Bagi Pramoedya, dalam wayang, kahyangan terlampau dominan. Padahal manusia-lah yang
harus mengambil peran, bukan para dewa:
Jam tujuh pagi baru selesai: tancep kayon.
Pukulan gong penghabisan. Selesai segala-galanya!
Para dewa, brahmana dan satria kembali masuk ke
kampus ki dalang. Akal dan perasaan bertambah
jenuh dengan pengalaman ulang. Dengan bersinarnya
matahari kembali terhalau para dewa, brahmana dan
satria dalam perspektif bentuknya sendiri.
Lakon memang tak layak dilanjutkan. Khayal wayang memukau, memesonakan, mensihir,
mematikan kesadaran, mematikan akal, membebalkan. Dan setelah itu tak ada pembebasan.
Seorang buruh tani yang ikut menonton mungkin akan masygul seandainya tahu pandangan
sastrawan besar itu. Tapi Pramoedya tak sendiri; ia seperti lazimnya cendekiawan Indonesia
yang tumbuh ketika gagasan kemajuan dan emansipasi sosial (dengan Marxisme) bergema
keras bersama cita-cita kemerdekaan nasional.
Pada 1943, Tan Malaka juga mencemooh cerita Sri Rama. Baginya, telah tiba zaman yang
mengharuskan bangsanya memasuki dunia ilmu empiris (Ilmu Bukti). Tan Malaka
menganggap kisah anak panah Sri Rama yang bisa menjelma jadi Naga hanya
menggelikan hati. Bahkan bisa membuat marah. Sebab,
kepercayaan pada kesaktian semacam itu,
yang bisa diperoleh manusia, pada urat akarnya
memadamkan semua hasrat dan minat terhadap
Ilmu Bukti.
Tan Malaka berseru untuk teknologi. Ciptakan teropong 100 inci, katanya dalam Madilog,
yang bisa melihat kesemua penjuru alam 500.000.000 tahun sinar jauhnya!
Kini, 2009, kita bisa sedikit mengejek iman yang begitu kuat kepada modernitas itu.
Pramoedya dan Tan Malaka begitu saja menyamakan imajinasi dengan takhayul yang
meremehkan rasionalitas. Seakan-akan sejarah tak dibangun juga oleh kerja dan fantasi
penatah wayang, energi dalang yang berkisah, hasrat tubuh dan kesepian, yang membuat
riwayat manusia dari abad ke abad tak lurus, tak tunggal, tak konsistentapi juga selalu bisa
tak terduga-duga, tak pernah kering.
Di Indonesia yang ingin meninggalkan keterbelakangan, sikap Pramoedya dan Tan Malaka
sikap yang lumrah. Mereka tak mengalami sebuah situasi ketika kemajuan justru tampak
sebagai gerak yang merusak dan meninggalkan unggunan puing, seperti dalam gambaran
Malaikat Sejarah Walter Benjamin.
Benjamin, yang bunuh diri di Eropa menjelang Perang Dunia II, menyaksikan modernitas
yang muram: hidup yang melangkah dengan blueprint dan perhitungan, akal yang hanya jadi
instrumen untuk menaklukkan alam & dunia kehidupan.
Dengan itu prestasi modernitas memang dahsyat. Tapi orang bisa juga melihatnya sebagai
progresi ke arah hidup yang bak disekap kerangkeng besi, tunduk kepada kalkulasi dan
tuntutan efisiensi.
Kaum kiri menganggap semua ini akibat kapitalisme. Mereka benar. Tapi kaum MarxisLeninis kemudian juga ikut pola kemajuan itu: mereka ubah waktu jadi ruas-ruas homogen
dan terukur. Rencana Lima Tahun dilaksanakan dengan gemuruh. Mereka bentang ruang
jadi bidang yang abstrak agar bisa diformat apa saja. Akal ditentukan oleh hasil, bahkan seni
dan imajinasi harus ikut rancangan. Masyarakat sosialis dibangun bagaikan alam semesta
dijadikan dalam Genesis barutapi bersama itu, sebuah kerangkeng besi mengungkung
semuanya.
Kritik kepada modernitas berangkat dari sini. Bahkan sejak dua abad sebelumnya.
Postmodernisme hanya memberinya tenaga baru. Tapi sementara kritik ini dimamah-biak
berkali-kali, dengan kutipan dari Benjamin atau Adorno, Derrida atau Foucault, belum ada
yang menjawab: bisakah kita mengalahkan dorongan yang melahirkan modernitas ala Eropa
ituyang menjanjikan kemajuan yang mempesona, meskipun gawat?
Jangan-jangan riwayat manusia tak bisa mengelakkan itu. Jangan-jangan yang bisa dilakukan
hanya memulihkan kembali pengalaman sebagai sesuatu yang utuh dan berdegupseperti
ketika kita membaca puisidan menebusnya sejenak dari cengkeraman rasionalitas sang
penakluk.
Atau kita bekerja tanpa ilusi bisa lepas dari arus keras modernitas, namun terus dengan
(dalam kata-kata Benjamin) daya messianik yang lemah, schwache messianische Kraft. Di
sana kita sesekali menemukan harapan pembebasan, dan kita pun berjuang kembali,
meskipun tak bisa selamanya kukuh.
Dan kita pun pergi menonton wayang, menemui Karna yang terbelah, Kunti yang tak setia
tapi ibu yang teguh, Bhisma yang membuang Amba tapi berbuat sesuatu yang luhur: serpihan
kisah penebusan, ketika Messiah tak juga datang. Meskipun Pramoedya tak menyukainya.
~Majalah Tempo Edisi 31 Agustus 2009~
Sajak ini adalah sebuah tribut bagi sang atlit: ia anak pintar, smart lad, ia mati muda. Ia telah
memenangi sebuah pertandingan, ia telah menerima tepuk tangan yang gemuruh, namanya
telah jadi harum, dan pada saat itu ia pergi, meluputkan diri dari medan di mana kejayaan
tak bertahan, from fields where glory does not last.. Seandainya ia hidup terus, akan ada atlit
baru yang akan mengalahkannya dan mencopot kehormatannya sebagai sang johan. Kini
dalam kematian ia selamat. Ia tak lagi tergabung ke dalam mereka yang pernah jaya tapi
namanya mati sebelum orangnya, the name died before the man.
Tapi Housman tak seluruhnya benar. Nama tak selamanya mati sebelum yang empunya..
Kejayaan tak selamanya gampang hilang. Harum nama Jesse Owens, pemenang empat
medali emas di Olympiade Berlin, tetap tak pudar meskipun Michael Johnson tercatat lebih
unggul dalam Olympiade Atlanta di tahun 1996 sebagai orang pertama dalam sejarah yang
memenangi lomba lari 400 dan 200 meter sekaligus.
Memang, seperti tulis Housman dalam sajaknya, silence sounds no worse than cheers diam
yang menyertai mereka yang mati, sehabis bumi menutup kuping tak lebih buruk
ketimbang tempik sorak yang mengelu-elukan seorang juara yang hidup. Tapi itu karena di
situ diam tak sendirian. Dalam kematian mereka yang telah melakukan sesuatu yang berarti,
diam adalah sebuah sikap hormat. Tepuk tangan diberikan kepada sang hero yang
berubah, fana dan berdosa tapi sikap hormat ditujukan buat tindakan yang heroik, dari
mana inspirasi lahir dan tumbuh selama-lamanya.
Pahlawan adalah sesuatu yang berlebih. Sebuah komunitas tak dikukuhkan orang-orang hebat
seperti dia, melainkan oleh tindakan-tindakan hebat. Dengan kata lain: perbuatan baik.
Monginsidi kekal bukan sebagai tokoh luar biasa, tapi sebagai kesediaan untuk berkorban
bagi sebuah harapan bersama.
Monginsidi, dengan kata lain, jadi penanda sesuatu yang mengagumkan. The name does
not die with the man.
****
Juga Chairil Anwar. Mungkin kebetulan, mungkin tidak, bahwa dialah yang menuliskan
kalimatnya yang terkenal: sekali berarti, sudah itu mati.
Ia menuliskan kata-kata itu dalam sajak Diponegoro, tapi tentu ia tak bermaksud merekam
sebuah kejadian sejarah. Kita tahu Diponegoro, yang lahir di tahun 1785. memimpin perang
perlawanan ketika ia telah berusia 40 hingga ia dikalahkan Belanda lima tahun kemudian.
Kita memang bisa bayangkan maut hadir begitu rapat di sekitar sang pangeran di kancah
perang abad ke-19 yang mengguncang kekuasaan Kompeni dan membawa korban 200.000
manusia itu. Namun kata-kata sekali berarti (se)sudah itu mati kalimat dramatik yang
menunjukkan dekatnya jarak antara perbuatan yang berarti dan hidup yang berakhir
agaknya tak berlaku buat riwayat hidup Diponegoro. Pemimpin perlawanan itu ditangkap dan
dibuang ke Sulawesi dan baru wafat 25 tahun setelah itu. Ia sempat merampungkan
otobiografinya dalam bentuk tembang. Usianya 70..
Mungkin sekali berarti, (se)-sidah itu mati lebih tepat buat Chairil Anwar sendiri.
Ia meninggal pada usia 27 tahun. Ia tak memimpin gerilya dan ditembak mati regu eksekusi
penguasa kolonial seperti Monginsidi. Tapi seperti anak muda yang aktif dalam perjuangan
bersenjata di Polobangkeng itu Chairil menimbulkan pertanyaan yang penting buat zaman
ini: kenapa anak semuda itu bisa membuat sesuatu yang begitu berarti dan dikenang terus?
Karena angin yang keras tahun 1940-an?
Hanya dengan beberapa belas sajak, Chairil telah mengubah seluruh paradigma puisi
Indonesia. Sejak karya-karyanya terbit, tak ada lagi penyair yang menulis seperti para
sastrawan Pujanggga Baru di tahun 1930-an menulis.. Bagi saya sumbangannya bagi
perombakan pandangan sastra dan dunia jauh lebih mendalam ketimbang sumbangan S.
Takdir Alisyahbana, yang pernah mencemooh puisi Chairil sebagai rujak belaka: segar tapi
tanpa gizi.
Persoalan yang hendak dibawakan pandangan Chairil justru: apa salahnya segar? Kenapa
sesuatu harus dinilai dari segi ada atau tak ada gizi? Tidakkah dalam segar ada sesuatu
yang lebih berarti yakni hasrat untuk membuat hidup tak hanya dibebani Sabda dan Guna?
Tidakkah dunia seharusnya selalu bagai ditemukan buat pertama kalinya, penuh kejutan yang
menarik, seperti digambarkan Chairil dalam sajak pendek Malam di Pegunungan: sementara
aku berpikir mencari jawab tentang sebab dan akibat, seorang bocah cilik menemui hidup
dengan main kejaran dengan bayangan.
Kiranya memang hanya si bocah dan mereka yang masih punya ke-bocah-an dalam
dirinya yang tak takut untuk melakukan hal-hal yang ganjil; main kejaran dengan
bayangan. Merekalah yang tahu akan sia-sia untuk berkejaran dengan hal-hal yang mustahil
dikejar, tapi asyik. Mereka di luar batas.
Tak ada yang baru sebenarnya dalam soal ini juga kecemasan orang tua dan para
pendukung Sabda, Guna, dan Batas. Kita sering mendengar orang menyebut Sturm und
Drang yang berasal dari gerakan sastra Jerman abad ke-18, yang mengutamakan cetusan
subyektif dan spontan dalam kreatifitas untuk melawan kekuasaan nalar dan pengagungan
sikap beradab di masa itu sebagai sebuah periode remaja. Dengan kata lain, sesuatu yang
sementara dan tak serius.
Tapi kepada yang meremehkan yang muda itulah Werther, tokoh karya Goethe yang terkenal,
Die Leiden des jungen Werthers (Kesedihan hati Werther Muda), membela diri: ia mengakui
gairah dirinya selalu mendekati tarap tanpa nalar dan berlebihan, tapi ia tak malu. Ia percaya
banyak prestasi besar dihasilkan mereka yang dianggap mabuk dan edan (Wahnsinnige) oleh
dunia..
Kreatifitas memang memerlukan gairah dan satu dosis keedanan itu sebabnya prosesnya
bisa tampak tak tetap, melimpah ruah, penuh Sturm und Drang, deru dan desak, yang
menyebabkan puisi Chairil yang ditulis di tahun 1940 ketika kekuasaan kolonial runtuh
dan tentara pendudukan Jepang berakhir dan Indonesia baru berteriak sebagai bayi baru lahir
adalah bagian yang terkena angin yang keras. Ia melampaui tata yang mati,
meninggalkan apa yang disebut Rendra sebagai kebudayaan kasur tua, mencetuskan imajiimaji yang tak terkendali oleh adab, dan merupakan elan yang menjulang dan menghempas.
Memang hanya yang muda yang tak gentar hidup dalam gelombang.
** **
Yang menarik dalam surat-surat Kartini bukanlah cuma isinya, melainkan juga gayanya.
Gelombang adalah kiasan yang tepat untuk gaya itu. Bahasanya tak datar, seperti ombak
dengan badai yang terkadang tak segera kelihatan.. Kita mendapatkan ekspresi hiperbolik di
pelbagai sudut, terutama ketika ia dengan antusias melukiskan sesuatu atau menyanjung
seseorang yang dicintai. Pelbagai kalimat seakan-akan harus berhenti dengan tanda seru.
Beberapa tahun setelah ia menuliskan surat-suratnya yang kemudian termashur itu
cerminan rasa gelisah dan protes perempuan yang hidup dalam masyarakat aristokrat Jawa di
akhir abad ke-19, observasi dan komentarnya tentang lingkungan kolonial yang timpang dan
menekan, cita-cita pribadinya yang tak sampai Kartini meninggal di tahun 1904.
Umurnya baru 25.
Ia meninggal sebagai seorang ibu. Di akhir hidupnya yang pendek ia isteri kedua seorang
bupati yang, betapapun terpelajar dan penuh kasih sayang kepadanya, tetap bagian yang jinak
dari tata yang tertib.
Maka kisah Kartini jadi penting bukan karena heroismenya, melainkan karena kegagalannya:
dialah perempuan yang mencoba menunggang gelombang khas suara generasi muda tapi
terjebak dalam palung ke-tua-an. Dalam masyarakatnya, panutan adalah ingatan. Yang
membentuk adalah pengulangan khasanah yang disusun generasi tua. Tradisi menentukan
hampir segalanya.
Pandangan bahwa tua itu baik itu bahkan berlanjut sampai hari ini. Dalam nyanyian
nasional yang memujanya, Kartini dipanggil Ibu kita, bukan sang pelopor. Citranya tak
lagi sebagai bagian dari sebuah pergerakan progresif, melainkan sebagai pengayom struktur
yang konservatif. Tak mengherankan bila Hari Kartini adalah hari ketika para perempuan
berpakaian adat, bukan berpakaian pilot atau atlit angkat besi.
Dalam hal itu, nasibnya lebih buruk ketimbang Monginsidi. Pemimpin perjuangan bersenjata
itu berakhir dalam mati, Kartini dalam tua. Betapa menyedihkan: ia tak tampak sebagai
seorang atlit yang mati muda. Simone de Beauvoir pernah mengatakan, lawan dari hidup
bukanlah kematian, melainkan ketuaan. Jika kita ingin mengenang Kartini dengan baik, kita
harus mengenang tragedinya.
~Majalah Tempo, Edisi. 44/XXXV/25 31 Desember 2006~
juga jatuh pingsan lalu bangkit sadar sebelumku, ataukah dia adalah orang yang dikecualikan
Allah.
Riwayat ini dikutip dari Shahih Muslim, Bab Min Fadlail Musa. Dalam buku Abd. Moqsith
Ghazali yang terbit pekan lalu, Argumen Pluralisme Agama, hadis itu dituturkan kembali
sebagai salah satu contoh pandangan Islam tentang agama yang bukan Islam, khususnya
Yahudi dan Kristen.
Pada intinya, Moqsith, sosok tenang dan alim yang mengajar di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah ini, datang dengan pendirian yang kukuh: Islam adalah sambungan
bukan musuhdari agama para nabi sebelumnya, yang sering disebut sebagai agama-agama
Ibrahimi.
Tapi yang bagi saya menarik adalah kata-kata Muhammad SAW yang dikutip di sana:
Janganlah kau unggulkan aku atas Musa, dan, aku tidak tahu.
Kini kata-kata itu tenggelam. Kini sebagian ulama merasa di atas Rasulullah: mereka merasa
tahu keunggulan diri mereka. Mereka akan membenarkan Si Muslim yang memukul Si
Yahudi. Mereka bahkan mendukung aniaya terhadap orang yang menyimpang, walaupun
orang lain itu, misalnya umat Ahmadiyah, membaca syahadat Islam.
Dari mana datangnya kekerasan itu?
Saya sering bingung. Satu kalimat suci terkadang bisa membuat orang jadi lembut, tapi satu
kalimat lain dari sumber yang sama bisa menghalalkan pembunuhan.
Mungkin pada mulanya bukanlah agama. Agama, seperti banyak hal lain, terbangun dalam
ambiguitas. Dengan perut dan tangan, ambiguitas itu diselesaikan. Tafsir pun lahir, dan kitabkitab suci berubah peran, ketika manusia mengubah kehidupannya. Yang suci diputuskan dari
bumi. Pada mulanya bukanlah Sabda, melainkan Laku.
Tapi juga benar, Sabda punya kesaktiannya sendiri setelah jadi suci; ia bisa jadi awal sebuah
laku. Kekerasan tak meledak di sembarang kaum yang sedang mengubah sejarah. Ia lebih
sering terjadi dalam sejarah Yahudi, Kristen, dan Islam: sejarah kepercayaan yang berpegang
pada Sabda yang tertulis. Pada gilirannya kata-kata yang direkam beku dalam aksara itu
menghendaki kesatuan tafsir.
Kesatuan: jangan-jangan mala itu datang dari angka satudan kita harus bebas dari the
logic of the One.
Kata ini dipakai Laurel C. Schneider dalam Beyond Monotheism. Pakar theologi itu
menuding: Oneness, as a basic claim about God, simply does not make sense. Dunia
sesungguhnya melampaui ke-satu-an dan totalitas.
Schneider menganjurkan iman berangkat ke dalam multiplisitasyang tak sama artinya
dengan banyak. Kata itu, menurut dia, mencoba menamai cara melihat yang luwes, mampu
menerima yang tak terduga tak berhingga.
Tapi Schneider, teguh dalam tradisi Ibrahimi, menegaskan multiplisitas itu tak
melenyapkan yang Tunggal. Yang Satu tak hilang dalam multiplisitas, hanya ambyar
sebagaimana bintang jatuh tapi sebenarnya bukan jatuh melainkan berubah dalam perjalanan
benda-benda planeter.
Dengan kata lain, tetap ada ke-tunggal-an yang membayangi tafsir kita. Bagaimana kalau
terbit intoleransi monotheisme kembali?
Saya ingat satu bagian dalam novel Ayu Utami, Bilangan Fu. Ada sebuah catatan pendek dari
tokoh Parang Jati yang bertanya: Kenapa monotheisme begitu tidak tahan pada perbedaan?
Dengan kata lain, anti-liyan?
Pertanyaan itu dijawab di catatan itu juga: sikap anti-liyan itu berpangkal pada bilangan
yang dijadikan metafora bagi inti falsafah masing-masing. Monotheisme menekankan
bilangan satu. Agama lain di Asia bertolak dari ketiadaan, kekosongan, sunyi, shunyat,
shunya, sekaligus keutuhan. Konsep ini ada pada bilangan nol, kata Parang Jati.
Bagi Parang Jati, agama Yahudi, pemula tradisi monotheisme, tak mampu menafsirkan
Tuhan sebagai Ia yang terungkap dalam shunya, sebab monotheisme dirumuskan sebelum
bilangan nol dirumuskan.
Ada kesan Parang Jati merindukan kembali angka nol, namun ia tak begitu jelas
menunjukkan, di mana dan bila kesalahan dimulai. Ia mengatakan, setelah bilangan nol
ditemukan, manusia pun kehilangan kualitas yang puitis, metaforis dan spiritual dalam
menafsirkan firman Tuhan. Ketika nol belum ditemukan, tulis Parang Jati, sesungguhnya
bilangan tidaklah hanya matematis.
Dengan kata lain, mala terjadi bukan karena angka satu, melainkan karena ditemukannya nol.
Tapi Parang Jati juga menunjukkan, persoalan timbul bukan karena penemuan nol, melainkan
ketika dan karena shunya menjadi bilangan nol.
Salahkah berpikir tentang Tuhan sebagai nol? Salahkah dengan memakai the logic of the
One?
Di sebuah pertemuan di Surabaya beberapa bulan yang lalu saya dapat jawab yang
mencerahkan. Tokoh Buddhisme Indonesia, Badhe Dammasubho, menunjukkan bahwa kata
esa dalam asas Ketuhanan yang Maha Esa bukan sama dengan eka yang berarti satu.
Esa berasal dari bahasa Pali, bahasa yang dipakai kitab-kitab Buddhisme. Artinya sama
dengan nirbana.
Setahu saya, nirbana berarti tiada. Bagi Tuhan, ada atau tak ada bukanlah persoalannya.
Ia melampaui ada, tak harus ada, dan kita, mengikuti kata-kata Rasulullah, aku tidak
tahu.
~Majalah Tempo Edisi 02 Maret 2009~
Di zaman iman, orang percaya akan deus ex machina, dewa yang keluar tiba-tiba dari
mesin dan menyelamatkan manusia dari tebing jurang bencana. Di zaman kinipersisnya
di zaman ketika seorang bernama Heru Lelono hidup di dekat Presiden Indonesia, di masa
ketika kata ilmu & teknologi sering membuat mata silauorang pun percaya akan blue
energy dan padi Super Toy HL-2.
Tapi, untunglah, tak semua dan tak selamanya orang teperdaya. Mukjizat hanya laris ketika
yang terkecoh dan yang mengecoh bersatu, ketika ada hasrat yang diam-diam mencekam,
agar hari ini yang terpuruk dapat ditinggalkan dengan loncatan jauh ke depan.
Padahal, sejarah tak pernah terdiri atas loncatan seperti itu. Hasrat buat mendatangkan
mukjizat selamanya gawal, bahkan ketika ia didukung iman yang bergabung dengan
ilmu.
Contoh yang terkenal adalah cerita Trofim Lysenko di Uni Soviet di masa kekuasaan Stalin.
Pada 1927, dalam usia 29, anak petani Ukraina yang pernah belajar di Institut Pertanian Kiev
ini menjanjikan mukjizat. Koran resmi Pravda (artinya Kebenaran) menyebut Lysenko bisa
mengubah padang gersang Transkaukasus jadi hijau di musim dingin, hingga ternak tak
akan punah karena kurang pangan, dan petani Turki akan mampu hidup sepanjang musim
salju tanpa gemetar menghadapi hari esok.
Dengan proses yang disebutnya vernalisasi, Lysenko mengklaim ia mampu membuat
keajaiban itu. Partai yang berkuasayang selamanya ingin dengan segera dapat kabar baik
mendukungnya, dan Stalin mendekingnya. Tak seorang pakar pertanian pun yang berani
membantah. Sejak 1935, Lysenko bahkan diangkat ke jabatan yang penting: memimpin
Akademi Ilmu-ilmu Pertanian. Di sini ia bisa menggeser siapa saja yang tak menyetujuinya.
Baru pada 1964, hampir sedasawarsa setelah Stalin mangkat, ilmuwan terkemuka Andrei
Shakarov secara terbuka mengecamnya: Lysenko-lah yang bertanggung jawab atas
kemunduran yang memalukan bidang biologi Uni Soviet, karena penyebaran pandangan
pseudo-ilmiah, bahkan penyingkiran dan pembunuhan para ilmuwan yang sejati.
Kehendak untuk mukjizat acap kali berkaitan dengan hasrat untuk super-kuasa: iman atau
ilmu seakan-akan bisa membawa seseorang ke sana. Itu sebabnya mukjizat yang mengecoh
tak hanya terbatas pada kasus macam Lysenko. Ada contoh lain dari Cina. Menjelang akhir
1950-an, Mao Zedongyang beriman kepada sosialismenya sendiri dan merasa sosialisme
itu ilmiahmenggerakkan rakyat di bawah kekuasaannya agar membuat loncatan jauh ke
depan.
Mao ingin agar Cina yang terkebelakang akan dengan waktu beberapa tahun jadi sebuah
negeri industri yang setaraf Inggris. Caranya khas Mao: mobilisasi rakyat. Di pedesaan Cina
yang luas, ribuan tanur tinggi untuk produksi baja dibangun dengan mengerahkan segala
bahan yang ada. Hasilnya: baja yang tak bermutu. Sementara itu, di seantero Cina yang luas,
selama dua tahun berjuta-juta petani telah dikuras tenaganya untuk itu, hingga sawah dan
ladang telantardan kelaparan pun datang. Berapa juta manusia yang mati akibat itu, tak
pernah bisa dipastikan.
Keinginan untuk mendapatkan mukjizat mungkin sebanding dengan tingkat putus asa yang
menghantui mereka yang mendambakan deus ex machina. Manipulasi Lysenko terjadi ketika
Uni Soviet menghadapi krisis pangan setelah ladang-ladang pertanian diambil alih negara dan
panen gagal bertubi-tubi. Saya kira fantasi Mao tak bisa dipisahkan dari trauma macam yang
pada 1928 dilukiskan dalam A Learner in China: A Life of Rewi Alley tentang bocah-bocah
buruh perajutan sutra di Shanghai, yang berbaris panjang, berdiri selama 12 jam di depan
kuali-kuali perebus kepompong yang mendidih.
Anak-anak berumur sekitar sembilan tahun itu menatap lelah, sementara jari tangan mereka
bengkak memerah memunguti kepompong ulat sutra yang direbus itu. Para mandor berdiri di
belakang mereka dengan cambuk kawat, tak jarang mendera bocah yang salah kerja. Ada
yang menangis kesakitan. Di ruangan yang penuh uap dan panas itu, mereka terlalu sengsara
untuk bisa dilukiskan dengan kata-kata, tulis Alley.
Kita tahu, kesengsaraan itu juga tanda ketidakadilan. Dan memang tak mudah buat bersabar
di hadapan itu. Maoisme berangkat dari kehendak menghabisinya, dengan rencana yang cepat
dan tepat. Tapi apa yang tepat dalam sejarah yang senantiasa bergerak, berkelok, dan tak
jarang jadi kabur? Baik iman maupun ilmu acap kali membuat hal-hal jadi terlampau
mudah diselesaikan. Apalagi jika, seperti dalam hal blue energy dan vernalisasi, ada
kekuasaan yang bersedia mendesakkan mukjizat itu.
Tentu saja harus dicatat: Indonesia hari ini bukan Uni Soviet di masa Lysenko, bukan pula
Cina di masa Mao. Di sini iman dan ilmu tak dibiarkan memegang monopoli. Informasi
mengalir leluasa, pertanyaan dan keraguan dengan bebas dinyatakan, dan tiap pengetahuan
diperlakukan hanya sampai kepada tingkat pengetahuan, bukan kebenaran. Dan di sini,
bahkan kantor kepresidenan tak bisa dan tak hendak membungkam perdebatan.
Mukjizat Lysenko dalam ilmu biologi berlangsung antara 1927 dan 1964, dengan korban
yang tak sedikit. Mukjizat Mao lebih sebentar, tapi menghancurkan kehidupan jutaan
manusia. Mukjizat blue energy dan Super Toy HL-2 lebih pendek umurnya. Mungkin kita
perlu bersyukur. Kita masih bisa melihat keyakinan dan kepastian, iman dan ilmu
sebagai kekuatan yang sementara.
~Majalah Tempo Edisi 29/XXXVII 08 September 2008~
saya harus memilih apa yang baik dan buruk, saya bukanlah sebuah akibat. Ada dalam
hidup saya yang dapat dijelaskan dengan sebab-dan-akibat, namun ada yang tidak. Tak
seluruh diri saya digerakkan oleh keniscayaan. Kita sehari-hari menempuh hidup dengan Das
Sein, mengikuti apa-yang-ada-kini; tapi juga kita coba menjalankan Das Sollen, yangseharusnya. Kant mengatakan: kita memiliki kemerdekaan transendental.
Kemerdekaan itulah yang membuat manusia sebuah makhluk yang belum selesai.
Ada sepotong kalimat yang pernah mengharukan abad ke-20: Saya percaya, manusia pada
dasarnya baik. Anne Frank menuliskan itu di antara ribuan baris catatan hariannya, ketika
gadis kecil Yahudi itu bersembunyi ketakutan selama dua tahun, sebelum akhirnya orang
Nazi menangkapnya beserta seluruh keluarganya dan memasukkannya ke kamp konsentrasi
Bergen-Belsen, tempat ia mati pada akhir musim dingin 1945. Kata-kata itu memberikan
harap pada zaman yang gelap. Tapi sebenarnya tak sepenuhnya tepat.
Bukan karena manusia pada dasarnya buruk. Tapi karena kita tak dapat merumuskan satu
sifat apa pun tentang manusia dengan kata-kata pada dasarnya. Seseorang jadi pahlawan
atau bajingan bukan karena esensi. Saya tak pernah percaya ada pahlawan atau
bajingan; yang ada hanyalah laku/momen kepahlawanan atau laku/momen
kebajinganan. Keduanya adalah eksistensi, yang datang dari pilihan dan perbuatan.
Sebab itulah pilihan untuk berbuat baikmenolak untuk korupsi, misalnyaadalah sebuah
langkah yang tiap kali mengharukan dan mengagumkan: ia tak dilakukan sebagai kelaziman,
atau sebagai sesuatu yang niscaya dan tak terelakkan. Ia dilakukan sebagai semacam
penciptaan. Ia dilakukan bukan untuk menuruti perintah dari dia atau mereka, dari
hukum Tuhan atau manusia. Perbuatan baik itu dilakukan secara spontan, sebab langsung
ia dilihat sebagai wajib. Dalam sebuah kisah kecil Mahabharata, Urinara melindungi
seekor unggas yang nyaris tewas. Seekor elang besar mengejar untuk memangsanya. Urinara
tak kenal unggas yang ketakutan itu, tapi ia tahu ia tak dapat membiarkan keangkaramurkaan
itu terjadi. Ditawarkannya dirinya, jasadnya, untuk jadi makanan pengganti. Si elang pun
menerima tawaran itu, dan mulailah ia memakan sedikit demi sedikit tubuh sang penolong.
Bagi Urinara, keputusannya adalah sebuah kewajiban. Ia melakukannya bukan karena ia
senang, bukan karena janji surga, melainkan karena ia sadar itulah yang baik, yang bajik,
dan tak ada hubungan antara kebajikan dan rasa bahagia. Kebajikan itu ia anggap sebagai
sesuatu yang seharusnya, dan ini berlaku universal: harus dilakukan oleh siapa saja, juga
oleh dirinya. Tapi kewajiban itu, pada saat yang sama, juga dipilih dengan bebasbebas
dari pamrih apalagi paksaan. Memang sebuah paradoks: bagaimana sebuah kebebasan
menjalankan kewajiban? Apa arti otonomi di sini? Kant mencoba menjelaskan paradoks
itu dengan susah payah. Tapi saya kira ada jawaban yang sederhana: yang wajib itu
tersedia untuk dipilih secara bebas sebab ia memenuhi sebuah gagasan tentang apa yang
universal, yang diterima semua orang yang berakal-budi. Tentu saja yang universal itu
tak pernah hadir sebagai tata tertib yang jelas dan selesai. Manusia mempersoalkannya
berabad-abad, selalu dalam keadaan setengah gelap. Juga bagi Urinara. Malah mungkin ia tak
berpikir, dapatkah tindakan yang dilakukannya jadi norma yang berlaku bagi orang lain
sebagai imperatif yang kategoris. Yang pasti ia tak berbuat untuk jadi teladan. Namun di
situ justru kebajikannya menakjubkan. Tapi tak hanya Urinara. Syahdan, di sebuah tembok di
Kota Kaliningrad yang dulu bernama Kningsberg, tak jauh dari makam Kant yang merapat
di dinding katedral kota itu, ada sebuah kutipan terkenal dari sang filosof, dipahat dalam
bahasa Jerman dan Rusia. Terjemahan bebasnya: Dua hal memenuhi pikiranku dengan rasa
takjub dan terkesima: angkasa yang penuh bintang di atas sana dan hukum moral nun dalam
diri manusia. Dua haldan di situ tampak keterbatasan manusia tapi juga kelebihannya. Di
tengah alam semesta, ia hanya satu di antara bermiliar-miliar noktah; ia begitu terbatas,
begitu tak mampu untuk mengetahui semuanya. Tapi dalam posisi itu, ia toh dapat, bila ia
mau, menciptakan sesuatu yang baik bagi sesamanya. Maka alangkah nistanya, jika Mulyana
atau bukan Mulyana ternyata memilih mala, memilih evildan berpaling dari hal yang
menakjubkan itu.
~Majalah Tempo, Edisi. 10/XXXIV/02 8 Mei 2005~
adalah sebuah keragaman dalam satu sosok, keanekaan yang batasnya tak jelas. Agaknya
menyadari ini, kutipan awal dalam Maximum City diambil dari ucapan Kabir: Aku
sendirian, tapi beberapa.
Bahkan dalam kesendirian, apakah makna batas? Di mana ia ditarik? Hari-hari ketika
Mumbai kena gempur sejumlah teroris yang tak dikenal, para pemimpin politik dan
komentator India berbicara tentang kekuatan luar dan perbatasan yang bolong-bolong
yang menyebabkan serangan sehebat itu terjadi. Tapi jika Mumbai, seperti Saleem ya,
seperti India seluruhnya tak hanya satu, melainkan kebhinekaan, maka yang asing dan
yang luar adalah identifikasi yang mudah runyam.
Maximum City mengutip Victor Hugo: semua kota besar dirundung skizofrenia. Mumbai
dirundung gejala kepribadian ganda yang bisa parah. Mehta berhasil menghadirkan kepada
kita dunia gelap yang tersembunyi di kota terkaya di India ini: ada Monalisa, penari kabaret
yang memotong pergelangan tangannya sendiri, ada Vijay Lal, perwira polisi yang jujur tapi
tak enggan menyiksa tahanannya. Ada Sunil, Satish, dan Mohsin, yang bisa bercerita dengan
acuh tak acuh bagaimana membunuh orang.
Mehta tak menjerit menghakimi mereka, meskipun kita bisa merasakan horor yang merayap
ke dalam laporannya.
Dalam cerita Sunil, misalnya. Ia anggota Shiv Sena, organisasi Hindu yang tumbuh dengan
dendam dan kebencian kepada minoritas Muslim. Pada Januari 1993, setelah sebuah
bentrokan antara Hindu-Muslim, Sunil dan teman-temannya bergerak membabat orang
Muslim, menjarah milik mereka, membakar tubuh mereka hidup-hidup.
Dengan rinci ia gambarkan bagaimana seseorang mati terbakar. Minyak menetes dari
tubuhnya. Matanya jadi besar, besar.. dan jika kau sentuh tangannya, putihnya kelihatan,
putih, putihterutama di hidung.
Horor, dia sendiri mengakui itu. Tapi ia dengan tenang membasmi habis tubuh penjual roti
lengganannya. Kejahatannya terbesar adalah ia Muslim, seperti kata seorang anggota Sena
yang lain.
Hal yang sama bisa dikatakan oleh seorang Muslim yang memenggal leher seorang Hindu:
Kejahatannya terbesar adalah ia Hindu dan sebab itu identitas di Mumbai, sebagaimana
dikisahkan Mehta, harus bisa dikaburkan: kartu nama dicetak dalam dua versi, Muslim dan
Hindu.
Ini cara untuk selamat, ini mungkin bukan heroisme, tapi jangan-jangan ini menunjukkan
dasar persoalan: bagaimana kita mendefinisikan diri dan orang lain?
Dalam novel Salman Rushdie, Saleem menutup kisahnya dengan sebuah kalimat amat
panjang. Tapi kata-katanya bukan sebuah ucapan selamat tinggal kepada India yang
beraneka-ragam. Justru sebaliknya:
Akulah bom di Bombay, simaklah aku meledak, tulang pecah-retak tertekan desakan tak
enak kelimunan manusia, kantung berisi belulang yang jatuh, ke bawah ke bawah ke
bawah
Saya tak tahu bagaimana orang-orang yang berkuasa di peradilan syariah itu menafsirkan
kearifan terkenal Quran, bahwa tak ada paksaan dalam agama.
Saya juga tak tahu pasti adakah segala usaha mencegah seorang dewasa memilih agamanya
sendiri itu merupakan bagian dari politik waswas yang merundung Malaysiayang
menyebabkan soal identitas Islam dipertautkan tetap dengan identitas Melayu, hingga
agama bukan lagi diyakini karena kesadaran, melainkan dipegang karena faktor genetik. Saya
orang Indonesia, yang dengan agak bangga bisa mengatakan, di negeri ini keislaman tak
secara otomatis dikaitkan dengan ras. Iman bukanlah sesuatu yang otomatis. Agama adalah
akal, kata Nabi. Akal mengimplikasikan kemerdekaan berpikir dan memilih.
Memang harus saya katakan, saya seorang Muslim karena orang tua saya. Tapi saya
sebenarnya bebas untuk tak mengikuti garis itusebagaimana orang-orang Arab dulu bebas
untuk tak mengikuti kepercayaan nenek moyang mereka dan memutuskan untuk mengikuti
Rasul Tuhan, dengan risiko dimusuhi keluarga sendiri dan masyarakat sekitarnya.
Memang harus saya katakan, saya memilih tetap dalam agama saya sekarang bukan karena
saya anggap agama itu paling bagus. Saya tak berpindah ke agama lain karena saya tahu
dalam agama saya ada kebaikan seperti dalam agama lain, dan dalam agama lain ada
keburukan yang ada dalam agama saya. Sejarah agama-agama senantiasa terdiri atas bab-bab
yang paling represif dan buas, tapi juga pasase yang paling mulia dan memberikan harapan.
Agama menyumbangkan kepada kehidupan manusia secercah kesadaran, betapapun
mustahilnya keadilan akan datang, nilai itudan segala sifat Allahtetap memberi inspirasi.
Agaknya itulah yang berada dalam inti iman.
Maka pada akhirnya yang penting bukanlah apa agama yang saya pilih dan Revathi pilih,
melainkan bagaimana seseorang tetap berada dalam inti iman itubagaimana ia hidup dan
bertindak.
Dalam inti iman, Tuhan tak dipersoalkan lagi. Bahkan seorang murtad tak bisa menggugat
sebagaimana tokoh Lazaro yang murtad tak bisa untuk tak merasa dekat dengan Don Manuel,
pastor di kota kecil Spanyol dalam novel Migel de Unamuno, Saint Manuel Bueno, Sang
Martir.
Saya teringat akan tokoh novel itu, sebab Don Manuel adalah seorang penolong, penyabar
danmenurut sang penceritasuka mendahulukan mereka yang paling malang, dan
terutama mereka yang membangkang. Tapi ia juga padri dengan mata sedih.
Pandangannya meredup ketika ia mengatakan kepada seorang anak bahwa orang harus
percaya kepada Neraka.
Bahkan Lazaro yang meninggalkan iman Kristennya menghormatinya dan jadi pembantunya.
Berdua mereka merawat yang sakit, menemani yang kesepian, memberi makan yang lapar,
menghibur yang berduka.
Pastor itu tak meminta Lazaro tetap jadi seorang Kristen. Ia hanya minta agar pemuda itu
berpura-pura percaya, meskipun tetap tak beriman, sekadar agar tak membuat heboh
penduduk kota kecil itu. Don Manuel tak mendesakkan kebenaran, sebab kebenaran, seperti
pernah dikatakannya kepada Lazaro, mungkin sesuatu yang begitu tak tertanggungkan,
begitu mengerikan, begitu mematikan, hingga orang-orang biasa tak dapat hidup dengan itu.
Ia sendiri mungkin tak percaya akan neraka; ia bersedih bila Tuhan membalas dendam. Tapi
ia tak hendak meninggalkan agamanya, sebagaimana ia membiarkan Lazaro murtad. Pada
saat yang sama, seluruh laku hidupnya menunjukkan bahwa harapan bisa terjadiharapan
sebagai bayang-bayang Tuhan yang hadir dalam tiap perbuatan baik dan ikhlas bagi mereka
yang luka dan diabaikan.
~Majalah Tempo Edisi. 22/XXXIIIIII/23 29 Juli 2007~
Tapi tentu saja Myanmar bukan sebuah jurang yang walau dalam tak punya udara lepas.
Sebab bukan hanya protes seperti itu yang kini jadi berarti, Suu Kyi. Di bawah teror bahasa
yang selama 45 tahun dikuasai koran resmi yang buruk, ucapan kecil, ungkapan lucu, saling
tatap yang muram, bahkan senyum dikulumsemuanya jadi bagian dari penolakan. Karena
tiap frase di Myanmar kini adalah klise, karena tiap klise adalah represi, dan tiap represi
membuat gagu. Yang ajaib ialah bahwa gagu itu menjalar tak sepihak. Para jenderal di
podium itu ikut terkena: bahasa mereka tak berbunyi lagi.
Aku ingat Zagana, komedian kota Yangoon yang selama ini dibiarkan oleh rezim karena
cemoohnya dianggap tak berbahaya. Ia sebenarnya sudah lama membangkang, dengan
ucapan-ucapan lucu, mengejek, yang pintar. Tapi kini ia lebih dari kocak. Aku dengar ia
bilang akan menyediakan makanan dan minuman bagi para pemrotes. Itu bukan isyarat
sepelesebab tentara telah menembak sembilan orang mati, ratusan biarawan disekap,
beberapa biara dikepung, dan jam malam diumumkan.
Beberapa bulan yang lalu, di puncak Bukit Mandalay, di balustrada yang memanjang dari
patung perak Sang Buddha, biarawan muda yang aku belum berani sebut namanya itu
menunjuk jauh ke bawah. Lihat deretan bangunan kuning itu, katanya. Penjara Myinchan.
Dan aku tahu apa maksudnya.
Burma sebuah penjara, ia seperti menirukan Hamlet yang menyimpan dendam. Tahun 1988,
ia berbisik dalam bahasa Inggris yang bagus. Kami semua ingat 1988. Apa yang terjadi di
tahun itu? Ia menjawab: 3.000 demonstran ditembak mati.
Dan dunia tak bisa berbuat banyak. Kau pasti cemas, Suu Kyi. Dunia selalu tak akan bisa
berbuat apa-apa kecuali mengeluarkan kata-kata jika nanti lebih banyak orang ditembak.
Indonesia, negeriku, yang pernah menumbangkan sebuah rezim yang mirip, mungkin juga
akan tak malu untuk hanya diamsebagaimana ia juga dulu tak malu-malu membiarkan
kaum fasis itu masuk ASEAN. Dan kami, yang di kejauhan menyatakan simpati, yang
menulis, membuat statemen, mengenakan baju merah mengikuti protes di Yangoon dan
Mandalay, hanya bisa sebatas ini.
Tapi keberanian tak hanya menular, Suu Kyi. Keberanian membangun sesuatu ke dalam diri.
Hari-hari ini protes mungkin akan gagal. Tapi bangunan batin itu akan bisa tetap, mungkin
makin meluas dalam mengalahkan ketakutan, mengusir sinisme. Mudah-mudahan ia akan
lebih bertahan ketimbang sebuah rezimbiarpun begitu banyak kekecewaan dalam sejarah.
Sebab Myanmar telah punya sebuah tauladan: engkau. Sebab sejak hari ini tiap pagi harapan
memanjat naik, biarpun pelan, lebih tinggi ketimbang 1.000 pagoda.
~Majalah Tempo Edisi. 32/XXXVI/01 7 Oktober 2007~
Nasionalisme punya sejarah, punya jejak, dan untuk menjawab pertanyaan itu penting kita
lihat jejak itu kembali. Ada masanya ketika yang tersimpan rekaman kisah yang buruk.
Rabindranath Tagore pernah menggambarkan sebuah keadaan ketika bangsa-bangsa yang
saling ketakutan intai-mengintai seperti hewan buas di malam hari. Dan penyair besar India
itu pun bertanya, Haruskah kita bertekuk lutut kepada semangat nasionalisme, yang
menebar-siarkan benih rasa takut, rakus, curiga ke seluruh dunia?
Tagore mengucapkan itu pada 1916, ketika sastrawan berbahasa Bengali yang mendapat
penghargaan Nobel pada 1913 itu berkunjung ke Tokyo. Waktu dan tempatnya penting:
kaum nasionalis Jepang sedang menghalalkan postur militer negerinya. Dalam hubungan itu
bahkan Tagore secara tak sengaja mengecam pandangan yang tercantum dalam The
Awakening of Japan, buku berbahasa Inggris yang terbit pada 1904, yang membenarkan
penjajahan Jepang atas Korea: Korea terletak bagaikan sebilah keris yang selamanya
terhunus ke jantung Jepang.
Kalimat itu penting sebab bukan suara seorang militer. Ia ditulis seorang Okakura Tenshin.
Okakura justru seperti Tagore: hidup dan menulis dalam lingkungan di mana seni dan
pengalaman tentang keindahan diletakkan begitu pen-ting dalam hidup manusia. Kedua orang
itu bahkan saling kenal, dan dalam arti tertentu, berteman.
Dalam bukunya terbaru, Another Asia, Rustom Bharuschadari mana saya dapatkan kutipan
buat tulisan inimenggambarkan dengan cermat dan menilik dengan tajam peri kehidupan
kedua sahabat itu. Dari sini dapat kita lihat kembali soal-soal yang timbul tatkala bagian
dunia yang disebut sebagai Asia inidengan definisi dan geografi yang tak sepenuhnya
jelasharus bergulat dengan pertanyaan yang fundamental tentang identitas atau posisinya
dalam sejarah. Diinjak-injak kolonialisme negeri-negeri Eropa, Asia kemudian melihat
bagaimana sebuah negeri Eropa, yakni Rusia, dikalahkan Jepang pada 1905. Sejak itu Asia
sibuk untuk bangun. Nasionalisme adalah jawabannya.
Tapi itu bukan jawaban tanpa sisi yang gelap. Telah disebut bagaimana nasionalisme Jepang
melahirkan imperialisme tersendiri, mula-mula di Korea. Kontradiksi ini sudah terasa ketika
berkumandang suaraseperti juga yang diartikulasikan Okakura Tenshinbahwa Asia itu
satu, bahwa Asia punya ciri yang tersendiri, sebagaimana dinyatakan dalam kesenian dan
kehidupan sosialnya.
Dalam bukunya, Bharuscha menunjukkan kontradiksi itu lebih jauh dengan mengutip
pelbagai ucapan Okakura: justru di bangunan Asia yang satu itu, Jepang tak persis berada
di dalamnya. Jepang berada di atas, dimulai dengan posisinya dalam seni. Bagi Okakura, seni
rupa Jepanglahir dari alam yang berbedaberada di tingkat yang lebih unggul ketimbang
seni Cina, yang ditandai keluasan yang monoton dan ketimbang seni India yang punya
kekayaan yang terlampau membebani. Seni Jepang berdiri sendiri di dunia, katanya,
sebagaimana halnya Jepang berdiri sendiri menghadapi dunia.
Yang diabaikan Okakura ialah bahwa dalam kata menghadapi dunia ada yang lain yang
dihadapi.
Okakura sendiri sebuah persona. Ia sebuah penampilan. Ia menyusun sebuah koreografi
untuk hadirin yang dihadapinya. Dalam foto-fotonya, ia selalu tampak mengenakan kimono.
Dalam karya-karyanya, Okakura berbahasa Inggris. Bharuscha mengemukakan satu kutipan
menarik, yakni sepotong nasihat Okakura kepada anaknya: Janganlah berpakaian Jepang
jika bahasa Inggris kamu patah-patah.
Ke-Jepang-an sebagai koreografi penampilan, seni yang unik yang menandai identitas
nasional, bangsa yang homogen sebagai nasibitu semua menunjukkan apa yang tak diakui
Okakura dan kaum nasionalis: ketika kita bayangkan bangsa sebagai sesuatu yang esthetis,
kita lupa orang luar sebenarnya ikut mendesak dan membentuk diri kita, dan ada yang
brutal dalam prosesnya.
Kimono yang dikenakan Okakura, yang menyertai lidah yang fasih berbahasa asing, mencoba
menghilangkan sisi dirinya yang tak murni Jepang. Seni yang disebut unik menampik
sejarah akulturasi: sejak abad ke-8 pelukis Jepang datang ke Cina buat belajar. Dan ketika
bangsa Jepang hanya dibayangkan sebagai kelanjutan ras Yamato; telah terhapus orang
Ainu dari ingatan.
Tak berarti nasionalisme sepenuhnya cerita penghapusan yang berbekas darah dan besi.
Dalam riwayatnya, nasionalisme punya saat-saat yang membebaskan dan membangun.
Kecaman Tagore mengabaikan apa yang pernah dan dapat tercapai ketika sebuah komunitas
bersama dianggit (imagined, kata Benedict Anderson), sebuah negara-bangsa berdiri, dan
sebuah mekanisme politik bekerja, dengan segala kekurangannya, untuk hidup komunitas itu
sehari-hari.
Partha Chatterjee benar ketika ia mengecam pemikiran Tagore: dalam hidup sehari-hari kita
mengikuti aturan lalu lintas, membayar pajak, memberikan suara atau tidak, menyiapkan
anak kita ikut ujian, mengecam pemerintah yang tak berfaedah dan politisi yang disogok.
Kita hanya bermimpi indah jika kita anggap semua itu ada di luar kita.
Tak berarti mimpi indah harus diberangus. Ada yang menyebabkan wacana tentang negara
dan bangsa tak sepenuhnya menguasai ruang hidup. Di dunia Okakura dan Tagore, seperti
ditunjukkan The Other Asia, kita bersua dengan pengalaman tentang keindahan. Di sanalah
wacana yang perkasa, seperti nasionalisme dan anti-nasionalisme, menemui batasnya.
~Majalah Tempo, Edisi. 01/XXXIIIIII/26 Februari 04 Maret 2007~
Tak jelas apa dasar penamaan itu. Ada yang mengatakan itulah usaha untuk menguasai dan
sekaligus mengasingkan apa yang tak diketahui, the unknown. Tapi tak dikatakan kenapa
justru nama inlander, timur asing, dan Eropa yang dipakai, bukan nama bahasa atau
jenis pekerjaan.
Apa boleh buat. Penamaan mau tak mau bergantung pada sang penguasa bahasa atau bahasa
sang penguasa. Seakan-akan berdasarkan sesuatu yang hadir di luar diri, penamaan adalah
metonimi dalam kesewenangan. Kata inlander, timur asing, dan Eropa merujuk tempat,
tapi tempat belum tentu sama dengan asal. Asal berkait dengan masa lalu. Kenapa masa
lalu dan bukan masa kini? Apa pula masa lalu itu: waktu ketika lahir, atau ketika dibesarkan?
Bukankah masa lalu bisa kupilih, bukan cuma memilihku?
Pada 1935, Edgar du Perron menerbitkan novelnya, Het land van herkomst. Kata asal
dalam judul itu ambigu sebenarnya.
Du Perron lahir pada 1899 di Jatinegara, Jakarta, dan dibesarkan dalam keluarga kaya raya
pemilik perkebunan, dengan darah campuran dan kaitan yang akrab ke kebudayaan lokal.
Ketika Edgar berumur 22, orang tuanya menjual milik mereka dan balik ke Eropa, tanah
leluhur. Mereka membeli sebuah kastil di Belgium dan tinggal dikelilingi pelayan dan
kemewahan. Si Edgar yang tak kekurangan uang menggelandang bak seorang bohemian di
lorong-lorong Paris, bergaul dengan Pascal Pia dan Andr Malraux. Pengarang Prancis ini
kemudian memperuntukkan novelnya yang termasyhur tentang kaum revolusioner Cina, La
Condition Humaine, kepada pemuda kelahiran Jawa itu.
Pada masa itulah Du Perron mulai mempertanyakan perilaku ayahnya sendiri, sang tuan besar
dalam struktur masyarakat kolonial di Indonesia. Edgar mulai merasa dirinya bukan orang
Eropameskipun selama di Hindia Belanda, ke dalam golongan itulah ia dan keluarganya
dinamai.
Het land van herkomst dikisahkan oleh Ducroo, terutama sebagai seorang bocah. Bersama
ayahnya, tuan onderneming itu, Ducroo menyukai novel yang mengungkapkan pedihnya
perbudakan di Amerika itu, Uncle Toms Cabindengan simpati kepada si budak hitam dan
benci kepada si tuan kulit putih, tanpa si ayah sadar betapa dekat posisinya dengan si pemilik
budak yang kejam. Si anak menyaksikan sendiri bagaimana si ayah memukuli seorang petani,
dan novel ini dibuka dengan menyebut orang Eropa bandit yang berniat sungguh-sungguh.
Para bandit akhirnya tak bisa hidup sendiri. Ayahnya, yang melanjutkan gaya hidup seorang
tuan besar kolonial di negeri yang berbeda, bunuh diri pada 1926, dengan harta ludes. Du
Perron tertinggal miskin, tanpa pendidikan formal, menikah dan cerai dan menikah lagi, dan
semua itu harus ia biayai. Ia terdesak. Pada 1936 ia ke Indonesiadan dalam arti tertentu, ia
kembali.
Di negeri yang sedang hangat oleh gerakan nasionalis ini ia tak betah bergaul dengan kawankawan masa kecilnya: perilaku orang-orang Belanda itu persis seperti yang dibencinya sejak
ia hidup di Paris. Di Jakarta (waktu itu masih Batavia), Du Perron memilih teman lain:
sejumlah intelektual Belanda yang progresif dan orang-orang pergerakan untuk kemerdekaan.
Suwarsih Djojopuspito, pengarang yang merekam hidup kaum pergerakan dalam novel
Buiten Het Gareel, adalah salah satu di antaranya.
Tapi Du Perron tahu, dengan sedih, di masyarakat kolonial itu tak ada tempat baginya. Ia
seorang sastrawan yang tak hendak percaya bahwa puisi bisa berarti bagi orang banyak. Ia
menganggap pendirian S. Takdir Alisjahbana, yang ingin agar sastra bekerja untuk
pembangunan bangsa, sebagai sikap seniman serdadu. Takdir menyerangnya balik.
Du Perron pun kembali ke Nederland. Sebelum pergi, ia berkata, Untuk berada di pihak
yang benar, orang harus jadi seorang Indonesia. Saya mungkin akan tetap kritis,
mengganggu, dan suka bertentangan, dengan kata lain, seorang individualis. Tapi saya juga
akan jadi seorang nasionalis sampai ke ulu hati.
Ia meninggal pada 1940, terkena serangan jantung, lima tahun sebelum perjuangan kaum
nasionalis berhasil.
Kini, jika Anda bertanya, nama apakah yang bisa diberikan kepada Du PerronEropa atau
inlander atau timur asing tak akan ada yang pas buatnya. Ia bagian dari yang tak
ternamai.
Sebenarnya demikian juga gerakan pembebasan nasionalis sejak sebelum Du Perron kembali
ke Eropa. Pada 1908, sejumlah mahasiswa di Belanda yang datang dari Hindia mendirikan
Indische Vereniging, sebuah himpunan yang meniadakan penamaan yang ada dalam
klasifikasi kolonial. Setelah itu, di Jakarta, Indische Partij didirikan Douwes Dekker pada
1912, untuk membangun patriotisme dari semua penduduk Hindia, berdasarkan kesetaraan
politik bagi orang dari ras (atau nama identitas) yang berbeda-beda.
Artinya, bahasa yang berkuasa sedang dihapus. Politik pembebasan dimulai dari sebuah
komunitas yang, seperti kata Alain Badiou, ada pada titik yang tak ternamai.
Dari titik itu lahir Indonesia. Ini mungkin sebuah nama, tapi yang pasti ia sebuah cita-cita.
~Majalah Tempo Edisi. 37/VI/31 Maret 06 April 2008~
ekonomi yang akan ditempuh Partai Buruh di Australia sebagai kapitalisme sosialdemokratik.
Tak begitu jelas, bagaimana kompromi antara sosial-demokrasi dan kapitalisme itu akan
berjalan. Rudd, yang menjanjikan peran Negara yang aktif tapi yang tetap bertaut dengan
pasar yang terbuka, hanyalah salah satu dari artikulasi kesepakatan yang kini tumbuh di
negeri-negeri kapitalis: ternyata pasar tak bisa selamanya dianggap benar; ternyata ia belum
tentu memperbaiki dirinya sendiri. Di Prancis, di sebuah rapat umum di Kota Toulon
menjelang akhir 2008, Presiden Sarkozy mengatakan, Pikiran bahwa pasar adalah serbakuasa dan tak dapat ditentang oleh aturan apa pun dan oleh intervensi politik macam apa pun
adalah pikiran yang gila.
Sebuah kesimpulan yang tak baru, sebenarnya. Pada 1926 John Maynard Keynes menulis
The End of Laissez-faire dan menunjukkan betapa produktifnya sebuah kapitalisme yang
dikelola, bukan yang dibiarkan berjalan seenak nafsu para kapitalis sendiri. Tak lama sejak
itu, Amerika dan Eropa mencoba menggabungkan dinamisme modal dan kecerdasan
teknokrasi Negarasebuah jalan tengah yang terkenal sebagai kompromi Keynesian.
Adakah kini sebuah kompromi Keynesian baru sedang tersusun? Kita memang melihat,
Amerika Serikat, di bawah Obama, telah jadi sebuah republik di mana pemerintahnya aktif
masuk ke dunia yang dulu sepenuhnya daulat swasta. Tapi Obama masih bisa disebut sebagai
kompromi Keynesian yang setengah hati. Bahkan para pengkritiknya melihat agendanya
sebagai neo-liberalisme yang didaur ulang.
Mungkin karena tak bisa orang mengulang apa yang terjadi di dunia pada zaman Keynes
hampir seabad lalu.
Dalam Radical Philosophy (Mei/Juni 2009) Antonio Negri menunjukkan mengapa jalan
Keynesian kini mustahil. Dulu jalan itu dapat ditempuh karena, antara lain, ada sebuah
negara-bangsa yang mampu secara independen mengembangkan kebijakan ekonomi. Kini,
pada abad ke-21, negara-bangsa diterobos oleh proses internasionalisasi di bidang produksi
dan globalisasi finansial.
Dalam pengalaman Indonesia, persoalannya bukanlah hanya karena terobosan itu. Jalan
Keynesian bertolak dari keyakinan bahwa kekuatan yang bukan-pasar (Negara dan para
teknokratnya) harusdan bisamemiliki ketahanan untuk mengembangkan nilai yang
berbeda dari nilai yang berlaku di pasar. Adapun nilai yang berlaku di pasar adalah nilai yang
mendorong maksimalisasi kepentingan privat, bukan kepentingan publik. Tapi bagaimana hal
itu akan terjadi di sini?
Di sini, institusi yang berkuasa tak dengan sendirinya jauh dari nilai yang mengutamakan
yang publik. Korupsi adalah contohnya. Korupsi adalah privatisasi kekuasaan sebagai sebuah
amanat publik.
Agaknya itulah sebabnya tiap kebijakan yang mengandalkan intervensi Negara ke dalam
perekonomian selalu disertai rasa waswas: kita tak tahu di mana Negara berada. Rasa waswas
itu menyebabkan ada dorongan yang kuatdari mana saja, juga dari pemerintah sendiri
untuk melucuti tangan birokrasi di pelbagai bidang. Ketika seorang politikus berteriak, awas
neo-liberalisme dan pasar bebas, sang politikus umumnya tak menunjukkan bagaimana
menegakkan Negara di atas aparatnya yang tertular oleh perilaku berjual-beli di pasar bebas.
Krisis negara-bangsa seperti itulah, krisis karena tubuhnya berlubang-lubang oleh korupsi,
yang sebenarnya lebih merisaukan ketimbang gerakan separatis. Dalam krisis itu, orang akan
menyerah ke sejenis laissez-faireke sebuah kondisi neo-liberal yang tak disengaja.
Sebab, hampir di tiap sektor, juga di kalangan birokrasi, ada semacam anarki yang
dicemaskan Keynes. Anarki, karena apa yang merupakan pegangan kebersamaan hampirhampir tak ada lagi.
Tapi tak berarti bahwa negara-bangsa telah disisihkan. Justru sebaliknya: dalam keadaan
ketika korupsi merajalela, ada sebuah kekuatan yang paradoksal yang bekerja di sekitar
Negara. Di satu pihak, kekuatan itu cenderung mengaburkan posisi Negara dalam
mengelola pasar: semua keputusan bisa diatur dengan jual-beli kekuasaan. Di lain pihak,
posisi Negara justru diperkuat, agar ada kebutuhan untuk membeli kekuasaan itu.
Itu sebabnya kita sebenarnya tak tahu persis, bagaimana mengatur kompromi Keynesian,
bagaimana mengelola sekaligus pasar yang terbuka dan Negara yang aktif. Tapi orang-orang
masih terus berbicara tentang neo-liberalisme. Ya, saya mendengar, tapi harus saya akui,
saya sering kebingungan. Mungkin karena saya menanti lakon Negara & pasar itu berakhir
dengan Negara yang bersih dan pasar yang tak cemar. Sebuah happy ending.
~Majalah Tempo Edisi 04 Mei 2009~
berantakan? Apa artinya keutuhan jika kelompok manusia yang berbeda saling membunuh
dan mengusir?
Tapi mungkin juga yang hendak dipertahankan adalah sebuah Indonesia sebagai ingatan
yang berharga. Sejak kita kanak-kanak, kita diberi rasa bangga akan sebuah negeri yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke, tentang orang-orang Aceh yang menyumbangkan
yang mereka miliki buat Republik Indonesia yang baru berdiri, tentang kolonialisme Belanda
yang justru mempersatukan pelbagai orang di Nusantara.
Kenangan itu sangat intim. Ia bagian dari identitas kita. Tapi setiap catatan dari masa lalu
selalu mengandung apa yang luhur dan juga apa yang brutal, apa yang mengharukan dan juga
apa yang mengerikan, bahkan memuakkan. Kenangan tentang sebuah Indonesia dapat
berisi dokumen yang merekam niat mulia yang hendak menjabat tangan orang lain yang
berbedaniat yang membuat Sumpah Pemuda pada tahun 1928 terjadi dan sebuah generasi
baru dengan ikhlas melupakan ikatan kesetiaan lama mereka, untuk membangun sebuah
ikatan kesetiaan baru.
Tapi sejarah persatuan itu juga dapat berupa sejarah ketidak-ikhlasan. Bahkan sejarah
kekerasan, pemaksaan, dan penyeragaman. Itulah sebabnya Bung Hatta pernah
memperingatkan agar per-satu-an dibedakan dari per-sate-an.
Maka, sebuah Indonesia yang manakah yang hendak kita pertahankan?
Saya termasuk mereka yang akan menjawab: sebuah Indonesia yang dengan Aceh ada di
dalamnya, tapi bukan sebuah NKRI (singkatan yang kaku dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia), yang memaksa Aceh untuk berada di dalamnya. Saya akan menangis bila Aceh
terlepas dari Republik. Tapi saya juga akan menangis bila Aceh dibungkam oleh mereka yang
datang atas nama Republik. Indonesia yang utuh adalah Indonesia yang punya cita-cita
yang berharga untuk utuh.
Amerika Serikat adalah contoh yang tak menarik pada hari-hari ini, tapi dulu, pada
pertengahan abad ke-19, ketika sebagian wilayah republik itu hendak memisahkan diri,
seorang presiden yang kurus dan arif terpaksa mengirim tentara untuk memadamkan
pemberontakan itu. Tapi bukan karena takut akan hilangnya sekian ribu kilometer persegi
tanah. Ada yang lebih penting ketimbang keutuhan wilayahyakni keutuhan sebuah cita-cita
yang layak.
Maka, ketika sejumlah negara bagian di Selatan menjadi kekuatan separatis karena ingin
melanjutkan perbudakan, Presiden Lincoln memutuskan: mereka harus dikalahkan. Sebuah
perang pun meletus. Korban berjatuhan, amat dahsyat. Tapi Amerika Serikat waktu itu tahu
untuk apa.
Kalimat pertama pidato Presiden Lincoln di Makam Pahlawan Gettysburg menjawab kenapa
perang itu harus terjadidan itu tak jauh dari pertanyaan mengapa Amerika Serikat harus
berdiri: ia adalah sebuah bangsa baru, yang dibuahi dalam kemerdekaan, dan
dipersembahkan untuk cita-cita bahwa semua manusia diciptakan sama. Perbudakan jelas
bertentangan dengan cita-cita itu, dan siapa yang akan mempertahankannya dengan
kekerasan harus dikalahkan.
Di Indonesia belum terdengar alasan yang sejelas itu, tapi di Aceh, tentara telah dikirim.
Perang berkobar. Korban jatuh di kedua belah pihak. Apa sebenarnya sebuah Indonesia
yang hendak dipertahankan?
Jawabannya akan menentukan hidup kita kelak. Sebuah Indonesia yang masih bercita-cita
atau sebuah Indonesia yang tanpa cita-cita? Sebuah Indonesia yang pandai bernegosiasi
atau sebuah Indonesia yang bagaikan preman, yang menangguk untung dari kekerasan?
Sebuah Indonesia yang percaya kepada hak-hak rakyat atau sebuah Indonesia yang
sedang hendak menampik demokrasi? Sebuah Indonesia yang patut dibanggakan atau
sebuah Indonesia yang bahkan oleh bangsanya sendiri berhenti diacuhkan?
Aceh memang sejumlah pertanyaan.
~Majalah Tempo, Edisi. 21/XXXII/21 27 Juli 2003~
Amerika Serikat, satu-satunya negara yang pernah menggunakan senjata atom dalam sejarah,
sejauh ini bisa menunjukkan muka bahwa kepatutan itu ada padanya. Pada Juli 1945 Presiden
Truman bersyukur, dan menulis dalam catatan hariannya: Pasti sesuatu yang baik bagi dunia
bahwa kerumunan Hitler dan Stalin tak menemukan bom atom. Dengan kata lain, bom yang
membunuh 100 ribu manusia sekaligus di Hiroshima dan 40 ribu lagi di Nagasaki pada 1945
itu juga tanda rasionalitas yang baik bagi dunia: penghancuran itu terpaksa dilakukan untuk
mempercepat Jepang kalah dan Perang Dunia II selesai.
Orang lupa bahwa Jerman di bawah Hitler juga akan menganggap ada rasionalitas dalam
keputusan mereka seandainya negeri itu mampu menjatuhkan dua buah bom atom di negeri
musuh. Tapi Hitler dan Stalin telah digambarkan sebagai kekuatan gelap, dan kekuatan gelap
pasti tak ada hubungannya dengan rasionalitas. Kekuatan gelap adalah sesuatu yang tak
normal. Lihatlah kini Ahmadinejad di Teheran dan Kim Jong-il di Pyongyang: orang-orang
yang ganjil.
Normal dan rasional adalah kualitas yang ditentukan dengan menyembunyikan apa yang
tak normal dan tak rasional pada diri sendiri atau seorang lain. Sebab tak ada jaminan,
ketika saya tentukan bahwa saya harus mempertahankan diri, kalau perlu dengan cara paling
brutal, ketentuan saya itu tak datang dari paranoia, atau trauma, atau sadisme, atau mungkin
juga keserakahan.
Menjelang akhir 1980-an, ketegangan hilang antara Amerika, Uni Soviet, dan RRC. Dunia
bernapas lega. Sebuah kesempatan untuk membangun perdamaian yang stabil terbuka, ketika
tak ada satu kekuatan pun terpaksa menyiapkan arsenal nuklir yang menakutkan itu.
Dalam semangat ini, pada 1994 para wakil rakyat Amerika di Kongres membuat sebuah
ketentuan: harus jadi kebijakan Amerika Serikat untuk tak melakukan riset dan pembangunan
senjata nuklir tingkat rendah yang baru. Dengan kata lain, senjata nuklir di bawah lima
kiloton tak boleh dihasilkan lagi.
Tapi kemudian datanglah kabar buruk: pemerintahan Bush. Wakil Presiden Cheney sudah
lama menghendaki sebuah situasi yang akan menyatukan Amerika kembali jadi kekuatan
yang ampuhseperti ketika menghadapi Perang Dunia II dan Perang Dingin, dan sebab itu ia
mendapat alasan yang bagus ketika 11 September 2001 terjadi. Sejumlah anggota
kabinetnya sudah lama bersiap menunjukkan kekuasaan Amerika di dunia dengan menyerbu
Irak dan mengubah peta Timur Tengah, dan sebab itu dipertalikannya Usamah bin Ladin
dengan Saddam Hussein dan Saddam Hussein dengan senjata pemusnah massal.
Pemerintahan Bush juga yang kemudian memutuskan untuk membangun apa yang disebut
bunker buster, senjata nuklir tingkat rendah yang dapat dikirim buat menembus bunker
yang menyembunyikan senjata dan pasukan musuh di bawah tanah. Senjata nuklir mini juga
bisa dipergunakan sebagai perlengkapan taktis di medan perang.
Pada Mei 2003, Senator Dianne Feinstein dan Edward Kennedy mengusulkan satu
amendemen untuk mengembalikan ketentuan tahun 1994. Bagi para pendukung amendemen
ini, mengaktifkan kembali penelitian nuklir akan mendiskreditkan komitmen Amerika sendiri
terhadap perjanjian melarang penyebaran senjata maut itu. Seraya kita membujuk Korea
Utara dan Iran untuk mengakhiri program nuklir mereka, kata Kennedy pada Juni 2004,
seraya kita meminta bekas Uni Soviet untuk mengamankan lumbung nuklirnya agar tak
jatuh ke tangan para teroris, pemerintahan Bush kini ingin meningkatkan perlombaan
senjata.
Tapi Feinstein dan Kennedy kalah suara di Senat. Dan kita tak tahu, siapa yang normal dan
rasional dalam memutuskan keadaan terpaksa bagi Amerika Serikat kini.
~Majalah Tempo Edisi. 12/XXXIIIIII/14 20 Mei 2007~
tua kemudian tewas dalam kecelakaan mobil di tahun 1982. Sang ayah jadi nama yang
menandai kehilangan dalam diri anaknya.
Dalam kehilangan itulah pengertian Afro-Amerika yang harfiah berubah. Berkat ibunya.
Dalam The Dream of My Father, yang ditulisnya sebelum ia masuk dalam lembaga legislatif,
pemuda separuh Kenya ini menyebut dongeng-dongeng suku Luo di tepi Danau Victoria.
Tapi yang agaknya paling membekas adalah yang diberikan sang ibu selama mereka hidup di
Jakarta.
Ibu itu, Ann seorang perempuan yang dibesarkan dengan pandangan yang tak konvensional
menikah dengan seorang mahasiswa dari Indonesia, Sutoro namanya. Di tahun 1967,
keluarga itu pindah ke Jakarta. Mereka punya seorang anak perempuan, Maya.
Sutoro bekerja di kalangan perminyakan. Masa akhir 60-an adalah masa pergolakan di
Indonesia, ekonomi masih berat, dan kepastian belum ampak. Sedikit yang kita ketahui
tentang ayah tiri Obama ini, kecuali bahwa ia tak cukup uang untuk memasukkan Barrack ke
The Jakarta International School. Maka Barrack, (biasa disebut Barry) bersekolah di
sekolah negeri di Jalan Besuki. Tapi ibunya menyiapkannya untuk dapat pendidikan yang
lebih baik di Amerika.
Barry belajar memperbaiki bahasa Inggrisnya dari sang ibu, dan harus bangun jam 4 pagi
untuk itu. Sang ibu tak hanya mengajarnya berbahasa Inggris. Ia juga memperkenalkan Barry
dengan lagu-lagu Mahalia Jackson dan pidato Dr. Martin Luther King, Juga kisah tentang
anak-anak hitam yang terjepit di Amerika Serikat bagian selatan.
Dari sinilah Barry memilih apa arti Afro-Amerika baginya. Identitasnya bukan masalah
masa lalu, tapi masa depan. Bukan masalah biologis, tapi politis. Bukan keniscayaan, tapi
pilihan. Afro-Amerika bagi Obama dengan demikian mengandung sesuatu yang universal:
sejarah perjuangan pembebasan mereka yang disakiti oleh diskriminasi rasial dan
keterbelakangan.
Tapi tentu saja ia tak sepenuhnya ada dalam sejarah itu dan ia tumbuh jadi seorang pemuda
dengan kulit hitam yang tak dirundung amarah. Ketika gerakan Civil Rights berhasil, dan
hak-hak lebih luas orang hitam didapat, Barrack tinggal menempuh jalan yang lebih luas
terbentang. Tapi ia sudah bertindak, dengan bekerja di komunitas hitam di Chicago. Hitam
Obama bukanlah sesuatu yang hanya diwarisi secara pasif, tapi sebuah posisi aktif. Hitam
adalah aksi dalam sejarah.
Kini ia tengah ikut membuat sejarah itu sebuah sejarah yang pernah bernoda oleh larangan
bagi orang hitam untuk berada di satu sekolah, satu bis, dan satu tempat kencing dengan
orang kulit putih, tapi juga sebuah sejarah dengan demokrasi yang ternyata bisa
mengembangkan diri.
Demokrasi itu kini sedang menunjukkan, bagaimana kaum yang paling di pinggiran bisa
bergerak masuk ke tengah dan ke puncak. Tak hanya itu. Demokrasi itu juga sedang
menunjukkan, bagaimana sebuah bangsa bisa menebus sebagian dari kesalahannya sendiri,
yang telah memilih pemerintahan Bush untuk menumbuhkan antagonisme kami dan
mereka di mana-mana.
Obama (terutama jika ia menang) akan jadi indikator, bahwa demokrasi Amerika telah
membuat antagonisme dalam politik tak memutlakkan dasar antagonisme itu sendiri.
Demokrasi itu adalah satu proses perubahan, Di abad ke-21, Amerika Serikat bisa berhenti
jadi negeri yang dibenci. Ia bisa memberikan inspirasi.
~Majalah Tempo Edisi. 01/XXXVII/25 Februari 02 Maret 2008~
Kegelapan di balik pori-pori, di ceruk sel darah merah dan getah bening. Kegelapan dalam
suara serak, dalam lagu Old Black Joe yang memberat menjelang ajal. Kegelapan Maut,
kegelapan kata-kata Tuhan yang tak selamanya kita mengerti, kegelapan yang mengelak dari
Takdir yang makin lama makin putih.
Kegelapan yang membiarkan kita tak punya nama, yang menampik nama bila nama adalah
daftar milik yang jelas dari tuan-tuan kita. Kegelapan hutan ini yang teduh. Kegelapan yang
melindungi kita dari Kebengisan.
Blood on the leaves
And blood at the root
Black bodies swinging
In the southern breeze
Strange fruits hanging
From the poplar trees
Kebengisan itu tak pernah kau lihat. Mesin-waktumu yang tak sempurna hanya menemukan
potret tubuh George Hughes yang digantung di dahan pohon. Tak hanya digantung. Ia
dibakar. Ini Sherman, Texas, 1930.
Kau bisa baca di perpustakaan kota itu: negro buruh tani ini ditangkap dengan tuduhan
membunuh majikannya dan memperkosa istri si tuan. Di kampung kecil yang jarang dihuni
itu, bisik-bisik beredar: Hughes adalah hewan yang tahu betul apa yang dimauinya.
Para petani kulit-putih yang tinggal di dusun itu telah lama bringas, dan kini punya alasan
buat lebih bringas. Mereka yang selamanya takut, curiga, dan benci kepada makhluk dengan
pigmen berbeda itu kini punya dalih. Mereka serbu gedung pengadilan tempat Hughes
ditahan. Mereka bakar. Hughes mereka seret ke luar dan mereka lemparkan ke atas truk.
Polisi tak berbuat apa-apa malah membantu mengatur lalulintas. Di sebuah lapangan dekat
tempat tinggal orang hitam, Hughes diikat dan dikerek ke atas sebuah pohon. Api besar
dinyalakan.
Dalam sebuah potret kau lihat: Hughes yang tinggal arang, terpentang, bergayut, pada pokok
yang rendah.
Orosco mengabadikan adegan itu dalam sebuah litograf dari tahun 1934, Negros Colgados.
Lihat, tak cuma satu negro. Tubuh-tubuh yang dibunuh itu begelantungan seperti puluhan
buah yang aneh. Billie Holiday mengungkapkannya dalam Strange Fruits: suaranya setengah
serak, dengan pilu yang seakan-akan telah jadi napas: Darah pada daun/ darah pada akar/
Jasad hitam yang terayun-ayun/di angin selatan/ buah ganjil yang tergantung/ di pohon
poplar.
Ada sesuatu yang lain pada lagu itu, yang mula-mula tampak pada litograf Orosco: pohon
dan dahan itu tak dihiasi daun-daun seakan-akan menegaskan kekuatan yang lurus,
lugas, tegak. Juga ia tempat pameran yang meyakinkan. Tak sengaja Orosco mengingatkan
kita bahwa sebuah negeri, sebuah tata, adalah bangunan yang kuat karena ia memamerkan
sesuatu yang lurus dan sekaligus mengancam. Dengan kata lain: kebengisan.
Kebengisan itu sering ditutupi dengan kata-kata: utuh, harmonis, mufakat, seakan-akan
sesuatu yang mulia telah diraih. Seakan-akan tak ada pergulatan politik di baliknya. Seakan-
akan yang ada hanya arsitektur Tuhan. Tapi nyanyian Billie Holiday mengungkapkan
kontradiksi-kontradiksi yang disembunyikan: ia berbisik tentang daerah pedalaman Selatan
Amerika yang punya sejarah yang gagah, the gallant South, tapi ia segera menyebut wajah
kesakitan orang-orang hitam yang tercekik. Ia menyebut harum segar manis kembang
magnolia, tapi di baris berikutnya bau jangat terbakar yang terhidu tiba-tiba.
Tiap tata dibentuk dengan taksonomi: putih, hitam, borjuis, proletar, asli, takasli, mayoritas, minoritas. Tiap taksonomi dimulai dengan kepalsuan dan pemaksaan.
Tapi itu berarti ini tak ada tangan Takdir yang merancang. Tak ada hakikat sebelum apa yang
diperbuat. Tak ada esensi sebelum eksistensi. Pembagian, apalagi pemisahan rasial,
sepenuhnya hasil sebuah proses politik. Si hitam bukan jadi hitam karena ia diciptakan
hitam, melainkan karena ia distempel dan disensus dan dikelompokkan ke dalam kategori
hitam. Sejarah hitam dan putih adalah riwayat pergelutan, terkadang dengan
pertempuran, terkadang dengan teriak mengajak maju, serempak, berbaris, 1000 pekik dari
pita suara yang panas.
Yes, we can
Yes, we can
Kau dengar suara itu di kerumunan manusia di Grant Park, Chicago, 4 November 2008
malam. Ya, kita dapat. Ya, kita sanggup. Kita kata orang-orang itu sanggup membuat
seorang Amerika dengan nama yang aneh dipilih jadi presiden dengan dukungan yang
meyakinkan. Kita sanggup mengubah warisan sejarah yang telah memicu Perang Saudara di
abad ke-19. Kita sanggup mengguncang pohon tempat kebengisan dipajang seakan-akan
sebuah struktur yang cantik.
Tapi ini bukan hanya cerita kemenangan seorang yang bisa melintasi taksonomi hitamputih. Ini terutama cerita kemenangan dari pengertian lain tentang politik. Sebab yang
datang bersama Obama bukanlah politik sebagai kiat untuk mendapatkan yang-mungkin. Di
tahun 2008 ini, di Amerika Serikat kita justru menyaksikan politik sebagai hasrat, setengah
nekad, untuk menggayuh yang-tak-mungkin.
Yang-tak-mungkin memang akan selamanya tak-mungkin. Tapi yang-mustahil itu jadi berarti
karena ia memanggil terus menerus, dan ia membuat kita merasakan sesuatu yang tak
terhingga yang agaknya menyebabkan jutaan orang bersedia antri berjam-jam untuk
memilih dan mengubah sejarah: mereka menyebutnya Keadilan, atau Kemerdekaan, atau
nama lain yang menggugah hati. Seperti cinta yang terbata-bata tapi tulus. Seperti sajak yang
hanya satu bait tapi menggetarkan.
Seperti tubuh-tubuh yang kau lihat menyanyi di hutan itu.
Weep no more, my lady,
Oh, weep no more today.
~Majalah Tempo Edisi 10 Nopember 2008~
Seperti Al-Qaidah, ia membangun kamp latihan militer. Tempatnya di Amerika bagian barattengah, di perbatasan Oklahoma-Arkansas-Missouri, dan namanya
Endtime Over-comer Survival Training Schoolsesuatu yang merupakan bagian persiapan
mengatasi suasana akhir zaman. Di dekat kamp itu, rohaniwan mereka, Pendeta Robert
Millar, mendirikan Kota Elohim, yang anggota-anggotanya menghimpun senjata untuk
menghadapi serangan pemerintah Amerika Serikat. Kamp inilah yang dihubungi McVeigh
beberapa saat sebelum ia meledakkan Gedung Alfred P. Murrah.
Tuhan dan kekerasan: McVeigh, yang kemudian ditangkap dan dihukum mati, tidak sendiri.
Pada tahun 1996 Christian Identity mengebom Olimpiade di Atlanta, pada tahun 1999
menembaki sebuah tempat penitipan anak Yahudi, dan sebelum itu pada tahun 1985 Pendeta
Michael Brayyang berpikiran sejenis dan diduga menulis buku petunjuk berjudul Army of
God (Laskar Tuhan)membakar dan merusak tujuh buah klinik tempat para dokter
membantu pengguguran kandungan. Pada tahun 1994, Pendeta Paul Hill menembak mati
Dokter John Britton di Florida, setelah beberapa tahun sebelumnya seorang perempuan
pengikut Pendeta Bray mencoba membunuh Dokter George Tiller di Kansas. Pendeta Bray
kemudian menulis buku untuk menghalalkan kekerasan seperti itu. Judulnya: A Time to Kill.
Tuhan dan pembunuhan: mengapa semua ini terjadi, tak cuma di kalangan Kristen dan Islam,
tapiseperti dikumpulkan dan ditelaah oleh Juergensmeyerjuga di kalangan Yahudi,
Hindu, Sikh, dan Buddha? Penulis Terror in the Mind of God menyimpulkan bahwa agama
memang selalu mengandung imajinasi yang membuat pelbagai nilai jadi mutlak; agama
dengan itu juga memproyeksikan perang kosmis. Sementara itu, agama sering
membenarkan kekerasan, dan kekerasan memperkukuh agama, yang, dalam kehidupan
publik, memberikan mercusuar ke arah tatanan moral.
Yang agaknya diabaikan para laskar Tuhan itu ialah bahwa tatanan moral itu akan selalu
mengimbau seperti surya di pangkal akanan. Kita akan selalu mendapatkan hangat dan
cahayanya, dan kita senantiasa berikhtiar ke sana. Tapi mungkinkah mencapai kaki langit itu,
menjangkau terang itu, dengan doa, dengan laku, dengan darah, dengan besi, sekalipun?
Hidup jadi berarti bukan karena mencapai. Hidup jadi berarti karena mencari.
Kini, dalam obituari yang ditulis orang setelah ia meninggal pekan lalu, ia disebut sebagai
sejarawan. Terutama sejak ia kembali dengan gelar doktor dari Universitas Yale pada tahun
1975. Ia sendiri punya versi lain tentang dirinya. Ada dua hal yang dia bawa pulang dari
Yale, ujarnya. Satu, gelar doktor itu. Dua, kepandaian memasak. Ia lebih bangga dengan yang
nomor dua itu, katanya, tanpa senyum.
Tentu ada beda antara sejarawan dan juru masak, tapi jangan-jangan perlu juga dilihat bahwa
beda itu tak teramat besar. Keduanya mengolah bahan dari detail, dengan metode dan sistem
yang kurang-lebih ajek, dan menyajikan sebuah hasil dengan sentuhan personal.
Mereka yang menganggap sejarah sebagai ilmu yang terhormat tentu akan berkeberatan
dengan kesimpulan itu. Tapi bukan hal yang baru untuk mengatakan bahwa karya sejarah tak
pernah ditulis dari pandangan yang kekal, yang tak bermula dari satu titik dalam waktu. Tiap
karya seorang sejarawan bertolak dari masa-kininya sendiri.
Mungkin bahkan bukan hanya itu. Ketika Foucault bicara tentang genealogi, yang bisa
dikatakan sebagai penulisan alternatif tentang masa lalu, yang tersirat di sana bukan saja
pernyataan bahwa yang dituju bukanlah pengetahuan dan kebenaran tentang masa lalu
itu, tapi sebuah tindakan terhadap masa kini.
Saya baca kembali kumpulan tulisan Onghokham dalam Dari Soal Priyayi sampai Nyi
Blorong. Hampir tiap bab tergerak untuk melakukan sesuatu bagi keadaan saat itu. Itu
mungkin sebabnya Ong tak pernah lagi menulis sebuah buku utuh, kecuali yang berdasarkan
skripsinya di Fakultas Sastra UI dan tesisnya di Universitas Yale. Ia menulis risalah pendek,
hidangan sekali santap, selalu sebagai respons terhadap keadaan yang dialaminya waktu itu
dan hampir selamanya terasa tak selesai.
Sebagai editornya di saat-saat ia menyumbang tulisan ke majalah Tempo, saya punya
problem dengan cara Ong menulis: saya selalu ingin menemukan paragraf penutup yang baik.
Tapi kemudian saya pikir: jangan-jangan itu tak perlu bagi Ong. Makanan yang lezat tak
pernah punya akhir, juga dengan cuci mulut.
Tapi dengan itu pula Ong memang tak hendak mengemukakan sebuah kesimpulan dan teori
besar. Seperti Sartono Kartodirdjo, ia mengutamakan latar sosial-ekonomi sebuah peristiwa,
yang menyebabkan sejarah baginya bukan kisah orang atas. Ia suka menemukan dan
mengemukakan hal ihwal kecilmisalnya perhitungan hari baik dalam masyarakat Jawa,
atau jumlah gulden subsidi seorang bupati yang dibuang pemerintah kolonial. Tapi
tampaknya ia bukan berambisi untuk jadi seorang Braudel, yang dari detail yang memikat
melahirkan sebuah teori (tentang kapitalisme, misalnya) yang memukau. Ong bukan pula
seorang sejarawan Marxis, yang dengan teori mengkonstruksikan temuan empiris. Ong
menulis dengan cara hampir seenaknyatak sampai berkeringat seperti ketika ia bekerja di
dapur.
Ia seakan-akan dengan sengaja menunjukkan dirinya tanpa kategori. Apakah dia
sebenarnyasejarawan, kolumnis, intelektual publik, juru masakia tak peduli. Ia
keturunan Tionghoa yang akan menampik stereotip warga kebudayaan Cinayang disebut
oleh Lee Kuan Yew sebagai sinic culture, sebuah sistem nilai yang katanya berbeda,
bahkan sebuah kontras, dari indic culture, kebudayaan ala India. Dengan bangga,
pemimpin Singapura itu mau menunjukkan bahwa hanya mereka yang berakar pada
kebudayaan Cina yang cocok buat pembangunan ekonomi: pekerja keras, tak suka berlehaleha, dan pada dasarnya puritan untuk mencapai hasil optimal dalam kerja.
Onghokham menertawakan teori Lee Kuan Yew yang sangat dekat dengan pandangan
rasialis itu. Lee bukan menggambarkan watak orang Cina, katanya. Gambaran idealnya
gambaran seorang Kristen Metodis.
Ong tak menyukai mereka yang puritan, Kristen Metodis, para santri, para saudagar, atau
ideolog ala Singapura. Baginya Puritanisme adalah represi demi mencapai surga atau
kesempurnaan. Ong jauh dari mereka yang peduli akan prestasi tinggi, karya yang sempurna,
atau posisi yang terhormat. Ia tak mendapatkan gelar profesor karena ia anggap sepele
tetek-bengek administratif buat memperoleh gelar akademis itu. Baginya yang memikat
justru hal-hal yang dianggap dosa oleh Puritanisme: makanan, minuman, waktu bergaul
dan bersenang-senang.
Mungkin karena Ong lebih dekat dengan hidup ketimbang intelektual lain yang hanya
berkutat pada ide besar tentang manusia dan masyarakat.
Saya ingat malam-malam di pertengahan 1960-an: saya termasuk sekelompok teman yang
kemudian dikenal sebagai penulis (Nono Makarim, Fikri Jufri, Arief Budiman, Wiratmo
Sukito, Ismid Hadad, Salim Said, dan lain-lain) yang sering minum kopi di warung di Gang
Ampiun, Cikini. Terkadang Ong muncul, dengan pakaian khaki yang lusuh dan tas yang
penuh. Ia gemar mencemooh kami sebagai intelektual kota. Mungkin ia hendak mengingatkan, kami yang suka omong tentang Indonesia acap kali lupa ada yang tak dapat
dirumuskan dari sudut kota Jakarta itu. Indonesia bukanlah hanya ide. Indonesia adalah
kehidupan. Dan Ong memang dekat ke dalamnya.
~Majalah Tempo Edisi. 28/XXXIIIIII/03 9 September 2007~
Memang, ada pengaruh gerakan Wahhabi, yang waktu itu sedang naik pasang di sekitar
Mekkah, dalam semangat Tuanku Nan Rinceh itu. Lurus, sederhana, menuntut sikap yang
serba murni. Tapi zaman tampaknya menghendaki semangat yang lempang dan puritan.
Tuanku Nan Rinceh, mungkin ekstrem, bukan fenomena yang tersendiri.
Tak berarti ada persekongkolan di manamana. Sejarah umat Islam adalah sejarah tentang
perbedaan-perbedaan, dan kita bisa sesat bila tak memandangnya secara demikian. Gerakan
pemurnian di Bukit Kamang itu toh akhirnya bentrok dengan gerakan Islam di
tempat lain. Khususnya dengan seruan kembali ke syariat yang sejak akhir 1700 dibawakan
oleh Tuanku Nan Tua dari Kota Tua di wilayah Agam.
Sengketa itu sengit. Setelah gagal mempertemukan pendapat dalam suatu pertemuan, Tuanku
Nan Rinceh pun menarik garis Orang alim tua dari surau tarikat Syattariyah itu, Tuanku Nan
Tua, yang mengutip pelbagai ayat Quran untuk menunjukkan bahwa Nabi pada dasarnya
mengenggani kekerasan, kemudian dicemooh sebagai Rahib Tua. Muridnya, Jalaluddin,
yang mendirikan dusun Muslim di Kota Lawas, dijuluki Raja Kafir. Lalu perang pun pecah
selama enam tahun.
Apa gerangan penyebabnya? Tahun lalu terbit sebuah hasil penelitian sejarah Sumatera Barat
oleh Christine Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy, sebuah studi
tentang masa riuh 1784-1847. Seperti 1mpk dari judulnya, Dobbin mencoba menunjukkan
maraknya api keagamaan di Minangkabau itu sebagai jawaban sosial atas perubahan ekonomi
yang terjadi, ketika perdagangan kopi untuk ekspor sedang menunggu.
Ketika itulah orang-orang Minang, terutama dari daerah pebukitan, tempat kopi tumbuh
mudah, menemukan dunia baru. Mereka hidup dari suatu proses jual-beli, yang jaringannya
lebih luas ketimbang dusun sendiri suatu jarimgan yang tentu saja impersonal. Adat
setempat yang mengatur hubungan-hubungan lokal karena itu tak lagi memadai.
Tak mengherankan bila para penghulu, yang lazim memecahkan sengketa sosial dengan
memakai pedoman aturan setempat, jadi repot. Dalam keadaan sedemikian, ketika hukum tak
lagi cukup, sementara perkara yang harus dihakimi bertambah rumit dan
banyak, surau pun tampil sebagai alternatif. Hukum Islam, yang diturunkan di Mekkah di
Dsuatu masyarakat pedagang, memang memungkinkan itu: la tldak asmg dengan kasus-kasus
yang muncul setelah kegiatan komersial berkembang cepat.
Tuanku Nan Tua sendiri bahkan ikut aktif dalam kegiatan itu dan sukses. Suraunyapun giat
menyerukan agar orang berpegang hukum Islam dalam menyelesaikan soal-soal perniagaan.
Tak ayal, syekh dari surau Syattariyah ini pun dianggap pelindung para
pedagang.
Tapi dalam keadaan yang lebih makmur itu pula orang berkesempatan berfoya-foya. Hampir
di tiap pasar orang mendirikan gelanggang sabung ayam, sementara tuak dan candu dengan
leluasa diedarkan. Semua tingkah ini jadi tambah mencolok buruknya bagi orang ramai,
ketika semangat pedagang hemat, bersahaja, ulet) tengah berblak. Maka, terhadap
kemaksiatan inilah surau-surau angkat suara dan akhirnya angkat senjata.
Kaum Padri, juga Tuanku Nan Rinceh, pada dasarnya meneruskan semangat itu. Dan dalam
banyak hal mereka berhasil. Desa yang dibangun Haji Miskin pada tahun 1811, misalnya, di
Air Terbit, di lereng Gunung Sago, adalah contoh desa yang teratur serta
makmur. Bahkan orang Belanda juga mengakui hal itu.
Namun, sayang, tak sepenuhnya masyarakat ideal yang dikehendaki bisa bertahan. Kaum
Padri sendiri berubah. Di Pandai Sikat orang-orang desa mulai kembali makan sirih dan
merokok, pakaian wanita tak jadi setertutup dahulu. Adat setempat tak begitu saja
hilang, dan seperti halnya pihak lain, seperti halnya manusia sepanjang sejarah, kaum Padri
pun akhirnya menerima kompromi. Kemurnian barangkali memang tak ditakdirkan untuk
dunia yang tak kekal, tak tunggal, ini.
~Majalah Tempo Edisi. 40/XIV/01 7 Desember 1984~
Ada adalah sengsara, adalah dukkha, begitulah menurut empat kebenaran yang luhur.
Dukkha itu disebabkan karena kita tak tahu dan kita terikat. Kita hidup dengan hasrat akan
milik dan milik atas hasrat.
Sebenarnya agama pernah dimaksudkan untuk membebaskan kita dari semua itu. Tapi apa
lacur: agama, yang bermula pada senyap dan berakhir dengan konstruksi, juga akhirnya
hanya jadi simptom sebuah kerisauan: merasa diri subyek yang utuh dan permanen, orangorang beragama tak henti-hentinya berusaha menaklukkan ruang-dan-waktu, merampat yanglaindi dalam dan di luar diri.
Itu terutama terjadi ketika konstruksi, bukan sepi, mengambil alih dan tak hanya berupa
mesjid dan candi, tapi juga lembaga dan hukum-hukum.
Yang umumnya tak disadari ialah bahwa konstruksi disusun harus dengan kekuatan yang
terhimpun. Siasat dan alat harus dikerahkan persis seperti ketika kita membangun imperium
dan mengurus bisnis. Kalkulasi akan dibuat atas segalanya, termasuk waktu. Maka waktu tak
lagi momen ajaib seperti di situasi terpuncak ketika aku gemetar dengan kasih dan ngeri.
Waktu jadi sesuatu yang bisa dipetak-petak dan diukur.
Persis di situlah yang sekuler merasuk ke dalam yang religius: orang menghitung abad,
mendepa seculum. Waktu, seperti uang, harus dikuasai dan dipunyai.
Saya kira Stephan Batchelor benar ketika ia mengatakan, Salah satu akibat dari proses
formalisasi dan pelembagaan agama adalah agama jadi tersedot kembali ke dalam dimensi
punya.
Batchelor, yang mengumandangkan lagi tema Gabriel Marcel, pemikir Katolik dari Prancis.
itu, tampaknya melihat dengan masygul betapa kegiatan menghimpun milik ternyata lebih
mendesak ketimbang tafakur menghayati hidup. Ia agaknya sadar, juga dalam kehidupan
beragama berabad-abad lamanya, orang lebih tergerak oleh dimensi punya (to have)
ketimbang oleh dimensi ada (to be).
Maka Budhisme Batchelor adalah Budhisme yang kembali kepada to be. Ia tak punya dan tak
dipunyai lembaga: ia tinggalkan mazhab Tibet dan ia pilih Zen, dan ia menulis Budhism
without Belief (1997). Batchelor, orang kelahiran Skotlandia yang sejak berumur 18 belajar di
Dharmasala pusat Budhisme Tibet selama Dalai Lama dalam pengasingan pada mulanya
seorang biksu yang serius. Tapi enam tahun setelah ia ditahbiskan, ia melepas jubahnya.
Saya kira karena baginya sebuah lembaga mirip sebuah kuil yang megah: fantasi tentang
keagungan yang lupa bahwa dirinya adalah fantasi. Dan seperti pagoda Shwe Dagon di
Yangon, yang pucuknya meruncing 100 meter berlapiskan emas, si lembaga agama
menyembunyikan jejak sekuler yang ikut membentuk kuasanya.
Tapi jejak itu tak hilang. Sore itu saya mengelilingi Shwe Dagon. Di pelbagai sudut orang
berdoa. Di sebuah serambi puluhan orang mendatangi loket penyumbang.
Tapi bisakah orang terbebas dari dukkha, ketika mereka sebenarnya kian tersangkut di sana?
Saya ingat U Po Kyin. Pejabat pengadilan dalam novel Burmese Days George Orwell ini
korup, licik, ambisius, rakus, buncit seorang pembangun pagoda yang baik. Ia ingin terlepas
dari hukuman Sang Budha atas dosa yang tiap hari dibuatnya. Baginya, hidup adalah soal
transaksi: ada asumsi semua bisa diukur dan semua akan tetap. Tapi mungkinkah?
Segala hal, wahai, pendeta, terbakar. Mata terbakar, bentuk terbakar, kesadaran mata
terbakar...
Kalau tak salah, itu suara Sang Budha.
~Majalah Tempo Edisi. 05/XXXIIIIII/26 Maret 01 April 2007~
Serbia yang membantai orang muslim di Bosniasemua itu dalam derajat yang berbedabeda adalah kejahatan, atau kebrutalan, yang melembaga. Ia bisa saja berulang, diulang, di
suatu masa lain, di sebuah tempat lain. Kita ingat sebuah adegan yang memualkan di
Kalimantan Barat: dua kepala sepasang suami-istri separuh baya yang dipancung dan
dipasang di atas pasak, dengan luka parang yang baru, dengan mulut yang dengan cemooh
disisipi sebatang rokok. Betapapun miripnya ini dengan adegan Bima yang ganas di
Kurusetra, sepasang kepala yang terpasak itu tetap lebih mengganggu perasaan. Ada
kebencian yang bisa berulang di sana, ada kekejaman yang bisa datang setiap waktu.
Tapi dalam hal kekejaman, ada yang bisa lebih dari itu. Mari kita bayangkan kemungkinan
yang nyaris terjadi ini di Indonesia ini: tiga buah granat yang meledak di atas rel, dan sederet
gerbong yang terbelah, dan ratusan orangtermasuk bayi dan anak sebelum remajayang
akan terbantai dengan tubuh hancur.
Siapa yang melakukan ini berangkat bukan karena rasa benci kepada satu kelompok yang
spesifik: sebuah tindakan yang sebenarnya tanpa fokus. Bahkan mungkin sekali tanpa
bencisebab saya tak bisa membayangkan ada orang, atau sekelompok orang, yang begitu
sakit hati kepada setiap orang yang naik kereta api sehingga memasang granat di atas rel.
Di sinilah wilayah yang terbuka untuk kekejaman itu praktis menjadi absolut. Ia tak terbatasi
lagi. Juga alasannya. Jika di sini tak tampak ada rasa benci, meskipun mungkin ada rasa
marah, apa gerangan tujuan orang dengan granat-granat itu? Untuk membuat kehidupan
politik jadi guncang? Untuk membuat kereta api tak menarik sebagai alat transpor? Atau
untuk menikmati pemandangan ini: ketika beberapa ledakan terdengar, seperti mercon besar,
ketika daging manusia terbakar dan tercabik, ketika orang panik dan anak-anak memekik?
Teror, terutama sebagai aksi politik, ingin memutlakkan tak adanya batas. Ketakutan menjadi
ketakutan kepada ketidak-jelasan. Akhirnya, sebuah paralisis ganda: lumpuh karena tak bisa
menangkal ancaman dan lumpuh karena tak bisa memahami ancaman. Ketika polisi tidak
berdaya, ketika negara seperti tak bisa hadir untuk menolong, paralisis akan menantikan
sebuah keajaiban, mungkin satu kekuatan Juru Selamat.
Tapi barangkali yang mungkin datang menyelamatkan bukanlah keajaiban, melainkan sebuah
keganjilan: sikap yang hampir acuh tak acuh kepada kematian. Di Indonesia, orang tetap saja
akan berjejal-jejal naik sepur, sampai ke atap, setelah berkali-kali kecelakaan terjadi, tetap
saja akan berdesak-desak di atas dek, melebihi kapasitas kapal, setelah berkali-kali feri dan
perahu tenggelam, bahkan tetap saja akan beramai-ramai bermain mercon, menikmati
ledakan besar atau kecil, hanya beberapa hari setelah bom membunuh sejumlah orang di
sekitar gereja.
Tentu, bukan karena mereka luar biasa pemberani. Tapi karena apa yang tampak dalam
statistik itu: kematian semakin akrab.
Namanya Nur Hidayah, 35 tahun, kelahiran Tulungagung, Jawa Timur. Ia seorang istri yang
ditinggalkan suami (meskipun mereka belum bercerai), ia ibu dari lima anak yang praktis
yatim.
Tiap pagi, setelah Tegar, anaknya yang berumur enam tahun, berangkat ke sekolah dengan
ojek, Nur datang ke tempat kerjanya. Di sana ia mengangkut batu, kemudian memecahmecahnya, untuk dijual ke pemborong bangunan. Nova, empat tahun, anak bungsunya, selalu
dibawanya. Nur bekerja sekitar lima jam sampai tengah hari.
Lalu ia pulang. Tegar akan sudah kembali ke rumah kontrakan mereka, dan Nur bisa bermain
dengan kedua anak itu. Sampai pukul tiga sore.
Matahari sudah mulai turun ketika Nur membawa kedua anaknya ke tempat penitipan milik
Ibu In, yang ia bayar Rp 20 ribu sehari. Lalu ia berdandan: memasang lipstik tebal, berpupur,
mengenakan baju terbaik. Lepas magrib, ia naik ojek dari kampung Mujang itu ke Gunung
Bolo, 45 menit jaraknya dengan sepeda motor.
Di kegelapan malam di tempat tinggi yang jadi kuburan Cina itu, Nur menjajakan seks. Ia
menjual tubuhnya.
Ia tak memilih pekerjaan itu. Sutrisno, suaminya, yang menikah dengan perempuan lain, tak
memberinya nafkah. Ia bertemu dengan lelaki itu pada 1992 dalam bus ke Trenggalek.
Mereka saling tertarik, dan Sutrisno menemukan lowongan buat Nur di Pabrik Rokok
Semanggi di Kediri. Pekerjaan mengelinting sigaret itu hanya dijalaninya dua bulan. Nur
hamil. Ia harus menikah.
Ia pun jadi istri seorang suami yang menghabiskan waktunya di meja judi dan botol ciu. Tak
ada penghasilan. Tak ada pengharapan. Setelah anak yang kelima lahir, dalam keadaan putus
asa, Nur ikut ajakan tetangganya, seorang pelacur di Gunung Bolo. Ia bergabung dengan
sekitar 80 pekerja seks di tempat itu, dan jadi sahabat Mira, yang lebih muda setahun tapi
sudah hampir separuh usianya menyewakan kelamin. Mereka menghabiskan malam mereka
mencari konsumen di pekuburan Cina itu. Tarif: Rp 10 ribu sepersetubuhan.
Pernah ada pengalaman yang membuat Mbak Nur senang, selama ini, ketika melayani
tamu?
Ah, ya ndak ada, jawabnya.
Tapi suara itu tak getir. Nur, juga Mira, bukanlah keluh yang pahit. Dalam film dokumenter
yang dibuat Ucu Agustinsalah satu dari Pertaruhan, empat karya dokumenter tentang
perempuan yang layak beredar luas di Indonesia kinikedua pelacur itu berbicara tentang
hidup mereka seperti seorang pedagang kecil (atau guru mengaji yang miskin) berbicara
tentang kerja mereka sehari-hari.
Bahkan dengan kalem mereka, sebagai undangan Kalyana Shira Foundation yang
memproduksi Pertaruhan, duduk bersama peserta Jakarta International Film Festival di
sebuah kafe di Grand Indonesiaseakan-akan mall megah itu bukan negeri ajaib dalam
mimpi seorang Tulungagung. Ketika saya menemui mereka di tempat minum Goethe Haus
pekan lalu, Mira duduk seperti di warung yang amat dikenalnya, dengan rokok yang terus
menyala (tapi ia menolak minum bir), dan Nur memeluk Nova yang dibawanya ikut ke
Jakarta.
Haruskah Mira, Nur, merasa lain: nista? Produser, sutradara, dan aktivis perempuan yang
menjamu mereka tak membuat para pelacur itu asing dan rikuh. Bahkan Tegar dan Nova
diurus panitia seakan-akan kemenakan sendiridan dengan kagum saya melihat sebuah
generasi Indonesia yang menolak sikap orang tua dan guru agama mereka. Mira dan Nur tak
akan mereka kirim ke neraka, di mana pun neraka itu. Ucu Agustin, 32 tahun, sutradara
dokumenter ini, telah berjalan jauh. Ia lulus dari IAIN pada tahun 2000 setelah enam tahun di
pesantren Darunnajah di Jakarta, di mana murid perempuan bahkan dilarang membaca
majalah Femina. Ia kini tahu, agama tak berdaya menghadapi Nur dan kaumnya.
Di Tulungagung terdapat setidaknya 16 tempat pelacuran. Ada dua yang legal, yang tiap
Ramadan harus tutup. Tapi sia-sia: di tiap bulan puasa pula para pelacur yang kehilangan
kerja datang antara lain ke Gunung Bolo. Pekerja di tempat itu bertambah 50 persen.
Dan bagaimana agama akan punya arti bila tak memandang dengan hormat ke wajah Nur:
seorang ibu yang mengais dari Nasib untuk mengubah hidup anak-anaknya? Mereka harus
sekolah, mereka ndak boleh mengulangi hidup emak mereka, Nur berkata, berkali-kali.
Dengan memecah batu ia dapat Rp 400 ribu sebulan, dengan melacur ia rata-rata dapat Rp 30
ribu semalam. Dengan itu ia bisa mengirim Tegar ke sebuah TK Katolik sambil membantu
hidup anak-anaknya yang lain yang ia titipkan di rumah seorang saudara. Nur tegak di atas
kakinya sendiri. Ia contoh yang baik dialektika yang disebut Walter Benjamin: seorang
pelacurseorang pemilik alat produksi dan sekaligus alat produksi itu sendiri, seorang
penjaja (Verkuferin) dan barang yang dijajakan (Ware) dalam satu tubuh. Ia buruh; ia
bukan.
Bagi saya ia Ibu Indonesia Tahun 2008.
Setidaknya ia kisah tentang harapan dalam hidup yang remang-remang. Memang tuan dan
nyonya yang bermoral mengutuknya. Memang polisi merazianya dan para preman memungut
paksa uang dari jerih payah di Gunung Bolo itu. Tapi Nur tahu bagaimana tabah. Kebaikan
hati bukan mustahil. Tegar diberi keringanan membayar uang sekolah di TK Katolik itu. Tiap
bulan ke Gunung Bolo, seperti ke belasan tempat pelacuran di Tulungagung itu, datang tim
dari CIMED, organisasi lokal yang dengan cuma-cuma memeriksa kesehatan mereka. Dan ke
rumah penitipan Ibu In secara teratur datang Mbak Sri untuk membantu Tegar berbahasa
Inggris dan mengerti bilangan.
Terkadang Nur berbicara tentang Tuhan (ia belum melupakan-Nya). Ia menyebut-Nya Yang
di Atas. Mungkin itu untuk menunjuk sesuatu yang jauhtapi justru tak merisaukannya,
karena manusia, yang di bawah, tetap berharga: bernilai dalam kerelaannya.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 15 Desember 2008~
dia menebarkan ketakutan di benak para musuh kami, dia memberi kekuatan yang lebih
hebat ketimbang 1.000 bek dan 10.000.000 kiper. Ri Myong-guk, penjaga gawang Korea
Utara, menjelang pertandingan di Piala Dunia.
Tuhan dan Kim Jong-il tak datang ke Afrika Selatan. Tapi tiap kesebelasan yang bertanding
di Sokkerstad yang mirip belanga Afrika itu harus mengerahkan kekuatan apa saja, termasuk
yang gaib, untuk menang. Bagi kiper Korea Utara, Ri Myong-guk, yang gaib adalah kepala
negaranya, Kim Jong-il. Dia pemain terpenting kami, katanya tentang tokoh sakit-sakitan
yang malam itu mungkin sedang terbaring di Istana Presiden di Pyongyang, 12.447 kilometer
jauhnya dari Johannesburg.
Syahdan, pada malam dingin menggigit itu, Ri dan 10 kawannya berjuang. Ratusan juta
penonton di seluruh dunia menyaksikan bagaimana tim Korea Utara bermain gigih, rapi,
efektif.
Tapi mereka melawan Brasil, juara dunia lima kali. Mereka kalah: 2-1meskipun kalah
dengan bangga, karena mereka telah menunjukkan permainan yang mengesankan. Dunga,
manajer tim Brasil, mengakui, Sangat berat menghadapi lawan yang begitu gigih dan begitu
defensif. Kata Ri, yang memimpin lini belakang, Saat menjaga gawang rasanya seperti
menjaga gerbang tanah airku.
Kalimat itu hiperbolik, memang. Kita tak tahu, tuluskah Ri atau tidak. Sepak bola di Piala
Dunia punya daya yang ganjil. Ia bisa membuat orang (pemain atau penonton) merasa bagian
dari sebuah puak besar yang berapi-api, dari rambut sampai kuku kaki, mendukung sebuah
tim nasional. Ketika sebelum pertandingan Aegukka, lagu kebangsaan Korea Utara,
dinyanyikan, (Tekad yang teguh, dipertaut Kebenaran, akan maju tegap ke dunia.), Jong
Tae-se, pemain nomor 8, menangis.
Antara tulus dan tak tulus, antara ekspresi yang berlebihan dan tidak, tampaknya tak ada garis
yang jelas di Korea Utara.
Korea Utara bukan lagi sebuah bangsa; ia sebuah umat. Marxisme-Leninisme sudah
bertransformasi jadi agama. Sebagaimana agama, ia membentuk struktur yang direkatkan
oleh doktrin. Agama juga butuh batu-sangga yang menopang dan mempertautkan bagianbagian bangunan itu. Bagi agama pada umumnya, batu-sangga itu Tuhan; bagi ajaran juche
sebagai ideologi Korea Utara, batu itu Kim Il-sung. Setelah Kim tua wafat dan putranya, Kim
Jong-il, menggantikan peran itu.
Maka sejak masa kanak, rakyat Korea dibentuk untuk memuja Kim. Sebuah studi yang
dikutip The Christian Science Monitor menunjukkan besarnya dana untuk itu. Sementara
pada 1990 biaya untuk pemujaan sang pemimpin meliputi 19 persen anggaran nasional, pada
2004 naik jadi 38,5 persen. Pada masa krisis, ketika alokasi buat pertahanan dan
kesejahteraan rakyat diperkecil, dana untuk sekolah ideologi justru naik. Biaya itu meliputi
perawatan 30.000 monumen Kim, festival olahraga, film, buku, billboard, mural, dan
seterusnya.
Belum lagi buat pendidikan sekolah. Di sini, indoktrinasi untuk memuja sang Ketua sangat
intensif: antara 304 dan 567 jam pelajaran. Para murid SD harus mempelajari sejarah masa
kecil Kim Il-sung 152 jam dan Kim Jong-il juga demikian. Di Universitas Kim Il-sung di
Pyongyang ada enam fakultas yang khusus mengajarkan riwayat dan pemikiran kedua Kim
Bapak dan Kim Putra.
Dalam sejarah pemerintahan partai komunis, ini melebihi takaran. Tapi sesuatu yang
sebelumnya hanya terdapat pada zaman Nazi Hitler dan Fasisme Mussolini ternyata bisa
terjadi di kubu sosialis. Di Uni Soviet, muncul fenomena Stalin, yang memimpin Uni Soviet
sejak 1922 sampai wafat pada 1953. Di Cina: Mao Zedong, yang jadi Ketua Partai sejak 1943
hingga 1976.
Tentang Stalin, seorang penyair menulis, dengan hiperbol lain:
Wahai, Stalin yang agung
Tuan-lah yang menyuburkan tanah
Tuan-lah yang memulihkan abad
Tuan-lah yang mengembangkan bunga di Musim Semi
Tentang Mao, seorang prajurit yang diangkat jadi manusia tauladan oleh Partai, Li Feng,
menulis catatan hariannya yang terdiri atas 200.000 kata. Hampir semuanya penuh pujaan:
Bagiku, karya Ketua Mao ibarat makanan, senjata, dan kemudi. Kita harus makan dan dalam
berperang kita harus bersenjata. Tanpa kemudi, kita tak dapat mengendarai mobil, dan tanpa
mempelajari karya Mao Zedong orang tak dapat menempuh karier revolusioner.
Barangkali manusia selalu butuh pujaanTuhan, Nabi, atau Sang Pemimpin. Mungkin juga
kultus itu merupakan respons dari suasana cemas akan terjadinya disintegrasi, yang pada
1960-an tampak juga di Indonesia, dengan Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi.
Tapi ada kombinasi yang ampuh yang menyebabkan kultus sang pemimpin berkembang:
paduan antara kekuasaan politik dan kata-kata yang mendukungnya.
Namun ada batas dan bahaya. Ketika untuk meneguhkan sebuah kekuasaan sederet kata jadi
doktrin, dan doktrin jadi slogan, dan slogan jadi mantra, manusia hidup terasing dari proses
bahasa. Ia hanya menghafal. Ia makin tak pasti dengan makna kata yang diucapkannya. Ia
juga makin kurang yakin akan tafsir yang datang dari dirinya sendiri, karena makna
ditentukan para penguasa. Pada gilirannya, para penguasa (elite Partai, misalnya) juga
mengalami keterasingan, karena dalam keseragaman slogan, mereka tak tahu di mana katakata sendiri.
Walhasil, akhirnya perlu satu Kata: apa yang disabdakan Sang Pemimpin.
Dan lahirlah hiperbol: sindrom rasa cemas kepada makna, karena makna tak dikuasai lagi.
Dengan kalimat yang berlebihan, seseorang mencoba meyakinkan diri dan pendengarnya
bahwa bahasa harus diberi tenaga ekstra, agar sedikit kembali berarti.
Demikianlah Kim Jong-il muncul di kepala dan mulut Ri Myong-guk. Ia Tuhan yang
mencemaskan. Ia juga Tuhan yang menenangkan.
aksi militer belakangan ini, tapi kebanyakan orang Amerika masih merasa bahwa perang
yang dilancarkan negerinya adalah perang yang baik.
Korban jiwa Amerika juga tak sebanyak korban negara lain. Menurut catatan Judt, dalam
Perang Dunia I, jumlah prajuritnya yang tewas kurang dari 120 ribu, sementara Inggris 885
ribu, Prancis 1,4 juta, dan Jerman di atas dua juta. Dalam Perang Dunia II, sementara AS
kehilangan 420 ribu tentara, Jepang 1,2 juta, Jerman 5,5 juta, dan Uni Soviet 10,7 juta. Di
dinding granit hitam monumen Perang Vietnam di Washington, DC, tercantum 58.195 orang
Amerika yang mati; tapi jumlah itu dihitung selama 15 tahun pertempuran, sementara, kata
Judt, tentara Prancis kehilangan dua kali lipat hanya dalam waktu enam minggu.
Perang, akhirnya, adalah sebuah pengertian yang disajikan dari bagaimana sejarah
dibicarakan. Kini orang Amerika percaya, sejarah telah terbagi dua: sebelum dan sesudah 11
September 2001. Semenjak itu, masa lalu dan masa depan pun ditentukan oleh apa yang
tumbuh pada tanggal itu: sikap waspada, takut, malu, dan dendam yang berkecamuk pada
hari-hari setelah para teroris menghancurkan dua gedung tinggi di Kota New York itu.
Yang dilupakan: sejarah lebih lama dan lebih luas ketimbang hari itu. Seperti ditunjukkan
Judt, terorisme tak hanya terjadi pada 11 September 2001. Apokalips tak hanya terjadi kini,
dan tak hanya mengenai orang Amerika.
Dalam film Apocalypse Now, dari rimba Vietnam yang penuh kekejaman, Kolonel Kurtz
memaparkan segala yang menakutkan, berdarah, absurd, edan, dan tak bertujuan. Pada
akhirnya ia adalah sosok rasa ngeri dan kebuasan manusia, yang menyebabkan Perang
Vietnam tak membedakan lagi mana yang biadab dan yang beradab. Di jantung
kegelapan Sungai Mekhong, Kurtz dalam film Coppola pada 1979 itu adalah versi lain dari
Kurtz di Sungai Kongo dalam novel Conrad pada 1899. Kita tahu ia manusia luar biasa. Tapi
ia bagian dari konteks yang brutal.
Itulah perang, itulah kekerasan kolektif yang meluas. Hanya mereka yang melihatnya dari
jauh yang akan bertepuk tangan untuknya tanpa mendengar bisikan terakhir Kurtz: The
horror! The horror! Eisenhower, yang menyaksikan perang dari dekat, tahu: dalam perang,
apa yang luar-biasa, yang terkadang disebut kepahlawanan, jangan-jangan terkait dengan
kebrutalannya, kesia-siaannya, kebodohannya.
~Majalah Tempo Edisi. 28/XXXVII/01 07 September 2008~
Percakapan memang terjadi, dan seperti kata Didi, harus jalan. Tapi buat apa? Menunggu
Godot menjawab dengan kering: kata-kata yang bersahut-sahutan itu bagian dari laku
menunggu yang tak berkesudahan.
Mungkin tak seorang pun bertanya: Do we need a point? Apa kita memang perlu ada ide atau
pikiran yang ingin dikemukakan, jika kita masuk ke dalam sebuah percakapan?
Menunggu Godot adalah teater yang mengabarkan bahwa kabar selamanya akan kabur.
Ini memang sebuah teater, dan di atas pentas diharapkan ada dialog. Tapi justru dalam teater
ini dialog dan percakapan sendiri perlu diragukan. Itu sebabnya Gogo skeptis: Memangnya
jalan?.
Syahdan, sejarah mencatat hubungan antar manusia yang putus, perang dan kekerasan tak
henti-hentinya terjadi. Orang sadar, percakapan harus jalan. Tapi juga orang sadar, bahasa
adalah himpunan prisma yang berkabut, terkena uap mulut para pembicara (lengkap dengan
pelbagai baunya yang aneka ragam), sementara yang terpancar dari sana adalah dispersi
makna yang bersinar ke arah mana saja.
Beckett melukiskan ambruknya komunikasi manusia dengan menggelikan tapi juga murung.
Kita seakan-akan dibawa untuk menyaksikan sebuah dunia di mana permufakatan tak akan
pernah terjadi
Tapi benarkah tak akan terjadi? Belum tentu, Dari lakon Beckett itu kita juga bisa dapat
kesan, orang-orang yang menunggu Godot itu akhirnya diam-diam sepakat: mereka barus
di sana bersama-sama. Ketika dalam kebersamaan itu kata hanya bunyi, tak lebih dan tak
kurang, pertengkaran, (sebagaimana persetujuan), tak terjadi. Kita bahkan bisa
menyimpulkan: ajaib, dalam suasana negatif itu, ternyata masih ada sesuatu yang bisa
diterima orang yang berbeda-beda. Semacam konsensus tercapai, walaupun bahasa tak punya
arah.
Mungkin dari sini ada harapan: dalam kebersamaan manusia, kalaupun tak ada sesuatu yang
universal, toh masih ada yang dapat ditumbuhkan jadi universal, yang tak ditampik pihakpihak yang punya mulut dan abab berbeda-beda.
Itulah harapan politik. Yang saya maksudkan dengan politik di sini sedikit kuno: ikhtiar
untuk merawat pertalian sosial. Tak jarang ikhtiar itu melalui persaingan, konflik, dan adu
kekuatan, tapi tak hanya itu. Politik bukan pembasmian. Bila antagonisme saja yang jadi
dasarnya, pertalian sosial selamanya akan mencemaskan; tak akan ada sebuah masyarakat
yang mampu terus menerus menanggungkan itu. Politik bukan hanya kami menghadapi
mereka, tapi juga (atau justru) kami yang berusaha terus menerus membentuk kita.
Tapi selama ini, orang bingung. Apa landasan yang membuat kita tak mustahil? Dari mana
datangnya yang universal yang memungkinkan kami dan mereka bisa jadi kita?
Zaman ini memang menolak mengakui bahwa nilai-nilai yang universal datang dari luar
sejarah manusia, dari sesuatu yang transenden, misalnya agama yang diwahyukan Tuhan.
Bahkan Habermas, seraya percaya akan kemungkinan konsensus, berbicara tentang perlunya
de-transendentalisasi.
Para pemikir yang menolak yang transenden, dan meneguhkan imanensi, sejak Marx
sampai Delueze, mencoba menjelaskan bahwa nilai-nilai universal mengikuti riwayat
manusia dengan tubuh dan kehidupan sosialnya: berubah-ubah. Para pemikir post-modern
malah menunjukkan, yang universal hanya kedok bagi asumsi dunia modern yang
memegang dominasi.
Tapi bila begitu, harapan politik untuk membentuk kita akan selalu kandas, atau hanya
berhasil karena kekuatan senjata, orang ramai, dan kekayaan. Politik, seperti yang akhir-akhir
ini terasa di Indonesia, akan hidup dengan defisit ethis. Tak adakah kemungkinan lain?
Barangkali. Sebab tanpa bersandar pada apa yang transenden, kita toh bisa lihat, (mengikuti
Karl-Otto Apel), ada yang transendental dalam hidup kita sesuatu yang tumbuh dari satu
tempat dan satu masa, tapi juga mengatasi tempat dan masa itu. Yang tak adil memang bisa
berbeda-beda dinyatakan dan dirasakan, tapi kehendak melawan kekejaman tumbuh di manamana.
Apel berbicara tentang ethika wacana, Diskursethik : ia tak menganggap penilaain moral
semata-mata subyektif, dan segala hal jadi nisbi. Tapi ia tak bertolak dari dasar yang
dirumuskan Descartes, aku berpikir yang akhirnya hanya berkutat dengan aku. Apel
mengajukan alternatif: aku berargumen. Dengan kata lain, aku menggunakan bahasa,
walaupun pata-patah, dan ada subyek lain yang diajaknya bicara.
Dalam proses itu mau tak mau ada asumsi bahwa yang diajak bicara akan menerima sesuatu
yang bisa ditumbuhkan jadi nilai bersama: sebuah prinsip universalisasi. Percakapan,
betapapun sulitnya, bukan untuk saling membunuh. Kita tak tahu bagaimana bentuk dan akhir
percakapan itu kita tak tahu bagaimana sang Godot tapi kita tetap melakukannya.
Sebuah pragmatisme sehari-hari.
Do we need a point?
Kita memang perlu sesuatu yang jangan-jangan tak ada tujuan yang tunggal, tafsir kata-kata
yang bersepakat tapi kita tetap saja saling bicara. Dalam suasana muram Menunggu
Godot, kita tak melihat sebuah politik yang dengan sinis ingin menyingkirkan, atau membeli,
orang lain.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 08 Maret 2010, dengan sedikit revisid ari penulisnya~
Pada tahun 1391 itu ia dititahkan ikut dalam peperangan di pantai Laut Hitam. Tapi agaknya
di Ankara ia punya waktu untuk hal lain. Sejak Oktober sampai Desember ia berbincang
dengan seorang kadi kota itu. Dari sinilahmeskipun mungkin tukar-pikiran itu tak
sepenuhnya terjadilahir naskah Dua Puluh Enam Dialog dengan Seorang Parsi. Dokumen
ini umumnya tak ditengok lagisampai ketika Paus Benediktus XVI mengutipnya di sebuah
ceramah di Universitas Regensburg, Jerman, pekan lalu.
Saya tak pernah membaca sendiri tulisan Manuel II. Tapi saya tak akan heran jika di sana
sikap anti-Islam bergema kuat. Sang Autokrator adalah ahli waris konflik dan kekalahan di
hadapan kekuasaan Turki, nama yang waktu itu berarti Islam. Ayahnya memerintah dalam
situasi gawat setelah Daulat Usmaniah menaklukkan Macedonia dan Serbia pada tahun 1380an; ia juga harus menghadapi usaha perebutan takhta di dalam negeri. Untuk
mempertahankan ayahnya sebagai Raja Bizantium, Manuel menyediakan diri jadi vasal di
istana Sultan. Ia siap menanggungkan pelbagai penghinaan. Ketika Sultan Bayazid I
melarang tembok Kota Konstantinopel diperkuat, larangan itu disertai ancaman: jika
konstruksi itu tak dihentikan, Manuel akan dibikin buta.
Manuel diam, tapi ia punya kesimpulan. Hanya mala dan sifat yang tak manusiawi, kata
Manuel tentang ajaran yang dibawa Muhammad, Rasul Allah di Mekah itu.
Sumber Manuel memang tak perlu jauh dicari: kitab Pembelaan Buat Iman Kristiani
[terhadap Islam] yang disusun kakeknya, Johanes Cantacuzenus, yang bertumpu pada
polemik yang ditulis Bruder Ricoldo dari Montecroce (meninggal pada 1320), Confutatio
Alchorani, risalah yang membantah Quran.
Tapi tiap polemik mengandung politik kutipan. Ketika Manuel mengutip surah Quran yang
mengatakan Tak ada paksaan dalam agama, ia katakan kalimat itu datang ketika posisi
kaum muslimin lemah. Dengan kata lain, ia memberi konteks sejarah kepada teks. Tapi kesejarah-an itu tak dikemukakannya ketika dalam Percakapan Ke-7 ia menyebut teks lain,
yakni perintah sang Rasul yang katanya menyebarkan iman dengan pedang. Dengan kata
lain, Manuel tak mencoba mencari latar historisnya ketika pedang, dan bukan tegur sapa yang
baik, dianjurkan Nabi.
Islam hanya membawa mala dan sifat yang tak manusiawi, kata Manuel. Tentu saja ini
tipikal suara esensialis, yang menganggap tiap identitas ditentukan esensi yang tak pernah
berubah, dan yang tak mengakui bahwa tiap esensi sebenarnya hasil bentukan wacana.
Seperti Manuel, Paus Benediktus juga seorang esensialis. Ia mengutip Theodore Khoury
(editor penerbitan kembali Dua Puluh Enam Dialog), yang mengutip R. Arnaldez, pakar
tentang Islam dari Prancis, yang pada gilirannya mengutip Ibn Hazn, bahwa Tuhan tak
pernah bisa dikekang bahkan oleh Sabda-Nya sendiri. Dalam pandangan ini, yang tampil
adalah citra tentang Tuhan yang semau-maunya (Willkr-Gott), yang tak dibatasi kebenaran
dan kebaikan.
Harus dicatat, Paus tak menganggap itulah citra yang disiarkan Islam; ia hanya menyebut
itulah pandangan Ibn Hazn. Lebih penting lagi, ia mengemukakan, dalam sejarah pemikiran
Kristen ada Duns Scotus yang hidup pada abad ke-13, yang beranggapan mirip, bahwa kita
hanya tahu voluntas ordinata Tuhan: di atas itu, sepenuhnya kemerdekaan. Tuhan dapat
bertindak bertentangan bahkan dengan yang pernah dilakukan-Nya sendiri.
Sebenarnya tak hanya Ibn Hazn dan Duns Scotus. Tak disebutkan Paus adalah filosof
okasionalis Islam dan Kristen, seperti Al-Ghazali di Iran pada abad ke-11 dan Malebranche
di Prancis abad ke-17. Bagi mereka ini, tiap perubahan dalam obyek dan pikiran adalah
karena iradah Tuhan: kapas terbakar api bukan karena disulut geretan, tapi karena dibuat
demikian oleh Allah. Tak ada hubungan sebab-akibat seperti ditemukan ilmuwan dan
disimpulkan mereka yang memakai nalar. Tuhan ada di atas akal budi.
Tapi bagi Benediktus, nalar adalah logos, kata Yunani yang juga berarti sabda seperti
terdapat dalam Kitab Kejadian. Maka nalar bertaut dengan iman. Manuel, kata Paus, sekadar
mengatakan bahwa tak ada tindakan dengan nalar yang bertentangan dengan Tuhan.
Di sinilah, menurut Paus, pertautan yang intrinsik antara Alkitab dan siasah Yunani. Buahnya
mengubah duniadan terbentanglah fondasi yang disebut Eropa.
Eropa? Tapi jika Eropa, dengan unsur Yunaninya, sama dengan Kristen, bagaimana si
non-Eropa bisa percaya kasih Yesus? Bukankah fondasi itu hanya konstruksi wacana, yang
disusun untuk membedakan diri daridan menyingkirkanyang harus dibuang dibisukan, dulu
Yahudi, kini imigran muslim?
Tampaknya tesis di kampus Regensburg itu hanya sebuah polemik: proses politik kutipan dan
ingatan, ketika informasi A dicatat dan B disembunyikan.
Artinya polemik yang serupa juga bisa dilontarkan orang muslim, dengan menegaskan Islamlah yang punya landasan rasional dalam iman, sebab Hadith mengatakan agama adalah
akal. Islam pula, dalam sosok Ibn Rushd, yang memperkenalkan alam pikiran Yunani ke
Eropa.
Artinya agama lain bebal semata.
Dan soal agama dan kekerasan: bukankah yang tergurat jelas dalam sejarah Islam juga
tergurat di masa silam Eropatapi dilupakan hari itu?
~Majalah Tempo Edisi. 30/XXXV/18 24 September 2006~
Mungkin Tuan-Tuan itu akhirnya akan menjawab (dengan dukungan Majelis Ulama):
perempuan memang harus tinggal di rumah, dilindungi. Tuan-Tuan itu pasti bukan kelas
bawah yang perlu dapat tambahan penghasilan dari upah isteri yang jadi pemijat, penunggu
kios rokok atau bakul jamu. Lagipula ayat suci bisa dikutip, sebagaimana di Arab Saudi
Quran dan Hadith dikutip untuk memutuskan: perempuan tak boleh berpakaian lain selain
purdah, perempuan tak boleh menyetir mobil, dan tentu saja tak boleh jual jamu
Perempuan selalu dekat dengan dosa itulah mungkin pikir Tuan-Tuan di Tangerang, seraya
mendengar agama berbicara.
Tentu saja agama yang datang dari Timur Tengah.
Saya tak tahu persis kenapa di sana perempuan selalu ditilik demikian. Mungkinkah karena
sebuah pengalaman, yang kemudian jadi paradigma, juga metafor yaitu dahsyatnya gurun
pasir?
Siapa tahu. Sebab ada seorang tua bernama Apa Sisoes. Ia seorang biarawan di Mesir abad
ke-4.
murid Apa Sisoes itu berkata kepadanya, Bapa, bapa telah tua. Mari kita pindah sedikit
ke dekat tanah yang telah dihuni. Orang Tua itu menyahut, Di mana tak ada perempuan,
ke tempat itulah kita harus pergi. Murid itu pun berkata kepadanya, Tempat apa lagi yang
tak ada perempuannnya, kecuali gurun pasir?. Dan Orang Tua itu berkata, Bawa aku ke
gurun pasir. Kisah itu diceritakan kembali oleh Peter Brown, gurubesar sejarah di
Princeton University, dalam The Body and Society, sebuah paparan penting tentang iman
dan seksualitas, ketika perempuan ditampilkan sebagai sumber godaan yang tak habishabisnya di masa awal agama Kristen ketika seorang biarawati yang menepuk kaki bapak
uskup yang sepuh dan sakit sudah bisa dianggap merangsang untuk bersetubuh. Maka tak
mengherankan bila di Mesir masa itu ada seorang rahib yang mencelupkan jubahnya ke
bangkai seorang perempuan yang sudah membusuk; ia berharap, bau baseng itu tak akan
membuatnya mau berfantasi tentang wanita.
Bahkan ada seorang calon biarawan yang menggendong ibunya yang tua menyeberangi
sungai seraya membungkus tangannya dengan kain, sebab ia tak mau bersentuhan dengan
kulit ibunya sendiri. Daging semua perempuan adalah api.
Perempuan adalah api daya yang bisa merusak, bagian dari dunia, begitulah waktu itu
ada petuah agama yang berkata. Wanita harus dijauhi dan dijauhkan. Ia tak termasuk gurun
pasir.
Gurun pasir, bentangan alam yang garang itu, waktu itu punya makna tersendiri. Gurun
pasir, dalam catatan Brown, muncul sebagai tempat yang tak tertandingi dalam heroisme
Kristen. Di sanalah laki-laki bisa hidup keras dan khusyuk melatih diri bebas dari nafsu
apapun. Dalam kekhusyukan itu, batas harus tegas antara gurun pasir dan dunia.
Maka ketika dunia diliputi dosa, di gurun itu terbentang dari tepi Danau Maryt sampai
ke arah Iskandariah, terutama di Wadi Natrn tinggallah ratusan apotaktikoi, para
penampik yang tak menghendaki hidup dengan panca indera yang mencicipi nikmat bumi.
Penampikan itu tentu saja akhirnya tak hanya terbatas di gurun pasir, dan juga tak hanya di
Mesir. Bahkan sejak abad ke-2, para alim Masehi memandang perempuan sebagai pangkal
kematian. Di bawah pengaruh ajaran Tatian, pelbagai kelompok Gereja Kristen Suriah
meyakininya.
dan mereka bilang, Juru Selamat sendiri berkata: Aku datang untuk membatalkan kerja
perempuan Perempuan di situ ditafsirkan sebagai hasrat seksual, kerja diartikan
kelahiran dan maut. Demikianlah dengan was-was komunitas Kristen yang terserak sampai
ke
kaki-kaki
bukit
Iran memandang dunia: kelahiran, perempuan, kematian. Tapi tak hanya mereka
sebenarnya. Juga dari sekitar gurun pasir Timur Tengah, agama Yahudi mengawali rasa waswas itu. Aliran ortodoksnya menggariskan kol isha yang melarang lelaki mendengarkan
perempuan menyanyi.
Ada yang hanya mengharamkan mereka menyaksikan pertunjukan nyanyi yang sugestif..
Ada yang lebih ketat: mereka melarang lelaki mendengarkan suara perempuan bahkan dalam
rekaman. Dan tak cuma itu. Dalam komunitas Yahudi ortodoks zaman modern sekalipun,
perempuan tak boleh berbaju tanpa lengan, memakai blouse dengan potongan krah rendah.
Celana ketat dilarang. Lutut harus ditutupi. Halacha, syariat Yahudi, mengharuskan
perempuan yang sudah menikah menutup rambutnya
Saya tak tahu, kenapa dari sekitar gurun pasir Tuhan bertitah agar perempuan diperlakukan
demikian. Kenapa di Bali, misalnya, tidak? Mungkinkah karena di sini tak berlaku paradigma
gurun pasir: para pertapa tak mengalami alam yang kosong dan garang, melainkan hutan
tropis yang semarak, gua yang dirias pohon dan rumpun, akar dan kembang, bunyi burung
dan biru gunung? Dengan kata lain: sebuah dunia, di mana yang indrawi tak ditampik,
hingga pertapaan bukianlah tempat apotaktikoi? Dalam cerita wayang, di situ malah lahir
ksatria Bambang Sumantri dan gadis Shakuntala.yang gemulai.
Apapun sebabnya, di kesunyian hidup brahmana dan resi tak tampak rasa was-was kepada
dunia, kepada perempuan. Di sana, tafakur adalah bersyukur.
Tapi itu dulu. Siapa tahu kita telah berubah, dan Tuan-Tuan Tangerang lebih suka paradigma
baru:
padang pasir..
brutal yang menjamah apa saja. Orang ini akhirnya mati ditembak seorang yang lurus hati,
tapi kematian itu tak menyebabkan apa yang kotor dalam proses politik tertebus.
Novel Robert Penn Warren, All the Kings Men, telah membuat cerita Willie jadi contoh
klasik tentang bagaimana politik, juga di sebuah demokrasi di Amerika Serikat, datang dari
harapan tapi bisa tak memungkinkan tumbuhnya harapan.
Willie dipilih dengan dukungan yang antusias. Ia dikenal sebagai seorang yang memprotes,
ketika sebuah gedung sekolah roboh. Ia orang berani yang menunjukkan bahwa pemerintah
daerah membuat bangunan itu dengan menunjuk seorang kontraktor yang curang. Semula
protesnya tak didengar. Tapi beberapa tahun kemudian, tatkala sebuah tangga kebakaran
roboh dan beberapa anak luka parah, orang ingat benarnya kata-kata Willie. Ia langsung jadi
tokoh yang diharapkan, dan sejumlah operator politik daerah menyiapkannya untuk jadi calon
gubernur.
Yang tak disangka-sangka para operator itu ialah bahwa Willie ternyata bisa tak tergantung
kepada mereka. Dengan keyakinan bahwa ia adalah si jujur yang berani bicara dan bertindak,
dengan kemampuannya memposisikan diri senasib sepenanggungan dengan para hicks yang
miskin dan dibohongi, ia bisa bicara langsung dengan orang ramai itu, memukau langsung
dan didukung langsung oleh mereka.
Dari politik populis ini Willie kian yakin akan keluhuran niat baiknya bagi orang banyak
sebuah keyakinan yang begitu terang benderang hingga menyebabkan pandangnya silau.
Cahaya terang yang menerpa matanya membutakannya, kata Jack Burden, sang pembawa
cerita dalam novel ini. Kekuasaan dan keyakinan yang membuatnya jadi perkasa akhirnya
membuat Willie kebal, juga terhadap rasa sakit orang lain. Willie menyuruh Jack
membongkar masa lalu Hakim Irwin yang menentang rencana politiknya. Ketika Jack
berhasil menemukan sesuatu yang kotor di masa lalu itu, hakim tua itu bunuh diri.
Baru kemudian Jack tahu, Hakim Irwin adalah ayah kandungnya sendiri. Tapi anak muda ini
tak berhenti mengabdi pada Williebahkan ketika Willie mengambil Anna jadi gundiknya.
Anna gadis yang bagi Jack sejak masa sekolah telah membuat dirinya seperti diciptakan
kembali dari lempung.
Sepasang manusia telah membuat novel ini memukau secara muram. Keteguhan Willie untuk
tak tersentuh oleh rasa sakit orang lain bertaut dengan pandangan Jack tentang tak pentingnya
subyektivitas dalam laku dan pilihan moral. Anak muda yang pernah ingin menulis sejarah
hidup seorang tokoh ini pada perkembangannya percaya bukan kepada manusia, melainkan
kepada apa yang disebutnya the Great Twitch. Kedut agung ini, dalam pandangannya,
adalah yang menentukan hidup. Semua kata yang kita ucapkan tak berarti apa-apa dan hanya
ada degup darah dan kedutan saraf, seperti kaki seekor katak yang mati di tempat eksperimen
ketika setrum listrik itu menjalarinya.
All the Kings Menjika novel yang ditulis seorang penyair ini agak disederhanakan
adalah catatan yang memaparkan nyaris hilangnya harapan. Kedua tokoh utamanya berbicara
dan berlaku dengan keyakinan bahwa tak ada kapasitas manusia buat memihak Kebaikan, apa
pun maknanya. Jack, yang percaya akan kuasa the Great Twitch, menafikan tanggung
jawab seseorang dalam perbuatan baik dan buruk.
Ini tentu saja semacam nihilisme, tapi juga determinisme: nilai-nilai, seperti halnya bahasa,
dianggap tak berarti apa-apa, sebab manusia tak merdeka, sebab ia ditentukan oleh sesuatu
yang lebih besar ketimbang subyektivitasnya. Willie juga demikian: manusia ada dan tak bisa
bebas dari Keburukan. Badness, dan tak ada yang lain dari itu, mendasari semuanya. Dunia
juga kemuliaannyadibangun oleh manusia-manusia yang culas dan korup.
Dengan pandangan itulah politik mereka jalankan di Louisiana. Bisa dikatakan All the Kings
Men adalah sebuah gugatan kepada politik, juga politik demokratis, yang ternyata tak
membuat kehidupan bersama bebas dari nihilisme. Baru di akhir novel Willie Stark dalam
keadaan luka tertembak hampir mati berbisik kepada Jack bahwa keadaan sebenarnya bisa
diubah; dengan kata lain, saat itu ia ingin berbisik: manusia sebenarnya bisa memilih.
Jack sendiri akhirnya tahu: ada yang lebih tahan menggerakkan hidup ketimbang the Great
Twitch yang seperti mesin sejarah itu. Bukan rumusan baik dan buruk, bukan ajaran bukan
agama, melainkan sesuatu yang lebih awal ketimbang itu semua: ketika manusia ternyata bisa
menangis dan bertindak mengulurkan tangan ketika yang tak berdaya, yang kelaparan, yang
dipermalukan dan dihinakan terkapar di halaman.
Politik memang sering menganggap bela rasa itu hanya instrumen. Tapi ada selalu kebutuhan
praktis sebuah kota, sebuah polis, untuk terus-menerus melawan, mencegah, agar orang
seperti Willie Stark, yang hanya tertarik kepada dirinya sendiri dan hanya percaya akan
Keburukan, tak terus-menerus menguasai hidup dan percakapan. Di situ politik berarti sebuah
kerja, ketika engkau mengajakku memulihkan kembali harapan: meskipun Kebaikan tak
selamanya jelas, Keburukan bukanlah dasar segalanya.
~Majalah Tempo Edisi. 17/XXXIIIIII/18 24 Juni 2007~
Di depan Hukum, pintu terbuka, tapi perempuan itu, tak bisa melangkah masuk. Ia mencoba
melihat sedikit ke dalam, tapi mengurungkan niatnya, ketika penjaga pintu itu berkata:
Kalau kamu ingin masuk, meskipun sudah aku larang, silakan saja. Tapi di balik pintu ini
ada pintu lain, dan di baliknya lagi, ada pintu lagi, demikian seterusnya. Tiap pintu ada
penjaganya, yang makin lama makin perkasa dan makin angker. Bahkan di pintu ketiga saja,
si penjaga begitu rupa wajahnya hingga aku sendiri tak berani melihat.
Perempuan itu diam. Si penjaga menerima suap, dengan alasan: Supaya nyonya tak merasa
ada yang ketinggalan, tapi perempuan itu memutuskan akan menunggu saja. Ia pun duduk di
depan pintu. Dan ia duduk di sana bertahun-tahun, hingga ia hafal bagaimana gerak tangan
penjaga itu menabok nyamuk, membersihkan kutu. Ia bahkan hafal berapa ekor kutu tiap hari
naik ke topi itu.
Sampai akhirnya perempuan itu tua, rabun, dan mati.
Tapi beberapa saat sebelum mati, ia melihat seberkas cahaya bersinar dari bagian dalam
gerbang. Hanya sebentar. Ketika dengan kupingnya yang besar si juru pintu menangkap
bunyi napas itu melemah, ia pun mendekat. Ia berdiri mengangkangi jasad si nenek yang
tergolek. Pada detik-detik terakhir, masih didengarnya bisik itu bertanya: Tuan, katakan,
kenapa selama bertahun-tahun ini, tak ada orang lain yang datang kemari? Kecuali saya?
Penjaga itu melepaskan topinya sebentar, membersihkannya dari kutu No. 72, dan menjawab:
Orang lain tak ada yang kemari, karena pintu ini memang dibuat hanya untuk kamu.
Dan ajal pun menjemput perempuan yang datang dari jauh beberapa puluh tahun yang lalu
itu. Dan pintu itu ditutup.
Siapa penjaga itu gerangan? Adakah ia aparat penghambat untuk membuat Hukum, yang
ditulis dengan huruf H, merupakan sesuatu yang melarang dan sekaligus terlarang
semacam firman suci yang bilang jangan dan seketika itu jadi kata-kata yang tak boleh
disentuh?
Ataukah ia bagian dari faade yang menyembunyikan rahasia bahwa Hukum sebenarnya tak
pernah ada?
Perempuan itu memutuskan tak jadi masuk. Ia hanya menunggu. Menunggu. Entah sabar atau
gentar, entah tawakal atau putus asa. Kita tak tahu sudah pernahkah ia dinyatakan bersalah
sebelum datang ke sana. Kita tak tahu merasakah ia bahwa dirinya tak layak, hingga tanpa
digertak lebih lanjut, ia patuh. Yang kita tahu: dilakukannya itu dengan kemauan sendiri.
Tapi mungkin ia sebenarnya tak bebas. Menunggu adalah sebuah situasi antara bebas dan tak
bebasterutama menunggu Hukum, yang ditulis dengan H.
Tapi mungkin juga perempuan itu telah terkecoh. Ia menyangka Hukum adalah Keadilan.
Sangkaannya berlangsung sampai akhir: ia melihat (tapi benarkah ia melihat?) berkas cahaya
yang sejenak itu, dan barangkali merasa diyakinkan bahwa di balik itu ada Keadilan itu
sendiri.
Tapi Hukum tak identik dengan Keadilan.
Hukum bahkan ruang tertutup, dan Keadilan tak selamanya betah di dalamnya. Dalam novel
Kafka, Der Prose, ada tokoh, Titorelli namanya, seorang perupa yang aneh, yang
menggambar Keadilan dengan sayap pada tumit kaki. Keadilan selamanya akan terbang dari
satu tempat yang terbatas, terutama ketika hukum merasa jadi Hukum, begitu angkuh, kukuh,
dan kaku, bahkan akhirnya jadi bagaikan berhala yang membuat manusia jeri. Berhala:
patung bikinan manusia yang disembah manusiaseakan-akan benda itu bebas dari tangan
manusia, seakan-akan ada roh di dalamnya, atau seakan-akan ia bisa mewakili sang roh
seutuhnya. Padahal mustahil. Sebab itu ada selalu akan datang para ikonoklas, yang dengan
niat baik memperingatkan: berhala hanyalah berhala. Hukum hanya hukum. Yang
transendental tak ada di sana. Dan para ikonoklas pun akan menetakkan kapak ke batu atau
kayu atau logam itu.
Jika Keadilan adalah sesuatu yang transendental, memang mustahil ia diwakili oleh hukum
yang disusun di ruang para legislator, dicoba di depan mahkamah, dan dijaga jaksa dan polisi
dengan sel-sel penjara yang sumpek. Sesuatu yang transendental bukan produk dari dunia ini,
meskipun ia meragadari kata ragadi dunia.
Perempuan itu mungkin telah terpengaruh oleh ideologi yang bertahun-tahun mengatakan
bahwa Hukum justru sesuatu yang harus angker, mengandung misteri, hingga tak mudah
dimasuki.
Atau jangan-jangan karena cerita ini tak berasal dari Indonesia, melainkan dari sebuah negeri
tempat hukum dibuat oleh Negara yang dibayangkan Hegel, dengan rasa kagum kepada
Republik Plato: sebuah kesatuan politik, etik, hukum, dan budaya yang utuh. Tapi bagi kita di
Indonesia, apa yang bisa dikatakan tentang Negara, selain sebagai lapisan penjaga pintu
yang jangan-jangan hanya menjaga sesuatu yang praktis kosong, karena tak jelas? Menjaga
Hukum, yaitu ketidakpastian?
~Majalah Tempo Edisi Senin, 07 Desember 2009~
Syahdan, di lapangan di pusat kota Cajamarca, telah menunggu Atahualpa, raja bangsa Inca.
Ia di sana bersama ribuan hamba sahaya dan pengawal. Ada yang mengatakan, mereka
sebenarnya siap berperang.
Orang-orang Spanyol berpura-pura tidak. Pertemuan dibuka oleh Frater Vicente, rohaniwan
yang datang bersama para conquistador itu. Ia mengulurkan sebuah salib di tangan kanan dan
sebuah buku doa di tangan kiri. Ia memperkenalkan diri sebagai, sebagaimana Pizarro, utusan
Raja Spanyol yang dia sebut sebagai sahabat Tuhan. Ia mengimbau orang Inca agar
meninggalkan dewa-dewa mereka.
Dalam catatan yang ditemukan kemudian, disebutkanlah Atahualpa menjawab bahwa ia tak
dapat mengubah imannya kepada Sang Surya yang abadi. Tapi bagi Vicente itu berarti sesat.
Hanya Tuhannya yang benar dan kekal.
Maka Atahualpa pun bertanya: Apa gerangan kewenangan Tuan atas agama Tuan?
Semuanya tertulis di kitab ini, sahut sang rohaniwan.
Berikanlah kitab itu, kata Atahualpa, agar ia bicara padaku.
Tapi tentu saja buku itu tak bicara, meskipun dicoba didengarkan di dekat kuping. Dan tanpa
beranjak dari takhta, dengan gerak yang angkuh, yang dipertuan Inca itu membuang kata-kata
suci yang tercetak itu ke tanah.
Vicente berteriak: Ia melawan Kristen!
Maka Pizarro dan seorang letnannya pun menjalankan apa yang sudah direncanakan. Mereka
teriakkan perintah menyerang. Prajurit-prajurit Spanyol menembakkan bedil harquebusier
dan dua kanon kecil mereka ke arah kerumunan orang kafir itu.
Menurut catatan orang Spanyol, orang-orang Inca yang tak pernah menghadapi senjata itu
terkejut, panik, menghambur hendak lari. Tapi pasukan berkuda Pizarro menyerbu. Ribuan
manusia itu berdesak-desak, dan tembok plaza itu runtuh, dan 1.500 orang mati terinjakinjak.
Atahualpa ditangkap. Beberapa bulan lamanya ia jadi sandera. Ia akhirnya menawarkan emas
untuk memperoleh kebebasannya, dan Pizarro setuju. Orang Spanyol ini menerima 6.000
kilogram emas 22 karat dan 12.000 kilo perak murni. Tapi Atahualpa tetap dikurung. Pada
akhirnya ia dituduh mencoba, dari tempat ia ditahan, memerintahkan agar orang Spanyol
dibunuhi. Tak ayal, ia dijatuhi hukuman mati. Tapi seraya mengingat Tuhan yang
diimaninya, Pizarro memberi raja Inca itu dua pilihan: ia akan dibakar hidup-hidup bila
menolak Yesus, atau ia akan hanya mati dicekik bila bersedia berpindah agama.
Raja Inca yang kalah itu akhirnya tak ingin tetap jadi seorang kafir dan memilih cara
pembunuhan yang kedua. Ia dicekik. Ia dikebumikan di pekuburan Kristen di Cajamarca.
Pizarro berhasil.
Tapi yang penting dalam tiap cerita penaklukan bukanlah keberhasilan. Seandainya pun
Pizarro gagal, ia tetap menunjukkan bahwa Tuhan ada bersama para penakluksebab di sini
Tuhan hadir sebagai Aku yang menaklukkan.
Siapa pun nama-Nya.
~Majalah Tempo Edisi 22 Desember 2008~
Kini milik begitu penting dan mlik dilembagakan sebagai perilaku yang wajar; keduanya
dianggap bagus buat pertumbuhan ekonomi. Dan jika dari kesibukan dengan milik dan mlik
itu lahir sifat tamak, Sudirman Business District adalah saksinya. Di sini bergema kata-kata
Walter Williams, ekonom dari George Mason University, tentang the virtue of greed:
Sebutlah itu tamak, atau egoisme, atau kepentingan diri yang tak sempit, tapi akhirnya
motivasi inilah yang membuat hal ihwal jadi.
Mungkinkah itu sebabnya pasaryang digerakkan milik dan mliktak mudah
ditertibkan oleh Negara? Bank sentral dan kementerian keuangan di seluruh dunia bergerak.
Mereka hendak membendung arus jatuh pasar saham, yang makin mempengaruhi
perekonomian secara keseluruhan. Tapi sejauh ini sia-sia. Sejauh ini tampak bahwa Negara,
yang bekerja untuk kepentingan umum, tak berdaya menghadapi pasar yang tamak yang tak
mengacuhkan res publica.
Yang tak selamanya disadari adalah cepatnya gerak milik dan mlik pada zaman ini. Bersama
cepatnya alir kekayaan dari tempat ke tempatya, itulah globalisasiterjadilah akselerasi
hasrat. Kepuasan akan satu benda dengan segera dihapus oleh hasrat baru. Bendayang
telah berubah jadi komoditaskini jadi lambang ke-baru-an. Maka ada orang yang punya 10
mobil Jaguar: ketika puas hilang, satu Jaguar lagi terbilang. Terus-menerus.
Menyimpan akhirnya jadi tak menarik. Masa depan, ditandai dengan yang baru, jadi kian
cepat tiba. Menabung kehilangan alasannya. Kapitalisme zaman ini makin mengukuhkan
dalil Leon Levy (investor genius dari Wall Street, kata majalah Forbes), bahwa tiap satu
persen tabungan naik di masyarakat, laba perusahaan akan turun 11 persen.
Ada yang patologis dalam gejala itu. Kita hidup dengan pleonoxia, penyakit jiwa yang
didera keinginan segera mendapatkan lagi, lagi, lebih, lebih.
Itu sebabnya saya teringat Ki Ageng Suryomentaram. Apa gerangan yang akan
dikatakannya? Pada masa hidupnya, ia tauladan. Ia melihat bagaimana pleonoxia datang
setapak demi setapak. Pangeran itu mencegahnya dengan drastis: ia meninggalkan keraton.
Sebelum umurnya 30, ia mengajukan surat agar gelar Pangerannya dibatalkan. Salah satu
bangsawan terkaya di Yogyakarta ini pun memberikan mobilnya kepada sopirnya,
menyerahkan kuda-kudanya kepada pekatiknya. Lalu ia berangkat ke arah Banyumas. Ia
memakai nama Notodongso dan praktis menghilang. Ketika Raja menyuruh orang mencari
putranya yang ganjil ini, mereka menemukannya di Kota Kroya: sedang menggali sumur.
Apa yang dicarinya? Suprana-suprn, aku kok durung tau kepethuk wong, konon
begitulah yang dikatakannya. Selama ini, aku belum pernah berjumpa manusia. Ia tahu,
manusia lebur di antara milik dan mlik.
Syahdan, ia pun memilih hidup sebagai petani di Dusun Bringin. Orang melihatnya selalu
hanya memakai kathok pendek hitam, tak bersandal. Di lehernya terkalung sehelai batik
bermotif parang rusak barong yang konon melambangkan resistansi. Mungkin dengan itulah
manusia muncul, kadang-kadang: dalam menampik tamak, ia mencintai hidup dengan cara
sederhana, menghargai liyan dengan mulut membisu.
Syahdan, pada suatu hari ia hendak pergi naik bus. Menjelang masuk, seorang penumpang
lain yang menyangka Suryomentaram seorang kuli menyerahkan sebuah koper agar diangkat.
Dengan patuh Ki Ageng meletakkannya di dalam bus dan segera setelah itu, ia turun lagi.
Ia membatalkan pergi. Ia tak ingin penumpang tadi jadi malu, telah salah menyuruhnya.
Begitu merendahseorang yang tak akan kelihatan dari lantai tinggi Sudirman Business
District, seorang yang seakan-akan menunjukkan: Lihat, tanganku di dekat akar rumput.
Lebih banyak yang bisa kita sentuh. Lebih banyak ketimbang yang bisa kau rengkuh.
~Majalah Tempo Edisi 34/XXXVII 13 Oktober 2008~
rupiah gara-gara memeras kecil-kecilan, dan dengan uang itu ia berangkat ke Rangoon. Di
ibu kota itu ia berhasil menyuap untuk masuk jadi kerani pemerintah.
Pekerjaan itu memberinya penghasilan yang mudah, meskipun gajinya kecil. Ia menilap
banyak barang dari gudang gubernemen. Tapi nasib terbaiknya datang kemudian: sebuah
lowongan terbuka dan ia berhasil memfitnah pesaing-pesaingnya, yang kebanyakan masuk
penjara, dan dengan itu ia naik.
Kariernya meningkat. Ia akhirnya dapat jabatan hakim peradilan rendah Kota Kyauktada,
dengan sikap adil yang terkenal tapi sebetulnya menyembunyikan sesuatu yang licik: Po Kyin
akan menarik suap dari kedua pihak yang berperkara, dan kemudian memutuskan
berdasarkan hukum yang ada.
Kejahatan orang ini tak hanya sampai di situ, dan saya kira Orwell sedikit berlebihan
menampilkan tokoh yang begitu busuk dalam novelnya. Tapi ini bukan kisah tentang Po
Kyin. Novel ini membidikkan kata-katanya ke sebuah masyarakat yang sakit oleh
kolonialismedibelah oleh prasangka dan kebencian rasial, yang pada akhirnya merupakan
garis kebijakan penjajahan juga. Bila ambisi Po Kyin adalah ingin jadi anggota Klub Eropa
yang anggotanya khusus orang kulit putih atau orang lain yang dianggap setarakita tahu
sebabnya: diskriminasi dan penghinaan karena warna kulit telah menyusup sampai ke tulang
sumsum siapa saja.
Bahkan mereka yang sebenarnya jadi korban penghinaan itu sendiri mereproduksinya dalam
hidup mereka. Po Kyin akan menghalalkan tindakan apa sajamenghasut, membuat
kerusuhan, memfitnahuntuk dapat disetarakan dengan orang putih di Klub Eropa. Dr
Veraswami, orang India berkulit gelap itu, mengukuhkan supremasi orang Inggris dengan
menganggap bahwa manusia Timur tak akan tertolong tanpa Pax Britanica. Ketika
sahabatnya, Flory, satu-satunya orang Inggris yang dengan mata nyalang melihat akibat
buruk kolonialisme, Veraswami justru membantahnya. Lihat Burma di zaman Thibaw,
katanya, dengan kotoran, penyiksaan dan kebodohan, dan lihat apa yang tampak sekarang di
sekitar tuan. Rumah sakit, sekolah, kantor polisi.
Bagi Po Kyin dan Veraswami, kolonialisme dan penghinaan mereka perlukan. Bagi orang
macam mereka, kemerdekaan tak pernah terpikirkan, sebab mereka tak merasa membutuhkan
sebuah keadaan yang lebih adil, meskipun sebenarnya ketidakadilan mengepung hidup
mereka. Mereka bebas dari bedil dan bui, tapi mereka menyerah ke dalam bujukan yang
menjebak mereka, bahwa bangsa mereka ditakdirkan kalah. Apati yang menangitu bahkan
terasa dari tangan Orwell ketika ia menggambarkan bangsa yang terjajah itu: tak ada
perlawanan.
Tapi mungkinkah apati bisa bertahan? Yang terjadi di Myanmar hari-hari ini menjawab:
tidak.
~Majalah Tempo Edisi. 34/XXXVI/15 21 Oktober 2007 ~
Di separuh Bukit Pasir Tengah di atas Dusun Sarongge, hutan jadi monoton. Pohon-pohon
kayuputih menguasai area. Batang mereka yang lurus menjulang bisa sampai 15 meter,
berjajar rapi, masing-masing dengan kulit yang seakan-akan jangat telanjang yang di sanasini terkelupas.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
Di bawahnya: hamparan perdu daun wortel. Bumi dibudidayakan dengan telaten di lereng ini.
Dari pucuk bukit, sesekali terdengar deru beberapa sepeda motor tua yang datang untuk
mengangkut hasil bumi itu, tak hendak terhambat oleh jalan mendaki yang buncah dan
bongkah karena deras hujan. Tak lama lagi para pengendaranya akan turun, dengan mesin
yang dimatikan, nekad tapi tangkas seperti pemain sirkus, ke arah tempat pengumpulan di
bawah, melalui ladang cabai dan bawang-daun, melintasi tenda-tenda putih yang melindungi
perkebunan strawberry.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
Ekonomi bergerak di kesepian ini. Para petani bekerja dan hidup. Tanah adalah nafkah.
Pohon adalah bagian dari proses produksi manusia. Sebuah perusahaan negara telah
mengubah bukit dan hutan tropis ini untuk maksud itu, dengan perspektif itu.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
Tapi hanya beberapa hektar di sebelah sana, tampak lanskap yang berbeda: sisi bukit yang
belum disentuh. Hutan masih penuh ragam dan masih gelap lebat. Batang-batang rasa mala
dan mahoni, suren dan puspa, tampak menongol dengan pelbagai derajat warna, nuansa
coklat-abu-abu-hjiau, bertaut dengan belukar yang tak tepermanai yang mungkin bermula di
zaman purba.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
Seorang polisi hutan mengatakan, bahkan di bagian bukit itu masih hidup sekitar 60 ekor
harimau. Di situ manusia belum berdaulat. Pohon-pohon masih punya hayat dan riwayatnya
sendiri.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
Dengan sekali pandang, kita memang akan menyaksikan dua sisi tanah tinggi dan kehidupan.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
Yang satu disebut secara resmi sebagai hutan industri, yang sebenarnya adalah kebun
sesuatu yang telah diolah, tempat di mana alam rapi dan jinak, atau, dalam kata-kata Penyair
Hlderlin, di mana alam hidup dengan sabar dan mrumah (huslich).
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
Yang lain, yang di sebelah sana: pohon-pohon yang seperti pokok eik yang disanjung sang
penyair - mengorak tanpa dikelola sekolah manusia,
hutan tropis bukit ini, pohon-pohon saling merapat, terkadang bertaut, semua bergerumbul
dengan semak dari jenis dan zaman yang berjauhan. Di bagian bukit ini Hlderlin tak akan
melihat keterpisahan, bukan hanya dalam ruang, tapi juga waktu.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
Manusia tak bisa sebagai dewa ketika membentuk aliansi merdeka sebab aliansi itu bukan
hanya dengan yang hadir hari ini. Ketika saya menanam tiga tunas rasamala, saya diingatkan
bahwa baru lebih 30 tahun kemudian pohon itu akan setinggi lima meter. Saya tak akan
melihatnya.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
Sesaat saya tertegun: jika ada yang berharga dalam apa yang kami lakukan di bukit di
pedalaman Cipanas itu, maka itu adalah membuat sesuatu yang bukan untuk diri sendiri.
Calon pohon-pohon itu mempertautkan mereka yang akan hidup dengan kami yang akan
mati, terbenam seperti humus, dilupakan.
~Majalah Tempo Edisi 19 Januari 2009~
~dengan revisi dari penulisnya~
Ada yang menyambut hilangnya gairah yang berapi-api itu sebagai tingkat matang demokrasi
sebuah kebajikan. Ada yang menunjukkan bahwa ajang politik memang bukan medan
tempur. Bagi mereka ini, politik berbeda dari polimos atau perang. Politik, bagi mereka ini,
adalah ruang kemerdekaan dan partisipasi publik. Di sana orang ramai membahas,
menimbang, dan memutuskan nasib bersama. Dengan kata lain, di TPS itu tampak, apa yang
sosial dalam hidup manusia ternyata tak dihabisi oleh politikbahkan sebaliknya.
Tapi ada yang menganggap itu hanya faade. Antagonisme memang bisa ditutup-tutupi oleh
proses politik sebagai Politesse. Dipergunakan oleh Schmitt, istilah itu menyarankan sebuah
laga yang sengit tapi sopan. Tapi bagi Schmitt dan para teoritisi politik yang sepaham, politik
tak sama dengan pertandingan Manchester United vs Chelsea. Sebuah masyarakat dan sebuah
bangsa terbentuk dari luar dan dari dalam oleh konflik. Saya menegaskan, politik dan
polimos berjalan bergandeng an, kata Chantal Mouffle.
Tapi jangan-jangan tak begitu sebenarnya, dan barangkali kita di sini bertemu dengan sebuah
hiperbol. Dalam pengamatan sehari-hari, politik tak hanya bergandeng an dengan polimos.
Pada akhirnya Mouffle sendiri mengatakan, berbeda dari Schmitt, ia mengakui perlunya
pasifikasi: tujuan demokrasi adalah memungkinkan bentuk-bentuk yang bisa
mengekspresikan konflik tanpa menghancurkan asosiasi politik.
Di TPS itu, senyum dan percakapan ikut membangun proses sederhana yang mengelakkan
sikap saling menghancurkan. Bahkan seakan-akan tempat itu jadi tempat silaturahmi atau
bertandangmeskipun kita tahu, dan orang pun akhirnya mengerti, ada yang tak selamanya
tuntas dalam Politesse. Selalu ada residu dari apa yang brutal dalam politik, selalu masih ada
amarah yang tersisa dan dendam yang tersekat di saat para musuh politik berjabat tangan.
Betapapun berlebih-lebihannya gambaran politik sebagai arena pertempuran, pengalaman
sejarah memang tak pernah menghadirkan sebuah masyarakat yang utuh penuh. Keragaman
tak hanya bisa tampak bagai variasi, tapi juga sebagai pertikaian, bahkan perpecahan.
Manusia bisa rasional, dan itulah dasar yang membuat orang percaya akan efektifnya
demokrasi deliberatif. Tapi manusia tak hanyadan tak selama-lamanyamembentuk
bangunan sosial-politiknya hanya dengan berembuk.
Apa boleh buat. Krisis gagasan besar kini ada di mana-mana. Juga agama tak selamanya
bersuara dengan meyakinkan lagi. Kita hidup di sebuah masa ketika kita dihadapkan pada
kesadaran yang meluas bahwa manusia adalah bermacam-macam kemungkinan. Seorang
pemikir pernah menyebut zaman ini sebagai the age of contingency.
Politik pada akhirnya adalah pengakuan akan konti ngensi itu. Kontingensi adalah sebuah
lubang besar: tak ada jaminan yang kekal tentang apa yang baik dan tak baik mengenai
masyarakat. Jaminan itu hanya terjadi bukan setelah (dan bukan sebelum) diperjuangkan.
Salah satu bentuk perjuangan terjadi sebenarnya ketika kita masuk ke ruang untuk
mencontreng. Di situ kita sebenarnya membangun jaminan dengan harapan yang setengah
yakin bahwa besok apa yang dibangun itu tak akan runtuh.
Di luar TPS itu tak ada jaminan apa-apa. Tapi setidak nya juga tak ada pisau yang dihunus
dan pistol yang dicabut. Yang kalah akan bersungut-sungut, yang menang akan tersenyum
puas, dan masing-masing akan melanjutkan sikap waspada. Tapi ada satu faktor yang sering
dilupakan dalam politik pada zaman yang serba-mungkin itu: waktu.
Waktu membuat kita bisa menunggu, menunda, bersiap, berubah posisi atau mengantar kita
ke kematian. Waktu membatasi, tapi juga membuka pintu. Kita mencoba. Dengan kata lain,
kita mengambil langkah sementara. Dalam the age of contingency, demokrasi adalah
politik dengan kesadaran akan kesementaraanseperti hitam tinta yang melumeri kelingking
kita di TPS itu.
~Majalah Tempo Senin, 27 Juli 2009~
Kalimat ini datang juga dari keadaan terpenjara: yang menuliskannya seorang Marxis yang
orisinil, Antonio Gramsci, dari selnya di Italia di tahun 1930-an. Mungkin itu pulalah yang
juga terjadi di Buru. Pram menuliskan catatannya dan kemudian menyembunyikannya, tanpa
harapan bahwa semua itu akan dibaca. Tetapi, seperti dikatakannya kepada Mary Zurbuchen,
ia ingin agar ada kesaksian bagi anak-anaknya-yang terpisah dari dirinya selama bertahuntahun itu-bahwa mereka pernah punya seorang ayah.
Ancaman dari waktu adalah ketidaktahuan yang berlanjut atau lupa yang kemudian terjadi.
Mengetahui, dalam melawan ancaman waktu itulah hal yang penting bagi Pram. Ia tak tahu
apakah ia akan menang. Akalnya mengatakan kemenangan baginya mustahil. Tetapi ia tak
hendak menyerah. Ia menulis sederet novel sejarah.
George Orwell pernah mengatakan bahwa bentuk novel adalah yang paling anarkis dalam
kesusastraan. Orwell benar, sepanjang sifat anarkis itu diartikan penampikan novel kepada
segala yang ortodoks dan mengekang. Tetapi pada sisi lain, novel-seperti yang ditulis oleh
Orwell dan Pramudya, terutama novel sejarah itu-mempunyai dorongan yang dekat dengan
kehendak mengetahui. Dan mengetahui bukanlah sesuatu yang bisa terjadi dengan
anarki; mengetahui adalah proses yang tertib.
Dalam novel, sejarah memperoleh alur, mendapatkan bentuk. Mungkin bukan sebuah alur
Hegelian (bahwa sejarah akan berakhir dengan kemerdekaan), tetapi bagaimanapun bukan
sesuatu yang acak-acakan. Haruskah dengan pandangan demikian ini pula kita melihat cerita
hidup Pramudya sendiri: dari sebuah pulau buangan yang jauh di Maluku, sampai dengan ke
Amerika Serikat, sebuah negeri yang-seperti diakuinya malam itu-punya kontribusi besar,
berkat Presiden Carter, dalam pembebasannya dari Pulau Buru?
Salah satu yang sering mengagetkan dalam sejarah ialah bahwa ia ternyata bisa mengagetkan.
Banyak hal berlangsung bukan semata-mata karena progresi yang seperti hukum itu, bukan
karena perkembangan sebuah struktur sosial, bukan pula takdir, melainkan karena tindak
manusia. Dari saat Pramudya ditahan sampai dengan saat Pramudya di New York telah
berlangsung sebuah periode yang begitu mencengkeram: Perang Dingin. Perang Dingin, yang
membagi dunia menjadi dua sejak akhir 1940-an, antara komunis dan antikomunisseakan-akan itu sebuah pembagian yang kekal-tak disangka-sangka berakhir ketika Mikhail
Gorbachev mengambil keputusan yang semula tak terbayangkan di tahun 1989: Uni Soviet
harus berubah, dan Tembok Berlin diruntuhkan.
Smiley, tokoh utama John Le Carre yang muncul kembali dalam The Secret Pilgrim,
mengatakan itu dengan secercah rasa kagum: Manusialah yang mengakhiri Perang Dingin
itu, kalau kau belum mengetahuinya. Bukan persenjataan, atau teknologi, atau tentara atau
serangan. Manusia, itu saja. Dan bahkan bukan manusia Barat melainkan musuh bebuyutan
kita di Timur, yang turun ke jalan, menentang peluru dan tongkat polisi dan berkata: Sudah
cukup. Kaisar merekalah, bukan kaisar kita, yang berani naik ke panggung dan mengatakan
bahwa ia tak berpakaian.
Kaisar yang berani, rakyat yang bertindak. Manusia belum mati-mungkin itulah yang
akhirnya harus dikatakan, sebuah kabar gembira untuk Pramudya, tentang Pramudya.
Setidaknya ketika musim dingin ketidakbahagiaan kita berakhir, dan tulip dan magnolia
muncul, setidaknya sampai musim gugur tiba kembali.
~Majalah Tempo No 08, 27 Apr-3 Mei 1999~
Tapi selalu ada yang menggetarkan dalam nostalgia. Selalu ada yang menggetarkan dalam
kisah perjuangan yang tak sampai, tapi berharga.
~Majalah Tempo Edisi. 11/XXXV/08 14 Mei 2006 ~
Mohamad Rifangi menggambarkan hal itu: sebuah Tanah Jawa yang makmur, tanpa begal
dan penyamun, pencuri dan pendurhaka.
Tak ayal, para pengikut berkerumun disekitar kiai Kalisalak. Pertengahan abad ke-19 dan
seterusnya, Jawa memang resah. Masa kolonial telah mempertemukan kakek-nenek kita itu
dengan lingkungan budaya yang telah retak batas-batasnya. Ada kekuatan yang asing, ada
kekuasaan yang terasa menekan dan tak akrab. Ada orientasi yang berubah, ada bentukbentuk kebahagiaan baru yang tak mudah dicapai atau mencemaskan. Ada frustrasi, ada
penasaran. Ada kebutuhan akan ketenteraman batin, sejenis kepastian dan jaminan, di tengah
perubahan sosial-budaya yang tak tenteram.
Tak heran bila abad ke-19 dan sesudahnya adalah zaman konflik, dan karya seperti Protest
Movements in Rural Java selalu layak dibaca kembali bila konflik sejenis itu, yang sering
kali memakai bendera Islam, meletup.
Haji Rifangi adalah salah satu gejalanya. Dimakmumi oleh para penduduk pedesaan Kedu
dan Pekalongan, ia dengan segera dikenal sebagai pemimpin ngelmu Kalisalak. Para
santrinya, disebut santri Budiah, memisahkan diri dari Muslimin lain. Mereka bukan saja tak
menonton wayang juga tak mau bersembahyang jemaah di masjid, dan menurut laporan
Residen Pekalongan mereka menolak kawin di depan penghulu. Para wanita mereka tak
keluar ke tempat umum dan di luar kalangan mereka, tampaknya yang ada hanya kaum yang
sesat.
Haji Mohamad Rifangi memang gencar menyerang khususnya para pejabat keagamaan
gubernemen. Tak heran bila Rifangi beberapa kali diusulkan, antara lain oleh Bupati Batang,
untuk disingkirkan. Dan benar: di tahun 1859, pengusik itu dibuang ke Ambon. Ia mungkin
dianggap suatu ancaman yang bisa mengganggu ketertiban meskipun Rifangi tak pernah
angkat golok, dan tak suatu pun terjadi ketika pengikutnya tetap jadi santri Budiah setelah
sang guru tak ada.
Rifangi memang bukan pemberontak. Ia hanya pemimpin suatu gerakan sektarian, seperti
dikatakan Sejarawan Sartono, tokoh kelompok yang memisahkan diri, seorang yang merasa
paling di depan dalam menjaga kemurnian agama. Ia layak dihormati. Tapi tak berarti ia bisa
selamanya diikuti.
Dalam Protest Movements in Rural Java, ada disebut suatu saat dramatik ketika Rifangi
berdebat, di depan umum, tentang agama, dengan seorang penghulu. Ia kalah. Kita tak tahu
bagaimana isi debat besar itu, dan bagaimana ia kalah. Tapi siapa tahu sang penghulu bisa
meyakinkan kekhilafannya: Iman lebih kaya ketimbang kemurnian. Iman adalah bianglala
yang semarak. Rifangi hanya menawarkan sehelai pembalut putih yang steril, tapi manusia
bukan cetakan tunggal mumi Adam di atas bumi, yang ditaruh dalam gelas, tanpa sejarah,
tanpa ketelanjuran kebudayaan.
~Majalah Tempo Edisi. 41/XV/07 13 Desember 1985~
DI hari-hari ini saya berpuasa dan merasakan sebuah privilese: saya dihormati. Dengan tekad
saya sendiri saya berniat tak makan dan tak minum sejak dini hari hingga senja; selama itu
saya sadar bahwa akan ada saat-saat saya bisa tergodatetapi saya selamat. Saya siap untuk
terganggu, tetapi lihat: saya tak boleh diganggu.
Privilese itu kini sudah seperti sesuatu yang semestinya. Demi ibadah saya, yang saya niatkan
sendiri, orang-orang lain tak bisa pergi pijat karena selama sebulan semua panti pijat harus
ditutupmeskipun ini bukan tempat yang mesum sama sekalidan sekian ratus pemijat
tidak mendapatkan penghasilan. Demi ibadah saya, orang-orang lain tidak dapat minum
minuman beralkohol selama kurang-lebih 30 hari, siang dan malammeskipun mereka lazim
melakukannya sebagai bagian dari hidup merekakarena bar tak boleh buka dan kalaupun
ada restoran buka, bir, anggur, wiski, konyak, vodka, dan lain-lain harus masuk kotak.
Terkadang saya tak tahu apakah saya merasa bangga, atau bersyukur, atau merasa bersalah,
ketika di mana-mana dipasang anjuran: Hormatilah Orang yang Berpuasa.
Tentu saja sikap menghormati adalah sebuah sikap yang bisa datang dari hati yang ikhlas dan
sukarela. Tapi sikap itu juga bisa diperlihatkan khalayak ramai karena aturan pemerintah,
para ulama, atau tekanan lain yang menakutkan. Kita sekarang tidak tahu yang mana yang
menentukan. Jika ada polisi atau petugas kota prajabelum lagi kelompok orang galak yang
dengan gampang menyerbu dan merusakyang membuat penghormatan itu berlaku, saya tak
pernah yakin sejauh mana penghormatan (atau lebih tepat apresiasi) yang ikhlas yang
sedang saya rasakan. Jangan-jangan semuanya adalah penghormatan (atau lebih tepat sikap
merunduk) yang dengan gerutu.
Tapi di sebuah negeri yang tak jarang memperdagangkan kepalsuan, akhirnya soal seperti itu
tak dipersoalkan. Pokoknya: saya berpuasa, sebab itu saya harus dihormati.
Namun saya tak hendak mengomel. Sebab menghormati orang yang berpuasa dapat
berangkat dari sebuah alasan yang bagus. Ramadan sering dikatakan sebagai bulan yang
dekat dengan rohani. Tetapi tak kurang dari itu Ramadan sebenarnya menekankan pentingnya
tubuhjustru dengan mengaktualisasikan tubuh yang tak penuh. Bulan ini adalah bulan yang
berbicara tentang kondisi dasar manusia yang paling kurang. Puasa adalah penegasan diriku
sebagai sesuatu yang lapar dan juga retak: sebagai aku yang ingin dan tak mendapat, aku
yang menolak untuk rakus tapi juga merasa sakit.
Tapi saya, yang berpuasa ini, juga sering tak menyadari bahwa puasa dapat memberi diri
sesuatu yang sama sekali bertentangan: rasa berkelebihan, bahkan supremasi. Aku seakanakan dalam kesucian, sebagai yang berkorban dan juga sebagai yang tak najis. Orang
lain? Mereka dosa, loba, penuh syahwatpendeknya lebih nista dari diriku.
Itu barangkali asal mula orang lain dituntut untuk menghormati aku. Kalau tidak, orang lain
harus aku jauhi. Kalau tidak, orang lain harus aku tobatkan. Aku, si suci, harus
meniadakannya sebagaimana dia adanya, dengan menyisihkan atau mengubahnya.
Salah satu problem besar dunia ialah bahwa kita sering menemukan wajah yang bertentangan
seperti saya sebut tadi dari orang yang berpuasaatau dari orang dalam ibadat yang mana
pun. Kontradiksi ini disembunyikan atau ditekan karena wacana yang ada diberi sanksi oleh
sebuah bayangan tentang Yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna yang menuntut keutuhan
dan kekuatan, bukan sebuah bayangan tentang Yang Maha Rahman dan Rahim yang
mengampuni si daif dan si retak-cacat.
Dalam wajah yang lapar, yang dekat dengan tubuh, dalam kekurangan dan kefanaan, manusia
hadir mau tak mau mengalami dirinya bukan sebagai sebuah ide, bukan sebuah konsep yang
abstrak. Perut yang meminta nasi dan tenggorokan yang sedikit bau basah tidak ada dalam
Manusia dengan M. Seraya bersentuhan dalam sifatnya yang konkret, manusia mengalami
dan menyadari apa artinya perubahan, apa perlunya perbedaan dari waktu ke waktu,
perbedaan dari satu situasi ke situasi lain.
Tetapi bila puasa bukan menandaskan wajah yang lapar, melainkan kesucian diri yang penuh,
manusia merasa seakan-akan berada di atas segala situasi, di luar waktu, tak tersentuh
perubahan, dan perubahan bahkan dapat berarti najis.
Di hari-hari ini saya berpuasadan apakah gerangan yang tumbuh dalam diri saya? Sesuatu
yang menghargai yang fana dan sebab itu berterima kasih atas setiap momen empati? Atau
sesuatu yang meminta dihormati, karena aku adalah sebuah prestasi, sebuah posisi di atas
sana, di mana yang kekal dan sempurna mengangkatku?
Jika saya harus menjawab, saya akan mengatakan: saya takut dihormati.
~Majalah Tempo Edisi. 30/XXXVI/17 23 September 2007~
Banyak hal itu membuat kata patah arang dan awal yang sama sekali baru sekadar
sederet hiperbol. Ada yang dilebih-lebihkan di dalam patah dan baru. Sebab di antara
yang muncul sebagai jejak kejadian besar seperti 1945, ada hal-hal yang amat kerdil. Di
antara yang patah, ada yang berlanjut dan bahkan menguat. Tak semua hal merupakan
awal, dan mungkin tak ada awal yang sama sekali baru.
Itu sebabnya tiap perubahan besar selalu mengandung kekecewaan, diikuti disilusi.
Dalam 1945, misalnya. Semangat yang mendorong orang Indonesia membentuk sebuah
republik yang merdeka begitu meluap, begitu sakti. Ribuan pemuda mempertahankan
republik mereka dari usaha kolonisasi kembali. Mereka bergerak dengan sakit dan kematian,
juga dengan sikap tulus dan keberanian. Namun kemudian, cepat atau lambat, semangat yang
sakti itu jadi boyak.
Kita ingat adegan-adegan kepahlawanan dalam novel Pramoedya Ananta Toer, Di Tepi Kali
Bekasi. Farid, seorang remaja Jakarta, ikut dalam perang kemerdekaan mula-mula hanya
karena keinginan masuk Tentara. Tapi pada akhirnya ia jadi seorang komandan gerilya
yang, tanpa kata-kata heroik, mempertahankan Kranji dan Bekasi, kehilangan Kranji dan
Bekasi, dan bertempur terus, melawan pasukan musuh yang jauh lebih kuat dalam
persenjataan.
Kisah ini, untuk memakai kata-kata pengarangnya sendiri, adalah rekaman suatu epos
tentang revolusi jiwadari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka. Transformasi itu
dahsyat. Sebab perubahan atau Revolusi jiwa itu, tulis Pramoedya pula, lebih berhasil
dalam seluruh sejarah Indonesia daripada seluruh Revolusi bersenjata yang pernah
dilakukannya.
Tapi Revolusi, ledakan besar itu, segera surut, larut, lenyap. Hanya beberapa tahun setelah
pertempuran Farid di sepanjang Kali Bekasi, Indonesia memasuki masa yang
menanggungkan royan revolusi. Novel Ramadhan K.H. memakai kata itu untuk judul.
Royan, rasa sakit tubuh yang baru melahirkan, adalah metafor untuk masa tahun 1950-an
yang dirundung frustrasi. Itulah masa ketika situasi tak bertambah baik di dalam republik
yang baru merdeka itu: orang mulai mementingkan diri sendiri, kesetiaan kepada 1945 tak
ada lagi.
Hal yang sama dapat dikatakan bagi 1966. Para mahasiswa yang menumbangkan
demokrasi terpimpin yang represif sejak 1958-1965para pemuda yang bersedia
menanggungkan kekerasan dan tak takut mati untuk sebuah Indonesia yang demokratis
berangsur-angsur sadar bahwa mereka teperdaya. Rezim yang menggantikan demokrasi
terpimpin ternyata sebuah demokrasi terpimpin lainmalah dimulai dengan pembantaian
yang menyebarkan teror selama tiga dasawarsa
Yap Thiam Hien, pendekar hak asasi manusia itu, ikut mencoba membuka zaman baru di
bawah Orde Baru. Tapi kemudian kita tahu apa yang terjadi. Hukum terus saja diinjak
dengan brutal; kemerdekaan ditendang ke sudut sel; Indonesia dijadikan seperti kerbau yang
dicocok hidungnya.
Kini 2008. Sepuluh tahun setelah Reformasi, sebuah masa setelah Soeharto pergi: bukankah
royan revolusi dirasakan lagi dan orang juga mengeluh?
Agaknya selang-seling antara kejadian dan royan atau antara pengharapan dan
kekecewaan telah jadi sebuah pola yang berulang. Jangan-jangan kita harus kembali melihat
apa arti 1945, 1966, atau 1998.
Jangan-jangan kita sebenarnya memberi nama itu sebagai cara kita bertahan dari serbuan
gelap dan campur-aduk yang membingungkan di tiap transformasi politik. Bukankah bersama
itu ada sebuah hasrat yang radikal terhadap sejarah?
Hasrat itu radikal (Badiou menyebutnya kiri-isme yang spekulatif), karena ingin
memurnikan waktu, menertibkan ruang. Tapi waktu dan ruang selamanya kekusutan,
selamanya dilingkungi khaos.
Setelah 1945, 1966, 1998, kita menemukan bahwa dalam kebenaran baru yang muncul hari
ini ada jejak dari masa silam. Jejak itulah yang tampil menggugah hati kembali. Tapi bersama
itu, ada puing dari zaman lama yang terus teronggok.
Saya teringat malaikat sejarah dalam lukisan Paul Kleetapi dengan narasi yang lain dari
yang dibawakan Walter Benjamin. Malaikat itu memang menghadap ke belakang, sementara
ia terbang maju. Selama itu ia diikuti sisa-sisa masa lalu yang diruntuhkannyareruntuhn
yang terus meninggi dan mendesakkan diri, mendorongnya terbang ke depan, melewati
kejadian demi kejadian.
Saya ragu, adakah di sayapnya ada angka-angka 1945, atau 1966, atau 1998. Mungkin tidak;
hanya warna polos yang bergerak.
~Majalah Tempo Edisi. 51/XXXVI/11 17 Februari 2008~
Telah kutinggalkan engkau, bisik Takdir kepada teluk teduh tempat asalnya. Dalam sajak
yang terkenal itu ia putuskan untuk meninggalkan alam tenang yang dilindungi gunung. Sang
penyair memilih laut luas tanpa proteksi: ia bebas, sebab itu ia berani menghadapi mara
bahaya dalam ketakpastian cuaca.
Di masa itu, dalam semangat itu, pulang adalah arus balik ke tradisi. Tradisi mengandung
tuntutannya sendiri. Modernitas adalah pembangkangan: ada anak yang hilang.
Tentu ada juga luka. Tentu ada rasa bersalah ketika seorang anak tak hendak kembali dan ada
rasa sakit ketika seutas akar dilepaskan. Tapi tak-pulang adalah kondisi zaman. Bila pulang
kini jadi ritual, dulu pergi adalah sebuah ritus. Hanya seorang yang disunat yang jadi dewasa.
Sajak Sitor Situmorang, Si Anak Hilang, dengan memukau melantunkan kembali melankoli
kehilangan dalam ritus ituketika si anak muda pulang dari Eropa, menemui ibunya yang
rindu dan dusunnya yang ingin tahu, tapi ternyata tetap ada yang putus. Saya kutip bagian
akhir sajak itu:
Si anak hilang kini kembali
tak seorang dikenalnya lagi
berapa kali panen sudah
apa saja telah terjadi?
Seluruh desa bertanya-tanya
sudah beranak sudah berapa?
Si anak hilang berdiam saja
ia lebih hendak bertanya
Selesai makan ketika senja
ibu menghampiri ingin disapa
anak memandang ibu bertanya
ingin tahu dingin Eropa
Anak diam mengenang lupa
dingin Eropa musim kotanya
ibu diam berhenti berkata
tiada sesal hanya gembira
Malam tiba ibu tertidur
bapa lama sudah mendengkur
di pantai pasir berdesir gelombang
tahu si anak tiada pulang
Kita lihat, Sitor kembali menggunakan bentuk syair lama, bukan sajak bebas, tapi berbeda
dengan sastra tradisional, dalam Si Anak Hilang terasa sebuah dunia subyektif yang intens.
Anak muda itu berdiam diri, karena di kepalanya berlintasan dingin Eropa yang belum
sepenuhnya ia lupakan. Anak muda itu tak bicara, karena di hatinya ia menjauh dari suara di
sekitarnya, juga suara kangen sang ibu.
Ada sikap mendua yang murung dalam sajak Sitor. Tapi pada akhirnya hanya gelombang
yang berdesir yang tahu bahwa ia memang anak yang hilang. Gelombang: di pantai pasir itu
ia datang dari jauh, tapi segera kembali ke laut. Kita tak tahu dari mana gelombang berasal,
ke mana ia menghilang.
Dari mana sebenarnya kita berasal? Di tiap zaman selalu terdengar seruan agar kita ingat
akan akar kita. Yang sering dilupakan adalah bahwa asal dan akar bukan sesuatu yang dengan
sendirinya terpacak siap di dunia. Akar dan asal selamanya sebuah hasil seleksi terhadap
ingatan kita sendiri. Seorang tak hanya berakar di Serang atau Seram; ia juga punya akar pada
keluarga tertentu, dengan riwayat tertentu, di lapisan sosial dan dibesarkan dengan nilai
tertentu. Tiap kali sebuah asal diberi nama dan disebut sebagai identitas, timbul masalah.
Saya pernah mengatakan, jati diri adalah sebuah kata yang meragukan. Jati berarti
benar; tapi mana sebenarnya diri yang benar? Tak hanya tersedia satu jawaban untuk
itu. Pulang ke dalam diri yang benar pada akhirnya juga sebuah pengembaraan tersendiri,
sebab yang benar itu hanya tercapai sementara, semacam sebuah pelabuhan transito.
Pernah kita kenal sebuah talibun, sebentuk pantun enam baris yang berisi petuah:
Kalau anak pergi ke pekan
Yu beli beranak beli
Ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi berjalan
Ibu cari sanakpun cari
Induk semang cari dahulu
Kata-kata itu datang dari masyarakat yang merantau, bukan menetapdari mana lahir Takdir
dan Sitor. Talibun itu memang tak mengekspresikan keputusan yang murung seorang anak
yang hilang, tapi ada yang sejajar: perjalanan adalah pengakuan bahwa teluk yang terlindung
telah ditinggalkan. Sang perantau tak berjalan untuk mencari ibu, melainkan induk semang.
Dengan kata lain, ia siap hidup dengan seseorang yang lain, yang bukan sanak keluarga tapi
bersedia menerima sang perantau, yang juga asing.
Kini zaman berubah. Paradoks masa kini ialah ketika di jaringan Internet tapal batas raib,
justru bertambah rasa takut kepada yang lain, yang bukan sanak sendiri. Suasana kian
konservatif: orang bersiap pulang, walau mati menanti. Di masa lain, untuk sebuah
pembebasan, Tak seorang berniat pulang, walau mati menanti.
Itu sebaris sajak Hr. Bandaharo yang selalu menggetarkan.
~Majalah Tempo Edisi. 35/XXXVI/22 28 Oktober 2007~
yang mana pun, termasuk film Zhang Yimou mutakhir, Hero, adalah peperangan melawan
dua sosok besar dalam hidup: waktu dan lupa.
Epos digubah karena ada orang-orang yang diharapkan untuk mengingat. Mengingat jadi
penting karena waktu berjalan dan manusia terbatas. Epos digubah karena ada sebuah
komunitas yang tak boleh lupa akan cerita-cerita keberanian (epos, dalam bahasa
Indonesia, disebut juga wiracarita) di masa lalu.
Tapi tentang kegagahberanian masa lalu, apa yang kita ingat sepenuhnya tertambat dengan
masa kini. Itu sebabnya sebuah wiracarita seperti Hero disusun sebagai sebuah legenda. Ia
berlebihan. Agaknya ia punya hak untuk berlebihan. Di hari-hari ini, ketika yang masih hidup
tak mungkin ditampilkan sebagai makhluk yang menakjubkan (dan sebab itu pahlawan
dengan sendirinya berarti sosok yang sudah mati), Zhang Yimou jadi seorang pendongeng
yang menakjubkan.
Dengan kata lain, ia berbicara kepada sebuah hadirin yang telah kehilangan. Saya kira ia
selalu menginginkan itu. Sutradara ini, seperti tampak dari filmnya yang terdahulu, selalu
memandang mesra ke arah hal-hal yang tak lagi ada: upacara kematian dalam film Judou
(1990), penggunaan lampion yang terpajang di gedung-gedung tua dalam Lampion Merah
(1991), permainan wayang dalam Hidup (1994). Tapi seperti umumnya dalam nostalgia, yang
dulu banal pun jadi bagus, yang bersahaja jadi seakan-akan dalam, dan yang terancam punah
seakan-akan jadi azimat. Kita tak peduli lagi bila yang dianggap pernah ada jangan-jangan
hanya sebuah fantasi.
Cerita wu-xia dengan mudah berbicara kepada hadirin yang telah kehilangan. Ia gabungan
antara sebuah epos dan nostalgia. Ia pertautan sebuah fabel dengan sebuah ekspresi zaman
ini. Sinematografi mutakhir, seperti kita lihat dalam Crouching Tiger, Hidden Dragon
(Macan Merendek, Naga Sembunyi) yang disutradarai Ang Lee, demikian pula dalam Hero,
menyulap kungfu jadi sebuah persenyawaan antara yang estetik dan yang brutal.
Dalam film Tiger, Dragon: Li Mu Bai bertempur dari pucuk ke pucuk bambu yang lentur dan
meliuk-liuk; geraknya gerak seorang penari piawai yang tenang. Dalam Hero, yang estetik
tampil di tiap bagian yang ganas. Dalam silat sengit yang dihiasi hujan. Dalam tebas-menebas
senjata besi yang diiringi musik dawai seorang buta. Dalam pertarungan dua perempuan
bergaun merah di musim gugur, ketika loncatan tubuh dan kelebat pedang merontokkan
ribuan daun ke warna magenta. Dalam adegan duel penghormatan di air lazuardi sebuah
danau.
Seakan-akan semua itu belum cukup, kita masih menyaksikan sebuah tarung pedang yang
keras di balairung raja, di antara gelombang kelambu hijau yang berjuntai. Di akhir
pergulatan, kain sutra itu pun runtuh, lepas, lembar demi lembar.
Telah saya katakan di atas, Zhang Yimou punya hak berlebihan. Bukankah ia hendak
menghadirkan sebuah dongeng, sebagaimana kisah Sinbad dalam Seribu Satu Malam dan
Odysseus dalam syair Homeros? Tapi persoalan kita dengan Hero ialah: ketika yang estetik
begitu berkuasa, begitu memukau, benarkah para hadirin tak akan terlampau silau, dan epos
itu pun kehilangan tujuannya, yakni memanggil ingatan?
Mungkin ingatan akan terbit. Dari layar lebar Zhang Yimou mungkin orang akan sadar
tentang sebuah masa yang telah tak ada lagi. Tapi saya kira yang akan didapat dari Hero
bukanlah sebuah rekaman epik, di mana keberanian merupakan bagian yang esensial dalam
pengorbanan, dan pengorbanan bagian yang penting bagi keadilan. Saya duga yang akan
teringat ialah seperti yang orang ingat tentang
Indonesia di masa lalu: sebuah mooie Indie, Hindia molek dalam penampilan fotografi
kolonial. Saya kira, film Zhang Yimou ini adalah sebuah penyajian Tiongkok molek,
Tiongkok yang diperindah, ketika Cina dengan cepat berubah, mula-mula melalui sebuah
revolusi sosialis yang ingin memaksa yang estetik jadi traktor, kemudian ke sebuah
transformasi ekonomi pasar yang mengubah yang estetik jadi gincu.
Dan Hero adalah sebuah gincu layar lebar. Keindahannya tak tumbuh dari kepedihan.
Tiongkok yang tampak melalui kamera Zhang Yimou sebenarnya tak bergerak, tak bergulat,
tak merasakan luka dan sakit, meskipun bagian sejarah yang dikisahkan di sana adalah
sejarah pembangunan negara kesatuan yang brutal di bawah Maharaja Qin.
Para pendekar yang melawan, termasuk si Tanpa Nama, berbicara tentang dendam, tapi kita
tak merasakan mereka sebagai korban. Dalam satu adegan, ribuan anak panah yang
ditembakkan meluncur dari langit bagaikan mega maut yang gelap. Orang-orang terbunuh.
Tapi seakan-akan yang pedih dapat dilupakan dengan yang elegan: lihat, guru tua itu duduk
dengan patutnya dan terus menorehkan kaligrafi, ketika besi-besi tajam itu menghunjam.
Lihat, di atap, si Salju Terbang bagaikan menari tak henti-hentinya ketika ia dengan
pedangnya menangkis beratus-ratus tembakan.
Tak mengherankan bila epos ini akhirnya bukan sebuah konfrontasi berdarah yang
menyebabkan sebuah dunia berubah, seperti epos Revolusi Tiongkok.
Para pahlawan Zhang Yimou adalah mereka yang mengukuhkan apa yang stabil, atas nama
perdamaian. Tanpa kita tahu bagaimana prosesnya, sang pembangkangdimulai oleh si
Pedang Patah yang berkontemplasi dalam silat dan kaligrafiakhirnya berkesimpulan bahwa
yang penting bukanlah keadilan, melainkan kekuasaan tunggal. Satu di bawah langit,
katanya. Dan hadirin pun bertepuk senang. Sang pendongeng tahu: kini revolusi tak bisa
dipasarkan.
~Majalah Tempo Edisi. 52/XXXI/24 Februari 02 Maret 2003~
Tapi persoalan tak selesai hanya dengan satu tesis Marx. Sejarah politik makin tak mudah
menentukan bagaimana sebuah kelas sosial merumuskan identitasnyaterutama ketika kaum
pekerja bisa tampil lebih kolot ketimbang kelompok sosial yang lain, dan ketidakadilan
tak hanya menyangkut ketimpangan dalam memiliki alat produksi. Mau tak mau, para analis
dan pakar teori harus berhenti seperti beo yang pintar, dan berhenti memakai mantra dan
makian ketika kapitalisme dan sosialisme begitu gampang dikatakan.
Itu tak berarti api awal yang dulu membakar perang purba itu, perang yang melahirkan
mantra dan makian itu, telah sirna. Selama ketidakadilan menandai rasa sakit sejarah, api itu
masih akan membakar dan perang masih akan berlangsung. Selama sejarah belum berakhir
dalam mengisi pengertian yang disebut Etienne Balibar sebagai galibert, paduan antara
keadilan dan kebebasan, perang tak akan padam.
Perang itu, tak selamanya dengan darah dan besi, adalah perjuangan politik. Ketidakadilan
tak bisa hanya bisa diselesaikan dengan administrasi, karena administrasi Negara
selamanya akan terbatas dan terdorong ke arah pola yang cepat jadi aus. Ketidakadilan juga
tak akan bisa diselesaikan dengan perbaikan budi pekerti, dengan mengubah atau
mengalahkan orang macam Gekko.
Apalagi pergulatan ke arah keadilan dan kebebasan tak hanya terbatas dengan mengutuk Wall
Street. Kita tak cukup jadi Oliver Stone.
~Majalah Tempo Edisi 31/XXXVII 22 September 2008~
Bagi saya, macet memang memberi kesempatan tidur lelap di jok mobil. Atau menulis sajak.
Tapi saya tak tahu bagaimana orang lain memanfaatkan kemacetan itu yang mengambil
kira-kira tiga jam dalam hidupnya sehari, atau sekitar 18 jam seminggu, atau sekitar tiga hari
kerja dalam sebulan. Yang agaknya jelas adalah implikasinya bagi kehidupan bersama.
Kongesti itu berjubelnya mobil di jalan-jalan Jakarta tiap hari itu adalah sebuah gejala
perpecahan sosial.
Kongesti mendorong orang untuk melihat orang lain yang di sebelah, di depan, dan mungkin
juga di belakangnya sebagai pihak yang tak diinginkan. Kompetisi, bahkan antagonisme,
berlangsung diam-diam (kadang-kadang dengan teriak: pakai mulut atau klakson). Menutup
mata tidur juga bisa jadi sikap tak mengacuhkan orang yang di luar sana.
Kemacetan lalu lintas lantaran mobil juga akibat dari yang disebut Hirsch, dalam The Social
Limits to Growth, sebagai the tyranny of small decisions: keputusan individual yang tak
bertautan satu sama lain dalam mengadakan transaksi di pasar. Jika saya membeli mobil, saya
tak memikirkan apa dampaknya bagi kelancaran lalu lintas atau bagi bersihnya cuacahalhal yang merupakan bagian kebersamaan.
Itu sebabnya, di jalan-jalan, masyarakat yang biasa dibayangkan sebagai sebuah bangunan
utuh tak hadir. Polisi lalu lintas jika pun ada memperkuat raibnya keutuhan sosial itu,
ketika ia menggunakan kekuasaannya untuk menarik uang sogok.Sebagaimana banyak orang
menghayati mobil dan ruas jalan sebagai milik privat,polisi itu juga memberlakukan
otoritasnya sebagai kekuasaan privat.Saya selalu mengatakan, korupsi adalah privatisasi
kekuasaan yang didapat dari orang banyak.
Kita akhirnya melalaikan bahwa manusia selalu perlu barang dan jasa masyarakat yang,
dalam kata-kata Marx, dikomunukasikan, tapi tak pernah dipertukarkan; diberikan, tapi tak
pernah dijual; didapat, tapi tak pernah dibeli. Di kemacetan jalan Jakarta, kita tak lagi
bertanya, tak lagi peduli, di mana gerangan hukum, kelancaran, dan udara bersih.
Berangsur-angsur, tiap orang pun merasa bisa mengabaikan public spirit, moralitas dan
semangat untuk kepentingan publik.
Ada ikhtiar untuk menangkal kecenderungan itu dengan mengendalikan kapitalisme dari
bahaya tirani keputusan-keputusan kecil. Itulah inti dari kompromi Keynesian, cara
Keynes untuk menyelamatkan kapitalisme dari fragmentasi yang berkelanjutan. Kompromi
Keynesian mengakui bahwa tak semua bisa diserahkan kepada pasar. Diakui bahwa public
spirit selamanya perlu.
Ketika zaman neoliberal kini ditinggalkan, ketika kompromi Keynesian diangkat untuk
dijadikan kebijakan lagi, timbul lagi keyakinan bahwa perilaku pasar tak bisa dijadikan
tauladan bagi seluruh perilaku sosial. Ada pengakuan bahwa kekuatan yang bukan-pasar
(Negara dan para teknokratnya) harus dan bisa memiliki ketahanan untuk
mengembangkan nilai yang berbeda, khususnya nilai yang tak membenarkan manusia
memaksimalkan kepentingan diri.
Tapi benarkah asumsi yang tersirat dalam kompromi Keynesian itu, bahwa para para
pejabat Negara yang jadi pengelola sistem sosial-politik dan ekonomi niscaya punya nilai
tersendiri?
Kenyataannya di Indonesia, institusi yang berkuasa tak dengan sendirinya bebas dari tirani
keputusan-keputusan kecil. Di atas saya telah sebutkan korupsi sebagai privatisasi
kekuasaan. Maka kita pun bertanya dengan murung: masih adakah tempat bekerjanya apa
yang-sosial, apa yang menampik nafsi-nafsi?
Mungkin jawabnya bukan di kantor pemerintah dan pos polisi di pojok perempatan. Mungkin
jawabnya bukan di jalan-jalan yang macet di mana orang saling hendak menyisihkan.
Jawabnya ada di dekat kita sendiri.
Ketika Prita didenda Hakim yakni petugas Negara yang tak adil kita secara spontan
berduyun-duyun datang untuk bersama perempuan yang dizalimi itu. Kita datang dengan
uang recehan fragmen dari sebuah kesatuan yang tak nampak yang justru menunjukkan
sesuatu yang mengagumkan: kita belum menyerah kepada tirani keputusan-keputusan
kecil. Kita adalah bebrayan: sesama yang bisa punya saat bersama. Setidaknya sampai hari
ini.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 14 Desember 2009~
Sebab itu, ketika kini Rendra hanya diingat sebagai suara kritik dan kearifan sosial yang
menggugah, saya ingin mengenangnya lebih dari sekadar itu.
lll
Di sekolah menengah pertama sekitar tahun 1955, saya terpesona membaca sajak Litani
Domba Yang Kudus di majalah Kisah. Sajak Rendra ini melantunkan pengulangan yang
berbunyi seperti dalam doa, tapi juga seperti permainan anak-anak yang tangkas, dengan
imaji yang datang dari khazanah yang terasa akrabyang datang dari latar agama Katolik
yang membesarkan sang penyair. Seperti sebuah sajak lain dari masa ini, yang ditulisnya
sekitar hari sakramen pernikahannya dengan Sunarti Suwandi:
Di gereja St Josef
tanggal 31 Maret 1959
di pagi yang basah
seorang malaikat telah turun.
Seorang malaikat remaja
dengan rambut keriting
berayun di lidah lonceng.
Maka sambil membuat bahana indah
dinyanyikan masmur
yang mengandung sebuah berita
yang bagus.
Dan kakinya yang putih indah
terjuntai
Suara itu sungguh berbeda dari corak umum puisi tahun 1950-an lain. Puisi Rendra adalah
sebuah kecenderungan naratif yang unik, lincah, cerah, dan acap kali amat manis.
Seorang kritikus, Subagio Sastrowardojo, menunjukkan bahwa dalam sajak-sajak Rendra
terdapat pengaruh kuat puisi penyair Spanyol Federico Garcia Lorca, yang di Indonesia
waktu itu diperkenalkan dengan bagus oleh Ramadhan K.H. Tapi orang juga bisa
mengatakan, dalam puisi Rendra masa itu bergema lagu dolanan anak-anak Jawa. Bagi saya
itu menunjukkan, tak seperti Chairil Anwar dan Rivai Apin yang berseru memilih laut dan
meninggalkan daratan, Rendraseperti Lorca, seperti dolanan anak-anak dusunlebih akrab
dengan lanskap yang terdiri dari bukit, jalanan, rumpun, daun, dan burung-burung. Dalam
buku Empat Kumpulan Sajak, ada kutipan sepucuk suratnya kepada sahabatnya, D.S.
Moeljanto, bertahun 1955, yang menyatakan bahwa ia ingin tetap bergantung pada daundaun, dan air sungai
Bagi Chairil, Rivai, dan Asrul Sanimungkin karena mereka datang dari lingkungan yang
terbentuk oleh adat merantaulaut adalah kemerdekaan, dengan risiko menghadapi
malapetaka dan kesendirian. Apa di sini, kata Rivai Apin memaki tanah asal dalam salah
satu sajaknya, batu semua!
Puisi Rendra, sebaliknya, tak merayakan laut, tak menggambarkan diri sebagai kelasi yang
hanya singgah di bandar asing dengan perempuan yang cukup dipeluk untuk beberapa saat.
Pada 1953, dalam sebuah pidato tentang Chairil Anwar di hadapan sastrawan-sastrawan
muda Surakarta, ia mengecam para seniman yang meniru-niru jalang-nya Chairil Anwar.
Para pembuntut macam itu, kata Rendra, hanya menjalang dengan otak babinya.
Rendra tak terbatas mengkritik para epigon Chairil Anwar. Terhadap sikap Chairil sendiri ia
menarik garis. Konsekuensi dari ajakan melepas nafsu Chairil dalam sajaknya Kepada
Kawan, demikian kata Rendra, adalah penghapusan undang-undang, yang berarti lebih
dahsyat dari bom atom.
lll
Pandangan itu kemudian berubah; kita memang tak bisa berbicara tentang satu Rendra. Ia
kemudian mempesona kita ketika ia berbicara tentang peran soal orang urakan: orangorang yang, seperti Ken Arok dalam sejarah, berada di luar ketertiban hukum, bahkan
merupakan antitesis dari ketertiban sebagai ideologi yang berkuasa, dan dengan posisi itu,
para urakan justru berperan untuk pembaharuan, transformasi sosial, dan pembebasan.
Pada akhirnya, posisi urakan bagi Rendra lebih penting dan lebih menarik ketimbang posisi
pembela ketertiban. Meskipun ia tak pernah memaki tanah asal sebagai batu semua!
sebagaimana Rivai Apin, ia tak pernah tergerak untuk mensakralkan tempat tinggal, rumah,
dan negeri asal.
Hubungannya dengan tradisi, dalam hal ini tradisi Jawa, tak akrab. Baginya kebudayaan Jawa
adalah sebuah kebudayaan kasur tua: sebuah tempat mandek yang hanya enak buat tidur
nyenyak.
Tapi ia melihat tradisi dan masa lalu tak satu. Masa lalu yang dikecamnya adalah
kebudayaan Jawa baru, yang kira-kira dimulai abad ke-18 atau akhir abad ke-17. Ada masa
lalu lain, yang menurut Rendra dilupakan orang Jawa sendiri. Dalam tembang-tembang
kuno, katanya, ada ajaran yang mengajak kita untuk mandiri, untuk berdiri sendiri, untuk
mengada.
Rendra tak menyebut dengan jelas tembang kuno mana yang mengajarkan demikian. Ia
hanya menyebut kisah Dewa Ruci, kisah tentang Bhima yang mencari dan kemudian
menemukan dirinya sendiri. Agaknya yang jadi soal bukanlah tradisi itu sendiri, tapi
kemandekan yang mencekik individu. Dalam kebudayaan tradisional yang ada, kata Rendra,
individu belum diketemukan.
Pada 1967 ia pergi ke Amerika Serikat, dan hidup di Kota New York. Dari sana datang
beberapa puisinya yang matang dan memukau, yang terkumpul dalam Blues Untuk Bonnie.
Dalam sepucuk surat yang ditulisnya dari sana, bertanggal 29 Mei 1967, ia mengatakan,
Perubahan terjadi di dalam saya. Adapun yang paling memberikan kesan pada kesadaran
saya dewasa ini ialah ilmu pengetahuan. Saya merasakan ini sebagai imbangan yang sehat
untuk kesadaran mistik dan seni yang ada dalam diri saya.
Dari sini ia berbicara untuk melaksanakan firman modernisasi. Ia bersuara tentang agar
orang Indonesia melawan alam. Ini ditandaskannya kembali ketika ia, bersama awak
Bengkel Teater Yogya memperingati Hari Sumpah Pemuda pada 1969. Ia berpidato dengan
teks yang ditulis tangan. Ia berbicara bagaimana di Barat kehidupan diatur oleh mesin bikinan
manusia, dan bagaimana di Indonesia individu bagaikan sekrup dan gotri yang ditentukan
perannya oleh semacam mesin lain, yakni alam. Individu tak bisa merdeka, katanya, karena
seluruh hidupnya hanya merupakan onderdil yang sudah ditetapkan status dan tugasnya
dalam tradisi. Panggilan zaman yang sekarang adalah melawannya, kata Rendra.
Di sini ada gema yang kembali dari pemikiran yang dibawakan para sastrawan pada 1930-an,
terutama oleh S. Takdir Alisjahbana. Suara itu kemudian dilanjutkan Soedjatmoko ketika
menulis pengantar buat majalah Konfrontasi pada 1955: ia menjelaskan kenapa harus ada
konfrontasi dengan faktor-faktor kebudayaan yang tidak mendukung pembangunan
bangsa. Rendra meneruskan firman modernisasi itu.
Tapi dunia modern, sebagaimana dicemaskan Sanusi Pane, seorang penganut Theosofi yang
memuja masa lalu India, punya sisi gelap. Tak ada yang baru di sini: Max Weber
meramalkan bahwa akal instrumental yang memacu dunia modern pada akhirnya akan
membawa manusia ke dalam kerangkeng besi. Mazhab Frankfurt melihat Pencerahan
yang membawa firman modernisasi pada akhirnya melahirkan penindasan.
Sanusi Pane memandang sisi gelap itu seraya memegang gambaran tentang Timur dalam
idealisasi kaum Orientalis. Akhirnya, sebagai kelanjutan sikap anti-Barat, penyair Madah
Kelana itu memuja semangat Jepang yang fasistis.
Berbeda dari Sanusi, kaum intelijensia Indonesia yang hidup dalam dasawarsa 1970 dan 1980
punya acuan lain.
Inilah masa ketika Soedjatmoko, yang agaknya terpengaruh oleh Schumacher, dan
Schumacher yang terpengaruh oleh Buddhisme, berbicara tentang perlunya teknologi
madya. Ini juga masa ketika Arief Budiman mengedepankan teori dependenzia yang
mengecam ketergantungan Dunia Ketiga kepada modal. Ini juga masa ketika Rendra
mementaskan Mastodon dan Burung Kondor serta Perjuangan Suku Naga, yang mengkritik
pembangunanisme kekuasaan Orde Baru.
Tampak ada perubahan yang tajam dari seruan modernisasi dan melawan alam yang
ditulisnya pada akhir 1960-an. Saya tak tahu, adakah perubahan itu mendasar sifatnya dan
akan menetap. Dunia sedang bergeser lagi. Semangat teknologi madya yang merupakan
Gandhisme baru tampaknya tak bergema lagi, mungkin karena dari ide itu tak ada jawaban
bagaimana negeri-negeri miskin akan bertahan menghadapi negeri yang memakai teknologi
tinggi. Teori dependenzia sudah ditinggalkan para teoretikusnya sendiri di Amerika Latin.
Pembangunan sosialis model RRC zaman Mao digantikan pembangunan ala borjuis dengan
gegap-gempita dan mencengangkan dunia.
Rendra belum menjawab pergeseran besar ini. Tapi ia telah memberi kita sebuah kearifan
yang boleh dibilang inti dari firman modernisasi yang sering dilupakan. Kearifan itu
tersirat dari kata-katanya: Kreativitas saya adalah kreativitas orang yang bertanya pada
kehidupan.
lll
Puisi bukanlah sebuah pertanyaan, tapi puisi tak ingin menjebak kita dengan jawaban.
Seorang penyair akan merasakan gundah ketika orang ramai menuntutnya jadi pemberi fatwa.
Rendradi pentas selalu karismatis, suaranya memukauakan dengan gampang berada
dalam status itu: seorang penyair yang jadi intelektual publik karena keadaan yang tertekan
memaksanya demikian, dan seorang intelektual publik yang kata-katanya berubah jadi
khotbah karena orang ramaidengan dorongan tersendiri mendesaknya.
Saya kira ada kegundahan itu dalam Khotbah, salah satu sajak yang akan kekal dalam sejarah
kesusastraan mana pun.
Fantastis.
Di satu Minggu siang yang panas
di gereja yang penuh orangnya
seorang padri muda berdiri di mimbar.
Wajahnya molek dan suci
matanya manis seperti mata kelinci
dan ia mengangkat kedua tangannya
yang bersih halus bagai leli
lalu berkata:
Sekarang kita bubaran
Hari ini khotbah tak ada.
Tapi orang-orang tak beranjak. Mereka tetap berdesak-desakan. Mata mereka menatap
bertanya-tanya. Mereka ingin benar mendengar. Mereka pun berdesah, barbareng, dengan
suara aneh. Padri itu menyaksikan semua itu dengan cemas:
Lihatlah aku masih muda.
Biarkan aku menjaga sukmaku.
Silakan bubar.
Like this:
Suka
Be the first to like this post.
Komentar
1. zul azmi sibuea - Agustus 20, 2009
masih ingat sekali ketika pembagunan-isme itu dilantunkan, isme itu hampir seperti
keber-iman-an baru bagi siapa yang turut serta dan khusu dalam ritus itu, bila tidak
akan dicap murtad, artinya keluar dari kelompok atau cult, atau sekte itu. pada
1953, dalam pidatonya rendra menentang peng cult usan dengan gaya sarkasm
terhadap jalang nya chairil anwar, dan mengatakan bahwa mereka menjalang
dengan otak babinya.
kita melihat dalam sejarah bagaimana isme terbentuk, bagaimana ke-imanan baru
lahir, yang selalu bermula dari penyampaian kabar dari ilahi yang dibawa oleh
pembawa pesannya (messenger, utusan,nabi, rasul), kemudian mereka berdakwah
menyampaikan mitos tersebut kesegenap khalayak ramai jadi cerita pembangunan,
jadi cerita sijalang yang terbuang yang pada hakekatnya adalah mitos yang
disampaikan oleh tokoh nya.
bila tidak demikian, tentu kita tidak mengatakan bahwa w.s.rendra (1935-)
legendaris, ia sudah menjadi tokoh legenda yang diceritakan banyak orang dalam
mitos pengantar tidur.
selamat jalan mas willy.
Balas
2. berbagi informasi - Agustus 20, 2009
Ia juga perlu mengulang-ulang kehadirannya karena ia adalah penanda yang ingin diingat.
Sebagai keseluruhan, etalase-etalase dengan manekin dan poster yang itu-itu juga ingin
meninggalkan bekas di bawah sadar kita, agar mereka (Zara, Prada, Giorgio Armani,
Versace) terkait secara permanen sebagai penanda kemolekan, ketampanan, kemutakhiran,
yang makin memenuhi angan-angan kita.
Di dalam etalase mall itulah agaknya pelbagai komoditas, diwakili manekin berdandan dan
poster wajah + tubuh yang memikat, seakan-akan sosok-sosok yang otonom yang hadir
dengan kehidupan mereka sendiri, seperti dikatakan Marx ketika ia berbicara tentang
fetisisme komoditas dalam Das Kapital. Benda-benda itu bukan lagi seperti produk dan
kreasi orang. Mereka berhubungan dengan sesama mereka, selain dengan umat manusia.
Demikianlah di kaca-kaca yang tak kunjung habis itu mereka bersaing, tapi semua melihat ke
arah kita, mengajak kita masuk ke dalam dunia di mana mereka jadi pusat. Kaca itu seakanakan menyediakan diri sebagai cermin. Dan sebagaimana layaknya cermin, ia menyajikan
ilusi tentang diri yang utuh. Ia juga mendorong kita untuk melihat diri sendiri silih berganti
antara tampan dan kurang tampan.
Dalam peralihan itu, lahirlah hasrat. Hasrat adalah tanda manusia sebagai kekurangan.
Menghasratkan, kata Gabriel Marcel, yang menulis sebuah telaah fenomenologis yang
terkenal tentang punya (lavoir), adalah punya tanpa mempunyai.
Punya mengandung ketegangan, antara yang empunya dan yang dipunyai, antara qui dan
quid. Di satu pihak, sesuatu yang dipunyai, quid, adalah sesuatu yang di luar aku yang
empunya, qui. Tapi di lain pihak, ia bagian dari diriku. Itu sebabnya, kata Marcel, Ada
semacam penderitaan atau perasaan terbakar yang merupakan satu bagian hakiki dari
hasratsatu kesimpulan yang berabad-abad sebelumnya telah disebutkan Sang Buddha
dalam kata dukha.
Termasuk dalam penderitaan, ketakseimbangan, keterasingan itu adalah convoitise, sebuah
sikap yang dalam bahasa Jawa disebut mlik. Dalam Baoesastra Djawa yang dihimpun
W.J.S. Poerwadarminta (1939), kata itu berarti hasrat atau keinginan untuk mengambil,
memiliki.
Salah satu sifat mlik: ia tak punya obyek tertentu. Keinginan itu lebih merupakan keinginan
mempunyai tanpa sasaran yang sudah dipilih sebelumnya. Ada unsur rasa cemburu dan
gelora hati di dalamnya yang berbau busuk. Sebuah kata-kata mutiara Jawa yang terkenal
memperingatkan bahaya itu: mlik nggndhong lalihasrat dan kecemburuan untuk
memiliki membawa dalam dirinya sikap melupakan perilaku yang baik.
Tapi mall demi mall, etalase demi etalase, pada akhirnya adalah kuil-kuil di mana fetisisme
komoditas jadi ritual, dan mlik jadi ketaatan. Tentu, tak semua menyebabkan lahirnya
perilaku buruk. Kapitalisme, yang melembagakan hasrat dan iri hati, pada akhirnya
menggerakkan dunia. Bahkan Marx sendiri mengatakan bahwa manusia, sebagai makhluk
yang dibentuk dari tubuh yang melihat, menghidu, menyentuh, mencicip, dan mendengar,
yang haus dan lapar, adalah makhluk yang menderita (leidendes Wesen) dan sebab itu,
dengan gairah, dengan semangat, ia mendapatkan kekuatan menggapai obyeknya.
Tapi saya ingat sebuah lukisan kaca dari Jawa Tengah: Petruk (seperti mengacu ke parodi
wayang terkenal, Petruk Jadi Raja) duduk di kursi, memangku seorang perempuan, salah satu
tangannya memegang botol minuman. Ruangan besar, ada tanda-tanda kekayaan yang untuk
ukuran sang pelukis rakyat sangat mewah. Di gambar itu tertulis huruf-huruf Jawa: mlik
nggndhong lali. Hasrat dan convoitise pada akhirnya bukan saja melahirkan nafsu tubuh,
tapi juga hilangnya batas pengertian milik. Milik yang selalu berarti privat, bergerak ke luar.
Dari sinilah akumulasi terjadi: menghimpun modal jadi kekuasaan, menguasai puluhan
rumah secara sah dan tak sah, menyimpan harta dari penyalahgunaan milik publik.
Tapi di mana akhirnya? Mall demi mall, etalase demi etalase, akan selalu mengulangi
ritualnya. Manusia hanya bisa bebas jika ia melintasi obsesi ini: milikku, milikku, milikku.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 05 Juli 2010~
kata Marx yang terkenal dari tahun 1851, tapi di bawah kondisi yang bukan dipilihnya
sendiri.
Maka Rusia, dengan cita-cita pembebasan universal, tak bisa menyamakan kondisi Cina
untuk melihat lahirnya sebuah revolusi sosialis. Jalan Mao berbeda dengan jalan Stalin.
Bahkan pada akhirnya keduanya bertentangan. Rusia, Cina, Yugoslavia, Korea Utara, Kuba,
dan lain-lain: revolusi tak bisa difotokopi.
Tapi ia bisa menjalar. Di abad ke-20 ia menjalar ke Asia, Afrika, Amerika Latin. Kini, di
awal abad ke-21, tampak ia berjangkit dari Tunisia, Mesir, Aljazair, Bahrain, Libya.
Mengapa? Menulis tentang gemuruh yang terjadi di Alun-alun Tahrir, Kairo, bulan ini,
Slavoj iek menyimpulkan: pemberontakan ini universal. Seperti Lafayette tergerak
Revolusi Amerika, Semua kita di seluruh dunia dengan segera tak mustahil menyamakan
diri dengannya.
Yang menarik, iek melihat kontras pemberontakan di Mesir dengan revolusi Khomeini
di Iran. Di sana, kaum kiri harus menyelundupkan pesan mereka ke dalam kerangka yang
paling kuat, yakni Islam. Sebaliknya, di Alun-alun Tahrir, kerangka itu jelas merupakan
satu seruan sekuler yang universal untuk kebebasan dan keadilan. Justru Ikhwanul
Muslimin, kata iek, menggunakan bahasa tuntutan sekuler.
Kata sekuler di sini tampaknya sama dengan tak didominasi pandangan agama apa pun
dan sebab itu universal, menyentuh siapa saja, di mana saja. Tapi mampukah sebuah
revolusi berhasil tanpa seruan yang universal?
iek salah. Di Iran, sebenarnya kerangka Islam itu juga punya sifat-sifat universal. Kita
menemukannya dalam pemikiran Ali Shariati dan Mehdi Bazargan. Yang tragis ialah bahwa
bersama tenggelamnya peran pemikiran Ali Shariati dan tersisihnya orang seperti Bazargan,
kian terputus pula pertalian peninggalan Khomeini dengan yang universal: Islam menjadi
hanya kami, tak lagi kita.
Tapi apa boleh buat: revolusi bukan sekadar penjelmaan ide yang abadi (kata-kata iek)
tentang kemerdekaan dan keadilan. Revolusi meletus dari kehidupan yang tak terkait dengan
langit. Hak untuk mempunyai hak tak diberikan satu kekuasaan yang ada dari luar sejarah.
Hak itu ditegakkan atau direbut mereka yang merasa terjepit.
Itu sebabnya revolusi tak bisa dipesan. Seperti puisi, revolusi punya saatnya sendiri untuk
lahir. Ia buah yang panas dari kemarahan yang otentik dan antagonisme yang mendalam.
Tapi selalu jadi cacat dalam tambo manusia: dalam proses itu, pergeseran dari kita ke
kami tak terelakkan. Revolusi harus mengukuhkan batas antara kami dan merekadan
di situ, kita ditiadakan.
Dengan kata lain, ada pembungkaman yang terjadi, ketika yang universalkemerdekaan,
keadilan, harga diridilembagakan dalam program partai, ideologi negara, atau hukum.
Kaum revolusioner akan harus menentukan siapa yang masuk kemerdekaan, keadilan, dan
harga diri itu dan siapa yang harus dikeluarkan.
Akan demikian jugakah gemuruh di Alun-alun Tahrir itu?
Karim, seorang demonstran muda, menyebut lapangan itu sebuah utopia kecil. Tapi utopia,
dalam arti harfiahnya, terdiri atas kata ou dan topos, bukan + tempat. Ia jejak dari satu
kejadian yang akan segera hilang. Mereka yang cemas perlu mengerahkan kesetiaan yang
besar untuk selalu merebut kembali yang hilang itu.
Maka Lafayette tak berhenti di satu sisi Lautan Atlantikdan namanya tak tenggelam hanya
sampai di abad ke-18. Revolusi tak bisa difotokopi, tapi ia tak pernah selesai.
Majalah Tempo Edisi Senin, 21 Februari 2011
memungkinkan aku mengubah semua yang keji dan tragis ke dalam ketenteraman dan
bahagia.
Kenapa? Kenapa ia bisa tersenyum kepada hidup justru dalam sel yang dijaga itu? Ia men
Maka nostalgia adalah ingatan yang memperindah ingatan. Sebab itu kita tak perlu
mencemoohnya: ia bagian yang memperkaya hidup kita sekarang, karena mengakui ada dari
masa silam yang begitu penting, begitu bagus, dan kita ingin tahu.
Maka jika sejumlah arsitek muda dari Jakarta pada suatu hari di tahun 2009 berjalan berjamjam mendaki ke Dusun Wae Rebo, dan di sana mengagumi konstruksi rumah adat itu, jika
mereka kemudian membentuk sebuah yayasan buat menghidupkan lagi kepiawaian
arsitektural di pelosok-pelosok Indonesia, jika kemudian ada dermawan yang membiayai
usaha untuk mensyukuri tanah air dengan cara yang kreatif ituitu semua menunjukkan
bahwa nostalgia itu adalah bagian dari pencarian hal-hal yang baru dan berbeda. Buku yang
kemudian mereka terbitkan, Pesan dari Wae Rebo (editor Yori Antar, terbitan Gramedia
Pustaka Utama, 2010) adalah rekaman semua itu.
Rasa ingin tahu itu sebenarnya mengandung kritik. Di situ ia sebenarnya bagian dari
modernitas, yang tak mau hanya menerima apa yang ada. Dan modernitas bergerak karena
kritik itu juga tak jarang ia tujukan ke dalam dirinya sendiri.
Salah satu otokritik yang terkenal menunjuk kepada ketakmampuan kita untuk merasakan
tempat kita tinggal sebagai bagian dari Hidup yang tiap kali membuat takjub. Kini kita
kehilangan pesona dunia: harum kembang, suara burung, warna fajar, telah jadi
pengetahuan. Rumah telah jadi kamar persegi panjang.
Heidegger, yang dengan suara berat melakukan otokritik kepada abad ke-20, mengingatkan
kita akan makna kata bauen. Baginya, makna kata itu bukan saja mengacu kepada
membangun, tapi juga hidup di bawah langit, hidup di antara semua yang fana, tapi juga
bagian dari apa yang tumbuhbaik karena benih sendiri atau diolah jadi kebudayaan.
Tapi di mana kini kita bisa bicara seperti itu?
Ini abad ke-21. Otokritik itu juga perlu kritik. Manusia tak lagi, untuk menggunakan kalimat
penyair Hlderlin di Jerman abad ke-18, berdiam secara puitis (dichterisch wohnet der
Mensch). Di kota-kota Indonesia yang padat, manusia berhubungan dengan ruang hidupnya
sebagai prosa dengan angka-angka di akta tanah.
Tapi tak hanya itu. Berdiam secara puitis agaknya hanya bisa diutarakan oleh mereka yang
punya rumah yang sejuk dan tenang, mungkin bahkan dengan hutan dan sungai di dekatnya.
Tak semua orang punya privilese itu. Kuli bangunan yang menginap dari tempat ke tempat,
para pemulung yang membuat kereta-kotak jadi kamar tinggal mereka yang bisa diparkir di
mana saja, punya pengertian lain tentang rumah.
Pada akhirnya, rumah adalah respons kepada kebutuhan tubuh, yang berkembang jadi
rencana dan imajinasi. Ingatan tentang rumah masa lalu hanya penting jika ia bagian dari
respons itu. Di situlah rumah adat dan rumah darurat punya titik temunya. Bukan dalam
bentuk, tapi dalam kreativitas: kemampuan menemukan cara yang pas, di suatu masa, di
suatu tempat, di sebuah kondisi berkelebihan dan berkekurangan.
Maka kita akan dapat sesuatu yang berharga jika dari Desa Wae Rebo kita temukan sesuatu
yang baru di dalam bentuk fisik yang tampak lama. Kita mengingat, tapi kita tak mengulangi.
Sejarah tak bisa diulangi. Sejarah berubah. Antara lain melalui kreasi.
pasukannya dengan terhormat. Dan ketika pasukan Kristen itu akhirnya kalah juga, yang
dilakukan Saladin bukanlah menjadikan penduduk Nasrani budak-budak. Saladin malah
membebaskan sebagian besar mereka, tanpa dendam, meskipun dulu, di tahun 1099, ketika
pasukan Perang Salib dari Eropa merebut Jerusalem, 70 ribu orang muslim kota itu dibantai
dan sisa-sisa orang Yahudi digiring ke sinagog untuk dibakar.
Anakku, konon begitulah pesan Sultan itu kepada anaknya, az-Zahir, menjelang wafat,
Jangan tumpahkan darah sebab darah yang terpercik tak akan tertidur.
Dalam hidupnya yang cuma 55 tahun, ikhtiar itulah yang tampaknya dilakukan Saladin.
Meskipun tak selamanya ia tanpa cacat, meskipun ia tak jarang memerintahkan pembunuhan,
kita toh tahu, antara lain dan film Hollywood sekalipun, bagaimana pemimpin pasukan Islam
itu bersikap baik kepada Raja Richard Berhati Singa yang datang dari Inggris untuk
mengalahkannya. Ketika Richard sakit dalam pertempuran, Saladin mengiriminya buah pir
yang segar dingin dalam salju, dan juga seorang dokter. Lalu perdamaian pun ditandatangani,
1 September 1192, dan pesta diadakan dengan pelbagai pertandingan, dan orang Eropa takjub
bagaimana agama Islam bisa melahirkan orang sebaik itu.
Kita sekarang juga mungkin takjub bagaimana masa lalu bisa melahirkan orang sebaik itu.
Terutama ketika orang hanya mencoba menghidupkan kembali apa yang gagah berani dari
abad ke- 12 tapi meredam apa yang sabar dan damai dari sebuah zaman yang penuh
peperangan. Tapi pentingkah sebenarnya masa silam?
Dari makam telantar orang Kurdi yang besar itu, suatu hari di tahun 1970-an, saya kembali ke
pusat Damaskus, lewat lorong bazar yang sibuk di depan Masjid Umayyah. Kota itu riuh,
keriuhan yang mungkin tanpa sejarah.
~Majalah Tempo, l9 Januari 1991~
Jika kita memandangnya sebagai sebuah sistem dan prosedur bagaimana keputusan politik
diambil, kita akan melihat bahwa demokrasi bertolak dan berakhir dalam keadaan yang tak
pernah utuh. Situasi yang dihadapi adalah situasi serba tergantung, serba mungkin. Di sini,
yang membentuknya sering bukan kebenaran, melainkan kebetulan. Castoriadis benar
ketika ia mengatakan, demokrasi adalah sebuah rezim yang tragis.
Demokrasi bermula dari pengakuan bahwa nun di atas yang paling atas di dunia ini, dan juga
nun di dasar paling dasar dari kehidupan, yang ada adalah sebuah growongan tanpa penghuni,
tanpa isi. Sang otoritas yang dulu dianggap punya hak yang abadi, yang didesain Allah, telah
terbukti bisa disingkirkan. Fondasi yang semula dianggap kekal telah ditiadakan.
Sejarah revolusi-revolusi menunjukkan itu. Siapa pun yang kemudian mengisi liang kosong
itu akan tahu, ia tak identik dengan growongan itu. Ia memegang otoritas, tapi ia tak bisa
menyatakan diri dialah sang penentu sepenuhnya. Posisi itu tak sama dan sebangun dengan
dirinya. Kehidupan beragam dan berubah, tak mungkin itu-itu-saja, mustahil untuk jadi
tunggal. Otoritas yang ada bisa (bahkan dengan sendirinya) goyah. Atau, seperti Ayatullah
Khomeini, sang otoritas tetap seorang manusia yang usianya terbatas.
Dengan demikian memang pada akhirnya harus dikatakan, demokrasi adalah kekurangan
yang juga keniscayaan. Tak ada alternatif yang lebih pas untuk ketidaksempurnaan riwayat
manusia. Dalam hubungan itulah demokrasi bertolak dari asas bahwa mereka, demos, yang
berada di luar pemegang otoritas, itulah yang menentukan.
Tapi demos pun sebuah ketakpastian. Hanya sebagai pengertian yang abstrak demos itu bisa
dianggap tunggal dan kekal. Dalam pengalaman konkret, cuma sesekali rakyat bisa
dihitung sebagai satu.
Agaknya sebab itu pertanyaan para pemikir politik sejak Hobbes hingga Habermas adalah
bagaimana tersusunnya sebuah tata, bagaimana terbangunnya sebuah tertib? Bagaimana
manusia dalam sebuah negeri bisa akur, hingga kehidupan bisa berjalan rapi dan nyaman?
Ada yang menjawabterutama yang memandang manusia dengan muka murambahwa
tata dan tertib hanya bisa terbangun jika ada Leviathan, sebuah kekuasaan besar yang
memaksakannya. Ada yang lebih optimistis: mereka yakin bahwa manusia adalah makhluk
yang tak hidup dengan subyektivitasnya sendiri, melainkan dengan inter-subyektivitas. Dan
inter-subyektivitas itu sudah sejak mula dikukuhkan dalam bahasa. Kita tak bisa mengelak
dari bahasa, kita dibentuk oleh bahasa, dan bahasa bukanlah sebuah produk monolog.
Apalagi jika ditambahkan keyakinan: ada rasionalitas yang membuat manusia bisa mencapai
mufakat.
Tapi mufakat tak dengan sendirinya sama dengan kebenaran. Dalam bentuknya yang
terbaik, mufakat hanyalah jejak-jejak yang menandai ada kebenaran, tapi kebenaran yang tak
kunjung hadir. Demokrasi sebenarnya hanya mendapatkan jejak itu, yang lahir dari proses
tawar-menawar dan kompromi. Proses itu, apa boleh buat, bergantung kepada keadaan saat
itu: perimbangan kekuatan, kehendak masing-masing pihak, dan informasi yang tersedia.
Itu sebabnya, mufakat tak akan mewakili kebenaran yang universal.
Demokrasi adalah sebuah rezim yang tragis, karena ia terpaksa harus bekerja dengan dasardasar yang tak kuat, yang tak berlaku selama-lamanya dan diterima di mana saja.
Kebenaran, jika hasil konsensus bisa disebut demikian, hanya buah pertimbangan praktis.
Kita sepakat karena kita tak bisa terus-menerus bertengkar untuk menentukan bahwa A
adalah A. Besok kita harus bekerja untuk hidup, dan untuk itu harus ada stabilitas tertentu.
Ketika kita berkompromi, sering kita tak 100% puas dan tak 100% yakin akan benarnya
kesimpulan yang dimufakati. Apalagi tak jarang kompromi itu merupakan hasil kemenangan
si kuat yang disamarkan.
Demokrasi yang seperti itulah yang kini dijalankan, juga di Indonesia. Dengan gaya yang
berbeda-beda, dalam demokrasi ini yang diharapkan adalah prosedur bertukar-pikiran yang
sehat, bertolak dari rasionalitas yang praktis.
Tapi jika demikian, di mana gerangan ada kebenaran yang diyakini? Di mana kita temukan
makna yang sangat berarti bagi hidup kita, yang akan kita pertahankan mati-matian?
Bagaimana akan ada semangat yang militan untuk meneguhkan A adalah benar-benar A?
Bagaimana bila semua nilai jadi nisbi dan kita hanya bekerja separuh hati untuk hidup yang
lebih baik, sebab yang lebih baik itu juga tak amat meyakinkan?
Sang militan akan mati. Atau ia harus jadi seorang yang melihat politik seraya melupakan
sifat tragis demokrasi. Ia bisa mengikuti semangat Badiou, yang tergugah penuh oleh
kebenaran sebagai sesuatu yang mengimbau tak terhingga, tak hanya dibatasi oleh jejaknya
sendiri. Sebab militansi hanya bisa bangkit oleh sesuatu yang diakui luhur oleh semua orang
selamanya.
Tapi sang militan bisa jadi sang fanatik. Kecuali bila ia bersedia melihat kebenaran bagaikan
energi dari petir: gelegar dan cahayanya menggetarkan tapi tak akan pernah menetap.
Di situlah demokrasi, tanpa ambisi mencapai yang benar, tetap penting. Sistem ini
memberikan peluang bagi kerendahan hati. Atau kearifan: dalam meraih kebenaran, kita tahu
hidup terdiri atas kesementaraan dan pelbagai kebetulan.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 01 Maret 2010~
Tapi bom meledak di Bursa Efek dan kita bisa mempunyai sebuah cerita yang lain. Eksplosi
yang mematikan itu menunjukkan bahwa Sang Pasardengan segala kesaktiannyajuga
perlu proteksi. Perlindungan itu baru berarti jika ia datang dari sesuatu yang terkait erat
dengan birokrasi: agar bom tak jahanam lagi, agar si teroris dapat ditangkap, agar dokumen
tak musnah dan komputer aman, Sang Pasar membutuhkan sesuatu yang punya organisasi
efektif, luas jangkauannya, teratur cara bekerjanyadan berada dalam posisi yang tak
tersentuh oleh Sang Pasar itu sendiri. Daftarnya bisa panjang: sepasukan penjinak bom,
intelijen, batalyon yang bersenjata, penjaga dan administrator rumah tahanan, sederet jaksa,
sejumlah hakim, dan mungkin pula sebuah regu tembak. Mereka itu harus diletakkan di satu
tempat di mana mereka bukan sejumlah komoditi.
Sebab, Sang Pasar membutuhkan ruang yang aman. Pada akhirnya ia memerlukan apa yang
bisa disebut sebagai birokratisasi kekerasan. Ia tak akan bisa bertahan di kancah kekerasan
yang merusak secara tak terduga-duga, seperti bom di Bursa Efek itu. Para perompak lanun di
Laut Cina Selatan yang membajak barang perniagaan di kapal-kapal, para penggarong bank
di kota-kotasemua itu adalah bentuk kekerasan yang justru semakin menakutkan, dan
semakin destruktif, karena salah satu sendinya adalah ketak-pastian.
Tentu, Sang Pasar pintar menari dalam ketak-pastian: Bursa Efek jadi hidup karena ada nilai
saham yang turun dan ada yang naik. Transaksi berlangsung justru karena itu. Tanpa
fluktuasi, spekulasi tak akan bergerak dan orang tak bisa menambah untung. Dengan kata
lain, setiap hari adalah hari yang bisa mengandung kejutan. Saya ingat lelucon Mark Twain
tentang bursa. Oktober, katanya, adalah bulan yang penuh risiko buat bermain di pasar
modal. Begitu juga bulan Mei, Juli, September, Maret, April, November, Agustus, Februari,
Juni, Desember, Januari.
Tapi dalam ketak-pastian yang terus-menerus itu manusia mau tak mau ingin memperkecil
risiko. Kekerasan yang tak terduga-duga harus dibuat untuk bisa masuk hitungan. Dan
birokratisasi pun berkembang.
Italia Utara, tahun 1176. Di Legnano, satu pasukan para kesatria Jerman yang hidup sebagai
garong datang menyerbu untuk menjarah kota itu. Tapi, berbeda dengan di tempat lain, di
Legnano ternyata para penyerbu dapat dikalahkan oleh warga yang mempersenjatai diri dan
bersiap-siaga. Sebuah tindak sukarela.
Kemudian zaman berubah. Kekuatan pertahanan macam itu tak memadai lagi. Pasukan warga
seperti di Legnano hanya bisa efektif bila ada disiplin dan ada pertalian yang tumbuh dari
rasa ikut memiliki. Namun, ketika perdagangan ramai, ikatan primer di dalam tubuh
masyarakat pun retak: ada yang miskin dan ada yang kaya, ada majikan dan ada penjual
tenaga. Kota-kota makin rentan oleh konflik di dalam kancahnya sendiri.
Maka orang pun terpaksa menyewa tenaga orang lain buat pertahanan dan kontrak pun dibuat
dan lahirlah condotierri (dari kata condotta, kontrak). Tenaga kontrakan ini akhirnya bukan
saja menghendaki ketrampilan individual, tapi juga manajemen. Birokratisasi kekerasan lahir,
juga pemegang monopoli kekerasan: hadirlah angkatan perang profesional.
Tapi bersamaan dengan itu sebuah masyarakat memerlukan seperangkat perlengkapan yang
membuat sebuah negara disusun: ada kantor pajak, peradilan, pembuat aturan dan undangundang, dan ada kekuatan penjaga keseimbangan. Sang pemegang monopoli kekerasan harus
bisa tetap tunduk kepada warga yang membayar pajak dan membiayai ongkos birokratisasi
itu. Bedil harus punya tuannya.
Dengan demikian, Sang Pasar diharapkan bebas dan tak menyentuh prasarana itu.
Komersialisasi harus berhenti di wilayah ini. Tentara tak boleh digerakkan oleh penawar
upah yang paling mahal. Nasib buruk akan menimpa sebuah kota bila Sang Pasar juga
merasuk kemari, dan negara tak lagi berlaku sebagai negara, melainkan sebagai sebuah ruang
bursa yang gelap: para jenderal menawarkan servis militer ke para peminat yang ingin
menggunakan kekerasanmungkin seorang yang ingin menagih utang, mungkin seorang
pemilik kasino gelap dan bordil, mungkin seorang pemasok narkoba, mungkin pula seorang
tokoh yang sakit hati.
Akhirnya siapa yang tak mampu tak akan terlindungi. Persis seperti sopir-sopir yang tewas
oleh ledakan bom di Bursa Efek Jakarta di hari itu: sang korban bahkan tak dibicarakan lagi
beberapa jam setelah televisi dimatikan.
~Majalah Tempo, Edisi. 02/I/18 24 September 2000~
dan selaras. Tapi guru yang terbaik adalah pengalaman. Semakin dewasa seseorang akan
semakin tahu ia tentang itu semua?terutama ketika kemudian ia sendiri menjadi orang upahan
di dunia usaha yang tak adil. Saya kira dalam hidup manusia di abad ke-20 selalu ada,
tercetus atau tidak, amarah yang benar.
Itu sebabnya selalu datang saat-saat gagasan radikal, dengan atau tanpa doktrin. Lagu
Internationale berseru dengan bergelora, Perjuangan penghabisan, marilah, melawan! tapi
gelora itu bisa datang tanpa sebuah nyanyian partai. Charles Frankel pernah mengatakan
bahwa bukan Marxisme yang meciptakan orang-orang radikal, melainkan setiap generasi
orang radikal yang menciptakan Marx-nya sendiri.
Itu sebabnya amarah dan gagasan yang menghendaki sebuah dunia yang berubah sampai ke
akar yang terdalam, punya sesuatu yang bisa mirip dengan semangat keagamaan. Itu
sebabnya orang seperti Haji Misbach di latar Indonesia tahun 1920-an bisa menggabungkan
Islam dengan komunisme dalam dirinya. Bagi agama, seperti halnya bagi MarxismeLeninisme, dunia yang ada kini dan di sini adalah sebuah cacat. Kaki yang berpijak di dunia
yang seperti itu juga kaki yang hendak terbang dari sana?setelah menyepaknya. Dalam agama
dan dalam komunisme ada pandangan etis yang terang berapi-api dalam persoalan
ketakadilan dunia. Ada sesuatu yang?apalagi jika disebut sebagai kehendak Allah, atau
sesuatu yang ilmiah?menjadi mutlak.
Tapi tak seluruhnya gampang. Antara sikap etis dan proses politik terdapat bukan saja sebuah
ngarai, tapi juga ketegangan yang tak kelihatan. Di sebelah sini adalah tuntutan, atau sebuah
gambaran ideal, tentang apa yang adil. Di sebelah sana adalah politik yang, seperti kata
sebuah klise, merupakan the art of the possible. Di sebelah sini satu imperatif moral. Di
sebelah sana politik sebagai kiat menemukan modus dan efektivitas kerja dalam kondisi yang
apa-adanya.
Di suatu masa ketika amarah jadi sesuatu yang benar, karena ketidakadilan begitu
menyesakkan napas, imperatif moral itu cenderung diharap jadi dasar. Tapi sejarah
berangsur-angsur membuka perspektif lain. Mungkin sebab itu Max Weber bisa mengatakan
bahwa dalam percaturan politik, ada dua kemungkinan: politik sebagai sebuah pelaksanaan
etika tanggung jawab atau politik sebagai sebuah realisasi etika hati nurani. Yang
pertama menunjukkan kesediaan menerima batas. Yang kedua menunjukkan kesediaan
mengabdikan diri pada tujuan yang absolut. Yang pertama lebih pragmatis; ia juga bersedia
berkawan kembali dengan sang lawan di medan pergulatan. Yang kedua melahirkan orangorang yang digerakkan oleh api kemurnian?dan karena itu tak menghendaki rekonsiliasi.
Bagi Weber, hanya etika tanggung jawab yang mungkin jika orang menghendaki
perdamaian dalam kehidupan politik. Tapi tentu saja Weber membayangkan sebuah
masyarakat yang didasari kemufakatan untuk saling menghormati hak sesama?sebuah
masyarakat yang plural. Dalam masyarakat seperti itu manusia diperlakukan sebagai sesuatu
yang lebih majemuk ketimbang sekadar hasil sebuah rumusan. Dalam masyarakat seperti itu
manusia diakui justru sebagai sesuatu yang tak-terumuskan, sesuatu yang tak bisa
diterangkan oleh ideologi?yang menurut Marx sama artinya dengan ide palsu dan topeng bagi
kepentingan tertentu.
Sebab itu, dengan etika tanggung jawab, buruh bukan hanya tampil sebagai proletariat
yang diseru tiap awal Mei: sebuah makhluk yang telah disulap jadi konsep. Buruh bukan
hantu yang membayang-bayangi zaman, bukan pula dewa yang akan melintasi waktu. Ia
punya impian, kemarahan yang benar, tapi ia ternyata juga punya batasseperti halnya para
manajer dan majikan. Dan ia tak sendirian, kini dan di kemudian hari.
~Majalah Tempo Edisi. 16/XXX/18 24 Juni 2001~