Anda di halaman 1dari 8

Prosiding

Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008


Universitas Lampung, 17-18 November 2008

PENGARUH PERUBAHAN SUHU TERHADAP VIRULENSI WHITE SPOT


SYNDROME VIRUS (WSSV) PADA UDANG PUTIH
Litopenaeus vannamei
1
Sumardi, 1Ahmad Nugraha, 2Iswadi, dan 1Ziska Herman Tobing
1
) Jurusan Biologi FMIPA Universitas lampung
2
) Marine Research Central PT Central Pertiwi Bahari, lampung
sumardi_bio@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan suhu terhadap virulensi
WSSV pada udang putih (Litopenaeus vannamei). L. vannamei yang diinfeksi dengan virus
WSSV ditumbuhkan pada suhu berbeda yaitu 15oC, 20oC, 30oC, dan 25oC sebagai kontrol
positive. Perlakuan dengan phosphate buffer saline (PBS) digunakan sebagai kontrol negative.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan suhu mempengaruhi mortalitas kumulatif atau
virulence WSSV pada udang tersebut. Mortalitas kumulative mencapai 100% ± 0,00 di suhu
25oC pada hari kedua hingga hari keempat setelah injeksi WSSV. Sebaliknya, udang tidak mati
pada suhu 30oC hingga hari kesepuluh. Sementara itu, perlakuan dengan suhu 15oC
menghasilkan kematian udang 37.77% ± 13.85 pada hari keempat hingga hari kesepuluh dan
mortalitas kumulatif udang mencapai 75.53% ± 3.83 untuk suhu 20oC pada hari ketiga hingga
kesepuluh setelah injeksi WSSV.

Katakunci: Litopenaeus vannamei; White spot syndrome virus; temperature

1. PENDAHULUAN
Usaha pemeliharaan udang putih di Indonesia sangat menjanjikan karena didukung oleh
lahan pertambakan yang cukup luas. Semakin luas lahan pertambakan yang dimanfaatkan akan
memunculkan perubahan lingkungan yang cukup drastis , maka akan menimbulkan pengaruh
buruk dangan munculnya berbagai macam penyakit (Sumardi, 2007). Beberapa jenis penyakit
yang dapat menyerang udang pada budidaya air payau antara lain parasit, bakteri, dan virus
(Cheng, dkk., 2002; Yanto, 2006). Salah satu penyakit yang disebkan oleh virus yang sangat
membahayakan adalah penyakit WSSV (White Spot Syndrome Virus) (Jiravanichpaisal, dkk.,
2005; Sritunyalucksana, dkk., 2006; Peinando-Guevara, dkk., 2006; Rahman, dkk., 2007; Du,
dkk., 2008).
Sampai saat ini tidak ada jenis antibiotik dan kemotrapi yang dapat digunakan untuk
pengobatan penyakit viral. Pencegahan lebih efektif untuk pengendalian penyakit viral. Salah
satu cara yang dilakukan adalah dengan cara mempelajari interaksi antara lingkungan dan inang.
Salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap inang dan penyakit WSSV
adalah suhu.Suhu merupakan hal yang sangat penting, tinggi rendahnya suhu mempengaruhi

ISBN : 978-979-1165-74-7 III-367


Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008

metabolisme virus. Temperatur rendah menyebabkan virus inaktif, sedangkan temperatutr tinggi
dapat menyebabkan kerusakan virus atau virus mengalami denaturasi, karena sebagian besar
tubuh virus tersusun atas protein. (Voiles dkk., 2002)

2. METODE DAN HASIL


Kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan wadah percobaan yaitu wadah percobaan
berupa tank akuarium dari bahan plastik dengan volume total 125 L dicuci bersih dan direndam
dalam larutan kaporit 500 ppm selama 24 jam, dibilas, lalu dikeringkan. Pada tahap selanjutnya,
udang putih yang digunakan dalam percobaan berbobot tubuh rata-rata 1 gram dengan umur
sekitar 20 hari pada stadia Juvenile, berasal dari Marine Research Center PT. Central Pertiwi
Bahari, Desa Suak, Sidomulyo- Lampung Selatan. Udang dipelihara dalam tank plastik 125 L
yang diisi air sebanyak 50 L dengan kepadatan 15 ekor/tank. Udang terlebih dahulu
diaklimatisasi selama 3 hari pada salinitas 20 ppt. Udang diberi pakan tiga kali sehari (pukul
08.00, 14.00, 20.00) menggunakan pakan udang komersil CP-02 dengan Feeding Rate 8 %.
Udang yang telah diaklimatisasi kemudian diinjeksi dengan virus WSSV (White Spot Syndrome
Virus) yang telah ditemukan konsentrasi lethal minimumnya (min LC) atau PBS (Phosphate-
Buffered Saline) sebagai kontrol negatifnya. Virus WSSV ini merupakan hasil ekstrasi dari
Marine Research Center PT. Central Pertiwi Bahari, Lampung Selatan sedangkan PBS
merupakan buffer bagi ekstrak virus WSSV. Virus atau PBS disuntikkan pada tubuh udang
pada bagian ventral antara abdomen ke-1 dan ke-2 dengan menggunakan syringe tuberculin (1
mL) dengan perbandingan 50 μL / 1 gram udang.
Suhu di dalam tank pada saat udang udang diaklimatisasi sama yaitu 250C. kemudian
dirubah setelah 12 jam sesudah injeksi..Suhu yang digunakan yaitu suhu150C, 200C, 300dan
suhu 250C sebagai kontrol positif dengan 3 kali ulangan. Suhu pada kontrol negatifnya (PBS)
juga sebanyak perlakuan (150C, 200C, 250C, dan 300) dengan 3 kali ulangan.
Variabel yang diamati meliputi mortalitas (kematian) dan kualitas air (salinitas, suhu,
pH air, total NH4, alkalinitas, Total Bakteria Count, Total Vibrio Count). Penyakit WSSV ini
kemudian dideteksi dengan metode Histoptologi dan PCR (Polymerase Chain Reaction).
Metode histopatologi yang digunakan menurut Pribadi (2002) meliputi beberapa tahap yaitu
preparasi sampel, dehidrasi, penjernihan, parafinisasi, trimming dan pemotongan, pewarnaan,
serta penutupan dan pemberian label. Untuk metode PCR, virus WSSV dideteksi menggunakan
kit amplifikasi spesifik WSSV (IQ 2000TM WSSV Detection and Prevention System). Langkah-
langkah yang dilakukan meliputi persiapan sampel dan ekstraksi DNA, amplifikasi,
elektroforesis dan diagnosa.

ISBN : 978-979-1165-74-7 III-368


Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008

Persiapan Sampel dan Ekstraksi DNA


Prosedur ekstraksi DNA ini terbagi menjadi dua metode yaitu metode DTAB-CTAB
dan metode Buffer Lysis. Untuk metode DTAB-CTAB, sampel berupa seekor atau 20 mg
daging udang sedangkan sampel berupa 1 buah kaki udang, insang atau 30 ekor udang dengan
umur < PL 12 untuk metode Buffer Lysis (Anonymous, 2000).

Amplifikasi
Kondisi amplifikasi untuk deteksi WSSV menggunakan acuan IQ 2000TM WSSV
Detection and Prevention System yaitu kondisi reaksi ”First PCR” 94oC 2 menit; 94oC 20 detik;
62oC 20 detik; 72oC 30 detik sebanyak 15 siklus, kemudian 72oC 30 detik; 20oC 30 detik pada
ujung siklus yang terakhir. Sedangkan tahap ” Nested PCR” adalah 94oC 20 detik; 62oC 20
detik; 72oC 30 detik sebanyak 30 siklus, kemudian 72oC 30 detik; 20oC 30 detik pada ujung
siklus yang terakhir (Anonymous, 2000).

Elektroforesis
Elektroforesis kemudian dilakukan untuk mengetahui suatu sampel terinfeksi WSSV
atau tidak., maka sebanyak 5∼10 μl campuran Loading dye dan produk PCR dilarikan dalam gel
agarose bersama dengan DNA marker, kontrol positif dan kontrol negatif (IQ 2000TM WSSV
Detection and Prevention System). Konsentrasi gel agarose yang digunakan adalah 2% dalam
buffer 1XTAE/TBE dengan kekuatan arus 100∼150 volt. Elektroforesis ini dihentikan ketika
pewarna mendekati ½ sampai 2/3 dari gel. Gel dimasukkan ke dalam pewarna EtBr (Ethidium
Bromida) selama 5 menit kemudian dipindahkan ke larutan De-staining (akuades) selama 15
menit. Gel hasil elektroforesis lalu diamati menggunakan gel documentation dengan bantuan
sinar UV lalu didokumentasikan (Anonymous, 2000). Sampel yang positif terinfeksi WSSV
ditandai dengan terbentuknya band pada 296 bp dan atau 550 bp sedangkan sampel negatif
terbentuk band hanya pada 848 bp.
Data presentase kematian kumulatif, Total Bakteria Count (TBC) dan Total Vibrio
Count (TVC) yang diperoleh akan diolah secara statistik, yaitu disusun dalam Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan ulangan sebanyak 3 kali ulangan. Data dianalisis dalam Analisis Ragam
(ANARA) untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan perlakuan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Kematian (Mortalitas)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan suhu memberikan dampak yang
berbeda terhadap virulensi WSSV pada udang putih. Hasil tersebut terlihat dari jumlah kematian
yang berbeda-beda dalam setiap perlakuan. Berdasarkan Anara (5%) menunjukkan bahwa

ISBN : 978-979-1165-74-7 III-369


Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008

perlakuan berpengaruh nyata, antara satu perlakuan dengan yang lainnya. Menurut Lester and
Pants (1992) perubahan suhu berpengaruh terhadap metabolisme dari udang.
Kematian udang terjadi pada perlakuan suhu 15 0C, 20 0C, dan 25 0C dalam 10 hari
pengamatan. Pada perlakuan suhu 15 0C kematian kumulatif selama 10 hari mencapai 37,77%,
awal kematian terjadi pada hari ke-5. Pada suhu 20 0C kematian kumulatif berlangsung sejak
hari ke-3 sampai dengan hari ke-10 mencapai 75,533% (Gambar 1 dan tabel 1). Menurut Du,
dkk. (2008) WSSV masih aktif pada suhu 18 0C ± 1.

KEMATIAN KUMULATIF

120
Kematian kumulatif (%)

100 Kontrol (PBS) 15°c


80 Kontrol (PBS) 20°c
Kontrol (PBS) 25°c
60
Kontrol (PBS) 30°c
40 WSSV 15°c
20 WSSV 20°c

0 WSSV 25°c
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 WSSV 30°c

Hari Ke- Setelah Injeksi

Gambar1. Kematian Kumulatif per- hari

Tabel 1. Persentase kematian kumulatif Udang Putih (L. vannamei) pada


hari ke-10 setelah injeksi virus WSSV pada tiap-tiap perlakuan
Rata-rata persentase kematian
Perlakuan kumulatif Udang Putih (%) ±
SD
Kontrol Negatip (PBS) 0,00 ± 0,00 a
Kontrol positif (WSSV 25 100,00 ± 0,00 b
0
C) 37,77 ± 13,85 c
WSSV 15 0C 75,53 ± 3,87 d
0
WSSV 20 C 0,00 ± 0,00 a
0
WSSV 30 C
Keterangan :
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
α 5 % uji Beda Nyata Terkecil (BNT)

Pada kontrol positif yaitu suhu 25 0C kematian udang mencapai 100% sejak hari ke-2
sampai hari ke-4. Berdasarkan data yang diperoleh suhu 25 0C merupakan suhu optimum
virulensi virus WSSV udang putih. Pada suhu 30 0C tidak ada kematian yang terjadi sejak awal

ISBN : 978-979-1165-74-7 III-370


Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008

sampai dengan hari terakhir pengamatan. Menurut Rahman dkk. (2007) suhu 30 0C dapat
menghambat replikasi WSSV sehingga terjadi penurunan jumlah virus dan dapat menurunkan
kematian.

Kualitas Air
Dari hasil pemeriksaan kualitas air diketahui pH air dari seluruh perlakuan berkisar
antara 7,2-8,3 masih dalam batasan pH yang baik yaitu 7,0-8,5 (Sumeru dan Suzy, 2007).
Salinitas yang terdapat dalam setiap aquarium dari awal pengamatan sampai dengan akhir sama
yaitu 20 ppt. Menurut Haliman dan Dian (2006) salinitas yang masuk ke dalam batas kelayakan
adalah 15 ppt-30 ppt. Pada penelitian ini suhu tidak mempengaruhi naik turun nya pH dan
salinitas, karena penelitian ini dalam skala laboratorium dengan lingkungan yang dapat diatur.
Kandungan oksigen terlarut (Disolve Oxigen/DO) dari setiap perlakukan berbeda-beda.
Pada suhu 15 0C DO mencapai 9,58 ppm disebabkan oleh proses penguapan oksigen ke
atmosfer berlangsung lebih lambat. Pada suhu rendah oksigen yang digunakan untuk
metabolisme lebih sedikit karena metabolisme udang lebih lambat (Lester and Pants, 1992).
Semakin tinggi suhu DO yang dihasilkan semakin rendah, karena reaksi kimia yang
berlangsung didalam air cenderung lebih cepat (Sumeru dan Suzi, 2008). Pada suhu tinggi
kebutuhan oksigen yang digunakan untuk metabolisme akan semakin besar, karena laju
metabolisme semakin meningkat. Pada suhu 30 0C DO yang dihasilkan masih di atas kelayakan
yaitiu 6,07 ppm disebabkan oleh pengaturan sirkulasi air yang baik. Pengaturan sirkulasi air
yang baik yaitu dengan cara penggantian air sebanyak 20% di setiap harinya, dan aerasi udara
yang cukup. Menurut Sumeru dan Suzi (2008) nilai optimum oksigen bagi kehidupan udang
adalah >5 ppm.
Alkalinitas adalah salah satu komponen kimiawi yang berpengaruh terhadap
produktivitas tambak. Alkalinitas yang dihasilkan pada setiap perlakuan berada pada batasan
normal yaitu berkisaran antara 81,6-98,5 ppm. Menurut Sumeru dan Suzi (2008) batas
kelayakan alkalinitas udang berkisar anatara 50-200 ppm.
Total amoniak terdiri dari amoniak bebas (NH3) dan ion amoniak (NH4+). Pada
konsentrasi tinggi amoniak bebas beracun bagi udang dan ikan, sedangkan ion amoniak tidak
beracun. Kandungan amoniak yang terdapat di setiap perlakuan telah melewati batasan normal,
karena total NH4+ yang didapat dari hasil perhitungan berkisar antara 0,05-0,2 ppm. Menurut
Sumeru dan Suzi (2008) batasan normal atau kelayakan total amoniak adalah ≤ 0,1 ppm. Total
amoniak terbesar terdapat pada suhu 30 0C, semakin tinggi suhu maka total amoniak yang
dihasilkan semakin besar (Sumeru dan Suzi, 2008). Pemeliharaan udang yang semakin lama
menyebabkan total amoniak yang dihasilkan akan semakin besar karena metabolit sekunder
yang dihasilkannya semakin banyak.

ISBN : 978-979-1165-74-7 III-371


Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008

Total Bacteria Count (TBC) dan Total Vibrio Count (TVC) merupakan salah satu
parameter yang diukur pada kualitas air. Perhitungan ini dilakuakan untuk mengetahui
lingkungan perairan yang masih baik kualitasnya secara mikrobiologi. Hasil perhitungan
menunjukkan kandungan TVC dan TBC masih dalam batasan normal yaitu TVC terbesar
mancapai 8,0 x 103 cfu/mL dan TBC terbesar mencapai 2,0 x 104 cfu/mL. Menurut Pribadi, dkk.
(2002) batas kelayakan TVC disuatu perairan ≤ 104 sedangkan TBC ≤ 107.
Rendahnya jumlah TBC dan TVC dikarenakan air laut yang digunakan diberi perlakuan
secara fisik dan kimia. Perlakuan secara fisik ini bertujuan untuk menyaring partikel-partikel
atau kotoran terlarut dalam air. Setelah perlakuan fisika kemudian dilakukan perlakuan kimia.
Berdasarkan Anara (5%) TBC berbeda nyata pada perlakuan suhu 150C terdapat kontrol 30 0C.
Pada analisis data TVC masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata.

Deteksi Penyakit WSSV


Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi terlihat bahwa masing-masing kontrol
negatif (PBS) menunjukkan negatif WSSV. Pada suhu 15 -25 0C, ditemukan perubahan spesifik
pada masing-masing jaringan. Pada suhu 30 0C tidak terjadi perubahan yang spesifik. Virus
WSSV yang terdapat pada perlakuan dengan suhu 30 0C tidak berkembang. Jumlah virus WSSV
udang pada perlakuan dengan suhu 30 0C tidak dapat merusak sel pada setiap jaringan udang,
sehingga tidak menyebabkan kematian.
Perubahan spesifik infeksi WSSV yang terjadi secara histopatologi adalah
ditemukannya perubahan patologis pada sel. Perubahan patologis berupa perubahan abnormal
akibat infeksi virus yang disebabkan perkembangan dan penumpukan varion yang ada di dalam
sel. Perubahan tersebut dinamakan Inclusion Body (Alifudin et. al., 2003). Inclusion Body yang
teramati berupa pembengkakan inti sel (hyperthropi inti sel) yang bersifat eosinofilik (berwarna
kemerahan) dan inti sel bergerak ke pinggir. Inclusion Body juga dapat bersifat basofilik
(berwarna kebiruan) dimana inti sel sangat besar dalam ambang menjadi pecah (karyolisis) dan
diakhiri pecahnya sel dimana inti sel keluar dari sel.
Berdasarkan hasil elektroforesis diketahui bahwa seluruh sampel udang yang mati
disetiap harinya dinyatakan positif WSSV. Pada udang hidup yang diambil pada saat Harvest
(panen) didapat kontrol negatip (PBS) pada suhu 150 C-300 C negatip WSSV, namun pada
sampel WSSV dengan suhu 200 C positif WSSV (Gambar 2). Pada sampel WSSV dengan
perlakuan suhu 300 C, menghasilkan positif WSSV sangat ringan. Hal ini menunjukkan bahwa
di dalam organ udang tersebut masih terdapat virus WSSV yang berasal dari penginjeksian,
namun tidak mengalami perkembangan.

ISBN : 978-979-1165-74-7 III-372


Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008

A B C D E F G H I J

1250 bp
bbp
700 bp

400 bp

300 bp

Gambar 2. Hasil elektroforesis data PCR udang pada hari terakhir

Keterangan:
A. PBS 15 0C, B. PBS 20 0C, C. PBS 25 0C, D. PBS 30 0C, E. Negatif DNA (dd H2O), F.
WSSV 15 C (Positif sedang), G. WSSV 20 0C (Positif Sedang), H. WSSV 30 0C (Positif
Ringan), I. Kontrol +, J. Marker

4. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perubahan suhu mempengaruhi virulensi
WSSV pada udang putih. Kematian kumulatif udang mencapai 100% terjadi pada suhu 25 0C
berlangsung dari hari ke-2 setelah diinjeksi sampai dengan hari ke-4, sedangkan pada suhu 30
0
C, kematian kumulatif sampai dengan hari ke-10 adalah 0%.

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENTS)


Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada PT. Central Pertiwi Bahari atas dukungan
dana untuk pelaksanaan penelitian melalui proyek ”Penelitian atas Masalah Kesehatan Udang
serta Cara Penanggulangannya yang dapat Menghambat Pengembangbiakkan Pembudidayaan
Udang”.

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2000. IQ 2000TM WSSV Instruction Manual White spot Syndrome Virus (WSSV)
Detection and Prevention System. Farming intelligene Corp.Taiwan, 18 pp.

Alifuddin, Dana, Malole, dan Pasaribu. 2003. Patogenese Infeksi Virus White Spot (WS) pada
Udang Windu, Penaeus monodon Fab. FPIK IPB. Bogor.

Cheng, W. H-T. Chieu, M-C. Ho, J-C. Chen. 2002. Noradrenaline Modulates the Immunity of
White Shrimp Litopenaeus vannamei. Defartemen of aquakultur, kelung taiwan.

ISBN : 978-979-1165-74-7 III-373


Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008

Du, H., W. Dai, X. Han, W. Li, Y. Xu, Z. Xu. 2008. Effect of Low Water temperature on Viral
Replication of White Spot Syndrome Virus in Procambarus clarkii. Aquaculture277,
149-151.

Haliman, R.W dan Dian A.S., 2006. Udang Vannamei. Penebar Swadaya.
Jakarta
Jiravanichpaisal, P., S. Sricharoen, Irene S., Kenneth S. 2005. White Spot Syndrome Virus
(WSSV) Interaction With Crayfish Haemocytes. Departement of Fishery, Faculty of
Agricultural, Khon Kaen University, Thailand.

Lester, L.J., and M.J.R. Pants. 1992. Peneid Temperature and Salinity Responses. PP;515-525.
In : Develovments Marine Shirimp Culture: Principles and Practices. Fast, A., and L.J.
Lester (ed). Elvesier Singapore Publisher.

Peinando-Guevara, L., dan Melina L-M. 2006. Detailed Monitoring of White spot Syndrome
Virus (WSSV) in Shirmp Commercial Ponds in Sinaloa, Mexico by Nested PCR.
Aquaculture 251. 33-45

Rahman, M.M., M. Corteel, J.J. dantal-Lima, M. Wile, S.V. Alday, M.B. Pensaert, P.
Sorgeloos, H.J. Navwynck. 2007. Infact of Daily Fluctuations of Oftimum (27 0C)
andHight Water Temperature (33 0C) on Penaeus vannamei Juvenile Infected Witht
White Spote Syndrome Virus (WSSV). Aquaculture xx, xxx-xxx

Prasetyanto, P.H. 2007. Pengelolaan Kualitas Air pada Pembenihan Udang Vannamei (L.
vannamei) di PT Central Pertiwi Bahari Kabupaten Lampung Selatan. Laporan Kerja
Praktik.Universitas Lampung.Bandar Lampung. Hlm 31-33.

Pribadi, Januar. 2002. Standar Operasional dan Prosedur Divisi Aquaculture. PT. Central
Pertiwi Bahari. Lampung.

Sritunyalucksana, K., J. Srisalasa, Kenneth MC., Linda N., Timothy W. F. 2006. Comparison of
PCR Testing Methods For White Spot Syndrome Virus (WSSV) Infections in Penaid
Shrimp. Aquaculture 255. 95-104

Sumardi. 2007. Mamfaat Bakteri Probiotik: Membuat Udang Sehat Tampa Anti Biotik.
Universitas Lampung.http//www.Unila.ac.id/Fmipa.htm.

Voyles, Bruce. A, dkk. The Biology of Viruses, Second Edition. Mc. Graw-Hill Higher
Education A Divition of the Mc-Graw-Hill Company, Singapore.

Yanto, Hendri. 2006. Diagnosa dan Identifikasi Penyakit Udang Asal Tambak Intensif Dan
Panti Benih di Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Sain & teknologi. Vol. &. No. 1,
2006: 17-32.

ISBN : 978-979-1165-74-7 III-374

Anda mungkin juga menyukai