ABSTRACT
Aquatic environmental conditions that are always changing will affect the life processes of the organisms
that live in it. Environmental variables that are always changing include pH, temperature, turbidity and
detergent. To see environmental variables against organisms that need to be tested. Experiments are
carried out with the aim of examining the response of aquatic organisms to environmental variables
(temperature and pH), as well as the range of tolerance of organisms to environmental variables. The
experiment was carried out on Monday, February 22, 2021. The experiment was held at the Laboratory of
Aquatic Animal Physiology, Department of Aquatic Resources Management, Faculty of Fisheries and
Marine Sciences, Bogor Agricultural University. The experiment was started at 15.00 to 18.00 WIB. The
experimental design used in this study was a completely randomized variance (ANOVA) fingerprint (CRD)
conducted on tilapia (Orechromis niloticus) and catfish (Clarias batrachus). The parameters observed in
this experiment included: SR (Survival Rate), MR (Mortality Rate), weight loss, fish endurance, and fish
behavior. Based on the experimental results, it can prove that the environmental variables temperature
and pH show a very significant effect on the behavior, endurance and survival of aquatic organisms.
KEYWORDS: Environment, pH, Temperature.
PENDAHULUAN
Air merupakan media hidup organisme akuatik yang variabel lingkungannya selalu
berubah baik harian, musiman, bahkan tahunan. Kondisi lingkungan yang selalu berubah
tersebut akan mempengaruhi proses kehidupan organisme yang hidup didalamnya. Air
sebagai lingkungan tempat hidup organisme perairan harus mampu mendukung
kehidupan dan pertumbuhan organisme tersebut. Kualitas air secara umum menunjukkan
mutu atau kondisi air yang dikaitkan dengan suatu kegiatan atau keperluan tertentu.
Dalam lingkup akuarium, kualitas air secara umum mengacu pada kandungan polutan
atau cemaran yang terkandung dalam air dalam kaitannya menunjang kehidupan ikan dan
kondisi ekosistem yang memadai (Haridjaja et al. 2011).
Suhu perairan merupakan salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan
organisme di perairan. Suhu merupakan salah satu faktor eksternal yang paling mudah
untuk diteliti dan ditentukan. Aktivitas metabolisme serta penyebaran organisme air
banyak dipengaruhi oleh suhu air. Suhu juga sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan
pertumbuhan biota air, suhu pada badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, waktu
dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman air. Suhu
perairan berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Peningkatan suhu
menyebabkan peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Kenaikan suhu
dapat menyebabkan stratifikasi atau pelapisan air, stratifikasi air ini dapat berpengaruh
terhadap pengadukan air dan diperlukan dalam rangka penyebaran oksigen sehingga
dengan adanya pelapisan air tersebut di lapisan dasar tidak menjadi anaerob. Perubahan
suhu permukaan dapat berpengaruh terhadap proses fisik, kimia dan biologi di perairan
tersebut (Kusumaningtyas et al. 2014).
Derajat keasaman (pH) merupakan logaritma negatif dari konsentrasi ion-ion
hidrogen yang terlepas dalam suatu cairan dan merupakan indikator baik buruknya suatu
perairan. pH suatu perairan merupakan salah satu parameter kimia yang cukup penting
dalam memantau kestabilan perairan (Hamuna et al. 2018). Variasi nilai pH perairan
sangat mempengaruhi biota di suatu perairan. Selain itu, tingginya nilai pH sangat
menentukan dominasi fitoplankton yang mempengaruhi tingkat produktivitas primer
suatu perairan dimana keberadaan fitoplankton didukung oleh ketersediaanya nutrien di
perairan laut (Megawati et al. 2014).
Variabel lingkungan (fisik dan kimia) yang penting untuk dicermati dan besar
pengaruhnya terhadap proses kehidupan organisme akuatik antara lain adalah pH, suhu,
kekeruhan dan detergen. Untuk melihat pengaruh lingkungan terhadap proses kehidupan
organisme akuatik maka perlu diadakan serangkaian uji coba terhadap respon adaptasi ikan.
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui respon organisme akuatik terhadap variabel
lingkungan (suhu dan pH), serta mengetahui kisaran toleransi organisme akuatik terhadap
variabel lingkungan.
Berdasarkan hasil tabel tersebut diketahui bahwa ikan nila mengalami penambahan
bobot dalam perlakuan suhu 35°C sebanyak 44 g dan mengalami penurunan bobot pada
saat suhu air mencapai 40°C dan 45°C sebanyak 5,17 dan 1,43 g. Sedangkan pada
pengulangan organisme kedua tidak mengalami penambahan bobot. Ikan lele mengalami
penambahan bobot sebesar 19,9 g, 26,3 g, 29,9 g berturut turut pada suhu 35°C , 40°C ,
45°C dan pada perlakuan kedua mengalami penambahan bobot sebesar 7,18 g, 1,48 g, 11,8
g dimana semua perlakuan tersebut adalah suhu tinggi.
Dibawah ini merupakan tabel yang menunjukkan hasil perubahan bobot atas
perlakuan suhu rendah yang dilakukan pada organisme Ikan Nila dan Lele.
Tabel 3. Perlakuan suhu dingin terhadap perubahan bobot
Perlakuan Dingin
Organisme Ulangan
10ºC 15ºC 20ºC Gradual
1 -0.61 55.1 -36.1 -2.81
Ikan nila
2 -17.09 6.03 7.21 4.48
1 -2.42 -5.64 7.5 24.33
Lele
2 -21.16 15 -17.9 -4.62
Berdasarkan tabel hasil diatas menunjukkan bahwa pada perlakuan suhu rendah
10°C, 20°C menyebabkan ikan nila mengalami penambahan bobot sebesar 0,61 dan 36 g
serta pada suhu 15°C mengalami penurunan bobot sebesar 55,1 g. Sedangkan pada ulangan
kedua mengalami penambahan bobot pada saat suhu mencapai 10°C sebesar 17,1 g dan
mengalami penurunan bobot pada suhu 15-20°C sebesar 6,03-7,21 g. Ikan lele mengalami
penurunan bobot pada saat suhu mencapai 20°C sebesar 7,5 g dan mengalami penambahan
bobot pada suhu 10°C dan 15°C sebesar 2,42-5,6 g. Ulangan kedua menunjukkan hasil
bahwa ikan lele mengalami penurunan bobot tubuh sebesar 15 g pada 15°C dan
penambahan bobot pada suhu 10°C dan 20°C sebesar 21,2 g dan 4,62 g.
Dibawah ini merupakan tabel yang menunjukkan hasil perubahan bobot atas
perlakuan asam yang dilakukan pada organisme Ikan Nila dan Lele.
Berdasarkan hasil tabel tersebut diketahui bahwa ikan nila mengalami penurunan
bobot sebanyak 0,96 g dan 1,19 g pada pH 3 dan 5 serta mengalami penambahan bobot
pada saat pH 4 sebanyak 0,1 g. Pengulangan kedua mengalami penambahan bobot sebesar
0,21 g dan 0,1 pada pH 3 dan 4 serta penurunan bobot sebesar 0,88 g pada pH 5. Ikan lele
mengalami penambahan bobot pada perlakuan pH 4 dan 5 sebanyak 0,6 g dan 0,4 g namun
mengalami penurunan bobot pada pH 3 sebesar 0,85 g. Pada ulangan kedua mengalami
penambahan bobot pada setiap perlakuan asam sebesar 2,46 g, 1,3 g, 3,1 g.
Dibawah ini merupakan tabel yang menunjukkan hasil perubahan bobot atas
perlakuan basa yang dilakukan pada organisme ikan nila dan Lele.
Berdasarkan hasil tabel diatas diperoleh bahwa ikan lele mengalami penambahan
bobot sebesar 17,1 dan 12 g pada perlakuan pH 11 dan 12 serta mengalami penurunan
bobot pada pH 10 sebesar 16,04 g. Pada ulangan kedua ikan lele mengalami penurunan
bobot hingga mencapai 2,29 pada pH 11. Ikan nila mengalami penambahan bobot sebesar
3,53 g pada pH 10 dan mengalami penurunan bobot pada pH 11 dan 12. Ulangan kedua
menunjukkan adanya penambahan bobot pada pH 10 dan 12 berturut turut 1,77 dan 2,5 g.
PEMBAHASAN
Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu komoditas perikanan
indonesia yang mempunyai prospek cerah untuk dikembangkan. Ikan ini relatif cepat
tumbuh dan mempunyai respon yang baik terhadap lingkungannya. Ditinjau dari kebiasaan
makannya, ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah ikan pemakan segala (omnivora)
(Iskandar R dan Elrifadah 2015). Habitat ikan nila adalah air tawar, seperti sungai, danau,
waduk dan rawa-rawa, tetapi karena toleransinya yang luas terhadap salinitas (Euryhaline)
sehingga dapat pula hidup dengan baik di air payau dan laut. Salinitas yang cocok untuk
nila adalah 0-35 ppt (Prayudi RD et al. 2016). Ikan nila bernafas menggunakan insang.
Pada perlakuan suhu tinggi ikan nila mengalami penambahan bobot dalam
perlakuan suhu 35°C sebanyak 44 g dan mengalami penurunan bobot pada suhu air
mencapai 40°C dan 45°C sebanyak 5,17 g dan 1,43 g. Pengulangan kedua tidak mengalami
penambahan bobot. Pada perlakuan suhu rendah 10°C, 20°C menyebabkan ikan nila
mengalami penambahan bobot sebesar 0,61 dan 36 g serta pada suhu 15°C mengalami
penurunan bobot sebesar 55,1 g. Sedangkan pada ulangan kedua mengalami penambahan
bobot pada saat suhu mencapai 10°C sebesar 17,1 g dan mengalami penurunan bobot pada
suhu 15-20°C sebesar 6,03-7,21 g. Menurut Saparuddin (2019) Suhu optimal bagi
pertumbuhan ikan nila adalah antara 22-29°C. Ikan nila terkenal sebagai ikan yang tahan
terhadap perubahan lingkungan hidup. Efek kenaikan suhu air pada 34 °C selama 2 jam
dapat menyebabkan stres pada ikan. Stres akibat peningkatan suhu air pada ikan
berdampak terhadap performans dan kesehatan ikan berupa gangguan fungsi sel-sel darah.
Stres karena suhu tinggi berpengaruh terhadap hematologi ikan. Suhu juga berpengaruh
terhadap parameter hematologi dan daya tahan terhadap penyakit. Hematologi sering
digunakan untuk mendeteksi perubahan fisiologis yang disebabkan oleh stres lingkungan
dan juga berhubungan dengan status kesehatan ikan.
Penambahan asam pada ikan nila menyebabkan penurunan bobot sebanyak 0,96 g
dan 1,19 g pada pH 3 dan 5 serta mengalami penambahan bobot sebanyak 0,96 g dan 1,19
g pada pH 3 dan 5 serta mengalami penambahan bobot pada saat pH 4 sebanyak 0,1 g.
Pengulangan kedua mengalami penambahan bobot sebesar 0,21 g dan 0,1 pada pH 3 dan 4
serta penurunan bobot sebesar 0,88 g dan pH 5. Penambahan basa pada ikan nila
menyebabkan penambahan bobot sebesar 3,53 g pada pH 10 dan mengalami penurunan
bobot pada pH 10 dan 12. Ulangan kedua menunjukkan adanya penambahan bobot pada
pH basa 10 dan 12 berturut turut 1,77 dan 2,5 g. Menurut Lemos et al. (2018) ikan nila
yang diberi perlakuan pH diluar pH optimal akan menyebabkan kematian pada organisme
akautik. pH netral yang sesuai untuk kelangsungan hidup ikan nila adalah berkisar 7-8.
Ikan Lele (Clarias batrachus) adalah salah satu jenis ikan air tawar yang termasuk
ke dalam ordo Siluriformes dan digolongkan ke dalam ikan bertulang sejati. Secara
anatomi ikan lele memiliki alat pernafasan tambahan (arborescent organ) yang terletak di
bagian dapan rongga insang, yang memungkinkan ikan untuk mengambil oksigen
langsung dari udara. Alat pernapasan ini berwarna kemerahan dan berbentuk seperti tajuk
pohon rimbun yang penuh kapiler-kapiler darah. Oleh karena itu, ikan lele dapat hidup
dalam kondisi perairan yang mengandung sedikit kadar oksigen. Habitat ikan lele adalah
semua perairan air tawar, misalnya di sungai yang airnya tidak terlalu deras atau di
perairan yang tenang (danau, waduk, rawa-rawa) dan genangan-genangan air lainnya
(kolam dan air comberan). Ditinjau dari kebiasaan makannya Ikan Lele (Clarias
batrachus) adalah ikan omnivora cenderung karnivora (Khedkar et al. 2016).
Perlakuan suhu tinggi pada Ikan lele menyebabkan penambahan bobot sebesar
19,9 g, 26 g, 30 g berturut turut pada suhu 35°C , 40°C , 45°C dan pada perlakuan kedua
mengalami penambahan bobot sebesar 7,18 g, 1,5 g, 12 g dimana semua perlakuan
tersebut adalah suhu tinggi. Ikan lele mengalami penurunan bobot pada saat suhu
mencapai 20°C sebesar 7,5 g dan mengalami penambahan bobot pada suhu 10°C dan
15°C sebesar 2,42-5,6 g. Ulangan kedua menunjukkan hasil bahwa ikan lele mengalami
penurunan bobot tubuh sebesar 15 g pada 15°C dan penambahan bobot pada suhu 10°C
dan 20°C sebesar 21,2 g dan 4,62 g. Perlakuan suhu rendah pada ikan lele menyebabkan
ikan nila mengalami penambahan bobot sebesar 0,61 dan 36 g pada suhu 10°C dan 20°C
serta pada suhu 15°C mengalami penurunan bobot sebesar 55,1 g. Sedangkan pada
ulangan kedua mengalami penambahan bobot pada saat suhu mencapai 10°C sebesar 17,1
g dan mengalami penurunan bobot pada suhu 15-20°C sebesar 6,03-7,21 g. Perlakuan
lain pada ikan lele adalah penambahan asam dan basa. Pada penambahan asam Ikan lele
mengalami penambahan bobot pada perlakuan pH 4 dan 5 sebanyak 0,6 g dan 0,4 g
namun mengalami penurunan bobot pada pH 3 sebesar 0,85 g. Pada ulangan kedua
mengalami penambahan bobot pada setiap perlakuan asam sebesar 2,46 g, 1,3 g, 3,1 g.
sementara perlakuan basa pada ikan lele mengalami penambahan bobot sebesar 17 dan 12
g pada perlakuan pH 11 dan 12 serta mengalami penurunan bobot pada pH 10 sebesar
16,04 g. Pada ulangan kedua ikan lele mengalami penurunan bobot hingga mencapai 2,29
pada pH 11.
Menurut Mahary (2017) suhu yang ideal pada budidayaikan lele antara 28°C -
31°C. suhu 18°C – 25°C ikan masih bertahan hidup tetapi nafsu makan mulai menurun.
Suhu air 12°C -18°C mulai berbahaya bagi ikan, sedangkan suhu dibawah 12°C ikan lele
akan mati kedinginan. Suhu memegang peranan yang penting sebagai faktor lingkungan
yang mempengaruhi pertumbuhan organism air tawar dan berhubungan erat dengan laju
metabolisme untuk pernafasan dan reproduksi. Ikan Lele mempunyai toleransi bisa hidup
di kisaran pH 6 hingga pH 9 yang berarti bahwa lele lebih toleran Basa dari pada Asam,
namun kondisi ideal untuk kehidupan lele ada pada pH 7 hingga pH 8. Nilai pH 6 yang
berarti bahwa pH air bersifat asam mengakibatkan ikan lele tidak memiliki pertumbuhan
yang baik. Berdasarkan keenam data tabel ANOVA diperoleh bahwa Fhit<Ftabel
menghasilkan H0 yang berarti tidak nyata dan berarti perlakuan suhu panas tidak
seberapa dalam pengaruh pada perubahan bobot ikan.
SIMPULAN
Perubahan suhu yang terlalu ekstrim dapat menyebabkan ikan stres bahkan mati.
Stres akibat peningkatan suhu air pada ikan berdampak terhadap performans dan kesehatan
ikan berupa gangguan fungsi sel-sel darah. Stres karena suhu tinggi berpengaruh terhadap
hematologi ikan. Organisme akuatik yang diberi perlakuan pH diluar pH optimal akan
menyebabkan kematian. Pada ikan nila memiliki toleransi suhu sekitar 22°C -29°C dan pH
yang optimal untuk kelangsungan hidup ikan nila berkisar 7-8. Ikan lele memiliki toleransi
suhu sekitar 28°C -31°C dan pH yang optimal untuk kelangsungan hidup ikan lele berkisar
7-8.
SARAN
Praktikum selanjutnya alat ukur yang digunakan harus memiliki ketelitian yang
lebih tinggi agar hasil yang didapatkan bisa lebih akurat. Sebaiknya ikan yang digunakan
lebih dari dua jenis ikan sehingga dapat membedakan dan mengetahui berbagai karakter
respon tingkah laku ikan terhadap perlakuan yang berbeda (suhu dan pH).
DAFTAR PUSTAKA
Brata B, Budiyanto, Kesuma BW. 2019. Efektifitas pemberian probiotik dalam pakan terhadap kualitas air
dan laju pertumbuhan pada pemeliharaan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) sistem terpal.
Jurnal Penelitian Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. ISSN. 8(2):21-27.
Hamuna B, Tanjung RHR, Suwito, Maury HK, Alianto. 2018. Kajian kualitas air laut dan indeks
pencemaran berdasarkan parameter fisika-kimia di perairan distrik Depapre, Jayapura. Jurnal Ilmu
Lingkungan. ISSN. 16(1):35-43.
Haridjaja O, Purwakusuma W, Safitri R. 2011. Pengaruh phytoremediator tanaman kayu apu (Pistia
stratiotes) dan kiambang (Salvinia molesta) pada kualitas air graywater untuk hidroponik tanaman
selada (Lactuca sativa). Jurnal Sains Terapan. ISSN. 1(1):14-22.
Iskandar R, Elrifadah. 2015. Pertumbuhan dan efisiensi pakan ikan nila (Orechromis niloticus) yang diberi
pakan buatan berbasis kambang. Ziraa’ah. ISSN. 40(1):18-24.
Khedkar GD, Tiknaik AD, Shinde RN, Kalyankar AD, Ron TB, Haymer D. 2016. High rates of substitution
of the native catfish Clarias batrachus by Clarias gariepinus in india. Mitochondria DNA. ISSN.
27(1):569-574.
Kusumaningtyas MA, Bramawanto R, Daulat A, Pranowo WS. 2014. Kualitas perairan natuna pada musim
transisi. Depik. ISSN. 3(1):10-20.
Lemos CHP, Ribeiro CVDM, Oliveira CPB, Couto RD, Copatti CE. 2018. Effects of interaction between pH
and stocking density on the growth, haematological and biochemical responses of nile tilapia
juveniles. Aquaculture. ISSN. 495(8):62-67.
Mahary A. 2017. Pemanfaatan tepung cangkang kerang darah (Andara granosa) sebagai sumber kalsium
pada pakan ikan lele (Clarias batrachus sp). Acta Aquatica. ISSN. 4(2):63-67.
Megawati C, Yusuf M, Maslukah L. 2014. Sebaran kualitas perairan ditinjau dari zat hara, oksigen terlarut
dan pH di perairan selat bali bagian selatan. Jurnal Oseanografi. ISSN. 3(2):142-150.
Prayudi RD, Rusliadi, Syafriadiman. 2016. Effect of different salinity on growth and survival rate of nile
tilapia (Oreochromis niloticus). Jurnal Online Mahasiswa Fakulas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
ISSN. 3(1):1-10.
Saparuddin. 2019. Respon hematologi ikan nila (Oreochromis niloticus) pada suhu pemeliharaan yang
berbeda. Jurnal Matematika, Sains, dan Pembelajaannya. ISSN. 5(2):121-126.
LAMPIRAN
Total 6192.185 15
Total 6445.918 15
ANOVA pH Asam
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Perlakuan 1465.584 3 488.5281 1.068716 0.409813 3.862548358
Jenis Ikan 1847.448 3 615.816 1.347174 0.319484 3.862548358
Error 4114.053 9 457.117
Total 7427.085 15
ANOVA pH Basa
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Perlakuan 217.0397 3 72.34657 0.84884 0.501314 3.862548
Jenis Ikan 114.7885 3 38.26282 0.44894 0.724164 3.862548
Error 767.0675 9 85.22972
Total 1098.896 15