Anda di halaman 1dari 4

Questionnaire Assessment of Self-Efficacy

The Drug-Taking Confidence Questionnaire DTCQ digunakan untuk mengukur kepercayaan


diri klien dalam menghindari minum minuman keras atau penyalahgunaan obat melalui
8kategori risiko tinggi dan 50 situasi berisiko yang spesifik. Pengamatan terhadap kepercayaan
diri klien, atau self-efficacy dalam coping dengan situasi yang berisiko tinggi didapatkan
bahwa klien memiliki kecenderungan relaps yang lebih rendah dalam situasi tersebut bila mereka
telah memiliki kepercayaan diri yang tinggi terhadap kemampuan coping mereka. DTCQ
mempertimbangkan para ahli terapi untuk mengukur kepercayaan diri para klien dalam coping
terhadap situasi berisiko tinggi, untuk melihat perkembangan klien.
Coping with Lapses
Terjadinya penyimpangan tidak dapat diremehkan karena dapat berkembang menjadi
relaps sepenuhnya. Karena strategi coping berbvariasi pada setiap klien, maka ahli terapi harus
membuat kartu pengingat yang sesuai bergantung pada kerentanan dan cara yang ada.
Klien akan diberikan daftar strategi yang dianjurkan untuk dipakai bila penyimpangan
tersebut terjadi. Klien diberitahu untuk menganggap daftar strategi ini sebagai prosedur
emergensi bila penyimpangan terjadi. Daftar tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga strategi
yang paling penting dan dapat dilakukan segera menjadi langkah pertama. Informasi yang
dirangkum dalan kartu pengingat tersebut sebaiknya dibawa ketika penyimpangan terjadi.
1. Berhenti, melihat, dan mendengar. Hal yang pertama dilakukan ketika penyimpangan terjadi
adalah berhenti mengikuti alur kejadian dan melihat serta mendengar apa yang terjadi.
Penyimpangan adalah tanda peringatan bahwa klien sedang dalam bahaya.
2. Rencana mengatur cara keluar dari penyimpangan. Setelah terjadi penyimpangan, komitmen
yang diperbarui harus menjadi rencana tindakan untuk keluar dari penyimpangan tersebut
secepatnya. Ahli terapi dapat menolong klien mengidentifikasi rencana tindakan darurat, seperti
nomor telepon darurat, aktivitas alternative, atau teman yang dapat dipercaya.
3. Tetap tenang. Satu kali terjatuh ke dalam penyimpangan bukan berarti kegagalan. Satu kali
kegagalan bukanlah relaps. Lihatlah hal tersebut sebagai satu kejadian sendiri, sesuatu yang
dapat dihindari di masa depan, merupakan sebuah kesempatan untuk belajar dari kesalahan.

4. Komitmen yang baru. Setelah terjadi penyimpangan, masalah yang paling sulit adalah
motivasi. Klien mungkin cenderung menyerah dan perlu diingatkan keuntungan di masa depan
dari perubahan yang akan dia lakukan. Klien harus berani memperlihatkan keoptimisan untuk
keluar dari kebiasaan lama di masa lalu mereka daripada pesimis akan kegagalan yang terjadi.
5. Meninjau kembali situasi yang mengarahkan kepada penyimpangan. Lihatlah kegagalan
sebagai suatu kejadian unik. Pertanyaan ini mungkin membantu: Apa kejadian yang menuntun
anda menuju kegagalan tersebut? Apakah terdapat peringatan yang mendahului penyimpangan?
Apa situasi berisiko tinggi yang mencetuskan penyimpangan? Masing masing pertanyaan ini
dapat menghasilkan informasi berharga mengenai sumber stress dan situasi berisiko tinggi untuk
klien. Kegagalan tersebut mengingatkan bahwa sesuatu sedang terjadi dan membutuhkan suatu
tindakan.
Menangani Abstinence Violation Effect. Proses menyusun ulang kognitif berguna untuk
membantu klien dalam coping terhadap penyimpangan setelah periode penahanan hawa nafsu
atau terkontrol menggunakan beberapa cara berikut ini:
1.

1. Hendershot CS, Witkiewitz K, George WH, Marlatt GA. Relapse prevention for addictive
behaviors.

Subst

Abuse

Treat

Prev

Policy

2011;6:17.

Free

online: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3163190.
2. Marlatt GA, Donovan DM (eds.) Relapse Prevention : Maintenance Strategies in the
Treatment of Addictive Behaviors / 2nd edition. New York: The Guilford Press, 2005.
3. Marlatt GA, Parks GA, Witkiewitz K. Clinical guidelines for implementing relapse
prevention therapy. The Behavioral Health Recovery Management Project, 2002, 49p.
Free online: http://www.bhrm.org/guidelines/RPT%20guideline.pdf.
4. Irwin JE, Bowers CA, Dunn ME, Wang MC. Efficacy of relapse prevention: a metaanalytic review. Journal of Consulting and Clinical Psychology 1999;76(4): 563-570.
5. Larimer ME, Palmer RS, Marlatt GA. Relapse prevention: An overview of Marlatts
cognitive-behavioral model. Alcohol Research & Health 1999;23:151-160. Free
online: http://pubs.niaaa.nih.gov/publications/arh23-2/151-160.pdf
6. Schmitz JM, Oswald LM, Jacks SD, et al. Relapse prevention treatment for cocaine
dependence: group vs. individual format. Addictive Behaviors 1997;22:405-418.
7. Carroll KM. Relapse prevention as a psychosocial treatment: a review of controlled
clinical trials. Experimental and Clinical Psychopharmacology 1996;4:46-54.
8. SAMHSA. Counselor's Manual for Relapse Prevention with Chemically Dependent
Criminal Offenders (TAP Series 19). Rockville, MD: SAMHSA, 1996. Free
online: http://lib.adai.washington.edu/clearinghouse/downloads/TAP-19-Counselors-

Manual-for-Relapse-Prevention-with-Chemically-Dependent-Criminal-Offenders109.pdf.
9. Rawson RA, Obert JL, McCann MJ, Marinelli-Casey, P. Relapse prevention strategies in
outpatient substance abuse treatment. Psychology of Addictive Behaviors 1993; 7:85-95.
10. Carroll K, Rounsaville B, Keller D. Relapse prevention strategies for the treatment of
cocaine abuse. American Journal of Drug and Alcohol Abuse 1991;17(3): 249-265.

Anda mungkin juga menyukai