Anda di halaman 1dari 4

Secara kimia, DMP (d-3-methoxy-N-methyl-morphinan) adalah

suatu dekstro isomer dari levomethorphan, suatu derivat morfin


semisintetik. Walaupun strukturnya mirip narkotik, DMP tidak beraksi
pada reseptor opiat sub tipe mu (seperti halnya morfin atau heroin),
tetapi ia beraksi pada reseptor opiat subtipe sigma, sehingga efek
ketergantungannya relatif kecil. Pada dosis besar, efek farmakologi
DMP menyerupai PCP atau ketamin yang merupakan antagonis
reseptor NMDA. DMP sering disalahgunakan karena pada dosis besar
ia menyebabkan efek euforia dan halusinasi penglihatan maupun
pendengaran. Intoksikasi atau overdosis DMP dapat menyebabkan
hiper-eksitabilitas, kelelahan, berkeringat, bicara kacau, hipertensi, dan
mata melotot (nystagmus). Apalagi jika digunakan bersama dengan
alkohol, efeknya bisa sangat berbahaya dan dapat menyebabkan
kematian.
Penyalahguna DMP menggambarkan adanya 4 plateau yang
tergantung dosis, seperti berikut:
FirstPlateau
Dosis:100200mg
Efek:Stimulasiringan
SecondPlateau
Dosis:200400mg
Efek:Euforiadanhalusinasi
ThirdPlateau
Dosis:300600mg
Efek:gangguanpersepsivisual,
hilangnyakoordinasimotorik
FourthPlateau
Dosis:5001500mg
Efek:Dissociativesedation

Farmakologi
Dekstrometorfan merupakan bahan kimia sintetik dengan nama
kimianya adalah 3 methoxy-17-methyl morphinan monohydrat yang
merupakan d-isomer dari levophenol, analog dari kodein dan analgesik
opioid. Dekstrometorfan berupa serbuk kristal berwarna putih, tidak
berbau, larut dalam air maupun ethanol dan tidak larut dalam ether.
Adapun

struktur

kimia

dari

dekstrometorfan

adalah:

C18H25NO.HBr.H2O dengan berat molekul: 370,3.


2. Farmakokinetik
Dekstrometorfan diabsorpsi dengan baik setelah pemberian oral
dengan kadar serum maksimal dicapai dalam 2,5 jam. Onset efeknya
cepat, seringkali 15-30 menit setelah pemberian oral. Belum ada
penelitian tentang distribusi volume dekstrometorfan pada manusia,
akan tetapi penelitian oleh Silvasti et al. (1989) yang dilakukan pada
anjing, distribusi volume dekstrometorfan berkisar antara 5,0-6,4 L/kg.
Waktu paruh obat ini adalah 2-4 jam dan lama kerjanya adalah 3-6 jam.
Metabolisme dekstrometorfan telah diketahui dengan baik dan telah
diterima secara luas bahwa aktivitas terapeutik dekstrometorfan
ditentukan oleh metabolit aktifnya yaitu dextrorphan. Dekstrometorfan
mengalami metabolisme di hepar oleh enzim sitokrom P-450 dan
diubah menjadi dextrorphan yang mempunyai derivat lebih aktif dan
poten sebagai antagonis NMDA (Schadel et al., 1995)
3. Farmakodinamik
(a). Efek analgetik
Efek analgetik dekstrometorfan berdasarkan cara kerja sebagai
antagonis reseptor NMDA. Peranan NMDA dalam fenomena persepsi
nyeri ditegaskan lagi pada binatang percobaan yaitu dengan cara
memberikan reseptor antagonis NMDA secara intraspinal. Pada suatu
studi pada manusia pemberian ketamin intravena akan mengurangi
hiperalgesia primer dan sekunder dan mengurangi nyeri yang

ditimbulkan oleh stimulasi panas. Dektrometorfan menunjukkan hal


yang sama (Ilkjaer et al., 1996). Ikatan obat-obat antagonis pada
reseptor NMDA menimbulkan terjadinya perubahan pada calsium
channel. Perubahan pada ca-channel akan menyebabkan aktivitas
neuron yang dirangsang NMDA, jika itu menetap, akan diikuti dengan
peningkatan intensitas stimulus nosiseptik primer, misalnya fenomena
wind-up dan pencetusan dari nyeri sekunder. Dekstrometorfan
mempunyai kemampuan untuk mengurangi influks ion Ca2+melalui
channel reseptor NMDA dan mengatur channel voltase Ca yang pada
keadaan normal diatur oleh konsentrasi K+ ekstrasel yang tinggi
(Weinbroum et al., 2000). Dengan berkurangnya influks ion Ca+, maka
eksitabilitas neuron di kornudorsalis medula spinalis menurun, sehingga
sensitisasi menurun dan terjadi pengurangan nyeri. Pada penelitian
dekstrometorfan sebagai efek analgetik, obat tersebut memberikan
hasil yang cukup baik, yaitu dapat mengurangi intensitas nyeri
sebanyak 33,4% dibanding pada pemberian memantin maupun
lorazepam, dimana masing-masing hanya mengurangi nyeri sebanyak
17,4% dan 16,1%. Hal ini menunjukkan perbedaan yang bermakna
antara pemberian ketiga obat tersebut (Christine et al.,2002)
(b). Sebagai antitusif
Empat puluh tahun yang lalu dekstrometorfan dibuat sebagai obat
alternatif dari morfin. Pada awalnya pemakaian klinis terbatas pada
obat antitusif, pada orang dewasa dosisnya adalah 10 30 mg, 3 6
kali sehari. Tempat spesifik sentral dimana dekstrometorfan mempunyai
efek antitusif belum jelas, tetapi dekstrometorfan berbeda dengan
golongan opioid, sehingga efek dekstrometorfan tidak ditekan oleh
nalokson. Dekstrometorfan juga mempunyai catatan keamanan yang
baik, sebagai contoh dosis terapetik untuk batuk 1 mg/kg /hr tidak
mempunyai side efek yang berarti, dan tidak menimbulkan komplikasi
akibat pelepasan histamin (Weinbroum et al., 2000)

(c). Efek anti kejang dan parkinson


Pada manusia dekstrometorfan juga mampu mengurangi keluhan yang
berhubungan dengan gangguan neurologis oleh karena eksitotoksisitas,
seperti kejang dan penyakit parkinson jika diberikan pada dosis 30 atau
60 mg (Albers et al., 1987) yang diberikan 4 kali sehari, 45 180 mg
single dose (Bonuccelli et al., 1992) atau 120 mg single dose (Fisher et
al., 1990) selama 3 minggu sampai 3 bulan. Tidak didapati adanya efek
samping neurologis yang berat pada penelitian ini dan juga pada
penelitian lain dengan sampel 8 orang yang sehat dimana eksitabilitas
korteks motorik berkurang setelah pemberian secara oral dengan dosis
tinggi (150 mg) (Ziemann et al., 1998). Pada suatu penelitian double
blind plasebo control pada pasien dengan penyakit parkinson,
eksitabilitas korteks motorik dan diskinesia oleh karena levodopa
berkurang dengan pemberian dekstrometorfan pada dosis 100 mg
dengan efek samping yang minimal (Verbagen Metman et al., 1998).

Anda mungkin juga menyukai