Anda di halaman 1dari 26

CLINICAL SCIENCE SESSION

Hubungan Antidepresan dengan Disfungsi


Seksual
Oleh :
Elke Feliciana 130112180600
Annisa Poppy Zolanda 130112180656
Kharisma Gita Kartika Sari 130112180709

Preseptor:
Lucky Saputra, dr., SpKJ (K)., M. Kes

DEPARTEMEN
ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RSUP HASAN SADIKIN BANDUNG
2019
I. ANTIDEPRESAN

1. Patofisiologi MDD (major depressive disorder)

1.1 Hipotesis Neurotropik

Gambar 1. Hipotesis Neurotropik

Ada bukti substansial bahwa faktor neurotropik seperti BDNF (brain-derived

neurotropic factor) sangat penting dalam regulasi plastisitas, ketahanan, dan neurogenesis sel

saraf. Literatur menunjukkan bahwa depresi berhubungan dengan hilangnya sebagian fungsi

neurotropik dan bahwa terapi antidepresan yang efektif akan meningkatkan neurogenesis dan

konektivitas sinaptik di area kortikal seperti hipokampus. BDNF diperkirakan berpengaruh

pada kelangsungan hidup dan pertumbuhan neuron dan dengan mengaktifkan reseptor tirosin

kinase B pada neuron dan glia.

2
Pada pasien dengan depresi terjadi pengurangan tingkat BDNF sehingga

menyebabkan atrofi beberapa struktur seperti hipokampus (terjadi pengurangan sekitar 5-10%

dari volume hipokampus), korteks medial orbital frontal, dan girus cingulate anterior girus

cingulate anterior. Hipokampus diketahui berperan penting dalam memori kontekstual dan

regulasi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA). Girus cingulate anterior berperan dalam

integrasi rangsangan emosional dan fungsi perhatian, sedangkan korteks frontal orbital medial

juga dianggap memainkan peran dalam memori, pembelajaran, dan emosi. Kehilangan volume

dalam struktur seperti hippocampus juga berkaitan dengan durasi penyakit.

1.2 Hipotesis Monoamina

Gambar 2. Hipotesis Monoamina

3
Hipotesa depresi monoamina menunjukkan bahwa depresi berhubungan dengan

defisiensi jumlah atau fungsi serotonin kortikal dan limbik (5-HT), norepinefrin (NE), dan

dopamin (DA). Selain monoamina, neurotransmitter glutamat tampaknya penting dalam

patofisiologi depresi. Sejumlah penelitian pada pasien yang mengalami depresi telah

menemukan peningkatan kadar glutamat dalam cairan serebrospinal pasien yang mengalami

depresi dan penurunan rasio glutamin / glutamat dalam plasma mereka.

1.3 Faktor Neuroendokrin

Depresi dikaitkan dengan sejumlah kelainan hormon. Salah satu yang paling sering

dikaitkan dengan depresi adalah kelainan pada aksis HPA pada pasien dengan MDD (major

depressive disorder) yang meningkatkan kadar kortisol secara kronis. Diketahui bahwa

glukokortikoid eksogen dan peningkatan kortisol endogen berhubungan dengan gejala mood

dan defisit kognitif.Jenis depresi yang lebih parah, seperti depresi psikotik, cenderung lebih

dikaitkan dengan kelainan aksis HPA dibandingkan bentuk depresi yang lebih ringan.

Disregulasi tiroid juga terdapat pada beberapa pasien depresi. Hingga 25% pasien

depresi dilaporkan memiliki fungsi tiroid abnormal. Kelainan ini diakibatkan tidak adanya

respon dari thyrotropin terhadap thyrotropin releasing-hormone (TRH) dan peningkatan

sirkulasi tiroksin selama keadaan depresi. Hipotiroidisme klinis sering muncul dengan gejala

depresi, yang sembuh dengan suplementasi hormon tiroid. Hormon tiroid juga biasa

digunakan bersama dengan antidepresan standar.

Hormon seks steroid juga terlibat dalam patofisiologi depresi. Keadaan defisiensi

estrogen, yang terjadi pada periode post-partum dan postmenopause, dianggap berperan

dalam depresi pada beberapa wanita. Demikian juga, defisiensi testosteron yang parah pada

pria kadang-kadang dikaitkan dengan gejala depresi. Terapi penggantian hormon pada pria

dan wanita dapat dikaitkan dengan peningkatan suasana hati dan gejala depresi.

4
II. Golongan Obat Antidepresan

2.1 Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)

Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI) merupakan kelas obat antidepresan

yang paling umum digunakan yang bekerja dengan cara menghambat transporter serotonin.

Saat ini terdapat enam obat SSRI yang tersedia, yaitu Fluoxetine, Sertraline, Citalopram,

Paroxetine, Fluvoxamine, dan Escitalopram. Selain digunakan untuk kasus MDD (major

depressive disorder), SSRI juga digunakan pada GAD (generalized anxiety disorder), PTSD

(post-traumatic stress disorder), OCD (obsessive compulsive disorder), gangguan panik,

PMDD (premenstrual dysphoric disorder), dan bulimia. Popularitas SSRI sebagian besar

berasal dari segi kemudahan penggunaan, keamanan pemberian dosis, tolerabilitas, biaya

(semua tersedia sebagai produk generik), dan spektrum penggunaan yang luas.

 Farmakokinetik

Obat Bioavailabilitas t1/2 (jam) t1/2 (jam) Volume Ikatan


(%) Plasma Metabolit aktif distribusi protein (%)
(L/kg)
Citalopram 80 33-38 Tidak ada data 15 80
Escitalopram 80 27-32 Tidak ada data 12-15 80
Fluoxetine 70 48-72 180 12-97 95
Fluvoxamine 90 14-18 14-16 25 80
Paroxetine 50 20-23 Tidak ada data 28-31 94
Sertraline 45 22-27 62-104 20 98

 Farmakodinamik

Serotonin transporter (SERT) adalah glikoprotein dengan 12 daerah transmembran

yang tertanam di terminal akson dan membran sel dari neuron serotonergik. Ketika serotonin

ekstraseluler berikatan dengan reseptor pada transporter, perubahan konformasi terjadi pada

transporter dan serotonin. Na +, dan Cl− kemudian dipindahkan ke dalam sel, K + intraseluler

akan mengikat SERT dan serotonin, kemudian serotonin akan dilepaskan ke dalam sel dan

mengembalikan transporter ke konformasi aslinya. SSRI secara allosterik menghambat

transporter dengan mengikat reseptor SERT di situs selain situs pengikatan serotonin. Pada

dosis terapi, sekitar 80% aktivitas transporter terhambat.

5
 Dosis

Obat Dosis Terapi (mg/d)


Citalopram 20-60
Escitalopram 10-30
Fluoxetine 20-60
Fluvoxamine 100-300
Paroxetine 20-60
Sertraline 50-200

 Efek samping

SSRI meningkatkan aktivitas serotonergik, tidak hanya di otak tetapi di seluruh tubuh.

Peningkatan aktivitas serotonergik dalam usus umumnya dikaitkan dengan mual, gangguan

pencernaan, diare, dan gejala gastrointestinal lainnya. Efek samping gastrointestinal biasanya

muncul pada awal perjalanan pengobatan dan cenderung membaik setelah minggu pertama.

Peningkatan aktivitas serotonergik pada tingkat sumsum tulang belakang dan di atas

dikaitkan dengan penurunan fungsi dan minat seksual. Akibatnya, setidaknya 30-40% pasien

yang diobati dengan SSRI melaporkan kehilangan libido, orgasme tertunda, atau berkurangnya

gairah. Efek seksual sering bertahan selama pasien tetap menggunakan antidepresan tetapi

dapat berkurang seiring waktu.

Efek samping lain yang terkait adalah sakit kepala, insomnia atau hipersomnia, dan

naiknya berat badan. Discontinuation syndrome terjadi pada kelompok SSRI yang waktu

paruhnya sebentar, seperti Paroxetine dan Sertraline yang ditandai oleh pusing kepala,

parestesia, dan gejala lain yang dimulai 1 atau 2 hari setelah menghentikan obat dan bertahan

selama 1 minggu atau lebih lama.

Sebagian besar antidepresan termasuk dalam kategori C. Ada hubungan paroxetine

dengan defek septum jantung pada pajanan trimester pertama. Dengan demikian, paroxetine

adalah agen kategori D.

2.2 Serotonin-Norepinephrine Reuptake Inhibitor

Dua kelas antidepresan bertindak sebagai kombinasi serotonin dan norepinefrin

reuptake inhibitor: selektif serotonin-norepinefrin reuptake inhibitor (SNRI) dan TCA.

6
2.2.1 Selective serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors

SNRI contohnya adalah venlafaxine, desvenlafaxine, duloxetine, milnacipran, dan

levomilnacipran. Selain penggunaannya dalam MDD (major depressive disorder), SNRI

memiliki aplikasi dalam pengobatan gangguan nyeri termasuk neuropati dan fibromyalgia.

SNRI juga digunakan dalam pengobatan gangguan cemas menyeluruh, inkontinensia urin

karena stres, dan gejala vasomotor menopause.

 Farmakokinetik

Obat Bioavailabilitas t1/2 (jam) t1/2 (jam) Volume Ikatan


(%) Plasma Metabolit aktif distribusi protein (%)
(L/kg)
Duloxetine 50 12-15 Tidak ada data 10-14 97
Milnacipran 85-90 6-8 Tidak ada data 5-6 13
Venlafaxine 45 8-11 9-13 4-10 27

 Farmakodinamik

SNRI mengikat transporter serotonin dan norepinefrin. NET secara struktural sangat

mirip dengan transporter 5-HT yang juga memiliki afinitas moderat untuk dopamin. SNRI

berbeda dari TCA karena mereka tidak memiliki efek antihistamin yang kuat, pemblokiran α-

adrenergik, dan efek antikolinergik seperti TCA. Akibatnya, SNRI cenderung lebih disukai

daripada TCA dalam pengobatan MDD dan sindrom nyeri karena tolerabilitas yang lebih baik.

 Dosis

Obat Dosis Terapi (mg/d)


Venlafaxine 75-375
Desfenlafaxine 50-200
Duloxetine 40-120
Milnacipran 100-120

 Efek samping

SNRI memiliki banyak efek samping serotonergik yang terkait dengan SSRI. Selain

itu, SNRI mungkin juga memiliki efek noradrenergik, termasuk peningkatan tekanan darah

dan detak jantung, dan aktivasi SSP, seperti insomnia, kegelisahan, dan agitasi. Terdapat lebih

banyak laporan toksisitas jantung dengan overdosis venlafaxine dibandingkan dengan SNRI

7
atau SSRI lainnya. Semua SNRI telah dikaitkan dengan sindrom penghentian menyerupai

yang terlihat dengan penghentian SSRI.

2.2.2 Tricyclic antidepressants

Sembilan TCA tersedia di AS, dan mereka semua memiliki inti iminodibenzyl

(trisiklik), yaitu Imipramine, Desipramine, Clomipramine, Trimipramine, Amitriptyline,

Nortriptyline, Doxepin, dan Protriptyline. Saat ini, TCA digunakan terutama dalam depresi

yang tidak responsif terhadap antidepresan yang lebih umum digunakan seperti SSRI atau

SNRI. Obat golongan ini kalah populer karena tolerabilitas yang relatif lebih buruk

dibandingkan dengan agen yang lebih baru, kesulitan penggunaan, dan jumlah kematian

karena overdosis. Kegunaan lain untuk TCA termasuk pengobatan kondisi nyeri, enuresis, dan

insomnia. TCA juga cenderung antagonis yang kuat dari reseptor histamin H1. TCA seperti

doxepin kadang-kadang diresepkan sebagai hipnotik dan digunakan dalam perawatan untuk

pruritus karena sifat antihistaminnya.

 Farmakokinetik

Obat Bioavailabilitas t1/2 (jam) t1/2 (jam) Volume Ikatan


(%) Plasma Metabolit aktif distribusi protein (%)
(L/kg)
Amitriptyline 45 31-46 20-92 5-10 90
Clomipramine 50 19-37 54-77 7-20 97
Imipramine 40 9-24 14-62 15-30 84

 Farmakodinamik

TCA menyerupai SNRI dalam fungsinya, dan aktivitas antidepresannya dianggap

terutama berkaitan dengan penghambatan reuptake 5-HT (serotonin) dan norepinefrin. Obat-

obat golongan TCA memiliki variabilitas yang cukup besar dalam afinitas untuk SERT versus

NET. Sebagai contoh, Clomipramine memiliki afinitas yang relatif lebih mengikat SERT

dibandingkan NET, dan selektivitas terhadap transporter serotonin ini berkontribusi terhadap

manfaat Clomipramine yang diketahui dalam pengobatan OCD. Di sisi lain, TCA amina

sekunder, Desipramine dan Nortriptyline, relatif lebih selektif untuk NET. Amina TCA tersier

Imipramine memiliki lebih banyak efek serotonin, kemudian hal ini dibuat lebih seimbang

pada metabolitnya yaitu Desipramine.

8
 Dosis

Obat Dosis Terapi (mg/d)


Amitriptyline 150-300
Clomipramine 100-250
Desipramine 150-300
Doxepin 150-300
Imipramine 150-300
Nortriptyline 50-150
Protriptyline 15-60
Trimipramine maleate 150-300

 Efek samping

Efek samping TCA yang umum, termasuk mulut kering dan sembelit, disebabkan

oleh efek antimuskarinik yang kuat dari obat ini. Efek antikolinergik juga menyebabkan mulut

kering, sembelit, retensi urin, pengelihatan kabur, dan kebingungan. Hal ini biasanya lebih

umum dengan TCA amina tersier seperti Amitriptyline dan Imipramine daripada dengan

amina sekunder TCA Desipramine dan Nortriptyline. Blokade adrenoceptor α dapat

menyebabkan hipotensi ortostatik yang substansial, terutama pada pasien yang lebih tua.

Antagonisme H1 oleh TCA dikaitkan dengan penambahan berat badan dan sedasi. TCA adalah

agen antiaritmia kelas 1A dan bersifat aritmogenik pada dosis yang lebih tinggi. Disfungsi

seksual sering terjadi, terutama dengan TCA yang sangat serotoksergik seperti Clomipramine.

TCA memiliki discontinuation syndrome yang menonjol yang ditandai dengan gejala

kolinergik dan gejala seperti flu.

2.3 5-HT2 Receptor Modulators

Contoh antidepresan antagonis pada reseptor 5-HT2 adalah Trazodone dan

Nefazodone. Struktur Trazodone termasuk bagian triazolo yang dianggap memberikan efek

anti-depresi. Penggunaan Trazodone yang paling umum dalam praktik saat ini adalah sebagai

agen hipnotis, karena sangat menenangkan dan tidak menyebabkan toleransi atau

ketergantungan. Nefazodone semenjak tahun 2001 dianggap sebagai obat yang menyebabkan

hepatotoksisitas tinggi. sehingga tidak lagi umum diresepkan. Indikasi utama untuk

nefazodone dan trazodone adalah depresi berat, meskipun keduanya juga telah digunakan

dalam pengobatan gangguan kecemasan. Vortioxetine adalah agen yang lebih baru yang

9
bertindak sebagai antagonis dari beberapa reseptor 5-HT selain 5-HT2, dan telah menunjukkan

efek untuk mengobati disfungsi kognitif yang terkait dengan depresi.

 Farmakokinetik

Obat Bioavailabilitas t1/2 (jam) t1/2 (jam) Volume Ikatan


(%) Plasma Metabolit aktif distribusi protein
(L/kg) (%)
Nefazodone 20 2-4 Tidak ada data 0,5-1 99
Trazodone 95 3-6 Tidak ada data 1-3 96
Vortioxetine 75 66 Tidak ada data Tidak ada data 98

 Farmakodinamik

Mekanisme utama nefazodone dan trazodone adalah blokade reseptor 5-HT2A.

Penghambatan reseptor ini pada penelitian pada hewan dan manusia dikaitkan dengan efek

anti-kecemasan, antipsikotik, dan antidepresan yang substansial. Sebaliknya, agonis dari

reseptor 5-HT2A, misalnya, asam lisergat (LSD) dan mescaline, seringkali bersifat halusinogen

dan ansiogenik. Reseptor 5-HT2A berpasangan protein G dan didistribusikan ke seluruh

neokorteks.

Nefazodone adalah inhibitor lemah baik pada SERT maupun NET. Trazodone juga

merupakan inhibitor SERT yang lemah tetapi selektif dengan sedikit efek pada NET.

Trazodone juga memiliki ikatan yang menghalangi presinaptik α-adrenergik yang lemah

sampai sedang dan merupakan antagonis sederhana dari reseptor H1. Seperti dijelaskan di atas,

vortioxetine memiliki efek multimodal pada berbagai reseptor 5-HT dan merupakan inhibitor

allosterik dari SERT. Tidak diketahui aktivitas langsung pada reseptor norepinefrin atau

dopamin.

 Dosis

Obat Dosis Terapi (mg/d)


Nefazodone 300-500
Trazodone 150-300

 Efek samping

Efek samping paling umum yang terkait dengan 5-HT2 antagonis adalah sedasi dan

gangguan gastrointestinal. Tidak mengherankan bahwa pengobatan insomnia saat ini

merupakan aplikasi utama trazodone. Disfungsi seksual jarang terjadi dengan pengobatan

10
nefazodon atau trazodon karena efek serotonergik yang relatif selektif pada reseptor 5-HT2

daripada pada SERT. Trazodone jarang menyebabkan priapisme. Baik nefazodone dan

trazodone adalah agen α-blocker dan dapat menyebabkan hipotensi ortostatik. Nefazodone

telah dikaitkan dengan hepatotoksisitas, termasuk kematian langka dan kasus kegagalan hati

fulminan yang membutuhkan transplantasi.

1.4 Tetracyclic and Unicyclic Antidepressant

Sejumlah antidepresan tidak cocok digolongkan ke dalam kelas lain. Di antaranya

adalah Bupropion, Mirtazapine, Amoxapine, Vilazodone, dan Maprotilin. Bupropion memiliki

struktur aminoketon unisiklik. Strukturnya yang unik menghasilkan profil efek samping yang

berbeda dari kebanyakan antidepresan (dijelaskan di bawah). Bupropion agak menyerupai

struktur kimia amfetamin dan, seperti stimulan, memiliki sifat pengaktifan sistem saraf pusat

(SSP). Mirtazapine diperkenalkan pada tahun 1994 dan, seperti Bupropion, adalah salah satu

dari sedikit antidepresan yang tidak mempunyai efek samping seksual. Penggunaan utama

mereka adalah dalam MDD yang tidak responsif dengan agen lain.

 Farmakokinetik

Obat Bioavailabilitas t1/2 t1/2 (jam) Volume Ikatan protein


(%) (jam) Metabolit aktif distribusi (%)
Plasma (L/kg)
Amoxapine Tidak ada data 7-12 5-30 0,9-1,2 85
Bupropion 70 11-14 15-25 20-30 85
Maprotiline 70 43-45 Tidak ada data 23-27 88
Mirtazapine 50 20-40 20-40 3-7 85
Vilazodone 72 25 Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data

 Farmakodinamik

Mekanisme Bupropion masih kurang dipahami. Bupropion dan metabolitnya

merupakan inhibitor reuptake norepinefrin dan dopamin dalam penelitian pada hewan. Namun,

efek yang lebih signifikan dari bupropion adalah pelepasan katekolamin presinaptik.

Mirtazapine merupakan antagonis dari autoreceptor α2 presinaptik, reseptor 5-HT2, 5-HT3 dan

meningkatkan pelepasan norepinefrin dan serotonin. Selain itu, Mirtazapine adalah antagonis

H1 yang kuat, yang dikaitkan dengan efek obat sebagai penenang. Mekanisme Amoxapine dan

Maprotilin mirip dengan TCA seperti Desipramine. Keduanya adalah inhibitor NET yang kuat

11
dan inhibitor SERT yang kurang kuat. Selain itu, keduanya memiliki sifat antikolinergik.

Berbeda dengan TCA atau antidepresan lainnya, Amoksapin adalah inhibitor sedang dari

reseptor D2 post-sinaps. Karena itu, amoxapine memiliki beberapa sifat antipsikotik.

Vilazodone adalah inhibitor reuptake serotonin yang poten dan agonis parsial reseptor 5-HT1A.

Agonis parsial reseptor 5-HT1 seperti Buspirone diduga memiliki sifat antidepresan dan

ansiolitik ringan sampai sedang.

 Dosis

Obat Dosis Terapi (mg/d)


Amoxapine 150-400
Bupropion 200-450
Maprotiline 150-225
Mirtazapine 15-45

 Efek samping

Amoxapine kadang-kadang menyebabkan sindrom parkinsonian karena aksi inhibitor

D2-nya. Mirtazapine memiliki efek sedatif yang signifikan. Maprotilin memiliki afinitas cukup

tinggi untuk NET dan dapat menyebabkan efek samping seperti TCA dan kejang, walaupun

jarang. Bupropion kadang-kadang dikaitkan dengan agitasi, insomnia, dan anoreksia.

Vilazodone mungkin memiliki tingkat gangguan gastrointestinal yang agak lebih tinggi,

termasuk diare dan mual, daripada SSRI.

1.5 Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOI)

Inhibitor monoamine oksidase (MAOIs) dapat dikatakan merupakan antidepresan

kelas modern pertama. Golongan diperkenalkan pada 1950-an tetapi sekarang jarang

digunakan dalam praktek klinis karena toksisitas dan interaksi dengan makanan maupun obat

lain. Penggunaan utama mereka sekarang adalah dalam pengobatan depresi yang tidak

responsif terhadap anti-depresi lainnya. Namun, MAOI juga pernah digunakan secara historis

untuk mengobati gangguan cemas, termasuk gangguan cemas sosial dan gangguan panik.

Selain itu, Selegilin dapat digunakan dalam pengobatan penyakit Parkinson. Beberapa MAOI

seperti Tranylcypromine mirip struktur kimianya dengan amfetamin, sedangkan MAOI lain

12
seperti Selegilin memiliki metabolit mirip amfetamina. Akibatnya, MAOI ini cenderung

memiliki efek stimulasi SSP yang substansial.

 Farmakokinetik

Obat Bioavailabilitas t1/2 (jam) t1/2 (jam) Volume Ikatan protein


(%) Plasma Metabolit aktif distribusi (%)
(L/kg)
Phenelzine Tidak ada data 11 Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data
Selegiline 4 8-10 9-11 8-10 99

 Farmakodinamik

MAOI bertindak dengan mengurangi aksi monoamine oksidase dalam neuron dan

meningkatkan kandungan monoamina. Ada dua bentuk monoamine oksidase, yaitu MAO-A

dan MAO-B. MAO-A terdapat dalam neuron dopamin dan norepinefrin dan ditemukan

terutama di otak, usus, plasenta, dan hati; substrat utamanya adalah norepinefrin, epinefrin,

dan serotonin. MAO-B ditemukan terutama di neuron serotonergik dan histaminergik dan

didistribusikan di otak, hati, dan trombosit. MAO-B bekerja terutama pada dopamin, tyramine,

phenylethylamine, dan benzylamine. Baik MAO-A dan -B memetabolisme tryptamine.

MAOI diklasifikasikan berdasarkan spesifisitasnya untuk MAO-A atau -B dan apakah

pengaruhnya reversibel atau tidak. Phenelzine dan Tranylcypromine adalah contoh MAOI

yang tidak reversibel. Moclobemide adalah inhibitor MAO-A yang reversibel dan selektif.

Moclobemide dapat kemudian dilepaskan dari MAO-A oleh tyramine, dan hal ini akan

mengurangi risiko interaksi makanan. Sebaliknya, Selegilin adalah agen spesifik MAO-B yang

ireversibel pada dosis rendah. Selegilin berguna dalam pengobatan penyakit Parkinson pada

dosis rendah, tetapi pada dosis tinggi menjadi MAOI nonselektif mirip dengan agen lain.

 Dosis

Obat Dosis Terapi (mg/d)


Isocarboxazid 30-60
Phenelzine 45-90
Selegiline 20-50
Tranylcypromine 30-60

13
 Efek samping

Efek samping paling umum dari adalah hipotensi ortostatik dan penambahan berat

badan. Selain itu, MAOI nonselektif yang ireversibel menyebabkan efek seksual tertinggi dari

semua antidepresan. Anorgasmia cukup umum dengan dosis terapi beberapa MAOI. Sifat

mirip amfetamin dari beberapa MAOI berkontribusi terhadap aktivasi, insomnia, dan

kegelisahan pada beberapa pasien. Fenelzin cenderung lebih bersifat sedasi daripada Selegilin

atau Tranylcypromine. Kebingungan juga terkadang dikaitkan dengan dosis MAOI yang lebih

tinggi, karena obat golongan ini memblokir metabolisme tyramine. MAOI dapat menyebabkan

interaksi berbahaya dengan makanan tertentu dan dengan obat serotonergik. Selain itu, MAOI

telah dikaitkan dengan discontinuation syndrome yang bermanifestasi seperti delirium dengan

psikosis, kegembiraan, dan kebingungan.

III. Disfungsi Seksual

Disfungsi seksual merupakan suatu ketidakmampuan untuk merespon stimuli

seksual, atau pengalaman rasat sakit selama aktivitas seksual. Disfungsi berarti adanya

gangguan pada rasa subjektif kesenangan atau keinginan dalam aktivitas seksual.

Berdasarkan ICD-10, disfungsi seksual adalah ketidakmampuan seseorang dalam

melibatkan diri dalam aktivitas seksual.

DSM-V menyebutkan bahwa disfungsi seksual termasuk (male hypoactive

sexual desire disorder, female sexual interest/arousal disorder, erectile disorder, female

orgasmic disorder, delayed ejaculation, premature or early ejaculation, genito-pelvic

pain/penetration disorder, substance/medication induced sexual dysfunction, other

specified sexual dysfunction, dan unspecified sexual dysfunction.

3.1 Desire, Interest, and Arousal Disorder

3.1.1 Male Hypoactive Sexual Desire Disorder

14
Disfungsi yang dicirikan dengan hilangnya fantasi seksual dan keinginan

untuk melakukan aktivitas seksual selama 5 bulan.

3.1.2 Female Sexual Interest/Arousal Disorder

Disfungsi seksual pada wanita bisa salah satu atau keduanya yang tidak dapat

dirasakan (minat atau gairah) dan mungkin sering mengalami kesulitan mencapai

orgasme atau menglami rasa sakit. Beberapa mengalami disfungsi seluruh respon atau

kesenangan seksual. Keluhan pada disfungsi ini meliputi menurunnya pikiran,

perasaan dan fantasi erotis, penurunan dorongan untuk memulai seks, tidak adanya

penerimaan terhadap tawaran pasangan atau ketidakmampuan untuk menanggapi

stimulasi dari pasangan.

15
Faktor-faktor seperti beban hidup, penuaan, menopause, kesehatan, stimulasi

seksual memadai, regimen obat haru dievaluasi sebelm diagnosis ditegakkan.

3.1.3 Gangguan Ereksi pada Laki-laki

Dengan nama lain impoten, suatu kondisi perasaan ketidakberdayaan dan

menyebabkan tidak percaya diri di mana laki-laki tidak mendapatkan atau

mempertahankan cukup ereksi untuk melakukan hubungan seksual.

3.2 Gangguan Orgasme

3.2.1 Gangguan Orgasme pada Perempuan

Female orgasmic disorder; inhibited female orgasm atau anorgasmia

merupakan suatu kondisi di mana terjadi penghambatan orgasme wanita secara terus

16
menerus atau berulang, ditandai dengan orgasme yang membutuhkan waktu lama atau

bahkan tidak ada orgasme setelah hasrat seksual yang memadai dalam fokus, intensits

dan durasi.

3.2.2 Ejakulasi tertunda

Ejakulasi tertunda adalah suatu kondisi di mana dibutuhkan tambahan

rangsangan seksual bagi seorang pria untuk mencapai klimaks seksual. Pada beberapa

laki-laki dengan delayed ejaculation bahkan tidak dapat ejakulasi sama sekali.

3.2.3 Ejakulasi Dini

Ejakulasi dini yang terjadi terus-menerus atau berulang sebelum klimaks.

Berdasarkan DSM-V terdapat kategori ringan; ejakulasi sekitar 30 detik-1 menit

setelah penetrasi vagina, sedang; ejakulsi 15-30 detik setelah penetrasi vagina, berat;

ejakulasi yang terjadi sesaat setelah penetrasi vagina atau 15 detik setelah penetrasi

vagina.

17
3.3 Gangguan Nyeri Seksual, yaitu Gangguan Nyeri Genitopelvis/Penetrasi

Berdasar DSM-V, satu atau lebih dari keluhan, yang mana dua atau lebih

dapat terjadi bersamaan: kesulitan berhubungn seksual; nyeri genito-pelvic; ketakutan

akan rasa sakit saat penetrasi; dan ketegangan otot pelvic floor. Dyspareunia adalah

rasa sakit yang terjadi terus menerus atau berulang sebelum, selama, atau setelah

berhubungan seksual. Pada beberapa kasus dengan riwayat sexual abuse pada masa

kanak-kanak dapat menyebabkan nyeri kronis pelvis, kontraksi otot pelvis karena

cemas saat berhubugan seksual dpaat menyebabkan painful coitus.vaginismus adalah

konstriksi pada 1/3 vagina terluar karena otot involunter pelvic floor yang

mengencang atau spasme.

3.4 Disfungsi Seksual karena Kondisi Medis Umum

 Gangguan Ereksi pada Laki-laki karena Kondisi Medis Umum

Laki-laki dengan gangguan ereksi disebabkan karena adanya penyakit yang

mendasari sebelumnya. Biasanya lebih banyak terjadi pada laki-laki usia 50-60 tahun

bahkan lebih. Efek samping dari obat-obatan dapat menyebabkan fungsi seksual yang

terganggu baik gangguan ereksi maupun ejakulasi.

18
 Dispareunia karena Kondisi Medis Umum

Dispareunia atau nyeri saat bersenggama adalah rasa sakit pada daerah

kelamin yang terjadi terus-menerus atau berulang ketika akan, sedang, atau setelah

berhubungan seksual. Disebabkan karena tindakan bedah, kelainan organik seperti

scar episiotomy, infeksi bartholin, vaginitis dan cervicitis. Pada wanita

postmenopause disebabkan karena menipisnya mucosa vaginal dan berkurangnya

lubrikasi.

 Male Hypoactive Sexual Desire Disorder dan Female Interest/Arousal Disorder

karena Kondisi Medis Umum

Hypoactive sexual disorder adalah kelainan hasrat seksual hipoaktif yang

disebabkan karena penurunan kadar testosterone atau obat-obatan yang menekan CNS

dan menurunkan testosterone, penyakit atau tindakan bedah seperti mastektomi,

ileostomi, histerektomi, dan prostatektomi.

 Disfungsi Seksual lainnya pada Laki-laki karena Kondisi Medis Umum

Ejakulasi tertunda merupakan ketidakmampuan seorang pria untuk mencapai

klimaks/ejakulasi pada saat berhubungan seksual meskipun ada hasrat seksual yang

memadai, ereksi dan stimulasi. Ejakulasi tertunda biasanya disebabkan karena

penyebab fisiologis dan dapat terjadi setelah prostatectomy atau karena parkinson dan

kelainan yang melibatkan lumbar atau sakral pada spinal cord. Obat-obatan seperti

antihipertensi guanethidine monosulfate (Ismelin), methyldopa (Aldomet),

phenothiazine, trisiklik, selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dapat

menyebabkan delayed ejaculation.

19
 Disfungsi Seksual lainnya pada Perempuan karena Kondisi Medis Umum

Beberapa penyakit tertentu dapat mempengaruhi kemampuan wanita untuk

orgasme seperti penyakit endokrin; hipotiroid, diabetes mellitus dan hiperprolaktin

primer. Obat-obatan juga dapat mempengaruhi kapasitas wanita untuk mengalami

orgasme; antihipertensi, CNS stimulan, trisiklik, SSRI, dan Monoamine oxidase

inhibitor (MAOI).

 Disfungsi Seksual karena Zat/Medikasi

Gangguan fungsi seksual dapat ditegakkan dengan bukti intoksikasi zat atau

withdrawal dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan lab. Zat tertentu seperti

alkohol, amfetamin, cocaine, opioid, sedative, hypnotic, atau anxyolitic dan zat

lainnya.

20
 Agen Farmakologi yang berhubungan dengan Disfungsi Seksual

Obat-obatan psikiatri memiliki efek pada seksualitas laki-laki dan perempuan.

Pada laki-laki akan menyebabkan menurunnya keinginan melakukan hubungan

seksual, tidak mampu ereksi, menurunnya volume semen, dan ejakulasi tertunda. Pada

wanita, akan menyebabkan menurunnya keinginan melakukan hubungan seksual,

berkurangnya cairan lubrikasi, orgasme tertunda, tidak adanya kontraksi vagina.

Antidepresan dapat menyebabkan disfungsi seksual. Trisiklik dan tetrasiklik

memiliki efek antikolinergik yang akan menyebabkan ejakulasi tertunda. Pada wanita

hanya sedikit menyebabkan efek samping, sedangkan pada laki-laki dapat

menyebabkan ejakulasi tertunda. Pada beberapa kasus dapat terjadi ejakulasi yang

meyakitkan karena berpengaruh kepada kontraksi otot halus di uretra, prostat, dan

epididimis, sehingga propulsi semen terganggu. Klomipramin (anafranil) dapat

meningkatkan keinginan seksual pada beberapa pasien. Selegilin (deprenil) dan

bupropion (welbutrin) juga meningkatkan keinginan seksual dengan cara

meningkatkan aktivitas dopamin dan norepineprin. Venlafaksin (efeksor) dan SSRI

lainnya dapat menurunkan keinginan seksual dan menyebabkan kesulitan orgasme

pada laki-laki dan wanita karena efek serotonorgiknya. Efek negatif ini dapat diatasi

dengan pemberian siproheptadin (periaktin) yaitu antihistamin dengan efek

antiserotonorgik dan juga dengan pemberian metilpenidat (ritaldin) yang memiliki efek

adrenergik. Trazodon (desirel) terkadang dapat menyebababkan priapisme yaitu gejala

ereksi berkepanjangan tanpa stimulus seksual. Gejala ini diakibatkan karena efek

trazodon yang antagonis terhadap alfa-2 adrenergik. MAOI dapat menyebabkan

kegagalan ereksi, ejakulasi tertunda, retrograde ejaculation, vagina tidak terlubrikasi,

dan anorgasmia. Tranilsipromin (parnate) mempunyai efek stimulasi seksual pada

beberapa orang, kemungkinan karena sifatnya yang mirip dengan amfetamin.

21
Selain antidepresan, terdapat beberapa obat yang menyebabkan disfungsi

seksual yaitu antipsikotik, litium, simpatonimetik, antagonis alfa adrenergik, antagonis

beta adrenergik, anti-kolinergik, anti-ansietas, alkohol, opioid, halusinogen, kanabis,

dan golongan barbiturat.

IV. Hubungan Antidepresan dengan Disfungsi Seksual

4.1 Prevalensi

Depresi merupakan salah satu gangguan kejiwaan yang paling sering terjadi.

Prevalensi depresi di Amerika Serikat sendiri mencapai 7.9% pada laki-laki dan 12.1%

pada perempuan. Menurut Riskesdas tahun 2018, prevaensi gangguan mental

emosional sebesar 9.8% dari total penduduk yang berusia diatas 15 tahun. Angka ini

sendiri juga menunjukan adanya peningkatan sebesar 6% dari tahun 2013. Dengan

banyaknya kasus gangguan mental emosional, semakin banyak juga obat-obat untuk

gangguan mental emosional digunakan oleh penderita salah satunya obat anti depresan.

Disfungsi seksual dapat terjadi dalam hubungan dengan intoksikasi dengan

kelas zat berikut: alkohol; opioid; obat penenang, hipnotik, atau ansiolitik; stimulan

(termasuk kokain); dan zat lainnya (atau tidak diketahui). Disfungsi seksual dapat

22
terjadi dalam kaitannya dengan penarikan dari kelas zat berikut: alkohol; opioid; obat

penenang, hipnotik, atau ansiolitik; dan zat lainnya (atau tidak diketahui). Obat-obatan

yang dapat menyebabkan disfungsi seksual termasuk antidepresan, antipsikotik, dan

kontrasepsi hormonal.

Efek samping obat antidepresan yang paling sering dilaporkan adalah kesulitan

dengan orgasme atau ejakulasi. Masalah dengan keinginan dan ereksi lebih jarang.

Sekitar 30% keluhan seksual secara klinis signifikan. Efek samping dari obat anti

depresan sendiri adalah disfungsi seksual. Pada salah satu penelitian di Amerika Serikat

menunjukan disfungsi seksual pada usia 18-59 tahun lebih banyak terjadi pada wanita

daripada laki-laki. Hal ini yang sering digunakan sebagai alasan oleh pasien untuk tidak

mengonsumsi atau melanjutkan obat anti depresan ini, terlebih lagi pasien menganggap

hal ini menjadi salah satu ciri kegagalan dalam masa pengobatannya. Menurut

penelitian sebanyak 25-75% pasien dengan depresi mengalami kekurangan libido dan

persentase meningkat seiring dengan tingkat keparahan depresi.

Prevalensi disfungsi seksual yang dipicu oleh antidepresan berbeda-beda

tergantung pada agen spesifik. Sekitar 25% - 80% dari individu yang memakai inhibitor

monoamine oxidase, antidepresan trisiklik, antidepresan serotonergik, dan gabungan

antidepresan serotonergik-adrenergik melaporkan efek samping seksual. Ada perbedaan

dalam insiden efek samping seksual antara beberapa serotonergik dan kombinasi

adrenergik-serotonergik antidepresan, meskipun tidak jelas apakah perbedaan ini

signifikan secara klinis.

4.2 Hubungan Obat Antidepresan dengan Disfungsi Seksual

Ada beberapa mekanisme yang dapat menyebabkan terjadinya disfungsi

seksual pada pasien dengan depresi yang mengonsumi obat anti depresan. Terdapat

23
faktor psikososial dan juga pengobatan yang dapat menyebabkan adanya perubahan

secara hormonal, neurologik dan vaskular yang dapat menyebabkan disfungsi seksual.

Pada mekanisme kerja obat anti depresan sendiri memiliki cara kerja yang

berbeda. Golongan obat Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI) dan Selective

Norepinephrine Reuptake Inhibitors (SNRI) dapat meningkatkan serotonin dan

norepinefrin. Sedangkan pada golongan obat Norepinephrine and Dopamine Reuptake

Inhibitors (NDRI) dapat meningkatkan kadar dopamin dalam tubuh. Ketiga

neurotransmitter tersebut yaitu serotonin, norepinefrin dan dopamin yang berperan

dalam fungsi seksual dan juga pengaturan emosi. Dopamin dipercaya dapat

meningkatkan mood termasuk perilaku seksual, pada serotonin dapat menstimulasi

adanya sexual arousal pada manusia. Sedangkan peran serotonin dapat menghambat

hal-hal tersebut.

Gambar 3. Mekanisme neurotransmiter ke fungsi seksual

Perbedaan jenis kelamin juga dapat menjadi faktor pembeda dalam disfungsi

seksual. Menurut penelitian, pada wanita efek negatif dari SSRI pada fungsi seksual

meningkat 8 kali apabila digunakan bersamaan dengan obat kontrasepsi oral. Gejala

lain seperti disfungsi ereksi, menurunnya libido dan lain sebagainya dapat diobati

dengan penggunaan obat antidepresan yang sesuai dengan pasien.

24
4.3 Tatalaksana

Terdapat beberapa cara untuk mencegah dan mengobati disfungsi seksual pada

masa pemberian obat antidepresan:

1. Menunggu adanya pengurangan gejala disfungsi seksual

Cara ini merupakan cara paling mudah. Namun biasanya penurunan dari gejala

tersebut hanya dapat terjadi pada 5-10% pasien

2. Menghentikan pemberian obat antidepresan pada masa tertentu (drug holiday)

Pemberhentian penggunaan obat antidepresan dapat menghentikan gejala

disfungsi seksual. Akan tetapi hal ini juga dapat meningkatkan potensi untuk

terjadinya relaps pada depresi pasien. Menurut penelitian, pasien yang diberikan

rencana terapi untuk tidak menggunakan obat antidepresan pada hari sabtu dan

minggu selama 4 minggu menunjukan adanya peningkatan fungsi dari disfungsi

seksual sebanyak 50-60%

3. Pemberian obat anti depresi yang menimbulkan risiko lebih rendah untuk terjadinya

disfungsi seksual

4. Penambahan obat lain

Penambahan obat seperti bupropion yang tidak menghambat kerja dari obat

anti depresi namun menghilangkan efek disfungsi seksual.

Pada pasien yang mengalami depresi dan sedang menjalankan pengobatan

perlu dilakukan pemantauan ketat termasuk kekhawatiran pasien terhadap fungsi

seksual. Untuk mendeteksi adanya efek obat terhadap fungsi tersebut, sangatlah penting

untuk bertanya ke pasien mengenai fungsi seksual sebelum memulai pengobatan

dengan obat anti depresi. Selain untuk melihat perkembangan juga dapat menentukan

tingkat kekhawatiran pasien terhadap fungsi tersebut.

25
Referensi

1. Benjamin J.S. Virginia A. Sadock. Pedro R. Synopsis of Psychiatry: Behavioral

Sciences/Clinical Psychiatry: Wolters Kluwer: 11th edition. 2015

2. Katzung, B.G., Masters, S.B. and Trevor, A.J. (2009) Basic and Clinical

Pharmacology. 11th Edition, McGraw-Hill Medical, New York.

3. Clayton AH, Croft HA, Handiwala L. Antidepressants and Sexual Dysfunction :

Mechanisms and Clinical Implications. 2014;126(2).

4. Lorenz, T., Lp, J. R., & Faubion, S. (2016). Antidepressant-Induced Female Sexual

Dysfunction. Mayo Clinic Proceedings, 91(9), 1280–1286.

5. Jing E, Straw-wilson K. PHYSICAL SIDE EFFECTS OF PSYCHOACTIVE

MEDS Sexual dysfunction in selective serotonin reuptake inhibitors ( SSRIs ) and

potential solutions : A narrative literature review. 2016;3–8.

6. Waldinger MD. Psychiatric disorders and sexual dysfunction. Handb Clin Neurol.

2015;130:469-89 


7. Krassioukov, A., & Elliott, S. (2017). Neural Control and Physiology of Sexual

Function: Effect of Spinal Cord Injury, 1–10. https://doi.org/10.1310/sci2301-1

26

Anda mungkin juga menyukai