Bells Palsy
Oleh
dr. Harnalia Pohan
Pembimbing
dr. Feria Kowira
BAB I
KASUS
A. Identitas Pasien
Nama
: Tn. D
Jenis kelamin
: Laki-laki
Usia
: 40 tahun
Alamat
: Sei kinjil
Agama
: Islam
Pekerjaan
: swasta
Tanggal periksa RS
: 19-09-2015
B. Anamnesa
SUBJEKTIF
1.
Keluhan utama :
Wajah sebelah kanan terasa tebal.
2.
3.
4.
Hipertensi (-), DM (-), Stroke (-), Trauma (-), Hiperkolesterol (-), Maag (+)
Riwayat penyakit keluarga
OBJEKTIF
1. Status presens
-
Kesadaran
GCS
Keadaan umum
TD
Nadi
Pernafasan
Suhu
Kepala
Mata
Leher
Paru
Jantung
Perut
Ekstremitas
: Compos mentis
: E4 M6 V5
: Tampak sakit sedang
: 140/80 mmHg
: 82x/menit
: 24 x/menit
: 36,1OC
: dbn
: dbn
: dbn
: dbn
: dbn
: dbn
: dbn
2. Status neurologis
- N.VII
Sudut mulut
Mengerutkan dahi
Menutup mata
Memperlihatkan gigi
Bersiul
Perasaan lidah 2/3 anterior
-
Kanan
Kiri
Turun
normal
(-)
(+)
(-)
(+)
Tertinggal
(+)
(-)
(+)
Tidak dilakukan
normal
5-5-5-5
Normotonus
Normotrofi
normal
5-5-5-5
Normotonus
Normotrofi
kanan
normal
5-5-5-5
Normotonus
Normotrofi
kiri
normal
kanan
C. DIAGNOSIS
Diagnosis klinik
kiri
5-5-5-5
Normotonus
Normotrofi
Diagnosis topik
Diagnosis etiologik
D. PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa
-
Medikamentosa
- prednison 3x4 tab (60 mg) selama 3 hari selanjutnya tap off10 mg tiap harinya
sampai 10 hari.
- Neurdex (vit B1, vit B6, dan vit B12) 1x1 tab
- Acyclovir 1x400 mg selama 10 hari
- Tetes mata
Operatif ( bila perlu )
Edukasi
- Proteksi mata kanan ( ditutup dengan kacamata )
E. PROGNOSIS
Ad vitam
: ad bonam
Ad fungsionam
: dubia ad bonam
Ad sanationam
: dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui
sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita
dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui
sebabnya disebut Bell's pals.
Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi
menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak
faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada
usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi
saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin
B. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy sebesar
19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 30 tahun. Lebih sering
terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas
maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara
dingin atau angin berlebihan .
C. ANATOMI
Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otototot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah
dan air mata dank ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan
sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan
lidah, dan sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi
proprioseptif dari otot yang disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar
sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars
intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf
fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui
saraf lingual korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar
sensasi ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada
akar desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus (N.V). hubungan sentralnya
identik dengan saraf trigeminus.
D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses
inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis
sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen
mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau
iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh
nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear dan infranuklear. Lesi
supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar
ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks
motorik primer. Karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai masuk angin atau
dalam bahasa inggris cold. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau
mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya
Bells palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau
kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi
di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus
rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN
akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap
dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama
Bells palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang
menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf
melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa
ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah
seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada
usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak
bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena
lagophtalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.
E. ETIOLOGI
F. GEJALA KLINIK
a. Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala
kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas bagian atas
yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa
tidak enak pada telinga atau sekitarnya sering merupakan gejala awal yang segera
diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa :
I.
Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh
II.
(lagophthalmos).
Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar
III.
IV.
G. DIAGNOSA
Anamnesa
Rasa nyeri
Gangguan atau kehilangan pengecapan.
Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan
terbuka atau di luar ruangan.
Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran
Pemeriksaan Laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis
Bells palsy.
Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bells palsy. Pemeriksaan CT-Scan
dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke,
sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bells palsy
akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada
telinga, ganglion genikulatum.
H. DIAGNOSA BANDING
1. Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom)
Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai dengan ruam
yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah.
Tanda dan gejala RHS meliputi:
Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang telinga,
saluran telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-langit) atau
lidah
Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang terkinfeksi
Sakit telinga
Pendengaran berkurang
J. KOMPLIKASI
1. Crocodile tear phenomenon.
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa
bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari
serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis.
Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.
2. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu
timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan
timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi platisma, atau berkerutnya
dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami
regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.
3. Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme
Timbul kedutan pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali)
dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai satu
sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan
kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila
penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun
kemudian.
K. PROGNOSIS
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bells palsy cenderung memiliki
prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bells palsy, 85%
memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15%
kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian.
Sepertiga dari penderita Bells palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala
sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan
baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata. 1/3 sisanya cacat seumur
hidup.
Penderita Bells palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor
resiko yang memperburuk prognosis Bells palsy adalah:
1. Usia di atas 60 tahun
2. Paralisis komplit
3. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
4. Nyeri pada bagian belakang telinga dan
5. Berkurangnya air mata.
Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk
mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis lain.
Pada umumnya prognosis Bells palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam
waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun
atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan
gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang
10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh
dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu
sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23
% kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bells palsy kambuh pada 10-15 %
penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau
tumor kelenjar parotis.