Referat Anak Ikterus
Referat Anak Ikterus
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Angka kejadian Ikterus pada bayi sangat bervariasi di RSCM persentase
ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan sebesar 32,1% dan pada bayi kurang
bulan sebesar 42,9%, sedangkan di Amerika Serikat sekitar 60% bayi menderita
ikterus baru lahir menderita ikterus, lebih dari 50%. Bayi-bayi yang mengalami
ikterus itu mencapai kadar bilirubin yang melebihi 10 mg. (3,7)
Ikterus terjadi apabila terdapat bililirubin dalam darah. Pada sebagian
besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama dalam
kehidupannya. Dikemukakan bahwa kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi
cukup bulan dan pada bayi 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan
32,19 % menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi bersifat patologik yang
dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian.
Karena setiap bayi dengan ikterus harus ditemukan dalam 24 jam pertama
kehidupan bayi atau bila kadar bilirubuin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24
jam. (3,7)
Proses hemolisis darah, infeksi berat ikterus yang berlangsung lebih dari
1 mg/dl juga merupakan keadaan kemungkinan adanya ikterus patologi. Dalam
keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat
buruk ikterus dapat dihindarkan. (3,7)
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui
definisi, metabolisme bilirubin, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan serta prognosis dari ikterik
neonatum. (3,7)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Ikterus Neonatorum
Yaitu disklorisasi pada kulit atau organ lain karena penumpukan
bilirubin. (2,4,5,6,7,8,9,10)
Ikterus fisiologis
Yaitu ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak
mempunyai
dasar
patologis,
kadarnya
tidak
melewati
kadar
yang
(2,4,9)
Kernicterus
Suatu sindroma neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan
bilirubin tak terkonyugasi dalam sel sel otak. (2,4,9)
2.2
Metabolisme bilirubin
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada
neonatus, perlu diketahui tentang metabolisme bilirubin pada janin dan
neonatus. Perbedaan utama metabolisme adalah bahwa pada janin melalui
plasenta dalam bentuk bilirubin indirek.
Gambar
Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi
hemoglobin pada sistem retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran
hemoglobin ini pada neonatus lebih tinggi dari pada bayi yang lebih tua.
Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek.
Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat
warna diazo (reaksi hymans van den bergh), yang bersifat tidak larut
dalam air tetapi larut dalam lemak. (2,7)
2.
Transportasi
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin sel parenkim hepar
mempunyai cara yang selektif dan efektif mengambil bilirubin dari
plasma. Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke dalam hepatosit
sedangkan albumin tidak. Didalam sel bilirubin akan terikat terutama pada
ligandin (protein , glutation S-transferase B) dan sebagian kecil pada
glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini merupakan proses dua
arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan
ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit di
konjugasi dan di ekskresi ke dalam empedu. Dengan adanya sitosol hepar,
ligadin
mengikat
bilirubin
sedangkan
albumin
tidak
Pemberian
Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi
bilirubin
bentuk
diglukosonide.
monoglukoronide.
Walaupun
Glukoronil
ada
sebagian
transferase
kecil
dalam
merubah
bentuk
Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut
dalam air dan di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke
usus. Dalam usus bilirubin direk ini tidak diabsorpsi; sebagian kecil
bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi.
Siklus ini disebut siklus enterohepatis.
Pada neonatus karena aktivitas enzim B glukoronidase yang
meningkat, bilirubin direk banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin.
Jumlah bilirubin yang terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat dan
tereabsorpsi sehingga siklus enterohepatis pun meningkat. (2,7)
5.
pada masa neonatus hal ini berakibat penumpukan bilirubin dan disertai
gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau
bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau
bila terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan
glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi. Bilirubin
indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin
dalam serum. Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah
sehingga dapat dimengerti bila kadar bilirubin indek yang bebas itu dapat
meningkat dan sangat berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah
yang dapat melekat pada sel otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan
kernicterus dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin
indirek mencapai 20 mg% pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan
bilirubin oleh neonatus yang mempunyai kadar albumin normal telah
tercapai. (2,4,7,8)
Ikterus Fisiologis
Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat
adalah sebesar 1-3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari
5 mg/dl/24 jam; dengan demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2-3,
biasanya mencapai puncaknya antara hari ke 2-4, dengan kadar 5-6 mg/dl
untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara
lain ke 5-7 kehidupan. Ikterus akibat perubahan ini dinamakan ikterus
fisiologis dan diduga sebagai akibat hancurnya sel darah merah janin yang
disertai pembatasan sementara pada konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati.
Diantara bayi-bayi prematur, kenaikan bilirubin serum cenderung sama
atau sedikit lebih lambat daripada pada bayi aterm, tetapi berlangsung lebih
lama, pada umumnya mengakibatkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya
dicapai antara hari ke 4-7, pola yang akan diperlihatkan bergantung pada waktu
yang diperlukan oleh bayi preterm mencapai pematangan mekanisme
metabolisme ekskresi bilirubin. Kadar puncak sebesar 8-12 mg/dl tidak dicapai
sebelum hari ke 5-7 dan kadang-kadang ikterus ditemukan setelah hari ke-10.
6
2.
3.
Kadar bilirubin serum lebih besar dari 12 mg/dl pada bayi aterm dan lebih
besar dari 14 mg/dl pada bayi preterm.
4.
5.
Ikterus Patologis
Ikterus patologis mungkin merupakan petunjuk penting untuk diagnosis
awal dari banyak penyakit neonatus. Ikterus patologis dalam 36 jam pertama
kehidupan biasanya disebabkan oleh kelebihan produksi bilirubin, karena
klirens bilirubin yang lambat jarang menyebabkan peningkatan konsentrasi
diatas 10 mg/dl pada umur ini. Jadi, ikterus neonatorum dini biasanya
disebabkan oleh penyakit hemolitik.
Kernicterus
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus, yaitu suatu kerusakan
otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus
striatum, talamus, nukleus subtalamus hipokampus, nukleus merah dan nukleus
di dasar ventrikel IV. Secara klinis pada awalnya tidak jelas, dapat berupa mata
berputar, letargi, kejang, tak mau menghisap, malas minum, tonus otot
meningkat, leher kaku, dan opistotonus. Bila berlanjut dapat terjadi spasme
otot, opistotonus, kejang, atetosis yang disertai ketegangan otot. Dapat
ditemukan ketulian pada nada tinggi, gangguan bicara dan retardasi
mental. (4,8,9)
2.3
Etiologi
7
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun
dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :
1.
2.
3.
Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke
hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat
misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih
banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak.
4.
Manifestasi Klinis
Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar
matahari. Bayi baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin
serumnya kira-kira 6 mg/dl atau 100 mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1 mikro
mol/L). salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL secara klinis,
sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969).
Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya
menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan
akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing
tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar
bilirubinnya. (7,9)
10
Zona
kuning
1.
100
2.
Pusat-leher
150
3.
Pusat-paha
200
4.
Lengan + tungkai
250
5.
Tangan + kaki
> 250
2.6. Diagnosis
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu
dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubinemia pada bayi. Termasuk dalam
hal ini anamnesis mengenai riwayat inkompatabilitas darah, riwayat transfusi
tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor risiko
kehamilan
dan
persalinan
juga
berperan
dalam
diagnosis
dini
terapi
sinar.
Selain
kuning,
penderita
sering
hanya
11
glutation
sintetase,
glutation
reduktase
atau
glutation
Uji coombs
14
Polisitemia
Hipoksia.
Dehidrasi asidosis.
4.
Dehidrasi asidosis.
Pengaruh obat.
Sindrom Criggler-Najjar.
Sindrom Gilbert.
Hipotiroidisme.
Infeksi.
Neonatal hepatitis.
Galaktosemia.
Lain-lain.
15
dasar
patologis
dan
tidak
mempunyai
potensi
2.
3.
4.
5.
6.
2.
Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pencegahan infeksi.
16
3.
Mengatasi hiperbilirubinemia
Mempercepat
proses
konjugasi,
misalnya
dengan
pemberian
Pengobatan umum
Bila mungkin pengobatan terhadap etiologi atau faktor penyebab dan
perawatan yang baik. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu pemberian
makanan yang dini dengan cairan dan kalori cukup dan iluminasi kamar
bersalin dan bangsal bayi yang baik.
5.
Tindak lanjut
Bahaya hiperbilirubinemia yaitu kernicterus. Oleh karena itu terhadap
bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut
sebagai berikut :
1.
2.
3.
(3,4,9)
2.9. Prognosis
Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin
indirek telah melalui sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin
menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini
dapat segera terlihat pada masa neonatus atau baru tampak setelah beberapa
lama kemudian. Pada masa neonatus gejala mungkin sangat ringan dan hanya
memperlihatkan gangguan minum, latergi dan hipotonia. Selanjutnya bayi
mungkin kejang, spastik dan ditemukan epistotonus. Pada stadium lanjut
mungkin didapatkan adanya atetosis disertai gangguan pendengaran dan
retardasi mental di hari kemudian. Dengan memperhatikan hal di atas, maka
sebaiknya pada semua penderita hiperbilirubinemia dilakukan pemeriksaan
berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisis dan motorik, ataupun perkembangan
mental serta ketajaman pendengarannya. (7,9)
18
BAB III
KESIMPULAN
Ikterus merupakan disklorisasi pada kulit atau organ lain akibat penumpukan
bilirubin. Bila ikterus terlihat pada hari ke 2-3 dengan kadar bilirubin indirek
5-6 mg/dl dan untuk selanjutnya menurun hari ke 5-7 kehidupan maka disebut
ikterus fisiologis sedangkan ikterus patologis yaitu bila bilirubin serum meningkat
dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl / 24 jam pertama kehidupan yang
selanjutnya dapat terjadi kernikterus bila tidak didiagnosa dan ditangani secara dini.
Gejala klinik yang dapat ditimbulkan antara lain letargik, nafsu makan yang
menurun dan hilangnya refleks moro merupakan tanda-tanda awal yang lazim
ditemukan tanda-tanda kernikterus jarang timbul pada hari pertama terjadinya
kernikterus.
Pengobatan yang diberikan pada ikterus bertujuan untuk mencegah agar
konsentrasi bilirubin indirek dalam darah tidak mencapai kadar yang menimbulkan
neurotoksitas, pengobatan yang sering diberikan adalah fototerapi dan transfusi tukar.
Prognosis ikterus tergantung diagnosa secara dini dan penatalaksanan yang cepat dan
tepat.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Arfin Behrman Kligman, Nelson; Dalam Ilmu Kesehatan Anak, volume I, edisi
15, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1999, hal 610-617.
2. Rusepno Hassan, Husein Alatas (ed), Hepatologi Anak dalam Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak FKUI, Buku 2, edisi 7, Bab 20, Infomedia, Jakarta, 1997, hal :
519-522.
3. Shopin Steven M Kern Icterus; Newborn Jaundice on line, Verginia
Commonhealth Univercity, http.//www.mcvfoundation.org.
4. Prawirohartono EP, Sunarto (ed), Ikterus dalam Pedoman Tata Laksana Medik
Anak RSUP. Dr. Sardjito, Edisi 2, Cetakan 2, Medika FK UGM, Yogyakarta
2000, hal 37-43.
5. Poland R, dan Ostrea E.M.; Hiperbilirubinemia pada Neonatus dalam Klaus M.H,
Fanaroff A.A (ed); Penatalaksanaan Neonatus Resiko Tinggi, Edisi 4, EGC,
Jakarta, 1998, hal 367-389
6. Sacharin R.M., Penyakit Saluran Pencernaan, Hepar dan Pankreas dalam Ni Luh
Gede Yasmin Asih (ed); Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2, EGC, Jakarta,
1993, hal 475.
7. Asil Aminullah; Ikterus dan Hiperbilirubinemia pada Neonatus dalam
A.H. Markum (ed), Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, edisi 6, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, 1999, hal : 313-317.
8. Rusepno Hassan, Husein Alatas (ed), Perinatologi dalam Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak FKUI, Buku 3, edisi 7, Bab 32, Infomedia, Jakarta, 1997, hal :
1101-1115.
9. Behrman R.E.; Kliegman R.M., Nelson W.E., Vaughan V.C. (ed); Icterus
Neonatorum in Nelson Textbooks of Pediatrics, XIVrd Edition; W.B. Saunders
Company, Philadelphia, Pennsylvania 19106, 1992; pages 641-647.
10. Glaser K.L., Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn in Pediatrics, in
www.medstudents-pediatrics.htm, 2001; page 1-3.
20