Anda di halaman 1dari 12

Model model pengembangan kurikulum madrasah

Madrasah dan Semangat desentralisasi pendidikan


Dilihat dari sejarahnya setidak-tidaknya ada dua faktor penting yang
melatarbelakangi kemunculan madrasah, yaitu: pertama, adanya pandangan yang
mengatakan bahwa sistem pendidikan islam tradisional dirasakan kurang bisa
memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat; kedua, adanya kekhawatiran atas
cepatnya perkembangan persekolahan belanda yang akan menimbulkan pemikiran
sekular di masyarakat. Untuk menyeimbangkan perkembnaga sekularisme, maka
masayrakat muslim terutama para reformis berusasha melakukan reformasi
melalui upaya pengembangan pendidikan dan pemberdayaan madrasah.
Kata madrasah adalah isim makan dari kata : darasa yadrusu-darsan wa
durusan wa dirasatan, yang berarti ; terhapus,. Hilang bekasnya, menghapus,
menjadikan usang, melatih, mempelajari ( al-munjid, 1986). Dilihat dari
pengertian ini maka madrasah berarti merupakan tempat untuk mencerdaskan para
peserta didik, menghilangkan ketidak tahuan atau memberantas kebodohan
mereka, serta melatih keterampilan mereka sesuai denagn bakat, minat dan
kemampuannya. Pengetahuan dan keterampilan seserang akan cepat usang selaras
dengan percepatan kemajuan Iptek dan perkembangan zaman, sehingga madrasah
pada dasarnya sebagai wahana untuk merngembangkan kepekaan intelektual dan
informasi, serta memperbarui pengetahuan, sikap dan keterampilan secara
berkelanjutan, agar tetap up to date dan tidak cepat usang.
Untuk memberikan ketepatan pelaksanaan pendidikan yang dilandasi oleh
kepentingan pengembangan keberagaman potensi sumber daya manusia dan alam
setiap daerah, dapat ditempuh pelimpahan wewenang dalam prinsip desentralisasi.
Di antara yang menjadi faktor-faktor latar belakang desentralisasi pendidikan
menurut
a.

Isbandi[11]

antara
Mutu

lain

:
pendidikan

Upaya peningkatan mutu pendidikan dilakukan dengan menetapkan tujuan dan


[

standar kompetensi pendidikan, yaitu melalui consensus nasional antara


pemerintah dengan seluruh lapisan masyarakat. Standar kompetensi yang
mungkin akan berbeda antar sekolah atau antar daerah akan menghasilkan standar
kompetensi nasional dalam tingkatan standar minimal normal (mainstream), dan
unggulan;
b.

Efesiensi

Peningkatan efesiensi pengelolaan pendidikan mengarah pada pengelolaan


pendidikan berbasis sekolah, dengan memberi kepercayaan yang lebih luas
kepada sekolah untuk mengoptimalkan sumber daya yang tersedia bagi
tercapainya

tujuan

c.

pendidikan

yang

diharapkan;

Relevansi

Peningkatan

relevansi

pendidikan

pendidikan

mengarah

pada

pendidikan

berbasis

masyarakat. Peningkatan peran serta orang tua dan masyarakat pada level
kebijakan (pengambil keputusan) dan level operasional melalui komite (dewan)
sekolah. Komite ini terdiri atas kepala sekolah, guru senior, wakil orang tua, tokoh
masyarakat, dan perwakilan siswa. Peran komite sekolah meliputi perencanaan,
implementasi,
d.

monitoring,

serta

Pemerataan

evaluasi

program

kerja

dan

sekolah;

Keseimbangan.

Paradigma baru lainnya yang dituangkan dalam UU sisdiknas yang baru adalah
konsep kesetaraan, antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Tidak
ada lagi istilah plat merah atau palt kuning. Semuanya berhak memperoleh dana
dari negara dalam suatu sistem yang terpadu. Demikian juga adanya kesetaraan
antara satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional
dengan satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama yang memiliki
ciri khas tertentu. Itulah sebabnya dalam semua jenjang pendidikan disebutkan
mengenai nama pendidikan yang diselenggarakan oleh Departemen Agama
(madrasah, dst). Dengan demikian UU Sisdiknas telah menempatkan pendidikan
sebagai

satu

kesatuan

yang

sistemik

(pasal

ayat

2) [12].

Selain itu UU Sisdiknas yang dijabarkan dari UUD 1945, telah memberikan
[

keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dan
tujuan pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung

jawab

(pasal

3).

Dengan demikian UU sisdiknas yang baru telah memberikan keseimbangan antara


iman, ilmu dan amal (shaleh). Hal itu selain tercermin dari fungsi dan tujuan
pendidikan nasional, juga dalam penyusunan kurikulum (pasal 36 ayat 3) dimana
peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu pengetahuan,
teknologi,
e.

seni

dan

sebagainya

dipadukan

menjadi

Partisipasi

satu.

Masyarakat

Kondisi sumber daya yang dimiliki setiap daerah tidak merata untuk seluruh
Indonesia. Untuk itu pemerintah daerah dapat melibatkan tokoh-tokoh
masyarakat, ilmuwan, pakar kampus maupun pakar yang dimiliki pemerintah
daerah dan kota sebagai Brain Trust atau Think Thank untuk turut membangun
daerahnya, tidak hanya sebagai pengamat dan pemerhati, pengecam kebijakan
daerah. Sebaliknya, lembaga pendidikan juga harus membuka diri, lebih banyak
mendengar opini publik, kinerjanya dan tentang tanggung jawabnya dalam turut
serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat[13].

Perlunya madrasah merespon tantangan pendidikan nasional


Secara umum pendidikan nasional sedang menghadapi dua tantangan yang berat,
yaitu tantangan internal dan eksternal. Secara internal, kita telah dihadapkan pada
hasil-hasil studi internasioal yang selalu menempatkan kita dalam posisi juru
[

kunci

untuk

pendidikan

dan

ranking

atas

untuk

korupsi.

Menghadapi kedua tantangan tersebut, maka perubahan, inovasi dan pembaruan


merupakan kata kunci yang perlu dijadikan titik tolak dalam mengembangkan
pendidikan nasional pada umumnya. Pengembangan tersebut tidak dapat
dilakukan sendiri oleh pemerintah pusat/daerah, teatpi memerlukan masukanmasukan dan gerakan bersama antar semua institusi, baik institusi pendidikan
(dasar, menengah dan tinggi), institusi ekonomi, politik, sosial, budaya, agama
serta masyarakat pada umumnya, untuk mendukung terwujudnya cita-cita
tersebut.
Untuk memanaj perubahan tersebut perlu bertolak dari visi yang jelas, yang
kemudian dijabarkan dalam misi, dan didukung oleh skill, intensif, sumber daya
(fisik dan nono fisik, termasuk SDM), untuk selanjutnya diwujudkan dalam
rencana kerja yang jelas. Dengan demikian, akan terjadilah perubahan.jika salah
satu aspek saja ditinggalkan, maka akan mempunyai ekses tertentu. Misalnya jika
visi ditinggalkan atau dalam pengembangan madrasah tidak bertolak dari visi
yang jelas, maka akan berakibat hancur.
Perubahan atau inovasi itu sendiri memang hanyalah sebagai alat bukan tujuan.
Apa yang dituju oleh perubahan itu adalah penigkatan mutu pendidikan, sehingga
masing-masing

sekolah/madrasah

dituntut

untuk

menyelenggarakan

dan

mengelola pendidikan secara serius dan tidak sembrono, ia harus mampu


memberikan quality assurance ( jaminan mutu), mampu memberikan layanan
yang prima, serta mampu bertanggung jawabatas kinerjanya kepada peserta didik,
orang tua, dan masyarakat sebagai stakeholders.
Sebelum mengalami perkembangan seperti sekarang ini, madrasah
hanya diperuntukkan bagi kalangan masyarakat kelas menengah ke
bawah. Namun sejak mulai mengadopsi sistem pendidikan moderen
yang berasal dari Barat sambil tetap mempertahankan yang sudah ada
dan

dilengkapi

dengan

fasilitas-fasilitas

yang

mendukung

iklim

pembelajaran siswa dan pengajaran siswa, madrasah (atau sekolah


Islam) sekarang sudah sangat diminati oleh kalangan masyarakat kelas

menengah ke atas. Apalagi madrasah sekarang ini sudah banyak yang


menjalankan dengan apa yang disebut sebagai English Daily. Semua
guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar harus berbicara
dalam bahasa Inggris. Madrasah seperti Madrasah Pembangunan UIN
Jakarta, Sekolah Islam Al-Azhar, sekolah Islam Al-Izhar, Sekolah Islam
Insan

Cendekia,

dan

lain

sebagainya

adalah

beberapa

contoh

diantaranya.
Kemampuan bahasa asing yang bagus di era globalisasi seperti
sekarang ini mutlak diperlukan. Oleh karena itu, di beberapa madrasah
dan sekolah Islam itu kemudian tidak hanya memberikan pengetahuan
bahasa Inggris saja. Lebih dari itu, pengetahuan bahasa asing lainnya
juga absolut diajarkan oleh madrasah seperti bahasa Arab misalnya.
Atau bahasa Jepang, Mandarin dan lainnya pada tingkat Madrasah
Aliyah.
Di samping itu, dalam menghadapi era globalisasi, madrasah sebagai
institusi pendidikan Islam tidak lantas cukup merasa puas atas
keberhasilan yang telah dicapainya dengan memberikan pengetahuan
bahasa asing kepada para siswanya dan desain kurikulum pendidikan
yang kompatibel dan memang dibutuhkan oleh madrasah.
Akan tetapi, justru madrasah harus terus berpikir ulang secara
berkelanjutan yang mengarah kepada progresivitas madrasah dan para
siswanya. Oleh karena itu, dalam pendidikan madrasah memang
sangat diperlukan pendidikan keterampilan. Pendidikan keterampilan
ini bisa berbentuk kegiatan ekstra kurikuler atau kegiatan intra
kurikuler yang berupa pelatihan atau kursus komputer, tari, menulis,
musik, teknik, montir, lukis, jurnalistik atau mungkin juga kegiatan
olahraga seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, catur dan lain
sebagainya. Dari pendidikan keterampilan nantinya diharapkan akan
berguna ketika para siswa lulus dari madrasah. Karena jika sudah
dibekali dengan pendidikan keterampilan, ketika ada siswa yang tidak
dapat melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi seperti
universitas misalnya, maka siswa dengan bekal keterampilan yang

sudah pernah didapatnya ketika di madrasah tidak akan kesulitan lagi


dalam upaya mencari pekerjaan.
Jadi,

kiranya

penting

bagi

madrasah

untuk

mengembangkan

pendidikan keterampilan tersebut. Sebab, dengan begitu siswa akan


langsung dapat mengamalkan ilmunya setelah lulus dari madrasah
atau sekolah Islam. Namun semua itu tentunya harus dilakukan secara
profesional.
Dengan adanya pendidikan keterampilan di sekolah-sekolah Islam atau
madrasah, lulusan madrasah diharapkan mampu merespon tantangan
dunia global yang semakin kompetitif. Dan nama serta citra madrasah
juga tetap akan terjaga. Karena ternyata alumni-alumni madrasah
mempunyai kompetensi yang tidak kalah kualitasnya dengan alumni
sekolah-sekolah umum.

Menyoroti keberadaan kurikulum madrasah


Pengembangan pendidikan madrasah tidak dapat ditangani secara parsial atau
setengah-setengah, tetapi memerlukan pemikiran pengembangan yang utuh,
terutama ketika dihadapkan pada kebijakan pembangunan nasional bidang
pendidikan yang mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata
sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara
Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas, sehingga mampu dan
proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah ( baca penjelasan UU.
No. 20/2003 tentang Sisdiknas).
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pada periode H.A. Mukti Ali ( mantan
menteri Agama RI), ia menawarkan konsep alternatif pengembangan madrasah
melalui kebijakan SKB 3 menteri, yang berusaha menyejajarkan kualitas
madrasah dengan non-madrasah, derngan porsi kurikulum 70% umum dan 30 %
agama. Pada periode Menteri Agama Munaw2ir Sadzali menawarkan konsep
MAPK. Dan pada periode menteri Agama RI. H. Tarmizi Taher Menawarkan
konsep madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam.

Untuk kedangkalan pengetahuan agama lulusan madrasah, Menteri Agama


Munawir Sadzali mencoba menawarkan MAPK ( Madrasah Aliyah Program
Khusus). Hal ini dimaksudkan untuk menjawab problem kelangkaan ulama
dan/atau kelangkaan umat yang menguasai kitab-kitab berbahasa Arab serta ilmuilmu keislaman.
Sedangkan menteri Agama Tarmizi Taher Mencoba menawarkan kebijakan
dengan jargon madrasah sebagi sekolah umum yang berciri khas agama Islam,
yang muatan kurikulumnya sama dengan sekolah non-madrasah. Kebijakan ini
ditindak

lanjuti

oleh

Menteri

Agama

berikutnya.bahkan

Malik

Fajar

Memantapkan eksistensi madraasah untuk memenuhi tiga tuntutan minimal dalam


penigkatan kualitas madrasah, yaitu (1) bagaimana menjadikan madrasah sebagai
wahana untuk membina ruh atau praktik hidup keislaman; (2) bagaimana
memperkokoh keberadaan madrasah sehingga sederajat dengan sistem sekolah ;
(3) bagaimana madrasah mampu merespons tuntutan masa depan guna
mengantisipasi perkembangan ipteks dan era globalisasi.

Gambaran umum pengembangan kurikulum madrasah


Menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh dan praktik hidup
keislaman, terutama dalam mengantisipasi peraadaban global, adalah merupakan
tawaran yanag selalu aktual. Disisi lain kurikulum madrasah perlu dikembangkan
secara terpadu, dengan menjadikan ajaran dan nilai-nilai Islam sebagai petunjuk
dan sumber konsultasi bagi pengembangan berbagai mata pelajaran umum, yang
operasionalnya dapat dikembangkan dengan cara mengimplisitkan ajaran dan
nilai-nilai islam kedalam bidang studi Ips, IPA dan sebagainya, sehingga kesan
dikotomis tidak terjadi.model pembelajarannya bisa dilaksanakan melalui team
teaching , yakni guru bidang IPS, IPA atau lainnya bekerjasama dengan guru
pendidikan agama Islam untuk menyusun disain pembelajaran secar konkret dan
detail, untuk diimplementasikan dalam kegiatan pembelajaran.

Pada dasarnya prosedur Pengembangan Kurikulum yang Berbasis Madrasah sama


dengan prosedur Pengembangan Kurikulum Berbasis Sekolah (School Based
Curriculum Development) mengingat term madrasah dengan sekolah memiliki
substansi yang sama yaitu keduanya merupakan tempat belajar secara formal.
Secara sederhana prosedur pengembangannya adalah sebagai berikut :
Pemilihan Model Pengembangan
Dalam Pengembangan Kurikulum Berbasis Madrasah, para pengembang
kurikulum dapat memulai dengan memilih model konsep pengembangan yang
ditawarkan oleh para ahli kurikulum. Pemilihan model ini dilakukan dengan
mempertimbangkan aspek lokalitas atau kebutuahan masyarakat di mana
madrasah itu berada. Beberapa model pengembangan berikut ini dapat dipilih oleh
para pengembang kurikulum madrasah dengan mempertimbangkan hubungan
antara elemen kurikulum dan urutan penyusunannya sebagai berikut :
1) Model Rasional atau Tujuan
Model ini menekankan pada urutan elemen kurikulum, yang dimulai dengan
tujuan, kemudian materi, metode dan diakhiri dengan evaluasi. Tujuan merupakan
elemen yang sangat penting karena menjadi dasar penyusunan elemen berikutnya.
Ada dua macam model rasional ini, yaitu model Tyler dan model Taba.
Pertama, Model Ralph Tyler. Menurut Tyler kurikulum harus disusun secara logis
dan sistematis. Untuk menyusun kurikulum ada empat pertanyaan mendasar yang
harus diajukan : 1). Apa tujuan pendidikan yang ingin dicapai?, 2). Apa
pengalaman pendidikan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan? 3). Bagaimana
mengorganisasikan pengalaman belajar secara efektif? Dan 4). Bagaimana
menentukan apakah tujuan pendidikan telah tercapai?. Dari empat pertanyaan
tersebut di atas, model pengembangan Tyler dapat dilihat dalam bagan berikut
ini :
Bagan 2
Model Ralph Tyler
Kedua, Model Hilda Taba. Model ini merupakan modifikasi dari model Tyler
menjadi model pengembangan kurikulum yang sesuai di sekolah/madrasah. Agar
kurikulum bermanfaat bagi siswa, menurut Taba, kebutuhan-kebutuhan siswa

harus didiagnosis terlebih dahulu. Pendekatan yang digunakan dalam


pengembangan kurikulum bersifat induktif. Dan inilah yang membedakan model
Tyler dan model Taba. Ada tujuh langkah pengembangan kurikulum menurut
Taba,
1) mendiagnosis kebutuhan, 2) merumuskan tujuan, 3) memilih isi, 4)
mengorganisasi isi, 5) memilih pengalaman belajar; 6) mengorganisasi
pengalaman belajar dan 7) menentukan alat evaluasi.
2) Model siklus
Model ini sangat banyak sekali. Salah satu contoh model ini adalah model D.K.
Wheeler . D.K. Wheeler mengembangkan dan memperluas gagasan kurikulum
yang diajukan Tyler khususnya Taba. Ia mengemukakan, ketika dikembangkan
secara sistematis-logis, kelima tahap yang saling terkait dalam pengembangan
kurikulum akan menghasilkan kurikulum yang efektif. Ia menggabungkan
elemen-elemen pokok yang digagas oleh Tyler dan Taba. Lima tahap yang
dimaksud adalah sebagai berikut: 1) pemilihan tujuan (aims, goals dan
objectives), 2) pemilihan pengalaman belajar, 3) emilihan isi, 4) pengorganisasian
dan pengintegrasian pengalaman belajar dengan isi, dan 5) evaluasi masingmasing tahap dan pencapaian tujuan. Sumbangan penting Wheeler pada
pengembangan kurikulum adalah penekanan pada konsep dasar proses kurikulum
siklus dan elemen kurikulum yang saling terkait. (Murray Print : 1993)
3) Model Dinamik atau Interaktif
Model dinamik ini berangkat dari pendekatan deskriptif terhadap kurikulum
dimana para peneliti telah mengadakan observasi tingkah laku guru dan
pengembang kurikulum karena pada dasarnya merekalah yang menyusun
kurikulum. Dengan demikian, hal ini akan menjadi landasan penting bagi
penyusunan teori. Konsekwensinya adalah pendekatan perspektif-analitis tidak
begitu menonjol dalam model ini. Banyak penulis yang telah menuliskan model
pengembangan kurikulum ini. Di antaranya adalah Decker Walker (1971) dan
Malcolm Skilbeck (1976). Berikut ini contoh model yang dikembangkan oleh
Decker Walker. Walker memulai dengan tiga tahapan dalam mempersiapkan

penyusunan kurikulum. Ketiga tahap dimaksud dapat dilihat pada bagan 04


berikut ini;
12
(menerapkan beberapa pertimbangan pada situasi praksis, mendiskusikan,
menerima, menolak, merubah dan menyesuaikan) (membuat keputusan tentang
beberapa komponen proses)
Sumber : Murry Print (1993 : 75)
Bagan di atas menggambarkan tahapan pengembangan kurikulum dengan tiga
tahap. Tahap pertama statemen platform diakui oleh para pengembang kurikulum.
Statemen ini terdiri atas sejumlah gagasan, pandangan, pilihan, kepercayaan, dan
nilai. Hal-hal tersebut akan mempengaruhi pembentukan dasar platform. Para
pengembang kurikulum tidak boleh memulai tugasnya dengan tangan kosong.
Semua hal di atas yang mereka bawa dalam proses pengembangan kurikulum dan
berguna sebagai landasan atau platform. Kemudian, tahap kedua
adalah tahap pertimbangan yang mendalam. Pada tahanpan ini setiap pengembang
kurikulum mempertahankan platformnya dan memusyawarahkannya untuk
mencapai kesepakatan. Tahap terakhir adalah mendesain kurikulum. Pada tahap
ini, setelah mendiskusikan secara panjang lebar, mereka membuat keputusan
beberapa komponen proses. Keputusan tersebut dicatat dan menjadi landasan
dokumen kurikulum.
13
4) Model Eclectic Murry Print
Model pengembangan kurikulum eklektik ini dirancang untuk menawarkan
pendekatan pengembangan kurikulum yang dapat dipahami secara mudah.
Pendekatan ini diadopsi dari pendekatan sistematis-logis dan dinamik. Pendekatan
sistematislogis di sini karena dalam pengembangan kurikulum harus
dilaksanakan dalam prosedur tahap demi tahap. Sedangkan pendekatan dinamik di
sini karena menggambarkan situasi yang sedang terjadi ketika pengembang dan
guru menyusun kurikulum. Situasi ini ditandai dengan kebingungan dan tidak
menentu yang akhirnya membutuhkan penjelasan yang tidak mudah. Dengan

mengadopsi dua pendekatan diharapkan kurikulum yang dihasilkan sesuai dengan


kebutuhan pengembang kurikulum terutama para guru. Model ini dikembangkan
di Australia setelah diadakan penelitian bahwa guru-guru tidak mengetahui
banyak tentang kurikulum, model dan teori. Ada tiga tahap yang harus diikuti
dalam model pengembangan kurikulum ini, yaitu ; organisasi, pengembangan dan
aplikasi.
Untuk lebih jelasnya model ini dapat dilihat pada bagan berikut ini; 1)
Organisasi. Terdapat tiga pertanyaan mendasar yang harus diajukan pada tahap
ini yaitu a) siapa yang terlibat dalam pengembangan kurikulum, b) konsep
kurikulum apa yang mereka bawa dan c) kekuatan-kekuatan apa yang
mempengaruhi cara berpikir mereka. 2) Pengembangan. Pada tahap ini semua
orang yang terlibat dalam penyusunan kurikulum berkumpul untuk menyusun
kurikulum yang dapat
dilaksanakan. Untuk mencapai tahap ini pengembang mengikuti prosedur siklus
yang dimulai dari analisis situasi, tujuan, isi, kegiatan belajar, dan evaluasi
kemudian kembali ke analisis situasi lagi. 3) Aplikasi. Pada tahap ini terdapat tiga
kegiatan yang tergabung yaitu : 1) implementasi kurikulum, b) monitoring dan
umpan baik pada kurikulum, dan c) penentuan data umpan balik pada kelompok
presage.

Muhaimin. 2003. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam. Bandung: Penerbit


Nuansa.
Azyumardi azra. 1997. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi menuju
millennium baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Muhaimin. 2005. Pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
[11] Isbandi, Desentralisasi Pendidikan, Artikel Pendidikan, Tahun 2008,
http://icmimudabanten.org/jurnal/?p=47

[12] Arifin, Anwar, Prof. Dr., Memahami Paradigma Pendidikan Nasional dalam
Undang-undang SISDIKNAS, POKSI VI FPG DPR RI, 2003, http://www.asahinet.or.jp/~mm5r-atmd/html/FTP/paradigma.pdf
. [13] Dr. Marihot Manulang, Otonomi Pendidikan, Artikel Pendidikan Tahun
2008, http://pakguruonline.pendidikan.net

Anda mungkin juga menyukai