Earthquake Microzonation of Jakarta in Indonesian L
Earthquake Microzonation of Jakarta in Indonesian L
DI DKI JAKARTA
Disiapkan Untuk:
Disiapkan Oleh:
DESEMBER 2010
LAPORAN AKHIR
PENDAYAGUNAAN PETA MIKROZONASI GEMPA
DI DKI JAKARTA
Disiapkan Untuk:
Disusun Oleh:
DESEMBER 2010
DAFTAR ISI
2.3
2.4
REFERENSI ............................................................................................................ 1
LAMPIRAN A
DATA BORLOG
ii
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 1-1.
GAMBAR 2-1.
GAMBAR 2-2.
GAMBAR 2-3.
GAMBAR 2-4.
GAMBAR 2-5.
SHALLOW CRUSTAL DI SEKITAR SELAT SUNDA DAN PULAU JAWA ............. 2-5
GAMBAR 2-6.
GAMBAR 2-7.
GAMBAR 2-8.
GAMBAR 2-9.
PERKIRAAN HUBUNGAN
GAMBAR 3-2.
GAMBAR 3-3.
GAMBAR 3-4.
MODEL LOGIC TREE UNTUK SUMBER GEMPA SESAR (FAULT). ....................... 3-8
GAMBAR 3-5.
MODEL LOGIC TREE UNTUK SUMBER GEMPA SUBDUKSI (MEGATHRUST). .... 3-9
GAMBAR 3-6.
GAMBAR 3-7.
GAMBAR 3-8.
GAMBAR 3-9.
iii
GAMBAR 3-10. TARGET RESPONS SPECTRA YANG DISKALAKAN PADA T=1.0 DETIK UNTUK
PERIODE ULANG GEMPA 500 TAHUN......................................................... 3-12
GAMBAR 3-11. TARGET RESPONS SPECTRA YANG DISKALAKAN PADA T=0.2 DETIK UNTUK
PERIODE ULANG GEMPA 2500 TAHUN....................................................... 3-12
GAMBAR 3-12. TARGET RESPONS SPECTRA YANG DISKALAKAN PADA T=1.0 DETIK UNTUK
PERIODE ULANG GEMPA 2500 TAHUN....................................................... 3-13
GAMBAR 3-13. TIME HISTORY SINTETIK DI BATUAN UNTUK ALL SOURCES EVENT PADA
PERIODE ULANG 500 TAHUN ....................................................................... 3-14
GAMBAR 3-14. TIME HISTORY SINTETIK DI BATUAN UNTUK MEGATHRUST PADA PERIODE
ULANG 500 TAHUN (T=0.2 DETIK) ............................................................. 3-15
GAMBAR 3-15. TIME HISTORY SINTETIK DI BATUAN UNTUK BENIOFF PADA PERIODE ULANG
500 TAHUN (T=0.2 DETIK) ......................................................................... 3-15
GAMBAR 3-16. TIME HISTORY SINTETIK DI BATUAN UNTUK SHALLOW CRUSTAL PADA
PERIODE ULANG 500 TAHUN (T=0.2 DETIK) ............................................... 3-15
GAMBAR 3-17. TIME HISTORY SINTETIK DI BATUAN UNTUK MEGATHRUST PADA PERIODE
ULANG 500 TAHUN (T=1.0 DETIK) ............................................................. 3-16
GAMBAR 3-18. TIME HISTORY SINTETIK DI BATUAN UNTUK BENIOFF PADA PERIODE ULANG
500 TAHUN (T=1.0 DETIK) ......................................................................... 3-16
GAMBAR 3-19. TIME HISTORY SINTETIK DI BATUAN UNTUK SHALLOW CRUSTAL PADA
PERIODE ULANG 500 TAHUN (T=1.0 DETIK) ............................................... 3-16
GAMBAR 3-20. TIME HISTORY SINTETIK DI BATUAN UNTUK ALL SOURCES PADA PERIODE
ULANG 2500 TAHUN ................................................................................... 3-17
GAMBAR 3-21. TIME HISTORY SINTETIK DI BATUAN UNTUK MEGATHRUST PADA PERIODE
ULANG 2500 TAHUN (T=0.2 DETIK) ........................................................... 3-17
GAMBAR 3-22. TIME HISTORY SINTETIK DI BATUAN UNTUK BENIOFF PADA PERIODE ULANG
2500 TAHUN (T=0.2 DETIK) ....................................................................... 3-17
GAMBAR 3-23. TIME HISTORY SINTETIK DI BATUAN UNTUK SHALLOW CRUSTAL PADA
PERIODE ULANG 2500 TAHUN (T=0.2 DETIK) ............................................. 3-18
GAMBAR 3-24. TIME HISTORY SINTETIK DI BATUAN UNTUK MEGATHRUST PADA PERIODE
ULANG 2500 TAHUN (T=1.0 DETIK) ........................................................... 3-18
GAMBAR 3-25. TIME HISTORY SINTETIK DI BATUAN UNTUK BENIOFF PADA PERIODE ULANG
2500 TAHUN (T=1.0 DETIK) ....................................................................... 3-18
GAMBAR 3-26. TIME HISTORY SINTETIK DI BATUAN UNTUK SHALLOW CRUSTAL PADA
PERIODE ULANG 2500 TAHUN (T=1.0 DETIK) ............................................. 3-19
GAMBAR 4-1.
GAMBAR 4-2.
REPRESENTASI SKEMATIK DARI MODEL IM (BARDET AND TOBITA, 2001) ... 4-2
GAMBAR 4-3.
GAMBAR 4-6.
iv
GAMBAR 4-7.
GAMBAR 4-8.
GAMBAR 4-9.
DAFTAR TABEL
TABEL 2.1. FAKTOR AMPLIFIKASI UNTUK PERIODE RENDAH DENGAN KONDISI TANAH SC-1A
FIRM TO HARD ROCKS (DORBRY DKK, 2000) ................................................. 2-11
TABEL 2.2 KLASIFIKASI TANAH BERDASARKAN UBC - 1997 .......................................... 2-11
TABEL 3.1. INTERVAL COMPLETENESS DARI DATA GEMPA WILAYAH INDONESIA............. 3-3
TABEL 3.2. RECORDED GROUND MOTION YANG DIPILIH .................................................... 3-14
TABEL 4.1. BEBERAPA KORELASI EMPIRIS ANTARA N-SPT DENGAN PARAMETER DINAMIK
TANAH (BARROS, 1994) .................................................................................... 4-3
TABEL 4.2. SITE KLASIFIKASI BERDASARKAN PERATURAN GEMPA INDONESIA
(SNI 03-1726, 2002) ........................................................................................ 4-7
vi
BAB1
B
PEN DAHULLUAN
1.1 RASIONA
R
AL DAN LATAR
L
B ELAKAN
NG
Gempabum
G
mi merupakaan salah satuu bencana alam
a
yang paling
p
meniimbulkan keerusakan
d muka buumi. Damppak dari geempa dapatt menyebabbkan menyebabkan keerusakan
di
s
struktur,
sarrana infrasttruktur, pem
mukiman peenduduk dann bangunann sipil lainn
nya yang
s
sangat
vitaal dalam keehidupan masyarakat
m
di wilayahh sekitar ggempa. Pengalaman
m
membuktik
an bahwa sebagian
s
beesar korban dan kerugian yang teerjadi akibaat gempa
d
disebabkan
oleh kerussakan dan kegagalan
k
infrastruktu
i
ur/bangunann. Kerusakaan akibat
g
gempa
dapat dibagi dalam
d
2 jennis: (1) kerrusakan tidaak langsung pada tan
nah yang
m
menyebabk
kan terjadinnya likuifakksi, cyclic mobility, lateral
l
spreading, kelo
ongsoran
l
lereng,
keretakan tannah, subsideence (penurrunan mukaa tanah), ddan deformaasi yang
b
berlebihan,
serta (2) keerusakan strruktur sebag
gai akibat laangsung daari gaya inerrtia yang
d
diterima
b
bangunan
s
selama
gonncangan. Pencegahan
P
n kerusakaan strukturr akibat
k
kegagalan
tanah penddukung tidaak mudah untuk dituuangkan daalam prosess disain,
T
Tetapi,
penccegahan kerrusakan struuktur sebagai akibat lanngsung darii gaya inersiia akibat
g
gerakan
tannah dapat dilakukan
d
m
melalui
prosees disain deengan mem
mperhitungkan suatu
t
tingkat
bebaan gempa reencana.
IIndonesia menempati
m
z
zona
tektonnik yang san
ngat aktif kaarena tiga leempeng bessar dunia
d sembilan lempengg kecil lainnnya saling bertemu di
dan
d wilayah Indonesia (Gambar
(
1-1) dan membentuk
m
jalur-jalur pertemuan
n lempeng yang komppleks (Bird
d, 2003).
K
Keberadaan
n interaksi antar lemppeng-lempeng ini mennempatkan wilayah In
ndonesia
s
sebagai
wilaayah yang sangat
s
rawaan terhadap gempa bum
mi (Milson eet al., 1992).
1-2
4.
5.
6.
1-3
7.
1.4 METODOLOGI
Tahapan pekerjaan yang akan dilakukan dalam studi ini secara umum adalah sebagai
berikut:
1. Studi literatur tentang kondisi geologi dan tektonik untuk mengidentifikasi
aktifitas gempa regional dan menyiapkan zona-zona sumber gempa yang akan
dipergunakan dalam analisis seismic hazard. Pada tahap ini akan dilakukan
pengumpulan data-data sekunder seperti dari studi-studi sebelumnya, paper-paper
dari jurnal dan prosiding, pengumpulan data tanah, dan kelengkapan-kelengkapan
data lainnya.
2. Pembuatan model seismotektonik untuk tiap sumber gempa yang mempengaruhi
lokasi proyek.
3. Pemilihan fungsi atenuasi yang sesuai untuk tiap sumber gempa yang
mempengaruhi DKI Jakarta.
4. Evaluasi data gempa historis regional untuk memperoleh parameter seismic hazard
untuk zona-zona sumber gempa yang mempengaruhi DKI Jakarta.
5. Analisis seismic hazard dengan menggunakan konsep probabilitas dan model
sumber gempa tiga dimensi untuk memperkirakan percepatan gempa di batuan
dasar untuk periode ulang gempa 500 dan 2500 tahun.
6. Analisis perambatan gelombang geser dari batuan dasar ke permukaan tanah untuk
menentukan percepatan maksimum dan respon spektra di permukaan tanah dengan
menggunakan input motion yang telah diskalakan.
7. Membuat rekomendasi respons spektra berdasarkan hasil analisis perambatan
gelombang geser dari batuan dasar ke permukaan tanah.
Detail metodologi dalam studi ini akan dibahas lebih detail pada bab-bab selanjutnya.
1.5 HASIL YANG DIHARAPKAN
Hasil yang diharapkan dari studi ini adalah:
1.
2.
3.
Percepatan gempa di batuan dasar untuk dua periode ulang, yaitu 500 dan 2500
tahun.
Peta mikrozonasi seismik awal di DKI Jakarta untuk dua periode ulang gempa.
Respons spektra desain untuk dua periode ulang tersebut berdasarkan
pengklasifikasian tanah setempat.
1-4
BAB2
STUDILITERATUR
2.1 TATANAN TEKTONIK INDONESIA
Berdasarkan lokasi dan sifatnya, tatanan tektonik di Indonesia dikelompokkan menjadi
beberapa kelompok. Tektonik Indonesia bagian Barat didominasi oleh konvergensi
Lempeng India-Australia dengan Lempeng Eurasia. Pada sepanjang barat Sumatra,
arah konvergensi membentuk penunjaman yang relatif menyerong terhadap arah
kelurusan palung, sedangkan di sepanjang selatan Jawa, arah penunjaman lempeng
hapir tegak lurus.
Sementara itu, tektonik Indonesia bagian Timur tampak lebih rumit, seperti adanya
dua lempeng yang menunjam di bawah Laut Banda yaitu dari selatan di Palung Timor
dan Aru dan dari utara di Palung Seram. Keduanya dipisahkan oleh Sesar TareraAiduna (Bock et al., 2003). Model tektonik yang rumit di Indonesia bagian Timur juga
terbentuk oleh jalur tubrukan (collision) antara Lempeng Benua Australia dan
Lempeng Samudra Pasifik yang menghasilkan persesaran yang sangat intensif dan
meluas di Pulau Papua.
Kegempaan Indonesia juga dipengaruhi oleh adanya beberapa sesar yang berpotensi
aktif sebagai sumber gempa-gempa dangkal dan tersebar di wilayah Indonesia
sebagaimana terlihat dalam Gambar 2-1.
2-2
2-3
akan datang akumulasi dari strain energy juga akan dihasilkan dalam gempa
besar dan sangat besar sepanjang Segmen Sumatra.
Selat Sunda terletak pada zona transisi antara Segmen Sumatra dan Segmen
Jawa dari Sunda Arc dan merupakan area paling aktif di Indonesia dalam hal
aktifitas vulkanik, gempa dan vertical motion. Perluasan Selat Sunda telah
membentuk suatu bound graben terstruktur dan pusat dari letusan Gunung
Krakatau yang bersejarah. Letusan dari Gunung Krakatau yang terkenal itu
pada tahun 1883 terjadi tepat di tengah-tengah Selat Sunda.
Segmen Jawa pada Sunda Arc terbentang mulai dari Selat Sunda dibagian barat
hingga Bali Basin dibagian timur dan merupakan oceanic crust yang relatif tua
(150 juta tahun). Segmen ini konvergen ke arah normal terhadap busur dengan
kecepatan sekitar 6.0 cm/tahun pada palung Jawa Barat dan 4.9 cm/tahun pada
palung Jawa Timur. Zona seismik Benioff sepanjang Segmen Jawa memiliki
dip mendekati 50o dan memanjang hingga kedalaman sekitar 600 km dan
sebuah gap seismik terdapat pada segmen ini dikedalaman antara 300 dan 500
km.
Tiga gempa besar dilaporkan dalam catatan historis sebelum pemakaian alat
pencatat gempa (Newcomb and McCann, 1987). Sebagaimana ditunjukkan
dalam Gambar 2-4, kejadian-kejadian ini terjadi dalam tahun 1840, 1867 dan
1875. Beberapa kejadian gempa besar juga tercatat sejak tahun 1903. Catatan
gempa sepanjang dip pada Segmen Jawa mengindikasikan bahwa dalam
periode 300 tahun, tidak ada kejadian gempa besar pada interplate yang terjadi
sebagaimana gempa Sumatera yang terjadi pada tahun 1833 dan 1861.
2-4
Gambar 2-5. Shallow Crustal di Sekitar Selat Sunda dan Pulau Jawa
2.3 SEJARAH GEMPA MERUSAK DI PULAU JAWA
Sejarah gempa bumi merusak di Jawa dan sekitarnya umumnya dipengaruhi oleh
kegiatan patahan-patahan dan akibat hunjaman khusunya di selatan Jawa (Gambar 2-6
dan Gambar 2-7). Salah satu kejadian gempa bumi yang cukup besar adalah Gempa
bumi Roo Rise tanggal 11 September 1921 (M=7,5). Pusat gempa terletak di Tinggian
Roo di sekitar trench selatan Nusa Tenggara Barat. Goncangan gempa dirasakan mulai
dari Sumatera bagian selatan sampai ke Sumbawa, dilaporkan juga bahwa gempa bumi
ini diikuti dengan tsunami yang melanda daerah sepanjang 275 km.
2-5
2006
2006
2-6
2-7
Area source
Magnitude, M
(D) PERHITUNGAN
PROBABILITAS
TERLAMPAUI
Probability of Exceedance
SITE
Peak Acceleration
Fault
Distance
Acceleration
Percepatan gempa di batuan dasar DKI Jakarta untuk beberapa perioda ulang.
2.
Pembuatan time-histories yang sesuai untuk batuan dasar DKI Jakarta untuk
perioda ulang gempa 500 tahun dan 2500 tahun.
Pembuatan time histories (TH) dalam studi ini diperlukan mengingat sampai saat ini
data riwayat waktu percepatan strong motion di batuan dasar masih sangat sedikit.
Sehingga pada umumnya dalam analisis site specific response spectra dan dynamic
soil-stucture interaction di Indonesia digunakan data TH gempa dari negara lain.
Bahkan dalam SNI 03-1726-2002 direkomendasikan untuk menggunakan 4 buah
akselerogram dari 4 gempa yang berbeda, yang salah satunya harus diambil dari data
gempa Elcentro N-S (1940). Sedangkan pemakaian data TH yang diambil dari negara
2-8
atau lokasi lain belum tentu sesuai diterapkan untuk semua lokasi atau kondisi di
Indonesia.
Pembuatan TH dilakukan dengan menggunakan metoda analisis Spectral Matching
(SMA). Dalam metoda ini data TH aktual dari seluruh dunia dipilih yang dianggap
sesuai dengan mekanisme kegempaan di lokasi sumber dan karaketeristik magnituda
dan jarak (M-R). Karaketeristik magnituda dan jarak ini ditentukan melalui analisis
deagregasi. Berdasarkan hasil deagregasi tersebut juga kemudian dihitung kembali
respon spektra di batuan dasar untuk berbagai sumber/ mekanisme gempa dengan
menggunakan fungsi atenuasi yang sesuai. Dalam studi ini SMA dilakukan dengan
menggunakan bantuan perangkat lunak (software) EZ-FRISK (Risk Engineering,
2005). Software ini sudah mengadopsi metoda time-dependent spectral matching yang
dibuat oleh Norm Abrahamson (Abrahamson, 1998). Metoda ini merupakan hasil
modifikasi dari riset sebelumnya yang telah dilakukan oleh Lilhanand dan Tseng
(1987, 1988).
2.5. ANALISIS PENGARUH KONDISI TANAH LOKASL
Analisis pengaruh kondisi tanah setempat dilakukan untuk mengevaluasi respon
kondisi tanah setempat terhadap motion di batuan dasar yang berada di bawahnya. Hal
ini sangat mempengaruhi karakteristik motion di permukaan tanah yaitu, amplitude
percepatan dan bentuk respon spektra. Perbandingan antara atenuasi percepatan
maksimum di suatu lokasi dengan kondisi tanah yang berbeda menunjukkan
kecenderungan yang jelas dalam perilaku amplifikasi (Seed et al. 1976). Gambar 2-9
menunjukkan bahwa percepatan maksimum di permukaan tanah lebih besar daripada
percepatan maksimum di batuan pada percepatan rendah dan sebaliknya pada
percepatan tinggi. Untuk percepatan yang tinggi, kekakuan yang rendah dan
nonlinieritas tanah lunak seringkali menyebabkan percepatan maksimum tidak
bertambah sebesar yang terjadi di batuan dasar.
2-9
dapat terlihat secara jelas bahwa untuk periode diatas 0,5 detik, amplifikasi yang
terjadi pada spektra tanah lebih tinggi dari spektra untuk batuan. Besarnya amplifikasi
tersebut meningkat seiring dengan berkurangnya kekakuan dari profil material
dibawah permukaan untuk periode tinggi. Gambar 2-10 dengan jelas menunjukkan
bahwa material tanah yang lunak dan dalam akan menghasilkan proporsi yang lebih
besar pada motion untuk periode tinggi (frekuensi rendah). Pengaruh ini akan sangat
signifikan apabila struktur yang memiliki periode tinggi dibangun diatas material
tanah seperti ini.
2-10
Riset Dorbry dkk (2000) juga telah menghasilkan nilai faktor amplifikasi berdasarkan
pengaruh kondisi tanah lokal. Klasifikasi tanah yang digunakan pada Tabel 2.1
konsisten dengan Uniform Building Code (UBC) 1997. Tipe tanah SC-1a, SC-1b, SCII, SC-III dan SC-IV adalah masing-masing dapat disamakan dengan tanah tipe SA, SB,
SC, SD and SE (Tabel 2.2). Tabel 2.1 merangkum faktor amplifikasi untuk tipe tanah
sebagai fungsi dari kecepatan gelombang geser dengan ground motion tertentu pada
kondisi tanah batuan (tipe SB). Patut dicatat bahwa faktor amplifikasi untuk suatu tipe
tanah sangat tergantung dari magnitude ground motion.
Tabel 2.1. Faktor amplifikasi untuk periode rendah dengan kondisi tanah SC-1a
Firm to Hard Rocks (Dorbry dkk, 2000)
Site Classes shear wave velocity (m/s)
Ground
Motion (g)
SC-1a
SC-1b
SC-II
SC-III
SC-IV
1620
1050
540
290
150
0.1
0.9
1.0
1.3
1.6
2.0
0.2
0.9
1.0
1.2
1.4
1.6
0.3
1.0
1.0
1.1
1.1
1.2
0.4
1.0
1.0
1.0
0.9
0.9
Average
1.0
1.0
1.2
1.3
1.4
Description
vs (m/s)
N SPT
Su (kPa)
SA
Hard Rock
>1500
SB
Rock
SC
>50
>200
SD
Medium Soil
15 < N 50
SE
Soft Soil
180
<15
<100
Pada studi kali ini, analisis akan dilakukan dengan menggunakan teori perambatan
gelombang geser satu dimensi yang menghasilkan parameter ground motion, antara
lain surface spectral acceleration dan time histories. Dalam studi ini pengaruh basin
tidak diperhitungkan karena analisis yang dilakukan hanya dalam arah satu dimensi
(1-D) saja. Namun menurut King and Tucker (1984), 1-D analysis dapat digunakan
memprediksi respons rata-rata dari sedimen yang berada di tengah lembah. Bard and
Gariel (1986) dengan menggunakan pendekatan analitis untuk melihat pengaruh efek
dua dimensi akibat basin menyimpulkan bahwa analisis 1-D dan 2-D relatif
menghasilkan pola dan besaran yang sama (Kramer, 1996). Sehingga dalam studi ini
diperkirakan hasil yang diperoleh dapat mendekati hasil analisis 2-D
2-11
2.
2.6 MIKROZONASI
Analisis site specific yang dilakukan pada beberapa titik dalam suatu daerah akan
mendapatkan gambaran spasial tentang efek dari kegempaan. Proses ini biasa disebut
analisis mikrozonasi. Output dari analisis tersebut adalah peta mikrozonasi yang
menggambarkan kontur spektra percepatan gempa di permukaan tanah, zona potensi
likuifaksi, zona potensi kelongsoran dan analisis spasial lainnya yang berkaitan
dengan dampak bencana kegempaan. Peta mikrozonasi tersebut sangat berguna untuk
perencanaan infrastruktur tahan gempa, managemen tata guna lahan, estimasi potensi
likuifaksi, estimasi kerusakan bangunan, estimasi korban jiwa dan untuk estimasi
kerugian secara ekonomi akibat gempa pada masa yang akan datang (Finn et al.,
2004).
Analisis mikrozonasi untuk DKI Jakarta pernah dilakukan oleh beberapa penulis,
seperti Sengara et al (1999) dan Irsyam et al (2000). Dalam studi ini pembuatan peta
mikrozonasi untuk DKI Jakarta akan dilakukan dengan didasarkan atas:
1.
2.
Studi terbaru tentang fungsi atenuasi yang sesuai untuk kondisi Indonesia.
3.
4.
2-12
BAB3
ANALISISSEISMICHAZARDUNTUKDKIJAKARTA
3.1 PENDAHULUAN
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam studi-studi seismic hazard analysis
yang pernah dilakukan sebelumnya akan dijelaskan pada bagian ini. Dalam studi ini
analisis seismic hazard akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan
probabilistik. Analisis seismic hazard dengan metoda probabilistik (Probabilistic
seismic hazard analysis /PSHA) yang dikembangkan oleh Cornell (1968) dan EERI
Committee on Seismic Risk (EERI, 1989) memiliki empat tahap (Finn et al., 2004)
yaitu: (a) identifikasi sumber gempa, (b) karakterisasi sumber gempa, (b) pemilihan
fungsi atenuasi dan (d) perhitungan hazard gempa.
Tahap pertama dalam PSHA adalah identifikasi sumber-sumber gempa. Identifikasi
tersebut didasarkan atas data-data seismologi, geologi, dan sejarah kegempaan di
sekitar lokasi yang akan dianalisis. Dalam tahap identifikasi data gempa ini dilakukan
pengumpulan dan pengolahan data gempa termasuk analisis pemisahan gempa utama
dan gempa ikutan, analisis kelengkapan data gempa. Pada tahap karakterisasi
dilakukan pemodelan sumber gempa dan penentuan parameter kegempaan seperti bvalue, annual rate, magnitude maksimum dan slip rate. Tahap selanjutnya adalah
pemilihan atenuasi yang didasarkan atas kondisi geologi, seismologi dan mekanisme
kegempaan. Tahap terakhir adalah perhitungan hazard gempa untuk mendapatkan nilai
percepatan untuk suatu periode ulang gempa yang telah ditentukan.
3.2 PENGUMPULAN DATA GEMPA
Seismic hazard analysis pada suatu lokasi memerlukan seluruh data yang mencatat
kejadian gempa yang terjadi di sekitar lokasi tersebut untuk suatu periode pengamatan
tertentu. Data-data kejadian gempa dikumpulkan dalam suatu katalog gempa yang
disusun oleh lembaga-lembaga nasional maupun internasional, seperti:
1. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Jakarta, Indonesia
2. National Earthquake Information Service U.S. Geological Survey (NEISUSGS) yang merupakan kompilasi dari berbagai katalog, yaitu Bureau
Central International de Sismologie (BCIS), International Seismological
Summaries (ISS), International Seismological Center (ISC), Preliminary
Determination of Epicenters (PDE), dan Advanced National Seismic System
(ANSS).
3. Centennial Catalog yang dikompilasi dari data Abe (1981, 1984), Abe dan
Noguchi (1983a, b), dan Newcomb and McCann (Newcomb and McCann,
1987). Katalog ini telah direlokasi oleh Pacheco and Sykes (Pacheco and
Sykes, 1992).
4. Katalog gempa yang sudah direlokasi oleh Engdahl (Engdahl et al., 2007)
Katalog gempa gabungan yang dikumpulkan mencakup area dari 102.00 BT sampai
112.00 BT dan dari 1.00 LS sampai 10.00 LS. Magnituda minimum sebesar 5.0 dan
kedalaman maksimum sebesar 300 km. Data pecatatan pertama adalah pada tahun
1900 dan yang paling akhir pada tahun 2009. Katalog gempa hasil penggabungan
katalog dari berbagai institusi tersebut dapat dilihat dalam Gambar 3-1.
Gambar 3-1. Distribusi episenter kejadian gempa sejak tahun 1900 sampai tahun
2009 untuk magnitude minimum 5.0
Seluruh data dari katalog gempa harus diproses dengan menggunakan prinsip-prinsip
statistik sebelum digunakan untuk seismic hazard analysis. Prosedur ini dilakukan
untuk meminimalisasi deviasi atau kesalahan yang sistematis dan untuk mendapatkan
hasil yang baik. Prosedur ini mencakup (1) analisis pemisahan gempa utama dan
gempa ikutan dan (2) analisis kelengkapan data gempa.
Kejadian-kejadian gempa dependent atau gempa ikutan (foreshock dan aftershock),
harus diidentifikasi sebelum data-data kejadian gempa digunakan untuk menentukan
tingkat hazard gempa. Beberapa kriteria empiris untuk mengidentifikasi kejadian
gempa dependent telah dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti Arabasz dan
Robinson (1976), Gardner dan Knopoff (1974) dan Uhrhammer (1986). Kriteria ini
dikembangkan berdasarkan suatu rentang waktu dan jarak tertentu dari satu kejadian
gempa besar.
Dalam studi ini digunakan model Gardner dan Knopoff (1974) untuk memisahkan
gempa utama dan gempa ikutannya. Hal ini sesuai dengan berbagai analisis yang
dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan model-model diatas dan diketahui model
Gardner dan Knopoff (1974) memiliki hasil yang cukup baik.
Proses analisis kelengkapan (completeness) data gempa juga dilakukan untuk
mengetahui kelengkapan suatu katalog data gempa. Ketidaklengkapan data gempa
akan mengakibatkan parameter resiko gempa yang dihasilkan menjadi overestimated
3-2
atau underestimated. Metode analisis kelengkapan data gempa yang digunakan pada
studi ini mengikuti prosedur yang diusulkan oleh Stepp (1973). Hasil analisis
kelengkapan data untuk wilayah Indonesia untuk setiap rentang magnituda bisa dilihat
dalam Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Interval Completeness Dari Data Gempa Wilayah Indonesia.
RentangMagnitude
IntervalCompleteness
(tahundari2009)
5.06.0
6.07.0
7.0
44
54
108
3-3
Model sumber gempa fault ini juga disebut sebagai sumber gempa tiga dimensi karena
dalam perhitungan probabilitas jarak, yang dilibatkan adalah jarak dari site ke
hypocenter. Jarak ini memerlukan data dip dari fault yang akan dipakai sebagai
perhitungan probabilitas tersebut. Parameter-parameter yang diperlukan untuk analisis
probabilitas dengan model sumber gempa fault adalah fault trace, mekanisme
pergerakan, slip-rate, dip, panjang dan lebar fault. Penentuan lokasi sesar (fault trace)
ini berdasarnya dari data-data peneliti yang sudah dipublikasi
Sumber gempa fault terjadi pada patahan-patahan dangkal (shallow crustal faults)
yang terdefinisi dengan jelas seperti Sesar Semangko di Sumatra dan sesar-sesar di
Jawa seperti sesar Sukabumi, Baribis, Lasem, dan Semarang.
Sumber gempa subduksi adalah model yang didapat dari data seismotektonik yang
sudah teridentifikasi dengan baik. Parameter dari model ini meliputi lokasi subduksi
yang dituangkan dalam koordinat latitude dan longitude, kemiringan bidang subduksi
(dip), rate, dan b-value dari areal subduksi yang bisa didapatkan dari data gempa
historis, serta batas kedalaman area subduksi. Perhitungan nilai a & b (a & b-value)
untuk sumber gempa subduksi dilakukan dengan cara mengambil data-data gempa
historis yang ada di daerah Megathrust tersebut, kemudian dilakukan analisis statistik
dengan model Maximum Likelihood (Aki, 1965). Zona subduksi yang mempengaruhi
sekitar lokasi studi meliputi zona subduksi Sumatra dan Jawa yang terbentuk akibat
pergerakan lempeng tektonik Australia yang menunjam lempeng tektonik Eurasia.
Zona background dalam model ini digunakan untuk memperhitungkan sumber-sumber
gempa yang belum teridentifikasi namun memiliki sejarah kegempaan di sekitar lokasi
studi. Dalam studi ini digunakan model gridded yang didasarkan atas studi yang
dilakukan oleh Frankel, et al (1996).
3.4 PEMILIHAN FUNGSI ATENUASI
Fungsi atenuasi merupakan persamaan matematika sederhana yang menghubungkan
antara parameter kegempaan di lokasi sumber gempa (Magnituda M dan jarak R)
dengan parameter pergerakan tanah (spektra percepatan) di lokasi yang ditinjau
(Campbell, 2001). Fungsi atenuasi cenderung spesifik untuk setiap wilayah dan untuk
suatu tipe patahan, misalnya atenuasi untuk strike-slip berbeda dengan untuk reverse
atau thrust faults. (Finn et al., 2004). Salah satu data yang digunakan untuk
menurunkan fungsi tersebut adalah data time histories yang didapatkan dari hasil
pencatatan alat accelerograph saat berlangsungnya kejadian gempa. Karena minimnya
data pencatatan time histories untuk keperluan pembuatan fungsi atenuasi untuk
Indonesia, maka pemakaian fungsi atenuasi yang diturunkan dari negara lain tidak
dapat dihindari. Pemilihan fungsi atenuasi didasarkan pada kesamaan kondisi geologi
dan tektonik dari wilayah dimana rumus atenuasi itu dibuat.
Dalam studi ini digunakan pula fungsi atenuasi dari publikasi-publikasi terkini seperti
NGA (Next Generation Attenuation) dari Boore dan Atkinson (2008), Campbell dan
Bozorgnia (2008), and Chiou dan Young (2008). Model NGA ini dikembangkan
menggunakan basis data yang meliputi 1557 catatan dari 143 gempa sejak tahun 1935
di beberapa wilayah tektonik aktif, seperti Turki, Taiwan, Mexico, Yunani, Iran, Italia,
dan
Amerika
Serikat
dan
dengan
memperhitungkan
detil
kondisi
geologi/seismologinya.
3-4
Dalam studi ini, rumus atenuasi yang digunakan untuk masing-masing model sumber
gempa yaitu:
1.
2.
3.
Sumber gempa shallow crustal, untuk model sumber gempa fault dan shallow
background:
a.
b.
c.
b.
c.
Sumber gempa Benioff (deep intraslab), untuk model sumber gempa intraslab:
a.
b.
c.
(3-1)
dimana,
fM
fR
3-5
(32)
dimana R merupakan jarak ke fault rupture, C1, C2, C3, C4 dan merupakan
konstanta. Persamaan di atas dapat dirubah menjadi
ln i - ln I (m, r)
P[I i m and r] = *
(3-3)
(3-4)
(3-5)
dimana ki' adalah konstanta normal yang membuat persamaan di atas mendekati 1.
Distribusi jarak ditentukan oleh dimensi sumber dan jarak serta arah relatifnya
terhadap lokasi. Jika ukuran retakan diperhitungkan dalam perhitungan jarak, maka
distribusi jarak bergantung pada magnitude.
Perhitungan jarak memperhitungkan dimensi batas dari retakan dan ketergantungan
ukuran retakan pada magnitude gempa. Kedalaman dan lokasi horisontal retakan
gempa diasumsikan terdistribusi merata. Panjang retakan LR dan lebar retakan WR
diasumsikan bervariasi berdasarkan magnitude sesuai persamaan:
Log LR = Log WR = AL + BL +
N(0,SIGL)
(3-6)
3-6
(3-7)
Jumlah gempa nM dengan megnitude sama atau lebih besar daripada M yang terjadi
pada lokasi tertentu diasumsikan mengikuti hubungan di bawah ini (Gutenberg dan
Richter, 1954),
log10 nM = a b M
(3-8)
dimana a dan b merupakan konstanta karakteristik dari area sumber yang dipelajari.
Konstanta b menggambarkan distribusi relatif dari magnitude kecil dan besar, dimana
3-7
nilai b yang lebih besar menggambarkan bahwa guncangan yang besar relatif lebih
sedikit, dan begitu pula kebalikannya.
Probabilitas total gempa tahunan dengan intensitas I yang sama atau lebih besar dari i
pada lokasi tertentu ditentukan dengan menjumlahkan seluruh probabilitas dari tiap
sumber gempa. Dalam formula matematika dapat ditulis sebagai berikut:
n
N A = N1 (M m o )1 P[I i]
i =1
(3-9)
dimana,
NA
P[I i]
(3-10)
Logic trees (Power dkk., 1981; Kulkarni dkk., 1984; Coppersmith dan Youngs, 1986)
digunakan dalam studi ini yang bertujuan untuk memperhitungkan ketidakpastian
dalam pemilihan model atau metode untuk recurrence model, fungsi atenuasi,
recurrence rate dan magnitude maksimum yang digunakan. Model logic tree yang
digunakan dalam studi ini dapat dilihat dalam Gambar 3-4 sampai Gambar 3-6.
Gambar 3-4. Model logic tree untuk sumber gempa sesar (Fault).
3-8
Gambar 3-5. Model logic tree untuk sumber gempa subduksi (Megathrust).
3-9
0.025
66.5
6.57
ProbabilityDensity
0.02
77.5
7.58
0.015
88.5
8.59
0.01
8.59
88.5
7.58
77.5
6.57
66.5
5.56
55.5
0.005
180185
190195
<5
1015
2025
3035
4045
5055
6065
7075
8085
9095
100105
110115
120125
130135
140145
150155
160165
170175
3-10
55.5
5.56
0.035
ProbabilityDensity
66.5
0.03
6.57
0.025
77.5
7.58
0.02
88.5
0.015
8.59
0.01
8.59
88.5
7.58
77.5
6.57
66.5
5.56
55.5
0.005
195200
180185
165170
150155
135140
120125
9095
105110
7580
6065
4550
1520
3035
<5
0.450
0.400
0.350
0.300
0.250
0.200
0.150
0.100
0.050
0.000
0.010
0.100
1.000
10.000
Period (Second)
Megathrust
Benioff
Shallow Crustal
All Sources
Gambar 3-9. Target Respons Spectra Yang Diskalakan Pada T=0.2 Detik untuk
Periode Ulang Gempa 500 Tahun
3-11
0.600
0.500
0.400
0.300
0.200
0.100
0.000
0.010
0.100
1.000
10.000
Period (Second)
Megathrust
Benioff
Shallow Crustal
All Sources
Gambar 3-10. Target Respons Spectra Yang Diskalakan Pada T=1.0 Detik Untuk
Periode Ulang Gempa 500 Tahun
0.800
0.700
0.600
0.500
0.400
0.300
0.200
0.100
0.000
0.010
0.100
1.000
10.000
Period (Second)
Megathrust
Benioff
Shallow Crustal
All Sources
Gambar 3-11. Target Respons Spectra Yang Diskalakan Pada T=0.2 Detik untuk
Periode Ulang Gempa 2500 Tahun
3-12
1.200
1.000
0.800
0.600
0.400
0.200
0.000
0.010
0.100
1.000
10.000
Period (Second)
Megathrust
Benioff
Shallow Crustal
All Sources
Gambar 3-12. Target Respons Spectra Yang Diskalakan Pada T=1.0 Detik Untuk
Periode Ulang Gempa 2500 Tahun
3-13
Mw
7.6
7.6
6.7
Mekanisme Gempa
Megathrust zone
Benioff zone
Shallow crustal
Jarak
(km)
118
118.
54
Sumber
CWB
CWB
USC
0.2
Acceleration(g)
0.15
0.1
0.05
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0
20
40
60
80
100
Time(sec)
Gambar 3-13. Time History Sintetik di Batuan untuk All Sources Event pada
periode ulang 500 tahun
3-14
0.2
Acceleration(g)
0.15
0.1
0.05
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0
20
40
60
80
100
Time(sec)
Gambar 3-14. Time History Sintetik di Batuan untuk Megathrust pada periode
ulang 500 tahun (T=0.2 detik)
0.25
Acceleration(g)
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0.05
0.1
0.15
0
20
40
60
80
100
Time(sec)
Gambar 3-15. Time History Sintetik di Batuan untuk Benioff pada periode ulang
500 tahun (T=0.2 detik)
0.2
Acceleration(g)
0.15
0.1
0.05
0
0.05
0.1
0.15
0
10
15
20
25
30
35
Time(sec)
Gambar 3-16. Time History Sintetik di Batuan untuk Shallow Crustal pada
periode ulang 500 tahun (T=0.2 detik)
3-15
0.15
Acceleration(g)
0.1
0.05
0
0.05
0.1
0.15
0
20
40
60
80
100
Time(sec)
Gambar 3-17. Time History Sintetik di Batuan untuk Megathrust pada periode
ulang 500 tahun (T=1.0 detik)
0.2
Acceleration(g)
0.15
0.1
0.05
0
0.05
0.1
0.15
0
20
40
60
80
100
Time(sec)
Gambar 3-18. Time History Sintetik di Batuan untuk Benioff pada periode ulang
500 tahun (T=1.0 detik)
0.25
Acceleration(g)
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0.05
0.1
0.15
0
10
15
20
25
30
35
Time(sec)
Gambar 3-19. Time History Sintetik di Batuan untuk Shallow Crustal pada
periode ulang 500 tahun (T=1.0 detik)
3-16
0.3
Acceleration(g)
0.2
0.1
0
0.1
0.2
0.3
0
20
40
60
80
100
Time(sec)
Gambar 3-20. Time History Sintetik di Batuan untuk All Sources pada periode
ulang 2500 tahun
0.3
Acceleration(g)
0.2
0.1
0
0.1
0.2
0.3
0
20
40
60
80
100
Time(sec)
Gambar 3-21. Time History Sintetik di Batuan untuk Megathrust pada periode
ulang 2500 tahun (T=0.2 detik)
0.3
Acceleration(g)
0.2
0.1
0
0.1
0.2
0.3
0
20
40
60
80
100
Time(sec)
Gambar 3-22. Time History Sintetik di Batuan untuk Benioff pada periode ulang
2500 tahun (T=0.2 detik)
3-17
Acceleration(g)
0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0
10
15
20
25
30
35
Time(sec)
Gambar 3-23. Time History Sintetik di Batuan untuk Shallow Crustal pada
periode ulang 2500 tahun (T=0.2 detik)
0.3
Acceleration(g)
0.2
0.1
0
0.1
0.2
0.3
0
20
40
60
80
100
Time(sec)
Gambar 3-24. Time History Sintetik di Batuan untuk Megathrust pada periode
ulang 2500 tahun (T=1.0 detik)
0.3
Acceleration(g)
0.2
0.1
0
0.1
0.2
0.3
0
20
40
60
80
100
Time(sec)
Gambar 3-25. Time History Sintetik di Batuan untuk Benioff pada periode ulang
2500 tahun (T=1.0 detik)
3-18
0.5
Acceleration(g)
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0.1
0.2
0.3
0
10
15
20
25
30
35
Time(sec)
Gambar 3-26. Time History Sintetik di Batuan untuk Shallow Crustal pada
periode ulang 2500 tahun (T=1.0 detik)
3-19
BAB4
STUDIMIKROZONASI
4.1 PENDAHULUAN
Studu mikrozonasi berkaitan erat dengan respons dinamik tanah saat mengalami beban
gempa. Sehingga tahap selanjutnya dalam studi ini adalah menganalisis respons
dinamik tanah untuk memprediksi percepatan maksimum tanah di permukaan (peak
surface acceleration/PSA) dan mendapatkan respons spektra permukaan. Analisis
respons dinamik tanah ini akan sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah lokal dan data
digitasi yang digunakan.
Bab ini akan membahas analisis respons dinamis tanah untuk mendapatkan PSA dan
respons spektra di permukaan. Analisis akan dilakukan pada beberapa lokasi di sekitar
Jakarta. Hasil akhir dari analisis ini digunakan untuk pembuatan peta mikrozonasi
percepatan gempa dan faktor amplifikasi di permukaan untuk kota Jakarta. Analisis
akan meliputi penentuan parameter dinamis tanah dan perambatan gelombang gempa
dari batuan dasar ke permukaan.
4.2 ANALISIS PERAMBATAN GELOMBANG GESER 1-DIMENSI
Analisis perambatan gelombang geser satu dimensi didasarkan pada asumsi bahwa
lapisan tanah menerus horizontal dan respons tanah sebagian besar diakibatkan oleh
gelombang geser horizontal (SH-wave) yang merambat vertikal dari batuan dasar ke
permukaan. Teori ini dikemukakan pertama kali oleh Kanai (1951) dan dikembangkan
lebih lanjut oleh Lysmer, Seed, dan Schnabel (1972).
Teori yang dipergunakan dalam analisis ini memperhitungkan respons yang
berhubungan dengan perambatan vertikal dari gelombang geser melewati
suatu sistem viskoelastik linear seperti terlihat pada Gambar 4-1. Sistem
tersebut terdiri dari N lapisan horizontal, yang memanjang tidak terhingga dalam arah
horisontal dan lapisan dasar dianggap sebagai sebuah sistem half space. Masingmasing lapisan adalah homogen dan isotropik dengan parameter ketebalan, h, mass
density, , shear modulus, G atau kecepatan gelombang geser, VS, dan faktor
damping, . Perambatan gelombang vertikal melalui sistem ini seperti terlihat seperti
pada Gambar 4-1 hanya menyebabkan perpindahan dalam arah horizontal, yang
harus memenuhi persamaan gelombang :
2u
u
+ =
t z
t 2
: mass density
: koefisien damping tanah
(4.1)
Gambar 4-2. Representasi skematik dari model IM (Bardet and Tobita, 2001)
4-2
(4-2)
Gmax = 11500N0.8
Gmax = 14070N0.68
Gmax = 6220N
Korelasi vs (m/sec)
Jenis Tanah
All (Japan)
vs = 85.3N0.341
All (Japan)
vs = 96.9N0.314
All (Japan)
Sand(USA)
vs = 101N0.29
Sand (USA)
4-3
Perbandingan antara beberapa korelasi pada Tabel 4.1 dapat dilihat dalam Gambar 4-3
dan Gambar 4-4. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa korelasi antara kecepatan
gelombang geser dengan N-SPT memiliki rentang variasi yang lebih kecil
dibandingkan dengan korelasi modulus geser dengan N-SPT.
600000
Ohsaki & Iwasaki (1973)
500000
Gmax (kPa)
400000
300000
200000
100000
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
N-SPT
400
vs (m/s)
300
250
200
150
100
50
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
N-SPT
4-4
4-5
Dikarenakan pada umumnya kedalaman pemboran tanah hanya berkisar antara 20-70
m sedangkan kedalaman batuan dasar di Jakarta berkisar antara 90-350 m, maka
properties dinamik tanah pada kedalaman > 70 m didapat dengan menggunakan grafik
hubungan kedalaman dengan kecepatan gelombang geser yang dikeluarkan oleh
Rudianto(1996). Grafik kecepatan gelombang geser terhadap kedalaman tersebut
dapat dilihat dalam Gambar 4-6.
4-6
Pada Tabel 4.2 nilai vs , N SPT dan Su adalah harga rata-rata dari kecepatan
gelombang geser, N-SPT dan undrained shear strength sampai kedalaman 30 km di
bawah permukaan tanah. Nilai-nilai tersebut dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan berikut:
n
di
i =1
v s , N, S u =
n d d d
i , i , i
i =1 v si N i Sui
(4.26)
Dimana:
di = Kedalaman pada lapisan ke-i.
Pada studi ini klasifikasi tanah di Jakarta didapat berdasarkan data hasil pengeboran
pada + 40 lokasi di Jakarta. Berdasarkan hasil analisis dari beberapa data tanah
tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum tanah di Jakarta dapat dibagi menjadi
dua kategori, yaitu kategori tanah sedang (SD) dan tanah lunak (SE). Kategori SD atau
tanah sedang umumnya dijumpai di Jakarta Timur, sebagian Jakarta Selatan dan
Sebagian Jakarta Pusat. Sedangkan Tanah dengan kategori SE atau tanah lunak
umumnya dijumpai di sebagian Jakarta Selatan dan Pusat serta di seluruh Jakarta
Utara dan Barat (Gambar 4-7).
4.6 HASIL ANALISIS PERAMBATAN GELOMBANG GESER
Hasil analisis perambatan gelombang geser satu dimensi dari batuan dasar ke
permukaan menunjukkan percepatan di permukaan (peak surface acceleration/PSA)
berkisar antara 0.26g sampai 0.31g atau dengan faktor amplifikasi sekitar 1.2 sampai
1.6 untuk periode ulang 500 tahun. Sedangkan untuk periode ulang 2500 tahun nilai
PSA bervariasi antara 0.33g sampai 0.49g atau faktor amplifikasi berkisar antara 0.9
sampai 1.4. Hasil analisis ini kemudian dipetakan dalam bentuk kontur percepatan dan
4-7
kontur amplifikasi untuk menghasilkan peta mikrozonasi gempa di DKI Jakarta. Peta
kontur percepatan dan amplifikasi gempa dipermukan dapat dilihat dalam Gambar 4-8
sampai Gambar 4-11.
4-8
4-9
4-10
4-11
4-12
dilihat
dalam
IBC 2000-SE
0.8
SNI- soft
0.6
Rekomendasi
SNI- medium
0.4
Ave+1 SD
0.2
IBC 2000-SD
0
0
10
Period (sec)
SNI 03-1726-2002 (Medium soil)
IBC 2000 SD
Average
Average + 1 SD (All)
Recommended
IBC 2000 SE
SNI soft
Gambar 4-12 dan Gambar 4-13 untuk periode ulang 500 dan Gambar 4-16 sampai
Gambar 4-17 untuk periode ulang 2500 tahun untuk tanah jenis SD dan SE. Desain
respons spektra yang direkomendasikan tersebut dapat ditampilkan dalam bentuk
tripartite sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 4-14 sampai Gambar 4-15 untuk
periode ulang 500 tahun dan Gambar 4-18 sampai Gambar 4-19 untuk periode ulang
2500 tahun.
1
IBC 2000-SE
0.8
SNI- soft
0.6
Rekomendasi
SNI- medium
0.4
Ave+1 SD
0.2
IBC 2000-SD
0
0
10
Period (sec)
SNI 03-1726-2002 (Medium soil)
IBC 2000 SD
Average
Average + 1 SD (All)
Recommended
IBC 2000 SE
SNI soft
4-13
0.8
IBC 2000-SE
Spectral Acceleration (g)
SNI- soft
0.6
Rekomendasi
SNI- medium
0.4
Ave+1 SD
IBC 2000-SD
0.2
0
0
10
Period (sec)
SNI 03-1726-2002 (Medium soil)
IBC 2000 SD
Average
Average + 1 SD (All)
Recommended
IBC 2000 SE
SNI soft
4-14
1000
100
S
10
al
tr
c
e
l
sp
i
d
em
ac
en
m
t(
pe
ct
ra
l
A
cc
el
er
at
io
(g
)
1
0.01
0.1
10
Period (sec)
4-15
1000
100
S
10
al
tr
c
e
l
sp
i
d
em
ac
en
m
t(
pe
ct
ra
l
A
cc
el
er
at
io
(g
)
1
0.01
0.1
10
Period (sec)
4-16
0.80
Rekomendasi
0.60
0.40
0.20
0.00
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
Period (sec)
Mega 02
Mega 1s
Beni 1s
SC 02
All
Mega 02
Mega 1s
Beni 02
Beni 1s
SC 02
SC 1s
All
Average
Ave + 1SD
Recommendation
1.20
1.00
Rekomendasi
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
0.00
2.00
4.00
Period (sec)
6.00
8.00
10.00
Mega 02
Mega 1s
Beni 1s
SC 02
All
Mega 02
Mega 1s
Beni 02
Beni 1s
SC 02
SC 1s
All
Average
Ave + 1SD
Recommendation
4-17
1000
100
S
10
al
tr
c
e
l
sp
i
d
em
ac
en
m
t(
pe
ct
ra
l
A
cc
el
er
at
io
(g
)
1
0.01
0.1
10
Period (sec)
4-18
00
10
10
0
Result of analysis
m
m
10
1000
0
10
m
m
0.
1
S
1
m
pe
ct
ra
l
1
0.
m
m
10
01
0.
m
m
al
tr
c
e
l
sp
i
d
em
ac
en
m
t(
A
cc
el
0.
01
10
100
er
at
io
(g
)
1
0.01
0.1
10
Period (sec)
4-19
BAB5
KESIMPULANDANREKOMENDASI
5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis bencana kegempaan (seismic hazard analysis)
mengindikasikan DKI Jakarta relatif rawan terhadap bahaya gempa. Hal ini
ditunjukkan dari hasil analisis yang menunjukkan nilai percepatan gempa di batuan
dasar (peak ground acceleration/PGA) untuk periode ulang 500 tahun dan 2500 tahun
sebesar 0.211g dan 0.369g.
Sehubungan, Indonesia saat ini belum mempunya data riwayat percepatan terhadap
waktu (time histories) yang representatif, maka data time histories untuk DKI Jakarta
didapat secara sintetik dengan menggunakan metoda spectral matching. Berdasarkan
hasil analisis telah dihasilkan tujuh (7) sintetik time histories untuk masing-masing
periode ulang 500 dan 2500 tahun.
Analisis mikrozonasi untuk DKI Jakarta dilakukan dengan melakukan analisis
perambatan gelombang geser satu dimensi dengan menggunakan data tanah hasil
penyelidikan yang pernah dilakukan di DKI Jakarta. Berdasarkan hasil analisis dari
beberapa data tanah tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum tanah di Jakarta
dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu kategori tanah sedang (SD) dan tanah lunak
(SE). Kategori SD atau tanah sedang umumnya dijumpai di Jakarta Timur, sebagian
Jakarta Selatan dan Sebagian Jakarta Pusat. Sedangkan Tanah dengan kategori SE atau
tanah lunak umumnya dijumpai di sebagian Jakarta Selatan dan Pusat serta di seluruh
Jakarta Utara dan Barat .
Hasil analisis perambatan gelombang geser satu dimensi dari batuan dasar ke
permukaan menunjukkan percepatan di permukaan (peak surface acceleration/PSA)
berkisar antara 0.26g sampai 0.31g atau dengan faktor amplifikasi sekitar 1.2 sampai
1.6 untuk periode ulang 500 tahun. Sedangkan untuk periode ulang 2500 tahun nilai
PSA bervariasi antara 0.33g sampai 0.49g atau faktor amplifikasi berkisar antara 0.9
sampai 1.4. Dalam studi ini juga telah dihasilkan respons spektra gempa rencana untuk
kondisi tanah sedang (SD) dan tanah lunak (SE).
5.2 REKOMENDASI
Untuk menindaklanjuti hasil studi ini direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:
1. Penyusun menyarankan dalam setiap penyusunan Rencana Tata Ruang, baik
Kota mapun Kawasan, agar menjadikan peta mikrozonasi seismik sebagai
salah satu bahan pijakan.
2. Perlu dikembangkan program mitigasi non-struktural, dengan cara
mensosialisasikan peta-peta hazard yang dihasilkan dalam hasil kajian ini
kepada masyarakat dengan sasaran membangun kesiapan masyarakat dalam
menghadapi gempabumi.
REFERENSI
1.
Spectral
Matching
Program
2.
Bardet, J.P. and Tobita, T. (2001). NERA-A Computer Program for Nonlinear
Earthquake site Response Analyses of Layered Soil Deposits. Department of Civil
Engineering University of Southern California.
3.
Bardet, J.P., Ichii, K. and Lin, C.H. (2000). EERA-A Computer Program for
Equivalent Linear Earthquake site Response Analyses of Layered Soil Deposits.
Department of Civil Engineering University of Southern California.
4.
5.
Boore, D.M., Joyner, W.B., and Fumal, T.E. (1997). Equation for Estimating
Horizontal Response Spectra and Peak Acceleration from Western North America
Earthquakes: a Summary of Recent Work. Seismological Research Letters. Vol.
68, No. 1 : 128-153.
6.
7.
8.
9.
Dobry R., Borcherdt, R.D., Crouse, C.B., Idriss, I.M., Joyner, W.B., Martin,
G.R., Power, M.S., Rinne, E.E., and Seed, R.B. (2000) New Site Coefficients and
site Classification System Used in Recent Building Seismic Code Previous.
Earthquake Spectra. Vol. 16, No 1: 41-67.
10. Firmansjah, J. dan Irsyam, M. (1999). Development of Seismic Hazard Map for
Indonesia. Prosiding Konferensi Nasional Rekayasa Kegempaan di Indonesia,
ITB. Indonesia.
11. Guttenberg, B. and Richter, C.F. (1954). Seismicity of the Earth. Princeton, New
Jersey: Princeton University Press.
12. Idriss, I.M. (1990). Response of Soft Soil Sites during Earthquakes. Proceedings
of the Symposium to Honor H.B. Seed. Vol. 2: 273-289.
13. Idriss, I.M. (1991). Earthquake Ground Motions at Soft Soil Sites. Proceeding 2nd
International Conf. on Recent Advances in Geotechnical Earthquake Engineering
and Soil Dynamics. University of Missouri-Rolla. Vol. 3: 2265-2272.
14. Imai, T. and Tonouchi, K. (1982). Correlation of N-value with S-Wave Velocity
and Shear Modulus. Proceeding, 2nd European Symposium on Penetration
Testing. Amsterdam. Pp. 57-72.
15. Irsyam, M. (2001). Development of Earthquake Microzonation and Site Specific
Response Spectra to Obtain More Accurate Seismic Base Shear Coefficient. Final
R-2
31. Sadigh, K., Chang, C.Y., Egan, J.A., Makdisi, F. and Youngs, R.R. (1997). Strong
Ground Motion Attenuation Relations for Shallow Crustal Earthquakes Based On
Californian Strong Motion Data. Seismological Research Letters. Vol. 68, No. 1:
190-198.
32. Schnabel, P. B., Lysmer, J., and Seed, H. B. (1972). SHAKE: A Computer
Program for Earthquake Response Analysis of Horizontally Layered Sites. Report
No. EERC 72-12, University of California, Berkeley, December.
33. Seed H.B. and Idriss, I.M. (1982). Ground Motion and Soil Liquefaction During
Earthquakes. Earthquake Engineering Research Institute.
34. Seed, H.B., and Idriss, I. M. (1970). Soil Moduli and Damping Factors for
Dynamic Response Analyses. Report EERC 70-10. Berkeley: University of
California, Earthquake Engineering Research Center.
35. Seed, H.B., Ugas, C., and Lysmer, J. (1976). Site-Dependent Spectra for
Earthquake-Resistant Design. Bulletin of the Seismological Society of America.
Vol. 66: 221-243.
36. Sengara,I.W., Hendarto, Kertapati, E., Sukamta, D., Sumiartha, P. (2007). 3Dimensional Source Zones Probabilistic Seismic Hazard Analysis for Jakarta and
Site-Specific Response Analysis for Seismic Design Criteria of 45-Storey Plaza
Indonesia II Building. Seminar dan Pameran HAKI 2007.
37. Sengara, I.W., Irsyam, M., Merati, W., Aswandi. (1999). Seismic Microzonation
and Site Response Analysis for Jakarta. Konferensi Nasional Kegempaan
Indonesia I, Sabuga Bandung.
38. Southern California Earthquake Center (SCEC, 1999), Recommended Procedures
for Implementation of DMG Special Publication 117, Guidelines for Analyzing
and Mitigating Liquefaction Potential in California, Pasadena, California.
39. Standar Nasional Indonesia (2002), Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa
untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1726-2002), Badan Standardisasi Nasional.
40. Trifunac, M.D. (1989). Threshold Magnitudes Which Cause Ground Motion
Exceeding the Values Expected during the Next 50 Years in a Metropolitan Area.
Geofizika. Vol. 6 : 1-12.
41. Trifunac, M.D. and Todorovska, M.I. (1998). Comment on the Role of
Earthquake Hazard Maps in Loss Estimation: A Study of the Northridge
Earthquake. Earthquake Spectra. Vol. 14, No. 3 : 557-563.
42. Weichert, D.H. (1980). Estimation of the Earthquake Recurrence Parameters for
Unequal Observation Periods for Different Magnitudes. Bulletin of the
Seismological Society of America. Vol. 70, No. 4 : 1337-1346.
43. Youngs, R.R., Chiou, S.J., Silva, W.J., Humphrey, J.R. (1997). Strong Ground
Motion Attenuation Relationships for Subduction Zone Earthquake.
Seismological Research Letters. Vol. 68, No. 1: 58-74.
R-3