Anda di halaman 1dari 27

PERILAKU BERBAHASA SANTRI PENUTUR BAHASA MADURA

DI PONDOK PESANTREN MIFTAHUL ULUM


KALISAT JEMBER
Firman Maulana Fadlil
Jurusan Magister Ilmu Linguistik, Fakultas Sastra Universitas Jember
Jalan Kalimantan 37 Jember 68121
E-mail: firemanadeng90@gmail.com
ABSTRAK
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan perilaku berbahasa yang terjadi di Pondok Pesantren
Miftahul Ulum dengan sasaran penelitian santri penutur bahasa Madura (BM). Penelitian ini
berdasar pada fenomena kebahasaan yang diperagakan oleh santri penutur bahasa Madura
terhadap mitra tutur berbagai strata di ruang lingkup pesantren. permasalahan yang dibahas
adalah perilaku berbahasa dan faktor yang mendasari pemilihan bahasa. Metode penyediaan
data menggunakan pengamatan terlibat dan tidak terlibat. Metode analisis data menggunakan
metode padan kemudian hasilnya disajikan secara formal. Perilaku berbahasa terhadap mitra
tutur dibagi menjadi tiga bagian yaitu santri terhadap sesama santri, santri terhadap ustadz dan
santri terhadap kyai. Perilaku berbahasa santri penutur BM terhadap sesama santri penutur
BM menggunakan BM ragam enj-iy dan ragam engghi-enten. Terhadap penutur bahasa
Jawa, menggunakan bahasa Indonesia. Terhadap ustadz, menggunakan BM ragam engghienten dan ngghi-bhunten. Terhadap kyai, menggunakan BM ragam ngghi-bhunten. Faktorfaktor yang mendasari pemilihan bahasa antara lain; faktor keakraban, perbedaan umur, status
sosial, tingkatan kelas, situasi percakapan, sifat interaksi, penyesuaian, keseganan, dan
kebiasaan.
Kata kunci: santri, pesantren, miftahul ulum, bahasa Madura.

THE LANGUAGE BEHAVIOR OF STUDENTS SPEAKING MADURESE


IN MIFTAHUL ULUM ISLAMIC BOARDING SCHOOL
KALISAT JEMBER
ABSTRACT
This article aims to explain the language behavior that occurs in Miftahul Ulum boarding
school with research targetted to students speaking Maduresse. The research is based on
linguistic phenomena exhibited by students speaking Maduresse to partner said in various
strata in the scope of boarding. problemss discussed are behavioral language and factors that
underlie language selection. Method of data collection uses involved and uninvolved
observations. The method of data analysis using matching methods and then the results are
presented in formal way. The Language Behavior of students speaking BM toward partners is
divided into three parts, namely students to fellow students, students against teachers and
students against the priest. To students speaking madurese, using BM enj-iy and engghienten. To students speaking javanese, using BI. To teachers, using BM engghi-enten and
ngghi-bhunten. To priest, using BM ngghi-bhunten. Factors underlying language selection
such as; familiarity factors, differences in age, social status, grade level, conversational
situation, the nature of interaction, customization, awe, the concept of culture and customs.
Keywords:, students, islamic boarding school, miftahul ulum, madureese

1. Pendahuluan

Sosiolinguistik sebagai ilmu yang mengkaji hubungan bahasa


dengan masyarakat, memandang bahasa sebagai cermin perilaku
seseorang baik secara sosial, personal maupun etnik dalam kajian
perilaku berbahasa. Perilaku berbahasa (language behavior) adalah
aktivitas berbahasa seseorang ketika dihadapkan pada berbagai situasi
komunikasi tertentu. perilaku berbahasa dapat berupa (1) pemilihan kode
bahasa, (2) alih kode, (3) campur kode, (4) peminjaman kode , (5) alih
gaya dan (6) alih giliran berbicara (Saville-Troike, Hamers-Blanc dan
Holmes) dalam (Wibisono, 2005:1). Dalam perilaku berbahasa juga
terkandung nilai-nilai sosial dan budaya yang berlaku dalam masyarakat.
Dengan melihat perilaku berbahasa seseorang atau sekelompok orang
dalam masyarakat dapat ditentukan atau setidak-tidaknya dapat diterka,
siapa orang tersebut, dari kelompok mana ia berasal, apa makna sosial
tuturan yang dikemukakan, nilai, ajaran, pandangan hidup, orientasi
kelompok etnik, dan pandangan sosialnya. (Sumarsono dan Paina dalam
Wibisono, 2005:19).
Alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian atau
peralihan pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu
bahasa atau bahkan beberapa gaya dari suatu ragam (Dell Hymes dalam
Rahardi, 2001: 20). Hymes membagi alih kode berdasarkan sifatnya
menjadi dua yaitu alih kode intern (internal code switching) dan alih kode
ekstern (external code switching). Alih kode intern yakni yang terjadi antar
bahasa daerah dalam suatu bahasa nasional, antardialek dalam satu
bahasa daerah atau beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam suatu
dialek. Adapun yang dimaksud dengan alih kode ekstern adalah apabila
yang terjadi adalah antara bahasa asing dengan bahasa asing. Alih kode
intern misalnya dari bahasa Madura beralih ke bahasa Indonesia.
Sedangkan alih kode ekstern misalnya dari bahasa Indonesia beralih ke
bahasa Inggris. Disebutkan dalam (Chaer dan Agustina, 1995:142-143),
faktor penyebab alih kode antara lain; (1) pembicara atau penutur, (2)
pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang
ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya dan (5)
perubahan topik pembicaraan. Menurut Chaer dan Agustina (1995:151),
campur kode adalah kode-kode lain yang terdapat dalam peristiwa tutur
yang berupa serpihan-serpihan (pieces) saja tanpa fungsi atau
keotonomian sebagai sebuah kode. Fasold dalam (Chaer dan Agustina
(1995:152) menawarkan kriteria gramatika untuk membedakan campur
kode dari alih kode. Jika seseorang menggunakan satu kata atau frase dari
satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Tetapi apabila suatu
klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan klausa
berikutnya disusun menurut struktur gramatika bahasa lain, maka
peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
Penulis memilih Pondok Pesantren (selanjutnya disingkat Ponpes)
sebagai objek penelitian perilaku berbahasa karena Ponpes merupakan
sebuah lembaga pendidikan agama islam yang dihuni oleh para santri
dengan berbagai latar belakang sosial, bahasa, tempat dan pendidikan
yang berbeda serta adanya aktivitas berbicara yang berkesinambungan.
Dengan banyaknya Ponpes di seluruh nusantara di berbagai wilayah

geografis yang berbeda disertai latarbelakang, bahasa, lingkungan,


kebudayaan dan sistem pendidikan yang berbeda pula tentu aspek
kebahasaan yang terdapat di sebuah Ponpes memiliki karakteristik yang
berbeda dengan Ponpes lainnya.
Ponpes yang dipilih menjadi lokasi penelitian penulis adalah Ponpes
Miftahul Ulum yang terletak di Desa Glagahwero, Kecamatan Kalisat,
Kabupaten Jember. Pemilihan tersebut berdasarkan pada penggunaan
bahasa dan varian bahasa yang sering digunakan oleh para santri di
dalam berkomunikasi dengan anggota tutur di Ponpes mulai dengan
sesama santri, ustadz hingga kyai. Jumlah santri Ponpes Miftahul Ulum
berjumlah 550 santri (150 santri putra dan 400 santri putri). Ponpes
Miftahul Ulum adalah pesantren yang menganut sistem pendidikan yang
menggabungkan unsur salaf (berpegang teguh pada sistem, prinsip, nilai
dan budaya tradisonal pesantren) dan khalaf (menerapkan ilmu
pengetahuan umum/formal). Sebagaimana pesantren pada umumnya, di
Ponpes Miftahul Ulum diajarkan berbagai bidang ilmu pengetahuan agama
Islam melaui dua sistematika pembelajaran. Pertama, sistem
pembelajaran secara tradisional dengan mengaplikasikan pengajian kitab
secara massal yang langsung dipimpin oleh kyai sebagai pimpinan Ponpes
atau diwakili oleh ustadz yang mendapat otoritas langsung dari kyai.
Kedua, sistem pembelajaran berjenjang dengan adanya kelas-kelas dan
tingkatan pendidikan sesuai kemampuan individu santri layaknya sekolah
formal. Pendidikan jenis ini disebut dengan istilah madrasah diniyah
(Madin). Selain itu, di Ponpes Miftahul Ulum juga didirikan jenjang
pendidikan formal mulai dari TK (Taman kanak-kanak), MI (Madrasah
Ibtidaiyah), MTs (Madrasah Tsanawiyah), dan MA (Madrasah Aliyah).
Santri Ponpes Miftahul Ulum berasal dari latarbelakang dan daerah
yang berbeda-beda. Secara umum, santri Ponpes Miftahul Ulum berasal
dari daerah-daerah penutur bahasa Madura dan Jawa. Penutur bahasa
Madura (BM) merupakan komunitas terbanyak dengan persentase 85%.
Umumnya mereka berasal dari wilayah penutur BM seperti Jember,
Bondowoso, Situbondo, Madura, dan Kalibaru dan daerah penutur BM
lainnya. Penutur BJ berjumlah 10% yang berasal dari Banyuwangi,
Kalibaru, Glenmore dan daerah penutur BJ lainnya. Sedangkan 5% sisanya
adalah santri yang menguasai BM dan BJ. Bahasa yang paling sering
digunakan oleh santri Ponpes Miftahul Ulum dalam setiap aktivitas adalah
BM, bahasa Indonesia (BI) dan bahasa Jawa (BJ). BM selain sebagai bahasa
keseharian santri putra, juga menjadi bahasa pengantar dalam kegiatan
pengajian dan madrasah diniyah. Bahkan, ada juga sebagian kitab dan
bacaan dzikir (lantunan doa dan puji-pujian berbahasa Arab dalam Islam)
yang diterjemahkan ke dalam BM.. Pemilihan BI adalah sebagai bentuk
penyesuaian terhadap situasi tutur, peristiwa tutur dan mitra tutur yang
menuntut bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya seperti dalam
situasi tutur (sekolah), peristiwa tutur (proses belajar mengajar), dan
mitra tutur (penutur BJ).
Sedangkan BJ digunakan oleh santri penutur BJ terhadap sesama
penutur BJ. Penelitian ini hanya membahas perilaku berbahasa santri

putra penutur BM dengan anggota tutur yang ada di ruang lingkup


pesantren. Pemilihan santri penutur BM sebagai sasaran penelitian
berdasarkan pada fenomena perilaku berbahasa yang diperagakan seperti
pilihan bahasa, alih kode, campur kode dan faktor pemlihan bahasa.
Dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif
kualitatif, rumusan masalah yang akan dideskripsikan adalah (1) perilaku
berbahasa santri penutur BM dan (2) faktor yang melatarbelakangi
pemilihan bahasa santri penutur BM. BM sebagai bahasa daerah, memiliki
tingkat tutur (speech level) atau tingkatan bahasa. Tingkat tutur dalam
BM ada tiga yaitu (1) enj iy atau yang biasa disebut dengan ragam ta
abhsa setara dengan ragam ngoko dalam BJ, (2) engghi enten yang
termasuk dalam BM ragam abhsa setara dengan ragam krama dalam BJ
dan (3) ngghi bhunten atau BM ragam bhsa alos setara dengan ragam
krama inggil dalam BJ (Sofyan, 2008: 4). Di dalam masyarakat Madura,
pemilihan BM digunakan sesuai konteks yang menyertai. Konteks tersebut
dapat berupa mitra tutur, situasi percakapan , domain atau ranah,
suasana percakapan, tingkatan usia, dan hubungan sosial antar petutur.
BM ragam enj iy biasanya digunakan oleh penutur BM yang memiliki
hubungan personal yang cukup dekat dengan mitra tutur. BM ragam
engghi enten umumnya digunakan oleh penutur BM terhadap mitra tutur
yang memiliki hubungan secara personal kurang dekat atau kepada orang
yang dihormati dan disegani. BM ragam ngghi bhunten lazimnya
digunakan oleh penutur BM sebagai bentuk penghormatan dan kesopanan
berbahasa pada orang yang lebih tua, orang yang dimuliakan dan
disegani dalam masyarakat, orang yang memiliki status sosial tinggi, dan
orang yang baru dikenal.
2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif kualitatif. Sudaryanto (1993:62) mengemukakan
bahwa sifat penelitian deskriptif adalah penelitian yang semata-mata
hanya berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris
hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau yang
dicatat berupa perian bahasa yang biasa. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan dan menganalisis perilaku berbahasa santri penutur BM
di Ponpes Miftahul Ulum. Sudaryanto (1993:57) membedakan menjadi tiga
tahapan menurut tahapan strateginya, yaitu; cara atau metode
pengumpulan data, metode analisis data, dan pemaparan hasil analisis
data. Langkah-langkah dan prosedur penelitian yang diterapkan dalam
penelitian ini adalah (1) penentuan lokasi penelitian, (2) penentuan
informan (3), metode dan teknik penyediaan data, (4) transkripsi data, (5)
klasifikasi data, (6) metode dan teknik analisis data dan (7) metode dan
teknik penyajian analisis data. Lokasi yang dipilih sebagai objek penelitian
perilaku berbahasa adalah Ponpes Miftahul Ulum yang terletak di Desa
Glagahwero, Kecamatan Kalisat, Kabupaten Jember. Pemilihan lokasi
penelitian tersebut didasarkan pada fenomena pemilihan bahasa,
penggunaan bahasa, dan aktivitas berbahasa santri penutur BM terhadap

berbagai mitra tutur serta konteks yang menyertai dirasa menarik dan
dan perlu untuk diteliti.
Populasi santri putra penutur BM adalah 150, dari jumlah populasi
tersebut diambil sebanyak 20% untuk diadikan sebagai sampel dalam
penelitian ini. Teknik sampel yang diambil adalah purpove sampling yaitu
teknik pengambilan sampel berdasarkan ketentuan dan syarat-syarat
yang telah ditetapkan oleh peneliti untuk menjawab permasalahan yang
diteliti. Sampel tersebut dirasa cukup mewakili populasi karena
homogennya perilaku berbahasa santri penutur BM terhadap mitra tutur
berbagai strata. Langkah selanjutnya adalah penentuan informan. Penulis
menetapkan beberapa kriteria untuk menentukan informan. Kriterianya
adalah (1) Informan adalah santri putra penutur BM, (2) sering
berinteraksi dengan berbagai strata mitra tutur di Ponpes, (3) menjadi
santri lebih dari dua tahun dan (4) memiliki intensitas tinggi dalam
berinteraksi serta (5) bersedia untuk digali informasinya.
Setelah melakukan pendekatan dan pengamatan terhadap
beberapa calon informan akhirnya dipilih tiga orang informan utama.
Ketiga informan tersebut dijadikan sebagai informan utama 1, 2 dan 3
sedangkan orang yang berposisi sebagai mitra tutur informan dijadikan
sebagai informan pendamping. Beberapa informan yang telah dipilih dan
ditentukan serta tuturan yang menyertai dapat dijadikan sebagai potret
perilaku berbahasa para santri penutur BM lainnya. Demi menjaga
kerahasiaan informan dan memenuhi etika penulisan, nama-nama orang
yang menjadi informan utama maupun informan pendamping disamarkan.
Nama-nama yang ada dalam teks tuturan bukan nama sebenarnya. Tahap
pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan metode simak. Metode
ini dijabarkan dalam dua teknik yaitu teknik dasar dan teknik lanjutan.
Teknik dasar dalam metode simak ini adalah teknik sadap. Pada
praktiknya, metode simak ini diwujudkan dengan penyadapan. Teknik
dasar tersebut kemudian diteruskan dengan teknik lanjutan yang terdiri
dari; Teknik Simak Libat Cakap (SLC) dan Teknik Simak Bebas Libat Cakap
( SBLC ).
Data yang berhasil dihimpun kemudian ditranskripsikan secara
ortografis ke dalam BM, secara harfiah dan maknawiah ke dalam BI 1.
Selanjutnya data diklasifikasikan menjadi beberapa bagian untuk
menganalisis permasalahan yang dikaji. Pada tahap analisis data, penulis
menggunakan Metode padan. Tuturan dan konteks tuturan menjadi data
primer untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. analisis data
untuk mengetahui perilaku berbahasa, pilihan bahasa, ragam bahasa, alih
kode dan campur kode dilakukan dengan cara menghitung ciri-ciri dan
jumlah proporsi kata yang digunakan dalam tuturan2. Analisis data dalam
penelitian ini disajikan dalam bentuk formal berupa kata-kata biasa.
1 ( ) : pengapit terjemahan harafiah , contoh: mon caen engko (kalau katanya saya)
maknawiah, contoh: mon caen engko (menurut saya)
: pengapit makna, contoh: Ngakan makan
*
: asterisk yang menandakan satuan linguiatik yang tidak berterima

: pengapit terjemahan

3. Hasil dan Pembahasan


Perilaku berbahasa santri penutur BM dibagi menjadi tiga bagian.
Pertama, perilaku berbahasa santri penutur BM terhadap sesama santri
(penutur BM dan penutur BJ). kedua, perilaku berbahasa santri penutur
BM terhadap ustadz, dan ketiga, perilaku berbahasa santri penutur BM
terhadap kyai.
3.1
Perilaku Berbahasa Santri
Penutur BM Terhadap
Sesama Santri
Perilaku berbahasa santri penutur BM terhadap sesama santri
penutur BM, menggunakan BM ragam enj-iy dan engghi-enten sebagai
pilihan bahasa. Hal ini tampak pada kutipan 1 dan 2 berikut.
Konteks: percakapan terjadi antara Ridho (Informan utama 3)
dengan Rizqi, teman sesama penutur BM di depan pondok blok A 11
kira-kira pukul 16.30 WIB. Percakapan berlangsung pada saat Ridho
dan Rizqi turun dari masjid setelah selesai mengikuti pengajian.
Dalam percakapan tersebut Ridho mengajak Rizqi untuk makan.
Tuturan:

Ridho : Mar ngakan ben?


(Sudah makan kamu?)
Kamu sudah makan?

Rizqi : Enjghi
(Belum masih)
Belum

Ridho : Maju mun ngakana


(Ayo kalau mau makan)
Mari kalau mau makan

Rizqi : Ngakana dimma


(Mau makan dimana?)
Mau makan dimana

: digunakan untuk vokal madya depan rendah tidak bulat seperti kata ngghi dalam BM dan
kata
merah dalam BI.
: digunakan untuk vokal depan madya atas seperti dalam kata enj dalam BM dan kata sekali dalam BI.

Ridho : Ngakan kantin bhi


(Makan di kantin saja)
Kita makan di kantin saja

Dianalisis berdasarkan ciri kosakata yang terdapat dalam


percakapan tersebut, dapat diketahui bahwa bahasa yang digunakan oleh
Ridho dan Rizqi adalah BM. Dikaitkan dengan tingkat tutur dalam BM,
varian BM yang digunakan adalah varian BM ragam enj-iy. kata-kata
milik BM ragam enj-iy dapat dilihat pada tuturan (1) hingga tuturan (5).
Kata-kata milik BM ragam enj-iy antara lain; ngakan makan, ngakana
mau makan, dimma dimana, bi saja, pssna uangnya, dan
dhuliyn cepat. Dalam BM ragam engghi-enten, kata-kata tersebut
menjadi adhr, adhr, kadimma, Obnga, , dan ngghl. Oleh
karena dalam percakapan tersebut kata-kata milik BM dominan dan
konsisten, dapat diidentifikasi bahwa santri penutur BM menggunakan BM
ragam enj-iy terhadap santri sesama penutur BM.
Konteks: Percakapan berlangsung antara Basri dengan Hifdzi, teman
penutur BM di aula pesantren pada pukul16.30 WIB. Peristiwa tutur
berlangsung pada saat Basri menghampiri Hifdzi yang sedang
duduk di aula. Basri bertanya kepada Hifdzi tentang ujian akhir
tahun.
Tuturan:

Basri : Ma neng kaento


empyan nganu napa?
(Kok disini kamu berbuat apa?)
Mengapa kamu ada disini, apa yang sedang kamu kerjakan?

Hifdzi : Nika nols mahfudzot


(Ini menulis kata-kata bijak)
Saya sedang menulis kata-kata bijak)

Basri : Ghby napa?


(Buat apa?)
Untuk apa?

Hifdzi : Ghby pal-apalan


(Buat hafal-hafalan)
Untuk dihafalkan

Basri : Cana nakana, kelas telo


ula bd munaqasyah?
(Katanya teman-teman, kelas tiga ula ada ujian akhir?)
Katanya teman-teman,
diadakan ujian akhir?

untuk

kelas

tiga

tingkat

dasar

Hifdzi : ta oneng ghi ami bd


(Tidak tahu ya mungkin ada)

Saya tidak tahu, mungkin saja ada


Dalam percakapan tersebut, dari tuturan (1) sampai (6) bahasa
yang digunakan oleh Basri dan Hifdzi adalah BM milik ragam engghienten. Hal itu didukung dengan adanya kosakata milik BM ragam engghienten seperti kaento disini, napa apa, nika ini, ta oneng tidak
tahu, dan pon sudah. Padanan kata-kata tersebut dalam BM ragam
enj-iy adalah dinna, apa, ta tao, dan mar. Dalam percakapan
tersebut, terjadi peristiwa campur kode yaitu campur kode BM dan BA. Hal
ini tampak pada tuturan (2), (5), (8) dan (9). Kata-kata seperti mahfudzot
kata-kata bijak, munaqasyah ujian akhir, fardhu ain kewajiban dan
insya Allah Jika Allah menghendaki adalah kata-kata milik BA yang ada di
tengah-tengah kosakta BM.
Terhadap santri penutur BJ, santri penutur BM menggunakan BI sebagai
pilihan bahasa. Hal ini tampak pada kutipan 3 berikut.
Konteks: percakapan terjadi antara Wafir dengan Musthofa di
belakang masjid sekitar pukul 20.00 WIB. Peristiwa tutur
berlangsung pada saat Wafir menghampiri Musthofa yang ada di
teras masjid. Dalam percakapan tersebut, Wafir bertanya tentang
sanksi bagi santri yang merokok.
Tuturan:

Wafir

: Drmma masalah roko?


(Bagaimana masalah rokok?)
Bagaimana sanksi bagi yang merokok?

Mushtofa
Wafir

: Ya kayak yang disepakati sebelumnya


: Berarti didenda uang?

Mushtofa

: Iya

Wafir

: Tetap s bil apa ditambah?


(Tetap yang dulu apa ditambah?)
Nominal uang dendanya ditambah?

Mushtofa

: Yo ditambah biar jherr


(Ya ditambah biar jera)

Ya ditambah sebagai efek jera


Dalam kutipan di atas, diketahui bahwa ciri-ciri kata yang digunakan
oleh Wafir dan Musthofa terdiri dari BI, BM dan BJ. Jumlah proporsi BI yang
dominan daripada proporsi BJ dan BM menunjukkan bahwa Wafir
menggunakan BI sebagai kode bahasa dalam berkomunikasi dengan
Musthofa sebagai mitra tutur. Sebaliknya, Musthofa juga menggunakan BI
sebagai kode bahasa dalam berkomunikasi dengan Wafir. Sehingga dapat
diidentifikasi bahwa BI menjadi pilihan bahasa yang digunakan oleh
keduanya. Dalam percakapan tersebut terdapat peristiwa alih kode dalam
tuturan (1) dan (7). Dalam tuturan (1), Wafir mengucapkan kalimat
drmma masalah roko bagaimana masalah rokok yang terdiri dari
kata-kata milik BM. Selanjutnya pada tuturan (3), Wafir beralih
menggunakan BI. Sedangkan Mushtofa melakukan campur kode pada
tuturan (6) dengan menggabungkan kata milik BM yaitu jherr jera
dengan kata-kata milik BI.
3.2 Perilaku Berbahasa Santri Terhadap Ustadz
Pilihan bahasa yang digunakan oleh santri penutur BM dalam
berkomunikasi dengan ustadz adalah BM ragam engghi-enten dan BM
ragam engghi-bhunten. Hal ini tampak pada kutipan 4 dan 5 berikut.

Konteks: percakapan terjadi antara Basri dan Arif, seorang ustadz di


depan halaman pondok blok B sekitar pukul 14.30 WIB. Percakapan
berlangsung pada saat Arif berada di atas sepeda motor untuk
bersiap-siap pulang. Kemudian datang Basri menyapa Arif dan
bertanya maksud Arif mau pulang.
Tuturan:

Basri : Palmana tad?


(Mau pulang ustadz?)
Anda mau pulang ustadz?

Arif : Engghi nika kul palmana


(Iya ini saya mau pulang)

Basri : Magipalmana tad nganu napa?


(Kok mau pulang ustadz mau apa?)
Kenapa anda mau pulang ustadz?

Arif : Ghi bhd parlona tor mun nuroa ateraghiy


bi kul pas
Ya ada perlunya ayo kalau mau ikut diantarkan sama saya
Saya pulang karena ada perlunya. Mari kalau mau ikut
nanti saya antarkan

Basri : Enten
(Tidak)

Dianalisis berdasarkan ciri-ciri kata yang terdapat dalam percakapan


tersebut, diketahui bahwa bahasa yang digunakan dalam percakapan
antara Basri dan Maulana adalah BM. Hal itu tampak dengan adanya
tuturan yang menggunakan kata BM secara konsisten dari tuturan (1)
hingga tuturan (5). Dikaitkan dengan tingkat tutur dalam BM, varian BM
yang dipilih oleh Basri dalam percakapan tersebut adalah varian BM
ragam engghi-enten. Demikian juga dengan Maulana yang berposisi
sebagai mitra tutur juga menggunakan BM ragam engghi-enten. Kata-kata
milik BM ragam engghi-enten dalam percakapan tersebut antara lain;
Palman pulang, nika ini, tor ayo, napa apa dan perksan
ditanyakan. Jika dikonversikan ke dalam BM ragam enj-iy kata-kata
tersebut menjadi mul, arya, maju, apa, dan tanyaaghi. Dengan
demikian dapat diidentifikasi bahwa ketika berbicara dengan ustadz, Basri
menggunakan BM ragam engghi-enten.

Konteks: percakapan terjadi antara Ridho dan Rizwan, seorang


ustadz di kamar pondok Rizwan, blok A7 pada pukul 20.00 WIB.
Perrcakapan berlangsung pada saat Ridho datang ke kamar pondok
Rizwan. Pada saat itu Rizwan sedang bersiap-siap untuk mengajar.
Percakapan dimulai oleh Ridho dengan bertanya kepada Rizwan
tentang kepastian masuk atau liburnya madrasah malam.
Tuturan:

Ridho : Ustad, diniyah malem libur ponapa bhunten?


(Ustadz, diniyah malam libur apa tidak?)
Ustadz, Madrasah diiniyah malam ini libur?

Rizwan: Malm selasa bi malem Jumat s libur. Mangkn maso


(Malam selasa dan malam jumat yang libur.
Sekarang masuk)

Ridho : Materi tentang ponapa ustad?


(Materi tentang apa ustadz?)
Materinya tentang apa ustadz?

Rizwan: marna bi neng kelas


(Sebentar lagi saja di kelas)
Saya beri tahu di kelas saja

Ridho : abkta buku ponapaan ?


(Buku apaan?)
Bawa buku apa saja?

Rizwan: Buku catetan


(Buku catatan)
(Bawa buku catatan

Dianalisis berdasarkan ciri-ciri kata yang digunakan pada kutipan 5


di atas, diketahui bahwa Ridho dan Rizwan menggunakan BM sebagai
kode bahasa di dalam berkomunikasi. Hal itu dapat diketahui dengan
adanya kata-kata milik BM yang konsisten digunakan dalam setiap
tuturan. Dikaitkan dengan tingkat tutur dalam BM, dapat diketahui varian
BM yang digunakan oleh Ridho saat berkomunikasi dengan Rizwan adalah
varian BM ragam engghi-bhunten. Hal itu dapat dibuktikan dengan
adanya kata-kata milik BM ragam engghi-bhunten seperti ponapa apa,
abkta membawa, dan sakalangkong terimakasih. Jika dikonversikan ke
dalam BM ragam enj-iy, kata-kata tersebut menjadi arapa, nyambi,
kasoon.
Sedangkan Rizwan sebagai mitra tutur, memilih menggunakan BM ragam
engghi-enten yang konsisten digunakan dalam setiap tuturannya pada
tuturan 2, 4, dan 6. Dengan demikian dapat diketahui bahwa secara
umum kode bahasa yang digunakan oeh santri penutur BM ketika
berbicara dengan ustadz terbagi menjadi dua. Pertama santri penutur BM
yang memilih BM ragam engghi-enten sebagai kode bahasa. Kedua santri
penutur BM yang memilih menggunakan BM ragam ngghi-bhunten.
3.3 Perilaku Berbahasa Santri Terhadap Kyai
Pilihan bahasa yang digunakan oleh santri penutur BM terhadap kyai

adalah BM ragam ngghi-bhunten. Hal ini tampak pada kutipan 6 berikut.

Konteks: percakapan terjadi antara Holil seorang Kyai dengan Wafir,


seorang santri di kediaman Holil sekitar pukul 20.00 WIB. Peristiwa
tutur berlangsung pada saat Wafir mendatangi kediaman Holil
dengan maksud melaporkan kesiapan perlengkapan acara maulid
Nabi. Percakapan dimulai oleh Holil yang bertanya kepada Wafir
tentang sejauh mana perlengkapan acara telah disiapkan.
Tuturan:

Holil : Ben kan seksi perlengkapan?


(Kamu kan yang jadi seksi perlengkapan)
Kamu yang jadi ketua seksi perlengkapan acara
maulid Nabi?

Wafir : ngghi
(Iya)

Holi : Mar oros kabbhi la?


(Sudah diurusi semua dah?)
Sudah diurusi semua?

Wafir : Lastar sadhjh


(Sudah semua)
Sudah semua

Holil : Pssna cokop?


(Uangnya cukup?)
Uangnya cukup?

Wafir : Sementara kadinto cokop


(Sementara ini cukup)
Sementara ini masih cukup

Dianalisis berdasarkan ciri-ciri kata yang terdapat dalam kutipan 6,


diketahui Holil dan Wafir menggunakan BM sebagai kode bahasa dalam

berkomunikasi. Hal itu terbukti dengan adanya kata-kata milik BM yang


konsisten digunakan dalam tuturan (1) sampai tuturan (6). Dikaitkan
dengan tingkat tutur yang ada dalam BM, kata-kata yang digunakan oleh
Wafir ketika berbicara dengan Holil adalah kata-kata milik BM ragam
nggi-bhunten. Kata-kata seperti lastar sudah dan sadhj, semua dan
kadinto ini adalah kata-kata milik BM ragam nggi-bhunten. Padanan
kata-kata tersebut dalam BM ragam enj-iy adalah mar, kabbhi, arya
dan lamon. Berbeda dengan Wafir, Holil memilih BM ragam enj-iy
sebagai kode bahasa pada percakapan tersebut. Penggunaan BM ragam
enj-iy terwakili oleh kata-kata seperti ben kamu, mar sudah,
kabbhi semua pssna, uangnya, brmpa, berapa dan ajiy itu. Jika
dikonversikan dalam BM ragam engghi-enten kata-kata tersebut menjadi
empyan, ampon, sadhj, obnga, saponapa, dan ghnika. Dengan
demikian dapat diidentifikasi bahwa, Wafir sebagai santri penutur BM
menggunakan BM ragam nggi-bhunten ketika berbicara dengan Holil
sebagai kyai.
Faktor-faktor pemilihan bahasa santri penutur BM ada 10 macam
yaitu; faktor keakraban, perbedaan umur, status sosial, tingkatan kelas,
situasi percakapan, sifat interaksi, penyesuaian, keseganan, konsep
budaya dan kebiasaan. Faktor-faktor tersebut dapat diidentifikasi melalui
tuturan dan konteks tuturan yang menyertai. Dalam faktor keakraban,
hubungan akrab dan tidak akrab dapat menyebabkan pilihan bahasa yang
digunakan oleh santri penutur BM. Terhadap santri sesama penutur BM
yang akrab, santri penutur BM menggunakan BM ragam enj-iy.
Terhadap santri yang kurang akrab, menggunakan BM ragam engghienten. Hal ini dapat dilihat pada kutipan 7 dan 8 berikut.

Konteks: percakapan terjadi antara Basri, dengan Idrus, santri


penutur BM yang merupakan salah satu teman akrabnya.
Percakapan terjadi di kamar mandi Ponpes sekitar pukul 16.00 WIB.
Basri dan Idrus telah berteman lama dan menjalin hubungan yang
akrab. Percakapan berlangsung pada saat Basri baru datang ke
kamar mandi untuk mencuci pakaian dan menyapa Idrus yang
sedang mencuci pakaian. Basri bermaksud meminjam sikat baju
kepada Idrus.
Tuturan:

Basri : Andi sikat kalambhi ben ?


(Punya sikat baju kamu?)
Kamu punya sikat baju?

Idrus : Bd rya kng angguy engko kad


(Ada ini tapi dipakai sama saya)
Aku punya sikat baju tapi masih aku pakai

Basri : Ta lang jh mon ghun ngangghuy tanang


(Tidak hilang tidak kalau Cuma menggunakan tangan)
Kotorannya tidak bisa hilang kalau hanya
menggunakan tangan

Idrus : Locot kya mon paksa


(Lepas juga kalau dipaksa)
Kalau dipaksa kotorannya juga bisa hilang

Basri : Ajiy s aghbyn tanang br


(Itu yang membuat tangan bengkak)
Hal yang demikian itu dapat menyebabkan
tangan bengkak

Idrus : Iy marna mara tolongi kad


(Iya sebentar lagi ayo tolong dulu)

Sebentar lagi saya berikan sikatnya, tapi bantu saya dulu


Dalam kutipan 7 tersebut dapat diketahui bahwa kode bahasa yang
digunakan oleh Basri ketika berbicara dengan Idrus adalah BM ragam
enj-iy. Sebaliknya, Idrus sebagai mitra tutur juga menggunakan BM
ragam enj-iy sebagai kode bahasa. Setiap tuturan dari tuturan (1)
hingga (6) terisi oleh kata-kata milik BM ragam enj-iy. Penggunaan BM
ragam enj-iy pada percakapan tersebut disebabkan oleh hubungan
akrab yang terjalin antara Basri dan Idrus sehingga percakapan
berlangsung bebas dan lepas tanpa ada rasa sungkan untuk
menyampaikan isi pesan.

Konteks: percakapan terjadi antara Basri dengan Kasim, teman


sesama penutur BM di depan pondok blok A sekitar pukul 16.00.
Basri dan Kasim adalah teman sekelas namun keduanya jarang
terlibat dalam percakapan karena kurang akrab. Peristiwa tutur
berlangsung saat Kasim baru keluar dari pondoknya untuk pergi ke
makam kyai kemudian datang Basri menyapanya untuk meminjam
kamus bahasa Inggris.
Tuturan:

Basri : Empyan entara kaemma?

(Kamu mau pergi kemana?)

Kasim : Nika entara ka congkop anapa?


(Ini mau pergi ke makam kyai kenapa?)
Saya mau pergi ke makam kyai kenapa?

Basri : Jhm nginjhma kul


(Mau pinjam-pinjam saya)
Saya mau pinjam sesuatu

Kasim : Nginjhma napa?


(Mau pinjam apa?)
Kamu mau piinjam apa?

Basri : Nginjhma kamus bahasa Inggris


(Mau pinjam kamus bahasa Inggris)
Saya mau pinjam kamus bahasa Inggris

Kasim : O engghi engkn kad kalaa bi kul


(Oh ya tunggu dulu mau diambil sama saya)
Oh ya tunggu dulu kamusnya mau saya ambil

Berbeda dengan penggunaan bahasa yang diperagakan oleh Basri


ketika berbicara dengan Idrus temannya yang sudah akrab, ketika
berbicara dengan Kasim, temannya yang kurang akrab Basri memilih
menggunakan BM ragam engghi-enten sebagai kode bahasa. Penggunaan
kata-kata milik BM ragam engghi-enten tampak pada setiap tuturan.
Pemilihan BM ragam engghi-enten tersebut disebabkan karena kurang
akrabnya hubungan Basri dengan Kasim sehingga jarang sekali terlibat
dalam percakapan secara intensif. Oleh karena itu, Basri memilih BM
ragam engghi-enten sebagai sarana komunikasi dengan Kasim.
Fakor perbedaan umur juga menjadi penentu pilihan bahasa santri
penutur BM. Terhadap santri yang lebih tua, menggunakan BM ragam
engghi-enten. Hal ini dapat dilihat pada tuturan berikut.

Konteks:

percakapan

berlangsung

antara

Wafir

(19)

dengan

Baydhowi (13), teman penutur BM di teras masjid sekitar pukul


22.00. Percakapan berlangsung pada saat Wafir dan Baydhowi
duduk di teras masjid. Dalam percakapan tersebut Wafir bercerita
tentang santri di masa lalu yang sering memasak sendiri.

Tuturan:

Wafir

: Mon lamb seru l


(Kalau dulu seru dik)
Kalau dulu itu seru dik

Baydhowi

: Seru anapa ka?


(Seru kenapa kak?)
Seru kenapa kak?

Wafir

: Lem-malem nga satya r ghi rammi


(Malam-malam seperti sekarang ini masih ramai)
(Meskipun sudah malam seperti sekarang ini
dulu masih ramai)

Baydhowi

: Rammi dh remma ka?


(Ramai bagaimana kak?)
Ramai bagaimana maksudnya kak?

Wafir

: Rammi nakana s atana


(Ramai anak-anak yang memasak)
(Ramai dengan adanya teman-teman
yang memasak)

Dalam kutipan 9, diketahui kode bahasa yang digunakan oleh Wafir


dan Baydhowi adalah BM. Dalam berkomunikasi dengan Baydhowi, Wafir
memilih menggunakan BM ragam enj-iy sebagai pilihan bahasa.
Sementara Baydhowi sebagai mitra tutur menggunakan BM ragam
engghi-enten sebagai kode bahasa. Faktor yang menyebabkan perbedaan
penggunaan varian bahasa antara Wafir dan Baydhowi adalah faktor

perbedaan umur. Wafir yang berusia lebih tua dari Baydhowi memilih
menggunakan BM ragam enj-iy karena penggunaan BM ragam enjaiya terhadap mitra tutur yang lebih muda diperbolehkan dalam
masyarakat Madura. Sementara Baydhowi yang berusia lebih muda dari
Wafir, menggunakan BM ragam engghi-enten sebagai bentuk
penghormatan terhadap mitra tutur yang lebih tua.
Faktor status sosial kyai dan santri juga menjadi penyebab
dipilihnya BM ragam engghi-bhunten oleh santri penutur BM. Hal ini
tampak pada tuturan berikut.

Konteks: peristiwa tutur terjadi antara Holil (A) seorang kyai dengan
Ridho (B) seorang santri di kediaman Holil. Peristiwa tutur
berlangsung pada pukul 20.00 WIB. Percakapan berlangsung ketika
Ridho mendatangi kediaman Holil. Dalam peristiwa tutur tersebut
Ridho memberikan surat keputusan pemilihan ketua pengurus.
Tuturan:

Holil : Sapa y?
(Siapa ya?)

Ridho : Abdhinah Ridho


(Saya Ridho)

Holil :

Bdh apa dho?


(Ada apa dho?)
Ada perlu apa Ridho?

Ridjo : Kadintoh SK pelantikan ketua pengurus


(Ini, SK pelantikan ketua pengurus)

Holil : O y sapa katuwana satya?


(Oh ya siapa ketuanya sekarang?)
Oh ya, siapa ketua pengurus sekarang?

Ridho : Abdhina

(saya)
Pada penggunaan bahasa dalam tuturan di atas, dapat diketahui
bahasa yang digunakan oleh partisipan (Holil dan Ridho) adalah BM. Hal
ini terbukti dengan digunakannya kata-kata milik BM dalam setiap

tuturan. Dalam percakapan tersebut Holil yang berstatus sosial sebagai


kyai menggunakan BM ragam enj-iy sebagai kode bahasa ketika
berbicara dengan Ridho yang berstatus sebagai santri. Sementara Ridho
menggunakan BM ragam ngghi-bhunten sebagai kode bahasa ketika
berbicara dengan Holil sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan
terhadap guru.
Faktor tingkatan kelas juga menjadi salah satu faktor penentu
pilihan bahasa yang digunakan oleh santri penutur BM. Hal ini dapat
diketahui pada tuturan berikut.
Konteks: percakapan antara Wafir, santri penutur BM yang duduk di
kelas 3 tingkat wustha dengan Mahfudz kelas 1 tingkat ula di depan
pondok blok C 4. Kira-kira pukul 21.00 WIB. Percakapan berlangsung
pada saat Wafir memanggil Mahfudz yang ada di halaman pondok.
Dalam percakapan tersebut, Wafir menyuruh Mahfudz membeli mie.
Tuturan:

Wafir

: Fud, denna kad!


(Fud, ke sini dulu!)
Mahfudz tolong ke sini dulu!

Mahfudz

: Napa ka?
(Apa kak?)
Ada apa kak?

Wafir

: Minta tolong engko mellagi emmi engko


kantin
(Minta tolong saya Belikan mie saya di kantin)
Tolong belikan saya mie di kantin

Mahfudz

: Emmi napa
(Mie apa?)
Mie apa?

Wafir

: Emmi kua
(Mie kuah)

Mie kuah
Dalam kutipan di atas, diketahui bahasa yang digunakan oleh Wafir
dan Mahfudz adalah BM karena konsistennya penggunaan kata-kata milik

BM dalam semua tuturan. Wafir yang berperan sebagai penutur


menggunakan BM ragam enj-iy sebagai kode bahasa ketika berbicara
dengan Mahfudz. Sementara Mahfudz yang berposisi sebagai mitra tutur
menggunakan BM ragam engghi-enten sebagai kode bahasa. Perbedaan
penggunaan varian bahasa tersebut disebabkan karena faktor perbedaan
tingkatan kelas di madrasah antara Wafir dan Mahfudz. Wafir adalah santri
yang duduk di kelas 3 tingkat Wustha (tingkat lanjutan) sedangkan
Mahfudz adalah santri yang duduk di kelas 1 tingkat ula (tingkat dasar).
Situasi percakapan menjadi salah satu faktor yang mendasari
pemilihan bahasa santri penutur BM. Hal ini tampak pada tuturan 12 dan
13 berikut.

Konteks: Obrolan terjadi antara Basri, santri penutur BM dengan


Faruq, seorang ustadz pada pukul 23.30 WIB di pondok Faruq.
Percakapan berlangsung dalam situasi tidak formal pada saat Faruq
duduk santai di pondoknya. Dalam percakapan tersebut, Basri
meminta ijin untuk pulang sebentar karena bapaknya sedang sakit.

Tuturan:

Basri :

Tad, kul ijina palmana

( Tadz, Saya ijin mau pulang)


Ustadz, Saya mohon ijin untuk pulang

Faruq : Bh, kammaa jh pon malem


( Mau kemana ini sudah malam)
Mau pergi kemana ini sudah malam

Basri :

Ekonin sareng kakak, bapak songkan

(Dijemput sama kakak, bapak sakit)


Dijemput oleh kakak karena bapak sakit

Faruq : Bk mangmang kul mon mangkn polana


tako perksani sareng kya
(Agak ragu saya kalau sekarang, karena takut ditanyakan
sama kyai)
Saya khawatir jika kamu pulang sekarang kamu ditanyakan

oleh kyai

Basri : Insya Allah kul abliy sabelluma sobbhu


(Insya Allah saya akan kembali sebelum subuh)
Insya Allah saya akan kembali sebelum subuh

Konteks: percakapan terjadi antara Faruq, seorang Ustadz dan Basri,


seorang santri di ruang kelas 2 Madrasah pada jam pelajaran
Tauhid. Percakapan berlangsung sekitar pukul 14.30 WIB.
Percakapan berlangsung pada situasi yang formal. Dalam
percakapan tersebut, Faruq menyuruh Basri membaca kitab.
Tuturan:

Faruq : Bas, bca Bas!


(Bas, baca Bas!)
Basri bacalah kitabnya!

Basri :

Ta ngaoningi abdhina Tadz

(Tidak mengetahui saya Tadz)


Saya tidak bisa ustadz

Basri :

Bcalah kad!

(Bacalah Dulu!)
Coba dibaca dulu!

Basri :

Ijin Tad, nkkanna hajht

(Izin Tadz, mau memenuhi hajat)


Saya Mohon ijin ustadz mau ke kamar mandi

Basri :

J, bca kad!

(Tidak, baca dulu)


Tidak boleh, baca dulu kitabnya !

Basri : Engghi Tadz


(Iya Tadz)

Pada kutipan 12 tersebut Basri menggunakan BM ragam engghienten terhadap Faruq yang merupakan ustadznya. Sebaliknya Faruq juga
menggunakan BM ragam engghi-enten sebagai kode bahasa ketika
berbicara dengan Basri. Pemilihan BM ragam engghi-enten oleh Basri
disebabkan karena situasi percakapan berlangsung dalam situasi yang
tidak formal. Berbeda dengan penggunaan bahasa pada kutipan 12 yang
berisi percakapan antara Basri dengan Faruq dalam situasi yang tidak
formal, pada kutipan 13, Basri menggunakan BM ragam engghi-bhunten
terhadap Faruq dalam situasi formal.
Faktor jumlah partisipan juga menjadi dasar pemilihan bahasa santri
penutur BM. Hal ini tampak pada tuturan berikut.

Konteks: percakapan antara Wafir dengan Syukri teman penutur BM


dan Arsyad, teman penutur BM di kamar pondok Syukri kira-kira
pukul 16.00 WIB. Pada awalnya peracakapan hanya terjadi antara
dua orang yaitu Wafir dan Syukri kemudian datang Arsyad dan
terlibat dalam percakapan sehingga partisipan menjadi tiga orang.
Dalam percakapan tersebut Wafir, Syukri dan Arsyad berembuk
untuk mengaji.
Tuturan:

Wafir : dremma ngajhiy?


(Bagaimana mau mengaji?)
Bagaimana Jadi yang mau mengaji?

Syukri : Tak tao y ma moghuk mun jhn-ojhn


(Tidak tau ya kok capai kalau hujan-hujan)
Saya tidak bisa memastikan karena capai kalau hujan

Wafir : Y aroa lesso mon jhn-ojhn jhd s ajhlna


(Ya itu lesu kalau hujan-hujan memang yang mau berjalan)
Ya memang kalau hujan turun badan jadi lelah yang mau
berjalan

Arsyad : Bh tor s ngajhiy!


(Loh ayo yang mau mengaji)
Mari kalau mau mengaji

Wafir : Ngajhiy empyan?


(Mau mengaji kamu?)
Kamu mau mengaji?

Arsyad : Engghi tor


(Iya ayo)
Iya mari

Diketahui pada kutipan di atas, bahasa yang digunakan sebagai


kode bahasa oleh Wafir, Syukri dan Arsyad adalah BM. Dalam percakapan
tersebut, Wafir yang berperan sebagai penutur menggunakan BM ragam
enj-iy sebagai kode bahasa ketika berbicara dengan Syukri. Sebaliknya
Syukri juga menggunakan BM ragam enj-iy ketika berbicara dengan
Wafir. Perubahan penggunaan bahasa terjadi ketika datang Arsyad yang
terlibat ke dalam percakapan sebagai mitra tutur. Dalam percakapan
tersebut diketahui Arsyad menggunakan BM ragam engghi-enten sebagai
kode bahasa ketika berbicara dengan Syukri. Syukri yang pada awalnya
hanya menggunakan satu varian bahasa yaitu BM ragam enj-iy,
kemudian beralih kode menggunakan BM ragam engghi-enten ketika
berbicara dengan Arsyad. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa
salah satu penyebab dipilihnya bahasa oleh santri penutur BM adalah
jumlah partisipan.
Penyesuaian terhadap mitra tutur menjadi salah satu penyebab
dipilihnya bahasa tertentu oleh santri penutur BM. Hal ini tampak pada
tuturan berikut.

Konteks: semula percakapan terjadi antara Ridho dengan Fahmi,


teman penutur BM di kamar pondok blok A 11 sekitar pukul 08.00
WIB. Kemudian Ilham, teman sesama penutur BM datang dan ikut
terlibat dalam percakapan. Percakapan berlangsung pada saat
Ridho sedang beristirahat di pondoknya ditemani Fahmi. Dalam
percakapan tersebut, Ridho mengeluhkan kepalanya pusing.
Tuturan:

Ridho : Palengngen ctak engko


(Pusing kepala saya)
Pusing kepala saya

Fahmi : Palengngen arapa? sak ongghu apa kng polana


mikkr pelajaran?
(Pusing kenapa? sakit sungguhan apa karena memikirkan

Pelajaran?)

Ridho : Sak ongghu engko


(Sakit sungguhan saya)

Ilham : Kenapa Dho?


(Kenapa Dho?
Kenapa Dho

Ridho : Pusing kepala saya

Ilham : Istirahat saja kalau pusing udah dibelikan obat mi?

Fahmi : Belum ini masih mau beli

Dari kutipan tersebut dapat diketahui percakapan terjadi antara tiga


orang yakni Ridho sebagai penutur, Fahmi dan Ilham sebagai mitra tutur.
Pada awal percakapan yang hanya berlangsung antara Ridho dan Fahmi
kode bahasa yang digunakan adalah BM ragam enj-iy. Setelah Ilham
datang dan ikut terlibat dalam percakapan, kode bahasa yang digunakan
oleh Ridho dan Fahmi berubah menjadi BI. Ridho dan Fahmi menggunakan
BI sebagai kode bahasa untuk menyesuaikan terhadap bahasa yang
digunakan oleh Ilham. Oleh karena itu dapat diidentifikasi bahwa salah
satu faktor penentu dipilihnya suatu bahasa adalah faktor penyesuaian
terhadap mitra tutur.
Keseganan terhadap mitra tutur juga menjadi salah satu faktor yang
melatarbelakangi pemilihan bahasa santri penutur BM seperti yang
tampak dalam kutipan wawancara berikut.

Konteks: percakapan antara penulis dengan Ridho di kamar pondok


blok A 12 kira-kira pukul 20.30 WIB. Percakapan berlangsung pada
situasi santai ketika Ridho sedang duduk di pondoknya.
Tuturan:

Penulis : le anapa empyan ma abhsa mon abnta bi Jauhari


(Dik, kenapa kamu kok berbahasa madura krama kalau
berbicara dengan Jauhari?)
Kenapa adik kalau berbicara dengan Jauhari
menggunakan bahasa Madura ragam krama?

Ridho : Kul sengka ka Jauhari dddhi kul abhsa ka

(Saya segan pada Jauhari jadi saya berbahasa krama kak)


Saya segan pada Jauhari jadi saya menggunakan
bahasa Madura ragam krama
Dari kutipan wawancara tersebut diperoleh keterangan bahwa salah
satu faktor yang melatarbelakangi pemilihan bahasa adalah faktor
keseganan. Ridho menggunakan BM engghi-enten ketika berbicara
dengan Jauhari karena secara pribadi Ridho segan terhadap Jauhari. Dari
informasi disebut dapat diketahui faktor keseganan adalah salah satu
faktor psikologis yang dapat menjadi sebab dipilihnya suatu bahasa oleh
santri penutur BM.
Faktor yang mendasari pemilihan bahasa yang terakhir yaitu faktor
konsep budaya dan kebiasaan. Hal ini tampak pada tuturan 17 dan 18
berikut.

Konteks: percakapan antara Wafir dan Anis, teman sesama penutur


BM di kamar pondok Wafir. Percakapan berlangsung sekitar pukul
21.00 WIB. Percakapan berlangsung pada saat Wafir dan Anis baru
selesai mengaji dan baru tiba di pondok. Dalam percakapan
tersebut Wafir bertanya tentang materi pelajaran kepada Anis.
Tuturan:

Wafir : Ben maso ghelle?


(Kamu masuk tadi?)
Kamu tadi masuk madrasah

Anis :

Iy maso arapa?
(Iya masuk kenapa)
Iya saya masuk kenapa?

Wafir : Nyatet apa nyatet tentang mauzun aroa y?


(Mencatat apa mencatat tentang mauzun itu ya?)
Tadi mencatat materi tentang timbangan kata ya

Anis :

Bnni mar aroa la, ghelle nyatet bina


(Bukan sudah itu, tadi mencatat bina)
Tidak tadi hanya mencatat tentang bangunan kata

Wafir : Bnya nyatet ghelle?


(Banyak mencatat tadi?)
Banyak yang dicatat tadi?

Anis :

Pndenan ra bk bnya

(Lumayan lah agak banyak)


Lumayan cukup banyak

Konteks: percakapan antara penulis dengan Wafir di kamar pondok


blok C4 sekitar pukul 20.30 WIB.
Tuturan:

Penulis: Anapa mon abnta bi Baydhowi, empyan abhsa?


(Kenapa kalau berbicara dengan Baiydhowi kamu
berbahasa krama?)
Kenapa anda menggunakan bahasa Madura ragam
krama ketika berbicara dengan Baydhowi?

Wafir:

Polana mula lamb kul jhd pon terbiasa abhsa


(Karena mulai dulu saya memang sudah terbiasa
berbahasa krama)
Karena memang sejak dulu saya terbiasa menggunakan
Madura ragam krama

Jenis variasi bahasa yang digunakan dalam percakapan tersebut


adalah BM ragam enj-iy. Dalam tuturan tersebut, Wafir menggunakan
beberapa istilah dan kosakata yang tidak terdapat dalam BM yang tampak
pada tuturan 3 dan 7. Penggunaan kosakata bahasa selain BM tersebut
disebabkan karena istilah atau kosakata yang dimaksudkan oleh Wafir
tidak terdapat dalam BM. Pada percakapan tersebut, Wafir ingin
mengungkapkan istilah atau ungkapan yang lazim disebutkan pada objek
tertentu Misalnya kata mauzun yang berarti timbangan kata, yang
merupakan kosakata milik BA. Demikian juga dengan kata-kata lain milik
BI yang dirasa wajar dan lebih sesuai jika diucapkan dalam BI seperti
acara, maulid, tentang dan lancar. Sedangkan Anis juga menggunakan
istilah atau kosakata milik bahasa lain selain BM untuk menyebutkan

maksud yang ingin disampaikan. Penggunaan kata bina bangunan kata


yang merupakan kosakata milik BA digunakan untuk sebutan materi
pelajaran yang lebih sesuai diucapkan dalam BA dan tidak dirasa wajar
jika dipadankan dalam BM. Dari kutipan wawancara di atas diketahui
bahwa Ridho menggunakan BM ragam engghi-enten dengan Baydhowi
karena alasan kebiasaan. Ridho telah terlanjur terbiasa menggunakan BM
ragam engghi-enten ketika berbicara dengan Baydhowi. Dari informasi
tersebut dapat diketahui bahwa faktor konsep budaya dan kebiasaan
menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi pemilihan bahasa.
4. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat ditemukan beberapa
kesimpulan yang menjadi hasil dari pembahasan yang telah diteliti terkait
perilaku berbahasa santri penutur BM di ponpes Miftahul Ulum. Pilihan
bahasa santri penutur BM dapat disimpulkan ke dalam empat bagian
yaitu, (1) ketika berbicara dengan santri sesama penutur BM, santri
penutur BM menggunakan BM ragam enj-iy dan BM ragam engghienten, (2) ketika berbicara dengan ustadz, santri penutur BM
menggunakan BM ragam engghi- enten dan BM ragam engghi-bhunten,
(3) ketika berbicara dengan kyai, santri penutur BM menggunakan BM
ragam ngghi-bhunten, dan (4) ketika berbicara dengan santri penutur BJ,
santri penutur BM menggunakan bahasa Indonesia (BI) sebagai pilihan
bahasa. Peristiwa alih kode yang terdapat dalam tuturan santri penutur
BM berupa peralihan dari BM ke BI dan dari BI ke BM. Campur kode yang
terjadi berupa penggabungan unsur-unsur kata milik BM, BI, BJ dan BA.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi pemilihan bahasa santri
penutur BM dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian yaitu, (1) faktor
sosial, meliputi (a) faktor keakraban, terhadap sesama santri penutur BM
yang akrab menggunakan BM ragam enj-iy dan yang tidak akrab
menggunakan BM ragam engghi-enten; (b) faktor perbedaan umur,
terhadap santri yang lebih tua menggunakan BM ragam engghi-enten dan
terhadap yang lebih muda menggunakan BM ragam enj-iy; (c) faktor
perbedaan status sosial, terhadap kyai menggunakan BM ragam engghibhunten; (d) faktor tingkatan kelas, terhadap santri yang tingkatan
kelasnya lebih tinggi menggunakan BM ragam engghi-enten dan tehadap
yang lebih rendah kelasnya menggunakan BM ragam enj-iy; (e) faktor
situasi percakapan; (f) faktor jumlah partisipan, terhadap ustadz dalam
situasi formal menggunakan BM ragam enj-iy dan dalam situasi
nonformal menggunakan BM ragam engghi-enten; (2) faktor psikologis
meliputi (a) faktor keseganan terhadap mitra tutur, terhadap santri yang
disegani menggunakan BM ragam engghi-enten dan yang tidak disegani
menggunakan BM ragam enj-iy; (b) faktor penyesuaian terhadap mitra
tutur, terhadap santri penutur BJ, menggunakan BI; (3) faktor budaya,
meliputi (a) faktor konsep budaya, terhadap semua penutur,
menggunakan BI, BA dan BIng hanya sekadar untuk menyebut istilah atau
ungkapan; (b) faktor kebiasaan, secara umum BM ragam enj-iy,
engghi-enten, engghi-bhunten dan BI digunakan karena merupakan

sebuah kebiasaan.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta:
Rineka Cipta.
Rahardi, Kunjana, 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih kode . Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa (Pengantar
Penelitian Wahana
Kebudayaan secara Linguistis). Yogyakarta: Duta Wacana University
Press.
Sofyan, Akhmad, Bambang Wibisono, Amir Mahmud, dan Foriyani
Subiyatningsih. 2008. Tata bahasa Bahasa Madura. Surabaya: Balai
Bahasa Surabaya.
Wibisono, Bambang. 2005. Perilaku Berbahasa Warga Kelompok Etnis
Madura di Jember dalam Obrolan dengan Mitra tutur Sesama dan
Lain Etnis. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Universitas Negeri
Malang.

Anda mungkin juga menyukai