Anda di halaman 1dari 25

PENJUMLAHAN GELOMBANG SINUS DAN DIGITALISASI

Script pada MATLAB :


amp=3;
fr=7;
phs=0*(3.14/180);
n=1000;
dt=0.01;
for i=1:n
x(i)=amp*sin(2*pi*fr*(i-1)*dt+phs);
end;
amp=9;
fr=15;
phs=0*(3.14/180);
n=1000;
dt=0.002;
for i=1:n
y(i)=amp*sin(2*pi*fr*(i-1)*dt+phs);
end;
amp=5;
fr=35;
phs=0*(3.14/180);
n=1000;
dt=0.002;
for i=1:n
z(i)=amp*sin(2*pi*fr*(i-1)*dt+phs);
end;
for i=1:n
k(i)=x(i)+y(i)+z(i);
penjumlahan
end;
sinus
for i=1:n
d(i)=0.1;
end;
Sisir delta
dn=2;
diract
for i=1:dn:n
d(i)=1.0;
end;
for i=1:n
j(i)=k(i)*d(i)
Proses digitalisasi
end;
figure;
subplot (6,1,1);
plot (x(1:200));
ylabel('analog 1');
subplot (6,1,2);
plot (y(1:200));
ylabel('analog 2');
subplot (6,1,3);
plot (z(1:200));
ylabel('analog 3');
subplot (6,1,4);
plot (k(1:200));
subplot (6,1,5);
plot (d(1:200));
subplot (6,1,6);
plot (j(1:200));

Penjumlahan 3 Gelombang Sinus Sebagai


Sinyal Analog
Gelombang sinus adalah bagian dari
gelombang yang bentuknya tidak
simetris jika diplot terhadap sumbu
vertical.

Rumus gelombang sinus adalah :


Dengan A = Amlpitudo, = frekuensi
sudut (radians per detik), dan = fase.
Jika dua atau beberapa buah gelombang
melewati sebuah medium maka persamaan
gelombang resultannya adalah jumlahan dari
persamaan gelombang-gelombang tersebut
disebut sebagai superposisi gelombang.
Proses Digitalisasi
Pada survei seismik, data yang diperoleh
berupa data analog yang harus diubah
menjadi data digital ketika akan diproses.
Proses digitalisasi merupakan kegiatan
mengubah sinyal analog menjadi sinyal yang
diskrit dengan cara mengalikan sinyal
analog tersebut dengan sisir delta diract.
Delta diract adalah Hasil digitalisasi harus
menyerupai gelombang yang digitalisasi.
Sisir delta diract adalah sekumpulan direct
yang teratur dengan selang waktu tertentu.
Pemilihan waktu sampling direct yang salah
akan berakibat terjadinya aliasing. Aliasing
adalah fenomena bergesernya frekuensi
tinggi gelombang seismik menjadi lebih
rendah yang diakibatkan pemilihan interval
sampling yang terlalu besar (kasar). Pada
script di samping digunakan nilain dn=2
untuk sisir delta diract agar tidak terjadi
aliasing.
Hasil dari script di samping adalah :

Sinyal analog berupa


gelombang sinus

Penjumlahan
gelombang sinus
Sisir delta diract
Sinyal digital

Gambar 1. Penjumlahan gelombang sinus dan digitalisasi sinyal

PROGRAM KONVOLUSI
Flow Chart Konvolusi

Konvolusi adalah operasi matematik antara dua

START

fungsi waktu, operasi matematika dimana

READ
ai , i = 1, LA

diperoleh keluaran dari suatu masukkan pulsa

READ
bi , j = 1, LB

time variant.

gelombang kedalam sesuatu system yang linear


Operasi konvolusi dinotasikan

dengan * (asterik) dimana di dalam proses

LC = LA + LB - 1

konvolusi terjadi proses pelipatan, pergeseran,

A=1

perkalian dan penjumlahan.


Proses konvolusi f(t) dan g(t) secara matematis

B2(j) = bi(LB-j+1), j = 1, LB
C(i) = 0.0

dinyatakan dengan:
h(t) = f(t)*g(t); Data digital/fungsi diskrit:
a={ a1, a 2 , a3 , a 4 ,a 5 , a n } dan
b={ b1 , b2 , b3 ,b 4 , b5 , bm }

i=i+1

i = LC

Hasil untuk f = a*b adalah :


a a , a , a , a , an}
f = { 1, 2 3 4 5

{ b m , . b3 , b2 , b1 }

i=1

Hasilnya : f1 = a1 x b1

j=1

f2 = a1 x b2 + a2 x b1
k=i+j-1
i = i + 1 C(k) = C(k) + a(i)*B2(j) j = j + 1

j = LB

f3 = a1 x b3 + a2 x b2 + a3 x b1 dst
fe = an x bm ; dengan e = n + m 1

i=i+1

Pengaplikasian konvolusi pada seismic adalah


untuk menghasilkan rekaman seismic atau
sintetik seismogram yang merupakan hasil

i = LA

WRITE C
STOP

konvolusi antara wavelet dan


refleksi.
Script Konvolusi di Fortran

koefisien

2
3
1

4
5
8

11
100
7
12
6

PROGRAM KONVOLUSI
dimension a(150), b(150), c(150)
write (*,'(6x,A,/)')'Program Konvolusi'
write(*,'(6x,A,/)')'Nuri Astuti'
print*, 'Jumlah data X'
read'(I7)',m
print*, 'Jumlah data Y'
read'(I7)', n
do 1 i=1, m
write (*,2)i
read(*,3)a(i)
format (2x,'Data X ke',I3,':')
format(F7.0)
continue
do 8 i=1,n
write(*,4)i
read(*,5)b(i)
format(2x,'Data Y ke',I3,':')
format(F7.0)
continue
lc=n+m-1
do 9 k=1,lc
c(k)=0.0
continue
do 100i=1,m
do 11j=n,1,-1
k=i+j-1
c(k)=c(k)+(a(i)*b(j))
continue
continue
format(3F7.0)
do 12 l=1,lc
write(*,6)l,c(l)
continue
format(2x,'Hasil Konvolusi ke-',I7,':',F7.2)
stop
end

Program
di
sampaing
dibuat agar pengguna bisa
menginput data yang akan
dikonvolusikan.
Sebagai
contoh
ketika
dirun
dimasukan
5
6
7
dikonvolusikan dengan 9 8
7, hasilnya adalah :

Gambar 2.
Hasil kovolusi

RICKER WAVELET
Wavelet adalah gelombang dasar
pembentuk sinyal. Secara matematika,
wavelet dapat diestimasikan dari proses
dekonvolusi, autokorelasi, determinan,
analitik (wavelet tiruan, contoh : ricker
wavelet)

Program Dalam Fortran


Misal dengan frekuensi 10 Hz
dimension r(500), ricker(500)
n = 50
pi = 3.14
f = 10
dt = 0.002
nn = n+(n-1)

Trace seismic berasal dari konvolusi


wavelet
dengan
stikogram
:
w(t)*r(t)=s(t). Sehingga wavelet, w(t) =
s(t) / r(t).
Ricker Wavelet adalah jenis wavelet
sintetik yang sering dipakai dalam
pemodelan seismic. Wavelet dibuat
simetri (zero phase) dan skala waktunya
dapat digeser - geser sehingga pusat
wavelet dapat mengindikasikan waktu
tiba walaupun tidak selalu benar. Rumus
wavelet zero phase dari ricker adalah :
2

fmt

dalam kawasan waktu f ( t )=(12 2 f 2m t 2 ) e


2

f /f m

dalam kawasan frekuensi F ( f )=(

2 f2
) e
f 2m

Script berikut adalah ricker wavelet

10

do 10 i=1,n
ex = (pi*f*(i-1)*dt)**2
r(i) = (1-2*ex)*exp(-ex)
continue

20

do 20 i=1,n
ricker(n+i) = r(i+1)
ricker(i) = r(n-i+1)
continue

100
30

do 30 i=1,n
write(6,100) ricker(i)
format(1x,f8.2)
continue

ProgramdoDalam
MATLAB
40 i=1,n-1
write(6,200) ricker(N+i)
%Ricker
Wavelet - Nuri
200
format(1x,f8.2)
f=30;
40
continue
dt=0.002;
stop
m=25; end
t=1:dt:5;
for i=1:m;
tr=(i-1)*dt;
kr=(1-2*pi^2*f^2*tr^2)*exp(pi^2*f^2*tr^2);
rk(m-i+1)=kr;
rk(m+i-1)=kr;
end;
figure;
plot(rk);
xlabel('Waktu (s)'),
ylabel('Amplitudo')
title('Ricker Wavelet')

Hasil program dalam MATLAB ketika di run akan menghasikan gambar ricker wavelet sebagai
berikut:

Gambar 3. Ricker Wavelet dengan f = 30 Hz

Gambar 4. Ricker Wavelet dengan f = 50 Hz

Gambar 5. Ricker Wavelet dengan f = 100 Hz

Dari ketiga variasi frekuensi tersebut dapat disimpulkan bahwa emakin besar frekuensi
maka ricker wavelet semakin sempit.

Flow Chart Ricker Wavelet

PEMODELAN DENSITY LOG DAN SONIC LOG

Dalam survei seismik, selain dilakukan survey seismic secara regional, juga dilakukan survei
sumur untuk mendapat data secara local. Contoh data sumur yang diperoleh adalah log densitas
dan log sonic. Data log densitas berupa pengukuran densitas dan porositas secara menerus yang
dipengaruhi oleh besaran-besaran fisis dan kondisi lubang bor. Sedangkan data log sonic sendiri
berupa waktu rambat gelombang di dalam batuan dinding lubang bor dengan interval jarak
tertentu. Log sonik cenderung memberikan hasil perhitungan porositas yang rendah yaitu
porositas matriks. Data log sonic sangat rentan terhadap perubahan lokal di sekitar lubang bor
seperti washout zone, perubahan litologiyang tiba-tiba, serta hanya mampu mengukur formasi
batuan sedalam 1-2 feet.
Script di bawah ini adalah program untuk membuat pemodelan data densitas, data sonic serta
koefisien refleksi dengan memanggil data masing-masing bagian berformat .txt.
%Model Densitas Log, Sonic Log,
dan Koefisien Refleksi
k= dlmread('densitas.txt')
dt=-0.002;
m=1603;
for i=1:m;
xr(i)=i*dt;;
end;
l= dlmread('sonic.txt')
n=1603;
for i=1:n;
xl(i)=0.002*i;
end;
m= dlmread('r.txt')
h=1602;
for i=1:h;
xk(i)=0.002*i;
end;
figure;
subplot(1,3,1);
plot(k,xr);
subplot (1,3,2);
plot(l,xl);
subplot(1,3,3)
plot(m,xk);

Densitas Log

3.5

Sonic Log

3.5

-0.5

-1

2.5

2.5

-1.5

-2

1.5

1.5

-2.5

-3

0.5

0.5

-3.5

2.5

0
50

100

150

Koefisien Refleksi

0
-0.1

Gambar 6. Pemodelan Log densitas, Log sonic dan


koefisien refleksi

MODEL KOEFISIEN REFLEKSI DAN SINTETIK SEISMOGRAM

0.1

Refleksi seismik terjadi ketika ada perubahan impedansi akustik sebagai fungsi dari kecepatan
dan densitas pada kedudukan sinar datang yang tegak lurus, yaitu ketika garis sinar mengenai
bidang refleksi pada sudut yang tegak lurus, persamaan dasar dari koefesien refleksi adalah;

dimana, i adalah densitas lapisan ke-i, Vi adalah kecepatan lapisan ke-i, dan Zi adalah
Impedansi Akustik ke-i. Dengan mengetahui harga reflektifitas suatu media, maka dapat
diperkirakan sifat fisik dari batuan bawah permukaan.
Seismogram sintetik merupakan hasil konvolusi antara deret koefisien refleksi dengan suatu
wavelet . Koefisien refleksi diperoleh dari perkalian antara kecepatan gelombang seismik dengan
densitas batuannya. Sedangkan wavelet diperoleh dengan melakukan pengekstrakan pada data
seismik dengan atau tanpa menggunakan data sumur dan juga dengan wavelet buatan.
Seismogram sintetik sangat penting karena merupakan sarana untuk mengidentifikasi horison
seismik yang sesuai dengan geologi bawah permukaan yang diketahui dalam suatu sumur
hidrokarbon (Munadi dan Pasaribu, 1984).
Pemodelan dengan Memanggil Data Koefisien Refleksi yang Sudah Ada
%Ricker Wavelet, Koefisisen Refleksi, Sintetik Seismogram
f=60;
dt=0.002;
m=25;
t=1:dt:5;
for i=1:m;
tr=(i-1)*dt;
kr=(1-2*pi^2*f^2*tr^2)*exp(-pi^2*f^2*tr^2);
rk(m-i+1)=kr;
rk(m+i-1)=kr;
end;
c= dlmread('r.txt')
h=1602;
for i=1:h;
xk(i)=0.002*i;
end;
d=conv(rk,c);
figure;
subplot(3,1,1);
title('Ricker Wavelet');
plot(rk);
subplot(3,1,2);
title('Koefisien Refleksi');
plot(xk,c);
subplot(3,1,3);
title('Sintetik Seismogram');
plot(d);

Ricker Wavelet

1
0
-1

10

15

20

25

30

35

40

45

50

Koefisien Refleksi

0.1
0
-0.1

0.5

1.5
2
2.5
Sintetik
Seismogram
Sinsetik
Seismogram

0.2

Gambar 7. model Ricker


Wavelet, Koefisien
Refleksi, dan Sintetik
Seismogram

3.5

0
-0.2

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

Pemodelan dengan Membuat Koefisien Refleksi


%Ricker Wavelet
f=60;
dt=0.002;
m=25;
t=1:dt:5;
for i=1:m;
tr=(i-1)*dt;
kr=(1-2*pi^2*f^2*tr^2)*exp(-pi^2*f^2*tr^2);
rk(m-i+1)=kr;
rk(m+i-1)=kr;
end;
%Koefisien Refleksi
n=200;
for i=1:200;
xr(i)=0.0;
end
xr(50)=1.5;
xr(80)=-0.75;
%Sintetik Seismogram
yr=conv(rk,xr);
figure;
subplot(3,1,1)
plot(rk);
title('Ricker Wavelet');
subplot(3,1,2)
plot(xr);
title('Koefisien Refleksi');
subplot(3,1,3);
plot(yr);
title('Sintetik Seismogram');

Gambar 8. model Ricker Wavelet,


Koefisien Refleksi, dan Sintetik
Seismogram

KOREKSI NMO
Koreksi Normal Move Out (NMO) dilakukan untuk menghilangkan efek jarak (offset) yang
digambarkan dengan pola hiperbola dalam suatu gather menjadi gather yang flat (datar).
Didalam melakukan koreksi NMO, pemilihan model kecepatan (Vrms maupun Vstack)
merupakan hal yang sangat penting untuk mendapatkan hasil yang baik dan selanjutnya untuk
stacking.Koreksi NMO akan menghasilkan efek stretching yait penurunan frekuensi gelombang
seismik.
Pembuatan Gather Trace Seismik dan Rickernya Sebelum Dikoreksi NMO Menggunakan
MATLAB
ph=importdata('DATA_SINTETIK_SEISMIK.TXT');
dx=0.0;
tt=0:0.002:2.0;
n=1000;
for i=1:23;
for j=1:n;
y(j)=ph(j,i);
end;
hold on;
axis ij;
subplot(1,2,1);
plot(y(1:n)+dx,tt(1:n),'magenta','LineWidth',1);
title('Trace Gather');
dx=dx+0.1;
end;
for j=1:n;
x(j)=0.0;
end;
for j=1:n;
for i=1:23;
x(j)=x(j)+ph(j,i);
end;
end;
hold on;
axis ij;
subplot(1,2,2);
plot (x(1:n),tt(1:n),'magenta','LineWidth',1);
title('Ricker Gather');

Program gather
dari 23 trace
dengan input data.
Waktu perekaman
0-2 detik setiap
0.002 detik

Ricker dari gather

Hasil dari pengeplotan data sebelum koreksi NMO :

Gambar 9. Plot data gather dan ricker


sebelum koreksi NMO

Proses Koreksi NMO dan Hasil Stacking Menggunakan MATLAB


dt=0.002;
v=1260;
dx=20;
dz=400;
t0=dz/v;
x=0.0;
for i=1:23;
t(i)=2*sqrt((x^2/v^2)+t0^2);
b(i)=fix((t(i)/dt)+0.5);
x=x+dx;
end
b0=fix((t0/dt)+0.5);
for i=1:23;
jx=b(i)-b0;
for j=1:500;
hp(j,i)=ph(jx+j,i);
end;
end;
n=500;
dx=0.0;
figure;
for i=1:23;
for j=1:n;
y(j)=hp(j,i);
end;
hold on;
axis ij;
subplot(1,2,1);
plot (y(1:n)+dx,tt(1:n),'magenta','linewidth',1);
title('Trace Seismik Setelah NMO');
dx=dx+0.1;
end;

Koreksi NMO dengan


kecepatan 1260 m/s.

for j=1:n;
x(j)=0.0;
end;
for j=1:n;
for i=1:23;
x(j)=x(j)+hp(j,i);
end;
end;
hold on;
axis ij;
subplot(1,2,2);
plot (x(1:n),tt(1:n),'magenta','linewidth',1);
title('Hasil Stacking');

Stacking

Hasil setelah dilakukan koreksi NMO :

Gambar 10. Plot trace seismik dan hasil stacking setelah koreksi NMO

Stacking berfungsi untuk menggabungkan semua hasil koreksi NMO agar menjadi suatu
wavelet.

PLOT DATA SINTETIK SEISMIK

data=importdata('DATA_SINTETIK_SEISMIK.TXT');
dt=0.002;
n=1000;
m=23;
dx=0.0;
t=0:dt:3.0;
for i=1:m
for j=1:n
y(j)=data(j,i);
end
hold on;
axis ij;
plot((y(1:n)+dx),t(1:n));
dx=dx+0.1;
end;

Sintetik Seismik

0
0.2
0.4
0.6

Time (s)

0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
-0.5

0.5

1.5

Gambar 11. Data sintetik seismik

2.5

PENCERMINAN IMPULS LOW PASS FILTER


Tanggap impuls dari suatu Low Pass Filter secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:

Hn =

Dimana

2 f

2 L
N

nL
N
nL
N

sin

sebagai frekuensi cutoff dan N

2 f

, dan

sebagai frekuensi Nyquist.


Pencerminan tanggap impuls dilakukan karena dalam penggunaan nantinya pencerminan ini
yang akan di konvolusikan dengan sinyal.
Script program impuls dari sebuah Low Past Filter pada matlab:
dt=0.001;
fl=40;
fn=1/(2*dt);
wl=2*3.14*fl;
wn=2*3.14*fn;
w0=wl/wn;
w(1)=2*(wl/wn);
n=128;
for i=2:n;
w(i)=2*(wl/wn)*(sin((i-1)*3.14*(wl/wn))/((i-1)*3.14*(wl/wn)));
end;
for i=1:n;
h(i)=w(n-i+1);
h(n+i)=w(i);
end;
figure;
subplot (2,1,1);
plot(w);
title('Tanggap Impuls LPF');
subplot(2,1,2);
plot(h);
title('Tanggapan Impuls LPF Setelah Dicerminkan');

Gambar 12: Tanggap impuls Lowpass Filter

LOW PASS FILTER

Low Pass Filter digunakan untuk meneruskan sinyal berfrekuensi rendah dan meredam sinyal
berfrekuensi tinggi.

w1 =2 fc
w n =2 fn
w0 =

w1
wn

w(i)=

2w 0 (sin( w 0 n))
w 0n

fn

1
2dt

Berikut ini adalah script pemrosesan sinyal pada sebuah low pass filter :
dt=0.001;
fl=35; fn=1/(2*dt);
wl=2*3.14*fl; wn=2*3.14*fn;
w0=wl/wn; w(1)=2*(wl/wn); n=128;
for i=2:n;
w(i)=2*(wl/wn)*(sin((i-1)*3.14*(wl/wn))/((i-1)*3.14*(wl/wn)));
end;
for i=1:n;
h(i)=w(n-i+1);
h(n+i)=w(i);
end;
figure; %1
plot(h(1:256)); title('Tanggapan Impulse Filter');

pause;
%FFT
H = fft(h,256);
HH=abs(H); mx=max(HH);
PH = H.*conj(H)/256;
f = (1/(dt))/256*(0:255);
figure; %2
plot(f(1:64),PH(1:64)); title('Spektrum Amplitudo Filter');xlabel('frekuensi
(Hz)');ylabel('power');

%BODE PLOT
DB=20*log(HH/mx);
figure; %3
plot(f(1:25),DB(1:25)); title('Bode Plot Filter');xlabel('frekuensi
(Hz)');ylabel('power (dB)');

%INPUT
f1=5; f2=15; f3=25; f4=35; f5=50; f6=120; f7=130;
m = 256;
t=0:dt:2;
x= sin(2.*pi.*f1.*t)+sin(2.*pi.*f2.*t)+sin(2.*pi.*f3.*t)+sin(2.*pi.*f4.*t)
+sin(2.*pi.*f5.*t)+sin(2.*pi.*f6.*t)+sin(2.*pi.*f7.*t);
figure;%4
plot(t,x);title('Sinyal Masukan');xlabel('time (s)');ylabel('magnitudo');

%FFT SIGNAL
X=fft(x,m);
PX=X.*conj(X)/m;
figure; %5
plot(f(1:64),PX(1:64)); title('Spektrum Amplitudo Sinyal
Input');xlabel('frekuensi (Hz)');ylabel('power');

%KONVOLUSI SIGNAL-FILTER
y=conv(x,h);
figure %6
plot(y); axis([100 2100 -5 5]); title('Sinyal Output Hasil LPF');
%FFT HASIL FILTER
Y=fft(y,256);
PY=Y.*conj(Y)/256;
figure; %7
plot(f(1:32),PY(1:32)); title('Spektrum Amplitudo Hasil
LPF');xlabel('frekuensi (Hz)');ylabel('power');

Hasil :

Gambar 13. Tanggap impuls filter yang


sudah dicerminkan

Gambar 14. Spektrum Amplitudo


Filter. Diperoleh dari hasil fft
filter yang dicerminkan. Berikut
merupakan spectrum amplitude
dari lowpas filter. Frekuenci cut
off sebesar 35 Hz. Frekuensi cut
off adalah frekuensi dimana
amplitude turun sebesar 3 dB.

Gambar 15.Bode Plote Filter

Gambar 16. Sinyal masukkan


berupa jumlahan sinus dengan
frekuensi 5 Hz, 15 Hz, 25 Hz, 35
Hz, 50 Hz, 120 Hz, dan 130 Hz.
Pada sinyal masukkan ini akan
di hilangkan frekuensi tinggi.

Gambar 17. Spektrum amplitudo


sinyal masukan. Diperoleh dari
FFT sinyal masukkan.

Gambar 18. Hasil konvolusi sinyal


masukkan dengan tanggapan impulse
dari filter menghasilkan data yang
ujung-ujungnya terdapat efek
pengecilan sinyal. Hal ini karena
bentuk tanggapan impulse yang
semakin jauh semalin kecil menuju 0.
Sehingga diperlukan pemotongan.

Gambar 19. Hasil pemotongan

Gambar 20. Spektrum amplitudo hasil


LPF.Diperoleh dari hasil FFT dari
konvolusi. Dari proses filter, hasil
keluaran adalah frekuensi 5Hz, 15 Hz,
25 Hz dan 35 Hz. Frekuensi yang lebih
dari 35 Hz telah dihilangkan

TANGGAP IMPULS BANDPASS FILTER


Band pass filter adalah filter yang meloloskan frekuensi yang di inginkan. Sehingga ada 2
frekuensi cut off.
fn

1
2dt

wl=2 fl
wh=2 fh
wn=2 fn
w0=

(wh-wl)
wn

Secara matetmatis, tanggap impuls suatu Band Pass Filter dapat dirumuskan sebagai berikut:
w(i)=(

2
nwh
nwl
)((sin(
)-sin(
))
n
wn
wn

fl= frekuensi cut off batas bawah


fh= frekuensi cut off batas atas
Script program impuls Band Pass Filter pada matlab:
dt=0.001;
fl=15;
fh=50;
fN=1/(2*dt);
wl=2*pi*fl;
wh=2*pi*fh;
wN=2*pi*fN;
n=130;
% satu sisi
for i=1:n;
h(i)=((2*(i-1)*pi)^-1)*((sin((i-1)*pi*wh/wN))-(sin((i-1)*pi*wl/wN)));
end;
figure;
plot(h);title('Tanggapan Impuls 1 Sisi');
% dua sisi
for i=1:n;
hp(i)=h(n-i+1);
hp(n+i)=h(i);
end;
figure;
plot(hp);title('Tanggapan Impuls 2 Sisi');

Hasil :

Gambar 21. Tanggapan impuls


BPF 1 sisi

Gambar 22. Tanggapan impuls


BPF 2 sisi

Tanggapan impulse band pas filter berbeda dengan tanggapan impulse low pass filter. Hal ini
dikarenakan pada tanggapan impulse band pass filter, amplitude yang tinggi dan yang paling
rendah berharga sama. Sehingga pelemahan sinyal berlangsung lebih lama (karena ada 2
frekuensi cut off yang akan digunakan).

REKAM DATA DAN MEMBUAT SUBPROGRAM PADA FORTRAN


C
C

C
20
100

10

30

Data

RICKER WAVELET
===============
DIMENSION R1(100),R2(100),R3(100),R4(100)
CHARACTER(LEN=50)::NMFL
NMFL='D:\Data Kuliah\Semester 5\MAG\DATA_RICKER.TXT'
OPEN(UNIT=2,FILE=NMFL)
N=55
F1=20
F2=40
F3=50
F4=60
DT=0.002
CALL RICKER(F1,N,DT,R1)
CALL RICKER(F2,N,DT,R2)
CALL RICKER(F3,N,DT,R3)
CALL RICKER(F4,N,DT,R4)
MEREKAM KE HARDDISK
DO 20 I=1,N
WRITE(2,100)I,R1(I),R2(I),R3(I),R4(I)
CONTINUE
PAUSE
FORMAT(I3,5X,4F10.2)
STOP
END
SUBROUTINE RICKER(F,N,DT,R)
DIMENSION RICK(100),R(100)
PHI=3.14
N1=(N+1)/2
DO 10 I=1,N1
B=(PHI*F*(I-1)*DT)**2
RICK(I)=(1-2*B)*EXP(-B)
CONTINUE
DO 30 I=1,N1
R(N1+I)=RICK(I)
R(I)=RICK(N1-I+1)
CONTINUE
RETURN
END

secara

otomatis

tersimpan

5\MAG\DATA_RICKER.TXT

didalam

local

disk

D:\Data

Kuliah\Semester

Anda mungkin juga menyukai