Anda di halaman 1dari 30

ASPEK BIOMOLEKULER KOLESTASIS INTRAHEPATIK PADA

BAYI DAN ANAK

Zulia Ahmad B

PROGRAM PASCA SARJANA BIOMEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2012
Kolestasis intrahepatik pada bayi dan Anak

Pendahuluan
Kolestasis pada bayi secara fisiologis didefinisikan sebagai
hambatan sekresi dan atau aliran empedu yang biasanya terjadi
dalam

bulan

pertama

kehidupan.

Akibatnya

akan

terjadi

akumulasi, retensi serta regurgitasi bahan- bahan yang harus


disekresikan oleh empedu seperti belirubin, asam empedu, serta
kolesterol kedalam plasma dan pada pemeriksaan histopatologik
akan terlihat penumpukan empedu dalam sel hati dan sistem bilier.
Penumpukan tersebut akan merusak sel hati dengan berbagi
tingkat gejala klinik yang mungkin terjadi serta pengaruhnya
terhadap organ sistemik lainnya tergantung dari lamanya kolestasis
berlangsung.1
Fisiologi pembentukan empedu
Empedu terbentuk terutama melalui sekresi zat terlarut dan
air daribaik hepatosit dan cholangiocytes. Di antara banyak fungsi
empedu dan alirannya adalah untuk memenuhi peran hati sebagai
organ ekskretoris, dengan titik akhirnya dengan pengiriman ke
lumen usus, atau pada akhirnya eliminasi di tinja. Pada umumnya,
zat beracun, obat, endobiotics, dan xenobiotik yang dimodifikasi
dan didetoksifikasi oleh hepatosit yang diekskresikan ke dalam
empedu untuk memberikan manfaat keseluruhan. Selain itu, peran
asam empedu adalah sebagai alat bantu utama untuk penyerapan
lemak rantai panjang dan vitamin larut lemak. Ini memiliki
relevansi khusus bagi gangguan pertumbuhan yang terlihat pada
anak kolestasis neonatal.2

Kekuatan pendorong utama untuk aliran empedu adalah


sekresi dan resirkulasi asam empedu. Asam empedu secara efisien
diambil dari sirkulasi portal melalui beberapa protein transporter
lokal, terutama asam empedu pengimpor Ntcp yang tergantungNa+ (Slc10a1), dan berbagai transporter anion organik. asam
empedu dengan cepat diangkut melintasi sitoplasma hepatosit,
terutama melalui mekanisme yang tidak diketahui, dan secara
efisien disekresi ke dalam canalicular lumen melalui transporter
adenosin trifosfat (ATP) yang dikenal sebagai pompa empedu
garam ekspor (BSEP, ABCB11). Hal tersebut adalah sekresi asam
empedu yang melawan gradien konsentrasi dan merupakan
tingkat akhir dari sekresi empedu. Seperti yang diharapkan, ketika
transporter ini di bermutasi, aliran asam empedu berkurang dan
asam empedu dipertahankan dalam hepatosit, yang mengarah ke
penyakit hati yang dikenal sebagai familial progresif intrahepatik
kolestasis 2 (PFIC2). 2
Zat terlarut utama lain dalam empedu, fosfolipid, kolesterol,
dan bilirubin terkonjugasi

juga disekresikan ke dalam empedu

melalui substrat-specifik ATP-binding cassette (ABC) transporter.


Fosfolipid

disekresikan

melalui

"flippase,"

protein

multidrug

resistensi 3 (MDR3; ABCB4) gen produk, yang, ketika bermutasi,


menyebabkan penyakit PFIC3. Kolesterol disekresikan melalui dua
setengah pengangkut yang dikombinasikan, ABCG5/G8, yang jika
setengah transporter gen bermutasi, mengarah ke penyakit
sitosterolemia dan mungkin juga penyakit hati. Akhirnya, bilirubin
terkonjugasi muncul untuk dibuang ke dalam empedu terutama
melalui multidrug resistensi yang berhubungan dengan protein 2
(MRP2) transporter multispecific (ABCC2), yang ketika bermutasi,
menyebabkan Dubin-Johnson syndrome. Penemuan-penemuan ini
dan tugas gen tertentu untuk fungsi spesifik transportasi empedu
telah menarik dan memperluas pemahaman tentang faktor-faktor

penentu

molekuler

pembentukan

empedu

tetapi

juga

menyebabkan pemahaman yang lebih tentang bagaimana prosesproses fisiologis dapat ditekan oleh mutasi atau perubahan dalam
ekspresi gen dan aktivitas protein. 2
Yang menarik secara klinis adalah perbedaan molekular
antara aliran empedu asam di hepatosit dan ekspor terkonjugasi
bilirubin, meskipun secara klinis keduanya umumnya dianggap
peristiwa terkait selama kolestasis. Tetapi karena kedua zat
diangkut oleh transporter berbeda dengan substrat yang berbeda
afinitas dan pengaturan, tentu ada situasi di mana seorang dapat
menjadi

kolestasis

dan

memiliki

terkonjungasi yang normal, dan


meningkat

adalah

penanda

bilirubin

aliran

ketika bilirubin

untuk

gangguan

bilirubin

terkonjugasi

ekspresi

MRP2

(misalnya, Dubin-Johnson syndrome) sementara aliran empedu


adalah normal.
Selain

aliran

dari

zat

terlarut,

pembentukan

empedu

tergantung pada liran ion di kedua hepatosit dan kolangiosit. Pada


manusia, hingga 40% pembentukan empedu berasal dari saluran
empedu, dan penentu utama dari aliran empedu adalah sekresi
klorida, yang terutama ditentukan oleh posisi apikal dari produk
gen CFTR di kolangiosit. Pada penyakit di mana pembangun saluran
empedu

terganggu, seperti dalam Alagille syndrome, kolestasis

merupakan gejala klinis yang umum. 2

Gambar 1. Peran transporter hati dalam pembentukan


empedu dan adaptasi terhadap kolestasis.
Di sebelah kiri merupakan representasi dari permukaan
sinusoidal dan di sebelah kanan adalah permukaan canalicular.
Penyakit

terkait dengan cacat pada gen transporter canalicular

dicatat dalam huruf miring. Perhatikan bahwa asam empedu


memiliki

beberapa

sarana

transportasi

melintasi

membran

sinusoidal, baik masuk ataupun keluar, sedangkan hanya ada salah


satu canalicular transporter asam empedu, BSEP.

Transporter ini

memungkinkan untuk fine-tuning dari konsentrasi asam empedu


intraseluler untuk beradaptasi dengan berbagai kondisi kolestasis.
Prinsipnya berarti untuk aliran
dicatat

dengan

cotransporting

garis

asam empedu di hepatosit yang

putus-putus.

NTCP,

polypeptide;OATP,organic

polypeptide;OST,organic

solute

Na+/taurocholate
acid

transporting

transporter;MRP,multidrug

resistancerelated protein; FIC1, familial intrahepatic cholestasis 1;


BSEP, bile salt export pump; MDR, multidrug resistance protein.
Official

gene

designations:

FIC1

(ABCB11),MDR3(ABCB4), and MRP2 (ABCC2). 2

(ATP8B1),

BSEP

Prinsip umum kolestasis dan adaptasi sel hati


Definisi kolestasis sebagai penyumbatan atau kerusakan
parah dalam aliran empedu adalah benar dalam beberapa kondisi
penyakit yang mempengaruhi saluran dari hati (misalnya, atresia
bilier, common bile dust obstruction), namun

dengan penemuan

yang lebih canggih dan pemahaman terbaru tentang genetik


pembentukan empedu, jelas bahwa kolestasis dapat terjadi tanpa
obstruksi duktus dan dapat terjadi sebagai adanya penurunan
dalam fungsi protein yang diperlukan untuk pembentukan empedu.
Empedu terdiri dari berbagai substansi, tetapi zat terlarut utama
(garam, asam empedu, fosfolipid, kolesterol, bilirubin) masingmasingnya memiliki cara tertentu untuk menjadi bagian dari
empedu, terutama melalui substrat spesifik canalicular transporter.
Komponen utama dari empedu adalah asam empedu, dan itu
adalah fluks / resirkulasi asam empedu yang merupakan pendorong
utama

dalam

hepatosit

pembentukan

yang

bertanggung

terpolarisasi,

jawab

untuk

empedu.
adalah

sintesis

Hati,

dan

jaringan

dan

khususnya

utama

yang

pengangkutan

asam

empedu dan dengan demikian kemungkinan besar rusak oleh


retensi asam ketika terjadi sumbatan aliran empedu. Konsentrasi
asam empedu di sirkulasi perifer umumnya kurang dari 10 umol / L,
sedangkan pada darah portal mereka bervariasi dari yang terendah
dari 10-20mol / L antara waktu makan dan naik menjadi
100mol /. Dengan demikian konsentrasi tertinggi asam empedu
ada dalam lumen canalicular, dan itu adalah retensi asam empedu
intraseluler yang muncul yang paling penting pada penyakit yang
berhubungan dengan konsekuensi produksi dari kolestasis dan
merupakan fokus adaptasi. Jika aliran empedu

terhambat baik

pada bagian hilir (Misalnya, sindrom Alagille terkait kurangnya


saluran empedu atau pada atresia bilier) atau tepat pada membran

canalicular (misalnya PFIC2), konsentrasi empedu asam akan


meningkat dalam hepatosit. Asam empedu adalah deterjen dan
sinyal molekul, yang ketika ditahan dalam hepatosit, menyebabkan
perubahan komposisi membran dan fungsi, gangguan dari organel
subselular, dan perubahan jalur sinyal sel dan ekspresi gen.
Beberapa perubahan ini mengarah pada upaya adaptasi dengan
mengurangi baik racun atau konsentrasi asam empedu
sitokrom

P450

sinusoidal.

berdasarkan

Retensi

menyebabkan

pada

mekanisme

berkepanjangan

aktivasi

sel

oleh

atau

ekspor

asam

empedu

akan

sel

stellata,

and

Kupfer,

myofibroblasts,yang menyebabkan peningkatan ekspresi sitokin


dan pembentukan fibrosis. Dengan demikian, efek keseluruhan
kolestasis bahkan mungkin yang jangka panjang, dapat dianggap
berasal dari pengaruh retensi asam empedu. 2
Selama beberapa tahun terakhir, banyak yang telah mengerti
tentang bagaimana hepatosit merespon dan menyesuaikan dengan
retensi

asam

empedu

.tapi

sedikit

yang

diketahui

tentang

kolangiosit. Hepatosit ini siap untuk menanggapi retensi asam


empedu

dengan

pendekatan

yang

terkoordinasi

yang

memperlakukan asam empedu yang dipertahankan sebagai zat


berbahaya,

senyawa

transkripsi(terutama

asing.

reseptor

posttranscriptional,terlibat

Beberapa
nuklir

dalam

[NR]

hepatosit,

proses,

baik

dimediasi)

dan

dengan

konsep

keseluruhan adalah untuk mengurangi konsentrasi impor dan


sintesis asam empedu, untuk mengurangi toksisitas dengan
hidroksilasi dan konjugasi, dan untuk meningkatkan ekspor dengan
sinusoidal - dan pada tingkat lebih rendah, dengan canalicular penghabisan. Pada tingkat transkripsi, asam empedu adalah
aktivator minimal tiga anggota dari superfamili NR, farnesoid X
reseptor

(FXR),

konstitutif

androstane

reseptor

(CAR),

dan

pregnane X reseptor (PXR), dan ketiga regulator gen berfungsi

utama sebagai serana untuk mempengaruhi pemrograman ulang


transkripsional hepatosit pada kolestasis. Rekayasa genetika pada
tikus dengan mutasi pada salah satu gen pada dasarnya normal,
kecuali bila terkena kondisi kolestasis. Dengan kolestasis, tikus
tanpa atau lebih dari ketiga gen ini dengan cepat mengembangkan
apoptosis dan nekrosis hepatosit, semua tampaknya disebabkan
oleh ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan retensi asam
empedu. 2
Mekanisme genetik pada kolestasis dan perkembangan
pembentukan empedu
Ada beberapa mekanisme genetik yang mengarah pada
kolestasis,

kebanyakan

melibatkan

mutasi

pada

transporter

hepatobiliary gen atau pembentukan / struktur dari saluran


empedu). Gangguan kemampuan empedu untuk mengangkut zat
penting di membran canalicular hepatosit mengarah pada retensi
yang terjadi di dalam hepatosit (misalnya, PFIC2, asam empedu)
atau kekurangan suatu zat di dalam lumen empedu (misalnya,
PFIC3, fosfolipid), menyebabkan kerusakan pada hepatosit atau
cholangiocytes yang disebabkan oleh asam empedu. Namun,
mengapa mutasi pada produk gen tertentu dapat menyebabkan
penyakit tidak selalu jelas. 2
Mekanisme dari terjadinya kolestasis
Ditambahkan

untuk dari pada defek satu gen yang

yang

dapat menyebabkan kolestasis, umumnya lebih yang multifaktorial,


atau struktural, merupakan hal utama dalam terjadinya kolestasis.
Hal ini, drug-induced, nutrisi parenteral total (TPN), atau sepsis /
inflammation-induced sekarang dianggap memiliki hubungan dasar
dengan terjadinya kolestasis. 2
Kolestasis yang dihubungkan dengan sepsis

Osler

merupakan

salah

satu

yang

pertama

untuk

menggambarkan hubungan infeksi nonhepatitic yang mengarah ke


gangguan fungsional dalam aliran empedu - "toxmic jaundice."
Telah diketahui,tapi kurang dipahami, bahwa kolestasis tersebut
tidak disebabkan oleh kerusakan atau penghancuran hepatosit
tetapi lebih pada penurunan fungsional baik dari produk bakteri
(misalnya, endotoksin) atau peradangan yang disebabkan sitokin.
Bayi, khususnya

lebih rentan terhadap efek sepsis pada aliran

empedu, mungkin karena ketidakmatangan pembentukan empedu


atau mekanisme adaptif. Pengaruh endotoksin (Lipopolisakarida
bakteri dari bakteri gram negatif)
hewan

coba

menyebabkan

berkelanjutan

dalam

aliran

hampir pada semua model

penurunan
empedu.

yang

Efek

ini

cepat

dan

tampaknya

disebabkan oleh pelepasan endotoksin diinduksi sitokin dari


makrofag hati, sel Kupfer, yang pada akhirnya bertindak pada
reseptor dalam membran sinusoidal hepatosit tetangga yang
menyebabkan

perubahan

sinyal

sel

yang

mengarah

pada

berkurangnya pembentukan empedu. Hal ini juga mungkin karena


endotoksin dapat bertindak secara langsung pada hepatosit dan
kolangiosit, karena sel-sel ini memiliki permukaan sel reseptor
untuk endotoksin dan produk mikroba lainnya. Selain itu, hati
adalah aktor utama terhadap infeksi dan cedera - respon fase akut
(APR). APR hati adalah transkripsi terkoordinasi pemrograman
ulang

dan

memulihkan

prioritas

fungsi

homeostasis

hati

dan

sebagai

membantu

substansi

dalam

perbaikan

cedera

daninfeksi ke pada tubuh. Ketika yang diaktifkan oleh mediator


peradangan seperti endotoksin, hati mengubah ekspresi gen
untuk meningkatkan sekresi berbagai zat dan enzim untuk
mengembalikan

homeostasis

(misalnya

protease

inhibitor),

melawan infeksi (misalnya, complement, C-reaktif peptida), dan


dirct asam amino serta

lipid ke perifer, semua dikoordinasikan

secara intraseluler melalui kompleks dan jalur sinyal sel yang

saling tumpang tindih yang diprakarsai oleh endotoksin dan sitokin


seperti tumor necrosis factor (TNF)-, interleukin (IL)-1, dan IL-6.
sitokin yang sama yang mengaktifkan ekspresi zat yang keluar dari
hati selama APR juga terlibat dalam penekanan fungsi dan ekspresi
transporter hepatobiliary.
Ketika terpapar lipopolisakarida (LPS), aliran empedu secara
cepat dan akan sangat dikurangi melalui kombinasi molekul target
pada jalur sinyal sel membran yang ada di transporter protein,
begitu juga dalam inti, yang di kontrol transkripsi gen transporter.
Dalam 15-60 menit setelah terpapar LPS, membran yang terdapat
baik pada protein BSEP dan MRP2 secara signifikan berkurang,
rupanya

dikarenakan

oleh

degradasi

dan

perpindahan

dari

membran canalicular ke submembran vesikula. Beberapa efek


pada protein FIC1, dan MDR3 telah terlihat pada beberapa
percobaan dan model manusia. Dalam jangka menengah hingga
jangka panjang, LPS dan LPS diinduksi sitokin, terutama diaktifkan
oleh

mitogen-activated protein kinase (MAPK), mengarah pada

perubahan aktivitas regulator gen beberapa pengangkut, yaitu


mereka yang diaktifkan oleh anggota keluarga gen NR. 2
Kolestasis dipicu oleh obat
Telah diketahui bahwa banyak obat dapat menyebabkan
kerusakan parenkim sel hati (misalnya asetaminofen), sedangkan
beberapa obat dapat mengganggu mekanisme dasar pembentukan
empedu. Kolestasis

akibat obat

hepatotoksik dapat melibatkan

berbagai mekanisme, termasuk toksisitas terhadap kolangiosit


langsung

dan

nekrosis,

gangguan

dalam

transportasi

asam

empedu, dan pengentalan sekresi empedu. Contoh yang terakhir


termasuk

konsentrasi

supersaturating

agen

tertentu

didalam

empedu, terutama yang memiliki penetrasi bilier yang tinggi,

seperti sefalosporin, yang dapat menyebabkan pembentukan batu


dan kolestasis obstruktif, (misalnya, seftriakson). 2
Bayi dan anak kecil memiliki jalur detoksifikasi yang sedikit
dibandingkan anak-anak yang lebih besar dan orang dewasa, hal
ini menunjukkan bahwa ada meningkatnya kerentanan terhadap
kolestasis yang di picu oleh obat. Meningkatnya kerentatnan ini
tidak

sepenuhnya

dipahami

tetapi

tampaknya

melibatkan

perkembangan kemampuan detoksifikasi dan gen transportasi,


pelindung imatur terhadap apoptosis / nekrosis, dan peran yang
berubah inflamasi tanggapan terhadap jaringan rusak. 2
Proses adaptasi terhadap kolestasis
Hepatosit yang beradaptasi dengan kolestasis melibatkan
secara luas perlindung di membran, di sitoplasma, dan oleh
pemrograman

ulang

dari

transkripsi

dalam

nukleus.

Selain

perubahan dalam hepatosit, komunikasi antar sel , tanggapan


kekebalan terhadap terinfeksi atau kerusakan sel, dengan kapasitas
endogen hati untuk regenerasi, merupakan komponen tambahan
untuk respon hati terhadap kolestasis. Selama beberapa tahun
terakhir, telah jelas bahwa koordinasi dalam menanggapi kolestasis
adalah multilapisan, terintegratif, dan cukup kompleks tapi pada
prakteknya, mungkin dapat digunakan untuk intervensi terapeutik.
2

Secara umum, lokasi utama yang mempengaruhi respon


terhadap kolestasis berada dalam hepatosit, mungkin karena peran
sel ini dalam menangani asam empedu, yang bisa tiba-tiba sangat
meningkat dalam konsentrasi intraseluler dengan segala bentuk
kolestasis. Mengurangi toksisitas dari retensi asam empedu dalam
hepatosit adalah tujuan utama dari respon hepatosit yang untuk
kolestasis. Ketika konsentrasi asam empedu meningkat dalam sel,

10

ada efek mendalam pada sinyal sel dan integritas membran dan
struktur subselular. Sebagai bahan pembersih, asam empedu,
mempengaruhi fluiditas membran dan struktur protein, sedangkan
sebagai sinyal molekul sel, asam empedu mempengaruhi jalur
kinase, memulai apoptosis, dan mengubah ekspresi gen, antara
lain kritis fungsi sel. Selama beberapa tahun terakhir, komponen
penting dari respon hepatosit untuk retensi asam empedu adalah
dikoordinasikan untuk mengurangi impor sinusoidal dan sintesis,
meningkatkan ekspor canalicular, dan engage jalur sitokrom P450
berbasis xenobiotik metabolisme (hidroksilasi dan konjugasi) untuk
mengurangi konsentrasi intraseluler dan toksisitas. Selain itu, bukti
terbaru menunjukkan bahwa setidaknya dua sinusoidal transporter
diaktifkan untuk mengekspor asam empedu yang disimpan di
membran

sinusoidal.

Respon

ini

pada

asam

empedu

yang

berlebihan, secara umum, terkait dengan asam empedu yang


bertindak sebagai regulator gen - sebagai ligan untuk beberapa NR
(terutama CAR, FXR, dan PXR), yang kemudian bertindak sebagai
transkripsi aktivator untuk gen target yang proteinnya berfungsi
untuk efek perubahan yang dijelaskan sebelumnya. Hal ini suatu
perkembangan

penelitian

yang

menunjukkan

bahwa

secara

keseluruhan hepatosit memiliki adaptif respon untuk menangani


kolestasis dan bahwa jalur mungkin ini dapat digunakan untuk
terapi farmakologis2

11

Gambar. Ikhtisar dari respon adaptif inti dari hepatosit pada


keadaan retensi asam empedu.
Keadaan dalam hepatosit ini melibatkan beberapa proses
untuk mengurangi retensi asam empedu intraseluler. Selain itu
ditunjukkan di sini, ada efek langsung pada jalur metabolisme
setempat

dan

transporter

serta

protein.

Proses

keseluruhan

fungsional melibatkan pengurangan pemasukan sinusoidal dan


sintesis, keterlibatan sitokrom P450-dimediasi hidroksilasi dan jalur
konjugasi untuk detoksifikasi, dan meningkatkan pengeluaran
canalicular.

Ditunjukkan

beberapa

gen

target

dan

anggota

superfamili NR yang di aktivasioleh ligan (misalnya, asam empedu


untuk FXR) menyebabkan perubahan adaptif dalam ekspresi gen.
Ditunjukkan pengaturan yang relevan pada daerah promoter yang,
meskipun daftar gen target dan regulator transkripsi jauh lebih
luas. Singkatan untuk keluarga NR: RXR, retinoid X receptor; RAR,
retinoic acid receptor; FXR, farnesoidXreceptor; CAR, constitutive

12

androstane receptor; PXR, pregnane X receptor; LXR, liver X


receptor; SHP, small heterodimer partner.

Kolestasis Intrahepatik Akibat Infeksi TORCH


1. Toksoplasmosis
Patogenesis
Pada infeksi toksoplasma di hati, hati terlihat membengkak
dengan lesi fokal berwarna putih tersebar di seluruh hati. Secara
mikroskopis, ditemukan nekrosis fokal multiple dan infiltrasi sel
mononuclear di sel hepar. Takizoit akan masuk ke dalam
sitoplasma sel hepatosit, sehingga sel mengalami degenerasi.3
2. Cytomegalovirus
Patogenesis
Infeksi CMV dapat menyebabkan destruksi duktus bilier dan
paucity,

namun

belum

diketahui

bagaimana

CMV

dapat

menyebabkan terjadinta atresia bilier. CMV dapat bereplikasi


baik di hepatosit maupun di kolangiosit. Antigen CMV dapat
ditemukan pada biopsy hati dari pasien, dan merupakan
penyebab terjadinya gangguan proses kolestasis.4

Kolestasis Intrahepatik Akibat Galaktosemia


Kolestasis

intrahepatal

pada

anak

dan bayi

karena

adanya

gangguan metabolisme karbohidrat, salah satunya galaktosemia.5


Galaktosemia merupakan suatu keadaan dimana tubuh tidak
mampu

untuk

memecah

galaktosa

menjadi

glukosa.

Dalam

keadaan normal, galaktosa yang didapat dari makanan akan


dipecah menjadi molekul yang lebih kecil yaitu glukosa oleh enzim
yang dikenal sebagai galaktosa-1-fosfat uridil transferase (GALT).6

13

Ada

tiga

galaktosemia

tipe

klasik,

galaktosemia
defisiensi

yang

diketahui

galaktokinase

dan

yaitu

defisiensi

galaktose epimerase. Tipe yang dapat menyebabkan kolestasis


intrahepatik adalah galaktosemia klasik atau disebut juga dengan
Defisiensi Galaktosa-1-fosfat Uridil transferase dan merupakan
kelainan resesif autosomal.6,7
Defisiensi

Galaktosa-1-fosfat

uridil

transferase

(GALT

deficiency) merupakan defek metabolism galaktosa yang paling


sering ditemukan, dan pertama kali dikenalkan pada tahun 1917
oleh Goppert. Prevalensi defisiensi GALT ini bervariasi pada
berbagai populasi, diperkirakan 1 diantara 32.000 sampai 62.000
populasi.8
Patologi
Gen yang berhubungan dengan defisiensi GALT terletak pada 9p13.
Terdapat banyak mutasi (beberapa berhubungan dengan varian
tertentu): varian yang paling sering berhubungan dengan GALT
deficiency adalah pada ras Kaukasia, yang berhubungan dengan
galaktosemia tipe klasik, terutama pada varian Q188R. Varian lain
yang lebih ringan ditemukan pada populasi kulit hitam, yang
berhubungan dengan mutasi S135L.8

14

15

Metabolisme galaktosa
Keterangan:
1.
2.
3.
4.

Galaktokinase
Galaktosa-1-fosfat uridil transferase
UDP galaktosa 4-epimerase
UDP glukosa pirofosforilase

Galaktosa-1-fosfat Uridil Transferase merubah galaktosa-1fosfat menjadi glukosa-1- fosfat, jika terjadi defisiensi maka akan
terjadi penumpukan galaktosa-1-fosfat yang bersifat hepatotoksik
sehingga

terbentuk

hepatosit-hepatosit

psedoasinger.

Selain

kolestasis dan steatosis, maka jaringan parut yang terbentuk akan


merusak arsitektur lobulus hati.7
Sindrom metabolisme akut terjadi akibat pengambilan fosfat
anorganik sebagai galaktosa-1-fosfat sehingga terjadi defisiensi
energi seluler akibat hilangnya atau tidak mencukupinya ATP,
diperkirakan sama dengan pemberian fruktosa pada pasien dengan
intoleransi fruktosa herediter. Galaktosa-1-fosfat juga menghambat
enzim yang berhubungan dengan metabolisme glukosa. Akibatnya
dapat terjadi kerusakan akut yang menyebabkan kerusakan hati,
hemolisis, asidosis laktat dan asidosis renal tubular, proteinuria,
dan aminoasiduria.8

16

Pengobatan
Apabila gejala klinis mengarah kepada galaktosemia, maka
pemberian susu yang mengandung galaktosa dihentikan, diganti
dengan

pemberian

infus

glukosa

sampai

dibuktikan

adanya

aktivitas enzim galaktosa-1-fosfat uridil transferase.8


Pengobatan pada galaktosemia adalah restriksi makanan
yang mengandung galaktosa, yang artinya pada bayi harus
dilakukan penggantian makanan dari air susu ibu (ASI) menjadi
susu formula, terutama susu formula yang bebas galaktosa.
Eliminasi galaktosa akan menyebabkan hilangnya galaktosa dalam
sel eritrosit dan eksresi metabolit di urin berupa galaktitol dan
galactinat dalam beberapa hari. Bagaimanapun, kadar galaktosa-1fosfat dalam sel eritrosit akan tetap tinggi, namun kadang-kadang
akan berkurang. Kadar galaktosa-1-fosfat ini tidak akan pernah
mencapai nilai normal.8
Eliminasi

galaktosa

dalam

makanan

akan

memperbaiki

keadaan umum pasien, dan dapat mencegah terjadinya episode


akut ulangan berikutnya. Cara ini akan memperbaiki disfungsi
ginjal dan hati, dan mencegah timbulnya katarak. Namum, diet ini
menimbulkan komplikasi jangka panjang berupa retardasi mental
dan disfungsi ovarium pada wanita. Selain itu, dapat terjadi
gangguan pertumbuhan, keterlambatan bicara.8

17

Kolestatik Intrahepatik Karena Gangguan Metabolik


a. Defisiensi antitripsin
Alpha-1-antitripsin

(AAT)

merupakan

enzim

penghambat

protease yang mengontrol aktivitas proteolitik dari netrofil elastase


yang menghidrolisis struktur protein. Serine protease inhibitor (P1),
yang dikenal sebagai serpins, memainkan peranan pada koagulasi
proteolisis,

fibrinolisis,

dan

inflamasi

dengan

menghambat

pemecahan enzim netrofil protease dan elastase.9


Gen AAT merupakan kopian rantai tunggal 12-kb pada
kromoson 14 dan diketahui memiliki sejumlah varian, termasuk tipe
M normal. Lebih kurang 2% dari neonatus memiliki alel AAT yang
mengandung defisiensi gen AAT tipe Z, sebuah varian berhubungan
dengan pengurangan serum anti tripsin. Bentuk klinis lainnya yang
berhubungan dengan varian seperti tipe S dan tipe NULL telah
dihubungkan dengan rendahnya kadar anti tripsin serum. Meskipun
demikian hanya homozigote dari defek Pi ZZ sebagai penyebab
penyakit hepatoseluler onset dini. Pi Zz Homozigote adalah
ganguan autosomal resesif yang terjadi 1 dari 200 kelahiran hidup.
Analisis terfokus isoelektrik telah digunakan untuk mendeteksi
derajat variasi migrasi AAT untuk klaisifikasi. 10
Varian normal M bermigrasi menjadi tengah (M0) sementara
varian abnormal A-L bermigrasi lebih cepat dan varian N-Z
bermigrasi lebih lambat. Gen AAT Z dibedakan dari gen normal M
oleh perubahan tunggal basa guanin menjadi adenin dalam kodon
GAG pada glutamin dan memodifikasi sisanya menjadi glisin.
Mutasi abnormal dari AAT -Z

ditahan di dalam retikulum

endoplasma (ER) dari sel hepatosit dengan akumulasi interseluler


yang konsekuen dan penurunan 80-85% kadar AAT dalam serum.
Kebanyakan dari AAT yang ditahan didegradasi tetapi agregat
pengingat berubah menjadi penggabungan interseluler yang tidak
larut air dari kesalahan lipatan dari protein AAT yang tidak bisa
ditrasfer oleh jalur sekresi. Walaupun mekanisme tepatnya belum

18

diketahui.

Penggabungan

ini

dihubungkan

dengan

kerusakan

hepatosit

hanya

17

dengan

antitripsin

sekitar

neonatus

homozigot ZZ mengakibatkan penyakit hati yang significan secara


klinis pada janin. Defisiensi AAT ini bagaimanpun merupakan
penyebab genetik dengan frekuensi terbanyak dari penyakit hati
pada anak, dan penyebab genetik paling sering pada anak dengan
tranplantasi hati. Ini telah menjadi tujuan panambahan ciri genetik
yang mungkin tercatat sebagai akumulasi dari mutant AAT dan
kemudian gampang menjadi penyakit hati. Pada studi tranduksi
seluler di perkirakan ada keterlambatan penanda pada pemecahan
mutant AAT setelah akumulasi pada fibroblas dari ZZ pasien yang
memiliki gangguan hati di bandingkan dengan tanpa gangguan
hati. Penelitian belakangan ini menduga adanya keterlibatan yang
nyata dari aktivitas ptoteosom sitoplasmik pada proses degradasi
ini. Ini tidak berarti bahwa gen imunoregulatori memainkan
peranan pada patogenesis kehancuran AAT hati.10,11
b. Fibrosis kistik
Fibrosis kistik adalah gangguan transport elektrolit di epitel
diketahui melalui peningkatan kadar klorida keringat. Patofisiologi
dari fibrosis kistik adalah adanya transpor elektrolit pada jaringan
epitelial.

Telah

dapat

diidentifikasi

dan

dikloning

gen

dari

kromosom 7 yang mengkode regulasi konduksi antar membran


(CFTR). Telah di buktikan CFTR tidak hanya merupakan substrat
dari aktivasi posporilasi pada clorida channel tapi juga regulasi
siklus AMP sebenarnya pada clorida chanel. fibrosis kistik juga erat
kaitannya dengan mutasi gen CFTR yang banyak terjadi pada delta
F508 (perubahan dari deplesi 3 basa amino penilalanin 508).
Mutasi F508 terjadi pada lebih dari 90% pasien dengan fibrisis
kistik

di

amerika.

Mekanismeny

melalui

pengurangan

atau

ketidakmunculan dari sintesa CFTR, gangguan maturasi protein,


degradasi prematur, gangguan fungsi regulasi CFTR, gangguan
konduksi klorida, peningkatan pembelahan CFTR.11
c. Tirosinemia

19

Herediter tirosinemia (HT), gangguan metabolisme asam amino


disebabkan oleh defisiensi enzim fumarylacetoasetat (FAH) yang
merupakan ensim terakhir pada jalur pemecahan tirosin. Penyakit
ini sangat umum ditemukan pada neonatus di kanada dan prancis,
dan faktanya, 1 dari 1.846 kelahiran baru telah di temukan pada
daerah ini. Telah ditemukan mutasi penggabungan pada semua
neonatus dari area Saguenay dan 28% pada pasien dari daerah lain
di dunia. Terjadi penggabungan guanin menjadi adenin pada gen
sekuen. Peneliti yang lain melaporkan gen human FAH, adalah
panjang 35kb dan di bagi menjadi 14 ekson dengan mutasi
nukleotida

guanin

manjadi

timidin,

dan

perubahan

triptofan

menjadi kodon terminasi. Ekspresi dari FAH pada hati pasien


dengan herediter tirosinemia telah di analisis sampai tingkat
molekuler

termasuk

m-RNA

dan

aktivitas

enzimatik

yang

mengakibat variasi fenotip. Banyak mutasi pada gen FAH telah


dijelaskan pada bayi dengan tirosinemia. Ada banyak ekspresi FAH
pada tingkat mRNA, enzimatik dan aktivitas protein di hati.12
Pengguanaan derivat pestisida, NTBC atau nitisinose
merupakan
menggangu

terapi

farmokologi

metabolisme

pertama

tirosin

melalui

pada

HT.

inhibisi

Zat

ini

dari

4-

hyroxyphenylpyruvate dioxygenase, mencegah pembentukan dan


akumulasi dari suksinil aseton dan suksinil asetaasetat. Pada awal
percobaan klinis pasien diberikan nitisinon dosis oral (yang
selanjutnya

dikenal

sebagai

NTBC)

dengan

dosis

0,1-0,6

mg/kgBB/hari. jumlah serum suksinil aseton menurun secara cepat


batas yang tak dapt dideteksi dan meningkatkan gejala klinis
umum. Setalah pengobatan terdapat peningkatan fungsi hari dan
penurunan serum fetoprotein.10,11
d. Gangguan metabolisme bawaan asam empedu
Dikenal sebagai kolestasis dan kerusakan

hati,

dapat

disebabkan oleh kegagalan sejumlah sintesa asam empedu, garam


empedu dan chenodioxycolicacid. Beberapa kerusakan yang khas
telah di identifikasi dan telah di laporkan 2% dari sindrom

20

kolestasis persisten pada bayi. Gajal klinis yang muncul bisa


dengan kerusakan hati pada awalnya sampai terjadi giant sel
hepatitis ataupun gangguan penyimpanan besi. Ini penting bagi
ahli

anak

untuk

mendiagnosis

dini

karena

penatalaksanaan

menngkatkan prognosis.
Jalur sintesa asam empedu merupakan suatu langkah yang
komplek,

perubahan

chebodioksicholic.

kolesterol

Banyak

menjadi

enzim

yang

garam
wajib

empedu
pada

dan

katalisis

biosintesis dan jika kurang akan mengakibatkan penumpukan dari


asam empedu yang bersifatt toksik. Defisiensi enzim yang paling
banyak

diketahui

adalah

steroiddehidrogenase/isomerase
kerusakan

pada

hati

mulai

(3HSD).
dari

hidroksi-c27

Yang

hepatitis

mengakibatkan

fulminan

sampai

kerusakan hati yang ringan. Defisiensi 3HSD mengakibatkan


akumulasi di dan tri-hydroxy--5-cholenoic acid. Mekanisme toksik
hepatosit masih belum diketahui. Manifestasi klinis biasanya
muncul pada masa neonatus dan mencakup bilirubin terkunjugasi,
Peningkatan transaminase serum dan gangguan absorbsi
Walaupun kemungkinaan penyakit ini jarang, insidennya
belum diketahui. Lebih penting lagi terapi asam empedu telah
berhasil pada kebanyakan bayi dengan perbaikan fungsi yang
abnormal dan normalisasi histologi hati.10,12

Kolestasis Intrahepatik Akibat Sindrom Alagille


TERAPI
Terapi untuk kolestasis. Aliran empedu dapat dirangsang dengan
koleretik
asam ursodeoxycholic, namun pada banyak pasien, pruritus
dirawat untuk menjaga kelembaban kulit dengan emollients, dan
kuku harus dipotong untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
antihistamin dapat memberikan sedikit bantuan, tetapi banyak

21

pasien

membutuhkan

terapi

tambahan

dengan

agen seperti rifampisin atau naltrexone. Malnutrisi dan kegagalan


pertumbuhan

harus

Persentase

ditangani

yang

dengan

optimal

terapi

agresif

dan

gizi.

distribusi

kalori lemak belum ditentukan secara sistematis. Ada yang


signifikan malabsorpsi lemak rantai panjang, sehingga formula
dilengkapi dengan trigliserida rantai menengah yang memiliki
beberapa
diserap

keuntungan
secara

normal,

gizi.
dan

Karbohidrat

suplemen

dapat

harus

meningkatkan

keseluruhan

defisit

kalori. Banyak pasien tidak dapat makan cukup untuk menyediakan


jumlah energi yang besar yang diperlukan untuk pertumbuhan
dan perkembangan, dan pemberian dengn NGT dapat membantu.
Oral atau parenteral suplemen diperlukan untuk pencegahan
kekurangan

vitamin

dan gejala sisa mereka. Vitamin yang terbaik diberikan sebagai


suplemen individu yang disesuaikan dengan spesifik kebutuhan
pasien.
mungkin

Kegagalan
memiliki

untuk
gejala

memperbaiki
sisa

kekurangan

substansial,

dan

vitamin
evaluasi

laboratorium sering diperlukan, khususnya di tahun-tahun pertama


kehidupan.13

Kolestasis Intra Hepatik E.C Virus Hepatotropik A,B, C

Mekanisme Seluler
Empedu dibentuk dalam hati, bagian utama dari hati untuk
sekresi empedu sedikitnya terdiri dari 2 sel hepatosit yang
berdekatan. Bagian yang berperan adalah membran kanalikulus
dengan protein carriernya, organel intra seluler dan sistoskleton
hepatosit. Pembentukan empedu memerlukan asam empedu dan

22

ion organik dan ion anorganik lain melalui membran sinusoid yang
ditransportasikan melalui sel hati ke kanalikulus biliaris melalui
membran kanalikulus.5,14
Pada mekanisme seluler ini banyak sekali peran transporter
kompleks. Transporter ini ditemukan

pada

membran sinusoid

(basolateral) sel hati. Yang paling utama berperan adalah Na+ K+


ATP-ase yang mana bertanggung jawab dalam pertukaran tiga ion
natrium intra seluler dengan dua ion kalium ekstraseluler yang
mengakibatkan terjadi perbedaan tekanan dan selanjutnya terjadi
proses ambilan asam empedu ke dalam sel hati.7,14
Transporter lainnya adalah organic anion transporting protein
(OATP) yang merupakan natrium independent dan membawa
beberapa molekul termasuk asam empedu, bromsulfothalin, dan
bilirubin. Asam empedu yang terikat dengan glisin dan taurin
sebagian besar akan dimasukkan ke dalam sel hati oleh Na bile
acid transporting protein (NCTP). Transport asam empedu melalui
sel hati melibatkan protein sitosol terutama 3--OH steroiddehidrogenase. Retikulum endoplasma dan aparatus golgi juga
berperan pada proses ini.7,14
Perubahan fungsi hati pada kolestasis
Pada

kolestasis

yang

fungsional dan struktural:

berkepanjangan

terjadi

kerusakan

7,14

a. Proses transpor hati


Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada
fungsi polaritas dari hepatosit sehingga elminasi bahan seperti
bilirubin terkonyugasi, asam empedu, dan lemak kedalam
empedu

melalui

plasma

membran

permukaan

terganggu.
b. Transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik

23

sinusoid

Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam


empedu akan menyebabkan gangguan sitokrom P-450. Fungsi
oksidasi, glukoronidasi, sulfasi dan konyugasi akan terganggu.
c. Sintesis protein
Sintesis

protein

seperti

alkali

fosfatase

dan

GGT,

akan

meningkat sedang produksi serum protein albumin-globulin


akan menurun.
d. Metabolisme asam empedu dan kolesterol
Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali,
sintesis asam empedu dan kolesterol akan terhambat karena
asam empedu yang tinggi menghambat HMG-CoA reduktase
dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan penurunan asam empedu
primer dan menurunkan rasio trihidroksi/dihidroksi bile acid
sehingga aktifitas hidropopik dan detergenik akan meningkat.
Kadar kolesterol darah tinggi tetapi produksi di hati menurun
karena degradasi dan eliminasi di usus menurun.
e.Gangguan pada metabolisme logam .
Terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi
bilier yang menurun. Bila kadar ceruloplasmin normal maka
tidak terjadi kerusakan hepatosit oleh Cu karena Cu mengalami
polimerisasi sehingga tidak toksik.
f. Metabolisme cysteinyl leukotrienes
Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan
vasoaktif dimetabolisir dan dieliminasi dihati, pada kolestasis
terjadi kegagalan proses sehingga kadarnya akan meningkat
menyebabkan
kolestasis.

edema,

Oleh

karena

vasokonstriksi,
diekskresi

menyebabkan vaksokonstriksi pada ginjal.

24

dan

diurin

progresifitas
maka

dapat

g. Mekanisme kerusakan hati sekunder


(i). Asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang
menyebabkan kerusakan hati melalui aktifitas detergen dari
sifatnya yang hidrofobik. Zat ini akan melarutkan kolesterol
dan fosfolipid dari sistim membran sehingga intregritas
membran akan terganggu. Maka fungsi yang berhubungan
dengan membran seperti Na+, K+-ATPase, Mg++-ATPase,
enzim-enzim lain dan fungsi transport membran dapat
terganggu, sehingga lalu lintas air dan bahan-bahan lain
melalui membran juga terganggu. Sistim transport kalsium
dalam hepatosit juga terganggu. Zat-zat lain yang mungkin
berperan dalam kerusakan hati adalah bilirubin, Cu, dan
cysteinyl leukotrienes namun peran utama dalam kerusakan
hati pada kolestasis adalah asam empedu.
(ii).Proses imunologis, pada kolestasis didapat molekul HLA I
yang mengalami display secara abnormal pada permukaan
hepatosit, sedang HLA I dan II diekspresi pada saluran
empedu sehingga menyebabkan respon imun terhadap sel
hepatosit dan sel kolangiosit. Selanjutnya akan terjadi sirosis
bilier.
Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana kolestasis adalah:5,7
1. Memperbaiki aliran empedu dengan cara:
a. Mengoreksi/mengobati etiologi kolestasis dengan operasi pada
kolestasis

dengan

medikamentosa

operasi

pada

pada

kolestasis

kolestasis

obstruktif

hepatoseluler

yang

dan
dapat

diobati
b. Menstimulasi aliran empedu dengan:
Fenobarbital : bermanfaat sebagai antipruritus dan dapat
mengurangi kuning. Mekanisme kerjanya yaitu meningkatkan
aliran

empedu

dengan

menginduksi

enzim

glukuronil

transferase, sitokrom P 450 dan Na+ K+ ATP-ase. Tetapi pada

25

bayi jarang dipakai, karena efek sedasinya dan mengganggu


metabolisme beberapa obat diantaranya vitamin D, sehingga
dapat mengeksaserbasi rickets. Dosis: 310 mg/kgBB/dibagi

dua dosis.
Asam ursodeoksilat : merupakan asam empedu tersier yang
mempunyai sifat lebih hidrofilik serta tidak hepatotoksik bila
dibandingkan dengan asam empedu primer atau sekunder
dan merupakan competitive binding terhadap asam empedu
toksik. Khasiat lainnya sebagai hepatoprotektor karena dapat
menstabilkan dan melindungi membran sel hati serta sebagai
bile flow inducer karena meningkatkan regulasi sintesis dan
aktivitas transporter pada membran sel hati. Dosis : 10 30

mg/kgBB/hari.
Kolestiramin : dapat menyerap asam empedu yang toksik
sehingga juga akan menghilangkan gatal. Dosis : 0,25 0,5

g/kgBB/hari
Rifampisin : dapat meningkatkan aktivitas mikrosom serta
menghambat ambilan asam empedu oleh sel hati dan
merubah metabolismenya, sehingga dapat menghilangkan
gatal

pada

50%

kasus.

Efek

sampingnya

adalah

trombositopenia dan hepatotoksisitas yang terjadi pada 5


10% kasus. Dosis : 5 10 mg/kgBB/ hari.

2. Menjaga tumbuh kembang bayi seoptimal mungkin dengan


terapi nutrisi menggunakan formula spesial dengan jumlah
kalori 120 150% dari kebutuhan normal, pemberian vitamin,
mineral dan trace element:
Formula MCT ( medium chain triglyceride ) karena relatif
lebih larut dalam air sehingga tidak memerlukan garam
empedu untuk absorbsi.
Menghindarkan makanan yang mengandung Cuprum
Vitamin yang larut dalam lemak :
vit A
: 5000 25000 U/hari,
vit D3
: Calcitriol: 0,05 0,3 ug/kgBB/hari,

26

vit E
vit K1

: 25 50 IU/kgBB/hari,
: 2,5 5 mg/2 7 x/mgg,
atau 2 5 mg intramuskuler setiap 4 minggu.
Mineral dan trace element : Ca, P, Mn, Zn, Selenium, Fe
3. Terapi komplikasi yang sudah terjadi, misalnya hiperlipidema /
xantelasma dengan kolestipol, dan pada gagal hati dan pruritus
yang tidak teratasi dengan transplantasi hati.
4. Support psikologik dan edukasi keluarga terutama untuk
penderita

kelainan

hati

yang

progresif

yang

memerlukan

transplantasi hati. Imunisasi dan higiene juga perlu diperhatikan.

27

Daftar Pustaka

1. Bisanto J, Kolestasis pada bayi. Dalam : Hot topic in pediatric.


Disampaikan pada pendidikan kedokteran berkelanjutan ika XLV.
Jakarta:FKUI,2002;84-99
2. Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri. Liver disease in children. In
Lippincott william and wilkins editors
3. Waree P. Toxoplasmosis: Pathogenesis and immune response.
Department of microbiology and parasitology, Faculty of medical
science,

naresuan

University.

Thammasat

medical

journal

vol.8;4:487-96.
4. Uppuluri R, Shah I. Cytomegalovirus Infection and liver disease in
neonates. Pediatric liver clinic, B. J. Wadia Hospital for children,
Mumbai. Diakses dari www.google.com
5. Bisanto J. Kolestasis intrahepatik pada bayi dan anak. Dalam:
Juffrie M, Soenarto SS, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS,
penyunting. Buku ajar gastroentero-hepatologi jilid 1; edisi 1.
Badan Penerbit IDAI; 2010.h.365-383
6. The New Jersey Department of Health and Senior Services.
Galactosemia. Last updated on March 2005. Diakses dari
www.google.com
7. Balisteri WF. Cholestasis. In: Berhman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, eds. Nelson Text Book of Pediatrics, 17 th ed. Philadelphia :
WB Saunders, 2004; 1203-7.
8. Horslen S. Disorder of carbohydrate metabolism. In: Kleinman,
Goulet, Mieli, Vergani, Sanderson, Sherman, Shneider. Walkers
Pediatric

gastrointestinal

disease.

2008;927-39.

28

Hamilton:

BC

Decker,

9. Kolestasis intrahepatik pada bayi dan anak. Dalam : Bisanto J,


penyunting. Buku ajar gastroentero-hepatologi. Edisi-1. Jakarta:
Balai Penerbitan FKUI; 2010.h. 365-9
10. Kolestasis : atresia bilier dan sindroma hepatitis neonatal.
Dalam : Oswari H, diagnosis dan tatalaksana penyakit anak
dengan

gejala

kuning.

Jakarta

pendidikan

kedokteran

berkelanjutan ilmu kesehatan anak LIII; 2007.h.42-54


11. Kelly D. Diseases of the liver and biliarry system in childern.
3rd ed. Willey-blackwell; .p. 112-6
12. Davis MK, Andres JM. Cholestasis in neonates and infants.
In

:Polin

Saunders;
13.

RA,

editor.

Gastroenterology

and

nutrition.

.p. 135-40

Kamath B, Chir M.B, Spinner N, and David A. Piccoli, M.

Sindrom Alagille, In: Suchy FJ,Sokol RJ, Balistreri WF, editors.


Liver disease in children; 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams
Wilkins; 2007. p .357 60
14.

Trauner M, Meier PJ, Boyer JL. Molecular pathogenesis of

cholestasis. In: Epstein FH, editor. Mechanisms of Disease. NEJM


1998;339(17); 1217-27.

29

Anda mungkin juga menyukai