Anda di halaman 1dari 6

Ledhek

Senin, 25 Februari 2013 07:02 |

Ditulis oleh Jumari HS |


1 Comment dan 0 Reactions

Tarmo tersandar. Di sebuah pohon sawo yang sudah rapuh dan tak berdaun,
matanya berkunang-kunang, kepalanya seperti dihinggapi berpuluh ulat yang
terasa membuat gatal, perih bahkan sakit yang luar biasa. Terbersit dia ingin
bunuh diri, mengingat dirinya sudah tak ada artinya lagi bagi keluarga, yang
memiliki istri status pekerjaannya sebagai ledhek. Itu membuatnya malu pada
tetangga dan masyarakat sekitarnya. Kacung ledhek, kacung ledhek!
begitulah cemooh tetangga yang sering terdengar di telinganya. Dia terus
berusaha menahan cemoohan itu, dan apa yang dilakukan istrinya hanya
untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan anak-anaknya. Memang, kadang
cemoohan tetangga dan masyarakat membuatnya marah dan malu. Akan
tetapi, apa boleh buat, dengan kondisi pekerjaan yang tak menentu sebagai
buruh bangunan yang hasilnya pun pas-pasan, dia hanya memendam beban
dan kemarahan.
Ayo menari dan menarilah sampai pantatmu menjelma gelombang, lalu
menggulung jiwaku yang tak memiliki laut untuk melayarkan segala harapan.
Ayo menari, ya menarilah, Istriku. Wajahmu yang cantik itu pasti
mengundang birahi setiap lelaki yang memandang dan ingin menjamahnya,
geramnya sambil meneteskan airmata.
Tangis Tarmo begitu menderu, meratapi nasib yang dialaminya. Bayangan
istri menari dan dikerumuni banyak lelaki, kadang di antara mereka sering
mencubiti pipi, memegang pantat istrinya, membuat darah Tarmo terus
bergejolak dan ingin membunuh mereka semua. Tapi apa boleh buat, semua
sudah menjadi risiko profesi pekerjaan istri sebagai ledhek. Dia sebagai
suami hanya menyembunyikan kekesalannya, ibarat magma yang suatu saat
bisa meledak dan menghancurkan keharmonisan keluarga.
Nanti malam, aku ada tanggapan di tetangga desa. Pakne ikut menemani
enggak? Kalimat itulah yang sering terucap Sumi pada suaminya setiap mau
main ledhek. Ucapan yang terlontar itu setiap kali membuat kepala Tarmo
pusing, darahnya mendidih dan bergolak seperti bah yang tiba-tiba datang
lalu berpusar, membuat hidupnya seakan diterjang beliung dan kepalanya
seperti berputar-putar.
Entahlah, aku ini seakan manusia batu yang sangat bodoh, dengan
mudahnya terperdaya bayangan tulang rusukku yang telah terberai oleh
kondisi, membuat perasaanku terasa tergunting-gunting yang begitu
menyembilu. Sampai kapankah beban dan nasibku ini akan berakhir? rintih
Tarmo, meratap sendiri.
***

Malam begitu dingin, sedingin salju yang meleleh lalu mengalir dalam
ketakberdayaan dan membuat suasana begitu menggigit dan hampa. Di
kamar tidur perasaan Tarmo diselimuti pertanyaan demi pertanyaan yang
sangat sulit. Dia hanya bisa memandangi kedua anaknya yang masih duduk
di bangku SD yang terlelap tidur di sampingnya. Dalam kelengangan itu, di
kejauhan suara gending Jawa melantunkan tembang-tembang jawa
Walangkekek, Godril, Caping Gunung yang menghentak-hentak dan begitu
memuakkan. Bayangan istrinya yang menari dan dikerumuni laki-laki hidung
belang terus melintas-lintas di benaknya, membuat darahnya kembali
mendidih dalam kemarahan yang memuncak.
Tidak bisa! Tidak bisa! Mulai besok kamu harus tanggalkan pekerjaanmu
sebagai ledhek, geram Tarmo. Matanya melotot kesetanan sambil
mengepalkan tangannya keras sekali, yang membuat kedua anaknya
terbangun dari tidurnya.
Bapak marah dengan siapa? tanya anaknya yang paling besar.
Aku hanya mengigau, Nak. Tidurlah, Bapak tidak apa-apa, elak dan
hiburnya pada anak-anaknya. Lalu mereka tidur pulas kembali.
Langit kamar tidur seperti dipenuhi bayang-bayang. Lantunan tetembangan
Jawa yang diiringi musik gamelan terasa tambah menghentak-hentak dan
membuat tulang-tulang Tarmo gemeretakan seakan tak tahan menahan
amarahnya yang begitu besar, sampai atap-atap rumah terasa terbakar,
membuat telinganya begitu panas, panas sekali.
Aku tidak mau tersiksa berlarut-larut, dan malam ini adalah yang terakhir
istriku main ledhek! cetus mantap dalam hatinya. Malam pun semakin
merangkak dan embun mulai mengelupas di daun-daun. Tarmo belum juga
bisa tidur, menunggu istri pulang main ledhek. Bayangan istrinya dikermuni
dan digoda para lelaki hidung belang terus membayang di benaknya,
membuat airmata dan keringat berbaur penuh kepedihan paling dalam.
Bukakan pintu, Pakne, terdengar suara istrinya dari luar rumah. Dengan
bergegas dan langkah sigap Tarmo membukakan pintu. Dilihat istrinya
didampingi seorang lelaki dengan tubuh tinggi dan kekar.
Maaf, aku cuma mengantar Sumi, menjaga keselamatannya, mengingat dia
perempuan dan pulangnya sudah larut malam, kata lelaki itu. Tarmo cuma
menatap dengan wajah sinis. Hatinya tambah menggelora penuh kemarahan
sambil memperhatikan langkah lelaki itu, yang berpaling lalu menghilang di
kegelapan.
Bersyukur, Pakne, malam ini aku dapat saweran banyak dan besok bisa
untuk bayar biaya sekolah anak-anak, kata istrinya sambil melepas

pakaiannya. Tak ada sepatah kata jawaban dari Tarmo. Dia begitu dan hanya
bisa meneteskan airmata sepuas-puasnya. Di hati kecilnya terjadi distorsi
yang kuat antara mencegah atau membiarkan istrinya jadi pemain ledhek.
Dia tak bisa berbuat apa-apa dan terus menangis dan menangis. Merenungi
nasib yang tak menentu dengan penuh kegundahan, matanya yang basah itu
sesekali melihat anak-anaknya yang tertidur pulas, menambah batinnya
teriris-iris.
Kenapa Pakne menangis, apakah ada yang salah dalam diriku?
Jawab, Pakne. Aku sebagai istri akan selalu memahami dan menerimanya,
tanya istrinya penuh tanda tanya.
Enggak ada apa-apa, Bune. Aku cuma meratapi masa depan anak-anak dan
keluarga, elaknya.
Aku tak percaya. Sepertinya Pakne menyembunyikan sesuatu.
Sudahlah, enggak usah dipikir, sudah larut malam. Bune tidur saja, nanti
sakit, jawabnya lirih sambil membelai wajah istrinya. Lalu dipeluk istrinya
penuh kasih dan kehangatan dalam kelelapan. Meski demikian, hatinya
merasakan kemarahan yang meletup-letup. Tapi Tarmo masih tak bisa
menghilangkan suara gending-gending Jawa yang menghentak-hentak,
dengan bayangan tubuh istri yang menari dan meliuk-liuk yang membuat
jiwanya dirasuki beban dan kecemburuan yang menggelegak.
***
Di ujung timur, matahari mulai merangkak disambut angin sepoi-sepoi. Dan
burung-burung pun beterbangan di angkasa, pergi dari sarangnya
menyongsong kehidupan yang lebih cerah. Lain dengan Tarmo, yang
semalam tak bisa tidur, belum juga merasakan kantuk. Pikirannya benarbenar dibalut kekalutan yang begitu menyiksa dan menyiksa.
Apakah aku harus berterus terang dengan istriku, bahwa aku tidak
menghendaki dia jadi ledhek? Lalu bagaimana dengan ekonomi keluarga,
sedangkan penghasilanku tak mencukupi. Tapi, kalau aku tidak bicara, setiap
hari pasti aku terus tersiksa seperti ini, keluhnya sambil wajahnya menatap
burung-burung yang beterbangan di sekitar rumahnya.
Aku bayangkan burung-burung itu terbang bebas di udara, seakan tak ada
beban apa pun, dan mampu menghidupi anak-anaknya. Mereka bisa
berkicau apa saja tanpa ada beban. Mengapa nasibku tak berubah?
keluhnya dalam hati. Tarmo tahu, dalam lamunannya itu, di kejauhan istrinya
memperhatikannya.

Kelihatannya ada sesuatu yang dipikirkan begitu berat. Kalau boleh tahu
masalahPakne, mungkin aku bisa meringankan beban masalahnya, celetuk
istri yang tiba-tiba menghampirinya dari belakang. Tarmo sangat gugup
menghadapinya dan benar-benar gagap. Raut wajah pun terlihat pucat atas
kehadiran istrinya.
Tidak, tidak ada apa-apa, Bune, jawabnya dengan menyunggingkan mimik
menyembunyikan rahasia hati yang sebenarnya.
Tak usah berbohong, justru kalau Pakne mau berterus terang masalah apa
pun bisa kita selesaikan dengan baik, tambahnya.
Tarmo menghela nafas dalam-dalam. Pikirannya kalut, tapi dia sadar bahwa
apa yang disampaikan istrinya tidak salah. Selama ini, dia yang bodoh dan
tak mau berterus terang. Tapi di balik kebodohannya, di benaknya, bayangan
istrinya yang menari sambil meliuk-liukkan tubuh di atas panggung dan
menggoda hasrat nafsu lelaki hidung belang terus bermunculan.
Boleh aku menumpahkan isi hati yang sebenarnya? Dan apakah dirimu bisa
menerima, Bune? tanya Tarmo memberanikan diri.
Sebagai istri, tentu saja aku menerimanya, Pakne, apa pun risikonya.
Selama ini pikiranku kacau dan hatiku tidak menghendaki kalau dirimu jadi
pemain ledhek, jelasnya
Apa? tidak menghendaki aku jadi ledhek? Lalu kelangsungan ekonomi
keluarga
kita
ke
depan
bagimana? Apakah Pakne sudah
siap
menanggungnya? pertanyaan suaminya itu seperti petir yang menyambar
kepalanya.
Aku hanya butuh jawaban bisa atau tidak, dan persoalan ekonomi keluarga
bisa dicarikan solusinya, Bune. Yang jelas, selama ini hidupku sangat tersiksa
dengan profesi Bune sebagai pemain ledhek, tandasnya.
Sumi kebingungan dan tak bisa menjawab pertanyaan suaminya yang begitu
berat dan membuat kepalanya pusing. Bayangan ekonomi keluarga dan
nasib masa depan anak-anak menghantui pikirannya. Kalau aku sudah
berhenti mainledhek, lalu aku hanya menerima nafkah dari suami yang
hasilnya pas-pasan dan tak menentu, apa jadinya nasib keluarga dan anakanakku? gerutunya dalam hati.
Dipikir nanti saja, Pakne. Yang terpenting sekarang menjalani hidup apa
adanya sambil menata ekonomi keluarga. Aku janji bisa menjaga diri, jawab
Sumi tegas dan diplomatis, mengisyaratkan bahwa belum saatnya dirinya
berhenti jadiledhek.

Telinga Tarmo terasa panas mendengar jawaban istrinya yang bias dan
membuat pikirannya semakin dongkol. Dia tak bisa berbuat apa-apa dan
dalam hatinya terasa hidupnya sudah tak berarti sebagai kepala keluarga.
***
Di atas panggung, Sumi semakin mahir menari dan sangat populer.
Tubuhnya yang langsing dan cantik meliuk-liuk ibarat ular sanca betina yang
menebar pesona di setiap mata yang memandangnya. Apalagi di mata lelaki.
Pasti mereka terkagum dan terusik ingin menggodanya. Musik gamelan Jawa
terus menghentak-hentak mengiringi tariannya, memecah kesunyian malam,
dan Sumi dengan keringat yang membasahi tubuh terus menari dan menari
dalam kerumunan banyak lelaki. Meski demikian, dia tak merasa lelah atau
takut dengan suasana seperti itu, karena sudah terbiasa dengan profesinya.
Malam pun semakin larut dan gulita, segulita pikiran Sumi yang sedang
mainledhek. Wajahnya cantik dengan mata indah dan kocak. Tubuhnya terus
meliuk-liuk, membuat penonton dan para penari laki-laki yang
mengerumuninya semakin semangat terpesona. Meski suasananya
demikian, pikiran Sumi terasa tak tentram. Dia merasakan ada sesuatu yang
tak enak di pikirannya. Selesai pentasledhek, dia sengaja duluan pamit
pulang sendirian tak mau diantar oleh siapa pun.
Dalam dinginnya malam, Sumi memberanikan diri melangkah sendirian
menembus belukar kegelapan. Langkah demi langkah, rasa cemas terus
menggelayuti perjalanan pulangnya.
Ada apa dengan diriku? Dan kenapa malam ini perasaanku sepertinya tak
enak dan gelisah? bisiknya sambil memasuki lorong-lorong kegelapan.
Pakne, aku pulang! Dan apa yang kulakukan selama ini
sebagai ledhek semata-mata untuk kebutuhan keluarga, dan aku berjanji
menjaga cinta kasih yang abadi, bisik Sumi sebelum mengetuk pintu
rumahnya.
Sudah begitu lama Sumi mengetuk pintu rumahnya, tapi belum juga ada
yang membuka. Perasaan resah dan cemas semakin membuncah di pikiran.
Pertanyaan-pertanyaan pahit pun silih berganti, terasa menyumbat telinga
dan membuatnya sangat tersiksa. Apalagi ketukan dan panggilan belum juga
ada jawaban. Sumi terus memandangi rumahnya. Terasa seperti pekuburan
yang menakutkan dan membuat penasaran. Pada ke mana mereka?
tanyanya dalam hati, tanda tanya pun menjulai-julai di dada.
Sumi berusaha mendobrak pintu rumahnya sampai kuncinya lepas, lalu
terlihat sesosok tubuh terbujur kaku yang menggantung di atap rumah. Jerit
dan tangis pun memecah malam, menjadi butiran-butiran airmata berlinangan

membasahi bumi yang begitu dingin, sedingin tubuh Tarmo yang sudah kaku,
sekaku prinsipnya yang orang lain tidak boleh tahu, kecuali Tuhan! []

Catatan: ledhek adalah penari perempuan pada seni tradisional tayub. Seni
tayub biasanya untuk ritual menyambut panen padi. Tetapi di era modern,
seni tersebut telah berubah menjadi pentas seni yang berbau alkohol dan
kadang menjadi ajang pertikaian untuk memperebutkan simpati ledhek.
JUMARI HS
Lahir di Kudus, 24 Nopember 1965. Menulis cerpen, puisi, dan artikel. Karyakaryanya dimuat di berbagai media. Juga dalam beberapa antologi. Sekarang
menjabat bendahara Keluarga Penulis Kudus (KPK). Buku kumpulan
puisinya,Tembang Tembakau, akan segera terbit. Tinggal Kudus, Jawa
Tengah.

Anda mungkin juga menyukai