Anda di halaman 1dari 4

Awan Kelabu Di Rumpun Bambu

Aku meilihat polisi itu memegang bungkusan berisi bubuk putih sebelum ia menggeledah tas
Izal yang terdampar pada sebuah bangku di seberang tempatku duduk. Setelah mengaduk aduk
isinya, kemudian kulihat ia mengeluarkan kembali bungkusan itu dan menuduh Izal yang
membawanya.
siapa pemilik tas ini? bentaknya pada anak anak kelas 1 E2 yang sebelumnya telah di suruh
berbaris di tepi tembok.
sasaya pak jawab Izal ragu
barang apa ini? Bentak polisi lagi
tidak tahu, itu bukan milik saya
buktinya ini ada di tas kamu! Jelaskan di kantor polisi
Ku lihat wajah Izal tampak pucat, sementara Harmono, wali kelas kami yang mendampingi
polisi menggeledah kelas dalam rangka razia narkoba juga tampak limbung.
bagaimana kamu bisa menuduh dia membawa narkoba, jika narkoba itu sebelumnya telah bawa
bapak sendiri teriakku kepada polisi.
siapa kamu? Siapa suruh kamu berbicara? ganti dia berteriak padaku.
bagaimana ini?? Saya melihat sendiri bapak itu yang masukin bungkusan itu kedalam tas Izal
belaku sambil melihat ke arah pak harmono berharap ia berpihak padaku.
jangan mengada ada kamu, kamu tidak punya bukti apa apa!
tapi benar aku melihat kamu memasukan bungkusan itu
Plakkkplakkk..
Tanggan polisi itu melayang ke pipiku setelah beberapa saat menghampiriku.
kamu temannya??? Pasti kamu komplotannya, geledah anak ini ia hendak mengambil tasku
yang ada dibangku tapi aku lebih dulu menggapainya.
berikan tasmu paksa nya sambil merebutnya.
pastikan dulu tanganmu bersih! jawabku
Hampir saja ia mendapatkan tas ku, namun pak harmono melerai kami.
sebaiknya bapak buka tangan bapak dahulu, atau biar saya yang menggeladah tas anak ini

Benar saja, polisi itu mundur karena aku yakin di tangannya ada sesuatu yang ingin di masukan
seperti yang ia lakukan pada tas Izal.
Pak harmonopun mengambil tasku, ia keluarkan barangku satu persatu mulai dari dua buah buku
tulis, satu eksemplar module paraktikum, tiga batang bulpoin yang masing masing berwarna
hitam, biru dan merah, sebatang pensil, sebuah penggaris, sebuah penghapus dan sebuah telepon
seluler. Selanjutnya pak harmono juga menggeledah seragamku hingga ia mengambil kontak
sepeda motor dan dompetku, ia buka dompet dan tidak menemukan apapun keculia beberapa
lembar rupiah, kartu siswa dan beberapa foto.
saya tidak menemukan apa apa terang pak harmono pada polisi itu.
baik pak jawab polisi itu angkuh.
tapi saya harus membawa anak ini ke kantor polisi kata polisi lain yang telah merangkul Izal
dari belakang.
tapi aku tidak membawa apapun pak Izal terbata bata.
bapak itu yang memasukan barang haram ke dalam Izal pak teriakku sambil menunjuk kea rah
polisi yang hampir saja menggeldeh tasku.
diam! Jangan ikut campur! Kamu tidak punya bukti
Berlahan pak harmono memegang pergelanganku dan berbisik tahan emosimu
Tanpa ba bi bu, polisi polisi sangar itu menggelandang Izal tanpa ampun, sempat kuliahat Izal
meronta dan berteriak ke arahku.
brengsek,,,, awan,,, kau tahu aku tak bersalah,,, mereka yang melakukan teriaknya ke
arahku sebelum akhirnya lehernya di tekuk agar kepalannya tertunduk di tanah sehingga tidak
banyak meronta. Saat rombongan itu melewatiku yang berdiri di samping pintu bersama pak
harmono, aku sempat mengancungkan jari tengah.
brengsek,,, anjing kalian! teriakku, sampai akhirnya seorang polisi berjalan mendekatiku
jangan macam macam kamu sama polisi ancamnya sambil meninju pelipisku. Seketika
kepelaku pusing, mataku berkunang kunang kemudian pingsan.
Saat adegan pingsan itulah aku terbangun dari tidur. Peristiwa yang aku alami tadi ternyata Cuma
mimpi. Tapi mimpi itu membuat nafasku terengah engah, keringat mengucur deras seolah olah
dendam itu membakar tubuhku. Terang saja kebencianku kembali tersulut, meski yang ku alami
tadi hanya mimpi tapi setahun lalu itu kenyataan. Kenyataan perpisahanku dengan sahabat
karibku Izal.

Aku angkat tubuhku yang telah berbaring separuh malam itu, aku terduduk kemudian mencari
telepon genggamku dan ku temukan di pojok kiri atas ranjangku. Aku buka lock screennya
hingga ku temukan beberapa notifikasi pesan singkat, tanpa sengaja aku juga melihat tanggal
hari ini 03 Juli 2008.
hari ini ulang tahun Izal gumamku, sambli beranjak dari tempat tidur sesaat ku bayangkan
tanggal ini setahun yang lalu aku sedang berada di sebuah panti asuhan di tepi kota untuk
merayakan ulang tahun izal. Membagikan sedikit uang jajan kita untuk perjamuan kecil sore itu,
tapi agaknya itu tidak mungkin berulang. Izal telah pergi, bukan hanya untuk sementara tapi
selamanya. Sehari paska penangkapan itu keadaan ku rasakan semakin mencekam. Polisi
memberi kabar bahwa Izal meninggal bunuh diri di tahanan sementara Polres. Tapi aku
mengimani hal lain, Izal bukan mati Bunuh diri, tapi dia di bunuh oleh polisi polisi brengsek itu.
mereka menganiayanya agar dia mengakui barang bukti yang di temukannya dalam rangka
mengisi BAP. Tapi aku kenal Izal, pantang dia mempertaruhkan kebenaran maka dari itu
penganiayaan it terus dilakukan berharap izal mengakui barang bukti itu.
Pastinya kalian dapat membayangkan bagaimana keadilan di tegakkan di negeri ini, Izal di
jebloskan tahan tanpa penasihat hukum. Bagi buaya buaya berseragam coklat itu orang orang
desa seperti kami adalah sasaran empuk bagi mereka yang ingin menaikan kasta mereka lebih
tinggi lagi.
Ah Lupakan itu, aku muak membicarakan manusia manusia itu. meski tidak semua pengayom
masyarakat tidak berbuat keji semacam yang mereka lakukan pada Izal, tapi aku terlanjur muak
pada mereka. bukan hanya aku tapi hampir semua penduduk kota ini, berurusan hukum dengan
para penagaknya yang licik dan korup bukanlah solusi bijak, namun bunuh diri.
Izal, ku harap kamu damai disana bisiku pelan entah pada siapa aku tak tahu, tapi yang aku
tahu aku berniat berkunjung ke makam Izal Sore ini
****
Maaf, aku membuka kisah ini dengan melankolis, tapi saya yakin segmen ini tidak semelankolis
yang kalian kira.
Namaku Awan, Lengkapnya Awan Kaswarat. Tapi mereka yang bersekolah di SMA Singo Ludiro
lebih suka memangil aku Awan Keparat. Pantas saja, aku memang keparat bahkan amat keparat.
Bagaimana tidak? Sebagai murid pindahan, bersama David Damcha dan Somnas aku menjungkir
balikkan tradisi di sekolah ini. Tradisi turun menurun bahwa secara tidak tertulis ketua OSIS
SMA SL harus muridnya Nenek Sihir Ami. Ami?? Ya Ami. Ami itu adalah ibu dari segala
kebususkan yang ada di sekolah ini, dia penghembus racun kebohongan di telinga penghuni
sekolah dengan pesonanya yang angkuh tapi bagiku itu tidak lebih dari sebuah ibadah
menjijikan.

Awalnya memang tidak serta merta saya terobsesi untu terlibat dalam politik sekolah ini, aku
sebenarnya tipekal orang yang apatis dan tidak perdulian. Tapi kemudian aku terlibat masalah
dengan Ami, Wali Kelas IPA 1 yang lebih dikenal dengan Janda Kesepian.
Sejak awal saya paham jika iblis betina itu tidak senang padaku, bahkan dia pernah menolak aku
gabung di kelasnya saat awal awal aku pindah sekolah dulu padahal kepala sekolah telah
menunjuk saya berada di kelas dia dan brengseknya ia memilih Sidrata menjadi muridnya,
padahal saya yakin dia tidak lebih pandai dari aku. Huft memuakkan. Dan sejak saat itulah aku
menaruh kebencian.
and the reason is you, and the reason is you nada dering ponselku berbunyi, tanda
seseorang telah memanggilku. Ku raba saku celanaku dan aku temukan sebuah nomor berkedap
kedip di layar ponseku.
nomor siapa ??? bisikku entah pada siapa, kubiarkan saja panggilan itu berakhir dan
menyisakan tanda panggilan tak terjawab. Namun beberapa saat kemudian nomor itu kembali
merayapi layar ponselku yang sudah mulai low bat. Kali ini aku mengangkatnya.
hallo asalamualaikum kataku
walaikum salam, Awan? jawab seorang dengan suara perempuan keluar dari speaker.
iya siapa? tanyaku balik.
ini Erna! tegasnya
erna siapa ya? tanyaku kembali

Anda mungkin juga menyukai